Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum (S.H)
Oleh:
ARSILLIYA RIFDA
NIM: 11150430000071
JAKARTA
1440 H/2019 M
ABSTRAK
Kata kunci: Hukum Islam, Hukum Positif, Pembagian Harta Bersama (Gono-
Gini)
Pembimbing: 1. Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag.
2. Mu’min Rouf, M.A
Daftar Pustaka: 1965 s.d 2014
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama
bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah
Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf
ب b be
ت t te
ث ts te dan es
ج j Je
خ kh ka dan ha
د d de
ر r Er
ز z zet
س s es
v
ش sy es dan ye
غ gh ge dan ha
ف f ef
ق q Qo
ك k ka
ل l el
م m em
ن n en
و w we
ه h ha
ء apostrop
ي y ya
vi
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan
Arab Latin
ـــــَـــــ a fathah
ـــــِـــــ i kasrah
ـــــُـــــ u dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan
Arab Latin
ي
َ ـــــَـــــ ai a dan i
ـــــَـــــ و au a dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
vii
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan
lam ))ال, dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya: = اإلجثهادal-ijtihâd
= الرخصةal-rukhsah, bukan ar-rukhsah
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: = الشفعةal-syuî
‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi
huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa
jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan
viii
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata
sandangnya. Misalnya, =البخاريal-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama
tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
ix
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرمحن الرحيم
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke zaman ilmiah seperti
sekarang ini.
Selanjutnya, penulis akan menyampaikan rasa terimakasih tak terhingga
kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik
berupa moril maupun materil. Karena tanpa bantuan dan dukungannya, penulis
tidak akan menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis secara
khusus akan menyampaikan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi, M.A., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum serta
para Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Hj. Siti Hana, S.Ag, Lc., M.A, Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Bapak Hidayatulloh, M.H, Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab.
3. Bapak dosen penasehat akademik penulis.
4. Ibu Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag, dan Bapak Mu’min Rouf, M.A, dosen
pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu serta memberikan arahan,
saran dan ilmunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan
memberikan ilmu yang tak ternilai harganya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda K.H M.Taman Majid.dan Nyai. Hj.
Nurohmatillah terima kasih atas pengorbanan dalam mendidik, mengasuh dan
berjuang sampai ke titik ini dan tak pernah lupa untuk mendoakan,
memberikan arahan serta dukungan kepada penulis. Juga kepada kakak-
x
kakakku, ang makhsus, ang anik, ce nova dan adik-adikku, saifi, nabhan, dan
silvi yang telah menemani, memberikan doa serta dukungan dan dorongan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Untuk ka Fahrul Rinaldi terima kasih selalu menemani saya sampai saat ini
dan selalu memberikan dorongan dan menasehati serta doa sehingga penulis
bisa menyelesaikan skripsi ini.
8. Untuk Siti Afifah Indriani terima kasih kepada sahabat kamar saya yang
selalu semangat menyelesaikan skripsi dan mendorong saya terus serta doa
nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini semoga bersahabatan ini
tidak akan putus.
9. Untuk Frida Laili, Nurul Hidayati, Lee mita, Ike Sustikawati, Meilani
Pansella, Fatimatun Hurin, Dayu Dyana Zahir, yang telah menerima penulis
menjadi teman suka maupun duka. Semoga persahabatan ini akan selalu
terjali dan sampai Jannah-Nya.
10. Juga Terima kasih kepada teman-teman KKN terkhusus Nisa, Sara, Putre,
Syahla, Iin, Cici yang selalu membantu selama di KKN penulis dengan tulus
dan ikhlas, serta menjadi teman bermain yang asyik sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah membalas kebaikan kalian.
11. Keluarga Besar yang telah menemani dan mewarnai hari-hari penulis selama
perkuliahan. Juga kepada teman seperjuangan PMH 2015 yang telah memberi
pengalaman yang berharga selama perkuliahan.
12. Keluarga Besar Mahasiswa Cirebon Jakarta yang telah menemani pengabdian
selama dibangku perkuliahan yang selalu memberikan motivasi besar dan
semanagat berorganisasi.
Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan
yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi berkah dan
amal jariyah untuk kita semua. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis serta pembaca pada umumnya. Aamiin
Jakarta, 08 Agustus 2019
Penulis
xi
DAFTAR ISI
xii
BAB IV ANALISIS TERHADAP SENGKETA TENTANG KETENTUAN
PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI PUTUSAN NOMOR
115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg
A. Deskripsi Putusan Nomor 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg.........................40
B. Analisis Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor
115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg..................................................................42
C. Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor
115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg..................................................................48
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................53
B. Saran....................................................................................................54
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
2007), hlm. 27.
1
2
2
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, hlm. 28.
3
Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di
Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), hlm. 110.
4
Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di
Indonesia, hlm. 111.
3
7
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 272.
8
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian
(Bandung: Alumni, 2005), hlm. 59.
5
yang akan datang, penulis sangat memahami anggapan salah satu pihak
yang merasa di rugikan karena ketidakadilan.
Keadilan yang integral dengan syarat-syaratnya, yang dimaksud
dengan keadilan adalah istiqamah, integritas (amanah), dan sifat wara’, atau
dalam istilah sekarang kita katakan ketakwaan dan akhlak yang mulia.
Dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
ﻋ َ ﻠ َ ٰﻰ
� ِ َو ﻟ َ ْﻮ ﯾ َ ﺎ أ َﯾ ﱡ ﮭَ ﺎ ا ﻟ ﱠ ِﺬ ﯾ َﻦ آ َﻣ ﻨ ُ ﻮا ﻛ ُﻮ ﻧ ُ ﻮا ﻗ َ ﱠﻮ ا ِﻣ ﯿ َﻦ ﺑ ِ ﺎ ﻟْ ﻘِ ﺴْ ِﻂ ﺷ ُ َﮭ ﺪَا َء ِ ﱠ
ُ �ﺎﻓَ ﱠ اﻷ َﻗْ َﺮ ﺑ ِ ﯿ َﻦ ۚ إ ِ ْن ﯾ َ ﻜ ُ ْﻦ ﻏَ ﻨ ِ ﯿ � ﺎ أ َ ْو ﻓ َ ﻘ ِ ﯿ ًﺮ ا
ْ ﺴ ﻜ ُ ْﻢ أ َ ِو ا ﻟ ْ َﻮ ا ﻟِ ﺪَ ﯾْ ِﻦ َو
ِ ُ أ َﻧ ْ ﻔ
أ َ ْو ﻟ َ ٰﻰ ﺑ ِ ِﮭ َﻤ ﺎ ۖ ﻓ َ َﻼ ﺗ َﺘ ﱠﺒ ِ ﻌ ُ ﻮا ا ﻟْ َﮭ َﻮ ٰى أ َ ْن ﺗ َﻌْ ِﺪ ﻟ ُ ﻮا ۚ َو إ ِ ْن ﺗ َﻠْ ُﻮ وا أ َ ْو
ﺗ ُﻌْ ِﺮ ﺿُﻮا ﻓ َ ﺈِ ﱠن ﱠ
� َ ﻛَﺎ َن ﺑ ِ َﻤ ﺎ ﺗ َﻌْ َﻤ ﻠ ُ ﻮ َن َﺧ ﺒ ِ ﯿ ًﺮ ا
3) Perumusan masalah
Berdasarkan batas-batasan permasalahan di atas maka pokok
permasalahan dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana hukum Islam dan hukum positif memandang Putusan Nomor:
115/pdt.G/2012/PTA.Bdg yang mengabulkan pembagian Harta bersama
untuk istri dapat bagian 1/3 sedangkan untuk suami dapat bagian 2/3?
Kemudian masalah pokok di atas dapat dijawab dengan lebih
dahulu menjawab pertanyaan-pertanyaan lebih terperinci sebagai berikut:
a. Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap
pembagian harta gono-gini?
b. Bagaimana pertimbangan hakim tentang putusan sengketa harta
gono-gini putusan nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan, yaitu:
a. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam dan Hukum Posotif
terkait pembagian gono-gini (harta bersama)
b. Untuk mengetahui alasan dan latar belakang munculnya Putusan
Nomor: 115/pdt.G/2012/PTA. Bandung.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara akademik, penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat
menambah pengetahuan dan keilmuan dalam memahami Putusan
Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg didalam kajian Hukum Islam
dan Hukum positif. Kemudian menambah literatur perpustakaan
khususnya dalam bidang perbandingan madzhab dan hukum dan
pada pembaca umumnya.
b. Manfaat Praktis. Diharapkan hasil penelitian ini bisa memberikan
penjelasan kepada masyarakat tentang latar belakang munculnya
Putusan Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg yang mengabulkan
pembagian harta bersama dan dikaji dalam Hukum Islam dan
Hukum Positif.
8
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 13-14.
10
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PUAJ, 2007),
hlm. 29.
10
1
Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri, (Jakarta: Bulan Bintang,
1965), hlm. 18.
13
14
milik masing-masing suami atau istri. Pada dasarnya tidak ada pencampuran
antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi
hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi
hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Harta bawaan masing-masing suami
dan istri serta harta yang diperoleh masing-masing sebelum perkawinan
adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian kawin. 5
Pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa harta
kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik
sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa mempersoalkan
terdaftar atas nama siapapun. 6
B. Dasar Hukum Harta Gono-Gini
Konsep harta gono-gini pada awalnya berasal dari adat istiadat atau
tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian didukung oleh
Hukum Islam dan Hukum Positif yang berlaku di Negara kita. Percampuran
harta kekayaan (harta gono-gini) berlaku jika pasangan tersebut tidak
menentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan. Dasar hukum tentang harta
gono-gini dapat ditelusuri melalui Undang-Undang, hukum Islam, hukum adat
dan peraturan lain, seperti berikut:
1. UU perkawinan pasal 35 ayat 1,menyebutkan bahwa harta gono-gini adalah
“harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta
kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai
harta gono-gini.
2. KUH Perdata pasal 119,disebutkan bahwa “sejak saat dilangsungkan
perkawinan ,maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara
5
Slamet Abidin Aminuddin, Fikih Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm.
182.
6
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm.
15.
16
suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain
dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu,selama perkawinan
berlangsung,tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan
antara suami istri.”
3. KHI pasal 85, disebutkan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan
itu, tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami
istri”. Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam
perkawinan (gono-gini).
4. KHI pasal 86 ayat 1 dan 2, kembali dinyatakan bahwa “pada dasarnya tidak
ada percampuran harta antara suami dan istri karena perkawinan”. 7
Dari sisi Hukum Islam, baik ahli hukum kelompok syafi’iyah maupun
para ulama yang paling banyak diikuti oleh ulama lain, tidak ada satupun yang
sudah membahas masalah harta bersama dalam perkawinan, sebagaimana
yang dipahami oleh hukum adat. Dalam Al-Qur’an dan sunnah, harta bersama
tidak diatur dan tidak ada pembahasannya. Harta kekayaan istri tetap menjadi
milik suami dan dikuasai sepenuhnya. 8 Harta bersamaan antara suami dan istri
dalam istilah fiqh muamalah dapat dikategorikan sebagai syirkah, yaitu akad
antara dua pihak yang saling berserikat dalam hal modal dan keuntungan.
Dalam kitab-kitab fiqh telah banyak dibahas, akan tetapi tidak dalam bab
nikah melainkan pada bab buyu’. Syirkah digolongkan sebagai suatu usaha
yang sah oleh para ahli hukum Islam sepanjang tidak ada kecurangan atau
ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. 9
Demikianlah yang dimaksud Pasal 35 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa
kekayaan yang diperoleh dengan cara warisan atau hadiah, tidak dapat
dikategorikan sebagai kekayaan bersama. Ini sejalan dalam firman Allah:
7
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam, Citra Umbara, Bandung, 2010.
8
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-
Undangan Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm. 127.
9
Ghufron A. Mashadi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2002), hlm. 93.
17
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
(Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang
mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari
apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian
dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (QS Al-Nisa[4]:32).
10
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013), hlm. 161-162.
11
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI Tahun 2001.
18
12
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, (Yogyakarta: Academia dan
TAZZAFA, 2005), hlm. 192.
13
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 35.
19
hasil ijtihad para ulama yang pada intinya memasukkan semua harta yang
diperoleh dalam ikatan perkawinan dalam kategori harta gono-gini 14.
D. Terbentuknya Harta Gono-Gini
Kajian ulama tentang gono-gini telah melahirkan pendapat bahwa
harta gono-gini termasuk dapat di qiyaskan dengan syirkah. Syirkah sendiri
menurut bahasa ialah pertempuran, sedangkan menurut syara’ ialah adanya
hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu.
Harta gono-gini dapat di qiyaskan sebagai syirkah karena dapat
dipahami bahwa istri juga dapat dihitung pasangan (kongsi) yang bekerja,
meskipun tidak ikut bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya. Yang
dimaksudkan adalah pekerjaan istri seperti mengurus rumah tangga,
memasak, mencuci, mengasuh anak dan keperluan rumah tangga lainnya.
Harta gono-gini sebagai harta yang dihasilkan pasangan suami istri
selama perkawinan berlangsung. Maka, harta gono-gini dikategorikan sebagai
jalan syirkah (kongsi) antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran
harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibedakan lagi. Dikatakan
sebagai syirkah mufaawadlah karena penkongsian suami istri dalam gono-gini
itu bersifat tidak terbatas, apa saja yang mereka hasilkan selama dalama
perkawinan mereka termasuk dalam harta gono-gini. Warisan dan pemberian
merupakan pengecualian. Sedangkan harta gono-gini disebut sebagai syirkah
abdaan dikarenakan sebagian besar dari suami isteri dalam masyarakat
Indonesia sama-sama bekerja untuk nafkah hidup keluarganya.
Dalam fiqh muamalah, syirkah abdaan ataupun syirkah mufaawadlah
merupakan bagian dari syirkah ‘uqud. Syirkah ‘uqud adalah kongsi yang
mensyaratkan adanya kontrak antara anggotanya. Keuntungan yang diperoleh
dibagi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. 15
14
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 40.
15
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 164-165.
20
16
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam, Citra Umbara, Bandung, 2010.
21
17
Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan
Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 75.
22
ﺾ َوﺑِ َﻤﺎ ٍ ﻋﻠَ ٰﻰ ﺑَ ْﻌَ ﻀ ُﮭ ْﻢ َ �ُ ﺑَ ْﻌ ﻀ َﻞ ﱠﺎء ﺑِ َﻤﺎ ﻓَ ﱠِ ﺴ َ ّﻋﻠَﻰ اﻟ ِﻨ
َ ﻮن َ اﻟﺮ َﺟﺎ ُل ﻗَ ﱠﻮا ُﻣ
ِّ
ُ�ﻆ ﱠ َ ﺐ ِﺑ َﻤﺎ َﺣ ِﻔ ِ ﻈﺎتٌ ِﻟ ْﻠﻐَ ْﯿ َ ﺼﺎ ِﻟﺤَﺎتُ ﻗَﺎ ِﻧﺘَﺎتٌ َﺣﺎ ِﻓأَ ْﻧﻔَﻘُﻮا ِﻣ ْﻦ أَ ْﻣ َﻮا ِﻟ ِﮭ ْﻢ ۚ ﻓَﺎﻟ ﱠ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).....(Al-Nisa[4]:34)
Utang bersama merupakan semua utang-utang atau pengeluaran yang
dibuat, baik oleh suami ataupun istri atau bersama-sama, untuk kebutuhan
kehidupan keluarga mereka, pengeluaran untuk kebutuhan mereka bersama,
termasuk pengeluaran sehari-hari. Sedangkan utang pribadi merupakan utang-
utang yang dibuat suami ataupun istri untuk kepentingan pribadi mereka, yang
bukan merupakan pengeluaran sehari-hari atau pengeluaran untuk
kepentingan harta pribadi mereka masing-masing. 18
Jadi pertanggung jawaban utang suami atau istri dibebankan harta
masing-masing dan harta bersama itu diperoleh selama masa perkawinan baik
hak maupun tanggung jawabnya maka suami istri mempunyai andil yang
sama atas harta bersama.
18
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, cet-3 (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm.
74-75.
BAB III
PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI (HARTA BERSAMA)
MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
1
Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan
Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2002), hlm. 77.
23
24
KHI melakukan pendekatan dari jalur syirkah abdan dengan hukum adat.
Cara pendekatan ini tidak bertentangan dengan kebolehan menjadi ‘urf
sebagai sumber hukum. 2
Dalam harta bersama (harta gono-gini) memang tidak dijumpai di Al-
Qur’an dan Hadist karena harta gono-gini itu berasal dari hukum adat pada
masyarakat yang mengenal pencampuran harta kekayaan dalam keluarga
salah satunya adalah masyarakat Indonesia. Untuk menggali hukumnya maka
harta bersama dianalogikan kepada syirkah, seperti yang telah diuraikan
sebelumnya bahwa harta gono-gini dihasilkan bersama oleh pasangan suami
istri selama mereka terikat dengan tali perkawinan atau kata lain yang
dihasilkan oleh syirkah antara suami istri.
Harta Benda Bersama Menurut Hukum Islam Konsep harta gono-gini
beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian fikih
(Hukum Islam). Masalah harta gono-gini atau harta bersama merupakan
persoalan hukum yang belum tersentuh atau belum terpikirkan (ghoir al-
mufakkar fih) oleh ulama-ulama fikih terdahulu, karena masalah harta gono-
gini baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern ini. Dalam kajian
fikih Islam klasik, isu-isu yang sering diungkapkan adalah masalah
pengaturan nafkah dan hukum waris. Hal inilah yang banyak menyita
perhatian kajian fikih klasik. 3
Hukum Islam tidak melihat adanya gono-gini. Hukum Islam lebih
memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan istri. Dalam kitab-
kitab fikih, harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan
oleh suami-istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan, atau dengan kata
lain disebutkan bahwa harta bersama adalah harta yang dihasilkan dengan
jalan syirkah antara suami-istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu
2
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Pengadilan Agama dan Zakat, (Jakarta: Sinar Grafika, cet I, 1995), hlm. 33.
3
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Mandar Maju,
1997), hlm. 93.
25
dengan yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Dasar hukumnya
adalah Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat (32):
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
(Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang
mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa
yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
(QS Al-Nisa[4]:32).
Bahwa bagi semua laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan
dan semua wanita dari apa yang mereka usahakan pula. Hukum Islam juga
berpendirian bahwa harta yang diperoleh suami selama perkawinan menjadi
hak suami, sedangkan istri hanya berhak terhadap nafkah yang diberikan
suami kepadanya. Namun Al-Qur’an dan Hadis tidak memberikan ketentuan
yang tegas bahwa harta benda yang diperoleh suami selama berlangsung
perkawinan sepenuhnya menjadi hak suami, dan istri hanya terbatas atas
nafkah yang diberikan suaminya. Al Qur’an dan Hadist juga tidak
menegaskan secara jelas bahwa harta benda yang diperoleh suami dalam
perkawinan, maka secara langsung istri juga berhak terhadap harta tersebut. 4
Perspektif hukum Islam tentang gono-gini atau harta bersama sejalan
dengan apa yang dikatakan Muhammad Syah bahwa pencaharian bersama
suami-istri mestinya masuk dalam rubu’ mu’amalah, tetapi ternyata tidak
4
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hlm. 95.
26
5
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama Dan Zakat, hlm. 35.
27
6
Kholil Nawawi, Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Perundang-Undangan
di Indonesia, jurnal ilmu syariah, Vol. 1 No. 1 Juni 2013, hlm. 54.
28
7
Kholil Nawawi, Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Perundang-Undangan
di Indonesia, jurnal ilmu syariah, Vol. 1 No. 1 Juni 2013, hlm. 55.
29
8
Kholil Nawawi, Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Perundang-Undangan
di Indonesia, jurnal ilmu syariah, Vol. 1 No. 1 Juni 2013, hlm. 56.
30
9
Kholil Nawawi, Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Perundang-Undangan
di Indonesia, jurnal ilmu syariah, Vol. 1 No. 1 Juni 2013.
10
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hlm. 98.
11
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2000), hlm.
148.
31
dan hukum positif yang berlaku di negara kita. Sekali mereka itu terikat dalam
perjanjian perkawinan sebagai suami istri maka semuanya menjadi satu baik
harta maupun anak-anak. Dalam perspektif Hukum Islam, jika pembagian
harta bersama jika terjadi pasangan suami istri yang telah bercerai itu
mengedepankan cara perdamaian (musyawarah). Hal ini dalam KHI Pasal 97
yang menyebutkan bahwa “Janda atau duda cerai hidup masing-masing
berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam
perjanjian perkawinan”. Berdasarkan pandangan tersebut, sesungguhnya harta
bersama bisa ditelusuri dalam hukum Islam, baik itu melalui konsep syirkah
maupun berdasarkan kehendak hukum Islam itu sendiri.
B. Pembagian Harta Gono-Gini Perspektif Hukum Positif
Dalam Pasal 119 KUH Perdata dikemukakan bahwa mulai saat
perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlakulah kesatuan bulat antara
harta kekayaan suami istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin
tidak diadakan dengan ketentuan lain. Persatuan harta kekayaan itu sepanjang
perkawinan dilaksanakan dan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu
persetujuan antara suami dan istri apa pun. Jika bermaksud mengadakan
penyimpangan dari ketentuan itu, suami istri harus menempuh jalan dengan
perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal 139-154 KUH Perdata. 12
Perjanjian sebagaimana tersebut di atas itu, haruslah dilaksanakan
sebelum perkawinan dilangsungkan dan haruslah dibuat dalam bentuk akta
autentik di muka notaris, akta autentik ini sangat penting, karena dapat
dijadikan bukti dalam persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang
harta bawaan masing-masing suami istri. Jika tidak ada perjanjian kawin yang
dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan, maka semua harta suami dan istri
12
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998), hlm. 99.
32
terjadi perbauran dan dianggap harta bersama. Kemudian dalam Pasal 128-
129 KUH Perdata, dinyatakan bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara
suami istri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami istri. Tanpa
memerhatikan dari pihak mana barang-barang kekayaan itu sebelumnya
diperoleh. Tentang perjanjian kawin itu dibenarkan oleh peraturan perundang-
undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketentraman umum yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat. 13
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Pasal 35-37 dikemukakan bahwa:
Pasal 35
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama.
2. Harta bawaan dari Masing-masing suami istri terhadap harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di
bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
Dalan pasal di atas apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut
diatur menurut hukumnya masing-masing.
Pasal 36
1. Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama itu
atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Dinyatakan pula bahwa suami atau istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bersama tersebut.
13
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, hlm. 102.
33
14
UU No.1 Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam,
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI tahun 2001.
34
4. pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau
suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya
yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan
agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan. 15
Berdasarkan pasal 96 kompilasi hukum Islam dan pasal 37 undang-
undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dikemukakan bahwa harta
bersama suami istri apabila terjadi putusnya perkawinan baik karena kematian
atau perceraian maka kepada suami istri tersebut masing-masing
mendapatkan setengah bagian dari harta yang mereka peroleh selama
perkawinan berlangsung. 16
Sehubungan dengan hal tersebut, pembagian harta bersama setengah
untuk istri dalam kasus-kasus tertentu dapat dilenturkan mengikat realita
dalam kehidupan keluarga di beberapa daerah indonesia ini ada pihak suami
yang tidak berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga. Dalam
hal ini, sebaiknya para praktisi rasa keadilan, kewajaran, dan kepatutan. Oleh
karena itu, perlu adanya pertimbangan khusus tentang partisipasi pihak suami
dalam mewujudkan harta bersama keluarga, sehingga bagian yang
menetapkan setengah dari harta bersama untuk istri dan untuk suami perlu
dilenturkan lagi sebagai-mana yang diharapkan oleh pasal 229 kompilasi
hukum islam.
Apabila pasangan suami istri yang bercerai, kemudian masalah gono-
gini atau harta bersamanya dilakukan dengan musyawarah atau perdamaian,
maka pembagiannya bisa ditentukan berdasarkan kesepakatan atau kerelaan
15
Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan
Agama, hlm. 77.
16
UU No.1 Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam,
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI tahun 2001.
35
antara kedua belah pihak. Cara ini adalah sah, dan cara terbaik untuk
penyelesaian.
Dengan demikian, pembagian harta gono-gini dapat ditempuh melalui
putusan pengadilan agama atau melalui musyawarah. Dalam penyelesaian
melalui musyawarah ini, boleh saja salah satu pihak mendapatkan prosentasi
lebih besar ataupun lebih kecil dari yang lain, tergantumg dari kesepakatan
dan tanpa adanya unsure keterpaksaan. 17
Masalah-masalah hukum harta bersama (harta gono-gini) yang aktual
dan sering timbul di pengadilan agama saat ini meliputi banyak di pengadilan
agama saat ini meliputi banyak hal, di antaranya adalah masalah uang
pertanggungan asuransi kecelakaan lalu lintas, asuransi kecelakaan
penumpang, hasil harta bawaan, kredit yang belum lunas, hingga sistem
pembagian harta gono-gini.
Dalam pasal 119 KUH Perdata disebutkan bahwa mulai saat
perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah kesatuan bulat antara
harta kekayaan suami istri sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin
tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh
ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antar suami istri.
Jika bermaksud mengadakan penyimpangan dari ketentuan itu, suami-
istri harus menempuh jalan dengan perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal
139 sampai Pasal 154 KUH Perdata. Pasal 128 sampai dengan Pasal 129 KUH
Perdata, menentukan bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara suami-
istri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami-istri tanpa memerhatikan
dari pihak mana barang-barang kekayaan itu sebelumnya diperoleh. 18
Tentang perjanjian kawin itu dibenarkan oleh Peraturan Perundang-
undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketenteraman umum yang
17
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 129.
18
Subekti R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, cet Ke-19, 1985), hlm. 51-53.
36
19
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet.ii,
1997), hlm. 201.
37
sebelum akad nikah dilaksanakan. Adapun harta yang menjadi milik pribadi
suami atau istri adalah:
1. Harta bawaan, yaitu harta yang sudah ada sebelum perkawinan
mereka laksanakan,
2. Harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan tetapi
terbatas pada perolehan yang berbentuk hadiah, hibah, dan warisan. 20
Di luar jenis ini semua harta langsung masuk menjadi harta bersama
dalam perkawinan. Semua harta yang diperoleh suami-istri selama dalam
ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik harta tersebut diperoleh secara
tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga dengan
harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta
bersama, tidak menjadi soal apakah istri atau suami yang membeli, tidak
menjadi masalah apakah istri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu
atau juga tidak menjadi masalah atas nama siapa harta itu didaftarkan.
Jadi dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan UU KUH Perdata dalam pasal
37 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 128-129 KUH Perdata bahwa apabila
putusnya tali perkawinan antara suami-istri, maka harta bersama itu dibagi
dua antara suami-istri. Namun di dalam undang-undang dipakai kaidah
sepanjang para pihak tidak menentukan lain atau kaidah diatur menurut
hukumnya masing-masing. 21
Menurut penulis, pembagian harta bersama pada umumnya dibagi dua
sama rata diantara suami istri. Hal ini didasarkan pada UU No. 1 Tahun 1974
dan UU KUH Perdata dalam pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 128-
129 KUH Perdata bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara suami-istri,
maka harta bersama itu dibagi dua antara suami-istri. Namun di dalam
undang-undang dipakai kaidah sepanjang para pihak tidak menentukan lain
20
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bab VII “Harta Benda dalam Perkawinan”, pasal
35.
21
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum
Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, cet.i, 2000), hlm. 127.
38
22
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet Ke-3,
(Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 129.
39
23
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bab VII “Harta Benda dalam Perkawinan”,
pasal 35.
BAB IV
ANALISIS TERHADAP SENGKETA TENTANG KETENTUAN
PEMBAGIAN HARTA GONO-GINI PUTUSAN NOMOR
115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg
1
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg,
tentang Harta Bersama, hlm. 1.
40
41
2
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg,
tentang Harta Bersama, hlm. 2.
3
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg,
tentang Harta Bersama, hlm. 3.
42
orang tua istri, maka wajar jika hak bagian suami lebih besar daripada hak
bagian istri.
Akhirnya Hakim memutuskan objek sengketa tersebut bahwa
sebidang tanah seluas 222 m2 atas nama suami nya adalah harta bersama
(gono-gini) istri dan suami yang belum dibagi. Lalu menetapkan hak bagian
masing-masing pihak atas harta bersama tersebut, istri medapatkan hak
sebesar 1/3 bagian dan suami mendapatkan hak sebesar 2/3 bagian. Suami
lebih besar daripada istri, putusan tersebut dijatuhkan di Bandung pada hari
selasa tanggal 15 Mei 2012 dengan dihadiri Ketua Majelis, masing-masing
kedua Hakim Anggota, panitera pengganti, tetapi tidak dihadiri pihak suami
(Terbanding) dan istri (Pembanding). 4
B. Analisis Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor
115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg
Konsep harta bersama pada awalnya berasal dari adat istiadat atau
tradisi yang berkembang di Indonesia. Walaupun kata “gono-gini” berasal
dari konsep adat jawa, namun ternyata di daerah lain juga dikenal dengan
konsep yang sama dengan istilah-istilah yang berbeda, seperti “hareuta
sirakeat” dari Aceh, “harta suarang” dari bahasa Minagkabau, “guna kaya”
dari bahasa Sunda, dan “duwe gabro” dari Bali. 5 Konsep ini kemudian
didukung oleh hukum positif di negara kita di dalam undang-undang dan
aturan hukum lainnya.
Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991) pasal 85
disebutkan bahwa : “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak
menutup kemungkinan ada harta masing-masing suami dan istri”. Pasal ini
telah menyebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan. Dengan kata
lain, Kompilasi Hukum Islam mendukung adanya harta besama dalam
4
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor: 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg,
tentang Harta Bersama, hlm. 4.
5
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta:
Transmedia Pustaka, 2008), hlm. 10.
43
6
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, hlm. 13.
7
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1993), hlm. 2.
44
dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami
dan dikuasai penuh olehnya”. Konsideransi dari pasal ini adalah untuk
melindungi hak masing- hak masing dan menghargai hasil jerih payah satu
pihak dengan pihak lain. Oleh karena itu perjanjian perkawinan sangatlah
penting jika di kemudian hari terpaksa harus membagi harta bersama karena
perceraian.
Ikatan perkawinan mengkondisikan adanya harta bersama suami dan
istri, sebagaimana tertuang dalam pasal 35 ayat (1), namun bukan berarti
dalam perkawinan hanya ada harta bersama atau gono-gini yang diakui, hal
ini sebagaimana yang tercantum dalam pasal 85 KHI yang menyatakan tidak
menutup kemungkinan ada harta masing-masing suami dan istri dalam harta
bersama tersebut. Harta bersama dalam perkawinan ada tiga macam sebagai
berikut :
1. Harta gono-gini
Harta gono-gini adalah harta yang diperoleh selama masa perkawinan.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 91 ayat (1), harta gono- gini
bisa berupa benda berwujud dan tidak berwujud. Suami dan istri harus bisa
menjaga harta gono-gini ini dengan penuh amanah, sebagaimana diatur
dalam KHI pasal 89, sebagai berikut : “Suami bertanggung jawab
menjaga harta bersama, harta istri, maupun hartanya sendiri”.
2. Harta bawaan
Harta bawaan adalah harta benda milik masing-masing suami dan istri
yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh
warisan dan hadiah. Tentang harta bawaan, Undang-undang
Perkawinan pasal 35 ayat (2) mengatur, “Harta bawaan masing-
masing suami dan istri serta harta benda yang diperoleh masing- masing
sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-
masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.
Berdasarkan ketentuan ini, suami maupun istri berhak memiliki
sepenuhnya harta bawaannya masing-masing, asalkan tidak ditentukan lain
dalam perjanjian perkawinan. Pernyataan yang sama juga diperkuat dalam
46
KHI pasal 87 ayat (1). Harta bawaan bukan termasuk dalam harta bersama.
Suami atau istri berhak menggunakan harta bawaannya masing-masing dan
juga dapat melakukan perbuatan hukum atas hartanya masing-masing.
Dasarnya adalah Undang-undang Perkawinan pasal 36 ayat (2), dan hal ini
senada juga dinyatakan dalam KHI pasal 87 ayat (2). Berdasarkan ketentuan
ini, harta masing-masing pasangan tidak bisa diotak-atik oleh pasangannya
yang lain. Harta bawaan bisa saja menjadi harta bersama jika dalam
perjanjian perkawinan menyebutkan adanya peleburan atau penyatuan antara
harta bersama dan harta bawaan. 8
Oleh karena adanya kebersamaan harta kekayaan antara suami istri,
maka harta bersama atau gono-gini menjadi milik keduanya. Untuk
menjelaskan hal ini sebenarnya ada dua macam hak dalam harta bersama,
yaitu hak milik dan hak guna, artinya mereka berdua sama-sama berhak
menggunakan harta bersama tersebut dengan syarat harus mendapat
persetujuan dari pasangannya. Jika suami hendak menggunakan harta
bersama, dia harus meminta persetujuan istrinya.
Demikian juga sebaliknya, jika istri hendak menggunakan harta
bersama, maka dia harus izin kepada suaminya. Undang-undang Perkawinan
pasal 36 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Mengenai harta bersama suami atau
istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Jika penggunaan
harta gono-gini tidak mendapat persetujuan dari salah satu pihak keduanya,
tindakan tersebut dianggap melanggar hukum karena merupakan tindak
pidana yang bisa saja dituntut secara hukum. Dasarnya dalam KHI pasal 92 :
“Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual
atau memindahkan harta bersama”. Suami atau istri juga diperbolehkan
menggunakan harta bersama sebagai barang jaminan asalkan mendapat
persetujuan dari salah satu pihak. Tentang hal ini, KHI pasal 91 ayat (4)
8
Ismail Muhammad Syah, Pencarian Bersama Suami Istri; Adat Gono-Gini dari
Sudut Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), hlm. 16.
47
mengatur bahwa : “Harta bersama dapat dijadikan jaminan oleh salah satu
pihak atas persetujuan pihak lain”
Menurut penulis, hal ini sudah cukup memberikan keadilan bagi
Pembanding dan Terbanding dalam perkara tersebut. Harta bersama dibagi ½
bagian untuk masing-masing pihak jika dalam kondisi normal. Namun dalam
hal ini, perkara tersebut bisa disebut kasuistis. Kita harus melihat sejauh mana
peranan suami dan istri dalam mengumpulkan harta bersama tersebut dan
bagaimana mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka sebagai
suami-istri. Walaupun tidak sesuai dengan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam,
hakim lebih mengedepankan keadilan.
Pengadilan Tinggi Agama merasa adil jika untuk bagian Penggugat/
Pembanding atas harta bersama adalah 1/3 (sepertiga) bagian, sedang bagian
Tergugat/ Terbanding adalah 2/3 (dua pertiga) bagian karena pada
kenyataannya pemberian yang diperoleh dari orang tua Tergugat/ Terbanding
lebih besar jika dibandingkan dengan pemberian yang diperoleh dari orang tua
Penggugat/ Pembanding, maka wajar dan bahkan seharusnya jika hak bagian
Tergugat/ Terbanding juga lebih besar daripada hak bagian Penggugat/
Pembanding.
Tidak boleh dilupakan kewajiban hakim yang tercantum dalam pasal
28 Undang-undang RI No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman, yaitu
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Sebagai “wakil Tuhan”, hakim mempunyai
wewenang untuk membuat hukum, yang biasa disebut “Judge made Law”.
Maka dari itu, setiap putusan pasti diawali dengan kalimat “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA”. 9Sebagaimana diketahui tujuan hukum dalam kaidah-kaidah hukum,
yaitu:
1. Hukum melindungi kebebasan setiap warga negaranya
2. Setiap warga negara harus diperlakukan sama dihadapan hukum
9
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
2006), hlm. 21.
48
10
Ahmad Kamil, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta: Prenada Media,
2005), hlm. 21.
11
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hlm. 48.
12
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), hlm.
34.
49
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
(Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang
mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa
yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
(QS Al-Nisa[4]:32).
Menurut ayat tersebut jelaslah bagi laki-laki akan mendapat harta
mereka sesuai dengan jerih payahnya dan begitu pula bagi perempuan akan
mendapatkan haknya sesuai dengan jerih payahnya. Maka, ketika terjadi
perceraian masing-masing suami dan istri berhak mendapatkan apa yang
mereka telah usahakan.
Konsep harta bersama, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
hanya merupakan produk hukum adat, yang kemudian dikonsepkan di dalam
hukum positif Indonesia.
Dalam hukum Islam atau fikih sendiri, membolehkan kebiasaan
masyarakat atau adat yang baik yang tidak bertentangan dengan syariat Islam
diadopsi menjadi hukum positif. Di dalam ushul fikih adat kebiasaan
disebut“’Urf” ini bisa menjadi sandaran hukum sesuai dengan kaidah yang
menyatakan : “Al’adatu muhakkamah” Sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan
sandaran hukum.
Namun adat kebiasaan ini tidak serta merta harus diadopsi menjadi
hukum positif. Adat tersebut harus memenuhi syarat-syarat, yaitu :
50
Oleh karena itu, sah-sah saja jika dalam perkawinan suami-istri bersepakat
mengadakan persatuan harta. 13Tidak menyebutkan adanya harta bersama.
Ahli-ahli yang berpendapat bahwa tidak ada harta bersama dalam Islam di
antaranya adalah Satria Effendi dan Abdullah Siddik. Sedangkan ahli-ahli
yang menyatakan adanya harta bersama dalam Islam, salah seorang di
antaranya adalah Sayuti Thalib. 14 Masalah syirkah atau harta bersama asal
mulanya dari hukum adat. Harta bersama di dalam fikih bisa disebut sebagai
hasil syirkah. Ada dua pendapat yang mengenai harta bersama (syirkah)
dalam Islam. Ada pendapat yang menyatakan harta bersama dapat terjadi
dalam perkawinan Islam.
Dalam setiap putusan pengadilan, pada bagian paling awal dari putusan
tersebut pasti diselipkan kalimat “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Yang berarti bahwa keadilan harus
ditegakkan sesuai dengan perintah Tuhan Yang Maha Esa, yakni Allah SWT.
Tuhan menginginkan keadilan ditegakkan dengan seadil-adilnya sesuai
firman di atas. Dan sesuai dengan kaidah amar dalam ushul fikih “al-ashlu fil
amri lil wujub”, pada dasarnya perintah menunjukkan adanya suatu
kewajiban. Maka oleh karena itu, wajib hukumnya bagi kita menegakkan
keadilan.
Hakim telah menimbang dari sudut pandang hukum positif dan hukum
Islam atau fikih. Dalam hukum positif telah dikaji dari berbagai Undang-
undang dan peraturan lainnya, sedangkan dari hukum Islam atau fikih telah
dikaji dari dalil-dalil al-Qur’an, hadits, maupun pendapat Ulama.
Maka dari itu, penulis telah menemukan jawaban bahwa dilihat dari
Putusan Nomor 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg telah cukup memberikan keadilan
bagi para pihak karena dalam hukum Islam atau fikih sendiri, membolehkan
kebiasaan masyarakat atau adat yang baik yang tidak bertentangan dengan
syariat Islam diadopsi menjadi hukum positif. Di dalam ushul fikih adat
kebiasaan disebut“’Urf” ini bisa menjadi sandaran hukum sesuai dengan
kaidah yang menyatakan : “Al’adatu muhakkamah” Sebuah adat kebiasaan
bisa dijadikan sandaran hukum.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan menjadi
beberapa bagian, sebagai berikut:
1. Pembagian harta bersama dalam pandangan hukum Islam dan hukum
positif telah sesuai pada umumnya dibagi dua sama rata diantara
suami istri. Dalam perspektif Hukum Islam, jika pembagian harta
bersama jika terjadi pasangan suami istri yang telah bercerai itu
mengedepankan cara perdamaian (musyawarah). Hal ini dalam KHI
Pasal 97 yang menyebutkan bahwa “Janda atau duda cerai hidup
masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan dalam perjanjian perkawinan”. Berdasarkan pandangan
tersebut, sesungguhnya harta bersama bisa ditelusuri dalam hukum
Islam, baik itu melalui konsep syirkah maupun berdasarkan kehendak
hukum Islam itu sendiri. Sedangkan dalam perspektif hukum positif
hal ini didasarkan pada UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata
dalam pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 128-129 KUH
Perdata bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara suami-istri,
maka harta bersama itu dibagi dua antara suami-istri. Namun di dalam
undang-undang di atas sepanjang para pihak tidak menentukan lain
maka diatur menurut hukumnya masing-masing. Sementara itu harta
bawaan tetap otomatis menjadi hak milik pribadi masing-masing yang
tidak perlu dibagi secara bersama.
2. Dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama
Bandung dalam membagi harta bersama adalah dengan berlandasan
dari rasa keadilan, sehingga sikap hakim dalam memutuskan perkara
tersebut lebih kepada hukum yang timbul pada masyarakat (KHI pasal
229). Pandangan Kompilasi Hukum Islam secara umum membagi
pembagian harta bersama adalah separuh untuk masing-masing pihak
53
54
(KHI pasal 97). Akan tetapi pasal 97 KHI ini harus dipahami dengan
baik ada pembagian harta bersama sebuah bangunan rumah milik
suami istri akan tetapi ketika cerai si Penggugat/Pembanding ingin
dibagi harta bersama tersebut, namun majelis Hakim
mempertimbangkan bahwasanya ketika bangun rumah ada campur
tangan kedua orang tua suami dan istri. Praktek di Pengadilan Tinggi
Agama Bandung dalam putusan No 115/Pdt.G/2012/PTA.Bdg
pembagian Penggugat/ Pembanding adalah 1/3 (sepertiga) bagian,
sedang bagian Tergugat/ Terbanding adalah 2/3 (dua pertiga) bagian
karena pada kenyataannya pemberian yang diperoleh dari orang tua
Tergugat/ Terbanding lebih besar jika dibandingkan dengan pemberian
yang diperoleh dari orang tua Penggugat/ Pembanding, maka wajar
dan bahkan seharusnya jika hak bagian Tergugat/ Terbanding juga
lebih besar daripada hak bagian Penggugat/ Pembanding. Tentunya
hakim mempunyai dasar-dasar yang kuat.
Saran-saran