IBNU BAJJAH
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama(S.Ag)
Oleh:
Feri Ferdiawan
NIM: 11150331000037
NIM : 11150331000037
1. Skripsi ini merupakan salah satu karya saya yang di ajukan untuk
2. Semua sumber yang saya gunakan untuk penulisan skripsi ini telah saya
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima
(UIN).
Feri Ferdiawan
ii
KONSEP KEBAHAGIAAN DALAM PERSPEKTIF IBNU BAJJAH
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
FERI FERDIAWAN
NIM: 11150331000037
Pembimbing
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No: 507 Tahun
2017 tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Huruf Arab - Latin
No Huruf Huruf
Keterangan
Arab Latin
1. ا tidak dilambangkan
2. ب B Be
3. ت T Te
4. ث Ts te dan es
5. ج J je
6. ح h̲ h dengan garis bawah
7. خ Kh ka dan ha
8. د d de
9. ذ dz de dan zet
10. ر r er
11. ز z zet
12. س s Es
13. ش sy es dan ya
14. ص s̲ es dengan garis di bawah
15. ض ḏ de dengan garis di bawah
16. ط ṯ te dengan garis di bawah
17. ظ z̲ zet dengan garis di bawah
18. ع ̒ koma terbalik di atas hadap kanan
19. غ gh ge dan ha
20. ف f ef
21. ق q Ki
22. ك k Ka
23. ل l El
v
24. م m em
25. ن n En
26. و w We
27. ه h Ha
28. ء ˋ Apostrof
29. ي y ye
2. Vokal
Vokal adalah bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
اي Ai a dan i
او Au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
vi
بو Û u dengan topi di atas
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
dîwân bukan ad- dâwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydìd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda tasydìd )َ) dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang
diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang
menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata ( )الضرورةtidak ditulis ad-ḏarûrah
melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbūṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku
jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2).
Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh nomor 3).
No Kata Arab Alih Aksara
1 طريقة Ṯarîqah
2 الجامعة اإلسالمية al-Jâmi‘ah al-Islâmiyyah
3 وحدة الوجود Wahdat al-wujûd
vii
ABSTRAK
FERI FERDIAWAN, KONSEP KEBAHAGIAAN DALAM PERSPEKTIF
IBNU BAJJAH, Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Kebahagiaan merupakan topik krusial dan menjadi tujuan akhir hidup
manusia, hal ini bukan tanpa alasan karena pada dasarnya setiap tindakan manusia
dimaksudkan untuk mencapai kebahagiaan. Namun sering kali manusia terlena
mengartikan kebahagiaan yang bersifat materi sebagai kebahagiaan yang
sebenarnya, padahal esensi kebahagiaan datang dari rohani manusia bukan
kebahagiaan yang bersifat jasmani.
Ibnu Bajjah adalah failasuf yang membahas tentang kebahagiaan dan
berpendapat bahwa kebahagiaan yang sebenarnya dengan bermutawahhid atau
hidup secara soliter dan menjauhkan diri dari sifat buruk yang ada dalam diri
masyarakat, Bermutawahhidnya tetap berhubungan dengan masyarakat dalam hal
yang diperlukan. Mutawahhid jawaban bagi orang yang berada dalam kota yang
tidak sempurna, fasiqah, jahilah. Selain itu tindakan manusia harus senantiasa
dikelola oleh pilihannya, karena sesuatu yang manusia lakukan melalui pilihan
disebut tindakan insani, dan setiap tindakan insani merupakan hasil dari pemikiran
rasional melalui akal.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research atau
studi pustaka yaitu proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-
penemuan dan analisis dokumen berkaitan dengan masalah penelitian.
Dari hasil kesimpulan ini penulis dapat menyimpulkan bahwa Konsep
kebahagiaan perspektif Ibnu Bajjah yaitu bermutawahhid, mutawahhid adalah
jalan yang tepat untuk memperoleh kebahagiaan agar manusia dapat terhindar dari
pengaruh buruk dari masyarakat sekitar, dan tetap mengoptimalkan potensi akal
nya sebagai anugerah yang telah di berikan oleh Tuhan untuk berkontemplasi. Dia
menjadi pusat bagi dirinya sendiri dan tindakan-tindakannya senantiasa diarahkan
untuk memperoleh kebahagiaan dengan fokus pada tindakan insani.
viii
KATA PENGANTAR
Tiada kalimat bermakna selain puji syukur kehadirat Allah SWT, sebagai
bukti penghambaan manusia yang telah diberikan banyak karunia dan keberkahan
sampai detik ini, dengan karunianya yang tidak terhingga menempatkan manusia
sebagai puncak piramida diantara makhluk lainnya, berupa rasio yang menjadikan
manusia berbeda dari hewan dan tumbuhan, karena segala tindakannya
berdasarkan kesadaran dan pilihan. Manusia dengan akalnya mampu berfikir dan
memilih sesuatu karena sebagaimana mengutip perkataan salah satu failasuf
bernama Rene Descartes “Cogito Ergo Sum” yang artinya Aku berfikir maka aku
ada, atau mengutif salah satu dosen kami, bapak Abdul Mutholib, PhD yang
menjelaskan sufi termasyur bernama Al Hallaj yang mengalami syatahat dimana
antara sifat lahut dan nasut manusia dengan Tuhan melebur. Dan berpendapat
bahwa akal merupakan manifestasi dari Tuhan yang ada dalam diri manusia.
sungguh dengan fakta ini menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk
pilihan Tuhan dengan akalnya mampu berfikir, dan dengan akalnya mampu
membedakan mana yang benar dan salah. Dan sebagai salah satu bukti syukur
penulis yang tiada terhingga adalah terselesaikannya skripsi ini yang berjudul
“Konsep Kebahagiaan Perspektif Ibnu Bajjah”
Shalawat beserta salam semoga tercurah kepada Habibana Kekasih Allah,
sebagai nabi penerima risalah terakhir, pelengkap risalah nabi-nabi sebelumnya
dengan mukzizat terbesarnya yaitu Al-Qur’an, Habibana wa nabiyana
Muhammad SAW, Semoga kita semua senantiasa diberi syafaat oleh-Nya.
Selain itu penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa
adanya dukungan dari berbagai pihak yang memotivasi serta membimbing
sehingga tugas akhir ini akhirnya dapat terselesaikan, oleh karena itu penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. Selaku
Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman M.Ag Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Tien Rohmatin, MA Selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ix
4. Ibu Dra. Banun Binaningrum,M.Pd Selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan
Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Bapak Dr. Khalid Al Walid, M.Ag Selaku Dosen Pengampu Akademik
sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi, Terimakasih banyak sebesar-
besarnya kepada bapak.
6. Kedua orangtua penulis, Ayah dan Ibu yang senantiasa mendoakan dan
mendukung apa yang terbaik bagi anaknya, tiada kalimat yang bisa
diungkapkan hanya terimakasih dan memohon kepada Allah semoga Ayah
selalu sehat, dan disetiap langkahnya senantiasa diberkahi.
Detik-detik akhir penyusunan skripsi, pagi itu mentari bersinar, tiba-tiba
redup langit kelam diiringi berita duka yang membuat penulis bersedih
teramat dalam, ibunda tercinta berpulang untuk selamanya, antara percaya
dan tidak, diusianya yang masih muda beliau meninggalkan kami semua.
Aku bersimpuh disamping jasad yang membeku, dan berharap semoga ibu
ditempatkan disisi Allah, semua amal kebaikan ibu diterima oleh Allah,
dan maafkan anakmu ini yang belum sempat membahagiakan ibu sampai
akhirnya ibu tutup usia. Grobogan, 30 Juli 2021
7. Terimakasih selanjutnya kepada Aisyah, yang telah memotivasi penulis
agar senantiasa menyelesaikan studi dan tidak bermalas-malasan. Ucapan
terimakasih sebesar-besarnya karena penulis tidak bisa menghindari
kelemahan manusia sebagaimana dikutif Al Insanu Mahalul khata wa
nisyan, manusia itu tempatnya salah dan lupa, sehingga membutuhkan
motivasi dan perbaikan dari waktu ke waktu.
8. Terimakasih selanjutnya untuk seluruh teman teman seperjuangan REFI
2015, dimana kita awalnya tidak mengenal, akhirnya saling kenal, dan saat
ini berjuang untuk melanjutkan kehidupan yang sebenarnya.
x
Ciputat, 18 Agustus 2021
Penulis
Feri Ferdiawan
xi
DAFTAR ISI
xii
BAB III RIWAYAT HIDUP IBNU BAJJAH
A. Riwayat Hidup dan Latarbelakang Keluarga ................................... 49
B. Karya-Karya Ibnu Bajjah ................................................................. 52
C. Keadaan Sosio-Kultural ................................................................... 54
D. Keberadaan Manusia dalam kota yang tidak sempurna ................... 60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 87
B. Saran ................................................................................................ 89
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
manusia, dan merupakan hal yang mendasar1 tujuan tersebut bukan tanpa alasan
namun sering kali manusia merasa terlena dan menganggap kebahagiaan hanya
failasuf muslim Ibnu Sina di dalam kitabnya, kemudian lebih jauh lagi pandangan
kebahagiaan karena kebahagiaan merupakan hal yang paling krusial, karena jika
seseorang telah bahagia, tidak ada keinginan lain yang muncul setelahnya. Namun
jika seseorang belum bahagia apapun yang telah diperolehnya tidak akan
membuatnya puas3.
Kemudian muncul Ibnu Bajjah sebagai pelopor failasuf Islam dari barat
1
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Kanisius: Yogyakarta, 1999), h 108
2
Haidar Bahgir,Risalah Cinta dan Kebahagiaan,(Mizan:Jakarta,
2012), h. 10
3
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h.3
1
2
mencapai kebahagiaan4, bagi seorang failasuf yang berada dalam kota yang tidak
pemikiran dan penalaran, 5 dimana hal tersebut tidak memungkinkan bagi failasuf
dilakukan manusia terhadap dirinya?” hal ini menjadi penting sebagai manusia,
baik itu hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan keluarga, dan masyarakat
umum. Ada tiga persoalan yang harus dilakukan oleh manusia terhadap dirinya
terluhur. Tujuan pemikiran filsafat menurut beliau adalah kesatuan akal manusia
dengan akal aktif dimana pada saat itu manusia menjadi bagian dari alam akal dan
4
Ma’an Ziyadah, Kitab Tadbir Al-Mutawahhid Ibn Bajjah, Terj. Nanang Tahqiq,
(Jakarta: Turos Khazanah Pustaka Islam, 2018), h.
5
Ma’an Ziyadah, Kitab Tadbir Al-Mutawahhid Ibn Bajjah, Terj. Nanang Tahqiq,
(Jakarta: Turos Khazanah Pustaka Islam, 2018), h. 12-14.
6
Ma’an Ziyadah, Kitab Tadbir Al-Mutawahhid Ibn Bajjah, Terj. Nanang Tahqiq,
(Jakarta: Turos Khazanah Pustaka Islam, 2018), h.
7
Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2017), h. 207.
3
memandang bahwa alam rasional tidak akan terungkap bagi manusia, kecuali
dengan berkhalwat, setelah itu manusia akan melihat cahaya Ilahi, sehingga ia
akan merasakan suatu kenikmatan yang besar. Ibnu Bajjah mengatakan bahwa
dapat diperoleh seseorang melalui jalan kepemilikan hakikat dengan nur yang
dilimpahkan Allah di hati. Ibnu Bajjah mengatakan bahwa yang benar adalah
penalaran rasional murni, yang tidak di nodai dengan kenikmatan inderawi, hal
pilihan, sebab segala sesuatu yang manusia lakukan adalah dengan pilihannya,
keberkahan manusia. Hal itu Ibnu Bajjah melihat, jika manusia mencari
dalamnya. Mereka menghalalkan segala cara meskipun itu tidak baik dilihat. Hal
ini terlihat pada sifat manusia yang rakus yang ingin memiliki segala-galanya dan
8
Masganti Sitorus, “Kepribadian Manusia Menurut Ibn Bajjah”, Analytica Islamica,
Vol . 1, No. 1, 2012. h. 106-107.
9
Ma’an Ziyadah, Kitab Tadbir Al-Mutawahhid Ibn Bajjah, Terj. Nanang Tahqiq, h. 21-
22.
4
yang dia butuhkan hanyalah harta. Dengan memiliki banyak harta maka hidupnya
akan lebih sempurna. Maka dia akan menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan harta itu meskipun diraih dengan cara yang haram. Melihat
membuat kita lebih dekat dengan kesempurnaan. Hal ini pasti sebabnya, yakni
dengan melalui kesendirian kita akan dekat dengan sang Khaliq. Menjadi manusia
yang sosialis yang tahu cara berhubungan dengan masyarakat dengan sekedar dan
seperlunya saja, namun soliternya dalam arti ini supaya tidak terjerumus kepada
hukum yang berlaku dalam masyarakat. Akan tetapi yang berlaku adalah perihal
umum dalam masyarakat. Tidak dipermasalahkan jika suatu hal itu adalah yang
mana yang pantas dilakukan dan mana yang tidak pantas untuk dilakukan.
hanya saat dipaksa untuk melakukannya dan itu sangat sulit baginya. Padahal itu
rasional. Kecuali dalam kasus seseorang yang tidak berada pada keadaan
alamiahnya, seperti orang yang mempunyai karakter binatang buas, hal ini dia
akan menuruti hasratnya secara terus menerus yang berujung menentang pada
akal. Dapat dikatakan binatang buas lebih baik daripada manusia semacam ini
5
kemampuan manusia untuk berfikir. Akan tetapi Manusia tidak memakai akalnya
menjadi sempurna dan bahagia secara psikologis dan melalui kegiatan semacam
apa. Serta apakah ada tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk mencapai
masalah yang akan dianalisis. Untuk itu pembatasan penulisan skripsi ini adalah
Mencapai Kebahagiaan?
dalam Perspektif Ibnu Bajjah”, yang bertujuan untuk menjelaskan secara luas
10
Ma’an Ziyadah, Kitab Tadbir Al-Mutawahhid Ibn Bajjah, Terj. Nanang Tahqiq, h. 71.
6
gelar Sarjana Strata Satu (S1), namun juga diharapkan dapat memberikan
D. Tinjauan Pustaka
Bajjah. Adapun karya tersebut adalah: Tadbir Al-Mutawahhid yang di tulis oleh
Ibnu Bajjah. Dalam kitab ini, Ibnu Bajjah mengungkapkan dalam realita
sekarang ini manusia yang terasing dalam lingkungannya dan tidak dapat hidup
pandangan pandangan dunia ideal mereka tidak bisa terealisasi dengan baik. Hal
itu mereka hanya mengejar kebahagiaan mereka sendiri di ruangan yang sunyi.
Ibn Bajjah” tahun 2018, yang ditulis oleh M. Quraish Shihab, mahasiswa
menjelaskan bahwa uzlah aqliyah dan uzlah sufiyah yang disebut oleh Ibnu
Bajjah adalah uzlah yang menerapkan akal aktif. Adapun persoalannya adalah
kenapa perilaku seorang uzlah yang memiliki kesempurnaan secara lahir dan
7
bagaimana konsep uzlah Ibnu Bajjah dalam membentuk perilaku sufistik namun
Al-Mutawahhid) tahun 2019, yang di tulis oleh Sri Rizki Mustari, Mahasiswa
Sunan Gunung Djati. Dalam skripsinya, dia merumuskan bahwa proses yang
sufi. Dengan uzlah para sufi, Ibnu Bajjah menggunakan “uzlah falsafi” yang
tidak jauh dari uzlah biasanya. Namun memang dalam hal ini uzlah falsafi lebih
kepada pendekatan dengan hati dan akal. Semua dilakukan dengan memilah apa
yang baik untuk dilakukan dan didapatkan. Mulai dari tindakan spritualnya yang
tak jauh dengan masyarakat serta tindakan yang dikaitkan dengan teori negara
masyarakat. Oleh karena itu, setiap kesempurnaan diri berada pada tingkatan
Bajjah, yang ditulis oleh Masganti Sitorus dan Muhammad Idris, yang
diterbitkan oleh Analytica Islamica, Vol. 1, No. 1, 2012 IAIN Sumatera Utara.
sampai kepada martabat yang tinggi dengan bantuan akal dan pentunjuk dari
Nabi. Untuk pribadi yang mulai, manusia dapat melakukan tiga hal secara
dengan wawasan hati. Ketiga, Menghindari segala yang membuat hati lalai
Pemikiran Ibnu Bajjah, yang ditulis oleh Ahmad Zain, yang diterbitkan oleh
pemikiran Ibn Bajjah terkait dengan metafisik (ketuhanan), materi dan bentuk,
(uzlah).
E. Metode Penelitian
masalah penelitian.11
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Primer,
Sekunder, dan lainnya. Data primer merujuk kepada buku Ibnu Bajjah, yang
baik dalam bentuk buku ataupun artikel yang mengandung pembahasan konsep
kebahagiaan yang di tulis oleh para Sarjana, peneliti, dan cendikiawan. Data yang
lain adalah jurnal, internet dan lain-lain. Metode yang digunakan oleh penulis
skripsi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam buku
F. Sistematika Penulisan
maka dalam skripsi ini, dikelompokkan menjadi beberapa bab dengan sistematika
Pada bab pertama memuat tentang Pendahuluan yang terdiri dari: latar
belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. Pada bab ini
ditentukan.
11
Consuelo G Sevilla dkk., Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: UI Press, 1930),
h. 37
10
Pada bab kedua memuat tentang konsep kebahagian secara umum. Pada
Pada bab ketiga memuat tentang Biografi yang berisi riwayat hhidup dan
latar belakang keluarga, karya-karya Ibnu Bajjah, dan kondisi sosial pada masa
dalam kota yang tidak sempurna, pengaruh jiwa terhadap tindakan mutawahhid
Pada bab kelima dalam penelitian skripsi ini merupakan penutupan dari
Sejak zaman dahulu hingga saat ini atau bahkan sampai nanti setiap
setiap manusia bisa bahagia, apapun definisi dari kebahagiaan itu, karena
luar diri manusia lantaran manusia hanya tergantung dari orang lain.3
bukan dari hati yang tulus, melainkan berasal dari nafsu. Dengan kata lain
1
S Ansory Al Mansor, Jalan Kebahagiaan Yang di Ridhoi, (PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta), h.117
2
Khavari, khalil A, the art of happiness menciptakan kebahagiaan dalam setiap keadaan,
(Serambi, Jakarta) , h. 15
3
Khavari, khalil A, the art of happiness menciptakan kebahagiaan dalam setiap keadaan,
(Serambi, Jakarta) , h. 23
11
12
dari diri sendiri maupun orang lain, hingga manusia merasa damai hatinya
tenang jiwanya.4
padahal orang lain mengatakan bahwa dia bahagia. Bahagia memang relatif
banyak orang mengatakan bahwa bahagia tidaklah sama, dari penyebab dan
apa saja yang mendorong faktor kebahagiaan tersebut. Seperti orang sakit
dia akan mengatakan bahwa ia bahagia jika sembuh, tapi bagaimana setelah
keberuntungan6
4
S Ansory Al Mansor, Jalan Kebahagiaan Yang di Ridhoi, (PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta), h.118
5
S Ansory Al Mansor, Jalan Kebahagiaan Yang di Ridhoi, (PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta), h.120
6
Muskinul Fuad, “Psikologi Kebahagiaan Manusia”, Jurnal Komunika, Vol 9, No.1,
Januari-Juni 2015, h 115
13
sebagai keadaan atau perasaan senang, tentram (terbebas dari segala macam
tersebut yaitu “memiliki roh penjaga yang baik”, dan bagi bangsa Yunani
7
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990), h 65
8
Arif Mansur Makmur, Tesaurus plus Indonesia – inggris. (Jakarta ; anggota IKAPI 2009),
Hal 32
9
Franz Magnis Suseno, Menjad iManusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h 4
10
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Kanisius: Yogyakarta, 1999), h 108
14
bahagia. Apakah benar dia merasa bahagia? Menurut aturan agama, dia
dinggap tidak bahagia, karena pada hari akhir seandainya dia tidak bertaubat
akan di masukan kedalam neraka. Dalam bahasa tasawuf keadaan seperti ini
disebut dengan istidraj, yaitu seseorang sedang di uji oleh Allah dengan
kenikmatan atau kesenangan untuk melihat apakah dia sadar atau tidak
halnya mungkin saja hidup seseorang di penuhi kenikmatan tetapi dia tidak
permukaan hidup akan masuk kedalam hati sebagai sesuatu yang memberi
makna positif bagi diri kita, membuat tentram dan bahagia. Bisa saja kali
ini kita sedang mengalami kesulitan, tapi karena keyakinan bahwa hidup
11
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam AL-Qur’an, (Lontar Mediatama:
Yogyakarta,2016), h.12
12
Haidar Bahgir, Risalah Cinta dan Kebahagiaan, (Mizan: Jakarta, 2012), h. 8
15
kita bersifat baik dan positif hal itu tidak akan mengganggu, karena
manusia bukan hanya lebih tinggi dari intelektual serebral namun juga
melampaui emosi dan perasaan. Sehingga tidak ada kesedihan yang terlalu
besar yang dapat mengoyak kebahagiaan, dan tidak ada kejadian apapun
kebahagiaan kita14
apapun yang terjadi dalam hidup kita, tapi rasa kebahagiaan akan tetap
lestari. Bagi orang yang seperti itu, kenikmatan dan kesulitan bersifat relatif
B. Hakikat Kebahagiaan
secara analitis didasari melalui langkah logis, dengan melihat fakta bahwa
13
Haidar Bahgir, Risalah Cinta dan Kebahagiaan, (Mizan: Jakarta, 2012), h. 9
14
Haidar Bahgir,Risalah Cinta dan Kebahagiaan,(Mizan:Jakarta,
2012), h. 10
16
apapun yang dilakukan manusia selalu dilakukan demi sebuah tujuan. Dan
karena jika seseorang telah bahagia, tidak ada keinginan lain yang muncul
kebahagiaan.
15
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h.3
16
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h.5
17
dengan etika moralitas agar tujuan akhir kebahagiaan dapat kita capai17.
lebih rinci bahwa hanya seseorang yang bisa menguasai hawa nafsunya
dan berfilsafat.
perbuatan yang keji, memberikan nikmat yang keji pula. Kita tidak
17
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h.7
18
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h.9
18
pada nikmat, terutama nikmat indrawi saja, yang akan di dapat, justru
menggagalkan apa yang kita cari sebenarnya. Sebaliknya kita harus lebih
berfilsafat.
realitas ilahi. Dengan theoria manusia mengerahkan diri pada realitas abadi,
filsafat yakni memandang penuh hal yang sifatnya abadi ilahi. Dan menjadi
ciri khas manusia, Manusia menurut Aristoteles adalah zoon logon echon
atau makhluk yang memiliki roh20 . Karena manusia berbeda dari binatang,
perbedaan tersebut terletak pada logos/ akal budi, dan merupakan unsur
19
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h.26
20
Franz Maginis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Aba Ke-19,(PT.
Kanisius: Yogyakarta, 1998), h. 33
21
Franz Magnis Suseno, Menjad iManusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h.27
19
filsafat memberikan fungsi yang saat ini kita berikan kepada agama22.
C. Macam-macam Kebahagiaan
hal yang bersifat metafisik, penjelasan mengenai hal ini tidak mudah
22
Franz Magnis Suseno, Menjad iManusia Belajar dari Ariestoteles, (PT. Kanisius::
Yogyakarta, 2016), h.27
23
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 35
20
Tuhan24.
Untuk bisa merasakan kenikmatan jiwa berikut ini terdapat empat jalan
untuk ditempuh25 :
Akal adalah bagian dari jiwa, sehingga semakin banyak akal diisi oleh
ilmu maka semakin banyak akal paham dan tidak mudah tertipu dengan
segala sesuatu yang bersifat sementara, sebaliknya jika akal tidak di isi
oleh lebih banyak ilmu, semakin jiwa merasa gelisah oleh materi yang
Hal yang dapat menjaga kebersihan jiwa adalah menjauhi segala sesuatu
dari ketiga hal tersebut maka lebih mudah dalam menyerap ilmu dan
cahaya.
24
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 36
25
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 37
21
Yaitu nikmat yang dirasakan oleh beberapa faktor yang berada diluar
26
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 38
27
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 38
22
kenikmatan taufiqiyah28
1. Bekerja keras untuk senantiasa meraih apa yang didambakan dalam hidup,
walaupun agaknya terdapat kelemahan seperti kita tidak akan pernah bisa
kebutuhan baru karena pada dasarnya manusia tidak akan pernah puas
pencapaian baru dengan baik. Antara cara yang satu dengan cara yang kedua
28
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 39
29
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 40
23
kita bersabar dan bersyukur atas apa yang telah kita raih, merasa rela dengan
apa saja yang terjadi dalam hidup kita, sehingga kita dapat memperoleh
kebahagiaan karena selalu berpikir positif dalam setiap keadaan, selain itu
Kebahagiaan ditinjau dari kata benda diartikan sebagai keadaan perasaan yang
senang dan tentram. Dalam bentuk kata sifat diartikan sebagai beruntung32.
Sedangkan dalam bentuk kata kerja bahagia di awali kata mem- dan di akhiri kata
dapat pula diartikan mendatangkan rasa bahagia. Ada beberapa poin penting
30
Haidar Bahgir, Risalah Cinta dan Kebahagiaan, (Mizan: Jakarta ,
2012 ), h.14
31
Haidar Bahgir,Risalah Cinta dan Kebahagiaan, (Mizan:Jakarta,
2012), h.15
32
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (CV.Hikam Media Utama:
Yogyakarta), 2016, h.9
24
10. Kebahagiaan sebagai sebuah proses yakni sebagai upaya yang harus diraih
terdapat beberapa isilah dalam bahasa Arab mengenai kebahagiaan, seperti kata
فرح- فرحاkebahagiaan, senang, riang gembira, suka cita مبسوطyaitu bahagia dan
33
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (CV.Hikam Media Utama:
Yogyakarta, 2016), h.19
34
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (CV. Hikam Media Utama
Yogyakarta, 2016), h. 30
25
Alaq :5, Al Ashr:2 kebahagiaan dapat pula berasal dari kata Al Insan, dimana kata
al insan berasal dari akar kata dengan artinya jinak, harmonis, gerak atau dinamis,
lupa, dan merasa bahagia atau senang. Dimana semua arti tersebut menggambarkan
sifat dan ciri khas manusia yang bergerak dinamis, dan memiliki sifat pelupa, dan
Makna tersebut dapat dilihat dari QS. An Nahl :97, QS. Al Isra : 70, QS. Ar
Ra’du :29
digaris bawahi bahwa kehidupan yang baik tersebut bukan kehidupan mewah yang
luput dari ujian, namun kehidupan dengan rasa lega, ridha, bersabar dalam
menerima cobaan, sehingga orang yang memiliki kehidupan yang baik tidak
merasakan ketakutan yang berarti, atau pun kesedihan yang mendalam karena
yang baik pula dapat dipahami sebagai syurga, alam barzah atau kehidupan yang
diwarnai qana’ah berarti rasa puas atau suatu (rizky) yang halal
b. Kebaikan hasanah
35
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (Lontar Mediatama:
Yogyakarta, 2016), h. 33
36
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (Lontar Mediatama:
Yogyakarta, 2016), h. 34
26
Quraisy Syihab berpendapat kata hasanah pada QS. An Nahl 41-42 mensifati
tempat dan situasi, para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan hal tersebut,
ada yang berpendapat bahwa kata tersebut berarti kota Madinah, ada pula yang
menjelaskan balasan bagi orang yang beriman yang berupa kemenangan dan
keberuntungan dunia dan akhirat37. Sedangkan lawannya yaitu kata sayyiah berarti
Makna sa’adah terdapat dalam QS. Huud: 105, 108. Istiah saadah yang terdapat
dalam ayat tersebut dipahami dalam konteks dualitas lawan dari kata celaka.
Dualitas tersebut berupa sakit dan lezat, bahagia dan derita, tertawa dan menangis.
37
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (Lontar Mediatama:
Yogyakarta, 2016), h. 40
27
Taghabun:16
Ali Imran:130, 200, Al Maidah : 35, 90, 100, Al A’raf : 69, al An faal : 45,
terdapat dalam QS. Al An’am : 21, 135, Yunus: 17, 69, 77, an Nahl :116, al
Quraisy Shihab berpendapat bahwa kata aflaha berasal dari kata falah berarti
Bahagia dalam arti ketentraman dan ketenangan dengan kalimat sakinah terdapat
dalam QS. Al Baqarah :248,at Taubah: 26, 40, al Fath :4,5,18, 26. Sedangkan
kebahagiaan dalam kalimat tumaninnah terdapat dalam QS. Ali Imran : 126, al
38
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (Lontar Mediatama:
Yogyakarta, 2016), h. 43
39
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (Lontar Mediatama:
Yogyakarta, 2016), h. 47
28
Al-Qur’an hal tersebut karena terdapat rasa iman dalam diri seseorang, dan
menghilangkan kecemasan
Makna saraha terdapat dalam QS. AL Insyirah :1, Az Zumar: 22, al An’am:125, al
Hajj:46, makna saraha lebih tepat dipahami sebagai sesuatu yang bersifat immateri.
Sebagaimana kelapangan yang terdapat dalam ayat ayat tersebut dipahami sebagai
Sedangkan kata faraha terdapat dala QS. Ali Imran :120,170,188, al An’am:44, at
Taubah: 50,81, Yunus:22, 58, Huud :10, ar Ra’du: 26,36, al Mukminun :53, an
Naml :36, al Qashash :76, ar Ruum :4,32,36, al Ghafir :75, 83, asy-Syuraa: 48, al
Hadid :23. Kalimat tufrihuun sebagaimana terdapat dalam QS. Al Ghafir :75 dalam
kelezatan dunia berupa kelezatan jasmani, selain itu kalimat tufrihuun dalam arti
40
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (Lontar Mediatama:
Yogyakarta, 2016), h. 54
29
kegembiraan yang luar biasa dan pada dasarnya kegembiraan tersebut tidak
Huud :48,73, An Nahl :127, Adzariyyat : 39. Kalimat barokah terdapat dalam QS.
Al Araf 96 menurut Quraisy Shihab diartikan aneka kebajikan rohani dan jasmani,
kesinambungan41
Kebahagiaan dalam arti salam atau keselamatan, damai dan sejahtera dipahami
sebagai kebebasan dari segala macam kekurangan apapun lahir maupun batin,
sehingga seseorang yang berada dalam salam senantiasa terbebas dari penyakit,
kemiskinan, kebodohan. Qs. Adz dzariyat :25, Al Maidah :16, Al Furqon :63, Al
Hasyr :23,
Pada awalnya para failasuf mempertanyakan apa sebenarnya bahan dasar dari
kosmos, pencarian tersebut membawa mereka pada pertanyaan tentang hakikat dari
segala yang ada, bersamaan dari itu para failasuf mulai mempertanyakan
bagaimana manusia harus hidup dan agar hidupnya menjadi bermakna, dan terakhir
41
Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an, (Lontar Mediatama:
Yogyakarta, 2016), h. 58
42
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h. 12
30
pemikiran awal sebagai kontruks awal berfikirnya manusia dan permulaan dari
filsafat terjadi pada masa yunani kuno. Plato lahir sebagai salah satu tokoh yang
penting, dia dilahirkan di Athena pada tahun 427 SM dan berasal dari keluarga
dikuasai oleh akal budi, dan orang menjadi buruk apabila dikusai oleh keinginan
dan hawa nafsunya44, apabila ingin mencapai kehidupan yang baik, tenang dan
bernilai, hal pertama yang harus dilakukan yakni membebaskan diri dari hawa nafsu
dan mengarahkan diri menuju akal budi. Seperti halnya tulisannya tentang politheia
yang merupakan tulisan untuk memahami sebuah realitas, daripada hanya terpesona
perlu berpaling dari anggapan dangkal pancaindra dan mencari realitas sebenarnya
dicontohkannya dari perumpamaan tersebut dengan keluar dari gua dan melihat
cahaya yang nyata tersebut yaitu matahari. Bagi Plato orang yang mengikuti akal
budi adalah orang yang berorientasi pada realitas yang sebenarnya, akal budi telah
dikuasai maka kehidupannya menjadi terarah kepada idea yang tertinggi. Dan idea
tertinggi tersebut adalah idea Sang baik45. Sang baik merupakan dasar dari segala-
galanya, manusia yang baik pada dasarnya terarah kepada Sang baik. Hidup
manusia semakin bernilai bila seluruhnya terarah pada nilai dasar Sang baik. Dan
Sang baik tersebut kadang-kadang disebut Plato sebagai Yang Ilahi46. Artinya Plato
43
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h. 14
44
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 19
45
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-
19,( Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 21
46
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 21
31
mempercayai hal-hal yang bersifat transenden yang berada diluar dirinya yang bisa
keluar dari gua dan mencari kebenaran, menurut Plato kekuatan tersebut adalah
cinta. Sang baik karena dia baik, sehingga paling di cintai dan di rindu oleh idea.
Idea yang baik dengan sendiri dasar dari segala cinta. Plato menyebut bahwa cinta
itu adalah eros48, eros merupakan kekuatan universal di alam. Sang baik bermula
dari cinta jasmani menuju cinta rohani, eros dapat mencapai idea Sang baik. Karena
itu dalam kesanggupan memandang Sang baik antara cinta dan kebaikan menyatu,
karena itu Plato menyimpulkan puncak hidup yang etis adalah kesatuan total antara
melepaskan diri terikat pada dunia jasmani, semakin kita merasa bahagia, failasuf
merupakan orang yang paling bahagia karena sampai pada Sang baik 50, semakin
eros adalah nilai subjektif dan idea bernilai objektif. Dalam eros kita mengalami
yang baik dan kebahagiaan, sedangkan idea secara objektif mewujudkan hal yang
bernilai. Oleh karena itu manusia mencapai puncak kebahagiaan apabila nilai
subjektif, eros, menyatu dengan nilai objektif tertinggi dengan idea Sang baik.
Persatuan antara cinta dengan yang dicintai, antara eros dengan idea, antara baik
47
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 2
48
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 22
49
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 22
50
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 23
32
subjektif dan baik objektif adalah kebahagiaan yang sempurna51 dalam hal ini cinta
kepada Sang baik antara kewajiban dan kebahagiaan bersatu dengan manusia
mengalami kepenuhan total. Disamping itu orang yang mau bahagia yakni
seseorang yang mengarahkan diri kepada yang baik, disatu pihak menjadi failsauf
kepada yang abadi, keterarahan pada Sang baik tercermin dalam keteraturan
ini bersifat sementara tergantung pada sesuatu. Seperti contoh nikmat makan
bergantung pada ada atau tidaknya makanan yang dapat dimakan dan tergantung
pada kondisi tubuh yang sehat untuk mencerna makanan. Kedua, Kenikmatan yang
Kenikmatan ini bersifat tahan lama cenderung abadi. Misalnya kenikmatan dalam
memahami suatu ilmu, dan ilmu pengetahuan tersebut menjadi cahaya dalam
hidupnya54
51
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 23
52
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 23
53
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 23
54
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h 12
33
ketiga kenikmatan tersebut yang murni adalah logostikon, karena yang lainnya
ajaran Plato tentang idea. Tidak ada idea abadi, karena apa yang dipahami Plato
sebagai idea sebenarnya tidak lain adalah bentuk abstrak yang tertanam dalam
realitas indrawi semata. Begitupun ia menolak pandangan Plato tentang idea yang
baik. Karena menurut Ariestoteles paham Sang baik tidak sedikitpun membantu
seseorang untuk mengetahui bagaimana dia harus bersikap atau bekerja, seperti
Untuk mengetahui hal tersebut manusia harus mencari realitas manusia , melalui
memahami dan merefleksikan asal-usul dari segala apa yang ada. Adanya gagasan
tentang kebahagiaan tidak bisa dipisahkan dari gagasan mengenai etika, karena
atau hidup yang baik57. Bagaimana manusia mencapai kehidupan dengan sebaik
mungkin. Apa yang kita cari sebenarnya jawabannya adalah eudomonia atau
dicapai dengan memperhatikan tiga pola hidup diawali dengan sesuatu yang
55
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h 14
56
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 28
57
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 29
34
bersifat materi dan cenderung pragmatis seperti hidup bahagia dengan kekayaan
atau nama yang terhormat, namun pada dasarnya kebahagiaan tersebut bukanlah
tujuan akhir. Nikmat seperti ini baik, asal tidak dijadikan sebagai tujuan. mencari
potensi yang ada dalam diri manusia, karena manusia menjadi bahagia dengan
mengembangkan diri. Lalu theoria, yang berarti jiwa memandang realitas atau
lebih dari itu, kebahagiaanya berbicara tentang apa yang ada diluar dirinya dan
yang metafisik, abstrak, ghaib, namun Ibnu Sina tampil sebagai filosof yang
badan dan jiwa, jiwa manusia merupakan unit tersendiri dan mempunyai wujud
58
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 32
59
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,
(Kanisius: Yogyakarta, 1998), h 33
60
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 31
61
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (PT. Bulan Bintang, Jakarta,
2014), h.26
35
Ibnu Sina berpendapat bahwa jiwa memancar dari akal ke sepuluh, dia
tangkap.
Jiwa manusia bergantung pada jiwa mana dari ketiga jiwa tersebut yang
jiwa manusia yang berpengaruh pada dirinya maka seseorang tersebut dekat
tidak menjadi penghalang bagi daya teoritis untuk membawa manusia pada
Jiwa manusia berbeda dari jiwa binatang dan jiwa tumbuh-tumbuhan. Jiwa
sebaliknya seandainya dia berpisah dengan badan dalam keadaan yang tidak
62
Amroeni Drajat, Suhrawardi; Kritik Falsafah Peripatetik, (PT. Lkis Pelangi Aksara:
Yogyakarta,2005),h.131
63
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (PT. Bulan Bintang, Jakarta,
2014), h.25
36
daya pemarah dan hawa nafsunya, maka dia hidup dalam penyesalan terkutuk
Menurut pendapat Ibnu Sina setelah jiwa berpisah dari badan65, jiwa
mendapat kebahagiaan dan kesengsaran di hari akhir. Dalam hal ini Ibnu Sina
membagi jiwa menjadi tiga klasifikasi yakni (1). Jiwa yang sempurna karena
ilmu dan amal, (2). Jiwa yang tidak sempurna karena keduanya (ilmu dan amal),
(3). Jiwa yang sempurna karena salah satunya, mengenai kategori terakhir ini
dibagi kembali menjadi dua yakni: adakalanya jiwa yang sempurna dalam ilmu
Pertama, Ibnu Sina menyebutkan orang yang beriman dalam ilmu dan amal
memiliki tingkatan tertinggi dalam syurga kenikmatan, selain itu mereka pula dapat
menghubungkan ketiga alam bersama alam akal, membersihkan dari kotoran fisik,
lalu jiwa angkasa. Lalu mereka itu orang yang lebih dulu beriman dan sampai pada
tingkatan tertinggi.
64
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (PT. Bulan Bintang, Jakarta,
2014), h.26
65
Jarman Arroisi, Rahmat Ardi Nur Rifa Da’i, “Konsep Jiwa Perspektif Ibnu Sina”,
Islamica: Jurnl Studi Keislaman, Volume 13, No. 2, Maret 2019; P-ISSN; 1978-3183;e-ISSN; 2356-
2218;256-278, h. 274
66
Jarman Arroisi, Rahmat Ardi Nur Rifa Da’i, “Konsep Jiwa Perspektif Ibnu Sina”,
Islamica: Jurnl Studi Keislaman, Volume 13, No. 2, Maret 2019; P-ISSN; 1978-3183;e-ISSN; 2356-
2218;256-278, h. 274
37
Kedua, golongan kanan berada dalam tingkatan Al Wasthiyah menengah. Dan lebih
tinggi dari alam kemustahilan, saling berhubungan dengan jiwa langit dan bersih
dari kotoran alam. Pada golongan ini dapat merasakan kenikmatan syurga
yang turun pada tingkatan terendah, berada dalam lautan kegelapan alam fisik,
terjerumus dalam hinaan materi, berada dalam negeri fana, dan mereka berada
merenungkan keadaan dan dengan kesadarannya mengerti dengan segala hal yang
di alaminya. Hal tersebut adalah pertanda bahwa manusia sebagai makhluk yang
rinci terdapat dalam kitabnya berjudul Al Tanbih Ala Sabil Al Saadah69 dan Tahsil
kebaikan puncak. Kebahagiaan yang diinginkan dan tidak ada yang lebih selain itu.
Kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia sehingga apapun yang dilakukan oleh
67
Imam Sukardi, Puncak Kebahagiaan Al Farabi,( Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2005),
h.85
68
Imam Sukardi, Puncak Kebahagiaan Al Farabi,(Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2005),
h.86
69
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish:Yogyakarta, 2017), h.60
70
Sayyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, (IRCiSoD: Yogyakarta,
2020), h. 33
38
manusia selalu mengarah terhadap hal tersebut, namun banyak yang keliru dalam
pengoptimalan potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia berupa akal lengkap
beserta fasilitas lain diluar diri manusia seperti alam beserta isinya. Karena hanya
Sama seperti halnya Ibnu Sina konsep kebahagiaan Al Farabi diawali dengan
Berupa makan dan minum nutrition, daya memelihara atau preservation, dan
berkembang biak atau reproduction73. Sifat geraknya insingtif dalam arti tidak perlu
Disebut juga dengan intelek atau intellegency, berisi hal empiris, rasional,
intuisi, naluri, imajinasi, berisi mengetahui dengan merasa atau sensasion, dan
71
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish:Yogyakarta, 2017), h.62
72
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish:Yogyakarta, 2017), h.65
73
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Bulan Bintang: Jakarta, 2014),
h. 24
39
berdasarkan pengalaman)
74
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 65
75
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Bulan Bintang: Jakarta, 2014),
h. 19
76
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (PT. Bulan Bintang: Jakarta,
2014), h. 19
77
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 67
40
tidak sempurna apabila kebahagiaan city atau kota tidak diperoleh. Dalam
memperoleh kebahagiaan79
Cara meraih kebahagiaan puncak di peroleh melalui keutamaan atau virtue dengan
78
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 68
79
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Bulan Bintang: Jakarta, 2014),
h. 21
41
masing-masing keutamaan :
1. Keutamaan Teoritis
Yakni pemahaman tentang segala yang ada atau being yang berisi ilmu
2. Keutamaan Berfikir
80
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 71
81
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 73
82
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 74
42
melalui premis dalam ilmu logika dapat menghasilkan konklusi dan benar
3. Keutamaan Moral
seimbang, gagasan baik yang terdapat dalam fikiran tidak akan bermakna
teoritis dan moral praktis bekerja secara beriringan, ketika moral bekerja
tidak seimbang maka manusia bisa salah arah, sebaliknya ketika seorang
4. Keutamaan Praksis
apabila terlahir dari tangan orang yang utama, dengan syarat ketiga
tidak semata-mata moral bagus, berpikir bagus dan berteori benar namun
83
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 7
84
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 76
85
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 77
43
namun sebagai level awal untuk mencapai kebahagiaan yang sebenarnya86. Mencari
awam bersifat abadi, terlepas dari kenikmatan materi dan fisik sebagai contoh yaitu
kenikmatan87
86
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 60
87
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 62
44
memadai.88
kebahagiaan sosial menurut Al Farabi berada di tangan failasuf, imam, dan raja,
masyarakatnya akan menjadi sesat, begitu pula bila kunci tersebut fasik maka
88
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 78
89
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h.79
45
tokoh besar yang bermadzhab Asy’ari. Beliau mendapat gelar sebagai hujjatul
islam karena beliau adalah seseorang yang memiliki kelebihan daya ingat yang kuat
dan luar biasa90 hampir semua ilmu pengetahuan telah ia pelajari dan akhirnya
Ilmu kalam dan filsafat, dan akhirnya memilih jalan tasawuf sebagai tujuan
cahaya yang diturunkan Tuhan kedalam dirinya, hal tersebut membuat Al Ghazali
Cahaya itu merupakan kunci dari kebanyakan pengetahuan, dan siapa yang
yaitu kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat. Sedangkan dasar dari semua
kenikmatan adalah kenikmatan taufikiyyah yang berupa hidayah, rusyd, syadid, dan
90
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h.35
91
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Bulan Bintang:Jakarta, 2014),
h.31
92
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Bulan Bintang:Jakarta, 2014),
h.31
46
ta’yid . point pertama yang lebih penting bahwa Allah merasa ridha dengan apa
yang dilakukan sehingga kita hanya beriktiar mencari bekal untuk senantiasa
meraih kebahagiaan , namun jika seseorang sejak awal sudah tidak mendapat ridha
badaniah berubah menjadi sesuatu yang buruk. Ketika manusia tidak merasakan
nikmat badaniyah, karena badaniyah tersebut terperdaya oleh hawa nafsu dapat
mengakibatkan jiwanya menjadi tidak tenang, dan secara otomatis tidak dapat
c. Seseorang merasa bahagia dengan melakukan tipu daya dan muslihat , dan
93
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h.40
47
Manusia pada satu sisi dapat menjadi baha’im, siba’, syaithan namun yang
membedakan dan menjadi pengontrolnya adalah hati manusia, melalui hati gerak
manusia yang lebih baik dan diarahkan hati untuk berlomba-lomba dalam
mamperoleh kebaikan.
c. Pada level syaithan manusia bisa mengambil pelajaran dari sikap syaitan
untuk menjalani hdup yang baik agar tidak terjerumus dalam kebinasaan.96
Hati dengan akal menjadi pengontrol bagi manusia agar salah satu level tersebut
94
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 45
95
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h. 45
96
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h.45
97
Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan; Plato, Ariestoteles, Al Ghazali, Al Farabi,
(Deepublish: Yogyakarta, 2017), h.46
48
1. Golongan Awam
Memiliki daya akal yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat
memiliki sikap mudah percaya dan penurut. Golongan ini harus dihadapi dengan
Golongan yang memiliki daya akal yang tajam dan berpikir secara mendalam,
98
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Bulan Bintang:Jakarta, 2014),
h.33
99
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Bulan Bintang:Jakarta, 2014),
h.33
BAB III
BIOGRAFI IBNU BAJJAH
A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Keluarga
Ibnu Bajjah di lahirkan di Saragosa, Spanyol pada akhir abad ke-5 H/11 M1
dengan nama lengkap Abu Bakar Muhammad Ibnu Yahya ibnu Al-Sha’igh, dan
lebih dikenal dengan nama Ibnu Bajjah, sedangkan orang barat menyebut
namanya Avenpace2. Ibnu Bajjah merupakan failasuf Muslim pertama dan utama
tidak banyak diketahui, begitu pula dengan pendidikan maupun guru tempatnya
mempelajari ilmu tidak terdapat informasi yang sangat jelas. Namun menurut
beberapa literatur, Ibnu Bajjah bukan hanya seorang failasuf namun juga
dapat diterima karena pada masa tersebut tidak ada dikotomi ataupun pemisahan
suatu ilmu pengetahuan seperti sekarang ini, sehingga seseorang bisa mempelajari
dan keilmuan yang terjadi di Andalusia, Abad ke-11 menjadi saksi banyak
bermunculan sejumlah ilmuan yang meletakan dasar bagi revolusi ilmiah dan
1
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Depok:PT. Raja Grafindo
Persada, 2014), h.191
2
Majid Fakhry, A History of Muslim Philosophy, Terj. Mulyadi Kartanegara,
(Jakarta:Pustaka Jaya, 1986), h.397
3
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Depok: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014), h.192
49
50
Sejarah filsafat Andalusia tidak dapat terpungkiri di pelopori oleh tokoh yang
bernama Ibnu Bajjah (literatur Arab), Avenvace (literatur Latin).5 Ibnu Al Imam
sebagai salahsatu murid dari Ibnu Bajjah mentranskripsi sejumlah besar tulisan
Ibnu Bajjah mengenai filsafat. Kontribusi Ibnu Bajjah pada filsafat tulisan Ibnu al
yang di tinggalkannya antara lain: beberapa risalah dalam ilmu logika yang masih
Risalah al- Wada; berisi uraian tentang penggerak pertama bagi manusia dan
tujuannya bagi wujud manusia dan alam, beberapa risalah tentang ilmu falaq dan
tabib, Risalah Tadbir al- Mutawahhid, buku berjudul Al Nafs yang membicarakan
mengenai jiwa, terkait jiwa manusia dan Tuhan. Dan pencapaian manusia
Pada tahun 504 H/1110, Saragosa jatuh ke tangan Murabithun yaitu revivalis
Muslim dari Afrika Utara. Dan Ibnu Bajjah tetap tinggal di Kota itu, masih dalam
usia dua puluh tahun sudah tampil sebagai wazir Gubernur Berber (Ibnu
utus menjadi duta kepada mantan penguasa yang masih merdeka, selain itu ia
4
Zaprukhan, Filsafat Islam;Sebuah Kajian Tematis, (Depok: PT. Raja Grafindo Persada,
2014), h.39
5
Zaprukhan, Filsafat Islam;Sebuah Kajian Tematis, (Depok: PT. Raja Grafindo Persada,
2014), h.40
6
Iwan Gayo Glaxo, Encyclopedia Islam Internaional, (Ciputat: Pustaka warga negara,
2013) h. 592
7
Zaprukhan, Filsafat Islam; Sebuah Kajian Tematis, (Depok: PT. Raja Grafindo
Persada), 2014,h.40
8
Editor Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), h.366s
51
Tifalwith9.
Ibnu Bajjah aktif dalam dunia politik, hal tersebut dapat dibuktikan dengan di
Murabith yaitu Abu Bakar Ibnu Ibrahim Al Sahrawi10. Namun ketika Saragossa
jatuh ke tangan Raja Al Fonso 1 di Aragon Tahun 512 H/ 1118 M , Ibnu Bajjah
terpaksa pindah ke Kota Sevile, dan di kota ini dia bekerja sebagai seorang dokter.
Setelah itu dia pindah ke Granada, kemudian ke Afrika Utara, pusat kerajaan
Ketika Ibnu Bajjah transit di Syatibah, Ibnu Bajjah tertangkap oleh penguasa
Murabbith yaitu Amir Abu Ishak Ibrahim Ibnu Yusuf Ibnu Tasyfin yang
menuduhnya sebagai kafir atau herasy, hal tersebut disebabkan karena Daulat Al
Murabbith Menganut Teologi Al-Asyari oleh karena itu mereka tidak dapat
Ibnu Bajjah berhasil di bebaskan karena bantuan Ibn Rusyd, yang merupakan
Ibnu Bajjah berangkat ke Fez, Maroko. Dan di Kota ini dia diangkat oleh Abu
Bakr Yahya Ibnu Yusuf Ibnu Tashfin sebagai wazir, dan menjadi wazir selama 20
tahun. Ibnu Bajjah meninggal pada bulan Ramadhan 533 H/1138M di Kota
9
Editor Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), h.366
10
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Depok: PT. Raja Grafindo
Persada. 2014), h.192
52
seorang dokter yang iri hati terhadap kejeniusannya11, selain itu sumber lain
mengatakan bahwa beliau meninggal di Fez, pada usia yang masih produktif
untuk di eksekusi merupakan dokter dan anggota istana pesaing, yaitu Ibnu Zuhr12
Semasa hidupnya Ibnu Bajjah banyak mendalami berbagai macam ilmu antara
lain memahami ilmu alam, matematika, astronomi, dan musik. Dia banyak
menulis uraian dan penjelasan tentang filsafat Ariestoteles yang merupakan jalan
bagi pemikiran Ibnu Rusyd, karena dari buku-buku Ibnu Bajjah, Ibnu Rusyd
terpengaruh oleh pemikirannya13, selain itu bahkan Ibnu Thufayl banyak memuji
Ibnu Bajjah dengan pernyataan “Di kalangan filosof zaman belakangan, Ibnu
Bajjah adalah yang paling cerdas pemikirannya, paling tepat pandangannya, dan
Selain itu Ibnu Thufayl juga berpendapat bahwa ibnu bajjah merupakan
beberapa hal dalam pembahasannya, bukunya tidaklah matang dan sempurna. Hal
11
Sirajudidin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya (Depok: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014), h.193
12
Editor Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), h. 368
13
Ahmad Zaini, “Telaah Pemikiran Ibnu Bajjah”, FIKRAH, Jurnal Ilmu Aqidah dan
Studi Keagamaan Volume 3, No.1, Juni 2015, h.60
14
Ahmad Zaini, “Telaah Pemikiran Ibnu Bajjah”, FIKRAH, Jurnal Ilmu Aqidah dan
Studi Keagamaan Volume 3, No.1, Juni 2015, h.68
15
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Depok: PT.Raja Grafindo
Persada, 2014), h193
53
ini di karenakan ambisinya terhadap dunia terlalu besar dan kematiannya yang
terlalu cepat16.
Beberapa karya Ibnu Bajjah yang terpenting dalam filsafat antara lain:
Fa’al.
4. Kitab Tadbir al-Muwahhid, kitab inilah yang paling populer dan paling
berikut17:
1946.
16
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Depok: PT.Raja Grafindo
Persada, 2014), h193
17
A. Haris Hermawan,DKK, Filsafat Islam, (CV.Insan Mandiri: Bandung,2011),h.116
54
Berlin, dan yang paling penting ialah Tadbir al Mutawahid, ialah risalah
yang berisi usaha untuk menjauhi segala macam keburukan dan kalimat
C. Keadaan Sosio-Kultural
Spanyol setelah Abad ke-3 H/ Abad ke-9 M, sebagian salinan naskah kuno
antara lain adalah; Ibn Al Shafa Zahrawi, Karmani, Abu Muslim Umar Ibn
pergi ke Timur tahun 347 H/ 952 M dan belajar logika kepada Abu
18
A. Haris Hermawan,DKK, Filsafat Islam, (CV.Insan Mandiri: Bandung ,2011),h.127
19
A Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung; Pustaka Setia, 2009), h.257
20
A Mustofa, Filsafat Islam,( Bandung; Pustaka Setia, 2009), h.257
55
dan menerjemahkannya.
Dinasti Umayyah, yang dibangun dan dilanjutkan oleh Abdur Rahman Al-
Dakhil, cucu dari Hisyam Ibnu Malik, Khalifah Ke-10 Bani Umayyah di
21
A Mustofa, Filsafat Islam, ( Bandung; Pustaka Setia, 2009), h.257
56
Eropa22
Cordova (Dunia Barat) namun ternyata dari segi sektor kebudayaan dan
Umam, Shaid.
Abdur Rahman.
22
Majid Faakhry, A History of Muslim Philosophy, Terj. Mulyadi Kartanegara ,( Jakarta:
Pustaka Jaya, 1986), h.356-357
57
Diantaranya adalah Abd Al Rahman Ibnu Al Ismail, lalu ahli logika; Abu
Usman Said Ibnu Fathun, juru tata bahasa dan musik; Maslamah Ibnu
berkembang filsafat dan Ilmu pengetahuan yang juga di dorong oleh ajaran
juga. Selain itu faktor yang paling dominan yaitu kecintaan penguasa pada
keilmuan yang terjadi di Andalusia pada Abad ke-11 namun tidak bisa di
23
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Depok: PT.Raja Grafindo
Persada, 2014), h193
58
ilmuan yang meletakan sebuah dasar bagi revolusi ilmiah dan filosof yang
Barat24.
fikiran Islam oleh Al Farabi. Dan bagi Ibnu Bajjah Al Farabi merupakan
satu-satunya guru logika, politik, dan metafisika yang berasal dari Timur25
kawasan Timur antara lain terpengaruh oleh Al Farabi dan Ibnu Sina, hal
Barat (Andalusia)26
24
Ahmad Zaini, “Telaah Pemikiran Ibnu Bajjah”, , FIKRAH, Jurnal Ilmu Aqidah dan
Studi Keagamaan Volume 3, No.1, Juni 2015, h.69
25
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam,( Pustaka Jaya:Bandung, Cetakan 1, 1986), h.99-
100
26
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (Pustaka Jaya:Bandung, Cetakan 1, 1986)h.99-
100
59
filsafat dan ilmu pengetahuan. Lainnya. Hal ini merupakan pendapat dari
W. Montgomery Watt27
Ibnu khaldun yang merupakan seorang ahli teori sosial besar arab
berpendapat bahwa Al Farabi dan Ibnu Sina sebagai filosof Islam utama di
Timur, sedangkan Ibnu Bajjah dan Ibnu Rusyd merupakan filosof Islam
Dia menulis surat kepada penerjemah bahasa Ibrani dari The Guide of the
peringkat pertama29
karena mungkin tidak pernah bertemu secara pribadi, selain itu keasyikan
duniawi telah menyisakan sedikit waktu Ibnu Bajjah untuk filsafat, seperti
27
Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya”, (Depok: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014), h.196
28
Editor Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), h. 368
29
Editor Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), h.368
60
ketahui30.
Ibnu Bajjah adalah sosok failasuf yang sendirian atau soliter, ia hidup di
negara yang tidak sempurna dimana ia hidup dalam keadaan yang tidak
normal, dengan hidup di negara tidak sempurna ia hidup dalam keadaan yang
tidak alami juga dalam keadaan yang tidak menyenangkan, Ibnu Bajjah
warga negara yang nyata (real) karena ia mempunyai pandangan negara dalam
orang filosof yang hidup menyendiri pada salah satu negara dalam negara
yang tidak sempurna karena Fasiqoh, Jahilah dan lain-lainnya apabila tidak
30
Editor Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), h. 369
31
Editor Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), h. 369
61
imamiyyah Ibnu Bajjah adalah excellent ‘dalam tindakan dan fikiran’, selain
dalam keadaan negara yang tidak sempurna, Ibnu Bajjah pernah di penjara
setelah itu dia pergi ke wilayah Fez, Maroko dan mampu menjadi pejabat
kali membuat usaha pembunuhan terhadap Ibnu Bajjah, semua usaha tersebut
gagal dan baru berhasil diberikan racun oleh Abul ‘Ala Bin Zuhr yang
‘Ala bin Zuhr merupakan ayah dari tokoh terkenal yakni Abu Marwan Bin
Zuhr, dia adalah musuh besar Ibnu Bajjah. Sebagaimana terdapat dalam
epidem36 atau sajak pendek berisi tulisan yang menentang Ibnu Bajjah
berbunyi :
32
Ahmad Zaini, “Telaah Pemikiran Ibnu Bajjah”, Fikrah Vol 3 No.1 Juni 2015 , hal 73
33
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 29
34
Ahmad Zaini, “Telaah Pemikiran Ibnu Bajjah”, Fikrah Vol 3 No.1 Juni 2015 , hal 61
35
Ahmad Zaini, “Telaah Pemikiran Ibnu Bajjah”, Fikrah Vol 3 No.1 Juni 2015 , hal 61
36
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 32
62
pembantu Ibnu Zuhr bernama Ibn Ma’tub atas perintah majikannya tersebut
memberikan sepiring terong yang telah dibubuhi oleh racun. Akan tetapi, Ibn
Zuhr bukanlah satu-satunya musuh bagi Ibnu Bajjah, selain itu terdapat nama
Fath Ibn Khaqan adalah musuhnya pula. Sebagimana dalam kitabnya Qala’id
al Iqyan dan Kitab Muthmah, Al Khaqan menyerang Ibnu Bajjah, selain itu
menganggap bahwa Ibnu Bajjah atheis. Hal tersebut yang membuat sang
failasuf tidak bisa berkontemplasi dengan fikiran rasionalnya secara bebas dan
memilih bermutawahhid
Ketika filsafat dan logika di kutuk di Spanyol sehingga banyak para tokoh
yang berilmu diberikan hukuman berat bahkan dihukum mati, hal tersebut
terjadi pada Abad ke-5 H atau sekitar 11-12 M, sehingga hal tersebut yang
Bajjah, Ibnu Thufayl dan Ibnu Rusyd yang mengalami berbagai usaha
pembunuhan karena dianggap kafir, zindiq, dan bid’ah. Selain itu tokoh
yang dianggap sesat, bahkan mendapat kutukan.37 Ibnu Bajjah sendiri dalam
Amir Abu Ishaq Ibrahim Ibnu Yusuf Ibnu Tasyifin menuduhnya kafir hal
37
A.Mustofa, Filsafat Islam, (Pustaka Setia: Bandung, 2009, 1997), hal 257
63
Ibnu Bajjah di bebaskan oleh bantuan dari Ibnu Rusyd sebagaimana yang
telah dijelaskan secara terperinci dalam biografi Ibnu Bajjah pada bab
para failasuf yang mendapatkan kehidupan yang terancam. Disaat Yousuf bin
Tasyfin digantikan oleh putranya yang bernama Ali bin Yousuf kekuasaan
jatuh ditangan para ahli fiqh atau fuqaha dan para ahli hadits atau
tanpa berkonsultasi dengan para ahli agama, karena mereka adalah tokoh yang
periode tersebut dan tidak bisa bekerjasama dengan para fuqaha maupun para
muhadits. Tampil salahsatu nama selain Ibnu Bajjah yakni Malik bin Wuhayb
dan Ibn Hazm merupakan pemikir bebas dimasa itu namun mereka
meninggalkan jalan filsafat dan memilih jalan lain (mempelajari agama) sebab
Filsafat politik dan etika Ibnu Bajjah beraliran Farabian40 atau terpengaruh
oleh pemikiran Al Farabi, satu persamaan yang terlihat nyata antara Ibnu
Bajjah dan Al Farabi yakni keduanya sama sama sepakat bahwa ilmu dapat
38
A. Heris Hermawan, DKK, Filsafat Islam, (CV Insan Mandiri: Bandung, Cet1, 2011),
hal. 116
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
39
membangun kota ideal dengan figur seorang failasuf sebagai citra ideal yang
para failasuf untuk berkontemplasi. Ibnu Bajjah tidak melihat kota ideal
melihat kota yang tidak ideal menjadi ancaman bagi para failasuf untuk
mudabbir42 atau penguasa, karena tanpa hal tersebut dia tetap bisa memerintah
kerajaan yang sempurna sebab dia adalah sosok raja secara esensi. Tadbir Ibnu
situasi yang tidak layak yang membuatnya memilih untuk soliter. Adapun
cinta sehingga tidak ada perselisihan diantara mereka sama sekali. Apabila
41
Abdulloh Hanif, “Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah:Tahapan Kedewasaan
Intelektual Dan Spiritual Manusia”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.18, No.1, Januari-Juni 2019, hal
24
42
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 31
65
dan qadli (pengadil), selain itu karakteristik lain adalah ketiadaan dokter
jelas bahwa negara yang sempurna setiap warga negaranya diberikan tugas
atau revolusi namun oleh transformasi internal dari berbagai individu yang
solitary figures, strangers, exiles dari dunia yang terdiri dari manusia yang
dipahami.
43
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 90
44
Abdulloh Hanif, “Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah:Tahapan Kedewasaan
Intelektual Dan Spiritual Manusia”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.18, No.1, Januari-Juni 2019, hal
28
66
intelek aktual, namun proses abstraksi dari intelek potensial tidak bisa
terwujud tanpa bantuan ‘cahaya’45 dari intelek aktif, pandangan ini disebut
etika untuk keselamatan bagi jiwa yang mengambil bagian dari kondisi
mampu mencapai penyatuan dengan intelek aktif atau aql al faal dan
menyendiri dari dunia sosial yang tidak ideal46. Tadbir al Mutawahhid yang
Karya Ibnu Bajjah seolah menggambarkan situasi sosial pada masa itu,
45
Abdulloh Hanif, “Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah:Tahapan Kedewasaan
Intelektual Dan Spiritual Manusia”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.18, No.1, Januari-Juni 2019, hal
25
46
Abdulloh Hanif, “Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah:Tahapan Kedewasaan
Intelektual Dan Spiritual Manusia”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.18, No.1, Januari-Juni 2019, hal
21
47
Abdulloh Hanif,” Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah:Tahapan Kedewasaan
Intelektual Dan Spiritual Manusia”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.18, No.1, Januari-Juni 2019, hal
22
67
tulisannya Ibnu Thufayl, ada dua faktor yang menghambat kejeniusan sosok
Ibnu Bajjah yakni kematiannya terlalu cepat dan ambisinya terhadap dunia
dalam arti Ibnu Bajjah tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan hidupnya
dan situasi umum masyarakat Andalusia pada waktu itu. Catatan De Bour
menulis Ibnu Bajjah hidupnya sangat singkat dan mengakui bahwa dia
negara yang tidak sempurna, sebab andai saja negara itu menjadi sempurna maka
dapat di terjemahkan sebagai orang yang hidup menyendiri, terpisah dengan orang
adalah sosok failasuf yang hidup pada salah satu negara tidak sempurna, yang
mana mereka cukup hanya berhubungan dengan ulama dan ilmuwan saja dan
baik3.
Apabila tidak ditemukan seorang ulama dan ilmuwan, maka mereka harus
mengasingkan diri secara total. Dalam artian, tidak berhubungan sama sekali
dengan masyarakat, kecuali dalam hal-hal yang tidak dapat dihindarkan. Selain
itu, kalau tidak bisa berteman dan bergaul dengan ulama dan ilmuwan,
bertemanlah dengan orang-orang baik yang selalu mengajak pada kebaikan serta
takut akan maksiat. Bertemanlah dengan orang-orang yang beriman kepada Allah,
sehingga ikut menjadi manusia beriman. Teman adalah cerminan dari diri
1
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Tahqiq kitab tadbir al-Mutawahhid, ( Jakarta,
turos, 2018), h..11
2
A. Heris Hermawan, DKK, Filsafat Islam, (CV Insan Mandiri: Bandung, Cet1, 2011),
hal.125
3
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 7-8
68
69
seseorang. Jika temannya baik seseorang tentu akan menjadi baik pula. Jika dia
mempengaruhi perilaku dan tingkah laku seseorang, sehingga pilihlah teman yang
Selain itu Istilah mutawahhid juga di sematkan kepada Tuhan, yang maha
tunggal, dia yang sifatnya kesatuan dalam esensi yang tidak ada keserupaan
terlepas disana ada satu orang atau lebih, sejauh tidak ada bangsa atau negara
yang tidak sejalan dengan pandangan dunia mereka. Artinya baik manusia yang
dalam karya besar Ibnu Bajjah yakni dalam Kitab Tadbir al Mutawwahid.
dan akhlak. perlu digaris bawahi uzlah atau penyendiri yang dikemukakan oleh
masyarakat, tetapi bisa menguasai dirinya sendiri serta hawa nafsunya agar tidak
terbawa arus oleh keburukan kehidupan masyarakat6. Dia menjadi pusat bagi
4
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 7-8
5
A. Heris Hermawan, DKK, Filsafat Islam, (CV Insan Mandiri: Bandung, Cet1, 2011),
hal.125
6
Ahmad Zaini,” Telaah pemikiran Ibnu Bajjah”, Fikrah Vol 3 No.1 Juni 2015 , hal 73
70
dirinya sendiri dan menjadi pusat panutan bagi masyarakat, bagi Ibnu Bajjah
setiap orang mampu menempuh jalan tersebut. Jika terdapat hambatan, itu karena
meremehkan diri sendiri dan karena tunduk terhadap keburukan masyarakat. Jika
memperoleh kebahagiaan,
Selain itu Ibnu Bajjah berpendapat setelah manusia bersih dari sifat
keburukan dapat bersatu dengan akal aktif sehingga mampu memperoleh puncak
makrifat karena limpahan dari Allah, uzlah yang ditekankan Ibnu Bajjah bukan
uzlahnya kaum sufi yang total mengasingkan diri dengan masyarakat, uzlah yang
tepat bagi Ibnu Bajjah adalah uzlah falsafi7 sebagaimana yang telah dijelaskan
diri dari sifat tercela serta sanggup mengendalikan diri agar tidak terbawa
keburukan, atau hanya bergaul dengan para ‘alim (orang-orang yang berilmu),
apabila tidak demikian bahkan uzlah total dalam arti hanya bergaul dengan
Lebih lanjut sebagaimana dikutif dari seorang penyair bernama Zayd Ibn
berbeda dengan uzlah yang dilakukan para sufi, bahkan Ibnu Bajjah mengkritik
uzlah para sufi khususnya kepada tokoh Al Ghazali karena bertentangan dengan
watak manusia sebagai manusia sosial. Ibnu Bajjah mengenal kitab Al Ghazali
7
A. Heris Hermawan, DKK, Filsafat Islam, (CV Insan Mandiri: Bandung, Cet1, 2011),
hal.123
8
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 10
71
tingkat akal mustafad yakni akal yang telah menerima pengetahuan dari akal faal
sehingga makna penyendiri Ibnu Bajjah mirip dengan konsep bijaksana Al Farabi,
sebagai orang yang sempurna yang hidup diperkotaan. Penyindirian itu dianggap
mutawahhid, Sebelum dijelaskan mengenai hal ini perlu kiranya diketahui terlebih
memiliki pengertian yang luas, namun pengertian yang di inginkan oleh Ibnu
Bajjah adalah aturan yang sempurna11, mengatur perbuatan untuk mencapai tujuan
yang diinginkan, jika Tadbir yang dimaksudkan pengaturan yang baik untuk
mencapai tujuan tertentu, maka Tadbir tentu hanya khusus untuk manusia, sebab
dalam pengertian tersebut hanya dapat dilakukan melalui perantara akal, dan akal
terdapat pada manusia, sedangkan perbuatan manusia didasarkan oleh ikhtiar. Hal
9
A. Heris Hermawan, DKK, Filsafat Islam, (CV Insan Mandiri: Bandung, Cet1, 2011),
hal.123
10
Ahmad Zaini, “Telaah Pemikiran Ibnu Bajjah”, Fikrah Vol 3 No.1 Juni 2015 , hal
11
A. Heris Hermawan, DKK, Filsafat Islam, (CV Insan Mandiri: Bandung, Cet1, 2011),
hal.125
72
inilah yang membedakan antara manusia dengan hewan. Lebih lanjut Ibnu Bajjah
negara dalam mencapai tujuan tertentu, yaitu kebahagiaan. Disisi lain Ibnu Bajjah
menghubungkan istilah Tadbir dengan Tuhan, Karena Tuhan Maha Pengatur yang
disebut Al Mutadabbir. Ia telah mengatur alam sedemikian rapi dan teratur tanpa
cacat. Pemakaian kata ini kepada Allah hanya untuk penyerupaan semata
proses equivokal atau mengandung dua arti atau musytaraq13 karena Tadbir
merujuk secara orisinil kepada Tuhan, sehingga Tadbir real adalah Tadbir Tuhan,
Tadbir yaitu negara yang merupakan makna umum yang dipakai untuk
masyarakat. Atau pribadi manusia yang merupakan makna khusus. Tadbir dalam
beberapa kasus memiliki tiga karakteristik : (a). Milik manusia semata, (b).
Tadbir adalah tindakan manusia karena tidak dapat muncul tanpa manusia
12
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 19
13
Abdulloh Hanif, “Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah:Tahapan Kedewasaan
Intelektual Dan Spiritual Manusia”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.18, No.1, Januari-Juni 2019, hal
55
14
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 19
73
ciptaan. Manusia dibedakan dari semua makhluk lain karena adanya rasional
dalam diri manusia. Ibnu Bajjah mendiskusikan lebih jauh perbedaan antara
dan tindakan jamadi,16 dimana tindakan insani adalah tindakan manusia yang
berasal dari pilihan, dan hasil dari pemikiran yang rasional sehingga menimbulkan
ikhtiyar. Sedangkan tindakan hewani17 berasal dari afeksi psikologis yang berada
dalam jiwa seperti hasrat, dan tindakannya dilakukan tanpa tujuan, hanya semata-
mata ingin melakukannya saja, tanpa pemikiran maupun pertimbangan dari akal
sehingga tindakan tersebut dinamakan hewani dan datang secara eksklusif dari
jiwa hewani. Misalnya seseorang yang memakan buah plum hanya karena
15
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 21
16
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 72
17
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 70
74
plum yang asam bukan sekedar hanya ingin memakannya tanpa alasan maupun
pertimbangan, secara aksidental insani dilihat dengan alasan bisa jadi hal tersebut
bermanfaat apabila diinginkan. Unsur hewani melekat pada diri manusia secara
merupakan suatu tindakan paksaan yang tidak ada pilihan didalamnya, tidak ada
perbuatan mana yang mampu menerima tadbir. Di saat manusia tersusun dari
jasmani, indera dan akal, maka perbuatan manusia dapat dibedakan menjadi tiga
bentuk19. Pertama adalah perbuatan yang berasal dari jasmani murni seperti jatuh
ke bawah atau naik ke atas. Perbuatan ini tidak menerima tadbir, sebab pada
tatanan ini perbuatan manusia berasal dari sebuah kemestian yang tidak mungkin
dielakkan. Kedua adalah perbuatan yang murni dari tabiat. Perbuatan ini juga
tidak menerima tadbir, sebab pada tataran ini tidak ada perbedaan antara manusia
dengan hewan secara mendasar. Ketiga adalah perbuatan yang berasal dari posisi
manusia sebagai entitas berakal. Perbuatan ini terbagi menjadi dua bagian yaitu
18
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 71
19
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 47
75
perbuatan yang timbul dari ilham ketuhanan dan perbuatan yang datang dari
perwatakan yang ada dalam dirinya. Ini berbeda dengan manusia yang
mempunyai potensi untuk berfikir, mampu membedakan baik dan buruk, juga
punya potensi untuk melakukan perbaikan diri. Tetapi ketika hal itu tidak
Namun pada sisi lain, ada sebagian manusia yang berperilaku murni
karena dorongan akal dalam dirinya. Perbutannya ini sama sekali tidak
menjadi titik temu antara manusia dengan binatang seperti makan dan minum, tapi
berlawanan dengan akal sehat. Baginya makan dan minum hanya perantara untuk
mencapai keutamaan perilaku. Makan dan minum tidak hanya sekedar tuntutan
20
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 50
21
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 53
22
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 59
76
adalah sensus communis tindakan ini lebih tinggi memiliki kategori kedua
contoh adalah busana, busana adalah milik kelas alamiah sementara warna
ingat.
23
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 97
77
Tujuan akhir dari tindakan mutawahhid atau manusia penyendiri dalam arti
failasuf terdiri dari tiga macam yakni bentuk korporeal, bentuk spiritual
partikular bagi bentuk spiritual manusia tidak dimiliki oleh bentuk yang lain
adalah karakteristik manusia yang tidak bisa dimiliki makhluk lain. Dengan
terbagi lagi menjadi dua hal yang bersebrangan yaitu eksistensi spiritual dan
korporeal, eksistensi yang paling singkat. Seseorang yang lebih tertarik pada
bentuk korporeal (fisik) merupakan orang yang buruk, sedangkan orang yang
tindakan ini adalah perilaku Hatim Al Tha’i waktu menyembelih kuda untuk
biarpun anak-anaknya merasa kelaparan. Watak seperti itu adalah watak luhur
dan spiritual karena mengorbankan sesuatu untuk orang lain. Dan manusia
24
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 121
25
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 126
78
Rasionalitas merupakan tema utama dari karya Ibnu Bajjah, bukan hanya
terdapat dalam Kitab Tadbir saja, tapi dikebanyakan karyanya seperti Risalah
nilai moral. Ia naik pada tingat hewan irasional yang paling mulia, sebab
meraih tingkat mudabbir, yang lebih tinggi lagi adalah tingkatan seseorang
tadbir-nya masih membuatnya hamba dari orang lain, karena masih dipimpin
dan diatur oleh orang lain. Namun saat seseorang menjadi sempurna secara
memilih negaranya sendiri dan tiap failsuf secara normal memilih negara yang
sempurna27.
26
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 129
27
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 22
79
perbedaan bentuk spiritual, karena bentuk spiritual adalah konsep yang sesuai
yang memiliki dua macam hubungan, yakni hubungan antara bentuk dan
yang hanya dimiliki oleh para failasuf saja, dengan adanya bentuk tersebut
maka Tadbir mewujud atau ada. Diantara tiga kategori yang dikemukakan
Ibnu Bajjah tentang pengetahuan dan hanya manusia failasuf yang melihat
28
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 24
80
bentuk tersebut bukanlah tujuan final, namun melalui tindakan tersebut tujuan
2. Perbuatan yang muncul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang
29
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 25
30
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 155
31
Rasyad, “Dimensi Akhlak Dalam Filsafat Islam”,Substantia, Vol.17,No.1, April 2015,
h.98
81
spekulatif. Kebajikan formal adalah pembawaan sejak lahir tanpa ada pengaruh
dari kemauan atau spekulasi, seperti sikap kejujuran pada hewan. Sedangkan
spekulasi artinya tindakan yang di lakukan demi kebenaran itu sendiri dan
mustafad34, yakni keadaan seseorang yang siap menerima emanasi seluruh objek
rasional yang berasal dari akal aktif sehingga perilaku berpikir dengan akal adalah
salah satu hal yang dapat mewujudkan kebahagiaan dalam diri manusia.
akal aktif, hal ini merupakan sebuah entitas spiritual yang harus dicapai oleh
32
Mustain,”Etika Dan Ajaran Moral Filsafat Islam: Pemikiran Para Filosof Muslim
Tentang Kebahagiaan”, Jurnal Studi Keislaman :Ulumuna, Vol.17, No.1, Juni, 2013, h.208
33
Masganti Sitorus, M Idris, “ kepribadian Manusia Mnurut Ibnu Bajjah”, Analytica
Islamica, Vol.1. No.1,2012, h. 108
34
A Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h 108
82
bawaan tertentu yang siap menerima bentuk pengetahuan dalam intelek potensial,
dimana intelek ini berisi potensi yang mengabstraksikan bentuk pengetahuan yang
diserap, setelah itu menuju intelek aktual. Proses abstraksi dari intelek potensial
tidak akan terwujud apabila tidak ada cahaya dari akal aktif atau akal faal.
telah menyatu dengan Yang Maha Mengetahui, kebahagiaan menurut para failasuf
adalah harapan puncak dari pencapaian dengan Akal Aktif , Sebagaimana Ibnu
Bajjah meyakini bahwa kebaikan adalah kebahagiaan itu sendiri, berarti makna-
makna universal yang didapatkan dalam kondisi keterhubungan dengan Akal Aktif
dan akal mustafad, dengan menyematkan sifat spiritual ketuhanan pada akal
mustafad maka secara tidak langsung kebahagiaan itu bersifat spiritual murni36.
suatu keadaan dimana seorang failasuf berada dalam kondisi negara yang tidak
mendukung, sehingga para failasuf sulit untuk berkontemplasi dan berpikir secara
radikal karena berbagai ancaman dan tuduhan tertuju kepada pemikirannya yang
35
Abdulloh Hanif, “Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah”, Jurnal Ushuluddin,
Vol.18, No.1,Januari-Juni 2019, h. 24
36
Abdulloh Hanif, “Kajian Kritis Filsafat Mutawahhid Ibnu Bajjah”, Jurnal Ushuluddin,
Vol.18, No.1,Januari-Juni 2019, h. 28
83
sendirian37 dengan cara hidup mengasingkan diri atau menjauhkan diri dari
perbuatan tercela yang ada dalam masyarakat dalam kondisi negara yang fasiq,
kacau balau. Definisi diatas mengindikasikan bahwa Ibnu Bajjah menaruh besar
pada rasionalitas, karena dengan akal manusia mampu membedakan mana yang
benar dan tidak, dan menjadi sosok yang bijaksana, tindakan manusia mutawahhid
menentukan segala tindakan secara rasional atas dasar pertimbangan akal, akal
memperoleh tingkatan yang paling tinggi dalam diri seorang failasuf, karena
pengetahuan dengan potensi akal, dimana setelah manusia bersih dari sifat
keburukan yang terdapat di suatu masyarakat maka dia bisa bersatu dengan akal
aktif ketika itulah dia memperoleh puncak makrifat karena limpahan dari ‘cahaya’
Tuhan38.
jiwanya sampai kepada penyatuannya dengan akal (al-aql al fa’al) yang kemudian
37
Ma’an Ziyadah, Penerjemah Nanang Taqiq, Kitab Tadbir Al Mutawwahid, (Turos
Khazanah Pustaka Islam, Jakarta, 2018), hal 13
38
A. Heris Hermawan, DKK Filsafat Islam,( CV. Insan Mandiri: Bandung,, Cetakan
Pertama, Januari 2011), h 133
39
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 14
84
ketidakstabilan sebuah tatanan sosial. Dalam hal ini, etika melakukan tadbir
terhadap jiwa manusia sehingga jiwa merupakan obyek kajian ilmu etika,
menjadi obyek kajian ilmu sosial. Dengan demikian, tadbir yang dikehendaki oleh
Ibnu Bajjah adalah tadbir pada diri manusia, yaitu pada orang-orang yang
hanya satu orang saja dan bisa lebih, asal pemikiran dan perilakunya tidak
atau ghuraba dalam dunia sufi. Kaum mutawahhidin adalah mereka yang
menjalani kehidupan dalam komunitas tidak ideal, penuh kesesatan dan tidak
bermoral tetapi tidak larut dalam kesesatan itu. Hanya merekalah satu-satunya
karena tidak semua warga Negara menggunakan akal sehatnya dalam menyikapi
itu, sebab hanya merekalah yang menggunakan akal sehatnya dalam menyikapi
permasalahan.
zahir maupun batin, mana yang dapat mengantarkan kepada kesenangan jasmani
sesaat mana yang bersifat rohani42. Dalam hal ini Ibnu Bajjah membagi bentuk
rohani menjadi dua. Pertama rohani shadiqah (benar), yaitu rohani yang diilhami
40
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 25
41
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 38
42
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 20
85
menggapai kebahagiaan hakiki, hati yang bersih. Hati yang bersih akan
menghasilkan akal pikiran yang sehat, akal yang sehat akan melahirkan perbuatan
yang baik. Dengan demikian, kehidupan sosial akan baik dan negara akan stabil.
Itulah kebahagiaan43.
perkara subhat, dll. Pada dasarnya satu bentuk ruhani yang buruk akan
menorehkan satu tinta hitam dalam jiwa seseorang. Sehingga terkadang wajah dan
aura seseorang juga akan terlihat kusam. Selain itu, perilaku yang ditimbulkan
juga perilaku yang buruk, penuh kebohongan dan akan membawa malapetaka
perbuatan, semua perbuatan yang di dasarkan pada akal sehat di sebut perbuatan
demi kebenaran itu di namakan perbuatan illahi, sehingga jika akal memutuskan
sesuatu, dan tidak di tentang oleh jiwa hewani, ini berarti jiwa hewani tunduk
pada akal.45
mengenal arti kebahagiaan yang hakiki kemudian mampu mengendalikan diri dari
43
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 21
44
Ibnu Bajjah, Tadbir Al Mutawahhid, Tunis: Ceres 1994, h. 22
45
Masganti Sitorus, M Idris, “ kepribadian Manusia Mnurut Ibnu Bajjah”, Analytica
Islamica, Vol.1. No.1,2012, h. 108
86
46
Masganti Sitorus, M Idris, “ kepribadian Manusia Mnurut Ibnu Bajjah”, Analytica
Islamica, Vol.1. No.1,2012, h. 109
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
negara yang tidak sempurna yakni bagi failasuf yang tidak dapat mengoptimalkan
potensi akal, tidak dapat berkontemplasi, dan berpikir secara optimal mencari
menyendiri dan menjauhkan diri dari sifat tercela yang ada dalam lingkungan
yang sebenarnya, yang mana mereka cukup hanya berhubungan dengan ulama dan
masyarakat yang tidak baik. Apabila tidak ditemukan seorang ulama dan
ilmuwan, maka mereka harus mengasingkan diri secara total. Dalam artian, tidak
berhubungan sama sekali dengan masyarakat, kecuali dalam hal-hal yang tidak
dapat dihindarkan
tersusun dari jasmani, indera dan akal, maka perbuatan manusia dapat dibedakan
1. Adalah perbuatan yang berasal dari jasmani murni seperti jatuh ke bawah
atau naik ke atas. Perbuatan ini tidak menerima tadbir, sebab pada tatanan
87
88
ini perbuatan manusia berasal dari sebuah kemestian yang tidak mungkin
dielakkan
2. Adalah perbuatan yang murni dari tabiat. Perbuatan ini juga tidak
menerima tadbir, sebab pada tataran ini tidak ada perbedaan antara
3. Adalah perbuatan yang berasal dari posisi manusia sebagai entitas berakal.
Perbuatan ini terbagi menjadi dua bagian yaitu perbuatan yang timbul dari
tuntutan perwatakan yang ada dalam dirinya. Ini berbeda dengan manusia
buruk, juga punya potensi untuk melakukan perbaikan diri. Tetapi ketika
hal itu tidak digunakan dengan semestinya, maka ia tidak ada bedanya
dengan binatang.
murni karena dorongan akal dalam dirinya. Perbutannya ini sama sekali
perbuatan yang menjadi titik temu antara manusia dengan binatang seperti
Makan dan minum tidak hanya sekedar tuntutan jasmani, melainkan juga
positif. Perilaku manusia pada tingkatan ini lebih bisa dinamakan sebagai
B. Saran
Ibnu Bajjah merupakan tokoh failasuf penting dalam Islam, walaupun tidak
dapat dipungkiri bahwa penulis dan beberapa peneliti lain mengalami kesulitan
dalam mencari riwayat kehidupannya, dan mencari sumber referensi primer yang
lainnya yang membahas tentang Ibnu Bajjah, namun hal tersebut tidak dapat
menghilangkan sebuah fakta menarik bahwa Ibnu Bajjah adalah tokoh yang
90
91