Anda di halaman 1dari 5

TUGAS

Kebijakan program komplementer di indonesia

NAMA : EFIT MUJIANTO

NIM : 1033191009

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN MH THAMRIN JAKARTA

2019
KEBIJAKAN TERAPI HOLISTIK

Menurut Frisch (2003), untuk mengimplementasi keperawatan holistik diperlukan standar


praktik sebagai berikut: (1) mengetahui kapasitas individu dalam proses penyembuahan sendiri
dan pentingnya mendukung pengembangan secara alami tiap individu; (2) mendukung, berbagi
keahlian dan kompetensi dalam praktik keperawatan holistik yang diginakan di beberapa tatanan
klinik dan masyarakat yang beraneka ragam; (3) berpartisipasi dalam perawatan berpusat pada
individu dengan menjadi partner, pelatih, dan mentor dengan secara aktif mendengarkan dan
mendukung dalam mencapain tujuan individu; (4) berfokus pada strategi untuk menciptakan
kesatuan secara harmonis dan penyembuhan pada profesi keperawatan; (5) berkomunikasi
dengan praktisi kesehatan tradisonal tentang rujukan yang sesuai ke praktisi holistik jika
dibutuhkan; (6) berinteraksi dengan organisasi profesi dalam mengembangkan kepemimpinan
terkait dengan pengetahuan dan praktik keperawatan holistik dan kesadaran terkait dengan isu
yang berkembang tentang kesehatan holistik baik pada tingkat lokal, regional, maupun nasional

Praktik holistik dalam keperawatan diatur dalam UU No 38 tahun 2014 pasal 30 ayat (1) poin (a)
yang berbunyi “Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang
upaya kesehatan perorangan, Perawat berwenang melakukan pengkajian Keperawatan secara
holistik.” Hal ini juga disebutkan dalam pasal 31 ayat (1) poin (a) yang berbunyi “Dalam
menjalankan tugas sebagai penyuluh dan konselor bagi Klien, Perawat berwenang melakukan
pengkajian Keperawatan secara holistik di tingkat individu dan keluarga serta di tingkat
kelompok masyarakat.”

KEBIJAKAN TERAPI KOMPLEMENTER

Sedangkan praktik terapi komplementer dijelaskan dalam Undang-Undang Keperawatan No. 38


tahun 2014 tentang Praktik Keperawatan pasal 30 ayat (2) poin (m) yang berbunyi “dalam
menjalankan tugas sebagai pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya kesehatan masyarakat,
perawat berwenang melakukan penatalaksanaan keperawatan kompelementer dan alternatif”.
Dalam penjelasannya pasal 30 ayat (2) huruf m tersebut adalah melakukan pnatalaksanaan
keperawatan komplementer dan alternatif merupakan bagian dari penyelenggaraan praktik
keperawatan dengan memasukan/mengintegrasikan terapi komplementer dan alternatif dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan.

Sementara itu, dalam Undang-Undang kesehatan No. 36 tahun 2009 menegaskan tetang
penggunaan terapi komplementer dan aternatif pasal 1 ayat (16) pelayanan kesehatan tradisional
adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman
dan keterampilan turun temurun secara empiris yan gdapat dipertanggung jawabkan dan
diterapkan sesuai dengan normal yang berlaku di masyarakat, selanjutnya, pada pasl 28 ayat (1)
huruf e disebutkan bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal
47 dilaksanakan melalui kegiatan pelayanan kesehatan tradisional. Pada undang-undang ini juga
menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan tradisional dibagi menjadi dua yakni menggunakan
keterampilan dan menggunakan ramuan. dan juga masyarakat diberi kesempatan yang seluas-
luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan
tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamananya.

PERAN PERAWAT

Peran perawat yang dapat dilakukan dari pengetahuan tentang terapi komplementer diantaranya
sebagai konselor, pendidik kesehatan, peneliti, pemberi pelayanan langsung, koordinatordan
sebagai advokat. Sebagai konselor perawat dapat menjadi tempat bertanya, konsultasi, dan
diskusi apabila klien membutuhkan informasi ataupun sebelum mengambil keputusan. Sebagai
pendidik kesehatan, perawat dapat menjadi pendidik bagi perawat di sekolah tinggi keperawatan
seperti yang berkembang di Australia dengan lebih dahulu mengembangkan kurikulum
pendidikan (Crips & Taylor, 2001). Peran perawat sebagai peneliti di antaranya dengan
melakukan berbagai penelitian yang dikembangkan dari hasil evidence-based practice.

Perawat dapat berperan sebagai pemberi pelayanan langsung misalnya dalam praktik pelayanan
kesehatan yang melakukan integrasi terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002). Perawat
lebih banyak berinteraksi dengan klien sehingga peran koordinator dalam terapi komplementer
juga sangat penting. Perawat dapat mendiskusikan terapi komplementer dengan dokter yang
merawat dan unit manajer terkait. Sedangkan sebagai advokat perawat berperan untuk memenuhi
permintaan kebutuhan perawatan komplementer yang mungkin diberikan termasuk perawatan
alternatif (Smith et al.,2004).
HAMBATAN

Faktor penghambat dan pendukung implementasi kebijakan pengobatan komplementer alternatif


terkait perijinan tenaga kesehatan diantaranya: hambatan pelaksanaan Permenkes no 1109 tahun
2007 menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, kendalanya adalah belum adanya standar
minimal yang ditetapkan sebagai acuan. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Bali, pada
persyaratan yaitu dokumen yang belum bisa atau sulit dipenuhi dari pihak pemohon seperti
dokumen pendidikan terstruktur yang berkaitan dengan pengobatan komplementer alternatif atau
pelatihan yang terkait dengan pengobatan komplementer alternatif selama tiga bulan. Sedangkan
menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah kendalanya ada pada kompetensi profesi,
organisasi profesi di bidang pengobatan komplementer alternatif yang resmi atau diakui masih
belum jelas, standar kompetensi belum ada dan organisasi profesi belum siap. Sedangkan di
Dinas Kesehatan kabupaten/kota, perijinan tenaga kesehatan yang praktek komplementer
alternatif akan dikeluarkan ijinnya bila memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan Permenkes,
selama ini terkendala pada SBR TPKA yang tidak dapat dikeluarkan Dinas Kesehatan Provinsi.

Dalam Permenkes no 1109 tahun 2007 juga tidak dijelaskan definisi dari masing-masing ruang
lingkup pengobatan komplementer alternatif, terlebih lagi adanya ruang lingkup cara lain dalam
diagnosa dan pengobatan (Unclassified Diagnostic and Treatment Methods) menambah
ketidakjelasan demarkasi antara pengobatan tradisional dan pengobatan komplementer alternatif.
Oleh karena itu dibutuhkan kejelasan ruang lingkup pengobatan komplementer alternatif,
sehingga tidak ada lagi kesalahan dalam perijinan di daerah. Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 1076 tahun 2003 tentang penyelenggaraan pengobatan tradisional mengatur perijinan
pengobatan tradisional di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pasal 4 Kepmenkes no 1076 tahun
2003 menyatakan bahwa semua pengobat tradisional wajib mendaftarkan diri kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota setempat untuk memperoleh Surat Terdaftar Pengobat
Tradisional (STPT). Sementara pasal 9 menyebutkan pengobat tradisional yang metodenya telah
memenuhi persyaratan penapisan, pengkajian, penelitian dan pengujian serta terbukti aman dan
bermanfaat bagi kesehatan dapat diberikan Surat Izin Pengobat Tradisional (SIPT) oleh Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat (Kemenkes RI, 2003). Adanya Permenkes no 1109
tahun 2007 mengenai pengobatan komplementer alternatif membuat beberapa petugas yang
melakukan proses perijinan menjadi kesulitan apakah diberikan SIPT seperti yang sudah diatur
dalam Kepmenkes no 1076 tahun 2003 atau diberikan SITPKA dan harus mengurus SBR TPKA
ke Dinas Kesehatan Provinsi. Hal ini berkaitan dengan kejelasan ruang lingkup pengobatan
komplementer alternatif. Selain adanya kesulitan dan masalah perijinan, ruang lingkup ini juga
membuat kesulitan dalam hal persyaratan rekomendasi organisasi profesi. Perlu ada kejelasan
organisasi profesi yang menaungi ruang lingkup pengobatan komplementer alternatif seperti
yang tertera dalam Permenkes no 1109 tahun 2007, sehingga perijinan SBR-TPKA bisa diproses
di Dinas Kesehatan Provinsi.

SUMBER:

Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2014.


PP Nomor 103 tahun 2014. Jakarta: Kemenko PMK RI.

Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2014.


UU Nomor 28 tahun 2014. Jakarta: Kemenko PMK RI.

Widyatuti. 2008. Terapi Komplementer Dalam Keperawatan. Jurnal Keperawatan Indonesia.


Volume 12, No. 1, Maret 2008; hal 53-57.

Erry, Susyanty, A.l, dkk. 2014. Kajian Implementasi Kebijakan Pengobatan Komplementer
Alternatif dan Dampaknya terhadap Perijinan Tenaga Kesehatan Praktek Pengobatan
Komplementer Alternatif Akupuntur. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli
2014: 275–284.

Mundakir, Wulandari, Y., Mukarromah, N. 2016. Pendekatan Model Asuhan Keperawatan


Holistik Sebagai Upaya Peningkatan Kepuasan Dan Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit.
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 1(2) 2016.

Anda mungkin juga menyukai