Anda di halaman 1dari 76

METODE DAN CORAK PENAFSIRAN AL-QUR`AN

MUHAMMAD SAID BIN UMAR DALAM TAFSÎR NÛR AL-


IHSÂN SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM PENAFSIRAN

Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

OLEH :
SAIFUDDIN BIN ASYARI
NIM: 109034000105

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADITS


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H./2010 M.
METODE DAN CORAK PENAFSIRAN AL-QUR`AN MUHAMMAD

SAID BIN UMAR DALAM TAFSÎR NÛR AL-IHSÂN SERTA

IMPLEMENTASINYA DALAM PENAFSIRAN

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

SAIFUDDIN BIN ASYARI


NIM: 109034000105

Di Bawah Bimbingan:

DR. AHZAMI SAMI’UN JAZULI, M.A


NIP: 19620624 20003 1 001

PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi / tesis / disertasi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1/ starata 2/
stara 3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 1 Disember 2010

Saifuddin Asyari

ii
PEDOMAN TRANSLITERASI

a. Padanan Aksara
Huruf Huruf
Keterangan
Arab Latin
‫ا‬ tidak dilambangkan
‫ب‬ b be
‫ت‬ t te
‫ث‬ ts te dan es
‫ج‬ j je
‫ح‬ h ha dengan garis di bawah
‫خ‬ kh ka dan ha
‫د‬ d de
‫ذ‬ dz de dan zet
‫ر‬ r er
‫ز‬ z zet
‫س‬ s es
‫ش‬ sy es dan ye
‫ص‬ s es dengan garis di bawah
‫ض‬ d de dengan garis di bawah
‫ط‬ t te dengan garis di bawah
‫ظ‬ z zet dengan garis di bawah
‫ع‬ ‘ koma terbalik diatas hadap kanan
‫غ‬ gh ge dan ha
‫ف‬ f ef
‫ق‬ q ki
‫ك‬ k ka
‫ل‬ l el
‫م‬ m em
‫ن‬ n en
‫و‬ w we
‫هـ‬ h ha
‫ء‬ ` apostrof
‫ي‬ y ye

b. Vokal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ a fathah
ِ i kasra
ُ u dammah
Adapun Vokal Rangkap

ix
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫َ ي‬ ai a dan i
‫َ و‬ au a dan u
c. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ـَـﺎ‬ â a dengan topi di atas
‫ــــِــﻲ‬ î i dengan topi di atas
‫ــــُـــﻮ‬ û u dengan topi di atas

d. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf (‫)ال‬,
dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh ‫ = اﻟﺸﻤﺴﻴﺔ‬al-syamsiyyah, ‫ = اﻟﻘﻤﺮﻳﺔ‬al-qamariyyah.

e. Tasydîd
Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
huruf-huruf samsiyyah.

f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut
diikuti kata sifat (na‘t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.

g. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya . Contoh ‫ = اﻟﺒﺨﺎر‬al-Bukhâri.

i. Singkatan

Swt = ‫ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ وﺗﻌﺎﻟﻰ‬


Saw =‫ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
H = Tahun Hijriah
M = Tahun Masehi
W = Wafat
dkk = dan kawan-kawan
t.p. = tanpa penerbit
t.tp. = tanpa tempat terbit

x
t.th = tanpa tahun
h. = halaman
ed. = editor

Pengulangan kutipan dengan sumber yang sama dilakukan dengan menulis ulang
nama penulis, judul buku, dan nomor halaman .

xi
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “METODE DAN CORAK PENAFSIRAN AL-


QUR`AN MUHAMMAD SAID BIN UMAR DALAM TAFSÎR NÛR AL-
IHSÂN SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM PENAFSIRAN” telah
diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin “UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta” pada tanggal 9 Disember 2010. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata Satu
(S1) Pada Jurusan Tafsir Hadis.

Jakarta, 9 Disember 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. M. Suryadinata, MA Muslim, S.Th.I


NIP. 19600908 198903 1 005

Anggota

Dr. Ahsin Sakho Muhammad, MA Dr. M. Suryadinata, MA


NIP. 19560221 199603 1 001 NIP. 19600908 198903 1 005

Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA


NIP: 19620624 20003 1 001

iii
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kehadrat Ilahi atas seluruh rahmat serta hidayahNya yang

telah dilimpahkan kepada hamba dan seluruh umat manusia di dunia. Sungguh hamba

hanya insan yang tiada berdaya selain dengan pertolongan Mu ya Rabb, atas izin dan

keridhaanMu maka hamba dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul

“Metode Dan Corak Penafsiran Muhammad Said Bin Umar Dalam Tafsîr Nûr

al-Ihsân Serta Implementasinya Dalam Penafsiran.” Salawat serta salam

senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah saw. yang memberikan cahaya terang bagi

perkembangan Islam di dunia.

Tiada hari tanpa hamba mengucap syukur kepadaMu ya Allah, Tuhan

penggenggam langit dan bumi yang menguasai hari pembalasan. Tidak ada satu

kejadianpun tanpa seizinMu, terima kasih karena telah mengizinkan hari ini terjadi

dalam hidup hamba. Amin ya Rabbal âlamin. Jutaan terima kasih kepada:

1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan kesempatan untuk menyelesaikan S1.

2. Negara Republik Indonesia yang telah memberikan izin tinggal.

3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dr. Bustamin, M.Si, selaku ketua Jurusan Tafsir Hadis, Dr. Rifqi M. Fathi,

M.A, selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis dan Dr. Edwin Syarif, M.A,

mantan Sekretaris Jurusan Tafsir Hadits.

iv
6. Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, M.A selaku Pembimbing, yang banyak

meluangkan waktu, tenaga, fikiran, serta tunjuk ajar kepada penulis dalam

penyelesaian skripsi ini.

7. Jutaan terima kasih untuk Bunda tercinta Rahimah binti Abas (mak), dan

Ayahanda tersayang Asyari Bin Othman (abah), setiap hembusan nafas kalian

adalah doa untuk keberhasilan anakanda, dengan lautan kasih yang takkan

pernah surut walaupun kemarau panjang datang melanda.

8. Seluruh dosen dan staf pengajar pada program studi Tafsir Hadis (TH) atas

segala motivasi, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang mendorong

penulis selama menempuh studi. Seluruh staf dan karyawan Fakultas

Ushuluddin, Akademik Pusat, dan Rektorat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Pimpinan dan segenap karyawan perpustakaan-perpustakaan di Indonesia

dan perpustakaan-perpustakaan di Malaysia.

10. Terima kasih dan salam sayang penuh kerinduan kepada semua saudara-mara

penulis. Arwah aung dan tok serta mey, adik-adik,

11. Dato’ Tuan Guru Hj. Harun Taib selaku pengerusi Ahli Majlis Mesyuarat

KUDQI & Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI. Pihak Kolej Universitas Darul

Quran Islamiyyah (KUDQI) yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat

terutama, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Ust. Kamaruzaman, Ust Soud

Said, Ust. Nik Mohd Nor, YB. Ust. Mohd Nor Hamzah, Ust. Rizki Ilyas,

Ustadzah Zaitun, Ust. Shahari Zulkirnain, Ust. Asmadi, Ust. Khalil, dan

seluruh Ustadz dan Ustadzah juga mahasiswa serta adik-adik KUDQI,

MPMKUDQI dan HESIS. Sahabat-sahabat Mesir, Turki dan Yaman. Serta

warga MDQ, Ayahanda Ust. Rosli, Ust. Zulyadain, Ust. Wan Awang, dan

v
semua tenaga pengajar MDQ serta adik-adik banin dan banat yang

berkesempatan dengan penulis.

12. Sahabat-sahabat Malaysia seangkatan dan senior, yaitu Hadi, Sabri, Ukasyah,

Ridzuan, Muaz, Zalani, Fawwaz, Ayah Su, Mad Yu, Ust. Azahari, Ridhuan

Hamid, Farid, Najmi, Nash, Syuk, Munir, Madan, dan lain-lain. Dan semua

sahabiyah Sa, Aminah, Kak Su, Najihah, Azidah, Hajar, dan lain-lain.

13. Sahabat-sahabat Indonesia terutamanya, Iqbal, Adnan, Ruslan, Pak Abbas


Sukardi, Hasim, Miftah, Pipit, Kholid Ganteng, Nita, Atie, Saiful Subhan,
serta sahabat-sahabat dari fakultas-fakultas yang lain terutamanya Deddy,
Iqbal, Erwin, Muhchin, dan Reza.
14. Terakhir, jutaan rasa terima kasih kepada semua individu yang secara tidak
langsung telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini.
Semoga Allah Subhanaahu wa Ta’ala menjadikan usaha kecil ini sebagai amal

yang ikhlas, memberi manfaat yang berterusan, menjadi teman ketika berseorangan di

kuburan dan keberkatan untuk kedua orang tua dan umat Islam seluruhnya.

Wama taufiqi Illa billah.

Jakarta, 6 November 2010


29 Dzulqa`idah 1431 H

Saifuddin Bin Asyari

vi
   

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. i


LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1


A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8
D. Tinjauan kepustakaan ..................................................................... 9
E. Metodologi Penelitian .................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 11

BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD SAID BIN UMAR ................................ 13


A. Latar belakang kehidupan ............................................................... 13
B. Keperibadian ................................................................................... 17
C. Pendidikan ....................................................................................... 18
D. Mazhab akidah dan fikih ................................................................ 19
E. Sumbangan dan Karya-Karyanya ................................................. 20

BAB III METODE DAN SUMBER PENAFSIRAN AL-QUR`AN DALAM


TÂFSÎR NÛR AL-IHSÂN..................................................................... 29
A. Sumber penafsiran Muhammad Said Umar dalam Tafsîr Nûr al-
Ihsân ............................................................................................... 29

vii
   

B. Metode penafsiran Muhammad Said Umar dalam Tafsîr Nûr al-


Ihsân ................................................................................................ 43

BAB IV CORAK PENAFSIRAN, TEMA-TEMA DAN CONTOH-CONTOH


PENAFSIRAN DALAM TÂFSÎR NÛR AL-IHSÂN ........................ 50
A. Corak Penafsiran Muhammad Said Umar dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân
.......................................................................................................... 50
B. Tema-tema dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân ............................................ 55

BAB V PENUTUP ........................................................................................... 62


A. Kesimpulan ...................................................................................... 62
B. Saran ................................................................................................ 63

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 65

LAMPIRAN.............................................................................................................. 68

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Metode dan corak penafsiran merupakan hal penting dalam menggali

makna al-Qur`an maupun dapat dipahami dan dipelajari. Makna-makna al-

Qur`an merupakan suatu khazanah agung yang harus digali dengan cara yang

sebaiknya. Konsep metode dan corak penafsiran yang jelas bertujuan

membebaskan pesan-pesan moral al-Qur’an dari kekeliruan. Hawa nafsu tidak

layak berperan dalam penafsiran ini, namun suatu sikap yang loyal untuk

menerapkan konsep metode dan corak penafsiran secara benar dapat

mencurahkan segenap kemampuan intelektual baik yang menyangkut kaidah-

kaidah penafsiran maupun bidang-bidang intelektual terkait lainnya.

Sudah barang tentu bahwa obyek penafsiran ialah al-Qur`an yang

diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi-Nya sebagai rahmat kepada seluruh alam

dan petunjuk kepada manusia yang berada dalam kesesatan mencari haluan

kehidupan di dunia. Berurutan dari itu, Nabi Muhammad saw menafsirkan al-

Qur`an sebagai penjelasan kepada umat manusia. Bermula dari itu, dapat

disingkapi juga kemukjizatan al-Qur`an baik dari susun katanya maupun makna

yang dikandungnya. Ia juga diturunkan sebagai syifâ` (obat) bagi manusia yang

1
2

dalam kegelisahan mencari jati diri dalam mengenal tuhannya. Dua mukjizat ini

teraplikasikan dalam kepimpinan Nabi Muhammad secara ideal walaupun

dijalani dalam tempoh yang singkat yaitu 23 tahun 1 .

Fakta historis di atas terjadi karena sikap Rasulullah saw yang senantiasa

menafsirkan al-Qur`an jauh dari hawa nafsu yang berdiri di atas kepentingan

peribadi atau kelompok tertentu. Bahkan Rasulullah mencegah dari penafsiran

al-Qur`an yang berlandaskan hawa nafsu (pemikiran yang tidak dilandasi oleh

al-Qur`an, Sunnah, dan sumber-sumber hukum yang lain yang disepakati oleh

ulama`), maka yang terjadi ialah kehancuran, keterperukan, sehingga bencana

multideminsional terjadi pada kehidupa manusia.

Rasulullah telah menegaskan bagaimana konsep metode penafsiran al-

Qur`an yang seharusnya, dalam hadisnya yang diriwayat oleh al-Turmudzi;

‫ﻋﻦ‬َ ‫ﻋ َﻮا َﻧ َﺔ‬ َ ‫ﺣ َّﺪ َﺛ َﻨﺎ َأ ُﺑﻮ‬


َ ،‫ﻲ‬ ‫ﻋﻤ ٍﺮو اﻟ َﻜﻠ ِﺒ ﱢ‬ َ ‫ﺳ َﻮﻳ ُﺪ ِﺑﻦ‬ُ ‫ﺣ َّﺪ َﺛ َﻨﺎ‬
َ ،‫ن ِﺑﻦ َو ِآﻴ ٍﻊ‬ ُ ‫ﺳﻔ َﻴﺎ‬ ُ ‫ﺣ َّﺪ َﺛ َﻨﺎ‬َ
‫ﻲ‬
ِّ ‫ﻦ اﻟ َّﻨ ِﺒ‬ِ‫ﻋ‬
َ ‫ﻋﻨ ُﻬﻤَﺎ‬َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﻲا‬ َ‫ﺿ‬ ِ ‫س َر‬ ٍ ‫ﻋ َّﺒﺎ‬
َ ‫ﻦ‬ِ ‫ﻋﻦ اﺑ‬ َ ‫ﺟ ِﺒﻴ ٍﺮ‬
َ ‫ﺳ ِﻌﻴ ٍﺪ ِﺑﻦ‬ َ ‫ﻋﻦ‬ َ ‫ﻲ‬ ٍّ ‫ﻋِﻠ‬ َ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻋﺒ ِﺪ إ‬ َ
‫ﻲ‬
َّ ‫ﻋَﻠ‬َ ‫ب‬ َ ‫ﻋِﻠﻤ ُﺘﻢ َو َﻣﻦ َآ ِﺬ‬ َ ‫ﻋ ِّﻨﻲ إَّﻟﺎ َﻣﺎ‬ َ ‫ﺚ‬ َ ‫ﺤ ِﺪﻳ‬
َ ‫ " ا َّﺗ ُﻘﻮا اﻟ‬: ‫ﺳَّﻠ َﻢ‬ َ ‫ﻋَﻠﻴ ِﻪ َو‬ َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺻَّﻠﻰ ا‬ َ
‫ن ِﺑ َﺮأ ِﻳ ِﻪ َﻓﻠ َﻴ َﺘ َﺒ َّﻮأ َﻣﻘ َﻌ َﺪﻩ ِﻣﻦ‬ِ ‫ل ِﻓﻲ اﻟ ُﻘﺮأ‬ َ ‫ﻦ اﻟَّﻨﺎ ِر َو َﻣﻦ َﻗﺎ‬ َ ‫ُﻣ َﺘ َﻌ َّﻤ ًﺪا َﻓﻠ َﻴ َﺘ َﺒ َّﻮأ َﻣﻘ َﻌ َﺪ ُﻩ ِﻣ‬
."‫اﻟ َّﻨﺎ ِر‬
Artinya: “Diceritakan kepada kami oleh Sufyân bin Wakî’,
diceritakan kepada kami Suwaid bin ‘Amr al-Kalbiy, diceritakan
kepada kami Abû ‘Awânah dari ‘Abdullah ‘Ali dari Sa’îd bin Jabîr
dari Ibn ‘Abbâs ra dari Nabi Muhammad saw: Takutlah kamu
terhadap hadis dariKu kecuali apa yang telah kamu ketahui dan
barang siapa yang mendustakanKu secara sengaja ia menempatkan
dirinya dalam api neraka, dan barang siapa mengatakan sesuatu
tentang al-Qur`an dengan pendapat (ra`yu)nya berarti dia telah

                                                            
1
Yaitu 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah. Ia merupakan masa dakwah
Rasulullah saw bersama masa turunnya al-Qur’an.
3

sengaja menempatkan dirinya dalam api neraka. (H.R. al-


Turmudzi) 2 .

Menafsirkan al-Qur`an yang dilandasi oleh pandangan mufassir saja tanpa

melibatkan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkenaan dengan penafsiran

adalah suatu kesalahan seperti yang dijelaskan oleh al-Dzahabi dalam kitab al-

Tafsîr wa al-Mufassirûn 3 . Walaupun hasil penafsirannya benar, itu merupakan

perbuatan yang salah. Mengenai hal ini Rasulullah saw pernah bersabda dalam

satu hadis yang diriwayat Abu Dawud:

‫ق اﻟ َﻤ َﻘ ِّﺮي‬ ِ ‫ﺤﺎ‬
َ ‫ب ِﺑﻦ إﺳ‬ ُ ‫ َأﺧ َﺒ َﺮ َﻧﺎ َﻳﻌ ُﻘﻮ‬،‫ﺤ َّﻤ ٍﺪ ِﺑﻦ َﻳﺤ َﻴﻰ‬ َ ‫ﷲ ِﺑﻦ ُﻣ‬ ِ ‫ﻋﺒ ُﺪ ا‬ َ ‫ﺣ َّﺪ َﺛ َﻨﺎ‬
َ
‫ َأﺧ َﺒ َﺮ َﻧﺎ أ ُﺑﻮ‬،‫ﻲ‬
ِّ ‫ﻄ ِﻌ‬
َ ‫ﺣﺰ ٍم اﻟ ُﻘ‬
َ ‫ﺧﻮ‬ ُ ‫ن َأ‬ ٍ ‫ﻞ ِﺑﻦ َﻣﻬ َﺮا‬ ُ ‫ﺳ َﻬﻴ‬ ُ ‫ﺧﺒ َﺮ َﻧﺎ‬َ ‫ َأ‬،‫ﻲ‬ِّ ‫ﺤﻀ َﺮ ِﻣ‬ َ ‫اﻟ‬
‫ل‬
َ ‫" َﻣﻦ َﻗﺎ‬: ‫ﺳَّﻠ َﻢ‬ َ ‫ﻋَﻠﻴ ِﻪ َو‬َ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺻَّﻠﻰ ا‬
َ ‫ﷲ‬ ِ ‫لا‬ ُ ‫ﺳﻮ‬ُ ‫ل َر‬َ ‫ َﻗﺎ‬،‫ل‬ َ ‫ب َﻗﺎ‬َ ‫ﺟﻨ ُﺪ‬
ُ ‫ﻋﻦ‬ َ ‫ن‬ َ ‫ﻋﻤ َﺮا‬ ِ
."‫ﻄَﺄ‬
َ ‫ب َﻓ َﻘﺪ َأﺧ‬ َ ‫ﺻﺎ‬ َ ‫ﻞ ِﺑ َﺮأ ِﻳ ِﻪ َﻓﺄ‬
َّ ‫ﺟ‬
َ ‫ﻋ َّﺰ َو‬
َ ‫ﷲ‬ ِ ‫با‬ ِ ‫ِﻓﻲ ِآ َﺘﺎ‬
Artinya; “Diceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad
bin Yahya, dikabarkan kepada kami Ya’qûb bin Ishâq al-
Maqarri, dikabarkan kepada kami Suhail bin Mahrân saudara
laki-laki Hazm al-Quta`i, dikabarkan kepada ‘Imrân bin
Jundub berkata, Rasulullah saw berkata: Barang siapa
mengatakan sesuatu dengan pendapatnya tentang al-Qur`an,
kemudian dia benar, maka dia dianggap telah melakukan
kesalahan”. (H.R. Abû Dâwûd) 4 .

Keberadaan metode dan corak penafsiran berkembang sesuai dengan

kebutuhan manusia dalam merespon gejala-gejala dan problematika dalam

kehidupan.

                                                            
2
Abû ‘Isa Muhammad Bin ‘Isa Bin Saurah, Sunan al-Tirmizi. (Beirut, Dâr al-Fikr), jilid
4, hal. 439, ‫ ﺑﺎب ﻣﺎ ﺟﺎء اﻟﺬي ﻳﻔﺴﺮ اﻟﻘﺮأن‬, Beliau mengatakan hadis ini adalah Hasan.
3
Muhammad Hussein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Cairo : Dâr al-Kutub al-
Hadîtsah, 1976) cet ke-21. Jilid I, hal. 265-268.
4
Sulaimân bin Al-Asy'ats al-Sijistani, Sunan Abû Dâwûd, (Beirut: Dâr al-Fikr: 1994),
Jilid III, hal. 63-64. ‫آﺘﺎب اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎب اﻟﻜﻼم ﻓﻲ آﺘﺎب اﷲ ﺑﻐﻴﺮ ﻋﻠﻢ‬, lafal hadis ini dalam Sunan al-Tirmizi
adalah ‫ﻣﻦ ﻗﺎل ﻓﻲ اﻟﻘﺮأن ﺑﺮأﻳﻪ ﻓﺄﺻﺎب ﻓﻘﺪ أﺧﻄﺄ‬.
4

Pertumbuhan metode dan corak penafsiran al-Qur`an (walaupun tidak

disebut sistematikanya) berawal pada masa Rasul, dilanjutkan oleh para sahabat,

Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in. Masa ini merupakan periode awal dalam sejarah

penafsiran al-Qur`an, dan berakhir pada tahun 150 H 5 .

Metode dan corak penafsiran berkembang pada periode al-tadwîn

(pembukuan), pada akhir dinasti Umayyah dan awal Dinasti ‘Abbasiyah 6 ,

dampak dari gencarnya penerjemahan berbagai bidang ilmu. Pada masa

pemerintahan ‘Umar ‘Abdul ‘Azîz inilah sebagai pintu gerbang munculnya

berbagai metode dan corak penafsiran al-Qur`an, juga sebagai implikasi dari

berkembang ilmu pengetahuan beserta berbagai cabang-cabangnya.

Perkembangan metode dan corak penafsiran al-Qur`an dilatarbelakangi oleh

perbedaan kecenderungan, interest, motivasi, keilmuan, masa, lingkungan, dari

masing-masing mufassir yang tersebut 7 .

Dari zaman dahulu hingga kini, terdapat banyak konsep metode dan corak

penafsiran yang digunakan oleh mufassir-mufassir dalam menelaah dan meneliti

ayat-ayat al-Qur`an untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan

lingkungan. Seperti Ibnu Katsîr menggunakan metode tahlîli 8 dan manhâj tafsîr

                                                            
5
M. Quraish Shihab, Membumi al-Quran ; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung; Mizan, 1994) cetakan ke 15, hal. 71.
6
Manna’ Khalîl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, (Bogor; Pustaka Litera Antarnusa,
1996) cetakan ke -3, hal. 476.
7
M. Quraish Shihab, Membumi al-Quran....... hal. 73.
8
Tahlîli ialah satu metode yang bermaksud menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dari seluruh
aspeknya. Seorangg mufassir yang mengikuti metode ini menafsirkan ayat al-Qur`an secara runtut
dari awal hingga akhirnya, dan surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf Utsmani. Lihat M.
al-Fatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), cet. ke-2, hal.41-42.
5

bil ma`tsûr 9 dalam tafsir ketika menguraikan pesan-pesan al-Qur`an. Manakala

Sayyid Qutb menggunakan metode tahlîli dan manhâj tafsîr bi al-ra`yi 10 dalam

karyanya ketika menguraikan ayat-ayat al-Qur`an, begitu juga konsep-konsep

metode dan corak-corak penafsiran yang terdapat pada karya-karya tafsir yang

lain yang pembahasannya dilanjutkan dalam skripsi ini.

Di bumi Nusantara 11 terdapat banyak karya klasik dan modern dalam

lapangan tafsir yang ditulis oleh mufassir-mufassir Melayu yang terkenal.

Sejarah perkembangan pesat tafsir di Nusantara terjadi pada abad ke-16 hingga

abad ke-19 12 . Sebagaimana di Timur Tengah, masing-masing mufassir di

Nusantara juga mempunyai konsep metode dan corak penafsiran. Walau karya-

karya tafsir di Nusantara bersumber dari karya-karya tafsir dari Timur Tengah,

para mufassir di rantau Nusantara mempunyai corak penafsiran yang sesuai

dengan lingkungan dan masa di rantau tersebut. Di antara karya tafsir yang

mempunyai nilai bobot tinggi ialah “Tarjumân al-Mustafîd” yang terkenal

                                                            
9
Menafsir al-Qur`an dengan al-Qur`an, dengan sunnah, dengan perkataan sahabat dan
dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar Tabi’in. Karena pada umumnya, mereka
menerimanya daripada para sahabat. Lihat “Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an”, Manna’ Khalil al-
Qatthan (Bogor: Pustaka Litera, 2006), hal. 482.
10
Tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya, mufassir hanya berpegang pada
pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada ra`yu semata. Lihat “Studi
Ilmu-ilmu al-Qur`an”, Manna’ Khalil al-Qatthan ( Bogor: Pustaka Litera, 2006), hal. 488.
11
Istilah "Nusantara" merujuk kepada lingkungan pengaruh kebudayaan dan linguistik
orang Melayu yang merangkumi kepulauan Indonesia, Malaysia, Singapura, bahagian paling
selatan Thailand, Filipina, Brunei, Timor Timur dan mungkin juga Taiwan, namun ia tidak
melibatkan daerah Papua Nugini. Istilah padanan untuk "Nusantara" dalam bahasa Melayu ialah
Alam Melayu. Lihat http//:www.wacananusantara.org/.
12
Izza Rahman Nahrawi, “Profil Kajian al-Qur`an Di Nusantara Sebelum Abad Kedua
Puluh”. Jurnal al-Huda (jakarata: Islamic Centre Jakarta 2002) Vol II no 6.
6

sebagai “Tafsir Baydawi” oleh Abd al-Rauf Singkel yang merupakan tafsir

pertama terlengkap bahasa Melayu (kuno) tertua di Nusantara 13 .

Namun di Tanah Melayu 14 terdapat banyak karya klasik dalam bidang

tafsir yang dikarang oleh mufassir-mufassir setempat. Kebanyakan karya tafsir

al-Qur`ân di rantau ini ditulis secara tidak utuh sebuah mushâf al-Qur`ân, yaitu

penafsiran yang tidak melengkapi 30 juz al-Qur`an bermula dari surat al-Fâtihah

hingga al-Nâs 15 . Masing-masing mufassir melahirkan karya mereka tersendiri

seperti Muhammad Nor Bin Ibrahim melahirkan karyanya Ramuan Rapi Dari

Erti Surah al-Kahfi dan Syed Syiekh al-Hadi melahirkan karyanya Tafsîr Surah

al-Fâtihah.

Penulis memilih salah satu di antara karya-karya tafsir di Nusantara yaitu

Tafsîr Nûr al-Ihsân karya Muhammad Said Bin Umar menjadi judul skripsi ini,

karena ia merupakan karya tafsir bahasa Melayu terawal yang lengkap 30 juz

yang dihasilkan di Malaysia 16 . Maka, judul yang diberi ialah “METODE DAN

CORAK PENAFSIRAN MUHAMMAD SAID BIN UMAR DALAM

TÂFSIR NÛR AL-IHSÂN SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM

PENAFSIRAN”. Penulis akan membahas juga secara ringkas tentang sejarah

                                                            
13
Mohd. Taib Osman dkk, Tamadun Islam Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
Dan Pustaka, 2000), hal. 418.
14
Nama “Tanah Melayu” ialah Malaysia sebelum kemerdekaan. Kemudian dinamakan
“Persekutuan Tanah Melayu” sempena kemerdekaan negeri tersebut dari kolonial Inggris pada 31
Agustus 1957. Kemudian ditukar namanya menjadi “Malaysia” pada 16 September 1963. Lihat
Zulhilmi Paidi dan Rohani Ab. Ghani, Kenegeraan Malaysia :Isu-isu Dalam Pembinaan Negara,
(Kuala Lumpur: PTS Publications Sdn. Bhd., 2003), cet. ke-1, hal. 1, 5 dan 12.
15
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir Di Malaysia, (Pahang: Perpustakaan Negara
Malaysia, 2009), cet. 1, hal. 46, dan 55. Mohd. Taib Osman dkk, Tamadun..... hal. 419.
16
Mustaffa Abdullah, Khazanah..........hal. 45 dan 56.
7

penafsiran al-Qur`an di Malaysia yang merupakan latar belakang bagi konsep

metode dan corak penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân.

Dari latar belakang tersebut, penulis berasumsi bahwa pemilihan judul

tersebut adalah sebagai berikut :

1. Metode dan corak penafsiran merupakan cara yang sistematis untuk

memahami al-Qur`ân dengan berbagai pendekatan dan berbagai

kecenderungan, sehingga sistematika dari dua bidang tersebut perlu

dikenali, dikaji, dan diaplikasikan agar fungsi al-Qur`ân sebagai Syifâ`

(obat) dan Hudan (petunjuk) dapat diraih oleh manusia.

2. Karya yang penulis analisa ini, merupakan salah satu karya yang terkenal

di Malaysia, sehingga menganalisa metode dan corak penafsirannya

menjadi urgen.

3. Dari survey kepustakaan, metode dan corak penafsiran al-Qur`an dari

berbagai kitab tafsir diangkat sebagai judul skripsi 17 , namun metode dan

corak penafsiran al-Qur`an dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân karya Muhammad

Said Bin Umar belum ada yang menjadikannya sebagai judul skripsi.

Maka penulis berinisiatif untuk mengambilnya sebagai judul skripsi.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Membatasi hanya pada metode sumber dan corak penafsiran al-Qur`ân,

kemudian membahas biografi pengarang dan membahas sekilas tentang karya

tafsir ini.
                                                            
17
Lihat pada tinjauan kepustakaan proposal ini, hal. 9.
8

Metode penafsiran dan corak penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah

perkara yang harus dipahami oleh seorang mufassir dan pengkaji sebelum

melakukan penafsiran terhadap kandungan karya tersebut. Karena memahami

keduanya adalah langkah pertama sebelum memahami seluruh kandungan suatu

karya tafsir.

Perumusan masalahnya ialah : Apa dan bagaimana metode dan corak penafsiran

Muhammad Said Bin Umar dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân dan bagaimana

implikasi/implimentasinya dalam penafsiran?

C. Tujuan Penelitian

1. Membahas metode dan corak penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân secara

detail dan sistematis, sehingga penafsiran-penafsiran yang dibawa

oleh Muhammad Said Bin Umar dapat difahami dengan baik,

kelebihan dan kekurangannya terlihat jelas.

2. Sumbangan ilmiah dalam memperkayakan khazanah kepustakaan

Islam, khususnya bidang tafsir.

3. Melengkapi salah satu pensyaratan pada akhir program S1 Fakultas

Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadis, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, dalam meraih gelar S.Th.I.

D. Tinjauan Kepustakaan

Untuk melakukan tinjauan kepustakaan, penulis mengkaji buku-buku dan

literatur-literatur yang membahas tentang metode penafsiran al-Qur`an. Di antara

bahan-bahan kepustakaan yang dimaksudkan ialah “Metodologi Muhammad Said


9

Umar Dalam Tafsir al-Qur`an: Satu Kajian Terhadap Tafsir Nurul Ihsan” oleh

Hamza Muhammad @ Hamda 18 , “Sumbangan Tuan Haji Muhammad Said Bin

Omar Kepada Ilmu Tafsir al-Qur`an: Tumpuan Khas Kepada Kitab Nurul Ihsan”

oleh Najihah Md. Yusof 19 .

E. Metodologi Penilitian

Untuk membahas judul ini, penulis menggunakan metode pengumpulan

data. Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan cara penelitian

kepustakaan (Library Research) terhadap sumber-sumber kepustakaan seperti

buku-buku, skripsi-skripsi, jurnal-jurnal, dan makalah-makalah. Hanya metode

penelitian ini yang sesuai untuk menjalankan penelitian terhadap judul yang

dibahas. Yang demikian itu karena pembahasan judul ini hanya membutuhkan

kajian dan analisis terhadap sumber-sumber yang tersedia dan tidak

membutuhkan kajian dan studi terhadap obyek pembahasan.

Obyek penelitian ialah apa metode dan corak penafsiran yang digunakan

oleh Muhammad Said Bin Umar dan bagaimana implementasinya dalam karya

Tafsîr Nûr al-Ihsân. Penelitian yang akan dilakukan terhadap karya ini adalah

secara keseluruhan baik dari filologi dan kandungannya.

Tinjauan akan dilakukan terhadap sumber-sumber primer dan sumber-

sumber sekunder. Sumber primer adalah “Tafsîr Nûr al-Ihsân”. Di antara

sumber-sumber skunder ialah “Khazanah Tafsir Di Malaysia”, “Metodologi Ilmu

                                                            
18
Tesis prodi S2 Fakultas Ushuluddin, jurusan al-Qur`an dan Hadits, Akademi Pengajian
Islam, Universitas Malaya, Malaysia.
19
Tugasan Ilmiyyah, Fakultas Ushuluddin, Akademi Islam, Universitas Malaya,
Malaysia.
10

Tafsir”, dan “Metodologi Tafsir: Kajian Komprohensif Metode Para Ahli Tafsir”.

Didukung oleh beberapa literatur baik berupa buku, artikel, surat kabar, majalah,

jurnal dan lainnya yang berhubungan dengan pembahasan. Maka penulis

melakukan pembacaan dan melakukan analisis terhadap konsep metode dan

corak penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân dan sejarah penafsiran yang melatar

belakanginya.

Untuk teknik penulisannya, penulis berpedoman pada buku “Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang disusun oleh Tim

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan UIN Press cet.1 Jan-2007 M/ 1427 H.

F. Sistematika Penulisan

Sebagai karya ilmiah, maka penulisan skripsi ini akan disusun secara

sistematis. Adapun sistematika penulisan skripsi adalah sebagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penilitian, tinjauan kepustakaan,

metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua adalah berkait biografi Muhammad Said Bin Umar yang

merangkumi latar belakang kehidupannya, keperibadian, pendidikan, mazhab

akidah dan fikih dan sumbangan serta karya-karyanya.

Bab ketiga ialah pembahasan tentang metode dan sumber penafsiran al-

Qur`an dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân. Pembahasan metode dan sumber penafsiran

al-Qur`an harus ditekan sebelum melanjutkan penulisan dan pembacaan bab-bab

seterusnya dalam skripsi ini supaya judul skripsi dapat dipahami secara jelas.
11

Bab keempat akan membahas corak penafsiran Syiekh Muhammad Said

Bin Umar dalam karyanya Tafsîr Nûr al-Ihsân. Pembahasan bab ini juga

merangkumi tema-tema yang diketengahkan oleh Syiekh Muhammad Said Bin

Umar dalam karyanya. Penulis turut memberi beberapa contoh penafsiran dalam

karya tersebut yang diaplikasi oleh Muhammad Said Bin Umar dari metode dan

corak penafsirannya supaya pembahasan ini dapat dipahami secara jelas.

Bab kelima merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-

saran.
BAB II

BIOGRAFI MUHAMMAD SAID BIN UMAR

A. Latar Belakang Kehidupan

Nama penuh beliau ialah Muhammad Said bin Umar Khatib bin Aminuddin bin

Abdul Karim. Beliau terlahir pada tahun 1854 M. bersamaan 1275 H. di Kampung

Kuar, Jerlun, Kedah 1 . Para pengkaji tafsir dan para pengkaji sejarah Malaysia tidak

dapat menentukan tanggal sebenar kelahiran beliau karena tidak terdapat sumber-

sumber yang utuh mengenai kelahirannya, maka tidak terdapat info yang lengkap

tentang kelahirannya. Oleh karena terlahir sebagai anak Kedah maka julukan yang

diberi kepada ialah al-Qadahî seperti yang tercatat pada penutup tafsirnya pada jilid

terakhir 2 . Beliau dibesarkan bersama seorang saudara laki-lakinya dalam lingkungan

keluarga yang amat religius dan mendapat didikan agama langsung daripada bapanya

yaitu Haji Umar Khatib 3 . Beliau termasuk di antara 25 tokoh tafsir Malaysia yang

tercatat di dalam buku Khazanah Tafsir Di Malaysia yang membahas tentang

biografi, sumbangan, dan metode mereka dalam penafsiran 4 .

                                                            
1
Salah satu dari tiga negeri bagian yang terletak di utara Malaysia. Lihat
http//:www.ms.wikipedia.org/wiki/Kedah, diakses pada 15 Feb 2010, 16.10 WIB.
2
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân, (Pattani: Percetakan Bin Halâbi, 1956), cet. ke-
3, jilid ke-4, hal. 311.
3
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir Di Malaysia, (Pahang: Perpustakaan Negara Malaysia,
2009), cet. Ke-1, hal. 52. Persatuan Keluarga Haji Muhammad Saaid, di http//:www.saaid.org.my, 20
Feb 2010, 11.30 WIB.
4
Mustaffa Abdullah, Khazanah.....hal. 46.

12
13

25 orang tokoh yang tersebut dalam Khazanah Tafsir Di Malaysia adalah:

1. Abdul Malik Abdullah

2. Muhammad Said bin Umar

3. Syed Syiekh al-Hadi

4. Uthman bin Muhammad

5. Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi

6. Abu Bakar al-Ashaari

7. Abdul Aziz bin Abdul Salam

8. Muhammad Nor bin Ibrahim

9. Maulana Abdullah Noh

10. Abdullah Abbas Nasution

11. Abdullah Basmeih

12. Mustafa Abdul Rahman Mahmud

13. Nik Muhammad Adeeb

14. Nik Muhammad Salleh Wan Musa

15. Yusof bin Abdullah al-Rawi

16. Yusoff Zaky Yacob

17. Nik Abdul Aziz bin Nik Mat

18. Abdullah al-Qari bin Salleh

19. Pauzi Awang

20. Zainuddin bin Idris

21. Abdul Hayei Abdul Sukor

22. Abdul Hadi Awang

23. Wan Ahmad Wan Ali (Abu Lukman)


14

24. Muhammad bin Abdul Latif

25. Abu Zaky Fadzil

26. Abdullah ar-Rahmat

Bapaknya ialah Haji Umar Bin Aminuddin. Ia merupakan seorang alim yang

terkenal dengan julukan ‘Khatib’ karena mempunyai ketokohan dalam memberi

ucapan dan menyampaikan khutbah di khalayak ramai. Ketika hayatnya, itulah

pekerjaan yang dilakukan sebagai satu sumbangan terhadap masyarakat dalam

menegakkan syariat Islam 5 . Bahkan, bapaknya merupakan seorang yang amat

cenderung kepada membesarkan anak-anaknya dalam lingkungan Islam dan memberi

bimbingan agama kepada mereka sehingga bimbingan tersebut terkesan secara jelas

pada peribadi Muhammad Said 6 . Bahkan, beliau juga mempunyai sifat-sifat yang

sama seperti sifat-sifat bapanya yang amat cenderung kepada agama dan melakukan

apa yang telah dilakukan oleh bapanya.

Walau berasal dari Kedah, Muhammad Said telah melanjutkan pengajian ke

beberapa tempat di antaranya Changkat, Krian di Perak 7 dan yang terakhirnya Sungai

Acheh, yang sekarang ini dikenali dengan nama Kampung Kedah di Perak. Selepas

berada di perantauan dalam tempoh yang lama, beliau pulang semula ke Kedah pada

1312H bersamaan 1891M dan ketika itu beliau berumur 37 tahun. Demi menuntut

ilmu, beliau merantau lagi ke luar negeri seperti Pattani di selatan Thailand dan

Mekah. Semasa menetap di Mekah, beliau memiliki sebidang tanah yang berada dekat

                                                            
5
Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir Melayu Tafsir Nur al-Ihsan: Satu Analisis, (tesis
untuk prodi S2 Fakulti Pengajian Islam di Universiti Kebangsaan Malaysia, 2001), hal. 17.
6
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir...... hal. 52.
7
Salah satu dari tiga negeri bagian yang terletak di utara Malaysia, tetangga daripada Kedah
di bagian selatan. Lihat http//:www.ms.wikipedia.org/wiki/Perak, diakses pada 15 Feb 2010, 16.33
WIB.
15

daripada Masjid al-Haram tetapi kemudian tanah itu dibeli oleh Pemerintah Arab

Saudi dengan harga yang mahal. Maka bisa diandaikan bahwa beliau telah menetap di

Mekah dalam masa yang lama sehingga bisa memiliki sebidang tanah 8 .

Ketika berada di Changkat, beliau membuka sebuah pondok pesantren dan

mengajar di pesantren tersebut. Di sana beliau telah menikahi isteri pertamanya yang

bernama Fatimah dan hasil pernikahan keduanya, mereka telah dikaruniakan tiga

putra. Putra-putra mereka ialah Haji Mahmud, Haji Muhammad, dan Haji Ahmad 9 .

Isteri pertama beliau meninggal dunia dalam usia yang masih muda 10 .

Selepas kematian isteri pertama, beliau menikahi isteri keduanya yang bernama

Hajah Rahmah yang berasal dari Pulau Mertajam, Pulau Pinang (Penang) dan

dikarunia dua putra dan dua putri. Putra-putranya itu adalah Abdul Hamid dan Haji

Omar. Manakala kedua putrinya adalah Sofiah dan Fatimah 11 .

Kemudian beliau berhijrah ke Kampung Kedah di Sungai Acheh, Perak akibat

serangan siam terhadap Kedah. Ketika menetap di kampung tersebut, beliau mengajar

dan mengerjakan sawah padi sebagai pekerjaannya. Di sana juga beliau menikahi

isteri ketiganya yaitu Hajah Hamidah dan dikarunia 10 orang anak 12 terdiri dari tujuh

putra dan tiga putri. Mereka adalah Haji Mustaffa, Haji Kassim, Cik Hassan, Haji

Mohd Akib, Haji Hussain, Hajah Asma, Hajah Mariam, Siti Hajar, Haji Mansor, dan

Haji Nasir 13 .

                                                            
8
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir...... hal. 52.
9
Persatuan Keluarga Haji Muhammad Saaid, di http//:www.saaid.org.my.
10
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 53.
11
Ibid.
12
Ibid.
13
Ibid. Persatuan Keluarga.........org.my.
16

Semasa menetap di Kampung Kedah ini, beliau didatangi oleh utusan daripada

pihak Tengku Mahmud yang meminta beliau supaya pulang semula ke Kedah. Demi

memenuhi permintaan daripada Baginda, beliau pulang ke Kedah dan diberi sebidang

tanah di Kanchut 14 . Tengku Mahmud merupakan salah seorang pegawai pemerintah

yang mendukung Muhammad Said supaya mengarang Tafsîr Nûr al-Ihsân seperti

yang dijelaskan pada penutup karyanya itu 15 . Setelah menetap di Kedah, beliau diberi

jabatan ‘Guru Diraja’ untuk mengajar anak-anak raja dan di antara mata pelajaran

yang diajar adalah Tafsîr al-Qur`ân. Sementara itu, beliau juga diberi jabatan sebagai

qadi di Jitra yaitu pusat pemerintahan Kedah. Oleh karena diberi jabatan tersebut,

beliau diberi jolokan Haji Said Mufti tidak lama kemudian 16 . Di samping jabatannya

sebagai qadi, beliau juga menjalankan kegiatan menyebarkan risalah Islam dengan

mengajar di masjid dan surau di sekitar Jitra 17 .

Sehingga berumur 75 tahun, Muhammad Said masih menjabat sebagai qadi.

Pada penghujung karirnya sebagai qadi, beliau menghidap sakit lenguh badan yang

menyebabkan beliau terpaksa menjalani operasi. Setelah kondisinya semakin sehat,

beliau dibawa kepada isteri keduanya, Hajah Rahmah di Jitra. Selepas melewati

beberapa hari di Jitra, beliau dibawa kepada isteri ketiganya, Hajah Hamidah di

Kanchut. Di sana beliau meninggal dunia dan kewafatannya tercatat pada hari Rabu,

selepas masuk waktu Asar tanggal 22 Dzulka`idah 1350 H. bersamaan 9 Maret 1932

                                                            
14
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 53. Farid Mat Zin, Islam Di Tanah Melayu
Abad Ke-19, (Shah Alam: Pustaka Karisma, 2007), cet. ke-1, hal. 139.
15
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-4, hal. 311.
16
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 54.
17
Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir........ hal. 18.
17

M. di usia 78 tahun. Jenazah beliau disemadikan di Masjid Alor Merah, Alor Star,

Kedah 18 .

B. Keperibadian

Muhammad Said merupakan seorang yang tegas. Beliau memandang secara

serius terhadap pengetahuan dan pendidikan agama. Pandangan beliau itu bisa dilihat

pada perbuatannya yang senantiasa mendidik anak-anaknya membaca dan menghafaz

pada setiap malam sebelum waktu tidur. Beliau juga adalah seorang yang menekan

soal agama dan pendidikan. Beliau telah menyediakan keuangan untuk mengantar

anak-anaknya ke tempat-tempat pengajian agama supaya mereka mendapat

pendidikan yang terbaik, terutama putra-putranya yang telah diantar ke Mekah. Maka

oleh karena itu, kebanyakan anak-anaknya berhasil menguasai bahasa Arab. Segala

usaha Beliau tidak saja percuma, bahkan anak-anaknya pulang ke tanah air dengan

membawa keberhasilan mereka dan seterusnya berbakti kepada negeri mereka dengan

menjadi guru 19 .

Pada masa yang sama, Muhammad Said merupakan sosok individu yang

terkenal dengan sifat pendiam. Dengan sifatnya itu, maka anak-anaknya dan

masyarakat lokal menghormatinya. Walau sibuk dengan tugasan harian, beliau

senantiasa meluangkan masa untuk membaca serta menelaah buku-buku. Beliau

mempunyai prinsip tersendiri dan melakukan setiap perkara berdasarkan syari`at.

Ketinggian ilmunya telah menjadikan beliau terkenal dengan julukan ‘Tok Lebai’ dan

                                                            
18
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 54.
19
Ibid, hal. 55.
18

‘Penulis dan Guru Tafsir Quran’ 20 . Panggilan yang paling tepat untuk beliau ialah

‘Guru Tafsir’ kerana merujuk kepada sumbangannya yang begitu besar dilakukan

oleh beliau yaitu dengan wujudnya Tafsîr Nûr al-Ihsân dalam Bahasa Melayu yang

boleh didapati di toko-toko buku. Karya beliau mendapat perhatian yang besar

daripada masyarakat Melayu di Malaysia sehingga ia telah dicetak berulang-ulang

bagi mencukupi permintaan yang banyak 21 . Jika disebut nama beliau, pasti mengenali

tubuh dan peribadinya itu adalah mesti, terutama di kalangan ulama’ Malaysia dan

Thailand.

C. Pendidikan

Pendidikan awal yang diterima oleh Muhammad Said sejak kecil ialah daripada

bapaknya Haji Umar Khatib dan keluarganya. Lingkungan keluarganya turut berperan

membentuk peribadinya yang murni dengan Islam. Tidak cukup dengan pendidikan

daripada bapaknya, beliau turut menuntut ilmu di pesantren-pesantren. Menurut Wan

Mohd Shaghir, ada riwayat yang menyebut bahwa Muhammad Said pernah belajar di

pondok Bendang Daya, Pattani. Beliau sempat belajar daripada pengasas pesantren

tersebut yaitu Syiekh Haji Wan Mustafa al-Fatani atau Tok Wan Pa 22 , yang lebih

terkenal sebagai Tok Bendang Daya Pertama. Tetapi beliau lebih banyak berguru

dengan Syiekh Wan Abdul Qadir Bin Wan Mustafa al-Fatani 23 (1820an-1895) yang

                                                            
20
Ibid.
21
Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir........ hal. 17.
22
Ahmad Fathi al-Fatâni, Ulama Besar Dari Fatâni, (Kota Bharu: Majlis Agama Islam Dan
Adat Istiadat Melayu Kelantan (MAIK), 2009), Edisi ke-2, hal. 321.
23
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 54. Lihat juga Ahmad Fathi al-Fatâni,
Ulama........hal. 322.
19

terkenal sebagai Tok Bendang Kedua, yang merupakan putra daripada Tok Bendang

Pertama yang meneruskan citra pengajian pesantren warisan al-marhum bapaknya.

Maka berdasarkan riwayat ini, bererti bahwa Muhammad Said adalah rekan

seguru dari Haji Ismail Bin Mustafa al-Fatani (1873-1948) 24 atau terkenal dengan

jolokan di Kedah sebagai Cik Doi atau Cik Dol 25 , yaitu bapa dari Kiai Haji Hussein

Cik Doi 26 . Haji Ismail merupakan seorang alim dari Pattani yang menempa nama di

Kedah dan pernah membantu Haji Awang 27 mengajar di pesantren beliau di Tualang

di negeri tersebut. Dapat disimpulkan juga bahwa Muhammad Said juga pernah

menjadi rekan seguru daripada beberapa tokoh ulama’ dari Pattani yang berguru

daripada Tok Bendang Daya Kedua seperti Tok Kelaba, Tok Jakir, Haji Abdul Rasyid

Bandar, dan Tok Titi, Haji Muhammad Syah Sayok dan lain-lain 28 .

Tidak terdapat info-info yang konkrit dari hasil-hasil kajian dan penelitian

tentang pengajiannya di tingkatan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Maka

pembahasan tentang latar belakang pendidikan Muhammad Said tidak mungkin bisa

dijelaskan secara detil. Tetapi kebanyakan para penyelidik dan penulis sejarah hidup

beliau menyebut bahwa beliau pernah melanjutkan pengajian tinggi ke Mekah. Info-

info lengkap tentang tahun dan periode pengajiannya di Mekah juga tidak tertemukan

dari sumber-sumber di atas 29 .

                                                            
24
Ibid, hal. 356.
25
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 54. Julukan Haji Mustafa al- Fatâni yang tepat
ialah Cik Dol, lihat Ahmad Fathi al-Fatâni, Ulama........hal. 356.
26
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 54.
27
Haji Awang adalah seorang alim, terlahir di Kedah. Lihat Ahmad Fathi al-Fatâni,
Ulama........hal. 357.
28
Ibid, hal. 322.
29
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal. 55.
20

D. Mazhab Akidah dan Fikih

Muhammad Said telah dikenali sebagai cendikiawan Sunni. Walau tidak

terdapat sumber tentang pegangannya dengan mazhab tersebut, namun ia dapat dilihat

dari penafsirannya seperti yang telah dijelaskan. Sementara itu, beliau telah mencatat

pada penutup karyanya bahwa dirinya adalah seorang yang bermazhab al-Syâfi’iyah 30

dan pengikut Tariqat al-Naqsyabandiyah al-Ahmadiah 31 . Kecenderungan beliau

terhadap mazhab-mazhab tersebut bisa ditemukan pada corak penafsiran beliau yang

menjelaskan suatu masalah fikih dengan pandangan empat mazhab fiqh yang

mu’tabar terutamanya al-Syâfi’iyah. Beliau juga menafsirkan ayat-ayat yang

menyentuh tema ibadah dan hukum-hukum dengan pendekatan yang terdapat dalam

tafsir fiqhi 32 . Contoh penafsiran yang penulis ingin kemukakan untuk membuktikan

pernyataan ini ialah penafsiran Muhammad Said terhadap surat al-Mâ’uûn ayat 4 dan

5:

(‫ن‬
َ ‫ﺻﻠَﺎ ِﺗﻬِﻢ ﺳَﺎهُﻮ‬
َ ‫ﻦ هُﻢ ﻋَﻦ‬
َ ‫ﻦ اﱠﻟﺬِﻳ‬
َ ‫ﺼﻠﱢﻴ‬
َ ‫)ﻓَﻮَﻳﻞٌ ﻟِﻠ َﻤ‬
“Maka bermula sangat azab atau sangat jahat atau padang dalam
neraka itu disedia bagi segala orang yang sembahyang yang ada
mereka itu daripada sembahyang mereka itu lupa lalai ta`khîr
daripada waktu kata Ibn ‘Abbas ini sifat orang munafiq sembahyang
hadapan orang sahaja istimewa hadapan orang pun tiada sembahyang
menunjuk tiada iman adapun orang mukminin maka ia sembahyang

                                                            
30
Al-Syâfi’iyah adalah satu aliran fikih Islam, yang disandarkan kepada Abû ‘Abdillah
Muhammad Bin Idrîs, tokoh fikih Islam pada periode akhir abad pertama dan awal kedua Hijrah. Lihat
Syamsuddin Muhammad Bin Ahmad al-Syarbînî al-Khatîb, al-Iqnâ’ fî Hall Alfâz Abî Syujâ’,
(Damsyiq: Maktabah Dâr al-Khair, 2002), hal. 10-11.
31
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-4, hal. 311. Tarekat al-
Naqsyabandiyah al-Ahmadiah merupakan satu gerakan sufi yang disampaikan oleh generasi kepada
generasi selepasnya secara periwayatan. Ia berkembang luas di rantau Nusantara. Gerakan tersebut
berasal dari Bukhara dan dinasabkan kepada pengasasnya Muhammad Baha al-Din al-Naqshabandi.
Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Naqshbandi.
32
Tafsir Fiqhi yaitu karya tafsir yang pembahasannya berorientasi pada masalah-masalah
hukum Islam. Lihat Abd al-Hayy al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Maudu’i, (Beirut: Dâr al-
‘Ilm, 1977), hal. 27.
21

ia di hadapan orang dan di belakang dan qada` yang lupa lalai dan
sujûd sahwi 33 ”.

Adapun contoh penafsiran beliau terhadap ayat-ayat al-Qur`an dengan pendekatan

sûfi 34 bisa dilihat pada contoh yang dikemukakan ini, yaitu penafsirannya terhadap

surat al-Mâ`idah ayat 35:

(Suruh orang mukmin dengan taqwa dan wasîlah)

(‫ﷲ‬
َ ‫ﻦ ﺁ َﻣ ُﻨﻮا ا ﱠﺗ ُﻘﻮا ا‬
َ ‫) َﻳﺎ أ ﱡﻳ َﻬﺎ اﱠﻟ ِﺬﻳ‬
Hai segala orang mukmin takut oleh kamu akan Allah pada tiap-tiap
yang dikerja dan yang ditinggal.
(‫)وَاﺑﺘَﻐُﻮا إﻟَﻴ ِﻪ اﻟ َﻮﺳِﻴَﻠ َﺔ‬
Dan tuntut oleh kamu kepadaNya akan wasîlah perhubungan yang
menghampirkan diri kepada Allah maka zikrullah dengan lidah dan
hati yang dinama murâqabah dan musyâhadah dan dawâm al-hudûr
dan baca Qur`an dan selawat dan doa dan sekalian bagi taat
kebajikan sunat itu wasîlah hamba kepada Allah Taala yang boleh
jadi dirinya hampir kepada Allah dan kekasih Allah maka dengan
wasîlah itu maka boleh jadi pendengaran Allah pendengarannya dan
penglihatan Allah penglihatannya dan tangannya dan langkahnya
dan tamparnya Allahu Akbar maka wasîlah pada Allah seperti
persembahan pada raja-raja.
(‫ن‬
َ ‫ﷲ َﻟ َﻌﱠﻠﻜُﻢ ﺗُﻔِﻠﺤُﻮ‬
ِ ‫ﻞا‬
ِ ‫ﺳﺒِﻴ‬
َ ‫) َوﺟَﺎ ِهﺪُوا ﻓِﻲ‬
Dan bersungguh-sungguh oleh kamu pada meninggi agamaNya
dengan perang seterunya yang nyata dan yang sembunyi kafir
munafik mudah-mudahan kamu dapat kemenangan kamu dan lepas
dari neraka 35 .

                                                            
33
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-4, hal. 303.
34
Tafsir al-Sûfi identik dengan tafsir al-isyâri, yaitu suatu metode penafsiran al-Qur`an yang
lebih menitikberatkan kajiannya pada makna batin dan bersifat alegoris. Penafsir yang mengikuti
kecenderungan ini biasanya berasal dari kaum sufi yang lebih mementingkan persoalan-persoalan
moral batin dibandingkan masalah zahir dan nyata. Lihat M. Al-Fatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu
Tafsir, (Yoyakarta: Teras, 2005), cet. 2, hal. 44.
35
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-1, hal. 222 dan 223.
22

E. Sumbangan Dan Karya

Sumbangan Muhammad Said dalam bidang tafsir yang dinukil di dalam karya

ialah Tafsîr Nûr al-Ihsân. Beliau terkenal sebagai seorang yang aktif menyebarkan

risalah Islam dan mengajar di masjid-masjid. Walau kehidupannya dipenuhi dengan

kesibukan sebagai qadi serta partisipasinya bersama masyarakat, beliau masih sempat

mengarang sebuah lagi karya yang dinamakan “Fatwa Kedah”. Minat beliau terhadap

bidang penulisan bertambah selepas mendapat galakan daripada sultan (raja) Kedah

yaitu Sultan Abdul Hamid 36 yang menjadi pendukung utama beliau untuk

meneruskan karyanya 37 .

1. Fatwa Kedah

Kitab Fatwa ini merupakan karya kedua Muhammad Said yang dinukilkan dan

masih wujud. Ia mengandungi fatwa-fatwa yang membahaskan hukum pernikahan

dan perceraian. Asalnya, buku ini diserahkan kepada setiap imam di masjid-masjid

di Kedah sebagai rujukan dan pedoman mereka untuk membantu dalam

penyelesaian masalah-masalah masyarakat berkaitan perkara-perkara tersebut

diatas. Kini, Fatwa Kedah sudah tidak digunakan lagi dan masih tersimpan di

Perkantoran Mufti Kedah 38 dan tidak diizinkan lagi untuk mencetaknya 39 .

2. Tafsîr Nûr al-Ihsân

                                                            
36
Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir........ hal. 18.
37
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......,hal. 55-56.
38
Lihat footnote “Fatwa Kedah”, Ibid, hal. 62.
39
Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir........ hal. 18.
23

Tafsîr Nûr al-Ihsân merupakan karya pertama Muhammad Said Umar dan

karya tafsir pertama yang melengkapi 30 juz al-Qur`an 40 , yang telah dihasilkan pada

abad ke-20 41 yaitu pada tahun 1934 M. bersamaan tahun 1346 H. 42 . Ia ditulis dalam

tiga jilid atau tersebut sebagai penggal, merupakan karya tafsir tahlîli 43 yang ringkas

dalam bahasa Melayu dengan tulisan Arab-Melayu dan digunakan secara meluas di

pondok-pondok pesantren di Kedah 44 . Berdasarkan catitan pengarang pada penutup

karyanya beliau menyatakan bahwa tempoh penulisan karya ini bermula pada bulan

Dzulhijjah tahun 1344 H., yaitu bersamaan bulan Januari tahun 1925 M. Kemudian

berhasil diselesaikan pada 1 Rabi’ulawal tahun 1346 H. bersamaan 1 Oktober 1927

M. 45 . Manuskrip tulisan tangan karya tafsir ini masih wujud tersimpan di rumah

warisnya, Haji Abdul Hamid Bin Haji Ahmad di Tikam Batu, Sungai Petani,

Kedah 46 .

Kemunculan karya tafsir ini merupakan sinar baru untuk bidang tafsir di

Malaysia dan mata rantai yang meneruskan jalur sejarah tafsir al-Qur`an di

Semenanjung Tanah Melayu setelah melewati zaman kegelapan selama 3 abad yaitu

bermula dari abad ke-17 lagi hingga abad ke-19 Masihi. Bidang tafsir di Malaysia

                                                            
40
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir.......hal. 55.
41
Yaitu selepas tahun 1909M. Ibid, hal. 45.
42
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân...........jilid ke-4, hal. 311.
43
Metode tahlîli berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur`an dengan cara meneliti semua
aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat,
maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munâsabât) sampai sisi keterkaitan antarpemisah itu
(wajh al-munâsabât) dengan bantuan asbâb al-nuzûl, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw,
sahabat, dan tab’in. Lihat Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya,
Bandung: Pustaka Setia, 2002, cet. ke-1, hal. 23-24.
44
Mohd Nazri Ahmad, Israiliyyat: Pengaruh Dalam Kitab Tafsir, (Kuala Lumpur: Utusan
Publication & Disributors Sdn. Bhd., 2007), cet. ke-1, hal. 138.
45
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân...........jilid ke-4, hal. 311.
46
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......,hal. 56.
24

diwarnai dengan partisipasi beberapa tokoh ulama tempatan, terdapat tulisan-tulisan

yang dihasilkan tetapi tidak dicetak. Oleh karena karya-karya tersebut tidak dicetak,

kebanyakannya telah hilang dan tidak bisa ditemukan manuskripnya 47 .

Tokoh yang pertama berpartisipasi dalam bidang tafsir ini adalah Syeikh

Abdul Malik atau Tok Pulau Manis 48 dengan menyalin Tarjumân al-Mustafîd karya

Abdul Rauf al-Singkeli, yang merupakan karya tafsir pertama yang dihasilkan di

Nusantara. Beliau melakukan demikian untuk mengajarkannya kepada masyarakat

Melayu yang berada di Semenanjung Tanah Melayu terutama di Terengganu 49 ,

beliau turut membuka sebuah pesantren untuk pengajian Islam yang berdasarkan

sistem pengajian pondok yaitu Pondok Pesantren Pulau Manis. Usahanya telah

diberkahi Allah, beliau berjaya melahirkan ramai murid melalui insitusi pengajian

pondok pesantren tersebut 50 . Namun apa yang menyedihkan ialah bahwa manuskrip

salinan karya itu telah hilang 51 .

Usaha kedua dilakukan untuk menulis karya tafsir oleh sekelompok penafsir

yang diketuai oleh Mohamad Yusof Ahmad atau Tok Kenali 52 , dengan

menterjemahkan karya-karya ulama’ tafsir klasik seperti Tafsir al-Khâzin dan Tafsîr

Ibn Katsîr. Karya-karya ini belum siap penulisannya dan masih tidak berkesempatan
                                                            
47
Ibid, hal. 45.
48
Abdul Malik merupakan tokoh yang mendirikan pendidikan secara sistematik pada abad ke-
17. Beliau terlahir pada 1650-an di Hulu Terengganu, Terengganu, Malaysia, berasal dari keturunan
seorang pendakwah dari Baghdad yang bernama Syarif Mohamad. Pernah menjabat sebagai salah
seorang ulama’ istana dari Sultan Zainal Abidin I (1725-1734 M.). Beliau terkenal sebagai tokoh
perkembangan tafsir di Malaysia dengan menyalin Tarjumân al-Mustafîd. Lihat Mustaffa Abdullah,
Khazanah Tafsir......,hal. 47.
49
Ibid, hal. 47.
50
Ibid, hal. 49.
51
Ibid, hal. 45.
52
Seorang kiai dan tokoh ulama’ yang terkenal, berasal dari Kelantan. Ismail Che Daud,
Tokoh-tokoh Ulama’ Semenanjung Melayu, (Kelantan: Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu
Kelantan, 1992) , jilid 1, hal. 191-192.
25

dicetak. Manuskrip karya-karya ini juga hilang seperti hilangnya karya-karya

sebelumnya 53 .

Kemunculan Tafsîr Nûr al-Ihsân telah membuka pintu harapan baru bagi

perkembangan bidang tafsir di Malaysia. Jejak Tuan Haji Muhammad Said telah

diikuti oleh beberapa penafsir lain seperti Syed Syeikh al-Hadi, Haji Osman

Muhammad, Syeikh Abu Bakar al-Asha’ari, Maulana Abdullah Nuh dan lain-lain

penafsir. Di samping itu, terdapat juga usaha yang dilakukan untuk menerjemah

karya-karya tafsir Arab seperti yang telah dilakukan oleh Dato’ Yusoff Zaky Yacob

yang terkenal dengan karya terjemahannya Tafsir Fi Zilal al-Qur`an – Di Bawah

Bayangan al-Qur`an. Sejak dari ketika itu, ada beberapa pihak yang memberi

perhatian dalam memelihara ilmu tafsir dengan menulis semula kuliah-kuliah tafsir

yang disampaikan oleh tokoh-tokoh tafsir seperti Nik Abdul Aziz Nik Mat dan

Abdul Hadi Awang. Terdapat juga penafsir-penafsir yang menyumbangkan dan

menyampaikan pemikiran mereka dalam ilmu ini melalui tafsiran tematik dan

tafsiran terhadap beberapa surat al-Qur`an, di antara mereka ialah al-Qari Haji

Salleh, Abi Lukman, dan Abu Zaki Fadzil54 .

Tafsîr Nûr al-Ihsân disusun oleh pengarangnya dalam empat jilid dan setiap

jilid mengandungi kelompok yang terdiri dari surat-surat al-Qur`an. Jilid pertama

mengandungi Surat al-Fâtihah hingga Surat al-Mâ`idah. Jilid kedua mengandungi

Surat al-An’aâm hingga Surat Hûd. Jilid ketiga mengandungi Surat al-Kahfi hingga

Surat al-Zumar. Dan jilid keempat mengandungi Surat al-Mu’min hingga Surat al-

Nâs.

                                                            
53
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal. 45.
54
Ibid, hal. 46.
26

Tafsîr Nûr al-Ihsân telah dimulakan cetakan pertamanya pada tahun 1934 M.

di Mekah dan cetakan keduanya pada tahun 1936 M. di Pulau Pinang (Penang)

selepas diberi keizinan oleh pihak pemerintah Kedah. Cetakan ketiganya pada tahun

1391 H. bersamaan tahun 1970 M. oleh Percetakan al-Maarif Sdn. Bhd. Dan jilid

pertamanya dicetak bersama Maktabah wa Matba’ah Muhammad al-Nahdi wa

Awlâdihi. Sementara itu, terdapat juga cetakan yang diterbitkan oleh Dâr al-Ihya`

al-Kutub al-‘Arabiyah, Mesir pada tahun 1976 M. 55 . Namun, setiap percetakan

Tafsîr Nûr al-Ihsân harus mendapat keizinan daripada kerabat Tuan Haji

Muhammad Said dan semua perusahaan tersebut di atas telah mendapat keizinan

tersebut. Tanda keizinan tersebut bisa dilihat pada setiap halaman (i) pada setiap

jilid karya tersebut 56 .

Penulis berkesimpulan bahwa cetakan pertama dan kedua karya ini mendapat

sambutan dan mendapat perhatian bagi mereka yang ingin mendalami tafsir Al-

Quran bukan sahaja di kalangan masyarakat Islam di Tanah Melayu malah ia juga

dipelajari oleh umat Islam di negara tetangga yaitu Thailand 57 . Oleh karena itu,

banyak perusahaan percetakan yang berusaha menerbitkan cetakan ketiga karya

tersebut untuk memenuhi permintaan yang banyak, dan masih bisa ditemukan lagi

cetakan daripada beberapa perusahaan penerbitan lain di Thailand yang seperti

Matba’ah Bin Halâbi, Pattani dalam empat jilid. Cetakan daripada perusahaan

terakhir ini merupakan satunya referensi bagi penulis melakukan penelitian untuk

menyusun skripsi ini.

                                                            
55
Ibid, hal. 56.
56
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân...........jilid ke-1,2,3,4, hal. i.
57
Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir........ hal. 19.
27

berdasarkan kajian penulis, Tafsîr Nûr al-Ihsân masih diajar di pesantren-

pesantren dan pusat-pusat pengajian Islam di Malaysia dan Thailand sehingga kini,

terutama di Kedah, Kelantan, Terengganu dan wilayah-wilayah Selatan Thailand

yaitu Pattani, Yala dan Songkhla. Terdapat juga masjid-masjid yang menjadikan

karya ini salah satu karya tafsir yang diajar kepada jemaah yang hadir dalam rutin

kuliah mingguan.

2.1. Al-Isrâ`iliyyât dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân

Tafsîr Nûr al-Ihsân juga tidak terlepas dari satu isu yang mengenainya

sehingga ramai penyelidik membuat kritikan terhadap karya ini. Isu yang dikatakan

itu ialah masuknya riwayat-riwayat al-Isrâiliyyât 58 dalam tafsir tersebut. Tetapi tiap

riwayat Isrâiliyyât yang dikemukakan tidak dibuat kritikan dan penjelasan.

Riwayat-riwayat Isrâiliyyât terdapat di dalam tafsir tersebut hanya dalam bilangan

yang sedikit jika dibanding dengan Tarjumân al-Mustafîd 59 .

Penyelidik-penyelidik telah membuat analisis terhadap al-Isrâiliyyât yang

terdapat di dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân di dalam hasil-hasil penelitian mereka. Hasil-

hasil penelitian tersebut bisa ditemukan di Universitas Malaya (UM) dan

Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Di antara sumber-sumber tersebut yang

membahas kemasukan riwayat-riwayat Isrâiliyyât dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân ialah

hasil penulisan Muhammad Ismi Mat Taib berjudul “Israiliyyat Dalam Tafsir:

                                                            
58
Menurut al-Dzahabi, isrâiliyyât mengandung dua pengertian yaitu, pertama: kisah dan
dongeng yang disusupkan dalam, tafsir dan hadits yang asal periwayatannya kembali kepada
sumbernya yaitu Yahudi, Nashrani dan yang lainnya. Kedua: cerita-cerita yang sengaja diselundupkan
oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam
sumber-sumber lama. Lihat Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Israilyyat fit-Tafsiri wa al-Hadits,
terjemahan Didin Hafiduddin (Jakarta, PT. Litera Antara Nusantara, 1993), h. 9-10.
59
Abdul Majid Jaafar, Isu-isu Dalam Tafsir dan Hadith, (Selangor: Pustaka Haji Abdul Majid,
2007), hal. 7.
28

Kajian Terhadap Tafsir Nur al-Ihsan, Karya Haji Muhammad Said Bin Umar” 60 ,

hasil kajian Mazlan Ibrahim yaitu “Israiliyyat Dalam Kitab Tafsir Melayu “Tafsir

Nur al-Ihsan”: Satu Analisis” 61 , karya Mohd Nazri Ahmad dan Muhd Najib Abdul

Kadir yang berjudul “Israiliyyat: Pengaruh Dalam Kitab Tafsir” 62 , karya yang

disusun oleh Haji Abdul Majid Jaafar yaitu “Isu-isu Dalam Tafsir dan Hadith” 63 .

                                                            
60
Tesis prodi S2 Fakultas Ushuluddin, jurusan al-Qur`an dan Hadits, Akademi Pengajian
Islam, Universitas Malaya.
61
Tugasan Ilmiyyah, Fakultas Ushuluddin, jurusan al-Qur`an dan Hadits, Akademi Pengajian
Islam, Universitas Kebangsaan Malaysia.
62
Dicetak oleh Utusan Publication & Distributors Sdn. Bhd., Kuala Lumpur, diterbit cetakan
pertama pada tahun 2007.
63
Dicetak oleh Pustaka Haji Abdul Majid, Selangor, diterbit cetakan pertama pada tahun
2007.
BAB III

ANALISA SUMBER DAN METODE PENAFSIRAN DALAM TAFSÎR NÛR

AL-IHSÂN

A. Sumber Penafsiran

Adapun karya-karya ulama yang dijadikan rujukan oleh Muhammad Said

adalah sebagaimana beliau sendiri menyatakan di dalam pendahuluan Tafsîr Nûr al-

Ihsân, bahwa di antara karya-karya rujukan ialah Tafsîr al-Jalâlain dan Tafsîr al-

Baidâwi. Beliau turut menyatakan bahwa ada beberapa beberapa karya lain yang

dijadikan rujukan tetapi beliau tidak menyebut nama karya-karya tersebut 1 . Akan

tetapi beliau lebih banyak merujuk kepada Tafsîr al-Jalâlain dibandingkan dengan

Tafsîr al-Baidâwi dan lain-lainnya. Untuk membuktikan dan menjelaskan lagi bahwa

karya-karya dikutip oleh pengarang Tafsîr Nûr al-Ihsân dan dimasuki dalam karya,

penulis mengemukakan satu contoh komparatif penafsiran di antara karya-karya

ulama’ tersebut dan Tafsîr Nûr al-Ihsân bagi setiap satu karya yang tersebut.

1. Tafsîr al-Baidâwi:

Beliau berkata ketika menafsirkan surat al-Anbiyâ` ayat 87;

(‫ﺿﺒًﺎ‬
ِ ‫ﺐ ُﻣﻐَﺎ‬
َ ‫ن إذ َذ َه‬
ِ ‫) َوذا اﻟﻨﱡﻮ‬

                                                            
1
Ibid, jilid 1, hal. 2.

29
30

Dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân: “dan sebut olehmu akan nabi yang
empunya ikan ketika lari ia hal penyebal pada kaumnya yaitu
Yûnus bin Mattê marah ia kepada kaumnya tiada mau beriman
dengannya maka janji ia akan mereka itu turun azab maka azab
tiada turun lari pergi maka dibuang undi kena atas Yûnus maka
dibuang dalam laut maka telan akan dia oleh ikan kerana ia pergi
dengan tiada izin Allah duduk dalam perut ikan empat puluh hari
atau tujuh atau tiga hari atau empat jam diwahi Allah kepada ikan
jangan engkau makan dagingnya dan jangan engkau pecah
tulangnya bukan rezeki engkau Aku jadi penjara sahaja 2 .
(dan hendaklah kamu sebut tentang nabi yang mempunyai ikan
ketika ia benci pada kaumnya yaitu Yûnus bin Mattê, dia marah
terhadap kaumnya yang tidak mau kepadanya maka ia berjanji
kepada mereka akan turun azab, maka azab belum turun lagi ia lari
pergi. Maka dilakukan pemilihan keputusannya terkena Yûnus,
maka ia dibuang dalam kemudian ditelan oleh ikan karena pergi
tanpa izin Allah, ia duduk di dalam perut ikan selama empat puluh
hari atau tujuh atau tiga hari, atau empat jam. Allah mewahyukan
kepada ikan jangan kamu makan dagingnya dan jangan kamu
pecahkan tulangnya, ia bukan rezeki engkau, Aku jadikan engkau
penjara saja”.

Dalam al-Baidâwi dikatakan: “nabi yang mempunyai ikan (yang


mempunyai ikan yaitu Yûnus bin Mattê ) ketika ia pergi dalam
kemarahan (terhadap kaumnya ketika berputus asa selepas lama
menyeru mereka, parah perbuatan jahat mereka, dan berterusan
mereka pada perbuatan jahat dalam keadaan meninggalkan mereka,
sebelum ia diperintah berbuat demikian dan sebelum menjanjikan
mereka dengan azab maka ia tidak pergi kepada kaumnya untuk
menjanjikan taubat untuk mereka sedang dia tidak mengetahui
kondisi sebenar maka ia mengira bahwa ia telah berbohong
terhadap mereka dan marah pembohongan itu, dan ia –perkataan
‫ﻣﻐﺎﺿﺒﺎ‬- untuk mengunjuk superlatif atau karena ia membuatkan
mereka marah dengan meninggalkan mereka karena mereka takut
َ ‫ ُﻣﻐ‬- 3 “.
datang azab ketika itu, dan ia bisa dibaca –‫ﻀ ًﺒﺎ‬

                                                            
2
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân...........jilid 3, hal. 82.
3
Al-Baidâwi, Nâsir al-Dîn ‘Abdullah Bin ‘Umar, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah), jilid ke-4, hal. 219.
31

2. Tafsîr Jalâlain:

Ketika menafsirkan surat Hûd ayat 1, Muhammad Said mengatakan seperti

berikut:

(‫ﺧﺒِﻴ ٍﺮ‬
َ ‫ﺣﻜِﻴ ٍﻢ‬
َ ‫ﺼﻠَﺖ ﻣِﻦ‬
‫)آِﺘَﺎبٌ أُﺣ ِﻜﻤَﺖ ﺁﻳَﺎ ُﺗـ ُﻪ ُﺛﻢﱠ َﻓ ﱢ‬

Dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân:

“Ini Qur`an kitab yang telah ditetap segala ayatnya tiada berubah
dengan ‘ajib nazm dan elok makna, kemudian di-tafsîl segala
hukum-hukum dan cerita-cerita nabi-nabi dan pengajaran yang
turun daripada Allah Tuhan yang Hakîm lagi amat Mengetahui 4 .
(Ini al-Qur`an merupakan kitab yang tetap ayatnya tidak berubah,
dengan keajaiban susunan dan keindahan makna, kemudian
diperinci segala hukum dan kisah para Nabi dan pelajaran yang
turun daripada Allah Tuhan yang Hakîm lagi amat Mengetahui”.

Dalam Jalâlain dikatakan: “Ini al-Qur`ân kitab yang telah ditetap


segala ayatnya (dengan keindahan susunan dan kecantikan makna)
kemudian diperinci (diterangkan dengan hukum-hukum, histori-
histori, dan nasehat-nasehat) daripada Tuhan yang amat Bijaksana
dan amat Mengetahui (yaitu Allah) 5 ”.

Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Said bahwa terdapat karya-karya

yang turut dikutip dan dimasukkan ke dalam karya, penulis tidak menemukan

beberapa penafsiran yang dikutip daripada semua karya yang tidak tersebut nama-

namanya melainkan Tafsîr al-Khâzin. Maka untuk membuktikan eksistensi kutipan

beliau daripada karya tersebut, penulis mengemukakan satu contoh penafsiran dalam

Tafsîr Nûr al-Ihsân yang dikutip dari Tafsîr al-Khâzin yaitu berkata Muhammad

                                                            
4
Ibid, jilid 2, hal. 205.
5
Al-Suyûti dan al-Mahalli, Jalâluddin, Tafsir al-Jalâlain......hal. 283.
32

Said ketika menafsirkan surat al-Fajr ayat 8 6 . Dalam ayat tersebut, beliau

meriwayatkan satu atsâr yang terdapat dalam Tafsir al-Khâzin 7 yaitu:

“.........riwayat Wahab Bin Munabbih daripada ‘Abdullah Bin


Qilâbah ia keluar kepada padang negeri ‘Adn cari untanya hilang
tiba-tiba terpandang kepada satu kampung yang ada rumah mahligai
kota di keliling kota beberapa banyak rumah yang sangat besar
dibina dengan batu emas dan perak dan batu lu’lu’ dan yâqût
dihampar tanahnya dengan lu’lu’ dan kasturi za’farân dan segala
pokok kayunya berbuah dan sungai mengalir air dan ambil ia
sedikit lu’lu’ kasturi za’farân keluar balik ke Yaman dan dizahir
barang yang padanya dan cerita khabarannya sampai kepada
Mu‘awiyah disuruh panggil datang ia cerita barang yang dilihat
maka suruh Mu‘awiyah panggil Ka’ab al-Ahbâr maka kata
Mu‘awiyah Ya Aba al-Haq adakah dalam dunia rumah daripada
emas perak kata Ka’ab al-Ahbâr bahkan yaitu Iram Zat al-‘Imâd
bina akan dia Syidâd Bin ‘Aâd tatkala kehendak Syidad binanya
disuruh empat ratus tukang tiap-tiap seorang seribu kawannya maka
keluar tukang-tukang itu berjalan cari tempat seperti kehendak
Syidâd maka bertemu mereka itu tempat tanah tinggi keluar mata
air daripadanya dan tanah lapang maka kata masing-masing itulah
yang dikehendaki oleh raja itu maka bina mereka itu lamanya tiga
ratus tahun umur Syidâd sembilan ratus tahun maka tatkala sudah
bina datang berkhabar kepadanya maka disuruh dibina kota itu
seribu mahligai tempat wazîrnya seribu orang maka dibina menurut
kehendaknya maka tatkala siap suruh Syidâd akan wazîr-wazîrnya
seribu itu bersiap berpindah kepada Iram Zat al-‘Imâd maka bersiap
mereka itu lama sepuluh tahun kemudian berjalan pergi kepadanya
maka tatkala sampai tempat sehari semalam lagi dengan Iram Zat
al-‘Imâd datang halilintar dari langit membinasa mereka itu
sekalian dan kata Ka’ab lagi masuk seorang lelaki masa engkau cari
untanya tubuh merah pendek atas dahinya tahi lalat dan di
tengkuknya tahi lalat kemudian berpaling lihat ‘Abdullah Bin
Qilabah maka kata ia ini lelaki 8 .
                                                            
6
Ayat tersebut ialah firman Allah (ِ‫)اﻟﺘِﻲ ﻟَﻢ ﻳُﺨﻠَﻖ ﻣِﺜُﻠﻬَﺎ ﻓِﻲ اﻟ ِﺒﻠَﺎد‬. QS, hal. 593.
7
‘Ali bin Muhammad al-Khâzin, Lubab al-Ta`wîl fi Ma’âni al-Tanzîl, (t.tp, t.th), jilid 6, hal.
259.
8
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-4, hal. 278. Riwayat ini dinyatakan
sebagai salah satu riwayat Isrâiliyyât dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân oleh Mustaffa Abdullah, Khazanah
Tafsir Di Malaysia, hal. 56.
33

Mengenai sumber penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân dapat dinyatakan bahwa

karya tersebut termasuk di antara tafsir bi al-ra’yi. Dikatakan demikian karena

Muhammad Said menukil banyak penafsiran yang terdapat daripada karya-karya

tafsir ulama’ Timur Tengah yang menggunakan metode tafsir bi al-ra’yi seperti Tafsîr

al-Jalâlain. Ia dapat diketahui dengan melakukan kajian terhadap beberapa ayat-ayat

al-Qur’an yang ditafsir. Maka, penulis menyajikan beberapa ayat yang bisa dijadikan

contoh untuk membuktikan keberadaan metode sumber tersebut, di antaranya ketika

Tuan Haji Muhammad Said menafsirkan ayat 1 dari Surat al-Burûj:

(‫ج‬
ِ ‫ت اﻟ ُﺒ ُﺮو‬
ِ ‫ﺴ َﻤﺎ ِء َذا‬
‫) َواﻟ ﱠ‬
“Demi langit yang empunya buruj yaitu tempat duduk berjalan bintang
dua belas yang dinazam oleh setengah fudhalâ`:
‫ورﻋﻰ اﻟﻠﻴﺚ ﺳﻨﺒﻞ اﻟﻤﻴﺰان‬ ‫ﺣﻤﻞ اﻟﺜﻮرة ﺟﻮزة اﻟﺴﺮﻃﺎن‬
‫ﻧﺰح اﻟﺪﻟﻮ ﺑﺮآـﺔ اﻟﺤﻴﺘـﺎن‬ ‫ورﻣﻰ ﻋﻘﺮب اﻟﻘـﻮس اﻟﺠﺪي‬

Yaitu ‫ﺣﻤﻞ اﻟﺜﻮرة ﺟﻮزة اﻟﺴﺮﻃﺎن أﺳﺪ ﺳﻨﺒﻠﺔ ﻣﻴﺰان ﻋﻘﺮب ﻗﻮس ﺟﺪي دﻟﻮ‬
dan ‫ ﺣﻮت‬yaitu manzilah bagi bintang tujuh mula langit ketujuh sudah
langit pertama nazam setengah fudhalâ`:
‫ﻓﺘﺰاهﺮت ﻟﻌﻄﺎرد اﻷﻗﻤﺎر‬ ‫زﺣﻞ ﺷﺮي ﻣﺮﻳﺨﻪ ﻣﻦ ﺷﻤﺴﻪ‬
Maka Zuhal langit ketujuh baginya Jūdi dan Dalw al-Musytari langit
keenam baginya Qus dan Hut al-Marikh langit kelima bagi Haml dan
‘Aqrab matahari keempat baginya Asad al-Zahrah ketiga baginya Tsūr
dan Mîzan Utarid yang kedua baginya Jauzah dan Sunbulah bulan
yang pertama baginya Saratân 9 .

Penafsiran ini terdapat di dalam Tafsîr al-Jalâlain, bahwa al-Suyûti telah

menyebut nama-nama bintang tersebut satu-persatu 10 . Persamaan ini tidak menjadi

                                                            
9
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-4, hal. 269.
10
Jalâluddin al-Suyûti dan Jalâluddin al-Mahalli, Tafsir al-Jalâlain bi Hamisy al-Mushaf al-
Syarîf bi al-Rasm al-Utsmâni, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2002), cet.1, hal. 800.
34

suatu yang menimbulkan syak jika dijelaskan bahwa salah satu referensi Muhammad

Said untuk mengarang Tâfsîr Nûr al-Ihsân adalah Tafsîr al-Jalâlain.

Muhammad Said menguatkan lagi penafsirannya terhadap sebagian ayat

dengan menyebut dalil-dalil dari ayat-ayat al-Qur`an, atau hadits-hadits, atau

pendapat para Sahabat r.a seperti ‘Ali Bin Abî Talib, Ibn ‘Abbâs, dan Abû Mûsa al-

Asy’arî dan pendapat para Tabi’în. Beliau tidak meletak suatu tanda kurung kurawal

bahwa kata-kata tersebut merupakan dalil yang menjelaskan ayat tersebut, bahkan

beliau mencantumkan dalil-dalil tersebut langsung di dalam penafsirannya. Di antara

contoh-contoh yang bisa dilihat padanya penyajian metode penyebutan dalil tersebut

ialah seperti berikut:

1. Dalil daripada ayat-ayat al-Qur`ân, yaitu Surat al-Ahzâb ayat 7:

(‫ﻈﺎ‬
ً ‫ﻏِﻠﻴ‬
َ ‫ﺧﺬ َﻧﺎ ِﻣﻨ ُﻬﻢ ِﻣﻴ َﺜﺎ ًﻗﺎ‬
َ ‫) َوَأ‬
“Dan Kami ambil daripada mereka itu perjanjian yang kuat teguh
dengan menyempurnakan dengan barang yang disuruh daripada
sembah Allah dan seru manusia kepadanya maka makna ‘mitsâq’
bersumpah dengan nama Allah maka ‘mitsâq’ pertama pada ( ‫أﻟﺴﺖ‬
‫ )ﺑﺮﺑﻜﻢ ﻗﺎﻟﻮا ﺑﻠﻰ‬dan ‘mitsâq’ yang kemudian ambil daripada anbiya’
suruh sembah Allah dan seru manusia kepadanya dan suruh menyata
pada segala masing-masing umat keadaan Nabi Muhammad Rasul
Allah dan suruh Nabi Muhammad menyata pada umatnya dengan tiada
nabi kemudiannya maka ambil ‘mitsâq’ itu” 11 .
(Dan Kami ambil daripada mereka (para nabi) perjanjian yang kokoh
dengan menyempurnakan perintah yang disuruh yaitu menyembah
Allah dan menyeru manusia supaya melakukannya. Maka makna
‘mitsaq’ itu bersumpah dengan nama Allah, maka ia adalah ‘mitsâq’
yang pertama pada (‫)أﻟﺴﺖ ﺑﺮﺑﻜﻢ ﻗﺎﻟﻮا ﺑﻠﻰ‬, dan makna ‘mitsâq’ yang
seterusnya yang diambil daripada para nabi yaitu menyembah Allah
dan menyeru manusia kepadanya, serta menyampaikan kepada seluruh
umat masing-masing nabi perihal Nabi Muhammad Rasul Allah, dan
perintah kepada Nabi Muhammad menyampaikan kepada umatnya
                                                            
11
Ibid, jilid 3, hal. 257.
35

2. Dalil dari hadîts-hadîts:

(‫ف ﺑِـ ِﻬﻤَﺎ‬


َ ‫ﻄ ﱠﻮ‬
َّ ‫ﻋﻠَﻴ ِﻪ أن َﻳ‬
َ ‫ح‬
َ ‫ﺟﻨَﺎ‬
ُ ‫) َﻓﻠَﺎ‬
“Maka tiada mengapa ke atasnya bahwa tawaf ia dengan keduanya
dengan Sa’î antara keduanya tujuh kali turun ini ayat tatkala benci
orang muslimin akan demikian itu Sa’îe kerana orang jahiliyah sa’îe
mereka itu dengan keduanya dan atas kedua itu dua berhala sapu
mereka itu akan keduanya dengan tangan kerana mengambil berkat
kata ‘Abdullah Ibn ‘Abbâs bahawa Sa’îe bukan fardhu dan kata Imâm
Syâfie dan lainnya Sa’îe itu rukun Haji dan menyata Rasulullah akan
rukunnya dengan sabdanya bahawasanya Allah Taala telah fardhu atas
kamu itu Sa’îe. Dan lagi sabdanya: “‫ – ”اﺑﺪأوا ﺑﻤﺎ ﺑﺪأ اﷲ ﺑﻪ‬mula oleh
kamu dengan barang yang memulai oleh Allah dengannya yakni
Safa” 12 .
(Maka tidak suatu dosa ke atasnya jika ia tawaf keduanya –yaitu Safa
dan Marwah- dengan niat Sa’îe di antara kedua sebanyak tujuh kali.
Ayat ini turun ketika kelompok muslimin membenci Sa’îe itu karena
orang jahiliyah melakukan Sa’ie di antara keduanya, dan di atas kedua
bukit itu ada berhala yang mereka –orang jahiliyah- sapu tangan
padanya untuk mengambil berkah. Berkata ‘Abdullah Ibn Abbâs
bahwa Sa’îe itu bukan fardhu, berkata al-Imâm al-Syâfie dan lain-lain
ulama’ Sa’îe itu rukun Haji. Rasulullah menyatakan rukunnya dengan
sabdanya bahwa Allah telah menfardhukan atas kamu Sa’eî. Dan lagi
sabdanya: “‫ – ”اﺑﺪأوا ﺑﻤﺎ ﺑﺪأ اﷲ ﺑﻪ‬mulakanlah dengan dengan apa yang
telah dimulai oleh Allah dengannya yakni Safa).

3. Dalil dari pendapat para Sahabat dan Tabi’in:

(‫ل اﻟ ُﻌ ُﻤ ِﺮ‬
ِ ‫) َوﻣِﻨﻜُﻢ ﻣَﻦ ُﻳ َﺮدﱡ إﻟَﻰ أَر َذ‬
“Dan setengah dari kamu itu mereka yang dikembali kepada sehina-
hina umur tua dan nyanyuk kata ‘Ali Bin Abi Talib r.a yaitu tujuh
puluh lima tahun dan kata ‘qîl’-‫ﻗﻴﻞ‬- lapan puluh tahun dan kata
Qatâdah sembilan puluh tahun” 13 .

                                                            
12
Ibid, jilid 1, hal. 49.
13
Ibid, jilid 3, hal. 89.
36

(Dan sebagian dari kamu akan dikembalikan kepada umur paling hina
yaitu tua dan nyanyuk, berkata ‘Ali Bin Abi Talib r.a yaitu tujuh puluh
lima tahun, kata ‘qîl’-‫ﻗﻴﻞ‬- lapan puluh tahun, dan berkata Qatâdah
sembilan puluh tahun”.

Melihat pada sumber kutipan Tafsîr Nûr al-Ihsân, pengarangnya

meriwayatkan banyak riwayat Isrâiliyyât ketika menafsirkan ayat-ayat historis.

Sesungguhnya al-Qur`an menceritakan kisah-kisah secara ringkas dan ditil terutama

kisah para nabi, kadang-kadang tanpa menyebut nama individu-individu, bilangan

mereka, tanggal, nama negeri tempat terjadi peristiwa-peristiwa tersebut. Karena

yang dikehendaki dari historis-historis itu hanya pelajaran yang membimbing dan

pedoman yang berguna untuk pembacanya 14 . Jika dibutuh pembahasan tentang

seluruh riwayat Isrâiliyyât dalam karya ini secara keseluruhannya, maka satu

penulisan khusus harus dilakukan 15 . Maka penulis turut ingin mengemukakan satu

contoh periwayatan dari sumber Isrâiliyyât tersebut, sebagai bukti bagi kenyataan di

atas:

(‫ﻖ إ ﱠﻧﻬُﻢ ﻓِﺘ َﻴﺔٌ أﻣَﻨُﻮا ِﺑ َﺮ ﱢﺑﻬِﻢ َوزِدﻧَﺎهُﻢ ُهﺪًى‬


‫ﺤﱡ‬
َ ‫ﻚ َﻧﺒَﺄهُﻢ ﺑِﺎﻟ‬
َ ‫ﻋﻠَﻴ‬
َ ‫ﻦ َﻧ ُﻘﺺﱡ‬
ُ ‫)ﻧَﺤ‬

Penafsirannya berdasarkan Tafsîr Nûr al-Ihsân:

“Kami cerita atas engkau ya Muhammad akan khabaran mereka itu


dengan sebenar, bahawa mereka itu beberapa orang muda-muda yang
beriman dengan tuhan mereka itu. Kata Ibn ‘Abbas, tujuh orang
Makslamina, Tamlikha, Martunas, Nionunas, Sarobunas, Zununas, dan
Falentionunas adalah merupakan seorang pengembala kambing. Nama
anjing Qi mir. Khasiat segala nama-nama itu bagi sembilan perkara:
tuntut dan lari dan padam terbakar, disurat pada perca kain lempar
tengah api dan bagi menangis budak-budak dan bagi demam selang
                                                            
14
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Cairo : Dar al-Hadits, 2005),
Jilid I, hal. 148-149.
15
Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir Melayu Tafsir Nur al-Ihsan...........hal. 30.
37

dan bagi sakit kepala diikat lengan kanan dan bagi Umm Sibyan: hantu
pengusik budak-budak, dan bagi berjalan pada darat dan laut dan bagi
pelihara harta dan bagi bertambah akal dan bagi lepas orang yang
berdosa. Kata setengah ulama’: ajar oleh kamu akan anak kamu ini
segala nama-nama. Maka bahawasanya jika disurah di pintu rumah
tiada terbakar dan atas mata benda tiada kena curi dan atas perahu tiada
karam. Adalah mereka itu orang besar-besar negeri Efsus dalam negeri
Rom. Kemudian daripada Nabi ‘Isâ a.s. Tujuh orang- dengan gembala
kambing lapan dengan anjingnya. Tatkala zalim ahli Injîl dan masuk
kerja maksiat kafir hingga sembah berhala dan sembelih baginya. Dan
ada dalam negeri itu orang yang berpegang dengan agama ‘Isâ, ibadah
Allah swt dan tauhidnya. Dan raja negeri kafir nama Dikyanus. suruh
manusia sembah berhala dan sembelih baginya dan bunuh orang yang
menyalahinya. Maka masyhurlah orang yang tujuh itu pada raja
disuruh panggil. Maka kata raja apa kerana kamu tiada mau ikut seperti
orang-orang negeri sekarang kamu pilih amma masuk agama kami dan
ammâ kena bunuh” 16 .

Secara keseluruhannya, ayat yang diperbahaskan ini mempunyai banyak

periwayatan yang berbeda dan merupakan kisah yang begitu terkenal. Kisah Ashâb al-

Kahf 17 ini merupakan salah satu kisah yang terdapat di dalam al-Qur‘an supaya kita

mengambil pengajaran daripadanya. Walaupun begitu kisah-kisah seperti ini sering

berlaku penambahan jalan ceritanya yang hendak disampaikan sehinggakan perkara

yang tidak dinyatakan menjadi tema penting perbincangan.

Walaupun begitu Allah swt telah menjelaskan bahawa kisah seperti ini tidak

perlu dibahas kerana ia adalah perkara ghaib yang mana hakikatnya hanya Allah swt

sahaja yang lebih mengetahui. Jika dirujuk kepada penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân

terdapat penambahan dalam menyatakan nama-nama Ashâb al-Kahf dan sebagai

                                                            
16
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-3, hal. 4.
17
Yaitu kisah tujuh pemuda yang kabur dari pemerintah mereka yang zalim untuk melindungi
iman mereka seperti yang ternukil dalam al-Qur`an, surah al-Kahf ayat 9 hingga 22. Kisah ini amat
terkenal di kalangan masyarakat umat Islam, Yahudi, dan Kristen.
38

uraian dinyatakan pula bahawa terdapat sembilan khasiat yang boleh didapati

daripada nama-nama tersebut.

Selain itu dijelaskan juga bahawa setengah ulama' menyuruh supaya diajar

nama-nama ini kepada anak-anak dan jika ditulis di pintu rumah, rumah tersebut tidak

akan terbakar begitu juga jika diletakkan di atas harta benda, benda tersebut tidak

akan hilang dan jika diletakkan di dalam perahu, perahu tidak karam. Kemudian

diceritakan bahawa raja semasa peristiwa ini berlaku bernama Dikyanus yang mana

merupakan seorang pemerintah yang zalim. Dia menyuruh rakyatnya menyembah

patung berhala dan melakukan penyembelihan korban kepada patung-patung tersebut.

Segala uraian berkaitan ayat ini, jika dilihat pada definisi Isrâiliyyât yang

menyatakan jika dalam penafsiran itu terdapat sebarang unsur-unsur luar yang boleh

membawa kepada penambahan daripada fakta sebenar, maka penafsiran dalam ayat

ini boleh dikategorikan antara yang rnengandungi unsur-unsur Isrâiliyyât. Oleh itu

unsur Isrâiliyyât dalam ayat ini mesti diberi penjelasan secara jelas untuk menjauhi

daripada kekeliruan fakta. Dalam hal ini, Sayyid Qutb menegaskan bahawa para

penghuni gua itu adalah terdiri daripada sekumpulan pemuda yang tidak diketahui

bilangan mereka. Ini bermakna telah berlaku penambahan terhadap fakta tersebut

yang mana al-Quran sendiri tidak menyebut mengenai nama-nama mereka dan

bilangannya 18 . Oleh itu jelas menunjukkan bahawa semua itu adalah rekaan dan

tambahan dalam melengkapkan sesebuah kisah. Selain itu jika dirujuk kepada ayat 22

Surat al-Kahf 19 jelas menunjukkan bahwa hanya Allah swt sahaja yang lebih

                                                            
18
Sayyid Qutb, Fi Zilâl al-Qur`an, (Cairo: Dâr al-‘Arabiyyah, 1968), jilid 5, hal. 84.
19
Ayat tersebut ialah firman Allah:
39

mengetahui bilangan mereka yang sebenar dan adapun apa yang diketahui oleh

sebagian kecil daripada umatnya adalah perkara-perkara yang berkaitan dengan kisah

tersebut secara umum kerana diandaikan yang dimaksudkan di sini ialah bilangannya

nescaya Allah s.w.t. akan menyambungkan pengetahuanya tersebut dengan

pengetahuan sebahagian daripada umatnya tersebut dengan al-‘Ataf 20 .

Dengan pembahasan terdahulu, Maka Tafsîr Nûr al-Ihsân merupakan salah

satu karya yang dikelompokkan dalam tafsîr bi al-ra’yi yang mahmûdah. Karena

penafsirannya yang disertai dengan merujuk kepada al-Qur`ân dan al-Hadîts serta

didukung dengan kutipan pendapat para ulama’ yang menjadikan ia dapat

dipertanggung jawabkan keabsahannya. Sementara perkara yang berkaitan dengan

Isrâiliyyât, ia sudah banyak dibahaskan di dalam hasil-hasil kajian dan penelitian

yang banyak. Hasil-hasil penelitian tersebut telah memurnikan Tafsîr Nûr a-Ihsân dari

terus mengandungi riwayat-riwayat Isrâiliyyât tanpa disertakan sebarang penjelasan

dan kritikan.

B. Metode Penafsiran Muhammad Said Umar Dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân.

Metode penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah tahlîli, yaitu dengan

menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur`an dari beragam aspeknya dan menyingkap

seluruh maksudnya. Bahkan menjelaskan kosakata dan lafaz, serta kandungannya

dalam berbagai aspek pengetahuan, historis, dan hukum. Di samping itu beliau

                                                                                                                                                                          
‫ن ﺳَﺒﻌَﺔٌ َوﺛَﺎ ِﻣ ُﻨﻬُﻢ آَﻠ ُﺒﻬُﻢ ﻗُﻞ َرﺑﱢﻲ أﻋَﻠ ُﻢ ِﺑ ِﻌ ﱠﺪ ِﺗﻬِﻢ ﻣَﺎ ﻳَﻌَﻠ ُﻤﻬُﻢ‬
َ ‫ﺐ َو َﻳﻘُﻮﻟُﻮ‬
ِ ‫ﺳﻬُﻢ آَﻠ ُﺒﻬُﻢ رَﺟﻤًﺎ ﺑِﺎﻟﻐَﻴ‬
ُ ‫ن ﺧَﻤﺴَﺔٌ ﺳَﺎ ِد‬ َ ‫ن َﺛﻠَﺎ َﺛ ُﺔ رَا ِﺑ ُﻌﻬُﻢ آَﻠ ُﺒﻬُﻢ َو َﻳﻘُﻮﻟُﻮ‬
َ ‫ﺳ َﻴﻘُﻮﻟُﻮ‬
َ"
."‫ﺣﺪًا‬
َ ‫ﺖ ﻓِﻴﻬِﻢ ﻣِﻨﻬُﻢ أ‬ ِ ‫إﻟﱠﺎ ﻗَﻠِﻴﻞٌ َﻓﻠَﺎ ُﺗﻤَﺎ ِر ﻓِﻴﻬِﻢ إﻟﱠﺎ ِﻣﺮَا ًء ﻇَﺎ ِهﺮًا َوﻟَﺎ ﺗَﺴﺘَﻔ‬
20
Al-‘Ataf adalah penyambungan ayat dengan salah satu abjad penyambungan seperti ‘dan’
untuk menunjukkan ketersamaan antara dua perkara pada hukum dan al-i’rab. Mush afa al-Ghulaini,
Jami’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, (Cairo: Dâr Ibn al-Jauzi, 2010), hal. 604.
40

menyebut pendapat-pendapat para ulama’ sebagai pendukung terhadap ra’yu-nya. Ini

semua dilakukan berdasarkan tahap pencapaian ilmu di kalangan masyarakat pada

ketika itu yang rata-ratanya kurang terdedah kepada bidang ilmu tafsir dan masih

ramai lagi yang tidak mahir dalam bahasa Arab. Kenyataan ini boleh dirujuk kepada

permintaan masyarakat tempatan agar pengarang menulis tafsir dalam Bahasa Melayu

untuk memudahkan mereka memahami maksud ayat-ayat al-Qur’an.

Sebelum memulakan penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân, beliau menulis

satu pendahuluan yang ringkas dengan dwibahasa yaitu Bahasa Arab dan Bahasa

Melayu. Beliau menyatakan padanya kesyukuran kepada Allah swt dan shalawat ke

atas Rasulullah saw, tujuan pengarangan beliau, dan sumber-sumber referensi dalam

penafsiran 21 . Pada satu halaman selepas pendahuluan, beliau menulis muqaddimah,

yang terdapat padanya penjelasan ringkas tentang makna Islam dan rukun-rukunnya,

rukun Iman, syarat-syarat shalat, fardhu-fardhu wudhu`, dan rukun-rukun shalat 22 .

Metode Muhammad Said terhadap ayat-ayat al-Qur`ân dalam Tafsîr Nûr al-

Ihsân dengan metode yang diterapkan Jalâl al-Dîn al-Suyûti dan Jalâl al-Dîn al-

Mahalli dalam Tafsîr al-Jalâlain. Beliau mengemukakan suatu ayat dengan

memberikan terjemahannya disertakan uraian. Maka metode penafsiran dalam Tafsîr

Nûr al-Ihsân adalah metode penafsiran kuno atau klasik.

Semasa melakukan penafsiran, beliau menggunakan Bahasa Melayu Kedah

Lama dengan tulisan Arab Jawi 23 . Mengenai penggunaan bahasa dan ejaan dalam

                                                            
21
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-1, hal. 2.
22
Ibid, hal. 3 dan 4.
23
Tulisan Melayu huruf Arab atau lebih dikenali di Malaysia sebagai 'Tulisan Jawi' telah lama
wujud dan digunakan sebagai tulisan rasmi Melayu, iaitu sejak abad ke 14 Masihi atau sebelumnya. Ia
merupakan bukti kokoh kedatangan Islam ke Kepulauan Nusantara. Lihat Mohd. Alwee Yusoff,
41

kitab ini, pengarang banyak menggunakan Bahasa Melayu Kedah lama dan

sebahagiannya agak sukar untuk difahami oleh generasi sekarang seperti “hambat

keluar”, “menyengehaja”, dan “tiada sayugia’ 24 . Keadaan ini terjadi lantaran kerana

faktor zaman penghasilan kitab ini, dimana tahap pembinaan Bahasa Melayu sebagai

bahasa ilmu masih rendah dan masih kuat dipengaruhi oleh gaya bahasa Melayu lama.

Beliau juga memasukkan perkatan-perkataan Arab diselangi perkataan-

perkataan Melayu. Tidak sebarang petanda yang menunjukkan perkataan-perkataan

Arab tersebut. Maka, para pembaca harus mempunyai asas Bahasa Arab dalam proses

mempelajari dan memahami karya tafsir ini. Jika diteliti, Muhammad Said sebenarnya

telah memudahkan jalan kepada para pembaca kerana beliau terus membawa

terjemahan bagi setiap kalimat Arab itu. Selain daripada itu, dalam masa yang sama

juga pembaca boleh mengambil faidah untuk memperkuatkan lagi perbendaharaan

kata dalam Bahasa Arab. Malah beliau tidak mencatit nomor bagi ayat-ayat yang

ditafsirkan.

Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah satu karya tafsir tradisionalis karena Muhammad

Said mengutip pandangan dari para ulama` klasik. Beliau meletakkannya secara

langsung di dalam yang ditafsirkan tanpa menggunakan sebarang tanda, akan tetapi

kadang-kadang beliau menyatakan bahwa sesuatu penafsirannya itu diambil daripada

cendikiawan tertentu. Untuk menjelaskan lagi perkara di atas, penulis menyajikan

penafsiran beliau yang dikutip dari tafsiran para ulama’ Salaf dan takwilan ulama’

Khalaf pada tafsiran ayat mutasyâbihât tanpa menyatakan kutipan dari para ulama,

                                                                                                                                                                          
Perkembangan Tulisan Jawi Dan Aplikasinya Dalam Masyarakat Islam Di Malaysia, Jurnal Usuluddin,
(t.tp, 2005), Bil. 21.
24
“Hambat keluar” dalam bahasa Indonesia bermakna usir keluar, “menyegehaja” bermakna
sengaja, dan “tiada sayugia” bermakna tidak sewajarnya.
42

hanya menyebutnya dan tidak mengurainya secara panjang seperti penafsiran beliau

terhadap ayat 10 Surat al-Fath:

(‫ق أﻳﺪِﻳﻬِﻢ‬
َ ‫ﷲ ﻓَﻮ‬
ِ ‫) َﻳ ُﺪ ا‬
“Tangan Allah atas tangan mereka itu ia memandang atas mubaya’ah
mereka itu dibalas atasnya dengan syurga atau kekuatan Allah dan
pertolongannya dan nikmatnya atas mereka itu” 25 .
(Tangan Allah atas tangan mereka itu, Allah memandang atas
mubâya’ah (berbai’ah dengan menjanjikan untuk) mereka itu dibalas
atasnya dengan syurga atau kekuatan Allah, pertolongannya dan
nikmatnya atas mereka itu)”.

Beliau amat berhati-hati ketika melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat

Muqatta‘ah sehingga beliau tidak pernah mentakwilkannya walaupun satu abjad

darinya. Sungguh ulama` mengizinkan agar memberi suatu takwil yang berpadanan

terhadap Muqatta‘ah, asal tidak menyalahi dengan sesuatu penetapan al-Qur`ân dan

Sunnah 26 . Untuk membuktikannya pernyataan ini, penulis mengemukakan satu

contoh daripada penafsiran tersebut yaitu penafsiran beliau terhadap ayat

Muqa a‘ah daripada ayat 1 surat Luqmân:

(‫ﻦ اﻟ ﱠﺮﺣِﻴ ِﻢ ﺁﻟﻢ‬


ِ ‫ﷲ اﻟﺮﱠﺣ َﻤ‬
ِ ‫)ﻟِﺴ ِﻢ ا‬
“Allah terlebih ketahui kehendakNya 27 ”.

Demikian perkataan beliau ketika menafsirkan ayat-ayat Muqatta‘ah. Beliau juga

menggunakan lafaz-lafaz seumpamanya seperti Allahu a’lam 28 dan Allahu a’lam

dengan kehendakNya 29 . 

                                                            
25
Ibid, hal. 95.
26
Al-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur`an & Tafsir, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), cet. ke-1, edisi ke-3, hal. 50.
27
Ibid, hal. 241.
43

30
Beliau tidak membahaskan mengenai perbedaan al-qirâ`ât bagi suatu ayat,

lebih-lebih lagi menyentuh perihal al-qirâ`ât al-syâdzah 31 . Seperti yang telah diteliti

pada biografi beliau, tidak terdapat bukti bahwa beliau pernah mempelajari ilmu al-

qirâ`ât sepanjang pembelajarannya. Maka, penulis mengemukakan beberapa contoh

penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân, yaitu Surat al-Falaq.

Sebelum menafsirkan suatu surat, Muhammad Said menjelaskan tempat turun

surat tersebut, jumlah ayatnya, dan disertakan sabab nuzûl dan sebab penamaan surat

jika ada. Beliau juga menyebut fadilah surat tersebut pada akhirnya jika ada dengan

tanda kurungan atau tanpanya, beliau mengatakan:

‫ﺳـﻮرة اﻟﻔﻠﻖ ﻣﻜﻴﺔ‬

“Lima ayat turun ini surah dan surah yang kemudiannya tatkala balik
Rasulullah daripada Hudaibiyyah pada bulan Dzulhijjah dan masuk
Muharram tahun tujuh dan kemudian daripada selesai perang Khaibar
datang kepala-kepala Yahudi kepada seorang Yahudi yang pandai sihir
nama Labîd Bin A’sam dan segala anak perempuannya atau saudara
perempuannya dengan upah tiga dinar dengan muafakat budak Yahudi
khadam al-Nabi ambil sisir kepala Nabi dan gigi sisir diperbuat rupa
Rasulullah dengan lilin ditikam dalamnya sebelas jarum dan disimpul
sebelas simpul maka kena sihir Rasulullah empat puluh hari maka pada
satu hari Rasulullah tidur datang dua malaikat seorang di kepala dan
seorang di kaki maka kata yang di kepala apa kena lelaki ini maka
jawab yang di kaki orang sihir maka katanya siapa sihir maka

                                                                                                                                                                          
28
Lihat penafsiran Muhammad Said terhadap ayat pertama surat al-Sajadah. Ibid, hal. 249.
29
Lihat penafsiran beliau terhadap ayat pertama surat al-Rûm. Ibid, hal. 229.
30
Al-Qirâ’ât adalah bentuk bacaan yang diriwayat oleh seorang imam al-qirâ`ât berbeda dari
imam yang lain pada pembacaan al-Qur`an, yang bersesuaian dengan riwayat-riwayat tentang bentuk
bacaan tersebut. Perbedaan tersebut adalah sama pada mentuturkan abjad atau hukumnya. Lihat
Muhammad Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfan fi Ulūm al-Qur`an, (Beirut: Dar Qutaibah, 2001), cet. ke-2,
hal. 489.
31
Al-Qirâ’ât al-syâdzah adalah bentuk bacaan al-Qur`an yang diriwayat bukan secara
mutawâtir dan jalur sanad periwayatannya tidak sahîh, yaitu selain aliran-aliran qira`at yang masyhur.
Contohnya ialah qira`at Ibn al-Samaifi’. Lihat Subhi al-Sâlih, Mabâhitsu fi Ulûm al-Qur`an, (Beirut:
Dâr al-‘Ilmi lil-Milâyîn, 1972), cet. ke-7, hal. 257.
44

(‫ﺣﻴ ِﻢ ُﻗﻞ‬
ِ ‫ﻦ اﻟ َﺮ‬
ِ ‫ﷲ اﻟ َﺮﺣ َﻤ‬
ِ ‫) ِﺑﺴ ِﻢ ا‬
Baca olehmu.

(‫ﻖ‬
ِ ‫ب اﻟ َﻔَﻠ‬
‫ﻋﻮ ُذ ِﺑ َﺮ ﱢ‬
ُ ‫)أ‬
Aku berlindung dengan tuhan falaq maka ikhtilaf ulama’ pada makna
falaq kata setengah fajar subuh dan setengah penjara atau rumah dalam
neraka apabila dibuka berkeriau ahli neraka daripada hangatnya.

(‫ﻖ‬
َ ‫ﺧَﻠ‬
َ ‫ﺷ ﱢﺮ َﻣﺎ‬
َ ‫) ِﻣﻦ‬
Daripada kejahatan yang telah jadi daripada binatang atau manusia
atau terbakar atau karam air dan racun kayu batu.

(‫ﺐ‬
َ ‫ﻖ إ َذا َو َﻗ‬
ٍ‫ﺷ‬
ِ ‫ﻏﺎ‬
َ ‫ﺷ ﱢﺮ‬
َ ‫) َو ِﻣﻦ‬
Dan daripada kejahatan malam apabila kelam ia.

(‫ت اﻟ ُﻌ َﻘ ِﺪ‬
ِ ‫ﺷ ِّﺮ اﻟ َﻨ ﱠﻔﺎ َﺛﺎ‬
َ ‫) َو ِﻣﻦ‬
Dan daripada kejahatan yang menghembus pada segala simpulan yang
serta dengan tiada air liur.

(‫ﺴ َﺪ‬
َ‫ﺣ‬َ ‫ﺳ ٍﺪ إ َذا‬
ِ ‫ﺣﺎ‬
َ ‫ﺷ ﱢﺮ‬
َ ‫) َو ِﻣﻦ‬
Dan daripada kejahatan orang yang hasad apabila hasad ia seperti
Yahudi hasad bagi al-Nabi saw maka hasad sejahat-jahat dosa mula
maksiat Allah pada langit dengan hasad Iblis akan Adam dan mula
maksiat dalam bumi dengan hasad Qabîl akan Habîl dua anak Adam
maka makna hasad mencita-cita hilang nikmat daripada seorang dan
munafasah cita-cita dapat nikmat umpama nikmat seorang dinama
ghibtah yaitu harus sunat dibaca isti’âdzah pada kanak-kanak
memelihara daripada syaitan dan penyakit ‘ain yaitu yang dibaca oleh
Rasulullah pada Hasan dan Husain:
(‫)أﻋﻮذ ﺑﻜﻠﻤﺔ اﷲ اﻟﺘﺎﻣﺔ ﻣﻦ آﻞ ﺷﻴﻄﺎن وهﺎﻣﺔ وﻋﻴﻦ اﻟﻼﻣﺔ‬
45

seperti dibaca: (‫ )ﻣﺎ ﺷﺎء اﷲ ﻻ ﻗﻮة إﻻ ﺑﺎﷲ‬ketika dirinya dan rumahnya dan
ahlinya dan hartanya selamat supaya berkekalan selamat itu 32 ”.

dalam menafsirkan surat al-Falaq, Muhammad Said menjelaskan tempat

turunnya di Mekah, jumlah bilangan ayat, dan sabab nuzulnya. Kemudian beliau

menafsirkan ayat-ayat surat tersebut. Selesai menafsirkannya beliau menjelaskan

fadilahnya tanpa menggunakan suatu tanda.

Sementara itu, ada beberapa surat yang beliau meletakkan tanda ((Fadilat))

yang menunjukkan fadilahnya. Penulis mengemukakan salah satu contoh darinya

yaitu ketika Tuan Haji Muhammad Said selesai menafsirkan surat al-Nâs, beliau

menyatakan fadilahnya seperti di bawah:

(Fadilat)
“Riwayat Abû Nu’aim daripada ‘Abdullah Bin Sakhir daripada
bapanya sabda Rasulullah saw barangsiapa yang baca ((‫))ﻗﻞ هﻮ اﷲ أﺣﺪ‬
pada sakit yang ia mati padanya nescaya tiada difitnah pada kuburnya
dan aman daripada Hâfiah kubur dan ditanggung oleh malaikat hari
kiamat dengan tapak tangannya hingga melepas akan dia daripada
titian Sirat Mustaqîm kepada syurga dan lagi sabdanya barangsiapa
baca ((‫ ))ﻗﻞ هﻮ اﷲ أﺣﺪ‬ketika hendak masuk rumahnya nescaya
menghilang ia akan papa daripada ahli rumah dan jiran dan lagi
sabdanya barangsiapa baca ((‫ ))ﻗﻞ هﻮ اﷲ أﺣﺪ‬sekali nescaya diberkat
atasnya dan barangsiapa baca dua kali diberkat atasnya dan ahlinya dan
barangsiapa baca tiga kali diberkat atasnya dan segala jirannya dan
barangsiapa dua belas kali dibina Allah baginya dua belas mahligai
dalam syurga maka jika baca akan dia seratus kali dikaffarah Allah
daripadanya dosa lima puluh tahun yang lain darah orang dan harta
orang maka jika dibaca akan dia dua ratus kali dikaffarah Allah
daripadanya dosa seratus tahun maka jika dibaca seribu kali nescaya
tiada mati hingga dia lihat ia akan tampaknya dan syurga atau dilihat
baginya dalam mimpi dan lagi sabdanya barangsiapa baca (( ‫ﻗﻞ هﻮ اﷲ‬
‫ ))أﺣﺪ‬sepuluh kali dibina baginya satu mahligai dalam syurga dan

                                                            
32
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-4, hal. 308-309.
46

Dapat diasumsikan secara jelas bahwa masyarakat umat Islam di Tanah

Melayu ketika itu mempunyai pengetahuan yang cetek tentang Islam. Perkara itu

terjadi karena Tanah Melayu pada saat itu merupakan kolonial Inggris, dipengaruhi

oleh pelbagai persoalan yang terhidang akibat penjajahan Barat pada pertengahan

abad ke-19 M. Tanah Melayu pada periode kedua kurun tersebut telah menyaksikan

pertembungan budaya antara warisan terdahulu dan wawasan pendatang asing 34 .

Hingga pada awal abad ke-20 M., perkembangan Islam ketika itu dijalankan dalam

bentuk gerakan reformis dan al-islâh yang bertujuan memurnikan kehidupan

masyarakat yang tenggelam dalam melakukan khurâfât dan bid’ah, dan menaikkan

tingkatan sosioekonomi mereka 35 . Bahkan pihak pemerintah di negeri-negeri bagian

Tanah Melayu turut merasakan akan pentingnya pendidikan Islam sehingga mereka

mendorong para ulama’ supaya menulis karya yang berupaya menaikkan moral dan

pemahaman masyarakat terhadap Islam seperti yang dilakukan oleh Tengku Mahmud

dengan meminta Muhammad Said menulis satu karya yang dikenali sebagai Tafsîr

Nûr al-Ihsân.

                                                            
33
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-4, hal. 308.
34
Farid Mat Zin, Islam Di Tanah Melayu Abad Ke-19, (Shah Alam: Pustaka Karisma, 2007),
cet. ke-1, hal. 1.
35
Ibid, hal. 7 dan 8.
BAB IV

CORAK PENAFSIRAN DAN TEMA-TEMA DALAM

TAFSIR NÛR AL-IHSÂN

A. Corak penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân.

Corak penafsiran yang dipilh oleh Muhammad Said dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân

ialah Târîkhi 1 . Demikian itu karena beliau lebih banyak menjelaskan tema-tema

historis berbanding tema-tema yang lain. Beliau menyertakan penjelasannya dengan

riwayat daripada hadis-hadis dan atsâr 2 . Beliau memilih corak penafsiran tersebut

supaya masyarakat yang awam dapat mengambil lebih banyak pelajaran daripada

karyanya.

Sebelum lanjut kepada contoh-contoh penafsiran, terlebih dahulu penulis

menyajikan beberapa keistimewaan “kisah-kisah” dalam al-Qur`an. Keistimewaan-

keistimewaannya adalah seperti berikut:

1. Kisah-kisah dalam al-Qur`an merupakan pelajaran dan edukatif pada

tingkat awal dalam pendidikan.

                                                            
1
Metode târîkhi berarti menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dengan menyebut riwayat-riwayat
historis daripada Nabi saw, para sahabatNya saw, tabi’in, dan ulama’ sebagai pendukung bagi
penafsiran.
2
Atsâr menurut ulama’ hadits ia riwayat-riwayat yang dinukil daripada para Sahabat Nabi
Muhammad saw dan para Tabi’in. Lihat Rosmawati Ali @ Mat Zain, Pengantar Ulum Hadis, (Kuala
Lumpur; Pustaka Salam, 2005), edisi ke-11, hal. 76.

47
48

2. Mengabaikan dari menyebut nama individu-individu, tempat, dan masa

sesuatu peristiwa, karena yang dimaksudkan daripadanya adalah al-

‘ibrah (pelajaran).

3. Kisah-kisah dalam al-Qur`an merupakan realitas-realitas yang pernah

berlaku. Maka kisah-kisah yang terkandung dalam al-Qur`an adalah

benar, tidak bisa dibohongi lagi.

4. Kisah-kisah tersebut menyajikan bagi orang-orang beriman suatu

kajian terhadap sejarah kemanusiaan dari sudut ujian-ujian yang

dihadapi, dakwah-dakwah yang dijalani, dan ketamadunan yang

dibina.

Di antara contoh penafsiran yang dikemukakan adalah mengenai kisah Nabi

Ismâ`îl a.s yang terkandung dalam surat Maryam ayat 54 dan 55;

(Kisah Ismâ’îl)

(‫ق اﻟﻮَﻋ ِﺪ‬


َ ‫ن ﺻَﺎ ِد‬
َ ‫ﻞ إﻧﱠ ُﻪ آَﺎ‬
َ ‫ب إﺳﻤَﺎﻋِﻴ‬
ِ ‫) َواذ ُآﺮ ِﻓﻲ اﻟ ِﻜ َﺘﺎ‬
“Dan sebut olehmu pada kitab Qur`an itu akan Nabi Ismâ`îl
bahawasanya ada ia sangat benar perjanjian apabila berjanji sempurna
ia dengannya dan menanti-nanti ia mereka yang berjanji tiga hari.

(‫ن رَﺳُﻮﻟًﺎ َﻧﺒِﻴًّﺎ‬


َ ‫) َوآَﺎ‬
Dan adalah jadi rasul lagi nabi kepada Jurhum dengan syari`at bapanya
Ibrâhîm. Maka Jurhum itu satu qabilah Arab Yaman datang duduk
bersama Hajar emak Ismâ`îl di Mekah. Ketika Ibrâhîm tinggal Hajar
dan Ismâ`îl di Mekah dan keluar air Zamzam dan kahwin Ismâ`îl
dengan seorang perempuan Jurhum dan dijadi ia rasul kepada mereka
itu.

(ِ‫ﺼﻠَﻮ ِة وَاﻟﺰَآَﻮة‬
‫ن ﻳَﺄ ُﻣ ُﺮ أهَﻠ ُﻪ ﺑِﺎﻟ ﱠ‬
َ ‫) َوآَﺎ‬
Dan adalah ia suruh ahlinya dengan sembahyang dan zakat.
49

(‫ﺿـﻴًّﺎ‬
ِ ‫ن ﻋِﻨ َﺪ َر ﱢﺑ ِﻪ ﻣَﺮ‬
َ ‫) َوآَﺎ‬
Dan adalah Ismâ`îl pada sisi Tuhannya keredaan sekalian
perbuatannya 3 ”.

Penjelasan di atas menunjukkan kisah Ismâ`îl a.s yang amat terpuji tingkah

lakunya dan digalakkan mencontohinya. Ia merupakan seorang yang menepati janji

walaupun hingga terpaksa menunggu selama tiga hari untuk memenuhi janjinya

terhadap orang lain. Diceritakan juga bahwa baginda merupakan seorang utusan Allah

kepada kaumnya yaitu qabilah Jurhum dengan membawa ajaran agama yang dibawa

oleh bapanya yaitu Ibrâhîm as.

Qabilah Jurhum merupakan satu kelompok bangsa Arab yang berasal dari

Yaman kemudian mereka menetap di Mekkah bersama Ismâ`îl dan ibunya yaitu Hajar

ketika keduanya ditinggal oleh Ibrâhîm yang menjalankan tugasan dakwah. Penetapan

mereka disana selepas kemunculan mata air Zamzam yang mulia. Ismâ`îl juga

menikahi salah seorang wanita dari kelompok tersebut.

Ismâ`îl senantiasa menyuruh keluarga dan zuriatnya menunaikan shalat dan

membayar zakat, karena keduanya merupakan kewajiban dalam agama Islam. Allah

memuji baginda dengan pujian yang sebenarnya dan mendapat keridhoan di sisiNya.

Dengan penjelasan yang ringkas pada setiap tafsiran ayat-ayat tersebut, sudah

dapat masyarakat menggambarkan kisah sebenar dan mengambil pelajaran

daripadanya. Berdasarkan latar belakang masyarakat yang masih awam beliau

mengambil pendekatan menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân dengan melebihkan ayat-ayat

historis agar dapat membimbing masyarakat dan membentuk jiwa mereka menjadi

                                                            
3
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-3, hal. 39.
50

orang-orang yang beriman dengan sebenarnya. Ditambah lagi dengan kondisi negeri

yang terjajah, yang turut memberikan impak negatif pada masyarakat. Maka kondisi

tersebut memberi beliau motivasi menulis karya ini.

Di samping itu, beliau secara serius memberi penafsiran tentang ayat-ayat

yang berkait hukum fiqih juga. Corak fiqhi 4 merupakan corak kedua yang

mempengaruhi penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân. Beliau memberi perhatian serius

pada hukum-hukum hinggas menguraikan ayat-ayat fikih lebih panjang dari ayat-ayat

biasa. Maka harus dikemukan juga satu contoh yang membuktikan eksistensi corak

fiqhi. Yaitu ketika Muhammad Said menjelaskan pidana terhadap pelaku kecurian

pada ayat 38 dan 39 surat al-Ma`idah:

(Hukum mencuri)

(‫ﻄﻌُﻮا أﻳﺪِﻳَ ُﻬﻤَﺎ‬


َ ‫ق وَاﻟﺴﱠﺎ ِر َﻗ ُﺔ ﻓَﺎﻗ‬
ُ ِ‫)وَاﻟﺴﱠﺎر‬

“Dan bermula lelaki yang mencuri dan perempuan yang mencuri itu
maka kerat oleh kamu akan tangan keduanya pada pergelangan tangan
kanan dan jika balik dikerat kaki kiri dan yang ketiga tangan kiri dan
yang keempat kaki kanan kemudian dita’zîr dengan apa-apa yang
difikir oleh raja-raja”.

(‫ﷲ‬
ِ ‫ﻦا‬
َ ‫) َﻧﻜَﺎﻟًﺎ ِﻣ‬

Siksa daripada Allah bagi keduanya teladan bagi lainnya.

(ٌ‫ﻋﺰِﻳﺰٌ ﺣَﻜِﻴﻢ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫)وَا‬

                                                            
4
Al-Tafsîr al-Fiqhi yakni salah satu corak tafsir yang pembahasannya berorientasikan pada
persoalan-persoalan hukum Islam. Lihat Suryadilaga, M. Al-Fatih, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir,
(Yogyakarta: Teras, 2005), cet. ke-1, hal. 44.
51

Dan bermula Allah Taala itu Tuhan yang amat berkekerasan di atas
kerajaanNya dan lagi amat Hakim pada perbuatannya.

(‫ﺢ‬
َ ‫ﻇﻠ ِﻤ ِﻪ وَأﺻَﻠ‬
ُ ‫ب ِﻣﻦ َﺑﻌ ِﺪ‬
َ ‫) َﻓ َﻤﻦ َﺗﺎ‬

Maka barangsiapa yang taubat daripada kemudian zalimnya dan


beramal soleh ia..

(‫ﻋﻠَﻴ ِﻪ‬
َ ‫ب‬
ُ ‫ﷲ َﻳﺘُﻮ‬
َ ‫نا‬
‫)ﻓَﺈ ﱠ‬

Maka bahawasa Allah Taala itu memberi taubat ia atasnya.

(ٌ‫ﷲ ﻏَﻔُﻮرٌ رَﺣِﻴﻢ‬


َ ‫نا‬
‫)إ ﱠ‬

Bahawasa Allah Taala itu Tuhan yang amat mengampuni lagi amat
Perahim” 5 .

Berdasarkan penafsiran terhadap kedua ayat tersebut, dapat difahami bahwa

setiap pencuri laki-laki dan perempuan harus dihukum selepas dibukti pelakuannya

oleh mereka dengan kali pertamanya dipotong tangan kanan pada pergelangannya.

Jika diulangi kali kedua, maka dipotong kaki kiri. Jika diulangi kali ketiga, maka

dipotong tangan kiri pada pergelangan. Jika diulangi kali keempat dipotong kaki

kanan. Jika masih diulangi untuk kali seterusnya, penghukuman itu tergantung pada

kepintaran pihak pemerintah dan penanggung jawab hukum untuk menghukumnya.

Yang nyata bahwa beliau mengutip hukum fikih ini daripada keempat mazhab fikih

yang mu’tabar 6 sebagaimana terdapat dalam Tafsîr al-Jalâlain 7 .

                                                            
5
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-1, hal. 223-224.
6
Empat mazhab tersebut adalah al-Syâfi’iyah, al-Mâlikiyah, al-Hanâbilah, dan al-Hanafiyah.
Lihat al-Jazîri, Abd al-Rahman, al-Fiqh ala al-Madzâhib al-Arba’ah, (Universitas al-Azhar: Dâr al-
Bayân al-‘Arabi, 2005), cet. ke-1, jilid ke-5, hal. 119.
7
Jalâluddin al-Suyûti dan Jalâluddin al-Mahalli, Tafsir al-Jalâlain.....hal. 143.
52

Hukuman tersebut dijatuhkan sebagai pelajaran terhadap si pelaku agar tidak

mengulang pelakuannya dan terhadap individu-individu lain agar tidak coba

melakukan kecurian. Bahkan siapa yang insaf daripada pelakuannya itu dan berbuat

kebaikan maka Allah menerima tobatnya, didukung dengan sifat Allah yang Maha

Pemaaf dan Penyayang.

Muhammad Said menyajikan penafsiran yang ringkas tentang hukum al-Had

terhadap pencuri. Beliau tidak menyinggung perkara tersebut dengan pembahasan

yang panjang, bahkan dengan kadar yang cukup bagi pemahaman masyarakat awam.

Pada penafsiran ayat-ayat dari kedua contoh di atas, tampak bahwa

Muhammad Said memberi sumbangan pemikirannya walaupun pendapat yang

dikemukakan itu ringkas sekali. Mungkin inilah satu kelebihan dari tafsir ini yang

hanya menyajikan penafsiran yang ringkas, padat, dan dengan bahasa yang difahami.

Lebih jauh ia berupaya secara cepat memperkokoh landasan syari’at di kalangan

masyarakat awam sebelum mereka diberi pengetahuan tentang pemahaman yang lebih

mendalam.

B. Tema-tema Penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân.

Muhammad Said menyusun banyak tema di dalam karyanya. Tema-tema

tersebut merupakan apa yang beliau beri penjelasan secara panjang jika dibanding

dengan tema-tema yang tidak disebut. Ini memungkinkan adanya suatu keperluan

untuk menjelaskan sebagian ayat-ayat al-Qur`an secara panjang dan menjelaskan

sebagiannya secara sepintas. Beliau menyusunnya mengikut susunan surat-surat

dalam al-Qur`ân, dan tema-tema tersebut terbagi mengikut jilid. Begitu juga pada
53

sebagian karya-karya tafsir lain yang hanya menjelaskan sebagian ayat-ayat dengan

penafsiran berdasarkan kecenderungan masing-masing pengarang. Tema-tema

tersebut bisa dilihat pada tiap halaman terakhir pada tiap-tiap jilid Tafsîr Nûr al-Ihsân.

Maka, penulis mengemukakan tema-tema yang disusun dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân

adalah seperti berikut;

Pada jilid yang pertama, beliau menyusun 67 tema yaitu;

1. Khutbah kitab 2. Muqaddimah


3. Kisah ambil ikan Hari Sabtu 4. Suruh sembahyang zakat
5. Pencubaan Nabi Ibrahim dengan 6. Qiblat sekalian
sepuluh perkara
7. Bicara Haji 8. Hukum qisas
9. Hukum al-Soum 10. Hukum anak yatim
11. Kisah lari Ta’un 12. Kisah bunuh Jâlût
13. Kisah sedekah pada orang kafir 14. Kata ‘Ali r.a
15. Kisah pilihan Âdam 16. Kisah beranak Maryam
17. Kisah beranak ‘Isâ 18. Mukjizat ‘Isâ
19. Kisah angkat ‘Isâ ke langit 20. Seru Yahûdi Nasârâ kepada
Islam
21. Kisah Yahûdi seru kepada 22. Kisah Yahûdi jadi kafir
agamanya
23. Tegah ambil lain bangsa tempat 24. Kisah pecah perang
rahsia
25. Kisah pecah gigi Nabi 26. Tegah riba
27. Kisah perang Uhud 28. Hukum Fara`id
29. Haram isteri bapa – haram nikah 30. Hukum jawab salam
31. Hukum bunuh 32. Hukum duduk negeri kafir
33. Hukum sembahyang qasar 34. Kisah bermegah-megah
35. Kisah wasiat Allah 36. Kisah Yahûdi
37. Kisah kufur Yahûdi 38. Seru beriman dengan Rasulullah
39. Hukum wudu’ 40. Hukum junub
41. Hukum tayammum 42. Perjanjian Nasârâ
43. Perkataan Yahûdi Nasârâ kami 44. Zaman fatrah
anak Allah
45. Ungkit Nabi Mûsâ nikmat Allah 46. Kisah masuk Baitul Maqdis
47. Kisah dua anak Âdam 48. Kisah korban
49. Kisah bunuh Qabîl akan Habîl 50. Hukum menyamun
51. Suruh orang mukmin dengan taqwa 52. Hukum mencuri
dan wasîlah
54

53. Hukum zina 54. Hukum qisas dalam Taurat


55. Hukum Injil 56. Kemuliaan Nabi Muhammad
Qur`an
57. Tegah berkasih Yahûdi Nasârâ 58. Tegah bersetia orang kafir
59. Kekejian Yahûdi 60. Suruh menyampai risalah
61. perjanjian 62. Tafsil kekejian Nasârâ
63. Kisah Banî Isrâ`îl kena laknat 64. Hukum khumur dan arak dan
judi
65. Kisah soal segala rasul 66. Kisah Mâ`idah
67. Kisah Rasûlullah 68.

Beliau menyusun 36 tema pada jilid kedua yaitu;

1. Kisah Nabi Ibrâhîm dengan 2. Berhujah Nabi Ibrâhîm


bapanya
3. Anbiyâ` dua puluh lima wajib 4. Kisah yang haram
ketahui dengan tafsil
5. Kisah Iblîs 6. Kisah Âdâm
7. Kisah Nûh 8. Kisah Hûd
9. Kisah Nabi Sâleh 10. Kisah Lut
11. Kisah Syu’aib 12. Kisah Mûsâ
13. Kisah bala Qibti 14. Kisah Banî Isra`îl
15. Kisah terima Taurat 16. Kisah ajal
17. Kisah minta uzur bagi tambah ajal 18. Kisah ambil ikan hari Sabtu
19. Kisah ambil janji 20. Kisah Bal’am Bin Ba’ura`
21. Kisah ahli al-Nâr 22. Perangi baik-baik
23. Sifat al-mu`min 24. Kisah perang Badar
25. Kisah perang Yahûdi Quraizah 26. Kisah tebusan Badar
27. Perang Hunain 28. Kisah ‘Uzair ‘Isâ anak Allah
29. Perang Tabûk 30. Kisah Tsa’labah
31. Kematian kepala munafikin 32. Masjid Dirâr
33. Kisah Nûh 34. Kisah Mûsâ
35. Kisah lalu Laut Swiss 36. Kisah Yûnus

Beliau menyusun 43 tema pada jilid ketiga yaitu;

1. Al-qissah 2. Kisah raja Bidrûs


3. riwayat 4. Kisah Mûsa dan Khadhîr
5. Kisah Zil Qarnain 6. Kisah Maryam
7. Kisah Ibrâhîm 8. Kisah Mûsâ
9. Kisah Ismâ’îl 10. Kisah Idrîs
11. Kisah Mûsâ keluar dari Mesir 12. Kisah Nûh
55

13. Kisah Dâwûd 14. Kisah Ayûb


15. Kisah Ismâ`îl 16. Kisah Yûnus
17. Kisah Zakaria 18. Kisah Maryam
19. Kisah Nûh 20. Hukum zina
21. Qazaf 22. Qazaf isteri
23. Kisah al-Ifk - diriwayat 24. Kisah Nûh
25. Kisah Hûd 26. Kisah Nabi Sâleh
27. Kisah Lut 28. Kisah Syu’aib
29. Kisah Mûsâ 30. Kisah Dâwûd dan Sulaimân
31. Kisah Sâleh 32. Kisah Lut
33. Kisah Qârûn 34. Kisah Nuh
35. Kisah Ibrâhîm 36. Kisah Lut
37. Kisah Syu’aib 38. Kisah Luqmân
39. Zihâr 40. Kisah Nabi Dâwûd
41. Al-qissah 42. Kisah Nûh
43. Riwayat Abu Ja’far al-Râzi 44.

Pada jilid keempat, beliau menyusun hanya 9 tema yaitu;

1. Dan tatkala selesai 2. Muslihat kaya miskin


3. Turun ‘Isâ – alamat Qiamat 4. Mahar Hûr al-‘Ain
5. Al-qissah 6. Kisah Mûsâ
7. Kisah Ashâb al-Fîl 8. fadilat
9. Khâtimah 10.

Dari daftar tema-tema di atas, terdapat 155 tema yang disusun dalam Tafsîr

Nûr al-Ihsân. Tema-tema tersebut bisa dikategorikan kepada tiga kelompok yaitu

pertamanya tema-tema târîkhi, tema-tema fiqhi, dan tema-tema umum. Kelompok

tema-tema pertama yaitu târîkhi terdiri dari sejumlah 102 tema dengan perkiraan

66%. Kelompok tema ini merupakan yang mendominasi, banyaknya tema ini

merupakan faktor corak penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân dikategori sebagai

târîkhi. Karena untuk menentukan corak penafsiran suatu karya tafsir, harus dilakukan

penelitian terhadap tema-tema yang terkandung di dalamnya. Corak penafsiran

dikategorikan berdasarkan kelompok tema terbanyak dan yang mendominasi.


56

Kelompok tema-tema umum terdiri dari 28 tema dengan perkiraan 16%.

Sementara kelompok tema-tema fiqhi merupakan kelompok tema yang mempunyai

bilangan tema paling sedikit yaitu 20 tema dengan perkiraan 8%.

Dari berbagai pendekatan yang penulis kemukakan, penulis akan kemukakan

kelebihan dan kekurangan Tafsîr Nûr al-Ihsân karya Tuan Haji Muhammad Said

Umar. Kelebihannya adalah:

1. Penafsirannya yang singkat, padat dan dengan bahasa yang mudah

difahami, sehingga mendapat perhatian masyarakat dan ulama’. Karya

ini juga sesuai dengan keadaan pada waktu itu, di mana masyarakat

masih awam.

Sedang kekurangan Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah:

1. Tidak menampilkan sanad dan matan hadits pada fadilah membaca

surat tersebut dikutip dari Tâfsîr al-Baidâwi dan Tafsîr al-Jalâlain

sebagai pendukung Tafsîr Nûr al-Ihsân.

2. Tidak menampilkan sanad dan matan hadis pada kisah atau Asbâb al-

Nuzûl yang dikutip dari semua karya sumber tafsirnya.

3. Telah dibuktikan dengan jelas bahwa dalil-dalil yang dikutip dari

semua karya sumber tafsir beliau mengadopsi cerita-cerita Isrâiliyyât.

Dengan kata lain bahwa dalil-dalil yang digunakan tidak sahîh.

4. Tafsirannya yang singkat tidak memberikan wawasan yang luas

terhadap pemikiran lebih jauh tentang kandungan al-Qur`ân.


57

Pada akhir penulisan, pengarang Tafsîr Nûr al-Ihsân menyatakan secara jelas

dan dengan merendah diri bahwa beliau menerima sebarang pembetulan terhadap

karyanya. Beliau mencatat kata-katanya itu pada penutup karya, dengan katanya;

“.......... maka yang didapati berbetulan itu maka yaitu daripada Allah
kurniaNya dan yang khata’ atau silap qalam itu daripada hamba
taqsîrnya diharap tolong perbetul kemudian daripada im’aân al-nazar
mudah-mudahan manfaat dan dapat ketahui kehendak Allah dalam
Qur`anNya oleh ahli pembaca daripada perempuan dan kanak-kanak
sekolah yang membawa jadi Tauhîd Allah yang melepas daripada
kaum asyqiyâ` masuk pada kaum su’adâ` yang dapat bahagia selama-
lamanya 8 ”.

Kemudian beliau menutup penulisannya dengan doa memohon rahmat Allah,

dilindungi imannya dan saudara-saudara seIslamnya dalam hidup dan mati, dan

dimasukkan ke kelompok orang-orang yang diberi karunia nikmat oleh Allah yaitu

para nabi, siddîqîn, syuhadâ`, dan orang-orang sâlih. Beliau menutup doanya dengan

selawat ke atas Nabi Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya, dan melafazkan

pujian kepada Allah 9 .

                                                            
8
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-4, hal. 311.
9
Ibid.
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah salah satu karya yang terkelompok tafsir yang

boleh diterima, karena ia bersumberkan dari karya-karya tafsir klasik yang diterima

(mu’tabar). Muhammad Said menerapkan metode yang tepat dalam ilmu tafsir yaitu

tahlîli dengan uraian yang sederhana, bersesuaian dengan kondisi masyarakat muslim

pada zamannya.

Karya tafsir tersebut merupakan karya tafsir sunni tradisional yang sama

metode penafsirannya dengan Tafsîr al-Jalâlain. Suatu ayat al-Qur`an disajikan

dengan terjemahannya disertai uraian yang sederhana dengan bahasa Melayu Kedah

kuno. Uraiannya mengandungi beragam aspek dan menyingkap seluruh maksudnya.

Bahkan menjelaskan kosakata dan lafaz, serta kandungannya dalam berbagai aspek

pengetahuan, historis, dan hukum. Maka metode penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân

adalah tahlîli.

B. SARAN-SARAN

Tafsîr Nûr al-Ihsân telah mengangkat derajat masyarakat Islam di Malaysia

dan Selatan Thailand. Bertepatan dengan kehendak pengarangnya yang ingin

masyarakat Tanah Melayu yang masih mempelajari al-Qur`ân bermula dari dasar

58
59

Alangkah baiknya jika karya tafsir ini diterbitkan dalam wajah baru yang bisa

diedit dengan meletakkan tanda baca, dicetak ulang dengan tulisan yang lebih rapi

dan disusun dengan lebih cantik. Sesungguhnya Muhammad Said telah memohon

kerjasama kepada generasi selepasnya untuk memperbaiki kesalahan yang mungkin

ada dalam karyanya ini. Jika difahami dan diteliti secara mendalam, inilah amanah

yang ditinggalkannya untuk kita semua.

Metode pengajaran dan pengajian baru terhadap karya-karya tafsir amat

dibutuhkan dan harus dikaji secara berterusan. Walaupun umur karya-karya tafsir

tersebut mencapai satu abad atau lebih, umurnya itu tidak bermakna bahwa ia sudah

tidak relevan lagi dipelajari atau diselidiki. Lihat saja pada karya penafsir-penafsir

terdahulu seperti Tafsîr al-Khâzin, pada hari ini ia masih lagi digunakan sebagai

bahan mengajar dan penelitian. Maka demikian juga Tafsîr Nûr al-Ihsân, metode

pengajarannya dan pelajarannya harus dikembangkan bersesuaian dengan zaman,

tidak hanya berterusan dengan metode pengajaran dan pembelajaran pondok

pesantren. Selain itu, setiap individu yang mempelajari dan meneliti karya ini

mendapat faidah extra yaitu pengetahuan tentang histori-histori yang terkandung di

dalamnya.
60

Penelitian ini hanyalah sebuah penelitian awal yang mencoba untuk

menelusuri sedikit dari banyak aspek yang menarik dari Tafsîr Nûr al-Ihsân, dari

biografi pengarang, metode sumber, metode dan corak penafsiran. Mudah-mudahan ia

menjadi kunci pintu bagi penelitian seterusnya pada masa akan datang. Jesteru

penelitian ini membuka lembar baru dalam penafsiran al-Qur`ân pada zaman

kontemporer dan terus berkembang hingga ke abad-abad seterusnya. 


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur`ân al-Karîm

Abdullah, Mustaffa, Khazanah Tafsir Di Malaysia, Pahang: Perpustakaan Negara


Malaysia, 2009, cet. ke-1.

Abû Dâwûd, Sulaimân Bin Asy’ats, Sunan Abî Dâwûd, Jordan: Dâr al-A’lam,
2003, cet. ke-1.

Al-Farmâwi, ‘Abdul al-Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya,


penerjemah: Drs. Rosihon Anwar, Bandung: Pustaka Setia, 2002, cet. ke-
1.

Ahmad, Mohd Nazri, Israiliyyat: Pengaruh Dalam Kitab Tafsir, Kuala Lumpur:
Utusan Publication & Distributors Sdn. Bhd., 2007, cet. ke-1.

Ali @ Mat Zain, Rosmawati, Pengantar Ulum Hadis, Kuala Lumpur; Pustaka
Salam, 2005, edisi ke-11.

Awang, Hussin, Kamus al-Tullâb Arab – Melayu, Kuala Lumpur: Darul Fikr,
1994, cet. ke-1.

A’rifat, Muhammad Hadi, Sejarah al-Qur`an, Penerjemah: Thoha Musawa,


Jakarta: Penerbit al-Huda, 2007, cet. ke-2.

Azra, Azyumardi, Et.Al (Tim Penyusun), Pedoman Penulisan Karya


Ilmiah,Skripsi,Tesis Dan Desertasi. Ceqda,2007 cet. ke- 2.

Al-Baidâwi, Nâsir al-Dîn ‘Abdullah Bin ‘Umar, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-
Ta’wîl, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2002, cet. ke-1, jilid ke-4.

Al-Bukhâri, Muhammad bin Ismâ’îl Abû ‘Abdullah, al-Jâmi’ al-Sahîh al-


Mukhtasar. Beirut: Dar Ibnu Katsir, al-Yamamah, 1987, cet. ke-3.

Dahlan, Abd. Rahman, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Qur`an, Bandung: Mizan,


1997, cet. ke-1.

Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahannya Edisi Tahun 2002, CV


Darus Sunnah.

61
62

Al-Dzahabî, Muhammad Husain, al-Isrâiliyyât fi al-Tafsîr wa al-Hadîts,


Terjemahan Didin Hafiduddin, Jakarta, PT. Litera Antara Nusantara, 1993,
cet. ke-1

___________________, Penyimpangan-penyimpangan Dalam Penafsiran al-


Qur`an, penerjemah: Hamim Ilyas dan Machnun Husein, Jakarta:
Rajawali, 1986, edisi ke-1, cet. ke-1.

___________________, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Cairo : Dar al-Hadits, 2005,


Jilid I.

Al-Fatâni, Ahmad Fathi, Ulama Besar Dari Fatâni, Kota Bharu: Majlis Agama
Islam Dan Adat Istiadat Melayu Kelantan (MAIK), 2009, Edisi ke-2.

Hadhiri SP, Chairuddun, Indeks Al-Quran, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Ibrahim, Mazlan, Israiliyyat Dalam Tafsir Melayu Tafsir Nur al-Ihsan: Satu
Analisis, Tesis prodi S2 Fakultas Pengajian Islam Universitas Kebangsaan
Malaysia, 2001.

Ikram, Achdiati, Filologi Nusantara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1997, cet. ke-1.

Jaafar, Abdul Majid, Isu-isu Dalam Tafsir dan Hadith, Selangor: Pustaka Haji
Abdul Majid, 2007, cet. ke-1.

Al-Jamal, Sulaimân Bin ‘Umar al-‘Ajili, al-Futūhât al-Ilâhiyah bi Taudhîh Tafsîr


al-Jalâlain li al-Daqâiq al-Khafiyah, (t.tp: Dar al-Fikr, t.th), jilid ke-1.

Al-Jazîrî, ‘Abd al-Rahman, al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Universitas al-


Azhar: Dâr al-Bayân al-‘Arabi, 2005, cet. ke-1, jilid ke-5.

Al-Khâzin, ‘Ali bin Muhammad, Lubab al-Ta`wîl fî Maâni al-Tanzîl, t.tp, t.th,
jilid 6.

Mahmud, Abdul Halim Mani’, Metodologi Tafsir: Kajian Komprohensif Metode


Para Ahli Tafsir, Jakarta: RajaGrafido Persada, 2006, cet. ke-1.

Al-Marbawi, Muhammad Idris ‘Abdul Rauf, Kamus Idris Al-Marbawi Arab-


Melayu, Kuala Lumpur: Darul Fikr, 2006, cet. ke-3.

Mat Zin, Farid, Islam Di Tanah Melayu Abad Ke-19, Shah Alam: Pustaka
Karisma, 2007, cet. ke-1.
63

Al-Maulâ, Muhammad Ahmad Jâd, Qasas al-Qur`an, Cairo: Maktabah Dâr al-
Turâts, 2000, cet. ke-4.

Al-Naisâbûri, ‘Ali Bin Ahmad, Asbâb al-Nuzûl, Beirut: Dar al-Fikr, 2001, cet. ke-
1.

Osman, Mohd Taib dkk, Tamadun Islam Di Malaysia, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa Dan Pustaka, 2003, cet. ke-1.

Paidi, Zulhilmi dkk, Kenegeraan Malaysia: Isu-isu Dalam Pembinaan Negara,


Kuala Lumpur: PTS Publication Sdn. Bhd., 2003, cet. ke-1.

Al-Qattân, Mannâ’ Khalîl, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an, Penerjemah: Mudzakir AS,


Jakarta: Litera AntarNusa bekerjasama dengan Halim Jaya, 2007, cet. ke-
10.

Al-Sâlih, Subhi, Mabâhitsu fî Ulûm al-Qur`ân, Beirut: Dâr al-‘Ilmi lil-Milâyîn,


1972, cet. ke-7.

Al-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur`an & Tafsir,


Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009, cet. ke-1.

Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1996.

Slamet, Mulyana, Asal Bangsa Dan Bahasa Nusantara, Jakarta: Balai Pustaka,
1964, cet. ke-1.

Suma, M. Amin, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an (1), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000,
cet. ke-1.

Al-Suyûti, Jalâluddin, Sebab Turunnya Ayat al-Qur`an, Penerjemah: Tim Abdul


Hayyie, Jakarta: Gema Insani, 2008, cet. ke-1, jilid I.

_________________, Sebab Turunnya Ayat al-Qur`an, Penerjemah: Tim Abdul


Hayyie, Jakarta: Gema Insani, 2008, cet. ke-1, jilid II.

Al-Suyûti & al-Mahalli, Jalâluddin, Tafsîr al-Jalâlain bi Hamisy al-Mus af al-


Syarîf bi al-Rasm al-Utsmâni, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2002.

Suryadilaga, M. Al-Fatih, Metodologi Ilmu Tafsir, Yoyakarta: Teras, 2005, cet. 2.

al-Syarbînî, Syamsuddin Muhammad Bin Ahmad al-Khatîb, al-Iqnâ’ fî Hall Alfâz


Abî Syujâ’, Damsyiq: Maktabah Dâr al-Khair, 2002.
64

Al-Turmudzi, Muhammad Bin ‘Isâ Bin Saurah, Sunan al-Turmuzi, Beirut: Dâr al-
Fikr, 1983, cet. ke-1.

Umar, Muhammad Said, Tafsîr Nûr al-Ihsân, Pattani: Percetakan Bin Halâbi,
1971, cet. ke-3, Jilid I.

____________________, Tafsîr Nûr al-Ihsân, Pattani: Percetakan Bin Halâbi,


1971, cet. ke-3, Jilid II.

____________________, Tafsîr Nûr al-Ihsân, Pattani: Percetakan Bin Halâbi,


1971, cet. ke-3, Jilid III.

____________________, Tafsîr Nûr al-Ihsân, Pattani: Percetakan Bin Halâbi,


1971, cet. ke-3, Jilid IV.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1972.

Al-Zarqâni, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim, Manâhil al-‘Irfan fi Ulūm al-Qur`an,


Beirut: Dar Qutaibah, 2001, cet. ke-2.

Situs dan Jurnal

http//:www.wacananusantara.org/

http//:www.saaid.org.my

http//:www.ms.wikipedia.org/wiki/Kedah

http//:www.ms.wikipedia.org/wiki/Perak

http://en.wikipedia.org/wiki/Naqshbandi

Jurnal Usuluddin, (t.tp, 2005), Bil. 21, Mohd. Alwee Yusoff, Perkembangan
Tulisan Jawi Dan Aplikasinya Dalam Masyarakat Islam Di Malaysia.

Anda mungkin juga menyukai