Anda di halaman 1dari 127

POLEMIK PENAFSIRAN TERHADAP TOKOH ‘UZAYR

DALAM AL-QUR’ĀN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh


Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
Muhammad Mahir Nayl Habib
NIM. 1112034000062

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

1439 H/2018 M
ABSTRAK

POLEMIK PENAFSIRAN TERHADAP TOKOH ‘UZAYR DALAM AL-


QUR’ĀN

Skripsi ini membahas polemik penafsiran berkenaan dengan tokoh ‘Uzayr,


yang terdapat di dalam al-Qur’ān surah al-Tawbah ayat 30. Polemik penafsiran ayat
tersebut terletak pada penafsiran siapa yang dimaksud dengan ‘Uzayr. Para ahli
tafsir umumnya berpendapat bahwa ‘Uzayr itu Ezra di dalam tradisi Yahudi.
Sementara sebagian kalangan dari sarjana Yahudi mengidentifikasi bahwa yang
dimaksud dengan ‘Uzayr oleh para mufassir tersebut sebenarnya adalah tokoh lain
selain daripada Ezra, seperti Uziel, Azariah, dan Eliazar. Sebagian sarjana Yahudi
lainnya sependapat dengan para mufassir bahwa ‘Uzayr adalah Ezra yang terdapat
di dalam tradisi Yahudi.
Untuk menjawab siapa sebenarnya tokoh ‘Uzayr yang disebutkan dalam Q.S.
9: 30 tersebut, skripsi menggunakan metode deskriptif-analitik untuk menjawab
rumusan masalah dari penelitian kepustakaan ini. Penelitian ini memfokuskan pada
kajian dari berbagai polemik, yang disebabkan oleh sebagian besar riwayat yang
digunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan sosok ‘Uzayr. Menganalisa
redaksi teks ayat, riwayat, dan kronologi historis berdasarkan literatur-literatur
tafsir dan literatur yang terdapat di dalam tradisi Yudaisme. Mengkomparasi baik
secara bahasa dan berbagai kemiripan terkait ‘Uzayr dengan tokoh Ezra, dan
beberapa tokoh yang diakitkan kepadanya.
Secara konteks turunya ayat, surah al-Tawbah ayat 30 turun disebabkan oleh
pernyataan dari satu orang atau sekelompok orang Yahudi Madinah, yang ketika
itu mendatangi nabi dan menyatakan status ke-anak Tuhanan ‘Uzayr, sehingga
ketika itu turunlah ayat tersebut untuk menyanggah pernyataan mereka. Pernyataan
tersebut sangat bersifat fatal dalam ketauhidan dan sangat jelas bentuk
kesyirikannya, maka tidaklah heran jika al-Qur’ān memberikan pernyataan negatif
terkait hal itu. Adapun kejadian itu dapat dipahami bahwa ayat itu tidak tertuju
kepada semua penganut agama Yahudi, yang meskipun secara redaksi
menggunakan kalimat umum untuk menunjuk kaum Yahudi. Karena di dalam al-
Qur’ān tidak setiap penggunaan kata yang umum memiliki makna yang umum.
Kemudian, pada akhirnya penulis berkesimpulan bahwa turunnya ayat
tersebut adalah sebagai bentuk pengajaran yang bersifat umum bagi umat manusia,
namun turunya ayat tersebut disebabkan oleh konteks yang bersifat khusus.
Sedangkan ‘Uzayr berdasarkan penelitian penulis di dalam penelitian ini, memang
sangat kuat tertuju dengan tokoh Ezra yang terdapat di dalam tradisi Yudaisme,
baik berdasarkan komparasi kronologi historis, bentuk nama dan maknanya, dan
lain sebagainya.

Kata kunci: ‘Uzayr, Ezra, Yahudi, Yudaisme, anak Tuhan, Polemik Tafsir

i
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

1. Pedoman Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin

‫ا‬ ‫ط‬ Ṭ/ṭ

‫ب‬ B ‫ظ‬ Ẓ/ẓ

‫ت‬ T ‫ع‬ ‘

‫ث‬ Th ‫غ‬ Gh

‫ج‬ J ‫ف‬ F

‫ح‬ Ḥ/ḥ ‫ق‬ Q

‫خ‬ Kh ‫ك‬ K

‫د‬ D ‫ل‬ L

‫ذ‬ Dz ‫م‬ M

‫ر‬ R ‫ن‬ N

‫ز‬ Z ‫و‬ W

‫س‬ S ‫ه‬ H

‫ش‬ Sh ‫ء‬ ’

‫ص‬ Ṣ/ṣ ‫ي‬ Y

‫ض‬ Ḍ/ḍ

ii
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal Indonesia, terdiri dari vokal tunggal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
a. Vokal Tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ‫أ‬ A Fatḥah

َ‫ا‬ I Kasrah

َ‫أ‬ U Ḍammah

b. Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫اي‬ Ay A dan y

‫او‬ Aw A dan w

c. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ىا‬ Ā A dengan garis di atas

‫أَى‬ Á A dengan koma di atas

‫اَي‬ Ī I dengan garis di atas

‫أو‬ Ū U dengan garis di atas

3. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara bahasa Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ‫( ال‬alif lam) yang dialihaksarakan menjadi /l/, baik diikuti huruf

iii
shamsīyah ataupun huruf qamarīyah, contoh al-raḥmān bukan ar-raḥmān, al-
dunyā bukan ad-dunyā.

4. Shiddah (Tashdid)
Shiddah atau tashdīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
tanda (َ َّ ), dan untuk penulisan tanda shiddah tersebut dialihaksarakan dengan
menggandakan huruf pada setiap huruf yang terdapat tanda shiddah tersebut. Akan
tetapi hal itu tidak berlaku jika huruf yang terdapat tanda shiddah merupakan huruf-
huruf shamsiyah yang terletak setelah kata sandang, kata ‫ الضرورة‬tidak ditulis ad-
ḍarūrah melainkan al-ḍarūrah, demikian seterusnya.

5. Ta Marbūṭah
Jika huruf ta marbūṭah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi /h/ (contoh no. 1), hal yang sama juga berlaku jika
huruf ta marbūṭah diikuti oleh na’at atau kata sifat (contoh no. 2), namun jika huruf
ta marbūṭah diikuti oleh kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf /t/ (contoh no. 3).

No. Kata Arab Alih Aksara

1 ‫طريقة‬ Ṭarīqah

2 ‫الرسالةَالبهية‬ al-Risālah al-Bahīyah

3 ‫وحدةَالوجود‬ Waḥdat al-Wujūd

6. Huruf Kapital
Mengikuti EYD bahasa Indonesia untuk awal kalimat, setiap tulisan yang
keseluruhan hurufnya menggunakan format kapital, proper name (nama diri, nama
tempat, dan sebagainya), kata serapan yang menggunakan kata sandang, maka
huruf awal kata sandang dapat ditulis kapital, namun jika bukan kata serapan
penggunaan huruf kapital pada awal kata, bukan pada kata sandangnya.

iv
KATA PENGANTAR

al-Ḥamdu lillāh, segala puji senantiasa diutarakan kepada Allah Swt, dan

kepada-Nya pula kita senantiasa meminta pertolongan, ampunan, serta

perlindungan-Nya dari segala keburukan dan kejelekan perbuatan-perbuatan kita.

Kemudian penulis bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah yang tidak ada sekutu

bagi-Nya, dan nabi Muhammad adalah rasūl-Nya. Salawat serta salam senantiasa

penulis utarakan kepada manusia agung yang telah menyampaikan risalah suci

Allah kepada umat manusia, beliaulah yang dikenal dengan al-Amīn yaitu nabi

Muhammad Saw, dan juga kepada para Ahl al-Bayt-nya yang suci dan disucikan,

serta kapada para sahabat pilihan yang senantiasa mengikuti jejaknya.

Dalam proses menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit hambatan serta

kesulitan yang telah menghampiri penulis, baik dari segi teknik penulisan,

keluangan waktu, pikiran, dan hal-hal lainnya. Namun, berkat adanya upaya serta

dorongan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung ataupun tidak

langsung, yang dengan demikian telah membuat penulis tetap berusaha untuk

menyelesaikan skripsi ini.

Pertama-tama, penulis ingin memanjatkan rasa syukur dan terimakasih

penulis yang sebesar-besarnya kepada Allah Subḥānahu wa ta‘alá., dan kepada

Rasul-Nya Ṣalāllahu ‘alayhi wa ālihi wa sallam., serta kepada Ahl al-Bayt Rasul-

Nya ‘Alayhim al-salām., dan juga kepada para Sahabat Rasul-Nya yang terpilih.

Selanjutnya, penulis juga ingin haturkan rasa terimakasih penulis yang sebesar-

besarnya, kepada orangtua penulis; Yandriful Habib S.H., Niati S.H. (al-

Marḥūmah), Linda Eliastuti, yang telah berjasa besar disepanjang kehidupan

v
penulis. Berkat dukungan dan do’anya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Serta kepada kedua kakak penulis; Yasser Nayl Habib dan Maziyyah Nayl Habib,

dan adik-adik penulis; Dzaki Dzikrillah Habib dan Raghib Ramadhan Habib, yang

juga telah mendukung dan mendokan penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini.

Kemudian, dengan segala kerendahan hati, penulis juga ingin

menyampaikan rasa terimakasih penulis kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosada selaku Rektor Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A. selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis,

Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Tafsir

Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Kusmana, M.A., Ph.D. selaku dosen pembimbing skripsi

penulis, yang telah meluangkan waktu, tempat, masukan serta saran-

sarannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, dan

tidak lupa penulis memohon maaf atas segala kesalahan yang pernah

dilakukan penulis selama masa bimbingan. Semoga apa yang telah

Bapak ajarkan dan arahkan dapat bermanfaat bagi penulis serta

mendapat balasan dari Allah Swt.

vi
6. Bapak Eva Nugraha, M.Ag. selaku pembimbing proposal skripsi

penulis, yang telah memberikan banyak arahan dan masukan dalam tata

cara penulisan yang baik dan benar.

7. Bapak Dr. Arrazy Hasyim, M.A. selaku Kordinator Wilayah Etos

Banten, yang juga telah membantu dengan memberikan berbagai

arahan dan masukannya, serta mendukung penulis agar dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik.

8. Bapak Dr. Ahsin Sakho M. Asyrofuddin, MA. selaku Penguji I skripsi,

dan bapak Dr. Hasani Ahmad Said, MA. selaku penguji II skripsi, yang

keduanya telah menguji, membimbing dan mengkoreksi skripsi

penulis.

9. Kepada seluruh Dosen dan Civitas Akademika Ushuluddin Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan

ilmunya dengan tulus kepada penulis, serta kepada para staff

perpustakaan yang telah membantu dalam sirkulasi peminjaman dan

pengembalian buku kepada penulis.

10. Kepada segenap keluarga besar ibu dan ayah yang telah banyak

memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis, terutama kepada

al-Marḥūm Papah (Drs. Tarmi), Mamah (Kiftiawati), Mak dang Ismail,

dan semua paman, tante, abang sepupu, dan saudara sepupu lainnya,

yang juga telah banyak memberi dukungan dan do‘a kepada penulis.

11. Kepada segenap staff Dompet Dhuafa Pendidikan, Beastudi Etos, juga

kepada pembina Etos, teman satu angkatan beasiswa Etos, dan adik-

adik etoser, yang juga telah banyak memberikan dukungan baik

vii
langsung maupun tidak langsung, baik berupa support maupun do‘a

kepada penulis.

12. Kepada Ahmad Fakhri Saputra, sebagai teman diskusi yang juga

seringkali memberikan masukan dan motivasi kepada penulis, agar

segera menyelesaikan skripsi dan dapat mengejar passion yang dimiliki

penulis. Kepada Lalu Muhammad Hafiz yang seringkali mensupport

dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi, dan juga

telah seringkali bersedia dan tidak berkeberatan disinggahi kosannya

ketika dalam proses penulisan. Serta kepada sebagian teman-teman TH

2012 yang juga telah turut membantu penulis.

13. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis

sebutkan satu-persatu namanya di sini.

Dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang penulis miliki, penulis

berterima kasih banyak atas segala dukungan dan do‘a dari setiap pihak. Di sisi lain

penulis juga menyadari bahwa penulis tidak mampu membalas setiap budi baik

yang telah diberikan kepada penulis. Maka dari itu penulis hanya bisa mendo’akan

setiap pihak yang telah membantu penulis, agar Allah Swt. senantiasa memberikan

rahmat serta kasih sayang-Nya kepada mereka, dan membalas setiap kebaikan yang

telah mereka lakukan

َ Jakarta, 19 Agustus 2018

Muhammad Mahir Nayl Habib

viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ................................................ ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 6
C. Batasan dan Rumusan Masalah..................................................... 7
D. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8
E. Kegunaan Penelitian ....................................................................... 8
F. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 9
G. Metode Penelitian ......................................................................... 12
H. Sistematika Penulisan .................................................................. 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ‘UZAYR


A. Pengertian ‘Uzayr Secara Bahasa............................................16
B. Peran dan Status ‘Uzayr ..........................................................21
C. Relasi Kata dan Historis di antara ‘Uzayr dan Ezra ................26

BAB III PENAFSIRAN ‘UZAYR DALAM SŪRAH AL-TAWBAH: 30


A. Teks, Terjemah, Sebab Nuzul, dan Munasabah Ayat .............35
B. ‘Uzayr dalam Penafsiran ........................................................41
1. Tafsir Klasik .....................................................................42
a. Tafsir al-Ṭabarī ...........................................................42
b. Tafsir al-Qurṭubī .........................................................48
2. Tafsir Abad Pertengahan ..................................................50
a. Tafsir al-Biqā‘ī ..........................................................50
b. Tafsir al-Suyūṭī ...........................................................55
3. Tafsir Modern ...................................................................57
a. Tafsir al-Marāghī ........................................................57

ix
b. Tafsir Ibn ‘Āshūr ........................................................59
C. Asal Penyebutan Nama ‘Uzayr ...............................................61
1. Pandangan Sarjana Muslim ..............................................61
2. Pandangan Sarjana Barat ..................................................63
D. Pro dan Kontra Tokoh ‘Uzayr .................................................69

BAB IV POLEMIK ‘UZAYR DALAM TAFSIR AL-QUR’ĀN DAN


SEJARAH
A. ‘Uzayr Sebagai Ezra ................................................................75
B. ‘Uzayr Sebagai Eliazar ............................................................99
C. Relevansi Ketokohan ‘Uzayr Saat Ini ...................................102

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................105
B. Saran ......................................................................................107

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................109

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembahasan al-Qur’ān yang berkaitan dengan Ahli Kitab, Yahudi, dan

Nasrani bukanlah suatu hal yang baru, dan telah menjadi kajian tersendiri dari

berbagai macam kajian-kajian al-Qur’ān. Para sarjana Muslim1 dan sarjana non-

Muslim2 telah mengkaji di antara berbagai pembahasan yang berkenaan dengan hal

tersebut dari masa ke masa, sehingga menghasilkan tulisan-tulisan yang

memancing perdebatan ilmiah.3

Di antara penelitian sebelumnya4 terdapat pembahasan mengenai tokoh-

tokoh yang namanya tercantum di dalam al-Qur’ān. Di antara tokoh-tokoh tersebut

ada tokoh yang belum diketahui secara pasti siapakah mereka sebenarnya. Hal ini

1
Lihat, Samau’al al-Maghribī/ Samuel al-Maghribī, Ifḥām al-Yahūd. Al-Imām Abī
Muḥammad ‘Alī bin Ḥazm al-Andalusī al-Ẓāhirī, dalam kitab Al-Faṣlu Milal wa al-Ahwā’ wa al-
Niḥal. Dr. Ṭāriq Suwaydān, Al-Yahūd... Al-Mawsū‘at al-Maṣūrah. Prof. Dr. Muhammad Galib, Ahl
al-Kitāb: Makna dan Cakupannya dalam al-Qur’ān. dsb.
2
Lihat. Abraham Geiger, Judaism and Islam. John Walker, Bible Characters in the Koran.
Mikhail Piotrovsky, Historical Legends of the Quran Word and Image. Hava Lazarus-Yafeh,
Intertwined Worlds Medieval Islam and Bible Criticism. C. C. Torrey, The Jewish Foundation of
Islam. dsb.
3
Perdebadatan di kalangan Intelektual Muslim dan Intelektual Yahudi sudah berlangsung
lama, baik dalam keadaan damai ataupun konflik. Perdebedatan tersebut lebih sering muncul
dikarenakan faktor keadaan konflik, baik konflik masa lalu ataupun konflik yang sedang terjadi di
masa itu, yang seringkali terkait dengan konflik masa lalu. Di antara faktor lainnya karena banyak
ditemukan penyebutan negatif terhadap Yahudi di dalam al-Qur’ān dan kitab-kitab hadis. Hal ini
juga disertai ketidaksukaan sebagian Kaum Yahudi terhadap Islam, sehingga menjadikan
keberadaan teks-teks tersebut sebagai celah bagi sebagian author Yahudi untuk menghadirkan kritik-
kritik terhadap Islam. Namun, di era ini sebagian intelektual Yahudi dan Intelektual Muslim, sudah
mulai menghadirkan tulisan-tulisan yang objektif, mengenai pembahasan-pembahasan tersebut.
4
Seperti penelitian atas hal-hal yang serupa dan yang tidak serupa di antara Islam dan
Yudaism, misal; ajaran, pengambilan hukum, tradisi, sejarah, warisan, hubungan serta berbagai
konflik, dsb.

1
2

dikarenakan al-Qur’ān hanya sedikit menyebut nama beserta kisahnya, dan juga

dalam literatur hadis pun hanya sedikit menyebutnya.

Salah satu tokoh yang namanya tercantum di dalam al-Qur’ān adalah

‘Uzayr. Tokoh ‘Uzayr ini telah banyak dikaji oleh banyak sarjana dari berbagai

latar belakang, dan kajian tentang ‘Uzayr ini juga telah melahirkan berbagai kritik

dari beberapa sarjana Yahudi, dikarenakan tokoh ‘Uzayr ini seringkali dikaitkan

dengan tokoh Ezra yang terdapat di dalam literatur dan tradisi Yahudi.

Kritik tersebut muncul dikarenakan terdapat di antara beberapa karya tafsir,

yang di antara penafsiran para mufassir tersebut berusaha mengidentifikasi dan

menjelaskan kisah dari tokoh ‘Uzayr ini, dan menghubungkannya dengan kisah

tokoh Ezra yang terdapat di dalam ajaran Yudaisme. Namun, apakah tokoh ‘Uzayr

yang dimaksud al-Qur’ān adalah tokoh Ezra yang terdapat di dalam literatur dan

tradisi Yahudi, ataukah tokoh yang lain?. Sebagian tulisan sarjana Yahudi

mengatakan bahwa tokoh ‘Uzayr yang dimaksud bukanlah Ezra, melainkan tokoh

lain yang terdapat di dalam literatur Yahudi.5

Penyebutan mengenai tokoh ‘Uzayr ini terdapat di dalam al-Qur’ān sūrah

al-Tawbah ayat 30 yang berbunyi :

ِۖۡ‫ٱَّللِ َٰ َذلِكَ قَ ۡولُهُم بِأ َ ۡف َٰ َو ِه ِهم‬


ِۖ ‫ص َرى ۡٱل َم ِسي ُح ۡٱب ُن ه‬ َ َٰ ‫ت ٱلنه‬ ‫ت ۡٱليَهُو ُد عُزَ ۡي ٌر ۡٱب ُن ه‬
ِ َ‫ٱَّللِ َوقَال‬ ِ َ‫َوقَال‬
ِۖ َٰ
‫ُض ِهو َ قَ ۡو َ ٱله ِيينَ َفرَرُو م ِنن قَ ۡل ُ ۚ قَلَهَهُ ُم ه‬
َ ‫ٱَّللُ َّى ه َٰي ي َُۡفَ ُنو‬ َ َٰ ‫ي‬

5
Arthur Jeffery menyebutkan pendapat Cassanova mengenai ‘Uzayr di dalam bukunya The
Foreign Vocabulary of The Qur’an, bahwa menurut Cassanova ‘Uzayr terkoneksi kepada tokoh
‘Uziel yang ada di dalam literatur Yahudi, sedangkan tokoh Uziel ini dipercaya sebagai salah satu
fallen angels, berbeda dengan tokoh Ezra yang dikenal sebagai seorang Rabi, yang telah menulis
kembali naskah Taurat yang telah hilang. Mengenai pandangan Yahudi terhadap para malaikat,
terdapat di dalam kitab-kitab mereka penisbatan terhadap para malaikat sebagai putra Tuhan
(meskipun mereka mengatakan maksud dari “putra Tuhan” bukanlah secara biologis), dan hal
demikian tidak didapati dalam pembahasan Ezra di kitab-kitab utama mereka, seperti Torah,
Talmud, maupun Apochrypha dan New Testament milik Nasrani.
3

“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzayr itu putera Allah” dan orang-orang


Nasrani berkata: “al-Masīḥ itu putera Allah.” Itulah ucapan mereka dengan
mulut-mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang
terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?”.6

Ayat ini menyebutkan “Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzayr itu putera

Allah”, dan berdasarkan ayat ini kita dapat menyebutkan bahwa terdpat kaum

Yahudi telah berkata demikian. Sehingga didapati di antara beberapa kitab tafsir

berusaha menjelaskan siapakah tokoh ‘Uzayr yang dimaksudkan di sini, dan

siapakah ‘Uzayr yang terdapat di dalam literatur dan tradisi Yahudi. Berkenaan

dengan pembahasan ini ada di antara beberapa mufassir yang di dalam kitab

tafsirnya berusaha menjelaskan dan mengidentifikasi ‘Uzayr sebagai Ezra, dan

dengan jelas menyebutkan ‘Izrā ( ‫ )عزر‬dalam kitab tafsirnya. Seperti yang terdapat

pada tafsir al-Marāghī (w. 1317 H) dalam kitab tafsirnya7, Ibn ‘Āshūr (w. 1394 H)

dalam kitab al-Taḥrīr wa al-Tanwīr8, dan al-Biqā‘ī dalam kitab Naẓm al-Durar9,

dan beberapa kitab lain yang menuliskan demikian. Sedangkan juga terdapat kitab

tafsir yang tidak menyebutkan namanya, akan tetapi penjelasan kisahnya merujuk

kepada kisah Ezra yang terdapat di dalam literatur Yahudi, seperti yang terdapat di

dalam kitab tafsir Ibn Kathīr (w. 774 H).10

Berdasarkan ayat yang telah disebutkan di atas telah menimbulkan

sanggahan dan penolakan dari kaum Yahudi, karena sebagaimana telah diketahui

6
M. Quraish Shihab, Al-Qur’an & Maknanya, (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 191.
7
Aḥmad bin Muṣṭafá al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, Jil. X (Mesir: Shirkah Maktabah wa
Muṭaba’ah Muṣṭafá al-Bābī al-Halabī wa Awlāduhu, 1365 H/ 1946 M), h. 97.
8
Muḥammad al-Ṭāhir bin Muḥammad bin Muḥammad al-Ṭāhir bin ‘Āshūr al-Tūnisī,
Taḥrīr al-Ma’ná al-Sadīd wa Tanwīr al-‘Aql al-Jadīd min Tafsīr al-Kitāb al-Majīd, jil. X (Tunisia:
Al-Dār al-Tūnisiyah, 1984), h. 168.
9
Ibrāhīm bin ‘Umar bin Ḥasan al-Ribāṭ bin ‘Alī bin Abī Bakr al-Biqā‘ī, Naẓm al-Durar fī
Tanāsub al-Āyāt wa al-Suwar, jil. VIII (Cairo: Dār al-Kitāb al-Islāmī, t.t.), h. 437.
10
Abū al-Fidā’ Ismā‘īl bin ‘Umar bin Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jil. IV (T.tp.: Dār
Ṭayyibah, 1420 H/ 1999 M), h. 134.
4

bahwa agama Yahudi (Yudaisme) juga dikenal dengan ajaran Monotheisnya,

seperti layaknya yang ada pada ajaran agama Islam. Sebab yang melatarbelakangi

terjadinya hal tersebut, yaitu ketika tokoh ‘Uzayr diidentifikasi sebagai Ezra yang

terdapat di dalam literatur Yahudi, dan sebagai penganut ajaran Yudaisme mereka

merespon bahwa mereka tidak pernah menuhankan Ezra. Sanggahan mengenai ayat

ini di antaranya diutarakan oleh Abraham Geiger (w. 1874 M) dan John Walker di

dalam bukunya.

Rabi Abraham Geiger di dalam bukunya yang berjudul Judaism and Islam
mengatakan:

“Kita menemukan lagi di Qur’ān mengenai Ezra, jika bukan mengenai


sejarahnya, tentu bagaimana cara orang yahudi menghormatinya. Berdasarkan
penegasan Muhammad, bahwa orang-orang Yahudi menjadikan Ezra anak
Tuhan, ini tentu sebuah kesalahpahaman belaka yang muncul dari
penghargaan besar pada Ezra yang tidak diragukan lagi mengenai itu.
Penghormatan ini diungkapkan pada pasasi (Sanhedrin 21:2) : “Ezra layak
membuat hukum jika Musa tidak datang sebelum dia.” Muhammad benar-
benar berusaha untuk memberikan kecurigaan terhadap iman Yahudi pada
keesaan Tuhan, dan berpikir di sini dia menemukan kesempatan bagus”.11

Dan John Walker mengatakan di dalam buku Bible Characters in The


Koran:

“Orang-orang Yahudi berkata Ezra adalah anak Tuhan” hanya diketahui pada
statement ini yang ditemukan di Qur’an. Jika idenya bukan berasal dari
pemikiran Muhammad, pastinya adalah sebuah tuduhan menghujat untuk
menyerang Yahudi yang dibuat oleh para musuh”.12

Sanggahan-sanggahan diatas merujuk kepada tokoh Ezra yang diartikan dari

nama ‘Uzayr yang terdapat di dalam surat al-Tawbah ayat 30. Lalu, apakah benar

tokoh ‘Uzayr adalah Ezra yang terdapat di dalam literaur-literatur Yahudi? Apakah

nabi Muhammad pernah mengidentifikasin tokoh ‘Uzayr sebagai Ezra? Dan

11
Abraham Geiger, Judaism and Islam. Terjemah dari Jerman ke Inggris: Penerjemah F.
M. Young (Vepery: M.D.C.S.P.C.K Press, 1898), h. 154.
12
John Walker, Bible Characters in The Koran (Great Britain: Alexander Gardner, 1931),
h. 49.
5

darimanakah asal-muasal identifikasi tokoh ‘Uzayr sebagai Ezra, dan adakah

kecocokan di antara keduanya, sehingga tokoh ‘Uzayr kerap dianggap sebagai

tokoh yang sama dengan Ezra yang ada di dalam literatur Yahudi.

Meskipun ayat tersebut mengatakan sisi negatif kaum Yahudi, pandangan

al-Qur’ān tidaklah mengeneralisir terhadap ahl al-kitāb, baik dari kalangan Yahudi

maupun Nasrani, yaitu mereka yang masih berpegang teguh kepada ajaran-ajaran

orisinil yang telah dibawa oleh nabi-nabi terdahulu. Sebagaimana yang telah

disebutkan di dalam sūrah Āli ‘Imrān ayat 113-114:

َ ‫ٱَّللِ َء ىَآ َء ٱله ۡي ِ ۚ َوهُمۡ يَ ۡس ُج ُدو‬


‫ت ه‬ ِ َ‫ة يَ ۡلهُو َ َء َٰي‬ٞ ‫ة قَآئِ َم‬ٞ ‫ب ُّ هن‬ِ َ‫لَ ۡيسُو م َس َو ٓ ۗٗء ِّن ۡن َّ ۡه ِ ۚ ۡٱل ِن َٰل‬
‫ُوف َويَ ۡنهَ ۡو َ ع َِن ۡٱل ُمن َن ِر‬ ِ ‫ٱۡل ِخ ِر َويَ ۡأ ُنرُو َ بِ ۡٱل َم ۡعر‬ ٓ ۡ ‫ٱَّللِ َو ۡٱليَ ۡو ِم‬
ٓ
‫ ي َُۡ ِننُو َ بِ ه‬.]111[
.]111[ َ‫صهِ ِحين‬ ‫ت َوُّوم َٰلَئِكَ ِننَ ٱل َٰ ه‬ ِ ِۖ ‫َويُ َٰ َس ِر ُعو َ فِي ۡٱلخَ ۡي َٰ َر‬
[113]“Mereka (Ahl al-Kitab) itu tidak sama; di antara mereka ada golongan
yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah di waktu-waktu malam,
sedang mereka bersujud. [114] Mereka beriman kepada Allah dan Hari
Kemudian, mereka menyuruh kepada yang ma‘ruf, dan mencegah yang
munkar dan bersegera (mengerjakan) berbagai kebajikan; mereka itu
termasuk orang-orang saleh.”. 13

Hal ini menunjukkan bahwa pernyataan al-Qur’ān tidaklah seperti yang

dituduhkan Abraham Geiger dan John Walker, dan para author Yahudi lainnya

yang mengatakan bahwa yang telah disebutkan di dalam sūrah al-Tawbah ayat 30

hanyalah tuduhan nabi Muhammad yang tidak berdasar terhadap kaum Yahudi.

Sedangkan pada sūrah Āli ‘Imrān ayat 113-114 di atas justru menjelaskan bahwa

al-Qur’ān tetap menganggap mereka ahl al-kitāb, baik Yahudi maupun Nasrani

yang tetap berada di jalan yang lurus, sebagai orang-orang yang saleh, dan mereka

tidaklah sama dengan ahl al-kitāb yang telah melakukan berbagai penyimpangan

13
M. Quraish Shihab, Al-Qur’an & Maknanya, h. 64.
6

pada ajaran orisinil yang diturunkan kepada para nabi, salah satunya seperti yang

telah disebutkan sūrah al-Tawbah ayat 30 di atas .

Berdasarkan masalah-masalah tersebut, penulis memberi judul skripsi ini

dengan, “Polemik Penafsiran Terhadap Tokoh ‘Uzayr dalam al-Qur’ān”,

semoga karya ini bisa bermanfaat dalam khazanah kajian al-Qur’ān.

B. Identifikasi Masalah

Dari permasalahan-permasalahan yang terdapat pada latar belakang di atas,

saya mengidentifikasi beberpa persoalan yang dapat dibagi:

1. Terdapat di dalam al-Qur’ān yang menyebutkan bahwa “orang-orang

Yahudi berkata: ‘Uzayr anak Allah” , dalam sūrah al-Tawbah ayat 30, yang

berdasarkan teks ayat ini dapat dipahami bahwa orang-orang Yahudi telah

menjadi Musyrik, karena telah meneybut Allah memiliki anak. Sedangkan

orang-orang Yahudi -penganut Yudaisme- menolak pernyataan al-Qur’ān

tersebut, dengan dalih bahwa mereka tidak pernah menuhankan Ezra.

2. Tokoh ‘Uzayr yang bersangkutan seringkali dikaitkan oleh para mufasir

dengan tokoh penting dalam ajaran Yudaisme, yakni Rabi Ezra yang konon

telah membangun kembali Yerusalem dan menuliskan kembali naskah

Torah (Taurat) yang telah hilang. Namun, tidak ada penjelasan lain di dalam

al-Qur’ān mengenai tokoh ‘Uzayr ini secara jelas, serta keterkaitannya

dengan Ezra, melainkan hanya terdapat di dalam kitab tafsir dan riwayat-

riwayat yang tidak bersumber langsung dari nabi.

3. Belum ditemukannya bukti kuat yang dapat membuktikan bahwa dalam

ajaran Yudaisme ada pernyataan yang menyebutkan dengan jelas “Ezra


7

anak Allah”, sehingga hal tersebut menimbulkan penolakan dan sanggahan

dari beberapa orientalis Yahudi dalam tulisannya, berdasarkan tokoh ‘Uzayr

yang disebut juga sebagai Ezra oleh beberapa mufasir dan cendekiawan

Muslim.

4. Hubungan antara penafsiran dan kisah Isrā’īliyyat yang terdapat di dalam

al-Qur’ān, dengan kisah-kisah yang terdapat di dalam literatur-literatur

Yudaisme mengenai tokoh ‘Uzayr-Ezra.

C. Batasan dan Rumusan Masalah

Terdapat berbagai pembahasan mengenai tokoh ‘Uzayr di dalam tafsir-tafsir

al-Qur’ān yang kerap dianggap bukan berasal dari tradisi Arab, melainkan berasal

dari tradisi Ibrani, yakni tradisi kaum Yahudi atau banī Isrā’īl. Penulis sendiri telah

mendapati hal-hal tersebut ketika membaca penafsiran-penafsiran ‘ulamā’, dan

kemudian menelusuri lebih lanjut melalui buku-buku yang ditulis oleh ‘ulamā’

klasik dan sarjana barat, mengenai penafsiran tokoh ‘Uzayr yang ada di dalam al-

Qur’ān. Dan telah menjadi perhatian penulis untuk membahas tokoh ‘Uzayr yang

terdapat di dalam al-Qur’ān dalam penelitian ini.

Tokoh ‘Uzayr kerap dialamatkan kepada tokoh Ezra HaSofer, Rabi agung

kaum Yahudi, dan kemudian menjadi polemik di antara umat Islam dan Yahudi

sampai saat ini. Hal ini kembali kepada pemahaman mengenai konteks dari ayat

yang menyebutkan “Orang-orang Yahudi berkata ‘Uzayr anak Allah”, yang

seringkali dipahami oleh penganut Yudaisme dan Islam secara tekstual, dan tanpa

mengkaji ulang kembali maksud dari konteks ayat tersebut.


8

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan di atas, rumusan

masalah yang saya angkat di dalam penelitian ini adalah “Siapakah tokoh ‘Uzayr

yang disebutkan di dalam al-Qur’ān, sehingga menimbulkan kontroversi dalam

penafsiran al-Qur’ān mengenai tokoh ‘Uzayr?

D. Tujuan Penelitian

Seiring dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui penafsiran-penafsiran mengenai tokoh ‘Uzayr.

2. Untuk mengetahui tokoh ‘Uzayr yang terdapat di dalam al-Qur’ān, dan

keterkaitan dengan tokoh penting yang terdapat di dalam ajaran Yudaisme,

yakni Ezra.

3. Untuk mengetahui dan memahami sebab dari polemik yang terjadi diantara

umat Islam dan Yahudi, mengenai penafsiran tokoh ‘Uzayr yang

diidentifikasi sebagai Ezra .

4. Siapa sajakah yang dialamatkan sebagai ‘Uzayr oleh para mufasir, ulama,

dan peneliti.

E. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian dari meneliti dan mengkaji tokoh ‘Uzayr yang

terdapat di dalam al-Qur’ān ini adalah:

1. Mendapatkan wawasan penafsiran al-Qur’ān mengenai tokoh ‘Uzayr.

2. Mendapatkan jawaban dari polemik yang terdapat pada objek yang diteliti.

3. Meningkatkan wawasan ilmiah dan dapat mengambil pelajaran berharga

dari penelitian tersebut.


9

F. Tinjauan Pustaka

Sumber-sumber telah penulis kumpulkan dari sumber yang bermacam-

macam, baik berupa buku atau kitab, makalah, artikel, jurnal dan beberapa sumber

lainnya yang berkaitan dengan penafsiran tokoh ‘Uzayr, yang disebutkan di dalam

al-Qur’ān. Tulisan yang membahas tokoh ‘Uzayr ini terdapat di dalam berbagai

bentuk, baik berupa buku-buku maupun Jurnal, di antaranya adalah :

1. Buku

Setelah melakukan pencarian saya mendapati beberapa buku yang

membahas mengenai tokoh ‘Uzayr dan tokoh Ezra, yang ditulis oleh sarjana

Muslim dan Barat. Di antara sarjana Muslim (selain mufassir) yang mula-mula

membahas tentang ‘Uzayr dalam tulisannya adalah ‘Alī bin Ḥazm al-Ẓāhirī (w. 456

H/ 1064 M) dalam kitab Al-Faṣlu Milal wa al-Ahwā’ wa al-Niḥal, Abū Manṣur al-

Jawāliqī (w. 540 H/ 1144 M) dalam kitab Al-Mu‘arrab min al-Kalām al-A‘jamī

pada bagian ‘Īsā wa ‘Uzayr, dan al-Samau’al al-Maghribī/ Samuel al-Maghribī (w.

572 H/ 1180 M), dalam kitab Ifḥām al-Yahūd.

Berdasarkan rujukan dari karya para author tersebut ‘Uzayr tidaklah

dijelaskan dengan mendetail, dan di dalamnya mereka hanya menyinggung ‘Uzayr

dengan ringkas. Ibn Ḥazm di dalam kitab Al-Faṣlu Milal wa al-Ahwā’ wa al-Niḥal,

yang membahas berbagai kelompok, baik itu agama-agama maupun sekte-sekte,

dan dalam buku ini terkait dengan pembahasan Yahudi, terdapat pembahasan

singkat mengenai ‘Uzayr. Sedangkan al-Jawāliqī dalam kitab Al-Mu‘arrab min al

Kalām al-A‘jamī, membahas mengenai kosakata-kosakata asing yang terdapat di

dalam al-Qur’ān, salah satu di antaranya termasuk kata ‘Uzayr. al-Samau’al al-

Maghribī di dalam kitab Ifḥām al-Yahūd, membahas mengenai kritik-kritik


10

terhadap Yahudi yang berhubungan dengan isu-isu yang muncul di antara

keduanya.

Sedangkan di antara sarjana Barat yang membahas mengenai ‘Uzayr dalam

tulisan mereka adalah, Abraham Geiger dalam buku Judaism and Islam (1898),

John Walker, M.A. dalam buku Bible Characters in the Koran (1931), Arthur

Jeffery dalam buku The Foreign vocabulary of The Qur’an pada bagian huruf ‘Ayn:

‘Uzayr (1938), Hava Lazarus-Yafeh dalam buku Intertwined Worlds Medieval

Islam and Bible Criticism (1992), Mikhail Piotrovsky, dalam buku Historical

Legends of the Quran: Word and Image (2005), Lisbeth S. Fried, dalam buku Ezra

and the Law in History and Tradition (2014).

Tulisan Abraham Geiger, John Walker, dan Mikhail Piotrovsky

menggunakan tema yang serupa, yaitu menulis tokoh-tokoh Yahudi yang terdapat

di dalam al-Qur’ān, tulisan-tulisan tersebut membahas mengenai tokoh-tokoh

tersebut disertai berbagai kritik. Kemudian, tulisan Arthur Jeffery lebih mengarah

kepada masuknya kosakata asing dalam al-Qur’ān, hal itu karena dia terinspirasi

dari tulisan al-Jawāliqī dan al-Suyuṭī yang telah membahas ini sebelumnya, dan

Hava Lazarus-Yafeh membahas mengenai tulisan Muslim pada abad pertengahan,

termasuk pembahsan Uzayr yang dibahas dalam Sub-tema tersendiri. Di antara

kelemahan pembahasan yang terdapat pada buku-buku yang telah disebutkan di

atas, adalah karena pemaparan yang kurang mendetail mengenai ‘Uzayr.

Kemudian, penulis juga mendapati tulisan yang inti penelitiannya khusus

mengenai Ezra, seperti buku yang telah ditulis oleh Lisbeth S. Fried. Di dalam buku

tersebut Lisbeth membahas Ezra dengan pembahasan yang cukup luas, dari

pembahasan sejarah, hukum yang di bawa Ezra, letak geografis, serta isu-isu yang
11

terdapat di beberapa agama yang menyinggung mengenai Ezra, seperti smaritan,

kristen, dan Islam.

2. Jurnal

Selain buku-buku, mengenai tokoh ‘Uzayr-Ezra ini juga dibahas dan

disinggug beberapa tulisan lain dalam bentuk Jurnal, dan di antara tulisan tersebut

adalah, Julian Morgenstern dalam Jurnal Journal of the American Oriental Society

dengan judul The bones of the Paschal Lamb (1916), yang membahas mengenai

dihidupkanya kembali kota yang telah dimatikan. Kisah ini serupa dengan kisah

yang disebutkan di dalam al-Qur’ān, mengenai kota yang dimatikan lalu dihidupkan

kembali oleh Allah, dan dari kisah tersebut sebagian mufassir menghubungkan

kisahnya kepada tokoh ‘Uzayr.

Jurnal lainnya yang membahas mengenai ‘Uzayr penulis dapati dalam karya

sarjana Muslim Syi’ah Lebanon, yaitu Mahmoud Ayoub dalam jurnal Studies in

Islamic and Judaic Traditions dengan judul ‘Uzayr in the Qur’an and Muslim

Tradition (1986), Ayoub membahas tulisan ini dengan menghadirkan pendapat

ulama tafsir dan cendekia muslim yang membahas mengenai ‘Uzayr, seperti al-

Ṭabarī, Ibn Kathīr, al-Suyuṭī, Muhammad al-Ṭuṣī, Sayyid M. H. Ṭabāṭabā’ī, Sayyid

Quṭb, dan Rashid Riḍā. Selain mengemukanan penelitiannya, Ayoub mengajak

para umat Muslim dan Ahl al-Kitāb untuk hidup dalam harmoni, meskipun begitu

tulisannya tidak lepas dari kritik-kritik dari berbagai tulisan yang hadir setelahnya.

Kemudian, Jurnal lainnya juga penulis dapati dalam tulisan Yoram Erder

dalam jurnal Journal of Near Eastern Studies, dengan judul The Origin of the Name

Idrīs in the Qur’ān: A Study of the Influence of Qumran Literature on Early Islam

(1990). Dalam tulisannya Erder membahas mengenai Idris-Ezra (Esdras) dan


12

‘Uzayr-Uzael (Azael), sebagaimana hal ini sangat berbeda dari pemahaman umum

mengenai Ezra, yang menurutnya ‘Uzayr bukanlah Ezra melainkan tokoh lain. Di

sisi lain tulisannya ini juga didasari oleh apa yang telah ditulis Jeffery mengenai

‘Uzayr.

Jurnal selanjutnya penulis dapati dari tulisan James A. Bellamy dalam jurnal

Journal of the American Oriental Society, dengan judul Textual Criticism of the

Koran (2001), dalam tulisannya Bellamy menduga ada kemungkinan salah

penulisan dalam teks al-Qur’ān atau terjadi kesalahan ketika mendengar

penyampaian nabi Saw, karena penulisan pada saat itu masih manual, sehingga

menurutnya hal demikian dapat memungkinkan terjadinya kesalahan dalam teks

‘Uzayr tersebut.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah termasuk

dari jenis kualitatif, yaitu penelitian yang diolah melalui penelaahan dokumen

menggunakan data-data kepustakaan, dan dari kumpulan data tersebut juga akan

digunakan untuk membangun teori yang mengarahkan kepada kesimpulan dari

penelitian ini. Penelitian ini dapat disebut juga dengan penelitian yang berdasarkan

metode riset kepustakaan (library research).14

14
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2010), h. 9; Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008),
h. 3; Nicholas Walliman, Research Methods the Basics (Canada: Routledge, 2011), h. 129-130.
13

2. Sumber Data

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari berbagai

jenis tulisan, yang membahas mengenai tokoh ‘Uzayr yang terdapat di dalam al-

Qur’ān, dan di antara data-data yang digunakan bersumber dari karya-karya ‘ulamā’

dan karya-karya sarjana barat, khususnya pada tulisan-tulisan yang terfokus pada

wacana ‘Uzayr dalam al-Qur’ān.

Di antara sumber-sumber data yang digunakan dibagi menjadi dua jenis

sumber data, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer yang

digunakan dalam penelitian ini merujuk kepada pembahasan dalam beberapa kitab

tafsir, mengenai tokoh ‘Uzayr yang ditujukan kepada tokoh Ezra. Kitab-kitab tafsir

yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu dari periode tafsir klasik hingga modern.

Pada periode tafsir klasik digunakan kitab tafsir Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān

karya Abū Ja‘far al-Ṭabarī, dan al-Jāmi‘ li’Aḥkām al-Qur’ān karya al-Qurṭubī.

Sedangkan pada periode abad pertengahan digunakan kitab tafsir al-Durr al-

Manthūr karya Jalāluddīn al-Suyūṭī, dan kitab Naẓm al-Durar fī Tanāsub al-Āyāt

wa al-Suwar karya Al-Biqā‘ī. Kemudian pada periode modern digunakan kitab

tafsir Tafsīr al-Marāghī karya Aḥmad bin Muṣṭafá al-Marāghī, dan kitab Taḥrīr al-

Ma‘ná al-Sadīd wa Tanwīr al-‘Aql al-Jadīd min Tafsīr al-Kitāb al-Majīd karya Ibn

‘Āshūr al-Tūnisī. Alasan penulis memilih kitab-kitab tafsir tersebut, adalah karena

kitab-kitab tafsir tersebut selain menghadirkan pembahasan mengenai kisah-kisah

israiliyyat tentangnya, kitab-kitab tafsir tersebut juga berusaha mengidentifikasi

tokoh ‘Uzayr yang dimaksud. Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini merujuk kepada karya tulis lain, baik dalam bentuk buku dan jurnal

yang ditulis oleh sarjana Muslim maupun sarjana barat.


14

3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dikumpulkan dari beberapa referensi, baik data-data

primer maupun sekunder, kemudian data-data yang telah terkumpul dikaji dan

dibandingkan persamaan maupun perbedaan, dalam penafsiran tokoh ‘Uzayr yang

terdapat di dalam al-Qur’ān menurut beberapa penulis..

4. Analisa Data

Setelah data-data terkumpul maka untuk mencapai dalam mengetahui

siapakah tokoh ‘Uzayr yang dimaksudkan, dan juga untuk mengetahui akar

permasalahan terhadap penerjemahan dan penafsiran mengenai ‘Uzayr, penulis

akan menganalisa data terkumpul dengan menggunakan metode deskriptif-analitik.

Melalui analisa deskriptif tersebut penulis dapat menggali akar dari permasalahan

pada penelitian ini, dan dengan menganalisa data-data tersebut penulis juga dapat

berupaya untuk mengidentifikasi tokoh ‘Uzayr yang dimaksud dalam tradisi

Yudaisme

H. Sistematika Penulisan

Dalam menyusun skripsi ini, penulis membaginya dalam lima bab, dalam

setiap babnya terdapat bagian-bagian yang membahas tema kajian yang diteliti.

Skripsi yang terdiri atas lima bab ini yaitu: bab pertama pendahuluan, yang di

dalamnya meliputi: latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan

penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Pada bab kedua, akan memberikan tinjauan umum mengenai ‘Uzayr, yang

di dalamnya akan dibahas perihal pengertian kata pada nama ‘Uzayr dari segi

kebahasaan. Kemudian, juga akan dijelaskan mengenai peran dan status ‘Uzayr
15

berdasarkan riwayat yang memaparkannya. Pada bagian ini juga akan dipaparkan

mengenai relasi di antara ‘Uzayr dan Ezra, berdasarkan bentuk nama dan kronologi

historis di antara keduanya.

Pada bab ketiga, akan ditelusuri sumber-sumber yanng membahas ‘Uzayr

baik dari penjelasan ulama tafsir, sebab nuzul ayatnya, serta pandangan para

akademisi mengenai ‘Uzayr. Lalu, pada bagian ini selain terfokus pada penjelasan

ulama tafsir, dipaparkan juga ragam pendapat para sarjana Muslim dan Barat

perihal ‘Uzayr, dari asal-muasal penyebutan nama hingga pro-kontra di antara

mereka terkait ‘Uzayr.

Pada bab keempat, akan membahas polemik ‘Uzayr yang terdapat di antara

penafsiran dan sejarah, di antara ‘Uzayr dan Ezra, ‘Uzayr dan Eliazar, serta

relevansi ketokohan ‘Uzayr dan pengaruhnya hingga masa kini baik dari ajaran

Islam maupun Yudaisme.

Sedangkan bab kelima, adalah bab terakhir yang menjadi penutup skripsi

ini, dan juga sebagai jawaban atau kesimpulan atas permasalahan yang dibahas di

dalam skripsi ini. Kemudian, pada bagian ini setelah kesimpulan akan diakhiri

dengan saran-saran.
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ‘UZAYR

A. Pengertian ‘Uzayr Secara Bahasa

Penyebutan nama ‘Uzayr hanya terdapat di dalam sūrah al-Tawbah ayat

30,15 dan mengenai tokoh ‘Uzayr ini tidak dijelaskan secara jelas di dalam ayat ini

maupun di ayat al-Qur’ān lainnya, serta juga tidak terdapat penjelasan di dalam

hadis-hadis yang bersumber langsung dari ucapan nabi, mengenai siapakah tokoh
16
‘Uzayr yang dimaksudkan ayat tersebut. Sedangkan secara bahasa pada

umumnya nama ‘Uzayr dikenal di kalangan masyarakat Arab adalah sebagai nama

seorang nabi, sebagaimana penjelasan mengenai nama ini yang terdapat di dalam

kitab Lisān al-‘Arab:

‘Uzayr adalah nama nabi, dan ‘Uzayrun ditaṣrif karena bentuknya yang ringan,
meskipun dulunya adalah kata ‘ajam seperti Nuh dan Lut, karenanya kata
tersebut ditaṣghīr dari kata ‘azr.17

Sebagian ulama tafsir juga menjelaskan bahwa asal kata nama ‘Uzayr ini

adalah berasal dari nama seorang tokoh yang dikenal dikalangan bangsa Yahudi,

yang telah dirubah penyebutannya ke bentuk taṣghīr dalam bahasa Arab.18

15
Muḥammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm,
(Cairo: Dār al-Kitāb al-Miṣriyyah, 1364 H) h. 459.
16
Di anatara beberapa hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis yang menyebutkan
nama ‘Uzayr, tidaklah menjelaskan sama sekali jati diri ‘Uzayr, hadis-hadis tersebut cenderung
menyinggung namanya di dalam hadis-hadis yang membahas tema aqidah, dan tidak ada penjelasan
mengenai siapakah ‘Uzayr, dan apa yang menyebabkan banī Isrā’īl begitu menghormatinya. Hadis-
hadis tersebut dapat dilihat di dalam kitab, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī: hadis no. 4581 dan 7439, Ṣaḥīḥ
Muslim: hadis no. 302, dan Musnad Aḥmad: hadis no. 20694.
17
Abī al-Faḍl Jamāl al-Dīn Muḥammad bin Makarim ibn Manẓur al-Afrīqī al-Miṣrī, Lisān
al-‘Arab, Jil. IV (Beirut: Dār Ṣādir, T.t) h. 563.
18
Taṣghir adalah pengecilan suatu kata atau nama dalam bahasa Arab dengan berbagai
tujuan, di antaranya untuk mengurangi, merendahkan, menyedikitkan atau mengecilkan dari kata
yang ditaṣgir tersebut.

16
17

Walaupun secara kaidah bahasa Arab nama ‘ajam (non-Arab) tidaklah di taṣghīr

sebagaimana yang telah disebutkan oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzī (W. 606 H) dalam

Mafātīḥ al-Ghayb, beliau mengutip dari perkataan al-Zujjaj bahwa nama-nama

‘ajam tidaklah di taṣghīr.19

Ibn ‘Ashūr dalam Taḥrīr wa Tanwīr menyebutkan bahwa asal kata nama

‘Uzayr adalah Ezra dengan ṣighat taṣghīr, sebab peng-Araban nama ‘Uzayr ini

karena adanya ṣighat yang menyerupai ṣighat taṣghīr, dan menjadi demikian

penyebutan namanya dikalangan Yahudi Madinah, dan mereka menyukai dengan

penyebutan yang demikian.20

Imām Zamakhsharī (W. 538 H) menyebutkan di dalam tafsir al-Kashāf

bahwa nama ‘Uzayr berasal dari nama ‘ajam seperti nama ‘Āzara, ‘Āyzāra, dan

‘Izrā’īl, dan tanda mengetahui keajaman nama tersebut adalah tidak bisa di taṣrif,

sedangkan pemberian tanda tanwinlah yang telah menjadikannya Arab.21

Berdasarkan penukilan-penukilan yang telah disebutkan di atas bahwa asal-

usul nama ‘Uzayr bukanlah berasal dari nama Arab, melainkan nama ‘ajam yang

telah ditaṣghīr, adapun mengapa nama ‘Uzayr dapat ditaṣghīr adalah karena dari

keringanan bentuk katanya, yakni tidak susah atau sulit dilafazhkan melalui lisan

19
Abū ‘Abdullah Muḥammad bin ‘Umar bin al-Ḥasan bin al-Ḥusayn al-Taymī al-Rāzī,
Mafātīḥ al-Ghayb, Jil. XVI (Beirut: Dār Iḥya’ al-Turāth al-‘Arabī, 1420 H), h. 29.
20
Muḥammad al-Ṭāhir bin Muḥammad bin Muḥammad al-Ṭāhir bin ‘Āshūr al-Tūnisī,
Taḥrīr al-Ma‘ná al-Sadīd wa Tanwīr al-‘Aql al-Jadīd min Tafsīr al-Kitāb al-Majīd, jil. X (Tunisia:
Al-Dār al-Tūnisiyah, 1984), h. 168.
21
Abū al-Qāsim’ Maḥmud bin ‘Amru bin Aḥmad al-Zamakhsharī, Al-Kashāf ‘an Haqāiq
Ghawāmiḍ al-Tanzīl, Jil. II (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1407 H), h. 263.
18

orang-orang Arab, sehingga memungkinkannya untuk ditaṣghīr, dan menjadi

sebuah nama Arab, serta juga memungkinkannya untuk dapat ditaṣrif.22

Secara umum nama ‘Uzayr seringkali ditujukan kepada tokoh yang bernama

Ezra yang terdapat dalam tradisi Yudaisme, hal ini dapat kita temukan di berbagai

terjemahan al-Qur’ān berbahasa Inggris.23 Mikhail Piotrovsky juga menyebutkan

bahwa ‘Uzayr yang dimaksud ayat tersebut terkoneksi kepada Ezra. 24 Sedangkan

nama Ezra itu sendiri berasal dari nama yang terdapat di dalam tradisi Yudaisme.

Tokoh Ezra ini cukup terkenal dan memiliki pengaruh yang besar bagi penganut

Yudaisme, karena beliau telah berperan dalam memimpin banī Isrā’īl pulang

kembali ke Yerusalem setelah mereka dibuang ke negeri Babel. Selain itu beliau

juga telah berjasa dalam mengajarkan Taurat kepada mereka.

Nama Ezra (‫ )עזרא‬dalam bahasa Ibrani bukanlah suatu nama dalam bentuk

maṣdar, yakni nama Ezra ini bukanlah bentuk asli melainkan sudah dalam bentuk

turunan, atau nama yang diketahui telah mengalami perubahan dari bentuk asal

katanya. Sebelum peyebutannya berubah menjadi Ezra (‫ )עזרא‬nama ini berasal dari

kata ‘azr/’azar (‫ )עזר‬dalam bahasa Ibrani,25 dan pada umumnya kata ‘azr ini

22
Abū Manṣur Al-Jawāliqī, Al-Mu‘arrab min al Kalām al-A‘jamī, (Beirut: Dār al-Qalam,
1410 H/ 1990 M), h. 452.
23
Lihat. The Meaning of The Glorius Qur’an: Marmaduke Pickthall translation, The Holy
Qur’an: Muhammad Sarwar translation, The Noble Qur’an: Muhammad Taqī al-Dīn al-Hilālī &
Muhammad Muhsin Khān translation, The Qurʾān Text, Translation and Commentary: T. B.
Irving/Al-Ḥājj Ta’līm ‘Alī (Tehran: Suhrawardī Research and Publication Center, 1998), THE
KORAN: J. M. Rodwell translation (London: Phoenix Press, 2005), dll.
24
Mikhail Piotrovsky, Historical Legends of The Quran Word and Image (St. Petersburg:
Institute of Oriental Studies, Russian Academy of Sciences, 2005), h. 114.
25
Richard Amiel McGough, THE BIBLE WHEEL; A Revelation of The Divine Unity of The
Holy Bible (Yakima, Washington: BIBLE WHEEL BOOK HOUSE, 2006), h. 286.
19

memiliki makna pertolongan, sebagaimana nama Ezra itu sendiri yang juga

memiliki arti bantuan atau pertolongan.26

Selain itu, penjelasan mengenai makna kata ‘azr ini di antaranya penulis

juga dapati di dalam beberapa kamus, di antaranya adalah Samuel Lee dalam

Lexicon Hebrew, Chaldee, and English yang menyebutkan kata ‘azr (‫)עזר‬

bermakna helped, assisted (tertolong atau terbantu), dan helper (penolong,

pembantu)27, kemudian di dalam A Comprehensive Etymological Dictionary of The

Hebrew Language for Readers of English, Ernest Klein juga mengartikan kata ‘azr

(‫ )עזר‬dengan to help, to assist, dan aid yang bermakna menolong ataupun

membantu28, dan juga Abraham Tal di dalam A Dictionary of Samaritan Aramaic

menyebutkan kata ‘azr (‫ )עזר‬memiliki arti help yakni bantuan ataupun

pertolongan.29

Dari beberapa rujukan yang penulis dapati di atas menunjukkan bahwa kata

‘azr dalam bahasa Ibrani umumnya memiliki makna pertolongan atau bantuan, dan

selain itu kata tersebut juga memiliki keserupaan dengan kata ‘azr (‫ )عزر‬dalam

bahasa Arab yang di antara maknanya juga memiliki arti pertolongan atau

menolong. Mengenai penjelasan makna kata tersebut Ibn Manẓūr dalam Lisān al-

‘Arab menjelaskan beberapa makna kata ‘azr, yang di antara beberapa maknanya

ada yang menunjukkan makna pertolongan, seperti ‫( لنصر بالسيف‬pertolongan dengan

26
J. B. Jackson, A Dictionary of The Proper Names of The Old and New Testament
Scriptures, Being an Accurate and Literal Translation From The Original Tounges (U.S.A: The
Plimton Press Norwood Mass, 1909), h. 32. Lihat juga; William Smith, Smith's Bible Dictionary
(Grand Rapids, Michigan: Christian Classics Ethereal Library, 2002), h. 206.
27
Samuel Lee, Lexicon Hebrew, Chaldee, and English (London: Alexander Macintosh,
1840), h. 456.
28
Ernest Klein, A Comprehensive Etymological Dictionary of The Hebrew Language for
Readers of English (Jerusalem: Carta, 1987), h. 469.
29
Abraham Tal, A Dictionary of Samaritan Aramaic (Leiden: Brill, 2000), h. 630.
20

pedang), ‫( إعاىة‬bantuan atau pertolongan), ‫( لنصر بالهسا و لسيف‬pertolongan dengan

lisan dan pedang).30

Berdasarkan penjelasan melalui bahasa Arab dan Ibrani di atas, secara

makna dan akar kata dari nama ‘Uzayr ataupun Ezra bermuara kepada kata ‘azr

(‫عزر‬/‫) עזר‬, yang meskipun keduanya berasalkan dari kaum penutur bahasa yang

berbeda namun memiliki makna yang sama, hal ini sangat mungkin terjadi karena

kaum Arab dan Ibrani berasalkan dari satu leluhur yang sama dan tergolong sebagai

satu rumpun semitic, dan mereka juga memiliki kesamaan dalam banyak hal, baik

dari segi bahasa, budaya, ciri fisik, dan berbagai kesamaan lainnya.31

Akan tetapi, meski ‘Uzayr kerap dihubungkan kepada tokoh yang bernama

Ezra, terdapat beberapa author yang menghubungkannya kepada tokoh yang

bernama Eleazar (‫ )אלעזר‬atau Eliezer (‫)אליעזר‬, sedangkan tokoh tersebut adalah

person yang berbeda dengan Ezra.32 Meskipun demikian nama tersebut juga

memiliki hubungan dengan kata ‘azr/’azar dalam bahasa Ibrani, dan nama tersebut

adalah sebuah gabungan dari dua kata, yaitu kata El (‫ )אל‬yang bermakna Tuhan,

dengan kata ‘azr (‫ )עזר‬yang bermakna pertolongan, dan berdasarkan dari gabungan

kedua kata tersebut dapat diartikan dengan “Tuhan adalah penolongku”. 33 Selain

30
Abī al-Faḍl Jamāl al-Dīn Muḥammad bin Makarim ibn Manẓur al-Afrīqī al-Miṣrī, Lisān
al-‘Arab, Jil. IV (Beirut: Dār Ṣādir, T.t) h. 562.
31
Mengenai rumpun keluarga semitik, baik dari segi etnis, bahasa, Agama dan budaya, dsb.
Lihat. Alice Faber, Genetic Subgroupings of The Semitic Language. Gil Anidjar, Semites Race,
Religion, Literature. Louis H. Gray, Introduction to Semitic Comparative Linguistics. Philip K.
Hitti, History of The Arabs. DR. H. A. Madjid Hasan Bahafdullah, Dari Nabi Nuh  Sampai Orang
Hadhramaut di Indonesia; Menelusuri Asal Usul Hadharim.
32
Eleazar adalah salah seorang budak nabi Ibrahim ‘alaihi salaam, yang namanya
disebutkan di dalam Bible, dia juga dikenal dengan sebutan Eleazar dari Damaskus. Lihat, Breshit
(Genesis) 15: 1.
33
Richard Amiel McGough, THE BIBLE WHEEL; A Revelation of The Divine Unity of The
Holy Bible (Yakima, Washington: BIBLE WHEEL BOOK HOUSE, 2006), h. 286.
21

itu terdapat juga author lain yang menghubungkannya kepada ‘Azaryah (‫)עזריה‬,34

dan nama ini juga merupakan gabungan dari dua kata, yakni kata ‘azr/azar (‫)עזר‬

dengan kata yah (‫)יה‬,35 yang dari kedua rangkaian kata itu akan bermakna “Tuhan

telah menolong”.36

Kemudian, selain dari ketiga nama tersebut yang disandarkan kepada tokoh

‘Uzayr, penulis belum menemukan tulisan yang menyandarkan nama ‘Uzayr

kepada nama lain yang juga bersumber dari turunan kata ‘azr, yang nama-nama

tersebut juga terdapat di dalam kitab Tanakh37 seperti nama Azrael, Ahiezer,

Abiezer, Azarel, Azrikam, Azzur, Ebenezer, dll.

B. Peran dan Status ‘Uzayr

Sebagian Mufassir membahas mengenai kisah tokoh ‘Uzayr ini di dalam

penafsirnya pada sūrah al-Tawbah ayat 30, yang bersumber dari riwayat-riwayat

yang menceritakan mengenai kisah dan peristiwa yang terjadi pada ‘Uzayr dan banī

Isrā’īl kala itu. Di anatara riwayat-riwayat tersebut mengisahkan hal-hal yang

menyebabkan dia begitu dikenal dan dihormati di kalangan penganut ajaran

34
‘Azaryah di dalam Bible mengacu kepada beberapa tokoh, yaitu di antaranya ‘Azaryah
yang memiliki nama lain Abednego dan hidup di era kepemimpinan raja Yehuyaqim (Daniel 1: 6-
7), ‘Azaryah bin Oded seorang nabi yang disebutkan di Kethuvim bahwa Ruh Tuhan (Ruh Elohim)
telah mendatanginya (Dibre Hayyamim II 15: 1-8), kemudian seorang malaikat yang bernama
Raphael namun kepada Tobit dia mengaku bernama ‘Azaryah bin Ananias yang agung (Tobit 5:
12). Lalu, pada periode kepemimpinan raja Sulaiman terdapat seorang rabi agung bernama ‘Azaryah
bin Zadok beserta seorang pengawas para petugas daerah yang bernama‘Azaryah bin Nathan
(Malachim I 4: 1-5), dan di era kepemimpinan raja Uzziah terdapat imam yang bernama ‘Azaryah
(Dibre Hayyamim II 26: 17-20).
35
Yah adalah singkatan dari kata Yahweh, yang digunakan dalam bahasa Ibrani untuk
menyebut Tuhan, penyingkatan kata Yahweh di dalam nama-nama Ibrani biasanya menjadi Yahu,
Yehu, dan Yah. Contohnya seperti nama Yehuyaqim (Tuhan telah mengangkatnya), Tzedekiyah
(kebenaran Tuhan), dsb.
36
Amiel McGough, THE BIBLE WHEEL, h. 287.
37
Tanakh adalah singkatan dalam bahasa Ibrani yang mencakup tiga kitab sekaligus, yaitu
di antaranya adalah kitab Towrah, Nevi’im, dan Kethuvim.
22

Yudaisme; seperti menuliskan kembali Taurat, yang konon telah hilang di antara

banī Isrā’īl. Kemudian dia mengumumkannya kepada banī Isrā’īl, bahwa Allah

telah menurunkan kembali Taurat melalui dirinya, lalu beliau mengikatkan pena

pada setiap jarinya, dan menulis seluruh isi Taurat dengan seluruh jari tangannya.

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh al-Ṭabarī di dalam Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl

al-Qur’ān, melalui riwayat yang dibawakan oleh Muḥammad bin al-Ḥusayn dari

al-Suddī sebagai berikut:

!‫ نا فنت ف هي بًا‬،‫ يا عزير‬: ‫ إىي قد جئلنم باللور ة! فقالو‬،ۚ ‫ يا بني إسر ئي‬: ‫فقا‬
.‫ فنلب للور ة فهّها‬،‫ وفلب بأصابعه فهها‬،‫فعمد فربط عهي ف ۚ إصلع له قه ًما‬
“Dia (‘Uzayr) berkata, wahai banī Isrā’īl, sesungguhnya aku datang pada
kalian dengan membawa Taurat. Mereka berkata, wahai ‘Uzayr engkau bukan
seorang pendusta. ‘Uzayr pun mengikatkan pada setiap jarinya sebuah pena
dan ia menulis seluruh isi Taurat dengan seluruh jari tangannya tersebut.” 38

Peristiwa ditulisakannya kembali Kitab Taurat, adalah salah satu jasa besar

‘Uzayr terhadap banī Isrā’īl, yang telah disebutkan di dalam beberapa riwayat,

sebagaimana telah dikutip oleh sebagian ulama tafsir. Akan tetapi, selain perannya

atas penulisan kembali kitab Taurat, berdasarkan rujukan riwayat yang bersumber

dari sebagian ulama tafsir itu, menunjukkan bahwa riwayat-riwayat tersebut tidak

hanya menceritakan hal itu saja, melainkan juga meberikan beberapa bagian kisah

lainnya terkait dengan ‘Uzayr.

Di sisi lain ‘Uzayr juga disebutkan pada riwayat yang bersumber dari ibn

‘Abbās, sebagai salah seorang yang memiliki status dan peran sebagai ulama

dikalangan banī Isrā’īl, yang ketika hilangnya kitab Taurat dan rusaknya moral banī

38
Muḥammad bin Jarīr bin Yazīd bin Kathīr bin Ghālib al-Āmilī, Abū Ja‘far al-Ṭabarī,
Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jil. XIV (T.tp: Mu’asasat al-Risalah, 1420 H/2000 M), h. 204.
23

Isrā’īl, dia berharap dengan tulus kepada Allah agar memberinya petunjuk, serta

berkenan untuk mengembalikan kitab Taurat yang telah hilang di antara mereka.39

Namun, berdasarkan riwayat yang bersumber dari al-Suddi, status dan peran

‘Uzayr agak berbeda dengan kisah yang bersumber dari ibn Abbas, pasalnya

meskipun keduanya meriwayatkan perannya atas kembalinya kitab Taurat, riwayat

yang dibawakan ibn Abbas menyatakan bahwa status ‘Uzayr adalah salah seorang

ulama di antara banī Isrā’īl, sedangkan riwayat yang dibawakan al-Suddi

menceritakan bahwa ‘Uzayr adalah seorang anak-anak yang tinggal di sebuah

gunung, yang kesehariannya hanya diisi dengan beribadah. 40

Kemudian, selain perannya terhadap kembalinya kitab Taurat di antara banī

Isrā’īl, setelah kembalinya Taurat di antara mereka dan ditemukannya kembali

Tabut, disebutkan juga bahwa ‘Uzayr berperan sebagai orang yang mengajarkan

Taurat atas kehendak Allah, hingga diakuilah dia sebagai imam besar. Lalu

munculah fanatisme di kalangan banī Isrā’īl atas mukjizat yang turun kepada

‘Uzayr tersebut, sehingga mereka menjulukinya sebagai “putera Allah”.

Selain itu, ‘Uzayr juga di alamatkan oleh sebagian ulama sebagai seorang

pemuda yang diceritakan kisahnya di dalam surat al-Baqarah ayat 259, yang di

dalam ayat tersebut menceritakan tentang seorang pemuda, yang ketika itu melalui

kota yang telah hancur dan dipenuhi dengan puing-puing. Lalu, kemudian pemuda

itu berkata “bagaimanakah kota ini akan hidup kembali setelah matinya”, maka

dimatikanlah ia selama seratus tahun, dan kemudian dihidupkan kembali. Lebih

jelasnya ayat terkait menceritakan kisahnya sebagai berikut:

39
Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jil. XIV, h. 202-203.
40
Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jil. XIV, h. 202-204.
24

‫ٱَّللُ بَ ۡع َد َن ۡوتِهَ ِۖا‬


‫ُوشهَا قَا َ َّىهيَٰ ي ُۡح ِيۦ َٰهَ ِي ِه ه‬
ِ ‫اويَةٌ َعهَ َٰي ُعر‬ ِ َ‫َّ ۡو َفٱله ِيي َن هر َعهَ َٰي قَ ۡريَ ٖة َو ِه َي خ‬
َ‫ض يَ ۡو ٖ ِۖم قَا َ بَ ۚ لهلِ ۡثت‬ َ ‫ت يَ ۡو ًنا َّ ۡو بَ ۡع‬ ُ ‫ٱَّللُ ِنامئَةَ ع َٖام ثُ هم بَ َعثَ ِۖۥهُ قَا َ َفمۡ لَلِ ۡث ِۖتَ قَا َ لَلِ ۡث‬
‫فَأ َ َناتَهُ ه‬
ِۖ
‫اركَ َولِن َۡج َعهَكَ َء يَة‬ ِ ‫ِنامئَةَ ع َٖام فَٱىظُ ۡر إِلَ َٰي طَ َعا ِنكَ َو َش َر بِكَ لَمۡ يَلَ َسن ه ۡه َوٱىظُ ۡر إِلَ َٰي ِح َم‬
‫نش ُزهَا ثُ هم ى َۡنسُوهَا لَ ۡحما فَهَ هما تَلَي هنَ لَ ۥهُ قَا َ َّ ۡعهَ ُم َّ ه‬ ِ ُ‫اس َوٱىظُ ۡر إِلَي ۡٱل ِعظَ ِام َف ۡيفَ ى‬ ِ ِۖ ‫لِّهنه‬
‫ه‬
ٞ ‫ٱَّللَ َعهَ َٰي ُف ِّۚ َش ۡي ٖء قَ ِد‬
‫ير‬

“Atau (tidakkah kamu memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang
(temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia (orang itu) berkata:
“Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?”
Maka, Allah mematikannya (orang itu) seratus tahun, kemudian
membangkitkannya (kembali). Dia (Allah Swt.) bertanya: “Berapa (lama)
engkau tinggal (di sini)?” Dia (orang itu) menjawab: “Aku telah tinggal (di
sini) sehari atau setengah hari.” Dia berfirman: “Sebenarnya engkau telah
tinggal (di sini) seratus tahun (lamanya), maka lihatlah kepada makanan dan
minumanmu yang belum lagi berubah, dan lihatlah kepada keledaimu (yang
telah menjadi tulang belulang) dan Kami akan menjadikanmu tanda
(kekuasaan Kami) bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang (keledai
itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya
dengan daging.” Maka, ketika telah nyata kepadanya (bagaimana Allah swt.
menghidupkan yang telah mati), dia (orang itupun) berkata: “Aku tahu bahwa
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”. 41

Mengenai pemuda yang dimaksudkan di dalam ayat tersebut, ibn Jarīr

mencantumkan riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa orang yang dimaksud

dalam kisah dalam ayat ini adalah ‘Uzayr, dan dia juga mencantumkan riwayat-

riwayat lain, yang menyatakan bahwa pemuda yang dimaksud bukanlah ‘Uzayr

melainkan Irmiyā, komentar ibn Jarīr terhadap ayat ini beliau tidak menetapkan

siapa yang dimaksud dalam ayat ini apakah ‘Uzayr atau Irmiyā, menurutnya boleh

jadi ‘Uzayr dan boleh jadi juga Irmiyā.42 Sedangkan ibn Kathīr menyebutkan

tentang pandangan yang mengatakan, bahwa pemuda yang dimaksud pada ayat

tersebut adalah ‘Uzayr, dan menurutnya pendapat ini merupakan pendapat yang

masyhur dikalangan ulama, meskipun terdapat pendapat selain itu.43

41
M. Quraish Shihab, Al-Qur’an & Maknanya, h. 43.
42
Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jil. V, h. 439-441.
43
Abū al-Fidā’ Ismā‘īl bin ‘Umar bin Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jil. I (T.tp.: Dār
Ṭayyibah, 1420 H/ 1999 M), h. 687.
25

Di dalam kitab Biḥār al-Anwār ‘Alāmah al-Majlisī, beliau juga

membawakan riwayat yang bersumber dari al-‘Ayāshī mengenai kisah yang

berkaitan dengan ayat ini. Sebagaimana berdasarkan riwayat tersebut menceritakan

bahwa suatu ketika di majelis ilmu seorang bernama Ibn al-Kawā’ bertanya kepada

Amīr al-mu’minīn (Imam ‘Ali bin Abī Thālib), mengenai adakah anak-anak yang

lebih tua daripada orangtuanya di dunia ini? Kemudian Imam ‘Ali menjawabnya

“ada, mereka itu adalah anak-anaknya ‘Uzayr.” 44

Maka dari itu, jika memang benar bahwa pemuda yang dimaksudkan oleh

ayat tersebut adalah ‘Uzayr, sebagaimana yang telah dikuatkan oleh pernyataan ibn

Kathīr, maka peran ‘Uzayr bukan hanya sebagai ulama dan penulis kitab Taurat,

melainkan juga sebagai seorang yang telah Allah jadikan contoh kepada banī Isrā’īl,

untuk menunjukkan kebesaran-Nya di hadapan mereka.

Namun, mengenai tafsir dari ayat tersebut Sayyid Muḥammad Ḥusayn al-

Ṭabāṭabā’ī di dalam al-Mīzān menyebutkan, bahwa sebagian riwayat dari Sunni

maupun Syi’ah menyatakan orang yang dimaksud pada ayat itu adalah Irmiyā, dan

sebagiannya lagi menyatakan ‘Uzayr. Akan tetapi riwayat-riwayat tersebut tidak

satupun di antaranya yang mencapai derajat sebagai riwayat yang diterima, bahkan

sebagian besar sanadnya terhukum ḍa‘if. Di sisi lain al-Qur’ān juga tidak

menyebutkannya atau tidak membuka identitas si pelaku, bahkan kisahnya juga

tidak disebutkan di dalam Kitab Taurat. 45 Sehingga berdasarkan hal itu kita tidak

dapat memastikan bahwa orang yang dimaksud pada ayat tersebut adalah ‘Uzayr

ataupun Irmiyā.

44
Muḥammad Bāqir al-Majlisī, Biḥār al-Anwāri al-Jāmi‘ah li-Durār Akhbār al-A’immat
al-Aṭhār, Jil. V (Qum: Iḥyā’ al-Kutub al-Islāmiyyah, T.t), h. 747.
45
Sayyid Muḥammad Ḥusayn al-Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, Jil. II (Beirut:
Mu’assasat al-A‘lamī lil-Maṭbū‘āt, 1997) h. 382.
26

C. Relasi Kata dan Historis di Antara ‘Uzayr dan Ezra

Pada pemaparan secara bahasa sebelumya menjelaskan bentuk kata dari

nama ‘Uzayr, yang memiliki hubungan makna serta asal kata yang sama dengan

nama Ezra dan Eleazar, dan sebelumnya juga telah dipaparkan secara ringkas, status

dan peran ‘Uzayr terhadap banī Isrā’īl menurut pandangan sebagian ahli tafsir, yang

telah sedikit memberi gambaran mengenai tokoh ‘Uzayr.

Namun, berdasarkan penjelasan tersebut, selain di alamatkan kepada Ezra,

‘Uzayr juga di alamatkan kepada tokoh yang bernama Eleazar. Meskipun demikian

berdasarkan penjelasan ringkas mengenai status dan peran ‘Uzayr sebelumnya,

menunjukkan bahwa ‘Uzayr yang dimaksud lebih mendekati kepada tokoh Ezra

ketimbang Eleazar. Hal ini sebagaimana kedekatan kisah ‘Uzayr berdasarkan

riwayat yang telah dibawakan ulama tafsir, dengan kisah Ezra di dalam Tanakh

yang akan dipaparkan pada bagian ini.

Sehingga kedekatan kisah tersebut menujukkan adanya kemungkinan,

bahwa tokoh ‘Uzayr ataupun Ezra merupakan seorang tokoh yang sama. Hanya saja

mesti ditinjau kembali mengenai kisah kedua tokoh tersebut, apakah keterkaitan

nama tersebut dapat membuktikan bahwa tokoh yang dimaksudkan adalah tokoh

yang sama, atau unsur-unsur kesamaan tersebut, hanya sebuah kebetulan saja yang

terdapat di antara keduanya.

Hal ini dapat kita lihat dari kisah kedua tokoh tersebut, melalui kedua

sumber yang membahas mengenai tokoh ini, yaitu kisah-kisah yang terdapat di

dalam kitab tafsir dan literatur-literatur Yudaisme, apakah kisahnya selaras tanpa

adanya perbedaan sama sekali, atau memiliki beberapa persamaan dan juga terdapat
27

beberapa perbedaan. Maka dari itu, untuk melihat ada atau tidaknya relasi di antara

‘Uzayr dan Ezra, kita harus melihat dari sumber-sumber utama yang membahas itu,

yakni untuk mengetahui Ezra lebih lanjut haruslah merujuk kepada rujukan-rujukan

utama yang menceritakan tentang kisah Ezra, di antara rujukan-rujukan utama

tersebut adalah kitab Tanakh atau Perjanjian Lama, dan juga tulisan-tulisan yang

membahas mengenai Ezra, yang ditulis oleh para author yang menganut atau

mengkaji paham Yudaisme.

Di dalam kitab Tanakh memang terdapat beberapa unsur kesamaan

mengenai alur kisah tentang Ezra, dengan kisah yang terdapat dalam tafsir

mengenai ‘Uzayr. Di antara unsur terkait mengenai Ezra yang terdapat di dalam

Tanakh, dengan riwayat tentang kisah ‘Uzayr yang dibawakan oleh ulama tafsir,

adalah mengenai pembuangan banī Isrā’īl ke Babel serta pemulangannya, rusaknya

moral banī Isrā’īl, kemudian hilangnya Taurat, lalu ditemukannya kembali Taurat,

dan Ezra membacakan Kitab Hukum (Taurat) kepada banī Isrā’īl.

Sedangkan di antara kisah ‘Uzayr tersebut juga terdapat perbedaan-

perbedaan, yang jika dibandingkan akan didapati hal yang tidak selaras, yang mana

runtutan kisah, waktu kejadian dan para pelakunya yang terdapat di dalam Tanakh

dengan kisah yang dibawakan oleh ulama tafsir. Hal ini dikarenakan riwayat-

riwayat yang mengisahkan tentang ‘Uzayr yang dibawakan oleh ulama tafsir seperti

al-Ṭabarī, menunjukkan seakan-akan semua kejadian tersebut terjadi di masa

hidupnya ‘Uzayr. Seperti, awal rusaknya moral banī Isrā’īl, hilangnya Taurat

hingga ditemukannya kembali. Sedangkan di dalam Tanakh itu semua tidaklah

terjadi di masa hidupnnya Ezra, yang mana tokoh Ezra ini senantiasa dihubungkan

dengan ‘Uzayr.
28

Disebutkan di dalam Tanakh mengenai awal mula rusaknya moral banī

Isrā’īl, yang menyebutkan bahwa hal tersebut terjadi jauh sebelum adanya Ezra,

yakni bermula ketika Raja Manasseh melakukan tindakan-tindakan yang jahat dan

terlarang, dan mendirikan pengorbanan-pengorbanan dan sesembahan-sesembahan

yang ditujukan kepada selain Allah, yakni ditujukan kepada berhala-berhala.

Raja Manasseh telah hidup zhalim dan keluar dari jalan para leluhurnya

yang lurus, sebagaimana ayahnya Raja Hezekiah yang hidup di jalan yang benar

dan menghancurkan berhala-berhala, akan tetapi Raja Manasseh justru telah

berbuat sebaliknya, dengan mengadakan ritual prostitusi, memasang berhala Baal,

serta melakukan pengorbanan anak-anak.46 Hal ini juga sebagaimana dikisahkan

di dalam Tanakh, Malachim II. 21: 1-3, yang menyatakan sebagai berikut:

“Manasseh berumur 12 tahun ketika dia mulai bekuasa; dan dia berkuasa di
Jerusalem selama 55 tahun; dan ibunya bernama Hephzi-bah. Dan dia telah
melakukan yang jahat di mata Tuhan, setelah kerusakan bangsa-bangsa, yang
telah Tuhan hancurkan sebelum banī Isrā’īl. Dia membangun kembali tempat-
tempat tinggi yang telah dihancurkan ayahnya Hezekiah; dan dia membangun
altar-altar untuk Baal, dan membuat (patung) Asherah, sebagaimana yang
telah dilakukan Ahab raja Israel, dan menyembah semua penghuni langit, dan
melayani mereka.”47

Rusaknya moral banī Isrā’īl tidak hanya berhenti pada masa kekuasan Raja

Manasseh saja. Namun, dilanjutkan oleh penerus tahtanya, yakni Raja Amon yang

kemudian dia hidup dan memerintah seperti ayahnya, dengan mengadakan

peribadatan-peribadatan kepada selain Allah, menyembah berhala-berhala, dan

melakukan banyak kemaksiatan. Lalu, para pembantunya bersepakat untuk

46
Simon Sebag Montefiore, Jerusalem The Biography, diterjemahkan oleh Yanto Musthofa
Cet. VI (Ciputat: Alvabet, 2014), h. 38.
47
Hebrew-English Tanakh The Jewish Bible (Skokie: Varda Books, 2009), h.767.
29

membunuhnya, sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Taurat, Malachim II. 21:

19-23, yang menyebutkan:

“Amon berumur 22 tahun ketika dia mulai bekuasa; dan dia berkuasa di
Jerusalem selama 2 tahun; dan ibunya bernama Meshullemet putrinya Haruz
dari Jotbah. Dan dia telah melakukan yang jahat di mata Tuhan, sebagaimana
yang telah dilakukan ayahnya Manasseh. Dan dia berjalan pada semua jalan
yang telah dijalani ayahnya. Mengurus berhala-berhala yang telah ayahnya
urus, dan menyembahnya. Dia telah meninggalkan Tuhan, Tuhan para
leluhurnya, dan tidak berjalan di jalan Tuhan. Dan para pembantunya Amon
berkonspirasi untuk menentangnya, dan membunuhnya di dalam
rumahnya.”48

Setelah terbunuhnya Raja Amon, maka mereka mengangkat anaknya yaitu

Raja Josiah. Pada masa kekuasaannya dia tidak bertindak seperti ayah dan

kakeknya yang senantiasa berada di dalam kezhaliman, dia bertindak di jalan yang

lurus, dan membangun kembali rumah-rumah Tuhan, serta memimpin di bawah

bimbingan para Imam yang dekat dengan Tuhan. Selain itu, pada masa

kekuasaannya juga telah ditemukan kembali gulungan Taurat, yang sempat hilang

dan terlupakan di antara banī Isrā’īl, dan kitab itu tersimpan di dalam kama-kamar

kuil.49 Gulungan tersebut ditemukan Imam besar Hilkiah di dalam rumah Tuhan,

sebagaimana disebutkan di dalam kitab Taurat, Malachim II, 22:8:

“Dan berkata Kohen Gadol (Imam Besar) Hilkiah kepada Shaphan HaSofer
(seorang ahli tulis): Saya telah menemukan Towrah di rumah Tuhan (babayt
Yehovah), dan Hilkiah memberikan Kitab itu kepada Shaphan, dan kemudian
dibacanya.”50

Berdasarkan runtutan kejadian yang telah dijelaskan di atas, dari kisah yang

terdapat di dalam kitab Taurat, kejadian-kejadian tersebut tidaklah terjadi di masa

hidupnya Ezra, terlebih dari itu bahwa Ezra baru dikenal setelah berlalunya

48
Hebrew-English Tanakh, h.769.
49
Simon, Jerusalem The Biography, h. 40.
50
Hebrew-English Tanakh, h.769 - 770.
30

beberapa masa dari kejadian-kejadian tersebut, dan berdasarkan narasi kisah yang

terdapat di dalam Taurat, disebutkan juga bahwa hilangnya Taurat disebabkan oleh

rusaknya moral banī Isrā’īl dan jauhnya mereka dari ajaran Tuhan, yang bermula

sejak era kepemimpinan Raja Manasseh sampai era Raja Amon.

Sebab hilangnya kitab Taurat berdasarkan narasi kisah tersebut adalah

karena kerusakan moral. Hal ini serupa dengan sebab hilangnya kitab Taurat seperti

yang disebutkan Ibn ‘Abbas di dalam riwayat yang dibawakan oleh al-Ṭabarī dalam

kitab tafsirnya, yang juga menceritakan mengenai rusaknya moral di antara banī

Isrā’īl sebagai sebab dari hilangnya kitab Taurat. Lebih jelasnya riwayat yang

bersumber dari Ibn ‘Abbas tersebut menceritakannya sebagai berikut:

‫ ثم ّضاعوها وعمهو‬، ‫ فعمهو بها نا شاء هللا ّ يعمهو‬،‫وفاىت للور ة عندهم‬


‫ فهما رّى هللا ّىهم قد ّضاعو للور ة وعمهو‬.‫ وفا للّابوت فيهم‬،‫بغير لحق‬
ۚ ‫ وّرس‬،‫ وىسخها نن صدورهم‬،‫ وّىساهُم للور ة‬،‫ رفع هللا عنهم للابوت‬،‫باۡلهو ء‬
‫ حلي ىسو‬،‫ فاسلطهقت بطوىهم حلي جع ۚ لرج ۚ يمشي فل ُده‬،‫هللا عهيهم نرضًا‬
‫ وفيهم عزير‬،‫ وىسخت نن صدورهم‬،‫للور ة‬
Ketika itu Taurat ada di sisi mereka dan mereka beramal dengannya
sebagaimana Allah menghendakinya terhadap mereka. Kemudian mereka
menyelisihi Taurat tersebut dan beramal tanpa petunjuk yang benar, dan
ketika itu juga terdapat Tabut di sisi mereka, adapun setelah Allah melihat
bahwa mereka telah menyelisihi Taurat dan beramal berdasarkan hawa nafsu,
lalu Allah angkat Tabut tersebut dari mereka. Allah jadikan mereka lupa akan
Taurat dan menghapusnya dari dada-dada mereka, dan Allah mengirim
penyakit kepada mereka, perut-perut mereka membuncit, sampai-sampai jika
salah seorang dari mereka berjalan maka yang tampak adalah perutnya, hingga
mereka lupa akan Taurat, dan Taurat itu pun telah terhapus dari dada-dada
mereka, dan ketika itu ‘Uzayr hidup bersama mereka. 51

Lalu, setelah diketahui hilangnya kitab Taurat pada rentang waktu tertentu,

kitab tersebut ditemukan kembali oleh Imam besar Hilkiah di rumah Tuhan. Kitab

itu tidaklah hilang di zaman hidupnya Ezra, melainkan hilangnya itu terjadi

51
Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jil. XIV, h. 202.
31

sebelum masa hidupnya Ezra, dan kitab Taurat juga tidak ditemukan oleh Ezra.

Tidak seperti penjelasan sebagian ahli tafsir tentang ‘Uzayr, yang menceritakan

hilangnya kitab Taurat terjadi di masanya, dan kemudian ditemukannya kembali

olehnya. Sedangkan dalam narasi yang terdapat di dalam Perjanjian Lama, kitab itu

tidak ditemukan oleh Ezra, namun ditemukan oleh leluhurnya Ezra, yaitu imam

besar Hilkiah, yang mana rentang waktu di antara keduanya tidaklah dekat. 52

Perbedaan yang terdapat dari riwayat tentang Ezra dan ‘Uzayr perihal

diketemukannya kembali kitab Taurat tersebut, adalah karena ‘Uzayr di dalam

beberapa rujukkan tafsir disebutkan sebagai orang yang menemukan kembali kitab

Taurat setelah hilangnya, namun di dalam literatur Tanakh tidaklah berkata

demikian. Mengenai ditemukannya kembali kitab taurat oleh ‘Uzayr, al-Ṭabarī

membawakan dua riwayat yang menunjukkan bahwa hilang dan ditemukannya

kembali kitab Taurat itu terjadi pada masanya, dan dialah sosok yang berperan

penting dalam proses kembalinya kitab taurat di antara banī Isrā’īl kala itu. Berikut

riwayat yang dibawakan oleh al-Ṭabarī, tentang ditemukannya kitab Taurat oleh

‘Uzayr yang bersumber dari Ibn ‘Abbas:

‫ وفا عزير‬،‫فمنثو نا شاء هللا ّ يمنثُو بعد نا ىسخت للور ة نن صدورهم‬


‫ و بله ۚ إليه ّ ير ّد إليه ليي ىسخَ نن صدره‬،‫ فدعا عزي ٌر هللا‬،‫قل ُ ۚ نن عهمائهم‬
‫ فعاد‬،‫ ىز ىور نن هللا فدخ ۚ َجوم فه‬،‫ فلينما هو يصهي نللهال إلي هللا‬.‫نن للور ة‬
ّ ،‫إليه ليي فا ذهب نن جوفه نن للور ة‬
‫ قد آتاىي‬،‫ يا قوم‬: ‫فأذ في قونه فقا‬
.‫ فمنثو نا شاء هللا وهو يعهمهم‬،‫ق بهم يعهمهم‬ ‫هللا للور ةَ ور هدها إل ه‬
َ ‫ي! فعه‬

52
Imam besar Hilkiah (Kohen gadol Hilkiah) adalah salah seorang yang diketahui hidup
sebelum masa hidupnya Ezra. Hal ini dapat diketahui bahwa beliau hidup di Era kepemimpinan raja
Josiah - yaitu sebelum penaklukan Babel ke Yerusalem - , sedangkan Ezra hidup pada era
kepemimpinan Raja Artaxerxes di Babel, yang mana pada masanya banī Isrā’īl diizinkan untuk
kembali ke Yerusalem, setelah mereka dibuang ke Babel pada beberapa periode sebelumnya. Selain
itu diketahui bahwa Ezra adalah keturunan dari Imam Besar Hilkiah, sebagaimana silsilah nasab
Ezra disebutkan di dalam Kethuvim; Ezra 7: 1, yang menjelaskan silsilahnya bahwa Ezra putera dari
Seraiah bin Azariah bin Hilkiah, yang menunjukkan bahwa Ezra adalah cucu dari anaknya Imam
besar Hilkiah.
32

Merekapun (banī Isrā’īl) hidup selama yang Allah kehendaki setelah


terhapusnya Taurat dari dada-dada mereka, ‘Uzayr sebelum itu merupakan
salah seorang ulama mereka, kemudian ‘Uzayr berdoa memohon kepada
Allah dengan penuh ketundukan hati, agar Dia mengembalikan kepadanya
Taurat yang telah Dia hapus dari dadanya. Ketika ‘Uzayr sedang shalat dan
memohon kepada Allah, lalu turunlah cahaya dari Allah yang kemudian
masuk ke dalam dirinya, dan kembalilah kepadanya Taurat yang telah pergi
dari dirinya. Kemudian ‘Uzayr pun mengumumkan kepada kaumnya, “wahai
kaumku, Allah telah memberikan dan mengembalikan Taurat kepadaku”,
‘Uzayr pun mulai mengajarkannya kepada mereka. 53

Riwayat lainnya yang dibawakan oleh al-Ṭabarī, bersumber dari al-Suddī

dengan narasi riwayat yang agak berbeda dari riwayat Ibn ‘Abbās tersebut. Berikut

penjelasan ditemukannya Taurat berdasarkan riwayat yang bersumber dari al-

Suddī:

‫ إىي قد جئلنم‬،ۚ ‫ يا بني إسر ئي‬: ‫ فقا‬،‫فرجع عزير وهو نن ّعهم لناس باللور ة‬
،‫ نا فنت ف هي بًا! فعمد فربط عهي ف ۚ إصلع له قه ًما‬،‫ يا عزير‬: ‫باللور ة! فقالو‬
،‫ ّخلرو بشأ عزير‬،‫ فهما رج َع لعهماء‬.‫ فنلب للور ة فهّها‬،‫وفلب بأصابعه فهها‬
‫ وفاىت‬، ‫فاسلخرج ّولئك لعهماء ُفللهم للي فاىو دفنوها نن للور ة في لجلا‬
‫ نا ّعطاك‬: ‫ فقالو‬،‫ فوجدوها نثهها‬،‫ فعارضوها بلور ة عزير‬،‫ب ندفوىة‬ ٍ ‫في خو‬
!‫هللا هي إال ّىك بنه‬
Dan kemudian kembalilah ‘Uzayr dan ia telah menjadi orang yang paling
mengetahui tentang Taurat. Ia berkata, wahai banī Isrā’īl, sesungguhnya aku
datang pada kalian dengan membawa Taurat. Mereka berkata, wahai ‘Uzayr
engkau bukan seorang pendusta. ‘Uzayr pun mengikatkan pada setiap jarinya
sebuah pena dan ia menulis seluruh isi Taurat dengan seluruh jari tangannya
tersebut. Ketika para ulama mereka kembali, mereka pun diberitahu perihal
‘Uzayr. Para ulama tersebut lalu mengeluarkan Taurat yang dahulu mereka
kubur di gunung, lalu mereka sesuaikan isi Taurat tersebut dengan Taurat
‘Uzayr, dan mereka mendapati bahwa keduanya sama. Mereka pun berkata,
Allah tidak memberimu Taurat ini melainkan karena engkau adalah anaknya.
54

Dari kedua riwayat yang telah dibawakan oleh al-Ṭabarī tersebut, dapat

diketahui bahwa setelah hilangnya Taurat, kembalinya kitab Taurat adalah dengan

melalui perantaraan seorang ‘Uzayr, dan tidak adanya keterkaitan Hilkiah

53
Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jil. XIV, h. 202.
54
Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jil. XIV, h. 204.
33

sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya di dalam kitab Tanakh. Hal ini

menunjukkan adanya keganjilan pada salah satu narasi kisah tersebut.

Akan tetapi, meskipun hilang dan ditemukannya Taurat tidak terjadi di

zaman hidupnya Ezra. Penulisan kembali naskah Taurat terjadi di masa hidupnya

Ezra, dan penulisan tersebut dikerjakan olehnya, yang mana pada dasarnya kitab

Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa menggunakan naskah Ibrani kuno,

kemudian di zaman Ezra, kitab Taurat ditulis kembali menggunakan naskah

Assyrian dan bahasa Aramaic, yakni menggunakan naskah Ibrani Modern yang

digunakan saat ini.55

Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam kitab Talmud, pada bagian

Sanhedrin 21b:

“Sebenarnya, Taurat diberikan kepada orang-orang Yahudi dengan naskah


Ibrani, bentuk orisinil dari bahasa penulisannya, bahasa yang suci, bahasa
Ibrani. Sebagaimana telah diberikan kepada mereka di masa Ezra dalam
naskah Ashurit dan bahasa Aramaic. Orang-orang Yahudi memilih naskah
Ashurit dan bahasa suci untuk gulungan Taurat, dan meninggalkan naskah
Ibrani dan bahasa Aramaic untuk orang-orang awam (Yahudi
Samaritan/Samaria).”56

Berdasarkan kutipan dari Talmud tersebut, menunjukkan adanya penulisan

kembali naskah Taurat di masa hidupnya Ezra, dengan menggunakan naskah

Ashurit, dan hal ini juga telah menunjukkan bahwa terdapat relasi, di antara kisah

‘Uzayr yang terdapat pada riwayat-riwayat, yang banyak disebutkan di dalam kitab-

kitab tafsir, dengan kisah Ezra yang terdapat di dalam ajaran Yudaisme.

Adapun hal-hal lain yang juga memiliki kemiripan di antara ‘Uzayr dan

Ezra, yaitu seperti pembuangan banī Isrā’īl ke Babel, lalu pemulangannya ke

55
Lisbeth S. Fried, Ezra and the Law in History and Tradition, (Columbia: University of
South Carolina Press, 2014), h. 143.
56
The William Davidson Talmud, “Sanhedrin 21b,” diakses pada 12 Oktober 2017 dari
http://www.sefaria.org/Sanhedrin.21b?lang=bi
34

Jerusalem, pembacaan kitab Taurat dan pengajarannya kepada banī Isrā’īl, dan

beberapa hal lainnya yang juga memiliki keterkaitan di antara keduanya, yang

menunjukkan bahwa adanya kemungkinan bahwa ‘Uzayr dan Ezra adalah orang

yang sama.

Meskipun terdapat beberapa perbedaan dan keganjilan-keganjilan di antara

kisah keduanya, yang mana hal itu mungkin saja terjadi yang disebabkan oleh

terjadinya kesalahan, dalam proses penyampaian informasi, boleh jadi kesalahan

dari si penyampai informasi ataupun dari si penerima informasi, yang kemudian

menginformasikannya kembali, hingga sampailah riwayat-riwayat tersebut kepada

para pencari ilmu seperti para mufassir yang telah mencantumkan kisah-kisah

tersrebut di dalam kitab tafsirnya.


BAB III

PENAFSIRAN ‘UZAYR DALAM SŪRAH AL-TAWBAH: 30

A. Teks, Terjemah, Sebab Nuzul, dan Munasabah Ayat

Untuk mengetahui lebih lanjut dalam memahami penafsiaran tokoh ‘Uzayr

ini maka sudah selayaknya bagi penulis untuk mencantumkan teks ayat beserta

terjemahnya, lalu sabab nuzul, dan munasabah ayat, agar tidak terjadi kerancuan

dalam memahami maksud dari ayat tersebut, sehingga tidak menimbulkan

kesalahpahaman dalam memahaminya.

Ayat tersebut telah Allah firmankan di dalam al-Qur’ān di surah al-Tawbah

ayat 30 yang berbunyi:

ِۖۡ‫ٱَّللِ َٰ َذلِكَ قَ ۡولُهُم بِأ َ ۡف َٰ َو ِه ِهم‬


ِۖ ‫ص َرى ۡٱل َم ِسي ُح ۡٱب ُن ه‬ َ َٰ ‫ت ٱلنه‬ ‫ت ۡٱليَهُو ُد عُزَ ۡي ٌر ۡٱب ُن ه‬
ِ َ‫ٱَّللِ َوقَال‬ ِ َ‫َوقَال‬
ِۖ ‫ُض ِهو َ قَ ۡو َ ٱله ِيينَ َفرَرُو م ِنن قَ ۡل ُ ۚ َٰقَلَهَهُ ُم ه‬
َ ‫ٱَّللُ َّى ه َٰي ي َُۡفَ ُنو‬ َ َٰ ‫ي‬
“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzayr itu putera Allah” dan orang-orang
Nasrani berkata: “al-Masīḥ itu putera Allah.” Itulah ucapan mereka dengan
mulut-mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang
terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?”.57

Berdasarkan penjelasan dari ayat tersebut, yang menyatakan bahwa orang-

orang Yahudi telah mengatakan ‘Uzayr itu adalah anak Tuhan, dan sebagaimana

telah disebutkan sebelumnya bahwa hal ini menimbulkan penolakan serta bantahan

dari kalangan mereka, dengan menyatakan bahwa mereka tidak pernah mengatakan

hal yang demikian. Sebagaimana penolakan yang dinyatakan Geiger yang telah

disebutkan sebelumnya.

57
M. Quraish Shihab, Al-Qur’an & Maknanya, (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 191.

35
36

Maka dari itu dalam memahami ayat ini perlu bagi kita untuk mengetahui

sebab nuzul dari ayat ini, melalui penjelasan-penjelasan ulama mengenai sebab

turunnya dari ayat ini. Karena dengan melalui penjelasan-penjelasan tersebutlah

yang akan memudahkan bagi kita dalam memahami maksud-maksud dari ayat

tersebut, sehingga dapat meminimalisir berbagai kesalahpahaman, baik itu dari

umat Muslim sendiri dan juga orang-orang non-Muslim, terutama dari kalangan

Yahudi maupun Nasrani.

Mengenai sebab nuzul dari ayat ini terdapat beberapa riwayat yang

menjelaskan sebab dari diturunkannya ayat tersebut, yang di antaranya menjelaskan

bahwa ayat ini turun disebabkan oleh perkataan seorang atau sekelompok Yahudi.

Mereka mengatakan bahwa ‘Uzayr adalah anak Allah, lalu diturunkanlah ayat ini

sebagai respon dari pernyataan tersebut.

Salah satu riwayat menyebutkan, bahwa yang mengatakan “ ‘Uzayr itu anak

Allah” adalah satu orang, yaitu orang yang sama dengan yang mengatakan “Allah

itu faqir dan kami kaya”, seperti yang terdapat di dalam surat Āli ‘Imrān ayat 181.

Orang tersebut bernama Finḥāṣ, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Jurayj,

yang telah disebutkan al-Ṭabarī di dalam tafsirnya. Teks riwayat tersebut adalah

sebagai berikut:

‫ سمعت‬: ‫ عن بن جريج قا‬،‫ حدثني حجاج‬، ‫ حدثنا لحسين قا‬، ‫حدثنا لقاسم قا‬
ۚ ‫ قالها رج‬: ‫ قا‬، )‫ (وقالت ليهود عزير بن هللا‬:‫علد هللا بن عليد بن عمير قوله‬
)‫هللاَ فَقِي ٌر َوىَحم ُن َّ مغنِيَا ُء‬
‫ (إِ ه ه‬: ‫ هو ليي قا‬: ‫ وقالو‬.‫ إ سمه فنحاص‬: ‫ قالو‬،‫و حد‬
.]181 : ‫ [سورة آ عمر‬،
“Mengabarkan kepada kami al-Qāsim berkata, mengabarkan kepada kami al-
Husain berkata, mengabarkan kepadaku Ḥajāj, dari Ibn Juraij berkata: “saya
mendengar ‘Abdullah bin ‘Ubayd bin ‘Umayr mengenai firman-Nya: (dan
orang-orang Yahudi berkata ‘Uzayr itu putera Allah), berkata: yang
mengatakannya adalah satu orang, dikatakan: bahwa namanya itu Finḥāṣ. Dan
37

dikatakan: bahwa dia adalah orang yang mengatakan (sesungguhnya Allah itu
faqir dan kami kaya), [surat Āli ‘Imrān: 181].” 58

Selain riwayat yang menyatakan bahwa sebab turunnya disebabkan oleh

perkataan satu orang, terdapat riwayat lain yang menjelaskan mengenai turunnya

yang disebabkan oleh perkataan sekelompok orang-orang Yahhudi kepada nabi,

yang ketika itu mereka menolak untuk mengikuti nabi Muhammad Saw.,

dikarenakan nabi tidak lagi berkiblat ke Masjid al-Aqṣá dan tidak mau

membenarkan bahwa ‘Uzayr itu putera Allah. Hal ini beradasarkan riwayat yang

bersumber dari Ibn ‘Abbas berikut:

، ‫ حدثنا نحمد بن إسحاق قا‬، ‫ حدثنا يوىس بن بنير قا‬، ‫حدثنا ّبو فريب قا‬
‫ ّو‬،‫ حدثني سعيد بن جلير‬، ‫حدثني نحمد بن ّبي نحمد نولي زيد بن ثابت قا‬
،‫ ّتي رسو َ هللا صهي هللا عهيه وسهم َسال ُم بن نشنم‬: ‫ عن بن علاس قا‬،‫عنرنة‬
‫ فيف ىلّلعك وقد‬: ‫ فقالو‬،‫ ونالك بن لصِّ يف‬،‫ وشأسُ بن قيس‬،‫وىعما ُ بن ّوفي‬
‫ (وقالت‬:‫ وّىت ال تزعم ّ ّ عزي ًر بن هللا؟ فأىز في ذلك نن قولهم‬،‫ترفت قِلمهلنا‬
) ‫ (ّىي يَفنو‬:‫ إلي‬، )‫ليهود عزير بن هللا وقالت لنصارى لمسيح بن هللا‬
“Mengabarkan kepada kami Abū Kurayb berkata, mengabarkan kepada kami
Yūnus bin Bukayr berkata, mengabarkan kepada kami Muḥammad bin Isḥāq
berkata, mengabarkan kepadaku Muhammad bin Abi Muḥammad maula Zaid
bin Thābit berkata, mengabarkan kepadaku Sa‘īd bin Jubayr, atau ‘Ikrimah
dari ibn ‘Abbās berkata: datang kepada Rasulullah Saw, Salām bin Mishkam
dan Nu‘man bin Awfá, dan Sha’su bin Qays, dan Mālik bin Ṣayyif, lalu
mereka berkata: bagaimana kami akan mengikutimu sedangkan kamu telah
meninggalkan kiblat kami, dan engkau tidak mengakui bahwa ‘Uzayr adalah
putera Allah. Maka turun berkenaan dengan itu dari perkataan mereka: ( ‫وقالت‬
‫) ليهود عزير بن هللا وقالت لنصارى لمسيح بن هللا‬, sampai: ( ‫)ّىي يَفنو‬.” 59

Berdasrkan kedua riwayat di atas, sebab diturunkannya ayat tersebut adalah

dikarenakan oleh perkataan satu orang atau beberapa orang dari kalangan Yahudi.

Ayat tersebut turun berperan sebagai respon, untuk menolak pernyataan bahwa

Allah memiliki putera, dan juga bermaksud untuk menyucikan kembali nama-Nya

58
Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jil. XIV, h. 201.
59
Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jil. XIV, h. 201.
38

dari hal yang demikian. Hal serupa juga banyak ditegaskan di dalam al-Qur’ān,

sebagai syi‘ar nabi Muḥammad Saw dalam meluruskan pemahaman Tauhid, dari

berbagai jenis kesyirikan yang ada kala itu.

Maka, dapat kita ketahui bahwa sebab perkataan orang-orang Yahudi

tersebutlah, yang telah menyebabkan diturunkannya ayat tersebut, dan ayat itu pun

tidak bermaksud untuk menyerang mereka, melainkan hanya sebagai respon

terhadap pernyataan mereka, yakni pernyataan yang muncul dari seorang atau

sejumlah orang dari kaum Yahudi yang ketika itu betemu dan bersinggungan

langsung dengan nabi Saw., dan mereka itu adalah orang-orang Yahudi Madinah,

yang telah dikenal hidup dan menetap lama di kawasan Yathrib kala itu.60

Hal ini juga menunjukkan bahwa turunnya ayat ini bukan untuk merespon

keseluruhan penganut Yudaisme, melainkan respon terhadap pernyataan sebagian

orang-orang Yahudi saja, yang ketika itu telah memposisikan ‘Uzayr sebagai putera

Alah, dan sungguh maha suci Allah dari hal tersebut. Pandangan tersebut juga

muncul dari kalangan sahabat, sebagaimana sahabat Ibn ‘Abbas dalam menjelaskan

60
Mengenai orang-orang Yahudi yang hijrah dan kemudian menetap di tanah ‘Arab sampai
terbentuknya peradaban Yahudi di kawasan tersebut, Abū al-Faraj al-Isbahānī menyebutkan tentang
asal-usul Ghurayḍ, yang nasabnya sampai kepada Kāhin bin Hārūn bin ‘Amrān. Lihat. ‘Alī bin al-
Ḥusaīn bin Muḥammad bin Aḥmad bin al-Haitham al-Marwānī al-Umawī al-Qurashī, Abū al-Faraj
al-Isbahānī, Al-Aghānī, Jil. III (Beirut: Dār Iḥya’I al-Turāth al-‘Arabī, 1994), h. 82. Watt juga
menyebutkan adanya suku-suku Yahudi di madinah, meskipun menurutnya asal-usulnya masih
belum jelas apakah mereka merupakan pengungsi yang sudah banyak kawin campur dengan
pribumi, atau mereka merupakan suku Arab yang konversi ke agama Yahudi. Lihat, W.
Montgomery Watt, Bell’s Introduction to The Qur’ān (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1994), h. 8. W. Montgomery Watt, Muhammad Prophet and Statesman (London: Oxford University
Press, 1969) h. 85. Watt juga menyebutkan keterangan dari al-Samhūdī bahwa ada tiga suku asli
Yahudi, yang dinyatakan bahwa mereka telah kehilangan identitasnya. W. Montgomery Watt,
Muhammad at Medina (Karachi: Oxford University Press, 1994), h. 193-194. Lihat juga; Haggai
Mazzuz, The Religious and Spiritual Life of the Jews of Medina (Leiden: BRILL, 2014), h. 2-7.
Sayyid Ja’far Arif Kashfi, Muḥammad Saw dan Kaum Yahudi (Pasar Minggu: Titisan, 2016), h.
179-187.
39

tafsir dari ayat tersebut, beliau menjelaskan bahwa Yahudi yang dimaksud adalah

Yahudi Madinah.61

Sehingga jika kita melihat konteks dari sebab diturunkannya ayat tersebut,

akan dapat dipahami bahwa maksud dari turunnya ayat tersebut, adalah berkenaan

dengan pernyataan satu orang atau beberapa orang Yahudi Madinah, dan sebagai

bantahan atas pernyataan mereka, karena telah mengotori kesucian nama Allah,

dengan menyatakan bahwa Dia memiliki anak, maka karena hal itu diturunkanlah

ayat tersebut, untuk memurnikan dan mensucikan kembali nama-Nya dari berbagai

bentuk kesyirikan. Kemudian diturunkannya ayat tersebut selain sebagai bantahan,

ayat tersebut juga sekaligus berperan sebagai pengajaran bagi kita, agar terhindar

dari menyerupai sifat kaum Yahudi dan Nasrani – yakni sebagian atau sebagian

besar dari mereka – , yang telah berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan para

nabi dan ulama mereka.

Sayyid Hāshim al-Bahrānī dalam tafsirnya al-Burhān juga menjelaskan

perihal sebab turunnya ayat ini, berdasarkan riwayat dari ‘Alī bin Abī Ṭālib yang

menceritakan tentang perdebatan kaum Yahudi dengan nabi Muḥammad, yang

ketika itu mereka berargumen bahwa penyebutan “ibn Allah” kepada ‘Uzayr

bukanlah dengan arti secara biologis, melainkan dengan maksud penghormatan

kepadanya karena telah menghidupkan kembali Taurat di antara banī Isrā’īl, maka

karena jasanaya itu Allah memberikan posisi tersebut kepada-Nya, dan kemudian

mereka juga berargumen bahwa hal ini sebagaimana apa yang telah dikatakan

ulama mereka, yaitu ketika hendak memuliakan seseorang hendaknya ia berkata

61
‘Abdullāh bin ‘Abbās, Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn ‘Abbās, (Lebanon: Dār al-Kitāb
al-‘Ilmiyah, t.th) h. 156.
40

“wahai anakku”. Lalu, pernyataan mereka itu dibantah oleh nabi dengan argumen

“jika hal tersebut memang dibenarkan, maka posisi tersebut lebih pantas disandang

oleh Musa, namun jika itu disandang oleh Musa sekalipun sedangkan posisinya

lebih utama daripada ‘Uzayr, maka apakah Allah akan menyebutnya tuan-Ku, atau

guru-Ku, atau paman-Ku, atau bapak-Ku, atau pemimpin-Ku?” Mendengar

pernyataan nabi mereka kebingungan dan meminta waktu untuk memikirkannya

kembali. Kemudian, nabi menganjurkan agar mereka merenungkannya dengan hati

yang sehat, dan beliau juga mendoakan petunjuk Allah atas mereka jika mereka

inṣāf.62

Hal tersebut juga terkait dengan munasabah daripada ayat itu sendiri,

sebagaima ayat ini masih terkait dengan penjelasan dari ayat selanjutnya, yakni

surat al-Tawbah ayat 31 yang menyatakan, bahwa mereka (para Ahl al-Kitāb) telah

menjadikan aḥbār (para pendeta Yahudi) dan ruhbān (para pendeta Nasrani)

mereka sebagai tuhan-tuhan lain selain daripada Allah. Dengan demikian mereka

telah menyekutukan Allah, melalui sikap kultus mereka kepada manusi-manusia

yang mereka anggap saleh atau dekat dengan Tuhan, dan keyakinan yang demikian

itu adalah perkara yang amat dilarang oleh Allah.63

Sekilas dari penjelasan ayat, sebab nuzul, dan munasabah ayat yang telah

dipaparkan di atas, yang dengan dihadirkannya beberapa penjelasan tersebut,

penulis bertujuan agar dapat mempermudah kita dalam memahami maksud dari

turunnya ayat tersebut, serta memahami keterkaitan di antara tokoh ‘Uzayr dengan

62
Mengenai rincian riwayat tersebut lihat. Sayyid Hāshim al-Bahrānī, al-Burhān fī Tafsīr
al-Qur’ān, Jil. III (Beirut: Mu’assasat al-A‘lamī li al-Maṭbū‘āt, 2006), h. 396-398.
63
Ibrāhīm bin ‘Umar bin Ḥasan al-Ribāṭ bin ‘Alī bin Abī Bakr al-Biqā’ī, Naẓm al-Durar fī
Tanāsub al-Āyāt wa al-Suwar, Jil. VIII (Cairo: Dār al-Kitāb al-Islāmī, t.th), h. 441.
41

orang-orang Yahudi. Sehingga kita dapat meminimalisir kesalahan serta kerancuan

dalam memahami ayat tersebut, dan kemudian untuk dapat mengetahui lebih lanjut

mengenai tokoh ‘Uzayr ini, penulis akan berusaha menjelaskannya dalam sudut

pandang tafsir.

B. ‘Uzayr dalam Penafsiran

Dalam membaca ketokohan ‘Uzayr tidaklah lepas dari penafsiran-

penafsiran yang menjelaskan asal-usul serta peran ‘Uzayr, yang dapat ditelusuri

melalui penjelasan-penjelasan para ulama dan mufasir dalam menjelaskan tentang

ketokohan ‘Uzayr, serta berbagai riwayat yang menjelaskan tentang peran-peran

penting yang telah dilakukannya, hingga beliau menjadi tokoh penting dan

terkemuka di kalangan banī Isrā’īl. Untuk itu dalam membaca ketokohan ‘Uzayr di

dalam penafsiran ulama, penulis mencoba untuk mengguanakan beberapa literatur

tafsir, dengan kategori tafsir yang di antaranya adalah Tafsir Klasik, Abad

pertengehan, dan modern.

Mengenai pembagian periodisasi tafsir dalam penafsiran ini, penulis

menggunakan pembagian yang dirumuskan oleh Prof. Harun Nasution yang

disebutkan oleh Dr. Hasani Ahmad Said, di dalam bukunya yang berjudul

Diskursus Munasabah al-Qur’an: Kajian Atas Tafsir al-Mishbah. Di situ

disebutkan bahwa pembagian periode klasik berkisar dari tahun 650-1250 M,

kemudian periode pertengahan dari tahun 1250-1800 M, dan periode modern yang

dimulai dari tahun 1800 M.64

64
Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur’an: Kajian Atas Tafsir al-Mishbah,
Cet. I (Ciputat: Puspita Press, 2011), h. 67.
42

1. Tafsir Klasik

Pada bagian tafsir klasik penulis menggunakan dua kitab tafsir rujukan, di

antaranya adalah tafsir al-Ṭabarī (224-310 H/ 839-923 M) dan tafsir al-Qurṭubī

(585-671 H/ 1214-1273 M), melalui kedua kitab tafsir klasik tersebut, penulis akan

gunakan dalam melihat penjelasan mengenai ketokohan ‘Uzayr, berdasarkan

riwayat-riwayat yang mereka cantumkan di dalam kitab tafsir mereka, dengan

penjelasan sebagai berikut.

a. Tafsir al-Ṭabarī

al-Ṭabarī menjelaskan di dalam tafsirnya perihal penjelasan dari

pembahasan ‘Uzayr, dengan mencantumkan beberapa riwayat mengenai sebab

diturunkannya ayat tersebut. Lalu beliau menjelaskan mengenai ikhtilaf pendapat

yang terdapat di antara ulama mengenai sebab turunnya, apakah dikarenakan

perkataan satu orang Yahudi atau perkataan beberapa orang Yahudi, kemudian

beliau memberikan riwayat yang menceritakan kisah-kisah tentang ‘Uzayr.

Riwayat-riwayat yang menceritakan mengenai kisah ‘Uzayr itu disebutkan al-

Ṭabarī melalui dua jalur riwayat, sedangkan dari kedua riwayat tersebut

mengisahkan tentang kisah ‘Uzayr dengan jalan cerita yan berbeda.

Salah satu naskah riwayat tersebut memberikan penjelasan kisahnya

sebagai berikut.

‫ عن‬،‫ حدثني ّبي‬، ‫ حدثني عمي قا‬، ‫ حدثني ّبي قا‬، ‫حدثني نحمد بن سعد قا‬
‫ هو بن هللا‬: ‫ وإىما قالو‬، )‫ (وقالت ليهود عزير بن هللا‬:‫ عن بن علاس قوله‬،‫ّبيه‬
‫ فعمهو بها نا شاء‬،‫ وفاىت للور ة عندهم‬،‫نن ّج ۚ ّ ُعزَي ًر فا في ّه ۚ لنلاب‬
‫ فهما رّى هللا‬.‫ وفا للّابوت فيهم‬،‫ ثم ّضاعوها وعمهو بغير لحق‬، ‫هللا ّ يعمهو‬
‫ وّىساهُم‬،‫ رفع هللا عنهم للابوت‬،‫ّىهم قد ّضاعو للور ة وعمهو باۡلهو ء‬
‫ فاسلطهقت بطوىهم‬،‫ وّرس ۚ هللا عهيهم نرضًا‬،‫ وىسخها نن صدورهم‬،‫للور ة‬
‫ وفيهم‬،‫ وىسخت نن صدورهم‬،‫ حلي ىسو للور ة‬،‫حلي جع ۚ لرج ۚ يمشي فل ُده‬
‫ وفا‬،‫ فمنثو نا شاء هللا ّ يمنثُو بعد نا ىسخت للور ة نن صدورهم‬.‫عزير‬
‫ و بله ۚ إليه ّ ير ّد إليه ليي ىسخَ نن‬،‫ فدعا عزي ٌر هللا‬،‫عزير قل ُ ۚ نن عهمائهم‬
43

،‫ ىز ىور نن هللا فدخ ۚ َجوم فه‬،‫ فلينما هو يصهي نللهال إلي هللا‬.‫صدره نن للور ة‬
‫ قد‬،‫ يا قوم‬: ‫فأذ في قونه فقا‬ ّ ،‫فعاد إليه ليي فا ذهب نن جوفه نن للور ة‬
‫ ثم‬.‫ فمنثو نا شاء هللا وهو يعهمهم‬،‫ق بهم يعهمهم‬ ‫آتاىي هللا للور ةَ ور هدها إل ه‬
َ ‫ي! فعه‬
‫ فهما رّو للابوت ع َرضو نا فا فيه‬،‫إ ه للابوت ىز بعد ذلك وبعد ذهابه ننهم‬
‫ وهللا نا ّوتي عزير هي إال‬: ‫ فقالو‬،‫ فوجدوه نثهه‬،‫عهي ليي فا عزير يعهِّمهم‬
.‫ّىه بن هللا‬
“Muḥammad bin Sa‘ad menceritakan kepadaku, ia berkata: Ayahku
menceritakan kepadaku dari ayahnya, ia berkata: pamanku menceritakan
kepadaku, ia berkata: ayahku menceritakan kepadaku dari ayahnya, dari ibn
‘Abbās, tentang firman-Nya ‫( وقالت ليهود عزير بن هللا‬dan orang-orang Yahudi
berkata ‘Uzayr putera Allah), bahwasannya mereka mengatakan bahwa dia itu
(‘Uzayr) anak Allah, karena ‘Uzayr adalah seorang ahli kitab, ketika itu Taurat
ada di sisi mereka dan mereka beramal dengannya sebagaimana Allah
menghendakinya terhadap mereka. Kemudian mereka menyelisihi Taurat
tersebut dan beramal tanpa petunjuk yang benar, dan ketika itu juga terdapat
Tabut di sisi mereka, adapun setelah Allah melihat bahwa mereka telah
menyelisihi Taurat dan beramal berdasarkan hawa nafsu, lalu Allah angkat
Tabut tersebut dari mereka. Allah jadikan mereka lupa akan Taurat dan
menghapusnya dari dada-dada mereka, dan Allah mengirim penyakit kepada
mereka, perut-perut mereka membuncit, sampai-sampai jika salah seorang
dari mereka berjalan maka yang tampak adalah perutnya, hingga mereka lupa
akan Taurat, dan Taurat itu pun telah terhapus dari dada-dada mereka, dan
ketika itu ‘Uzayr bersama mereka. Mereka pun hidup selama yang Allah
kehendaki setelah terhapusnya Taurat dari dada-dada mereka, ‘Uzair sebelum
itu merupakan salah seorang ulama mereka, kemudian ‘Uzayr berdoa
memohon kepada Allah dengan penuh ketundukan hati, agar Dia
mengembalikan kepadanya Taurat yang telah Dia hapus dari dadanya. Ketika
‘Uzayr sedang shalat dan memohon kepada Allah, lalu turunlah cahaya dari
Allah yang kemudian masuk ke dalam dirinya, dan kembalilah kepadanya
Taurat yang telah pergi dari dirinya. Kemudian ‘Uzayr pun mengumumkan
kepada kaumnya, “wahai kaumku, Allah telah memberikan dan
mengembalikan Taurat kepadaku”, ‘Uzayr pun mulai mengajarkannya kepada
mereka. Ia tinggal bersama mereka untuk mengajarkan Taurat tersebut atas
kehendak Allah. kemudian diturunkan kembali Tabut kepada mereka setelah
perginya Tabut tersebut dari mereka. Mereka lalu berkata, “demi Allah
tidaklah ‘Uzayr mendapatkan anugerah ini melainkan karena ia adalah Putera
Allah”.”65

Selain daripada riwayat ini, al-Ṭabarī juga mencantumkan riwayat dari jalur

yang berbeda, dengan riwayat kisah yang juga berbeda dari riwayat yang telah

disebutkan di atas. Riwayat selanjutnya yang dicantumkan al-Ṭabarī selain

daripada riwayat di atas, mengacu pada riwayat yang bersumber dari al-Suddī

65
Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jil. XIV, h. 202-203.
44

melalui jalur Muḥammad bin al-Ḥusayn, dengan naskah riwayat seperti di bawah

ini.

‫ عن‬،‫ حدثنا ّسلاط‬، ‫ حدثنا ّحمد بن لمرض ۚ قا‬، ‫حدثني نحمد بن لحسين قا‬
‫ ۡلىهم ظهرت عهيهم‬،‫ إىما قالت ذلك‬، )‫ (وقالت ليهود عزير بن هللا‬:‫لسدي‬
‫ وقد دفنو فلب‬، ‫ وذهب عهماؤهم ليين بقُو‬،‫ وّخيو للور ة‬،‫لعمالقة فقلهوهم‬
‫ ال ينز إال يوم‬، ‫ وفا عزير غال ًنا يلعلهد في رءوس لجلا‬. ‫للور ة في لجلا‬
‫ "ربِّ ترفتَ بني إسر ئي ۚ بغير عالم"! فهم يز‬: ‫ فجع ۚ لغالم يلني ويقو‬.‫عيد‬
‫ فهما رجع إذ هو بانرّة قد‬،‫ فنز نرة إلي لعيد‬،‫يلني حلي سقطت ّشرا ُر عينيه‬
:‫فاسياه! فقا لها‬
ِ ‫ ويا‬،‫ يا نطعماه‬: ‫نثهت له عند قلر نن تهك لقلور تلني وتقو‬ ‫م‬
:‫ نن فا يطعمك ّو ينسوك ّو يسقيك ّو ينرعك قل ۚ هي لرج ۚ؟ قالت‬،‫ويحك‬
َ ‫ فمن فا يعهِّم لعهماء‬،‫ يا عزير‬:‫ فإ هللا حي لم يمت! قالت‬: ‫هللا! قا‬
‫قل ۚ بني‬
، ‫ ولهي ندب ًر‬،‫صم‬
ِ ‫ فهم تلني عهيهم؟ فهما عرف ّىه قد ُخ‬:‫ هللا! قالت‬: ‫إسر ئي ۚ؟ قا‬
‫ ثم خرج‬،‫ إذ ّصلحت غ ًد فأت ىهر في وفي فاغلس ۚ فيه‬،‫ يا عزير‬:‫فدعله فقالت‬
‫ فهما ّصلح ىطهق عزير إلي‬.‫ فما ّعطاك ف ُخ ميه‬،‫ فإىه يأتيك شي ٌخ‬،‫فص ِّۚ رفعلين‬
!‫ فلح فمك‬: ‫ فجاءه لشي ُخ فقا‬.‫ ثم خرج فصهي رفعلين‬،‫ فاغلس ۚ فيه‬،‫ذلك لنهر‬
‫ ثالث‬،‫ نجلمع فهيئة لقو رير‬،‫ فألقي فيه شيئا فهيئة لجمرة لعظيمة‬،‫فرلح فمه‬
‫ إىي قد‬،ۚ ‫ يا بني إسر ئي‬: ‫ فقا‬،‫ فرجع عزير وهو نن ّعهم لناس باللور ة‬.‫نر ر‬
‫ نا فنت ف هي بًا! فعمد فربط عهي ف ۚ إصلع له‬،‫ يا عزير‬: ‫جئلنم باللور ة! فقالو‬
‫ ّخلرو بشأ‬،‫ فهما رج َع لعهماء‬.‫ فنلب للور ة فهّها‬،‫ وفلب بأصابعه فهها‬،‫قه ًما‬
، ‫ فاسلخرج ّولئك لعهماء ُفللهم للي فاىو دفنوها نن للور ة في لجلا‬،‫عزير‬
‫ نا‬: ‫ فقالو‬،‫ فوجدوها نثهها‬،‫ فعارضوها بلور ة عزير‬،‫ب ندفوىة‬ ٍ ‫وفاىت في خو‬
!‫ّعطاك هللا هي إال ّىك بنه‬
Muḥammad bin al-Ḥusayn menceritakan kepadaku, ia berkata: Aḥmad bin al-
Mufaḍḍal menceritakan kepada kami, ia berkata: Asbāt menceritakan kepada
kami dari al-Suddī: tentang firman Allah ‫ وقالت ليهود عزير بن هللا‬, ia berkata ,
mereka mengatakan demikian karena ketika itu munculnya kaum ‘Amāliqah
di kawasan mereka, dan (kaum ‘Amāliqah) membunuhi mereka. Kaum
‘Amāliqah tersebut lalu mengambil Taurat. Para ulama mereka yang masih
tersisa pun pergi ke gunung dan mengubur Taurat tersebut di sana. Ketika itu
‘Uzayr adalah seorang anak-anak yang hidupnya hanya diisi dengan beribadah
di puncak sebuah gunung dan tidak turun kecuali pada hari ‘Īd. Ia pun mulai
menangis dan berkata, Ya Allah Engkau telah tinggalkan banī Isrā’īl tanpa
seorang ulama. Ia terus menangis hingga bulu matanya berjatuhan. Suatu
ketika ‘Uzayr turun untuk melaksanakan ‘Īd. Ketika ia kembali, tiba-tiba ia
bertemu dengan seorang wanita di salah satu kuburan sambil menangis dan
meratap, “oh yang memberiku makan, oh yang memberiku pakaian”, ‘Uzayr
berkata, “celaka engkau siapakah yang telah memberimu makan, pakaian,
minum, dan manfaat sebelum laki-laki ini?”, wanita tersebut menjawab
“Allah”. ‘Uzayr berkata , “sesungguhnya Allah maha hidup dan tidak akan
pernah mati”. Wanita itu berkata, “wahai ‘Uzayr siapakah yang mengajari
para ulama sebelum banī Isrā’īl?”. ‘Uzayr menjawab “Allah”, wanita itu
bertanya lagi, “kalau begitu kenapa kamu menangisi mereka?”. Ketika ‘Uzayr
sadar bahwa dia kalah berdebat, ia pun berpaling pergi. Wanita itu lalu
memanggilnya seraya berkata, “wahai ‘Uzayr besok pagi pergilah ke sungai
45

itu dan mandilah di sana, setelah itu keluarlah (dari sungai) dan shalatlah dua
raka’at, karena sesungguhnya akan ada laki-laki tua yang akan menemuimu,
dan apa yang dia berikan kepadamu maka terimalah. Keesokan paginya
‘Uzayr pun mendatangi sungai tersebut, kemudian ia mandi, lalu keluar dari
sungai tersebut, untuk shalat dua rakaat. Kemudian seorang tua
mendatanginya dan berkata, bukalah mulutmu. Ia pun membuka mulutnya.
Lalu orang tua itu melemparkan ke dalam mulut ‘Uzayr sesuatu seperti bara
api yang besar seperti kaca sebanyak tiga kali. Dan ia telah menjadi orang
yang paling mengetahui tentang Taurat. Ia berkata, wahai banī Isrā’īl,
sesungguhnya aku datang pada kalian dengan membawa Taurat. Mereka
berkata, wahai ‘Uzayr engkau bukan seorang pendusta. ‘Uzayr pun
mengikatkan pada setiap jarinya sebuah pena dan ia menulis seluruh isi Taurat
dengan seluruh jari tangannya tersebut. Ketika para ulama mereka kembali,
mereka pun diberitahu perihal ‘Uzayr. Para ulama tersebut lalu mengeluarkan
Taurat yang dahulu mereka kubur di gunung, lalu mereka sesuaikan isi Taurat
tersebut dengan Taurat ‘Uzayr, dan mereka mendapati bahwa keduanya sama.
Mereka pun berkata, Allah tidak memberimu Taurat ini melainkan karena
engkau adalah anaknya.66

Berdasarkan kedua riwayat di atas yang telah dinukil dari al-Ṭabarī dalam

menjelaskan kisah ‘Uzayr, menggambarkan bahwa ‘Uzayr adalah seorang dari

kalangan banī Isrā’īl, yang mengalami masa kekacauan di kala itu karena hilangnya

kitab Taurat di sisi mereka. ‘Uzayr merupakan salah satu orang di antara mereka

yang merasa bersedih terhadap kondisi yang menimpa banī Isrā’īl, yang kemudian

memohon kepada Allah agar mengembalikan petunjuk-Nya kepada banī Isrā’īl,

hingga diturunkannya kembali kitab Taurat kepada banī Isrā’īl melaluinya. Setelah

itu ‘Uzayr mengumumkan perihal dikembalikannya kitab Taurat yang melalui

perantaraan dirinya, dan hal itu membuat orang-orang takjub hingga menyebutnya

sebagai putera Allah.

Namun, kedua riwayat yang disebutkan al-Ṭabarī menampilkan jalan cerita

yang tidak selaras, meskipun secara esensi memiliki banyak kesamaan. Secara

keseluruhan informasi cerita-cerita tesebut mengandung bias dalam mengetahui

66
Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jil. XIV, h. 203-204.
46

siapakah tokoh ‘Uzayr yang dimaksudkan al-Qur’ān, serta apa perannya di

kalangan banī Isrā’īl, sehingga dia begitu dihormati dan diagungkan oleh orang-

orang Yahudi, apakah beliau ketika itu seorang pendeta atau hanya orang biasa,

yang kemudian berserah diri dan memohon pertolongan kepada Allah atas

kekacauan yang menimpa banī Isrā’īl. Perihal ini al-Ṭabarī tidaklah memberi

komentar ataupun kejelasan mengenai kisah yang terdapat pada kedua riwayat

tersebut, riwayat manakah yang sekiranya lebih kuat dan dapat dijadikan rujukan,

selain itu dia juga tidak mengemukakan pendapatnya, mengenai riwayat yang dia

yakini lebih sesuai dengan fakta sejarah.67

Dan tidak dapat dipungkiri bahwa kedua riwayat tersebut memiliki poin-

poin kesamaan, yang dapat dilihat melalui perbandingan narasi kisah yang terdapat

pada kedua riwayat tersebut. Narasi kisah tersebut juga masih memiliki poin-poin

kesamaan, pada kisah-kisah yang terdapat di dalam kitab Taurat atau Perjanjian

Lama, sebagaimana telah penulis paparkan mengenai poin-poin kesaamaan dan

perbedaannya pada bab sebelumnya. Riwayat-riwayat tersebut dapat dikategorikan

ke dalam riwayat-riwayat Israiliyyat, karena berhubungan dengan kisah-kisah banī

Isrā’īl, terlebih riwayat tersebut tidak bersumber dari Rasulullah Saw.

Meskipun al-Ṭabarī tidak memberikan kejelasan pada riwayat tersebut,

tidak sedikit para mufasir kemudian menukil riwayat-riwayat yang dibawakan al-

Ṭabarī, untuk menjelaskan perihal kisah dan ketokohan ‘Uzayr dikalangan banī

Isrā’īl, dalam menafsirkan surat al-Tawbah ayat ke-30 tersebut. Hal ini terjadi

karena tafsir al-Ṭabarī merupakan salah satu kategori kitab tafsir bi al-ma’thur,

yang menjadi rujukan utama dalam periode tafsir klasik, dan telah menjadi rujukan

67
Lihat, Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jil. XIV, h. 202-204.
47

penting oleh kebanyakan mufasir, bahkan ibn Taimiyyah menyebutnya sebagai

tafsir yang paling shahih.68

Selain daripada polemik yang terdapat pada kisah dalam riwayat-riwayat

tersebut, terdapat juga polemik lain yang berkaitan dengan ‘Uzayr, yakni ketika al-

Ṭabarī memberikan penjelasan mengenai tafsir yuḍāhi’ūna qawl al-ladzīna kafarū

min qabl, dan juga mencantumkan penjelasan-penjelasan ahli ta’wil mengenai itu,

yang dari sebagian besar penjelasan ta’wil tersebut, menyebutkan bahwa orang-

orang Nasrani telah menyerupai orang-orang Yahudi kala itu, dengan menyebut al-

Masih itu putera Allah, sebagaimana orang-orang Yahudi menyebut ‘Uzayr sebagai

putera Allah. 69

Lalu, jika memang benar orang-orang Nasrani menyerupai perkataan orang-

orang Yahudi, maka itu menunjukkan bahwa benar adanya riwayat-riwayat

Isrā’īliyyat yang telah dibawakan al-Ṭabarī tersebut, yakni ketika Allah

menganugerahkan Taurat kepada ‘Uzayr, orang-orang Yahudi menyebutnya

sebagai putera Allah, sebab atas apa yang telah Allah anugerahkan kepadanya.

Akan tetapi pernyataan itu belum dapat dibuktikan, terlebih tidak adanya literatur

Yahudi yang menyebutkan bahwa ‘Uzayr ketika itu disebut sebagai putera Allah,

meskipun sudah diketahui penghormatan terhadapnya cukuplah besar di kalangan

mayoritas umat Yahudi, karena jasa yang telah dilakukannya tidaklah kecil bagi

umat Yahudi.

Pandangan ini juga dapat diperkuat dengan riwayat-riwayat yang

menjelaskan tentang sebab turunnya ayat tersebut, yang menunjukkan bahwa

68
Taqī al-Dīn Abū al-‘Abbās Aḥmad bin ‘Abd al-Ḥalīm bin Taimiyyah al-Ḥarrānī, Majmū’
al-Fatāwá, Jil. XIII (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd liṬibā’at al-Muṣḥaf al-Sharīf, 1416
H/1995 M) h. 385.
69
Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jil. XIV, h. 205-206.
48

perkataan itu – yakni orang-orang Yahudi berkata ‘Uzayr sebagai putera Allah –

terjadi pada masa Rasulullah Saw., maka diturunkanlah ayat tersebut sebagai

bantahan terhadap pernyataan orang-orang Yahudi tersebut, dan penyebutan itu

tidaklah terjadi pada masa ‘Uzayr itu sendiri, dikarenakan tidak adanya bukti

mengenai itu di dalam literatur-literatur mereka.

Sedangkan yang dimaksud dari firman Allah yuḍāhi’ūna qawl al-ladzīna

kafarū min qabl, yakni menyerupai perkataan orang-orang kafir sebelum mereka,

yaitu dengan mengkultuskan para nabi dan ulama mereka secara berlebihan, hingga

memberikannya derajat sebagai putera Allah. Pendapat tersebut bersumber dari

riwayat ahli ta’wil yang dibawakan al-Ṭabarī, melalui riwayat Muhammad bin

Sa’ad, dan hanya riwayat darinya yang memberikan penjelasan yang berbeda dari

riwayat lainnya, yakni dengan penjelasan bahwa mereka (orang Yahudi dan

Nasrani) telah berkata seperti apa yang dikatakan Ahl al-Authān (orang-orang

musyrik atau kafir) sebelum mereka. 70

b. Tafsir al-Qurṭubī

al-Qurṭubī memulai penjelasan tafsir surat al-Tawbah ayat 30 tersebut

dengan memparkan secara singkat kaidah kebahasaan mengenai cara pembacaan

nama ‘Uzayr pada ayat tersebut, dan selanjutnya dia menyatakan bahwa kata al-

Yahūd pada kalimat waqālati al-Yahūdu muncul dengan redaksi teks yang umum

dengan makna yang khusus, karena menurutnya tidak semua orang Yahudi berkata

demikian. Kemudian dia memberikan permisalan dari penggalan ayat pada surat

Āli ‘Imrān ayat 173, yang mengatakan al-ladzīna qāla lahumu al-nās (yaitu orang-

orang yang bagi mereka ada orang-orang yang berkata), dia menjelaskan bahwa

70
Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jil. XIV, h. 206.
49

redaksi ayat tersebut meskipun menggunaka kata al-nās yang bersifat umum,

namun maknanya khusus karena maksud dari kalimat pada ayat tersebut tidaklah

semua orang mengatakan itu, melainkan hanya sebagiannya saja. 71

Begitu juga dengan penyebutan waqālati al-Yahūdu ‘Uzayrun ibn Allah,

menurutnya perkataan itu hanya dikatakan oleh sebagian dari mereka saja, yaitu

sebagaimana diriwayatkan pada beberapa riwayat, bahwa yang mengatakan itu

adalah Salām bin Mishkam, Nu‘mān bin abī Awfá, Shā’su bin Qays, dan Mālik bin

al-Ṣayyif. Mereka adalah orang-orang Yahudi Madinah yang ketika itu mendatangi

nabi untuk mengkritik pemindahan kiblat, dan ketika itu juga mereka menyatakan

bahwa ‘Uzayr adalah putera Allah. 72

Menurutnya riwayat tersebutlah yang benar, dia mendasari pendapatnya

tersebut melalui pernyataan Nuqqāsh, yang mengatakan bahwa saat ini sudah tidak

ada lagi orang Yahudi yang mengatakan demikian. Meskipun ketika itu yang

mengatakan adalah satu orang, mereka akan datang bersama-sama lalu

mengatakannya, untuk menunjukkan kehebatan orang yang akan mengatakannya.

Maka dari itu al-Qurṭubī meyatakan bahwa riwayat yang sahih, adalah riwayat

tentang datangnya sekelompok Yahudi kepada nabi Muhammad Saw.73

Selain itu al-Qurṭubī juga menghadirkan kisah ‘Uzayr, seperti yang

dibawakan oleh al-Tabari, yang menceritakan bahwa ketika itu orang-orang Yahudi

membunuh para nabi-nabi mereka, sampai kepada kisah mereka menɡanɡɡap

‘Uzayr sebaɡai putera Allah. Namun, dia tidak memberikan komentar apapun pada

71
Abū ‘Abdullāh Muḥammad al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ liAḥkām al-Qur’ān, Jil. VII (Cairo: Dār
al-Kutub al-Miṣriyah, 1384 H/1964 M), h. 116.
72
Abū ‘Abdullāh Muḥammad al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ liAḥkām al-Qur’ān, Jil. VII, h. 116.
73
Abū ‘Abdullāh Muḥammad al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ liAḥkām al-Qur’ān, Jil. VII, h. 116.
50

riwayat tersebut dan langsung melanjutkannya pada pembahasan selanjutnya dari

tafsir ayat tersebut. 74

2. Tafsir Abad Pertengahan

Pada bagian tafsir abad pertengahan penulis mencoba mengambil

penjelasan tafsir surat al-Tawbah ayat ke-30, melalui tafsir al-Suyūṭī (849-911 H/

1445-1505 M) yang berjudul Durr al-Manthūr fī al-Tafsīr bil-Ma’thūr, dan tafsir

al-Biqā’ī (809-885 H/ 1406-1480 M) yang berjudul Naẓm al-Durar fī Tanāsub al-

Āyāt wa al-Suwar, lebih khusus penulis bertujuan untuk melihat penafsiran

mengenai ‘Uzayr itu sendiri, beserta penjelasan-penjelasan mengenai siapakah

tokoh ‘Uzayr yang dimaksudkan, yang terdapat pada surat al-Tawbah ayat 30

tersebut.

a. Tafsir al-Biqā‘ī

al-Biqā‘ī di dalam kitab tafsirnya cenderung menggunakan penjelasan ayat-

ayat maupun surat di dalamnya yang saling terkait. Hal ini sesuai dengan pemberian

judul dari nama kitab tafsir tersebut, yang menggambarkan tentang garis besar

dalam bentuk penafsiran beliau. Begitu juga dalam penjelasannya pada tafsir surat

al-Tawbah ayat 30, beliau memberikan penjelasan mengenai keterkaitan di antara

ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya.

Perihal penafsirannya mengenai ‘Uzayr yang terdapat pada ayat tersebut, al-

Biqā‘ī menjelaskan mengenai keterkaiatan ayat ini dengan ayat sebelumnya, yang

membicarakan tentang diperintahkannya untuk mengambil jizyah dari para Ahl al-

74
Abū ‘Abdullāh Muḥammad al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ liAḥkām al-Qur’ān, Jil. VII, h. 116.
51

Kitāb, yaitu pajak keamanan yang diambil dari mereka, dan jika mereka menolak

untuk membayarnya maka ganjaran bagi mereka adalah diperangi.75

Anjuran untuk mengambil pungutan jizyah kepada Ahl al-Kitāb tersebut,

bersumber dari firman-Nya yang terdapat pada ayat sebelumnya, yakni surat al-

Tawbah ayat 29, berikut ini adalah ayat yang dimaksud:

‫ٱۡل ِخ ِر َو َال ي َُحرِّ ُنو َ َنا َح هر َم ه‬


‫ٱَّللُ َو َرسُولُهۥُ َو َال‬ ‫َٰقَلِهُو م ٱله ِيينَ َال ي َُۡ ِننُو َ بِ ه‬
ٓ ۡ ‫ٱَّللِ َو َال بِ ۡٱليَ ۡو ِم‬
َ ‫ص ِغرُو‬ َ َٰ ۡ‫ب َحله َٰي ي ُۡعطُو م ۡٱل ِج ۡزيَةَ عَن يَ ٖد َوهُم‬َ َ‫ق ِننَ ٱله ِيينَ ُّوتُو م ۡٱل ِن َٰل‬ ِّ ‫يَ ِدينُو َ ِدينَ ۡٱل َح‬

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada Hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak beragama dengan
agama yang benar, (yaitu orang-orang) yang diberikan kepada mereka al-
Kitab; (perangilah mereka) sampai mereka membayar jizyah dengan patuh,
sedangkan mereka dalam keadaan tunduk.”.76

Berdasarkan ayat tersebut al-Biqā‘ī menjelaskan tentang diberlakukannya

pungutan jizyah bagi para Ahl al-Kitāb yang terjadi pada masa penaklukan,

termasuk kepada kalangan Majusi yang juga digolongkan oleh sebagian ulama

sebagai Ahl al-Kitāb. Lalu, al-Biqā‘ī menjelaskan bahwa mereka itu (Ahl al-Kitāb),

telah melakukan banyak penyelewengan terhadap ilmu-ilmu yang diturunkan

kepada mereka, maka diangkatlah ilmu-ilmu tersebut dari hati-hati mereka,

sehingga jelaslah sifat-sifat mereka tersebut bagi orang-orang yang memahaminya.

Selanjutnya al-Biqā‘ī menyatakan bahwa perintah untuk memerangi dan mecirikan

mereka, adalah suatu hal yang sudah ditetapkan, sebagaimana hal ini didasari oleh

75
Jizyah adalah suatu bayaran sejenis zakat atau pajak yang diberlakukan kepada Ahl al-
Kitāb. Para Ahl al-Kitāb yang dimaksud adalah mereka yang disebut Ahl al-Dzimmah, yaitu mereka
yang setelah terjadinya penaklukan oleh umat Muslimin, mereka berada dibawah pengawasan dan
perlindungan umat Muslimin. Karena perlindungan dan rasa aman yang telah diberikan umat
Muslimin kepada mereka, maka mereka diwajibkan untuk membayar jizyah.
76
M. Quraish Shihab, Al-Qur’an & Maknanya (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 191.
52

pernyataan-pernyataan mengenai kebolehan untuk memerangi mereka, serta

diwajibkannya memerangi mereka, sebab kezhaliman yang telah mereka lakukan

seperti yang akan dijelaskan pada ayat selanjutnya. 77

Kemudian beliau melanjutkan dengan menjelaskan pengertian dari kata wa

qālat pada surat al-Tawbah ayat 30, yang diartikan untuk memerangi Ahl al-Kitāb

dikarenakan kekafiran mereka, hal ini karena kita dapat mencirikan mereka

berdasarkan perkataan mereka, yaitu ketika mereka telah melakukan kedustaan

serta tuduhan terhadap orang-orang tertentu, sebagaimana orang-orang Yahudi

berkata bahwa ‘Uzayr adalah putera Allah. Dengan demikian mereka telah

berlebih-lebihan dalam menghormatinya sehingga menyebutnya sebagai putera

Allah, sedangkan tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai Allah, hal ini

sebagaimana firman-Nya laysa kamithlihi shay’un. 78

al-Biqā‘ī melanjutkan mengenai asal penamaan ‘Uzayr itu sendiri, yang

penamaannya itu berdasarkan dari kitab-kitab mereka, yang menjelaskan tentang

kisah nabi-nabi dan raja-raja, dan ‘Uzayr dikenal juga dengan nama al-‘Āzar

sebagai bentuk asli dari nama al-‘Uzayr, yakni disebut al-‘Uzayr karena perubahan

yang disebabkan oleh peng-Araban dari nama tersebut, dan beliau mengatakan

bahwa ‘Uzayr dan Ezra adalah person yang berbeda, dikarenakan al-‘Āzar dan Ezra

bukanlah orang yang sama, lagipula meskipun Ezra telah menghimpun kembali

kitab Taurat, akan tetapi dia bukanlah seorang nabi. Pendapat al-Biqā‘ī tersebut

berdasarkan dari pendapat Sama’uāl al-Maghribī, seoarng Rabi Yahudi asal

77
Ibrāhīm bin ‘Umar bin Ḥasan al-Ribāṭ bin ‘Alī bin Abī Bakr al-Biqā‘ī, Naẓm al-Durar fī
Tanāsub al-Āyāt wa al-Suwar, Jil. VIII (Cairo: Dār al-Kitāb al-Islāmī, t.th), h. 435-437.
78
Ibrāhīm bin ‘Umar al-Biqā‘ī, Naẓm al-Durar fī Tanāsub al-Āyāt wa al-Suwar, Jil. VIII,
h. 437.
53

Maroko yang kemudian memeluk Islam, dan menuliskan bantahan-bantahan

terhadap orang-orang Yahudi maupun Nasrani di zamannya. 79

Berdasarkan penjelasan dari al-Biqā‘ī tersebut menunjukkan bahwa tokoh

‘Uzayr tersebut, adalah seorang yang telah dikenal baik dikalangan umat Yahudi,

yakni dia adalah seorang yang bernama al-‘Āzar, yang kemudian dikultuskan oleh

mereka dengan menganggapnya sebagai putera Allah, sedangkan tokoh yang

bernama Ezra dengan al-‘Āzar bukanlah orang yang sama, dan dia juga bukanlah

seorang nabi sebagaimana pandangan orang-orang Arab pada umumnya., namun

beliau sangat dikenal akan jasa besarnya karena beliau telah menghimpun kembali

kitab Taurat.

Pendapat ini mungkin saja benar dikarenakan al-Biqā’ī mengutip langsung

dari pernyataan mantan Rabi Yahudi yang telah memeluk Islam. Akan tetapi

siapakah al-‘Āzar yang dimaksud oleh Sama’uāl al-Maghribī, nampaknya tidak

mungkin dia adalah seorang yang sama dengan Āzar, yang disebutkan di dalam al-

Qur’ān pada surat al-An’am ayat 74, yang jika dipahami secara letterlek

menunjukkan bahwa dia adalah ayah dari nabi Ibrāhīm As, yang berprofesi sebagai

pembuat berhala.80

79
Ibrāhīm bin ‘Umar al-Biqā‘ī, Naẓm al-Durar fī Tanāsub al-Āyāt wa al-Suwar, Jil. VIII,
h. 437.
80
Sebagian ulama berebeda pendapat mengenai status Āzar di sisi nabi Ibrāhim, ada yang
mengatakan bahwa dia memang ayahnya nabi Ibrāhim, meskipun secara ilmu nasab nama ayah nabi
Ibrāhim yang diketahui adalah Tāraḥ atau Tārakh, dan kemudian mengatakan bahwa Āzar adalah
laqab dari Tāraḥ. Ada juga yang berpendapat bahwa Āzar bukanlah nama ayahnya nabi Ibrāhim,
melainkan nama berhala, lalu ada juga ulama yang berpendapat bahwa nisbah kata ab (bapak)
kepada Āzar, bukan bermakna ayah kandung, melainkan pamannya. Selain itu ada juga yang
mengatakan bahwa Āzar merujuk pada nama Tāraḥ di dalam kitab Taurat, melalui bentuk yang
sudah diterjemahkan ke bahasa Yunani, dalam bentuk perubahan Tāraḥ - Thara – Āthar, lalu dalam
penyebutan al-Qur’ān disebutkan dengan nama Āzar.
54

Hal ini karena perkara tersebut berhubungan dengan umat Yahudi sebagai

penganut ajaran nabi Musa As, yang diberikan kitab Taurat di sisinya, sedangkan

Āzar tersebut adalah seorang yang hidup jauh sebelum di zaman nabi Musa, yakni

di zaman hidup nabi Ibrāhīm. Maka dari itu, kedua tokoh ini tidaklah mungkin

orang yang sama, dan jika melihat penerjemahan Moshe Perlman dari tulisan

Sama’uāl al-Maghribī tersebut, kata al-‘Āzar yang dimaksud adalah merujuk

kepada Elazar atau Eliezer, yang namanya disebutkan dalam Bible di Genesis 15:2,

yakni al-‘Āzar yang dimaksud adalah Eliezer dari Damaskus.81

Namun, berdasarkan narasi kisah di dalam Bible yang menyebutkan tentang

Eliezer dari Damaskus tersebut, menunjukkan bahwa dia pun hidup di masa nabi

Ibrāhīm, selain itu dia juga hidup dan tinggal bersama nabi Ibrāhīm. Namun, dia

bukanlah ayah dari nabi Ibrāhīm melainkan budaknya nabi Ibrāhīm As,

sebagaimana yang telah dinarasikan dalam naskah Bible, di Genesis 15: 1-6, yang

menejelaskan tentang kesedihan nabi Ibrāhīm karena tak kunjung memiliki

keturunan, dan khawatir bahwa nanti Eliezer yang kelak menjadi ahli warisnya,

hingga sampai turunnya firman Tuhan yang mengabarkan, bahwa nabi Ibrāhīm

akan memiliki keturunan yang banyak melalui anak kandungnya.82

Dengan demikian, jika al-‘Āzar yang dimaksud adalah Āzar ataupun

Eliezer, sedangkan keduanya hidup di zaman nabi Ibrāhīm dan juga termasuk

orang-orang yang memiliki kedekatan dengannya, sudah barang tentu bahwa

penisbatannya kepada tokoh ‘Uzayr ini adalah suatu kerancuan, yakni jika tokoh

‘Uzayr dinisbahkan kepada tokoh Eliezer tersebut, maka hal ini menunjukkan pula

81
Samau’āl al-Maghribī, Ifḥām al-Yahūd, terjemahan Moshe Perlmann (New York:
American Academy For Jewish Research, 1964), h. 60.
82
Hebrew-English Tanakh The Jewish Bible (Skokie: Varda Books, 2009), h.24.
55

bahwa nabi Ibrāhīm dan Eliezer adalah orang Yahudi, sedangkan nabi Ibrāhīm

bukanlah orang Yahudi ataupun Nasrani, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ān

surat Āli ‘Īmrān ayat 67. Dan munculnya penyebutan Yahudi maupun Nasrani,

tidaklah bermula di zaman nabi Ibrāhīm, melainkan munculnya jauh setelah

berlalunya zaman nabi Ibrāhīm As.

Maka dari itu, dalam pandangan penulis penisbatan yang disnisbatkan al-

Biqā‘ī, terhadap tokoh ‘Uzayr kepada tokoh Eliezer ataupun Āzar tidaklah dapat

diajadikan sandaran, karena hal tersebut justru akan lebih mengaburkan, dan bukan

memperjelas mengenai siapakah tokoh ‘Uzayr yang dimaksudkan al-Qur’ān, dan

juga tidak terdapat bukti mengenai bahwa orang-orang Yahudi menyebutkan

Eliezer adalah putera Allah, dan al-Biqā‘ī maupun Sama’uāl al-Maghribī juga tidak

memberikan penjelasan, mengenai sebab apakah yang mendasari bahwa tokoh

Eliezer tersebut, adalah orang yang sama dengan tokoh ‘Uzayr yang terdapat di

dalam al-Qur’ān.

b. Tafsir al-Suyūṭī

Pada kitab tafsirnya al-Suyūṭī memberikan penjelasan-penjelasan mengenai

riwayat-riwayat yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut, dan kemudian

beliau juga menampilkan riwayat-riwayat berkenaan dengan kisah ‘Uzayr, melalui

beberapa jalur riwayat, termasuk riwayat yang telah dibawakan al-Ṭabarī di dalam

tafsirnya yang menjelaskan tentang kisahnya ‘Uzayr.

Selain daripada riwayat-riwayat yang telah dibawakan al-Ṭabarī, al-Suyūṭī

juga membawakan dari jalur riwayat lain, seperti riwayat yang bersumber dari jalur

Abū Sheikh dari Ka‘ab, yang mengatakan bahwa ‘Uzayr berdoa kepada Allah, lalu

ditemukannya Taurat sebagaimana Taurat itu diturunkan kepada Musa ‘Alaihi al-
56

Salām di dalam hatinya, yang kemudian Allah turunkan kepadanya, dan setelah itu

orang-orang Yahudi berkata ‘Uzayr itu putera Allah.83

Namun, meskipun secara garis besar al-Suyūṭī dalam menampilkan riwayat

yang menjelaskan mengenai kisah ‘Uzayr, beliau tidaklah menampakkan kisah

yang berbeda mengenai ‘Uzayr dengan riwayat yang dibawa oleh mufassir lain

pada umumnya, akan tetapi beliau memeberikan riwayat yang menjelaskan bahwa

nabi Saw. ragu mengenai status dan peran ‘Uzayr itu sendiri.

Berbeda dengan al-Biqā‘ī yang menyebutkan bahwa ‘Uzayr bukanlah

seorang nabi, al-Suyūṭī justru menampilkan riwayat hadis yang menyatakan

keraguan nabi Saw. perihal ketokohan ‘Uzayr tersebut, yakni nabi sendiri tidaklah

mengetahui secara pasti status dan perannya ‘Uzayr dikalangan banī Isrā’īl.

Riwayat tentang keraguan nabi Saw. tersebut disampaikan oleh al-Suyūṭī melalui

jalur ibn Mardawayh, bahwa nabi berkata “Aku tidak mengetahui apakah ‘Uzayr

itu seorang nabi ataukah bukan”, lalu al-Suyūṭī menambahkan penjelasannya

dengan riwayat yang bersumber dari al-Bukhārī, tentang dimurkainya orang-orang

Yahudi dan Nasrani karena telah mengatakan bahwa Allah memiliki putera,

sebagaimana Yahudi berkata ‘Uzayr itu putera Allah dan Nasrani berkata al-Masīḥ

itu putera Allah, maha suci Allah dari hal tersebut . 84

Hal ini telah menunjukkan bahwa pada umumnya di masa nabi Saw,

meskipun bangsa Arab kala itu bersinggungan langsung dengan orang-orang

Yahudi, mereka tidaklah mengenal ajaran serta sejarah bangsa Yahudi secara

mendalam, bahkan tidak sedikit juga orang-orang Yahudi yang juga tidak begitu

83
‘Abd al-Raḥman Abī Bakr Jalāluddīn al-Suyūṭī, Al-Durr al-Manthūr fī Tafsīr bil-
Ma’thur, Jil. IV (Beirut: Dār al-Fikr, t.th), h. 172.
84
Jalāluddīn al-Suyūṭī, Al-Durr al-Manthūr fī Tafsīr bil-Ma’thur, Jil. IV, h. 173.
57

memahaminya, karena di antara mereka pun juga ada orang-orang yang disebut

ummi atau tidak memahami kitab-kitab, sebagaimana disebutkan dalam surat al-

Baqarah ayat 78 , sehingga bukan tidak mungkin terjadi kesalapahaman, di antara

sebagian besar orang Arab dan Yahudi dalam memahami maksud-maksud dari

firman Allah (al-Qur’ān) yang sampai kepada mereka.

Namun, meskipun demikian inti dari diturunkannya ayat tersebut, adalah

untuk mentauhidkan serta mensucikan Allah, dari segala bentuk kemusyrikan yang

ada pada saat itu, sebagaimana sebelumnya telah dijelaskan pada sebab nuzul dari

ayat tersebut, yang menjelaskan tentang keterkaiatan ayat ini kepada ayat

setelahnya, dengan penjelasan larangan menjadikan para pembesar agama seperti

seolah-olah Tuhan itu sendiri.

3. Tafsir Modern

Pada kategori penafsiran dari tafsir modern, penulis menggunakan dua tafsir

modern yang akan digunakan dalam membaca ketokohan ‘Uzayr lebih lanjut, serta

untuk melengkapi dan memperluas pandanganan, melalui penafsiran ulama tafsir

modern dalam melihat penafsiran mengenai tokoh ‘Uzayr tersebut, dan kitab tafsir

yang akan penulis gunakan adalah tafsir al-Marāghī (1298-1364 H/ 1881-1945 M)

dan tafsir Ibn ‘Āshūr (1296-1393 H/ 1879-1973 M).

a. Tafsir al-Marāghī

Al-Marāghī dalam penafsirannya mengenai ‘Uzayr, menjelaskan mengenai

siapakah yang dimaksud dengan ‘Uzayr, dan kemudian beliau menyebutkan bahwa

‘Uzayr adalah dia yang dikenal dengan Ezra oleh para Ahl al-Kitāb, yang nasabnya

tersambung sampai kepada al-‘Āzār bin Hārun. Ezra dikenal juga sebagai Kāhin
58

(pendeta) Yahudi yang hidup disekitar tahun 457 SM, yang telah menyusun

kembali Kitab Taurat dengan bahasa Keldaniyah, menggantikan bahasa Ibrani yang

digunakan sebelumnya. Ezra juga termasuk orang yang berjasa besar dalam

menghidupkan syari‘ah Yahudi, yang sebelumnya telah dilupakan oleh mereka, dan

karena itu dia begitu disucikan oleh orang-orang Yahudi, sampai-sampai sebagian

Yahudi Madinah memberikan julukan kepadanya, dengan julukan ibn Allah (putera

Allah).

Perkataan mereka tersebut berdasarkan dari perkataan sebagian dari mereka,

sedangkan penisbahannya disandarkan kepada umat (Yahudi) secara keseluruhan,

hal ini dikarenakan secara umum suatu umat atau kaum diketahui saling tolong-

menolong dalam berbagai urusan mereka, dan apa yang dilakukan oleh sekelompok

atau sebagian mereka akan berdampak kepada umat secara keseluruhan, namun jika

apa yang telah dilakukan oleh sebagian mereka tidak diingkari atau dibinasakan

oleh mayoritas mereka, maka mereka semua akan disiksa sebagaiman firman-Nya,

pada surat al-Anfāl ayat 25:

ِ ‫ٱَّللَ َش ِدي ُد ۡٱل ِعقَا‬


‫ب‬ ۡ ‫صيلَ هن ٱله ِيينَ ظَهَ ُمو م ِنن ُنمۡ َخآص ِۖهة َو‬
‫ٱعهَ ُم ٓو م َّ ه ه‬ ِ ُ‫َوٱتهقُو م فِ ۡلنَة هال ت‬

“Dan peliharalah dirimu dari siksa yang sekali-kali tidak menimpa secara
khusus orang-orang yang zalim di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah
sangat keras pembalasan-(Nya).”.85

Kemudian al-Marāghī melanjutkan, dengan perumpamaan bahwa

penisbatan secara umum terhadap mereka itu seperti adanya suatu wabah penyakit,

yang disebabkan oleh banyaknya kotoran dan juga karena mengabaikan tatanan

kesehatan, maka wabah tersebut bukan hanya akan menimpa sebagian dari mereka

85
M. Quraish Shihab, Al-Qur’an & Maknanya (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 179.
59

yang tidak bersih, melainkan juga akan menimpa yang lainnya dan akan tersebar

kepada suatu kaum secara keseluruhannya.

Selain itu, mengenai sejarah yang berhubungan dengan kisah ‘Uzayr, al-

Marāghī menyebutkan, bahwa masyhur dikalangan para sejarah dan juga sejarawan

dari kalangan Ahl al-Kitāb, mengenai hilangnya kitab Taurat yang telah ditulis oleh

nabi Musa As, dan kemudian disusun kembali oleh Ezra menggunakan bahasa

Keldaniyah melalui perantaraan wahyu atau ilham. Dan dikatakan juga bahwa Ezra

telah menyusun kembali 70 kitab selain dari pada kitab undang-undang (apokrif).

Lalu, mengenai penyandaran ‘Uzayr kepada Ezra yang terdapat pada kitab-kitab

para Ahl-Kitāb, al-Marāghī menyatakan bahwa ringkasnya penyandaran ‘Uzayr

mengacu kepada Ezra yang terdapat pada kitab-kitab mereka, meskipun

penyandaran tersebut bersifat lemah.86

b. Tafsir Ibn ‘Āshūr

Ibn ‘Āshūr menjelaskan perihal ‘Uzayr di dalam tafsirnya, dengan

menjelaskan siapakah ‘Uzayr tersebut. Dalam penjelasannya beliau menyatakan

bahwa ‘Uzayr adalah salah satu pendeta besar Yahudi, yang hidup di era Babylonia

dan namanya di dalam bahasa Ibrani dikenal dengan nama Ezra bin Sarāyā, yanɡ

berasal dari keturunannya kaum lewi/levi.

Ezra adalah seoranɡ yanɡ hafal kitab Taurat, dan pada masanya dia juɡa

dikenal sebaɡai seoranɡ yanɡ telah dipersilahkan oleh Koresh (seoranɡ raja Persia)

untuk kembali ke Yerusalem bersama banī Isrā’īl dari neɡeri Babel kala itu. Selain

diizinkan untuk kembali ke Yerusalem oleh Koresh, dia beserta banī Isrā’īl juɡa

86
Aḥmad bin Muṣtafá al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, Jil. X (Mesir: Muṣtafá al-Bābī al-
Ḥalabī wa Awlādih, 1365 H/ 1946 M) h. 97-99.
60

diizinkan untuk membanɡun kembali kuil mereka di sana, dan kemudian denɡan

kitab Taurat yanɡ telah dihafalnya, Ezra menɡembalikan ajaran syari’at Taurat yanɡ

telah luput dikalanɡan banī Isrā’īl.

Namun, setelah itu banī Isrā’il menɡaɡunɡkannya hinɡɡa melampaui batas

kewajarannya, yanɡ mana mereka menyebutnya sebaɡai putera Allah. Mereka telah

berlebih-lebihan dalam menɡkuduskannya sehinɡɡa menyifati ‘Uzayr denɡan

demikian. Yanɡ mana mereka telah menɡanɡɡap Tuhan memiliki anak

sebaɡaimana makhluk.

Lalu, ibn ‘Āshūr menyatakan bahwa perkataan tersebut adalah perkataan

dari sekelompok pendeta Yahudi Madinah, dan para da’i dikalangan mereka juga

tidak khawatir atas pengagungan yang dinisbahkan kepada ‘Uzayr tersebut, yaitu

mereka telah sampai menyifatinya sebagai putera Allah. Perkataan mereka itu

menyerupai perkataan orang-orang Nasrani yang telah menyifati al-Masih dengan

penyifatan yang serupa, dan juga menyerupai perkataan pendahulu mereka yang

disebutkan di dalam surat al-A‘rāf ayat 138, yang meyebutkan bahwa mereka

berkata kepada nabi Musa, untuk menciptakan tuhan-tuhan atau berhala-berhala

untuk mereka sembah, seperti yang dilakukan oleh kaum musyrikin kala itu.

Adapun mengapa al-Qur’ān menisbahkannya kepada umat Yahudi secara

keseluruhan, sedangkan yang mengatakannya hanya sejumlah orang dari mereka.

Ibn ‘Āshūr menjelaskan bahwa sebab diumumkannya kepada keseluruhan dari

mereka adalah, karena sebagian lain dari mereka bersikap diam, terhadap perkataan
61

mungkar yang muncul dari sebagian mereka itu. Bahkan mereka bersepakat untuk

ridha terhadap hal tersebut.87

C. Asal Penyebutan Nama ‘Uzayr

Terdapat berbagai panadangan yang mengatakan mengenai asal-usul nama

‘Uzayr, baik dari kalangan sarjana barat maupun sarjana Muslim, dan di antara

berbagai asusmsi para sarjanawan tersebut, terdapat berbagai pandangan yang

sangat beragam mengenai siapakah yang dimaksudkan al-Qur’ān dengan nama

‘Uzayr tersebut di dalam tradisi Yudaisme. Maka dari itu penulis akan mencoba

untuk memaparkan, penjelasan dari para sarjanawan tersebut mengenai siapakah

yang tokoh ‘Uzayr dalam pandangan mereka.

1. Pandangan Sarjana Muslim

Pandangan mengenai asal-usul penyebutan nama ‘Uzayr di antara sarjana

Muslim, pada umumnya adalah seperti apa yang telah banyak dijelaskan oleh para

mufassir, yakni bermula dari perkataan orang-orang Yahudi Madinah, dan

mengenai penisbatannya sebagai putera Allah sudah diawali oleh orang-orang

Yahudi semenjak Allah mengilhamkan Taurat kepada ‘Uzayr, seperti yang telah

dikisahkan dari beberapa riwayat tentang itu.88

87
Muḥammad al-Ṭāhir bin Muḥammad bin Muḥammad al-Ṭāhir bin ‘Āshūr al-Tunisī, al-
Taḥrīr al-Ma‘ná al-Sadīd wa al-Tanwīr al-‘Aql al-Jadīd min Tafsīr al-Kitāb al-Majīd, Jil. X
(Tunisia: Dār al-Tunisiah, 1984), h. 167-168.
88
Lihat, Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jil. XIV, h. 202-204.
Abū al-Fidā’ bin Ismā’īl bin ‘Umar bin Kathīr al-Qurashī al-Baṣrī al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur’ān al-
‘Azīm, Jil. IV (T.tp.: Dar al-Tayyibah, 1420 H), h. 134. Abū ‘Abdullāh Muḥammad al-Qurṭubī, Al-
Jāmi‘ liAḥkām al-Qur’ān, Jil. VII (Cairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyah, 1384 H/1964 M), h. 116-117.
‘Abd al-Raḥman Abī Bakr Jalāluddīn al-Suyūṭī, Al-Durr al-Manthūr fī Tafsīr bil-Ma’thur, Jil. IV
(Beirut: Dār al-Fikr, t.th), h. 171-173. Ibrāhīm bin ‘Umar bin Ḥasan al-Ribāṭ bin ‘Alī bin Abī Bakr
al-Biqā‘ī, Naẓm al-Durar fī Tanāsub al-Āyāt wa al-Suwar, Jil. VIII (Cairo: Dār al-Kitāb al-Islāmī,
t.th), h. 435-437.
62

Selain dari pendapat itu terdapat pendapat lain, seperti yang dikemukakan

oleh Ibn Ḥazm di dalam tulisannya. Beliau menyatakan bahwa asal-usul

penyebutan nama ‘Uzayr, bermula dari sekelompok sekte Yahudi yang dikenal

dengan nama Ṣaddūqiyyah.89 Menurutnya pernyataan bahwa “‘Uzayr itu putera

Allah” dikatakan oleh sekte Yahudi tersebut, dan lebih lanjut dia memperjelas

mengenai sekte Sadduqi yang dia maksud, yaitu sekte Sadduqi yang terdapat di

Yaman.90

Kemudian, pendapat lainnya muncul dari pendapat Sa’īd bin Ḥasan, seorang

mantan Yahudi yang kemudian memeluk Islam, dan menulis buku tentanɡ ramalan

kenabian nabi Muhammad di dalam Taurat. Dan di dalam bukunya itu, dia juɡa

menjelaskan perihal perkataan “‘Uzayr putera Allah” tersebut, yang menurutnya

perkataan itu muncul dari perkataan sekte Yahudi al-Qarā’ūn (Karaite),91 yang kala

itu sebaɡian mereka menetap di tanah Hijāz.92

Adapun pendapat lainnya juga muncul dari seorang mantan Yahudi asal

Maroko, yaitu Sama’uāl al-Maghribī di dalam tulisannya untuk menentang dan

89
Ṣaddūqiyah atau lebih dikenal dengan nama Sadducees, adalah sebuah partai atau
lembaga Yahudi di Era Yesus Kristus, yang menolak hukum oral yang telah Tuhan wahyukan
kepada banī Isrā’īl. Penyebutan Sadducees berasal dari kata zadok yang juga sering diartikan
“pendeta tinggi”. Lihat, William Smith, Dictionary of The Bible, Jil. IV (Cambridge: Riverside
Press, 1872), h. 2777. Ibn Ḥazm menyebutkan kelompok ini adalah kelompok yang terhubung
kepada seorang yang disebut Ṣadūq. Lihat, ‘Alī bin Ḥazm, Al-Faṣlu Milal wa al-Ahwā wa al-Niḥal,
Jil. I, h. 82.
90
‘Alī bin Ḥazm al-Andalusī al-Ẓāhirī, Al-Faṣlu Milal wa al-Ahwā’ wa al-Niḥal; wa bi-
Hāmishihi al-Milal wa al-Niḥal, Jil. I (Cairo: Maktabah al-Salām al-‘Ālamiyah, 1348 H), h. 82.
91
Sekte Karaite atau paham Karaisme adalah sebuah sekte Yahudi anti-rabbinic yang
muncul pada abad ke-9, yang dilandasi oleh gagasan-gagasan Anan ben David di abad ke-8 Yahudi
Persia, sekte ini tersebar dan juga terdapat para penganutnya di era kekuasaan muslim. Salah satu
pandangan Ben David yaitu menurutnya semua hukum sudah termuat di dalam Taurat, dan
penafsiran oral para rabi tidaklah penting. Lihat, John Hawkins, The Story of Religion (London:
Arcturus, 2016). Kelompok ini disebut oleh Ibn Ḥazm dengan nama ‘Anāniyah, dia menyebutkan
sekte ini terdapat di ‘Irāq, Meṣir, Shām, dan Andalus. Lihat, Alī bin Ḥazm, Al-Faṣlu Milal wa al-
Ahwā wa al-Niḥal, Jil. I, h. 82.
92
Sa‘īd bin Ḥasan al-Iskandarānī, Masālik al-Naẓar fī Nubuwwah Sayyid al-Bashar
(‘Ammān: Maktabah al-Zahra’, T.t.), h. 71.
63

membantah orang-orang Yahudi. Dan di dalamnya dia mengemukakan

pendapatnya perihal ‘Uzayr, menurutnya ‘Uzayr terdapat di dalam al-Qur’ān itu

bukanlah Ezra, melainkan ‘Uzayr itu adalah al-‘Uzayr (al-‘Āzar/Eliazar) dari

Damaskus, yang juga dikenal sebagai budaknya nabi Ibrahim As. 93

Kemudian, pendapat Dr. Salah ed-Dine Kechrid tentang ‘Uzayr pada al-

Qur’ān terjemahannya dalam bahasa perancis, menurutnya ‘Uzayr dalam tradisi

Yudaisme adalah ‘Uzziyā, yaitu salah seorang nabi Ibrani, yang namanya telah

diarabkan menjadi ‘Uzayr.94 Pendapat Kechrid itu mungkin karena ‘Uzziyā

beberapa kali disebut sebagai ‘Azaryah di Bible, sehingga terjadinya kerancuan

dalam menyebut ‘Uzziyā dan ‘Azaryah menjadi ‘Uzayr. Walaupun menurut J. F.

Driscoll munculnya nama ‘Azaryah adalah perubahan dari nama ‘Uzziyā, yang

kemungkinan karena kesalahan ketika dalam penyalinan naskah.95

Berdasarkan pendapat para sarajana Muslim di atas, mengenai ‘Uzayr dan

asal-usulnya cukup beragam. ‘Uzayr seringkali dihubungkan kepada tokoh Ezra

melalui pendapat sarajana Muslim tersebut, yang sebagian dari mereka adalah

seorang penganut agama Yahudi sebelum memeluk Islam, mereka juga tidak

memberikan pendapat yang sama mengenai ‘Uzayr.

2. Pandangan Sarjana Barat

Di antara pandangan sarjana Barat mengenai asal atau sebab penyebutan,

serta siapakah tokoh yang terkoneksi di dalam ajaran Yudaisme, dengan tokoh

93
Samau’āl al-Maghribī, Ifḥām al-Yahūd, terjemahan Moshe Perlmann (New York:
American Academy For Jewish Research, 1964), h. 63.
94
Dr. Salah Ed-Dine Kechrid, al-Qur’ān al-Karīm: Traduction et Notes, 5th ed. (Beirut:
Dar el-Gharb el-Islami, 1990), h. 245.
95
James F. Driscoll, “Ozias,” The Catholic Encyclopedia, Vol. XI (1911), artikel diakses
pada 10 April 2018 dari http://www.newadvent.org/cathen/11379a.htm
64

‘Uzayr yang terdapat di dalam al-Qur’ān cukuplah beragam, dan terdapat berbagai

argumen mengenai keterkaitan tokoh ‘Uzayr tersebut, dengan tokoh-tokoh yang

mereka nisbahkan sebagai ‘Uzayr, yang merujuk kepada literatur-literatur yang

terdapat di dalam ajaran Yudaisme, serta hal-hal yang berhubungan dengan

penisbatannya sebagai “putera Allah”.

Pendapat pertama adalah pendapat yang mengatakan bahwa ‘Uzayr, adalah

tokoh yang bernama Uziel (‫ )עוזיאל‬atau Azazel (‫)עזזאל‬, yang terdapat di dalam

literatur mereka, tokoh ini adalah seoranɡ tokoh yang digambarkan sebagai sesosok

malaikat, yang kemudian diturunkan ke bumi karena sebab-sebab tertentu, dan

tokoh ini juga dikenal sebaɡai salah satu dari tokoh fallen angels. Pendapat ini

sebagimana telah didasari oleh dugaan Cassanova, yang disebutkan oleh Jeffery di

dalam bukunya.96

Steven M. Wassersom juga merujuk pada dugaan Cassanova, mengenai

dugaannya tentang ‘Uzayr yang dikoneksikan sebagai “putera Allah”, yakni

menurut dugaan Cassanova bahwa ‘Uzayr yang dimaksudkan di dalam al-Qur’ān

mungkin saja adalah Azazel, sebagaimana telah diketahui bahwa sosok Azazel ini

adalah sosok yang dipercayai sebagai salah satu tokoh dari fallen angels, karena

Azazel dan para malikat lainnya yang diturunkan ke bumi, disebutkan juga di dalam

litaretur mereka dengan sebutan “anak-anak Tuhan”.97

Selain pendapat yang mengatakan bahwa ‘Uzayr adalah Azazel, seperti

dugaan yang dikemukakan Cassanova tersebut, ada juga pendapat lain yang

menghubungkan tokoh ‘Uzayr dengan tokoh-tokoh lainnya, yaitu pendapat yang

96
Arthur Jeffery, The Foreign vocabulary of The Qur’an (Baroda: Oriental Institute, 1938).
h. 214.
97
Steven M. Wassersom, Between Muslim and Jew: The Problem of Symbiosis Under Early
Islam (New Jersey: Princeton University Press, 1995), h. 183.
65

muncul dan dikemukakan oleh sarjana barat lainnya, salah satunya berasal dari

asumsi yang dikemukakan oleh C. C. Torrey, dia memberikan asusmi bahwa Ezra

yang terdapat di dalam ajaran Yudaisme, selain terkoneksi kepada tokoh ‘Uzayr

yang terdapat di dalam al-Qur’ān, Torrey juga menghubungkan Ezra dengan nabi

Idrīs yang namanya juga disebutkan di dalam al-Qur’ān beberapa kali. Torrey

mendasari pendapatnya tersebut dengan dasar, bahwa nama Idrīs berasal dari

penyebutan nama Ezra yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin, yakni

Esdras yang kemudian disebutkan oleh al-Qur’ān dengan nama Idrīs.98

Melalui pendapatnya tersebut secara tidak langsung Torrey menyatakan

bahwa tokoh ‘Uzayr dengan nabi Idrīs yang terdapat di dalam al-Qur’ān adalah

person yang sama, yakni keduanya mengacu kepada tokoh Ezra yang terdapat di

dalam kitab Taurat, dan selain itu nama Idrīs juga memiliki akar kata dari kata

darasa dalam bahasa Arab, yang bermakna belajar atau yang berhubungan dengan

pelajaran, hal itu pun juga disandingkan dengan Ezra dengan alasan bahwa Ezra

telah diberikan karunia oleh Tuhan untuk menyusun kembali kitab Taurat.99

Pendapat yang lainnya yang hampir serupa muncul dari Gordon Newby,

yang menghubungkan ‘Uzayr dengan Enoch, Gordon mengatakan bahwa beberapa

orang Yahudi Arab pada masa awal Islam, telah menyamakan Ezra dengan Enoch,

karena Enoch telah diasumsikan sebagai orang yang telah pergi ke surga, lalu

melepaskan status kemanusiaannya dan berubah menjadi metraton. Tokoh bernama

Metraton ini, diketahui dalam ilmu kosmologi adalah seorang pemimpin mahluk

98
Charles Cutler Torrey, The Jewish Foundation of Islam (New York: Jewish Institute of
Religion Press, 1933), h. 72.
99
Yoram Erder, “The Origin of The Name Idrīs in The Qur’ān; a Study The Influence of
Qumran Literature on Early Islam,” Journal of Near Eastern Studies 49, no. 4 (Oktober, 1990), h.
341.
66

surgawi, yang juga dikenal dengan sebutan b’nê ‘elôhîm, dan penyebutan tersebut

jika dipahami secara literal akan bermakna “puteranya Tuhan.” Penyebutan serupa

yang terdapat pada ayat yang menyebut ‘Uzayr tersebut, telah mewarnai polemik

di antara Yahudi dan Islam.100

Berdasarkan pendapat Gordon tersebut menunjukkan bahwa, orang-orang

Yahudi Madinah kala itu telah miskonsepsi dalam memahami ketokohan Ezra

dalam ajaran Yudaisme, yakni mereka telah mempersepsikan Ezra seperti tokoh

yang bernama Enoch tersebut. Sedangkan pada umumnya Enoch lebih sering

dikoneksikan kepada nabi Idris oleh para sarjanawan. Akan tetapi, Gordon juga

tidak menekankan bahwa ‘Uzayr itu Enoch, seperti anggapan Torrey bahwa

‘Uzayr, Ezra, dan Idris adalah person yang sama.

Kemudian, Viviane Comerro dalam tulisannya yang berjudul ESDRAS EST-

IL LE FILS DE DIEU ? (Apakah Ezra Puteranya Tuhan?), dia mengasumsikan

bahwa ‘Uzayr yang dimaksudkan bisa jadi bukanlah Ezra melainkan ‘Azaryah, dia

mengacu pada pendapat Ibnu Qutaybah yang merujuk ‘Uzayr kepada ‘Azaryah,

salah satu dari empat pemuda yang kisahnya terdapat di dalam kitab Daniel 1: 6-7.

Comerro melandasi pendapatnya tersebut dengan argumen, bahwa masih terdapat

kebingungan dari tradisionalis Muslim sendiri mengenai perbedaan dari dua nama

yang berbeda dalam bahasa Ibrani, yaitu antara Ezra dan ‘Azaryah karena dua nama

tersebut berasal dari akar kata yang sama. Comerro juga menyebutkan bahwa dalam

tradisi kristen Arab nama Ezra menggunakan penyebutan dalam bahasa Syriac yaitu

‘Azra, sedangkan perbedaanya dengan nama ‘Azaryah hanya karena terdapat huruf

kecil yod pada susunan katanya, maka menurutnya bukan tidak mungkin ‘Uzayr

100
Gordon Newby, A Concise Encyclopedia of Islam, (Oxford: Oneworld Publications,
2004), h. 209.
67

yang disebutkan di dalam al-Qur’ān merujuk kepada ‘Azaryah.101 Namun,

meskipun Comerro menduga demikian dia tidak memastikan keputusan final

mengenai pendapatnya tersebut, karena menurutnya metode penafsiran yang

demikian tidak memberikan identitas pasti kepada orang yang disebut “putera

Tuhan” tersebut.102

Lalu, pendapat selanjutnya muncul dari pendapat Bellamy yang menyatakan

bahwa asal-muasal adanya nama ‘Uzayr, adalah disebabkan oleh suatu kesalahan

yang terjadi ketika dalam proses penulisan wahyu, yaitu pada fase tadwīn-nya al-

Qur’ān, yang menurut pendapatnya mungkin saja munculnya nama ‘Uzayr,

disebabkan karena kualitas kertas yang digunakan kurang baik, dan kemudian

ketumpahan tinta, atau karena tinta yang meluber ketika sedang proses

penulisannya. Menurutnya hal tersebut mungkin saja terjadi karena pada masa itu

semuanya dikerjakan secara manual.

Berdasarkan pendapatnya tersebut, Bellamy menyatakan bahwa huruf ya

yang teradapat pada kata ‘Uzayr adalah hasil kesalahan dalam penulisan, yakni

yang sebenarnya adalah bukan ‘Uzayr, melainkan yang semestinya adalah ‘Azrā.

Hal ini karena dia berpendapat bahwa kata ibn, yang berdampingan dengan nama

‘Uzayr menggunakan huruf alif, dan setiap penyebutan kata ibn di dalam al-Qur’ān

selalu menggunakan alif. Maka dari itu Bellamy berpendapat bahwa, karena kata

‘Azra selalu menggunakan huruf alif di akhir hurufnya, lalu bertemu dengan kata

ibn yang juga selalu diawali dengan huruf alif, maka salah satu huruf alif luput dari

penulisan. Atas dasar pandangannya tersebut, menurutnya teks yang benar

101
Viviane Comerro, “ESDRAS EST-IL LE FILS DE DIEU?,” Arabica 52, No. 2 (April,
2005), h. 172.
102
Comerro, “ESDRAS EST-IL LE FILS DE DIEU?, h. 179.
68

bukanlah ‘Uzayrun ibnu, melainkan yang benar adalah ‘azrabnu, menyesuaikan

nama yang sebenarnya yaitu Ezra.

Selain itu, Bellamy juɡa berpendapat bahwa penisbatan kata ibn Allah

kepada ‘Uzayr, adalah sebuah kesalahan yanɡ terjadi dalam proses penerimaan

informasi tentanɡ Ezra yanɡ bersumber dari kitab Apocrypha, yanɡ terdapat pada

baɡian 2 Esdras 2: 42-48, yanɡ di dalamnya menceritakan kisah ketika Ezra berada

di bukit Zion dan dia melihat sesosok pemuda yanɡ tampan, lalu Ezra bertanya

kepada malaikat siapakah pemuda itu? Dan, malaikat itu menjawab bahwa dia itu

adalah “putera Tuhan.”103 Kemudian Bellamy menyatakan bahwa hal ini sudah

sanɡat jelas, terjadi kekacauan pada nabi Muḥammad atau informanya menɡenai

status putera Tuhan yanɡ dinisbatkan kepada Ezra. Yakni ɡelar tersebut tidaklah

menɡacu kepada diri Ezra, melainkan kepada sesosok pemuda tampan, yanɡ ketika

itu dilihatnya di bukit Zion.104

Pendapat yang hampir serupa dengan pernyataan Bellamy tersebut juga

muncul dari pendapat Joshua Finkel. Jika Bellamy menyatakan sebab penyebutan

‘Uzayr, adalah karena kesalahan yang terjadi ketika dalam penulisan dan

penyusunan al-Qur’ān, Finkel menyatakan bahwa penyebutan ‘Uzayr terjadi karena

kesalahan dalam pembacaan teks, yakni sebagaimana yang disebutkan oleh Jeffery

di dalam tulisannya, bahwa menurut Finkel mengenai terjadinya kesalahan dalam

pembacaan teks tersebut, yaitu karena teks yang pada umumnya dibaca ‘Uzayr,

103
Menɡenai rincian tentanɡ naskah tersebut dapat dilihat di: The Kinɡ James Version of
the Holy Bible with Apocrypha (T.tp.: DaVince Tools, 2004) h. 709. Kitab Apokrif ini merupakan
salah satu kitab orang Kristen dan bukan bagian dari kitab yang diakui oleh umat Yahudi. Dalam
pandangan Kristiani orang yang dimaksudkan oleh malaikat sebagai “anak Tuhan” adalah Yesus,.
Lihat. Michael D. Coogan, ed., The New Oxford Annotated Bible; New Revised Standard Version
With The Apocrypha, 4th ed. (New York:Oxford University Press, 2010), h. 1680.
104
James A. Bellamy, “Textual Criticism of the Koran,” Journal of the American Oriental
Society 121, no. 1 ( Jan - Mar, 2001): h. 5.
69

menurutnya teks tersebut pada asalnya bukanlah ‘Uzayr, melainkan pembacaan

teks yang sebenarnya menurut Finkel adalah ‘Azīz. 105

D. Pro dan Kontra Tokoh ‘Uzayr

Setelah kita melihat berbagai perbedaan pendapat mengenai ‘Uzayr dalam

penjelasan sebelumnya, yang telah menunjukkan berbagai pendapat mengenai

tokoh ‘Uzayr tersebut, baik dari pandangan ulama tafsir, sarjana muslim, dan

sarjana barat. Bahwa ‘Uzayr tidak selalu dinisbahkan kepada tokoh Ezra yang

terdapat di dalam literatur Yudaisme, melainkan juga terdapat pendapat yang

menisbahkannya kepada tokoh lain yang bukan Ezra.

Hal ini mengindikasaikan bahwa sebagian sarjana, baik dari kalangan

muslim ataupun barat, perihal ‘Uzayr yang dimaksudkan dari ayat tersebut, tidak

selalu mengatakan bahwa ‘Uzayr yang terdapat dalam literatur Yudaisme adalah

Ezra. Walaupun sebagian di antara mereka sepakat bahwa yang dimaksudkan dari

tokoh ‘Uzayr tersebut adalah Ezra, dan sebagian lainnya menolak pendapat

tersebut, dan menyandarkannya kepada tokoh lain.

Selain itu, berdasarkan pernyataan al-Qur’ān mengenai orang-orang Yahudi

yang telah menuhankan Ezra, muncullah pandangan-pandangan dari sebagian

penulis yang sampai pada menyudutkan Islam dan nabi Muhammad. Di antara

mereka menyanggah dengan dalih bahwa hal yang demikian tidak pernah terjadi,

dan hal tersebut adalah tuduhan yang tidak berdasar kepada umat Yahudi,

sebagaimana pernyataan Gieger dan Walker yang telah disebutkan pada

pendahuluan tulisan ini.

105
Arthur Jeffery, The Foreign vocabulary of The Qur’an (Baroda: Oriental Institute,
1938). h. 214.
70

Kemudian, penolakan lainnya juga muncul dengan pernyataan bahwa

tuduhan terhadap umat Yahudi yang terdapat di dalam al-Qur’an adalah pengaruh

dari oposisi-oposisi Yahudi, yang kemudian mempengaruhi nabi Muḥammad

dengan bukti pengaruhnya yang didapati pada sebgaian naskah al-Qur’ān, seperti

kasus ‘Uzayr tersebut salah satunya. Sedangkan dalam hal ini ‘Uzayr/Ezra

sangatlah dihormati di dalam ajaran Yudaisme karena telah menuliskan kembali

kitab Taurat, dan oposisi yang dimaksudkan telah menuduh ‘Uzayr/Ezra merubah

dan memalsukan Taurat yang asli.

Oposisi tersebut adalah sekelompok banī Isrā’īl yang menolak Ezra dan

menuduhnya sebagai pemalsu Taurat, mereka juga dikenal dengan sebutan Yahudi

Samaritan (Shomronim),106 dan mereka juga memiliki kitab Taurat yang asli

menurut versi mereka.107 Sehingga hal tersebut dalam pandangan Yahudi non-

Samaritan menunjukkan bahwa tuduhan mengenai Yahudi menuhankan Ezra,

adalah pengaruh kebencian kelompok Yahudi Samaritan kepada Yahudi non-

Samaritan yang kemudian masuk ke dalam ajaran Islam.

Hal ini sebagaimana pernyataan Walker yang menyatakan bahwa Ezra

dituduh bertindak layaknya putera Tuhan, adalah tuduhan yang berasal dari

kelompok Samaritan, dan tuduhan tersebut digunakan nabi Muhammad untuk

106
Terkan menyebutkan bahwa dalam bahasa Ibrani orang-orang Yahudi Samaritan disebut
dengan sebutan Shomronim (dalam bentuk jamak/plural), yang mengacu pada kata shomron (bentuk
tunggal/singular) yang biasanya digunakan dalam menyebut kota Samaria. Lihat, Tulisan Terkan
pada jurnal AÜİFD no. 45 (2004), h. 4. Ibn Ḥazm menyebut sekte ini dengan sebutan al-Sāmiriyyah,
dia juga menyebutkan bahwa sekte ini tidak mengimani nabi-nabi setelah nabi Musa, mereka juga
mengingkari Taurat serta memiliki Taurat versi mereka sendiri, dan bagi mereka bait suci terletak
di Nablus bukan di Yerusalem. Lihat, Alī bin Ḥazm, Al-Faṣlu Milal wa al-Ahwā wa al-Niḥal, Jil. I,
h. 147.
107
Fehrullah Terkan, “The Samaritans (al-Sāmiriyyūn) and Some Theological Issues
Between Samaritanism and Islam,” AÜİFD, no.45 (2004), h. 3.
71

108
memperoleh dukungan dari orang-orang Samaritan dalam melawan Yahudi.

Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Hava Lazarus Yafe, bahwa tuduhan

tentang ‘Uzayr tersebut diawali oleh sekte Samaritan, dan sikap buruk yang

dilakukan Islam kepada Ezra bersumber dari sekte Samaritan. Yafe juga

menyatakan bahwa terdapat banyak pernyataan di dalam al-Qur’an bernada

menentang Yahudi, yang banyak dipengaruhi dari literatur-literarur Yahudi

Samaritan.109

Tuduhan senada mengenai masuknya pengaruh ajaran Samaraitan dalam

Islam juga muncul dari J. A. Montgomery, yang menyatakan bahwa keimanan

Yahudi Samaritan mempengaruhi imannya orang-orang Kristen dan Islam.110 Lalu,

anggapan Patricia Crone dan Michael Cook di dalam tulisan mereka yang berjudul

Hagarism, yang juga menyebutkan bahwa di antara keimanan orang-orang Islam

merupakan pinjaman dari orang-orang Samaritan.111

Mengenai pandangan Walker tersebut, Terkan membantah klaim yang

terkesan menyudutkan nabi Muḥammad, menurutnya pandangan Walker tersebut

tidaklah kuat, meskipun dalam sejarahnya sekte Samaritan membenci Ezra, namun

tidak ada bukti bahwa mereka (samaritan) mengklaim sebagai sumber dari apa yang

telah nabi Muḥammad katakan, dan dari sisi al-Qur’ān juga tidak akan mungkin

adanya semacam klaim jika di sana memang tidak ada semacam kepercayaan

108
Terkan, “The Samaritans (al-Sāmiriyyūn) and Some Theological Issues Between
Samaritanism and Islam,” h. 22.
109
Hava Lazarus Yafeh, Intertwined Worlds Medieval Islam and Bible Criticism (United
Kingdom: Princeton University Press, 1992) h. 51 & h. 60.
110
James Alan Montgomery, The Samaritans; The Earlieast Jewish Sect Their History,
Theology and Literature (Philadelphia: THE JOHN C. WINSTON CO., 1907), h. 207.
111
Terkan, “The Samaritans (al-Sāmiriyyūn) and Some Theological Issues Between
Samaritanism and Islam,” h. 2.
72

populer yang salah, terlebih tidak adanya jejak bahwa ada Yahudi Samaritan yang

sempat tinggal di wilayah tersebut (Mekkah-Madinah). 112

Namun, di sisi lain terdapat beberapa sarjana Muslim yang memiliki

pendapat seperti Yahudi Samaritan mengenai pemalsuan Taurat yang dilakukan

Ezra, salah satunya adalah Ibn Ḥazm, yang menyebutkan tentang perubahan dan

pemalsuan Taurat yang ditulis oleh ‘Azrā al-Warāq al-Hārūnī. Penyebutan al-

Hārūnī yang disandangkan kepada Ezra juga untuk menunjukkan keterkaitannya

sebagai keturunan Hārūn, yang memiliki perselisihan dengan pemegang

kepemimpinan yang sah, yaitu dari keluarga Dawud. Sehingga ketika kekuasaan

dan kerahiban dipegang oleh al-Hārūnī, banyak terjadi penambahan dan

pengurangan pada Taurat. 113

Mengenai itu, Lisbeth S. Fried menyatakan bahwa pendapat Ibn Ḥazm

tersebut memenɡikuti pendapat Sama’uāl al-Maghribī, yang menyatakan bahwa

Ezra yang telah merubah dan memalsukan Taurat.114 Sama’uāl sendiri juga

menegaskan bahwa Ezra bukanlah al-‘Uzayr sebagaimana diduga orang-orang, di

sisi banī Isrā’īl dia juga bukanlah seorang nabi, dan dia juga merupakan pembantu

raja yang telah memalsukan Taurat dengan tangannya. Selain itu, Samau’uāl juga

menyebutnya sebagai Hārūniyan, dan mengisahkan polemik kekuasaan yang

sebelumnya dipegang oleh keluarga Dāwūd, yang kemudian berpindah ke tangan

keluarga Hārūn. Ketika kepemimpinan dipegang oleh mereka banyak naskah

Taurat yang mereka ubah, dan menjelekkan citra nabi-nabi dari keluarga Dawud di

112
Terkan, “The Samaritans (al-Sāmiriyyūn) and Some Theological Issues Between
Samaritanism and Islam,” h. 23.
113
‘Alī bin Ḥazm, Al-Faṣlu Milal wa al-Ahwā’ wa al-Niḥal, Jil. I, h. 148.
114
Lisbeth S. Fried, Ezra and the Law in History and Tradition, h. 135.
73

dalamnya, salah satunya seperti kisah puteri-puterinya nabi Lūṭ.115 Sebaliknya,

Hava Lazarus Yafe justru menyebutkan bahwa Sama’uāl yang mengikuti pendapat

Ibn Ḥazm, dan sangat mendukung pendapat-pendapatnya dalam menentang

Yahudi.116

Selain itu, juga terdapat polemik mengenai kata Yahudi pada kalimat yang

digunakan al-Qur’ān, yaitu dengan bentuk penyebutannya yang umum, sehingga

terkesan menunjukkan bahwa semua orang Yahudi terlibat dalam hal itu. Dan juga

memang terdapat sebagian mufassir yang memang mengartikannya dengan maksud

Yahudi secara keseluruhan. Pendapat yang seperti itu muncul dari Sayyid

Muḥammad Ḥusayn al-Ṭabāṭabā’ī di dalam al-Mizan, yang menyatakan bahwa

meskipun ayat tersebut memang turun untuk merespon sebagian orang Yahudi, atau

walaupun yang mereka maksud penyandaran gelar “putera” pada Ezra, hanya

sebagai penghormatan bukan dalam arti putera secara biologis, tetap saja

pengguanaan kata Yahudi bermaksud menunjuk umat Yahudi secara keseluruhan.

Hal ini dikarenakan pada sebagian ayat al-Qur’ān lainnya yang turun untuk

merespon sebagian Yahudi juga menggunakan bentuk kata umum untuk menunjuk

mereka, karena sebagian mereka ridha atas perbuatan dari sebagian mereka, dan

juga bukan suatu hal yang asing lagi bahwa mereka memang mengklaim diri

mereka sebagai anak dan kekasih Allah (naḥnu abnā’ullah wa aḥibbā’uh).117 Lebih

lanjut Sayyid Muḥammad Ḥusayn al-Ṭabāṭabā’ī menjelaskan bahwa penjelasan

mengenai ayat yang terkait dengan Ezra tersebut akan semakin jelas penjelasannya

melalui ayat selanjutnya, yang dengan jelas menjelaskan mengenai kefanatikan

115
Sama’uāl al-Maghribī, Ifḥām al-Yahūd, h. 62-63.
116
Hava Lazarus Yafe, Intertwined Worlds Medieval Islam and Bible Criticism, h. 69.
117
Q. S. Al-Mā’idah: 18
74

mereka kepada para rahib mereka.118 Ibn ‘Āshūr juga memberikan pendapat serupa

dengan Sayyid Ṭabāṭabā’ī, bahwa sebab disebutkan mereka secara keseluruhan

adalah karena diamnya sebagian mereka atas hal tersbut, serta tidak pula mereka

mengubahnya dan malah bersepakat atasnya untuk ridha terhadap hal itu. 119

Dalam hal ini Mahmoud Ayyoub seorang sarjana syi’ah asal Lebanon yang

telah berupaya mengumpulkan pandangan-pandangan ulama baik dari kalangan

syi’ah maupun sunni perihal ‘Uzayr ini, memberikan kesimpulan di akhir yang

berbeda dari penafsiran Sayyid Muḥammad al-Ṭabāṭabā’ī. Menurutnya secara

spesifik ayat itu turun kepada sekelompok Yahudi Madinah saat itu, berkenaan

dengan itu Ayyoub juga tidak menyalahkan orang-orang Yahudi yang tidak terlibat

dengan argumen yang berdasarkan dari sūrah Fāṭir ayat 18, yang menjelaskan

tentang bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian, dia juga

mengajak kepada umat Muslim dan Yahudi agar senantiasa menjaga keharmonisan

dan menghindari perselisihan, seperti ajakan al-Qur’ān kepada ahli kitab pada surat

Āli ‘Imrān ayat 64.120

118
Sayyid Muḥammad Ḥusayn al-Ṭabāṭabā’ī, Al-Mizan fī Tafsīr al-Qur’ān, Jil. IX (Beirut:
Mu’asasat al-A‘lamī lil-Maṭbū’āt, 1997) h. 251-252.
119
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, Jil. X, h. 168.
120
Mahmoud Ayoub, “’Uzayr in The Quran and Muslim Tradition,” Studies in Islamic and
Judaic Traditions (Atlanta: GA Scholars Press, 1986), h. 15-16.
BAB IV

POLEMIK ‘UZAYR DALAM TAFSIR AL-QUR’ĀN DAN SEJARAH

A. ‘Uzayr Sebagai Ezra

Sudah merupakan pendapat yang umum ditemui, baik dari kalangan

mufassir dan sejarawan yang mengkoneksikan ‘Uzayr kepada tokoh bernama Ezra,

yang berdasarkan literatur-literatur terkait menunjukkan eksistensi beserta

perannya di antara penganut Yudaisme, dan juga dengan adanya penentangan dari

para penentangnya telah menunjukkan eksistensinya. Sebagaimana telah dibahas

sebelumnya dengan singkat, bahwa Ezra memanglah sangat dihormati di kalangan

Yudaisme (Yahudi Rabinik) dan juga sangat ditolak oleh kelompok Yahudi

Samaritan, sehingga berdasarkan hal itu dapat meyakinkan kita akan eksistensi Ezra

di ranah sejarah, serta menunjukkan bahwa dia bukanlah merupakan tokoh rekaan,

ataupun tokoh fiksi yang masuk ke dalam kitab suci ajaran Yudaisme, yakni kitab

Towrah atau perjanjian lama. Bahkan, selain kisahnya terdapat di dalam Towrah,

sebagian kisah tentangnya juga disebut di dalam Apokrif dan Perjanjian Baru.

Ezra merupakan salah satu tokoh penting yang dikenal telah berjasa dalam

menuliskan kembali kitab Taurat , dan dia juga mengajarkannya kepada banī Isrā’īl

di Yerusalem setelah dari pembuangan Babel. Karena perannya dalam menuliskan

kembali naskah Taurat tersebut, Ezra dijuluki HaSofer (ahli Tulis/juru tulis) dan

terkadang juga disebut dengan sōfēr māhīr (juru tulis yang terampil).121

121
Kemampuannya sebagai juru tulis tersebut bukan hanya karena dia telah menuliskan
kembali kitab Towrah, gelar tersebut juga memiliki arti di sisi lain seperti administrator pengadilan,
dan gelar tersebut disandang oleh Ezra karena kedua arti dari gelar tersebut dimiliki oleh Ezra.
Lisbet. S. Fried menyebutkan bahwa peran Ezra sebagai juru tulis memiliki keserupaam dengan
peran Ahiqar, yaitu selain sebagai guru kebijaksanaan bagi kaumnya dia juga berperan sebagai

75
76

Perannya dalam menuliskan kembali kitab Taurat juga memiliki keserupaan

dengan kisah ‘Uzayr yang terdapat dalam literatur-literatur tafsir sebagaimana telah

disebutkan pada pembahasan sebelumnya, yang menunjukkan kemiripan-

kemiripan kisah di antara keduanya, meskipun juga terdapat beberapa perbedaan di

antara kedua kisahnya. Selain itu, terdapat pula keserupaan dari segi bentuk nama,

sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan nama ‘Uzayr dan Ezra, yang secara

kebahasaan keduanya memiliki akar kata dengan makna yang serupa yaitu kata

‘Azr.

Meskipun terdapat beberapa nama lain yang dinisbatkan kepada ‘Uzayr dan

juga berasal dari akar kata ‘azr, akan tetapi nama-nama tersebut tidak seperti nama

Ezra yang hanya murni berasal dari satu suku kata saja yaitu ‘azr. Nama-nama itu

memiliki keterkaitan dengan dengan kata lain selain dari kata ‘azr, sehingga dari

keterkaitan kata lain yang tergabung dengan nama ‘azr itu, terbentuklah sebuah

nama yang tidak murni berasal dari kata ‘azr saja. Sedangkan nama ‘Uzayr

sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, yaitu sebuah nama yang berasal dari

kata ‘azr, tanpa adanya keterkaitan dengan kata lain. Lebih jelas perdandingan dari

bentuk nama-nama tersebut dapat di lihat pada tabel berikut.

penasihat pengadilan bagi Sancherib. Begitu juga peran Ezra terhadap bani Isra’il dan raja
Artaxerxes, meskipun perannya sebagai administrator pengadilan tidak seperti Ahiqar, karena Ezra
tidak menetap di istana Artaxerses sebagai penasihat raja, dan Ezra juga ikut pulang dan tinggal di
Jerusalem. Lihat, Lisbeth S. Fried, Ezra and the Law in History and Tradition, h. 33-36.
Tabel I
Pengertian Secara Bahasa Berdasarkan Kosa Kata Terkait

Bahasa Kata Romanisasi Asal Kata Romanisasi Makna Kata Terkait

Bantuan, pertolongan; baik


secara lisan ataupun dengan
Arab ‫عزير‬ ‘Uzayr ‫عزر‬ ‘Azr
pedang
(pembelaan/perlindungan).

Pertolongan, penolong,
‫עזרא‬ Ezra ‫עזר‬ ‘Azr pembantu, menolong,
tertolong, dan terbantu.

Ibrani ‫אלעזר\אליעזר‬ Eleazar/Eliezer ‫ עזר‬+ ‫אל‬ El + ‘Azr Tuhan adalah penolongku.

‫עזריה‬ ‘Azaryah ‫ יה‬+ ‫עזר‬ ‘Azar + Yah Tuhan telah menolong.


77
78

Berdasarkan perbandingan yang penulis cantumkan pada tabel di atas, dari

beberapa nama yang dinisbatkan kepada ‘Uzayr, nama-nama tersebut juga berasal

dari akar kata ‘azr, akan tetapi di antara kesemua nama tersebut, hanya nama Ezra

yang benar-benar murni dari kata ‘azr, dan tidak memiliki tambahan dari kata lain.

Sebagaimana bentuk nama ‘Uzayr itu sendiri dalam bahasa Arab, dia hanya berasal

dari kata ‘azr tanpa adanya keterkaitan dengan kata lain.

Namun, dengan adanya kesamaan dan kemiripan tersebut tidaklah dapat

langsung dipastikan bahwa kedua tokoh tersebut adalah benar-benar tokoh yang

sama, karena riwayat-riwayat yang mengisahkan itu bukan bersumber dari nabi,

dan juga tidak adanya penjelasan pasti dari nabi mengenai ketokohan ‘Uzayr

tersebut, seperti yang telah disebutkan oleh al-Suyūṭī pada pembahasan

sebelumnya. Pernyataan al-Suyūṭī tersebut berdasarkan dari hadis riwayat Abū

Dawūd, yang menjelaskan bahwa nabi tidaklah mengetahui mengenai status dan

peran ‘Uzayr. Sebagaimana dijelaskan di dalam riwayat berikut:

‫ َح هدثَنَا‬: َ ‫ قَا‬،‫يريُّ مل َم معنَي‬ِ ‫ َو َن مخهَ ُد ب ُمن خَالِ ٍد ل هش ِع‬،‫َح هدثَنَا ُن َح هم ُد ب ُمن مل ُمل ََو ِّف ِ ۚ مل َع مسقَ َالىِ ُّي‬
‫ ع مَن َّبِي‬،‫ ع مَن َس ِعي ِد ب ِمن َّبِي َس ِعي ٍد‬،‫ب‬ ٍ ‫ ع َِن ب ِمن َّبِي ِذ مئ‬،ٌ‫ َّ مخلَ َرىَا َن مع َمر‬،‫ق‬ ِ ‫َع مل ُد ل هر هز‬
،‫ين هُ َو َّ مم َال‬
ٌ ‫ « َنا َّ مد ِري َّتُله ٌع لَ ِع‬:‫صههي هللاُ َعهَ مي ِه َو َسهه َم‬َ ِ‫هللا‬ ‫ قَا َ َرسُو ُ ه‬: َ ‫ قَا‬،َ‫هُ َري َمرة‬
.‫ صحيح‬: ]‫َو َنا َّ مد ِري َّعُزَ مي ٌر ىَلِ ٌّي هُ َو َّ مم َال» [حنم ۡلللاىي‬
Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibn al-Mutawakkil al-‘Asqalānī
dan Makhlad bin Khālid al-Sha‘īrī, secara makna ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami ‘Abd al-Razāq berkata, telah mengabarkan kepada
kami Ma‘mar dari Ibnu Abī Dzi’b dari Sa‘id bin Abī Sa‘īd dari Abī Hurairah
ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku tidak tahu
apakah Tubba‘ adalah orang yang terlaknat atau tidak, dan aku tidak tahu
apakah ‘Uzayr adalah seorang Nabi atau bukan.” (Disahihkan oleh al-
Albānī)”122

122
Abū Dawūd Sulaymān bin al-Ash‘ath bin Isḥāq bin Bashīr bin Shaddād bin ‘Amr al-
Azdī al-Sijistānī, Sunan Abū Dawūd, Jil. IV (Beirut: Maktabah al-‘Aṣriyah, T.t), h. 218.
79

Riwayat yang dibawakan oleh Abū Dawūd tersebut menunjukkan bahwa

meskipun turunnya wahyu yang menyinggung nama ‘Uzayr, dan juga memiliki

keterkaitan dengan kaum Yahudi, akan tetapi nabi sendiri tidak mengetahui tentang

status dan peran ‘Uzayr di antara kaum Yahudi. Sehingga informasi yang masuk

mengenai ‘Uzayr bisa jadi bersumber dari luar, seperti info-info yang dibawakan

oleh para mualaf, yang sebelumnya menganut agama Yahudi ataupun Nasrani.

Mereka membawakan kisah-kisah terkait al-Qur’ān dan hadis berdasarkan

pemahaman mereka sebelumnya, yang bersumber dari kitab-kitab yang dulu

mereka pelajari. Riwayat-riwayat seperti itu ada yang tertolak dan ada yang tidak,

yakni selama riwayat-riwayat tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’ān dan

hadis, dan sejalan dengan syari’at kita, maka riwayat-riwayat tersebut dapat

diterima, sebaliknya jika riwayat tersebut bertentangan dengan syari’at, al-Qur’ān

dan hadis, maka sudah pasti tertolak.123

Adapun riwayat-riwayat yang mengisahkan tentang ‘Uzayr tersebut sulit

untuk memastikannya, apakah bertentangan atau sejalan dengan al-Qur’ān dan

hadis. Hal ini dikarenakan memang tidak adanya ayat dari al-Qur’ān yang secara

jelas menceritakan tentang bagian-bagian dari kisah hidup ‘Uzayr, serta tidak

adanya hadis dari nabi yang juga membahas itu, dan yang ada justru pernyataan

nabi atas ketidaktahuannya tentang itu. Sehingga untuk megidentifikasi itu

memerlukan pendekatan-pendekatan lain.

123
Ibrāhīm Muḥammad al-Jarmī, Mu‘jam ‘Ulūm al-Qur’ān: ‘Ulum al-Qur’ān, al-Tafsīr,
al-Tajwīd, al-Qirā’āt, Cet. I (Damaskus: Dār al-Qalam, 2001), h. 45-56. Riwayat-riwayat seperti ini
lebih pupuler dengan sebutan Isrā’īliyyat; sering dijumpai baik di dalam literatur-literatur tafsir dan
hadis, dan pada umumnya kisah-kisah yang berdasarkan dari riwayat-riwayat tersebut juga sudah
beredar luas di masyarakat, baik riwayat yang maqbul ataupun yang mardud.
80

Pada pembahasan-pembahasan sebelumnya penulis telah berupaya

melakukan beberapa pendekatan, seperti pendekatan bahasa, dan pendekatan

melalui perbandingan historis berdasarkan riwayat-riwayat yang ada, serta penulis

berupaya mengumpulkan pendapat-pendapat sebagian sarjana muslim dan barat,

sebagai upaya untuk mengetahui lebih lanjut mengenai identitas Ezra. Kemudian

terdapat author-author yang mengkoneksikan ‘Uzayr dengan Ezra, dan ada juga

yang menolak pandangan tersebut.

Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya mengenai

Ezra, bahwa terdapat author yang tidak setuju dengan pendapat yang

mengkoneksikan Ezra kepada ‘Uzayr. Salah satunya seperti pendapat Finkel dan

Bellamy, yang mengatakan bahwa sebenarnya ‘Uzayr yang dimaksud bukanlah

Ezra, adapun yang menyebabkan penyebutannya menjadi ‘Uzayr adalah karena

terjadinya kesalahan dalam penulisan ketika penulisan al-Qur’ān.

Pendapat dan argumen ini tidaklah dapat dibenarkan, karena al-Qur’ān itu

dihafalkan oleh banyak sahabat nabi, dan sebelum nabi wafat sudah terkumpul

sebagai satu mushaf sebagaimana yang ada saat ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan

banyaknya riwayat yang telah menjelaskan, perihal perintah nabi dalam menyusun

runtutan ayat dan surat al-Qur’ān, sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmidzi,

Ahmad, dan kemudian al-Hakim juga mengatakan bahwa Jam‘u al-Qur’ān

(pengumpulan dan penyusunan al-Qur’ān) itu terjadi di masa Rasulullah Saw.124

124
Dr. Abd al-Rasūl al-Ghifārī, Jam‘u al-Qur’ān: Bahthun Istidlālī fī Ma‘ná al-Jam‘u wa
‘Alá Yadi Man Jumi‘a Awwalan, Cet. I (Qum: Mu’asasat Anṣāriyān li-Ṭabā‘ati wa al-Nashr, 2010)
h. 33-34.
81

Selain itu, juga terdapat riwayat-riwayat mengenai pengkhataman al-Qur’ān

di masa nabi, baik dengan cara tanpa memandang mushaf (hafalan) dan juga dengan

cara memandang mushaf al-Qur’ān.125 Adapun kodifikasi yang terjadi di masa

‘Utsmān bin ‘Affān sebagaimana kisah yang populer di masyarakat, adalah upaya

untuk menyeragamkan qirā’at menjadi satu qirā’at di dalam satu jenis mushaf yang

akan diedarkan kepada masyarakat, karena ketika itu terjadinya fitnah saling

mengkafirkan di antara sesama muslim yang disebabkan oleh perbedaan dalam

bacaan qirā’at al-Qur’ān.126 Sehingga berdasarkan penjelasan mengenai

pengumpulan al-Qur’ān tersebut, telah membantah argumen yang menyatakan

terjadinya kesalahan dalam penulisan al-Qur’ān, yang menyebabkan kesalahan

dalam menulis nama ‘Uzayr.

Kemudian, sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibn ‘Ashūr bahwa

penyebutan nama ‘Uzayr berasal dari sekelompok Yahudi Madinah, dan mereka

menyukai penyebutan itu untuk menyebut nama Ezra. Hal ini dapat menunjukkan

bahwa bisa jadi nama ‘Uzayr muncul sebagai bentuk peng-Araban dari nama Ezra,

yang kala itu muncul dan digunakan di lingkungan Yahudi Madinah atau Yahudi

Arab.

Lalu, dengan turunnya surat al-Tawbah ayat 30 yang menyebutkan bahwa

‘Uzayr telah disebut sebagai putera Tuhan oleh orang-orang Yahudi, dan pada ayat

itu di dalam redaksinya menggunakan nama ‘Uzayr bukan ‘Azrā, bisa jadi hal itu

juga untuk menunjukkan bahwa para pelaku yang telah menyebut Ezra sebagai

125
Dr. Abd al-Rasūl al-Ghifārī, Jam‘u al-Qur’ān, h. 43-44.
126
Dr. Abd al-Rasūl al-Ghifārī, Jam‘u al-Qur’ān, h. 76.
82

putera Tuhan adalah orang-orang Yahudi Arab, atau sekte Yahudi tertentu yang ada

di Arab.

Meskipun terdapat beberapa sarjana barat yang meragukan adanya

sekelompok Yahudi ataupun Yahudi Arab yang beranggapan demikian, akan tetapi

selain dari sumber sarjana muslim terdapat juga sarjana barat yang membenarkan

adanya sekelompok Yahudi Arab yang telah menganggap Ezra sebagai putera

Tuhan. Anggapan ini muncul dari pandangan Mark Lidzbarski dan Michael Lodhal,

yang menyatakan bahwa mungkin saja terdapat sekte Yahudi di masa nabi

Muhammad yang telah mengangkat Ezra sebagai putera Tuhan.127

Hal ini mungkin juga memiliki keterkaitan dengan pendapat Hirschberg,

yang menyatakan bahwa terdapat sekelompok Yahudi Yaman yang enggan

memberi nama anak-anaknya dengan nama Ezra, dengan alasan mereka meyakini

bahwa Ezra telah mengutuk mereka dengan kemelaratan, sebab mereka tidak mau

mengikuti ajakan Ezra untuk pulang ke Israel.128 Kemudian keyakinan akan

kutukan itu menyebabkan pengkultusan berlebihan kepada Ezra di sebagian sekte-

sekte Yahudi Arab. Pendapat ini juga masih sejalan dengan pendapat Ibn Ḥazm

mengenai sekte Ṣaddūqiyyah di Yaman, yang menyatakan bahwa ‘Uzayr adalah

putera Tuhan.

Kemudian, jika kita melihat beberapa nama turunan dari nama Ezra,

terdapat beberapa nama yang memang dekat dengan nama ‘Uzayr dalam tradisi

penamaan dari nama-nama Yahudi. Terdapat nama personal dan nama marga orang

127
Mun’im Sirry, Scriptural Polemics: The Qur’ān and Other Religions (United States:
Oxford University Press, 2014), h. 48.
128
Lisbeth S. Fried, Ezra and the Law in History and Tradition, h. 132.
83

Yahudi yang pengucapannya dekat dengan pengucapan nama ‘Uzayr, nama itu

adalah Ozer atau Oyzer, yang juga memiliki makna penolong dan juga disebut

sebagai penyebutan lain dari nama Ezra.129

Melihat bentuk nama Ozer dengan nama ‘Uzayr keduanya memiliki

kedekatan bentuk, walaupun ada sedikit perbedaan dari segi pengucapan, hal ini

juga dapat menjadi petunjuk bahwa mungkin saja nama ‘Uzayr lahir dikalangan

Yahudi Arab sebab kedekatan bentuknya dengan nama Ozer, yang kemudian

dimaksudkan untuk menyebut Ezra dan pengucapannya berubah menjadi ‘Uzayr

dalam dialek Arab. Selain nama Ozer terdapat juga varian nama yang mungkin juga

memiliki keterkaitan dan kedekatan bentuk pengucapan dengan nama ‘Uzayr, yaitu

adalah nama Uszer.130

Selain dari kedekatan bentuk nama ‘Uzayr dengan Ezra, terdapat juga

pendapat yang menyatakan bahwa nama Ezra bukan hanya terkoneksi kepada

‘Uzayr saja di dalam al-Qur’ān, tetapi juga terkoneksi kepada tokoh yang dikenal

sebagai nabi Idris. Sebagaimana pernyataan Torrey yang sebelumnya telah

disebutkan, dengan menyatakan bahwa keterkaitan tersebut sebab Idris adalah

peng-araban dari nama Esdras, yang merupakan nama latin dari Ezra.

Namun, sepertinya pendapat Torrey tersebut terlihat agak ganjil, karena

Idris pada umumnya dikenal sebagai nabi yang pertama-tama menulis, menjahit,

astronomi, dan berbagai macam jenis ilmu lainnya, yang dengan demikian

menunjukkan bahwa dia tersmasuk seorang nabi, yang pada masa hidupnya

129
Ancestry: Ozer Family History & Ozer Name Meaning, artikel diakses pada 17 Mei
2018 dari https://www.ancestry.com/name-origin?surname=ozer .
130
Hebrew Surnames: Uszer Genealogy, artikel diakses pada 17 Mei 2018 dari
https://www.hebrewsurnames.com/USZER .
84

merupakan awal dari perkembangan dalam peradaban manusia. Selain itu beliau

juga dikenal sebagai salah seorang leluhur nabi Nuh, yang seringkali dialamatkan

kepada Hermes, Tūt/Tuhūtī, dan Trismesgistus dalam tradisi selain Arab. Karena

banyak kemiripan di antara mereka sebagai ketrurunan Adam yang pertama-tama

melakukan perkembangan peradaban secara besar-besaran, dan juga kemudian di

angkat ke langit sebagaimana diangkatnya nabi ‘Isa ke langit.131

Dengan demikian, nampaknya pendapat Torrey tersebut agak terlihat

seperti dipaksakan, karena kemiripan di antara Ezra dan Idris tidaklah banyak,

melainkan hanya dalam aspek tertentu saja seperti keilmuan. Namun, jika dilihat

dari periode masa hidup mereka, keduanya memiliki perbedaan yang sangat jauh.

Karena Idris merupakan leluhur dari nabi Nuh, sedangkan Ezra merupakan nabi

banī Isrā’īl yang masa hidupnya jauh setelah nabi Musa. Selain itu Idris di angkat

ke langit, dan Ezra dikubur di dunia seperti manusia pada umumnya. Sehingga

terlihat sekali perbedaan yang sangat jauh di antara keduanya.

Selain pendapat Torrey tersebut pendapat yang tampaknya serupa adalah

pendapat Gordon Newby, karena mengkoneksikan ‘Uzayr dengan Enoch atau

sering disebut juga Akhnukh atau Khunukh, yang juga banyak dialamatkan kepada

Idris, Hermes, dan beberapa tokoh lainya sebagai person yang sama. Mereka semua

menurut cerita pergi ke langit dan menjadi makhluk surgawi dan tidak kembali lagi

ke bumi. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa Newby berpendapat bahwa

orang Arab ketika itu telah miskonsepsi tentang Ezra, dan mereka telah

mengkonsepsikannya menjadi seperti Enoch. Meskipun demikian Gordon Newby

131
Muḥammad al-Ṭāhir bin Muḥammad bin Muḥammad al-Ṭāhir bin ‘Āshūr al-Tunisī, Al-
Taḥrīr al-Ma‘ná al-Sadīd wa al-Tanwīr al-‘Aql al-Jadīd min Tafsīr al-Kitāb al-Majīd, Jil. XVI
(Tunisia: Dār al-Tunisiah, 1984), h. 130-131.
85

tidak menyatakan bahwa ‘Uzayr itu Enoch, tidak seperti pernyataan Torrey yang

menyatakan ‘Uzayr itu Idris. Newby tetap berpandangan bahwa ‘Uzayr itu Ezra,

hanya saja orang Arab ketika itu telah miskonspepsi, hingga menganggapnya

seperti Enoch.

Pernyataan selanjutnya yang juga cukup terlihat logis, dan mungkin juga

akan dipertimbangkan oleh sebagian sarjana, mengenai sebab ‘Uzayr dinisbatkan

kepada Ezra, yaitu adalah pendapat dari James A. Bellamy. Dalam pandangan

Bellamy orang yang dimaksudkan sebagai ‘Uzayr adalah seorang pemuda Tampan

yang terdapat di dalam kitab Apokrif, menurutnya telah terjadi kesalahan dalam

mengalamatkan tokoh yang dimaksud. Karena, berdasarkan cerita dari kitab

Apokrif tersebut, bahwa yang dimaksud sebagai “Putera Tuhan” bukanlah Ezra,

melainkan pemuda tampan tersebut, sedangkan ketika itu Ezra hanya bertanya

kepada malaikat tentang seorang pemuda yang dia lihat, yang kemudian dijawab

oleh malaikat itu “dia adalah putera Tuhan”.

Namun, sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya,

bahwa pemuda yang dimaksudkan tersebut dalam pandangan Nasrani adalah

Yesus. Kemudian atas dasar itu Bellamy menuduh telah terjadi kekacauan pada

nabi Muhammad atau para informanya perihal status putera Tuhan tersebut.

sehingga terjadilah penisbatan yang rancu, yang seharusnya tertuju kepada Yesus

menjadi tertuju kepada Ezra.

Akan tetapi dalam pandangan penulis, pendapat Bellamy tidaklah dapat

dibenarkan, terlebih dia juga terlalu terburu-buru menyimpulkan dan menuduh

bahwa telah terjadi kekacauan pada nabi Muhammad, dan juga dari cara dia
86

menyatakan tuduhan terlihat sekali bahwa dia sedang ingin menjatuhkan pribadi

nabi Muhammad. Dengan menyatakan jika bukan dari nabi Muhammad kekacauan

muncul dari informannya, yang secara tersirat menunjukkan bahwa terdapat

oknum-oknum lain yang kemungkinan berasal dari Ahli Kitab, yang ketika itu

bekerjasama dengan nabi Muhammad dalam menyampaikan wahyu.

Adapun dalam pandangan Bellamy tersebut, bahwa jika memang benar

telah terjadi kerancuan dalam memaksudkan Yesus menjadi Ezra. Kesalahan

tidaklah mesti bersumber dari nabi Muhammad, terlebih jika kita melihat sebab

nuzul dari ayat ini, yang menunjukkan bahwa sebagian Yahudi Arablah yang ketika

itu datang kepada nabi, dan kemudian menyatakan bahwa ‘Uzayr adalah putera

Tuhan.

Sedangkan kesalahpahaman dalam memahami teks dan maksud dari cerita

yang tertera di kitab Apokrif tersebut, mungkin saja terjadi dari kalangan Ahli kitab

itu sendiri, yang kemudian kesalahpahaman tersebut tersebar di kalangan Ahli

Kitab yang berada di kawasan Jazirah Arab, baik dari kalangan Yahudi maupun

Nasrani. Meskipun pemahaman tersebut pada dasarnya muncul dari kalangan Ahli

Kitab Nasrnani, yang bersumber dari kitab Apokrif yang tidak diakui oleh orang-

orang Yahudi. Akan tetapi bukan tidak mungkin kisah dalam kitab tersebut sampai

ke telinga orang-orang Yahudi Arab, dengan bentuk cerita yang sudah tidak seperti

maksud aslinya lagi. Sehingga sebagian dari Yahudi Arab mengamini, dan

membenarkan kisah yang sampai kepada mereka tersebut, tanpa mengkaji dan

meninjau kembali kebenarannya.


87

Terlebih ketika itu pada umumnya bangsa Arab dikenal oleh bangsa-bangsa

lain sebagai bangsa yang ummi, seperti yang disebutkan dalam surat Āli ‘Imrān ayat

75, yang menceritakan tentang kesemena-menaan Ahli Kitab terhadap orang-orang

ummi, dan kata ummi pada ayat tersebut sering ditafsirkan oleh para mufasir sebagai

bangsa Arab. Sedangkan kata ummi itu sendiri di dalam al-Qur’ān tidak selalu

merujuk kepada bangsa Arab saja, seperti kata ummi yang terdapat di dalam surat

al-Baqarah ayat 78, yang menceritakan bahwa dikalangan Yahudi juga terdapat

orang-orang yang ummi, yaitu mereka yang tidak paham al-Kitāb dan hanya

mengetahui dongeng-dongeng bohong belaka.

Jadi, bukan tidak mungkin kesalahan bersumber dari kalangan Yahudi itu

sendiri, dan di sisi lain ketika itu juga terdapat suku Arab asli yang menganut paham

Yahudi, mereka bukanlah etnis asli Yahudi yang datang ke Arab, melainkan

sebagian dari suku Arab yang melakukan konversi agama menjadi Yahudi. Salah

satunya seperti suku ‘Anzah atau ‘Anizah, yaitu leluhur dari klan Ālu Sa‘ūd yang

masih tergolong sebagai klan ‘Ishmaelites (banī ‘Ismā‘īl) non-Quraish. Terkait

dengan itu Shaykh Abū al-‘Abbās al-Qalqashandi menyebutkan bahwa Khaybar

adalah kampungnya banī ‘Anzah dari kalangan Yahudi.132

Maka dari itu, karena orang-orang yang ummi tidak hanya terdapat di kaum

Arab saja, melainkan juga terdapat orang-orang yang ummi dari kalangan Yahudi,

sedangkan ketika itu juga terdapat beberapa klan Arab yang menganut paham

Yahudi, yang dengan demikian dapat mengindikasikan bahwa sangat mungkin

132
Aḥmad al-Qalqashand, Ṣubḥ al-A‘shá, Jil. IV (Cairo: Dār al-Kutub al-Khidiwiyyah,
1332 H/1914 M), h. 290.
88

sekali adanya orang-orang yang ummi dari kalangan Yahudi Arab.133 Sehingga

bukan tidak mungkin bahwa kesalahan memang bermula dari kalangan mereka

sendiri, terlebih jika kita mengkaji sebab nuzul dari ayat tesebut, yang menjelaskan

bahwa turunya ayat tersebut disebabkan pernyataan sebagian mereka mengenai

status ke-anak Tuhanan Ezra. Dengan demikian pendapat Bellamy tersebut nampak

tidak memiliki landasan yang kuat, karena pendapatnya tersebut akan lebih tepat

dan logis, jika di alamatkan kepada sekelompok orang Yahudi Arab tersebut, dan

tuduhannya kepada nabi Muhammad mengenai kekacauan informasi sama sekali

tidak dapat dibuktikan, karena kekacaun informasi bukan dari nabi melainkan dari

sekelompok Yahudi Arab tersebut.

Selanjutnya pendapat lainnya mengenai ‘Uzayr yang dialamatkan kepada

tokoh selain Ezra yaitu adalah Uziel/Uzael atau Azazel. Pendapat itu muncul dari

Cassanova yang menyatakan bahwa ‘Uzayr itu bukanlah Ezra melainkan Uziel,

karena dia temasuk dari salah satu fallen Angels yang memang sering disebut dalam

literatur mereka sebagai puetara-puteri Tuhan. Pendapat Cassanova tersebut

memang nampak sangat memungkinkan dan meyakinkan, karena dari bentuk

namanya saja sudah hampir serupa, dan juga semakin didukung dengan adanya

penyebutan putera-puteri Tuhan bagi para Malaikat tersebut di dalam literatur

mereka sendiri.

133
Asimilasi yang terjadi di antara suku Arab dan Yahudi ketika itu sudah bukan
merupakan hal yang aneh lagi. Terdapat orang-orang yang secara etnis memang diakui termasuk
dari kedua suku tersebut, contohnya seperti Ka‘ab bin al-Ashraf yang berdasarkan nasab dari
ayahnya tergolong dari suku Arab dari banī Ṭayyi’, dan ibunya adalah seorang Yahudi dari banī
Naḍīr. Namun, dia lebih dikenal dari banī Naḍīr, karena dia lebih banyak bergaul dengan keluarga
ibunya, dan di sisi lain juga karena Suku Yahudi pada umumnya mengambil nasab dari Jalur ibu,
kecuali sekte Yahudi Karaite yang mengambil nasab dai bapak layaknya suku-suku Arab. Ibn
Hishām pun juga menggolongkan Ka’ab bin al-Ashraf sebagai oposisi nabi Muḥammad dari
kalangan banī Naḍīr. Lihat. ‘Abd al-Mālik bin Hishām al-Ḥimyarī, Al-Sīrah al-Nabawiyah li-Ibn
Hishām, Jil. I (Mesir: Muṭafá al-Bābī al-Ḥalabī, 1375 H/1955 M), h. 514.
89

Akan tetapi meskipun di antara nama ‘Uzayr dan Uziel nampak serupa,

agaknya masih kurang bisa diyakini kebenarannya karena bentuk belakang dari

nama Uziel (‫ )עזיאל‬atau Azazel (‫ )עזאזל‬terdapat kata El, yang bermakna Tuhan.

Sedangkan pada umumnya nama-nama nabi atau malaikat yang berasal dari bahasa

Ibrani di dalam al-Qur’ān, dalam bentuk peng-Arabannya tetap menunjukkan

penyebutan yang tidak jauh berbeda dari penyebutan aslinya, yakni jika pada

asalnya terdapat kata El maka dalam peng-Arabannya akan menjadi Īl. Seperti

nama Ishma‘el/Yishma‘el (‫ )ישמעאל‬yang menjadi Ismā‘īl (ۚ ‫)إسماعي‬, Gabriel (‫)גבריאל‬

menjadi Jibrīl (ۚ ‫)جلري‬.

Jadi dengan adanya kasrah sebelum huruf ya (‫ )ي‬dan lam ( ), menunjukkan

kata El dalam bentuk peng-Arabannya. Sedangkan ‘Uzayr pada akhir katananya

diakhiri dengan fathah sebelum huruf ya (‫ )ي‬dan ra (‫)ر‬. Maka jika memang yang

dimaksudkan adalah Uziel/Uzael penyebutannya akan menjadi ‘Uzayl atau ‘Uzīl

(ۚ ‫)عزي‬, namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ketika itu tidak

mungkin terjadi kesalahan dalam penulisan, entah itu kesalahan dari penyebutan

kata Uziel, Azra, ataupun Aziz, yang kemudian menjadi ‘Uzayr seperti sebagian

tuduhan yang menyatakan adanya kesalahan dalam penulisan al-Qur’ān.

Adapun kemiripan dalam penyebutan anak Tuhan terhadap Uziel dengan

‘Uzayr, juga masih belum bisa dipastikan bahwa ‘Uzayr yang dimaksud

memanglah Uziel. Karena jika kita melihat bentuk susunan ayatnya, setelah

penyebutan “orang-orang Yahudi mengatakan ‘Uzayr putera Allah”, yang

kemudian dilanjutkan dengan “orang-orang Nasrani megatakan al-Masīḥ putera

Allah”, menunjukkan bahwa kedua pernyataan tersebut memiliki bobot dan bentuk

yang sama. Maka akan menjadi tidak seimbang jika orang-orang Yahudi merujuk
90

kepada Uziel yang berstastus sebagai malaikat, sedangkan orang-orang Nasrani

merujuk kepada al-Masīḥ yang berstatus manusia. Padahal pernyataan orang-orang

Nasrani pada ayat itu mengikuti bentuk pernyataan orang-orang Yahudi, dan jika

orang-orang Nasrani mengangap al-Masīḥ yang seorang manusia sebagai putera

Tuhan, maka akan lebih masuk akal jika pernyataan orang Yahudi tersebut juga

tertuju kepada salah seorang manusia dari kaumnya, yaitu seorang yang dikenal

saleh dan agung seperti al-Masīḥ.

Kemudian anggapan mereka mengenai status putera Tuhan tersebut tidak

hanya tertuju kepada Uziel saja, melainkan malaikat pada umumnya juga mereka

anggap sebagai putera-puteri Tuhan. Sedangkan pernyataan pada ayat tersebut

hanya merujuk satu person saja secara khusus, dan tidak menyebutkannya dalam

bentuk yang umum. Sehingga sampai di sini menurut penulis pandangan Cassanova

masih dapat diragukan kebenarannya, terlebih anggapan putera-puteri Tuhan tidak

hanya mereka tujukan kepada malaikat saja, kebanyakan mereka juga menganggap

banī Isrā’īl sebagai putera-puteri Tuhan, meskipun yang mereka maksudkan

hanyalah bentuk penghormatan bukanlah secara biologis, hal itu juga menunjukkan

paham rasisme yang masih mengakar kuat pada kebanyakan mereka.

Kemudian pendapat lainnya yang menyatakan ‘Uzayr itu bukan Ezra, yaitu

pendapat Dr. Salah ed-Dine Kechrid yang menyatakan ‘Uzayr itu ‘Uzziyā. Akan

tetapi pendapat ini seperti kasus Uzael sebelumnya, yakni bentuk namanya hanya

terlihat serupa secara sekilas, sedangkan dalam bentuk dan maknanya sangatlah

berbeda. Adapun jika Uzziya yang dimaksud adalah ‘Azaryah, seperti pandangan

J.F. Driscoll seperti yang telah disebutkan pada Bab III, maka kasusnya pun akan

sama seperti Eliazar. Karena kata Eliazar dan ‘Azaryah merupakan kata yang
91

berasal dari susunan dua kata, yang bukan merupakan bentuk murni dari kata ‘azr.

Sedangkan kata ‘azr yang terdapat pada nama ‘Uzayr dengan yang terdapat pada

nama Ezra tidaklah memiliki tambahan sama sekali. Berdasarkan pemaparan

tersebut berikut penulis akan tampilkan tabel terkait mengenai pendapat, yang

menyatakan baik secara esensinya saja ataupun sebenarnya mengenai ‘Uzayr

bukanlah Ezra.

Sumber Tokoh yang Terduga


Alasan
Pendapat Sebagai ‘Uzayr
Karena Uziel/Azazel
adalah salah satu tokoh
dari fallen angels yang
Cassanova Uziel/Azazel memang sering disebutkan
sebagai “putera Tuhan”
dalam literatur-literatur
Yudaisme
Karena dalam literatur
latin Ezra disebut sebagai
Esdras, dan kesamaan
C. C. Torrey Idris
antara Esdras dan Idris,
adalah karena keduanya
tokoh pengetahuan
Karena ketika itu orang
Arab miskonsepsi atas
Ezra, dan menganggapnya
Ezra yang dianggap seperti
Gordon Newby seperti Enoch (makhluk
Enoch
pertama yang diduga pergi
ke surga dan menjadi
makhluk abadi)
Berdasarkan jawaban
Malaikat atas pertanyaan
Pemuda Tampan yang
Ezra, mengenai sesosok
tidak disebutkan namanya;
pemuda tampan, yang
James A. Bellamy di dalam kitab Apocrypha,
kemudian dijawab oleh
yang dalam pandangan
Malaikat tersebut, bahwa
Nasrani adalah Yesus.
pemuda itu adalah “putera
Tuhan”
92

Kareana kesalahan
Joshua Finkel Aziz penulisan huruf zay yang
menjadi huruf ra
Masih terdapat
kebingungan di antara para
Viviane Comerro ‘Azaryah
tradisional Muslim, antara
Ezra dan ‘Azaryah
Karena ‘Uzziyā
merupakan salah satu nabi
Salah ed-Dine
‘Uzziyā bani Isra’il, tidak ada
Kechrid
alasan yang jelas dari
Kechrid
Sama’uāl al- Karena menurutnya Ezra
Maghribī & Al- Eleazar/ Al-‘Āzar bukan seorang nabi dan
Biqā’ī juga telah memalsu Taurat

Berdasarkan susunan tabel tersebut dari pemaparan sebelumnya, hanya

Newby yang masih menganggap ‘Uzayr itu Ezra, karena menurutnya ketika itu

orang Yahudi Arab telah miskonsepsi terhadap Ezra, dan mereka

mengkonsepsikannya seperti Enoch. Namun, pendapat-pendapat yang terdapat

pada tabel tersebut tidak ada yang memiliki landasan dan dasar yang kuat seperti

yang telah dijelaskan di atas. Dari berbagai pendpat tersebut hanya pendapat Newby

yang masih mungkin untuk dapat dipertimbangkan.

Selanjutnya, perihal keterkaitan Ezra dengan ‘Uzayr selain daripada itu,

penulis juga telah membahasnya sebelumnya, yaitu seperti pemaparan yang penulis

jelaskan mengenai pandangan-pandangan Mufassir mengenai itu, yang pada

umumnya mereka menafsirkan bahwa ‘Uzayr itu adalah tokoh yang sama dengan

tokoh Ezra yang terdapat di dalam tradisi Yudaisme. Hal itu dapat dilihat dari

perbandingan pendapat yang penulis susun pada tabel berikut ini.


93

Penafsiran Tokoh
Tokoh Keterangan
Periode Tafsir Uzayr Mengacu
Mufassir Sumber
Kepada

Al-Ṭabarī
Berdasarkan
Tafsir Klasik Ezra
narasi riwayat
Al- Qurṭubī

Berdasarkan
pendapat
Al-Biqā‘ī Eleazar/Eliezer seorang mantan
Tafsir Abad Rabi yang telah
Pertengahan memeluk Islam

Al-Suyūṭī Berdasarkan
Ezra
narasi riwayat

Al- Marāghī
Berdasarkan
Tafsir Modern Ezra
info sejarah
Ibn ‘Āshūr

Berdasarkan dari tabel tersebut hanya al-Biqā‘ī yang berpendapat bahwa

‘Uzayr itu Eliazar, dan yang lainnya lebih cenderung mengalamatkannya kepada

Ezra. Sebab berdasarkan riwayat-riwayat Isrā’īliyyat yang terkait dengan

penafsiran tentang ‘Uzayr, kisahnya memiliki banyak persamaan dengan kisah

Ezra sekitar 70-85%, yang sangat memungkinkan bahwa kedua tokoh tersebut

adalah person yang sama. Lalu, berdasarkan pemaparan penulis pada pembahasan

sebelumnya mengenai relasi historis di anatara keduanya, menunjukkan bahwa

keduanya memiliki banyak kemiripan. Berikut penulis akan hadirkan beberapa

peran Ezra pada runtutan kisah yang terdapat di dalam Bible, yang kisahnya

menyerupai dengan kisah ‘Uzayr pada riwayat-riwayat Isrā’īliyyat tersebut.


94

Periode Peristiwa Peran Sumber

Rusaknya Moral Nevi’im


Raja Manasseh
Bani Israil dan - (Malachim II.
- Raja Amon
Hilangnya Taurat 21: 1 - 3, 19 - 23)
Gulungan Taurat
ditemukan oleh
Nevi’im
Ditemukannya Imam besar Hilkiah
Raja Josiah (Malachim II.
Taurat (leluhurnya Ezra),
22: 8)
Ezra sama sekali
tidak terlibat
Nevi’im
(Malachim II.
Raja Jehoiakim Pembuangan bani
24: 1 - 17),
(Eliakim) - Israil ke negeri -
Nevi’im
Raja Cyrus Babel
(Malachim II.
25: 8 - 12),
Pada saat
Pemerintahan Raja
Pemulangan bani Artaxerxes, Ezra
Israel dari negeri memimpin eksodus Kethuvim (Ezra.
Raja Cyrus -
Babel ke dari Babel ke 1: 1 - 8),
Raja
Yerusalem, serta Yerusalem, dan dia Kethuvim (Ezra.
Artaxerxes
pembangunan juga diutus untuk 7: 1 - 27)
kembali Bait Suci mengajarkan Taurat
dan hukum kepada
bani Israel
Menuliskan
kembali kitab
Taurat dengan
bahasa Ashurit dan
bahasa Aramaic
yang digunakan
Penulisan hingga saat ini,
Talmud
Kembali Kitab sedangkan kitab
(Sanhedrin 21b)
Taurat oleh Ezra Taurat yang
menggunakan
penulisan
berdasarkan bahasa
Aslinya (Ibrani
kuno) tidak lagi
digunakan
95

Berdasarkan tabel tersebut kita dapat melihat, bahwa hal-hal yang

disebutkan di dalam riwayat-riwayat Isrā’īliyyat tersebut, mayoritasnya juga

terdapat di dalam Bible, akan tetapi tidak semua hal itu terjadi di masa hidupnya

Ezra, melainkan sebagiannya terjadi di masa sebelumnya, dan juga riwayat-riwayat

Isrā’īliyyat tersebut juga tidak sama persis menceritakan apa yang dilakukan

‘Uzayr, dengan yang dilakukan Ezra. Karena pada riwayat-riwayat Isrā’īliyyat

tersebut kisahnya nampak dibuat-buat seperti seolah-olah menkajubkan. Seperti

‘Uzayr yang mengikatkan pena pada semua jari tangannya, lalu menuliskan Taurat

dengan kesemua jarinya itu. Sedangkan Ezra hanya dikisahkan menuliskan kembali

kitab Taurat, dengan tujuan untuk membahasakan kembali Kitab Taurat, yang

sebelumnya berbahasa Ibrani kuno menjadi menggunakan bahasa Ibrani modern,

yaitu perpaduan dari bahasa Syriac dan Ibrani Kuno.

Kemudian, keterkaitan selanjutnya di antara Ezra dengan ‘Uzayr, yaitu

adalah letak `lokasi kuburannya, Michael R. Fischbach dalam tulisannya di sebuah

jurnal tentang klaim properti komnitas Yahudi di Iraq, dia menyebutkan bahwa

terdapat sebuah desa di Iraq yang bernama al-‘Uzayr, dan di selatan kota dari desa

al-‘Uzayr terdapat kubur Ezra yang lokasinya dekat dengan Basra di Iraq, yang

dikawasan tersebut banyak dihuni oleh Muslim Syi’ah dan mereka juga

menghormati kubur Ezra tersebut.134

Namun, mengenai lokasi kubur Ezra terdapat beberapa catatan yang

menyebutkan lokasinya terdapat di Iraq, dan juga terdapat beberapa catatan lainnya

yang menyatakan bahwa lokasinya bukan di Iraq. Dalam tradisi Islam kubur Ezra

134
Michael R. Fischbach, “Claiming Jewish Communal Property in Iraq,” Midle East
Report, No. 248 (Musim Gugur, 2008), h. 6.
96

(‘Uzayr) terletak di pinggir sungai Tigris dekat Basra, dan kubur tersebut juga

merupakan situs ziarah bagi orang-orang Yahudi dan Arab. Pendapat serupa juga

didapati pada catatan seorang penyair Andalusia di abad ke-13 Judah al-Harizi,

yang menyebutkan mengenai lokasi kubur Ezra yang berada di sebuah desa di

Basra. Dan pada abad ke-12 seorang pengelana Yahudi; Petahiyah dari Regensberg

menyatakan bahwa kubur Ezra berada pada batas tanah Babilonia.135

Sedangkan pendapat yang menyatakan lokasinya bukan terletak di Iraq

muncul dari Rabbi Yishaq Elfarra, dia mencatat ketika ziarah menuju Jerusalem dia

melihat Awan muncul dari kubur Ezra di desa Allepan (Allepo) Taduf (Tadef)

Syria.136 Pendapat lainnya muncul dari catatan Josephus yang mencatat setelah

pembacaan hukum yang dibacakan oleh Ezra, dia menyebutkan bahwa Ezra wafat

dan dikuburkan di Jerusalem. 137 Berikut tabel perbandingan dari berbagai pendapat

yang menyebutkan lokasi kubur Ezra tersebut.

No. Sumber Pendapat Lokasi Kubur Ezra

1. Michael R. Fischbach Desa Al-‘Uzayr, Iraq

Desa Al-‘Uzayr/ sebuah desa di pinggir


2. Mayoritas Umat Muslim
sungai Tigris, Basra-Iraq

3. Judah al-Harizi Sebuah desa di Basra, Iraq

4. Petahiyah Batas Tanah Babilonia

5. Rabbi Yishaq Elfarra Allepo-Tadef, Syria

6. Josephus Jerusalem

135
Lisbeth S. Fried, Ezra and the Law in History and Tradition, h. 137.
136
Lisbeth S. Fried, Ezra and the Law in History and Tradition, h. 137.
137
Lisbeth S. Fried, Ezra and the Law in History and Tradition, h. 64.
97

Berdasarkan catatan-catatan tersebut kita tidak dapat langsung memastikan

lokasi kubur Ezra yang sebenarnya, apakah kuburnya itu yang berada di desa al-

‘Uzayr di Iraq, atau yang terletak di syria ataupun yang terletak di Jerusalem.

Namun jika kita mengkoneksikan dengan lokasinya yang terletak di Iraq, di sebuah

desa yang bernama al-‘Uzayr sebagaimana telah dikatakan Fischbach, hal itu belum

tentu dapat menunjukkan bahwa Ezra adalah ‘Uzayr, karena bisa jadi penamaan

desa tersebut menjadi al-‘Uzayr terjadi ketika kawasan tersebut di bawah kekuasaan

umat Muslim, dan karena di lokasi desa itu terdapat kubur Ezra yang sangat

dihormati oleh orang-orang Yahudi, maka untuk menghormati salah seorang yang

dikenal saleh di kalangan Yahudi tersebut, dan karena dalam tradisi Arab sudah

tersebar luas kisah bahwa ‘Uzayr adalah Ezra, maka desa tersebut dinamai desa al-

‘Uzayr.

Akan tetapi jika diamati mengenai lokasi kubur Ezra berdasarkan dari

catatan-catatan tersebut, pada umumnya lokasi kubur Ezra diketahui terletak di

kawasan Basrah atau di Iraq, atau mungkin dulu orang akan menyatakan bahwa

lokasinya masih terletak di daerah Babilonia, seperti yang disbutkan oleh

Petahiyah. Meskipun demikian jika melihat dari pandangan yang menyatakan

lokasinya di Babilonia saja, maka pandangan Josephus yang menyatakan lokasinya

terletak di Jerusalem, dengan pendapat R. Yishaq Elfarra yang menyatakan

lokasinya terletak di Syria, masih bisa digolongkan di dalam kawasan Babilonia,

sebagaimana Basrah-Iraq yang juga masih termasuk di dalamnya.


98

Selain itu dalam pandangan penulis mungkin saja Ezra memang tinggal dan

hidup di Jerusalem, setelah Exodus besar-besaran banī Isrā’īl dari Babel ke

Jerusalem. Akan tetapi Ezra tidak selalu berada di Jerusalem, mengingat perannya

sebagai HaSofer (juru tulis) kerajaan, yang memungkinkan dia keluar masuk

Jerusalem demi kepentingan-kepentingan kerajaan. Sehingga bukan tidak mungkin

Ezra wafat dan dikuburkan di luar kawasan Jerusalem, dan juga berdasarkan

penelusuran penulis dari sebuah gambar yang terdapat di website berita LA Times,

menunjukkan bahwa kubur Ezra yang berada di desa al-‘Uzayr Iraq, dengan jelas

menuliskan nama Ezra dalam naskah teks bahasa Ibrani di batu nisannya, yang

disampingnya terdapat tulisan yang sebagiannya sudah tidak terbaca. Bagian yang

terbaca hanya HaSo yang kemungkinan besar adalah HaSofer (juru tulis), yaitu

gelar bagi Ezra.138

Adapun pernyataan R. Yishaq Elfarra yang menyatakan letak kuburnya di

Allepo-Tadef, menurut pandangan penulis masih cukup sulit untuk dibuktikan

kebenarannya, dan hanya ada dua kemungkinan yang masih mungkin mengenai

letak kuburnya, yaitu di antara Iraq dan Jerusalem. Sedangkan jika dilihat dari

banyaknya pendapat, di antara pendapat yang menyatakan lokasinya di Iraq dan di

Jerusalem, berdasarkan data yang penulis miliki kebanyakan pendapat cenderung

menunjukkan bahwa lokasi kuburnya terletak di Iraq ketimbang Jerusalem, karena

pendapat yang menyatakan lokasi kuburnya di Jerusalem hanya bersumber dari

catatan Josephus.

138
Raheem Salman, “IRAQ: Amid War, a Prophet’s Shrine Survives,” artikel diakses pada
16 Juli 2018 dari https://latimesblogs.latimes.com/babylonbeyond/2008/08/baghdad-amid-wa.html.
detail gambar naskah yang tertera di batu nisan yang dimaksud dapat dilihat di
http://latimesblogs.latimes.com/photos/uncategorized/2008/08/17/shrine2_2.jpg.
99

Namun, meskipun begitu berdasarkan pembahasan-pembahasan dan

pendekatan-pendekatan sebelumnya yang telah penulis jelaskan mengenai ‘Uzayr,

serta kemiripannya dengan Ezra baik dari segi nama, peran dan kisahnya baik dari

literatur-literatur tafsir dan Yudaisme dan kecocokan-kecocokan lainnya, telah

cukup menguatkan bahwa kemungkian besar kedua tokoh tersebut adalah person

yang sama.

Adapun sebab-sebab didapatinya beberapa perbedaan di dalam kisahnya,

hal itu disebabkan oleh faktor-faktor yang sifatnya eksternal, yang besar

kemungkinan disebabkan oleh kualitas daya ingat si penyampai kisah yang kurang

baik ketika menyampaikan kisah tersebut, yang menyebabkan muculnya

ketidakselarasan kisah di antara keduanya, meskipun demikian inti dari kisahnya

tetap tersampaikan. Sehingga perbedaan di antara kisah Ezra yang terdapat di dalam

literatur Yudaisme, dengan kisah ‘Uzayr yang terdapat di dalam literatur tafsir,

bukanlah perbedaan yang menunjukkan bahwa kedua person itu berbeda.

B. ‘Uzayr sebagai Eliazar

‘Uzayr dihubungkan kepada tokoh yang bernama Eliazar bermula dari

pernyataan Sama’uāl al-Maghribī di dalam Ifḥām al-Yahūd, yang kemudian

pendapat ini didukung dan dibenarkan oleh al-Biqā‘ī di dalam tafsirnya,

sebagaimana telah penulis jelaskan pada pembahasan sebelumnya. Dalam hal ini

al-Biqā‘ī terlihat sama sekali tidak ada perbedaan dengan Sama’uāl, dan sangat

mendukung argumen yang bersumber darinya.


100

Seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya al-Biqā‘ī selain menolak

kenabian Ezra dan menganggapnya hanya sebagai seorang rabi biasa, beliau juga

menyatakan dengan yakin bahwa ‘Uzayr bukanlah Ezra, melainkan al-‘Uzayr

sebagai bentuk penyebutan lain dari al-‘Āzar/Eliazar. Hal ini dapat dilihat dari

pernyataan di dalam kitab tafsirnya yang sangat menyukai tulisan Sama’uāl, dan

memujinya sebagai orang yang paham tentang syariat yahudi, sedangkan di sisi lain

dia juga telah membenarkan pernyataan Sama’uāl terkait ‘Uzayr tanpa

mengkritisinya kembali.139

Memang jika kita melihat dari segi kebahasaan di antara nama ‘Uzayr

dengan Eliazar, keduanya merupakan nama atau kata yang berasal dari kata ‘Azr

yang memiliki makna yang sama, baik dalam bahasa Ibrani ataupun Arab. Namun,

jika diperhatikan perbedaan di antara keduanya adalah; bahwa bentuk kata ‘Uzayr

terdiri dari satu kata, yakni bentuk taṣgīr dari kata ‘Azr, sedangkan Eliazar terdiri

dari dua kata yaitu El dan Azr/Azar. Dari sini kita dapat melihat bahwa dari segi

susunan katanya saja sudah tidak memiliki keselarasan.

Dan sebagaimana penjelasan dari Sama’uāl bahwa yang dimaksud adalah

Eliazar dari Damaskus, sedangkan Eliazar ini adalah salah seorang budak dari nabi

Ibrahim. Persoalan Eliazar ini nampaknya juga tidak terlalu berbeda dengan

persoalan Āzar seperti yang telah penulis singgung sebelumnya, yakni kedua tokoh

ini hidup di sekitar nabi Ibrahim serta tidak memiliki kaitan dengan apa-apa yang

terjadi di setelah masa nabi Musa As. Sebab mereka hidup jauh sebelum nabi Musa,

dan selain itu di antara keduanya tidak ada kelebihan khusus di sisi banī Isrā’īl yang

dapat menyebabkan keduanya dikultuskan menjadi putera Tuhan.

139
Ibrāhīm bin ‘Umar al-Biqā‘ī, Naẓm al-Durar, Jil. VIII, h. 437.
101

Adapun mengapa Sama’uāl menolak pandangan yang menyatakan bahwa

‘Uzayr adalah Ezra, hal ini bisa jadi karena adanya sentimen bawaan dari

keyahudiaannya, yang masih melekat pada memorinya bahkan sampai setelah dia

masuk Islam, dan kemudian dia curahkan di dalam tulisan-tulisannya. Sebagaimana

sebelumnya telah dibahas bahwa Sama’uāl menganggap kepemimpinan yang sah

seharusnya hanyalah dari keluarga Dawud, sedangkan Ezra sebagai al-Hārūnī

(keturunan Harun) diangkat oleh raja-raja dari klan Harun yang telah merebut

kekuasaan yang sah dari keluarga Dawud.

Selain itu Sama’uāl juga turut menuduh Ezra sebagai pemalsu Taurat serta

menyisipkan kisah-kisah buruk terhadap keluarga Dawud di dalam Taurat.

Pendapat Sama’uāl tersebut tampaknya seperti sebuah pandangan politik yang

terjadi di kalangan banī Isrā’īl, dan mungkin saja klan Sama’uāl terhubung kepada

klan Dawud, sehingga ketika menanggapi hal yang berkaitan dengannya dia

terpengaruh dengan emosional kesukuannya.

Lalu, jika memang Ezra adalah seorang pemalsu Taurat, tentu akan populer

di kalangan nabi-nabi setelahnya perihal pemalsuan Taurat yang dilakukannya, dan

hal itu tidak kita ketahui baik dari nabi Daniel, Zakaria, bahkan ‘Īsá sekalipun.

Namun Ezra bahkan turut dihormati dikalangan orang-orang Nasrani, sebab dia

juga disebutkan di dalam Perjanjian Baru dan Apokrif dengan kisah-kisah yang

bernada positif. Maka dari itu dalam pandangan penulis sosok ‘Uzayr kurang tepat

jika dialamatkan kepada Eliazar, karena ketika hendak mengkoneksikan di antara

keduanya penulis mendapati keganjilan-keganjilan, meskipun di antara keduanya

terdapat sedikit kecocokan, akan tetapi pernyataan Sama’uāl tersebut kurang bisa

menunjukkan dasar yang kuat perihal keterkaitan di antara keduanya.


102

C. Relevansi ketokohan ‘Uzayr Saat Ini

‘Uzayr atau Ezra dengan sekian perannya sehingga beliau begitu dihormati,

terutama bagi kaum Yahudi, Nasrani, dan juga Islam. Sosok beliau begitu terkenal

dengan ketokohannya sebagai seoarang rabi agung atau imam besar bagi umat

Yahudi dan Nasrani, serta pada umumnya sebagian besar umat Muslimin

mengenalnya sebagai seorang nabi bagi banī Isrā’īl. Beliau selain berjasa besar atas

perannya memimpin banī Isrā’īl untuk eksodus dari Babel ke Jerusalem, dia juga

telah berjasa dalam mengkodifikasikan kembali kitab Taurat.

Meskipun dalam tradisi Yahudi ‘Uzayr lebih dikenal sebagai seorang Rabi,

bukan berarti bahwa dia hanya berperan sebagai seorang rabi bagi kaum Yahudi,

tidak seperti yang dikatakan Sama’uāl bahwa Ezra hanyalah seorang rabi dan

bukanlah seorang nabi. Akan tetapi Ezra dikenal di kalangan Yahudi Rabinik juga

sebagai seorang nabi, walaupun mengenai status kenabiannya sebagian mereka

masih meragukannya. Salah seorang sarjana Yahudi Rabinik Maimonides (Mūsá

bin Maymūn) juga telah memasukkannya dalam runtutan para nabi, dan juga

sebagian mereka yang mendukung status kenabiannya menyatakan bahwa terdapat

hal-hal yang hanya dilakukan seorang nabi yang juga dilakukan Ezra. 140

Maka, berdasarkan itu selain dikenal sebagai seorang rabi dan juru tulis, dia

juga merupakan seorang yang diduga kuat sebagai seorang nabi, yang mungkin

salah satu sebab kenabiannya adalah menuliskan kembali kitab Taurat, dan sebab

itu pula dia disebut sebagai seorang ahli tulis dan juga sebagai Musa Kedua. Dia

disebut sebagai Musa kedua karena terdapat beberapa kemiripan di antara dia dan

140
Lisbeth S. Fried, Ezra and the Law in History and Tradition, h. 137-140.
103

Musa, yaitu memimpin banī Isrā’īl eksodus ke Jerusalem, mengajar dan

membimbing mereka dengan tuntunan yang bersumber dari kitab Taurat, serta dia

menuliskan kembali kitab Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa. Hal-hal

tersebutlah yang telah menyebabkan dia juga disebut sebagai Musa kedua.141

Berabagai hal yang telah dilalui oleh Ezra dalam membimbing banī Isrā’īl

tidaklah jauh berbeda denga kisah-kisah ‘Uzayr yang telah dibawakan oleh

sebagian mufasir, yakni terdapat berbagai kecocokan di antara keduanya dan

kecocokan-kecocokan tersebut terlihat lebih kuat daripada kecocokan terhadap

tokoh lainnya, seperti yang sebelumnya telah disebutkan mengenai berbagai

pandangan para sarjana mengenai siapa tokoh yang dimaksud sebagai ‘Uzayr di

dalam literatur Yudaisme. Tidak satupun dari pendapat-pendapat yang ada

menunjukkan bukti-bukti bantahan yang dapat meyakinkan bahwa ‘Uzayr

memanglah bukan Ezra, melainkan hanya memunculkan tokoh-tokoh lain yang

telah mereka duga sebagai ‘Uzayr. Sehingga karena tidak adanya bukti-bukti kuat

yang dapat mendukung argumen mereka, dan yang ada justru bukti-bukti yang

cenderung membuktikan bahwa ‘Uzayr memanglah Ezra.

Kemudian, mengenai relevansi ketokohan dari sosok seorang ‘Uzayr di saat

ini kita dapat melihat berabagi rekam jejak yang telah mencatat mengenainya, yang

di antaranya juga banyak mengarahkan kita kepada sesosok yang dikenal dengan

nama Ezra di dalam ajaran Yudaisme. Beliau selain dikenal sebagai seorang tokoh

agamawan yang saleh, dia juga merupakan tokoh yang telah bertanggung jawab

atas berbagai peran yang telah diberikan kepadanya, baik sebagai seorang

agamawan, intelktual, dan pegawai kerajaan. Berdasarkan dari berbagai hal-hal

141
Lisbeth S. Fried, Ezra and the Law in History and Tradition, h. 143.
104

positif yang telah dilakukannya tersebut, dia telah dapat menjadi contoh teladan

bagi banyak orang, baik dari umat Yahudi, Nasrani, maupun Islam.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Polemik atas berbagai penafsiran mengenai siapakah tokoh yang dimaksud

sebagai ‘Uzayr di dalam ajaran Yudaisme muncul dari berbagai kalangan, baik dari

kalangan mufasir, sarjana Muslim maupun sarjana barat. Berbagai penolakan

muncul dari para sarjana barat mengenai pengkoneksian tokoh ‘Uzayr dengan

tokoh Ezra, dan pendapat serupa juga muncul dari sebagian kecil sarjana muslim.

Sebagian sarjana barat juga menyatakan bahwa penyematan gelar “putera Tuhan”

kepada Ezra tidak pernah ada dalam ajaran Yudaisme, dan justru mereka balik

menuduh bahwa ayat yang menyebutkan nama ‘Uzayr tersebut merupakan tuduhan

dari para musuh Yahudi.

Akan tetapi pandangan secara umum telah diketahui bahwa tokoh ‘Uzayr

yang dimaksud adalah Ezra. Hal ini sebagaimana pandangan umum yang muncul

dari kebanyakan mufasir, meskipun terdapat berbagai polemik dari riwayat-riwayat

yang menceritakan kisah ‘Uzayr dengan adanya beberapa perbedaan di dalam

kisahnya dengan kisah Ezra yang terdapat di dalam literatur-literatur Yudaisme.

Namun, meskipun terdapat perbedaan-perbedaan tersebut inti kisah dari keduanya

sama, yakni keduanya berperan dalam membimbing banī Isrā’īl dan menuliskan

kembali kitab Taurat.

Selain itu, di antara ‘Uzayr dan Ezra terdapat kemiripan baik dari segi

bentuk namanya yang mana kedua-duanya merupakan berasal dari bentuk kata ‘azr,

dari masing-masing bahasanya yang juga memiliki makna serupa. Terjadinya

105
106

perubahan dikarenakan oleh perbedaan lingkungan dan kawasan penutur, sehingga

nama Ezra di-Arabkan menjadi nama ‘Uzayr.

Adapun ayat ke-30 dari surat al-Tawbah tersebut tidaklah bermaksud

mengusik keimanan Yahudi, sebagaimana tuduhan-tuduhan yang muncul terhadap

Islam dan nabi Muhammad, yang menduga bahwa ayat itu bertujuan untuk

mengganggu dan menyerang umat Yahudi. Karena sebab turunnya ayat tersebut

berkaitan dengan sekelompok Yahudi Madinah yang datang kepada nabi dalam

rangka memplokamirkan penolakan mereka, dan ketika itu mereka menyertai

pernyataan yang mengkultuskan ‘Uzayr sebagai “putera Tuhan”.

Meskipun ayat itu turun untuk merespon sebagian kalangan Yahudi saja,

akan tetapi ayat itu menggunakan kata yang umum untuk menunjuk Yahudi, hal itu

dikarenakan bukan untuk menyatakan bahwa semua umat Yahudi membenarkan

bahwa mereka mengklaim bahwa ‘Uzayr adalah “putera Tuhan”. Akan tetapi untuk

menjelaskan bahwa pada umumnya sering terjadi pengkultusan yang berlebihan

terhadap para rahib-rahib yang dilakukan oleh orang Yahudi kebanyakan,

sebagaimana dijelaskan pada lanjutan ayat dari ayat tersebut, dan kemudian pada

ayat ke-18 dari surat al-Mā’idah juga dijelaskan perihal kebanyakan mereka

mengklaim sebagai “putera-putera Tuhan”.

Sehingga jika dicermati hal ini lebih mengarah kepada peringatan atas cara

yang salah dalam beragama, yang sebelumnya telah banyak diterapkan oleh

sebagian besar orang Yahudi, dan ayat-ayat tersebut hanya berusaha mengarahkan

dan memperingatkan kembali, agar kita senantiasa tidak mengikuti dan terjebak

pada langkah-langkah yang keliru tersebut, dan ayat-ayat tersebut turun bukan
107

merupakan moment khusus untuk menyerang orang-orang Yahudi, melainkan

hanya untuk merespon atas pernyataan-pernyataan keliru yang lebih dulu

diutarakan oleh sebagian mereka.

Maka dari itu ayat-ayat tersebut beserta tafsirnya yang beragam tidaklah

dapat dijadikan sebagai alasan bagi seorang Muslim untuk melegalkan

penyerangan, ataupun penghinanaan kepada kaum Yahudi tanpa adanya alasan

yang benar untuk melakukan itu. Begitu juga sebaliknya dengan adanya ayat

tersebut juga bukanlah suatu alasan bagi penganut Yudaisme, untuk menuduh

bahwa Islam atau nabi Muhammad telah menyerang dan menuduh para penganut

ajaran Yudaisme secara keseluruhan.

B. Saran

Hubungan antar umat beragama yang harmonis baik di antara penganut

Islam dan Yudaisme ataupun yang selainnya, adalah harapan bagi setiap penganut

agama yang baik, apapun itu agamanya dan di manapun tempatnya. Pada umumnya

setiap agama apapun itu agamanya senantiasa mengajarkan kebaikan, baik kepada

sesamanya ataupun kepada orang-orang yang berbeda paham dengannya, dan juga

pada dasarnya hampir setiap manusia diberikan perasaan yang cenderung lebih

mengarah kepada kebaikan daripada keburukan. Namun, kebodohan yang juga

disertai potensi emosi di dalam diri manusialah yang kemudian senantiasa

dimanfaatkan serta menjadi alat bagi setan untuk membakar amarah para penganut

agama, yang kemudian banyak memprovokasi para penganut agama dalam melihat

dan membaca literatur-literatur primer penganut agama lain.


108

Skripsi ini telah membahas mengenai polemik penafsiran tokoh ‘Uzayr

yang telah menjadi polemik di anatara penganut Islam, Yudaisme, dan juga kristen.

Tulisan ini juga telah berupaya melihat permasalahan yang terjadi di antara mereka

dalam memahami lietratur-literatur yang membahas tentang ‘Uzayr. Namun,

meskipun tulisan ini telah berupaya mencari sumber permasalahan berserta

solusinya, tulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Harapan penulis selain

daripada tulisan ini akan ada lebih banyak lagi tulisan-tulisan yang membahas tema-

tema serupa dengan pendekatan lain.

Pembahasan-pembahasan yang serupa dengan pembahasan yang penulis

bahas di dalam tulisan ini, alangkah baiknya juga senantiasa dikaji dan dibahas di

dalam berbagai forum, majelis, serta kajian ilmiah berskala nasional. Hal tersebut

agar adanya pendidikan bagi masyarakat dalam memahami ajaran agama secara

ilmiah dan moderat. Sehingga sensitivitas yang terjadi di antara umat beragama

dapat diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Buku dan Jurnal

‘Abd al-Bāqī, Muḥammad Fu’ād. Al-Mu‘jam al-Mufahras lil-Alfāẓ al-Qur’ān al-


Karīm. Cairo: Dār al-Kitāb al-Miṣriyyah. 1364 H.
Anidjar, Gil. Semites; Race, Religion, Literature. Stanford, California: Stanford
University Press. 2008.
Ayoub, Mahmoud. “‘Uzayr in The Quran and Muslim Tradition.” Studies in Islamic
and Judaic Traditions. Atlanta: GA Scholars Press. 1986.
Bahafdullah, A. Madjid Hasan. Dari Nabi Nuh  Sampai Orang Hadhramaut di
Indonesia; Menelusuri Asal Usul Hadharim. Cakung, Jakarta: Bania
Publishing. Cet. I. 2010.
al-Bahrānī, Sayyid Hāshim. Al-Burhān fī Tafsīr al-Qur’ān. Jil. III. Beirut:
Mu’asasat al-A‘lami lil-Matbū’āt. 2006.
Bellamy, James A. “Textual Criticism of the Koran.” Journal of the American
Oriental Society 121. No. 1. Jan - Mar, 2001.
al-Biqā‘ī, Ibrāhīm bin ‘Umar. Naẓm al-Durar fī Tanāsub al-Āyāt wa al-Suwar. Jil.
VII. Cairo: Dār al-Kitāb al-Islāmī, t.t.
Coogan, Michael D. (Ed.). The New Oxford Annotated Bible; New Revised
Standard Version With The Apocrypha. 4th ed. New York:Oxford University
Press. 2010.
Comerro, Viviane. “ESDRAS EST-IL LE FILS DE DIEU?.” Arabica 52. No. 2.
April, 2005.
Driscoll, James F. “Ozias,” The Catholic Encyclopedia. Vol. XI. 1911. Artikel
diakses pada 10 April 2018 dari
http://www.newadvent.org/cathen/11379a.htm
Erder, Yoram. “The Origin of The Name Idrīs in The Qur’ān; a Study The Influence
of Qumran Literature on Early Islam.” Journal of Near Eastern Studies 49.
No. 4. Oktober, 1990.
Faber, Alice. Genetic Subgroupings of The Semitic Language. Austin: The
University of Texas at Austin. 1980.
Fischbach, Michael R. “Claiming Jewish Communal Property in Iraq.” Midle East
Report. No. 248. Musim Gugur, 2008.
Fried, Lisbeth S. Ezra and the Law in History and Tradition. Columbia: University
of South Carolina Press. 2014.

109
110

Geiger, Abraham. Judaism and Islam. Terjemah dari Jerman ke Inggris:


Penerjemah F. M. Young. Vepery: M.D.C.S.P.C.K Press. 1898.
al-Ghifārī, Abd al-Rasūl. Jam‘u al-Qur'ān: Bahthun Istidlālī fī Ma‘ná al-Jam‘u wa
‘Alá Yadi Man Jumi‘a Awwalan. Cet. I. Qum: Mu’asasat Anṣāriyān li-
Ṭabā’ati wa al-Nashr. 2010.
Gray, Louis H. Introduction to Semitic Comparative Linguistics. Amsterdam: Philo
Press. 1971.
Hawkins, John. The Story of Religion. London: Arcturus. 2016.
Hitti, Philip K. History of The Arabs. Terjemahan R. Cecep Lukman Yasin dan
Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2014.
Ibn ‘Abbās, ‘Abdullāh. Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn ‘Abbās. Lebanon: Dār al-
Kitāb al-‘Ilmiyah. t.th.
Ibn ‘Āshūr, Muḥammad al-Ṭāhir. Taḥrīr al-Ma‘ná al-Sadīd wa Tanwīr al-‘Aql al-
Jadīd min Tafsīr al-Kitāb al-Majīd. Jil. X dan XVI. Tunisia: Al-Dār al-
Tūnisiyah. 1984 M.
Ibn Ḥazm. Al-Faṣlu Milal wa al-Ahwā’ wa al-Niḥal; wa bi-Hāmishihi al-Milal wa
al-Niḥal. Jil. I. Cairo: Maktabah al-Salām al-‘Ālamiyah. 1348 H.
Ibn Hishām, ‘Abd al-Mālik. Al-Sīrah al-Nabawiyah li-Ibn Hishām. Jil. I. Mesir:
Muṭafá al-Bābī al-Ḥalabī. 1375 H/1955 M.
Ibn Kathīr, Abū al-Fidā’ Ismā‘īl bin ‘Umar. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Jil. I dan
IV. T.tp.: Dār Ṭayyibah. 1420 H/ 1999 M.
Ibn Manẓur, Jamāl al-Dīn Muḥammad. Lisān al-‘Arab. Jil. IV. Beirut: Dār Ṣādir.
T.t.
Ibn Taimiyyah, Aḥmad bin ‘Abd al-Ḥalīm. Majmū‘ al-Fatāwá, Jil. XIII. Madinah:
Mujamma‘ al-Malik Fahd liṬibā‘at al-Muṣḥaf al-Sharīf. 1416 H/1995 M.
al-Isbahānī, Abū al-Faraj. Al-Aghānī, Jil. III. Beirut: Dār Iḥya’I al-Turāth al-‘Arabī.
1994.
al-Iskandarānī, Sa‘īd bin Ḥasan. Masālik al-Naẓar fī Nubuwwah Sayyid al-Bashar.
‘Ammān: Maktabah al-Zahra’. T.t.
Jackson, J. B. A Dictionary of The Proper Names of The Old and New Testament
Scriptures, Being an Accurate and Literal Translation From The Original
Tounges. U.S.A: The Plimton Press Norwood Mass. 1909.
al-Jarmī, Ibrāhīm Muḥammad. Mu‘jam ‘Ulūm al-Qur’ān: ‘Ulum al-Qur’ān, al-
Tafsīr, al-Tajwīd, al-Qirā’āt. Cet. I. Damaskus: Dār al-Qalam. 2001.
al-Jawāliqī, Abū Manṣur. Al-Mu‘arrab min al Kalām al-A‘jamī. Beirut: Dār al-
Qalam. 1410 H/ 1990 M.
111

Jeffery, Arthur. The Foreign vocabulary of The Qur’an. Baroda: Oriental Institute.
1938.
Kashfi, Sayyid Ja’far Arif. Muḥammad Saw dan Kaum Yahudi. Pasar Minggu:
Titisan. 2016.
Klein, Ernest. A Comprehensive Etymological Dictionary of The Hebrew Language
for Readers of English. Jerusalem: Carta, 1987.
Lee, Samuel. Lexicon Hebrew, Chaldee, and English. London: Alexander
Macintosh. 1840.
al-Maghribī, Sama’uāl. Ifḥām al-Yahūd, Moshe Perlmann Translation. New York:
American Academy For Jewish Research. 1964.
al-Majlisī, Muḥammad Bāqir. Bihār al-Anwāri al-Jāmi‘atu liDirār Akhbāri al-
A’immata al-Aṭhār. Jil. V. Qum: Iḥyā al-Kutub al-Islāmiyyah, T.t.
al-Marāghī, Aḥmad bin Muṣṭafá. Tafsīr al-Marāghī. Jil. X. Mesir: Shirkah
Maktabah wa Muṭaba’ah Muṣṭafá al-Bābī al-Halabī wa Awlāduhu. 1365 H/
1946 M.
Mazzuz, Haggai. The Religious and Spiritual Life of the Jews of Medina. Leiden:
BRILL. 2014.
McGough, Richard Amiel. THE BIBLE WHEEL; A Revelation of The Divine Unity
of The Holy Bible. Yakima, Washington: BIBLE WHEEL BOOK HOUSE.
2006.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
2010.
Montefiore, Simon Sebag. Jerusalem The Biography. Penerjemah Yanto Musthofa.
Cet. VI. Ciputat: Alvabet. 2014.
Montgomery, James Alan. The Samaritans; The Earlieast Jewish Sect Their
History, Theology and Literature. Philadelphia: THE JOHN C. WINSTON
CO. 1907.
Newby, Gordon. A Concise Encyclopedia of Islam. Oxford: Oneworld Publications.
2004.
Piotrovsky, Mikhail. Historical Legends of The Quran Word and Image. St.
Petersburg: Institute of Oriental Studies, Russian Academy of Sciences. 2005.
al-Qalqashand, Aḥmad. Ṣubḥ al-A‘shá. Jil. IV. Cairo: Dār al-Kutub al-
Khidiwiyyah. 1332 H/1914 M.
al-Qurṭubī, Muḥammad. Al-Jāmi‘ liAḥkām al-Qur’ān. Jil. VII. Cairo: Dār al-Kutub
al-Miṣriyah. 1384 H/1964 M.
112

al-Rāzī, Fakhr al-Dīn. Mafātīh al-Ghayb. Jil. XVI. Beirut: Dār Iḥya’ al-Turāth al-
‘Arabī. 1420 H.
Said, Hasani Ahmad. Diskursus Munasabah al-Qur’an: Kajian Atas Tafsir al-
Mishbah. Cet. I. Ciputat: Puspita Press. 2011.
al-Sijistānī, Abū Dawūd. Sunan Abū Dawūd. Jil. IV. Beirut: Maktabah al-‘Aṣriyah.
T.t.
Sirry, Mun’im. Scriptural Polemics: The Qur’ān and Other Religions. United
States: Oxford University Press. 2014.
Smith, William. Dictionary of The Bible. Jil. IV. Cambridge: Riverside Press. 1872.
____________. Smith's Bible Dictionary. Grand Rapids, Michigan: Christian
Classics Ethereal Library. 2002.
al-Suyūṭī, Jalāluddīn. Al-Durr al-Manthūr fī Tafsīr bil-Ma’thur. Jil. IV. Beirut: Dār
al-Fikr. t.th.
al-Ṭabarī, Abū Ja‘far. Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān. Jil. V dan XIV T.tp:
Mu’asasat al-Risalah. 1420 H/2000 M.
al-Ṭabāṭabā’ī, Sayyid Muḥammad Ḥusayn. Al-Mizan fī Tafsīr al-Qur’ān. Jil. II dan
IX. Beirut: Mu’asasat al-A‘lamī lil-Maṭbū‘āt. 1997.
Tal, Abraham. A Dictionary of Samaritan Aramaic. Leiden: Brill. 2000.
Terkan, Fehrullah. “The Samaritans (al-Sāmiriyyūn) and Some Theological Issues
Between Samaritanism and Islam.” AÜİFD. No.45. 2004.
Torrey, Charles Cutler. The Jewish Foundation of Islam. New York: Jewish
Institute of Religion Press. 1933.
Walliman, Nicholas. Research Methods the Basics. Canada: Routledge. 2011.
Walker, John. Bible Characters in The Koran. Great Britain: Alexander Gardner.
1931.
Wassersom, Steven M. Between Muslim and Jew: The Problem of Symbiosis Under
Early Islam. New Jersey: Princeton University Press. 1995.
Watt, W. Montgomery. Bell’s Introduction to The Qur’ān. Edinburgh: Edinburgh
University Press. 1994.
___________________. Muhammad at Medina. Karachi: Oxford University Press.
1994.
___________________. Muhammad Prophet and Statesman. London: Oxford
University Press. 1969.
Yafeh, Hava Lazarus. Intertwined Worlds Medieval Islam and Bible Criticism.
United Kingdom: Princeton University Press. 1992.
113

al-Zamakhsharī, Maḥmud bin ‘Amru. Al-Kashāf ‘an Haqāiq Ghawāmiḍ al-Tanzīl.


Jil. II. Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī. 1407 H.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
2008.

B. Sumber Kitab Suci dan Terjemahnya

Al-Qur’an & Maknanya. Terj. M. Quraish Shihab. Ciputat: Lentera Hati. 2013.
al-Qur’ān al-Karīm: Traduction et Notes. 5th ed. Dr. Salah Ed-Dine Kechrid
traduction. Beirut: Dar el-Gharb el-Islami. 1990.
Hebrew-English Tanakh The Jewish Bible. Skokie: Varda Books. 2009.
The Holy Qur’an: Muhammad Sarwar translation.
The Kinɡ James Version of the Holy Bible with Apocrypha. T.tp.: DaVince Tools.
2004.
THE KORAN: J. M. Rodwell translation. London: Phoenix Press. 2005.
The Meaning of The Glorius Qur’an: Marmaduke Pickthall translation.
The Noble Qur’an: Muhammad Taqī al-Dīn al-Hilālī & Muhammad Muhsin Khān
translation.
The Qurʾān Text. Translation and Commentary: T. B. Irving/Al-Ḥājj Ta’līm ‘Alī.
Tehran: Suhrawardī Research and Publication Center. 1998.
The William Davidson Talmud. “Sanhedrin 21b.” diakses pada 12 Oktober 2017
dari http://www.sefaria.org/Sanhedrin.21b?lang=bi.

C. Sumber Internet

Ancestry: Ozer Family History & Ozer Name Meaning. Artikel diakses pada 17
Mei 2018 dari https://www.ancestry.com/name-origin?surname=ozer.
Hebrew Surnames: Uszer Genealogy. Artikel diakses pada 17 Mei 2018 dari
https://www.hebrewsurnames.com/USZER.
Salman, Raheem. “IRAQ: Amid War, A Prophet’s Shrine Survives.” Artikel
diakses pada 16 Juli 2018 dari
https://latimesblogs.latimes.com/babylonbeyond/2008/08/baghdad-amid-
wa.html.
Gambar:
http://latimesblogs.latimes.com/photos/uncategorized/2008/08/17/shrine2_2.
jpg.

Anda mungkin juga menyukai