Anda di halaman 1dari 105

KONSEP KEBAHAGIAAN DALAM PERSPEKTIF

IBNU BAJJAH
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama(S.Ag)

Oleh:

Feri Ferdiawan
NIM: 11150331000037

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1442 H
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

Nama : Feri ferdiawan

NIM : 11150331000037

Program Studi : Aqidah dan Filsafat Islam

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan salah satu karya saya yang di ajukan untuk

memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 di Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN).

2. Semua sumber yang saya gunakan untuk penulisan skripsi ini telah saya

cantumkan dalam penyusunan skripsi ini sesuai dengan ketentuan yang

berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN).

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

(UIN).

Ciputat, 18 Agustus 2021

Feri Ferdiawan

ii
KONSEP KEBAHAGIAAN DALAM PERSPEKTIF IBNU BAJJAH

Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

FERI FERDIAWAN
NIM: 11150331000037

Pembimbing

Dr. Kholid Al Walid, M.Ag.


NIP: 197009202005011004

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1442

iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No: 507 Tahun
2017 tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Huruf Arab - Latin

No Huruf Huruf
Keterangan
Arab Latin
1. ‫ا‬ tidak dilambangkan
2. ‫ب‬ B Be
3. ‫ت‬ T Te
4. ‫ث‬ Ts te dan es
5. ‫ج‬ J je
6. ‫ح‬ h̲ h dengan garis bawah
7. ‫خ‬ Kh ka dan ha
8. ‫د‬ d de
9. ‫ذ‬ dz de dan zet
10. ‫ر‬ r er
11. ‫ز‬ z zet
12. ‫س‬ s Es
13. ‫ش‬ sy es dan ya
14. ‫ص‬ s̲ es dengan garis di bawah
15. ‫ض‬ ḏ de dengan garis di bawah
16. ‫ط‬ ṯ te dengan garis di bawah
17. ‫ظ‬ z̲ zet dengan garis di bawah
18. ‫ع‬ ̒ koma terbalik di atas hadap kanan
19. ‫غ‬ gh ge dan ha
20. ‫ف‬ f ef
21. ‫ق‬ q Ki
22. ‫ك‬ k Ka
23. ‫ل‬ l El

v
24. ‫م‬ m em
25. ‫ن‬ n En
26. ‫و‬ w We
27. ‫ه‬ h Ha
28. ‫ء‬ ˋ Apostrof
29. ‫ي‬ y ye

2. Vokal
Vokal adalah bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


َ A Fathah
َ I Kasrah
َ U Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya ada sebagai


berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫اي‬ Ai a dan i
‫او‬ Au a dan u

3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Tanda Vokal Latin Keterangan


Arab
‫با‬ Â a dengan topi di atas
‫بي‬ Î i dengan topi di atas

vi
‫بو‬ Û u dengan topi di atas

4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
dîwân bukan ad- dâwân.

5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydìd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda tasydìd )َ) dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang
diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang
menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (‫ )الضرورة‬tidak ditulis ad-ḏarûrah
melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbūṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku
jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2).
Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh nomor 3).
No Kata Arab Alih Aksara
1 ‫طريقة‬ Ṯarîqah
2 ‫الجامعة اإلسالمية‬ al-Jâmi‘ah al-Islâmiyyah
3 ‫وحدة الوجود‬ Wahdat al-wujûd

vii
ABSTRAK
FERI FERDIAWAN, KONSEP KEBAHAGIAAN DALAM PERSPEKTIF
IBNU BAJJAH, Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Kebahagiaan merupakan topik krusial dan menjadi tujuan akhir hidup
manusia, hal ini bukan tanpa alasan karena pada dasarnya setiap tindakan manusia
dimaksudkan untuk mencapai kebahagiaan. Namun sering kali manusia terlena
mengartikan kebahagiaan yang bersifat materi sebagai kebahagiaan yang
sebenarnya, padahal esensi kebahagiaan datang dari rohani manusia bukan
kebahagiaan yang bersifat jasmani.
Ibnu Bajjah adalah failasuf yang membahas tentang kebahagiaan dan
berpendapat bahwa kebahagiaan yang sebenarnya dengan bermutawahhid atau
hidup secara soliter dan menjauhkan diri dari sifat buruk yang ada dalam diri
masyarakat, Bermutawahhidnya tetap berhubungan dengan masyarakat dalam hal
yang diperlukan. Mutawahhid jawaban bagi orang yang berada dalam kota yang
tidak sempurna, fasiqah, jahilah. Selain itu tindakan manusia harus senantiasa
dikelola oleh pilihannya, karena sesuatu yang manusia lakukan melalui pilihan
disebut tindakan insani, dan setiap tindakan insani merupakan hasil dari pemikiran
rasional melalui akal.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research atau
studi pustaka yaitu proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-
penemuan dan analisis dokumen berkaitan dengan masalah penelitian.
Dari hasil kesimpulan ini penulis dapat menyimpulkan bahwa Konsep
kebahagiaan perspektif Ibnu Bajjah yaitu bermutawahhid, mutawahhid adalah
jalan yang tepat untuk memperoleh kebahagiaan agar manusia dapat terhindar dari
pengaruh buruk dari masyarakat sekitar, dan tetap mengoptimalkan potensi akal
nya sebagai anugerah yang telah di berikan oleh Tuhan untuk berkontemplasi. Dia
menjadi pusat bagi dirinya sendiri dan tindakan-tindakannya senantiasa diarahkan
untuk memperoleh kebahagiaan dengan fokus pada tindakan insani.

Kata Kunci: Ibnu Bajjah, Kebahagiaan, Mutawahhid, Tindakan-tindakan


Mutawahhid

viii
KATA PENGANTAR

Tiada kalimat bermakna selain puji syukur kehadirat Allah SWT, sebagai
bukti penghambaan manusia yang telah diberikan banyak karunia dan keberkahan
sampai detik ini, dengan karunianya yang tidak terhingga menempatkan manusia
sebagai puncak piramida diantara makhluk lainnya, berupa rasio yang menjadikan
manusia berbeda dari hewan dan tumbuhan, karena segala tindakannya
berdasarkan kesadaran dan pilihan. Manusia dengan akalnya mampu berfikir dan
memilih sesuatu karena sebagaimana mengutip perkataan salah satu failasuf
bernama Rene Descartes “Cogito Ergo Sum” yang artinya Aku berfikir maka aku
ada, atau mengutif salah satu dosen kami, bapak Abdul Mutholib, PhD yang
menjelaskan sufi termasyur bernama Al Hallaj yang mengalami syatahat dimana
antara sifat lahut dan nasut manusia dengan Tuhan melebur. Dan berpendapat
bahwa akal merupakan manifestasi dari Tuhan yang ada dalam diri manusia.
sungguh dengan fakta ini menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk
pilihan Tuhan dengan akalnya mampu berfikir, dan dengan akalnya mampu
membedakan mana yang benar dan salah. Dan sebagai salah satu bukti syukur
penulis yang tiada terhingga adalah terselesaikannya skripsi ini yang berjudul
“Konsep Kebahagiaan Perspektif Ibnu Bajjah”
Shalawat beserta salam semoga tercurah kepada Habibana Kekasih Allah,
sebagai nabi penerima risalah terakhir, pelengkap risalah nabi-nabi sebelumnya
dengan mukzizat terbesarnya yaitu Al-Qur’an, Habibana wa nabiyana
Muhammad SAW, Semoga kita semua senantiasa diberi syafaat oleh-Nya.
Selain itu penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa
adanya dukungan dari berbagai pihak yang memotivasi serta membimbing
sehingga tugas akhir ini akhirnya dapat terselesaikan, oleh karena itu penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. Selaku
Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman M.Ag Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Tien Rohmatin, MA Selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

ix
4. Ibu Dra. Banun Binaningrum,M.Pd Selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan
Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Bapak Dr. Khalid Al Walid, M.Ag Selaku Dosen Pengampu Akademik
sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi, Terimakasih banyak sebesar-
besarnya kepada bapak.
6. Kedua orangtua penulis, Ayah dan Ibu yang senantiasa mendoakan dan
mendukung apa yang terbaik bagi anaknya, tiada kalimat yang bisa
diungkapkan hanya terimakasih dan memohon kepada Allah semoga Ayah
selalu sehat, dan disetiap langkahnya senantiasa diberkahi.
Detik-detik akhir penyusunan skripsi, pagi itu mentari bersinar, tiba-tiba
redup langit kelam diiringi berita duka yang membuat penulis bersedih
teramat dalam, ibunda tercinta berpulang untuk selamanya, antara percaya
dan tidak, diusianya yang masih muda beliau meninggalkan kami semua.
Aku bersimpuh disamping jasad yang membeku, dan berharap semoga ibu
ditempatkan disisi Allah, semua amal kebaikan ibu diterima oleh Allah,
dan maafkan anakmu ini yang belum sempat membahagiakan ibu sampai
akhirnya ibu tutup usia. Grobogan, 30 Juli 2021
7. Terimakasih selanjutnya kepada Aisyah, yang telah memotivasi penulis
agar senantiasa menyelesaikan studi dan tidak bermalas-malasan. Ucapan
terimakasih sebesar-besarnya karena penulis tidak bisa menghindari
kelemahan manusia sebagaimana dikutif Al Insanu Mahalul khata wa
nisyan, manusia itu tempatnya salah dan lupa, sehingga membutuhkan
motivasi dan perbaikan dari waktu ke waktu.
8. Terimakasih selanjutnya untuk seluruh teman teman seperjuangan REFI
2015, dimana kita awalnya tidak mengenal, akhirnya saling kenal, dan saat
ini berjuang untuk melanjutkan kehidupan yang sebenarnya.

Demikian ucapan terimakasih ini penulis sampaikan dengan sepenuh hati,


selain itu penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, atas
dasar tersebut penulis mengharapkan saran dan masukan agar menghasilkan karya
ilmiah yang paripurna, serta bermanfaat bagi penulis dan bagi kita semua

x
Ciputat, 18 Agustus 2021
Penulis

Feri Ferdiawan

xi
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... ii


LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................. v
ABSTRAK .................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. ix
DAFTAR ISI ............................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 5
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 6
E. Metode Penelitian .............................................................................. 8
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 9

BAB II KONSEP KEBAHAGIAAN SECARA UMUM


A. Defenisi Kebahagiaan ...................................................................... 11
B. Hakikat Kebahagiaan ...................................................................... 15
C. Macam-macam Kebahagiaan ........................................................... 19
D. Cara Memperoleh Kebahagiaan ....................................................... 22
E. Kebahagiaan Dalam Pandangan Al-Qur’an ..................................... 23
F. Kebahagiaan Dalam Pandangan Failasuf Yunani
1. Plato ........................................................................................... 29
2. Ariestoteles ................................................................................. 33
G. Kebahagiaan Dalam Pandangan Failasuf Muslim
1. Ibnu Sina .................................................................................... 34
2. Al Farabi..................................................................................... 37
H. Kebahagiaan Dalam Pandangan Sufi
1. Al Ghazali .................................................................................. 45

xii
BAB III RIWAYAT HIDUP IBNU BAJJAH
A. Riwayat Hidup dan Latarbelakang Keluarga ................................... 49
B. Karya-Karya Ibnu Bajjah ................................................................. 52
C. Keadaan Sosio-Kultural ................................................................... 54
D. Keberadaan Manusia dalam kota yang tidak sempurna ................... 60

BAB IV KONSEP KEBAHAGIAAN MENURUT IBNU BAJJAH


A. Mutawahhid Jalan Menuju Kebahagiaan ......................................... 68
B. Tindakan -Tindakan Manusia Untuk Mencapai Kebahagiaan
perspektif Ibnu Bajjah ..................................................................... 71
C. Kebahagiaan Perspektif Ibnu Bajjah ................................................ 81

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 87
B. Saran ................................................................................................ 89

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 90

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebahagiaan merupakan tujuan akhir yang selalu ingin dicapai oleh

manusia, dan merupakan hal yang mendasar1 tujuan tersebut bukan tanpa alasan

karena setiap tindakan manusia selalu di arahkan untuk mencapai kebahagiaan,

namun sering kali manusia merasa terlena dan menganggap kebahagiaan hanya

sebatas fisik, padahal kebahagian yang paripuna adalah kebahagiaan yang

dirasakan oleh jiwa atau tegasnya kebahagiaan sepenuhnya bersifat spiritual2,

beberapa failasuf bahkan mempunyai pengertian tersendiri mengenai

kebahagiaan, seperti pendapat Al Farabi dalam kitabnya Tahsil Al Saadah, atau

failasuf muslim Ibnu Sina di dalam kitabnya, kemudian lebih jauh lagi pandangan

failasuf Yunani dan disinggung oleh Ariestoteles yang berpendapat bahwa

manusia dapat mencapai tujuan terakhir ‘kebahagiaan’, hendaknya harus hidup

sesuai dengan moralitas. Pada dasarnya tokoh-tokoh tersebut mendiskusikan

kebahagiaan karena kebahagiaan merupakan hal yang paling krusial, karena jika

seseorang telah bahagia, tidak ada keinginan lain yang muncul setelahnya. Namun

jika seseorang belum bahagia apapun yang telah diperolehnya tidak akan

membuatnya puas3.

Kemudian muncul Ibnu Bajjah sebagai pelopor failasuf Islam dari barat

Andalusia yang membicarakan mengenai kebahagiaan, hal ini sebagaimana

1
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Kanisius: Yogyakarta, 1999), h 108
2
Haidar Bahgir,Risalah Cinta dan Kebahagiaan,(Mizan:Jakarta,
2012), h. 10
3
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h.3

1
2

terdapat dalam kitabnya berjudul Tadbir Al Mutawahhid, yang mencoba

merumuskan esensi kebahagiaan, bahwa mutawahhid adalah jalan untuk

mencapai kebahagiaan4, bagi seorang failasuf yang berada dalam kota yang tidak

sempurna (fasiqah, jahilah) dalam arti ketidaksempurnaan negara disebabkan

tindakan perilaku-perilaku para warga negaranya yang tidak didasarkan pada

pemikiran dan penalaran, 5 dimana hal tersebut tidak memungkinkan bagi failasuf

untuk mengoptimalkan potensi akalnya, mutawwahid mengantarkan pada

kebahagiaan melalui tindakan-tindakannya sesuai dengan tindakan insani atas

dasar pilihan manusia melalui proses rasionalisme6

Sebagaimana mengutip Mulyadhi Kartanegara tentang “Apa yang harus

dilakukan manusia terhadap dirinya?” hal ini menjadi penting sebagai manusia,

baik itu hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan keluarga, dan masyarakat

umum. Ada tiga persoalan yang harus dilakukan oleh manusia terhadap dirinya

sendiri yakni: pertama, memelihara kesehatan tubuhnya, kedua, menuntut ilmu

untuk kesempurnaan jiwa, ketiga, menerapkan ilmu-ilmu yang telah didapatkan

demi kesempurnaan akhlak.7

Ibnu Bajjah memandang bahwa penalaran rasional merupakan jalan

manusia untuk mencapai kesempurnaan alamiah dan mewujudkan kebahagiaan

terluhur. Tujuan pemikiran filsafat menurut beliau adalah kesatuan akal manusia

dengan akal aktif dimana pada saat itu manusia menjadi bagian dari alam akal dan

mewujudkan kebahagiaan baginya. Ibnu Bajjah mengkritisi uzlahnya (proses

4
Ma’an Ziyadah, Kitab Tadbir Al-Mutawahhid Ibn Bajjah, Terj. Nanang Tahqiq,
(Jakarta: Turos Khazanah Pustaka Islam, 2018), h.
5
Ma’an Ziyadah, Kitab Tadbir Al-Mutawahhid Ibn Bajjah, Terj. Nanang Tahqiq,
(Jakarta: Turos Khazanah Pustaka Islam, 2018), h. 12-14.
6
Ma’an Ziyadah, Kitab Tadbir Al-Mutawahhid Ibn Bajjah, Terj. Nanang Tahqiq,
(Jakarta: Turos Khazanah Pustaka Islam, 2018), h.
7
Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2017), h. 207.
3

penyendirian) para sufi, salah satunya beliau mengkritisi Al-Ghazali yang

memandang bahwa alam rasional tidak akan terungkap bagi manusia, kecuali

dengan berkhalwat, setelah itu manusia akan melihat cahaya Ilahi, sehingga ia

akan merasakan suatu kenikmatan yang besar. Ibnu Bajjah mengatakan bahwa

Al-Ghazali meremehkan persoalan ketika beranggapan bahwa kebahagiaan

dapat diperoleh seseorang melalui jalan kepemilikan hakikat dengan nur yang

dilimpahkan Allah di hati. Ibnu Bajjah mengatakan bahwa yang benar adalah

penalaran rasional murni, yang tidak di nodai dengan kenikmatan inderawi, hal

inilah yang merupakan satu-satunya jalan untuk melihat Allah. Sedangkan

pengetahuan sufistik yang terdiri dari gambaran-gambaran indrawi sesungguhnya

menjadi penghalang untuk sampai kepada Tuhan, sebab ia menutupi hakikat.8

Tindakan-tindakan istimewa manusia adalah tindakan yang dikelola oleh

pilihan, sebab segala sesuatu yang manusia lakukan adalah dengan pilihannya,

ungkapan pilihan ini merupakan kehendak yang berasal dari pemikiran

rasionalitas. Tujuannya adalah untuk mencapai kebahagiaan, kesempurnaan, dan

keberkahan manusia. Hal itu Ibnu Bajjah melihat, jika manusia mencari

kesempurnaan lewat kekayaan, maka ia budak bagi sifatnya sendiri. Tingkatan

yang lebih tinggi adalah manusia yang mencari kesempurnaannya dengan

mengejar nilai-nilai moral.9

Jika kita melihat negara, perpolitikan, serta tindakan masyarakat di

dalamnya. Mereka menghalalkan segala cara meskipun itu tidak baik dilihat. Hal

ini terlihat pada sifat manusia yang rakus yang ingin memiliki segala-galanya dan

8
Masganti Sitorus, “Kepribadian Manusia Menurut Ibn Bajjah”, Analytica Islamica,
Vol . 1, No. 1, 2012. h. 106-107.
9
Ma’an Ziyadah, Kitab Tadbir Al-Mutawahhid Ibn Bajjah, Terj. Nanang Tahqiq, h. 21-
22.
4

yang dia butuhkan hanyalah harta. Dengan memiliki banyak harta maka hidupnya

akan lebih sempurna. Maka dia akan menghalalkan segala cara untuk

mendapatkan harta itu meskipun diraih dengan cara yang haram. Melihat

kenyataan ini dalam suatu masyarakat, menjadi memilih manusia penyendiri

membuat kita lebih dekat dengan kesempurnaan. Hal ini pasti sebabnya, yakni

dengan melalui kesendirian kita akan dekat dengan sang Khaliq. Menjadi manusia

penyendiri bukanlah menjadi manusia yang individualis. Akan tetapi manusia

yang sosialis yang tahu cara berhubungan dengan masyarakat dengan sekedar dan

seperlunya saja, namun soliternya dalam arti ini supaya tidak terjerumus kepada

hal yang menjauhkan kepada Tuhan.

Adapun tindakan manusia bukan lagi dengan pedoman ataupun petunjuk

hukum yang berlaku dalam masyarakat. Akan tetapi yang berlaku adalah perihal

umum dalam masyarakat. Tidak dipermasalahkan jika suatu hal itu adalah yang

mendatangkan kebaikan. Bagaimana jika perihal yang buruk menjadi perihal

umum dan masyarakat melakukannya. Masyarakat harus dapat memilah-milih

mana yang pantas dilakukan dan mana yang tidak pantas untuk dilakukan.

Tanpa kebaikan-kebaikan moral, manusia akan melakukan suatu tindakan

hanya saat dipaksa untuk melakukannya dan itu sangat sulit baginya. Padahal itu

dilakukan untuk mengindahkan watak jiwa manusia sekaligus menaati jiwa

rasional. Kecuali dalam kasus seseorang yang tidak berada pada keadaan

alamiahnya, seperti orang yang mempunyai karakter binatang buas, hal ini dia

akan menuruti hasratnya secara terus menerus yang berujung menentang pada

akal. Dapat dikatakan binatang buas lebih baik daripada manusia semacam ini
5

yang secara terus menerus menuruti hasratnya.10 Akal dipakai, sebagai

kemampuan manusia untuk berfikir. Akan tetapi Manusia tidak memakai akalnya

jika melakukan suatu tindakan.

Oleh karena itu, berdasarkan gambaran di atas, Penulis ingin membahas

bagaimana sebenarnya Ibnu bajjah berpendapat tentang manusia yang diyakini

menjadi sempurna dan bahagia secara psikologis dan melalui kegiatan semacam

apa. Serta apakah ada tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk mencapai

kebahagiaan. Maka penulis menelaahnya ke dalam skripsi yang berjudul,

“Kebahagiaan dalam Perspektif Ibnu Bajjah”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Agar skripsi ini terarah, tersistemasi, penulis ingin memberi batasan

masalah yang akan dianalisis. Untuk itu pembatasan penulisan skripsi ini adalah

tentang Konsep Kebahagiaan dalam Perspektif Ibnu Bajjah.

Dengan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, untuk mengetahui

jawaban dan masalah secara terarah maka dibuat beberapa pertanyaan :

1. Bagaimana Kebahagiaan Dalam Perspektif Ibnu Bajjah ?

2. Bagaimana Tindakan-Tindakan manusia Menurut Ibnu Bajjah Untuk

Mencapai Kebahagiaan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam hal ini, penulis mengambil judul skripsi “Konsep Kebahagiaan

dalam Perspektif Ibnu Bajjah”, yang bertujuan untuk menjelaskan secara luas

10
Ma’an Ziyadah, Kitab Tadbir Al-Mutawahhid Ibn Bajjah, Terj. Nanang Tahqiq, h. 71.
6

tentang konsep kebahagiaan Ibnu Bajjah, bahwa menjadi mutawahhid dapat

membuat kita lebih dekat dengan kesempurnaan.

Penelitian ini juga dilakukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh

gelar Sarjana Strata Satu (S1), namun juga diharapkan dapat memberikan

manfaat pada para pembaca dengan memperkaya pengetahuan tentang konsep

Kebahagiaan yang akan dipaparkan dalam skripsi ini.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan tinjauan pustaka, penulis telah menemukan hasil

karya yang membahas menyinggung tentang konsep kebahagiaan menurut Ibnu

Bajjah. Adapun karya tersebut adalah: Tadbir Al-Mutawahhid yang di tulis oleh

Ibnu Bajjah. Dalam kitab ini, Ibnu Bajjah mengungkapkan dalam realita

sekarang ini manusia yang terasing dalam lingkungannya dan tidak dapat hidup

bahagia sebab dunia modern sangat dipenuhi oleh materialisme, sehingga

pandangan pandangan dunia ideal mereka tidak bisa terealisasi dengan baik. Hal

itu mereka hanya mengejar kebahagiaan mereka sendiri di ruangan yang sunyi.

Selain karya di atas, penulis juga menemukan karya akademik dalam

bentuk skripsi. Skripsi tersebut berjudul “Konsep Uzlah dalam Perspektif

Ibn Bajjah” tahun 2018, yang ditulis oleh M. Quraish Shihab, mahasiswa

Program Studi Aqidah Filsafat Islam, Fakultas Ushuduluddin dan Filsafat,

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Dalam skripsinya, dia

menjelaskan bahwa uzlah aqliyah dan uzlah sufiyah yang disebut oleh Ibnu

Bajjah adalah uzlah yang menerapkan akal aktif. Adapun persoalannya adalah

kenapa perilaku seorang uzlah yang memiliki kesempurnaan secara lahir dan
7

batin justru menyendiri dari sebuah komunitas. Problem ini menjelaskan

bagaimana konsep uzlah Ibnu Bajjah dalam membentuk perilaku sufistik namun

tetap berkomunikasi dengan lingkungan sosial. Pemikiran uzlah Ibnu Bajjah

dalam membentuk perilaku sufistik dan bisa diterapkan disemua kalangan

terutama pada kalangan filsuf.

Kemudian, karya akademik dalam bentuk skripsi berjudul “Pemahaman

Ibnu Bajjah Tentang Ma’rifat (Kajian Epistemologi dalam Kitab Tadbir

Al-Mutawahhid) tahun 2019, yang di tulis oleh Sri Rizki Mustari, Mahasiswa

Program Studi Filsafat Agama, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri

Sunan Gunung Djati. Dalam skripsinya, dia merumuskan bahwa proses yang

dilakukan dalam kitab Al-Mutawahhid memang berbeda dengan teori-teri ahli

sufi. Dengan uzlah para sufi, Ibnu Bajjah menggunakan “uzlah falsafi” yang

tidak jauh dari uzlah biasanya. Namun memang dalam hal ini uzlah falsafi lebih

kepada pendekatan dengan hati dan akal. Semua dilakukan dengan memilah apa

yang baik untuk dilakukan dan didapatkan. Mulai dari tindakan spritualnya yang

tak jauh dengan masyarakat serta tindakan yang dikaitkan dengan teori negara

tak sempurnanya yang menggambarkan keadaan diri di dalam lingkungan

masyarakat. Oleh karena itu, setiap kesempurnaan diri berada pada tingkatan

kemuliaan serta tidak ada lagi tindakan yang buruk.

Selain karya di atas, penulis juga menemukan karya akademik dalam

bentuk jurnal. Jurnal tersebut berjudul “Kepribadian Manusia Menurut Ibnu

Bajjah, yang ditulis oleh Masganti Sitorus dan Muhammad Idris, yang

diterbitkan oleh Analytica Islamica, Vol. 1, No. 1, 2012 IAIN Sumatera Utara.

Dalam skripsinya, dia memaparkan bahwa masyarakat umum dapat


8

melumpuhkan daya kemampuan berfikir perseorangan dan menghalanginya

untuk mencapai kesempurnaan, namun dengan kekuatan dirinya. Manusia dapat

sampai kepada martabat yang tinggi dengan bantuan akal dan pentunjuk dari

Nabi. Untuk pribadi yang mulai, manusia dapat melakukan tiga hal secara

berkesinambungan: pertama, membuat lidahnya selalu mengingat Tuhan dan

memuliakannya. Kedua, membuat organ-organ tubuhnya bertindak sesuai

dengan wawasan hati. Ketiga, Menghindari segala yang membuat hati lalai

mengingat Tuhan atau berpaling dari-Nya.

Kemudian karya akademik dalam bentuk jurnal berjudul “Telaah

Pemikiran Ibnu Bajjah, yang ditulis oleh Ahmad Zain, yang diterbitkan oleh

Fikrah, Vol. 3, No. 1, 2015. Dalam jurnal, dia memaparkan pemikiran-

pemikiran Ibn Bajjah terkait dengan metafisik (ketuhanan), materi dan bentuk,

jiwa, akal, makrifat (pengetahuan), akhlak, politik dan manusia penyendiri

(uzlah).

Kajian dalam karya-karya di atas dapat menjadi perbandingan bagi

penulis. Adapun yang membedakan tulisan skripsi ini dengan tulisan-tulisan di

atas adalah bahwa penulis memfokuskan tulisan pembahasan terhadap Konsep

kebahagiaan dalam perspektif Ibnu Bajjah.

E. Metode Penelitian

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada (library

research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-penemuan


9

dan analisis dokumen-dokumen yang membuat informasi berkaitan dengan

masalah penelitian.11

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Primer,

Sekunder, dan lainnya. Data primer merujuk kepada buku Ibnu Bajjah, yang

berjudul Tadbir Al-Mutawahhid. Adapun Data sekunder, berupa tulisan-tulisan,

baik dalam bentuk buku ataupun artikel yang mengandung pembahasan konsep

kebahagiaan yang di tulis oleh para Sarjana, peneliti, dan cendikiawan. Data yang

lain adalah jurnal, internet dan lain-lain. Metode yang digunakan oleh penulis

yaitu metode pendekatan kualitatif.

Teknik penulisan skripsi ini disesuaikan dengan pedoman penulisan

skripsi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam buku

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah ( Skripsi, Tesis, Disertasi ) Tahun 2017.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penelitian dan memperoleh gambaran secara jelas,

maka dalam skripsi ini, dikelompokkan menjadi beberapa bab dengan sistematika

penulisan sebagai berikut:

Pada bab pertama memuat tentang Pendahuluan yang terdiri dari: latar

belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. Pada bab ini

dimaksudkan sebagai acuan dalam penyusunan skripsi, sehingga dalam

penyusunannya dapat dijelaskan secara sistematis sesuai dengan yang telah

ditentukan.

11
Consuelo G Sevilla dkk., Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: UI Press, 1930),
h. 37
10

Pada bab kedua memuat tentang konsep kebahagian secara umum. Pada

bab ini diuraikan tentang definisi kebahagiaan, hakikat kebahagiaan, macam-

macam kebahagiaan, cara memperoleh kebahagiaan, kebahagiaan dalam

pandangan Al-Qur’an,kebahagiaan dalam pandangan berbagai tokoh failasuf

yunani, failasuf muslim, dan sufi.

Pada bab ketiga memuat tentang Biografi yang berisi riwayat hhidup dan

latar belakang keluarga, karya-karya Ibnu Bajjah, dan kondisi sosial pada masa

Ibnu Bajjah. Sehingga dapat mengantarkan pada ketokohannya.

Pada bab keempat memuat tentang kebahagiaan menurut Ibnu Bajjah.

Pada bab ini menjelaskan mutawahhid menjadi kunci kebahagiaan, tindakan-

tindakan manusia mutawahhid untuk mencapai kebahagiaan, keberadaan manusia

dalam kota yang tidak sempurna, pengaruh jiwa terhadap tindakan mutawahhid

serta hakikat kebahagiaan dalam pandangan ibnu bajjah.

Pada bab kelima dalam penelitian skripsi ini merupakan penutupan dari

hasil penelitian yang berisi kesimpulan dan saran.


BAB II
KONSEP KEBAHAGIAAN SECARA UMUM
A. Definisi Kebahagiaan

Sejak zaman dahulu hingga saat ini atau bahkan sampai nanti setiap

orang mendambakan ingin hidup bahagia, namun mereka tidak mengetahui

esensi kebahagiaan itu seperti apa, apakah kebahagiaan hanya sebatas

perasaan atau berbentuk materi, kebahagiaan memang relatif dan tergantung

perspektif masing-masing, para ahli dan tokoh failasuf berbeda dalam

mendefinisikan arti kebahagiaan1

Kebahagiaan adalah hak asasi manusia, manusia hanya perlu

menemukan dan mengembangkan ranah kebahagiaan yang sering manusia

abaikan dan di biarkan rusak begitu saja, yakni spiritualitas, dengan

meningkatkan kecerdasan spiritualitas (spiritual intelligence) setiap

manusia dapat meraih kehidupannya yang lebih bahagia.2 Pada dasarnya

setiap manusia bisa bahagia, apapun definisi dari kebahagiaan itu, karena

pada dasarnya faktor terpenting dari kebahagiaan ialah diri bathiniah

celakanya manusia hanya mengandalkan sumber-sumber yang berasal dari

luar diri manusia lantaran manusia hanya tergantung dari orang lain.3

Ada beberapa pandangan yang mengatakan bahwa kebahagiaan

identik dengan yang namanya kesenangan dan kepuasan, karena kepuasan

bukan dari hati yang tulus, melainkan berasal dari nafsu. Dengan kata lain

1
S Ansory Al Mansor, Jalan Kebahagiaan Yang di Ridhoi, (PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta), h.117
2
Khavari, khalil A, the art of happiness menciptakan kebahagiaan dalam setiap keadaan,
(Serambi, Jakarta) , h. 15
3
Khavari, khalil A, the art of happiness menciptakan kebahagiaan dalam setiap keadaan,
(Serambi, Jakarta) , h. 23

11
12

sebelum mereka menikmati kepuasan, mereka di dahului oleh perbuatan

yang di sukai nafsu saja sebagai pelampiasan rasa cemas, namun

kebahagiaan yang sesungguhnya di lakukan tanpa ada unsur negatif, baik

dari diri sendiri maupun orang lain, hingga manusia merasa damai hatinya

tenang jiwanya.4

Ada juga yang mengatakan kebahagiaan adalah perasaan mistis serta

mahal, sehingga orang tidak mudah mengatakan bahwa dirinya bahagia,

padahal orang lain mengatakan bahwa dia bahagia. Bahagia memang relatif

banyak orang mengatakan bahwa bahagia tidaklah sama, dari penyebab dan

apa saja yang mendorong faktor kebahagiaan tersebut. Seperti orang sakit

dia akan mengatakan bahwa ia bahagia jika sembuh, tapi bagaimana setelah

ia sembuh ? apakah dia merasa bahagia? Bahagia ibarat bianglala,

merupakan mata rantai ketidakpuasan yang berkepanjangan yang selalu

hinggap pada diri manusia.5

Permasalahan kebahagiaan telah menjadi tema utama para

agamawan, sastrawan, bahkan para failasuf selama berabad-abad.

Kebahagiaan dalam berbagai bahasa seperti dalam bahasa Inggris yaitu

Happines, dalam bahasa Jerman Gluck, dalam bahasa Yunani Eudaimonia

atau Eutychia sedangkan dalam bahasa Arab yaitu Sa’adah berarti

“keberuntungan atau kebahagiaan” semuanya menunjukkan arti baik,

keberuntungan6

4
S Ansory Al Mansor, Jalan Kebahagiaan Yang di Ridhoi, (PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta), h.118
5
S Ansory Al Mansor, Jalan Kebahagiaan Yang di Ridhoi, (PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta), h.120
6
Muskinul Fuad, “Psikologi Kebahagiaan Manusia”, Jurnal Komunika, Vol 9, No.1,
Januari-Juni 2015, h 115
13

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata bahagia di artikan

sebagai keadaan atau perasaan senang, tentram (terbebas dari segala macam

yang menyusahkan) sehingga kata bahagia yang mendapat awalan ke dan

ahiran an di artikan sebagai kesenangan dan ketentraman hidup lahir dan

batin keberuntungan yang bersifat lahir dan batin.7

Selain itu dalam kamus Tesaurus bahagia di artikan sebagai perasaan

aman, baik beruntung, cerah, ceria, enak, gembira, makmur, sejahtera,

selamat sentosa sukacita, tentram8

Dalam istilah Yunani kebahagiaan di kenal dengan nama

Eudaimonia yang berarti bahagia9 secara harfiah kalimat eudaimonia

tersebut yaitu “memiliki roh penjaga yang baik”, dan bagi bangsa Yunani

eudaimonia adalah memiliki jiwa yang baik, terdapat sebuah pandangan

eudaimonisme yang beranggapan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan

utama hidup dan merupakan yang paling mendasar10,

Kebahagiaan hidup seseorang dapat dinilai secara objektif atau

objective happines dan subjektif atau subjective happines. Secara objektif

kebahagiaan seseorang dapat di ukur menggunakan standar yang merujuk

terhadap aturan agama atau pembuktian. Seperti halnya Jalaludin Rakhmat

mencontohkan ada seseorang yang menghabiskan waktunya untuk

bersenang-senang atau berfoya-foya, termasuk melakukan segala tindakan

7
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), h 65
8
Arif Mansur Makmur, Tesaurus plus Indonesia – inggris. (Jakarta ; anggota IKAPI 2009),
Hal 32
9
Franz Magnis Suseno, Menjad iManusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h 4
10
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Kanisius: Yogyakarta, 1999), h 108
14

berdosa, namun ia tidak pernah mengalami sakit, dan mengaku sangat

bahagia. Apakah benar dia merasa bahagia? Menurut aturan agama, dia

dinggap tidak bahagia, karena pada hari akhir seandainya dia tidak bertaubat

akan di masukan kedalam neraka. Dalam bahasa tasawuf keadaan seperti ini

disebut dengan istidraj, yaitu seseorang sedang di uji oleh Allah dengan

kenikmatan atau kesenangan untuk melihat apakah dia sadar atau tidak

dengan nikmat yang di dapatkannya tersebut. Selain itu menurut

pembuktian rasional sebenarnya dia juga tidak bahagia, karena seiring

berjalannya waktu dia akan merasakan kehilangan harta, kesehatan dan

kesenangannya11, sedangkan secara subjektif (subjective happines) kita

dapat mengukur kebahagiaan seseorang dengan bertanya kepadanya

“Apakah seseorang tersebut merasa bahagia atau tidak?”

Kebahagiaan tidak sama dengan kumpulan kenikmatan. Seperti

halnya mungkin saja hidup seseorang di penuhi kenikmatan tetapi dia tidak

merasa bahagia. Kebahagiaan juga bukan berarti ketiadaan kesulitan atau

penderitaan, boleh jadi penderitaan terus datang tetapi semuanya tidak

merusak keberadaan kebahagiaan, dan hal tersebut disebut dengan

underlying happines (kebahagiaan yang senantiasa mendasari) hidup.12

Dirasakan melalui underlying happines, apa yang terjadi didalam

permukaan hidup akan masuk kedalam hati sebagai sesuatu yang memberi

makna positif bagi diri kita, membuat tentram dan bahagia. Bisa saja kali

ini kita sedang mengalami kesulitan, tapi karena keyakinan bahwa hidup

11
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam AL-Qur’an, (Lontar Mediatama:
Yogyakarta,2016), h.12
12
Haidar Bahgir, Risalah Cinta dan Kebahagiaan, (Mizan: Jakarta, 2012), h. 8
15

kita bersifat baik dan positif hal itu tidak akan mengganggu, karena

kebahagiaan memberi bayangan kedamaian, dan rasa tentram. Oleh karena

itu sebagian orang mengidentikan kebahagiaan sebagai kebaikan yang

lestari atau al baqiyat al shalihat13

Dalam pengertian diatas kebahagiaan tidak bersifat fisik. Bahkan

tidak psikologis. Jika jiwa dipahami secara dangkal sebagai kumpulan

gejala yang semata-mata conscious-serebral. Namun kebahagiaan

sepenuhnya bersifat spiritual. Spiritualitas yaitu suatu daya dalam diri

manusia bukan hanya lebih tinggi dari intelektual serebral namun juga

melampaui emosi dan perasaan. Sehingga tidak ada kesedihan yang terlalu

besar yang dapat mengoyak kebahagiaan, dan tidak ada kejadian apapun

didalam kehidupan yang memberikan pengaruh mendalam dan mengusik

kebahagiaan kita14

Kebahagiaan bersifat intrinsik dan terdapat dalam hati kita bukan

bersifat ekstrinsik. Bagi seseorang yang meraih kebahagiaan yang lestari

apapun yang terjadi dalam hidup kita, tapi rasa kebahagiaan akan tetap

lestari. Bagi orang yang seperti itu, kenikmatan dan kesulitan bersifat relatif

dan tidak memiliki makna independen.

B. Hakikat Kebahagiaan

Pembahasan mengenai apa hakikat kebahagiaan, lebih dahulu datang

dari pertanyaan Aristoteles tentang“Apa tujuan manusia?” pertanyaan ini

secara analitis didasari melalui langkah logis, dengan melihat fakta bahwa

13
Haidar Bahgir, Risalah Cinta dan Kebahagiaan, (Mizan: Jakarta, 2012), h. 9
14
Haidar Bahgir,Risalah Cinta dan Kebahagiaan,(Mizan:Jakarta,
2012), h. 10
16

apapun yang dilakukan manusia selalu dilakukan demi sebuah tujuan. Dan

telah mencapai kesimpulan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan15

karena jika seseorang telah bahagia, tidak ada keinginan lain yang muncul

setelahnya. Namun jika seseorang belum bahagia apapun yang telah

diperolehnya tidak akan membuatnya puas.

Jawaban Ariestoteles amat penting bagi pertanyaan “Bagaimana

manusia harus hidup?” agar manusia mencapai tujuan terakhir yakni

kebahagiaan, hendaknya kita harus hidup bermoral, karena itulah jalan

menuju kebahagiaan. Tujuan moralitas yaitu mengantarkan manusia kepada

tujuan terakhirnya (kebahagiaan)16. Dalam hal tersebut ada beberapa hal

yang perlu di perhatikan sebagai berikut:

1. Kebahagiaan sebagai tujuan akhir tidak perlu dipertentangkan dengan

tujuan akhir yang disebutkan dalam agama.

2. Karena kebahagiaan adalah tujuan akhir manusia, maka jelas bahwa

beberapa hal yang umumnya dianggap sebagai tujuan hidup menjadi

tidak memadai. Seperti uang dan menjadi terhormat, dua-duanya hanya

sebagai sarana semata dan bukan tujuan sebenarnya. Karena kekayaan

dan menjadi terhormat tidak akan menjamin mengantarkan pada

kebahagiaan.

15
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h.3
16
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h.5
17

3. Kebahagiaan merupakan sesuatu yang lebih bersifat “diberikan” .

kebahagiaan akan diperoleh apabila kita menjalani hidup yang sesuai

dengan etika moralitas agar tujuan akhir kebahagiaan dapat kita capai17.

Pertanyaan selanjutnya Aristotelas merumuskan “Hidup seperti apa

yang dapat menghasilkan kebahagiaan” Jawabannya adalah Moralitas.

Karena moralitas merupakan keseluruhan peraturan tentang bagaimana

manusia mengatur kehidupannya menjadi baik18. Aturan moralitas

diketahui melalui pendidikan dilingkungan keluarga dan masyarakat umum,

moralitas masing-masing masyarakat ditemukan dalam tradisi

kebudayaannya yang berakar dari keyakinan beragama.

Aristoteles menguraikan pertimbangan masuk akal untuk kehidupan

bermoral yaitu hidup terarah pada kebahagiaan. Dan filsafat membahasnya

lebih rinci bahwa hanya seseorang yang bisa menguasai hawa nafsunya

yang akan bahagia.

Pada permulaan buku Nichomachean Ethics Aristoteles menyebut tiga

pola hidup yang membawa kepuasan : hidup mengejar nikmat, berpolitik,

dan berfilsafat.

Dalam hal ini, kualitas perbuatan menentukan kualitas nikmat, dan

perbuatan yang luhur memberikan nikmat yang luhur pula, sedangkan

perbuatan yang keji, memberikan nikmat yang keji pula. Kita tidak

semestinya memusatkan pada nikmat indrawi semata, karena nikmat

17
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h.7
18
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h.9
18

indrawi dapat mengecewakan. Sedangkan nikmat yang bermutu dan lebih

memuaskan justru akan tertutup. Maka dapat disimpulkan penting dari

pendapat Aristoteles apabila seseorang mencari kehidupan yang

bermutu,berbobot dan memuaskan, serta menggembirakan jangan terfokus

pada nikmat, terutama nikmat indrawi saja, yang akan di dapat, justru

menggagalkan apa yang kita cari sebenarnya. Sebaliknya kita harus lebih

fokus pada perbuatan yang bermakna dijawabnya dengan berpolitik dan

berfilsafat.

Aristoteles berpendapat bahwa kegiatan berpolitik dan berfilsafat

merupakan kegiatan yang dapat membahagiakan manusia 19, karena filsafat

merupakan kegiatan orang ber-Theoria, bagi orang Yunani theoria yaitu

memandang, merenungkan realitas abadi, realitas yang tidak berubah,

realitas ilahi. Dengan theoria manusia mengerahkan diri pada realitas abadi,

dengan theoria manusia memperoleh sophia, kebijaksanaan, sehingga

manusia yang ber-theoria mencintai kebijksanaan / philei. Dia menjadi

seseorang philo-sophos yakni pecinta kebijaksanaan, dengan kata lain

filsafat yakni memandang penuh hal yang sifatnya abadi ilahi. Dan menjadi

ciri khas manusia, Manusia menurut Aristoteles adalah zoon logon echon

atau makhluk yang memiliki roh20 . Karena manusia berbeda dari binatang,

perbedaan tersebut terletak pada logos/ akal budi, dan merupakan unsur

ilahi yang ada dalam diri manusia21

19
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h.26
20
Franz Maginis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Aba Ke-19,(PT.
Kanisius: Yogyakarta, 1998), h. 33
21
Franz Magnis Suseno, Menjad iManusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h.27
19

Dalam bagian terakhir bukunya Nichomachean Ethics dijelaskan

mengapa seseorang menjadi bahagia dengan berfilsafat. Filsafat merupakan

tempat dimana manusia mengangkat rohnya diatas alam, melampaui

keniscayaan fisik. Orang yang berfilsafat, merenungkan hal abadi yang

tidak berubah memberikan bahagia karena ia membuat nyata unsur ilahi

yang ada didalamnya. Bagi Aristotles bahkan terlebih gurunya, Plato,

filsafat memberikan fungsi yang saat ini kita berikan kepada agama22.

C. Macam-macam Kebahagiaan

Kebahagiaan dapat di raih apabila manusia telah memiliki fasilitas yang

diberikan oleh Tuhan. Kebahagiaan terbungkus oleh kenikmatan yang

dibagi menjadi dua yaitu kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat23.

Terdapat lima macam kenikmatan yang dapat mengarah menuju

kebahagiaan seperti berikut ini :

1. Ukhrawiyyah, Nikmat Kebahagiaan Akhirat

Adalah kebahagiaan yang bersifat kekal atau abadi. Mengenai

penjelasan seperti apa nikmat akhirat sangat sukar karena menyangkut

hal yang bersifat metafisik, penjelasan mengenai hal ini tidak mudah

karena ketidakmampuan manusia menangkapnya secara nalar empiris

dalam bentuk impresi yang dapat diterima oleh manusia. Sedangkan

penjelasan yang terdapat dalam kitab suci hanya berupa perumpamaan

yang tidak bisa di artikan tekstual. Kenikmatan yang berada di akhirat

adalah puncak dari segala kenikmatan yang menjadi muara akhir,

22
Franz Magnis Suseno, Menjad iManusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h.27
23
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 35
20

nikmat yang tiada tandingnya termasuk didalamnya nikmat bertemu

Tuhan24.

2. Nafsiyah, Nikmat Kebahagiaan Jiwa

Untuk bisa merasakan kenikmatan jiwa berikut ini terdapat empat jalan

untuk ditempuh25 :

Pertama, Akal yang disempurnakan dengan ilmu

Akal adalah bagian dari jiwa, sehingga semakin banyak akal diisi oleh

ilmu maka semakin banyak akal paham dan tidak mudah tertipu dengan

segala sesuatu yang bersifat sementara, sebaliknya jika akal tidak di isi

oleh lebih banyak ilmu, semakin jiwa merasa gelisah oleh materi yang

bersifat sementara (temporal)

Kedua, Pemeliharaan diri dan disempurnakan oleh sifat wara’

Hal yang dapat menjaga kebersihan jiwa adalah menjauhi segala sesuatu

yang bersifat haram, syubhat, maksiat, seandainya diri selalu terpelihara

dari ketiga hal tersebut maka lebih mudah dalam menyerap ilmu dan

cahaya.

Ketiga, Berani dan sungguh-sungguh

Keberanian meninggalkan segala sesuatu yang bersifat materi yang

dapat menjauhkan jiwa menuju cahaya Tuhan.

Keempat, Keadilan dan Rasa Kesadaran

24
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 36
25
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 37
21

Menjalani kehidupan yang seimbang, baik dari segi fisik maupun

rohani26. Adil dalam bentuk fisik berarti memberikan sesuatu sesuai

kadarnya, fisik membutuhkan makan sehingga hal tersebut harus

terpenuhi. Sedangkan adil dari segi rohani berarti memenuhi sesuatu

sesuai dengan kebutuhan rohaninya.

3. Badaniyah, Nikmat Keutamaan Badan

Kenikmatan ini terdiri empat macam : kesehatan, kekuatan badan,

keelokan, dan panjang umur. Ketika manusia sudah merasakan semua

hal tersebut manusia dapat merasakan kenikmatan secara fisik, dan

hilangnya salahsatu dari keempat hal tersebut jika disyukuri dapat

merasakan kebahagiaan jiwa27

4. Khariyah, Nikmat Eksternal

Yaitu nikmat yang dirasakan oleh beberapa faktor yang berada diluar

diri manusia, terdiri dari harta, keluarga, kemuliaan, kehormatan, dst.

pada dasarnya manusia membutuhkan kenikmatan yang berada diluar

diri manusia karena melalui kenikmatan tersebut manusia dapat

merasakan kenikmatan yang berada didalam diri manusia. Diawali

kenikmatan badaniyah yang dilengkapi kenikmatan eksternal manusia

dapat merasakan kebahagiaan rohani atau kebahagiaan ukhrawi.

26
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 38
27
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 38
22

Kenikmatan eksternal bisa sempurna apabila dilengkapi dengan

kenikmatan taufiqiyah28

5. Taufiqiyah, Nikmat Taufik

Kenikmatan ini merupakan kenikmatan yang menunjukkan seseorang

merasa disayang oleh Allah. Seperti halnya ketika seseorang memiliki

kehidupan sebagus apapun tapi merasa Allah tidak memperhatikannya

sehingga orang tersebut tidak merasakan kenikmatan dari apa yang

dimilikinya hanya kehampaan yang dirasakannya. Dasar dari

kenikmatan utama adalah kenikmatan taufik. Kenikmatan ini bisa

berupa hidayah, rusyd, syadid, ta’yid29

D. Cara Memperoleh Kebahagiaan

Cara untuk mengaktualkan kebahagiaan, dalam kaitan ini terdapat

perbedaan pendapat bagaimana cara memperoleh kebahagiaan. Tiga upaya

yang harus dilakukan manusia untuk meraihnya seperti.

1. Bekerja keras untuk senantiasa meraih apa yang didambakan dalam hidup,

walaupun agaknya terdapat kelemahan seperti kita tidak akan pernah bisa

memenuhi semua kebutuhan, dan setiap kebutuhan terpenuhi selalu muncul

kebutuhan baru karena pada dasarnya manusia tidak akan pernah puas

2. Mengurangi atau menekan kebutuhan, dengan berkurangnya kebutuhan

maka kemungkinan tidak terpenuhi kebutuhan menjadi semakin kecil,

manusia di ciptakan oleh Tuhan memiliki dorongan untuk selalu meraih

pencapaian baru dengan baik. Antara cara yang satu dengan cara yang kedua

28
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 39
29
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 40
23

bersandar pada konsep kebahagiaan yang ekstrinsik30,dengan catatan bahwa

kebahagiaan dapat tercapai apabila semua dambaan hidup manusia tercapai

3. Memiliki sikap batin yang mendalam sehingga bagaimanapun yang terjadi

senantiasa di syukuri, membangun suasana batin dengan rasa sabar dan

syukur hal tersebut dapat menghilangkan kegelisahan. Perlu digaris bawahi

kita bersabar dan bersyukur atas apa yang telah kita raih, merasa rela dengan

apa saja yang terjadi dalam hidup kita, sehingga kita dapat memperoleh

kebahagiaan karena selalu berpikir positif dalam setiap keadaan, selain itu

senantiasa mencari hikmah dibalik setiap kejadian baik kebaikan maupun

keburukan yang menimpa diri kita31

E. Kebahagiaan Dalam Pandangan Al-Qur’an

Kebahagiaan ditinjau dari kata benda diartikan sebagai keadaan perasaan yang

senang dan tentram. Dalam bentuk kata sifat diartikan sebagai beruntung32.

Sedangkan dalam bentuk kata kerja bahagia di awali kata mem- dan di akhiri kata

-an menjadi membahagiakan berarti membuat bahagia atau menjadikan bahagia,

dapat pula diartikan mendatangkan rasa bahagia. Ada beberapa poin penting

mengenai prinsip kebahagiaan berikut ini :

1. Kebahagiaan merupakan tujuan dan dambaan hidup manusia, dan sebagai

sesuatu yang terus di cari oleh manusia

2. Bahagia merupakan subjek primordial dan merupakan fitrah manusia

3. Bahagia bersifat spiritual daripada materi

30
Haidar Bahgir, Risalah Cinta dan Kebahagiaan, (Mizan: Jakarta ,
2012 ), h.14
31
Haidar Bahgir,Risalah Cinta dan Kebahagiaan, (Mizan:Jakarta,
2012), h.15
32
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (CV.Hikam Media Utama:
Yogyakarta), 2016, h.9
24

4. Bahagia merupakan keinginan manusia yang terakhir

5. Kebahagiaan bersifat hakiki atau ultimate dan bersifat ukhrawi33, sedangkan

kesenangan materi bersifat praktis, periferal dan sementara

6. Kebahagiaan dalam dilihat dalam bentuk episode sebagai sebuah kejadian

yang memuaskan seseorang.

7. Kebahagiaan tidak mesti dengan mengikuti semua keinginan manusia,

seseorang bisa saja merasa bahagia dengan mengorbankan keinginan

tertentu demi memilih keinginan yang lain.

8. Kebahagiaan merupakan kehidupan yang baik dan haruslah diraih

9. Kebahagiaan dipahami secara objektif artinya seseorang bisa bahagia

ataupun tidak diukur menggunakan nilai standar, sedangkan kebahagiaan

secara subjektif kebahagiaan dapat dinilai dengan menanyakan secara

langsung bagaimana perasaan yang dialami oleh seseorang

10. Kebahagiaan sebagai sebuah proses yakni sebagai upaya yang harus diraih

melalui proses dan menimbulkan perasaan bahagia

Istilah kebahagiaan dalam Al-Qur’an yang terdapat dalam kamus Al Munawwir

terdapat beberapa isilah dalam bahasa Arab mengenai kebahagiaan, seperti kata

‫ فرح‬- ‫ فرحا‬kebahagiaan, senang, riang gembira, suka cita ‫ مبسوط‬yaitu bahagia dan

senang, ‫يسعد‬- ‫ سعد‬beruntung dan bahagia, ‫ سعيد‬yang bahagia, diberkati ‫طوبي ل‬

berbahagialah, ‫ فالح‬yakni sukses, makmur, kemenangan, kejayaan, ‫ افلح‬sukses,

berhasil dan beruntung34

33
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (CV.Hikam Media Utama:
Yogyakarta, 2016), h.19
34
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (CV. Hikam Media Utama
Yogyakarta, 2016), h. 30
25

Menurut pendapat Quraisy Shihab sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an QS. Al

Alaq :5, Al Ashr:2 kebahagiaan dapat pula berasal dari kata Al Insan, dimana kata

al insan berasal dari akar kata dengan artinya jinak, harmonis, gerak atau dinamis,

lupa, dan merasa bahagia atau senang. Dimana semua arti tersebut menggambarkan

sifat dan ciri khas manusia yang bergerak dinamis, dan memiliki sifat pelupa, dan

dapat merasakan bahagia35

Makna Kebahagiaan yang terdapat di dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

a. Kehidupan yang baik hayyatun thayibah

Makna tersebut dapat dilihat dari QS. An Nahl :97, QS. Al Isra : 70, QS. Ar

Ra’du :29

Sebagaimana terdapat dalam tafsir Al Misbah36 ungkapan “Kehidupan yang baik”

mengisyaratkan seseorang dapat memperoleh kehidupan yang berbeda , yang perlu

digaris bawahi bahwa kehidupan yang baik tersebut bukan kehidupan mewah yang

luput dari ujian, namun kehidupan dengan rasa lega, ridha, bersabar dalam

menerima cobaan, sehingga orang yang memiliki kehidupan yang baik tidak

merasakan ketakutan yang berarti, atau pun kesedihan yang mendalam karena

senantiasa menyadari bahwa pilihan Allah merupakan yang terbaik. Kehidupan

yang baik pula dapat dipahami sebagai syurga, alam barzah atau kehidupan yang

diwarnai qana’ah berarti rasa puas atau suatu (rizky) yang halal

b. Kebaikan hasanah

35
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (Lontar Mediatama:
Yogyakarta, 2016), h. 33
36
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (Lontar Mediatama:
Yogyakarta, 2016), h. 34
26

Kebahagiaan dapat dipahami sebagai kebaikan sebagaimana terdapat dalam QS. At

Taubah:50, ar Ra’du: 6,22, an Nahl: 30,41,122, an Naml : 46,89, al Qashash: 54,84,

al Ahzab, 21, az Zumar :10, Fushshilat: 34, as Syura:23, al Mumtahanah : 4,6

Quraisy Syihab berpendapat kata hasanah pada QS. An Nahl 41-42 mensifati

tempat dan situasi, para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan hal tersebut,

ada yang berpendapat bahwa kata tersebut berarti kota Madinah, ada pula yang

menafsirkan sebagai rezeki, kemenangan, nama harum, dll.

Selain itu, Al Maraghi berpendapat makna hasanah dalam QS. Ar Ra’du:6

menjelaskan balasan bagi orang yang beriman yang berupa kemenangan dan

keberuntungan dunia dan akhirat37. Sedangkan lawannya yaitu kata sayyiah berarti

adzab bagi orang-orang kafir.

c. Bahagia, beruntung sa’adah, falah

Makna sa’adah terdapat dalam QS. Huud: 105, 108. Istiah saadah yang terdapat

dalam ayat tersebut dipahami dalam konteks dualitas lawan dari kata celaka.

Dualitas tersebut berupa sakit dan lezat, bahagia dan derita, tertawa dan menangis.

Tangisan merupakan sesuatu yang menyedihkan dan menyakitkan, sedangkan

tertawa merupakan bukti kebahagiaan

Sedangkan bahagia dalam kata falah seperti

• Dalam kalimat Qad Aflaha terdapat dalam QS. As Syams: 9, al A’la:14,

Thaha: 64, Al Mukminun : 1.

• Dalam kalimat Humul Muflihun terdapat dalam QS. Al Baqarah : 5, Ali

Imran:104, al Araf : 8,157, at Taubah: 88, al Hajj : 77, an Nuur :51, al

37
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (Lontar Mediatama:
Yogyakarta, 2016), h. 40
27

Qashshas :67, ar Ruum:38, Lukman : 5, al Mujadalah : 22, al Hasyr:9, at

Taghabun:16

• Dalam kalimat La’allakum Tuflihun terdapat dalam QS. Al Baqarah :189,

Ali Imran:130, 200, Al Maidah : 35, 90, 100, Al A’raf : 69, al An faal : 45,

an Nur :31, al Jumu’ah :10

• Dalam kalimat La Yuflihu, Lan Yuflihun, Laa Yuflihuun sebagaimana

terdapat dalam QS. Al An’am : 21, 135, Yunus: 17, 69, 77, an Nahl :116, al

Kahfi :20, Thaha : 69, al Mukminun : 117, al Qashash:82

Quraisy Shihab berpendapat bahwa kata aflaha berasal dari kata falah berarti

memperoleh yang dikehendaki, dan juga sering diterjemahkan sebagai beruntung,

berbahagia, serta memperoleh kemenangan38

d. Ketenangan sakinah, ketentraman tumaninnah

Bahagia dalam arti ketentraman dan ketenangan dengan kalimat sakinah terdapat

dalam QS. Al Baqarah :248,at Taubah: 26, 40, al Fath :4,5,18, 26. Sedangkan

kebahagiaan dalam kalimat tumaninnah terdapat dalam QS. Ali Imran : 126, al

Maidah : 113, al Anfal : 10, Ar Ra’du:28, an Nahl:112, al Fajr:27, dalam ayat

tersebut di gambarkan kondisi jiwa yang merasa tenang atau tentram

Ibnu Qayyim berpendapat istilah sakinnah dan tumaninnah memiliki perbedaan39

• Sakinnah merupakan keadaan yang secara tiba-tiba terkadang disertai

hilangnya rasa takut, sedangkan tumaninnah merupakan pengaruh yang

timbul karena adanya sakinnah

38
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (Lontar Mediatama:
Yogyakarta, 2016), h. 43
39
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (Lontar Mediatama:
Yogyakarta, 2016), h. 47
28

• Keberuntungan yang diperoleh sakinnah misalnya seseorang yang

berhadapan dengan musuh ketika musuhnya lari membuat hatinya menjdi

tenang, dan tumaninnah diibaratkan seseorang yang masuk dalam benteng

yang membuatnya merasa aman dari musuh

• Tumaninnah bersifat umum karena di tunjang ilmu, keyakinan,

keberuntungan. Seperti contoh hati menjadi tumaninnah karena membaca

Al-Qur’an hal tersebut karena terdapat rasa iman dalam diri seseorang, dan

sakinnah adalah keteguhan hati dapat mengusir rasa takut dan

menghilangkan kecemasan

e. Kelapangan dan kegembiraan saraha, faraha

Makna saraha terdapat dalam QS. AL Insyirah :1, Az Zumar: 22, al An’am:125, al

Hajj:46, makna saraha lebih tepat dipahami sebagai sesuatu yang bersifat immateri.

Sebagaimana kelapangan yang terdapat dalam ayat ayat tersebut dipahami sebagai

kelapangan dada sehingga mampu menerima dan menemukan kebenaran, hikmah

atau kebijaksanaan, serta kesanggupan memaafkan kesalahan orang lain40

Sedangkan kata faraha terdapat dala QS. Ali Imran :120,170,188, al An’am:44, at

Taubah: 50,81, Yunus:22, 58, Huud :10, ar Ra’du: 26,36, al Mukminun :53, an

Naml :36, al Qashash :76, ar Ruum :4,32,36, al Ghafir :75, 83, asy-Syuraa: 48, al

Hadid :23. Kalimat tufrihuun sebagaimana terdapat dalam QS. Al Ghafir :75 dalam

pandangan Ar Raghib al Ashfahani berarti keceriaan dan kegembiraan hati karena

kelezatan dunia berupa kelezatan jasmani, selain itu kalimat tufrihuun dalam arti

40
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (Lontar Mediatama:
Yogyakarta, 2016), h. 54
29

kegembiraan yang luar biasa dan pada dasarnya kegembiraan tersebut tidak

dilarang oleh agama

f. Keberkahan, keselamat dan kesejahteraan dan kedamaian, barokah, salam

Kebahagiaan yang berarti keberkahan terdapat dalam QS.Al A’raf : 96,

Huud :48,73, An Nahl :127, Adzariyyat : 39. Kalimat barokah terdapat dalam QS.

Al Araf 96 menurut Quraisy Shihab diartikan aneka kebajikan rohani dan jasmani,

sebagai sesuatu yang mantap dan berlimpah serta beranekaragam, memiliki

kesinambungan41

Kebahagiaan dalam arti salam atau keselamatan, damai dan sejahtera dipahami

sebagai kebebasan dari segala macam kekurangan apapun lahir maupun batin,

sehingga seseorang yang berada dalam salam senantiasa terbebas dari penyakit,

kemiskinan, kebodohan. Qs. Adz dzariyat :25, Al Maidah :16, Al Furqon :63, Al

Hasyr :23,

F. Kebahagiaan Dalam Pandangan Failasuf Yunani

1. Kebahagiaan Dalam Pandangan Plato

Pada awalnya para failasuf mempertanyakan apa sebenarnya bahan dasar dari

kosmos, pencarian tersebut membawa mereka pada pertanyaan tentang hakikat dari

segala yang ada, bersamaan dari itu para failasuf mulai mempertanyakan

bagaimana manusia harus hidup dan agar hidupnya menjadi bermakna, dan terakhir

bagaimana seseorang yang bijaksana menata kehidupannya42. Dimulai dari

pembahasan tentang kosmos, kemudian pembahasan mengenai metafisika,

berlanjut kepada pembahasan mengenai etika, tidak dapat dipungkiri bahwa

41
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (Lontar Mediatama:
Yogyakarta, 2016), h. 58
42
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h. 12
30

pemikiran awal sebagai kontruks awal berfikirnya manusia dan permulaan dari

filsafat terjadi pada masa yunani kuno. Plato lahir sebagai salah satu tokoh yang

penting, dia dilahirkan di Athena pada tahun 427 SM dan berasal dari keluarga

bangsawan athena43. Plato berpendapat bahwa orang menjadi baik apabila ia

dikuasai oleh akal budi, dan orang menjadi buruk apabila dikusai oleh keinginan

dan hawa nafsunya44, apabila ingin mencapai kehidupan yang baik, tenang dan

bernilai, hal pertama yang harus dilakukan yakni membebaskan diri dari hawa nafsu

dan mengarahkan diri menuju akal budi. Seperti halnya tulisannya tentang politheia

yang merupakan tulisan untuk memahami sebuah realitas, daripada hanya terpesona

oleh bayang-bayang yang dianggap sebagai realitas sesungguhnya, sebaiknya kita

perlu berpaling dari anggapan dangkal pancaindra dan mencari realitas sebenarnya

dicontohkannya dari perumpamaan tersebut dengan keluar dari gua dan melihat

cahaya yang nyata tersebut yaitu matahari. Bagi Plato orang yang mengikuti akal

budi adalah orang yang berorientasi pada realitas yang sebenarnya, akal budi telah

dikuasai maka kehidupannya menjadi terarah kepada idea yang tertinggi. Dan idea

tertinggi tersebut adalah idea Sang baik45. Sang baik merupakan dasar dari segala-

galanya, manusia yang baik pada dasarnya terarah kepada Sang baik. Hidup

manusia semakin bernilai bila seluruhnya terarah pada nilai dasar Sang baik. Dan

Sang baik tersebut kadang-kadang disebut Plato sebagai Yang Ilahi46. Artinya Plato

43
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h. 14
44
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 19
45
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-
19,( Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 21
46
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 21
31

mempercayai hal-hal yang bersifat transenden yang berada diluar dirinya yang bisa

menjadi sumber kebahagiaan47

Masih dalam pembahasanya tentang Politheia, yang menarik manusia untuk

keluar dari gua dan mencari kebenaran, menurut Plato kekuatan tersebut adalah

cinta. Sang baik karena dia baik, sehingga paling di cintai dan di rindu oleh idea.

Idea yang baik dengan sendiri dasar dari segala cinta. Plato menyebut bahwa cinta

itu adalah eros48, eros merupakan kekuatan universal di alam. Sang baik bermula

dari cinta jasmani menuju cinta rohani, eros dapat mencapai idea Sang baik. Karena

itu dalam kesanggupan memandang Sang baik antara cinta dan kebaikan menyatu,

karena itu Plato menyimpulkan puncak hidup yang etis adalah kesatuan total antara

kabaikan yang bernilai objektif, dengan cinta dan kebahagiaan49.

Cinta terhadap yang abadi mendatangkan kebahagiaan. Semakin kita berhasil

melepaskan diri terikat pada dunia jasmani, semakin kita merasa bahagia, failasuf

merupakan orang yang paling bahagia karena sampai pada Sang baik 50, semakin

manusia mengangkat pandangan kepada alam abadi, semakin ia merasa bahagia,

eros adalah nilai subjektif dan idea bernilai objektif. Dalam eros kita mengalami

yang baik dan kebahagiaan, sedangkan idea secara objektif mewujudkan hal yang

bernilai. Oleh karena itu manusia mencapai puncak kebahagiaan apabila nilai

subjektif, eros, menyatu dengan nilai objektif tertinggi dengan idea Sang baik.

Persatuan antara cinta dengan yang dicintai, antara eros dengan idea, antara baik

47
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 2
48
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 22
49
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 22
50
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 23
32

subjektif dan baik objektif adalah kebahagiaan yang sempurna51 dalam hal ini cinta

kepada Sang baik antara kewajiban dan kebahagiaan bersatu dengan manusia

mengalami kepenuhan total. Disamping itu orang yang mau bahagia yakni

seseorang yang mengarahkan diri kepada yang baik, disatu pihak menjadi failsauf

yang mencintai kebijaksanaan52, sedangkan di pihak lain dia tetap melakukan

kewajibannya dalam kehidupan sehari-hari. Dia menimba kekuatan dari cintanya

kepada yang abadi, keterarahan pada Sang baik tercermin dalam keteraturan

jiwanya, keutamaan merupakan tatanan dan keselarasan dalam jiwa tersebut53

Plato membagi kenikmatan menjadi dua bagian yaitu. Pertama, Kenikmatan

yang muncul karena terpenuhinya kebutuhan dan keinginan seseorang, kenikmatan

ini bersifat sementara tergantung pada sesuatu. Seperti contoh nikmat makan

bergantung pada ada atau tidaknya makanan yang dapat dimakan dan tergantung

pada kondisi tubuh yang sehat untuk mencerna makanan. Kedua, Kenikmatan yang

tidak bergantung pada perubahan, dengan sebab terpenuhinya kebutuhan fisiologis.

Kenikmatan ini bersifat tahan lama cenderung abadi. Misalnya kenikmatan dalam

memahami suatu ilmu, dan ilmu pengetahuan tersebut menjadi cahaya dalam

hidupnya54

Tiga unsur jiwa yang memiliki kenikmatan masing-masing adalah epithumia

(kenikmatan menumpuk harta), thumos (kenikmatan menjadi terhormat),

logostikon (kenikmatan mendapatkan pengetahuan sejati), menurut Plato diantara

51
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 23
52
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 23
53
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 23
54
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h 12
33

ketiga kenikmatan tersebut yang murni adalah logostikon, karena yang lainnya

memiliki keterbatasan. Dan kenikmatan logostikon mengantarkan kenikmatan

epithumia dan thumos menuju kebahagiaan yang sebenarnya55

2. Kebahagiaan Dalam Pandangan Ariestoteles

Ariestoteles merupakan salah satu murid Plato, namun Ariestoteles menolak

ajaran Plato tentang idea. Tidak ada idea abadi, karena apa yang dipahami Plato

sebagai idea sebenarnya tidak lain adalah bentuk abstrak yang tertanam dalam

realitas indrawi semata. Begitupun ia menolak pandangan Plato tentang idea yang

baik. Karena menurut Ariestoteles paham Sang baik tidak sedikitpun membantu

seseorang untuk mengetahui bagaimana dia harus bersikap atau bekerja, seperti

halnya tidak membantu seorang pemimpin bagaimana harus memimpin negara.

Untuk mengetahui hal tersebut manusia harus mencari realitas manusia , melalui

theoria56 yang berarti memandang atau berkontemplasi, dengan mencoba

memahami dan merefleksikan asal-usul dari segala apa yang ada. Adanya gagasan

tentang kebahagiaan tidak bisa dipisahkan dari gagasan mengenai etika, karena

etika lebih mempertanyakan bagaimana kehidupan individu harus terwujud. Seperti

halnya seluruh etika Yunani, begitupun etika Ariestoteles mempertanyakan euzen

atau hidup yang baik57. Bagaimana manusia mencapai kehidupan dengan sebaik

mungkin. Apa yang kita cari sebenarnya jawabannya adalah eudomonia atau

kebahagiaan. Karena kebahagiaan adalah tujuan akhir dari manusia. Kebahgiaan

dicapai dengan memperhatikan tiga pola hidup diawali dengan sesuatu yang

55
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h 14
56
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 28
57
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 29
34

bersifat materi dan cenderung pragmatis seperti hidup bahagia dengan kekayaan

atau nama yang terhormat, namun pada dasarnya kebahagiaan tersebut bukanlah

tujuan akhir. Nikmat seperti ini baik, asal tidak dijadikan sebagai tujuan. mencari

kebahagiaan selanjutnya adalah melalui tindakan58 dengan mengoptimalkan

potensi yang ada dalam diri manusia, karena manusia menjadi bahagia dengan

mengembangkan diri. Lalu theoria, yang berarti jiwa memandang realitas atau

perenungan. Dan perenungan merupakan adalah kegiatan failasuf , yakni orang

yang mencintai kebijaksanaan. Oleh karena itu sesuatu yang membahagiakan

manusia adalah filsafat perenungan hal ini yang bersifat ilahi59

Konsep kebahagiaan Ariestoteles bukan kebahagiaan yang bersifat individu,

lebih dari itu, kebahagiaanya berbicara tentang apa yang ada diluar dirinya dan

menyebabkan dirinya menjadi bahagia60

G. Kebahagiaan Dalam Pandangan Failasuf Muslim

1. Kebahagian Dalam Pandangan Ibnu Sina

Mengenai filsafatnya tentang kebahagiaan tidak dapat dipisahkan dari

pemikirannya tentang jiwa an nafs, walaupun kajiannya agaknya sebagai sesuatu

yang metafisik, abstrak, ghaib, namun Ibnu Sina tampil sebagai filosof yang

memiliki pemikiran tersendiri tentang jiwa. Manusia di ciptakan memiliki unsur

badan dan jiwa, jiwa manusia merupakan unit tersendiri dan mempunyai wujud

terlepas dari badan.61

58
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 32
59
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 33
60
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 31
61
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (PT. Bulan Bintang, Jakarta,
2014), h.26
35

Ibnu Sina berpendapat bahwa jiwa memancar dari akal ke sepuluh, dia

membagi jiwa menjadi tiga bagian sebagai berikut :

a. Jiwa tumbuh-tumbuhan An Nafs an Nabatiah, memiliki daya : makan,

bertumbuh, dan berkembang biak.

b. Jiwa binatang An Nafs al Hayawaniyyah, memiliki daya : gerak, daya

tangkap.

c. Jiwa manusia An Nafs an Nathiqah, memiliki daya: praktis (berhubungan

dengan kemampuan badan atau daya), daya teoritis (kemampuan yang

berhubungan dengan sesuatu yang bersifat abstrak)62

Jiwa manusia bergantung pada jiwa mana dari ketiga jiwa tersebut yang

dominan pada dirinya, seandainya jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang

menguasai dirinya, maka seseorang tersebut menyerupai binatang, namun jika

jiwa manusia yang berpengaruh pada dirinya maka seseorang tersebut dekat

menyerupai malaikat dan dekat menuju kesempurnaan63. Pentingnya daya

praktis memliki kedudukan untuk mengontrol badan, sehingga hawa nafsunya

tidak menjadi penghalang bagi daya teoritis untuk membawa manusia pada

tingkatan tertinggi mencapai kesempurnaan.

Jiwa manusia berbeda dari jiwa binatang dan jiwa tumbuh-tumbuhan. Jiwa

manusia kekal, seandainya jiwa telah memperoleh kesempurnaan sebelum

berpisah dengan badan maka selamanya dia berada dalam kesenangan,

sebaliknya seandainya dia berpisah dengan badan dalam keadaan yang tidak

sempurna dikarenakan selama bersatu dengan badan selalu terpengaruh oleh

62
Amroeni Drajat, Suhrawardi; Kritik Falsafah Peripatetik, (PT. Lkis Pelangi Aksara:
Yogyakarta,2005),h.131
63
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (PT. Bulan Bintang, Jakarta,
2014), h.25
36

daya pemarah dan hawa nafsunya, maka dia hidup dalam penyesalan terkutuk

untuk selama-lamanya di alam akal64.

Menurut pendapat Ibnu Sina setelah jiwa berpisah dari badan65, jiwa

mendapat kebahagiaan dan kesengsaran di hari akhir. Dalam hal ini Ibnu Sina

membagi jiwa menjadi tiga klasifikasi yakni (1). Jiwa yang sempurna karena

ilmu dan amal, (2). Jiwa yang tidak sempurna karena keduanya (ilmu dan amal),

(3). Jiwa yang sempurna karena salah satunya, mengenai kategori terakhir ini

dibagi kembali menjadi dua yakni: adakalanya jiwa yang sempurna dalam ilmu

namun tidak sempurna dalam amal ataupun sebaliknya66

Mengenai kebahagian Ibnu Sina membahas kategori pertama, Menurutnya

jiwa dikelompokkan menjadi tiga klasifikasi sebagaimana terdapat dalam QS.

Al-Waqi’ah :7-11 sebagai berikut :

“Dan kamu menjadi tiga golongan yakni golongan kanan, alangkah


mulianya golongan kanan itu, dan golongan kiri alangkah sengsaranya
golongan kiri itu, dan orang-orang yang paling dahulu (beriman),
merekalah yang paling dahulu masuk syurga, mereka itulah yang paling
dekat (kepada Allah)”

Pertama, Ibnu Sina menyebutkan orang yang beriman dalam ilmu dan amal

memiliki tingkatan tertinggi dalam syurga kenikmatan, selain itu mereka pula dapat

menghubungkan ketiga alam bersama alam akal, membersihkan dari kotoran fisik,

lalu jiwa angkasa. Lalu mereka itu orang yang lebih dulu beriman dan sampai pada

tingkatan tertinggi.

64
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (PT. Bulan Bintang, Jakarta,
2014), h.26
65
Jarman Arroisi, Rahmat Ardi Nur Rifa Da’i, “Konsep Jiwa Perspektif Ibnu Sina”,
Islamica: Jurnl Studi Keislaman, Volume 13, No. 2, Maret 2019; P-ISSN; 1978-3183;e-ISSN; 2356-
2218;256-278, h. 274
66
Jarman Arroisi, Rahmat Ardi Nur Rifa Da’i, “Konsep Jiwa Perspektif Ibnu Sina”,
Islamica: Jurnl Studi Keislaman, Volume 13, No. 2, Maret 2019; P-ISSN; 1978-3183;e-ISSN; 2356-
2218;256-278, h. 274
37

Kedua, golongan kanan berada dalam tingkatan Al Wasthiyah menengah. Dan lebih

tinggi dari alam kemustahilan, saling berhubungan dengan jiwa langit dan bersih

dari kotoran alam. Pada golongan ini dapat merasakan kenikmatan syurga

Ketiga, Mengenai golongan kiri, mereka merupakan orang yang gagal

mempersiapkan diri menuju derajat tertinggi, dan mereka merupakan orang-orang

yang turun pada tingkatan terendah, berada dalam lautan kegelapan alam fisik,

terjerumus dalam hinaan materi, berada dalam negeri fana, dan mereka berada

dalam neraka menuju kebinasaan.

2. Kebahagian Dalam Pandangan Al Farabi

Bagi para failasuf muslim, tujuan utama berfilsafat adalah mencapai

kebahagiaan menggunakan rasio atau akal pikiran67 sebagai makhluk yang

dianugerahi potensi akal dalam dirinya manusia dengan akalnya mampu

merenungkan keadaan dan dengan kesadarannya mengerti dengan segala hal yang

di alaminya. Hal tersebut adalah pertanda bahwa manusia sebagai makhluk yang

berakal dapat merasakan kebahagiaan68. Pendapatnya tentang kebahagiaan secara

rinci terdapat dalam kitabnya berjudul Al Tanbih Ala Sabil Al Saadah69 dan Tahsil

al Sa’adah atau Pencapaian kebahagiaan70

Al Farabi berpendapat bahwa kebahagiaan merupakan Absolute good atau

kebaikan puncak. Kebahagiaan yang diinginkan dan tidak ada yang lebih selain itu.

Kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia sehingga apapun yang dilakukan oleh

67
Imam Sukardi, Puncak Kebahagiaan Al Farabi,( Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2005),
h.85
68
Imam Sukardi, Puncak Kebahagiaan Al Farabi,(Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2005),
h.86
69
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish:Yogyakarta, 2017), h.60
70
Sayyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, (IRCiSoD: Yogyakarta,
2020), h. 33
38

manusia selalu mengarah terhadap hal tersebut, namun banyak yang keliru dalam

mendefinisikan esensi kebahagiaan dan justru terjebak dalam kebinasaan71.

Tuhan menciptakan manusia dan menghendakinya untuk bahagia dengan

pengoptimalan potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia berupa akal lengkap

beserta fasilitas lain diluar diri manusia seperti alam beserta isinya. Karena hanya

manusia-lah yang diberikan anugrah rasio tersebut oleh Tuhan dibandingkan

makhluk ciptaan lainnya.

Sama seperti halnya Ibnu Sina konsep kebahagiaan Al Farabi diawali dengan

pembahasannya tentang jiwa, bagaimana jiwa bergerak dan tergerak menuju

kebahagiaan72. Kebahagiaan dapat di raih saat jiwa mencapai kesempurnaan

dengan mengoptimalkan potensi, potensi tersebut dapat dilihat dari pendapatnya

tentang daya jiwa manusia sebagai berikut:

a. Daya gerak atau motion

Berupa makan dan minum nutrition, daya memelihara atau preservation, dan

berkembang biak atau reproduction73. Sifat geraknya insingtif dalam arti tidak perlu

dipelajari sudah ada pada manusia sejak lahir.

b. Daya mengetahui atau cognition

Disebut juga dengan intelek atau intellegency, berisi hal empiris, rasional,

intuisi, naluri, imajinasi, berisi mengetahui dengan merasa atau sensasion, dan

mengetahui dengan imajinasi atau imagination.

c. Daya berpikir atau intellection

71
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish:Yogyakarta, 2017), h.62
72
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish:Yogyakarta, 2017), h.65
73
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Bulan Bintang: Jakarta, 2014),
h. 24
39

Daya ini terbagi lagi menjadi dua :

1. Akal praktis atau practical intellect berfungsi menyimpulkan apa

yang dikerjakan seseorang kesimpulannya didapat dari proses

penalaran berisi impresi yang diterima dari pengalaman74

2. Akal teoritis atau theoritical intellect berfungsi membantu

menyempurnakan jiwa. Dari akal teoritis berisi hal-hal berikut ini :

a. Akal potensial material intellect, yakni dapat menangkap bentuk

dengan panca indra75. Akal ini bersifat apriori (menangkap

pengetahuan yang ada sebelum adanya pengalaman)

b. Akal aktual actual intellect, akal ini dapat menangkap makna

dan konsep, bersifat aposteriori (menangkap pengetahuan

berdasarkan pengalaman)

c. Akal mustafad acquired intellect, yaitu akal yang memiliki

kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan akal

kesepuluh (akal aktif) 76

Menurut Al Farabi untuk memperoleh kebahagiaan, ketiga daya tersebut harus di

optimalkan, jika terdapat kekurangan, kekurangan tersebut menjadi sumber tidak

kebahagiaan77. Konsep kebahagiaan Al Farabi lebih bersifat sosial, berbeda dengan

pemikiran failasuf yunani seperti Plato yang memandang kebahagiaan lebih

bersifat individu. Al Farabi memandang salahsatu cara mencapai kebahagiaan

74
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 65
75
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Bulan Bintang: Jakarta, 2014),
h. 19
76
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (PT. Bulan Bintang: Jakarta,
2014), h. 19
77
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 67
40

yakni dengan saling bekerjasama. Al Farabi mengklasifikasikan kebahagiaan dalam

tiga kategori yaitu:

1. Kelompok masyarakat atau Al Ijtima’ al Fadil

Disamping kebahagiaan diperoleh secara individu, manusia juga harus

memperoleh kebahagiaan secara kelompok, karena jika tidak seimbang

kebahagiaanya menjadi tidak sempurna78.

2. Kota atau Al Madinah Al Fadilah

Pemikiran Al Farabi sebenarnya saling berkorelasi antara satu dengan yang

lain, sama halnya dengan pendapat diatas, kebahagiaan kelompok menjadi

tidak sempurna apabila kebahagiaan city atau kota tidak diperoleh. Dalam

kajiannya tentang hal ini, seorang pemimpin paripurna dibutuhkan,

pemimpin paripurna dalam pemahaman Al Farabi tidak lain adalah Nabi

Dan Rasul, atau seseorang yang mampu berkomunikasi melalui akal

mustafad yang selanjutnya berkomunikasi dengan akal ke sepuluh.

Sehingga masyarakat menjadi makmur dan baik dan didalamnya

memperoleh kebahagiaan79

3. Negara atau Al Ma’munah Al Fadilah

Kebahagiaan kota tidak akan menjadi sempurna apabila kebahagiaan negara

tidak diperoleh pula.

Cara meraih kebahagiaan puncak di peroleh melalui keutamaan atau virtue dengan

cara mengharmonisasikan keutamaan teoritis, berpikir, moral dan praksis.

78
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 68
79
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Bulan Bintang: Jakarta, 2014),
h. 21
41

Mengenal keutamaan penting tesebut sekiranya perlu di pahami secara mendalam

masing-masing keutamaan :

1. Keutamaan Teoritis

Yakni pemahaman tentang segala yang ada atau being yang berisi ilmu

pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dapat mengantarkan manusia kepada

kebahagiaan adalah pengetahuan tentang being (mengenai segala yang ada),

pengetahuan tentang physic (yang bisa di jangkau dengan panca indra),

pengetahuan tentang metaphisics (diluar jangkauan panca indra), intellect

( kemampuan manusia dalam bidang rohani ), intelligibles (segala yang bisa

dipahami, di fikirkan manusia)

Pencarian kebahagiaan mengantarkan kepada Tuhan sebagai

kebahagiaan puncak, bahwa ilmu pengetahuan apapun hakikat sumbernya

berada pada sebab pertama80. Kebahagiaan bergantung pada kesempurnaan

jiwa, sedangkan kesempurnaan jiwa bergantung pada pengetahuan81

2. Keutamaan Berfikir

Berfikir utama adalah alat untuk mencapai kebahagiaan dengan hanya

berpikir tentang hal yang baik, mempertahankan pemikiran dalam jangka

waktu lama dengan memperhatikan manfaat. Al farabi menegaskannya

dengan berpikir secara rasional, melalui jalur burhani ini bisa di

pertanggungjawabkan, karena mengoptimalkan potensi akal dalam dirinya

dengan alat yang digunakannya yaitu logika82. Argumen yang dibangun

80
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 71
81
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 73
82
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 74
42

melalui premis dalam ilmu logika dapat menghasilkan konklusi dan benar

tanpa memerlukan sumber lain seperti teks, dan entitas transendental.

3. Keutamaan Moral

Disaat manusia berhenti pada tahap keutamaan kedua dan tidak

melanjutkannya, maka hidup manusia hanya akan berada di dunia idea,

perlunya harmonisasi dengan keutamaan moral karena jiwa manusia harus

seimbang, gagasan baik yang terdapat dalam fikiran tidak akan bermakna

tanpa adanya implementasi dikehidupan sebenarnya dengan jembatan

moralitas atau akhlak83. Keutamaan moral dapat tercapai seandainya moral

teoritis dan moral praktis bekerja secara beriringan, ketika moral bekerja

tidak seimbang maka manusia bisa salah arah, sebaliknya ketika seorang

berpikir tanpa implementasi moral ibarat hantu84

4. Keutamaan Praksis

Yakni keutamaan seseorang dalam berkarya, karya akan menjadi utama

apabila terlahir dari tangan orang yang utama, dengan syarat ketiga

keutamaan sebelumnya telah terpenuhi terlebih dahulu, karena bahagia

tidak semata-mata moral bagus, berpikir bagus dan berteori benar namun

juga praksisnya kreatif, artinya bersifat kontributif. Dengan kontribusinya

yang baik ini seseorang dapat merasakan kebahagiaan dan dapat

membahagiakan orang lain85

83
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 7
84
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 76
85
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 77
43

Dalam kitabnya berjudul Al Tanbih Ala Sabil Al Sa’adah, Al Farabi

membedakan pengertian antara nikmat dan bahagia dengan perbedaan definisi

diantara golongan awam dan golongan diatasnya.

Bagi kelompok awam definisi bahagia dipahami sebagai kenikmatan atau

al Ladzadzah. Dan bagi Al Farabi kenikmatan bukalah kebahagiaan yang sejati

namun sebagai level awal untuk mencapai kebahagiaan yang sebenarnya86. Mencari

kebahagiaan dengan al Ladzadzah merupakan sesuatu yang wajar, namun jangan

sampai manusia tertipu dan melupakan kebahagiaan yang sebenarnya.

Selanjutnya kebahagiaan yang dimengerti oleh kelompok diatas kaum

awam bersifat abadi, terlepas dari kenikmatan materi dan fisik sebagai contoh yaitu

kenikmatan dalam memahami ilmu pengetahuan, ketika manusia memahami suatu

teori, maka bertambah pula pengetahuannya sehingga manusia merasakan

kenikmatan87

Berikut ini merupakan rumus memperoleh kebahagiaan atau Tahsil Al Saadah

dalam pandangan Fahruddin Faiz sebagai berikut :

1. Setiap manusia memahami kebahagiaan dan memiliki syarat yang di

perlukan untuk memperolehnya.

2. Tidak semua orang dapat menggunakan kapasitasnya untuk mencapai

kebahagiaan tersebut dengan berbagai faktor, yang intinya tidak

mengoptimalkan keutamaan teoritis, berpikir,moral, dan praksis.

3. Tidak semua orang yang menggunakan kapasitasnya secara otomatis

mencapai kebahagiaan, karena kebahagiaan terkadang bukan menjadi

86
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 60
87
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 62
44

tujuan utamanya. Seperti contoh orang berpikir namun tujuannya untuk

menipu. Maka hal itu tidak mengantarkannya pada kebahagiaan.

4. Tidak semua orang yang menggunakan kapasitasnya dan sudah menjadikan

kebahagiaan sebagai tujuan utamanya mencapai kebahagiaan. Karena

terkadang metode yang digunakannya keliru, bisa disebabkan karena level

teorinya belum lengkap dan pengetahuannya belum cukup atau tidak

memadai.88

Setiap orang memerlukan guru dan pembimbing agar dapat menuntunnya

menemukan kebahagiaan. Begitu pula suatu kota dan negara memerlukan

pemimpin yang dapat membawanya menuju kebahagiaan bersama. Karena kunci

kebahagiaan sosial menurut Al Farabi berada di tangan failasuf, imam, dan raja,

mereka hakikatnya memiliki kualitas kebenaran level ideal dan memandu

masyarakat menuju kebahagiaan, sebaliknya jika kunci tersebut sesat maka

masyarakatnya akan menjadi sesat, begitu pula bila kunci tersebut fasik maka

masyarakatnya menjadi fasik. Karena ketiga kunci tersebut merupakan sesuatu

yang fundamental untuk menciptakan kebahagiaan di lingkungan sosial. Dan

berdampak bagi kebahagiaan secara individu89

88
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 78
89
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h.79
45

H. Kebahagiaan Dalam Pandangan Sufi

1. Kebahagiaan Dalam Pandangan Al Ghazali

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali merupakan

tokoh besar yang bermadzhab Asy’ari. Beliau mendapat gelar sebagai hujjatul

islam karena beliau adalah seseorang yang memiliki kelebihan daya ingat yang kuat

dan luar biasa90 hampir semua ilmu pengetahuan telah ia pelajari dan akhirnya

menetapkan bahwa tasawuf sebagai pelabuhan terakhirnya dan senantiasa

mendapatkan ketenangan. Al Ghazali tidak merasa puas dalam pencariannya dalam

Ilmu kalam dan filsafat, dan akhirnya memilih jalan tasawuf sebagai tujuan

hidupnya karena mampu menghilangkan rasa syak ( keragu-raguan ) yang telah

lama mengganggu dirinya91 dia berkeyakinan bahwa pengetahuan mistik berupa

cahaya yang diturunkan Tuhan kedalam dirinya, hal tersebut membuat Al Ghazali

memperoleh keyakinan kembali sebagaimana ia mengatakan :

Cahaya itu merupakan kunci dari kebanyakan pengetahuan, dan siapa yang

menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-

argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian

luas.... cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan

kedalam hati sanubari seseorang92”

Al Ghazali mengatakan bahwa kebahagian diklasifikasikan menjadi dua

yaitu kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat. Sedangkan dasar dari semua

kenikmatan adalah kenikmatan taufikiyyah yang berupa hidayah, rusyd, syadid, dan

90
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h.35
91
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Bulan Bintang:Jakarta, 2014),
h.31
92
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Bulan Bintang:Jakarta, 2014),
h.31
46

ta’yid . point pertama yang lebih penting bahwa Allah merasa ridha dengan apa

yang dilakukan sehingga kita hanya beriktiar mencari bekal untuk senantiasa

meraih kebahagiaan , namun jika seseorang sejak awal sudah tidak mendapat ridha

dari Allah, kenikmatan eksternal yang seharusnya membawa pada kebahagiaan

badaniah berubah menjadi sesuatu yang buruk. Ketika manusia tidak merasakan

nikmat badaniyah, karena badaniyah tersebut terperdaya oleh hawa nafsu dapat

mengakibatkan jiwanya menjadi tidak tenang, dan secara otomatis tidak dapat

merasakan kenikmatan ukhrawi (nikmat akhirat)93

Kebahagiaan mempunyai ragam kenikmatan didalamnya yang berbeda-beda.

Dimana masing-masing kenikmatan pada hakikatnya mengantarkan manusia

menuju kebahagiaan yang sejati. Al Ghazali mengklasifikasikan macam-macam

kebahagiaan sebagai berikut :

a. Bahagia dapat terpenuhi dengan terpenuhinya kebutuhan indrawi seperti

makan, minum, kebutuhan biologis. Dan kebahagiaan ini termasuk dalam

kelompok binatang ternak baha’im.

b. Seseorang dapat merasa bahagia dengan melakukan penyerahan,

kebahagiaan ini termasuk dalam kelompok binatang liar siba’.

c. Seseorang merasa bahagia dengan melakukan tipu daya dan muslihat , dan

kebahagiaan ini termasuk dalam kelompok syaitan.

d. Sementara kebahagiaan dalam kelompok malaikat ialah kebahagiaan

karena bisa taat kepada Allah sepenuhnya.

93
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h.40
47

Manusia pada satu sisi dapat menjadi baha’im, siba’, syaithan namun yang

membedakan dan menjadi pengontrolnya adalah hati manusia, melalui hati gerak

jiwa dapat diarahkan untuk semakin mendekat kepada Allah94.

Penjelasan detail mengapa manusia membutuhkan bahaim, siba’, dan syaithan. 95

a. Pada level baha’im manusia harus memenuhi kebutuhan biologis untuk

menjaga kelangsungan hidupnya agar memiliki energi untuk senantiasa

beribadah kepada Allah.

b. Pada level siba’ memunculkan motivasi dalam diri manusia menjadi

manusia yang lebih baik dan diarahkan hati untuk berlomba-lomba dalam

mamperoleh kebaikan.

c. Pada level syaithan manusia bisa mengambil pelajaran dari sikap syaitan

yang cerdas serta memiliki sikap pantang menyerah sebagaimana syaitan

yang selalu mencoba menggoda manusia. Sehingga mendorong manusia

untuk menjalani hdup yang baik agar tidak terjerumus dalam kebinasaan.96

Hati dengan akal menjadi pengontrol bagi manusia agar salah satu level tersebut

tidak menjerumuskan dan mendominasi manusia sebab dampak negatifnya dapat

membawa ketidakseimbangan didalam diri manusia sehingga termanifestasi

sifatnya dalam salah satu level yang dominan 97.

94
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 45
95
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 45
96
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h.45
97
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h.46
48

Al Ghazali membagi manusia kedalam tiga kelompok98 :

1. Golongan Awam

Memiliki daya akal yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat

memiliki sikap mudah percaya dan penurut. Golongan ini harus dihadapi dengan

sikap memberi nasihat atau al mauidzoh.99

2. Golongan pilihan khawas

Golongan yang memiliki daya akal yang tajam dan berpikir secara mendalam,

golongan ini harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah.

3. Golongan penengkar ahlu jidal

Golongan penangkar dengan sikap mematahkan argumen-argumen al mujadalah.

98
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Bulan Bintang:Jakarta, 2014),
h.33
99
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Bulan Bintang:Jakarta, 2014),
h.33
BAB III
BIOGRAFI IBNU BAJJAH
A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Keluarga

Ibnu Bajjah di lahirkan di Saragosa, Spanyol pada akhir abad ke-5 H/11 M1

dengan nama lengkap Abu Bakar Muhammad Ibnu Yahya ibnu Al-Sha’igh, dan

lebih dikenal dengan nama Ibnu Bajjah, sedangkan orang barat menyebut

namanya Avenpace2. Ibnu Bajjah merupakan failasuf Muslim pertama dan utama

dalam sejarah kefilsafatan di Andalusia. Mengenai riwayat hidupnya, secara rinci

tidak banyak diketahui, begitu pula dengan pendidikan maupun guru tempatnya

mempelajari ilmu tidak terdapat informasi yang sangat jelas. Namun menurut

beberapa literatur, Ibnu Bajjah bukan hanya seorang failasuf namun juga

merupakan seorang saintis yang mempelajari berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Seperti kedokteran, astronomi, fisika, musik, dan matematika3. Fakta tersebut

dapat diterima karena pada masa tersebut tidak ada dikotomi ataupun pemisahan

suatu ilmu pengetahuan seperti sekarang ini, sehingga seseorang bisa mempelajari

segala bidang ilmu pengetahuan secara umum.

Walaupun hanya memuat sedikit informasi mengenai aktivitas kefilsafatan

dan keilmuan yang terjadi di Andalusia, Abad ke-11 menjadi saksi banyak

bermunculan sejumlah ilmuan yang meletakan dasar bagi revolusi ilmiah dan

1
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Depok:PT. Raja Grafindo
Persada, 2014), h.191
2
Majid Fakhry, A History of Muslim Philosophy, Terj. Mulyadi Kartanegara,
(Jakarta:Pustaka Jaya, 1986), h.397
3
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Depok: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014), h.192

49
50

filosaofis4. Sebagai puncak dari revousi tersebut ialah hidupnya kembali

Ariestotalianisme dan tersebarnya filsafat ke dunia Barat.

Sejarah filsafat Andalusia tidak dapat terpungkiri di pelopori oleh tokoh yang

bernama Ibnu Bajjah (literatur Arab), Avenvace (literatur Latin).5 Ibnu Al Imam

sebagai salahsatu murid dari Ibnu Bajjah mentranskripsi sejumlah besar tulisan

Ibnu Bajjah mengenai filsafat. Kontribusi Ibnu Bajjah pada filsafat tulisan Ibnu al

Imam merupakan penemuan pemikiran yang sangat mencengangkan. Kontribusi

yang di tinggalkannya antara lain: beberapa risalah dalam ilmu logika yang masih

tersimpan di Perpustakaan Escurial, Risalah tentang jiwa, Risalah al- Ittishal,

Risalah al- Wada; berisi uraian tentang penggerak pertama bagi manusia dan

tujuannya bagi wujud manusia dan alam, beberapa risalah tentang ilmu falaq dan

tabib, Risalah Tadbir al- Mutawahhid, buku berjudul Al Nafs yang membicarakan

mengenai jiwa, terkait jiwa manusia dan Tuhan. Dan pencapaian manusia

tertinggi dari kewujudan manusia yaitu kebahagiaan,6 beberapa ulasan tentang

buku-buku filsafat antara lain dari Ariestoteles, al Farabi, Porphyrius, dsb7

Pada tahun 504 H/1110, Saragosa jatuh ke tangan Murabithun yaitu revivalis

Muslim dari Afrika Utara. Dan Ibnu Bajjah tetap tinggal di Kota itu, masih dalam

usia dua puluh tahun sudah tampil sebagai wazir Gubernur Berber (Ibnu

Tifalwith) yang merupakan ipar laki-laki Pangeran Al-Murabithun Ali8, dia di

utus menjadi duta kepada mantan penguasa yang masih merdeka, selain itu ia

4
Zaprukhan, Filsafat Islam;Sebuah Kajian Tematis, (Depok: PT. Raja Grafindo Persada,
2014), h.39
5
Zaprukhan, Filsafat Islam;Sebuah Kajian Tematis, (Depok: PT. Raja Grafindo Persada,
2014), h.40
6
Iwan Gayo Glaxo, Encyclopedia Islam Internaional, (Ciputat: Pustaka warga negara,
2013) h. 592
7
Zaprukhan, Filsafat Islam; Sebuah Kajian Tematis, (Depok: PT. Raja Grafindo
Persada), 2014,h.40
8
Editor Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), h.366s
51

malah pernah di penjara karena ia di anggap menyerahkan nasibnya kepada para

penakluk, dan dibebaskan setelah beberapa bulan. Ibnu Bajjah melakukan

perjalanan ke Valencia, tempatnya mendapat informasi tentang kematian Ibnu

Tifalwith9.

Ibnu Bajjah aktif dalam dunia politik, hal tersebut dapat dibuktikan dengan di

angkatnya Ibnu Bajjah sebagai wazir oleh Gubernur Saragossa Daulat Al

Murabith yaitu Abu Bakar Ibnu Ibrahim Al Sahrawi10. Namun ketika Saragossa

jatuh ke tangan Raja Al Fonso 1 di Aragon Tahun 512 H/ 1118 M , Ibnu Bajjah

terpaksa pindah ke Kota Sevile, dan di kota ini dia bekerja sebagai seorang dokter.

Setelah itu dia pindah ke Granada, kemudian ke Afrika Utara, pusat kerajaan

Dinasti Murabith Barbar.

Ketika Ibnu Bajjah transit di Syatibah, Ibnu Bajjah tertangkap oleh penguasa

Murabbith yaitu Amir Abu Ishak Ibrahim Ibnu Yusuf Ibnu Tasyfin yang

menuduhnya sebagai kafir atau herasy, hal tersebut disebabkan karena Daulat Al

Murabbith Menganut Teologi Al-Asyari oleh karena itu mereka tidak dapat

menerima pandangan-pandangan filsafat ataupun pemikirannya. Namun akhirnya

Ibnu Bajjah berhasil di bebaskan karena bantuan Ibn Rusyd, yang merupakan

failasuf besar Spanyol yang pernah menjadi muridnya.

Ibnu Bajjah berangkat ke Fez, Maroko. Dan di Kota ini dia diangkat oleh Abu

Bakr Yahya Ibnu Yusuf Ibnu Tashfin sebagai wazir, dan menjadi wazir selama 20

tahun. Ibnu Bajjah meninggal pada bulan Ramadhan 533 H/1138M di Kota

Maroko, dan menurut beberapa informasi kematiannya diracuni oleh temannya

9
Editor Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), h.366
10
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Depok: PT. Raja Grafindo
Persada. 2014), h.192
52

seorang dokter yang iri hati terhadap kejeniusannya11, selain itu sumber lain

mengatakan bahwa beliau meninggal di Fez, pada usia yang masih produktif

berdasarkan laporan karena di racun atas permintaan orang yang menghendakinya

untuk di eksekusi merupakan dokter dan anggota istana pesaing, yaitu Ibnu Zuhr12

B. Karya-karya Ibnu Bajjah

Semasa hidupnya Ibnu Bajjah banyak mendalami berbagai macam ilmu antara

lain memahami ilmu alam, matematika, astronomi, dan musik. Dia banyak

menulis uraian dan penjelasan tentang filsafat Ariestoteles yang merupakan jalan

bagi pemikiran Ibnu Rusyd, karena dari buku-buku Ibnu Bajjah, Ibnu Rusyd

banyak mengambil intisari pemikirannya bahkan tidak dapat dipungkiri ia

terpengaruh oleh pemikirannya13, selain itu bahkan Ibnu Thufayl banyak memuji

Ibnu Bajjah dengan pernyataan “Di kalangan filosof zaman belakangan, Ibnu

Bajjah adalah yang paling cerdas pemikirannya, paling tepat pandangannya, dan

paling benar pendapatnya14”

Selain itu Ibnu Thufayl juga berpendapat bahwa ibnu bajjah merupakan

seorang failasuf muslim yang cemerlang pemikirannya, paling tepat dalam

menganalisis dan paling benar pemikirannya15. Namun amat di sayangkan dalam

beberapa hal dalam pembahasannya, bukunya tidaklah matang dan sempurna. Hal

11
Sirajudidin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya (Depok: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014), h.193
12
Editor Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), h. 368
13
Ahmad Zaini, “Telaah Pemikiran Ibnu Bajjah”, FIKRAH, Jurnal Ilmu Aqidah dan
Studi Keagamaan Volume 3, No.1, Juni 2015, h.60
14
Ahmad Zaini, “Telaah Pemikiran Ibnu Bajjah”, FIKRAH, Jurnal Ilmu Aqidah dan
Studi Keagamaan Volume 3, No.1, Juni 2015, h.68
15
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Depok: PT.Raja Grafindo
Persada, 2014), h193
53

ini di karenakan ambisinya terhadap dunia terlalu besar dan kematiannya yang

terlalu cepat16.

Beberapa karya Ibnu Bajjah yang terpenting dalam filsafat antara lain:

1. Risalat al-Wada’, yang membahas tentang penggerak pertama

(Tuhan), manusia, alam, dan kedokteran.

2. Kitab an-Nafs, menjelaskan tentang jiwa.

3. Risalat al-Ittishal, uraian tentang hubungan manusia dengan Akal

Fa’al.

4. Kitab Tadbir al-Muwahhid, kitab inilah yang paling populer dan paling

penting dari seluruh tulisannya. berisikan akhlak dan politik serta

usaha-usaha individu menjauhkan diri dari segala macam keburukan-

keburukan dalam masyarakat negara, yang disebutnya Insan

Muwahhid (manusia penyendiri)

5. Tardiyyah, berisi tentang syair pujian

6. Majalah al-Majma’ al-‘Ilm al-‘Arabi

7. Karya yang di sunting oleh Asin Palacios dengan terjemah bahasa

Spanyol dan catatan-catatan yang di perlukan antara lain sebagai

berikut17:

a. Kitab Al Nabat, al Andalus jilid V, 1940.

b. Risalah Ittishal al Aql bi al Insan, al Andalus, jilid VII, 1942.

c. Risalah al Wada, al Andalus, jilid VIII,1943.

d. Tadbir al Mutawwahid dengan judul El Regimen Del Solitario,

1946.

16
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Depok: PT.Raja Grafindo
Persada, 2014), h193
17
A. Haris Hermawan,DKK, Filsafat Islam, (CV.Insan Mandiri: Bandung,2011),h.116
54

Karena karya-karya besarnya yang ditulis dalam bahasa Arab maupun

bahasa Inggris, dan tersebar di berbagai negara telah mengantarkan sosok

Ibnu Bajjah sebagai seorang filosof, hal tersebut dibuktikan dengan

sejumlah pengakuan dari dunia luar, Menurut Carra De Vaux, terdapat 24

risalah manuskrip karangan Ibnu Bajjah yang tersimpan di Perpustakaan

Berlin, dan yang paling penting ialah Tadbir al Mutawahid, ialah risalah

yang berisi usaha untuk menjauhi segala macam keburukan dan kalimat

muttawahid sendiri artinya ialah berarti penyendiri.Ahmad Fuad Al

Ahwan berpendapat bahwa tadbir Al Mutawahid merupakan buku tentang

moral politik yang disusun menurut buku Madinatul Fadhilah Al Farabi18

C. Keadaan Sosio-Kultural

Ada sebuah literatur yang mengatakan bahwa filsafat masuk ke

Spanyol setelah Abad ke-3 H/ Abad ke-9 M, sebagian salinan naskah kuno

Rasa’il Ikhwan al-Shafa yang terdapat di Eropa dianggap berasal dari

Maslamah Ibn Ahmad al Majriti. Maslamah merupakan seorang ahli

matematika besar di Spanyol dan termasyhur selama masa pemerintahan

Hakam II (meninggal tahun 598 H/1003 M)19. Diantara para pengikutnya

antara lain adalah; Ibn Al Shafa Zahrawi, Karmani, Abu Muslim Umar Ibn

Ahmad Ibn Khaldun20

Tetapi sebenarnya filsafat telah masuk ke Spanyol jauh sebelum

Rasa’il Ikhwan al- Shafa di perkenalkan. Muhammad Ibn Abdu al Jabali

pergi ke Timur tahun 347 H/ 952 M dan belajar logika kepada Abu

18
A. Haris Hermawan,DKK, Filsafat Islam, (CV.Insan Mandiri: Bandung ,2011),h.127
19
A Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung; Pustaka Setia, 2009), h.257
20
A Mustofa, Filsafat Islam,( Bandung; Pustaka Setia, 2009), h.257
55

Sulaiman Muhammad ibn Thahir ibn Bahran al Sijistani dan kembali ke

Spanyol tahun 360 H/ 965 M21

Kebangkitan filsafat dalam dunia Islam (Timur) di prakarsai oleh

Dinasti Abbasyiah dengan khalifah Al Makmun, walaupun

kemunculannya sudah dimulai masa Khalifah Ibnu Yazid Bani Umayyah.

Gerakan intelektual di Timur berkembang sangat pesat dikarenakan orang-

orang Suryani di Timur, sebelumnya telah menerjemahkan buku-buku

bahasa Yunani kedalam bahasa mereka, dan karya-karya tersebut tetap

terpelihara di kota sekitar Syiria. Dengan demikian ketika Islam

menaklukan kota tersebut tidak mendapat kesulitan untuk mendapatkan

dan menerjemahkannya.

Karena keberhasilan Dinasti Abbasyiyah berada di puncak

kekuasaannya di kawasan Islam bagian Timur pada abad ke-8 H/ 749 M

menggantikan Dinasti Umayyah, namun di Spanyol masih dikuasai oleh

Dinasti Umayyah, yang dibangun dan dilanjutkan oleh Abdur Rahman Al-

Dakhil, cucu dari Hisyam Ibnu Malik, Khalifah Ke-10 Bani Umayyah di

Kawasan Islam Timur. Secara menakjubkan Abdur Rahman Al Dakhil

berhasil menyelamatkan diri dari dunia timur ke Spanyol Andalusia.

Ketika penguasa Bani Abbasyiah melakukan pembunuhan terhadap

keluarganya Bani Umayyah dalam waktu yang relatif singkat, Dinasti

Umayyah Andalus mengancam Daulat Abbasyiah di Timur baik secara

politik maupun secara kultural.

21
A Mustofa, Filsafat Islam, ( Bandung; Pustaka Setia, 2009), h.257
56

Dinasti Umayyah Andalus telah memainkan peranan yang penting

dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam historiografi sejarah, yang

menjadi cikal bakal kemajuan Ilmu pengetahuan di Barat atau di Dunia

Eropa22

Meskipun terdapat kompetisi antara Baghdad (Dunia Timur) dan

Cordova (Dunia Barat) namun ternyata dari segi sektor kebudayaan dan

peradaban keduanya tetap terdapat hubungan yang erat.

Sebelum islam masuk ke Andalusia wilayah ini kosong dari Ilmu

pengetahuan dan filsafat, tidak satupun penduduknya yang memiliki

ketenaran di bidang ilmu pengetahuan, dan pada masa tersebut baru

terdapat menumen-monumen kuno yang dibangun oleh raja-raja Romawi.

Meskipun terdapat peradaban namun peradabannya boleh dikatakan amat

sederhana. Hal ini merupakan pendapat dari pengarang buku Thabaqat Al

Umam, Shaid.

Pengaruh budaya Islam di Eropa terjadi setelah kaum Muslim

menaklukan Spanyol dan Sisilia. Tepatnya kegiatan intelektual mulai

dikembangkan pada abad ke-9 H di bawah pemerintahan Muhammad Ibnu

Abdur Rahman.

Pada Tahun 961-976 H di masa pemerintahan Al Hakam II Karya

ilmu pengetahuan dan filsafat di impor secara besar-besaran dari Timur

sehingga Cordova fasilitas seperti perpustakan dan universitas yang besar

mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan di dunia

Islam, kurang lebih 400.000 buah buku terhimpun di perpustakaan

22
Majid Faakhry, A History of Muslim Philosophy, Terj. Mulyadi Kartanegara ,( Jakarta:
Pustaka Jaya, 1986), h.356-357
57

Cordova. Diantara buku-buku yang lebih dahulu di kenal di Andalusia

daripada kawasan Timur yaitu Kitab Al Aghani23.

Pada masa pemerintahan Al Muwahiddin abad ke-11. Mulai

bermunculan para ilmuan dan para failasuf Muslim di Andalusia.

Diantaranya adalah Abd Al Rahman Ibnu Al Ismail, lalu ahli logika; Abu

Usman Said Ibnu Fathun, juru tata bahasa dan musik; Maslamah Ibnu

Ahmad Al Majrithi, pakar matematika, astronomi, kimia. Abu Al Hakam

Amr Al Kirmani pakar geometri, murid dari Al Majrithi: Abdullah Ibnu Al

Nabbasy Al Bajga’i, pakar fisika dan matematika; Ibnu Bajjah, Ibnu

Thufayl, Ibnu Rusyd.

Sama halnya di Dunia Islam Kawasan Timur, di Andalusia pula

berkembang filsafat dan Ilmu pengetahuan yang juga di dorong oleh ajaran

Al-Qur’an dan Hadits yang menganjurkan kepada umatnya supaya

menghargai kekuatan akan dan mencari ilmu pengetahuan dimanapun

juga. Selain itu faktor yang paling dominan yaitu kecintaan penguasa pada

filsafat dan ilmu pengetahuan dan ikut pula memprakarsai

perkambangannya. Seperti kontribusi dari khalifah Abd Al Mukmin yang

menyediakan biaya hidup secukupnya bagi penuntut ilmu pengetahuan dan

juga menyediakan tempat khusus disamping istana untuk kegiatan yang

berhubungan dengan ilmu pengetahuan.

Betapa pun sedikitnya informasi mengenai aktivitas filsafat dan

keilmuan yang terjadi di Andalusia pada Abad ke-11 namun tidak bisa di

pungkiri bahwa abad tersebut menjadi saksi atas munculnya sejumlah

23
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Depok: PT.Raja Grafindo
Persada, 2014), h193
58

ilmuan yang meletakan sebuah dasar bagi revolusi ilmiah dan filosof yang

genuine (asli), karena puncak dari revolusi tersebut adalah hidupnya

kembali Ariestotelianisme dan tersebarnya filsafat Yunani-Arab ke dunia

Barat24.

Sejak semula Ibnu Bajjah menempatkan dirinya di tengah arus

tradisi Neoplatonik- Paripatetik yang mula-mula di perkenalkan ke Alam

fikiran Islam oleh Al Farabi. Dan bagi Ibnu Bajjah Al Farabi merupakan

satu-satunya guru logika, politik, dan metafisika yang berasal dari Timur25

Filsafat Ibnu Bajjah banyak terpengaruh oleh pemikiran Islam dari

kawasan Timur antara lain terpengaruh oleh Al Farabi dan Ibnu Sina, hal

tersebut disebabkan karena kawasan Islam bagian Timur lebih dahulu

melakukan penelitian ilmiah dan kajian filsafat daripada kawasan Islam

Barat (Andalusia)26

Meskipun di kawasan Islam bagian Barat sebagaimana kawasan

Islam bagian Timur berkembang teologi Al Asy’ari namun kondisi antara

keduanya berbeda. Dikawasan Islam bagian Barat, Ibnu Tumart

menyebarkan paham Asy’ari, namun pandangan teologinya lebih

didasarkan pada pemikiran filsafat daripada letterlek wahyu. Dan penguasa

Al Mutawahid memberikan toleransi yang besar terhadap perkembangan

24
Ahmad Zaini, “Telaah Pemikiran Ibnu Bajjah”, , FIKRAH, Jurnal Ilmu Aqidah dan
Studi Keagamaan Volume 3, No.1, Juni 2015, h.69
25
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam,( Pustaka Jaya:Bandung, Cetakan 1, 1986), h.99-
100
26
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (Pustaka Jaya:Bandung, Cetakan 1, 1986)h.99-
100
59

filsafat dan ilmu pengetahuan. Lainnya. Hal ini merupakan pendapat dari

W. Montgomery Watt27

Ibnu khaldun yang merupakan seorang ahli teori sosial besar arab

berpendapat bahwa Al Farabi dan Ibnu Sina sebagai filosof Islam utama di

Timur, sedangkan Ibnu Bajjah dan Ibnu Rusyd merupakan filosof Islam

utama di Barat28. Tokoh bernama Maimonides sangat mengagumi Ibnu

Bajjah, mengutip komentarnya dalam Physics Aristoteles, selain itu dia

mengikuti jejaknya dalam astronomi, epistemologi dan metafisika jiwa.

Dia menulis surat kepada penerjemah bahasa Ibrani dari The Guide of the

Perplexed yang berbahasa Arab, dan mengatakan bahwa Ibnu Bajjah

merupakan seorang filosof besar dan menaruh semua tulisannya pada

peringkat pertama29

Berbeda dengan Moimonides Ibnu Thufayl mengeluhkan kondisi

karya-karya Ibnu Bajjah yang tidak tertata lengkap, dan berspekulasi

karena mungkin tidak pernah bertemu secara pribadi, selain itu keasyikan

duniawi telah menyisakan sedikit waktu Ibnu Bajjah untuk filsafat, seperti

perkataanya sendiri, Ibnu Bajjah tertekan selama beberapa waktu oleh

kesulitan utuk berpindah ke Oran, dia begitu di sibukkan oleh kesuksesan

material kemudian kematian merenggutnya sebelum khazanah

27
Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya”, (Depok: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014), h.196
28
Editor Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), h. 368
29
Editor Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), h.368
60

intelektualnya menjadi jelas dan semua kebijaksanaan tersembunyi di

ketahui30.

Karya-karyanya yang merentang dari The Art of Healing selain itu

komentar-komentar atas Ariestoteles, hingga karya tentang tumbuhan,

bahkan karya mengenai berburu sekitar 30 karya pendek banyak

diantaranya yang belum selesai masih tetap terpelihara dalam bentuk

manuskrip. Ibnu Bajjah memberikan sumbangan paling tidak tema

filosofis pada karya-karya para penerusnya seperti Ibnu Thufayl, Ibnu

Rusyd, dan Maimonides. Teori tentang Ittishal kontak intelektual dengan

Tuhan, pendekatannya yang tajam pada doktrin monopsikisme dan cita-

citanya tentang penguasaan diri31

D. Keberadaan Manusia dalam Kota yang Tidak Sempurna

Ibnu Bajjah adalah sosok failasuf yang sendirian atau soliter, ia hidup di

negara yang tidak sempurna dimana ia hidup dalam keadaan yang tidak

normal, dengan hidup di negara tidak sempurna ia hidup dalam keadaan yang

tidak alami juga dalam keadaan yang tidak menyenangkan, Ibnu Bajjah

memperlihatkan ketidaksetuannya pada negara sebab ia merasa bukan sebagai

warga negara yang nyata (real) karena ia mempunyai pandangan negara dalam

versinya sendiri di dalam fikirannya.

Ibnu Bajjah memandang mutawahhid ialah seorang filosof atau beberapa

orang filosof yang hidup menyendiri pada salah satu negara dalam negara

yang tidak sempurna karena Fasiqoh, Jahilah dan lain-lainnya apabila tidak

30
Editor Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), h. 369
31
Editor Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), h. 369
61

demikian, maka tidak mungkin baginya untuk mencapai kebahagiaan32.

Manakala Ibnu Bajjah menyebutkan negara-negara yang tidak sempurna dia

menyebutkan negara demokrasi, tirani, oligarki33 dan negara imamiyyah,

imamiyyah Ibnu Bajjah adalah excellent ‘dalam tindakan dan fikiran’, selain

itu adapula istilah timokrasi atau sistem pemerintahan menjunjung tinggi

kehormatan, kemuliaan dan penghargaan yang termasuk dalam kategori

negara paling buruk terakhir.

Sejarah kehidupan Ibnu Bajjah mencatat berbagai kesulitan yang dihadapi

dalam keadaan negara yang tidak sempurna, Ibnu Bajjah pernah di penjara

oleh amir karena tuduhan membuat bid’ah, namun berhasil dibebaskan,

setelah itu dia pergi ke wilayah Fez, Maroko dan mampu menjadi pejabat

tertinggi, berkat kemampuannya dia menjadi wazir selama 20 tahun. Namun

musuh-musuh Ibnu Bajjah mencapnya sebagai ahli bid’ah34 bahkan beberapa

kali membuat usaha pembunuhan terhadap Ibnu Bajjah, semua usaha tersebut

gagal dan baru berhasil diberikan racun oleh Abul ‘Ala Bin Zuhr yang

merupakan seorang dokter termashyur35 sekaligus temannya selain itu Abu

‘Ala bin Zuhr merupakan ayah dari tokoh terkenal yakni Abu Marwan Bin

Zuhr, dia adalah musuh besar Ibnu Bajjah. Sebagaimana terdapat dalam

epidem36 atau sajak pendek berisi tulisan yang menentang Ibnu Bajjah

berbunyi :

32
Ahmad Zaini, “Telaah Pemikiran Ibnu Bajjah”, Fikrah Vol 3 No.1 Juni 2015 , hal 73
33
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 29
34
Ahmad Zaini, “Telaah Pemikiran Ibnu Bajjah”, Fikrah Vol 3 No.1 Juni 2015 , hal 61
35
Ahmad Zaini, “Telaah Pemikiran Ibnu Bajjah”, Fikrah Vol 3 No.1 Juni 2015 , hal 61
36
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 32
62

“Seseorang zindiq wajiblah di gantung, terlepas dia mau ataukah tidak.


Balok salib telah disiapkan untuknya, dan mata tombak telah diarahkan
kepadanya untuk ditancapkan”.

Peristiwa kematian Ibnu Bajjah yang terkenal karena diracun oleh

pembantu Ibnu Zuhr bernama Ibn Ma’tub atas perintah majikannya tersebut

memberikan sepiring terong yang telah dibubuhi oleh racun. Akan tetapi, Ibn

Zuhr bukanlah satu-satunya musuh bagi Ibnu Bajjah, selain itu terdapat nama

Fath Ibn Khaqan adalah musuhnya pula. Sebagimana dalam kitabnya Qala’id

al Iqyan dan Kitab Muthmah, Al Khaqan menyerang Ibnu Bajjah, selain itu

menghasut pikiran masyarakat untuk melawan Ibnu Bajjah, karena mereka

menganggap bahwa Ibnu Bajjah atheis. Hal tersebut yang membuat sang

failasuf tidak bisa berkontemplasi dengan fikiran rasionalnya secara bebas dan

memilih bermutawahhid

Ketika filsafat dan logika di kutuk di Spanyol sehingga banyak para tokoh

yang berilmu diberikan hukuman berat bahkan dihukum mati, hal tersebut

terjadi pada Abad ke-5 H atau sekitar 11-12 M, sehingga hal tersebut yang

menjadi penyebab beberapa tokoh filsafat mendapatkan persekusi seperti Ibnu

Bajjah, Ibnu Thufayl dan Ibnu Rusyd yang mengalami berbagai usaha

pembunuhan karena dianggap kafir, zindiq, dan bid’ah. Selain itu tokoh

failasuf tersebut pernah mengalami kehidupan di penjara akibat pemikirannya

yang dianggap sesat, bahkan mendapat kutukan.37 Ibnu Bajjah sendiri dalam

riwayat kehidupannya pernah ditangkap oleh penguasa Al Murabbith, dan

Amir Abu Ishaq Ibrahim Ibnu Yusuf Ibnu Tasyifin menuduhnya kafir hal

tersebut disebabkan karena Daulat Al Murabbith penganut teologi Al Asy’ari

37
A.Mustofa, Filsafat Islam, (Pustaka Setia: Bandung, 2009, 1997), hal 257
63

tidak menerima pandangan filsafat Ibnu Bajjah38. Walaupun pada akhirnya

Ibnu Bajjah di bebaskan oleh bantuan dari Ibnu Rusyd sebagaimana yang

telah dijelaskan secara terperinci dalam biografi Ibnu Bajjah pada bab

sebelumnya, namun tidak dapat dipungkiri sejarah mencatat masa-masa sulit

para failasuf yang mendapatkan kehidupan yang terancam. Disaat Yousuf bin

Tasyfin digantikan oleh putranya yang bernama Ali bin Yousuf kekuasaan

jatuh ditangan para ahli fiqh atau fuqaha dan para ahli hadits atau

muhaditsun39, dan khalifah Ali Yousuf tidak mampu membuat keputusan

tanpa berkonsultasi dengan para ahli agama, karena mereka adalah tokoh yang

memiliki otoritas terhadap masyarakat, sementara Ibnu Bajjah hidup dalam

periode tersebut dan tidak bisa bekerjasama dengan para fuqaha maupun para

muhadits. Tampil salahsatu nama selain Ibnu Bajjah yakni Malik bin Wuhayb

dan Ibn Hazm merupakan pemikir bebas dimasa itu namun mereka

meninggalkan jalan filsafat dan memilih jalan lain (mempelajari agama) sebab

takut karena beberapa orang telah mengancam hidupnya sehingga mereka

berhenti melakukan pendalaman pengetahuan yang rasional. Sehingga Ibnu

Bajjah merupakan sosok yang mutawahhid yang berada dalam pengasingan

sebab failsauf lain tidak eksis.

Filsafat politik dan etika Ibnu Bajjah beraliran Farabian40 atau terpengaruh

oleh pemikiran Al Farabi, satu persamaan yang terlihat nyata antara Ibnu

Bajjah dan Al Farabi yakni keduanya sama sama sepakat bahwa ilmu dapat

38
A. Heris Hermawan, DKK, Filsafat Islam, (CV Insan Mandiri: Bandung, Cet1, 2011),
hal. 116
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
39

Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 35


40
Abdulloh Hanif, “Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah:Tahapan Kedewasaan
Intelektual Dan Spiritual Manusia”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.18, No.1, Januari-Juni 2019, hal
24
64

mengatasi segalanya, dari segi perbedaannya Al Farabi secara optimis dapat

membangun kota ideal dengan figur seorang failasuf sebagai citra ideal yang

layak menjadi sosok pemimpin, sedangkan Ibnu Bajjah justru bersikap

pesimis dengan konstruksi sosial ideal tersebut dan menganjurkan untuk

bermutawahhid semacam menjauhi realitas sosial yang tidak memungkinkan

para failasuf untuk berkontemplasi. Ibnu Bajjah tidak melihat kota ideal

sebagaimana yang dicita-citakan Al Farabi dalam kehidupannya, justru

melihat kota yang tidak ideal menjadi ancaman bagi para failasuf untuk

memperoleh kesempurnaan intelektualnya41

Bila seluruh masyarakat maupun negara menolak sosok failasuf, menolak

prestisenya maupun haknya untuk memimpin, dia tetap bisa menjadi

mudabbir42 atau penguasa, karena tanpa hal tersebut dia tetap bisa memerintah

dirinya sendiri, dan memiliki pemerintahannya sendiri, ia masih menjadi

seorang raja, dan dapat menjalankan perannya dan tidak membutuhkan

kerajaan yang sempurna sebab dia adalah sosok raja secara esensi. Tadbir Ibnu

Bajjah merupakan wujud pemerintahan dari seseorang yang hidup dalam

situasi yang tidak layak yang membuatnya memilih untuk soliter. Adapun

beberapa karakteristik yang bisa menjadi acuan bahwa salahsatu negara

dianggap sempurna adalah ditandai dengan ketiadaan terhadap seni,

pengobatan dan hukum karena hubungan antara seluruh negara diasaskan

cinta sehingga tidak ada perselisihan diantara mereka sama sekali. Apabila

negara kehilangan cinta dan perselisihan terjadi, maka dibutuhkan pengadilan

41
Abdulloh Hanif, “Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah:Tahapan Kedewasaan
Intelektual Dan Spiritual Manusia”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.18, No.1, Januari-Juni 2019, hal
24
42
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 31
65

dan qadli (pengadil), selain itu karakteristik lain adalah ketiadaan dokter

dinegara tersebut, karena masyarakatnya tidak memakan makanan yang

berbahaya, sehingga tidak membutuhkan pengetahuan tentang obat,

karakteristik lainnya yaitu ketiadaan al nawabit atau alang-alang, Karena

jelas bahwa negara yang sempurna setiap warga negaranya diberikan tugas

terbaik sesuai dengan yang ia persiapkan43.

Ibnu Bajjah sebagaimana pendahulunya yakni Al Farabi mengupayakan

terbentuknya kota yang sempurna yang disebut dengan al Madinah al

Kamilah namun berbeda dengan Al Farabi, Ibnu Bajjah menggambarkan kota

yang sempurna dapat terwujud bukan oleh transformasi eksternal, reformasi,

atau revolusi namun oleh transformasi internal dari berbagai individu yang

telah menyatu dengan akal aktif44 dan dapat mengaplikasikannya dengan

sempurna, dan individu tersebut adalah sosok yang menyendiri, terasing,

solitary figures, strangers, exiles dari dunia yang terdiri dari manusia yang

tidak dapat menangkap pandangan tentang dunia yang benar-benar dapat

dipahami.

Filsafat sinkretisme (pemaduan) yang percaya mengenai kesatuan tunggal

digunakan Ibnu Bajjah untuk menjelaskan realitas mutawahhid, Ibnu Bajjah

menggambarkan seseorang penyendiri atau seorang failsuf sebenarnya adalah

genuine philosopher sebagai seseorang yang mencari keterhubungan dengan

akal aktif, hal tersebut sebagaimana pendahulunya yakni Al Farabi

menggunakannya sebagai entitas spiritual yang harus dicapai manusia untuk

43
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 90
44
Abdulloh Hanif, “Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah:Tahapan Kedewasaan
Intelektual Dan Spiritual Manusia”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.18, No.1, Januari-Juni 2019, hal
28
66

mendapatkan kebahagiaan puncak, karena Al Farabi meyakini bahwa setiap

manusia memiliki ‘watak bawaan tertentu’ yang dapat menerima bentuk

pengetahuan yang disebut intelek potensial, dengan intelek ini mampu

mengabstraksikan bentuk pengetahuan yang berisi potensi untuk mencapai

intelek aktual, namun proses abstraksi dari intelek potensial tidak bisa

terwujud tanpa bantuan ‘cahaya’45 dari intelek aktif, pandangan ini disebut

juga dengan a philosopico-ethical program of solution atau program filsafat

etika untuk keselamatan bagi jiwa yang mengambil bagian dari kondisi

keterhubungan dengan akal aktif

Mutawahhid bukanlah seseorang yang makrifat tetapi orang-orang yang

mampu mencapai penyatuan dengan intelek aktif atau aql al faal dan

menyendiri dari dunia sosial yang tidak ideal46. Tadbir al Mutawahhid yang

menyatakan mengenai kota yang sempurna hanya dapat terwujud melalui

kesempurnaan individu yang memiliki kesatuan intelek dengan intelek aktif

atau akal faal

Karya Ibnu Bajjah seolah menggambarkan situasi sosial pada masa itu,

termasuk kondisi pribadinya, akan tetapi sangat disayangkan Ibnu Bajjah

meninggal sebelum sempat menikmati kejayaannya sebagai seorang failasuf,

dan belum menyelesaikan karya-karyanya termasuk kitab Tadbir al

Mutawahhid47, karena kitab tersebut masih dianggap belum selesai, Ibnu

45
Abdulloh Hanif, “Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah:Tahapan Kedewasaan
Intelektual Dan Spiritual Manusia”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.18, No.1, Januari-Juni 2019, hal
25
46
Abdulloh Hanif, “Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah:Tahapan Kedewasaan
Intelektual Dan Spiritual Manusia”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.18, No.1, Januari-Juni 2019, hal
21
47
Abdulloh Hanif,” Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah:Tahapan Kedewasaan
Intelektual Dan Spiritual Manusia”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.18, No.1, Januari-Juni 2019, hal
22
67

Bajjah tidak menjelaskan secara terperinci mengenai keadaan manusia

penyendiri, dan menyimpulkan risalah Tadbir-nya hanya sebagai realitas

empiris manusia. Majid Fakhry berpendapat sebagaimana dia mengutip

tulisannya Ibnu Thufayl, ada dua faktor yang menghambat kejeniusan sosok

Ibnu Bajjah yakni kematiannya terlalu cepat dan ambisinya terhadap dunia

dalam arti Ibnu Bajjah tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan hidupnya

dan situasi umum masyarakat Andalusia pada waktu itu. Catatan De Bour

menulis Ibnu Bajjah hidupnya sangat singkat dan mengakui bahwa dia

bukanlah seseorang yang bahagia dan selalu merindukan kematian sebagai

perlindungan terakhirnya, karena kebutuhan material dan pengisolasian

intelektual menjadi salahsatu faktor yang menurunkan spiritnya.


BAB IV

KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF IBNU BAJJAH

A. Mutawahhid Jalan Menuju Kebahagiaan

Mutawahhid adalah jawaban untuk orang-orang yang berada di wilayah

negara yang tidak sempurna, sebab andai saja negara itu menjadi sempurna maka

tidak di butuhkannya lagi kitab Tadbir Al Mutawahhid.1 Al- mutawahhid juga

dapat di terjemahkan sebagai orang yang hidup menyendiri, terpisah dengan orang

lain, Mutawahhid secara etimologi merupakan manusia penyendiri, yakni

manusia yang mengasingkan diri, dari keburukan-keburukan orang lain karena di

khawatirkan dapat terpengaruh oleh perbuatan manusia yang tidak baik.2

Manusia penyendiri atau mutawahhid dalam pandangan Ibnu Bajjah

adalah sosok failasuf yang hidup pada salah satu negara tidak sempurna, yang

mana mereka cukup hanya berhubungan dengan ulama dan ilmuwan saja dan

mengasingkan diri dari sikap dan perbuatan-perbuatan masyarakat yang tidak

baik3.

Apabila tidak ditemukan seorang ulama dan ilmuwan, maka mereka harus

mengasingkan diri secara total. Dalam artian, tidak berhubungan sama sekali

dengan masyarakat, kecuali dalam hal-hal yang tidak dapat dihindarkan. Selain

itu, kalau tidak bisa berteman dan bergaul dengan ulama dan ilmuwan,

bertemanlah dengan orang-orang baik yang selalu mengajak pada kebaikan serta

takut akan maksiat. Bertemanlah dengan orang-orang yang beriman kepada Allah,

sehingga ikut menjadi manusia beriman. Teman adalah cerminan dari diri

1
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Tahqiq kitab tadbir al-Mutawahhid, ( Jakarta,
turos, 2018), h..11
2
A. Heris Hermawan, DKK, Filsafat Islam, (CV Insan Mandiri: Bandung, Cet1, 2011),
hal.125
3
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 7-8

68
69

seseorang. Jika temannya baik seseorang tentu akan menjadi baik pula. Jika dia

jahat maka dapat dipastikan akan menjadi jahat juga.4Pertemanan sangat

mempengaruhi perilaku dan tingkah laku seseorang, sehingga pilihlah teman yang

memiliki perilaku yang baik

Selain itu Istilah mutawahhid juga di sematkan kepada Tuhan, yang maha

tunggal, dia yang sifatnya kesatuan dalam esensi yang tidak ada keserupaan

ataupun perbandingan dengan selainnya.

Al mutawahhid hanya memiliki kebahagiaan sebagai manusia soliter

( penyendiri / sendirian) dan tadbir yang sempurna pastilah tadbir soliter;

terlepas disana ada satu orang atau lebih, sejauh tidak ada bangsa atau negara

yang tidak sejalan dengan pandangan dunia mereka. Artinya baik manusia yang

hidup di negara-negara mereka baik di antara teman, tetangga, mereka tetaplah

menjadi manusia asing dalam pandangan teman maupun tetangga tersebut.

Fikiran-fikiran merekapun berjalan menuju tingkatan-tingkatan lain yaitu ke arah

negara yang sempurna bagi diri mereka sendiri.

Manusia penyendiri atau disebut dengan al Insan al munfarid5 terdapat

dalam karya besar Ibnu Bajjah yakni dalam Kitab Tadbir al Mutawwahid.

Pembicaraan mengenai hal tersebut erat kaitannya dengan permasalahan politik

dan akhlak. perlu digaris bawahi uzlah atau penyendiri yang dikemukakan oleh

Ibnu Bajjah bukan menjauhi manusia, namun tetap berhubungan dengan

masyarakat, tetapi bisa menguasai dirinya sendiri serta hawa nafsunya agar tidak

terbawa arus oleh keburukan kehidupan masyarakat6. Dia menjadi pusat bagi

4
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 7-8
5
A. Heris Hermawan, DKK, Filsafat Islam, (CV Insan Mandiri: Bandung, Cet1, 2011),
hal.125
6
Ahmad Zaini,” Telaah pemikiran Ibnu Bajjah”, Fikrah Vol 3 No.1 Juni 2015 , hal 73
70

dirinya sendiri dan menjadi pusat panutan bagi masyarakat, bagi Ibnu Bajjah

setiap orang mampu menempuh jalan tersebut. Jika terdapat hambatan, itu karena

meremehkan diri sendiri dan karena tunduk terhadap keburukan masyarakat. Jika

setiap orang mampu meninggalkan sikap keburukan masyarakat, tentu dapat

memperoleh kebahagiaan,

Selain itu Ibnu Bajjah berpendapat setelah manusia bersih dari sifat

keburukan dapat bersatu dengan akal aktif sehingga mampu memperoleh puncak

makrifat karena limpahan dari Allah, uzlah yang ditekankan Ibnu Bajjah bukan

uzlahnya kaum sufi yang total mengasingkan diri dengan masyarakat, uzlah yang

tepat bagi Ibnu Bajjah adalah uzlah falsafi7 sebagaimana yang telah dijelaskan

sebelumnya yaitu tetap berhubungan dengan masyarakat, dan wajib menjauhkan

diri dari sifat tercela serta sanggup mengendalikan diri agar tidak terbawa

keburukan, atau hanya bergaul dengan para ‘alim (orang-orang yang berilmu),

apabila tidak demikian bahkan uzlah total dalam arti hanya bergaul dengan

masyarakat terbatas pada hal yang tidak dapat di hindari saja.

Lebih lanjut sebagaimana dikutif dari seorang penyair bernama Zayd Ibn

Adi al Abbadi, mengatakan bahwa:

“Jangan tanya tentang si orang itu sendiri, melainkan tentang teman-


temannya, sebab tiap manusia diarahkan oleh teman-temannya,” 8
Konsep uzlah (penyendiri) Ibnu Bajjah adalah uzlah aqliyyah sangat

berbeda dengan uzlah yang dilakukan para sufi, bahkan Ibnu Bajjah mengkritik

uzlah para sufi khususnya kepada tokoh Al Ghazali karena bertentangan dengan

watak manusia sebagai manusia sosial. Ibnu Bajjah mengenal kitab Al Ghazali

seperti al Munziq min al Dhalal dan Ihya ulum al Din.

7
A. Heris Hermawan, DKK, Filsafat Islam, (CV Insan Mandiri: Bandung, Cet1, 2011),
hal.123
8
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 10
71

Ibnu Bajjah menegaskan hanya seorang mutawahhid yang dapat mencapai

tingkat akal mustafad yakni akal yang telah menerima pengetahuan dari akal faal

sehingga makna penyendiri Ibnu Bajjah mirip dengan konsep bijaksana Al Farabi,

seseorang tersebut dapat berkomunikasi dengan akal faal9

Orang-orang yang suka menyendiri atau mutawaahid disebut Ibnu Bajjah

sebagai orang yang sempurna yang hidup diperkotaan. Penyindirian itu dianggap

sebagai cara untuk mendapatkan kebahagiaan dalam hidup.

B. Tindakan -Tindakan Manusia Untuk Mencapai Kebahagiaan

Perspektif Ibnu Bajjah

Di dalam kehidupan manusia mutawahhid, tentunya ada tindakan maupun

perbuatan-perbuatan yang dapat menjadikannya masuk ke dalam golongan

mutawahhid, Sebelum dijelaskan mengenai hal ini perlu kiranya diketahui terlebih

dahulu apa itu mutawahhid10.

Penjelasan mengenai manusia penyendiri Ibnu Bajah lebih dulu

memaparkan pengertian Tadbir al mutawahhid, berasal dari bahasa Arab dan

memiliki pengertian yang luas, namun pengertian yang di inginkan oleh Ibnu

Bajjah adalah aturan yang sempurna11, mengatur perbuatan untuk mencapai tujuan

yang diinginkan, jika Tadbir yang dimaksudkan pengaturan yang baik untuk

mencapai tujuan tertentu, maka Tadbir tentu hanya khusus untuk manusia, sebab

dalam pengertian tersebut hanya dapat dilakukan melalui perantara akal, dan akal

terdapat pada manusia, sedangkan perbuatan manusia didasarkan oleh ikhtiar. Hal

9
A. Heris Hermawan, DKK, Filsafat Islam, (CV Insan Mandiri: Bandung, Cet1, 2011),
hal.123
10
Ahmad Zaini, “Telaah Pemikiran Ibnu Bajjah”, Fikrah Vol 3 No.1 Juni 2015 , hal
11
A. Heris Hermawan, DKK, Filsafat Islam, (CV Insan Mandiri: Bandung, Cet1, 2011),
hal.125
72

inilah yang membedakan antara manusia dengan hewan. Lebih lanjut Ibnu Bajjah

menjelaskan Tadbir dengan pengertian umum dan pegertian khusus. Tadbir

dalam pengertian umum adalah tindakan-tindakan manusia.

Sedangkan Tadbir12 dalam pengertian khusus merupakan pengaturan

negara dalam mencapai tujuan tertentu, yaitu kebahagiaan. Disisi lain Ibnu Bajjah

menghubungkan istilah Tadbir dengan Tuhan, Karena Tuhan Maha Pengatur yang

disebut Al Mutadabbir. Ia telah mengatur alam sedemikian rapi dan teratur tanpa

cacat. Pemakaian kata ini kepada Allah hanya untuk penyerupaan semata

(analogis) untuk manusia, yaitu masyarakat awam yang menggunakan istilah

Tadbir dengan proses analogi, sedangkan para failsauf menerapkannya dengan

proses equivokal atau mengandung dua arti atau musytaraq13 karena Tadbir

merujuk secara orisinil kepada Tuhan, sehingga Tadbir real adalah Tadbir Tuhan,

yaitu Tadbir yang benar, tepat dan sempurna.

Dalam permulaan kitabnya Ibnu Bajjah menggunakan dua makna untuk

Tadbir yaitu negara yang merupakan makna umum yang dipakai untuk

masyarakat. Atau pribadi manusia yang merupakan makna khusus. Tadbir dalam

beberapa kasus memiliki tiga karakteristik : (a). Milik manusia semata, (b).

Merujuk pada rezim potensial (c). Mengenai benar dan salah14

Tadbir adalah tindakan manusia karena tidak dapat muncul tanpa manusia

dan pemikirannya, rasionalitas merupakan peran penting dalam kitab Tadbir Al

Mutawahhid, karena manusia berada di puncak piramida makhluk-makhluk

12
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 19
13
Abdulloh Hanif, “Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah:Tahapan Kedewasaan
Intelektual Dan Spiritual Manusia”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.18, No.1, Januari-Juni 2019, hal
55
14
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 19
73

ciptaan. Manusia dibedakan dari semua makhluk lain karena adanya rasional

dalam diri manusia. Ibnu Bajjah mendiskusikan lebih jauh perbedaan antara

manusia dengan makhluk lainnya dalam rangka menunjukkan pentingnya fakta

manusia memiliki rasionalitas.

Manusia penting karena sebab pilihan yang menjadi keniscayaan untuk

memperoleh Tadbir, Tindakan istimewa manusia adalah tindakan-tindakan pilihan

sebagaimana Ibnu Bajjah Berkata :

“Tindakan Manusia yang membuatnya istimewa adalah tindakan-


tindakan yang dikelola oleh pilihan, sebab segala sesuatu yang manusia
lakukan melalui pilihannya adalah tindakan insani, dan tiap-tiap tindakan
insani merupakan tindakan pilihan, yang dimaksud dengan ungkapan
pilihan adalah kehendak yang merupakan hasil dari pemikiran
(rasionalitas), pemikiran, akal, inspirasi, wahyu dan secara umum afeksi
(kasih sayang)”15

Tindakan manusia dibedakan menjadi tindakan insani, tindakan hewani,

dan tindakan jamadi,16 dimana tindakan insani adalah tindakan manusia yang

berasal dari pilihan, dan hasil dari pemikiran yang rasional sehingga menimbulkan

ikhtiyar. Sedangkan tindakan hewani17 berasal dari afeksi psikologis yang berada

dalam jiwa seperti hasrat, dan tindakannya dilakukan tanpa tujuan, hanya semata-

mata ingin melakukannya saja, tanpa pemikiran maupun pertimbangan dari akal

sehingga tindakan tersebut dinamakan hewani dan datang secara eksklusif dari

jiwa hewani. Misalnya seseorang yang memakan buah plum hanya karena

menginginkannya kemudian terkena penyakit diare, tindakan tersebut secara

esensial adalah tindakan hewani, sedangkan secara aksidental adalah tindakan

15
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 21
16
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 72
17
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 70
74

insani. Seandainya orang tersebut mempertimbangkan terlebih dahulu sifat buah

plum yang asam bukan sekedar hanya ingin memakannya tanpa alasan maupun

pertimbangan, secara aksidental insani dilihat dengan alasan bisa jadi hal tersebut

bermanfaat apabila diinginkan. Unsur hewani melekat pada diri manusia secara

alamiah, apabila manusia ingin tindakannya bernilai benar, diharuskan bagi

manusia untuk memiliki kebaikan moral, sehingga disaat jiwa rasional

menentukan sesuatu, jiwa hewani tidak menentangnya.18 Sebab jika seseorang

kekurangan kebaikan moral, jiwa hewani dapat menentang akalnya sehingga

tindakannya menjadi cacat ( tidak eksis/mewujud). Adapun tindakan jamadi

merupakan suatu tindakan paksaan yang tidak ada pilihan didalamnya, tidak ada

tujuan sama sekali.

Setelah mempertegas arti tadbir, yaitu pengaturan perilaku manusia, Ibnu

Bajjah kemudian mulai menganalisa perilaku-perilaku itu untuk mengetahui

perbuatan mana yang mampu menerima tadbir. Di saat manusia tersusun dari

jasmani, indera dan akal, maka perbuatan manusia dapat dibedakan menjadi tiga

bentuk19. Pertama adalah perbuatan yang berasal dari jasmani murni seperti jatuh

ke bawah atau naik ke atas. Perbuatan ini tidak menerima tadbir, sebab pada

tatanan ini perbuatan manusia berasal dari sebuah kemestian yang tidak mungkin

dielakkan. Kedua adalah perbuatan yang murni dari tabiat. Perbuatan ini juga

tidak menerima tadbir, sebab pada tataran ini tidak ada perbedaan antara manusia

dengan hewan secara mendasar. Ketiga adalah perbuatan yang berasal dari posisi

manusia sebagai entitas berakal. Perbuatan ini terbagi menjadi dua bagian yaitu

18
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 71
19
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 47
75

perbuatan yang timbul dari ilham ketuhanan dan perbuatan yang datang dari

kehendak manusia sendiri20. Memberikan karakteristik berkehendak pada diri

manusia adalah ditujukan untuk memberikan tingkatan kapabilitas pada diri

manusia yang sangat didasarkan pada perilakunya. Jika perilakunya hanya

lantaran dorongan murni naluri kebinatangan, dimana naluri kebinatangan itu

mampu menundukkan akalnya, maka perbuatannya itu semata karena tuntutan

perwatakan yang ada dalam dirinya. Ini berbeda dengan manusia yang

mempunyai potensi untuk berfikir, mampu membedakan baik dan buruk, juga

punya potensi untuk melakukan perbaikan diri. Tetapi ketika hal itu tidak

digunakan dengan semestinya, maka ia tidak ada bedanya dengan binatang,

bahkan mungkin lebih rendah21

Namun pada sisi lain, ada sebagian manusia yang berperilaku murni

karena dorongan akal dalam dirinya. Perbutannya ini sama sekali tidak

dipengaruhi oleh naluri kebinatangan dalam dirinya. Akalnya mampu

menundukkan naluri kebinatangan22. Ia melakukan perbuatan-perbuatan yang

menjadi titik temu antara manusia dengan binatang seperti makan dan minum, tapi

tidak sebagai tujuan. Ia tidak mengabaikan tuntutan jasmani selama tidak

berlawanan dengan akal sehat. Baginya makan dan minum hanya perantara untuk

mencapai keutamaan perilaku. Makan dan minum tidak hanya sekedar tuntutan

jasmani, melainkan juga untuk memperkokoh diri hingga mampu melakukan

perbuatan-perbuatan positif. Perilaku manusia pada tingkatan ini lebih bisa

dinamakan sebagai perilaku ketuhanan daripada perilaku manusia belaka. Sebab

kebanyakan perilaku manusia tidak dilandaskan pada penalaran murni tersebut.

20
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 50
21
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 53
22
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 59
76

Tiga kategori tindakan manusia sebagai berikut ini23 :

1. Kategori pertama ialah tindakan menciptakan hingga mewujud bentuk

korporeal semata atau bentuk fisik seperti sandang, pangan, papan

2. Tujuan tindakan manusia kategori kedua diarahkan menuju bentuk

spiritual, dalam kategori ini terdapat perbedaan jenis, jenis pertama

adalah sensus communis tindakan ini lebih tinggi memiliki kategori kedua

(spiritualitas) namun lebih rendah karena memiliki kategori pertama

(korporeal), dan tindakannya bisa dapat diperoleh maupun secara alamiah,

contoh adalah busana, busana adalah milik kelas alamiah sementara warna

baju milik kelas korporeal, dan bentuk spiritual sensus communis

memahami sekaligus keduanya pada waktu yang bersamaan (baju dan

warnanya). Jenis kedua, diarahkan pada bentuk spiritual fakultas

imajinasi, dimana jenis ini mengungkapkan emosi tertentu contoh kalimat

berikut menyalakan senjata dimasa tenang (tidak ada peperangan),

mengerutkan dahi. Jenis ketiga, tindakan manusia mendapat

kesempurnaan bentuk-bentuk fakultas rekolektif, dan tindakan ini secara

esensi banyak disukai, karena merupakan kebahagian itu sendiri, istimewa

disaat tindakan ini diasosiasikan dengan tindakan sebelumnya contoh daya

ingat.

3. Kategori tindakan manusia ketiga berkaitan dengan spiritualitas universal,

merupakan tindakan paripurna dari seluruh tindakan, dan pembatas antara

tindakan yang bercampur korporeal, secara absolut spiritualitasnya murni

seperti mengajar, menyimpulkan, dsb.

23
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 97
77

Tujuan akhir dari tindakan mutawahhid atau manusia penyendiri dalam arti

failasuf terdiri dari tiga macam yakni bentuk korporeal, bentuk spiritual

partikuler, dan bentuk spiritual universal24 kesempurnaan secara umum disini

adalah moral dan intelektual , kesempurnaan intelektual mengandung kondisi

partikular bagi bentuk spiritual manusia tidak dimiliki oleh bentuk yang lain

seperti kedalaman pandangan, ketajaman nasihat, dan kearifan falsafat

merupakan yang paling sempurna dari kualitas spiritual manusia, dengan

falsafat manusia mengoptimalkan rasionalnya, tindakan rasional dan ilmu

merupakan kesempurnaan absolut dan digunakan tanpa batas, hal tersebut

adalah karakteristik manusia yang tidak bisa dimiliki makhluk lain. Dengan

bentuk spiritual partikuler mengantarkan pada eksistensi rasional, bentuk ini

terbagi lagi menjadi dua hal yang bersebrangan yaitu eksistensi spiritual dan

esksitensi rasional. Sedangkan bentuk korporeal membawa pada eksistensi

korporeal, eksistensi yang paling singkat. Seseorang yang lebih tertarik pada

bentuk korporeal (fisik) merupakan orang yang buruk, sedangkan orang yang

lebih memperhatikan bentuk spiritual merupakan orang yang mulia.25 Contoh

tindakan ini adalah perilaku Hatim Al Tha’i waktu menyembelih kuda untuk

tamu, dia tidak memakannya dan menghidangkannya untuk keluarganya

biarpun anak-anaknya merasa kelaparan. Watak seperti itu adalah watak luhur

dan spiritual karena mengorbankan sesuatu untuk orang lain. Dan manusia

yang berwatak falsafi harus memiliki kualitas tersebut. Seseorang yang

spiritual harus menampilkan tindakan spiritualnya secara esensial, dan

24
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 121
25
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 126
78

menampilkan tindakan korporealnya tidak esensi, sehingga melalui

korporealnya failasuf menjadi makhluk yang eksis, dan melalui

rasionalitasnya merupakan makhluk ilahi26.

Rasionalitas merupakan tema utama dari karya Ibnu Bajjah, bukan hanya

terdapat dalam Kitab Tadbir saja, tapi dikebanyakan karyanya seperti Risalah

Al Wada, Ittishal al Aql bi al Insan, dua risalah tentang rasionalitas, muncul

pertanyaan bagaimana memperoleh kebahagiaan, kesempurnaan serta

keberkahan manusia failasuf (al mutawahhid), karena tingkatan yang lebih

tinggi adalah manusia yang mencari kesempurnaan dengan mengejar nilai-

nilai moral. Ia naik pada tingat hewan irasional yang paling mulia, sebab

meraih tingkat mudabbir, yang lebih tinggi lagi adalah tingkatan seseorang

yang menuju pada kesempurnaannya. manusia adalah Mudabbir namun

tadbir-nya masih membuatnya hamba dari orang lain, karena masih dipimpin

dan diatur oleh orang lain. Namun saat seseorang menjadi sempurna secara

esensial tanpa membutuhkan orang lain ia adalah mudabbir untuk urusannya

sendiri dan merupakan pusat seluruh eksistensi. Tiap-tiap manusia wajib

memilih negaranya sendiri dan tiap failsuf secara normal memilih negara yang

sempurna27.

Manusia bahagia yang memiliki Tadbir adalah yang mengamati realitas

sesuatu atau bentuk-bentuk spiritual intelligible (yang di fikirkan) dan konsep

rasional sehingga inilah manusia yang diarahkan untuk menuju pengetahuan

teoritis, ilahiyah, dan superior karena melalui korporioritas, failasuf

26
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 129
27
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 22
79

merupakan manusia yang eksis, sedangkan melalui spiritualitas failasuf

merupakan makhluk yang lebih tinggi dan melalui rasionalitas failasuf

merupakan makhluk ilahiah dan superior pemilik kearifan.

Tadbir menurut Ibnu Bajjah wajib dikaitkan dengan teori pengetahuan

sehingga melangkah melalui diskusi panjang mengenai macam-macam

perbedaan bentuk spiritual, karena bentuk spiritual adalah konsep yang sesuai

dengan pengetahuan. Teori pengetahuan terbagi menjadi tiga : (1).

Pemahaman terhadap bentuk atau objek korporeal yang dibatasi indra

eksternal. (2). Pemahaman terhadap bentuk spiritual partikular atau bentuk

yang memiliki dua macam hubungan, yakni hubungan antara bentuk dan

objek partikularnya, dan hubungan universal dari bentuk. Hubungan universal

merupakan hubungan dimana antara bentuk dan orang-orang saling berbeda

dalam memahaminya, dan bentuk itu disebut bentuk perantara, bentuk

perantara merupakan bentuk yang berjalan melalui sensus communis dan

imajinatif. (3). Pemahaman terhadap bentuk Intelligible (yang dipikirkan)

yang hanya dimiliki oleh para failasuf saja, dengan adanya bentuk tersebut

maka Tadbir mewujud atau ada. Diantara tiga kategori yang dikemukakan

Ibnu Bajjah tentang pengetahuan dan hanya manusia failasuf yang melihat

kebenaran, pertama terdapat manusia yang melihat hanya sebatas cahaya

sebagaimana yang direfleksikan dari tubuh, kedua,terdapat manusia yang

seperti melihat sang matahari didalam cermin, ketiga, terdapat manusia-

manusia bahagia yang seperti matahari itu sendiri28.

28
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 24
80

Adapun sebagai tambahan mengenai teori pengetahuan Ibnu Bajjah dan

Tadbir dihubungkan dengan pemahamannya tentang jiwa, karena jiwa

merupakan pembahasan yang mengandung daya yang berbeda, sebagai alat

dari manusia untuk mencapai tingkatan dalam pengetahuan, tingkatan

pengetahuan manusia bergantung pada fakultas-fakultasnya dan kemampuan-

kemampuannya, adapun Tadbirnya bergantung pada pengetahuannya29

Perlu ditegaskan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya tindakan

manusia yang berhubungan dengan al mutawahhid terbagi dalam tiga bagian,

yaitu tindakan yang berhubungan dengan bentuk korporeal,tindakan yang

berhubungan dengan bentuk spiritual, tindakan yang berhubungan dengan

bentuk universal , dan bentuk spiritual partikular, pada esensinya bentuk-

bentuk tersebut bukanlah tujuan final, namun melalui tindakan tersebut tujuan

sebenarnya untuk memperoleh kebahagiaan dapat terwujud30

Dalam hal perbuatan manusia, Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia

menjadi dua kategori:

1. Perbuatan yang muncul dari motivasi naluri.

2. Perbuatan yang muncul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang

bersih/tinggi. Pebedaan di antara kedua jenis tersebut bukan terletak

pada perbuatannya namun terletak pada motivasinya.31

Berdasarkan pada motif tersebut kebaikan yang di hasilakan dari tindakan

memiliki tingkatan yang berbeda-beda yaitu kebajikan formal dan kebajikan

29
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 25
30
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 155
31
Rasyad, “Dimensi Akhlak Dalam Filsafat Islam”,Substantia, Vol.17,No.1, April 2015,
h.98
81

spekulatif. Kebajikan formal adalah pembawaan sejak lahir tanpa ada pengaruh

dari kemauan atau spekulasi, seperti sikap kejujuran pada hewan. Sedangkan

kebajikan spekulatif merupakan kebajikan yang di hasilkan dari kemauan dan

spekulasi artinya tindakan yang di lakukan demi kebenaran itu sendiri dan

tindakan ini di sebut juga tindakan illahi atau ketuhanan.32

Agar manusia mampu mencapai kedekatan dengan Tuhan ibnu bajjah

menganjurkan melaksanakan tiga perbuatan:

1. Senantiasa mengingat Tuhan dan memuliakannya.

2. Senantiasa mengalahkan organ tubuh bertindak sesuai keinginan hati.

3. Menghindari perbuaan yang membuat kita lalai dalam mengingat

Tuhan dan membuat hati berpaling dari-Nya.33

C. Konsep Kebahagiaan Perspektif Ibnu Bajjah

Tingkat kebahagiaan sejati dalam diri manusia berada dalam akal

mustafad34, yakni keadaan seseorang yang siap menerima emanasi seluruh objek

rasional yang berasal dari akal aktif sehingga perilaku berpikir dengan akal adalah

salah satu hal yang dapat mewujudkan kebahagiaan dalam diri manusia.

Dalam karyanya Tadbir Al Mutawahhid Ibnu Bajjah menggambarkan

seorang mutawahhid merupakan seseorang yang mencari keterhubungan dengan

akal aktif, hal ini merupakan sebuah entitas spiritual yang harus dicapai oleh

32
Mustain,”Etika Dan Ajaran Moral Filsafat Islam: Pemikiran Para Filosof Muslim
Tentang Kebahagiaan”, Jurnal Studi Keislaman :Ulumuna, Vol.17, No.1, Juni, 2013, h.208
33
Masganti Sitorus, M Idris, “ kepribadian Manusia Mnurut Ibnu Bajjah”, Analytica
Islamica, Vol.1. No.1,2012, h. 108
34
A Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h 108
82

manusia untuk memperoleh kebahagiaan.35 Setiap manusia mempunyai watak

bawaan tertentu yang siap menerima bentuk pengetahuan dalam intelek potensial,

dimana intelek ini berisi potensi yang mengabstraksikan bentuk pengetahuan yang

diserap, setelah itu menuju intelek aktual. Proses abstraksi dari intelek potensial

tidak akan terwujud apabila tidak ada cahaya dari akal aktif atau akal faal.

Filsafat kebahagiaan Ibnu Bajjah adalah persoalan etis dan eskatologis,

pemikiran filsafatnya menunjukkan ittishal (keterhubungan) dengan akal aktif ,

sebagai kondisi pencapaian intelektual dan spiritual manusia dimana fikirannya

telah menyatu dengan Yang Maha Mengetahui, kebahagiaan menurut para failasuf

adalah harapan puncak dari pencapaian dengan Akal Aktif , Sebagaimana Ibnu

Bajjah meyakini bahwa kebaikan adalah kebahagiaan itu sendiri, berarti makna-

makna universal yang didapatkan dalam kondisi keterhubungan dengan Akal Aktif

dan akal mustafad, dengan menyematkan sifat spiritual ketuhanan pada akal

mustafad maka secara tidak langsung kebahagiaan itu bersifat spiritual murni36.

Ibnu Bajjah menawarkan mutawahhid sebagai jalan untuk memperoleh

kebahagiaan, solusi tersebut bukan tanpa sebab, namun dilatarbelakangi oleh

suatu keadaan dimana seorang failasuf berada dalam kondisi negara yang tidak

mendukung, sehingga para failasuf sulit untuk berkontemplasi dan berpikir secara

radikal karena berbagai ancaman dan tuduhan tertuju kepada pemikirannya yang

dianggap tidak umum dengan masyarakat, singkatnya, mutawahhid dapat

memperoleh kebahagiaan sebagai manusia yang soliter atau penyendiri dan

35
Abdulloh Hanif, “Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah”, Jurnal Ushuluddin,
Vol.18, No.1,Januari-Juni 2019, h. 24
36
Abdulloh Hanif, “Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah”, Jurnal Ushuluddin,
Vol.18, No.1,Januari-Juni 2019, h. 28
83

sendirian37 dengan cara hidup mengasingkan diri atau menjauhkan diri dari

perbuatan tercela yang ada dalam masyarakat dalam kondisi negara yang fasiq,

kacau balau. Definisi diatas mengindikasikan bahwa Ibnu Bajjah menaruh besar

pada rasionalitas, karena dengan akal manusia mampu membedakan mana yang

benar dan tidak, dan menjadi sosok yang bijaksana, tindakan manusia mutawahhid

bukanlah suatu tindakan yang tanpa mendasar, karena seorang mutawahhid

menentukan segala tindakan secara rasional atas dasar pertimbangan akal, akal

memperoleh tingkatan yang paling tinggi dalam diri seorang failasuf, karena

melalui akalnya dan dengan mengoptimalkan potensi akalnya, failasuf dapat

berhubungan dengan akal aktif sehingga memperoleh kebahagiaan yang

sebenarnya. Karena Ibnu Bajjah meyakini manusia dapat memperoleh

pengetahuan dengan potensi akal, dimana setelah manusia bersih dari sifat

keburukan yang terdapat di suatu masyarakat maka dia bisa bersatu dengan akal

aktif ketika itulah dia memperoleh puncak makrifat karena limpahan dari ‘cahaya’

Tuhan38.

Kebahagian kaum Mutawahhid itu didapatkan melalui manajemen

jiwanya sampai kepada penyatuannya dengan akal (al-aql al fa’al) yang kemudian

akan disempurnakan secara abadi melalui akal perolehan (al-Aql al-Mustafad)39

Dalam Pemikiran ini, Ibnu Bajjah memberikan suatu pemahaman bahwa

pembinaan terhadap individu masyarakat harus lebih diprioritaskan sebelum

melakukan pembinaan terhadap tatanan sosial masyarakat. Artinya analisa sosial

secara langsung dan terperinci sangat dibutuhkan dalam rangka menyelamatkan

37
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 13
38
A. Heris Hermawan, DKK Filsafat Islam,( CV. Insan Mandiri: Bandung,, Cetakan
Pertama, Januari 2011), h 133
39
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 14
84

ketidakstabilan sebuah tatanan sosial. Dalam hal ini, etika melakukan tadbir

terhadap jiwa manusia sehingga jiwa merupakan obyek kajian ilmu etika,

sedangkan politik melakukan tadbir terhadap tatanan sosial masyarakat sehingga

menjadi obyek kajian ilmu sosial. Dengan demikian, tadbir yang dikehendaki oleh

Ibnu Bajjah adalah tadbir pada diri manusia, yaitu pada orang-orang yang

terisolasi (mutawahhidin) dari kehidupan komunitas. Orang-orang ini bisa jadi

hanya satu orang saja dan bisa lebih, asal pemikiran dan perilakunya tidak

mencerminkan perilaku dan pemikiran komunitasnya40.

Orang-orang inilah yang oleh Ibnu Bajjah disebut dengan mutawahhidin

atau ghuraba dalam dunia sufi. Kaum mutawahhidin adalah mereka yang

menjalani kehidupan dalam komunitas tidak ideal, penuh kesesatan dan tidak

bermoral tetapi tidak larut dalam kesesatan itu. Hanya merekalah satu-satunya

manusia yang mendapatkan kebahagiaan secara individu41.

Kebahagiaan dalam Negara ideal tidak mungkin bersifat menyeluruh

karena tidak semua warga Negara menggunakan akal sehatnya dalam menyikapi

suatu permasalahan. Hanya para failsuflah yang akan mendapatkan kebahagiaan

itu, sebab hanya merekalah yang menggunakan akal sehatnya dalam menyikapi

permasalahan.

Kebahagiaan sifatnya adalah rohani, bukan dirasakan oleh jasmani. Maka

seorang mutawahhid harus mengetahui bentuk-bentuk perilaku baik yang sifatnya

zahir maupun batin, mana yang dapat mengantarkan kepada kesenangan jasmani

sesaat mana yang bersifat rohani42. Dalam hal ini Ibnu Bajjah membagi bentuk

rohani menjadi dua. Pertama rohani shadiqah (benar), yaitu rohani yang diilhami

40
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 25
41
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 38
42
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 20
85

dengan perilaku-perilku yang al kamilah (baik, sempurna), perilaku zahir maupun

batin. Sehingga dengan ruhaniyah as shadiqah al kamilah tersebut seseorang akan

menggapai kebahagiaan hakiki, hati yang bersih. Hati yang bersih akan

menghasilkan akal pikiran yang sehat, akal yang sehat akan melahirkan perbuatan

yang baik. Dengan demikian, kehidupan sosial akan baik dan negara akan stabil.

Itulah kebahagiaan43.

Kedua, ruhani al kadzibah (buruk). Contohnya, seperti riya', ujub, suka

perkara subhat, dll. Pada dasarnya satu bentuk ruhani yang buruk akan

menorehkan satu tinta hitam dalam jiwa seseorang. Sehingga terkadang wajah dan

aura seseorang juga akan terlihat kusam. Selain itu, perilaku yang ditimbulkan

juga perilaku yang buruk, penuh kebohongan dan akan membawa malapetaka

bagi dirinya dan kehidupan sosialnya44

Keistimewaan manusia terdapat pada daya fikir yang menjadi sumber

perbuatan, semua perbuatan yang di dasarkan pada akal sehat di sebut perbuatan

ikhtiyriya atau manusiawi, jika perbuatan manusia di dasarkan atas fikirannya

demi kebenaran itu di namakan perbuatan illahi, sehingga jika akal memutuskan

sesuatu, dan tidak di tentang oleh jiwa hewani, ini berarti jiwa hewani tunduk

pada akal.45

Jika seseorang ingin mencapai pribadi yang bahagia, dimulai dengan

mengenal arti kebahagiaan yang hakiki kemudian mampu mengendalikan diri dari

pengaruh negatif masyarakat kemudian taat mengikuti sunnah yang di turunkan

43
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 21
44
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 22
45
Masganti Sitorus, M Idris, “ kepribadian Manusia Mnurut Ibnu Bajjah”, Analytica
Islamica, Vol.1. No.1,2012, h. 108
86

Allah melalui para rasul-Nya, kemudian di akhiri dengan tetap melaksanakan

perilaku manusia dengan mengalahkan hawa nafsunya.46

46
Masganti Sitorus, M Idris, “ kepribadian Manusia Mnurut Ibnu Bajjah”, Analytica
Islamica, Vol.1. No.1,2012, h. 109
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Mutawahhid adalah jawaban untuk orang-orang yang berada di wilayah

negara yang tidak sempurna yakni bagi failasuf yang tidak dapat mengoptimalkan

potensi akal, tidak dapat berkontemplasi, dan berpikir secara optimal mencari

kebenaran secara rasional karena berbagai alasan yang sifatnya mengancam,

terlebih alasan karena pemikirannya dianggap tidak umum sehingga mendapat

kecaman, bahkan dikafirkan, dengan bermutawahhid yakni hidup soliter, terpisah,

menyendiri dan menjauhkan diri dari sifat tercela yang ada dalam lingkungan

masyarakat, sehingga rasionalitas mampu mengadakan hubungan dengan akal

aktif sehingga seseorang atau failsauf tersebut dapat memperoleh kebahagiaan

yang sebenarnya, yang mana mereka cukup hanya berhubungan dengan ulama dan

ilmuwan saja dan mengasingkan diri dari sikap dan perbuatan-perbuatan

masyarakat yang tidak baik. Apabila tidak ditemukan seorang ulama dan

ilmuwan, maka mereka harus mengasingkan diri secara total. Dalam artian, tidak

berhubungan sama sekali dengan masyarakat, kecuali dalam hal-hal yang tidak

dapat dihindarkan

Ibnu Bajjah kemudian mulai menganalisa perilaku-perilaku itu untuk

mengetahui perbuatan mana yang mampu menerima tadbir. Di saat manusia

tersusun dari jasmani, indera dan akal, maka perbuatan manusia dapat dibedakan

menjadi tiga bentuk :

1. Adalah perbuatan yang berasal dari jasmani murni seperti jatuh ke bawah

atau naik ke atas. Perbuatan ini tidak menerima tadbir, sebab pada tatanan

87
88

ini perbuatan manusia berasal dari sebuah kemestian yang tidak mungkin

dielakkan

2. Adalah perbuatan yang murni dari tabiat. Perbuatan ini juga tidak

menerima tadbir, sebab pada tataran ini tidak ada perbedaan antara

manusia dengan hewan secara mendasar.

3. Adalah perbuatan yang berasal dari posisi manusia sebagai entitas berakal.

Perbuatan ini terbagi menjadi dua bagian yaitu perbuatan yang timbul dari

ilham ketuhanan dan perbuatan yang datang dari kehendak manusia

sendiri. Memberikan karakteristik berkehendak pada diri manusia adalah

ditujukan untuk memberikan tingkatan kapabilitas pada diri manusia yang

itu sangat didasarkan pada perilakunya. Jika perilakunya hanya lantaran

dorongan murni naluri kebinatangan, dimana naluri kebinatangan itu

mampu menundukkan akalnya, maka perbuatannya itu semata karena

tuntutan perwatakan yang ada dalam dirinya. Ini berbeda dengan manusia

yang mempunyai potensi untuk berfikir, mampu membedakan baik dan

buruk, juga punya potensi untuk melakukan perbaikan diri. Tetapi ketika

hal itu tidak digunakan dengan semestinya, maka ia tidak ada bedanya

dengan binatang.

Namun pada sisi lain, ada sebagian manusia yang berperilaku

murni karena dorongan akal dalam dirinya. Perbutannya ini sama sekali

tidak dipengaruhi oleh naluri kebinatangan dalam dirinya. Akalnya

mampu menundukkan naluri kebinatangan. Ia melakukan perbuatan-

perbuatan yang menjadi titik temu antara manusia dengan binatang seperti

makan dan minum, tapi tidak sebagai tujuan. Ia tidak mengabaikan


89

tuntutan jasmani selama tidak berlawanan dengan akal sehat. Baginya

makan dan minum hanya perantara untuk mencapai keutamaan perilaku.

Makan dan minum tidak hanya sekedar tuntutan jasmani, melainkan juga

untuk memperkokoh diri hingga mampu melakukan perbuatan-perbuatan

positif. Perilaku manusia pada tingkatan ini lebih bisa dinamakan sebagai

perilaku ketuhanan daripada perilaku manusia belaka. Sebab kebanyakan

perilaku manusia tidak dilandaskan pada penalaran murni tersebut.

B. Saran

Ibnu Bajjah merupakan tokoh failasuf penting dalam Islam, walaupun tidak

dapat dipungkiri bahwa penulis dan beberapa peneliti lain mengalami kesulitan

dalam mencari riwayat kehidupannya, dan mencari sumber referensi primer yang

lainnya yang membahas tentang Ibnu Bajjah, namun hal tersebut tidak dapat

menghilangkan sebuah fakta menarik bahwa Ibnu Bajjah adalah tokoh yang

menjembatani antara filsafat Islam di Timur dengan Filsafat Islam di Barat,

pemikir setelah tokoh failasuf Al Farabi, Ibnu Sina yang selanjutnya

menginspirasi para tokoh failasuf lain setelahnya.

Perlunya menghidupkan kembali pemikiran failasuf Ibnu Bajjah, karena

pemikirannya mengenai Tadbir Al Mutawahhid merupakan sebuah solusi bagi

para failsauf untuk mencapai puncak kebahagiaan.


DAFTAR PUSTAKA

Abid, Al-Jabiri, Muhammad. Kritik Pemikiran Islam: Wacana Baru Filsafat


Islam, Terj. Burhan. Yogyakarta: Fazar Pustaka Baru. 2003.
Ahwami Al, Fuad, Ahmad, Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1997.
Al Mansor, S Ansory, Jalan Kebahagiaan Yang di Ridhoi, PT. Raja Grafindo
Persada: Jakarta.2010
Anwar, Saeful. Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi.
Bandung: Pustaka Setia. 2007.
Aristoteles. Nichomachean Ethics: Sebuah “Kitab Suci” Etika, Terj. Kenyowati.
Embun,Jakarta: Teraju.2004.
Arroisi, Jarman, Dai, Rahmat Ardi Nur Rifa, Konsep Jiwa Perspektif Ibnu Sina,
Islamica: Jurnl Studi Keislaman, Volume 13, No. 2, Maret 2019; P-ISSN;
1978-3183; e-ISSN; 2356-2218;256-278.
Bagir, Haidar. Risalah Cinta dan Kebahagiaan. Jakarta: PT. Mizan Publika. 2012.
Bajjah Ibnu, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994.
Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius: Yogyakarta, 1999.
Consuelo, G Sevilla,dkk. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: UI Press,
1930.
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Drajat, Amroeni, Suhrawardi; Kritik Falsafah Peripatetik, PT. Lkis Pelangi
Aksara: Yogyakarta, 2005.
Editor Nasr, Sayyed Hossein, dan Leaman, Oliver, Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam, Bandung: Mizan, 2003.
Effendi, Rusfian, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al
Farabi, Deepublish: Yogyakarta, 2017.
Fakhry, Majid “A History of Muslim Philosophy”, Terj. Mulyadi Kartanegara,
Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, Pustaka Jaya: Bandung, Cetakan 1. 1987.
Fakhry, Majid. 2002. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Terj. Zainul
Am. Bandung: Mizan.

90
91

Fuad, Muskinul Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, CV. Hikam Media


Utama: Yogyakarta, 2016.
Fuad, Muskinul, Psikologi Kebahagiaan Manusia, Jurnal Komunika, Vol 9, No.1,
Januari-Juni 2015
Glaxo, Iwan Gayo, Encyclopedia Islam Internaional, Ciputat: Pustaka warga
negara, 2013.
Hamka. Tasawuf Modern: Bahagia Dekat Dengan Kita Ada di Dalam Diri Kita.
Jakarta: Republika, 1990.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.1996.
Hanif, Abdulloh Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah: Tahapan
Kedewasaan Intelektual Dan Spiritual Manusia, Jurnal Ilmu Ushuluddin,
Vol.18, No.1, Januari-Juni 2019.
Hermawan, A, Heris, DKK, Filsafat Islam, CV Insan Mandiri: Bandung, Cet1,
2011.
Kartanegara, Mulyadhi. Lentera Kehidupan. Bandung: Mizan.2017.
Khavari, khalil A the art of happiness menciptakan kebahagiaan dalam setiap
keadaan, Serambi, Jakarta 2015.
Makmur, Arif, Mansur Terjemahan plus Indonesia – inggris. Jakarta; anggota
IKAPI 2009.
Muhammad, Alfan, Aliran Filsafat Etika Islam. Bandung Pustaka Setia. 2011.
Mustain,”Etika Dan Ajaran Moral Filsafat Islam: Pemikiran Para Filosof Muslim
Tentang Kebahagiaan”, Jurnal Studi Keislaman :Ulumuna, Vol.17, No.1,
Juni, 2013.
Mustofa, A, Filsafat Islam, Bandung; Pustaka Setia, 2009.
Mustofa, Hasan. 2015. Sejarah Filsafat Islam Geneologis dan Transmisi Filsafat
Timur ke Barat. Bandung: Pustaka Setia. 2014.
Nasr, Sayyed Hossein, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, IRCiSoD:
Yogyakarta, 2020.
Nasr, Sayyed Hussein, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Mizan: Bandung,
2003.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, PT. Bulan Bintang,
Jakarta, 2014.
92

Rasyad, “Dimensi Akhlak Dalam Filsafat Islam”,Substantia, Vol.17,No.1,


April 2015, h.98
Sholeh, A, Khudori. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2013.
Sitorus, Masganti, Idris,M, “ kepribadian Manusia Mnurut Ibnu Bajjah”,
Analytica Islamica, Vol.1. No.1,2012.
Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1997.
Sukardi Imam, Puncak Kebahagiaan Al Farabi, Pustaka Pelajar: Yogyakarta,
2005.
Suseno Franz Magnis, Menjadi Manusia Belajar dari Ariestoteles, PT. Kanisius:
Yogyakarta, 2016.
Suseno, Franz Magnis, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Aba Ke-19,
PT.Kanisius: Yogyakarta, 1998.
Tim Penyusus. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
Tjahjadi, L, Simon Petrus Petualangan Intelektual: Konfrontasi Dengan Para
Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius.
2004.
Wijaya, Aksin. Nalar Kritis Epistemologi Islam. Yogyakarta: Penerbit Teras.
2014.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Raja
Grafindo.2014.
Yazdi, Mehdi Ha’iri. Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi Iluminasionis
dalam Fisafat Islam, Terj. Husein Heriyanto. Bandung: Mizan.1994.
Zaini, Ahmad Telaah Pemikiran Ibnu Bajjah, FIKRAH, Jurnal Ilmu Aqidah dan
Studi Keagamaan Volume 3, No.1, Juni 2015.
Zaprulkhan, “Filsafat Islam; Sebuah Kajian Tematis”, Depok: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, Depok: PT. Raja
Grafindo Persada, 2014.
Ziyadah, Ma’an, Penerjemah Tahqiq, Nanang, “kitab tadbir al-Mutawahhid,
Jakarta, turos, 2018.

Anda mungkin juga menyukai