Anda di halaman 1dari 5

A.

Religius
Istilah religius memiliki kaitan yang erat dengan istilah agama, religi, dan juga
religiusitas. Sebelum membahas tentang religius, perlu diketahui terlebih dahulu
mengenai pengertian agama. Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta yang
menunjukkan kepercayaan terhadap agama Hindu dan Budha. Dalam
perkembangannya, kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia dan dipakai untuk
menyebut kepercayaan yang ada di Indonesia secara umum.
Menurut Harun Nasution (dalam Ajat Sudrajat, 2008:6) menyatakan bahwa
kata agama berasal dari kata a dan gam. A berarti tidak dan gam berarti
pergi. Jadi secara harfiah agama diartikan sebagai tidak pergi. Maksudnya,
agama sebagai sesuatu yang tetap menyertai dan tidak pernah lepas kehidupan
manusia. Setiap agama membawa ajaran-ajaran yang akan menjadi tuntutan
hidup para pemeluknya (Harun Nasution dan Quraish Shihab dalam Ajat
Sudrajat, 2008:6). Jadi agama memiliki aturan-aturan yang dapat menuntun para
penganutnya sehingga dapat menjalani kehidupannya dengan teratur dan tidak
berantakan. Hal ini sejalan dengan pendapat Saifuddin Anshari (dalam Ajat
Sudrajat, 2008:7) yang menyatakan bahwa agama mengantarkan para
pemeluknya kepada suatu cara hidup yang teratur.
Sidi Gazalba (1978: 100-101) menyatakan bahwa religi atau agama adalah
kecenderungan rohani manusia yang berhubungan dengan alam semesta, nilai
yang meliputi segalanya, makna yang terakhir, hakikat dari semuanya itu. Religi
mencari nilai dan makna dalam sesuatu yang sangat berbeda dari segala sesuatu
yang dikenal. Istilah religi tersebut berasal dari bahasa Latin itu erat
hubungannya dengan sistem ajaran Nasrani yang menunjukkan hubungan tetap
antara manusia dan dengan Tuhan (Daud Ali, 1996:1).
Dalam bahasa jawa, kata agama memiliki padanan kata dengan kata ageman,
ugeman, dan gaman. Ageman berarti pakaian yang memiliki fungsi untuk
melindungi si pemakainya. Kata ugeman berarti pegangan atau kaidah hidup.
Seseorang yang ingin berhasil dan selamat dalam hidupnya dituntut untuk taat
dan patuh pada kaidah kehidupannya. Sedangkan gaman berarti alat. Fungsi dari

gaman adalah sebagai alat perlindungan dan alat untuk mencari nafkah. Dengan
kata lain gaman memiliki fungsi sebagai alat untuk memperoleh keselamatan dan
kesejahteraan. Ketiga padanan kata tersebut memiliki arti yang sejalan dengan
kata agama, yaitu kehidupan yang selamat dan sejahtera (Ajat Sudrajat, 2008:7).
Jadi berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
agama merupakan seperangkat aturan atau ketentuan hidup yang melekat dalam
diri manusia agar hidupnya teratur dan agar para penganutnya dapat menjalani
kehidupan dengan selamat.
Agama merupakan dasar seseorang dalam berperilaku religiusitas. Kata
religiusitas berasal dari bahasa Inggris religiosity yang berarti ketaatan yang
berlebihan pada agama. Salim dan Salim (dalam Relawu, 2007) mengartikan
religiusitas sebagai keshalihan atau besarnya kepatuhan dan pengabdian terhadap
agama. Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia.
Mangunwijaya (dalam Ajat Sudrajat, 2008: 11) membedakan istilah religi atau
agama dengan religiusitas. Agama menunjuk aspek formal yang berkaitan
dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban sedangkan religiusitas mengacu
pada aspek religi yang dihayati oleh individu dalam di dalam hati.
Pengertian religiusitas berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh
Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005) adalah seberapa jauh pengetahuan,
seberapa kokoh keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa
dalam penghayatan agama yang dianut seseorang. Djarir (2004:72) menyatakan
bahwa religiusitas adalah suatu kesatuan unsur yang komprehensif, yang
menjadikan individu disebut sebagai individu beragama (being religious) dan
bukan sekedar mengaku memiliki agama (having religion).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah suatu
keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorong untuk bertingkah laku,
bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Prayitno (2004: 146) menyatakan bahwa landasan religius bagi layanan
bimbingan konseling perlu ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu:
1. keyakinan bahwa manusia dan seluruh alam semesta adalah makhluk
Tuhan,

2. sikap yang mendorong perkembangan dan perikehidupan manusia berjalan


ke arah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama, dan
3. upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara
optimal suasan dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan
teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dan meneguhkan kehidupan
beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan masalah
individu.
Keyakinan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan menekankan pada
ketinggian derajat dan keindahan manusia itu serta perannya sebagai khalifah di
muka bumi. Apabila seseorang mampu memimpin dirinya sendiri, maka ia juga
mampu memimpin orang lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan
kepemimpinan seseorang akan mewujudkan kemuliaan tidak hanya bagi dirinya
sendiri akan tetapi bagi orang lain juga. Karena setiap manusia memiliki potensi
untuk menjadi seorang pemimpin, manusia perlu memiliki pedoman dan aturan
dasar untuk mengontrol segala potensi yang dimilikinya. Apabila pedoman dan
aturan dasar itu dapat berfungsi dengan baik, maka akan berkembang ketakwaan
yang penuh dan seimbang. Maksudnya, keseimbangan hubungan antara manusia
dengan Tuhan dan antara manusia dengan manusia lainnya dapat berjalan secara
selaras.
Sehubungan dengan pemberian layanan bimbingan dan konseling, koselor
hendaknya orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik keimanan dan
ketakwaannya sesuai dengan agama yang dianutnya. Hal tersebut bertujuan agar
konselor dapat memberikan stimulasi-stimulasi positif bagi klien. Konselor
sedapat-dapatnya harus mampu mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis
besar yang relevan dengan permasalahan klien. Selain itu, konselor harus
memperhatikan dan menghormati agama klien. Apabila konselor dan klien
berbeda agama, maka pemasukan unsur-unsur agama itu hendaknya seminimal
mungkin dan hanya unsur-unsur yang tidak mempertentangkan agama yang satu
dengan agama lainnya. Namun apabila koselor dan klien seagama, maka
pemanfaatan unsur-unsur agama menjadi lebih intensif sesuai dengan tahap

perkembangan konseling yang dapat dilakukan selama proses konseling


berlangsung.
Landasan religius dalam bimbingan dan konseling pada umumnya ingin
menetapkan klien sebagai makhluk Tuhan dengan segenap kemuliaan
kemanusiaannya menjadi fokus netral upaya bimbingan dan konseling.
Kemuliaan manusia banyak diungkapkan melalui ajaran agama. Namun karena
dalam masyarakat agama itu banyak macamnya, maka konselor harus berhatihati dan bijaksana menerapkan landasan religius itu terhadap klien dengan latar
belakang agama yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Ajat Sudrajat, dkk. 2008. Din Al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi Umum. Yogyakarta: UNY Press.
Daud Ali. 1996. Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial, dan Politik. Jakarta:
Departemen Agama RI.
Djarir. 2005. Erosi Moral dan Pemahaman Kembali Agama. Diaunduh pada pada
tanggal

Mei

2015.

http://www.suara_merdeka.com/harian/0406/18/

op14.htm.
Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta:
Rineka Cipta
Sidi Gazalba. 1978. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.

Anda mungkin juga menyukai