Anda di halaman 1dari 40

PANDUAN KOMUNIKASI EFEKTIF DI LINGKUNGAN

RUMAH SAKIT UNHAS

BAB I
DEFINISI

1.1 Definisi
1. Komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pikiran
atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu
cara tertentu sehingga orang lain tersebut mengerti betul apa
yang dimaksud oleh penyampai pikirian-pikiran atau
informasi.
2. Proses komunikasi efektif adalah pesan diterima dan
dimengerti sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan
ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan oleh penerimaan
pesan dan tidak ada hambatan untuk hal itu.

Gambar 1.

Gambar 2.

1
3. Komponen komunikasi pokok adalah :
a. Pengirim (komunikator), yaitu orang yang
mengkomunikasikan atau menghubungkan suatu pesan
kepada orang lain (dokter, perawat, petugas admission, dan
lainnya). Komunikator yang baik adalah komunikator yang
menguasai materi, pengetahuannya luas dan dalam
tentang informasi yang disampaikan, cara berbicaranya
jelas dan menjadi pendengar yang baik saat dikonfirmasi
oleh si penerima pesan (komunikan).
b. Penerima (komunikan), yaitu orang yang menerima pesan
(pasien, keluarga pasien, perawat, dokter, petugas
admission, dan lainnya).
c. Media, yaitu sarana komunikasi yang berperan sebagai
jalan atau saluran yang dilalui isi pernyataan yang
disampaikan pengirim atau umpan balik yang disampaikan
penerima.
d. Berita dapat berupa lisan, tertulis atau keduanya
sekaligus. Pada kesempatan tertentu, media dapat tidak
digunakan oleh pengirim yaitu saat komunikasi
berlangsung atau tatap muka dengan efek yang mungkin

2
terjadi berupa perubahan sikap. Media yang dapat
digunakan melalui telepon, lembar lipat, buklet, video,
peraga.
e. Pesan, yaitu berupa gagasan, pendapat dan sebagainya
yang sudah dituangkan dalam suatu bentuk, dan melalui
lembaga komunikasi diteruskan kepada orang lain atau
komunikan.
f. Feed back (umpan balik), yaitu respon dari penerima
terhadap pesan yang diterimanya. Pada saat melakukan
proses umpan balik, diperlukan kemampuan dalam hal-hal
berikut:
1) Cara berbicara (talking), termasuk cara bertanya (kapan
menggunakan pertanyaan tertutup dan kapan memakai
pertanyaan terbuka), menjelaskan klarifikasi,
parapharase, intonasi.
2) Mendengar (listening), termasuk memotong kalimat.
3) Cara mengamati (observation) agar dapat memahami
yang tersirat di balik yang tersurat (bahasa non verbal
di balik ungkapan kata / kalimatnya, gerak tubuh).
4) Menjaga sikap selama berkomunikasi dengan
komunikan (bahasa tubuh) agar tidak mengganggu
komunikasi, misalnya karena komunikan keliru
mengartikan gerak tubuh, raut tubuh, raut muka, dan
sikap komunikator.
g. Di samping komponen-komponon pokok tersebut dapat
ditambahkan komponen lainnya seperti :
1) Sumber, asal suatu gagasan atau pendapat yang
menjadi suatu pesan. Sumber bisa berupa lembaga,
kejadian, atau diri kita sendiri.

3
2) Media komunikasi, yang merupakan sarana atau alat-
alat atau saluran-saluran yang dipergunakan untuk
menyalurkan pesan yang akan dikomunikasikan.
3) Kegiatan encoding, artinya menuangkan gagasan atau
pendapat dalam suatu bentuk pesan yang dinyatakan
oleh komunikator kepada komunikan.
4) Kegiatan decoding, artinya kegiatan untuk memahami
suatu pesan yang diterima oleh komunikan dari
komunikator.
5) Tujuan yang berupa komunikan, bisa merupakan
hadirin, massa, atau kelompok, atau pula
perseorangan.
4. Komunikasi efektif adalah tepat waktu, akurat, jelas dan
mudah dipahami oleh penerima, sehingga dapat mengurangi
tingkat kesalahan (kesalahpahaman).
5. Komunikasi efektif via telepon adalah komunikasi melalui
telepon yang dilakukan tepat waktu, secara akurat , lengkap
,jelas, dimengerti ,tidak duplikasi ,dan tepat kepada penerima
informasi untuk mengurangi kesalahan dan untuk
meningkatkan keselamatan pasien.
6. Pelaporan nilai kritis hasil laboratorium adalah cara
melaporkan hasil laboratorium yang nilainya memiliki risiko
besar akan menimbulkan masalah dan harus segera
dilaporkan.

4
1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi
Beberapa faktor komunikasi yang berperan dalam
menciptakan dan memelihara otoritas yang obyektif dalam
organisasi, menurut pendapat Barnard (1968,175-181) adalah :
1. Saluran komunikasi harus diketahui secara pasti
2. Harus ada saluran komunikasi formal pada setiap anggota
organisasi
3. Jalur komunikasi seharusnya langsung dan sependek
mungkin
4. Garis informasi formal hendaknya dipergunakan secara
normal
5. Orang-orang yang bekerja sebagai pusat pengatur
komunikasi haruslah orang-orang yang berkemampuan
cakap
6. Setiap komunikasi haruslah disahkan
7. Situasi/suasana
Situasi/suasana yang hiruk pikuk atau penuh kebisingan
akan mempengaruhi baik/tidaknya pesan diterima oleh
komunikan, suara bising yang diterima komunikan saat
proses komunikasi berlangsung membuat pesan tidak jelas,
kabur, bahkan sulit diterima.
8. Kejelasan pesan.
Kejelasan pesan akan sangat mempengaruhi keefektifan
komunikasi. Pesan yang kurang jelas dapat ditafsirkan
berbeda oleh komunikan sehingga antara komunikan dan
komunikator dapat berbeda persepsi tentang pesan yang
disampaikan. Hal ini akan sangat mempengaruhi
pencapaian tujuan komunikasi yang dijalankan. Oleh
karena itu, komunikator harus memahami pesan sebelum
menyampaikannya pada komunikan, dapat dimengerti

5
komunikan dan menggunakan artikulasi dan kalimat yang
jelas.
Perilaku yang terjadi dalam suatu organisasi adalah
merupakan unsur pokok dalam proses komunikasi. Komunikasi
sendiri merupakan usaha untuk mengubah perilaku.

6
BAB II
RUANG LINGKUP

Komunikasi sangatlah penting dalam hubungannya dengan


professional kesehatan. Tanpa adanya komunikasi sesuatu bisa
dipersepsikan dan diinterpretasikan berbeda dengan yang
seharusnya. Apalagi orang yang berhadapan dengan kita (tenaga
kesehatan) mempunyai pengetahuan dan pemahaman serta prior
knowledge yang tidak sama dengan tenaga kesehatan.

2.1 Komunikasi Efektif di Lingkungan Rumah Sakit


Komunikasi yang sering digunakan di rumah sakit adalah
komunikasi verbal. Komunikasi yang efektif kepada pasien harus
disampaikan dengan bahasa yang sesederhana mungkin, mudah
dipahami, tidak menggunakan istilah medis yang tidak dipahami
oleh pasien dan disampaikan secara langsung. Akan tetapi, bukan
berarti komunikasi non verbal dikesampingkan karena justru
penggunaan komunikasi non verbal sangat berperan penting.
Isyarat non verbal menambah arti terhadap pesan verbal yang
disampaikan oleh tenaga kesehatan yang memberikan asuhan
kepada pasiennya.
Komunikasi yang efektif di dalam rumah sakit adalah
merupakan suatu issue/persoalan kepemimpinan. Jadi, pimpinan
rumah sakit memahami dinamika komunikasi antar anggota
kelompok profesional, dan antara kelompok profesi, unit stuktural;
antara kelompok profesional dan non profesional; antara kelompok
profesional kesehatan dengan manajemen; antara profesional
kesehatan keluarga; serta dengan pihak luar rumah sakit, sebagai
contoh. Pimpinan rumah sakit bukan hanya menyusun parameter
dari komunikasi efektif, tetapi juga berperan sebagai panutan (role

7
model) dengan mengkomunikasikan secara efektif misi, strategi,
rencana dan informasi lain yang relevan. Pimpinan memberi
perhatian terhadap akurasi dan ketepatan waktu informasi dalam
rumah sakit.
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas
dan yang dipahami oleh resipien/penerima, akan mengurangi
kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien.
Komunikasi dapat secara elektronik, lisan atau tertulis.
Komunikasi yang paling mudah mengalami kesalahan adalah
perintah diberikan secara lisan dan yang diberikan melalui
telepon, bila diperbolehkan peraturan perundangan.
Komunikasi lain yang mudah terjadi kesalahan adalah
pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti laboratorium
klinis menelpon unit pelayanan pasien untuk melaporkan hasil
pemeriksaan segera/cito.
Profesional kesehatan seharusnya mempunyai kemampuan
yang cukup untuk berkomunikasi dengan keluarga pasien. Hal
tersebut dapat meminimalkan terjadinya miskomunikasi akibat
dari mispersepsi yang berdampak terhadap pelayanan rumah
sakit. Dampak tersebut tidak hanya dari segi material tapi juga
citra pelayanan rumah sakit semakin menurun.
Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (2006), komunikasi
efektif dokter pasien adalah pengembangan hubungan dokter
pasien secara efektif yang berlangsung secara efisien, dengan
tujuan utama penyampaian informasi atau pemberian penjelasan
yang diperlukan dalam rangka membangun kerjasama antara
dokter dengan pasien. Komunikasi yang dilakukan secara verbal
dan non verbal akan menghasilkan pemahaman pasien terhadap
keadaan kesehatannya, peluang dan kendalanya, sehingga dapat

8
bersama-sama dokter mencari alternatif untuk mengatasi
permasalahnnya (KKI, 2006).
Tenaga kesehatan harus memperhatikan hak pasien
termasuk hak menerima informasi secara jelas sehingga pasien
dan keluarganya akan merasa puas terhadap pelayanan yang
diberikan. Pasien yang puas merupakan aset yang sangat berharga
karena apabila pasien puas mereka akan terus melakukan
pemakaian terhadap jasa pilihannya, tetapi jika pasien merasa
tidak puas mereka akan memberitahukan dua kali lebih hebat
kepada orang lain tentang pengalaman buruknya.
Untuk menciptakan kepuasan pasien suatu perusahaan
atau rumah sakit harus menciptakan dan mengelola suatu sistem
untuk memperoleh pasien yang lebih banyak dan kemampuan
untuk mempertahankan pasiennya. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan cara meningkatkan jasa pelayanan dengan sebaik-baiknya,
termasuk melakukan komunikasi terhadap pelanggan dalam hal
ini adalah pasien dengan mempertimbangkan latar belakang
budaya sehingga keluhan negatif terhadap pelayanan kesehatan
dapat diminimalkan.
Bentuk-bentuk komunikasi adalah
1. Komunikasi yang bersifat informasi (asuhan)
Komunikasi yang bersifat informasi (asuhan) di dalam rumah
sakit adalah :
a. Jam pelayanan, berupa informasi tertulis di tempat-tempat
tertentu, public area, leaflet, lisan oleh frontliner
b. Pelayanan yang tersedia
c. Cara mendapatkan pelayanan, berupa komunikasi lisan
oleh petugas front office, IGD, semua titik-titik unit
frontliner

9
d. Sumber alternatif mengenai asuhan dan pelayanan yang
diberikan ketika kebutuhan asuhan pasien melebihi
kemampuan rumah sakit.
Akses informasi ini dapat diperoleh melalui costumer service,
admission, website rumah sakit pun sosial media official.
2. Komunikasi yang bersifat edukasi (pelayanan promosi) di
dalam rumah sakit dan masyarakat adalah
a. Edukasi tentang obat
b. Edukasi tentang penyakit
c. Edukasi pasien tentang apa yang harus dihindari
d. Edukasi tentang apa yang harus dilakukan pasien untuk
meningkatkan kualitas hidupnya pasca dari rumah sakit
e. Edukasi tentang gizi.

Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (2006), keterampilan


berkomunikasi berlandaskan empat unsur yang merupakan
intikomunikasi:
1. Sumber (yang menyampaikan informasi). Siapa dia? Seberapa
luas/dalam pengetahuannya tentang informasi yang
disampaikannya?
2. Isi pesan (apa yang disampaikan). Panjang pendeknya,
kelengkapannya perlu disesuaikan dengan tujuan komunikasi,
media penyampaian, penerimanya.
3. Media yang digunakan. Apakah hanya berbicara? Apakah
percakapan dilakukan secara tatap muka atau melalui telepon,
menggunakan lembar lipat, buklet, vcd, peraga.
4. Penerima (yang diberi informasi). Bagaimana karakternya? Apa
kepentingannya? (langsung, tidak langsung).

10
Keempat unsur ini masih perlu dilengkapi dengan umpan
balik. Dokter sebagai sumber atau pengirim pesan harus mencari
tahu hasil komunikasinya (apa yang dimengerti pasien?).
Sejalan dengan keterampilan yang termuat dalam empat
unsur ditambah umpan balik tersebut, diperlukan kemampuan
dalam hal-hal berikut:
1. Cara berbicara, termasuk cara bertanya (kapan menggunakan
pertanyaan tertutup dan kapan memakai pertanyaan terbuka),
menjelaskan, klarifikasi, parafrase,intonasi.
2. Mendengar, termasuk memotong kalimat.
3. Cara mengamati (observasi), agar dapat memahami yang
tersirat di balik yang tersurat (bahasa non verbal di balik
ungkapan kata/kalimatnya, gerak tubuh).
4. Menjaga sikap selama berkomunikasi dengan pasien (bahasa
tubuh) agar tidak mengganggu komunikasi, misalnya karena
pasien keliru mengartikan gerak tubuh, raut muka dan sikap
dokter.

Ruang lingkup komunikasi dalam pelayanan kesehatan di


Rumah Sakit Unhas meliputi :
1. Komunikasi Efektif Dokter-Pasien
2. Komunikasi Efektif Perawat-Pasien
3. Komunikasi antar Profesional Pemberi Asuhan (dokter, tenaga
keperawatan, dan tenaga kesehatan lainnya
4. Komunikasi Asuhan dan Edukasi
5. Komunikasi efektif antar unit/instalasi/departemen pelayanan

11
2.2 Komunikasi Dengan Masyarakat
1. Populasi masyarakat
Untuk daerah sasaran rumah sakit populasi yang ada
meliputi masyarakat umum tanpa mempunyai asuransi,
masyarakat dengan peserta Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan yaitu peserta ex.
Jamkesmas, Askes, Jamsostek, dan TNI/Polri), pasien
kesecelakaan dengan menggunakan asuransi Jasa Raharja,
dan pasien peserta Asuransi Kesehatan lain seperti Garda
Medika Asuransi, Asuransi Sinarmas dll serta perusahaan-
perusahaan swasta yang bekerjasama (PKS) dalam
pelayanan kesehatan bagi karyawan.
2. Strategi
Komunikasi dilakukan melaui radio, banner, spanduk dan
komunikasi langsung ke masyarakat dan perusahaan-
perusahaan.
3. Isi informasi
Informasi yang disampaikan adalah jenis pelayanan yang
terdapat di rumah sakit, jam pelayanan dan bagaimana
akses pelayanan dari masyarakat ke rumah sakit termasuk
kualitas pelayanan yang diberikan.

12
BAB III
TATA LAKSANA

3.1 Pelaksanaan Komunikasi Efektif


1. Komunikasi Efektif Dokter-Pasien
Dalam hubungan tenaga medis dan pasien, baik dokter
maupu pasien dapat berperan sebagai sumber atau pengirim
pesan dan penerima pesan secara bergantian.Pasien sebagai
pengirim pesan dan penerima pesan secara bergantian.
Pasien sebagai pengirim pasien, menyampaikan apa yang
dirasakan atau menjawab pertanyaan tenaga medis sesuai
pengetahuannya. Sementara tenaga medis sebagai pengirim
pesan, berperan pada saat menyampaikan penjelasan
penyakit, rencana pengobatan dan terapi, efek samping obat
yang mungkin terjadi serta dampak dan dilakukan dan tidak
dilakukannya terapi tertentu. Dalam penyampaian ini, tenaga
medis bertanggung jawab untuk memastikan pasien
memahami apa yang disampaikan. Sebagai penerima pesan,
dokter perlu berkonsentrasi dan memperhatikan setiap
pernyataan pasien. Untuk memastikan apa yang dimaksud
oleh pasien, dokter sesekali perlu membuat pertanyaan atau
pernyataan klarifikasi. Mengingat kesenjangan informasi dan
pengetahuan yang ada antara dokter dan pasien, dokter perlu
secara proaktif memastikan apakah pasien benar-benar
memahami pesan yang telah disampaikannya. Misalnya dalam
menginterpretasikan kata “panas”. Dokter yang mempunyai
pasien berumur dua tahun memesankan kepada ibu pasien.“
Kalau dia panas, berikan obatnya” Pengertian panas oleh ibu

13
pasien mungkin saja berbeda dengan yang dimaksudkan oleh
dokter.
Dokter perlu mencari cara untuk memastikan siibu
mempunyai pemahaman yang sama, misalnya dengan
menggunakan ukuran yang tepat yaitu termometer. Dokter
mengajarkan cara menggunakan termometer untuk
mengetahui keadaan anaknya. Si Ibu diminta memberikan
obat yang telah diresepkan dokter kepada anaknya apabila
suhu tubuh anak mencapai angka tertentu yang dimaksud
dokter mengalami “panas”
Dalam dunia kesehatan, warna yang berbeda, ukuran yang
berbeda, rasa yang berbeda menjadi hal yang sangat vital
karena bisa membedakan intensitas radang, intensitas nyeri
yang pada akhirnya bermuara pada perbedaan diagnosis
maupun jenis obat yang harus diminum. Peran dokter sebagai
fasilitator pembicaraan amat penting agar tidak terjadi salah
interpretasi.
Silverman (1998) menjelaskan bahwa komunikasi efektif
tidak berhenti sampai pemberi pesan selesai menyampaikan
maksudnya. Komunikasi baru dapat dikatakan lengkap ketika
pembicara mendapatkan umpan balik dari penerima yang
meyakinkannya bahwa tujuan komunikasinya tercapai
(penerima pesan memahami sesuai yang diharapkan)
Disease Centered Communication Style adalah komunikasi
berdasarkan kepentingan dokter dalam usaha menegakkan
diagnosis, termasuk penyelidikan dan penalaran klinik
mengenai tanda dan gejala
Ilness Centered Communication Style adalah komunikasi
berdasarkan apa yang dirasakan pasien tentang penyakitnya
yang secara individu merupakan pegalaman unik, termasuk

14
pendapat pasien, apa yang menjadi kepentingannya, apa
kekhawatirannya, harapannya apa, apa yang dipikirkannya
akan menjadi akibat dari penyakitnya (Kurtz, 1998)
Pada dasarnya komunikasi efektif adalah bagaimana
menyatukan sudut pandang pasien maupun dokter menjadi
sebuah bentuk relasi dokter-pasien (doctor-patient relationship),
keduanya berada dalam level yang sejajar dan saling
bekerjasama untuk menyelesaikan masalah kesehatan pasien.
Di Dunia kedokteran, model proses komunikasi tersebut
telah dikembangkan oleh Van Dalen (2005) menjadi sebuah
model yang sangat sederhana dan aplikatif.

1 3

2 3 B

 Kotak 1 : Pasien memimpin pembicaraan melalui


pertanyaan terbuka yang dikemukakan oleh dokter
(Patient takes the lead through open ended question by
doctor)
 Kotak 2 : Dokter memimpin pembicaraan melalui
pertanyaan tertutup/terstruktur yang telah disusunnya
sendiri (Doctor takes the lead through closed question by
the order)
 Kotak 3 : Kesepakatan apa yang harus dan akan
dilakukan berdasarkan negosiasi kedua belah pihak
(Negotiating agenda by both)
Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada
umumnya akan melahirkan keyamanan dan kepuasan bagi
kedua belah pihak, khusunya menciptakan satu kata

15
tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati dapat diraih
melalui kecukupan dokter akan listening skills and training
skills yang dapat diraih melalui latihan.
Carma L Bylund & Gregory Makoul dalam tulisannya
tentang Emphatic Communication in Physician-Patient
Encounter 2002, menyatakan betapa pentingnya empati ini
dikomunikasikan. Dalam konteks ini empati disusun dalam
batasan definisi berikut:
a. Kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti
kebutuhan pasien
b. Kemampuan afektifitas/sensitifitas terhadap perasaan
pasien
c. Kemampuan perilaku dokter dalam
memperlihatkan/menyampaikan empati kepada pasien.

2. Komunikasi Efektif Perawat-Pasien


Dalam melaksanakan asuhan keperawatan, komunikasi
merupakan salah satu faktor penting dimana terjadi proses
pertukaran informasi secara verbal dalam pertemuan tatap
muka antara perawat dengan pasien. Kemampuan dalam
melakukan komunikasi interpersonal yang efektif akan
menentukan kualitas asuhan yang diberikan.
Dalam setiap tahapan pelaksanaan proses keperawatan
perawat selalu menggunakan komunikasi verbal, oleh karena
itu perawat harus memahami hal-hal yang harus diperhatikan
dalam komunikasi verbal.
Tahapan komunikasi dalam keperawatan meliputi tahap
pengkajian, perumusan diagnosis, perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi.
a. Tahap Pengkajian

16
Pengkajian merupakan tahap awal proses pelayanan di
rumah sakit yang dilaksanakan oleh petugas
admisi/registrasi dan perawat untuk mengumpulkan data
pasien yang diperlukan sebagai dasar pelaksanaan proses
keperawatan pada tahap selanjutnya. Data pasien
diperoleh dari :
1) Wawancara
a) Wawancara Admisi
Wawancara ini dilakukan pada saat pasien masuk
rumah sakit dengan tujuan mendapatkan data
umum dan data pasien
b) Wawancara riwayat hidup
Wawancara ini dilakukan perawat untuk
mendapatkan informasi tentang keluhan dan
riwayat kesehatan pasien serta perjalanan
penyakitnya. Tujuan melakukan wawancara ini
adalah untuk mengetahui alasan pasien datang ke
rumah sakit dan menjadi acuan rencana tindakan
keperawatan.
c) Wawancara terapeutik
Wawancara ini ditekankan pada fakta, ide dan isi
dalam rangka pengembangan hubungan sehat yang
bertujuan untuk membantu pasien mengidentifikasi
masalahnya. Wawancara ini memberikan peluang
kepada pasien untuk mengungkapkan perasaan,
mengenal dan mengetahui masa lalunya.
Wawancara terapeutik banyak digunakan oleh
profesional kesehatan seperti perawat, dokter,
psikolog dan psikiater.
2) Pemeriksaan fisik

17
3) Pemeriksaan diagnostik
4) Informasi dari tenaga medis lain dan dari keluarga
pasien
Kemampuan berkomunikasi juga sangat berpengaruh
pada kelengkapan data pasien, oleh karena itu peningkatan
komunikasi seorang perawat perlu mendapat perhatian.
Dalam berkomunikasi perawat perlu memperhatikan
budaya yang berpengaruh pada waktu dan tempat
terjadinya komunikasi, penggunaan bahasa, usia dan
perkembangan pasien.
Ada beberapa hal yang menjadi kendala bagi pasien
dalam menyampaikan, menerima dan memahami informasi
yang diterimanya. Beberapa hal yang menjadi kendala
antara lain:
a) Kemampuan bahasa
Perawat perlu memperhatikan bahasa yang mampu
dipahami oleh pasien dalam berkomunikasi karena
penguasaan bahasa sangat berpengaruh terhadap
persepsi dan penafsiran pasien dalam menerima
informasi yang sesuai
b) Ketajaman panca indera
Ketajaman panca indera dalam mendengar, melihat,
merasa dan mencium bau merupakan faktor penting
dalam komunikasi. Pasien akan dapat menerima pesan
komunikasi dengan baik apabila panca inderanya
berfungsi dengan baik.
Bagi pasien yang mengalami gangguan pendengaran
ada tahapan yang perlu diperhatikan dalam melakukan
pengkajian, yaitu informasi medik yang
mengindikasikan adanya kelemahan pendengaran,

18
memperhatikan kemampuan pasien membaca ekspresi
wajah dan gerak bibir perawat, dan apakah pasien
mampu menggunakan gerak isyarat sebagai bentuk
komunikasi non verbal.
c) Kelemahan fungsi kognitif
Adanya gangguan/kelemahan pada fungsi kognitif
dapat mempengaruhi kemampuan pasien untuk
mengungkapkan dan memahami bahasa. Dalam
mengkaji pasien ini perawat harus dapat menilai respon
baik secara verbal maupun non verbal yang
disampaikan oleh pasien dalam menjawab pertanyaan.
d) Gangguan struktural
Gangguan struktural tubuh terutama yang
berhubungan langsung dengan organ suara seperti
mulut dan hidung dapat berpengaruh pada proses
komunikasi.

b. Tahap Perumusan Diagnosis


Diagnosis dirumuskan atas dasar data yang diperoleh
dari tahap pengkajian. Perumusan diagnosis keperawatan
merupakan hasil penilaian perawat dengan melibatkan
pasien dan keluarganya, tenaga kesehatan lain yang
berkenaan dengan masalah yang dialami pasien.
Diagnosis keperawatan yang tepat memerlukan sikap
komunikatif perawat dan sikap kooperatif pasien.

c. Tahap Perencanaan
Pengembangan rencana tindakan keperawatan kepada
pasien diperlukan interaksi dan komunikasi dengan
pasien. Hal ini untuk menentukan alternatif rencana

19
keperawatan yang akan diterapkan, misalnya sebelum
memberikan makanan kepada pasien, perawat harus
terlebih dahulu mengetahui makanan yang sesuai bagi
pasien. Rencana tindakan yang dibuat oleh perawat
merupakan media komunikasi antar tenaga kesehatan
yang berkesinambungan sehingga pelayanan dapat
dilaksanakan secara teratur dan efektif.

d. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan merupakan realisasi dari
perencanaan yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Aktifitas ini memerlukan keterampilan komunikasi dalam
berinteraksi dengan pasien.
Pada sat menghadapi pasien perawat perlu:
1) Menunjukkan raut wajah yang mencerminkan
ketulusan agar tercipta suasana saling percaya saat
berkomunikasi
2) Kontak pandang yang menunjukkan perhatian dan
kesungguhan perawat
3) Fokus pada pasien
4) Bersikap terbuka untuk menumbuhkan keberanian
pasien dalam mengikuti tindakan keperawatan yang
dilakukan
5) Mendengarkan secara seksama dan penuh perhatian
untuk mendapatkan informasi dari pasien. Perawat
lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Hal
ini akan menimbulkan kepercayaan pasien pada
perawat.
6) Mendengarkan keluhan pasien dan memahami
perasaan

20
7) Perawat mampu menjelaskan keadaan pasien
8) Perawat mampu menjadi pembimbing dan konseling
terhadap pasien
9) Bersikap tenang selama berada didepan pasien.

Dalam berkomunikasi di rumah sakit petugas dan


tenaga medis harus melakukan proses verifikasi terhadap
akurasi dari komunikasi lisan dengan Catat, baca kembali
dan konfirmasi ulang (CABAK) yaitu :
1) Pemberi pesan memberikan pesan secara lisan
Komunikasi dapat dilakukan secara langsung atau
melalui sarana komunikasi seperti telepon. Pemberi
pesan harus memperhatikan kosa kata yang
digunakan, intonasi, kekuatan suara, jelas, singkat dan
padat
2) Penerima pesan mencatat isi pesan (CATAT)
Untuk menghindari adanya pesan yang terlewat maka
penerima pesan harus mencatat pesan yang diberikan
secara jelas.
3) Isi pesan dibacakan kembali secara lengkap oleh
petugas penerima pesan (BACA)
Setelah pesan dicatat, penerima pesan harus
membacakan kembali pesan tersebut kepada pemberi
pesan agar tidak terjadi kesalahan dan pesan dapat
diterima dengan baik.
4) Penerima pesan mengkonfirmasikan kembali isi pesan
kepada pemberi pesan (KONFIRMASI)
Pemberi pesan harus mendengarkan pesan yang
dibacakan kembali oleh penerima pesan dan

21
memberikan perbaikan bila pesan tersebut masih ada
yang kurang atau salah.

Sistem CABAK dapat diilustrasikan dengan skema sebagai


berikut:

3. Komunikasi antar profesional pemberi asuhan (dokter,


tenaga keperawatan dan tenaga kesehatan lainnya)
Dalam memberikan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit
unhas antar profesional pemberi asuhan komunikasi yang terjadi
menggunakan tekhnik SBAR.
SBAR merupakan suatu tekhnik komunikasi yang
dipergunakan dalam melakukan identifikasi terhadap pasien
sehingga mampu meningkatkan kemampuan komunikasi antara
perawat dan dokter. Dengan komunikasi SBAR ini maka perawat
dapat memberikan laporan mengenai kondisi pasien lebih
informatif dan terstruktur.
SBAR merupakan kerangka acuan dalam pelaporan kondisi
pasien yang memerlukan perhatian dan tindakan segera. Tekhnik
SBAR terdiri dari unsur Situation, Background, Assessment,
Recommendation. Pada prinsipnya SBAR merupakan komunikasi
standar yang ingin menjawab pertanyaan, yaitu apa yang terjadi,
apa yang diharapkan oleh perawat dari dokter yang dihubungi dan

22
kapan dokter harus mengambil tindakan. Empat (4) Unsur SBAR
yaitu:
1. Situation
Menjelaskan kondisi terkini yang terjadi pada pasien
2. Background
Berisi informasi penting apa yang berhubungan dengan kondisi
pasien saat ini
3. Assessment
Hasil pengkajian kondisi pasien terkini
4. Recommendation
Apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah pasien
saat ini

Contoh laporan perawat ke dokter dengan menggunakan SBAR


(Haig, K.M, dkk, 2006)
Situation (S)  Sebutkan nama anda dan unit
 Sebutkan identitas pasien dan
nomor kamar pasien
 Sebutkan masalah pasien tersebut
(misalnya sesak nafas, nyeri dada,
dll)
Background (B)  Sebutkan diagnosis dan data klinis
pasien sesuai kebutuhan
 Status kardiovaskuler (Nyeri dada,
tekanan darah,EKG, dsb)
 Status respirasi (Frekuensi
pernafasan, SpO2, analisa gas
darah, dsb)
 Status gastrointestinal (Nyeri perut,

23
perdarahan,dsb)
 Neurologis (GCS, Pupil)
 Hasil laboratorium/pemeriksaan
penunjang lainnya
Assessment  Sebutkan problem pasien tersebut
 Problem kardiologi
 Problem gastro-intestinal
Recommendatio Rekomendasi (pilih sesuai kebutuhan)
n  Saya meminta dokter untuk :
 Memindahkan pasien ke ICU
 Segera datang melihat pasien
 Mewakilkan dokter lain untuk
datang
 Konsultasi ke dokter lain
 Pemeriksaan atau terapi apa yang
diperlukan:
 Foto rontgen
 Pemeriksaan analisa gas darah
 Pemeriksaan EKG
 Pemberian oksigenasi
 Beta 2 agonis nebulizer

4. Komunikasi dengan masyarakat


a. Komunikasi dengan menggunakan media
1) Spanduk
a) Spanduk himbauan kesehatan yang berkaitan dengan
peringatan hari-hari besar nasional dan internasional,
seperti : Peringatan hari kesehata, hari anak nasional,
HIV AIDS sedunia dll
b) Spanduk pelayanan rumah sakit
c) Spanduk kegiatan-kegiatan social

24
2) Standing Bunner tentang himbauan kesehatan
3) Baliho tentang pelayanan rumah sakit
4) Sign Box dan Neon Box
a) Pelayanan UGD 24 Jam
b) Jadwal Poli Spesialis
c) Neon Box Pelayanan Rumah Sakit
5) Iklan di Radio mengenai pelayanan rumah sakit.
6) Social media rumah sakit yang menginfomasikan
pelayanan rumah sakit unhas dan informasi kesehatan
yang komprehensif
7) Brosur dan flayer
a) Brosur tentang pelayanan rumah sakit
b) Flayer Gizi
c) Pencegahan Infeksi di Rumah Sakit

b. Komunikasi langsung
1) Talkshow dokter umum di Radio/ TV
2) Penyuluhan kesehatan dalam safari kesehatan ke
masyarakat sekitar/perusahaan
3) Kegiatan Edukasi penyakit dalam kegiatan senam lansia
4) Seminar kesehatan

5. Komunikasi Asuhan dan Edukasi


Komunikasi di rumah sakit memiliki dua tujuan, yaitu:
a. Komunikasi yang bertujuan untuk memberikan informasi
asuhan
Komunikasi yang bertujuan untuk memberikan informasi
asuhan ini biasanya dilakukan oleh petugas customer
service, registrasi dan admission yang meliputi:
1) Jam pelayanan

25
2) Pelayanan yang tersedia
3) Cara mendapatkan pelayanan
4) Sumber alternatif mengenai asuhan pelayanan yang
diberikan ketika kebutuhan pasien melebihi kemampuan
rumah sakit
Contoh sikap petugas customer service, registrasi dan
admission ketika menerima pasien:
a) Berdiri ketika pasien datang
b) Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri (“selamat
pagi/siang/sore/malam, saya…(nama))
c) Mempersilahkan pasien duduk
d) Menanyakan nama pasien (Maaf, dengan bapak/ibu?)
e) Tawarkan bantuan kepada pasien (“Ada yang bisa
dibantu Bpk/Ibu….(nama))
f) Menciptakan suasana yang nyaman (Isyarat bahwa
punya cukup waktu, menganggap penting informasi yang
akan diberikan, menghindari tampak lelah)
g) Menilai suasana lawan bicara
h) Memperlihatkan sikap non verbal (raut wajah, mimik,
gerak/bahasa tubuh dari pasien)
i) Menatap mata pasien secara profesional yang lebih
terkait dengan makna menunjukkan perhatian dan
kesungguhan mendengarkan
j) Memberikan informasi yang diperlukan pasien
k) Memberikan informasi jadwal praktek/paket dan
langsung tanyakan apakah mau dibantu untuk
dibuatkan perjanjian
l) Memperhatikan keluhan yang disampaikan tanpa
melakukan interupsi yang tidak perlu

26
m) Memberikan solusi yang tepat dan cepat bila ada
keluhan yang disampaikan
n) Apabila pasien marah, menangis, takut dan sebaginya
maka dokter tetap menunjukkan raut wajah dan sikap
yang tenang bawa ke ruang customer service room
o) Menawarkan kembali bantuan kepada pasien (“ada lagi
yang bisa kami bantu bpk/ibu?)
p) Mengucapkan salam penutup (“terima kasih atas
waktunya bpk/ibu. Apa bila adalagi yang bisa saya
bantu, kami siap melayani penuh cinta kasih)
q) Berdiri ketika pasien pulang

b. Komunikasi Edukasi Pasien dan Keluarga pasien


Petugas rumah sakit berkewajiban untuk melakukan
edukasi kepada pasien dan keluarga pasien sehingga pasien
dan keluarga pasien bisa memahami pentingnya mengikuti
proses pengobatan, tindakan, gizi, rehabilitasi medik,
manajemen nyeri dan manajemen jatuh yang telah ditetapkan.
Terdapat 3 tahap dalam pemberian edukasi
1) Tahap asesmen pasien
Sebelum melakukan edukasi, pertama-tama petugas
menilai kebutuhan edukasi pasien dan keluarga pasien
berdasarkan formulir asesmen kebutuhan pasien Hal-hal
yang perlu diperhatikan:
a) Keyakinan dan nilai-nilai pasien dan keluarga
b) Kemampuan membaca, tingkat pendidikan dan
bahasa yang digunakan
c) Hambatan emosional dan motivasi
d) Keterbatasan fisik dan kognitif
e) Ketersediaan pasien untuk menerima informasi

27
2) Tahap penyampaian informasi
Cara penyampaian informasi dan edukasi yang efektif
tergantung pada hasil asesmen pasien, yaitu :
a) Jika pasien dalam kondisi baik semua dan
emosionalnya senang, maka proses komunikasi
edukasinya bisa langsung dijelaskan kepada pasien
sesuai dengan kebutuhan edukasinya
b) Jika pasien memiliki hambatan fisik (tuna rungu dan
tuna wicara) maka proses komunikasi edukasinya
dapat disampaikan dengan menggunakan media
cetak seperti brosur yang diberikan kepada pasien
dan keluarga sekandung (istri, anak, ayah, ibu atau
saudara sekandung) dan menjelaskannya kepada
mereka.
c) Jika pasien memiliki hambatan emosional (pasien
marah atau depresi) maka proses komunikasi
edukasinya juga dapat disampaikan dengan
menggunakan media cetak seperti brosur dan
menyarankan pasien untuk membacanya.
3) Tahap Verifikasi
Pada tahap ini, petugas memastikan kepada pasien dan
keluarga mengenai kejelasan dan pemahaman edukasi
yang diberikan:
a) Apabila pada saat pemberian edukasi, pasien dalam
kondisi baik dan senang maka verifikasi dapat
dilakukan dengan cara menanyakan kembali edukasi
yang telah diberikan
b) Untuk pasien yang mengalami hambatan fisik maka
veriikasi dapat dilakukan dengan cara menanyakan
kepada keluarganya dengan pertanyaan yang sama,

28
yaitu “Apakah Bpk/Ibu bisa memahami materi
edukasi yang kami berikan?”
c) Untuk pasien yang mengalami hambatan emosional
(marah, depresi) maka verifikasi dapat dilakukan
dengan cara menanyakan kepada pasien mengenai
sejauh mana pasien telah mengerti tentang materi
edukasi yang diberikan melalui brosur. Proses
pertanyaan ini bisa melalui telepon atau datang
langsung ke kamar pasien setelah pasien tenang

Dengan diberikannya informasi dan edukasi pasien


diharapkan komunikasi yang disampaikan dapat dimengerti
dan diterapkan oleh pasien. Apabila pasien mengikuti semua
arahan dari rumah sakit diharapkan mempercepat proses
penyembuhan pasien.

3.2 Pelaksanaan Komunikasi Efektif


1. Komunikasi Efektif di Ruang Pendaftaran
Pendaftaran dapat dilakukan oleh pasien melalui 2 (dua) cara,
yaitu :
a) Melalui telepon
Komunikasi yang dilakukan melalui telepon, dimana saat
mendaftar pasien diminta menyebutkan namadokter yang
dituju, nama pasien dan nomor rekam medis oleh petugas
operator. Petugas operator akan mengkonfirmasi apa yang
didengarnya untuk input pendaftaran.
Dalam melakukan konfirmasi, komunikan terkadang
menghadapi kesulitan menuliskan sesuatu informasi
sehingga harus menjabarkan hurufnya satu per satu
dengan menggunakan alfabeth, sebagai berikut :

29
Kode Alfabet Internasional (Sumber : Wikipedia)

b) Datang langsung
Saat pasien datang ke rumah sakit, maka tempat yang
pertama kali harus dikunjunginya adalah ruang/tempat
pendaftaran, atau customer service area dimana terdapat
staf yang bisa memberikan informasi terkait pelayanan
ruamh sakit unhas, mengambil nomor antri Setelah
pendaftaran selesai, barulah mereka satu demi satu
diarahkan ke tempat yang sesuai dengan pelayanan yang
dibutuhkan. Kontak awal dengan rumah sakit ini, perlu
disambut dengan 5S (senyum, sambut, sapa, salam,
Santun ) atau sesuai dengan budaya rumah sakit unhas

30
yakni cepat tanggap, cerdas berinovasi, cekatan bertindak
ceria melayani, canggi teknologi, surahan hati pelanggan
oleh petugas pendaftaran. Sambutan tersebut berupa
salam hangat yang dapat membuat mereka merasa tentram
berada di rumah sakit. Di tempat tersebut, pasien akan
ditanya keperluannya dan akan diarahkan sesuai dengan
keperluan yang dituju.

2. Komunikasi Efektif Rawat Jalan


Saat pasien berada di Instalas Rawat Jalan pasien harus
melakukan timbang, tensi, atau ukur tinggi badan di ruang
nurse station (NS). Perawat akan melakukan komunikasi
dengan melakukan 5S (senyum, sambut, sapa, salam, santun)
dan mengarahkan pasien sesuai dengan dokter/keperluan
yang dituju.
Rumah sakit menyediakan ruangan poliklinik untuk
pasien rawat jalan yang memerlukan konsultasi atau ingin
mendapatkan informasi. Konsultasi dilayani oleh dokter
spesialis, dokter umum, bidan dan konselor.
Konsultasi dapat dilakukan secara individual dan
berkelompok. Konsultasi secara berkelompok contohnya
kursus pra persalinan, kursus perawatan bayi dan senam
hamil. Ruang konsultasi dilengkapi dengan media komunikasi
seperti laptop, LCD dan gambar-gambar.
Pihak yang paling berpengaruh terhadap pasien rawat
jalan adalah orang yang mengantarkannya ke rumah sakit.
Mereka ini tidak dalam keadaan sakit, sehingga
memungkinkan untuk mendapatkan informasi dari berbagai
media komunikasi yang tersedia di poliklinik. Oleh karena itu
di setiap poliklinik, khususnya ruang tunggu, dipasang poster-

31
poster, disediakan selebaran (leaflet), dipasang televisi dan
VCD/DVD player yang dirancang untuk menayangkan
informasi tentang kesehatan.
Konsultasi yang dilakukan secara individual dilakukan
dengan sikap profesional, menurut Konsil Kedokteran
Indonesia (2006), sikap profesional ini penting untuk
membangun rasa nyaman, aman, dan percaya yang
merupakan landasan bagi berlangsungnya komunikasi secara
efektif (Silverman, 1998). Sikap profesional ini hendaknya
dijalin terus-menerus sejak awal konsultasi, selama proses
konsultasi berlangsung, dan di akhir konsultasi.

3. Komunikasi Efektif Rawat Inap


Pada saat pasien sudah masuk rawat inap, umumnya
pasien sangat ingin mengetahui seluk-beluk penyakitnya.
Sementara pasien dengan penyakit kronis dapat menunjukkan
reaksi yang berbeda-beda seperti apatis, agresif atau menarik
diri. Hal ini disebabkan penyakit kronis umumnya memberikan
pengaruh fisik dan kejiwaan serta dampak sosial kepada
penderitanya. Kepada pasien seperti ini, kesabaran dari
petugas rumah sakit sangat diharapkan, khususnya dalam
pelaksanaan komunikasi pemberdayaan. Beberapa cara
komunikasi pemberdayaan dapat dilakukan melalui konseling
sebagai berikut :
a. Konseling di Tempat Tidur
Konseling di tempat tidur (bedside conseling) dilakukan
terhadap pasien rawat inap yang belum dapat atau masih
sulit meninggalkan tempat tidurnya dan harus terus
berbaring. Dalam hal ini, perawat yang menjadi konselor

32
harus mendatangi setiap pasien, duduk di samping tempat
tidur pasien tersebut dan melakukan pelayanan konseling.
Dalam melakukan konseling di tempat tidur, konselor
membawa alat peraga dan bila memungkinkan dapat
membawa VCD/DVD yang berisi informasi tentang
penyakit pasien tersebut.
b. Konseling Berkelompok
Terhadap pasien yang dapat meninggalkan tempat
tidurnya, dapat dilakukan konseling secara berkelompok.
Untuk itu, di ruang perawatan harus disediakan suatu
tempat atau ruangan untuk berkumpul.
Konseling berkelompok ini selain untuk meningkatkan
pengetahuan serta mengubah sikap dan perilaku pasien,
juga sebagai sarana komunikasi yang berfungsi sebagai
sosialisasi kepada pasien-pasien.
Untuk konseling berkelompok sebaiknya digunakan alat
peraga atau media komunikasi seperti flipchart, poster,
standing banner, laptop dan LCD untuk menayangkan
gambar atau film. Di Rumah Sakit unhas konseling
berkelompok dilakukan melalui senam hamil, kursus
prapersalinan dan kursus perawatan bayi.
Lingkungan yang berpengaruh besar terhadap pasien rawat
inap adalah para penjenguk (pembesuk). Agar para
penjenguk tertib, dapat disediakan ruang tunggu yang
dilengkapi dengan poster dan leaflet tentang pendidikan
kesehatan secara gratis atau televisi yang menayangakan
berbagai pesan kesehatan dari VCD/DVD player, sehingga
diharapkan para penjenguk memperoleh informasi yang
nantinya dapat disampaikan kepada pasien yang akan
dibesuknya.

33
4. Komunikasi Saat Memberikan Edukasi Terkait Kondisi
Kesehatan Pasien
Prosesnya :
a. Tahap asesmen pasien
Sebelum melakukan edukasi, petugas menilai dulu
kebutuhan edukasi pasien dan keluarga berdasarkan: (data
ini didapatkan dari RM):
1) Keyakinan dan nilai-nilai pasien dan keluarga.
2) Kemampuan membaca, tingkat pendidikan dan bahasa
yang digunakan.
3) Hambatan emosional dan motivasi. (emosional: depresi,
senang dan marah)
4) Keterbatasan fisik dan kognitif.
5) Ketersediaan pasien untuk menerima informasi.
b. Tahap cara penyampaian informasi dan edukasi yang
efektif. Setelah melalui tahap asesmen pasien, di temukan :
1) Pasien dalam kondisi baik semua dan emosionalnya
senang, maka proses komunikasinya mudah
disampaikan.
2) Jika pada tahap asesmen pasien di temukan hambatan
fisik (tuna rungu dan tuna wicara), maka komunikasi
yang efektif adalah memberikan leaflet kepada pasien
dan keluarga sekandung (istri, anak, ayah, ibu, atau
saudara sekandung) dan menjelaskannya kepada
mereka.
3) Jika pada tahap asesmen pasien ditemukan hambatan
emosional pasien (pasien marah atau depresi), maka
komunikasi yang efektif adalah memberikan materi
edukasi dan menyarankan pasien membaca leaflet.

34
Apabila pasien tidak mengerti materi edukasi, pasien
bisa menghubungi customer service atau kepala
ruangan
c. Tahap cara verifikasi bahwa pasien dan keluarga menerima
dan memahami edukasi yang diberikan:
1) Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi
dan informasi, kondisi pasien baik dan senang, maka
verifikasi yang dilakukan adalah: menanyakan kembali
eduksi yang telah diberikan.
Pertanyaannya adalah: “ Dari materi edukasi yang telah
disampaikan, kira-kira apa yang bpk/ibu bisa
pelajari ?”.
2) Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi
dan informasi, pasiennya mengalami hambatan fisik,
maka verifikasinya adalah dengan pihak keluarganya
dengan pertanyaan yang sama: “Dari materi edukasi
yang telah disampaikan, kira-kira apa yang bpk/ibu bisa
pelajari ?”.
3) Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi
dan informasi, ada hambatan emosional (marah atau
depresi), maka verifikasinya adalah dengan tanyakan
kembali sejauh mana pasiennya mengerti tentang materi
edukasi yang diberikan dan pahami. Proses pertanyaan
ini bisa via telepon atau datang langsung ke kamar
pasien setelah pasien tenang.

Dengan diberikannya informasi dan edukasi pasien,


diharapkan komunikasi yang disampaikan dapat dimengerti dan
diterapkan oleh pasien. Dengan pasien mengikuti semua arahan

35
dari rumah sakit, diharapkan mempercepat proses penyembuhan
pasien.
Setiap petugas dalam memberikan informasi dan edukasi
pasien, wajib untuk mengisi formulir edukasi dan informsi, dan
ditandatangani kedua belah pihak antara dokter dan pasien atau
keluarga pasien. Hal ini dilakukan sebagai bukti bahwa pasien
dan keluarga pasien sudah diberikan edukasi dan informasi yang
benar.

36
BAB IV
DOKUMENTASI

Komunikasi via telephone atau lisan didokumentasikan


pada formulir catatan terintegrasi rawat inap, edukasi yang sudah
dilakukan di dokumentasikan pada formulir identifikasi
kebutuhan pendidikan dan pemberian edukasi didokumentasikan
pada format edukasi.
Hasil kegiatan yang terkait dengan komunikasi efektif
dilaporkan secara berkesinambungan dengan kegiatan pendidikan
pasien dan keluarga serta assesment pasien.
Penjelasan dalam buku ini terbatas pada pengertian umum
tentang komunikasi efektif. Tentunya masih diperlukan cara lain
agar dokter dan staf di rumah sakit benar-benar dapat melakukan
komunikasi efektif dalam menjalankan profesinya. Keterampilan
berkomunikasi hanya bisa diperoleh dari praktik. Makin banyak
pengalaman seseorang melakukan komunikasi efektif ketika
berhadapan dengan pasien maupun pengunjung, maka
keterampilannya akan semakin terasah. Tentunya akan sangat
membantu kalau seseorang juga menambah pengetahuan dan
wawasannya. Mengikuti pelatihan khusus, selain sebagai
penyegaran tapi juga bisa menambah kemampuan, adalah cara
lain yang dianjurkan agar mampu melakukan komunikasi efektif
dengan pasien maupun pengunjung di rumah sakit.
Menurut Konsil Kedokterean Indonesia (2006), memahami
perspektif seseorang adalah sikap yang dianjurkan dalam
komunikasi. Sikap tersebut akan mengantar pada pengembangan
perilaku seseorang yang menunjukkan adanya penghargaan
terhadap kepercayaan pasien yang berkaitan dengan penyakitnya
(tidak menyemooh atau melecehkan), melakukan penggalian

37
(eksplorasi) terhadap keadaan pasien, memahami kekhawatiran
dan harapannya, berusaha memahami ungkapan emosi pasien,
mampu merespon secara verbal dan non-verbal dalam cara yang
mudah dipahami pasien. Perhatian terhadap bio, psiko sosio,
budaya dan norma-norma setempat untuk menetapkan dan
mempertahankan terapi paripurna dan hubungan dokter-pasien
yang profesional, sangat diperlukan dalam berkomunikasi dengan
pasien. Perhatian dalam pengembangan komunikasi efektif dengan
pasien tidaklah terbatas hanya pada diri seorang dokter semata
melainkan juga melibatkan semua jenjang yang dilalui pasien.
Dokter perlu memasukkan semua pihak yang ikut berperan dalam
upaya penyembuhan atau perawatannya agar komunikasinya bisa
efektif. Tidak semua informasi yang diperlukan pasien bisa
dituntaskan oleh dokter di ruang praktiknya.
Penyediaan media pendukung komunikasi, yaitu media
cetak seperti lembar balik (flipchart), lembar lipat (leaflet), poster,
selebaran (flyer), buklet dan media elektronik (vcd) akan sangat
membantu efektivitas komunikasi.
Untuk menciptakan kepuasan pasien suatu perusahaan
atau rumah sakit harus menciptakan dan mengelola suatu sistem
untuk memperoleh pasien yang lebih banyak dan kemampuan
untuk mempertahankan pasiennya.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara meningkatkan
jasa pelayanan dengan sebaik-baiknya, termasuk melakukan
komunikasi terhadap pelanggan dalam hal ini adalah pasien
dengan mempertimbangkan latar belakang budaya
sehingga keluhan negatif terhadap pelayanan kesehatan dapat
diminimalkan.
Selain itu, apabila setiap profesi kesehatan memegang teguh
kode etik profesi yang telah dirumuskan oleh masing-masing

38
profesi dan menerapkannya di dalam pemberian pelayanan kepada
pasien maka komplain tidak akan terjadi. Disamping itu, setiap
profesi kesehatan harus meningkatkan motivasi internalnya untuk
menolong sesama manusia. Tidak sekedar motivasi material tapi
juga keikhlasan berbuat menolong sesama manusia dalam rangka
beribadah kepada-Nya.

39
BAB V
PENUTUP

Dengan ditetapkannya Panduan Komunikasi Efektif di


Rumah Sakit Unhas, diharapkan dapat menjawab permasalahan
tentang bagaimana komunikasi yang efektif di Rumah Sakit
Unhas. Dalam pelaksanaannya di lapangan, panduan komunikasi
efektif di rumah sakit ini sudah barang tentu akan menghadapi
berbagai kendala, antara lain sumber daya manusia.
Untuk keberhasilan pelaksanaan Panduan Komunikasi
Efektif di RS Unhas perlu komitmen dan dukungan dari pihak
manajemen dan seluruh karyawan, sehingga pelayanan rumah
sakit pada umumnya akan semakin optimal, dan khususnya
pelayanan rumah sakit akan dirasakan manfaatnya oleh
pasien/masyarakat.

Direktur Utama,

Prof. Dr.dr. Syafri K.Arif,Sp.An.KIC,KAKV


Nip. 196705241995031001

40

Anda mungkin juga menyukai