Anda di halaman 1dari 24

Ini Isi Fatwa MUI tentang Keharaman BPJS

Salah satu hasil Ijtima Ulama tahun 2015 yang diselenggarkan oleh MUI di Pondok Pesantren
AtTauhidiyyah pada 7-10 juni 2015 adalah menyatakan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial
oleh BPJS hukumnya tidak sesuai dengan syariah alias haram. Berikut ini beberapa poin penting
dari isi fatwa tersebut.
A. Deskripsi Masalah
Kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga negara berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan.Dengan mempertimbangkan tingkat urgensi kesehatan termasuk
menjalankan amanah UUD 1945, maka Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah telah
melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kemudahan akses masyarakat pada fasilitas
kesehatan. Di antaranya adalah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Memperhatikan program termasuk
modus transaksional yang dilakukan oleh BPJS khususnya BPJS Kesehatan - dari perspektif
ekonomi Islam dan fiqh muamalah, dengan merujuk pada Fatwa Dewan Syariah NasionalMajelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan beberapa literatur, nampaknya bahwa secara umum
program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam,
terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak.
Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran Iuran untuk Pekerja Penerima Upah, maka
dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak
paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan. Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total
iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja. Sementara keterlambatan pembayaran Iuran untuk
Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar 2%
(dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 6 (enam)
bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak
B. Rumusan Masalah
Dari deskripsi di atas timbul beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apakah konsep dan praktik BPJS Kesehatan yang dilaksanakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan telah memenuhi prinsip syariah?
2. Jika dipandang belum telah memenuhi prinsip syariah, apa solusi yang dapat diberikan
agar BPJS Kesehatan tersebut dapat memenuhi prinsip syariah?

3. Apakah denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang
dikenakan kepada peserta akibat terlambat membayar iuran tidak bertentangan dengan
prinsip syriah?
C. Ketentuan Hukum Dan Rekomendasi
1. Penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad
antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syariah, karena mengandung unsur gharar,
maisir dan riba.
2. MUI mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan
pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syariah dan melakukan pelayanan prima.
D. Dasar Penetapan
1. Firman Allah
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan
sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orangorang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang berhutang
itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui. (QS. al-Baqarah: 275-280)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Ali Imran
[3]: 130).

"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.dan


berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orangorang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu
sabil dan hamba sahayamu.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri. (37) (Yaitu) orang-orang yang kikir, dan
menyuruh orang lain berbuat kikir, dan Menyembunyikan karunia Allah yang telah
diberikan-Nya kepada mereka. dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir
siksa yang menghinakan. (38) Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta
mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah
dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya,
Maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya. (39) Apakah kemudharatannya
bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan
sebahagian rezki yang telah diberikan Allah kepada mereka? dan adalah Allah Maha
mengetahui Keadaan mereka." (QS An Nisa:36-39)
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan
tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya);
dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Baqarah:177).

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka
taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS At Taubah:71).

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (QS Al Maidah:2).

Pada ayat di atas, ketetapan berbuat baik itu untuk kedua orang tua, kerabat, anak yatim,
orang-orang miskin, budak dan seterusnya. Kemudian perintah untuk berinfak di jalan
Allah dan peringatan dari sifat bakhil dan kikir serta penjelasan bahwa ketaatan kepada
Allah tidaklah hanya terbatas pada ibadah saja, tetapi mencakup juga seluruh manhaj

Ilahi seperti memberikan harta kepada kerabat dan anak yatim. Semua itu menegaskan
bahwa Islam itu ditujukan untuk merealisasikan jaminan yang bersifat umum yang
mencakup seluruh individu umat Islam dan masyarakat sehingga mereka hidup di bawah
naungan bendera kemuliaan Islam dalam keadaan aman, damai dan saling menolong satu
sama lain.
2. Dalil Dalam Hadist
Diantara nash yang menunjukkan jaminan sosial adalah terdapat dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda:
"Engkau melihat orang-orang yang beriman di dalam saling cinta kasih dan belas kasih
seperti satu tubuh. Apabila kepala mengeluh (pusing) maka seluruh tubuh tidak bisa
tidur dan demam".
Tidaklah sempurna iman diantara kalian sehingga ia mencintai saudaranya seperti
mencintai saudaranya sendiri.

Barangsiapa yang mempunyai kelebihan kendaraan - yakni lebih dari apa yang
diperlukannya sendiri, hendaklah bersedekah dengan kelebihannya itu kepada orang
yang tidak mempunyai kendaraan dan barangsiapa yang mempunyai kelebihan bekal
makanan, maka hendaklah bersedekah kepada orang yang tidak mempunyai bekal
makanan apa-apa.

Dari Abdullah r.a., ia berkata: Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan
(mengambil) dan memberikan riba. Rawi berkata: saya bertanya: (apakah Rasulullah
melaknat juga) orang yang menuliskan dan dua oarang yang menjadi saksinya? Ia
(Abdullah) menjawab: kami hanya menceritakan apa yang kami dengar. (HR.
Muslim).

Dari Jabir r.a., ia berkata: Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan
(mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya. Ia
berkata: Mereka berstatus hukum sama. (HR. Muslim).

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: Akan datang kepada umat
manusia suatu masa di mana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak
memakan (mengambil)-nya, ia akan terkena debunya. (HR. al-Nasai).

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: Riba adalah tujuh puluh
dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina
dengan ibunya. (HR. Ibn Majah).

Dari Abudullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: Riba mempunyai tujuh puluh tiga
pintu (cara, macam). (HR. Ibn Majah).

Dari Abdullah bin Masud: Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan
(mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikan, dan orang yang
menuliskannya. (HR. Ibn Majah).

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: Sungguh akan datang kepada
umat manusia suatu masa di mana tak ada seorang pun di antara mereka kecuali
(terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya, ia akan
terkena debunya. (HR. Ibn Majah).

3.
Pendapat
para
ulama:
a.
Ijma
ulama:
Adapun dalil Ijma adalah sesungguhnya kaum muslimin di setiap tempat dan waktu telah
bersepakat untuk saling menolong, menanggung, menjamin dan mereka bersepakat untuk
melindungi orang-orang yang lemah, menolong orang-orang yang terzhalimi, membantu
orang-orang yang teraniaya. Sikap tersebut tercermin ketika terjadi kekeringan/peceklik
pada zaman Umar bin Khattab dan terdapat dalam sejarah pada zaman Umar bin Abdul
Aziz dimana tidak ditemukan lagi orang miskin sehingga muzakki (orang yang berzakat)
kesulitan menemukan mustahiq (orang yang berhak menerima zakat).
b.
Dalil
Aqli
Adapun dalil Aqli untuk sistem jaminan sosial adalah telah diketahui bersama bahwa
masyarakat yang berpedoman pada asas tolong-menolong, individunya saling menjamin
satu sama lain, dan wilayahnya merasakan kecintaan, persaudaraan, serta itsar
(mendahulukan kepentingan orang lain), maka hal tersebut membentuk masyarakat yang
kokoh, kuat, dan tidak terpengaruh oleh goncangan-goncangan yang terjadi. Dengan
demikian, wajib bagi setiap individu umat Islam untuk memenuhi batas minimal
kebutuhan hidup seperti sandang pangan, papan, pendidikan, sarana kesehatan, dan
pengobatan.Jika hal-hal pokok ini tidak terpenuhi maka bisa saja menyebabkannya
melakukan tindakan-tindakan kriminal, bunuh diri, dan terjerumus pada perkara-perkara
yang hina dan rusak.Pada akhirnya runtuhlah bangunan sosial di masyarakat.

c. AAOIFI (Al-Maayir Al- Syariyyah) tahun 2010 No. 26 tentang Al-Tamin Al-Islamy.
d.
Fatwa
DSN-MUI
No.
21
tentang
Pedoman
Asuransi
Syariah.
e. Fatwa DSN-MUI No. 52 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Syariah dan
Reasuransi
Syariah.
f. Fatwa DSN-MUI No. 43 tentang ganti rugi (tawidh).
E. Rekomendasi
Berdasarkan kajian tersebut, direkomendasikan beberapa hal berikut adalah:
1. agar pemerintah membuat standar minimum atau taraf hidup layak dalam kerangka
Jaminan Kesehatan yang berlaku bagi setiap penduduk negeri sebagai wujud pelayanan
publik sebagai modal dasar bagi terciptanya suasana kondusif di masyarakat tanpa
melihat latar belakangnya;
2. agar pemerintah membentuk aturan, sistem, dan memformat modus operandi BPJS
Kesehatan agar sesuai dengan prinsip syariah.

file:///D:/Pictures/bpjs.htm= http://nasikhudinisme.com/2014/10/15/akuntansi-pphpasal-21/

Dalam prinsip syariah hukum-hukum muamalah (transaksi bisnis) adalah bersifat terbuka,
artinya Allah SWT dalam Al-Quran hanya memberikan aturan yang bersifat garis besarnya saja.
Selebihnya adalah terbuka bagi ulama mujtahid untuk mengembangkannya melalui
pemikirannya selama tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits. Al-Quran maupun
Hadits tidak menyebutkan secara nyata apa dan bagaimana berasuransi. Namun bukan berarti
bahwa asuransi hukumnya haram, karena ternyata dalam hukum Islam memuat substansi
perasuransian secara Islami sebagai dasar operasional asuransi syariah.
Hakikat asuransi secara syariah adalah saling bertanggung jawab, saling bekerja sama atau
bantu-membantu dan saling menanggung penderitaan satu sama lain. Oleh karena itu berasuransi
diperbolehkan secara syariah, karena prinsip-prinsip dasar syariah mengajak kepada setiap
sesuatu yang berakibat keeratan jalinan sesama manusia dan kepada sesuatu yang meringankan
bencana mereka sebagaimana firman Allah SWT. dalam Al-Quran surah al-Maidah ayat 2 yang
artinya:Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Prinsip asuransi syariah yang menekankan pada semangat kebersamaan dan tolong-menolong
(taawun). Semangat asuransi syariah menginginkan berdirinya sebuah masyarakat mandiri yang
tegak di atas asas saling membantu dan saling menopang, karena setiap muslim terhadap muslim
yang lainnya sebagaimana sebuah bangunan yang saling menguatkan sebagian kepada sebagian
yang lain. Dalam model asuransi ini tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan batil
(aklu amwalinnas bilbathil), karena apa yang telah diberikan adalah semata-mata sedekah dari
hasil harta yang dikumpulkan. Selain itu keberadaan asuransi syariah akan membawa kemajuan
dan kesejahteraan kepada perekonomian umat.
Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah berpegang pada
pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
yaitu Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah di
samping Fatwa DSN-MUI yang paling terkini yang terkait dengan akad perjanjian asuransi
syariah yaitu Fatwa No.51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada
Asuransi Syariah, Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada
Asuransi Syariah, Fatwa No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi
Syariah.
Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi
syariah yaitu:
1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/ KMK.06/2003 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan

inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan
dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau
usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi
syariah tercantum dalam Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32 mengenai
pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip
syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/ KMK.06/2003 tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan
dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan
harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip
syariah.
3. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep. 4499/ LK/2000 tentang Jenis,
Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan
Sistem Syariah.
Dalam konsep syariah (hukum) Islam terdapat suatu terminologi yang membedakan hubungan
manusia dengan Tuhan (hablum minallah) di satu sisi dan hubungan manusia dengan sesamanya
(hablum minannaas) dan lingkungan sekitarnya (hablum minal alam) di sisi lainnya [1]. Hukumhukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan seperti peribadatan misalnya adalah
bersifat limitatif artinya tidak dimungkinkan bagi manusia untuk mengembangkannya.
Sedangkan hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan lingkungan
alam di sekitarnya adalah bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam Al-Quran hanya
memberikan aturan yang bersifat garis besarnya saja. Selebihnya adalah terbuka bagi kalangan
ulama mujtahid untuk mengembangkan melalui pemikirannya. Lapangan kehidupan ekonomi
termasuk di dalamnya usaha perasuransian, digolongkan dalam hukum-hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya yang disebut dengan hukum muamalah, oleh karena itu
bersifat terbuka dalam pengembangannya.
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie (asuransi), yang dalam hukum Belanda
disebut dan verzekering yang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Inggris, asuransi disebut
insurance bermakna asuransi juga jaminan, yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa
populer dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata
pertanggungan. Bila merujuk kepada Bahasa Arab, padanan kata Asuransi adalah
(tamin).

Pengertian asuransi dalam konteks usaha perasuransian menurut syariah atau asuransi Islam
secara umum sebenarnya tidak jauh berbeda dengan asuransi konvensional. Di antara keduanya,
baik asuransi konvensional maupun asuransi syariah mempunyai persamaan yaitu perusahaan
asuransi hanya berfungsi sebagai fasilitator dan intermediasi hubungan struktural antara peserta
penyetor premi (penanggung) dengan peserta penerima pembayaran klaim (tertanggung). Secara
umum asuransi Islam atau sering diistilahkan dengan takaful dapat digambarkan sebagai asuransi
yang prinsip operasionalnya didasarkan pada syariat Islam dengan mengacu kepada Al-Quran
dan As-Sunah [2].
Dalam menerjemahkan istilah asuransi ke dalam konteks asuransi Islam terdapat beberapa
istilah, antara lain takaful (bahasa Arab), tamin (bahasa Arab) dan Islamic insurance (bahasa
Inggris). Istilah-istilah tersebut pada dasarnya tidak berbeda satu sama lain yang mengandung
makna pertanggungan atau saling menanggung. Namun dalam prakteknya istilah yang paling
populer digunakan sebagai istilah lain dari asuransi dan juga paling banyak digunakan di
beberapa negara termasuk Indonesia adalah istilah takaful. Istilah takaful ini pertama kali
digunakan oleh Dar Al Mal Al Islami, sebuah perusahaan asuransi Islam di Geneva yang berdiri
pada tahun 1983.
Istilah takaful dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar kafala-yakfulu-takafala-yatakafalutakaful yang berarti saling menanggung atau menanggung bersama. Kata takaful tidak dijumpai
dalam Al-Quran, namun demikian ada sejumlah kata yang seakar dengan kata takaful, seperti
misalnya dalam QS. Thaha (20): 40 hal adullukum ala man yakfuluhu. Yang artinya
bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya (menanggungnya)?
Apabila kita memasukkan asuransi takaful ke dalam lapangan kehidupan muamalah, maka
takaful dalam pengertian muamalah mengandung arti yaitu saling menanggung risiko di antara
sesama manusia sehingga di antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas risiko masingmasing. Dengan demikian, gagasan mengenai asuransi takaful berkaitan dengan unsur saling
menanggung risiko di antara para peserta asuransi, di mana peserta yang satu menjadi
penanggung peserta yang lainnya.
Tanggung-menanggung risiko tersebut dilakukan atas dasar kebersamaan saling tolongmenolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana yang ditujukan untuk
menanggung risiko tersebut [3]. Perusahaan asuransi takaful hanya bertindak sebagai fasilitator
dan mediator proses saling menanggung di antara para peserta asuransi. Hal inilah salah satu
yang membedakan antara asuransi takaful dengan asuransi konvensional, di mana dalam asuransi
konvensional terjadi saling menanggung antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi.
Perkembangan Asuransi Syariah

Lembaga asuransi sebagaimana dikenal sekarang ini sesungguhnya belum dikenal pada periode
awal Islam, akibatnya banyak literatur Islam menyimpulkan secara apriori bahwa asuransi tidak
dapat dipandang sebagai praktik yang halal. Walaupun secara jelas mengenai lembaga asuransi
ini tidak dikenal pada periode awal Islam, akan tetapi terdapat beberapa aktivitas dari kehidupan
pada masa Rasulullah yang mengarah pada prinsip-prinsip asuransi. Misalnya konsep tanggung
jawab bersama yang disebut dengan sistem aqilah. Sistem tersebut telah berkembang pada
masyarakat Arab sebelum lahirnya Rasulullah SAW Kemudian pada zaman Rasulullah SAW atau
pada masa periode awal Islam sistem tersebut dipraktekkan di antara kaum Muhajirin dan
Anshar. Sistem aqilah adalah sistem menghimpun para anggota keluarga besar untuk
menyumbang dalam suatu tabungan bersama yang dikenal sebagai kanz. Tabungan ini
bertujuan untuk memberikan pertolongan kepada keluarga korban yang terbunuh secara tidak
sengaja dan untuk membebaskan hamba sahaya.
Kemunculan usaha perasuransian syariah tidak dapat dilepaskan dari keberadaan usaha
perasuransian konvensional yang telah ada sejak lama. Sebelum terwujudnya usaha
perasuransian syariah, terdapat berbagai macam perusahaan asuransi konvensional yang telah
lama berkembang. Jika ditinjau dari segi hukum perikatan Islam asuransi konvensional
hukumnya haram. Hal ini dikarenakan dalam operasional asuransi konvensional mengandung
unsur gharar (ketidakpastian), maysir (spekulasi/gambling) dan riba (bunga). Pendapat ini
disepakati oleh banyak ulama terkenal dunia seperti Yusuf al-Qaradhawi, Sayyid Sabiq, Abdullah
al-Qalqili, Muhammad Bakhil al-Muthi, Abdul Wahab Khalaf, Muhammad Yusuf Musa,
Abdurrahman Isa, Mustafa Ahmad Zarqa, dan Muhammad Nejatullah Siddiqi. Namun demikian,
karena alasan kemaslahatan atau kepentingan umum sebagian dari mereka membolehkan untuk
sementara belum ada alternatif yang sesuai syariah beroperasinya asuransi konvensional [4].
Di Malaysia, pernyataan bahwa asuransi konvensional hukumnya haram diumumkan pada
tanggal 15 Juni 1972 di mana Jawatan Kuasa Fatwa Malaysia mengeluarkan keputusan bahwa
praktik asuransi jiwa di Malaysia hukumnya menurut Islam adalah haram. Selain itu Jawatan
Kuasa Kecil Malaysia dalam kertas kerjanya yang berjudul Ke Arah Insurans Secara Islami di
Malaysia menyatakan bahwa asuransi masa kini mengikuti cara pengelolaan Barat dan sebagian
operasinya tidak sesuai dengan ajaran Islam [5].
Dalam rangka pengembangan perekonomian umat jangka panjang, masyarakat muslim perlu
konsisten mengaplikasikan prinsip-prinsip perniagaan syariah berdasarkan nash-nash (teks-teks
dalil agama) yang jelas atau pendapat para pakar ekonomi Islam. Untuk itu usaha perasuransian
berlandaskan prinsip syariah merupakan lembaga ekonomi syariah yang dapat membawa umat
Islam ke arah kemakmuran patut diwujudkan dan merupakan sebuah keniscayaan.
Berdasarkan pemikiran bahwa asuransi konvensional hukumnya adalah haram, maka kemudian
dirumuskan bentuk asuransi yang terhindar dari ketiga unsur yang diharamkan Islam tersebut di
atas yaitu gharar, maisir dan riba. Berdasarkan hasil analisis terhadap hukum (syariat) Islam

dapat disimpulkan bahwa di dalam ajaran Islam termuat substansi perasuransian. Asuransi yang
termuat dalam substansi hukum Islam tersebut ternyata dapat menghindarkan prinsip operasional
asuransi dari unsur gharar, maisir dan riba.
Dengan adanya keyakinan umat Islam di dunia dan keuntungan vang diperoleh melalui konsep
asuransi syariah, lahirlah berbagai perusahaan asuransi yang menjalankan usaha perasuransian
berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan yang mewujudkan asuransi syariah ini bukan saja
perusahaan yang dimiliki orang Islam, namun juga berbagai perusahaan milik non-muslim serta
ada yang secara induk perusahaan berbasis konvensional ikut terjun usaha memberikan layanan
asuransi syariah dengan membuka kantor cabang dan divisi syariah.
Seiring dengan bergulirnya waktu dan ijtihad para pemerhati ekonomi Islam secara kontinyu,
akhirnya mereka sampai kepada sebuah konsep yang dapat disepakati bersama serta menjadi
acuan perasuransian syariah di dunia. Konsep tersebut populer dengan nama asuransi mutual,
kerja sama (taawuni), atau takmin taawuni. Konsep Asuransi Taawuni merupakan
rekomendasi fatwa Muktamar Ekonomi Islam yang bersidang kali pertama tahun 1976 M di
Mekah. Peserta hampir 200 orang dari kalangan ulama. Kemudian dikuatkan lagi dalam sidang
Majma Fiqh Islami Alami (Lembaga Fiqih Dunia) pada 21 Desember 1985 di Jeddah yang
memutuskan pengharaman Asuransi Jenis Perniagaan (Komersial). Majma Fiqih juga secara
ijma mengharuskan dioperasikannya usaha perasuransian jenis kerja sama (taawuni) sebagai
alternatif menggantikan jenis asuransi konvensional serta menyerukan umat Islam dunia
menggunakan asuransi taawuni [6]. Dalam rangka menindaklanjuti fatwa tersebut dan
kebutuhan umat terhadap asuransi berdasarkan hukum Islam, Pada dekade 70-an di beberapa
negara Islam atau di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim bermunculan asuransi
yang prinsip operasionalnya mengacu kepada nilai-nilai Islam dan terhindar dari ketiga unsur
yang diharamkan Islam. Pada tahun 1979 Faisal Islamic Bank of Sudan memprakarsai berdirinya
perusahaan asuransi syariah Islamic Insurance Co. Ltd. di Sudan dan Islamic Insurance Co. Ltd.
di Arab Saudi. Keberhasilan asuransi syariah ini kemudian diikuti oleh berdirinya Dar al-Mal alIslami di Geneva, Swiss dan Takaful Islami di Luxemburg, Takaful Islam Bahamas di Bahamas
dan al-Takaful al-Islami di Bahrain pada tahun 1983. Di Malaysia, Syarikat Takaful Sendirian
Berhad berdiri pada tahun 1984 [7]. Selanjutnya diikuti oleh negara-negara lain seperti Bahrain,
UAE, Brunei, Singapura, dan Indonesia.
Di Indonesia, Asuransi Takaful baru muncul pada tahun 1994 seiring dengan diresmikannya PT
Syarikat Takaful Indonesia yang kemudian mendirikan 2 anak perusahaan yaitu PT Asuransi
Takaful Keluarga pada tahun 1994 dan PT Asuransi Takaful Umum pada tahun 1995. Gagasan
dan pemikiran didirikannya asuransi berlandaskan syariah sebenarnya sudah muncul tiga tahun
sebelum berdirinya takaful dan makin kuat setelah diresmikannya Bank Muamalat Indonesia
pada tahun 1991. Dengan beroperasinya Bank-bank Syariah dirasakan kebutuhan akan kehadiran
jasa asuransi yang berdasarkan syariah pula. Berdasarkan pemikiran tersebut Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada tanggal 27 Juli 1993 melalui Yayasan Abdi

Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri
sepakat memprakarsai pendirian asuransi takaful [8].
Saat ini perusahaan asuransi yang benar-benar secara penuh beroperasi sebagai perusahaan
asuransi syariah ada tiga, yaitu Asuransi Takaful Keluarga, Asuransi Takaful Umum, dan
Asuransi Mubarakah. Selain itu ada beberapa perusahaan asuransi konvensional yang membuka
cabang syariah di antaranya seperti Prudential Syariah, MAA, Great Eastern, Tripakarta,
Beringin Life, Bumiputra, Dharmala, dan Jasindo.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2010/01/25/5441/perasuransian-dan-hukum-asuransidalam-islam-bagian-ke-1/#ixzz3mU0UMrRg

http://www.kompasiana.com/kijokowi/bpjs-kesehatan-itu-bukan-gratisdok_54f6a68da33311bf518b45a9
HIGHLIGHT HEADLINE

BPJS Kesehatan Itu Bukan Gratis, Dok!


18 Juli 2014 19:16:21 Dibaca :

Sepertinya citra program pemerintah itu adalah gratis dan karenanya harap janganlah terlalu
banyak menuntut karena itu pemberian dan berterimakasihlah. Inilah konsepsi yang keliru
tentang pemerintah. Seolah pemerintah itu dermawan bila menyelenggarakan program. Padahal
itu adalah tugas dan kewajibannya. Wong PNS itu digaji memang untuk bekerja pelayanan
publik. Dana program sebagian besar berasal dari pajak dan retribusi masyarakat. Sebagian dari
pendapatan yang dihasilkan oleh usaha-usaha pemerintah lain. Hutang-hutang luar negeri
pemerintah pun sama saja dengan beban rakyat Indonesia kok.

Pemerintah punya keterbatasan dana karena pajak yang dibayarkan masyarakat tidak seimbang
dengan kebutuhan anggaran program. Atau karena terlalu banyak dikorupsi? Hahahaha. Karena
itu Program BPJS Kesehatan yang digelontorkan pemerintah pun masih menarik bayaran
masyarakat.
Ini seperti masyarakat bergotong-royong mengumpulkan dana untuk membiayai orang yang
sakit. Jadi, ketika ada yang sakit dan harus berobat, itu bukanlah gratis. Masyarakat bergotongroyong membayari orang sakit. Yang sehat tetap membayar iuran setiap bulan, dan uang tersebut
hangus. Tetapi kita terjamin, bila suatu saat sakit.
***
Saya baru mengurus pembuatan kartu BPJS Kesehatan pada awal Juli 2014 ini. Ternyata masih
tetap mengantri. Loket dibuka jam 07.00. orang sudah mengantri sejak subuh. Ya, ampun.
Saya pun menitipkan antrian dan pengurusan formulir kepada seorang ibu dengan bayaran Rp
100 ribu. Jam 10.00 saya sudah bisa datang untuk mengambil kartu BPJS.
Saya menyapa seorang ibu muda yang sedang mengurus kartu bersama suami dan kedua
anaknya yang masih kecil. Ternyata mereka hanya membuat dua kartu untuk suami dan anak
sulung saja. Sedang ibu dan anak yang terkecil tidak. Kenapa tidak empat-empatnya? Tanya
saya. Waduh, terlalu berat bayarnya, Kata si ibu. Biar saja yang penting si Bapak aja
Ada tiga kelas. Kelas pertama membayar Rp 59.500 per bulan per orang. Kelas kedua Rp 49.500.
Sedangkan kelas ketiga Rp 25.000. Si ibu itu membuat kartu BPJS kelas ketiga untuk suami dan
anak sulungnya itu.
Saya juga mendengar ibu-ibu yang berkata dengan suara keras Ohhh, BPJS itu ternyata bayar.
Bukan gratis. Ibu itu kemudian pergi, batal membuat kartu BPJS.
Jadi, banyak yang mengira BPJS Kesehatan itu hanya untuk warga miskin. Gratis itu kan
biasanya untuk orang miskin atau tak mampu. Padahal BPJS Kesehatan itu untuk seluruh warga
negara Indonesia. Warga yang sudah memiliki asuransi swasta pun wajib menjadi peserta BPJS
Kesehatan. Bahkan orang asing yang menetap di Indonesia lebih dari 6 bulan wajib memiliki
kartu BPJS.
Pemilik kartu Askes dari kalangan PNS dan Jamsostek dari kalangan swasta, otomatis menjadi
anggota BPJS Kesehatan. Begitu juga pemilik kartu Jamkesmas/da yang merupakan program
kesehatan gratis untuk orang miskin otomatis menjadi anggota BPJS Kesehatan.
***

Sesudah kartu BPJS itu ada di kantong, paling tidak saya tidak terlalu merasa terancam lagi soal
pembiayaan yang mencekik leher apabila harus masuk rumah sakit. Tentunya kita tidak ingin
sakit. Tapi yang namanya sakit kan bukan kita yang sepenuhnya memilih. Buktinya demam
berdarah memilih anak-anak saya untuk terkena meski saya merasa sebagai orang yang
pembersih baik urusan sampah maupun rumah. Para tetangga pun mengatakan bahwa rumah
saya itu bersih sekali.
Tapi, apakah betul dengan kartu BPJS Kesehatan kita sudah memperoleh jaminan kesehatan?
Setiap kali saya ke rumah sakit, saya selalu ditanya di loket Umum atau BPJS? Kalau saya
menjawab BPJS, maka loket akan berbeda. Baik untuk mendaftar, membayar, bahkan mengambil
obat di apotik pun dibedakan antara umum dan BPJS.
Seorang ibu di rumah sakit mengatakan pada saya: Perbedaan perlakuan itu begini, pasien
yang diutamakan itu yang umum, baru kemudian pasien BPJS, sesudah itu pasien Askes, baru
pasien Jamkesmas.
Ibu itu tidak lengkap. Sebenarnya ada jenis pasien lain, yaitu pasien swasta (nampaknya yang
dimaksud bukan karyawan perusahaan swasta, tapi pemilik asuransi dari perusahaan swasta?).
Ada 3 jenis loket di Rumah Sakit yang biasa saya gunakan, yaitu umum, asuransi swasta, dan
BPJS. Sesungguhnya pemilik kartu Askes dan kartu Jamkesmas/da itu termasuk BPJS. Tapi
maksud si ibu, ada perbedaan perlakuan terhadap pasien umum dan asuransi swasta yang
dianggap membayar. Sedangkan pasien BPJS atau seluruh program pemerintah dianggap pasien
gratis. Di antara pasien gratis, lebih dihargai pemilik kartu BPJS. Meskipun sebenarnya pemilik
kartu Askes dan Jamkesmas/da itu sekarang menjadi BPJS juga.
Saya belum pernah menggunakan kartu BPJS saya. Tapi saya melihat bagaimana orang lain
menggunakannya di rumah sakit tempat anak saya di-opname.
Memang benar, petugas kesehatan maupun non-kesehatan, termasuk dokter, menyebutkan kata
gratis untuk menyatakan bahwa BPJS itu sebagai pelayanan kesehatan gratis yang dibayari
pemerintah. Pasien yang memiliki kartu Askes masih diperlakukan sama seperti dulu (sebelum
Askes beralih menjadi BPJS), yaitu disodori ucapan bernada peringatan Biaya yang ditanggung
BPJS itu paling hanya plafon saja, paling hanya sekitar Rp3 juta. kata petugas. Keluarga
pasien itu kelihatan sangat terpukul, setiap hari harus berbelanja alat kesehatan dan obat senilai
hampir Rp 2 juta padahal pasien stroke tersebut sudah hampir seminggu dirawat. Saya tidak
bisa membayangkan bagaimana mendapatkan uang sebanyak ini dan sampai kapan Kata
adik sang pasien yang menunggui dan membantu keperluan-keperluan itu. Hutang-hutang ke
mana lagi, dan dibayar dengan apa. Nampaknya itu yang melanda benak keluarga pasien itu.

Saya heran karena membaca buku Panduan BPJS Kesehatan disebutkan bahwa seluruh biaya
ditanggung kecuali hal-hal di luar ketentuan karena keinginan (keluarga) pasien sendiri.
Dokter pun sama seperti petugas lain mengatakan bahwa obat ini yang gratis, obat itu harus beli
sendiri. Sangat mengherankan bahwa perlakuan dokter, perawat, dan rumah sakit masih seperti
itu. Bahkan resep pun masih harus dibeli keluarga pasien sendiri. Saya melihat pasien itu
belanja ke apotik setiap hari, sehari 3-4 kali belanja. Saya pun harus belanja ke apotik dan
kresek belanjaan saya besar sekali karena saya harus membeli sampai 10 labu cairan infus.
Seorang pasien klinik gigi mengatakan bahwa sedang memasang gigi palsu dengan
menggunakan kartu BPJS. Ada 6 gigi yang diperlukan dan biayanya sekitar Rp 450 ribu. Saya
terkejut karena pemasangan gigi saya di klinik itu jauh lebih mahal, sekitar 5x lipat. Pembayaran
tunai.
Pertanyaannya: Apakah kualitas giginya sama atau berbeda ya?
***
Rupanya masih banyak masyarakat yang belum mengerti apa itu BPJS Kesehatan. Apa hak dan
kewajiban mereka.
Sebaliknya, pihak dokter, perawat, petugas non-medik, dan rumah sakit secara keseluruhan pun
menganggap BPJS Kesehatan itu sebagai pelayanan kesehatan gratis. Apakah tidak terpikir
dalam benak mereka bahwa mereka tetap dibayar dalam memberikan pelayanan kesehatannya
oleh pasien yang sumber dananya berasal dari iuran gotong-royong masyarakat se-Indonesia
karena seluruh warga wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan? Ataukah bayaran dari BPJS
Kesehatan ini memang murah ketimbang harga umum?
Bayangkan berapa dana yang terhimpun setiap bulan dan tahunnya bila sekitar 200 juta
penduduk Indonesia menjadi peserta BPJS Kesehatan. Ini tentunya di luar penduduk miskin yang
tidak membayar iuran jalur Jamkesmas/da. Apakah harga yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan
itu kepada pemberi layanan kesehatan sama seperti harga yang berlaku umum, itulah yang warga
pembayar iuran BPJS berhak tahu.
Saya rasa hak warga untuk mengetahui bagaimana dana yang terhimpun itu digunakan untuk
membayar layanan kesehatan. Sebab, perlakuan dokter, perawat, dan petugas rumah sakit kepada
pasien BPJS itu ditentukan oleh bagaimana pembayaran dilakukan. Kalau harga terlalu rendah,
bagaimana mendapat pelayanan yang sama dengan pasien umum dan asuransi swasta? Apakah
itu yang menyebabkan perlakuan yang berbeda seperti ungkapan si ibu berdasar pengalaman dan
pengamatannya di lapangan?

Dokter, pasien BPJS itu bayar bukan gratis. Saya akan mengatakan itu kepada dokter dan
perawat yang bertanya: Ini bayar ya? Ya, memang itu pertanyaan yang lumrah dari mereka
ketika saya sedang berobat. Saya percaya ini bukan pertanyaan diskriminatif, hanya sekedar
mengecek sesuai jalurnya. Semoga tidak ada perbedaan dalam pilihan dan kualitas pelayanan
bila bayar dengan gratis.
Namanya sakit, yang diperlukan bukan pelayanan kelas VIP, I, II, atau III, melainkan pelayanan
yang sesuai dengan kebutuhan agar kita kembali sehat. Di buku Panduan BPJS Kesehatan saya
membaca bahwa perbedaan kelas itu hanya untuk akomodasi (kamar dan fasilitasnya) sedangkan
dokter, obat dan alat kesehatan (alkes) tidak berbeda. Semoga saja di lapangan sesuai dengan itu.
BPJS Kesehatan ini bagaikan malaikat penolong dalam menghadapi monster sakit yang
mengancam kehidupan kita, fisik dan mental, moril maupun materiil. Tapi lain yang saya baca
dengan praktek yang saya lihat di lapangan. Nampaknya harus ada Komite Pemantauan BPJS
Kesehatan dari kalangan masyarakat. Bukan cuma Dewan Pengawas yang merupakan bagian
dari pengurus BPJS saja. Pengawasan dari masyarakat pun perlu.
Pengawasan ini ditujukan juga untuk membela pihak BPJS dan penyedia layanan kesehatan juga
bila ada 'masyarakat pasien yang terlalu banyak menuntut' seperti yang dikeluhkan seorang
dokter tentang penerapan dokter. Nadanya seperti 'sudah gratis, banyak maunya lagi....' Ini
karena masyarakat/pasien juga tidak tahu ketentuan praktis layanan apa saja yang berhak
diterimanya bila menghadapi suatu kasus berobat. Saya kira ini perlu juga jadi pengetahuan
masyarakat agar bisa memahami rambu-rambunya. Tapi, saya yakin bukanlah seperti yang
dipraktekkan di Rumah Sakit di atas bahwa "Ini resep obat dan alkes yang harus Anda bayar
sendiri karena tidak ada di daftar BPJS...." Saya baca berulang-ulang Panduan BPJS Kesehatan,
dinyatakan di situ bahwa pasien mendapatkan semua pelayanan yang dibutuhkan tanpa harus
membayar.
Sekali lagi, itu bukan gratis, dokter.... Kami membayar pelayanan itu melalui BPJS Kesehatan
secara bergotong royong setiap bulan, setiap orang, dalam keluarga.
***

http://roda2blog.com/2014/12/18/bilamana-masyarakatpeserta-bpjs-juga-memiliki-asuransi-swasta/
Bilamana Masyarakat Peserta BPJS, juga memiliki
Asuransi Swasta?
Posted on 18 Desember 2014 by Amamoto

Saat ini masyarakat sedang heboh dengan BPJS, terutama terkait dengan kewajiban semua
penduduk untuk ikut serta di dalamnya. Adapun yang memberatkan dari BPJS ini adalah
kewajiban membayar sampai mati, lalu tidak ada nilai tunai bila iuran yang kita bayar ternyata
tidak kita gunakan. :(
Adapun bagi yang sudah daftar BPJS dan juga memiliki asuransi di perusahaan swasta, bisa
mendapatkan manfaat dari keduanya bila sudah ada mou antara BPJS dan perusahaan Asuransi
yang bersangkuta, silahkan dicek berikut ini:

1. Kalau saya sudah punya asuransi swasta, apa saya tetap harus menjadi peserta BPJS
Kesehatan?
Sesuai dengan undang-undang yang berlaku, setiap warga Indonesia, termasuk warga negara
asing (WNA) yang tinggal minimal 6 bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Artinya, meski sudah memiliki asuransi swasta, seluruh masyarakat Indonesia tetap harus
terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Terkait asuransi swasta yang dimiliki masyarakat, jika suatu asuransi swasta bekerjasama dengan
BPJS Kesehatan melalui skema koordinasi manfaat atau CoB, maka peserta BPJS Kesehatan
yang memiliki asuransi swasta tersebut bisa memperoleh manfaat lebih, khususnya dalam
manfaat non medis, seperti naik kelas ruang inap, berobat keluar negeri, dan sebagainya.
2. Asuransi mana saja yang sudah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan lewat CoB?
Terdapat 30 asuransi swasta yang sudah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Berikut daftarnya:
1. PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia
2. PT Asuransi Sinar Mas
3. PT Asuransi Mitra Maparya
4. PT Asuransi Tugu Mandiri
5. PT Asuransi AXA Mandiri Financial Service

6. PT Lippo Insurance
7. PT Asuransi AXA Financial Indonesia
8. PT Avrist Assurance
9. PT Arthagraha General Insurance
10. PT Asuransi Astra Buana
11. PT Asuransi Umum Mega
12. PT Asuransi Jiwa Central Asia Raya
13. PT Asuransi Takaful Keluarga
14. PT Asuransi Bina Dana Arta
15. PT Asuransi Jiwasraya (Persero)
16. PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG
17. PT Asuransi Jiwa Generali Indonesia
18. PT Tugu Pratama Indonesia
19. PT Asuransi Multi Artha Guna
20. PT Asuransi Central Asia
21. PT AIA Financial
22. PT Asuransi Jiwa Recapital
23. PT Asuransi Allianz Life Indonesia
24. PT Astra Aviva Life
25. PT Bosowa Asuransi
26. PT Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera
27. PT Equity Life Indonesia
28. PT Great Eastern Life Indonesia
29. PT MNC Life Assurance
30. Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha

Bukan hanya persoalan BPJS yang dikaji pada Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia
tersebut, melainkan banyak persoalan strategis yang harus mendapatkan perhatian MUI, agar
umat islam terhindar dari bahaya dan keburukan. Terkait pembahasan soal fatwa haram MUI
pada BPJS Kesehatan ternyata fatwa ini tidak secara khusus keputusannya pada program BPJS,
melainkan merujuk pada keputusan keputusan fatwa yang pernah diputuskan terkait persoalan
asuransi jiwa dan kesehatan yang sistemnya serupa dengan BPJS.
Berikut poin putusannya :
c. AAOIFI (Al-Maayir Al- Syariyyah) tahun 2010 No. 26 tentang Al-Tamin AlIslamy.
d. Fatwa DSN-MUI No. 21 tentang Pedoman Asuransi Syariah.
e. Fatwa DSN-MUI No. 52 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Syariah dan
Reasuransi Syariah. f. Fatwa DSN-MUI No. 43 tentang ganti rugi (tawidh).
Jika dilihat rujukan fatwa yang digunakan MUI, ini artinya sudah seharusnya pemerintah yang
menyelenggarakan program asuransi mengikuti arahan atau fatwa agar Ummat Islam terhindar
dari bahaya dan keburukan, karena fatwa fatwa tersebut sudah lebih dulu diputuskan sebelum
adanya program BPJS.
Salah besar jika sekarang media sekuler dan sebagian masyarakat menuntut MUI yang harus
memberikan solusi. Walaupun demikian, dalam keputusan Ijtima tersebut MUI telah memberikan
rekomendasi agar pemerintah memperbaiki dan menyesuaikan aturan asuransi BPJS agar sesuai
dengan kaidah kaidah syari, sebagaimana poin berikut.
E. Rekomendasi Berdasarkan kajian tersebut,
direkomendasikan beberapa hal berikut adalah:
1. agar pemerintah membuat standar minimum atau taraf hidup layak dalam kerangka Jaminan
Kesehatan yang berlaku bagi setiap penduduk negeri sebagai wujud pelayanan publik sebagai
modal dasar bagi terciptanya suasana kondusif di masyarakat tanpa melihat latar belakangnya;
2. agar pemerintah membentuk aturan, sistem, dan memformat modus operandi BPJS Kesehatan
agar sesuai dengan prinsip syariah.

http://www.arrahmah.com/kontribusi/sebelum-salahkan-mui-baca-ini-dulu-tidak-adafatwa-haram-bpjs.html

penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait


dengan akad di antara para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syariah karena
mengandung unsur gharar, maisir, dan riba."
http://industri.bisnis.com/read/20150730/12/457618/fatwa-mui-tentang-bpjs-halalharam-dibahas-di-muktamar-nu

Dalam agama Islam ketiga unsur itu merupakan hal yang dilarang dan tertuang
dalam kitab suci Al-Quran.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 9 Juni 2015 mengeluarkan fatwa bahwa program Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak sesuai syariah Islam. Putusan itu
ditetapkan di Pesantren at-Tauhidiyah dalam Sidang Pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa seIndonesia V. Demikian kontributor Arrahmah melaporkan pada Rabu (29/7/2015).
Dalam poin Ketentuan Hukum dan Rekomendasi, sidang memutuskan, penyelenggaraan
jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antarpara pihak, tidak
sesuai dengan prinsip syariah. Karena mengandung unsur gharar, maisir, dan riba.
Lebih rinci, dalam Apa Kabar Indonesia Malam di TV One Rabu (29/7), Komisi Pengkajian
dan Penelitian MUI, Cholil Nafis mengatakan, Yang dilihat oleh MUI itu bukan penjelasannya
tapi akad di BPJS di situ adalah jual beli jaminan, anda bayar saya akan jamin kesehatan Anda,
uang milik saya (Lembaga BPJS, red.) itu yang haram.
Di dalam asuransi syariah ketika kita bayar filosofinya kita bersama-sama menanggung barengbareng, jadi pihak BPJS tidak memiliki dana itu hanya sebagai wakil mengelola dana
- See more at: http://www.arrahmah.com/news/2015/07/30/mui-bpjs-kesehatan-haram-karenaakadnya.html#sthash.eIkI578S.dpuf
http://www.arrahmah.com/news/2015/07/30/mui-bpjs-kesehatan-haram-karenaakadnya.html

www.jurnalasia.com/2015/07/30/mui-fatwa-haram-bpjs-karena-bunga/

MUI Fatwa Haram BPJS Karena Bunga


Kamis, 30 Juli 2015 | 10:07:02
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memutuskan bahwa penyelenggaraan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak sesuai syariat (hukum Islam),
menimbulkan polemik. Namun MUI sebagai lembaga swadaya masyarakat yang mewadahi
ulama, zuama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan
mengayomi kaum muslimin di seluruh Tanah Air itu, tentu tidak serta-merta mengeluarkan fatwa
tersebut. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan masih akan menyelidiki lebih lanjut soal fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan penyelenggaraan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tak sesuai dengan prinsip syariah. Jusuf Kalla mengaku belum
membaca secara keseluruhan soal fatwa tersebut.
Saya memang belum baca, tapi yang dimaksud halal itu jelas, agama Islam itu sederhana.
Selama tidak haram ya halal, kata Kalla, di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas), Rabu (29/7).
Pertanyaannya apanya yang haram. Itu masih kami kaji.Diketahui bahwa fatwa atau keputusan
MUI itu dikeluarkan melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V yang diselenggarakan
di Pondok Pesantren at-Tauhidiyah, Cikura, Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 19-22 Syaban
1436 H, alias 7-10 Juni 2015.
Fatwa terkait BPJS Kesehatan ini tercantum di keputusan Komisi B 2, terkait masalah fikih
kontemporer, tentang panduan jaminan kesehatan nasional dan BPJS Kesehatan. Dalam
keputusan itu dideskripsikan bahwa MUI memperhatikan program termasuk modus transaksional
yang dilakukan oleh BPJS, khususnya BPJS Kesehatan, dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh
muamalah. Dengan merujuk pada fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia

(DSN-MUI) dan beberapa literatur, tampaknya bahwa secara umum program BPJS Kesehatan
belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam.
Terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak. Dalam hal terjadi
keterlambatan pembayaran iuran untuk pekerja penerima upah, maka dikenakan denda
administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak
untuk waktu 3 (tiga) bulan.
Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh pemberi kerja.
Sementara keterlambatan pembayaran iuran untuk peserta bukan penerima upah dan bukan
pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang
tertunggak paling banyak untuk waktu 6 (enam) bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total
iuran yang tertunggak.
Dari deskripsi tersebut, MUI kemudian merumuskan beberapa masalah yakni: apakah konsep
dan praktik BPJS Kesehatan yang dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
telah memenuhi prinsip syariah? Jika dipandang belum telah memenuhi prinsip syariah, apa
solusi yang dapat diberikan agar BPJS Kesehatan tersebut dapat memenuhi prinsip syariah?
Apakah denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang dikenakan
kepada peserta akibat terlambat membayar iuran tidak bertentangan dengan prinsip syariah?
UI kemudian mencatat ketentuan hukum dan rekomendasi. Pertama, penyelenggaraan jaminan
sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai
dengan prinsip syariah, karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba.
Kedua, MUI mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan
pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syariah dan melakukan pelayanan prima.
Sebentar! Tak cukup sampai di situ, MUI juga punya dasar menetapkan hal yang bagi sebagian
atau bahkan banyak pihak dianggap menghebohkan ini.
Dari Ketua Bidang Fatwa MUI, KH Maruf Amin saat dihubungi , Selasa (28/7) malam sudah
membenarkan adanya fatwa tersebut. Ya BPJS (Kesehatan) yang ada sekarang itu belum ada
yang syariah, masih konvensional semua. Jadi memang harus ada BPJS yang diloloskan secara
syariah, kata Maruf.
MUI, kata Maruf mendorong agar pemerintah segera merubah sistem BPJS Kesehatan syariah.
Bahkan dia menggolongkan kondisi BPJS Kesehatan dalam kondisi darurat. Ya betul. Sesegera
mungkin (bentuk yang syariah). Ya itulah, itu yang jadi darurat, karena wajib BPJS tapi
sistemnya belum ada yang syariah, tuturnya. (tc/jp)
-Secara Prinsip Kami Sudah Syariah
Kepala Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Irfan Humaidi

mengatakan lembaganya telah menjalankan prinsip syariah dalam pelaksanaan program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Pernyataan itu dilontarkan setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan pernyataan bahwa program pemerintah yang kini digulirkan BPJS Kesehatan tidak
memenuhi prinsip syariah.
Kalau secara esensi, BPJS Kesehatan sudah sesuai prinsip syariah, salah satunya adalah gotong
royong. Prinsip asuransi takaful telah kami terapkan, seperti tolong-menolong, kata Irfan, Rabu
(29/7).
Irfan menjelaskan selama ini iuran yang diterima BPJS Kesehatan sebagian besar telah
dikucurkan untuk kepentingan peserta. Itu sudah sesuai prinsip syariah meskipun kami tidak
menyertakan label syariah, tuturnya.
Pernyataan itu sekaligus membantah bahwa BPJS Kesehatan telah dinyatakan haram oleh MUI.
Apalagi BPJS Kesehatan hingga kini belum mendapatkan pernyataan haram tersebut secara
resmi dari MUI.
Yang kami dapatkan dari MUI adalah sejumlah rekomendasi, bukan fatwa haram. Rekomendasi
dari komisi fatwa MUI yaitu agar pemerintah dapat menerapkan jaminan kesehatan berdasarkan
prinsip syariah, katanya.
Karenanya Irfan mempertanyakan kabar yang mengatakan BPJS Kesehatan dinilai haram oleh
MUI. Dia bahkan mengapresiasi MUI yang telah memberi perhatian atas keberadaan
lembaganya. Setahu saya belum muncul kata-kata bahwa BPJS Kesehatan haram. Namun ini
sedang dikofirmasi oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional, tutur Irfan.
Menurut Irfan, BPJS Kesehatan hanya operator dan bukan regulator. Sehingga tidak menutup
kemungkinan jika memang anggaran BPJS Kesehatan di masa mendatang disimpan di instusi
syariah. Yang penting prinsipnya syariah, bukan labelnya, katanya. (cnn/ant/jp)

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150729142541-78-68859/bpjs-tidakislami-dsn-usul-produk-asuransi-kesehatan-syariah/
Perbedaan Mendasar
Adiwarman mengatakan ada dua perbedaaan paling mendasar antara produk
asuransi konvensional dan syariah, terutama untuk produk perlindungan atau
proteksi.

Pertama, produk asuransi syariah lazimnya menggunakan akad tabaru atau hibah,
di mana iuran yang disetorkan nasabah harus terkumpul dalam rekening khusus
yang kepemilikannya dimiliki oleh seluruh peserta secara bersama-sama (pool of
tabaru).
"Jadi bukan milik BPJS. Semua perserta berkontribusi, jadi etiap uang yang masuk
dan keluar harus jelas milik siapa," jelas Adiwarman.
Perbedaan kedua, lanjut Adiwarman, uang yang terkumpul dalam rekening khusus
tersebut hanya boleh diinvestasikan pada instrumen-instrumen syariah. Dalam
konteks investasi dana kelola JKSN syariah, Adiwarman menekankan akad syariah
yang digunakan bisa bermacam-macam, bisa murabahah atau mudharabah.
Akad murabahah adalah konsep transaksi keuangan, di mana Investor menyediakan
barang tertentu dan melakukan kontrak penjualan kembali ke klien dengan
perjanjian margin yang disepakati.
Sementara mudharabah dapat diartikan sebagai profit sharing, di mana pihak
penyedia modal dan pihak pengelola membagi keuntungan berdasarkan
kesepakatan dimuka. (ags/gen)

http://fh.unram.ac.id/wp-content/uploads/2015/04/Bq-Pupus-Sandra-TimurD1A011059-KAJIAN-TERHADAP-SISTEM-ASURANSI-KESEHATAN-KOMERSAIAL-DANBADAN-PENYELENGARAAN-JAMINAN-SOSIAL-BPJS-KESEHATAN.pdf =========
pupus sandra

Anda mungkin juga menyukai