NIM : 1033191009
2019
KEBIJAKAN TERAPI HOLISTIK
Praktik holistik dalam keperawatan diatur dalam UU No 38 tahun 2014 pasal 30 ayat (1) poin (a)
yang berbunyi “Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang
upaya kesehatan perorangan, Perawat berwenang melakukan pengkajian Keperawatan secara
holistik.” Hal ini juga disebutkan dalam pasal 31 ayat (1) poin (a) yang berbunyi “Dalam
menjalankan tugas sebagai penyuluh dan konselor bagi Klien, Perawat berwenang melakukan
pengkajian Keperawatan secara holistik di tingkat individu dan keluarga serta di tingkat
kelompok masyarakat.”
Sementara itu, dalam Undang-Undang kesehatan No. 36 tahun 2009 menegaskan tetang
penggunaan terapi komplementer dan aternatif pasal 1 ayat (16) pelayanan kesehatan tradisional
adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman
dan keterampilan turun temurun secara empiris yan gdapat dipertanggung jawabkan dan
diterapkan sesuai dengan normal yang berlaku di masyarakat, selanjutnya, pada pasl 28 ayat (1)
huruf e disebutkan bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal
47 dilaksanakan melalui kegiatan pelayanan kesehatan tradisional. Pada undang-undang ini juga
menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan tradisional dibagi menjadi dua yakni menggunakan
keterampilan dan menggunakan ramuan. dan juga masyarakat diberi kesempatan yang seluas-
luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan
tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamananya.
PERAN PERAWAT
Peran perawat yang dapat dilakukan dari pengetahuan tentang terapi komplementer diantaranya
sebagai konselor, pendidik kesehatan, peneliti, pemberi pelayanan langsung, koordinatordan
sebagai advokat. Sebagai konselor perawat dapat menjadi tempat bertanya, konsultasi, dan
diskusi apabila klien membutuhkan informasi ataupun sebelum mengambil keputusan. Sebagai
pendidik kesehatan, perawat dapat menjadi pendidik bagi perawat di sekolah tinggi keperawatan
seperti yang berkembang di Australia dengan lebih dahulu mengembangkan kurikulum
pendidikan (Crips & Taylor, 2001). Peran perawat sebagai peneliti di antaranya dengan
melakukan berbagai penelitian yang dikembangkan dari hasil evidence-based practice.
Perawat dapat berperan sebagai pemberi pelayanan langsung misalnya dalam praktik pelayanan
kesehatan yang melakukan integrasi terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002). Perawat
lebih banyak berinteraksi dengan klien sehingga peran koordinator dalam terapi komplementer
juga sangat penting. Perawat dapat mendiskusikan terapi komplementer dengan dokter yang
merawat dan unit manajer terkait. Sedangkan sebagai advokat perawat berperan untuk memenuhi
permintaan kebutuhan perawatan komplementer yang mungkin diberikan termasuk perawatan
alternatif (Smith et al.,2004).
HAMBATAN
Dalam Permenkes no 1109 tahun 2007 juga tidak dijelaskan definisi dari masing-masing ruang
lingkup pengobatan komplementer alternatif, terlebih lagi adanya ruang lingkup cara lain dalam
diagnosa dan pengobatan (Unclassified Diagnostic and Treatment Methods) menambah
ketidakjelasan demarkasi antara pengobatan tradisional dan pengobatan komplementer alternatif.
Oleh karena itu dibutuhkan kejelasan ruang lingkup pengobatan komplementer alternatif,
sehingga tidak ada lagi kesalahan dalam perijinan di daerah. Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 1076 tahun 2003 tentang penyelenggaraan pengobatan tradisional mengatur perijinan
pengobatan tradisional di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pasal 4 Kepmenkes no 1076 tahun
2003 menyatakan bahwa semua pengobat tradisional wajib mendaftarkan diri kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota setempat untuk memperoleh Surat Terdaftar Pengobat
Tradisional (STPT). Sementara pasal 9 menyebutkan pengobat tradisional yang metodenya telah
memenuhi persyaratan penapisan, pengkajian, penelitian dan pengujian serta terbukti aman dan
bermanfaat bagi kesehatan dapat diberikan Surat Izin Pengobat Tradisional (SIPT) oleh Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat (Kemenkes RI, 2003). Adanya Permenkes no 1109
tahun 2007 mengenai pengobatan komplementer alternatif membuat beberapa petugas yang
melakukan proses perijinan menjadi kesulitan apakah diberikan SIPT seperti yang sudah diatur
dalam Kepmenkes no 1076 tahun 2003 atau diberikan SITPKA dan harus mengurus SBR TPKA
ke Dinas Kesehatan Provinsi. Hal ini berkaitan dengan kejelasan ruang lingkup pengobatan
komplementer alternatif. Selain adanya kesulitan dan masalah perijinan, ruang lingkup ini juga
membuat kesulitan dalam hal persyaratan rekomendasi organisasi profesi. Perlu ada kejelasan
organisasi profesi yang menaungi ruang lingkup pengobatan komplementer alternatif seperti
yang tertera dalam Permenkes no 1109 tahun 2007, sehingga perijinan SBR-TPKA bisa diproses
di Dinas Kesehatan Provinsi.
SUMBER:
Erry, Susyanty, A.l, dkk. 2014. Kajian Implementasi Kebijakan Pengobatan Komplementer
Alternatif dan Dampaknya terhadap Perijinan Tenaga Kesehatan Praktek Pengobatan
Komplementer Alternatif Akupuntur. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli
2014: 275–284.