Anda di halaman 1dari 85

RAGAM KERUSAKAN HASIL PERBUATAN MANUSIA DI

MUKA BUMI (ANALISIS PENAFSIRAN IBN KATSIR ATAS


AYAT-AYAT KERUSAKAN DI MUKA BUMI)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana


Agama (S. Ag)

Oleh:

Nia Ariyani

NIM: 11150340000145

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS


USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H/ 2019 M
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin dalam skripsi ini menggunakan pedoman


transliterasi yang sesuai dengan Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017 tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin.

Huruf Huruf Keterangan


Arab Latin
‫ا‬ Tidak dilambangkan
‫ب‬ B Be
‫ت‬ T Te
‫ث‬ Ts Te dan es
‫ج‬ J Je
‫ح‬ Ë H dengan titik bawah
‫خ‬ Kh Ka dan ha
‫د‬ D Er
‫ذ‬ Dz De dan zet
‫ر‬ R Er
‫ز‬ Z Zet
‫س‬ S Es
‫ش‬ Sy Es dan ye
‫ص‬ Ȇ es dengan titik di bawah
‫ض‬ Ŷ de dengan titik di bawah
‫ط‬ Ț Te dengan titik di bawah
‫ظ‬ ẓ Zet dengan titik di bawah

v
‫ع‬ ʻ koma terbalik di atas hadap
kanan
‫غ‬ Gh ge dan ha
‫ف‬ F Ef
‫ق‬ Q Ki
‫ك‬ K Ka
‫ل‬ L El
‫م‬ M Em
‫ن‬ N En
‫و‬ W We
‫ه‬ H Ha
‫ء‬ ˈ Apostrof
‫ي‬ Y Ye

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan
alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan


Arab Latin
َ A Fatëah
َ I Kasrah
َ U Ŷammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah


sebagai berikut:

vi
Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan
Arab Latin
‫َي‬ Ai a dan i
‫َو‬ Au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan


Arab Latin
‫ىا‬ Â a dengan topi di
atas
‫ىي‬ Î i dengan topi di
atas
‫ىو‬ Ȗ u dengan topi di
atas

4. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan


huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiah
maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dȋwân bukan
ad-dȋwân.

5. Syaddah (Tasydȋd)

Syaddah atau tasydȋd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan


dengan sebuah tanda ) ّ ( dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan

vii
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata )‫ (الضرورة‬tidak dituliskan ad-darȗrah melainkan al-ŷarȗrah,
demikian seterusnya.

6. Ta Marbȗțah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbȗțah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal ini sama juga jika ta marbȗțah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
marbȗțah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara


1 ‫طريقة‬ Tarȋqah
2 ‫الجامعة اإلسالمية‬ Al-Jâmȋah al-
Islâmiyyah
3 ‫وحدة الوجود‬ Waëdat al-Wujȗd

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikiti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abȗ Hâmid al-Ghazâlȋ bukan
Abȗ Hâmid Al-Ghazâlȋ, al-Kindi bukan Al-Kindi.

viii
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring
(italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis
dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya,
demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang


berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânȋ; Nuruddin al-
Raniri, tidak Nȗr al-Dȋn al-Rânȋrȋ.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kerja (fi’il), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas
kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-
ketentuan di atas:

Kata Arab Kata Latin


‫ذهب األستاذ‬ dzahaba al-ustâdzu
‫ثبت األجر‬ tsabata al-ajru
‫الحركة العصريه‬ al-ëarakah al-‘aêriyyah
‫أشهد أن ال إله إأل هللا‬ asyhadu an lâ ilâha Allâh
‫موالنا ملك الصالح‬ maulânâ Malik al-Ȇâlië
‫يؤثركم هللا‬ yu’atstsirukum Allâh
‫المظاهر العقلية‬ al-mazâhir al-‘aqliyyah

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu

ix
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nȗr Khâlis Majȋd;
Mohamad Roem, bukan Muhammad Rȗm; Fazlul Rahman, bukan Fadl al-
Rahmân.

x
ABSTRAK

Nia Ariyani
“Ragam Kerusakan Hasil Perbuatan Manusia di Muka Bumi (Analisis
Penafsiran Ibn Katsir atas Ayat-Ayat Kerusakan di Muka Bumi)”
Ragam kerusakan hasil perbuatan manusia di muka bumi kiranya
patut ditelaah. Hal ini karena kata kerusakan atau dalam bahasa arab disebut
fasâd mempunyai dampak yang berbeda dan beragam. Dampak tersebut
dapat berupa dampak kerusakan materi dan dampak kerusakan non-materi.
Namun, yang menjadi objek menarik ada pada manusia. Manusia di muka
bumi ini pada dasarnya adalah orang yang mempunyai agama. Hal ini
menimbulkan sebuah pertanyaan, mengapa manusia yang mempunyai
agama justru turut serta dalam kerusakan? Seharusnya orang yang
beragama justru melakukan penjagaan dan bahkan per-baikan.
Penelitian ini menggunakan deskriptif – analitis. Hal ini bertujuan
agar mendapatkan pemahaman secara komprehensif (menyeluruh)
mengenai ragam kerusakan hasil perbuatan manusia. Metode yang
digunakan untuk mengumpulkan data utama, yaitu ayat-ayat yang terkait
dengan kerusakan dengan kata kunci term fasâd dan derivasinya
menggunakan kitab al-Mufrâd fȋ Gharȋb al-Qur’ân. Data-data tersebut
kemudian akan dianalisis menggunakan penafsiran Ibn Katsir yang
berfokus pada metode bi al-Matsȗr.
Berdasarkan analisi penulis, bahwa kerusakan hasil perbuatan
manusia disebabkan karena adanya perbuatan menyimpang. Perbuatan
tersebut jumlahnya beragam dan hasil ini kemudian dijelaskan dalam
sembilan ayat yang terdapat di dalam al-Qur’an.

Keyword: Kerusakan, Perbuatan manusia, dan Tafsir Ibn Katsir.

xi
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, rasa syukur kepada Allah yang telah


memberikan rahmat-Nya dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat
beserta salam tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam, yang dengan diutusnya rasul kehidupan semakin bermakna dan
kehidupan membawa manusia mengenal sang pencipta, Allah ta’ala.

Selanjutnya, penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang


telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, sehingga dalam proses
skripsi ini dapat berjalan dengan baik. Dengan rasa hormat, penulis
mengucapkan:

1. Ibu Prof. Dr. H. Amany Lubis, MA., Rektor Universitas Islam


Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, MA., dan bapak Fahrizal Mahdi, Lc.
MIRKH. Selaku Ketua dan Sekretaris program studi Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin.
4. Bapak Drs. H. Ahmad Rifqi Muchtar, MA., sebagai dosen
pembimbing dalam menulis skripsi ini. Terima kasih tak hingga atas
kesabarannya dan keiklasannya dalam membimbing penulis sampai
selesai dalam penelitian ini. Atas segala perhatian tersebut, penulis
hanya mampu membalasnya dengan doa: semoga Allah senantiasa
memberikan rahmat dan keberkahan dalam kehidupan.
5. Bapak Masykur Hakim, MA., selaku dosen pembimbing akademik.
Segenap Bapak dan Ibu Dosen Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, yang telah
begitu banyak membekali ilmu dan pengetahuan. Juga tak lupa,
penulis haturkan terima kasih kepada para karyawan Ushuluddin,

xii
Pak Toto Tohari, dan kawan-kawan, yang telah mempermudah
segala urusan akademik kampus yang berkaitan dengan penulis dan
skripsi penulis.
6. Bapak Kusen, Ph.D., selaku ayahanda penasihat dan pemberi
motivasi untuk terus menggali khazanah ilmu pengetahuan. Semoga
selalu sehat dan mendapat keberkahan hidup dari Allah.
7. Orang tua tercinta, Ibu Nur Tisah dan bapak Heliyun yang penulis
panggil dengan sebutan Mak dan Bak. Suami tercinta, Rumadi yang
saya panggil Kanda Adi. Juga, kakak Heni Sagita dan adik Indah
Subarhana. Penulis ucapkan terima kasih atas kasih sayang dan
doanya yang tulus untuk penulis.
8. Teman-teman dari berbagai macam ruang kelas, organisasi, dan
komunitas yang senantiasa mewarnai perjalan proses belajar di
Universitas. Mereka adalah Pesantren Modern Nahdlatul ‘Ulama
(PEMNU) Talang Padang, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM) Ciputat, Rumah Tahfidz al-Qur’an Dzin-Nurrain Jakarta,
teman-teman Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan tahun 2015,
Dewan Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (DEMA-F), Lembaga
Dakwah Kampus (LDK) Syahid Jakarta, Forum Lingkar Pena (FLP)
Ciputat, Komunitas Prosa Tujuh, dan Kuliah Kerja Nyata (KKN)
Menara 009.
9. Terimakasih juga kepada sahabat yaitu: Kak Syamsuri, Ardi
Kurniawan, Abdus Somad, Khoirur Rifqi Robiansyah, Faiji
Rahmat, Ma’rifat Kilwakit, Ningsih, Ahidatun Ni’mah, Sundari
Aryanti, Annisa Nurfauziah, Fatimatul Azizah, Eva Uyuni, Siti
Aisyah, Siti Fatimah Zahro, Sri Wahyuni, Laraswati, Hilda
Mujakiatul Udzma, Iis Faoziah, Intan Diniatul Azizah, Fifit

xiii
Qomariah, Shofi Hidayatullah Akbar, Sinta Indriani, Shofi al-
Fionita, Uswatun Hasanah, dan sebagainya.

Harapan penulis, semoga dengan adanya skripsi ini dapat


bermanfaat bagi yang membaca dan dapat mengambil hikmah bagi
penulis, para kademisi, maupun masyarakat umum.

xiv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................i

LEMBAR KEASLIAN KARYA...............................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING..........................................iii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN.........................................................iv

PEDOMAN TRANSLITERASI...............................................................v

ABSTRAK.................................................................................................xi

KATA PENGANTAR..............................................................................xii

DAFTAR ISI.............................................................................................xv

BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.............................................................1


B. Identifikasi Masalah.................................................................10
C. Batasan dan Rumusan Masalah................................................11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................12
E. Tinjauan Kajian Terdahulu.......................................................13
F. Metodologi Penelitian..............................................................18
G. Sistematika Penulisan...............................................................19

BAB II IBN KATSIR DAN PEMIKIRAN..............................................21

A. Biografi Ibn Katsir....................................................................21


B. Para Guru dan Para Murid Ibn Katsir........................................22
C. Karya dan Pemikiran Ibn Katsir...............................................24

xv
D. Sekilas Mengenai Tafsir Ibn Katsir..........................................26

BAB III KONSEP PERBUATAN MANUSIA.......................................30

A. Pengertian Baik dan Buruk.......................................................31


B. Macam-Macam Term Baik dan Buruk.....................................33
C. Solusi Menghindari Perbuatan Buruk.......................................42

BAB IV ANALISIS AYAT-AYAT KERUSAKAN DI MUKA


BUMI.........................................................................................................45

A. Kerusakan Dalam Bentuk Penyimpangan Akidah.................47


B. Kerusakan Dalam Bentuk Kemaksiatan................................51

C. Kerusakan Dalam Bentuk Penyimpangan Memperlakukan


Orang Yang Lemah................................................................55
D. Kerusakan Dalam Bentuk Memperturutkan Hawa
Nafsu......................................................................................58
E. Kerusakan Dalam Bentuk Perilaku Merusak
Lingkungan............................................................................60

BAB V PENUTUP....................................................................................63

A. Kesimpulan..........................................................................63
B. Saran....................................................................................64

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................65

xvi
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

al-Qur’an merupakan sumber utama ajaran Islam yang di dalamnya


terkandung ajaran Islam berupa akidah, syari’ah, dan akhlaq. al-Qur’an
juga sebagai pedoman untuk menghantarkan manusa kepada kebahagiaan.
Untuk mencapai kebahagiaan tersebut manusia hendak mengamalkan dan
memahaminya.1 Karenanya banyak pembahasan mengenai berbagai
kehidupan di dalam al-Qur’an, salah satunya pembahasan mengenai
kerusakan hasil perbuatan manusia. al-Qur’an juga sebagai pedoman umat
manusia yang berisi petunjuk untuk memilih yang baik dan yang buruk.

Manusia diberikan potensi oleh Allah berupa potensi kebaikan dan


potensi keburukan. Hal ini merupakan ujian yang hendak manusia lalui
dengan mengontrol, mengawasi, dan memilih jalan yang telah diberikan
petunjuknya di dalam kitab suci al-Qur’an dan risalah para Nabi. Jika
potensi kebaikan manusia berjalan sebagaimana mestinya maka akan terjadi
keseimbangan. Namun sebaliknya, jika potensi keburukan yang
mendominasi maka akan terjadi ketimpangan yang berakibat pada
kerusakan.

Kata, “kerusakan” di dalam al-Qur’an menggunakan kata, “fasād.”


Kementerian Agama RI dalam Tafsir al-Qur’an Tematik yang berjudul,
Pelestarian Lingkungan Hidup, bahwa di dalam al-Qur’an term fasād
dengan seluruh derivasinya (kata jadiannya) terulang sebanyak 50 kali.

1
Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam (Tangerang: Serat Alam
Media, 2012), xi.

1
2

َ
Sedangkan, di dalam kitab al-Mufrȃt fȋ Gharȋb al-Qur’ȃn kata, “َ‫ ”ف َس َد‬tertulis
ْ َ ْ َّ ُ ْ ُ ُ
10 kali yang berarti َ‫اْل ْع ِت َد ِال‬
ِ ‫( خروج الش ي ٍء ع ِن‬sesuatu yang keluar dari
keseimbangan).2

Dunia global saat ini sedang dihadapkan pada persoalan serius yang
menentukan keberlangsungan hidup umat manusia,3 yakni: krisis
spiritualitas, krisis kemanusiaan, dan krisis terhadap lingkungan hidup.
Krisis spiritual, krisis kemanusiaan, dan krisis lingkungan hidup akan
mengahantarkan manusia pada perbuatan kerusakan.

Alam yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala terbentang luas


untuk kehidupan manusia. Manusia yang diamanahkan peran sebagai
khalifah fȋ al-Ardh (pemimpin di bumi), hendaknya menjalankan
konsekuensi keimanannya dengan berhubungan baik kepada tiga hal, yaitu:
Hubungan kepada Allah, hubungan kepada manusia, dan hubungan
terhadap alam semesta. Manusia hendaknya bertanggungjawab untuk
memelihara dan menjaga ketiga hal tersebut. Tanpa ada keseimbangan
terhadap tiga hal tersebut, maka akan terjadi kerusakan dan
ketidakseimbangan. Misalnya pada pemeliharaan alam yang meliputi:
Tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang, gunung-gunung, laut, air, dan
sungai. Dalam peranannya sebagai khalifah, manusia hendak mengurus,
memanfaatkan, dan memeliharanya.4 Namun faktanya manusia belum
mampu mengemban amanah sebagai khalifah secara proporsional
(seimbang).

2
Abu Qosim al-Husain bin Muhammad, al-Mufrâdat fȋ Gharȋb al-Qur’ân (Beirut:
Darul Ma’rifah), 491.
3
Agus Iswanto, “Relasi Manusia dengan Lingkungan dalam al-Qur’an,” Suhuf,
vol. 6, no. 1 (2013): 1.
4
Departemen Agama RI, Pelestarian Lingkungan Hidup (Jakarta: Lajnah
Pentashihan al-Qur’an, 2009), 27.
3

Allah telah menciptakan alam semesta dengan seimbang. Allah


berfirman di dalam al-Qur’an surah al-Ahqaf ayat 3:
َ ُ ۡ ُ ْ ُ ُ ٓ َّ َ ْ ُ َ َ َ َّ َ ۚ ّٗ َ ُّ َ َ َ َ ۡ َّ ٓ َ ُ َ ۡ َ َ َ َ ۡ َ ۡ َ ََٰ ََٰ َّ َ ۡ َ َ َ
َ َ‫ُو‬ ‫ما خلقنا ٱلسمو ِت وٱۡلرض وما بينهما ِإَّل ِبٱلح ِق وأج ٖل مسمى وٱل ِذين كفروا عم َا أ ِذذروا مۡ ِر‬

“Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara
keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan dalam waktu yang
ditentukan. Namun orang-orang kafir berpaling dari peringatan yang
diberikan kepada mereka.”
Keseimbangan antara makhluk hidup dan alam semesta berdampak
pada keselarasan dan kesejahteraan hidup manusia.5 Begitu juga dengan
keseimbangan manusia dengan Tuhan. Keseimbangan yang telah Allah
berikan akan tetap terjaga bila manusia “tidak merusak” komponen alam
semesta secara drastis.

Tauhid atau keimanan manusia yang seharusnya dapat dimanifestasikan


dengan perilaku atau perbuatan baik. Namun faktanya kerusakan komponen
alam semesta banyak terjadi karena perilaku manusia yang tidak
bertanggungjawab. Misalnya: Kerusakan terhadap alam terjadi perilaku
manusia yang membuang sampah sembarangan, penggunaan pestisida
berlebihan, dan illegal logging (penebangan hutan) secara besar-besaran,
dan kebakaran hutan secara luas. Allah berfirman di dalam al-Qur’an surah
al-Rahman ayat 8-9:
ۡ ْ ۡ ُ ََ ۡ َ َۡۡ ْ ََ ۡ َ َّ َ
َ ۡ ‫ط َغ ۡو ْا في‬
٩ َ‫ٱۡل َيز َا‬
ِ ‫ وأ ِق ُيموا ٱلوزَ ِبٱل ِق ۡس ِط وَّل تخ ِس ُروا‬٨ َ‫ٱۡليز ِا‬
ِ ِ َ ‫أَّل ت‬

“Agar jangan kamu merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah


keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi
keseimbangan itu.”

5
Ridwan Abdullah Sani, Sains Berbasis al-Qur’an (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2015), 115.
4

al-Qur’an merupakan kitab hudâ (petunjuk), kitab Furqan (pembeda


antara kebenaran dan kebathilan), kitab adz-Zikr (pemberi peringatan) bagi
ummat manusia. Implikasinya, berlaku pada siapa saja, Muslim atau non-
Muslim. Ia mengahadirkan dirinya sebagai rahmat bagi seluruh ummat
manusia. Konteks dari rahmat bagi seluruh ummat manusia ini, tidak ada
jaminan bahwa orang yang mengaku Muslim pasti akan mendapat
petunjuknya, dan tidak pula ada kepastian bahwa yang non-Muslim tidak
memperoleh petunjuknya.6 Pembagian antara Muslim dan non-Muslim ini,
menunjukkan tingkat kesadaran perilaku atau perbuatan manusia.

Menurut Ahzami Samiun Jazuli, al-Qur’an merupakan pedoman hidup


yang menyeru kepada manusia untuk berpikir logis, mempersiapkan diri
sebaik-baiknya, mendayagunakan sarana yang ada, dan mengerahkan
kemampuan guna dapat mengemban amanat tertinggi dimuka bumi, yaitu
sebagai khalifah (pemimpin).7 Selain itu, menurut Efa Ida Amalia, al-
Qur’an merupakan sumber intelektualitas dan spiritualitas yang merupakan
basis sumber inspirasi Muslim.8 Dalam hal ini dapat diidentifikasikan
bahwa al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia secara komprehensif
(menyeluruh). Baik itu sebagai pedoman hidup manusia dan juga sumber
utama inspirasi pengetahuan.

Sebagai manusia yang bernotabane sebagai Khalifah fȋ al-Ardh yang


tugasnya menjaga, mengatur, dan mengelola dan memakmurkan bumi
adalah sebuah keniscayaan. Sebab yang membutuhkan bumi dan

6
Kementerian Agama RI, Spriritualitas dan Akhlaq (Tafsir al-Qur’an Tematik)
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2010), 1.
7
Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan dalam Pandangan al-Qur’an (Jakarta: Gema
Insani, 2006) xi-xii.
8
Efa Ida Amalia, “Kehancuran Alam Semesta dalam al-Qur’an”. Suhuf, vol. 2,
no. 1 (2009): 74.
5

lingkungan bukanlah lingkungan itu sendiri. Namun, manusialah yang


sangat membutuhkan lingkungan.

Alam yang terbentang luas di dalamnya terdapat beranekaragam jenis


tumbuhan, jenis hewan, dan juga manusia yang hidupnya bertumpu
terhadap alam, secara otomatis manusia akan memakan tumbuhan dan
memburu jenis hewan dan bahkan memburu segala isi alam yang telah
disediakan oleh Tuhan. Tumbuhan dan hewan akan hidup dengan
sendirinya tanpa manusia. Tetapi sebaliknya, manusia tanpa tumbuh-
tumbuhan dan hewan akan menyebabkan manusia tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Di sinilah manusia disebut sebagai antroposentris.

Karena manusia disebut sebagai antroposentris yaitu manusia


menempati pusat dari alam semesta,9 maka manusia hendaknya
memperhatikan aturan-aturan yang ditetapkan Tuhan terhadap alam.
Menjaga keseimbangan dengan tidak merusak. Tanpa memperhatikan
aturan dan keseimbangan terhadap alam, maka akan terjadi masalah dan
kerusakan. Allah berfirman di dalam al-Qur’an surah al-Rum ayat 41-42:
ْ ُ َ َّ َ ْ ُ َّ َ ۡ َ ُ َ ُ
َ ِ ‫ض ٱل ِذي َع ِملوا ل َۡل ُه ۡم َي ۡر‬
‫ ق ۡل ِس ُيروا‬١٤ َ‫ج ُۡو‬ ۡ‫اس ِلي ِذيقهم ب‬ َّ َۡ ۡ َ َ َ َ ۡ َۡ َ َۡ ُ َ َۡ َ ََ
ِ ‫ظهر ٱلفساد ِفي ٱلب ِر وٱلبح ِر ِبما كسبت أي ِدي ٱلن‬
ۡ َ ۡ َ َ َ ُۚ ۡ َ َ ‫اَ ََٰعق َب ُة َّٱلذ‬ َ ۡ َ ْ ُ ُ َ َۡ ۡ
َ ‫ف َك‬
١٤ َ‫اَ أكث ُر ُهم ُّمش ِر ِك َي‬ ‫ين ِمن قبل ك‬ ِ ِ ‫ض فٱذظروا كي‬ ِ ‫ِفي ٱۡلر‬

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan


tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Katanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikan bagaimana
kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu orang-
orang yang mempersekutukan (Allah).”
Menurut A. Sonny Keraf bahwa bencana atau kerusakan lingkungan
terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Kerusakan atau bencana karena

9
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2010), 47.
6

murni peristiwa alam, seperti: Gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus.
Kedua: Kerusakan atau bencana karena krisis lingkungan hidup, akibat pola
dari perilaku manusia, seperti: kehancuran, kerusakan, dan pencemaran
lingkungan.10

Masalah kerusakan lingkungan pada dasarnya telah terjadi sejak zaman


para Nabi. Syahrul Machmud menuliskan yang juga mengutip dari kitab-
kitab suci baik agama Islam, Kristen, dan Yahudi, Otto Soemarwoto yang
seorang ahli ekologi, berpendapat, dengan menghubungkan kejadian yang
dikisahkan dalam kitab suci berupa peristiwa air bah pada zaman Nabi Nuh
dan berbagai kesulitan Nabi Musa di Gunung Pasir pada waktu
pengembaraan dari Mesir ke Kana’an.11

Selain peristiwa di atas, peristiwa Nabi Yusuf dalam menafsir-kan


mimpi raja (Mesir): “Aku melihat dalam mimpi tujuh ekor sapi betina yang
tambun dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus-kurus dan tujuh bulir
gandum hijau dan tujuh lainnya kering.” Nabi Yusuf menafsirkan terdapat
dalam al-Qur’an surah Yusuf ayat 47 yaitu: “Ia (Yusuf) berkata: “Selama
tujuh tahun bertanam seperti biasa, dan hasil yang kamu tuai hanya bulir-
bulirnya kecuali sebagian kecil yang kamu makan.” Abdullah Yusuf Ali,
menerangkan bahwa ayat ini mengisyaratkan langkah-langkah yang harus
diambil dalam menghadapi bencana yang akan datang. Selama tujuh tahun
akan ada hasil panen yang melimpah. Dari situ harus disediakan sedikit
makanan yang disimpan bersama bulir-bulirnya, lebih baik lagi dilindungi

10
A. Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global (Jogjakarta:
Kanisius, 2010), 26.
11
Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia (Jogjakarta:
Graha Ilmu, 2012), 1.
7

dari hama yang menyerang gandum bila telah dibawa ketempat


pengeringan.12

Peristiwa Nabi Nuh As dan Nabi Musa As di atas merupakan peristiwa


bencana. Peristiwa Nabi Yusuf As di atas dapat mengambil hikmah
mengenai antisipasi manusia untuk terus menjaga lingkungan agar tidak
terjadi kerusakan.

Bencana dan kerusakan tentu bagian yang berbeda. Pada penelitian ini
berpusat pada fasād (kerusakan) bukan pada bencana. Perbedaan ini
ditampilkan agar dapat memberikan informasi bahwa yang diteliti adalah
kerusakan akibat perbuatan manusia.

Saat ini, telah memasuki era industrialisasi diberbagai belahan dunia,


baik negara maju ataupun negara berkembang. Hingga keadaan yang
digambarkan pada peristiwa nabi di atas sudah sangat berubah.
Pembangunan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya telah
mengubah cara pandang mengenai lingkungan.

Manusia membangun tapi manusia merusak. Seperti: Manusia


memakan jenis makanan; tanpa memperhatikan dimana manusia
membuang bekas makanan. Manusia menebang hutan; tanpa
memperhatikan pemanfaatan hingga terjadi penggundulan hutan. Manusia
membangun industri tanpa memperhatikan lingkungan daratan, lautan, dan
udara. Juga, yang paling penting penyebabnya adalah gaya hidup manusia
modern yang tidak mengindahkan pedoman hidup, spiritualitas kepada
Tuhan yang tidak dimanifestasikan dengan perbutan baik terhadap

12
Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2009),
557.
8

lingkungan. Akibatnya, kehancuran, kerusakan, polusi udara, dan


pencemaran lingkungan darat dan air terus menjamur.

Sukidi, dalam bukunya, Teologi Inklusif Cak Nun, menuliskan bahwa


pakar ekonomi pembangunan dunia, E. F. Schumacher, dalam bukunya, A
Guide for the Per-Plaxed, 1981, memberitahukan bahwa krisis berangkat
dari krisis spiritualitas dan krisis terhadap pengenalan diri terhadap yang
absolut, yaitu Tuhan.13

Semua yang dituliskan di atas merupakan fasād (kerusakan). Namun


fasād (kerusakan) ternyata terjadi akibat manusia tidak mengindahkan
tauhidnya dengan perbuatan baik. Tauhid memiliki konsekuensi terhadap
manusia. Sebagaimana manusia telah mengikrarkan untuk bersaksi bahwa
Tuhan yang disembah dan manusia juga bersaksi bahwa tidak ada Tuhan-
Tuhan yang lain yang disembah. Konsekuensi tauhid diwujudkan dalam
perbuatan baik.

Penelitian ini berfokus pada bagaimana Ragam Kerusakan Hasil


Perbuatan Manusia (Analisis Penafsiran Ibn Katsir atas Ayat-Ayat
Kerusakan di Muka Bumi). Ada beberapa alasan dan pentingnya dalam
penelitian ini, yaitu:

Alasan pertama adalah salah satu permasalahan mengenai


keseimbangan alam semesta ialah mengenai “kerusakan,” yang di dalam al-
Qur’an disebut “fasād.” Adapun salah satu persoalannya adalah kerusakan
di muka bumi ini di lakukan oleh orang-orang beragama, tetapi minim
pengetahuan terhadap yang absolut. Sebagaimana Sukidi dalam bukunya
Teologi Inklusif Cak Nun yang juga mengutif E. F. Schumacher menuliskan
bahwa krisis spiritualitas berangkat dari kurangnya pengenalan diri kepada

13
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nun (Jakarta: Kompas, 2001), 227.
9

Tuhan. Di sinilah muncul sebuah pertanyaan mengapa orang-orang yang


beragama justru turut serta melakukan perbuatan kerusakan? Seharusnya,
orang yang beragama pasti perbuatannya baik. Namun, faktanya kerusakan
justru dilakukan oleh manusia yang beragama. Padahal jika manusia
meyakini keimanannya maka akan terjadilah sebuah keseimbangan.
Sehingga terciptalah harmonisasi keindahan, kepedulian, tidak merusak,
dan tidak membiarkan kerusakan.14 Dengan kata lain manusia yang
mempunyai agama seharusnya dapat mengaplikasikan keimanannya
dengan perbuatan baik. Maka dari itu, di sinilah pentingnya penelitian
mengenai: Ragam Kerusakan Hasil Perbuatan Manusia di Muka Bumi
(Analisis Penafsiran Ibn Katsir atas Ayat-ayat Kerusakan di Muka Bumi).

Alasan kedua mengapa penulis mengangkat tema, Ragam Kerusakan


Hasil Perbuatan Manusia di Muka Bumi (Analisis Penafsiran Ibn Katsir
atas Ayat-ayat Kerusakan di Muka Bumi) menjadi judul skripsi karena term
kerusakan di dalam al-Qur’an jumlahnya sangat banyak derivasinya.
Sehingga, sangat menarik untuk diteliti. Juga, perbuatan manuia menempati
posisi yang erat kaitannya dengan mengapa terjadi kerusakan, sebagaimana
Sonny A. Keraf menuliskan dalam bukunya, Etika Lingkungan Hidup,
masalah lingkungan merupakan masalah perbuatan atau perilaku manusia.

Alasan ketiga mengapa penulis menggunakan Tafsir Ibn Katsir dalam


penelitian ini, hal ini karena beberapa alasan: Pertama: Ibn Katsir atau yang
bernama lengkap Imaduddin Abu al-Fida’ Ismail bin al-Hafidz Abi Hufas
Umar bin Katsir, ini merupakan ‘ulama yang bermazhab Syafi’i,15
berakidah ahlusunnah wa al-Jama’ah. Ia terkenal juga sebagai tokoh

14
Saifuddin Aman, Tren Spiritual Millenium Ketiga (Jakarta: Ruhama, 2013),
59.
15
Imaduddin Abu al-Fida’ Ismail bin al-Hafidz Abi Hufas Umar bin Katsir, Tafsir
al-Qur’ân al- Adzȋm, jilid 1 (Riyadh: Dar al-Salam, 1994), 18.
10

panutan bergelar al-Hafidz.16 Kedua: Karena tafsir ini merupakan Tafsir al-
Qur’ȃn bi al-Qur’ȃn, sebagaimana disebutkan bahwa metode penafsiran
yang utama yaitu al-Qur’an dengan al-Qur’an. Jika tidak ada di dalam al-
Qur’an hendaknya menafsirkan dengan Hadis. Dan jika tidak menemukan
di dalam al-Qur’an dan hadis, maka hendaknya merujuk pada sahabat dan
tabi’in.17 Ketiga: penulis melihat Ibn Katsir dalam menjelaskan ayat-ayat
mengenai kerusakan mengungkapkan sebagai akibat dari kemaksiatan
manusia kepada Allah, sehingga menjadikan manusia lalai dan bahkan
kufur kepada-Nya. Selain itu, kemaksiatan diakibatkan karena agama yang
mengatur kehidupan manusia ternyata belum mampu termanifestasikan
dengan perbuatan baik.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan hasil pengamatan mengenai latar belakang permasalahan


yang telah dipaparkan di atas, penulis mengidentifikasi beberapa
permasalahan, yaitu:

Pertama: Penelitian mengenai kerusakan hasil perbuatan manusia di


muka bumi, masih berkisar pada kerusakan yang berdampak pada materi.
Seperti: Kerusakan lingkungan yang berdampak pada pencemaran
lingkungan atau penebangan hutan secara illegal. Hal ini membawa
pemahaman yang berdampak secara rill (nyata). Padahal, kerusakan yang
berdampak pada non-materi belum diteliti secara mendalam. Dari sinilah

16
Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, terj. Abdullah bin Abdul Muhsin
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2013), 13.
17
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahmad bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibn
Katsir, jilid 1 (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2009), bagian Muqaddimah.
11

muncul sebuah pertanyaan. Mengapa ayat al-Qur’an mengenai kerusakan


belum dikaji dalam aspek non-materi?

Kedua: Ayat-ayat kerusakan hasil perbuatan manusia di muka bumi


belum final dikaji dan perlu dikaji dalam segi penafsiran al-Qur’an.

Ketiga: Perbuatan atau perilaku manusia yang merusak merupakan


orang-orang yang mempunyai agama. Padahal seharusnya orang-orang
yang beragama justru orang yang dapat melakukan, menjaga keseimbangan,
dan mengamalkan apa yang diperintahkan agamanya. Dari sinilah muncul
sebuah pertanyaan, mengapa orang yang beragama justru turut serta
melakukan kerusakan?

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti hanya fokus kepada


permasalahan, Ragam Kerusakan Hasil Perbuatan Manusia di Muka Bumi
(Analisis Penafsiran Ibn Katsir atas Ayat-ayat Kerusakan di Muka Bumi)
adalah penting dan uniknya Ibn Katsir dalam menjelaskan makna ayat-ayat
kerusakan. Oleh karena itu, kitab yang menjadi rujukan primer adalah kitab
al-Qur’ân al-Adzȋm.

Mengenai ayat-ayat fasād (kerusakan), penulis menelusuri kata Fasād


dengan menggunakan kitab mufradât (kosa kata) yaitu kitab al-Mufrȃd fȋ
Gharȋb al-Qur’ȃn. Pada kitab ini, arti fasād (kerusakan) yang berarti
“Sesuatu yang keluar dari ke-seimbangan,” untuk diuraikan tafsirnya, yaitu:
surah al-Baqarah [2] : 11, surah al-Baqarah [2] : 12, surah al-Baqarah [2] :
220, surah al-Baqarah [2] : 205, surah Yunus [10] : 81, surah al-Anbiya
[21] : 22, surah al-Mu’minun [23] : 71, surah al-Naml [27] : 34, surah al-
12

Rȗm [30] : 41-42. Dari kesembilan18 ayat ini sudah mewakili bagaimana
Ragam Kerusakan Hasil Perbuatan Manusia di Muka Bumi (Analisis
Penafsiran Ibn Katsir atas Ayat-ayat yang Menjelaskan Kerusakan di Muka
Bumi).

Pembatasan ini bertujuan agar pembahasan lebih fokus dan tidak keluar
dari tema yang diteliti dari aspek-aspek yang telah diidentifikasi,
menginformasikan tafsiran Ibn Katsir mengenai ayat, dan wawasan yang
terkait dengannya.

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini menggunakan model pernyataan


yang berguna untuk menjawab pokok permasalahan dan menunjukkan arah
pemahaman yang benar, yaitu: Bagaimana Ragam Kerusakan Hasil
Perbuatan Manusia di Muka Bumi (Analisisis Penafsiran Ibn Katsir atas
Ayat-ayat Kerusakan di Muka Bumi).

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulis dalam melakukan penelitian skripsi ini


adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana perbuatan manusia yang keluar dari


keseimbangan

18
Term fāsad yang terdapat dalam penelitian ini merupakan term yang terdapat
dalam kitab al-Mufrat fȋ Gharȋb al-Qur’ȃn. Di dalam kitab tersebut, terdapat 10 (sepuluh)
ayat. Namun ketika penulis teliti ulang ayat tersebut terdapat sembilan ayat. Hanya saja,
surat al-Baqarah [2] : 205 term fasād dalam satu ayat terdapat 2 (dua) kata fasād.
13

b. Untuk mengamati tentang bagaimana ayat-ayat mengenai ragam


kerusakan hasil perbuatan manusia di muka bumi
c. Untuk menganalisis Ragam Kerusakan Hasil Perbuatan Manusia di
Muka Bumi (Analisis Penafsiran Ibn Katsir atas Ayat-ayat
Kerusakan di Muka Bumi)

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu:


manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis. Penulis
merangkumnya sebagai berikut:

a. Penelitian ini berguna agar mengetahui perbuatan manusia yang


keluar dari keseimbangan
b. Penelitian ini berguna agar mendapatkan pemahaman ayat-ayat
mengenai ragam kerusakan hasil perbuatan manusia di muka bumi
c. Penelitian ini diharapkan mampu berguna sebagai rujukan untuk
memahami Ragam Kerusakan Hasil Perbuatan Manusia di Muka
Bumi (Analisis Ayat-ayat yang Menjelaskan Kerusakan di Muka
Bumi Studi Tafsir Ibn Katsir)

Dua poin pertama merupakan manfaat penelitian secara teoritis,


sedangkan satu poin terakhir merupakan manfaat secara praktis.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu


Karena lingkup kajian ini adalah Ragam Kerusakan Hasil Perbuatan
Manusia di Muka Bumi (Analisis Ayat-ayat yang Menjelaskan
Kerusakan di Muka Bumi Studi Tafsir Ibn Katsir), maka penulis
14

berusaha mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai tema


tersebut. Tujuannya agar tidak terjadi kesamaan dan menemukan
perbedaan dalam penelitian. Setelah penulis teliti melalui artikel, buku,
skripsi, dan tesis pembahasan yang relevan mengenai skripsi ini sebagai
berikut:

Penelitian yang ditulis oleh Enoh (Dosen tetap Fakultas Tarbiyah


UNISBA) dalam sebuah artikelnya yang berjudul Konsep Baik
(Kebaikan) dan Buruk (Keburukan) dalam al-Qur’an, v. XXIII No. 1
Januari – Maret 2007. Artikel ini membahas mengenai makna kebaikan
dan keburukan dalam al-Qur’an. Perbedaan artikrel ini dan skripsi
penulis terletak pada pembahasan mengenai kebaikan dan keburukan
saja, melainkan analisis ragam kerusakan di muka bumi.
Penelitian yang kedua ditulis oleh Rabiah Z. Harahap (Dosen
Fakultas UMSU) dalam, artikel EduTech vol. 1 no 1 Maret 2015. Artikel
ini membahas mengenai akhlaq, etika, dan moral. Serta etika terhadap
lingkungan hidup dalam persfektif ajaran Islam. Perbedaan artikel ini
dengan penelian penulis adalah penulis tidak hanya menampilkan
akhlaq, etika, dan moral tetapi juga diteliti bagaimana Ragam Kerusakan
Hasil Perbuatan Manusia.

Penelitian yang ketiga yang disusun oleh Kementerian Agama RI


dalam buku yang berjudul, Pelestarian Lingkungan Hidup. Penelitian ini
membahas mengenai berbagai tema lingkungan, seperti: Eksistensi laut,
eksistnsi air, kebersihan lingkungan, kerusakan lingkungan, term al-
Qur’an yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan, dan sebagainya,
tetapi dalam buku tafsir tematik ini tidak mengupas secara detail
mengenai ragam kerusakan hasil perbuatan manusia secara fokus.
15

Penelitian yang keempat yang ditulis oleh Wisnu Arya Wardana dalam
buku yang berjudul, Dampak Pencemaran Lingkungan. Buku ini berisi
penjelasan mengenai beberapa macam kerusakan yang terkhusus pada
pencemaran lingkungan, diantaranya: Pencemaran udara, pencemaran air,
dan pencemaran daratan.19 Semua pencemaran di atas merupakan bentuk
kerusakan. Perbedaan dengan penelitian ini adalah terletak pada kerusakan
tidak hanya berfokus pada pencemaran lingkungan saja, melainkan
berfokus pada ragam kerusakan akibat pencemaran yang menghadirkan
ayat-ayat al-Qur’an.

Penelitian yang kelima yang ditulis oleh Muhammad Mukhtar Dj (2010).


Ia berada di jurusan Tafsir-Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini berjudul Kerusakan
Lingkungan Persfektif al-Qur’an (Studi Tentang Pemanasan Global).
Skripsi ini membahas mengenai cara penanggulangan pemanasan global
dalam al-Qur’an. Kesimpulan dari penelitian ini adalah mengenai ayat-ayat
al-Qur’an yang berbicara pemeliharaan al-Qur’an, diantaranya: pertama:
nilai-nilai yang ada di dalam al-Qur’an mengenai pemanasan global
tersebar dalam berbagai ayat. Kedua: Berbagai cara telah dilakukan untuk
menanggulangi pemanasan global, seperti negara-negara internasional telah
membuat suatu persetujuan untuk menangani masalah pemasan global.
Ketiga: Tanpa nilai-nilai standar tersebut, manusia melihat kebenaran
menurut hawa nafsunya masing-masing.20 Perbedaan dengan penelitian ini
yaitu kerusakan tidak dititik beratkan pada satu hal, yaitu mengenai
lingkungan. Namun meneliti term kerusakan dari berbagai aspek.

19
Wisnu Arya Wardhana, Dampak Pencemaran Lingkungan (Yogyakarta: Andi
Offset, 2004), xvi.
20
Muhammad Mukhtar Dj, “Kerusakan Lingkungan Persfektif al-Qur’an (Studi
Tentang Pemanasan Global),” Dalam Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah (Jakarta 2010), 60.
16

Penelitian yang keenam yang ditulis oleh Tatik Maisaroh (2017). Ia


berada di jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung. Skripsi ini berjudul
Akhlaq Terhadap Lingkungan Hidup Dalam al-Qur’an (Studi Tafsir al-
Misbah). Skripsi ini membahas mengenai kontribusi dan kontekstualisasi
akhlaq lingkungan hidup Muhammad Qurays Shihab di Indonesia.
Kesimpulan dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu: pertama:
Muhammad Quraish Shihab dalam tafsirnya memili pandangan bahwa
akhlaq terhadap lingkungan hidup adalah tidak merusak tatanan kehidupan.
Kedua: Kontekstualisasi akhlaq terhadap lingkungan hidup menurut M.
Quraish Shihab apabila dilihat sangat relevan di Indonesia. Hal ini dilihat
dari masyarakat yang melakukan kemaksiatan, kerakusan, keegoisan, dan
berbagai kerusakan di bumi, baik daratan dan lautan.21 Perbedaan dengan
penelitian ini adalah kerusakan tidak hanya terhadap lingkungan. Juga
penggunaan kitab tafsir yang berbeda.

Penelitian yang ketujuh yang ditulis oleh M. Luthfi Maulana (2016). Ia


berada di jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Skripsi ini berjudul
Manusia dan Kerusakan Lingkungan dalam al-Qur’an: Studi Kritis
Pemikiran Mufassir Indonesia (1967-2014). Skripsi ini membahas
mengenai penafsiran Mufassir Indonesia mengenai ayat-ayat kerusakan
lingkungan dan membahas relevansi penafsiran ayat-ayat tentang
lingkungan oleh Mufassir Indonesia.22 Perbedaan dengan penelitian skripsi

21
Tatik Maisaroh, “Akhlaq Terhadap Lingkungan Hidup Dalam al-Qur’an (Studi
Tafsir al-Misbah),” Dalam Skripsi SI Fakultas Ushuluddin UIN Raden Intan (Lampung
2017), 105.
22
M. Luthfi Maulana, “Manusia dan Kerusakan Lingkungan dalam al-Qur’an:
Studi Kritis Pemikiran Mufassir Indonesia (1967-2014),” Dalam Skripsi SI Fakultas
Ushuluddin UIN Walisongo (Semarang 2016), 4.
17

ini dengan penulis adalah kerusakan yang diteliti tidak terfokus pada
kerusakan lingkungan, melainkan pada ragam kerusakan. Juga, perbedaan
mengenai fokus pembahasan tafsir yang menggunkan tafsir Ibnu Katsir.

Penelitian yang kedelapan yang ditulis oleh Cahaya Riana Purnama


(2017). Ia berada di jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini berjudul Perbuatan Baik dan Buruk Manusia Menurut Ibn
Taimiyah. Skripsi ini membahas mengenai kebaikan dan keburukan dari
berbagai term dalam al-Qur’an dan juga membahas mengenai kebaikan dan
keburukan menurut Ibn Taimiyah. Perbedaan dengan penelitian penulis
adalah terletak pada kebaikan dan keburukan yang mengarah pada
perbuatan manusia yang merusak atau mengganggu keseimbangan. Selain
itu perbedaan terletak pada analisis pembahasan menggunakan Ibn Katsir.

Penelitian yang kesembilan yang ditulis oleh Drs. H. Slamet Khaeruddin


(2004). Tesis Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tesis ini berjudul, Fȃsad dalam al-Qur’an. Tesis ini membahas mengenai
pengungkapan fȃsad dalam al-Qur’an dari berbagai derivasinya.
Kesimpulan dari penetian ini yaitu: 1). Konsep fȃsad dalam al-Qur’an
segala sesuatu yang keluar dari kondisi normal. 2). Diantara pengungkapan
yang senada dengan fȃsad adalah al-tsubȗr, al-Tabbar, al-Tabdzȋr, al-Ilhȃk,
al-Hadm, dan al-Damdȃmah, dan lain sebagainya.23 Perbedaan tesis ini
dengan skripsi penulis adalah pembahasan mengenai fȃsad yang berarti
sesuatu yang keluar dari kondisi normal dibahas detail dengan analilis
pengguaan tafsir Ibn Katsir. Selain itu, pembahasan mengenai perbuatan
manusia juga dihadirkan.

23
Slamet Khaeruddin, “Fȃsad dalam al-Qur’an,” Dalam Tesis Fakultas
Ushuluddin Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2004), 163-164.
18

F. Metode Penelitian

Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.


Metode penelitian kualitatif adalah metode yang menggunakan natural
setting (kondisi alami).24 Metode kualitatif juga diartikan sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif25 atau juga biasa
dikenal dengan proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada
metodologi yang menyelidiki fenomena sosial dan masalah manusia.26

Sumber data penelitian yang menjadi rujukan penulis diambil dari


sumber primer karya Imaduddin Abul Fida bin Ismail dengan kitab
tafsirnya al-Qur’ân al-Aldzȋm. Selain itu untuk term fasād (kerusakan)
menggunakan kitab al-Mufrȃd fȋ Gharib al-Qur’ȃn. Tidak lupa juga data
sekunder yaitu data yang didapatkan dari berbagai literatur pendukung
yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
Literatur pendukung itu dapat berupa: Kitab tafsir selain Ibn Katsir,
buku-buku mengenai kerusakan, buku-buku mengenai perbuatan
manusia, artikel, dan sebaginya.

Metode penelitian yang digunakan untuk penulisan skripsi ini


bersifat deskriptif-analitis. Penelitian deskriftif adalah penelitian yang
berusaha memberikan gambaran secara sistematis dan fakta-fakta
aktual,27 mengenai masalah yang akan diteliti. Sedangkan analisis adalah
mencari pandangan yang mendalam mengenai penelitian. Tujuannya
untuk mendapatkan gambaran dan analisis yang tajam mengenai Ragam

24
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatai, kualitatif dan R dan D (Bandung:
Alfabeta, 2007), 9.
25
Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kuantitatif (Surabaya: Usaha
Nasional, 1992), 21.
26
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi dan Karya
Ilmiah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 33-34.
27
Nuzul Zuriah, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009) 14.
19

Kerusakan Akibat Perbuatan Manusia di Muka Bumi (Analisis


Penafsiran Ibn Katsir atas Ayat-ayat Kerusakan di Muka Bumi).

Teknik pencarian dan pengumpulan data penelitian ini menggunakan


riset kepustakaan (library reseach) dengan mempelajari buku-buku atau
literatur-literatur, dokumen, dan artikel mengenai, Ragam Kerusakan
Hasil Perbuatan Manusia di Muka Bumi (Analisis Ayat-ayat yang
Menjelaskan Kerusakan di Muka Bumi Studi Tafsir Ibn Katsir). Dan
meneliti ayat-ayat dalam al-Qur’an dengan maksud untuk mendapatkan
deskripsi mengenai masalah yang diteliti.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran dan memudahkan telaah terhadap


skripsi ini, penulis membagi skripsi ini kedalam lima bab, dengan
sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab pertama, berupa pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub-


bab, yaitu: Latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metode penelitian hingga sistematika penulisan. Pada bab ini bertujuan
untuk memberikan gambaran dari keseluruhan permasalahan yang akan
dibahas secara rinci dan detail pada bab-bab berikutnya.

Bab kedua, Sub-bab ini menjelaskan mengenai Tafsir Ibn Katsir


yang terdiri dari: Biografi penulis Tafsir Ibn Katsir, pendidikan Ibn
Katsir, guru-guru Ibn Katsir, karya-karya Ibn Katsir. Juga, peneliti
menjelaskan tentang metode tahlȋli yang digunakan Ibn Katsir serta
kategori bȋ Ma’sȗr yang digunakan dalam penafsiran. Pada bab ini
20

bertujuan untuk menjelaskan berbagai macam data yang berkaitan


dengan pembahasan berdasarkan landasan teoritis secara umum.

Bab ketiga, Pada bab ini akan dijelaskan pengertian istilah kebaikan
dan keburukan di dalam al-Qur’an. Selain itu, pada bab ini akan
dijelaskan secara detail mengenai term-term perbuatan manusia. Pada
bab ini bertujuan untuk memberikan kerangka berfikir teoritis megenai
hal-hal yang berhubungan dengan data yang akan diteliti.

Bab keempat, Sub bab ini berfokus pada ayat-ayat fasād


(kerusakan) yang kata jadiaannya dalam terdiri dari 9 (sembilan) bagian
(seperti yang telah digambarkan pada bagian pembatasan masalah).
Pada bab ini bertujuan mendeskripkan hasil analisis, Ragam Kerusakan
Hasil Perbuatan Manusia di Muka Bumi (Analisis Penafsiran Ibn
Katsir atas Ayat-Ayat Kerusakan di Muka Bumi).

Bab kelima, yang merupakan penutup, yaitu berisi mengenai hasil


kesimpulan dan saran dari penelitian. Tujuannya adalah untuk
menjawab rumusan masalah dalam penelitian, serta memberikan saran
agar para peneliti selanjutnya ingin mengambil manfaat dan
melanjutkan sebuah penelitian.
BAB II

IBN KATSIR: BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN

Untuk memahami lebih dalam pemikiran dan tafsir karya Ibn Katsir
yang penulis teliti, maka penulis menghadirkan biografi tokohnya.
Selanjutnya menganalisis pemikiran Ibn Katsir dari berbagai sudut pandang
kehidupannya. Dimulai dari guru-gurunya, murid-muridnya, dan karya-
karya fenomenalnya.

A. Biografi Ibn Katsir

Nama lengkap penulis kitab tafsir, al-Qur’ȃn al-Adzȋm (Tafsir Ibn


Katsir) adalah Abu al-Fida’ Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-
Qurays al-Busyra.1 Ia lahir di daerah Mijdad, bagian dari Bushra,2 pada
tahun 700 H dan wafat pada tahun 774 H.3

Keluarga Ibn Katsir merupakan keluarga yang taat beragama. Hal ini
ditandai dengan seorang ayah yang menjadi seorang ‘ulama pada
zamannya. Nama ayah Ibn Katsir adalah Syihab al-Din Abu Hafs ‘Amr Ibn
Katsir yang lahir pada (640 H). Namun, sejak umur tujuh tahun, Ibn Katsir
ditinggal oleh ayahnya yang

1
Imaduddin Abu al-Fida’ Ismail bin Katsir al-Qurays al-Busyra, Tafsir al-
Qur’ȃn al-Adzȋm, jilid.1 (Riyadh: Dar as-Salam, 1994), 15.
2
Bushra merupakan negeri di Syam dari bagian Damaskus.
3
Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibn Katsir (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i,
2008), xxv.

21
22

meninggal dunia. Sehingga, ia dibesarkan oleh kakaknya, yaitu Kamal


al-Din Abd Wahhab di Damaskus.4

Ibn Katsir dalam kehidupannya sangat bersemangat menggali dan


mendalami ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat ketika ia memulai
pengembaraannya dan bertemu para ‘ulama besar. Pertemuannya dengan
para ‘ulama menjadikan ia mendalami berbagai bidang ilmu, seperti: Tafsir,
Hadis, Tarikh, dan Fiqh.

Dari semangatnya menggali dan mendalami berbagai ilmu di atas, jadi


sangat wajar jika ‘ulama setelahnya memberikan pujian kepadanya. Syaikh
Manna al-Qathtan misalnya ia menuliskan bahwa Ibn Katsir merupakan
seorang yang pakar fiqih yang mumpuni, ahli hadis yang cerdas, sejarawan
yang ulung, dan mufassir yang unggul. Juga, Ibn Hajar berpendapat bahwa
Ibnu Katsir seorang yang ahli dan hadis yang faqih.5

Ibn Katsir wafat pada 26 Sya’ban tahun 774 H. Makamnyaberdekatan


dengan makam gurunya, yaitu Syaihul Islam Ibn Taymiah di pemakaman
al-Shufiyah, kota Damaskus.6

B. Para Guru Ibn Katsir dan Para Murid Ibn Katsir

Orang yang memiliki ilmu tentu mempunyai guru yang mempunyai


segudang ilmu. Semakin banyak guru dalam men-dalami ilmu maka akan
semakin banyak wawasan, pandangan, dan pencerahan yang didapatkan.

4
Maliki, “Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Pemikirannya”. el-Umdah, vol.
1, no. 1 (2018): 76.
5
Syaikh Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2005), 478.
6
Imaduddin Abu al-Fida Ismail, Tafsir Juz ‘Amma, terj. Farizal Tirmizi (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), xvii.
23

Seperti Ibn Katsir, ia menggali keilmuannya dengan mencari dan


mendatangi guru kemudian mendapatkan ilmunya. Setelah mendapatkan
keilmuannya, Ibnu Katsir juga mempunyai murid yang belajar dengannya.
Hal ini untuk melanjukan estafet pengetahuan agar tidak terputus. Berikut
nama-nama guru dan nama-nama murid Ibn Katsir:

a. Guru-Guru Ibn Katsir


al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab al-Bidȃyah wa an-Nihȃyah, yang
ditahqiq oleh Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki disebutkan ada 19
(sembilan belas) guru Ibnu Katsir. Berikut guru-guru Ibn Katsir: 1.
Burhanuddin bin al-Firqah (w. 729 H). Ia adalah orang yang sangat wara’
dan unggul dalam bidang Fiqih, 2. Ibnu Syahnah (w. 730 H), 3. Syaihul
Islam Taqiyuddin atau lebih dikenal dengan nama Ibn Taimiyah (w. 728
H),7 4. Hamzah bin Mu’ayyudin Abul Ma’ali As’ad (w. 729 H), 5. Zakariya
bin Yusuf bin Sulaiman bin Hamad al-Bajli asy-Syafi’i (w. 722 H), 6.
Dhiya’uddin Abdullah al-Zaranbadi al-Nahwi (w. 723 H). Ia adalah seorang
yang ahli dalam bidang Nahwu, 7. al-Dzahabi (w. 748 H). Ia adalah tokoh
Jarh wa Ta’dil, 8. Syamsuddin al-Nabasili (w. 737 H), 9. Syaikh Umar bin
Abi Bakar al-Haiti al-Bashti (w. 742 H), 10. Baha’uddin Abu al-Ghalib al-
Mudhaffar bin Najmuddin (w. 723 H), 11. Ibn al-Khabaz Syamsuddin
Muhammad bin Ismail (w. 756 H), 12. Muhammad bin Ja’far bin Fir’ausy
yang biasa dipanggil al-Libad (w. 724 H). Ibnu Katsir menjelaskan, ia
membaca sebagian Qira’at darinya, 13. Ibn al-Zamlakani (w. 727 H), 14.
Syaikh Afifuddin Muhammad bin Umar (w. 725 H), 15. Syamduddin
Mahmud bin Abdurrahman al-Ashbahani (w. 749 H). Ia adalah seorang
guru Ushul, 16. Ibn al-Bushaish (w. 716). Ia adalah guru metode penulisan

7
Moch. Tohir ‘Aruf, “Persfektif Ibnu Katsir Tentang Eksistensi Adam,” Dalam
Disertasi Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta 2010), 53.
24

pada masanya, 17. Syamsuddin Abu Nashar bin Muhammad (w. 723 H),
18. Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin al-Fadhil Jamaluddin Ishaq (w. 724
H), 19. Jamaluddin Abu al-Hajjaj al-Mizzi Yusuf bin az-Zaki Abdurrahman
bin Yusuf (w. 742 H).
Kedudukan keilmuan Ibn Katsir mulai fenomenal sejak di tengah-
tengah berbagai lembaga kajian keilmuan yang dipimpinnya, seperti:
Madrasah Darul Hadis al-Asyrafiyah, Madrasah al-Syalihiyah, Madrasah
al-Najibiyah, Madrasah al-Tanzakiyah, dan Madrasah al-Nuriyah al-
Kubra.8 Selain itu Ibn Katsir fenomel karena berbagai masjid yang menjadi
sarana belajar dan berbagai karya tulis yang disusunnya dalam bidang tafsir,
sejarah, dan hadis. Dari berbagai tempat belajar itulah Ibn Katsir banyak
mempunyai murid.

b. Murid-Murid Ibn Katsir

Berikut beberapa murid Ibn Katsir: 1. Syihabuddin Abu al-Abbas


Ahmad bin Haji bin Musa bin Sa’ad bin Ghasyam bin Ghazwan (w. 816 H),
2. Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Hariri ad-Dimasqy
(w. 813 H), 3. Abu al-Mahasim al-Husaini (w. 765 H).9

C. Karya dan Pemikiran Ibn Katsir

Ketekunan dan kegigihan Ibnu Katsir dalam mencari ilmu. Ia mendapat


julukan al-Hafizd, yaitu para penjaganya al-Qur’an. Selain al-Hafidz, ia

8
Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, terj.Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2013), 18.
9
Ibn Katsir, al-Bidȃyah wa al-Nihȃyah, 27.
25

juga menyandang gelar: al-Muhaddits,10 al-Faqih,11 al-Muarrik,12 dan al-


Mufassir.13 Gelar tersebut yang diberikan di atas merupakan gelar karena
berbagai karyanya yang fenomenal. Seperti kitab Ibn Katsir yang paling
besar dan dipakai hingga saat ini adalah kitab al-Qur’ȃn al-adzȋm setelah
kitab Tafsir al-Thabâri. Berikut ini sebagian karya-karya Ibn Katsir:

a). Dalam bidang Tafsir

Dalam bidang Tafsir, Ibn Katsir menulis dua kitab, yaitu: 1). Tafsir
al-Qur’ȃn al-Adzȋm, yaitu kitab tafsir 30 Juz yang menggunakan riwayat
atau yang lebih terkenal dengan tafsir al-Qur’ȃn bi al-Matsur, yaitu
penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau dengan as-Sunnah karena
menjelaskan kitabullah, atau riwayat yang diterima dari sahabat, atau dari
riwayat Tabi’in.14 2). Fada’il al-Qur’ȃn, yaitu kitab yang berisi tentang
ringkasan sejarah al-Qur’an.

b) Dalam bidang Sejarah

Dalam bidang sejarah, Ibn Katsir menulis beberapa kitab,


diantaranya: 1). al-Bidȃyah wa al-Nihȃyah (yang terdiri dari 14 jilid) yaitu
sebuah kitab sejarah yang sangat fenomenal ,kitab ini berisi tentang cerita
penciptaan alam semesta, cerita para Nabi umat terdahulu, cerita keadaan
orang-orang jahiliyah, cerita tanda-tanda hari kiamat, tanda-tanda fitnah,
dan hal-hal mengenai akhirat, 2). al-Fushul fȋ Shȋrat al-Rasul yaitu kitab ini

10
Muhaddits adalah gelar yang diberikan kepada orang yang ahli hadis dan
berguru pada imam-imamnya.
11
al-Fiqih adalah gelar yang diberikan kepada orang yang ahli dalam bidang
Fiqih.
12
al-Muarrik adalah gelar yang diberikan kepada orang yang ahli dalam bidang
sejarah.
13
Mufassir adalah gelar yang diberikan kepada orang yang ahli dalam bidang
Tafsir.
14
Mashruri Sirajuddin Iqbal dan Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung:
Percetakan Angkasa, 2009), 115.
26

yang berisi uraian mengenai sejarah Rasul, 3). Thabaqat al-Syafi’iyyah,


yaitu kitab yang berisi peringkat-peringkat ulama madzhab Syafi’i, 4). al-
Kawakib al-Darāri, yaitu kitab yang berisi cuplikan dari al-Bidȃyah wa al-
Nihȃyah.

c). Dalam bidang Hadis

Dalam bidang hadis, Ibn Katsir menulis kitab, yaitu: 1). Jami’ul
Masȃnid wa al-Sunan, yaitu kitab yang berisi kumpulan hadis. Di dalam
kitab ini, Ibnu katsir menggabungkan antara Musnad Imam Ahmad, al-
Bazzar, Abu Ya’la, Ibn Syaibah, dan al-Kutub as-Sittah,15 2). Takhrij
Ahadis Adillah al-Tanbih li ‘Ulum al-Hadis, yaitu kitab takhrij terhadap
hadis dalam kitab al-Tanbih karya al-Syirazi, (w. 476 H).

d). Dalam bidang Fiqih

Dalam bidang Fiqih, Ibn Katsir menulis kitab, yaitu: 1). al-Ijtihad fȋ
Thalab al-Jihad, yaitu kitab fiqih yang menjelaskan uraian untuk
menggerakkan semangat juang ummat Islam dalam mempertahankan partai
Lebanon-Suriah dari sebuah Frank dari Cyprus, 2). al-Ahkam ‘ala Abwab
al-Tanbih, yaitu kitab yang berisi komentar terhadap al-Tanbih karya al-
Syirazi.

D. Sekilas Mengenai Tafsir Ibn Katsir


a. Naw’u (Jenis)

Dalam sumber penafsiran ada istilah kata, “naw’u” yang berarti “Jenis
penafsiran”. Ibn Katsir dalam menulis kitab al-Qur’ȃn al-Adzȋm sebenarnya

15
al-Hafizh Ibn Katsir, al-Bidȃyah wa al-Nihȃyah (Jakarta: Pustaka Azzam,
2013), h. 33. Dan ditahqiq oleh Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki.
27

telah menjelaskan dalam pembukaan kitabnya bahwa ia menggunakan jenis


bi al-Ma’sȗr (riwayat-riwayat) yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an dengan al-
Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan hadis, atau menafsirkan dengan
pendapat para sahabat, dan yang terakhir adalah menafsirkan dengan
pendapat para tabi’in.

b. Laun (Corak)

Dalam studi tafsir corak biasa digunakan dengan istilah “Laun”. Laun
adalah kecenderungan ide pemikiran yang mendominasi karya tafsir.

Adapun corak penafsiran penafsiran tafsir Ibn Katsir dipengaruhi oleh


latar belakang kedisiplinan keilmuannya. Jika dilihat dari kitab tafsirnya,
maka corak yang digunakan adalah corak bi al-Ma’tsȗr. Hal ini karena
dikategorikan dalam sumber riwayah.

Muhammad Sofyan menuliskan bahwa tafsir Ibn Katsir ini pada dasarnya
menjelaskan sekadarnya saja. Agar ‘ulama lain memperdalam topik-topik
yang dibahas sejalan dengan keinginan dan terperinci secara lebih luas.16

c. Thariqah al-Tafsir (Metodologi)

Metodologi berasal dari kata “method” dan “logos” yang berarti ilmu
pengetahuan yang menggunakan cara yang teratur untuk mencapai
maksud.17 Dalam istilah bahasa indonesia “method” di sebut dengan
“metode” yang dapat diartikan dengan cara yang digunakan Mufassir
dalam melakukan penafsiran. Pada umumnya metode ini terbagi menjadi

16
Muhammad Sofyan, Tafsir wa al-Mufassirun (Medan: Perdana Publishing,
2015), 56.
17
Abd. Muin Salim, Mardan dan Achmad Abu Bakar, Metodologi Penelitian
Tafsir Maudu’i (Jogjakarta: Pustaka al-Zikra, 2017), 3.
28

empat macam, yaitu: metode global (Metode ijmȃli,18 metode analitis


(Manhaj tahlȋli),19 metode komparatif (Manhaj muqȃrran),20 dan metode
tematik (Manhaj maudu’i).21

Menurut Ahmad Izzan dalam bukunya, Metodologi Ilmu Tafsir, metode


tahlili adalah metode penafsiran ayat-ayat al-Qur’an melalui penguraian
makna yang terkandung dalam ayat al-Qur’an dengan mengikuti tata tertib
urutan surat.22

Dari uraian di atas, maka tafsir al-Qur’an al-Adzȋm karya Ibnu Katsir
ini menggunakan metode tahlȋli, yaitu metode yang menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur’an dengan segala aspeknya, berdasarkan urutan
ayat dalam al-Qur’an (Dimulai dari al-Fâtihah sampai an-Nâs) sesuai
dengan mushaf Usmani, arti kosa kata, munasabat (Melihat hubungan ayat-
ayat al-Qur’an antara satu sama lain),, dan juga tidak mengabaikan asbȃb
al-Nuzȗl (Sebab atau peristiwa turunnya ayat).23

Dalam kitab tafsir al-Qur’an al-Adzȋm karya Ibn Katsir ini, penjelasan
mengenai kosa kata tidak terlalu detail. Melainkan menjelasakan kosa kata
pilihan yang dianggap penting. Selain itu, mengungkapkan penjelasan satu
kalimat yang utuh. Misalnya: Ketika menjelasakan al-Qur’an surah al-

18
Metode Ijmali adalah metode yang bersifat global dan ringkas. Misalnya: Hanya
menungkap malma sinonim saja, seperti: Tafsir Jalalayn karya Jalal al-Din al-Suyuthi.
Lihat, Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2011), 105.
19
Metode Tahlili adalah metode yang bersifat menjelaskan segala aspek yang
terkandung dalam ayat al-Qur’an.
20
Metode Muqarran merupakan metode yang mencoba untuk membandingkay
ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadis, atau pendapat para ‘ulama Tafsir dengan cara
menampakkan segi perbedaan dari objek yang dibandingkan.
21
Metode Maudhui adalah metode tafsir yang membahas tema-tema tertentu atau
yang sama kesatuan makna.
22
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2011), 103.
23
Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan (Jakarta:
Rajawali Press, 2016), 208.
29

َۡ ْ ُ َ َ َ َ
ِ ِ ‫يل ل ُه ۡم َل ت ۡف ِس ُدوا ِفي ٱۡل ۡر‬
Baqarah ayat 11 (sebelas), tertuliskan ‫ض‬ ‫ َوِإذا ِق‬pada ayat ini

penjelasan ayatnya langsung dijelaskan menggunakan riwayat.24

4. Sistematika

Ibn Katsir dalam penafsirannya menggunakan sistem tartib mushafi,


yaitu menggunakan penyusunan ayat demi ayat, surat demi surat, dan
dimulai dari surah al-Fâtihah sampai surah al-Nâs.

Melalui penafsirannya, Ibn Katsir menuliskan ayat kemudian me-


nampilkan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan penurunan ayat tersebut.
Misalnya riwayat yang ditampilkan berupa munâsabat terhadap ayat al-
Qur’an yang lain ataupun menuliskan riwayat hadis.

24
Ini akan dijelalaskan secara detail pada bab ke-4.
BAB III

KONSEP PERBUATAN MANUSIA

Manusia diberikan oleh Allah Subhanahuwata’ala sebuah potensi


untuk melakukan sebuah perbuatan. Potensi tersebut dapat berupa potensi
berbuat baik dan potensi berbuat buruk. Dengan kata lain, istilah dalam al-
Qur‟an potensi itu dapat berupa kefasikan dan ketaqwaan. Hal ini terdapat
di dalam al-Qur‟an pada surah al-Syams ayat 8:
َ َ ُ ُ َ َ َََۡ
٨ ‫ىز َها َوج ۡق َى ٰى َها‬‫فألهمها فج‬

“Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketaqwaan.”


Saryono1 menjelaskan bahwa manusia pasti mempunyai sifat-sifat
baik dan sifat-sifat buruk. Hal ini karena di dalam diri seseorang terdapat:
a). Sudah ada kekuatan (memilih) untuk berbuat kejahatan dan keburukan
(Qs. al-Syams: 8), b). Sudah ada pendorong tersebut, yaitu malaikat dan
setan.2

Perbuatan baik dan perbuatan buruk merupakan sifat yang


bertentangan dan inilah ujian bagi manusia. Namun perlu diingat bahwa
Allah menciptakan sifat yang bertentangan tersebut agar manusia
menonjolkan sifat kebaikan. Sebagaimana fitrah manusia melakukan
kebaikan.

Manusia yang mendapatkan ujian dari Allah hendaknya selalu


belajar untuk selalu mengontrol diri dari perbuatan buruk. Karena apa saja

1
Saryono merupakan Mahasiswa Program Pascasarjana di Universitas Islam
Negeri Raden Fatah Palembang.
2
Saryono, “Konsep Fitrah dalam Persfektif Islam”. Studi Islam vol. 4, no. 2
(2016): 167.

30
31

kebaikan yang ada pada manusia adalah dari Allah dan apa saja keburukan
yang ada pada diri manusia adalah berasal dari manusia itu sendiri. Hal ini
telah diinformasikan di dalam al-Qur‟an surah al-Nisa ayat 79, berikut:
َّ ٰ َ َ َ َۚ ‫َ ُ ا‬
‫ٱلله َشه ا‬
‫يدا‬ َّ َ َٰ ۡ َ ۡ َ َ ََۚ ۡ َّ َ َ ّ َ َ َ َ َ ٓ َ َ ِۖ َّ َ َ َ َ َ ۡ َ َ َ َ ٓ َّ
ِ ِ ‫اس زشىٗل وكفى ِب‬ ِ ‫ما أصابك ِمً حصى ٖت ف ِمً ٱلل ِه وما أصابك ِمً ش ِيئ ٖت ف ِمً هف ِصك وأزشلىك ِللى‬
٩٧

“Kabajikan apa pun yang kamu peroleh , adalah dari sisi Allah. Dan
keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.
Kami mengutusmu (Muhammad) menjadi Rasul kepada (seluruh)
manusia. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi.”

A. Pengertian Baik dan Buruk Pada Perbuatan Manusia

Baik dan buruk merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk


menentukan hasil perbuatan manusia. Hasil perbuatan manusia akan
melalui proses perenungan dan berbagai pilihan (berupa tindakan) untuk
melakukan sebuah perbuatan. Sehingga hasil dari proses tersebut dapat
mengatakan orang itu berbuat baik dan orang itu berbuat buruk.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) baik merupakan tidak


jahat, kelakuan, dan budi pekerti.3 Sedangkan buruk merupakan jahat dan
berkelakuan yang tidak menyenangkan.4 Sedangkan menurut M. Quraish
Shihab dalam bukunya, Wawasan al-Qur’an, menyatakan bahwa manusia

3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 118.
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ,
227.
32

memiliki potensi baik dan buruk.5 Hal ini terdapat dalam al-Qur‟ȃn surah
al-Balad ayat 10
َّ ‫َو َه َد ۡي َٰى ُه‬
٠١ ًِ ‫ٱلى ۡج َد ۡي‬

“Maka kami telah memberi petunjuk (kepada)-nya (manusia) dua jalan


mendaki (baik dan buruk).
Menurut Abuddin Nata yang disebut baik adalah segala sesuatu yang
menyenangkan dan disukai manusia.6 Sedangkan menurut Burhabuddin
Salam untuk mengetahui bahwa kita melakukan perbuatan manusia, ada
dua hal yang harus dilakukan, yaitu: “kemauan” dan “pengertian.” Jika
salah satunya tidak ada, maka tidak akan jadi pengetian. Perbuatan yang
dikerjakan oleh manusia dimana terdapat kemauan untuk berbuat dan
pengertian berbuat itulah disebut perbuatan manusia sebagai manusia.
Maksudnya adalah perbuatan yang menjadi ketetapan Allah. “Pengertian”
adalah kerja dari potensi manusia untuk mengerti (intellect). “Kemauan”
adalah kerja potensi manusia yang disebut kehendak.7 Kehendak manusia
berasal dari dirinya sendiri. Ia bebas menentukan dan memilih. Kehendak
yang disertai dengan pertimbangan yang berasal dari hak-hak Allah. Maka
akan menjadikan ia selamat. Begitu juga sebaliknya, kehendak yang
timbul dari hawa nafsu diri sendiri akan membuat dampak yang buruk atas
perbuatannya. Jadi setiap perbuatan lahir dari kehendak lahir dari niat
yang tertanam,8 untuk melakukan (pilihan) kebaikan dan keburukan.

5
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013),
337.
6
Abuddin Nata, Akhlaq Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali Pers,
2015), 88.
7
Burhanuddin Salam, Etika Individual (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), 109.
8
Asmaran, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994),
34.
33

Dari berbagai pengertian di atas baik merupakan sesuatu yang


sesuai dengan fitrah yang diharapkan dan memberikan kenikmatan pada
manusia. Sedangkan buruk merupakan sesuatu yang bertentangan dengan
fitrah manusia, tidak diharapkan dan membawa kesengsaraan.

B. Term-Term Baik dan Buruk di dalam al-Qur’an

al-Qur‟an memberikan banyak pengertian mengenai term-term yang


berkaitan dengan kebaikan dan keburukan. Seperti yang ditulis oleh
Enoh dalam artikelnya Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (Keburukan)
dalam al-Qur’an, term-term tersebut di antaranya adalah al-Hasanah dan
al-Sayyi’ah, al-Khayr dan al-Syarr, al-Maʻruf dan al-Munkar, al-Shâlah
dan al-Fȃsid, al-Birr dan al-fāhisyah, al-Khabȋts dan al-Thayyib.9
Berikut ini penjelasannya:

1. al-Hasanah dan al-Sayyi’ah

A.W. Munawwir dalam Kamus al-Munawwir Arab-Indonsesia


Terlengkap, mengartikan al-Hasanah berarti memperindah dan membuat
lebih bagus.10 Juga, al-Hasanah merupakan istilah yang digunakan untuk
menggunakan kata baik. Sedangkan, al-Sayyiah merupakan istilah yang
dugunakan sesuatu yang dipandang tidak baik.

Menurut Abuddin Nata al-Hasanah misalnya: keuntungan,


kelapangan rezeki, dan kemenangan. Sedangkan istilah al-Sayyi’ah

9
Enoh, “Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (Keburukan) dalam al-Qur‟an”. v.
XXIII no. 1 (2007): 36.
10
A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 788.
34

misalnya: kesempitan, kelaparan, dan keterbelakangan.11 Allah berfirman


di dalam al-Qur‟an surah ali-„Imran ayat 120 berikut:
‫َ إ‬ َ ُ ُ َ َ ْ ُ َّ َ َ ْ ُ ۡ َ َ ِۖ َ ْ ُ َ ۡ َ ٞ َ ّ َ ۡ ُ ۡ ُ َ ۡ ُ ۡ ُ َ ٞ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ َ
‫ضسك ۡم ك ۡي ُد ُه ۡم ش ۡ ٔيا ِإ َّن‬ ‫ِإن جمصصكم حصىت حصؤهم وِإن ج ِصبكم ش ِيئت يفسحىا ِبها وِإن جص ِبروا وجخقىا ٗل ي‬
ٞ َ ُ َّ
٠٢١ ‫ٱلل َه ِب َما َي ۡع َملىن ُم ِحيط‬

“Jika kamu memperoleh kebaikan, (niscaya) mereka bersedih hati, tetapi


jika kamu tertimpa bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu
bersabar dan bertaqwa, tipu daya mereka tidak akan menyusahkan kamu
sedikitpun. Sungguh, Allah maha meliputi segala apa yang kamu
kerjakan.”
Maksud dari kebaikan di sini adalah kebahagiaan, ke-menangan,
dan kuatnya pendukung orang beriman, maka ketika melihat yang
demikian itu orang munafik bersedih hati.12

Imam Sudarmoko mengartikan al-Sayyiah digunakan untuk


sebuah kesempitan berupa siksaan. Siksaan itu dapat berupa peristiwa
yang tidak menyenangkan dan dilakukan atas perbuatan buruk manusia
yang bermaksiat kepada Allah.13 Allah berfirman:
َّ
‫ىد ٱلل ِ ِۖه َوِإن‬ ۡ َٰ ْ ُ ُ َ ٞ َ َ َ ُ َ ‫َ َإ‬
ِ ‫وج مش َّيد ٖة وِإن ج ِص ۡب ُه ۡم حصىت يقىلىا ه ِر ِهۦ ِمً ِع‬ ُ ُ ۡ ُ ُ ۡ َ َ ُ َۡۡ ُ ۡ ُ ْ ُ ُ َ َ َ َۡ
ٖ ‫أيىما جكىهىا يد ِزككم ٱۡلىث ولى كىخم ِفي بس‬
‫ا‬ َ َ َ َ ۡ ٓ َ ٰٓ َ َّ ۡ ٞ ُ ُ ََۚ ‫ت َي ُق ُىل ْىا َٰهرهۦ م ًۡ ع‬ٞ ‫ُجص ۡب ُه ۡم َش ّي َئ‬
٩٨ ‫ىد ٱلل ِ ِۖه ف َم ِال َه ُؤٗل ِء ٱل َق ۡى ِم ٗل َيك ُادون َي ۡف َق ُهىن َح ِديثا‬
ِ ‫ىدك ق ۡل ك ّل ّ ِمً ِع‬
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ

“Di mana pun kamu berada kematian akan mendapatimu, kendatipun


kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh. Jika mereka
memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, “Ini dari sisi Allah,” dan jika
mereka ditimpa suatu keburukan mereka mengatakan, “Ini dari engkau
(Muhammad).” Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Maka

11
Abduddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali Pers,
2015), 101.
12
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibn
Katsir, jilid, 7 (Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi‟i, 2009), 126.
13
Imam Sudarmoko, “Keburukan dalam Persfektif al-Qur‟an”. Dialogia, v. 12,
no. 1 (2014): 24.
35

mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik-hampir tidak memehami


pembicaraan (sedikit pun)?”14
Dengan demikian dari berbagai pengertian dan ayat di atas
penggunaan kata al-Hasanah dan al-Sayyi’ah mengarah pada akal dan
tabiat manusia. Seperti halnya tabiat untuk mendapat nikmat berupa rezeki
(makanan, nafkah), keuntungan, dan kelapangan. Dan sebaliknya, tidak
ada tabiat manusia untuk mendapatkan kesusahan dan kesempitan rezeki.

2. al-Khayr dan al-Syarr

al-Khayr dalam bahasa Arab merupakan padanan kata yang paling


dekat dengan istilah “good,”15 atau istilah bahasa Indonesia biasa disebut
dengan “kebaikan”. Menurut Toshihiko Izutsu mengartikan istilah kata
Khayr mengandung sesuatu yang bermanfaat, berguna, dan dapat
diperlukan.16 Antonim (lawan kata) dari kata al-Khayr adalah al-Syarr.
Dalam al-Qur‟an al-Khayr dijelaskan seperti dalam sȗrah Fussilat ayat 49-
50
ٓ َ ۡ َ ۢ َّ ّ ‫َ َ ۡ َ َ ۡ َٰ ُ َ ۡ َ ا‬ ٞ َ ٞ َ َ َّ ُ َّ َّ َ ۡ َ ۡ ٓ َ ُ َٰ ‫َّٗل َي ۡص ُم ۡٱِإ‬
‫ض َّسا َء َم َّص ۡخ ُه‬ ‫ ول ِئن أذقىه زحمت ِمىا ِمً بع ِد‬٩٧ ‫ىس ق ُىى‬ ‫وص ًُ ِمً دعا ِء ٱخير ِر وِإن مصه ٱلشس في‬ ِ
ْ َ َ َّ َّ َ ّ َ ُ َ َ َٰۚ َ ۡ ُ ۡ َ ُ َ َ َ ‫َّ َ َ َ ٓ ا‬ ُ َ ٓ َ ٰ َ َ
‫يً ك َف ُسوا ِب َما‬ ‫اعت قا ِئ َمت َول ِئن ز ِح ۡع ُت ِإل ٰى َزِّب ٓي ِإ َّن ِلي ِعىد ۥه للحصنى فلىي ِبئن ٱل ِر‬ ‫ل َي ُقىل ًَّ َهرا ِلي َو َما أظً ٱلص‬
َ َ َ ۡ ّ ُ َّ َ ُ َ َ ْ ُ َ
٠١ ‫يظ‬ ٖ ‫اب غ ِل‬
ٍ ‫ع ِملىا ولى ِريقنهم ِمً عر‬

“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika tertimpa malapetaka,


mereka berputus asa dan hilang harapannya (49). Dan jika kami berikan
kepadanya suatu rahmat dari kami setelah ditimpa kesusahan, pastilah dia
berkata, “ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa dari kiamat itu akan
terjadi. Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku, sesuangguhnya aku

14
al-Qur’ân al-Karȋm, h. 90.
15
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2010) 275.
16
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993), 335.
36

akan mem-peroleh kebaikan disisi-Nya.” Maka sungguh, akan kami


beritahukan kepada orang-orang kafir tentang apa yang telah mereka
kerjakan, dan sungguh, akan kami timpakan kepada mereka azab yang
berat (50).”
al-Khayr di sini merupakan kebaikan harta dan keselamat-an.
Sedangkan al-Syarr di sini merupakan keburukan yang berujung pada
perbuatan manusia ketika diuji dengan kesempitan berupa kemiskinan
akan kufur kepada Allah. Padahal Allah berfirman di dalam al-Qur‟an
surah al-„Alaq ayat 6-7:
ٓ ۡ ۡ ُ َ َّ َ ٰٓ َ ۡ َ َ َ َٰ ۡ َّ ٓ َّ َ
٩ ‫ٱش َخغ َن ٰى‬ ‫ أن زءاه‬٦ ‫ٱِإوصً ليطغى‬
ِ ‫كَّل ِإن‬

“Katahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,


karena dia melihat dirinya serba cukup.”
َۡ َ َ َ
Setelah ayat di atas, berlanjut pada ‫ىد ُ ۥه لل ُح ۡص َن َٰۚى‬‫َول ِئن ز ِح ۡع ُت ِإل ٰى َزِّب ٓي ِإ َّن ِلي ِع‬

yang dimaksud ayat ini merupakan jika di sana ada tempat kembali, maka
Tuhan ku akan berbuat baik kepadaku sebagaimana Dia berbuat baik
kepada ku di dunia. Dia berangan-angan kepada Allah, padahal amalnya
buruk dan berada pada ketidakyakinan.17 Hal itulah yang membuat Allah
mengancam dengan siksaan dan hukuman.

Dari pengertian berbagai pengertian dan pemahaman di atas, maka


al-Khayr dan al-Syarr mengarah pada kebaikan personal dan sosial
berdasarkan komparasi.18 Komparasi antara kebaikan dan keburukan
manusia dalam keyakinan terhadap sang pencipta. Ketika seluruh manusia
meyakini akan kebesaran Allah yang memiliki segala apa yang ada di
dunia, maka Allah akan memberikan kebaikan untuk Ummat.

17
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibn
Katsir, Jilid. 8 (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟i, 2009), 264-265.
18
Enoh, “Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (Keburukan) dalam al-Qur‟an,” v.
XXIII no. (2007): 37.
37

3. al-Maʻruf dan al-Munkar

al-Maʻruf berasal dari kata al-uruf yaitu sesuatu yang diketahui


baik. Dan al-Munkar berasal dari kata al-nukr yaitu mencakup pengertian
ingkar.19 Secara sederhana istilah al-Maʻruf dan al-Munkar diartikan
dengan kebaikan dan keburukan. Juga, kata al-Maʻruf biasa digunakan
untuk sebuah seruan yang baik. Sedangkan al-Munkar biasa digunakan
untuk sebuah seruan pencegahan dari kemungkaran. Dari kedua
pengertian tersebut yang menjadi ukuran al-Maʻruf dan al-Mungkar ada
dua, yaitu: Agama dan akal sehat.20 Hal ini juga dapat dikatakan bahwa
semua seruan yang diperintahkan agama adalah al-Maʻruf dan semua
seruan yang dilarang agama adalah al-Munkar. Dengan demikian,
penggunaan kata al-Maʻruf dan al-Munkar mengarah pada kebaikan dan
keburukan berdimensi hubungan vertikal kepada Tuhan,21 dan realisasinya
adalah hubungan horizontal. Seperti terdapat di dalam al-Qur‟an surat Ali-
Imran 104:
َٰٓ ُ َ ُ ۡ
َ ُۡ َ
٠١٩ ‫وف َو َي ۡن َه ۡىن َع ًِ ٱۡلىك َۚ ِس َوأ ْول ِئ َك ُه ُم ٱۡل ۡف ِل ُحىن‬ ۡ َۡ َ ُ َۡ َ ۡ َ ۡ َ َ ُ ۡ َ ٞ ُ ُ ّ ُ َ ۡ َ
ِ ‫ولخكً ِمىك ۡم أ َّمت يدعىن ِإلى ٱخير ِر ويأم ُسون ِبٱۡلع ُس‬

“Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru


kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma‟ruf, dan mencegah dari
yang munkar.22 Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Selain pengertian di atas, Allah memerintahkan al-Maʻruf dan al-
Munkar hendaknya menggunakan cara-cara yang bijaksana, logis, dan
pendekatan yang baik.23

19
Abdurrahman R.A. Haqqi dan Mohammad Nabil al-Munawwar, Tafsir
Zanjabil (Jakarata: Qisthi Press, 2015), 114.
20
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq (Jogjakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam (LPPI), 2001), 241.
21
Enoh, “Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (Keburukan) dalam al-Qur‟an,” v.
XXIII no. 1 (2007): 37.
22
Ma’ruf adalah segala perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah,
sedangkan mungkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan diri dari Allah.
38

4. al-Khabȋts dan al-Thayyib

al-Khabȋts merupakan sebuah istilah yang menunjukkan keburukan.


Sedangkan al-Thayyib adalah sebuah istilah yang menunjukkan kebaikan.
Keburukan dan kebaikan yang dimaksud merupakan kata sifat yang
melahirkan suatu pengertian rasa untuk berbagai peristiwa yang umum.
Hal umum itu yang seringkali digunakan adalah menunjukkan sifat
golongan, air, angin, wewangian, dan sebagainya. Misalnya penggunaan
kata rȋh thayyibah yaitu “Angin sepoi-sepoi” yang mendorong lajunya
kapal dilautan dan penggunaan rȋh asifah yaitu “Angin badai” (Yunus,
23).24 Selain itu, pengertian al-Khabȋts dan al-Thayyib yang menunjukkan
pemisahan golongan terdapat di dalam al-Qur‟an surah al-Anfal ayat 37.
َٰٓ ُ َ َ ‫ََُۡ َ ُ َ ا‬
‫يعا ف َي ۡج َعل ُ ۥه ِفي َح َه َّى ََۚم أ ْول ِئ َك ُه ُم‬‫ض فرركمهۥ ح ِم‬ ۡ َ ٰ َ َ ُ َ ۡ َ َ َ ۡ َ َ ۡ َ َ ّ َّ َ َ َ ۡ ُ َّ َ َ
ٖ ‫ِلي ِمرز ٱلله ٱخي ِبيث ِمً ٱلط ِي ِب ويجعل ٱخي ِبيث بعض ۥه على بع‬
َ ‫ۡٱخ َٰيص ُس‬
٧٩ ‫ون‬ ِ

“Agar Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan
menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas yang lain, lalu
kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka
Jahanam. Mereka itulah orang-orang yang rugi.”

5. al-Birr dan al-fāhisyah

Istilah al-Birr biasa digunakan upaya memperluas dan


25
memperbanyak berbuat kebaikan. Izutsu mengemukakan bahwa al-Birr
tidak mengarah dan memelihara hal-hal yang terlarang. Pembagian bentuk
kata al-Birr yang demikian itu, seperti: a). al-Birr yang berarti bentuk

23
Muhammad Ali Hasyimi, Apakah Anda Berkepribadian Muslim? (Jakarta:
Gema Insani Press, 1994), 107.
24
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993), h. 386.
25
Abduddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali Pers,
2015), h. 103.
39

taqwa kepada Allah (al-Baqarah, 185/ 189) dan (Ali-„Imran, 86/92), b). al-
Birr yang berarti taat kepada kedua orangtua (Maryam, 14), dan c). al-Birr
yang berarti jujur dan adil dalam berperilaku (al-Mumtahanah, 8). Berikut
contoh pengertian al-Birr dapat dilihat dalam al-Qur‟an surah al-Baqarah
ayat 177 berikut:
ٰ ۡ َ َٰٓ َ ۡ ٓۡ ۡ َّ ۡ َٰ ۡ َۡ ۡ َۡ ُ َ ُ ُ ْ َ ُ َ َّ ۡ َ ۡ َّ
‫ىهك ۡم ِق َب َل ٱۡلش ِس ِق َوٱۡلغ ِس ِب َول ِك ًَّ ٱل ِب َّر َم ًۡ َء َام ًَ ِبٱلل ِه َوٱل َي ۡى ِم ٱۡ ِخ ِس َوٱۡلل ِئك ِت َوٱل ِك َخ ِب‬ ‫۞ليض ٱل ِبر أن جىلىا وح‬
ََ َّ َ َ ٓ َّ َ َّ َ ۡ َ َ َٰ َ ۡ َ ٰ َ َٰ َ ۡ َ ٰ َ ۡ ُ ۡ َ ّ ُ ٰ َ َ َ َ ۡ َ َ َ َ ّ َّ َ
‫اب َوأق َام‬ ِ ‫وٱلى ِب ِيًۧ وءاحى ٱۡلال على ح ِب ِهۦ ذ ِو ٱلقسبى وٱليخَى وٱۡلص ِكرن وٱبً ٱلص ِب ِيل وٱلصا ِئ ِلرن و ِفي‬
ِ ‫ٱلسق‬
َ ‫س ُأ ْو َٰٓلئ َك َّٱلر‬ ۡ َ ۡ َ َ ٓ َّ َ ٓ َ ۡ َ ۡ َ َّٰ َ ِْۖ ُ َٰ َ ۡ َ َ ُ ُ ۡ َ َ ٰ َ َّ َ َ َ ٰ َ َّ
ً‫ي‬ ِ ِ ‫ٱلصلىة و َءاحى ٱلزكىة وٱۡلىفىن ِبع ۡه ِد ِهم ِإذا ع َهدوا وٱلص ِب ِريً ِفي ٱلبأشا ِء وٱلض َّسا ِء و ِحرن ٱلبأ ِ إ‬
َ ُۡ َٰٓ ُ ِْۖ ُ
٠٩٩ ‫ص َدقىا َوأ ْول ِئ َك ُه ُم ٱۡل َّخ ُقىن‬
َ

“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke


barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada
Allah, hari akhir, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, dan Nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang-orang
miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan
untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan shalat dan
menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan
orang-orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah
orang-orang yang bertaqwa.”
al-fāhisyah dapat diartikan segala bentuk kecurangan dan
keburukan yang melampaui batas.26 Atau bisa juga diartikan dengan
perbuatan keji yang melampaui batas.27 Seperti perbuatan keji yang
dilakukan pada masa Nabi Lut „alaihissalam. Dengan demikian kata al-
Birr dan al-fāhisyah mengarah pada kebaikan yang bersifat hakiki dan

26
Riana Cahaya Purnama, “Perbuatan Baik dan Buruk Menurut Ibn Taimiyah,”
(Skripsi SI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), h. 22.
27
Imam Sudarmoko, “Keburukan dalam Persfektif al-Qur‟an,” v. 12, no. 1
(2014): h, 26.
40

keburukan yang bersifat hakiki pula.28 Hal ini dapat dilihat dalam al-
Qur‟an pada surah al-„Araf ayat 80 berikut:
َ ۡ َ ُ َ َ ٰ ۡ َ ََُۡ َ ‫َو ُلىطا إ ۡذ َق‬
٨١ ‫ال ِل َق ۡى ِم ِهۦٓ أجأجىن ٱل َف ِحشت َما َش َب َقكم ِب َها ِم ًۡ أ َح ٖد ّ ِم ًَ ٱل َٰعل ِم َرن‬ ِ

“Dan (Kami juga telah mengutus) Lut, ketika dia berkata kepada
kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah
dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini).”
Menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy penjelasan
ayat di atas mengenai pengertian ayat “Sebelum kamu”, menuliskan
bahwa Ibn Katsir berpendapat maksudnya adalah tidak seorang pun dari
Bani Adam yang mengerjakan perbuatan keji sebelum dilakukan oleh
penduduk-penduduk Sodom.29

Kekejian atas perbuatan yang dilakukan oleh manusia pada zaman


nabi Lut ‘Alaihissalam merupakan kekejian yang bersifat melampaui batas
(di luar fitrah manusia). Sebagaimana kita ketahui bahwa sejarah kaum
Sodom telah melakukan perbuatan buruk. Keburukan yang dilakukan
berupa keinginan manusia melakukan perbuatan biologis, seperti: Laki-
laki menyukai sesama laki-laki. Padahal itu merupakan perbuatan yang di
larang Allah.

28
Enoh, “Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (Keburukan) dalam al-Qur‟an,” v.
XXIII no. 1 (2007): 37.
29
Teungku Muhammad Hasbi Ash- Shiddieqy, al-Bayan Tafsir Penjelas al-
Qur’anul Karim (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), 364.
41

6. al-Shâlih dan al-Fȃsid

Ahmad Warson Munawwir menuliskan dalam, Kamus al-Munawwir


Arab-Indonesia, bahwa al-Shâlih berasal dari kata shalaha yang berarti
baik dan bagus.30 Sedangkan al-Fȃsid merupakan keburukan.

Pada dasarnya al-Qur‟an menggunakan term al-Shâlih dan al-Fȃsid


lebih cenderung berhubungan dengan kebaikan dan keburukan secara
umum dan menunjukkan kebaikan bersifat fitrah, bersifat alamiah, dan
atau bersifat sebagaimana seharusnya menurut ketentuan Allah. Misalnya:
Ketika Allah melarang untuk tidak melakukan kerusakan di muka bumi,
maka bentuk fitrah manusia sebagai hamba adalah menjalankan perintah-
Nya untuk tidak merusak bumi. Allah berfirman di dalam al-Qur‟an surah
al-„Araf ayat 56:
ُۡ َّ َ َ ۡ َ َّ َۚ َ َ َ ‫َ َ ُ ۡ ُ ْ ۡ َ ۡ َ ۡ َ ۡ َٰ َ َ ۡ ُ ُ َ ۡ ا‬
ٞ ‫ٱلل ِه َقس‬
٠٦ ‫يب ّ ِم ًَ ٱۡل ۡح ِص ِى َرن‬ ِ ‫ض بعد ِإصل ِحها وٱدعىه خىفا وطمعا ِإن زحمت‬ ِ ‫وٗل جف ِصدوا ِفي ٱۡز‬

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan)


dengan baik. Berdo‟alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap.
Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat
kebaikan.”
Ayat di atas memberikan pengertian “Janganlah kamu merusak
bumi” merupakan pencegahan berbuat syirik dan maksiat setelah adanya
istilah perbaikan melalui tauhid dan kataatan.31 Perbaikan yang dimaksud
tentunya akan banyak menempuh berbagai cara, diantaranya: Menyeru
dan memerintahkan manusia bertauhid, melarang menyekutukan Allah,
dan menjelaskan akibat positif dan negatif dari konsekuensi tauhid.32

30
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), 788.
31
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Qur’an al-Aisar (Jakarta: Darus
Sunnah, 2015), 78.
32
Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Qur’an (Bandung:
Penerbit Mizan, 1998), 210.
42

Seperti halnya ketika Allah melarang melakukan kerusakan di muka bumi


akan ada hal positif yang mengikutinya, begitupun sebaliknya.

Konsekuensi tauhid seseorang akan membawa pada manusia


menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarang Allah. Dia
melarang kerusakan agar tidak mem-bahayakan manusia,33 inilah bukti
kekuasaan-Nya. Allah ber-firman pada ayat selanjutnya, al-Qur‟an surah
al-„Araf ayat 57:
َٓ ۡ ۡ ََ َ ٰ ‫ا‬ َّ َ َ ٓ َ ٓ ۡ ٰ ّ ُ ۡ ُ َّ َ ُ َ
‫ٱلسَي َح ُبش َۢسا َب ۡر َن َي َد ۡ َز ۡح َم ِخ ِهۦِۖ َح َّت ٰى ِإذا أقل ۡت َس َح اابا ِث َقاٗل ُش ۡق َى ُه ِل َبل ٖد َّم ِّي ٖت فأ َهزل َىا ِب ِه ٱۡلا َء‬ ِ ‫وهى ٱل ِر يس ِشل‬
َ ‫ٱلث َم َٰس َۚث َك َٰرل َك ُه ۡخس ُج ۡٱۡلَ ۡى َح ٰى َل َع َّل ُك ۡم َج َر َّك ُس‬
َّ ّ ُ ۡ ََ
٠٩ ‫ون‬ ِ ِ ِ ‫فأخ َس ۡح َىا ِب ِهۦ ِمً ك ِل‬

“Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira,


medahului kedatangan rahmat-Nya (hujan) sehingga apabila angin itu
membawa awan mendung, kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu
kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian kami tumbuhkan dengan
hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah kami
membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil
pelajaran.”

C. Solusi Menghindari Perbuatan Buruk

Potensi keburukan yang ada pada diri manusia bukanlah potensi yang
tidak ada solusi untuk menghindarinya. Sebagai manusia yang fitrahnya
berbuat baik, maka sebenarnya yang paling kuat dalam diri manusia
adalah kecondongan berbuat baik.

a. Kesadaran untuk Berbuat Baik

Kesadaran untuk berbuat baik berawal dari kesadaran manusia atas


keiman dan ketaqwaannya kepada Allah. Sebagaimana Allah berfirman:
33
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibn
Katsir, jilid, 3 (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟i, 2009), 390.
43

ۡ ۡ َ ۡ ُ ُ َّ َ ‫َٰٓ َ َ َّ َ َ َ ُ ٓ ْ َ َّ ُ ْ َّ َ َ ۡ َ َّ ُ ۡ ُ ۡ َ ا َ ُ َ ّ ۡ َ ُ ۡ َ ّ ُ ۡ َ َ ۡ ۡ َ ُ ۡإ‬
‫ض ِل ٱل َع ِي ِيم‬‫يأيها ٱل ِريً ءامىىا ِإن جخقىا ٱلله يجعل لكم فسقاها ويك ِفس عىكم ش ِيا ِجكم وغغ ِفس لكم وٱلله ذو ٱلف‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertaqwa kepada Allah,


niscaya Dia akan memberikan furqân (kemampuan untuk membedakan
yang hak dan yang batil) kepadamu dan menghapus segala kesalahanmu
dan mengampunimu (dosa-dosa) Allah memiliki karunia yang sangat
besar.”34

b. Beramal Shalih

Ketika manusia sibuk dalam kebaikan (beramal shalih), maka Allah


akan menjaga manusia tersebut. Melakukan amal shalih dapat berupa
perintah yang Allah berikan kepada manusia, seperti: Menunaikan shalat,
puasa, berzakat, dan bahkan kepedulian sosial terhadap orang-orang
berada disekitar kita. Allah berfirman:

ِِ ‫تِِي ُۡذ ِه ۡبنَ ِٱل َّس َِيِّا‬


ِ١١١ِ َ‫ِۚ َذلِكَِ ِذ ۡك َزيِلِل َّذ ِك ِزين‬ ِ َ‫لِإِ َّنِ ۡٱل َح َسن‬
ِِ ‫ارِ َو ُسلَ ٗفاِ ِّمنَ ِٱلَّ ۡي‬ َّ ‫َوأَقِ ِِمِٱل‬
ِِ َ‫صلَىِةَِِطَ َزفَ ِيِٱلنَّه‬

“Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan
pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus
kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu
mengingat (Allah).”35

c. Meminta Ampunan dan Meminta Perlindungan kepada Allah

Agar manusia tetap terjaga dari melakukan perbuatan buruk, maka


manusia hendaknya meminta ampunan dan perlindungan kepada Allah.
Allah berfirman:

َ ‫ٱغف ۡس َل َىا ُذ ُه َىب َىا َو َك ّف ۡس َع َّىا َش ّياج َىا َو َج َى َّف َىا َم‬
ۡ َ َ َۚ َّ َ َ ُ ّ ْ ُ َۡ ٰ ۡ َ ُ ‫َ ٓ َّ َ َ ۡ َ ُ َ ا‬
ِ ِ ِ ِ ‫َّزَّبىا ِإهىا ش ِمعىا مى ِاديا يى ِاد ِل ِۡل َيم ًِ أن َء ِامىىا ِب َسِبك ۡم فامىا َزَّبىا ف‬
َۡ
٠٧٧ ‫ٱۡ ۡب َس ِاز‬

34
al-Qur’ân al-Karȋm, h. 180
35
al-Qur’ân al-Karȋm, h. 234.
44

“Yaa Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru


kepada iman, yaitu: “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,” maka kami pun
beriman. Yaa Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, dan matikanlah
kami beserta orang-orang yang berbakti.”36

d. Mempelajari Kisah-Kisah Orang Terdahulu

Kisah merupakan sebuah peristiwa yang telah terjadi di masa lampau.


Di dalam al-Qur‟an banyak kisah yang diabadikan, seperti: Kisah nabi
Adam ‘alaihissalam, kisah nabi Nuh ‘alaihissalam, kisah nabi Yusuf
‘alaihissam, kisah nabi Isa ‘alaihissalam, dan kisah nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Kisah yang telah diabadikan di dalam al-Qur‟an di atas merupakan


kisah yang patut dijadikan pelajaran bagi orang-orang setelahnya.
Semakin banyak manusia membaca kisah, maka semakin sedikit kejadian
atau peristiwa keburukan terulang di masa yang akan datang.

Perbuatan buruk bukanlah perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh


orang-orang terdahulu. Jika manusia mau mengingat, membaca,
mempelajari, dan mengambil hikmah masa lalu, maka kehati-hatian,
keberuntungan, dan penjagaan terhadap perbuatan buruk akan dapat
diatasi.

36
al-Qur’ân al-Karȋm, h. 75.
BAB IV
ANALISIS AYAT-AYAT KERUSAKAN DI MUKA BUMI

Sebelum menjelaskan ayat-ayat mengenai kerusakan di muka bumi,


terlebih dahulu penulis menyampaikan pengertian mengenai fasād
(kerusakan).

al-Ashfahani dalam kitabnya al-Mufradȃt fȋ Gharȋb al-Qur’ȃn


menjelaskan arti kata fasād sebagai berikut:
ْ َ َ ُ َ ْ َ ْ َ َ ُ َ َّ ُ ُ َ ُ َ ً ْ َ ْ َ ُ ْ َ ُ ْ ُ ُ ْ َ َ ً ْ َ َ ْ ْ ‫ُخ ُر ْو ُج الش ئ َعن‬
ِ‫س َوال َب َد ِّن‬ ْ َّ
ِّ ‫ ويضاده الصالح ويستعمل ذ ِّلك ِّفي النف‬,‫اْلع ِّتد ِّال ق ِّليال كان الخروج عنه او ك ِّثيرا‬ ِّ ِّ ِّ
ْ َ َْ ْ َ ْ
ِ 1‫اْل ْس ِّت َق َام ِّ ِة‬
ِّ ‫َواْلش َي ِّاء الخ ِّر َج ِّة َع ِّن‬
“Keluarnya sesuatu dari kondisi normal baik keluarnya sedikit ataupun
keluarnya banyak, lawannya adalah shâlah. Kata fasād digunakan untuk
jiwa, badan, dan segala sesuatu yang keluar dalam kondisi baik
(istiqomah).”

Sesuatu yang keluar dari keseimbangan merupakan perbuatan yang


sangat merusak tatanan kehidupan. Misalnya saja keseimbangan yang
objeknya jiwa dan badan manusia. Jiwa manusia membutuhkan asupan
berupa spiritual (rohani) dan asupan jasmani. Ketika manusia memberikan
kebutuhan hanya kepada salah satu anggota saja, maka akan terjadi stres
atau pun sakit. Pengembangan daya jasmani tanpa dibarengi daya rohani
akan membuat seseorang pincang, berat sebelah, dan kehilangan
keseimbangan.2 Begitu juga terhadap hak-hak (perintah atau larangan) yang
telah Allah tetapkan di dalam al-Qur’an. Sebagaimana al-Qur’an sebagai
pembeda dan berisi ayat-ayat tanzȋliyah yang berfungsi sebagai petunjuk

Abu Qosim al-Husain bin Muhammad, al-Mufradât fȋ Gharȋb al-Qur’ân,


1

(Beirut: Dar al-Ma’rifah), 491.


2
Moh. Ardani, Ahklaq-Tasawuf (Penerbit: CV. Karya Mulia, 2005), 1.

45
46

bagi manusia baik hubungan dengan Allah, hubungan dengan manusia, dan
hubungan dengan alam semesta. Siapa yang mengamalkannya akan diberi
pahala, siapa yang memutuskan hukum berdasarkan al-Qur’an akan adil,
dan siapa yang menyerukan al-Qur’an akan dibimbing ke jalan yang lurus.3
Tanpa manusia menjalankan hak-hak Allah dengan baik, maka akan terjadi
kekacauan, kerusakan dan ketidakseimbangan.
Pada dasarnya segala sesuatu di dunia ini diciptakan oleh Allah dengan
baik. Maksud baik di sini adalah segala yang diciptakan oleh Allah
berpasangan, proporsional, dan berbeda. Perbedaan apa yang ada di bumi
menjadikan alam ini seimbang. Keseimbangan inilah yang hendak dijaga,
dilestarikan, dan dibudayakan. Namun pada kenyataannya, manusia yang
hidup di muka bumi tidak selamanya memahami bagaimana menjadikan
alam ini tetap dalam kondisi baik dan keseimbangan. Di sinilah perbutan
manusia akan menentukan bagaimana keseimbangan itu akan terjaga.
Perbuatan manusia adalah segala sesuatu yang timbul dari dalam diri
atas dasar kesadaran, pertimbangan, dan pilihan. Manusia berhak
menentukan perbuatannya (Perbuatan baik dan perbuatan buruk). Jika
manusia tidak dapat menjaga akidahnya, maka akan rusaklah akidahnya.
Jika manusia melakukan perbuatan kemaksiatan, maka menyimpanglah
perbuatannya. Dan, jika manusia memilih jalan untuk merusak bumi maka
akan rusaklah bumi dan seisinya. Dari pernyaaan itulah dapat diiasumsikan
bahwa kerusakan timbul dari akibat perbuatan manusia yang dilakukan
dengan sengaja. Sehingga membawa pada dampak negatif. Setidaknya ada
dua dampak negatif, yaitu: a). Kerusakan dalam bentuk materi, b).
Kerusakan dalam bentuk non-materi.

3
Sa’id Abdil Adzim, Berimanlah Sejenak Pasti Anda Selamat (Jakarta: Kalam
Mulia, 2006), 9.
47

Untuk mendapatkan pemahaman mengenai analisis ayat-ayat kerusakan


di muka bumi, berikut penjelasannya:

A. Kerusakan Akibat Penyimpangan Akidah


Akidah adalah tonggak atau dasar dari sebuah keyakinan seorang hamba
kepada Allah. Juga, akidah adalah denyut nadi keberagamaan dan
kehidupan seorang Muslim.4 Menurut Ali Abdul Halim Mahmud dalam
bukunya, Akhlaq Mulia, mengatakan bahwa akidah seorang akan benar dan
lurus jika kepercayaan dan keyakinannya lurus dan benar.5 Dasar perbuatan
baik bagi seorang Muslim adalah Akidah. Akidah diibaratkan sebagai akar
yang kuat dari sebuah pohon. Seorang yang memiliki akidah yang kuat
maka akan membawa manusia pada ibadah yang baik yang baik diwujudkan
dengan perbuatan baik. Tanpa akidah manusia akan kehilangan tujuan
dalam hidupnya. Akidah juga akan menjadi baik bila manusia tidak
menyekutukan, menduakan, atau mempercayai adanya kekuat-an dari
benda-benda yang ada di alam semesta.

Manusia yang fitrahnya adalah berakidah hendaknya mengindahkan apa


yang telah menjadi keyakinan kepada Allah. Apabila manusia tidak
mengindahkan keyakinannya maka akan terjadi ketidakseimbangan yang
menyebabkan kerusakan. Kerusakan dalam bentuk akidah, misalnya me-
nyekutukan Allah dengan mendatangi tukang tenung dan tukang sihir.
Manusia mengira bahwa hal ini hanya merupakan jalan menuju Allah,
padahal inilah yang dinamakan dengan perbuatan menyekutukan Allah.
Berikut ayat yang menjelask-an tentang penyimpangan akidah.

4
Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedia Akidah Islam (Jakarta:
Kencana, 2009), dalam kata pengantar.
5
Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlaq Mulia (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), 84.
48

a. Analisis Surah Yunus [10] : 81


Di dalam kitab al-Qur’ân al Adzȋm, Ibn Hatim berkata: “Bercerita
kepadaku Muhammad bin ‘Ammar al-Harits, bercerita kepadaku
‘Abdurrahman, yakni al-Dasytaki, Abu Ja’far ar-Razi memberi kabar
kepadaku, bahwa sesungguhnya ayat-ayat itu adalah obat sihir dengan izin
Allah, kamu membacanya dalam bejana berisi air kemudian disiramkan di
atas kepala orang yang terkena sihir,6 ayat yang ada pada surat Yunus
berikut ini:
َ ‫صل ُح َع َم َِل ۡٱۡلُ ۡفسِد‬ َ َ َّ َّ ُ ُ ُ َ َ َّ َّ ُۖ ۡ ُ ۡ َ َ ُ َ ‫َف َل َّم ٓا َأ ۡل َق ۡو ْا َق‬
١٨ ‫ين‬ ِّ ِّ ِّ ۡ ‫ٱلسح ُر ِّإن ٱلله سي ۡب ِّطل ۥٓه ِّإن ٱلله ْل ُي‬
ِّ ‫ال موس ٰى ما ِّجئتم ِّب ِّه‬

“Setelah mereka melemparkan, Musa berkata, “Apa yang kamu lakukan itu,
itulah sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan kepalsuan sihir itu.
Sungguh, Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan
orang yang berbuat kerusakan.”
Kisah tukang-tukang sihir yang dilakukan pada masa nabi Musa telah
berlalu. Perbuatan orang-orang terdahulu mengenai sihir dilemahkan
dengan datangnya peringatan nabi Musa terhadap kaumnya. Sebenarnya
yang menjadi tujuan dari ayat ini adalah untuk menunjukkan
pembangkangan Fir’aun terhadap ajakan Rasul Allah.7

Penjelasan mengenai perbuatan dalam hal penyimpangan akidah tidak


hanya terbatas pada surat Yunus di atas, mengingat bahwa tafsir Ibn Katsir
ini menggunakan metode bȋ al-Ma’tsȗr, maka ayat ini berhubungan dengan
surah al-‘araf : 118-122 dan surah Tha’ha : 69 berikut:

َّ ‫ َو ُأ ۡل ِّق َي‬٨٨١ ‫ين‬


َ ‫ٱلس َح َر ُة َٰسجد‬ َ ‫صغر‬ َٰ ْ ُ َ َ َ َ َ ُ ْ ُ ُ َ َ ُ َ ۡ َ ْ ُ َ َ َ َ َ َ ُّ َ ۡ َ َ َ َ
٨٢١ ‫ين‬ ِّ ِّ ِّ ِّ ‫ فغ ِّلبوا هن ِّالك وٱنقلبوا‬٨٨١ ‫فوقع ٱلحق وبطل ما كانوا يعملون‬
٨٢٢ ‫ون‬ َ ‫ َرب ُم‬٨٢٨ ‫َق ُال ٓو ْا َء َام َّنا ب َرب ۡٱل َٰع َلم َين‬
َ ‫وس ٰى َو َٰه ُر‬
ِّ ِّ ِّ ِّ

Imaduddin Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-
6

Adzȋm, jilid 3 (Riyadh: Dar al-Salam, 1994), 562.


7
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 6 (Jakarta: Lentera Hati, 2004), 135.
49

“Maka terbuktilah kebenaran, dan segala yang mereka kerjakan sia-sia


(118), maka mereka dikalahkan di tempat itu dan jadilah mereka orang-
orang yang hina (119), dan para pesihir itu serta merta menjatuhkan diri
dengan bersujud,8 (120), mereka berkata, “Kami beriman kepada Tuhan
selain alam, (121), (yaitu) Tuhannya Musa dan Harun.”
Pada ayat ini Ibn Abbas berkata: Tongkat Musa tidaklah melewati
tali-tali dan tongkat-tongkat mereka itu melainkan ditelannya. Kemudian
pada akhirnya para ahli sihir itu mengetahui bahwa hal itu merupakan
sesuatu yang datang dari langit dan bukan sihir. Maka mereka bersujud dan
mengatakan, “Kami beriman kepada Rabb, yaitu Rabb Musa dan Harun.”9
Kemudian ayat di atas berkaitan atau berlanjut pada al-Qur’an surah Thaha
: 69:
ََ ُ َّ ‫ص َن ُع ْوا َك ۡي ُد َٰس ِّح ُۖر َوَْل ُي ۡف ِّل ُح‬
َ ‫إ َّن َما‬
٩١ ‫اح ُر َح ۡيث أت ٰى‬
ِّ ‫ٱلس‬ ِّ

“Apa yang mereka buat itu hanyalah tipu daya pesihir (belaka). Dan tidak
akan menang pesihir itu, dari mana pun ia datang.”
Dari paparan ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa,
penyimpangan akidah sebenarnya telah dilakukan oleh kaum terdahulu,
yaitu kaumnya Nabi Musa ‘Alaissalam. Perbuatan sihir menyebabkan
akidah manusia menyimpang. Sehingga dengan hadirnya ayat ini
mengingatkan kepada kita semua untuk berhati-hati dalam menjaga akidah.

b. Analisis Surah al-Anbiya [21] : 22


Allah berfirman di dalam surah al-Anbiya berikut:

8
Mereka langsung bersujud kepada Allah karena meyakini kebenaran seruan nabi
Musa dan bukan sihir sebagian yang mereka duga semula.
9
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibn
Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar, jilid 3 (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2009), 431.
50

َ ۡ َّ ٰ َ َۚ َ َّ َّ ٌ ٓ َ ‫َل ۡو َك‬
٢٢ ‫ان ِّف ِّيه َما َء ِّال َهة ِّإْل ٱلل ُه ل َف َس َدتا ف ُس ۡب َح َن ٱلل ِّه َر ِّب ٱل َع ۡر ِّش َع َّما َي ِّص ُفون‬

“Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada Tuhan-tuhan selain
Allah, tentu keduanya telah binasa. Maha suci Allah yang memiliki ‘Arsy,
dari apa yang mereka sifatkan.”
Ayat ini menjelaskan bahwa kerusakan langit dan bumi di-akibatkan
karena manusia menyekutukan Allah. Allah mengabarkan jika terdapat
Tuhan-tuhan yang lain selain-Nya, niscaya rusaklah langit dan bumi.10
Selain itu di dalam tafsir al-Thabâri juga dijelaskan maksud al-Qur’an surat
al-Anbiya di atas adalah sekiranya di langit dan bumi ada Tuhan yang patut
disembah selain Allah, maka akan rusak dan binasa.11 Hal ini terdapat dalam
al-Qur’an surah al-Mu’Minȗn ayat 91 berikut:
َّ ٰ ۚ ‫ض ُه ۡم َع ََ ٰٰ َب ۡع‬ َ َ ََ َٰ ُ َ َّ ٗ َٰ َ ‫ٱلل ُه من َو َلد َو َما َك‬
َّ َ َ َّ َ
‫ ٖۚ ُس ۡب َح َن ٱلل ِّه‬ ُِ ‫ان َم َع ُ ۥه ِّم ۡن ِّإل ۚه ِّإذا لذ َه َب ك ُّل ِّإل ِّ ِۢه ِّب َما خل َق َول َعال َب ۡع‬ ِّ ‫ما ٱتخذ‬
َ
١٨ ‫َع َّما َي ِّص ُفون‬

“Allah tidak mempunyai anak, dan tidak ada tidak ada Tuhan (yang lain)
bersama-Nya, (sekiranya Tuhan banyak), maka masing-masing Tuhan itu
akan membawa apa (makhluk) yang diciptakan, dan sebagian dari Tuhan-
Tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Mahasuci Allah dari apa
yang mereka sifatkan itu.”
Selain pada ayat di atas Allah menjelaskan di dalam al-Qur’an
bahwa Allah itu satu dan tidak ada Tuhan selain-Nya. Hal ini terdapat di
dalam al-Qur’an surah al-Ikhlas berikut:
ِۢ َ ُ َّ ُ َ َ َ َ َّ َ َّ ُ
٤ ‫ َول ۡمِ َيكن ل ُ ۥه ك ُف ًوا أ َح ُد‬٣ ‫ ل ۡم َي ِّل ۡد َول ۡم ُيول ۡد‬٢ ‫ٱلص َم ُد‬
َّ ‫ٱلل ُه‬ ٨ ‫ق ۡل ُه َو ٱلل ُه أ َح ٌد‬

“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat


meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”

10
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibn
Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar, jilid 6 (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2009), 75.
11
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabâri, terj. Ahsan
Askan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), 43.
51

Penjelasan mengenai akidah sangat banyak di dalam al-Qur’an. Sejarah


mencatat Rasulullah menyebarkan akidah selama 13 tahun. Hal ini
dikarenakan sangat pentingnya akidah menjadi pedoman utama dalam
kehidupan. Tanpa akidah kehidupan akan goyah, dan sebaliknya dengan
akidah kehidupan akan kuat dan tertata.

Dengan demikian, kerusakan dalam bentuk akidah dapat berupa


menyekutukan Allah dengan mendatangi tukang tenung dan tukang sihir.
Dalam hal ini dapat dikategorikan bahwa kerusakan ini berupa kerusakan
non-materi. Kerusakan non-materi adalah kerusakan yang berdampak pada
seseorang yang melakukan penyimpangan terhadap akidah atau keyakinan
kepada Allah.

B. Kerusakan Akibat Kemaksiatan


Kemaksiatan merupakan perbuatan yang dilakukan manusia yang
melanggar perintah Allah. Kemaksiatan juga dapat diartikan sebagai
perbuatan manusia yang buruk. Manusia yang mempunyai potensi untuk
melakukan sesuatu (perbuatan baik atau buruk) dapat mengarahkan
“keinginan” sesuai dengan “kehendak” pada diri sendiri. Misalnya: Ketika
Allah melarang “Janganlah merusak bumi” maka perintah itu terdapat dua
potensi manusia yang dapat dilakukan, yaitu “Melanggar” atau “Menaati”.

Merusak bumi merupakan bagian dari perbuatan yang sangat merusak


tatatanan ekosistem bumi. Pada dasarnya bumi memang diciptakan untuk
manusia. Di dalam bumi terdapat tumbuhan dan hewan untuk kebutuhan
manusia. Namun apabila kebutuhan manusia tersebut tidak diimbangi
dengan proporsional, maka akan terjadi kerusakan. Kerusakan dalam arti
kemaksiatan terdapat pada: surah al-Baqarah (2) : 11, h surah-Baqarah (2) :
12, dan surah al-Baqarah (2) : 205.
52

a. Analisis Surah al-Baqarah [2] : 11


َ ۡ ُ ُ ۡ َ َ َّ ْ ٓ ُ َ ۡ َ ۡ ْ ُ ۡ ُ َ ۡ ُ َ َ َ َ
٨٨ ‫ص ِّل ُحون‬‫ض قالوا ِّإنما نحن م‬
ِّ ‫وِّإذا ِّقيل لهم ْل تف ِّسدوا ِّفي ٱۡلر‬

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah membuat kerusakan di


bumi!”12 Mereka menjawab, Sesungguhnya kami justru orang-orang yang
melakukan perbaikan.”
Di dalam tafsir al-Qur’ân al-Adzȋm, , Ibn Mas’ud dan sahabat nabi
menjelaskan bahwa yang di maksud pada ayat ini adalah:
َْ ْ َْ ْ َ َ َْ ْ ْ ُ ْ ُ َ َّ َ َ ْ ُ َ ُ ْ ُ ُ
ِ 13‫ال ال َف َساد ُه ُم الك ِّف ُر َوال َع َمل ِّباۡل ْع ِّص َّية‬ ِّ ‫هم اۡلنا ِّفقون أما ْلتف ِّسدوا ِّفي اۡلر‬
‫ضق‬

“Mereka adalah orang munafik. Sedangkan “kerusakan” di muka bumi yang


dimaksud adalah kekufuran dan perbuatan kemaksiatan.”
Kata fasâd (kerusakan) di atas menginformasikan kepada kita bahwa
kerusakan di sini bukan hanya kerusakan pada umumnya, seperti kerusakan
pada benda atau pun alam semesta. Melainkan, kerusakan di sini akibat dari
perbuatan manusia yang menyimpang, seperti: menghasut orang-orang
kafir untuk memusuhi dan menentang orang-orang Islam.14

Kemaksiatan seseorang akan menyebabkan manusia keluar dari


keimanan.15 Abu Ja’far menceritakan, dari al-Rabi’ bin Anas, dari Abul
‘Aliyah, ia mengatakan janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi.
“Kerusakan ini berupa ke-maksiatan kepada Allah, karena barang siapa
yang berbuat maksiat kepada Allah atau memerintahkan orang lain untuk

12
Melanggar nilai-nilai yang ditetapkan agama akan mengakibatkan alam ini
rusak bahkan hancur.
13
Imaduddin Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-
Adzȋm, jilid 1 (Riyadh: Dar al-Salam, 1994), 79.
14
Kementerian Agama RI, Pelestarian Lingkungan Hidup (Jakarta: Direktorat
Urusan Agama Islam, 2012), 211.
15
Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir Jalalain,
terj. Bahrun Abubakar (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), 7.
53

bermaksiat kepada-Nya, maka ia telah berbuat kerusakan di bumi, karena


kemaslahatan langit dan bumi ini terletak pada ketaatan.”16

Selain itu, Qurays Shihab menjelaskan bahwa seseorang dituntut untuk


menjadi shaleh, yaitu memelihara segala sesuatu yang ada di bumi sehingga
kondisinya tetap baik dan tetap bermanfaat.17 Namun, orang-rang munafik
menduga bahwa mereka mencapai peringkat ini. Inilah yang menjadi
permasalahan bahwa kemunafikan dilakukan oleh orang-orang yang merasa
bahwa dirinya telah beriman.

b. Analisis Surah al-Baqarah [2] : 12


َ ‫َأ َ ْٓل إ َّن ُه ۡم ُه ُم ۡٱۡلُ ۡفس ُدو َن َو َٰلكن َّْل َي ۡش ُع ُر‬
٨٢ ‫ون‬ ِّ ِّ ِّ

“Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka


tidak menyadari.”
Dalam tafsir Ibn Katsir, melalui ayat tersebut Allah
memberitahukan: “Ketahuilah bahwa yang mereka katakan sebagai
perbaikan adalah kerusakan itu sendiri, namun karena kebodohan mereka,
mereka tidak menyadari bahwa hal itu sebagai kerusakan.”18 Kerusakan
pada ayat ini dilakukan atas dasar perbuatan yang dilakukan berulang-
ulang. Kerusakan di sini bermakna pengrusakan kepada keluarga,

16
Imaduddin Abu al-Fida Ismail bin Katsir al-Qurays al-Dimasqy, Tafsir al-
Qur’ân al-Adzȋm, jilid 1 (Riyadh: Dar al-Salam, 1994), 79.
17
M. Qurays Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 1 (Tangerang: Lentera Hati, 2000),
101.
18
Imaduddin Abu al-Fida Ismail bin Katsir al-Qurays al-Dimasqy, jilid 1 (Riyadh:
Dar al-Salam, 1994), 79.
54

masyarakat, dan bahkan bumi.19 Sehingga membawa pada perbuatan yang


menanamkan kebencian dan perpecahan.

Abu Ja’far berkata, ayat ini merupakan bentuk pendustaan Allah atas
apa yang dilakukan oleh orang-orang munafik, ketika Allah memerintahkan
seharusnya mereka menaati dan ketika Allah melarang sesuatu seharusnya
mereka menjauhi. 20

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata munafik berarti


berpura-pura atau mengatakan sesuatu yang tidak sesuai perbuatannya,
inilah sebuah pendustaan. Pada masalah ini sebuah pendustaan termasuk
pada kategori kerusakan non-materi. Kerusakan non-materi ini berdampak
pada perbuatan manusia yang menjatuhkan pada kemaksiatan kepada Allah.

c. Analisis Surah al-Baqarah [2] : 205


ۡ َ َّ َّ َ ۡ
٢١٢ ‫ض ِّل ُي ۡف ِّس َد ِّف َيها َو ُي ۡه ِّل َك ٱل َح ۡرث َوٱلن ۡس َۚل َوٱلل ُه ْل ُي ِّح ُّب ٱل َف َس َاد‬ ۡ َ ۡ ٰ َ َ ٰ َّ َ َ َ َ
ِّ ‫وِّإذا تولٰ سعٰ ِّفي ٱۡلر‬
“Dan apabila dia berpaling (dari engkau), dia berusaha untuk berbuat
kerusakan di bumi, serta merusak tanam-tanaman dan ternak, sedang Allah
tidak menyukai kerusakan.”
Kata, tawalla di sini merupakan berasal dari kata wilȃyat yang berarti
pemerintahan. Ketika orang munafik mengontrol pe-merintahan maka
mereka mulai membuat kerusakan, kejahatan, penindasan, dan juga
kedzaliman.21 Kedzaliman itu dapat berupa perbuatan yang menyebabkan

19
M. Qurays Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 1 (Tangerang: Lentera Hati, 2000),
102.
20
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, terj. Abdul
Somad, Yusuf Hamdani, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 358.
21
Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur’an, terj. Rd Hikmat Danaatmaja
(Jakarta: al-Huda, 2003), 156.
55

masyarakat dan kota-kota akan hancur dan bahkan nyawa akan terancam
bahaya.

Selain itu, ayat di atas maksudnya adalah orang yang amat menyimpang
perkataannya dan jahat perbuatannya. Seperti itulah perkataan dan
perbuatannya. Ucapannya dusta, keyakinannya menyimpang dan
perbuatnnya buruk.22 Orang yang mempunyai “keinginan” membuat
kerusakan di bumi dan memusnahkan tanaman-tanaman dan hewan-hewan.
Maka, Mujahid mengatakan, “Maka Allah akan menahan hujan sehingga
tanaman dan ternak binasa.”23

C. Kerusakan Akibat Penyimpangan Memperlakukan Orang Yang


Lemah (Anak Yatim)
Yatim merupakan orang yang telah ditinggal oleh ayahnya. Dalam
konteks agama dan kemanusiaan, seseorang yang telah ditinggal oleh
ayahnya berhak untuk mendapatkan perhatian dan perlakuan yang baik.
Perhatian itu dapat berupa sandang, pangan, dan bahkan papan. Namun
yang menjadi permasalahan adalah ketika orang yang lemah diabaikan,
memberikan (sandang dan pangan) yang tidak sepantasnya, dan bahkan ikut
serta memakan harta anak yatim secara dzalim. Padahal di dalam al-Qur’an
terdapat surat yang memerintahkan untuk memperdulikan, memberikan
makanan yang layak, dan tidak memakan harta anak yatim.
Perbuatan manusia yang tidak seimbang dalam mem-perlakukan orang
yang lemah akan menyebabkan kerusakan. Sebagaimana kerusakan dalam

22
Imaduddin Abu al-Fida Ismail bin Katsir al-Qurays al-Dimasqy, Tafsir al-
Qur’ân al-Adzȋm, jilid 1 (Riyadh: Dar al-Salam, 1994), 333.
23
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibn
Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar, jilid 1 (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2009), 403.
56

arti penyimpangan memperlakukan orang yang lemah (anak yatim) terdapat


dalam al-Qur’an surah al-Baqarah [2] : 220
ُ ۡ َ َّ ۚ ُ ُ ٰ ۡ َ ُ ُ َ ُ َ ُۖ‫ُّ ۡ َ َ ۡ ٓ َ ِۗ َ َ ۡ ُ َ َ َ ۡ َ َٰ َ ُٰۖ ُ ۡ ۡ َ ل َّ ُ ۡ َ ۡ ل‬
‫س َد ِّم َن‬
ِ ِّ ‫وه ۡم ف ِّخخ َونك ۡم َوٱلل ُه َي ۡعل ُم ٱۡل ۡف‬ ‫سلونك ع ِّن ٱليتىى قل ِّإصالح لهم خير وِّإن تخ ِّالط‬ ِ ‫ِّفي ٱلدنيا وٱۡل ِّخر ِّة وي‬
َّ َّ ۚۡ ُ َ َ ۡ َ َ ُ َّ َ ٓ َ ۡ َ َ ۚ ۡ ُ ۡ
‫ٱلل َه َعز ٌيز َح ِّك ل‬
٢٢١ ‫يم‬ ِّ ‫ٱۡلص ِّل ِّح ولو شاء ٱلله ۡلعنتكم ِّإن‬

“Tentang dunia dan akhirat. Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad)


tentang anak-anak yatim. Katakanlah, “Mem-perbaiki keadaan mereka
adalah baik!” Dan jika kamu mem-pergauli mereka, maka mereka adalah
saudara-saudaramu. Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan
yang berbuat kebaikan. Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia
datangkan kesulitan kepadamu. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha-
bijaksana.”
Di dalam tafsir Ibn Katsir, bahwa Ibn Jarir meriwayatkan dari Ibn
‘Abbas, ia menceritakan, ketika turun dalam al-Qur’an surah al-An’am (6)
َ َّ َّ ۡ َ َ ْ َُ ۡ َ ََ
ِ ُ ‫ال ٱل َي ِّت ِّيم ِّإْل ِّبٱل ِّتي ِّه َي أ ۡح َس‬
: 152 : ‫ن‬ ‫“ وْل تقربوا م‬Dan janganlah kamu mendekati harta

anak yatim kecuali melalui cara yang lebih baik.” Dan dalam al-Qur’an
surah al-Nisa’ (4) : 10
َ َ ۡ َ َ َ ُۖ ٗ َ ۡ ُ ُ ‫َّ َّ َ َ ۡ ُ ُ َن َ ۡ َٰ َل ۡ َ َٰ َ ٰ ُ ۡ ً َّ َ َ ۡ ُ ُ َن‬
٨١ ‫صل ۡون َس ِّع ِٗيرا‬ ‫ِّإن ٱل ِّذين يأكلو أمو ٱليتىى ظلما ِّإنما يأكلو ِّفي بط ِّون ِّهم نارا وسي‬

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara


dzalim, sebenarnya mereka telah menelan api dalam perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”

Dengan turunnya ayat ini, orang yang mengasuh anak yatim


langsung memisahkan makanan dan minuman anak yang yang diasuhnya.
Lalu memisahkan sebagian dari makanannya dan ia simpan untuk anak
yatim, sampai anak yatim memakannya atau menjadi basi. Karena itu
menyulitkan pengasuh anak yatim, lalu mereka melaporkan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Allah menurunkan ayat:
ُ ُ ۡ َ ُ ُ َ ُ َ ُۖ‫َ َ ۡ ُ َ َ َ ۡ َ َٰ َ ُٰۖ ُ ۡ ۡ َ ل َّ ُ ۡ َ ۡ ل‬
ۚ‫وه ۡم ف ِّخخ َٰونك ِۡم‬‫خير وِّإن تخ ِّالط‬
ِ ‫سلونك ع ِّن ٱليتىى قل ِّإصالح لهم‬
ِ ‫ وي‬kemudian setelah ini mereka
57

menggabungkan makanan dan minuman mereka dengan makanan dan


minuman anak yatim.
ُۖ َ َّ َ ۡ ۡ ُ
Kemudian Allah memerintahkan untuk, ‫صال لح ل ُه ۡم خ ۡي لر‬‫“قل ِّإ‬Mengurus urusan
ۚ ُُ ۡ َ ُ ُ َ ُ َ
mereka dengan baik,” yakni dengan secara terpisah. ‫وه ۡم ف ِّخخ َٰونك ِۡم‬‫“وِّإن تخ ِّالط‬Dan

jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu,”


maksudnya adalah boleh menggabungkan makanan dan minuman kalian
dengan makanan dan minuman mereka, karena mereka seagama. Kemudian
ۡ ُ‫ٱلل ُه َي ۡع َل ُم ۡٱۡلُ ۡفس َد م َن ۡٱۡل‬
Allah berfirman: ‫ص ِّل ِّ ۚ ِح‬
َّ َ
‫“ و‬dan Allah mengetahui orang yang
ِّ ِّ
berbuat kerusakan dan yang mengadakan perbaikan,” yang berarti, Dia
mengetahui orang yang berniat memberbuat kerusakan dari orang yang
berniat melakukan perbaikan.24

Dari uraian di atas memberikan pengertian bahwa perbuatan buruk yang


sangat merusak seperti: Memperlakukan ayak yatim dengan cara tidak
memperdulikan, tidak berbuat baik, dan bahkan menghardiknya adalah
perbuatan merusak. Juga, seperti disebutkan dalam buku, Pelestarian
Lingkungan Hidup, demikian kata mufsid pada ayat ini merupakan
kebalikan dari muslih yaitu orang yang tidak peduli terhadap nasib anak
yatim.25 Di sinilah letak sifat perbuatan orang-orang yang mendustakan
agama. Padahal Allah telah berfirman di dalam surat al-Ma’un 1-7 berikut:

َ ‫ َف َو ۡي لل ل ۡل ُم‬٣ ‫سكين‬
٤ ‫ص ِّل َين‬ ۡ ِّ ۡ ‫ ٖۚ َع ََ ٰٰ َط َعام‬ َ ‫ َف َٰذل َك َّٱل ِّذي َي ُد ُّع ۡٱل َيت‬٨ ‫ٱلدين‬
ُّ ‫ َوَْل َي ُح‬٢ ‫يم‬ ُ َ ُ َّ َ ۡ َ َ َ
ِّ ِّ ِّ ِ ‫ٱۡل‬ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ‫أرءيت ٱل ِّذي يك ِّذب ِّب‬
َ ُ َ ۡ ‫َّ َ ُ ۡ َ َ َ ۡ َ ُ َن َّ َ ُ ۡ ُ َ ٓ ُ َن َ َ ۡ َ ُ َن‬
٧ ‫اعون‬ ‫ ويمنعو ٱۡل‬٩ ‫ ٱل ِّذين هم يراءو‬٢ ‫ٱل ِّذين هم عن صال ِّت ِّهم ساهو‬

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1), maka itulah orang
yang menghardik anak yatim (2), dan tidak mendorong memberi makan

24
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibn
Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar, jilid 1 (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2009), 425-426.
25
Departemen Agama RI, Pelestarian Lingkungan Hidup (Jakarta: Lajnah
Pentashihan al-Qur’an, 2009), 214.
58

anak miskin (3), maka celakalah orang yang shalat, (4), (yaitu) orang yang
lalai terhadap shalatnya,26 (5), yang berbuat ria,27 (6), dan enggan
(memberikan) bantuan28 (7).”
Dalam surat al-Ma’un di atas menimbulkan sebuah pertanyaan apakah
orang yang melakukan shalat mengaku sebagai orang yang beragama? Dari
pertanyaan tersebut dapat dikatakan bahwa ternyata shalat saja belum
cukup, apabila manusia yang beragama masih mengahambakan diri pada
hawa nafsu mencibtai harta secara berlebihan dan tidak perduli terhadap
anak yatim.29

D. Kerusakan Akibat Memperturutkan Hawa Nafsu


Allah memberikan manusia potensi berupa hawa nafsu. Hawa nafsu
merupakan sebuah potensi untuk menentukan pilihan, sebagaimana fungsi
dari hawa nafsu adalah untuk manusia menjalankan kehidupan sebagaimana
fitrahnya. Misalnya: Ketika manusia ingin memenuhuhi kebutuhan fisiknya
dengan makan, maka manusia diberikan untuk memilih makan seperlunya
atau makan berlebihan. Bila manusia memilih untuk makan berlebihan,
maka akan timbul berbagai macam penyakit yang dapat membuat manusia
sakit. Begitu juga dengan prilaku manusia dalam mengerjakan perintah dan
larangan Allah. Bila manusia melakukan larangan makan akan terjadi
kerusakan. Kerusakan dalam arti “Memperturutkan hawa nafsu” terdapat
dalam surah al-Mu’minun [23] : 71 dan Surah al-Naml [27] : 34.

26
Orang-orang yang tidak menghargai serta melalaikan pelaksanaan dan waktu-
waktu shalat.
27
Ria adalah melakukan perbuatan bukan semata untuk mendapatkan keridhaan
Allah, melainkan untuk mencari pujian, atau kemasyhuran di masyarakat.
28
Sebagian Mufassir mengartikan bahwa “Enggan membayar zakat”.
29
KRH. Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan (Jogjakarta: Majelis Pustaka dan
Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2013), 64.
59

a. Analisis Surah al-Mu’minun [23] : 71


‫ح‬ َ ‫ح‬ ََ ‫ح‬ ُ َ ‫َّ َ َٰ َ َٰ ُ ح‬ َ َ ُ ٓ ‫َ َ َّ َ َ ح َ َ ح‬
‫ت َوٱۡلۡرض َو َمن فيه َّن بَل أت حي َنَٰ ُهم بذكره حم ف ُه حم َعن ذكرهم‬ ‫ٱۡلق أه َوا َءه حم لف َس َدت ٱلسمو‬ ‫ولو ٱتبع‬

َ ُ
٧١ ‫م حعرضون‬

“Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, pasti binasalah


langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan kami telah
memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari
peringatan itu.”
Dalam Tafsir Ibn Katsir, Mujahid dan Abu Shalih serta as-Suddi
mengatakan: Hak itu adalah Allah yang Mahamulia lagi Mahaperkasa.
Maksudnya, seandainya Allah menuruti apa yang menjadi keinginan hawa
nafsu mereka, lalu dia menetapkan suatu hal sesuai hal tersebut, niscaya
langit dan bumi serta segala yang ada diantara keduanya akan hancur
binasa. Yakni, karena rusak dan beragamnya keinginan mereka.30 Dalam
kitab tafsir al-Qurtubhi juga dijelaskan maksud dari hawa nafsu pada ayat
di atas adalah sebuah majaz. Maksud dari hawa nafsu di sini adalah mereka
mengingkari para rasul dan maksiat kepada Allah.31

Dalam tafsiran itu mendapatkan analisis bahwa sebuah kebenaran yang


tetap dan mutlak adalah hak Allah. Manusia diingatkan agar tidak asal-
asalan dalam menetapkan sebuah ketetapan. Allah telah menurunkan al-
Qur’an untuk menjadi petunjuk. Tetapi kebanyakan manusia berbangga dan
menuruti sesuai hawa nafsunya. Sehingga atas perbuatan tersebut
menjadikan langit dan bumi rusak.

30
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibn
Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar, jilid 6 (Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’i, 2009), 228-229.
31
Syaikh Imam al-Qurtubhi, Tafsir al-Qurtubhi, terj. Ahmad Khotib (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), 360-361.
60

b. Analisis Surah al-Naml [27] : 34


َ ُ َٰ َ ۚٗ َّ َ ٓ َ َ َ ْ ُ َ ‫وك إ َذا َد َخ ُل ْوا َق ۡرَي ًة َأ ۡف َس ُد‬
َ ُ ُ ۡ َّ ۡ َ َ
٣٤ ‫وها َو َج َعل ٓوا أ ِّع َّزة أ ۡه ِّل َها أ ِّذلة َوكذ ِّل َك َي ۡف َِعلون‬ ِّ ‫قالت ِّإن ٱۡلل‬

“Dia (Balqis) berkata, “Sesungguhnya raja-raja apabila me-nakhlukkan


suatu negeri, mereka tentu membinasakannya, dan menjadikan
penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian yang akan mereka
perbuat.”
Ibn Abbas berkata: “Yaitu apabila mereka memasuki suatu negeri untuk
mengadakan peperangan, niscaya mereka menghancurkannya, yaitu
membinasakannya.” Mereka mengincar para pembesar dan tentara untuk
dihinakan serendah-rendahnya, baik dengan membunuhnya ataupun
menawan-nya.32

Ayat ini berkenaan dengan perilaku buruk yang dilakukan para


pembesar yang dalam suatu negeri. Kata ifsad di sini merupakan sebuah
kedzaliman. Mereka merusak apa saja yang ada (benda ataupun manusia)
baik merusak dengan cara membakar, merobohkan, dan menghilangkan
kemuliaan manusia.33

E. Kerusakan Akibat Prilaku Merusak Lingkungan


Lingkungan merupakan tempat manusia hidup, tempat manusia bekerja,
dan tempat manusia beristirahat. Juga, lingkungan merupakan segala
sesuatu di sekitar manusia, baik hewan, tumbuhan, dan benda-benda yang
tak bernyawa.34 Sebab lingkungan merupakan lingkup yang tidak

32
Imaduddin Abu al-Fida Ismail bin Katsir al-Qurays al-Dimasqy, Tafsir al-
Qur’ân al-Adzȋm, jilid 3 (Riyadh: Dar al-Salam, 1994), 482.
33
Departemen Agama RI, Pelestarian Lingkungan Hidup (Jakarta: Lajnah
Pentashihan al-Qur’an, 2009), 213.
34
Abuddin Nata, Akhlaq Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008),
152.
61

terpisahkan oleh manusia, maka manusia diberikan pilihan untuk


“Melestarikan lingkungan” atau “Merusak lingkungan”.
Namun, pada saat ini lingkungan telah mengalami perubahan.
Perubahan itu dapat berupa pencemaran yang terjadi di berbagai tempat.
Kecenderungan perubahan itu berupa pencemaran pada dua hal, yaitu: a).
Pencemaran yang diakibatkan karena pembuangan senyawa-senyawa kimia
b). Pencemaran yang diakibatkan penggunaan bahan berbahaya dan
beracun oleh berbagai industri.35
Pencemaran merupakan kerusakan yang dilakukan oleh perbuatan
manusia. Seperti yang terdapat di dalam surat al-Rȗm [30] : 41-42 berikut:
ْ ُ َ َّ َ ْ ُ َّ َ ۡ َ ُ َ ُ
‫ ق ۡل ِّس ُيروا‬٤٨ ‫ ٖۚ ٱل ِّذي َع ِّملوا ل َعل ُه ۡم َي ۡر ِّج ُعون‬ ‫اس ِّلي ِّذيقهم بع‬ َّ َۡ ۡ َ َ َ َ ۡ َۡ َ َۡ ُ َ َۡ َ ََ
ِّ ‫ظهر ٱلفساد ِّفي ٱلب ِّر وٱلبح ِّر ِّبما كسبت أي ِّدي ٱلن‬
ۡ َ ۡ َ َ َ ُۚ ۡ َ َ ‫ان َٰعق َب ُة َّٱلذ‬ َ ۡ َ ْ ُ ُ َ َۡ ۡ
َ ‫ف َك‬
٤٢ ‫ان أكث ُر ُهم ُّمش ِّر ِّك َين‬ ‫ين ِّمن قبل ك‬ ِّ ِّ ‫ض ِفٱنظروا كي‬ ِّ ‫ِّفي ٱۡلر‬

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan


tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Katanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikan bagaimana
kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu orang-
orang yang mem-persekutukan (Allah).”
Di dalam Tafsir Ibn Katsir, Ibn ‘Abbas, ‘Ikrimah, al-Dhahhak, as-
Suddi berkata: “Yang dimakasud dengan al-Barr di sini adalah hamparan
padang yang luas. Dan, yang dimaksud dengan al-Bahr di sini adalah kota-
kota dan kampung-kampung. Dan disebutkan pula dalam tafsir ini, ‘ulama
lain mengartikan keduanya dengan daratan dan lautan. Zaid bin Rafi’
berkata: yang dimaksud dengan, “Telah nampak kerusakan,” adalah
terhentinya hujan di daratan diiringi dengan masa peceklik serta dari lautan,
yaitu mengenai binatang-binatangnya.36 (HR. Ibnu Abi Hatim)

35
Rukaesih Achmad, Kimia Lingkungan (Jogjakarta: Andi Offset, 2004), 1.
36
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibn
Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar, jilid 7 (Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’i, 2009), 183-184.
62

Dari penjelasan di atas dapat dianalisis bahwa telah terlihat jelas


perbuatan maksiat di daratan dan di lautan akibat perbuatan manusia yang
melarang perintah Allah.37 Kerusakan yang menyebabkan terhentinya hujan
di daratan dan diiringi peceklik bukanlah kerusakan yang tiba-tiba,
melainkan sebab kemaksiatan perbuatan manusia kepada Allah. Melalaikan
apa yang menjadi perintah Allah dan apa yang menjadi larangan Allah.
Sehingga menjadi perhatian dan pengingat bahwa, perbuatan yang me-
ngandung kemaksiatan akan menyebabkan kerusakan dan me-nyebabkan
manusia kekurangan akan pangan untuk bertahan hidup. Seperti makna dari
“Kerusakan” pada ayat di atas adalah kekurangan tanam-tanaman dan buah-
buahan akibat dari kemaksiatan.

37
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabâri, terj. Ahsan
Sakan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), 681.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan seluruh pembahasan yang telah dipaparkan


sebelumnya, maka kesimpulan atau jawaban dari rumusan masalah
berikut ini:

Kerusakan hasil perbuatan manusia di muka bumi adalah sesuatu


yang keluar dari keseimbangan. Keluarnya keseimbangan itu, berawal
dari perbuatan manusia yang melakukan penyimpangan. Kerusakan
hasil perbuatan manusia tidak hanya berfokus pada satu macam
kerusakan, seperti kerusakan terhadap pencemaran lingkungan saja,
melainkan mencakup berbagai macam kerusakan yang dilakukan oleh
perbuatan manusia yang menyimpang. Dari sini dapat dipetakan bahwa,
Ragam Kerusakan Hasil Perbuatan Manusia di Muka Bumi, yang
keluar dari keseimbangan dapat dibagi menjadi 5 (lima) bagian, yaitu:
a). Kerusakan dalam bentuk penyimpangan akidah, b). Kerusakan
dalam bentuk kemaksiatan, c). Kerusakan dalam bentuk tidak perduli
terhadap orang yang lemah, d). Kerusakan dalam bentuk
memperturutkan hawa nafsu, dan, e). Kerusakan dalam bentuk merusak
lingkungan.

63
64

B. Saran

Penelitian ini bertujuan untuk menggali khazanah ilmu pengetahuan


guna untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan. Dalam melakukan
penelitian ini penulis mencoba menghadirkan berbagai macam literatur
dan sudut pandang seorang ‘ulama dalam menggali makna-makna
penafsiran di dalam al-Qur’an, terutama mengenai term kerusakan yang
ada di dalam al-Qur’an.

Bagi yang membaca penelitian ini, tentunya penulis jauh dari kata
sempurna dalam melakukan penelitian. Penulis berharap akan ada yang
dapat mengambil pelajaran, manfaat, hikmah, dan pengetahuan dalam
penelitian ini. Selain itu, penulis berharap agar kedepannya ada yang
mengkritik, menyetujui, atau bahkan melanjutkan dan mengembangkan
penelitian ini lebih tajam dan lebih mendalam.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Rukaesih. Kimia Lingkungan. Jogjakarta: Andi Offset, 2004.


Adzim, Sa’id Abdil. Berimanlah Sejenak Pasti Anda Selamat. Jakarta:
Kalam Mulia, 2006.
Ali, Abdullah Yusuf. Tafsir Yusuf Ali. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2009.
Aman, Saifuddin. Tren Spiritual Millenium Ketiga. Jakarta: Ruhama, 2013.
Amalia, Efa Ida. “Kehancuran Alam Semesta dalam al-Qur’an.” Kajian al
Qur’an dan Kebudayaan, vol. 2, no. 1, (2009): 74.
Anshori. Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan.
Jakarta: Rajawali Press, 2016.
Ardani, Moh. Ahklaq-Tasawuf. Penerbit: CV. Karya Mulia, 2005.
Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. al-Bayan Tafsir Penjelas al Qur’anul
Karim. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.
Asmaran. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1994.
al-Asfahani, Abu Qosim al-Husain bin Muhammad. al-Mufradât fȋ Gharȋb
al-Qur’ân. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2002.
Buchori, Didin Saefuddin. Metodologi Studi Islam. Tangerang: Serat Alam
Media, 2012.
Cahaya Purnama, Riana. “Perbuatan Baik dan Buruk Menurut Ibn
Taimiyah.” Dalam Skripsi SI Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Haidayatullah Jakarta, 2017.
Dahlan, Abd Rahman. Kaidah-kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung:
Penerbit Mizan, 1998.
Dj, Muhammad Mukhtar. “Kerusakan Lingkungan Persfektif al Qur’an

65
66

(Studi Tentang Pemanasan Global).” Dalam Skripsi SI Fakultas


Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Departemen Agama RI. Pelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta: Lajnah
Pentashihan al-Qur’an, 2009.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris- Indonesia. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Enoh. “Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (Keburukan) dalam al-
Qur’an.” Mimbar. v. 23 no. 1 (Januari – Maret 2007), h. 37.
Furchan, Arief. Pengantar Metode Penelitian Kuantitatif. Surabaya: Usaha
Nasional, 1992.
Hadjid. KRH. Pelajaran KHA Dahlan. Jogjakarta: Majelis Pustaka dan
Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2013.
Harahap, Syahrin. dan Hasan Bakti Nasution. Ensiklopedia Akidah Islam.
Jakarta: Kencana, 2009.
Hasyimi, Muhammad Ali. Apakah Anda Berkepribadian Muslim?.
Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Ibn Katsir. al-Bidâyah wa al Nihayâh, terj. Abdullah bin Abdul Muhsin al
Turki. Jakarta: Pustaka Azzam, 2013.
Imani, Allamah Kamal Faqih. Tafsir Nurul Qur’an. Jakarta: al Huda, 2003.
Ismail, Imaduddin Abu al-Fida. Tafsir al-Qur’ân al-Adzȋm. Riyadh: Dar al
Salam, 1994.
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur, 2011.
Iswanto, Agus. “Relasi Manusia dengan Lingkungan dalam al- Qur’an.”
Suhuf, vol. 6, no. 1, 2013.
Izutsu, Toshihiko. Etika Beragama dalam al-Qur’an,Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993.
67

Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlaq. Jogjakarta: Lembaga Pengkajian dan


Pengamalan Islam (LPPI), 2001.
Ismail, Imaduddin Abu al-Fida. Tafsir Juz ‘Amma. Jakarta: Pustaka Azzam,
2007.
Jazuli, Ahzami Samiun. Kehidupan dalam Pandangan al- Qur’an. Jakarta:
Gema Insani, 2006.
al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. Tafsir al-Qur’an al-Aisar. Jakarta: Darus
Sunnah, 2015.
Katsir, Ibn. al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Jakarta: Pustaka Azzam, 2013.
Keraf, Sonny A. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2010.
al-Mahalli, Jalaluddin dan Jalaluddin al-Suyuthi. Tafsir Jalalain. Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2009.
Maulana, M Luthfi. “Manusia dan Kerusakan Lingkungan dalam al-Qur’an:
Studi Kritis Pemikiran Mufassir Indonesia (1967-2014).” Dalam
Skripsi SI Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2016.
Maisaroh, Tatik. “Akhlaq Terhadap Lingkungan Hidup Dalam al
Qur’an (Studi Tafsir al-Misbah).” Dalam Skripsi SI UIN Raden
Intan Lampung, 2017.
Machmud, Syahrul. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Jogjakarta:
Graha Ilmu, 2012.
Mahmud, Ali Abdul Halim. Akhlaq Mulia. Jakarta: Gema Insani Press,
2004.
Maliki. “Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Pemikirannya.” el-Umdah,
vol. 1, no. 1 (2018).
Mardan, Abd Muin Salim dan Achmad Abu Bakar. Metodologi Penelitian
Tafsir Maudu’i. Jogjakarta: Pustaka al-Zikra, 2017.
68

Muhammad, Abu Ja’far. Tafsir al-Thabari. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.


Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab Indonesia.
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi dan
Karya Ilmiah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Nata, Abuddin. Akhlaq Tasawuf dan Karakter Mulia Jakarta: Rajawali Pers,
2015.
al Qaththan, Manna. Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Pustaka al
Kautsar, 2005.
al-Qur’ân al-Karȋm

al Qurtubhi. Tafsir al-Qurtubhi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.


R.A. Haqqi, Abdurrahman dan Mohammad Nabil Munawwar. Tafsir
Zanjabil. Jakarata: Qisthi Press, 2015.
Sani, Ridw’an Abdullah. Sains Berbasis Al-Qur’an. Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2015.
Salam, Burhanuddin. Etika Individual. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.
Saryono. “Konsep Fitrah dalam Persfektif Islam.” Studi Islam vol. 4, no. 2
(Desember 2016).
Sirajuddin Iqbal, Mashruri dan Fudlali. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung:
Percetakan Angkasa, 2009.
Sofyan, Muhammad. Tafsir wa al-Mufassirun. Medan: Perdana Publishing,
2015.
Sukidi. Teologi Inklusif Cak Nun. Jakarta: Kompas, 2001.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatai, kualitatif dan R dan D. Bandung:
Alfabeta, 2007.
Sudarmoko, Imam. “Keburukan dalam Persfektif al-Qur’an.” Dialogia, v.
12, no. 1 (Juni 2014): h. 24.
Shihab, Muhammad Quraish. Wawasanal-Qur’an. Bandung: Mizan
69

Pustaka, 2013.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah. Tangerang: Lentera Hati, 2000.
Tohir ‘Aruf, Moch. “Persfektif Ibn Katsir Tentang Eksistensi Adam.”
Disertasi Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2010.
Wardhana, Wisnu Arya. Dampak Pencemaran Lingkungan Yogyakarta:
Andi Offset, 2004.
Zuriah, Nuzul. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009.

Anda mungkin juga menyukai