Anda di halaman 1dari 98

HATE SPEECH: PEMBACAAN TERHADAP QS.

AL-ḤUJURȂT[49]: AYAT 11-12 PERSPEKTIF


HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi


Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh

Firgat Cyilmia
NIM. 11140340000185

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN
2019M/1440H
PEDOMAN TRANSLITERASI

1. Pedoman Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara
latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
‫ا‬ Tidak dilambangkan
‫ب‬ b Be
‫ت‬ t Te
‫ث‬ ts Te dan es
‫ج‬ j Je
‫ح‬ ḥ h dengan titik bawah
‫خ‬ kh Ka dan ha
‫د‬ d De
‫ذ‬ dz De dan zet
‫ر‬ r Er
‫ز‬ z Zet
‫س‬ s Es
‫ش‬ sy Es dan ye
‫ص‬ ṣ Es dengan titik bawah
‫ض‬ ḍ De dengan titik bawah
‫ط‬ ṭ Te dengan titik bawah
‫ظ‬ ẓ Zet dengan titik bawah
‫ع‬ ‘ Koma terbalik di atas hadap kanan
‫غ‬ gh Ge dan ha
‫ف‬ f Ef
‫ق‬ q Ki

v
‫ك‬ k Ka
‫ل‬ l El
‫م‬ m Em
‫ن‬ n En
‫و‬ w We
‫ه‬ h Ha
‫ء‬ ` Apostrof
‫ي‬ y Ye

2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia,
terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau
diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
َ A fatẖah
َ I Kasrah
َ U Ḏammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah


sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫َي‬ Ai a dan i
‫َو‬ Au A dan u

vi
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan
Arab Latin
‫َا‬ â a dengan topi di atas
‫َي‬ ȋ i dengan topi di atas
‫َو‬ û u dengan topi di atas

4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti
huruf syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-
rijâl, al-dîwân bukan ad dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda ( َ ) dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf
yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika
huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata ( ‫) الضرورة‬
tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah
terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal
yang sama juga berlaku jika tamarbûtah tersebut diikuti oleh kata

vii
sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
1 ‫طریقة‬ Tarîqah
2 ‫اإلسالمیة الجامعة‬ al-jâmî’ah al-islâmiyyah
3 ‫الوجود وحدة‬ wahdat al-wujûd

7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan
mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia
(EBI), antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal
nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital
tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-
Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat
diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf
cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul
buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam
alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh
yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak
dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab.

viii
Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-
Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri
mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab
tidak perlu dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr
Khâlis Majîd; Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur
Rahman, bukan Fadl al-Rahmân.

ix
ABSTRAK
Firgat Cyilmia
Hate Speech: Pembacaan Terhadap QS. Al-Ḥujurât[49]: Ayat 11-
12 Perspektif Hermeneutika Paul Ricoeur
Penelitian ini mengenai pemahaman makna hate speech yang
diilustrasikan dalam QS. al-Ḥujurât [49]:11-12. Tindakan hate speech
dilatarbelakangi oleh maraknya tindakan-tindakan ujaran yang
didukung oleh wadah sosial media. Penelitian ini mengkaji ujaran yang
yang bisa dikategorikan sebagai tindakan hate speech berdasarkan
perspektif QS. al-Ḥujurât [49]:11-12.
Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutika Paul
Ricoeur sebagai pisau analisa untuk memahami teks. Adapun alasan
mengapa peneliti menggunakan hermeneutika Paul Ricoeur dalam
menganalisa al-Ḥujurât [49]:11-12 dikarenakan pendekatan
hermeneutika Paul Ricour sangat efektif dalam menjelaskan maksud
tersembunyi dalam ayat Alquran terkait QS. al-Ḥujurât [49]:11-12.
Hermeneutika Paul Ricoeur menghadirkan proses pemahaman yang
disebut dengan interpretasi teks. Terdapat dua proses interpretasi
sebagai proses analisis data, yaitu proses semiologi struktural
(cakrawala teks) dan proses apropriasi atau pemahaman, yaitu proses
membuat teks menjadi milik kita (pembaca), dengan mengansumsikan
teks sebagai wacana yang menghadirkan dunia cakrawala teks dan
dilebur dengan cakrawala pembaca.
Simpulan pemahaman yang dapat di ambil melalui pendekatan
hermeneutika Paul Ricoeur adalah, bahwa tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai hate speech berdasarkan pemahaman QS. al-
Ḥujurât[49] 11-12 adalah segala bentuk komunikasi oral maupun literal
dan atau verbal maupun non verbal yang dapat mengundang unsur
kebencian atau konflik sosial. Hate speech harus memiliki beberapa
ciri-ciri khusus yakni mengundang kebencian, permusuhan, konflik,
dan menyinggung pihak lain. Ucapan ujaran kebencian itu menempati
objek, ia menjadi titik tolak untuk mengkategorikan hate speech.

Kata kunci: Hate speech, Paul Ricoeur, Hermeneutika, Ujaran


kebencian.

x
KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam peneliti sampaikan kepadaTuhan Yang


Maha Pemurah, karena berkat kemurahan-Nya skripsi ini dapat peneliti
selesaikan. Trimakasih karena telah memberikan saya peran, peran
apapun tetap trimakasih Tuhan.
Dalam skripsi ini, peneliti membahas Hate Speech:
Pembacaan Terhadap QS. Al-Ḥujurât[49]: Ayat 11-12 Perspektif
Hermeneutika Paul Ricoeur suatu problem sosial yang hangat
diperbincangkan dalam maya ataupun nyata. Skripsi ini dibuat dalam
rangka memperdalam pemahaman peneliti, yang sangat diperlukan
dalam suatu harapan mendapatkan pengetahuan dan memanfaatkannya,
sekaligus melakukan apa yang menjadi tugas akhir mahasiswa untuk
mendapat gelar strata satu (S1).
Sementara dalam perjalanan penulisan skripsi ini, tentunya
peneliti mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran. Untuk itu,
rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan yang setulus-tulusnya
perlu peneliti tujukan kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. selaku
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
3. Dr. Eva Nugraha, M.Ag selaku Kepala Jurusan Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir.
4. Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir

xi
5. Kusmana, MA, Ph.D selaku dosen pembimbing sekaligus Bapak
ideologis bagi saya. Terimakasih atas segenap intelektual, waktu
sekaligus bimbingan yang telah diberikan.
6. Ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan dukungan moril
maupun materiil. Tetaplah dalam lindungan Tuhan.
7. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin dan guru-guru saya, semoga
selalu sejahtera dalam harmoni Allah SWT. Terima kasih telah
menghilangkan ketidaktahuan peneliti, baik dalam bidang formal
maupun informal.
8. Zainuddin, Abang perantauan yang telah memberikan segenap
kebaikan apapun dalam hidup saya. Terimakasih selalu menjadi
orang terdepan bahkan ketika saya salah sekalipun.
Dengan sebenar-benarnya kesadaran dan kerendahan hati,
tentulah di dalam skripsi ini masih terlalu banyak kekurangan. Oleh
sebab itu, kritik dan saran sangat peneliti butuhkan sebagai sarana
pembelajaran. Semoga skripsi yang peneliti tulis ini dapat bermanfaat
dan berguna adanya. Terima Kasih.

Ciputat, 27 Agustus 2019

Firgat Cyilmia
NIM 11140340000185

xii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .........................ii


LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................iii
PERNYATAAN ..................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERSASI............................................. v
ABSTRAK ............................................................... x
KATA PENGANTAR .............................................................. xi
DAFTAR ISI ............................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1
B. Permasalahan................................................................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................... 7
D. Tinjauan Pustaka .......................................................... 8
E. Metode Penelitian....................................................... 14
F. Sistematika Penulisan ................................................ 16

BAB II HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR


A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hermeneutika ......... 18
B. Sejarah Perkembangan Hermeneutika ...................... 22
C. Pemikiran Hermeneutika Paul Ricoeur .................... 27
1. Biografi Paul Ricoeur ........................................ 27
2. Karya-karya Paul Ricoeur ................................... 30
3. Teori Interpretasi Paul Ricoeur ........................... 31

xiii
BAB III HATE SPEECH DALAM QS. AL-ḤUJURȂT [49]:11-12
A. Pengertian Hate Speech ............................................ 36
B. Tafsir QS. Al-Ḥujurât[49]: 11-12 ............................. 40
1. Lafaẕ dan Terjemahan ............................................... 40
2. Al-asbâb al-Nuzûl ...................................................... 42
3. Tafsir Klasik .............................................................. 45
4. Tafsir Modern ............................................................ 51

BAB IV QS. AL-ḤUJURȂT[49]:11-12 DAN HATE SPEECH


PERSPEKTIF HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR
A. Bentuk Hate Speech dalam QS. Al-Ḥujurât[49]:11-12 61
B. Aplikasi Prinsip Pemahaman Hermeneutika Paul Ricoeur
................................................................................. 62
1. Penafsiran Hate Speech Secara Semiologi Struktural
........................................................................... 63
2. Penafsiran Apropriasi ........................................ 71
C. Analisis Perbandingan Penafsiran Para Mufassir dengan
Apropriasi ................................................................ 75

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................... 80
B. Saran ..................................................................... 81

DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 82

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama raẖmatan lilâlamȋn yang mengajarkan


hubungan ketuhanan dan kemanusiaan secara baik dan benar, dengan
berbagai macam syariat yang ada didalamnya sebagai hukum dalam
melaksanakan sesuatu agar tidak bertentangan dengan larangan agama.
Kemanusiaan menuntun untuk berkehidupan sosial kemasyarakatan yang
sesuai dengan syariat, dengan tujuan untuk melindungi harkat serta
martabat manusia. Setiap perilaku yang merendahkan harkat dan martabat
manusia baik secara pribadi maupun sebagai anggota masyarakat tentu
dilarang oleh Allah SWT.1

Islam juga memberikan tuntunan agar Muslim saling memberikan


nasihat kepada saudaranya. Anjuran ini adalah untuk memperkokoh
persaudaraan Islam dan solidaritas, dengan memberikan saran dan nasihat
kepada orang yang berbuat kekeliruan dalam tindakan.2 Namun nasihat
atau pendapat seseorang terkadang bukan saja bersifat membangun, akan
tetapi lebih kepada kritikan yang sulit diterima oleh pihak lain yang erat
kaitannya dengan penghinaan yang dapat merusak reputasi pihak tertentu.

Indonesia sebagai negara yang demokrasi memang memberikan


kebebasan berpendapat, yang mana hal tersebut menjadi hak yang
dilindungi oleh konstitusi. Kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat

1
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 60.
2
Basri Iba Asghary, Solusi Al-Quran: Tentang Problema Sosial Politik Budaya
(Jakarta: PT Rineka Cipta,1994), h. 233.

1
2

tersebut diatur dalam perubahan kedua Undang-Undang Dasar Republik


Indonesia tahun 1945 pasal 28E ayat (3):3

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,


dan mengeluarkan pendapat”.
Kebebasan berekspresi termasuk kebebasan berpendapat
merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara.
Undang-Undang No.9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan
pendapat di muka umum Pasal 1 ayat (1):

“Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap


warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tuisan,
dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”4
Namun jika kebebasan berpendapat dimaknai sebagai kebebasan
yang sebebas-bebasnya dalam menyampaikan ide, gagasan dan pikiran di
publik, maka kebebasan berpendapat akan menjadi bumerang bagi negara,
yang salah satunya adalah maraknya ujaran kebencian atau hate speech
yang bisa menimbulkan sikap intoleran. Jika sikap intoleran tumbuh di
Indonesia yang notabene memiliki masyarakat yang majemuk dan plural
baik dari segi kultur, etnis, budaya serta agama maka bisa mengancam
integritas dan keutuhan bangsa.

Sebagaimana data yang dikeluarkan oleh Kepolisian Republik


Indonesia (Polri) tentang ujaran kebencian kurun waktu dua tahun
terakhir. Pada tahun 2017, Polri mencatat kasus kejahatan hate speech
sebanyak 3.325 kasus. Angka mengalami kenaikan bila dibandingkan

3
Redaksi Bmedia, UU 1945 & Perubahannya (Jakarta: Bmedia Imprint Kawan
Pustaka, 2016), h.33.
4
UU No.9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat, BAB 1,
Pasal 1 ayat (1)
3

dengan tahun sebelumnya, yakni sekitar 44, 99 %, yang berjumlah 1.829


kasus.5

Maraknya kasus ujaran kebencian tak terlepas dari kemajuan


tekhnologi informasi yang begitu cepat. Di sisi lain, kehadiran internet
juga turut mempengaruhi terjadinya kasus kejahatan cyber crime
ini.Lahirnya internet memicu konvergensi media. Era internet
memunculkan apa yang disebut dengan new media(media baru). Konsep
ini menawarkan ciri utama, yaitu digitisation, convergenses, interactivity,
6
dan development of network. Pada tahap selanjutnya para ahli
komunikasi menyebutnya dengan era media sosial.

Fenomena ujaran kebencian ini juga mendapat respons dalam


Alquran. Dengan tegas Alquranmelarangmenghina dan menghasut sesama
muslim sebagaimana firman Allah:

        


     

           
   

            

 

5
Yulida Medistiara, Selama 2017 Polri tangani 3.325 Kasus Ujaran
Kebencian, artikel diakses pada 20 Desember 2018, dari
http://m.detik.com/news/berita/d-3790973/selama-2017-polri-tangani-3325-kasus-ujaran-
kebencian.
6
Tery Flew, New Media: An Introduction (Inggris: Oxford Univercity Press,
2008), h. 28.
4

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum


mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang
diolok-olokkan) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).
dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan
lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah
suka mencela satu sama lain dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan barang siapa yang tidak
bertobat, Maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS.al-
Ḥujurât[49]:11).
Sebagai sebuah produk komunikasi Tuhan, Alquran dapat ditinjau
dalam dua aspek, yaitu dalam bentuk teks dan dalam perspektif
kontekstual. Secara gamblang, Alquran menempati dua dimensi; vertikal
dan horizontal.Pada tingkat vertikel, Alquran menempati posisi sentral
tempat terjadinya komunikasi anatara Tuhan dan manusia. Sedangkan
dalam tataran horizontal , Alquran sebagai penyebaran pesan yang
disampaikan oleh Muhammad setelah diterima atau penyebarannya
melalui tafsir. Bila dalam tataran vertikel, Alquran menjelma dalam
bentuk tekstualitas, maka dalam dimensi horizontal, Alquran menjelma
sebagai sebuah wacana (konteks).

Tidak dapat dipungkiri bahwa problematika mendasar dalam


studi Islam adalah masalah penafsiran teks. Alquran sendiri dipahami
sebagai teks (mafhum teks) tentu disampaikan dalam bentuk bahasa. Bila
Alquran disampaikan dalam bentuk bahasa, tentu secara otomatis ia
mengandung dimensi budaya, sehingga dalam keadaan ini tercipta
dialektika antara teks dan konteks. Dalam kondisi seperti ini, maka
mengandalkan penafsiran ala ulama klasik tentu tak cukup. Tentu harus
5

melangkah lebih jauh, yakni menggunakan metode hermeneutikasebagai


alat penafsiran terhadap teks dan konteks Alquran.7

Dalam diskursus hermeneutika teks merupakan unsur terpenting


selain author (penulis) atau audiens (pendengar). Teks sering
menggambarkan realitas kehidupan melalui tanda berwujud bentuk huruf
dan tanda baca. Teks merupakan sistem tanda yang mengabstraksikan
tradisi lisan. Maka teks menjadi penting untuk mengungkapkan realitas
terentu, apalagi tradisi lisan diabstraksikan sebagai fungsi
8
bahasa. Perwujudan bahasa atau objektivasi bahasa dalam tindakan sosial,
struktur sosial, kepercayaan atau apapun menjadikannya bagian dari
realitas sosial. Realitas sosial menjadikan bahasa sebagai media ekspresi
diri dan pemahaman diri.

Adapun alasan mengapa peneliti menggunakan hermeneutika Paul


Ricoeur dalam menganalisa al-Ḥujurât [49]:11-12 dikarenakanpendekatan
hermeneutika Paul Ricour sangat efektif dalam menjelaskan maksud
tersembunyi dalam ayat Alquran di atas. Paul Ricoeur mengatakan bahwa
tindakan adalah simbol bahasa, sedangkan simbol-simbol tersebut
mengandung pemikiran tertentu sehingga dibutuhkan interpretasi atasnya.9
Mengingat perlunya pemahaman ulang dalam menangani problema sosial
berupa hate speech yang terjadi saat ini, penulis berusaha
mengintregrasikan hermeneutika sebagai teori memahami teks dalam
QS.al-Ḥujurât[49]:11-12. Oleh karena itu penulis mengambil judul “Hate

7
Mokhamad Sukron, “Kajian Hermeneutika dalam „Ulum Al-Quran”, Al-
Bayan: Jurnal Studi Qur‟an dan Tafsir no.1 (Desember 2016): h. 91.
8
Mamad S Burhanuddin, Hermeneutika Al-Qur‟an Ala Pesantrem, Analisis
Terhadap Tafsir Marah Labib Karya Nawawi Al-Bantani (Yogyakarta; UII Press, 2006),
h. 132.
9
Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika Sebagai Metode,
Flsafat, dan Kritik. Penerjemah Imam Khoiri (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007), h. 335
6

Speech: Pembacaan Terhadap QS.al-Ḥujurât[49] Ayat 11-12


Perspektif Teori Hermeneutika Paul Ricoeur”

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis jabarkan masalah


diatas maka memunculkan beberapa pertanyaan, sebagai berikut:

a. Tak bisa dipungkiri, kemajuan imformasi dan komunikasi kini


melanda Indonesia. Fenomena ini didukung oleh munculnya
internet. Dengan medium itu pula, muncul media sosial dengan
beberapa flatporm (peron)yang memungkinkan para penggunanya
berinteraksi. Namun, kondisi ini justru melahirkan tren baru, yakni
hate speech atau ujaran kebencian. Tren ini tentu sangat berbahaya
bagi bangsa Indonesia yang majemuk, terdiri dari pelbagai bahasa,
suku, dan agama.
b. Sebagaimana telah peneliti sebut di atas, bahwa ujaran kebencian
kian marak di tengah masyarakat Indonesia. Terutama yang
berseliweran di media sosial. Jauh sebelumnya, Alquran pun telah
terlebih dahulu membicarakan fenomena ini. Secara gamblang dan
panjang lebar Alquran telah menjelaskan melalui QS.al-Ḥujurât
[49];11-12. Di samping itu, dalam butiran ayat tersebut dijelaskan
ciri-ciri dari ujaran kebencian.
c. Untuk lebih memahami hate speech secara lengkap, peneliti
mengemukan kajian hermeneutika Paul Ricour. Melalui konsep
„distansiasi‟ dan „apropriasi‟ heremeneutika Paul Ricoeur sebagai
pisau bedahnya.
d. Seperti yang telah peneliti sebutkan, saat ini sisi ujaran kebencian
yang dipermasalahkan sangat jarang seperti yang dikemukan dalam
7

surahal-Ḥujurât. Tetapi telah melenceng pelbagai persoalan yang tak


ada keterkaitannya dengan hate speech. Oleh karena itu,
hermeneutika Paul Ricour, melalui konsep distansiasi dan apropriasi
diaplikasikan dalam memandang fenomena hate speech.
2. Batasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan pada pemaparan latar belakang di atas serta untuk


membatasi permasalahan untuk membatasi permasalahan yan untuk
membatasi permasalahan yang akan dibahas agar lebih terfokus dan
terarah, maka peneliti merumuskan hanya dalam satu tema, yaitu:
“Bagaimana memahami hate speech dalam QS.al-Ḥujurât [49]; 11-12
perspektif metode hermeneutika Paul Ricoeur?”.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah


memahami makna hate speech sebagaimana yang telah diilustrasikan
dalam QS. al-Ḥujurât[49]:11-12. Melalui pendekatan Hermeneutika
diharapkan mendapat hasil yang relevan terkait pemahaman makna
hate speech yang digambarkan dalam teks QS. al-Ḥujurât[49]:11-12
dengan konteks kekinian, sehingga dapat dikontekstualisasikan dalam
kehidupan sehari-hari.

Adapun manfaat penelitian ini bersifat dasar atau murni, yakni


menjelaskan secara komprehensif masalah hate speech yang
digambarkan dalam QS. al-Ḥujurât[49]:11-12. Secara praktis,
penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan
khazanah keilmuan Islam.
8

D. Tinjauan Pustaka

Untuk mengetahui posisi penelitian maka seorang peneliti


melakukan studi terhadap penelitian terkait. Hal ini dilakukan agar tidak
ada duplikasi karya ilmiah atau pengulangan penelitian yang sudah ada
dan pernah diteliti oleh pihak lain dengan permasalahan yang sama.
Penelitian yang berkenaan dengan masalah yang diambil oleh penulis
diantaranya:

1. Buku

Penulis menemukan buku yang di dalamnya memuat bahasan


seputar hermeneutika, diantaranya adalah buku yang ditulis oleh Masykur
Wahid dengan judul “Teori Interpretasi Paul Ricoeur” yang diterbitkan
oleh Lkis pada tahun 2015. Buku ini merupakan publikasi dari karya
ilmiah “tesis” yang ditulis di dalam ruang perkuliahan Program Studi Ilmu
Filsafat Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia. Di dalam bukunya terdapat pembahasan seputar
sejarah hermeneutika sejak zaman kuno hingga modern, tokoh-tokoh
hermeneutika serta metode Paul Ricoeur dalam melakukan interpretasi
terhadap teks.10

Buku lain seputar hermeneutika yang penulis dapatkan adalah


buku yang berjudul “Hermeneutika Kontemporer” karya Josef Bleicher
yang telah diterjemahkan oleh Ahmad Norma Permata dengan judul asli
Contemporary Hermeneutics dan diterbitkan oleh Fajar Pustaka Baru pada
tahun 2003. Dalam buku tersebut dibahas seputar teori-teori hermeneutika

10
Masykur Wahid, Teori Interpretasi Paul Ricoeur (Yogyakarta: Lkia, 2015)
9

klasik hingga modern dan di bagian akhir terdapat bahasan mengenai


perspektif hermeneutika baru yang dilakukan oleh Paul Ricoeur.11

2. Jurnal

Artikel berjudul “Ujaran Kebencian dalam Surah Edaran Kapolri


Nomor: SE/6/X/2016 tentang Penanganan Ucapan Kebencian (Hate
Speech)” yang ditulis oleh Veisy Mangantibe dalam jurnal Lex Crimen
Vol. V/No. 1/Jan/2016. Dalam artikel ini memaparkan bahwa tujuan
penelitian jurnal tersebut dilakukan untuk mengetahui ruang lingkup
ujaran kebencian dalam surah edaran kapolri tersebut. Ruang lingkup
ujaran kebencian tersebut telah dikemukakan dalam Surah Edaran Kapolri
Nomor: SE/6/X/2016 dalam angka 2 huruf tentang penanganan ujaran
kebencian, yang berisikan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak
pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dan undang-undang lainnya diluar KUHP, yang berbentuk penghinaan,
pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan,
memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong dan semua tindakan
di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada diskriminasi, kekerasan,
penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Kemudian disebutkan tata
cara penanganan ujaran kebencian, yaitu melakukan tindakan preventif,
dengan mengefektifkan wilayah yang rawan ujaran kebencian, namun jika
tindakan tersebut tidak menyelesaikan masalah maka akan dilakukan
penegakan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.12

11
Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, terjemahan Ahmad Norma
Permata (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003)
12
Veisy Mangantibe, “Ujaran Kebencian dalam Surah Edaran Kapolri Nomor:
SE/6/X/2016 tentang Penanganan Ucapan Kebencian (Hate Speech)” Lex Crimen, no. 1,
Vol.V (Januari 2016): h.2
10

Artikel dalam yang berjudul “Kejahatan Melalui Media Sosial


Elektronik di Indonesia Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Saat
Ini” dalam Jurnal Mikrotik Volume 2 No. 1 bulan Mei 2014 yang ditulis
oleh Prima Angkupi. Dalam artikel yang ditulis oleh Prima ini memuat
tentang bentuk kejahatan komputer seperti apakah yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hukum pidana membedakan
antara kejahatan dan tindak pidana. Kejahatan hanya merupakan tindak
pidana apabila perilaku jahat tersebut telah ditetapkan sebagai tindak
pidana oleh suatu undang-undang pidana. Tindak-tindak pidana komputer
yang diatur UU ITE yaitu ada pornografi, perjudian online, penghinaan
atau pencemaran nama baik, dan penyebaran informasi yang bermuatan
SARA. Larangan melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik
melalui sistem komputer diatur dalam pasal 27 ayat (3) yang berbunyi:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dan diancam sanksi pidana
berdasarkan pasal 45 ayat (1) yang berbunyi : “Setiap Orang yang
memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1). Ayat (2),
ayat (3) dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliyar
rupiah).13

3. Skripsi

Skripsi yang berjudul “Perpektif Hukum Islam Terhadap


Penerapan UU ITE No.19 Tahun 2016 Tentang Hate Speech”, disusun

13
Prima Angkupi, “Kejahatan Melalui Media Sosial Elektronik Di Indonesia
Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Saat Ini”, Jurnal Mikrotik, Mei 2014, h.5.
11

oleh Annisa Ulfa Haryanti mahasiswi UIN Raden Intan Lampung, 2017.
Dalam skripsi tersebut menganalisis pandangan hukum Islam tentang
penerapan Undang-Undang ITE No.19 Tahun 2016 Tentang Hate Speech,
penerapan yang mencakup kategori tindak pidana ujaran kebenvian yang
diantaranya adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan,
perbuatan tidak menyenangkan, dan provokasi.14

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Putusan PN Jakarta


No.1357/Pid.B/2016.PN-JKT.UTR Tentang Penistaan Agama Yang
Dilakukan Oleh Basuki Tjahja Purnama (AHOK) Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Islam”, disusun oleh Denny Tyas Saputra, mahasiswa Universitas
Pasundan. Skripsi ini membahas mengenai penistaan agama dan tindak
hate speech perspektif hukum islam dan sanksi hukum pidananya.15

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap


Ujaran Kebencian di Media Sosial” penelitian ini dilakukan oleh Moh.
Putra Pradipta, mahasiswa Universitas Hasanuddin Makassar Fakultas
Hukum, tahun 2016. Menjelaskan bagaimana pengaturan hukum terkait
ujaran kebencian di media sosial dan faktor-faktor penyebab ujaran
kebencian.16

Skripsi yang berjudul “Analisis Kejahatan Cyberbullying dan Hate


Speech Menggunakan Berbagai Media Sosial dan Metode
Pencegahannya”, oleh Fathur Rohman mahasiswa AMIK BSI Jakarta,

14
Annisa Ulfa Haryanti, “Perpektif Hukum Islam Terhadap Penerapan UU ITE
No.19 Tahun 2016 Tentang Hate Speech,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah, Universitas
Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2017)
15
Denny Tyas Saputra, “Tinjauan Yuridis Putusan PN Jakarta
No.1357/Pid.B/2016.PN-JKT.UTR Tentang Penistaan Agama Yang Dilakukan Oleh
Basuki Tjahja Purnama (AHOK) Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam”, (Skripsi S1
Fakultas Hukum, Universitas Pasundan, 2017).
16
Moh. Putra Pradipta, “Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Ujaran Kebencian
di Media Sosial,” (skrpsi, Universitas Hasanuddin Makassar Fakultas Hukum,2016).
12

tahun 2016. Hasil penelitian ini adalah perilaku bully dan hate speech
akan terus terjadi mengikuti dinamika yang ada. Diperlukan adanya
pengetahuan dan kebijakan dari setiap individu untyuk menghindari
dampak darin perilaku demikian.17

Terdapat dalam Skripsi “Implikasi Perubahan Undang-undang


Informasi Teknologi dan Elektronik terhadap Tindak Pidana Ujaran
Kebencian” yang ditulis oleh Novi Rahmawati Harefa. Dalam Skripsi ini,
menekankan bagaimana implikasi yang terjadi terhadap undang-undang
yang telah direvisi. Implikasi perubahan undang-undang tersebut yaitu
adanya aturan secara tersendiri dan secara detail sehingga kedepannya
tidak mudah salah kaprah, ditegaskannya aduan peran pemerintah dan
penyidik diperkuat dengan pemberian kewenangan terhadap akses
informasi dan transaksi elektronik, dan adanya hak untuk dilupakan berita
tidak baik oleh pihak yang merasa dirugikan privasinya.18

Skripsi dengan judul “Nilai-nilai Akhlak dalam Perspektif


Pendidikan Islam (Kajian Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 11-13)” yang
ditulis oleh Siti Khoerotunnis. Skripsi ini membahas tentang nilai-nilai
akhlak dalam perspektif pendidikan, yang terkandung dalah surah al-
Ḥujurât, dan bagaimana implikasi nilai akhlak yang terkandung di dalam
surah al-Ḥujurât dalam pendidikan Islam.19

17
Fathur Rohman, “Analisis Kejahatan Cyberbullying dan Hate Speech
Menggunakan Berbagai Media Sosial dan Metode Pencegahannya,” (Skripsi, AMIK BSI
Jakarta, 2016).
18
Novi Rahmawati Harefa, “Implikasi Perubahan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik Terhadap Tindak Pidana Ujaran Kebencian (Hate Speech),”
(Skripsi, S1 Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2017).
19
Siti Khoerunnisa, “Nilai-nilai Akhlak dalam Perspektif Pendidikan Islam
(Kajian Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 11-13),” (Skripsi,Institut Agama Islama Negeri
Salatiga, fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, 2016)
13

Skripsi yang ditulis olek Akbar, dengan judul “Konsep Akhlak


dalam Sura Al-Ḥujurât Ayat 11-13”. Skripsi ini membahas mengenai cara
membangun akhlak sejak dini sesuai mengaplikasikan sifat-sifat yang
digambarkan dalam surah al-Ḥujurât ayat 11-13, yakni: menjauhkan diri
dari sifat mengolok-olok, buruk sangka, menyebarkan aib, dan
menjauhkan diri dari sifat ghibah.20

4. Tesis

Penelitian yang dilakukan oleh Rio Kurniawan pada tahun 2015


Megister Komunikasi dan Media Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas
Padjadjaran yang berjudul “Fenomena Ujaran Kebencian (Hate Speech) di
Sosial Media (Analisis Kasus munculnya meme Kekalahan Prabowo dan
Kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014)”. Menjelaskan tentang
penggunaan teori-teori komunikasi untuk menjelaskan fenomena ujaran
kebencian (hate speech). Dimana hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa terdapat tiga teori komunikasi yang dapat digunakan
yaitu,Teori Penilaian Sosial, Teori Penjulukan, dan Teori Konstruksi
Sosial Emosi.21

20
Akbar, “Konsep Akhlak dalam Al-Qur‟an Surat Al-Hujurat Ayat 11-13,”
(Skripsi universitas Islam Negeri Sunan Kalijag, Yogyakarta, 2013)
21
Rio Kurniawan, “Fenomena Ujaran Kebencian (Hate Speech) di Sosial Media
(Analisis Kasus Munculnya Meme Kekalahan Prabowo dan Kemenangan Jokowi pada
Pilpres 2014),” (Tesis Megister Komunikasi dan Media Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran, 2015).
14

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu prosedur


penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari suatu objek yang dapat diambil dan diteliti.22

2. Sumber Data

Data yang diperlukan dari penelitian ini bersumber dari


dokumen perpustakaan (library research) maka pengumpulannya ialah
dengan cara menelusuri kitab-kitab, buku-buku ilmiah dan referensi
tertulis lainnya. Data-data tertulis tersebut terbagi menjadi dua jenis
sumber data, yaitu data primer dan data sekunder.

Sumber primer yang menjadi rujukan utama adalah QS. al-


Ḥujurât[49]:11-12. Sedangkan sumber sekunder yang menjelaskan
metode hermeneutika untuk memahami sebuah teksyang penulis
gunakan adalah “Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur‟an
dan Hadis (Teori dan Aplikasi)” karya M. Nur Kholis Setiawan,
Sahiron Syamsuddin, dkk. Yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, tahun 2011, disertasi Fariz
Pari yang berjudul “Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian
Keagamaan: Kajian Metodologi dan Terapan terhadap Kebudayaan
Shalat dan Makam Sunan Rohmat Garut” pada tahun 2005, serta
beberapa buku hermeneutika lainnya dan beberapa kitab tafsir klasik
ataupun tafsir modern, juga jurnal, tesis, ataupundata tertulis lainnya

22
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002), h. 3.
15

yang dipandang relevan dan mendukung pembahasan yang menjadi


pokok kajian peneliti.

3. MetodeAnalisis Data

Setelah data-data terkumpul, penulis menggunakan metode


hermeneutika dalam memahami QS.al-Ḥujurât[49]:11-12 yang menjadi
objek kajian. Adapaun lang-langkah yang peneliti tempuh dengan cara
kerja hermeneutika Paul Ricoeur adalah sebagai berikut:23

Moment pertama, „pre-reflective understanding‟ yaitu proses


menafsirkan teks dengan menebak atau mengira-ngira makna teks,
dengan caramendudukkan teks sebagai bahasa. Tahapan ini berfungsi
sebagai eksplanasi (menjelaskan) teks.

Tahap kedua adalah „apropriasi‟, yang berfungsi sebagai


memahami yaitu proses membuat teks menjadi milik kita (pembaca),
dengan mengansumsikan teks sebagai wacana yang menghadirkan
dunia cakrawala teks dan dilebur dengan cakrawala pembaca, serta
dipahami sesuai konteks pembaca. Ini merupakan proses memahami
(verstehen).

4. Pedoman Penulisan

Adapun mengenai teknik penulisan dan transliterasi, peneliti


merujuk pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis,
dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality
Development Ana Assurance) Universitas Islam Negeri Syarif

23
Faris Pari, Hermeneutika Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan: Kajian
Metodologi dan Terapan Terhadap Kebudayaan Shalat dan Makan Sunan Rohmat Garut
(Bogor: Kopi Center, 2012), h. 105.
16

Hidayatullah Jakarta tahun 2007. Sebagai pedoman transliterasi, saya


menggunakan pedoman transliterasi Arab-Indonesia berdasarkan Surah
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 22 Januari 1988.24

F. Sistematika Penulisan

Dalam Skripsi ini penulis membagi bahasan menjadi lima bab


dengan rincian sebagai berikut:

Bab pertama, berisi pendahuluan yang mendeskripsikan


perdebatan seputar hate speech yang terkandung dalam QS.al-Ḥujurât[49]:
11-12 sehingga perlu adanya pemahaman ulang untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih jelas mengenai maksud dari ayat tersebut. Ulasan
bab ini terdiri dari: latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian
pustaka, metode penelitian yang digunakan, sistematika penelitian.
Dengan kata lain, bab ini sebagai kerangka dari seluruh penelitian ini.
Sedangkan secara terperinci hasil penelitian tersebut peneliti ulas dalam
bab selanjutnya.

Bab kedua, berisi tentang landasan teori interpretasi yang akan


digunakan untuk memahami hate speech yang terkandung dalam QS.al-
Ḥujurât[49]: 11-12, teori yang digunakan adalah teori interpretasi
hermeneutika Paul Ricoeur. Baik ditinjau dari terminologi, definisi, ruang
lingkup, perkembangan hermeneutika, karya-karya, serta teori interpretasi
Ricoeur.

24
Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan
Disertasi, (Jakarta; CeQDA, 2007).
17

Bab ketiga, berisi tentang pengertian umum hate speech, teks


QS.al-Ḥujurât[49]: 11-12 serta terjemahan, makna dari kata kunciatau
terma, asbab al-nuzul, danmelacak penafsiran teks QS.al-Ḥujurât[49]: 11-
12 dari klasik ataupun modern.

Bab keempat,berisi tentang aplikasi teori hermeneutika Paul


Ricoeur, yaitu proses „apropriasi. Sebelum pada tahapan „apropriasi‟ teks
yang diposisikan sebagai bahasa harus dijarahi, tahapan ini disebut
„distansiasi‟ yang mana pada tahapan ini penulis memberi jarah pada teks
atau mencabut teks dari konteks awalnya dan menjadikan teks bersifat
otonom, setelah itu tahapan „apropriasi‟ baru dapat dilakukan dengan cara
penyatuan antara cakrawala teks dengan cakrawala peneliti. Dijelaskan
pula tinjauan kritis mengenai relevansi hermeneutika Paul Ricoeur dalam
memahami QS.al-Ḥujurât[49]: 11-12.

Bab kelima, merupakan kesimpulan dari seluruh uraian yang telah


dikemukakan jawaban atas permasalahan yang diteliti, dilengkapi dengan
saran-saran yang dapat direkomendasikan untuk penelitian selanjutnya
dari penelitian ini, sekaligus sebagai pamungkas dari penelitian ini.
BAB II

HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hermeneutika

Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa


Yunani, hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda
hermeneia, yaitu interpretasi. Dalam mitologi Yunani, kata ini sering
dikaitkan dengan tokoh bernama Hermes, seorang utusan yang
mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter (Dewata). Tugas
menyampaikan pesan berarti juga mengalihbahasakan ucapan para
dewa ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manusia.1

Proses penerjemahan yang dilakukan Hermes mengandung tiga


makna hermeneutis yang mendasar. 1) mengungkapkan sesuatu yang
mulanya masih berada dalam pemikiran melalui kata-kata (utterance,
speaking) sebagai medium penyampaian. 2) menjelaskan sesuatu
(interpretation, explanation) yang sebelumnya masih samar-samar,
hinggan maksud dan tujuan dapat dimengerti secara rasional. 3)
menerjemahkan (translating) suatu bahasa yang dianggap asing ke
dalam bahasa yang lebih dapat dipahami. Ketiga pengertian mengenai
hermeneutika tersebut kemudian dirangkum dalam pengertian
“penafsiran” (interpreting, understanding) yang mana karna segala
sesuatu yang masih membutuhkan pengungkapan secara lisan,

1
Richard E. Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Scheirmacher,
Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Penerjemah Musnur Hery dan Damanhuri
Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h.14.

18
19

penjelasan yang rasional, dan penerjemahan bahasa, pada dasarnya


mengandung proses “memberi pemahaman”.2

Menurut Ricard E. Palmer dalam tradisi Yunani kuno, kata


hermeneuin dan kata hermeneia dipakai dalam tiga makna yakni :1)
mengatakan (to say) 2) menjelaskan (to explain) dan 3) menerjemahkan
(to translate), ketiga makna ini dalam bahasa Inggris diekspresikan
dalam kata : to Interprete. Dengan demikian Interpretasi menunjukkan
pada tiga hal pokok : pengucapan lisan (and oral rasitation), penjelasan
yang masuk akal (reaseanable explanation), dan terjemahan dari
bahasa lain (a translation from anather language).3

Budi Hardiman menguraikan lebih lanjut makna hermeneutika,


yakni: 1) mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata. 2)
Menerjemahkan 3) Bertindak sebagai penafsir. Ketiga pengertian di
atas mengungkapkan bahwa hermeneutika merupakan usaha untuk
beralih dari sesuatu yang relative gelap ke sesuatu yang lebih terang.
Pengertian pertama, hermeneutika dapat dipahami sebagai peralihan
sesuatu yang relative abstrak dan gelap, yakni pikiran-pikiran ke dalam
bentuk ungkapan-ungkapan yang jelas yaitu dalam bentuk bahasa.
Pengertian kedua, hermeneutik sebagai suatu usaha pengalihan bahasa,
yang maknanya samar-samar ke dalam bahasa yang dapat dipahami
maknanya secara jelas. Pengertian ketiga, hermeneutika merupakan
suatu tindakan menafsirkan sesuatu, melewati suatu ungkapan pikiran
yang kurang jelas menuju ke pengertian yang lebih jelas.4

2
Ilham B Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur‟an
Menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002), h. 24.
3
Widia Fithri, “Kekhasan Hermeneutika Paul Ricoeur” Tajdid Vol.17, no.2
(November 2014): h.3.
4
Widia Fithri, “Kekhasan Hermeneutika Paul Ricoeur”, h.3.
20

Hermeneutika mempunyai perangkat yang memungkinkan


mendapatkan penafsiran yang sesuai dengan kehendak pemberi pesan.
Perangkat hermeneutika mempertimbangkan analisis yang
komperehensif baik dari sisi agen (pengarang, teks, konteks dan
pembaca), alat analisis (metode, pendekatan, paradigma, kebahasaan
dll), validitas dan ataupun konten.5

Hermeneutika dalam pengertian filsafat, bukan berurusan


dengan segala macam „kebenaran sebuah penafsiran‟ dan cara
memperoleh kebenaran tersebut, melainkan memperbincangkan
mengenai „hakikat penafsiran‟ bagaimana suatu kebenaran bisa muncul
sebagai sebuah kebenaran, atau atas dasar apa sebuah penafsiran dapat
dikatakan benar. Secara kritis hermeneutika menyoroti bagaimana pola
pemahaman manusia bekerja dan bagaimana hasil pemahaman tersebut
diajukan, dibenarkan atau bahkan disanggah. Dalam bahasa yang lebih
tegas, Gadammer mendeklarasikan bahwa tugas hermeneutika adalah
merefleksikan “segala cara manusi memahami dunia dan bentuk-bentuk
ungkapan pemahaman tersebut”.6

Richard E. Palmer membagi hermeneutika dalam enam


kategori, yaitu : (1) hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci,
(2) hermeneutika sebagai metode filologi, (3) hermeneutika sebagai
pemahaman linguistik, (4) hermeneutika sebagai pondasi dari ilmu
kemanusiaan (Geisteswissenschaften), (5) hermeneutika sebagai

5
Kusmana, Hermeneutika Al-Qur‟ân Se ua Pen ekatan Praktis Aplikasi
Hermeneutik Mo ern alam Pena siran Al-Qur‟ân (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), h.
12.
6
Saenong, Hermeneutika Pembebasan, h.26.
21

fenomenologi dasein, dan (6) hermeneutika sebagai sistem


interpretasi.7

Sedangkan Ben Vedder, membedakan empat term mengenai


hermeneutika yang saling keterkaitan. Empat term yang dimaksud
adalah 1) Hermeneuse/interpretation (penafsiran), 2)
Hermeneutik/hermeneutics (hermeneutika), 3) Philosophische
Hermeneutik/philosophical hermeneutics (hermeneutika filosofis), dan
4) Hermeneutische philosophie/ hermeneutical philosophy (filsafat
hermeneutis).

Adapun masing-masing istilah tersebut adalah sebagai berikut:8


1. Hermeneuse: Vadder mendefinisikan istilah ini dengan
“penjelasa atau interpretasi” sebuah teks , karya seni (lukisan,
novel, puisi dll) dan perilaku seseorang. Hermeneuse tidak
terikat secara substansial dengan metode-metode, syarat-syarat
serta hal-hal yang melandasi penafsiran.
2. Hermeneutik: aturan, metode, atau langkah penafsiran.
Hermeneutika ini berbicara tentang bagaimana atau dengan
metode apa sebuah teks seharusnya ditafsirkan. Dengan kata
lain hermeneutik adalah tekhnik menguak kesatuan makna teks.
3. Philosophische Hermeneutik: hermeneutika filosofis tidak lagi
membicarakan tentang metode sebagai objek membahasan inti.
Akan tetapi lebih kepada hal-hal yang terkait dengan “kondisi-
kondisi kemungkinan” yang dengannya seseorang dapat
memahami dan menafsirkan sebuah teks, simbol, atau perilaku.

7
Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi,h. 15.
8
M. Nur Kholis Setiawan, dkk, Upaya Intergasi Hermeneutika: dalam Kajian
Qur‟an an Ha is Teori an Aplikasi (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan
Kalijaga, 2011), h.30-33.
22

Yang menjadi sentral pemikiran dalam hermeneuika filosofis


adalah “meneliti jalan masuk ke realitas penafsiran” .
4. Hermeneutische philosophie: adalah bagian dari pemikiran-
pemikiran filsafat yang mencoba menjawab problem kehidupan
manusia dengan cara menafsirkan apa yang diterima oleh
manusia dari sejarah dan tradisi. Manusia sendiri dipandang
sebagai „makhluk hermeneutis‟ dalam artian makhluk yang
harus memahami dirinya. Jadi, proses pemahaman terkait
dengan problem-problem seperti epistimologi, ontologi, etika
dan estetika.

Dapat penulis simpulkan secara tentatif bahwa hermeneutika


adalah disiplin ilmu pengetahuan yang relatif luas mengenai teori
penafsiran, yakni mencakup hakekat, metode, dan syarat serta prasyarat
penafsiran, yang kemudian disebut sebagai seni memahami atau
tekhnik praktis penafsiran.

B. Sejarah Perkembangan Hermeneutika

Hermeneutika pada dasarnya adalah suatu metode atau cara


untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang dapat
dicari arti dan maknanya, dimana metode hermeneutika ini
mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau
yang tidak dialami yang kemudin ditarik pada masa sekarang.9

Secara historis, benih-benih pembahasan hermeneutika


ditemukan dalam peri hermeneias atau de interpretatione karya
Aristoteles, yang memaparkan bahwa kata-kata yang kita ucapkan

9
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur‟ani Antara Teks, Konteks, an
Kontekstualisasi (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2007), h. 9.
23

adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita
tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan. Yang melatar
belakangi pemikiran Aristoteles pada masa itu adalah interpretasi
terhadap ungkapan-ungkapan, baik lisan maupun tulisan yang
dilakukan oleh orang-orang yang berbeda. Asumsi hermeneutika pada
masa tersebut bersifat personal, bahwa setiap orang memiliki
pengalaman mental yang berbeda-beda sehingga berpengaruh terhadap
cara pengungkapan dan gaya bahasa yang berbeda pula. Oleh karna itu,
hermeneutika pada masa tersebut bertujuan untuk memahami bentuk-
bentuk ekspresi manusiawi dari peristiwa mental manusia. Pemaparan
ini kemudian menjadi titik tolak dimulainya oembahasan mengenai
hermeneutika di era klasik.10

Sebagai sebuah perangkat pemahaman, hermeneutika tidak bisa


dipisahkan dengan bahasa. Bahasa sangat penting bagi hermeneutika
karena bahasa adalah lahan dari hermeneutika, demikian pula
hermeneutika penting bagi bahasa karena hermeneutika menjadi
metode untuk memahami bahasa. Keterkaitan ini menjadikan
hermeneutika sebagai sebuah metode untuk mengeluarkan makna
kebahasaan sebuah teks, disinilah tugas hermeneutika yaitu sebagai
metode pemahaman teks.11

Pada abad ke-17 sebagai metode penafsiran, hermeneutika


berkembang pesat di kalangan gereja untuk memahami pesan-pesan
Yesus. Dalam lingkungan Kristen awal, Origen (hidup tahun 185-254)
dikenal sebagai orang yang telah memperkenalkan mengenai
pembacaan “tipologis” terhadap Bibel yakni menggunakan metode

10
Saenong, Hermeneutika Pembebasan, h. xxi
11
Sibawaihi, Hermeneutika Alquran dan Fazlur Rahman (Yogyakarta: Jalasutra,
tt), h. 7.
24

alegoris untuk memahami ajaran-ajaran Yesus. Nama lain yang juga


dikenal dalam tradisi hermeneutika Biblis adalah Augustine (345-430)
dengan Doctrina Cristianana-nya yang terkenal: Inner Logos, Martin
Luther dengan Sola Scriptura-nya, dan Matthias Flacius Illyricus
(1520-1575) dengan pendiriannya tentang metode gramatikal, scopus
(pentingnya mempertimbangkan sudut pandang yang berkaitan dengan
tujuan penulisan sebuah buku). Bahkan buku yang pertama kali
menggunakan istilah hermeneutika, “Hermeneutica Sacra Sive
Methodus Exponendarums Sacrarum Litterarum” karya J.C
Dannhauer, juga masih beraitan dengan penafsiran terhadap Bibel.12

Selanjut, memasuki abad ke-20 hermeneutika semakin


berkembang. F.D.E Schleiermacher, filsuf yang kelak digelari sebagai
Bapak hermeneutika Modern, memperluas cakupan hermeneutika tidak
hanya dalam bidang sastra dan kitab suci. Ia melihat bahwa sebagai
metode interpretasi, hermeneutika sangat luas cakupannya bagi
keilmuan dan dapat diadopsi oleh semua kalangan. Hermeneutika di
zaman sekarang telah masuk ke berbagai bidang seperti agama (kitab
suci), sastra, sejarah, hukum, dan filsafat. Hingga akhir abad ke-20
hermeneutika dipilah dalam tiga kategori: sebagai filsafat, sebagai
kritik, dan sebagai teori. Lebih rinci, Richard E. Palmer membagi
hermeneutika ke dalam enam kategori: sebagai teori penafsir kita suci,
sebagai metode filologi, sebagai pemahaman linguistik, sebagai fondasi
ilmu kemanusiaan, sebagai fenomena dan pemahaman eksistensial, dan
sebagai sistem penafsiran.13

12
Saenong, Hermeneutika Pembebasan, h. Xxi-xxii.
13
Sibawaihi, Hermeneutika Alquran dan Fazlur Rahman (Yogyakarta: Jalasutra,
tt), h. 8.
25

Pertama, hermeneutika sebagai penafsiran kitab suci memiliki


berbagai corak dan aliran yang saling bertolak belakang. Pelopornya
adalah J.C Dannhauer. Selanjutnya Schleiermacher muncul dengan
membakukan hermeneutika modern sebagai acuan dalam interpretasi
secara metodologis, dengan „melahirkan kembali‟ hermeneutika
melalui kosep yang disebut hermeneutika romantik.14Kedua,
hermeneutika sebagai metode filologi difungsikan sebagai metode
pengkajian teks dan menempatkan semua teks sama, termasuk kitab
suci. Tokoh dalam hermeneutika ini adalah Johan August Ernesti, ia
diklaim sebagai corak sekuler oleh kalangan gereja, sebab
menyuguhkan metode kritik sejarah dalam mencermati persoalan
teologis.15 Sumbangan yang sangat berarti dalam memperkaya
pengertian hermeneutika ini berasal dari seorang teolog modern yang
bernama Rudolf Bultman dengan konsepnya yang termasyhur
Demitologisasi (mempersepsikan mitos sebagai ungkapan simbolis
mengenai satu realitas dengan menggunakan gambaran-gambaran,
kiasan, dan likuisan-lukisan) dalam membaca dan menafsirkan kitab
suci.16Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik, disini
hermeneutika menjadi landasan bagi segala interpretasi teks, karena
memaparkan segala kondisi yang pasti ada dalam setiap interpretasi
berdasarkan teori-teori linguistik. Keempat, hermeneutika sebagai
fondasi ilmu kemanusiaan, difungsikan sebagai landasan metodologis
bagi humaniora. Tokohnya adalah Wilhelm Dilthey, filsuf sejarah.
Dilthey berusaha menggiring hermeneutika sebagai epistimologi bagi
humaniora, tidak hanya sebagai ilmu penafsiran teks. Jadi
hermeneutika dalam hal ini digunakan sebagai metode untuk

14
Faiz, Hermeneutika Qur‟an, h. 22.
15
Sibawaihi, Hermeneutika Alquran dan Fazlur Rahman, h. 9.
16
Faiz, Hermeneutika Qur‟ani, h. 25.
26

memperoleh makna kehidupan manusia secara menyeluruh dari semua


bentuk sinyal dan simbol, praktik sosial, kejadian-kejadian sejarah dan
termasuk juga karya seni. Kelima, hermeneutika sebagai fenomena das
sein dan pemahaman eksistensial, difungsikan untuk melihat fenomena
keberadaan manusia itu sendiri melalui bahasa. Martin Heidegger dan
Gadamer adalah tokohnya. Gadammer memandang hermeneutika
sebagai usaha untuk mempertanggungjawabkan pemahaman sebagai
proses ontologis manusia. Perisiwa pemahaman merupakan peristiwa
historis, dialektis, dan linguistik. Memahami dan menafsirkan adalah
bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia. Kemudian visi
pemikiran Heidegger diteruskan oleh Gadamer dengan bukunya truth
and methods dimana ia menyumbangkan satu tulisan sistematis yang
kemudian dianggap mewakili kelompok “hermeneutika filosofis”.
Keenam, hermeneutika sebagai sistem interpretasi difungsikan sebagai
seperangkat aturan penafsiran dengan cara menghilangkan segala
misteri yang menyelimuti simbol. Tokohnya adalah Paul Ricouer,
dalam bukunya De l‟interpretation (1965) Ricoeur mengatakan bahwa
hermeneutika adalah “teori mengenai aturan-atauran penafsiran, yaitu
penafsiran terhadap teks tertentu atau sekumpulan tanda atau simbol
yang dianggap sebagai teks”.17

Ricoeur menawarkan terobosan baru dengan membangun


jembatan (bridge-builder) antara dua arus yang sebelumnya
berseberangan dalam diskusi hermeneutika. Arus pertama,
„metodologis-epistimologis‟ yang meletakkan metode tertentu untuk
menafsirkan teks yang didasarka pada analisis kondisi-kondisi yang
memungkinkan proses penafsiran dapat dilakukan. Arus ini berawal

17
Sibawaihi, Hermeneutika Alquran dan Fazlur Rahman, h. 9-10.
27

dari Schleiermacher mengalir ke Dilthey hingga Ricoeur. Arus kedua,


kerap disebut hermeneutika ontologis-fenomenologis dan
dikembangkan oleh Martin Heidegger dan Gadamer, bahwa
hermeneutuka tidak lagi didefinisikan secara metodologis ataupun
epistimologis melainkan secara ontologis. Kontribusi Ricoeur dalam
perdebatan ini adalah dengan menawarkan apa yang disebut
“epistimologi tafsir” (epistemology interpretation) dengan menggiring
ontologi Heidegger merapat ke epistimologi Scleiermacher.18

C. Pemikiran Hermeneutika Paul Ricoeur

Hermeneutika bagi Ricoeur merupakan bekerjanya teori


pemahaman dalam kaitannya dengan interpretasi teks. Tugas
hermeneutika adalah mengenali dunia teks dan dunia yang dibahasakan
oleh teks dan bukan jiwa pengarang. Hermeneutika bukan men-
dapatkan kembali maksud yang hilang dibalik teks, tetapi
membentangkan di hadapan teks dunia yang dibukakan dan
diperlihatkan.19 Lebih lanjut mengenai hermeneutika Paul Ricoeur,
akan penulis paparkan sebagai berikut.

1. Biografi Paul Ricoeur


Paul Ricoeur mempunyai nama lengkap Jean Paul Gustave
Ricoeur. Lahir di Valence, Prancis Selatan, pada 27 Februari 1913.
Ricoeur berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan
dipandang sebagai cendekiawan terkemuka di Prancis. Ricoeur
dibesarkan di Rennes sebagai seorang anak yatim piatu. Karirnya
dalam dunia filsafat dimulai dengan perkenalannya dengan R. Dalbiez

18
M. Nur Kholis Setiawan, dkk, Upaya Intergasi Hermeneutika: dalam Kajian
Qur‟an an Ha is Teori an Aplikasi (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan
Kalijaga, 2011), h.65.
19
Widia Fithri “Kekhasan Hermeneutika Paul Ricoeur,”h.198.
28

di Lycee, seorang filsuf yang berhaluan Thomistis yang terkenal,


karena dialah salah seorang kristen pertama yang mengadakan suatu
studi besar tentang psikoanalisa Freud. Pada tahun 1933 dia
memperoleh „licence e p ilosop ie‟. Pada akhir tahun 1930 dia
mendaftar sebagai mahasiswa pasca-sarjana di Universitas Sorbonne,
dan pada tahun 1935 memperoleh „agregation e p ilosop ie‟
(keanggotaan atau izin menjadi anggota suatu organisasi dalam bidang
filsafat).20
Setelah mengajar di Colmar selama satu tahun, Ricoeur
dipanggil untuk mengikuti wajib meliter (antar 1937-1939). Pada saat
mobilisasi, Ricoeur masuk dalam ketentaraan Prancis dan menjadi
tahanan perang hingga tahun 1945. Selama ia terkurung dalam penjara
di Jerman, ia mempelajari karya-karya Husserl, Haidegger dan Jaspers.
Bersama dengan sahabat dan sesama tahanannya, Mikel Dufrenne, ia
menulis buku yang berjudul Karl Jaspers et la philosophie de
l‟existence (karl Jespers dan Filsafat Eksistensi 1947). Pada tahun yang
sama diterbitkan juga punya Gabriel Marcel et Karl Jaspers, studi
perbandingan antara dua tokoh eksistensialisme yang menarik banyak
perhatian pada waktu itu. Setalah perang terjadi dan keluar dari penjara
Ricoeur menjadi dosen filsafat di College Covinol, pusat Protestan
internaseonal untuk pendidikan dan kebudayaan di Chambonsur-
Lignon.21 Ricoeur secara otodidak mempelajari karya-karya Husserl,
Heidegger dan Jaspers, yang kelak banyak mempengaruhi pola
pikirnya, membaca karya-karya lengkap salah seorang filsuf besar :
dari Plato serta Aristoteles sampai Kant, Hegel, dan Nietzshe sehingga

20
E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat(Yogyakarta: PT Kanisius,
2016), h. 103.
21
K. Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer Pranci, (Jakarta: PT Gramedia,
2013), h. 247-248.
29

ia mempunyai pengetahuan yang mendalam dan luas seluruh tradisi


filsafat Barat.22
Dalam bidang akademis, karir yang dijalani Ricoeur dimulai
sebagai staf pengajar di Colmar, lalu menjadi dosen filsafat di College
Cevinol, tahun 1948-1957 Ricoeur sebagai professor sejarah filsafat di
Universitas Strasboung, lalu pada tahun 1957, ia diangkat menjadi
Profesor Filsafat di Universitas Sorbonne dan diangkat menjadi dekan,
namun pada tahun 1973, ia kembali ke Nanterre dan sekaligus sebagai
profesor luar biasa di Universitas Chicago. Pada waktu yang
bersamaan, ia menjadi direktur pada “Centre ‟etu es
p enomenologiques et ermenetiques” (Pusat Studi Fenomenalogi dan
Hermeneutik) di Prancis. Pada masa inilah ia banyak menaruh
perhatian pada masalah filsafat bahasa dan hermeneutika. Dan pada
tahun 1975 ia menerbitkan bukunya yang berjudul La Metaphore Vive
yang banyak mengupas atau menganalisis tentang tata-aturan metafora,
sehingga „pengoperasian‟ metafora itu menjadi hidup.23
Ricoeur juga anggota beberapa lembaga akademisi dan
mendapat penghargaan dari The Hegel Award (Stuttgart), The Karl
Jaspers Award (Heidelberg), The Leopold Lucas Award (Tubingen),
dan T e Gran Prix e I‟Academie francaise. Ia juga pernah menjadi
editor beberapa jurnal dan majalah; majalah Esprit and Chistianisme,
dan direktor Revue de Metaphysique et de Morale. Bersama Francois
Wahl, Ricoeur mejadi editor pada L‟Or e p ilosop ique (editions du
seuli).24

22
Edi Mulyono, Belajar Hermeneutika dari Konfigurasi Filosofis Menuju
Praksis Islami, (Yogyakarta: Ircisod, 2014), h. 276.
23
Paul Ricoeur, Teori Interpretasi Membelah Makna dalam Anatoni Teks,
Penerjemah Musnur Hery (Jogjakarta:Ircisod, 2014), h. 212.
24
Ricoeur, Teori Interpretasi, h. 212
30

2. Karya-karya Paul Ricoeur


Pada tahun 1947 Ricoeur menerbitkan dua buku filsafat
eksistensialisme Karl Japers. Buku pertama adalah Karl Jaspers et la
p ilosop ie e l‟eksistence yang ditulis bersama-sama dengan Mikel
Dufrenne, kawannya sewaktu menjadi tawanan perang Jerpan selama
perang dunia kedua. Sedangkan buku kedua ditulis oleh Ricoeur sendiri
dengan judul Gabriel Marcel et Karl Jaspers. Tahun 1950 Ricoeur
menerbitkan volume pertama dari proyek philosophy of will (filsafat
kehendak), yaitu, Le Voluntaire et l‟involuntaire yang diterjemahkan
dalam bahasa Inggris menjadi, Freedom and Nature: The Voluntary
and the Involuntary. Volume kedua dari serial “Filsafat Kehendak”
diterbitkan sepuluh tahun kemudian (1960) dengan judul Finitde et
culpability (Finitude and Guilt) yang dibuat terpisah dalam dua buku,
yaitu, L‟Homme ailli le (Fallible Man) dan La Symboliqeu du mal
(The Symbolism of Evil). Pada tahun 1957 Ricoeur diangkat sebagai
ketua di Sorbonne dalam kedudukan filsafat umum (general
philosophy). Disanmping itu Ricoeur juga aktif menulis di majalah
Esprit serta majalah Christianisme social.25
Pemikiran Filsafat fenomenologi Edmund dan Heidegger
nampak telah mengakar kuat dari buku-buku yang telah diterbitkan
Ricoeur. Sehingga, pada awalnya Ricoeur tidak tertarik terlibat dalam
perubahan pemikiran yang menjadi trend utama pada era 1960-an di
Perancis, yaitu semiologi atau strukturalisme de Saussure dan
psikoanalisa Sigmun Freud. Namun akhirnya Ricoeur tidak bisa
menghindar dari kecenderungan tersebut, dan tahun 1965 Ricoeur
menerbitkan buku yang berjudul De l‟interpretatione Essai sur Freu

25
Faris Pari, Hermeneutika Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan: Kajian
Metodologi dan Terapan Terhadap Kebudayaan Shalat dan Makan Sunan Rohmat Garut
(Bogor: Kopi Center, 2012), h. 92.
31

(Freud and Philisophy: An Esei on Interpretation). Pada tahun 1969


diterbitkan kumpulan esay tentang psikoanalisa dan strukturalisme
dengan judul Le Conflict des interpretations Essais ‟ Hermeneutique
(The Confict of Interpretations: Eseis in Hermeneutics). Pada tahun
1975, Ricoeur menerbitkan kajian La Metaphore vive (The Rule of
Metaphor).26
Pada tahun 1981 kembali diterbitkan kumpulan karangan
Ricoeur dari tahun 1970-1979 tentang refleksi hermeneutika dan ilmu
pengetahuan kemanusiaan berjudul Hermeneutics and Human Sciences,
yang diterjemahkan dan diedit oleh John B. Thompson. Paul Ricoeur
sendiri yang memberi kata pengantar pada buku ini sebagai respon
memuji, menyetujui serta membenarkan, baik terjemahan maupun
penyusunan yang dilakukan oleh Thompson.27
3. Teori Interpretasi Paul Ricoeur
Hermeneutika menurut Ricoeur adalah teori tentang bekerjanya
pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi teks (the theory of
the operation ofunderstanding in their relation to theinterpretation of
text). Teks merupakan realisasi diskursus (wacana) yang dibakukan
(fixed) melalui tulisan. Artinya, bagaimanapun sebuah tulisan itu
menyimpan wacana dan membuatnya menjadi sebuah arsip yang bisa
dibaca oleh individu atau pun orang banyak. Maka, menurut Paul
Ricoeur, tulisan adalah manifestasi penuh dari sebuah wacana.
Hermeneutika dengan demikian berhubungan dengan kata-kata yang
tertulis sebagai ganti kata-kata yang diucapkan. Teks bagi Ricoeur
bukan hanya wacana yang mengendap pada tulisan, tetapi juga setiap
tindakan manusia yang memiliki makna (tujuan tertentu). Ricoeur

26
Faris Pari, Hermeneutika Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan,h. 93.
27
Faris Pari, Hermeneutika Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan,h. 93
32

berpendapat berdasarkan analisisnya pada hermeneutik sebagai kajian


teks, objek ilmu-ilmu sosial dan humaniora memiliki karakter sebagai
teks. Pendekatan terhadap ilmu-ilmu sosial dan humaniora haruslah
berupa kajian interpretatif.28
Teori hermeneutika yang dikembangkan Ricoeur berpijak pada
„ketegangan‟ dua arus antara problem ontologis dan metodis. Proses
mediasi antara dua sudut pandang yang berseberangan itu terlihat
dalam teori yang dikembangkannya untuk memahami teks. Yakni,
menggabungkan antara “pemahaman” dan “penjelasan” menjadi model
dialektis penafsiran teks, yang kemudian dirangkum oleh Ricoeur
berikut: “dalam menjelaskan kita memperjelas atau membuka jajaran
proposisi dan makna, sementara dalam pemahaman kita memahami
atau mengerti rangkaian makna parsial secara keseluruhan dalam satu
upaya sistesis.” Bagi Ricoeur “pemahaman” dan “penjelasan” bukan
dua metode yang bertentangan dalam menafsirkan teks, karena
keduanya saling melengkapi, bahkan saling membutuhkan.
“Pemahaman” merupakan tujuan “penjelasan” dan “penjelasan” adalah
cara menuju “pemahaman.” Membaca adalah menafsirkan, dan
menafsirkan adalah memahami dan menjelaskan. Dua sikap membaca
ini disebut dengan interpretasi dan eksplanasi.29
Melalui bukunya, De‟ Interpretation, Paul Ricoeur mengatakan
bahwa hermeneutika merupakan “teori mengenai aturan-aturan
penafsiran, yaitu penafsiran terhadap teks tertentu, atau tanda, atau
simbol yang dianggap sebagai teks”.30 “Penafsiran terhadap teks
tertentu, atau tanda, atau simbol, yang dianggap sebagai teks” ini
menempatkan kita harus memahami “W at is a text?”. Teks

28
Widia Fithri, “Kekhasan Hermeneutika Pau Ricoeur”, h. 196.
29
Setiawan, dkk, Upaya Intergasi Hermeneutika, h.66.
30
Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat , h. 105.
33

merupakan sebuah korpus yang otonom, yang dicirikan oleh empat hal
sebagai berikut. Pertama, dalam sebuah teks, makna yang terdapat
pada “apa yang dikatakan (what is said), terlepas dari proses
pengungkapannya (the act of saying), sedangkan dalam bahasa lisan,
kedua proses itu tidak dapat dipisahkan. Kedua, dengan demikian,
makna sebuah teks juga tidak lagi terikat kepada pembicara,
sebagaimana bahasa lisan. Apa yang dimaksud teks tidak lagi terkait
dengan apa yang awalnya dimaksudkan oleh penulisnya (author).
Bukan berarti bahwa penulis tidak lagi diperlukan, akan tetapi maksud
penulis sudah terhalang oleh teks yang sudah membaku. Ketiga, karena
tidak terikat pada sebuah sistem dialog, maka sebuah teks tidak lagi
terikat pada konteks semula (ontensive reference), ia tidak terikat pada
konteks pembicaraan. Keempat, dengan demikian juga tidak lagi terikat
pada audiens awal, sebagaimana bahasa lisan terikat kepada
pendengarnya. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu,
melainkan kepada siapa pun yang bisa membaca, dan tidak terbatas
oleh ruang dan waktu. Maksud dari “tidak terikat” adalah tidak terikat
lagi dengan makna yang dimaksud pengarang karena ada lagi tanya
jawab sebab teks telah baku.31
Teori interpretasi Ricoeur memiliki dua tahapan. Tahapan
pertama, “pre-reflective understanding” yaitu proses menafsirkan teks
dengan menebak atau mengira-ngira makna teks, karna pembaca tidak
mempunyai akses untuk mengetahui maksud pengarang. Inilah proses
“memahami” paling awal dan naif, dalam artian kita mencoba
memahami teks secara umum, belum menyangkut detailnya. Pada
moment awal ini teks kemungkinan menyuguhkan beragam makna.

31
Paul Ricoeur, Filsafat Wacana, Membelah Makna dalam Anatomi Teks.
Penerjemah Musnur Hery (Yogyakarta: Ircisod, Cet.II, 2003), h.203.
34

Dilanjutkan mencari penjelasan kritis dan metodis menyangkut


pemaknaan awal yang dihasilkan melalui pemahaman pra-reflektif
dengan mem-validasi, mengoreksi, atau memperdalam dengan
mempertimbangkan struktur obyektif teks. Disini terlihn pemahaman
harus diperoleh melalui momen penjelasan metodis, suatu proses yang
bersifat argumentatif-rasional. Tahapankedua disebut dengan
“appropriation” dari bahasa Inggris „to appropriate‟yang berarti
mengambil untuk menjadi milik sendiri, yaitu proses memahami diri
sendiri yang di hadapan dunia yang diproyeksikan teks, yang juga
merupakan puncak dari proses penafsiran di mana seseorang menjadi
lebih memahami dirinya. Apropriasi membuat hubungan antara subjek
(pembaca) dengan objek (teks) yang pada awalnya mempunyai jarak
menjadi tidak berjarak atau tidak terpisah. Pada momen kedua ini objek
dibuat menjadi bagian dari subjek (pembaca) sehingga terjadi dialog
atau difusi antara cakrawala pembaca dengan teks. Dengan demikian,
proses pemahaman, penjelasan dan apropriasi membentuk semacam
lingkaran hermeneutika (hermeneutical circle). Recoeur menjelaskan
“pemahaman itu mengawali, mengiringi, mengakhiri, menyeliputi
penjelasan. Sebagai hasilnya, „penjelasan‟ mengembangkan
„pemahaman‟ menjadi bersifat analitis.”32
Untuk dapat memberikan penjelasan analitis, pembaca harus
mengambil jarah dari teks (distansiasi), karena proses appropriasi
muncul ketika teks telah tercabut dari konteks awalnya. Distansiasi
tersebut merupakan objektivasi makna ke dalam struktur imanen teks
yang menjamin otonominya dari pengarang maupun situasi awalnya.
Otonomi teks tersebut yang kemudian membuka kesempatan
dilakukannya proses “apropriasi”, yakni pembacaan teks yang otonom

32
Setiawan, dkk, Upaya Intergasi Hermeneutika,h.68.
35

dalam cakrawala eksistensial penafsir saat ini.33 Menurut Ricoeur


distansiasi metodologis merupakan dimensi penting dari proses
hermeneutika, dari situ pula “penjelasan metodis” dan “pemahaman
fenomenologis” menemukan titik temu dalam dialog yang produktif
antara pembaca dan teks. Ricoeur mengakui bahwa teks selalu punya
pengarang, akan tetapi pada saat yang sama teks dapat dipahami
bersifat otonom dari maksud awal sang pengarang. Makna teks bisa
berkembang dan berubah melampaui maksud dari pengarangnya.
Interpretasi hermeneutis memunculkan beragam makna baru di
hadapan teks dan memungkinkan terjadinya pembacaan yang
bermacam-macam bahkan terkadang bertentangan.34

33
Saenong, Hermeneutika Pembebasan, h.42
34
M. Nur Kholis Setiawan, dkk, Upaya Intergasi Hermeneutika...,h.71.
BAB III
HATE SPEECH DALAM QS. AL-HUJURȂT [49]:11-12
A. Pengertian Hate Speech

Pengertian sederhana mengenai hate speech ialah segala


bentuk ujaran yang mengandung kebencian secara lisan ataupun
tulisan. Hate speech juga dapat didefinisikan sebagai tindak
komunikasi berupa ucapan dan atau tulisan yang dilakukan oleh suatu
individu atau kelompok dengan tujuan provokasi, hasutan, atau hinaan
terhadap individu atau kelompok lain yang berbeda baik berupa ras,
agama, keyakinan, gender, etnisitas, kecacatan dan orientasi seksual.1
Contoh praktis hate speech ialah rasialisme2, provokasi untuk
menyerang sebuah kelompok atau individu (baik fisik atau non fisik),
menjadikan kelompok sosial tertentu sebagai sasaran kebencian secara
sistematis.3

Hate Speech di dalam bahasa Indonesia diistilahkan sebagai


bentuk ujaran kebencian. Rangkaian kata yang membentuk frase. Jika
ditinjau dari segi gramatikalnya maka speech berkedudukan sebagai
head (utama), dan hate sebagai modifier (penjelas). Maka, dengan
demikian dapat dipahami bahwa penekanan dari frase hate speech
adalah ujaran itu sendiri. Sementara ujaran seperti apa, dijelaskan oleh
kata hate. Hate itu sendiri mempunyai kelas kata. Saat kata hate

1
Sutan Remy Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 2009), h.38.
2
Suatu penekanan pada ras atau pertimbangan rasial. Dalam ideologi separatis
rasial, istilah ini digunakan untuk menekankan perbedaan sosial dan budaya antar ras.
Walaupun istilah ini kadang digunakan sebagai kontras rasisme, istilah ini dapat juga
digunakan sebagai sininim rasisme.
3
Abdul Halim,Gagasan Islam Liberal tentang Hate Speech, artikel diakses pada
23 Juli 2019 darihttp://islamlib.com/gagasan/islam-liberal/tentang-hate-speech/.

36
37

diposisikan sebagai noun (kata benda), maka ia berarti “kebencian”.


Namun, jika hate diposisikan sebagai verb (kata kerja) maka ia berarti
“membenci”. Dalam konteks ini maka hate diposisikan sebagai noun
(kata benda), hal yang sama juga berlaku untuk kata speech.4

Sementara itu, telaah tentang „ujaran‟ merupakan bagian dari


sub kajian khusus dalam pembahasan wacana. Jika demikian, maka
ujaran itu sendiri didasarkan pada teori speech acts yang dikemukan oleh
J.L Austin. Teori tersebut mengemukakan tiga bentuk pengujaran, yaitu;
tindak tutur lokusioner, perlokusioner, dan illokusioner. Adapun
penjelasannya sebagai berikut;5

“Tindak tutur lokusioner, adalah tindakan mengucapkan


serangkaian bunyi yang mengandung arti. Tindak tutur inilah
yang secara tradisional berkaitan dengan linguistik.
Selanjutnya, tindak tutur perlokusioner, yaitu tindak tutur yang
menimbulkan pengaruh pada penerima atau menyebabkan
penerima merasakan sesuatu, misalnya membujuk,
meyakinkan, menimbulkan kejengkelan, menakut-nakuti, atau
memotong pembicaraan orang lain. Terakhir, tindak tutur
illokusioner, yaitu mengucapkan kata-kata yang mempunyai
“kekuatan” dan dengan mengucapkannya, si pengirim/pelaku
sendiri melakukan suatu tindakan, seperti berjanji,
membantah, atau bertaruh,”
Jika ditinjau dari penjelasan di atas, kata hate didenotasikan
sebagai bentuk kata yang negatif. Oleh sebab itu, „ ate‟ dapat
bersinergi dengan definisi bentuk tindak tutur perlokusioner.
Sebagaimana definisi di atas jelas menyatakan, bahwa perlokusioner
merupakan tindak tutur yang menimbulkan pengaruh pada penerima,
atau menyebabkan penerima merasakan sesuatu. Termasuk

4
Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, Telaah Wacana;
Teori dan Penerapannya (Komodo Books: Depok, 2011), h. 161.
5
Zaimar dan Harahap, Telaah Wacana, h. 161.
38

menimbulkan kejengkelan, menakut-nakuti, atau bahkan memotong


pembicaraan orang lain.

Bila dianalisis secara psikologis, ujaran kebencian disebabkan


oleh ketidaksiapan mental seseorang terhadap perbedaan. Setiap orang
yang berbeda dengannya dianggap sesuatu yang tidak baik. Dia selalu
memandang segala sesuatu dengan perspektif dirinya tanpa
memandang perspektif orang lain. Akhirnya, setiap berinteraksi
dengan orang yang berbeda dengan dirinya, ia akan apatis dan
menutup ruang dialog sehingga terjadi disharmoni dalam hubungan
sosialnya. Hubungan yang tidak harmonis ini pada akhirnya akan
menimbulkan kebencian yang berdampak pada tindakan-tindakan yang
anarkis baik secara fisik maupun non-fisik, seperti ujaran kebencian.

Selanjutnya, ujaran kebencian juga disebabkan oleh minimnya


kompetensi seseorang dalam memahami realitas, baik realitas
keagamaan maupun realitas kehidupan. Semisal memahami Alquran
hanya berdasarkan terjemahan saja tanpa melibatkan keilmuan
Alquran seperti ulumul Qur‟an dan Tafsir. Pemahaman yang tidak
utuh terhadap realitas kehidupan juga seringkali menimbulkan reaksi
yang tidak pas dengan konteks permasalahan yang sebenarnya terjadi.
Seperti reaksi berlebihan terhadap berita-berita yang beredar di media
sosial yang belum jelas kebenarannya. Informasi yang tersebar di
media massa yang dipotong konteksnya akan berdampak pada
kesalahpahaman dalam memahami persoalan yang sebenarnya. Selain
itu, ujaran kebencian itu disebabkan oleh sifat dasariah manusia yang
memiliki sifat ghaḏab (marah). Sifat marah yang dimiliki setiap
manusia ini banyak faktornya, di antanya adalah melihat sesuatu yang
tidak disukai atau bertentangan dengan pola fikirnya, bisa juga
39

disebabkan oleh sifat iri hati (ẖasad) dan prasangka buruk (su‟uẕan)
terhadap fenomena atau orang lain.6

Sedangkan menurut Nasaruddin Umar, menerangkan bahwa:

“Ujaran kebencian itu adalah fitnah, menghasut dan


penyebaran berita bohong”. Pertama adalah penghinaan.
Kedua perbuatan tidak menyenangkan itu bisa digugat baik itu
tertulis atupun secara langsung. Sedangkan yang ketiga ini
banyak dilakukan oleh oknum yang tidak suka terhadap
kelompok lain, yaitu provokasi. Provokasi ini bisa dilakukan
oleh okmun intelektual, dan hal ini bisa dipidanakan,”.7
Hate speech secara sederhana dapat diartikan segala bentuk
yang mengandung kebencian baik secara lisan ataupun tulisan dengan
maksud dan tujuan tertentu, menggunakan kata-kata yang tidak pantas
dan menimbulkan fitnah.8 Sementara dalam hadis ditegaskan:

“Dari Abû Hurairah RA, dari Rasulullah SAW, beliau


bersabda: barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat
maka berikanlah pernyataan yang baik atau lebih baik diam.” (HR.
Bukhârȋ dan Muslim)
Dari rujukan diatas, peneliti menarik pemahaman bahwa Islam
melarang untuk menghina atau menghasut sesama muslim. Islam
mengajarkan kepada umatnya untuk berbahasa secara baik, baik lisan
ataupun tulisan. Karena pemakaian bahasa yang baik akan
mendatangkan kebaikan, tidak saja kepada orang lain tetapi juga
kepada diri sendiri.

6
Artikel diakses pada 20 Desember 2018 dari.https://artikula.id/halim/ujaran-
kebencian-dari-manakah-asalnya/
7
Nasaruddin Umar, “Dengan Semangat Islam Nusantara Kita wujudkan Indonesia
Damai dan sejahtera” (Jakarta; Kongres ke-17 Muslimat Nahdlatul Ulama Komisi
Bahtsul Masail, 2016).
8
Maruli CC Simajuntak, Atas Nama Kebencian Kajian Kasus-kasus Kejahatan
Berbasis Kebencian di Indonesia (Jakarta: YLBHI, 2015), h. xi
40

B. Tafsir QS.al-Ḥujurât[49]: 11-12

1. Lafaz dan Terjemahan


Surahal-Ḥujurât terdiri dari 18 ayat, surah ini termasuk surah
Madaniah, Surahal-Ḥujurât merupakan surah yang agung dan besar,
yang mengandung berbagai hakikat, akidah, dan syariah yang penting,
mengandung hakikat wujud dan kemanusiaan. Hakikat ini merupakan
cakrawala yang luas dan jangkauan yang jauh bagi akal dan kalbu.
Juga menimbulkan pikiran yang dalam dan konsep yang penting bagi
jiwa dan nalar. Hakikat tersebut meliputi berbagai manhaj (cara)
penciptaan, penataan, kaidah-kaidah pendidikan dan pembinaan.
Padahal jumlah ayatnya kurang dari ratusan.9

Surahal-Ḥujurât berisi pentunjuk tentang apa yang harus


dilakukan oleh seorang mukmin terhadap Allah SWT dan terhadap
Nabi, dan orang yang menentang ajaran Allah dan Rasul-Nya, yaitu
orang fasik. Pada pembahasan ini dijelaskan apa yang harus dilakukan
seorang mukmin terhadap sesama manusia secara keseluruhan demi
terciptanya sebuah perdamaian. Adapun etika yang diusung untuk
menciptakan sebuah perdamaian dan menghindari pertikaian yaitu
menjauhi sikap mengolok-olok, mengejek diri sendiri, saling memberi
panggilan (gelar) yang buruk, su‟uẕan, tajassus, ghibah, serta tidak
boleh bersikap sombong dan saling membanggakan diri. Karena derajat
manusia di hadapan Allah SWT sama. Berikut ini adalah bunyi lengkap
surahal-Ḥujurât[49]: 11-12.

9
Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qurían, Terj. Asías Yasin(Jakarta: Gema Insani
Press, 2004), Cet. I, Jilid X, h. 407.
41

     


        

              

            

           

            

            

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan


orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi
yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh
jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka
mencela dirimu sendiri10 dan jangan memanggil dengan gelaran
yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman11 dan barangsiapa yang
tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan
janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu
yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.” (QS. al-Ḥujurât[49]: 11-12).12

10
Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin
karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
11
panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari,
seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik,
Hai kafir dan sebagainya.
12
Kementrian Agama RI, al-Qur‟an an Terjema nya (Bandung: CV. Pustaka
Agung Harapan, 2006),49: 11-12, h.744.
42

2. Al- Asbâb al-Nuzûl


Al-Asbâb al-Nuzûl QS. al-Ḥujurât ayat 11-12.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan
orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi
yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh
jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka
mencela dirimu sendiri13 dan jangan memanggil dengan gelaran
yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman14 dan barangsiapa yang
tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”
(QS. al-Ḥujurât[49]: 11).15
Ayat ini turun mengenai Tsabit ibn Qais ibn Syamas, yaitu
orang yang telinganya terdapat sumbat (tuli). Ketika ia datang ke majlis
Rasulullah, orang-orang memberi jalan kepadanya agar ia duduk di
dekat Rasulullah sehingga ia dapat mendengar apa yang disabdakan
Rasulullah. Pada suatu hari orang-orang yang hadir di majlis telah
menempati tempatnya, lalu Tsabit datang dan melangkahi pundak-
pundak mereka, dan berkata “Hendaklah kamu menggeser dan
memberi jalan (permisi).” Ibn Fulan menjawab “duduk saja di situ,
majlis tekah penuh.” Maka Tsabit duduk dengan rasa kesal dan marah.
Seseorang mengisyaratkan penghinaaan dan berkata, “siapa ini?” “saya
fulan,” jawabnya. Tsabit berkata, “Ibn Fulan.” Ia menyebutkan seorang
ibu yang dihina di masa jahiliyah, kemudian seseorang memalingan

13
Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin
karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
14
panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari,
seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik,
Hai kafir dan sebagainya.
15
Kementrian Agama RI, al-Qur‟an an Terjema nya , h.744.
43

kepalanya dengan sinis, mengejeknya. Lalu Allah menurunkan ayat


berikut:16
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan
orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi
yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka..” (QS. al-Ḥujurât
[49]: 11).

“..dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan


kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.
dan janganlah suka mencela dirimu sendiri..” (QS. al-Ḥujurât
[49]: 11).
Ayat ini turun mengenai dua wanita dari isteri Nabi SAW yang
mengolok-olok Ummu Salamah, ia mengikat baju putih yang
dipakainya lalu ujungnya dijuntaikan di sebelah belakang. Aisyah
berkata kepada Hafshah, “Lihatlah apa yang ditarik di belakang Ummu
Salamah itu, seperti lidah anjing yang menjulur.” Ungkapan ini dengan
maksud mengolok-oloknya. Lalu turun ayat: “dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi
yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu
sendiri.”17
Para pemilik kitab sunan yang empat (Sunan Nasa‟i, Sunan Abû
Dâud , Sunan Al-Ṭurmudzi, dan Sunan Ibn Mâjah) meriwayatkan dari
Abû Jabirah Ibn Dhahhak yang berkata “Adakalanya seorang laki-laki
memiliki dua atau tiga nama panggilan. Boleh jadi terkadang ia
dipanggil dengan nama yang tidak disenanginya dengan maksud
membuatnya jengkel, lalu turunlah ayat ini:18

16
Al-Wahidi An-Naisaburi, Asbabun Nuzul, trj. Moh. Syamsi (Surabaya: Amalia
Surabaya, 2014), h. 617-618.
17
An-Naisaburi, Asbabun Nuzul, h. 618.
18
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Lubâb al-
Nuqûl ȋ As â al-nuzûl, Terj. Tim Abdul Hayyie (Depok: Gema Insani, 2008),
cet I,h. 903.
44

“dan janganlah kalian panggil memanggil dengan gelar-


gelar yang buruk” (QS. al-Ḥujurât[49]: 11).
Imam Turmudzi memberikan komentarnya, bahwa hadis ini
berpredikat hasan.19 Imam Hakim dan lain-lainnya telah
mengetengahkan sebuah hadis yang juga melalui hadis yang
diriwayatkan oleh Jubair Ibn Dhahhak, bahwasannya nama-nama
julukan adalah sesuatu yang telah membudaya di jaman Jahiliah. Lalu
pada suatu hari Nabi SAW memanggil salah seorang diantara mereka
dengan nama julukannya. Maka ada orang lain yang mengatakan
kepadanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya nama julukan itu sangat
tidak disukainya”, lalu Allah SWT menurunkan firman-Nya:20
“dan janganlah kalian panggil memanggil dengan gelar-
gelar yang buruk” (QS. al-Ḥujurât: 11).

Menurut hadits yang diketengahkan oleh Imam Ahmad yang


juga melalui Jubair, orang-orang Bani Salamah mengatakan bahwa ayat
ini diturunkan berkenaan mengenai kami yaitu:
“dan janganlah kalian panggil memanggil dengan gelar-
gelar yang buruk” (QS. al-Ḥujurât: 11).

Ketika Nabi SAW datang ke Madinah, pada saat itu di Madinah


setiap orang lelaki diantara kami pasti mempunyai dua atau tiga nama.
Rasulullah SAW apabila memanggil salah seorang dari mereka
memakai salah satu dari nama-nama tersebut. Akhirnya lama-kelamaan
mereka berkata “Wahai Rasulullah, sesungguhnya nama yang engkau
pakai untuk memanggilnya itu tidak disukai sama sekali (ia marah
dengan panggilan tersebut)”, maka turunlah ayat ini.
“..Dan janganlah kalian menggunjing sebagian yang
lain....”.(QS. al-Ḥujurât: 12).

19
Sunan At-Tirmidzi, kitab al-Tafsir, hadis nomor 3268 dan Sunan Abi Daud ,
kitab al-Adâb, hadis nomor 4962.
20
As-Suyuti,Lubâb al-Nuqûl ȋ As â al-nuzûl,h. 903.
45

Ibn Munzir telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Ibn


Juraij yang telah menceritakan, mereka menduga bahwa ayat ini
diturunkan mengenai Salman Al-Farisi r.a., yaitu ketika ia makan, lalu
tidur dan sewaktu tidur, ia kentut; lalu ada seorang laki-laki
mempergunjingkan tentang makan dan tidur Salman itu. Maka turunlah
ayat ini.21
3. Tafsir Klasik
a) Penafsiran Ibn Katsir dalam Tafsir Ibn Katsir
Allah SWT melarang kita untuk menghina orang lain yakni
dengan meremehkan dan mengolok-olok. Sebagaimana yang
disebutkan dalam Hadis shahih dari Rasulullah SAW, beliau
bersabda:22

ِ ‫ط الن‬
‫َّاس‬ ْ ‫اَلْ ِكبَ ُر بَطَُر‬
ُ ‫اْلَ ِّق َؤ َغ ْم‬

“Takabbur adalah menentang kebenaran dan


(merendahkan) manusia.”
Makna yang dimaksud Ibn Katsir adalah menghina dan
merendahkan orang lain. Perbuatan tersebut diharamkan, sebab
barangkali orang yang dihina tersebut memiliki kedudukan yang
lebih tinggi di hadapan Allah SWT dan lebih dicintai Allah SWT
dari pada orang yang menghina.
Menurut Ibn Katsir larang tersebut ditujukan untuk kaum laki-
laki dan dilanjutkan untuk kaum wanita. Selanjutnya Ibn Katsir
menyamakan orang yang mencela sebagai orang yang tercela dan
terlaknat. Ibn Katsir membedakan antara Al-Hamzdan al-lamz. Al-

21
As-Suyuthi, Lubâb al-Nuqûl ȋ As â al-nuzûl, h.529.
22
Tim Pustaka Ibnu Katsir, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8 (Jakarta:
Pustaka Ibnu Katsir, 2017), h.475.
46

Hamzadalah celaan dengan perbuatan sedangkan al-lamz adalah


celaan dengan lisan.

Firman Allah () “dan janganlah kamu

panggil-memanggil dengan panggilan yang buruk.” Panggilan buruk


dimaknai oleh Ibn Katsir dengan julukan yang tidak baik untuk
didengar, yang apabila panggilan tersebut diberikan kepada
seseorang, maka orang tersebut tidak menerima atau tidak suka.23

Firman Allah () “dan janganblah kamu mencari-

cari kesalahan kesalahan orang lain,” Ibn Katsir menerangkan kata


“tajassus” pada umumnya dipakai untuk hal-hal yang tidak baik.
Sedangkan kata “tahassus” pada umumnya ditujukan untuk
kebaikan.24
Ibn Katsir juga mengutip pendapat Al-Auza‟ibahwa tajassus
adalah mencari-cari sesuatu, sedangkan tahassus adalah menguping
pembicaraan sekelompok orang sedangkan mereka itu tidak suka
jika pembicaraan itu didengar oleh orang lain, atau mencuri dengar
dari balik rumah mereka. “Tadabbur” adalah sikap saling
mendiamkan, tidak mengajak bicara.”25

Firman Allah () “dan janganlah sebagian

kamu menggunjing sebagian yang lain,” dalam ayat ini terdapat


larangan untuk menggunjing.26Terdapat peringatan keras dalam
masalah ghibah, karena itulah Allah SWT menyamakan pelakunya
23
Tim Pustaka Ibnu Katsir, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, h.476.
24
Tim Pustaka Ibnu Katsir, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, h.479.
25
Tim Pustaka Ibnu Katsir, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, h.479.
26
Tim Pustaka Ibnu Katsir, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, h.480.
47

dengan orang yang memakan bangkai saudaranya sendiri.Artinya


sebagaimana kalian tidak suka memakan bangkai saudara sendiri,
maka janganlah menggunjing. Ibn Katsir menghukumi menggunjing
lebih berat dari pada memakan bangkai saudara sendiri.27 Jadi ayat
tersebut memberikan peringatan agar kita menjauhi ghibah.
b) Penafsiran Al-Ṭabarȋ dalam Jamȋ‟ Al-Bayân „An Takwȋl Ayi
Al-Qur‟an
Maksud AYAT 11 yaitu, janganlah wanita-wanita mengejek
wanita-wanita yang lain. Barangkali wanita yang diejek lebih baik
dari wanita yang mengejek. Ahli takwil berbeda pendapat tentang
ejekan atau olok-olok yang dilarang Allah dalam ayat ini. Sebagian
berpendapat bahwa maksudnya adalah ejekan orang kaya terhadap
orang miskin. Allah melarang mengejek orang miskin karena
kemiskinannya. Ahli takwil lainnya berpendapat bahwa maksudnya
adalah larangan Allah atas orang beriman yang aibnya tertutupi
untuk mencela orang beriman yang aibnya nampak di dalam dunia.
Menurut Al-Ṭabarȋ pendapat yang benar tentang masalah ini
adalah, Allah mengumumkan larangan-Nya kepada seluruh orang
beriman bahwa Allah melarang sebagian mereka mengejek sebagian
lainnya dengan berbagai makna ejekan. Artinya, seseorang mukmin,
siapapun dia, tidak boleh mengejek mukmin lain karena
kemiskinannya, dosanya, atau hal-hal lainnya. 28
“dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri.” Al-Ṭabarȋ
memberi penjelasan bahwa, Allah menjadikan orang yang mencela
saudaranya sama dengan orang yang mencela dirinya sendiri, sebab
sesama orang beriman, layaknya satu tubuh, sebagian terikat dengan

27
Tim Pustaka Ibnu Katsir, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, h.480.
28
Abu Ja‟far Muhammad Bin Jarir AṬ-Ṭabari, Jami‟ Al-Bayân An-Takwȋl Ayi
Al-Qur‟an, Trj. Abdul Somad, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 740-742.
48

sebagian lainnya dalam memperbaiki urusannya, mencari


kemaslahatannya, dan menghendaki saudaranya mendapatkan
kebaikan.29
“dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar
yang buruk.” lafaẕal-nabz dan al-laqab bermakna sama. Al-Ṭabarȋ
memaparkan perbedaan ahli takwil tentang glar-gelar yang dilarang
oleh Allah dalam panggil-memanggil pada ayat ini. Sebagian
berkata, “maksudnya adalah gelar-gelar yang orang diberi gelar
dengan gelar itu tidak merasa senang karnanya.” Mereka juga
mengatakan bahwa ayat ini turun pada suatu kaum yang memiliki
nama-nama pada masa jahiliyah. Setelah mereka masuk islam,
mereka dilarang memanggil sebagian mereka dengan nama yang
tidak mereka sukai. ahli takwil lainnya berkata, “ maksudnya adalah
perkataan seseorang muslim kepada muslim lainnya, „hai orang yang
fasik‟, atau, „hai pezina‟.”
Penakwilan yang paling benar menurut Al-Ṭabarȋ adalah,
Allah melarang orang beriman untuk memanggil dengan gelar-gelar.
Panggil-memanggil dengan gelar-gelar adalah, seseorang
memanggil temannya dengan nama atau sifat yang tidak disukainya.
Allah juga mengumumkan larangan-Nya bahwa Allah tidak
mengkhususkan sebagian gelar atas gelar lainnya. Oleh karena itu,
siapapun dari kaum muslim tidak boleh memanggil saudaranya
dengan nama atau sifat yang tidak disukainya.30
“seburuk-buruk panggilan ialah panggilan yang buruk
sesudah Iman.” Al-Ṭabarȋ menjelaskan, barang siapa telah
melakukan perbuatan yang Kami larang, dan berbuat kemaksiatan

29
Al-Ṭabarȋ, Jami‟ Al-Bayân, h. 743.
30
Al-Ṭabarȋ, Jami‟ Al-Bayân An-Takwȋl Ayi Al-Qur‟an, h. 750.
49

terhadap Kami setelah imanya, mengolok-olok orang beriman,


mengejek saudaranya yang mukmin, dan memanggil dengan gelar-
gelar, maka dia oarang fasik. Seburuk-buruk panggilan adalah
panggilan kefasikan. Barang siapa yang tidak bertaubat dari panggil-
memanggil saudaranya dengan panggilan atau gelar yang dilarang
Allah, mengolok-olok saudaranya atau mengejeknya, maka
merekalah orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri.
Dengan pelanggaran Allah itu, mereka akan mendapat siksa Allah.31
Allah berfirman pada ayat 12 “jauhilah kebanyakan
pur asangka (kecurigaan),” dan Allah tidak berfirman “jauhilah
purbasangka secara keseluruhan.” Sebab menurut Al-Ṭabarȋ
terkadang orang yang beriman dibenarkan menyangka orang
beriman lainnya dengan sangkaan yang baik, dan mengatakan
sangkaan itu, sekalipun orang yang disangka itu tidak meyakinkan.
Namun sangkaan orang beriman terhadap orang beriman lainnya
yang buruk, adalah dosa. Allah telah melarang hal itu, dan
melakukan perbuatan yang dilarang allah adalah dosa.32
Firman Allah, “dan janganlah mencari-cari keburukan
orang.” Al-Ṭabarȋ menyamakan keburukan dengan aurat,
maksudnya adalah janganlah sebagian dari kalian mencari-cari aurat
(keburukan atau kesalahan) sebagian lainnya, dan janganlah dia
menilik rahasia-rahasia orang lain untuk menampakkan aibnya.
Akan tetapi cukuplah dengan apa yang nampak darinya. Atas dasar
itu, maka pujilah dan celalah bukan atas dasar apa yang tidak kalian
ketahui.

31
Al-Ṭabarȋ, Jami‟ Al-Bayân An-Takwȋl Ayi Al-Qur‟an, h. 752-753.
32
Al-Ṭabarȋ, Jami‟ Al-Bayân An-Takwȋl Ayi Al-Qur‟an,, h. 760.
50

“dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” Maksudnya


adalah, janganlah sebagian dari kalian berkata tentang sebagian
lainnya di belakangnya dengan sesuatu yang tidak disukainya bila
dikatakan di hadapannya. Sebagaimana Ibn Katsir, Al-Ṭabarȋ juga
menyamakan posisi ghibah sebagaimana orang yang memakan
daging saudaranya sendiri yang telah mati. Sebab Allah
mengharamkan mengghibahnya dalam keadaan hidup sebagaimana
Allah mengharamkan memakan dagingnya dalam keadaan sudah
mati. 33
Takutlah terhadap siksaan-Nya dengan berhenti dari
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang-Nya, seperti
menyangka saudaranya yang beriman dengan sangkaan yang buruk,
mencari-cari kejelekannya dan apa yang tertutup dari perkaranya,
serta mengghibahnya dengan menyebut hal-hal yang tidak
disukainya, yang dengan itu kamu hendak menghina serta
menjelekkannya, serta hal-hal lainnya yang dilarang tuhan kalian.
Allah pasti mengembalikan hamba-Nya kepada apa yang disukai-
Nya apabila sang hamba kembali kepada Tuhannya dan apa yang
disukai-Nya Allah juga Maha penyayang maka tidak akan
menyiksanya atas dosa yang telah dilakukan setelah ia bertobat dari
dosa tersebut.34

33
Al-Ṭabarȋ, Jami‟ Al-Bayân An-Takwȋl Ayi Al-Qur‟an,, h. 764.
34
Al-Ṭabarȋ , Jami‟ Al-Bayân, h. 766.
51

4. Tafsir Modern

a) Penafsiran Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-


Misbah
Munurut Quraish Shihabayat 11 memberi petunjuk tentang
beberapa hal yang harus dihindari untuk mencegah timbulnya
pertikaian. Menurut Quraish Shihab mengolok-olok dapat
menimbulkan pertikaian, apalagi jika yang diolok-olok lebih baik
dari yang mengolok-olok. Menurut Shihab orang yang mengolok-
olok telah melakukan kesalahan berganda. Pertama mengolok-olok
dan kedua yang diolok-olokkan lebih baik dari mereka. Perbuatan
ini juga dapat menimbulkan keretakan hubungan antar sesama.
Selain itu Allah juga melarang „mengejek‟ siapapun secara
sembunyi-sembunyi dengan ucapan, perbuatan, atau isyarat karena
ejekan itu akan menimpa diri kamu sendiri, dan janganlah kamu
panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang dinilai buruk oleh yang
kamu panggil, walau kamu menilainya benar dan indah, baik kamu
yang menciptakan gelarnya maupun oramng lain.35
Dalam kata (‫ )يسخر‬memperolok-olokkanShihab memaknai
dengan menyebut kekurangan orang lain dengan tujuan
menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan,
atau tingkah laku.36
Untuk kata (‫ )تلمزوا‬terambil dari kata (‫)اللمز‬. Shihab
memaparkan berbeda perndapat para ulama dalam memaknai kata
ini. Ibn „Ȃsyûr, misalnya, memahaminya dalam arti ejekan yang
langsung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir,

35
M.Quraish Shihab,Tafsir al-Misbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al
Qur‟an (Jakarta: Lensa Hati, 2002), h.605.
36
Shihab,Tafsir al-Misbah, h. 606.
52

tangan, atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman.


Ini adalah salah satu bentuk kekurang ajaran dan penganiayaan.37
Meskipun ayat di atas melarang melakukan al-lamz terhadap
diri sendiri, tetapi maknanya menunjukkan secara umum, yakni
orang lain. Menurut Shihab redaksi tersebut dipilih untuk
mengisyaratkan kesatuan masyarakat dan bagaimana seharusnya
seseorang merasakan bahwa penderitaaan dan kehinaan yang
menimpa orang lain menimpa pula dirinya sendiri. Di sisi lain, tentu
saja siapa yang mengejek orang lain maka dampak buruk ejekan itu
menimpa si pengejek, bahkan tidak mustahil ia memperoleh ejekan
yang lebih buruk dari pada yang diejek itu. Bisa juga larangan ini
memang ditujukan kepada masing-masing dalam arti jangan
melakukan suatu aktifitas yang mengundang orang menghina dan
mengejek Anda karena, jika demikian, Anda bagaikan mengejek diri
sendiri.38
Firman-Nya: (‫ )عسى أن يكىنىا خيرا منهم‬boleh jadi mereka yang
diolok-olok itu leboh baik dari mereka, yang mengolok-
olokmengisyaratkan tentang adanya tolak ukur kemuliaan yang
menjadi dasar penilaian Allah yang boleh jadi berbeda dengan tolak
ukur manusia secara umum. Memang, banyak nilai yang dianggap
baik oleh sementara orang terhadap diri mereka atau orang lain
justeru sangat keliru. Kekeliruan itu mengantar mereka menghina
dan melecehkan pihak lain. Padahal, jika mereka menggunakan
dasar penilaian yang ditetapkan Allah, tentulah mereka tidak akan
menghina atau mengejek.39

37
Shihab,Tafsir al-Misbah, h. 606.
38
Shihab,Tafsir al-Misbah, h. 606.
39
Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 607.
53

Selanjutnya, kata (‫ )تنابزوا‬berasal dari kata (‫ )النبز‬yakni gelar


buruk. Al-Tanâbuz memiliki pengertiansaling memberi gelar buruk.
Larangan ini menggunakan bentuk kata yang mengandung makna
timbal balik, berbeda dengan larangan al-lamz pada penggalan
sebelumnya. Ini bukan saja karena al-tanâbuz lebih banyak terjadi
dari al-lamz, tetapi juga karena gelar buruk biasanya disampaikan
secara terang-terangan dengan memanggil yang bersangkutan. Hal
ini mengundang siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu
membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan
gelar buruk sehingga terjadi tanâbuz.40
Dengan demikian, sejatinya penting untuk dicatat bahwa
terdapat sekian gelar yang secara lahiriyah dapat dinilai gelar buruk,
tetapi karena ia sedemikian populer dan si penyandangnyapun tidak
lagi keberatan dengan gelar itu maka di sini menyebut gelar tersebut
dapat ditoleransi oleh agama. Misalnya, Abû Hurairah, yang nama
aslinya adalah Abdu Al-Rahmân Ibn Shakhr, atau Abû Turâb untuk
Sayyidina Ali Ibn Abȋ Ṭalib. Bahkan, al-a‟raj (si pincang) untuk
perawi hadis kenamaan Abdul RahmânIbn Hurmuz dan al-A‟masi
(si rAbûn) bagi Sulaiman Ibn Mahran, dan lain-lain.41
Untuk selanjutnya, mari telaah kata (‫)اإلسم‬. Penting diketahui
yang dimaksud oleh ayat ini menurut Shihab bukan dalam arti nama,
tetapi sebutan. Dengan demikian, ayat di atas bagaikan menyatakan:
“seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dengan sebutan
yang mengandung makna kefasikan setelah ia disifati dengan sifat
keimanan.” Ini karena keimanan bertentangan dengan kefasikan.
Ada juga yang memahami kata al-ism dalam arti tanda dan jika

40
Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 607.
41
Shihab,Tafsir al-Misbah, h. 607.
54

demikian ayat ini berarti: “seburuk-buruk tanda pengenalan yang


disandangkan kepada seseorang setelah ia beriman adalah
memperkenalkannya dengan perbuatan dosa yang pernah
dilakukannya.” Misalnya, dengan memperkenalkan seseorang
dengan sebutan si pembobol bank atau pencuri dan lain-lain.42
Terdapat banyak riwayat yang dikemukakan oleh para
mufassir menyangkut sabab nuzul ayat ini. Quraish
Shihabmenjelaskan ayat ini turun akibat ejekan yang dilakukan oleh
kelompok Bani Tamim terhadap Bilal, Shuhaib, dan „Ammar yang
merupakan orang-orang tidak punya. Di sisi lain, adayang
menyatakan bahwa ia turun berkenaan dengan ejekan yang
dilontarkan oleh Tsabȋt Ibn Qais, seorang sahabat Nabi SAW yang
tuli. Shihab juga mengutip suatu riwayat yang isinya adalah, bahwa
Tsabit melangkahi sekian orang untuk dapat duduk di dekat rasul
agar dapat mendengan wejangan beliau. Salah seoraang
menegurnya, dan Tsabȋt membalas dengan melontarkan kata julukan
yang membuat si Fulan merasa dipermalukan, maka turunlah ayat
ini. Ada lagi yang menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan ejekan yang dilontarkan oleh istri Nabi Muhammad SAW
terhadap Ummu Salamah yang merupakan “madu” mereka. Ummu
Salamah mereka ejek sebagai wanita pendek. Alhasil, sekian banyak
riwayat, yang kesemuanya dapat dinamai sabab nuzul (sebab
turun).43
Dapat peneliti tarik simpulan bahwa maksud dari istilah ini
dalam konteks riwayat-riwayat di atas, yang dikutip oleh Shihab

42
Shihab,Tafsir al-Misbah, h. 607.
43
Shihab,Tafsir al-Misbah, h. 608.
55

adalah kasus-kasus yang dapat ditampung oleh kandungan ayat ini


menurut, yakni ejekan secara fisik.
Dalam ayat 12, dijelaskan hal buruk yang sifatnya
tersembunyi, karena itu panggilan mesra kepada orang-orang
beriman diulangi untuk ke-5 kalinya. Di sisi lain memanggil dengan
panggilan buruk yang telah dilarang oleh ayat yang lalu boleh jadi
panggilan atau gelar itu dilakukan atas dasar dugaan yang tidak
berdasar, karena itu ayat di atas menyatakan : “Hai orang-orang
yang beriman”, “jauhilah” dengan upaya sungguh- sungguh
“banyak dari dugaan” yakni prasangka buruk terhadap manusia
yang tidak memiliki indikator memadai, “sesungguhnya sebagian
dugaan” yakni yang tidak memiliki indikator itu adalah “dosa”.44
Selanjutnya karena tidak jarang prasangka buruk mengundang
upaya mencari tahu, maka ayat di atasmelanjutkan bahwa: “Dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” yang justru
ditutupi oleh pelakunya serta jangan juga melangkah lebih luas ,
Quraish menjelaskan lebih luas yakni “Sebagian kamu
menggunjing” yakni membicarakan aib “sebagian yang lain”.
Sebagaimana mufassir yang lain, Shihab juga menyamakan pelaku
ghibah sebagaimana orang yang memakan bangkai saudaranya
sendiri45
Dengan demikian, ayat di atas menegaskan bahwa sebagian
dugaan adalah dosa yakni dugaan yang tidak berdasar. Biasanya
dugaan yang tidak berdasar dan mengakibatkan dosa adalah dugaan
buruk terhadap pihak lain. Ini berarti ayat di atas melarang
melakukan dugaan buruk yang tanpa dasar, karena ia dapat

44
Shihab,Tafsir al-Misbah, h.609
45
Shihab,Tafsir al-Misbah, h.609.
56

menjerumuskan seseorang ke dalam dosa. Dengan menghindari


dugaan dan prasangka buruk, anggota masyarakat akan hidup tenang
dan tentram serta produktif karena mereka tidak akan ragu terhadap
pihak lain dan tidak juga akan tersalurkan energi kepada hal-hal
yang sia-sia.46
Tuntunan ini juga membentengi setiap anggota masyarakat
dari tuntutan terhadap hal-hal yang baru bersifat prasangka. Dengan
demikian ayat ini mengukuhkan prinsip bahwa: Tersangka belum
dinyatakan bersalah sebelum terbukti kesalahannya, bahkan
seseorang tidak dapat dituntut sebelum terbukti kebenaran dugaan
yang dihadapkan kepadanya. Memang bisikan bisikan yang terlintas
di dalam benak tentang sesuatu dapat ditoleransi, asal bisikan
tersebut tidak ditingkatkan menjadi dugaan dan buruk sangka.47
Kata yaghtab terambil dari kata ghibah yang barasal dari kata
ghaib yakni tidak hadir. Jika keburukan yang disebut itu tidak
disandang oleh yang bersangkutan, maka ia dinamakan buhtan atau
kebohongan. Pakar hukum mebenarkan ghibah untuk sekian banyak
alasan antara lain:48

1. Memintafatwa.
2. Menyebut kuburukan seseorang yang memang tidak segan
menampakan keburukannya di hadapan umum.
3. Menyampaikan keburukan seseorang kepada yang berwenang
dengan tujuan mencegah terjadinya kemungkaran.
4. Menyampaikan keburukan seseorang kepada siapa yang sangat
membutuhkaninformasi.

46
Shihab,Tafsir al-Misbah, h.610.
47
Shihab,Tafsir al-Misbah, h.610.
48
Shihab,Tafsir al-Misbah, h.611-612.
57

5. Memperkenalkan seseorang yang tidak dapat dikenal kecuali


dengan menyebutkan aib atau kekuragannya.
Firman-Nya : fa karihtumûhu yang berarti maka kamu telah
jijik kepadanya mengunakan kata kerja masa lampau untuk
menunjukkan bahwa perasaan jijik adalah sesuatu yang pasti di
rasakan oleh setiap orang.49
Shihab mengutip pendapat Thabathaba‟i, bahwah ghibah
merupakan perusakan bagian dari masyarakat, satu demi satu
sehingga dampak positif dan diharapkan dari wujudnya satu
masyarakat menjadi gagal dan berantakan. Menggunjing menjadikan
yang bersangkutan kehilangan identitas serta menjadikan tidak dapat
berfungsinya sebagaimana yang di harapkan di masyarakat. Ulama
beraliran Syi‟ah ini meperoleh kesan dari adanya kata akhih(i) yang
berarti saudara dalam konteks laragan bergunjing, bahwa larangan
tersebut hanya berlaku jika yang digunjing adalah seorang muslim,
Karena pesaudaraan yang di perkenalkan adalah persaudaraan
seiman.50
b) Penafsiran Abdurrahmân Ibn Naṣȋr Al-Sa‟di dalam Taisȋr al-
Karȋm al-Rahmân Tafsȋr Kalâm al-Manân
Menurut pendapat Ibn Naṣȋr, ayat ini merupakan hak-hak
diantara sesama kaum mukminin, yaitu agar “janganlah suatu kaum
mengolok-olokkan kaum yang lain,” dengan perkataan, ucapan,
maupun perbuatan yang menunjukkan sikap menghina sesama
saudara muslim, karena hal itu haram dan tidak diperbolehkan.
Menghina menunjukkan rasa kagum pihak yang menghina terhadap
dirinya sendiri yang bisa saja pihak yang dihina lebih baik dari yang

49
Shihab,Tafsir al-Misbah, h.613.
50
Shihab,Tafsir al-Misbah, h.613.
58

menghina dan itulah yang lazim terjadi, sebab penghinaan itu hanya
dilakukan oleh orang yang hatinya dipenuhi akhlaq-akhlaq tidak
baik dan tercela, jauh dari bakhlaq-akhlaq yang baik.
Selanjutnya Allah SWT berfirman, “dan janganlah kamu
mencela dirimu sendiri,” Ibn Naṣȋrmengartikannya, janganlah kalian
saling mencela. Ibn Naṣȋr memberikan penjelasan perbedaan antara
al-lamzdan al-hamz, al-lamzadalah mencela dengan perkataan,
sedangkan al-hamz adalah mencela dengan perbuatan. Keduanya
terlarang dan haram. Serta diancam akan dimasukkan ke dalam
neraka bagi yang melakukannya.
Ibn Naṣȋr menjelaskan pula bahwa seorang muslim disebut
sebagai diri bagi saudaranya karena orang-orang yang beriman itu
seharusnya sepereti itu kondisinya, laksana satu tubuh (satu diri),
jika ada seorang mukmin yang menghina saudaranya, maka hal itu
mengharuskan yang lain untuk menghinanya juga, sehingga dialah
yang menyebabkannya.51
“dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar
yang uruk.” menurut Ibn Naṣȋr inilah yang disebutkan sebagai
saling memberikan julukan tidak baik atau al-tanâbuz, sedangkan
pemberian julukan yang terpuji tidak termasuk dalam ayat ini.52
Selanjutnya Allah melarang banyak berperasangka tidak baik
terhadap orang-orang mukmin, karena “sesungguhnya sebagaian
prasangka itu adalah dosa,” seperti praduga yang jauh dari
kenyataan dan tidak ada indikasinya, seperti juga prasangka buruk
yang diikuti dengan perkataan dan perbuatan yang diharamkan.
Prasangka buruk yang tetap berada di hati seseorang tidak hanya

51
Al-Sa‟di, Taisȋr al-Karȋm, h. 661.
52
As-Sa‟di, Taisȋr al-Karȋm, h. 662.
59

cukup sampai di situ saja bagi yang bersangkutan, bahkan akan


mendorongnya untuk mengatakan yang tidak seharusnya dan
mengerjakan yang tidak sepatutnya yang di dalam hal itu juga
tercakup berburuk sangka, membenci dan memusuhi saudara sesama
mukmin yang seharusnya tidak demikian.
“dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain,”
yakni, janganlah kalian mengorek kesalahan kaum muslimin dan
jangan mencari-carinya, biarkan orang muslim tetap berada pada
kondisinya sendiri dan gunakanlah cara melalaikan kekeliruannya
yang jika dikuak akan nampak sesuatu yang tidak sepatutnya.
“dan janglah sebagian kamu menggunjing sebagian yang
lain,” Ibn Naṣȋr mengartikan ghibah dengan mengutip Hadis Nabi:
“Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu
yang tidak disukai saudaramu meski hal itu benar terdapat
pada dirinya.”
Selanjutnya Ibn Naṣȋrmenyebutkan perumpamaan agar kita
menjauhi ghibah, yakni ghibah itu laksana memakan daging bagkai
saudaranya sendiri yang sangat tidak disukai oleh jiwa karena
ghibah yang dilakukan. Maka hendaklah kalian jangan melakukan
ghibah dan memakan dagingnya hidup-hidup.
Di dalam ayat ini terdapat peringatan keras dari melakukan
ghibah, karena ghibah tergolong dosa besar dimana Allah
menyamakannya debgan memakan daging bagkai, yang mana
memakan bangkai adalah termasuk dosa besar.53

53
Al-Sa‟di, Taisȋr al-Karȋm, h. 664.
BAB IV

QS. AL-ḤUJURȂT[49]:11-12 DAN HATE SPEECH PERSPEKTIF


HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR

Perlu diingat, tujuan hermeneutik yang hendak disampaikan


oleh Paul Ricoeur, adalah pemahaman. Hal ini disebabkan karena
hermeneutik didasarkan pada premis bahwa teks-teks mengatakan
sesuatu yang bukan hanya mengenai dirinya sendiri melainkan juga
mengenai dunia yang lebih luas. Oleh karna itu, dengan membaca teks
melalui jalan hermeneutik, berarti kita akan mendapatkan pemahaman
yang jauh lebih luas serta lebih besar mengenai dunia, tidak hanya
mendapatkan makna-makna secara literal saja.

Teks dapat direkontekstualisasi ke dalam situasi baru.


Sehingga penerima teks adalah siapaun yang dapat membaca dan
memahami teks tersebut, karena penerima teks tidak lagi berhadapan
dialogis dengan penulis (author). Namun, memahami bukan soal
memaksakan kapasitas pemahaman teks yang terbatas pada seseorang,
tetapi membuka diri dan menerima pengembangan diri dari teks itu.
Dengan demikian kita harus menempatkan posisi pada pusat
pemahaman diri, yaitu dialektika antara objektifikasi dan pemahaman
yang dapat dimengerti pada tingkat teks, struktur, makna dan
acuannya.1

1
Fariz Pari, “Hermeneutika Paul Ricoeur Untuk Penelitian Keagamaan; Kajian
Metodologi dan Terapan Terhadap Kebudayaan Shalat dan Makam Sunan Rohmat
Garut,” (Bogor: Kopi Center, 2012), Bab III

60
61

A. Bentuk Hate Speech dalam QS.Al-Ḥujurât[49]: 11-12

Sebagaimana dalam QS.al-Ḥujurât[49]: 11-12 terdapat


beberapa kata kunci yang bisa kita kaji sebagai bentuk tidak hate
speech, yaitu: pertama, (‫ )اليسخر‬Artinya janganlah mengolok-olok.
‫ يسخر‬berasal dari i‟il maḏi‫ َس َخ َر‬yang artinya “Mengolok-olok,
menyebut-nyebut aib dan kekurangan-kekurangan orang lain dengan
cara menimbulkan tawa”. Orang mengatakan sakhira bihi dan sakhira
minhu (mengolok-olokkan). Ḏaḥika bihi dan ḏaḥika minhu
(menertawakan dia). Adapun isim masdarnya al-sukhriyah dan al-
sikhriyah (huruf sin diḏamahkan atau dikasrah). Sukhriyah bisa juga
terjadi dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan
menggunakan isyarat atau menertawakan perkataan orang yang
diolokkan apabila ia keliru perkataanya terhadap perbuatannya atau
rupanya yang buruk.2

Kedua, (‫)وال تلمزوا‬Kalimat talmizû berasal dari akar kata


lamaza-yalmizu-lamzan yang berarti “memberi isyarat disertai bisik-
bisik dengan maksud mencela”. Ejekan ini biasanya langsung
ditujukan kepada seseorang yang diejek, baik dengan isyarat mata,
bibir, kepala, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan.3

Ketiga, (‫)وال تنابزوا‬Artinya “janganlah memberi gelar yang


buruk”. ‫ تنابزوا‬berasal dari kata ‫( النَّبز‬Al-Nabz) yakni gelar yang

2
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al-Maragi(Semarang, Karya
Toha, 1993),hal. 220
3
Kementrian Agama, Al-Qur‟an an Ta sirnya(Jakarta: Widya Cahaya, 2011), h.
409.
62

buruk.4‫(التّنابز‬al-tanâbuz) artinya saling mengejek dan memanggil


dengan gelar-gelar yang tidak disukai seseorang.5

Keempat, (‫سوا‬
ُ ‫س‬
َّ ‫ )وال تج‬berasal dari kata jassa yang berarti
“menyentuh dengan tangan”. Sebagian ulama mengangap sama antara
hass (dengan ha) dengan jass (dengan jim). Jawâs al-insân adalah
tangan, mata, hidung, dan telinga, sama dengan pegertian hawâs al-
insân.Al-Hass hanya memeriksa dari luar sedangkan Al-Jass
memeriksa bagian dalam dan lebih banyak digunakan pada kejelekan.
Dalam ayat ini, kalimat tajassus diartikan dengan “mencari-cari
kesalahan orang lain”. Mencari-cari kesalahan orang lain berawal dari
sebuah prasangka (al-ẕann) buruk. Kemudian timbul ghibah. Oleh
sebab itu, Allah melarang tiga pekerjaan tersebut.6

Kelima, (‫ )واليغتب‬Artinya “dan jangan menggunjing”. ‫يغتب‬


terambil dari kata ( ‫ ) ِغ ْيبَة‬yang berasal dari kata (‫ ) َغيْب‬yakni tidak
hadir. ‫ غ ْيبَة‬adalah menyebut orang yang tidak hadir dihadapan
penyebutnya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh yang
bersangkutan.7

B. Aplikasi Prinsip Pemahaman Hermeneutika Paul Ricoeur

Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa,


metodologi hermeneutika yang dikemukakakan oleh Paul Ricoeur
untuk menafsirkan teks, terdiri dari dua tahapan penafsiran. Pertama

4
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 252.
5
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al-Maragi, hal. 221.
6
Kementrian Agama RI 2011, Al-Qur‟an an Ta sirnya, Edisi yang
disempurnakan (Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi 2011), Kosakata Musahabah, h.413.
7
Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 256.
63

adalah penafsiran berdasarkan proses semiologi atau struktural, kedua


adalah interpretasi apropriasi, yang berfungsi sebagai memahami.8

Untuk mengkonstruksi sebuah pemahaman teks, penulis


menggunakan proses dialektika, dan tahapan-tahapan proses
dialektikan pemahaman yang penulis kembangkan adalah dialektika
proses antara:

1) Cakrawala teks
2) Cakrawala peneliti, dan
3) Proses Apropriasi
Tahapan-tahapan proses pemahaman penulis tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:

1. Penafsiran Hate Speech Secara Semiologi Struktural


Kedudukan tahapan proses penafsiran semiologi struktural
dalam metodologi hermeneutika Paul Ricoeur adalah sebagai suatu
model paradigma yang berfungsi untuk eksplanasi. Proses ini
bertujuan menjelaskan, sehingga bersifat deskriptif.9
a. Dimensi Makna Teks Alquran

Ketika pembaca membaca suatu teks, akan tergambar di


pikiran pembaca suatu gambaran dunia yang digambarkan oleh teks,
yang merupakan dunia yang bersifat imajiner (khayal), itulah yang
disebut dengan cakrawala teks atau dimensi makna teks.

Tindak hatespeech dalam QS.al-Ḥujurât[49]:11-12 tergambar


dalam beberapa kata kunci sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Cakrawala yang digambarkan dari kata kunci pertama(‫ )اليسخر‬yang

8
Fariz Pari, “Hermeneutika Paul Ricoeur Untuk Penelitian Keagamaan”, Bab III
9
Fariz Pari, “Hermeneutika Paul Ricoeur Untuk Penelitian Keagamaan”, Bab IV
64

mempunyai arti “janganlah mengolok-olok” adalah Allah melarang


kita (terutama kaum muslim) mengolok-olok atau mengejek, namun
Allah tidak mengkhususkan tindak mengolok-olok yang seperti apa.
Artinya Allah melarang kita mengolok-olok dengan berbagai macam
tindakan, baik secara perkataan, ucapan ataupun perbuatan yang
menunjukkan sikap menghina sesama muslim atau antar kaum, seperti
mengolok-olok dosanya, kemiskinannya, aibnya, fisiknya maupun
yang lainnya. Karena belum tentu yang mengolok-olok lebih baik dari
orang yang diolok-olok.

Contoh fenomena dewasa ini yang cukup memprihatinkan


adalah kita saksika saudara-saudara muslim yang saling mengejek,
menghina dan mengolok-olok di media sosial seperti “cebong”,
“kampret” atau mengolok-olok seseorang yang dianggap tidak pintar
dengan ,mengatakan “IQ jongkok”. Dalam olok-olokan IQ tersebut
mengandung unsur dusta karena tentunya orang yang mengolok-olok
tersebut tidak pernah mengukur IQ yang diolok-olok sama sekali
secara langsung.

Kedua, (‫ )وال تلمزوا‬yaitu “janganlah kamu mencela” Cakrawala


yang tergambar pada ayat ini adalah bahwa Allah melarang sesama
muslim untuk saling mencela atau mengejek dengan isyarat mata,
bibir, kepala, tangan ataupun dengan perkataan yang dipahami
sebagai ejekan, baik secara langsung kepada objek (orang yang
diejek) ataupun secara berbisik atau sembunyi-sembunyi.

Ada dua penjelasan mengenai “larangan saling mencela”, yang


pertama karena sesama muslim bagaikan satu tubuh, sehingga ketika
mencela orang lain pada hakikatnya dia mencela dirinya sendiri.
Penjelasan kedua adalah karena jika kita mencela orang lain maka
65

orang tersebut akan membalas dengan celaan buruk juga. Itulah


fenomena yang sering kita saksikan saat ini terutama di dunia maya,
seperti contoh postingan seseorang di media sosial berupa Instagram
yang kemudian diberi komentar jelek seperti “bajunya terlalu sayang
dipakai orang gendut seperti Anda” ini mengandung unsur body-
shamming, yaitu celaan pada fisik, kemudian terkadang orang tersebut
akan membalas buruk pula jika ia tidak terima “jiwa miskin Anda
seharusnya diam!” tanggapan ini juga menimbulkan celaan balik
berupa “kemiskinan/kekayaan” seseorang. Maka sikap saling mencela
sangat dilarang oleh Allah.

Ketiga, (‫)وال تنابزوا‬Artinya “janganlah saling memberi gelar


yang buruk”. Cakrawala pada kata ini adalah bahwa Allah melarang
perbuatan yang berupa memberi gelar buruk atau mensifati seseorang
dengan tidak baik, maksudnya adalah memanggil seseorang dengan
sebutan atau sifat yang mereka tidak sukai. Redaksi ayat ini
menggunakan bentuk kata yang mengandung makna timbal balik,
karena gelar buruk biasanya disampaikan langsung kepada orang yang
bersangkutan, sehingga mungkin orang tersebut akan memberi gelar
balik terhadap yang menggelarinya, jika ia merasa tersinggung, lalu
terjadilah tanâbuz.

Hal-hal seperti mensifati sesorang juga sangat banyak penulis


jumpai pada fenomena sekarang, seperti ketika seseorang merasa
tidak sejalan aliran atau golongan agamanya, atau aqidahnya, mudah
sekali orang melontarkan kata “kafir” kepada orang lain bahkan
sesama muslim. Dewasa ini banyak sekali orang muslim saling
mengkafirkan satu sama lain. Ini merupakan pensifatan yang tidak
berdasar yang akan menyinggung persasaan orang lain.
66

Keempat, (‫سوا‬
ُ ‫س‬
َّ ‫ )وال تج‬yakni “ jangan mencari-cari kesalahan
orang lain”. Cakrawala yang tergambar adalah Allah melarang kita
mencari-cari kesalahan atau rahasia-rahasia orang lain dengan tujuan
yang negatif, yakni menampakkan aibnya.

Sebagai contoh, seseorang membaca komentar-komentar


seseorang dimedia sosial, sengaja mencari informasi untuk menyaring
komentar yang tidak baik pada kolom komentar, kemudian orang
tersebut juga ikut menyulut tanggapan yang buruk, dengan
mengatakan hal-hal yang dapat menyinggung orang yang diberi
komentar.

Kelima, (‫)واليغتب‬ Artinya “dan jangan menggunjing”.


Cakrawala yang tergambar adalah larangan menggunjing atau ghibah,
yakni membicarakan sesuatu dibelakang orang yang bersangkutan,
yang apabila hal tersebut disampaikan atau dibicarakan langsung di
depan orang yang bersangkutan akan membuat orang tersebut tidak
nyaman atau bahkan tidak suka (tersinggung). Ayat ini juga
menggambarkan perumpamaan ghibah, yaitu sebagaimana orang yang
memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Ini merupakan bentuk
peringatan keras, yang mana pelaku ghibah akan mendapat dosa besar
sebagaimana orang yang memakan bangkai.

Ghibah merupakan hal yang sudah sangat biasa dilakukan,


apalagi pada kalangan wanita. Ghibah biasa kita sebut dengan
menggosip. Perkumpulan seperti arisan, hang-out bersama teman-
teman biasanya yang mengakibatkan seseorang terdorong
membicarakan seseorang atau bahkan teman sendiri yang tidak ikut
hadir untuk dijadikan bahan omongan. Biasanya obrolannya berisi
kejelekan-kejelekan objek.
67

b. Cakrawala Peneliti

Peneliti lahir di sebuah desa, tepatnya di kecamatan Tayu.


Secara geografis, desa ini berada di kota Pati. Sebuah kabupaten di
Jawa Tengah. Desa ini sangat asri dan sejuk. Laiknya masyarakat desa
pada umumnya, desa Tayu masih erat sistem kekeluargaan dan
gotong royongnya. Kebudayaan Jawa pun masih berkembang pusat di
sana.

Dalam lingkup keluarga, peneliti dibesarkan seorang ayah


yang menjunjung tinggi nilai sopan dan santun. Terlebih ayah
peneliti—biasa disapa abah— seorang tokoh agama. Abah selalu
mengajarkan terutama kepada anak-anaknya perihal kode etik, etika
dan estetika bermasyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa orang
Jawa sanggat menjunjung tinggi “tata kerama” atau “unggah-ungguh”
dalam berkehidupan. Artinya, seseorang akan dipandang tinggi bukan
berdasarkan harta, melainkan dari sikap, sopan santun, dan akhlaknya.

Sebagai seorang tokoh masyarakat, sekaligus juga tokoh


agama, ayah peneliti cukup dihormati. Pangkat dan gelar sebagai alim
ulama dan cerdik pandai pun disematkan padanya. Ayah peneliti juga
cukup dihormati dan dihargai.

Namun, sebagaimana Rasulullah, sebaik apapun manusia pasti


ada saja yang tidak suka, tidak sejalan, iri, bahkan membenci. Hingga
suatu ketika terjadi peristiwa yang mengarah pada hate speech
menimpa keluarga peneliti sendiri. Bermula dari perkumpulan forum
diskusi antar pelajar Aliyah/SMA, di dalam forum diskusi tersebut
siswa laki-laki maupun perempuan biasanya berkumpul di rumah
siswa tertentu untuk belajar kelompok atau diskusi. Dari situ
68

kemudian salah seorang warga (yang mungkin tidak suka dengan


keluarga peneliti) akhirnya menyebarkan isu bahwa “ada siswa laki-
laki dan perempuan berada dalam satu ruangan beduaan” yang mana
orang tersebut menuduh pelakunya tidak lain adalah santri yayasan
kami, dengan tujuan mencoreng nama yayasan kami. Hate speech
bisa terjadi dimanapun tempatnya, pada dunia nyata ataupun maya,
sebagai bentuk adu domba dan perwujudan iri hati yang disampaikan
dengangan lisan, tulisan ataupun perbuatan yang tidak menyenangkan
bahkan merugikan seseorang atau kelompok. Fenomena serupa kerap
kali peneliti jumpai dari dulu hingga sekarang. Baik di masyarakat
desa, ataupun pada lingkungan kampus. Dari peristiwa ini, peneliti
mulai menyadari bahwa apa yang kita tanam baik belum tentu
berbuah baik, apalagi jika kita menanam benih buruk, sudah pasti
akan tumbuh keburukan.

Setelah beranjak dewasa, dan seiring berkembangnya zaman,


peneliti sadari bahwa peneliti hidup pada era tekhologi, yang mana
dunia bisa digenggam dengan tangan, bagaimana tidak, kita bisa
mengetahui hampir semua hal dari alat yang disebut smart-phone atau
yang biasa kita kenal dengan sebutan telephone pintar. Pada era
modern seperti sekarang ini, komunikasi tidak hanya dilakukan secara
langsung (face to face), atau hanya melalui surat jika melakukan
komunikasi jarak jauh, akan tetapi seiring berkembangnya zaman
komunikasi bisa dilakakukan dalam berbagai bentuk, salah satunya
melalui media komunikasi elektronik yakni handphone dan internet.

Dengan adanya wadah komunikasi elektronik maka


memudahkan individu atau kelompok untuk mengemukakan ide atau
pendapat melalui sosial media seperti twitter, facebook, instagram,
69

dan lain sebagainya. Mudahnya mengakses sosial media dan luasnya


jangkauan pada sosial media menjadi alasan mengapa orang lebih
memilih berkomunikasi melalui media elektronik.

Selain itu para pengguna sosial media juga dapat memposting


dan mengunggah gambar, video maupun menampilkan situs sesuai
keinginan. Sosial media memang memberikan banyak dampak positif,
akan tetapi dampak negatif juga tidak sedikit diperoleh kepada para
penggunanya. Terkadang tanpa sadar seseorang bisa memposting
apapun tentang dirinya atau suatu hal yang kemudian dapat memicu
perbuatan yang tidak baik dari orang lain. Dari sinilah kemudian
muncul benih-benih ujaran yang baik sampai yang tidak baik (hate
speech), dan yang membangun sampai yang menjatuhkan.

Dengan demikian timbul berbagai macam istilah ujaran


kebencian yang sering terjadi pada masa sekarang terutama melalui
sosial media, seperti bullying, body-shamming, dan hate speech.
Bullying merupakan tindak negatif yang dilakukan seseorang kepada
orang lain secara berulang. Dalam dunia siber hal ini lebih dikenal
dengan cyber-bullying. yaitu segala bentuk kekerasan yang dialami
anak remaja oleh teman seusia mereka melalui media cyber atau
internet. Cyber-bullying adalah kejadian manakala seseorang anak
atau remeja diejek, dihina, diintimidasi, atau dipermalukan oleh anak
atau remaja lain baik secara langsung atau melalui media internet,
tekhnologi digital, atau telepon seluler.10 sebagaimana bullying, body-
shamming juga merupakan tindakan yang dapat menyinggung

10
Nasrullah Ruli, Media Sosial(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015), h.
188
70

seseorang, namun body-shamming lebih mengarah kepada hinaan


secara fisik.

Indonesia sebagai negara hukum, telah mengatur tindak pidana


berupa Undang-Undang ITE No.19 Tahun 2016 tentang hate speech
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan ketentuan
pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:

“Pertama, Penghinaanadalah menyerang kehormatan dan


nama baik seseorang sehingga membuat orang yang diserang
tersebut merasa malu. Objek penghinaan adalah berupa rasa
harga diri atau martabat mengenai kehormatan dan mengenai
nama baik seseorang, baik individu ataupun kelompok.11
Kedua, Pencemaran nama baik. Pencemaran nama baik dalam
KUHP ialah tindakan mencemarkan nama baik atau
kehormatan seseorang melalui cara menyatakan sesuatu baik
dengan lisan ataupun tulisan. Ketiga, Penistaan adalah suatu
perkataan, perilaku, tulisan ataupun pertunjukan yang dilarang
karena dapat memicu tindakan kekerasan dan sikap prasangka
baik dari pelaku ataupun korban. Sedangkan menurut pasal
310 ayat (1) KUHP penistaan adalah suatu perbuatan yang
dilakukan dengan cara menuduh seseorang atau kelompok
telah melakukan perbuatan tertentu dengan maksud agar
tuduhan itu tersiar (diketahui banyak orang). Perbuatan yang
dituduhkan adalah perbuatan yang memalukan.12Pada poin ke
empat, Perbuatan tidak menyenangkanYaitu suatu perlakuan
yang menyinggung orang lain. Sedangkan di dalam KUHP,
perbuatan tidak menyenagkan diatur pada pasal 335 ayat (1).
Kelima, Memprovokasi Menurut KBBI adalah suatu perbuatan
yang dilakukan untuk membangkitkan kemarahan seseorang
dengan cara menghasut memancing amarah, kejengkelan, dan
membuat orang yang terhasut mempunyai pikiran negatif dan
emosi.13 Untuk tahap keenam, Menghasut Artinya adalah
mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar

11
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar Lengkap
Pasal Demi Pasal (Bogor: Politea, 1991), h.225
12
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasa 310 ayat (1)
13
Ananda Santoso dan A.R. AL Hanif, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
(Surabaya: ALUMNI), h.300.
71

semangat orang untuk berbuat sesuatu. Dalam kata


“menghasul” mengandung sifat “dengan sengaja”. Menghasut
lebih keras dari pada “memikat” atau “membujuk” akan tetapi
tidak memaksa.14 Terakhir, penyebaran berita bohong (hoax),
yaitu menyiarkan berita atau kabar dimana berita tersebut
adalah bohong atau tidak dapa dipastikan kebenarannya. Yang
dimaksud adalah bukan saja menyiarkan berita kosong akan
tetapi juga menyiarkan secara tidak betul suatu kejadian.15
Tindakan-tindakan demikian dapat menimbulkan sesuatu yang
tidak diinginkan seperti pembunuhan karakter, bahkan dapat
menghilangkan nyawa seseorang apabila korban tidak sanggup dan
atau tidak terima diperlakukan demikian. Selain itu tindak hate speech
juga dapat menghambat perwujudan Undang-Undang dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 pasal 29E ayat (3) tentang Kemerdekaan
Berpikir dan Berpendapat, juga Undang-Undang No.9 Tahun1998,
pasal 1 ayat (1) mengenai Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
muka umum.

Selanjutnya peneliti mencoba memahami perihal ujaran


bagaimana yang bisa mengarah kepada tindak hate speech
berdasarkan QS.al-Ḥujurât[49]:11-12 menggunakan pemahaman teori
hermeneutika Paul Ricoeur yang akan peneliti kemukakan pada
skripsi ini.

2. Penafsiran Apropriasi

Apropriasi merupakan tahap penafsiran berikutnya setelah


penafsiran semiologi struktural. Tahapan ini berfungsi sebagai
„memahami‟. Pada tahapan ini penulis akan melakukan peleburan,

14
Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar Lengkap Pasal
Demi Pasal, h.136.
15
Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar Lengkap Pasal
Demi Pasal, h.629
72

yakni dengan mengansumsikan teks sebagai wacana yang


menghadirkan dunia imaginer (cakrawala) yang digambarkan teks,
kemudian dilebur dengan cakrawala penulis, sehingga teks menjadi
milik penulis yang dipahami sesuai konteks penulis.16 Hal ini juga
ditentukan oleh sejarah perjalanan pengalaman hidup sebelumnya,
sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan apropriasi antara satu
subjek dengan subjek lainnya. Bahkan satu subjek bisa saja
mempunyai berbagai pemahaman berbeda terhadap objek yang sama.

Dalam Islam dilarang menghina atau menghasut sesama


muslim, meskipun mengeluarkan ide atau pendapat merupakan hak
setiap orang, namun pendapat yang dikemukakan tentu harus dapat
dipertanggung jawabkan dan tidak mengandung SARA, apalagi
menimbulkan kekerasan. Hate speech merupakan suatu tindakan yang
dapat merusak mental ataupun fisik seseorang. Sudah sangat jelas
pada ayat 11 dan 12 merupakan sebuah “larangan”. Larangan
pertama; “mengolok-olok”. Jika kita tilik kembali dari konteks asbab
al-zulnya, ayat ini turun berkenaan dengan Tsabit (si tuli) yang
diolok-olok ketika di majlis.17 Ini merupakan mengolok-olok secara
fisik (indera) dalam konteks kekinian bentuk mengolok-olok secara
fisik atau inderawi merupakan tindakan bodyshamming. Sebagaimana
penafsiran dari mufassir klasik dan modern, larangan ini mengacu
kepada bentuk penghinaan yang bertujuan menertawakan atau
merendahkan dan meremehkan yang bersangkutan. Sedangkan dalam
tradisi Indonesia seseorang mengolok-olok dengan berbagai macam

16
Fariz Pari, “Hermeneutika Paul Ricoeur Untuk Penelitian Keagamaan, Bab IV
17
Al-Wahidi an-Naisaburi, Asbabun Nuzul, trj. Moh. Syamsi (Surabaya: Amalia
Surabaya, 2014), h. 617-618.
73

olokan, baik dosa, atau aib seseorang, secara fisik ataupun non fisik,
dengan isyarat, lisan, ataupun tulisan.

Selanjutnya, kedua “larangan mengejek” satu sama lain, yakni


“memberi isyarat disertai bisik-bisik dengan maksud mencela”. Ayat
ini turun berkenaan dengan dua isteri Nabi (Aisyah dan Ḥafṣaẖ) yang
mengejek penampilan Ummu Salamah yang disamakan dengan “lidah
anjing” dan juga secara fisik disebut “pendek”.18 Menurut beberapa
mufassir klasik atau modern, mengejek ini bersifat sembunyi-
sembunyi atau isyarat ejekan. Jika kita lihat pada konteks sekarang,
„mengejek‟ biasa terjadi pada sebuah forum atau perkumulan yang
disebut menggosip.

Ketiga larangan “memberi gelar buruk”, yakni mensifati


seseorang (biasanya julukan yang diberikan tidak disenangi oleh
objek yang diberi julukan) ini merupakan tindakan yang langsung
memberi timbal balik apabila yang diberi gelar buruk tidak terima.
Maka hal seperti ini dapat menimbulkan konflik. Menurut sebagian
mufassir bahwa gelar yang dimaksut bukanlah „nama‟ melainkan
„sebutan‟ atau „tanda‟. Namun apabila gelar yang dinilai buruk dan
sudah menjadi populer ini tidak membuat si penyangdang gelar
keberatan atau tersinggung, maka pemberi julukan masih ditoleransi
oleh Agama.19Sebagaimana pada masa jahiliyyah, orang-orang pada
masa kini juga banyak sekali menggunakan panggilan julukan kepada
kawan ataupun lawan. Dapat ditarik kesimpulan dari paparan tersebut
bahwa pemberian gelar buruk yang dimaksud adalah yang berindikasi
“menyinggung” perasaan seseorsng.

18
Al-Naisaburi, Asbabun Nuzul, h. 618
19
M.Quraish Shihab,Tafsir al-Misbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al
Qur‟an (Jakarta: Lensa Hati, 2002), h607.
74

Keempat larangan “mencari-cari kesalahan orang lain”, hal ini


mengarah kepada sesuatu yang negatif dan biasanya hal-hal yang
didapatklan hanya sebuaha sangkaan atau dugaan. Seringkali hal ini
dilakukan untuk menampakkan aib seseorang, yang kemudian bisa
mengakibatkan hoax apabila informasi yang didapatkan tidak jelas
kebenarannya.

Terakhir atau Kelima adalah larangan ghibah (menggunjing),


yakni membicarakan hal-hal buruk seseorang dibelakang orang yang
bersangkutan, ghibah dilarang karena sebagaimana gosip, aib orang
akan semakin tersebar luas dari mulut ke mulut, jika objek merasa
tersinggung atau tidak terima sudah barang tentu akan menimbulkan
pertikaian antar individu bahkan kelompok.

Berdasarkan uraian di atas, apropriasi peneliti tentang


interpretasi teks QS.al-Ḥujurât [49]:11-12 mengenai hate speech
adalah bahwa teks tersebut menampilkan perkara penting untuk
ditadabburi dan ditafakuri. Teks suci tersebut mengajarkan bagaimana
beretika atau bertingkah laku yang seharusnya kepada diri sendiri,
beretika terhadap sesama, (terutama antar mukmin) dan beretika
terhadap dunia lain; etika di dalam bisikan hati dan gerak tubuh.
Sekaligus teks suci tersebut berarti menjamin dan memelihara hak
asasi manusia untuk mendapatkan ketenangan dan menjamin
keharmonisan antar individu.

Hate speech hanya akan menimbulkan konflik sosial, seperti


hilangnya ketentraman di tengan masyarakat, renggangnya tali
persaudaraan, dan menghancurkan perdamaian. Interpretasi teks suci
di atas merupakan bentuk “nasihat, pencegahan ataupun larangan
bertindak hate speech”. Hal ini berintegrasi pada banyak kasus yang
75

menimpa pada pengguna sosial media ataupun publik figur. Mereka


bisa saja mengalami gangguan fisik ataupun psikis. Akibat ujaran-
ujaran buruk yang diterima oleh korban, maka korban merasa tidak
percaya diri, stress, gangguan mental, bahkan sampai buduh diri.
Terkadang akibat dari kejahatan ini juga membawa dampak timbal
balik atau penyerangan balik pada yang melakukan kejahatan.

Semua bentuk atau tindak larangan hate speech yang


terkandung dalam QS.al-Ḥujurât ayat 11-12 juga relevan dengan
ketentuan tindak pidana yang telah diatur dalam negara Indonesia
berupa Undang-Undang ITE No.19 Tahun 2016 tentang hate speech
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

C. Analisis Perbandingan Penafsiran Para Mufassir dengan


Apropriasi
No Term Tafsiran Apropriasi
1. (‫)اليسخر‬ Ibn Katsir memaknai Pada ayat 11 merupakan
janganlah dengan; menghina, larangan untuk melakukan
mengolok- meremehkan dan hal-hal yang berindikasi
olok terdapat unsur “menyinggung” seseorang,
penyombongan diri. yakni mengolok-olok dan
Al-Ṭabarȋ memaknai atau mencela dengan
dengan mengejek; berbagai macam olokan
berbagai makna ejekan atau ejekan seperti aibnya,
seperti kemiskinan, atau dosanya, fisik atau apapun
dosa seseorang. yang dipahami ejekan)
Quraish Shihab secara sembunyi-sembunyi
memberi penjelasan atau terang-terangan. Ayat
“memperolok-olok” ini juga melarang untuk
dengan menyebut memberi gelar buruk
kekurangan pihak lain kepada seseorang. Namun
dengan tujuan apabila gelar tersebut
menertawakan yang sudah populer dan tidak
bersangkutan (dengan menyinggung seseorang
ucapan,perbuatan atau yang dijuluki, maka masih
76

tingkah). dapat ditoleransi oleh


A-Sa‟di mengartikan agama.
dengan sikap menghina
secara ucapan atau
perbuatan

2. (‫)وال تلمزوا‬ Ibn Katsir dan Al-


Jangan Sa‟di memaknai; celaan
mencela dengan lisan.
Quraish Shihab
memahami dengan
mengejek (secara
sembunyi-sembunyi)
dengan ucapan,
perbuatan, atau isyarat.
Ibn„Ȃsyûr,
memahaminya dalam
arti ejekan yang
langsung dihadapkan
kepada yang diejek,
baik dengan isyarat,
bibir, tangan, atau kata-
kata yang dipahami
sebagai ejekan atau
ancaman.
3. (‫)وال تنابزوا‬ Ibn Katsir memaknai
janganlah dengan; memanggil
memberi julukan yang tidak baik
gelar yang untuk didengar.
buruk Al-Ṭabarȋ dan Al-
Sa‟di memaknai
dengan; memanggil
dengan nama atau sifat
yang tidak disukai.
Quraish Shihab
menafsirkan lebih
mengarah pada kata
ism; yakni bukan
„nama‟ melainkan
„sebutan‟ ada juga yang
memahami „tanda‟.
77

4. (‫سوا‬
ُ ‫س‬
َّ ‫)وال تج‬ Ibn Katsir memaknai; Ayat 12 merupakan
Jangan mencari hal-hal yang peringatan untuk
mencari-cari tidak baik. membentangi masyarakat
kesalahan Al-Ṭabarȋ dari hal-hal yang bersifat
orang lain menafsirkan; mencari- prasangka atau dugaan
cari keburukan orang yang belum terbukti
lain dengan menilik kebenarannya, karena hal-
rahasia orang lain untuk hal demikian akan
menampakkan aibnya. menimbulkan hoax.; yakni
Quraish Shihab mencari-cari kesalahan
memaknai dengan otang lain dengan tujuan
mencari-cari kesalahan menampakkan aibnya, dan
orang lain yang justru membicarakan aib orang
ditutupi oleh pelakunya. lain (ghibah).
Al-Sa‟di menafsirkan;
mengorek kesalahan
dan mencari-carinya
yang apabila dikuak
akan nampak sesuatu
yang tidak sepatutnya.
5. (‫)واليغتب‬ IbnKatsir mengartikan
ghibah dengan;
Jangan
pembicaraan tentang
menggunjing seseorang yang tidak
disukai orang yang
dibicarakan.
Al-Ṭabarȋ memaknai
dengan; berkata tentang
sebagian lainnya di
belakangnya dengan
sesuatu yang tidak
disukainya bila
dikatakan di
hadapannya.
Quraish Shihab
memaknai ghibah yakni
membicarakan aib
“sebagian yang lain”.
Al-Sa‟di mengartikan
ghibah; menyebut-
nyebut saudaramu
dengan sesuatu yang
78

tidak disukai saudaramu


meski hal itu benar
terdapat pada dirinya.

Berdasarkan tabel yang peneliti sajikan di atas, kita dapat


menelisik apakah terdapat persamaan, perbedaan atau pergeseran
makna antara penafsiran para mufassir dengan hasil interpretasi
apropriasi. Dari terma-terma hate speech yang terdapat dalam QS.al-
Ḥujurât ayat 11-12, yang telah dipahami oleh beberapa mufassir
klasik dan modern, peneliti simpulkan bahwa tujuan dari pada kedua
ayat tersebut yang telah dipahami oleh para mufassir relevan dengan
hasil apropriasi peneliti. Terdapat tiga poin yang dapat kita ambil
manfaatnya sebagai hasil dari apropriasi, yaitu:

1. Bahwa ayat tersebut mengatur perilaku seseorang,


2. Teks suci tersebut menjamin dan memelihara hak asasi manusia
untuk mendapatkan ketenangan dan menjamin keharmonisan antar
individu, dan
3. Ini merupakan ayat peringatan juga nasihat untuk membentangi
konflik sosial dari hal-hal yang bersifat prasangka.
Demikian jelas bahwa larangan berbuat sesuatu yang dapat
mengarah kepada hate speech erat kaitannya dengan menjaga
kehormatan dan keharmonisan dalam hukum Islam. Oleh sebab itu
setiap orang, terlebih muslim wajib memelihara dan menjaga
kehormatan sesamanya, sebab antara sesama muslim bagaikan satu
tubuh. Islam mengajarkan berbahasa, bertutur kata dan bertindak
secara baik, lisan maupun tulisan. karena bertutur dan berperilaku
baik akan mendatangkan kebaikan, tidak hanya kepada orang lain
tetapi juga pada diri sendiri.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Problem sosial berupa hate speech (ujaran kebencian) telah


mendapat respon dalam Alquran suarat al-Ḥujurât ayat 11-12. Sebagai
produk komunikasi Tuhan, Alquran dapat dipahami dengan tekstual dan
kontekstual. Untuk memahami teks suci yang berkaitan dengan hate
speech tersebut peneliti menggunakan hermeneutika Paul Ricoeur sebagai
alat interpretasi teks dan konteks.

Dari pembahasan bab-bab sebelumnya, peneliti menyimpulkan


bahwa tindakan yang dapat dikategorikan sebagai hate speech berdasarkan
pemahaman QS.al-Ḥujurât[49] 11-12 menggunakan hermeneutika Paul
Ricoeur adalah segala bentuk komunikasi oral maupun literal dan atau
verbal maupun non verbal (raut muka, gestur dan sebagainya) yang dapat
mengundang unsur kebencian, dan menyinggung pihak lain. Sebagaimana
diilustrasikan dalam QS.al-Ḥujurât, yakni mengolok-olok, mencela,
memeberi gelar buruk, mencari-cari kesalahan orang lain, dan
menggunjing.

Dengan demikian tampak jelas perbedaan antara yang peneliti


ungkapkan dan pemahaman para mufassir.Dalam keterangan peneliti,
hate speech yang terdapat dalam QS.al-Ḥujurât[49]:11-12 memiliki
sesuatu yang baru, yaitu tidak semua ungkapan dikategorikan ujaran
kebencian. Hate speech harus memiliki beberapa ciri-ciri khusus yakni
mengundang kebencian, permusuhan, konflik, dan menyinggung pihak

79
80

lain. Ucapan ujaran kebencian itu menempati objek, ia menjadi titik tolak
untuk mengkategorikan hate speech.

B. Saran

Peneliti menyadari kekurangan dalam penelitian ini. Baik dari segi


kekurangan peneliti ataupun segi penelitiannya. Sehingga upaya
interpretasi masih perlu dikembangkan. Dalam mengambil makna teks
hendaknya tidak ditinjau dari segi teksnya saja, namun juga
mempertimbangkan kontekstual kekinian. Dan juga dilakukan kedetilan
dalam mengambil makna yang terkandung dalam teks sehingga bisa lebih
jelas dan sistematis. Peneliti mengharapkan adanya penelitian lebih lanjut
yang memberikan argumen lebih kuat melalui metode pendekatan lainnya.
81

Daftar Pustaka

Ali, Zainuddin Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007.


Al-Ghazali, Abdul Hamid. Ihya‟ Ulumuddin. Ciputat: Lentera Hati, 2013.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Terjemahan Tafsir Al-Maragi. Semarang,
Karya Toha, 1993.
An-NaisAbûri, Al-Wahidi. AsbAbûn Nuzul, trj. Moh. Syamsi. Surabaya:
Amalia Surabaya, 2014.
Asghary, Basri Iba Solusi Al-Quran: Tentang Problema Sosial Politik
Budaya. Jakarta: PT Rineka Cipta,1994.
As-Sa‟di, Abdurrahman Bin Nashir. Taisȋr al-Karȋm al-Ra mân Ta sȋr
Kalâm al-Manân, trj. Muhammad Iqbal, dkk. Jakarta: Darul Haq,
2012.
As-Suyuthi, Jalaluddin. Lubâb al-Nuqûl ȋ As â al-nuzûl, Terj. Tim
Abdul Hayyie. Depok: Gema Insani, 2008.
Al-Ṭabarȋ , Abû Ja‟far Muhammad Bin Jarir. Jami‟ Al-Bayân An-Takwȋl
Ayi Al-Qur‟an, Trj. Abdul Somad, dkk.Jakarta: Pustaka Azzam,
2009.
At-Tirmidzi, Sunan. kitab al-Tafsir, hadis nomor 3268 dan Sunan Abi
Daud , kitab al-Adâb.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Kontemporer Prancis. Jakarta: PT Gramedia,
2013.
Bleicher, Josef . Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika Sebagai
Metode, Flsafat, dan Kritik. Penerjemah Imam Khoiri.
Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007.
Burhanuddin, Mamad S. Hermeneutika Al-Qur‟an Ala Pesantrem, Analisi
Terhadap Tafsir Marah Labib Karya Nawawi Al-Bantani.
Yogyakarta; UII Press, 2006.
82

E. Palmer, Richard. Hermeneutics Interpretation Theory in Scheirmacher,


Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Penerjemah Musnur Hery dan
Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Faiz, Fakhruddin. Hermeneutika Qur‟ani Antara Teks, Konteks, an
Kontekstualisasi. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2007.
Fithri, Widia. “Kekhasan Hermeneutika Paul Ricoeur” Tajdid Vol.17,
no.2. (November 2014).
Flew,Tery. New Media: An Introduction. Inggris: Oxford Univercity
Press, 2008.
Halim, Abdul. astikel diakses pada 23 Juli 2019 dari
http://islamlib.com/gagasan/islam-liberal/tentang-hate-speech/.
Harefa, Novi Rahmawati. “Implikasi Perubahan Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik Terhadap Tindak Pidana
Ujaran Kebencian (Hate Speech)”. Jurnal Hukum, dikutip dari
https://jurnal.usu.ac.id/index.php/jmpk/article/viewFile/18354/77
98.
Kementrian Agama RI. al-Qur‟an an Terjema nya .Bandung: CV.
Pustaka Agung Harapan, 2006.
Kusmana. Hermeneutika Al-Qur‟ân Se ua Pen ekatan Praktis Aplikasi
Hermeneutik Mo ern alam Pena siran Al-Qur‟ân. Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2004.
Mangantibe, Veisy. “Ujaran Kebencian dalam Surah Edaran Kapolri
Nomor: SE/6/X/2016 tentang Penanganan Ucapan Kebencian
(Hate Speech)” Lex Crimen, No. 1, Vol. V. Januari 2016.
Medistiara, Yulida. Selama 2017 Polri tangani 3.325 Kasus Ujaran
Kebencian. dari http://m.detik.com/news/berita/d-
3790973/selama-2017-polri-tangani-3325-kasus-ujaran-
kebencian.
83

Mulyono, Edi. Belajar Hermeneutika dari Konfigurasi Filosofis Menuju


Praksis Islamic. Yogyakarta: Ircisod, 2014.
Pari, Faris. Hermeneutika Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan:
Kajian Metodologi dan Terapan Terhadap Kebudayaan Shalat
dan Makan Sunan Rohmat Garut. Bogor: Kopi Center, 2012.
Qutbh, Sayyid Tafsir Fi Zhilalil Qurían, Terj. Asías Yasin. Jakarta: Gema
Insani Press, 2004.
Redaksi Bmedia. UU 1945 & Perubahannya. Jakarta: Bmedia Imprint
Kawan Pustaka.

Ricoeur, Paul. Filsafat Wacana, Membelah Makna dalam Anatomi


Bahasa. Penerjemah Musnur Hery. Yogyakarta: Ircisod, Cet.II,
2003.
Ruli, Nasrullah Media Sosial. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015.
Saenong, Ilham B. Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-
Qur‟an Menurut Hassan Hana i. Jakarta: Teraju, 2002.
Setiawan, M. Nur Kholis dkk. Upaya Intergasi Hermeneutika: dalam
Kajian Qur‟an an Ha is Teori an Aplikasi. Yogyakarta:
Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011.
Shihab, M.Quraish. Tafsir al-Misbah, Pesan dan Kesan dan Keserasian Al
Qur‟an. Jakarta: Lensa Hati, 2002.
Sibawaihi. Hermeneutika Alquran dan Fazlur Rahman. Yogyakarta:
Jalasutra, tt.
Simajuntak, Maruli CC. Atas Nama Kebencian Kajian Kasus-kasus
Kejahatan Berbasis Kebencian di Indonesia. Jakarta: YLBHI,
2015.
Sukron, Mokhamad. “Kajian Hermeneutika dalam „Ulum Al-Quran”, Al-
Bayan: Jurnal Studi Qur‟an dan Tafsir 1,2. Desember 2016.
84

Tim Pustaka Ibnu Katsir, Terjemahan Tafsir Ibn Katsir Jilid 8. Jakarta:
Pustaka Ibnu Katsir, 2017.
UU No.9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat,
BAB 1, Pasal 1 ayat (1)
Wahid, Masykur. Teori Interpretasi Paul Ricoeur. Yogyakarta: Lkia,
2015.
Zaimar ,Okke Kusuma Sumantri dan Ayu Basoeki Harahap. Telaah
Wacana; Teori dan Penerapannya. Komodo Books: Depok,
2011.

Anda mungkin juga menyukai