Anda di halaman 1dari 21

A.

Komitmen Afektif

1. Pengertian Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi muncul sebagai topik penting dalam studi dan

perusahaan. Para peneliti memandang komitmen organisasi sebagai tantangan

utama pada abad ke-21 (Luthans, 2006). Individu yang loyal terhadap

organisasi akan selalu bekerja dengan organisasi dan terus berusaha untuk

mencapai tujuan organisasi. Sebaliknya, individu yang tidak berkomitmen

tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi (Kemp dalam Khan dkk,

2014). Komitmen organisasi didefinisikan sebagai 1). keinginan kuat untuk

tetap sebagai anggota organisasi tertentu, 2). keinginan untuk berusaha keras

sesuai keinginan organisasi 3). keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan

tujuan organisasi (Becker dkk dalam Luthans, 2006). Mowday dkk (dalam

Luthans 2006) mengartikan komitmen organisasi sebagai sikap yang

merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan

dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi

dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan. Apabila seseorang telah

berkomitmen dengan organisasi maka individu akan menunjukkan keyakinan

dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai

oleh organisasi (Mowday dkk, 1979). Individu dengan komitmen organisasi

yang tinggi dikarakteristikkan dengan adanya penerimaan dan kepercayaan


yang tinggi dalam nilai dan tujuan organisasi, keinginan untuk berusaha sekuat

tenaga demi kepentingan organisasi, dan keinginan yang kuat untuk

mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi (Mowday dkk, 1979).

Komitmen organisasi bisa tumbuh disebabkan karena individu memiliki

ikatan emosional terhadap organisasi yang meliputi dukungan moral dan

penerimaan nilai yang ada di dalam organisasi serta tekad dalam diri untuk

mengabdi kepada organisasi (Porter dkk., 1974). Peningkatan komitmen

organisasi berhubungan positif dengan hasil organisasi yang berharga,


9
termasuk penilaian kinerja, penurunan niat untuk mencari pekerjaan baru dan

mengurangi turnover (Bergmann & Johnston dalam Boles dkk, 2007).

Komitmen organisasi bersifat multidimensi, oleh karena itu Allen dan

Meyer (dalam Luthans, 2006) membedakan bentuk komitmen organisasi yang

dibagi atas tiga komponen, yaitu :

a. Affective commitment

Merupakan hal yang berkaitan dengan keterikatan emosional atau

emotional attachment, identifikasi, dan keterlibatan individu di dalam

suatu organisasi. Individu yang memiliki komitmen afektif yang kuat

akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka memang ingin (want

to) melakukan hal tersebut.

b. Continuance commitment

Atau disebut sebagai komitmen berkelanjutan berkaitan dengan persepsi

individu tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan

organisasi. Jadi individu akan mempertimbangkan untung rugi apabila


ingin tetap bergabung dengan organisasi atau justru meninggalkan

organisasi. Hal ini mungkin karena hilangnya senioritas, promosi, atau

benefit. Individu yang bekerja berdasarkan komitmen kontinuans ini

akan bertahan dalam organisasi karena memang mereka butuh (need to)

melakukan hal tersebut karena tidak adanya pilihan lain.

c. Normative commitment

Komitmen normatif merupakan perasaan-perasaan individu tentang

kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi, karena tindakan

tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan. Hal ini berarti

individu dengan komitmen normatif yang tinggi akan merasa bahwa

mereka wajib (ought to) bertahan dalam organisasi dimana mereka

bergabung.

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa komitmen

organisasi merupakan keinginan individu untuk bertahan sebagai anggota

organisasi, menerima tujuan dan nilai-nilai yang dianut organisasi dan hal itu

diwujudkan dengan pengabdian serta loyalitas penuh sesuai tujuan dan nilai

organisasi yang diharapkan. Adanya komitmen organisasi yang baik dari

individu akan berdampak positif pada hasil baik organisasi serta berkurangnya

intensitas anggota untuk keluar dari organisasi.

2. Pengertian Komitmen Afektif

Allen & Meyer (1990) mengungkapkan bahwa setiap komponen

memiliki dasar yang berbeda. Individu yang memiliki komitmen afektif tinggi

masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi


anggota. Hal ini diperkuat oleh Vandenberghe (2004), bahwa komitmen afektif

memberikan efek kuat secara langsung terhadap niat untuk keluar dari

organisasi. Apabila komitmen afektif tinggi, maka niat untuk keluar dari

organisasi juga rendah. Individu yang memiliki dedikasi dan loyalitas terhadap

organisasi juga ditentukan oleh adanya komitmen afektif atau keterikatan

secara emosional terhadap organisasi (Rhoades dkk, 2001).

Hartmann dan Bambacas (2000) mendefinisikan bahwa komitmen afektif

mengacu kepada perasaan memiliki, merasa terikat kepada organisasi dan telah

memiliki hubungan dengan karakteristik pribadi, struktur organisasi,

pengalaman bekerja misalnya gaji, pengawasan, kejelasan peran, serta berbagai

keterampilan. Buchanan (dalam Allen dan Meyer, 1990) menjelaskan

komitmen afektif sebagai keikutsertaan suatu individu terhadap tujuan dan

nilai organisasi dengan berdasarkan pada ikatan psikologis antara individu dan

organisasi tersebut.

Mowday dkk (dalam Allen dan Meyer, 1990) memiliki definisi tersendiri

mengenai komitmen afektif, yaitu suatu hubungan yang kuat antara individu

dengan organisasi atau perusahaan yang diidentifikasikan dengan

keikutsertaannya dalam kegiatan perusahaan atau organisasi. Lebih lanjut lagi

Becker (dalam Allen dan Meyer, 1990) menggambarkan komitmen afektif

sebagai suatu kecenderungan untuk terikat dalam aktivitas organisasi secara

konsisten sebagai hasil dari akumulasi investasi yang hilang jika aktivitasnya

dihentikan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

komitmen afektif merupakan salah satu komponen dalam komitmen organisasi

yang berkaitan dengan keterikatan emosional, identifikasi, dan merasa terlibat

dalam seluruh aktivitas, tujuan, nilai suatu organisasi. Komitmen afektif

merupakan kesadaran bahwa anggota organisasi memiliki tujuan dan nilai yang

sama dan selaras dengan organisasi tempatnya bergabung. Pada tahap ini

tujuan dan nilai individu memiliki keselarasan dan kesatuan sehingga akan

mempengaruhi individu untuk berdedikasi penuh dengan loyalitasnya dan

ingin tetap bergabung dengan organisasi serta rendahnya niat untuk keluar dari

organisasi.

3. Faktor-Faktor Komitmen Afektif

Secara konseptual masing-masing dari tiga komponen komitmen

organisasi memiliki anteseden yang berbeda. Mowday dkk (dalam Allen &

Meyer, 1990) mengemukakan bahwa anteseden komitmen afektif individu

terhadap organisasi dipengaruhi oleh empat kategori, yaitu:

a. Karakteristik pribadi

Gender, usia, masa jabatan dalam organisasi, status pernikahan, tingkat

pendidikan, kebutuhan untuk berprestasi, etos kerja, dan persepsi

individu mengenai kompetensinya.

b. Karakteristik pekerjaan

c. Pengalaman kerja

Meyer dan Allen (dalam Allen dan Meyer, 1990) telah menunjukkan

bahwa penyebab terkuat dalam komitmen afektif adalah pengalaman


kerja, terutama pengalaman-pengalaman yang dapat memenuhi

kebutuhan psikologis karyawan untuk merasa nyaman dalam organisasi

serta kompeten dalam melakukan pekerjaan sesuai peranannya.

d. Karakteristik struktural

Meliputi besarnya organisasi, kehadiran serikat kerja, luasnya kontrol,

dan sentralisasi otoritas.

Dari keempat kategori diatas, Meyer & Allen (Allen & Meyer, 1990)

menunjukkan bukti terkuat terletak pada faktor pengalaman kerja, terutama

pengalaman atas kebutuhan psikologis untuk membuat individu nyaman dalam

organisasi dan kompeten dalam peran kerjanya.

Rhoades dkk (2001) mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor

munculnya komitmen afektif individu dalam organisasi yang diperkuat oleh

persepsi dukungan organisasi, antara lain penghargaan yang diberikan oleh

organisasi (reward), keadilan prosedural, dan dukungan penyelia.

Allen & Meyer (1990) memiliki penjelasan tersendiri mengenai

anteseden atau penyebab dari komitmen afektif, yaitu :

a. Tantangan pekerjaan

Merupakan pekerjaan yang dilakukan individu dalam organisasi adalah

menantang dan menarik.

b. Kejelasan peran

Merupakan kejelasan harapan dari organisasi terhadap individu.

c. Kejelasan sasaran dalam tugas


Merupakan pemahaman individu mengenai apa yang seharusnya

dilakukan individu dalam pekerjaannya.

d. Kesulitan tujuan

Merupakan persyaratan pekerjaan dari organisasi yang tidak terlalu

menuntut

e. Manajemen yang menerima

Merupakan kondisi orang-orang yang berada di manajemen puncak

organisasi menaruh perhatian terhadap ide yang diberikan oleh karyawan

lain

f. Kedekatan dengan sesama anggota

Merupakan adanya hubungan dekat dengan beberapa orang-orang dalam

organisasi

g. Ketergantungan organisasi

Merupakan rasa kepercayaan terhadap organisasi karena apa yang

dikatakan maka akan dilakukan oleh pihak organisasi

h. Keadilan atau kewajaran

Pada organisasi terdapat orang-orang mendapatkan lebih dari layak dan

ada juga yang mendapatkan jauh lebih sedikit

i. Kepentingan pribadi

Pada organisasi, individu didorong untuk merasa bahwa pekerjaan yang

dilakukan membawa kontribusi penting terhadap tujuan besar organisasi

j. Tanggapan organisasi atas kinerja


Merupakan seberapa sering organisasi memberikan umpan balik terhadap

kinerja individu

k. Pastisipasi

Merupakan kesempatan individu untuk berpartisipasi dalam memutuskan

mengenai standar beban kerja dan kinerja.

Berdasarkan pemaparan beberapa faktor komitmen afektif diatas, maka

dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor komitmen afektif secara garis besar

adalah karakteristik pribadi, karakteristik pekerjaan, karakteristik struktural,

dan pengalaman kerja. Faktor karakteristik pribadi meliputi kepentingan

pribadi dan kedekatan dengan sesama anggota. Faktor karakteristik pekerjaan

meliputi tantangan kerja, kejelasan peran, kejelasan sasaran dan tugas,

kesulitan tujuan. Faktor karakteristik struktural meliputi keadilan prosedural,

dukungan penyelia, penerimaan manajer, keadilan, ketergantungan organisasi.

Sedangkan yang terakhir adalah faktor pengalaman kerja meliputi reward,

partisipasi individu, dan feedback organisasi.

4. Aspek-Aspek Komitmen Afektif

Beberapa ahli memiliki penjelasan dan konsep tersendiri mengenai

komitmen afektif. Allen & Meyer (1990) menjelaskan ada tiga aspek yang

menggambarkan adanya komitmen afektif individu terhadap organisasi, yaitu:

a. Keterikatan emosional

Merupakan perasaan kuat individu terhadap organisasi sehingga akan

mudah melekat secara emosional terhadap organisasi. Individu akan

merasa bahwa ia adalah bagian dari keluarga organisasi tersebut yang


ditunjukan dengan afeksi positif dan rasa memiliki (sense of belonging)

yang tinggi terhadap organisasi. Karena adanya perasaan terikat terhadap

organisasi, maka individu hanya mempunyai sedikit alasan untuk keluar

dari organisasi dan tetap berkeinginan untuk melanjutkan

keanggotaannya pada organisasi.

b. Identifikasi

Merupakan keyakinan dan penerimaan individu terhadap tujuan dan

nilai-nilai organisasi. Adanya keyakinan dan penerimaan terhadap tujuan

dan nilai-nilai organisasi merupakan salah satu kunci terbentuknya

rangkaian aspek komitmen organisasi lainnya. Aspek tersebut dapat

dilihat dari beberapa sikap, yaitu: adanya kesamaan tujuan dan nilai yang

dimiliki individu dengan organisasi, adanya perasaan individu bahwa

organisasi memberikan kebijakan untuk mendukung kinerjanya, dan

adanya kebanggan telah menjadi bagian dari organisasi.

c. Partisipasi

Merupakan keinginan individu untuk terlibat secara sungguh-sungguh

dalam kepentingan organisasi. Adanya keinginan untuk sungguh-sungguh

terlibat dalam setiap aktivitas atau kegiatan organisasi tercermin dalam

penerimaan individu untuk menerima dan melaksanakan berbagai macam

tugas dan kewajiban yang dibebankan. Individu akan selalu berusaha

memberikan kinerja yang terbaik melebihi standar minimal yang

diharapkan organisasi. Selain itu, individu akan bersedia untuk


melaksanakan pekerjaan diluar tugas dan perannya apabila bantuannya

diperlukan oleh organisasi.

Menurut Gautam, Dick, & Wagner (2004) menjelaskan bahwa komitmen

afektif terdiri dari tiga komponen, yaitu:

a. Emotional attachment

Merupakan kelekatan emosional terhadap kelompok atau organisasi.

Organisasi memiliki makna tersendiri bagi individu sehingga individu

merasa telah menjadi bagian organisasi. Individu yang telah terikat

secara emosional akan tetap setia dan loyal terhadap organisasi.

b. Identification

Merupakan keyakinan dan penerimaan terhadap serangkaian nilai dan

kebijakan organisasi. Hal ini ditunjukan dengan kesamaan nilai dan

tujuan individu dengan nilai dan tujuan organisasi. Selain itu individu

merasa bangga menjadi bagian dari organisasi.

c. Involvement

Merupakan keinginan kuat individu untuk berusaha demi kepentingan

organisasi. Hal ini ditunjukan dari usaha individu untuk menerima dan

melaksanakan setiap tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya

melebihi yang diharapkan organisasi. Individu akan melakukan suatu

pekerjaan diluar tanggung jawabnya apabila dibutuhkan.

Berdasarkan pemaparan beberapa aspek-aspek komitmen afektif

organisasi di atas, yang akan digunakan sebagai landasan alat ukur komitmen
afektif dalam penelitian ini adalah aspek yang dirumuskan oleh Allen & Meyer

yang terdiri dari keterikatan emosional, identifikasi, dan partisipasi. Pemilihan

ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa aspek-aspek tersebut telah

digunakan untuk penyusunan alat ukur komitmen afektif dengan nama ACS

(Affective Commitment Scale) yang nantinya akan digunakan sebagai alat ukur

komitmen afektif pada penelitian ini.

5. Komitmen Afektif pada Korp Sukarela

Komitmen afektif merupakan prediktor kuat dari perilaku yang

menguntungkan organisasi dan tindakan sukarela yang bertahan lama dan

melebihi tugas-tugas formal (Mathieu & Zajac, 1990; Meyer dkk, 2002).

Komitmen afektif merupakan hal yang berkaitan dengan keterikatan emosional,

identifikasi, dan keterlibatan individu di dalam suatu organisasi (Allen &

Meyer, 1990). Individu yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus

bekerja dalam organisasi karena mereka memang ingin (want to) melakukan

hal tersebut, bukan merasa berkewajiban terhadap organisasi (normative) atau

takut mengalami kerugian apabila meninggalkan organisasi (continuance).

Individu dengan komitmen afektif yang kuat terhadap organisasi tercermin

dalam penerimaan nilai dan tujuan organisasi serta dedikasi dan loyalitas

kepada organisasi (Rhoades dkk, 2001).

D. Hubungan antara Optimisme dan Perilaku Prososial dengan

Komitmen Afektif

Komitmen organisasi merupakan kekuatan relatif identifikasi individu

dan keterlibatan dalam organisasi tertentu (Mowday dkk dalam Allen &
Meyer, 1990). Komitmen organisasi terdiri dari beberapa komponen salah

satunya adalah komitmen afektif. Komitmen afektif merupakan salah satu

komponen dalam komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer (1990),

komitmen jenis ini merupakan ikatan secara emosional yang melekat pada

individu untuk mengidentifikasikan dan melibatkan dirinya dalam organisasi.

Komitmen afektif bisa dikatakan sebagai hal yang penting untuk menentukan

dedikasi dan loyalitas karyawan.

Seorang individu yang memiliki kecenderungan tinggi dalam hal

komitmen afektif akan menunjukkan rasa memiliki (sense of belonging)

terhadap organisasi, meningkatnya keterlibatan dalam aktifitas organisasi,

keinginan untuk mencapai tujuan organisasi, dan keinginan untuk dapat tetap

bertahan dalam organisasi (Rhoades dkk, 2001). Karyawan yang memiliki

komitmen afektif kuat akan senantiasa setia terhadap organisasi dikarenakan

keinginan tersebut berasal dari dalam hati.

Kanter (dalam Allen & Meyer, 1990) menyebut affective attachment

dengan istilah komitmen kohesi yaitu kedekatan individu yang berdasar pada

perasaan dan emosional kepada kelompok dan oleh Buchanan (dalam Allen

dan Meyer, 1990) yang mengkonsepsikan komitmen sebagai pendukung,

kedekatan afektif kepada tujuan dan nilai-nilai organisasi, peran seseorang

yang berhubungan dengan tujuan, nilai, dan demi organisasi itu sendiri,

terpisah dari nilai instrumental.

Individu yang memiliki komitmen afektif memiliki banyak dampak

positif terhadap diri dan organisasi, salah satunya adalah mengurangi penarikan

diri dan mengurangi tingkat turnover dari organisasi. Vandenberghe dkk

(2004) telah melakukan penelitian longitudinal mengenai penyebab dan


dampak komitmen afektif terhadap organisasi, penyelia, dan kelompok kerja

yang melibatkan 316 responden yang merupakan alumni Belgian University.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa komitmen afektif terhadap organisasi

memiliki korelasi negatif yang signifikan terhadap intensi untuk berhenti dan

berpengaruh secara tidak langsung terhadap turnover. Sedangkan komitmen

afektif terhadap supervisor memiliki efek langsung negatif terhadap intensi

untuk berhenti. Temuan ini mungkin disebabkan bahwa supervisor adalah

perwakilan resmi dari organisasi untuk karyawan (Eisenberger dkk dalam

Vandenberghe, 2004) dan jika komitmen afektif karyawan yang rendah

terhadap supervisor tidak meningkat, maka akan mengakibatkan karyawan

keluar dari organisasi. Selain itu komitmen afektif terhadap supervisor

berdampak langsung pada kinerja karyawan dan komitmen afektif terhadap

organisasi berdampak tidak langsung pada kinerja. Hal ini dikarenakan

karyawan menemukan lebih banyak energi dari ikatan emosional dari atasan

dibanding dengan organisasi.

Allen & Smith (dalam Allen & Meyer, 1990) mengemukakan bahwa

terdapat hubungan positif antara komitmen afektif dengan inovasi karyawan,

pelaporan diri, dan efisiensi waktu. Meyer dkk (2002) telah melakukan studi

meta-analisis mengenai penyebab, keterkaitan, dan konsekuensi dari komitmen

organisasi, menemukan bahwa komitmen afektif memiliki korelasi yang paling

kuat dan menguntungkan terhadap organisasi yaitu kehadiran, kinerja, perilaku

kewargaan organisasi (OCB) serta menguntungkan bagi individu yaitu

berkurangnya stres, dan berkurangnya konflik pekerjaan-keluarga.

Beberapa peneliti berpendapat bahwa komitmen afektif berkorelasi

negatif dengan stres pekerjaan yang akan mempengaruhi kesehatan dan


kesejahteraan individu (Begley & Czajka dalam Meyer dkk, 2002). Individu

yang memiliki komitmen afektif tinggi akan bereaksi negatif terhadap stressor

dibanding mereka yang kurang berkomitmen afektif (Reilly dalam Meyer dkk,

2002).

Konsekuensi positif dari komitmen afektif yang dimiliki individu

terhadap organisasi tentunya menjadi keinginan besar bagi setiap organisasi

maupun perusahaan, akan tetapi membangun komitmen afektif individu bukan

suatu hal yang mudah. Menurut Allen & Meyer (1990) terdapat faktor

karakteristik individu sebagai pendorong terbentuknya komitmen afektif

terhadap organisasi. Karakteristik individu menurut Robbins & Judge (2008)

terdiri dari kemampuan, karakteristik biografis, pembelajaran, persepsi, nilai,

kepribadian dan sikap yang berhubungan kuat dengan komitmen afektif. Sikap

optimis dan prososial diduga berhubungan dengan terjadi atau tidak terjadinya

komitmen afektif individu. Sehingga, individu dengan kepribadian optimis dan

sikap prososial yang tinggi akan memiliki tingkat komitmen afektif yang tinggi

pula.

Bressler (2006) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara harapan,

optimisme, komitmen organisasi dan intensi turnover pada prajurit tentara

Amerika Serikat menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara harapan

dan optimisme dengan komitmen afektif tentara. Sebaliknya, tentara yang

merasa kurang optimis dan penuh harap terhadap organisasi berarti mereka

merasa tidak ada hubungan emosional. Hal tersebut diperkuat oleh Karrasch

(2003) yang menyatakan bahwa tentara dengan penuh harapan dan optimis

akan menunjukkan komitmen afektif yang lebih kuat terhadap organisasi

dibandingkan menunjukkan komitmen kontinuan.


Vohra & Goel (2009) melakukan penelitian mengenai hubungan lima

konstruk psikologi positif yaitu hope, optimisme, resilience, subjective well

being, dan self efficacy dengan komitmen organisasi dan kepuasan kerja. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara lima

konstruk psikologi positif (termasuk optimisme) dengan komitmen organisasi

(komitmen afektif dan komitmen normatif) dan kepuasan kerja. Hal ini

dikarenakan pada individu yang optimis akan cenderung terus berada dalam

suatu organisasi karena mereka mengidentifikasikannya pada level perasaan.

Hubungan positif ini menunjukkan bahwa optimis akan membuat individu

terus bertahan dengan harapan bahwa situasi akan membaik pada pekerjaan

yang sama dan tidak perlu mencari alternatif lain. Optimisme ini juga

memberikan kontribusi pada pengorbanan yang tinggi dalam pekerjaan

meskipun kepuasan kerja relatif lebih rendah.

Hubungan mengenai optimisme dan komitmen afektif juga diungkapkan

dalam penelitian Simons & Buitendach (2013) yang menguji hubungan

konstruk psychologycal capital (hope, optimism, resilience, self efficacy)

dengan keterikatan dan komitmen organisasi karyawan. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara hope, optimism,

resilience, self efficacy dengan affective commitment dan normative

commitment. Optimisme berhubungan positif dengan komitmen afektif

dikarenakan adanya suatu kepercayaan dan penerimaan tujuan serta nilai-nilai

organisasi. Karyawan akan bersedia untuk fokus membantu organisasi

mencapai tujuannya dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya

dalam organisasi.
Terdapat faktor lain yang diduga berhubungan dengan komitmen afektif

yaitu perilaku prososial. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui

hubungan antara perilaku prososial dengan komitmen afektif. Schad (1994)

menguji hubungan antara perilaku prososial dengan komitmen organisasi yang

didalamnya terdapat komitmen afektif dan keterlibatan jaringan komunikasi.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perilaku prososial berkorelasi

signifikan dengan komitmen organisasi. Ini berarti bahwa dorongan perilaku

membantu orang lain di tempat kerja juga dapat membantu organisasi menjadi

sukses dan mendorong komitmen terhadap organisasi.

Hubungan mengenai perilaku prososial dengan komitmen afektif juga

dilakukan oleh Grant, Dutton, & Rosso (2008). Hasil penelitian tersebut

mengungkapkan bahwa semakin tinggi identitas prososial karyawan maka

semakin tinggi tingkat komitmen afektif terhadap perusahaan. Hal ini

dikarenakan prososial akan menumbuhkan penerimaan terhadap organisasi

serta memberikan yang terbaik untuk organisasi.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa optimisme dan

perilaku prososial yang termasuk dalam faktor karakteristik individu

merupakan faktor yang penting yang mempengaruhi adanya komitmen afektif

individu terhadap organisasi. Individu yang memiliki kecenderungan untuk

prososial akan membantu orang lain atau organisasi tanpa diminta dan untuk

kepentingan orang lain maupun organisasi. Seseorang dengan sikap prososial

mendapatkan akses untuk menolong dengan bergabung pada organisasi non

profit (NGO) salah satunya adalah Palang Merah Indonesia sehingga individu
akan berkomitmen pada organisasi untuk tetap bisa menolong orang lain.

Selain itu, individu yang memiliki optimisme tinggi akan berpikir positif

terhadap kondisi dan tindakannya saat ini dan juga masa yang akan datang. Hal

ini akan membuat individu cenderung terikat secara emosional atau

berkomitmen afektif terhadap organisasi.

E. Hubungan antara Optimisme dengan Komitmen Afektif

Optimisme didefinisikan oleh First, Carver, dan Scheier (dalam Peterson

& Seligman, 2004) sebagai ekspektasi menyeluruh bahwa hal-hal baik akan

banyak terjadi di masa depan dan sedikit hal-hal buruk. Ketika seseorang

mengalami hambatan dalam mencapai tujuan maka individu memiliki

pengaturan diri untuk tetap bisa mencapai tujuan yang diinginkan. Optimisme

akan menyebabkan individu terus berusaha mencapai tujuan, sedangkan

individu yang pesimis akan menyerah.

Buchanan & Seligman, Gillham, Peteson, Maier (dalam Peterson &

Seligman, 2004) mengungkapkan bahwa seseorang yang menjelaskan

peristiwa buruk pada hal yang terbatas, dengan penyebab eksternal,

ketidakstabilan, dan spesifik merupakan deskripsi dari seseorang yang optimis,

sedangkan seseorang yang merasa bahwa peristiwa buruk memiliki penyebab

internal, stabil, dan global merupakan deskripsi dari seseorang yang pesimis.

Optimisme dikaitkan dengan karakteristik positif yang diinginkan seperti

kebahagiaan, daya tahan tubuh yang baik, prestasi dan kesehatan (Peterson

dalam Luthans, 2006). Optimisme yang dimiliki individu memiliki dampak


positif diberbagai bidang, salah satunya dalam bidang pekerjaan. Orang yang

optimis akan cenderung termotivasi untuk bekerja lebih keras, lebih puas dan

memiliki semangat yang tinggi, memiliki aspirasi yang tinggi, memiliki tujuan

yang luas, tekun dalam menghadapi tantangan dan kesulitan. Selain itu, mereka

membuat atribusi dari kegagalan dan mundur sementara, atribusi yang terjadi

bukan karena ketidakmampuan pribadi tetapi sebagai suatu kejadian unik, dan

cenderung merasa nyaman dan kuat secara fisik dan mental (Luthans, 2006).

Optimisme menjadi sangat berharga di berbagai bidang pekerjaan misalnya

penjualan, periklanan, humas, desain produk, layanan pelanggan, layanan

kesehatan dan layanan sosial (Luthans, 2006).

Selain itu, Seligman (2008) menjelaskan banyak manfaat yang akan

diperoleh bagi orang yang bersikap optimis. Bagi siswa yang bersekolah, siswa

yang optimis akan cenderung sukses dan berprestasi di kelas maupun di

lapangan bermain. Siswa yang optimis akan mengatasi hambatan belajar, tidak

mudah menyerah atas kegagalan dikelas, dan terdorong untuk mengembangkan

potensinya. Selain itu, individu atau tim yang lebih optimis dalam bidang olah

raga akan berusaha untuk mencapai kesuksesan dalam pertandingan dengan

mengejar kemenangan meskipun telah memperoleh kekalahan sebelumnya,

mampu mengatasi tekanan selama pertandingan di lapangan, dan memiliki

percepatan pergerakan untuk menang. Sikap optimis pada individu juga

berpengaruh terhadap kesehatan. Orang yang optimis apabila menderita sakit

dan berada dalam ketidakberdayaan akan bertahan dalam ketidakberdayaan

dan tidak mudah menyerah, sehingga akan memperbaiki sistem kekebalan


tubuhnya. Orang yang optimis akan berpegang pada gaya hidup sehat

(Seligman, 2008).

Optimis sangat bermanfaat bagi individu dalam berbagai aspek

kehidupan. Sikap optimis diduga berpengaruh terhadap adanya komitmen

afektif individu terhadap organisasi. Hubungan antara optimisme dan

komitmen afektif telah ditunjukan dalam beberapa penelitian. Deddy, dkk

(2014) melakukan penelitian mengenai psychological capital yang di dalamnya

terdapat dimensi optimisme, hope, self-efficacy, dan resiliensi terhadap

komitmen organisasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa masing-

masing dimensi termasuk dimensi optimisme berkorelasi signifikan terhadap

komitmen organisasi yang di dalamnya terdapat komponen komitmen afektif.

Hal ini dikarenakan individu dengan level hope, resilience, optimism yang

tinggi menunjukkan kepuasan dan komitmen yang lebih tinggi (Luthan dan

Youssef dalam Deddy dkk, 2014).

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Ahmadi dkk (2015) yang meneliti

hubungan psychologycal capital dengan komitmen organisasi karyawan. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara

optimisme, hope, resiliensi, self-efficacy dengan komitmen organisasi

(komitmen afektif, normatif dan kontinuan). Hal ini dikarenakan karyawan

yang menunjukkan psychologycal capital akan lebih berkomitmen secara

emosional terhadap organisasi, dan memiliki kesediaan membantu

meningkatkan performa organisasi, sehingga tercapai keberhasilan dan

keunggulan organisasi.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap optimis

membawa manfaat bagi individu dalam berbagai bidang kehidupan, salah

satunya dalam bidang organisasi. Adanya optimisme pada relawan diharapkan

membawa individu kepada komitmen terhadap organisasi KSR PMI secara

emosional atau afektif.

F. Hubungan antara Perilaku Prososial dengan Komitmen Afektif

Perilaku prososial didefinisikan oleh Eisenberg & Mussen (1989) sebagai

tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk menolong atau menguntungkan

orang lain atau anggota dari kelompok. Perilaku prososial diartikan sebagai

istilah untuk memberikan konsekuensi bagi orang lain, mereka melakukan hal

tersebut dengan sukarela meskipun dibawah tekanan. Meskipun perilaku

prososial memiliki konsekuensi positif bagi orang lain, ada kemungkinan

mereka melakukan hal tersebut karena berbagai alasan. Contoh alasan individu

terdorong untuk membantu seseorang adalah alasan egois (untuk mendapat

penghargaan), untuk mendapat pengakuan dari orang lain, atau karena benar-

benar simpati atau peduli mengenai orang lain. Perilaku prososial individu

kepada orang lain dapat ditunjukan dengan berbagi, kerja sama, menolong,

jujur, menyumbang, dan dermawan (Eisenberg & Mussen, 1989).

Keinginan untuk menolong atau prososial merupakan dorongan dari

dalam. Keinginan menolong tersebut diduga berhubungan dengan bagaimana

individu terkoneksi secara emosional terhadap suatu organisasi sehingga dapat

berkomitmen secara afektif. Hubungan antara perilaku prososial dan komitmen


afektif telah terbukti dalam beberapa penelitian. Shaw dkk (2003) melakukan

penelitian untuk menguji hubungan komitmen organisasi dengan performa

karyawan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa komitmen organisasi

berkorelasi dengan performansi. Selain itu, komitmen organisasi (afektif,

normatif, dan kontinuan) juga terbukti berhubungan dengan perilaku prososial

dalam organisasi. Hal ini dikarenakan apabila perilaku menolong dan perilaku

kewargaan organisasi lainnya meningkat maka akan meningkat pula komitmen

afektif.

Akhigbe dkk (2014) meneliti hubungan antara perilaku prososial dan

komitmen organisasi pegawai sektor publik. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa perilaku prososial (didalamnya terdapat basis moralitas

personal, membangun image organisasi, identifikasi psikologi) berpengaruh

terhadap komitmen afektif, normatif, dan kontinuan. Pegawai yang berperilaku

melampaui tugas peranannya akan menciptakan dampak positif dan komitmen

organisasi. Hal ini dikarenakan kesediaan membantu oleh pegawai dalam

organisasi dan melakukan lebih dari tugas yang telah dideskripsikan akan

membantu mendorong organisasi berhasil. Selain itu menolong orang lain

dalam organisasi akan mempengaruhi perasaan positif terhadap organisasi.

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku

prososial merupakan tindakan sukarela untuk menguntungkan orang lain.

Adanya perilaku prososial pada individu terutama relawan diharapkan

membawa individu kepada komitmen terhadap organisasi KSR PMI secara

emosional atau afektif.

Anda mungkin juga menyukai