Anda di halaman 1dari 99

HADIS AL-WAHN DAN RELEVANSINYA DENGAN

KONTEKS KEKINIAN

Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh :

AMINAH BINTI SHAFIE


NIM: 109034000109

JURUSAN TAFSIR HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H./2010 M.
HADIS AL-WAHN DAN RELEVANSINYA DENGAN
KONTEKS KEKINIAN

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

AMINAH BINTI SHAFIE


NIM: 109034000109

Di Bawah Bimbingan:

DR. ATIYATUL ULYA, MA


NIP. 19700112 199603 2 001

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H./2010 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “HADIS AL-WAHN DAN RELEVANSINYA


DENGAN KONTEKS KEKINIAN” telah diujikan dalam sidang Munaqasyah
Fakultas Ushuluddin “UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” pada tanggal 6 Agustus
2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana Program Strata Satu (S1) Pada Jurusan Tafsir Hadis.

Jakarta, 6 Agustus 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si Rifqi Muhammad Fathi, MA


NIP. 19651129 199403 1 002 NIP. 19770120 200312 1 003

Anggota

Rifqi Muhammad Fathi, MA Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si


NIP. 19770120 200312 1 003 NIP. 19651129 199403 1 002

Dr. Atiyatul Ulya, MA


NIP. 19700112 199603 2 001
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur dirafa’kan ke hadrat Allah; Tuhan sekalian alam;

yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang; dan yang sentiasa melimpahkan

rahmat dan kurniaan. Selawat dan salam tercurahkan ke haribaan junjungan

mulia, manusia teladan, insan pilihan, rasul termulia yakni Nabi Muhammad

SAW, ahli keluarganya, para sahabat dan tabien serta al-sabiqun dan al-awwalun

yang istiqamah dalam memperjuangkan sunnah dan ajarannya.

Kesyukuran yang tidak terungkapkan kata kepada Rabbul ‘Adzim karena

pertamanya memberi peluang kepada penulis memijak tanah bumi Negara

serumpun ini sebagai seorang mahasiswa internasional. Yang mencetus ide untuk

memahami budaya cultural Indonesia, mengutip seberapa banyak manfaat, ilmu

pengetahuan, ‘ibrah dan teladan, serta mengimarah antara pusat pengajian Islam.

Dan kedua diberi semangat kebertanggungjawaban untuk meyelesaikan tugas

menyusun skripsi yang berjudul ‘Hadis al-Wahn dan Relevansinya dengan

Konteks Kekinian’.

Sesungguhnya dengan keterbatasan upaya, materi dan pengetahuan

ilmiah, penulis menyedari bahwa tidak mungkin penulisan skripsi ini selesai

tanpa dorongan motivasi, saran dan kritik dari semua pihak. Jadi pada

kesempatan ini, penulis ingin menghulurkan ucapan terima kepada:

1. Bpk. Prof. DR. Zainon Kamaluddin Fakih, MA., selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat.

2. Dr. Bustamin, M.Si, Ketua Jurusan Tafsir Hadis, dan Bpk Rifqi

Muhammad Fathi, MA, Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.


3. Dr. Atiyatul Ulya, M.A, Dosen Pembimbing Skripsi, yang banyak

menunjuk ajar dan memperuntukkan waktu.

4. Seluruh tenaga pengajar program studi Tafsir Hadis (TH), Seluruh staf

dan karyawan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Utama dan

Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Akademik Pusat, dan Rektorat UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Seluruh ahli keluarga di Malaysia, Ibunda tercinta, Mandak Abdullah,

Saudara-saudaraku k.Tie, Aisyah dan Ibrahim.

6. Teman-teman seperjuangan di UIN. Teman sekuliah Sya, Su, Saifuddin

dan Hadi. Teman-teman Indonesia Atik, Nita dan selainnya. Juga tidak

dilupakan teman-teman dari Malaysia angkatan 2009/2010.

Semoga usaha kecil penyusunan skripsi ini sebagai satu amal yang ikhlas,

yang membuahkan ganjaran di sisi Allah, yang menghasilkan karya ilmiah yang

bermanfaat, dan menambah ilmu dan kesadaran kepada penulis khususnya.

Akhirnya, segala kesempurnaan itu adalah mutlak milik sang Pencipta dan

kekurangan-kekurangan itu tentunya dari yang tercipta; makhluk yang rentan

kesalahan dan kekhilafan. Wassalam

Jakarta, 15 Juli 2010


3 Sya’ban 1431

Penulis

ii 
PEDOMAN TRANSLITERASI

a. Padanan Aksara
Huruf Huruf
Keterangan
Arab Latin
‫ا‬ tidak dilambangkan
‫ب‬ B be
‫ت‬ T te
‫ث‬ Ts te dan es
‫ج‬ J je
‫ح‬ H ha dengan garis di bawah
‫خ‬ Kh ka dan ha
‫د‬ D de
‫ذ‬ Dz de dan zet
‫ر‬ R er
‫ز‬ Z zet
‫س‬ S es
‫ش‬ Sy es dan ye
‫ص‬ S es dengan garis di bawah
‫ض‬ D de dengan garis di bawah
‫ط‬ Th te dan ha
‫ظ‬ Z zet dengan garis di bawah
‫ع‬ ‘ koma terbalik diatas hadap kanan
‫غ‬ Gh ge dan ha
‫ف‬ F ef
‫ق‬ Q ki
‫ك‬ K ka
‫ل‬ L el
‫م‬ M em
‫ن‬ N en
‫و‬ W we
‫هـ‬ H ha
‫ء‬ ` apostrof
‫ي‬ Y ye

b. Vokal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ a fathah
ِ i kasra
ُ u dammah
Adapun Vokal Rangkap

iii
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫َ ي‬ ai a dan i
‫َ و‬ au a dan u
c. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ـَـﺎ‬ â a dengan topi di atas
‫ــــِــﻲ‬ î i dengan topi di atas
‫ــــُـــﻮ‬ û u dengan topi di atas

d. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf (‫)ال‬,
dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh ‫ = اﻟﺸﻤﺴﻴﺔ‬al-syamsiyyah, ‫ = اﻟﻘﻤﺮﻳﺔ‬al-qamariyyah.

e. Tasydîd
Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
huruf-huruf samsiyyah.

f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut
diikuti kata sifat (na‘t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.

g. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya . Contoh ‫ = اﻟﺒﺨﺎر‬al-Bukhâri.

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ iii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 6

D. Metode Penelitian ......................................................................... 7

E. Sistematika Penulisan ................................................................... 8

BAB II KAJIAN SANAD DAN MATAN HADIS

A. Teks Hadis dan Terjemahan ......................................................... 10

B. Identifikasi Hadis .......................................................................... 10

C. Kegiatan Iktibar............................................................................. 13

D. Kegiatan Penelitian Sanad ........................................................... 15

E. Kegiatan Penelitian Matan ............................................................ 41

1. Meneliti Matan dengan Melihat Kualitas Sanadnya. .............. 42

2. Mengindektifikasikan Bentuk Periwayatan ............................ 42

3. Meneliti Susunan Lafal Berbagai Matan yang Semakna. ....... 42

4. Meneliti Kandungan Matan (Membandingkan dengan nas) ... 45

 
BAB III RELEVANSI TEKS HADIS DENGAN KONTEKS

A. Teks dan Kontekstual Hadis ......................................................... 47

B. Pengertian al-wahn dan Penafsiran Hadis..................................... 49

C. Karakteristik al-wahn dan Problemika Umat Islam Kontemporer 56

D. Relevansi Interpretasi Teks dan Kebenarannya Melalui

Pembuktian di Konteks Modern ................................................... 71

E. Esensi Segala Krisis dan Rahsia Konspirasi Musuh ..................... 78

BAB IV KESIMPULAN

A. Kesimpulan .................................................................................. 81

B. Saran-saran .................................................................................. 82

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 82

vi 

 
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, seluruh jagat telah menyaksikan nasib malang yang dialami oleh

negara dan masyarakat muslim baik di dalam kasus pertahanan, pentadbiran,

persoalan teologi, penguasaan ekonomi, media massa dan sebagainya. Kita telahpun

menyaksikan bagaimana pencerobohan yang dilakukan oleh Amerika Serikat ke atas

tanah dan negara Islam Irak, Afghanistan, juga ancaman terhadap Iran,

pendominasian ekonomi dan industri oleh Barat, pemurtadan serius dalam kalangan

muda mudi, kekaburan fakta benar dalam informasi maklumat dan lain-lain.

Problem tersebut ini bukan hanya fenomena semasa. Ini karena, buku-buku

sejarah dan peradaban telah mencatat kekelaman dunia Islam dahulu akibat

penjajahan Barat dan sekutunya seperti kehancuran kerajaan Abbasiyah di bawah

serangan tentera Monggol, 1 kehancuran Turki Usmani yang dipimpin oleh bapa

modern Kamal Artartuk, 2 dan perebutan kuasa di Sepanyol oleh tentera Kristen di

bawah pimpinan Ferdinand III dari Castilla yang menyebabkan supremasi Islam

mulai mengalami kemunduran. 3

Apa yang menimpa dunia Islam modern ini dari sudut sebab, strategi, metode

dan akibatnya adalah sama dengan apa yang menimpanya dunia Islam terdahulu,

yang berbeda hanya pelaku, alat dan waktu.


                                                            
1
Busman Edyar, ed., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss, September 2009),
cet. ke- 2, h. 113.
2
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGraFido Persada, t.t.), h. 70-71.
3
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 115-117. 

1
2

Kecelakaan, keaiban dan kelemahan ini menyebabkan kita semua sudah

kehilangan akal apakah ini semua disebabkan karena takut, tiada kuasa, atau pokok

dan punca masalah sebenarnya adalah penyakit al-wahn; satu ungkapan yang

bermaksud cinta dunia dan takut mati di dalam sebuah hadis yang berisi petunjuk

antara sebab mengapa ‘Seluruh Dunia Mengerumuni Negara Islam’. Redaksinya

adalah seperti berikut:

‫ﻦ ﺟَﺎ ِﺑ ٍﺮ‬
ُ ْ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ اﺑ‬
َ ‫ﻦ َﺑﻜْ ٍﺮ‬
ُ ْ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِﺑﺸْ ُﺮ ﺑ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ﻦ ِإﺑْﺮَاهِﻴ َﻢ اﻟ ﱢﺪ َﻣﺸْ ِﻘ ﱡ‬
ُ ْ‫ﻦ ﺑ‬
ِ ‫ﻋﺒْ ُﺪ اﻟ ﱠﺮﺣْ َﻤ‬
َ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ‬
َ
‫ﻚ اﻟُْﺄ َﻣ ُﻢ‬
ُ‫ﺷ‬
ِ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻳُﻮ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬
ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬
َ ‫ل ﻗَﺎ‬
َ ‫ن ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋﻦْ َﺛﻮْﺑَﺎ‬
َ ‫ﺴﻠَﺎ ِم‬
‫ﻋﺒْ ِﺪ اﻟ ﱠ‬
َ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ َأﺑُﻮ‬
َ
ْ‫ل َﺑﻞ‬
َ ‫ﻦ َﻳﻮْ َﻣ ِﺌ ٍﺬ ﻗَﺎ‬
ُ ْ‫ل ﻗَﺎﺋِﻞٌ َو ِﻣﻦْ ِﻗﱠﻠ ٍﺔ َﻧﺤ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ُﻜﻢْ آَﻤَﺎ َﺗﺪَاﻋَﻰ اﻟَْﺄ َآَﻠ ُﺔ إِﻟَﻰ َﻗﺼْ َﻌ ِﺘﻬَﺎ َﻓﻘَﺎ‬
َ ‫َأنْ َﺗﺪَاﻋَﻰ‬
‫ﻋ ُﺪوﱢ ُآ ْﻢ اﻟْ َﻤﻬَﺎ َﺑ َﺔ‬
َ ‫ﺻﺪُو ِر‬
ُ ْ‫ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ ِﻣﻦ‬
‫ﻋﱠ‬
َ ‫ﻞ َوَﻟ َﻴﻨْ َﺰ‬
ِ ْ‫ﺴﻴ‬
‫ﻏﺜَﺎءٌ َآ ُﻐﺜَﺎ ِء اﻟ ﱠ‬
ُ ْ‫َأﻧْ ُﺘﻢْ َﻳﻮْ َﻣ ِﺌ ٍﺬ َآﺜِﻴﺮٌ َوَﻟ ِﻜ ﱠﻨ ُﻜﻢ‬
‫ﺣﺐﱡ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ‬
ُ ‫ل‬
َ ‫ﻦ ﻗَﺎ‬
ُ ْ‫ل اﻟﻠﱠﻪِ وَﻣَﺎ اﻟْ َﻮه‬
َ ‫ل ﻗَﺎﺋِﻞٌ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ‬
َ ‫ﻦ َﻓﻘَﺎ‬
َ ْ‫ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ ﻓِﻲ ُﻗﻠُﻮ ِﺑ ُﻜﻢْ اﻟْ َﻮه‬
‫ِﻣﻨْ ُﻜﻢْ َوَﻟ َﻴﻘْ ِﺬ َﻓ ﱠ‬
4
‫ت‬
ِ ْ‫َو َآ َﺮا ِه َﻴ ُﺔ اﻟْ َﻤﻮ‬
Artinya: Menyampaikan hadis kepada kami ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm al-
Dimasyqî menyampaikan hadis pada kami Bisyr bin Bakr menyampaikan
hadis kepada kami Ibn Jâbir meriwayatkan hadis kepadaku Abû Abd al-
Salâm daripada Tsaubân berkata, telah bersabda Rasulullah SAW:
“Hampir saja bangsa-bangsa memangsa kalian sebagaimana orang-orang
lapar menghadapi meja penuh hidangan.” Seseorang bertanya, “Apa kami
saat itu sedikit”? Jawab beliau, “Bahkan kalian saat itu banyak, akan tetapi
kalian seperti buih di laut. Allah sungguh akan mencabut rasa takut dari
dada musuh kalian, dan Allah sungguh akan mencampakkan penyakit wahn
ke dalam hatimu.” Seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu wahn?
Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati”. 5

                                                            
4
Abî Dâwud Sulaimân bin al-`Asy‘ast al-Sijistânî 202-275, Sunan Abî Dâwud, (T.tp.: Dar al-
A‘lam, 1423H/2003M), cetakan pertama, h. 698.
5
‘Umar Sulaimân al-Asyqar, Al-Yaum al-Akhîr al-Qiyâmah al-Sughrâ wa ‘Alâmât al-qiyâmah
al-Kubrâ, penerjemah Irfan Salim, (T.tp.:PT Serambi Ilmu Semesta, Rabiulakhir 1421H/Juli 2000M),
cetakan kesatu, h. 161.
3

Namun demikian, problem yang menyangkut teks sebuah hadis masih dapat

saja muncul. Apakah pemahaman makna sebuah ritual hadis harus dikaitkan dengan

konteksnya (substance) atau tidak? Apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi

pengucapnya saja, atau mencakup pula mitra bicara dan kondisi sosial ketika

diucapkan atau diperagakan? Relevankah kebenarannya sekiranya diinterpretasikan

dengan kondisi zaman-zaman setelah Nabi? Itulah sebagian persoalan yang dapat

muncul dalam pembahasan tentang pemahaman makna hadis. 6

Dengan demikian, apabila hadis ini dipahami secara kontekstual dan

dikomparasikan kebenarannya dengan problem yang berlaku dalam kelangsungan

hidup masyarakat saat ini, sangat jelas memperlihatkan kebenaran sabda Nabi SAW.

Gambaran yang jelas dan nyata daripada hadis dan fakta itu ialah ada satu

kelompok manusia yang dikuasai dan dijadikan makanan manakala ada satu

kelompok manusia lain yang menguasai dan mengerumuni untuk memakannya.

Sebab terjadinya tidak disebutkan dengan jelas dalam berita pertama. Kedua berita ini

saling keterkaitan yang mana salah satunya adalah satu bukti kebenarannya.

Pertamanya adalah hadis yang diungkap oleh Rasulullah SAW, dan kedua adalah

suatu bukti kebenarannya. Negara dan masyarakat Islam dijadikan makanan oleh

sekumpulan kelompok manusia dari Negara-negara dan agama bukan Islam yang

pada kenyataannya musuh agama. Mereka bangga dan tidak merasa takut terhadap

umat Islam, bahkan memperkecilkan mereka.

                                                            
6
Makhsis Shahaby, ‘Integritas hadis Dalam Konteks Dakwah Islam’, artikel ini diakses pada
tanggal 31 Disember 2009 dari http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Hadis.html. 
4

Umat Islam adalah kelompok yang kalah, lemah dan senang dikuasai sehingga

mereka dijadikan hidangan dengan niat dicabik, dikoyak, dicampuradukkan,

dipisahkan dan juga diperkosa kesuciannya oleh penyantap hidangan. Mereka seperti

disebutkan dengan jelas oleh hadis, karena terkena penyakit al-wahn yakni ‫ﺣﺐﱡ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ‬
ُ

‫ت‬
ِ ْ‫وَآَﺮَا ِه َﻴ ُﺔ اﻟْ َﻤﻮ‬.

Penyakit al-wahn yang menjadi penyebab utama kekalahan dalam setiap

perjuangan menimpa umat sebelum Islam bahkan ia dijadikan sunnahtullah (qadâ` al-

Mubram) oleh Yang Maha Kuasa. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda

maksudnya; “Umatku akan ditimpa penyakit yang pernah menimpa umat terdahulu.”

Sahabat bertanya , “apakah penyakit umat terdahulu itu?” Nabi SAW menjawab; “

penyakit itu telah terlalu banyak seronok, terlalu mewah, menghimpun harta

sebanyak mungkin, tipu menipu dalam merebut harta benda dunia, saling memarah,

hasut-menghasut sehingga jadi zalim menzalimi”- (Hadith riwayat al-Hakim)

Penyakit yang disebutkan oleh Rasulullah SAW ini telah banyak kita lihat di

kalangan masyarakat muslim hari ini. Di sana sini kita melihat penyakit ini merebak

dan menular dalam masyarakat dengan ganasnya. Dunia Islam dilanda krisis rohani

yang sangat tajam dan meruncing. Dengan kekosongan rohani itulah mereka terpaksa

mencari dan menimbun harta benda sebanyak-banyaknya untuk memuaskan hawa

nafsu. Maka apabila hawa nafsu diperturutkan tentunya mereka terpaksa

menggunakan segala macam cara dan tipu daya.


5

Pada saat itu, hilanglah nilai akhlak dan yang terwujud hanyalah kecurangan,

khianat, hasut-menghasut dan sebagainya.

Maka jelaslah di sini bahwa hadis yang disabdakan Rasulullah SAW perlu

lebih diteliti kesahihan, esensi dan substansinya supaya pemahaman yang lebih tepat

karena al-wahn adalah satu wabah yang dapat memudaratkan pribadi umat muslim

sekiranya tidak ada inisiatif bagi menghalangi dan membendung penularannya.

Hubungan hadis tersebut sangat terkait dengan realitas kehidupan manusia

dewasa ini dan memerlukan penjelasan yang lebih luas. Permasalahan inilah yang

ingin diangkat dalam judul skripsi, dan penulis merasa tertarik untuk meneliti dan

mengeksperimentasi relevansi hadis tersebut dengan konteks kekinian yang akan

dituangkan di dalam skripsi berjudul “Hadis al-Wahn dan Relevansinya dengan

Konteks Kekinian”.

B. Pembatasan Masalah dan Perumusannya

Dari pembahasan makna teks hadis di atas, adalah wabah al-wahn berdasarkan

kepada kitab Sunan Abû Dâwud, begitu banyak persoalan yang muncul tatkalah

berbicara tentang hadis Nabi dan relevansi kebenarannya dengan konteks kekinian.

Hal ini merupakan suatu indikasi akan menariknya pembahasan ini, kerana penyakit

yang terkandung di dalam teks hadis yang diketengahkan penulis adalah merupakan

antara simpton kemunduran umat Islam. Dalam penelitian ini, penulis lebih

membatasi interpretasi kebenaran teks hadis kepada relevansinya di dalam konteks

kekinian.
6

Penulis juga akan membuat penelitian terhadap sanad dan matan hadis.

Mencoba menjelaskan apakah yang sebenarnya diartikan dalam hadis bersumber dari

kitab Sunan Abû Dâwud dan kitab Syarahnya ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî

Dâwud’.

Berdasarkan uraian pembatasan masalah di atas, penulis dapat merumuskan

masalah yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis tentang al-wahn dalam kitab

Sunan Abû Dâwud dan Sunan Ahmad ibn Hanbal.

2. Bagaimana kualitas hadis sahih dapat direlevansi kebenaran dari

penafsiran teksnya dengan konteks kekinian.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dan manfaat yang ingin digapai dalam penelitian ini antaranya adalah:

1. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui kualitas dan kandungan pokok hadis tentang masalah umat

dan kejelasan kedudukan dan status hadis tersebut apakah sahîh, hasan

atau da‘îf.

b. Mengetahui kebenaran hadis yang disabdakan oleh Rasulullah SAW

Sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa


nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”.
7

c. Mengetahui adakah teks hadis tersebut sesuai dan relevan atau tidak jika

dikomparasikan substansinya dengan konteks sebagaimana yang

dikemukakan pada perumusan masalah.

d. Untuk menentukan apakah hadis tentang penyakit al-wahn dapat dijadikan

hujjah dan pengajaran atau tidak.

2. Manfaat penelitian

a. Supaya lebih menyakini terhadap satu-satu hadis untuk dijadikan hujjah

atau dalil dalam lapangan dakwah.

b. Memperkayakan pemikiran Islam khususnya tentang bidang hadis.

c. Bagi memperoleh gelar Sarjana (SI) dalam bidang Tafsir Hadis di Fakultas

Ushuluddin.

D. Metodologi Penelitian

Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diteliti melalui jenis penelitian

kepustakaan (library research). Dan dalam pengelolahan data-data, melalui metode

perbahasan analisa komparatif. Juga dilakukan penilaian kritik hadis yang

merangkum di dalamnya kritik sanad dan pendekatan kritik tekstual (matan) dengan

mengkaji hadis tersebut dari sisi pemahaman teksnya, apakah hadis itu memiliki

keseragaman redaksi, atau berbeda-beda redaksi dari sekian banyak sanad yang ada.

Dalam aspek penafsiran bagi mencari kaitan/relevansi dengan persoalan masa kini,

penulis menggunakan pendekatan pemahaman kontekstual dengan mengemukakan

pembuktian-pembuktiannya dalam konteks kekinian.


8

Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, disertasi), yang diterbitkan oleh UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta” dengan kerjasama CeQDA (Center for Development and

Assurance), cetakan II, tahun 2007.

E. Sistematika Penelitian

Penulisan skripsi ini dibuat dalam empat bab, adapun perinciannya adalah

sebagai berikut.

Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi dari uraian singkat

mengenai materi yang akan dibahas, yang merupakan penegasan pembatasan dan

perumusan masalah yang difokuskan kepada kasus relevansi kebenaran hadis dalam

konteks kekinian, di dalamnya mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab kedua adalah Takhrîj al-hadîts mengenai hadis al-Wahn. Pembahasan ini

meliputi melacak sumber hadis tersebut. Setelah itu, dikemukakan komparasi

periwayatan. Selain itu, ditelusuri biografi para periwayat dan komentar para ulama

mengenai kredibilitas mereka. Kemudian akan diberikan analisa terhadap kualitas

riwayat tersebut.

Bab ketiga pembahasan difokuskan pada pengertian kata al-wahn dan

penafsiran hadis, serta alasan kesesuaiannya di dalam pembahasan konteks kekinian

melalui pembuktian-pembuktian.
9

Bab keempat merupakan penutup dari skripsi ini, berisikan tentang

kesimpulan dan jawaban dari yang ada pada pembahasan dan perumusan masalah

seluruh pembahasan, serta saran-saran yang dapat disampaikan oleh penulis dalam

penyusunan skripsi.
BAB II

KAJIAN SANAD DAN MATAN HADIS

A. Teks Hadis dan Terjemahan

‫ﻦ ﺟَﺎ ِﺑ ٍﺮ‬
ُ ْ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ اﺑ‬
َ ‫ﻦ َﺑﻜْ ٍﺮ‬
ُ ْ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِﺑﺸْ ُﺮ ﺑ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ﻦ ِإﺑْﺮَاهِﻴ َﻢ اﻟ ﱢﺪ َﻣﺸْ ِﻘ ﱡ‬
ُ ْ‫ﻦ ﺑ‬
ِ ‫ﻋﺒْ ُﺪ اﻟ ﱠﺮﺣْ َﻤ‬
َ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ‬
َ
‫ﻚ‬
ُ‫ﺷ‬
ِ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻳُﻮ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬
ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬
َ ‫ل ﻗَﺎ‬
َ ‫ن ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋﻦْ َﺛﻮْﺑَﺎ‬
َ ‫ﺴﻠَﺎ ِم‬
‫ﻋﺒْ ِﺪ اﻟ ﱠ‬
َ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ َأﺑُﻮ‬
َ
‫ﻦ‬
ُ ْ‫ل ﻗَﺎﺋِﻞٌ َو ِﻣﻦْ ِﻗﱠﻠ ٍﺔ َﻧﺤ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ُﻜﻢْ آَﻤَﺎ َﺗﺪَاﻋَﻰ اﻟَْﺄ َآَﻠ ُﺔ ِإﻟَﻰ َﻗﺼْ َﻌ ِﺘﻬَﺎ َﻓﻘَﺎ‬
َ ‫اﻟُْﺄ َﻣ ُﻢ َأنْ َﺗﺪَاﻋَﻰ‬
‫ﺻﺪُو ِر‬
ُ ْ‫ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ ِﻣﻦ‬
‫ﻋﱠ‬
َ ‫ﻞ َوَﻟ َﻴﻨْ َﺰ‬
ِ ْ‫ﺴﻴ‬
‫ﻏﺜَﺎءٌ َآ ُﻐﺜَﺎ ِء اﻟ ﱠ‬
ُ ْ‫ل َﺑﻞْ َأﻧْ ُﺘﻢْ َﻳﻮْ َﻣ ِﺌ ٍﺬ َآﺜِﻴﺮٌ َوَﻟ ِﻜ ﱠﻨ ُﻜﻢ‬
َ ‫َﻳﻮْ َﻣ ِﺌ ٍﺬ ﻗَﺎ‬
‫ل اﻟﻠﱠﻪِ َوﻣَﺎ‬
َ ‫ل ﻗَﺎﺋِﻞٌ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ‬
َ ‫ﻦ َﻓﻘَﺎ‬
َ ْ‫ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ ﻓِﻲ ُﻗﻠُﻮ ِﺑ ُﻜﻢْ اﻟْ َﻮه‬
‫ﻋ ُﺪوﱢ ُآ ْﻢ اﻟْ َﻤﻬَﺎ َﺑ َﺔ ِﻣﻨْ ُﻜﻢْ َوَﻟ َﻴﻘْ ِﺬ َﻓ ﱠ‬
َ
1
‫ت‬
ِ ْ‫ﺣﺐﱡ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ َو َآﺮَا ِه َﻴ ُﺔ اﻟْ َﻤﻮ‬
ُ ‫ل‬
َ ‫ﻦ ﻗَﺎ‬
ُ ْ‫اﻟْ َﻮه‬
Artinya: Menyampaikan hadis kepada kami ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm al-
Dimasyqî menyampaikan hadis pada kami Bisyr bin Bakr menyampaikan
hadis kepada kami Ibn Jâbir meriwayatkan hadis kepadaku Abû ‘Abd al-
Salâm daripada Tsaubân berkata, telah bersabda Rasulullah SAW:
“Hampir saja bangsa-bangsa memangsa kalian sebagaimana orang-orang
lapar menghadapi meja penuh hidangan.” Seseorang bertanya, “Apa kami
saat itu sedikit”? Jawab beliau, “Bahkan kalian saat itu banyak, akan tetapi
kalian seperti buih di laut. Allah sungguh akan mencabut rasa takut dari
dada musuh kalian, dan Allah sungguh akan mencampakkan penyakit wahn
ke dalam hatimu.” Seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu wahn?
Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati”. 2

B. Identifikasi Hadis

Langkah pertama yang dilakukan di dalam menelusuri dan meneliti sebuah

hadis adalah menemukan sanad-sanad hadis dan perawi-perawi hadis yang ada di

dalamnya melalui metode takhrîj.

                                                            
1
Abî Dâwud Sulaimân bin al-`Asy‘ats al-Sijistânî, Sunan Abî Dâwud, kitab Al-Malâhim,
hadis ke-4297, (T.tp.: Dar al-A‘lam, 1423H/2003M), cet. 1, h. 698. 
2
‘Umar Sulaimân al-Asyqar, Al-Yaum al-Akhîr al-Qiyâmah al-Sughrâ wa ‘Alâmât al-qiyâmah
al-Kubrâ, penerjemah Irfan Salim, (T.tp.:PT Serambi Ilmu Semesta, Rabiulakhir 1421H/Juli 2000M),
cetakan kesatu, h. 161.
10
11

Dalam melakukan kegiatan takhrîj al-hadîts, penulis telah menggunakan

metode takhrîj al-hadîts bi al-lafaz (penelusuran hadis melalui lafal atau kata-kata

dalam matan hadis). 3 Untuk kepentingan takhrîj al-hadîts yang disebutkan, penulis

merujuk kepada kitab kamus al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Alfâz al-Hadîts al-Nabawî.

Dari matan hadis yang diperoleh di atas, apabila ditempuh metode takhrîj al-

hadîts bi al-lafaz, maka lafal-lafal yang dapat ditelesuri adalah ٌ‫ﻏﺜَﺎء‬


ُ - ‫ اﻟ ﱠﺴﻴْ ِﻞ‬- ‫اﻟْ َﻮهْ ُﻦ‬.

Tujuan dan rasional penulis memilih lafal-lafal demikian adalah karena eksistensinya

yang asing ketimbang lafal selainnya. Adapun data yang disajikan oleh kitab al-

Mu’jam lewat penelesuran tiga lafal tersebut adalah sebagai berikut :

:‫ت‬
ِ ْ‫ﺣﺐﱡ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ َو َآﺮَا ِه َﻴ ُﺔ اﻟْ َﻤﻮ‬
ُ ‫ﻦ ﻗَﺎل‬
ُ ْ‫ل ُﻗﻠْﻨَﺎ َوﻣَﺎ اﻟْ َﻮه‬
َ ‫ﻦ ﻗَﺎ‬ ُ ‫ َو َﻳﺠْ َﻌ‬,‫ )وﻳﻠﻘﻰ‬4 ‫ﻦ‬
َ ْ‫ﻞ ﻓِﻲ ُﻗﻠُﻮ ِﺑ ُﻜﻢْ اﻟْ َﻮه‬ ُ ْ‫َوه‬

:‫ﻞ‬
ِ ْ‫ﺴﻴ‬ ُ ْ‫ َوَﻟ ِﻜ ﱠﻨ ُﻜﻢ‬, 5 ٌ‫ﻏﺜَﺎء‬
‫ﻏﺜَﺎءٌ َآ ُﻐﺜَﺎ ِء اﻟ ﱠ‬ ُ

:‫ﻞ‬
ِ ْ‫ﺴﻴ‬ ُ ْ‫ َوَﻟ ِﻜ ﱠﻨ ُﻜﻢ‬, 6 ‫ﻞ‬
‫ﻏﺜَﺎءٌ َآ ُﻐﺜَﺎ ِء اﻟ ﱠ‬ ِ ْ‫ﺴﻴ‬
‫اﻟ ﱠ‬

٥ ‫ ﻣﻼﺣﻢ‬: ‫د‬ .1

٢٧٨ ,٥ ,٣٥٩ ,٢: ‫ﺣﻢ‬ .2

Berdasarkan data dari kitab kamus al-Mu‘jam tersebut, ternyata riwayat untuk

hadis yang ditakhrîj di atas masing-masing terletak di kitab-kitab seperti berikut:

                                                            
3
Metode ini tergantung kepada kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, baik hadis itu
berupa ism atau fi‘il. Para penyusun kitab-kitab takhrîj hadis menitikberatkan peletakan hadis-
hadisnya menurut lafal-lafal yang asing. Semakin asing ( ‫ ) ﻏﺮﻳﺐ‬suatu kata, maka pencarian hadis
akan semakin mudah dan efisien. Lihat Metode Takhrij Hadits, penerjemah Agil Husin Munawwar dan
Ahmad Rifqi Muchtar, (Semarang: Dina Utama, t.t), h. 60.  
4
A.J Wensick, Al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Alfâz al-Hadîts al-Nabawî, penerjemah M. Fouad
Abdel Baky, (Leiden: E.J. Brill, 1936 M), juz 7, h. 342.
5
A.J Wensick, Al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Alfâz al-Hadîts al-Nabawî, juz 4, h. 406.
6
A.J Wensick, Al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Alfâz al-Hadîts al-Nabawî, juz 3, h. 53. 
‫‪12‬‬

‫‪ ‬‬

‫‪1. Sunan Abû Dâwud, nomor hadis 4297, kitab al-Malâhim, bab fî Tadâ’î al-‬‬

‫‪Umam ‘alâ al-Islâm, halaman 698.‬‬

‫‪2. Musnad Ahmad bin Hanbal, juz II, halaman 359 dan juz V halaman 278.‬‬

‫‪Berikut ini penulis menggunakan riwayat-riwayat hadis tersebut dari setiap‬‬

‫‪mukharrij berdasarkan naskhah aslinya.‬‬

‫‪Riwayat hadis dari mukharrij Abû Dâwud:‬‬

‫ﻦ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ اﺑْ ُ‬
‫ﻦ َﺑﻜْ ٍﺮ َ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِﺑﺸْ ُﺮ ﺑْ ُ‬
‫ﻲ َ‬
‫ﻦ ِإﺑْﺮَاهِﻴ َﻢ اﻟ ﱢﺪ َﻣﺸْ ِﻘ ﱡ‬
‫ﻦ ﺑْ ُ‬
‫ﻋﺒْ ُﺪ اﻟ ﱠﺮﺣْ َﻤ ِ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ‬
‫َ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ‬
‫ل اﻟﻠﱠﻪِ َ‬
‫ل َرﺳُﻮ ُ‬
‫ل ﻗَﺎ َ‬
‫ن ﻗَﺎ َ‬
‫ﻋﻦْ َﺛﻮْﺑَﺎ َ‬
‫ﻋﺒْ ِﺪ اﻟﺴﱠﻠَﺎمِ َ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ َأﺑُﻮ َ‬
‫ﺟَﺎ ِﺑ ٍﺮ َ‬
‫ل ﻗَﺎﺋِﻞٌ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ُﻜﻢْ آَﻤَﺎ َﺗﺪَاﻋَﻰ اﻟَْﺄ َآَﻠ ُﺔ ِإﻟَﻰ َﻗﺼْ َﻌ ِﺘﻬَﺎ َﻓﻘَﺎ َ‬
‫ﻚ اﻟُْﺄ َﻣ ُﻢ َأنْ َﺗﺪَاﻋَﻰ َ‬
‫ﺷُ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻳُﻮ ِ‬
‫َو َ‬
‫ﻞ‬
‫ﺴﻴْ ِ‬
‫ﻏﺜَﺎءٌ َآ ُﻐﺜَﺎ ِء اﻟ ﱠ‬
‫ل َﺑﻞْ َأﻧْ ُﺘﻢْ َﻳﻮْ َﻣ ِﺌ ٍﺬ َآﺜِﻴﺮٌ َوَﻟ ِﻜ ﱠﻨ ُﻜﻢْ ُ‬
‫ﻦ َﻳﻮْ َﻣ ِﺌ ٍﺬ ﻗَﺎ َ‬
‫َو ِﻣﻦْ ِﻗﱠﻠ ٍﺔ َﻧﺤْ ُ‬
‫ﻦ‬
‫ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ ﻓِﻲ ُﻗﻠُﻮ ِﺑ ُﻜﻢْ اﻟْ َﻮهْ َ‬
‫ﻋ ُﺪوﱢ ُآ ْﻢ اﻟْ َﻤﻬَﺎ َﺑ َﺔ ِﻣﻨْ ُﻜﻢْ َوَﻟ َﻴﻘْ ِﺬ َﻓ ﱠ‬
‫ﺻﺪُو ِر َ‬
‫ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ ِﻣﻦْ ُ‬
‫ﻋﱠ‬
‫َوَﻟ َﻴﻨْ َﺰ َ‬
‫‪7‬‬
‫ت‬
‫ﺣﺐﱡ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ َو َآﺮَا ِه َﻴ ُﺔ اﻟْ َﻤﻮْ ِ‬
‫ل ُ‬
‫ﻦ ﻗَﺎ َ‬
‫ل اﻟﻠﱠﻪِ وَﻣَﺎ اﻟْ َﻮهْ ُ‬
‫ل ﻗَﺎﺋِﻞٌ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ َ‬
‫َﻓﻘَﺎ َ‬
‫‪Riwayat hadis dari mukharrij Ahmad ibn Hanbal:‬‬

‫ﻋﺒْ ِﺪ اﻟﻠﱠﻪِ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ﻣَﺮْزُوقٌ أَﺑُﻮ َ‬
‫ﻦ َﻓﻀَﺎَﻟ َﺔ َ‬
‫ك ﺑْ ُ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ اﻟْ ُﻤﺒَﺎرَ ُ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﺑُﻮ اﻟ ﱠﻨﻀْ ِﺮ َ‬
‫َ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ‬
‫ل اﻟﻠﱠﻪِ َ‬
‫ن ﻣَﻮْﻟَﻰ َرﺳُﻮ ِ‬
‫ﻋﻦْ َﺛﻮْﺑَﺎ َ‬
‫ﻲ َ‬
‫ﺣ ِﺒ ﱡ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﺑُﻮ أَﺳْﻤَﺎ َء اﻟ ﱠﺮ َ‬
‫ﻲ َ‬
‫ﺼﱡ‬
‫ﺤﻤْ ِ‬
‫اﻟْ ِ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ُﻜﻢْ اﻟُْﺄ َﻣ ُﻢ‬
‫ﻚ َأنْ َﺗﺪَاﻋَﻰ َ‬
‫ﺷُ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻳُﻮ ِ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ‬
‫ل اﻟﻠﱠﻪِ َ‬
‫ل َرﺳُﻮ ُ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎل ﻗَﺎ َ‬
‫َو َ‬
‫ل اﻟﻠﱠﻪِ َأ ِﻣﻦْ ِﻗﱠﻠ ٍﺔ ﺑِﻨَﺎ‬
‫ل ُﻗﻠْﻨَﺎ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ َ‬
‫ﻋﻠَﻰ َﻗﺼْ َﻌ ِﺘﻬَﺎ ﻗَﺎ َ‬
‫ﻖ آَﻤَﺎ َﺗﺪَاﻋَﻰ اﻟَْﺄ َآَﻠ ُﺔ َ‬
‫ِﻣﻦْ ُآﻞﱢ ُأ ُﻓ ٍ‬
‫ع اﻟْ َﻤﻬَﺎ َﺑ َﺔ ِﻣﻦْ‬
‫ﻞ َﻳﻨْ َﺘ ِﺰ ُ‬
‫ﺴﻴْ ِ‬
‫ﻏﺜَﺎ ًء َآ ُﻐﺜَﺎ ِء اﻟ ﱠ‬
‫ن ُ‬
‫ل َأﻧْ ُﺘﻢْ َﻳﻮْ َﻣ ِﺌ ٍﺬ َآﺜِﻴﺮٌ َوَﻟ ِﻜﻦْ َﺗﻜُﻮﻧُﻮ َ‬
‫َﻳﻮْ َﻣ ِﺌ ٍﺬ ﻗَﺎ َ‬

‫‪                                                            ‬‬
‫‪7‬‬
‫‪Abî Dâwud, Sunan Abî Dâwud, h. 698. ‬‬
13

‫ﻋﻦْ َأﺑِﻴ ِﻪ‬


َ ‫ي‬
‫ﺐ اﻟْ َﺄزْ ِد ﱡ‬
ٍ ‫ﺣﺒِﻴ‬
َ ‫ﻦ‬
ُ ْ‫ﺼ َﻤ ِﺪ ﺑ‬
‫ﻋﺒْ ُﺪ اﻟ ﱠ‬
َ ‫ﻲ َأﺧْ َﺒ َﺮﻧَﺎ‬
‫ﺟﻌْ َﻔ ٍﺮ اﻟْ َﻤﺪَا ِﺋ ِﻨ ﱡ‬
َ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﺑُﻮ‬
َ
ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬
َ ‫ﺖ َرﺳُﻮ‬
ُ ْ‫ﺳ ِﻤﻌ‬
َ ‫ل‬
َ ‫ﻋﻦْ َأﺑِﻲ ُه َﺮﻳْ َﺮ َة ﻗَﺎ‬
َ ‫ف‬
ٍ ْ‫ﻋﻮ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﻞ ﺑ‬
ِ ْ‫ﺷ َﺒﻴ‬
ُ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ِ‫ﻋﺒْ ِﺪ اﻟﻠﱠﻪ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﺐ ﺑ‬
ِ ‫ﺣﺒِﻴ‬
َ
‫ﻋَﻠﻴْ ُﻜﻢْ اﻟُْﺄ َﻣ ُﻢ‬
َ ْ‫ﻋﺖ‬
َ ‫ن ِإذْ َﺗﺪَا‬
ُ ‫ﺖ ﻳَﺎ َﺛﻮْ َﺑﺎ‬
َ ْ‫ﻒ َأﻧ‬
َ ْ‫ل ﻟِﺜَﻮْﺑَﺎنَ َآﻴ‬
ُ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻳﻘُﻮ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ
ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬
َ ‫ن ِﺑَﺄﺑِﻲ َوُأﻣﱢﻲ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ‬
ُ ‫ل َﺛﻮْﺑَﺎ‬
َ ‫ن ِﻣﻨْ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻄﻌَﺎ ِم ُﻳﺼِﻴﺒُﻮ‬
‫َآ َﺘﺪَاﻋِﻴ ُﻜﻢْ ﻋَﻠَﻰ َﻗﺼْ َﻌ ِﺔ اﻟ ﱠ‬
‫ﻦ‬
ُ ‫ﻦ َﻗﺎﻟُﻮا وَﻣَﺎ اﻟْ َﻮ َه‬
ُ ‫ل ﻟَﺎ َأﻧْ ُﺘﻢْ َﻳﻮْ َﻣ ِﺌ ٍﺬ َآﺜِﻴﺮٌ َوَﻟ ِﻜﻦْ ُﻳﻠْﻘَﻰ ﻓِﻲ ُﻗﻠُﻮ ِﺑ ُﻜﻢْ اﻟْ َﻮ َه‬
َ ‫َأ ِﻣﻦْ ِﻗﱠﻠ ٍﺔ ﺑِﻨَﺎ ﻗَﺎ‬
9
َ‫ﺣﺒﱡ ُﻜ ْﻢ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ َو َآﺮَا ِه َﻴ ُﺘ ُﻜﻢْ اﻟْﻘِﺘَﺎل‬
ُ ‫ل‬
َ ‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻳَﺎ َرﺳُﻮ‬
Dalam melakukan penelitian sanad hadis (al-naqd al-sanad) ini, penulis akan

mengambil dan berusaha mengikuti beberapa langkah metodologis yaitu melakukan

kegiatan al-i‘tibâr, meneliti pribadi periwayat hadis yang berkenaan (kritik sanad)

dan membuat kesimpulan hasil pengumpulan data-data dari kitab-kitab takhrîj dan

kritik periwayat.

C. Kegiatan al-I‘tibâr

Tujuan kegiatan ini dilakukan adalah untuk memperlihatkan dengan jelas

seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, termasuk nama-nama periwayatnya, dan

metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang

bersangkutan. Karena itu, untuk mempermudahkan proses kegiatan al-i’tibâr, penulis

akan membuat skema sanad dari kutipan dua mukharrij bagi hadis yang dijadikan

obyek penelitian. (lihat lampiran 1)

                                                            
8
Ahmad ibn Muhammad bin Hanbal ibn Hilâl ibn Asad al-Syaibânî, Al-Musnad li al-Imâm
Ahmad bin Hanbal, juz 8, hadis nomor 22460, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1994M), cet. 2, h. 327. 
9
Al-Syaibânî, Al-Musnad li al- Imâm Ahmad bin Hanbal, juz 17, hadis nomor 8356, h. 398. 
14

Namun, sebelum dikemukakan skema sanadnya, ada beberapa hal yang perlu

dijelaskan terlebih dahulu. Dengan demikian, skema akan mudah difahami.

1. Dari tiga jalur sanad, ada tertulis periwayat yang menyandarkan nama kepada

nasab atau kuniyyah. Pertama Ibn Jâbir yang nama sebenarnya adalah ‘Abd

al-Rahman bin Yazîd bin Jâbir al-Azadî. 10 Kedua periwayat ‘Abd al-Salâm

yang nama sebenarnya adalah Sâlih bin Rustam al-Hâsyimî. 11 Ketiga Abû al-

Nadar yang nama sebenarnya Hâsyim bin al-Qâsim bin Muslim bin

Muqsam. 12 Keempat Asmâ` al-Rahabî yang nama sebenarnya ‘Amrû bin

Martsad. 13 Kelima Abû Ja‘far al-Madâ`inî yang nama sebenarnya adalah

Muhammad bin Ja‘far. 14 Keenam Abû Hurairah yang nama sebenarnya

adalah ‘Abd al-Rahman bin Sakhr. 15

2. Dari tiga jalur sanad tersebut duanya berakhir kepada Tsaubân. Dan sisanya

berakhir kepada Abû Hurairah.

Pada skema tampak bahwa periwayat pertama dan yang keseterusnya terdapat

periwayat yang berstatus pendukung berupa syâhid dan mutâbi’. 16 Akan tetapi hadis

                                                            
10
Jamâl al-Dîn Abî al-Hujjâj Yûsuf al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ`al-Rijâl, (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1413H/1992M), cet. 3, juz 11, h. 421.
11
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 9, h. 26.
12
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 19, h. 214.
13
Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, juz 1, h. 745. Lihat Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu
Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 2, h. 295.
14
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 16, h. 175.
15
‘Izz al-Dîn Ibn Al-Asir Abî al-Hasan ‘Alî bin Muhammad al-Jazrî, Usl al-Ghâbah fî
U

Ma‘rifah al-Sahâbah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1398H/1978M), cet 1, juz 5, h. 318-319. 


16
Syâhid ialah hadis yang periwayat di tingkat sahabat Nabi terdiri dari lebih seorang, sedang
hadis mutabi’ ialah hadis yang diriwayatkan lebih dari seorang dan terletak bukan pada tingkat sahabat
Nabi. Lihat, M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah), (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 145. 
15

ini hanya diterima oleh dua orang sahaja (‘azîz). 17 Ini berarti bahwa hadis tersebut

merupakan bagian dari yang hadis berkategori âhâd, maka perlu diteliti, apakah hadis

yang bersangkutan dapat dipertanggungjawab keorisinalnya berasal dari Nabi SAW

ataupun tidak.

D. Kegiatan Penelitian Sanad

Dalam melihat kualitas periwayat hadis, maka dua aspek yang harus

diperhatikan yaitu:

1. Aspek ketersambungan sanad. 18

2. Aspek intelektualitas periwayat. 19

Oleh kerana hadis yang menjadi obyek penelitian hanya didapati dari tiga

jalur sanad, yaitu masing-masing satu jalur daripada sanad Abû Dâwud melalui

Tsaubân dan dua jalur dari sanad Ahmad ibn Hanbal melalui Tsaubân dan Abû

Hurairah, maka penulis akan meneliti kesemua hadis tersebut.

Urutan nama periwayat hadis riwayat Abû Dâwud:


                                                            
17
‘Azîz adalah hadis yang diterima oleh dua orang sahaja walau pada satu tempat. Lihat,
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997),
cet. 1, h. 347. 
18
Kriteria ketersambungan sanad: Pertama, periwayat hadis yang terdapat dalam sanad hadis
yang diteliti semua berkualitas tsiqât (‘adl dan dhabt). Kedua, masing-masing periwayat
menggunakan kata-kata penghubung yang berkualitas tinggi yang sudah disepakati ulama (al-samâ’),
yang menunjukkan adanya pertemuan di antara guru dan murid. Ketiga, adanya indikasi kuat
perjumpaan antara mereka. Ada tiga indikator yang menunjukkan pertemuan antara mereka: A) Terjadi
proses guru dan murid, yang dijelaskan oleh para penulis rijâl al-hadîts dalam kitabnya. B) Tahun lahir
dan wafat mereka diperkirakan adanya pertemuan antara mereka atau dipastikan bersamaan. C)
Mereka tinggal belajar atau mengabdi (mengajar) di tempat yang sama. Lihat, Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, h. 53. 
19
Ada dua syarat yang harus dimiliki oleh periwayat hadis, pertama: ‘âdil, kedua: dhâbit.
Kriteria periwayat adil adalah: a) Beragama Islam, ketika mengajarkan hadis harus telah beragama
Islam, namun penerima hadis tidak disyaratkan beragama Islam. B) Berstatus mukallaf. C)
Melaksanakan ketentuan agama, yakni teguh melaksanakan adab-adab syara’. D) Memelihara muruah.
Sementara kriteria periwayat dhâbit adalah: a) Kuat ingatan dan hafalan, tidak pelupa. B) Memelihara
hadis samada yang tertulis atau tidak. Lihat Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 43.  
16

1. Periwayat I: Tsaubân bin Yujdud al-Qurasyî al-Hâsyimî

2. Periwayat II: Sâlih bin Rustam al-Hâsyimî al-Dimasyqî

3. Periwayat III: ‘Abd al-Rahman bin Yazîd bin Jâbir al-Azadî

4. Periwayat IV: Bisyr bin Bakr al-Tinnîsî

5. Periwayat V: ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm bin ‘Amrû bin Maimûn al-Qurasyî

Urutan nama periwayat hadis riwayat Ahmad ibn Hanbal:

Jalur Tsaubân

1. Periwayat I: Tsaubân bin Yujdud al-Qurasyî al-Hâsyimî

2. Periwayat II: ‘Amrû bin Martsad al-Rahabî al-Syâmî al-Dimasyqî

3. Periwayat III: Marzûq Abû ‘Abdullah al-Syâmî al-Himsî

4. Periwayat IV: Al-Mubârak bin Fadâlah bin Abî Umayyah al-Qurasyî

5. Periwayat V: Hâsyim bin al-Qâsyim al-Laitsî al-Baghdâdî

Jalur Abû Hurairah

1. Periwayat I: ‘Abd al-Rahman bin Sakhr

2. Periwayat II: Syubail bin ‘Auf bin Abî Hayyah

3. Periwayat III: Habîb bin ‘Abdullah

4. Periwayat IV: ‘Abd al-Samad bin Habîb bin ‘Abdullah

5. Periwayat V: Muhammad bin Ja‘far

Dalam kegiatan kritik sanad (naqd al-sanad), akan dimulai pada periwayat

terakhir (mukharrij), yakni Abû Dâwud, lalu diikuti pada periwayat sebelumnya dan

seterusnya sampai periwayat pertama.

1. Abû Dâwud
17

a) Nama lengkapnya: Menurut Ibn Abî Hâtim adalah Sulaimân bin al-`Asy‘ats

bin Syidâd bin ‘Amr bin ‘Âmir. Sedang menurut al-Khathîb al-Baghdâdî,

namanya adalah Sulaimân bin al-`Asy‘ats bin Syidâd bin ‘Amr bin ‘Imrân.

Beliau dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan, sebuah negara muslim

di Asia Tengah yang kini termasuk bekas wilayah Uni Soviet dan meninggal

dunia di Basrah pada 16 Syawal tahun 275 H/889 M dalam usia 73 tahun. 20

b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadits: Di antara guru Abû

Dâwud adalah Ahmad bin Hanbal (240 H), Yahyâ bin Ma‘în Abû Zakariyâ

(233 H), Musaddad bin Musarhad al-Asadî al-Basrî (228 H), dan ‘Amrû bin

‘Aun Nazîl al-Basrah (225 H). Sedang murid Abû Dâwud yang terkenal

adalah Abû ‘Îsâ al-Turmudzî, putranya; Abû Bakr Ibn Abû Dâwud, Ahmad

bin Muhammad bin Hârûn al-Hilâl al-Hanbâlî, Zakariyâ bin Yahyâ al-

Sajiyyû. 21

c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap diri beliau:

1. Abû Hâtim ibn Hibbân berkata, “Abû Dâwud adalah salah seorang Imam

yang pintar, berilmu, dan hafîz. Dia telah mengumpulkan banyak hadis,

membukukannya dan telah mengoreksi karyanya; Al-Sunan.

2. Al-Hâkim berkata: Abû Dâwud adalah imam ahli hadis di masanya tanpa

dapat diragukan lagi. 22

                                                            
20
Al-Mizî, jil. 2, h. 367. 
21
Al-Mizî,Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ`al-Rijâl, jil. 2, h. 356-360. Lihat Abû Dâwud Sulaimân
bin al-Asy‘ats Al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), juz. 1, h. 10. 
22
Ahmad ibn ‘Alî Hajar Abû al-Fadhl Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, (Beirut: Dar al-Fikr,
1984M/1404H), cet. 1, juz 4, h. 151. 
18

3. Al-Dzahabî berkata: Abû Dâwud adalah seorang imam dalam hadis,

ulama besar dalam bidang fikih dan kitab karyanya merupakan bukti akan

hal itu. Dia termasuk murid Ahmad bin Hanbal yang terkemuka. Sewaktu

mulâzamah (bersama) dengan Ahmad bin Hanbal, dia banyak bertanya

kepada imam Ahmad tentang permasalahan-permasalahan usûl dan furû’

secara detail. 23

4. Mûsâ bin Hârûn: Aku belum pernah melihat orang yang lebih alim dari

imam Abû Dâwud. 24

Banyak ulama yang memberikan pujian terhadap kepribadian Abû Dâwud.

Dengan kedudukannya sebagai mukharrij maka tidak perlu diragukan lagi akan

pernyataannya yang menerima hadis dari ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm. Periwayatan

hadis antara keduanya setelah diteliti juga ternyata bersambung.

2. ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm

a) Nama lengkapnya: ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm bin ‘Amrû bin Maimûn.

Nasabnya adalah al-Qurasyî. Manakala kuniyyahnya adalah Abû Sa‘îd al-

Dimasyqî . Beliau lebih dikenali dengan laqabnya Duhaim ibn al-Yatîm, 25

juga merupakan hamba dalam keluarga khalifah Utsmân bin ‘Affân.

                                                            
23
Syams al-Dîn Muhammad ibn Ahmad ibn Utsmân Al-Dzahabî, Siyâr al-A‘lâm Al-Nubalâ`,
(Qaherah: Dar al-Hadits, 2006), juz 13, h. 215-216. 
24
Al-Dzahabî, Siyâr al-A‘lâm Al-Nubalâ`, juz 13, h. 212-213. 
25
Ahmad ibn ‘Alî Hajar Abû al-Fadhl Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, (Syiria: Dar Al-
Rasyid, 1986), cet.1, jilid 1, h. 559. 
19

b) Terdapat banyak pendapat yang membicarakan tentang tanggal kelahiran dan

kewafatannya. Ada yang mengatakan beliau dilahirkan pada bulan Syawal

170 H dan wafat pada hari ahad,13 terakhir Ramadhan 245 H di Palestin. 26

Beliau pernah menjawat jawatan hakim di Urdun dan Palestin. 27

c) Guru ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm cukup banyak, antara lain Bisyr bin Bakr

al-Tinnîsî , ‘Abdullah bin Nâfi‘ al-Sâ`igh, dan Sufyân bin Uyainah. 28 Ulama

yang disebutkan pertama adalah guru beliau dalam hadis yang sedang diteliti.

Muridnya juga banyak, antara lainnya adalah al-Bukhârî (w.256 H), Abû

Dâwud (w. 275 H), al-Nasâ`î (w. 303 H), dan anak lelakinya Ibrâhîm. 29

d) Pernyataan para kritikus hadis tentang dirinya:

1. Abû Sa‘îd bin Yûnus: Beliau adalah periwayat yang tsiqah tsabat.

2. Ahmad bin ‘Abdullah al-‘Ijlî, Abû Hâtim, al-Nasâ`î, dan al-Darâqutnî:

Tsiqah.

3. Al-Nasâ`î: Ma’mûn lâ ba’s bih.

4. Abû Dâwud: Hujjah, tidak mungkin ada orang yang sepertinya di

Damsyiq pada zamannya. Beliau adalah tsiqah. 30

5. Abû Ahmad bin ‘Ady: Duhaim atsbat dari Harmalah bin Yahyâ. 31

6. Musagghir bin al-Yatîm: Tsiqah hâfiz mutqin. 32


                                                            
26
Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, (Beirut: Muassasah
al-Risalah, 1980), cet. 1, juz 11, h. 90. 
27
Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, (Beirut: Dar al-Kutub
Al-Sittah, 1983), cet 1, juz 2, h. 137. 
28
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 87.  
29
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 88. 
30
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 89. 
31
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 90. 
20

Penelitian para kritikus hadis tersebut menunjukkan bahwa ‘Abd al-Rahman

adalah kibâr tâbi‘ al-atbâ‘ yang tsiqah. Tidak ada seorang pun kritikus hadis yang

mencela pribadi ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm. Pujian-pujian yang diberikan orang

kepadanya dikemukakan oleh kritikus berperingkat tinggi sekalipun ada pujian

tersebut menunjukkan peringkat lafal keterpujian tingkat keempat yang menghasilkan

sahîh dalam bentuk kedua, yang dikategorikan sebagai hadis hasan oleh al-

Turmudzî. 33 Dengan demikian, pernyataan ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm yang

mngatakan bahwa dia menerima riwayat hadis di atas dari Bisyr bin Bakr dengan

metode al-samâ‘ (dengan lambang haddatsanâ) dapat dipercaya kebenarannya. Itu

berarti, sanad antara ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm dan Bisyr bin Bakr dalam keadaan

bersambung.

3) Bisyr bin Bakr al-Tinnîsî

a) Nama lengkapnya: Bisyr bin Bakr. Nasabnya adalah al-Tinnîsî al-Bajalî

manakala kuniyyahnya adalah Abû ‘Abd Allah. 34 Beliau dilahirkan pada

                                                                                                                                                                          
32
Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, jilid 1, h. 559. 
33
Al-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 61. 
34
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 3, h. 59. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-
Tahdzîb, juz 1, h. 126. 
21

tahun 124 H 35 dan ada beberapa pendapat tentang tanggal kewafatannya. Ada

yang mengatakan pada tahun 200 H dan ini adalah pernyataan dari Hanbal bin

Ishâq. Abû Sa‘îd bin Yûnus mengatakan pada bulan Zulka’dah tanggal 205 H

dan makamnya berada di Turnisia dan daerah Dimyath. Abû Nasr al-

Kalâbadzî mengatakan pada akhir tahun 205H. 36

b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Antara guru Bisyr bin

Bakr adalah ‘Abd al-Rahman bin Yazîd bin bin Jâbir, Sa‘îd bin ‘Abd al-‘Azîz

al-Tanûkhî, dan ‘Abd al-Hamîd bin Sawwar. Muridnya juga banyak, antara

lain ‘Abd al-Rahman bin Ibrâhîm Duhaim, Sulaimân bin Syu‘aib al-Kaisânî,

dan Muhammad bin Idrîs al-Syâfi‘î.

c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:

1. Abû Zur‘ah: Tsiqah.

2. Abû Hâtim: Mâ bih ba’s.

3. Al-Darâqutnî: Tsiqah. 37

4. Marrah: Laisa bih ba’s, tidakku ketahui kecuali hal-hal yang baik-baik

sahaja.

5. Al-‘Ijlî dan al-‘Aqilî: Tsiqah

6. Al-Hâkim: Ma’mûn.

                                                            
35
Ahmad ibn ‘Alî Hajar Abû al-Fadhl Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, (Beirut: Dar al-Fikr,
1984M/1404H), cet. 1, juz 1, h. 288. 
36
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 3, h. 60. Lihat Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî
Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 1, h. 101. 
37
Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 1, 290. Lihat Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-
Rijâl, juz 3, h. 60. 
22

7. Musalmah bin Qâsim, diriwayatkan dari al-Auzâ‘î: Lâ ba’s bih insya

Allah.

8. Ibn Hibbân (w. 354H/965M) juga menempatkan nama beliau namanya di

dalam kitab al-Tsiqât. 38

Penelitian para kritikus hadis tersebut menunjukkan bahwa Bisyr bin Bakr

adalah al-sughrâ min al-atbâ‘ yang tsiqah. Tidak ada seorang pun kritikus hadis yang

mencela pribadi Bisyr bin Bakr. Pernyataannya menerima riwayat hadis di atas dari

‘Abd al-Rahman bin Yazîd dengan metode al-samâ‘ (dengan lambang haddatsanâ)

dapat dipercaya kebenarannya. Ini terbukti sanad antara Bisyr bin Bakar dan ‘Abd al-

Rahman bin Yazîd dalam keadaan (muttasil) bersambung.

4) Ibn Jâbir

a) Nama lengkapnya: ‘Abd al-Rahman bin Yazîd bin Jâbir. Nasabnya adalah al-

Azadî al-Dimasyqî al-Dârimî. Manakala kuniyyahnya adalah Abû ‘Utbah.

Saudara kepada Yazîd bin Yazîd bin Jâbir dan bapa kepada ‘Abd Allah bin

‘Abd al-Rahman bin Yazîd bin Jâbir. 39 Banyak pendapat tentang tanggal

kewafatannya yaitu sekitar tahun 153, 154, 155, dan 156 H. 40

b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Guru Ibn Jâbir cukup

banyak antaranya Abî ‘Abd al-Salâm Sâlih bin Rustam, ‘Abd Allah bin ‘Umar

                                                            
38
Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 1, h. 288. 
39
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 421. 
40
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 423. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-
Tahdzîb, juz 1, h. 595. Lihat Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 2,
h. 168. 
23

bin ‘Abd al-‘Azîz, dan Zaid bin Aslam. 41 Manakala muridnya dalam bidang

ini antaranya adalah Bisyr bin Bakr al-Tinnîsî, ‘Abd Allah bin al-Mubârak,

dan ‘Îsâ bin Yûnus. 42

c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:

1. Ahmad bin Hanbal: Laisa bih ba’s.

2. Yahyâ bin Ma‘în: Tsiqah.

3. Ahmad bin ‘Abdullah al-‘Ijlî, Muhammad bin Sa‘îd, al-Nasâ`î dan

selainnya: Tsiqah.

4. Ya‘qûb bin Utsmân: ‘Abd al-Rahman dan Yazîd adalah anak lelaki Yazîd

bin Jâbir, keduanya tsiqah, menetap di Basrah kemudian berpindah ke

Syam.

5. Abû Dâwud: Beliau adalah tsiqât al-Nâs.

6. Abû Bakr bin Abî Dâwud: Tsiqah ma’mûn.

7. Mûsâ Hârûn: Abû Usâmah meriwayatkan dari ‘Abd al-Rahman bin Yazîd

bin Jâbir, beliau meyangka tidak akan menemui Ibn Jâbir sebaliknya

menemui ‘Abd al-Rahman bin Yazîd bin Tamîm yang disangkanya adalah

Ibn Jâbir. Ibn Jâbir tsiqah, Ibn Tamîm da‘îf. 43

Penelitian para kritikus hadis tersebut menunjukkan bahwa ‘Abd al-Rahman

bin Yazîd adalah kibâr al-atbâ‘ yang tsiqah. Tiada kritikus hadis yang mencela

pribadi beliau. Dengan demikian, pernyataannya menerima riwayat hadis di atas dari

                                                            
41
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 421. 
42
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 422. 
43
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 322. 
24

Sâlih bin Rustam dengan metode al-samâ‘ (dengan lambang haddatsanî) dapat

dipercayai. Itu berarti, sanad antara ‘Abd al-Rahman bin Yazîd dan Sâlih bin Rustam

dalam keadaan (muttasil) bersambung.

5) ‘Abd al-Salâm

a) Nama lengkapnya: Sâlih bin Rustam. Nasabnya al-Hâsyimî. Manakala

kuniyyahnya adalah Abû ‘Abd al-Salâm al-Dimasyqî. 44 Generasi kedua tabi‘in

Syam. 45

b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Guru ‘Abd al-Salâm

adalah Tsaubân; hamba Rasulullah SAW, ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Rahman

bin Hawâlah al-Azadî dan Makhul al-Syâmî. Manakala muridnya adalah ‘Abd

Allah bin ‘Abd al-Rahman bin Yazîd bin Jâbir, Sa’îd bin Ayyûb, dan

bapanya; ‘Abd al-Rahman bin Yazîd bin Jâbir.

c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:

1. ‘Abd al-Rahman bin Abî Hâtim: Aku bertanya kepada ayahku tentangnya,

dia menjawab: Majhûl lâ nu‘rifuh. 46

                                                            
44
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 9, h. 26. Lihat juga Al-‘Asqalânî, Taqrîb
al-Tahdzîb, juz 1, h. 428. 
45
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 9, h. 26. 
46
Al-Râzî, Al-Jarh wa al-Ta’dîl, (Beirut: Dar al-Fikr, 1954), cet 1, juz 4. h. 403. Lihat Al-
Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 9, h. 26.  
25

2. Abû Zur‘ah al-Damsyiqî: Beliau adalah generasi kedua dari tabi‘in Syam,

Abû ‘Abd al-Salâm; yang meriwayatkan darinya adalah Ibn Jâbir,

namanya adalah Sâlih bin Rustam, aku bertanya kepada syeikh siapakah

yang melahirkannya, jawabnya dengan namanya (tidak diketahui

identitasnya).

3. Ibn Hibbân menyebut nama beliau di dalam kitabnya al-Tsiqât. 47

Sekalipun identitas Sâlih bin Rustam dalam kesamaran, beliau masih dapat

dikategorikan surghrâ min al-atbâ’ yang tsiqah kerana pernyataan ahli hadis dengan

minimal ada dua orang yang meriwayatkan darinya atau lebih dapat menghilangkan

kejahalahan periwayat tersebut. 48

6) Tsaubân

a) Nama lengkapnya: Tsaubân bin Yujdud. Nasabnya adalah al-Qurasyî al-

Hâsyimî. Kuniyyahnya adalah Abû ‘Abd Allah. Ada yang mengatakan Abû

‘Abd al-Rahman. Beliau meninggal di Hims pada tahun 44 H. 49

b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Guru Tsaubân adalah

Nabi Muhammad SAW. Manakala muridnya antaranya adalah Abû ‘Abd al-

Salâm Sâlih bin Rustam, Syidâd bin Aus, 50 dan Abû Asmâ` al-Rahabî.

c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:


                                                            
47
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, Juz 9, h. 26. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-
Tahdzîb, juz 4, h. 341. 
48
Lihat Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Usûl Al-Hadîts, penerjemah Qodirun Nur dan
U

AhmadMusyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pranata, 2007), cet. 4, h. 242. 


49
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, Juz 3, h. 272. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb
Tahdzîb, juz 1, h. 151. Lihat Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 1,
h. 119. 
50
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 3, h. 271. 
26

1. Ibn Hibbân menyebutnya sebagai tsiqât.

Tsaubân merupakan hamba kepada Rasulullah SAW dan penduduk al-Sarah;

tempat atau daerah di antara Makkah dan Yaman. 51 Para ahli kritik hadis tidak ada

yang mencela pribadi Tsaubân dalam periwayatan hadis. Lambang periwayatan yang

digunakan dalam meriwayatkan hadis yang sedang diteliti sanadnya ini adalah qâla

yang oleh sebagian ulama, lambang itu disamakan kedudukannya dengan ‘an atau

pun ‘annâ. Kredibilitas keadilan sahabat juga tidak perlu dipertikai berdasarkan dalil-

dalil sifat adil sahabat dari kitab 52 dan juga hadis. 53

Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa hadis yang sanadnya diteliti ini

diterima langsung oleh Tsaubân dari Nabi, itu berarti pula bahwa antara Nabi dan

Tsaubân telah terjadi persambungan periwayatan hadis.

Selanjutnya, perlu dikemukakan bahwa sanad Abû Dâwud setelah diteliti

tidak mengandung syudzûdz (kejanggalan) dan ‘illah (cacat). Dinyatakan demikian,

kerana seluruh periwayatan yang terdapat dalam sanad yang diteliti, masing-masing

dari mereka itu bersifat tsiqât (adil dan dhabit), walau mayoritas periwayatnya telah

dinyatakan lafal keterpujian pada level yang keempat (yang menghasilkan sahîh
                                                            
51
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 3, h. 271. 
52
Maksudnya: Kamu (wahai umat Muhammad) adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi
(faedah) umat manusia, (kerana) kamu menyuruh berbuat segala perkara yang baik dan melarang
daripada segala perkara yang salah (buruk dan keji), serta kamu pula beriman kepada Allah (dengan
sebenar-benar iman). Dan kalaulah Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) itu beriman (sebagaimana yang
semestinya), tentulah (iman) itu menjadi baik bagi mereka. (Tetapi) di antara mereka ada yang
beriman dan kebanyakkan mereka: orang-orang yang fasik. Surat al-Imran ayat 110. Lihat, Al-
Khathib, Usûl Al-Hadîts, h. 388. 
U

53
Manakala contoh hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudriy berbunyi:
“Janganlah kalian mencaci salah seorang di antara sahabatku, karena salah seorang di antara
kalian, seandainya menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, maka tidak akan dapat menyamai satu
mud (yang dinafkahkan) oleh salah seorang di antara mereka dan tidak pula separuhnya”. Lihat, Al-
Khathib, Usûl Al-Hadîts, h. 387.
U
27

dalam bentuk kedua yaitu hasan), dan sanadnya bersambung mulai dari mukharrij

sampai kepada sumber utama berita, yaitu Rasulullah SAW.

Ini berarti, hadis yang diteliti ini telah memenuhi unsur-unsur kaidah

kasahihan sanad hadis, sehingga natijahnya dapat dinyatakan berkualitas sahih li

dzâtih. 54

Jalur sanad Ahmad bin Hanbal melalui Tsaubân

Disini penulis meneliti jalur sanadnya dari periwayat terakhir (mukharrij),

yakni Ahmad bin Hanbal, sehingga yang seterusnya sebelum Nabi.

1) Ahmad bin Hanbal

a) Nama lengkap: Ahmad Ibn Muhammad bin Hanbal Ibn Hilâl Ibn Asad al-

Syaibânî Abû ‘Abd Allah al-Marwazî al-Baghdâdî. 55 Beliau dilahirkan pada

bulan Rabi‘ul Awal tahun 164 hijrah atau november 780 M dan wafat pada

hari jumaat bulan Rabiul Awal tahun 241 hijrah di kota kelahirannya,

Baghdad dalam usia 77 tahun. 56

b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Antara guru Ahmad

adalah Abû Al-Nadar Hâsyim bin al-Qâsim, Ibrâhîm Ibn Khâlid al-Sin‘ânî,

dan ‘Abd al-Rahman bin Mahdî. 57 Manakala muridnya antaranya adalah al-

                                                            
54
Hadis di atas sahîh berdasarkan keseluruhan jalurnya, sebagaimana dikatakan Syeikh
Nashiruddin al-Albani, ia menyandarkan hadis ini kepada Abû Dâwud, al-Rûyânî dalam Musnadnya,
Ibn ‘Asâkir dalam Târîkh Baghdâd, Ahmad dalam Musnadnya, Abû Nu‘aim dalam al-Hilyah, dan
lain-lain. Lihat Silsilah al-Hadîts al-Sahîhah, Muhammad Nasr al-Dîn Al-Albânî, (Riyadh: Maktabah
al-Ma‘arif, 1415H/1995M), cetakan terkini, juz 2, h. 647-648, no. 958.
55
Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 2, h. 97. Lihat Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ`
al-Rijâl, juz 1, h. 226. 
56
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, (Beirut: Muassasah al-Risalah,
1403H/1973M), cet. 2, juz 1, h. 465.
57
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 1, h. 437-439. 
28

Bukhârî, Abû Dâud, dan ‘Abdullah Ibn ‘Umar Ibn Muhammad Ibn Abbân al-

Ju‘f. 58

c) Pernyataan kritikus hadis terhadap diri beliau:

1. Al-‘Ijlî: Tsiqah, tsabat fî al-Hadîts.

2. Al-Syâfi‘î: Aku telah melihat seorang pemuda di negeri Baghdad; apabila

dia berkata ‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ‬, semua orang akan mengatakan ia adalah sadûq. Ditanya

siapakah pemuda tersebut? Jawabnya: Ahmad bin Hanbal.

3. ‘Alî al-Madînî: Sesungguhnya Allah telah memuliakan agama ini kerana

Abû Bakr as-Siddîq pada peristiwa al-riddah dan dengan Ahmad bin

Hanbal pada peristiwa cobaan mengatakan al-Quran itu makhluk ( ‫ﻳﻮم‬

‫) اﻟﻤﺤﻨﺔ‬.

4. Al-Nasâ`î: Ahmad itu tsiqah ma’mûn.

5. Ibn Hibbân: Ahmad itu hâfiz mutqin faqih.

6. Ibn Sa‘ad: Ahmad itu tsiqah tsabit sudûq. 59

Tidak ada seorang kritikus pun yang mencela Ahmad bin Hanbal. Pujian yang

diberikan orang kepadanya adalah pujian berperingkat tinggi dan tertinggi. Dengan

demikian, pernyataannya yang mengatakan bahwa dia telah menerima riwayat hadis

di atas dari Abû al-Nadar Hâsyim bin al-Qâsim dengan metode al-samâ‘ (dengan

lambang haddatsanâ) dapat dipercaya. Itu berarti bahwa sanad antara beliau dan Abû

al-Nadar dalam keadaan bersambung.

                                                            
58
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 1, h. 440-441. 
59
Syams al-Dîn Muhammad ibn Ahmad ibn Uthmân Al-Dzahabî, Tadzkirah al-Huffâz,
(Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1375H-1955M), cet. 1, juz 11, h. 431-432. 
29

2) Abû al-Nadar

a) Nama sebenarnya adalah Hâsyim bin al-Qâsim bin Muslim bin Miqsam.

Nasabnya adalah al-Laitsî al-Kharâsâni. Kuniyyahnya adalah Abû al-Nadar.

Manakala laqabnya adalah Qaisar. 60 Dilahirkan pada 134 H dan meninggal di

Baghdad pada bulan Zulka’dah tahun 207 H. 61

b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Guru ulama hadis ini

cukup banyak antaranya Mubârak bin Fadâlah, Syarîk bin ‘Abdullah al-

Nakha‘î, 62 dan ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd Allah bin Dînâr. Manakala

muridnya antaranya adalah Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Muhammad bin

Yahyâ al-Qatthân, dan Abû Bakr bin Abî al-Nadar. 63

c) Pernyataan para kritikus terhadap diri beliau:

1. Ahmad bin Hanbal: Abû al-Nadar atsbat dari Syadzân.

2. Yahyâ bin Ma‘în: Tsiqah

3. ‘Alî bin al-Madînî, Muhammad bin Sa‘ad dan Abû Hâtim: Tsiqah

4. Al-‘Ijlî: Abû al-Nadar adalah kalangan kanak-kanak, mendomosili

Baghdad, seorang yang tsiqah sâhib sunnah, dan penduduk Baghdad

berbangga dengan beliau. 64

                                                            
60
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 19, h. 214. Lihat Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-
Tahdzîb, juz 11, h. 18. Lihat Al-’Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, juz 2, h. 261. 
61
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 19, h. 216. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrib
Tahdzib, juz 2, h. 261. Lihat Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 1,
h. 191-192. 
62
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 19, h. 214. 
63
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 19, h. 215. 
64
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 19, h. 216.  
30

Penelitian para kritikus hadis tersebut menunjukkan bahwa Abû al-Nadar

adalah al-surghrâ min al-atbâ‘ yang tsiqah. Kerana tidak ada seorang kritikus pun

yang mencelanya. Dengan demikian, pernyataannya menerima riwayat hadis di atas

dari Mubârak bin Fadâlah dengan metode al-samâ‘ (dengan lambang haddatsanâ)

dapat dipercaya. Itu berarti bahwa sanad antara beliau dan Mubârak bin Fadâlah

dalam keadaan bersambung.

3) Mubârak bin Fadâlah bin Abî Umayyah

a) Nama lengkapnya: Mubârak bin Fadâlah bin Abî Umayyah. Kuniyyahnya

adalah Abû Fadâlah. Manakala nasabnya adalah al-Basrî. Hamba Zaid bin al-

Khatthâb. 65 Meninggal dunia pada tahun 166 H. Sadûq yudallis. 66 Lâ ba’s

bih. 67

b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Antara gurunya adalah

Hasan al-Basrî, Abû Bakr bin ‘Abd Allah al-Mazanî, dan Wakî‘, Hibbân bin

Hilâl. 68 Manakala murid antaranya Ibn Mubârak, Muslim, dan Hadbah. 69

c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:

1. Hujjâj bin Muhammad: Aku bertanya kepada Syu‘bah tentang Mubarak

dan al-Rabî‘ bin Sabîh, jawabnya: Mubarak lebih aku sukai

berbandingnya,

                                                            
65
Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 1, h. 62. 
66
Ahmad ibn ‘Alî Hajar Abû al-Fadhl Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, juz 2, h. 157. 
67
Al-‘Ajali, Ma’rifah al-Tsiqât, juz 2, h. 263.  
68
Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, juz 2, h. 157.  
69
Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 1, h. 104. 
31

2. ‘Amrû bin ‘Alî: Aku telah mendengar ‘Affân berkata Mubârak dianggap

ahli ibadah.

3. Yahyâ bin Sa‘îd memaniskan ucapan pujian terhadap beliau.

4. Abû Hâtim: Sesungguhnya ‘Affân memujinya secara berlebih-lebihan.

5. ‘Abdullah bin Ahmad, apabila ditanyakan kepada bapaku tentang al-

Mubârak dan al-Rabî‘ bin Sabîh, maka jawabnya: Aku tidak terlalu rapat

dengan mereka berdua, al-Mubârak yudallis. 70

6. Abû Zur‘ah: Yudallis katsîr, apabila dia mengatakan haddatsanâ maka

tsiqah. 71

Para kritikus hadis memuji Mubârak bin Fadâlah, dan ada yang menilainya

sebagai yudallis 72 . Tetapi beliau masih bisa dikatakan tsiqah kerana argumentasi

yang dinyatakan oleh kritikus hadis; Abû Zur‘ah di atas.

4) Marzûq

a) Nama lengkapnya: Marzûq Abû ‘Abd Allah al-Syâmî al-Himsî. Nasabnya

adalah al-Syâmî al-Himsî manakala kuniyyahnya adalah Abû ‘Abdullah.

Beliau mendomisili di Basrah.

                                                            
70
Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 10, h. 27. 
71
Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahman bin Abî Bakr, Tabaqât al-Huffâz, (Beirut, Dar al-Kutub al-
‘Ilmiah, 1994), cet. ke-2, h. 93. 
72
Mudallas adalah hadis-hadis yang telah disisipkan ke dalam sanadnya, seseorang yang
bukan dari sanadnya, atau dirupakan dengan bukan rupa yang asli. Hadis ini amat daifnya. Ringkasnya
perawi tersebut tidak mau menyebutkan nama orang yang memberikan hadis kepadanya. Orang yang
diketahui pernah membuat hadis mudallas, tiada dipercayai lagi riwayatnya. Lihat, Ash-Siddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 350. 
32

b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Guru Marzûq antaranya

adalah Abû Asmâ` al-Rahabî, ‘Abd Allah bin ‘Âmir, dan ‘Âsim bin ‘Alî al-

Bajalî. 73 Manakala muridnya adalah Mubârak bin Fadâlah, Khulaid bin

Hassan dan Hammad bin Basyîr al-Jahdamî. 74

c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:

1. Yahyâ bin Ma‘în: Marzûq Abû ‘Abdullah al-Syâmî laisa bih ba’s.

2. Ibn Hibbân juga menempatkan nama beliau di dalam karangan al-Tsiqât.

3. Abû Mu‘tamir dan Rauh: Sadûq. 75

Tidak ada seorang pun dari kritikus hadis yang mencela pribadi Marzûq. Ini

menunjukkan Marzûq adalah seorang yang tsiqah. Dengan demikian, pernyataan

beliau yang menerima riwayat hadis di atas dari Abû Asmâ` al-Rahabî dengan

lambang haddatsanâ (dengan metode al-samâ‘) dapat dipercaya kebenarannya. Dan

berarti pula bahwa sanad antara Marzûq dan Abû Asmâ` al-Rahabî dalam keadaan

bersambung.

5) Abû Asmâ` al-Rahabî

a) Nama lengkapnya: ‘Amrû bin Martsad. Nasabnya adalah al-Rahabî al-Syâmî

al-Dimasyqî manakala kuniyyahnya adalah Abû Asmâ`. Meninggal dunia di

zaman khalifah ‘Abd al-Malik. 76


                                                            
73
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 27, h. 376. Lihat Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî
Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 1, h. 115. 
74
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 27, h. 377. 
75
Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwayah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 1, h. 115. Lihat Al-
Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 27, h. 377. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, juz
10, h. 79. 
33

b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Guru Abû Asmâ` al-

Rahabî antaranya adalah Tsaubân; hamba kepada Rasulullah, Syaddâd bin

Aus al-Ansârî, dan Abû Hurairah. Manakala muridnya pula antaranya adalah

Sâlih bin Jubair, Râsyid bin Dâwud al-Sin‘âni, dan Abû Sallâm al-Aswad.

c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:

1. Al-‘Ijlî: Beliau adalah seorang tabien, ahli Syam dan seorang yang tsiqah.

2. Ibn Hibbân juga menggolongkan dirinya di dalam kelompok periwayat

yang tsiqah sebagaimana yang terkandung di dalam kitabnya yaitu al-

Tsiqât. 77

Penelitian para kritikus hadis tersebut menunjukkan bahwa Abû Asmâ` al-

Rahabî adalah al-wusthâ min al-tâbi‘în yang tsiqah. Tidak ada seorang pun kritikus

hadis yang mencela pribadi beliau. Dengan demikian, pernyataannya yang

mengatakan bahwa dia menerima riwayat hadis di atas dari Tsaubân dengan metode

al-samâ‘ (dengan lambang ‘an) dapat dipercaya kebenarannya dan berarti sanad

antaranya dan Tsaubân dalam keadaan (muttasil) bersambung.

Tsaubân

Sudah dikritisi penulis pada halaman 25-26.

Jalur sanad Ahmad bin Hanbal melalui Abû Hurairah

1. Abû Ja’far al-Madâ`inî


                                                                                                                                                                          
76
Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb, juz 1, h. 745. Lihat Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu
Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 2, h. 295. 
77
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 14, h. 329. Lihat Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-
Tahdzîb, juz 8, h. 87. 
34

a) Nama lengkapnya: Muhammad bin Ja‘far. Nasabnya adalah al-Bazzâr.

Manakala kuniyyahnya adalah Abû Ja‘far al-Madâ`inî. 78 Beliau meninggal

dunia pada tahun 206 H. 79

b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Antara guru Abû Ja‘far

adalah ‘Abd al-Samad bin Habîb, ‘Îsâ bin Maimûn al-Madanî, dan Mansûr

bin Abî al-Aswad. Manakala muridnya antaranya adalah Ahmad bin Hanbal,

Hatim bin al-Laits al-Jauharî, dan Muhammad bin al-Husîn al-Burjulânî. 80

c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:

1. Abî Dâwud: Laisa bih ba’s, orang lain melayyinkannya. 81

2. Ahmad bin Hanbal: Lâ ba’s bih.

3. Abû Hâtim: Hadisnya ditulis, akan tetapi tidak boleh dijadikan hujjah

dengannya (lâ yuhtaj bih).

4. Ibn Hibbân menyebut namanya di dalam kitab al-Tsiqât. 82

Pernyataan terhadap Abû Ja‘far menunjukkan adanya para kritikus hadis yang

memuji dan mencelanya dengan lafal layyin dan lâ yuhtaj bih. Sedang lafal layyin

dan lâ yuhtaj bih adalah istilah untuk menyebut sifat periwayat yang tergolong al-

jarh (terdapat celaan) yang peringkatnya berada paling dekat dengan peringkat al-

                                                            
78
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 16, h. 175. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-
Tahdzîb, juz 2, h. 63. Lihat Al-’Asqalânî , Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 9, h. 86. 
79
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 16, h. 176. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-
Tahdzîb, juz 2, h. 63. 
80
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 16, h. 176. 
81
Lihat Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 1, h. 26. Lihat
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 16, h. 176. 
82
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 16, h. 176. Lihat Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-
Tahdzîb, juz 9, h. 86.  
35

ta’dîl yang terendah. 83 Walaupun Abû Hâtim dan Abû Dâwud sudah terpercaya akan

ketsiqahan keduanya tetapi mereka tidak menjelaskan sebab-sebab yang

melatarbelakangi ke-layyin-an dan ke-lâ yuhtaj bih-an Abû Ja‘far al-Madanî. 84

Kerananya, kritikan tersebut tidak mengurangi ke-tsiqat-an Abû Ja‘far al-Madanî.

2. ‘Abd al-Samad bin Habîb bin ‘Abdullah

a) Nama lengkapnya: ‘Abd al-Samad bin Habîb bin ‘Abdullah. Nasabnya adalah

al-Azdî al-Auzî. Ada pendapat lain yaitu al-Yuhmadî al-Basrî. Al-Bukhârî

menambah yakni beliau adalah ‘Abd al-Samad bin Abî al-Hantsar al-Râsibî. 85

b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Guru ‘Abd al-Samad

adalah bapanya Habîb, Sa‘îd bin Rahman al-Quthâ‘î dan Ma‘qil al-Qasmalî.

Manakala muridnya adalah Muhammad bin Ja‘far al-Madâ`inî, Abû Qutaibah

Salm bin Qutaibah, dan Abû al-Nadar Hâsyim bin al-Qâsim.

c) Pernyataan para kritikus hadis terhadap dirinya:

1. Yahyâ bin Ma‘în: Laisa bih ba’s. 86

2. Abû Zakariyâ: ‘Abd al-Samad bin Habîb adalah syeikh Baghdad laisa bih

ba’s. Beliau hâhinâ bi baghdâd.

3. Al-Bukhârî: Layyin al-Hadîts, Ahmad menda‘îfkannya. 87

                                                            
83
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, (Bandung: PT Alma’rif, 1974), cet. 1, h.
318. 
84
Lihat Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 75. 
85
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 473. 
86
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 473. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-
Tahdzîb, juz 1, h. 601. 
87
Al-Dzahabî, Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah, juz 2, h.173. 
36

4. Abû Hâtim: Layyin al-Hadîts, Ahmad menda‘îfkannya, hadisnya ditulis,

laisa bi al-Matrûk. 88

Memandangkan ‘Abd al-Samad bin Habîb menerima hadis dari ayahnya

dengan lambang ‘an, ulama telah banyak yang mempersoalkan tentang lafal atau harf

tersebut. Maka perlu memenuhi syarat-syarat tertentu. 89 Setelah diteliti, penulis tidak

menemukan data adanya pertemuan yaitu tanggal wafat dan lahir, beliau juga

dinyatakan layyin. Oleh kerana ulama tidak menyertakan sebab kelayyinan beliau,

maka beliau masih bisa dikatakan tsiqah tetapi kredibilitasnya kurang.

3. Habîb bin ‘Abdullah

a) Nama lengkapnya: Habîb bin ‘Abdullah. Nasabnya adalah al-Azadî al-

Yuhmadî al-Basrî. Manakala kuniyyahnya adalah Abû ‘Abd al-Samad. 90

b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Gurunya adalah Syubail

bin ‘Auf al-Ahmasî, al-Hakam bin ‘Amrû al-Ghifârî, dan Sinan bin Salamah

bin al-Muhabbaq. Manakala muridnya hanya seorang sahaja yaitu anaknya;

‘Abd al-Samad bin Habîb. 91

Penulis tidak menemukan data tentang penilaian kritikus terhadap periwayat

ini. Yang menandakan periwayat ini adalah mastûr (tidak diketahui hal ihwalnya).

Walaubagaimanapun jahâlah tersebut akan hilang sekiranya ada dua orang atau lebih

                                                            
88
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 11, h. 473. 
89
Syarat-syarat itu adalah: 1. Pada sanad tidak terdapat tadlîs. 2. Para periwayat yang
namanya beriring dan diantarai oleh lambang itu telah terjadi pertemuan. 3. Periwayat yang
menggunakan lafal tersebut mestilah orang yang tsiqah. Lihat, Ismail, Metodologi Penelitian Hadis
Nabi, h. 79. 
90
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 4, h. 124. 
91
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 4, h. 124. 
37

yang meriwayatkan hadis darinya. Secara dzahirnya, mereka berstatus adil tetapi ke-

mastûr-an tersebut menyebabkan tiada ulama yang menilai tsiqah dan

mentarjîhkannya. Dengan keintelektualitas yang tidak dapat dibatasi tersebut, penulis

dapat memberi kesimpulan beliau adalah periwayat yang adil.

4) Syubail bin ‘Auf

a) Nama lengkapnya: Syubail bin ‘Auf bin Abî Hayyah. Nasabnya adalah al-

Ahmasî al-Bajalî. Manakala kuniyyahnya adalah Abû al-Thufail al-Kûfî. 92

b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan hadis: Gurunya adalah Abû

Hurairah, ‘Umar bin al-Khatthâb, dan Abî Jabîrah bin al-Dahâk al-Ansârî.

Manakala muridnya adalah Habîb bin ‘Abdullah al-Azadî; bapa kepada ‘Abd

al-Samad bin Habîb dan Ismâ‘îl bin Abî Khâlid. 93

c) Pernyataan para kritikus terhadap diri beliau:

1. Yahyâ bin Ma‘în: Tsiqah

2. Ibn Hibbân menyebut namanya di dalam kitab al-Tsiqât. 94

3. Ibn Sa‘îd: Tsiqah, sedikit meriwayatkan hadis. 95

Pernyataan para kritikus hadis tersebut telah memadai untuk menetapkan

bahwa Syubail bin ‘Auf adalah seorang periwayat hadis dari generasi kibâr al-tâbi‘în

yang tsiqah. Dengan demikian, pernyataan Syubail bin ‘Auf bahwa dia menerima

hadis di atas dengan metode al-samâ‘ (dengan lambang ‘an) dari Abû Hurairah, tidak
                                                            
92
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 8, h. 280. Lihat Al-‘Asqalânî, Taqrîb al-
Tahdzîb, juz 1, h. 412. 
93
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 8, h. 280. 
94
Al-Mizî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl, juz 8, h. 280. Lihat Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-
Tahdzîb, juz 4, h. 273. 
95
Al-‘Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 4, h. 273. 
38

diragukan lagi kebenarannya. Itu berarti pula bahwa sanad antara Syubail bin ‘Auf

dan Abû Hurairah bersambung.

5) Abû Hurairah

a) Nama lengkapnya: ‘Abdullah atau ‘Abd al-Rahman al-Dausî dari Azd al-

Yamanî. Versi lain mengatakan bahwa namanya adalah Abû Hurairah bin

Sakhr. 96 Beliau memeluk Islam pada tahun ke-7 H pada waktu peristiwa

Khaibar dalam usia kira-kira 27 tahun. 97 Abû Hurairah lahir pada tahun 21

sebelum hijrah dan meninggal pada tahun 57 H/636M dalam usia 78 tahun. 98

b) Guru dan muridnya dalam bidang periwayatan: Guru Abû Hurairah antara lain

adalah Muhammad SAW, Abû Bakr al-Siddîq, dan Usâmah bin Zaid.

Manakala muridnya antara lain adalah ‘Abdullah bin ‘Umar, Muhammad bin

Sîrîn, dan ‘Urwah bin Zubîr. 99

c) Pernyataan ulama kritikus hadis terhadap beliau:

1. ‘Abdullah bin ‘Umar (w. 37H) berkata bahwa Abû Hurairah sering

bersama Nabi Muhammad SAW daripada kami, lebih banyak menghafal

hadis dari kami.

                                                            
96
‘Izz al-Dîn Ibn Al-Asr Abî al-Hasan ‘Alî bin Muhammad al-Jazrî, Usl al-Ghâbah fî
U

Ma’rifah al-Sahâbah, juz 5, h. 318-319. 


97
Mahmud ‘Ali Fayyad, Manhaj al-Muhadditsîn fî Dabth as-Sunnah, penerjemah A. Zarkasyi
Chumaidy, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1419H/1998M), cet. 1, h. 108. 
98
Al-Jazrî, Usl al-Ghâbah fî Ma’rifah al-Sahâbah, juz 5, h. 321. 
U

99
Ibrahim Dasuqi Al-Syahrawi, Mu‘âlah al-Hadîts, (Qairo: Syirkah al-Tiba’at al-Fanniyah al-
Muttahidah, t.t), h. 181. 
39

2. Al-Syâfi‘î (w. 206H) berkata bahwa Abû Hurairah paling hapal hadis

daripada periwayat-periwayat hadis pada zamannya, dan paling banyak

meriwayatkan hadis daripada mereka.

3. Al-A‘raj (w. 117H) berkata bahwa Abû Hurairah banyak menerima hadis

dari Nabi Muhammad SAW, selalu menghadiri majlisnya, dan tidak

melupai apa yang telah didengarinya. 100


101
Abû Hurairah merupakan generasi pertama sahabat. Beliau terkenal

sebagai salah seorang yang sangat hampir dan banyak mendampingi Rasulullah,

seorang yang terkenal dengan kejujuran dan sangat penyayang. 102

Dalam bidang periwayatan hadis, Abû Hurairah menduduki peringkat pertama

dari sahabat yang digelari al-muktsirûn fî al-hadîts. 103

Para kritikus tiada yang mencela pribadi Abû Hurairah dalam periwayatan

hadis. Melihat hubungan pribadinya yang erat dengan Nabi SAW dan dedikasinya

yang tinggi dalam memelihara sumber ajaran Islam kedua ini, maka Abû Hurairah
                                                            
100
Bustamin dan M. Isa H.A Salam, Metodologi kritik hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo,
2004), cet. 1, h. 52. 
101
Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahman bin Abî Bakr, Tabaqât al-Huffâz, (Beirut: Dar al-Kutub Al-
Ilmiah, 1994), cet. ke-2, h. 17. 
102
Hubungannya yang erat dengan Rasulullah kerana beliau tidak disibukkan dengan urusan.
Hal ini kerana ia merupakan seorang yang fakir dan tidak berharta sehingga hampir seluruh waktunya
digunakan untuk berada di sisi Rasul, suatu hal yang tidak bisa dilakukan oleh kaum anshar pada
umumnya. Lihat, Fayyad, Manhaj al-Muhadditsîn fî Dabth as-Sunnah, h. 108. 
103
Al-Muktsirûn fî al-Hadîts (Bendaharawan Hadis) ialah sahabat Nabi SAW yang telah
meriwayatkan hadis lebih dari 1000 buah hadis. Mereka itu ada tujuh orang, yakni (1) Abû Hurairah
(w. 58H), (2) ‘Abdullah bin ‘Umar (w. 73H), (3) Anas bin Mâlik (w. 93H), (4) Um al-Mukminîn
‘Âisyah (w. 58H), (5) ‘Abdullah bin ‘Abbâs (w. 68H), (6) Jâbir bin ‘Abdullah (w. 78H), (7) Abû Sa‘îd
Al-Khudrî. Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî berjumlah 5374 buah. Di antara jumlah tersebut,
325 buah hadis disepakati oleh al-Bukhârî Muslim. 93 buah diriwayatkan oleh al-Bukhârî sendiri dan
189 buah diriwayatkan oleh Muslim sendiri. Sedang sisanya diriwayatkan oleh ulama hadis selain al-
Bukhârî dan Muslim. Lihat, Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, h. 287-288. 
40

termasuk salah seorang sahabat Nabi yang tidak diragukan kejujuran dan

kesahihannya dalam menyampaikan hadis. Lambang periwayatan yang digunakan

dalam meriwayatkan hadis yang diteliti sanadnya ini adalah sami‘tu. Ini berarti, Abû

Hurairah benar-benar telah mendengar langsung hadis tersebut dari Nabi Muhammad

SAW.

Dengan demikian, dapatlah dinyatakan bahwa hadis yang sanadnya diteliti ini

diterima langsung oleh Abû Hurairah dari Nabi SAW. Dan berarti pula bahwa antara

Nabi dan Abû Hurairah telah terjadi persambungan periwayatan hadis.

Kekuatan sanad Ahmad bin Hanbal semakin meningkat bila dikaitkan dengan

pendukung berupa syâhid dan mutâbi‘. Kesahihan sanad dari Abû Dâwud juga telah

menambah kekuatan sanad Ahmad.

Dengan argumentasi-argumentasi tersebut jelaslah bahwa sanad Ahmad bin

Hanbal melalui Abû Ja‘far al-Madâ`inî dan seluruh periwayatannya bersifat adil dan

dhabit (tsiqat), sanadnya juga dalam keadaan bersambung. Konklusinya dapat

dinyatakan bahwa hadis yang bersangkutan berkualitas sahîh li ghairih. 104

E. Kegiatan Penelitian Matan

Dalam hubungannya dengan status kehujahan hadis, maka penelitian sanad

dan matan memiliki kedudukan yang sama pentingnya. Kerana menurut ulama hadis,

keotentikan sebuah hadis ditentukan oleh dua hal, yakni sanad dan matan. Sanad ialah

                                                            
104
Hadis di atas sahîh berdasarkan keseluruhan jalurnya, sebagaimana dikatakan Syeikh Nasr
al-Dîn al-Albânî, ia menyandarkan hadis ini kepada Abû Dâwud, al-Rûyânî dalam Musnadnya, Ibn
‘Asâkir dalam Târikh Baghdâd, Ahmad dalam Musnadnya, Abû Nu‘aim dalam al-Hilyah, dan lain-
lain. Lihat Silsilah al-Hadîts al-Sahîhah, Muhammad Nasr al-Dîn Al-Albânî, (Riyadh: Maktabah al-
Ma‘arif, 1415H/1995M), cetakan terkini, juz 2, h. 647-648, no. 958.
41

rangkaian periwayat yang menyampaikan hadis dari masdarnya yang awal. Sedang

istilah matan adalah materi hadis itu sendiri. Kerana itu, sebuah hadis akan dianggap

otentik apabila memenuhi beberapa persyaratan yang terkait dengan sanad dan matan

yaitu apabila keduanya itu sama-sama berkualitas sahih. 105

Adapun langkah-langkah metodologis kegiatan penelitian matan hadis yaitu

1) Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya. 2) Mengindektifikasikan bentuk

periwayatan. 3) Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna. 4) Meneliti

kandungan matan (membandingkan dengan nas). Sedangkan yang menjadi unsur-

unsur acuan utama yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas sahih

adalah terhindar dari syudzûdz (keganjalan) dan terhindar dari ‘illat (cacat).

Dalam kegiatan kritik matan (naqd al-matn al-dakhilî) ini, penulis akan

mencoba berusaha memenuhi langkah-langkah tersebut.

1. Melihat Kualitas Sanad Hadis

Konklusi hasil kritik sanad (naqd al-sanad, al-naqd al-kharijî) hadis yang

diteliti telah ditegaskan bahwa dua sanad hadis Ahmad bin Hanbal dan satu dari Abû

Dâwud adalah berkualitas sahîh. Itu berarti bahwa kualitas hadis dari kedua-dua

musnad telah memenuhi langkah pertama kritik matan untuk hadis yang

bersangkutan.

2. Mengindektifikasikan bentuk periwayatan

                                                            
105
Hadis yang sanadnya sahih dan matannya tidak sahih, atau sebaliknya, sanadnya dhaif dan
matannya sahih, tidak dinyatakan sebagai hadis sahih. Meskipun dalam prakteknya, kegiatan penelitian
sanad didahulukan atas penelitian matan. Lihat, Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 122-123. 
42

Redaksi matan hadis di atas merupakan hadis qauliyyah. Dari segi bahasa,

hadis tersebut menggambarkan bahasa kenabian, yaitu mengandung pesan yang

mengajak kepada kebenaran dan kesadaran dengan bahasa yang singkat, padat, sopan,

namun tegas dan terfokus kepada masalah yang dibicarakan.

Hadis sebagai sebuah pesan-pesan keagamaan disampaikan dalam sebuah

bahasa yang tentunya juga bersifat keagamaan. Sebagai sebuah bahasa keagamaan

tentu sedikit tidaknya berbeda dengan bahasa ilmiah atau bahasa umum. Salah satu

ciri yang paling menonjol dalam bahasa keagamaan adalah seringnya pemakaian

bahasa metaforis dan kiasan. 106 Sementara hadis di atas, Nabi menyampaikan maksud

hadis dengan simbolik, kiasan dan perumpamaan yang menarik.

3. Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna

Susunan matan hadis untuk ketiga sanad yang telah dikutip dari dua mukharrij

terlihat adanya perbedaan lafal. Untuk memperjelaskan adanya perbedaan lafal

dimaksud, berikut ini dikemukakan contoh perbedaan lafal dari kutipan tiga matan

tersebut:
107
‫ت‬
ِ ْ‫ﺣﺐﱡ اﻟﺪﱡﻧْﻴَﺎ َو َآﺮَا ِه َﻴ ُﺔ اﻟْ َﻤﻮ‬
ُ .1
108
‫ت‬
ِ ْ‫ﺤﻴَﺎ ِة َو َآﺮَا ِه َﻴ ُﺔ اﻟْ َﻤﻮ‬
َ ْ‫ﺣﺐﱡ اﻟ‬
ُ .2
109
‫ل‬
َ ‫ﺣﺒﱡ ُﻜ ْﻢ اﻟﺪﱡﻧْﻴَﺎ َو َآﺮَا ِه َﻴ ُﺘ ُﻜﻢْ اﻟْ ِﻘﺘَﺎ‬
ُ .3

                                                            
106
Maizuddin, “Pemahaman Kontekstual Atas Hadis Nabi,”artikel diakses pada 6 Mac 2010
dari http://maizuddin.wordpress.com/artikel/pemahaman-kontekstual-atas-hadis-nabi/
107
Susunan matan dari mukharrij Abû Dâwud. 
108
Susunan matan dari mukharrij Ahmad, jalur Tsaubân. 
109
Susunan matan dari mukharrij Ahmad, jalur Abû Hurairah. 
43

Dengan demikian, apabila ditempuh metode muqâranah terhadap perbedaan

lafal pada berbagai matan yang semakna, maka dapat dinyatakan bahwa perbedaan

lafal tersebut masih dapat ditoleransi. Pernyataan ‘dapat ditoleransi’ didasarkan atas

alasan bahwa di antara sanad-sanad dari hadis di atas kesemuanya sahîh 110 dan

sebagai konsekuensi maknaperiwayatan hadis secara (al-riwâyah bi al-ma nâ). 111

Akan tetapi tidak seperti kesarjanaan Muslim dalam melakukan autentifikasi

hadis dengan metode autensitas hadis yang terlalu umum, penelitian hadis di Barat

lebih menekankan pada bagaimana memverifikasi sebuah hadis untuk mebedakan

yang autentik dari yang tidak autentik. Penekanan pada penelitian mereka adalah

bagaimana melakukan sebuah “penanggalan” (dating) atas sebuah hadis untuk

menilai historitas sebuah hadis.

Jadi bagi menjawab segala pertanyaan kapan, di mana dan siapa yang

menemukan sebuah hadis, sejumlah metode telah dikembangkan oleh kesarjanaan

Barat seperti Joseph Schacht, G.H.A Juynboll, Harald Motzki dan lain-lain. Salah

satu metode telah mengenalkan apa yang disebut dengan konsep “common link”,

yang telah menyebabkan lahirnya konsep-konsep lain seperti “partial common link”,

“spider”, “single strand”, dan “diving”.

                                                            
110
Hadis di atas sahîh berdasarkan keseluruhan jalurnya, sebagaimana dikatakan Syeikh Nasr
al-Dîn al-Albânî, ia menyandarkan hadis ini kepada Abû Dâwud, al-Rûyânî dalam Musnadnya, Ibn
‘Asâkir dalam Târikh Baghdâd, Ahmad dalam Musnadnya, Abû Nu‘aim dalam al-Hilyah, dan lain-
lain. Lihat Silsilah al-Hadîts al-Sahîhah, Muhammad Nasr al-Dîn Al-Albânî, h. 647-648, no. 958.
111
Para sahabat dan pakar hadis yang lahir kemudian mempersoalkan tentang boleh tidaknya
periwayatan hadis secara makna. Tetapi kebanyakan dari mereka memperbolehkannya dengan
menekankan pentingnya pemenuhan beberapa syarat yang cukup ketat. Lihat, M. Syuhudi Ismail,
Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), cet. 2, h. 70-71. 
44

Konsep common link diperkenalkan oleh Joseph Schacht di dalam bukunya

The Origins of Muhammadan Jurisprudence telah diadopsi oleh Josef van Ess.

Mereka saling mengkaji perkembangan (proliferation) penyebaran isnâd, yakni

pembuatan otoritas (perawi) tambahan untuk matan yang sama. Dalam hal ini, yang

menimbulkan pertanyaan adalah bagaimana terjadinya perbedaan lafal di dalam dua

jalur redaksi hadis sedangkan ia bersumber dari seorang sahabat (Tsaubân)? Hasil

kajian tersebut melahirkan asumsi bahwa proliferasi isnâd mungkin terjadi dalam

beberapa cara yang dalam skripsi ini tidak dijelaskan oleh penulis. 112

Berbeda dengan Schacht, Juynboll dan lain-lain yang menganggap common

link sebagai pemalsu atau pemula bagi sebuah hadis, konsep ini sebenarnya telah

dikritisi oleh Harald Motzki dengan metode penanggalan atas dasar analisis sanad dan

matan (isnâd cum matn analysis) mencoba mencari penjelasan lain tentang fenomena

common link dan single strands. Interpretasi Motzki pada fenomena common link

membawanya pada penafsiran yang berbeda tentang jalur tunggal antara common link

dan otoritas yang lebih awal (lebih tua) dan fenomena diving. Menurut beliau, jalur

tunggal (single strands) tidak harus berarti bahwa hanya satu jalur periwayatan. Jalur

tunggal hanya berarti bahwa common link ketika meriwayatkan sebuah hadis dari

koleksinya hanya menyebut satu jalur riwayat, yaitu versi yang paling dia ketahui.

Mungkin terdapat versi lain dengan jalurnya, yang tidak sempat terkumpul atau

menghilang karena common link (penghimpun pertama) tidak menerimanya atau

                                                            
112
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT
Mizan Publika, April 2009), cetakan 1, h. 155-156. 
45

tidak menyampaikannya, atau karena versi tersebut tidak diketahui pada masa dan di

tempat common link. Di kemudian hari, para murid common link atau penghimpun

belakangan mencoba untuk menemukan versi-versi (yang mungkin hilang atau

diabaikan oleh common link) bersama dengan jalur-jalur informasinya. 113

4. Meneliti kandungan matan (membandingkan dengan nas)

Apabila dirujuk kepada hadis-hadis yang membicarakan tentang peristiwa-

peristiwa di akhir zaman, penulis menemukan matan lain yang memiliki topik

masalah yang sama dengan hadis yang sedang diteliti. Dan ternyata kandungannya

pun sejalan.

Hadis yang sejalan dimaksud diriwayatkan oleh al-Hâkim berbunyi:

‫ أﻧﺒﺄ اﺑﻦ‬، ‫ أﻧﺒﺄ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ‬، ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ اﻟﻌﺒﺎس ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻳﻌﻘﻮب‬
‫ ﺣﺪﺛﻨﻲ أﺑﻮ ﺳﻌﻴﺪ اﻟﻐﻔﺎري‬، ‫ أﺧﺒﺮﻧﻲ أﺑﻮ هﺎﻧﺊ ﺣﻤﻴﺪ ﺑﻦ هﺎﻧﺊ اﻟﺨﻮﻻﻧﻲ‬، ‫وهﺐ‬
‫ ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ‬: ‫ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻳﻘﻮل‬، ‫ ﺳﻤﻌﺖ أﺑﺎ هﺮﻳﺮة‬: ‫ أﻧﻪ ﻗﺎل‬،
‫ وﻣﺎ داء‬، ‫ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ‬: ‫ ﺳﻴﺼﻴﺐ أﻣﺘﻲ داء اﻷﻣﻢ ﻓﻘﺎﻟﻮا‬:‫اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮل‬
‫ اﻷﺷﺮ واﻟﺒﻄﺮ واﻟﺘﻜﺎﺛﺮ واﻟﺘﻨﺎﺟﺶ ﻓﻲ اﻟﺪﻧﻴﺎ واﻟﺘﺒﺎﻏﺾ واﻟﺘﺤﺎﺳﺪ‬:‫اﻷﻣﻢ ؟ ﻗﺎل‬
114
« ‫ﺣﺘﻰ ﻳﻜﻮن اﻟﺒﻐﻲ » هﺬا ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ اﻹﺳﻨﺎد وﻟﻢ ﻳﺨﺮﺟﺎﻩ‬

Artinya: Dan pada Abû Hurairah r.a. katanya: Aku mendengar


RasuIullah SAW bersabda, "Umatku akan ditimpa penyakit-penyakit yang
pernah menimpa umat-umat dahulu". Sahabat bertanya, "Apakah penyakit-
penyakit umat-umat terdahulu itu?" Nabi SAW menjawab, "Penyakit-penyakit
itu ialah (1) terlalu banyak seronok, (2) terlalu mewah, (3) menghimpun harta

                                                            
113
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, h. 167-168.
114
Abî ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah Al-Hâkim al-Naisâbûrî, Al-Mustadrak, (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, t.t.), hadis ke-7419, juz 17, h. 158.  
46

sebanyak mungkin, (4) tipu menipu dalam merebut harta benda dunia, (5)
saling memarahi, (6) hasut menghasut sehingga jadi zalim menzalim". 115

Hadis disabdakan Nabi SAW di atas secara redaksi juga sehubungan dengan

turunnya al-Quran surat al-Imran ayat 7:

t´8 8ÕµŽ ‹…%ˆ


Χ
I‰Éδ“.‹lŒß ºÝÝe`X Ù2´N´‰Î Î
‹ÊÙµ*Ü ́ÝAµ% ¡–Œ" %
µ‡‹AÝ*µáÞ
Maksudnya: Adapun orang-orang Yang ada Dalam hatinya kecenderungan ke

arah kesesatan, maka mereka selalu menurut apa yang samar-samar dari Al-Quran

untuk mencari fitnah.

Hal tersebut sekaligus memberi informasi bahwa hadis yang sedang diteliti

juga mendapat dukungan dari ayat al-Quran. Secara tegas dapat dinyatakan bahwa

hadis yang diteliti mengandung petunjuk tentang gambaran perlunya kita

mengintrospeksi diri supaya terhindar dari penyakit al-wahn. Kerana ifek dari

penyakit ini akan menyebabkan kita sebagai umat Islam hilang hak dan keistimewaan

serta sangat mudah dikuasai oleh musuh.

                                                            
115
Al-Asyqar, Al-Yaum al-Akhîr al-Qiyâmah al-Sughrâ wa ‘Alâmât al-qiyâmah al-Kubrâ, h.
180. 
BAB III

RELEVANSI TEKS HADIS DENGAN KONTEKS

A. Teks dan Kontekstual Hadis

Kata “kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia mengandung dua arti: 1) Bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat

mendukung atau menambah kejelasan makna. 2) Situasi yang ada hubungan dengan

suatu kejadian 1 . Kedua arti ini dapat digunakan karena tidak terlepas istilah dalam

kajian pemahaman hadis. Manakala kontekstual yang dalam bahasa arab adalah al-

waqî‘iyyah. Di dalam hadis yang menunjukkan kaitannya dengan kontekstual adalah

asbâb al-wurûd.

Pemahaman kontekstual atas hadis adalah memahami hadis-hadis Rasulullah

dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi

yang melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut, atau dengan kata lain dengan

memperhatikan dan mengkaji konteksnya. Dengan demikian asbâb al-wurûd dalam

kajian kontekstual dimaksud merupakan bagian yang paling penting. Tetapi kajian

yang lebih luas tentang pemahaman kontekstual tidak hanya terbatas pada asbâb al-

wurûd dalam arti khusus seperti yang biasa dipahami, tetapi lebih luas dari itu

                                                            
1
Budiono MA, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Penerbit Agung, 2005), h. 285.
47 
  48

meliputi konteks historis-sosiologis, di mana asbâb al-wurûd merupakan bagian

darinya. 2

Dengan demikian, pemahaman kontekstual atas hadis Nabi berarti memahami

hadis berdasarkan kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis

diucapkan, dan kepada siapa pula hadis itu ditujukan. Artinya, hadis Nabi SAW

hendaknya tidak ditangkap makna dan maksudnya hanya melalui redaksi lahiriah

tanpa mengkaitkannya dengan aspek-aspek kontekstualnya (konteks historis). 3

Realitas sosial budaya juga menjadi pertimbangan yang penting. Sebab hadis

pada umumnya adalah respons terhadap situasi yang dihadapi oleh Rasul dalam ruang

dan waktu tertentu, baik itu situasi yang bersifat umum (sosial budaya) maupun

situasi khusus (terhadap seorang atau beberapa orang sahabat). Memahami situasi-

situasi tersebut atau asbâb al-wurûd akan mengantarkan penafsir atau pembaca

berada dalam ruang dan waktu di mana hadis itu diucapkan sehingga memberikan

wawasan yang lebih luas mengapa (‘illah) dan siapa yang menjadi sasaran (objek)

hadis. Dari sini maka akan dapat ditangkap maksud sebenarnya yang dituju oleh

hadis tersebut dengan baik serta akan memberikan jalan keluar bagi hadis-hadis yang

secara lahir tampak bertentangan. 4

Tetapi sekiranya integritas hadis sebagai sumber materi dakwah Islam

digambarkan dalam konteks Islam modern, tentu akan mengalami distorsi pemaknaan
                                                            
2
Maizuddin, “Pemahaman Kontekstual Atas Hadis Nabi”, artikel ini diakses pada 6 Mac 2010
dari http://maizuddin.wordpress.com/artikel/pemahaman-kontekstual-atas-hadis-nabi/
3
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta:
Paramadina, Oktober 1996), cet. 1, h. 214. 
4
Maizuddin, “Pemahaman Kontekstual Atas Hadis Nabi”. 
  49

tentang fungsi dan kedudukan hadis. Yaitu perbedaan mendasarnya dan relevansinya

bagaimana masyarakat yang dihadapi di zaman Nabi SAW dengan masyarakat di era

modern ini yang tidak keluar dari pokok utama yaitu Al-Quran, supaya dapat

dipahami bahwa integritas hadis bisa menjadi pilar materi sekaligus sumber bagi

kelangsungan dakwah dalam konteks Islam modern yang kerap menghadapi isu-isu

kontemporer seperti HAM, demokrasi, gender, pluralisme, dan lain sebagainya. 5

Oleh itu, dalam aspek penafsiran sebuah teks, bagi mencari relevansinya

dengan persoalan masa kini dan dalam tujuan meuniversalkan peran hadis sesuai

dengan kebutuhan zaman, penelusuran melalui metode pendekatan pemahaman

kontekstual yaitu melalui sejarah atau ulasan sosiologis dan dengan mengemukakan

pembuktian-pembuktiannya, sebab akibat dan penjelasan bahasa juga antara aspek

terpenting.

B. Pengertian al-Wahn dan Penafsiran Hadis

Menurut bahasa, seperti yang dikutip dari kitab lisân al-‘Arab, Mu‘jam al-

Wasîth dan Al-Munjid telah menginformasikan definisi kata al-wahn dengan arti

kelemahan, baik berbentuk: 1) lemah dalam amal dan urusan.6 2) lemah dan kelayuan

daya semangat hidup, vitalitas, energy, dinamika. 7 Dengan melihat etimologi ‫ﻦ‬
ُ ْ‫اﻟْ َﻮه‬

                                                            
5
Makhsis Shahaby, “Integritas Hadis Dalam Konteks Dakwah”, artikel diakses pada 14 march
2010 dari http://lenterahadis.com/index.php?option=com_content&view=article&id=67:integritas-
hadits-dalam-konteks-dakwah-islam&catid=36:kajian-hadis&Itemid=57
6
Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukram ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar
Shadir, 1414 H/1994 M), cet. 3, jilid 13, h. 453. Lihat kamus Al-Munjid fî al-Lughah wa al-‘Alam,
(Beirut: Dar al-Rasyid, t.t.), h. 921.
7
Jumhuriyyah Mesir al-‘Arabiyyah, Mu‘jam al-Wasîth, (T.tp.: Maktabah al-Syuruf al-
Dauliyyah, 1423H/2004M), cet. 4, h. 1060-1061.
  50

Penafsirannya yang terekam di dalam al-Quran juga dengan arti ‘lemah

bertambah-lemah’, malah bukti eksistensi bahasa tersebut turut disenandungkan

dalam bait syair: 8

‫وﻣﺎ ان ﺑﻌﻈﻢ ﻟﻪ ﻣﻦ وهﻦ‬

…..Tidak dikatakan kuat seandainya baginya ada lemah

Adapun data yang disajikan kitab Mu’jam al-Mufahras li al-Alfâz al-Qur`an

al-Karîm lewat penelusuran ungkapan wahn (‫ﻦ‬


ُ ْ‫ ) َوه‬terekam pada ayat 14 di dalam

surat Luqman: 9

‫ﻋﻠَﻰ وَهْﻦ‬
َ ‫ﺣ َﻤَﻠﺘْ ُﻪ ُأﻣﱡ ُﻪ وَهْﻨًﺎ‬
َ ‫ن ِﺑﻮَاِﻟ َﺪﻳْ ِﻪ‬
َ ‫ﺻ ْﻴﻨَﺎ اﻹِﻧﺴَﺎ‬
‫َو َو ﱠ‬

…..ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah-

tambah lemah…

Menurut M. Quraisy Shihab di dalam Tafsir al-Mishbah, penafsiran kata al-

wahn dengan arti kelemahan atau kerapuhan adalah kurangnya kemampuan memikul

beban kehamilan, penyusuan dan pemeliharaan anak. Petron kata yang digunakan

ayat inilah mengisyaratkan betapa lemahnya sang ibu sampai-sampai ia dilukiskan

                                                            
8
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1414 H/1994 M), cet. 3, jilid 13, h. 453. 
9
Penerjemah Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy, Mu‘jam al-Mufahras li al-Alfâz al-Qur`an al-
Karîm, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.), h. 935.
  51

bagaikan kelemahan itu sendiri, yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan

kelemahan telah menyatu pada dirinya dan dipikulnya. 10

Adapun pengertian al-wahn menurut perspektif hadis telah ditafsirkan oleh

Rasulullah SAW sudah dinyatakan pada perbahasan pada bab sebelumnya. Yaitu

sebagaimana yang terkandung dalam Musnad Ahmad, dan Sunan Abû Dâwud adalah

‘cinta pada kehidupan dunia dan takut akan mati’.

Ulama juga telah menafsirkan ‘cinta dunia’ dengan arti tamak, rakus, bakhil,

egoisme dan tidak mau mendermakan harta ke jalan Allah, manakala ‘takut mati’

berarti leka dengan kehidupan dunia tanpa membuat persiapan untuk akhirat. Sedang

Al-Thîbî di dalam Kitab Syarh ‘Aun al-Ma‘bûd tidak memisahkan dua ungkapan tadi

karena saling berkaitan antara satu sama lain. 11

Secara istilah kontemporer ungkapan al-wahn bisa diartikan dengan

hedonisme dan materialisme. Yang mengandung maksud, pertama ‘yang

menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan dalam hidup’. 12

Manakala yang kedua berarti ‘haluan falsafah yang berpendapat bahwa benda jua

yang menjadi sebab segala yang ada dan terjadi di dunia’. 13 Dalam hal ini, antara al-

wahn, hedonisme dan metarialisme memang sejajar maknanya jika dilihat pada

karekter perilaku dan sifatnya, yaitu kehidupan yang hanya berkiblabkan duniawi.

                                                            
10
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera hati, Jumadil Akhir 1428/Juni
2007), cet. Viii, vol. ii, h. 127-130.
11
Abî Thayyib Muhammad Syams Al-Haq al-‘Azîm Abadî dan Syams al-Dîn ibn Qayyim Al-
Jauziyyah, ‘Aun al-Ma‘bûd Syarh Sunan Abî Dâwud, (Beirut: Dar Al-Afkar, t.t.), juz. 11, h. 316.
12
Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, h. 183.
13
Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, h. 366.
  52

Maka berdasarkan dua tafsiran di atas, yaitu penafsirannya al-wahn ibu hamil

dari ayat al-Quran yang berarti lemah fisik/mental dan penafsirannya oleh Nabi di

dalam hadis yang berarti lemah hati/spiritual terlihat adanya kontradiksi, tetapi lemah

mental juga membawa arti lemah jiwa. Hal ini ingin menyatakan bahwa konklusi dari

semua kutipan definisi dan penafsiran, al-wahn adalah sejenis penyakit yang muncul

ketika ketika manusia tidak bisa berfikir secara sihat, tidak lazim, kerana semua insan

akan berdepan dengan mati. Orang hamil juga sering tidak bisa berfikir secara sihat,

meminta sesuatu yang tidak lazim kerana mengalami al-wahn. Kondisi lemah mental

yang kini terjadi antaranya pada orang yang cenderung tergerus arus materialisme dan

hedonism.

Nabi mengatakan, saat itu umat Islam tidak lagi ditakuti oleh musuh-

musuhnya. Dan umat Islam mengalami penyakit al-wahn berupa cinta dunia dan

takut mati. Dengan kata lain, ini berarti sikap umat Islam yang mulai lebih cinta

kepada dunia, akan mulai takut kehilangan dunianya, kerana itulah mereka takut

untuk menghadapi mati merupakan sebuah kondisi ketika umat Islam tidak lagi

berpegang dengan ajaran-ajaran agamanya sendiri.

Hadis tersebut berisi sebuah prediksi. Penafsiran pada suatu masa bukan

semestinya mutamad bermaksud akhir zaman, kerana bisa juga berarti zaman

Rasulullah, karena Rasulullah mengatakan "hampir tiba sebuah masa". Ini menandai

bahwa masa itu begitu dekat dengan masa Nabi sendiri, sehingga bisa jadi bukan

akhir zaman. Maka meskipun obyek ketika hadis disabdakan adalah sahabat, yaitu
  53

orang yang hampir dengan lingkungan beliau tetapi isensi dan moral yang ingin

disampaikan adalah tidak hanya pada kondisi saat itu.

Jika dikatakan bahwa zaman sekarang adalah masa akhir zaman, bahkan juga

karena ulama mengklasifikasikan hadis tersebut ke dalam kelompok hadis tanda-

tanda kiamat, maka persoalan yang akan muncul adalah apakah zaman sekarang

orang sudah sangat cinta dunia dan takut mati? Apakah konteks Rasulullah dan

sebelumnya tidak menyintai dunia?

Sedang apabila ditinjau dari setting sosialnya dan kondisi orang Arab ketika

itu dan sebelumnya (karena hadis ini tidak ditemukan data asbâb al-wurûd), mereka

juga sangat cenderung terhadap hal-hal keduniaan dan memiliki moral yang rendah,

ini karena Rasulullah pernah bersabda:

، ‫ أﻧﺒﺄ اﺑﻦ وهﺐ‬، ‫ أﻧﺒﺄ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ‬، ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ اﻟﻌﺒﺎس ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻳﻌﻘﻮب‬
: ‫ أﻧﻪ ﻗﺎل‬، ‫ ﺣﺪﺛﻨﻲ أﺑﻮ ﺳﻌﻴﺪ اﻟﻐﻔﺎري‬، ‫أﺧﺒﺮﻧﻲ أﺑﻮ هﺎﻧﺊ ﺣﻤﻴﺪ ﺑﻦ هﺎﻧﺊ اﻟﺨﻮﻻﻧﻲ‬
‫ ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬: ‫ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻳﻘﻮل‬، ‫ﺳﻤﻌﺖ أﺑﺎ هﺮﻳﺮة‬
‫ اﻷﺷﺮ‬:‫ وﻣﺎ داء اﻷﻣﻢ ؟ ﻗﺎل‬، ‫ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ‬: ‫ ﺳﻴﺼﻴﺐ أﻣﺘﻲ داء اﻷﻣﻢ ﻓﻘﺎﻟﻮا‬:‫ﻳﻘﻮل‬
‫واﻟﺒﻄﺮ واﻟﺘﻜﺎﺛﺮ واﻟﺘﻨﺎﺟﺶ ﻓﻲ اﻟﺪﻧﻴﺎ واﻟﺘﺒﺎﻏﺾ واﻟﺘﺤﺎﺳﺪ ﺣﺘﻰ ﻳﻜﻮن اﻟﺒﻐﻲ » هﺬا‬
14
« ‫ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ اﻹﺳﻨﺎد وﻟﻢ ﻳﺨﺮﺟﺎﻩ‬
Maksudnya; “Umatku akan ditimpa penyakit yang pernah menimpa umat
terdahulu.” Sahabat bertanya, “apakah penyakit umat terdahulu itu?” Nabi SAW
menjawab; “penyakit itu telah terlalu banyak seronok, terlalu mewah, menghimpun

                                                            
14
Abî ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdullah Al-Hâkim al-Naisâbûrî, Al-Mustadrak ‘Alâ al-
Sahîhain, hadis ke- 7419, juz. 17, h. 158.
  54

harta sebanyak mungkin, tipu menipu dalam merebut harta benda dunia, saling
memarah, hasut-menghasut sehingga jadi zalim menzalimi”. 15

Hadis di atas ingin meyakinkan bahwa al-wahn tetap wujud di setiap zaman

pada generasi ummat. Kaum Bani Israil juga bersikap al-wahn seperti yang ditafsir

oleh Rasul. Sejarah pemerintahan khalifah Umayyah tercatat berlaku perebutan

kuasa. Khalifah Abbasiyah juga mengalami kemunduran kerana al-wahn. Hal ini

adalah logis sekalipun ummat Muhammad adalah ‘khair ummah’ tapi tujuan

Muhammad adalah ‘lî utammimal makârimul akhlâq’ membawa arti bahwa

mad’ûnya (ummat) masih belum sempurna akhlaknya.

Jadi yang sebenarnya dapat dimergertikan dari sabdanya Rasulullah adalah

bahwa inti ajaran dan tujuan (‘illah) yang ingin ditunjuk oleh baginda kepada para

sahabat adalah supaya mempersiapkan diri untuk akhirat dan bahwa Islam adalah

ajaran yang suci dan mendukung etika dan moral yang tinggi. Islam memiliki nilai

spiritualitas yang tinggi sebagai agama. Kondisi ketinggian posisi Islam inilah yang

menjadikan Islam ditakuti oleh sekian banyak musuh-musuhnya. Jika sebaliknya

‘Allah sungguh akan mencabut rasa takut dari dada musuh kalian’ sebagaimana

yang telah dijelaskan hadis.

Penggunaan ungkapan ‫ َﺗﺪَاﻋَﻰ‬:  dengan maksud menghadapi yang terbina dari

wazan ‫( ﺗﻔﺎﻋﻞ‬tafâ’al): (saling berbuat), secara tatabahasa bahasa Arab membawa

pengertian bekerjasama, cooperation, yaitu yang melibatkan dua pihak dan lebih. Di
                                                            
15
 ‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Al-Yaum al-Akhîr al-Qiyâmah al-Sughrâ wa ‘Alâmât al-
qiyâmah al-Kubrâ, penerjemah Irfan Salim, (T.tp.:PT Serambi Ilmu Semesta, Rabiul akhir 1421H/Juli
2000M), cetakan kesatu, h. 180. 
  55

Perumpamaan Rasulullah dari ‘Hampir saja bangsa-bangsa memangsa kalian

sebagaimana orang-orang lapar menghadapi meja penuh hidangan’

diinterpretasikan ulama dengan musuh-musuh saling berpadu menguasai Islam, bisa

dilihat dari dua sudut pandang yaitu penguasaan fizikal dan pemikiran. Sudut pertama

bisa berarti penguasaan mereka adalah antaranya melalui serangan senjata,

peperangan, teknologi, industri, memonopoli ekonomi.

Manakala sudut kedua atau dengan istilah kontemporer, yang bukan

berbentuk fisik yaitu serangan pemikiran atau al-ghazwu'l-fikrî. Dia mempunyai

karakteristik yang dekat dengan brain washing atau dengan istilah lain thought

control, ideological reform samada melalui pendidikan, kebudayaan, fesyen, sukan

dan sebagainya. Bahkan serangan tersebut sangat cocok berdasarkan pembuktian

kondisi ummat saat ini. Ini kerana serangan pemikiran atau brain washing ini

biasanya sangat efektif pada saat keadaan tidak normal atau tidak berimbang.
  56

Singkatnya serangan pemikiran ini akan mudah melancarkan serangannya di

lingkungan atau individu-individu yang belum mempunyai kepribadian yang tangguh

dan ilmu yang cukup atau lebih tepatnya mengalami (al-wahn). 16

Kendatipun hadis yang menjadi obyek penelitian termuat di dalam referensi

hadis tanda-tanda akhir zaman, bahkan karena ulama juga telah mengklafikasikan

bahwa pada akhir zaman musuh Islam berkonspirasi mengjatuhkan umat Islam. Arti

yang sebenarnya adalah bukan musuh Islam yang akan menjatuhkan umat Islam

dengan konspirasinya, tetapi umat Islam sendiri yang mulai meninggalkan agamanya

dan dengan itu umat Islam kehilangan martabatnya yang tinggi. Ini adalah

konsekuensi logis, kerana kekuatan umat dewasa ini tidak terkosentrasi pada musuh,

tetapi pada diri sendiri. 17

Adapun kebenaran teks dari sudut pembuktiannya dalam konteks ini akan

dibahas penulis pada sub bab berikut.

C. Karakteristik al-Wahn dan Problemika Umat Islam Kontemporer

Dalam kelangsungan hidup dewasa ini, kita tidak dapat menidakkan lahirnya

problemika yang menimpa umat Islam secara aqliyah, diniyah, ruhaniyah, akhlak,

maupun amaliah.  Ringkasnya, ummat Islam khususnya konteks ini sering melupakan

                                                            
16
Indrayogi, ‘Serangan pemikiran dalam Pendidikan Islam’, artikel ini diakses pada 3 Jun
2010 dari http://indrayogi.multiply.com/journal/item/85
17
‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Kiamat Kecil dan Tanda-tanda Kiamat Besar, penerjemah Irfan
Salim, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Sastera, Rabi’ul awal 1421H/Juli 2000M), cet. 1, h. 161-162.
  57

Allah, sehingga lupa akan diri sendiri. 18 Sedang yang diinginkan Allah SWT adalah

sebaliknya. Allah berfirman di dalam surat al-Hasyr ayat 19:

Artinya: “Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang telah


melupakan (perintah-perintah) Allah, lalu Allah menjadikan mereka melupakan
(amal-amal yang baik untuk menyelamatkan) diri mereka. Mereka itulah orang-
orang yang fasik – derhaka”.

Bagaimana fenomena ini terjadi sedangkan asalnya Allah telah mensifati umat

ini sebagai umat yang baik serta menerangkan kebaikannya.19 Allah berfirman di

dalam surat Ali Imran 110.


⌧ ☺
 
Artinya: “Kamu (wahai umat Muhammad) adalah sebaik-baik umat yang
dilahirkan bagi (faedah) umat manusia, (kerana) kamu menyuruh berbuat
segala perkara yang baik dan melarang daripada segala perkara yang salah
(buruk dan keji), serta kamu pula beriman kepada Allah (dengan sebenar-
benar iman).

Allah juga mensifati umat ini sebagai umat yang adil dan pilihan. 20

FirmanNya di dalam surat al-Baqarah ayat 143:

                                                            
18
Yusuf Qardhawi, Titik Lemah Umat Islam, penerjemah Rusydi Helmi, (Jakarta Timur:
Penebar Salam, Syawal 1421H/Januari 2001), cet. 1, h. 16.
19
Qardhawi, Titik Lemah Umat Islam, h. 14.
20
Qardhawi, Titik Lemah Umat Islam, h. 15.
  58

⌧ ⌧


Artinya: “Dan demikianlah (sebagaimana Kami telah memimpin kamu ke
jalan yang lurus), Kami jadikan kamu (wahai umat Muhammad) satu umat
yang pilihan lagi adil, supaya kamu layak menjadi orang yang memberi
keterangan kepada umat manusia (tentang yang benar dan yang salah) dan
Rasulullah (Muhammad) pula akan menjadi orang yang menerangkan
kebenaran perbuatan kamu”.

Bahkan Allah juga mensifati umat ini sebagai umat yang bersatu, ketika ia

beriman. 21 FirmanNya di dalam surat al-Anbiya’ ayat 92:

Artinya: “Sesungguhnya agama Islam inilah agama kamu, agama yang satu
asas pokoknya, dan Akulah Tuhan kamu; maka sembahlah kamu akan Daku”.

Saat ini boleh dikatakan ummat Islam adalah ummat yang paling tertinggal

dibanding ummat-ummat beragama lainnya. Ummat Yahudi meski berjumlah hanya

40 juta, namun menguasai ekonomi dan politik dunia. Mereka bisa menguasai

Masjid al-Aqsha tanpa perlawanan berarti dari ummat Islam yang katanya berjumlah

1,2 milyar atau 30 kali lipat lebih banyak dari kaum Yahudi. 22

Ummat Nasrani di Eropa, Australia, AS, dengan bantuan kemajuan,

kepantasan, kepesatan ilmu dan teknologi yang tanpa had, sangat maju di bidang
                                                            
21
Qardhawi, Titik Lemah Umat Islam, h. 14-16.
22
Berbagai Sumber, ‘Mengapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Selain Islam Maju’, artikel
ini diakses pada tanggal 21 April 2010 dari http://www.semuabisnis.com/articles/100514/1/Mengapa-
Ummat-Islam-Mundur-dan-Ummat-Selain-Islam-Maju/Page1.html
  59

teknologi, juga menguasai negara-negara Islam secara ekonomi dan politik. Mereka

mampu membuat dan memasarkan berjenis merek mobil, kapal selam, kapal induk

yang mampu memuat ratusan kapal terbang, rudal antar benua dan pesawat ulang

alik. 23

Amerika Serikat dan sekutunya mampu menyerang, menjajah dan membunuh

ummat Islam di Afghanistan dan Irak tanpa perlawanan dari seluruh ummat Islam.

Bahkan sebagian ummat Islam dengan semangat “toleransi” justru bekerjasama

dengan mereka. 24

Jepang juga meskipun secara rasmi adalah Negara yang didomisili oleh

mayoritas non muslim, dan sumber pertaniannya merupakan sektor ekonomi yang

kecil kerana ketidaksuburan bumi kesan serangan atom di Hirosyima dan Nagasaki

yang dijatuhi oleh Amerika Serikat pada tanggal 6 Agustus 1945, 25 tetap mempunyai

subsidi yang tinggi dan merupakan satu sektor yang dilindungi.

Bahkan ekonomi pasaran sosial perindustrian Jepang merupakan yang ketiga

terbesar di dunia, selepas disesuaikan dengan pariti kuasa beli (PPP), selepas Amerika

Serikat dan Republik Rakyat China. Jepang juga merupakan ekonomi kedua terbesar

mengikut KDNK kasar, KDNK nominal dan kadar pertukaran pasaran.26

                                                            
23
Berbagai Sumber, ‘Mengapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Selain Islam Maju’.
24
Berbagai Sumber, ‘Mengapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Selain Islam Maju’.  
25
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, ‘Serangan bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki’, di akses pada tanggal 21 April 2010 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_bom_atom_di_Hiroshima_dan_Nagasaki
26
Dari Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas, ‘Ekonomi Jepun’, diakses pada tanggal
17 April 2010 dari http://ms.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_Jepun 
  60

Fakta-fakta tersebut tidak bermaksud Islam tidak mengalami saat

kegemilangannya, dan zaman-zaman sebelumnya tidak mengalami kegentingannya.

Ini dikarenakan zaman Nabi, sahabat, dan beberapa generasi sesudahnya selama 700

tahun ummat Islam begitu maju menguasai dunia. Islam berkibar dari Ternate, India,

Timur Tengah, Yugoslavia, Albania, Bulgaria, Yunani, bahkan hingga Sepanyol. 27

Ummat Islam mampu mengalahkan orang-orang kafir, Yahudi, bahkan dua

kerajaan Super Power saat itu yaitu Romawi dan Persia. Bahkan ibukota kedua

negara tersebut, yaitu Constantinople (Istambul) dan Baghdad berada di tangan Islam

yaitu di negara Turki dan Irak. 28

Semangat jihad ummat Islam begitu tinggi sehingga 200 ribu pasukan

Romawi selama tujuh hari pertempuran tidak mampu mengalahkan strategi pasukan

Islam yang dipimpin komander Khalid bin Walid yang berjumlah hanya tiga ribu

orang.

Dalam Perang Salib antara ummat Kristen dengan Ummat Islam yang terjadi

beberapa kali dari tahun 1096 hingga 1291 untuk memperebutkan Palestina, hanya

perang Salib pertama yang dimenangkan ummat Kristen. Setelah itu ummat Islam

yang menang dan berkuasa hingga abad 20 sebelum akhirnya jatuh ke tangan Israel.

Sama halnya di bidang ilmu pengetahuan, Ibnu Sina (Avicenna) yang dikenal

sebagai Bapa Kedokteran dunia. Ketika perang Salib dan Raja Richard the Lion Heart

sakit, tiada ada satu dokter Eropa pun yang mampu mengobatinya. Justru Sultan

                                                            
27
Berbagai Sumber, ‘Mengapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Selain Islam Maju’.
28
Berbagai Sumber, ‘Mengapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Selain Islam Maju’.
  61

Salahuddin Al-Ayyubi yang menyelinap ke tenda Richard yang bisa mengobatinya

yang menjadi bukti keunggulan ilmu kedokteran Islam saat itu. 29

Ilmuwan Islam Al-Khawarizmi juga mengembangkan ilmu Matematika

seperti Aljabar (Algebra), Algoritma (Algorithm) yang dikenali hingga kini. Bahkan

angka yang digunapakai sekarang merupakan hasil penemuan ilmuwan Islam yang

disebut dengan ”ARABIC NUMERAL” yang menggantikan Sistem Bilangan

Romawi yang sangat tidak fleksibel. Pada saat munculnya Islam, bangsa Barat belum

mengenal angka 0 (No l) dan Islamlah yang mengenalkan angka itu pada mereka. 30

Tetapi kini cahaya keunggulan dan kegemilangan Islam itu sudah malap sama

sekali, yang jelas adalah ummat Islam modern ini mengalami kebalikannya. Mengapa

dan kenapa hal ini bisa terjadi? Apa gerangan faktor kelemahan tersebut? Salah

siapa? Siapa yang perlu dipertanggungjawabkan? Bagaimana mencari cara

penanggulangannya? Apakah betapa kelemahan tersebut sukar dideteksi dan

didiagnosis? Maka di sinilah, penulis berasumsi bahwa sebenarnya segala titik

melemahnya setiap aspek tadi samada di masa lampau, saat ini dan kemudian

bertepatan dengan sabdanya hadis yang menjadi obyek penelitian, yaitu disebabkan

krisis spiritual yaitu al-wahn.

Lemahnya segala aspek kehidupan disebabkan oleh rusaknya hati (ruhaniyah),

yang menurut Yusuf al-Qaradhawi al-Khalal (kelemahan) yang sebenarnya adalah

                                                            
29
Berbagai Sumber, ‘Mengapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Selain Islam Maju’.
30
Berbagai Sumber, ‘Mengapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Selain Islam Maju’.
  62

hilang kesadaran atau penafsiran al-wahn dari definisi sebelumnya berarti tidak bisa

berfikir secara sihat. 31 Nabi SAW bersabda:

‫ل‬
ُ ‫ﻦ َﺑﺸِﻴ ٍﺮ َﻳﻘُﻮ‬
َ ْ‫ن ﺑ‬
َ ‫ﺖ اﻟ ﱡﻨﻌْﻤَﺎ‬
ُ ْ‫ﺳ ِﻤﻌ‬
َ ‫ل‬
َ ‫ﻋﻦْ ﻋَﺎ ِﻣ ٍﺮ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َز َآ ِﺮﻳﱠﺎ ُء‬
َ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﺑُﻮ ُﻧ َﻌﻴْ ٍﻢ‬
َ
‫ﺤﺮَا ُم ﺑَ ﱢﻴﻦٌ َو َﺑﻴْ َﻨ ُﻬﻤَﺎ‬
َ ْ‫ل ﺑَ ﱢﻴﻦٌ وَاﻟ‬
ُ ‫ﺤﻠَﺎ‬
َ ْ‫ل اﻟ‬
ُ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻳﻘُﻮ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬
َ ‫ﺖ َرﺳُﻮ‬
ُ ْ‫ﺳ ِﻤﻌ‬
َ
ْ‫ﺿ ِﻪ َو َﻣﻦ‬
ِ ْ‫ﻋﺮ‬
ِ ‫س َﻓ َﻤﻦْ ا ﱠﺗﻘَﻰ اﻟْ ُﻤﺸَ ﱠﺒﻬَﺎتِ اﺳْ َﺘﺒْ َﺮَأ ِﻟﺪِﻳ ِﻨ ِﻪ َو‬
ِ ‫ُﻣﺸَ ﱠﺒﻬَﺎتٌ ﻟَﺎ ﻳَﻌْﻠَ ُﻤﻬَﺎ َآﺜِﻴﺮٌ ِﻣﻦْ اﻟﻨﱠﺎ‬
‫ﺣﻤًﻰ‬
ِ ‫ﻚ‬
ٍ ‫ن ِﻟ ُﻜﻞﱢ َﻣِﻠ‬
‫ﻚ َأنْ ُﻳﻮَا ِﻗ َﻌ ُﻪ أَﻟَﺎ َوِإ ﱠ‬
ُ‫ﺷ‬
ِ ‫ل اﻟْﺤِﻤَﻰ ﻳُﻮ‬
َ ْ‫ﺣﻮ‬
َ ‫ع ﻳَﺮْﻋَﻰ‬
ٍ ‫ت َآﺮَا‬
ِ ‫ﺸ ُﺒﻬَﺎ‬
‫َو َﻗ َﻊ ﻓِﻲ اﻟ ﱡ‬
‫ﺴ ُﺪ‬
َ‫ﺠ‬َ ْ‫ﺢ اﻟ‬
َ ‫ﺻَﻠ‬
َ ْ‫ﺤﺖ‬
َ ‫ﺻَﻠ‬
َ ‫ﺴ ِﺪ ُﻣﻀْ َﻐ ًﺔ ِإذَا‬
َ‫ﺠ‬َ ْ‫ن ﻓِﻲ اﻟ‬
‫ﺿ ِﻪ َﻣﺤَﺎ ِر ُﻣ ُﻪ أَﻟَﺎ َوِإ ﱠ‬
ِ ْ‫ﺣﻤَﻰ اﻟﻠﱠﻪِ ﻓِﻲ َأر‬
ِ ‫ن‬
‫أَﻟَﺎ ِإ ﱠ‬
32
‫ﺐ‬
ُ ْ‫ﻲ اﻟْ َﻘﻠ‬
َ ‫ﺴ ُﺪ ُآﻠﱡ ُﻪ أَﻟَﺎ َو ِه‬
َ‫ﺠ‬َ ْ‫ﺴ َﺪ اﻟ‬
َ ‫ﺴ َﺪتْ َﻓ‬
َ ‫ُآﻠﱡ ُﻪ وَإِذَا َﻓ‬
Maksudnya: Diriwayatkan dari al-Nu‘man bin Basyir r.a: Aku pernah
mendengar Rasulullah SAW bersabda “Yang halal dan yang haram telah
jelas. Namun sebagian besar umat manusia tidak mengetahui bahwa di
antara keduanya terdapat syubhat ( sesuatu yang diragukan). Siapa pun yang
meninggalkannya, ia telah menyelamatkan agamanya dan kehormatannya.
Dan orang yang menurutkannya bagaikan seorang pengembala yang
menggembalakan (ternaknya) di dekat hima (padang rumput pribadi) milik
orang lain, dan kapan saja ia dapat terperangkap di dalamnya. (wahai
umatku!) berhati-hatilah! Setiap raja memiliki hima dan hima kepunyaan
Allah SWT di bumi ini adalah segala sesuatu yang diharamkan Allah.
Hati-hatilah! Ada segumpal daging di dalam tubuh yang apabila
gumpalan daging itu baik maka baik pulalah seluruh tubuh, dan bila
gumpalan daging itu buruk maka buruk pulalah seluruh tubuh. Segumpal
daging itu adalah hati (qalb)”. 33

Soal benar atau tidak argumentasi ini bisa dilihat dari sudut keterkaitan hadis

dengan konteksnya yang sedaya akan dibahaskan penulis.

                                                            
31
Qardhawi, Titik Lemah Umat Islam, h. 13.
32
Al-Bukhârî, Abû ‘Abdullah Muhammad bin Ismâ‘îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, kitab al-
Iman, bab Fadl Man Istabrâ` Li dînih, hadis ke-52, (Jordan: Bait al-Afkar wa al-Dauliyyah), cet.
Terbaru. h. 18-19.
33
Al-Zabidi, Ringkasan Shahîh al-Bukhârî, penerjemah Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis,
(Bandung: PT Mizan Pustaka, Jumada al-Tsaniyah 1429/Juni 2008), cetakan 1, h. 26.
  63

Islam adalah sebuah agama yang menganjur penganutnya untuk menikmati

kehidupan dunia baik yang berupa harta kekayaan atau sebagainya dengan syarat

supaya mentradisikan keseimbangan diri. Faktor persyaratan tersebut adalah karena

segala kekuasaan, kekayaan yang tidak diimbangi dengan nilai iman dan norma

manusiawi akan melahirkan kekufuran, kebongkakan, arogan, kezaliman dan engkar

atas nikmat Allah yang menuntun kepada kehancuran dan kebinasaan di muka

bumi. 34

Ini juga karena tabiat semulajadi manusia itu selalu cenderung pada hal-hal

yang cepat untuk mendapatkan kecintaan dan kesuksesannya, terkadang banyak yang

tidak lagi mempedulikan bagaimana dan cara bagi mencapai kesuksesan. Seperti yang

dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 20-21 dan surat Al-Insan ayat 27:

⌧⌧

Artinya: “Ingat! bahkan kamu suka yang segera dan kamu tinggalkan
akhirat.”



Artinya: “Sesungguhnya mereka itu mencintai yang segera, dan
meninggalkan di belakangnya hari yang berat pertanggungan jawabnya
(siksanya).”

Sayyid Qutb telah menjelaskan bahwa: “Dalam hidup dan kehidupan ini

setiap zaman dan waktu, seseorang selalu terbuai dengan kenikmatan duniawi.
                                                            
34
Majidy dan Nik Mat, Kisah Cinta Dalam Al-Quran: Mengenal Cinta Meraih Allah, h. 144.
  64

Mereka lupa ada kenikmatan yang lebih tinggi dan lebih abadi berbanding

kenikmatan dunia yang sesaat ini. Mereka terbuai dengan kemegahan mata kasar.

Mereka sama sekali tidak pernah memikirkan dari mana kekayaan itu diperoleh,

dengan cara seperti apapun dipergunakan untuk apa. Cara pandang mereka (insan

yang lemah iman) melihat dunia tidak jauh beza dengan cara semut melihat gula.

Yang ada di benak mereka adalah bagaimana mendapatkan harta sebanyak-

banyaknya tanpa mempedulikan cara dan etika pencariannya”. 35

Al-Wahn melalui karekter hedonism (fenomena hidup mewah) juga adalah

alamat kehancuran. Bahkan ini adalah konsekuensi logis, karena di antara aspek yang

memperpanjang usia dan memperluas kemakmuran serta disegani musuh yaitu tidak

hidup mewah dan tidak terjerumus ke dalam kesenangan. Kerana hidup mewah

melupakan orang dari tugas dan tanggungjawab, menimbulkan pengangguran,

kemalasan dan sikap pengecut. Orang-orang yang menjerumuskan diri dalam

kemewahan biasanya tidak sanggup menghadapi rintangan dan tidak mau

berkorban. 36

Ibnu Khaldun rahimahullah berkata:

“Kehidupan mewah (jet set) merusak manusia. Ia menanamkan dalam diri


manusia berbagai macam kejelekan, kebohongan dan perilaku buruknya
lainnya. Nillai-nilai yang baik yang notebene merupakan tanda-tanda
kebesarannya hilang dari mereka dan diganti dengan nilai-nilai buruk yang
merupakan sinyal kehancurannya dan kepunahannya. Itulah di antara

                                                            
35
Majidy dan Nik Mat, Kisah Cinta Dalam Al-Quran: Mengenal Cinta Meraih Allah, h. 150.
36
Muhammad Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam Dari Bani Umayyah Hingga Imperialisme
Modern, penerjemah Fadhli Bahri, Lc, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, November 2009), cet. 6, h.
21.
  65

ketentuan Allah yang berlaku pada makhluknya yang menjadikan Negara


sebagai ajang kezhaliman, merusak strukturnya dan menimpakan penyakit
kronis berupa ketuaan yang membawa kepada kematiaannya”. 37

Kemewahan menjerumus kepada sikap suka bersenang dan berhiburan tanpa

memikirkan beban tanggungjawab. Sedang apabila kehidupan banyak dihiasi dengan

maksiat, berhibur dan bersenang akan melentur hati menjadi keras, sebagaimana

kerasnya hati para ahli kitab sebelumnya. 38 Allah berfirman di dalam surat al-

Baqarah ayat 74:



⌧ ☺



  ☺ ☺

Artinya: “Kemudian sesudah itu, hati kamu juga menjadi keras seperti batu,
bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu ada yang terpancar
dan mengalir air sungai daripadanya; dan ada pula di antaranya yang
pecah-pecah terbelah lalu keluar mata air daripadanya; dan ada juga di
antaranya yang jatuh ke bawah kerana takut kepada Allah; sedang Allah
tidak sekali-kali lalai daripada apa yang kamu kerjakan”.

Padahal ajaran yang paling penting dari agama kita adalah pensucian hati dan

pembersihan diri. 39 Allah berfirman di dalam surat al-Syamsy ayat 9 dan 10:

                                                            
37
Mukaddimah Ibnu khaldun, hal. 187.
38
Al-Qardhawi, Titik Lemah Umat Islam, h. 34. 
39
Al-Qardhawi, Titik Lemah Umat Islam, h. 35.
  66


 
Artinya: “Sesungguhnya berjayalah orang yang menjadikan dirinya - yang
sedia bersih bertambah-tambah bersih (dengan iman dan amal kebajikan).
Dan sesungguhnya hampalah orang yang menjadikan dirinya - yang sedia
bersih - itu susut dan terbenam kebersihannya (dengan sebab kekotoran
maksiat)”.

Para ulama juga ada menyebutkan bahwa di antara langkah-langkah syaitan

adalah menyibukkan diri dengan hal-hal yang al-mubah secara berlebihan sehingga

dapat menyebabkan kelalaian dalam melakukan ketaatan kepada Allah SWT dan

menyita waktu. Yang sangat berpengaruh terhadap hati sekiranya melampaui batas. 40

Apabila manusia tenggelam dalam kenikmatan dan kemewahan yang al-

mubah maka pasti terjerumus ke dalam lembah keraguan-raguan, dan pada gilirannya

terjerumus ke dalam jurang syahwat, seterusnya akan tumpul pemikiran dan

kemampuan mujahadahnya. Faktor utama yang merusak lingkuangan, baik di muka

bumi, di laut saat ini adalah karena tunduknya manusia kepada hawa nafsu dan

mementingkan kepuasan syahwat serta hasrat duniawinya. 41 Allah berfirman di

dalam surat al-Mu’minun ayat 71:


                                                            
40
Hussin Muhammad Syamir, 31 Sebab Lemahnya Iman, penerjemah Musthafa Aini, (Jakarta:
Darul Haq, Muharram 1430H/Januari 2009), cet. VII, h. 117.  
41
Yusuf al-Qardhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, penerjemah Abdullah Hakam Shah,
Dkk., (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, Mei 2002), cet. 1, h. 354.  
  67

Artinya: “Dan kalaulah kebenaran itu tunduk menurut hawa nafsu mereka,
nescaya rosak binasalah langit dan bumi serta segala yang adanya. (Bukan
sahaja Kami memberikan ugama yang tetap benar) bahkan Kami memberi
kepada mereka Al-Quran yang menjadi sebutan baik dan mendatangkan
kemuliaan kepada mereka; maka Al-Quran yang demikian keadaannya,
mereka tidak juga mahu menerimanya”.

Manusia juga sering menganggap amanah adalah satu sumber keuntungan

bukannya sebagai landasan tanggungjawab yang sekiranya dilaksanakan sesuai

perintahNya akan diberi ganjaran.

Bahkan Allah SWT memperlihatkan sikap tersebut melalui firmanNya di

dalam surat al-‘Alaq ayat 6-7:

⌧⌧

 
Artinya: “Ingatlah! Sesungguhnya jenis manusia tetap melampaui batas (yang
sepatutnya atau yang sewajibnya). Dengan sebab ia melihat dirinya sudah
cukup apa yang dihajatinya”.

Sebenarnya keghairahan terhadap kekuasaan yang tidak diimbangi dengan

penguasaan atau kesedaran diri hanya akan membuat si empunya kehilangan

keseimbangan diri, serta menjebaknya kepada kenikmatan sesaat dan boleh

membawa kepada kehancuran dan kekufuran. Sedangkan Allah telah mengingatkan

bahwa segala bentuk kekuasaan, kenikmatan, dan kesenangan dunia adalah sekedar

penipuan. FirmanNya di dalam surat al-Ra’du ayat 26:


  68

Artinya: Allah memewahkan rezeki bagi sesiapa yang dikehendakiNya, dan Ia


juga yang menyempitkannya. Dan mereka (yang ingkar): bergembira dengan
kehidupan dunia, sedang kehidupan dunia itu tidak lain, hanyalah
kesenangan yang kecil dan tidak, kekal berbanding dengan kesenangan hari
akhirat.

Ibnu Khaldun menukil nasihat salah seorang ulama Persia kepada rajanya

yang isinya:

“Baginda raja, ketahuilah bahwa kejayaan suatu Negara tidak terwujud


dengan menjalankan syariat, taat kepada Allah, dan bertindak sejalan dengan
perintah dan larangannya. Syariat tidak tegak tanpa kekayaan. Tidak ada
kejayaan bagi kerajaan tanpa Sumber Daya Manusia tanpa kekayaan. Tidak
ada jalan untuk mendapatkan kekayaan kecuali dengan menegakkan keadilan.
Keadilan adalah neraca yang dipikulkan di pundak pemimpin oleh Allah”. 42

Peneliti besar Islam, Dr. Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa Islam adalah

paling pertama yang ditimpa kemalangan dan dampak negatif dari kejahatan

kediktatoran dan kezaliman. Tirani dan kediktatoran bukan saja merusak politik, tapi

juga merusak menajemen, ekonomi, moral, agama, dan merusak semua kehidupan. 43

Dia merusak menajemen kerana menajemen yang baik akan memilih orang

yang duduk dalam sebuah jabatan adalah orang yang mampu, terpercaya, mampu

menjaga, dan memang ahlinya, menempatkan seseorang yang tepat di kedudukan

yang pas pula; yang baik diberi bonus dan yang jahat dikenai sanksi.44

                                                            
42
Mukaddimah Ibnu Khaldun, hal. 320.
43
Al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, h. 256.
44
Al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, h. 257.
  69

Tetapi kediktatoran sebaliknya, ia lebih mendahulukan orang dapat dipercaya

(menurutnya) untuk dijadikan hakim, daripada yang ahli dan berkemampuan. Ia

mendekati orang penting dan orang-orang munafik, atas perhitungan kaum moralis

dan agamis. 45 Dengan begitu, kehidupan jadi terkatung-katung, keseimbangan pun

lenyap, dan umat akan mendekati masa kehancurannya. 46 Hal ini sebagaimana yang

telah diisyaratkan oleh hadis yang berbunyi:

‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﻋﻄَﺎ ِء ﺑ‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ﻋِﻠ ﱟ‬
َ ‫ﻦ‬
ُ ْ‫ل ﺑ‬
ُ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ هِﻠَﺎ‬
َ َ‫ﺳﻠَﻴْﻤَﺎن‬
ُ ‫ﻦ‬
ُ ْ‫ﺢ ﺑ‬
ُ ْ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻓَﻠﻴ‬
َ ‫ن‬
ٍ ‫ﺳﻨَﺎ‬
ِ ‫ﻦ‬
ُ ْ‫ﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑ‬
َ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻣ‬
َ
‫ﺳﱠﻠ َﻢ ِإذَا‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬
ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬
َ ‫ل ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋﻨْ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ‫ﺿ‬
ِ ‫ﻋﻦْ َأﺑِﻲ ُه َﺮﻳْ َﺮ َة َر‬
َ ‫َﻳﺴَﺎ ٍر‬
‫ل ِإذَا ُأﺳْ ِﻨ َﺪ اﻟَْﺄﻣْ ُﺮ‬
َ ‫ل اﻟﻠﱠﻪِ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋ ُﺘﻬَﺎ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ‬
َ ‫ﻒ ِإﺿَﺎ‬
َ ْ‫ل َآﻴ‬
َ ‫ﻋ َﺔ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻈﺮْ اﻟﺴﱠﺎ‬
ِ ‫ﺿ ﱢﻴ َﻌﺖْ اﻟْﺄَﻣَﺎﻧَ ُﺔ ﻓَﺎﻧْ َﺘ‬
ُ
‫ﻋ َﺔ‬
َ ‫ﻈﺮْ اﻟﺴﱠﺎ‬
ِ ‫ﻏﻴْ ِﺮ َأهِْﻠ ِﻪ ﻓَﺎﻧْ َﺘ‬
َ ‫ِإﻟَﻰ‬
Artinya: “Jika kamu telah menyia-nyiakan amanat, maka tunggulah
kehancuran. Dikatakan: “dan bagaimana menyiakannya?”. Rasulullah
menjawab: “jika sesuatu perkara diberikan kepada selain ahlinya maka
tunggulah kehancuran”. 47

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ada dua kelompok umatku yang jika

mereka baik maka akan baik seluruh umatku, dan jika mereka rusak maka akan rusak

seluruh umatku. Mereka itu adalah para penguasa”. 48

Pada konteks ini juga, banyak wanita misalnya terjerumus di dalam bidang

kerjaya antaranya periklanan dan prostitusi. Mereka menjadi obyek eksploitasi sistem

kapitalisme yang memandang materi adalah segalanya. Para perempuan ini, sadar dan

                                                            
45
Al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, h. 257.
46
Al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, h. 257. Lihat, Majidy dan Nik Mat, Kisah
Cinta Dalam Al-Quran: Mengenal Cinta Meraih Allah, h. 170-174.
47
Al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, h. 257.
48
Syeikh ibn al-Rais Karmani, Mega Tragedi Lengkap Asyura, penerjemah Ahmad Subandi,
(T.tp.: Al-Huda, Disember 2008), cet. 1, h. 35. 
  70

tidak, menjadi ujung tombak dalam sistem ekonomi kapitalisme. Mereka menjadi

umpan dalam mendatangkan pundi-pundi rupiah.

Di sisi lain, perempuan modern ini terdidik yang berkesempatan mengenyam

pendidikan tinggi turut terjebak dalam lingkaran eksploitasi. Tenaga dan pikiran

mereka diperas habis-habisan untuk menggerakkan roda-roda perekonomian.

Dengan dalih kebebasan berekspresi, setiap inci tubuh perempuan dijadikan

komoditi. Membuka aurat, bahkan sampai adegan berzina pun dilakoni, asal

mendatangkan materi. Aurat perempuan dilombakan dan dinilai, mana yang paling

mendatangkan hoki. Tidak hanya perempuan dewasa, bahkan gadis-gadis, sejak belia

sudah mulai dikader untuk menjadi bagian dari bisnis eksploitasi ini di layar kaca,

bintang sinetron, iklan atau penyanyi bertaburan artis-artis cilik. 49

Al-Wahn yang menjadi antara faktor wanita dieksploitasi dan mengeksploitasi

antara penyimpangan sosial yang banyak terdapat di hampir seluruh Negara ini

memang sudah berumur tua, selalu ada dalam kehidupan masyarakat sejak ribuan

tahun yang lalu.

Al-Wahn bukan sekedar melekat pada individu kecil, malah kepada

pemerintah. Demi wang dan kekayaan, banyak antara pemimpin yang terlibat di

dalam amalan korupsi, kasus suap, korupsi, gratifikasi, tipu menipu dan bahwa

masalah tersebut telah menjadi praktik yang melekat dengan kekuasaan.50

                                                            
49
Asri Supatmiati, “Eksploitasi Wanita”, artikel diakses pada 1 march 2010 dari laman web
http://www.indoforum.org/showthread.php?t=42372
50
‘Parpol Tak Lepas dari Jerat Korupsi’, Kompas, senin, 12 April 2010, h. 1. Lihat
http://korupsi.vivanews.com/ diakses pada tanggal 20 April 2010. Lihat ‘Perlu, Upaya Mendasar
  71

Amalan korupsi dan segala sikap seperti sikap arogansi terhadap harta benda,

hedonism, banyak melakukan kemaksiatan, merebut kedudukan demi uang dan nama

merupakan antara karakter al-wahn.

Segala penyakit tersebut adalah penyebab kegoncangan dalam kesatuan,

berpecah-belah, saling bermusuhan antara satu sama lain. Ummat Islam boleh

dikatakan ummat yang paling miskin, paling ketinggalan, dan paling suka bertengkar

dengan sesama.

Sedangkan sebab kebejatan morallah yang akan merusak seluruh kehidupan,

menghancurkan umat dan bangunan hidupnya. Syauqi al-Marhum berkata dalam

syairnya:

‫اذا أﺻﻴﺐ اﻟﻘﻮم ﻓﻰ أﺧﻼﻗﻬﻢ ﻓﺄﻗﻢ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻣﺄﺗﻤﺎ وﻋﻮﻳﻼ‬


“Jika suatu kaum terbencana dalam akhlaknya, maka laksanakanlah upacara
kesedihan dan duka cita…” 51

Pasca runtuhnya Khilafah Islamiyah, ummat Islam, termasuk Muslimah,

mengalami kemunduran luar biasa di berbagai lapangan kehidupan juga disebabkan

terkuburnya sistem Islam dan akhlak Islam berganti dengan sistem sekular dan moral

barat yang tidak tertanding dengan kehebatan hukum Islam turut mengubur

kemuliaan kaum Muslim. Ummat tidak lagi dibentang dengan tembok akidah Islam

yang ketat sehingga pemikiran sesat mudah merasuk ke dalam diri mereka.
                                                                                                                                                                          
Indonesia Bisa Meniru China untuk Berantas Praktik Suap’, Kompas, Senin, 5 April 2010, h.
1. Lihat Heri Susanto dan Desy Afrianti, ‘Kasus Bank Century Berkas Robert Tantular Diserahkan ke
Kejati’, diakses pada tanggal 20 April 2010 dari http://korupsi.vivanews.com/news/read/25631-
berkas_robert_tantular_diserahkan_ke_kejati
51
Yusuf al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, penerjemah Moh. Farid AZ, (Surabaya:
CV. Dunia, 21 Ramadhan 1416 H/11 Februari 1995), h. 314.
  72

D. Relevansi Interpretasi Teks dan Kebenarannya Melalui Pembuktian di Konteks

Modern

Berdasarkan penafsiran hadis yang dibahaskan sebelum ini, maka didapati

hadis yang menjadi obyek penelitian relevan dibuktikan dengan beberapa kasus yang

menimpa umat hari. Antara pembuktiannya adalah ambisi kepimpinan Amerika

Serikat untuk menguasai dan pencerobohan ke atas Baghdad lewat beberapa tahun

yang lalu.

Sekiranya kita memusatkan pemerhatian dengan kanta hati dan iman terhadap

dua berita yang akan disebutkan, nescaya kita akan mendapati persamaan di antara

keduanya yaitu berita pertama dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud

manakala berita kedua dilaporkan oleh mana-mana agensi berita:

‫ﻦ ﺟَﺎ ِﺑ ٍﺮ‬
ُ ْ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ اﺑ‬
َ ‫ﻦ َﺑﻜْ ٍﺮ‬
ُ ْ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِﺑﺸْ ُﺮ ﺑ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ﻦ ِإﺑْﺮَاهِﻴ َﻢ اﻟ ﱢﺪ َﻣﺸْ ِﻘ ﱡ‬
ُ ْ‫ﻦ ﺑ‬
ِ ‫ﻋﺒْ ُﺪ اﻟ ﱠﺮﺣْ َﻤ‬
َ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ‬
َ
‫ﻚ اﻟُْﺄ َﻣ ُﻢ‬
ُ‫ﺷ‬
ِ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻳُﻮ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬
ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬
َ ‫ل ﻗَﺎ‬
َ ‫ن ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋﻦْ َﺛﻮْﺑَﺎ‬
َ ‫ﺴﻠَﺎ ِم‬
‫ﻋﺒْ ِﺪ اﻟ ﱠ‬
َ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ َأﺑُﻮ‬
َ
ْ‫ل َﺑﻞ‬
َ ‫ﻦ َﻳﻮْ َﻣ ِﺌ ٍﺬ ﻗَﺎ‬
ُ ْ‫ل ﻗَﺎﺋِﻞٌ َو ِﻣﻦْ ِﻗﱠﻠ ٍﺔ َﻧﺤ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ُﻜﻢْ آَﻤَﺎ َﺗﺪَاﻋَﻰ اﻟَْﺄ َآَﻠ ُﺔ إِﻟَﻰ َﻗﺼْ َﻌ ِﺘﻬَﺎ َﻓﻘَﺎ‬
َ ‫َأنْ َﺗﺪَاﻋَﻰ‬
‫ﻋ ُﺪوﱢ ُآ ْﻢ اﻟْ َﻤﻬَﺎ َﺑ َﺔ‬
َ ‫ﺻﺪُو ِر‬
ُ ْ‫ﻦ اﻟﱠﻠ ُﻪ ِﻣﻦ‬
‫ﻋﱠ‬
َ ‫ﻞ َوَﻟ َﻴﻨْ َﺰ‬
ِ ْ‫ﺴﻴ‬
‫ﻏﺜَﺎءٌ َآ ُﻐﺜَﺎ ِء اﻟ ﱠ‬
ُ ْ‫َأﻧْ ُﺘﻢْ َﻳﻮْ َﻣ ِﺌ ٍﺬ َآﺜِﻴﺮٌ َوَﻟ ِﻜ ﱠﻨ ُﻜﻢ‬
‫ﺣﺐﱡ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ‬
ُ ‫ل‬
َ ‫ﻦ ﻗَﺎ‬
ُ ْ‫ل اﻟﻠﱠﻪِ وَﻣَﺎ اﻟْ َﻮه‬
َ ‫ل ﻗَﺎﺋِﻞٌ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ‬
َ ‫ﻦ َﻓﻘَﺎ‬
َ ْ‫ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ ﻓِﻲ ُﻗﻠُﻮ ِﺑ ُﻜﻢْ اﻟْ َﻮه‬
‫ِﻣﻨْ ُﻜﻢْ َوَﻟ َﻴﻘْ ِﺬ َﻓ ﱠ‬
52
‫ت‬
ِ ْ‫َو َآﺮَا ِه َﻴ ُﺔ اﻟْ َﻤﻮ‬
Pertama: “Hampir saja bangsa-bangsa memangsa kalian sebagaimana orang-orang
lapar menghadapi meja penuh hidangan.” Seseorang bertanya, “Apa kami
saat itu sedikit”? Jawab beliau, “Bahkan kalian saat itu banyak, akan tetapi
kalian seperti buih di laut. Allah sungguh akan mencabut rasa takut dari
dada musuh kalian, dan Allah sungguh akan mencampakkan penyakit wahn

                                                            
52
Abî Dâwud Sulaimân bin al-`Asy‘ats al-Sijistânî, Sunan Abî Dâwud, (T.tp.: Dar al-A’lam,
1423H/2003M), Cetakan pertama, h. 698.
  73

ke dalam hatim.” Seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu wahn?


Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati”. 53

Kedua: Untuk menjayakan ‘misi keamanan’ di Iraq seperti yang memberi kenyataan

Amerika Serikat, mereka telah meminta untuk membabitkan kemasukan tentera

Negara asing dalam jumlah yang banyak yang melibatkan ketenteraan dari Negara

seperti Britain, Korea Selatan, Australia, Georgia, Romania, Denmark, Poland,

Azerbaijan, Albania, Latvia, Mongolia, Bosnia Herzegovina, Kazasthan.

Ada 18 buah Negara lain yang ikut menceroboh pada 2003 tetapi menarik

balik tenteranya. 54

Negara terbabit ialah Nicaragua, Sepanyol, Dominika, Honduras, Filipina,

Thailand, New Zealand, Tonga, Portugal. Belanda, Hungary, Singapura, Norway,

Ukraine, Jepun, Itali, Slovakia dan Moldova. 55

Gambaran yang jelas dan nyata daripada kedua-dua berita itu ialah ada satu

kelompok manusia yang dijadikan makanan dan ada satu kelompok manusia yang

mengerumuni untuk memakannya. Sebab terjadinya tidak disebutkan dengan jelas

dalam berita pertama. Kedua-dua berita ini ada hubung kait yang mana salah satunya

adalah satu bukti kebenarannya. Yang satu adalah hadis dan yang lainnya adalah

suatu bukti kebenarannya. Iraq dijadikan makanan oleh sekumpulan kelompok

manusia 39 negara dunia moden pimpinan Amerika yang pada kenyataannya bukan
                                                            
53
‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Al-Yaum al-Akhîr al-Qiyâmah al-Sughrâ wa ‘Alâmât al-
qiyâmah al-Kubrâ, penerjemah Irfan Salim, (T.tp.:PT Serambi Ilmu Semesta, Rabiulakhir 1421H/Juli
2000M), cetakan kesatu, h. 161.
54
“Kebenaran Hadis Dalam Senario Iraq Modern: Kejatuhan Baghdad 772 Tahun Lalu
Berulang Akibat Kerakusan Mengejar Keduniaan”, Utusan Malaysia, 21 februari 2004, h. 12.
55
“Kebenaran Hadis Dalam Senario Iraq Modern: Kejatuhan Baghdad 772 Tahun Lalu
Berulang Akibat Kerakusan Mengejar Keduniaan”, Utusan Malaysia, 21 februari 2004, h. 12.
  74

Negara Islam. Mereka adalah penceroboh tetapi mereka bangga dan tidak berasa

gerun terhadap umat Islam, bahkan memperkecilkan mereka.

Ummat Islam adalah kelompok yang kalah. Mereka juga seperti apa yang

telah disebutkan dengan jelas oleh hadis, terkena jangkitan penyakit al-wahn yakni

cinta pada dunia dan takut pada mati.

Penyakit al-wahn yang menjadi penyebab utama kekalahan dalam setiap

perjuangan menimpa umat sebelum Islam. Dalam sebuah hadis, baginda bersabda:

، ‫ أﻧﺒﺄ اﺑﻦ وهﺐ‬، ‫ أﻧﺒﺄ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ‬، ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ اﻟﻌﺒﺎس ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻳﻌﻘﻮب‬
: ‫ أﻧﻪ ﻗﺎل‬، ‫ ﺣﺪﺛﻨﻲ أﺑﻮ ﺳﻌﻴﺪ اﻟﻐﻔﺎري‬، ‫أﺧﺒﺮﻧﻲ أﺑﻮ هﺎﻧﺊ ﺣﻤﻴﺪ ﺑﻦ هﺎﻧﺊ اﻟﺨﻮﻻﻧﻲ‬
‫ ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬: ‫ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻳﻘﻮل‬، ‫ﺳﻤﻌﺖ أﺑﺎ هﺮﻳﺮة‬
‫ اﻷﺷﺮ‬:‫ وﻣﺎ داء اﻷﻣﻢ ؟ ﻗﺎل‬، ‫ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ‬: ‫ ﺳﻴﺼﻴﺐ أﻣﺘﻲ داء اﻷﻣﻢ ﻓﻘﺎﻟﻮا‬:‫ﻳﻘﻮل‬
‫واﻟﺒﻄﺮ واﻟﺘﻜﺎﺛﺮ واﻟﺘﻨﺎﺟﺶ ﻓﻲ اﻟﺪﻧﻴﺎ واﻟﺘﺒﺎﻏﺾ واﻟﺘﺤﺎﺳﺪ ﺣﺘﻰ ﻳﻜﻮن اﻟﺒﻐﻲ » هﺬا‬
56
« ‫ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ اﻹﺳﻨﺎد وﻟﻢ ﻳﺨﺮﺟﺎﻩ‬
Maksudnya; “Umatku akan ditimpa penyakit yang pernah menimpa umat
terdahulu. “Sahabat bertanya , “apakah penyakit umat terdahulu itu?” Nabi SAW
menjawab; “penyakit itu telah terlalu banyak seronok, terlalu mewah, menghimpun
harta sebanyak mungkin, tipu menipu dalam merebut harta benda dunia, saling
memarah, hasut-menghasut sehingga jadi zalim menzalimi”. 57

Penyakit yang disebutkan oleh Rasulullah SAW ini telah banyak kita lihat

dikalangan muslim hari ini. Di sana sini kita melihat penyakit ini merebak dan

menjalar dalam masyarakat dengan ganasnya. Dunia Islam dilanda krisis rohani yang
                                                            
56
Abî ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdullah Al-Hâkim al-Naisâbûrî, Al-Mustadrak ‘Alâ al-
Sahîhain, hadis ke-7419, juz. 17, h. 158.
57
Al-Asyqar, Al-Yaum al-Akhîr al-Qiyâmah al-Sughrâ wa ‘Alâmât al-qiyâmah al-Kubrâ, h.
180. 
  
  75

sangat tajam dan meruncing. Dengan kekosongan rohani itulah mereka terpaksa

mencari dan menimbun harta benda sebanyak-banyaknya untuk memuaskan hawa

nafsu. Maka apabila hawa nafsu diperturutkan tentunya mereka terpaksa

menggunakan segala macam cara dan tipu helah.

Pada saat itu, hilanglah nilai akhlak dan yang wujud hanyalah kecurangan,

khianat, hasut-menghasut dan sebagainya.

Apa yang menimpa Iraq modern hari ini adalah sama halnya juga dengan apa

yang menimpanya 772 tahun lalu. Pada 656H/1258M, Baghdad jatuh ke tangan

penceroboh Hulagu dari Monggol. 58

Cucu Genghis Khan, Ibn Katsîr menulis, “Saya memasuki kota Baghdad pada

656H. Pada tahun itu saya telah melihat bala tentara Tatar telah mengepung kota

Baghdad. Kemudian pasukan Tatar mengepung istana khalifah lalu menghujani

dengan anak panah dari setiap penjuru sehingga akhirnya mengenai seorang sahaya

wanita yang sedang bermain dengan khalifah. Sahaya yang bernama Arfah itu

termasuk salah seorang gundik khalifah. Ketika anak panah itu mengenainya dia

sedang menari di hadapan khalifah. Khalifah pun terkejut dan ketakutan”. 59

Dari segi sebab, strategi, metode dan akibatnya adalah lebih kurang sama,

yang berbeda hanyalah pelaku, alat dan waktu. Pada masa pencerobohan itu 1.8 juta

orang terbunuh seperti dilaporkan Ibn Katsîr. Bandingkan dengan ribuan jumlah

                                                            
58
Free Ensiklopedia, “Bani Abbasiyah”, artikel ini diakses pada tanggal 31 Disember 2009
dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah
59
Abî al-Fidâ` al-Hafîz Ibn Katsîr (w. 774H), Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t.), cet.1, juz. 13, h. 200.
  76

rakyat Iraq yang terbunuh selepas beberapa tahun pencerobohan Amerika ke atas

Negara tersebut.

Di antara sebab kejatuhan Baghdad dulu adalah jatuhnya Turkestan dan

peristiwa Utrar; jatuhnya Khurasan; hedonisme khalifah, memburu harta, meminum

minuman keras dan seks; kekikiran khalifah; perselisihan dan pertempuran antara

penganut mazhab; dan ketidakserasian antara khalifah, wazir dan general Turki. 60

Manakala di antara sebab kejatuhan Baghdad hari ini adalah jatuhnya kota

besar Irak bermula dari Selatan, Basra hingga Utara, Kurdistan; hedonisme pemimpin

Parti Baath yang memerintah Irak pimpinan Saddam Hussein; perselisihan mazhab

yang membakar dan ketidakserasian jentera kerajaan sehingga diakui seorang jeneral

Irak. Kementerian Pertahanan yang seharusnya memegang peranan dalam peperangan

itu tidak dibenarkan untuk berbuat demikian malah diserahkan kepada Pengawal

Republik pimpinan anak Saddam; Qusai yang tidak berpengalaman dalam strategik

peperangan. 61

Dalam kejatuhan Baghdad pertama, nampak sangat jelas pepecahan serius di

antara umat Islam yang berbilang bangsa ketika itu di mana ia mengundang

kelemahan yang membunuh kerajaan Abbasiyah. Namun, kemunculan Hulagu ke

Baghdad itu adalah peristiwa yang paling bersejarah.pada zaman Bani Buwaih

mazhab khilafah Abbasiyah adalah Syiah. Selepas berpindah kepada Seljuk, mazhab

kerajaan kembali kepada Sunni. Akan tetapi, khalifah pada akhir era kerajaan
                                                            
60
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafido Persada, t.t.), h.70-71.
61
Ensikliopedia Bebas, “Invasi Iraq 2003”, artikel diakses pada tanggal 31 Disember 2009
dari http://id.wikipedia.org/wiki/Invasi_Irak_2003
  77

Abbasiyah masih terus percaya kepada tokoh Syiah seperti Mu’ayyid ad-Deen bin al-

Alqami. Atas perbalahan yang berlaku di antara Sunni dan Syiah, Mu’ayyid telah

menjemput Hulagu mengisi cita-citanya menawan Baghdad. Beliau yang sepatutnya

menjalankan tugas mewakili khalifah untuk berbincang dengan Hulagu berpaling

tadah dan membuka laluan kepada Hulagu menyerang Baghdad sehingga ke akar

umbi pada 656H. 62

Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan

saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan

awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai

pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu

pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Monggol yang

dipimpin Hulaghu Khan tersebut.

Senario Iraq moden termasuk di dalamnya minyak bukanlah senario Iraq dan

barat pimpinan Amerika saja tetapi ia sebenarnya senario kebenaran dan kebatilan,

Islam dan jahilliyyah serta menjelaskan bahwa rakusnya manusia terhadap hal-hal

keduniaan. Ini telah diterangkan Rasulullah dalam sebuah hadis:

‫ل‬
َ ‫ﻋﻦْ َأﺑِﻲ ُه َﺮﻳْ َﺮ َة ﻗَﺎل ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋﻦْ َأﺑِﻴ ِﻪ‬
َ ‫ﻞ‬
ٍ ْ‫ﺳ َﻬﻴ‬
ُ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ٌ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُزهَﻴْﺮ‬
َ ‫ﻦ ﻣُﻮﺳَﻰ‬
ُ ْ‫ﻦ ﺑ‬
ُ‫ﺴ‬
َ‫ﺣ‬َ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ‬
َ
‫ت‬
ُ ‫ﺴ َﺮ اﻟْ ُﻔ َﺮا‬
ِ ْ‫ﺣﺘﱠﻰ َﻳﺤ‬
َ ‫ﻋ ُﺔ‬
َ ‫ت َأوْ ﻟَﺎ َﺗﻘُﻮ ُم اﻟﺴﱠﺎ‬
ُ ‫ﺴ ُﺮ اﻟْ ُﻔﺮَا‬
ِ ْ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻳﺤ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬
ُ ‫َرﺳُﻮ‬

                                                            
62
Ensiklopedia Bebas, “Bani Abbasiyah”, artikel diakses pada tanggal 31 Disember 2009 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah
  78

Bermaksud, “Tidak terjadi hari kiamat kecuali Sungai Euphrates


menjadi surut airnya sehingga ternampak sebuah gunung dari emas. Ramai
orang yang berperang untuk merebutnya. Maka terbunuh Sembilan puluh
Sembilan daripada seratus orang yang berperang. Dan masing-masing yang
terbabit berkata, “mudah-mudahan akulah yang terselamat itu”. Di dalam
riwayat lain ada disebutkan; sudah dekat suatu masa di mana Sungai
Euphrates akan menjadi surut airnya lalu ternampak penbendaharaan
daripada emas, maka barang siapa yang hadir di situ janganlah ia
mengambil sesuatupun daripada harta itu.” (Muttafaq Alaih) 64

E. Esensi Segala Krisis dan Rahsia Konspirasi Musuh

Sebenarnya akibat yang menimpakan umat seperti yaitu kezaliman dan

kerosakan, ditindas, dijajah, adalah berpusat pada esensi krisis besar yang menurut

Yusuf Qardhawi adalah krisis spiritual moralitas, krisis keimanan dan akhlak. Krisis

di sisi yang jangka masa yang panjang akan mengarah kepada ekonomi, politik,

manajemen, sains dan teknologi. Yang intinya berpangkal pada matinya ruh

keimanan dan akhlak. Dan menurut KH Imam Zarkasyi segala permasalahan

berpunca dari racun yang ditanam musuh, sejenis penyakit yang samar kelihatan dan

tersembunyi letaknya tetapi amat besar bahayanya yaitu egoism. 65

Keduanya adalah kelemahan iman dan akhlak dalam dalam diri seluruh

pemerintah dan penduduk yang merupakan congakan Firaun, kesombangan Haman,

                                                            
63
Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, juz 17, cet. 1, Musnad Abû
Hurairah, hadis ke-8038, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h. 80.
64
Al-Asyqar, Al-Yaum al-Akhîr al-Qiyâmah al-Sughrâ wa ‘Alâmât al-qiyâmah al-Kubrâ, h.
192.  
65
KH Imam Zarkasyi, ‘Jangan Jadi Penyakit di Masyarakat’, Gantor, Februari
2006/Muharram 1427, h. 37.
  79

Artinya: “Kepada Firaun dan kaumnya; lalu kaum Firaun menurut perintah
Firaun, sedang perintahnya itu bukanlah perintah yang betul”.


 
Artinya: “(Dengan yang demikian), maka Firaun memperbodohkan kaumnya,
lalu mereka mematuhinya; sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang fasik
– derhaka”.
Ini adalah kelemahan yang tercermin dalam: “cinta dunia dan takut akan

mati” dalam diri manusia.

Jika penguasa tidak lagi mau diganti kursinya oleh orang lain, ia berniat mau

untuk mempertahankannya. Segala cara dihalalkan agar tetap berjabat. Mereka adalah

orang yang menyia-nyiakan bangsa dan menghinakan masyarakat.

Kebanyakan perpecahan yang kita perhatikan terjadi di bangsa dan

pemerintahan kita sendiri. Sumbernya bukanlah perbedaan cara berfikir dan siasat,

namun sekedar perbedaan kamauan dan tujuan serta kemaslahatan penguasa di atas

krisis hukum dan kepimpinan. 67

                                                            
66
Al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, h. 318.
67
Al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, h. 319.
  80

Masalah ummat seperti hutang piutang, penyalahgunaan kuasa, politik wang,

memilik barang haram hasil dari penipuan, suap, gratifikasi, korupsi, bisnis prostitusi,

zina, eksploitasi diri dan sebagainya untuk melengkapkan dan memewahkan

kebutuhan kehidupan lahir dari semboyan ‘het doel heiling de middelen’ (segala jalan

boleh ditempuh) dalam mengejar kekayaan dan kenikmatan. Tanpa peduli halal dan

haram. Prinsip-prinsip machiavelisme seperti yang benar dan berkuasa diterapkan

untuk mencapai tujuan tanpa menghiraukan baik buruk, benar salah semuanya

menandakan al-wahn ummat. 68

Sifat-sifat tercela seperti materialistis, egois, kekanak-kanakan, menghalalkan

segala cara, oportunisme, juga kehinaan aroganisme, acuh tak acuh, malas, lemah

dalam produksi, sikap apatis, adalah kotoran dan penyakit, bahkan lebih bahaya dari

seluruh penyakit. 69

Dalam kehidupan modern, sepintas lalu akan dirasa adanya kemajuan dan

kenikmatan secara materi. Tetapi di lain pihak, tanpa disedari adanya pencemaran

jiwa (mental pollution) yang menyerapi diri yang menjadi rahsia konspirasi musuh

dan menyebab kemunduran agama. Dengan arti bahwa bukan musuh Islam yang akan

menjatuhkan umat Islam dengan konspirasinya, tetapi umat Islam sendiri yang mulai

meninggalkan agamanya adalah esensi segala konspirasi musuh dan dengan itu umat

Islam kehilangan martabatnya yang tinggi.

                                                            
68
Kh Imam Zarkasyi, ‘Rapuhnya Moral Agama’, Gontor, edisi 12 tahun vi, April 2009/Rabiul
Akhir 1430, h. 1.
69
Al-Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, h. 321.   
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian yang dilakukan ke atas sanad dan matan tentang hadis al-

wahn serta perbahasan mengenai relevansi kebenarannya dapatlah ditetapkan butir-

butir kesimpulan seperti berikut:

1. Hadis nombor 4297 yang dikutip dari kitab Sunan Abû Dâwud (sahîh li

dzâtih) dan dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya. Begitu juga

hadis dari Musnad Ahmad bin Hanbal melalui Abû Hurairah (8356) dapat

disimpulkan sebagai hasan li ghairih setelah dikuatkan oleh jalur sahih

dari Sunan Abû Dâwud dan melalui Tsaubân (22460) oleh jalur Musnad

Ahmad yang berkualitas hasan li gharih.

2. Di samping keotentikan hadis juga perbahasan mengenai pembuktiannya

di konteks ini dapat disimpulkan bahwa hadis yang menjadi obyek

penelitian dapat diakui relevansi kebenarannya.

3. Berdasarkan uraian tentang hadis al-wahn, dapatlah difahami bahawa al-

wahn adalah penyebab kejatuhan moral, akhlak, tamadun, maruah dan

harga diri yang seterusnya menjadi sumber mudahnya agama Islam

dikuasai dan dijajah. Segala problematika kaum Muslimin kontemporer

menurut hadis adalah bersumber dari dalam diri kaum muslimin itu

sendiri, yaitu dari penyakit al-wahn yang merupakan penyakit campuran

dari dua unsur yang selalu wujud dalam bentuk kembar dua, dua penyakit

81

 
ini tidak dapat dipisahkan, yaitu ‘cinta dunia’ dan ‘takut mati’. Umat

Islam kini secara kuantitas memang tidak dinafikan, tetapi aspek kualitas,

dan otoritas selalu dipersendakan. Ditindas, diinjak-injak, disakiti,

dibunuh dan sebagainya. Bangsa-bangsa dari seluruh dunia walau pun

berbeda-beda agama, mereka bersatu untuk melawan dan melumpuhkan

kekuatannya. Oleh itu, hadis yang diteliti yang mengandung petunjuk

tentang segala pemasalahan yang menimpa umat dulu dan kini asalnya

berakar dan berpangkal dari penyakit al-wahn berfungsi untuk dijadikan

sumber hujjah.

B. Saran-saran

Sejalan dengan beberapa hal yang dibahas penulis dalam skripsi ini, maka

penulis menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Maka hendaknya kaum muslimin mentradisikan sikap bersederhana terhadap

nafsu memburu harta kekayaan karena bentuk ujian iman tersebut akan

menyampaikan manusia kepada bentuk pengingkaran kepada Allah dan

banyak melahirkan tindakan aniaya dan permusuhan.

2. Hendaknya ummat Islam bersatu karena obor kesatuan umat ‘al-Wihdah’

adalah benteng utama kekuatan ummat. Tetapi harus memulainya dengan

pengukuhan akidah dan iman karena dengan sahaja akan melahirkan

kesederhanaan seterusnya melahirkan persaudaraan Islam.

3. Hendaknya ilmu-ilmu khususnya hadis saat ini dikaji lebih mendalam

sehingga inti ajaran dan apa yang diterapkan oleh beliau dapat direalisasikan

sebaiknya.

82

 
Konklusinya, semoga penulisan ini terhindar dari kesalahfahaman yang

sedayanya diwaspadai penulis. Hanya kepada Allah penulis memohon keampunan

dan berharap semoga penelitian yang jauh dari kesempurnaan ini bermanfaat

khususnya untuk penulis dan seluruh pembaca amnya. Wassalam.

83

 
‫‪Lampiran 1‬‬

‫ﻏﺜَﺎءٌ‬
‫ل َﺑﻞْ َأﻧْ ُﺘﻢْ َﻳﻮْ َﻣ ِﺌ ٍﺬ َآﺜِﻴﺮٌ َوَﻟ ِﻜ ﱠﻨ ُﻜﻢْ ُ‬‫ﻦ َﻳﻮْ َﻣ ِﺌ ٍﺬ ﻗَﺎ َ‬‫ل ﻗَﺎﺋِﻞٌ َو ِﻣﻦْ ِﻗﱠﻠ ٍﺔ َﻧﺤْ ُ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ُﻜﻢْ آَﻤَﺎ َﺗﺪَاﻋَﻰ اﻟَْﺄ َآَﻠ ُﺔ ِإﻟَﻰ َﻗﺼْ َﻌ ِﺘﻬَﺎ َﻓﻘَﺎ َ‬ ‫ﻚ اﻟُْﺄ َﻣ ُﻢ َأنْ َﺗﺪَاﻋَﻰ َ‬ ‫ﺷُ‬ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻳُﻮ ِ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ‬
‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ‬ ‫ل َرﺳُﻮ ُ‬ ‫ﻗَﺎ َ‬
‫ت‬
‫ﺣﺐﱡ اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ َو َآﺮَا ِه َﻴ ُﺔ اﻟْ َﻤﻮْ ِ‬ ‫ل ُ‬ ‫ﻦ ﻗَﺎ َ‬ ‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َوﻣَﺎ اﻟْ َﻮهْ ُ‬
‫ل ﻗَﺎﺋِﻞٌ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ َ‬ ‫ﻦ َﻓﻘَﺎ َ‬
‫ﻦ اﻟﱠﻠ ُﻪ ﻓِﻲ ُﻗﻠُﻮ ِﺑ ُﻜﻢْ اﻟْ َﻮهْ َ‬
‫ﻋ ُﺪوﱢ ُآ ْﻢ اﻟْ َﻤﻬَﺎ َﺑ َﺔ ِﻣﻨْ ُﻜﻢْ َوَﻟ َﻴﻘْ ِﺬ َﻓ ﱠ‬
‫ﺻﺪُو ِر َ‬ ‫ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ ِﻣﻦْ ُ‬ ‫ﻋﱠ‬
‫ﻞ َوَﻟ َﻴﻨْ َﺰ َ‬
‫ﺴﻴْ ِ‬
‫َآ ُﻐﺜَﺎ ِء اﻟ ﱠ‬

‫اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬


‫ﺳﻤﻌﺖ‬ ‫ﻗﺎل‬

‫أﺑﻮ هﺮﻳﺮة ‪W. 57 /‬‬ ‫ﺛﻮﺑﺎن )‪(w. 44‬‬


‫ﻋﻦ‬ ‫ﻋﻦ‬ ‫ﻋﻦ‬

‫ﺷﺒﻴﻞ ﺑﻦ ﻋﻮف ‪ /‬اﻟﻜﻮﻓﺔ‬ ‫أﺑﻮ أﺳﻤﺎء ‪ /‬ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﻣﺮﺛﺪ ‪ /‬اﻟﺸﺎم‬ ‫ﻋﺒﺪ اﻟﺴﻼم ‪ /‬اﻟﺸﺎم‬

‫ﻋﻦ‬ ‫أﺧﺒﺮﻧﺎ‬ ‫ﺣﺪﺛﻨﻰ‬

‫ﺣﺒﻴﺐ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ‪ /‬اﻟﺒﺼﺮة‬ ‫ﻣﺮزوق ‪ /‬اﻟﺸﺎم‬ ‫اﺑﻦ ﺟﺎﺑﺮ ‪ /‬ﻋﺒﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ ‪/‬‬
‫اﻟﺸﺎم ‪W. 153 H /‬‬
‫ﻋﻦ‬ ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ‬ ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ‬

‫ﻋﺒﺪ اﻟﺼﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﺒﻴﺐ‬ ‫ﻣﺒﺎرك ﺑﻦ ﻓﻀﺎﻟﺔ ‪ /‬اﻟﺒﺼﺮة ‪W. /‬‬ ‫ﺑﺸﺮ ﺑﻦ ﺑﻜﺮ‪ /‬اﻟﺸﺎم ‪W. H /‬‬
‫‪166‬‬ ‫‪L. 124 H /205‬‬
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ‬ ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ‬ ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ‬

‫أﺑﻮ ﺟﻌﻔﺮ اﻟﻤﺪاﺋﻨﻰ ‪ /‬ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ‬ ‫ﻋﺒﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ اﺑﺮاهﻴﻢ ‪ /‬اﻟﺸﺎم ‪/‬‬
‫ﺟﻌﻔﺮ ‪ /‬اﻟﻤﺪاﺋﻦ ‪W. 206 H /‬‬ ‫أﺑﻮ اﻟﻨﻀﺮ ‪ /‬هﺎﺷﻢ ﺑﻦ اﻟﻘﺎﺳﻢ ‪W. /‬‬ ‫‪W. 245 H / L. 170 H‬‬
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ‬ ‫‪207 H / L.‬‬ ‫‪134 H‬‬
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ‬ ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ‬
‫أﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ‪/ W. 241 H /‬‬
‫‪L. 164 H‬‬
‫أﺑﻮ داود ‪L. 202 W. 275 H/‬‬
‫‪H/‬‬
 
 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur`an al-Karim

Budiono MA. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit Agung, 2005.

Al-Qatthan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu al-Quran. Indonesia: PT. Mitra Kerjaya,
2007. Cet 10

Bustamin dan Salam, M. Isa H.A.. Metodologi Kritik Hadis. JAKARTA: PT


RajaGrafindo Persada, Maret 2004. Cetakan pertama.

Fatah Yasin, Qurratul Ain. Ilmu Mustholah Hadis. Kuala Lumpur: ISP Shahab
Trading 2006. Cetakan pertama.

Al-Sijistânî, Abî Dâwud Sulaimân bin al-`Asy ast. Sunan Abî Dâwud. T.tp.: Dar al-
A lam, 1423H/2003M. Cetakan pertama.

Metode Takhrij Hadits, Penerjemah Agil Husin Munawwar dan Ahmad Rifqi
Muchtar. Semarang: Dina Utama, t.t

A.J Wensick. Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Alfâz al-Hadîst al-Nabawî. Penerjemah


M. Fouad Abdel Baky. Leiden: E.J. Brill, 1936 M.

Al-Syaibânî, Ahmad ibn Muhammad bin Hanbal ibn Hilâl ibn Asad. Al-Musnad li
al-Imâm Ahmad bin Hanbal. Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1994M. Cet. 2.

Al-‘Asqalânî, Ahmad ibn Alî Hajar Abû al-Fadhl. Taqrîb al-Tahdzîb. Syiria, Dar
Al-Rasyid, 1986. Cetakan pertama.

……………, Tahdzîb Tahdzîb. Beirut: Dar al-Fikr, 1984M/1404H. Cetakan pertama.

Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang,


2007. Cet. 2.

……………., Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah). Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

Ash Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 1997. Cetakan pertama.

Al-Mizî, Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj. Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ` al-Rijâl. Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1992 M/1413H, cet. 3. Beirut: Muassasah al-Risalah,
1980, cetakan pertama.

84 
 
 
 

Al-Baghdâdî, Al-Khathîb. Târikh Baghdâd. Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah,

Syams al-Dîn Muhammad ibn Ahmad ibn Uthmân al-Dzahabî. Siyâr al-A’lâm Al-
Nubalâ. Qaherah: Darul Hadis, 2006.

Al-Dzahabî. Al-Kâsyif fî Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub Al-Sittah. Beirut: Dar al-
Kutub Al-Sittah, 1983. Cetakan pertama.

……………, Tadzkirah al-Huffâz. Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1375H-1955M.


Cetakan pertama.

Al-Râzî. Al-Jarh wa al-Ta’dîl. Beirut: Dar al-Fikr, 1954. Cetakan pertama.


Al-Khathib, Muhammad ‘Ajaj. Usûl Al-Hadîts. Penerjemah Qodirun Nur dan
U

AhmadMusyafiq. Jakarta: Gaya Media Pranata, 2007. Cet. 4.

Abî Bakr, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahman. Thabaqât al-Huffâz. Beirut, Dar al-Kutub
al-‘Ilmiah, 1994. Cet. 2.

Fatchur Rahman. Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Bandung: PT Alma’rif, 1974.


Cetakan pertama.

Al-Jazrî, ‘Izz al-Dîn Ibn Al-Asir Abî al-Hasan ‘Alî bin Muhammad. Usl al-Ghâbah
U

fî Ma’rifah al-Sahâbah. Beirut: Dar al-Fikr, 1398H/1978M. Cetakan pertama.

Fayyad, Mahmud ‘Ali. Manhaj al-Muhaddtsîn fî Dabth al-Sunnah. Penerjemah A.


Zarkasyi Chumaidy. Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1419H/1998M.
Cetakan pertama.

Al-Syahrawi, Ibrahim Dasuqi. Mu’âlah al-Hadîts. Qairo: Syirkah al-Tiba’at al-


Fanniyah al-Muttahidah. t.t.

Abî Bakr, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahman. Tabaqât al-Huffâz. Beirut: Dar al-Kutub Al-
Ilmiah, 1994. Cet. 2.

Al-Naisâbûrî, Abî ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah Al-Hâkim. Mustadrak,


Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.

Al-Jauziyyah, Abî Thayyib Muhammad Syams Al-Haq al-‘Adzîm Abadî dan Syams
al-Dîn ibn Qayyim. ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwud. Beirut: Dar
Al-Afkar, tt

85 
 
 
 

Manzûr, Abî al-Fadhl Jamâl al-Din Muhammad bin Mukram ibn. Lisân al-‘Arab.
Beirut: Dar Shadir, 1414 H/1994 M). Cet. 3

Mu’jam al-Wasîth. T.tp.: Maktabah al-Syuruf al-Dauliyyah, 1423H/2004M. Cet. 4.

Baky, Muhammad Fouad ‘Abdel. Mu’jam al-Mufahras li al-Alfâz al-Qur`an al-


Karîm. Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t..

Shihab, M. Quraisy. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera hati, Jumadil Akhir


1428/Juni 2007. Cet. VIII.

Al-Qardhawi, Yusuf. Keprihatinan Islam Modern. Penerjemah H. Moh. Farid AZ.


Surabaya: CV. Dunia Ilmu, 21 Ramadhan 1416H/11 Februari 1995. Cetakan
pertama.

……………, Titik Lemah Umat Islam. Penerjemah Rusydi Helmi. Jakarta Timur:
Penebar Salam, Syawal 1421H/Januari 2001. Cetakan pertama.

……………, Islam Agama Ramah Lingkungan. Penerjemah Abdullah Hakam Shah,


Dkk.. Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, Mei 2002. Cetakan pertama.

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik.


Jakarta: Paramadina, Oktober 1996. Cetakan pertama.

Al-Asyqar, ‘Umar Sulaiman. Kiamat Kecil dan Tanda-tanda Kiamat Besar.


Penerjemah Irfan Salim. Jakarta: PT Serambi Ilmu Sastera, Rabi’ul awal
1421H/Juli 2000M. Cetakan pertama.

Al-Bukhârî, Abû ‘Abdullah Muhammad bin Ismâ îl. Sahîh al-Bukhârî. Jordan: Bait
al-Afkar wa al-Dauliyyah. Cet. Terbaru.

Al-Wakil, Muhammad Sayyid. Wajah Dunia Islam Dari Bani Umayyah Hingga
Imperialisme Modern. Penerjemah Fadhli Bahri, Lc. Jakarta Timur: Pustaka
al-Kautsar, November 2009. Cet. 6.
Syamir, Hussin Muhammad. 31 Sebab Lemahnya Iman. Penerjemah Musthafa Aini.
Jakarta: Darul Haq, Muharram 1430H/Januari 2009. Cet. VII.

Ibnu katsir, Abi al-Fida al-Hafidz. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Beirut: Dar al-Fikr,
t.t.. Cetakan pertama.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT RajaGrafido Persada, t.t..

Amin, Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Bandung:


PT Mizan Publika, April 2009. cetakan 1.

86 
 
 
 

Dokumen elektronik dari internet:

Maizuddin. “Pemahaman Kontekstual Atas Hadis Nabi”. Artikel diakses pada 6 Mac
2010 dari http://maizuddin.wordpress.com/artikel/pemahaman-kontekstual-
atas-hadis-nabi/

Shahaby, Makhsis. “Integritas hadis Dalam Konteks dakwah Islam”. Artikel diakses
pada tanggal 31 Disember 2009 dari
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Hadis.html

Shahaby, Makhsis. “Integritas Hadis Dalam Konteks Dakwah”. Artikel diakses pada
14 march 2010 dari
http://lenterahadis.com/index.php?option=com_content&view=article&id=67
:integritas-hadits-dalam-konteks-dakwah-islam&catid=36:kajian-
hadis&Itemid=57
Supatmiati, Asri. “Eksploitasi Wanita”. Artikel diakses pada 1 march 2010 dari
laman web http://www.indoforum.org/showthread.php?t=42372
Free Encyclopedia. “Bani Abbasiyah”. Artikel ini diakses pada tanggal 31 Disember
2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah

Berbagai Sumber. “Mengapa Ummat Islam Mundur dan Ummat Selain Islam Maju”.
Artikel diakses pada tanggal 21 April 2010 dari
http://www.semuabisnis.com/articles/100514/1/Mengapa-Ummat-Islam-
Mundur-dan-Ummat-Selain-Islam-Maju/Page1.html

Artikel dan berita dari Koran:

“Perlu, Upaya Mendasar Indonesia Bisa Meniru China untuk Berantas Praktik Suap”.
Kompas, Senin, 5 April 2010.

Zarkasyi, KH Imam. “Jangan Jadi Penyakit di Masyarakat”. Gantor, Februari


2006/Muharram 1427, h. 37.

“Kebenaran Hadis Dalam Senario Iraq Modern: Kejatuhan Baghdad 772 Tahun Lalu
Berulang Akibat Kerakusan Mengejar Keduniaan”. Utusan Malaysia, 21
februari 2004, h. 12.
“Parpol Tak Lepas dari Jerat Korupsi”. Kompas, Senin, 12 April 2010, h. 1.

Ilyas, Abustani. “Kontribusi Pemikiran Hadis Rasyid Ridha”. Refleksi: Jurnal Kajian
Agama dan Filsafat. Vol. IX, no. 3 (2007). h. 253.

87 
 

Anda mungkin juga menyukai