Anda di halaman 1dari 97

SENGKETA TANAH DENGAN KEPEMILIKAN GANDA

(STUDI KASUS DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi salah satu
Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Zakiyah Arwani
11150430000051

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/1441 H
ABSTRAK
Zakiyah Arwani 11150430000051, SENGKETA TANAH DENGAN
KEPEMILIKAN GANDA (STUDI KASUS DI PENGADILAN TATA
USAHA NEGARA JAKARTA), Jurusan Perbandingan Mazhab, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun
2020 M/ 1441 H.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apa saja yang menjadi penyebab
adanya sengketa tanah dengan kepemilikan ganda, dan untuk memahami
bagaimana proses penyelesaian sengketa tanah dengan kepemilikan ganda.
Dengan rumusan masalah Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan adanya
sengketa tanah dengan kepemilikan ganda di Pengadilan Tata Usaha Negara dan
Bagaimana proses penyelesaian sengketa tanah dengan kepemilikan ganda.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yuridis. Data
primer pada penelitian ini adalah wawancara langsung di Pengadilan Tata Usaha
Jakarta dan data sekunder penelitian ini adalah data yang diperoleh dari buku-
buku, jurnal, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini
kemudian dirangkai dengan metode kualitatif.
Penelitian memberikan kesimpulan bahwa Faktor-faktor yang
menyebabkan sengketa tanah dengan kepemilikan ganda yang ada di Pengadilan
Tata Usaha Negara Jakarta ialah sebagai berikut: Struktur Hukum, Kekuatan
pembuktiannya yang terletak pada aslinya yaitu sertifikat. Yang dimana apabila
seseorang memiliki sebidang tanah maka ia harus membuatkan tanah tersebut
sertifikat dengan memakai sistem pendaftaran (kadesteral). Struktur sarana dan
pra sarana, Sistem hukum pertanahan masih memakai sistem administrasi manual,
walaupun sekarang sudah mulai proses perbaikan data-data seperti sertifikat-
sertifikat yang sudah ada barkodenya. SDM yang masih korup, dengan adanya
pejabat atau aparat pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk
kepentingan pribadinya. Tanah tersebut sudah bersertifikat akan tetapi adanya
oknum yang berkuasa dengan sengaja melakukan pembuatan sertifikat lagi
dengan objek tanah yang sama. Budaya Hukum, masyarakat itu sendiri yang tidak
memiliki kesadaran atau, dengan artian pemilik tanah itu sendiri yang tidak
memperhatikan tanah miliknya dan tidak memanfaatkanya dengan baik sehingga
di ambil alih oleh orang lain dan kemudian di manfaatkan karna merasa bahwa
tanah tersebut tidak bertuan atau tidak ada pemiliknya.

Kata Kunci : Pertanahan, Sengketa, Ganda, PTUN Jakarta.


Pembimbing : 1. Mustolih Siradj, M.H., C.L.A.
2. Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.
Daftar Pustaka: 1962 – 2018

iv
PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf

Arab Huruf Latin Keterangan

‫ا‬ Tidak dilambangkan

‫ب‬ b be

‫خ‬ t te

‫ث‬ ts te dan es

‫ج‬ j Je

‫ح‬ h ha dengan garis bawah

‫خ‬ kh ka dan ha

‫د‬ d de

‫ذ‬ dz de dan zet

‫ر‬ r Er

‫س‬ z zet

‫س‬ s es

v
‫ش‬ sy es dan ye

‫ص‬ s es dengan garis bawah

‫ض‬ d de dengan garis bawah

‫ط‬ t te dengan garis bawah

‫ظ‬ z zet dengan garis bawah

‫ع‬ koma terbalik di atas hadap kanan

‫غ‬ gh ge dan ha

‫ف‬ f ef

‫ق‬ q Qo

‫ك‬ k ka

‫ل‬ l el

‫م‬ m em

‫ن‬ n en

‫و‬ w we

‫ه‬ h ha

‫ء‬ apostrop

‫ي‬ y ya

vi
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan


Arab Latin
‫ـــــَـــــ‬ a fathah
‫ـــــِـــــ‬ i kasrah
‫ـــــُـــــ‬ u dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:

Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan


Arab Latin

‫ي‬
َ ‫ـــــَـــــ‬ ai a dan i

‫ـــــَـــــ و‬ au a dan u

c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan
Arab Latin

‫اـَــــ‬ â a dengan topi diatas

‫ىـِــــ‬ î i dengan topi atas

‫وــُـــ‬ û u dengan topi diatas

vii
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan
lam )‫)ال‬, dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya: ‫= اإلجثهاد‬al-ijtihâd
‫ = الزخصح‬al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

e. Tasydîd (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: ‫ = الشفعة‬al-syuî
‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah

f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi
huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 ‫شزٌعح‬ syarî ‘ah

2 ‫الشزٌعح اإلسالمٍح‬ al- syarî ‘ah al-islâmiyyah

3 ‫مقارنح المذاهة‬ Muqâranat al-madzâhib

g. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa
jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan

viii
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata
sandangnya. Misalnya, ‫ =البخاري‬al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama
tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

1 ‫الضزورج تثٍح المحظىراخ‬ al-darûrah tubîhu almahzûrât

2 ً‫اإلقتصاد اإلسالم‬ al-iqtisâd al-islâmî

3 ‫أصىل الفقه‬ usûl al-fiqh

4 ‫األصل فى األشٍاء اإلتاحح‬ al-‘asl fi al-asyyâ’ alibâhah

5 ‫المصلحح المزسلح‬ al-maslahah al-mursalah

ix
KATA PENGANTAR

‫ميحرلا نمحرلا هللا‬ ‫بسم‬

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu
syarat menyelesaikan studi. Shalawat beriring salam penulis curahkan kepada
Nabi kita Sayyidina Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman
jahiliyyah hingga zaman keilmuan seperti sekarang ini. Dan tak lupa pula kepada
keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang selalu mengamalkan sunnahnya
hingga akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “Sengketa Tanah Dengan Kepemilikan Ganda


(Studi Kasus Di Pengadilan Tata Usaha Negara)” merupakan karya tulis
penutup di tingkatan Strata 1 dari semua pembelajaran yang sudah penulis
dapatkan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga
lahirnya karya tulis ini dapat menambah khazanah keilmuan khususnya bagi
penulis umumnya bagi para akademisi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis sangat menyadari akan pentingnya


keberadaan orang-orang di sekitar penulis baik itu yang memberi dukungan secara
keilmuan, pemikiran maupun materi serta dukungan lain baik secara moril
maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dukungan
mereka sangatlah berarti karena dukungan mereka segala halangan dan hambatan
yang ada dapat teratasi dengan mudah dan terarah. Untuk itu penulis
mengucapkan rasa terima kasih yang amat dalam kepada yang terhormat :

1. Bapak KH. Dr. Ahmad Thalabi Karlie, S.Ag., S.H., M.H., Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Hj Siti Hanna, M.A, Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan
Bapak Hidayatullah, S.H. M.H, Sekretaris Prodi yang telah membantu segala

x
hal yang bekenaan dengan perkuliahan hingga motivasinya dalam
menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Mustolih Siradj, M.H., C.L.A dan Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.
selaku dosen Pembimbing Skripsi atas kesabaran membimbing, mengarahkan
dan meluangkan waktunya bagi penulis sehingga skripsi ini lebih terarah dan
menjadi lebih baik.
4. Bapak Drs. Ahmad Sudirman Abbas, M.A selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang telah membimbing penulis selama perkuliahan.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas memberikan
ilmu yang bermanfaat sehingga penulis dapat menyambung ilmu baik dalam
dunia pekerjaan maupun akademik ditingkat lebih tinggi.
6. Pimpinan beserta staf jajarannya Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk
mengadakan studi kepustakaan ini berupa buku dan literatur lainnya seingga
penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.
7. Teruntuk Kedua Orang Tua, Abuyah dan Umi yang sangat penulis cintai dan
terimakasih yang telah mencurahkan segalanya baik itu yang bersifat
dukungan moril maupun materil. Semoga Allah SWT selalu memberikan
keberkahan, kesehatan dan kemulian di dunia maupun akhirat atas segala
kebaikan yang telah diberikan kepada penulis atas segalanya semoga dapat
membahagiakan, membanggakan, dan menjadi anak yang berbakti kelak.
8. Teruntuk My Kost Kece Nakia Hana Sakova dan Euis Laelatussa’adah,
terimakasih untuk kisah kasihnya selama 4 tahun terakhir ini. Terimakasih
untuk coretan warna warni kehidupan yang luarbiasa ini. Terimakasih sudah
menjadi temen sahabat sekaligus keluarga disetiap season kehidupan ini.
Terimakasih untuk semua cerita hitam dan putihnya selama di ciputat, i will
never forget that guys and I love you more.
9. Teruntuk Nabilah Al Haramain, Siti Nur Aini dan Ratna Dwi Cahyani temen
yang selalu setia menemani disetiap waktunya dan membantu segenap jiwa
dan raga hingga saat ini. Terimakasih sudah mau berbagi kesedihan kesusahan
dan kesenangan selama hidup di ciputat ini.

xi
10. Teruntuk sahabat-sahabat PMII Komfaksyahum terkhusus kalian 2015 yang
tak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih telah hadir dan memberikan
semua pembelajaran dan pengalaman berharganya diluar bangku perkuliahan
selama ini.
11. Teruntuk keluarga besar Perbandingan Mazhab 2015 yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, yang telah saling membantu disegala keadaan dan
menjadi tempat bertukar fikiran dengan penuh semangat dan kerja keras.
12. Ucapan terakhir penulis tujukan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis
sebut satu persatu namun tidak mengurangi rasa terima kasih penulis atas
bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Karena proses tidak akan mendustakan hasil, semuanya bergantung kepada


kekuasaan Allah SWT yang Maha Segalanya. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi siapapun yang membacanya dan menjadi amalan baik yang akan
dicatat oleh malaikat sebagai bekal kita di akhirat nanti. Amin.

Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Thoriiq

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Ciputat, 20 Januari 2020

Penulis

Zakiyah Arwani
NIM. 11150430000051

xii
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... i


PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii
ABSTRAK .......................................................................................................... iv
PEDOMAN LITERASI ..................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ x
DAFTAR ISI .....................................................................................................xiii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Permasalahan ................................................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 7
D. Review Pustaka Terdahulu ............................................................ 8
E. Metode Penelitian .......................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan .................................................................... 11

BAB II LANDASAN TEORI HUKUM PERTANAHAN


A. Pengertian dan Teori Pertanahan ................................................... 13
B. Hak Atas Tanah ............................................................................. 15
C. Pendaftaran Tanah ......................................................................... 18
D. Sertifikat Hak Atas Tanah ............................................................. 22
E. Kedudukan Tanah dalam Islam .................................................... 30

BAB III KETENTUAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA


JAKARTA DAN MASALAH PERTANAHAN
A. Profil Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta ............................... 35
B. Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta ......................... 43
C. Sengketa Tanah dan Kepemilikan Ganda ...................................... 47
D. Konsep Kepemilikan Menurut Hukum Islam ................................ 49

xiii
BAB IV SENGKETA TANAH DENGAN KEPEMILIKAN GANDA
A. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan ganda... 56
B. Bentuk penyelesaian sengketa tanah dengan kepemilikan ganda di
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta ......................................... 61
C. Analisis Sengketa Tanah Dengan Kepemilikan Ganda .................. 64

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 67
B. Rekomendasi ................................................................................. 68

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 69


LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................ 74

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanah atau wilayah merupakan sumber daya alam dari suatu negara, bagi
Bangsa Indonesia yang merupakan suatu negara yang disebut sebagai bangsa
agraris atau pun kepulauan, tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting
dalam rangka penyelenggaraan hidup dan kehidupan manusia.1 Disisi lain, bagi
negara dan pembangunan, tanah juga menjadi modal dasar bagi penyelenggaraan
kehidupan bernegara dalam rangka integritas Negara Kesatuan Republik
Indonesia ( NKRI ) dan untuk mewujudkan sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
Oleh karena yang kedudukannya yang demikian itulah penguasaan, pemilikan,
penggunaan maupun pemanfaatan tanah memperoleh jaminan perlindungan
hukum dari pemerintah.

Bertambah majunya perekonomian rakyat dan perekonomian nasional,


maka bertambah pula keperluan akan kepastian hukum di bidang Pertanahan.
Tanah makin lama, makin banyak yang tersangkut masalah perekonomian. Di
dalam kehidupan sehari-hari sertifikat tanah seringkali menjadi persengketaan
bahkan sampai ke sidang pengadilan. Hal ini timbul karena tanah mempunyai
fungsi yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, yang membuat
masyarakat berusaha untuk memperoleh tanah dengan berbagai cara bahkan
dengan menyerobot tanah milik orang lain. Rasa ingin menguasai ini sering
mengakibatkan timbulnya masalah-masalah pertanahan dan perselisihan di dalam
kehidupan bermasyarakat.

Hukum pertanahan dalam islam dapat di definisikan sebagai hukum-


hukum islam mengenai tanah dalam kaitannya dengan hak kepemilikan
(milkiyah), pengelolaan (tasharruf), dan pendistribusian (tauzi‟) tanah. Islam

1
Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Prespektif Hak Ekonomi, Sosial,dan Budaya
Jakarta: Kompas, 2009, h.41

1
2

mengajarkan kepada umatnya agar meletakkan dan memposisikan persoalan harta


(kekayaan duniawi) dalam tinjauan relatif, yaitu perlunya kesadaran bahwa harta
kekayaan yang bersifat duniawi hakikatnya adalah milik Allah dan sifat
kepemilikannya bersifat semu. Artinya, bahwa kepemilikan manusia terhadap
hartanya dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Kepemilikan manusia atas harta
benda tidak lebih sebuah amanah.

Akibat adanya persengketaan di bidang pertanahan dapat menimbulkan


konflik-konflik yang berkepanjangan antar warga masyarakat yang bersengketa,
bahkan sampai kepada ahli warisnya, yang dapat menimbulkan banyak korban.
Kesemuanya bermula dari pertanyaan-pertanyaan tentang siapakah yang lebih
berhak atas tanah tersebut, sehingga para pihak berlomba-lomba membuktikan
bahwa merekalah yang lebih berhak atas tanah tersebut.2

Sengketa hak atas tanah di atas timbul karena beberapa alasan yang
dijadikan dasar gugatan ke pengadilan. Gugatan yang berupa tuntutan hak atas
suatu tanah bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh
pengdilan untuk mencegah eigenrichting3. Sengketa tanah ini dapat digugat ke
Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri hingga ke tingkat
Mahkamah Agung, bahkan perkara ini melibatkan pihak ketiga dengan adanya
derdenverzet (perlawanan pihak ketiga).

Penyelesaian terhadap sengketa tersebut menjadi kunci penting untuk


menutup terjadinya kegoncangan dalam kehidupan bermasyarakat. Sengketa
perdata adalah suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan antara individu
dengan individu mengenai kepentingan pribadi. Status tanah hak milik yang akan
diperjualbelikan memiliki potensi konsekuensi dengan para pemiliknya yakni
setiap semua pemilik berhak atas kepemilikan tanah. Timbulnya sengketa hukum
yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan hukum) yang berisi
2
Tika Nurjannah, Penyelesaian Sengketa Sertifikat Ganda Hak Atas Tanah, Jurnal,
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar, 2016, h.16
3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2002,
h.3
3

keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah,
prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh
penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.4

Definisi Pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun


1997 merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah
berdasarkan Pasal 19 ayat (2) PP No. 10 Tahun 1961 yang hanya meliputi:
Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas
tanah serta pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembukuan yang kuat.5
Jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran tanah ini,
meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian subjek hak, dan kepastian
objek hak. Pendaftaran tanah ini menghasilkan Sertifikat Tanah atau sertifikat
hak-hak atas tanah sebagai tanda bukti yang sah.

Salah satu alat bukti hak atas tanah adalah Sertifikat, Sertifikat merupakan
alat bukti yang kuat dan autentik kekuatan sertifikat Merupakan jaminan kepastian
hukum bagi pemegang Sertifikat sebagai alat bukti yang sempurna sepanjang
tidak ada pihak lawan yang membuktikan sebaliknya. Seorang atau badan hukum
akan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas suatu bidang tanah
serta keadaan dari tanah itu, misalnya luas, batas-batas, bangunan yang ada, jenis
haknya beserta beban-beban yang ada pada hak atas tanah itu, dan sebagainya.6

Pada faktanya walaupun pendaftaran tanah sudah dilakukan, namun masih


terjadinya sengketa hak-hak atas tanah di tengah-tengah masyarakat yang bahkan
sampai pada gugatan-gugatan ke Pengadilan, yang mengakibatkan terjadinya
pemblokiran sertifikat hak atas tanah tersebut oleh Kantor Pertanahan.
Permohonan pemblokiran terhadap sertifikat hak atas tanah tersebut dapat
dilakukan pihak pengadilan karena adanya gugatan, di antaranya karena terjadinya
sertifikat ganda, hutang piutang atau karena pailit dan lain-lain.

4
Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta : Rajawali, 1986, h. 13.
5
Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, “Hukum Pendaftaran Tanah”,
Bandung: Mandar Maju, 2008, h.138
6
Andrian Sutedi, Sertifikat Hak Atas Tanah, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h.57
4

Pengaduan-pengaduan masalah pertanahan pada dasarnya merupakan


suatu fenomena yang mempersoalkan kebenaran suatu hukum yang berkaitan
dengan pertanahan. Hal ini dapat berupa produk-produk pertanahan tersebut,
riwayat perolehan tanah, penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah, pembebasan tanah dan sebagainya. Hampir semua aspek pertanahan dapat
mencuat menjadi sumber sengketa pertanahan, seperti halnya keliru akan batas-
batas tanah maupun keliru akan pemberian warisan. Oleh karenanya tanah perlu
ada pengaturannya serta lembaga negara yang secara khusus berkecimpung dan
berwenang dalam pertanahan ataupun masalah penanganan pertanahan. 7

Akan tetapi, seiring dengan tingginya nilai dan manfaat tanah, banyak
orang yang berupaya memperoleh bukti kepemilikan tanah dengan memiliki
sertifikat palsu, dimana data yang ada pada sertifikat tidak sesuai dengan yang ada
pada buku tanah. Jumlah sertifikat palsu cukup banyak, sehingga menimbulkan
kerawanan. Umumnya sertifikat palsu dibuat pada tanah yang masih kosong dan
mempunyai nilai tinggi yang menggunakan blangko sertifikat lama. Pemalsuan
sertifikat terjadi karna tidak didasarkan pada alas hak yang benar, seperti
penerbitan sertifikat yang tidak didasarkan pada alas hak yang benar, Seperti
penerbitan sertifikat yang didasarkan pada surat keterangan pemilikan yang
dipalsukan. bentuk lainnya berupa stempel BPN dan pemalsuan data pertanahan.
Hal tersebut menimbulkan banyak masalah sehingga terkadang terdapat sertifikat
dimana objek yang tertera di dalam sertifikat tersebut bukanlah yang seharusnya
akan tetapi tanah milik orang lain yang dibuatkan surat oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab atau terdapat kelalaian di dalam penerbitan surat tersebut,
kemudian juga terdapat bukti kepemilikan yang sama terhadap dua setifikat
dengan satu objek yang sering disebut dengan sertifikat ganda.8

7
Astri Isnaini, Tinjauan Hukum Terhadap Sengketa Hak Atas Tanah Di Kota Makassar,
Skripsi (Makassar: Fakultas Syari’ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
2017) h. 3
8
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Cet. I, Jakarta:Prestasi Pustaka, 2002, h.
137
5

Dari salah satu permasalahan diatas, Sertifikat ganda atas tanah secara
singkat dapat diartikan sebagai sertifikat-sertifikat yang menguraikan satu bidang
tanah yang sama atau secara luas sertifikat ganda adalah surat keterangan
kepemilikan (dokumen) dobel yang diterbitkan oleh badan hukum yang
mengakibatkan adanya pendudukan hak yang saling bertindihan antara satu
bagian dengan bagian lain, sehingga terbitlah sertifikat ganda yang berdampak
pada pendudukan tanah secara keseluruhan ataupun sebagaian tanah milik orang
lain. Pada kenyataannya Sertifikat ganda merupakan salah satu permasalahan
yang ditemukan dalam masyarakat. Tingginya masalah pertanahan tidak hanya
meresahkan masyarakat tetapi juga sangat mempengaruhi kinerja BPN sebagai
institusi yang mempunyai tugas pokok melaksanakan administrasi pertanahan.9

Adapun sertifikat ganda yaitu sebidang tanah mempunyai lebih dari satu
sertifikat,10 karna itu membawa akibat ketidakpastian hukum bagi pemegang hak-
hak atas tanah yang sangat tidak diharapkan dalam pendaftaran tanah di
Indonesia. Sertifikat ganda kerap terjadi di Jatiasih yang mengakibatkan sengketa
para pemegang sertifkat yang saling menuding bahwa apa yang mereka miliki itu
benar adanya walaupun kemudian salah satu diantara sertifikat itu ada yang palsu
dimana objek yang tertera pada sertifikat tersebut bukan yang sebenarnya,
sehingga untuk mendapatkan kepastian hukum mengenai sertifikat hak atas tanah,
salah satu diantara pemengang sertifikat tersebut melakukan gugatan kepada
Pengadilan Negeri yang dianggap memiliki kompetensi untuk memberikan
kepastian hukum terhadap pemegang hak tersebut dan membatalkan salah satu
diantara sertifikat yang timbul sehingga hanya satu sertifikat yang sah yang
memiliki objek dan yang lainnya tidak atau bukan objek yang tertera didalam
sertifikat tersebut.

9
Aprilia Wulandari, Penyelesaian sengketa tanah terhadap sertifikat ganda di badan
pertahanan nasional sukoharjo, Skripsi (Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Surakarta 2018)
h. 3
10
Soni Harsono, Kegunaan Sertifikat dan Permasalahannya, Yogyakarta: Seminar
nasional 9 Juli 1992, h. 6
6

Sengketa sertifikat ganda timbul karena adanya keberatan dari pihak yang
dirugikan berupa tuntutan atas keputusan Tata Usaha Negara yang di tetapkan
oleh Pejabat Tata Usaha Negara dilingkungan Badan Pertanahan Nasional,
pengajuan keberatan bertujuan pemilik sertifikat dapat menyelesaikan secara
administrasi untuk mendapat koreksi dari Pejabat Tata Usaha Negara. Akibat
sengketa sertifikat ganda kekuatan hukum sertifikat akan hilang. Untuk
menyelesaikan sengketa sertifikat ganda ditempuh jalan musyawarah bila tidak
ada kesepakatan dapat diselesaikan sepihak oleh Kepala Kantor Badan Pertanahan
Nasional, jika para pihak masih tidak dapat menerima keputusan tersebut dapat
mengajukan gugatan pada putusan Peradilan Tata Usaha Negara.

Melihat dari beberapa persoalan yang krusial dalam permasalahan ini


menjadi menarik umtuk dikaji dan dengan adanya fakta tersebut penulis
memandang bahwa perlu adanya penelitian mengenai lebih lanjut mengenai
penyelesaian sengketa tanah kepemilikan ganda dan menuangkan dalam karya
tulis ilmia (skripsi) yang berjudul : SENGKETA TANAH DENGAN
KEPEMILIKAN GANDA (STUDI KASUS DI PENGADILAN TATA USAHA
NEGARA JAKARTA)

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka
identifikasi masalahnya sebagai berikut :
a. Hak hak kepemilikan atas tanah
b. Proses pendaftaran tanah
c. Sertifikat sebagai bukti kepemilikan
d. Faktor yang menjadi penyebab adanya kepemilikan ganda
e. Konsep Kepemilikan menurut hukum Islam
f. Akibat hukum sengketa tanah dengan kepemilikan ganda
g. Bentuk penyelesaian sengketa tanah dengan kepemilikan ganda
7

2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, fokus
masalah pada studi ini yaitu pada sengketa tanah dengan kepemilikan ganda studi
kasus di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan data pada priode tahun
2019 untuk menghindari adanya perluasan masalah yang akan dibahas.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang diteliti
dirumuskan sebagai berikut:
a. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan adanya sengketa tanah dengan
kepemilikan ganda?
b. Bagaimana proses penyelesaian sengketa tanah dengan kepemilikan ganda
di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi penyebab adanya sengketa tanah
dengan kepemilikan ganda.
b. Untuk memahami bagaimana proses tinjauan hukum terhadap
penyelesaian sengketa tanah dengan kepemilikan ganda.
2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat memberikan manfaat,
diantaranya :
a. Menjadikan bahan pertimbangan untuk berhati-hati dalam jual beli tanah
di masa yang akan datang.
b. Memberikan sebuah gambaran terhadap proses penyelesaian sengketa
tanah kepemilikan ganda.
8

D. Review Pustaka Terdahulu


Dalam pembuatan skripsi ini sebelumnya penulis melakukan kajian
terhadap tulisan-tulisan terdahulu. Akan tetapi sayangnya tulisan-tulisan tersebut
hanya berupa judulnya saja, namun bentuk nyata dari tulisan-tulisan tersebut
sudah tidak ditemukan. Adapun tulisan-tulisan tersebut memiliki tema sebagai
berikut :
1. Skripsi karya Riki Dendih Saputra, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Program
Studi Ilmu Hukum dan Konsentrasi Hukum Bisnis, Universitas Islam Negeri
Hidayatullah Jakarta, 2017 yang berjudul “Penyelesaian Sengketa
Kepemilikan Tanah Yang Bersertifikat Ganda Menurut Aturan Badan
Pertanahan Nasional Di Wilayah Tangerang Selatan”, yang memiliki
rumusan masalah sebagai berikut: (1) Apa faktor-faktor sertofikat ganda dapat
diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional? (2) Mengapa masyarakat di
wilayah Tangerang Selatan tidak memiliki sertifikat kepemilikan tanah?.
Skripsi ini menyimpulkan bahwa Masyarakat Tangerang Selatan yang tidak
terlalu peduli terhadap pentingnya menjaga aset tanah yang dia miliki,
masyarakat berfikir untuk memiliki sertifikat tanah sangatlah sulit dan terlalu
banyak aturan-aturan yang harus diselesaikan, masyarakat pun berfikir
memiliki sertifikat tanah harus mengeluarkan biaya cukup mahal dan
memerlukan waktu yang cukup lama. Faktor yang menimbulkan sertifikat
ganda karena kesalahan dari pihakBadan Pertanahan Nasional. Faktor tersebut
timbul karena pihak Badan Pertanahan Nasional tidak melakukan pemetaan
ulang di setiap daerah dan seharusnya sebelum membuat sertifikat tanah, dia
harus melakukan pengecekan ulang atas tanah yang di daftarkanoleh
masyarakat tersebut agar tidak adanya tumpah tindih atas kepemilikan tanah
tersebut.
2. Skripsi karya Havidz Farizky, Fakultas Hukum, Program Studi Hukum,
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2018 yang berjudul “Faktor-Faktor
Terjadinya Tumpeng Tindih Sertipikat Hak Atas Tanah Dalam Pendaftaran Tanah Di
Kabupaten Sukoharjo”, yang memiliki rumusan masalah sebagai berikut: (1)
Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terbitnya sertipikat yang tumpang
9

tindih/Overlapping di Kantor Pertanahan Sukoharjo? (2) Bagaimanakah


proses penyelesaian sengketa tanaha terhadap sertipikat tumpan
tindih/Overlapping?. Skripsi ini menyimpulkan bahwa dalam penyelesaian
sertipikat tumpeng tindih di Kantor Pertanahan Di Kabupaten Sukoharjo
dilakukan melalui jalur non litigasi terlebih dahulu, baru setelah tidak adanya
kesepakatan antara para pihak maka penyelesaian sengketa melalui jalur
litigasi. Dan bahwa faktor-faktor terjadinya tumpang tindih sertipikat hak atas
tanah di Kabupaten Sukoharjo cenderung disebabkan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Sukoharjo sendiri yang kurang optimal dalam kegiatan pngukuran
serta data administrasi yang kurang lengkap dan adanya pemohon yang tidak
mempunyai itikad baik dalam melakukan pendaftaran sertifikat hak atas tanah.

E. Metode Penelitian
Untuk mencapai hal yang positif dalam sebuah tujuan, maka metode ini
merupakan salah satu sarana untuk mencapai sebuah target, karena salah satunya
metode berfungsi sebagai cara mengerjakan suatu hasil yang memuaskan.
Disamping itu, metode merupakan bertindak terhadap sesuatu dari hasil yang
maksimal.
Metode penulisan skripsi yang dipergunakan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian normatif
yuridis yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan hokum utama dengan
cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Serta
menggunakan penelitian deskriptif yang menggambarkan data informasi
berdasarkan pada data yang diperoleh di lapangan.11

11
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Jakarta: PT. Rineka Cipta, cet. ke-2, 1993,
h.309.
10

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif, yaitu jenis data


yang digunakan bersifat naratif dalam bentuk pernyataan yang menggunakan
penalaran.12 Bertujuan untuk memahami lebih jelas permasalahan-permasalahan
yang terjadi di tempat penelitian dan mengungkap fakta-fakta yang ada untuk di
paparkan kedalam skripsi.
2. Sumber Data
a. Data primer
Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya.13 Data primer yang
digunakan dalam skripsi ini yaitu Peraturan Perundang-undangan terkait dengan
pembahasan pertanahan.

b. Data Sekunder
Yaitu semua yang berhubungan langsung dengan objek penelitian. Dalam
hal ini yang menjadi bahan hukum sekunder yaitu dengan penelitian lapangan
melalui observasi dan melakukan wawancara secara langsung kepada informan
yang terkait dengan penelitian ini serta buku-buku mengenai pertanahan.

c. Data Tersier
Yaitu data penunjang yang dapat memberi petunjuk dan penjelasan
terhadap sumber data primer dan sekunder, diantaranya kamus-kamus dan
esiklopedia.14

3. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan, maka
metode pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan yaitu dengan
bahan-bahan pustaka dan hasil penelitian lainya mengenai sengketa tanah dengan
kepemilikan ganda, serta studi lapangan yaitu metode pengumpulan data yang
dilakukan secara langsung kelapangan terhadap objek yang akan diteliti.

12
Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, Ciputat: Buku Ajar Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2010, h.26.
13
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, h.106
14
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2005, h.144
11

4. Analisis data
Metode analisis data yaitu dengan mengumpulkan data yang telah ada
dikumpulkan dianalisis secara kualitatif yaitu suatu pembahasan yang dilakukan
dengan cara memadukan antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan
serta menafsirkan dan mendiskusikan data-data primer yang telah diperoleh dan
diolah sebagai satu yang utuh.
5. Teknik penulisan
Dalam penulisan penelitian ini penulis merujuk pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

F. Sistematika Penulisan
Dalam memudahkan penyusunan proposal skripsi ini dan untuk
memberikan gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan maka penulis
menyusun proposal skripsi ini dalam beberapa bab-bab terdiri dari sub-sub dengan
sistematika sebagai berikut :

BAB I Merupakan bab pendahuluan, bab ini meliputi terkait latar belakang
masalah, identifikasi masalah batasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, riview kajian terdahulu, metode dan teknik
penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Tentang landasan teori tentang pengertian dan teori pertanahan, hak atas
tanah, pendaftaran tanah, sertifikat hak atas tanah, serta kedudukan tanah
dalam Islam.

BAB III Membahas tentang ketetntuan pengadilan tata usaha negara jakarta dan
masalah pertanahan mengenai profil pengadilan tata usaha negara
jakarta, kewenangan pengadilan tata usaha negara jakarta, sengketa tanah
dan kepemilikan ganda, serta konsep kepemilikan menurut hukum
Islam.

BAB IV Tentang sengketa tanah dengan kepemilikan ganda mengenai faktor-


faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan ganda di pengadilan
12

tata usaha negara jakarta dan bentuk penyelesaian sengketa tanah


dengan kepemilikan ganda di pengadilan tata usaha negara jakarta

BAB V Merupakan penutup, bab ini berisi tentang kesimpulan yang menjawab
hasil penelitian dari rumusan masalah dan rekomendasi berdasarkan
hasil penelitian.
BAB II
LANDASAN TEORI HUKUM PERTANAHAN

A. Pengertian dan Teori Pertanahan


1. Pengertian Tanah
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang
disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksud disini bukan mengatur tanah
dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu
tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi
disebutkan dalam Pasal ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari
negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-
orang lain serta badan-badan hukum.
Adapun bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi,
sedangkan ha katas tanah adalah ha katas sebagian tertentu permukaan bumi, yang
berharga, berdimensi dua dengan ukuran Panjang dan lebar. Sedangkan ruang
dalam pengertian yuridis, yang terbatas, berdimensi tiga, yaitu Panjang, lebar dan
tinggi yang dipelajari dalam Hukum Penataan Ruang.15

Tanah adalah permukaan bumi, yang dalam penggunaannya meliputi juga


sebahagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan sebahagian dari ruang yang
diatasnya, dengan pembatasan dalam pasal 4, yaitu: sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah yang
bersangkutan, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi.16 Pengertian tanah ditinjau dari segi geologis-agronomis, Tanah
adalah lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas. Dimanfaatkan untuk
menanam tumbuh-tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah
pertanian dan tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk mendirikan
bangunan disebut tanah bangunan.
15
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas tanah, Jakarta: Kencana, 2005, h.10
16
Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan 2008, h.262.

13
14

Tanah yang dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan
kelangsungan hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun
dampak bagi orang lain. Untuk mencegah masalah tanah tidak sampai
menimbulkan konflik kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan,
penguasan dan penggunaan tanah atau dengan kata lain dengan hukum tanah.17

2. Teori Pertanahan
Teori Pertanahan yang akan digunakan ialah teori Lawrence M. Friedman
mengenai sistem hukum. Sistem hukum yang terdiri dari tiga elemen, yaitu
elemen struktur (structure), substansi (substance), dan budaya hukum (legal
culture). Tiga unsur dari sistem hukum ini diteorikan Lawrence M. Friedman
sebagai Three Elements of Legal System (tiga elemen dari sistem hukum).
Lawrence M. Friedman membagi sistem hukum menjadi tiga jenis elemen yaitu:18
1. Struktur Sistem Hukum (legal structure), yaitu tingkatan atau susunan hukum,
pelaksana hukum, peradilan, lembaga-lembaga (pranata-pranata) hukum dan
pembuat hukum, antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan
dengan jaksanya, pengadilan dengan hakimnya dan lain-lainnya.
2. Substansi Sistem Hukum (legal substance), yaitu hakikat dari isi yang
dikandung dalam perunddang-undangan. Substansi mencangkup semua aturan
hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, seperti hukum materil , hukum
formal dan hukum adat.
Jadi, substansi sistem hukum yang mencangkup segala apa saja yang
merupakan hasil dari struktur, yang didalamnya termasuk dalam norma-
norma, maupun keputusan-keputusan. Budaya Sistem Hukum (legal culture),
yang merupakan bagian dari kultur-kultur pada umumnya, kebiasaan-
kebiasaan, opini warga masyarakat dan pelaksana hukum, cara-cara bertindak
dan berfikir atau bersikap, baik yang berdimensi untuk membelokkan
kekuatan-kekuatan sosial menuju hukum atau menjauhi hukum.

17
Wantijk Saleh, Hak anda Atas Tanah, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, h.7
18
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, h.105
15

3. Budaya Sistem Hukum (legal culture), yang merupakan bagian dari kultur-
kultur pada umumnya, kebiasaan-kebiasaan, opini warga masyarakat dan
pelaksana hukum, cara-cara bertindak dan berfikir atau bersikap, baik yang
berdimensi untuk membelokkan kekuatan-kekuatan sosial menuju hukum atau
menjauhi hukum.

B. Hak Atas Tanah

“Hak” pada hakekatnya adalah kekuasaan yang diberikan oleh hukum


kepada seseorang terhadap sesuatu (benda/prestasi), sehingga menimbulkan
hubungan hukum antara keduanya (hubungan subjek objek). Jadi apabila
seseorang memperoleh sesuatu hak atas tanah, maka pada orang tersebut telah
melekat kekuasaan atas tanah yang disertai pula dengan kewajiban yang
diperintahkan oleh hukum.

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang
yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah
tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah.19

Hak-hak atas tanah di dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA adalah sebagai
berikut:

a. Hak Milik

Ialah hak tutun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas
tanah dengan mengingat fungsi sosial, yang dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain. (pasal 20 UUPA)

b. Hak Guna Usaha

Ialah Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
dalam jangka 25 atau 30 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun, guna perusahaan
pertanian, perikanan atau peternakan yang luasnya paling sedikit 25 Ha atau lebih,
harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik,
19
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Jakarta:
Djambatan, 1962 h.330
16

dapat beralih dan dialihkan pada pihak serta dapat dijadikan jaminan hutang
dengan dibebani Hak Tanggungan. 20

c. Hak Guna Bangunan

Ialah Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas


tanah yang bukan milikya sendiri, dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan
dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun lagi, dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak
Tanggungan.21

d. Hak Pakai

Ialah Hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
undang-undang ini :

Hak pakai ini dapat diberikan:


1) Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan tertentu.
2) Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau jasa berupa apapun.

Pemberian Hak Pakai ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang


mengandung unsur-unsur pemerasan.22

20
Undang-undang N0.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Pasal 28 dan Pasal 33
21
Undang-undang N0.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Pasal 35
22
Undang-undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Pasal 41 Ayat (3)
17

e. Hak Sewa

Yaitu seseorang atau badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah,
apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan
bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.23

f. Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan

Yaitu hak yang berasal dari hukum adat sehubungan dengan adanya hak
ulayat. Hak ini hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia dan diatur
dengan Peraturan Pemerintah. Meskipun bisa memungut hasil hutan secara sah,
bukan berarti pemilik hak membuka tanah dan memungut hasil hutan memperoleh
hak milih atas tanah tersebut.

Apabila melihat ketentuan Pasal 16 jo. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5


Tahun 1960 (UUPA), maka macam-macam hak atas tanah dikelompokkan
menjadi 3 (tiga), yaitu :

1. Hak atas tanah yang bersifat tetap, yaitu hak-hak atas tanah yang akan
tetap ada selama UUPA masih berlaku. Macam-macam hak atas tanah
yang masuk dalam kelompok ini yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Membuka
Tanah, dan Hak Memungut Hasil Hutan.
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang, maksudnya
adalah hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan
dengan undang-undang. Hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16
jo. Pasal 53 UUPA tidak bersifat limitatif, artinya, di samping hak-hak atas
tanah yang disebutkan dalam UUPA, kelak masih dimungkinkan lahirnya
hak atas tanah baru yang diatur secara khusus dengan undang-undang.
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu Hak atas tanah yang sifatnya
sementara, dalam waktu singkat diusahakan akan dihapus sebab

23
Undang-undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Pasal 44 Ayat (1)
18

mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal, dan yang tidak sesuai dengan


jiwa atau asas-asas UUPA. Macam-macam hak atas tanah yang bersifat
sementara ini adalah Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil
(Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.

Jadi yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah tanah yang memberi
wewenang kepada pemegang haknya untuk mempergunakan atau mengambil
manfaat dari tanah yang dihakinya. Perkataan “mempergunakan” mengandung
pengertian bahwa hak atas tanah itu dipergunakan untuk kepentingan mendirikan
bangunan, sedangkan perkataan “mengambil manfaat” mengandung pengertian
bahwa hak atas tanah itu dipergunakan untuk kepentingan bukan mendirikan
bangunan, misalnya pertanian, perikanan, pertemakan, dan perkebunan.24

C. Pendaftaran Tanah
1. Pengertian Pendaftaran Tanah

Pendaftaran berasal dari kata cadastre (bahasa belanda Kadaster) suatu


istilah teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukan kepada luas, nilai dan
kepemilikan terhaadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa latin
“capitastrum” yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat
untuk pajak tanah romawi (Copotatio Tarrens). Dalam artian yang tegas cadaster
adalah record (rekaman dari lahan-lahan, nilai dari tanah dan pemegang haknya
dan unuk kepentingan perpajakan). Dengan demikian, cadaster merupakan alat
yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dari tersebut dan juga sebagai
continuous recording (rekaman yang bersikenambungan) hak atas tanah.25

Sebutan pendaftaran tanah atau land registration: menimbulkan kesan,


seakan-akan objek utama pendaftaran atau satu-satunya objek pendaftaran adalah
tanah. Memang mengenai pengimpulan sampai penyajian data fisik, tanah yang
merupakan objek pendaftaran, yaitu untuk dipastikan letaknya, batas-batasnya,
luasnya dalam peta pendaftaran dan disajikan juga dalam “daftar tanah”. Kata

24
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas tanah, Jakarta: Kencana, 2005, h.10
25
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung: Mandar Maju 1999,
h.18-19
19

“Kadaster” yang menunjukan pada kegiatan bidang fisik tersebut berasal dari
istilah latin “Capistratum” yang merupakan daftar yang berisikan data mengenai
tanah.

Pengertian pendaftaran tanah baru dimuat dalam Pasal 1 Angka 1


Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, yaitu26 serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam peta dan daftar, mengenai bidang-
bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian tanda bukti
haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas
satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Definisi pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997


merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah
berdasarkan Pasal 19 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 yang
hanya meliputi: pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah, pendaftaran dan
peralihan hak katas tanah serta pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian
yang kuat.

2. Asas dan Tujuan Pendaftaran Tanah

Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 dinyatakan


bahwa pendaftaran tanah dilakukan berdasarkan asas:27

a. Asas Sederhana

Asas ini dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun


prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.

26
Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 1 Ayat (1)
27
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana, 2010,
h.17
20

b. Asas Aman

Asas ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu


diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan
jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

c. Asas Terjangkau

Asas ini dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan,


khususnya dengan memerhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi
lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran
tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan.

d. Asas Mutakhir

Asas ini dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya


dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus
menunjukan keadaan yang mutakhir. Untuk itu diikuti kewajiban mendaftar dan
pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian akhir.

Asas ini menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus-


menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor
Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan.

e. Asas Terbuka

Asas ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengetahui atau


memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data yuridis yang benar setiap
saat di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Tujuan pendaftaran dimuat dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan


Pemerintah No. 24 Tahun 1997, adalah:28

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada


pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak

28
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana, 2010,
h.18
21

lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan.
Tujuan memberikan jaminan kepastian hukum merupakan tujuan utama
dalama pendaftaran tanah sebagaimana yang di tetapkan oleh Pasal 19
UUPA. Maka memperoleh sertifikat, bukan hanya sekedar fasilitas,
melainkan merupakan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh
Undang-undang.
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan rumah susun yang terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pemerintahan.
Untuk mewujudkan tertib administrasi pertanahan, setiap bidang tanah dan
satuan susun termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas
bidang tanah dan hak milik atas satuan rumah susun wajib di daftar.

3. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah di Indonesia


Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran yang
dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997. Objek dari pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah negara dan tanah
bekas milik adat.29
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya meliputi:
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik
b. Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan haknya
c. Penerbitan sertifikat
d. Penyimpanan daftar umum dan dokumen

29
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Jakarta:
Djambatan, 1962 h.460
22

Untuk keperluan dan pengumpulan data fisik pertama-tama dilakukan


kegiatan pengukuran dan pemetaan, yang meliputi:30
a. Pembuatan data dasar pendaftaran
b. Penetapan dasar-dasar batas bidang tanah
c. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta
pendaftaran
d. Pembuatan daftar tanah dan
e. Pembuatan surat ukur
Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran
tanah secara sismatik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran secara
sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan
secara serentak yang meliput semua objek pendaftaran yang belum didaftar dalam
wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara
sistematik diselenggarakan atas prakarsa pemerintah berdasarkan pada suatu
rencana kerja jangka Panjang dan tahunan serta dilaksanakan di wilayah-wilayah
yang ditetapkan oleh Menteri negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional.31
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah
suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran tanah secara
sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak
yng berhak atas objek pendaftaran tanah yang bersangkutan atas kuasanya.

D. Sertifikat Hak Atas Tanah


1. Pengertian Sertifikat

Menurut Boedi Harsono dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia,


sertifikat hak atas tanah terdiri atas salinan buku tanah dan surat ukur yang dijilid

30
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UndangUndang
Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaanya, Jakarta: Djambatan, 2003, h.491
31
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar Grafika,
2014, h.136
23

menjadi satu dalam sampul dokumen.32 Sehubung dengan hal tersebut diatas
dapat diketahui bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang kuat
mengenai data fisik dan data yuridis termuat di dalamnya, sehingga data fisik dan
data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah
yang bersangkutan.

Sertifikat hak atas tanah merupakan surat tanda bukti kepemilikan sah hak
atas tanah yang ditentukan oleh Undang-undang. Dengan melihat ketentuan Pasal
19 UUPA diketahui bahwa hasil dari pendaftaran tanah yaitu dengan
diterbitkannya sertifikat hak atas tanah yang berfungsi sebagai alat bukti
kepemilikan hak yang kuat.

Sertifikat sebagai tanda bukti yang kuat mengandung arti bahwa selama
tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di
dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, sebagaimana juga dapat
dibuktikan dari data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukurnya.

Kata “kuat” dalam hubungannya dengan sistem negatif adalah berarti


“tidak mutlak” yang berarti bahwa sertifikat tanah tersebut masih mungkin di
gugurkan sepanjang ada pembuktian sebaliknya yang menyatakan ketidak
absahan sertifikat tanah tersebut. Dengan demikian sertifikat tanah bukanlah satu-
satunya surat bukti pemegangan hak atas tanah dan oleh karena itu masih ada lagi
bukti-bukti lain tentang pemegang hak atas tanah antara lain surat bukti jual beli
tanah adat atau surat keterangan hak milik adat.33

Sesuai dengan sistem negatif yang dianut dalam pendaftaran tanah di


Indonesia, maka berarti bahwa sertifikat tanah yang diterbitkan itu bukanlah alat
bukti yang mutlak yang tidak bisa diganggu gugat, justru berarti bahwa sertifikat
tanah itu bisa dicabut atau dibatalkan. Oleh karena itu adalah tidak benar bila ada
anggapan bahwa dengan memegang sertipikat tanah berarti pemegang sertifikat

32
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, Jakarta: Penerbit Jambatan, 2008, h.78
33
Bahtiar Effendie, Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan peraturan
Pelaksanaannya. Bandung: Alumni 1993, h.77
24

tersebut adalah mutlah pemilik tanah dan ia pasti akan menang dalam suatu
perkara, karena sertifikat tanah adalah alat bukti satu-satunya yang tidak
tergoyahkan.

2. Fungsi dan Macam-macam Sertifikat

Adapun fungsi dari sertifikat tanah yaitu berguna sebagai alat bukti, alat
bukti yang menyatakan tanah ini telah diadministrasi oleh Negara. Dengan
dilakukannya administrasinya lalu diberikan buktinya kepada orang yang
mengadministrasi tersebut. Ketentuan perundang-undangan dan kebijakan
Pemerintah dalam penerbitan sertifikat ini, pada hakekatnya dimaksudnya untuk:34

a. Memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah baik oleh


manusia secara perseorangan maupun oleh suatu badan hukum.
b. Memberikan bukti autentik bahwa orang yang tercantum namanya dalam
sertifikat tersebut adalah pemegang hak sesungguhnya.
c. Memberikan kepastian mengenai subjek dan objek hak atas tanah serta
status hak atas tanah tersebut.

Singkatnya dengan adanya sertifikat tersebut akan memberikan kekuatan


pembuktian bagi orang yang tercantum namanya dalam sertifikat tersebut
manakala suatu ketika terjadi sengketa pertanahan dipersidangkan. Adanya
sertifikat tersebut juga akan menambah kepercayaan masyarakat di dalam lalu
lintas hukum misalnya jual-beli tukar-menukar dan lain-lainnya. Disamping itu
akan menambah nilai jual suatu hak atas tanah.

Demikian pentingnya peranan sertifikat sehingga kekuatan pembuktiannya


memberikan rasa aman bagi para pemegang/pemiliknya serta para ahli warisnya
agar ahli warisnya di kemudian hari tidak mengalami kesulitan, dalam arti tidak
perlu bersusah-payah untuk mengurusnya.

34
Benny Bosu, Perkembangan Terbaru Sertipikat (Tanah, Tanggungan, dan
Condominium), Jakarta: Mediatama Saptakarya, 1997, h.3
25

Adapun Macam-macam Sertifikat berdasarkan objek pendaftaran tanah


yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 dan Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu:35

a. Sertifikat Hak Milik


b. Sertifikat Hak Guna Usaha
c. Sertifikat Hak Guna Bangun Atas Tanah Negara
d. Sertifikat Hak Guna Bangun Atas Tanah Hak Pengelolaan
e. Sertifikat Hak Pakai Atas Tanah Negara
f. Sertifikat Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan
g. Sertifikat Tanah Hak Pengelolaan
h. Sertifikat Wakaf Tanah Hak Milik
i. Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
j. Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Non Rumah Susun
k. Sertifikat Hak Tanggungan

Hak-hak atas tanah yang tidak diterbitkan sertifikat sebagai berilkut:

a. Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik


b. Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik
c. Hak Sewa Untuk Bangunan

3. Sertifikat Cacat Hukum


Sertifikat cacat Hukum adalah penerbitan sertifikat yang keliru pada saat
penerbitannya. Keliru pada saat penerbitannya dapat terjadi karena cacat hukum
administrasi dan cacat kepemilikan. Adapun bentuk-bentuk Sertifikat Cacat
Hukum

35
Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah
26

1. Sertifikat Palsu
Sertifikat disebut Sertifikat palsu, apabilla :36
1. Data pembuatan sertifikat adalah palsu atau dipalsukan.
2. Tanda tangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dipalsukan
3. Blangko yang dipergunakan untuk membuat sertifikat merupakan
blangko yang palsu/bukan blangko yang dikeluarkan oleh Badan
Pertanahan Nasional.

Sebuah sertifikat dinyatakan palsu atau tidak, dapat diketahui dari buku
tanah yang ada pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, yang
menyatakan bahwa data yang ada pada sertifikat tidak sesuai dengan data yang
ada pada buku tanah. Meskipun jumlah sertifikat palsu pada kenyataanya relatif
tidak banyak, namun dengan adanya sertifikat palsu dapat menimbulkan
kerawanan-kerawanan tersendiri dalam bidang pertanahan.

Umumnya sertifikat palsu ini dibuat terhadap tanah-tanah yang masih


kosong dan mempunyai nilai tanah yang cukup tinggi, serta terhadap tanah-tanah
yang sertifikatnya masih menggunakan blangko sertifikat lama. Untuk memonitor
setiap lembar sertifikat yang telah beredar tidaklah mudah, sehingga masih adanya
sertifikat palsu meskipun telah ada usaha-usaha pencegahannya.

Upaya untuk mencegah timbulnya sertifikat palsu ini telah dilakukan


dengan: 37

1. Blangko sertifikat dicetak sedemikian rupa dengan Teknik pencetakan


mutakhir sehingga sulit dipalsukan dan ditunjang dengan pengelolaan
yang tertib.
2. Meningkatkan tertib administrasi pertanahan,

36
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan I-Pemberian Hak
atas Tanah Negara dan Seri Hukum Pertanahan II- Sertipikat dan Permasalahannya, Jakarta
:Prestasi Pustaka, 2002, h.136
37
Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlaakunya UUPA UU No.
5 Tahun 1960, Bandung: Alumni, 1995, h.185
27

3. Upaya-upaya lain untuk mencegah dan mendeteksi sertifikat palsu.

Apabila pada suatu ketika Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota mengetahui


adanya sertifikat palsu, sementara pihak Badan Pertanahan tidak mempunyai
wewenang untuk menyatakan bahwa sertifikat yang dimaksud adalah palsu, maka
sertifikat yang sebenarnya palsu tersebut, diteliti, kemudian distempel dengan
kata-kata : “sertifikat ini bukan produk Badan Pertanahan Nasional” dan perlu
dilaporkan kepada pihak kepolisian setempat untuk diadakan penelitian lebih
lanjut.

2. Sertifikat Asli Tapi Palsu

Sertifikat asli tapi palsu, yaitu sertifikat yang secara formal diterbitkan oleh
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, tetapi surat-surat bukti kepemilikan
ataupun surat-surat lain yang dipergunakan sebaagai dasar pembuatan dan
penerbitan sertifikat tersebut palsu.

Sertifikat semacam itu tentunya harus dibatalkan dan dinyatakan tidak


berlaku serta ditarik dari peredaran setelah dibuktikan melalui proses di
Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara, bahwa surat keterangan
yang merupakan dokumen yang mendasari penerbitan sertifikat tersebut adalah
palsu. Termasuk kategori sertifikat asli tetapi palsu, yaitu sertifikat yang
diterbitkan tenyata didasari atas bukti-bukti surat keterangan atau dokumen yang
kurang/tidak lengkap. Upaya untuk mencegah terjadinya sertifikat asli tetapi
palsu, yaitu dengan meningkatkan kecepatan dan ketelitian aparat yang
memproses pembuatan penerbitan sertifikat.

3. Sertifikat Ganda

Sertifikat ganda adalah sertifikat-sertifikat yang menguraikan satu bidang


tanah yang sama. Jadi dengan demikian satu bidang tanah diuraikan dengan 2
(dua) sertifikat atau lebih yang berlainan datanya. Hal semacam ini disebut pula
“Sertifikat tumpang tindih” (overlapping), baik tumpah tindih seluruh bidang
maupun tumpah tindih sebagian dari tanah tersebut.
28

Tidak termasuk dalam kategori sertifikat ganda yaitu:

1. Sertifikat yang diterbitkan sebagai pengganti sertifikat yang hilang.


2. Sertifikat yang diterbitkan sebagai pengganti sertifikat yang rusak.
3. Sertifikat yang diterbitkan sebagai pengganti sertifikat yang dibatalkan.
4. Sertifikat Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik maupun di atas Hak
Pengelolaan, karena menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,
hal yang dimaksud memang dimungkinkan.

Hal ini disebabkan karenaa sertifikat-sertifikat dimaksud di atas telah


dinyatakam tidak berlaku sebagai tanda bukti. Sertifikat ganda banyak terjadi di
wilayah-wilayah yang masih kosong, belum dibangun dan di daerah perbatasan
kota dimana untuk lokasi tersebut belum ada peta-peta pendaftaran tanahnya.
Sertifikat ganda dapat terjadi karena beberapa hal sebagai berikut :38

a. Pada waktu dilakukan pengukuran ataupun penelitian dilapangan, pemohon


dengan sengaja atau tidak sengaja menunjukan letak tanah dan batas-batas
tanah yang salah.
b. Adanya surat bukti atau pengakuan hak dikemudian hari ternyata
mengandung ketidakbenaran, keplasuan atau sudah tisak berlaku lagi.
c. Untuk wilayah yang dimaksud belum tersedia peta pendaftaran tanahnya.

Kasus penerbitan lebih dari satu sertifikat atas sebidang tanah dapat pula
terjadi atas tanah warisan. Latar belakang kasus tersebut adalah sengketa harta
warisan yaitu oleh pemilik sebelum meninggalnya telah dijual kepada pihak lain
(tidak diketahui oleh anak-anaknya) dan telah diterbitkan sertifikat atas nama
pembeli, dan kemudian para ahli warisnya menyertifikatkam tanah yang sama,
sehingga mengakibatkan terjadinya sertifikat ganda, karena sertifikat terdahulu
belum dipetakan.

38
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan I-Pemberian Hak
atas Tanah Negara dan Seri Hukum Pertanahan II- Sertipikat dan Permasalahannya, Jakarta
:Prestasi Pustaka, 2002, h.140-141
29

Upaya untuk mencegah timbulnya sertifikat ganda yaitu melalui program


Pengadaan Peta Pendaftaran Tanah yang dilakukan oleh Badan Pertanahan
Nasional. Namun demikian dalam melaksanakan pengadaan peta pendaftaran
tanah ini memerlukan dana serta waktu, sehingga pengadaannya dilakukan secara
bertahap melalui pendekatan pengukuran desa demi desa, sebagaimana tercantum
di dalam ketentuan Pengaturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tanggal 23 Maret
1961 yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Berdasarkan apa yang dilakukan diatas bahwa dalam proses penerbitan


sertifikat didahului dengan pendaftaran tanah dan mengenai pendaftaran tanah ini
secara yuridis formal telah diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Berdasarkan aturan-aturan pendaftaran tanah tersebut
sehingga dapat diketahui apa yang menjadi faktor-faktor terbitnya sertifikat diatas
tanah orang lain diantaranya adalah faktor intern:39

1. Tidak dilaksanakannya Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan


pelaksanaannya secara konsekuen dan bertanggungjawab disamping masih
adanya orang yang berbuat untuk memperoleh keuntungan pribadi.
2. Kurang berfungsinya aparat pengawas sehingga memberikan peluang
kepada aparat bawahannya untuk bertindak menyeleweng dalam arti tidak
melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai sumpah jabatannya.
3. Ketidaktelitian pejabat Kantor Pertanahan dalam menerbitkan sertifikat
tanah yaitu dokumen-dokumen yang menjadi dasar bagi penerbitan
sertifikat tidak diteliti dengan seksama yang mungkin saja dokumen-
dokumen tersebut belum memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan
oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

39
Utoyo Sutopo, Masalah Penyalagunaan Sertifikat Dalam Masyarakat Dan Upaya
Penanggulangannya, Jurnal, YSUHogyakarta: 1992, h.5
30

Selain dari pada faktor intern hal ini juga dipengaruhi oleh faktor ekstern antara
lain:

1. Masyarakat masih kurang mengetahui undang-undang dan peraturan


tentang pertanahan khususnya tentang prosedur pembuatan sertifikat tanah.
2. Persediaan tanah tidak seimbang dengan jumlah peminat yang memerlukan
tanah.
3. Pembangunan mengakibatkan kebutuhan akan tanah semakin meningkat
sedangkan persediaan tanah sangat terbatas sehingga mendorong peralihan
fungsi tanah dari tanah pertanian ke non pertanian, mengakibatkan harga
tanah melonjak.

Sertifikat tanah merupakan produk yang dihasilkan atau yang dikeluarkan


oleh Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam proses penerbitan sertifikat tanah
diharapkan sikap kehati-hatian dari pejabat tata usaha negara sehingga tidak
mengakibatkannya sertifikat yang cacat hukum atau cacat admministrasi dan
terjaminnya rasa aman akan kepastian hukum bagi pemilik sertifikat tanah
tersebut.

E. Kedudukan Tanah Dalam Islam

Q.S. Al-A'raf ayat 10 sebagai berikut :

َ‫وى‬ ً ‫شَََۗقَ ِل‬


ْ َ ‫ٍلََ َهاَج‬
َ ‫شك ُُش‬ َ ٌِ‫َو َجعَ ْلٌَاَلَ ُك ْنَفٍِ َهاَ َهعَا‬
َ ‫ض‬ِ ‫ًَاْل َ ْس‬
ْ ِ‫َولَقَذَْ َه َّكٌَّا ُك ْنَف‬

Artinya: “Sesungguhnya kami telah menempatkan kamu dimuka bumi dan


kami adakan kamu dimuka bumi (sumber) penghidupan. Amat
sedikitlah kamu bersyukur”.
31

Q.S. Al-A'raf ayat 58 sebagai berikut :

َََۗ‫جََإِ َّّلًَََ ِكذًا‬


ُ ‫ََّلٌَََ ْخ ُش‬
َ ‫ث‬َ ُ‫ََوالَّزِيَ َخب‬ َ ‫بٌََ ْخ ُشجًََُ َباجََُُبِ ِإ ْر ِى‬
َ ََِۗ ّ‫َس ِب‬ َّ ‫َوا ْلبَلَذَُال‬
ُ ٍِّ ‫ط‬
َ ‫شك ُُش‬
ََ‫وى‬ ْ ٌَََ‫تََ ِلقَ ْى ٍم‬ ْ ‫ف‬
ِ ‫ََاٌََا‬ ُ ‫ص ِ ّش‬ َ ًَََُ‫َك َٰزَ ِلك‬
Artinya: “Dan tanah yang baik, tanaman - tanamannya tumbuh subur
dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-
tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah kami
mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang
yang bersyukur”.

Q.S. Al-A'raf 128 sebagai berikut :

َ‫ىسه ُ َهاَ َه ْي‬


ِ ٌََُِ‫ََلِل‬ َ ‫ََاْل َ ْس‬
َّ ِ ‫ض‬ ْ ‫صبِ ُشواَََۗإِ َّى‬
ْ ‫َوا‬ َّ ِ‫سح َ ِعٌٍُىاَب‬
َ ِ‫الِل‬ ْ ‫َى ِه ََِا‬ َ ‫قَا َلَ ُهى‬
ْ َ‫س َٰىَ ِلق‬
َ ‫ََوا ْل َعا ِق َبةََُ ِل ْل ُوح َّ ِق‬
ََََ‫ٍي‬ َ ٍَِۗ ‫َه ْيَ ِع َبا ِد‬
ِ ‫ٌَشَا ُء‬
Artinya: “Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya
kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya.
Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang
bertakwa”.

Sabda Rasullah Saw yang berbunyi:

َ‫ضَفَ ْلٍَ ْز َس ْع َهاَفَ ِإ ْىَلَ ْنٌََ ْز َس ْع َهاَفَ ْل ٍَ ْوٌَحْ َهاَأ َ َخاٍَُفَ ِإ ْىَلَ ْنٌََ ْوٌَحْ َها‬
ٌ ‫َه ْيَكَا ًَثْ َلَََُأ َ ْس‬
ِ ‫أ َ َخاٍَُفَ ْلٍُ ْو‬
)َ‫س ْك َهاَ(سواٍَهسلن‬
Artinya: "Barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah atau berikan
kepada kawannya." (Riwayat Muslim).

Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada dilangit dan bumi
ternasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Sebagai pemilik
hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) kemudian Allah SWT memberikan
kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan
hukum-hukum-Nya. Asal usul kepemilikan (aslul milki) adalah milik Allah SWT,
32

dan bahwa manusia tidak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasarruf)


dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT. Konsekuensi yuridisnya, maka setiap
kebijakan dibidang pertanahan hendaklah dilaksanakan dengan mengaplikasikan
hukum-hukum Allah SWT kedalam kebijakan tersebut.40

Tanah merupakan salah satu objek harta dan milik. Oleh karenanya
pemahaman mengenai kedudukan tanah dalam sistem hukum Islam, dimulai
dengan mengemukakan pengertian harta, pembagian harta dan hak milik dalam
hukum Islam.

1. Pengertian Harta
Harta atau mal yang jamaknya amwal memiliki beberapa pengertian, tetapi
semuanya saling berkaitan satu sama lain. Secara umum, definisi tentang harta
akan langsung merujuk pada kta al-mal dalam bahasa arab, yang artinya condong,
suka, atau simpati. Dalam islam, harta adalah segala sesuatu yang dimanfaatkan
secara legal menurut syari’at dan dapat dimiliki seseorang untuk memenuhi hajat
hidupnya. Jadi, segala sesuatu dapat dikategorikan sebagai al-mal jika hal itu bisa
memenuhi kebutuhan manusia, mendatangkan kepuasan dan ketegangan karena
mengomsumsinya, serta bisa dimiliki atau dikuasai oleh manusia tersebut.41
Menurut para ulama terdapat empat ciri harta, yaitu harus memiliki nilai
harus merupakan barang yang boleh dimanfaatkan, harus dimiliki dan harus
disimpan. Hal-hal yang bebas dipakai, seperti cahaya dan udara tidak dapat
dipandang sebagai harta. Menurut Al Majallah harta atau mal adalah sesuatu yang
diinginkan oleh watak manusia dan yang dapat disimpan sebagai persediaan. Jadi
jasa tidak termasuk kriteria ini. Akan tetapi, Imam Syafi’I dan Ibnu Hanbal
menganggapnya sebagai harta karena memiliki nilai uang.42

40
Nurhayati, Hak-hak Atas Tanah Menurut Hukum Islam Dan Undang-undang Pokok
Agraria, Jurnal Program Studi Perbandingan Mazhab, Universitas Dharmawangsa, 2017, h.31
41
Amir Machmud, Ekonomi Islam Untuk Dunia Yang Lebih Baik, Jakarta: Salemba
Empat, 2017, h.74
42
Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam Sejarah Teori dan Konsep, Jakarta: Sinar
Grafika, 2013, h.173
33

Fuqoha kontemporer, mendefinisikan harta atau benda secara umum dan


luas yaitu, segala sesuatu yang dapat menjadi hak milik seseorang dan dapat
diambil manfaatnya. Misalnya Al Zarqa, mengartikan mal berarti segala sesuatu
yang bernilai dan bersifat harta atau segala sesuatu yang bernulai material
dikalangan masyarakat. Dengan kata “segala sesuatu” berarti semua benda baik
berupa yang nyata maupun yang abstrak termasuk hak-hak merupakan pengertian
benda.

Oleh karena itu, dalam draft Kompilasi Hukum Ekonomi Islam (KHEI)
tentang harta (amwal) diartikan sebagai sesuatu benda yang dapat dimiliki,
dikuasai, diusahakan, dan dilahirkan, baik benda berwujud maupun tidsk
berwujud, baik benda yang terdaftra maupun benda yang tidak terdaftar, baik
benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak dan hak yang mempunyai nilai
ekonomis.

2. Pembagian Harta
Harta (mal) dalam hukum islam cukup beragam dan karenanya ulama
membagi mal dilihat dari berbagai segi, antara lain:
a. Dilihat dari segi jenisnya, dibagi menjadi dua yaitu harta manqul (bergerak)
dan harta ghairu manqul. Harta manqul yaitu harta yang dapat
dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain, seperti emas, perak,
perunggu, pakaian, kendaraan dan lain-lainnya. Adapun harta ghairu
manqul yaitu harta yang tidak dapat dipindahkan dan dibawa dari satu
tempat ketempat yang lain seperti tanah dan bangunan yang ada diatasnya.
b. Dilihat dari aspek kebolehan memanfaatkannya oleh syara’, yaitu harta
mutaqawwim dan ghairu mutaqawwim. Yang dimaksud mutaqawwim
yaitu sesuatu yang boleh dimanfaatkan oleh syara’.adapun ghairu
mutaqawwim yaitu sesuatu yang tidak boleh dimanfaatkan oleh syara’ baik
dari segi cara memperolehnya maupun cara menggunakannya, seperti babi
dan khamar.
c. Dilihat dari segi ada atau tidak adanya ketersediaan barang, harta mitsli dan
qimi. Harta mitsli ialah harta yang ada jenisnya dipasaran yaitu harta yang
34

ditimbang atau ditakar seperti gandum, beras, dan lainnya. Harta qimi ialah
harta yang tidak ada jenis yang sama dalam satuannya dipasaran atau ada
jenisnya tetapi pada setiap unitnya berbeda dalam kualitasnnya, seperti
pepohonan, logam mulia dan alat-alat rumah tangga.43

3. Fungsi Harta
Fungsi harta sesuai ketentuan syariat Islam adalah sebagai berikut:
a. Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat
b. Kesempurnaan ibadah mahdhah, karena ibadah memerlukan saran,
seperti kain dan mukena untuk menutup aurat.
c. Bekal mencari dan mengembangkan ilmu
d. Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, sehingga orang
kaya dapat memberikan pekerjaan kepada orang miskin.44

Maka dengan menelaah hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah


tanah di dalam Islam akan ditemukan bahwa hukum-hukum tersebut ditetapkan
agar tanah yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan rakyat
atau masyarakat keseluruhan, serta dalam rangka menjamin tercapainya tujuan
politik ekonomi Islam yakni adanya jaminan kebutuhan pokok bagi setiap anggota
masyarakat sekaligus menjamin adanya peluang untuk memenuhi kebutuhan
pelengkap (sekunder dan tersier) masyarakat. Hukum pertanahan dalam Islam
dapat didefinisikan sebagai “hukum-hukum Islam mengenai tanah dalam
kaitannya dengan hak kepemilikan (milkiyah), pengelolaan (tasarruf), dan
pendistribusian (tauzi') tanah”.45

43
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana 2013, h.62
44
Rahmat Syafei, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h.30
45
Jamaluddin Mahasari, Pertanahan dalam Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media,
2008, h.39
BAB III
KETENTUAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA DAN
MASALAH PERTANAHAN

A. Profil Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta


1. Sejarah Singkat

Negara RI adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD


Negara RI 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang
sejahtera aman, tentram, dan tertib. Dalam usaha mencapai tersebut pemerintah
melalui aparaturnya dibidang TUN, diharuskan berperan positif aktif dalam
kehidupan mayasarakat. Menyadari sepenuhnya peran positif aktif pemerintah
dalam kehidupan masyarakat, maka pemerintah perlu mempersiapkan langkah
menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan, atau
sengketa antara badan atau pejabat TUN dengan warga masyarakat.

Untuk menyelesaikan sengketa tersebut dari segi hukum perlu dibentuk


peradilan TUN, oleh karena pembentukan peradilan TUN sebagai bagian
pembangunan hukum nasional yang berwatak dan bersifat integral serta
dilaksanakan berkesinambungan sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR
R.I No.II/MPR/1983 tentang GBHN. Dengan demikian peradilan TUN
merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang ditugasi untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa dibidang TUN.

Memang Peradilan di bidang TUN merupakan lembaga baru dalam tatanan


hukum Indonesia dan pembentukannya memerlukan perencanaan serta persiapan
yang sebaik-baiknya sehingga pelaksanaannya perlu dilakukan secara bertahap.
Undangn-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara diundangkan pada
tanggal 29 Desember 1986 yaitu Undang-Undang No. 5 tahun 1986, yang
berdasarkan ketentuan Penutup pada Bab VII Pasal 145 beserta penjelasannya
pada dasarnya mengatur tentang penerapan Undang-Undang Nomor: 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara baru bisa diterapkan 5 (lima) tahun
kemudian, oleh karenanya baru pada tanggal 14 Januari 1991 dikeluarkan

35
36

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 Tentang Penerapan Undang-Undang


No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan TUN.

Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar


kekuasaan, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif (Kehakiman).
Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar
1945 (Perubahan) Jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, ditegaskan bahwa
Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan lingkungan peradilan yang


terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, adapun tujuan dibentuknya
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara
dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram serta tertib yang dapat menjamin
kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya
hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha
negara dengan para warga masyarakat. Dengan terbentuknya Pengadilan Tata
Usaha Negara menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi
Manusia (HAM).46

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 pada tanggal 14


Januari 1991, Pengadilan Tata Usaha Negara resmi beroperasi, salah satunya
adalah Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang berkedudukan di ibukota
Kabupaten/Kota, dengan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.

Maka yang menjadi Subjek di Pengadilan Tata Usaha Negara


adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat. Sedangkan yang menjadi Objek di

46
https://ptun-jakarta.go.id/ diakses pada tanggal 4 Desember 2019 pukul 16.00 WIB
37

Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Surat Keputusan Tata Usaha


Negara (beschikking).

Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) :

a. Peraturan Pemerintah Nomor : 41 Tahun 1991, Tentang Pembentukan


Peradilan Tata Usaha Negara;

b. Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986, Tentang Peradilan Tata Usaha


Negara;

c. Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004, Tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986, Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara;

d. Undang-Undang Nomor : 51 Tahun 2009, Tentang Perubahan Kedua Atas


Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986, Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara;

2. Tugas Pokok dan Fungsi

Tugas Pokok Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) :47

a. Menerima, Memeriksa, Memutus dan Menyelesaikan Sengketa Tata Usaha


Negara (TUN) Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN
Jakarta),
b. Meneruskan Sengketa-Sengketa Tata Usaha Negara (TUN) Ke Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PT.TUN) yang Berwenang.
c. Peningkatan Kualitas dan Profesionalisme Hakim Pada Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta), Seiring Peningkatan Integritas
Moral dan Karakter Sesuai Kode Etik dan Tri Prasetya Hakim Indonesia,
Guna Tercipta dan Dilahirkannya Putusan-Putusan yang Dapat

47
https://ptun-jakarta.go.id/ diakses pada tanggal 4 Desember 2019 pukul 16.00 WIB
38

Dipertanggung jawabkan Menurut Hukum dan Keadilan, Serta Memenuhi


Harapan Para Pencari Keadilan.
d. Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat Terhadap Lembaga Peradilan
Guna Meningkatan dan Memantapkan Martabat dan Wibawa Aparatur dan
Lembaga Peradilan, Sebagai Benteng Terakhir Tegaknya Hukum dan
Keadilan, Sesuai Tuntutan Undang-Undang Dasar 1945.
e. Memantapkan Pemahaman dan Pelaksanaan Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Sesuai
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor :
KMA/012/SK/III/1993, tanggal 5 Maret 1993 Tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN).
f. Membina Calon Hakim Dengan Memberikan Bekal Pengetahuan Di
Bidang Hukum dan Administrasi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Agar Menjadi Hakim yang Profesional.

Fungsi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) :

a. Melakukan Pembinaan Pejabat Struktural dan Fungsional Serta Pegawai


Lainnya, Baik Menyangkut Administrasi, Teknis, Yustisial Maupun
Administrasi Umum.
b. Melakukan Pengawasan atas Pelaksanaan Tugas dan Tingkah Laku Hakim
dan Pegawai Lainnya.
c. Menyelenggarakan Sebagian Kekuasaan Negara Dibidang Kehakiman.

3. Visi dan Misi

Visi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)48

“Mewujudkan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang


Agung”

48
https://ptun-jakarta.go.id/ diakses pada tanggal 4 Desember 2019 pukul 16.00 WIB
39

Misi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

a. Mewujudkan Peradilan yang Sederhana, Biaya Ringan, Transparan dan


Modern;
b. Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Aparatur Peradilan Dalam Rangka
Peningkatan Pelayanan Pada Masyarakat;
c. Melaksanakan Pengawasan dan Pembinaan yang Efektif dan Efisien;
d. Melaksanakan Tertib Administrasi dan Manajemen Peradilan yang Efektif
dan Efisien;
e. Mengupayakan Tersedianya Sarana dan Prasarana Peradilan Sesuai
Dengan Ketentuan yang Berlaku.

4. Wilayah Hukum
Wilayah Hukum Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta termasuk didalam
Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta (PT.TUN Jakarta)
yang membawahi 6 (enam) Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), yaitu :49
a. PTUN Jakarta
b. PTUN Bandung
c. PTUN Banjarmasin
d. PTUN Pontianak
e. PTUN Samarinda
f. PTUN Palangkaraya
g. PTUN Serang
Adapun Wilayah Hukum PTUN Jakarta meliputi wilayah administratif
pemerintah provinsi DKI Jakarta, yang terdiri dari :
a. Jakarta Selatan
b. Jakarta Utara
c. Jakarta Timur
d. Jakarta Barat
e. Kepulauan Seribu.

49
https://ptun-jakarta.go.id/ diakses pada tanggal 4 Desember 2019 pukul 16.00 WIB
40

Adapun Batas-batas Meliputi :


a. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Jawa Barat
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Banten
d. Sebelah Timur berbatasan dengan Jawa Barat

5. Struktur Organisasi Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

NO Jabatan Nama

1 Ketua Dr. H. Hari Sugiharto, SH.MH.

2 Hakim 1. Baiq Yuliana, SH.


2. Adhi Budhi Sulistyo, SH.MH.
3. Oenoen Pratiwi, SH.MH.
4. Susilowati Siahaan, SH.MH.
5. Joko Setiono, SH.MH
6. Edi Septa Suharja, SH.MH.
7. Roni Erry Saputro, SH.MH.
8. Mochamad Arief Pratomo,
SH.MH.
9. Bagus Darmawan, SH.MH.
10. Nelvy Christin, SH.MH.
11. Taufik Perdana, SH.MH.
12. Dyah Widiastuti, SH.MH.
13. Sutiyono, SH.MH
14. Dr. Nasrifal, SH.MH.
15. Andi Muh. Ali
Rahman,SH.MH.
16. Umar Dani, SH.MH.
17. Muhamad Ilham, SH.MH.
41

3 Panitera Didik Hari Wasito, SH.MH.

4 Panitera Muda Hukum Hj. Romlah, SH.MH.

5 Staff Kepaniteraan Hukum 1. Diana Lala, SH


2. Dewi Aqua Kusumasari, SH
3. Solihin
6 Panitera Muda Perkara Sri Hartanto, SH.M.Kn

7 Staff Kepaniteraan Perkara 1. Heri Susanto, SH


2. Murti Handayani Pribadi,
A.Md.
3. Dewi Puryanih, SH
4. Junita A Simanungkulit,
A.Md.
5. Afikri, SE.MH
6. Nuwita, A.Md.
7. Sukarnadi
8. Harry Marangkup Tua, S.Sos
9. Gendro Wisnubroto
8 Panitera Pengganti 1. Pardomuan Silalahi, SH
2. Mosmani, SH
3. Dra. Eni Nuraeni
4. Ninik Sulistyaningsih, SH
5. Hj. Yeni Yeuniwilda, SE, SH,
MH.
6. Agus Wildada, SH
7. Yusuf Amin, SH
8. Sri Ambarwati, SH
9. Almercy, SH
10. Indun Nawang Wulandari, SH
11. Sri Hartanto, SH, M.Kn
42

12. Nur Sujud, SH


13. Hj. Sri Suhartiningsih,
SH.MH.
14. Diah Kumala Dewi, SH.MH.
15. Jumarta, SH.MH.
16. Titin Kuntinih, SH.MH.
17. Yulianti, SH.MH.
18. Aritha Syahrini, SH
19. Kirwono, SH.MH
20. Rudy Syamsumin, SH
21. Salamudin, SH.Mh
22. Maria Maghdalena H, SH.MH
23. Mulyati, SH.MH
24. M. Iqbal Araza, SH.MH
25. Tribakti Adi, SH.MH
26. Sriwidati, SH
27. Suprapti, SH.MH
9 Juru Sita Pengganti 1. Armensius Sipayun, SH
2. Sri Mukaromah, SH
3. Risma Mutajulu, SH
10 Sekertaris Ono Haryono, SE

11 Bendahara Nanik Setyorini, A.Md

12 Ka.su.bag Kepegawaian dan Milatul Khanifah, SH


Ortalak

13 Staf Sub.bag Kepegawaian 1. Sumaja, SH


2. M. Agam Aljernih
3. Andrew J Tarigan, SH
14 Ka.su.bag Perencanaan, IT, dan Tias Descariaty, SH
Pelaporan
43

15 Staf Sub.bag Perencanaan, IT, 1. Metti Susanti


dan Pelaporan 2. Bagus Nurhadi Widjoyo
16 Ka.su.bag Umum dan Ika Salahuddin, SE
Keuangan

17 Staf Ka.su.bag Umum dan 1. Slamet Sugiarto


Keuangan 2. Luddimin, SH
3. M. Salomo F. Simandjuntak,
ST.SH
4. Franziska Junita Harjiman
5. Lia utami Nawangsih, S.g,
M.H
6. Purwoyo, SH
7. Sugeng Siswoyo
8. Mustopa
9. Nanik Satyorini

B. Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara


Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 sekarang (hasil amandemen)
disebutkan, bahwa :50
a. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.
b. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Makamah Konstitusi

Berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen, yang mengatur


kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
kehakiman di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer,

50
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24
44

dan peradilan tata usaha negara. Kekuasaan kehakiman kita sekarang selain
diselenggarakan olah Mahkamah Agung (MA) dan badan-badan peradilan di
bawahnya dalam empat lingkungan peradilan juga oleh Mahkamah Konstitusi
(MK).51

Kedudukan Mahkamah Agung sama, baik sebelum dan sesudah amanden


UUD 1945 merupakan puncak dari badan-badan peradilan di empat lingkungan
peradilan. Empat lingkungan peradilan yang terdiri dari 1 (satu) lingkungan
peradilan umum dan 3 (tiga) lingkungan peradilan khusus yaitu : agama, militer
dan tata usaha negara. Keempat lingkungan peradilan tersebut masing-masing
memiliki badan peradilan (pengadilan) tingkat pertama dan banding. Badan-badan
peradilan tersebut berpuncak pada sebuah MA.

Untuk lingkungan peradilan tata usaha negara berdasarkan Undang-


Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
diubah dengan Undang-undang nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam
Pasal 47 mengatur tentang kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia
yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
tata usaha negara.

Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu


perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut.
Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili
suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut
adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek,
materi atau pokok sengketa.52

51
Yodi Martono Wahyundi, Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Sistem
Peradilan Di Indonesia, Jurnal, h.1
52
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti,
Jakarta: 1988, h.153
45

1. Kewenangan Relatif Pengadilan Tata Usaha Negara

Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah


hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan
berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang
bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum yang
menjadi wilayah hukum pengadilan itu.53
Pengaturan kompetensi relatif peradilan tata usaha negara terdapat dalam
Pasal 6 dan Pasal 54:
Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan :
a. Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota,
dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi
dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Untuk saat sekarang PTUN masih terbatas sebanyak 26 dan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) ada 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta,
Surabaya dan Makasar di seluruh wilayah Indonesia, sehingga PTUN wilayah
hukumnya meliputi beberapa kabupaten dan kota. Seperti PTUN Medan wilayah
hukumnya meliputi wilayah provinsi Sumatera Utara dan PT.TUN wilayah
hukumnya meliputi provinsi-provinsi yang ada di Sumatera. Adapun kompetensi
yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak, yakni
pihak Penggugat dan Tergugat.
Dalam Pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 dan UU No. 9 Tahun 2004 diatur
sebagai berikut : Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan kepada Pengadilan
yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.

2. Kewenangan Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara

Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha


Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok

53
Grace, Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa
Pemilihan Umum Kepala Daerah, Jurnal Fakultas Hukum, 2014, h.4
46

sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah
Keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5
Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.54

Sehingga dapat dipahami bahwa Peradilan Tata Usaha Negara berwenang


menerima, memeriksa, mengadili dan memutuskan tiap-tiap sengketa Tata Usaha
Negara yang diajukan kepada Peradilan Tata Usaha Negara. Sengketa Tata Usaha
Negara merupakan sengketa yang timbul antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, di pusat maupun di daerah, akibat
diterbitkannya keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang oleh pencari keadilan dianggap bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan dan merugikan dirinya sebagai perorangan atau badan
hukum perdata. Meskipun demikian terdapat beberapa jenis keputusan Tata Usaha
Negara.

Salah satu sengketa yang sering diajukan kepada Peradilan Tata Usaha
Negara pada beberapa tahun terakhir ini yaitu sengketa tanah. Sengketa tanah
adalah perselisihan pertanahan berupa pengaduan keberatan-keberatan dan
tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh orang atau badan hukum perdata baik berupa
sengketa perdata, sengketa pidana dan sengketa administratif dengan harapan
dapat memperoleh penyelesaian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Sehingga terdapat tiga jenis sengketa tanah apabila dilihat dari segi
kompetensi absolut badan peradilan di bawah Kekuasaan Kehakiman, yaitu
sengketa perdata, sengketa pidana dan sengketa administratif.

Jadi kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara dalam penyelesaian


sengketa tanah adalah kewenangan dalam pembatalan surat keputusan pemberian
hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah dan surat keputusan pengadaan tanah
untuk kepentingan umum yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara. Jenis-jenis sengketa tanah yang dapat diadili pada Peradilan Tata Usaha

54
Grace, Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa
Pemilihan Umum Kepala Daerah, Jurnal Fakultas Hukum, 2014, h.4
47

Negara berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu


sengketa sertifikat atas tanah termasuk sengketa pengadaan tanah untuk
kepentingan umum.

C. Sengketa Tanah Dengan Kepemilikan Ganda


1. Pengertian Sengketa

Sengketa adalah “Pertentangan, perselisihan atau percekcokan yang terjadi


antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dan atau antara piihak yang satu
dengan berbagai pihak yang berkaitan dengan hak yakni sesuatu yang bernilai,
baik itu berupa uang maupun benda”.

Sengketa dapat terjadi pada siapa saja. Sengketa dapat terjadi antara
individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, anatar kelompok
dengan kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan
dengan negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya. Dengan
kata lain, sengketa dapat bersifat public maupun bersifat keperdataan dan dapat
terjadi baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Akan tetapi dalam
konteks hukum, yang dimaksud sengketa ialah perselisihan yang terjadi antara
para pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah
dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan. Dengan kata
lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu pihak.55

Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah berawal dari pengaduan suatu


pihak (orang atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak
atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan
harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku.56

55
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011, h.12
56
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung :Mandar Maju,
1991, h.22
48

2. Jenis-jenis Sengketa

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran


Tanah, mengatur kegiatan meliputi pengumpulan, pengolahan dan penyajian data
fisik dan yuridis, serta persengketaan yang terjadi. Dalam kegiatan tersebut, jenis
masalah/sengketa yang akan terjadi ada 2 (dua), yaitu:

a. Sengketa data fisik, yaitu sengketa yang menyakut keterangan mengenai


letak, batas dan luas bidang tanah yang sudah didaftar, termasuk
keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya.
Jenis sengketa yang dimasuk dalam kategori ini adalah :
1) Sengketa batas, yaitu menyangkut terjadinya kesalahan pengukuran
batas-batas bidang tanah yang disebabkan oleh tidak adanya
kesepakatan antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pemilik
tanah yang berbatasan.
2) Sengketa Ganti Kerugian, yaitu menyangkut kesepakatan besarnya
nilai ganti rugi serta tata cara pembayarannya.
b. Sengketa data yuridis, yaitu sengketa yang menyakut keterangan mengenai
status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar.
Sengketa yang dimasuk dalam kategori ini adalah:
1) Sengketa Waris, yaitu sengketa menyangkut siapa yang berhak atas
tanah warisan yang ditinggalkan oleh pewaris berdasarkan peraturan
yang berlaku.
2) Sengketa Pengaturan Penguasaan Tanah, yaitu sengketa menyakut
pemilik tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan, misalnya pemilikan
tanah absente dan pemilikan tanah yang melebihi batas maksimum.
3) Sengketa Sertifikat Ganda, yaitu terjadi akibat adanya pemalsuan atas
hak untuk mendapatkan sertifikat atas tanah oleh orang yang tidak
bertanggung jawab.
49

3. Kepemilikan Ganda
Kepemilikan Ganda adalah suatu hak milik dengan sertifikat yang
menguraikan satu bidang tanah yang sama dengan pihak lain. Jadi dengan
demikian satu bidang tanah di uraikan dengan 2 (dua) sertifikat atau lebih yang
berlainan datanya. Hal semacam itu disebut pula “sertifikat tumpang tindih” baik
tumpang tindih seluruh bidang maupun tumpang tindih sebagian dari pada tanah
tersebut.
Tidak termasuk dalam kategori sertifikat ganda yaitu :

a. Sertifikat yang diterbitkan sebagai pengganti sertifikat yang hilang.


b. Sertifikat yang diterbitkan, sebagai pengganti sertifikat yang rusak.
c. Sertifikat yang diterbitkan, sebagai pengganti sertifikat yang
dibatalkan.

Sertifikat ganda sering terjadi di wilayah-wilayah yang masih kosong,


belum dibangun dan didaerah perbatasan kota dimana untuk lokasi tersebut belum
ada peta-peta pendaftaran tanahnya. Ada beberapa hal faktor-faktor terjadinya
sertifikat ganda.

D. Konsep Kepemilikan Menurut Hukum Islam


1. Pengertian Kepemilikan

Menurut bahasa, milkiyah berasal dari kata milk dan malakiyah berasal
dari malakah, yang salah satunya adalah milik. Secara sederhana ia juga diartikan
memiliki sesuatu yang sanggup bertindak secara bebas terhadapnya. Sedangkan
milik menurut istilah adalah suatu ikhtisas yang menghalangi yang lain, yang
membenarkan si pemilik ikhtisas itu bertindak terhadap miliknya sekehendaknya
sendiri kecuali ada penghalang yang melarangnya.57

Ketika membicarakan tentang kepemilikan maka pada saat yang sama juga
memperbincangkan tentang hak, mengingat kepemilikan berarti hak yang
diperoleh oleh seseorang atas sesuatu. secara bahasa dalam Al-Qur’an kata hak

57
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Cetakan Kedua,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, h.11
50

memiliki pengertian, yaitu milik, ketetapan, kepastian, dan kebenaran. Secara


terminologi hak adalah suatu kekhususan yang padanya ditetapkan syara suatu
kekuasaan.

Menurut An-Nabhaniy (1990). Kepemilikan merupakan izin As-Syari’


(ALLAH SWT) untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan
tersebut hanya ditentukan berdasarkan ketetapan dari As-Syari’ terhadap zat
tersebt, serta sebab-sebab pemiliknya. Jika demikian, maka pemilikan atas suatu
zat tertentu, tentu bukan semata berasal dari zat itu sendiri, ataupun dan karakter
dasarnya yang memberikan manfaat atau tidak. Akan tetapi kepemilikan tersebut
berasal dari adanya izin yang diberikan Allah SWT untuk memiliki zat tersebut.
Sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya pemilikan atas zat tersebut menjadi
sah menurut hukum islam.58

Islam telah menjelaskan bahwa filosofi kepemilikan tanah yang hakiki


adalah Allah Swt, dan manusia adalah sebagai pengelola tanah sesuai dengan
hukum-hukumNya.59

Dalam Islam kepemilikan atas tanah memang tidak disebutkan secara


langsung namun Islam mengatur tentang kepemilikan. Kepemilikan tanah dalam
Islam termasuk obyek hukum muamalat, yaitu menyangkut urusan-urusan perdata
dalam hubungan kebendaan meliputi tiga masalah pokok, yaitu:

a. Hak dan pendukungnya


b. Benda dan milik atas benda

Maka dengan demikian, maka pengertian kepemilikan adalah mewujudkan


kekuasaan pada seseorang terhadap kekayaan yang dimilikinya dengan
menggunakan mekanisme tertentu, sehingga menjadikan kepemilikan tersebut
sebagai hak menurut syara’ yang diberikan kepada seseorang.

58
Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam Sejarah Teori dan Konsep, Jakarta: Sinar
Grafika, 2013, h.195
59
Abdul Sami’ al-Misri, Pilar-Pilar Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006,
h.56
51

2. Dasar Hukum Kepemilikan


Dalam Islam, hakikat kepemilikan atas alam beserta isinya secara mutlak
berada di tangan Allah, sedangkan kepemilikan manusia bersifat nisbi dan
temporal sebagai pemberian Allah agar manusia berkemampuan mengatasi
kebutuhannya serta dapat menunaikan fungsinya sebagai pemakmuran dunia
sekaligus hamba Allah yang senantiasa mengabdi kepada Nya secara vertikal
maupun horizontal.
Pemilik sesungguhnya dari sumber daya yang ada adalah Allah SWT,
manusia dalam hal ini hanya penerima titipan untuk sementara saja. Sehingga
sewaktu-waktu dapat di ambil kembali oleh Allah SWT. Oleh sebab itu
kepemilikan mutlak atas harta tidak di akui dalam islam. Sebagaimana terdapat
dalam firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah ayat 284:

ِ ‫ًَاْل َ ْس‬
َََۗ‫ض‬ ْ ِ‫َِو َهاَف‬
َ ‫اوات‬
َ ‫س َو‬
َّ ‫ِ َّلِلَِ َهاَفًَِال‬

Artinya: “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi”.

Manusia adalah khalifah atas harta miliknya, hal ini dijelasakan dalam QS.
Al-Hadiid ayat 7:
َ ‫ٍيَفٍِ ََََِۗفَالَّز‬
َ‫ٌِيََآ َهٌُىا‬ َ ‫سح َ ْخلَ ِف‬ ِ ُ‫َوأَ ًْ ِفق‬
ْ ‫ىاَه َّواَ َج َعلَ ُك ْنَ ُه‬ َ َِ ‫سى ِل‬
ُ ‫َو ََس‬ َّ ‫آهٌُىاَ ِب‬
َ ِ‫الِل‬ ِ
ٌ ‫ََوأ َ ًْ َفقُىاَ َل َُه ْنَأَجْ ٌشَ َك ِب‬
َ‫ٍش‬ َ ‫ِه ٌْ ُك ْن‬
Artinya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah
sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan
menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”

Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama dan pertama dalam Islam


menyatakan bahwa Allah adalah pemilik sepenuhnya segala sesuatu. Dia adalah
pencipta alam semesta, namun bukan untuk kepentingan-Nya sendiri, melainkan
untuk manusia secara kolektif. Manusia diberi hak milik secara individu, setiap
pribadi berhak memiliki, menikmati dan memindahtangankan kekayaan, tetapi
52

mereka mempunyai kewajiban moral menyedekahkan hartanya untuk yang


berhak.

Ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah mengenai peraturan kepemilikan


kekayaannya, antara lain:60

a. Pemanfaatan, Nabi SAW bersabda: “Orang yang menguasai tanah yang


tak bertuan, tidak lagi berhak atas tanah itu jika setelah tiga tahun
menguasainya, ia tidak menggarapnya dengan baik”.
b. Penunaian Hak, setiap muslim yang memiliki kekayaan mencukupi nisab,
harus menunaikan zakat seesuai aturan syara’. Kategori harta yang
dizakati menurut aturan masa awal Islam tidak harus menjadikan tolak
ukur dalam menetapkan harta yang dizakati pada masa kini. Di dalam
harta orang kaya terdapat hak mustahiq, zakat merupakan lambing
harmonisnya hubungan sesama manusia.
c. Tidak merugikan pihak lain, penggunaan milik yang berfaedah ditujukan
untuk mendatangkan manfaat bagi pemiliknya, namun tidak dibenarkan
jika dalam penggunaannya menhadirkan mudharat bagi pihak lain,
merugikan pihak lain berarti pula meremehkan Allah, sebab Allahlah
pemilik segala sesuatu. Bahkan sebaliknya, hak milik seharusnya memberi
manfaat bagi pihak lain. Dalam konteks ini, kaidah menyebutkan bahwa
“menghindari kemudharatan harus diutamakan daripada menarik
kemanfaatan”.
d. Kepemilikan yang sah, Al-Qur’an dan As-Sunnah melarang semua
tindakan untuk memperoleh harta/milik dengan cara melawan hukum,
karena hal ini menjadi sumber kerusakan. Demikian pula hak milik
melalui pengadilan dengan cara tercela, seperti penyuapan, kesaksian
palsu Dll
e. Penggunaan berimbang, pemilik harta benda dalam pandangan syariat
harus menggunakannya secara berimbang, yakni jangan boros dan jangan

60
Muhammad Sularno, Konsep Kepemilikan Dalam Islam (Kajian Dari Aspek Filosofis
dan Potensi Pengembangan Ekonomi Islam), Jurnal, h.81
53

kikir. Al-Qur’an mengajarkan agar tidak terjerumus kedalam cela dan


penyesalan, janganlah tangan terbelenggu pada leher (kikir), namun juga
janganlah terlalu mengulurkan tangan (boros) (QS. Al-Isro’, 17:29).

Dengan ketentuan-ketentuan tersebut, menurut Al-Qur’an dan Sunnah ciri


khas kepemilikan dalam Islam terletak pada adanya etika dan moral dalam
pencarian maupun tasarufnya dan jika dipatuhi akan menjadi solusi atas
keburukan sistem kapitalisme dan sosialisme.

3. Cara Memperoleh Kepemilikan

Menurut ulama ada empat cara pemilikan harta yang disyariatkan Islam, yaitu:

1. Melalui penguasaan harta yang belm dimiliki seseorang atau Lembaga


hukum lainnya, yang dalam Islam disebut harta yang mubah, contohnya
bebatuan sungai yang belum dimiliki seseorang atau badan hukum, apabila
seseorang mengambil bebatuan itu lalu membawanya pulang, maka
bebatuan itu menjadi miliknya.
2. Melalui transaksi yang ia lakukan dengan seseorang atau suatu Lembaga
badan hukum, seperti jual beli, hibah dan wakaf.
3. Melalui peninggalan seseorang, seperti menerima harta warisan dari ahli
warisnya yang wafat.
4. Hasil/buah dari harta yang telah dimiliki seseorang, baik dari hasil itu
datang secara alami, misalnya buah pohon dikebun, anak sapi yang lahir,
maupun melalui usaha kepemilikan, misalnya keuntungan dagang yang
diperoleh oleh pedagang, gaji yang didapat oleh pekerja, dan lain-
lainnya.61

61
Asroen Harun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, h.32
54

Sedangkan menurut Pasal 18 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, benda


dapat diperoleh dengan cara:62

1. Pertukaran
2. Pewarisan
3. Hibah
4. Pertambahan alamiah
5. Jual beli
6. Luqathah
7. Wakaf
8. Cara lain yang dibenarkan Syariah.

3. Macam-macam Kepemilikan
Ulama Fiqh membagi kepemilikan kepada dua bagian yaitu:
1. Al-Milku Al-Tam (milik yang sempurna), yaitu apabila materi atau manfaat
harta itu dimiliki sepenuhnya oleh seseorang, sehingga seluruh hak yang
terikat dengan harta itu dibawah penguasaannya. Milik seperti ini bersifat
mutlak tidak dibatas waktu dan tidak digugurkan orang lain. Misalnya,
seseorang mempunyai rumah, maka ia berkuasa penuh terhadap rumah itu
dan boleh ia manfaatkan secara bebas.
2. Al-Milku Al-Naqis (milik yang tidak sempurna), yaitu apabila seseorang
hanya menguasai materi harta itu, tetapi manfaatnya di kuasai orang lain,
seperti sawah seseorang yang pemanfaatannya diserahkan kepada orang
lain melalui wakaf, atau rumah yang pemanfaatannya dikuasai orang lain,
baik melalui sewa-menyewa atau pinjam-meminjam.63

Menurut Syaih Taqiyyuddin An-Nabhani, Konsep kepemilikan dapat


dibedakan menjadi tiga bagian yaitu kepemilikan individu (Milkiyah Fardhiah),

62
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 18
63
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana 2013, h.68
55

kepemilikan umum (Milkiyah „Ammah), dan Kepemilikan Negara (Milkiyah


Daulah) sebagai berikut:64

1. Kepemilikan individu merupakan ketetapan hukum syara’ yang berlaku


bagi zat atau manfaat tertentu yang memungkinkan siapa saja yang
mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut serta memperoleh
untuk dihabiskan zatnya, seperti beli.
2. Kepemilikan umum merupakan izin syara’ kepada suatu komunitas
untuk sama-sama memanfaatkan suatu benda. Pada umumnya, benda-
benda tersebut ditujukan untuk satu komunitas dan mereka sama-sama
saling membutuhkan benda tersebut sehingga benda yang bersangkutan
tidak dapat dikuasai secara perorangan. Ada dua barang yang
dikategorikan kepemilikan sebagai kepemilikan umum:
a. Benda-benda yang ada di alam, seperti air, padang rumput, api,
dan bahan tambang. Benda-benda tersebut pada hakikatnya
dilarang di perjualbelikan
b. Fasilitas umum, seperti jalan raya, sungai dan masjid
3. Kepemilikan negara merupakan harta yang menjadi hak seluruh kaum
muslim yang pengelolaannya menjadi wewenang negara. Namun, negara
pun dapat memberikan harta tertentu kepada sebagian warga negara
sesuai dengan kebijakan yang dibuat. Contohnya harta Fa‟i (harta
kekayaan orang-orang kafir yang diambil secara paksa dan dikuasai oleh
Kaum Muslimin tanpa peperangan), Kharaj (pajak tanah), dan Jizyah
(pajak yang dikenakan pada kalangan non muslim sebagai imbalan
untuk jaminan oleh suatu Negara Islam.

64
Amir Machmud, Ekonomi Islam: Untuk Dunia Yang Lebih Baik, Jakarta: Salemba
Empat, 2017, h.76
BAB IV
SENGKETA TANAH DENGAN KEPEMILIKAN GANDA

A. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Kepemilikan Ganda


Setiap peristiwa atau kejadian pasti ada asal mulanya, dengan kata lain ada
penyebab yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu peristiwa tersebut.
Pertanahan ialah salah satu peristiwa dengan banyaknya aneka ragam penyebab
baik penyebab dari eksternal maupun internal. Seharusnya satu bidang tanah
hanya memiliki satu tanda bukti atau satu kepemilikan, akan tetapi realitanya yang
terjadi di Indonesia masih banyak sekali tanah yang memiliki beberapa tanda
bukti (ganda bahkan lebih).
Semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan akan
ketersediaan tanah menjadi semakin tinggi pula. Dalam perkembangannya,
kebutuhan terhadap tanah telah memunculkan berbagai konflik atau sengketa,
baik antar perorangan maupun suatu kelompok terkait. Sengketa waris,
kepemilikan, penguasaan tanpa hak atas tanah secara perorangan bahkan
organisasi dan perusahaan adalah konflik yang kian hari kian banyak terjadi.
Secara umum, kasus sengketa tanah muncul karena adanya “klaim” kepemilikan
hak milik, maupun penguasaan atas tanah.
Sertifikat sebagai alat bukti yang kuat atau surat tanda bukti hak atas tanah
seseorang yang didalamnya memuat data fisik dan data yuridis yang telah didaftar
dalam buku tanah, merupakan pegangan kepada pemiliknya akan bukti-bukti
haknya yang tertulis. Oleh karenanya dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah,
setiap satu sertifikat hak atas tanah diterbitkan untuk satu bidang tanah. Namun
nyatanya sampai saat ini masih sering terjadi kasus tentang sertifikat ganda
dimana satu bidang tanah mempunyai lebih dari satu sertifikat.
Pendaftaran tanah perlu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum
terhadap orang yang menguasai dan memiliki tanah agar nantinya mempunyai
kekuatan hak didepan hukum dan Negara. Jadi misalnya seseorang memiliki tanah
tapi belum ada sertifikatnya otomatis belum bisa diakui dan hanya bisa
mengatakan bahwa tanah tersebut adalah tanahnya dan mungkin saja orang lain

56
57

ikut mengakuinya juga, karna itulah pentingnya pendaftaran tanah dan penerbitan
sertifikat di atas tanah yang dimiliki agar seseorang mempunyai dasar
kepemilikan hak atas tanah.
Dari hasil wawancara Bapak Sutiyono selaku Hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta, bahwa faktor yang menyebabkan munculnya Sertifikat
Ganda yaitu65
1. Struktur Hukum, Kekuatan pembuktiannya yang terletak pada aslinya yaitu
sertifikat. Apabila seseorang memiliki sebidang tanah maka ia harus
membuatkan tanah tersebut sertifikat dengan memakai sistem pendaftaran
(kadesteral). Dengan adanya pendaftaran sertifikat maka seseorang akan
dianggap sebagai pemilik tanah yang sah jikalau tanah tersebut sudah di
daftarkan kepada pihak yang berwenang dan telah mempunyai sertifikat yang
sah. Dan masih banyak tanah-tanah kosong yang sudah lama tidak digunakan
atau dimanfaatkan oleh pemiliknya sehingga memberikan peluang bagi orang
lain yang bukan miliknya untuk menggunakan atau memanfaatkan tanah
tersebut untuk keperluannya, sebab itulah yang menjadikan dalam sebidang
tanah memiliki beberapa sertifikat (sertifikat ganda).
2. Struktur sarana dan pra sarana, Sistem hukum pertanahan masih memakai
sistem administrasi manual, walaupun sekarang sudah mulai proses perbaikan
data-data seperti sertifikat-sertifikat yang sudah ada barkodenya. Dengan
demikian sarana pra sarana kita masih belum cukup memadai, tanah di
Indonesia ini luas tetapi masih banyak tanah yang belum bersertifikat atau
banyak tanah yang belum ada datanya di pihak yang berwenang entah hilang
atau datanya yang tidak ada.
3. SDM yang masih korup, dengan adanya pejabat atau aparat pemerintah yang
menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya. Tanah
tersebut sudah bersertifikat akan tetapi adanya oknum yang berkuasa dengan
sengaja melakukan pembuatan sertifikat lagi dengan objek tanah yang sama.

65
Sutiyono, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Wawancara Langsung Pada
Tanggal 17 Desember 2019 Pukul 15.30 WIB
58

4. Budaya Hukum, masyarakat itu sendiri yang tidak memiliki kesadaran atau,
dengan artian pemilik tanah itu sendiri yang tidak memperhatikan tanah
miliknya dan tidak memanfaatkanya dengan baik sehingga di ambil alih oleh
orang lain dan kemudian di manfaatkan karna merasa bahwa tanah tersebut
tidak bertuan atau tidak ada pemiliknya.66

Sedangkan menurut Bernhard Limbong dalam bukunya “Konflik


Pertanahan” mengemukakan dua hal penting dalam sengketa pertanahan yaitu
sengketa pertanahan secara umum dan sengketa pertanahan secara khusus,
sebagaimana terdapat dalam Keputusan BPN RI nomor 34 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.
a. Faktor hukum
1) Regulasi kurang memadai, Regulasi di bidang pertanahan belum
seutuhnya mengacu pada nilai-nilai dasar Pancasila dan filosofi Pasal 33
UUD 1945 tentang moral, keadilan, hak asasi, dan kesejahteraan. Disisi
lain penegakan hukum kerap kali berhenti pada mekanisme formal dari
aturan hukum dan mengabaikan nilainilai substansinya.
2) Tumpang tindih peradilan, Saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang
dapat menangani suatu sengketa pertanahan yaitu peradilan perdata,
peradilan pidana, serta Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam suatu
sengketa tertentu, salah satu pihak yang menang secara perdata belum
tentu menang secara pidana. Selain itu, sumber daya aparatur agrarian juga
merupakan hal yang memicu timbulnya sengketa.
3) Penyelesaian dan birokrasi berbelit-belit, Penyelesaian perkara lewat
pengadilan di Indonesia melelahkan, biaya yang tinggi dan waktu
penyelesaian yang lama apalagi bila terjebak dengan mafia peradilan,
maka keadilan tidak berpihak pada yang benar. Hal ini tentunya tidak
sesuai lagi dengan prinsip peradilan kita yang sederhana, cepat, dan
berbiaya murah, karena kondisinya saat ini dalam berurusan dengan

66
Sutiyono, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Wawancara Langsung Pada
Tanggal 17 Desember 2019 Pukul 15.30 WIB
59

pengadilan tidaklah sederhana, birokrasi pengadilan yang berbelit-belit


dan lama serta biaya yang mahal.
4) Tumpang tindih peraturan, UUPA sebagai induk dari peraturan sumber
daya agrarian lainnya khususnya tanah, namun dalam berjalan waktu
dibuatlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber
daya agraria tetapi tidak menenmpatkan UUPA sebagai undang-undang
induknya, bahkan justru menempatkan UUPA sejajar dengan undang-
undang agraria.
5) Struktur hukum agraria menjadi tumpang tindih. UUPA yang awalnya
merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia,
menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat
pertentangan dengan diterbitkannya peraturan-peraturan perundangan
sektoral.67

b. Faktor Non Hukum


1) Tumpang tindih penggunaan tanah: Pertumbuhan penduduk yang cepat
mengakibatkan jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi pangan
berkurang akibat berubah fungsinya tanah pertanian. Juga pemerintah yang
terus menerus menyelenggarakan proyek pembangunan tidak dapat
dihindarkan jika sebidang tanah yang sama memiliki ataupun timbul
kepentingaan yang berbeda. Itulah sebabnya mengapa pertumbuhan
sengketa tanah yang terus menerus meningkat.
2) Nilai ekonomis tanah yang tinggi, Sejak masa orde baru, nilai ekonomis
tanah semakin tinggi. Hal ni terkait dengan politik peningkatan
pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah dengan
menitikberatkan pada pembangunan. Pemerintah orde baru menetapkan
kebijakan berupa tanah sebagai bagian dari sumber daya agraria tidak lagi
menjadi sumber produksi atau tanah tidak lagi untuk kemakmuran rakyat,
melainkan tanah sebagai aset pembangunan demi mengejar pertumbuhan

67
Darwis Anatami, Tanggung Jawab Siapa, Bila Terjadi Sertifikat Ganda Atas Sebidang
Tanah, Jurnal, Volume 12, Nomor 1, Juni 2017, h.9
60

ekonomi yang bahkan kebijakan itu sangat merugikan rakyat.


3) Kesadaran masyarakat meningkat; Perkembangan global serta peningkatan
perkembangan ilmu pengetahuan & teknologi berpengaruh pada
peningkatan kesadaran masyarakat. Pola pikir masyarakat terhadap
penguasaan tanahpun ikut berubah. Terkait dengan tanah sebagai aset
pembangunan, maka muncul perubahan pola pikir masyarakat terhadap
penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan tanah sebagai sumber
produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk investasi atau
komoditas ekonomi.
4) Jika sebelumnya pemberian ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk
pembangunan kepentingan hanya diberikan “seadanya” bahkan diserahkan
dengan sukarela dan cuma-cuma, pelan-pelan berubah mengacu pada
NJOP (nilai jual objek pajak). Belakangan masyarakat menuntut adanya
penberian ganti rugi berdasarkan harga pasar bahkan lebih dari pada itu
dengan menuntut pemberian kompensasi berupa pemukiman kembali yang
lengkap dengan fasilitas yang kurang lebih sama dengan tempat asal
mereka yang dijadikan areal pembangunan.
5) Tanah tetap, penduduk bertambah, Pertumbuhan penduduk yang sangat
cepat, baik lewat kelahiran maupun migrasi serta urbanisasi, sementara
luas lahan yang relatif tetap, menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi
yang nilainya sangat tinggi, sehingga setiap jengkal tanah dipertahankan
mati-matian.
6) Kemiskinan, Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi
oleh berbagai faktor yang berkaitan. Dalam memenuhi kebutuhan
pertanahan, masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur
penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan
dan pemilikan lahan pertanian.

Makna dan nilai tanah yang demikian stategis dan istimewa mendorong
setiap orang untuk memiliki, menjaga dan meraw at tanahnya dengan baik, bila
perlu mempertahankannya sekuat tenaga sampai titik darah penghabisan. Akar
61

konflik dan sengketa pertanahan yang bersifat multidimensional tidak bisa dilihat
sebagai persoalan hukum belaka, namun juga terkait variabel-variabel lain yang
non-hukum yang antara lain yaitu lemahnya regulasi sertifikasi tanah yang belum
mencapai 50%.

B. Bentuk penyelesaian sengketa tanah dengan kepemilikan ganda di


Pengadilan Tata Usaha Negara
Dalam prakteknya, penyelesaian terhadap sengketa pertanahan bukan
hanya dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional tetapi juga bisa diselesaikan
oleh lembaga Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Jika di
Peradilan Umum lebih menitikberatkan kepada hal-hal mengenai perdata dan
pidana dalam sengketa pertanahan, lain halnya dengan Peradilan Tata Usaha
Negara yang menyelesaikan sengketa pertanahan berkaitan dengan surat
keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional atau pejabat daerah
lainnya yang berkaitan dengan tanah.68 Sesuai dalam Pasal 53 Angka 1 Undang-
undang No 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu:

“Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya


dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan
gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan
agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi
dan/atau rehabilitasi”

Penyelesaian sengketa tanah dengan kepemilikan ganda dengan tiga


macam cara yaitu
a. Penyelesaian secara langsung oleh pihak dengan musyawarah
Musyawarah dilakukan diluar pengadilan dengan atau tanpa mediator.
Mediator biasanya dari pihak-pihak yang memiliki pengaruh misalnya Kepala
Desa/Lurah, ketua adat serta pastinya Badan Pertanahan Nasional. Dalam
penyelesaian sengketa pertanahan lewat musyawarah, satu syaratnya adalah
bahwa sengketa tersebut bukan berupa penentuan tentang kepemilikan atas

68
Darwis Anatami, Tanggung Jawab Siapa, Bila Terjadi Sertifikat Ganda Atas Sebidang
Tanah, Jurnal, Volume 12, Nomor 1, Juni 2017, h.14
62

tanah yang dapat memberikan hak atau menghilangkan hak seseorang


terhadap tanah sengketa, dan diantara pihak bersengketa memiliki kekebaratan
yang cukup erat serta masih menganut hukum adat setempat.
b. Mengajukan keberatan melalui Badan Pertanahan Nasional
Suatu sengketa hak atas tanah itu timbul karena adanya pengaduan/keberatan
dari orang/ Badan Hukum yang berisi kebenaran dan tuntutan kepada suatu
keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh
para pejabat TUN di lingkungan BPN, yang mana keputusan Pejabat tersebut
dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tertentu.
Dengan adanya pengaduan tersebut, maka mereka ingin mendapat
penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut dengan
koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang. Adapun sengketa
hak atas tanah meliputi beberapa macam antara lain: status tanah, siapa
saja yang berhak, bantahan terhadap bukti-bukti perolehan yang menjadi
dasar pemberian sebuah hak atau pendaftaran buku tanah dan sebagainya.
c. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Apabila penyelesaian melalui musyawarah diantara para pihak yang
bersengketa tidak terselesaikan, demikian pula apabila penyelesaian
secara sepihak dari Kepala BPN karena mengadakan serta merta
(peninjuan kembali) atas Keputusan TUN yang telah dikeluarkannya,
tidak dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka
penyelesaiannya harus melalui Pengadilan.

Penyelesaian melalui Pengadilan yaitu salah satunya dengan mengajukan


gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Dimana aspek yang mempengaruhi
hakim menentukan pilihan tindakan dalam penyelesaian suatu sengketa sertifikat
ganda yaitu dari segi Pembuktiannya, karena fakta dan peristiwa sebagai duduk
perkara akan dapat diketahui hakim dari alat-alat bukti yang diajukan oleh para
pihak yang bersengketa. Kalau pembuktian pihak Penggugat bagus gugatannya
akan dikabulkan, dimana suatu gugatan dikabulkan adakalanya pengabulan
seluruhnya atau menolak sebagian lainnya. Maka dalam putusan gugatan
63

dikabulkan tersebut ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Tergugat


berupa pencabutan keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan serta
menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang baru. Namun jika eksepsi
Tergugat di terima putusannya adalah gugatan tidak dapat di terima, gugatan
ditolak jika Majelis Hakim telah memeriksa pokok perkara dan menyatakan
gugatan Penggugat ditolak maka penggugat harus melakukan kewajibannya sesuai
dengan apa yang sudah menjadi keputusan Tata Usaha Negara .69

Prosedur penyelesaian sengketa dengan kepemilikan ganda sama dengan


proses penyelesaian yaitu dengan berawal dari pemeriksaan dalam tahapan
administrasi maka melakukan pendaftaran gugatan dahulu, lalu membayar biaya
panjar perkara, kemudian masuk ke panitera, panitera masukkan ke ketua,
kemudian adanya dismissal proses yaitu proses untuk meneliti apakah gugatan
yang diajukan penggugat layak untuk dilanjutkan atau tidak, setelah itu ketua
tentukan majelis hakim, maka setelah penentuan majelis hakim selesai lalu berkas
tersebut dibawah ke majelis hakim yang terpilih lalu ditentukan hari persidangnya.
Kalau sudah masuk ke majelis hakim, majelis hakim tentukan kap’an pemeriksaan
persiapan. Pemeriksaan persiapan itu dilakukan selama 30 hari, dan dalam waktu
itu pihak penggugat diberi kesempatan untuk memperbaiki gugatannya. Perbaikan
gugatan ini dilakukan supaya dalam gugatan itu jelas subjek dan objeknya.
Setelah pemeriksaan persiapan selanjutnya masuk ke sidang terbuka untuk umum,
gugatan, jawaban, replik, duplik, bukti-bukti termasuk saksi, kesimpulan
selanjutnya pada putusan hakim.
Mengenai pertimbangan hakim yang merupakan salah satu aspek
terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang
mengandung keadilan dan mengandung kepastian hukum. Hal yang harus
dipertimbangkan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam memutuskan
perkara sengketa tanah dengan kepemilikan ganda yaitu kebenaran dan keaslian

69
Romlah, Panitera Muda Hukum Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Wawancara
Langsung Pada Tanggal 17 Desember 2019 Pukul 09.30
64

sertifikat dengan melihat bukti-bukti yang ada serta saksi yang menjadikan
penguat akan keaslian sertifikat tersebut.70

C. Analisis Sengketa Tanah Dengan Kepemilikan Ganda

Untuk menganalisis sengketa tanah dengan kepemilikan ganda, maka


penulis menggunakan teori Lawrence M. Friedman mengenai sistem hukum.
Sistem hukum yang terdiri dari tiga elemen, yaitu elemen struktur (structure),
substansi (substance), dan budaya hukum (legal culture). Tiga unsur dari sistem
hukum ini diteorikan Lawrence M. Friedman sebagai Three Elements of Legal
System (tiga elemen dari sistem hukum). Lawrence M. Friedman membagi sistem
hukum menjadi tiga jenis elemen yaitu:71

1. Struktur Sistem Hukum (legal structure), yaitu tingkatan atau susunan hukum,
pelaksana hukum, peradilan, lembaga-lembaga (pranata-pranata) hukum dan
pembuat hukum, antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan
dengan jaksanya, pengadilan dengan hakimnya dan lain-lainnya.
Dengan begitu yang menjadi dalam sengketa tanah dengan kepemilikan
ganda ini masih banyak pejabat atau aparat-aparat penegak hukum yang
menyalahgunakan kewenangan demi kepentingannya. Dan juga masih
banyaknya sarana pra sarana kita masih belum cukup memadai, tanah di
Indonesia ini luas tetapi masih banyak tanah yang belum bersertifikat atau
banyak tanah yang belum ada datanya di pihak yang berwenang entah hilang
atau datanya yang tidak ada.
2. Substansi Sistem Hukum (legal substance), yaitu hakikat dari isi yang
dikandung dalam perunddang-undangan. Substansi mencangkup semua aturan
hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, seperti hukum materil , hukum
formal dan hukum adat.
Jadi, substansi sistem hukum yang mencangkup segala apa saja yang
merupakan hasil dari struktur, yang didalamnya termasuk dalam norma-

70
Sutiyono, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Wawancara Langsung Pada
Tanggal 17 Desember 2019 Pukul 15.30 WIB
71
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, h.105
65

norma, maupun keputusan-keputusan. Dalam permasalahan sengketa tanah


dengan kepemilikan ganda ini, ialah aturan-aturan atau undang-undang tertulis
yang telah mengatur masalah pertanahan. Jadi menurut Bapak Sutiyono selaku
Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Substansi hukum belum termasuk
dalam faktor-faktor yang menyebabkan adanya sengketa tanah dengan
kepemilikan ganda dikarena sudah diatur dan tertulis dalam hukum pertanahan
yang sudah valid.
3. Budaya Sistem Hukum (legal culture), yang merupakan bagian dari kultur-
kultur pada umumnya, kebiasaan-kebiasaan, opini warga masyarakat dan
pelaksana hukum, cara-cara bertindak dan berfikir atau bersikap, baik yang
berdimensi untuk membelokkan kekuatan-kekuatan sosial menuju hukum atau
menjauhi hukum.
Jadi budaya hukum sendiri merupakan gambaran dari sikap dan perilaku
terhadap hukum, serta keseluruhan faktor-faktor yang menentukan bagaimana
sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan diterima oleh warga
masyarakat. Tanpa budaya hukum, sistem hukum tak berdaya bagai ikan mati
disuatu keranjang, bukan ikan yang hidup berenang dilautan. Budaya hukum
dalam permasalahan sengketa tanah dengan kepemilikan ganda ini bahwa
kurangnya kesadaran masyarakat dalam kepatuhan hukum. Masih banyak
orang-orang yang berfikir untuk membelokkan hukum menjadi yang tidak
seharusnya demi kepentingannya sendiri, seperti halnya permasalahan
sengketa tanah dengan kepemilikan yang dimana menjadi pemicu dalam
faktor-faktor yang menyebabkan adanya kepemilikan ganda yaitu adanya
oknum yang menyalahgunakan hukum.
Dan yang menjadi budaya hukum dalam sengeketa tanah dengan
kepemilikan ganda ini ialah kekuatan pembuktiannya yang terletak pada
aslinya yaitu sertifikat. Apabila seseorang memiliki sebidang tanah maka ia
harus membuatkan tanah tersebut sertifikat dengan memakai sistem
pendaftaran. Dengan adanya pendaftaran sertifikat maka seseorang akan
dianggap sebagai pemilik tanah yang sah jikalau tanah tersebut sudah di
66

daftarkan kepada pihak yang berwenang dan telah mempunyai sertifikat yang
sah.

Dari uraian yang dikemukakan Friedman tersebut jika penulis kaitkan


dengan permasalahan sengketa tanah dengan kepemilikan ganda bahwa struktur
hukum sebagai institusi yang diciptakan oleh sistem hukum atau selaku aparat
penegakan hukum yang memiliki kewenangan besar dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang terjadi masyarakat, salah satunya ialah permasalahan
sengketa tanah dengan kepemilikan ganda, Hakim sebagai struktur hukum dari
sistem hukum memang berperan penting dalam memutuskan perkara sengketa
tanah dengan kepemilikan ganda, dengan tujuan adanya kepastian dan
perlindungan hukum bagi seseorang yang dinyatakan bener sebagai pemilik tanah
tersebut. Dan budaya hukum yang sangat diperlukan untuk mencegah adanya
konflik atau sengketa tanah dengan kepemilikan ganda tersebut.

Maka dengan demikian, tidak akan ada terjadinya sengketa tanah dengan
kepemilikan ganda atau permasalahan-permasalahan lainnya, jika sistem hukum
di Indonesia sudah sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Friedman baik dari
aspek yang terkecil maupun aspek yang besar mulai dari struktur hukum dan
budaya hukum yang berjalan secara bersamaan dengan sebagaimana mestinya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Faktor-faktor yang menyebabkan sengketa tanah dengan kepemilikan ganda
yang ada di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta ialah sebagai berikut:
Pertama Struktur Hukum, Kekuatan pembuktiannya yang terletak pada
aslinya yaitu sertifikat. Yang dimana apabila seseorang memiliki sebidang
tanah maka ia harus membuatkan tanah tersebut sertifikat dengan memakai
sistem pendaftaran (kadesteral).
Kedua Struktur sarana dan pra sarana, Sistem hukum pertanahan masih
memakai sistem administrasi manual, walaupun sekarang sudah mulai proses
perbaikan data-data seperti sertifikat-sertifikat yang sudah ada barkodenya.
Ketiga SDM yang masih korup, dengan adanya pejabat atau aparat
pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan
pribadinya. Tanah tersebut sudah bersertifikat akan tetapi adanya oknum yang
berkuasa dengan sengaja melakukan pembuatan sertifikat lagi dengan objek
tanah yang sama.
Keempat Budaya Hukum, masyarakat itu sendiri yang tidak memiliki
kesadaran atau, dengan artian pemilik tanah itu sendiri yang tidak
memperhatikan tanah miliknya dan tidak memanfaatkanya dengan baik
sehingga di ambil alih oleh orang lain dan kemudian di manfaatkan karna
merasa bahwa tanah tersebut tidak bertuan atau tidak ada pemiliknya.

2. Sengketa tanah dengan kepemilikan ganda dapat diselesaikan secara


langsung oleh pihak dengan musyawarah yang dilakukan diluar pengadilan
dengan atau tanpa mediator. Dan apabila penyelesaian musyawarah juga
tidak tercapai maka dipersilahkan mengajukan gugatan melalui Pengadilan
Tata Usaha Negara. Prosedur penyelesaian sengketa dengan kepemilikan
ganda sama dengan proses penyelesaian gugatan lainnya.

67
68

B. Rekomendasi
1. Sebaiknya masyarakat lebih hati-hati dan teliti jika membeli tanah. Setelah
transaksi jual beli tanah, sebaiknya diusahakan melakukan balik nama dengan
mendaftarkanya ke kantor pertanahan setempat. Kelalaian mengurus balik
nama memang akan memperbesar peluang pengklaiman surat atau sertifikat
tanah di kemudian hari oleh orang lain. Upayakan menggunakan tanah yang
kita miliki. Jika tidak untuk ditinggali, maka pastikan digunakan untuk
kebutuhan lain atau sekurang-kurangnya dilindungi dalam bentuk pagar
keliling.
2. Tertib Hukum Pertanahan harusnya dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Karena sampai saat ini masih banyak terjadi penguasaan tanah tanpa
melalui prosedur yang sudah ditentukan, pembelian tanah dengan kuasa
mutlak, penguasaan tanah tanpa alas hak yang sah dan lain sebagainya.
Kesemuanya itu masih menunjukkan terjadinya penguasaan tanah dan
peralihan hak tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan
yang berlaku, sehingga membawa akibat-akibat negatif yang dapat
menimbulkan kerugian pihak lain dan menjadi sumber sengketa.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Achmad Chomzah, Ali, Hukum Pertanahan, Cet. I, Jakarta: Prestasi Pustaka,
2002
Achmad Chomzah, Ali, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan I-Pemberian
Hak atas Tanah Negara dan Seri Hukum Pertanahan II- Sertipikat dan
Permasalahannya, Jakarta :Prestasi Pustaka, 2002
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
Al-Misri, Abdul Sami’, Pilar-Pilar Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006
Amriani, Nurnaningsih, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011
A.P, Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung: Mandar Maju
1999
Arikunto ,Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta: PT. Rineka Cipta, cet. ke-2,
1993
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, Cetakan Kedua,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001
Asyhadie, Zaeni dan Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 3, Jakarta:
Rajawali Pers, 2016
Bosu, Benny, Perkembangan Terbaru Sertipikat (Tanah, Tanggungan, dan
Condominium), Jakarta: Mediatama Saptakarya, 1997
Djamil, Fathurrahman, Hukum Ekonomi Islam Sejarah Teori dan Konsep, Jakarta:
Sinar Grafika, 2013
Effendie, Bahtiar, Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan peraturan
Pelaksanaannya. Bandung: Alumni 1993
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Jilid I Hukum Tanah Nasional,
Jakarta: Djambatan, 1962
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UndangUndang
Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaanya, Jakarta: Djambatan, 2003

69
70

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan


Hukum Tanah, Jakarta: Penerbit Jambatan, 2008
Harun, Asroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Isnaini, Astri, Tinjauan Hukum Terhadap Sengketa Hak Atas Tanah Di Kota
Makassar, Skripsi (Makassar: Fakultas Syari’ah Dan Hukum Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar 2017)
Kusnardi, Moh, dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar
Bakti, Jakarta: 1988
Lubis, Muhammad Yamin dan Abd. Rahim Lubis, “Hukum Pendaftaran Tanah”,
Bandung: Mandar Maju, 2008
Mahasari, Jamaluddin, Pertanahan dalam Hukum Islam, Yogyakarta: Gama
Media, 2008
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana 2013
Machmud, Amir, Ekonomi Islam: Untuk Dunia Yang Lebih Baik, Jakarta:
Salemba Empat, 2017
Mas, Marwan, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004
Menggala, Hasan Basri Nata Dan Sarjita, Pembatalan Dan Kebatalan Hak Atas
Tanah, Yogyakarta: Tugu Jogja Pustaka, 2005
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty,
2002
Murad, Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung: Mandar
Maju, 1991
Perangin, Effendi, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta : Rajawali, 1986
Ruchiyat, Eddy, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlaakunya UUPA
UU No. 5 Tahun 1960, Bandung: Alumni, 1995
Saleh, Wantijk, Hak anda Atas Tanah, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982
Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-hak atas tanah, Jakarta: Kencana, 2005
Santoso, Urip, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana,
2010
Syafei, Rahmat, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001
71

Sopyan, Yayan, Pengantar Metode Penelitian, Ciputat: Buku Ajar Fakultas


Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Sumardjono, Maria S.W, Tanah Dalam Prespektif Hak Ekonomi, Sosial,dan
Budaya Jakarta: Kompas, 2009
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2005
Sutedi, Andrian, Sertifikat Hak Atas Tanah, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Sutedi, Adrian, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar
Grafika, 2014
Sutopo, Utoyo, Masalah Penyalagunaan Sertifikat Dalam Masyarakat Dan
Upaya Penanggulangannya, Jurnal, Yogyakarta: 1992
Wulandari, Aprilia, Penyelesaian sengketa tanah terhadap sertifikat ganda di
badan pertahanan nasional sukoharjo, Skripsi (Surakarta: Fakultas
Hukum Universitas Surakarta 2018)

JURNAL
Anatami, Darwis, Tanggung Jawab Siapa, Bila Terjadi Sertifikat Ganda Atas
Sebidang Tanah, Jurnal, Volume 12, Nomor 1, Juni 2017
Grace, Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian
Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah, Jurnal Fakultas Hukum,
2014
Harsono, Soni, Kegunaan Sertifikat dan Permasalahannya, Yogyakarta: Seminar
nasional 9 Juli 1992
Martono Wahyunadi, Yodi, Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam
Sistem Peradilan Di Indonesia, Jurnal
Nurhayati, Hak-hak Atas Tanah Menurut Hukum Islam Dan Undang-undang
Pokok Agraria, Jurnal, Program Studi Perbandingan Mazhab, Universitas
Dharmawangsa, 2017
Nurjannah, Tika, Penyelesaian Sengketa Sertifikat Ganda Hak Atas Tanah,
Jurnal, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar, 2016
72

Sularno, Muhammad, Konsep Kepemilikan Dalam Islam (Kajian Dari Aspek


Filosofis dan Potensi Pengembangan Ekonomi Islam), Jurnal

UNDANG-UNDANG
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1365
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 18
Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 1
Ayat (1)
Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah dan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
PMNA/KBPN No. 9 tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan
Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan Pasal 1 ayat (14)
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1)
Undang-undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria
Pasal 20 ayat (1)
Undang-undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria Pasal 28 dan Pasal 33
Undang-undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria Pasal 35
Undang-undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria Pasal 41 Ayat (3)
Undang-undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria Pasal 44 Ayat (1)
Undangan-undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 55
73

WAWANCARA
Indun Nawang Wulandari, Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta, Wawancara Langsung Pada Tanggal 12 Desember 2019 Pukul
11.30 WIB
Romlah, Panitera Muda Hukum Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta,
Wawancara Langsung Pada Tanggal 17 Desember 2019 Pukul 09.30
Sutiyono, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Wawancara Langsung
Pada Tanggal 17 Desember 2019 Pukul 15.30 WIB

WEBSITE
https://ptun-jakarta.go.id/ diakses pada tanggal 4 Desember 2019 pukul 16.00
WIB
74

LAMPIRAN-LAMPIRAN
75
76
77

TRANSKIP WAWANCARA

1. Bagaimana pendapat bapak/ibu mengenai sengketa tanah dengan kepemilikan


ganda ?
Kepemilikan ganda yang dimaksudkan disini kan sertifikat ganda yang
dimana dalam satu obyek tanah yang sedang bersengketa memiliki dua alat
bukti atau lebih, dalam artian satu sebidang tanah yang seharusnya hanya
memiliki satu alat bukti atau satu kepemilikan, tapi realitasnya yang terjadi ada
banyak tanah yang memiliki dua bahkan lebih alat bukti atau kepemilikan
ganda.
2. Apa yang membedakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dengan
Pengadilan Umum?
Yang menjadi putusan Tata Usaha Negara ialah suratnya dalam hal ini ya
sertifikatnya. Jadi nanti yang di uji dalam pengadilan tata usaha negara itu
adalah bagaimana prosedur atau kewenangan prosedur substansi dari
penerbitan sertifikat tersebut. Sertifikat tersebut dinyatakan batal atau tidak sah
maka memerintah penggugat/tergugat yang kalah untuk mencabut
sertifikatnya.
Jika sengketa tanah dengan kepemilikan ganda masuk ke pengadilan
umum maka itu akan menjadi sengketa perdata. Oleh karena itu nanti yang
akan mejadi tuntutan pengadilan umum ialah sertifikat tidak berkekuatan
hukum tetap saja
3. Bagaimana tahapan prosedur gugatan perkara sengketa tanah dengan
kepemilikan ganda tersebut di pengadilan tata usaha negara jakarta?
Prosedur penyelesaian sengketa dengan kepemilikan ganda sama dengan
proses penyelesaian gugatan lainnya, kalau berbicara mengenai hukum acara,
hukum acara itu pertama-tama pemeriksaan kesiapan kemudian masuk ke
acara biasa, nah kalau misalnya pemeriksaan masih dalam tahap administrasi
ya pendaftaran gugatan dulu ,bayar biaya panjar perkara, kemudian masuk ke
panitera, panitera masukkan ke ketua, ketua tentukan majelis hakim, nah
setelah penentuan majelis hakim berkas itu dibawah ke majelis hakimnya
untuk kemudian ditentukan hari sidangnya. Kalau sudah masuk ke majelis
78

hakim, majelis hakim tentukan kap’an pemeriksaan persiapan. Pemeriksaan


persiapan itu dilakukan selama 30 hari, dan dalam waktu itu pihak penggugat
diberi kesempatan untuk memperbaiki gugatannya. Perbaikan gugatan ini
dilakukan supaya dalam gugatan itu jelas subjek dan objeknya. Setelah
pemeriksaan persiapan selanjutnya masuk ke sidang terbuka untuk umum,
gugatan, jawaban, replik, duplik, bukti-bukti termasuk saksi, kesimpulan
selanjutnya pada putusan hakim.
4. Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara sengketa
tanah dengan kepemilikan ganda tersebut?
Pertimbangan hakim yang merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan dan mengandung kepastian hukum. Hal yang harus dipertimbangkan
hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam memutuskan perkara sengketa
tanah dengan kepemilikan ganda yaitu kebenaran dan keaslian sertifikat
dengan melihat bukti-bukti yang ada serta saksi yang menjadikan penguat
akan keaslian sertifikat tersebut.
5. Apa saja faktor-faktor yang menjadi penyebab adanya sengketa tanah dengan
kepemilikan ganda?
- Struktur Hukum, Kekuatan pembuktiannya yang terletak pada aslinya yaitu
sertifikat. Apabila seseorang memiliki sebidang tanah maka ia harus
membuatkan tanah tersebut sertifikat dengan memakai sistem pendaftaran
(kadesteral). Dengan adanya pendaftaran sertifikat maka seseorang akan
dianggap sebagai pemilik tanah yang sah jikalau tanah tersebut sudah di
daftarkan kepada pihak yang berwenang dan telah mempunyai sertifikat
yang sah. Dan masih banyak tanah-tanah kosong yang sudah lama tidak
digunakan atau dimanfaatkan oleh pemiliknya sehingga memberikan
peluang bagi orang lain yang bukan miliknya untuk menggunakan atau
memanfaatkan tanah tersebut untuk keperluannya, sebab itulah yang
menjadikan dalam sebidang tanah memiliki beberapa sertifikat (sertifikat
ganda).
79

- Struktur sarana dan pra sarana, Sistem hukum pertanahan masih


memakai sistem administrasi manual, walaupun sekarang sudah mulai
proses perbaikan data-data seperti sertifikat-sertifikat yang sudah ada
barkodenya. Dengan demikian sarana pra sarana pra sarana kita masih
belum cukup memadai, tanah di Indonesia ini luas tetapi masih banyak
tanah yang belum bersertifikat atau banyak tanah yang belum ada datanya
di pihak yang berwenang entah hilang atau datanya yang tidak ada.
- SDM yang masih korup, dengan adanya pejabat atau aparat pemerintah
yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya.
Tanah tersebut sudah bersertifikat akan tetapi adanya oknum yang
berkuasa dengan sengaja melakukan pembuatan sertifikat lagi dengan
objek tanah yang sama.
- Budaya Hukum, masyarakat itu sendiri yang tidak memiliki kesadaran
atau, dengan artian pemilik tanah itu sendiri yang tidak memperhatikan
tanah miliknya dan tidak memanfaatkanya dengan baik sehingga di ambil
alih oleh orang lain dan kemudian di manfaatkan karna merasa bahwa
tanah tersebut tidak bertuan atau tidak ada pemiliknya.
6. Bagaimana akibat hukum yang terjadi pada perkara sengketa tanah perkara
dengan kepemilikan ganda?
Akibat hukum yang pertama, dengan adanya sertifikat ganda yaitu tidak
memberikan kepastian hukum, dengan artian semua orang sama di depan
hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa adanya
diskriminasi.
Kerugian ialah salah satu akibat hukum sengketa tanah dengan
kepemilikan ganda. Seseorang mengharapkan untuk mendapatkan status
hukum atas tanah miliknya tapi karena adanya sertifikat ganda dan kemudian
dinyatakan kalah dalam persidangan dengan konsekuensi berupa sertifikat
dinyatakan batal, otomatis orang tersebut mengalami kerugian karena biar
bagaimana dalam proses pendaftaran tanah mengeluarkan biaya-biaya apalagi
kalau tanah tersebut luas dan yang paling mungkin diatas tanah tersebut akan
80

dibangun usaha atau tempat mencari nafkah. Belum lagi biaya perkara yang
harus dibayar sebagai pihak yang kalah dalam persidangan.
Akibat hukum selanjutnya yaitu Pencabutan Sertifikat, dengan adannya
Putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) tersebut maka Badan Pertanahan Nasional sebagai Badan yang
bertanggung jawab terhadap penerbitan sertifikat ganda akibat kesalahan atau
kelalaian yang dilakukannya harus mencabut atau membatalkan sertifikat yang
dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Putusan Majelis Hakim,
baik Majelis Hakim Pengadilan Negeri, maupun Majelis Hakim Pengadilan
Tata Usaha Negara yang berwenang membatalkan putusan pejabat negara
dalam hal ini membatalkan salah satu sertipikat hak milik, tidak mungkin
memenangkan kedua belah pihak, salah satu diataranya pihak yang kalah.
7. Bagaimana bentuk penyelesaian dalam sengketa tanah dengan kepemilikan
ganda?
Dalam sengketa tanah dengan kepemilikan ganda penyelesiannya hanya
dengan dua macam cara yaitu melalui pengadilan atau diluar pengadilan.
Apabila diluar pengadilan maka dengan musyawarah atau kesepakatan kedua
belah pihak. Tetapi apabila penyelesaian musyawarah juga tidak tercapai
maka bisa melalui pengadilan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan baik
Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Tata Usaha Negara.
81
82

Anda mungkin juga menyukai