Anda di halaman 1dari 249

CORAK PEMIKIRAN KALAM

SYEKH NAWAWI AL-BANTANI


Ilahiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah

Ibnu Hajar, MA.

i
CORAK PEMIKIRAN KALAM SYEKH NAWAWI AL-BANTANI
Ilahiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah

Penulis : Ibnu Hajar, MA.


Editor : Imam Zaki Fuad
Desain Sampul : Zahrul Athriah
Layout : Numay

ISBN: 978-602-6747-59-4

Penerbit
Cinta Buku Media

Redaksi:
Alamat : Jl. Musyawarah, Komplek Pratama A1 No.8
Kp. Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan
Hotline CBMedia 0858 1413 1928
e_mail: cintabuku_media@yahoo.com

Cetakan: Ke-1 Maret 2018

All rights reserverd


Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.

ii
Pedoman Transliterasi

1. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf
Latin dapat dilihat pada halaman berikut:
Huruf Huruf Huruf Huruf
Keterangan Keterangan
Arab Latin Arab Latin
tidak de dengan garis di
‫ا‬ dilambangkan
‫ض‬ d
bawah
te dengan garis di
‫ب‬ b be ‫ط‬ t
bawah
zet dengan garis di
‫ت‬ t te ‫ظ‬ z
bawah
koma terbalik di
‫ث‬ ts te dan es ‫ع‬ ‘
atas hadap kanan
‫ج‬ j je ‫غ‬ gh ge dan ha
ha dengan garis
‫ح‬ h
di bawah
‫ف‬ f ef

‫خ‬ kh ka dan ha ‫ق‬ q ki

‫د‬ d de ‫ك‬ k ka

‫ذ‬ dz de dan zet ‫ل‬ l el

‫ر‬ r er ‫م‬ m em

‫ز‬ z zet ‫ن‬ n en

‫س‬ s es ‫و‬ w we

‫ش‬ sy es dan ye ‫هـ‬ h ha


es dengan garis
‫ص‬ s
di bawah
‫ء‬ ` apostrof

‫ي‬ y ye

iii
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahsa Indonesia,
terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau
diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
َ_____ a fathah

ِ_____ i kasrah

ُ_____ u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah


sebagai sebrikut :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫____ ي‬
َ ai a dan i

‫___ َ_ و‬ au a dan u

3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam
bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ـ ـَـا‬ â a dan topi di atas

‫ـ ـِـي‬ î i dan topi di atas

‫ـ ـُـو‬ û u dan topi di atas

4. Kata Sandang
Kata sandang, yaitu dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu ‫ال‬ dialihaksarakan menjadi huruf /al/, baik

iv
diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-
rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.

5. Syaddah (tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda ( ‫ـ ــ‬ ) dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf
yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika
huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata
‫الش ـ‬ tidak ditulis asy-syams melainkan al-syams, demikian
seterusnya.

6. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah
terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi /h/. hal yang sama juga berlaku jika ta
marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t). Namun, jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihbahasakan menjadi huruf /t/.
Contoh :
No Kata Arab Alih Aksara
1 ‫طريقة‬ tarîqah

2 ‫اجلامعة اإلسالمية‬ al-jâmi’ah al-islâmiyyah

3 ‫وحدة الوجود‬ wahdat al-wujûd

7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak
dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan

v
dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan yang
disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk
menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama
bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulsi dengan hruf kapital
tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya. Contoh : Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-
Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi. Beberapa ketentuan lain dalam
EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini,
misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian
seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh
yang berasal dari dunia Nusanatara sendiri, disarankan tidak
dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab.
Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-
Palimbânî, demikian seterusnya.

Cara Penulisan Kata


Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism), maupun
huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh
alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
ُ‫ُستَاذ‬ ْ ‫ب األ‬ َ ‫ذَ َه‬ dzahaba al-ustâdzu

ُ‫ص ِريَّة‬ْ ‫الع‬


َ ُ‫احلََرَكة‬ al-harakah al-‘asriyyah
ِ
ُ‫يـُ َؤثُرُك ُم للا‬ yu’atstsirukum Allâh

‫الصالِح‬ ِ
َ ‫َم ْوالَ ََن َملك‬ Maulânâ Malik al-Sâlih

‫اآلَ ََيت ال َك ْونِيَّة‬ al-‘âyât al-kauniyyah

vi
Abstrak

Tesis ini mengkaji tentang pemikiran kalam seorang tokoh


ulama masyhur asal Nusantara yaitu Syekh Nawawi al-Bantani
tentang tiga tema besar yang menjadi ruang lingkup kalam, yaitu
ilâhiyyat (ketuhanan), nubuwwah (kenabian), dan sam’iyyah (alam
ghaib). Syekh Nawawi al-Bantani merupakan sosok ulama
Nusantara yang sangat produktif dalam hal menulis. Hasil dari
produktifitasnya dalam menulis, menjadi kekayaan dalam khazanah
ilmu pengetahuan Islam, khususnya dalam bidang kalam. Dari
sekian banyak karyanya, nampaknya agak sulit memposisikan Syekh
Nawawi sebagai ahli dalam salah satu disiplin ilmu terhentu. Meski
demikian, yang sangat menarik adalah, pola pemikirannya yang
bermula beranjak dari dunia pesantren sampai ke Mesir, ternyata
sangat berkontribusi dan berpengaruh besar terhadap eksistensi
pemikiran Islam tradisional di Indonesia.
Selama ini telah banyak yang mengkaji pemikiran Syekh
Nawawi dalam berbagai aspek, termasuk kalam, akan tetapi belum
ada yang mencoba berusaha menghimpun pemikiran kalamnya
secara komprehensif tentang tiga tema besar tersebut di atas yang
akan menjadi fokus kajian ini. Untuk itu, penelitian ini ingin
mencoba mengkaji kembali, untuk mengetahui lebih jelas dan rinci
tentang corak pemikiran kalamnya yang lebih konprehensif dan
objektif. Dalam penelitian ini, yang digunakan adalah metode
deskriptif analisis, dengan pendekatan hermeneutik objektif yang
bertujuan untuk mencoba memahami teks-teks dari karya beliau
sesuai yang dimaksudya. Dari data-data sumber primer dan sekunder
yang ditemukan di dalam karya-karya beliau, secara garis besar,
Syekh Nawawi Al-Bantani masih berbicara dalam ruang lingkup
tema-tema pemikiran kalam yang bernuansa klasik, tepatnya yang
bercorak tradisional dengan paham Asy’ariyyah dan Mâturîdiyyah.
sebagai mazhab kalam yang secara mainstream dianut oleh umat
Islam di Indonesia.

vii
viii
Kata Pengantar

‫ سيدَن‬،‫ الصالة والسالم على أشرف األنبياء واملرسلني‬،‫احل د هلل رب العاملني‬


‫ وأشهد أن‬،‫ أشهد أن آل إله إال للا‬،‫وموالَن حم د وعلى آله وصحبه أمجعني‬
: ‫ أما بعد‬،‫حم دا عبده ورسوله املبعوث رمحة للعاملني‬
Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah
SWT, atas segala karunia dan nikmat-Nya, sehingga tesis yang
berjudul “Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani
(ilâhiyyah, nubuwwah, dan sam’iyyah)” ini dapat diselesaikan.
Shalawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada sayyid al-
Anbiyâ wa al-Mursalîn Nabi besar Muhammad SAW, beserta para
keluarga, dan sahabatnya.
Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Magister Agama (M.A). Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan
menghaturkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada :
1. Ayahanda Drs. H. Asmuni Al-Khaitami, NK yang selalu
menjadi inspirasi dalam hidup dan juga penyemangat serta
motivasi dalam hal prestasi akademik. Juga kepada ibunda
Aam Amanah, yang selalu mendoakan, menginsprirasi, dan
menyemangatkan saya dalam menjalani kehidupan.
2. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Dede
Rosyada, M.A, dan semua Civitas akademika.
3. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A, selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Atiyatul Ulya, M.A, selaku Ketua Program Magister
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

ix
5. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, M.A selaku Dosen
Pembimbing I dalam penulisan tesis ini, yang sudah
memberikan masukan, arahan, serta bimbingannya di tengah-
tengah kesibukan yang begitu padat.
6. Dr. Sri Mulyati, M.A selaku Dosen Pembimbing II dalam
penulisan tesis ini, yang begitu semangat dalam membimbing,
mengarahkan, serta memberi masukan di saat kesibukan yang
begitu padat.
7. Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, M.A selaku pembimbing dalam
penulisan proposal tesis ini, yang telah banyak sekali
memberikan arahan dan masukannya.
8. Bapak Maulana, M.A selaku Sekretaris Program Magister
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Bapak Toto Tohari, S.Th.I, yang selalu membantu dalam
segala kebutuhan dan keperluan akademik, serta seluruh
civitas akademika Fakultas Ushuluddin Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah banyak membantu.
10. Seluruh adik-adik saya, Nurul Islam, S.Pd.I, Ikramullah, Dewi
Putri Syarifah, Said Agil Rahman, Muhammad Fadhlan
Haramain (Alm), serta Anisa Amalia yang selalu menjadi
penyemangat dan penghibur ketika sedang patah semangat
dalam segala hal.
11. Seluruh rekan-rekan S2 Program Magister Fakultas
Ushuluddin, khususnya Prodi Filsafat Agama.
12. Kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.

Dengan keterbatasan pengalaman, ilmu maupun pustaka yang


ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak
kekurangan dan pengembangan lanjut agar benar-benar bermanfaat.
Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar

x
tesis ini lebih sempurna serta sebagai masukan bagi penulis untuk
penelitian dan penulisan karya ilmiah di masa yang akan datang.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah selalu melimpahkan
taufiq dan keberkahan dalam setiap langkah dan usaha. Amin.

Ciputat, Januari 2018

Ibnu Hajar

xi
xii
Daftar Isi

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................. iii


ABSTRAK .................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................... ix
DAFTAR ISI .............................................................................. xiii

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Identifikasi Masalah.......................................................... 7
C. Batasan dan Rumusan Masalah......................................... 13
D. Tujuan Penelitian .............................................................. 13
E. Manfaat Penelitian ........................................................... 13
F. Tinjauan Pustaka............................................................... 13
G. Kerangka Teori ................................................................. 15
H. Metodologi Penelitian....................................................... 20
I. Sistematika Penulisan ....................................................... 22

BAB II
Syekh Nawawi al-Bantani
A. Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani ................................. 25
B. Latar Belakang Pemikiran dan Keilmuan ......................... 34
C. Karya-karyanya ................................................................. 38

BAB III
Teori Corak Pemikiran dalam Kalam
A. Corak Kalam dan Klasifikasinya
1. Corak Kalam Rasional ...................................................... 49
2. Corak Kalam Tradisional .................................................. 52
3. Corak Kalam Modern........................................................ 59

xiii
B. Identifikasi Corak Kalam Syekh Nawawi ........................ 63
1. Posisi Akal dan Wahyu ..................................................... 63
2. Konsep Iman ..................................................................... 66
3. Sifat-sifat Tuhan ............................................................... 75
4. Perbuatan Manusia............................................................ 81
5. Janji dan Ancaman Tuhan ................................................. 88
6. Ayat-ayat Antroposentris dan Mutasyâbihât .................... 94

BAB IV
Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah
A. Pengertian Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah ........... 105
1. Ilâhiyyah dan Ruang Lingkupnya ..................................... 105
2. Nubuwwah dan Ruang Lingkupnya .................................. 106
3. Sam’iyyah dan Ruang Lingkupnya ................................... 107
B. Pandangan Mazhab Kalam ................................................ 108
1. Mu’tazilah......................................................................... 108
a. Doktrin Usûl Al-Khamsah dan Relevansinya
dengan Masalah ................................................................ 113
b. Kesimpulan ...................................................................... 118
2. Asy’ariyyah ....................................................................... 119
a. Doktrin Umum Tentang Masalah ..................................... 114
b. Kesimpulan ...................................................................... 132
3. Mâturîdiyyah .................................................................... 133
a. Doktrin Umum Tentang Masalah ..................................... 140
b. Kesimpulan ...................................................................... 145

BAB V
Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani
A. Ilâhiyyah (Ketuhanan) ......................................................... 147
1. Wahdâniyyah (Keesaan Tuhan) ........................................ 151
2. Kuasa dan Kehendak Tuhan.............................................. 167
3. Konsep Kalam Tuhan........................................................ 176

xiv
4. Catatan Tentang Ilâhiyyah................................................ 182
B. Nubuwwah (Kenabian) ........................................................ 183
1. Diskursus Nabi dan Rasul ................................................ 183
2. Konsep Mukjizat dan Syafa’at.......................................... 190
3. ‘Ismat Al-Anbiyâ’ (Terjaganya Para Nabi)....................... 198
4. Catatan Tentang Nubuwwah ............................................ 203
C. Sam’iyyah (Alam Ghaib)..................................................... 204
1. Fakta Hari Kiamat ............................................................ 205
2. Melihat Tuhan di Akhirat ................................................. 209
3. Status Surga dan Neraka ................................................... 213
4. Catatan Tentang Sam’iyyah ............................................. 222

BAB VI
Penutup
A. Kesimpulan ...................................................................... 223
B. Saran ................................................................................. 224

Daftar Pustaka ........................................................................... 225

xv
xvi
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah


Di masa klasik kemunculan aliran kalam adalah sebagai
bentuk reaksi atas persoalan agama, yang masing-masing dari
mereka yang bersentuhan dengan masalah kalam mencoba
merujuknya kepada al-Qur’ân yang merupakan pedoman yang dapat
ditafsirkan. Al-Qur’ân tidak hanya dibaca serta mendapa-tkan
pahala bagi yang membacanya, melainkan juga sebagai pedoman
hidup dan warisan dari Rasul Allâh SAW pasca wafatnya beliau
untuk diinterpretasikan sesuai dengan prinsip-prinsip atau metode
yang benar, karena al-Qur’ân memang merupakan petunjuk
kebenaran.1
Perlahan mereka mencoba melakukan penafsiran terhadap al-
Qur’ân dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Tidak seperti
kaum muslimin kurun pertama yang tidak bersentuhan dengan
filsafat seperti yang dihasilkan oleh bangsa Yunani, sebab mereka
telah mendapatkan di dalam al-Qur’ân hal-hal yang wajib mereka
ketahui tentang Allah sebagai pencipta alam dan manusia. Padahal
para filosof Yunani kuno dan juga bangsa lainnya mengalami
kesulitan dalam memecahkan hal-hal tersebut, sehingga mereka
yang tergolong menjadi ahl al- fatrah2 berusaha mencari kebenaran

1
Abû Hâmid al-Ghazâlî, Qânûn Al-Ta’wîl, dihimpun dalam Majmû’ah
Rasâ’il Imâm al-Ghazâlî, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2013), h. 121-123.
2
Secara bahasa fatrah berarti terputus atau lemah. Adapun menurut istilah,
fatrah adalah suatu zaman diantara dua Rasul dari para Rasul Allah SWT. Ahl Al-
fatrah adalah orang-orang yang hidup di zaman fatrah yakni hidup di antara dua
Rasul. Rasul yang pertama dakwahnya tidak sampai kepada mereka (yakni
dakwahnya tidak sampai ke zaman hidup mereka), dan mereka belum menemui
Rasul yang kedua. Dalam keterangan lain, Ahl al- Fatrah juga adalah orang-orang

1
dengan jalan berfilsafat, tidak dengan kitab suci yang menjadi
sumber kebenaran umat Islam dikarenakan tidak adanya kitab suci
yang diturunkan sebagai penuntun kebenaran seperti yang diyakini
umat Islam pada umumnya.3 Pada fase selanjutnya, kemunculan
beberapa aliran kalam terus menggerakkan umat Islam untuk
mengkajinya. Hal ini menandakan bahwa umat Islam telah berusaha
keluar dari kemelut dogma serta terbuka pada disiplin ilmu
pengetahuan umumnya dan ilmu agama khususnya. Seperti yang
telah disebutkan di atas, al-Qur’ân tidak hanya sebagai sumber
kebenaran yang telah diwariskan Rasûl Allâh SAW, melainkan juga
sebagai bentuk sumber dari seluruh ilmu pengetahuan yang beragam
dan tidak pernah habis-habisnya untuk diinterpretasikan dalam
konteks apapun.
Dalam kajian teologi, aliran-aliran dalam kalam masing-
masing berusaha untuk menguatkan arumen-argumen mereka
melalui al-Qur’ân dengan tafsiran yang beragam. Sebetulnya sumber
argumentasi mereka dibangun dengan sumber yang sama, hanya saja
interpretasi masing-masing menimbulkan konklusi yang berbeda,
dan yang lebih ekstrem bisa saling mengkafirkan hanya karena
perbedaan tersebut. Salah satu topik yang sangat menarik
diperdebatkan di kalangan para teolog Muslim adalah masalah
ilâhiyyah (ketuhanan), seperti kekuasaan Tuhan terhadap makhluk-
Nya. Sampai manakah batas kuasa Tuhan itu? Apakah kekuasaan
Tuhan itu mutlak sampai pada hal-hal yang bersifat partikular
terhadap makhluknya? Tidak hanya sampai di situ saja, bahkan
seiring berjalannya masa, pembahasan kalam semakin berkembang

yang tidak ada di zaman Rasul atau tidak ada Rasul yang diutus Allah dan kitab
suci yang diturunkan kepada mereka. Mereka adalah golongan orang-orang yang
selamat, meskipun mereka para penyembah berhala, karena udzur mereka. Allah
ta’ala memberikan tempat-tempat khusus di surga, bukan surga karena amal
mereka. Karena, tidak ada amal sama sekali bagi mereka. (Lihat Kifâyat al-‘awâm,
karya al-Fudâlî).
3
M. Yusuf Musa, Al-Qur’an dan Filsafat (Penuntun Mempelajari Filsafat
Islam), (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1991), h. 6.

2 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


dan meluas sampai kepada hal yang berkaitan tentang nubuwwah
(kenabian), dan sam’iyyah (alam ghaib).4 Pergulatan wacana
teologis dari masa klasik yang sangat sengit, faktanya berpengaruh
besar terhadap perkembangan teologis di masa modern saat ini. 5
Perkembangan corak pemikiran keagamaan di Indonesia
menunjukkan eksistensinya dan semakin menguat keterikatannya
kepada pikiran-pikiran Imâm Syâfi’î, Abû al-Hasan al-Asy’arî, dan
Imâm Juneidî al-Baghdâdî.
Pemikiran ketiga Imam tersebut telah mapan di Indonesia
sejak kurang lebih abad ke-12 dan tidak mudah goyah.6 Dengan kata
lain, ketradisionalan mereka tidaklah karena terlalu banyak elemen
non-Islam (baik yang berasal dari paham animisme maupun Hindu
Budhisme), akan tetapi karena keterikatan mereka terhadap ulama
Islam yang berpengaruh di seluruh dunia Islam. Pada akhir abd ke-
19, muncul beberapa ulama kelahiran Indonesia yang diakui
ketinggian ilmunya di Timur Tengah. Mereka menjadi pengajar
tetap di Masjid Makkah, dan salah satunya adalah Syekh Nawawi

4
Menurut Abed Al-Jabiri, pembahasan kalam sebelum masa Wâsil bin
‘Atha sebagai penggagas paham Mu’tazilah, seperti tokoh Ghilân al-Dimasyqî dan
Ma’bad al-Juhânî adalah berkisar pada masalah keadilan. Sementara pada masa
Wâsil bin ‘Athâ dan murid-muridnya berkisar pada masalah “keesaan Tuhan”. Hal
itu terjadi disebabkan mereka harus melakukan bantahan terhadap aliran “dualism”
dan “politeisme” serta orang-orang yang menyerang Islam dari luar, seperti
penganut agama “al-milal wa al-nihal”, di mana mereka berbicara tentang Islam
dengan kebebasan penuh. Peristiwa itu terjadi pada masa akhir pemerintahan
Umayyah dan awal pemerintahan ‘Abbâsiyyah. (Muhammad Abed Al-Jabiri, Nalar
Filsafat dan Teologi Islam, Terj. Aksin Wijaya, Yogyakarta : IRCiSoD, 2003, h. 27-
28).
5
Pada dasarnya para teolog modern tidak sepenuhnya mengemukakan hal
yang baru, melainkan mereka menggali dan mengkaji kembali warisan intelektual
para teolog klasik yang kemudian disesuaikan oleh para teolog modern dengan
konteks pada masa mereka. (Lihat Nurcholish Madjid, Aktualisasi Ahlussunnah
Wal Jama’ah Islam Menatap Masa Depan, yang dikutip dalam buku Islam
Nusantara Dari Ushul Fikih Hingga Paham Kebangsaan, h. 120).
6
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan
Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Cet ke-9 (Jakarta : LP3ES, 2015), 69.

Pendahuluan 3
al-Bantani yang latar belakang keilmuannya adalah beranjak dari
dunia pesantren. Pada umumnya di Indonesia, para kyai dibesarkan
dan dididik dalam lingkungan pesantren yang secara keras
memegang teguh paham Islam tradisional. Oleh karena itu, hampir
semua kyai menjadi pembela yang tangguh dalam paham tersebut.
Ketegasan mereka dalam memilih paham Islam tradisonal ini
secara jelas dapat dibuktikan dari kitab-kitab yang diajarkan di
pesantren, yang selain berisi berbagai cabang pengetahuan bahasa
Arab, juga mengutamakan ajaran-ajaran dan pendekatan tentang
hukum Islam yang dikembangkan oleh Imâm Syâfi’î dan pengikut-
pengikutnya.7Bagi masyarakat Indonesia khususnya kalangan
pesantren, dari sekian banyak kajian kitab-kitab berbahasa Arab,
hampir semua didominasi oleh karya seorang ulama besar asal
Tanara Banten, yaitu Syekh Nawawi al-Bantani. Beliau adalah salah
satu ulama yang punya kontribusi besar terhadap eksistensi
pemikiran Islam tradisional di Indonesia.
Beliau juga merupakan ulama asal Indonesia yang pernah
menjadi imam besar di Masjid al-Haram, Makkah, Arab Saudi.
Beliau juga terkenal sebagai ulama yang paling produktif dan
melahirkan banyak kitab.8 Menurut para sejarawan, kitab-kitab
karangan beliau berjumlah ratusan buah. Karya-karya beliau
tersebut tersebar di pesantren-pesantren di Indonesia, dan masih
tetap menjadi rujukan hingga kini.9Selain dikenal sebagai penulis
yang produktif dalam berbagai disiplin ilmu, Syekh Nawawi al-
Bantani juga terkenal sebagai guru sejati. Beliau memiliki banyak
murid. Murid-muridnya tidak hanya warga lokal, tapi juga berasal

7
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan
Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, h. 229.
8
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Yogyakarta
: Gading Publishing, 2012), h. 106.
9
Rohimudin Nawawi al-Bantani, Syekh Nawawi al-Bantani Ulama
Indonesia Yang Menjadi Imam Besar Masjidil Haram, Cet. 1, (Depok, Jawa Barat :
Melvana Media Indonesia 2017), h. 9.

4 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


dari penjuru dunia, di mana murid-muridnya tersebut kemudian hari
menjadi tokoh dan ulama besar. Murid-murid beliau yang berasal
dari tanah air di antaranya adalah KH. Kholil (Bangkalan,
Madura)10, KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama,
Jombang), KH. Ahmad Dahlan11 (Pendiri Muhammadiyah,
Yogyakarta), KH. Raden Asnawi12 (Kudus, Jawa Tengah), KH.
Tubagus Bakri13 (Purwakarta, Jawa Barat), dan yang lainnya.
Melihat begitu banyak karya serta murid-muridnya yang juga
menjadi ulama besar, tentu Syekh Nawawi al-Bantani memiliki

10
Muhammad Khalil lahir di Bangkalan, Madura, pada hari selasa, 11
Jumadil Akhir 1235 H/1819 M, dan meninggal pada tanggal 29 Ramadhan 1343
H/April 1925 M. Ketika Khalil lahir, ayahnya, H. Abdul Latif, seorang kyai di
Bangkalan, berdoa kepada Allah agara anaknya menjadi wali kenamaan seperti
Sunan Gunung Jati, salah seorang, dari Wali songo di Jawa Barat (Lihat
Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren, Jakarta : Kencana, 2006, h. 183).
11
KH. Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis, lahir di Yogyakarta, 1
Agustus 1868, meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun,
adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putra keempat dari tujuh
bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH. Abu Bakar adalah
seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada
masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah putri dari H. Ibrahim yang juga
menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu. (Lihat
Zainul Milal Bizawie, Materpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama
Santri (1830-1945), Ciputat : Pustaka Compas, 2016, h. 362).
12
Beliau lahir pada tahun 1281 H (1861 M) di kampung Damaran Kudus
dan wafat tanggal 25 Jumadil Akhir 1378 H/26 Desember 1959 M dalam usia 98
tahun. Ayahnya H. Abdullah Husni masih memilki jalur nasab dengan Sunan Kudus
(Raden Ja’far Shadiq), dan Syekh Mutamakkin Kajen-Pati. ( Zainul Milal Bizawie,
Materpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama Santri (1830-1945), h.
121).
13
Syekh Tubagus Ahmad Bakri atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Mama Sempur, lahir di Citeko, Plered, Purwakarta, Jawa Barat pada tahun
1259/1839 M, adalah salah satu sosok ulama tanah Pasundan keturunan Kesultanan
Banten. Mama merupakan istilah bahasa Sunda yang berasal dari kata Rama, yang
berarti Bapak. Di kalangan masyarakat Jawa Barat kata Mama biasanya disematkan
kepada Ajengan atau kyai sehingga sebutannya menjadi Mama Ajengan atau Mama
Kyai. Sementara Sempur adalah sebuah Desa yang berada di Kecamatan Plered,
Purwakarta, Jawa Barat. (Lihat Zainul Milal, Masterpiece Islam Nusantara, h.
187).

Pendahuluan 5
pengetahuan agama Islam yang sangat luas. Beliau adalah seorang
intelektual Islam yang selalu haus akan ilmu pengetahuan. Hal
tersebut bisa terlihat, selain dari betapa banyak guru-guru beliau,
juga dari perjalanan panjang beliau dalam menuntut ilmu, mulai dari
pesantren-pesantren di Indonesia hingga ke tanah Arab. Dalam
bidang kalam, ia telah mensyarah beberapa kitab karya ulama Ahl
al-Sunnah wa al-Jamâ’ah dari empat mazhab, kecuali mazhab
Hanbalî. Di antaranya, kitab Tîjân al-Darârî, syarah dari kitab
Risâlat Ibrâhîm al-Baijûrî al-Syâfi’î14, Kitab Nûr al-Zalâm ‘Alâ
‘Aqîdah al-‘Awwâm, Kitab Fath al-Majîd, syarah (penjelasan) dari
kitab al-Durr al-Farîd karya Imâm Nahrâwî, dan Kitab Qatr al-Gaits,
dan yang lainnya.
Syekh Nawawi al-Bantani dengan latar belakang keilmuan
yang mumpuni dari berbagai disiplin ilmu khususnya dalam ilmu
kalam, adalah sosok yang memilki kapasitas dan kapabilitas untuk
dijadikan rujukan dalam upaya merepresentasikan perkembangan
pemikiran kalam dalam keilmuan Islam di zaman modern. Di dunia
pesantren, karya-karya beliau sangat akrab dijumpai, bahkan terus
dikaji dalam berbagai macam disiplin keilmuan. Mulai dari ilmu,
fikih, ushul fikih, ilmu hadits, tafsir, tasawuf dan tentunya ilmu
kalam tak luput dari kajian di dunia pesantren.
Dalam dunia pesantren, Syekh Nawawi lebih dikenal dengan
kontribusinya dalam kajian fikih mazhab Syâfi’î, oleh karena itu
beliau dijuluki sebagai seorang mufti (ahli fatwa) mazhab Syâfi’î
dalam bidang fikih. Dari beberapa karyanya dalam bidang fikih 15

14
Beliau adalah salah satu ulama mesir terkemuka pada abad ke-19 dari
Mesir dan merupakan salah satu guru paling berpengaruh dalam membentuk corak
pemikiran dari Syekh Nawawi al-Bantani, khususnya dalam bidang kalam dan fikih
sebagaimana dijelaskan dalam kitab Syarh Tîjân al-Darârî, h. 3.
15
Karya-karya beliau dalam bidang fikih hampir setiap pesantren di
Indonesia tidak ada yang tidak mengkajinya. Bahkan karya-karya fikihnya selalu
menjadi rujukan dalam masalah-masalah fikih kontemporer, dan kontekstual,

6 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


antara lain, kitab Qût al-Habîb al-Gharîb Tausyîh ‘alâ Ibn Qâsim al-
Ghazî (syarah dari kitab fath al-Qarîb al-Mujîb), kitab Nihâyat al-
Zain (syarah dari kitab Qurrat al-‘ain), kitab Sullam al-Taufîq, kitab
al-Tsimâr al-Yâni’ah Syarah dari kitab al-Riyâd al-Badî’ah, dan
yang lainnya. Sedangkan dalam kajian kalam hanya kurang lebih
beberapa karya saja yang beliau tulis, dan hanya sedikit yang
dicetak dan dikaji di Indonesia, tidak seperti karyanya dalam bidang
fikih dan tasawuf yang lebih banyak ditulisnya. Untuk itu,
indentifikasi lebih lanjut dan mendalam terhadap pemikiran kalam
Syekh Nawawi dirasa masih sangat penting untuk mengetahui
secara komprehensif tentang doktrin pemikirannya yang sangat
berpengaruh di Indonesia, khususnya di Kalangan pesantren.
Terlebih juga karena beliau adalah salah satu ulama yang sangat
banyak dikaji dan diminati karya-karyanya di Indonesia.

B. Identifikasi Masalah
Ilmu Kalam atau biasa disebut kalam saja, berfungsi sebagai
rasionalisasi Akidah Islam. Dengan kata lain, Kalam merupakan
upaya pencarian dan perumusan argumen-argumen rasionalnya. Ilmu
Kalam lahir, pada awalnya, sebagai jawaban dan tantangan terhadap
sistem akidah di luar Islam yang menggunakan metode rasional
filosofis yang baik secara langsung atau pun tidak bermaksud
menjatuhkan rasionaltitas akidah Islam.
Dengan demikian, Ilmu Kalam pada masa itu masih
merupakan pengetahuan murni atau bukan merupakan pengetahuan
praktis.16Ilmu kalam juga lebih menekankan pada bagaimana doktrin
teologis Islam dihayati dan diaktualisasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Sedangkan Ilmu kalam klasik, seperti yang
dikembangkan oleh Mu’tazilah dan Asy’ariyyah, mendapat

meskipun gaya penulisan beliau masih sangat kental dengan tradisi penulisan
klasik.
16
Lihat Muhammad Abed Al-Jabiri, Nalar Filsafat dan Teologi Islam, h. 19.

Pendahuluan 7
bentuknya secara permanen, terutama setelah berkembangnya
filsafat Islam yang bercorak Aristotelian dan Platonian. Maka tidak
aneh jika banyak ditemukan unsur-unsur filosofis di dalamnya. Dan
pada perkembangannya ini, ilmu kalam menjadi disiplin ilmu
teoritis, pure sience. Corak kalam klasik memang sangat kental
dengan tradisi rasionalnya. Hal itu terlihat dari argumen-agrumen
rasional yang dipakai oleh Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan juga
Mâturîdiyyah.
Mu’tazilah yang sering disebut sebagai mazhab rasional,
sangat populer pada masa khalifah Al-Ma’mûn, karena dijadikan
sebagai mazhab resmi negara. Sama seperti Asy’ariyyah,
Mâturîdiyyah, bahkan Syî’ah, yang mereka masing-masing
mempunyai corak kalam yang berbeda lantaran metodologi yang
digunakan pun berbeda. Meskipun masalah yang menjadi objek
bahasan pada masa klasik tidak jauh dari doktrin dogma agama,
seperti ketuhanan, kenabian, dan sebagainya. Karakteristik kalam
Teoritis ini masih dapat ditemukan dalam Kalam Abduh, sebagai
kalam modern.
Namun akan ditemukan coraknya yang sangat lain pada
pemikiran kalam atau filsafat Iqbal. Corak Pemikiran Kalam Iqbal
telah dapat ditemukan sutau pijakan kalam yang berorientasi pada
wilayah praksis kehidupan manusia. Iqbal, dengan paradigma
filsafat Eksistensialismenya, sepertinya berusaha untuk menemukan
satu sosok mansusia muslim yang sempurna atau kaffah (Insân
Kâmil) yang berintikan ketauhidan. Pemikiran Kalam Iqbal senada
dengan perkembangan filsafat Barat modern ketika itu, yaitu
bersamaan dengan pemikiran filsafat humanisme 17 dan

17
Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada
prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.)
tujuan gerakan humanisme adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Gereja
dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Maka dalam
batasan-batasan tertentu, segala bentuk kekuatan dari luar yang membelenggu
kebebasan manusia harus segera dipatahkan. Kebebasan merupakan tema

8 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


eksistensialisme.18 Di masa modern saat ini, perkembangan
pemikiran kalam tidak hanya di kalangan masyarakat sangat
bervariasi. Kecenderungan gaya hidup dan sikap pun karena didasari
dengan keyakinan atau akidah yang dipahaminya atau sebaliknya,
karena tidak mampu memahami secara cermat dan kompleks. Oleh
karena itu kajian tema-tema kalam masih sangat relevan untuk terus
dikaji dan dikembangkan untuk bisa lebih mudah dicerna dan
dipahami oleh kalangan umum pada saat ini. 19Penelitian kalam pun

terpenting dari humanisme, tetapi bukan kebebasan yang absolut, atau kebebasan
yang hanya sebagai antitesis dari diterminisme abad pertengahan yang dilakukan
oleh orang-orang Gereja pada waktu itu, tapi bukan berarti Humanisme pada
waktu itu menentang tentang adanya kekuasaan Tuhan. Namun, mereka percaya
bahwa di balik kekuasaan Tuhan, masih banyak peluang bagi manusia untuk
menentukan jalan hidupnya, mengembangkan potensi dan memilih masa depannya
sendiri, tanpa terbelenggu oleh kodrat atau ketakutan terhadap murka Tuhan.
(Lihat Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1996, h. 24).
18
Eksistensialisme merupakan aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan
pada manusia, di mana manusia dipandang sebagai makhluk yang harus
bereksistensi. Mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat
dikatakan, pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret. Ada beberapa
ciri eksistensialisme, yaitu selalu melihat cara manusia berada, eksistensi diartikan
secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi. Manusia dipandang
sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman
yang konkret. Jean Paul Sartre mendefinisikan eksistensialsme sebagai suatu ajaran
yang menyebabkan hidup manusia menjadi mungkin. Selain itu juga, eksistensia
lisme merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi, bahwa setiap kebenaran dan
setiap tindakan itu mengandung di dalamnya sebuah lingkungan dan subjektivitas
manusia.(A. Setyo Wibowo, dan Majalah Driyarkara, Filsafat Eksistensialisme Jean
Paul Sartre, Yogyakarta : Kanisius Media, 2011, h. 15).
19
Amin Abdullah mengatakan, bahwa setidaknya ada dua alas an mengapa
teologi Islam/kalam perlu pengembangan atau kajian ulang. Pertama, teologi Islam
termasuk kajian pokok dan sentral dalam Islamic studies, sehingga ia mewarnai,
mengarahkan, dan dalam batas-batas tertentu “mendominasi” arah dan corak materi
serta metodologi keilmuan Islam lainnya, seperti fikih, tafsir, hadits, dakwah, dan
tarbiyah, bahkan merembet pada persoalan-persoalan yang terkait dengan
pemikiran ekonomi dan politik Islam. Kedua, dalam era global ini, umat Islam tidak
hanya bertemu dengan masyarakat yang beragam budaya, agama, dan tradisi, tetapi
juga harus menghadapi perkembangan iptek yang begitu cepat, seperti penemuan-
penemuan dalam bidang kedokteran, bioteknologi, rekayasa genetika, teknologi

Pendahuluan 9
seringkali menggunakan pemikiran tokoh-tokoh yang dianggap
kredibel dan pendapat-pendapatnya banyak diikuti oleh para teolog
setelahnya. Sebut saja seperti Imâm al-Haramain20, al-Ghazâlî21,
Fakhr al-Dîn al-Râzî22 dan yang lainnya yang mereka semua
tergolong sebagai teolog Muslim klasik. Adapun upaya menggali
pemikiran tokoh modern pada saat ini, dirasa lebih mendekati dan
relevan dengan corak pemikiran masyarakat saat ini untuk lebih
mudah dicerna dan dipahami masyarakat luas. Syekh Nawawi al-
Bantani adalah salah satu ulama asal Indonesia yang hidup pada
awal abad ke-19 Masehi yang sangat cermat dan dalam pengetahuan

informasi dan seterusnya yang semuanya tidak bisa dijelaskan lewat pola hubungan
Tuhan-alam-manusia seperti uraian teologi klasik. (Lihat dalam pengantar Khudori
Soleh, Teologi Islam Perspektif Al-Farabi dan Al-Ghazâlî, Malang : UIN Maliki
Press, 2013).
20
Nama lengkapnya adalah Abû al-Ma'âlî 'Abd al-Mâlik bin 'Abd Allâh bin
Yûsuf bin Muhammad bin 'Abd Allâh bin Hayyuwiyah al-Juwainî al-Naisaburî. Ia
dilahirkan di Naisabur tahun 419 H/1028 M, ia diberi gelar Imam al-Haramain,
karena pernah bermukim dan mengajar di dua kota suci, Makkah dan Madinah. Ia
cukup lama memimpin madrasah Nizhamiyyah di Naisabur, dan wafat di sana pada
tahun 478 H/1085 M. Ia adalah seorang teolog Asy’ariyyah, yang dalam bidangv
fikih, bermazhab Syafi’i. Di antara karya-karyanya dalam bidang kalam adalah Al-
Irsyâd ilâ Qawâti’ al-Adillah fî Ushûl al-I’tiqâd, Luma’ al-Adillah fî Qawâ’id
Aqâ’id ahl- al-Sunnah, dan Al-Syâmil fî Ushûl al-Dîn. (Lihat Abdul Aziz Dahlan,
Teologi Islam, Jakarta : Ushul Press, 2012, h. 91).
21
Nama lengkapnya adalah Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-
Ghazâlî al-Tûsî al-Syâfi'î. Dia lahir di Thus di Khurasan, dekat Masyhad sekarang,
pada tahun 450 H/1058 M. Dia dan saudaranya Ahmad, ditinggal yatim pada usia
dini. Pendidikannya dimulai di Thus. Lalu al-Ghazâlî [ergi ke Jurjân. Dan sesudah
satu periode lebih lanjut di Thus, dia pergi ke Naisabur, tempat dia menjadi murid
dari Imâm al-Haramain hingga meninggalnya yang terakhir pada tahun 478 H/1085
M. Dan al-Ghazâlî wafat pada tahun 505 H/1111 H di kampong halamannya di
Thus. (Lihat M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazâlî dan Kant, Filsafat Etika Islam,
Bandung : Mizan, 2002, h. 28).
22
Abû Abd Allâh Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain Fakhr al-Dîn al-Râzî
al-Bakrî al-Taimî al-Qurasyî al-Tabrastânî. Beliau di Ray, Iran. Pada tahun 543
H/1148 M. Beliau dijuluki sebagai Imâm al-Mutakallimîn Syekh al-Ma’qûl wa al-
Manqûl dari mazhab Asy’ariyyah, juga seorang ahli tafsir dan fikih mazhab Syâfi’î.
(Lihat ‘Anas Muhammad ‘Andân al-Syarqâwî, Tahqîq al-Kitâb Ta’sîs al-Taqdîs Li
al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî, Lebanon : Dar Nûr al-Sabâh, 2011, h. 9).

10 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


keislamannya, bahkan sangat produktif dalam menulis dan
mensyarah kitab-kitab ulama pendahulunya untuk menuangkan buah
pemikirannya tentang Islam. Dari sekian banyak ulama Nusantara,
seperti Ahmad Khatib Minangkabawi 23, Syekh Mahfudz Termas24,
Syekh Yasin al-Fadani25, Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah
al-Banjarî26, Syekh Ihsan Jampes Kediri27, dan masih banyak lagi28,

23
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah salah satu ulama terkenal
pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Beliau juga salah satu ulama asal
Nusantara yang menjadi imam, khatib, dan pengajar di Masjid al-Haram, Makkah,
sekaligus mufti mazhab Syâfi’î. Lahir pada tahun 1276 H/1860 M, nama
belakangnya merupakan penisbahan terhadap kota kelahirannya, yakni Minang.
Beliau lahir di Koto Tuo-Balai Gurah, IV Angkek Candung, Agam, Sumatera
Barat. (Lihat Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara Disertai Pemikiran dan
Pengaruh Mereka, Yogyakarta : DIVA Press, 2016, h. 161).
24
Muhammad Mahfudz bin Abdullah bin Abdul Mannan at-Tarmasi al-Jawi
al-Makki al-Syâfi'î atau lebih dikenal dengan Muhammad Mahfuz al-Termasi (lahir
di Tremas Jawa Timur, 31 Agustus 1868 – meninggal di Makkah, 20 Mei 1920
pada umur 51 tahun) adalah seorang ulama asal Indonesia di bidang fikih, ushul
fiqh, hadis dan qira'at dan juga pengajar di Masjid al-Haram. (Lihat Abdurrahman
Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Jakarta :
Kencana, 2006, h. 157).
25
Syekh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani lahir
di Makkah, Arab Saudi, 17 Juni 1915 dan meninggal di Makkah, 20 Juli 1990 pada
umur 75 tahun, adalah seorang ahli sanad hadist, ilmu falak, bahasa Arab, dan
pendiri madrasah Dar al-Ulûm al-Dîniyyah, Makkah. Ia merupakan putra ulama
terkenal, Syekh Muhammad Isa al-Fadani asal Padang, Sumatera Barat. (Zainul
Milal Masterpiece Islam Nusantara, h. 252).
26
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari lahir di Lok Gabang, 17 Maret 1710,
wafat di Dalam Pagar, 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun. Iadalah ulama
fikih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan
Banjar), Kalimantan Selatan. Dia hidup pada masa tahun 1122-1227 hijriyah. Dia
mendapat julukan anumerta Datu Kelampaian. (Lihat Rizem Aizid, Biografi Ulama
Nusantara, h. 113).
27
Ihsan Jampes atau terkenal dengan sebutan Syekh Ihsan Jampes atau
Syekh Ihsan bin Muhammad Dahlan al-Janfasi Al-Kadiri, lahir pada tahun 1901 di
Kampung Jampes, Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Jawa
Timur, meninggal 16 September 1952 pada umur 51 tahun adalah ulama besar asal
Kediri yang berpengaruh dalam penyebaran ajaran Islam di wilayah nusantara pada
abad ke-20. Ia adalah pendiri Pondok Pesantren Jampes di Dusun Jampes, Desa
Putih, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri. Di samping itu, ia juga terkenal
melalui karyanya Sirâj ath-Thâlibin, yang merupakan penjelasan (syarah) dari

Pendahuluan 11
Syekh Nawawi lah yang tergolong ulama yang paling produktif dan
mempunyai banyak kontribusi dalam khazanah ilmu pengetahuan
Islam, karena karya-karyanya yang begitu banyak.
Dalam karya beliau yang betemakan kalam, memang terlihat
tidak begitu eksplisit dan luas dalam menjelaskan tema-tema dalam
kalam. Dibandingkan karya-karya para teolog Muslim klasik seperti
al-Ghazâlî misalnya, yang mempunyai karya yang sangat banyak,
luas dan struktural. Dalam kajian kalam, setidaknya ada tiga tema
besar yang telah dibahas oleh para teolog muslim klasik, yang
menjadi ruang lingkup kajiannya, yaitu tema ilâhiyyah, nubuwwah,
dan sam’iyyah. Dalam karya-karya Syekh Nawawi tidak ditemukan
keterangaan dan penjelasan yang lengkap tentang tiga tema besar ini
dalam satu karya tulis, akan tetapi beliau beberapa kali
menyebutkan tentang ilâhiyyah, nubuwwah dan sam’iyyah 29 di
dalam karya-karyanya yang lain dan ini menjadi suatu hal yang
menarik untuk ditinjau lebih jauh. 30
Dikarenakan begitu banyak dan sangat luas persoalan kalam
tentang tiga tema besar tersebut di atas, untuk itu penulis akan
membatasi hanya pada mengkaji beberapa tema saja yang berkaitan
dengan tiga tema besar tersebut dalam karya-karya Syekh Nawawi
dan menuangkannya dalam sebuah kajian penelitian untuk
mberusaha menampilkan tentang corak pemikiran kalamnya secara

kitab Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazâlî. Selain dikenal sebagai ulama sufi,
ia juga dikenal ulama ahli fikih Syâfi’î dan lain-lainnya. (Zainul Milal, Mastrerpice
Islam Nusantara, h. 103).
28
Lihat Azyumardi Azra , Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulawan
Nusantara Abad XVII & XV111, edisi perennial, 2013, h. 329.
29
Diskursus ilâhiyyah, nubuwwah, dan sam’iyyah adalah trilogi dari kajian
besar dalam ilmu kalam. Mayoritas teolog Asy’ariyyah modern menyebutkan
trilogi itu dalam karya-karyanya sebagai ruang lingkup dari kajian kalam. Akan
tetapi perdebatan dan pembahasannya sudah tidak asing lagi, karena sudah menjadi
perdebatan klasik para teolog muslim.
30
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab al-Tsimâr al-Yâni’ah Syarh
Riyâd al-Badî’ah, (Jakarta : Dar al-Kutub al-Islâmiyyah, 2010), h, 10.

12 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


objektif, apakah masih bercorak kalam klasik dan dengan tema-tema
klasik, ataukah cenderung lebih meleburkan kalam kepada aspek
sosial konteks pada masanya.

C. Batasan dan Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas,
penelitian ini dibatasi dengan hanya terfokus pada kajian salah satu
tokoh ulama asal Indonesia dalam salah satu bidang disiplin ilmu
yang digelutinya, yaitu Syekh Nawawi al-Bantani dengan mengkaji
pemikiran kalamnya. Maka untuk itu, perlu disertakan rumusan
masalah sebagai berikut :
Bagaimanakah corak pemikiran kalam Syekh Nawawi al-
Bantani tentang beberapa tema ilâhiyyah (ketuhanan), nubuwwah
(kenabian), dan sam’iyyah (alam ghaib) ?

D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
Menampilkan corak pemikiran kalam Syekh Nawawi al-
Bantani tentang beberapa tema ilâhiyyah (ketuhanan), nubuwwah
(kenabian), dan sam’iyyah (alam ghaib).

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
Tergalinya corak pemikiran kalam Syekh Nawawi al-Bantani
tentang beberapa tema ilâhiyyah (ketuhanan), nubuwwah
(kenabian), dan, sam’iyyah (alam ghaib).

F. Tinjauan Pustaka
Syekh Nawawi al-Bantani tokoh intelektual asal Banten yang
kapasitas keilmuannya diakui bukan hanya di Nusantara, tapi juga
di Timur Tengah, telah banyak menginspirasi banyak akademisi
untuk melakukan kajian intensif terhadap pemikirannya.

Pendahuluan 13
Zamakhsyari Dhofier dalam disertasinya yang berjudul, Tradisi
Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, mengungkap
genealogi intelektual para kyai di Indonesia. Syekh Nawawi al-
Bantani adalah guru dari para ulama Indonesia yang saat itu belajar
di Makkah, dan karya-karyanya dikenal luas di dunia pesantren,
bahkan menjadi kajian rutin para santri. 31Beberapa tesis yang
mengkaji Syekh Nawawi yaitu, tulisan Muhammad Hanafi dari UIN
Sunan Kalijaga dengan judul : “Pemikiran kalam Syekh Nawawi al-
Bantani Dalam Kitab Qatr al-Ghaits”, tahun 2010, penelitian ini
hanya mengambil beberapa tema-tema khusus dalam kitab tersebut,
M. Afiful Khair tesis dengan judul : “Konsep Pendidikan Islam
Syekh Nawawi al-Bantani”, Program Pascasarjana IAIN Sunan
Ampel Surabaya, tahun 2008, Sri Mulyati menulis tesis dengan
judul : “Sufism in Indonesia: An Analysis of Nawawi al-Bantani’s
Salâlim al-Fudâlâ” M.A. Tesis, Montreal: McGill Univercity, tahun
1992, Usman Alwah menulis tesis dengan judul : Tafsir al-Munîr
Marah Labîd dan al-Manâr, Studi Tentang Metodologi Ayat
Ahkam.
Tidak terlalu banyak kajian tesis yang relevan dengan
penulisan ini yang khusus dalam kajian konsentrasi kalam. Tafsir
Marah Labîd karya Syekh Nawawi merupakan kitab yang paling
banyak dipilih oleh para peneliti sebagai objek kajian dan kajian
pustaka, baik dari sisi teologi maupun diperbandingkan dengan
tafsir yang lain akan tetapi dalam kajian kalam secara khusus hanya
sedikit penelitian yang mengkaji tentang hal itu. Padahal karyanya
begitu banyak dan dalam berbagai cabang ilmu, sehingga menjadi
penting untuk meneliti kitab-kitab tersebut khususnya dalam bidang
kalam.
Karya dalam bidang kalamnya seperti Fath al-Majîd, Nûr al-
Zalâm, Tîjân al-Darârî, Al-Nahjat al-Jayyidah, Qatr al-Gahits,

31
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan
Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indoensia, h. 132-133.

14 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Qâmi’ al-Tughyân, dan yang lainnya, yang merupakan sumber
utama dalam kajian kalam, agar pemikirannya dapat diketahui oleh
masyarakat. Perbedaan kajian ini juga dengan kajian-kajian
sebelumnya, yang menurut penulis, belum secara utuh
merepresentasikan pemikiran kalam Syekh Nawawi, adalah
penelitian ini akan berusaha mencoba untuk mengkaji tentang tema-
tema dalam tiga besar ruang lingkup pembahan kalam (ilâhiyyah,
nubuwwah dan sam’iyyah) yang akan penulis uraikan untuk
mendeskripsikan pemikiran kalam beliau lebih luas lagi.

G. Kerangka Teori
1. Ilmu Kalam
Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain
ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, al-Fiqh al-Akbar, dan teologi Islam
(Mushthafâ Abd. al-Raziq, 1959, 265).32 Disebut ilmu Usûl al-Dîn,
karena ilmu ini membahas pokok-pokok penting dalam agama.
Disebut ilmu tauhid karena ilmu ini membahas tentang keesaan
Allah SWT. Di dalamnya dikaji pula tentang asmâ’ (nama-nama)
dan af’âl (perbuatan-perbuatan) Allah yang wajib, mustahil, dan
jâ’iz, juga sifat yang wajib, mustahil, dan jâ’iz bagi rasul-Nya.33
Sedangkan nama al-fiqh al-akbar merupakan nama yang diberikan
oleh Abû Hanîfah34 (80-150 H). Menurut persepsinya , ajaran Islam

32
Mushthafâ ‘Abd. Al-Râziq, Tamhîd Li al-Târîkh Al-Falsafah Al-
Islâmiyyah, (Lajnah wa Al-Ta’lîf wa Al-Tarjamah wa Al-Nasyr, 1956), h. 265.
33
Muhammad ‘Abduh, Risâlah al-Tauhîd, Terj. Firdaus A.N, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1965), h. 25. Bandingkan dengan Abd. Muin, Ilmu Kalam, Jakarta :
1975.
34
Nama lengkapnya adalah Nu’mân bin Tsâbit bin Zuta bin Mahan al-
Taymî, lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah. Lahir di Kufah, Irak pada 80 H /
699 M, meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dari
Madzhab Yurisprudensi Islam Hanafi. Abu Hanifah juga merupakan seorang
Tabi'in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah
seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta
sahabat lainnya. Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali

Pendahuluan 15
yang berkaitan dengan aspek akidah diistilahkan dengan al-Fiqh al-
Akbar, dan yang berkaitan dengan aspek ibadah dan muamalah
diistilahkan dengan al-Fiqh al-Asghar.35 Teologi Islam merupakan
istilah lain dari ilmu kalam. Istilah ini berasal dari bahasa inggris,
theology. William L. Reese36 (I. 1921 M) mendefinisikannya dengan
discourse or reason concerning God (diskursus atau pemikiran
tentang Tuhan).37 Sedangkan ilmu ini dinamakan sebagai ilmu
kalam, para mutakallimin (ahli kalam) menjelaskan alasan
penamaan demikian sebagai berikut :
1. Masalah-masalah yang diperselisihkan adalah masalah kalam
Allah yang kita baca (al-Qur’ân), apakah dia makhluk yang
diciptakan, atau qadim, tidak diciptakan.
2. Substansi ilmu ini merupakan teori-teori (kalam), tak ada
diantaranya yang diwujudkan ke dalam kenyataan atau
diamalkan secara fisik.
3. Para ulama khalaf membahas ilmu ini tentang masalah-
masalah yang tidak dibahas oleh ulama salaf, seperti
penta’wilan ayat-ayat mutasyabihah, pembahasan tentang

menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian


(taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama
sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abû Dawud, Imam Bukhari.
(Lihat Ahmad Syurbashi, Biografi Empat Imam Mazhab, diterjemahkan dari judul
asli “al’A’immah al-Arba’ah”, oleh Abdul Majid Alimin, (Pajang Lawean Solo :
Media Insani Press, 2006), h. 29).
35
Abdul Rozak, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia,
2012), h. 20.
36William L. Reese, lahir 15 Februari 1921 M di Kota Jefferson, Missouri,
Amerika. Dia adalah anggota fakultas di Departemen Filsafat, Universitas Negeri
New York di Albany. Ia lahir di Jefferson City, Missouri. Reese memperoleh gelar
Ph.D dari University of Chicago pada tahun 1947. Dari tahun 1967 sampai 1999, ia
menjadi Profesor Filsafat di Universitas Negeri New York di Albany, dan sejak
tahun 1999 telah menjadi profesor emeritus dan profesor riset filsafat di universitas
tersebut. (Lihat Wikipedia.com).
37
William L. Resse, Dictionary of Philosophy and Religion , (Humanities
Press, Ltd, 1980), h. 268.

16 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


pengertian qada dan qadar tentang kalam, dan lain-lain,
karenanya dinamailah ilmu ini dengan ilmu kalam. 38

Masih berkaitan dengan hakikat ilmu kalam, Al-Fârâbî39(257-


337 H) mendefinisikan ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang
membahas tentang zat dan sifat-sifat Allah serta eksistensi semua
yang mumkin40, mulai dengan masalah hidup manusia di dunia,
sampai masalah hidupnya sesudah mati yang berlandaskan argumen
naqlî dan argumen ‘aqlî yang bersifat filosofis.41 Ibn Khaldûn42

38
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Tauhid/Kalam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra 2009), h. 2.
39
Abû Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh. Lahir
pada tahun 257 H/870 M di Wasij, Distrik Farab, Turkistan. Ayahnya seorang
jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Al-Farabi adalah
seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. Meskipun
kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf
Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di
berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi
telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam
bidang musik, Kitab al-Musiqa. Selain itu, ia juga dapat memainkan dan telah
menciptakan bebagai alat musik. Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua"
setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang
dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat. Dia adalah filosof Islam pertama
yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan
filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa
dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. (Lihat Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : Rajawali Press, 2009, h. 65).
40
Mumkin adalah segala sesuatu yang maujud (ada) di alam semesta selain
Allah, (Lihat Kifâyat al-‘Awâm, Karya Syekh al-Fudhâlî).
41
Mustafâ Abd. Raziq, Tamhîd Li al-Târîkh Al-Falsafah Al-Islâmiyah,
(Lajnah wa At-Ta’lif wa At-Tarjamah wa Al-Nasyr, 1956), h. 260-261.
42
Nama lengkapnya Abu Zayd 'Abd al-Rahmân ibn Muhammad ibn
Khaldûn al-Hadramî. Karyanya yang terkenal adalah Muqaddimah (Pendahuluan).
Tokoh yang lahir di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332 M, adalah
dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal al-Qur’ân sejak usia
dini. Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam,
karena pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh
telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790 M) dan David Ricardo
(1772-1823 M) mengemukakan teori-teori ekonominya. ( Lihat Ibn Khaldun,

Pendahuluan 17
(732-808 H) mendefinisikan ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang
mengandung argumentasi-argumentasi tentang akidah iman yang
diperkuat dalil-dalil rasional (‘aqlî).43
Ibrâhîm al-Baijûrî44dalam karyanya Tuhfat al-Murîd Syarh
Jauharat al-Tauhîd mendefinisikan ilmu kalam, sebagai ilmu yang
membicarakan tentang cara-cara menetapkan akidah-akidah agama
dengan mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik dalil-dalil
itu merupakan dalil naqlî (al-Qur’ân dan hadits), dalil ‘aqlî (akal),
ataupun dalil wijdânî (perasaan halus).45 Kemunculan beberapa
mazhab kalam dengan beserta corak pemikirannya yang beragam,
tentu saja berpengaruh terhadap pemikiran para cendikiawan
Muslim di masa modern ini, termasuk Syekh Nawawi al-Bantani
dengan integritas keilmuannya yang bisa dijadikan kajian untuk
mengetahui lebih dalam dan kritis tentang tiga tema besar dalam
kalam (ilâhiyyah, nubuwwah dan sam’iyyah) dengan merujuk
kepada beberapa mazhab kalam dan corak pemikirannya. Dalam

Mukaddimah, yang diterjemahkan oleh Ahmadie Thoha dalam biografi Ibn


Khaldun, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000, h. 12).
43
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia,
2012), h. 21.
44
Nama lengkapnya adalah Burhân al-dîn Ibrâhîm al-Baijûrî bin Syekh
Muhammad al-Jizawî bin Ahmad. Ia dilahirkan di desa Bajur, Provinsi Al-
Manufiyah Mesir, pada 1198 H atau 1783 M. Karena orang tuanya merupakan
seorang ulama yang alim dan shaleh, maka sejak kecil ia berada di kalangan orang
shaleh. Pada 1212 H, ia pergi ke Al-Azhar untuk menimba ilmu kepada para syekh.
Namun, pada 1213 H atau 1798 M Prancis menduduki Mesir, sehingga membuat ia
harus keluar dari Al-Azhar. Pasca keluar dari Al-Azhar, ia tinggal di Jizah selama
beberapa tahun. Setelah Prancis meninggalkan Mesir pada 1216 H atau 1801 M, ia
kembali ke Al-Azhar untuk menimba ilmu. Di antara guru-guru Al-Baijûrî
adalah pertama, Al-‘Allâmah Syekh Muhammad al-Amîr al-Kabîr al-Mâlikî. Beliau
merupakan seorang ulama terkenal di Mesir. Pada masa itu pula, seluruh ulama
mesir mengambil ijazah dan sanad darinya. Karena kelebihannya itu, Syekh al-
Bajûrî juga mendapat ijazah dari seluruh yang ada dalam kitab tsabatnya. (Lihat
Syekh ‘Alî Jum’ah Muhammad, Tahqîq al-Kitâb Tuhfat al-Murîd ‘alâ Jauharat al-
Tauhîd, li al-Imâm al-Baijûrî, Kairo Mesir : Dar al-Salâm, 2015, h. 9).
45
Ibrâhîm bin Muhammad al-Baijûrî, Tuhfah al-Murîd ‘alâ Jauharat al-
Tauhîd, (Kairo Mesir : Dar al-Salâm, 2015), h. 38.

18 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


tesis ini, yang digunakan adalah analisis dan kategorisasi aliran
kalam untuk melihat pemikiran kalam Syekh Nawawi al-Bantani
yang dibatasi dengan tiga tema besar tersebut di atas.

2. Studi Tokoh
Studi atau kajian tokoh 46 merupakan salah satu jenis
penelitian kualitatif. Tujuannya adalah untuk mencapai suatu
pemahaman tentang ketokohan seseorang individu dalam komunitas
tertentu, mengungkap pandangan, motivasi, sejarah hidup, dan
ambisinya selaku individu melalui pengakuannya. Sebenarnya
sebagai varian metode dan jenis penelitian kualitatif, studi tokoh
sangat baik untuk menggali pikiran dan pandangan seorang tokoh
dalam bidangnya. Oleh karena itu, mengingat pentingnya penelitian
tokoh dalam salah satu jenis penelitian, maka penelitian ini juga
harus memenuhi unsur-unsur penelitian ilmiah segingga
menghasilkan data dan hasil yang obyektif dan akurat. Tesis ini
akan menggunakan kajian tokoh atas pemikiran dan pandangan
kalam Syekh Nawawi al-Bantani untuk mengupas pemikiran
kalamnya tentang beberapa tema-tema besar dalam ilmu kalam.
Langkah konkrit untuk pengumpulan data atau dokumen dalam
memahami pemikiran kalamnya ialah dengan melihat dari karya-
karya ilmiah beliau khususnya di bidang teologi atau kalam.

46
Studi tokoh merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif yang
berkembang sejak era 1980’an. Tujuannya untuk mencapai suatu pemahaman
tentang ketokohan seseorang individu dalam komunitas tertentu dan dalam bidang
tertentu, mengungkap pandangan, motivasi, sejarah hidup, dan ambisinya selaku
individu melalui pengakuannya. Sebagai jenis penelitian kualitatif, studi tokoh juga
menggunakan metode sebagaimana lazimnya dalam penelitian kualitatif, yakni
wawancara, observasi, dokumentasi, dan catatan-catatan perjalanan hidup sang
tokoh. (Lihat Mudjia Raharjo, Jurnal Sekilas Tentang Studi Tokoh Dalam
Penelitian, 2010).

Pendahuluan 19
H. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan penulis adalah Library
Research (Penelitian Pustaka), yaitu mengumpulkan data-data yang
sesuai dan berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi
menjadi dua, yaitu sumber primer dan juga sumber skunder sebagai
berikut :
a. Sumber primer dalam penelitian ini adalah kitab-kitab karya
Syekh Nawawi al-Bantani yang bertemakan ilmu kalam,
seperti Fath al-Mazjîd, Nur al-Zalâm, Al-Nahjat Al-Jayyidah,
Tîjân al-Darârî, Qatr al-Gaits, Qâmi’ al-Tughyân, dan lainnya
yang tersebar luas di kalangan pesantren di Indonesia.
b. Sedangkan sumber sekundernya adalah karya-karya beliau
yang pada sub pembahasannya terdapat kajian kalam, serta
beberapa buku-buku lain yang berkitan dengan tema
pembahasan.

3. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan metode
deskriptif analisis kritis. Dengan begitu, penulis berharap bisa
meletakkan pemikiran Syekh Nawawi secara objektif dan
semestinya. Pertama upaya yang akan dilakukan penulis adalah
mendeskripsikan pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani terkait tema-
tema dalam kalam. Dalam tahapan ini, penulis akan merujuk kepada
beberapa karya Syekh Nawawi sendiri sebagai sumber primer
seperti Fath al-Majîd, Qatr al-Ghaits,, Tîjân al-Darârî dan Nûr al-
Zalâm dan Qâmi’ al-Tughyân.
Sementara kitab-kitab lainnya yang terdapat tulisan yang
berkenaan dengan tema pembahasan, akan penulis jadikan sebagai

20 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


sumber sekunder. Setelah mendeskripsikan data yang ada, penulis
akan mencoba menganalisisnya secara kritis. Upaya ini perlu penulis
lakukan, karena pemikiran Syekh Nawawi yang tertuang dalam
sejumlah karyanya tidak lepas dari konteks sosial di zamannya.
Langkah ini merupakan upaya mengaitkan teks dan konteks.
Tujuannya untuk mengetahui hal-hal yang mendasari pemikiran
Syekh Nawawi sehingga menghasilkan pembacaan yang objektif.

4. Pendekatan Penelitian
Untuk membedah atau menafsirkan pemikiran Syekh Nawawi
al-Bantani terkait masalah tema-tema dalam kalam, penulis akan
menggunakan pendekatan hermeneutik 47objektif yang
dikembangkan oleh tokoh-tokoh klasik khususnya Friedrick
Schleiermacher (1768-1834). Dalam model pendekatan hermeneutik
ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami
pengarangnya, sebab apa yang disebut teks menurut Schleiermacher
adalah ungkapan jiwa pengarangnya. 48 Dengan hemat kata,
pendekatan ini didasarkan kepada asumsi bahwa seorang tokoh

47
Hermeneutika merupakan satu kata yang mengarah kepada tehnik
menetapkan makna. Hermeneutika adalah alat-alat yang digunakan terhadap teks
dalam menganalisis dan memahami maksudnya serta menampakkan nilai yang
dikandungnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ia adalah cara kerja yang
harus ditempuh oleh siapa pun yang hendak memahami suatu teks, baik yang
terlihat nyata dari teksnya, maupun yang samar, bahkan yang tersembunyi akibat
perjalanan sejarah atau pengaruh ideologi dan kepercayan. (Lihat, Quraish Shihab,
Kaidah Tafsir, h. 401).
48
Schleiermacher melakukan ini dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan
linguistik (dari sisi bahasa), yaitu dengan cara analisis teks secara langsung. Dan
pendekatan psikologi yaitu mengarah pada unsur psikologis yang objektif sang
penggagas ( harus mengetahui psikologis sang penggagas teks ) mengandaikan
seorang penafsir atau pembacanya itu harus menyamakan posisinya dengan dengan
penggagasnya untuk mencapai makna yang obyektif, dengan pendekatan psikologis
menyatakan bahwa penafsiran dan pemahaman adalah mengalami kembali proses-
proses mental dari pengarang teks atau reexperiencing the mental prosesses of the
teks author. (Lihat Qiraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang : Lentera Hati, 2013,
h. 408).

Pendahuluan 21
berbuat atau berpikir pada dasarnya tidak dilepaskan dari pengaruh
dorongan dirinya sendiri dan dorongan dari luar dirinya. 49 Hal ini
juga sejalan dengan pandangan Komaruddin Hidayat yang
menjelaskan bahwa hermeneutik sebagai sebuah metode penafsiran
tidak hanya melihat teks dan kandungan makna literalnya.
Lebih dari itu, hermeneutik juga berupaya untuk menggali
makna dengan mempertimbangkan wilayah teks, wilayah
pengarang, wilayah pembaca yang melingkupi teks tersebut.50Kajian
studi tokoh juga penulis gunakan dalam kajian ini, bertujuan untuk
mencapai suatu pemahaman tentang ketokohan seseorang individu
dalam komunitas tertentu, mengungkap pandangan, pemikiran,
motivasi, sejarah hidup, dan ambisinya selaku individu melalui
pengakuannya. Sebagai varian metode dan jenis penelitian
kualitatif, studi tokoh sangat baik untuk menggali pikiran dan
pandangan seorang tokoh dalam bidangnya. Secara umum teknik
penulisan laporan hasil penelitian mengacu kepada buku Pedoman
Akademik Program Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidyatullah Jakarta Tahun 2012.

I. Sistematika Penulisan
Pembahasan tesis ini dibagi menjadi lima bab, masing-masing
terdiri dari beberapa sub bab.
Bab pertama adalah pendahuluan, bab ini merupakan
pembuka yang berisi sekilas informasi singkat tentang urgensi
kajian pemikiran, diskursus keilmuan kalam, metodologi penelitian,
sumber data, pendekatan penelitian, dan garis besar sistematika
pembahasannya. Bab kedua menjelaskan ketokohan Syekh Nawawi

49
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, (Ed.), Metodologi Penulisan Agama
Satu Pengantar; (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h. 73
50
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina,
1996), h. 25

22 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


al-Bantani yang meliputi biografi, latar belakang pemikiran, dan
karya-karyanya.
Bab ketiga menguraikan tentang corak pemikiran dalam
kalam, antara lain, corak kalam klasik yang rasional dan tradisional,
kalam modern. Dan diuraikan juga tentang identifikasi corak kalam
Syekh Nawawi al-Bantani.
Bab keempat menguraikan pengertian ilahiyyah, nubuwwah
dan sam’iyyah serta ruang lingkupnya, dan juga tentang pendapat
dari beberapa mazhab kalam seperti Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan
Mâturîdiyyah tentang tema-tema tersebut.
Bab kelima menguraikan pemikiran kalam Syekh Nawawi al-
Bantani tentang ilâhiyyah (ketuhanan) seperti keesaan Tuhan, kalam
Tuhan dan lainnya, nubuwwah (kenabian) seperti, mukjizat, syafa’at
dan yang lainnya, dan tentang sam’iyyah (alam ghaib) seperti, surga
nereka, hari kiamat, melihat Tuhan di akhirat, serta yang lainnya.
Bab keenam adalah penutup yang mencakup kesimpulan dari
setiap tema yang dikaji pada bab-bab sebelumnya, dan juga saran-
saran atas kajian penelitian ini.

Pendahuluan 23
24 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani
BAB II
Syekh Nawawi al-Bantani

A. Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani


Mata rantai utama yang cukup populer dan telah
menunjukkan memiliki kualitas internasiaonal dalam keilmuannya
adalah Syekh Nawawi al-Bantani. Dan di antara sekian banyak
ulama-ulama Nusantara, nama Syekh Nawawi al-Bantani adalah
yang paling populer bagi masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.
Betapa tidak, ialah salah satu ulama Nusantara yang produktif
menulis kitab-kitab dalam berbagai disiplin keilmuan. Di samping
kitab tafsirnya yang tereknal, dia menulis kitab dalam setiap disiplin
ilmu yang dipelajari di pesantren. Berbeda dengan pengarang
Indoensia sebelumnya, dia menulis karya-karyanya dalam bahasa
Arab.1
Ia pun memeperoleh bermacam-macam gelar, di antaranya;
“doctor ketuhanan” (yang diberikan oleh Snouck Hourgronje,
seorang orientalis barat), al-imâm wa al-fahm al-mudaqqiq (tokoh
dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam), al-sayyid al-
‘ulamâ al-hijâz (tokoh ulama Hijaz, yang dimaksud Hijaz adalah
Jazirah Arab atau Saudi Arabia sekarang), dan ulama Indonesia
memberikan gelar kepadanya sebagai “Bapak Kitab Kuning
Indonesia”.2 Syekh Nawawi al-Bantani lahir dengan nama asli Abû
‘Abd Al-Mu’ti Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi. Nama al-
Bantani di belakang namanya merupakan gelar yang diberikan
lantaran beliau lahir di Banten, yakni di Kampung Tanara, sebuah

1
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Yogyakarta
: Gading Publishing, 2012), h. 107.
2
Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara Disertai Pemikiran dan Pengaruh
Mereka, (Yogyakarta : DIVA Press, 2016), h. 143.

25
desa kecil di Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Provinsi
Banten (Sekarang di Kampung Pesisir, Desa Pedaleman, Kecamatan
Tanara, depan Masjid Jami’ Syekh Nawawî Bantani). 3 Di kalangan
ulama Nusantara ia dikenal dengan nama Syekh Nawawi al-Bantani,
semenatara keluarganya menyebutnya dengan sebutan Abû ‘Abd Al-
Mu’ti.4 Begitu panjang dan ragamnya nama maupun julukan yang
disematkan padanya, dalam ulasan ini penulis akan menggunakan
nama yang sudah lazim dan popular, yakni Syekh Nawawi al-
Bantani.
Syekh Nawawi al-Bantani lahir pada tahun 1230 H atau 1815
M (ada yang menyebut 1814 M), dan meninggal di Makkah pada 25
Syawal 1340/1897 M. Dari segi nasab, ia masih keturunan Maulana
Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Ia juga
merupakan keturunan ke-12 dari Sultan Banten. Nasabnya sampai
kepada Nabi Muhammad SAW melalui Imâm Ja’far al-Sâdiq, Imâm
Muhammad al-Bâqir, Imâm ‘Alî Zain al-‘Âbidîn, Sayyidina Husain,
Sayyidah Fâtimah al-Zahra.5
Bapaknya bernama KH. Umar bin Arabi, seorang penghulu
dan ulama di Tanara, Banten. Sedangkan ibunya adalah penduduk
asli Tanara bernama Jubaidah. Ia tertua dari empat saudara laki-laki,
yakni Ahmad Syihabuddin, Said, Tamim, Abdullah, dan dua saudara
perempuan; Syakila dan Syahriya. Syekh Nawawi al-Bantani
dibesarkan dalam tradisi kegamaan yang sangat kuat. Ia tergolong
anak yang sangat cerdas. Terbukti, ia sudah mampu menyerap setiap
pelajaran yang diberikan ayahnya di usianya yang baru menginjak
lima tahun. Ia selalu melontarkan pertanyaan-pernyataan kritis yang

3
Munir Amin Samsul, Sayyid Ulama Hijaz Biografi Syekh Nawawi al-
bantani (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2009), h. 1.
4
Asep Muhammad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam Al-Qur’an (Jakarta :
Teraju, 2004), h. 30.
5
Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara, Sanad dan Jejaring
Ulama-Santri (1830-1945), (Ciputat, Tagerang Selatan : Pustaka Compas 2016), h.
452.

26 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


membuat ayahnya kewalahan untuk menjawabnya. Maka, setelah
melihat potensi besar pada diri anaknya, ayahnya pun mengirimnya
ke berbagai pondok pesantren di Jawa pada usia delapan tahun.
setelah mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, ia kemudian
berguru kepada Kyai Sahal, Banten, dan kemudian mengaji kepada
Kyai Yusuf, Purwakarta. Dengan kecerdasannya itu, maka sebelum
genap berumur 15 tahun, ia sudah mengajar banyak orang, serta di
usia yang sama beliau mendapat kesempatan untuk pergi ke Makkah
untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus menimba ilmu di sana.
Di Makkah ia tinggal di lingkungan Syi’ib ‘Alî6, tempat yang
banyak orang setanah airnya menetap. Pemukiman ini terletak kira-
kira 500 meter dari Masjid al-Haram. Rumahnya bersebelahan
dengan rumah dua ulama besar Nusantara lainnya, yakni, Syekh
Arsyad dan Syekh Syukur ‘Alwân. Di Tanah Suci Makkah, ia juga
memanfaatkan waktunya untuk mempelajari beberapa bidang ilmu,
diantaranya adalah ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits,
tafsir dan ilmu fikih. Setelah tiga tahun belajar di Makkah ia
kembali ke daerahnya untuk membantu ayahnya mengajar para
santri. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan
berangkat kembali lagi ke Makkah sesuai dengan impiannya untuk
mukim dan menetap di sana.

6
Syi'ib Abî Tâlib atau Syi’ib ‘Alî adalah lembah di antara dua gunung Abû
Qubais dan Khandamah di Makkah. Sebelumnya, lembah ini merupakan milik ‘Abd
al-Muttalib. Pada tahun ke-7 Bi'tsah, Rasûl Allâh SAW, Bani Hâsyim dan kaum
Muslimin karena adanya gangguan dari kaum Musyrikin Makkah berlindung ke
Syi'ib dan selama 3 tahun di boikot secara ekonomi dan sosial. Imam Ali as dalam
surat yang ditujukan kepada Muawiyah menyebutkan adanya permusuhan yang
dilancarkan oleh kaum Quraisy dan pengepungan selama tiga tahun di Syi'ib Abû
Tâlib, sebuah lembah yang berada di sebelah timur Ka'bah, di samping Syi'ib Bani
‘Amar dan terletak setelah Mas'â. Karena terletak dekat dengan Ka'bah, Syi'ib ini
merupakan tempat yang paling strategis. Syi'ib Abî Tâlib merupakan tempat
kelahiran sebagian pembesar Bani Hasyim seperti Nabi Muhammad SAW dan
juga Fâtimah al-Zahra. Sekarang ini, yang masih ada hanya bagian dari Syi'ib Abî
Tâlib dengan nama Suq al-Lail dan tempat-tempat lain telah menjadi komplek
haram karena adanya perluasan.

Syekh Nawawi al-Bantani 27


Pertama kali ia mengikuti bimbingan Syekh Ahmad Khatib
Sambas7 (Mursyid Thariqat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah ), dan
Syekh Ahmad bin Zahid Solo Jawa Tengah, Syekh Abdul Ghani
Bima (Ulama asal Sumbawa NTB), Syekh Junaidi al-Batawi, Syekh
Mahmud bin Kinan al-Falimbani, Syekh Yusuf Sumbulaweni, Syekh
Ahmad al-Nahrawî, Syekh ‘Abd al-Hâmid Daghestani, Syekh
Muhammad bin Sulaimân Hasb Allâh al-Mâlikî, Syekh Zainuddin
Aceh, Syekh Syihabuddin, Syaikhah Fatimah binti Syekh
Abdussamad al-Falimbani, Syekh Yusuf bin Arsyad al-Banjari,
Syekh Abdussamad bin Abdul Rahman al-Falimbani, dan lain-lain.
Setelah itu belajar pada Sayyid Ahmad Dimyâtî, Sayyid Ahmad
Zainî Dahlân8 yang keduanya di Makkah. Sedang di Madinah, ia

7
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib Sambas bin Abdul Ghaffar al-
Sambasi. Sesuai namanya, ulama ini lahir di Sambas, tepatnya di Kampung Dagang
atau Kampung Asam, Sambas, Kalimantan Barat, pada tahun 1217 H/1802 M. Ia
berasal dari keluarga perantau dari Kampung Sange’. Beliau besar pada masa
kekuasaan Sultan Sambas pertama, yakni Raden Sulaiman yang bergelar
Muhammad Tsafiuddin. Pada masa tersebut, rakyat Sambas hidup sebagai petani
dan nelayan. (Lihat Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara Disertai Pemikiran dan
Pengaruh Mereka, h. 238).
8
Sayyid Ahmad bin Zainî Dahlan lahir di Makkah pada tahun 1232 H atau
bertepatan dengan tahun 1816 M, atau lebih dikenal dengan Sayyid Ahmad Zainî
Dahlan adalah salah satu sosok Ulama Tanah Suci. Dia lahir di Mekkah pada
1232 H/1816 M dengan silsilah nasab bersambung dengan keluarga suci Nabi
Muhammad melalui jalur Imâm Hasan, cucu Nabi Muhammad SAW. karena itu dia
dipanggil Sayyid. Gelar dan Nasab lengkapnya adalah berikut ini : “al-Imâm al-ajal
wa al-bahr al-akmal Farîd ‘ashrih wa awânih Syekh al-‘ilm wa Hâmil liwâ’ih wa
Hâfiz Hadîts al-Nabî Muhammad wa Kawâkib Samâ’ih Ka’bat al-Murîdîn Wa
Murabbî al-Sâlikîn al-Sayyid Ahmad bin Zainî Dahlan bin Ahmad Dahlan bin
‘Utsmân Dahlan bin Ni’mat allâh bin ‘Abd al-Rahmân bin Muhammad bin ‘Abd
allâh bin ‘Utsmân bin ‘Athâyâ bin Fâris bin Musthafâ bin Muhammad bin Ahmad
bin Zainî bin Qâdir bin ‘Abd alWahhâb bin Muhammad bin ‘Abdur Razzaaq bin
‘Ali bin Ahmad bin Ahmad (Mutsanna) bin Muhammad bin Zakariyyâ bin Yahya
bin Muhammad bin Abi ‘Abd allâh bin al-Hasan bin Sayyidinâ ‘Abd al-Qâdir al-
Jîlânî, Sulthân al-Awliyâ` bin Abî Shâlih Mûsa bin Janki Dausat al-Haq bin Yahya
al-Zâhid bin Muhammad bin Daud bin Mûsa al-Jûn bin ‘Abd Allâh al-Mahd bin al-
Hasan al-Mutsannâ bin al-Hasan as-Sibth bin Sayyidinâ al-Imâm ‘Alî dan
Sayyidatinâ Fâtimah, putri Rasûl Allâh. (Lihat Zainul Milal Bizawie, Masterpiece
Islam Nusantara, Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945), h. 264).

28 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


belajar pada Syekh Muhammad Khatîb al-Hanbalî. Kemudian pada
tahun 1860 M, ia mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram.
Salah satu kolega Syekh Nawawi adalah Syekh Husain bin Umar al-
Falimbani, pengarang kitab Fath al-Majîd ‘alâ Jauharah al-Tauhîd
yang kitab ini juga ditulis dalam bahasa Jawa beraksara Arab
(Pegon), Sabîl al-‘Abîd” oleh kyai Sholeh Darat.9
Syekh Nawawi mengajar di salah satu pintu Majid al-Haram
dan di perguruan Dâr al-‘Ulûm, Makkah, serta pernah memberikah
pengajian di Masjid al-Azhar, Mesir atas undangan Syekh Ibrâhîm
al-Baijûrî, mufti agus Mesir. Karena kemasyhurannya, ia mendapat
gelar Sayyid Ulamâ al-Hijâz, al-Imâm al-Muhaqqiq wa al-Fahhâmah
al-Mudaqqiq, a’yân ‘ulamâ al-Qarn al-Ram Asyhar li al-Hijrah,
Imâm ‘Ulamâ al-Haramain. Beliau cukup sukses mendidik sejumlah
ulama pesantren, sehingga mereka menjadi ulama terkemuka dan
tokoh-tokoh nasional Islam Indonesia, di antaranya adalah Syekh
Kholil Bangkalan10 Madura, Syekh Hasyim Asy’ari11 Tebuireng

9
Zainul Milal Bizawi, Masterpiece Islam Nusantara, Sanad dan Jejaring
Ulama-Santri (1830-1945), h. 453.
10
Syekh Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalani al-Maduri al-
Jawi al-Syafi'i atau lebih dikenal dengan nama Syaikhona Kholil atau Syekh Kholil,
lahir di Kemayoran, Bangkalan, Bangkalan, 1820 meninggal di Martajasah,
Bangkalan, Bangkalan, 1925 pada umur antara 104 sampai 105 tahun adalah
seorang Ulama karismatik dari Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di
masyarakat santri, Syaikhona Kholil juga dikenal sebagai Waliyullah. Seperti cerita
Wali Songo, banyak cerita kelebihan di luar akal atau karamah Syekh Kholil
terkisah dari lisan ke lisan, terutama di lingkungan masyarakat Madura. Syekh
Kholil al-Bangkalani berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH Abdul Lathif,
mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah
Kiai Hamim, putra dari Kyai Abdul Karim bin Kyai Muharram bin Kyai Asror
Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman inilah yang
merupakan cucu dari Sunan Gunung Jati dari pihak ibu. Pada usia 24 tahun, Syekh
Kholil menikahi Nyai Asyik, putri Lodra Putih. ( Lihat Abdurrahman Mas’ud, Dari
Haramain Ke Nusantara, Jejak Intelektual Arsitek Pesantren , Jakarta : Kencana,
2006, h. 183).
11
Kyai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari lahir di Kabupaten Demak, Jawa
Tengah, 10 April 1875, meninggal di Jombang, Jawa Timur, 25 Juli 1947 pada
umur 72 tahun 4 Jumadil Awwal 1292 H - 6 Ramadân 1366 H. Beliau dimakamkan

Syekh Nawawi al-Bantani 29


Jombang, KH. Asy’ari dari Bawean (menantunya), KH. Mas
Abdurrahman Menes, KH. Tubagus Muhammad Asnawi dari
Caringin Labuan Pandeglang Banten, KH. Nahjun Kampung
Gunung, Mauk, Tangerang, KH. Ilyas Kampung Teras, Tanjung,
Serang, Banten, KH. Abdul Ghaffar Lampung Kecamatan Tirtayasa,
Banten,12 Syekh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani, KH.
Raden Asnawi Kudus Jawa Tengah, Syekh Muhammad Zainuddin
bin Badawi al-Sumbawi (Nusa Tenggara), Syekh Abdul al-Satar bin
‘Abd al-Wahhâb al-Shidîq al-Makkî, Syekh Tubagus Bakri dari
Sempur-Purwakarta, Syekh Abdul Karim Banten, dan Syekh ‘Alî
bin ‘Alî al-Habsyî al-Madanî dan cucunya sendiri, Syekh Abdul Haq
bin Abdul Hannan al-Jawi al-Bantani.
Selain itu, santri Syekh Nawawi yang meneruskan mengajar
di Masjid al-Haram adalah Syekh Marzûkî al-Makkî yang wafat
pada 1331 H/1913 M. Selain dengan Syekh Nawawi, ia juga pernah
belajar kepada Syekh Sayyid ‘Umar al-Syâmî, Syekh Hasb Allâh,
dan lain-lain. Hubungannya dengan Syekh Hasb Allâh cukup dekat
dan ketika itu ia satu angkatan dengan Syekh Muhammad Arif bin
Wasi’ al-Bantani al-Makki, dan Ajengan Syatibi Gentur Cianjur. 13

di Tebuireng, Jombang adalah salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang


merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar
di Indonesia. Kyai Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren Tebuireng, adalah seorang
yang luar biasa dalam kelimuannya. Para kyai mempersembahkan gelar “Hadratu
Syekh” yang artinya adalah “Tuan Guru Besar”. Ayahnya adalah pendiri Pesantren
Keras; Kyai Utsman kakeknya juga terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang
yang menarik santri-santri dari berbegai daerah pada akhir abad ke-19. Beliau juga
seorang pemimpin tarekat yang menarik ribuan murid. Dan akhirnya, ayah
kakeknya, Kyai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas, suatu desa di
pinggiran barat Kota Jombang. (Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren,
Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia,
Jakarta : LP3ES Cetakan ke-9, 2015, h. 138).
12
Sri Mulyati, “Sufism in Indonesia: An Analysis of Nawawi al-Bantani’s
Salâlim al-Fudalâ, tesis M.A. pada the Faculty of Graduate Studies and Research,
(Montreal : McGill University, 1992), h. 35.
13
Ajengan Syatibi Gentur, dilahirkan di Kampung Gentur, Warungkondang,
Cianjur, Jawa Barat, dan Wafat pada 15 mei 1946. Nama sewaktu kecilnya adalah

30 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa Syekh Nawawi tidak
begitu lama tinggal di sana, yakni hanya tiga tahun saja. Selepas itu,
belaiu pulang ke kampung halamannya di Banten sekitar tahun
1833.14 Namun, ketika ia pulang ke Banten, kondisi kampung
halamannya penuh dengan praktik-praktik ketidakadilan,
kesewenag-wenangan, dan penindasan. Saat itu, Banten tengah
dijajah oleh Belanda.
Ia pun merasa perihatin atas kondisi masyarakat tanah
kelahirannya. Maka, ia pun tampil sebagai patriot untuk membela
tanah airnya. Ia berkeliling Banten, mengobarkan semanagt rakyat
untuk melawan penjajah. Tentu saja, pemerintah Belanda
membatasi gerak-gerik Syekh Nawawi al-Bantani. Ia kemudian
dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan ia pun dituduh
sebagai pengikut Pangeran Diponogoro yang ketika itu sedang
mengobarkan perlawanan sengit terhadap penjajah. Pada tahun 1830
tepat ketika perlawanan Pangeran Diponogoro berhasil dipadamkan
oleh Belanda, Syekh Nawawi akhirnya kembali lagi ke Makkah.
Saat itu ia tidak mempunyai ruang gerak yang bebas untuk terus
melancarkan perlawanan kepada Belanda.
Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi dan kuat
terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, ia pun terpaksa
kembali ke Makkah. Kali ini ia tinggal di Makkah dalam waktu
yang cukup lama, sekitar tahun 1855 M. 15 Dalam waktu yang cukup
panjang itu, ia memperdalam ilmunya dengan berguru kepada

Adun, setelah pulang dari Makkah namanya diganti menjadi Dagustani. Ayahnya
Mama Haji Muhammad Sa’id keturunan Syekh Muhyi Pamijahan Tasikmalaya.
Sebelumnya, Mama Gentur rajin berziarah ke Habib Husain bin Abu Bakar
Alaydrus Luar Batang Jakarta, sehingga ia diisyaratkan nyantri ke Garut. (Lihat
Zainul Milal, Masterpiece Islam Nusantara, Jejaring Ulama Santri , h. 168).
14
Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual
Arsitek Pesantren, h. 112.
15
Sri Mulyati, “Sufism in Indonesia: An Analysis of Nawawi al-Bantani’s
Salâlim al-Fudalâ, h. 28.

Syekh Nawawi al-Bantani 31


ulama-ulama Makkah.16 Nama Syekh Nawawi semakin tersohor di
Makkah ketika ia menggatikan Syekh Khatib Minangkabawi 17
sebagai Imam Besar Masjid al-Haram. Sejak itu, ia dikenal dengan
nama Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi, yang artinya Nawawi dari
Banten, Jawa. Ketenarannya di Makkah membuat namanya terkenal
sampai ke Mesir. Meskipun beliau terpaksa hijrah ke Makkah,
namun tidak membuat perlawannya terhadap Belanda terhenti.
Justru dari sanalah ia mulai mengumpulkan kekuatan dengan
mengobarkan semangat nasionalisme di kalangan para muridnya
yang biasa berkumpul di perkampungan Jawa, di Makkah. Model
perlawanan yang dilakukan oleh Syekh Nawawi tersebut membuat
Belanda berang. Guna mengatasi perlawanan Syekh Nawawi
tersebut, Belanda mengutus Snouck Hourgronje18 untuk
menemuinya.

16
Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara Disertai Pemikiran dan Pengaruh
Mereka, h. 146.
17
Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi adalah ulama yang sangat popular
dan terkenal terutama pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia adalah salah
satu dari ulama asal Nusantara yang menjadi imam, khatib, dan guru besar di
masjidil Haram Makkah, sekaligus mufti mazhab Syafi’i. beliau lahir pada hari
senin 6 Dzulhijjah 1276 H/1860 M. Beliau putera dari Engku Abdurrahman gelar
Datuak Rangkayo Basa, Hofjaksa di Padang Sumatera Barat. (Lihat Rizem Aizid,
Biografi Ulama Nusantara Disertai Pemikiran dan Pengaruh Mereka, h. 161).
18
Prof. Dr. Snouck Hurgronje lahir tanggal 8 februari 1857 M di Oosterhout
dari pasangan pendeta J.J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria de Visser. Setelah
lulus dari sekolah menengah di Breda. Dia belajar bahasa latin dan yunani untuk
masuk universita, pada juni 1874 dia berhasil menempuh ujian masuk universitas.
Kemudian pada musim sedang tahun 1874 dia mendaftar ke fakultas teologi di
Universitas Leiden Belanda, dan pada mei 1876 dia menempuh ujian kandidat
dalam filologi klasik Yunani dan latin, lalu pada april 1878 ia mengikuti ujian
kandidat dalam Teologi. Namun dia tetap menekuni filologi, dan pada September
1878 berhasil menempuh ujian Filologi Semit. Pada bulan November 1879 dia
berhasil memperoleh gelar doktor. Pada 1881 dia ditugasi menjadi pengajar ilmu-
ilmu keislaman di Sekolah Calon Pegawai di Hindia Timur, Indonesia, yang
bertempat di Leiden. Pada 1884 Snouck mengadakan petualangan ke Jaziroh Arab,
dan menetap di Jeddah. Snouck sampai Makkah pada 22 februari 1885 dengan
menggunakan nama samaran Abdul Ghofar. Dia menetap di Makkah selama enam
bulan, dan menghasilkan karya berjudul Makkah. Namun akhirnya, pada bulan

32 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Tentu saja, saat pergi ke Makkah, sang Orientalis yang diutus
Belanda itu tidak menggunakan nama aslinya, melainkan menyamar
menjadi orang Arab dengan nama Abdul Ghaffur. Setelah bertemu
dengan Syekh Nawawi, Snouk Huorgronje sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa Syekh Nawawi adalah seorang ulama yang
memilki ilmu yang sangat luas dan mendalam, rendah hati, serta rela
berkorban demi kepentingan agama dan bangsa. Dari sisi rumah
tangga, beliau mempunyai dua orang istri, yakni Nasimah dan
Hamdanah. Nasimah melahirkan tiga anak perempuan, yakni
Maryam, Nafisah, dan Ruqayyah. Sedangkan Hamdanah melahirkan
satu orang putri bernama Zahro. Beberapa penelitian yang mengkaji
Syekh Nawawi tidak menyebutkan bahwa beliau mempunyai anak
laki-laki. Syekh Nawawi mengabdikan dirinya selama 69 tahun
lamanya untuk mengajarkan agama Islam kepada umat. Pemikiran
dan ajarannya telah banyak memberikan sumbangsi yang cukup
signifikan bagi perkembangan Islam Nusantara. Setelah masa
tersebut, belaiu pun wafat sewaktu berada di Makkah pada 25
Syawal 1316 H/1897 M (Sumber lain mencatat tahun wafatnya
adalah 1316 H/1899 M). Ia pun dimakamkan di pekuburan Ma’lâ 19

Agustus, Snouck dipaksa keluar dari Makkah oleh konsul Prancis. Sejak tahun
1889, Snouck memulai kegiatanya sebagai penasehat colonial Belanda di Indonesia.
Pada Maret 1891 ia menjadi penasehat dalam bahasa-bahasa Timur dan Syari’at
Islam bagi pemerintah kolonial Belanda, dan menetap di Aceh sejak tahun 1891-
1892, Snouck juga mengumpulkan bahan-bahan untuk menyusun karya besarnya
tentang Aceh yang berjudul De Acehers. Pada tahun berikutnya, Snouck meneliti
ragam bahasa, penduduk,dan negeri-negeri yang terdapat di Indonesia sesuai
dengan tugasnya sebagai penasehat pemerintah Belanda. (Lihat https://dedikayunk.
wordpress.com).
19
Selain pemakaman Baqi yang berada di Madînah al-Munawwarah, satu
lagi pemakaman tua yang sudah ada sejak Islam belum lahir adalah pemakaman
Ma'lâ di Makkah Al-Mukarromah. Seperti umumnya, pemakaman di Arab Saudi,
area pekuburan tua Ma'lâ yang berada di Kota Suci Makkah ini tidak ditandai
nisan-nisan bernama. Makam-makam di pekuburan ini hanya ditandai dengan batu
sekadarnya. Kompleks pemakaman yang berlokasi sekitar satu kilometer di sebelah
utara Masjid al-Haram ini persisnya berada di kawasan Hujun. Sejak sebelum
hadirnya Islam, Ma'lâ sudah dijadikan makam keluarga besar Bani Hâsyim, nenek

Syekh Nawawi al-Bantani 33


di Makkah, bersebelahan dengan makam Khadîjah, 20 umm al-
mu’minîn, istri Nabi.

B. Latar Belakang Pemikiran dan Keilmuan


Syekh Nawawi al-Bantani merupakan sosok ulama yang
masyhrur dan produktif. Dalam berbagai uraian pemikirannya
banyak mengemukakan ayat-ayat al-Qur’ân, sunnah, dan pemikiran
salaf al-sâlih, baik masa klasik maupun abad pertengahan untuk
memperkuat pendapatnya. Pemikirannya yang banyak mengutip
pikiran para ualam salaf, terutama dalam masalah ‘ubûdiyyah
(ibadah), munâkahah (pernikahan), dan lain-lain. Karangannya
dalam masalah ‘ubûdiyyah banyak diungkapkan dalam kitabnya
Nihâyat al-Zain, Kâsyifah al-Syajâ, dan Qût al-Habîb sebuah
komentar dari kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb karya Ibn Qâsim al-
Ghazzî. Salah satu faktor yang membentuk pemikiran Syekh
Nawawi adalah karena beliau tergolong sebagai orang yang
produktif dan komunikatif, di samping beliau adalah seorang
pumuda yang sudah hafal al-Qur’ân sejak usia 18 tahun. Di usia
mudanya beliau dikenal sebagai mufti mazhab Syâfi’î dan ahli
dalam bidang ilmu fikih.
Syekh Nawawi tidak saja dikenal sebagai orang yang ahli
dalam bidang fikih, namun beliau ahli dalam bidang tasawuf,
bahkan dalam kehidupan beliau mempunyai tanda-tanda seorang
wali, misalnya masalah tawakal beliau mutlak seorang sufi. Faktor
lain ialah, bahwa beliau tidak bisa terlepas dari kondisi dan tradisi

moyang Nabi Muhammad SAW. Hingga kini, Ma'lâ masih menjadi tempat
pemakaman penduduk Makkah dan jamaah haji yang meninggal di kota suci ini.
Pemakaman Ma'la sangat istimewa. Dalam hadis yang diriwayatkan ‘Abd Allâh bin
Mas'ûd ra, Rasûl Allâh SAW bersabda , "Allah membangkitkan dari tempat ini
(pemakaman Ma'la) dan seluruh tanah Harram 70.000 orang yang masuk surga
tanpa hisab atau tanpa perhitungan dosa. Setiap orang dapat membawa 70.000
orang. Wajah mereka cerah dan bersinar bagaikan bulan purnama.".
20
Lihat, Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara Jejak
Intelektual Arsitek Pesantren, h. 100.

34 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


keilmuan di Tanah Air tempatnya menunut ilmu sebelum pergi ke
Makkah. Pada masa itu, yang beliau temukan adalah tradisi fikih
yang bermazhab Imâm Syâfi’î21 dan paham tauhid yang beraliran
Asy’ariyyah22 serta tasawuf Al-Ghazâlî23 yang memang sampai
sekarang masih sangat kental di Indonesia. Ciri khas karangan
beliau banyak bicara soal hukum Islam dan bermazhab Syâfi’î,
kebanyakan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia terutama
masalah tarekat khususnya bagi masyarakat Banten. Pemikiran
beliau ternyata banyak sekali mengutip pikiran para ulama salaf.
Terutama masalah yang berkaitan pernikahan, ibadah dan lain-lain.

21
Mazhab Syâfi'î adalah mazhab fikih dalam Sunni yang dicetuskan
oleh Imâm Syâfi’î pada awal abad ke-9. Pemikiran fikih mazhab ini diawali oleh
Imâm Syâfi'î, yang hidup pada zaman pertentangan antara aliran Ahl al-
Hadîts (cenderung berpegang pada teks hadist) dan Ahl al-Ra'yi (cenderung
berpegang pada akal pikiran atau ijtihad). Imâm Syâfi'î belajar kepada Imâm
Mâlik sebagai tokoh Ahl al-Hadîts di Madînah, dan Imâm Muhammad bin Hasan
al-Syaibânî sebagai tokoh Ahl al-Ra'yi yang juga murid Imâm Abû Hanîfah. Imâm
Syâfi'î kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan
berada di antara kedua kelompok tersebut. Imâm Syâfi'î menolak Istihsân dari
Imâm Abû Hanîfah maupun Masâlih Mursalah dari Imâm Mâlik. Namun Mazhab
Syâfi'î menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imâm Mâlik.
Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imâm Syâfi'î
sebagai ulama fikih, ushul fikih, dan hadits pada zamannya membuat mazhabnya
memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang
hidup sezaman dengannya. (Lihat Ahmad Syurbashi, Biografi Empat Imam
Mazhab, Terjemah Dari Judul Asli “ Al-A’immah Al-Arba’ah” diterjemahkan oleh
Abdul Majid Alimin, Laweyan Solo : Media Insani Press, 2006, h. 225).
22
Asy'ariyyah adalah mazhab teologi yang disandarkan kepada Imâm Abû
al-Hasan ‘Alî al-Asy’arî (w.324 H/936 M). Formulasi pemikiran Asy’arî, secara
esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formasi ortodoks ekstrem pada
satu sisi, dan Mu’tazilah pada sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut
memilki semangat ortodoks. Akutualitas formulasinya jelas menampilkan sifat
yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak bisa seutuhnya
untuk mengindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut Watt dipengaruhi
teologi Kullâbiyyah (teologi sunni yang dipelopori Ibn Kullâb). (Lihat Abdul Razak
dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung : Pustaka Setia, 2012, h. 147).
23
Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 135.

Syekh Nawawi al-Bantani 35


Dalam ilmu tasawuf beliau yang amat terkenal dengan posisi Allah
dan manusia terhadap manusia yang lain adalah amat berpengaruh.
Kumpulan doa-doa yang baik berasal dari kutipan ayat-ayat
al-Qur’ân dan hadits, yang berisi doa-doa dipedomani oleh
masyarakat apabila wirid-wirid dalam amalan-amalan tertentu yang
banyak diamalkan, adapula doa dan wirid beliau yang diangkat
menjadi syair dan dikumandangkan oleh para muslimin dan
muslimat di masjid, di mushola-mushola.24 Untuk menghargai jasa
beliau khususnya bagi masyarakat Banten, setiap tahun di Banten di
daerah kelahirannya mengadakan upacara haul (peringatan hari
wafat) dan diprakarsai oleh keturunannya.
Kegiatan ini semacam ini sudah menjadi kebiasaan
masyarakat Tanara Banten, acara seperti ini biasanya sebagai acara
resmi yang dihadiri oleh tokoh masyarakat dan para ulama
setempat. Beliau tidak hanya terkenal dengan ahli fikih saja, namun
beliau juga masuk dalam lapangan pendidikan khususnya Islam.
Kemudian untuk mendukung kelahiran dan nama Nawawi,
masyarakat Banten mendirikan yayasan Pendidikan Islam dengan
nama “Al-Nawawi” yang secara resmi berdiri 31 Januari 1979, dan
berkedudukan di Tanara.25 Pernyataan di atas adalah salah satu
paradigma yang patut di garis bawahi, bahwa Syekh Nawawi adalah
sosok ulama yang patut diteladani baik dari segi intelektual atau
kesufiannya wawasan keilmuan beliau mencerminkan seorang yang
dicintai ilmu pengetahuan terutama adalah ilmu hukum Islam.
Hal ini dilihat pada hasil karyanya yang cukup banyak, semua
ditulis pada hasil karyanya yang menggunakan bahasa Arab. Selain
gelar yang lain beliau juga seorang penganut aliran kesufian, seluruh
kehidupannya dihabiskan untuk mengabdi kepada ilmu
pengetahuan. Hal ini beliau lakukan semata-mata karena Allah,

24
https://paxdhe-mboxdhe.blogspot.co.id.
25
Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara Disertai Pemikiran dan Pengaruh
Mereka, h. 125.

36 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


beliau akan berusaha menjadi manusia yang selalu bertakwa. Syekh
Nawawi memegang peran sentral di tengah ulama al-Jawi. Dia
menginspirasi komunitas al-Jawi untuk lebih terlibat dalam studi
Islam secara serius, tetapi juga berperan dalam mendidik sejumlah
ulama pesantren terkemuka.
Bagi Syekh Nawawi, masyarakat Islam di Indonesia harus
dibebaskan dari belenggu Kolonialisme. Dengan mencapai
kemerdekaan, ajaran-ajaran Islam akan dengan mudah dilaksanakan
di Nusantara. Pemikiran ini mendorong Syekh Nawawi untuk selalu
mengikuti perkembangan dan perjuangan di tanah air dari para
murid yang berasal dari Indonesia serta menyumbangkan
pemikirannya untuk kemajuan masyarakat Indonesia. 26
Selain pelajaran-pelajaran agama, Syekh Nawawi juga
mengajarkan makna dari kemerdekaan, anti Kolonialisme dan
Imperialisme dengan cara yang halus dan santun. Mencetak kader
patriotik yang di kemudian hari mampu menegakkan kebenaran.
Perjuangan yang dilakukan Syekh Nawawi memang tidak dalam
bentuk revolusi fisik, namun lewat pendidikan dalam menumbuhkan
semangat kebangkitan dan jiwa nasionalisme. Di samping itu, upaya
pembinaan yang dilakukan Syekh Nawawi terhadap komunitas al-
Jawi di Makkah juga menjadi perhatian serius dari pemerintahan
Belanda di Indonesia.
Produktivitas komunitas al-Jawi untuk menghasilkan alumni-
alumni yang memiliki integritas keilmuan agama dan jiwa
nasionalisme, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Belanda. Untuk
mengantisipasi ruang gerak komunitas al-Jawi ini. Maka,
pemerintah Belanda mengutus penasihat pemerintah, Christian
Snouck Hurgronje untuk berkunjung ke Makkah pada tahun 1884 -
1885. Kedatangan Snouck ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut
dan melihat secara langsung berbagai hal yang telah dilakukan oleh

26
Mahbib, Syekh Nawawi Banten dan Beberapa Pemikiran Pentingnya,
(nu.or.id dalam Indonesia 2017).

Syekh Nawawi al-Bantani 37


ulama Indonesia yang tergabung dalam komunitas al-Jawi,
khususnya Syekh Nawawi, bahkan Snouck memberi pujian, bahwa
Syekh Nawawi adalah orang Indonesia yang paling alim dan rendah
hati.27
Secara garis besar, Syekh Nawawi al-Bantani tetap
mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai dan pemikiran-
pemikiran para pendahulunya yang dianggap relevan dengan situasi
sekarang secara turun temurun. Disebut relevan, karena menurutnya
hasil pemikiran itu selalu terbuka untuk dikritik bahkan
ditinggalkan. Corak pemikirannya terlihat lebih menekankan pada
pemberian syarah dan hasyiah (komentar) terhadap pemikiran
pendahulunya. Namun Syekh Nawawi al-Bantani juga ada
keberanian untuk mengkritisi atau mengubah dan mengembangkan
substansi materi pemikiran para pendahulunya sehingga ia
membangun pemikirannya sendiri. 28

C. Karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani


Syekh Nawawi al-Bantani terkenal sebagai ulama yang sangat
produktif dalam mengarang kitab dari pelbagai bidang keilmuan.
Karya-karyanya yang begitu banyak tersebut digunakan sebagai
bahan mengajar dalam kurikulum pesantren di Indonesia dan sampai
saat ini masih terus dikaji dan didalami. Beliau sudah mulai menulis
sejak menetap di Makkah untuk kali kedua setelah sempat pulang ke
kampung halamannya. Menurut beberapa penelitian, bahwa karya-
karya yang ditulis oleh beliau sekitar 100 lebih kitab, meskipun
Bruinessen hanya berhasil mengumpulkan 27 kitab saja. 29

27
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, h. 106.
28
Moh. Afiful Khair, Konsep Pendidikan Islam Syekh Nawawi al-Bantani,
(Surabaya : Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008), h.8
29
Lihat Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara Jejak
Intelekrual Arsitek Pesantren, h. 128.

38 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Namun ada pula yang menyebutkan 99 buah kitab, yang
terdiri dari berbagai disiplin ilmu agama. Kitab-kitab tersebut pun
terdiri dari beragam kajian pembahasan, menurut Brockelmann,
seperti yang dikutip dalam buku Yahudi dan Nasrani dalam al-
Qur’ân, karya Syekh Nawawi meliputi delapan cabang utama ilmu
keislaman, Bruinessen membagi menjadi tujuh bidang, yakni tafsir,
hadits, fikih, ushuluddin, tasawuf, biografi Nabi, tata bahasa Arab,
dan retorika.30 Berikut adalah beberapa karya beliau dalam disiplin
ilmu fiqh:
- Bidang Fikih
1. Al-‘Iqd al-Thamrîn (1296H/1878 M). Kitab ini berisikan
penjelsan atas 601 pertanyaan karya Ahmad bin Muhammad
Zâhid. Oleh teman sejawatnya, Musthafa bin Utsman al-Jawi
al-Qurtubi, judul kitab ini diubah menjadi Fath al-Mubîn.
2. Al-Tsimâr al-Yâni’ah fî Riyâd al-Badî’ah, sebuah komentar
dari karya Syekh Muhammad Hasb Allâh Sulaimân. 31
3. Fath al-Mujîb (11276 H/1859 M). Kitab ini berisikan
komentar atas al-Manâqib al-Hajj karya Muhammad bin
Muhammad al-Syarbinî al-Khatîb.
4. Kâsyifat al-Syajâ (1292 H/1875 M), memuat komentar atas
kitab Safînah al-Najâ karya Sâlim bin Samir dari Shihr;
Sullam al-Taufîq yang ditulis oleh ‘Abd Allâh bin Husain bin
Tâhir Bâ’lawî (wafat 1272 H/1855 M).
5. Marâqî al-‘Ubûdiyyah (1287 H/1873 M), kitab ini adalah
komentar atau syarah dari kitab Bidâyah al-Hidâyah karya
Imâm Al-Ghazâlî.

30
Muhammad Kasthalani, Relasi Gender Menurut Pemikiran Syekh Nawawi
al-Bantani, (skripsi :STAIN Palangkaraya, 2005), h. 32.
31
Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, salah satunya
adalah penerbit pustaka mampir yang dialih bahasakan oleh Zanul Arifin Yahya,
tahun 2009.

Syekh Nawawi al-Bantani 39


6. Mirqâh al-Su’ûd at-Tasdî`q (1292 H/1875 M), berisikan
tentang komentar atas Sullam al-Taufîq ilâ mahabbah Allâh
‘alâ al-Tahqîq karya ‘Abd Allâh Bâ’lawî.32
7. Nihâyat al-Zain (1297 H/1897 M), berisikan anotasi atas
kitab Qurrah al-‘Ayn bi Muhimmah al-Dîn karya Zain al-Dîn
bin ‘Abd al-‘Azîz Al-Malîbârî.
8. Qût al-Habîb al-Gharîb, judul lainnya adalah Tausyîh, (1201
H/1833 M), berisi anotasi atas kitab Fath al-Qarîb karya
Muhammad bin Qâsim al-Ghazzî, karya komentar atas kitab
al-Ghâyah wa al-Taqrîb karya Abû Sujâ al-Isfahâni.
9. Sullam al-Munâjât, merupakan komentar atas kitab Safînah
al-Salâh karya ‘Abd Allâh bin Yahya al-Hadramî.
10. Sulûk al-Jâdat Komentar atau syarah dari kitab Lum’at al-
Mufâdat fî al-Jum’ah karya Syekh Sâlim al-Hadramî.
11. ‘Uqûd al-Lujain fî Bayân al-Huqûq al-Zaujain ( 1296 H/1878
M), Kitab ini mengulas masalah hak-hak suami istri.33

Itulah beberapa karya Syekh Nawawi al-Bantani dalam


bidang fikih. Selain itu, ia juga terkenal dalam bidang tafsir. Bahkan
salah satu karya tafsirnya yang berjudul Al-Munîr adalah kitab tafsir
yang sangat monumental. Kitab tersebut disebut-sebut lebih baik
dari Tafsîr Jalâlain karya Imâm Jalâl Al-Dîn al-Suyûtî dan Imâm
Jalâl Al-Dîn al-Mahallî. Sementara karya-karya beliau dalam bidang
tauhid antara lain:
- Bidang Tauhid
1. Dzariyat al-Yaqîn ‘alâ Umm al-Barâhîn, adalah komentar dari
kitab Umm al-Barâhîn karya Imâm Al-Sanûsî al-Tilimsânî.

32
Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, salah satunya
penerbit pustaka mampir yang dialih bahasakan oleh Zainal Arifin Yahya, tahun
2010.
33
Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara Disertai Pemikiran dan Pengaruh
Mereka, h. 155.

40 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


2. Al-Futûhât al-Madaniyyah fî Syu’b al-Îmâniyyah. Tanpa
tarikh. Dicetak oleh maktabah al-Miriyah al-Kainah, Makkah,
1323 H.
3. Bahjat al-wasâ’il,
sebuah syarah yang menghimpun
pembahasan tauhid, fikih dan tasawuf dari kitab Risâlah al-
Wasâ’il karya Syekh Ahmad bin Zain al-Habsyî.34
4. Fath al-Majîd, adalah komentar atau syarah dari kitab
gurunya Imâm Nahrâwî Al-Dûrr al-Farîd.
5. Nûr al-Zalâm, merupakan syarah atau komentar dari nazom
‘Aqîdah al-‘Awâm karya Syekh Ahmad al-Marzûqî.35
6. Syarh Qâmi’ al-Tughyân, merupakan komentar atau syarah
dari nazdhom Syu’b al-Îmân karya Syekh Zain al-Dîn bin ‘Alî
bin Ahmad al-Syâfi’i al-Kûsyinî al-Malîbâri.
7. Qatr al-Ghats, ulasan dari kitab Masâ’il Abî al-Laits karya
Nasr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrâhîm al-Hanafî al-
Samarqadî.
8. Syarh Tîjân al-Darârî, adalah syarah atau ulasan dari kita
Risâlah al-Bâijûrî, karya guru beliau Syekh Ibrâhîm al-Bâijûrî
di Mesir.
9. Al-Nahjah al-Jayyidah, adalah syarah atau komentar dari
nazom Naqâwah ‘aqîdah al-‘awâm.36

Itulah karya-karya beliau dalam bidang tauhid, dan di


antaranya masih terus dikaji dan dipelajari di berbagai pesantren di

34
Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, di antaranya
penerbit pustaka mampir, yang dialih bahasakan oleh Zainal Arifin Yahya dan
Rodhiyah Iras, tahun 2005.
35
Kitab ini juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, di
antaranya adalah terjemah Nûr al-Zalâm, oleh penerbit Pustaka Mampir yang dialih
bahasakan oleh tim pustaka mampir pada tahun 2006.
36
Rohimuddin Nawawi Al-bantani, Syekh Nawawi Al-Bantani Ulama
Indonesia Yang Menjadi Imam Besar Masjidil Haram, h. 88.

Syekh Nawawi al-Bantani 41


Indonesia khususnya di tanah Jawa dan Banten. Adapun karya-karya
beliau yang membahasa kajian tasawuf atau akhlak antara lain :
- Bidang Tasawuf
1. Fath al-Samad al-‘Âlim, selesai awal Jumâd al-Awwal 1286
H/1869 M. Dicetak oleh Matba’ah Dar al-Kutub al-
‘Arabiyyah al-Kubrâ, Mesir 1328 H.
2. Nasâ’ih al-‘Ibâd, adalah syarah atau komentar dari kitab Al-
Munabbihât li Yaum al-Ma’âd karya Imâm Syihâb al-Dîn
Ahmad bin Ahmad bin Hajar al-‘Asqalânî.37
3. Marâqî al-‘Ubûdiyyah, adalah syarah atau ulasan dari kitab
Bidâyat al-Hidâyah karya Imâm Al-Ghazâli. Kitab ini adalah
kajian fikih yang bernuansa tasawuf.
4. Mishbâh al-Zalâm ‘alâ Manhaj al-Tamm fî Taubîh al-Hikam.
Kitab ini selesai ditulis pada Jumadil Awal 1305 H/1887 M.
5. Salâlim al-Fudalâ, ulasan atas kitab Hidâyat al-Adzkiyâ ilâ
Tarîq al-Auliyâ’ karya Syekh Zain al-Dîn al-Malîbârî,
Makkah 1315.38
Itulah beberapa kitab karya Syekh Nawawi al-Bantani dalam
bidang tasawuf. Sedangkan karya lainnya dalam bidang Hadits,
yaitu :
- Hadits
1. Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts, ulasan atas kitab Lubâb al-Hadîts
karya Imâm Jalâl al-Dîn al-Suyûtî.39

37
Kitab ini sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahsa Indonesia, di
antaranya adalah penerbit Pustaka Mampir yang dialih bahasankan oleh tim
terjemah pustaka mampir pada tahun 2007.
38
Sri Mulyati, “Sufism in Indonesia: An Analysis of Nawawi al-Bantani’s
Salâlim al-Fudalâ, h. 45-46.
39
Kitab Ini Sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk
lebih mudah dikonsumsi masyarakan luas. Salah satunya adalah penerbit Al-
Hidayah Surabaya yang diterjemahkan oleh Yasir Tajid Syukri, 2066.

42 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


- Tafsir
1. Marâh Labîd Li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân al-Majîd, atau lebih
dikenal dengan nama Tafsîr Munîr, yang juga disebut-sebut
lebih baik dari kitab tafsir pendahulunya yaitu, Tafsîr Jalâlain.
2. Hilyat al-Sibyân ‘alâ Fath al-Rahmân fî Tajwîd al-Qur’ân,
komentar atas kitab Fath al-Rahmân karya Syekh Ahmad
Zainî Dahlân al-Makkî.

- Sejarah
1. Bughyah al-‘Awwâm, ulasan atau syarah atas kitab Maulîd
Sayyid al-Anâm karya Ibn Al-Jauzî, selesai 7 Safar 1294 H.
2. Al-Ibrîz al-Dânî fî Maulîd Sayyidinâ Muhammad al-Sayyid
al-‘Adnânî, Mesir: Hijr 1299.
3. Madârij al-Su’ûd ilâ Iktisâ al-Burûd, syarah dari maulîd al-
Barzanjî karya Syekh Ja’far al-Barzanjî. Mulai ditulis 18
Rabi’ al-Awal 1293 H.40
4. Targhîb al-Musytâqîn, Makkah : Matba’at al-Mirîyah, 1311
H. Selesai ditulis Jum’at, 13 Jumâd al-Âkhir 1284 H.
Ada juga beberapa karya beliau dalam bidang ilmu tata
bahasa Arab antara lain:

- Bahasa
1. Fath al-Ghâfir al-Khaththîyyah ‘alâ al-Kawâkib al-Jaliyyah fî
Nazhm al-Jurûmiyyah, Mesir : Bûlaq, 1298 H.
2. Al-Fusûs al-Yaqûtiyyah, ulasan atas kitab al-Raudlah al-
Bahiyah fî al-Abwâb al-Tasrîfiyyah, karya ‘Abd al-Mun’im
‘Iwad al-Jurjânî.
3. Kasyf al-Murûtiyyah ‘an Sitâr al-Jurûmiyyah, syarah atau
ulasan atas kitab al-Jurûmiyyah karya Abû ‘Abd Allâh

40
Kitab ini adalah kitab sejarah Syekh Nawawi al-Bantani yang paling
popular di kalangan pesantren. kajian tentang sîrah al-Nabawiyyah.

Syekh Nawawi al-Bantani 43


Muhammad bin Muhammad bin Dâwud al-Sanhâji bin al-
Jurûmî.
4. Lubâb al-Bayân fî ‘ilm al-Bayân, ulasan atau syarah atas kitab
Risâlah al-Isti’ârah, karya Syekh Usayn al- Nawawi al-Mâlikî,
selesai tahun 1293.41
5. Al- Riyâd al-Qauliyyah, Mesir, 1299.

Itulah beberapa kitab karya Syekh Nawawi al-Bantani.


Menurut para sejarawan, dari sekian karyanya, yang paling terkenal
adalah kitab Nasâ’ih al-‘Ibâd. Kitab ini sangat popular di seluruh
penjuru negeri Islam, baik Timur Tengah, Asia, dan Afrika. Di
Indonesia sendiri, kitab ini merupakan buku wajid di pesantren.
Semua karya-karya Syekh Nawawi pada umumnya, menampilkan
nuansa-nuansa tradisionalisme dan sufisme. Tradisionalisme
biasanya ditandai dengan kecenderungan yang kuat pada upaya-
upaya mempertahankan kemapanan dan konservatif. 42
Teks-teks suci biasanya, termasuk karya ulama klasik, dibaca
dan dipahami secara literal. Sikap kritis dan rasional dalam pola
pemikiran seperti ini seakan-akan menjadi tidak relevan. Sedangkan
pola pemikiran sufisme seringkali ditampilkan dalam fenomena
gemar beribadah dan rajin melakukan ritual-ritual yang mendalam
atau riyâdah, intens, dan asketis. Dalam tulisan beliau, penekanan
pada aspek ini sangat kuat. Dua hal inilah yang mungkin
menyebabkan tulisan beliau digemari oleh tradisi keilmuan yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu.
Sayangnya, dari sekian banyak karya tulis yang dihasilkan oleh

41
Karya Syekh Nawawi al-Bantani dalam bidang bahasa tidak terlalu
polpuler di kalangan pesantren, bahkan cenderung tidak dikaji. Karena penerbit-
penerbit di Indonesia tidak ada yang mencetak hasil karyanya di bidang ini. Yang
paling banyak adalah dalam bidang fikih, tauhid, dan tasawuf.
42
Lili Hidayati, Nasâ’ih al-‘Ibâd Karya Syekh Nawawi al-Bantani, Dan
Pendidikan Kekinian, (Jakarta : STAI Al-Hikmah, t.t.), h. 9.

44 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


beliau, tidak disertai dengan catatan kaki atau referensi. Gaya
penulisan tanpa catatan kaki bahkan daftar referensi seperti itu
memang lazim dalam karya-karya tulis yang berkembang pada masa
itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila para peneliti
karya-karya beliau seringkali menghadapi kesulitan untuk melacak
sumber tulisan yang dikutip oleh Syekh Nawawi. Namun demikian,
di sisi lain, banyaknya karya yang ditulisnya, dapat dijadikan bukti
bahwa memang beliau adalah seorang penulis produktif. 43 Beliau
banyak mengetahui hampir semua bidang keilmuan Islam.
Seringkali beliau dengan ikhlasnya hanya mengirimkan manuskrip
naskahnya dan setelah itu tidak terlalu risau bagaimana penerbit
menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya.
Luasnya wawasan pengetahuan beliau membuat kesulitan bagi
pengamat untuk menjelajah seluruh pemikiran beliau secara
komprehensif. Oleh karena itu, beliau kurang dikenal sebagai ulama
tarekat.
Mengenai jumlah karya Syekh Nawawi al-Bantani, menurut
Nurcholis Madjid, jumlahnya sebanyak seratus kitab yang beredar,
terutama di wilayah Timur Tengah yang berbasis mazhab Syâfi’î.
Dari sana umat Islam membawanya ke Indonesia. Baru sesudah
merka, karya-karya tersebut dicetak ulang di Singapura, Jakarta,
Cirebon, Bandung, Surabaya, Penang, dan Kota Baru, Malaysia.
Sedangkan menurut Zamakhsyari Dhofier, mengutip hasil penelitian
yang dilakukan oleh Yusuf Alian Sarkis dalam bukunya Dictionary
of Arabic Printed Books from the Beginning of Arabic Prinring
Until the End, menyebutkan bahwa karangan Syekh Nawawi
sebanyak 34 buah,44 bahkan ada yang mengatakan lebih dari itu.

43
Rohimuddin, Syekh Nawawi al-Bantani Ulama Indonesia Yang Menjadi
Imam Besar Masjidil Haram, h. 94.
44
Ma’ruf Amin dan M. Nashruddin Anshari Ch, Pemikiran Syekh Nawawi
al-Bantani (Jakarta : Pesantren, vol. VI, no. I, 1989), h. 105.

Syekh Nawawi al-Bantani 45


Snouck Hurgronje mengatakan bahwa, tidak kurang dari 22
karya Syekh Nawawi masih beredar, dan 11 judul dari kitab-kitab
beliau termasuk 100 kitab yang paling banyak digunakan di
pesantren. Informasi lain menyebutkan bahwa kitab-kitab karya
beliau sekitar 115 judul kitab, ada di Universitas al-Azhar, Kairo,
Mesir, Belanda, dan di Negara-negara lainnya. Bukan hanya itu,
karya-karya besar beliau juga ada di Perguruan Tinggi Chicago. 45
Penerbit Musthafa al-Babi, Kairo, Mesir, yang pada tahun 1859
mempublikasikan 14 judul karya Syekh Nawawi al-Bantani, dalam
katalognya menulis, Syekh Nawawi sebagai ulama besar di
permulaan abad 14 H.
Sementara itu, menurut Ray Salam T. Margondanan, peneliti
pada Institute of Islamic Studies (Salah satu Universitas di
Filipina), bahwa karya beliau diketahui tetap dikaji di kalangan
madrasah di Mindano, Filipina Selatan. Selain itu, karyanya juga
banyak dikaji di berbagai madrasah di Patani, Yala, Satun, dan,
Narathiwat, Muangthai Selatan. Bahkan di Malaysia, karya beliau
dijadikan bahan standar. Ustad Sulaiman Yasin, dosen Fakultas
Pengkajian Islam Universitas Kebangsaan Malaysia. Di masa
belianya sering mengkaji banyak karya Syekh Nawawi di pesantren
di Johor, sekitar tahun 1950.

45
Zidni Ilman, Sifat Tuhan Dalam Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani, h.
23.

46 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


BAB III
Teori Corak Pemikiran dalam Kalam

A. Corak Kalam dan Klasifikasinya


Mengkaji aliran-aliran dalam ilmu kalam pada dasarnya
merupakan upaya memahami kerangka berpikir dan proses
pengambilan keputusan para ahli kalam dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi yang dimiliki
pada setiap manusia, baik berupa potensi biologis maupun potensi
psikologis secara natural sangat distingtif.1 Oleh karena itu,
perbedaan kesimpulan antara satu pemikiran dengan pemikiran
lainnya dalam mengkaji objek tertentu, merupakan suatu hal yang
bersifat natural pula. Secara tradisional ‘Alî bin Abî Tâlib,
dipercaya telah meletakan dasar ilmu kalam melalui Nahj Al-
Balâghah yang memuat pembuktian-pembuktian rasional tentang
keesaan Tuhan, sesuai dengan al-Qur’ân dan hadits.
Sejak abad pertama, umat Islam telah menghadapi problem-
probelem dan pertanyaan-pertanyaan seperti antara iman dan amal,
siapa yang selamat, sifat al-Qur’ân, dan legitimasi otoritas politik,
yang kesemuanya itu kemudian terkristalisasi ke dalam struktur dan
tema-tema kalam.2 Jika berbicara struktur pemikiran teologi,
menurut Amin Abdullah, secara umum ada tiga pola yang dipakai :
deduktif, induktif, dan abduktif. Pemikiran deduktif berpendapat,
bahwa sumber pengetahuan dan segala sesuatu yang dapat diketahui
manusia adalah berasal dari ‘idea’, lebih jelasnya ialah ide-ide yang
telah tertanam dan melekat pada manusia secara kodrati. Ide

1
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia
2012), h. 41.
2
Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, (Bandung :
Mizan, 2003), 508.

47
tentang kebaikan dan keadilan misalnya, menurut Plato, tidak
dikenal lewat pengalaman historis-empiris, akan tetapi diperoleh
dari ide bawaan yang dibawa manusia sejak azali. Mereka hanya
perlu mengingat kembali (recollection) atas ide-ide tersebut.
Sebaliknya, pola induktif menyatakan bahwa sumber pengetahuan
adalah realitas empiris, bukan ide-ide bawaan. Realitas empiris yang
berubah-ubah tersebut kemudian ditangkap indera dan
diabstraksikan menjadi konsep-konsep, rumus-rumus, dan gagasan-
gagasan yang disusun sendiri oleh pikiran.3
Pola pemikiran deduktif dan induktif tersebut dalam analisa
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, ternyata masih dianggap
tidak cukup memadai untuk menjelaskan dan memecahkan
persoalan-persoalan yang dihadapi manusia. Karena itulah, muncul
pola pemikiran abduktif. Pemikiran abduktif menekankan adanya
unsur hipotesis, interpretasi, proses pengujian di lapangan atas
rumus-rumus, konsep-konsep, dalil-dalil, dan gagasan yang
dihasilkan dari kombinasi pola pikir deduktif dan induktif. Abduktif
menguji secara krtitis terhadap seluruh bangunan keilmuan
termasuk di dalamnya rumusan ilmu keagamaan lewat pengalaman
yang terus berkembang dalam kehidupan sosial manusia.
Dari tiga pola pikir tersebut di atas, menurut Amin Abdullah
pemikiran teologi ternyata cenderung mengarah kepada model
deduktif. Bedanya, pemikiran-pemikiran yang lain dideduksikan dari
teori, dictum dan konsep-konsep yang telah ada sebelumnya yang
semua itu masih merupakan hasil dari oleh pemikiran manusia
sehingga dapat dikritik dan dipertanyakan ulang tanpa rasa segan.
Pemikiran teologi dideduksikan dari teks-teks suci keagamaan (al-
nusûs al-dîniyyah), al-Qur’ân dan hadits sehingga sulit untuk

3
M. Amin Abdullah, Mencari Metode Pengembangan Teologi Islam
(Sebuah Pengantar Buku Teologi Islam Perspektif Al-Fârâbî dan Al-Ghazâlî, Oleh
Khudori Sholeh), (Malang : UIN-MALIKI PRESS, 2013). Lihat juga Zainun
Kamal, Ibn Taimiyah Versus Para Filosof Polemik Logika, Pendahuluan, (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2006).

48 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


dipertanyakan, dikaji ulang atau dikritik, karena keduanya dianggap
suci dan sakral. Kebenarannya sudah dianggap begitu pasti, final
dan tidak bisa diragukan seperti kepastian atau aksioma ilmu-ilmu
pasti. Akibatnya, produk-produk rumusan teologi yang umumnya
merupakan hasil pemikiran abad pertengahan menjadi terkunci
rapat, tertutup.
1. Corak Kalam Rasional
Perbedaan metode berfikir secara garis besar dapat
dikategorikan menjadi dua macam, yaitu kerangka berfikir rasional
dan metode berfikir tradisional. Metode berfikir secara rasional
memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut ini4 :
a. Hanya terikat dengan dogma-dogma yang jelas dan tegas
disebutkan dalam al-Qur’ân dan hadits Nabi, yakni ayat yang
bersifat qat’î (teks yang tidak diinterpretasi lagi kepada arti
lain, selain arti harfinya).
b. Memberikan kebebasan seutuhnya kepada manusia dalam
berbuat dan berkehendak.
c. Memberikan daya yang besar kepada akal.

Fokus dalam prinsip berfikir rasional adalah lebih


dominannya peran akal sehingga harus lebih ekstra keras berupaya
untuk menanamkan suatu ajaran atau konsep kepada orang lain.
Jadi, dominannya aspek rasionalisme dalam ilmu kalam, akhirnya
menjadikan pemikiran ini jatuh ke wilayah pemikiran metafisika
yang lebih bersifat spekulatif dan melampaui batas-batas
kemampuan dan daya serap pikiran manusia biasa.

4
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka
Panjimas, 1990), 16-17.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 49


Tuhan
Wahyu

MT
KMT
MBB
KMBB Mu’tazilah

Akal

Manusia

MT : Mengetahui Tuhan
KMT : Kewajiban mengetahui Tuhan
MBB : Mengetahui baik dan buruk
KMBB : Kewajiban mengetahui baik dan buruk

Pada gambar di atas,5 memperlihatkan bahwa kalam rasional


memberikan peranan yang besar terhadap akal. Dalam pandangan
aliran ini, akal dapat mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui
Tuhan bahkan sebelum turunnya wahyu, mengetahui baik dan
buruk, kewajiban mengerjakan baik dan menjauhi yang buruk. Ciri
teologi rasional adalah sebagai berikut :
1. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi, karena dalam
memahami wahyu, aliran ini cenderung menggambarkan arti
majazi.
2. Manusia bebas berbuat dan berkehendak. Karena kekuatan
akal, manusia mampu berdiri sendiri.

5
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah, Analisa
Perbandingan (Jakarta : UI Press, 1996), h. 88-89.

50 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


3. Keadilan Tuhan menurut pendapat ini, terlatak pada adanya
hukum alam (Sunnat Allâh) yang mengatur perjalanan alam
ini.
4. Mengatakan bahwa Tuhan bersifat immateri, tak dapat dilihat
dengan mata kepala.
5. Mengatakan sabda Tuhan atau kalam bukanlah bersifat kekal
tetapi bersifat baru (hâdits) dan diciptakan Tuhan.6

Mu’tazilah dan Mâturîdiyyah Samarkand adalah dua aliran


yang disebut-sebut sebagai paham aliran ini, menimbang dari
beberapa pendapatnya yang lebih dominan terhadap rasio atau akal.
Meskipun demikian, sebetulnya Mâturîdiyyah Samarkand sendiri
hadir sebagai penolak paham Mu’tazilah. Akan tetapi dalam
beberapa hal, mereka mempunyai pendapat yang sama dengan
Mu’tazilah yang disebut sebagai mazhab kalam rasional pertama
yang hadir dalam pentas aliran kalam. Perbedaan pandangan antara
Mâturîdiyyah Samarkand dan Bukhârâ bisa dilihat dalam gambar di
bawah ini :
Tuhan
Wahyu

MT KMBB

KMT

MBB Mâturîdiyyah Samarkand

Akal

Manusia

6
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah, Analisa
Perbandingan,h.143

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 51


Pada gambar di atas, menurut Mâturîdiyyah Samarkand, akal
mampu mengetahui Tuhan, bahkan dengan akal manusia wajib
mengetahui Tuhan, dan juga mengetahui baik dan buruk. Jika dilihat
dari hal ini, maka Mâturîdiyyah Samarkand lebih mengarah kepada
kalam rasional, karena poris akal dalam mengatahui dan menjangkau
hal tersebut lebih dominan, meskipun dalam masalah mengetahui
kewajiban baik dan buruk menurut mereka hanya bisa dipahami dari
wahyu. Sedangkan Mâturîdiyyah Bukhârâ lebih mengarah kepada
corak tradisional sama dengan paham Asy’ariyyah yang akan
dijelaskan selanjutnya.

2. Corak Kalam Tradisional


Adapun metode berpikir kalam tradisional memiliki prinsip-
prinsip sebagai berikut:
a. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung
arti zannî (teks yang boleh mengandung arti lain selain dari
arti harfinya).
b. Tidak memberikan kebebasan yang dalam arti seutuhnya pada
manusia dalam berkehendak dan berbuat.
c. Memberikan daya yang kecil (tetapi menganggap penting
peranannya) kepada akal.7
Tuhan
Wahyu

KMT

MT MBB
KMBB

Akal Asy’ariyyah

Manusia

7
Razak, Abdul. dan Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, h. 43.

52 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Gambar di atas memperlihatkan, bahwa kalam tradisional
memberikan peranan kecil terhadap akal. Dari empat yang telah
disebutkan, hanya mengetahui Tuhanlah yang dapat dijangkau oleh
akal manusia. Selebihnya diketahui berdasarkan wahyu. Akal
mempunyai kedudukan yang rendah. Karena dalam memahami
wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti lafzi atau tekstual.
Manusia tidak bebas bergerak dan berkehendak. Kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan menurut paham ini, bukanlah sunnat Allâh,
melainkan benar-benar menurut kehendak mutlak Tuhan. 8Aliran ini
disematkan kepada paham Asy’ariyyah. Lain halnya dengan
Asy’ariyyah, Mâturîdiyyah Bukhârâ pun tergolong ke dalam corak
tradisional, akan tetapi ada perbedaan sedikit dalam masalah
mengetahui baik dan buruk. Menurut Mâturîdiyyah Bukhâra, akal
mampu mengetahui baik dan buruk tanpa perantara wahyu, lain
dengan Asy’ariyyah bahwa kebaikan dan keburukan adalah apa yang
dikatakan dan dijelaskan oleh wahyu. Di bawah ini adalah gambaran
umum paham Mâturîdiyyah Bukhârâ :

Tuhan

Wahyu
KMT
KMBB
MT

MBB
Mâturîdiyyah Bukhârâ

Akal

Manusia

8
Harun Nasution,Teologi Islam, h. 144.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 53


Teologi ini menganggap Tuhan dapat dilihat oleh manusia
dengan mata kepala di akhirat nanti. Mereka juga mengatakan,
bahwa sabda Tuhan adalah sifat, dan sebagai sifat Tuhan mestilah
kekal dan qadim. Jika kalam rasional dengan ciri khasnya banyak
berpegang pada logika dan lebih sesuai dengan jiwa dan pemikiran
kaum terpelajar. Sebaliknya, teologi yang bercorak tradisional,
dengan prinsipnya berpegang pada arti harfiyah dari teks ayat-ayat
al-Qur’ân dan hadits ditambah dengan minimnya penggunaan
logika, nampak kurang sesuai dengan jiwa dan pemikiran kalangan
terpelajar. Di samping pengkategorian corak teologi rasional dan
tradisional, dikenal pula pengkategorian akibat adanya perbedaan
kerangka berfikir lainnya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
kalam yang akan dipaparkan berikutnya.
a. Aliran antroposentris
Aliran antroposentris menganggap bahwa hakikat realitas
transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. 9 Ia berhubungan
erat dengan masyarakat kosmos baik yang natural maupun yang
supra natural dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah anak
kosmos. Unsur supranatural dalam dirinya merupakan sumber
kekuatannya. Tugas manusia adalah melepaskan unsur natural yang
jahat. Dengan demikian, manusia harus mampu menghapus
kepribadian kemanusiannya untuk meraih kemerdekaan dari lilitan
naturalnya.
Orang yang tergolong dalam kelompok ini berpandangan
negatif terhadap dunia karena menganggap keselamatan dirinya
terletak pada kemampuannya untuk membuang semua hasrat dan
keinginannya.10 Sementara ketakwaan lebih diorientasikan kepada
praktek-praktek spiritual dan konsep-konsep magis. Tujuan
hidupnya bermaksud menyusun kepribadiannya ke dalam realita

9
Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 44.
10
M. Fazlur Rahman Anshari, Konsepsi Masyarakat Islam Modern, Terj.
Juniarso Ridwan, dkk, (Bandung : Risalah, 1984), h. 92.

54 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


impersonalnya. Paham antroposentris sangat dinamis karena
menganggap hakekat realitas transenden yang bersifat intrakosmos
dan inpersonal dating kepada manusia dalam bentuk daya sejak
manusia lahir. Daya ini berupa potensi yang menjadikannya mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Manusia yang
memilih kebaikan akan memperoleh keuntungan melimpah (surga),
sedangkan manusia yang memilih keburukan, ia akan memperoleh
kerugian yang melimpah (neraka). Dengan dayanya, manusia
mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas
transenden. Aliran kalam yang termasuk dalam kategori ini adalah
Qadariyyah, Mu’tazilah dan Syî’ah. Sedangkan Anshari
menganggap manusia yang berpandangan antroposentris sebagai
sufi adalah mereka yang berpandangan mistis dan statis. Padahal
manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap realitas
transenden yang bersifat intrakosmos dan impersonal datang kepada
manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. 11

b. Aliran Teosentris
Aliran kalam ini menganggap bahwa hakikat realitas
transenden bersifat Suprakosmos, personal dan ketuhanan, Aliran
teosentris menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan baik
atau jahat bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan. Aliran inilah yang
tegolong kategori Jabariyyah. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu
yang ada di kosmos ini, Ia dengan segala kekuasaan-Nya, mampu
berbuat apa saja secara mutlak sewaktu-waktu ia dapat muncul pada
masyarakat kosmos. Dan manusia adalah makhluk ciptaan-Nya
sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya. Manusia teosentris
adalah manusia statis karena sering terjebak dalam kepasrahan
mutlak kepada Tuhan.12Baginya, segala sesuatu perbuatan pada
hakikatnya adalah aktivitas Tuhan. Ia tidak mempunyai ketetapan

11
Abdul Razak, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 45.
12
Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 45.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 55


lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Sikap kepasrahan
menandakan ia tidak mempuyai pilihan. Tuhan bisa saja
memasukkan manusia buruk ke dalam keuntungan yang melimpah
(surga). Begitu pula, Dia dapat memasukkan manusia yang taat
dalam situasi yang serba rugi (neraka). 13
Di dalam kondisi yang serba relatif, diri manusia adalah
migran abadi yang akan segera kembali kepada Tuhan. Untuk itu
manusia harus mampu meningkatkan keselarasan dengan realitas
tertinggi dan transenden melalui ketakwaan. Dengan ketakwaannya,
manusia akan memperoleh kesempurnaan yang layak, sesuai dengan
naturalnya. Dengan kesempurnaan itu pula, manusia akan menjadi
sosok yang ideal, yang mampu memancarkan atribut-atribut
ketuhanan (ilâhiyyah) dalam cermin dirinya. Kondisi semacam
inilah yang pada saatnya nanti akan menyelamatkan nasibnya di
masa yang akan datang. Oleh sebab itu, ada kalanya manusia
mampu melaksanakan sesuatu perbuatan tatkala ada daya yang
datang kepadanya. Sebaliknya, ia mampu melaksanakan suatu
perbuatan apapun tatkala ia ada daya yang datang kepadanya.
Dengan perantara daya, Tuhan selalu campur tangan. Bahkan bisa
dikatakan manusia tidak ada daya sama sekali terhadap segala
perbuatannya. Aliran teologi yang tergolong dalam kategori ini
adalah Jabariyyah.

c. Aliran Konvergensi
Aliran konvergensi menganggap hakikat realitas transenden
bersifat supra sekaligus intrakosmos personal dan impersonal.
Lahut dan nashut, makhluk dan Tuhan, sayang dan jahat, lenyap dan
abadi, tampak dan abstrak, dan sifat-sifat lainnya yang dikotomik.
Ibn ‘Arabî (1165-1240) menamakan sifat-sifat yang semacam ini
dengan insijam al-azalî (prestabilished harmny). Aliran ini

13
Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 46.

56 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


memandang bahwa manusia adalah tajjahatau cermin asma dan
sifat-sifat realitas mutlak itu.14Bahkan, seluruh alam (kosmos),
termasuk manusia, juga merupakan cermin asma’ dan sifat-Nya
yang beragam.
Oleh sebab itu, eksistensi kosmos yang dikatakan sebagai
pencipta pada dasarnya adalah penyingkapan asma dan sifat-sifat-
Nya yang azali. Aliran konvergensi memandang bahwa pada
dasarnya, sagala sesuatu itu berada dalam ambigu (serba ganda),
baik secara substansial maupun formal. Sesuatu substansial, sesuatu
mempunyai nilai-nilai batini, huwiyah dan eternal (qadim) karena
merupakan gambaran al-Haqq. Dari sisi ini, sesuatu dapat
dimusnahkan kapan saja karena sifat makhluk adalah profan dan
relatif. Eksistensinya sebagai makhluk adalah mengikuti sunnat
Allâh atau natural law (hukum alam) yang berlaku. Aliran ini
berkeyakinan bahwa hakikat daya manusia merupakan proses kerja
sama antar daya yang transendental (Tuhan) dalam bentuk
kebijaksanaan dan daya temporal (manusia) dalam bentuk teknis.
Dampaknya, ketika daya manusia tidak berpartisipasi dalam
proses peristiwa yang terjadi pada dirinya, daya yang transendental
yang memproses suatu peristiwa yang terjadi pada dirinya. Oleh
karena itu, ia tidak memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan.
Sebaliknya, ketika terjadi suatu peristiwa pada dirinya, sementara ia
sendiri telah berusaha melakukannya, maka pada dasarnya kerja
sama harmonis antara daya transendental dan daya temporal.
Konsekuensinya, manusia akan memperoleh pahala atau siksaan dari
Tuhan, sebanyak andil temporalnya dalam mengaktualkan peristiwa
tertentu.
Kebahagiaan, bagi para penganut aliran konvergensi, terletak
pada kemampuannya membuat pendulum agar selalu tidak jauh ke

14
Lihat Muhyî Al-Dîn Ibn ‘Arabî, Fusus Al-Hikam, (Beirut : Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2009), h. 22.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 57


kanan atau ke kiri, tetapi di tengah-tengah antara ekstrimitas.15
Dilihat dari sisi ni, Tuhan adalah sekutu manusia yang tetap, atau
lebih luas lagi bahwa Tuhan adalah sekutu makhluk-Nya, sedangkan
makhluk adalah sekutu Tuhannya. Ini karena, baik manusia atau
makhluk merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan
sebagaiman keterpaduan antara dzat Tuhan dan asma serta sifat-
sifat-Nya. Kesimpulannya, kemerdekaan kehendak manusia yang
profan selalu berdampingan determinisme transcendental Tuhan
yang sakral dan menyatu dalam daya manusia. Aliran kalam yang
dapat digolongkan ke dalam kategori ini adalah Asy’ariyyah.

d. Aliran Nihilis
Aliran ini mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat
mutlak. Hakikat prioritasnya nihil semuanya atau nonsens. Aliran
Nihilis menganggap bahwa hakekat realitas transenden hanyalah
ilusi. Aliran ini pun menolak tuhan yang mutlak, tetapi menerima
berbagai variasi Tuhan kosmos. Kekuatan terletak pada kecerdikan
diri sendiri manusia sendiri sehingga mampu melakukan yang
terbaik dari tawaran yang tebentuk. Idealnya, manusia mempunyai
kebahagian besifat fisik yang merupakan titik sentral perjuangan
seluruh manusia. Manusia hanyalah bintik kecil dari aktivitas
mekanisme dalam suatu masyarakat yang serba kebetulan. Kekuatan
terletak pada kecerdikan diri manusia sendiri sehingga mampu
melakukan yang terbaik dari tawaran yang terburuk. Idealnya,
manusia mempunyai kebahagiaan yang bersifat fisik, yang
merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.
Semua aliran kalam, baik Asy’ariyyah, Mâturîdiyyah apalagi
Mu’tazilah sama mempergunakan akal dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kalam yang timbul di kalangan umat Islam.
Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan

15
Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 47.

58 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


dalam derajat kekuasaan yang diberikan kepada akal. Kalau
Mu’tazilah berpendapat, bahwa akal mempunyai daya yang kuat,
Asy’ariyyah sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai daya
yang sedikit. Dan kesemua aliran tersebut juga berpegang kepada
wahyu.16
Dalam hal ini, perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran
itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai teks ayat-ayat
al-Qur’ân dan hadits. Perbedaan interpretasi inilah yang sebenarnya
menimbulkan paham-paham yang berlainan itu. Hal ini juga tidak
lain sebagai hal yang terdapat dalah bidang hukum Islam atau fikih.
Di sana juga, perbedaan interpretasilah yang melahirkan mazhab-
mazhab seperti yang dikenal sekarang, yaitu mazhab Hanafiyyah,
mazhab Mâlikiyyah, mazhab Syâfi’iyyah dan mazhab Hanâbilah.

3. Corak Kalam Modern


Jika membahas era yang modern, maka ukurannya adalah ada
sesuatu yang membutuhkan perubahan secara mendasar. Ketika
mencari hal mendasar batasan antara kalam klasik dengan modern,
maka yang dibutuhkan bukanlah objek bahasannya, tetapi kerangka
pikir dan analisa terhadap problematika yang paling mendasar.
Sehingga dapat memberikan pola pemikiran yang berubah dan baru
tanpa meninggalkan secara totalitas objek bahasan masa lalu
melainkan cara pandang solusif dan manfaat serta rahmat bagi
kepentingan semua elemen yang ada dimuka bumi. Ruang lingkup
ilmu kalam yang bersifat transenden spekulatif dalam realitas
historisnya, banyak membicarakan tentang zat, sifat Tuhan,
kenabian (nubuwwah), eskatologi, dosa besar, surga dan neraka,
qadim dan tidak qadimnya al-Qur’ân.
Hal demikian mendapat kritikan karena ilmu kalam hanya
berputar pada persoalan ketuhanan dengan berbagai permasalahan

16
Teuku Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Kalam,
(Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009), 35.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 59


nya, ilmu kalam condong melangit dan kurang membumi. Dengan
demikian ilmu kalam dianggap membeku, tidak melihat kebutuhan
teologi masyarakat abad modern yang haus akan siraman dan
bimbingan pemikiran yang sederhana dan faktual. 17Ada beberapa
ciri yang menandai modernisme Islam yang telah dikenal luas dalam
kajian-kajian terdahulu. Hamilton Gibb menitik beratkan kepada ciri
“apologetik”.
Ciri ini ditandai dengan sikap pembelaan terhadap Islam dari
berbagai tantangan yang datang dari kaum kolonial dan missionaris
kristen. Apologia, menurut Gibb dilakukan sebagai upaya untuk
menunjukkan keunggulan Islam daripada peradaban barat, tetapi ia
menambahkan satu ciri lagi yakni “Romantisme”. Hal itu terlihat
dari cara mereka mengagungagungkan zaman awal dan zaman
kegemilangan peradaban Islam dimasa lampau dalih apologetik lain
yang seringkali dikemukakan oleh kaum modernis, masih kata
Smith, adalah bahwa kemunduran Islam bukanlah disebabkan
kesalahan doktrin agama itu, melainkan kesalahan penganut-
penganutnya.
Puncak kesalahan itu karena umat Islam adalah telah
melupakan agamanya. Dengan demikian ciri-ciri yang dikemukakan
oleh orintalis tersebut dikritik oleh Edward Said, Marshall G.S
Hodgson dan Robert N Bellah. Sikap Arkoun yang tidak
memberikan batasan terhadap modernitas itu cukup bijaksana, sebab
jika ia mendefinisikannya sebagaimana pada umumnya dipahami
sekarang sebagai apa yang ada pada masa kini, maka tidak dapat
ditentukan secara pasti kapan dan dimana modernitas itu
mendapatkan momentumnya.18

17
Abbas, Paradigma dan Corak Pemikiran Teologi Islam Klasik dan
Modern, (Kendari : IAIN, 2015), h. 8-9.
18
Suadi Putra, Muhammad Arkoun Islam dan Modernitas, (Jakarta :
Paramadina, 1998), h. 43

60 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Arnold Toynbee, mengatakan bahwa modernisme telah mulai
menjelang akhir abad 15 Masehi, ketika orang Barat berterimakasih
tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri atas
keberhasilannya mengatasi kungkungan kristen abad pertengahan.
Menurut Arkoun, istilah modernitas berasal dari bahasa latin
modernus pertama kali dipakai di dunia Kristen pada masa antara
490 dan 500 yang menunjukkan perpindahan dari masa Romawi
lama ke periode masehi. Modernitas pada masa klasik Eropa sendiri
telah berjalan sejak abad ke-16 hingga tahun 1950 an.19Sementara
itu Fazlur Rahman, Deliar Noer, dan Mukti Ali lebih menonjolkan
karakteristik modernisme pada keharusan ijtihad, khususnya ijtihad
pada masalah-masalah muamalah (kemasyarakatan), dan penolakan
mereka terhadap sikap Jumud (kebekuan berpikir) dan Taklid
(mengikuti sesuatu tanpa pengertian).
Kaum modernis senantiasa menggalakkan ijtihad dan
membedakan doktrin ke dalam dua bidang, yaitu ibadah dan
muamalah, dalam bidang ibadah, semua peraturannya telah dirinci
dengan syariah, sehingga tidak adalagi kreatisfitas dalam hal ini.
Dalam bidang muamalah syari’ah hanya memberikan prinsip-prinsip
umum, di samping menetapkan hudud (batas-batas) yang tidak bisa
dilampaui, dalam muamalah ini kaum modernis berpendapat bahwa
kreatifitas harus didorong. Mereka berdalih bahwa tanpa ijtihad
Islam akan kehilangan relevansinya dengan zaman.20
Pada aliran-aliran teologi klasik dalam Islam, sebenarnya
telah memiliki kebebasan pilihan untuk menentukan beberapa
kecenderungan aliran untuk kebebasan yang mengarah kepada
berpikir modern, antara lain paham Qadariyyah dan Mu’tazilah,
potensi dasar inilah yang memang menenmpatkan potensi akal atau
rasio lebih dominan ketimbang wahyu, sehingga sangat

19
Suadi Putra, Muhammad Arkoun Islam dan Modernitas , h. 42.
20
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam politik
Islam, (Jakarta : Paramadina, 1999), h. 14-15.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 61


memungkinkan untuk menjadikan wajah Islam dengan karakteristik
berpikir modern sesuai dengan pengalaman Barat.21Hal-hal lain yang
menjadi isu-isu paradigma pembaharuan pandangannya terhadap
masyarakat Muslim, dalam konteks kemodernan terkait dengan
penjajahan, penindasan, keterbelakangan, kemiskinan, stagnasi
pemikiran maupun hegemoni peradaban barat yang sekuler, sedang
dalam diskursus kontemporer, semakin mengedepankan kesejarahan,
sosial, dan kemanusiaan.
Berbagai paradigma umum diatas, bukan merupakan sesuatu
yang mutlak dan permanen tetapi bagi para penganut pemikir
modern kontemporer secara khusus memiliki paradigma karakter
dan pola gerakan berdasarkan latar belakang dan situasi sosial yang
masingmasing tokoh berbeda satu dengan yang lainnya sehingga
paradigma pemikiran tersebut menjadi icon masing-masing. Ziaul
Haque, dia berpendapat bahwa revolusi yang digerakkan oleh Nabi
bertujuan untuk melawan diskriminasi, dominasi, dan memanipulasi
kesadaran. Mereka berada di gardu depan dalam memerangi
kelompok-kelompok dan kelas-kelas penguasa yang korup dan
lalim.22
Begitu juga dengan pemikir-pemikir teologi yang lain seperti
Asghar Ali Engineer dengan Islam dan pembebasan teologi (Islam
and liberation Theologi) dan Hasan Hanafi dengan Islam Kiri (al-
Yasâr al-Islâmî), begitu juga dengan Murtadha Muthahhari dengan
konsep Keadilan yang mencoba mencari jalan tengah dalam teologi
yakni dengan prinsif imam-imam maksum. Begitu juga dengan para
pembaharu lain yang lebih toleran terhadap pemikiran barat karena
ada unsur positifnya. Persamaan dan perbedaan corak teologi klasik
dan modern adalah jika dibatasi dengan waktu, maka kalam klasik

21
Abbas, Paradigma dan Corak Pemikiran Teologi Islam Klasik dan
Modern, h. 9.
22
Muhammad In ‘ Am Esa, Rethingking Kalam, (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2006), h. 68.

62 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


adalah warisan dari kalam masa lalu dalam bentangan sejarah Islam
dan memiliki ciri apologitatik (perdebatan panjang pada wilayah
dosa besar, eskatologi, surga dan neraka dan kekekalan al-Qur’ân)
dan romantisme mengenang dan merindukan kehebatan dan
keunggulan para teolog masa lalu tanpa mengisi dan mempersiapkan
konpetisi global yang akan dihadapi. Sedangkan corak pemikiran
kalam modern lebih mengutamakan substansi daripada form, dan
mengfungsikan nilai-nilai Islam untuk mengatasi persoalan
keumatan yang konkrit seperti kebodohan, kemiskinan,
pengangguran, dan keterbelakangan sosial serta mengembangkan
ilmu pengetahuan dan sains dalam kerangka kesejahtraan dan
ketentraman umat manusia di muka bumi ini.23

B. Identifikasi Corak Kalam Syekh Nawawi


Untuk lebih mudah memahami pemikiran kalam Syekh
Nawawi al-Bantani, maka perlu diidentifikasi tentang corak dan
kerangka berfikirnya dalam kalam. Untuk itu dalam hal ini, penulis
akan memaparkan tentang masalah-masalah yang menjadi titik
perbedaan di kalangan teolog muslim klasik untuk mencoba
merepresentasikan corak kalam Syekh Nawawi al-Bantani, yaitu
tentang fungsi akal dan wahyu serta kedudukannya, perbuatan
manusia, konsep iman, janji dan ancaman Allah, serta pemahaman
beliau tentang ayat-ayat antroposentris dan mutasyâbihât.
1. Posisi Akal dan Wahyu
Akal dan wahyu dalam Islam menempati posisi yang sangat
terhormat, melebihi agama-agama lain. Karena akal dan wahyu
adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang
memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan
kepada Sang Kholiq, akalpun harus dibina dengan ilmu-ilmu
sehingga menghasilkan budi pekerti yang sangat mulia yang

23
Abbas, Paradigma dan Corak Pemikiran Teologi Islam Klasik dan
Modern, h. 15.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 63


menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda Nabi
Muhammad SAW. Tidak hanaya itu dengan akal juga manusia bisa
menjadi ciptaan pilihan yang Allah amanahkan untuk menjadi
pemimpin di muka bumi ini, begitu juga dengan wahyu yang di
mana wahyu adalah pemberian Allah yang sangat luar biasa untuk
membimbing manusia pada jalan yang lurus.
Dalam ajaran agama yang diwahyukan, ada dua jalan untuk
memperoleh pengetahuan, pertama, jalan wahyu dalam arti
komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua, melalui jalan
akal, yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dengan memakai
kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran
untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang
dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang
pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin
benar dan mungkin salah.
Allah telah menciptakan manusia dengan banyak hidayah dan
anugerah, beberapa di antaranya yang menjadi pembeda antara
manusia dengan makhluk lainnya adalah akal dan wahyu di mana
hanya manusialah yang memiliki hal tersebut, berbeda dengan
hewan yang hanya memiliki nafsu saja. Jika manusia menerima
wahyu tersebut. maka ia akan mendapatkan bimbingan untuk akal
atau rasionya yang terkadang ragu-ragu dan mengalami kekacauan.
Islam juga menantang akal manusia agar mendatangkan kitab
semisal al-Qur’ân.24
Diharapkan dengan ketidakmampuan akal mendatangkan
kitab semisal al-Qur’ân, manusia mau mengakui bahwa al-Qur’ân
benar-benar datang dari sisi Allah SWT. Oleh karena itu, timbullah
permasalahan-permasalahan dari adanya dua sumber pengetahuan
yang berlainan sifat ini. Pengetahuan mana yang lebih mempunyai
kedudukan yang tinggi, dan apa sajakah yang mampu diperoleh akal

24
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 81.

64 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


dan wahyu? Dalam hal ini, penulis akan mencoba membahas
masalah akal dan wahyu itu dalam pandangan Syekh Nawawi.
Menurut Nawawi, posisi wahyu lebih tinggi ketimbang akal
manusia, meskipun keduanya berasal dari Tuhan. Tidak semua hal
mampu ditangkap oleh daya akal manusia, oleh karenanya Tuhan
mengutus para Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada manusia.
Dalam masalah akidah, ada pembahasan yang tidak bisa dijangkau
oleh akal, seperti masalah sam’iyyah, oleh karenanya manusia
mendapatkan informasi itu melalui wahyu. Hal itu menunjukan
keterbatasan akal, dengan arti akal tidak mampu menjangkau segala
sesuatu dengan bebas dan mutlak.25
Dalam masalah mengetahui Tuhan, menurut nawawi akal
mampu untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tanpa
perantara wahyu.26Akan tetapi, mengenai nama Tuhan yaitu “Allah”
dan juga nama-nama-Nya yang baik (asmâ’ al-husnâ’) tidak bisa
diketahui kecuali dari perantara wahyu yang dibawa oleh seorang
Rasul. Kemudian kewajiban mengetahui Tuhan, perintah dan
larangan Tuhan, menurut Nawawi adalah dapat diketahui melalui
wahyu bukan oleh akal. Nampaknya dalam pemahaman Syekh
Nawawi tentang wahyu dan akal lebih berat kepada pemikiran
Asy’ariyyah ketimbang Mâturîdiyyah. Meskipun dalam masalah
akidah, Nawawi menyerukan untuk mengikuti dua mazhab,
Asy’ariyyah dan Mâturîdiyyah.

25
Syekh Nawawi al-Bantani, Nihâyat al-Zain Fî Irsyâd al-Mubtad’în,
(Jakarta : Dar al-Kutub al-Islâmiyyah, 2008), h. 6.
26
Syekh Nawawi al-Bantani, Fath al-Majîd Fî Syarh al-Durr al-Farîd Fî ‘Ilm
al-Tauhîd, (Indonesia : al-Haramain, t.t.), h. 4.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 65


Tuhan

Wahyu

KMT
MT
MBB
KMBB

Manusia
Syekh Nawawi al-Bantani
Akal

2. Konsep Iman
Sebelum menjelaskan pengertian iman menurut Syekh
Nawawi, maka perlu memaparkan konsep iman menurut aliran-
aliran kalam klasik agar mudah untuk mengklasifikasi konsep iman
yang dipahami Syekh Nawawi. Konsep iman menurut aliran
Khawârij ialah bahwa yang dikatakan iman itu bukan pengakuan
dalam hati (tasdîq bi al-qalb) dan ucapan lisan saja (taqrîr bi al-
lisân), tetapi amal ibadah menjadi rukun iman saja. Menurut
Khawârij, orang-orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat
dan lain-lain, maka orang itu kafir.
Tegasnya sekalian yang berbuat dosa baik besar maupun
kecil, maka orang itu kafir, wajib diperangi dan boleh dibunuh,
boleh dirampas hartanya. Al-Muhakkimah, salah satu golongan
Khawârij asli yang pertama memunculkan paham kafir pada setiap
orang yang berbuat dosa besar dan akan kekal di neraka. Paham
Khawârij yang lebih ekstem ialah Khawârij Al-Azâriqah. Golongan
ini menganggap syiriknya atau polythisme orang yang melakukan
dosa besar. Di dalam ajaran Islam dosa syirik atau polythisme lebih
besar dari dosa kafir.

66 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Mereka juga berpendapat setiap orang yang tidak sepaham
dengan mereka adalah musyrik yang boleh dibunuh.27 Mu’tazilah
berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan
mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kufur, tetapi
dihukumi sebagai orang fasik. Di akhirat ia akan dimasukkan ke
neraka untuk selama-lamanya, tetapi agak dingin tidak seperti
nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak masuk surga. Jelasnya
menurut kaum Mu’tazilah, orang mukmin yang berbuat dosa besar
mati sebelum tobat, maka menempati tempat di antara dua tempat,
yakni antara neraka dan surga. Iman bagi mereka digambarkan,
bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga oleh
perbuatan-perbuatan.28 Dengan demikian pembuat dosa besar tidak
beriman, oleh karena itu tidak dapat masuk surga. Tempat satu-
satunya ialah neraka. Tetapi tidak adil kalau ia di dalam neraka
mendapat siksaan yang sama berat dengan orang kafir. 29Oleh karena
itu pembuat dosa besar, betul masuk neraka, tetapi mendapat siksa
yang lebih ringan. Inilah menurut Mu’tazilah, posisi menengah
antara mukmin dan kafir, dan itulah pola keadilan.
Menurut Asy’ariyyah, sebagaimana dijelaskan oleh Syahras
tânî, iman secara esensial adalah tasdîq bi al-janân (membenarkan
dengan hati). Sedangkan ucapan dengan lisan (taqrîr bi al-lisân) dan
melakukan berbagai kewajiban utama (a’mâl bi al-arkân) hanya
merupakan furû’(cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun
yang membenarkan keesaan Allah dengan hatinya dan juga
membenarkan utusan-utusannya beserta apa yang mereka bawa dari-

27
Kata Pengantar: Harun Nasution. Editor: M. Amin Nurdin dan Afifi
Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran dalam Islam, (Jakarta : PT. Pustaka Utama, 1998),
h. 107-108.
28
M. Rifa’i dan Rs. Abdul Aziz, Pelajaran Ilmu Kalam, (Semarang : CV.
Wicaksana, 1994), h. 79
29
Bakir Yusuf Barmawi, Konsep Iman dan Kufur dalam Teologi
Islam, (T.tp. : PT. Bina Ilmu, 1987), h. 16-19

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 67


Nya, iman secara ini merupakan sahih.30Dan keimanan seseorang
tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal
tersebut. Oleh karena itu, pokok iman bagi mereka adalah tasdîq.
Tasdîq menurut Asy’ariyyah merupakan pengakuan dalam
hati yang mengandung makrifat terhadap Allah. Selanjutnya konsep
iman menurut aliran Maturîdiyyah yang terdiri atas dua kelompok,
yaitu Mâturîdiyyah Samarkand, dan Mâturîdiyyah Bukhârâ. Aliran
Mâturîdiyyah Samarkand berpendapat, bahwa iman adalah tasdiq bi
al-qalb, bukan semata-mata iqrâr bi al-lisân. Apa yang diucapkan
oleh lisan dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal (tidak sah)
bila hati tidak mengakui ucapan lisan. Pendapat Al-Mâturîdî tidak
berhenti sampai di situ. Menurutnya, tasdîq, seperti yang dipahami
di atas, harus diperoleh dari makrifat. Tasdîq hasil dari makrifat ini
didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan
wahyu. Lebih lanjut, Al-Mâturîdî mendasari pandangannya pada
dalil naqli, yaitu surat al-Baqarah :
َ ‫ـال أ ََوَْ ُـ ْـؤِمٰ قَـ‬ ِ َ ‫وإِ ْذ قَـ‬
‫ـال بَـلَـ وـى‬ َ ‫ـى ُْٱـ ِـى َلْ َ ـ ْـوَ وى قَـ‬ َ ‫ـال إِبْـ َـراه ُيم َر ِب أَِرَِ َكْيـ‬ َ
ِ ِ ِ ِ‫و‬
ْ ‫َج َعـ‬ ْ َُّْ ‫ـك‬َ ‫ص ْـرُه َّٰ إِلَْي‬
ُ َ‫َولَكٰ ليَطْ َ ئ َّٰ قَـلِِْب قَ َال فَ ُخـ ْْ أ َْربَـ َعـ مة م َـٰ َلطَّ ِْـف ف‬
ْ‫َََ َع ِْيـ‬َّ ‫َن‬َّ ‫َعلَ ْـم أ‬
ْ ‫ـك َس ْـعيما َو‬ َ َ‫َعلَ وى ُك ِ َجبَ ٍ ِمنْـ ُه َّٰ ُج ْـْءما َُّْ َْدعُ ُه َّـٰ َِْْين‬
‫َح ِكيم‬
“Dan (ingatlah) ketika Ibrâhîm berkata: “Ya Tuhanku,
perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan
orang mati”. Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?”.
Ibrâhîm menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar
hatiku tetap mantap (dengan imanku)”. Allah berfirman:
“(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu
cingcanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu
letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-

30
Abû Al-Fath Muhammad bin ‘Abd al-Karîm al-Syahrastânî, Al-Milal wa
al-Nihal, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2013), Jil ke-1, h. 88.

68 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka
datang kepadamu dengan segera”. Dan ketahuilah bahwa
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. 31

Pada surat al-Baqarah tersebut, dijelaskan bahwa Nabi


Ibrâhîm meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti
dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrâhîm
tersebut, lanjut Al-Mâturîdî, bukanlah berarti bahwa Ibrâhîm belum
beriman, akan tetapi, Ibrâhîm mengharapkan agar iman yang telah
dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil makrifat. Jadi,
menurut Al-Mâturîdî, iman adalah tasdîq yang berdasarkan
makrifat. Meskipun demikian, makrifat menurutnya bukanlah esensi
iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman.32
Selanjutnya pengertian iman menurut Mâturîdiyyah Bukhârâ,
seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawî, adalah tasdîq bi al qalb
dan tasdîq bi al-lisân. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tasdîq bi al-qalb
adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan
Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang
dibawanya. Adapun yang dimaksud dengan tasdiq al-lisân adalah
mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. 33
Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyyah,
yaitu sama-sama menempatkan tasdîq sebagai unsur esensial dari
keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda. Iman
merupakan hal yang mendasar dalam doktrin Islam. Iman adalah
suatu bentuk kepercayaan dan pengakuan yang timbul dari hati
seorang Muslim terhadap semua yang dibawa dan disampaikan oleh
Nabi Muhammad SAW. Pengertian iman Syekh Nawawi bersumber
dari hadits Nabi yang disebut sebagai hadits Jibril yang

31
Al-Qur’ân Surat al-Baqarah : ayat. 260.
32
Abû Mansûr al-Mâturîdî, Kitâb Al-Tauhîd, (Beirut : Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2006), h. 273.
33
Harun Naution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, h. 148.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 69


diriwayatkan oleh Imâm Muslim dari ‘Umar bin Khattâb sebagai
berikut :
،‫ وكتبـه‬،‫كتـه‬،‫ ومه‬،‫ ن أن ـؤمٰ وهلل‬: ‫ قـال‬،‫ فأخربين عـٰ اإلاـان‬: ‫قال‬
.‫صدقت‬
َ : ‫ قال‬،‫ خفه زشرهن‬: ‫ و ؤمٰ ولقدر‬،‫ واليوم الهخر‬،‫ورسله‬
“ Jibril bertanya (kepada Muhammad) : Beritahukan kepadaku
tentang iman? Nabi menjawab : “Iman adalah, engkau
beriman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada
kitab-kitab-Nya, kepada Rasul-rasul-Nya, kepada hari akhir,
dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk”.
Ia berkata : “engkau benar”.34

Di dalam menjelaskan hadits di atas, Syekh Nawawi


mengatakan bahwa yang dimaksud dengan iman adalah engkau
membenarkan dalam hati terhadap wujud Allah dan sifat-sifat-Nya
yang wajib, juga tentang melihat Allah di akhirat bagi seorang
mukmin, membenarkan malaikat-malaikat Allah, dan meyakini
bahwa mereka adalah hamba-hamba yang dimuliakan-Nya,
membenarkan para Rasul-rasul-Nya, juga membenarkan sesuatu
yang mereka sampaikan itu datang dari Allah, membenarkan adanya
hari akhir dan kebangkitan, juga takdir Allah yang baik dan yang
buruk.35
Inilah pengertian iman yang dipahami oleh Syekh Nawawi
yang berumber dari hadits Jibrîl tersebut di atas. Dari semua
cakupan iman yang dijelaskan Nawawi di atas, ada hal yang
mendasar dari iman itu sendiri, yaitu “Al-Tasdîq”(membenarkan
dalam hati).36Menurutnya pokok iman adalah pembenaran dalam

34
Abû al-Hasan Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî, Al-Jâmi’ Al-Sahîh, (Kairo
: Dar al-Hadîts, 2010), h. 28.
35
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Qatr al-Ghaits fî Masâ’il Abî Laits,
(Jakarta : Dar al-Kutub al-Islâmiyyah, 2011), h. 9.
36
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Qâmi’ al-Tughyân fî Manzûmah Syu’b
al-Îmân, (Jakarta : Dar al-Kutub al-Islâmiyyah, 2008), h. 2.

70 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


hati, maka tidak sah imannya seseorang yang imannya disertai
dengan keraguan (skeptis) di dalam hati tentang hal-hal yang telah
disebutkan di atas. Karena bagi Nawawi meragukan hal-hal itu bisa
mengantarkan seseorang terhadap kemurtadan dalam akidah,37Oleh
karenanya, tasdîq adalah hal yang paling pokok dan mendasar dalam
iman. Selanjutnya tentang aplikasi iman itu sendiri yang berupa
bentuk ketaatan dalam ibadah adalah bukan hal mendasar,
melainkan cabang dari pokok iman ia mengatakan :
‫أن أع ال اإلاان ذوات أجْاء وخصال وهي اليت ْيد أع ـال اإلنسـان‬
‫ وأم ــا أص ـ اإلا ــان ال ــْ ه ــو‬.‫وإل يــان و ــا و ــنق ب ـ و ش ــيل منه ــا‬
‫ ألنــه لـو نقـ لكـان شــكا وال يصـح اإلاـان مـ‬، ‫التصـدي فـال يـنق‬
.‫الشك‬
“Sesungguhnya amal-amal iman mempunyai beberapa bagian-
bagian yang bisa membuat iman manusia menjadi bertambah
dengan mengerjakannya, dan menjadi berkurang dengan
meninggalkannya. Adapun pokok iman yang dalam arti tasdîq
(pembenaran dalam hati) tidaklah berkurang, karena jika
berkurang pastilah ada keraguan, dan tidaklah sah iman yang
disertai dengan kegaruan itu”.38

Dari pernyataan Nawawi di atas, bisa dikatakan bahwa tasdîq


adalah hal yang esensial (pokok) dari iman, sedangkan taqrîr bi al-
lisân menurutnya adalah afdal al-syu’’bah (paling utamanya cabang
keimanan). Pengertian iman menurut Nawawi dari sisi etimologi
adalah multaq al-tasdîq, sedangkan dari sisi terminologi syari’at
adalah :

37
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam al-Taufîq, (Indonesia : Al-
Haramain, t.t.), h. 10.
38
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Qâmi’ al-Tughyân, h. 2-3.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 71


‫وشـرعا التصـدي ي يـ مـا جــاء بـه النـل صــلى للا عليـه وســلم ـا علــم‬
.‫مٰ الديٰ ولضرورة ال مطلقام‬
‫ن‬Iman menurut syari’at adalah membenarkan semua yang
datang dari Nabi Muhammad SAW, dari sesuatu yang mudah
dipahami dari agama bukan secara mutlak.”39

Sedangkan makna tasdîq menurut Nawawi adalah hadîts al-


nafsî (ucapan hati) yang disertai dengan keteguhan, baik keteguhan
karena bersumber dari dalil yang disebut dengan iman yang
makrifat, dan yang tidak bersumber dari taklid yang disebut iman
taklid. Makna hadîts al-nafsî adalah hatimu berkata “ aku ridho
terhadap sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW. Jelaslah
bahwa iman menurut Syekh Nawawi adalah tasdîq bi al-qalb,
sedangkan aplikasinya adalah furû’ atau syu’bah (cabang keimanan).
Bagi Nawawi, orang beriman yang melakukan dosa besar
(murtakib al-kaba’ir) masilah disebut mukmin, akan tetapi mukmin
yang fasik. Menurutnya perbuatan dosa besar tidak membuat
seseorang menjadi kafir selagi masih ada iman dalam hati. Pelaku
dosa besar masih disebut sebagai mukmin, akan tetapi mukmin yang
fasik dan tidak disebut kafir, mereka tidak kekal di dalam neraka.40
Menurutnya, seorang mukmin adalah orang yang mati dalam
keadaan membawa iman, meskipun pernah mengalami masa
kekafiran sebelum ia beriman. Dan orang kafir adalah yang mati
dalam keadaan kufur (tidak membawa iman), meskipun pernah
beriman sebelum kufurnya, dan ia kekal dalam neraka.
Menurut Nawawi mukmin terbagi menjadi dua macam, ada
mukmin yang fasik (mukmin yang berbuat maksiat), ada mukmin al-

39
Syekh Nawawi al-Bantani, Kâsyifat Al-Sajâ fî Syarh Safînat Al-Najâ,
(Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2012), h. 18.
40
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Qâmi’ al-Tughyân, h. 5.

72 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Nâjî (mukmin yang selamat akidah dan amalnya). 41 Sedangkan kafir
pun terbagi menjadi dua macam, ada yang disebut kafir asli (kafir
keturunan), ada juga kafir murtad (yang keluar dari Islam),
keduanya kekal dalam neraka. Selanjutnya iman menurut Nawawi
juga terbagi menjadi lima macam iman : iman taklid, iman ilmu,
iman ‘ayyan, iman haq, dan iman hakikat. Iman taklid adalah :
‫إاـان قليـد وهـو اجلـْم بقـول ال ـف مـٰ عـف أن يعـرف دلـيالم وهـو يصــح‬
‫إاان ــه م ـ ـ العص ــيان ب ك ــه الن ــر أ اإلس ــتدالل إن ك ــان ق ــادرام عل ــى‬
. ‫الدلي‬
“Iman taklid adalah keteguhan atau kemantapan hati yang
disebabkan perkataan orang lain tanpa mengetahui dalil, dan
iman ini hukumnya sah disertai dengan maksiat, dengan sebab
ia meninggalkan berfikir (berdalil) jika ia mampu
melakukannya.”

Sedangkan iman ilmu adalah :


‫ـ ــد نيدلتهـ ــا وهـ ــْا مـ ــٰ علـ ــم اليقـ ــني وكـ ــال‬،‫إا ــان علـ ــم هـ ــو معرف ــة العقا‬
.‫القس ني صاحبه ا حمجوب عٰ ذات للا عاىل‬
“Iman ilmu adalah mengetahui akidah-akidah beserta dalil-
dalilnya, dan ini adalah bagian dari ilmu yakin. Dan bagi yang
mempunyai kedua bagian itu (iman taklid dan iman ilmu),
termahjub dari zat Allah.”42
Selanjutnya iman ‘ayyan adalah :
‫إاان عيان هو معرفة للا مبراقبة القلب فال ي يـب ربـه عـٰ خلطـره طرفـة‬
.‫عني‬

41
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân al-Darârî, h. 13.
42
Syekh Nawawi al-Bantani, Kâsyifat Al-Sajâ fî Syarh Safînat Al-Najâ, h.
18.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 73


“Iman ‘ayyan adalah makrifat kepada Allah dengan
pengawasan hatinya, segingga Allah tidak luput sekejap mata
pun dari benaknya.”

Iman haq adalah :


‫إاان ح هو ريية للا عاىل بقلبه وهو مع ى قومهم العارف يـرر ربـه‬
.‫ك شيل وهو مقام املشاهدة‬
“Iman haq adalah melihat Allah dengan hatinya. Inlah makna
perkataan para ulama “orang yang arif selalu melihat
Tuhannya pada setiap sesuatu, dan ini adalah maqam
musyâhadah.”

Dan terkahir iman hakikat :


.‫ فال يشهد إال إَيه‬،‫إاان حقيقة هو الفناء وهلل والسكر حببه‬
“Iman hakikat adalah fana’ dengan Allah, dan mabuk
terhadap cinta kepada-Nya. Ia tidak menyaksikan apapun
kecuali hanya Allah.”43

Dari macam-macam iman tersebut, salah satu dari dua macam


iman yang pertama, wajib hukumnya bagi seeorang Muslim untuk
meraihnya, yaitu iman taklid dan iman ilmu. Dari penjelasan iman
menurut Syekh Nawawi di atas, jelaslah bahwa konsep iman yang
dianutnya sepaham dengan konsep iman Asy’ariyyah dan
Mâturîdiyyah baik Bukhârâ maupun Samarkand, meskipun Nawawi
lebih selaras dengan Bukhârâ, yaitu bahwa esensi iman adalah tasdîq
bi al-qalb (membenarkan dengan hati). Adapun taqrîr bi al-lisân
(pengakuan melalui lisan), dan a’mâl bi al-arkân (realisasi dengan
perbuatan) adalah hal yang bersifat furu’ (cabang-cabang iman)
bukanlah yang bersifat esensial.

43
Syekh Nawawi al-Bantani, Kâsyifat Al-Sajâ fî Syarh Safînat Al-Najâ, h.
19.

74 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


3. Sifat-sifat Tuhan
Dalam masalah sifat-sifat Tuhan, banyak terjadi perbedaan di
kalangan mazhab kalam. Dengan demikian sebelum membahas
pendapat Syekh Nawawi tentang sifat-sifat Tuhan, terlebih dahulu
dipaparkan perbedaan tersebut agar lebih terbuka orientasi
pemikiran Syekh Nawawi dalam masalah ini. Menurut Mu’tazilah
Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat sebagaimana pendapat
golongan lain. Apa yang dipandang sifat dalam pendapat aliran
sifâtiyyah (yang mempercayai sifat Tuhan), bagi Mu’tazilah tidak
lain adalah Zat Tuhan sendiri. Untuk menyucikan keesaan Tuhan
(al-tauhîd) yang merupakan doktrin pokok mereka, Mu’tazilah
menafikan sifat-sifat bagi Tuhan.
Dengan cara demikian, Mu’tazilah mengklaim dirinya sebagai
golongan Ahl Al-Tauhîd Wa Al-‘Adl. Allah itu benar-benar esa dari
hal apapun. Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini
dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, sebab jika
Tuhan mempunyai sifat, maka apakah sifatnya qadim atau hadits?
Jika sifat-sifat Tuhan itu qadim, maka wujudlah sesuatu yang qadim
selain Tuhan (ta’addud al-qudamâ). Bagi Mu’tazilah, Tuhan tidak
mempunyai pengetahuan (‘ilm), tidak mempunyai kekuasaan
(qudrah), tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti
bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak
hidup dan sebagainya.
Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, tetapi
mengetahui, berkuasa, dan sebagainya tersebut bukanlah sifat dalam
arti kata sebenarnya. Artinya Tuhan mengetahui dengan
pengetahuan dan pengetahuan itu adalah zat Tuhan itu sendiri. 44
Selanjutnya paham Asy’ariyyah mempunyai pendapat yang
berlawanan dengan paham Mu’tazilah. Mereka dengan tegas

44
Qâdî ‘Abd al-Jabbâr Ahmad, Syarh Usûl Al-Khamsah, (Kairo : Maktabah
Wahbiyyah, 1996), h. 151. Lihat juga Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu
Kalam, (Bandung : Pustaka Setia, 2012) Hal 168 .

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 75


mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Menurut Al-
Asy’arî sebagai penggagas paham Asy’ariyyah sendiri, tidak dapat
diingkari, bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-
perbuatan-Nya. Di samping menyatakan Tuhan mengetahui (âlim),
menghendaki (murîd), berkuasa (qâdir), dan sebagainya juga
menyatakan bahwa Tuhan mempunyai pengetahuan, kehendak, dan
daya. Dan menurut Al-Baghdâdî, terdapat konsesus di kalangan
Asy’ariyyah, bahwa daya pengetahuan (‘ilm), hidup (hayât),
kehendak (irâdah), pendengaran (sama’), penglihatan (basr) dan
sabda Tuhan (kalâm) adalah kekal (azaliyyah wa abadiyyah).45
Sifat-sifat ini kata Al-Ghazâlî, tidaklah sama dengan zat Tuhan,
malainkan lain dari esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu
sendiri.46
Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal,
dan untuk mengatasinya kaum Asy’ariyyah mengatakan bahwa
sifat-sifat itu bukanlah Tuhan (laisat hiya zât), tetapi tidak pula lain
dari Tuhan (wa lâ ghairahâ). Al-Asy’arî mendasarkan pendapatnya
kepada apa yang dilihatnya pada manusia dan sifatnya. 47Atau
dengan sebutan lain, Asy’ariyyah mengharuskan berlakunya soal-
soal kemanusiaan pada Tuhan, atau mengharuskan berlakunya
hukum yang berlaku pada alam lahir dan alam ghaib.
Sifat-sifat zat Tuhan semuanya adalah azali, oleh karenanya
tidak mungkin irâdah-Nya baru (hâdits) seperti yang dikatakan
Mu’tazilah. Golongan Asy’ariyyah mempersamakan Tuhan dengan
manusia dalam soal sifat, dikarenakan menurut mereka sifat-sifat
Tuhan bukanlah zat-Nya, bukan pula lain dari zat-Nya. Jika diamati
lebih cermat, kontradiksi pernyataan di atas nampak jelas sekali.

45
‘Abd al-Qâhir bin Tâhir bin Muhammad al-Baghdâdî, Al-Farq Bain Al-
Firaq, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2013), h. 257.
46
Abû Hâmid al-Ghazâlî, Al-Iqtisâd fî Al-I’tiqâd, (Kairo : Syirkah al-Quds,
2012), h. 94.
47
Abû al-Hasan ‘Alî al-Asy’arî, Kitâb Al-Luma’ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-
Ziyagh wa al-Bida’, (Mesir : T.pn., 1955), h. 38.

76 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


“Bukan zat-Nya”, berarti sifat-sifat itu bukanlah zat Tuhan, akan
tetapi “bukan lain dari zat-Nya” berarti sifat-sifat itu menjadi satu
dengan zat Tuhan (hakikat zat). Dari pendapat Asy’ariyyah yang
demikian ini terlihat seolah-olah mereka menerima pandangan
Mu’tazilah, tetapi sebenarnya tidak demikian. Asy’ariyyah tetap
menolak pandangan Mu’tazilah, sebab mereka memiliki penafsiran
terhadap perkataan “bukan lain zat” dengan mengatakan bahwa
sifat-sifat itu tidak bisa lepas dari zat-Nya.48
Selanjutnya paham Mâturîdiyyah tentang makna sifat Tuhan
cenderung mendekati paham Mu’tazilah, perbedannya Al-Mâturîdî
mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak
adanya sifat tuhan. Aliran ini mengatakan, bahwa pembicaraan
tentang sifat harus didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azali, tanpa pemisahan
antara sifat-sifat zat, seperti qudrah dan sifat-sifat yang
berhubungan dengan Af’âl (perbuatan) seperti menciptakan,
menghidupkan dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut menurut
Mâturîdiyyah tidak boleh diperbincangkan apakah hakikat zat atau
bukan.49
Sementara itu, Mâturîdiyyah Bukhârâ, karena juga
mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa
Tuhan mempunyai sifa-sifat. Persoalan banyak yang kekal (ta’addud
al-qudamâ), mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat
Tuhan kekal melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan
mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifat-Nya kekal.
Sedangkan Mâturîdiyyah Samarkand dalam hal ini kelihatannya
tidak sepaham dengan Mu’tazilah, karena Al- Mâturîdî mengatakan,
bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari Tuhan.50

48
Muhammad Akmal, Tauhid ilmu kalam, (Bandung : Pustaka Setia,
2000), h. 146
49
Abû Mansûr al-Mâturîdî, Kitâb al-Tauhîd, h. 37-38.
50
Muhammad Akmal, Tauhid ilmu kalam, h. 149.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 77


Itulah beberapa gambaran masalah sifat Tuhan yang diperbincang
kan di kalangan mazhab kalam.
Selanjutnya menurut Syekh Nawawi sendiri, Tuhan
mempunyai sifat-sifat yang mesti diketahui oleh seorang Muslim
yang mukallaf. Bahkan tidak hanya sekedar itu, melainkan harus
juga mmengetahui dalil-dalil tentang sifat-sifat Tuhan itu yang baik
yang sifat yang wajib, mustahil, dan yang ja’iz bagi-Nya, meskipun
secara umum saja.51Syekh Nawawi adalah menganut paham sifat 20
yang populer di kalangan Asy’ariyyah. Menurutnya, Tuhan
mempunya sifat-sifat yang wajib (dalam arti wajib akal, bukan
syari’at), yang mustahil, dan yang ja’iz. Oleh karenanya, untuk bisa
memahami sifat-sifat Tuhan yang demikian, maka perlu bagi
seorang Muslim memahami tiga macam pengertian hukum akal
yang meliputi wajib aqlî, mustahil aqlî, dan jâ’iz aqlî.
Sifat-sifat wajib bagi Allah yang 20 terbagi menjadi empat
bagian,52 yaitu sifat nafsiyyah, sifat salbiyyah, sifat ma’âni dan,
sifat ma’nawiyyah. Sifat nafsiyyah yang wajib bagi Allah hanya ada
satu sifat, yaitu, sifat wujud. Sifat salbiyyah terbagi menjdi lima
sifat, yaitu sifat qidam, baqâ, mukhâlafah li al-hawâdits, qiyâmuhu
binafsih, dan wahdâniyyah. Kemudian sifat ma’ânî terbagi menjadi
tujuh sifat, yaitu sifat qudrah, irâdah, ‘ilm, hayât, sama’, basr, dan
kalâm. Dan yang terakhir sifat ma’nawiyyah pun terbagi tujuh, yaitu
kaunuhu qâdiran, kaunuhu murîdan, kaunuhu ‘âliman, kaunuhu,
hayyân, kaunuhu samî’an, kaunuhu basîran, dan kaunuhu
mutakalliman. Kategorisasi sifat dari empat bagian itu jika dijumlah
menjadi 20 sifat yang wajib bagi Allah. Sifat wujud dinamakan sifat
nafsiyyah karena sifat tersebut menunjukan indikasi dari esensi zat
itu dan tidak menunjukan makna lebih dari luar esensi zat-Nya.53

51
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân al-Darârî, (Jakarta : Dar al-
Kutub al-Islâmiyyah, 2007), h. 8.
52
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân al-Darârî, h. 19.
53
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân al-Darârî, h. 12.

78 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


‫ــد علــى نفـ‬،‫ أللــا ال ــدل علــى معــ ى زا‬،‫وهـي الوجــود سـ ى نفســية‬
.‫الْات‬
Muhammad al-Fudâlî menjelaskan, bahwa sifat wujud adalah
suatu keadaan yang wajib bagi zat selama zat itu ada, dan keadaan
ini (yang dalam arti wujud) tidak bisa diilatkan (disebabkan).
Keadaan (hâl) tersebut tidak akan bisa naik ke tingkat
eksistesnsinya (maujûd), sampai zat yang tersifati itu musyâhadah
(dapat tersaksikan baik secara langsung atau dengan indikasi) dan
tidak akan turun ke tingkat ketiadaan (ma’dûm) sampai zat yang
tersifati itu benar-benar lenyap.54
Selanjutnya sifat salbiyyah yang tersebut di atas, adalah sifat-
sifat yang orientasinya adalah menafikan sesuatu yang tidak layak
dinisbahkan kepada Allah, seperti Tuhan bersifat baru (hadits),
bersifat rusak (fanâ), bersifat serupa dengan makhluk (mumâtslah),
butuh dengan makhluk-Nya (ihtiyâj li al ghairih), dan bersifat
berbilang (tidak tunggal). Sifat-sifat salbiyyah yang lima itu
hanyalah pokok atau dasarnya saja, pada hakikatnya, sifat-sifat
salbiyyah tidak terhitung jumlahnya, akan tetapi sifat-sifat yang lain
dari yang lima tersebut, bisa dikiaskan dengan lima sifat tersebut.
Syekh Nawawi mengatakan sebagai berikut :
‫واخل ســة بعــدها س ـ ى ســلبية أللــا دلــت علــى ســلب مــا ال يلي ـ بــه‬
‫ ال‬،‫ ألن النقــا‬،‫ والصــفات الســلبية ال نحصــر علــى الصــحيح‬.‫عــاىل‬
‫ فـ ن مـا عــداها‬،‫ هـْه اخل سـة أصـومها‬.‫لايـة مهـا وكلهـا منفيـة عنـه عــاىل‬
.‫مٰ نفي الْوجة والولد واملعني وعف ذلك راج إليها‬
Kemudian sifat ma’ânî adalah suatu sifat zat yang wujud yang
bersifat qadim dan azali. Sifat-sifat ini bisa saja terlihat oleh

54
Lihat Syekh Al-Fudâlî, Kifâyat al-‘Awâm, (Surabaya : Dar al-‘Ilm, t.t.). h.
27.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 79


manusia karena itulah sifat-sifat ini disebut sifat wujûdiyyah, yang
kalau seandainya Allah bukakan penghalang (hijâb) untuk bisa
melihat sifat-sifat itu. Syekh Nawawi mengatakan bahwa Tuhan
mencipta, berkehendak, melihat, dan mendengar adalah dengan
sifat-sifat-Nya :
‫ ة ولْات يصح أن رر‬،‫ مريد بصفات وجودية قا‬،‫إن للا عاىل قادر‬
“Sesungguhnya Allah berkuasa, berkehendak dengan sifat-
sifat-Nya yang wujud, yang berdiri tetap dengan zat-Nya,
yang dapat terlihat.”55

Dari pernyataan Nawawi di atas, Tuhan berkuasa


berkehendak bukan dengan zat-Nya sendiri, melainkan dengan sifat-
sifat yang wujudiyyah, adalah hal ini yang dimaksud adalah sifat-
sifat ma’ânî. Sifat-sifat ini (ma’ânî) berperan menetapkan sifat-sifat
lain yang disebut sifat ma’nawiyyah, yang dalam arti, sifat-sifat
ma’nawiyyah itu ada karena sebab sifat ma’ânî itu. Sifat
ma’nawiyyah adalah keadaan-keadaan yang dinisbahkan kepada
makna-makna dari sifat ma’ânî.56
.‫واملعنوية أحوال ال كون كْلك إال ولنسبة ملعانيها الىت أوجبتها‬
Kesimpulannya adalah bahwa Syekh Nawawi adalah
penganut paham sifâtiyyah dan cenderung mengikut paham
Asy’ariyyah dan Mâturîdiyyah, meskipun dalam masalah sifat
setelah melihat pendapat-pendapatnya, lebih berat kepada paham
Asy’ariyyah. Semua sifat-sifat Tuhan menurutnya adalah kekal
qadim dan tidak hadits. Karena pada hakikatnya sama seperti
Asy’ariyyah dan Mâturîdiyyah, bahwa sifat adalah bukan zat Tuhan,
akan tetapi tidak bisa dibilang lain dari zat-Nya, maka sifat Tuhan
pun kekal dan qadim.

55
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Nûr al-Zalâm, (Jakarta : Dar al-Kutub
al-Islâmiyyah, 2008), h. 18.
56
Syehk Nawawi al-Bantani, Syarh Nûr al-Zalâm, h. 18.

80 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


4. Perbuatan Manusia
Dalam masalah perbuatan manusia banyak sekali terjadi
perdebatan di dalamnya. Untuk itu sebelum membahasa perbuatan
manusia menurut Syekh Nawawi, terlebih dulu sebagai pengantar
untuk memaparkan pendapat aliran kalam klasik tentang masalah
ini. Menurut paham Jabariyyah (fatalism), bahwa segala perbuatan
yang dilakukan manusia merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas
kehendak Tuhan, dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan
qadar Tuhan.57
Jabariyyah adalah suatu kelompok yang tumbuh dalam
masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggung jawab
(mas’ûliyyah). Maka manusia itu disamakan dengan makhluk lain
yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggung
jawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati
yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah yang mencipta,
sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya.58Dalam hal ini, manusia itu
dianggap tidak lain seperti daun di udara yang dibawa angin
menurut arah yang diinginkannya. Maka manusia itu sunyi dan
luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri.
Aliran Mu'tazilah memandang bahwa manusia mempunyai
daya dan kemampuan yang besar dan bebas. Oleh karena itu,
Mu'tazilah menganut paham Qodariyah ataudalam istilah Inggris
dikenal dengan sebutan free will dan fee act. Menurut Mu’tazilah
kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi, karena kebebasan
yang diberikan Tuhan kepada manusia. Menurut Qâdî ‘Abd al-
Jabbâr, manusia sendiri yang menciptakan perbuatan-perbuatannya.
Manusia sendiri juga yang membuat baik dan buruk. Kepatuhan dan
ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan
kemauannya sendiri. Daya kemampuan (al-istitâ'ah) adalah untuk

57
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 188.
58
Harun Nasuiton, Teologi Islam, h. 130.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 81


mewujudkan kehendak yang terdapat dalam diri manusia sebelum
adanya perbuatan.59
Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri
manusia, tetapi manusia yang mewujudkan perbuatannya.
Mu'tazilah dengan tegas mengatakan, bahwa daya juga berasal dari
manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat
terciptanya perbuatan. Jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan
manusia. Mu'tazilah mengecam keras paham yang mengatakan
bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. bagaimana mungkin
dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan. Dengan
paham ini, Mu'tazilah mengakui Tuhan sebagai pencipta alam,
sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk
mengubah bentuknya. Meski berpendapat bahwa Allah tidak
menciptakan perbuatan manusia dan tidak pula menentukannya,
Mu'tazilah tidak mengingkari azali Allah yang mengetahui segala
apa yang akan terjadi dan diperbuat manusia, pendapat inilah yang
membedakannya dari paham Qadariyyah murni.60 Untuk membela
pahamnya, Mu'tazilah mengungkapkan ayat berikut :
ٍ ‫ان ِمٰ ِط‬
ِ ‫َإلنس‬
ِ ٍ ِ
‫ني‬ ْ ‫َلَّْ ٓر أ‬
َ ْ َ ‫َح َس َٰ ُك َّ َش ْىء َخلَ َقهُۥ َوبَ َدأَ َخ ْل‬
‫ن‬Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-
baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah.61‫ن‬

Yang dimaksud dengan “ahsana” pada ayat di atas, adalah


semua perbuatan Tuhan adalah baik, dengan demikian, perbuatan
manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena perbuatan manusia
terdapat perbuatan jahat. Dalil ini dikemukakan untuk mempertegas

59
Lihat Qâdî ‘Abd al-Jabbâr, Syarh Usûl al-Khamsah, h. 614.
60
Lihat Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 192. Lihat juga
‘Irfan ‘Abd al-Hâmid, Dirâsat fî Al-Firaq wa Al-‘Aqâ’id Al-Islâmiyyah, (Baghdâd :
Matba’ah As’ad, t.t.), h. 278.
61
Al-Qur’ân Surat al-Sajadah : ayat ,7.

82 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


bahwa manusia akan mendapatkan balasan atas perbuatannya.
Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, maka
balasan dari Tuhan tidak ada artinya. 62Di samping argumentasi naqlî
di atas, Mu'tazilah mengemukakan argumen rasional sebagai berikut
:
- Jika Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan
manusia sendiri tidak mempunyai perbuatan, maka batallah
taklif syar’i, karena syari’at adalah ungkapan perintah dan
larangan yang keduanya merupakan talab (tuntutan).
Pemenuhan talab tidak dapat terlepas dari kemampuan,
kebebasan, dan pilihan.63
- Jika manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya.
Runtuhlah teori pahala dan hukuman yang muncul dari
konsep paham al-wa'd wa al-wa'îd (janji dan ancaman). Hal
ini, karena perbuatan itu menjadi tidak dapat disandarkan
kepadanya secara mutlak sehingga berkonsekuensi pujian atau
celaan.
- Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, maka
pengutusan para Nabi tidak ada gunanya sama sekali.
Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah, dan dakwah
harus dibarengi dengan kebebasan pilihan.

Konsekuensi lain dari paham di atas, Mu'tazilah berpendapat


bahwa manusia terlibat dalam penentuan ajal karena ajal itu ada dua
macam, pertama, adalah al-ajal al-tabî'i. Ajal inilah yang dipandang
Mu'tazilah sebagai kekuasaan mutlak Tuhan untuk menentukannya.
Adapun jenis yang kedua adalah ajal yang dibuat oleh manusia
sendiri, misalnya membunuh seseorang, atau bunuh diri ditiang
gantung, atau meminum racun. Ajal yang seperti ini dapat
dipercepat dan juga dapat diperlambat.

62
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 105.
63
Harun Nasution, h. 125.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 83


Dalam paham Asy'arî, manusia di tempatkan pada posisi yang
lemah. Ia di ibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam
hidupnya. Oleh karana itu, aliran ini lebih dekat dengan paham
Jabariyyah dari pada dengan paham Mu'tazilah. Untuk menjeleskan
dasar pijakannya, Asy'arî, pendiri aliran Asy'ariyyah, memakai teori
kasab (acquisition, perolehan).64 Teori kasab Asy'arî dapat di
jelaskan demikian “Segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya
yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang
memproleh kasb untuk melakukan perbuatan. 65Sebagai konsekuensi
dari teori kasab ini, manusia kehilangan keaktifan, sehingga
manusia bersifat pasif dalam perbuatan-perbuatannya.66Argumen
yang diajarkan oleh Al-Asy’arî untuk menguatkan keyakinannya
adalah firman Allah :
‫َوللاُ َخلَ َق ُك ْم َوَما َـ ْع َ لُو َن‬
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang
kamu perbuat itu".67
Wamâ ta'malûn pada ayat di atas diartikan Al-Asy'arî dengan
“apa yang kamu perbuat” dan bukan “apa yang kamu buat”. Dengan
demikian, ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan
perbuatan-perbuatanmu dengan kata lain, dalam paham Asy'arî,
yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia sebenarnya adalah
Tuhan sendiri. Pada prinsipnya Asy'ariyyah berpendapat, bahwa
perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak
mempunyai efek untuk mewujudkannya.
Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan
menciptakan pula pada diri manusia, daya untuk melahirkan
perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan

64
Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 193.
65
Abû al-Hasan ‘Alî al-Asy’arî, Kitâb Al-Luma’ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-
Ziyagh wa al-Bida’, h. 77.
66
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 106.
67
Al-Qur’ân Surat al-Saffât : ayat, 96.

84 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


merupakan kasab (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb
mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia
yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi oleh
daya kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.68
Selanjutnya ada perbedaan antara Mâturîdiyyah Samarkand
dan Mâturîdiyyah bukhârâ mengenai perbuatan manusia. Kelompok
pertama lebih dekat dengan paham Mu'tazilah, sedangkan kelompok
kedua lebih dekat dengan paham Asy'ariyyah. Kehendak dan daya
berbuat pada diri manusia, menurut Mâturîdiyyah Samarkand,
adalah kehendak dan daya manusia dalam kata arti sebenarnya, dan
bukan dari kiasan.69 Perbedaannya dengan Mu'tazilah adalah bahwa
daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-
sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian porsinya lebih
kecil dari pada daya yang terdapat dalam paham Mu'tazilah. Oleh
karena itu, manusia dalam paham Al-Mâturdî, tidaklah sebebas
manusia dalam paham Mu'tazilah.70
Mâturîdiyyah Bakhârâ dalam banyak hal sependapat dengan
Mâturîdiyyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan
tambahan dalam masalah daya. Manusia tidak mempunyai daya
untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhan lah yang dapat
menciptakan, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang
telah diciptakan Tuhan baginya. Demikianlah beberapa pandangan
kalam klalsik tentang masalah perbuatan manusia.
Selanjutnya perbuatan manusia menurut Syekh Nawawi
adalah makhluk dan diciptakan oleh Tuhan. Paham ini cenderung
kepada paham Asy’ariyyah. Dalam pendapatnya, Syekh Nawawi
pun mengemukakan dalil naqlî yang sama seperti Asy’ariyyah yaitu:

68
‘Al-Hâmid, Dirâsat fî Al-Firaq wa Al-‘Aqâ’id Al-Islâmiyyah, h. 279.
69
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 112. Lihat Juga Abdul Razak dan
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 194.
70
Lihat Al-Mâturîdî, Kitâb Al-Tauhîd, h. 163.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 85


‫ وخلـ‬،‫( َوللاُ َخلَ َق ُك ْم َوَما َـ ْع َ لُـو َن أ واحلـال أن للا عـاىل خلقكـم‬
71
.‫مع ولكم‬
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang
kamu perbuat itu".

Menurut Nawawi manusia tidaklah bebas dalam berbuat


sesuatu, bahkan ia mengatakan bahwa, manusia sama sekali tidak
bisa membuat bekas atau dampak dari perbuatannya, karena yang
menentukan hasil akhir dari perbuatan manusia bukanlah dirinya
melainkan Allah. Syekh Nawawi mengemukakan teori kasab yang
dipakai Asy’ariyyah. Kasab menurut Nawawi tidak bisa berdampak
apa-apa dalam perbuatan manusia. Oleh karena itu menurutnya,
tetap yang menentukan hasil dari perbuatan manusia adalah Allah.
Ia mengatakan :
‫ومع ى الكسب عند األشعرر مقارنة القدرة احلادثة لألفعـال اإلختياريـة‬
.‫املكسوبة خالية عٰ التأثف املقدور أتثف اخ اع وإجياد له‬
“Arti kasb menurut Asy’arî adalah bersamaannya qudrah
hâditsah (qudrah makhluk) terhadap perbuatan-perbuatan
yang ikhtiyârî, yang kosong dari dampak yang sifatnya
membentuk dan mengadakan.”72

Bagi Nawawi pengaruh kasab bagi manusia sangatlah kecil


perannya dalam mewujudkan hasil dari perbutan itu, sebaliknya
pengaruh kuasa mutlak Tuhan yang justru lebih menentukan hasil
dari semua perbuatan manusia. Oleh karena itu, semua perbuatan
manusia adalah makhluk dan diciptakan Tuhan. Bagi seorang
Muslim wajib meyakini bahwa Tuhanlah yang infirâd dalam

71
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Marâh Labîd li Kasyf Ma’nâ Al-Qur’ân
Al-Majîd, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2015), Jil ke-2, h. 304.
72
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Fath Al-Majîd, h. 17.

86 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


membuat atsar (bekas) dari setiap perbuatan manusia. Ia
mengatakan :
‫ فيجـب إعتقـاد أن للا منفــرد‬،‫كـون مجيـ أفعـال العبـاد خلوقــة هلل عـاىل‬
،‫ وأنــه ال أتثــف ل ــف للا شــيل مــا‬،‫ أنــه خلـ العبــاد وأع ــامهم‬،‫ولتــأثف‬
‫وأن العبــد لــي لــه الفع ـ اإلختيــار إال قــرد الكســب وهــو مقارنــة‬
73
. ‫قدر ه للفع‬
“Seluruh perbuatan hamba-hamba Allah adalah makhluk
(diciptakan) bagi Allah, maka wajib meyakini bahwa Allah
tunggal dalam membuat atsar (dampak), dan sesungguhnya
Allah yang telah menciptakan hamba-hambanya serta amal-
amal mereka, dan tidaklah ada dampak bagi selain Allah
dalam hal sesuatu, dan sesungguhnya seorang hamba Allah
hanyalah mempunyai kasab dalam perbuatan yang ikhtiyârî
(kemauan sendiri), dan kasb adalah bersamaannya kuasa
hamba Allah itu dengan suatu perbuatan.”

Meskipun kasb yang telah dijelaskan di atas, lebih sedikit


perannya, akan tetapi Allah berhak untu memberi pahala dan siksa
bagi manusia yang melakukan kebaikan dan keburukan dalam
perbuatan yang ikhtiyârî. Manusia diberikan Tuhan kebebasan untuk
memilih apa yang dia lakukan dan perbuat. Perbuatan yang didasari
atas kebebasan dalam melilih itulah yang menurut Nawawi adalah
perbuatan ikhtiyâr yang tidak ada unsur paksaan dari Tuhan untuk
menentukan pilihan yang diinginkan manusia (termasuk
mengerjakan kewajiban dan larangan Tuhan).74
Oleh karenanya, Tuhan berhak mengadili dan mengganjar
perbuatan manusia yang didasari atas perbuatan ikhtiyâr itu.
Ikhtiyâr yang kemudian dilakukan oleh manusia itu adalah kasb

73
Syekh Nawawi al-Bantani, Al-Tsimâr Al-Yâni’ah fî Syarh Al-Riyâd Al-
Badî’ah, (Jakarta : Dar al-Kutub al-Islâmiyyah, 2010), h. 17.
74
Syekh Nawawi, Fath Al-Majîd, h. 17,

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 87


mujarrad yang dipahami di atas. Ikhtiyâr (memilih) sebelum
dilakukan disebut irâdah hâditsah (tidak ada unsur paksaan Tuhan),
dan setelah dilakukan disebut qudrah hâditsah yang keduanya itu
Tuhan berikan kepada manusia, meskipun hasil akhir nanti qudrah
dan irâdah Tuhan yang qadimlah yang menentukannya. Kenapa
demikian karena Nawawi meyakin ilmu Tuhan yang azali, bahwa
Tuhan mengetahui apapun tentang makhluk-Nya sebelum dan
sesudah terjadinya.

5. Janji dan Ancaman Tuhan


Dalam perbuatan-perbuatan tuhan termasuk perbuatan
menepeati janji dan menjalankan ancaman (al-wa’d wa al-wa’îd).
Sebagaimana diketahui, janji dan ancaman merupakan salah satu
dari lima dasar doktrin Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan
dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika
tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang
berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat
jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak
menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan
kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan
menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.75Menurut Qâdî’Abd
al-Jabbâr, hal ini akan membuat tuhan mempunyai sifat berdusta. 76
Bagi Asy’ariyyah paham ini tidak selaras dengan keyakinan
mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan tentang
tidak adanya kewajiban-keawajiban bagi Tuhan.77 Tuhan tidak
mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman
yang tersebut dalam al-Qur’ân dan hadits. Tetapi disini timbul
persoalan bagi Asy’ariyyah, karena dalam al-Qur’ân dengan tegas
dikatakan bahwa siapa yang berbuat baik akan masuk surga dan

75
Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 155.
76
Qâdî ‘Abd al-Jabbâr Ahmad, Syarh Al-Usûl Al-Khamsah, h. 611.
77
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 133.

88 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini,
kata kata arab man, allazna dan sebagainya dan menggambar
kan arti siapa, oleh Asy’ariyyah sendiri diberi interpretasi “bukan
semua orang, tetapi sebagian”. 78 Dengan demikian kata “siapa”
dalam ayat “Barang siapa yang menelan harta anak yatim dengan
cara tidak adil, maka ia sebenarnya menelan api masuk ke dalam
perutnya”. Mengandung arti bukan seluruh tetapi sebagian orang
yang berbuat demikian. Dengan kata lain, yang di ancam akan
mendapat hukuman, bukanlah semua orang akan tetapi sebagian
orang yang menelan harta anak yatim piatu. Yang sebagian akan
terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak bagian
mutlak tuhan Tuhan. Dengan interpretasi demikianlah Asy’ariyyah
mengatasi persoalan wajibnya tuhan menepati janji dan menjalankan
ancaman.79
Mâturîdiyyah Bukhârâ dalam hal ini tidak seluruhnya
sepaham dengan Asy’ariyyah. Dalam pendapat mereka, seperti yang
dijelaskan oleh Al-Bazdawî, tidak mungkin tuhan melanggar janji-
Nya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik, tetapi
sebaliknya bukan tidak mungkin Tuhan membatalkan ancaman
untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. 80 Oleh
karena itu, oleh karena itu, nasib orang berdosa besar ditentukan
oleh kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkehendak untuk
memberi ampun kepada orang yang berdosa, Tuhan akan
memasukkannya bukan ke dalam neraka tetapi ke dalam surga dan
jika Ia berkehendak untuk memberi hukuman kepadanya Tuhan akan
memasukkannya ke dalam neraka untuk sementara atau untuk
selama-lamanya.

78
Lihat Al-Asy’arî, Kitâb Al-Luma’, h. 77.
79
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 133.
80
Abû al-Yusr al-Bazdawî, Usûl Al-Dîn, (Kairo : Al-Maktabah Al-
Azhariyyah Li Al-Turâts, 2003), h. 131.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 89


Bukan tidak mungkin bahwa Tuhan memberi ampun kepada
seseorang tetapi dalam pada itu tidak memberi ampun kepada orang
lain meskipun dosanya sama.81 Uraian Al-Bazdawî diatas
mengandung arti bahwa Tuhan wajib menepati janji untuk memberi
upah kepada yang berbuat baik. Dengan demikian, Tuhan, dalam
paham Al-Bazdawî mempunyai kewajiban terhadap manusia.
Pendapat ini berlawanan dengan pendapatnya yang dijelaskan
sebelumnya, bahwa Tuhan sekali kali tidak mempunyai kewajiba
apa-apa terhadap manusia. Dari sini dapat diketahuai bahwa
menurut paham Al-Bazdawî kekuasaan Tuhan dan kehendak Tuhan
tidaklah betul-betul mutlak seperti yang dianut oleh Asy’ariyyah,
Tuhan boleh saja melanggar janji-janji-Nya. Bagi Mâturîdiyyah
Bukhârâ, Tuhan tidak mungkin melanggar janji dan memberi upah
kepada orang yang berbuat baik. 82
Kontradiksi yang terdapat dalam Al-Bazdawî ini mungkin
timbul dari keinginannya untuk mempertahankan kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan, tetapi dala pada ingin mempertahankan
keadilan Tuhan. Mengatakan bahwa tuhan dapat memasukkan orang
yang berbuat jahat kedalam surga, tidaklah bertentangan dengan
rahmat Tuhan. Mâturîdiyyah Samarkand dalam hal ini mempunyai
pendapat yang sama dengan kaum Mu’tazilah. Mereka berpendapat
bahwa ganjaran dan hukuman tak boleh tidak mesti terjadi kelak.
Dalam hal janji dan ancaman Allah, menurut Syekh Nawawi
jika memperhatikan ayat-ayat al-Qur’ân dalam tafsir beliau, bahwa
Allah tidak mungkin mengingkari janji-janjinya yang tertulis dalam
al-Qur’ân. Salah satu dari ayat tentang janji Allah adalah sebagai
berikut :

81
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 134.
82
Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam, (Jakarta : Ushul Press, 2012), h. 105.

90 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


‫ أ َي أهـ ـ مك ــة إن وع ــد للا‬، ِ‫( وَٓيَ يـُّه ــا النَّ ــا إِ َّن وع ـ َـد و‬
‫اَ َحـ ـ‬ َْ ُ َ
83
.‫ولبعث بعد املوت واجلْاء اثبت مٰ عف خلى‬
“Wahai manusia! Sungguh, janji Allah itu benar, jelasnya
wahai penduduk Makkah! Sesungguhnya janji Allah dengan
kebangkitan setelah mati dan balasan itu tetap tanpa
digantikan.”

Dalam mentafsikan ayat di atas, Syekh Nawawi menegaskan


bahwa janji Allah tidaklah dapat digantikan atau tidak berubah.
Dalam arti Allah tidak mungkin mengingkari janjinya yang telah
tertulis dalam al-Qur’ân dan disampaikan kepada manusia melalui
para Rasul-Nya. Dalam ayat lain yang berkaitan dengan janji Allah
adalah :
ۡ ِۡ ِۚ ۡ َّ ٍ ۡ ِ
‫ى َل ِ َيع َاد‬ َّ ‫ب فِ ِيه إِ َّن‬
ُ ‫َََ َال ُُيل‬
ِ َ ‫ربـَّنَآ إِن‬
َ ‫َّك َجام ُ َلنَّا ِ ليَـوم ال َري‬ َ
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan
manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada
keraguan padanya." Sesungguhnya Allah tidak menyalahi
janji.”84
Dalam menafsirkan ayat di atas, Syekh Nawawi mengatakan
sebagai berikut :
‫ وه ـ ـ ــْا م ـ ـ ــٰ بقي ـ ـ ــة ك ـ ـ ــالم‬،‫ أ الوع ـ ـ ــد‬، ‫( إن للا ال ُيل ـ ــى امليع ـ ــاد‬
،‫ وامليـ ـْان‬،‫ واحلسـ ــاب‬،‫ ونعلـ ــم أن وعـ ــدو وجلـ ـْاء‬،‫الراسـ ــخني العلـ ــم‬
85
.‫ ال يكون خل مفا‬،‫ والنار‬،‫ واجلنة‬،‫والصراط‬
Dalam tafsiran ini, Syekh Nawawi menjelaskan bahwa ayat
tersebut adalah ucapan orang-orang yang mendalam ilmunya.

83
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Marâh Labîd li Kasyf Ma’na Al-Qur’ân
Al-Majîd, Jil ke-1, h. 276.
84
Al-Qur’ân, Surat Alî ‘Imrân : ayat , 9.
85
Syekh Nawawi al-Bantani, Marâh Labîd li Kasyf Ma’na Al-Qur’ân Al-
Majîd, Jil ke-1, h. 113.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 91


Mereka berkata : “Kami mengetahui bahwa janjimu dengan berupa
balasan, hisab, timbangan amal, shirat, surga, dan neraka, tidaklah
disalahkan (diingkari).” Dengan demikian menurut Nawawi
berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas yang langsung ditafsirkannya,
bahwa janji Allah adalah benar adanya dan tidak mungkin diingkari-
Nya.
Ayat yang berkenaan dengan ancaman Allah salah satunya
adalah sebagai berikut :
ۡ ۡ ‫وَلَّ ِْيٰ كفروا وك َّْبوا َبِايوتِنآ أُوولٓئِك أ‬
‫ب َجلَ ِحي ِم‬ ‫ح‬
‫و‬ ‫َص‬
ُ َ َ َْ َ َ ْ ُ ََ ْ ُ َ َ َ َ
"Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat
Kami, mereka itu adalah penghuni neraka."86

Dari ayat tersebut Allah mengancam orang-orang kafir dan


juga orang-orang yang mendustakan tanda-tanda kebesaran Allah
dengan berupa klaim sebagai penghuni neraka kelak. Dalam
menafsirkan ayat tersebut, Syekh Nawawi mengatakan bahwa Allah
ingin menegaskan kebenaran suatu dakwah atau ajakan dari Allah
yang dibawakan oleh para Rasul-Nya yang berupa kabar gembira
dan juga peringatan.
87
‫حل الدعوة ولتبشف واإلنْار‬
Dengan demikian, janji dan ancaman Allah menurut Nawawi
adalah jelas dan benar dan tidak mungkin diingkari-Nya. Akan
tetapi dalam penjelasan lain, khususnya dalam menjelaskan sifat
ja’iz (boleh) Tuhan, bahwa Allah boleh saja memasukkan hamba-
Nya yang ta’at ke dalam neraka, dan juga boleh saja memasukkan
hamba-Nya yang durhaka ke dalam surga. Hal ini sepertinya
didasari atas keyakinan Nawawi terhadap kuasa dan kehendak
mutlak Tuhan. Menurut Nawawi kekuasaan dan kehendak Tuhan
tidak terbatas dan tergantung apapun. Jika Allah memberi pahala

86
Al-Qur’ân Surat Al-Mâ’idah : ayat, 9.
87
Syekh Nawawi, Marâh Labîd, Jil ke-1, h. 255.

92 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


atau ganjarang perupa surga, sebagaimana yang telah Allah janjikam
dalam al-Qur’ân, maka itu semata-mata bukanlah kewajiban Tuhan
untuk melakukannya. Begitu juga Allah memberi ganjaran siksa dan
neraka bagi manusia yang durhaka. Tidak ada yang wajib bagi Allah
dalam perbuatannya, karena Allah yang menguasai dan merajai alam
semesta. Setiap perbuatannya didasari atas ilmunya yang qadim dan
azali. Apa yang Allah berikan kepada manusia yang berupa ganjaran
amal baik, itu adalah semata-mata karunia-Nya, bukan kewajiban-
Nya yang harus dipenuhi oleh manusia. Juga yang berupa ganjaran
siksa dari Allah adalah merupakan bentuk keadilan Allah (bukan
kewajiban-Nya) yang terkadang tidak bisa dikadar dan ditimbang
oleh akal murni manusia. Ia mengatakan :
‫ مبحـ فضـ للا عــاىل أ ال‬،‫ وإعطــايه العلــم‬،‫فخلقــه اإلاــان زيـ ٍـد‬
‫ وعقاب ــه للعاص ــى‬،‫ وإاثبت ــه ع ــاىل لل طيـ ـ فض ـ من ــه‬،‫بطريـ ـ الوج ــوب‬
‫ واملالـك يتصــرف‬،‫عـدل منــه ال بطريـ ال لــم ألنـه مالــك لكـ شــيل‬
88
.‫ملكه ما يشاء‬
Jika seorang manusia telah berbuat baik sesuai perintah
Tuhan, kemudian Tuhan wajib memenuhi janji-Nya berupa pahala,
maka menandakan ada suatu manfaat dari perbuatan baik manusia
itu terhadap Tuhan, seperti halnya timbal balik manfaat dari
makhluk ke Tuhan. Begitu juga jika manusia berbuat durhaka, maka
Tuhan wajib memberi siksa dan ganjaran buruk, maka menunjukan
adanya sesuatu yang berdampak mudarat terhadap Tuhan sendiri
atas perbuatan makhluk-Nya itu. Dalam hal ini Syekh Nawawi
mengatakan :
‫ وإمنا هْه الطاعة‬،‫ ألنه الناف والضار‬،‫ال نفعه طاعة وال ضره معصية‬
.‫واملعاصى عالمات على اإلاثبة والتعْيب‬
88
Syekh Nawawi al-Bantani, Fath Al-Majîd, h. 38.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 93


“Keta’atan dan kemaksiatan tidaklah memberikan manfaat
dan mudarat bagi Allah, karena Allah adalah zat pemberi
manfaat dan mudarat. Keta’atan dan kemaksiatan hanyalah
sebagai indikasi-indikasi atas pemberian pahala dan
menyiksa.”89

Pada kesimpulannya, Syekh Nawawi sependapat dengan


Asy’ariyyah bahwa Allah boleh saja mengingkari janji dan
ancamannya. Karena Tuhan berkuasa dan berkehendak mutlak tidak
terbatasi dan bergantung dengan sesuatu apapun.

6. Ayat-ayat Antroposentris dan Mutasyâbihât


Antroposentrisme dalam dimensi kajian Islam diduga
bersumber dari prinsip-prinsip dasar Islam yang berkaitan dengan
konsep hakikat manusia sebagai makhluk istimewa ( super being),
manusia sebagai makhluk yang diberi akal ( rasional), manusia
makhluk yang paling kuasa atas alam ( sukhriya’) dan konsep
khalîfah fî al-ard. Keempat Keempat prinsip dasar dan konsep hidup
di atas menjadi simpul-simpul teologi yang bias antroposentris.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa manusia merupakan
makhluk terbaik karena dibekali akal. Manusia juga makhluk yang
dinamis sedangkan makhluk lainnya statis. Dengan akalnya manusia
dapat mengembangkan teknologi untuk menguasai sumber daya
alam dan lingkungan bahkan menjelajah angkasa luar. 90 Filsafat
antroposentrisme ini pulalah yang dituding melahirkan filsafat
liberalisme dalam pengelolaan alam.
Bahkan racikan konsep maqâsid al-syarî’ah Syâtibî diakui
sarat dengan filsafat antroposentrisme. Menurut Syâtibî, Allah
menetapkan syari’at untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik
di dunia maupun di akhirat. Pandangan antroposentrisme nampak

89
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Fath Al-Majîd, h. 38.
90
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan, (Jakarta: Paramadina,
2001), h. 11-13.

94 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


sekali pada al-darûriyyât al-khamsah : menjaga agama, akal, harta,
jiwa dan kehormatan.91 Semua dimensi yang lima tersebut hanya
human oriented. Sementara kajian maslahat lingkungan belum
tersentuh olehnya. Implikasinya, dalam segala aktivitasnya selalu
berorientasi pada kemaslahatan manusia.
Terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang disinyalir mengandung
nilai dan paham antroposentrisme. Di antaranya adalah pertama
ayat-ayat yang menerangkan konsep manusia sebagai makhluk yang
paling istimewa, seperti ayat :
‫َح َس ِٰ َـ ْق ِوٍي‬
ْ ‫لَ َق ْد َخلَ ْقنَا اإلنْ َسا َن ِ أ‬
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.92

Kedua ayat-ayat yang menggambarkan manusia sebagai


makhluk berakal, seperti dalam ayat :
ِ ُ‫َخــرج ُكم ِمـ طـٰ بطـ‬
َّ ‫ـون أ َُّم وَهــتِ ُك ْم َال َـ ْعلَ ُ ــو َن َشْي ـما َو َج َعـ َ لَ ُكـ ُـم‬
َ ْ ‫َلسـ‬ ُ َ َ ْ ‫ََُ أ‬
َّ ‫َو‬
‫صار َو َْألَفْـَِد َة لَ َعلَّ ُك ْم َ ْش ُك ُرو َن‬
َ ْ‫َو َْألَب‬
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu
bersyukur”.93

Ketiga ayat-ayat yang menggambarkan manusia sebagai yang


paling kuasa atas sumber daya alam dan lingkungan, sebab alam
semesta ini diciptakan hanya untuk manusia. Seperti dalam ayat :

91
Al-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî Usûl Al-Syarî’ah, ed. Khudari Husein, Jilid II,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1341), h. 3.
92
Al-Qurân Surat Al-Tîn, ayat, 4.
93
Al-Qur’ân Surat Al-Nahl, ayat, 78.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 95


ِ َّ ٰ‫َلس ـ آء بِن ـآء وأَنــَْل ِمــ‬ ِ ‫َلَّـ ِـْر جع ـ لَ ُكــم َْألَر‬
‫َلس ـ َ آء َم ـآءم‬ َ َ َ ‫ض ف وَر مشــا َو َّ َ َ َ م‬ َ ْ ُ َ ََ
۟
َِِّ ‫فَأَخرج بِِهۦ ِمٰ َلثَّ ور ِت ِرْزقما لَّ ُكم فَ َال ََْتعلُوا‬
‫َند مادا َوأَنتُ ْم َـ ْعلَ ُ و َن‬
َ‫َأ‬ َ ْ ََ َ َ َْ
Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan
bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air
hujan dari langit, lalu menghasilkan dengan hujan itu segala
buah-buahan sebagai rezki untukmu”. 94

Keempat ayat-ayat tentang kedudukan manusia sebagai


manifestasi wakil Allah di bumi. Seperti dalam ayat :
ۡ ‫ض خلِيف ـة قــالوا أ‬ ۡ ِ ‫ـك لِ ۡل ولَٓئِ َكـ ِـة إِِين ج‬ ِۡ
َ ْ ُٓ َ ‫اع ـ ِ َأل َۡر ِ َ َ م‬
‫ََت َع ـ ُ فِ َيهــا‬ َ َ َ ‫ـ‬‫ب‬
ُّ‫ر‬َ ‫ـال‬
َ ‫ـ‬
َ‫ق‬ ‫ذ‬‫َوإ‬
ِ ِۡ ۡ ِ ِۡ ِ ۡ
‫ـال‬
َ َ‫ـك ق‬ ُ ‫َمٰ يـُف ِس ُد ف َيها َويَسـف‬
َ َ‫ك َلـد َمآءَ َوَۡ ُـٰ نُ َسـبِ ُح ِحبَ ـد َو َونـُ َقـد ُ ل‬
‫إِِين أ َۡعلَ ُم َما َال َـ ۡعلَ ُ و َن‬
Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau
dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” .95

Keempat dasar keagamaan di atas kemudian diduga melebur


menjadi satu dalam bingkai teologi lingkungan yang ”terkesan”
antroposentris. Gejala-gejala demikian nampak ketika dijumpai
dalam kehidupan nyata akan perilaku masyarakat yang tidak

94
Al-Qurân Surat Al-Baqarah, ayat, 22.
95
Al-Qur’ân Surat Al-Baqarah, ayat, 30.

96 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


mencerminkan perilaku ekologis. Mulai dari eksplorasi alam tanpa
batas, boros energi, pencemaran dan sebagainya. 96
Selanjutnya tentang ayat-ayat antroposentrisme menurut
Syekh Nawawi, bisa di perhatikan dalam kitab tafsir Marâh Labîd
yang merupakan sebuah karya tafsir beliau yang sangat masyhur.
Yang pertama dalam menafsirkan ayat yang berkaitan tentang
konsep manusia sebagai makhluk istimewa dalam surat al-Tîn ayat
4 adalah sebagai berikut :
‫أحسـٰ مـا يكـون‬ ‫نـا‬،‫أحسٰ قوي أ كا‬ ‫( لقد خلقنا اإلنسان‬
‫م ــٰ ع ــدي ص ــوره ومع ــ ى ف ن ــه ع ــاىل خلق ــه مس ــتو القام ــة متناس ــب‬
‫ إذا كامـ ـ ـ‬،‫ وأدب‬،‫ وعل ـ ــم‬،‫ وفه ـ ــم‬، ‫األعضـ ــاء متصـ ــفا نيك ـ ـ عقـ ـ ـ‬
97
.‫شبابه‬
Dalam menafsirkan ayat di atas, Syekh Nawawi
menggambarkan konsep manusia sebagai makhluk istimewa dalam
tiga aspek, yaitu aspek fisik yang mengambarkan kelokan bentuk
rupa, aspek intelektual yang menggambarkan kecerdasan, daya
berfikir, dan pengetahuan, dan aspek moral yang menggambarkan
nilai dan prilaku luhur. Kesemua hal itu terdapat dalam diri seorang
manusia sebagai makhluk yang istimewa diciptakan oleh Allah jika
dibandingkan dari makhluk lain. Selanjutnya dalam menafsirkan
ayat yang berkaitan dengan penggambaran manusia sebagai
makhluk yang berakal, dalam surat al-Nahl ayat 78, Syekh Nawawi
mengatakan :
‫( وللا أخرجكم مٰ بطون أمها كم ال عل ون شيئاُ أ عـف عـارفني‬
‫شــياُ أص ـالُ (وجع ـ لكــم الس ـ واألبصــار واألفئــدة أ جع ـ لك ــم‬

96
Junaidi Abdillah, Dekonstruksi Tafsir Antroposentrisme : Telaah Ayat-
ayat Berwawasan Lingkungan, (Lampung : IAIN Raden Intan, 2014), h. 74.
97
Syekh Nawawi al-Bantani, Marâh Labîd, Jil ke-2, h. 645.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 97


‫هــْه األشــياء آالت ٱصــلون وــا املعرفــة ( لعلكــم شــكرون أ لكــي‬
‫شــكر مــا أنعــم للا بــه علــيكم طــوراُ عــب طــور فتس ـ عوا‬ ‫ســتع لون‬
98
.‫ للا و عقلوا ع ة للا‬،‫مواعظ للا و بصروا دال‬
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Syekh Nawawi
menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya dilahirkan dalam
keadaan tidak mengetahui apapun. Yang kemudian Allah ciptakan
daya pendengaran dan pengelihatan pada manusia supaya mereka
mampu mengetahui segala sesuatu yang dihasilkan dari daya itu.
Tujuannya adalah agar manusia mampu mempergunakannya dengan
baik untuk mensyukuri sesuatu yang telah Allah karuniai kepada
mereka, dengan demikian manusia akan mampu mendengar segala
nasihat-nasihat Allah, bisa melihat indikasi-indikasi wujud Allah,
dan berfikir tentang kebesaran Allah. Daya dengar dan melihat serta
berfikir adalah pemberian dari Allah, yang sebetulnya manusia tidak
mampu berbuat dan mengetahui apapun melainkan semuanya itu
datang dari karunia Allah.
Selanjutnya dalam menafsirkan ayat yang menggambarkan
manusia sebagai makhluk yang paling kuasa atas sumber daya alam
dan lingkungan, sebab alam semesta ini diciptakan hanya untuk
manusia, Syekh Nawawi mengatakan :
‫( الــْر جع ـ لكــم األارض فراش ـام أ بســاطا ( والس ـ اء بن ـ ء أ‬
‫ســقفام مرفوع ـام وعــرب عنــه ولبنــاء ألحكامــه ( وأنــْل مــٰ الس ـ اء م ـ ءم‬
‫ فينــْل‬، ‫ املطــر مــاء ُيــرج مــٰ ٱــت العــر‬: ‫وعــٰ خالــد بــٰ معــدان قــال‬
، ‫ فيجت ـ مو ـ‬،‫مــٰ ءــاء إىل ءــاء حــىت جيت ـ ءــاء الــدنياء‬
‫ فيس ــوقها للا حي ــث ش ــاء‬،‫ فتش ـربه‬،‫فتجي ــل الس ــحاب الس ــود فتدخل ــه‬

98
Syekh Nawawi, Marâh Labîd, Jil ke-1, h. 602.

98 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


‫(فــأخرج ب ــه م ــٰ الث ـرات رزقمــا لك ــم أ أنب ــت للا وملط ــر م ــٰ أل ـوان‬
‫ر اخلل (فال َتعلـوا هلل أنـدادام أ شـركاء‬،‫الث رات طعاما لكم ولسا‬
‫ال عبــادة ( وأنــتم عل ــون أن األنــداد ال اثلــه وال يقــدر علــى مث ـ مــا‬
‫التـوراة واإلۡيـ جـواز ا ـاذ‬ ‫ وأنتم عل ـون أنـه لـي‬: ‫يفعله أو يقال‬
99
.‫األنداد‬
Dari penafsiran Syekh Nawawi di atas, manusia memang
diposisikan sebagai makhluk yang istimewa yang begitu banyak
dipersiapkan kebutuhannya untuk hidup di bumi. Dari mulai
hamparan bumi yang digambarkan sebagai tempat manusia perpijak
dan tinggal, langit sebagai penyangga atau atapnya. Allah sirami
hamparan bumi dengan air hujan yang akan menyuburkan tanaman-
tanaman yang menghasilkan beraneka macam buah-buahan untuk
bisa dikonsumsi oleh manusia, bahkan seluruh makhluk. Semua itu
adalah pemberian Allah yang diberikan kepada manusia sebagai
khalifah bumi.
Point nya adalah, bahwa manusia dengan pemberian yang
begitu banyak diberikan Tuhan, bertanggung jawab penuh terhadap
kelestarian bumi untuk bisa merawat dan menjaganya. Bahkan
dalam keterangan ayat lain, Allah melarang manusia untuk berbuat
kerusakan di bumi, dan Allah mengkalim bahwa jika kerusakan itu
terjadi baik di daratan maupun lautan, disebebabkan oleh tangan
manusia yang tidak menjaga bumi dengan baik beserta isinya yang
sudah disiapkan khusus oleh Allah untuk mereka.
Selanjutanya ayat tentang kedudukan manusia sebagai
manifestasi wakil Allah di bumi. Syekh Nawawi mengatakan
sebagai berikut :

99
Lihat Syekh Nawawi, Marâh Labîd, Jil ke-1, h. 12.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 99


‫ وامل ـراد بــه آدم عليــه‬،‫األرض خليفــة أ بــدال مــنكم‬ ‫( إين جاع ـ‬
‫الســالم ( قــالوا استكشــافا ع ــا خفــي علــيهم مــٰ احلك ــة ال اع ا م ــا‬
100
.‫بين آدم على طري ال يبة‬ ‫على للا عاىل وال طعنا‬
Dari penafsiran ayat di atas, Allah menginginkan manusia
sebagai khalifah (pengganti) di bumi-Nya. Yang dimaksud dari
khalifah itu adalah Nabi Adam. Para malaikat menanyakan hal
tersebut kepada Allah bukan karena menentang Allah, dan bukan
menghinakan keturunan Adam, melainkan karena para malaikat
tidak mengetahui hikmah tentang dipilihnya manusia sebagai
khalifah di bumi yang nanti akan dikatakan oleh Allah bahwa Allah
lebih mengetahui dari pengetahuan para malaikat-malaikat-Nya.
Begitulah pemahaman Syekh Nawawi tentang ayat-ayat
antroposentris yang bisa dipahami melalui kitab tafsirnya. Manusia
menurut Nawawi memang mempunyai kedudukan penting
dibanding makhluk lainnya. Makhluk yang diberikan akal, bentuk
rupa yang bagus serta disediakan segala sesuatunya oleh Allah
untuk menjadi khalifah-Nya di bumi. Oleh karenanya Allah
memerintahkan manusia untuk melestarikan bumi dan menjaganya
dengan baik, juga menjalankan segala aturan-aturan Allah yang
ditetapkan untuk manusia.
Daya pikir dan fisik adalah pemberian Allah kepada manusia
agar manusia bisa menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Jika
menelisik kepada beberapa pendapat Nawawi, manusia tidak
seutuhnya bisa berbuat bebas di bumi seperti paham antropsentris.
Melainkan manusia dibatasi dengan kehendak serta kuasa Tuhan
yang mutlak. Selanjutnya mengenai ayat-ayat mutasyâbihât, perlu
dipahami terlebih dahulu tentang pengertian ayat mutasyâbihât itu.
Ditinjau dari aspek mafhum (makna), ayat-ayat al-Qur’ân terbagi

100
Lihat Syekh Nawawi, Marâh Labîd, Jil ke-1, h. 15.

100 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


menjadi dua, yaitu ayat muhkamat dan ayat mutasyâbihât. Allah
SWT berfirman :
ِ ‫ـك الْ ِكتَــاب ِمْنــهُ آَيت ُْحم َك ــات ُهـ َّـٰ أ ُُّم الْ ِكتَـ‬ ِ
‫ـاب‬ َ َ َ َ ‫ُهـ َـو الَّــْ أَنْ ـ َـَْل َعلَْيـ‬
ِ ِ ِ ِِ ِ ِْ َّ‫وأُخر متَ َش ِاوات فَأ ََّما ال‬
َ‫يٰ قُـلُوو ْم َزيْغ فَـيَـتَّبعُو َن َما َ َشابََه مْنهُ ابْت َاء‬ َ َ ُ َُ َ
‫ـخو َن ِ الْعِلْ ـ ـ ِم‬ ِ َّ ‫اَ و‬ ِ ِِ ِ ِ ِ
ُ ‫الراسـ ـ‬ َ َُّ ‫الْفْتـنَـ ــة َوابْت َـ ــاءَ َأتْ ِويل ـ ــه َوَم ـ ــا يَـ ْعلَـ ـ ُـم َأتْ ِويلَـ ــهُ إال‬
ِ ‫يـ ُقولُو َن آمنَّا بِِه ُك ِمٰ ِعْن ِد ربِنَا وما ي َّْ َّكر إِال أُولُو األلْب‬
.‫اب‬ َ ُ َ ََ َ ْ َ َ
Artinya : “Dialah yang menurunkan al-Kitâb (al-Qur’ân)
kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang
muhkamât. Itulah pokok-pokok isi al-Qur’ân, dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wîlnya, padahal
tidak ada yang mengetahui ta’wîlnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semuanya itu dari sisi
Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”101

Dalam ayat tersebut Allah menceritakan adanya ayat


muhkam, yaitu ayat yang jelas maknanya. Dalam ayat muhkamat
yang jelas maknanya inilah terdapat ajaran pokok agama Islam.
Selain dari ayat Muhkamat ada pula ayat mutasyâbihât, yaitu ayat
yang syubhat atau samar maknanya. Dari beragam definisi, para
ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan ayat
muhkam. Antara lain :
- Suatu ayat yang jelas dan diketahui maksudnya, baik karena
kejelasan redaksinya, maupun melalui ta’wîl atau penafsiran.
- Ayat yang tidak dapat menerima kecuali satu penafsiraan.

101
Al-Qur’ân Surat Ali’ Imrân, ayat, 7.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 101


- Ayat yang kandungannya tidak mungkin dibatalkan
(mansûkh).
- Ayat yang jelas maknanya dan tidak membutuhkan penjelasan
dari luar dirinya, atau ayat yang tidak terdapat kemusykilan
dalam maknanya.102

Mutasyâbih juga diperselisihkan definisinya, antara lain :


- Ayat-ayat yang hanya Allah yang tau kapan terjadi dan apa
yang diinformasikannya, seperti kapan tibanya hari kiamat.
- Ayat yang tidak dipahami kecuali mengaitkannya dengan
penjelasan.
- Ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna.
- Ayat yang mansûkh yang tidak diamalkan karena batal
hukumnya.
- Apa yang diperintah untuk diimani, lalu menyerahkan
maknanya kepada Allah (tafwîd).
- Kisah-kisah dalam al-Qur’ân.
- Huruf-huruf alfabetis yang terdapat pada awal beberapa surat,
seperti Alif-Lâm-Mîm.

Definisi-definisi di atas mengandung kelemahan-kelemahan,


sehingga pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa muhkam
adalah yang jelas maknanya, sedang yang mutasyâbih adalah yang
samar maknanya. Salah satu contoh dari ayat-ayat mutasyâbih,
misalnya :
‫للا فَـ ْو َق أَيْ ِديْ ِه ْم‬
ِ ‫ي ُد‬
َ
“Tangan Tuhan di atas tangan mereka” (QS. Al-Fath [48] :
10).

102
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang : Lentera Hati, 2013), h.
210-211.

102 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Dalam memahami ayat di atas, para ahli tafsir berbeda
pendapat. Ada yang menggunakan ta’wîl dengan menggunakan
makna isytâk nya, ada juga yang menggunakan makna zahir sesuai
lafaznya dan makna hakikatnya diserahkan kepada Allah (tafwîd).
Di dalam kitab tafsirnya, Syekh Nawawi dengan tegas
menunjukan posisinya sebagai ulama yang menempuh jalan ta’wîl
dalam memahami ayat-ayat mutasyâbih, tidak menggunakan cara
tafwîd yang memaknakan ayat mutasyâbih dengan makna zahirnya
dan makna hakikinya diserahkan kepada Allah. Antara lain ayat
mutasyâbih yang ditafsirkan Syekh Nawawi misalnya seperti ayat di
atas:
‫ علـيهم امهدايـة فـوق إحسـالم‬،‫( يد للا فوق أيـديهم أ نع ـة للا‬
.‫ أو نصرة للا عاىل إَيهم أعلى مٰ نصرهتم إَيه‬،‫إىل للا‬
Dalam menafsirkan ayat mutasyâbih di atas, Syekh Nawawi
memaknai kata yad Allâh adalah nikmat-Nya, bukan dengan makna
zahirnya yaitu tangan Allah. Syekhb Nawawi juga memaknai kata
tersebut dengan makna pertolongan Allah kepada mereka lebih
luhur dari pada pertolongan mereka untuk Allah. Dari penafsiran
Nawawi di atas, tentunya mudah dipahami bahwa ia menggunakan
cara ta’wîl dalam memahami ayat tersebut, yaitu dengan
memaknakan lafaz dengan makna yang lain yang isytirâk, dan layak
disandarkan kepada Allah.
Dari ayat mutasyâbih yang lain Syekh Nawawi menafsirkan
sebagai berikut:
103 ِ
. ‫ أ ذا ه عْ وج‬، ‫ك أيها السام‬
َ ‫( َويَـْبـ َقى َو ْجهُ َرب‬
Dalam memaknai kata wajh, Syekh Nawawi tidak
menggunakan makna zahir lafaznya, melainkan memaknai dengan
makna dzât Tuhanmu. Dalam hal ayat ini pun terlihat menggunakan

103
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Marâh Labîd, Jil ke-2, h. 477.

Teori Corak Pemikiran dalam Kalam 103


ta’wîl. Dalam ayat lain agar lebih menguatkan asumsi, Syekh
Nawawi menafsirkan ayat mutasyâbih sebagai berikut :

ْ ِ ‫الع ـ ْـر‬
‫ ودب ــر‬،‫ن ــات‬،‫اس ـ ـتَـ َور أ ال ــرمحٰ أوج ــد الكا‬ َ ‫( ال ـ َّـر ْمحَ ُٰ َعل ـ َـى‬
‫ متفــرع علــى‬،‫ فاإلســتور علـى العــر قــاز عـٰ امللــك والسـلطان‬.‫أمرهـا‬
.‫الكناية في ٰ جيوز عليه القعود على السرير‬
Dalam menafsirkan ayat di atas, kata istiwâ menurut Nawawi
maknanya adalah “Allah mengadakan semua yang ada dan
mengaturnya”. Sedangkan makna istiwâ menurut Nawawi adalah
makna majazi, bukan makna hakiki, karena Tuhan tidak butuh
dengan tempat untuk beristiwa. Maka Syekh Nawawi memaknai
kata istiwâ dengan makna kerajaan atau kekuasaan Allah, bukan
dengan makna zahir yaitu duduk di atas suatu hamparan.
Dari beberapa ayat mutasyâbih di atas yang ditafsirkan Syekh
Nawawi bisa disimpulkan bahwa beliau menggunakan metode ta’wil
jika bersentuhan dengan ayat-ayat yang mutasyâbih, tidak
menggunakan tafwîd seperti yang dilakukan para ulama salaf.
Tentunya pengitut paham Asy’ariyyah dan Mâtyrîdiyyah,
khususnya yang (muta’akhkhirîn), sangat kental sekali dengan
metode ta’wîl al-mutasyâbih. Sehingga Syekh Nawawi dalam hal ini
bisa dikategorisasikan sebagai pengatut paham mereka, menimbang
dari beberapa perkataannya yang mengklaim sebagai pengikut
paham Al-Asyarî dan Al-Mâturîdî.

104 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


BAB IV
Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah

A. Pengertian Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah


1. Ilâhiyyah dan Ruang Lingkupnya
Secara etimologi kata ilâhiyyah diambil dari bahasa Arab dari
akar kata ilâh, yang artinya adalah Tuhan. Kemudian disambung
dengan huruf yâ nisbah sehingga menjadi makna ketuhanan. Dalam
pengertian ini, bisa dipahami, bahwa kata ilâhiyyah berarti adalah
sesuatu yang dinisbahkan dan berkaitan dengan masalah Tuhan.
Sedangkan dalam pengertian umum, ilâhiyyah merupakan salah satu
dari ruang lingkup disiplin ilmu kalam yang membahas segala
sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan, dan masalah ini
merupakan masalah yang paling mendasar dalam ilmu kalam dan
paling mulia.1
Kajian masalah ini merupakan hal paling pokok dalam
keberagamaan seorang muslim, karena pengetahuan tentang Tuhan
bisa menuntun seseorang kepada kesadaran diri dalam pengabdian
yang dimanifestaikan dengan bentuk ibadah. Untuk itu Ibn Ruslân
(773-844 H)2 mengatakan, “hal utama yang wajib bagi manusia
adalah mengenal Tuhannya dengan penuh keyakinan”.3 Ruang
lingkup masalah ilâhiyyah jika melihat dari pengertian di atas, sudah
bisa dipahami, yaitu pembahasan yang terfokus pada masalah

1
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân al-Darârî, (Jakarta : Dar al-Kutub
al-Islâmiyyah, 2009), h. 14.
2
Beliau adalah salah satu ulama fikih mazhab Syâfi’î yang lahir di Palestina
pada akhir abad pertengahan. Karyanya yang sangat terkenal adalah Matan Zubad,
sebuah sya’ir yang menjelaskan hukum-hukum fikih mazhab Syâfi’î.
3
Syekh Ahmad bin Hijâzî al-Fasyanî, Syarh Mawâhib al-Samad Fî Hall
Alfâz al-Zubad, (al-Haramain, t.t.), h. 3.

105
ketuhanan saja. Dalam disiplin ilmu kalam masalah ketuhanan,
banyak sekali pembahasan yang diperbincangkan dan juga banyak
terjadi perselisihan di dalamnya, di antaranya adalah, masalah
tauhid (keesaan) Tuhan, sifat-sifat Tuhan, kuasa dan kehendak
Tuhan, kalam Tuhan, pengetahuan Tuhan dan perbuatan-Nya,
keadilan dan ancaman Tuhan, takdir Tuhan, dan lain-lain. Untuk itu
dalam penelitian ini, pembahasan masalah ketuhanan akan penulis
angkat hanyalah beberapa tema saja yang terkait dengan masalah,
yang menurut penulis sangat menarik dan penting untuk dikaji
kembali dalam persepktif Syekh Nawawi al-Bantani, yaitu tentang
tema wahdâniyyah, kuasa dan kehendak Tuhan, dan kalam Tuhan.

2. Nubuwwah dan Ruang Lingkupnya


Kata nubuwwah berasal dari bahasa Arab, yang berakar dari
kata al-nabâ, yang artinya adalah kabar atau berita. ‘Abd al-Qâdir
al-Râzî dalam kitabnya Mukhtâr al-Sihhâh, mengatakan, bahwa kata
nubuwwah artinya adalah sesuatu yang naik atau tinggi dari bumi,
jika lafaz tersebut dimutlakkan untuk lafaz al-Naby, berarti
maknanya adalah, bahwa Nabi adalah manusia yang mempunyai
kedudukan tinggi di sisi Tuhan.4Dalam pengertian khusus,
nubuwwah berartikan salah satu dari ruang lingkup kalam secara
umum yang membahas tentang masalah kenabian dan apa saja yang
terkait dengannya. Masalah ini diklasifikasi sebagai ruang lingkup
kalam, karena dalam doktrin dasar Islam salah satunya adalah
meyakini serta menerima kebenaran adanya para Nabi dan Rasul
yang diutus oleh Tuhan. Untuk itu, masalah ini perlu dibahas karena
berkaitan dengan masalah dogma yang sangat mendasar dalam
agama.5Dari pengertian di atas bisa dipahami bahwa, masalah

4
‘Abd al-Qâdir al-Râzî, Mukhtâr al-Sihhâh, (Kairo : Dar al-Hadîts, 2008),
h. 347.
5
Syahrin Harahap dan Hasan Bakri, Ensiklopedi Akidah Islam, (Jakarta :
Kencana, 2009), h. 455.

106 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


nubuwwah hanya berorientasi pada pembahasan-pembahasan
kenabian saja. Adapun pembahasan yang dibahas dalam kalam
tentang masalah kenaban tentunya banyak sekali, antara lain,
tentang pengertian nabi dan rasul, masalah mukjizat dan syafa’at,
‘ismat al-anbiyâ (ma’sumnya para nabi), dan lain-lain.
Dalam penelitian ini, penulis hanya terfokus pada tema-tema
yang tadi telah disebutkan yang berkaitan dengan masalah kenabian.
Kajian nubuwwah dalam pandangan Syekh Nawawi menurut penulis
sangat menarik, karena penjelasan beliau tentang masalah ini,
dijelaskan tidak terlalu ekplisit di dalam karyanya, tentunya perlu
peninjauan lebih jauh untuk mencari tau dasar-dasar yang
membentuk pemahamannya tenatng masalah kenabian, dan juga
sejauh ini menurut penulis, pergulatan teologis terkesan hanya pada
orientasi ketuhanan saja, padahal sebetulnya lebih kompleks dari hal
tersebut.

3. Sam’iyyah dan Ruang Lingkupnya


Kata sam’iyyah mengandung arti “yang didengar” atau
mendengar, yaitu keyakinan-keyakinan yang sifatnya mendasar
dalam Islam yang didengar langsung dari firman Tuhan (al-Qur’ân)
dan hadits Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, kebenaran dan
keberadaannya harus diyakini berdasarkan pendengaran melalui al-
Qur’ân dan hadits Nabi, tanpa perlu membuktikan secara empiris
dan rasional. Imâm al-Haramain al-Juwainî menjelaskan tentang
pengertian sam’iyyah, yaitu ‫ وال يقتــدر إدراكــه عق ـالم‬،‫ءعــا‬
‫مــا يــدرو م‬
“sesuatu yang hanya bisa dimengerti melalui pendengaran langsung
dari nash (al-Qur’ân dan hadits), dan tidak bisa dimengerti secara
rasional”, dengan pengertian, akal tidak bisa melampaui hal
itu.6Adapun ruang lingkup pembahasan ini antara lain, seperti, hari

6
Imâm al-Haramain al-Juwainî, Al-Irsyâd Ilâ Qawâti’ al-Adillat Fî Usûl al-
I’tiqâd, (Mesir : Maktabah al-Tsaqâfiyyah al-Dîniyyah, 2015), h. 280.

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 107


kiamat dan kebangkitan, nikmat dan siksa kubur, melihat Tuhan di
akhirat, surga dan neraka, sirât al-mustaqîm, dan lain-lain. Dalam
masalah ini penulis membatasi dengan beberapa tema saja yang
menurut penulis menarik untuk dikaji lebih jauh, yaitu masalah hari
kiamat, melihat Tuhan di akhirat, dan surga neraka menurut
pandangan Syekh Nawawi al-Bantani. Selanjutnya penulis akan
memaparkan pandangan para aliran kalam tentang doktrin ilâhiyyah,
nubuwwah, dan sam’iyyah secara umum saja dan relevansinya
dengan kajian. Meskipun dalam beberapa kelompok tidak semua
membahas masalah tiga tema besar tersebut secara rinci, setidaknya
ada substansi yang bisa didapat dari pandangan mereka.

B. Pandangan Mazhab Kalam


1. Mu’tazilah
Mu’tazilah sering disebut sebagai aliran kalam yang sangat
rasional, hal ini dikarenakan aliran ini menggunakan pandangan
teologisnya lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil ‘aqlî (akal) dan
lebih bersifat filosofis. Mu’tazilah didirikan oleh Wâsil bin ‘Atha’
pada tahun 100 H / 718 M. 7 Uraian yang sering disebut dalam buku-
buku ilmu kalam berpusat pada peristiwa antara Wâsil bin ‘Atha’
dengan gurunya Hasan al-Basrî di masjid Basrah.8 Pada suatu hari
ada seseorang bertanya pada Hasan al-Basrî mengenai seorang
mukmin yang melakukan dosa besar. Menurut Khawârij, seorang
muslim jika melakukan dosa besar maka ia telah berstatus kafir.
Sedang kaum Murji’ah tetap menganggap pelaku dosa besar
tersebut tetap menjadi seorang mukmin.

7
Tim Redaksi, Ensiklopedia Islam, (Jakarta ; Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997)
Jilid 3 hal. 290
8
Fakhr al-Dîn al-Râzî, I’tiqâdât Firaq al-Muslimîn wa al-Musyrikîn, (Beirut
: Dar al-Kitâb al-‘Arabi, 2006), h. 37.

108 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Di saat Hasan al-Basrî masih berfikir, Wâsil bin ‘Atha’
mendahului gurunya dengan mengeluarkan pendapat bahwa orang
mukmin pelaku dosa besar menempati posisi di antara mukmin dan
kafir. Tegasnya orang tersebut bukan mukmin dan bukan juga kafir.
Karena di akhirat tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka
orang tersebut dimasukkan ke dalam neraka tetapi siksaannya lebih
ringan dari siksaan orang kafir. Kemudian ia berdiri dan menjauhkan
diri dari Hasan al-Basrî ke tempat lain di masjid tersebut dan
mengulangi lagi pernyataannya itu. Atas peristiwa itu Hasan al-
Basrî mengatakan “i’tazala’annâ Wâsil” (Wâsil menjauhkan diri dari
kita).9 Menurut Syahrastânî, kata i’tazala’annâ tersebut yang
menandai lahirnya Mu’tazilah, yang artinya orang yang memisahkan
diri.
Selain nama Mu’tazilah, pengikut aliran ini juga sering
disebut kelompok Ahl al-Tauhid (golongan pembela tauhid), Ahl-al-
’Adl (pendukung keadilan Tuhan) dan kelompok Qadariyyah.
Sedang pihak lawan (Khawârij dan Murji’ah) menjuluki golongan
ini dengan Free Will dan Free Act, karena mereka menganut prinsip
bebas berkehendak dan berbuat. Pada awal perkembangannya, aliran
ini tidak mendapat simpati umat Islam. Karena mereka sulit
memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan
filosofis itu. Alasan lain karena kaum Mu’tazilah dianggap tidak
teguh berpegang pada sunah Rasûl Allâh SAW dan para sahabat. 10
Kelompok ini baru mendapat dukungan yang luas pada masa
pemerintahan Khalîfah Al-Ma’mûn11, penguasa ‘Abbâsiyyah (198-

9
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, hal. 38.
10
Al-Syarastânî, Al-Milal wa Al-Nihal ; alih bahasa Prof. Asywadie Syukur,
LC hal. 38
11
Al-Ma’mûn adalah salah satu pemimpin Dinasti ‘Abbâsiyyah. Setelah Al-
Amîn dibunuh pada tahun 198 H, mulailah sah kekuasaan Ma’mûn dan ia pun
terlihat bijaksana. Ia seorang ahli politik yang tinggi dan pandai sekali mengatur
negeri. Dari pada itu, ia juga seorang yang alim dan filosof besar, banyak membaca

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 109


218 H / 813-833). Kedudukan Mu’tazilah menjadi semakin kokoh
setelah Al-Ma’mûn menjadikannya sebagai mazhab resmi Negara.
Hal ini disebabkan karena Al-Ma’mûn sejak kecil dididik dalam
tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Karena mendapat dukungan dari pemerintah, kaum Mu’tazilah
memaksakan ajarannya kepada kelompok lain yang dikenal dengan
peristiwa mihnah (inquisition). Mihnah itu muncul sehubungan
dengan pendapat mereka bahwa al-Qur’ân adalah kalam Allah SWT.
Kalam adalah terdiri dari huruf, suara dan tulisan mushaf dan dapat
ditiru bunyinya.12
Al-Qur’ân itu makhluk, dalam arti ciptaan Tuhan. Karena
diciptakan, maka itu sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika
dikatakan al-Qur’ân itu qadim, maka kesimpulannya ada yang
qadim selain Allah SWT. dan itu musyrik hukumnya. Khalifah Al-
Ma’mûn menginstruksikan agar diadakan mengujian terhadap aparat
pemerintahannya (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham

karangan-karangan ahli fikir Yunani kuno. Besar perhatiannya pada ilmu dunia dan
akhirat sehingga kembalilah zaman ayahnya dulu. (Lihat Buya Hamka, Sejarah
Umat Islam Pra Kenabian Hingga Islam di Nusantara, Jakarta : Gema Insani, 2016,
h. 207).
12
Peristiwa mihnah terjadi sekitar tahun 198 H. sampai dengan tahun 232
H. Hanya saja pelaksanaannya nanti diterapkan secara efektif di tengah masyarakat
mulai pada tahun 218 H. Hal itu dilakukan karena adanya kekhawatiran akan
mendapat tantangan dari masyarakat di masa awal pemerintahan Ma’mûn. Berawal
dari Khalifah Al-Ma’mûn terkontaminasi oleh paham Mu’tazilah yang dimiliki oleh
Ahmad bin Abû Du'ad. Dia berusaha mempengaruhi Khalifah dan menelurkan ide
untuk melaksanakan mihnah untuk menjernihkan akidah masyarakat terutama soal
doktrin “Al-Qur’ân adalah makhluk”. Akhirnya, pada tahun 212 H, mulailah Al-
Ma’mûn menganut paham Mu’tazilah. Pada masa pemerintahan Ma’mûn,
diterapkan empat macam tingkatan sanksi atas mereka yang membangkang,
yaitu pertama, mereka yang menolak tidak dapat diterima kesaksiannya di
pengadilan, kedua, bagi mereka yang bekerja sebagai guru atau muballig
diputuskan tunjangan yang diperolehnya dari Khalifah, ketiga, jika masih menolak
akan dicambuk dan dirantai, kemudian dimasukkan ke dalam penjara, dan keempat,
proses terakhir dari segalanya adalah hukuman mati dengan leher dipancung. (Lihat
Hamka Haq, Dialog: Pemikiran Islam, Makassar : Yayasan al-Ahkam, Cv. Berkah
Utami, 2000, h. 11).

110 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


ini. Dalam pelaksanaanya bukan hanya aparat pemerintahan tetapi
juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh yang
menjadi korban, salah satunya adalah Imâm Ahmad bin Hanbal al-
Syaibânî.13
Peristiwa ini berakhir pada saat kepemimpinan Mutawakkil
(memerintah 232-247 H/ 842-847 M).14Di masa Mutawakkil15
dominasi Mu’tazilah menurun dan tidak mendapat simpati dari
masyarakat. Hal ini semakin buruk setelah Mutawakkil membatal
kan mazhab Mu’tazilah menjadi mazhab Asy’ariyyah. Pada
perkembangannya, Mu’tazilah sempat muncul kembali pada Dinasti
Buwaihi di Baghdâd. Namun tidak lama karena segera gulingkan
oleh Bani Seljuk16 yang cenderung ke Asy’ariyyah. Banyak

13
Nama lengkapnya adalah Abû ‘Abd Allâh Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idrîs bin ‘Abd Allâh bin Hayyan bin ‘Abd Allâh bin
Anas bin ‘Auf bin Qâsit bin Mazin bin Syaibân al-Marwazî al-Baghdâdî, nasabnya
bertemu dengan Nabi Muhammad pada Nizâr bin Ma’ad bin ‘Adnân. Lahir pada
tahun 164 H di Baghdâd, dan merupakan salah satu murid dari Imâm al-Syâfi’I
ketika di Makkah. (Lihat Ahmad Syurbâsî, Biografi Empat Imam Mazhab, h. 270).
14
Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam, (Jakarta : Ushul Press, 2012), h. 52
15
Al-Mutawakkil adalah salah satu pemimpin Dinasti ‘Abbâsiyyah, setelah
Al-Wâtsiq meninggal pada tahun 232 H, diangkatlah Mutawakkil menjadi
penggantinya. Berbeda dengan Ma’mûn dan Wâtsiq, Mutawakkil sangat memusuhi
keturunan-keturunan ‘Alî bin Abî Tâlib. Penyebabnya ialah karena pengaruh orang-
orang besar istana sehingga dipemerintahannya meruntuhkan kuburan Husain bin
‘Alî di Karbala serta kuburan-kuburan dan rumah-rumah yang ada di sekelilingnya.
(Lihat Buya Hamka, Sejarah Umat Islam Pra Kenabian Hingga Islam di Nusantara ,
h. 210).
16
Nama bani Seljuk diambil dari sebuah nama seorang tokoh yang berasal
dari keturunan Turki, yaitu Seljuk bin Tuqaq, yang berasal dari kabilah kecil
keturunan Turki, yakni kabilah Qunuq. Kabilah ini bersama dua puluh kabilah kecil
lainnya bersatu membentuk rumpun Ghuz. Semula gabungan kabilah ini tidak
memiliki nama, hingga muncullah tokoh Seljuk putra Tuqaq yang mempersatukan
mereka dengan memberi nama suku Seljuk. Seljuk dikenal sebagai seorang orator
ulung dan dermawan oleh kerena itu ia disukai dan taati oleh masyarakat, dilain
pihak istri raja Turki khawatir jika seljuk melakukan pemberontakan, karenanya
ada rencana untuk membunuh saljuk secara licik, dan seljuk sendiri mengetahui
rencana jahat tersebut lalu ia mengumpulkan pasukannya dan membawa mereka ke
kota Janad, mereka tinggal disana dan bertetangga dengan kaum muslimin di

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 111


keterangan yang menyebutkan bahwa aliran Mu’tazilah adalah
kelompok yang memprioritaskan akal ketimbang nash (al-Qur’ân
dan hadits). Bahkan ada juga yang mengklaim mereka sebagai aliran
kalam yang mendewakan akal. Ilmu kalam adalah salah satu dari
empat cabang ilmu-ilmu tradisional dalam perbendaharaan
peradaban Islam. Tiga ilmu lainnya adalah ilmu fikih, tasawuf, dan
filsafat. Studi kalam merupakan salah satu dari cabang ilmu filsafat
yang salah satu dari epistemologinya adalah akal. Bahkan metode
dialektis (jadâliyyah) merupakan ciri khas dari disiplin ilmu ini. 17
Tentunya jika memahami Mu’tazilah sesuai dengan konteks
masa kemunculan dan perkembangannya, pasti akan diketahui
bagaimana aliran ini menyikapi kondisi sosial pada masa itu, dan
tentunya pendapat-pendapat Mu’tazilah terpengaruh oleh aspek
sosial pada masanya. Perkembangan Mu’tazilah pada masa awal
memang terkesan sangat mendahulukan hukum-hukum akal dalam
pendapat-pendapatnya, hal ini tidak dipungkiri, karena memang
pada masa itu seiring dengan pertumbunhan ilmu filsafat di Timur
dengan banyak buku-buku filsafat Barat yang dialih bahasakan ke
dalam bahasa Arab yang kemudian dipelajari.
Akan tetapi untuk masa belakangan klaim tersebut menjadi
berubah, bahwa kebenaran adalah sesuatu yang dicerna dan
disimpulkan dari akal yang sempurna dan bersih dari kotornya hawa

negeri Turkistan, maka ketika saljuk melihat prilaku orang Islam yang baik dan
berakhlak luhur ia akhirnya memeluk agama Islam dan kabilah Ghuz pun akhirnya
memeluk Islam. Dan sejak itulah saljuk mulai melakukan perlawanan dan
peperangan melawan orang-orang Turki yang kafir, akhrinya iapun mampu
mengusir bawahan raja Turki dan menghapus pajak atas kaum muslimin. Dalam
kajian historis, para sejarawan menyebutkan bahwa suku Seljuk memeluk agama
Islam pada sekitar akhir abad ke-4 H/10 M, dengan barmazhab Sunni. (Lihat K.
Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), terj. Ghufron A. Mas'adi, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996, h. 406, Lihat juga Muhammad Iqbal dan William Hunt,
Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam, terj. Dwi Karyani , Jakarta: Taramedia, 2003,
h. 358).
17
Nurcholish Madjid, Kalam Kekhalifaan Manusia Dan Reformasi Bumi,
(Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998), h. 1-2.

112 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


nafsu dan emosi.18Aziz Dahlan menjelaskan, sebagai salah satu dari
aliran-aliran dalam Islam, tentunya Mu’tazilah pasti berpegang
teguh kepada al-Qur’ân dan hadits Nabi. Terusnya menjelaskan
bahwa Mu’tazilah dalam sumber epitemologinya adalah
menggunakan al-Qur’ân dan hadits mutawâtir19, barulah kemudian
menggukanakan akal.20 Pendapat ini kontras dengan apa yang umum
dikenal banyak orang tentang paham Mu’tazilah. Tentunya akan
lebih baik jika memahami sesuatu dimulai dari komteks sosial pada
masanya.
a. Doktrin Usûl al-Khamsah dan Relevansinya Dengan Masalah
Doktrin usûl al-khamsah atau lima ajaran dasar teologi
Mu’tazilah adalah pokok-pokok penting yang sangat penting untuk
dapat memahami paham Mu’tazilah. Doktrin ini juga yang menjadi
ciri dari kelompok ini dengan kelompok yang lainnya. Untuk itu
dirasa sangat perlu menjelaskan dokrtin ini agar lebih objektif dalam
memahami doktrin Mu’tazilah.
1. Al-Tauhid
Ajaran pertama ini, merupakan prinsip utama dan intisari
ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab kalam memegang
doktrin ini, akan tetapi, bagi Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang
spesifik dan luas.21Dalam ajaran ini pun artinya meyakini

18
Muhammad Sa’îd Ramadan al-Bûtî, Al-Madzâhib al-Tauhîdiyyah wa al-
Falsafât al-Ma’âshirah, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.), h. 91.
19
Secara bahasa, mutawâtir adalah isim fa’il dari al-tawâtur yang artinya
berurutan. Sedangkan mutawâtir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan
oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari
melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut
akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan
hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat
diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”. (Lihat,
Mahmûd al-Tahân, ‘Ilm Mustalah al-Hadîts, (Haraiman, t,t), h. 1-2.
20
Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam, h. 82.
21
Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia,
2012), h. 104.

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 113


sepenuhnya hanya Allah SWT. yang Maha Esa. Dia merupakan zat
yang tersucikan dari syârik (sekutu) apapun, tidak ada yang serupa
dengan-Nya. Mereka menganggap konsep tauhid ini yang paling
murni sehingga mereka senang disebut Ahl al-Tauhîd (pembela
tauhid). Dalam mempertahankan paham keesaan Allah SWT.
mereka menafikan segala sifat, sehingga mereka sering disebut Nafy
al-Sifât.22
Yang mereka maksud dengan peniadaan sifat yaitu bahwa
Tuhan tidak mempunyai sifat yang berdiri di luar zat-Nya, karena
itu akan membawa pada yang qadim selain Tuhan (Ta’addud al-
Qudamâ). Mu’tazilah tidak mau mengakui adanya sifat Tuhan
dalam pengertian sesuatu yang melekat pada zat Tuhan. Jika Tuhan
dikatakan Maha Mengetahui maka itu bukan sifat-Nya tapi zat-
Nya.23 Selanjutnya, konsep tauhid Mu’tazilah ini membawa pada
penolakan paham antropomorfisme (mujassimah). Tuhan bagi
mereka tidak boleh dipersamakan dengan makhluk-Nya, seperti
tangan dan wajah. Karena itu ayat-ayat yang menggambarkan
Tuhan mempunyai sifat harus ditakwilkan sedemikian rupa. Oleh
sebab itu, mereka juga menolak pendapat bahwa Tuhan dapat dilihat
di akhirat nanti.24

2. Al-‘Adl (Keadilan Tuhan)


Paham keadilan Tuhan Mu’tazilah adalah dalam pengertian,
bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil Tuhan berbuat zalim

22
Kata Nafy al-Sifât terdiri dari dua suku kata, yaitu al-nafy dan al-sifat.
Al-Nafy artinya adalah meniadakan, dan juga diartikan sebagai suatu bentuk berita
terhadap peniadaan suatu perbuatan. Kata al-Sifât artinya adalah sifat, sehingga al-
Nafy al-Sifât yaitu meniadakan adanya sifat-sifat Allah, dan istilah ini disematkan
kepada kelompok Mu’attilah atau Mu’tazilah. (Lihat Syahrin Harahap dan Hasan
Bakti Nasution, Ensiklopedi Akidah Islam, h. 435, lihat juga Muhammad al-Jurjânî,
Kitâb al-Ta’rîfât, Haramain : t.t., h. 241).
23
Qadî ‘Abd al-Jabbâr bin Ahmad, Syarh Usûl Al-Khamsah, (Kairo :
Maktabah Wahbah, 1996), h. 151.
24
Tim Redaksi, Ensiklopedia Islam, Jilid 3 h. 293.

114 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


pada hamba-Nya. Dari sini timbul ajaran al-salah wa al-
aslah.25Maksudnya Tuhan wajib berbuat baik pada manusia bahkan
yang terbaik di antaranya, Tuhan tidak boleh memberi beban yang
berat pada manusia, Tuhan wajib mengirim rasul-rasul dan nabi-nabi
untuk menuntun kehidupan manusia di muka bumi 26, dan Tuhan
wajib memberikan daya pada manusia agar ia dapat mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.27Dalam pengertian paham ini, perbuatan
Tuhan terbatas, ada sesuatu yang boleh dilakukan Tuhan, dan ada
yang tidak boleh dilakukan oleh Tuhan sebagaimana digambarkan
sebelumnya.28Hal ini kontras dengan paham Asy’ariyyah yang
berpaham bahwa Tuhan boleh saja melakukan apapun sesuai
kehendaknya.

25
Al-Salah wa al-Aslah dalam bahsa Indonesia diartikan dengan berbuat
baik dan terbaik. Maksud dari paham Mu’tazilah ini adalah, kewajiban Tuhan
berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin berbuat jahat dan
aniaya, karena akan menimbulkan kesan, bahwa Tuhan penjahat dan penganiaya,
sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat kepada seseorang
dan berbuat baik kepada orang lain, berarti Ia tidak berlaku adil. Dengan sendirinya
Tuhan juga tidak sempurna. Bahkan Al-Nazzâm, salah satu tokoh Mu’tazilah
menyatakan, bahwa Tuhan tidak dapat berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan
kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan Tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak
bagi-Nya. (Lihat Abû al-Fath Muhammad bin ‘Abd al-Karîm al-Syahrastânî, Al-
Milal wa al-Nihal, Jil 1, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2013, h. 47).
26
Kewajiban mengutus rasul-rasul kepada manusia merupakan kewajiban
Tuhan karena beberapa alasan: yaitu pertama, Tuhan wajib berlaku baik kepada
manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada
mereka, kedua, al-Qur’ân secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk
memberikan belas kasih kepada manusia, dan cara terbaik untuk maksud tersebut
adalah dengan pengutusan rasul, ketiga, tujuan diciptakannya manusia untuk
beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, maka tidak ada jalan lain
selain mengutus rasul kepada manusia. (Lihat Mahmûd Mazrû’ah, Târikh Al-Firaq
Al-Islâmiyyah, Kairo : Dar al-Mannâr, 1991, h. 130-131, Lihat juga Abdul Razak
dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 104-105).
27
Lihat Sa’îd Ramadân al-Bûtî, al-Madzâhib al-Tauhîdiyyah, h. 76.
28
Qadî ‘Abd al-Jabbâr bin Ahmad, Syarh Usûl Al-Khamsah, h. 301.

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 115


3. Al-Wa’d wa al-Wa’îd ( Janji dan ancaman)
Menurut mereka Tuhan wajib menepati janji-Nya
memasukkan orang mukmin ke dalam surga dan menepati ancaman-
Nya memasukkan orang kafir ke dalam neraka. Meskipun Tuhan
bisa memasukkan orang yang berdosa besar ke dalam surga dan
menjerumuskan orang mukmin ke dalam neraka, namun mustahil
bagi Tuhan, karena bertentangan dengan keadilan-Nya.29Paham ini
berkaitan erat dengan paham bahwa manusia sendiri yang
mewujudkan perbuatan-perbuatannya melalui daya yang diciptakan
Tuhan dalam dirinya. Oleh karena itu manusia bertanggung jawab
penuh atas perbuatannya. Jika manusia memilih beriman dan
berbuat baik maka dijanjikan masuk surga dan manusia yang ingkar
dan berbuat dosa Tuhan mengancamnya dengan neraka.30

4. Al-Manzilah Bain al-Manzilatain (Posisi di antara dua posisi)


Paham ini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di
kalangan Mu’tazilah. Paham ini tumbuh setelah terjadi peristiwa
antara Wâsil bin ‘Atha’ dengan gurunya Hasan al-Basrî di Basrah.
Bagi Mu’tazilah, orang yang berdosa besar bukan termasuk kafir
dan bukan pula mukmin, melainkan berada di keduanya, menempati
antara mukmin dan kafir yang disebut fasik. 31Jika orang-orang yang
mendapat predikat fasik tidak melakukan tobat sebelum meninggal,
maka mereka akan dicampakkan ke dalam neraka dan akan kekal di

29
Qadî ‘Abd al-Jabbâr bin Ahmad, Syarh Usûl Al-Khamsah, h. 611.
30
Dalam paham ini juga, Harun Nasution menjelaskan, bahwa Tuhan tidak
dapat disebut adil, jika Ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik,
dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki
supaya orang yang bersalah diberi hukuman dan orang yang berbuat baik diberi
upah, sebagaimana dijanjikan oleh Tuhan. (Lihat Harun Nasution, Teologi Islam, h.
56).
31
Qadî ‘Abd al-Jabbâr bin Ahmad, Syarh Usûl Al-Khamsah, h. 697.

116 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


dalamnya32, hanya saja siksaan yang mereka peroleh lebih ringan
dibandingkan siksaan orang kafir.

5. Al-Amr Bi al-Ma’rûf wa Al-Nahy ‘An al-Munkar (Perintah


agar mengerjakan kebajikan dan melarang kemunkaran)
Dalam prinsip Mu’tazilah, setiap muslim wajib menegakkan
perbuatan yang baik dan menjauhi segala yang mungkar. 33
Berpegang pada ajaran ini, kaum Mu’tazilah dalam sejarah pernah
melakukan pemaksaan ajaran kepada golongan lain yang dikenal
dengan peristiwa mihnah, yaitu memaksakan pendapatnya bahwa al-
Qur’ân itu adalah ciptaan Tuhan. Mereka yang menentang pendapat
ini wajib dihukum. Demikian cara mereka menegakkan Al-Amr bi
al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘an al-Munkar. Menurut Ramadân al-Bûtî,
masalah ini, disepakati oleh jumhur ulama, tidak hanya kalangan
Mu’tazilah saja, akan tetapi untuk merealisasikannya tidak semua
berkewajiban, oleh karenanya al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an al-
munkar menurutnya adalah wajib kifayah, bukan wajib yang bersifat
personal.34

b. Kesimpulan
1. Ilâhiyyah
Dari uraian singkat di atas, paham Mu’tazilah dalam masalah
ilâhiyyah bisa disimpulkan sebagai beriku : Tuhan sepenuhnya Maha
Esa. Dia merupakan zat yang tersucikan dari syârik (sekutu) apapun,

32
Menurut Tosihiko Izutsu (1914-1993 M) dengan mengutip dari Ibn Hazm
(456 H), menguraikan pendangan Mu’tazilah sebagai berikut “Orang yang
melakukan dosa besar disebut fasik. Ia bukan mukmin, juga bukan kafir, bukan pula
munafik (hiprokrit). (Lihat Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan Dalam Teologi
Islam, Terj. Agus Fahri Husein, dkk, Cet. I Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994, h. 53.
Lihat juga Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 106).
33
Qadî ‘Abd al-Jabbâr bin Ahmad, Syarh Usûl Al-Khamsah, h. 741.
34
Lihat Sa’îd Ramadân al-Bûtî, al-Madzâhib al-Tauhîdiyyah wa al-Falsafât
al-Mu’âsirah, h. 88.

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 117


tidak ada yang serupa dengan-Nya. Menafikan adanya sifat-sifat
Tuhan, dalam arti Tuhan tidak mempunyai sifat yang berdiri di luar
zat-Nya, karena itu akan membawa pada yang qadim selain Tuhan
(Ta’addud al-Qudamâ). Tuhan tidak menghendaki keburukan, hanya
menghendaki kebaikan saja, dalam arti berisfat adil dan bijaksana.
Tuhan wajib menepati janji-Nya, memasukkan orang mukmin ke
dalam surga dan menepati ancaman-Nya memasukkan orang kafir ke
dalam neraka. Al-Qur’ân adalah makhluk dan diciptakan, kalam
Tuhan bersifat baru tidak qadim.

2. Nubuwwah
Dalam masalah kenabian, paham Mu’tazilah menyatakan
sebagai berikut sebagai berikut : Dalam doktrin al-‘adl (keadilan
Tuhan) Tuhan wajib mengutus para rasul kepada manusia. Dalam
masalah mukjizat, menurut mereka mukjizat al-Qur’ân terletak pada
kandungannya, bukan pada gaya bahasanya (uslûb al-kalâm).
Dengan demikian kebenaran Nabi Muhammad dibuktikan oleh isi
al-Qur’ân mengenai kabar serta cerita umat yang lampau dan
mengenai kabar-kabar tentang yang ghaib dan yang tak dapat dilihat
dan bukan susunan dan bahasa al-Qur’ân.

3. Sam’iyyah
Tentang masalah sam’iyyah, paham Mu’tazilah adalah
sebagai berikut: Mu’tazilah berpendapat bahwa surga dan neraka
belum mempunyai wujud saat ini, karena masa memasuki surga atau
neraka belum tiba, dengan demikian adanya surga dan neraka
sekarang tak ada faidahnya. 35 Tuhan tidak akan dapat dilihat
manusia dengan mata kepalanya di akhirat.

35
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 52.

118 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


2. Asy’ariyyah
Asy’ariyyah adalah aliran yang berpaham Abû Hasan ‘Alî bin
Ismâ'îl al-Asy’arî, yang kemudian berkembang menjadi salah satu
aliran teologi yang penting dalam Islam, selanjutnya dikenal dengan
aliran Asy’ariyyah, yaitu nama yang dinisbahkan kepada Abû Hasan
al-Asy’arî sebagai peletak dasar-dasar aliran ini. Al-Asy’arî hidup
antara tahun 260-324 H. atau lahir akhir abad ke-3 dan awal abad
ke-4 H.36 Pada abad ini dikenal ada tiga aliran dalam peta sejarah
pemikiran Islam, yaitu pertama, Aliran Salafiyyah37, yang dipelopori
oleh Imâm Ahmad bin Hanbal. Aliran ini dikenal sangat tekstual,
yaitu menjadikan nash sebagai satu-satunya poros dan alat dalam
memahami akidah-akidah Islam; kedua, Aliran Filosof Muslim yang
memahami akidah-akidah Islam dan membelanya harus berdasarkan
akal dan naql (al-Qur’ân dan hadits) dengan bertolak pada
kebenaran-kebenaran akal sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan; ketiga, aliran Mu'tazilah, aliran yang memadukan
antara akal dan naql dengan tetap menjadikan akal sebagai penentu
bila lahiriah nash bertentangan dengan kebenaran-kebenaran akal
(dalil-dalil logika).38
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk
menjawab tantangan akidah dengan menggunakan rasio telah
menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan
besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis

36
Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah. juz VII. (Beirut: Dar al-Fikr. 1996,
Cet. I,), h. 581.
37
Kata salaf atau salafiyyah berasal dari bahasa Arab yang berrati terdahulu
atau pertama, sebagai kebalikan dari khalaf yang berarti belakang atau kemudian.
Aliran ini dikembangkan oleh para loyalis Imâm Ahmad bin Hanbal pada abad ke-4
H, dengan tujuan untuk mempertahankan ajaran-ajaran Imâm Ahmad. Aliran ini
mulai terlihat sejak abd ke 6 M setelah dikembangkan oleh Ibn Taimiyyah (661-
728). (Lihat Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Akidah
Islam, h. 528).
38
Muhammad Imârah, Tayyârât al-Fikr al-Islâmî, ( Kairo: Dar al-Syuruq,
1991), h. 165

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 119


ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat
untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal. Al-
Asy‘arî adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam
menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena
itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan
panggabungan antara dalil naqlî dan ‘aqlî.39 Munculnya kelompok
Asy’ariyyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik
terhadap paham Mu’tazilah yang berkembang pada saat itu.
Kesalahan dasar Mu’tazilah di mata Al-Asy'arî adalah bahwa
mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan-manusia, bahwa
kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan. Al-Asy’arî pada
mulanya termasuk pengikut aliran Mu'tazilah sampai beliau berumur
40 tahun. dan pada akhirnya beliau membentuk corak pemikiran
yang berbeda dari ketiga aliran tersebut, beliau berusaha
memadukan keduanya dengan tetap berpedoman bahwa akal harus
tunduk pada nash.
Kasus berubahnya Asy’arî, setelah cukup lama menjadi
pemuka Mu’tazilah, ternyata cukup menarik perhatian, dan para
sarjana tidak bisa sepakat dalam menunjukan sebabnya, kendati ada
beberapa kisah yang ditulis oleh golongan Asy’ariyyah yang
berkenaan dengan keluarnya Asy’arî dari paham Mu’tazilah. Ada
kisah tentang pengalaman mimpi yang dialami oleh Asy’arî, dalam
mimpi itu Nabi Muhammad berkata kepadanya bahwa Mu’tazilah
itu paham yang salah dan yang benar adalah pendirian ahl al-hadits.

39
Al-Asy’arî mulai mengembangkan suatu teologi yang memakai rasio
untuk membela prinsip-prinsip keimanan sambil tetap loyal kepada dicta wahyu
saat memakai dialektika. Ia berusaha mengambil jalan tengah di antara dua
ekstrem: para rasionalis Mu’tazilah yang menjadikan wahyu tunduk kepada akal,
dan para “eksternalis” dari beragam kepercayaan yang menolak peran akal secara
menyeluruh dan cukup puas dengan makna harfiah ayat-ayat al-Qur’ân dan ajran-
ajaran hadits. (Lihat Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam,
Jil. 2, Bandung : Mizan, 2003, h. 514-515).

120 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Ada pula kisah dialog antara Asy’arî dengan Jubbâ’î 40 tentang
kepentingan mukmin, anak kecil, dan kafir di akhirat. 41
Dalam dialog itu, dideskripsikan bahwa Al-Jubbâ’î tidak
dapat menjawab pertanyaan Asy’arî tentang mengapa Tuhan tidak
menjaga kepentingan si kafir dengan mematikannya sebelum dewas,
sebagaimana banyak anak kecil, demi kepentingan mereka,
dimatikan pada usia sebelum mencapai dewasa. Kisah lain
menyebutkan bahwa Asy’arî mengasingkan diri selama lima belas
hari untuk memikirkan dalil-dalil yang digunakan pihak-pihak yang
bertentangan dalam ilmu kalam, ternyata baginya bahwa dalil-dalil
itu sama kuat. Karena itu ia memohon petunjuk Allah dan atas
petunjuk-Nya itu ia melemparkan keyakinannya yang lama dan
menyusun teologi yang baru.
Disebut dalam kisah itu bahwa setelah mengasingkan diri
pergi ke masjid dan mengumumkan kepada semua hadirin di masjid
bahwa ia mulai saat itu tidak lagi menganut paham Mu’tazilah, tapi
menysusun keyakinan yang baru. Ahmad Mahmud Subhi
berpendapat bahwa Asy’arî mengalami syak (skeptis) karena ia
selain penganut paham Mu’tazilah juga pengikut mazhab Syâfi’î. 42
Imâm Syâfi’î sendiri mempunyai paham teologi yang berlainan
dengan paham Mu’tazilah, Syâfi’î misalnya, menganut paham
bahwa al-Qur’ân adalah kalam Tuhan yang qadim dan tidak
diciptakan, tidak berhurup dan tidak bersuara, ia mengatakan :

40
Al-Jubbâ’î, merupakan tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan
Mu’tazilah. Nama lengkapnya adalah ’Abû 'Alî Muhammad bin 'Abd al-Wahhâb al-
Jubbâ'î. Lahir pada tahun 295 H, dan wafat pada tahun 321 H. Dia adalah guru dari
Abû Hasan al-Asy’arî pendiri aliran Asy-ariyyah. (Lihat Harun Nasution, Teologi
Islam, h. 66).
41
Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam, h. 81. Kisah ini juga diceritakan oleh
Syekh Nawawi dalam Kitab Fath al-Madjîd, h. 39.
42
Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam, h. 81.

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 121


‫ ألن‬،‫ن واعل ــم ه ــداو للا أن ك ــالم للا ع ــاىل ل ــي حب ــرف وال ص ــوت‬
‫ وذلك مستحي علـى‬،‫احلرف والصوت يتض نان جواز التقدم والتأخر‬
‫القدي سبحانه و عاىل ن‬
Artinya : “ ketahuilah, semoga Allah memberimu hidayah,
bahwa kalam Allah tidaklah berhuruf dan bersuara, karena
huruf dan suara itu mencakup kemungkinan adanya
pendahuluan (pembukaan kalam), dan pengakhiran (penutup
kalam), dan hal itu mustahil bagi zat Allah yang qadim”. 43
Dan dalam masalah bahwa al-Qur’ân tidak diciptakan, Syâfi’î
mengatakan :
‫ن اعلم رمحك للا أن كالم البار سبحانه قدي أزيل موجود بْا ه لي‬
‫مبخلوق وال حمدث ن‬
“ ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya
kalam Allah itu qadim, azali, dan tidak diciptakan (makhluk)
dan dibarukan”.

Sedangkan dalam masalah Allah dapat dilihat di akhirat,


Syâfi’î mengatakan :
‫ ألن م ــا ال‬،‫ن وه ــو س ــبحانه ي ــرر ي ــوم القيام ــة وَت ــوز رييت ــه وألبص ــار‬
‫صح رييته يتقرر وجوده كاملعدوم ن‬
“Allah dapat dilihat di hari kiamat, dan boleh saja melihat
Allah dengan mata kepala. Karena sesuatu yang tidak bisa
terlihat, maka wujudnya tidaklah tetap, seperti halnya sesuatu
yang tidak wujud atau tidak ada”.44

43
Muhammad bin Idrîs al-Syâfi’î, al-Kawâkin al-Azhâr Syarh al-Fiqh al-
Akbar, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t), h. 76.
44
Muhammad bin Idrîs al-Syâfi’î, al-Kawâkin al-Azhâr Syarh al-Fiqh al-
Akbar, h. 80.

122 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Paham teologi Syâfi’î ini nampaknya adalah paham yang
dianut oleh tiga generasi awal Islam atau yang dikenal sebagai
generasi salaf. Keterikatan Asy’arî terhadap mazhab Syâfi’î yang
membuatnya mengalami syak (keraguan) lantaran paham yang
dianut Syâfi’î berlainan dengan paham Mu’tazilah melainkan paham
ulama generasi awal Islam atau salaf. Hammûdah Ghurâbah
berpendapat, bahwa ajaran-ajaran yang diperoleh Asy’arî dari
Jubbâ’î menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat
penyelesaian yang memuaskan.
Tidak seperti Mu’tazilah yang dalam pemikiran teologisnya
hanya terikat pada al-Qur’ân dan Hadîts Mutawâtir, aliran
Asy’ariyyah selain terikat pada al-Qur’ân dan Hadîts Mutawâwtir,
juga terikat dengan pada Hadits Masyhûr dan Hadits Ahâd. Oleh
sebab itu mudah dipahami mengapa kaum Asy’ariyyah menamakan
diri mereka sebagai kaum Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah.
Asy’arî dalam manhajnya merujuk kepada dalil naqlî (al-
Qur’ân dan hadits) sebagai pondasi dasar, barulah merujuk kepada
dalil ‘aqlî (akal) dan burhân mantîqî (demontrasi rasional) yang
dengannya untuk menunjukan kebenaran dalil naqlî tersebut.45
Paham Asy’ariyyah tersebut dapat diketahui dari tulisan-tulisann
Asy’arî sendiri dan tulisan-tulisan para pengikutnya. Tulisan-tulisan
Asy’arî yang menggambarkan pendirian teologinya ialah kitab Al-
Ibânah ‘an Usûl al-Diyânah, dan kitab al-Luma’ fî al-Radd ‘alâ ahl
al-Zaigh wa al-Bida’. Kitabnya yang lain, yaitu, Maqâlât al-
Islâmiyyîn wa Ikhtilâf al-Musallîn berbicara tentang aneka ragam
pendapat di kalangan umat Islam dalam masalah teologi (kalam). 46
a. Doktrin Umun Tentang Masalah
Asy’arî dengan pahamnya yang baru, menolak paham
Qadariyyah yang menegaskan bahwa perbuatan manusia, bukan

45
Sa’îd Ramdan al-Bûtî, al-Madzâhib al-Tauhîdiyya, h. 115.
46
Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam, h. 83.

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 123


perbuatan yang diciptakan Tuhan. Ia juga menolak paham
Jabariyyah yang menegaskan bahwa perbuatan manusia sebenarnya
perbuatan Tuhan, bukan perbuatan manusia yang dalam arti
sesungguhnya, karena manusia itu dipaksa atau dikendalikan oleh
Tuhan. Dengan kedua paham tersebut, ia mengajukan paham
“kasab” dalam hal perbuatan manusia. Tentang teori “kasab” yang
diajukan Asy’arî ini, Nurcholish Madjid menyatakan bahwa
penghargaan dan kritis bisa didudukan pada tempat masing-masing.
Ketika orang berbicara tentang kemunduran umat Islam,
Asy’arî seringkali menjadi sasaran kritik karena konsep “Kasab”
(acquisitiori)nya yang jabari (determinist). Kritik ini menegaskan
adanya korelasi positif antara konsep jabari dengan kemunduruan
umat. Jika hendak berlaku adil, kritik seperti itu mesti dibarengi
dengan penghargaan terhadap makna kehadiran Asy’arî sendiri.
Sebab tanpa kehadirannya, Islam mungkin sekali akan menerima
nasib yang sama dengan Kristen, yaitu mengalami Hellenisasi 47
habis-habisan. Meskipun Kristen adalah agama Semitik dan Nabi
Îsâ adalah orang Yahudi, tetapi agama itu kini telah kehilangan

47
Hellenisme diambil dari bahasa Yunani kuno Hellenizein yang berarti
“berbicara atau berkelakuan seprti orang Yunani”. Hellenisme klasik: yaitu
kebudayaan Yunani yang berkembang pada abad ke-6 dan ke-5 SM. Hellenisme
secara umum: istilah yang menunjukkan kebudayaan yang merupakan gabungan
antara budaya Yunani dan budaya Asia kecil, Syiria, Metopotamia, dan mesir yang
lebih tua. Lama periode ini kurang lebih 300 tahun, yaitu mulai 323 SM (masa
Alexander Agung atau meninggalnya Aristoteles) hingga 20 SM. Hellenisme
ditandai dengan fakta bahwa perbatasan antara berbagai negara dan kebudayaan
menjadi hilang. Kebudayaan yang berbeda yang ada di jaman ini melebur menjadi
satu yang menumpang gagasan-gagasan agama, politik dan ilmu pengetahuan.
Hellenisme di bagi menjadi dua fase, yaitu fase Hellenisme dan fase Hellenisme
Romawi. Fase Hellenisme adalah fase yang ketika pemikiran filsafat hanya dimiliki
oleh orang-orang Yunani. Adapun fase Hellenisme Romawi ialah fase yang sudah
datang sesudah fase hellenisme, dan meliputi semua pemikiran filsafat yang ada
pada masa kerajaan romawi, yang ikut serta membicarakan peninggalan pikiran
Yunani, antara lain pemikiran Romawi di barat dan di timur yang ada di mesir dan
di siria. Fase ini dimulai dari akhir abad ke-4 sebelum masehi sampai pertengahan
abad ke-6, Masehi di Bizantium dan roma, atau sampai masa penerjemahan di dunia
Arab. (Lihat Imron, Filsafat Umum (Palembang : Noer Fikri Offset,2013) h. 4).

124 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


wajah Semitiknya dan digantikan dengan lebih banyak wajah
Yunani dan Romawi.48 Di sinilah penghargaan yang tinggi mestinya
diberikan kepada Asy’arî karena keberhasilannya membendung efek
Hellenisasi dari pemikiran kefilsafatan Ibn Sînâ, 49 Al-Kindî,50 Al-
Fârâbî dan lain sebagainya (meskipun sebenarnya orang-orang yang
terkenal dengan julukan filosof ini, berada jauh di seberang,
sedangkan serangan Asy’arî ditunjukan kepada paham yang lebih
dekat kemari, yaitu Mu’tazilah). Sangat boleh jadi, tanpa Asy’arî,
ajaran Tauhid pun akan terkompromikan dengan kepercayaan-
kepercayaaan setempat, meskipun memang peranan pembendung ini
tidak seluruhnya dimainkan oleh Asy’arî, melainkan untuk
sebagiannya juga oleh prestasi politik yang gemilang dari Islam.
Bahkan Asy’arî tidak hanya merupakan Imam Sunni, melainkan
juga banyak berpengaruh pada konsep teologi kaum Syî’ah 51,

48
Nurcholish Madjid, Islam Indonesia Menatap Masa Depan : Aktualisasi
Ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang terhimpun dalam buku Islam Nusantara
Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan, ( Bandung : PT Mizan Pustaka, 2015),
h. 121-122.
49
Ibn Sînâ atau Aviceina (370-429 H/980-1037 M), juga dikenal sebagai Al-
Syaikh Al-Raîs, adalah salah seorang dari pemikir Muslim/filosof Muslim abad
pertengahan. Ia lahir di Afshanah (desa kecil dekat Bukhara, Ibu Kota Dinasti
Sâmâniyya), tempat ayahnya ‘Abd Allâh, yang berasal dari Balkh, bertemu dan
menikah dengan Sitârah. Pasangan ini mempunyai tiga putra, ‘Alî Al-Husain (Ibn
Sînâ), dan Mahmûd. Saat Ibn Sînâ berumur lima tahun, keluarga ini pindah ke
Bukhara. Di situlah, ayahnya diangkat menjadi Gubernur Kharmayathnah, sebuah
desa di pinggiran Kota Bukhârâ. (Lihat Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam, Bandung : Mizan, 2003, h. 285).
50
Al-Kindî dikenal sebagai filosof Muslim keturunan Arab pertama, nama
lengkapnya adalah Abû Yusûf Ya’qûb bin Al-Sabbah bin ‘Imrân bin Muhammad
bin Al-Asy’as bin Qais Al-Kindî. Ia popular dengan sebutan Al-Kindî, yaitu
dinisbahkan kepada Kindah, yakni suatu kabilah terkemuka pra Islam yang
merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Ia lahir di Kufah
sekitar tahun 185 H/801 M, dari keluarga kaya dan terhormat. (Lihat Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2013, h. 15).
51
Syî’ah secara bahasa adalah “pengikut”, “pendukung”, “partai”, atau
kelompok”. Sedangkan secara terminologis, istilah ini dikaitkan dengan sebagian
kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada keturunan

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 125


sebagaimana terbukti dari berbagai buku yang mereka karang
(meskipun pengaruh Mu’tazilah pada kaum Syî’ah masih jauh lebih
terasa).52
Kembali kepada teori “kasab” yang diajukan Asy’arî,
menurutnya kasab bukanlah berari usaha atau perbuatan, ia memberi
arti kasab dengan perolehan atau memperoleh, ia menjelaskan
bahwa sesuatu perbuatan terjadi dengan perantaraan daya yang
diciptakan dan demikian menjadi perolehan atau kasab bagi
seseorang. Perbuatan-perbuatan manusia menurut Asy’arî bukanlah
diwujudkan oleh manusia sendiri, tapi diwujudkan oleh Tuhan.
Perbuatan manusia yang diciptakan oleh Tuhan itulah yang
diperoleh oleh manusia. Kasab atau perolehan itupun diciptakan
oleh Tuhan. Alasan yang dikemukakan oleh Asy’arî tentang
diciptakannya perbuatan atau kasab itu oleh Tuhan adalah firman
Allah sebagai berikut :
‫َوللاُ َخلَ َق ُك ْم َوَما َـ ْع َ لُ ْو َن‬
“Dan Allah telah menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat”.53

Berdasarkan ayat itu, Asy’arî menegaskan bahwa perbuatan-


perbuatan manusia diciptakan Tuhan, dan tidak ada pembuat (fa’il
atau agent) bagi kasab kecuali Allah. Dengan kata lain, Tuhan

Nabi Muhammad SAW. Atau disebut sebagai ahl- al-bait. Poin penting dalam
doktrin Syî’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama bersumber dari ahl
al-bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang
bukan ahl al-bait atau para pengikutnya. Menurut Tabâtabâ’î, istilah Syî’ah
pertama kalinya ditunjukan pada para pengikut ‘Alî (Syî’ah ‘Alî), pemimpin
pertama ahl al-bait pada masa Nabi Muhammad. Para pengikut ‘Alî yang disebut
Syî’ah di antaranya adalah Abû Dzar al-Ghifârî, Miqdâd bin Al-Aswâd, dan
‘Ammâr bin Yasîr. (Lihat Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 111-
112. Lihat juga Tabâtabâ’î, Islam Asal-usul dan Perkembangannya, Terj. Djohan
Effendi, Jakarta : Graffiti Press, Jakarta, 1989, h. 37 dan 71).
52
Aziz Dahlan, Teologi Islam, h. 84
53
Al-Qur’an, Sûrah al-Saffat : ayat 96.

126 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


sendirilah yang sebenarnya mewujudkan perbuatan atau kasab yang
diperoleh manusia. Kasab serupa dengan gerak involunter; dalam
gerak involunter itu menurut Asy’arî terdapat dua unsur, penggerak
atau pembuat gerak dan badan yang bergerak. Penggerak atau
pembuat gerak yang sebenarnya adalah Tuhan, dan yang bergerak
adalah manusia. Pembuat yang sebenarnya dalam kasab adalah
Tuhan, sedangkan yang memperoleh perbuatan adalah manusia.
Berhubungan dengan hal di atas adalah persoalan kehendak manusia
dalam kaitannya dengan kehendak Tuhan. Asy’arî mengemukakan
firman Allah sebagai berikut :
30 : ‫ (سورة اإلنسان‬.ُ‫َوَما َ َشاءُْو َن إآل أَ ْن يَ َشاءَ للا‬
“Dan tidaklah kamu menghendaki kecuali Allah
menghendakinya”54

Dan menegaskan bahwa manusia tidak bisa menghendaki


sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya
menghendaki sesuatu itu. Ini menunjukan bahwa kehendak manusia
adalah satu dengan kehendak Tuhan atau dengan kata lain,
kehendak yang ada dalam diri manusia sebenarnya tidak lain dari
kehendak Tuhan itu sendiri. Demikianlah paham Asy’arî tentang
kehendak dan perbuatan manusia, ia menolak paham Qadariyyah
dan penolakan itu mudah dipahami. Ia juga menolak paham Jabariah
dan penolakan ini agak sulit dipahami, karena paham kasab yang
diajukannya, pada hakikatnya mendekati paham Jabariyyah. Asy’arî
juga menolak salah satu dari pondasi teologis Mu’tazilah, yaitu
tentang keadilah Tuhan. Menurut Asy’arî, Tuhan memiliki kuasa
yang mutlak dan tak ada suatu apapun yang wajib bagi-Nya.55Tuhan
berbuat sekehendak-Nya, ia boleh saja memasukan semua manusia
yang baik dan jahat ke dalam surga, juga boleh saja memasukan

54
Al-Qur’an, Sûrah al-Insân : ayat 30.
55
Abû al-Hasan ‘Alî bin Ismâ’îl al-Asy’arî, Al-Ibânah ‘An Usûl al-Diyânah,
(Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), h. 61.

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 127


semuanya ke dalam neraka atas dasar kehendak-Nya. Bagi Asy’arî,
Tuhan tidaklah salah, kalau ia memasukan seluruh manusia ke
dalam surga, dan tidaklah berbuat zalim, jika Tuhan memasukan
semuanya ke dalam neraka.
Perbuatan salah atau tidak adil adalah perbuatan yang
melanggar hukum, dan karena itu, Tuhan tidak ada undang-undang
atau hukum bagi-Nya, maka perbuatan Tuhan bagaimana pun yang
ia kehendaki tidak bertentangan dengan hukum. Demikianlah paham
keadilan Tuhan menurut Asy’arî dengan latar belakang kehendak
mutlak Tuhan dalam segala hal dan tidak terbatas. Asy’arî juga
menolak paham “ al-manzilah bain al-manzilatain” yang dianut oleh
Mu’tazilah.
Bila bagi Mu’tazilah terdapat tiga posisi manusia, yakni
posisi mukmin, posisi fasik, dan posisi kafir, sehingga orang fasik
itu bukan orang mukmin dan bukan pula kafir, maka menurut
Asy’arî hanya ada dua posisi manusia, yaitu posisi mukmin dan
posisi kafir. Orang yang sudah mengakui dua kalimat syahadat,
menurut Asy’arî, bila melakukan dosa besar tetaplah mukmin, ia
menjadi mukmin yang fasik. Asy’arî berpendapat bahwa sekiranya
orang berdosa bukan mukmin dan bukan kafir, maka pada dirinya
tidak terdapat kufur atau iman. 56Dan dengan demikian ia bukan
atheis dan bukan monoteis, tidak teman dan tidak pula musuh. Hal
itu menurut Asy’arî, sama sekali tidak mungkin. Karena itu tidaklah
mungkin menurutnya bahwa yang berdosa besar itu tidak mukmin
dan sekaligus tidak kafir. Mukmin adalah orang yang memiliki
iman, dan iman menurut Asy’arî hanyalah pengakuan hati tentang
keesaan Tuhan dan kebenaran Rasul-rasuln-Nya serta segala yang
mereka ajarkan. Pengakuan secara lisan dan ketaatan dalam
menjalankan rukun-rukun Islam tidaklah menjadi bagian yang
esensial dari iman tapi mempunyai pengaruh terhadap kualitas

56
Abû al-Hasan ‘Alî al’Asy’arî, Al-Ibânat ‘An Usûl al-Diyânah, h. 67.

128 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


keimanan seseorang, seperti teks yang ditulis Syahrastânî sebagai
berikut :
‫ وأمـا القـول وللسـان والع ـ علـى‬،‫ اإلاـان هـو التصـدي ولقلـب‬: ‫قال‬
،‫ ف ـ ــٰ صـ ــدق ولقلـ ــب أر أقـ ــر بوحدانيـ ــة للا عـ ــاىل‬،‫األركـ ــان ففـ ــروع‬
‫ صح‬،‫واع ف ولرس صديقا مهم في ا جايوا به مٰ للا عاىل ولقلب‬
‫ وال ُيـرج مـٰ اإلاــان‬،‫ كــان مؤمنـا َنجيـام‬،‫إاانـه حـىت لـو مـات احلـال‬
ٰ‫ وصــاحب الكبــفة إذا خــرج مــٰ الــدنيا مــ‬،‫إال إبنكــار شــيل مــٰ ذلــك‬
‫ وإمـا أن‬،‫ إما أن ي فـر لـه برمحتـه‬،‫ يكون حك ه إىل للا عاىل‬،‫عف وبة‬
57
.‫يشف فيه النل صلى للا عليه وسلم‬
Mukmin yang fasik, bila wafat tanpa bertobat dari dosa yang
dilakukannya, mungkin diampuni Tuhan dengan rahmat-Nya,
sehingga nanti di akhirat langsung masuk ke dalam surga, dan
mungkin diberikan syafa’at oleh Nabi, dan mungkin juga tidak
diampuni, sehingga ia lebih dahulu masuk neraka, sebelum masuk
surga. Mukmin yang fasik, tidak mungkin kekal dalam neraka.
Selanjutnya paham Asy’arî tentang sifat-sifat Tuhan berbeda pula
dengan paham Mu’tazilah. Tuhan menurut Asy’arî mempunyai
sifat-sifat, seperti yang dijelaskan Syahrastâni, Asy’arî mengatakan:
،‫ حــي حبيــاة‬،‫ قــادر بقــدرة‬،‫ البــارر عــاىل عــا بعلــم‬: ٰ‫قــال أبــو احلســ‬
‫ وهــْه‬: ‫ وقـال‬،‫ بصـف ببصـر‬، ‫ ءيـ بسـ‬،‫ مـتكلم بكـالم‬،‫مريـدا إبرادة‬
‫ وال ال هــو وال‬،‫ ال يقــال هــي هــو وال عــفه‬،‫ ــة بْا ــه‬،‫صــفات أزليــة قا‬
.‫عفه‬

57
Al-Syahrastânî, Al-Milal wa al-Nihal, h. 88.

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 129


Berkata Abû al-Hasan: “Allah ta’ala mengetahui dengan
pengetahuan-Nya, berkuasa dengan kekuasaan, hidup dengan
kehidupan, berkehendak dengan kehendak-Nya, mendengar
dengan pendengaran, melihat dengan pengelihatan, dan ia
berkata : “Sifat-sifat ini adalah azali dan berdiri pada zat-Nya,
dan sifat-sifat itu bukanlah zat-Nya dan tidak juga selainnya”58

Menurut Asy’arî, Tuhan atau zat Tuhan bukanlah


pengetahuan, kehidupan, pendengaran, pengelihatan, dan sebagainya
akan tetapi adalah yang mengetahui, yang hidup, yang mendengar,
yang berkuasa, yang melihat, dan seterusnya. Tuhan menurutnya
mustahil mengetahui, mendengar, melihat dengan zat-Nya. Dalam
keterangan Asy’arî terkandung pengertian bahwa sifat-sifat Tuhan
bukanlah zat Tuhan seperti yang dipahami Mu’tazilah. Sifat-sifat
Tuhan dalam pemahaman Asy’arî adalah sesuatu yang lain dan
bukan dati zat Tuhan. Seperti halnya kaum Mu’tazilah, Asy’arî juga
menolak paham tasybîh (antropomorfisme), yakni paham yang
menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama
dengan sifat-sifat jasmani manusia. Sedangkan mengenai al-Qur’ân
sebagai kalam Allah, menurut Asy’arî adalah qadim dan tidak
diciptakan. Dengan berlandaskan firman Allah sebagai berikut:
‫إَِّمنَا قَولُنَا لِ َشْي ٍل إِ َذا أ ََرْد ََن أَ ْن نَـ ُق ْوَل لَهُ ُك ْٰ فَـيَ ُك ْو ُن‬
“Sesungguhnya firman kami kepada sesuatu, bila kami
menghendakinya: ada! Maka adalah ia”.59

Asy’arî berpendapat bahwa kalau kalam Allah diciptakan,


maka untuk penciptaan itu perlu kata kun, dan untuk terciptanya
kun itu perlu pula kata kun lainnya, dan begitulah seterusnya
sehingga perlu rentetan kata-kata kun yang tasalsul. Ini tidak
mungkin dank arena itu tidak mungkin al-Qur’ân sebagai kalam

58
Al-Syahrastânî, Al-Milal wa al-Nihal, h. 82.
59
Al-Qur’an. Sûrah al-Nahl : ayat, 40.

130 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Allah diciptakan.60Selanjutnya ia berpendapat, bahwa Tuhan,
kendati bersifat immateri, akan dapat dilihat oleh manusia dengan
mata kepala pada hari akhirat. Yang tidak dapat dilihat, menurut
Asy’arî hanyalah yang tidak mempunyai wujud, yang mempunyai
wujud mestilah dapat dilihat.
Tuhan berwujud dan karena itulah Tuhan dapat dilihat. Tuhan
melihat semua yang ada termasuk diri-Nya, ia tentu dapat membuat
manusia untuk mampu melihat diri-Nya dengan mata kepala.
Asy’arî juga menambahkan, bahwa dapatnya Tuhan untuk dilihat di
akhirat tidak membawa kepada arti bahwa Tuhan diciptakan. Tuhan
juga menurut Asy’arî dapat diketahui oleh akal manusia, tapi
kewajiban untuk mengetahui Tuhan itu tidaklah ditetapkan oleh
akal, malainkan wahyulah yang mewajibkannya dan mewajibkan
bersyukur kepada-Nya. Wahyulah yang mewajibkan semua
kewajiban, demikian munurutnya. Hal ini menunjukan seandainya
tidak turun wahyu, maka tidaklah ada kewajiban manusia.
Menurutnya juga, akal tidak mewajibkan sesuatu, dan tidak juga
menuntut supaya menetapkan baik dan buruk, melainkan akal yang
sehat hanya bias mampu membedakan baik dan buruk saja. Asy’arî
mengemukakan firman Allah sebagai berikut :
ِ
‫ث َر ُس ْوالم‬ َْ ِ‫َوَما ُكنَّا ُم َعْب‬
َ ‫ني َح َّىت نَـْبـ َع‬
“Tidaklah kami mengazab sebelum kami mengutus seorang
Rasul”.61

Jelas bahwa paham Asy’arî tentang kemampuan akal dan


fungsinya jaga berbeda dengan dari paham Mu’tazilah yang
berpaham bahwa akal mampu mengetahui Tuhan dan mengetahui
baik dab buruk, serta berfungsi mewajibkan manusia, bila
keterangan wahyu belum datang, untuk berbuat baik dan menjauhi

60
Abû al-Hasan ‘Alî al-Asy’arî, Al-Ibânah ‘an Usûl al-Diyânah, h. 31-32.
61
Al-Qur’an, Sûrah al-Isrâ, Ayat : 15.

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 131


yang buruk dengan akalnya. Dan bisa dipahami pula dari paham
Asy’arî, bahwa baik dan buruk adalah apa yang diterangkan oleh
Tuhan baik melalui wahyu dan apa yang yang diterangkan buruk
oleh Tuhan melalui wahyu pula.
Beranjak kepada masalah yang lain, yaitu hal-hal yang
diberitakan, baik oleh al-Qur’ân maupun hadits atau disebut dengan
sam’iyyah, seperti qalam, lawh, ‘arsy, kursi, surga, neraka, azab
kubur, pahala, hukuman, timbangan, perhitungan, titian, dan
lainnya. Asy’arî berpendapat, bahwa hal-hal itu harus diimani
seperti tersebut dalam berita dan wajib dipahami menurut arti
zahirnya, karena hal-hal tersebut tidaklah mustahil adanya. Metode
Asy’arî dalam menyusun keyakinan barunya ini, diikuti oleh ulama
yang datang setelahnya dan menisbahkan pendapat-pendapat
mereka kepada Asy’ariyyah, mereka inilah yang berperan dalam
mengembangkan pendapat-pendapat Al-Asy’arî dengan
menggunakan dalil-dalil logika yang rasional menghampiri
kerasionalan Mu'tazilah.62 Tokoh tersebut ialah Al-Bâqillânî, Al-
Juwainî, dan Al-Ghazâlî.

b. Kesimpulan
Dari uraian di atas, doktrin Asy’ariyyah dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Ilâhiyyah
Tuhan bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat, sifat-sifat
Tuhan, yakni sifat-sifat positif atau ma’ani, seperti qudrah, iradah,
dan seterusnya adalah sifat-sifat yang lain dari zat Tuhan, tapi juga
bukan lain dari zat. Al-Qur’ân sebagai kalamullah bersifat qadim,
sedangkan huruf dan suaranya adalah baru dan al-Qur’ân bukanlah
makhluk atau diciptakan. Tuhan menciptakan tidak karena tujuan
tertentu. Tuhan menghendaki kebaikan dan keburukan akan tetapi

62
Tayyârat al-Fikr al-Islamî, h. 171.

132 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


tuhan tidak memerintah dan meridai keburukan. Tuhan tidak
berkewajiban berbuat baik dan terbaik.

2. Nubuwwah
Tuhan tidak berkewajiban mengutus Rasul-rasul-Nya, juga
tidak berkewajiban untuk memberi pahala kepada orang yang ta’at
atau memberi siksaan kepada orang durhaka atas dasar kehendak
mutlak Tuhan.

3. Sam’iyyah
Mukmin yang berdosa besar tidak kekal dalam neraka. Ada
syafa’at di hari akhirat. Kebangkitan di akhirat, berhimpun di
padang mahsyar, pertanyaan munkar dan nakir, timbangan amal
perbuatan, titian dan semuanya itu adalah benar dan harus diimani.

3. Mâturîdiyyah
Aliran Mâturîdiyyah adalah salah satu aliran dalam kalam
yang tergolong dalam kelompok ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah ini
muncul pada awal abad ke-4 H.63Aliran Mâturîdiyyah disandarkan
pada nama pendirinya, yaitu Abû Mansûr Muhammad bin
Muhammad bin Muhmûd Al-Mâturîdî, yang lahir di Mâturîd, yakni
sebuah kota kecil di Samarkand Uzbekistan, dan tahun kelahirannya
tidak banyak diketahui. Al-Mâturîdî wafat sekitar tahun 332/333
H.64Pada prinsipnya, akidah Mâturîdiyyah memiliki keselarasan
dengan akidah Asy’ariyyah. Itu ditunjukkan oleh cara memahami
agama yang tidak secara ekstrim sebagaimana dalam kelompok
Mu’tazilah.

63
Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafât al-Islâmiyyah, terj. Yudian Wahyudi
Asmin dengan judul, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Cet.1 ; Jakarta : Bumi Aksara,
1995), h. 46. Lihat juga Sa’îd Ramadân al-Bûtî, Al-Madzâhib Al-Tauhîdiyyah wa
Al-Falsafât Al-Mu’âsirah, h. 116-117.
64
Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Cet. X; Jakarta:Bulan
Bintang, 1993), h. 70.

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 133


Yang sedikit membedakan keduanya, bahwa Asy’ariyyah
dalam fikihnya menggunakan mazhab Imâm Syâfi’î dan Imâm Mâlik
sedang Mâturîdiyyah menggunakan mazhab Imâm Hanafî.
Asy’ariyyah berhadapan langsung dengan keompok Mu’tazilah, tapi
Mâturîdiyyah menghadapi berbagai kelompok yang cukup banyak.
Di antara kelompok yang muncul pada waktu itu adalah Mu’tazilah,
Mujassimah65, Qarâmitah66, Jahmiyyah.67Juga kelompok agama lain,
seperti Yahudi, Majusi dan Nasrani dalam jumlah yang besar.68

65
Kelompok yaitu mereka yang mempunyai keyakinan bahwa Allah
berjisim atau berfisik. Mereka mengimani Allah mempunyai tangan, mata dan
telinga dalam pengertian jasmani / fisik.
66
Qarâmitah adalah suatu kelompok yang merupakan bagian dari pengikut
ajaran Syî’ah Ismâ’îliyyah di bawah pimpinan Hamdân al-Qarâmit, sehingga
pengikutnya disebut dengan Qarâmitah. Ajaran Qarâmitah terus berkembang dalam
masyarakat terutama diantara kelompok Syiah Ismâ’îliyyah. Pada waktu itu
Ismâ’îliyyah Fâtimiyyah mengaku bahwa Imâm Al-Mahdî akan datang dari
keturunan mereka, sedangkan menurut Qarâmitah datangnya Imâm Mahdî tetap
dengan munculnya Imam ke-tujuh Ismâ’îl yang sedang menghilang hingga waktu
tertentu. Qarâmitah sangat membenci kelompok Nâsibî, yaitu kelompok yang
mengakui kepemimpinan Abû bakar, ‘Umar dan Utsmân bin ‘Affân. Malah mereka
selalu menganggu dan membunuhnya. Pada tahun 294 H, mereka pernah
menghadang jamaah haji yang pulang dari tanah suci dan membunuhnya. Mereka
selalu mengintai jamaah haji yang pulang dari menunaikan jamaah haji dan
menganggu mereka, atau merampas harta mereka malahan sampai kadang kala
membunuh mereka. Khalifah Islam pada waktu itu sangat lemah, sehingga kaum
pemberontak Qarâmitah sangat berleluasa menganggu keamanan dan ketenteraman
umat. Mereka kaum Qarâmitah menganggap bahwa tanah Karbala, tempat
terbunuhnya Husein itu lebih suci daripada Ka’bah, sebagaimana termaktub dalam
halaman 370 dari kitab “Fiqh wa Al-‘Aqâ’id” karangan ulama mereka Muhammad
Husaini Syîrâzî menyatakan bahwa : “ Dikatakan bahwa tanah Karbala lebih utama
dari pada tanah Makkah, dan sujud diatas tanah makam Husain itu lebih utama
daripada sujud di atas tanah Masjid al-Haram , apakah itu benar ? Syirazi
menjawab : Ya itu benar “. Oleh sebab itu dalam sejarah kaum Qarâmitah pernah
menyerang Ka’bah, merusak Hajara Aswad dan membunuh jamaah haji yang ada
pada waktu itu. (Lihat Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi
Akidah Islam, h. 489).
67
Jahmiyyah adalah kelompok padam Jabariyyah yang dinisbahkan kepada
pemimpinnya, yaitu Jahm bin Sâfwân (696-745 M).
68
Muhammad Thoha Hasan, Ahlussunnahwal Jama’ah dalam Persepsi dan
Tradisi NU, (Jakarta: Aniuhnia Press, 2005). h. 24.

134 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Sikap tawasuth (moderat) yang ditunjukkan oleh
Mâturîdiyyah adalah upaya perdamaian antara al-naqlî dan al-
‘Aqlî (nash dan akal). Mâturîdiyyah berpendapat bahwa suatu
kesalahan apabia kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash
(naql), sama juga salah apabila kita larut tidak terkendali dalam
menggunakan rasio (‘Aql). Menggunakan ‘aql (akal) sama
pentingnya dengan menggunakan naql. Sebab akal yang dimiliki
oleh manusia juga bersal dari Allah, karena itu, dalam al-Qur’ân
Allah memerintahkan umat Islam untuk menggunakan akal dan
memahami cara yang dilakukan harus menyesuaikan dengan kondisi
dan situasi masyarakat setempat.69
Dalam aliran Mâturîdiyyah peranan akal/rasio memiliki
tempat yang penting di dalam menyusun konsep teologinya dan di
dalam memahami ajaran-ajaran agamanya. Akal/rasio dalam aliran
ini dapat membantu untuk mamahami adanya Allah/ke-Esaan Allah,
sifat dan zat-Nya. Akal juga dapat digunakan untuk memahami
ayat-ayat al-Qur’ân dan hal-hal yang masuk dalam lingkup
teologi.70Mâturîdiyyah juga bernaung di bawah paham ahl al-
Sunnah wa al-Jamâ’ah bersama dengan aliran Asyi’ariyyah. Kedua
aliran ini hadir kemedan percaturan teologi, karena reaksinya
terhadap aliran Mu’tazilah.71Dalam perkembangannya, aliran
Mâturîdiyyah pecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
Samarkand di bawah pimpinan Abû Mansûr Al-Mâturîdî sedang
kelompok Bukhârâ di bawah pimpinan Al-Bazdawî.72

69
Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur, Aswaja an-Nahdliyah,
(cet. II; Surabaya: Khalista, 2007), h. 17-18.
70
Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: Reinika Cipta: 2004), h. 14.
71
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah, Analisa
Perbandingan, h. 76.
72
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah, Analisa
Perbandingan, h. 94.

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 135


1. Mâturîdiyyah Samarkand dan Bukhârâ
a. Samarkand
Mâturîdiyyah Samarqand dinisbahkan kepada Abû Mansûr
Muhammad bin Muhammad bin Mahmûd al-Mâturîdî, ia dilahirkan
di sebuah kota yang bernama “maturid” di daerah Samarkand, Asia
tengah (termasuk daerah Uzbekistan). Ia diperkirakan lahir pada
tahun 270 H, penulis sejarah tidak dapat memastikan kelahiran
Imâm al-Mâturîdî, mereka memperkirakan kelahiran Mâturîdî lebih
dahulu dari pada kelahiran Asy’arî, selisih dua puluh tahun lebih.
Kelahiran Mâturîdî di masa khalifah Mutawakkil di zaman dinasti
‘Abbâsiyyah yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861
M.73Ia memiliki paham (I’tiqad) sama atau hampir sama dengan
Imâm Al-Asy’arî, ia wafat di desa Mâturîdî 10 tahun sesudah
wafatnya Asy’arî yaitu pada tahun 333 H/ 944 M.74 Ia adalah pendiri
dari aliran Mâturîdiyyah, beliau berjasa besar dalam mengumpulkan,
memperinci, dan mempertahankan akidah Ahl al-Sunnah wa Al-
Jamâ’ah itu sebagaimananya dengan Asy’arî. Mâturîdî mencari ilmu
pada pertiga terakhir dari abad ke tiga Hijrah, di mana aliran
Mu’tazilah sudah mengalami kemundurannya, dan di antara gurunya
adalah Muhammad bin Muqâtil al-Râzî (w. 248 H), Abû Bakr
Ahmad bin Ishâq al-Jurjânî, Ahmad bin al-‘Abbâs al-‘Iyadi yang
lebih dikenali al-Faqîh al-Samarqandî dan Nasr bin Yahya al-
Balakhî (w. 268 H) kesemuanya merupakan murid-murid Imâm Abû
Hanîfah (w.150 H).75 Dunia Islam dahulu sampai sekarang
menganggap kedua Imam ini adalah pembangun mazhab Ahl-
Sunnah wa Al-Jamâ’ah. Berkata Sayyid Al-Zabîdî, pengarang

73
Muniron, Ilmu Kalam, Sejarah, Metode, Ajaran, dan Analisis
Perbandingan, (Yogyakarta : STAIN Jember Press, 2015), h. 177).
74
Sirajuddin ‘Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal-Jama’ah, (Jakarta: CV.
Pustaka Tarbiyah, 2006), h. 24.
75
Ahamd Hanafi, Pengantar..., h. 210.

136 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


kitab “Ittihâf al-Sâdah al-Muttaqîn” yaitu sebuah kitab yang
mensyarahi kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya Imâm Ghazâlî :
‫ فاملراد به األشعرية واملا ريدية‬،‫إذا أطل أه السنة‬
“Apabila dimutlakkan lafaz Ahl al-sunnah wal jamâ’ah, maka
yang dimaksud adalah pengikut Asy’ariyyah dan
Mâturîdiyyah”.76

Selain itu, aliran Matûrîdiyyah merupakan salah satu dari


sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jamâ’ah yang tampil bersama dengan
Asy’ariyyah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan
mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari
ekstrimitas kaum rasionalis di mana yang berada di barisan paling
depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstualis di
mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanâbilah
(para pengikut Imâm Ahmad bin Hanbal). 77Kedua aliran ini bisa
hidup dalam lingkungan yang kompleks dan membentuk satu
mazhab. Nampak jelas bahwa perbedaan sudut pandang mengenai
masalah-masalah fikih kedua aliran ini merupakan faktor pendorong
untuk berlomba dan survive.
Orang-orang Hanafiyyah (para pengikut Imam Hanafî)
membentengi aliran Maturîdiyyah, dan para pengikut Imâm Syâfi’î
dan Imâm Mâlik mendukung kaum Asy’ariyyah. Memang aliran
Asy’ariyyah lebih dulu menentang paham-paham dari aliran
Mu’tazilah. Seperti yang kita ketahui, Mâturîdî lahir dan hidup di
tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan
pendapat antara Mu’tazilah, dan Asy’ariyyah (aliran yang menerima
rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah kemampuan akal
manusia.

76
Muh. Najih Maimoen, Ahlussunnah wal Jama’ah Aqidah, Syariah,
Amaliah, (Sarang, Toko Kitab al-Anwar,t.t.) h. 11
77
Yudian Wahyu Asmin, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2004), cet. 3, h. 80-81.

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 137


Maka dari itu, Mâturîdî melibatkan diri dalam pertentangan
itu dengan mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu
merupakan jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyyah.
Kerana itu juga, aliran Mâturîdiyyah sering disebut “ berada antara
teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyyah ”. Mâturîdî memiliki banyak
buku termasuk, “Ushul Fiqh”, “Tafsir”, “Takwil” yang dia gunakan
untuk menyerang Jahmiyyah dan salah satu bukunya yang terkenal
yaitu “Kitab al-Tauhid”. Dalam “Kitab al-Tauhid”, tidak disebutkan
tentang Tauhid Uluhiyyah, pembicarannya murni tentang Tauhid
Rubûbiyyah dan sesuatu yang berhubungan kepada Tanzîh.78
Beberapa karya Imâm Al-Mâturîdî adalah, Kitab Ta’wîlât al-
Qur’ân al- Ta’wîlât Ahl al-Sunnah.(Tafsir), Kitab Ma’khad al-
Syarî‘ah.(Usul al-Fiqh), Kitab al-Jadal (Tafsir & Kalam Ahl al-
Sunnah), Kitab al-Usûl (Usul al-Dîn), Kitab al-Maqâlât, Kitab al-
Tauhîd, Kitab Bayân Wahm al-Mu‘tazilah, Kitab Radd Awâ’il al-
Adillah li al-Ka‘bî, Kitab Radd Tahdîb al-Jadal li al-Ka‘bi, Kitab
Radd Wa‘id al-Fussâq li al-Ka‘bî, Radd al-Usûl al-Khamsah li Abî
Muhammad al-Bâhilî, Radd Kitab al-Imâmah li ba‘d al-Rawâfid,
Kitab al-Radd ‘alâ al-Usûl al-Qarâmitah. Hasil-hasil karyanya yang
masih selamat, di antara yang terkenal ialah , Kitab al-Ta’wîlât al-
Qur’ân wa al-Ta’wîlât Ahl al-Sunnah juga Ta’wîlât al-Mâturîdiah fî
Bayân Usûl Ahl al-Sunnah wa Usûl al-Tauhîd.

b. Mâturîdiyyah Bukhâra
Aliran ini dinisbahkan kepada Al-Bazdawî. Nama lengkapnya
ialah Abû Yusr Muhammad bin Muhammad bin al-Husain bin ‘Abd
al-Karîm al-Bazdâwî, dilahirkan pada tahun 421 H. Kakek Al-
Bazdâwî yaitu ‘Abd al-Karîm, hidupnya semasa dengan Mâturîdî
dan salah satu murid Mâturîdî, maka wajarlah jika cucunya juga
menjadi pengikut aliran Mâturîdiyyah. Sebagai tangga pertama,

78
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, (Jakarta : Raja grafindo Persada, 2010), h. 187.

138 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Bazdawî memahami ajaran-ajaran Mâturîdî lewat ayahnya. Bazdâwî
mulai memahami ajaran-ajaran Mâturîdiyyah lewat lingkungan
keluarganya kemudian dikembangkan pada kegiatannya mencari
ilmu pada ulama-ulama secara tidak terikat. Ada beberapa nama
ulama sebagai guru Bazdâwî antara lain : Ya’kûb bin Yûsuf bin
Muhammad al-Naisabûrî dan Syekh al-Imâm Abû Khatîb.79
Di samping itu, ia juga menelaah buku-buku filosof seperti
Al-Kindî dan buku-buku Mu’tazilah seperti ‘Abd al-Jabbâr al-Râzî,
Al-Jubbâ’î, Al-Ka’bî, dan al-Nazzâm. Selain itu ia juga mendalami
pemikiran Al-Asy’arî dalam kitab al-Mû’jiz. Adapun dari karangan-
karangan Mâturîdî yang dipelajari ialah kitab Al-Tauhîd dan kitab
Ta’wîlât al-Qur’ân. Al-Bazdawî berada di Bukhara pada tahun 478
H/1085 M. Kemudian ia menjabat sebagai qâdi Samarkand pada
tahun 481 H/1088 M, lalu kembali di Bukhâra dan meninggal di
kota tersebut tahun 493 H/1099 M.80Dalam pemikiran teologinya,
Al-Mâturîdî mendasarkan pada nash al-Qur’ân dan hadits, serta akal
dalam hal ini ia sama dengan Al-asy’arî.81Menurut Mâturîdî,
mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat
diketahui dengan akal.
Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai
dengan ayat-ayat al-Qur’ân yang memerintahkan agar manusia
menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan
keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran
yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak
mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut,
tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukan

79
Muniron, Ilmu Kalam, Sejarah, Metode, Ajaran dan Analisis
Perbandingan, h. 191.
80
Lihat Aziz Dahlan, Teologi Islam, h. 97.
81
Menurut Sa’îd Ramadân al-Bûtî, manhaj Mâturîdî tidak jauh berbeda
dengan manhaj Asy’ariyyah. Oleh karenanya dua kelompok itu dinisbatkan seperti
satu aliran yang sama dalam paham dan manhajnya. (Lihat al-Madzâhib al-
Tauhîdiyyah, h. 117.

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 139


nya.82 Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk
memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti
meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun
akal menurut Mâturîdî, tidak mampu mengetahui kewajiban-
kewajiban lainnya.

a. Doktrin Umum Tentang Masalah


Dalam masalah baik dan buruk, Mâturîdî berpendapat bahwa
penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri,
sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti
ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi
demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Maturîdî membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga
macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu
itu
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu
itu
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu,
kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.83

Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang
buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini, Mâturîdî
berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Asy’arî. Menurut
Mâturîdî juga perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena
segala sesuatu dalam wujud ini Tuhan mengharuskan manusia
memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban
yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Dalam hal ini,
Mâturîdî menentukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan

82
Lihat juga Aziz Dahlan, Teologi Islam, h. 98.
83
Abû Mansûr al-Mâturîdî, Kitâb al-Tauhîd, (Beirut : Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2006), h. 136.

140 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


qudrah Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan
menciptakan daya (kasab) dalam diri manusia dan manusia bebas
menggunakannya.84
Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan
manusia. Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara qudrat tuhan
yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada
manusia. Kemudian, karena daya yang diciptakan dalam diri
manusia dan perbutaan manusia yang dilakukan adalah perbuatan
manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu
juga daya manusia. Berbeda dengan Mâturîdî, Asy’arî mengatakan
bahwa daya tersebut merupakan daya tuhan karena ia memandang
bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan tuhan.85Berbeda pula
dengan mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya manusia
yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri. Dalam masalah
pemakaian daya ini, Mâturîdî membawa paham Abû Hanîfah, yaitu
adanya masyi’ah (kehendak) dan rida (kerelaan). Kebebasan
manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada
dalam kehendak tuhan, tetapi ia dapat memilih yang diridhai-Nya
atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak
dan kerelaan tuhan, dan berbuat buruk juga dalam kehendak tuhan,
tetapi tidak atas kerelaan-Nya.
Dengan demikian, berarti manusia dalam paham Al-Mâturîdî
tidak sebebas manusia dalam paham mu’tazilah. Dalam persoalan
kekuasaan dan kehendak (qudrah dan irâdah) Tuhan, Mâturîdiyyah
berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi
oleh Tuhan sendiri. Jadi tidak mutlak. Meskipun demikian, Tuhan
tidak dapat dipaksa atau terpaksa berbuat apa yang dikehendaki-
Nya. Misalnya, Allah menjanjikan orang baik masuk surga, orang
jahat masuk masuk neraka, maka Allah akan menepati janji-janji

84
Muhammad Sa’îd Ramadân al-Bûtî, Al-Madzâhib al-Tauhîdiyyah wa al-
Falsafâh al-Mu’âsirah, h. 122.
85
Lihat Al-Asy’arî, Al-Ibânah ‘An Usûl al-Diyânah, h. 53.

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 141


tersebut. Tapi dalam hal ini, manusia diberikan oleh Allah untuk
menggunakan daya untuk memilih antara yang baik dan yang buruk,
Itulah keadilan Tuhan.86
Kerena manusia diberi kebebasan untuk memilih dalam
berbuat, maka menurut Mâturîdiah perbuatan tersebut tetap
diciptakan Tuhan. Sehingga perbuatan manusia sebagai perbuatan
bersama antara manusia dan Tuhan. Allah yang mencipta dan
manusia yang mang-kasb-nya. Dengan begitu manusia yang
dikehendaki adalah manusia yang selalu kreatif, tetapi kreativitas
itu tidak menjadikan mahluk sombong karena merasa mampu
menciptakan dan mewujudkan. Tetapi manusia yang kreatif dan
pandai bersyukur. Karena kemampuannya melakukan sesuatu tetap
dalam ciptaan Tuhan. Dalam hal sifat Tuhan paham, Mâturîdî
cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaan keduanya
terletak pada pengakuan Mâturîdî tentang adanya sifat-sifat Tuhan,
sedangkan Mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
Mâturîdî berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai
esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Paham ini sama
seperti apa yang dipahami Asy’arî tentang sifat-sifat Tuhan. Sifat-
sifat Tuhan itu mulâzamah (inheren) zat tanpa terpisah (innahâ lam
takun ‘ain al-dzât wa lâ hiya ghairuhâ).87Sifat tidak berwujud
tersendiri dari zat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa
kepada bilangannya yang qadim (ta’adud al-qudamâ). Mâturîdiyyah
hanya menetapkan delapan sifat saja bagi Allah, akan tetapi hal ini
dengan versi yang juga berbeda-beda, yaitu sifat qudrah (berkuasa),
irâdah (berkehendak), ‘ilm (pengetahuan), hayâh (hidup), sama’
(pendengaran), basar (pengelihatan), kalâm (berfirman), takwîn
(membentuk).
Mâturîdî mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan.
Hal ini diberitahukan oleh al-Qur’ân, antara lain firman Allah dalam

86
Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam, h. 102.
87
Abû Mansûr al-Mâturîdî, Kitâb al-Tauhîd, h. 37.

142 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


surat al-Qiyâmah ayat 22 dan 23. Namun melihat Tuhan, kelak di
akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di
akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia. Mâturîdî membedakan
antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan
kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam
nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun
dari huruf dan suara adalah baru (hadist). Kalam nafsi tidak dapat
kita ketahui hakikatnya bagaimana Allah bersifat dengannya ( bila
kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan suatu perantara. 88Menurut
Al-Mâturîdî, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini,
kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang
memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada
hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri.
Oleh karena itu, tuhan tidak wajib berbuat al-shalah wa-al
ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). setiap perbuatan tuhan
yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan
kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di
kehendaki-Nya. Pandangan Mâturîdî tidak jauh berbeda dengan
pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul
ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia
dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya. Mâturîdî
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak
kekal di dalam neraka, walaupun ia mati sebelum bertobat. Pendapat
ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Asy’arî. 89
Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa Mâturîdî
mengambil jalan tengah antara Mu’tazilah dan Asy’ariyyah, di mana
Mu’tazilah berpendapat, bahwa manusia menciptakan perbuatannya
dengan adanya kemampuan yang diberikan oleh Allah kepadanya,
sedangkan pendapat Asy’ariyyah yang menyatakan, bahwa manusia

88
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 129
89
Abû Mansûr al-Mâturîdî, Kitâb al-Tauhîd, h. 238.

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 143


tidak mempunyai efektifitas dalam perbuatannya karena ia hanya
memiliki kasab yang terjadi bersamaan dangan penciptaan daya dan
bukan pengaruh dirinya. Sedangkan, Mâturîdî memandang kasab itu
ada karena kemampuan dan pengaruh manusia. Sedangkan dari
Mâturîdiyyah Bukhâra, menurut Bazdâwî akal tidak dapat
mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang
buruk, karena akal hanya dapat mengetahui yang baik dan yang
buruk saja, sebenarnya Tuhanlah yang menentukan kewajiban
mengenai baik dan buruk.90
Jadi menurut Bazdawî mengetahui Tuhan dan mengetahui
yang baik dan yang buruk dapat diketahui melalui akal, sedangkan
kewajiban berterima kasih kapada Tuhan serta kewajiban
melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk, hanya
dapat diketahui melalui wahyu. Menurut Bazdawî Tuhan
mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal mereka
selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal
melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan
melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan mengatakan
bahwa Tuhan bersama-sama sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-
sifat itu sendiri tidaklah kekal. 91
Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat al-
Qur’ân yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani
haruslah diberikan takwil (interpretasi). Oleh sebab itu, menurut
Bazdawî, kata istiwâ92 haruslah dipahami dengan “menguasai
sesuatu dan memaksanya,” demikian juga ayat-ayat yang
menggambarkan Tuhan mempunyai mata, tangan, bukanlah berarti
Tuhan mempunyai anggota badan. Aliran Mâturîdiyyah Bazdawî

90
Abû Yusr al-Bazdawî, Usûl Al-Dîn, (Kairo : Al-Maktabah Al-Azhariyyah
Li Al-Turâts, 2003), h. 19.
91
Lihat Harun Nasuiton, Teologi Islam, h. 64.
92
Lafaz Istiwâ bisa ditemukan dalam Al-Qur’ân pada Sûrah Al-A’raf : 54,
Sûrah Al-Ra’d : 2, Sûrat Al-Furqân : 59, Sûrah Al-Sajadah : 4, dan Sûrah Al-Hadîd
: 4.

144 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


berpendapat bahwa al-Quran itu adalah kekal tidak diciptakan.93
Sebagaimana dijelaskan oleh Bazdâwî, kalâm Allâh (al-Qur’ân)
adalah sesuatu yang berdiri dengan zat-Nya, sedangkan yang
tersusun dalam bentuk surat yang mempunyai akhir dan awal,
jumlah dan bagian, bukanlah kalam Allah secara hakikat, tetapi al-
Qur’ân dalam bentuk kiasan (majaz).94 Bazdâwî mengatakan bahwa
di dalam perwujudan perbuatan terdapat dua perbuatan, perbuatan
Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan bagi Bazdâwî
adalah penciptaan perbuatan manusia dan bukan penciptaan daya.
Perbuatan ini disebut maf’ul. Perbuatan manusia hanyalah
melakukan perbuatan yang diciptakan itu, perbuatan ini disebutnya
fi’il. Maka Bazdâwî mengambil kesimpulan bahwa perbuatan
manusia, sesungguhnya diciptakan Tuhan, tidaklah perbuatan
Tuhan.95

b. Kesimpulan
Dari uraian di atas, paham-paham Mâturîdiyyah baik
Samarkand ataupun Bukhâra bisa disimpulkan sebagai berikut :
1. Ilâhiyyah
Tuhan dan kewajiban mengetahui-Nya dapat diketahui
dengan akal, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala
sesuatu dalam wujud ini Tuhan mengharuskan manusia memiliki
kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya, keuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh Tuhan sendiri, jadi tidak
mutlak, meskipun demikian, Tuhan tidak dapat dipaksa atau
terpaksa berbuat apa yang dikehendaki-Nya, sifat Tuhan itu tidak
dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya.

93
Abû Yusr al-Bazdawî, Usûl Al-Dîn, h. 62.
94
Muniron, Ilmu Kalam, Sejarah, Metode, Ajaran dan Analisis
Perbandingan, h. 200-201.
95
Abû Yusr al-Bazdawî, Usûl Al-Dîn, h. 104.

Konsep Ilâhiyyah, Nubuwwah, dan Sam’iyyah 145


Berbeda antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara
dengan kalam nafsi. Kalam nafsi bersifat qadim96dan tidak dapat
diketahui hakikatnya bagaimana Allah bersifat dengannya ( bila
kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan suatu perantara.

2. Nubuwwah
Pengutusan rasul ke tengah-tengah umatnya adalah
kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik
dalam kehidupannya, dalam hal ini mereka sependapat dengan
Mu’tazilah. Para nabi diberikan mukjizat dan terjaga dari perbuatan
dosa (ma’sûm).97

3. Sam’iyyah
Manusia dapat melihat Tuhan di akhirat, saorang yang
berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun
ia mati sebelum bertobat. tidak mungkin Tuhan melanggar janji-
Nya untuk memberi upah/ganjaran kepada orang yang berbuat baik,
tetapi sebaliknya bukan tidak mungkin membatalkan ancaman
untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat nanti di
akhirat. Orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di
dalam neraka, walaupun ia mati sebelum bertobat.

96
Lihat Muniron, Ilmu Kalam, Sejarah, Metode, Ajaran dan Analisis
Perbandingan, h. 187.
97
Lihat Al-Mâturîdî, Kitâb Al-Tauhîd, h. 150-151.

146 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


BAB V
Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani

A. Ilâhiyyah (Ketuhanan)
Secara garis besar, ruang lingkup ilmu kalam terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu qism al-ilâhiyyah (ketuhanan), qism al-nubuwwah
(kenabian), dan qism al-sam’iyyah (alam ghaib). Yang paling pokok
dalam tiga bagian tersebut ialah hal-hal yang berkaitan tentang
masalah ketuhanan, oleh karenanya disiplin ilmu ini juga disebut
sebagai ilmu tauhid, yang orientasi dan penekanannya pada
hakikatnya tertuju kepada masalah keesaan Tuhan. Cakupan pada
masalah ketuhanan tidak hanya sebatas keesaan Tuhan saja,
melainkan hal-hal yang berhubungan dengan-Nya seperti, kekuasaan
Tuhan, kehendak-Nya, kalam-Nya dan lain-lain.1
Untuk itu pada bab ini penulis berupaya untuk membahas
terlebih dahulu tentang masalah bagian yang paling mendasar dalam
ilmu kalam, yaitu tentang qism ilâhiyyah (ketuhanan) dalam
pemikiran kalam Syekh Nawawi al-Bantani. Dari setiap tiga bagian
di atas, penulis tidak membahas semua masalah yang mencakupnya,
melainkan hanya masalah-masalah yang menurut penulis banyak
perbincangan dan perdebatan di dalamnya, sehingga menjadi
menarik untuk dibahas. Sebelum membahas tentang masalah-
masalah yang mencakup tentang ketuhanan, penulis terlebih dahulu
ingin menjelaskan pengertian hukum akal dan bagian-bagiannya.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan Syekh Nawawi dalam beberapa
tuilsannya tentang ilmu kalam dengan terlebih dahulu membahas

1
Klasifikasi ruang lingkup kalam ini disebutkan dalam beberapa kitab karya
Syekh Nawawi al-Bantani, di antaranya adalah al-Tsimâr al-Yanî’ah Syarh Riyâdh
al-Badî’ah, h. 10. Lihat juga Syekh Nawawi al-Bantani, Al-Nahjat Al-Jayyidah,
T.tp : t.t., h. 3.

147
tentang hukum akal dan pembagiannya. Ilmu kalam memang tidak
bisa terlepas dari pemikiran akal atau rasional, oleh karenanya ilmu
kalam disebut sebagai salah satu cabang ilmu filsafat. Bahkan
beberapa karya Syekh Nawawi yang membahas kalam, akan
dijumpai begitu banyak argumentasi rasional yang dipaparkan
dalam setiap masalah yang dibahas. 2 Pengertian hukum akal3
sebagai mana dijelaskan oleh Al-Syarqâwî :
‫واحلكـم العقلــي هــو إثبــات أمــر ألمــر أو نفيــه عنــه مــٰ عــف وقــى علــى‬
‫كرر‬
“Hukum akal adalah menetapkan suatu perkara pada perkara
yang lain atau meniadakannya, dengan tanpa bergantung
kepada pengulangan.”4

Dari definisi di atas, terdapat cakupan dan batasan yang bisa


dipahami yaitu, bahwa kebenaran hukum akal tidak dihasilkan dari
sesuatu yang berulang-ulang (tawaqquf ‘alâ takarrur), juga tidak
pada ketentuan atau ketetapan syâ’ri (yang membuat syari’at) yang
validitasnya bisa diketahui dengan adanya sebab dan syarat,
melainkan berdasarkan pada harakah al-nafsi fî al-ma’qûlât
(pergerakan jiwa dalam alam pikiran). Syekh Nawawi al-Bantani
menjelaskan pembagian hukum akal menjadi tiga bagian ; yaitu,
wajib akal, mustahil akal, dan ja’iz akal. Pengertian dari wajib akal
(wâjib al-‘aqlî) menurutnya adalah :

2
Lihat Kitab Fath al-Majîd dan Syarh Tîjân al-Darâri, Karya Syekh Nawawi
al-Bantani.
3
Mengetahui hukum akal menurut Al-Fudâlî, adalah wajib bagi setiap
muslim yang mukallaf, karena dengan mengerti hukum akal, seorang muslim akal
mudah memahami tentang 20 sifat wajib bagi Allah. Bahkan menurut Imâm
Haramain, seseorang yang tidak mengerti hukum akal, maka ia tidak disebut
berakal. (Lihat Syekh Al-Fudâlî, Kifâyat Al-‘Awâm, Jakarta : Dar al-Kutub al-
Islâmiyyah, 2010, h. 39).
4
‘Abd Allâh al-Syarqâwî, Hâsyiah al-Syarqâwî alâ al-Hudhudî, (Indonesia :
Haramain, t.t), h. 25.

148 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


‫الواجب هو الْر ال اكٰ عدمه أر الْر ال يصدق العق بعدمه‬
“ Wajib akal adalah sesuatu yang menurut akal, tidak
mungkin tiadanya, jelasnya, sesuatu yang ketiadannya tidak
dibenarkan akal”5 Seperti sifat qudrah dan irâdah bagi Allah,
dan bahwasanya setiap jirm (jasad atau fisik) 6 memerlukan
ruang kosong untuk bertempat (mutahayyiz).

Contoh pertama adalah wajib ‘aqlî nazharî (butuh pemikiran


dan peninjauan), dan kedua adalah wajib ‘aqlî dharûrî (tidak butuh
pemikiran dan peninjauan). Sedangkan pengertian mustahil akal
ialah sebagai berikut :
‫املسـ ــتحي هـ ــو الـ ــْر ال اكـ ــٰ وجـ ــوده أر الـ ــْر ال يصـ ــدق العق ـ ـ‬
‫بوجوده‬
“ Mustahil akal adalah sesuatu yang menurut akal tidak
mungkin adanya, jelasnya,akal tidak membenarkan
kewujudannya”.

Seperti sifat al-‘Ajz (lemah) dan bodoh bagi Allah. Kedua


sifat tersebut tidak mungkin ada menurut akal, dengan maksud
Tuhan tidak mungkin bersifat lemah dan bodoh. Jika demikian,
maka kekuasaan dan ilmu-Nya akan terbatas. Contoh di atas disebut
dengan muhâl ‘aqlî nazharî. Selanjutnya pengertian jâ’iz akal
sebagai berikut :

5
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân al-Darârî, (Jakarta : Dar al-Kutub
al-Islâmiyyah, 2007), h. 8.
6
Menurut ‘Abd Al-Qâdir Al-Râzî, makna jirm adalah jasad atau fisik dari
materi. (Lihat ‘Abd Al-Qâdir Al-Râzî, Mukhtâr Al-Sihhâh, h. 62). Dalam
pengertian lain, Al-Bajûrî, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan jirm adalah
jauhar (atom), baik yang tersusun seperti jisim (fisik), atau yang tidak tersusun
seperti jauhar fard. (Lihat juga Al-Bajûri, Tahqîq Al-Maqâm ‘Alâ Kifâyat Al-
‘Awâm Fî ‘Ilm Al-Kalâm, Jakarta : Dar al-Kutub al-Islâmiyyah, 2010, h. 35).

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 149


‫ْ هو الْر اكٰ وجوده وعدمـه أر الـْر يصـدق العقـ بوجـوده‬،‫اجلا‬
.‫اترة و بعدمه اترة أخرر‬
“ Jâ’iz akal adalah sesuatu yang menurut akal, mungkin wujud
dan tiadanya, jelasnya, akal membenarnya wujudnya pada
suatu waktu, dan tiadanya diwaktu lain”.

Seperti adanya walad (anak) bagi si zaid atau tidak adanya


anak baginya, hal itu bukan sesuatu yang wajib atau mustahil, dalam
arti adanya anak bukanlah sesuatu yang wajib dan tidak adanya
bukan karena mustahil, melainkan mungkin/ jâ’iz bagi akal. 7 Inilah
sedikit penjelasan tentang hukum akal yang sangat identik dengan
kajian kalam dan juga digunakan oleh Syekh Nawawi sebagai
epistemologi dalam memahami doktrin sifat 20 yang dianutnya.
Perlu diketahui bahwa Syekh Nawawi adalah penganut paham sifat
20.
Penjelasan hukum-hukum akal tersebut di atas yang sering
dituangkan oleh Syekh Nawawi dalam karya kalamnya, sepertinya
bertujuan untuk memberikan solusi terhadap kesulitan dalam
memahami doktrin sifat 20 dalam akidah ahl al-Sunnah wa al-
Jamâ’ah. Memang doktrin ini berbeda dengan nama-nama Tuhan
yang dikenal dengan al-Asmâ’ al-Husnâ’, bahkan tidak disebutkan
keterangannya dalam al-Qur’ân, akan tetapi sebetulnya substansinya
terkandung dalam nama-nama Tuhan tersebut. Oleh karenanya,
doktrin sifat 20 yang dianut oleh Syekh Nawawi dan para doktrin
paham ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah sebetulnya tidaklah
bertentangan dengan al-Asmâ’ al-Husnâ’.

7
Sholeh Darat, Terjemah Sabîl al-‘Abîd ‘alâ Jauharah al-Tauhîd, (Bogor :
Sahifa Publishing, 2017), h. 33

150 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Perbedaannya adalah keterangan mengenai nama-nama Tuhan
yang baik itu dinyatakan Allah dalam al-Qur’ân.8Sedangkan sifat 20
tidak demikian, melainkan adalah suatu kategoris logis-rasional
tentang Tuhan, yang dampaknya kepada kesadaran keagamaan
pribadi,9jelas tidak sama dengan dampak al-Asmâ’ al-Husnâ’ yang
juga merupakan deretan kualifikasi tentang Tuhan. Karena
reduksionismenya, wajar saja jika konsep sifat 20 ditolak oleh
sebagian kaum Muslim, seperti penganut mazhab Hanbalî. Dan al-
Asmâ’ al-Husnâ’ diterima dan dibenarkan oleh praktis seluruh umat
Islam, apalagi banyak keterangannya dari al-Qur’ân. Selanjutnya
penulis akan berlanjut pada kajian tentang kajian masalah inti, yaitu
masalah yang terkait dengan ilâhiyyah, nubuwwah, dan sam’iyyah
menurut pemikiran kalam Syekh Nawawi al-Bantani.
Dalam rangka memahami pemikiran kalamnya, seperti yang
telah disebutkan pada bab awal, bahwa metode pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan hermeneutik objektif-klasik, yang
bertujuan untuk mengungkap makna teks sesuai dengan apa yang
dipahami oleh pembuat teks tersebut atau pemahaman yang
mendekati dengan apa yang dipahami pembuat teks. Untuk itu
aplikasinya adalah dengan memaparkan terlebih dahulu tentang teks
yang diidentifikasi, kemudian berusaha untuk memahaminya secara
objektif dengan indikasi-indikasi yang ditemukan dalam karya-karya
kalam sebagai sumber primer, dan yang lainnya sebagai sumber
skunder dari Syekh Nawawi yang menunjukan kecenderungan corak
pemikiran kalamnya.
1. Wahdâniyyah ( Keesaan Tuhan )
Islam adalah agama yang menyerukan kepada keyakinan
Tuhan yang satu yaitu Allah SWT. Oleh karenanya Islam

8
Lihat Al-Qur’ân Al-Karîm Sûrat Al-A’raf : 80, Sûrat Al-Isrâ : 110, Sûrat
Al-Hasyr : 24, Sûrat Tâhâ : 8, Sûrat Al-Zumar : 38.
9
Nurcholish Madjid, Kalam Kekhalifaan Manusia dan Reformasi Bumi,
(Jakarta : T.tn., 1998), h. 3.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 151


digolongkan sebagai agama yang menganut paham
monoteisme, yaitu yang mempercayai hanya kepada satu
Tuhan serta menolak adanya Tuhan-tuhan yang lain. Ilmu
kalam juga disebut sebagai ilmu tauhid. Penamaan tauhid
adalah karena membahas tentang keesaan Tuhan serta apa saja
yang mengindikasikan terhadap keesaan-Nya. Kata tauhid
diambil dari bentuk mashdar wahhada-yuwahhidu-tauhîdan,
yang artinya mengesakan, menunggalkan. Sedangkan dalam
pengertian lain, makna wahdâniyyah adalah salah satu dari
sifat-sifat Tuhan yang berartikan tidak adanya sekutu bagi
Tuhan dalam zat dan sifat, serta perbuatan-Nya.10 Oleh karena
masalah ini adalah yang sangat mendasar, bahkan semua
mazhab kalam sepakat dengan keesaan Tuhan meskipun
dengan penjelasan yang beragam, maka pembahsan ini adalah
yang terpenting dalam ilmu tauhid atau kalam. Sebagaimana
dikatakan oleh Syekh Nawawi :
‫ ول ــْلك كث ــر‬،ٰ‫ أن حب ــث الوحداني ــة أش ــرف مباح ــث ه ــْا الف ــ‬،‫ف ــاعلم‬
11
.‫التنبيه عليه القرآن الع يم‬
“Ketahuialah, sesungguhnya pembahasan tentang sifat
wahdâniyyah (keesaan Tuhan) adalah pembahasan yang
paling mulia dalam disiplin ilmu ini, karenanya banyak
peringatan tentangnya dalam al-Qur’ân”.

Sebelum membahasan tentang masalah ini lebih lanjut,


menurut Syekh Nawawi, tentunya melihat dari keterangan
sebelumnya, bahwa masalah ini, dijelaskan Syekh Nawawi

10
Lihat Mahmûd Hâfiz Ra’îs Majma’ Al-Lughah Al-‘Arabiyyah, Mu’jam
Al-Wajîz, (Mesir : Maktabah al-Syarûq al-Daulah, t.t.), 710.
11
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân al-Darârî, h. 13.

152 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


dalam penjelasan tentang sifat 20, yang di antaranya adalah
wahdâniyyah (keesaan Tuhan). Banyak persoalan yang
terdapat dalam masalah keesaan Tuhan, di antaranya ialah
apakah yang dimaksud dengan esa atau tunggul itu adalah zat-
Nya atau yang lain selain zat ? dalam aliran kalam masing-
masing mempunyai pandangan berbeda dalam masalah
keesaan Tuhan.
Sebagai tokoh Islam yang sangat masyhur dalam beberapa
disiplin ilmu agama, Syekh Nawawi merupakan sosok ulama asal
Indonesia yang mahir dalam bidang tafsir. Melihat karya tafsirnya
yang sangat terkenal dan tersebar luas, yaitu Tafsîr Marâh Labîd Li
Kasyf Ma’nâ Al-Qur’ân Al-Majîd atau lebih dikenal dengan nama
Tafsîr Al-Munîr. Penulis akan mencoba melihat pemikiran kalamnya
melalui tafsir tersebut dari ayat-ayat yang berkaitan tentang tema-
tema yang diangkat, agar lebih terbuka pemahaman beliau yang
tentang al-Qur’ân khususnya dalam ayat-ayat tentang kalam.
Sebagaimana dijelaskan Nawawi di atas, bahwa pembahasan
tentang wahdâniyyah atau keesaan Tuhan banyak sekali ditegaskan
oleh al-Qur’ân, karena masalah ini adalah yang sangat mendasar
dalam doktrin Islam. Salah satu dari ayat-ayat yang berkaitan
tentang keesaan Tuhan adalah surat al-Baqarah :
12 ِ ِ ‫ِو‬ ِ ‫ِ و ِو‬
‫َلرح ُيم‬
َّ ُٰ َ‫مح‬ َّ ‫َوإ َمهُ ُك ْم إلَه وَوحد ۖ َّالٓ إلَ َه إَّال ُه َو‬
‫َلر ْ و‬
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak
ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang”.

Di dalam menjelaskan ayat tersebut, Syekh Nawawi


menjelaskan bahwa Tuhan yang berhak diibadahi adalah
Tuhan yang esa dalam ilâhiyyah, tidak ada satu Tuhan pun

12
Al-Qur’ân, Surah al-Baqarah : ayat 163.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 153


bagi kita yang patut diibadahi, kecuali hanya Tuhan yang esa
yaitu Allah SWT.13Dalam ayat lain, seperti surat al-Ikhlâs,
Syekh Nawawi menjeslakan asbâb nuzûl (sebab turun) surat
ini, diriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs, bahwa ada sekolompok
orang-orang kristen Najran (Nasârâ Najrân) mendatangi Nabi
Muhammad dan berkata; “sifatkanlah bagimana Tuhanmu,
apakah terbuat dari permata zabrajad? atau permata yaqût?
atau dari sebuah emas? atau perak?, maka Nabi menjawab :
“sesungguhnya Tuhanku tidak lah terbuat dari sesuatu apapun,
karena Dia adalah yang menciptakan segala sesuatu yang ada”.
Maka Turunlah ayat-ayat surat tersebut.14
Syekh Nawawi menambahkan dalam mentafsirkan ayat
pertama surat al-Ikhlâs, bahwa Tuhan tidak sedikit pun menyerupai
segala ssesuatu yang ada, dalam arti tidaklah ada selain Tuhan yang
serupa dengan Tuhan dalam segala aspek. Pemahaman ini yang
nanti akan dijelaskan lebih rinci tentang keesaan Tuhan dalam tiga
aspek. Dalam masalah keesaan Tuhan, Syekh Nawawi, menjelaskan,
bahwa wahdâniyah (keesaan) Allah tidak hanya pada zat-Nya saja,
melainkan sifat-sifat dan perbuatan-Nya pun esa. Tentunya hal ini
untuk menegaskan ketiadaan tasyâbuh (kesamaan) antara Tuhan
dengan makhluk, bahwa dalam segala sisi Tuhan harus infirâd
(tunggal) atau bersifat independen tidak ta’addud (berbilang). Oleh
karenanya Syekh Nawawi menjelaskan :
15
‫الْات والصفات واألفعال‬ ‫والوحدانية هي عدم التعدد‬

13
Syekh Nawawi al-Bantani, Marâh Labîd Li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân al-
Majîd, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,2015), Jil ke-1 h. 54.
14
Syekh Nawawi al-Bantani, Marâh Labîd Li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân al-
Majîd, Jil ke-2 h. 678.
15
Syekh Nawawi al-Bantani, Nûr al-Zalâm Syarh ‘alâ Manzûmat al-‘Aqîdah
al-‘Awâm, (Jakarta : Dar al-Kutub al-Islâmiyyah, 2008), h.17.

154 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


“Wahdâniyyah adalah tidak adanya berbilang pada zat, sifat-
sifat, dan perbuatan-perbuatan”.

Tentang keesaan Tuhan pada zat-Nya, Syekh nawawi


menjelaskan dengan dua hal; bahwa zat Tuhan tidak tersusun dari
jawârih (anggota tubuh) sebagaimana yang ada pada makhluk. Zat
Tuhan tidak juga tersusun dari jirm dalam hal ini yang dimaksud
adalah jauhar (atom), sebagaimana tersusunnya alam dari beberapa
partikel atom. Pengertian jirm yang dimaksud oleh Syekh Nawawi,
sepertinya kontras dengan apa yang dipahami dalam istilah filsafat
Islam, bahwa yang disebut jirm adalah benda-benda langit (al-Ajrâm
al-Samâwiyyah). Dalam konteks ini sepertinya tidak seperti itu, jika
melihat teks yang disebutkan Syekh Nawawi :
‫ فاجلسم هو مـا‬،‫اجلسم واجلوهر الفرد‬ ‫وعرب املصنى وجلرم ألنه يش‬
‫ واجلــوهر الفــرد هــو الــْر ال ت ـ‬،‫ركــب مــٰ جــوهريٰ فــرديٰ فــأكثر‬
‫ ألنــه ش ـ فرا معــا أر خلـ مـوا‬،‫جرمــا‬
‫ وك ـ منه ــا يس ـ ى م‬،‫القسـ ة لصـ ره‬
. ‫حبسب ن ر الشخ ال الواق‬
Sepertinya yang dimaksud dengan jirm dalam teks tersebut
adalah materi yang bisa bertempat (mutahayyiz), dan berwaktu
(yataqayyad bi al-zamân). Penyebutan kata jirm dimaksudkan untuk
bisa mencakup istilah jism dan jauhar. Tidak terkhususkan pada
benda-benda langit seperti yang dipahami dalam filsafat Islam,
karena makna jism menurutnya adalah jirm yang tersusun dari
beberapa jauhar fard, sedangkan jauhar fard adalah partikel terkecil
yang tidak bisa terbagi-bagi lagi, tetapi bisa tersusun menjadi jism.16
Sebagai contoh untuk lebih mudah memahami adalah, jirm
ibarat seperti kayu, karena padanya tersusun beberapa jauhar seperti
batang, daun, akar, dan sebagainya. Kuman yang sifatnya halus juga

16
Syekh Nawawi al-Bantani, Fath Al-Majîd fî Syarh Al-Durr Al-Farîd Fî
‘Ilm Al-Tauhîd, (Indonesia : al-Haramain, t.t.), h. 4.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 155


disebut dengan jism, karena ia mempunyai jauhar seperti kaki,
tangan, dan lainnya. Begitu juga gunung adalah jism, karena
bebatuan yang besar itu adalah juznya (bagiannya) dan juga
mempunyai kandungan bahan-bahan lain untuk membentuk
kewujudannya. Dengan demikian, jika benda itu besar, maka
besarlah jauharnya, dan jika kecil, maka kecil pula jauharnya. Oleh
karenanya dalam teks yang lain, Syekh Nawawi menyebutkan
bahwa yang dimaksud jirm adalah jauhar :
‫فـ ن قي ـ مــا الــدلي علــى حــدوث العــا ع فــاجلواب أن العــا أج ـرام أر‬
17
.‫جواهر‬
Kembali kepada maksud penyebutan jirm dalam masalah
keesaan Tuhan adalah untuk menekankan tidak adanya tasyâbuh
(kesamaan) antara zat Tuhan dengan makhluk-Nya. Selanjutnya
dalam menjelaskan ketidak tersusunnya zat Tuhan, Syekh Nawawi
menjelaskan tentang sesuatu yang dinafikan (ditiadakan) dari
pengertian itu, yang disebut “kamm muttasil fî al-dzât“ sesuatu
yang berbilang pada zat. Hal itu dinafikan, lantaran zat Tuhan tidak
tersusun (murakkab) dari suatu apapun. Masih dalam masalah zat
Tuhan, Syekh Nawawi menyatakan bahwa keesaan Tuhan pada zat-
Nya juga bisa dipahami dengan tidak adanya selain Tuhan yang
mempunyai zat yang serupa dengan zat Tuhan. Pengertian ini
menurutnya ada hal yang harus dinafikan (ditiadakan), yaitu
“kamm munfasil fî al-dzât” sehingga tertutuplah kemungkinan
adanya selain Tuhan yang mempunyai zat seperti zat Tuhan. Seperti
yang beliau nyatakan :
‫ ويقال‬،‫الْات ألا ليست مركبة مٰ أجْاء متعددة‬ ‫مع ى الوحدانية‬
،‫ وأنه لي هناو ذات شبه ذا ه عاىل‬،‫الْات‬ ‫لْلك كم متص‬

17
Syeh Nawawi al-Bantani, Fath Al-Majîd fî Syarh al-Durr al-Farîd, h. 8.

156 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


18
.‫الْات‬ ‫ويقال له كم منفص‬
“Makna wahdâniyyah (keesaan) Tuhan pada zat-Nya adalah
bahwa zat Tuhan tidak tersusun dari bagian-bagian yang
berbilang yang disebut dengan kamm muttasil fî al-dzât, dan
juga tidak ada suatu zat yang menyerupai zat Allah, yang
disebut dengan kamm munfasil fî al-sifât”.

Keterangan di atas merujuk kepada firman Allah yang


mempunyai dua kesimpulan (wahdâniyyah dan mukhâlafah), seperti
firman Allah :
ِ ‫لَي َك ثْلِ ِه َشيل وهو الس ِ ي الب‬
‫صْيـ ُر‬ َ ُ ْ َ َُ َ ْ َ ْ
“ Tidak ada sesuatu yang sesuatu pun yang serupa
dengan-Nya, dan Dia maha Mendengar lagi Maha Melihat”. 19
Syekh Nawawi mentafsirkan ayat tersebut sebagai
berikut :
‫ ولــي كصــفا ه‬،‫ أ لــي كْا ــه عــاىل ذوات‬، ‫( لــي ك ثلــه شــيل‬
20
.‫يات‬،‫عاىل صفات (وهو الس ي البصف لل س وعات واملر‬
Menurutnya ayat ini menegaskan bahwa tidak ada suatu zat
pun yang serupa dengan zat Allah (wahdâniyyah fi al-dzât), begitu
juga tiada suatu sifat yang serupa dengan sifat-Nya (wahdâniyyah fi
al-sifât). Ayat ini juga mengandung makna keesaan Tuhan dan
berbedanya Tuhan dengan selain-Nya. Oleh karenanya Syekh
Nawawi menyatakan bahwa dalil ‘aqlî dan naqlî tentang
wahdâniyyah Tuhan pada zat-Nya sama dengan dalil sifat

18
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân al-Darârî, h. 11.
19
Al-Qur’ân Al-Karîm, Surat Al-Syûrâ, Ayat : 11.
20
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Marâh Labîd Li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân
al-Majîd, Jil ke-2 h. 370.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 157


Mukhâlafat Lil Hawâdits.21 Dalam arti, tidak ada suatu apapun yang
serupa dengan zat Tuhan, karena dengan menafikan keserupaaan itu,
sempurna lah wahdaniyyah Tuhan pada zat-Nya.
Selanjutnya, Tuhan juga esa pada sifat-sifat-Nya. Pengertian
dari keesaan Tuhan pada sifat-sifat-Nya adalah bahwa tidak ada
ta’addud (berbilangnya) sifat Tuhan dalam satu nama dan
maknanya, tidak boleh ada kesamaan dalam sebutan dan fungsi sifat
itu sendiri. Misalnya Tuhan mempunyai dua sifat qudrah atau dua
sifat irâdah, dan dalam nama atau sebutan serta fungsi (wazîfah) nya
pun sama dalam arti tidak ada perbedaan sedikit pun. Hal demikian
menurut Syekh Nawawi adalah sesuatu yang bersambung (ittisâl)
dalam sifat (kamm muttasil fi al-sifât) dan ini dinafikan, karena
pada hakikatnya sifat-sifat Tuhan itu tunggal dalam penyebutan dan
fungsinya.
Keesaan Tuhan pada sifat-Nya pun dipaham Syekh Nawawi
dengan tidak adanya selain Tuhan yang mempunyai sifat seperti
sifat Tuhan dalam penyebutan dan fungsinya, misalnya seperti zaid
mempunyai sifat qudrah (kuasa) yang dengan sifat itu ia bisa
mencipta dan meniadakan sesuatu (alam) yang mana sifat itu adalah
seperti fungsi dari sifat qudrah Tuhan. Jika demikian adanya maka
disebut “kamm munfasil fi al-sif^ât” dan ini mustahil terjadi, karena
Tuhan esa pada sifat-sifatnya. Syekh Nawaawi menyatakan sebagai
berikut :
‫ فلي له عاىل صـفتان‬،‫ومع ى الوحدانية الصفات هو عدم عددها‬
ٰ‫ وبيــان ذلــك أنــه عــاىل لــي لــه صــفتان فــاكثر مــ‬.‫اإلســم واملعــ ى‬
‫ وهك ــْا ويق ــال ل ــه ك ــم‬،‫جــن واح ــد كق ــدر ني ف ــأكثر وعل ــني فــأكثر‬

21
Teksnya adalah ٰ‫الْات مبع ى عدم ال كيب مٰ أجْاء عل ت م‬ ‫الوحدة‬
‫ املخالفة للحوادث‬. (Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân Al-Darârî, h. 11).

158 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


‫ هو أنه لي ل ـفه صـفة شـابه‬،‫ وعدم الن ف فيها‬.‫الصفات‬ ‫متص‬
‫ فل ــي ل ــفه ع ــاىل ق ــدرة كقدر ــه ع ــاىل أو عل ــم كعل ــه‬،‫ص ــفته ع ــاىل‬
22
.‫الصفات‬ ‫ ويقال له كم منفص‬،‫وهكْا‬
“Makna wahdâniyyah Tuhan dalam sifat-sifat-Nya adalah
tidak berbilangnya sifat-sifat Tuhan. Tidak ada dua sifat atau
lebih bagi Tuhan dari jenis yang satu atau sama, seperti dua
sifat qudrah dan dua ilm, dan seterusnya, jika demikian itu
disebut dengan kamm muttasil fi al-sifât. Dan keesaan Tuhan
dalam sifat-sifat-Nya pun diartikan dengan tidak adanya
persamaan atau pembanding dari sifat-Nya. Maka tidak ada
satu makhluk pun yang mempunyai sifat sama seperti sifat
Tuhan, seperti sifat qudrah yang seperti qudrah Tuhan, dan
ilmu yang seperti ilmu Tuhan, jika demikian disebut dengan
kamm munfasil fî al-sifât”.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa Syekh Nawawi


meyakini adanya sifat-sifat Tuhan. Sifat Tuhan bukanlah zat-Nya,
melainkan sesuatu yang lain dari zat, tapi tidak lepas dari zat-Nya.
Dalam membedakan zat dan sifat Syekh Nawawi mengatakan :
‫ إذ الـْات ال ٱتـاج إىل‬،‫ال تاج إىل حم أر ذات يقوم بـه إال الصـفة‬
.‫ذات يقوم وا‬
“Tidak ada yang butuh kepada zat kecuali sifat, karena zat,
tidak membutuhkan zat lain yang bertempat (menetap)
padanya”.23

Pernyataan tersebut menjelaskan perbedaan antara zat dengan


sifat. Jadi menurutnya, sifat adalah sesuatu yang lain dan zat Tuhan,
akan tetapi mesti ada dan tetap pada zat-Nya. Sifat Tuhan qadim,

22
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân al-Darârî, h. 11.
23
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân Al-Darârî, h. 11.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 159


tidak berarti yang qadim menjadi berbilang atau banyak (ta’addud
al-qudamâ) seperti yang dikatakan Mu’tazilah, karena sifat dan zat
berbeda. Sifat dan zat ada dalam suatu dimesi wujud yang satu,
yaitu wujud Tuhan, dan tidak bisa disebut berbilangnya yang qadim
lantaran adanya sifat Tuhan. Untuk itu, sifat Tuhan pun mesti esa
dari hal yang berbilang baik yang ittisâl, atau infisâl (tersambung
atau terpisah), karena sifat Tuhan bagian dari esensi wujud Tuhan,
maka mesti infirâd (tunggal) juga.
Selanjutnya Tuhan pun esa atau tunggal pada perbuatan-Nya
(af’âl). Syekh Nawawi mengatakan :
‫ ويقـال لـه‬،‫ومع ى الوحدانية األفعال أنه لي ل فه فعـ مـٰ األفعـال‬
‫ وأمــا الكــم املتص ـ األفعــال ف ـ ن ص ــورَنه‬.‫كــم منفص ـ األفعــال‬
ٰ‫ ألن أفعالــه عــاىل كثــفة مــ‬،‫بتعــدد األفعــال فهــو اثبــت ال يصــح نفيــه‬
‫ وإن صــورَنه مبشـاركة عــف‬،‫ وإما ـة إىل عــف ذلـك‬،‫ وإحيــاء‬،‫ ورزق‬، ‫خلـ‬
24
.‫للا له فهو منفي أيضا بوحدانية األفعال‬
“Makna wahdâniyyah Tuhan dalam perbuatan-Nya adalah
bahwa tidak ada bagi selain Tuhan yang mempunyai
perbuatan seperti Tuhan, jika demikian maka disebut dengan
kamm munfasil fi al-af’âl. Adapun kam muttasil fi al-af’âl
jika dipahami dengan berbilangnya perbuatan-perbuatan
Tuhan, maka hal itu benar adanya, karena perbuatan Tuhan
itu banyak seperti menciptakan, memberi rizeki, menghidup
kan, dan mematikan. Jika dipahami dengan adanya sekutu
Tuhan dalam perbuatan-Nya, maka hal itu dinafikan juga,
karena Tuhan esa dalam perbuatan-Nya”.

Jika dilihat dari teks di atas, Menurut Syekh Nawawi


pengertian tentang keesaan Tuhan pada perbuatan-Nya, itu bisa
dipahami dengan menafikan dua kemungkinan (ihtimâl) hal ini

24
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân al-Darârî, h. 11.

160 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


disebutnya dengan kamm muttasil fî al-Af’âl, yaitu perbuatan
Tuhan berbilang dan banyak tidak terbatas pada satu bentuk
perbuatan saja, atau adanya syârik (sekutu) dalam terwujudnya
perbuatan Tuhan, disebut juga dengan (kamm muttasil fi al-af’âl)25,
akan tetapi dalam pengertian yang lain dari sebelumnya, dan juga
kemungkinan adanya selain Allah (makhluk) yang mempunyai
perbuatan serupa halnya dengan perbuatan Tuhan, dan ini
disebutnya dengan (kamm munfasil fi al-af’âl).
Kemungkinan yang pertama (kamm muttasîl fî al-Af’âl)
tergantung dari bagaimana memahami berbilangnya Tuhan dalam
perbuatan-Nya. Misalnya Tuhan mempunyai perbuatan yang
berbilang seperti, mencipta, memberi nikmat, mematikan dan
menghidupkan. jika dipahami demikian maka tidak bertentangan
dengan keesaan Tuhan pada perbuatan-Nya karena itu semua
memang perbuatan Tuhan. Maka kamm muttasil fi al-af’âl tidak
dinafikan adanya, ia mengatakan :
‫ فهـو اثبـت‬،‫ فـ ن صـورَنه بتعـدد األفعـال‬،‫وأما الكم املتصـ األفعـال‬
‫ ألن أفعاله عاىل كثفة مٰ خل ورزق وإحياء وإما ة إىل‬،‫ال يصح نفيه‬
26
.‫عرب ذالك‬
Akan tetapi jika berbilang nya perbuatan Tuhan dalam arti
(muttasil fî al-Af’âl) dipahami bahwa dengan adanya syârik (sekutu)
dalam arti Tuhan berbuat sesuatu dengan bantuan syârik tersebut,
sehingga terjadinya satu atsar (akibat) dari dua sebab atau fâ’il
(subjek) maka istilah kamm muttasil fî al-al’af’âl dinafikan, untuk

25
Pengertian ini adalah suatu bilangan yang bersambung dengan peerbuatan
Tuhan dalam arti perbuatan Tuhan berbilang dan banyak tidak hanya terikat pada
satu model perbuatn saja. Atau juga bisa dipahami, bahwa dalam perbuatan Tuhan
ada sekutu yang membantu dalam terwujudnya perbuatan tersebut, hal ini yang
menurut Syekh Nawawi mustahil akal ada pada perbuatan Tuhan, karena Tuhan
tidak butuh dengan siapapun dalam mewujudkan perbuatannya.
26
Lihat Syekh Nawawi, Syarh Tîjân al-Darârî, h. 13.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 161


menekankan bahwa Tuhan tunggal dalam berbuat sesuatu tanpa
bantuan siapa pun. Kemungkinan yang kedua adalah adanya selain
Allah yang mempunyai perbuatan yang serupa dengan perbuatan
Allah, seperti mecipta, mematikan, memberi nikmat dan sebagainya,
kemungkinan ini disebut dengan “kamm munfasil fi al-’af’âl” yang
dinafikan karena pada hakikatnya tidak ada yang menyerupai
perbuatan Tuhan. Syekh Nawawi menyatakan :
‫ ويقـال لـه‬،‫األفعال أنه لي ل فه فعـ مـٰ األفعـال‬ ‫ومع ى الوحدانية‬
‫ وإن صــورَنه‬، ‫ وأمــا الكــم املتصـ األفعــال‬.‫كــم منفصـ األفعــال‬
27
.‫مبشاركة عف للا له فهو منفي أيضا بوحدانية األفعال‬
“Makna wahdâniyyah Tuhan dalam perbuatan-Nya adalah
bahwa tidak ada bagi selain Tuhan yang mempunyai
perbuatan seperti Tuhan, jika demikian maka disebut dengan
kamm munfasil fi al-af’âl. Adapun kam muttasil fi al-af’âl
jika dipahami dengan adanya sekutu (syârik) Tuhan dalam
berbuat, maka hal itu dinafikan karena Tuhan wahdâniyyah
dalam perbuatan-Nya”.

Dari semua itu jelaskan bahwa keesaan Tuhan yang meliputi


dat, sifat, dan perbuatan-Nya itu, bisa hasilkan dengan menafikan
kelima kamm (al-Kumûm al-Khamsah) yang disebutkan di atas,
yaitu kamm muttasil fî al-dzât, kamm munfasil fî al-dzât, kamm
muttasil fî al-sifât, kamm munfasil fi al-sifât, kamm munfasil fi al-
‘af’âl. Istilah kamm dalam masalah wahdâniyyah memang sangat
popular di kalangan teolog Asy’ariyyah belakangan. Dan untuk
memahami makna kamm yang digunakan Syekh Nawawi memang
sedikit sulit, karena tidak dijelaskan secara eksplisit tentang makna
itu. Syekh Nawawi hanya memaknai kamm sebagi suatu bilangan
atau yang berbilang.

27
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân al-Darârî, h. 11.

162 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Jika meminjam pengertian Syaraf al-Dîn al-Tilimsânî, dalam
bukunya Syarh Lam’ al-Adillah,28untuk menjelaskan makna kamm,
menurutnya, kamm adalah setiap sifat yang bisa terbagi-bagi ( ‫كـ‬
‫)صــفة يصــح إبعتبارهــا التقســيم‬, dan kamm itu terbagi menjadi dua,
muttasil, dan munfasil. Dan istilah kamm ini diklasifikasi ke dalam
bagian ‘arad (aksiden).29 Dari penjelaskan tersebut bisa disimpulkan
bahwa kamm yang digunakan Nawawi, adalah suatu sifat berbilang,
baik yang tersambung atau terpisah dari zat, sifat, dan perbuatan
Tuhan dan keduanya itu mesti dinafikan dari Tuhan agar jelaslah
enesi dan hakikat wahdâniyyah-Nya.
Jika istilah kamm oleh Al-Tilimsânî digolongkan sebagai
‘arad (aksiden), maka hal itu juga mustahil ada pada zat Tuhan,
tidak lazim adanya ‘arad itu, karena ‘arad bersifat baru (hâdits).
Yang lazim bagi Tuhan ialah adanya sifat yang qadim, yaitu
wahdâniyyah, jika Tuhan telah bersifat dengan wahdâniyyah, maka
mustahil menurut akal Tuhan bersifat dengan kebalikan sifat itu,
yaitu al-ta’addud (berbilang). Ia mengatakan :
‫ اسـ ـ ــتحال عليـ ـ ــه التعـ ـ ــدد الـ ـ ــْر هـ ـ ــو ـ ـ ــد‬،‫وإذا ثب ـ ــت ل ـ ــه الوحداني ـ ــة‬
30
.‫الوحدانية‬

28
Syaraf al-Dîn al-Tilimsânî, Syarh Lam’ al-Adillah Li Al-Juwainî, (Kairo :
Dar al-Hadîts, 2009), h. 78.
29
Ibn Rusyd juga mengkategorisasikan kammiyyah (istilah yang digunakan
Ibn Rusyd) sebagai ‘arad (akiden). Menurutnya, kammiyyah yang dalam makna
hakiki adalah disebut dengan ‘adad (bilangan). Sedangkan makna yang lain bisa
disebut dengan macam-macam jenis yang berbilang. Kamiyyah ada yang terikat
dengan zat, juga dengan ‘arad. Yang terikat dengan zat, seperti bilangan dan
macam-macamnya secara umum, sedangkan yang terikat dengan ‘arad adalah
macam-macam sifat warna, seperti hitam, putih dan sebagainya. (Lihat Ibn Rusyd,
Risâlah Mâ Ba’d al-Tabî’ah, Beirut : Dar al-Fikr, 1994, h. 40).
30
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Fath al-Majîd, Fî Syarh al-Durr al-Farîd,
Fî ‘Ilm al-Tauhîd, h. 21.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 163


“Apabila telah tetap sifat wahdâniyyah (pada zat Allah),
maka mustahil (akal) adanya sifat ta’addud (berbilang) yang
merupakan kebalikan dari wahdâniyyah”.

Selanjutnya keterangan tentang keesaan Allah (wahdâniyyah)


banyak sekali disebutkan dalam al-Qur’ân, sehingga hal itu mudah
dipahami (ma’lûm min al-Dîn bi al-Darûrah) jika merujuk kepada
dalil naqlî (al-Qur’ân dan hadits). Dan dampak dari adanya Tuhan
selain Allah seperti yang ditegaskan al-Qur’ân akan mendatangkan
kerusakan di langit dan bumi dalam arti, jika Tuhan berbilang, maka
tidak adalah alam semesta ini tercipta. Syekh Nawawi memampar
kan argumentasi rasional dalam menjelaskan keesaan Tuhan dengan
dua dalil burhân tawârud dan burhân tamânu’.
Burhân tawârud31 adalah sebuah demonstrasi rasional tentang
keesaan Tuhan terhadap kemungkinan-kemungkinan (ihtimâlât)
yang akan terjadi jika adanya dua Tuhan (ilâhâni) atau lebih di alam
semesta ini. Syekh Nawawi menjelaskan, tidak lazim, jika di alam
ini terdapat dua Tuhan, karena akan ada kemungkinan dua Tuhan itu
akan bersekutu dalam mencipta (ittifâq fî al-Îjâd wa al-Ikhtirâ’),
atau mungkin juga berselisih (ikhtilâf). Jika dua Tuhan itu bersekutu
dalam mencipta, maka tidak mungkin ( jâ’iz)32lah menciptanya itu
secara bersamaan, karena akan timbul suatu akibat dari dua pencipta
(Ijtimâ’ Mu’atstsirain ‘Alâ Atsar Wâhid).
Kemudian tidak mungkin (jâ’iz), jika dua Tuhan
menciptakan dengan secara tartib (murattaban), yaitu Tuhan yang
satu mencipatakan sebagian alam, dan Tuhan lain menciptakan
sebagian alam yang lain, yang nantinya akan berujung kepada tidak

31
Demonstrasi ini dikemukakan Syekh Nawawi dalam menjelaskan tentang
kemungkinan adanya dua Tuhan di alam semesta. Terdapat dalam kitabnya Tijân
al-Darârî dan juga Fath al-Majîd.
32
Ja’iz dalam pengertian ini adalah tidak bisa diterimanya suatau realitas
secara rasional, karena bertentangan dengan nash dan juga hukum akal, jika
objeknya adalah Tuhan.

164 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


adanya hasil terciptanya alam dari satu Tuhan sebagaimana yang
ditegaskan oleh al-Qur’ân. Selanjutnya tidaklah lazim, jika dua
Tuhan itu saling membantu dalam menciptakan alam, karena hal
tersebut menunjukan sifat lemahnya Tuhan dalam mencipta (lazima
‘ajzu man lam yanfudz murâduhu). Penolakan-penolakan terhadap
kemungkinan dua Tuhan sepakat (ittifâq) dalam mencipta itu,
disebut dengan burhân tawârud.33 Teks yang dimenjelaskan burhân
tawârud sebagai beriku :
‫ ألنــه لــو كــان هنــاو‬، ‫وإمنــا لــْم مــٰ التعــدد عــدم وجــود شــيء مــٰ العــا‬
‫ لــئال‬،‫معــا‬
‫ْ أن يوجــداه م‬،‫ فــال جــا‬،‫ ف مــا أن يتفقــا وإمــا أن ُيتلفــا‬،‫إمهــان‬
‫ْ أن يوجــداه مر بمــا نين‬،‫ وال جــا‬.‫يلــْم إجت ــاع مــؤثريٰ علــى أث ـ ٍر واحـ ٍـد‬
ْ،‫ وال جـا‬. ‫ لـئال يلـْم ٱصـي احلاصـ‬،‫يوجـده أحـد ا ْ يوجـده اآلخـر‬
‫أن يش كا اإلجيـاد نين يوجـد أحـد ا الـبع واآلخـر الـبع اآلخـر‬
ٍ ‫للْوم عجْ ا‬
‫ سـد علـى‬، ‫ ألنه ملا علقت قـدرة أحـد ا ولـبع‬،ْ‫حينئ‬
‫ وهـْا‬.ْ‫ وهْا عجـ‬،‫ فال يقدر على خالفته‬،‫اآلخر طري عل قدر ه به‬
34
.‫ ملا فيه مٰ وارد ا على شيء واحد‬،‫يس ى برهان التوارد‬
Selanjutnya jika terdapat dua Tuhan di alam ini, maka adanya
kemungkina dua Tuhan itu saling berselisih (ikhtlâf) dalam
mencipta, seperti misalnya Tuhan yang satu ingin mencipta, dan
Tuhan yang lain tidak ingin mencipta, jika demikian tidaklah
kehendak masing-masing dua Tuhan itu akan terealisasi karena dua
kehendak yang berbeda tidak mungkin bersamaan pada satu ruang
dan waktu. Tidak lazim juga jika kehendak dua Tuhan itu tidak
terwujud karena perbedaan irâdah-Nya, juga jika hanya satu Tuhan
saja yang kehendak-Nya terwujud, dan Tuhan lain tidak terwujud

33
Sebutan demonstrasi untuk menolak konsep adanya dua Tuhan.
34
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Tîjân al-Darârî, h. 12.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 165


kehendak-Nya yang menunjukan bahwa lemahnya Tuhan yang tidak
terwujud kehendak-Nya itu. Penolakan-penolakan terhadap
kemungkinan-kemungkinan (ihtimâlât) dari berselisihnya dua Tuhan
dengan kehendak yang berbeda itu disebut sebagai burhân
tamânu’.35Teks yang menjelaskan tentang hal ini sebagai berikut :
،‫ واآلخــر إعدامــه‬، ‫وإن اختلفــا نين يريــد أحــد ا إجيــاد شــيء مــٰ العــا‬
ْ،‫ وال جــا‬.‫ْ أن ينفــْ مراد ــا لــئال يلــْم عليــه إجت ــاع النقضــني‬،‫فــال جــا‬
‫ْ أن ينفـْ مـراد أحـد ا‬،‫ وال جـا‬.‫معـا للـْوم عجْ ـا‬ ‫أن ال ينفْ مراد ـا م‬
‫ واآلخـر مثلـه النقـاد امل اثلـة‬،‫دون اآلخر للْوم عجـْ مـٰ ينفـْ مـراده‬
.‫ لت انعه ا و الفه ا‬، ‫ وهْا يس ى برهان الت ان‬.‫بينه ا‬
Hasil dari semua kemungkinan sepakat atau berselisihnya dua
Tuhan itu berujung pada rusaknya atau tidak terciptanya alam.
Argumentasi rasional (burhân) tersebut nampaknya bersumber dari
firman Allah :
ِ ِ ِ ِ
َ ‫ فَ ُس ـ ْـب َحا َن للا َرب‬،‫لَ ـ ْـو َكـ ــا َن ف ْي ِه َ ـ ــا آمهـَــة إَِّال للاُ لََف َسـ ـ َـد َات‬
‫الع ـ ْـر ِ َع َّ ــا‬
36
.‫ص ُف ْو َن‬ِ‫ي‬
َ
Artinya : “ Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi)
ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasah,
mahasuci Allah yang memilki ‘Arsy dari apa yang mereka
sifatkan”.

35
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân al-Darârî, h. 12.
36
Al-Qur’an, Sûrah al-Anbiyâ ; Ayat 22. Dalam menjelaskan ayat ini, Syekh
Nawawi mengatakan, kalau saja ada Tuhan selain Allah yang menguasai hal-hal
yang terkait dengan langit-langit dan bumi, dan keduanya adalah mencipta semua
itu, maka tidak logis menurut akal wujudnya langi dan bumi, dan tetaplah
ketiadaannya. Ia menegaskan bahwa, seluruh alam dan seisinya, dari bawah bumi
dan atas bumi, adalah dilâlah atas keesaan Tuhan, tidak terwujud dari Tuhan lain
selain Allah. SWT. (Lihat, Syekh Nawawi al-Bantani, Marâh Labîd Li Kasyf Ma’nâ
Al-Qur’ân Al-Majîd, Jil Ke-2, h. 37-38).

166 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Dari keterangan di atas, terlihat argumentasi yang
dikemukakan Syekh Nawawi masih sangat kental dengan metode
tradisi kalam klasik, termasuk dalam pembahasan keesaan Tuhan
(wahdâniyyah). Demikianlah makna wahdâniyyah (keesaan ) Tuhan
dalam pandangan Syekh Nawawi al-Bantani yang mana Tuhan esa
pada zat, sifat, dan juga af’âl-Nya (perbuatan Tuhan). “Wallâh
A’lam”

2. Kuasa dan Kehendak Tuhan


Dalam memahami kemutlakan kuasa dan kehendak Tuhan,
Al-Asy’arî menyatkan dalam kitab al-Ibânah bahwa Tuhan tidak
tunduk kepada siapa pun, di atas Tuhan tidak ada suatu zat lain
yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh
dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. 37Tuhan bersifat
absolut dalam kuasa dan kehendak-Nya. Al-Ghazâli juga
menyatakan hal yang sama, bahwa Tuhan dapat berbuat apa saja
yang dikehendaki-Nya, dapat memberi hukum menurut kehendak-
Nya, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendaki-
Nya dan memberi pahala kepada orang kafir jika itu pun
dikehendaki-Nya.38Kemutlakan kuasa dan kehendak Tuhan yang
digambarkan di atas dapat pula dilihat dari paham Asy’ariyyah
bahwa Tuhan dapat meletakan beban yang tak terpikul pada diri
manusia, dan dari keterangan al-Asy’arî sendiri. Bagi paham
Asy’ariyyah, Tuhan memang tidak terikat kepada apapun, tidak
terikat kepada janji-janji, kepada norma-norma keadilan dan
sebagainya.39

37
Abû al-Hasan ‘Alî bin Ismâ’îl al-Asy’arî, Al-Ibânah ‘An Usûl al-Diyânah,
(Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 201 1), h. 68.
38
Abû Hâmid al-Ghâzali, Al-Iqtisâd fi al-I’tiqâd, (Mesir : al-Qusd, 2010), h.
184.
39
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 2015), h. 119.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 167


Sebagai penganut paham Asy’ariyyah, Syekh Nawawi al-
Bantani pun berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan
tidak t erikat dan dibatasi oleh apapun. 40Segala apapun yang terjadi
dan tercipta, semuanya bersumber dari kuasa dan kehendak mutlak
Tuhan yang mutlak. Dalam menjelaskan kuasa Tuhan Syekh
Nawawi mengkategorikan kuasa Tuhan (qudrah) sebagai sifat
ma’anî. Fungsi dan objek dari qudrah Tuhan adalah kepada semua
yang bersifat mumkin (segala sesuatu yang wujud selain Tuhan),
dalam arti objek qudrah Tuhan tidak tertuju pada sesuatu yang
wajib seperti zat Tuhan, dan yang mustahil seperti syârik (sekutu)
bagi Tuhan. Pemahan ini bisa kita lihat dalam ayat yang
ditafsirkannya sebagai berikut :
41 ِ
ٰ‫ ف ــال يش ــْ م ــٰ ملكو ــه ش ــيل م ــ‬، ‫( َوللاُ َعل ـ َـى ُكـ ـ ِ َش ـ ْـي ٍل قَ ــديْـر‬
42
.‫األشياء وك ما سواه مقدور له عاىل‬
“ Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, maka tidaklah
sesuatu meleset (keluar) dari kerajaan Allah, dan setiap
sesuatu selain Allah itu dikuasai oleh-Nya”

Sesuatu (syai) yang dimaksud dalam ayat itu adalah sesuatu


yang selain Allah (mumkin) bukan diri Allah sendiri (wâjib) dan
bukan sesuatu yang bertentangan dengan firman-Nya yang lain,
seperti Allah kuasa dalam menciptakan Tuhan bandingan bagi-Nya
(syârik), oleh karenanya menurut Nawawi, sesuatu yang dikuasai
(maqdûr) Tuhan adalah yang selain diri-Nya (mumkin) dan yang

40
Tuhan boleh berbuat apapun yang dikehendakinya, karena menurut Syekh
Nawawi, Tuhan mempunyai sifat jâiz, yaitu melakukan sesuatu atau
meninggalkannya sesuai dengan kehendaknya sendiri. (Lihat Tijân al-Darârî, h. 20.
41
Al-Qur’ân surat al-Ali ‘Imrân : ayat 189.
42
Syekh Nawawi al-Bantani, Marâh Labîd Li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân al-
Majîd, Jil ke-1 h. 174.

168 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


tidak bertentangan dengan khitab-Nya yang lain, dalam ushul fikih
memahami ayat seperti ini disebut dengan takhsîs bi al-‘aql.43
Selanjutnya menurut Nawawi relevansi qudrah Tuhan dengan
yang mumkin44sebagai objeknya terbagi menjadi tujuh ta’alluq
(keterkaitan/hubungan), yaitu satu di antaranya disebut sebagai
ta’alluq sulûhi qadîm, tiga selanjutnya ta’alluq tanjîzi hâdits, dan
tiga yang terakhir ta’alluq qabdiyyah.45 Ta’alluq Sulûhi qadîm
adalah suatu penjelasan terhadap kelayakan dan kepantasan qudrah
Tuhan di azali untuk mencipta dan meniadakan yang mumkin itu.
Meskipun ketika di azali belum terdapat suatu atsar (dampak) dari
qudrah Tuhan itu sendiri dari mencipta atau meniadakan yang
mumkin. Tuhan tetap kuasa meskipun belum ada hasil dari kuasanya
itu, sebagai afirmasi dari kemutlakan kuasa Tuhan dan juga
penegasan bahwa qudrah Tuhan berpotensi untuk mencipta dan
meniadakan sesuatu pada saat itu. Sedangkan ta’alluq tanjîzi
hâdits46 dijelaskan oleh Syekh Nawawi, bahwa qudrah Tuhan mulai
menunjukan fungsinya yaitu menciptakan yang mumkin itu pada
waktu imkân al-îjâd (mungkin menciptakan) atau meniadakannya
(imkân al-i’dâm.
Kemudian setelah yang mumkin itu diciptakan Tuhan dan
wujudnya terbukti dengan musyâhadah (terbukti secara empiris) di
alam dunia, qudrah Tuhan berfungsi kembali untuk meniadakan

43
Abû Ishâq al-Syairâzî, Alluma’ fî Usûl Al-Fiqh, (Jakarta : Dar al-Kutub
al-Islâmiyyah,2011), h. 57.
44
Segala sesuatu selain Tuhan, atau singkat kata disebut dengan makhluk.
Syekh Nawawi menjelaskan makna mumkin menurut mutakallim adalah sebagai
mana sebelumnya, sengankan menurut para ahli mantiq, mumkin adalah sesuatu
yang hubungannya dengan yang lain tidak tercegah atau terhalang. (lihat Fath al-
Majîd, h. 21).
45
Lihat Tijân al-Dararî, h. 13.
46
Ta’alluq (keterkaitan) ini sebetulnya untuk menjelaskan kekuasaan
Tuhan yang tidak terikat dengan suatu apapun secara mutlak. Allah adalah zat yang
maha merajai alam semesta. Dia mengatur segala sesuatu yang ada di dalam
kerjaaan-Nya dan tidak menanggung sesuatu kewajiban tidak juga pengaturan.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 169


mumkin yang telah wujud itu dari alam dunia ke alam barzah, dan
selanjutnya qudrah Tuhan berfungsi kembali untuk mewujdukan
mumkin tadi untuk dibangkitkan dari alam barzah (kubur) ke alam
akhirat. Hal ini diklasifikasi oleh Syekh Nawawi sebagai ta’alluq
tanjîzi hâdits dari qudrah Tuhan. Adapun ta’alluq qabdiyyah ialah
pengertian kemutlakan kuasa Tuhan terhadap maqdûr (objek
qudrah) dalam hal melestarikan kewujudannya atau melestarikan
ketiadaanya karena bisa saja kapan pun Tuhan ingin mengubah
wujud yang mumkin menjadi tiada, ataupun sebaliknya karena kuasa
Tuhan yang mutlak. Akan tetapi secara garis besar Syekh Nawawi
menegaskan orientasi dari kuasa Tuhan ialah hanya dalam mencipta
(al-îjâd) dan meniadakan (al-I’dâm) yang mumkin, sedangkan
dalam hal menentukan wujud dan tidak adanya, itu merupakan
fungsi dari irâdah (kehendak) Tuhan. Dalam klasifikasi keterkaitan
(ta’alluq) qudrah Tuhan di atas, Syekh Nawawi menjelaskan :
‫ وهــو صــالحيتها األزل‬،‫ واحــد صــلوحي قــدي‬: ‫ومهــا ســب علقــات‬
‫ وهــي‬،‫ وثالثــة نجيْيــة حادثــة‬.‫لإلجيــاد واإلعــدام وــا وقــت اإلمكــان‬
،‫ و علقها إبعدامه بعد وجوده‬، ‫علقها إبجياد امل كٰ بعد عدمه الساب‬
‫ وهـي علقهـا‬،‫ وثالثـة علقـات قبضـية‬.‫و علقها إبجياده للبعث مٰ القـرب‬
‫ و علقه ــا‬،‫وس ــت رار ع ــدم امل ك ــٰ وق ــت إمك ــان الوج ــود قبـ ـ وج ــوده‬
47
.‫ و علقها وست رار عدمه بعد الوجود‬،‫وست رار وجوده بعد العدم‬
“Bagi sifat qudrah ada tujuh ta’alluq; yang pertama adalah
suluhi qadim, yaitu layaknya qudrah Tuhan untuk mencipta
dan meniadakan makhluk di azali pada waktu imkan. Dan
yang tiga setelahnya adalah tanjîzi hâdits, yaitu berkaitannya
qudrah Tuhan dengan mengadakan yang mumkin setelah
tiadanya di azali, dan berkaitannya qudrah Tuhan dengan

47
Syekh Nawawi al-Bantani, Fath al-Majîd fi Syarh al-Durr al-Farîd Fi ‘Ilm
al-Tauhîd, h. 25.

170 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


meniadakan mumkin setelah wujudnya di alam dunia, dan
berkaitannya qudrah Tuhan dengan mengadakan mumkin
kembali untuk dibangkitkan dari kubur. Yang ketiga terkahir
adalah ta’alluq qabdiyyah 48, yaitu qudrah (kuasa) Tuhan
berkaitan dengan melestarikan ketiadaan mumkin pada waktu
imkân di azali, dan melestarikan wujud mumkin setelah
adanya di alam dunia, dan melesatarikan tiadanya mumkin
setelah wujudnya di dunia”.

Dari keterangan Syekh Nawawi tentang kaitan-kaitan


(ta’alluqât) qudrah Tuhan seperti yang disebutnya dengan ta’alluq
suluhî, tanjîzî hâdits, dan qadiyyah, nampaknya rincian tersebut
secara garis besar ingin menjelaskan ketidak terbatasan kuasa tuhan
dengan apapun, dalam hal ini adalah hal-hal yang mumkinat.
Karenanya, dalam keterangan lain ia mengatakan , bahwa kuasa
Tuhan hanya berlaku kepada yang mumkin saja, tidak kepada yang
wajib, dan mustahil. Jika berkaitan dengan yang wajib, maka kuasa
Tuhan bisa saja berlaku pada wujud-Nya sendiri, dan jika berkaitan
dengan yang mustahil, ada kemungkinan kuasa-Nya berkaitan
dengan wujud syârik (sekutu) Tuhan sendiri.
Selanjutnya dalam masalah kekuasaan Tuhan. Tentunya pada
awal bab ini, telah dijelaskan bahwa Syekh Nawawi sebagai
penganut paham sifat Tuhan, maka ia mengatakan bahwa irâdah
adalah sifat Tuhan yang qadim, yang fungsinya adalah menentukan
sesuatu yang berlawanan (seperti wujud dengan tiada) pada yang
mumkin (makhluk) untuk ditentukan Tuhan. Sama halnya dengan
kuasa Tuhan, kehendak Tuhan pun tidak terbatas dengan apapun
dalam arti mutlak (absolut). Pendapatkannya tentang masalah ini
bisa dilihat dari ayat al-Qur’ân sebagai berikut :

48
Kata Qabdiyyah yang digunakan ini, sebetulnya bukan dalam makna
hakiki, melainkan makna majazi yang digunakan untuk mendeskripsikan kuasa
mutlak Tuhan, dengan kata lain semua makhluk bergantung dan ada dalam
genggaman kuasa mutlak Tuhan. (Lihat Syekh Al-Fudâlî, Kifâyat al-‘Awâm,
Jakarta : Dar al-Kutub al-Islâmiyyah, 2010, h. 81).

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 171


49 ِ ُّ ‫اَ ر‬ ِ
‫ني‬
َ َ‫ب الْ َعال‬َ َُّ َ‫َوَما َ َشاءُو َن إَّال أَن يَ َشاء‬
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu)
kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”.

Dalam menafsirkan ayat di atas, Syekh Nawawi mengatakan


bahwa seluruh perbuatan manusia baik yang terjadi ataupun yang
tidak, semua bergantung kepada kehendak Allah. 50 Selanjutnya
Syekh Nawawi menjelaskan Objek dari irâdah (kehendak) Tuhan
adalah segala sesuatu yang mumkin, 51 dalam arti irâdah Tuhan tidak
berkaitan dengan hal-hal yang wajib dan juga yang mustahil
sebagaimana keterangan dalam qudrah (kuasa) Tuhan. Kehendak
Tuhan dijelaskan begitu panjang dan luas oleh Syekh Nawawi dalam
penjelasan sifat irâdah, yaitu menentukan (takhsîs) sesuatu yang
mumkin (ja’iz) dari dua hal yang besifat membandingkan
(muqâbalah).
Oleh karenanya Syekh Nawawi menyebut irâdah Tuhan
sebagai sifat tarjîh (mengunggulkan dari dua hal yang tingkatannya
sama), yaitu menentukan segala apapun dengan kehendak-Nya
terhadap makhluk. Kehendak Tuhan yang mutlak digambarkan oleh
beliau bahwa Tuhan boleh saja menyiksa hambanya yang ta’at jika
itu dikehendaki-Nya, dan Tuhan pun boleh saja memasukan
hambanya yang durhaka ke dalam surga jika Tuhan
menghendakinya.
‫ فيجب إعتقاد أنه عاىل جيوز‬،‫الكون خبلقه وإراد ه‬ ‫أن مجي ما يق‬
‫ وأنه ال جيب‬،‫ملكه إال ما يريد‬ ‫ وأنه ال يق‬،‫عليه خل اخلف والشر‬

49
Al-Qur’ân, Surat al-Takwîr : Ayat, 29.
50
Lihat Marâh Labîd, Jil ke-2, h. 608.
51
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Fath al-Majîd, h. 24.

172 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


52
.‫عليه عاىل لعباده فع الصلح واألصلح‬
“Sesungguhnya seluruh yang terjadi dalam suatu peristiwa,
itu diciptakan dank arena kehendak Tuhan. Maka wajib
meyakini bahwa Allah boleh saja mennciptaka kebaikan dan
keburukan, dan tidak ada yang terjadi melainkan atas
kehendaknya. Sesungguhnya tidaklah wajib bagi Allah
menciptakan yang baik dan yang terbaik untuk hamba-
hambanya”.

Pengertian tentang Tuhan boleh saja menciptakan keburukan


dengan kehendaknya, adalah berdasarkan bahwa Tuhan lebih
mengetahui atas apa yang dikehendaki-Nya, dan kita tidak boleh
menanyakan apa yang dilakukan Tuhan dan dikehendaki-Nya,
karena ada firman Allah yang dalam pentafsiran Nawawi sebagai
berikut :
،‫ وإذالل‬،‫( َال يُ ْسـأ َُل َع َّ ــا يَـ ْف َعـ ُ أ ع ــا كــم عبــاده مــٰ إعـْاز‬
53
‫ ألنه املالك القاهر‬،‫ وإشقاء‬،‫ وإسعاد‬،‫ وإ الل‬،‫وهدر‬
Baik dan buruk yang datang dari makhluk itu semua atas
kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan yang buruk terhadap makhluk
bukan berarti Tuhan memerintah dan rida dengan keburukan atau
kejahatan. Dalam hal ini Syekh Nawawi menjelaskan perbedaan
irâdah (kehendak) dengan amr (perintah), dan juga ridho. Irâdah
(kehendak) bukanlah perintah yang dalam arti menuntut suatu
perbuatan, bukan juga berarti ridho. Menurutnya, seorang Muslim

52
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh al-Tsimâr al-Yâni’ah ‘alâ Hill Alfâz al-
Riyâd al-Badî’ah, (Jakarta : Dar al-Kutub al-Islâmiyyah, 2010), h. 17.
53
Al-Qur’an, Sûrah Al-Anbiyâ : Ayat 23. Dalam mentafsirkan ayat ini,
Syekh Nawawi menjelaskan, bahwa janganlah bertanya terhadap apa yang yang
dilakukan Tuhan kepada hambanya, seperti memuliakan, menghinakan, memberi
petunjuk menyesatkan, membahagiakan, atau pun menmbuat kesedihan, karena
Tuhan adalah seorang raja yang mampu menakhlukan apapun. (Lihat Syekh
Nawawi al-Bantani, Marah Labîd Li Ma’nâ al-Qur’an al-Majîd, h. Jil ke-2, h. 48).

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 173


harus meyakini bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan
keburukan, akan tetapi Tuhan hanya memerintah kepada kebaikan
saja tidak kepada keburukan.54
Seperti misalnya Tuhan menghendaki imannya Abû Bakar
disertai Tuhan pun memerintah iman kepada makhluknya, dan juga
ridha dengan keimanan itu. Pada realitasnya Abû Bakar memang
betul beriman, justru menurut Nawawi, jika Abû Bakar tidak
beriman, maka disebut mustahîl li ghairihi, karena akan berimannya
Abû Bakar telah ada pada ilmu Tuhan yang azali. Irâdah (kehendak)
Tuhan terhadap imannya Abû Bakar didasari atas ilmu Tuhan yang
mengetahui bahwa, suatu saat nanti Abû Bakar akan beriman
setelah Rasul berdakwah kepadanya. Jika ilmu Tuhan mengetahui
seperti itu, kemudian faktanya berlainan dengan ilmu Tuhan yang
azali, maka berarti ilmu Tuhan terikat dengan peristiwa yang baru
terjadi, dan sebelum mengetahui yang terjadi itu Tuhan tidak
mengetahui (majhûl) nya, hal ini mustahil bagi Tuhan. Dalam hal ini
ia mengatakan :
‫ فقــد يريــد‬.‫ أن اإلرادة عنــد أهـ الســنة عــف األمـر والر ــا والعلـم‬،‫واعلـم‬
.‫ ك اـان مــٰ علـم للا إاانـه مثـ أى بكـ ٍر ر ـى للا عنــه‬،‫وْمـر وير ـى‬
،‫وقتــه وجــب وجــوده فيــه‬ ‫ألنــه حيــث علـ علــم للا وإراد ــه بوجــوده‬
.‫ويستحي عدمه‬
Tuhan juga menghendaki kafirnya Fir’aun dengan tidak
disertai larangan terhadap kekafiran, karena Tuhan tidak
memerintah kekafiran melainkan iman. 55 Kafirnya Fir’aun sudah
diketahui Tuhan dengan ilmu-Nya yang qadim, bahwa suatu saat

54
Syekh Nawawi al-Bantani, Al-Nahjat Al-Jayyidah, h. 8.
55
Syekh Nawawi al-Bantani, Fath al-Majîd, h. 26.

174 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


nanti ia akan tetap dalam kekafiran meskipun Rasul (Mûsâ) sudah
menyerukan dakwah kepadanya. 56
‫ كـالكفر ـٰ علـم للا عـدم إاـالم مثـ‬،‫وقد يريـد وال ْمـر وال ير ـى‬
‫ ف ن اجل يـ واقـ‬،‫الكون‬ ‫ وكاملعاصى الواقعة‬،‫فرعون وهامان وقارون‬
.‫إبراد ه عاىل‬
Tuhan hanya memerintah kepada iman dan ketaatan saja dan
tidak kepada keburukan dan maksiat. Jika Tuhan tidak menghendaki
iman pada makhluk-Nya padahal Tuhan memerintah itu, seperti
contoh di atas, itu semua karena ada hikmah dan hikmah itu
hanyalah Tuhan yang tau dengan ilmu-Nya. Hal ini berhubungan
dengan kaitan kuasa Tuhan yang dijelaskan di atas, bahwa menurut
Syekh Nawawi jangan menyakan apa yang diperbuat Tuhan, karena
Tuhan mempunyai otoritas mutlak terhadap hamba-hamba-Nya
dasn lebih mengetahui mereka dalam segala hal.
Oleh karenanya Tuhan juga berkehendak mutlak terhadap
sesuatu, akan tetapi yang perlu digaris bawahi adalah tidak semua
yang dikehendaki-Nya itu adalah perintah-Nya dan juga diridhoi-
Nya, karena kehendak, perintah dan juga rida adalah hal yang saling
berbeda. 57 Demikianlah pengertian kuasa dan kehendak mutlak
Tuhan menurut Syekh Nawawi al-Bantani yang paham ini di masa
klasik identic dengan corak kalam Asy’ariyyah. “Wallâh A’lam”
3. Konsep Kalam Tuhan
Dalam bahasa Arab arti kata kalam memilki dua pengertian,
yaitu firman/perkataan, dan berkata-kata. Makna firman disebutkan
dalam al-Qur’ân sebagai berikut :

56
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân al-Darârî, h. 14.
57
Syekh Nawawi mengatakan :
‫ وإمنا أمرهم للا وإلاان م كونه عاىل يرده منهم حلك ة‬،‫واعلم أن اإلرادة ليست الزمة لألمر‬
.‫يعل ها للا عاىل‬

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 175


ِ ‫أَفَـتطْ عــو َن أَ ْن يـؤِمنُــوا لَ ُكــم وقَـ ْد َكــا َن فَ ِري ـ ِم ـْنـهم يس ـ عو َن َك ـالَم‬
َُّْ ‫للا‬ َ ُْ َ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ ْ ُْ َُْ َ
ِ
.‫ُ ِرفـُ ْونَهُ ِم ْٰ بَـ ْعد َما َع َقلُ ْوهُ َو ُه ْم يَـ ْعلَ ُ ْو َن‬
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka beriman
kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman
(perkataan) Allah lalu mereka mengubahnya setelah mereka
memahamnya, sedang mereka mengetahuinya .”58
Sedangkan makna berkata-kata disebut dalam al-Qur’ân
sebagai berikut :
.‫َوَكلَّم للاُ ُم ْو َسى َ ْكلِْي م ا‬
“ Allah berkata-kata dengan Nabi Musa dengan semprna
perkataan.”59

Pada dasarnya istilah ini (kalam) bersifat netral, yaitu


mempunyai makna tersendiri sesuai dengan kata sandangnya. Jika
disandangkan dengan kata ilmu (ilmu kalam), maka dimaksudkan
sebagai suatu disiplin keilmuan yang membicarakan akidah.
Sedangkan jika disandangkan dengan kata Allah, maka yang
dimaksudkan adalah al-Qur’ân. Karena itulah al-Qur’ân disebut
dengan “ kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Dengan kandungan mukjizat dan membacanya dianggap
suatu ibadah.60
Menurut paham Asy’ariyyah, firman (kalam) Tuhan adalah
sifat,61 dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal. Firman (kalam) bagi
mereka adalah arti atau makna abstrak. Kalam Tuhan bukanlah yang

58
Surâh al-Baqarah, Ayat 75.
59
Surâh al-Nisâ, Ayat 164.
60
Syahrin Harahap dan Hasan Bakri, Ensiklopedi Akidah Islam, (Jakarta :
Kencana, 2009), h. 324.
61
Hal ini kontras dengan pendapat Mu’tazilah yang menafikan adanya sifat-
sifat Tuhan (nafy al-sifât). Jika jika kalam Tuhan itu sifat, maka mestilah qadim,
dan jika seperti itu, maka berbilanglah hal yang qadim itu. Tidak ada yang qadim
kecuali zat Tuhan.

176 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


tersusun dari huruf dan dikeluarkan dengan suara. Sabda yang
tersusun disebut sabda hanya dalam arti kiasan. Kalam Tuhan yang
sebenarnya adalah apa yang terletak dibalik yang tersusun itu.
Kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata bukanlah kalam
Tuhan. Kalam dalam arti abstrak inilah yang dapat bersifat kekal
dan dapat menjadi sifat Tuhan. Lain halnya dengan Mu’tazilah yang
beranggapan bahwa al-Qur’ân adalah makhluk.
Menurut Aziz Dahlan, perbedaan pendapat antara keduanya
dilihat dari bagaimana memahami atau mendefinisikan al-Qur’ân itu
sendiri.62Dan yang dimaksud al-Qur’ân, bukanlah apa yang tersusun
dari huruf-huruf , kata-kata, dan surat-surat, tetapi arti atau makna
abstrak tersebut. Dalam arti inilah al-Qur’ân yang merupakan
Kalâm Allâh dan bersifat kekal (baqâ). Kalam Tuhan yang dalam
arti huruf, kata, ayat, dan surat yang tertulis atau dibaca, al-Qur’ân
adalah baru (hâdits) dan diciptakan, bukanlah Kalam Tuhan yang
dalam arti sebenarnya. Dalam memahami Kalam Tuhan Syekh
Nawawi menyebut ini dengan sifat yang azali yang ada pada zat
Tuhan. Kalam Tuhan yang demikian (dalam arti sifat yang azali)
dialihbahasakan dengan uraian lafaz-lafaz yang khusus yang
dinamakan dengan al-Qur’ân dan kalâm Allâh.63Ia mengatakan :
‫ ة بْا ه عاىل يعـرب عنهـا ولـن م املخصـو‬،‫والكالم هو صفة أزلية قا‬
.‫أيضا‬
‫املس ى ولقرآن وبكالم للا عاىل م‬
“Kalam adalah sifat yang azali yang berdiri pada zat Tuhan,
yang dialih bahasakan dari sifat azali itu, dengan rangkaian
(nazm) yang khusus, yang disebut dengan al-Qur’ân dan
kalâm Allâh”.

62
Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis Atas Paham Wahdat al-wujûd
Tuhan Alam Manusia Dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani , (Padang : IAIN–IB
Press, 1999), h. 156.
63
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Nûr Al-Zalâm ‘Alâ Manzûmah ‘Aqîdat
Al-‘Awâm, (Jakarta : Dar al-Kutub al-Islâmiyyah, 2008), h. 17.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 177


Kalam Tuhan tersucikan (munazzah) dari hal-hal yang
bersifat hâdits atau baru. Lafaz-lafaz al-Qur’ân tidaklah menunjuk
kan kalam Tuhan yang qadim dan azali itu, atau kalam Tuhan bisa
dipahami dari lafaz-lafaz al-Qur’ân, melainkan makna lafaz-lafaz al-
Qur’ân itu, serupa dan sama dengan makna kalam Allah SWT yang
dalam arti sifat yang qadim .64
Sebagai contoh, Syekh Nawawi menjelaskan, jika mendengar
ayat al-Qur’ân seperti ( ‫) وال قربـوا الـَْن‬, maka dapat dimengerti
sebuah makna tentang larangan (nahy) terhadap mendekati
perbuatan zina dari ayat tersebut. Mafhum (sesuatu yang dipahami)
atau yang terkandung di dalam ayat tersebut adalah sama dengan
pengertian atau makna kalam nafsî, atau kalam Tuhan yang dalam
arti sifat yang qadim.65
ٰ‫ـت منـه النهــى عــ‬
َ ‫ فه ـ‬، ‫ـت مــثالم قولـه عــاىل ( وال قربـوا الـَْن‬
َ ‫إذا ءع‬
66
.‫ ف دلول الكالم اللف ي هو مدلول الكالم النفسي‬،‫قرون الَْن‬
Meskipun demikian, tidak patut menyebut al-Qur’ân itu
makhluk atau hâdits, kecuali di tempat-tempat ta’lîm (maqâm al-
ta’lîm) atau pengajaran saja. Jadi tetap harus mengatakan al-Qur’ân
adalah kalam Tuhan yang qadim dan bukan makhluk, karena

64
Syekh Nawawi al-Bantani, Fath al-Majîd Fi Syarh al-Durr al-Farîd Fi ‘Ilm
al-Tauhîd, h. 33.
65
Syekh Nawawi al-Bantani, Al-Tsimâr al-Yâni’ah ‘alâ Hill Alfâz al-Riyâd
al-Badî’ah, h. 9.
66
Dalam doktrin Mâturîdiyyah, yang dimkasud dengan kalam nafsi adalah
yang hakikatnya tidak dapat diketahui oleh manusia dan juga bagaimana Allah
bersifat dengannya tidak dapat dijelaskan, adalah merupakan sifat Tuhan yang
qadim. Menurut Mâturîdî kalam Allah sebagai makna yang inheren pada zat-Nya,
sebagai salah satu sifat yang menyatu dengan zat-Nya, tidak tersusun dari huruf
dan kalimat, adalah qadim dan kekal bersam dengan kekalnya zat Tuhan. (Lihat
Muniron, Ilmu Kalam, Sejarah Metode, Ajaran, dan Analisis Perbandingan,
Yogyakarta : STAI JEMBER Press, 2015, h. 187).

178 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


‫‪kesamaan substansi lafaz-lafaz al-Qur’ân dengan kalam Tuhan yang‬‬
‫‪qadim dan suci itu.67‬‬
‫‪Apa yang dikatakan oleh Nawawi, sejalan dengan apa yang‬‬
‫‪dikemukakan oleh Al-Ghazâlî tentang konsep kalam Tuhan, ia‬‬
‫‪mengatakan :‬‬
‫وأن ــه م ــتكلم آم ــر ٍ‬
‫َنه‪ ،‬واع ــد متوع ــد بك ــالم أزيل ق ــدي بْا ــه‪ ،‬ال يش ــبه‬
‫كالمه كالم اخلل ‪ ،‬فلي بصوت دث مٰ إنسالل هواء واصـطكاو‬
‫أج ـرام‪ ،‬وال ح ــرف ينقط ـ إبطب ــاق شــفة أو ٱري ــك لس ــان‪ ،‬وأن الق ـرأن‬
‫القلــب‪ ،‬وأنــه مـ‬ ‫مقــروء وأللســنة‪ ،‬ومكتــوب املصــاحى‪ ،‬حمفــو‬
‫ذلك قدي قا‪،‬م بْات للا عاىل‪.‬‬
‫‪“Sesungguhnya Allah yang berfirman, yang memerintah, yang‬‬
‫‪melarang, yang menjanjikan, dan yang mengancam dengan‬‬
‫‪kalam yang azali dan qadim pada zat-Nya. Kalam Allah tidak‬‬
‫‪serupa dengan kalam makhluk. Maka kalam Allah tidak‬‬
‫‪bersuara, yang terjadi dari tempat kelurnya udara, dan dari‬‬
‫‪berbenturannya jirm-jirm. Tidak juga berhuruf yang bisa‬‬
‫‪terhenti dengan tertutupnya mulut dan bergeraknya lisan,‬‬
‫‪sesungguhnya al-Qur’ân itu yang dapat dibaca dengan lisan,‬‬

‫‪67‬‬
‫‪Syekh Nawawi mengatakan demikian :‬‬
‫وكالمه عاىل القا‪،‬م بْا ه لي حبرف وال صوت‪ ،‬منْه عٰ التقدم والتأخر‪ ،‬وعٰ اإلعراب‬
‫والبنا‪ .‬وكالمه عاىل قدي ولي املراد ولكالم الْ هو صفة له عاىل قا‪ ،‬ة بْا ه األلفا‬
‫الشريفة اليت أنْلت على سيدَن حم د صلى للا وعليه وسلم الىت هو القرآن ألنه حادث‪،‬‬
‫والصفة القا‪ ،‬ة بْا ه عاىل قداة وهْا مشت على قدم وأتخر‪ ،‬والصفة القداة بْا ه عاىل‬
‫منْهة عٰ مجي ذلك وليست هْه األلفا الشريفة دالة على الصفة القداة القا‪ ،‬ة بْا ه عاىل‬
‫أر ليست الصفة القداة القا‪ ،‬ة بْا ه عاىل فهم مٰ لك األلفا الشريفة‪ ،‬وإمنا لك وإمنا‬
‫لك األلفا مها مع ى والصفة القداة دل على مع ى‪ ،‬ومع ى لك األلفا مساو ملع ى الصفة‬
‫القداة القا‪ ،‬ة بْا ه عاىل‪.‬‬

‫‪Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani‬‬ ‫‪179‬‬


yang tertulis pada mushaf-mushaf, dan terjaga di dalam hati,
bersamaan dengan itu, al-Qur’ân adalah sifat yang qadim
yang ada pada zat Allah”.68

Yang harus digaris bawahi dari penjelasan Al-Ghazâlî adalah,


ia menganggap bahwa kalam Tuhan yang dalam arti sifat qadim,
adalah yang tidak bersuara dan berhurup sebagaimana al-Qur’ân
yang sekarang, dan al-Qur’ân dengan kalam qadim itu dua hal yang
berbeda. Pendapatnya tentang al-Qur’ân mengarah kepada sesuatu
yang diciptakan dan baru, sama dengan apa yang dipahami Nawawi
sebelumnya.
Baik Al-Ghazâlî maupun Nawawi, menurut keduanya perlu
dibedakan antara klaim kalam Tuhan yang dalam arti sifat (qadim),
dengan klaim kalam Tuhan yang dalam arti al-Qur’ân yang tersusun
dari beberapa lafaz-lafaz dan huruf itu yang ada saat ini. Kalam
Tuhan yang dalam arti sifat tidaklah baru (hâdits) melainkan qadim,
juga bukanlah makhluk (ghair makhlûq) karena tidak diciptakan.
Sedangkan al-Qur’ân yang disebutnya merupakan alih bahasa
(‘ibârah) dari sifat Tuhan itu, adalah bersifat hâdits (baru) dan
diciptakan (makhluk), dalam pengetian ini , ia sepakat dengan
paham Mu’tazilah yang mengatakan, bahwa al-Qur’ân adalah
makhluk.69

68
Abû Hâmid al-Ghazâlî, Kitâb al-Arba’în Fî Usûl al-Dîn, (Jakarta : Dar al-
Kutub al-Islâmiyyah, 2014), h. 16.
69
Dalam keterangan lain, bahwa firman Tuhan perlu dibedakan dalam dua
hal : pertama firman Tuhan yang abstrak tidak terbentuk (kalam nafsi) bersifat
qadim atau azali, kedua firman Tuhan dalam arti kitab suci yang diturunkan kepada
para Rasul (kalam lafzi), yang dalam bentuk huruf atau kata-kata yang dapat
diucapkan dengan suara, maka firman Tuhan dalam pengertian kedua ini adalah
baru (hâdits) juga makhluk. Dan kedudukan al-Qur’ân sebagai kalâm Allâh juga
dipahami dengan dua macam pengertian tersebut. Yakni al-Qur’ân sebagai kalam
nafsi, adalah qadim dan makhluk. Tapi al-Qur’an sebagai kalam lafzi, yang sudah
dibahasa Arab-kan, tersusun dari huruf dan kata-kata, yang ditilawahkan dengan
suara, dan dicetak berupa mushaf, adalah makhluk dan barang yang baru bukan

180 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Karena al-Qur’ân yang ada pada saat ini adalah lafaz-lafaz
yang tersusun dari huruf-huruf, i’rab dan bina kalimat, juga
bersuara, dan hal ini bukanlah kalam Tuhan yang sesungguhnya.
Nampaknya agak sulit jika dari kesimpulan umum di atas, Nawawi
tetap mengatakan al-Qur’ân adalah qadim dan tidak diciptakan,
akan tetapi secara definitif ia mengatakan, al-Qur’ân itu adalah
hâdits (baru). Pehamanan tentang al-Qur’ân tidak boleh disebut
makhluk, nampaknya ingin menghindari suatu hal yang ada pada
Tuhan dari sifat-sifat hâdits, karena jika sesuatu yang hâdits (baru)
itu dinisbatkan kepada zat Tuhan (sifat-Nya), maka Tuhan akan
hâdits juga dan tidak bersifat qadim lagi. Seperti yang dikatakan
Nawawi :
‫وك ما الزم احلادث فهو حادث‬
“Setiap sesuatu yang lazim kepada yang hâdits, maka dia pun
hâdits”70

Oleh karenanya, menurut Nawawi, tetap tidak boleh


menyebut al-Qur’ân sebagai makhluk, karena hal itu bisa
mendatangkan hâdits pada sifat Tuhan yang qadim. Nawawi
menjelaskan, jika ada yang bertanya tentang status al-Qur’ân, maka
jawablah, bahwa al-Qur’ân itu qadim karena qadimnya zat Tuhan,
karena al-Qur’ân (dalam arti kalam Allah) adalah salah satu dari
sifat-sifat Tuhan yang wajib bagi-Nya.
‫ هــو قــدي‬: ‫ ه ـ هــو قــدي أو حــادث ع فق ـ‬،‫ـئلت عــٰ القــرآن‬
َ ‫وإن سـ‬
71
.‫ ألنه مٰ مجلة صفاهتا الواجبة مها‬،‫بقدم الْات‬

qadim. (Lihat M. Tholhah Hasan , Ahlussunnah wal-Jama’ah Dalam Perepsi dan


Tradisi NU, Jakarta : Lantabora Press, 2003, h. 36-37).
70
Syekh Nawawi, Syarh Fath al-Majîd, h. 8.
71
Syekh Nawawi al-Bantani, Qatr al-Ghaits Fî Syarh Masâ’il Abî Laits,
(Jakarta : Dar al-Kutub al-Islâmiyyah, 2011), h. 10.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 181


Dikarenakan juga apa yang tersirat di dalam al-Qur’ân, sama
dengan apa yang terkandung dalam kalam Tuhan yang qadim itu
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Demikianlah pengertian
kalam Tuhan menurut Syekh Nawawi al-Bantani yang dipahami
dari beberapa karya-karyanya. “Wallâh A’lam”

4. Catatan Tentang Ilâhiyyah


Dari masalah-masalah yang telah diuraikan di atas, ada
beberapa catatan penting dalam memahami corak pemikiran kalam
Syekh Nawawi al-Bantani tentang masalah ilâhiyyah sebagai
berikut :
- Dalam memahami keeasan Tuhan, Syekh Nawawi
menggunakan teori atomistik (jauhar, jirm, ‘arad) yang
dikembangkan Asy’ariyyah, juga menggunakan argumen
rasioanal (burhân), tawârud dan tamânu’.
- Kuasa dan kehendak mutlak Tuhan yang tidak terbatas dan
juga merupakan sifat Tuhan, dengan memaparkan kaitan-
kaitan kuasa-Nya dengan makhluk, dan membedakan antara
irâdah, dan amr dalam kehendak Tuhan. Baik buruk
diciptakan Tuhan.
- Kalam Tuhan adalah sifat yang azali dan qadim. Tidak
berhuruf dan bersuara. Al-Qur’ân yang tersusun dari beberapa
huruf itu hâdits, berbada dengan kalam Tuhan yang qadim
dalam arti sifat-Nya.

Dari catatan tersebut bisa disimpulkan, bahwa corak


pemikiran kalam Nawawi dalam masalah ilâhiyyah, tentang tema-
tema yang terkait, adalah bercorak kalam klasik yang berpaham
Asy’ariyyah dalam masalah wahdâniyyah, dan kuasa dan kehendak
Tuhan. Sedangkan dalam masalah kalam Tuhan, Nawawi
memadukan paham Asy’ariyyah (kalam dalam arti sifat qadim)
dengan teori Mâturîdiyyah tentang kalam nafsî.

182 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


B. Nubuwwah (Kenabian)
Kata nubuwwah berasal dari akar kata al-naba’ yang berarti
al-khabar, yakni berita. Kata ini memiliki arti yang erat dengan kata
nabi, sebagai seseorang manusia biasa seperti halnya manusia
lainnya, tetapi mereka diberikan wahyu sehingga statusnya berubah
menjadi seorang nabi.72 Masalah-masalah yang dibahas oleh Syekh
Nawawi tentang kenabian banyak sekali. Tetapi di sini penulis
hanya akan membahas beberapa saja tentang nubuwwah (kenabian)
menurut pandangan Syekh Nawawi, seperti pengertian Nabi dan
Rasul serta kedudukannya, konsep mukjizat dan syafa’at, dan ‘ismat
al-anbiyâ (terjaganya para nabi). Tiga tema ini penulis angkat
karena keterangan lengkap tidak ditemukan dalam karya-karyanya,
hanya dijelaskan secara singkat saja, dan juga yang mengkaji soal
kenabian dengan tiga tema tersebut. Penjelasan yang dijelaskan
Syekh Nawawi pun tentang hal itu relatif banyak meskipun
dijelaskan secara terpisah dari beberapa karyanya.
1. Dirkursus Nabi dan Rasul
Sebetulnya kajian tentang kenabian tidak hanya dibahas
dalam kalam saja, dalam filsafat Islam pun kenabian dikaji oleh
beberapa filosof Muslim seperti Al-Fârâbî misalnya. Al-Fârâbî
menyatakan, bahwa ciri khas seorang Nabi adalah mempunyai daya
imajinasi yang kuat, di mana obyek inderawi dari luar tidak dapat
mempengaruhinya. Ketika ia berhubungan dengan ‘aql fa’âl (akal
aktif) ia menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk
wahyu. Wahyu adalah limpahan dari Tuhan melalui ‘aql fa’al (akal
ke 10) yang dalam penjelasan al-Farabi adalah jibril. Nabi dapat
berhubungan langsung dengan akal ke 10 (jibril) tanpa latihan,
karena Allah menganugerahinya akal yang mempunyai kekuatan

72
Syahrin dan Hasan, Ensiklopedi Akidah Islam, h. 455.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 183


suci (qudsiyah) dengan daya tangkap yang luar biasa yang diberi
nama hads73
Demikian itu pengertian Nabi menurut filosof Muslim. Lain
halnya pengertian Nabi dan Rasul dalam pandangan para teolog atau
mutakallimin. Menurut Syekh Nawawi sebagai salah satu dari
ulama penganut paham Asy’ariyyah menjelaskan, bahwa antara
Nabi dan Rasul mempunyai perbedaan baik secara etimologis
ataupun terminologis. Dalam al-Qur’ân ada beberapa ayat yang
menjelaskan perbedaan tersebut, antara lain :

َ ِ‫اَت النَّبِي‬
‫ني َوَكـا َن‬ ََ ‫اَ َو َخ‬ َ ‫َح ٍد ِم ْٰ ِر َجالِ ُك ْم َولَ ِك ْٰ َر ُس‬
َِّ ‫ول‬
َ ‫َما َكا َن ُحمَ َّ د أ ََو أ‬
[40/‫علِي ا ]األحْاب‬ ٍ ِ َّ
‫اَُ ب ُك ِ َش ْيء َ م‬
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-
laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup
nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu”.74

Dalam menafsirkan ayat di atas, Syekh Nawawi mengatakan:


‫فـ ـ ن رس ــول للا ك ــاألب لألم ــة الش ــفقة م ــٰ جانب ــه و التع ــيم‬
75
.‫ ف ن النل أوىل وملؤمنني مٰ أنفسهم‬،‫ ب أقور‬،‫طرفهم‬
Dalam tafsiran tersebut, Syekh Nawawi menganalogikan
seorang Rasul ibarat seperti seorang ayah bagi umatnya yang
mengayomi, mendidik dan mengasihi mereka dengan kasih saying
dan kepedualian, bahkan menuntun mereka dalam segala hal.
Sedangkan seorang Nabi adalah ibarat orang mukmin yang paling
utama dari orang-orang yang beriman, dari sisi keimanannya. Dari
sini terlihat perbedaan antara seorang Rasul dan Nabi. Dan tugas

73
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama,
2013), h. 43-44.
74
Al-Qurân Surat Al-Ahzâb, ayat, 40.
75
Lihat Syekh Nawawi, Tafsir Marâh Labîd, Jil ke-2, h. 256.

184 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


seorang Rasul lebih berat ketimbang seorang Nabi, karena Rasul
tidak hanya mendakwahkan apa yang datang dari Allah, akan tetapi
membimbing dan mengayomi serta mendidik umat dengan penuh
kasih sayang, sedangkan Nabi tidak demikian, mereka hanya
diibaratkan paling utamanya orang yang beriman di sisi Allah.
Selanjutnya lafaz Nabi dalam bahasa arab menurut Syekh
Nawawi al-Bantani, dengan dibaca tasydîd huruf (yâ) diambil dari
kata al-Nubuwah yaitu tempat atau kedudukan yang tinggi. Karena
Nabi adalah seseorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi di
mata pengikutnya. Atau lafaz Nabi dengan menggunakan hamzah
tidak dengan huruf (yâ) diambil dari kata al-nabâ yaitu berita atau
kabar. Oleh karenanya Nabi adalah seseorang mukhbir atau
pembawa kabar (wahyu) dari Allah SWT. 76 Syekh Nawawi
mengatakan :
‫النــل بتشــديد اليــاء مــٰ النبــوة وهــو املكــان املر ف ـ ءــي النــل بــه ألنــه‬
‫ أو ومه ــْ مــٰ النبــأ بتحريــك البــاء‬،‫مرفــوع الر بــة أو راف ـ ر بــة مــٰ بعــه‬
.‫ ألنه خرب أو خرب مٰ للا عاىل‬،‫وهو اخلرب‬
Pengertian itu adalah secara etilomologis, sedangkan
pengertian Nabi menurut terminologi syara’ adalah seorang
manusia yang diberikan wahyu oleh Tuhan berupa syari’at dan
mengamalkannya, meskipun tidak diperintahkan untuk
mendakwahkan syari’at itu kepada umatnya. Dalam pengertian ini
Nabi tidak ditekankan untuk berdakwah kepada umat terhadap apa
yang diterima dari Tuhan berupa syari’at, akan tetapi syari’at itu
khusus diamalkan untuk dirinya sendiri. Nabi diperintah
menyampaikan kepada manusia tentang status kenabiannya agar

76
Syekh Nawawi al-Bantani, Nur al-Zalâm, Syarh ‘Alâ Manzûmah ‘Aqîdah
al-‘Awâm, h. 12.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 185


mereka menghormati kenabiannya yang merupakan pilihan dari
Tuhan.77
Selanjutnya pengertian Rasul menurut Syekh Nawawi secara
etimologis ialah lafadz yang diambil dari akar kata ( ‫ يرسـ‬- ‫)أرسـ‬,
yang artinya adalah mengutus atau utusan. Kemudian dibentuk
kedalam wazan (‫ )فعـول‬yang artinya adalah utusan Tuhan atau
seseorang yang diutus Tuhan kepada umat. Menurut terminologi
syara’, adalah seseorang laki-laki yang merdeka bukan dari hamba
sahaya yang mempunyai kesempurnaan akal melebihi orang-orang
di masanya, serta kecerdasan dan kekuatan penalaran yang tinggi,
yang ma’sum (terjaga dari perbuatan dosa), yang diberikan wahyu
oleh Tuhan berupa syari’at dan diperintahkan untuk mengamalkan
serta menyampaikannya kepada umat.
Definisi terminologi ini lebih spesifik dibandingkan definisi
Nabi di atas. Tetapi di beberapa kitab-kitab Syekh Nawawi kita
akan menjumpai definisi yang sama tentang Nabi dan Rasul dari
istilah syara’ hanya saja perbedaannya adalah tidak diwajibkan
tabligh (penyampaikan wahyu) kepada umat bagi Rasul, sedangkan
Nabi tidak demikian. Nabi lebih bersifat universal dibandingkan
Rasul, risalah kerasulan lebih utama dari kenabian (al-risâlah afdal
min al-nubuwwah)78, karena risalah kerasulan itu bisa berbuah
hidayah atau pentunjuk bagi umat seperti ma’rifat kepada Tuhan
dan syari’at-Nya. Sedangakan kenabian atau nubuwwah hanya
berorientasi pada diri Nabi saja secara pribadi seperti ibadah.
Jadi menurut Syekh Nawawi, kedudukan Rasul lebih tinggi
dibandingkan kedududukan Nabi, karena Rasul diperintah Tuhan
langsung untuk menyampaikan wahyu berupa syari’at kepada umat,

77
Syekh Nawawi al-Bantani, Qût al-Habîb al-Gharîb Tausyîh ‘alâ Ibn
Qâsim, (Jakarta : Dar al-Kutub al-Islâmiyyah, 2002), h. 14.
78
Syekh Nawawi al-Bantani, Qût Al-Habîb Al-Mujîb, Tausyîh ‘Alâ Ibn
Qâsim Al-Gazzî, h. 14.

186 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


tidak hanya sekedar itu, tapi juga membimbing mereka dan
mengarahkan kepada jalan yang benar menurut Allah sampai mereka
mendapatkan hidayah Tuhan dan menjalankan perintah-perintah
Tuhan serta menjauhi larangan-laranagan-Nya. Sedangkan para
Nabi tidak ditekankan untuk berdakwah menyampaikan wahyu
kepada umat, melainkan syari’at yang ia terima diamalkan sendiri
secara pribadi dalam bentuk ibadah, akan tetapi Nabi harus
menyampaikan status kenabiannya kepada umat sebagai manusia
pilihan Tuhan.79 Ia mengatakan :
‫خاصــة‬ ‫هــو إنســان أوحــي إليــه بشــرٍع وإن يــؤمر بتبلي ــه ب ـ يع ـ‬
.‫نفسه ويبلغ للنا أنه نل فقط ليح م‬
Dalam masalah lain, apakah Tuhan wajib mengutus para Nabi
dan Rasul atau tidak? Dalam hal ini Nawawi mengatakan :
ٰ‫ فيجــب إعتقــاد أن مــ‬،‫ْ حقــه عــاىل‬،‫كــون إرســال الرس ـ مــٰ اجلــا‬
‫ْ حقــه عــاىل إرســال الرسـ مــٰ آدم إىل حم ــد صــلى للا وســلم‬،‫اجلــا‬
.‫عليهم أمجعني‬
“Pengutusan para Rasul adalah sebagian dari hal yang jâ’iz
(boleh) pada hak Allah. Maka wajib hukumnya meyakini
bahwa dari sesuatu yang jâ’iz pada hak Allah adalah
pengutusan para Rasul dari Nabi Adam sampai Muhammad
SAW”.

Dari pernyataan Nawawi di atas, bahwa masalah mengutus


para Nabi dan Rasul bukanlah sesuatu yang wajib dilakukan bagi
Tuhan, melainkan sesuatu yang boleh saja dilakukan atau tidak.
Tidak seperti apa yang dikatakan oleh Mu’tazilah, bahwa Tuhan
wajib mengutus seorang Rasul, karena dengan seperti itu Tuhan

79
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Nûr al-Zalâm, ‘alâ Aqîdat al-‘Awâm, h.
12.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 187


telah berbuat baik kepada manusia. Bagi Nawawi, soal ini
dikembalikan kepada hak otoritas Tuhan dalam melakukan segala
sesuatu sesuai kehendak-Nya. Tidak ada sesuatu apapun yang wajib
bagi Tuhan, dan juga tidak ada yang m ustahil bagi-Nya. Bukan
berarti jika Tuhan tidak mengutus seorang Rasul kepada umat,
artinya Tuhan tidak berbuat baik, justru Tuhan lebih mengetahui
apapun yang Dia kerjakan sesuai dengan ilmu-Nya yang luas.
Pendapat Nawawi senada dengan apa yang dikatakan oleh Al-
Asy’arî yang dikumpulkan oleh Ibn Fûrak80 dengan sebuah maqâlât,
bahwa pengutusan Rasul bukan lah suatu kewajiban bagi Tuhan
menurut akal. Masalah pengutusan Rasul dikembalikan kepada
kehendak Tuhan yang mutlak. Tidak berarti, ketika Tuhan tidak
mengutus seorang Rasul, berarti Tuhan tidak mengetahui manfaat
atau maslahatnya bagi manusia, melainkan Tuhan lebih mengetahui
semua itu dengan ilmu-Nya. Jika diutusnya Rasul kepada suatu
kamu, itu adalah anugerah dari Tuhan, jika tidak, bukan berarti
Tuhan telah berbuat jahat kepada mereka. 81
Meyakini adanya para Nabi dan Rasul adalah salah satu diri
pondasi Islam. Oleh karenanya ketaatan kepada Nabi dan Rasul
merupakan bentuk dari ketaatan kepada Tuhan juga. Nawawi tidak
hanya menjelaskan tentang wajib secara hukum syari’at meyakini
status jâ’iz (boleh) dalam masalah pengutusan Nabi dan Rasul
kepada manusia, melainkan secara tidak langsung meyakini apa
yang diustus oleh Tuhan merupakan hal lebih dahulu untuk diyakini.
Mengenai bilangan dan jumlah para Nabi dan Rasul, Syekh Nawawi
menerangkan, apabila ditanyakan tentang bilangan mereka (Nabi

80
Ibn Fûrak (wafat 406), adalah seorang ahli sastra, mutakallim, ahli usûl,
dan ahli dalam bidang nahwu. Ia menetap di Irak dan belajar mazhab Asy’arî di
sana. (Lihat Abû Zakariyyâ Muhyî al-Dîn bin Syaraf al-Nawawî, Tabaqât al-Fuqâhâ
al-Syâfi’iyyah, Mesir Maktabah al-Tsaqâfiyyah al-Dîniyyah, 2009), h. 41.
81
Muhammad bin al-Hasan bin Fûrak, Maqâlât al-Syeikh Abî al-Hasan al-
Asy’arî, (Mesir : Maktabah al-Tsaqâfiyyah al-Dîniyyah, 2006), h. 180-181.

188 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


dan Rasul), maka jawablah bahwa jumlah Nabi adalah 124.000
Nabi. Sedangkan jumlah para Rasul adalah 313 Rasul.
Syekh Nawawi merujuk kepada suatu riwayat hadits dari Abî
Dzar ra, bahwa Rasûl Allâh pernah ditanya tentang jumlah para
Nabi, dan Rasul menjawab: “ Jumlah para Nabi itu adalah seratus
duapuluh empat ribu Nabi”, lalu berapakan jumlah Rasul di antara
mereka? Rasul menjawab : “Tiga ratus dua belas”. Riwayat lain
menyatakan tiga ratus tiga belas. 82 Akan tetapi dalam hal ini
menurut Nawawi, bukanlah hal yang pokok dalam agama, karena
mengetahui jumlah para Nabi dan Rasul tidaklah wajib hukumnya,
kecuali yang disebutkan dalam al-Qur’ân, bagi seorang Muslim
wajib mengimani dan mengetahuinya secara rinci, karena
keterangan tentang mereka diterangkan oleh al-Qur’ân.83 “Wallâh
A’lam”

2. Konsep Mukjizat dan Syafa’at


Mukjizat sangat identik dengan Nabi dan Rasul, karena dari
ebebrapa keterangan mereka para Nabi dan Rasul dibekali mukjizat
oleh Tuhan untuk meyakinkan umatnya terhadap kenabian dan
kerasulan mereka. Oleh karekanya kata mukjizat sering disebutkan
untuk menyebutkan sesuatu yang luar biasa yang ada pada diri Nabi
dan Rasul. Mukjizat, atau mukjizat (Arab ‫معجـْة‬, Baca Mu’jizah)
adalah perkara yang di luar kebiasaan (khâriq li al-‘âdah), yang
dilakukan oleh Allah melalui para Nabi dan Rasul-Nya, untuk
membuktikan kebenaran kenabian dan keabsahan risalahnya.
Mukjizat merupakan kejadian/kelebihan di luar akal manusia yang
tidak dimiliki oleh siapapun, karena mukjizat hanya dimilki oleh
para Rasul yang diberikan oleh Allah SWT kepada para Rasul-Nya.

82
Abû ‘Îsâ al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, (Beirut : Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2014), h. 825.
83
Syekh Nawawi al-Bantani, Qatr al-Ghaits, h. 20.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 189


Sedangkan apabila ada seseorang yang memilki sesuatu yang luar
bisa itu tidak bisa dikatakan sebagai mukjizat melainkan karomah. 84
Mukjizat biasanya berisi tentang tantangan terhadap apa-apa
yang sedang menjadi trend pada zaman diturunkannya mukjizat
tersebut. Sebagai contoh, pada zaman Nabi Mûsâ, trend yang sedang
terjadi adalah ilmu sihir maka dengan mukjizat tongkat Nabi Musa
bisa berubah menjadi ular dan mengalahkan ilmu sihir orang lain
yang ada di sekitarnya. Juga pada zaman Nabi Îsâ, trend yang
sedang berkembang adalah ilmu kedokteran dan pengobatan, maka
pada saat itu mukjizat yang diberikan kepada Nabi Îsâ adalah bisa
menghidupkan orang yang sudah meninggal yang merupakan puncak
dari ilmu pengobatan.85
Demikian juga pada zaman Nabi Muhammad, trend yang
sedang berkembang adalah ilmu sastra. Maka disaat itulah
diturunkan al-Qur’ân sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW.
Nabi yang pada saat itu tidak bisa membaca dan menulis tapi bisa
menunjukkan al-Qur’ân yang memiliki nilai sastra tinggi (al-nabiyy
al-ummî), tidak hanya dari cara pemilihan kata-kata tapi juga
kedalaman makna yang terkandung di dalamnya sehingga al-Qur’ân
dapat terus digunakan sebagai rujukan hukum yang tertinggi sejak
zaman Nabi sampai nanti di akhir zaman.
Mukjizat secara terminologi berasal dari kata al-i’jâz dari
‘ajaza yang artinya melemahkan atau mengalahkan. Menurut Imam
al-Suyuthi dalam kitab al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân adalah kejadian
yang melampaui batas kebiasaan, didahului tantangan, tanpa ada
tandingan.86 Menurut Ibn Khaldûn, adalah perbuatan-perbuatan
yang tidak mampu ditiru manusia. Maka ia dinamakan mukjizat,

84
Syekh Nawawi, Syarh Sullam al-Taufîq, (Indonseia : al-Haramain, t.t.), h.
6
85
Syahrin Harahap dan Hasan Bakri, Ensiklopedi Akidah Islam, h. 412.
86
Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, Al-Itqân Fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut : Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah,2015), h. 472.

190 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


tidak masuk kategori yang mampu dilakukan hamba, dan berada di
luar standar kemampuan mereka. Mukjizat ada yang bersifat
material (mampu ditangkap pancaindera), khususnya indera
penglihatan, jenis mukjizat ini diturunkan sebelum zaman Rasûl
Allâh.87
Ada juga mukjizat yang bersifat rasional, yaitu mukjizat yang
direspon oleh nalar. Kata mukjizat diambil dari bahasa Arab a’jaza-
i’jâz yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu.
Pelakunya (yang melemahkan) dinamakan mu’jiz dan pihak yang
mampu melemahkan pihak lain sehingga mampu membungkamkan
lawan, dinamakan mukjizat. Tambahan ta’ marbûtah pada akhir
kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).
Mukjizat didefenisikan oleh para sebagian ulama, antara lain,
sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui
seorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang
ditantangkan kepada orang-orang yang ragu, untuk melalukan atau
mendatangkan hal serupa, tetapi mereka tidak mampu melayani
tantangan itu. Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat di definisikan
pula sebagai sesuatu luar biasa yang diperlihatkan Allah melalui
para Nabi dan Rasulnya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan
kenabian dan kerasulannya. Mannâ’ Al-Qattân mendifinisikannya
sebagai berikut : “Suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan,
disertai dengan unsur tantangan, dan tidak akan ditandingi.” 88
Sedangkan mukjizat menurut Syekh Nawawi al-Bantani
adalah sesuatu yang bersifat khâriq li al-‘âdah (di luar kebiasaan
manusia biasa) yang dimiliki oleh para Nabi dan Rasul, yang
diberikan oleh Allah dengan tujuan untuk mampu meyakinkan umat

87
Ibn Khaldun, Terjemah Muqaddimah Ibn Khaldun , (Jakarta : Pustaka
Firdaus, 2000), h, 530.
88
Mannâ’ al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, ( Riyâd : Dar al-Rasyîd,
t.t), h. 29.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 191


tentang status kenabian dan kerasulan. Sebagaimana dalam firman
Allah :
ِ َ‫َلْبـُ ِر وَلْ ِك وت‬ ِ ِ
‫ـب‬ ِ ِ ِ َ ‫ب ُر ُس ِمٰ قَـْبل‬
َ ُّ ‫ـك َجـآءُو بْلْبَـي ونَـت َو‬ َ ُ‫فَِن َك َّْب‬
َ ْ‫وو فَـ َق ْد ُك‬
‫َلْ ُ نِ ِف‬
“Jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya rasul-
rasul sebelum kamupun telah didustakan (pula), mereka
membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan kitab
yang memberi penjelasan yang sempurna.”89

Kata bi al-bayyinât dimaknakan oleh Syekh Nawawi dengan


makna al-mu’jizât. :
90
.‫( فقد كْب رس مٰ قبلك جاءو ولبينات أ املعجْات‬
Dengan demikian, mukjizat adalah sesuatu yang datang dari
seorang Nabi dan Rasul untuk membuktikan tanda-tanda kenabian
dan kerasulan mereka. Mukjizat tidak dimilki oleh selain Nabi dan
Rasul, jika ada sesuatu yang luar biasa terjadi bukan dari Nabi dan
Rasul, maka tidak disebut sebagai Mukjizat, melainkan dengan
sebutan lain, seperti ilham, karomah, dan ma’unah . Artinya
mukjizat adalah pemberian khusus dari Allah kepada para Nabi dan
Rasul untuk membuktikan dan membenarkan risalah Allah yang
disampaikan melalui Nabi dan Rasul-Nya. Syekh Nawawi
mengatakan :
‫املعجْة هـي أمـر خـارق للعـادة ي هـره للا عـاىل علـى يـد مـدعي النبـوة‬
91
.‫أو الرسالة عٰ ٱدر املنكـريٰ علـى وجـه يعجـْهم عـٰ اإل يـان مبثلـه‬
‫ ف نــه عــاىل جيــر عاد ــه مــٰ أول الــدنيا إىل‬،‫وأن للا أيــدهم وملعجـْات‬

89
Surat ‘Ali ‘Imrân, Ayat, 184.
90
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Tafsir Marâh Labîd, Jil ke-1, h. 171.
91
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Fath al-Majîd, h. 46.

192 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


ٰ‫اآلن بت كــني الك ــاذب م ــٰ املعج ـْات ب ـ أج ــرر عاد ــه بوقوعه ــا م ــ‬
.‫الصادق دون الكاذب‬
“ Mukjizat adalah sesuatu yang di luar kebiasaan (adat) yang
Allah tampakan pada tangannya seorang yang mengaku
sebagai nNabi dan Rasul ketika menghadapi orang-orang yang
inkar kepadanya, dengan cara yang mampu melemahkan
mereka. Dan Allah telah menguatkan dan mengokohkan para
Nabi dan Rasul-Nya dengan sebuah mukjizat-mukjizat.
Karena dari awal tercipatanya dunia, Allah memberlakukan
sunnah-Nya dengan memberikan mukjizat kepada seseorang
yang jujur dan benar (Nabi dan Rasul), tidak kepada seseorang
yang pendusta”. 92

Dari pernyataan Syekh Nawawi di atas bisa dipahami, bahwa


Allah memberikan Mukjizat hanya kepada seseorang yang mengaku
sebagai Nabi dan Rasul juga yang mempunyai sifat jujur dan benar,
oleh karenanya Allah memilih mereka yang benar-benar layak
diberikan mukjizat. Dengan kata lain, para Nabi dan Rasul adalah
manusia pilihan Tuhan yang dipilih karena mempunyai keluhuran
akhlak dan kejujuran yang tinggi sehingga umat yang diberikan
dakwah oleh mereka, mudah untuk menerima dakwah mereka
karena keluhuran akhlak dan kejujurannya.
Meskipun dalam perjalanan dakwah setiap Nabi dan Rasul
selalu ada orang-orang yang menentang dakwah mereka dan tidak
menerimanya, oleh karenanya, Tuhan memberikan mukjizat itu
untuk melemahkan hati yang keras dari para penentang ajakan
dakwah mereka, agar mengakui kenabian dan kerasulan mereka
serta mengikuti dakwah mereka. Selanjutnya mengenai konsep
Syafa’at yang mendasari Syekh Nawawi tentang adanya syafa’at
adalah salah satu firman Allah dalam al-Qur’ân :

92
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân al-Darârî, h. 20.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 193


‫اعةُ إَِّال َم ْٰ أ َِذ َن لَهُ الَّر ْمحَ ُٰ َوَر ِ َي لَهُ َ ْم‬
93‫قـوال‬ َّ ُ ‫يَـ ْوَمئِ ٍْ َال َـْنـ َف‬
َ ‫الش َف‬
“Pada hari tiu tidak berguna syafa'at kecuali(syafa'at) orang
yang Allah maha pemurah telah memberi izin kepadanya dan
dia telahmeridhai perkataanya”.

Dalam menafsirkan ayat di atas, Syekh Nawawi mengatakan


sebagai berikut:
‫ح ـ الفســاق‬ ‫ علــى ثبــوت الشــفاعة‬،‫وهــْه اآليــة مــٰ أقــور الــدال‬
.‫وهي َنفعة مهم‬
Menurutnya ayat di atas merupakan dalil yang plaing kuat di
dalam menunjukan adanya syafa’at bagi orang-orang fasik, dan
syafa’at itu akan bermanfaat untuk mereka di akhirat nanti. Dengan
demikian Syekh Nawawi mempercayai adanya syafa’at di akhirat
bagi orang-orang yang membutuhkannya dari Allah dan seseorang
yang di izinkan oleh Allah untuk bisa memberikan Syafa’at.
Selanjutnya dalam menjelaskan, tenatang pengertian Syafa’at,
Syekh Nawawi mengatakan sebagai berikut :
ٰ‫ وشــفاعة املــوىل عبــارة عــ‬،‫والشــفاعة هــي س ـؤال اخلــف مــٰ ال ــف لل ــف‬
‫عفــوه ف نــه عــاىل يشــف فــي ٰ قــال ال إلــه إال للا وأثبــت الرســالة للرسـ‬
.‫الْر أرسله إليه‬
“ Syafa’at adalah permintaan suatu kebaikan dari yang lain,
dan syafa’at Tuhan diibaratkan sebagai ampunan-Nya. Karena
Allah memberi syafa’at kepada orang yang mengucap kan “lâ
ilâha illa Allâh” dan menetapkan risalah para Rasul-Nya yang
telah diutus Allah”.94

93
Al-Qur’ân Surat Tâhâ, ayat 109.
94
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam al-Taufîq, h. 7.

194 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Menurut Syekh Nawawi al-Bantani, bagi seorang Muslim
wajib mengimani, bahwa Nabi Muhammad SAW, kelak nanti di
akhirat akan memberi syafa’at kepada umatnya. Bahkan tidak hanya
kepada umat Nabi Muhammad saja, melainkan kepada umat-umat
sebelumnya yang dikenal dengan Syafâ’at al-‘Uzmâ’. Akan tetapi
dari keterangan lain Syekh Nawawi menjelaskan, bahwa semua
Rasul mempunyai syafa’at (pertolongan) untuk umatnya masing-
masing, dengan berbagai macam bentuk syafa’atnya yang dijelaskan
cukup eksplisit. Imâm Haramain sebagai salah satu pemuka
Asy’ariyah menjelaskan, mazhab yang benar menyatakan :
.‫ وقد أنكرها منكرو ال فران‬، ‫ف ْهب أه احل أن الشفاعة ح‬
“Menurut mazhab yang benar, syafa’at adalah benar adanya.
Dan orang-orang yang mengingkarinya adalah yang
mengingkari ampunan”.

Sedangkan keterangan tentang ampunan-ampunan Allah di


akhirat kepada hambanya, banyak sekali dijelaskan di dalam al-
Qur’ân dan hadits.95Para Rasul Allah mempunyai syafa’at-syafa’at
yang nanti kelak akan diberikan kepada umat mereka masing-
masing atas izin Allah SWT. Bahkan Syekh Nawawi mengatakan
syafa’at-syafa’at mereka tidak terhitung adanya. Syafa’at terbesar
dari beberapa syafa’at tersebut adalah syafa’at yang mampu
melepaskan manusia nanti di akhirat dari rasa ketakutakan dan
kehawatiran yang luar biasa karena akan menghadapi hisab
(perhitungan amal) di hadapan Allah serta ketentuan terahir menuju
surga ataukah neraka. Syafa’at terbesar itu disebut sebagai syafa’at
al-‘Uzmâ’ sebagaimana tersebut di atas yang hanya dimiliki oleh
Nabi Muhammad SAW. Syafâ’at al-‘Uzmâ itu bersifat universal,

95
Imâm al-Haramain al-Juwainî, Al-Irsyâd Ilâ Qawâti’ al-Adillat Fî Usûl al-
I’tiqhâd, (Kairo : Maktabah al-Tsaqafiyyah al-Dîniyyah, 2015), h. 304.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 195


tidak hanya untuk Nabi saja, melainkan untuk umat-umat sebelum
Nabi Muhammad.96
Nabi Muhammad mempunyai beberapa syafa’at yang di
antaranya adalah; pertama,syafa’at al-‘uzmâ yang sudah disbutkan
di atas, kedua, syafa’at bagi orang layak masuk neraka, karena
syafa’at itu maka terbebas dari neraka, ketiga, syafa’at bagi
sekelompok manusia yang masuk surga tanpa hisab, keempat,
syafa’at bagi para penghuni surga berupa derajar yang tinggi,
kelima, syafa’at bagi paman Nabi Abû Tâlib agar diringankan
azabnya oleh Allah, keenam, syafa’at bagi siapa saja yang
bershalawat kepada Nabi, ketujuh, syafa’at bagi orang yang
kebaikan dan keburukannya seimbang, maka akan masuk surga
dengan syafa’at itu, kedelapan, syafa’at bagi umat Nabi Muhammad
yang ditakdirkan masuk surga lebih dulu sebelum umat-umat
sebelumnya, terakhir, syafa’at bagi para pelaku dosa-dosa besar dari
umat Nabi Muhammad.97Syekh Nawawi mengatakan:
‫ األوىل الشـفاعة الع ـى الفصـ القضـاء‬: ‫وله القيامـة شـفاعات‬
‫ الثالثـة‬،‫ الثانية في ٰ استح دخول النار فال يدخلها‬،‫بني أه املوقى‬
‫ الرابعـة مجاعـة يـدخلون اجلنـة ب ـف‬،‫في ٰ دخ النار فيخرجون منهـا‬
‫ السادس ـ ــة ف ـ ــي ٰ م ـ ــات‬،‫ اخلامسـ ــة رفـ ـ ـ درج ـ ــات اجلن ـ ــة‬،‫حسـ ــاب‬
ٰ ‫ الثامنة فـي‬،‫فيى العْاب عٰ ع ه أيب طالب‬ ‫ السابعة‬،‫وملدينة‬
‫ التاسـ ــعة فـ ــي ٰ اسـ ــتور حسـ ــنا ه‬،‫ص ــلى عليـ ــه ص ــلى للا عليـ ــه وسـ ــلم‬
‫وسيئا ه فيدخ اجلنة وأه األعراف يدخلون اجلنـة بشـفاعته صـلى للا‬

96
Syekh Nawawi al-Bantani, Qatr al-Ghaits FÎ Syarh Masâ’il Abî Laits, h.
25.
97
Syekh Nawawi al-Bantani, Bahjat al-Wasâ’il Bi Syarh Wasâ’il, (Indonesia
: Haramain, t.t.), h. 8.

196 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


‫ احلاديــة عشــرة‬،‫دخــول أمتــه اجلنــة قب ـ األمــم‬ ‫ العاشــرة‬،‫عليــه وســلم‬
.‫ر مٰ األمة‬،‫شفاعته صلى للا عليه وسلم أله الكبا‬
Dalam keterangan lain Syekh Nawawi menyebutkan macam-
macam syafa’at sebagai berikut; syafa’at bagi anak-anak kecil yang
kafir, agar mereka masuk ke dalam surga, syafa’at bagi orang yang
meninggal di Kota Madinah al-Munawwarah, syafa’at bagi orang
yang sabar semasa hidupnya dari ujian dan musibah, syafa’at bagi
orang yang berziarah ke makam Nabi Muhammad setelah beliau
wafat, syafa’at bagi orang yang selalu menjawab panggilan muadzin
dan berdoa dengan wasilah Nabi Muhammad, syafa’at bagi orang
yang bershalawat kepada Nabi pada malam jum’at dan harinya,
syafa’at bagi orang yang hafal 40 hadits Nabi dan mengamalkannya,
syafa’at bagi yang berpuasa sya’ban karena kecintaannya kepada
Nabi, syafa’at bagi yang memuji dan mencintai keluarga Nabi. 98
Yang bisa digaris bawahi dari penjelas di atas tentang konsep
mukjizat dan syafa’at, bahwa mukjizat adalah bukanlah sekedar
suatu pemberian dari Tuhan kepada para Nabi dan Rasul, akan
tetapi sesuatu yang sangat penting dalam membangun dasar pondasi
keyakinan seseorang terhadap kerasulan dan kenabian. Mengimani
kebenaran para Nabi dan Rasul adalah suatu keyakinan yang
mendasar, jika dalam diri seorang Muslim terbesit keraguan dengan
kerasulan para Rasul, dan kenabian para Nabi, maka konsekuensinya
menurut adalah murtad dalam akidah. 99 Untuk itulah mukjizat
punya posisi penting dalam membangun dasar pondasi iman dalam
diri seseorang dengan menyaksikan sesuatu yang di luar kebiasaan
manusia pada diri seorang Nabi dan Rasul.
Tentang Syafa’at, adalah ibarat sebuah ganjaran atau hadiah
yang diberikan oleh Tuhan, atau para Nabi dan Rasul-Nya.

98
Syekh Nawawi al-Bantani, Qatr al-Ghaits Fî Syarh Masâ’il Abî Laits , h.
25.
99
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam Taufîq, h. 9-10.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 197


Keyakinan tentang syafa’at berdasarkan al-Qur’an yang
menerangkan tentang hal itu. Syafa’at juga bisa digambarkan
sebagai bentuk kasih saying Tuhan, dan Rasul-Nya. Bagi siapa saja
yang dikehendaki oleh Tuhan mendapat ampunan, maka itu disebut
sebagai syafa’at, dan barang siapa yang dicintai oleh Rasul-Nya,
maka dia berhak mendapatkan syafa’at dari Rasul, khususnya Nabi
Muhammad SAW. Mengenai syafa’at khusus yang berbeda-beda
ditinjau dari aspek amal dan ibadahnya yanag dilakukan secara
konsisten. Karena sebaik-baiknya amal ialah yang dikerjakan
dengan konsisten meskipun sedikit. Demikianlah penjelasan Syekh
Nawawi tentang Syafa’at para Rasul, dan bagi seorang muslim
harus meyakininya dengan keimanan. Wallâh A’lam.

3. ‘Ismat al-Anbiyâ (Terjaganya para Nabi)


Hukum Allah yang diturunkan ke bumi atau yang disebut juga
dengan Syarâ’i’ al-samâwiyyah (Syariat-syariat yang turun dari
langit)100 untuk manusia menurut ulama terbagi menjadi dua bagian;
yaitu hukum yang berifat taklif dan hukum yang bersifat wad’i
(legitimasi atas hukum taklif).101Hukum taklif adalah seperti hukum
wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram, sedangkan hukum wad’i
adalah hukum yang melegitimasi atas hukum taklif itu, seperti sah,
batal, mâni’(hal yang mencegah), syarat, fasid, dan lainnya.
Semua hukum itu Allah berlakukan untuk manusia sebagai
subjek untuk menjalankan hukum-hukum Allah di bumi. Nabi dan
Rasul pun termasuk dibebankan Allah untuk menjalankan hukum-
hukum-Nya, terlebih mereka adalah panutan bagi umat-umat
mereka. Di dalam al-Qur’ân ada perintah yang bersifat universal

100
Sa’îd Ramadân al-Bûtî, Fiqh al-Sîrat al-Nabawiyyah, (Mesir : Dar al-
Salam, 2015), h. 103.
101
Abdul Hamid Hakim, al-Bayân Fî Usûl al-Fiqh, (Jakarta : Maktabah
Sa’adiyah Putra, t.t.), h. 7-8.

198 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


bagi semua manusia, tidak hanya yang beriman yang diperintah,
tetapi juga yang kafir, seperti lafaz ( ‫) آيأيها النا اعبدوا ربكم‬. Ayat itu
tidak hanya menyerukan kepada yang suatu golongan saja,
melainkan bersifat universal berlaku bagi semua. Ada perintah
Tuhan yang ditunjukan hanya kepada orang-orang yang beriman
saja seperti (‫آمنـوا‬
ٰ‫) آيأايهـا الـْي‬. Bahkan ada juga perintah atau seruan
yang hanya ditunjukan kepada para Nabi seperi lafaz ( ‫) آيأايهـا النـل‬
dan seterusnya. Oleh karenanya para ulama berbeda pendapat
tentang hukum yang berlaku kepada manusia, apakah berlaku untuk
semua, atau ada hukum khusus yang tidak berlaku untuk semua
manusia.102
Seperti kaidah ushul fiqh ( ‫الرسـول‬ ‫وألمـة ال يشـ‬ ‫اخلطاب اخلـا‬
‫صـلى للا عليــه وسـلم‬ ) “perintah Tuhan yang bersifat khusus untuk
umat, tidak mencakup rasul”. Dari penggalan idiom ushul fiqh
tersebut menyatakan bahwa ada hukum-hukum Tuhan yang bersifat
universal dan ada juga yang bersifat khusus bagi Rasul. Kemudian
bagaimanakah hukum taklif yang Allah berlakukan untuk para Nabi
dan Rasul-Nya? Menurut Syekh Nawawi, hukum taklif yang
mencakup wajib, sunnah, mubah, makruh,dan haram, semua itu
berlaku untuk umat manusia. Manusia diwajibkan melaksanakan
hukum Allah yang bersifat wajib, seperti shalat lima waktu,
berpuasa di bulan ramadhan, membayar zakat dan yang lainnya.103

102
Abdul Hamid Hakim, ‘Ilmu Usûl Fiqh, (Jakarta : Maktabah Sa’adiyyah
Putra, t.t.), h. 35.
103
Syekh Nawawi al-Bantani, Fath al-Majîd Fî Syarh al-Durr al-Farîd, h.
48-48.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 199


Juga ditekankan melaksanakan hukum yang bersifat sunnah
seperti shalat tahajud, duha, puasa senin kamis, dan seterusnya yang
merupakan sunnah Rasul. Juga tidak terlepas dari hal yang mubah
seperti makan minum, dan dan lainnya. Juga tidak terlepas dari yang
bersifat makruh, seperti makan dan minum berdiri, merokok dan
lainnya. Juga tidak terlepas dari hukum haram,seperti berjudi,
mencuri, membunuh dan lain-lain. Semua itu berlaku bagi manusia
akan tetapi tidak bagi Para Nabi dan Rasul. Para Rasul adalah
manusia yang ma’sûm “ hifz dzawâhirihim wa bawâthinihim min al-
talabbus bi manhi ‘anhu” (terjaga dari perbuatan yang dilarang
meskipun bersifat makrûh dan khilâf al-aula), karena mereka
merupakan uswah bagi umat-umatnya agar bisa dicontoh dan
diikuti. Pemahaman Syekh Nawawi tentang hal ini selarang dengan
pernyataan Imam Haramain, sebagai salah satu pemuka paham
Asy’ariyyah yang menyatakan bahwa para Nabi dan Rasul terjaga
dari perbuatan keji dan yang menghinakan, karena mereka adalah
manusia-manusia jujur yang Allah pilih sebagai contoh bagi umat. 104
Qâdî ‘Iyyâd al-Yahsibî (476-544 H), dalam bukunya Kitâb Al-
Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq Al-Mustafâ, mengatakan :
‫ معتص ـ ون إبختي ــارهم‬،‫ـ ـ نيل ــم معص ــومون م ــٰ قبـ ـ للا‬،‫واجل ه ــور قا‬
.‫وكسبهم‬
“Mayoritas ulama mengatakan, sesungguhnya para Nabi
ma’sûm (terjaga dari kesalahan) disisi Allah mereka terjaga
dengan ikhtiyar dan usahanya”. 105

Oleh karenanya Allah menjaga zahir batin mereka dari


perbuatan kesalahan dan durhaka. Pengertian ini menunjukan

104
Imâm al-Haramain al-Juwainî, Al-Irsyâd Ilâ Qawâti’ al-Adillat Fî Usûl
al-I’tiqhâd , h. 279-280.
105
Qâdî ‘Iyyâd bin Mûsâ al-Yahsibî, Al-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Mustafâ,
(Kairo : Al-Quds, 2010), h. 152).

200 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


bahwa, hukum makruh dan haram tidak berlaku bagi para Nabi dan
Rasul, melainkan hanya hukum wajib, sunnah, dan mubah saja.106
Jika para Nabi dan Rasul mengerjakan hal-hal yang bersifat mubah,
menurut Syekh Nawawi hal tersebut adalah suatu bentuk pernyataan
bahwa sesuatu itu dibolehkan oleh agama. Terlebih para Nabi dan
Rasul hanya melakukan hukum-hukum Allah yang wajib dan sunnah
saja. Peristiwa Nabi Khidir yang membunuh seorang anak kecil
yang diceritakan al-Qur’an ketika sedang bersama Nabi Musa,
adalah suatu bentuk pembelajaran khusus untuk Nabi Mûsâ, tentang
hikmah yang tersembunyi dibalik itu, akan tetapi perbuatan itu
tidak untuk ditunjukan dan diajarkan kepada semua umat.
Salah satu dalil naqli yang mendasarkan pemikiran Syekh
Nawawi tentang kema’suman (terjaganya) seorang Nabi dari
perbuatan dosa adalah sebagai berikut:
‫ين ُْبِـ ْـب ُك ُم واَُ َويَـ ْ ِفـ ْـر لَ ُكـ ْـم ذُنُـ ْـوبَ ُك ُْم َو ُو‬
َ‫ا‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫قُـ ْ إ ْن ُكْن ــتُ ْم ُٱبُّـ ْـو َن واََ فَــا َّبعُ ْو‬
‫َع ُف ْور َّرِحْيم‬
“Katakanlah (Muhammad), "Jika kamu mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni
dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” 107

Dalam menafsirkan ayat ini Syekh Nawawi mengatakan :


‫ ف ــاهلل ع ــاىل‬،‫ ف ـ نكم إذا إ بع ــتم ديــين فق ــد أطع ــتم للا‬،‫أ فــا بعوا دي ــين‬
108
.‫جيب مٰ أطاعه‬
Ayat di atas menurut Nawawi, jika dibandingkan dari
sebagian karyanya dalam ilmu kalam, menunjukkan bahwa tidak ada

106
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân al-Darârî, h. 21.

107
Surat ‘Ali ‘Imrân, Ayat, 31.
108
Syekh Nawawi, Marâh Labîd, Jil ke-1, h. 121.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 201


perbuatan seorang Nabi atau Rasul yang menyimpang dari perintah
dan aturan Allah. Ayat tersebut menjadi dilalah terhadap
kema’suman para Nabi dan Rasul. Karena dari ayat di atas,
menjelaskan jika seseorang mengikuti agama yang dibawa Nabi,
maka ia telah menta’ati Allah. Dengan kata lain, apa yang
disampaikan dan diajarkan seorang Nabi, tidak mungkin berlawanan
dengan perintah Allah.
Syekh Nawawi mengemukakan dalil aqli terhadap tidak
mungkinnya para Nabi dan Rasul melakukan sesuatu yang
melanggar perintah Tuhan sebagai berikut :
‫والـدلي علـى ذلــك ألـم لـو خــانوا أر خـالفوا أمـر للا عــاىل بفعـ حمــرم‬
‫أو مكـروه أو خـالف األوىل ل ـف التشـري لكنـا مـأموريٰ مبثـ ذلــك أر‬
.‫ما يفعلونه‬
“Dalil atas terjaganya para Nabi dari perbuatan perbuatan
dosa dan maksiat adalah jikalau mereka (para Nabi) khianat
atau menyalahkan atas perintah Allah, dengan melakukan
perbuatan yang haram dan makruh atau khilâf aula, maka
pastilah kita diperintah untuk mengerjakan apa yang
dilakukan mereka (para Nabi) itu”. 109

Keterangan di atas, menurut Nawawi tidak logis jika para


Nabi melakukan sesuatu yang dilarang Tuhan, bahkan yang makruh
sekalipun, karena jika demikian, maka pastilah kita diperintah
mengerjakan sesuatu yang dilarang Tuhan juga, karena manusia
diperintahkan Tuhan untuk mengikuti dan tunduk kepada para Nabi
dan Rasul-Nya. Untuk itu para Nabi dan Rasul tidak mungkin
melakukan hal demikian yang dilarang Tuhan, karena bertentang
dengan nash (al-Qur’ân dan hadits), dan akal manusia.

109
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Tîjân al-Darârî, h. 21.

202 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Substansi dari terjaganya para Nabi dan Rasul dari perbuatan
dosa dan salah ialah, karena akhlak yang luhur serta contoh dan
teladan yang baik adalah hal yang sangat penting bagi seorang yang
mengaku sebagai Nabi dan Rasul, karena apa yang mereka lakukan
dan perbuat pada dasarnya tidak hanya diorientasikan sebagai
bentuk ketaatan kepada Tuhan, melainkan berdampak besar
terhadap keyakinan serta kepatuhan umat yang meyakini dan
mengimani kerasulan dan kenabian mereka. Jika mereka melakukan
hal yang tidak sesuai dengan yang mereka serukan dalam arti
kebaikan, maka akan mengoncang keimanan dan keyakinan umat
terhadap kebenaran tentang status kerasulan dan kenabian mereka. “
Wallâh A’lam”

4. Catatan Tentang Nubuwwah


Dari hal yang sudah dijelaskan tentang pemikiran kalam
Syekh Nawawi dalam masalah Nubuwwah, maka bisa disimpulkan
dengan beberapa indikas-indikasi yang menunjukan corak kalamnya
tentang Nubuwwah, yaitu :
- Para Nabi dan Rasul mempunyai posisi penting dalam agama,
khususnya dalam menyampaikan apa saja yang datang dari
Tuhan. Dalam hal ini Mu’tazilah pun berpendapat demikian.
Rasul lebih tinggi derajatnya dari seorang Nabi disisi Tuhan.
Setiap Rasul sudah pasti Nabi, dan tidak semua Nabi seorang
Rasul. Pengutusan Nabi dan Rasul bukanlah hal yang wajib
bagi Tuhan, melainkan hak otoritas Tuhan, dalam hal ini ia
sepaham dengan paham Asy’ariyyah.
- Mukjizat adalah sesuatu yang secara khusus diberikan kepada
Nabi dan Rasul untuk membuktikan kenabian dan kerasulan
mereka. Orang yang mengingkari mukjizat. Orang yang
mengingkari Syafa’at, berarti telah mengingkari ampunan
Tuhan. Asy’ariyyah berpaham demikian.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 203


- Seorang Nabi dan Rasul tidak mungkin melakukan yang
dilarang oleh Tuhan.

C . Sam’iyyah (alam ghaib)


Sam’iyyah mengandung arti kata “yang didengar”, atau hal-
hal yang didengar, yaitu keyakinan-keyakinan dasar Islam yang
didengar melalui firman Allah dan ucapan Nabi Muhammad SAW.
Dengan kata lain, keberadaannya harus diyakini berdasarkan
pendengaran melalui al-Qur’ân dan hadits Nabi tanpa bisa
dibuktikan secara empiris.110Menurut Imâm al-Haramain, masalah
sam’iyyah adalah salah satu dari bagian diskursus dalam ilmu
kalam, yang sumber epistemologinya ialah hanya bersumber dengan
nash al-Qur’ân dan hadits, tidak bisa dipaksakan untuk dapat
dimengerti dengan akal manusia. 111Syekh Nawawi pun menyatakan
hal yang sama sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa kajian
tentang sam’iyyah adalah kajian yang materinya bersumber dari
wahyu dan tidak bisa dipahami murni dengan akal, karena hal-hal
itu dijelaskan dan diterangkan dalam al-Qur’ân dan hadits Nabi.
Dalam masalah ini penulis hanya membahas tiga tema saja yang
berkaitan dengan sam’iyyah, yaitu msalah hari kiamat,
1. Fakta Hari Kiamat
Salah satu dari pondasi atau pilar keimanan seorang Muslim
adalah meyakini adanya dan hari kiamat. Sebagaimana yang telah
Nabi jelaskan dalam hadits jibril yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dan dikutip oleh Imam Abû Zakariyâ Yahya bin Syarf al-
Nawawî dalam Kitab al-Arba’în. Nabi Muhammad menjawab
pertanyaan malaikat Jibril ketika ditanya tentang iman, dan salah
satunya Nabi menjawab beriman kepada hari kiamat. Dalam hadits
itu ada pertanyaan khusus tentang kapan terjadinya hari kiamat itu,
kemudian Nabi menjawab hanyab Allah lah lebih mengetahui

110
Lihat Syahrin dan Hasan, Ensiklopedi Akidah Islam, h. 533.
111
Lihat Kitab al-Irsyâd, Imâm al-Haramain, h. 282.

204 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


tentang kepastian terjadinya hari kiamat. Akan tetapi Nabi
menjelaskan beberapa tanda-tanda yang menunjukan akan terjadinya
hari kiamat itu. Dalam kitab al-Wâfî Syarh al-A rba’în, Mustafâ
Dîb al-Bughâ menjelaskan, bahwa pengetahuan tentang waktu
terjadinya hari kiamat itu merupakan kekhususan dari ilmu Allah
yang bagi selain-Nya tidak ada yang mengetahui kapan akan
terjadi.112 Oleh karena itu Nabi tidak menjawab ketika malaikat
Jibril bertanya tentang itu, karena waktu dan kapan terjadinya
kiamat hanyalah Allah semata yang mengetahuinya. Kepastian hari
kiamat pun Allah tegaskan dalam al-Qur’an :
.‫ لَْي َ لَِوقْـ َعتِ َها َك ِاذبَة‬،ُ‫الواقِ َعة‬ ِ ِ
َ ‫إذَا َوقَـ َعت‬
“Apabila terjadi hari kiamat, terjadinya kiamat itu tidak dapat
didusatakan”.113

Ayat tersebut menegaskan bahwa hari kiamat merupakan


ssesuatu yang pasti terjadi, dan tidak bisa disangkal kebenarannya.
Sebagaimana yang ditafsirkan oleh Syekh Nawawi sebagai berikut :
114
.ٰ‫أ إذا قامت القيامة يع ف وا أحد ك ويبط عناد املعاندي‬
Dalam gramatika arab, apabila ada huruf syarat yang
berbentuk (‫) إذا‬, maka jawab syaratnya pasti akan terjadi (li
tahaqquq wuqu’ al-Jawâb). Dalam pengertian Syekh Nawawi, hari
kiamat merupakan sesuatu yang mudah dimengerti dan dipahami
melalu nash al-Qur’ân (mâ ‘ulima min al-dîn bi al-darûrah), dan
tidak perlu dima’qûl oleh akal manusia.
Hari kiamat adalah hari yang akan datang secara tiba-tiba
kepada manusia, dan akan membinasakan manusia pada saat itu

112
Mustafâ Dib al-Bughâ, Al-Wâfî Fî Syarh al-Arba’în al-Nawawiyyah,
(Damaskus : Dar al-Musthafa, 2006), h. 19.
113
Al-Qur’an, Sûrat al-Waqî’ah, Ayat, 1-2.
114
Syekh Nawawi, Marâh Labîd, Jil ke-2, h. 481.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 205


dalam keadaan lalai kepada Allah, dan terjadi pada hari jum’at di
bulan dan tahun yang tidak diketahui. 115 Peristiwa ini adalah
peristiwa yang digambarkan oleh al-Qur’ân sebagai suatu hari yang
sangat menakutkan, dan proses terjadinya pun tidak secara langsung
atau tiba-tiba, melainkan bisa diketahui melalui beberapa tanda-
tanda yang disebutkan al-Qur’an dan hadits tentang tanda-tanda
terjadinya.
Muhammad bin Rasûl al-Barzanjî, dalam bukunya Al-Isyâ’ah
li Asyrât al-Sâ’ah mengklasifikasi tentang tanda-tanda hari kiamat
menjadi tiga fase, yaitu tanda-tanda awal, tanda-tanda pertengahan,
dan tanda-tanda yang mendekati terjadinya peristiwa itu. Salah
satu dari tanda-tanda awal terjadinya hari kiamat adalah wafatnya
Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadits dari ‘Âisyah
diriwayatkan:116
: ‫ أن رسول للا صلى للا عليـه وسـلم قـال‬،‫شة ر ي للا عنها‬،‫وعٰ عا‬
‫ ف نـه‬،‫مٰ أصيب منكم مبصيبة يب مٰ بعد فليتعْ مبصيبته اليت صيبه‬
‫لٰ يصاب أحد مـٰ أمـيت مـٰ بعـد مبثـ مصـيبته يب (رواه الطـرباين‬
. ‫األوسط‬
“ Dari Aisyah ra, sesungguhnya Rasûl Allâh SAW. Bersabda :
“ barang siapa dari kalian yang terkena suatu musibah
(cobaan) setelah aku, maka hendaklah ia berduka cita dengan
musibahnya denganku, karena sesungguhnya tidaklah seorang
dari umatku mendapatkan cobaan setelahku seperti musibah
yang cobaan yang terjadi denganku ”. (HR. Tâbrânî dalam
kitab al-Awsat).

115
Syekh Nawawi al-Bantani, Sullam al-Taufîq Ilâ Mahabbatillâh ‘alâ al-
Tahqîq, h.6.
116
Muhammad bin Rasûl al-Barzanjî, Al-Isyâ’ah li Asyrât al-Sâ’ah, (Kairo :
Dar al-Hadîts, 2002), 11.

206 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Selanjutnya sebagian tanda-tanda pertengahan dari terjadinya
hari kiamat, adalah diceritakan da hadits :
‫عـٰ أنـ بـٰ مالـك ر ـي للا عنـه ال يقـوم السـاعة حـىت يتبـاهى النــا‬
. ‫ وابٰ حبان‬،‫ وابٰ ماجه‬،‫ وأبو داود‬،‫ (رواه أمحد‬.‫املساجد‬
Dari Anas bin Mâlik ra, “ Tidaklah terjadi hari kiamat sampai
para manusia berikap sombong (membanggakan diri) di dalam
masjid-masjid”. (HR. Ahmad, Abû Dâwud, Ibn Mâjah, dan
Ibn Hibbân).117

Dan tanda-tanda yang selanjutnya yang sangat dekat


terjadinya hari kimat adalah datangnya Al-Mahdi. Menurut Al-
Asnawî, hadits-hadits yang menjelaskan kedatangan Al-Mahdî ini
hadîts yang mutawâtir, dan Al-Mahdî adalah salah satu dari
keturunan Nabi Muhammad SAW. 118
Syekh Nawawi mengklasifikasi tentang pengertian hari
kiamat dalam hal khabar atau berita yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad kepada umatnya. Bagi seorang Muslim, wajib
hukumnya menerima dan mengimani apa saja yang disampaikan
oleh Nabi kepada umat sebagai pondasi dari keimanan seseorang.
Salah satu dari ciri seseorang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
adalah beriman dan meyakini tentang terjadinya hari kiamat itu.
Hari kiamat menurut Nawawi adalah :
‫ أو ألنـه آخـر أَيم الـدنيا فلــي‬،‫ءـي بـْلك ألنـه ال ليـ بعـده وال لـار‬
.‫بعده يوم آخر أو لتأخره عٰ األَيم املنقضية مٰ أَيم الدنيا‬
“Dinamakan hari kiamat, karena tidak ada malam dan siang
setelahnya, atau karena hari itu adalah akhir dari hari-hari
dunia, dan tidak ada hari lain setelah hari akhir itu, atau

117
Al-Barzanjî, Al-Isyâ’ah, h. 124.
118
Al-Barzanjî, Al-Isyâ’ah, h. 161.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 207


karena pengakhiran dari hari-hari dunia yang telah
ditentukan”.119

Dari keterangan hari kiamat yang dimaksud Syekh Nawawi,


bisa dipahami, bahwa hari kiamat adalah sesuatu yang pasti.
Mengimaninya adalah hal yang penting dalam akidah Islam.
Seseorang disebut sebagai Muslim, jika ia mengimani adanya hari
kiamat itu. Konsekuensi yang menurut penulis amat fatal ialah
bahwa menurut Nawawi, jika seseorang yang meragukan (bukan
mengingkari) akan terjadinya hari kiamat, maka ia dihukumi murtad
dalam akidahnya. Ia mengatakan :
‫ أو‬،‫وجوده‬ ‫للا أر‬ ‫ الشك‬،‫ف ٰ األول أر الردة وإلعتقادات‬
.‫ أو اليوم اآلخر‬،‫رسوله أو القرآن‬
“Maka dari bagian yang pertama, jelasnya murtad dalam
akidah-akidah adalah meragukan Allah (wujud Allah), atau
Rasul-Nya, atau al-Qur’ân, atau hari akhir”.120

Dengan demikian, identitas seorang Muslim tercermin dari


keyakinannya tentang adanya hari kiamat yang merupakan ssesuatu
yang pasti dan akan terjadi. Apapun paham dan mazhabnya, jika ia
tidak mengakui dan mengimani akan adanya hari akhir, maka
menurut Nawawi tidaklah disebut seorang Muslim. “Wallâh A’lam”

2. Melihat Tuhan di Akhirat


Salah satu dari tema klasik dalam kajian kalam ialah masalah
Ru’yat Allâh fî al-Âkhirah (melihat Tuhan di akhirat). Perdebatan
dalam masalah ini cukup menarik di kalangan mazhab kalam, seperti
Mu’tazilah Asy’ariyyah dan Mâturîdiyyah . menurut Ibn ‘Abd al-
Wahhâb al-Jubbâ’î (w. 295 H), dan anaknya Abû Hâsyim ‘Abd al-

119
Lihat Sullam al-Taufîq, h. 10.
120
Syekh Nawawi al-Bantani, Sullam al-Taufîq, h. 10.

208 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Salâm (w. 321 H), yang mereka berdua adalah merupakan tokoh-
tokoh Mu’tazilah pasca Wâsil bin ‘Athâ, mereka mengatakan bahwa
Tuhan tidak akan pernah dapat dilihat manusia dengan mata
kepalanya nanti di akhirat.121 Argumentasi yang dikemukakan
Mu’tazilah dalam masalah ini ialah ayat al-Qur’ân sebagai berikut :

َ ْ‫ص ُار َو ُه َو يُ ْد ِرُو األَب‬


.‫ص ُار‬ َ ْ‫الَ ُ ْد ِرُكهُ األَب‬
“Dia tidak dapat dicapai oleh pengelihatan mata, sedang Dia
dapat melihat segala yang terlihat”. 122

Berbeda dengan pandangan dua tokoh Mu’tazilah tersebut,


bagi Al-Mâturîdî, manusia dapat melihat Tuhan dengan mata kepala
di akhirat karena Tuhan mempunya wujud. 123Walaupun Tuhan
bersifat immaterial, namun melihat Tuhan di akhirat tidak dapat
dijelaskan bentuknya, karena keadaan di akhirat tidaklah sama
dengan keadaan di alam dunia. Pendapat Mâturîdî ini sama sepert
apa yang dikatakan Asy’arî, bahwa sesuatu yang mempunyai wujud,
maka mungkin saja bisa terlihat. 124 Tuhan mempunyai wujud, maka
bukan tidak mungkin Tuhan bisa dilihat dengan mata kepala nanti
di akhirat. Baik Mâturîdî dan Asy’arî dalam pendapatmya
menggunakan firman Allah 125 :
ٍ ‫وجوه يـوم‬
.‫ إِ َىل َرِوَا ََن ِ َرة‬،‫ئْ ََن ِ رة‬ ََْ ُ ُ

121
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 2015), h. 51.
122
Al-Qur’ân Sûrah al-An’âm, Ayat : 103.
123
Muniron, Ilmu Kalam Sejarah, Metode, Ajaran, dan Analisi
Perbandingan, h. 186.
124
Abû Al-Hasan ‘Alî al-Asy’arî, Al-Ibânah ‘An Usûl al-Diyânah, (Beirut :
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), h. 28.
125
Abû Mansûr Al-Mâturîdî, Kitâb al-Tauhîd, (Beirut : Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2006), h. 60.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 209


“ Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu (kiamat)
berseri-seri, kepada Tuhannya lah mereka melihat”. 126

Dalam menafsirkan ayat di atas, Syekh Nawawi mengatakan ;


‫أن الوج ــوه احلس ــنة ي ــوم القيام ــة وه ــي وج ــوه امل ــؤمنني َن ــرة إىل للا ال‬
127
.‫جبون عنه‬
Syekh Nawawi pun mamahami ayat tersebut sama seperti
halnya Asy’arî, bahwa organg-oarang yang beriman kelak di akhirat
nanti akan melihat Tuhannya tanpa penghalang apapun. Perbedaan
pendapat di antara mutakallimin di atas, Syekh Nawawi mempunyai
pendapat yang cenderung kepada paham Asy’ariyyah dan
Mâturîdiyyah dalam masalah ini. Menurut Syekh Nawawi, wajib
hukumnya bagi seorang Muslim meyakini bahwa Allah bisa dilihat
di akhirat nanti dengan mata kepala. Ia mengatakan :
‫ــا جيــب إعتقــاده ج ـواز رييــة للا عــاىل وألبصــار اآلخــرة م ـ وقــوع‬
‫ فيجب إعتقاد أنـه عـاىل يـرر وألبصـار اآلخـرة لل ـؤمنني بـال‬،‫ذلك‬
.‫مقابلة وجهة وٱيْ وعف ذلك‬
“dari sebagian yang wajib diyakini adalah melihat Tuhan
dengan mata kepala di akhirat. Maka wajib hukumnya
meyakini bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di
akhirat nanti, dengan tanpa membandingkan arah, tempat dan
lain-lainnya”.128

Pendapat Nawawi ini sama halnya dari pendapat Mâturîdî,


yaitu bersumber dari ayat al-Qur’ân yang telah disebutkan di atas.

126
Al-Qur’ân Sûrah al-Qiyâmah, Ayat : 23-23.
127
Lihat Syekh Nawawi, Marâh Labîd, Jil ke-2, h. 584.
128
Syekh Nawawi al-Bantani, Al-Tsimâr al-Yâni’ah, h. 17.

210 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Kemudian ia menambahkan sebuah hadits dari Jarîr bin ‘Abd
Allâh129 :
‫ خرج علينا رسول للا صلى للا عليه وسلم‬: ‫عٰ جرير بٰ عبد للا قال‬
‫ ك ـا ـرون هـْا ال‬،‫ إنكـم سـ ون ربكـم يـوم القيامـة‬: ‫ فقال‬، ‫ليلة البدر‬
. ‫ (رواه البخار‬.‫ضامون رييته‬
Dari Jarîr bin ‘Abd Allâh berkata : “Kami keluar bersama
Rasûl Allâh SAW. pada malam bulan purnama”. Nabi
bersabda : “Sesungguhnya kalian akan meliat Tuhan kalian
pada hari kiamat, sebagaimana kalian melihat bulan ini, tidak
ada yang menghalangi kalian untuk melihatnya”. (HR.
Bukhârî).130

Selanjutnya Nawawi menjelaskan, cara melihat Tuhan tidak


seperti melihat sesuatu di alam dunia. Manusia akan melihat Tuhan
sebelum masuk ke dalam surga, dan setelah masuk ke dalam surga.
Allah akan bukakan hijâb (pengalangan) bagi mereka untuk melihat
zat Tuhan yang mulia dengan pengelihatan yang tanpa arah dan
tempat (sebagaimana di dunia) dan seluruh sifat-sifat makhluk.
Kemudian setelah mereka melihat Tuhan, maka mereka akan
meninggalkan (melupakan) seluruh kenikmatan surga, karena sedikit
pun kenikmatan surga, tidak akan mampu melebihi nikmat melihat
Tuhan. Melihat Tuhan adalah nikmat terbesar dari seluruh nikmat
yang ada. Ia mengatakan :
ٰ‫ فيكشــى للا عــاىل عــ‬،‫فـفاه املؤمنــون قبـ دخــول اجلنــة وبعــد دخومهــا‬
‫ فـفون ذا ـه جـ وعـْ خاليـة عـٰ جهـة‬،‫اتمـا‬
‫املؤمنني احلجاب انكشـافما م‬
،ْ‫ر صفات احلـوادث و إذا رأر املؤمنـون جـ وعـ‬،‫ومكان ومقابلة وسا‬

129
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Fath al-Majîd, h. 55.
130
Imâm Al-Bukhârî, Al-Jâmi’ Al-Sahîh, hadits no. 2237, Jil ke-8, (Beirut :
Dar al-Qalam, t.t.), h. 796.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 211


ٰ‫ ال يسـاور أقـ حل ـة مـ‬،‫ ألنـه لـو إجت ـ نعـيم اجلنـة‬،‫ركوا نعـيم اجلنـة‬
131
.‫رييته عاىل فهى أكرب نعم اآلخرة‬
Demikian lah pendapat Nawawi tentang melihat Tuhan
di akhirat. Pemikirannya cenderung kepada pendapat
Asy’ariyyah dan Mâturîdiyyah , bahwa Tuhan bisa dilihat
dengan mata kepala di akhirat dan cara melihat Tuhan di
akhirat tidak seperti apa yang dilihat di dunia. “ Wallâh
A’lam”.

3. Status Surga dan Neraka


Sebelum menjelaskan pengertian surga dan neraka, hendaknya
akan dibahas terlebih dahulu siapakah penghuni tempat kembali itu,
yaitu muslim dan kafir. Muslim menurut Zain al-Dîn Al-Malîbârî
dalam salah satu bait nazomnya yang berjudul “Manzûmah Syu’b
al-Îmân”, mengatakan :
‫ ونين مرج كاف ٍر جلهنم‬# ‫ونين مرج مسلم جلنانه‬
“Sesungguhnya tempat kembalinya orrang Muslim adalah
surga-surga dan tempat kembalinya orang kafir adalah neraka
jahannam”.132

Dalam mengomentari bait nazom ini, Syekh Nawawi


menjelaskan , bahwa salah satu dari cabang keimanan adalah,
mengimani bahwa surga dalah tempat yang kekal (dâr al-khulûd)

131
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Fath al-Majîd, h. 55. Lihat juga Syekh
Nawawi al-Bantani, Al-Nahjat Al-Jayyidah Li Hall Alfâz Naqâwah al-‘Aqîdah, h.
8. Teksnya adalah :
‫ى بكيفية مٰ كيفيات‬،‫جيب إعتقاد أنه عاىل يرر وألبصار اآلخرة لل ؤمنني بال كيى لل ر‬
.‫احلوادث مٰ مقابلة جهة وٱيْ وعف ذلك‬
132
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Qâmi’ al-Tughyân ‘Alâ Manzûmah
Syu’b al-Îmân, (Jakarta : Dar al-Kutub al-Islâmiyyah, 2008), h. 9.

212 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


bagi seorang Muslim. Dan neraka jahanam adalah tempat yang
kekal bagi seorang kafir.
Dalam penjelasan Syekh Nawawi, pengertian Muslim adalah
termasuk orang-orang yang melakukan maksiat, akan tetapi mereka
tidak kekal di neraka, akan tetap masuk surga karena ketika mati
masih dalam keiadaan iman.
‫املســلم‬ ‫ ودخ ـ‬.‫ وإن قــدم منــه كفــر‬،‫وهــو مــٰ مــات علــى اإلســالم‬
.‫العصاة ف رجعهم ودار خلودهم اجلنان‬
“Muslim adalah orang yang mati dalam keadaan Islam,
sekalipun pernah mengalami masa kufur. Dan yang dimaksud
Muslim juga adalah orang-orang yang berbuat maksiat, maka
tempat kembalinya yang kekal adalah surga-surga”.

Sedangkan pengertian kafir adalah seseorang yang mati


dalam keadaan kafir, meskipun sebelumnya dia beriman. Dalam
pengertian ini, jika seseorang beriman semasa hidupnya, kemudian
di akhir hayatnya menjadi kufur, maka tergolong sebagai orang kafir
dan kekal di dalam neraka. Adapun status anak-anak kecil yang mati
dalam keadaan kafir (atfâl al-musyrikîn) menurut Syekh Nawawi
tergolong sebagai ahli surga menurut pendapat yang sahih. 133
Keterangan tersebut berdasarkan firman Allah SWT :
‫ـات ََْت ـ ِر ِمـ ْـٰ َْٱتِ َهــا‬ ٍ ‫َن َمهــم جنَّـ‬ ِ ِ َّ ‫وب ِش ـ ِر الَّـ ِـْيٰ آَمنُـوا وع ِ لُـوا‬
َ ْ ُ َّ ‫الصــاحلَات أ‬ ََ َ َ ََ
ِ ِ ِ َّ ِ ٍ ِ ِ ِ َّ ‫ْاألَنْـ َهـ‬
ُ ‫ـار ُكل َ ــا ُرزقُـوا مْنـ َهــا مـ ْـٰ َزـََـرة رْزقمــا قَــالُوا َهـ َْا الــْ ُرزقْـنَــا مـ ْـٰ قَـْبـ‬
ُ
‫َوأُُوا بِِه ُمتَ َش ِاوما َوَمهُْم فِ َيها أ َْزَواج ُمطَ َّهَرة َو ُه ْم فِ َيها َخالِ ُدو َن‬
“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia
dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. Dan
sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman

133
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Qâmi’ al-Tughyân ‘alâ Mandzûmat
Syu’b al-Îmân, h. 10-11.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 213


dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya..”134

Ada sebuah hadits yang menggambarkan tentang siapakan


penghuni surge dan neraka, salah satunya yang diriwayatkan oleh
Abû Sa’îd :
‫ ن إذا كـ ــان يـ ــوم القيامـ ــة أ وملـ ــوت ك ـ ــالكب‬: ‫عـ ــٰ إيب سـ ــعيد قـ ــال‬
‫ فلــو أن أحــدا‬،‫ فيوقــى بــني اجلنــة والنــار فيــْبح وهــو ين ــرون‬،‫األملــح‬
‫ ملــات أه ـ‬،‫ ولــو أن أحــدا مــات ح ـْمَن‬،‫ ملــات أه ـ اجلنــة‬،‫فرحــا‬ ‫مــات م‬
. ٰ‫ (رواه ال مْر السن‬.‫النارن‬
Dari Abû Sa’îd berkata : “Apabila terjadi hari kiamat, maka
didatangkanlah kematian seperti umpanyanya domba hitam
yang berkepala putih, maka dibaringkanlah di antara surga
dan neraka, dan disembelih,sedangka mereka melihatnya.
Maka siapa saja yang mati dalam keadaan gembira, maka
telah matilah penduduk surga, dan siapa yang mati dalam
keadaan sedih, maka telah matilah penduduk neraka”. (HR.
Tirmidzî).135

Dalam hadits tersebut digambarkan orang yang mati dalam


keadaan senang, maka disebut sebagai ahli surga, dan yang mati
dalam keadaan sedih rupanya, maka dsisebut sebagai ahli neraka.
Mengimani adanya surga dan neraka, berarti membenarkan dengan
pasti akan keberadaan keduanya, dan meyakini bahwa keduanya
merupakan makhluk yang dikekalkan oleh Allah, tidak akan punah
dan tidak akan binasa, dimasukkan ke dalam surga segala bentuk
kenikmatan dan ke dalam neraka segala bentuk siksa. Juga

134
Al-Qur’an, Sûrat al-Baqarah, Ayat : 25.
135
Abû Îsâ al-Tirmidzî, Al-Sunan al-Tirmidzî, Hadits ke 2558, h. 604.

214 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


mengimani bahwa surga dan neraka telah tercipta dan keduanya saat
ini telah disiapkan oleh Allah SWT.
Menurut Syekh Nawawi, surga adalah sebuah tempat
ganjaran atau pahala yang bersfat kekal karena dikekalkan Allah
dengan seluruh kenikmatan yang ada di dalamnya. Inilah sebetulnya
yang menjadi perdebatan para teolog klasik tentang telah
dicipatakan atau belum terciptanya surge dan neraka. Kemudian
status surga dan neraka sebagai makhluk yang kekal.
Hisyâm bin ‘Amr al-Fuwaitî, salah satu pemimpin Mu’tazilah
dari cabang Baghdad mengatakan, bahwa surge dan neraka belum
mempunyai wujud saat ini, karena masa memasuki surga dan neraka
belum tiba. Dengan demikian adanya surga dan neraka sekarang
tidak ada faidahnya.136 Dari pendapat ini, meunurut Mu’tazilah,
surga dan neraka belum diciptakan Tuhan, karena belum ada yang
memasuki dan menempatinya. Pendapat ini kontras dengan apa
yang dikatan oleh Al-Tilimsâni dalam Syarh Lam’ al-Adillah, ia
mengatakan bahwa surga dan neraka adalah makhluk dan telah
diciptakan.137 Ia menjelaskan gambaran tentang kisah Adam yang
dikeluarkan dari surga, dalam al-Qur’an dikatakan :
ِِ ِ
َ ‫ َوقُـلْنـاَ ْأهبِطـُواْ بَـ ْع‬،‫َخَر َج ُه َ ــا ـَّـا كـاَ َن فْيــه‬
‫ضـ ُك ْم‬ ْ ‫الشـ ْـيطَا ُن َعْنـ َهــا فَأ‬
َّ ‫فَأ ََّزَمهَُ ــا‬
ٍ ْ ‫ض ُمستَـ َقر وَمتاَع إِ َىل ِح‬ ِ
. ‫ني‬ َ ْ ِ ‫ َولَ ُك ْم ِ األ َْر‬،‫لبَـ ْع ٍ َع ُدو‬
“Lalu kedunya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu, dan
dikeluarkan dari keadaan semula dan kami berfirman :
“Turunlah kamu ! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang
lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan
kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan”. 138

136
Lihat Al-Syahrastânî, Al-Milal wa al-Nihal, Jil. I, (Beirut : Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2013). 73.
137
Syaraf al-Dîn al-Tilmisânî, Syarh Lam’ al-Adillah Li al-Juwainî, h. 276.
138
Al-Qur’ân Sûrah al-Baqarah , Ayat : 36.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 215


Dari ayat di atas, Mu’tazilah memahami bahwa yang Adam
bukan dikeluarkan dari surga, melainkan taman dari taman-taman
bumi. Sedangkan menurut Al-Tilimsânî, yang dimaksud dalam ayat
tersebut adalah dikeluarkan dari surga. Dengan demikian surga telah
ciptakan oleh Tuhan dan sebelumnya sudah ada yang menghuninya,
yaitu Adam dan Hawa. Sedangkan menurut Al-Ghazâlî, sama
seperti pendapat Al-Tilimsânî, bahwa surga dan neraka telah
diciptakan Tuhan berdasarkan firman Allah :
‫َّت‬ ِ ‫وسا ِرعواْ إىل م ْ ِفرٍة ِمٰ ربِ ُكـم وجنَّ ٍـة عر ـها السـ اوات واألَر‬
ْ ‫ض أُعـد‬
ُ ْ ُ َ َ َ َ ُ َْ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ُ َ َ
.‫ني‬ ِ ِ
َْ ‫للْ ُ تَّق‬
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan
kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”.139

Dalam masalah ini Syekh Nawawi berpandapat yang sama


dengan Al-Tilimsânî, bahwa surga dan neraka adalah makhluk dan
telah diciptakan saat ini Tuhan tanpa menunggu datangnya hari
akhir. ia mengatakan :
‫لني‬،‫جيــب إعتقــاد أن اجلنــة والنــار موجــوداتن اآلن خالف ـام لل عتْلــة القــا‬
.‫ وإمنا يوجدان يوم اجلْاء‬،‫بعدم وجود ا اآلن‬
“Wajib meyakini bahwa surga dan neraka telah ada keduanya
sekarang, berbeda dengan Mu’tazilah yang mengatakan tidak
ada wujud keduanya sekarang, melainkan wujud keduanya
ditemukan nanti di akhirat”. 140

Al-Ghazâlî mengatakan lafaz (u’iddat li al-muttaqîn) adalah


dalil bahwa surga telah diciptakan oleh Allah, maka wajib

139
Al-Qur’ân Sûrah al-Ali ‘Imrân, Ayat : 133.
140
Syekh Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam al-Taufîq Ilâ Mahabbat Allâh
wa al-Tahqîq, h. 10.

216 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


memberlakukan ayat itu secara zahir, karena tidak ada yang
mustahil dalam hal itu. Sedangkan kata bahwa jika sudah ciptakan
sekarang maka tidak ada faidahnya, Al-Ghazâlî menggunakan ayat
al-Qur’ân dalam Surat al-Anbiyâ/ 21:23 yakni “ lâ yus’al ‘ammâ
yaf’al wa hum yus’alûn”141 (“Dia tidak ditanya tentang apa yang
diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai”). 142
Bagi Nawawi, meyakini terhadap wujud surga dan neraka saat
ini, adalah hal yang wajib diimani bagi seorang Muslim. Jika
perbedaan pendapat di kalangan teolog Muslim adalah sebagaimana
di atas, menurut Nawawi dalam menafsirkan surat al-Baqarah
sebagai berikut :
143
.‫( فأزمه ا الشيطان أ ألْقه ا إبلي ( عنها أ اجلنة‬
Tafsiran di atas menunjukan bahwa surga menurut Nawawi
telah ada wujudnya semenjak Adam dan Hawa tercipta. Lain halnya
dengan Mu’tazilah yang berpendapat berbeda bahwa Adam dan
Hawa bukan dikeluarkan dari surga seperti yang telah diceritakan
sebelumnya. Selanjutnya surga dan neraka adalah bagian dari
kehidupan hari akhir, sedangkan mengimani kehidupan akhirat
adalah hal yang sangat penting dalam merepresentasikan keislaman
seseorang, jika meragukan apalagi inkar terhadap kehidapan hari
akhir, seperti yang disebutkan sebelumnya, maka berakibat murtad
akidahnya. Dan menurut Nawawi, murtad adalah paling kejinya
kekufuran dalam hukum syari’at (afhasy al-kufr).144
Kemudian masalah lain, ada perbedaan pendapat di kalangan
ulama tentang bilangan surga, ada yang menyebutkan bahwa surga
terbagi menjadi tujuh macam, da nada juga yang berpendapat
terbagi menjadi delapan macam. Surga yang paling tinggi drajatnya

141
Al-Qur’ân Sûrah al-Anbiyâ, Ayat : 23.
142
Abû Hâmid al-Ghazalî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Jil. I, (Beirut : Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2016), h. 164.
143
Lihat Syekh Nawawi, Marâh Labîd, Jil ke-1. H. 16.
144
Lihat Sullam Taufîq, h. 9.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 217


adalah surga firdaus yang terbuat dari emas berwarna merah,
kemudian surga ‘and yang terbuat dari mutiara berwarna putih ,
surga khald yang terbuat dari karang berwarna kuning, surga na’îm
yang terbuat dari perak berwarna putih, surga ma’wâ yang terbuat
dari permata zabrajat yang berwarna hijau, surga dar al-salâm yang
terbuat dari permata yaqut berwarna merah, dan dar al-jalâl dari
permata berwarna putih.145
Ibn ‘abbâs berkata ; bahwa surga mempunyai beberapa pintu
dari emas dan berbalut permata-permata. Pada pintu pertama
tertulis lafaz ( ‫ ) الإله إال للا حم د رسول للا‬surga itu adalah untuk para
Nabi, Rasul, orang yang syahid, orang-orang shalih. Pintu yang
kedua adalah untuk orang-orang yang semprna shalatnya, yang
ketiga adalah pintu untuk orang-orang yang selalu membayar zakat
dengan kebersihan jiwanya, pintu yang keempat adalah untuk orang-
orang yang selalu menyerukan kepada yang ma’rûf (baik) dan
melarang kepada kemunkaran, pintu kelima untuk orang yang
menahan dirinya sendiri dari hawa nafsu dan syahwat, keenam pintu
untuk orang-orang yang mendapatkan pahala haji dan umroh yang
mabrur, yang ketujuh pintu untuk para mujahid di jalan Allah.
Kedelapan pintu untuk hamba-hamba Allah yang selalu
qana’ah dan sabar dan memelihara pengelihatannya dari yang
haram, yang berbuat kebajikan, dan selalu bersilaturrahim. 146 Orang-
orang yang beriman dan beramal shaleh dijanjikan oleh Allah akan
masuk ke dalam surga. Bagi Syekh Nawawi, pelaku dosa besar pun
bisa masuk surga setelah terlebih dahulu disiksa di dalam neraka.
Karena hal yang mendasar adalah keimanan seseorang dalam hati
kepada Allah dan rasul-Nya. Adapun perbuatan baik dan buruk

145
Syekh Nawawi al-Bantani, Nûr al-Zalâm Syarh ‘alâ Manzûmah ‘Aqîdat
al-‘AwâM, h. 32.
146
Syekh Nawawi al-Bantani, Nûr al-Zalâm Syarh ‘alâ Manzûmah ‘Aqîdat
al-‘Awâm, h. 32.

218 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


adalah bagian dari dasar iman itu sendiri. Paham ini merujuk kepada
paham Asy’ariyyah yang sudah dikemukakan sebelumnya.
Selanjutnya berbicara tentang neraka. Neraka atau al-Nâr
adalah tempat penyiksaan bagi orang yang melakukan kesalahan
selama hidup di alam dunia.147 Sama halnya dengan surga, neraka
disiapkan Allah bagi orang-orang yang mengkufuri-Nya,
membantah syariat-Nya, dan mendustakan Rasul-Nya. Bagi mereka
azab yang pedih, dan penjara bagi orang-orang yang gemar berbuat
kerusakan. Itulah kehinaan dan kerugian yang paling besar. Allah
SWT. berfirman :
ِ ِ ِ‫َّك مٰ ُ ْد ِخ ِ النَّار فَـ َق ْد أَخْيـتَه وما لِل َّال‬
‫صا ٍر‬
َ ْ‫ني م ْٰ أَن‬
َ َ َ ُ َْ ْ َ ْ َ َ ‫َربـَّنَا إِن‬
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau
masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau
hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim
seorang penolongpun.”148
Ada sebuah hadis yang menerangkan tentang penghuni
neraka, antara lain adalah :
‫عليه وسـلم فـْكر أَحاديـث مْنهـا‬ ْ َ‫عٰ أيب هريرة عٰ رسول اَ صلى ا‬
‫عليه وسلم ٱاجـت ا ْجلنـة والنـار فقالـت النـار‬ َِّ ‫وقال رسول‬
ْ َُ‫ا‬ َّ ‫اَ صلى‬
‫ـدخلين إَِّال‬
ِ ‫ـت ا ْجلن ـ ـةُ ف ـ ــا يل ال يـ ـ‬ ْ ‫يٰ وقال ـ ـ‬ ِ ِِ
َ ‫ـرت ولْ ك ـ ــربيٰ والْ ُ تَج ـ ــرب‬
ُ ‫أوثـ ـ‬
ْ ‫اَ للْجنـ ِـة إِمنــا أنْــت‬
‫رمحـ ِـيت ْأرحــم‬ َّ ‫ــعفاءُ النــا ِ وســقطهم وعــرهتم قــال‬
ٰ‫ـك َم ْـ‬ِ ‫ـْايب أعـْب ب‬ ِ ‫ـت ع‬ ِ ْ‫َشـاء ِمـٰ عبـاد وقـال للنَّـا ِر إَِّمنـا أَن‬ ِ
ُ ْ ُ َ ‫بك َم ْٰ أ‬
‫ـار فَ َـال ْتَلِ ُـل حـىت‬ ِ ٍ ِ ِ َ
ُ َّ‫أشاءُ م ْٰ عباد ول ُك واحدة منْك ـا ملْ ُؤهـا فأمـا الن‬
‫رجلَــهُ قـول قَـ ْط قَـ ْط قَـ ْط فهنالــك ْتَلـ ُـل ويُـ ْـَْور‬ ْ ‫اَُ بــارو و عــاىل‬ َّ ‫يضـ‬

147
Ensiklopedi Akidah Islam, h. 451.
148
Al-Qur’an, Sûrat ali Imrân, ayat : 192.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 219


ِ ٰ‫اَ ِم ــ‬
َّ ‫خلق ــه أح ـ مـدا وأم ــا ا ْجلن ــة فَـ ـِ َّن‬ ِ
َ‫ا‬ ْ َُّ ‫ض ــها إِىل ْبعـ ـ ٍ وال ي ْل ـ ُـم‬
ُ ‫ْبع‬
. ‫مسلم‬ ِ
ُ ‫ (رواه‬.‫يـُنْشل َمهَا َخلْقام‬
Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, Rasûl AllÂh SAW telah
bersabda: “Surga dan neraka saling berbangga diri. Neraka
berkata, “Aku diberi prioritas sebagai tempat orang-orang
yang sombong dan orang-orang perkasa yang bengis.' Surga
berkata, "Aku hanya akan dimasuki orang-orang yang lemah,
orang-orang yang tidak cinta dunia, dan orang-orang yang
baik?" Kemudian Allah SWT. berfirman kepada surga,
"Sesungguhnya kamu hai surga, adalah rahmat-Ku yang
denganmu Aku memberikan rahmat kepada hamba-hamba-Ku
yang Aku kehendaki." Lalu Allah berfirman kepada neraka,
"Sesungguhnya kamu hai neraka, adalah siksa-Ku yang
denganmu Aku menyiksa hamba-hamba-Ku yang Aku
kehendaki. Dan masing-masing di antaramu akan memiliki
penghuni." Neraka tidak akan pernah penuh hingga
Allah SWT. menginjakkan kaki-Nya. Setelah itu, neraka akan
berkata, "Cukup! Cukup! Cukup!" Itu berarti neraka menjadi
penuh sesak dengan injakan tersebut, hingga para
penghuninya saling berhimpitan. Allah tidak akan berbuat
zalim kepada seorang hamba-Nya. Selain itu, Allah juga akan
menciptakan surga untuk para penghuninya."(HR. Muslim).149

Jika surga adalah gambaran suatu kenikmatan yang abadi di


akhirat, maka neraka adalah bandingannya, yaitu suatu tempat
kembali (marji’) bagi orang-orang yang durhaka kepada Allah dan
Rasul-Nya dan bersifat kekal sama halnya seperti surga yang
dikekalkan oleh Allah SWT. Balasan yang pedih serta siksaan yang
luar biasa sebagai ganjaran bagi manusia yang menentang Allah
selama hidupnya di alam dunia. Nereka pun memilki tingkatan-
tingkat yang sama seperti surga.

149
Imâm Muslim, Al-Jâmi’ Al-Sahîh, (Kairo : Dar al-Hadîts, 2010), h. 898.

220 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Tingkatan yang paling dasar berdasarkan keterangan al-
Qur’ân adalah neraka hawiyah yng di dalamnya terdapat orang-
orang kafir, munafik, termasuk keluarga fir’aun, kemudian disusul
neraka jahim yang di dalamnya adalah orang-orang musyrik yang
menyekutukan Allah, neraka saqar yang di dalamnya terdapat
orang-orang penyembah berhala, neraka ladza di dalamnya terdapat
iblis dan para pengikutnya, neraka huthamah yang di dalamnya
dihuni oleh orang-orang yahudi berseta pengikutnya, neraka sa’îr
yang dihuni oleh orang-orang nasrani dan pengikutnya, dan terahir
neraka jahanam yang dihuni oleh umat Nabi Muhammad yang
berbuat dosa-dosa besar dan tidak bertaubat sampai akhir
hayatnya.150
Demikianlah penjelasan tentang surga dan neraka yang
menurut Nawawi, keduanya adalah kekal dan telah diciptakan Allah
saat ini. Argumentasi yang dimendasai pendapatnya semua merujuk
kepada al-Qur’ân dan hadits. Karena menurutnya, masalah
sam’iyyah hany bisa dipahami melalui nash, tidak bisa melalui
argumentasi akal (dalil ‘aqlî). “Wallâh A’lam”

4. Catatan Tentang Sam’iyyah


Dari penjelasan tentang masalah sam’iyyah yang mencakup
tema hari kiamat, melihat Tuhan di akhirat, dan surga dan neraka,
bisa disimpulkan sebagai berikut :
- Dalam masalah hari kiamat, Syekh Nawawi berpendapat
bahwa hari akhir adalah alah satu dari doktrin yang sangat
mendasar dalam keyakinan seorang Muslim. Siapa yang
meragukan, terlebih mengingkarinya, maka dihukumi murtad
dan kafir.
- Dalam masalah melihat Tuhan di akhirat, Nawawi cenderung
kepada pendapat Asy’ariyyah dan Mâturîdiyyah yang

150
Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Qatr al-Ghaits, h. 13.

Pemikiran Kalam Syekh Nawawi al-Bantani 221


meyakini bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di
akhir. Dan itu bukan suatu yang mustahil bagi Tuhan untuk
bisa memperlihatkan zat-Nya kepada orang-orang beriman.
- Tentang surga dan neraka menutut Nawawi, keduanya telah
diciptakan Tuhan sejak dulu, dan wujudnya ada saat ini.
Berbeda dengan apa yang dipahami oleh Mu’tazilah.

222 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


BAB VI
Penutup

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan penelitian dalam tesis ini,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Tentang ilâhiyyah, Syekh Nawawi mengatakan bahwa Tuhan
wajib esa pada zat, sifat, dan juga perbuatannya. Keesaan
Tuhan akan sempurna jika sudah menafikan al-Kumûm al-
Khamsah (kamm muttasil fî al-dzât, munfasil fî al-adzât,
kamm muttasil fî al-sifât, kamm munfasil fî al-sifât, kamm
munfasil fî al-af’âl). Kemudian tentang kuasa dan kehendak
Tuhan, Nawawi mengatakan bahwa kuasa dan kehendak
Tuhan bersifat mutlak. Tidak ada yang membatasi Tuhan
dalam kuasa dan kehendak-Nya. Tuhan menghendaki
kebaikan dan keburukan. Selanjutnya tentang kalam Tuhan,
menurutnya, kalam Tuhan adalah sifat yang qadim/azali,
tidak berhuruf dan suara, tidak tersusun dari lafaz-lafaz dan
kalimat. Al-Qur’ân yang dalam arti mushaf adalah hâdits
(baru) dan makhluk.
2. Tentang nubuwwah, menurut Nawawi, Tuhan tidak wajib
mengutus Nabi dan Rasul. Jika Tuhan tidak mengutus Nabi,
bukan berarti Tuhan berbuat jahat, tapi karena ada hikmah
yang hanya Tuhan yang tahu. Mukjizat adalah sesuatu yang
diberikan Tuhan khusus untuk para Nabi dan Rasul, untuk
melemahkan orang yang menginkari kenabian dan kerasulan.
Syafa’at adalah suatu pengampunan dari Tuhan, Nabi dan
Rasul juga bisa memberikan syafa’at bagi umat mereka. Nabi
dan Rasul terjaga dari perbuatan salah dan dosa, karena jika

223
mereka melakukan kesalahan dan dosa maka pastilah umatnya
akan diperintah melakukan yang mereka perbuat.
3. Hari kiamat adalah hal yang pasti, bagi siapa yang
mengingkarinya maka dihukumi murtad akidahnya. Tuhan
bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat oleh orang-orang
yang beriman tanpa tata cara seperti melihat di dunia. Surga
dan nereka telah diciptakan, dan wujud keduanya ada saat ini.
Dan keduanya juga bersifat kekal (dikekalkan Tuhan).
4. Secara garis besar dari tiga tema ilâhiyyah, nubuwwah dan
sam’iyyah, kalam Syekh Nawawi adalah bercorak kalam
tradisional yang berpaham Asy’ariyyah dan Mâturîdiyyah.

B. Saran
Dari kajian tentang tesis ini, maka penulis memberikan saran
sebagai berikut :
1. Kepada pembaca agar bisa lebih tertarik dalam mengakji
kajian-kajian klasik (turats) dari karya-karya para ulama,
terlebih karya para ulama asal Indonesia yang tidak kalah
integritas keilmuannya dengan para ulama di negara lain.
2. Karya-karya ulama asal Indonesia kiranya harus lebih
dikedepankan untuk dipelajari dan dipahami, untuk bisa
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan lebih cermat dan teliti
serta kritis dalam mengkaji karya-karya Syekh Nawawi al-
Bantani. Karena masih banyak tema-tema dan pembahasan
yang akan terus menarik untuk dikaji dari karya-karya beliau.

224 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Daftar Pustaka

Al-Qur’ân Al-Karîm
Asy’arî, Abû al-Hasan ‘Alî bin Ismâ’îl Al. Al-Ibânah ‘An Usûl al-
Diyânah. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011.
....... Kitâb Al-Luma’ fî Al-Radd ‘Alâ Ahl Al-Ziyagh wa Al-Bida’.
Mesir : T.pn., 1955.
……. Maqâlât al-Islâmiyyîn Wa Ikhtilâf al-Musallîn. Beirut : Al-
Maktabah al-‘Asriyyah, 2015.
Ahmad, Qâdî ‘Abd al-Jabbâr. Syarh Usûl Al-Khamsah. Kairo :
Maktabah Wahbiyyah, 1996.
Atsîr, Ibn Al. Al-Kâmil fî Usûl al-Dîn Fî Ikhtisâr al-Syâmil fî Usûl
al-Dîn li al-Imâm al-Haramain al-Juwainî. Kairo : Dar al-
Salâm, 2010.
Aizid, Rizem. Biografi Ulama Nusantara Disertai Pemikiran dan
Pengaruh Mereka. Yogyakarta : DIVA Press, 2016.
Asmin, Yudian Wahyu. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta:
Bumi Aksara, 2004.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam
Indonesia. Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2013.
Abbas, Paradigma dan Corak Pemikiran Teologi Islam Klasik dan
Modern, Kendari : IAIN, 2015.
Amin, Ma’ruf dan Anshari, M. Nashruddin. Pemikiran Syekh
Nawawi al-Bantani. Jakarta : Pesantren, vol. VI, no. I, 1989.
Abdillah, Junaidi. Dekonstruksi Tafsir Antroposentrisme : Telaah
Ayat-ayat Berwawasan Lingkungan. IAIN Raden Intan
Lampung, 2014.

225
Abdillah, Mujiyono. Agama Ramah Lingkungan. Jakarta:
Paramadina, 2001.
Akmal, Muhammad. Tauhid ilmu kalam. Bandung : Pustaka Setia,
2000.
Bantani, Muhammad Nawawi Al. Syarh Tîjân Al-Darârî. Jakarta :
Dar Al-Kutub Al-Islâmiyyah 2007.
……. Syarh al-Tsimâr al-Yâni’ah ‘alâ alfâz al-Riyâd al-Badî’ah.
Jakarta : Dar al-Kutub al-Islâmiyyah, 2010.
....... Fath al-Majîd Fî Syarh al-Durr al-Farîd Fî ‘Ilm al-Tauhîd.
Indonesia : Al-Haramain, 2006.
……. Nûr al-Zalâm Syarh ‘alâ Manzûmah ‘Aqîdat al-‘Awâm.
Jakarta : Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2008.
……. Marah Labîd li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân al-Majîd. Beirut : Dar
al-Kutub al’Ilmiyyah, 2015.
....... Kâsyifat Al-Sajâ fî Syarh Safînat Al-Najâ. Beirut : Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 2012.
……. Syarh Sullam al-Taufîq Ilâ Mahabbat Allâh ‘alâ al-Tahqîq.
Indonesia : Al-Haramian, t.t.
……. Bahjat al-Wasâ’il Bi Syarh al-Wasâ’il. Indonesia : Al-
Haramain, t.t.
……. Al-Nahjat Al-Jayyidah Li Hall Alfâz Naqâwah al-‘Aqîdah.
Indonesia : Haramain, t.t.
……. Qatr al-Ghaits Fî Syarh Masâ’il Abî Laits. Jakarta : Dar al-
Kutub al-Islamiyyah, 2011.
……. Qût al-Habîb al-Gharîb Tausyîh ‘alâ Ibn Qâsim. Jakarta : Dar
al-Kutub al-Islâmiyyah, 2002.
……. Nihâyat al-Zain Fî Irsyâd al-Mubtadi’în Syarh Qurrat al-‘Ain.
Jakarta : Dar al-Kutub al-Islâmiyyah, 2008.

226 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


……. Syarh Qâmi’ al-Tughyân fî Manzûmah Syu’b al-Îmân. Jakarta
: Dar al-Kutub al-Islâmiyyah, 2008.
Bukhârî, Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin al-
Mughîrah bin al-Bardizbah Al. Al-Jâmi’ al-Sahîh. Beirut :
Dar al-Qalam, t.t.
Bazdawî, Abû al-Yusr Al. Kitâb Usûl Al-Dîn. Kairo : Al-Maktabah
Al-Azhariyyah Li Al-Turâts, 2003.
Baghdâdî, Abd al-Qâhir bin Tâhir bin Muhammad Al. Al-Farq Bain
Al-Firaq. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2013.
Barzanjî, Muhammad bin Rasûl Al. Al-Isyâ’ah li Asyrât al-Sâ’ah.
Kairo : Dar al-Hadîts, 2002.
Baijûrî, Ibrâhîm bin Muhammad Al. Tuhfah al-Murîd ‘Alâ Jauharah
al-Tauhîd. Indonesia : Al-Haramain, t.t.
Bughâ, Mustafâ Dîb Al. Al-Wâfî Fî Syarh al-Arba’în al-
Nawawiyyah. Damaskus : Dar al-Musthafâ, 2006.
Bûtî, Muhammad Sa’îd Ramadân Al. Al-Madzâhib al-Tauhîdiyyah
wa al-Falsafât al-Mu’âshirah. Beirut : Dar al-Fikr, t.t.
Bruinessen, van Martin. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat.
Yogyakarta : Gading Publishing, 2012.
Bizawie, Zainul Milal. Masterpiece Islam Nusantara, Sanad dan
Jejaring Ulama-Santri. Tangerang Selatan, Ciputat :
Pustaka Compas, 2016.
Darat, Sholeh. Tarjamah Sabîl al-‘Abîd ‘alâ Jauharah al-Tauhîd.
Bogor : Sahifa Publishing, 2017.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup
Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indoensia . Jakarta
: LP3ES, 2011.
Dahlan, Abdul Aziz. Teologi Islam. Jakarta : Ushul Press, 2012.

Daftar Pustaka 227


……. Penilaian Teologis Atas Paham Wahdat al-Wujûd Kesatuan
Tuhan, Tuhan Alam Manusia, Dalam Tasawuf Syamsuddin
Sumatrani. Padang : IAIN-IB Press, 1999.
Esa, Muhammad In ‘Am. Rethingking Kalam, Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2006.
Furâk, Muhammad bin al-Hasan Ibn. Maqâlât al-Syeikh Abî al-
Hasan al-Asy’arî. Mesir : Maktabah al-Tsaqâfiyyah al-
Dîniyyah, 2006.
Fasyanî, Ahmad Ibn Hijâzî Al. Syarh Mawâhib Al-Samad Fî Hall
Alfâz Al-Zubad. Indoensia : Al-Haramain, t.t.
Fudâlî, Muhammad. Kifâyat Al-‘Awâm. Surabaya : Dar al-‘Ilm, t.t.
Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad Al. Al-Iqtisâd Fî al-I’tiqâd. Kairo :
Syirkah al-Quds. 2012.
……. Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2016.
……. Al-Qanûn al-Ta’wîl. Dalam Kitab Majmûah Rasâ’il Al-Imâm
al-Ghazâlî, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2013.
……. Kitâb al-Arba’în Fî Usûl al-Dîn. Jakarta : Dar al-Kutub al-
Islâmiyyah, 2014.
Ghurâbî, ‘Alî Mustafâ Al. Târîkh al-Firaq al-Islâmiyyah wa nasy’at
‘Ilm al-Kalâm ‘Ind al-Muslim. Kairo : 1958.
Hâmid, ‘Irfan ‘Abd Al. Dirâsat fî Al-Firaq wa Al-‘Aqâ’id Al-
Islâmiyyah. Baghdâd : Matba’ah As’ad, t.t.
Harahap, Syahrin, dan Nasution, Hasan Bakti. Ensiklopedi Akidah
Islam. Jakarta : Kencana, 2009.
Hakîm, ‘Abd al-Hâmid. al-Bayân Fî Usûl al-Fiqh. Jakarta :
Maktabah Sa’adiyah Putra, t.t.
Hanafi, Ahmad. Teologi Islam (Ilmu Kalam), Cet. X. Jakarta : Bulan
Bintang, 1993.

228 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Hasan, Muhammad Thoha. Ahlussunnahwal Jama’ah dalam Persepsi
dan Tradisi NU. Jakarta: Aniuhnia Press, 2005.
Hamka. Sejarah Umat Islam Pra-Kenabian Hingga Islam di
Nusantara. Jakarta : Gema Insani, 2016.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama. Jakarta:
Paramadina, 1996.
Imârah, Muhammad. Tayyârat al-Fikr al-Islâmî. Kairo : Dar al-
Syurûq, 1991.
Iqbal, Asep Muhammad. Yahudi dan Nasrani dalam Al-Qur’an.
Jakarta : Teraju, 2004.
Juwainî. Imâm Al-Haramain Al. Al-Irsyâd Ilâ Qawâti’ al-Adillat Fî
Usûl al-I’tiqhâd. Kairo : Maktabah al-Tsaqafiyah al-
Dîniyyah, 2015.
Jurjânî, ‘Alî bin Muhammad Al. Kitâb al-Ta’rîfât. Indonesia : Al-
Haramain, t.t.
Jabiri, Muhammad Abed Al. Nalar Filsafat dan Teologi Islam.
Yogyakarta : IRCiSoD, 2003.
Khaldûn, Ibn. Terjemah Muqaddimah Ibn Khaldûn . Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2000.
Kamal, Zainun. Ibn Taimiyah Versus Para Filosof Polemik Logika,
Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006.
Mâturîdî, Abû Mansûr Al. Kitâb al-Tauhîd. Beirut : Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2006.
Mulyati, Sri. Sufism in Indonesia: An Analys’s of Nawawi al-
Bantani’s Salâlim al-Fudalâ, M.A Thesis. Montreal: McGill
University, 1992.
Mas’ud, Abdurrahman. Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Arsitek
Intelektual Pesantren. Jakarta : Kencana, 2006.
Madjid, Nurcholish. Islam Indonesia Menatap Masa Depan :
Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang

Daftar Pustaka 229


terhimpun dalam buku Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh
Hingga Paham Kebangsaan. Bandung : PT Mizan Pustaka,
2015.
……. Kalam Kekhalifaan Manusia dan Reformasi Bumi. Jakarta :
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998.
Musa, M. Yusuf. Al-Qur’ân dan Filsafat (Penuntun Mempelajari
Filsafat Islam). Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1991.
Maimoen, Muhammad. Najih. Ahlussunnah wal Jama’ah Aqidah,
Syariah, Amaliah. Sarang : Toko Kitab al-Anwar,t.t.
Muniron. Ilmu kalam, Sejarah, Metode, Ajaran, dan Analisis
Perbandingan. Yogyakarta : STAIN Jember Press, 2015.
Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme dalam
politik Islam, Jakarta : Paramadina, 1999.
Naisabûrî, Abû al-Hasan Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî Al. Al-
Jâmi’ al-Sahîh. Kairo : Dar al-Hadîts, 2010.
Nawawî, Muhyi al-Dîn Abî Zakariyâ Yahyâ bin Syaraf Al. Tabaqât
al-Fuqahâ al-Syâfi’iyyah. Mesir : Maktabah al-Tsaqâfiyyah
al-Dîniyyah, 2009.
Nasution, Harun . Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan. Jakarta : UI-Press, 2015.
……. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek. Jakarta : UI Press, 1986.
……. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta : Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1998.
Nasir, Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran,
dan Perkembangannya. Jakarta: Raja grafindo Persada,
2010.
Nasr, Sayeed Hossein. Ensiklopedi Spiritualitas Islam. Bandung :
Mizan, 2003.
……. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung : Mizan, 2003.

230 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani


Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta : Gaya Media
Pratama, 2013.
Nawawi, Rohimuddin. Syekh Nawawi Al-Bantani Ulama Indonesia
Yang Menjadi Imam Besar Masjidil Haram. Depok :
Melvana Media Indonesia, 2017.
Putra, Suadi. Muhammad Arkoun Islam dan Modernitas, Jakarta :
Paramadina, 1998.
Qattân, Mannâ’ Al. Mabâhits Fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Riyâd : Dar al-
Rasyîd, t.t.
Rusyd, Abû al-Walîd Ibn. Risâlah Mâ Ba’d Al-Tabî’ah. Beirut : Dar
al-Fikr, 1994.
Râzî, Fakh al-Dîn Al. I’tiqâdât Firaq al-Muslimîn Wa al-Musyrikîn.
Beirut : Dar al-Kitâb al-‘Arabi, 2006.
Râzî, Muhammad bin Abû Bakar bin ‘Abd al-Qâdir Al. Mukhtâr al-
Sihhah. Kairo : Dar al-Hadîts, 2008.
Raziq, Mushthafâ ‘Abd. Tamhîd Li al-Târîkh Al-Falsafah Al-
Islâmiyyah. Lajnah wa At-Ta’lif wa At-Tarjamah wa An-
Nasyr, 1956.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihon. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka
Setia, 2013.
Syahrastânî, Abû Al-Fath Muhammad bin ‘Abd al-Karîm Al. Al-
Milal wa al-Nihal. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2013.
Syâfi’î, Muhammad bin Idrîs Al. Al-Kawâkib al-Azhâr Syarh al-
Fiqh al-Akbar. Beirut : Dar al-Fikr, t.t.
Suyûtî, Jalâl Al-Dîn Al. Al-Itqân Fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut : Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2015.
Syairâzî, Abû Ishâq Al. Alluma’ Fî Usûl Al-Fiqh. Jakarta : Dar al-
Kutub al-Islâmiyyah, 2011.
Syarqâwî, ‘Abd Allâh Al. Hâsyiah al-Syarqâwî alâ al-Hudhudî.
Indonesia : Al-Haramain, t.t.

Daftar Pustaka 231


Sâbiq, Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah Al. Mu’jam al-Wajîz. Mesir
: Maktabah al-Syarûq al-Daulah, 2012.
Shiddiqieqy, Teuku Muhammad Hasbi Ash. Sejarah Pengantar Ilmu
Tauhid/Kalam. Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2009.
Syurbashi, Ahmad. Biografi Empat Imam Mazhab. Laweyan Solo :
Media Insani Press, 2006.
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan
yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat Al-
Qur’ân. Tangerang : Lentera Hati, 2013.
Samsul, Munir Amin. Sayyid Ulama Hijaz Biografi Syekh Nawawi
al-bantani. Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2009.
Soleh, Khudori. Teologi Islam Perspektif Al-Farabi dan Al-Ghazali.
Malang : UIN-Maliki Press, 2013.
Tirmidzî, Abû ‘Îsâ Muhammad bin Îsâ Al. Sunan al-Tirmidzî. Beirut
: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2014.
Tilimsânî, Syaraf al-Dîn Al. Syarh Lam’ al-Adillah. Kairo : Dar al-
Hadîts, 2009.
Taufik, Abdullah dan M. Rusli Karim, (Ed.), Metodologi Penulisan
Agama Satu Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.
Tim Penyusun. Pedoman Akademik Program Magister Fakultas
Ushuluddin UIN Jakarta, 2012.
Yahsbî, Qâdî ‘Iyyâd bin Mûsâ Al. Al-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-
Mustafâ. Kairo : Al-Quds, 2010.
Yusuf, Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Jakarta :
Pustaka Panjimas, 1990.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya . Jakarta :
Rajawali Press, 2009.

232 Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani

Anda mungkin juga menyukai