Anda di halaman 1dari 93

TAREKAT SYÂDZILIYAH DAN HIZBNYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh


Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Disusun Oleh:

Sa’adatul Jannah
NIM:107033101689

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis menghaturkan segala puji yang tidak terhingga

kepada Allah SWT. Karena Dialah satu-satunya yang memiliki segala kebesaran

dan keagungan. Ditangan-Nyalah bermula segala masalah dan ditangan-Nyalah

terselesaikan segala masalah. Dia juga yang menciptakan kesedihan dikala

manusia sedang bergembira dan menciptakan kegembiraan disaat manusia sedang

berputus asa. Dia juga yang menyembuhkan penyakit manusia ketika mereka

sudah tidak mempunyai harapan untuk kesembuhannya dan Dia pulalah yang

memberikan rasa sakit kepada manusia ketika mereka dalam keadaan

menyombongkan kesehatan dirinya. Dialah yang membuat kesulitan ketika

manusia merasa sombong atas kemampuannya dan dia pulalah yang menjadikan

kemudahan ketika manusia berpasrah diri kepada-Nya.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

juga keluarga serta sahabat-sahabat sekalian. Beliaulah utusan Allah yang telah

merubah kebatilan menuju keimanan serta membawa umat manusia dari tempat

yang gelap gulita ke tempat yang terang benderang.

Setelah sekian lama bertahan antara harap dan cemas, akhirnya penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis

menyampaikan ucapan terima kasih atas segala bantuan, dorongan dan

sumbangan baik moril maupun materil.

i
Pertama-tama penulis haturkan terimakasih kepada Keluarga saya.

Ayahanda Supangat dan ibunda Choiriah yang dengan penuh kasih sayang,

keikhlasan dan tidak henti-hentinya memanjatkan doa, memberikan dorongan dan

memenuhi kebutuhan materil selama penulis menjalankan perkuliahan. Buat

kakanda Chafid Syahbi yang selalu setia menemani saya dan adik saya M. Hasan

Tamami yang selalu mendo’akan dan menasihati saya.

Terima kasih kepada K.H. Habib Makky dan Ibu Nyai, selaku pimpinan

Pondok Pesantren al-Amien Mersi Purwokerto Wetan yang telah memberikan

waktu untuk memberi arahan dan informasi atas penelitian yang penulis lakukan.

Tak lupa pula penulis haturkan terima kasih kepada bapak Anas penganut dari

Tarekat syadziliyah yang telah merekomendasikan dan yang telah menemani dan

memberi informasi.

Terima kasih kepada Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan. MA, selaku

pembimbing yang sangat sabar memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi

ini, Dekan Fakultas Ushuluddin Prof. Dr. Zainun Kamal. MA, Ketua Jurusan

Akidah Filsafat Drs. Agus Darmaji. M.Fils, Sekretaris Jurusan Akidah Filsafat

Dra. Tien Rohmatin, MA.

Terima kasih kepada segenap civitas akademik Fakultas Ushuluddin yang

telah membantu kelancaran administrasi. Kepada pimpinan dan staf perpustakaan

Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

ii
Selanjutnya, terimakasih kepada kawan-kawan seperjuangan, mba saya

Uyun yang sudah meninggalkan saya wisuda duluan, Ayu yang semangat ya

kuliahnya, Ipeh yang selalu senang mendengar cerita-cerita saya, Nanang, Amar,

Faiz, Makin, Anwar, Muis, Riza, Rian, Acan, Verli, Diki, Hambali, Khadoet,

Deul, Gangsar, Hamzah dan Tanti. Tak lupa penulis ucapkan salam kepada

senior-senior Ushuluddin.

Terima kasih kepada semua seluruh pihak yang telah membantu penulis,

namun tidak sempat di sebutkan satu persatu namanya. Semoga Allah SWT.

membalas dengan kebaikan kalian. Akhirnya, penulis menyelesaikan skripsi ini,

semoga bermanfaat dunia akhirat.

Jakarta, 9 Oktober 2011

iii
TRANSLITERASI

Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke


dalam huruf latin, transliterasi dan cara penulisan yang penulis gunakan dalam
skripsi ini berdasarkan pada pedoman Penulisan Karya Ilmiah ( Skripsi, Tesis, dan
disertasi) “ yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Develoment and
Assurance ) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan


‫ا‬ tidak dilambangkan
‫ب‬ B Be
‫ت‬ T Te
‫ث‬ Ts te dan es
‫ج‬ J Je
‫ح‬ H h dengan garis bawah
‫خ‬ Kh ka dan ha
‫د‬ D De
‫ذ‬ Dz de dan zet
‫ر‬ R Er
‫ز‬ Z Zet
‫س‬ S Es
‫ش‬ Sy es dan ye
‫ص‬ S Es dengan garis di bawah
‫ض‬ D De dengan garis di bawah
‫ط‬ T Te dengan garis di bawah
‫ظ‬ Z zet dengan garis di bawah
‫ع‬ ‘ koma terbalik di atas hadap kanan
‫غ‬ Gh ge dan ha
‫ف‬ F Ef
‫ق‬ Q Ki
‫ك‬ K Ka
‫ل‬ L El
‫م‬ M Em
‫ن‬ N En
‫و‬ W We
H Ha
‫ء‬ ‘ Aspostrof
‫ي‬ Y Ye

iv
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


a Fathah
i Kasrah
u Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai


berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫ي‬ ai a dan i
au a dan u

Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab di
lambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


â a dengan topi di atas
î i dengan topi di atas
‫و‬ û u dengan topi di atas

Kata sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ‫ ال‬di alih aksarakan menjadi huruf/l/ baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwan bukan ad-
dîwân.

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…….…………………………………………………..... i

TRANSLITERASI……….…………………………………………………….. iv

DAFTAR ISI……………….………………………………………………….... vi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…….…………….……………………... 1

B. Tinjauan Pustaka ...............................…………............................ 6

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah…..………………………... 8

D. Tujuan Penelitian……………………….………………………... 8

E. Metode Penelitian……………………….……………………….. 9

F. Sistematika Penulisan……………………..……………………... 9

BAB II : ABÛ HASAN AL-SYÂDZILÎ DAN TAREKAT SYÂDZILIYAH

A. Biografi Abû Hasan Al-Syâdzilî……………………………….. 11

1. Latar belakang dan Pendidikan Abû Hasan Al-Syâdzilî…..… 11

2. Karya-karya Abû Hasan Al-Syâdzilî........................................ 14

3. Kepribadian Abû Hasan Al-Syâdzilî………………………… 15

4. Pemikiran Abû Hasan Al-Syâdzilî…………………………... 17

B. Tarekat Syâdziliyah dan Keberadaannya…………………......... 18

C. Pengikut Tarekat Syâdziliyah…………………………………... 23

BAB III : HIZB TAREKAT SYÂDZILIYAH

A. Pengertian Hizb………………………………………………… 28

B. Hizb-Hizb Tarekat Syâdziliyah ……………………..…………. 29

vi
C. Pengaruh Hizb bagi yang Mengamalkannya …………………... 68

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………….............. 75

B. Saran-Saran…………………………………………………….. 77

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 78

LAMPIRAN…………………………………………………………………... 81

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tarekat adalah sebuah kata yang berasal dari kata thariqah yang berarti

jalan. Kata al-thariqah dapat dijumpai pada al-Qur‟an surah al-Jin ayat 16:

“Dan seandainya mereka menempuh jalan lurus mengikuti jalan


itu, niscaya Aku akan memberi mereka minum dengan air yang paling
segar.”

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi

saw. menyuruh umatnya untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah para

sahabatnya. Sunnah juga berarti jalan, seperti halnya thariqah yang berarti jalan.

Kendati sama-sama bermakna jalan, istilah tarekat dapat diterapkan pada berbagai

kelompok orang yang mengikuti mazhab pemikiran yang dikembangkan oleh

seorang alim atau Syaikh tertentu,1 sedangkan istilah sunnah tidak demikian

halnya.

Pada abad ketujuh Hijriyah di dunia Islam, baik di kawasan sebelah Timur

maupun Barat, tumbuh berbagai tarekat sufi yang bergerak secara aktif. Di dunia

Islam belahan Barat muncul Tarekat Syâdziliyah yang kemudian berkembang ke

Mesir dan negeri-negeri dunia Islam belahan Timur dan terus menyebar ke

1
Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan: Antivirus Kebatilan dan
Kezaliman. Penerjemah Zainul Am (Jakarta: SERAMBI, 1998), h.16.

1
2

berbagai kawasan Islam hingga saat ini.2 Tarekat Syâdziliyah adalah salah satu

tarekat yang diakui kebenarannya (al-mu‟tabarah).

Tarekat Syâdziliyah dinisbatkan kepada Abû Hasan al-Syâdzilî (w. 656

H/1258 M) sebagai pendirinya, Tarekat ini cukup dikenal dengan hizbnya.3 Ia

adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf searah dengan al-

Ghazâlî, yakni pelaksanaan tasawuf yang tetap memegang teguh syariat yang

berlandaskan al-Qur‟an dan as-Sunnah, mengarah pada asketisme, pelurusan dan

penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan pembinaan moral (akhlaq). Tarekat ini

dinilai oleh kebanyakan kalangan bersifat moderat dan menawarkan konsep zuhud

(al-zuhd) yang lebih moderat.4

Al-Syâdzilî tidak menganjurkan pada murid-muridnya untuk

meninggalkan profesi dunia mereka. Mereka tidak harus hidup menyendiri dan

bahkan dianjurkan untuk merealisasikan ajaran tarekat dalam masyarakat di

tengah-tengah kesibukan mereka. Bertarekat itu tidak berarti menghalangi upaya-

upaya modernisasi. Konon, tarekat ini banyak digemari oleh kalangan usahawan-

usahawan berduit dan berdasi, yang merasa pas dengan ajarannya dan tertarik

menjadi pengikut Tarekat Syâdziliyah.

Al-Syâdzilî senantiasa mengajarkan kepada pengikutnya agar

menggunakan nikmat Allah secukupnya baik dalam hal pakaian, makanan,

kendaraan, yang layak dalam kehidupan yang sederhana. Hal demikian akan

menumbuhkan rasa syukur kepada Allah SWT dan mengenal rahmat Ilahi.

2
Abu al-Wafa al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman. Penerjemah Ahmad Rofi‟
„Utsmani (Bandung: Pustaka, 1997), h. 238.
3
Sri Mulyati dan Wiwi Siti Sajaroh, Laporan Penelitian Kolektif: Tasawuf Pasca Ibn
Arabi (Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN, 2006), h 1.
4
Sri dan Wiwi, Laporan Penelitian Kolektif, h. 22.
3

Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur

dan berlebih-lebihan memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezhaliman.

Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT, sebaik-baiknya sesuai

petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Al-Syâdzilî berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan

umat Islam saat itu, seperti apa yang dirisaukan oleh para modernis-rasionalis

sekarang. Dia berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami

oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif

yang banyak dialami para sâlik. Dia menawarkan tasawuf yang ideal dalam arti

bahwa di samping berupaya mencapai makrifat, juga harus beraktivitas dalam

realitas sosial di „bumi‟ ini. Seperti yang dikatakan al-Syâdzilî bahwa seorang sufi

tidak hanya beribadah tetapi juga harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan

hidup jasmaniahnya.5

Di samping itu tarekat ini mempunyai lima prinsip dasar yang harus

menjadi ciri sikap dan tingkah laku setiap pengikutnya. Lima prinsip ini, yakni:

(1) bertaqwa kepada Allah, baik dalam keadaan sunyi maupun dalam keadaan

ramai. (2) mengikuti sunnah Rasulullah (3) berkhalwat (4) ridha kepada Allah (5)

senantiasa mengingat Allah baik dalam keadaan lapang maupun sulit.6

Ajaran al-Syâdzilî ini kemudian diteruskan oleh muridnya Abû Άbbâs al-

Mursî (w. 686 H.), kemudian diteruskan oleh Ibn Athâillâh al-Iskandari (w. 709

H.). Mereka ini dalam perkembangannya dipandang sebagai pioner Tarekat

5
Ardani, “Tarekat Syadziliyah terkenal dengan Variasi Hizb-nya,” dalam Sri Mulyati, ed.,
Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), h.
73-75.
6
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf (T.tp.: AMZAH,
2005), h. 219.
4

Syâdziliyah, sehingga berkembang pesat di beberapa wilayah seperti Tunisia,

Mesir, Aljazair, Sudan, Syria dan Indonesia khususnya di Jawa.7 Tarekat

Syâdziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti al-Muwahhidûn,

yakni Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur

di Mesir dan Timur Dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk.

Al-Syâdzilî tidak meninggalkan karya berupa buku maupun risalah

tasawuf, tetapi menyusun rangkaian doa yang berasal dari pengalaman mistis

(hizb) yang memuat formula ayat al-Qur‟an dan juga inspirasi khas tasawuf.

Kumpulan doa ini dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Dunia Islam.

Rangkaian doa ini memiliki nama yang diberikan olehnya sendiri (Abû Hasan Al-

Syâdzilî) ataupun oleh orang lain, seperti hizb al-bahr, hizb al-nashr, hizb al-barr

atau al-kabir dan lain-lain. Saat ini dapat dijumpai bahwa di banyak pesantren di

Indonesia diajarkan hizb al-Syâdzilî itu. Dikatakan bahwa doa-doa tersebut sangat

makbul dan Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî mengakui bahwa dirinya menerima

langsung dari lisan Nabi dalam penglihatan spiritual.8

Menurut Tarekat Syâdziliyah, daya spiritual hizb itu bukan datang dari jin,

tetapi murni dari Allah. Apabila terjadi kasus seseorang yang mengamalkan hizb

ini, ternyata jin yang turut campur, maka yang perlu diluruskan adalah niat

seseorang mengamalkan hizb tersebut. Amal sebaik apapun jika niat dalam

hatinya jahat maka niat jahatnya itulah yang akan menjadi kenyataan dan hasilnya

7
Hasan Muarif Ambari, et.al., Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 193.
8
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” dalam Sayyed
Hossein Nasr, ed., Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. Penerjemah Tim Mizan
(Bandung: Mizan, 2003), h. 38.
5

hanya akan berhenti pada niatnya itu, yang biasanya tidak ikhlas karena Allah.

Karena itulah, jika seseorang akan memasuki suatu tarekat, yang paling penting

adalah menata dan meluruskan niat dalam hatinya semata-mata hanya karena

Allah.

Hizb inilah ciri utama Tarekat Syâdziliyah yang dapat dirasakan hingga

saat ini dan terutama hizb al-bahr yang dikenal sangat memberi pengaruh yang

kuat bagi pengamalnya. Hizb yang diajarkan Tarekat Syâdziliyah jumlahnya

cukup banyak dan setiap murid tidak menerima hizb yang sama karena

disesuaikan dengan situasi dan kondisi ruhaniah murid sendiri dan kebijaksanaan

mursyid. Hizb-hizb tersebut tidak boleh diamalkan oleh semua orang, kecuali

telah mendapat izin atau ijazah dari mursyid atau seseorang murid yang ditunjuk

mursyid untuk mengijazahkannya.9

Penulis sangat tertarik terhadap Tarekat Syâdziliyah karena banyaknya

penganut atau pengikut dari Tarekat Syâdziliyah. Dalam penulisan ini, penulis

ingin membahas tentang tokoh Tarekat Syâdziliyah dan ajarannya mengenai

hizbnya. Meskipun sudah ada yang membahas tentang Tarekat Syâdziliyah,

namun menurut penulis pembahasannya lebih kepada seputar perkembangan sosio

kultural para pengikut Tarekat Syâdziliyah, terutama dalam aspek perkembangan,

dan ajarannya. Walaupun dalam ajarannya sudah diteliti, tetapi tidak secara

terperinci dalam membahas ajaran hizb Tarekat Syâdziliyah. Oleh karena itu

dalam skripsi ini penulis lebih menitik beratkan pada aspek Tarekat Syâdziliyah

dan hizbnya. Inilah inti dari permasalahan yang akan dibahas. Hal ini sangat

9
Heri MS Faridy, dkk., ed., Ensiklopedi Tasawuf, jilid III (Bandung: Angkasa, 2008), h.
1153.
6

menarik untuk dikaji dan dipahami lebih dalam. Karena itu, penulis ingin

membahas hal ini lewat sebuah tulisan ilmiah yang berjudul “Tarekat Syâdziliyah

dan Hizbnya ”.

B. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan hasil tinjauan penulis terhadap pustaka yang ada terdapat

beberapa karya tulis dalam bentuk buku, skripsi, tesis yang pernah penulis baca,

berkaitan dengan pembahasan skripsi ini:

Pertama, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili: Kepribadian dan Pemikiran

karya Miftahussurur Anwar dan Muhdhor Ahmad Assegaf. Buku ini selain

menguraikan tentang kepribadian dan pemikiran Abû Hasan al-Syâdzilî, juga

membahas hizb-hizb Abû Hasan al-Syâdzilî beserta terjemahan hizb-hizb, tetapi

tidak semua hizb-hizb Abû Hasan al-Syâdzilî dibahas di dalam buku ini.

Dikatakan oleh Abû Hasan al-Syâdzilî: “Barangsiapa yang membaca hizb ini,

maka dia akan memperoleh segala apa yang telah kami peroleh dan terhindar dari

bahaya yang Allah hindarkan dari kami”.

Kedua, kitab Dalâil al-Khairât má a al-Ahzâb yang di karang oleh Abi

́Abdillah Muhammad ibn Sulaiman al-Jazulî. Kitab itu berisi petunjuk tentang

bacaan shalawat atas Nabi Muhammad saw. beserta bacaan hizb yang diajarkan

oleh pendahulunya, Abû Hasan al-Syâdzilî. Hizb yang terkenal adalah hizb yang

di susun oleh Abû Hasan al-Syâdzilî, pendiri Tarekat Syâdziliyah, antara lain hizb

al-bahr, hizb al-barr (al-kabir) dan hizb al-nashr.


7

Ketiga, “Sejarah Perkembangan dan Peranan Tarekat Syadziliyah di

Kabupaten Bekasi”, skripsi yang ditulis oleh Muhammad Juni, menginformasikan

bahwa perkembangan Tarekat Syâdziliyah di Kabupaten Bekasi sangat pesat sejak

periode KH. Mahfudz Syafi‟i (1993-2003) sampai sekarang, yang mempunyai

bai‟at mutlaq dari KH. Mustaqim bin Husain Tulungagung Jawa Timur. Tarekat

Syâdziliyah di Kabupaten Bekasi diajarkan degan konsep yang mudah dipahami,

sesuai zaman sekarang yang serba modern dan sesuai kebutuhan murid-murid

pada saat itu. Tarekat Syâdziliyah berdiri di Kabupaten Bekasi, karena adanya

murid yang membutuhkan tempat untuk menjalankan riyadhah di dekat kediaman

Kyai dan dapat bimbingan langsung dari Kyai dan sebagai tempat untuk

menjalankan acara ke tarekatan, seperti pengajian, ritual khususiyah dan tempat

untuk menjalankan wiridan.

Keempat, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajarannya:

Studi pada Pondok Peta di Tulungagung”, tesis yang ditulis oleh Muhammad

Zaini, menginformasikan bahwa perkembangan Tarekat Syâdziliyah di Pondok

PETA Tulungagung sangat baik; secara kuantitas murid atau pengikutnya sangat

banyak, yang diperkirakan jumlah pengikutnya minimal adalah 50.000 orang

sampai jutaan orang. Tarekat Syâdziliyah yang dikembangkan di Pondok PETA

Tulungagung berasal dari Pondok Pesantren Termas Pacitan, tepatnya dibawa

oleh Syaikh Άbdul Razzâq ibn Άbdullâh al-Termasî. Ajaran-ajaran Tarekat

Syâdziliyah di Tulungagung meliputi istighfar, shalawat Nabi saw, wasilah atau

tawasul, rabithah, wirid, hizb, adab murid dan suluk.


8

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Perkembangan pengikut Tarekat Syâdziliyah yang begitu pesat, membuat

peneliti bermaksud mengetahui lebih mendalam Tarekat Syâdziliyah dan hizbnya.

Penulis menfokuskan kajian dalam penulisan ini hanya terkait dengan

Tarekat Syâdziliyah, khususnya berkenaan dengan Tarekat Syâdziliyah dan ajaran

mengenai hizb sebagai pembatasan masalah.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, terdapat perumusan masalah

dalam skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana munculnya Tarekat Syâdziliyah dan sosok pendirinya?

2. Apa pengaruh ajaran hizb bagi pengikutnya yang mengamalkan?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan sebagai media informasi dan media belajar serta

untuk mengetahui lebih dalam Tarekat Syâdziliyah dan ajarannya mengenai hizb,

agar tidak ada kesalahfahaman persepsi tentang Tarekat Syâdziliyah.

Adapun tujuan penulisan skripsi ini ialah:

1. Mengetahui lebih jelas tentang biografi Abû Hasan al-Syâdzilî.

2. Mengetahui keberadaan Tarekat Syâdziliyah dan pengikutnya.

3. Memperoleh pemahaman mengenai hizb-hizb Tarekat Syâdziliyah.

4. Sebagai karya akademik, penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi

persyaratan mencapai gelar Sarjana pada Fakultas Ushuluddin, Program

Studi Aqidah dan Filsafat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


9

E. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, untuk mendapatkan data yang diperlukan,

penulis melakukan Studi Pustaka (Library Research), yakni menggunakan

sumber-sumber pustaka sebagai rujukan utama dalam mengumpulkan informasi.

Penulis mencari dan mengumpulkan buku-buku, tulisan-tulisan dan dokumen

elektronik dari internet serta beberapa sumber yang berkaitan dengan Tarekat

Syâdziliyah dan hizbnya.

Adapun pembahasannya, dalam skripsi ini adalah menggunakan metode

deskripsi analisis, yaitu pertama menggambarkan masalah, berikutnya meneliti

tulisan-tulisan kepustakaan yang berkaitan dengan pembahasan Tarekat

Syâdziliyah dan hizbnya dan kemudian melakukan analisis.

Teknik penulisan dalam skripsi ini sesuai dengan buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh

CeQDA (Center for Quality Develoment and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta 2007.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini, penulis bagi ke dalam empat bab, masing-masing bab terdiri

atas beberapa sub bab:

Bab I, pendahuluan, dimulai dengan latar belakang masalah, tinjauan

pustaka, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian

dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab II, membahas Tarekat

Syâdziliyah. Pertama, tentang biografi Abû Hasan al-Syâdzilî yang terdiri dari
10

latar belakang dan pendidikan Abû Hasan al-Syâdzilî, karya-karya Abû Hasan Al-

Syâdzilî, kepribadian Abû Hasan al-Syâdzilî dan pemikiran Abû Hasan al-

Syâdzilî. Kedua, Tarekat Syâdziliyah dan keberadaannya. Ketiga, pengikut

Tarekat Syâdziliyah.

Bab III, merupakan bab inti, memaparkan pokok bahasan berkenaan hizb

Tarekat Syâdziliyah, seperti pengertian hizb, hizb-hizb Tarekat Syâdziliyah,

pengaruh hizb bagi yang mengamalkannya. Bab IV, menyimpulkan semua isi

pembahasan yang menjadi fokus kajian dari penelitian ini dan saran-saran yang

mengakhiri sekaligus menutup pembahasan.


11

BAB II

TAREKAT SYÂDZILIYAH

A. Biografi Abû Hasan Al-Syâdzilî

1. Latar Belakang dan Pendidikan Abû Hasan Al-Syâdzilî

Nama lengkapnya Άli bin Abdullah bin Άbd. Al-Jabbâr Abû Hasan al-

Syâdzilî. Sebutan Abû Hasan merupakan nama kunyah (gelar kemuliaan) bagi

beliau. Abû Hasan al-Syâdzilî kemudian lebih terkenal dengan panggilan al-

Syâdzilî.1 Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang garis

keturunan Hasan bin Άlî bin Abi Thâlib, cucu Nabi Muhammad SAW. Silsilah al-

Syâdzilî dari Hasan bin Άlî bin Abi Thâlib, kemudian diteruskan kepada Άlî bin

Abi Thâlib yang menikah dengan Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad.

Oleh karenanya tarekat ini mempunyai silsilah sampai kepada Nabi Muhammad.2

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara Ibn Athâillâh dengan al-

Jami‟, mengenai nasab al-Syâdzilî. Ibn Athâillâh menasabkan kepada orang-orang

terhormat dan menyatukan nasabnya kepada al-Hasan bin Άlî bin Abi Thâlib.

Namun al-Jami‟ menasabkan al-Syâdzilî kepada al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Al-Syâdzilî dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta, di utara Maroko pada tahun

573 H. Wafat pada 656H/1258M, di Humaithra,3 dekat pantai Laut Merah, dalam

perjalanan pulang dari ibadah haji. Adapun mengenai tahun kelahiran al-Syâdzilî,

1
Miftahussurur Anwar dan Muhdhor Ahmad Assegaf, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili:
Kepribadian dan Pemikiran (Jawa Tengah: Al-Anwar, 2002), h. 1.
2
Harun Nasution, dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 902.
3
Humaithra adalah suatu daerah yang terletak antara Port Said dan Padang Izab, (Mesir).
Menurut keterangan air di tempat itu rasanya asin, tetapi sejak Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî
wafat dan dimakamkan di sana airnya berubah menjadi tawar. Lihat Abdullah Zain, Tasawuf dan
Zikir, h. 153.

11
12

sebenarnya masih belum ada kesepakatan. Beberapa penulis berbeda pendapat

antara lain sebagai berikut: Sirâdj al-Din Abû Hafsh menyebut tahun kelahirannya

pada 591 H/1069 M, Ibn Sabbâgh menyebut tahun kelahirannya pada 583 H/1187

M, dan J. Spencer Trimingham mencatat tahun kelahiran al-Syâdzilî pada 593

H/1196 M.4

Di tanah kelahirannya itulah, semaca kecil beliau belajar dan mempelajari

berbagai ilmu pengetahuan agama, sebelum akhirnya beliau mengembara ke

berbagai daerah untuk menimba ilmu pengetahuan yang kelak menghantarkan

maqam (derajat) beliau menjadi seorang waliyyun min auliyâ‟illâh (termasuk

orang-orang yang dicintai Allah), bahkan mencapai derajat quthbil ghouts

(pemimpin para wali yang dapat dimintai pertolongan).5

Ilmu yang diperoleh bermula dari orang tuanya, kemudian al-Syâdzilî

melanjutkan pendidikannya pada seorang ulama besar yaitu Άbd. Al-Salâm Ibn

Masyîsy (w. 628 H/1228 M) dan Abû Abdillah M Ibn Kharazim (w. 633 H/1236

M) yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu terutama dalam hal spiritual. Kedua

murid besarnya adalah murid dari Abû Madyan Syu‟aib Ibn al-Husein (1116-

1198)6, lahir di Seville. Beliau adalah ulama besar di Maghribi yang telah

mempelajari dan menghafal kitab Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn karya al-Ghazâlî dan juga

murid dari Syaikh Άbd. al-Qâdir al-Jîlânî (w. 561 H/1166 M), sehingga tidak

mengherankan jika al-Syâdzilî pun terpengaruh oleh ajaran-ajaran Syaikh Άbd. al-

4
Ardani, “Tarekat Syadziliyah terkenal dengan Variasi Hizb-nya,” dalam Sri Mulyati, ed.,
Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), h.
57-58.
5
Miftahussurur dan Muhdhor, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili, h. 1-2.
6
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (ringkas). Penerjemah Gufron A. Mas‟adi (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1999), h. 378.
13

Qâdir al-Jîlânî. Di antara guru-guru al-Syâdzilî, Ibn Masyisy-lah yang sangat

mempengaruhi perjalanan spiritual dan kehidupannya.

Adapun kitab-kitab tasawuf yang pernah dikaji oleh al-Syâdzilî dan

dikemudian hari ia ajarkan kepada muridnya, antara lain: Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn

karya al-Ghazâlî, Qût al-Qulûb karya Abû Thâlib al-Makkî, Khatm al-Auliyâ‟

karya al-Hâkim al-Tirmidzi, al-Mawâqif wa al-Mukhâthabah karya Muhammad

Άbd al-Abbâr an-Nafri, al-Syifa‟ karya Qadhli „Iyâdh, al-Risâlah karya al-

Qusyairî dan Muharrar al-Wajiz karya Ibn Athiah.7

Menurut Abdul Halim Mahmud (w. 1978 M),8 al-Syâdzilî mendapatkan

berbagai ilmu yang dia peroleh dari gurunya maupun belajar secara autodidak. Al-

Syâdzilî terkenal sebagai ahli dalam al-Hadis, penghafal al-Qur‟an, ahli fiqih,

teologi dan tidak kalah penting adalah ahli dalam ilmu tasawuf. Hal inilah yang

memberi pengaruh pada perkembangan pemikirannya dan menjadi seorang guru

dan sufi yang mempunyai karomah. Pendapat Abdul Halim, menurut Ardani,

agaknya masuk akal dan bisa diterima. Tidak mungkin tanpa pengetahuannya

tentang syariat, al-Syâdzilî berpendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara syariat

dan tasawuf, antara fiqh dengan haqiqah atau antara eksoterik dengan esoteris. Al-

Syâdzilî menegaskan, “jika engkau ingin belajar tasawuf maka pelajarilah syariat

terlebih dahulu”, sehingga mereka yang ingin masuk Tarekat Syâdziliyah

diharuskan mempelajari dan memahami ajaran-ajaran syariat dasar.

Namun demikian, bisa jadi pendapatnya yang moderat dalam masalah

hubungan syariat dengan tasawuf ini, diperoleh juga dari guru sufinya, karena
7
Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 59-60.
8
Dia adalah mantan Rektor Universitas al-Azhar yang pernah menjadi mursyid Tarekat
Syadziliyah di Mesir.
14

menurut data yang diberikan oleh Trimingham bahwa Abû Madyan dan muridnya

Άbd. Al-Salâm Ibn Masyîsy adalah sufi yang kokoh mengenai syariat.9

Ketika masih berusia muda, al-Syâdzilî meninggalkan kota kelahirannya

menuju Tunisia. Beberapa waktu kemudian, dia menjadi seorang teolog beraliran

Sunni yang sangat menentang Mu‟tazilah. Dia sangat menentang sistem

pemikiran Mu‟tazilah yang sangat menghargai akal. Sedangkan dalam fikih, para

anggota Syâdziliyah awal mengikuti mazhab Maliki. Hal ini bukan hanya karena

al-Syâdzilî sendiri bermazhab Maliki, tetapi Mazhab ini sangat dominan di daerah

Maghribi (Spanyol, Maroko, Tunisia).10 Ketika penyebaran Tarekat Syâdziliyah,

berpindah ke Alexandria, Mesir,11 di daerah ini juga mayoritas penduduknya

berpaham Maliki.

2. Karya-karya Abû Hasan Al-Syâdzilî

Dalam kehidupannya al-Syâdzilî tidak menulis ajaran-ajarannya dalam

sebuah karya berupa buku maupun risalah tasawuf, begitu juga muridnya, Abû

Άbbâs al-Mursî; di antara sebab-sebabnya adalah karena kesibukannya melakukan

pengajaran-pengajaran terhadap murid-muridnya yang sangat banyak. Al-Syâdzilî

berkata: “Kitabku adalah murid-muridku, merekalah yang menyebarkan ilmu dan

9
Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 60-61.
10
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” dalam Seyyed
Hossein Nasr, ed., Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. Penerjemah Tim Mizan
(Bandung: Mizan, 2003), h. 44-47.
11
Kota Alexandria waktu itu menjadi pusat perdagangan. Di sini dibangun kantor-kantor
perusahaan yang cabangnya menyebar di berbagai daerah. Lihat Victor Danner, “Tarekat
Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 46.
15

tarekatku”.12 Ajaran-ajaran al-Syâdzilî dapat diketahui melalui risalah tulisan Ibn

Athâillâh al-Iskandari, sehingga khazanah Tarekat Syâdziliyah tetap terpelihara.13

Meskipun begitu, al-Syâdzilî menyusun rangkaian doa yang berasal dari

pengalaman mistis (hizb) yang memuat formula ayat al-Qur‟an dan juga inspirasi

khas tasawuf. Kumpulan doa ini dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Dunia

Islam. Sejak saat itu, karya beliau menjadi rangkaian doa yang sangat luas

pemakaiannya dalam Dunia Islam dan dianggap memiliki keberkatan khusus.

Rangkaian doa ini memiliki nama yang diberikan olehnya sendiri (Abû Hasan Al-

Syâdzilî) ataupun oleh orang lain, seperti hizb al-bahr, hizb al-nashr, hizb al-barr

atau al-kabir dan lain-lain. Saat ini dapat dijumpai bahwa di banyak pesantren di

Indonesia diajarkan hizb al-Syâdzilî itu. Dikatakan bahwa doa-doa tersebut sangat

makbul dan Syaikh Abû Hasan Al-Syâdzilî mengakui bahwa dirinya menerima

langsung dari lisan Nabi dalam penglihatan spiritual.14

3. Kepribadian Abû Hasan Al-Syâdzilî

Di antara para tokoh sufi, Abû Hasan al-Syâdzilî adalah seorang yang

mempunyai perawakan ideal, warna kulitnya sawo matang, tinggi badannya, jari-

jarinya panjang sebagaimana orang Hijaz. Fasih lisannya dan manis tutur katanya.

Ia selalu berpakaian mewah saat ia berpergian kemana-mana, lebih-lebih ketika ia

pergi ke masjid. Tempat-tempat yang lain (selain tempat kotor) baginya sama

12
Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 73.
13
Data yang ada seringkali berdasarkan atas riwayat, baik dari muridnya, koleganya atau
anaknya sendiri. Meskipun begitu, data tersebut tidak bisa dikatakan tidak valid karena dalam
tradisi kesufian, periwayatan dan kesaksian menempati bagian penting.
14
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 38.
16

seperti masjid.15 Al-Syâdzilî agaknya seorang tokoh sufi yang bercorak modern,

artinya „tidak terlalu‟ meninggalkan dunia.16 Ia hidup sebagaimana layaknya

manusia modern. Bagi al-Syâdzilî, bila seorang memanfaatkan kebahagiaan

dunianya, ia adalah orang yang bersyukur atas ni‟mat yang diberikan oleh Allah

SWT. Hal ini juga sesuai dengan ajaran Islam yang mengatakan berfikirlah

dengan ciptaan-Nya dan jangan memikirkan zat-Nya. Menurutnya, orang yang

memanfaatkan kebahagiaan di dunia akan selalu mencintai Allah SWT. Sebab

dengan memikirkan ciptaan-Nya ia akan merasakan betapa agungnya Allah SWT.

Al-Ustadz Syekh Άli Salim Άmmar mengatakan: “al-Syâdzilî suka

mengenakan pakaian yang paling bagus dan paling mewah, makan makanan yang

lezat dan minum minuman yang enak, serta memiliki kuda yang bagus dan cepat.

Beliau juga penunggang kuda yang hebat, seorang ilmuwan yang handal, seorang

pejuang di medan peperangan, seorang petani yang membajak sawah, menanam

dan memanennya sendiri.” Demikian pula al-Syâdzilî juga terkenal sebagai hamba

Allah yang selalu beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, sekaligus

sebagai sosok seorang Muslim yang dicintai oleh Allah SWT.

Ibn Athâillâh al-Iskandari pernah mengatakan dan ini menjadi penjabaran

salah satu ajaran Tarekat Syâdziliyah, bahwa barangsiapa mengenakan pakaian,

15
Hadits Rasulullah saw. “Aku jadikan bumi laksana Masjid.” Yakni bahwa bumi di mana
tempat manusia berada semuanya masjid. Abû Hasan al-Syâdzilî selalu berpenampilan rapih dan
bersih di manapun ia berada. Lihat Miftahussurur dan Muhdhor, Imam Ali Abil Hasan Asy-
Syadzili, h. 17-18.
16
Abû Hasan al-Syâdzilî pernah berkata, ketika ia menasihati pengikutnya, “janganlah
kamu terlalu berlebih-lebihan meninggalkan urusan dunia.” Lihat Ardani, “Tarekat Syadziliyah
Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 73-74.
17

makan makanan yang enak dan minum minuman yang lezat selagi disertai syukur

kepada Allah, maka itu tidak sesuatu yang dilarang.17

4. Pemikiran Abû Hasan Al-Syâdzilî

Al-Syâdzilî, seorang tokoh sufi yang berasal dari Maghribi dan kemudian

hijrah ke Mesir, ia sangat menekankan ajaran tasawuf yang moderat. Ajaran-

ajaran tasawufnya sifatnya seimbang, diarahkan untuk mendekatkan diri kepada

Allah sekaligus kepada realitas masyarakat. Bahwa seorang salik tidak cukup

mendekat kepada Allah saja, tapi juga harus berbakti kepada masyarakat.

Menurutnya, sufi bukanlah seorang yang menghindar dari masyarakat, karena

sebenarnya beraktivitas sosial untuk kemaslahatan ummat adalah bagian

terpenting dari hasil kontemplasi seorang sufi.

Begitu pula, ajaran-ajarannya juga selalu berpegang teguh pada al-Qur‟an

dan Sunnah, sebagai sumber tertinggi. Dengan demikian, ajaran tasawufnya dapat

dikatakan tidak menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW. Karena bertasawuf

adalah upaya melatih dan memperbaiki diri agar sesuai dengan aturan-aturan

Allah SWT. Tasawuf merupakan latihan-latihan jiwa dalam rangka beribadah dan

menempatkannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Ilahi.18

Al-Syâdzilî termasuk juga sufi yang berpandangan bahwa dunia itu hina.

Tetapi dengan catatan, dunia yang bisa melalaikan manusia pada tuhannya.

Menurutnya, tidak ada larangan bagi seseorang menjadi kaya, milliuner, asalkan

hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Sesungguhnya yang

menjadikan seorang hina adalah karena ketergantungannya pada dunia. Seseorang

17
Miftahussurur dan Muhdhor, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili, h. 17-19.
18
Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 74.
18

yang memiliki banyak harta dan hatinya tidak tergantung padanya maka dia bisa

disebut zahid. Sebaliknya, meskipun tidak mempunyai harta, tetapi jika perhatian

terfokus pada harta, orang tersebut tidak bisa disebut zahid.

Zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan. Karena sifatnya

pekerjaan hati maka tidak mesti sifat zuhud itu diukur dari kepemilikan harta.

Seorang zahid bisa jadi mempunyai banyak harta. Atas pertimbangan itu dan demi

memakmurkan dunia, al-Syâdzilî mendorong para salik agar tetap mencari harta

kekayaan, namun jangan sampai melalaikan Tuhan.19 Pemahaman al-Syâdzilî ini

kemudian terimplementasikan, seperti dalam tarekat yang dipimpinnya, al-

Syâdzilî yang sebagaimana ungkap Annemari Schimmel, mempunyai pendekatan

pragmatis untuk kenyamanan duniawi.20

Memang menurut al-Syâdzilî, bertasawuf itu tidak menjadikan sang salik

terasing dari dirinya sendiri maupun masyarakat. Dengan demikian, konsep

tasawuf yang diajukannya bisa menolak sikap apatis sebagian kalangan

modernisme terhadap tasawuf. Menurutnya, tasawuf bukan anti kemajuan, tapi

sebaliknya, mendukung perubahan kearah tatanan masyarakat yang lebih baik.

B. Tarekat Syâdziliyah dan Keberadaannya

Tarekat Syâdziliyah adalah salah satu tarekat yang besar di samping

Tarekat Qadiriyah, Rifa‟iyah, Naqsyabandiyah dan Suhrawardiyah. Tarekat

Syâdziliyah adalah tarekat yang paling layak disejajarkan dengan Tarekat

19
Saepudin, “Pemikiran Tasawuf Abu Hasan Al-Syadzili (1196-1258M)”, (Tesis Pasca
Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 93-95.
20
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam. Penerjemah Sapardi Djoko
Damano, dkk (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 51.
19

Qadiriyah dalam hal penyebarannya.21 Nama Tarekat Syâdziliyah dinisbatkan

kepada Abû Hasan al-Syâdzilî (w.656 H/1258 M) sebagai pendirinya. Ia adalah

keturunan Nabi Muhammad SAW. melalui Sayidina Hasan bin Alî bin Abî

Thâlib. Tarekat Syâdziliyah adalah salah satu tarekat yang diakui kebenarannya

(al-mu‟tabarah), karena silsilah al-Syâdzilî adalah bersambung (muttasil) sampai

Rasulullah SAW.22

Tarekat Syâdziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti

al-Muwahhidûn, yakni Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang di

Mesir dan Timur Dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk. Dalam hal ini yang

menarik, sebagaimana dicatat Victor Danner, peneliti Tarekat Syâdziliyah,

meskipun terekat ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal

perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia). Dengan demikian, peran daerah

Maghribi dalam kehidupan spiritual tidak sedikit. Menurut Danner, perannya

sejak abad ke-7H/13M sangatlah jelas. Banyak tokoh sufi yang sezaman dengan

al-Syâdzilî menetap di Barat, misalnya Abû Madyan Syu‟aib al-Maghribi (w. 594

H/1197M), Ibn al-Άrabi (w. 638H/1240M), Άbd. Al-Salâm ibn Masyîsy (w.

625H/1228M), Ibn Sab‟in (w. 669H/1271M) dan al-Syusyturî (w. 688H/1270M).

Walaupun dasar-dasar tasawuf Maghribi itu berasal dari Timur sebagai asal

muasal Islam itu sendiri, namun kecerdasan Muslim daerah Barat, gaya hidupnya,

seni kaligrafinya, arsitektur masjidnya, juga mazhab Malikinya, telah ada sejak

generasi Islam awal. Ciri umum ini mendapat penguatan bersamaan dengan

berdirinya dinasti Abbasiyah pada abad ke-2H/8M dan mulai mengembangkan


21
Martin Lings, Membedah Tasawuf. Penerjemah Bambang Herawan (Bandung: Mizan,
1979), h. 112.
22
Heri MS Faridy, dkk., ed., Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1149.
20

kebiasaan sendiri. Inilah atmosfir yang melatarbelakangi berdirinya Tarekat

Syâdziliyah pada abad ke-7H/13M yang mengembangkan kebebasan berfikir,

kemajuan ilmu pengetahuan, peradaban dan perekonomian.23

Daerah Maghribi telah mengembangkan suatu peradaban Islam yang luar

biasa. Bahkan setelah penaklukan kembali Spanyol oleh pasukan Kristen pada

abad ke-9 H/15 M yang mengakhiri kejayaan Islam di sana, Afrika Utara tetap

menjadi benteng pertengahan spiritualitas sufi, khususnya jika disadari bahwa

sejak zaman itu, daerah Timur Dekat sudah mengalami kemerosotan

berkepanjangan. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa pergerakan Tarekat

Syâdziliyah dari Maghribi ke Timur merupakan sebuah upaya penguatan kembali

semangat tasawuf di daerah Timur, khususnya di wilayah Arab. Ini berarti Tarekat

Syâdziliyah memainkan peranan penting di tengah kemunduran umat Islam.24

Di Maghribi (Maroko), al-Syâdzilî sangat terkenal dan banyak sekali

pengikutnya. Meskipun demikian, tetap saja ada orang yang dengki atas

kehebatannya al-Syâdzilî. Bahkan ada pula yang berani melontarkan bermacam-

macam fitnah kepadanya yang melewati batas, menyakiti beliau, melarang orang-

orang untuk tidak bergaul dengannya. Mereka menuduh al-Syâdzilî seorang

zindik. Bahkan beliau bersama pengikut-pengikutnya diusir keluar dari negeri

Maghribi, karena itu al-Syâdzilî pindah ke Mesir pada 642 H/1244 M dan dari

sinilah berkembang ke seluruh Dunia.25

Para tokoh Syâdziliyah pada masa awal tidak hanya menaruh perhatian

pada pengajaran dan praktik tasawuf tetapi juga terhadap masalah-masalah akidah
23
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 35.
24
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 52.
25
Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 65.
21

dan hukum Islam. Hal ini karena al-Syâdzilî sangat menekankan pentingnya

pengetahuan agama bagi para pengikutnya. Mereka bermazhab Sunni dan

sekalipun tasawuf sendiri tidak menaruh perhatian pada dogma-dogma teologis,

mereka cenderung untuk memilih mazhab Asy‟ariyah dalam bidang ilmu kalam.

Namun, mazhab Asy‟ariyah yang mereka anut kemungkinan besar yang sudah

dipengaruhi oleh ajaran-ajaran al-Ghazâlî yang turut memberikan kontribusi pada

mazhab itu dan mengubah watak aslinya. Secara turun temurun mereka mengikuti

aliran Asy‟ariyyah. Sekalipun anggota Tarekat Syâdziliyah saat itu menganut

Asy‟ariyyah, sama sekali tidak berarti bahwa tasawuf mereka adalah dogmatisme

Asy‟ariyyah atau bahwa tarekat ini bersifat dogmatis. Kenyataannya pada masa

berikutnya banyak pengikut Syâdziliyah di daerah lain bermazhab Syafi‟i, dan

umumnya mereka mengikuti Asy‟ariyyah.

Sedangkan dalam fikih, para anggota Syâdziliyah awal mengikuti mazhab

Maliki. Hal ini bukan hanya karena al-Syâdzilî sendiri bermazhab Maliki, tetapi

Mazhab ini sangat dominan di daerah Maghribi (Spanyol, Maroko, Tunisia).

Ketika penyebaran Tarekat Syâdziliyah, berpindah ke Alexandria, Mesir, di

daerah ini juga mayoritas penduduknya berpaham Maliki.26

Tarekat yang didirikan oleh Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî ini dilandaskan

pada ajaran metafisik dan spiritual tauhid dan tentu saja pada al-Qur‟an dan

Sunnah. Tujuan tarekat ini adalah kesadaran ma‟rifah kepada Allah yang

mengimplikasikan kebijaksanaan sempurna dan kesucian jiwa pelaku

kontemplasi. Ma‟rifah yang diajarkannya ini berdasarkan keyakinan sederhana,

26
Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 70.
22

ketaatan syariat dan formulasi dogmatis dari aqidah yang diajarkan oleh

Asy‟ariyah. Sehingga tentu saja bukan ma‟rifah dalam pembahasannya memiliki

implikasi kosmologi dalam konteks spiritual, hal ini tidaklah membuatnya

terselimuti oleh kompleksnya konsep filosofis wahdah al-wujûd yang dilansir

oleh Ibn Άrabî, sekalipun al-Syâdzilî selalu membelanya dari para penentang ide

tersebut.27 Tauhid dan dzikir merupakan dua pilar esensial tarekat ini. Yang

pertama berhubungan dengan doktrin sedangkan yang kedua berkaitan dengan

metodologi spiritual.28

Tarekat Syâdziliyah merupakan suatu bentuk reformasi pandangan

spiritual dan religius, bukan dalam arti sebagai gerakan pemurnian dan anti-

kemusyrikan yang sering secara brutal membinasakan institusi Islam eksternal di

bawah bendera “kembali ke jalan para salaf”. Namun, dengan caranya sendiri, ia

mengkritisi formalisme dan literalisme yang berlebih-lebihan dalam Islam

eksoterik saat itu. Mungkin di luar tarekat besar lainnya yang berkembang saat itu,

Syâdziliyah merupakan tarekat yang paling diterima, tidak hanya oleh tasawuf

normatif tetapi juga oleh Islam normatif. Hal ini karena, baiat atau inisiasi yang

dilakukan tarekat ini tidak pernah melanggar apa yang diyakini masyarakat.29

Ajaran al-Syâdzilî kemudian diteruskan murid-muridnya, antara lain Abû

Άbbâs al-Mursî (w. 686 H), kemudian diteruskan Ibn Athâ‟illâh al-Iskandari

27
Ada kemungkinan bahwa Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî pernah berhubungan dengan
Ibn Άrabî saat melakukan sejumlah perjalaan ke Timur Dekat. Hubungan seperti ini lebih dapat
diyakini jika menyangkut murid Ibn Άrabî, yaitu shadr al-Din Al-Qûnawî (w. 673 H/1275 M). Ia
berkunjung ke Kairo untuk menemui sejumlah tokoh-tokoh Syâdziliyah. Lebih jauh, anggota
tarekat ini merupakan pembela yang kukuh, seperti yang kita saksikan dalam perbenturan hebat
antara Ibn Athâ‟illâh al-Iskandari dan Ibn Taimiyah sebagai fundamentalis Hanbali yang
mengkritiki Ibn Άrabî, di benteng Kairo awal abad ke-8 H/14 M. Lihat Victor Danner, “Tarekat
Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 48
28
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 40.
29
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 45.
23

(w.709 H), Ibn Abbâd al-Randî (w. 793 H). Pada abad IX H/XV M. dilanjutkan

Sayid Abî Abd Allah Muhammad ibn Sulaymân al-Jazulî. Di dalam

perkembangannya, mereka dipandang sebagai pemimpin-pemimpin Tarekat

Syâdziliyah, sehingga berkembang pesat di beberapa wilayah seperti Tunisia,

Mesir, Aljazair, Maroko, Sudan, Afrika Barat, Afrika Utara, Afrika Selatan,

Mesopotamia, Palestina, Syiria, dan Indonesia khususnya di Jawa Tengah dan

Jawa Timur.30

Bahwa tetap berlangsungnya dan mapannya Tarekat Syâdziliyah tidak

dapat dilepaskan dari faktor atau konteks sejarahnya. Kondisi Afrika Utara yang

diliputi krisis ekonomi dan politik membuat masyarakat tertarik untuk bergabung

dengan organisasi semacam tarekat ini.31 Faktor lain adalah karena terekat ini

memegang kuat ortodoksi Sunni dan cukup moderat, sehingga bisa terus tumbuh

di lingkungan penguaha Sunni dan menarik minat banyak orang karena ajarannya

yang moderat.

C. Pengikut Tarekat Syâdziliyah

Sepeninggal al-Syâdzilî, kepemimpinan tarekat ini diteruskan oleh Abû

Άbbâs al-Mursî yang ditunjuk langsung oleh al-Syâdzilî. Al-Mursî termasuk

murid yang memiliki kualitas spiritual paling tinggi dibandingkan ikhwân-ikhwân

yang lainnya. Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn „Umar ibn Alî al-Anshari al-

Mursî, terlahir di Murcia, Spanyol pada 616 H/1219 M dan meninggal pada 686

H/1287 M di Alexandria. Seperti gurunya, ia tidak menulis sebuah buku atau

30
Heri MS Faridy, Ensiklopedi Tasawuf , h. 1155.
31
Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 73.
24

risalah tasawuf. Namun Abû Άbbâs al-Mursî menyusun hizb-hizb juga seperti al-

Syâdzilî.32

Guru ketiga yang terkemuka dari rantai silsilah tarekat ini, Ibn Athâ‟illâh

al-Iskandari, lahir di kota Iskandariyah Mesir, oleh karena itulah nama

belakangnya disebutkan al-Iskandari. Ia adalah seorang ahli hukum Malikiyah

yang terkenal. Mengenai pengaruh al-Syâdzilî kepada Ibn Athâ‟illâh, tampaknya

dimungkinkan melalui dua cara, yaitu al-Mursî dan hizb-hizb yang ditinggalkan

al-Syâdzilî. Melalui dua cara inilah Ibn Athâ‟illâh mewarisi ajaran spiritual al-

Syâdzilî. Ibn Athâ‟illâh al-Iskandari merupakan Syaikh pertama yang menuliskan

ajaran, pesan-pesan, doa-doa al-Syâdzilî dan al-Mursî. Ia pula yang menyusun

berbagai aturan tarekat ini dalam bentuk buku-buku dan karya-karya yang tak

ternilai untuk memahami perspektif Syâdziliyah bagi angkatan sesudahnya.33

Ajaran-ajaran Tarekat Syâdziliyah tidak terlalu berbeda dengan ajaran-

ajaran tarekat lainnya. Yang menjadi perbedaan dengan tarekat-tarekat lainnya

pada masa itu tampaknya adalah sikap tidak menonjolkan diri dalam hal

bertarekat. Tarekat Syâdziliyah tidak memisahkan diri dengan dunia luar,

meskipun al-Syâdzilî dari waktu ke waktu memberikan khutbah bagi masyarakat

umum. Para pengikut di bawahnya sulit dibedakan dengan masyarakat awam.

Satu hal juga yang membedakan Tarekat Syâdziliyah dengan tarekat lain pada

umumnya adalah dalam hal sikap hidup dan sosial bermasyarakat.

Para pengikut tarekat ini tidaklah mengenakan pakaian yang unik seperti

yang terdapat pada tarekat lainnya. Semacam khirqah atau muraqqa‟ah yang
32
Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya,” h. 67.
33
Abu al-Wafa al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman. Penerjemah Ahmad Rofi‟
„Utsmani (Bandung: Pustaka, 1997), h. 239-240.
25

terdapat pada kain wol bertambal dan terbuat dari bahan kasar, yang seringkali

dikenakan sebagai simbol lahiriah oleh kalangan sufi pada umumnya. Mereka

tidak hidup mengembara atau mengasingkan diri sebagai orang fakir. Sebaliknya

mereka berpakaian seperti masyarakat umum, bahkan sebagian dari mereka

seperti halnya pendiri tarekat ini sering mengenakan pakaian yang indah. Inilah

yang mengakibatkan orang sering bertanya, apakah sang Syaikh ini benar-benar

seorang sufi. Pakaian yang mereka pakai merefleksikan strata sosialnya, apakah

seorang guru, pedangang, pegawai atau yang lainnya.34 Pada tingkat ini, dapat di

mengerti kesimpulan yang dibuat Annemari Schimmel, bahwa tarekat ini

mempunyai pendekatan pragmatis untuk kenyamanan duniawi. Seorang faqih

kepada Tuhan tidak harus miskin harta, begitu pula tidak harus menyendiri, malah

dianjurkan untuk merealisasikan ajaran tarekat ini kepada masyarakat di tengah-

tengah kesibukannya.35

Hal-hal lain yang menjadi motivasi pengikut Tarekat Syâdziliyah adalah

bahwa tarekat tersebut adalah salah satu tarekat yang diakui kebenarannya oleh

ulama ahli tasawuf dan sah untuk di ikuti (al-mu‟tabarah), tiada pertentangan di

antara mereka karena silsilahnya bersambung sampai kepada Rasullullah SAW.

yang pada intinya adalah bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan

teknik-teknik tertentu sesuai petunjuk mursyid dalam waktu yang relatif tidak

terlalu lama, melalui jalan atau tarekat yang diakui kebenarannya oleh ulama ahli

tasawuf.

34
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 40-41.
35
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, h. 51.
26

Ajaran-ajaranya tidak begitu memberatkan para pengikutnya. Karena

ajaran-ajarannya yang mudah diterima dan moderat, tak heran jika pengikutnya

pun terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari pejabat, ulama, cendekiawan sampai

masyarakat awam; mulai dari masyarakat desa sampai masyarakat urban.36

Tarekat Syâdziliyah yang merupakan manifestasi dari ajaran-ajarannya pun

menyebar di berbagai negara, dengan jumlah pengikut yang sangat banyak.

Karena merupakan manifestasi dari ajaran-ajarannya al-Syâdzilî yang moderat itu,

maka tarekat ini menurut istilah Victor Danner, merupakan suatu bentuk

reformasi pandangan spiritual dan religius. Dalam arti, dengan carannya sendiri,

ia mengkritisi formalisme dan literalisme yang berlebih-lebihan dalam Islam

eksoterik saat itu.37

Annemarie Schimmel dalam pengantar sejarah sufi dan tasawuf karya Abu

Bakar Aceh, mencatat bahwa tarekat ini paling mudah dalam hal ilmu dan amal,

ihwal dan maqam, ihwal dan maqal. Menurut kitab-kitabnya, Tarekat Syâdziliyah

tidak meletakkan syarat-syarat yang berat bagi pengikutnya, kecuali melakukan

ibadah wajib, melakukan ibadah sunnah semampunya, zikir kepada tuhan

sebanyak mungkin minimal 1000 kali sehari semalam, istighfar dan membaca

shalawat nabi.38 Masing-masing bacaan istighfar dan shalawat itu dibaca sebanyak

36
Minat mayoritas masyarakat Islam Indonesia pada tasawuf (tarekat), sebagaimana hasil
penelitian Martin, agaknya telah ditentukan beberapa abad silam. Meskipun ketertarikan mereka
disebabkan oleh motivasi-motivasi tertentu, misalnya karena latihan-latihan mistiknya yang
diajarkan dan kekuatan spiritualnya yang dapat mereka peroleh atau juga mereka tertarik
mengikuti tarekat karena kepribadian seorang pemimpin atau Syaikh tarekat yang kharismatik.
Sehingga besar pula pengaruhnya terhadap pengikut tarekat. Lihat Martin Van Bruienessen,
Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), h. 16.
37
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 45.
38
Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf (Jakarta: Ramadhani, 1984), h.
278.
27

100 kali pada setiap habis shalat maghrib dan subuh. Dalam keadaan tertentu,

amalan itu bisa dibaca di waktu lain dengan cara diqadha (diganti). Selain itu juga

bisa dilakukan sambil melakukan kegiatan atau pekerjaan lain, seperti berjalan

atau bekerja.

Bagi pengikut tarekat ini membaca zikir, tidak tergantung pada jumlah

yang dibaca. Walaupun jumlahnya sedikit, bisa jadi diterima oleh Allah,

sementara yang banyak mungkin justru sebaliknya, ditolak. Pandangan ini di

dasarkan pada keyakinan bahwa diterima atau tidaknya suatu amalan merupakan

rahasia Allah. Inilah yang membedakan Tarekat Syâdziliyah dengan tarekat lain.39

Karena kesederhanaan Tarekat Syâdziliyah ini sehingga sangat

mempengaruhi tempat berdirinya dan berkembang secara luas hingga saat ini.40

Banyak pengikutnya, sehingga berkembang pesat di beberapa wilayah seperti

Tunisia, Mesir, Aljazair, Maroko, Sudan, Afrika Barat, Afrika Utara, Afrika

Selatan, Mesopotamia, Palestina, Syiria, dan di Indonesia khususnya di wilayah

Jawa Tengah dan Jawa Timur.

39
Mu‟tasim Radjasa dan Abdul Munir Mulkha, Bisnis Kaum Sufi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), h. 39.
40
Noer Iskandar al-Baisany. Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi (Jakarta: PT RajaGrafindo,
2001), h. 89.
28

BAB III

HIZB TAREKAT SYÂDZILIYAH

A. Pengertian Hizb

Hizb berasal dari bahasa Arab, yaitu Hizbun. Artinya partai, kelompok,

golongan, jenis, wirid, bagian, tentara, pasukan atau senjata. Dalam pembahasan

ini arti Hizbun adalah jenis wirid yang bahasa keseharian disebut hizb.1 Hizb

adalah suatu do‟a yang cukup panjang, dengan lirik dan bahasa yang indah yang

disusun ulama besar.2 Hizb adalah kumpulan do‟a khusus yang sudah sangat

populer di kalangan masyarakat Islam khususnya di pesantren dan tarekat. Hizb

ini biasanya merupakan do‟a andalan seorang Syaikh yang biasanya juga

diberikan kepada para muridnya secara ijazah yang jelas (ijâzah sharîh). Do‟a ini

diyakini oleh kebanyakan masyarakat Islam atau kaum santri sebagai amalan yang

memiliki daya spiritual yang sangat besar.3

Dikatakan bahwa doa-doa tersebut sangat makbul dan Syaikh Abû Hasan

al-Syâdzilî mengakui bahwa dirinya menerima langsung dari lisan Nabi dalam

penglihatan spiritual. Al-Syâdzilî menyusun rangkaian doa yang berasal dari

pengalaman mistis (hizb) yang memuat formula ayat al-Qur‟an dan juga inspirasi

khas tasawuf. Kumpulan doa ini dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Dunia

1
Ki UmarJogja, “Definisi Ilmu Hizib,” artikel diakses pada 30 Juni 2011 dari
http://rasasejati.wordpress.com/kajian-ilmu-ghoib/hizib-ratib
2
Hizb yang terkenal adalah hizb yang di susun oleh Abû Hasan al-Syâdzilî, pendiri
Tarekat Syâdziliyah antara lain, hizb al-bahr, hizb al-nashr, hizb al-barr (al-kabir) dan lain-lain.
Lihat Abi ́Abdillah Muhammad ibn Sulaiman al-Jazulî, Dalâil al-Khairât má a al-Ahzâb,
(Surabaya: Nabhan, t.th).
3
Heri MS Faridy, dkk., ed., Ensiklopedi Tasawuf, jilid III (Bandung: Angkasa, 2008), h.
1153.

28
29

Islam. Sejak saat itu, karya beliau menjadi rangkaian doa yang sangat luas

pemakaiannya dalam Dunia Islam dan dianggap memiliki keberkatan khusus.4

Hizb adalah himpunan ayat-ayat al-Qur‟an dan untaian kalimat zikir,

Asma Allah dan do‟a yang disusun untuk diamalkan dengan membacanya atau

diwiridkan (diucapkan berulang-ulang) sebagai salah satu bentuk ibadah untuk

mendekatkan diri kepada Allah SWT (Taqarrub Ilallah).

Jadi kandungan dari sebuah hizb selain berisi pujian mengagungkan Asma Allah

SWT dan shalawat Nabi juga mengandung doa untuk memohon pertolongan

kepada Allah. Hizb juga mengandung banyak rahasia (sirr) yang sulit dipahami

oleh orang awam, seperti kutipan beberapa ayat al-Qur‟an yang terkadang isinya

seperti tidak terkait dengan lafal rangkaian doa sebelumnya. Para ahli hizb

berpendapat bahwa dalam hal ini yang terkait adalah asbabun nuzul-nya.5

B. Hizb-Hizb Tarekat Syâdziliyah

Hizb yang diajarkan Tarekat Syâdziliyah jumlahnya cukup banyak dan

setiap murid tidak menerima hizb yang sama karena disesuaikan dengan situasi

dan kondisi ruhaniah murid sendiri dan kebijaksanaan mursyid. Hizb-hizb tersebut

tidak boleh diamalkan oleh semua orang, kecuali telah mendapat izin atau ijazah

dari mursyid atau seseorang murid yang ditunjuk mursyid untuk

mengijazahkannya. Adapun hizb-hizb tersebut, antara lain hizb al-asyfâ‟, hizb al-

4
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” dalam Seyyed
Hossein Nasr, ed., Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. Penerjemah Tim Mizan
(Bandung: Mizan, 2003), h. 38.
5
Ki UmarJogja, “Definisi Ilmu Hizib.”
30

kâfî atau al-autâd, hizb al-bahr, hizb al-birhatiyah, hizb al-nashr, hizb al-barr

atau al-kabir.6

1. Hizb al-Asyfâ’

Hizb al-asyfâ‟ adalah hizb yang khas dari Tarekat Syâdziliyah di

Tulungagung. Sebelum seseorang mengikuti prosesi baiat atau talqin zikir,

biasanya ia dianjurkan untuk membaca hizb al-asyfâ‟, untuk membuka hati dan

membersihkannya dari kotoran nafsu. Adapun cara mengamalkan, apabila disertai

puasa maka hizb al-asyfâ‟ dibaca setiap selesai shalat fardhu dan puasa

dilaksanakan selama tiga hari, tujuh hari, sepuluh hari atau empat puluh hari,

sesuai dengan petunjuk Mursyid. Puasa dimulai pada hari selasa, rabu dan kamis.

Apabila tidak disertai puasa, maka pembacaan hizb al-asyfâ‟ dilaksanakan cukup

sekali dalam sehari semalam.7 Tidak semua murid diperlakukan sama antara yang

satu dengan yang lain, karena semuanya tergantung kepada kebijakan dan

kearifan Mursyid yang sesungguhnya. Mursyid lebih mengetahui keadaan hati dan

kualitas ruhani seseorang. Ketika seseorang dipandang secara ruhaniyah telah

pantas untuk dibaiat, kapanpun waktunya yang dikehendaki oleh Mursyid untuk

dibaiat, saat itu pula seseorang dibaiat untuk memasuki Tarekat Syâdziliyah.8

Pertama-tama membaca surat al-Fatihah yang ditujukan kepada Allah

SWT., Nabi Muhammad SAW., Sayidina Abû Bakar al-Shiddîq, Sayidina „Umar

ibn al-Khaththâb, Sayidina „Ustmân bin Άffan, Sayidina Άli bin Abî Thalib,

6
Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran: Studi pada
Pondok Peta di Tulungagung”, (Tesis Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003) h.
168. Tentu saja masih banyak hizb-hizb Abû Hasan al-Syâdzilî. Lihat Abi ́Abdillah Muhammad
ibn Sulaiman al-Jazulî, Dalâil al-Khairât má a al-Ahzâb, (Surabaya: Nabhan, t.th).
7
Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran” h. 168.
8
Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran” h. 117.
31

Syâikh Άbd al-Qâdir al-Jîlânî, Mbah Panjalu, Sunan Kalijaga, Syaikh Ibnu

„Ulwân, Wali Sembilan di Indonesia, Sulthan Agung, Syaikh Άbd al-Qadir al-

Kediri, Syaikh Mustaqîm bin Husain, Syaikh Abdul jalil bin Mustaqim, kedua

orang tua dan Nabi Hidhir as.

Bacaan hizb al-asyfâ‟:9

2. Hizb al-bahr

Hizb al-bahr ditulis pada saat Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî dalam

perjalanan di Laut Merah dan mendapat langsung dari Rasulullah. Al-Syâdzilî

membacanya dalam rangka berdoa agar selamat dalam perjalanan di Laut Merah.

Walaupun hizb al-bahr mempunyai ikatan historis yang sangat erat dengan laut,

bukan berarti hizb al-bahr ini hanya dibaca atau diamalkan di laut.10

Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî sendiri telah berwasiat kepada para

pengikutnya dalam hal hizb ini, bahwa semua murid yang mengikuti Tarekat

Syâdziliyah supaya mengamalkan hizb al-bahr, karena di dalamnya terdapat

nama-nama Allah yang besar sekali berkahnya. Dengan membaca al-asmâ‟ al-

husnâ berarti seseorang berzikir dan mengingat Allah dengan 99 nama yang setiap

nama memiliki pengaruh spiritual yang besar. Pengaruh spiritual itu akan di

9
Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran”, h. 168-
169.
10
Abd. Halîm Mahmûd, “Abul-Hasan Al-Syadzily, Kehidupan, doa dan hizibnya,” artikel
diakses pada 30 Juni 2011 dari http://ishakq.multiply.com/reviews/item/82
32

dapatkan oleh siapapun yang mengamalkan dengan syarat meminta ijazah dari

guru yang berwenang.11

Murid-murid atau pengikut Tarekat Syâdziliyah di Kabupaten Bekasi

ketika dibaiat selain mendapatkan Tarekat Syâdziliyah juga mendapatkan hizb,

yaitu hizb al-bahr dan hizb al-asyfâ‟. Kh. Mahfudz Syafi‟i mursyid Tarekat

Syâdziliyah di Kabupaten Bekasi tidak begitu berkenan memberikan amalan-

amalan hizb lainnya, karena semua tergantung kepada kebijakan dan kearifan

mursyid.12

Penerapan dalam mengamalkan hizb al-bahr Tarekat Syâdziliyah di

bekasi, bagi seseorang yang sudah mendapatkan ijazah hizb al-bahr, dianjurkan

agar setelah mengamalkan wirid Tarekat Syâdziliyah diteruskan dengan membaca

hizb al-bahr. Hal ini sesuai dengan anjuran al-Syâdzilî. Tatacara membacanya,

setelah membaca al-fatikhah yang terakhir atau sebelum doa kemudian

dilanjutkan membaca hizb al-bahr dengan diawali membaca al-fatikhah lillaahi

ta‟ala, lalu langsung membaca hizb al-bahr. Hizb al-bahr diakhiri dengan

membaca al-fatikhah 7 kali, lalu ditutup dengan membaca doa.13 Hizb al-bahr

biasanya dibaca setelah shalat Ashar dalam tradisi Tarekat Syâdziliyah (demikian

keterangan Ibn Athâ‟illâh al-Iskandari).14

11
Heri MS Faridy, Ensiklopedi Tasawuf , h. 1153.
12
Muhammad Juni, “Sejarah Perkembangan dan Peranan Tarekat Syadziliyah di
Kabupaten Bekasi”, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2008), h. 33
13
Muhammad Juni, “Sejarah Perkembangan dan Peranan Tarekat Syadziliyah”, h. 39
14
Miftahussurur Anwar dan Muhdhor Ahmad Assegaf, Imam Ali Abil Hasan Asy-
Syadzili:Kepribadian dan Pemikiran (Jawa Tengah: Al-Anwar, 2002), h.137.
33

a. Bacaan hizb al-bahr:


34

b. Terjemahan hizb al-bahr:

1. “Dengan menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang.”

2. “Wahai Yang Maha Luhur, wahai Yang Maha Besar, wahai Yang Maha
Santun, Engkaulah Tuhanku, dan ilmu-Mu cukup bagiku, dan sebaik-baik
Tuhan adalah Tuhanku, dan sebaik-baik Dzat Yang Mencukupi adalah
yang mencukupi diriku, Engkau adalah Penolong kepada siapa yang
Engkau kehendaki dan Engkaulah yang Maha Mulia lagi Maha
Bijaksana.”

3. “Kami mohon kepada-Mu al-‟ishmah (terjaga dari maksiat) baik dalam


gerak dan diam, dalam bertutur kata dan kemauan, serta kekhawatiran dari
wasangka, keraguan dan kecemasan yang menjadikan hati-hati ini tidak
dapat melihat perkara-perkara ghaib.”

“(Maka di situlah) orang-orang mu‟min benar-benar mengalami ujian dan


goncangan yang keras.” “Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan
orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit berkata: “Allah dan Rasul-
Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” (Q.S. Al-Ahzab
33: 11-12)
35

5. “Maka teguhkanlah dan tolonglah kami, dan tundukkanlah untuk kami


samudera ini sebagaimana Engkau telah menundukkan samudera itu
kepada Musa, sebagaimana Engkau telah menundukkan api kepada
Ibrahim, sebagaimana Engkau menundukkan bukit-bukit dan besi kepada
Daud, dan sebagaimana Engkau menundukkan segala angin, dan syetan-
syetan serta jin kepada Sulaiman. Tundukkanlah untuk kami seluruh
samudera yang menjadi milik-Mu, baik yang ada di bumi maupun di langit
dan seluruh kekuasaan di laut dunia maupun laut akhirat, dan tundukkan
untuk kami segala sesuatu, wahai Dzat yang di tangan-Nya kekuasaan
segala sesuatu.”

6. “Tolonglah kami karena Engkau sebaik-baik Dzat Yang Menolong.


Bukalah untuk kami, karena Engkau adalah sebaik-baik Dzat Yang
Membuka. Ampunilah kami, karena Engkau sebaik-baik Dzat Yang
Memberi Ampunan. Kasihanilah kami, karena Engkau sebaik-baik Dzat
Yang Mengasihi. Berilah rezeki kepada kami, karena Engkau sebaik-baik
Dzat Yang Memberi rezeki. Berilah petunjuk dan selamatkanlah kami dari
orang-orang zhalim. Hembuskanlah untuk kami angin yang baik
sebagaimana yang ada di dalam ilmu-Mu. Sebarkanlah untuk kami
khazanah-khazanah rahmat-Mu. Angkatlah kami dengan membawa
kemuliaan bersama keselamatan dan afiyah di dalam agama, baik di dunia
maupun di akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”
36

7. “Wahai Allah, mudahkanlah bagi kami segala urusan kami hingga hati dan
badan kami terasa lega, juga selamat dan kuat dalam segala urusan dunia
dan agama kami. Engkaulah Yang Menjaga dalam perjalanan kami,
Khalifah dalam keluarga kami. Butakanlah (penglihatan) wajah musuh-
musuh kami dan bekukan mereka di tempatnya masing-masing sehingga
tidak mampu berjalan mendatangi tempat kami.”

8. “Dan jikalau Kami menghendaki, pastilah kami hapuskan penglihatan


mata mereka, lalu mereka berlomba-lomba (mencari) jalan tapi bagaimana
mereka dapat melihat? Dan jikalau Kami menghendaki, pastilah Kami
ubah bentuk mereka di tempat mereka berada, maka mereka tidak sanggup
berjalan lagi dan tidak (pula) mereka sanggup kembali.” (Q.S. Yasin 36:
66-67)

9. “Yaa Siin. Demi Al-Qur‟an yang penuh hikmat, sesungguhnya engkau


salah seorang dari pada Rasul (yang berada di) atas jalan yang lurus,
(sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha
Penyayang, agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang
bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka
lalai. Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah)
terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman.
Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu
tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah.
Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka
dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak
dapat melihat.” (Q.S. Yasin 36:1-9)
37

10. Wajah-wajah buruk. (3x) “Dan tunduklah semua wajah (dengan berendah
diri) kepada Tuhan Yang Maha Hidup, Kekal lagi Senantiasa Mengurus
(makhluk-Nya). Dan sesungguhnya telah merugi orang-orang yang
melakukan kezhaliman.” (Q.S. Thaha 20:111)

11. “Dia membiarkan dua lautan itu mengalir yang keduanya kemudian
bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dapat dilampaui oleh
masing-masing.” (Q.S. Ar-Rahman 55: 19-20)

12. “Perkara itu sudah ditetapkan dan kemenangan telah tiba, maka mereka
tidak akan mendapat pertolongan untuk mengalahkan kami.”

13. “Haa-Miim. Diturunkan kitab (Al-Qur‟an) ini dari Allah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Mengetahui, Yang Mengampuni dosa dan Menerima
taubat lagi keras hukuman-Nya, Yang Mempunyai Karunia. Tiada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali.” (Q.S.
Al-Mu‟min 40: 1-3)

14. “Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (3x)

15. Tabir penutup Arasy dipasang untuk kami. Dan Penglihatan Allah melihat
pada kami dengan Daya Allah kami tidak terkalahkan.
38

16. “Padahal Allah mengepung dari belakang mereka. Bahkan yang


didustakan mereka itu adalah Al-Qur‟an yang mulia, yang (tersimpan)
dalam Lauhil Mahfuzh.” (Q.S. Al-Buruj 85: 20-22)

17. “Maka Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan Dia Maha Penyayang di
antara para penyayang.” (3x). (Q.S. Yusuf 12:64)

18. “Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang menurunkan Al-Kitab (Al-


Qur‟an) dan Dia melindungi orang-orang yang shaleh.” (3x). (Q.S. Al-
A‟raf 7: 196)

19. “Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya
aku bertawakal, dan Dia Tuhan pemilik „Arasy yang Agung.” (3x). (Q.S.
Al-Bara‟a 9:129)

20. “Dengan Nama Allah, Dzat yang bersama Nama-Nya tidak ada sesuatupun
dapat membawa malapetaka baik di bumi maupun di langit dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (3x)

21. “Tiada daya dan upaya melainkan dengan (pertolongan) Allah Yang Maha
Luhur lagi Maha Agung.” (3x)15

15
Miftahussurur dan Muhdhor, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili, h. 133-143.
39

3. Hizb al-Kâfî

Hizb al-Kâfî adalah hizb yang diijazahkan oleh Syaikh Muhammad

Mustaqim bin Husain, mursyid pertama Tarekat Syâdziliyah di Pondok PETA

Tulungagung kepada Syaikh Abdul Razzaq ibn Abdullah al-Termasî, mursyid

Tarekat Syâdziliyah di Pondok Pesantren Termasi Pacitan, yang merupakan awal

persahabatan dan hubungan spiritual di antara keduannya. Tarekat Syâdziliyah

yang dikembangkan di Pondok PETA Tulungagung berasal dari Pondok

Pesantren Termasi Pacitan, tepatnya di bawa oleh Syaikh Abdul Razzaq ibn

Abdullah al-Termasî.

Cara mengamalkan hizb al-Kâfî ini dimulai dengan membaca al-Fatihah

yang ditujukan kepada Allah SWT., Nabi Muhammad SAW., Sayidina Abû

Bakar al-Shidîq, Sayidina „Umar ibn al-Khaththâb, Sayidina „Ustmân bin Άffan,

Sayidina Άli bin Abî Thalib, Sayidina Hasan dan Husain, Syâikh Άbd al-Qâdir al-

Jailanî, Mbah Panjalu, Wali Sembilan di Indonesia, Sunan Kalijaga, Syaikh

Mustaqîm bin Husain, Syaikh Abdul jalil bin Mustaqim, kedua orang tua dan

Nabi Hidhir as.

Adapun bacaan hizb al-Kâfî adalah sebagai berikut:16

16
Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran” h. 169.
40

4. Hizb al-Nashr

Hizb al-nashr adalah Sebelum membaca hizb al-nashr ini terlebih dahulu

membaca surat al-Fatihah seperti biasanya dan ditambah kepada Syaikh Abû

Άbbâs al-Mursî, Syaikh al-Badawî, Arwâh al-mujâhidîn fî sabîlillâh fî Mishr,

Tsurayâ, Irâq, wa sâir buldân al-muslimîn âmmah.

Bacaan hizb al-nashr:17

17
Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran” h. 178-
179.
41

5. Hizb al-Birhatiyah

Hizb al-birhatiyah adalah hizb yang diijazahkan oleh Syaikh Abdul

Razzaq al-Termasî kepada Syaikh Mustaqim bin Husain, yang merupakan awal

persahabatan dan hubungan spiritual. Hubungan di antara keduanya sama yaitu

menjadi guru dan murid. Syaikh Abdul Razzaq al-Termasî memberikan ijazah

kepada Syaikh Mustaqim bin Husain dengan hizb al-Birhatiyah, sedangkan

Syaikh Mustaqim bin Husain memberikan ijazah kepada Syaikh Abdul Razzaq al-

Termasî berupa hizb al-kâfî.

Cara mengamalkannya pertama, membaca surat al-Fatihah yang ditujukan

kepada Nabi Muhammad saw., Nabi Dawud as., Nabi Sulaiman as., Sayidina Âsif

bin Barkhayâ, Sayidina Qalfatriyûs, Sayidina Abû Bakar al-Shidîq, Sayidina

„Umar ibn al-Khaththâb, Sayidina „Ustmân bin Άffan, Sayidina Άli bin Abî

Thalib, Sayidina Hasan dan Husain, Syâikh Άbd al-Qâdir al-Jailanî, Syaikh

Syams al-Dîn, Syaikh Imam al-Ghazalî, Syaikh Άbd al-Salâm, Syaikh Abû Hasan

Al-Syâdzilî, Abû Άbbâs al-Mursî, Syaikh Abû Άbbâs bin Άli al-Bûni, Mbah
42

Panjalu, Syaikh Mustaqim bin Husain, Syaikh Abdul al-jalil bin Mustaqim, kedua

orang tua dan Nabi Hidhir as.

a. Bacaan hizb al-Birhatiyah:

b. Terjemahan hizb al-Birhatiyah:

1. “Allah dzat yang Maha Suci, tiada yang menandingi Kemahasucian-Mu.”


43

2. “Tuhan semua makhluk.”

3. “Allah dzat yang Maha Suci, yang Maha Kuasa, yang Maha Suci tiada
yang menandingi Kemahasucian-Mu, yang Maha Waspada, yang Maha
Melindungi.”

4. “Ya Allah dzat yang Maha Hidup dan Abadi, yang menghidupkan semua
makhluk.

5. “Ya Allah dzat yang Maha Berdiri Sendiri, Ya Allah dzat yang Maha
Berdiri.”

6. “Ya Allah dzat yang Maha Belas kasih, Ya Allah, Ya Allah dzat yang
Maha Perkasa, Ya Allah dzat yang Maha Esa, Ya Allah dzat yang Maha
Tunggal.”

7. “Ya Allah dzat yang Maha Menyelamatkan.”

8. “Ya Allah kabulkanlah doa hamba-Mu ini, Ya Allah dzat yang Maha Teliti
Perhitungannya.” (Malaikat Mika‟il bertasbih dengan kalimat ini).

9. “Ya Allah dzat yang Maha Terpuji, Ya Allah yang Maha Mulya, Ya Allah
yang Maha Agung Kekuasaannya, yang mengabulkan permohonan
hamba-Nya.”

10. “Ya Allah dzat yang Maha Kuat, Ya Allah dzat yang Maha Perkasa, Ya
Allah yang Maha Mengetahui, Ya Allah dzat yang Maha Bijaksana.”
44

11. “Ya Allah dzat yang Maha Perkasa, Ya Allah dzat yang Maha Mendengar,
Ya Allah dzat yang Maha Menciptakan, Ya Allah dzat yang Maha Kaya,
Ya Allah yang Maha Meliputi.”

12. “Ya Allah dzat yang Maha Meliputi, Ya Allah dzat yang Maha Agung.”

13. “Maha Suci Allah, Ya Allah dzat yang Maha Kuat, Ya Allah dzat yang
Maha Perkasa, Ya Allah dzat yang Maha Pengasih.” (ini adalah tasbih
Nabi Yunus as.).

14. “Ya Allah dzat yang Maha Luhur, Allah dzat memberikan keamanan bagi
orang-orang yang takut, Ya Allah dzat yang Maha Luhur, Engkau adalah
Allah, Ya Allah dzat yang Maha Kuat, Ya Allah dzat yang Maha Perkasa,
Ya Allah.”

15. “Maha Suci Allah, Allah dzat memberikan keamanan bagi orang-orang
yang takut, Ya Allah dzat yang Maha Mencukupi, Ya Allah dzat yang
Maha Mendengar, Ya Allah ruhku ada dalam ruh-Mu, kupasrahkan pada
kehendak-Mu.”

16. “Ya Allah dzat yang Maha Mengamankan, Allah dzat yang Maha Luhur,
Ya Allah dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”

17. “Ya Allah dzat yang Maha Melindungi, Allah dzat yang Maha Luhur, Ya
Allah dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”
45

18. “Ya Allah dzat yang Maha Agung, Ya Allah dzat yang Maha Bijaksana,
Ya Allah dzat yang Maha Mengetahui, Ya Allah dzat yang Maha Lemah
Lembut, Ya Allah dzat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”

19. “Ya Allah dzat yang Maha Agung, Ya Allah dzat yang Maha Kekal, Ya
Allah dzat yang Maha Lembut, Ya Allah dzat yang Maha Bijaksana, Ya
Allah dzat yang Maha Mencukupi, Ya Allah dzat yang Maha Mulia, Allah
Maha Luhur, Maha Mencukupi, Yang Maha Mulia.”

20. “Ya Allah dzat yang Maha Mulia, Ya Allah dzat yang Maha Memaksa, Ya
Allah dzat yang Maha Memutuskan, Ya Allah dzat yang Maha Luhur, Ya
Allah dzat yang Maha Menguasai.”

21. “Ya Allah dzat yang Maha Kuasa, Ya Allah dzat yang Maha Terdahulu,
Ya Allah dzat yang Maha Memaksa, Ya Allah dzat yang Maha Menguasai
segala sesuatu, Ya Allah dzat yang Maha Cepat perhitungan dan
pembalasannya.”

22. “Maha Tinggi Engkau, Ya Allah dzat yang Maha Tinggi, Ya Allah dzat
yang Maha Mengetahui semua makhluk.”

23. “Ya Allah dzat yang Maha Memutuskan segala permasalahan, Wahai Dia,
Wahai Dia, Ya Allah Engkaulah Tuhanku.”

24. “Ya Allah dzat yang Maha Kuasa, Ya Allah dzat yang Maha Kuasa, Ya
Allah dzat yang Maha Mencukupi, Ya Allah dzat yang Maha Luhur, Ya
Allah dzat yang Maha Perkasa.”
46

25. “Ya Allah dzat yang Maha Terdahulu, Ya Allah dzat yang Maha Kekal.”

26. “Ya Allah dzat yang Maha Menguasai semua makhluk.”

27. “Ya Allah dzat yang Maha Menerima Syukur, Dialah Allah yang Maha
Pemurah.”

28. “Ya Allah dzat yang Maha Kuasa, Dialah Allah yang Maha Pemurah.”

29. “Ya Allah, Engkaulah dzat yang menetapkan semua perkara hamba, Bagi-
Mu nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang Luhur, semua keindahan
dan semua cahaya dan Engkaulah dzat yang Maha Agung.”

30. “Ya Allah, Engkaulah Tuhan yang selalu di puji dimanapun berada, dan
disanjung-sanjung setiap lisan dan selalu di ingat di setiap waktu.”

31. “Ya Allah, Engkaulah dzat yang Maha Terdahulu, yang mendahului
semua makhluk, tiada sesuatupun yang mendahului-Mu dan hanya
Engkaulah dzat yang Maha Terdahulu.”

32. “Ya Allah, Engkaulah dzat yang membuat tunduk semua wajah dan
merendahkan diri serta hina dihadapan-Mu, Engkaulah dzat yang
membuat semua suara menjadi terdiam dan khusu‟, semua keindahan dan
kemegahan menjadi rendah dan hina.”
47

33. “Ya Allah, Engkaulah dzat yang memberikan Penerang dengan cahaya-
Mu, kepada semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, dengan
cahaya-Mu semua cahaya menjadi mati dan hilangkah keindahan semua
cahaya.”

34. “Ya Allah, Engkaulah dzat yang Meliputi semua makhluk dengan
keadilan, rahmat dan kemurahan-Mu.”

35. “Ya Allah, Engkaulah dzat yang Maha Abadi, tiada akhir keberadaan-Mu,
yang menghidupkan semua yang telah mati dan membubuh semua yang
hidup, yang menciptakan langit-langit dan bumi serta semua mkhluk yang
ada di seluruh alam semesta, dengan kehendak dan kuasa-Mu.”

36. “Ya Allah, Engkaulah dzat yang maha Agung, semua makhluk tunduk dan
patuh kepada kehendak dan kekuasaan-Mu.”

37. “Ya Allah, Engkaulah dzat yang Maha memberikan anugerah dengan
cahaya-Mu kepada semua makhluk yang berada di langit-langit dan bumi.
Dengan cahaya-Mu maka matilah semua cahaya dan keagungan semua
makhluk.”

38. “Ya Allah, Engkaulah dzat yang Maha Merajai dengan kemenangan-Mu,
yang memaksa dengan keagungan-Mu, yang Maha Mempengaruhi dengan
kekuasaam-Mu, yang Maha Mengalahkan dengan kekuataan-Mu, tiada
yang mampu menolak kehendak-Mu.”

39. “Ya Allah, Engkaulah dzat yang Maha Mengetahui semua makhluk yang
ada dan yang belum ada, tiada hal yang ghaib dari semua yang ghaib dan
semua yang dirahasiakan di dada semua makhluk yang bisa lepas dari
pandangn-Mu.”
48

40. “Ya Allah, Engkaulah dzat yang jika menghendaki segala sesuatu hanya
tinggal berkata: “ Jadilah!” maka jadilah ia.”18

6. Hizb al-Barr

Waktu yang tepat dipilih untuk membaca hizb al-Barr yang dikenal

dengan nama hizb al-Kabir ini, dalam tradisi Tarekat Syâdziliyah adalah sehabis

shalat subuh. Pada waktu membacanya hendaklah tidak berbicara kepada orang

lain saat membaca hizb al-Barr kecuali karena kebutuhan, seperti misalnya ketika

kembali Salam. Dikatakan Abû Hasan al-Syâdzilî: “Barangsiapa yang membaca

hizb ini, maka dia akan memperoleh segala apa yang telah kami peroleh dan

terhindar dari bahaya yang Allah hindarkan dari kami”.19

a. Bacaan hizb al-Barr:

18
Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran,” h. 171-
178.
19
Miftahussurur dan Muhdhor, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili, h. 118.
49
50
51
52
53

b. Terjemahan hizb al-Barr:

1. “Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha


Penyanyang.”

2. “Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang
kepadamu, maka katakanlah: “Salamun „alaikum (sejahtera atas kalian
semua).” Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu)
bahwa barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran
kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan
perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyanyang.” (Q.S. Al-An‟am 6: 54)

3. “Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal
Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-An‟am 6: 101)

4. “(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah, selain Dia, Pencipta segala
sesuatu, maka sembahlah Dia, dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia
dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Lembut Lagi
Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-An‟am 6: 102-103)
54

5. “Ya Tuhanku, berilah keputusan dengan adil dan Tuhan kami ialah Tuhan
Yang Maha Pemurah Lagi Yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa
yang kamu katakan.” (Q.S. Al-Anbiya‟ 21: 112)

6. “Tha-Ha. Kami tidak menurunkan Al-Qur‟an ini kepadamu agar kamu


menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada
Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit
yang tinggi. (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di
atas „Arsy. Kepunyaan-Nya-Lah semua yang ada dilangit, semua yang ada
di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.
Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia
mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. Dialah Allah, tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Dia mempunyai Asma‟ul
Husna (Nama-Nama Yang Paling Baik).” (Q.S. Tha-Ha 20: 1-8)

7. “Ya Allah, Engkau mengetahui sesungguhnya aku dikenal bodoh,


sementara Engkau disifati dengan ilmu dan dengan ilmu-Mu Engkau
benar-benar menjangkau segala sesuatu dari kebodohanku, maka aku
mohon kepada-Mu sudi kiranya Engkau menjangkau semua itu dengan
rahmat-Mu sebagaimana Engkau menjangkau semua itu dengan ilmu-Mu
dan ampunilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”

8. “Wahai Allah, wahai Yang Maha Raja, wahai Yang Maha Banyak
Memberi, berikanlah kepada kami nikmat-nikmat-Mu yang telah Engkau
ketahui bagi kami di dalamnya terdapat ridha-Mu. Berilah kami pakaian
55

yang dengannya Engkau menjaga kami dari berbagai fitnah dalam semua
pemberian-Mu. Sucikanlah kami dari setiap sifat yang menetapkan sifat
kekurangan dari apa yang dengannya telah Engkau pilihkan berdasarkan
ilmu-Mu bukan dari selain-Mu.”

9. “Ya Allah, wahai Yang Maha Agung, wahai Yang Maha Tinggi, wahai
Yang Maha Besar, kami mohon kefakiran dari apa yang selain-Mu dan
kami mohon kekayaan dengan-Mu sehingga kami tidak bersaksi
melainkan kepada-Mu dan sayangilah kami (dengan lemah-lembut-Mu)
dalam keduanya (kefakiran dan kekayaan) dengan kelemahlembutan yang
Engkau ketahui yang patut bagi orang-orang yang setia kepada-Mu.
Kenakanlah pakaian kepada kami pakaian-pakaian ishmat (suci dari
kesalahan) dalam berbagai nafas dan kejapan mata kami. Dan jadikanlah
kami sebagai hamba-hamba-Mu dalam segala keadaan serta ajarilah kami
dari sisi-Mu suatu ilmu yang dengannya kami dapat menjadi orang-orang
yang sempurna baik ketika hidup maupun (sesudah) mati.”

10. “Ya Allah, Engkau Maha Terpuji, Tuhan Yang Maha Agung, Yang Maha
Membuat sesuatu yang Engkau kehendaki. Engkau mengetahui suka cita
kami dengan apa, karena apa dan atas apa, dan Engkau pun mengetahui
duka cita kami denga apa, karena apa dan atas apa. Engkau telah
menentukan suatu kejadian yang telah Engkau kehendaki dalam diri kami
dan dari diri kami. Kami tidak memohon kepada-Mu untuk membatalkan
sesuatu yang sudah menjadi kehendak-Mu, namun kami mohon kepada-
Mu keteguhan dengan ruh dari sisi-Mu dalam (menerima) apa yang telah
menjadi kehendak-Mu sebagaimana Engkau teguhkan para Nabi-Mu dan
Rasul-Rasul-Mu dan khususnya Shiddiqin dari makhluk-makhluk-Mu.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
56

11. “Ya Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang Mengetahui yang ghaib dan
yang lahir, Engkau menetapkan hukum di antara hamba-hamba-Mu, maka
berbahagialah bagi siapa saja yang telah mengenal-Mu lalu ridha dengan
ketentuan-Mu. Alangkah celaka bagi siapa saja yang belum mengenal-Mu,
lebih celaka lagi bagi orang-orang yang mengakui wahdaniyah (keesaan)-
Mu tetapi tidak mau menerima hukum-hukum-Mu.”

12. “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah menghukum suatu kaum dengan
kehinaan sehingga mereka menjadi mulia, dan Engkau telah menghukum
mereka dengan kehilangan hingga mereka menemukan. Tapi setiap
kemuliaan (yang) itu dapat mencegah daripada-Mu, maka kami mohon
(lebih baik) Engkau ganti kemuliaan itu dengan kehinaan yang disertai
oleh rahmat-Mu, dan setiap keberhasilan (yang) itu menghalangi daripada-
Mu, maka kami mohon (lebih baik) Engkau ganti keberhasilan itu dengan
kehilangan yang disertai oleh cahaya-cahaya cinta-Mu. Maka
sesungguhnya benar-benar telah nyata kebahagiaan atas orang-orang yang
Engkau cintai dan benar-benar telah nyata kemalangan atas orang-orang
yang dikuasai oleh selain-Mu. Maka berilah kami dari karunia-karunia
orang yang bahagia dan hindarkanlah kami dari berbagai jalan orang-
orang yang malang.”
57

13. “Ya Allah, sesungguhnya kami benar-benar tidak mampu mencegah


madharrat dari diri kami sendiri dari segi apa yang kami ketahui, maka
bagaimana mungkin kami mampu mencegah madharrat itu dari sisi apa
yang tidak kami ketahui, sedangkan Engkau telah memerintah kami dan
melarang kami. Pujian maupun celaan telah Engkau tetapkan pada diri
kami, maka yang mempunyai kebaikan adalah orang-orang yang telah
Engkau anugerahi kebaikan, dan yang mempunyai kerusakan adalah
orang-orang yang Engkau sesatkan. Dan orang yang benar-benar bahagia
adalah siapa saja yang telah Engkau cukupkan dari memohon kepada-Mu,
dan orang yang celaka adalah siapa saja yang telah Engkau larang
sekalipun banyak memohon kepada-Mu. Maka dengan anugerah-Mu.
Cukupkanlah kami daripada permohonan kami kepada-Mu dan janganlah
Engkau halangi kami dari (memperoleh) rahmat-Mu, meskipun kami
banyak memohon kepada-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas
segala sesuatu.”

14. “Wahai Dzat Yang amat keras siksa-Nya, wahai Yang Maha Perkasa,
wahai Yang Maha yang Menaklukkan, wahai Yang Maha Bijaksana, kami
berlindung kepada-Mu dari kejahatan makhluk-Mu, kami berlindung
dengan-Mu dari kegelapan ciptaan-Mu, kami berlindung dengan-Mu dari
tipu daya nafsu dalam sesuatu yang telah Engkau tentukan dan Engkau
kehendaki, dan kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan orang yang
suka dengki atas nikmat yang telah Engkau berikan. Dan kami mohon
kepada-Mu kemuliaan (kemenangan) di dunia dan di akhirat sebagaimana
Nabi-Mu Sayyidina Muhammad SAW memohon kepada-Mu kemuliaan di
dunia dengan iman dan ma‟rifat dan kemuliaan di akhirat dengan liqa
(bertemu) dan musyahadah (menyaksikan). Sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar, Maha Dekat dan Maha Mengabulkan.”

15. “Wahai Allah, aku persembahkan kepada-Mu apa yang ada padaku setiap
nafas, lintasan pandangan dan kedipan mata, yang dengan itu juga ahli
langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di dalam ilmu-Mu yang akan
maupun yang sudah wujud dapat melihat. Aku persembahkan kepada-Mu
semua apa yang di hadapanku.”
58

16. “Allah, tiada Tuhan selain Dia yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri
Sendiri, tidak tersentuh kantuk dan tidur. Bagi-Nya segala apa yang di
langit dan bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya
melainkan dengan izin-Nya. Dia mengetahui apa yang berada di hadapan
mereka dan apa yang berada di belakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui sedikit pun dari ilmu-Nya kecuali apa yang dikehendaki-Nya.
Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat
memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.S.
Al-Baqarah 2: 255)

17. “Aku bersumpah kepada-Mu demi terbukanya Kedua Tangan-Mu dan


kemuliaan Dzat-Mu dan cahaya Kedua Mata-Mu dan sempurnanya
Penglihatan-mu, berilah aku sebaik-baik sesuatu yang telah diberlakukan
sesuai kehendak-Mu dan sesuatu yang telah ditetapkan dengan kekuasaan-
Mu dan sesuatu yang telah diliputi oleh ilmu-Mu dan selamatkanlah kami
dari kejahatan sesuatu yang berlawanan dari semua itu. Sempurnakanlah
agama kami dan lengkapilah nikmat-nikmat-Mu untuk kami.
Karuniakanlah untuk kami hikmat kebijaksanaan yang sempurna bersama
kehidupan yang bersih dan kematian yang baik. Bimbinglah lepasnya
arwah kami dengan kekuasan-Mu. Pisahkan apa yang antara kami dan
antara selain-Mu di dalam Barzakh dan antara apa yang sebelumnya dan
apa yang sesudahnya dengan Nur Dzat-Mu dan dengan keagungan
kekuasaan-Mu dan keindahan anugerah-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha
Kuasa atas segala sesuatu.”
59

18. “Wahai Allah, wahai Yang Maha Tinggi, wahai Yang Maha Agung, wahai
Yang Maha Santun, wahai Yang Maha Bijaksana, wahai Yang Maha
Mulia, wahai Yang Maha Mendengar, wahai Yang Maha Dekat, wahai
Yang Maha Mengabulkan permohonan, wahai Yang Maha Mencintai dan
Mengasihi, bebaskanlah kami dari fitnah dunia, dari wanita-wanita yang
menggoda, dari kelalaian, dari syahwat, dari menganiaya makhluk, dan
keburukan perangai. Dan ampunilah dosa-dosa kami, tunaikanlah
tanggungjawab kami, singkirkanlah kejahatan dari kami, selamatkanlah
kami dari kesedihan dan jadikanlah untuk kami jalan keluar darinya.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

19. “Ya Allah, ya Allah, ya Allah, wahai Yang Maha Lembut, wahai Yang
Maha Memberi Rizqi, wahai Yang Maha Kuat, wahai Yang Maha
Perkasa, bagi-Mu kunci-kunci langit dan bumi, Engkau melapangkan rizqi
kepada siapa saja yang Engkau kehendaki dan Engkau pula yang
menentukan, maka lapangkanlah bagi kami dari rizqi itu apa saja yang
dengannya Engkau berkenan mendatangkan kami kepada rahmat-Mu dan
dari rahmat-Mu apa saja yang dengannya Engkau berkenan menghalangi
antara kami dan siksa-Mu dan dari sifat santun-Mu apa saja yang
dengannya maaf-Mu dapat mencukupi kami dan akhirilah kami dengan
kebahagiaan yang dengannya Engkau sudahi wali-wali-Mu. Dan
jadikanlah sebaik-baik dan sebahagia-bahagia hari-hari kami adalah hari
ketika bertemu dengan-Mu dan selamatkanlah kami di dunia ini dari api
syahwat dan masukkanlah kami dengan anugerah-Mu ke dalam peralatan
rahmat dan pakaikanlah pada kami cahaya busana-busana yang suci dari
kesalahan dan jadikanlah kami penolong dari akal kami dan penjaga dari
ruh kami dan penakluk dari diri kami supaya kami dapat dengan banyak
mensucikan-Mu dan mengingat-Mu. Sesungguhnya Engkau terhadap kami
Maha Mengetahui. Anugerahilah kami musyahadah (penyaksian) yang
60

Engkau sertai dengan mukalamah (saling bertutur kata) bukakanlah


pendengaran dan penglihatan kami dan ingatkanlah kami manakala kami
lalai mengingat-Mu dengan peringatan yang paling baik dan rahmatilah
kami manakala kami melakukan maksiat dengan rahmat yang paling
sempurna yang dengannya Engkau rahmati kami manakala kami taat
kepada-Mu. Ampunilah dosa-dosa kami yang telah kami lakukan di masa
lalu dan yang kami lakukan masa kemudian, dan anugerahilah kami
kelembutan yang dapat menutup kami dari selain-Mu dan yang tidak dapat
menghalangi kami dari-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui
segala sesuatu.”

20. Wahai Allah, sungguh kami mohon kepada-Mu lisan yang mudah
berdzikir kepada-Mu, dan hati yang senang bersyukur kepada-Mu, dan
tubuh yang ringan dan lunak untuk taat kepada-Mu, anugerahilah kami
bersama semua itu apa yang tidak pernah dilihat mata dan tidak pernah
didengar telinga dan tidak pernah terlintas di dalam hati, sebagaimana
yang pernah dikabarkan oleh Rasul-Mu sesuai yang Engkau ketahui
dengan ilmu-Mu, dan cukupkanlah kami tanpa sebab, dan jadikanlah kami
sebagai sebab kekayaan untuk wali-wali-Mu, dan jadikanlah Barzakh
antara mereka dan musuh-musuh-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa
atas segala sesuatu.”

21. “Wahai Allah, kami mohon kepada-Mu iman yang kekal, hati yang khus‟,
ilmu yang manfaat, keyakinan yang benar, agama yang tegak, selamat dari
segala cobaan, kesempurnaan „afiat, terus-menerusnya „afiat, mensyukuri
„afiat, dan rasa cukup dari manusia.” 3x
61

22. “Wahai Allah, kami mohon kepada-Mu taubat yang sempurna, ampunan
yang menyeluruh, cinta yang sempurna dan luas menghimpun, teman
dekat yang jernih, ma‟rifah, luas, dan cahaya-cahaya yang bersinar,
syafa‟at yang tetap, hujjah yang matang dan derajat yang tinggi.
Lepaskanlah belenggu kami dari maksiat dan jaminan siksa dengan
pemberian-pemberian anugerah.”

23. “Wahai Allah, kami mohon kepada-Mu taubat dan kekalnya, dan kami
berlindung kepada-Mu dari maksiat dan sebab-sebabnya, maka
ingatkanlah kami dengan rasa takut kepada-Mu sebelum terjadi
penyerangan bahaya maksiat dan jaminlah kami selamat dari maksiat dan
dari memikirkan mengenai cara-caranya. Hapuskanlah dari hati kami rasa
manisnya maksiat yang pernah kami lakukan dan gantilah rasa itu dengan
rasa benci terhadap maksiat dan rasa yang menjadi lawan.”

24. “Limpahkanlah kepada kami samudera kemurahan dan ampunan-Mu


sehingga kami dapat keluar dari dunia ini dengan selamat dari bencana
maksiat, dan jadikanlah kami pada saat menjelang mati orang-orang yang
mengucapkan syahadat dengan pengertian, sayangilah kami sebagaimana
sayangnya seorang kekasih terhadap kekasihnya ketika menghadapi
bahaya kesulitan dan kejadiannya. Maka rahmatilah kami dari kesedihan-
kesedihan dunia dengan kegembiraan (rahmat) dan rizqi sampai ke surga
dan nikmat-nikmatnya.”
62

25. “Wahai Allah, kami mohon kepada-Mu taubat yang datang lebih dulu
dari-Mu kepada kami, agar taubat kami mengikuti kepada-Mu.
Anugerahilah kami penerimaan dari-Mu sebagaimana penerimaan Adam
atas kalimat-kalimat dari-Mu supaya menjadi anutan bagi anak cucunya
dalam bertaubat dan beramal baik. Jauhkanlah kami dari menentang dan
selalu melakukan pelanggraran dan menyerupai dengan (godaan) iblis
orang-orang yang sesat. Dan jadikanlah berbagai kejelekan kami seperti
kejelekan-kejelekan orang-orang yang Engkau cintai, dan janganlah
Engkau jadikan berbagai kebaikan kami seperti kebaikan-kebaikan orang-
orang yang Engkau murkai. Maka perbuatan baik tiada akan bermanfaat
dengan adanya murka dari-Mu, dan perbuatan jelek tiada akan merugi
selama disertai cinta dari-Mu. Dan Engkau menjadikan samar perkara itu
kepada kami agar kami mau mengharap dan mempunyai rasa takut, maka
amankanlah kami dari rasa takut dan janganlah Engkau hampakan harapan
kami, dan kabulkanlah permohonan kami, Engkau benar-benar telah
memberi iman kepada kami sebelum kami meminta kepada-Mu, dan
Engkau telah menetapkan, memberi rasa cinta, menghias dan membuat
rasa benci serta memudahkan lisan-lisan (mengucapkan) tentang apa saja
yang Engkau uraikan. Sebaik-baik Tuhan adalah Engkau. Bagi-Mu segala
puji atas apa saja nikmat yang telah Engkau berikan, maka ampunilah
kami dan janganlah Engkau siksa kami dengan merampasnya setelah
memberi dan jangan pula dengan mengkufuri nikmat-nikmat dan terhalang
dari ridha.”
63

26. “Wahai Allah, anugerahilah kami rasa ridha dengan ketentuan-Mu,


karuniailah kami rasa sabar untuk melakukan taat kepada-Mu,
meninggalkan maksiat kepada-Mu, melepaskan diri dari berbagai syahwat
yang menuntut pada rasa kekurangan atau menjauhkan diri dari-Mu. Dan
berikanlah pada kami hakikat iman kepada-Mu hingga kami tidak merasa
takut kepada selain-Mu dan tidak mengharap kepada selain-Mu dan
mencintai selain kepada-Mu dan tidak menyembah kepada sesuatupun
selain kepada-Mu. Dan berikanlah kepada kami rasa mensyukuri nikmat-
nikmat-Mu dan tutupilah kami dengan pakaian keselamatan-Mu dan
tolonglah kami dengan yakin dan tawakkal kepada-Mu. Pancarkanlah
wajah-wajah kami dengan cahaya sifat-sifat-Mu dan buatlah kami tertawa
dan gembira di hari kiamat nanti dengan berada di antara para wali-Mu,
dan bukalah kedua tangan-Mu terbentang bagi kami, keluarga-keluarga
kami, anak-anak kami dan siapa saja yang bersama kami dengan rahmat-
Mu. Janganlah Engkau serahkan kami pada diri kami sendiri walau
sekejap matapun atau lebih sedikit daripada itu. (Wahai sebaik-baik Dzat
Yang Mengabulkan doa).”3x

27. “Ya Man Huwa Huwa Huwa yang di dalam ketinggian-Nya itu sangat
Dekat. Wahai Yang Memiliki Keagungan dan Kemuliaan. Wahai Dzat
Yang Meliputi malam dan siang, aku mengadu kepada-Mu dari kesedihan
diri karena hijab (tabir penghalang) dan buruknya hisab (perhitungan
amal) dan kerasnya siksa. Sesungguhnya hal itu niscaya terjadi, tiada yang
dapat mencegah bila Engkau tidak mencurahkan rahmat kepadaku.”

28. “Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku
tergolong orang-orang yang berbuat zhalim.” 3x (Q.S. Al-Anbiya‟ 21: 87)
64

29. “Sungguh Nabi Yaqub as telah mengadu kepada-Mu kemudian Engkau


selamatkan beliau dari kesedihannya dan mengembalikan penglihatannya
yang telah hilang dan Engkau kumpulkan beliau kembali dengan putra-
putranya. Sebelum itu Nabi Nuh as pernah mengadu kepada-Mu kemudian
Engkau selamatkan beliau dari kesusahannya. Kemudiaan Nabi Ayyub as
juga pernah menyeru kepada-Mu, maka Engkau sembuhkan beliau dari
penderitaannya. Nabi Yunus as pun pernah mengadu kepada-Mu lalu
Engkau selamatkan beliau dari kesedihannya. Begitu juga Nabi
Zakariyyah as pernah memohon kepada-Mu, kemudian Engkau karuniai
beliau seorang anak dari tulang shulbinya setelah isteri beliau putus asa
dan telah lanjut usianya. Sungguh Engkau telah mengetahui peristiwa yang
turun menimpa Nabi Ibrahim as, (tapi) kemudian Engkau selamatkan
beliau dari bara api musuhnya. Dan Engkau pula yang telah
menyelamatkan Nabi Luth as dan ahli (orang-orang yang beriman kepada
beliau) dari siksa yang turun pada kaumnya.”

30. “Maka aku inilah hamba-Mu, jika Engkau hendak menyiksaku dengan
siksa-siksa yang telah Engkau ketahui, maka sebenarnya aku ini lebih
pantas dengan semua siksa itu. Akan tetapi jika Engkau memberi rahmat
kepadaku sebagaimana Engkau memberi rahmat kepada semua beliau
dalam keadaan dosaku yang sangat besar, maka Engkau lebih patut dengan
semua itu dan lebih berhak daripada diberi kemurahan dengan semua itu,
karena kemurahan-Mu tidak tertentu bagi orang-orang yang taat dan
berbakti kepada-Mu. Tapi bahkan sudah diberikan kepada makhluk-
makhluk-Mu yang Engkau kehendaki, meskipun mereka mendurhakai-Mu
dan berpaling dari-Mu. Tiadalah dari kemurahan itu berarti Engkau tidak
akan berbuat baik kecuali bagi orang-orang yang berbuat baik kepada-Mu
padahal Engkau Maha Murah lagi Maha Kaya. Justru dari kemurahan itu
Engkau berbuat baik kepada orang-orang yang berbuat jelek kepada-Mu
sedangkan Engkau Maha Menyayangi lagi Maha Tinggi, sebagaimana
65

telah Engkau perintahkan kami agar kami berbuat baik kepada siapa saja
yang berbuat jelek kepada kami, maka untuk hal begitu Engkau jelas lebih
pantas daripada kami.”

31. “Wahai Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Jika tidak
Engkau ampuni dan rahmat kami, niscaya kami menjadi golongan orang-
orang yang rugi.”3x (Q.S. Al-A‟raf 7: 23)

32. “Kalau kami tidak pantas memperoleh rahmat-Mu, maka rahmat-Mu


pantas datang mencapai kami.”

33. “Wahai Yang Maha Menolong orang yang (walaupun) telah bermaksiat
kepada-Nya.” 3x

34. “Tolonglah Kami!3x Wahai Tuhan, Wahai Yang Maha Derma, rahmatilah
kami. Wahai Yang Maha Baik, wahai Yang Maha Menyayangi, whai Dzat
yang Kursi-Nya benar-benar luas meliputi langit dan bumi dan Dia tidak
berat memelihara keduanya dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha
Besar.”

35. “Aku memohon kepada-Mu iman dengan perliharaan-Mu, iman yang


dengannya hatiku bisa tenang dari kesusahan rizqi dan takut terhadap
makhluk. Dekatlah kepadaku dengan kekuasaan-Mu, dekat yang
dengannya dapat terhapus segala hijab seperti Engkau hapus hijab itu dari
66

Nabi Ibrahim as yang menjadi kekasih-Mu hingga beliau tidak


membutuhkan jibril utusan-Mu juga tidak meminta Jibril untuk memohon
kepada-Mu dan dengan begitu Engkau telah menyelamatkan Nabi Ibrahim
as dari api musuhnya. Bagaimana tidak terhalang dari bahaya musuh-
musuh orang-orang yang Engkau rahasiakan dari manfaat orang-orang
yang hidup. Tidak, sekali-sekali tidak! Sesungguhnya aku memohon
kepada-Mu hendaklah Engkau rahasiakan aku dengan Engkau dekat
padaku, sehingga aku tidak dapat melihat dan merasakan dekat dan
jauhnya sesuatu dariku. Sungguh Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”

36. “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan


kamu secara main-main (saja) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan
kepada kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya, tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Tuhan (yang mempunyai) Arsy
yang mulia. Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain disamping
Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya, maka sesungguhnya
perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir
itu tiada beruntung. Dan katakanlah: “Ya Tuhanku berilah ampun dan
berilah rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling baik.”
(Q.S. Al-Mu‟minun 23: 115-118)

37. “Dialah Yang Maha Hidup Kekal, tiada Tuhan selain Dia, maka
sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. Segala puji bagi
Allah Tuhan semesta alam.” (Q.S. Al-Mu‟min 40: 65)

38. “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.


Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Q.S. Al-Ahzab 33: 56)
67

39. “Wahai Allah, anugerahilah shalawat dan salam untuk Sayyidina


Muhammad Saw dan keluarga Sayyidina Muhammad Saw dan berkatilah
Sayyidina Muhammad Saw dan keluarga Sayyidina Muhammad Saw.
sebagaimana Engkau menganugerahi shalawat dan berkat kepada
Sayyidina Ibrahim as dan keluarga Sayyidina Ibrahim as di dalam semesta
alam. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Agung.”

40. Wahai Allah, ridhailah para tuan junjungan kami Al-Khulafa‟ir Rasyidin,
Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar, Utsman dan Ali dan ridhailah pula, wahai
Allah, tuan junjungan kami Al-Hasan dan Al-Husain dan ibunda keduanya
Fathimah Az-Zahra‟ radhiyallah „anhum, para sahabat Nabi semuanya,
istri-istri Nabi-Mu yang suci-suci yang menjadi ibu para mu‟minin dan
para pengikut beliau-beliau serta orang-orang yang mengikutinya dengan
berbuat baik sampai hari kiamat. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan
pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Maha Suci
Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan.
Dan salam kesejahteraan dilimpahkan untuk para Rasul dan segala puji
bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.”20

C. Pengaruh Hizb bagi yang Mengamalkannya

Istilah hizb sudah dikenal semenjak masa Rasulullah SAW. Pada proses

berikutnya, hizb menjadi bagian dari tradisi sufi. Ordo sufi yang paling terkenal

dengan hizbnya adalah Tarekat Syâdziliyah. Tarekat ini terkenal dengan hizb al-

20
Miftahussurur dan Muhdhor, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili, h. 109-133.
68

asyfâ‟, hizb al-kâfî, hizb al-bahr, hizb al-bâladiyah, hizb al-nashr, hizb al-barr.21

Selain itu ada hizb al-saifi yang terkenal dalam Tarekat Qadiriyah dan Ahmadiyah

Idrisiyah. Hizb-hizb ini ada yang berasal dari ilham, talqin dari Rasulullah SAW,

mimpi, adapula yang diijazah dari Sayyidina Ali r.a.22

Hizb dalam pandangan Tarekat Syâdziliyah adalah ibarat seorang petani

yang menanam padi di sawah. Agar tanaman padinya bisa tumbuh subur dan

menghasilkan panen yang melimpah tentu harus dipupuk dengan cukup dan

dibersihkan rumput-rumput yang mengganggu pertumbuhannya. Demikian juga

seorang murid yang telah menanamkan benih dzikir dalam dirinya melalui tarekat

dan agar benih dzikir dalam dirinya itu dapat tumbuh subur dan menghasilkan

kedekatan kepada Allah serta kema‟rifatan kepada-Nya (ma‟rifat billah), maka

perlu adanya amalan yang fungsinya untuk menyuburkan tanaman dzikir tersebut

yaitu hizb-hizb itu.

Hizb inilah ciri utama Tarekat Syâdziliyah yang dapat dirasakan hingga

saat ini. Di katakan bahwa doa-doa tersebut sangat makbul dan Syaikh Abû Hasan

al-Syâdzilî mengakui bahwa dirinya menerima langsung dari lisan Nabi dalam

penglihatan spiritual.23 Dalam ajaran Tarekat Syâdziliyah, para muridnya juga

dianjurkan untuk membaca hizb-hizb yang diijazahkan sang guru. Hizb-hizb itu

perlu dibaca, dimaksudkan agar bisa menjadi bekal, tameng, benteng dan senjata

21
Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran: Studi pada
Pondok Peta di Tulungagung,” h. 168. Tentu saja masih banyak hizb-hizb Abû Hasan al-Syâdzilî.
Lihat Abi ́Abdillah Muhammad ibn Sulaiman al-Jazulî, Dalâil al-Khairât má a al-Ahzâb,
(Surabaya: Nabhan, t.th).
22
Abd. Halîm Mahmûd, “Abul-Hasan Al-Syadzily, Kehidupan, doa dan hizibnya.”
23
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara”, h. 38.
69

untuk berperang melawan hawa nafsu dan iblis yang akan selalu merintagi dan

mengganggu perjalanan si murid (salik) dalam menuju kehadirat Allah SWT.24

Ajaran fundamentalnya berkaitan erat dengan tauhid dan konsekuensi

spiritual yang mengalir darinya pada jiwa orang yang bersangkutan. Muslim yang

mengambil disiplin mistik maupun yang tidak, dapat menemukan level mereka

masing-masing di dalamnya dan tidak diragukan lagi, inilah mengapa doa-doa

tersebut begitu populer selama berabad-abad. Namun, terpisah dari fungsi

pendidikan, tampaknya kumpulan doa ini telah dipakai oleh anggota Tarekat

Syâdziliyah masa awal maupun berikutnya sebagai tema bagi meditasi akan

kematian, masa depan, penyucian, keterjagaan, pengasingan diri, kesabaran dan

sifat-sifat Tuhan. Dalam sebuah literatur tasawuf, dapat dijumpai bahwa doa itu

dibaca tiga kali dalam sehari, pada pagi hari, sore hari dan malam hari, yang

secara tidak langsung menunjukkan fungsinya sebagai salah satu metode Tarekat

Syâdziliyah dalam mengonsentrasikan pikiran pada realitas Ketuhanan.25

Dari macam-macam hizb Tarekat Syâdziliyah, hizb al-bahr lah yang

termasyhur, bahkan Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî sendiri telah berwasiat kepada

para pengikutnya dalam hal hizb al-bahr ini, bahwa semua murid yang mengikuti

Tarekat Syâdziliyah supaya mengamalkan hizb al-bahr, karena di dalamnya

terdapat nama-nama Allah yang besar sekali berkahnya. Dengan membaca al-

asmâ‟ al-husnâ berarti seseorang berzikir dan mengingat Allah dengan 99 nama

yang setiap nama memiliki pengaruh spiritual yang besar. Pengaruh spiritual itu

24
Abd. Halîm Mahmûd, Abû Hasan al-Syâdzilî; al-Shûfi al-Mujâhid al-Arif bi Allâh.
Penerjemah Abubakar basymeleh (Mesir: Dar-al Turats Al‟Arabi, tt), h. 82.
25
Victor Danner, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara,” h. 38-39.
70

akan di dapatkan oleh siapapun yang mengamalkan dengan syarat meminta ijazah

dari guru yang berwenang.26

Seorang yang mengamalkan hizb al-bahr dengan terus-menerus, akan

mendapat perlindungan dari segala bala. Bahkan, bila ada orang yang bermaksud

jahat mau menyatroni rumahnya, ia akan melihat lautan air yang sangat luas. Si

penyatron akan melakukan gerak renang layaknya orang yang akan

menyelamatkan diri dari daya telan samudera. Bila di waktu malam, ia akan terus

melakukan gerak renang sampai pagi tiba dan pemilik rumah menegurnya. Orang-

orang yang tidak percaya dengan hal-hal supranatural, mungkin tidak akan

percaya dengan hal itu.

Ada background kisah yang amat menarik tentang asal muasal hizb al-

bahr Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî. Kisah itu ditulis oleh Haji Khalifah,

pustakawan terkenal asal Konstantinopel (Istanbul Turki). Hizb al-bahr ditulis

Syaikh Abû Hasan al-Syâdzilî di Laut Merah (Laut Qulzum). Di laut yang

membelah Asia dan Afrika itu Syaikh al-Syâdzilî pernah berlayar menumpang

perahu. Di tengah laut tidak ada angin bertiup, sehingga perahu tidak bisa berlayar

selama beberapa hari, dan beberapa saat kemudian Syaikh al-Syâdzilî melihat

Rasulullah. Rasulullah datang membawa kabar gembira. Lalu, menuntun Syaikh

Abû Hasan al-Syâdzilî melafadzkan doa-doa. Usai al-Syâdzilî membaca doa,

angin bertiup dan kapal kembali berlayar. Doa-doa itu kemudian diabadikan oleh

al-Syâdzilî dan diajarkan kepada murid-murid tarekatnya. Kemudian diberi nama

hizb al-bahr. Disebut hizb al-bahr karena doa-doa ini tersebut mempunyai ikatan

26
Heri MS Faridy, Ensiklopedi Tasawuf , h. 1153.
71

historis yang sangat erat dengan laut. Al-Syâdzilî membacanya dalam rangka

berdoa agar selamat dalam perjalanan di Laut Merah.

Dalam kitab Kasyf al-Zhunun „an Asami al-Kutub wa al-Funun, yang di

tulis Haji Khalifah yang menuliskan tentang hizb al-bahr al-Syâdzilî, di

antaranya, menurut Haji Khalifah, al-Syâdzilî pernah berkata: bila hizb al-bahr

dibaca di sebuah tempat, maka termpat itu akan terhindar dari malapetaka. Haji

Khalifah juga mengutip komentar ulama-ulama lain tentang hizb al-bahr ini. Ada

yang mengatakan, bahwa orang yang istiqamah membaca hizb al-bahr, ia tidak

mati terbakar atau tenggelam. Bila hizb al-bahr ditulis di pintu gerbang atau

tembok rumah, maka akan terjaga dari maksud jelek orang dan seterusnya.

Banyak komentar-komentar, baik dari Syaikh al-Syâdzilî maupun ulama lain

tentang keampuhan hizb al-bahr yang ditulis Haji Khalifah dalam Kasyf al-

Zhunun „an Asami al-Kutub wa al-Funun jilid 1. Selain itu, Haji Khalifah juga

menyatakan bahwa hizb al-bahr telah disyarahi oleh banyak ulama, di antaranya

Syaikh Abu Sulayman al-Syadzili, Syaikh Zarruq, dan Ibnu Sulthan al-Harawi.27

Mengamalkan macam-macam hizb Tarekat Syâdziliyah, banyak sekali

manfaat dan pengaruhnya jika mengamalkannya melakukan dengan benar. Hanya

saja penerapannya berbeda dalam mengamalkan karena disesuaikan dengan

situasi dan kondisi ruhaniah murid sendiri dan kebijaksanaan mursyid. Hizb-hizb

tersebut tidak boleh diamalkan oleh semua orang, kecuali telah mendapat izin atau

ijazah dari mursyid atau seseorang murid yang ditunjuk mursyid untuk

27
Abd. Halîm Mahmûd, “Abul-Hasan Al-Syadzily, Kehidupan, doa dan hizibnya.”
72

mengijazahkannya.28 Dalam kandungan dari sebuah hizb selain berisi pujian

mengagungkan Asma Allah SWT dan shalawat Nabi, hizb juga mengandung doa

untuk memohon pertolongan kepada Allah. Dengan membaca al-asmâ‟ al-husnâ

seseorang berzikir dan mengingat Allah dengan 99 nama yang setiap nama

memiliki pengaruh spiritual yang besar.

Seseorang yang membaca atau mengamalkan hizb-hizb tersebut yang

dilaksanakan dengan penuh keikhlasan dan dengan niat yang benar maka akan

berpengaruh spiritual yang besar terhadap hati dan jiwa serta ruhaniyah murid-

murid. Pengaruh spiritual itu akan didapatkan oleh siapapun yang mengamalkan

dengan syarat meminta ijazah dari guru yang berwenang. Dari spiritual guru itulah

akan disalurkan pancaran sinar berkah kepada diri murid. Seorang yang

mengamalkan suatu hizb tanpa proses ijazah dari seorang guru, maka ia tidak akan

memperoleh manfaat secara ruhaniah, bahkan syetanlah yang akan menjadi

gurunya dan ia akan tersesat.29

Menurut Tarekat Syâdziliyah, daya spiritual hizb itu bukan datang dari jin,

tetapi murni dari Allah. Apabila terjadi kasus seseorang yang mengamalkan hizb

ini, ternyata jin yang turut campur, maka yang perlu diluruskan adalah niat

seseorang mengamalkan hizb tersebut. Amal sebaik apapun jika niat dalam

hatinya jahat maka niat jahatnya itulah yang akan menjadi kenyataan dan hasilnya

hanya akan berhenti pada niatnya itu, yang biasanya tidak ikhlas karena Allah.

Oleh karena itulah, jika seseorang akan memasuki suatu tarekat, yang paling

28
Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran: Studi pada
Pondok Peta di Tulungagung,” h. 168.
29
Muhammad Zaini, “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran: Studi pada
Pondok Peta di Tulungagun,” h. 167.
73

penting adalah menata dan meluruskan niat dalam hatinya semata-mata hanya

karena Allah.30 Seorang guru adalah orang yang berhak memberikan rekomendasi

kepada seorang murid untuk mengamalkan suatu amalan, sehingga amalan yang

dilakukan mempunyai pengaruh signifikan terhadap kemajuan spiritual murid.

Tujuan hizb adalah untuk diamalkan agar diri seseorang menjadi dekat

dengan Allah. Dalam arti, Allah akan meredai orang yang mengamal hizb

tersebut. Bahwasanya hizb ini tidak boleh dibaca, melainkan setelah mendapat

izin dari orang yang mempunyai keizinan untuk mengijazahkannya kepada orang

lain. Hizb ini tidak boleh di baca dengan tujuan untuk memudharatkan dan

menzalimi. Hendaklah hizb ini dibaca dengan niat untuk membentengi diri,

melindungi diri dan memohon perlindungan semata-mata karena Allah Swt.

Dikatakan Abû Hasan al-Syâdzilî: “Barangsiapa yang membaca hizb ini, maka dia

akan memperoleh segala apa yang telah kami peroleh dan terhindar dari bahaya

yang Allah hindarkan dari kami”.31 Ini karena hizb adalah kategori doa atau zikir

yang bertujuan memperkuat tauhid pengamal tersebut.

30
Heri MS Faridy, Ensiklopedi Tasawuf , h. 1153.
31
Miftahussurur dan Muhdhor, Imam Ali Abil Hasan Asy-Syadzili, h. 118.
74
75

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tarekat Syâdziliyah dinisbatkan kepada Abû Hasan al-Syâdzilî (w.656

H/1258 M) sebagai pendirinya. Abû Hasan al-Syâdzilî, seorang tokoh sufi yang

berasal dari Maghribi dan kemudian hijrah ke Mesir, yang sangat menekankan

ajaran tasawuf yang moderat. Ia adalah keturunan Nabi Muhammad SAW.

melalui Sayidina Hasan bin Alî bin Abî Thâlib. Tarekat Syâdziliyah adalah salah

satu tarekat yang diakui kebenarannya (al-mu‟tabarah), karena silsilah al-Syâdzilî

adalah bersambung (muttasil) sampai Rasulullah SAW.

Tarekat Syâdziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti

al-Muwahhidûn, yakni Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang di

Mesir dan Timur Dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk. Dalam hal ini yang

menarik, sebagaimana dicatat Victor Danner peneliti Tarekat Syâdziliyah,

meskipun terekat ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal

perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia).

Bahwa tetap berlangsungnya dan mapannya Tarekat Syâdziliyah tidak

dapat dilepaskan dari faktor atau konteks sejarahnya. Kondisi Afrika Utara yang

diliputi krisis ekonomi dan politik membuat masyarakat tertarik untuk bergabung

dengan organisasi semacam tarekat ini. Faktor lain adalah karena terekat ini

memegang kuat ortodoksi Sunni dan cukup moderat, sehingga bisa terus tumbuh

75
76

di lingkungan penguaha Sunni dan menarik minat banyak orang karena ajarannya

yang moderat.

Hizb adalah kategori doa atau zikir yang bertujuan memperkuat tauhid

pengamal tersebut. Dalam ajaran Tarekat Syâdziliyah, para muridnya dianjurkan

untuk membaca hizb-hizb yang diijazahkan sang guru, untuk diamalkan agar diri

seseorang menjadi dekat dengan Allah. Hizb-hizb itu perlu dibaca, dimaksudkan

agar bisa menjadi bekal, tameng, benteng dan senjata untuk berperang melawan

hawa nafsu dan iblis yang akan selalu merintagi dan mengganggu perjalanan si

murid (salik) dalam menuju ke hadirat Allah SWT.

Pengaruh hizb Tarekat Syâdziliyah semua sama, hanya saja penerapannya

dalam mengamalkannya yang berbeda. Dari macam-macam hizb Tarekat

Syâdziliyah, hizb al-bahr lah yang termasyhur. Seorang yang mengamalkan hizb

al-bahr dengan terus-menerus, akan mendapat perlindungan dari segala bala. al-

Syâdzilî berkata: bila hizb al-bahr dibaca di sebuah tempat, maka tempat itu akan

terhindar dari malapetaka. Seorang yang mengamalkan dengan istiqamah, ia tidak

akan mati terbakar dan tenggelam.

Semua ajaran-ajaran dan amalan-amalan hizb tidak ada yang lain

tujuannya melainkan hanya bertemu Allah, tidak ada tujuan yang lain misalnya

mengamalkan hizb supaya orang yang mengamalkan menjadi kebal dan lain

sebagainya. Semua itu semata-mata dalam rangka menuju ke Allah.

Seseorang yang membaca atau mengamalkan hizb-hizb tersebut yang

dilaksanakan dengan penuh keikhlasan dan dengan niat yang benar maka akan

berpengaruh spiritual yang besar terhadap hati dan jiwa serta ruhaniyah murid-
77

murid. Pengaruh spiritual itu akan didapatkan oleh siapapun yang mengamalkan

dengan syarat meminta ijazah dari guru yang berwenang. Dari spiritual guru itulah

akan disalurkan pancaran sinar berkah kepada diri murid. Seorang yang

mengamalkan suatu hizb tanpa proses ijazah dari seorang guru, maka ia tidak akan

memperoleh manfaat secara ruhaniah, bahkan syetanlah yang akan menjadi

gurunya dan ia akan tersesat.

B. Saran-Saran

Hendaklah para murid Tarekat Syâdziliyah, selalu meningkatkan peran di

masyarakat, memberi contoh yang baik dengan menjaga keseimbangan, baik

jasmaniah maupun rohaniah, supaya masyarakat mengetahui bahwa Tarekat itu

tidak meninggalkan dunia, bahkan tarekat bisa menyatu dalam kehidupan sehari-

hari dalam masyarakat.

Seseorang yang mengamalkan hizb tidak untuk di baca dengan tujuan

memudharatkan dan menzalimi. Karena hizb di baca untuk diamalkan agar diri

seseorang menjadi dekat dengan Allah. Banyak manfaat dan pengaruh dibalik

mengamalkan hizb Tarekat Syâdziliyah jika seorang mengamalkan dengan syarat

mendapat ijazah yang jelas (ijâzah sharîh) dari mursyid. Seseorang yang

membaca atau mengamalkan hizb-hizb tersebut yang dilaksanakan dengan penuh

keikhlasan dan dengan niat yang benar maka akan berpengaruh spiritual yang

besar terhadap hati dan jiwa serta ruhaniyah bagi yang mengamalkannya.
78

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur‟an al Karim dan Terjemahannya.

Aceh, Abu Bakar. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf. Jakarta: Ramadhani,
1984.

Ambari, Hasan Muarif. et.al. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996.

Anwar, Miftahussurur dan Assegaf, Muhdhor Ahmad. Imam Ali Abil Hasan Asy-
Syadzili: Kepribadian dan Pemikiran. Jawa Tengah: Al-Anwar, 2002.

Ardani, “Tarekat Syadziliyah Terkenal dengan Variasi Hizbnya.” Dalam Sri


Mulyati, ed. Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara


Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1998. cet. IV.

Abdullah, Zain. Tasawuf dan Zikir. Kualalumpur: Perniagaan Jahabersa, Johor


Bahru, 1995.

Baisany, Noer Iskandar. Tasawuf, Tarekat, dan Para Sufi. Jakarta: PT


RajaGrafindo, 2001.

Bruienessen, Martin Van. Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan,


1992.

Bin Bahsid, H. Maftukh. Majlis Semaan Al-Qur’an Manaqib 50 Auliya’ III.


Kediri, Jawa Timur: T.pn., t.t.

Danner, Victor, “Tarekat Syadziliyah dan Tasawuf di Afrika Utara.” Dalam


Seyyed Hossein Nasr, ed. Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam:
Manifestasi. Penerjemah Tim Mizan. Bandung: Mizan, 2003.

Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam (ringkas). Penerjemah Gufron A. Mas‟adi.


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.

Heri MS Faridy. dkk. ed. Ensiklopedi Tasawuf. Jilid III. Bandung: Angkasa, 2008.

Jazulî, Abi „Abdillah Muhammad ibn Sulaiman. Dalâil al-Khairât ma’a al-Ahzâb.
Surabaya: Nabhan, t.t.
79

Jumantoro, Totok dan Amin, Samsul Munir. Kamus Ilmu Tasawuf. T.tp.:
AMZAH, 2005.

Juni, Muhammad. “Sejarah Perkembangan dan Peranan Tarekat Syadziliyah di


Kabupaten Bekasi.” Skripsi SI Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008.

Kabbani, Syekh Muhammad Hisyam. Tasawuf dan Ihsan: Antivirus Kebatilan


dan Kezaliman. Penerjemah Zaimul Am. Jakarta: SERAMBI, 1998.

Lings, Martin. Membedah Tasawuf. Penerrjemah Bambang Herawan. Bandung:


Mizan, 1979.

M. Luthfi, KH. Al-Habib. Toriqoh Sadziliah. Pekalongan Jawa Tengah: Pelita


Hati, 2010.

Mulyati, Sri dan Sajaroh, Wiwi Siti. Laporan Penelitian Kolektif: Tasawuf Pasca
Ibn Arabi. Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN, 2006.

Mahmûd, abd al-Halîm. Abû Hasan al-Syâdzilî; al-Shûfi al-Mujâhid al-Arif bi


Allâh. Penerjemah Abubakar basymeleh. Mesir: Dar-al Turats Al‟Arabi, tt.

Nasuhi, Hamid. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi). Jakrata: CeQDA (Center for Quality Develoment and
Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.

Nasution, Harun. dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.

Radjasa, Mu‟tasim dan Mulkha, Abdul Munir. Bisnis Kaum Sufi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998.

Saepudin. “Pemikiran Tasawuf Abu Hasan Al-Syadzili (1196-1258M).” Tesis


Pasca Sarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.

Shihab, Alwi. Islam Sufistik. Bandung: Mizan, 2001.

Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam. Penerjemah Sapardi Djoko


Damano. dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.

Taftazani, Abu al-Wafa. Penerjemah Ahmad Rofi‟ „Utsmani. Sufi dari Zaman ke
Zaman. Bandung: Pustaka, 1997.

Zahri, Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu, 1996.
80

Zaini, Muhammad. “Tarekat Syadziliyah Perkembangan dan Ajaran-Ajaran:


Studi pada Pondok Peta di Tulungagung.” Tesis Pasca Sarjana, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.

Daftar Pustaka dari Link Internet

UmarJogja, Ki. “Definisi Ilmu Hizib.” Artikel diakses pada 30 Juni 2011 dari
http://rasasejati.wordpress.com/kajian-ilmu-ghoib/hizib-ratib

Mahmûd, Abd. Halîm. “Abul-Hasan Al-Syadzily, Kehidupan, doa dan hizibnya.”


Artikel diakses pada 30 Juni 2011 dari
http://ishakq.multiply.com/reviews/item/82
81

LAMPIRAN

Sanad dan Silsilah Tariqah

 Sayyidina Muhammad saw


 Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra
 Imam Hasan Al-Basri ra
 As-Syaikh Habib Al-Ajami ra
 As-Syaikh Daud At-Tai ra
 As-Syaikh Ma'ruf Al-Kharkhi ra
 As-Syaikh Sari As-Saqati ra
 As-Syaikh Asy-Shibli ra
 As-Syaikh At-Tartusi ra
 As-Syaikh Abul Hasan Al-Hukkari ra
 As-Syaikh Abu Said Al-Mubarak ra
 As-Syaikh As-Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani ra
 As-Syaikh Abu Madyan Syu’aib ra
 As-Syaikh Muhammad Salih ra
 As-Syaikh Muhammad ibn Kharazim ra
 As-Syaikh Abd. Al-Salam ibn Masyisy ra
 As-Syaikh Abu Hasan Al-Syadzili ra

Sanad Nasab Abu Hasan Al-Syadzili

 As-Syaikh Abu Hasan Al-Syadzili bin


 Abdillah bin
 Abdil Jabbar bin
 Tamim bin
 Hurmuz bin
 Hatim bin
 Qusay bin
 Yusuf bin
 Yusya bin
 Warad bin
 Baththal Ali bin
 Ahmad bin
 Muhammad bin
 Isa bin
 Idris Mutsanna bin
 Idris bin
 Abdillah bin
82

 Hasan Mutsanna bin


 Abi Muhammad Hasan As-Sibth bin
 Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra dan Fathimah Az-Zahra ra binti
 Rasulullah Sayyidina Muhammad saw.

Anda mungkin juga menyukai