Anda di halaman 1dari 304

IMPLIKASI YURIDIS BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1

TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO


TERHADAP STATUS BADAN HUKUM
BAITUL MAAL WA TAMWIL

Tesis
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister
Hukum dalam Bidang Hukum Ekonomi Syariah

Oleh:
Mohamad Najib Anis Subekhi
NIM 21180433000004

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
ii
iii
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab Latin yang digunakan pada penelitian ini


merujuk kepada Buku Pedoman Penulisan Tesis Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1437 H/2016 M.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Huruf Keterangan
Arab Latin
‫ا‬ Tidak dilambangkan
‫ب‬ b be
‫ث‬ t te
‫ث‬ ts te dan es
‫ج‬ j je
‫ح‬ h h dengan garis bawah
‫ر‬ kh ka dan ha
‫د‬ d de
‫ذ‬ dz de dan zet
‫ر‬ r er
‫ز‬ z zet
‫س‬ s es
‫ش‬ sy es dan ye
‫ص‬ s es dengan garis di
bawah
‫ض‬ d de dengan garis di
bawah

v
Huruf Huruf Keterangan
Arab Latin
‫ط‬ t te dengan garis di
bawah
‫ظ‬ z zet dengan garis
bawah
‫ع‬ „ koma terbalik di atas
hadap kanan
‫غ‬ gh ge dan ha
‫ف‬ f ef
‫ق‬ q ki
‫ك‬ k ka
‫ل‬ l el
‫م‬ m em
‫ى‬ n en
‫و‬ w we
‫هـ‬ h ha
‫ء‬ ` apostrog
‫ي‬ y ye

2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ــَـ‬ A fathah
‫ــَـ‬ I kasrah

vi
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ــَـ‬ U dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah


sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ــَـَي‬ ai a dan i
‫ــَـ َو‬ au a dan u

3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ـَـا‬ â a dengan topi di atas

َ ‫ـَـي‬ î i dengan topi di atas


‫ـَـو‬ û u dengan topi di atas

4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl,
al-dîwân bukan ad-dîwân.

5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda (‫ )ــَـ‬dalam alih aksara ini
vii
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang
diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf
yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang
diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata (‫ )الضرورة‬tidak
ditulis ad- darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku
jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na„t) (lihat contoh 2).
Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
1 ‫طريقت‬ tarîqah
2 ‫الجاهعتَاإلسالهيت‬ al-jâmî‟ah al-islâmiyyah
3 ‫وددةَالىجىد‬ wahdat al-wujûd

7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan
mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan
kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis
dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf

viii
awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû
Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, maka tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al- Samad al-Palimbânî; Nuruddin
al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

8. Cara Penulisan Kata


Setiap kata, baik kata kerja (fi„l), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara
atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada
ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara

َ‫ذهةَاألسْتاذ‬ dzahaba al-ustâdzu

َ‫ثبجَاألجْ ر‬ tsabata al-ajru

‫صريت‬
ْ ‫الذرمتَالع‬ al-harakah al-„asriyyah

ْ ‫أ ْشهد‬
َ‫َأىَالَإلهَإالَالل‬ asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh

‫ه ْىالناَهللَالصالخ‬ Maulânâ Malik al-Sâlih

َ‫يؤثرمنَالل‬ yu‟atstsirukum Allâh

‫الوظاهرَالع ْقليت‬ al-mazâhir al-„aqliyyah

ix
ABSTRAK

Mohamad Najib Anis Subekhi, NIM. 21180433000004, Implikasi Yuridis


Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro Terhadap Status Badan Hukum Baitul Maal wa Tamwil, Konsentrasi Hukum
Ekonomi Syariah, Program Studi Magister Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1442 H /
2021 M, 28 + 223 halaman + 16 Lampiran.
Sinkronisasi peraturan perundang-undangan tentang Lembaga Keuangan
Mikro dan Perkoperasian berperan sangat signifikan dalam upaya memberikan
kepastian hukum bagi penguatan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sinkronisasi peraturan perundang-
undangan tentang Lembaga Keuangan Mikro dan Perkoperasian dalam kaitannya
dengan badan hukum koperasi Baitul Maal wa Tamwil, menganalisis implikasi
yuridis berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 terhadap status badan
hukum Baitul Maal wa Tamwil, dan menganalisis eksistensi Baitul Maal wa Tamwil
pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif yang
menggunakan pendekatan perundang-undangan, analisis isi dan perbandingan.
Penelitian ini mendukung sebagian hasil penelitian Muhammad Muhtarom (2016)
yang mengemukakan perlunya reformulasi peraturan hukum yang berkaitan dengan
LKM Syariah, Nourma Dewi (2017) seputar keberagaman regulasi yang mengatur
BMT, dan Zakiah Noer (2018) yang mengemukakan pendirian LKM oleh badan
hukum koperasi menimbulkan akibat hukum bagi koperasi LKM. Penelitian ini
membantah sebagian hasil penelitian Novita Dewi Masyithoh (2014) yang
mengemukakan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang
Lembaga Keuangan Mikro pengawasan BMT yang berbentuk badan hukum
koperasi berada dibawah kementerian Koperasi dan UKM, dan Handieni Fajrianty
(2019) yang menyatakan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang
Lembaga Keuangan Mikro menimbulkan dampak ambiguitas dalam penerapannya.
Dari hasil penelitian ini diketahui adanya ketidaksinkronan antara peraturan
perundang-undangan LKM dengan Perkoperasian. Dari penelitian ini disimpulkan
bahwa: (1) melalui sinkronisasi vertikal dan horizontal, ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro beserta peraturan turunannya selain
memiliki hierarki yang lebih tinggi juga merupakan ketentuan khusus (spesialis)
yang harus didahulukan atau dimenangkan ketika terjadi benturan atau
ketidaksesuaian yang mengatur persoalan koperasi sebagai lembaga keuangan mikro
(LKM); (2) berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro menimbulkan implikasi yuridis terhadap pengaturan Baitul Maal
wa Tamwil (BMT) sesuai dengan pilihan status badan hukumnya; (3) eksistensi
x
Baitul Maal wa Tamwil pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro terimplementasi menjadi 2 (dua) pilihan
bentuk kelembagaan, yaitu Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang berada dibawah
regulasi dan pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dikenal sebagai
Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
yang berada dibawah regulasi Kementerian Koperasi dan UKM yang dikenal
sebagai Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS).

Kata Kunci: Implikasi Yuridis, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang


Lembaga Keuangan Mikro, Badan Hukum, Baitul Maal wa Tamwil.

Pembimbing I : Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag.


Pembimbing II : Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H, M.H.
Daftar Pustaka : 1965 s.d. 2020

xi
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada penulis
sehingga penulisan tesis yang berjudul “IMPLIKASI YURIDIS
BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013
TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO TERHADAP STATUS
BADAN HUKUM BAITUL MAAL WA TAMWIL” dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. selaku Dekan FSH
UIN Syarif Hidayatullah.
2. Bapak Dr. Umar Al-Haddad, M.A. selaku Ketua Program Studi Magister
Hukum Ekonomi Syariah FSH UIN Syarif Hidayatullah.
3. Bapak Dr. Muh. Fudhail Rahman, Lc., M.A. selaku Sekretaris Program
Studi Magister Hukum Ekonomi Syariah FSH UIN Syarif Hidayatullah.
4. Ibu Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag. selaku Pembimbing I, yang selalu
sabar dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini.
5. Bapak Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H, M.H., selaku
Pembimbing II, yang selalu sabar dan meluangkan waktunya untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
6. Bapak Dr. JM. Muslimin, M.A., selaku Penguji I, yang telah
memberikan saran dan arahan pasca Ujian Tesis Pendahuluan.

xii
7. Bapak Dr. Muhammad Maksum, SH, MA., MDC., selaku Penguji II,
yang telah memberikan saran dan arahan pasca Ujian Tesis Pendahuluan.
8. Ibu Dr. Nurhasanah, M.Ag., selaku Pembimbing Akademik yang selalu
memberikan saran dan motivasi kepada penulis.
9. Bapak Imam Gozali, S.E., selaku Kepala Sub bagian pada Departemen
Pengawasan IKNB 1B Direktorat Lembaga Keuangan Mikro Otoritas
Jasa Keuangan yang telah bersedia meluangkan waktu untuk wawancara.
10. Bapak Henra Saragih, S.H., M.H., selaku Plt. Asisten Deputi Peraturan
Perundang-undangan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah yang telah bersedia meluangkan waktu untuk wawancara.
11. Bapak Ir. Achmad Halili, M.Sc., selaku Ketua Pengurus BMT Al-Bayan
yang telah bersedia meluangkan waktu untuk wawancara.
12. Pimpinan Perpustakaan yang telah memberikan fasilitas untuk
mengadakan studi perpustakaan.
13. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Hukum Ekonomi Syariah
FSH UIN Syarif Hidayatullah.
14. Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Pemerintah Kota Tangerang
yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk mengikuti pendidikan
Program Magister Hukum Ekonomi Syariah FSH UIN Syarif
Hidayatullah.
15. Sekretaris BPKD, Kepala Bidang Penatausahaan dan Akuntansi dan para
Kepala Sub Bidang pada Bidang Penatausahaan dan Akuntansi BPKD
Pemerintah Kota Tangerang serta rekan-rekan kerja yang selalu
mensupport selama penulisan tesis ini.

xiii
16. Keluargaku tercinta, Isteriku Laily Roikhatun Abharia, SPd., dan
Anakku Haifa Nurulita Kamalia, terima kasih atas doa dan kasih sayang
serta dukungannya yang sangat berarti.
17. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Magister Hukum Ekonomi
Syariah FSH UIN Syarif Hidayatullah T.A. 2018/2019, terima kasih atas
kebersamaannya.
18. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan tesis ini yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Akhir kata semoga amal kebaikan dan bantuan dari semua pihak
mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, Penulis berharap semoga
tesis ini dapat bermanfaat bagi pribadi penulis dan bagi pengembangan ilmu
pengetahuan serta yang membaca tesis ini.

Jakarta, 5 April 2021

Penulis

xiv
DAFTAR ISI

Hal

LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………….. ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………... iii

LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………... iv

LEMBAR PEDOMAN TRANSLITERASI ……………………………...... v

ABSTRAK ………………………………………………………………… x

KATA PENGANTAR ……………………………………………………... xii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………..... xv

DAFTAR TABEL ………………………………………………………..... xx

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….... xxi

DAFTAR ISTILAH ……………………………………………………….. xxii

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………..... xxviii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….. 1

A. Latar Belakang Masalah ………………………………….... 1

B. Permasalahan ………………………………………………. 13

1. Identifikasi Masalah …………………………………… 13

2. Perumusan Masalah …………………………………… 14

xv
3. Pembatasan Masalah …………………………………... 14

C. Tujuan Penelitian ………………………………………….. 14

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ………………………. 15

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ……………………….. 16

F. Kerangka Konseptual ……………………………………… 30

G. Metode Penelitian …………………………………………. 38

1. Jenis Penelitian ………………………………………... 38

2. Pendekatan Penelitian …………………………………. 38

3. Bahan Hukum …………………………………………. 40

4. Metode Pengumpulan Data ……………………………. 44

5. Metode Analisis Data ………………………………….. 45

6. Alur Penelitian …………………………………………. 46

H. Kerangka Pemikiran ……………………………………….. 46

I. Sistematika Penelitian ……………………………………... 48

BAB II TEORI MORALITAS HUKUM, TEORI HUKUM ISLAM,

PERUNDANG-UNDANGAN, DAN BADAN HUKUM ……. 50

A. Teori Moralitas Hukum Menurut Lon L. Fuller ………….. 50

B. Teori Hukum Islam ………………………………………… 59

1. Teori Tujuan Hukum Islam ……………………………. 59

xvi
2. Teori Ta’ârud al-‘Adillah ……………………………… 62

C. Teori Perundang-Undangan ………………........................... 64

D. Teori Badan Hukum ……………………………………...... 70

BAB III BAITUL MAAL WA TAMWIL DALAM PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN ………………………………... 79

A. Konsep Baitul Maal wa Tamwil ………………………........ 79

B. Pengaturan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan

Mikro beserta Peraturan Turunannya ……………………… 82

C. Pengaturan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dalam Peraturan

Perundangan Perkoperasian ……………............................... 90

D. Pengaturan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dalam Peraturan

Perundangan Pengelolaan Zakat …………………………… 100

E. Pengaturan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dalam Peraturan

Perundangan Wakaf ………………………………………... 102

BAB IV STATUS BADAN HUKUM BAITUL MAAL WA TAMWIL

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013

TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

………………………………………………………………….. 105

xvii
A. Status Badan Hukum Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Pasca

Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang

Lembaga Keuangan Mikro ………………………………… 105

1. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Berbadan Hukum

Koperasi ……………………………………………….. 111

2. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Berbadan Hukum

Perseroan Terbatas (PT) ………………………………. 112

B. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan tentang

Lembaga Keuangan Mikro dan Perkoperasian Dalam

Kaitannya Dengan Badan Hukum Koperasi Baitul Maal wa

Tamwil ……………………………………………………... 114

1. Sinkronisasi Vertikal …………………………………... 130

2. Sinkronisasi Horizontal ………………………………... 136

C. Implikasi Yuridis Berlakunya Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro Terhadap

Status Badan Hukum Baitul Maal wa Tamwil …………….. 144

1. Implikasi Yuridis terhadap Aspek Kelembagaan …….... 145

2. Implikasi Yuridis terhadap Aspek Kegiatan Usaha ……. 155

3. Implikasi Yuridis terhadap Aspek Cakupan Wilayah

xviii
Usaha …………………………………………………... 162

4. Implikasi Yuridis terhadap Aspek Pembinaan, dan

Pengawasan ……………………………………………. 166

BAB V BENTUK KELEMBAGAAN BAITUL MAAL WA TAMWIL

PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1

TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

……………………………………….......................................... 174

A. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai Lembaga Keuangan

Mikro Syariah (LKMS) ………………………..................... 178

B. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai Koperasi Simpan

Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) ………………… 186

BAB VI PENUTUP ……………………………………………………... 202

A. Kesimpulan ……………………………………………….... 202

B. Saran ……………………………………………………….. 210

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………... 212

RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………... 272

xix
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan ………………………... 16

Tabel 4.1 Perbandingan Ketentuan Besaran Modal Awal (Modal

Minimal) …………………………………………………… 119

Tabel 4.2 Aspek-Aspek Ketidaksinkronan Antara Peraturan

Perundang-undangan LKM Dengan Perkoperasian………... 125

Tabel 4.3 Ketentuan Penggunaan Akad yang Sesuai Dengan Prinsip

Syariah ……………………………………………………... 157

Tabel 4.4 Fatwa DSN-MUI …………………………………………... 159

xx
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Grafik Skor Islamic Finance Country Index (IFCI) 2019 …. 1

Gambar 1.2 Bagan Alur Kegiatan Penelitian …………………………… 46

Gambar 1.3 Skematik Kerangka Pemikiran …………………………….. 47

Gambar 2.1 Delapan Prinsip Hukum Fuller …………………………….. 55

Gambar 4.1 Bentuk Badan Hukum BMT ………………………………. 114

Gambar 4.2 Proses Perizinan Usaha LKM ……………………………... 154

Gambar 4.3 Bagan Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Keuangan

Mikro ………………………………………………………. 170

Gambar 5.1 Direktori LKM yang Terdaftar di OJK Juli 2020 …………. 180

Gambar 5.2 Kegiatan Usaha KSPPS ……………………………………. 187

Gambar 5.3 Data Koperasi Kelompok KSPPS Per 30 Juni 2020 dan 31

Desember 2019 …………………………………………….. 188

Gambar 5.4 Eksistensi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) ………………... 196

xxi
DAFTAR ISTILAH

Badan Hukum : kumpulan orang-orang yang


mempunyai tujuan (arah yang ingin
dicapai) tertentu, harta kekayaan, serta
hak dan kewajiban.
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) : lembaga keuangan mikro syariah yang
menjalankan orientasi komersial
melalui aktivitas tamwil dan orientasi
sosial melalui aktivitas maal secara
harmonis.
Eksistensi : keberadaan
Ijarah : akad penyediaan dana dalam rangka
memindahkan hak guna atau manfaat
dari suatu barang atau jasa
berdasarkan transaksi sewa, tanpa
diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang itu.
Ijarah Muntahiah Bit Tamlik : akad penyediaan dana dalam rangka
memindahkan hak guna atau manfaat
dari suatu barang atau jasa
berdasarkan transaksi sewa dengan
opsi pemindahan kepemilikan barang.
Implikasi Yuridis : keterlibatan atau ketertautan beberapa

xxii
aspek hukum akibat pengaturan
hukum dalam peraturan perundang-
undangan.
Istishna : akad jual beli dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati antara
pemesan atau pembeli (mustashni’)
dan penjual atau pembuat (shani’).
Ju’alah : janji atau komitmen (iltizam) untuk
memberikan imbalan tertentu atas
pencapaian hasil (natijah) yang
ditentukan dari suatu pekerjaan.
Lex Posteriori Derogat Legi : aturan hukum yang lebih baru
Priori mengesampingkan atau meniadakan
aturan hukum yang lama.
Lex Superior Derogat Legi : aturan hukum yang lebih tinggi
Inferiori mengesampingkan aturan hukum yang
lebih rendah.
Lex Specialis Derogat Legi : aturan hukum yang khusus akan
Generalis mengesampingkan aturan hukum yang
umum.
Maqâsîd al-Syarî’ah : Tujuan hukum Islam.
Morality of duty (moralitas : moralitas yang timbul karena
kewajiban) kewajiban yang harus dipenuhi dalam

xxiii
suatu masyarakat yang berupa aturan
yang tegas, keras dan memaksa.
Morality of aspiration : moralitas yang timbul dari aspirasi
(moralitas aspirasi) manusia yang berkaitan dengan hidup
yang baik dan berbudi luhur.
Mudharabah : akad atau sistem kerjasama dimana
seseorang menyerahkan hartanya
kepada pihak lain untuk dikelola
dengan ketentuan bahwa keuntungan
yang diperoleh (dari hasil pengelolaan
tersebut) dibagi antara kedua pihak
sesuai dengan nisbah yang disepakati,
sedangkan kerugian ditanggung oleh
shahib al mal sepanjang tidak ada
kelalaian dari mudharib.
Murabahah : akad jual beli suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada
pembeli dan pembeli membayarnya
dengan harga yang lebih sebagai
keuntungan yang disepakati.
Musyarakah : akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu, di
mana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana (modal)
dengan ketentuan bahwa keuntungan

xxiv
dibagi sesuai dengan nisbah yang
disepakati atau proporsional, dan
risiko (kerugian) akan ditanggung
bersama secara proporsional.
Peraturan Perundang-undangan : peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum
dan dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan.
Qordh : akad pinjaman dana dengan ketentuan
wajib mengembalikan dana yang
diterimanya pada waktu yang telah
disepakati.
Salam : akad pembiayaan suatu barang dengan
cara pemesanan dan pembayaran
harga yang dilakukan terlebih dahulu
dengan syarat tertentu yang disepakati.
Sinkronisasi : perihal menyinkronkan,
menyejajarkan, menyerentakkan.
Sinkronisasi peraturan : penyelarasan dan penyerasian berbagai
perundang-undangan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan peraturan perundang-
undangan yang telah ada dan yang

xxv
sedang disusun yang mengatur suatu
bidang tertentu.
Sinkronisasi Horisontal : sinkronisasi peraturan perundang-
undangan dengan peraturan
perundang-undangan lain dalam
hierarki yang sama.
Sinkronisasi Vertikal : sinkronisasi peraturan perundang-
undangan dengan peraturan
perundang-undangan lain dalam
hierarki yang berbeda.
The external morality of law : tuntutan moral terhadap hukum yang
(moralitas eksternal hukum) harus dipenuhi agar hukum berfungsi
dengan baik dan adil.
The internal morality of law : aturan-aturan atau kaidah-kaidah
(moralitas internal hukum) hukum sebagai sarana yang
memungkinkan aspek eksternal
moralitas hukum dapat diwujudkan.
Undang-Undang : peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan persetujuan bersama
Presiden.
Wadiah : akad penitipan barang atau uang antara
pihak yang mempunyai barang atau
uang dan pihak yang diberi
kepercayaan dengan tujuan untuk

xxvi
menjaga keselamatan, keamanan, serta
keutuhan barang atau uang.

xxvii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Izin Penelitian dan Wawancara …………………………..... 224

Lampiran 2 Pedoman Wawancara ……………………………………… 228

Lampiran 3 Hasil Wawancara …………………………………………... 235

Lampiran 4 Dokumentasi ……………………………………………….. 250

Lampiran 5 Data LKM dan KSPPS …………………………………….. 255

Lampiran 6 Hasil Turnitin ……………………………………………… 274

xxviii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam Global Islamic Finance Report (GIFR) 2019,1 Indonesia
berada di peringkat pertama dalam Pasar Keuangan Syariah Global
dengan mencatat skor 81,93 pada Islamic Finance Country Index (IFCI)
2019. Skor tersebut secara visual dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1.1. Grafik Skor Islamic Finance Country Index
(IFCI) 2019

Indonesia 81.93
Malaysia 81.05
Iran 79.03
Saudi Arabia 60.65
Sudan 55.71
Brunei Darussalam 49.99
United Arab Emirates 45.31
Bangladesh 43.01
Kuwait 40.9
Pakistan 36.88
Bahrain 30.09

0 20 40 60 80 100

Sumber: Cambridge Institute of Islamic Finance, (diolah)2


Hasil Global Islamic Finance Report (GIFR) 2019 tersebut
semakin mengukuhkan peran nyata Indonesia diindustri perbankan dan

1
Global Islamic Finance Report(GIFR) 2019 merupakan laporan tahunan perbankan
dan keuangan syariah untuk industri keuangan syariah global yang pertama kali diterbitkan
pada tahun 2010. Laporan ini dipublikasikan oleh Cambridge Institute of Islamic Finance
(Cambridge-IIF) dan diproduksi oleh Cambridge IFA yang berbasis di Inggris.
2
Global Islamic Finance Report (GIFR) 2019, Islamic Finance Country Index - IFCI
2019, Chapter 01, (Inggris: Cambridge IFA, 2019), h. 50, diakses pada 26 Maret 2020 dari
http://www.gifr.net/publications/gifr2019/ifci.pdf
1
2

keuangan Syariah di dunia. Menurut Humayon Dar, Director General of


Cambridge IIF, terdapat beberapa faktor yang mendorong melesatnya
posisi Indonesia ke peringkat teratas, diantaranya adalah perkembangan
regulasi yang diikuti oleh peningkatan ekosistem industri perbankan dan
keuangan Syariah, dukungan politik yang kuat dari pemerintah dan juga
potensi besar yang ditawarkan ekonomi Syariah.3 Sementara itu Ventje
Rahardjo mengatakan bahwa keberadaan Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
cukup signifikan dalam ekosistem keuangan syariah. Jumlah Baitul Maal
wa Tamwil (BMT) yang mencapai lebih dari 5.000 di seluruh Indonesia
telah membuat Indonesia menempati peringkat pertama dalam Global
Islamic Finance Review 2019.4
Perkembangan Baitul Maal wa Tamwil yang tumbuh pesat
tersebut membutuhkan sistem hukum yang efektif guna menjamin
terwujudnya kepastian hukum dan menjaga kepercayaan masyarakat
maupun pihak lain yang terkait dengan aktivitas Baitul Maal wa Tamwil
(BMT). Sistem hukum akan efektif jika memiliki landasan hukum yang
jelas dan kuat serta dibangun oleh komponen-komponen pendukungnya.
Friedman mengemukakan bahwa terdapat tiga komponen dalam sistem
hukum, yaitu komponen struktur, substansi, dan budaya hukum.5

3
Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS), Siaran Pers: Global Islamic Finance
Report 2019 Menempatkan Indonesia di Posisi Teratas dalam Pasar Keuangan Syariah
Global, Jakarta, 17 Oktober 2019, diakses pada 26 Maret 2020 dari
https://knks.go.id/storage/upload/1571570175-Siaran Pers Penghargaan GIFR 2019.pdf
4
Ventje Rahardjo, dalam Indonesia Islamic Microfinance Leaders Forum di Aryaduta
Hotel, Jakarta, 20 November 2019, diakses pada 26 Maret 2020 dari
https://republika.co.id/berita/q19ixu370/knks-berkomitmen-hidupkan-kembali-bmt
5
Lawrence M. Friedman, The Legal System, (New York: Russel Sage Fondation,
1975), h. 131 dalam Amran Suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum Perspektif Hukum
Perdata dan Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h.
510
3

Ketiga komponen sebagaimana yang dungkapkan oleh Friedman


tersebut berada dalam suatu proses interaksi satu sama lain dan
membentuk satu totalitas yang dinamakan sistem hukum. Substansi
hukum merupakan peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku
hukum pada waktu melakukan perbuatan dan hubungan hukum.
Komponen struktur merupakan institusi yang telah ditetapkan oleh
substansi ketentuan hukum untuk melaksanakan, menegakkan,
mempertahankan dan menerapkan ketentuan tersebut. Sedangkan budaya
hukum merupakan komponen yang terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap
yang merupakan pengikat sistem serta menentukan tempat sistem hukum
itu di tengah-tengah kultur bangsa secara keseluruhan.6
Di dalam sistem hukum, peraturan perundang-undangan yang
digunakan sebagai payung hukum Baitul Maal wa Tamwil merupakan
salah satu bagian dari sub sistem substansi hukum. Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) merupakan lembaga ekonomi yang menggabungkan dua
fungsi sekaligus, yaitu fungsi sosial dan fungsi komersial. Hal ini
berbeda dengan institusi ekonomi yang selama ini telah ada di Indonesia
yang umumnya hanya menitikberatkan pada satu fungsi.7 Dalam
operasionalnya Baitul Maal wa Tamwil (BMT) melakukan
penghimpunan dana dari masyarakat (anggota) dan menyalurkan kembali
kepada pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK).8
Kedua fungsi atau aktivitas Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
tersebut dapat diterjemahkan sebagai misi Baitul Maal wa Tamwil

6
Amran Suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum Perspektif Hukum……, h. 510
7
Neni Sri Imaniyati, “Aspek-Aspek Hukum Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dalam
Perspektif Hukum Ekonomi”, dalam Prosiding SNaPP2011: Sosial, Ekonomi, dan
Humaniora, ISSN 2089-3590, h. 130
8
Euis Amalia, Keuangan Mikro Syariah, (Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h. 24
4

(BMT) yaitu pengembangan ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan


dakwah. Penggabungan dua fungsi dalam satu lembaga menunjukkan
bahwa Baitul Maal wa Tamwil (BMT) memiliki karakteristik yang
khusus dibandingkan dengan institusi lainnya.
Sri Dewi Yusuf mengemukakan bahwa sebagai bentuk Lembaga
Keuangan Syariah Non Bank, Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
mempunyai ciri-ciri utama yang membedakannya dengan lembaga
Keuangan bank, yaitu;
1. Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan
pemanfaatan ekonomi, terutama untuk anggota, dan lingkungannya.
2. Bukan lembaga sosial tetapi dapat dimanfaatkan untuk mengaktifkan
penggunaan dana-dana sosial untuk kesejahteraan orang banyak serta
dapat menyelenggarakan kegiatan pendidikan untuk memberdayakan
anggotanya dalam rangka menunjang kegiatan ekonomi.
3. Ditumbuhkan dari bawah berdasarkan peran serta masyarakat
sekitarnya.
4. Milik bersama masyarakat kecil, bawah dan menengah, yang berada
dilingkungan BMT itu sendiri, bukan milik orang seorang atau orang
lain dari luar masyarakat itu.9
Karakteristik khusus dari Baitul Maal wa Tamwil (BMT) tersebut
menimbulkan problem tersendiri karena belum ada peraturan yang secara
spesifik mengatur sehingga banyak peraturan yang harus dipatuhi Baitul
Maal wa Tamwil (BMT) tergantung pada bentuk badan hukum yang
dipilih. Nourma Dewi mengemukakan bahwa hingga saat ini
pengelolaan BMT masih menggunakan peraturan yang beragam. Hal

9
Sri Dewi Yusuf, “Peran Strategis Batul Maal Wa-Tamwil (BMT) Dalam
Peningkatan Ekonomi Rakyat”, dalam Jurnal Al-Mizan, Volume 10, No. 1, Juni 2014, h. 74
5

tersebut dikarenakan karakteristik khusus BMT dan jenis badan hukum


BMT yang bisa berupa koperasi maupun perseroan terbatas.10
Karena belum ada peraturan yang secara khusus mengatur Baitul
Maal wa Tamwil (BMT), terutama keharusan bentuk badan hukumnya,
maka status badan hukum Baitul Maal wa Tamwil (BMT) beragam, ada
yang telah memiliki status badan hukum dan ada yang belum memiliki
status badan hukum, serta ada beberapa Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
yang tidak diketahui status badan hukumnya. Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) yang telah berbadan hukum, menggunakan badan hukum yang
berbeda-beda, ada yang berbadan hukum koperasi dan ada yang
berbadan hukum yayasan. Sedangkan Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
yang tidak berbadan hukum, umumnya menggunakan istilah LSM atau
KSM.11
Keragaman status badan hukum Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
yang demikian menunjukkan adanya ketidakpastian dalam regulasi yang
mengatur persoalan Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Padahal dalam
sebuah kebijakan hukum, kepastian hukum adalah salah satu dari tiga
terminologi yang memiliki nilai aksiologis di dalam hukum demi
tegaknya the rule of law.12
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) merupakan salah satu lembaga
keuangan mikro, yang secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang

10
Nourma Dewi, “Regulasi Keberadaan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Dalam
Sistem Perrekonomian Di Indonesia”, dalam Jurnal Serambi Hukum, Vol. 11, No. 01,
(Februari-Juli 2017), h. 96
11
Neni Sri Imaniyati, Aspek-Aspek Hukum BMT (Baitul Maal wat Tamwil),
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), h. 100-101
12
Sidharta, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai
Komisi Yudisial, Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan,
(Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2010), h. 3
6

Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. 13 Lahirnya


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro adalah sebuah langkah maju bagi keberadaan Baitul Maal wa
Tamwil dan diharapkan akan dapat mengatasi masalah ketidakpastian
hukum14 dan dapat membawa angin segar dalam perlindungan hukum
terhadap Baitul Maal wa Tamwil (BMT), terutama memberikan legalitas
dalam hal menghimpun dana simpanan masyarakat.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum, maka Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
menegaskan bahwa pendirian Lembaga Keuangan Mikro (LKM) harus
memenuhi persyaratan-persyaratan diantaranya adalah memiliki bentuk
badan hukum baik dalam bentuk badan hukum Koperasi atau Perseroan
Terbatas.15 Jika ditelaah, ketentuan tersebut memberikan sebuah solusi
berupa pilihan bagi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam
menentukan bentuk badan hukum yang akan digunakannya. Penentuan
13
Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro: “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank
Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit
Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan
(LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul
Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga
lainnya yang dipersamakan dengan itu tetap dapat beroperasi sampai dengan 1 (satu) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku”.
14
Pada bagian konsideran “Menimbang” huruf c Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dinyatakan “bahwa untuk
memberikan kepastian hukum dan memenuhi kebutuhan layanan keuangan terhadap
masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, kegiatan layanan jasa keuangan mikro
dan kelembagaannya perlu diatur secara Iebih komprehensif sesuai dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
15
- Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro: “Pendirian LKM paling sedikit harus memenuhi persyaratan: a.
bentuk badan hukum; b. permodalan; dan c. mendapat izin usaha yang tata caranya diatur
dalam Undang-Undang ini”.
- Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro: “Bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a adalah: a. Koperasi; atau b. Perseroan Terbatas”.
7

terhadap bentuk badan hukum akan memberikan konsekuensi yuridis


berupa ketundukan kepada seluruh peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan badan hukum yang dipilihnya.
Saat ini, hampir sebagian besar Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
berada di bawah payung hukum Kementerian Koperasi dan UKM
melalui Undang-Undang tentang Perkoperasian. Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) yang berada di bawah regulasi Kementerian Koperasi dan UKM
ini dikenal sebagai Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan
Syariah/Unit Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS/USPPS).
Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah koperasi per 31
Desember 2019 sebanyak 123.048 unit.16 Sedangkan jumlah Koperasi
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) menurut Rully
Nuryanto adalah sebanyak 4.046 unit atau 3,29 % dari total koperasi
secara nasional.17
Kemudian sebagian kecil lainnya dari Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) berada di bawah payung hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang berada di bawah regulasi
dan pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dikenal sebagai
Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS). Menurut data statistik OJK,
jumlah Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) per kuartal III tahun
2019 sebanyak 75 unit yang terdiri dari LKMS berbadan hukum koperasi
sebanyak 74 unit dan LKMS berbadan hukum perseroan terbatas

16
Kementerian Koperasi dan UKM, Rekapitulasi Data Koperasi Per 31 Desember
2019, diakses pada 26 Maret 2020 dari http://www.depkop.go.id/data-koperasi
17
“Koperasi Syariah Saat Ini Capai 4.046 Unit”, Jurnas.com, 24 Februari 2020,
diakses pada 26 Maret 2020 dari http://www.jurnas.com/mobile/artikel/67920/Koperasi-
Syariah-Saat-Ini-Capai-4046-Unit/
8

sebanyak 1 unit,18 yaitu PT LKMS Mahirah Muamalah yang beralamat


di Banda Aceh.
Hal tersebut menjadikan konsep Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
saat ini ada yang diimplementasikan dan berada di bawah regulasi dan
pengawasan Kementerian Koperasi dan UKM dan ada yang berada di
bawah regulasi dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Masing-
masing otoritas mengatur lebih lanjut terkait perizinan usaha,
pelaksanaan kegiatan usaha, pengawasan dan pembinaan, dan
pengaturan lainnya yang tercantum di dalam turunan peraturan-peraturan
terkait.19
Namun, ternyata lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro ini belum dapat menyelesaikan
sepenuhnya problem hukum yang dihadapi oleh Baitul Maal wa Tamwil
(BMT). Persoalannya terletak pada masalah pengaturan Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) baik yang berbadan hukum koperasi atau perseroan
terbatas (PT).
Apabila Baitul Maal wa Tamwil (BMT) memilih berbadan
hukum perseroan terbatas (PT) maka sahamnya paling sedikit 60%
(enam puluh persen) dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
atau badan usaha milik desa/kelurahan. Hal ini tentunya akan dapat
menurunkan tingkat partisipasi masyarakat dan menghambat
terwujudnya prinsip kemandirian, padahal Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) ditumbuhkan dari bawah berdasarkan peran serta masyarakat

18
Otoritas Jasa Keuangan, Laporan Kuartal III LKM Tahun 2019, diakses pada 26
Maret 2020 dari https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-statistik/statistik-
lkm/Pages/Laporan-Kuartal-III-LKM-Tahun-2019.aspx
19
Divisi Keuangan Mikro Syariah, Direktorat Keuangan Inklusi Dana Sosial
Keagamaan dan Keuangan Mikro Syariah KNKS, Strategi Pengembangan Keuangan Mikro
Syariah Di Indonesia, (Jakarta: KNKS, 2019), h. 31-32
9

sekitarnya. Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, Badan


Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Ham RI dalam
laporan akhir menyimpulkan bahwa:
Dalam implementasinya selama ini LKM yang berbentuk badan
hukum Perseroan Terbatas (PT) mengalami kesulitan untuk
memenuhi yaitu paling sedikit 60% (enam puluh persen)
sahamnya itu dimiliki oleh Pemerintah Daerah atau badan usaha
milik desa. Dari hampir 6000 LKM yang terdata, baru 197 yang
dapat memenuhi persyaratan perijinan LKM. Dari data tersebut,
hanya 28 yang berbentuk badan hukum PT.20

Selanjutnya apabila Baitul Maal wa Tamwil (BMT) memilih


berbadan hukum koperasi sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, maka
berarti Baitul Maal wa Tamwil (BMT) diperlakukan sama dengan LKM
lainnya dalam hal hak dan kewenangan untuk melakukan penghimpunan
dana simpanan masyarakat (PDSM) kepada masyarakat selain anggota
koperasi. Dengan demikian, maka Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang
berbadan hukum koperasi tunduk dan terikat pada Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013. Akan tetapi apabila Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) tidak memiliki hak dan kewenangan untuk melakukan
penghimpunan dana simpanan masyarakat (PDSM) kepada masyarakat
selain anggota koperasi, maka keberadaan Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) yang berbadan hukum koperasi serta pembinaan dan
pengaturannya tetap berada di bawah peraturan perundangan
perkoperasian yang sudah ada, yang berarti belum mendapat legalisasi
kegiatan penghimpunan dana simpanan masyarakat (PDSM) di luar

20
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Kementerian Hukum dan Ham RI, Laporan Akhir Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi
Hukum Terkait Peran Lembaga Keuangan Non Bank Dalam Rangka Meningkatkan Ekonomi
Kreatif, (Jakarta: BPHN, 2019), h. 54
10

anggota koperasi. Jika demikian, maka Baitul Maal wa Tamwil (BMT)


yang berbadan hukum koperasi tidak tunduk dan terikat pada Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013.
Selain persoalan legalitas dalam kegiatan penghimpunan dana
simpanan masyarakat (PDSM) di luar anggota koperasi sebagaimana
dijelaskan di atas, Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang berbadan hukum
koperasi juga dihadapkan dengan 2 (dua) macam peraturan perundangan
secara bersamaan, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian beserta peraturan pelaksanaannya dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro beserta
peraturan pelaksanaannya. Sehingga berpotensi menimbulkan
inkonsistensi pengaturan seperti adanya tumpang tindih tentang
pembinaan, pengaturan, dan pengawasan, serta adanya pembatasan
cakupan luas usaha.
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang ada saat ini kebanyakan
berbadan hukum koperasi dengan skala usaha kecil menengah dan
cakupan luas usaha meliputi beberapa kota/kabupaten bahkan lintas
propinsi. Namun dengan pengaturan Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM), keluasan cakupan usahanya
menjadi dibatasi.21 Dilematika yang terjadi apabila Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) beroperasi lebih dari satu lingkup kabupaten/kota, maka
sesuai amanat Undang-Undang tersebut, harus bertransformasi menjadi
bank.22

21
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro: “Cakupan wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu wilayah
desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota”.
22
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro:
“LKM wajib bertransformasi menjadi bank jika: a. LKM melakukan kegiatan usaha
11

Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang


Lembaga Keuangan Mikro menimbulkan konsekuensi bagi Baitul Maal
wa Tamwil (BMT) untuk tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ada
dalam undang-undang tersebut beserta peraturan turunannya. Baitul
Maal wa Tamwil (BMT) baik yang berbadan hukum koperasi maupun
perseroan terbatas harus menyesuaikan bentuk kelembagaan, sistem
operasional, bidang usaha, permodalan dan seluruh aspek terkait dengan
ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam peraturan perundang-
undangan tersebut.
Namun dengan terjadinya pengaturan secara ganda akan
menyulitkan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang berbadan hukum
koperasi menentukan aturan hukum mana yang harus dipatuhi. Padahal
terdapat beberapa perbedaan kontradiktif antara pengaturan dari
peraturan hukum perkoperasian dengan peraturan lembaga keuangan
mikro, diantaranya pengaturan mengenai: (1) syarat pendirian, (2) ijin
usaha, (3) syarat permodalan, (4) lingkup kegiatan usaha, (5) kewajiban
membuat laporan, (6) pengawasan, (7) pengumuman laporan keuangan,
dan (8) ancaman sanksi.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro telah membuat pengaturan tentang kelembagaan dan
tata kelola lembaga keuangan mikro (LKM) secara umum. Pengaturan
terhadap LKM yang berbadan hukum Koperasi seperti yang diatur di
dalam Undang-Undang tersebut berarti cenderung mendorong Baitul
Maal wa Tamwil (BMT) wajib menjalankan usahanya layaknya lembaga
perbankan yang bersifat prudent. Fadillah Mursid mengemukakan bahwa

melebihi 1 (satu) wilayah kabupaten/kota tempat kedudukan LKM; atau b. LKM telah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan”.
12

Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro cenderung mendorong


perkembangan BMT kearah lembaga keuangan seperti halnya perbankan
dan menggeser hakikat serta konsep yang diusung oleh BMT.23
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan Penelitian Hukum dengan judul “Implikasi Yuridis
Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro Terhadap Status Badan Hukum Baitul Maal wa
Tamwil”.

23
Fadillah Mursid, “Kebijakan Regulasi Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Di
Indonesia”, (Tesis Magister Hukum Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, 2017), h. 130
13

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
a. Belum ada peraturan yang secara spesifik mengatur Baitul Maal wa
Tamwil (BMT).
b. Pengelolaan BMT masih menggunakan peraturan yang beragam.
c. Status badan hukum Baitul Maal wa Tamwil (BMT) berbeda-beda.
d. Keragaman status badan hukum Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
menunjukkan adanya ketidakpastian dalam regulasi yang mengatur
persoalan Baitul Maal wa Tamwil (BMT).
e. Kepemilikan saham paling sedikit 60% (enam puluh persen) oleh
Pemerintah Daerah atau badan usaha milik desa akan menyulitkan
Baitul Maal wa Tamwil (BMT).
f. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang berbadan hukum koperasi dan
melakukan kegiatan penghimpunan dana simpanan masyarakat
(PDSM) kepada masyarakat selain anggota koperasi bertentangan
dengan prinsip koperasi.
g. Pembatasan keluasan cakupan wilayah usaha mempersempit ruang
gerak Baitul Maal wa Tamwil (BMT).
h. Problematika bagi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang melakukan
kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota karena
wajib bertransformasi menjadi bank.
i. Peraturan perundangan yang mengatur Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) yang berbadan hukum koperasi berpotensi menimbulkan
inkonsistensi pengaturan.
14

2. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, rumusan masalah yang
dikaji melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana sinkronisasi peraturan perundang-undangan tentang
Lembaga Keuangan Mikro dan Perkoperasian dalam kaitannya
dengan badan hukum koperasi Baitul Maal wa Tamwil?
b. Apa implikasi yuridis berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro terhadap status badan hukum
Baitul Maal wa Tamwil?
c. Bagaimana eksistensi Baitul Maal wa Tamwil pasca diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro?

3. Pembatasan Masalah
Memperhatikan perumusan masalah yang dipaparkan di atas,
maka perlu dilakukan pembatasan masalah. Pembatasan ini dilakukan
dengan tujuan agar penulis dapat lebih fokus dalam melakukan analisa.
Dalam penelitian ini, penulis membatasi ruang lingkup penelitiannya
seputar implikasi yuridis yang timbul dari berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro terhadap status
badan hukum Baitul Maal wa Tamwil.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah mengenai
implikasi yuridis berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro terhadap status badan hukum Baitul
15

Maal wa Tamwil, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam


penelitian ini, yaitu:
1. Untuk menganalisis sinkronisasi peraturan perundang-undangan
tentang Lembaga Keuangan Mikro dan Perkoperasian dalam
kaitannya dengan badan hukum koperasi Baitul Maal wa Tamwil.
2. Untuk menganalisis implikasi yuridis berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro terhadap
status badan hukum Baitul Maal wa Tamwil.
3. Untuk menganalisis eksistensi Baitul Maal wa Tamwil pasca
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian


Penelitian yang baik adalah penelitian yang memiliki arti penting
dan manfaat dalam pengembangan suatu bidang keilmuan baik secara
teoritis maupun praktis.
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum
ekonomi syariah khususnya kajian hukum terhadap Baitul Maal wa
Tamwil di Indonesia dan dapat dijadikan rujukan bagi penulisan
penelitian selanjutnya.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan memiliki arti
penting dan manfaat bagi beberapa pihak:
1. Bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini diharapkan menjadi
bahan hasil analisis-komparatif yang solutif sebagai rujukan tentang
implikasi yuridis yang timbul dari berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro terhadap
16

status badan hukum Baitul Maal wa Tamwil serta menjadi kajian


komparatif-elaboratif untuk pengembangan akademik selanjutnya.
2. Bagi umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya serta
pihak Baitul Maal wa Tamwil (BMT), penelitian ini diharapkan dapat
menjadi bentuk kontribusi untuk pengembangan Baitul Maal wa
Tamwil di Indonesia, agar Baitul Maal wa Tamwil dalam
menjalankan kegiatan operasional dan bisnisnya tetap tunduk dan
patuh pada peraturan yang ada.
3. Bagi pemerintah, penelitian ini bisa memberikan sumbangan
pemikiran terhadap penyempurnaan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai Baitul Maal wa Tamwil (BMT).

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan


Terdapat beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan
tema implikasi yuridis berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro terhadap status badan hukum
Baitul Maal wa Tamwil, diantaranya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1.1. Penelitian Terdahulu yang Relevan
No Nama dan Judul Fokus Metode Hasil Posisi
Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Peneliti
1 Nourma Dewi, Mengkaji Yuridis Hasil penelitian Penelitian
“Regulasi Keberadaan aspek regulasi Normatif menyimpulkan yang akan
Baitul Maal Wat yang bahwa hingga penulis
Tamwil (BMT) mengatur saat ini lakukan
Dalam Sistem BMT dalam pengelolaan berbeda
17

No Nama dan Judul Fokus Metode Hasil Posisi


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Peneliti
Perekonomian Di sistem BMT masih dengan
24
Indonesia”. perekonomian menggunakan penelitian
Indonesia. peraturan yang sebelumnya,
beragam. Hal dari aspek
tersebut fokus dan
dikarenakan hasil
karakteristik penelitian.
khusus BMT Namun
dan jenis badan demikian
hukum BMT penelitian ini
yang bisa mendukung
berupa koperasi sebagian
maupun hasil
perseroan penelitian
terbatas. sebelumnya.
2 Novita Dewi Penelitian ini Yuridis Hasil penelitian Penelitian
Masyithoh, “Analisis mengkaji Normatif - menunjukkan, yang akan
Normatif Undang- mengenai Empiris bahwa sebelum penulis
Undang No. 1 Tahun permasalahan berlakunya lakukan
2013 Tentang tentang Undang- berbeda
Lembaga Keuangan bagaimana Undang No. 1 dengan
Mikro (LKM) Atas status badan Tahun 2013 penelitian
Status Badan Hukum hukum dan Tentang sebelumnya,
dan Pengawasan pengawasan Lembaga dari aspek
Baitul Maal wat BMT sebelum Keuangan fokus,
Tamwil (BMT)”.25 dan sesudah Mikro, maka metode, dan

24
Nourma Dewi, “Regulasi Keberadaan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Dalam
Sistem Perrekonomian Di Indonesia”, dalam Jurnal Serambi Hukum, Vol. 11, No. 01,
(Februari-Juli 2017), h. 96-110
25
Novita Dewi Masyithoh, “Analisis Normatif Undang-Undang No. 1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Atas Status Badan Hukum dan Pengawasan
18

No Nama dan Judul Fokus Metode Hasil Posisi


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Peneliti
adanya status badan hasil
Undang- hukum BMT penelitian.
Undang No. 1 dapat
Tahun 2013 dikelompokkan
Tentang menjadi 3
Lembaga kelompok,
Keuangan yaitu: BMT
Mikro. yang berbadan
hukum
koperasi,
yayasan, dan
BMT yang
masih
berbentuk
Kelompok
Swadaya
Masyarakat
(KSM).
Sedangkan
setelah
berlakunya
Undang-
Undang No. 1
Tahun 2013
Tentang
Lembaga
Keuangan
Mikro, maka

Baitul Maal wat Tamwil (BMT)”, dalam Jurnal Economica, Vol. V, Edisi 2, Oktober 2014,
h. 17-36
19

No Nama dan Judul Fokus Metode Hasil Posisi


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Peneliti
status badan
hukum BMT
sebagai
lembaga
keuangan mikro
hanya dapat
berbentuk
koperasi atau
perseroan
terbatas. Bila
berbentuk
koperasi maka
pengawasan
berada dibawah
kementerian
Koperasi dan
UKM, dan jika
berbadan
hukum
perseroan
terbatas maka
dilakukan oleh
Otoritas Jasa
Keuangan.
3 Zakiah Noer, “Akibat Penelitian ini Yuridis Hasil penelitian Penelitian
Hukum Pendirian mengkaji Normatif menyimpulkan yang akan
Lembaga Keuangan tentang akibat bahwa penulis
20

No Nama dan Judul Fokus Metode Hasil Posisi


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Peneliti
Mikro Oleh Badan hukum pendirian LKM lakukan
26
Hukum Koperasi”. pendirian oleh badan berbeda
Lembaga hukum koperasi dengan
Keuangan menimbulkan penelitian
Mikro oleh akibat hukum sebelumnya,
badan hukum bagi koperasi dari aspek
Koperasi. LKM. Akibat fokus dan
hukum tersebut hasil
timbul karena penelitian.
adanya Namun
perbedaan demikian
pengaturan penelitian ini
antara Koperasi mendukung
dan LKM sebagian
berdasarkan hasil
Undang- penelitian
Undang Nomor sebelumnya.
25 Tahun 1992
tentang
Perkoperasian
dan Undang-
Undang Nomor
1 Tahun 2013
tentang
Lembaga
Keuangan
Mikro.
Dualisme

26
Zakiah Noer, “Akibat Hukum Pendirian Lembaga Keuangan Mikro Oleh Badan
Hukum Koperasi”, dalam Justiciabelen, Vol. 1, No. 1, 2018, h. 170-190
21

No Nama dan Judul Fokus Metode Hasil Posisi


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Peneliti
pengaturan
tersebut
mengakibatkan
perubahan
tersendiri pada
beberapa aspek
dalam koperasi
LKM.
4 Muhammad Penelitian ini Doktriner / Dari Penelitian
Muhtarom, mengkaji Dogmatis penelitiannya yang akan
“Reformulasi tentang diperoleh penulis
Peraturan Hukum harmonisasi kesimpulan lakukan
Lembaga Keuangan peraturan bahwa adanya berbeda
Mikro Syariah Di hukum ketidakharmoni dengan
27
Indonesia”. tentang LKM san peraturan penelitian
Syariah. perundang- sebelumnya,
undangan dari aspek
tentang LKMS fokus dan
disebabkan hasil
karena penelitian.
inkonsistensi Namun
penerapan demikian
kerangka- penelitian ini
kerangka mendukung
hukum dalam sebagian
mengatur LKM hasil
dan koperasi penelitian

27
Muhammad Muhtarom, “Reformulasi Peraturan Hukum Lembaga Keuangan Mikro
Syariah Di Indonesia”, dalam PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 17, No. 1, (Juni, 2016),
h. 90-102
22

No Nama dan Judul Fokus Metode Hasil Posisi


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Peneliti
syariah yang sebelumnya.
beraneka ragam
coraknya, serta
adanya
ketidakpatuhan
terhadap asas
materi muatan
pembentukan
undang-undang
sebagaimana
diatur dalam
Undang-
Undang Nomor
12 Tahun 2011
tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-
Undangan.
Untuk
mengatasi
permasalahan
hukum tersebut
maka
diperlukan
reformulasi
peraturan
hukum yang
berkaitan
dengan LKM
23

No Nama dan Judul Fokus Metode Hasil Posisi


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Peneliti
Syariah.
5 Handieni Fajrianty, Penelitian ini Penelitian Dari Penelitian
“Kepastian Hukum mengkaji Kualitatif penelitiannya yang akan
Baitul Mal Wat tentang dengan diperoleh penulis
Tamwil Tinjauan kepastian metode kesimpulan lakukan
Undang-Undang hukum content bahwa: (1) berbeda
Perkoperasian dan regulasi yang analysis, Terbitnya dengan
Lembaga Keuangan menaungi metode Undang- penelitian
28
Mikro”. BMT. deskriptif, Undang Nomor sebelumnya,
dan metode 1 Tahun 2013 dari aspek
komparatif Tentang fokus,
Lembaga metode. dan
Keuangan hasil
Mikro penelitian.
menimbulkan
dampak
ambiguitas
dalam
penerapannya.
(2) Dua regulasi
yang saling
mengatur BMT
tidak
memberikan
kepastian
hukum bagi

28
Handieni Fajrianty, “Kepastian Hukum Baitul Mal Wat Tamwil Tinjauan Undang-
Undang Perkoperasian dan Lembaga Keuangan Mikro”, (Tesis Magister Hukum Ekonomi
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2019),
h. 148
24

No Nama dan Judul Fokus Metode Hasil Posisi


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Peneliti
BMT.
6 Muhammad Amin, Penelitian ini Yuridis Dari Penelitian
“Implementasi mengkaji Normatif - penelitiannya yang akan
Undang-Undang tentang Empiris diperoleh penulis
Lembaga Keuangan kepatuhan kesimpulan lakukan
Mikro Pada Lembaga LKMS yang bahwa: (1) berbeda
Keuangan Mikro berbadan Kekuatan dengan
Syariah Yang hukum hukum untuk penelitian
Berbadan Hukum koperasi mengikat sebelumnya,
Koperasi”.29 dalam lembaga dari aspek
mengimpleme keuangan mikro fokus,
ntasikan sesuai amanat metode. dan
undang- Pasal 39 hasil
undang Undang- penelitian.
lembaga Undang Nomor
keuangan 1 Tahun 2013
mikro. Tentang
Lembaga
Keuangan
Mikro membuat
Koperasi
LKMS Anggrek
mendaftar pada
Otoritas Jasa
Keuangan
dengan

29
Muhammad Amin, “Implementasi Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro
Pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah Yang Berbadan Hukum Koperasi”, (Tesis Magister
Hukum Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
2018), h. 96-97
25

No Nama dan Judul Fokus Metode Hasil Posisi


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Peneliti
melakukan
perubahan
anggaran dasar.
Sedangkan
BTM Surya
Umbulharjo
tidak demikian,
melainkan lebih
memilih
PERMEN
Nomor
16/PER/M.KU
KM/IX/2015
tentang
pelaksanaan
KSPPS untuk
memayungi
operasionalnya.
Hal ini
dikarenakan,
adanya polemik
terkait Undang-
Undang No 1
Tahun 2013
tentang
Lembaga
Keuangan
Mikro dengan
Undang-
Undang Nomor
26

No Nama dan Judul Fokus Metode Hasil Posisi


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Peneliti
25 Tahun 1992
tentang
Perkoperasian
beserta aturan
turunannya. (2)
Kepatuhan
Koperasi
LKMS Anggrek
untuk
mendaftar pada
Otoritas Jasa
Keuangan agar
mendapatkan
izin usaha, tentu
saja tidak lepas
dari komitmen
normatif
melalui
legitimasi yaitu
adanya
kesadaran
bahwa pembuat
hukum
memiliki
otoritas untuk
mendikte.
Sedangkan
kesadaran
hukum BTM
Surya
27

No Nama dan Judul Fokus Metode Hasil Posisi


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Peneliti
Umbulharjo
terhadap
Undang-
Undang Nomor
1 Tahun 2013
tentang
Lembaga
Keuangan
Mikro, tidak
serta merta
mengantarkan
BTM Surya
Umbulharjo
kepada
kepatuhan,
dikarenakan
Undang-
Undang
tersebut keluar
dan
menghilangkan
ruh koperasi.
7 Muhammad Kamal Penelitian ini Penelitian Hasil temuan Penelitian
Zubair, mengkaji Kuantitatif dalam yang akan
“Sustainabilitas mengenai penelitian ini penulis
Lembaga Keuangan permasalahan adalah bahwa lakukan
30
Mikro Syariah” tentang aspek-aspek berbeda
kendala- dari faktor- dengan

30
Muhammad Kamal Zubair, “Sustainabilitas Lembaga Keuangan Mikro Syariah”,
(Disertasi, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2016), h. 1-199
28

No Nama dan Judul Fokus Metode Hasil Posisi


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Peneliti
kendala yang faktor eksternal penelitian
menjadi dan internal sebelumnya,
hambatan yang ditentukan dari aspek
dalam memiliki fokus,
pengelolaan pengaruh metode. dan
BMT. terhadap hasil
sustainabilitas penelitian.
BMT adalah
aspek regulasi,
aspek
pengawasan,
aspek
infrastruktur,
aspek sumber
daya manusia,
dan aspek
permodalan.
Aspek-aspek
tersebut dapat
dijadikan
sebagai
tuntunan untuk
meningkatkan
kinerja BMT
menuju
sustainabilitas
lembaga
keuangan mikro
syariah melalui
pempercepatan
29

No Nama dan Judul Fokus Metode Hasil Posisi


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian Peneliti
regulasi yang
mandiri tentang
BMT,
optimalisasi
peran dan
fungsi
pengawasan
Dewan
Pengawas
Syariah (DPS)
BMT,
pengembangan
infrastruktur
kelembagaan
BMT,
peningkatan
kapasitas
sumber daya
manusia
pengelola BMT
dan penguatan
sumber
permodalan
BMT.

Berdasarkan paparan hasil penelitian-penelitian sebagaimana


terdapat pada tabel 1.1 di atas dapat diketahui bahwa penelitian tentang
regulasi yang mengatur Baitul Maal wa Tamwil (BMT) telah banyak
disinggung dan dibahas oleh para peneliti. Demikian pula tentang
30

dualisme peraturan perundangan yang berlaku bagi Baitul Maal wa


Tamwil (BMT) yang berbadan hukum koperasi telah disimpulkan oleh
para peneliti sebagai problem hukum yang dihadapi oleh Baitul Maal wa
Tamwil (BMT). Namun demikian problem hukum yang berkaitan
dengan implikasi yuridis berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro terhadap status badan hukum
Baitul Maal wa Tamwil belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya.
Di sinilah letak perbedaan penelitian tesis ini dibanding penelitian-
penelitian yang dilakukan sebelum ini sebagaimana yang dipaparkan di
atas.

F. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti.31 Konsep ini
merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta yang
diteliti.32 Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Sinkronisasi
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Sinkronisasi berasal
dari kata sinkron yang berarti terjadi atau berlaku pada waktu yang
sama, serentak, sejalan, sejajar, sesuai, selaras.33 Sinkronisasi yaitu
perihal menyinkronkan, menyejajarkan, menyerentakkan.

31
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Depok:
Rajawali Pers, 2018), h. 47
32
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: UI Press, 1986),
h. 132 dalam Yeni Salma Barlinti, “Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasiona Dalam
Sistem Hukum Nasional Di Indonesia”, (Disertasi, Fakultas Hukum, Program Doktoral
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2010), h. 39
33
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diakses pada 26 Maret 2020 dari
https://kbbi.web.id/sinkron
31

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan adalah penyelarasan


dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan
yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu.
Adapun maksud dari sinkronisasi adalah agar substansi yang
diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih,
saling melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah
jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi
muatannya. Sedangkan tujuan dari sinkronisasi adalah untuk
mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat
memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan
bidang tertentu secara efisien dan efektif.34
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan sinkronisasi
adalah penyelarasan dan penyerasian peraturan perundang-undangan
tentang Lembaga Keuangan Mikro dan Perkoperasian dalam
kaitannya dengan badan hukum koperasi Baitul Maal wa Tamwil.

2. Implikasi Yuridis
Implikasi Yuridis terdiri dari dua kata, yaitu implikasi dan
yuridis. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, implikasi yaitu
keterlibatan atau keadaan terlibat. Sehingga setiap kata imbuhan dari
implikasi seperti kata berimplikasi atau mengimplikasikan yaitu
berarti mempunyai hubungan keterlibatan atau melibatkan dengan

34
Inche Sayuna, “Harmonisasi Dan Sinkronisasi Hukum Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan (SKMHT) Ditinjau Dari Otentisitas Akta Menurut Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris”, (Tesis Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret,
2016), h. 17-18.
32

suatu hal. Sedangkan yuridis yang berarti hukum: menurut hukum;


secara hukum.35 Terdapat berbagai definisi tentang implikasi dari
para ahli. Islamy menjelaskan bahwa implikasi adalah “segala
sesuatu yang telah dihasilkan dengan adanya proses perumusan
kebijakan. Dengan kata lain implikasi adalah akibat-akibat dan
konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dengan dilaksanakannya
kebijakan atau kegiatan tertentu”.36
Pengertian yang hampir sama dikemukakan oleh Silalahi
bahwa implikasi adalah “akibat yang ditimbulkan dari adanya
penerapan suatu program atau kebijakan, yang dapat bersifat baik
atau tidak terhadap pihak-pihak yang menjadi sasaran pelaksanaan
program atau kebijaksanaan tersebut.37 Selanjutnya Winarno
menjelaskan implikasi sebagai berikut:
Setidaknya ada lima dimensi yang harus dibahas dalam
memperhitungkan implikasi dari sebuah kebijakan. Dimensi-
dimensi tersebut meliputi: pertama, implikasi kebijakan pada
masalah-masalah publik dan implikasi kebijakan pada orang-
orang yang terlibat. Kedua, kebijakan mungkin mempunyai
implikasi pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok
diluar sasaran atau tujuan kebijakan. Ketiga, kebijakan
mungkin akan mempunyai implikasi pada keadaan-keadaan
sekarang dan yang akan datang. Keempat, evaluasi juga
menyangkut unsur yang lain yakni biaya langsung yang
dikeluarkan untuk membiayai program-program kebijakan
publik. Kelima, biaya-biaya tidak langsung yang ditanggung

35
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diakses pada 26 Maret 2020 dari
https://kbbi.web.id/implikasi
36
M. Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2003), h. 114-115
37
Amin Silalahi, Strategi Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia,
(Surabaya: Batavia Press, 2005), h. 43
33

oleh masyarakat atau beberapa anggota masyarakat akibat


adanya kebijakan publik.38

Demikian juga tentang yuridis, terdapat berbagai definisi dari


para ahli. J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto
sebagaimana dikutip Asikin, menjelaskan bahwa “ Hukum adalah
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan
tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat
oleh badan-badan resmi yang berwajib”.39
Ultrecht sebagaimana dikutip Kansil, memberikan batasan
hukum sebagai berikut: “Hukum itu adalah himpunan peraturan-
peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus
tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh
masyarakat itu”.40 Selanjutnya S.M. Amin merumuskan bahwa
hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma
dan sanksi-sanksi. Sedangkan tujuan hukum adalah mengadakan
ketertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan
ketertiban terpelihara.41
Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa implikasi
yuridis adalah keterlibatan atau ketertautan beberapa aspek hukum
akibat pengaturan hukum dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan implikasi yuridis adalah
keterlibatan atau ketertautan beberapa aspek hukum akibat
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang

38
Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, (Yogyakarta: Media Presindo,
2002), h. 171-174
39
Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, (Depok: Rajawali Pers, 2017), h. 13
40
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan ..…….., h. 36
41
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan ..…….., h. 36
34

Lembaga Keuangan Mikro terhadap status badan hukum Baitul


Maal wa Tamwil.

3. Undang-Undang
Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan, Undang-
Undang menempati urutan ketiga setelah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat.42 Undang-Undang ialah peraturan negara yang mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh
penguasa negara.43
Pengertian yang hampir sama dikemukakan oleh Abdul R.
Saliman bahwa Undang-Undang adalah peraturan Negara yang
dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang berwenang dan
mengikat masyarakat.44 Menurut Yuliandri, Undang-Undang adalah
dasar dan batas bagi kegiatan pemerintah, yang menjamin tuntutan-
tuntutan negara berdasar atas hukum, dan adanya kepastian dalam
hukum.45
Bagir Manan mengindikasikan banyak kalangan yang
menganggap bahwa hukum, peraturan perundang-undangan dan
undang-undang adalah hal yang sama. Menurut Bagir Manan,
undang-undang adalah bagian dari peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan terdiri dari undang-undang dan

42
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
43
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan ..…….., h. 44
44
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus,
(Jakarta: Kencana, 2011), Cet. 6, h. 13
45
Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), h. 25
35

berbagai peraturan perundang-undangan lain, sedangkan hukum


bukan hanya undang-undang, melainkan termasuk juga beberapa
kaidah hukum lain seperti Hukum Adat, Kebiasaan, dan Hukum
Yurisprudensi.46
Lebih lanjut, Bagir Manan mengemukakan bahwa dalam
ilmu hukum dibedakan antara undang-undang dalam arti materiil
(wet in materiele zin) dengan undang-undang dalam arti formal (wet
ini formele zin). Dalam arti materiil, Undang-Undang adalah setiap
keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat berwenang yang berisi
aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum.
Sedangkan dalam arti formal, Undang-Undang adalah keputusan
tertulis sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan
eksekutif dan legislatif yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat
atau mengikat secara umum.47
Dari pengertian tersebut di atas dapat dipahami bahwa secara
materiil, setiap aturan yang bersifat tertulis yang dibuat atau
dikeluarkan pejabat yang berwenang (Pemerintah) adalah Undang-
Undang dalam arti materiil. Sedangkan Undang-Undang dalam arti
formal mempunyai sifat yang lebih formal karena cara
pembentukannya yang berbeda dengan peraturan perundang-
undangan lainnya. Dalam Peraturan Perundang-Undangan ini harus
adanya kerjasama antara lembaga kekuasaan eksekutif dan legislatif,
yaitu antara Presiden sebagai lembaga eksekutif dan DPR sebaga
lembaga legislatif.

46
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-Undangan Indonesia, Cetakan Pertama,
(Jakarta: Ind. Hill. Co, 1992), h. 2-3
47
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-Undangan ……………, h. 3
36

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12


Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
dinyatakan bahwa, “Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
persetujuan bersama Presiden”.48 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
adalah lembaga Negara yang berwenang membentuk Undang-
Undang.49 Beralihnya kewenangan membentuk undang-undang dari
Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan salah satu
keberhasilan reformasi dalam sistem pembagian kekuasaan Negara
yang diatur dalam UUD 1945 sebelum amandemen.
Proses pembentukan undang-undang terdiri dari tiga tahap,
yaitu: 1) proses penyiapan rancangan undang-undang yang
merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkungan
pemerintah, atau di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat apabila
itu merupakan rancangan undang-undang usul inisiatif Dewan
Perwakilan Rakyat; 2) proses mendapatkan persetujuan yang
merupakan pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat; 3) proses
finalisasi.50
Setelah sebuah rancangan undang-undang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, selanjutnya Presiden harus
menandatanganinya. Apabila dalam waktu tiga puluh hari Presiden

48
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
49
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
50
Rosjidi Ranggawidjaja, Pedoman Teknik Perancangan Peraturan Perundang-
Undangan, (Bandung: Cita Bhakti Akademika, 1996), h. 35-42 dalam Agus Surono, Fiksi
Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan, Cet. 1, (Jakarta: Fakultas
Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2013), h. 37
37

tidak menandatanganinya, maka rancangan undang-undang tersebut


secara otomatis menjadi undang-undang.51
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan undang-undang
adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro.

4. Status Badan Hukum Baitul Maal wa Tamwil


Status badan hukum merupakan aspek terpenting bagi sebuah
lembaga tidak terkecuali bagi Baitul Maal wa Tamwil (BMT).
Karena legalitas suatu lembaga ditentukan oleh status badan
hukumnya. Kejelasan status badan hukum akan memberikan
pengaruh secara kelembagaan terutama dalam aktivitasnya
melakukan penghimpunan dana.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro menyatakan bahwa pendirian Lembaga
Keuangan Mikro paling sedikit harus memenuhi persyaratan
diantaranya adalah persyaratan bentuk badan hukum. Menurut
kamus hukum Indonesia, badan hukum adalah suatu badan yang
dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang-
orang pribadi.52
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan status badan
hukum Baitul Maal wa Tamwil adalah bentuk badan hukum Baitul

51
Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
“Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan
oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut
disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dana wajib
diundangkan”.
52
Kamus Hukum Online Indonesia – Indonesia Law Dictionary, diakses pada 26
Maret 2020 dari https://kamushukum.web.id/arti-kata/badan+hukum/
38

Maal wa Tamwil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro.

G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
jenis penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto,
penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.53
Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian
hukum doktrinal, dimana hukum dikonsepsikan sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum
dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
berperilaku manusia yang dianggap pantas.54

2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan
(Statute Approach). Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang diteliti.55
Dalam metode pendekatan perundang-undangan penulis
melakukan pendalaman dan pemahaman hierarki, dan asas-asas
dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 1 angka 2

53
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Depok:
Rajawali Pers, 2019), h. 13
54
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode …………, h. 118
55
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode…………., h. 164
39

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, peraturan perundang-undangan


adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat
secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.56
Selain pendekatan perundang-undangan, penelitian ini juga
menggunakan pendekatan analisis isi (Content Analysis Approach)
dan pendekatan perbandingan (Comparative Approach). Berelson
sebagaimana dikutip Valerine J.L. Kriekhoff menjelaskan bahwa,
“Content analysis is a research technique for the objective,
systematic, and quantitative description of the manifest content of
communication.”57
Analisis konten adalah suatu teknik penelitian yang bertujuan
untuk mendeskripsikan secara objektif, sistematik, dan kuantitatif isi
komunikasi yang tersurat. Penggunaan pendekatan analisis konten
dalam penelitian hukum normatif adalah untuk memperluas wawasan
pengertian data sekunder. Dalam penelitian hukum, data sekunder
ditinjau dari sudut kekuatan mengikatnya dapat dibedakan antara: a)
bahan hukum primer; b) bahan hukum sekunder; dan c) bahan hukum
tersier.58
Sedangkan studi perbandingan hukum merupakan kegiatan
untuk membandingkan hukum suatu Negara dengan hukum Negara
lain atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu

56
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019),
h. 137
57
Valerine J.L. Kriekhoff, “Analisis Konten Dalam Peneletian Hukum: Suatu Telaah
Awal”, dalam ERA HUKUM, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 4, (1995), h. 86
58
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum……., h. 12-13
40

yang lain. Disamping itu juga membandingkan suatu putusan


pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan lainnya untuk
masalah yang sama. Kegiatan ini bermanfaat bagi penyingkapan latar
belakang terjadinya ketentuan hukum tertentu untuk masalah yang
sama. Penyingkapan ini dapat dijadikan rekomendasi bagi
penyusunan atau perubahan perundang-undangan.59 Selain itu
pendekatan perbandingan (comparative approach) juga berguna
untuk memperoleh persamaan dan perbedaan di antara peraturan
perundang-undangan. Dalam penelitian tesis ini, hukum yang
dibandingkan adalah ketentuan hukum dalam peraturan perundang-
undangan Lembaga Keuangan Mikro dengan ketentuan hukum yang
ada dalam peraturan perundang-undangan Perkoperasian.

3. Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian
ini terdiri dari:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya bahan hukum yang mempunyai otoritas. Bahan
hukum primer terdiri dari perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim.60 Bahan hukum primer yang dipakai dalam penelitian ini
yaitu:
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.

59
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum……, h. 173
60
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum……, h. 181
41

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004


tentang Wakaf.
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat.
e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro.
f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995
Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh
Koperasi.
g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf.
h. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat.
i. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2014
tentang Suku Bunga Pinjaman Atau Imbal Hasil Pembiayaan dan
Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan Mikro.
j. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2018
tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik.
k. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK.05/2014
tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro.
l. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.05/2015
tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
42

12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan


Lembaga Keuangan Mikro
m. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62/POJK.05/2015
Tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 13/Pojk.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha
Lembaga Keuangan Mikro.
n. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62/POJK.03/2016
Tentang Transformasi Lembaga Keuangan Mikro Konvensional
Menjadi Bank Perkreditan Rakyat Dan Lembaga Keuangan
Mikro Syariah Menjadi Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
o. Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan
Syariah Oleh Koperasi.
p. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pengesahan Koperasi.
q. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/SEOJK.05/2015
tentang Laporan Keuangan Lembaga Keuangan Mikro.

2. Bahan Hukum Sekunder


Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang
menguatkan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder
memberikan petunjuk kepada penulis terkait arah penelitiannya.
Bahan hukum sekunder mencakup buku-buku hukum, skripsi, tesis,
dan disertasi hukum serta jurnal-jurnal hukum.61

61
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum……, h. 195-196
43

Bahan hukum sekunder yang dipakai dalam penelitian ini


berupa buku-buku teks, jurnal, tesis, disertasi, hasil penelitian
terdahulu mengenai masalah yang dibahas, rekapitulasi data koperasi
per 31 Desember 2019 Kementerian Koperasi dan UKM, data
koperasi kelompok Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan
Syariah (KSPPS) per 30 Juni 2020 Kementerian Koperasi dan UKM,
Laporan Kuartal III LKM Tahun 2019 Otoritas Jasa Keuangan,
Direktori LKM yang Terdaftar di OJK Juli 2020, serta literatur
lainnya terkait topik pembahasan.

3. Bahan Hukum Tersier


Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.
Bahan hukum tersier mencakup kamus (hukum), ensiklopedia dan
seterusnya.62 Bahan hukum tersier yang dipakai dalam penelitian ini
berupa kamus hukum dan kamus besar Bahasa Indonesia.

4. Bahan Non Hukum


Selain sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum,
akan digunakan pula beberapa bahan non hukum yang relevan
dengan topik penelitian63, misalnya hasil seminar, jurnal-jurnal non
hukum, atau hasil wawancara. Berkaitan dengan seminar, penulis
mengikuti kegiatan website seminar internasional dengan tema
Metodologi Fatwa di Era Kontemporer yang diselenggarakan oleh
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang pada

62
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum …………, h. 13
63
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum……, h. 206
44

tanggal 23 September 2020, dan kegiatan website BMT Summit MUI


dengan tema BMT Bersatu Umat Berdaya yang diselenggarakan oleh
Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia pada
tanggal 16-17 November 2020. Sedangkan terkait dengan
wawancara, penulis melakukan wawancara pada BMT al-Bayan,
Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM, dan
Direktorat Pengembangan Sektor Jasa Keuangan OJK.

4. Metode Pengumpulan Data


1. Penentuan Bahan Hukum
Setelah isu hukum ditetapkan, penulis melakukan penelusuran
untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang
dihadapi. Karena dalam penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
analisis isi (content analysis approach) dan pendekatan perbandingan
(comparative approach) maka penulis melakukan pencarian peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan isu penelitian.

2. Inventarisasi Bahan Hukum


Inventarisasi bahan hukum dilakukan dengan cara studi
kepustakaan, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan berbagai
bahan hukum, baik itu sumber bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, maupun bahan hukum tersier.

3. Wawancara
Wawancara terhadap narasumber yang berkompeten dengan
topik penelitian ini dilakukan secara mendalam atau in-depth. Pihak
45

yang menjadi narasumber adalah Deputi Bidang Kelembagaan


Kementerian Koperasi dan UKM, Direktorat Pengembangan Sektor
Jasa Keuangan OJK, serta BMT al-Bayan.
Wawancara ini penulis lakukan untuk mendapatkan informasi
sehubungan dengan pembahasan permasalahan dalam penulisan tesis
ini. Mula-mula kepada subyek penelitian diajukan pertanyaan yang
sudah terstruktur, kemudian beberapa butir dari pertanyaan tersebut
diperdalam untuk mendapat keterangan lebih lanjut. Dengan demikian
diharapkan diperoleh jawaban yang lengkap dan mendalam.

5. Metode Analisis Data


Setelah inventarisasi bahan hukum dilakukan, penulis
selanjutnya melakukan kajian terhadap bahan hukum tersebut.
Melalui proses pengkajian bahan hukum inilah proses rasionalisasi
dan pemahaman terhadap teori diperoleh, sehingga kemudian penulis
mampu melakukan analisa terhadap teori-teori dan ketentuan yang
ada dengan fakta-fakta yang terjadi. Analisis juga dikaitkan dengan
hasil wawancara yang diperoleh.
Hasil analisis ini kemudian dianalisis lebih lanjut dengan
menggunakan teori-teori hukum yang dipakai dalam penelitian ini,
yaitu teori moralitas hukum menurut Lon L. Fuller, teori tujuan
hukum Islam, teori perundang-undangan, dan teori badan hukum.
46

6. Alur Penelitian
Gambar 1.2. Bagan Alur Kegiatan Penelitian

Menetapkan Isu Studi Pendahuluan Merumuskan Masalah


Hukum

Menentukan dan Menentukan Sumber Memilih Pendekatan


Menyusun Instrumen Data

Mengumpulkan Data Analisis Data Menarik Kesimpulan

Memberikan
Preskripsi

H. Kerangka Pemikiran
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) merupakan lembaga keuangan
non bank yang menggabungkan konsep maal dan tamwil dalam satu
kegiatan lembaga. Agar memiliki legitimasi yang kuat dalam
menjalankan kegiatan usahanya, maka Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
harus memiliki status badan hukum.
Dalam Rangka memberikan landasan hukum yang kuat atas
beroperasinya Lembaga Keuangan Mikro yang belum berbadan hukum,
maka lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro yang dalam salah satu ketentuan pasalnya menyatakan
bahwa bentuk badan hukum Lembaga Keuangan Mikro adalah Koperasi
atau Perseroan Terbatas. Dengan demikian Undang-Undang tentang
Lembaga Keuangan Mikro mempertegas bahwa bentuk badan hukum
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai Lembaga Keuangan Mikro
Syariah, yaitu Koperasi atau Perseroan Terbatas. Sedangkan dalam
47

peraturan perundang-undangan tentang Perkoperasian, bentuk badan


hukum Baitul Maal wa Tamwil (BMT) adalah koperasi dengan kegiatan
usaha Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS).
Adanya dualisme pengaturan mengenai Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) yang berbadan hukum koperasi dapat mengakibatkan terjadinya
tumpang-tindih kewenangan antar instansi yang mengatur. Oleh karena
itu perlu dilakukan kajian dengan melakukan sinkronisasi peraturan
perundang-undangan untuk mengkaji sejauh mana peraturan perundang-
undangan tersebut saling berkaitan dan saling menunjang.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro memberikan implikasi secara yuridis
terhadap pengaturan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sesuai dengan
pilihan status badan hukumnya dan juga memberikan pilihan terhadap
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) untuk menentukan eksistensinya. Untuk
memperjelas kerangka berfikir di atas maka dipetakan dalam gambar
berikut:
Gambar 1.3. Skematik Kerangka Pemikiran

BMT

Status Badan
Hukum

Per-UU Perkoperasian Per-UU LKM

Pasal 9 UU Perkoperasian: Sinkronisasi Pasal 5 ayat (1) UU LKM:


Koperasi memperoleh Bentuk badan hukum
status badan hukum setelah sebagai syarat pendirian
akta pendiriannya disahkan LKM adalah Koperasi
oleh Pemerintah atau Perseroan Terbatas

Implikasi Yuridis Eksistensi BMT


48

I. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, sistematika penulisan dalam tesis ini terbagi
menjadi 6 (enam) bab. Isi dari masing-masing bab terurai pada berikut
ini.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi: Latar Belakang Masalah, Permasalahan, Tujuan
Penelitian, Signifikansi dan Manfaat Penelitian, Penelitian Terdahulu
yang Relevan, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, Kerangka
Pemikiran, dan Sistematika Penulisan.

BAB II TEORI MORALITAS HUKUM, TEORI HUKUM ISLAM,


PERUNDANG-UNDANGAN, DAN BADAN HUKUM
Bab ini mengulas seputar teori moralitas hukum menurut Lon L. Fuller,
teori tujuan Hukum Islam, teori ta‟ârud al-„adillah, teori perundang-
undangan, dan teori badan hukum. Bab ini memberi pijakan bagi
pembahasan bab selanjutnya, terutama bab inti.

BAB III BAITUL MAAL WA TAMWIL DALAM PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN
Bab ini membahas tentang konsep Baitul Maal wa Tamwil, pengaturan
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro beserta Peraturan Turunannya,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian beserta Peraturan Turunannya, Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat beserta Peraturan
Turunannya, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
beserta Peraturan Turunannya.
49

BAB IV STATUS BADAN HUKUM BAITUL MAAL WA TAMWIL


MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013
TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
Bab ini merupakan inti dari penelitian ini. Bab ini menganalisis dan
membahas mengenai status badan hukum Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro, sinkronisasi peraturan perundang-undangan tentang
Lembaga Keuangan Mikro dan Perkoperasian dalam kaitannya dengan
badan hukum koperasi Baitul Maal wa Tamwil, dan implikasi yuridis
yang timbul dari berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro terhadap status badan hukum Baitul
Maal wa Tamwil.

BAB V BENTUK KELEMBAGAAN BAITUL MAAL WA TAMWIL


PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN
2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
Bab ini juga merupakan inti dari penelitian ini. Bab ini menganalisis dan
membahas mengenai eksistensi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) pasca
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro yang meliputi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai
Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dan Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) sebagai Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah
(KSPPS).

BAB VI PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
TEORI MORALITAS HUKUM, TEORI HUKUM ISLAM,
PERUNDANG-UNDANGAN, DAN BADAN HUKUM

A. Teori Moralitas Hukum Menurut Lon L. Fuller


Lon L. Fuller (1902-1978) guru besar di Harvard University
menegaskan bahwa “law is the enterprise of subjecting human conduct
to the governance of rules”.1 Hal ini berarti bahwa hukum berkaitan
dengan pengaturan perilaku manusia dengan aturan-aturan. Hakikat teori
hukum yang dikemukakan oleh Fuller tersebut menunjukkan bahwa
hukum dan moral merupakan satu kesatuan. Selanjutnya Fuller
mengatakan bahwa “the morality that makes law possible”.2 Moralitas
membuat hukum menjadi mungkin. Ini menunjukkan bahwa moral
sangat berperan dalam hukum. Oleh karena itu hukum positif wajib
sejalan dengan moralitas. Hukum tidak dapat diterima sebagai hukum,
kecuali apabila bertolak dari moralitas tertentu.3
Berkaitan dengan moralitas, Fuller berpandangan bahwa terdapat
dua jenis moralitas, yaitu “morality of duty and morality of aspiration”.4
Morality of duty (moralitas kewajiban) merupakan moralitas yang timbul
karena kewajiban yang harus dipenuhi dalam suatu masyarakat yang
berupa aturan yang tegas, keras dan memaksa. Morality of duty inilah

1
Lon L. Fuller, The Morality of Law, (New Haven: Yale University Press, 1969), h.
106
2
Lon L. Fuller, The Morality…………..…, h. 33
3
Lon L. Fuller, The Morality ……., h. 65 dalam Zuhraini, “Kajian Sistem
Penyelenggaraan Pemerintahan Pekon Dalam Perspektif Hukum Sebagai Sistem Nilai
(Berdasarkan Teori Lon Fuller)”, dalam Jurnal Asas, Vol. 9, No. 2, (Juni, 2017), h. 46,
diakses pada 26 Maret 2020 dari http://ejournal.radenintan.ac.id/
4
Lon L. Fuller, The Morality…………..…, h. 5
50
51

yang ditransformasikan menjadi hukum positif. Sedangkan morality of


aspiration (moralitas aspirasi) merupakan moralitas yang timbul dari
aspirasi manusia yang berkaitan dengan hidup yang baik dan berbudi
luhur. Selanjutnya Fuller membedakan muatan moral pada dua aspek;
pertama, aspek internal moralitas hukum, menunjukkan pada aturan-
aturan atau kaidah-kaidah hukum sebagai sarana yang memungkinkan
aspek eksternal moralitas hukum dapat diwujudkan; kedua, aspek
eksternal moralitas hukum, menunjukkan pada tuntutan moral terhadap
hukum yang harus dipenuhi agar hukum berfungsi dengan baik dan adil.
Dengan demikian maka the external morality of law (moralitas
eksternal hukum) berbicara tentang masalah yang terkait isu-isu
keadilan, hak asasi manusia, soladaritas dan simpati pada kaum tertindas.
Sedangkan the internal morality of law (moralitas internal hukum)
berbicara tentang hukum yang baik. Menurut Fuller, terdapat delapan hal
yang menjadi penyebab kegagalan hukum yang disebut dengan eight
ways to fail to make law, yaitu:
1. a failure to achieve rules at all, so that every issue must be
decided on an ad hoc basis;
2. a failure to publicize, or at least to make available to the
affected party, the rules he is expected to observe;
3. the abuse of retroactive legislation, which not only cannot
itself guide action, but undercuts the integrity of rules
prospective in effect, since it puts them under the threat of
retrospective change;
4. a failure to make rules understandable;
5. the enactment of contradictory rules;
6. rules that require conduct beyond the powers of the affected
party;
7. introducing such frequent changes in the rules that the subject
cannot orient his action by them;
52

8. a failure of congruence between the rules as announced and


their actual administration.5

Dari proposisi negatif tersebut di atas dapat dipahami bahwa


hukum tidak layak disebut hukum apabila memperlihatkan kegagalan-
kegagalan sebagai berikut:
1. Kegagalan untuk mengeluarkan peraturan, sehingga setiap
permasalahan memerlukan keputusan yang berdasarkan ad hoc;
2. Kegagalan untuk mengumumkan peraturan tersebut kepada publik,
atau setidaknya gagal untuk mempublikasikannya kepada pihak-pihak
terkait yang diharapkan dapat mengerti dan memahami peraturan
tersebut;
3. Pemberlakuan peraturan secara surut, yang mana peraturan tersebut
bukan hanya tidak mampu untuk mengarahkan masyarakat namun
juga menjadikan masyarakat ragu terhadap integritas dari peraturan
itu sendiri;
4. Kegagalan membuat peraturan yang mudah di mengerti;
5. Pemberlakuan peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;
6. Peraturan yang mensyaratkan sesuatu yang tidak sesuai dengan
kemampuan pihak terkait;
7. Perubahan peraturan yang terlalu sering, sehingga subyek dari
peraturan tersebut sulit untuk menyesuaikan diri dengan peraturan
yang ada;
8. Kegagalan untuk melakukan penyelarasan terhadap peraturan yang
ada dengan pelaksanaan di lapangan.
Dalam menjelaskan rumusan Fuller terkait eight ways to fail to
make law di atas, Satjipto Rahardjo menguraikan sebagai berikut:

5
Lon L. Fuller, The Morality…………..…, h. 39
53

1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan.


Yang dimaksud disini adalah, bahwa ia tidak boleh
mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad
hoc.
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena
apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu
tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku.
Membolehkan pengaturan secara berlaku surut berarti merusak
integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu
yang akan datang.
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa
dimengerti.
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan
yang bertentangan satu sama lain.
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang
melebihi apa yang dapat dilakukan.
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan
sehingga menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi.
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan
dengan pelaksanaannya sehari-hari.6

Delapan hal yang menjadi penyebab kegagalan hukum


sebagaimana dipaparkan di atas, dapat dihindari dengan cara
memberikan penekanan pada isi hukum positif dengan persyaratan moral
tertentu. Menurut Lon L. Fuller terdapat delapan prinsip hukum yang
dinamakan principles of legality yang merupakan prinsip-prinsip
moralitas internal sistem hukum yang harus dipenuhi agar hukum yang
dibentuk dapat bekerja dengan baik sehingga kepastian dan ketertiban
dalam masyarakat dapat terwujud. Secara singkat delapan prinsip hukum
tersebut yaitu:
1. Generality: undang-undang harus berlaku umum;

6
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), h. 51
54

2. Promulgated/Publicized: undang-undang harus diumumkan/


dipublikasikan;
3. Non retroactive: undang-undang tidak berlaku surut;
4. Clarity: rumusan undang-undang harus jelas;
5. Noncontradictory: undang-undang yang dibuat tidak mengandung
kontradiksi;
6. Requiring only the possible in the way of conduct: undang-undang
yang dibuat harus dapat dilaksanakan;
7. Constancy through time: undang-undang tidak boleh terlalu sering
diubah/konstan sepanjang waktu;
8. Congruence between official action and declared rule: kesesuaian
antara undang-undang dan pelaksanaan.7
Melalui delapan prinsip hukum tersebut, Fuller memberikan
pandangan tentang masalah kepastian hukum. Fuller tidak hanya
menekankan ketersediaan aturan yang jelas-tegas sebagaimana dapat
dilihat pada prinsip 1 dan 4, melainkan juga adanya jaminan
prediktabilitas sebagaimana dapat dilihat pada prinsip 3,5, dan 7, adanya
kontinuitas sebagaimana dapat dilihat pada prinsip 8, dan adanya
akseptabilitas sebagaimana dapat dilihat pada prinsip 2 dan 6).8
Ketersediaan aturan yang jelas-tegas dan predictable, merupakan
keharusan moral yang terkait dengan kepastian hukum secara formal.
Sedangkan kontinuitas dan akseptabilitas, merupakan keharusan moral

7
Lon L. Fuller, The Morality…………..…, h. 46-81, lihat juga dalam Achmad Ali,
Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk
Interpretasi Undang-Undang (Legis Prudence), (Jakarta: Kencana, 2017), h. 332
8
Inche Sayuna, “Harmonisasi Dan Sinkronisasi Hukum Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan (SKMHT) Ditinjau Dari Otentisitas Akta Menurut Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris”, (Tesis Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret,
2016), h. 10
55

yang terkait dengan kepastian hukum secara materiil. Dengan demikian


kepastian hukum harus dipahami sebagai kejernihan aturan, predictable,
dijamin kontinuitasnya dan harus bisa diterima atau dijalankan. Dengan
demikian maka kehadiran hukum sebagai aturan, dapat dirasakan oleh
pencari keadilan. Untuk lebih jelasnya, delapan prinsip hukum tersebut
dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.1. Delapan Prinsip Hukum Fuller

1. Generality (bersifat umum)

2. Promulgatied/Publicized
(diumumkan/dipublikasikan)

3. Non retroactive (tidak


berlaku surut)
Aturan yang
jelas-tegas
4. Clarity (jelas)

Prediktabilitas
5. Noncontradictory (tidak
mengandung kontradiksi)
Kontinuitas
6. Requiring only the possible
in the way of conduct (harus
dapat dilaksanakan) Akseptabilitas

7. Constancy through time


(tidak boleh terlalu sering
diubah/konstan sepanjang
waktu)

8. Congruence between official


action and declared rule
(kesesuaian antara undang-
undang dan pelaksanaan)

Sumber: Fuller dalam Achmad Ali (diolah)


56

Moralitas internal hukum yang dikemukakan Fuller sebenarnya


paralel dengan prinsip-prinsip kepastian hukum yang dikemukakan oleh
Joseph Raz. Menurut Joseph Raz, validitas hukum dan manfaatnya bagi
publik ditentukan oleh delapan prinsip dasar sebagai berikut:
a. Keharusan agar semua hukum mesti prospektif, terbuka, dan jelas.
Prospektif, artinya hukum tidak boleh retrroaktif. Tidak hanya itu,
hukum juga harus dibuat untuk kepentingan masa depan dan jangka
panjang. Dalam pembuatan maupun penerapannya harus dijamin
transparansi dan akuntabilitasnya bagi publik, karena hukum adalah
menyangkut nasib masyarakat. Seterusnya, aturan maupun keputusan
hukum tidak boleh ambigu, samar-samar, apalagi kontradiktif. Jika itu
terjadi, akan menimbulkan kekacauan penafsiran yang pada gilirannya
menimbulkan distorsi dan penyelewengan.
b. Hukum harus relatif stabil dan tidak mudah berubah. Hukum harus
mampu bertahan untuk jangka panjang, sehingga tidak menimbulkan
disorientasi pemahaman akibat perubahan aturan yang terlampau
sering dan tiba-tiba. Disorientasi pemahaman akan berakibat pada
pelanggaran atau minimal menimbulkan kegamangan bertindak.
c. Pembuatan aturan khusus (perintah hukum tertentu) harus dibimbing
oleh aturan-aturan umum yang jelas terbuka dan stabil. Aturan umum
adalah pedoman normal. Ia menjadi induk bagi aturan-aturan yang
diperuntukan untuk mengatur hal-hal khusus dan teknis. Setiap aturan
turunan harus merupakan jabaran yang tepat dari aturan induknya.
Oleh karena itu aturan induk harus cukup jelas dan stabil sehingga
bisa diandalkan sebagai rujukan.
57

d. Terjaminnya independensi peradilan. Ini terkait dengan posisi


peradilan sebagai pengadil yang harus obyektif dan netral dalam
menilai kebenaran dan bukti-bukti.
e. Terjaminnya prinsip-prinsip keadilan. Suatu aturan hukum tidak boleh
melangkahi norma-norma dasar keadilan, seperti misalnya due
process, fairness, equality, non diskriminasi, dan lain sebagainya.
f. Peradilan harus memiliki kekuasaan meninjau atas pelaksanaan
kekuasaan lembaga-lembaga lain.
g. Pengadilan harus mudah diakses.
h. Tindakan-tindakan pengecualian/diskresional oleh institusi penegak
hukum sejauh mungkin dihindari.9
Semua ciri kepastian hukum yang dikemukakan Fuller dalam
principles of legality maupun Raz, mengandung nilai-nilai yang bersifat
publik yang dapat digolongkan sebagai moralitas hukum. Melalui
prinsip-prinsip kepastian hukum yang berbobot, baik Fuller maupun Raz
berhasil menampilkan fungsi kaidah hukum sebagai norma/pedoman
sehingga para pencari keadilan dan masyarakat bisa memastikan apa
yang boleh dan apa yang tidak boleh, apa yang diijinkan dan apa yang
tidak diijinkan, serta apa yang dikecualikan dan apa yang tidak
dikecualikan.
Tuntutan tentang kejelasan aturan hukum menjadi amat penting,
oleh karena aturan hukum merupakan pedoman perilaku bagi warga
masyarakat maupun bagi aparat dalam rangka penegakan hukum. Bagi

9
Joseph Raz, The Concept of a Legal System: An Introduction to the Theory of Legal
System, (New York: Oxford University Press, 1970), dalam Inche Sayuna, “Harmonisasi Dan
Sinkronisasi Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Ditinjau Dari
Otentisitas Akta Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris”, (Tesis Magister
Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, 2016), h. 10-12
58

warga masyarakat, kejelasan suatu aturan bukan saja mempermudah


untuk mengetahui hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum, tetapi
juga dapat memprediksi atau memperkirakan konsekuensi-konsekuensi
yuridis dari tindakan-tindakan hukum yang mereka lakukan. Demikian
juga bagi aparat dalam rangka penegakan hukum. Kejelasan suatu aturan
bukan saja mempertegas demarkasi perbuatan-perbuatan yang boleh
dituntut secara hukum, tetapi juga menjadi panduan bagi aparat dalam
melakukan tugas penerapan hukum.
Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem civil law dimana
seluruh penyelenggaraan hukum berporos pada aturan perundang-
undangan, maka tuntutan mengenai kejelasan aturan hukum menjadi
amat penting. Dalam sistem civil law, aparat hukum dalam menjalankan
tugasnya dituntut untuk selalu berpedoman pada aturan perundang-
undangan, bukan pada norma-norma di luar perundang-undangan
sebagaimana dalam sistem common law.
Mengingat aturan hukum merupakan pedoman atau pegangan
serta titik awal proses penegakan hukum, maka aturan tersebut harus
bermutu. Mutu sebuah aturan terletak pada beberapa kualifikasi, yakni:
terumus secara jelas dan tegas (tidak multi tafsir), isinya harus
mencerminkan secara tepat persoalan yang diatur, rumusannya harus
dapat dipahami dengan mudah, tidak boleh ada pertentangan internal
antar pasal-pasal, tidak boleh tumpang tindih dengan aturan-aturan
sejenis, tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi,
pengecualian terhadap aturan yang lain harus dilakukan secara terbatas
dan proporsional, serta harus memuat sanksi yang equivalen dengan
kepentingan hukum yang dilanggar.
59

B. Teori Hukum Islam


1. Teori Tujuan Hukum Islam
Tujuan hukum Islam atau yang sering dikenal dengan istilah
Maqâsîd al-Syarî’ah merupakan salah satu konsep penting dalam kajian
hukum Islam. Karena itu, para ahli teori hukum Islam menjadikan
Maqâsîd al-Syarî’ah sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid
dalam berijtihad. Adapun substansi dari Maqâsîd al-Syarî’ah adalah
merealisasikan maslahat dan menghindarkan mafsadat.
Pada prinsipnya, tujuan hukum Islam adalah bagaimana
mewujudkan kemanfaatan kepada seluruh umat manusia yang
mencakupi kemanfaatan dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.10
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, bahwa tujuan umum pembentukan
hukum Islam yaitu merealisir kemaslahatan manusia dengan menjamin
kebutuhan pokoknya (darûriyat) dan memenuhi kebutuhan sekunder
(hajiyat) serta kebutuhan pelengkap (tahsiniyat).11 Tujuan pembentukan
hukum itu tidak dimaksudkan, kecuali untuk merealisir kemaslahatan
umat manusia. Artinya untuk mendatangkan keuntungan bagi umat
manusia dan menolak madarat serta menghilangkan kesulitan.12
Muhamad Abu Zahrah menjelaskan bahwa tujuan hukum Islam
adalah untuk mencapai tiga sasaran, yaitu penyucian jiwa, menegakkan
keadilan, dan kemaslahatan.13 Penyucian jiwa yang dimaksud adalah

10
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis Prudence), (Jakarta: Kencana,
2017), h. 174
11
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Kuwait, 1968), h. 197
12
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Penerjemah Noer Iskandar al-Barsany
dan Moh. Tolchah Mansoer, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh) (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1994), Cet. Keempat, h. 126-127
13
Muhamad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1985), h. 364-
366
60

agar setiap muslim dalam setiap aktivitasnya dapat menjadi sumber


kebaikan bagi masyarakat di lingkungannya. Penegakan keadilan
diharapkan dapat terwujud dalam tata kehidupan masyarakat muslim,
yakni keadilan yang bertalian dengan sesama umat Islam maupun
berhubungan dengan umat yang berbeda keimanan. Kemaslahatan yang
dikehendaki oleh Islam adalah kemaslahatan hakiki yang bertalian
dengan kepentingan umum, bukan kemaslahatan yang dipengaruhi oleh
kepentingan priibadi atau golongan apalagi dipengaruhi oleh hawa
nafsu.14
Imam al-Syatibi menjelaskan, ada 5 (lima) bentuk maqâsîd al-
syarî’ah atau yang biasa disebut kulliyat al-khamsah (lima prinsip
umum), yaitu:
1. Hifzu al-Dîn (memelihara agama)
2. Hifzu al-Nafs (memelihara jiwa)
3. Hifzu al-Aql (memelihara akal)
4. Hifzu al-Mâl (memelihara harta)
5. Hifzu al-Nasl (memelihara keturunan).15
Setiap perilaku yang bertujuan untuk memenuhi kelima
kebutuhan tersebut di atas adalah maslahat dan sebaliknya setiap
perilaku yang menghilangkan kelima kebutuhan tersebut itu adalah
mafsadat. Oleh karena itu, seluruh ulama telah sepakat bahwa syariah ini
diturunkan untuk memenuhi kelima kebutuhan tersebut.16

14
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma‟shum dkk.,
Ushul Fiqh (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), Cet. Kedua, h. 543-548
15
Ahmad al-Risuni, Nadzariyyah al-Maqashid ‘inda al-Imam al-Syatibi, (Kairo:
International Institute of Islamic Thought (IIIT), 1416 H), Cet. IV, h. 15 dalam Oni Sahroni
dan Adiwarman A. Karim, Maqasid Bisnis dan Keuangan Islam: Sintesis Fikih dan Ekonomi
(Depok: Rajawali Pers, 2017), h. 5
16
Oni Sahroni dan Adiwarman A. Karim, Maqasid Bisnis dan……., h. 6
61

Selanjutnya al-Syatibi menjelaskan bahwa maslahah itu ada tiga


macam/bentuk, yaitu:
a. Maslahah al-Daruriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan
dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat.
Kemaslahatan ini berpangkal kepada memelihara lima perkara yaitu
agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.
b. Maslahah al-Hajiyyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam
menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang
berbentuk keringanan untuk mempertahankan kebutuhan mendasar
manusia.
c. Maslahah al-Tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap
dan keluasan terhadap kemaslahatan daruriyat dan hajiyat.
Kemaslahatan ini dimaksudkan untuk kebaikan dan kebagusan budi
pekerti.17
Dari ketiga tingkatan kemaslahatan ini yang perlu diperhatikan
seorang muslim adalah kualitas dan tingkat kepentingan kemaslahatan
itu sehingga dapat ditentukan kemaslahatan yang harus diprioritaskan
terlebih dahulu. Kemaslahatan daruriyat harus lebih didahulukan dari
hajiyat dan kemaslahatan hajiyat harus lebih didahulukan dari tahsiniyat.
Maslahah manusia yang menjadi tujuan disyari‟atkannya hukum
Islam adalah kemaslahatan di dunia dan di akhirat. Maka dalam menilai
maslahah dan mafsadat, standar yang digunakan hendaknya tidak hanya
ditentukan oleh manfaat yang dirasakan di dunia namun juga untuk
maslahah kehidupan akhirat. Untuk mengetahui maslahah hakiki, harus
melihat petunjuk syariah. Dengan demikian, penentuan apakah sesuatu
17
Abu Ishak al-Syatibi, al-Muwafaqat fî Usūli al-Syarî’ah, (T.tp: T.pn, t.t), Jilid II, h.
7, lihat juga dalam Oni Sahroni, Ushul Fikih Muamalah: Kaidah-Kaidah Ijtihad dan Fatwa
dalam Ekonomi Islam (Depok: Rajawali Pers, 2017), h. 106
62

itu layak disebut maslahah atau mafsadat tidak dapat diserahkan kepada
penilaian akal semata tetapi selanjutnya menggunakan penilaian
berdasarkan dalil-dalil syariah.18 Oleh sebab itu, seluruh hukum yang
berlaku pada mukallaf yang berasal dari Allah SWT mengandung
maslahah baik berupa perintah maupun larangan, sebab hukum syara
selalu sejalan dengan akal manusia dan akal manusia selalu sejalan
dengan hukum syara.
2. Teori Ta’ârud al-‘Adillah
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ta’ârud menurut bahasa adalah
pertentangan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan
menurut istilah usûl, ta’ârud adalah pertentangan antara suatu hukum
dengan hukum yang lain yang menghendaki sebuah ketetapan yang sama
pada satu waktu.19 Selanjutnya Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan
bahwa pertentangan antara dalil tersebut hanyalah kontradiksi lahir saja,
sesuai dengan yang tampak dimengerti oleh akal kita. Pada hakikatnya
dalil-dalil tersebut tidak saling berbenturan. Tidak mungkin Allah
sebagai pembuat hukum mengeluarkan sebuah hukum yang bertentangan
dengan hukum lainnya.20
Penjelasan yang hampir sama dikemukakan oleh Muhamad Abu
Zahrah bahwa pertentangan tersebut terletak pada akal, yaitu
kemampuan pemahaman seorang mujtahid, tidak terdapat pada nash
ataupun hukum yang terkandung di dalam nash tersebut.21 Pendapat ini
diperkuat oleh Wahbah al-Zuhaili sebagaimana dikutip Satria Effendi,

18
Muhammad Sa‟id Ramadan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi al-Syari’ah al-
Islamiyah (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1977), h. 47
19
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul………, h. 229
20
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul………, h. 230
21
Muhamad Abu Zahrah, Ushul……., h. 309
63

yang menyatakan bahwa pada dasarnya, tidak ada pertentangan dalam


kalam Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu, adanya anggapan ta’ârud
antara dua atau beberapa dalil, hanyalah dalam pandangan mujtahid,
bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir ini, maka ta’ârud
mungkin terjadi baik pada dalil-dalil yang qat’i maupun dalil yang
zanni.22
Apabila dalam pandangan seorang mujtahid terjadi ta’ârud antara
dua dalil, maka perlu dicari jalan keluarnya. Dalam hal ini terdapat
beberapa model solusi yang diperkenalkan oleh beberapa ulama untuk
mengkompromikan pertentangan antara dalil. Abdul Wahhab Khallaf
menawarkan empat buah opsi dalam mengkompromikan pertentangan
antara dalil, yaitu:
1. Jika terjadi pertentangan antara dalil hukum, maka kompromikan
dalil-dalil yang bertentangan tersebut melalui jalan takwil.
2. Jika tidak ada kompromi, gunakan cara tarjih dengan mencari dalil
yang lebih utama.
3. Jika tidak bisa, lakukan nasakh, tentunya dengan mencari tahu dulu
sejarah pewahyuan dalil tersebut.
4. Jika masih tidak bisa, maka dalil yang kontradiksi tersebut
ditangguhkan.23
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah, jika terjadi
pertentangan antara dua dalil, maka:
a. Carilah asbabul wurud dalil tersebut untuk melakukan nasakh di
antara dalil tersebut.
b. Jika tidak bisa, maka lakukan takhsis atau pengkhususan.

22
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 218
23
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul………, h. 231-232
64

c. Kalau masih ada kontradiksi, maka lakukan tarjih.


d. Kemudian kalau masih berbenturan juga, maka dalil-dalil tersebut
dimauqufkan atau ditangguhkan.24
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada
hakikatnya ta’ârud tidak terjadi secara mutlak pada sumber hukum.
Ta’ârud hanya terjadi pada pemahaman dan analisa mujtahid pada suatu
dalil hukum. Ta’ârud dapat terjadi pada dalil naqli maupun „aqli atau
pada dalil qat’i dan zanni.

C. Teori Perundang-Undangan
Teori Perundang-Undangan berorientasi pada mencari kejelasan
dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian dan bersifat kognitif.25
Artinya, Teori Perundang-Undangan menekankan bukan pada proses
pembentukan peraturan perundang-undangan, namun menekankan pada
bagaimana membentuk materi peraturan perundang-undangan.26
Tinjauan Teori Perundang-Undangan terhadap Peraturan
Perundang-Undangan antara lain mencakup hal-hal berikut:
1. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa
dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

24
Muhamad Abu Zahrah, Ushul……., h. 311-312
25
Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Ilmu Perundang-Undangan”, Bimbingan Teknis
Penyusunan Produk Hukum Daerah Sekretariat Daerah Kabupaten Klungkung, 8 Desember
2016, h. 1
26
Afione Ade Rosika, “Tinjauan Teori Perundang-Undangan Terhadap Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”, Jurnal Ilmiah Ilmu
Hukum Qistie, Vol. 12, No. 1, Mei 2019, h. 27
65

yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau


pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan
materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan
kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.
2. Kewenangan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan
Kewenangan pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
berupa Undang-Undang, berada di tangan DPR yang bersama dengan
Presiden membahas dan menyetujui setiap Rancangan Undang-
Undang. Selanjutnya Presiden mengesahkan RUU yang telah
mendapat persetujuan bersama menjadi Undang-Undang. Dengan
demikian pembuatan Undang-Undang pada hakikatnya merupakan
kekuasaan bersama antara DPR dan Presiden. Sementara kewenangan
pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang tingkatannya
dibawah Undang-Undang merupakan kewenangan Presiden, Kepala
Daerah, atau Pimpinan Kementerian atau Lembaga sesuai
kewenangannya.
3. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
Menurut teori Stufenbau Des Rechts dari Hans Kelsen bahwa
sistem hukum itu merupakan suatu hierarkhi atau sistem pertanggaan
kaidah.27 Legalitas suatu peraturan perundang-undangan dapat ditilik
dari hierarki peraturan peraturan perundang-undangan tersebut.
Artinya bahwa teori Stufenbau menghendaki adanya tingkatan dalam

27
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, Penerjamah Raisul Muttaqien, Teori Hukum
Murni, Cet. VI, (T.t.: Nusa Media, 2008), h. 243-244, dalam Muhammad Muhtarom,
“Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Perkoperasian dan Lembaga Keuangan
Mikro”, (Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum, Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas
Sebelas Maret, Surakarta, 2016), h. 24
66

peraturan perundang-undangan.28 Hierarki atau tata urutan perundang-


undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di
bawahnya. Suatu peraturan perundang-undangan yang tingkatannya
lebih rendah harus memiliki dasar pada kaidah hukum yang lebih
tinggi sifatnya. Setiap kaidah hukum harus mencerminkan adanya
sistem pertanggaaan semacam ini demikian seterusnya ke atas.
Kaidah hukum yang tertinggi yang disebut konstitusi berdasarkan
pada norma dasar yang disebut grundnorm.29
Dalam sistem hukum Indonesia, peraturan perundang-
undangan disusun dalam suatu tingkatan yang disebut hierarki
peraturan perundang-undangan. Jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selanjutnya dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tersebut dijelaskan bahwa jenis peraturan perundang-undangan

28
Zaidah Nur Rosidah, “Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan Mengenai
Perkawinan Beda Agama”, dalam Jurnal al-ahkam, Vol. 23, No. 1, (April, 2013), h. 46,
diakses pada 26 Maret 2020 dari http://journal.walisongo.ac.id/index.php/ahkam
29
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, Penerjamah Raisul Muttaqien, Teori…….., h.
244
67

selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) di atas diakui


keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Jenis peraturan perundang-
undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
tersebut di atas mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.
Peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis
tersebut mengandung konsekuensi bahwa suatu peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya.
Pemahaman terhadap hierarki peraturan perundang-undangan
mempunyai arti penting dalam memahami asas hukum. Menurut
Purnadi Purwacaraka dan Soerjono Soekanto, agar suatu peraturan
perundang-undangan dapat berlaku efektif, maka secara substansial
harus memperhatikan beberapa asas yaitu: Pertama, undang-undang
tidak boleh berlaku surut; artinya undang-undang hanya boleh
diterapkan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang
tersebut serta terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku.
68

Kedua, undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi


mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (Lex Superior Derogat
Lex Inferiori). Ketiga, undang-undang yang bersifat khusus
mengenyampingkan undang-undang yang bersifat umum (Lex
Specialis Derogat Lex Generalis). Keempat, undang-undang yang
baru mengalahkan undang-undang yang lama (Lex Posteriori Derogat
Lex Priori). Kelima, undang-undang tidak dapat diganggu gugat;
artinya adalah undang-undang hanya dapat dicabut dan atau diubah
oleh lembaga yang membuatnya. Keenam, undang-undang merupakan
sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi
masyarakat maupun pribadi melalui pelestarian maupun pembaharuan
(inovasi).30
Menurut Bagir Manan, tata urutan peraturan perundang-
undangan mengandung beberapa prinsip, yaitu:31
1) Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya
dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah atau berad di bawahnya.
2) Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus
bersumber atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan
perundang-undangan tingkat lebih tinggi.

30
Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), h. 117
31
Bagir Manan. Teori dan Politik Konstitusi, Cetakan Kedua, (Yogyakarta: FH UII
Press, 2004), h. 133, lihat juga dalam Rosjidi Ranggawidjaja, Pedoman Teknik Perancangan
Peraturan Perundang-undangan, (Bandung: Cita Bhakti Akademika, 1996), h. 19, dalam
Ni‟matul Huda, “Kedudukan Peraturan Daerah Dalam Hierarki Peraturan Perundang-
undangan”, dalam Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 1, (Januari 2006), h. 33
69

3) Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah


tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
4) Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut atau
diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat.
5) Peraturan-peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila
mengatur materi yang sama, maka peraturan yang terbaru harus
diberlakukan, walaupun tidak dengan secara tegas dinyatakan
bahwa peraturan yang lama dicabut. Selain itu, peraturan yang
mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari
peraturan perundang-undangan yang lebih umum.
4. Materi muatan Peraturan Perundang-Undangan
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa
materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: a.
pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah suatu Undang-
Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. pengesahan
perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan
Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum
dalam masyarakat.
Setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan dalam hierarki Peraturan
Perundang-Undangan memiliki materi muatan masing-masing sesuai
dengan porsinya.
70

D. Teori Badan Hukum


1. Definisi Badan Hukum
Istilah badan hukum, selain merupakan terjemahan bahasa asing
dari istilah rechtspersoon (Belanda), juga merupakan terjemahan
peristilahan: persona moralis (Latin), legal persons (Inggris). Terdapat
berbagai definisi tentang badan hukum dari para ahli. Menurut E. Utrecht
sebagaimana dikutip Neni Sri Imaniyati, badan hukum (rechtspersoon)
yaitu badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi
pendukung hak, yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan
manusia. Badan hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu
gejala yang riil, merupakan fakta yang benar-benar dalam pergaulan
hukum biarpun tidak berwujud manusia atau benda yang dibuat dari besi,
kayu, dan sebagainya.32
Selanjutnya menurut Molengraaff, badan hukum pada hakikatnya
merupakan hak dan kewajiban dari para anggotanya secara bersama-
sama, dan di dalamnya terdapat harta kekayaan bersama yang tidak dapat
dibagi-bagi. Setiap anggota tidak hanya menjadi pemilik sebagai pribadi
untuk masing-masing bagiannya dalam satu kesatuan yang tidak dapat
dibagi-bagi itu, tetapi juga sebagai pemilik bersama untuk keseluruhan
harta kekayaan, sehingga setiap pribadi anggota adalah juga pemilik
harta kekayaan yang terorgansasikan dalam badan hukum itu.33
Salim HS berpendapat bahwa badan hukum adalah kumpulan
orang-orang yang mempunyai tujuan (arah yang ingin dicapai) tertentu,

32
Neni Sri Imaniyati, Hukum Bisnis: Telaah Tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 124
33
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), Cetakan Kedua, h. 69
71

harta kekayaan, serta hak dan kewajiban.34 Sedangkan menurut Sri


Soedewi Machsun Sofwan, badan hukum merupakan kumpulan dari
orang-orang yang secara bersama-sama mendirikan suatu badan (baik
perhimpunan maupun perkumpulan harta kekayaan), yang
ditersendirikan untuk tujuan tertentu seperti yayasan.35
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dikemukakan
bahwa setiap badan hukum yang dapat dikatakan mampu
bertanggungjawab secara hukum, harus memiliki unsur-unsur pokok,
yaitu:
a. Mempunyai perkumpulan (struktur organisasi);
b. Mempunyai tujuan tertentu;
c. Mempunyai harta kekayaan (terpisah dari kekayaan pribadi anggota);
d. Mempunyai hak dan kewajiban (kepentingan yang dilindungi oleh
hukum); dan
e. Mempunyai hak untuk menggugat dan digugat.
Badan hukum atau rechtspersoon sebagai subyek hukum
sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu badan hukum publik dan badan hukum privat (perdata). Menurut
C.S.T. Kansil dan Cristine S.T. Kansil, Badan Hukum Publik (Publiek
Rechts Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum
publik atau yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau
negara umumnya. Lebih lanjut Kansil menjelaskan bahwa badan hukum
publik merupakan badan-badan negara dan mempunyai kekuasaan
wilayah atau merupakan lembaga yang dibentuk oleh yang berkuasa

34
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Laporan Akhir Penyelarasan Naskah
akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perkoperasian, (Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional, 2015), h. 25
35
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 2015), h. 19
72

berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh


eksekutif atau pemerintah atau badan pengurus yang diberikan tugas
untuk itu. Oleh karena demikian, maka Bank Indonesia, bank-bank
negara, dan bahkan perusahaan atau Badan-badan Usaha Milik Negara
sebagai contoh bentuk badan hukum publik. 36
Sedangkan badan hukum privat oleh Kansil diartikan sebagai
badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang
menyangkut kepentingan pribadi orang di dalam badan hukum itu. Badan
hukum semacam itu merupakan badan swasta yang didirikan oleh pribadi
orang itu untuk tujuan tertentu yaitu mencari keuntungan, sosial,
pendidikan, ilmu pengetahuan, politik, kebudayaan, kesenian, olahraga,
dan lain-lainnya, menurut hukum yang berlaku secara sah. Oleh karena
itu, partai politik, oleh Kansil, dikategorikan sebagai badan hukum privat
atau perdata, bukan badan hukum publik.37
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa perbedaan antara badan
hukum publik dan badan hukum privat, menurut Kansil, terletak pada
sumber kekuasaan atau subyek yang mengatur dan membentuknya. Jika
badan hukum tersebut dibentuk oleh penguasa umum atau Negara, maka
badan hukum itu disebut badan hukum publik. Tetapi, jika badan hukum
itu dibentuk atas kehendak pribadi orang per orang, maka badan hukum
itu disebut badan hukum perdata atau privat.
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie,
menurut Jimly, seharusnya untuk menentukan letak perbedaan antara
badan hukum publik dan badan hukum privat itu tidak bisa hanya melihat

36
C.S.T. Kansil dan Cristine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2002), h. 10-13
37
C.S.T. Kansil dan Cristine S.T. Kansil, Pokok-Pokok……., h. 13
73

dari segi subyek yang membentuknya, yaitu kekuasaan umum atau


Negara.38
Menurut Arifin P. Soeria Atmadja, dalam kehidupan sehari-hari
memang dikenal dua jenis badan hukum ditinjau dari sudut kewenangan
yang dimilikinya, yakni badan hukum publik (personne morale) dan
badan hukum privat (personne juridique). Badan hukum publik
(personne morale) mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan
kebijakan publik, baik yang mengikat umum seperti Undang-Undang
Perpajakan maupun yang tidak mengikat umum seperti APBN.
Sedangkan badan hukum privat (personne juridique) tidak mempunyai
kewenangan mengeluarkan kebijakan publik yang dapat mengikat
umum.39
Dengan perkataan lain, badan hukum publik itu sendiri terkait
erat dengan organisasi negara sebagai pemegang otoritas publik atau
pemegang kekuasaan umum, yang mempunyai kewenangan
mengeluarkan kebijakan publik, baik yang mengikat masyarakat umum
atau yang tidak mengikat masyarakat umum. Sedangkan badan hukum
perdata tidak mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan publik
yang bersifat mengikat masyarakat umum.
Dalam ilmu hukum, subjek hukum (legal subject) adalah setiap
pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam lalu lintas atau
hubungan-hubungan hukum.40 Pembawa hak dan kewajiban itu dapat

38
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara …………., h.
79
39
Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum: Teori,
Praktek, dan Kritik, (Jakarta: Badan Penerbit Universitas Indonesia, 2005), h. 124
40
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Tentang Perkumpulan, (T.t.: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2016), h.
11
74

merupakan orang perseorangan yang biasa disebut dengan natuurlijke


persoon atau bukan orang perseorangan melainkan yang dikenal sebagai
badan hukum (recht persoon),41 yang merupakan persona ficta atau
orang yang diciptakan oleh hukum.42
Sebagai subyek hukum, sebagai pembawa hak, manusia
mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan sesuatu
tindakan hukum. Demikian juga dengan badan hukum dipandang sebagai
subyek hukum yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-
perbuatan hukum seperti manusia. Bedanya dengan manusia ialah bahwa
badan hukum itu tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat
dihukum penjara (kecuali hukuman denda).43 Badan hukum dapat
memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan
perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka Hakim.
Badan hukum diartikan dengan organisasi, perkumpulan atau
paguyuban lainnya di mana pendiriannya dengan akta otentik dan oleh
hukum diperlakukan sebagai persona atau sebagai orang. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1654 dinyatakan bahwa “semua
badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta,
berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa
mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu,
membatasinya atau menundukkannya kepada tata cara tertentu”.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas jelas bahwa perundang-
undangan mengakui adanya subyek hukum lain (badan hukum) selain

41
Imam Mustofa, “Zakat Lembaga Keuangan Syariah Sebagai Badan Hukum”, dalam
Jurnal Millah, Vol. XIV, No. 1, Agustus 2014, h. 180
42
P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2015), h. 25
43
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: PN.
Balai Pustaka, 1982), h. 117-118
75

manusia untuk melakukan perbuatan hukum. Badan hukum merupakan


konstruksi yuridis yang diakui keberadaannya di dalam lalu lintas
hukum. Badan hukum juga mempunyai kehendak atau kemauan yang
dijabarkan di dalam maksud dan tujuan pembentukannya dan
dilaksanakan melalui alat-alat perlengkapannya seperti pengurus dan
pengawas. Apapun yang diputuskan dan dijalankan adalah kemauan dari
badan hukum. Hukum memberi hak tidak saja kepada manusia namun
juga kepada badan hukum dalam hubungan hukumnya dengan subyek
hukum yang lain.
2. Teori-Teori Badan Hukum
Dikenal bermacam-macam teori hukum mengenai badan
hukum.44 Namun dalam penelitian ini penulis akan menggunakan dua
teori badan hukum yaitu teori Fiksi dan teori Organ. Digunakannya teori
Fiksi dan teori Organ dalam penelitian ini karena kedua teori tersebut
dipandang penulis paling sesuai untuk mencari dasar hukum dari badan
hukum khususnya Baitul Mal wat Tamwil.
a. Teori Fiksi
Teori ini dipelopori oleh Friedrich Carl Von Savigny (1779-1861),
seorang sarjana Jerman sekaligus tokoh madzhab sejarah pada
permulaan abad ke 19. Menurut Savigny, bahwa badan hukum
semata-mata adalah buatan Negara saja. Secara alamiah hanya
manusia sebagai subyek hukum yang dapat bertindak di dalam lalu
lintas hukum. Badan hukum sebenarnya adalah suatu fiksi, sesuatu
yang sesungguhnya tidak ada, tetapi diciptakan sebagai pelaku hukum

44
Selain teori Fiksi dan teori Organ, ada pula teori Kekayaan Bersama (dikemukakan
oleh Rudolf Von Jhering, Plianol, Molengraaff, Kranenburg), teori Kenyataan Yuridis
(dikemukakan oleh E.M. Meijers, P. Scholten), teori Kekayaan Bertujuan (dikemukakan oleh
A. Brinz, Van Der Heijden)
76

dan diperlakukan layaknya sama dengan manusia. Terbentuknya


kebadan-hukuman (rechtspersoonlijkheid) adalah pertama-tama
terdorong bahwa manusia di dalam hubungan hukum privat45 tidak
hanya berhubungan dengan sesama manusia saja tetapi juga dengan
kumpulan orang-orang yang merupakan kesatuan, yakni badan
hukum.46
b. Teori Organ
Teori ini dikemukakan oleh sarjana Jerman Otto Von Gierke
(1841-1921) yang diikuti oleh L.C. Polano. Menurut Von Gierke,
badan hukum itu sama seperti manusia yang juga mempunyai
“kepribadian” sebagaimana halnya manusia dan keberadaan badan
hukum di dalam pergaulan hidup adalah suatu realita.47 Manusia-
manusia yang mempunyai kepentingan individuil yang sama untuk
mencapai suatu tujuan tertentu berkumpul dan bersatu untuk
memperjuangkan tercapainya tujuan tersebut. Mereka berorganisasi,
memasukkan dan mengumpulkan kekayaan, menetapkan peraturan
untuk mengatur hubungan diantara mereka serta hubungannya dengan
pihak ketiga. Manusia mempunyai kemauan/keinginan, perasaan dan
organ tubuh untuk melaksanakan kemauan/keinginan tersebut. Lain
halnya dengan badan hukum yang tidak mempunyai sifat-sifat
tersebut, sehingga badan hukum harus bertindak melalui organ-

45
Hukum privat atau hukum sipil adalah istilah lain untuk hukum perdata yang
menurut doktrin adalah keseluruhan perangkat (tata) hukum materiil yang mengatur
kepentingan perseorangan (pribadi) dan berbeda dengan hukum public sebagai hukum yang
mengatur kepentingan umum (masyarakat).
46
Friedrich Carl Von Savigny, System des Heutigen Romischen Rechts, dalam R. Ali
Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi,
Yayasan, Wakaf, (Bandung: Alumni, 2012), h. 7
47
Otto Von Gierke, Des Deutsche Genossenschaftsrecht, dalam R. Ali Rido, Badan
Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf,
(Bandung: Alumni, 2012), h. 8
77

organnya, karena tidak mungkin untuk tiap tindakan hukum dilakukan


secara bersama-sama.48
Teori Organ memandang badan hukum sebagai sesuatu yang
nyata (realiteit), bukan fiksi. Badan hukum adalah sesuatu yang
sungguh-sungguh ada di dalam pergaulan yang mewujudkan
kehendaknya dengan perantaraan alat-alatnya (organ) yang ada
padanya (pengurusnya), jadi bukanlah sesuatu yang fiksi tetapi
merupakan makhluk yang sungguh-sungguh ada secara abstrak dari
konstruksi yuridis.49
Teori Organ memberikan gambaran bahwa badan hukum
merupakan een bestaan, dat hun realiteit dari konstruksi yuridis
seolah-olah sebagai manusia yang sesungguhnya dalam lalu lintas
hukum, yang juga mempunyai kehendak atau kemauan sendiri yang
dibentuk melalui alat-alat kelengkapannya, yaitu pengurus dan
anggotanya, dan sebagainya. Apa yang mereka putuskan dianggap
sebagai kemauan badan hukum itu sendiri.50
Dari kedua teori tersebut dapat dijelaskan bahwa kumpulan
orang-orang ini merupakan suatu kesatuan yang baru dan mempunyai
hak-hak atas keikutsertaan pada badan hukum yang terpisah dari hak-
hak pribadi para anggotanya. Selain hak, badan hukum mempunyai
kewajiban tersendiri, terpisah dari kewajiban para anggotanya
sehingga kesatuan ini dapat bertindak di dalam dan di luar hukum
sebagai kesatuan yang mandiri. Badan hukum sebagai subyek hukum
juga memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan para

48
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara ………., h. 69
49
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 153
50
H. Salim HS., Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), h. 180
78

anggotanya dan dengan menggunakan kekayaan tersebut melalui


organisasi dari organnya digunakan untuk mencapai maksud dan
tujuan badan hukum.
Namun, sebagai sesama subyek hukum, antara natuurlijke
person dan rechtspersoon mempunyai sedikit perbedaan. Badan
hukum tidak mempunyai kehendak sendiri, ia hanya dapat melakukan
perbuatan melalui perantaraan orang perseorangan (natuurlijke
person) yang menjadi pengurusnya. Pengurus itu bekerja tidak untuk
dirinya sendiri melainkan untuk dan atas nama badan hukum itu.51
Oleh karena kekhususan itu, maka tidak semua perbuatan hukum
dapat dilakukan oleh badan hukum. Artinya, badan hukum tidak
dapat menerima semua jenis hak dan menjalankan semua jenis
kewajiban seperti halnya manusia (natuurlijke person). Semua badan
hukum memang dapat mempunyai harta kekayaan, tetapi jenis-jenis
haknya berbeda-beda satu sama lain. Misalnya, yayasan tanah wakaf
tidak boleh dibebani hak milik atas tanah. Karena badan hukum tidak
dapat meninggal dunia, maka apabila ia bubar, kekayaannya tidak
dapat diwariskan kepada ahli waris para pengurusnya.52

51
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, (Jakarta:
Pembangunan, 1965), h. 39
52
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara ……., h. 70
BAB III
BAITUL MAAL WA TAMWIL DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

A. Konsep Baitul Maal wa Tamwil


BMT merupakan akronim dari Baitul Maal wa Tamwil, yang
merupakan gabungan dari dua istilah yakni Baitul Maal dan Baitul
Tamwîl. Secara etimologi, Baitul Maal berarti rumah dana dan Baitul
Tamwîl berarti rumah usaha.1 Adapun secara terminologi, terdapat
berbagai definisi tentang Baitul Maal wa Tamwil dari para ahli.
Suharawardi K. Lubis menjelaskan bahwa Baitul Maal adalah suatu
lembaga atau badan yang bertugas untuk mengurusi kekayaan negara
terutama keuangan, baik yang berkenaan dengan soal pemasukan dan
pengelolaan maupun yang berhubungan dengan masalah pengeluaran
dan lain-lain.2
Selanjutnya Makhalul Ilmi juga mengungkapkan bahwa Baitul
Maal adalah lembaga keuangan yang berorientasi sosial keagamaan yang
kegiatan utamanya menampung serta menyalurkan harta masyarakat
berupa zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) sesuai dengan ketentuan dalam
Al-Quran dan Hadits.3
Buchari Alma dan Donni Juni Priansa terkait dengan Baitul
Tamwîl menjelaskan bahwa Baitul Tamwîl adalah suatu lembaga yang
melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi

1
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta: UII
Press, 2004), h. 120
2
Suharawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 114
3
Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah, (Yogyakarta:
UII Press, 2002), h. 54
79
80

dalam meningkatkan kesejahteraan pengusaha mikro melalui kegiatan


pembiayaan dan menabung atau berinvestasi.4
Gita Danupranata menyebutkan bahwa Bait al-Mâl lebih
mengarah pada usaha-usaha non profit yang mengumpulkan dana dari
zakat, infaq dan sadaqah kemudian disalurkan kepada yang berhak.
Sedangkan Baitul Tamwîl sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran
dana komersial untuk menciptakan nilai tambah baru dan mendorong
pertumbuhan ekonomi.5
Dengan demikian, Baitul Maal wa Tamwil (BMT) merupakan
lembaga keuangan yang lahir sebagai pilihan yang menggabungkan
konsep maal dan tamwil dalam satu kegiatan lembaga. Jika konsep maal
dimaksudkan untuk menghimpun dan menyalurkan dana untuk zakat,
infaq dan shadaqah (ZIS) secara produktif, maka konsep tamwil
dimaksudkan sebagai kegiatan bisnis produktif yaitu mendapatkan
keuntungan khususnya pada masyarakat menengah ke bawah (mikro).
Kehadiran BMT dalam hal ini berarti menjalankan misi ekonomi syariah
sekaligus mengemban tugas ekonomi kerakyatan dengan meningkatkan
ekonomi mikro.6
Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) memberikan
definisi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga ekonomi rakyat
kecil, yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan

4
Buchari Alma dan Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syariah, (Bandung:
Alfabeta, 2009), h. 18
5
Gita Danupranata, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: UPFE-UMY, 2006), h. 56
6
Novita Dewi Masyithoh, “Analisis Normatif Undang-Undang No. 1 Tahun
2013.….”, h. 18
81

investasi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil, bawah


dan menengah berdasarkan prinsip-prinsip Islam”.7
Dari definisi tersebut di atas mengandung pengertian bahwa
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) merupakan lembaga pendukung kegiatan
ekonomi masyarakat kecil, bawah dan menengah dengan berlandaskan
sistem syariah, yang mempunyai tujuan meningkatkan kualitas usaha
ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat dan mempunyai sifat usaha
yakni usaha bisnis mandiri, ditumbuh kembangkan dengan swadaya dan
dikelola secara profesional. Sedangkan dari segi aspek Baitul Maal
dikembangkan untuk kesejahteraan sosial para anggota, terutama dengan
menggalakkan zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf (ZISWA) seiring
dengan penguatan kelembagaan bisnis BMT.8
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa secara
konsepsi, Baitul Maal wa Tamwil (BMT) adalah suatu institusi yang di
dalamnya mencakup dua jenis kegiatan sekaligus, yaitu pemberdayaan
sosial (maal) dan pemberdayaan ekonomi produktif (tamwil). Dengan
istilah lain, Baitul Maal wa Tamwil (BMT) merupakan sebuah konsep
keuangan mikro syariah yang menjalankan orientasi komersial melalui
aktivitas tamwil dan orientasi sosial melalui aktivitas maal secara
harmonis.
Konsep Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dirancang sebagai
lembaga sosial-ekonomi rakyat yang secara nyata lebih fokus kepada
masyarakat kelas menengah ke bawah melalui bantuan permodalan dan
pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi, sosial, dan

7
PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil), Peraturan Dasar dan Contoh AD-
ART BMT, (Jakarta: Wasantara Net.Id, t.th.), h. 1
8
PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil), Peraturan Dasar……., h. 2
82

spiritual. Dalam konsep BMT, dua aktivitas yang dijalankan secara


harmonis, yaitu:
1. Aktivitas sosial (sebagai Baitul Maal), yang menampung dana zakat,
infak, sedekah, dan wakaf untuk disalurkan kepada kelompok
masyarakat mustahik dan masyarakat dhuafa secara luas.
2. Aktivitas komersial (sebagai Baitul Tamwîl), yang menampung dana
yang berasal dari modal, simpanan anggota, hibah untuk disalurkan
berupa pembiayaan kepada usaha mikro kecil yang menjadi anggota
BMT.

B. Pengaturan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dalam Undang-Undang


Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro beserta
Peraturan Turunannya
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) merupakan salah satu lembaga
keuangan mikro, yang secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Berdasarkan
pada Ketentuan Peralihan pada Bab XIII Pasal 39 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro,
dijelaskan bahwa:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank Desa,
Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa
(BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat
Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank
Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan
(BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil
Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang
dipersamakan dengan itu tetap dapat beroperasi sampai dengan 1
(satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.9

9
Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.
83

Selanjutnya pada Pasal 39 ayat (2) dijelaskan bahwa “lembaga-


lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) tahun terhitung
sejak Undang-Undang ini berlaku”.10 Lebih lanjut dalam Pasal 42
dijelaskan bahwa “Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua)
tahun terhitung sejak tanggal diundangkan”.11
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro mengatur pokok-pokok Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) diantaranya sebagai berikut:
1. Syarat Pendirian
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro menjelaskan bahwa “Pendirian LKM
paling sedikit harus memenuhi persyaratan: a. bentuk badan hukum;
b. permodalan; dan c. mendapat izin usaha yang tata caranya diatur
dalam Undang-Undang ini”.12

a. Bentuk Badan Hukum


Ketentuan mengenai bentuk badan hukum LKM telah diatur dalam
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro sebagai berikut:13
(1) Bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf a adalah:
a. Koperasi; atau

10
Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro.
11
Pasal 42 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.
12
Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.
13
Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.
84

b. Perseroan Terbatas.
(2) Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, sahamnya paling sedikit 60% (enam puluh
persen) dimiliki oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota atau badan usaha milik
desa/kelurahan.
(3) Sisa kepemilikan saham Perseroan Terbatas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dimiliki
oleh:
a. warga negara Indonesia; dan/atau
b. koperasi.
(4) Kepemilikan setiap warga negara Indonesia atas saham
Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf a paling banyak sebesar 20% (dua puluh
persen).

b. Permodalan
Ketentuan mengenai permodalan LKM telah diatur di
dalam Pasal 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
61/POJK.05/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro sebagai berikut:14
a. Modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib,
dan hibah LKM ditetapkan berdasarkan cakupan
wilayah usaha yaitu desa/kelurahan, kecamatan, atau
kabupaten/kota.
b. Jumlah modal disetor atau simpanan pokok, simpanan
wajib, dan hibah LKM ditetapkan paling sedikit:
a. Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), untuk
cakupan wilayah usaha desa/kelurahan;
b. Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), untuk
cakupan wilayah usaha kecamatan; atau

14
Pasal 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.05/2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.05/2014 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro.
85

c. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), untuk


cakupan wilayah usaha kabupaten/kota.
(3) Paling kurang 50% (lima puluh persen) dari modal
disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan
hibah wajib digunakan untuk modal kerja.
(4) Setoran modal LKM sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus memenuhi persyaratan:
a. tidak berasal dari pinjaman; dan
b. tidak berasal dari dan untuk tindak pidana pencucian
uang.

c. Izin Usaha
Ketentuan mengenai izin usaha LKM telah diatur di dalam Pasal 9
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro sebagai berikuti:15
a. Sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus
memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
b. Untuk memperoleh izin usaha LKM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harus dipenuhi persyaratan
paling sedikit mengenai:
a. susunan organisasi dan kepengurusan;
b. permodalan;
c. kepemilikan; dan
d. kelayakan rencana kerja.

2. Kegiatan Usaha
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro menjelaskan bahwa “Kegiatan
usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan
masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam usaha
skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan,

15
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
86

maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha”.16


Selanjutnya dalam Pasal 12 dijelaskan bahwa:
(1) Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan dan pengelolaan
Simpanan oleh LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (1) dilaksanakan secara konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah.
(2) Kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan sesuai dengan
fatwa syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional, Majelis Ulama Indonesia.17

Lebih lanjut dalam Pasal 13 dijelaskan bahwa:

(1) Untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip


syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2),
LKM wajib membentuk dewan pengawas syariah.
(2) Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada
direksi atau pengurus serta mengawasi kegiatan LKM
agar sesuai dengan prinsip syariah.18

Terkait dengan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,


secara detail dijelaskan dalam pasal 13 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 62 /POJK.05/2015 tentang Perubahan Atas
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014 tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro yang berbunyi
sebagai berikut:
(1) LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah wajib menggunakan akad yang sesuai dengan Prinsip
Syariah.

16
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
17
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
18
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
87

(2) Akad yang sesuai dengan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) meliputi:
a. kegiatan usaha penghimpunan Simpanan dilakukan dengan
menggunakan akad wadiah, mudharabah, atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah serta disetujui oleh
OJK.
b. kegiatan usaha penyaluran Pembiayaan dilakukan dengan
menggunakan akad mudharabah, musyarakah, murabahah,
ijarah, salam, istishna, ijarah muntahiah bit tamlik, atau akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah serta
disetujui oleh OJK.
c. kegiatan jasa pemberian konsultasi dan pengembangan usaha
dilakukan dengan menggunakan akad ijarah, ju’alah atau akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah serta
disetujui oleh OJK.
d. kegiatan pendanaan melalui penerimaan pinjaman dilakukan
dengan menggunakan akad qordh, mudharabah, musyarakah,
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
serta disetujui oleh OJK.
(3) Untuk dapat memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), LKM mengajukan permohonan kepada OJK
dengan melampirkan fatwa DSN MUI.
(4) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), LKM yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah dapat melakukan pengelolaan dana
sosial dan kebajikan berupa zakat, infak, sedekah, dan wakaf
sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
(5) Pembukuan atas pengelolaan dana sosial dan kebajikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan secara terpisah.19

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang


Lembaga Keuangan Mikro menjelaskan bahwa:
Dalam melakukan kegiatan usaha, LKM dilarang:
a. menerima Simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu
lintas pembayaran;
b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;

19
Pasal 13 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62 /POJK.05/2015 tentang
Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014 tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro
88

c. melakukan usaha perasuransian sebagai penanggung;


d. bertindak sebagai penjamin;
e. memberi pinjaman atau pembiayaan kepada LKM lain,
kecuali dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas bagi
LKM lain dalam wilayah kabupaten/kota yang sama; dan
f. melakukan usaha di luar kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).20

3. Cakupan Wilayah Usaha


Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro menjelaskan bahwa, “(1) Cakupan
wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu wilayah desa/kelurahan,
kecamatan, atau kabupaten/kota. (2) Luas cakupan wilayah usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan skala usaha
LKM yang diatur dalam Peraturan Pemerintah”.21
Selanjutnya dalam Pasal 27 dijelaskan bahwa, “LKM wajib
bertransformasi menjadi bank jika: a. LKM melakukan kegiatan
usaha melebihi 1 (satu) wilayah kabupaten/kota tempat kedudukan
LKM; atau b. LKM telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan”.22

4. Pembinaan, Pengaturan, dan Pengawasan


Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro menjelaskan bahwa:
(1) Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan

20
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
21
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
22
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
89

koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan


urusan koperasi dan Kementerian Dalam Negeri.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didelegasikan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
(4) Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum
siap, Otoritas Jasa Keuangan dapat mendelegasikan
pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada pihak lain yang ditunjuk.
(5) Ketentuan mengenai hal yang berkaitan dengan
pembinaan dan pengawasan yang didelegasikan kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan pihak lain yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.23
Selanjutnya dalam pasal 31 dijelaskan bahwa, “dalam rangka
pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap
LKM”.24
Adapun terkait dengan pengaturan LKM, dalam Pasal 29
dijelaskan bahwa:
(1) LKM wajib melakukan dan memelihara pencatatan
dan/atau pembukuan keuangan sesuai dengan standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
(2) Dalam melakukan dan memelihara pencatatan dan/atau
pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), direksi
atau pengurus LKM dilarang:
a. membuat pencatatan palsu dalam pembukuan dan/atau
laporan keuangan tanpa didukung dengan dokumen
yang sah;

23
Pasal 28 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.
24
Pasal 31 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.
90

b. menghilangkan atau tidak memasukkan informasi yang


benar dalam laporan kegiatan usaha, laporan keuangan,
atau rekening LKM; dan
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan,
menghapus, atau menghilangkan suatu pencatatan
dalam pembukuan atau dalam laporan keuangan,
maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha.25
Selanjutnya dalam Pasal 30 dijelaskan bahwa:
a. LKM wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan:
a. laporan keuangan setiap 4 (empat) bulan; dan/atau
b. laporan lain yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
b. LKM wajib mengumumkan laporan keuangan dalam
rangka menerapkan prinsip keterbukaan.26

C. Pengaturan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dalam Peraturan


Perundangan Perkoperasian
Saat ini, hampir sebagian besar BMT berada di bawah payung
hukum Kementerian Koperasi dan UKM melalui Undang-Undang
nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian beserta Peraturan
Turunannya. BMT yang berada di bawah regulasi Kementerian Koperasi
dan UKM ini dikenal sebagai Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan
Syariah/Unit Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS/USPPS).
Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS)
diatur dalam Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan
Menengah Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017
Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan

25
Pasal 29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.
26
Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.
91

Syariah Oleh Koperasi. Peraturan Perundangan Perkoperasian mengatur


pokok-pokok Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah
(KSPPS) diantaranya sebagai berikut:
1. Syarat Pendirian
Syarat pendirian koperasi sudah terdapat aturannya secara
jelas di dalam peraturan perundangaan perkoperasian, yaitu dengan
cara pembuatan Akta Pendirian Koperasi yang disahkan oleh
Pemerintah. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sebagai berikut:
“Pembentukan Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dilakukan dengan akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar”.27
Selanjutnya pada Pasal 9 dinyatakan bahwa “Koperasi memperoleh
status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh
Pemerintah”.28
Jika Akta Pendirian Koperasi tersebut sudah disahkan, maka
dengan sendirinya akta tersebut berlaku sebagai izin usaha, sehingga
koperasi tidak perlu lagi mengajukan izin usaha tersendiri. Hal
tersebut berdasarkan pada ketentuan Pasal 3 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi, yang berbunyi: “Pengesahan
Akta Pendirian Koperasi Simpan Pinjam sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) berlaku sebagai izin usaha”.29
Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan

27
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
28
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
29
Pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi.
92

Pinjam Oleh Koperasi dinyatakan bahwa “yang dimaksud dengan


pengesahan Akta Pendirian Koperasi Simpan Pinjam berlaku sebagai
izin usaha adalah dengan dikeluarkannya surat keputusan pengesahan
Akta Pendirian koperasi tersebut sudah dapat melaksanakan kegiatan
usaha simpan pinjam”.
Lebih lanjut pengaturan secara lebih detail mengenai syarat
pendirian Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS)
diatur dalam Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan
Menengah Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017
Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan
Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi. Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa:
(1) KSPPS dapat berbentuk KSPPS Primer atau KSPPS
Sekunder.
(2) Pendirian KSPPS dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan
kepentingan ekonomi yang sama dan manfaat bagi
Anggota serta kelayakan usaha.
(3) KSPPS Primer dibentuk dan didirikan oleh paling sedikit
20 (dua puluh) orang yang mempunyai kegiatan dan
kepentingan ekonomi yang sama.
(4) KSPPS Sekunder dibentuk dan didirikan oleh paling
sedikit 3 (tiga) badan hukum Koperasi yang melaksanakan
kegiatan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah.30

Selanjutnya terkait dengan persyaratan pendirian maka KSPPS


harus melampirkan dokumen sebagai berikut:31

30
Pasal 3 Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik
Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
31
Pasal 7 Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik
Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
93

a. bukti kepemilikan Modal Sendiri bagi pendirian KSPPS berupa


rekening pada bank syariah atas nama Pengurus Koperasi;
b. rencana kerja paling sedikit 3 (tiga) tahun;
c. pernyataan kelengkapan administrasi organisasi dan pembukuan;
d. anggota Dewan Pengawas Syariah salah satunya wajib memiliki
rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat atau
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
atau sertifikat pendidikan dan pelatihan Dewan Pengawas Syariah
dari DSN-MUI;
e. nama dan riwayat hidup calon Pengelola;
f. fotokopi keputusan atau peraturan internal tentang Standar
Operasional Manajemen dan Standar Operasional Prosedur.

2. Permodalan
Pasal 17 Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan
Menengah Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017
menjelaskan bahwa:
(1) Modal awal usaha pada pendirian KSPPS Primer dan
KSPPS Sekunder dihimpun dari Simpanan Pokok dan
Simpanan Wajib anggotanya dan dapat ditambah dengan
Hibah.
(2) Modal awal usaha pada setiap pendirian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. dilengkapi dengan bukti penyetoran dari Anggota
kepada Koperasi;
b. dibukukan dalam neraca KSPPS sebagai harta
kekayaan badan hukum KSPPS;
c. Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib tidak boleh
diambil, kecuali keluar dari keanggotaan Koperasi dan
ada modal pengganti dari Anggota baru dan/atau Dana
Cadangan Koperasi; dan
94

d. Dana Cadangan dan Hibah tidak dapat dibagi kepada


Anggota, kecuali pada saat pembubaran Koperasi
setelah dikurangi beban resiko kerugian Koperasi.
(3) Modal awal usaha KSPPS Primer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disimpan pada rekening di bank syariah
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. modal awal usaha KSPPS Primer dengan wilayah
keanggotaan dalam daerah kabupaten atau kota
ditetapkan paling sedikit Rp15.000.000,00 (lima belas
juta rupiah);
b. modal awal usaha KSPPS Primer dengan wilayah
keanggotaan lintas daerah kabupaten atau kota dalam 1
(satu) daerah provinsi ditetapkan paling sedikit
Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah); dan
c. modal awal usaha KSPPS Primer dengan wilayah
keanggotaan lintas daerah provinsi ditetapkan paling
sedikit Rp375.000.000,00 (tiga ratus tujuh puluh lima
juta rupiah).
(4) Modal awal usaha KSPPS Sekunder sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disimpan pada rekening di bank
syariah dengan rincian sebagai berikut:
a. modal awal usaha KSPPS Sekunder dengan wilayah
keanggotaan dalam daerah kabupaten atau kota
ditetapkan paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah);
b. modal awal usaha KSPPS Sekunder dengan wilayah
keanggotaan lintas daerah kabupaten atau kota dalam 1
(satu) daerah provinsi ditetapkan paling sedikit
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah); dan
c. modal awal usaha KSPPS Sekunder dengan wilayah
keanggotaan lintas daerah provinsi ditetapkan paling
sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).32

32
Pasal 17 Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik
Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
95

3. Izin Usaha
KSPPS wajib memiliki izin usaha simpan pinjam dan
pembiayaan syariah. Penerbitan izin usaha simpan pinjam dan
pembiayaan syariah ditetapkan sebagai berikut:
a. bupati atau walikota menerbitkan izin usaha KSPPS atau USPPS
Koperasi yang wilayah keanggotaannya dalam 1 (satu) daerah
kabupaten atau kota;
b. gubernur menerbitkan izin usaha KSPPS atau USPPS Koperasi
yang wilayah keanggotaannya lintas daerah kabupaten atau kota
dalam 1 (satu) daerah provinsi; dan
c. Menteri menerbitkan izin usaha KSPPS atau USPPS Koperasi
yang wilayah keanggotaannya lintas daerah provinsi.33

4. Kegiatan Usaha
Menurut Pasal 19 ayat (4) dan (5) Peraturan Menteri
Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia
Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017, Koperasi yang melaksanakan
kegiatan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah wajib
memiliki unit kegiatan sosial (maal) dan unit kegiatan usaha bisnis
(tamwil).34 Ruang lingkup kegiatan usaha KSPPS dan USPPS
Koperasi meliputi:
a. menyelenggarakan kegiatan maal untuk pemberdayaan Anggota
dan masyarakat di bidang sosial dan ekonomi;

33
Pasal 6 ayat (1) dan (3) Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan
Menengah Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
34
Pasal 19 ayat (4) Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
96

b. menghimpun simpanan berjangka dan tabungan Koperasi dari


Anggota, Calon Anggota, Koperasi lain dan/atau Anggotanya
berdasarkan akad Wadiah atau Mudharabah;
c. menyalurkan pinjaman kepada Anggota, Calon Anggota,
Koperasi lain dan/atau Anggotanya berdasarkan akad Qardh;
d. menyalurkan pembiayaan Anggota, Calon Anggota, Koperasi lain
dan/atau Anggotanya berdasarkan akad Murabahah, Salam,
Istishna, Musyarakah, Mudharabah, Ijarah, Ijarah Muntahiya
Bittamlik, Ijarah Maushufah Fi Zimmah, Musyarokah
Mutanaqishoh, Ju’alah, Wakalah, Kafalah, Hawalah dan Rahn,
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan syariah; dan
e. akad penyaluran pinjaman dan pembiayaan dapat dikombinasikan
sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI).35
Dalam melaksanakan kegiatan sosial (maal), KSPPS atau
USPPS Koperasi melaksanakan kegiatan sosial (maal) untuk
pemberdayaan anggota dan masyarakat di bidang sosial dan
ekonomi. Kegiatan sosial (maal) dilakukan melalui penghimpunan,
pengelolaan dan penyaluran dana Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf
serta dana kebajikan dan sosial lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan Prinsip Syariah. Kegiatan sosial
(maal) wajib dilaporkan dalam laporan sumber dan penggunaan
dana Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf serta dana kebajikan dan

35
Pasal 19 ayat (5) Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
97

sosial lainnya, terpisah dari laporan keuangan kegiatan usaha


Koperasi.36
Sedangkan kegiatan bisnis (tamwil) dilakukan melalui
simpanan, serta pinjaman dan pembiayaan syariah. Kegiatan bisnis
(tamwil) melalui simpanan secara rinci dijelaskan dalam Pasal 23
Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 sebagai
berikut:
(1) Penerbitan produk Simpanan Koperasi merupakan
wewenang Pengurus setelah mendapat pertimbangan
Dewan Pengawas Syariah.
(2) Simpanan diberikan imbalan berupa bagi hasil dan imbal
jasa atau bonus yang besarnya ditentukan oleh rapat
anggota.
(3) Perhitungan bagi hasil untuk simpanan yang
menggunakan akad Mudharabah berasal dari
pendapatan operasional utama KSPPS atau USPPS
Koperasi.
(4) Perhitungan imbal jasa atau bonus yang bersifat sukarela
untuk Simpanan yang menggunakan akad wadiah
didasarkan kepada kebijakan operasional KSPPS atau
USPPS Koperasi.
(5) KSPPS dan USPPS Koperasi wajib menjamin keamanan
Simpanan dan Tabungan Anggota, Calon Anggota,
Koperasi lain dan/atau Anggotanya.37
Adapun kegiatan bisnis (tamwil) melalui pinjaman dan
pembiayaan syariah secara rinci sebagai berikut:
(1) Pelaksanaan pemberian pinjaman dan pembiayaan
syariah oleh KSPPS dan USPPS Koperasi wajib
36
Pasal 22 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan
Menengah Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
37
Pasal 23 Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik
Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
98

memperhatikan prinsip pemberian pinjaman dan


pembiayaan syariah yang sehat.
(2) Besarnya marjin, nisbah bagi hasil, imbal jasa dan bonus
ditentukan oleh rapat anggota.
(3) Pemberian pinjaman dan pembiayaan diutamakan untuk
memenuhi kebutuhan Anggota.
(4) Pada transaksi akad Musyarakah, KSPPS atau USPPS
Koperasi wajib melakukan pembinaan kepada Anggota
untuk memisahkan antara harta pribadi dengan harta
yang digunakan untuk usaha.38

5. Cakupan Wilayah Usaha


Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 menjelaskan
bahwa cakupan wilayah usaha suatu KSPPS berada dalam 1 (satu)
daerah kabupaten atau kota, lintas daerah kabupaten atau kota dalam 1
(satu) daerah provinsi, dan lintas daerah provinsi.

6. Pembinaan, Pengawasan, dan Pelaporan


Dalam hal pembinaan, Pasal 28 Peraturan Menteri Koperasi
Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor :
11/Per/M.KUKM/XII/2017 menjelaskan bahwa:
KSPPS/USPPS Koperasi memperoleh bimbingan dan
pembinaan teknis usaha simpan pinjam dan pembiayaan
syariah diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. KSPPS dan USPPS Koperasi Primer atau Sekunder dengan
wilayah keanggotaan dalam daerah kabupaten atau kota
dilakukan oleh bupati atau walikota;
b. KSPPS dan USPPS Koperasi Primer atau Sekunder dengan
wilayah keanggotaan lintas daerah kabupaten atau kota

38
Pasal 24 Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik
Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
99

dalam 1 (satu) daerah provinsi dilakukan oleh gubernur;


dan
c. KSPPS dan USPPS Koperasi Primer atau Sekunder dengan
wilayah keanggotaan lintas daerah provinsi dilakukan oleh
Menteri.39
Menteri mendelegasikan pelaksanaan bimbingan dan
pembinaan teknis usaha simpan pinjam dan pembiayaan
syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c kepada
Deputi Bidang Pembiayaan.40

Adapun dalam hal pengawasan, Pasal 30 Peraturan Menteri


Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia
Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 menjelaskan bahwa:
Pengawasan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah
diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. KSPPS dan USPPS Koperasi Primer atau Sekunder dengan
wilayah keanggotaan dalam daerah kabupaten atau kota
dilakukan oleh bupati atau walikota;
b. KSPPS dan USPPS Koperasi Primer atau Sekunder dengan
wilayah keanggotaan lintas daerah kabupaten atau kota
dalam 1 (satu) daerah provinsi dilakukan oleh gubernur;
dan
c. KSPPS dan USPPS Koperasi Primer atau Sekunder dengan
wilayah keanggotaan lintas daerah provinsi dilakukan oleh
Menteri.41
Menteri mendelegasikan pengawasan usaha simpan pinjam
dan pembiayaan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c kepada Deputi Bidang Pengawasan.42

39
Pasal 28 ayat (3) Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
40
Pasal 28 ayat (4) Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
41
Pasal 30 ayat (2) Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
42
Pasal 30 ayat (3) Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
100

Sedangkan terkait pelaporan, Pasal 31 Peraturan Menteri


Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia
Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 menjelaskan bahwa:
Pengurus KSPPS atau Koperasi yang memiliki USPPS wajib
memberikan laporan kepada Pengawas dan rapat anggota.43
KSPPS dan USPPS Koperasi melalui Koperasi yang
bersangkutan wajib menyampaikan laporan keuangan secara
triwulanan, dan tahunan kepada pejabat yang melaksanakan
bimbingan dan pembinaan teknis.44

D. Pengaturan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dalam Peraturan


Perundangan Pengelolaan Zakat
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dalam melaksanakan fungsi
sosialnya (maal) berupa penghimpunan, pengelolaan dan penyaluran
dana Zakat, Infak, dan Sedekah dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan Prinsip Syariah. Artinya pengelolaan
Baitul Maal tunduk pada peraturan perundangan zakat. Dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat disebutkan
bahwa “Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk
LAZ.”45 Selanjutnya dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat dijelaskan sebagai berikut:
(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat
yang ditunjuk oleh Menteri.

43
Pasal 31 ayat (1) Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
44
Pasal 31 ayat (2) Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
45
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
101

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan


apabila memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang
mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial;
b. berbentuk lembaga berbadan hukum;
c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d. memiliki pengawas syariat;
e. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan
untuk melaksanakan kegiatannya;
f. bersifat nirlaba;
g. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi
kesejahteraan umat; dan
h. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.46
Lebih lanjut dalam Pasal 19 dijelaskan bahwa “LAZ wajib
melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara
berkala.”47 Secara lebih rinci ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat menyebutkan bahwa “LAZ wajib
menyampaikan laporan pelaksanaan Pengelolaan Zakat, infak, sedekah,
dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah
daerah setiap 6 (enam) bulan dan akhir tahun.”48 Selanjutnya ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 juga menyebutkan
bahwa:
(1) Laporan pelaksanaan Pengelolaan Zakat, infak, sedekah, dan
dana sosial keagamaan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71, Pasal 72, dan Pasal 73 harus di audit syariat dan
keuangan.

46
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
47
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
48
Pasal 73 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
102

(2) Audit syariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan


oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agama.
(3) Audit keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh akuntan publik.
(4) Laporan pelaksanaan Pengelolaan Zakat, infak, sedekah, dan
dana sosial keagamaan lainnya yang telah di audit syariat dan
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
disampaikan kepada BAZNAS.49

E. Pengaturan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dalam Peraturan


Perundangan Wakaf
Kegiatan sosial Baitul Maal wa Tamwil (BMT) selain mengelola
zakat, infak, sedekah sebagaimana dijelaskan di atas, juga mengelola
wakaf. Dalam hal ini, Baitul Maal wa Tamwil (BMT) menjadi nazhir
yaitu pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola
dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.50 Dalam ketentuan
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
dijelaskan bahwa, “Nazhir mempunyai tugas: a. melakukan
pengadministrasian harta benda wakaf; b. mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya; c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; d.
melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.”51
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 13 dijelaskan bahwa, “Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir
memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.”52

49
Pasal 75 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
50
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
51
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
52
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
103

Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006


tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf dijelaskan lebih detail terkait pembinaan dan pengawasan yang
dilakukan BWI terhadap Baitul Maal wa Tamwil (BMT) selaku Nazhir
sebagai berikut:53
Pasal 53
(1) Nazhir wakaf berhak memperoleh pembinaan dari Menteri
dan BWI.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyiapan sarana dan prasarana penunjang operasional
Nazhir wakaf baik perseorangan, organisasi dan badan
hukum;
b. penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian
fasilitas, pengkoordinasian, pemberdayaan dan
pengembangan terhadap harta benda wakaf;
c. penyediaan fasilitas proses sertifikasi Wakaf;
d. penyiapan dan pengadaan blanko-blanko AIW, baik
wakaf benda tidak bergerak dan/atau benda bergerak;
e. penyiapan penyuluh penerangan di daerah untuk
melakukan pembinaan dan pengembangan wakaf kepada
Nazhir sesuai dengan lingkupnya; dan
f. pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam
dan luar negeri dalam pengembangan dan pemberdayaan
wakaf.

Pasal 54
Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 ayat (1) pemerintah memperhatikan saran dan
pertimbangan MUI sesuai dengan tingkatannya.

Pasal 55
(1) Pembinaan terhadap Nazhir, wajib dilakukan sekurang-
kurangnya sekali dalam setahun.
(2) Kerjasama dengan pihak ketiga, dalam rangka pembinaan
terhadap kegiatan perwakafan di Indonesia dapat dilakukan

53
Pasal 53, 54, 55, 56 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
104

dalam bentuk penelitian, pelatihan, seminar maupun kegiatan


lainnya.
(3) Tujuan pembinaan adalah untuk peningkatan etika dan
moralitas dalam pengelolaan wakaf serta untuk peningkatan
profesionalitas pengelolaan dana wakaf.

Pasal 56
(1) Pengawasan terhadap perwakafan dilakukan oleh pemerintah
dan masyarakat, baik aktif maupun pasif.
(2) Pengawasan aktif dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
langsung terhadap Nazhir atas pengelolaan wakaf, sekurang-
kurangnya sekali dalam setahun.
(3) Pengawasan pasif dilakukan dengan melakukan pengamatan
atas berbagai laporan yang disampaikan Nazhir berkaitan
dengan pengelolaan wakaf.
(4) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pemerintah dan masyarakat dapat meminta
bantuan jasa akuntan publik independen.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan
terhadap perwakafan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa Baitul Maal wa


Tamwil (BMT) dalam melaksanakan kegiatan sosial (maal) berupa
zakat, infak, sedekah berdasarkan pada Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat beserta
peraturan turunannya. Adapun untuk kegiatan sosial (maal) berupa
wakaf berdasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf beserta peraturan turunannya. Sedangkan
dalam melaksanakan kegiatan bisnis (tamwil), berdasarkan pada
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian beserta peraturan turunannya dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro beserta peraturan turunannya sesuai dengan bentuk lembaganya.
BAB IV
STATUS BADAN HUKUM BAITUL MAAL WA TAMWIL
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013
TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dilakukan dan data penelitian


yang telah dikemukakan pada bab III, pada bab ini akan dibahas hasil
penelitian guna menjawab masalah penelitian sekaligus sebagai upaya untuk
melakukan sintesis antara kajian teori dengan temuan empiris. Adapun secara
rinci pembahasan hasil analisa diuraikan sebagai berikut:
A. Status Badan Hukum Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro
Status badan hukum merupakan aspek terpenting dan mendasar
bagi sebuah lembaga tidak terkecuali bagi Baitul Maal wa Tamwil
(BMT). Karena legalitas suatu lembaga ditentukan oleh status badan
hukumnya. Selanjutnya status badan hukum tersebut akan menentukan
peraturan yang digunakan, cara pendirian, pembinaan dan
pengawasannya. Kejelasan status badan hukum bagi Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) akan memberikan pengaruh secara kelembagaan
terutama dalam aktivitasnya melakukan penghimpunan dana. Dengan
memiliki badan hukum maka aktivitas penghimpunan dana menjadi
legal.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro adalah sebuah langkah maju bagi keberadaan
Baitul Maal wa Tamwil mengingat Baitul Maal wa Tamwil termasuk
bagian dari lembaga keuangan mikro yang ada di Indonesia, dan
105
106

diharapkan akan dapat mengatasi masalah ketidakpastian hukum.


Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro dengan tegas menyatakan
bahwa pendirian Lembaga Keuangan Mikro paling sedikit harus
memenuhi persyaratan diantaranya adalah persyaratan bentuk badan
hukum.1
Badan hukum merupakan kumpulan orang-orang yang
mempunyai tujuan (arah yang ingin dicapai) tertentu, harta kekayaan,
serta hak dan kewajiban.2 Dengan demikian maka setiap badan hukum
yang dapat dikatakan mampu bertanggungjawab secara hukum, harus
memiliki unsur-unsur pokok, yaitu:
1. Mempunyai perkumpulan (struktur organisasi);
2. Mempunyai tujuan tertentu;
3. Mempunyai harta kekayaan (terpisah dari kekayaan pribadi anggota);
4. Mempunyai hak dan kewajiban (kepentingan yang dilindungi oleh
hukum); dan
5. Mempunyai hak untuk menggugat dan digugat.
Pemberian status badan hukum pada Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) bertujuan agar Baitul Maal wa Tamwil (BMT) memiliki
legitimasi yang lebih kuat dihadapan masyarakat dan anggotanya karena
memiliki hak dan kewajiban yang jelas sehingga mampu melaksanakan
fungsinya sebagai Baitul Maal (fungsi sosial) dan Baitul Tamwîl (fungsi
komersial) dan mampu melindungi dan mengayomi anggota pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu sebagai

1
Lihat Pasal 4 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro
2
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Laporan Akhir Penyelarasan Naskah
akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perkoperasian, (Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional, 2015), h. 25
107

konsekuensi badan hukum dimana badan hukum itu tidak mempunyai


kehendak sendiri melainkan hanya dapat melakukan perbuatan melalui
perantaraan orang-orang yang menjadi pengurusnya,3 maka Baitul Maal
wa Tamwil (BMT) harus memiliki organ yang jelas yang mampu
menggambarkan fungsi-fungsi pada masing-masing organ tersebut
sehingga Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dapat difiksikan sebagai
manusia yang konsekuensinya memiliki hak dan kewajiban hukum.
Otto Von Gierke dengan teori organnya memberikan gambaran
bahwa badan hukum merupakan een bestaan, dat hun realiteit dari
konstruksi yuridis seolah-olah sebagai manusia yang sesungguhnya
dalam lalu lintas hukum, yang juga mempunyai kehendak atau kemauan
sendiri melalui alat perlengkapan badan hukum tersebut.4 Teori ini
menggambarkan badan hukum sebagai suatu yang tidak berbeda dengan
manusia.
Berdasarkan teori organ tersebut di atas maka Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) sebagai subjek hukum yang berbentuk badan hukum,
tidak dapat mengurus kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, dalam
rangka mengurus kepentingannya maka Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
yang berbadan hukum akan diwakili oleh organ-organ yang diberi
kewenangan untuk melakukan hal tersebut. Jika Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) berbadan hukum koperasi, maka organ yang diberi kewenangan
untuk mewakili kepentingannya adalah pengurus. Hal ini didasarkan
pada ketentuan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian yang menyatakan bahwa pengurus berwenang
untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
3
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 2015), h. 185
4
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), Cetakan Kedua, h. 69
108

a) mewakili Koperasi di dalam dan di luar pengadilan;


b) memutuskan penerimaan dan penolakan anggota baru serta
pemberhentian anggota sesuaidengan ketentuan dalam
Anggaran Dasar;
c) melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan
kemanfaatan koperasi sesuai dengan tanggung jawabnya dan
keputusan Rapat Anggota.

Selanjutnya dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25


Tahun 1992 tentang Perkoperasian dijelaskan bahwa “Pengurus Koperasi
dapat mengangkat Pengelola yang diberi wewenang dan kuasa untuk
mengelola usaha.” Maksud dari kata diberi wewenang dan kuasa
menurut penjelasan Pasal 32 ayat (1) adalah:
Pelimpahan wewenang dan kuasa yang dimiliki oleh Pengurus.
Dengan demikian Pengurus tidak lagi melaksanakan sendiri
wewenang dan kuasa yang telah dilimpahkan kepada Pengelola
dan tugas Pengurus beralih menjadi mengawasi pelaksanaan
wewenang dan kuasa yang dilakukan Pengelola. Adapun
besarnya wewenang dan kuasa yang dilimpahkan ditentukan
sesuai dengan kepentingan Koperasi.5

Dengan demikian maka pengelola Baitul Maal wa Tamwil


(BMT) baik itu sebagai manajer atau direksi merupakan organ yang
dapat bertindak untuk dan atas nama Baitul Maal wa Tamwil (BMT).
Sedangkan jika Baitul Maal wa Tamwil (BMT) berbadan hukum
Perseroan Terbatas (PT) maka organ yang diberi kewenangan untuk
mewakili kepentingannya adalah RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris.
Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan
bahwa “Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham,
Direksi, dan Dewan Komisaris.”
5
Penjelasan Atas Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian
109

Bentuk badan hukum Lembaga Keuangan Mikro menurut


Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro adalah Koperasi atau Perseroan
Terbatas. Jika ditelaah, ketentuan tersebut memberikan sebuah solusi
berupa pilihan bagi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam
menentukan bentuk badan hukum yang akan digunakannya.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) tersebut di atas sekaligus juga telah
mempertegas bentuk badan hukum Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah, yaitu Koperasi atau
Perseroan Terbatas. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro telah mengatur secara jelas dan
tegas terkait status badan hukum Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Aturan
yang jelas-tegas merupakan keharusan moral yang terkait dengan
kepastian hukum.
Kepastian hukum merupakan salah satu unsur utama dari
moralitas hukum. Menurut Lon L. Fuller, peraturan hukum harus tunduk
pada moralitas internal, oleh karena itu dalam pembentukannya harus
memperhatikan antara lain: 1) prinsip the generality of law,6 dimana
undang-undang harus diterapkan dan berlaku umum. Jika hal ini
dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro terutama Ketentuan Pasal 5 ayat (1), maka
undang-undang tersebut berlaku secara universal terhadap seluruh
Lembaga Keuangan Mikro yang belum berbadan hukum termasuk Baitul
Maal wa Tamwil (BMT). 2) prinsip the clarity of laws,7 dimana rumusan
undang-undang harus jelas. Rumusan yang jelas merupakan salah satu

6
Lon L. Fuller, The Morality…………..…, h. 46
7
Lon L. Fuller, The Morality…………..…, h. 63
110

syarat yang menentukan legalitas dari sebuah undang-undang. Setiap


undang-undang yang dibuat dan diundangkan harus memberikan
rumusan yang mudah dimengerti, khususnya terhadap hal-hal yang
diharapkan untuk dipatuhi dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat.
Jika hal ini dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro terutama Ketentuan Pasal 5 ayat (1),
maka undang-undang tersebut telah merumuskan secara jelas terkait
bentuk badan hukum bagi Lembaga Keuangan Mikro termasuk Baitul
Maal wa Tamwil (BMT).
Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa diundangkannya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro memberikan kepastian hukum terhadap Baitul Maal wa Tamwil
(BMT). Sebab Baitul Maal wa Tamwil (BMT) kini memiliki payung
hukum yang menempatkannya sebagai Lembaga Keuangan Mikro
berbasis syariah.8 Selain memberikan kepastian hukum, berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro juga memberikan perlindungan hukum kepada Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah yang berbadan
hukum koperasi dalam melakukan penghimpunan dana simpanan
masyarakat (PDSM) kepada masyarakat selain anggota koperasi. Dan
juga memberikan perlindungan hukum kepada nasabah selaku pengguna
jasa Baitul Maal wa Tamwil (BMT).
Dengan demikian pasca diundangkannya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, status badan

8
Lihat dan Bandingkan dengan Handieni Fajrianty dalam Tesis ini pada Bab I Huruf
E Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan, Nomor 5, h. 23-24.
111

hukum Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yaitu Koperasi atau Perseroan


Terbatas, yang secara rinci dijelaskan sebagai berikut:
1. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Berbadan Hukum Koperasi
Badan hukum Koperasi dalam syarat pendirian Lembaga
Keuangan Mikro berbeda dengan badan hukum Koperasi sebagai
badan usaha. Hal ini karena badan hukum Koperasi dalam syarat
pendirian Lembaga Keuangan Mikro hanya sebagai legalitas
kelembagaan9 yang secara prinsip dan operasional berbeda dengan
Koperasi pada umumnya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Dalam penjelasan Pasal 5 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan
koperasi sebagai bentuk badan hukum dalam syarat pendirian
Lembaga Keuangan Mikro adalah koperasi jasa.
Badan hukum Koperasi dalam syarat pendirian Lembaga
Keuangan Mikro merupakan suatu badan yang memiliki legalitas
untuk melakukan kegiatan penghimpunan dana simpanan masyarakat
(PDSM) kepada masyarakat selain anggota koperasi. Dalam Pasal 11
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro dijelaskan bahwa, “Kegiatan usaha LKM meliputi
jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik
melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada
anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan, maupun pemberian
jasa konsultasi pengembangan usaha”.

9
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro, “Undang-Undang ini juga mengatur kelembagaan, baik
yang mengenai pendirian, bentuk badan hukum, permodalan, maupun kepemilikan”.
112

Sedangkan Koperasi yang diatur dalam Undang-Undang


Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian adalah merupakan
badan usaha yang hanya memiliki legalitas melakukan penghimpunan
dana dan penyalurannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari
dan untuk anggota Koperasi yang bersangkutan serta koperasi lain
dan/atau anggotanya. Dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dijelaskan bahwa,
“Koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkannya melalui
kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk: a. anggota Koperasi
yang bersangkutan; b. Koperasi lain dan/atau anggotanya”.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian disebutkan bahwa pengertian
anggota Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1)
huruf a termasuk calon anggota yang memenuhi syarat. Sedangkan
ketentuan dalam huruf b berlaku sepanjang dilandasi dengan
perjanjian kerja sama antar Koperasi yang bersangkutan. 10 Hal ini
berarti bahwa jika Koperasi sebagai badan usaha melakukan
penghimpunan dana dan penyalurannya melalui kegiatan usaha
simpan pinjam kepada selain anggota maka hal ini bertentangan
dengan prinsip koperasi.

2. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Berbadan Hukum Perseroan


Terbatas (PT)
Badan hukum Perseroan Terbatas (PT) merupakan bentuk
badan hukum baru yang disematkan pada Baitul Maal wa Tamwil

10
Penjelasan Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian
113

(BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah. Sebelumnya


Perseroan Terbatas (PT) selalu identik dengan lembaga keuangan
yang bergerak di sektor makro, seperti perbankan.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa:
Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.
Dari Pasal tersebut di atas dapat dipahami bahwa Perseroan
Terbatas didirikan atas dasar adanya suatu perjanjian antara para
pihak. Perjanjian tersebut dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih
dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesa. Pendirian
Perseroan Terbatas pada dasarnya harus sesuai dengan maksud dan
tujuannya serta kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau
kesusilaan.
Dalam ketentuan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro
disebutkan bahwa Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang berbentuk
badan hukum Perseroan Terbatas, kepemilikan sahamnya mayoritas
dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha
milik desa/kelurahan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5
ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro bahwa, “Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, sahamnya paling sedikit 60% (enam puluh
persen) dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan
usaha milik desa/kelurahan”. Untuk lebih jelasnya berikut ini
114

disajikan gambar mengenai bentuk badan hukum Baitul Maal wa


Tamwil (BMT).
Gambar 4.1. Bentuk Badan Hukum BMT

Badan Hukum BMT

Koperasi Atau Perseroan Terbatas

Kepemilikan Saham
Paling sedikit 60% dimiliki
oleh Pemda Kab/Kota atau
badan usaha milik
desa/kelurahan

Sisa 40% saham dapat


Kepemilikan setiap dimiliki oleh WNI dan/atau
WNI maksimal 20% Koperasi

B. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan tentang Lembaga


Keuangan Mikro dan Perkoperasian Dalam Kaitannya Dengan
Badan Hukum Koperasi Baitul Maal wa Tamwil
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa bentuk badan hukum
Lembaga Keuangan Mikro menurut Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro adalah
Koperasi atau Perseroan Terbatas. Dengan demikian, secara yuridis
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah
yang memilih berbadan hukum koperasi menjadi berada di bawah
pengaturan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
115

Perkoperasian beserta peraturan turunannya dan Undang-Undang Nomor


1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro beserta peraturan
turunannya. Dualisme peraturan perundangan yang berlaku bagi Baitul
Maal wa Tamwil (BMT) yang berbadan hukum koperasi berpotensi
menimbulkan inkonsistensi pengaturan seperti adanya tumpang tindih
kewenangan antar instansi yang mengatur dan juga berpotensi
menimbulkan pertentangan pengaturan.
Adapun indikasi adanya tumpang-tindih kewenangan dapat
dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang pembinaan, pengaturan,
dan pengawasan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro, kegiatan pembinaan, pengaturan dan
pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Mikro termasuk Baitul Maal
wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah adalah di
bawah wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).11 Sedangkan menurut
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian,
pembinaan terhadap Koperasi dilaksanakan oleh Kementerian
Koperasi.12
Sedangkan indikasi adanya pertentangan pengaturan diantaranya
dapat dilihat pada aspek-aspek berikut:
1. Aspek Perijinan
11
Lihat Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro: “Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan”.
12
Lihat Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian: “Pemerintah memberikan bimbingan, kemudahan, dan perlindungan kepada
Koperasi”. Lihat juga dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian: “bahwa pemberian status Badan Hukum Koperasi,
pengesahanperubahan Anggaran Dasar, dan pembinaan merupakan wewenang dan
tanggung jawab pemerintah. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah dapat melimpahkan
wewenang tersebut kepada Menteri yang membidangi Koperasi. Namun demikian hal ini
tidak berarti bahwa Pemerintah mencampuri urusanInternal Organisasi Koperasi dan tetap
memperhatikan prinsip kemandirian Koperasi”.
116

Menurut peraturan perundangan perkoperasian, akta pendirian


koperasi berlaku sebagai izin usaha.13 Sehingga Koperasi tidak perlu
lagi mengajukan ijin usaha tersendiri. Sedangkan di dalam peraturan
perundangan LKM dijelaskan bahwa LKM wajib memiliki ijin usaha
dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).14 Bagi LKM yang menjalankan
usaha tanpa ijin usaha akan dikenakan sanksi pidana.15
2. Aspek Permodalan
Dalam Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro, ketentuan
mengenai sumber permodalan Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai
dengan badan hukumnya.16 Sedangkan ketentuan mengenai besaran
modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) diatur berdasarkan cakupan
wilayah usahanya. Luas cakupan wilayah usaha Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) tersebut berada dalam satu wilayah desa/kelurahan,
kecamatan, atau kabupaten/kota sesuai dengan skala usaha masing-
masing LKM.17

13
Lihat Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi “Pengesahan Akta Pendirian
Koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku sebagai izin usaha”.
14
Lihat Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro “Sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus memiliki izin usaha
dari Otoritas Jasa Keuangan”.
15
Lihat Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro “Setiap orang yang menjalankan usaha LKM tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
16
Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
17
Lihat Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 89 Tahun
2014 tentang Suku Bunga Pinjaman Atau Imbal Hasil Pembiayaan dan Luas Cakupan
Wilayah Usaha Lembaga Keuangan Mikro.
117

Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, jumlah modal


disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) ditetapkan paling sedikit Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah), untuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
dengan cakupan wilayah usaha desa/kelurahan; Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah), untuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dengan
cakupan wilayah usaha kecamatan; atau Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah), untuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dengan
cakupan wilayah usaha kabupaten/kota. Paling kurang 50% dari
modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah wajib
digunakan untuk modal kerja dalam kegiatan operasional Lembaga
Keuangan Mikro (LKM).18
Berbeda dengan ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
di atas, dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian tidak mengatur mengenai besaran modal awal
untuk mendirikan suatu koperasi namun demikian terkait besaran
modal awal diatur dalam Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil
dan Menengah Nomor 11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah
Oleh Koperasi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Modal awal usaha pada pendirian KSPPS Primer dan
KSPPS Sekunder dihimpun dari Simpanan Pokok dan
Simpanan Wajib anggotanya dan dapat ditambah dengan
Hibah.

18
Lihat Pasal 9 ayat (2) dan (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
61/POJK.05/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor
12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro.
118

(2) Modal awal usaha pada setiap pendirian sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. dilengkapi dengan bukti penyetoran dari Anggota
kepada Koperasi;
b. dibukukan dalam neraca KSPPS sebagai harta
kekayaan badan hukum KSPPS;
c. Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib tidak boleh
diambil, kecuali keluar dari keanggotaan Koperasi dan
ada modal pengganti dari Anggota baru dan/atau Dana
Cadangan Koperasi; dan
d. Dana Cadangan dan Hibah tidak dapat dibagi kepada
Anggota, kecuali pada saat pembubaran Koperasi
setelah dikurangi beban resiko kerugian Koperasi.
(3) Modal awal usaha KSPPS Primer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disimpan pada rekening di bank syariah
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. modal awal usaha KSPPS Primer dengan wilayah
keanggotaan dalam daerah kabupaten atau kota
ditetapkan paling sedikit Rp15.000.000,00 (lima belas
juta rupiah);
b. modal awal usaha KSPPS Primer dengan wilayah
keanggotaan lintas daerah kabupaten atau kota dalam 1
(satu) daerah provinsi ditetapkan paling sedikit
Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah); dan
c. modal awal usaha KSPPS Primer dengan wilayah
keanggotaan lintas daerah provinsi ditetapkan paling
sedikit Rp375.000.000,00 (tiga ratus tujuh puluh lima
juta rupiah).
(4) Modal awal usaha KSPPS Sekunder sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disimpan pada rekening di bank
syariah dengan rincian sebagai berikut:
a. modal awal usaha KSPPS Sekunder dengan wilayah
keanggotaan dalam daerah kabupaten atau kota
ditetapkan paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah);
b. modal awal usaha KSPPS Sekunder dengan wilayah
keanggotaan lintas daerah kabupaten atau kota dalam 1
(satu) daerah provinsi ditetapkan paling sedikit
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah); dan
119

c. modal awal usaha KSPPS Sekunder dengan wilayah


keanggotaan lintas daerah provinsi ditetapkan paling
sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah tabel perbandingan
mengenai ketentuan besaran modal awal untuk mendirikan Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) dan Koperasi.
Tabel 4.1. Perbandingan Ketentuan Besaran Modal Awal
(Modal Minimal)
Permenkop Nomor
Cakupan POJK Nomor 11/Per/M.KUKM/XII/2017
Wilayah 61/POJK.05/2015 KSPPS
KSPPS Primer
Sekunder
Desa/Kelurahan Rp 50.000.000,00
Kecamatan Rp100.000.000,00
Kabupaten/Kota Rp500.000.000,00 Rp 15.000.000,00 Rp 50.000.000,00
Provinsi Rp 75.000.000,00 Rp150.000.000,00
Nasional Rp375.000.000,00 Rp500.000.000,00

Berdasarkan tabel 4.1 di atas sekilas terlihat adanya


pertentangan pengaturan pada aspek jumlah nominal permodalan dan
cakupan wilayah. Dimana jumlah modal minimal yang harus dipenuhi
dalam pendirian Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang berbadan
hukum Koperasi pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lebih besar
dari Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Adapun dari aspek cakupan wilayah, ketentuan dalam Peraturan
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah sampai tingkat
nasional (lintas daerah provinsi) sedangkan ketentuan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan hanya sampai tingkat
kabupaten/kota.
120

3. Aspek Kegiatan Usaha


Dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dijelaskan bahwa
“Kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan
pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan
dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat,
pengelolaan Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi
pengembangan usaha”. Sedangkan kegiatan usaha menurut Pasal 44
ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian ditegaskan bahwa “Koperasi dapat menghimpun dana
dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan
untuk: a. anggota Koperasi yang bersangkutan; b. Koperasi lain
dan/atau anggotanya”.
Ketentuan Pasal 44 ayat (1) tersebut di atas kemudian diatur
lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam Oleh Koperasi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Kegiatan usaha simpan pinjam dilaksanakan dari dan untuk
anggota, calon anggota koperasi yang bersangkutan,
koperasi lain dan atau anggotanya.
(2) Calon anggota koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah
melunasi simpanan pokok harus menjadi anggota.
Pasal 19
(1) Kegiatan Usaha Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan
Pinjam adalah: a. menghimpun simpanan koperasi
berjangka dan tabungan koperasi dari anggota dan calon
anggotanya, koperasi lain dan atau anggotanya; b.
memberikan pinjaman kepada anggota, calon anggotanya,
koperasi lain dan atau anggotanya.
121

Berdasarkan kedua peraturan perundang-undangan tersebut,


terlihat adanya pertentangan pengaturan dalam kegiatan usaha simpan
pinjam, dimana secara normatif dalam peraturan perundangan
perkoperasian, kegiatan usaha simpan pinjam dilaksanakan dari dan
untuk anggota, calon anggota koperasi yang bersangkutan, koperasi
lain dan atau anggotanya, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, kegiatan usaha
berupa pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro diberikan
kepada anggota dan masyarakat.
4. Cakupan Wilayah Usaha
Cakupan wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu
wilayah desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota. Luas
cakupan wilayah usaha tersebut disesuaikan dengan skala usaha LKM
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.19 Hal ini berbeda dengan
peraturan perundangan perkoperasian, dimana cakupan wilayah usaha
suatu KSPPS berada dalam 1 (satu) daerah kabupaten atau kota, lintas
daerah kabupaten atau kota dalam 1 (satu) daerah provinsi, dan lintas
daerah provinsi.20
5. Laporan Keuangan dan Pemeriksaan
LKM wajib menyampaikan laporan keuangan setiap 4 bulan,21
mengumumkan laporan keuangan22 dan siap menerima pemeriksaan

19
Lihat Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro.
20
Lihat Pasal 17 ayat (3) Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Nomor 11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
21
Lihat Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro “LKM wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan: a. laporan
keuangan setiap 4 (empat) bulan; dan/atau b. laporan lain yang ditetapkan dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan”.
122

dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).23 Hal ini berbeda dengan


peraturan perundangan perkoperasian, dimana Pengurus KSPPS atau
Koperasi yang memiliki USPPS diwajibkan memberikan laporan
kepada Pengawas dan rapat anggota.24 Selanjutnya KSPPS dan
USPPS Koperasi melalui Koperasi yang bersangkutan wajib
menyampaikan laporan keuangan secara triwulanan, dan tahunan
kepada pejabat yang melaksanakan bimbingan dan pembinaan
teknis.25
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa terjadi
ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan tentang lembaga
keuangan mikro dengan perkoperasian. Dalam menganalisis adanya
indikasi ketidaksinkronan tersebut maka prinsip legalitas Fuller yang
kelima yaitu Noncontradictory26 yang berarti suatu sistem tidak boleh
mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain,
menjadi isu yang sangat penting dalam penelitian ini. Prinsip kelima dari
Fuller tersebut ekuivalen atau paralel dengan sinkronisasi aturan.
Sinkronisasi aturan merupakan upaya yang dilakukan secara sadar untuk
mencari keselarasan, keserasian dalam peraturan perundang-undangan
dengan tujuan untuk kesatuan hukum. Melalui proses sinkronisasi akan

22
Lihat Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro “LKM wajib mengumumkan laporan keuangan dalam rangka menerapkan
prinsip keterbukaan”.
23
Lihat Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro “Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap LKM”.
24
Lihat Pasal 31 ayat (1) Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Nomor 11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
25
Lihat Pasal 31 ayat (2) Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Nomor 11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
26
Lon L. Fuller, The Morality…………..…, h. 65
123

dapat mencegah terjadinya pengaturan ganda dan pertentangan norma


antar peraturan perundang-undangan.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menjelaskan bahwa
sinkronisasi terhadap peraturan perundang-undangan dapat dilakukan
dengan 2 (dua) cara, yaitu:27
1) Sinkronisasi Vertikal, yaitu sinkronisasi peraturan perundang-
undangan dengan peraturan perundang-undangan lain dalam hierarki
yang berbeda. Sinkronisasi vertikal dilakukan dengan melihat apakah
suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu
bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain.
Dalam sinkronisasi vertikal, disamping harus memperhatikan hierarki
peraturan perundang-undangan, juga harus memperhatikan kronologis
tahun dan nomor penetapan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Sinkronisasi secara vertikal bertujuan untuk melihat
apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu
bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu
dengan lainnya apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki
peraturan perundang-undangan yang ada.
2) Sinkronisasi Horisontal, yaitu sinkronisasi peraturan perundang-
undangan dengan peraturan perundang-undangan lain dalam hierarki
yang sama. Sinkornisasi horisontal dilakukan dengan melihat pada
berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur
bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horisontal juga harus
dilakukan secara kronologis, yaitu sesuai dengan urutan waktu
ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Depok:
Rajawali Pers, 2019), h. 74-81
124

Sinkronisasi secara horisontal bertujuan untuk mengungkap kenyataan


sampai sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi secara
horisontal, yaitu mempunyai keserasian antara perundang-undangan
yang sederajat mengenai bidang yang sama.
Dalam sistem hukum Indonesia, peraturan perundang-undangan
disusun dalam suatu tingkatan yang disebut hierarki peraturan
perundang-undangan. Pemahaman terhadap hierarki peraturan
perundang-undangan mempunyai arti penting dalam memahami asas
hukum. Sebagai landasan filosofis, asas hukum merupakan dasar-dasar
atau petunjuk, atau norma dasar untuk menjadi pegangan dalam
menyelesaikan masalah hukum manakala peraturan hukum tidak mampu
menjawab persoalan hukum yang terjadi di tengah masyarakat.28
Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan
dengan menggunakan bantuan asas-asas peraturan perundang-undangan.
Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa dalam sinkronisasi
peraturan perundang-undangan terdapat beberapa asas sebagai berikut:
a) Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori. Menurut asas ini, apabila
terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang
secara hierarkis lebih rendah dengan yang lebih tinggi, maka
peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah tersebut
harus disisihkan.
b) Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis. Asas ini merujuk kepada
dua peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis mempunyai
kedudukan yang sama, akan tetapi ruang lingkup materi muatan
antara kedua peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu
yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain.

28
Zaenal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, (Depok: Rajawali Pers, 2017), h. 113
125

Dengan arti lain, asas ini mengandung makna bahwa aturan hukum
yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.
c) Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori, yang artinya peraturan
perundang-undangan yang terkemudian menyisihkan peraturan
peraturan perundang-undangan yang terdahulu. Asas ini berkaitan
dengan dua peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah
yang sama serta aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih
tinggi dari aturan hukum yang lama.29
Untuk mengatasi adanya ketidaksinkronan sebagaimana
dipaparkan di atas, dalam penelitian ini, peneliti hendak mensinkronkan
antara peraturan perundang-undangan tentang lembaga keuangan mikro
dengan perkoperasian dalam kaitannya dengan bentuk badan hukum
koperasi Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Adapun terkait aspek-aspek
ketidaksinkronan secara ringkas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.2. Aspek-Aspek Ketidaksinkronan Antara Peraturan
Perundang-undangan LKM Dengan Perkoperasian
Aspek Peraturan Per-UU
Keterangan
Ketidaksinkronan LKM Perkoperasian
Pembinaan dan Pasal 28 ayat (1) Pasal 60 ayat (2) Undang- Tumpang
Pengawasan Undang-Undang Undang Nomor 25 Tahun Tindih
Nomor 1 Tahun 2013 1992 tentang Kewenangan
tentang Lembaga Perkoperasian:
Keuangan Mikro: “Pemerintah memberikan
“Pembinaan, bimbingan, kemudahan,
pengaturan, dan dan perlindungan kepada
pengawasan LKM Koperasi”.

29
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2019), h. 139-141
126

Aspek Peraturan Per-UU


Keterangan
Ketidaksinkronan LKM Perkoperasian
dilakukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan”.
Perizinan Pasal 9 ayat (1) UU Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pertentangan
Nomor 1 Tahun 2013 Pemerintah Nomor 9 Pengaturan
tentang LKM: Sebelum Tahun 1995 tentang
menjalankan kegiatan Pelaksanaan Kegiatan
usaha, LKM harus Usaha Simpan Pinjam
memiliki izin usaha Oleh Koperasi
dari Otoritas Jasa “Pengesahan Akta
Keuangan. Pendirian Koperasi
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berlaku
sebagai izin usaha”
Permodalan Pasal 9 ayat (2) Pasal 17 ayat (3) Pertentangan
Peraturan Otoritas Jasa Peraturan Menteri Pengaturan
Keuangan Nomor Koperasi dan Usaha Kecil
61/POJK.05/2015 dan Menengah Nomor
tentang Perubahan Atas 11/Per/M.KUKM/XII/20
Peraturan Otoritas Jasa 17 tentang Pelaksanaan
Keuangan nomor Kegiatan Usaha Simpan
12/POJK.05/2014 Pinjam dan Pembiayaan
tentang Perizinan Syariah Oleh Koperasi:
Usaha dan “Modal awal usaha
Kelembagaan Lembaga KSPPS Primer
Keuangan Mikro: sebagaimana dimaksud
“Jumlah modal disetor pada ayat (1) disimpan
atau simpanan pokok, pada rekening di bank
simpanan wajib, dan syariah dengan ketentuan
hibah Lembaga sebagai berikut:
Keuangan Mikro a. modal awal usaha
127

Aspek Peraturan Per-UU


Keterangan
Ketidaksinkronan LKM Perkoperasian
(LKM) ditetapkan KSPPS Primer
paling sedikit dengan wilayah
Rp50.000.000,00 (lima keanggotaan dalam
puluh juta rupiah), daerah kabupaten
untuk Lembaga atau kota ditetapkan
Keuangan Mikro paling sedikit
(LKM) dengan cakupan Rp15.000.000,00
wilayah usaha (lima belas juta
desa/kelurahan; rupiah);
Rp100.000.000,00 b. modal awal usaha
(seratus juta rupiah), KSPPS Primer
untuk Lembaga dengan wilayah
Keuangan Mikro keanggotaan lintas
(LKM) dengan cakupan daerah kabupaten
wilayah usaha atau kota dalam 1
kecamatan; atau (satu) daerah provinsi
Rp500.000.000,00 ditetapkan paling
(lima ratus juta rupiah), sedikit
untuk Lembaga Rp75.000.000,00
Keuangan Mikro (tujuh puluh lima juta
(LKM) dengan cakupan rupiah); dan
wilayah usaha c. modal awal usaha
kabupaten/kota”. KSPPS Primer
dengan wilayah
keanggotaan lintas
daerah provinsi
ditetapkan paling
sedikit
Rp375.000.000,00
(tiga ratus tujuh puluh
128

Aspek Peraturan Per-UU


Keterangan
Ketidaksinkronan LKM Perkoperasian
lima juta rupiah)”.
Kegiatan Usaha Pasal 11 ayat (1) Pasal 44 ayat (1) Undang- Pertentangan
Undang-Undang Undang Nomor 25 Tahun Pengaturan
Nomor 1 Tahun 2013 1992 tentang
tentang Lembaga Perkoperasian: “Koperasi
Keuangan Mikro: dapat menghimpun dana
“Kegiatan usaha LKM dan menyalurkannya
meliputi jasa melalui kegiatan usaha
pengembangan usaha simpan pinjam dari dan
dan pemberdayaan untuk: a. anggota
masyarakat, baik Koperasi yang
melalui Pinjaman atau bersangkutan; b. Koperasi
Pembiayaan dalam lain dan/atau
usaha skala mikro anggotanya”.
kepada anggota dan
masyarakat,
pengelolaan Simpanan,
maupun pemberian jasa
konsultasi
pengembangan usaha”.
Cakupan Wilayah Pasal 16 ayat (1) Pasal 17 ayat (3) Pertentangan
Usaha Undang-Undang Peraturan Menteri Pengaturan
Nomor 1 Tahun 2013 Koperasi dan Usaha Kecil
tentang Lembaga dan Menengah Nomor
Keuangan Mikro 11/Per/M.KUKM/XII/20
menjelaskan bahwa, 17 tentang Pelaksanaan
“(1) Cakupan wilayah Kegiatan Usaha Simpan
usaha suatu LKM Pinjam dan Pembiayaan
berada dalam satu Syariah Oleh Koperasi:
wilayah desa/kelurahan, “cakupan wilayah usaha
129

Aspek Peraturan Per-UU


Keterangan
Ketidaksinkronan LKM Perkoperasian
kecamatan, atau suatu KSPPS berada
kabupaten/kota. dalam 1 (satu) daerah
kabupaten atau kota,
lintas daerah kabupaten
atau kota dalam 1 (satu)
daerah provinsi, dan
lintas daerah provinsi”.
Laporan Keuangan Undang-Undang Peraturan Menteri Pertentangan
dan Pemeriksaan Nomor 1 Tahun 2013 Koperasi dan Usaha Kecil Pengaturan
tentang Lembaga dan Menengah Nomor
Keuangan Mikro 11/Per/M.KUKM/XII/20
Pasal 30 ayat (1): 17 tentang Pelaksanaan
“LKM wajib Kegiatan Usaha Simpan
menyampaikan kepada Pinjam dan Pembiayaan
Otoritas Jasa Syariah Oleh Koperasi
Keuangan: a. laporan Pasal 31
keuangan setiap 4 (1) Pengurus KSPPS atau
(empat) bulan; dan/atau Koperasi yang
b. laporan lain yang memiliki USPPS
ditetapkan dalam wajib memberikan
Peraturan Otoritas Jasa laporan kepada
Keuangan”. Pengawas dan rapat
Pasal 31: “Dalam anggota.
rangka pembinaan dan (2) KSPPS dan USPPS
pengawasan Koperasi melalui
sebagaimana dimaksud Koperasi yang
dalam Pasal 28 ayat (1), bersangkutan wajib
Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan
melakukan laporan keuangan
pemeriksaan terhadap secara triwulanan, dan
130

Aspek Peraturan Per-UU


Keterangan
Ketidaksinkronan LKM Perkoperasian
LKM”. tahunan kepada
pejabat yang
melaksanakan
bimbingan dan
pembinaan teknis.

Tabel 4.2. di atas memperlihatkan adanya ketidaksinkronan


antara peraturan perundang-undangan LKM dengan Perkoperasian yang
disebabkan oleh adanya: (a) tumpang tindih kewenangan antar instansi
yang mengatur Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang berbadan hukum
koperasi, dan (b) pertentangan pengaturan antara keduanya. Untuk
mengatasi permasalahan hukum tersebut, maka perlu dilakukan
penyelarasan terhadap kedua peraturan perundangan-undangan di atas
melalui:
1. Sinkronisasi Vertikal
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa sinkronisasi vertikal
bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan
yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling
bertentangan antara satu dengan lainnya apabila dilihat dari sudut
vertikal atau hierarki peraturan perundang-undangan yang ada. Secara
vertikal, analisis sinkronisasi pengaturan mengenai bentuk badan
hukum koperasi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dilakukan antara
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi dan
Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
131

11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha


Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
Undang-Undang tentang Lembaga Keuangan Mikro mengatur
bahwa Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan
mikro syariah, sebelum menjalankan kegiatan usahanya harus
memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. Sedangkan di dalam
Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam Oleh Koperasi diatur bahwa pengesahan akta pendirian
koperasi berlaku sebagai izin usaha.
Undang-Undang tentang Lembaga Keuangan Mikro juga
mengatur bahwa cakupan wilayah usaha Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah berada dalam satu
wilayah desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota dan Baitul
Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah
wajib menyampaikan laporan keuangan kepada Otoritas Jasa
Keuangan setiap 4 (empat) bulan. Sedangkan di dalam Peraturan
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah
Oleh Koperasi diatur bahwa cakupan wilayah usaha suatu KSPPS
berada dalam 1 (satu) daerah kabupaten atau kota, lintas daerah
kabupaten atau kota dalam 1 (satu) daerah provinsi, dan lintas daerah
provinsi dan Pengurus KSPPS atau Koperasi yang memiliki USPPS
wajib memberikan laporan kepada Pengawas dan rapat anggota serta
wajib menyampaikan laporan keuangan secara triwulanan, dan
tahunan kepada pejabat yang melaksanakan bimbingan dan
pembinaan teknis.
132

Salah satu permasalahan pokok dari Peraturan Menteri


Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi adalah tidak
ada amanat dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian agar
penjabaran pengaturan mengenai kegiatan usaha koperasi diatur
dalam Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian menyebutkan bahwa pelaksanaan kegiatan usaha
simpan pinjam oleh Koperasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Berdasarkan asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, maka Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah ini menyalahi asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan
materi muatan,30 karena seharusnya substansi tersebut merupakan
materi muatan Peraturan Pemerintah.
Namun demikian meskipun pembentukan Peraturan Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah tersebut tidak diperintahkan
oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
akan tetapi tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat karena dibentuk berdasarkan kewenangan. Pasal 8
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan
yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

30
Lihat Pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
133

Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan


Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa
atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dari ketentuan di atas, terdapat dua syarat agar peraturan-


peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan memiliki kekuatan mengikat sebagai peraturan
perundang-undangan, yaitu:
1. diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi; atau
2. dibentuk berdasarkan kewenangan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa secara
vertikal antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam
Oleh Koperasi dan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Nomor 11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh
Koperasi terjadi ketidaksinkronan pada aspek perizinan, cakupan
wilayah usaha, serta Laporan Keuangan dan Pemeriksaan.
134

Adanya pertentangan antara peraturan perundang-undangan


sebagaimana tersebut di atas, dapat diselesaikan dengan menerapkan
asas hukum Lex Superior Derogat Legi Inferiori.31 Menurut asas ini,
apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan
yang secara hierarkis lebih rendah dengan yang lebih tinggi, maka
peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah tersebut
harus disisihkan.
Dengan demikian maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro menyisihkan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi dan Peraturan Menteri Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 11/Per/M.KUKM/XII/2017
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan
Syariah Oleh Koperasi. Hal ini karena secara hierarki Undang-
Undang lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.
Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dijelaskan
bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

31
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum…….., h. 139 lihat juga dalam Yuliandri,
Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2009), h. 117
135

Dari ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa kekuatan hukum


Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkinya.
Oleh karena itu segala ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Lembaga Keuangan Mikro harus didahulukan atau dimenangkan
ketika terjadi pertentangan peraturan yang mengatur persoalan Baitul
Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah
yang berbadan hukum koperasi. Seperti persoalan mengenai
ketentuan perizinan, cakupan wilayah usaha, serta Laporan Keuangan
dan Pemeriksaan.
Dalam perspektif hukum Islam, asas hukum Lex Superior
Derogat Legi Inferiori ekuivalen atau paralel dengan tarjih. Menurut
al-Razi, tarjih adalah menguatkan salah satu dalil atas lainnya agar
dapat diketahui mana dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan
menggugurkan dalil lainnya.32 Penjelasan yang hampir sama
dikemukakan oleh al-Jurjani bahwa tarjih adalah menetapkan salah
satu dari dua dalil yang tingkatannya lebih kuat dari yang lainnya.33
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa
terdapat dua unsur yang harus dipenuhi dalam melakukan tarjih,
yaitu: pertama, adanya dua dalil. Kedua, adanya sesuatu yang
menjadikan salah satu dalil itu lebih utama dari yang lain. Abdul
Qadir Hassan menjelaskan bahwa tarjih harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
1. Permasalahan yang diangkat hendaknya fokus pada satu masalah,
tidak boleh bercampur aduk.

32
Fakhruddin Muhammad bin Umar bin Husein al-Razi, al-Mahsûl fî „ilmi Usûl al-Fiqih, Juz
2, h. 529 dalam Winarno, “Kaidah Tarjih”, dalam Suhuf, Jurnal UMS, Vol. 22, No. 1, Mei 2010, h. 43
33
al-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta‟rifat, (T.tp.: al-Haramain, 2001
M/1421 H), h. 55
136

2. Hendaknya dilihat tentang tempat, waktu, syarat dan hal yang


menjadi pembicaraan, sama ataukah tidak masalahnya.34
Melalui pendekatan tarjih maka pertentangan antara Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi dan
Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi pada aspek
perizinan, cakupan wilayah usaha, serta Laporan Keuangan dan
Pemeriksaan dapat diselesaikan. Dilihat dari tingkatannya, maka
Undang-Undang merupakan dalil yang lebih kuat dari Peraturan
Pemerintah maupun Peraturan Menteri. Dengan demikian maka
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Lembaga Keuangan
Mikro harus dimenangkan ketika terjadi pertentangan peraturan yang
mengatur persoalan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga
keuangan mikro syariah yang berbadan hukum koperasi.

2. Sinkronisasi Horizontal
Sinkronisasi horizontal merupakan sinkronisasi aturan yang
mengkaji sampai sejauhmana suatu peraturan telah sinkron atau serasi
dengan peraturan lainnya, yang kedudukannya sederajat dan yang
mengatur bidang yang sama. Secara horizontal, analisis sinkronisasi
pengaturan mengenai bentuk badan hukum koperasi Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) dilakukan antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang

34
Abdul Qadir Hassan, Ushul Fiqh, (Bangil: Yayasan al-Muslimun, 1992), h. 95-96
137

Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, dan Peraturan Otoritas


Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.05/2015 tentang Perubahan Atas
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 12/POJK.05/2014 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro dengan
Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi. Kedudukan
kedua peraturan perundang-undangan tersebut adalah sama atau
sejajar sehingga sinkronisasi dilakukan secara horisontal.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro, ketentuan mengenai pembinaan,
pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian, ketentuan mengenai pembinaan dan
pengawasan Koperasi dilakukan oleh Menteri Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah. Hal ini menimbulkan tumpang tindih
kewenangan bagi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang berbadan
hukum Koperasi.
Demikian juga dalam aspek kegiatan usaha, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro mengatur
pemberian pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro
kepada anggota dan masyarakat, sedangkan dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian mengatur bahwa
koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkannya melalui
kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk: a. anggota Koperasi
yang bersangkutan; b. Koperasi lain dan/atau anggotanya. Hal ini
138

menimbulkan pertentangan pengaturan bagi Baitul Maal wa Tamwil


(BMT) yang berbadan hukum Koperasi.
Pertentangan pengaturan juga terjadi pada aspek permodalan.
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.05/2015
tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor
12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan
Lembaga Keuangan Mikro, ketentuan mengenai jumlah modal
minimal yang harus dipenuhi dalam pendirian Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) yang berbadan hukum Koperasi lebih besar dari
Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
Adanya dua aturan yang mengatur persoalan yang sama
sebagaimana tersebut di atas, dapat diselesaikan dengan menerapkan
asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis. Asas ini
mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan
mengesampingkan aturan hukum yang umum. Menurut Bagir Manan
sebagaimana dikutip A.A. Oka Mahendra, ada beberapa prinsip yang
harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis,
yaitu:
(1) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum
umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam
aturan hukum khusus tersebut;
(2) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan
ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan
undang-undang);
(3) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam
lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex
generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan
139

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama


termasuk lingkungan hukum keperdataan.35
Dari beberapa prinsip tersebut di atas, dapat di analisis bahwa
pada dasarnya aturan umum perkoperasian adalah Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian beserta peraturan
turunannya. Sedangkan koperasi sebagai badan hukum dalam syarat
untuk pendirian lembaga keuangan mikro (LKM) diatur tersendiri
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro beserta peraturan turunannya. Ketentuan yang
mengatur mengenai pembinaan, pengaturan, dan pengawasan, serta
kegiatan usaha dan permodalan memiliki derajat yang sama dan
keduanya mengatur dalam lingkup koperasi.
Dengan demikian segala ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro beserta peraturan
turunannya adalah merupakan ketentuan khusus (spesialis) yang harus
didahulukan atau dimenangkan ketika terjadi benturan atau
ketidaksesuaian yang mengatur persoalan koperasi sebagai lembaga
keuangan mikro (LKM). Seperti persoalan mengenai ketentuan
pembinaan, pengaturan, dan pengawasan, serta kegiatan usaha dan
permodalan.
Oleh karena itu jika koperasi tersebut adalah koperasi biasa
yang bukan sebagai lembaga keuangan mikro (LKM) maka ketentuan
pembinaan, pengaturan, dan pengawasan, serta kegiatan usaha dan
permodalan mengacu kepada Undang-Undang Perkoperasian beserta

35
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia: Satu Kajian Teoritik, (Yogyakarta: FH UII
Press, 2004), h. 56 dalam A.A. Oka Mahendra, “Harmonisasi Peraturan Perundang-
undangan”, artikel diakses pada 27 Agustus 2020 dari
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-
undangan.html
140

peraturan turunannya dalam hal ini adalah Peraturan Menteri


Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi. Sedangkan
jika koperasi tersebut adalah koperasi sebagai lembaga keuangan
mikro (LKM) maka ketentuan pembinaan, pengaturan, dan
pengawasan, serta kegiatan usaha dan permodalan mengacu kepada
Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro beserta peraturan
turunannya dalam hal ini terkait permodalan adalah Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.05/2015 tentang Perubahan Atas
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 12/POJK.05/2014 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro.
Sehingga bagi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) berbadan
hukum Koperasi yang ingin mengajukan permohonan izin usaha
sebagai lembaga keuangan mikro syariah harus menyesuaikan dan
menerapkan segala ketentuan mengenai pembinaan, pengaturan, dan
pengawasan, serta kegiatan usaha dan permodalan sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro beserta peraturan turunannya. Aturan dalam hal
permodalan adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
61/POJK.05/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro. Karena Undang-Undang
tentang Lembaga Keuangan Mikro beserta peraturan turunannya
adalah sebagai aturan yang lebih khusus (spesialis).
Dalam perspektif hukum Islam, asas hukum Lex Specialis
Derogat Legi Generalis ekuivalen atau paralel dengan takhsis.
141

Menurut Khudari Bik sebagaimana dikutip Satria Effendi, takhsis


adalah penjelasan bahwa yang dengan suatu lafal umum adalah
sebagian dari cakupannya, bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain,
mengeluarkan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafal
umum dengan dalil.36
Penjelasan yang hampir sama dikemukakan oleh Abdul
Wahhab Khallaf, bahwa takhsis adalah menjelaskan bahwa yang
dimaksud oleh Syari’ (Pembuat Hukum) tentang lafaz al-„âm itu pada
permulaannya ialah sebagian satuan-satuannya, bukan seluruhnya.
Atau menjelaskan bahwa hukum yang berhubungan dengan al-„âm itu
sejak disyariatkan adalah sebagai hukum untuk sebagian satuan-
satuannya.37 Selanjutnya Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa
takhsis menurut isitilah ulama Usul wajib disertai dalil yang
menyertai pembentukan hukum yang umum.38 Dalil takhsis itu
disebut mukhassis atau sesuatu yang mengkhususkan.
Lebih lanjut Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa
ditinjau dari sudut lafaz, dalil takhsis itu ada yang berdiri sendiri dan
terpisah dari lafaz „âm (mukhassis munfasil) serta ada pula yang
berhubungan dan menyatu dengan lafaz „âm (mukhassis muttasil). Di
antara dalil-dalil takhsis yang berdiri sendiri dan terpisah dari lafaz
„âm adalah takhsis dengan akal, „urf, nas dan hikmah pembentukan
hukum. Sedangkan di antara dalil-dalil takhsis yang berhubungan dan
menyatu dengan lafaz „âm adalah istitsna‟ (pengecualian), syarat,
sifat, dan ghâyah (maksimalisasi).39

36
Satria Effendi M. Zein, Ushul…….., h. 182
37
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul………, h. 186
38
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul………, h. 187
39
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul………, h. 187-188
142

Misbahuddin menjelaskan bahwa bila suatu hukum datang


dalam bentuk „âm, maka hukum itu diamalkan menurut
keumumannya, kecuali bila ada dalil yang menunjukkan adanya
takhsis.40 Dengan bahasa lain jika dua dalil berbenturan, satu
diantaranya bersifat umum, sedangkan yang lainnya bersifat khusus,
maka jalan keluarnya adalah dengan melakukan takhsis atau
pengkhususan, sehingga dalil khusus diamalkan untuk mengatur hal
yang khusus menurut kekhususannya, sedangkan yang umum
diamalkan menurut keumumannya. Jika hal ini dihubungkan dengan
peraturan perkoperasian maka Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1992 tentang Perkoperasian beserta peraturan turunannya adalah
merupakan aturan umum (dalil „âm) yang mengatur tentang koperasi.
Dengan demikian setiap institusi yang berbadan hukum koperasi
maka tunduk pada Undang-Undang tentang Perkoperasian beserta
peraturan turunannya. Namun demikian, hal ini mengecualikan bagi
koperasi jasa yang merupakan bentuk badan hukum Lembaga
Keuangan Mikro.
Lembaga Keuangan Mikro yang berbadan hukum koperasi
diatur tersendiri di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro beserta peraturan turunannya.
Dengan demikian, maka Undang-Undang tentang Lembaga Keuangan
Mikro beserta peraturan turunannya merupakan dalil takhsis
(mukhassis) dalam bentuk nas (aturan) yang harus didahulukan atau
dimenangkan ketika terjadi benturan atau ketidaksesuaian yang
mengatur persoalan koperasi sebagai lembaga keuangan mikro
(LKM). Misalnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013

40
Misbahuddin, Ushul Fiqh II, (Makassar: Alauddin Press, 2015), h. 15
143

tentang Lembaga Keuangan Mikro diatur bahwa kegiatan pembinaan,


pengaturan dan pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Mikro
termasuk Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan
mikro syariah baik yang berbadan hukum koperasi atau perseroan
terbatas adalah di bawah wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Hal ini berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian, dimana pembinaan terhadap Koperasi
dilaksanakan oleh Kementerian Koperasi.
Dengan menggunakan pendekatan takhsis maka Undang-
Undang tentang Lembaga Keuangan Mikro beserta peraturan
turunannya sebagai dalil/aturan khusus digunakan untuk mengatur
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro
syariah baik yang berbadan hukum koperasi atau perseroan terbatas
(PT/Koperasi LKMS BMT). Sedangkan Undang-Undang tentang
Perkoperasian beserta peraturan turunannya sebagai dalil/aturan
umum digunakan untuk mengatur Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
sebagai Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS
BMT).
Dari hasil analisis terkait aspek-aspek ketidaksinkronan
sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa melalui
sinkronisasi vertikal dan horizontal dapat dicegah terjadinya
pengaturan ganda dan pertentangan norma antara kedua peraturan
perundang-undangan tersebut.41 Sehingga meskipun Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah memilih
Koperasi sebagai badan hukumnya, tetapi badan hukum Koperasi

41
Lihat dan Bandingkan dengan Muhammad Muhtarom dalam Tesis ini pada Bab I
Huruf E Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan, Nomor 4, h. 21-23.
144

yang dimaksud adalah bentuk yang berbeda dengan Koperasi yang di


atur dalam Undang-Undang Perkoperasian. Jenis koperasi dalam
Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro adalah koperasi jasa
keuangan.
Hasil penelitian ini senada dengan pendapat Imam Gozali,
Kepala Sub bagian pada Departemen Pengawasan IKNB 1B
Direktorat Lembaga Keuangan Mikro Otoritas Jasa Keuangan yang
menjelaskan bahwa “Badan Hukum (BH) BMT yang telah
mendapatkan izin usaha sebagai LKM adalah Koperasi dengan Jenis
Koperasi Jasa Keuangan dikarenakan mayoritas BMT berasal dari
inisiatif individu.”42

C. Implikasi Yuridis Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun


2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro Terhadap Status Badan
Hukum Baitul Maal wa Tamwil
Kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro yang disahkan pada tanggal 8 Januari 2013
dan diundangkan pada tanggal 8 Januari 2013, memberikan implikasi
secara yuridis terhadap pengaturan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang
selama ini telah ada di Indonesia sesuai dengan pilihan status badan
hukumnya. Implikasi yuridis ini timbul karena Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) merupakan lembaga keuangan mikro syariah, yang secara
eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.43 Dalam ketentuan peralihan dijelaskan

42
Wawancara Pribadi dengan Imam Gozali, Jakarta, 26 Agustus 2020.
43
Lihat dan Bandingkan dengan Zakiah Noer dalam Tesis ini pada Bab I Huruf E
Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan, Nomor 2, h. 19-21.
145

bahwa Baitul Maal wa Tamwil (BMT) wajib memperoleh izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan paling lama tanggal 8 Januari 2016.
Menurut Maria Farida, salah satu fungsi dari Undang-Undang
adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya dalam hal
ini adalah ketentuan tentang pelaksanaan masalah perekonomian
nasional.44 Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang
Lembaga Keuangan Mikro selain untuk menumbuhkembangkan
perekonomian rakyat menjadi tangguh, berdaya, dan mandiri yang
berdampak kepada peningkatan perekonomian nasional, juga untuk
memberikan kepastian hukum dan mengatur secara Iebih komprehensif
terkait pemenuhan kebutuhan layanan keuangan terhadap masyarakat
miskin dan/atau berpenghasilan rendah, kegiatan layanan jasa keuangan
mikro dan kelembagaannya.
Dari uraian di atas dapat dianalisis lebih lanjut bahwa implikasi-
implikasi yuridis berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro terhadap status badan hukum Baitul
Maal wa Tamwil berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Implikasi Yuridis terhadap Aspek Kelembagaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro mengatur kelembagaan, baik yang mengenai
pendirian, kepemilikan, maupun perizinan. Dari hasil analisis melalui
sinkronisasi peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di
atas dapat dipahami bahwa Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai
lembaga keuangan mikro syariah, tunduk pada Undang-Undang

44
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2020), h. 216-219
146

Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro beserta


peraturan turunannya. Menurut Soerjono Soekanto, berlakunya
Undang-Undang selain dapat menimbulkan pengaruh positif berupa
ketaatan atau kepatuhan pada Undang-Undang tersebut juga dapat
menimbulkan pengaruh negatif berupa ketidaktaatan pada Undang-
Undang tersebut.45 Secara umum aturan pendirian, kepemilikan dan
perizinan Lembaga Keuangan Mikro adalah sebagai berikut:
a. Pendirian
Pendirian Lembaga Keuangan Mikro (LKM) paling
sedikit harus memenuhi persyaratan bentuk badan hukum,
permodalan, dan mendapat izin usaha. Badan hukum Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) dapat berbentuk Koperasi atau
Perseroan Terbatas (PT) sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Bagi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang berbadan hukum
Koperasi maka akta pendirian maupun perubahan anggaran dasar
disahkan oleh Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah Nomor 9 Tahun 2018 tentang
Penyelenggaraan dan Pembinaan Perkoperasian. Pada
perkembangannya dengan berlakunya Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2019 tentang Pengesahan Koperasi maka Peraturan Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 9 Tahun 2018
tentang Penyelenggaraan dan Pembinaan Perkoperasian
dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian sejak tanggal 28

45
Soerjono Soekanto, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi, (Bandung: Remadja
Karya, 2019), h. 4
147

September 2019,46 akta pendirian maupun perubahan anggaran


dasar Koperasi disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Demikian juga akta pendirian maupun anggaran dasar
bagi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang berbadan hukum
Perseroan Terbatas disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia.
b. Kepemilikan
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) hanya dapat dimiliki
oleh warga negara Indonesia, badan usaha milik desa/kelurahan,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau koperasi.47
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dilarang dimiliki, baik
langsung maupun tidak langsung, oleh warga negara asing
dan/atau badan usaha yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh
warga negara asing atau badan usaha asing.48
Berdasarkan ketentuan di atas, Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) sebagai lembaga keuangan mikro yang berbasis syariah,
hanya dapat dimiliki oleh 4 (empat) entitas, yaitu: (1) warga
negara Indonesia, (2) badan usaha milik desa/kelurahan, (3)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau (4) koperasi.
Saham Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang berbentuk
badan hukum Perseroan Terbatas (PT) paling sedikit dimiliki oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha milik
desa/kelurahan sebanyak 60% (enam puluh persen). Sedangkan

46
Lihat Pasal 32 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pengesahan Koperasi.
47
Lihat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro.
48
Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro.
148

sisanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia (WNI)


dan/atau koperasi. Setiap warga negara Indonesia hanya boleh
memiliki saham Perseroan Terbatas tersebut paling banyak
sebesar 20% (dua puluh persen).49
Berdasarkan ketentuan di atas, jika dilihat dari asas
kemandirian, maka keikutsertaan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sebagai pemilik saham mayoritas akan dapat
melumpuhkan keswadayaan masyarakat. Oleh karena itu agar
tingkat partisipasi masyarakat meningkat serta untuk
mewujudkan kemandirian bagi LKM yang berbadan hukum
Perseroan Terbatas maka perlu dilakukan perubahan persentase
kepemilikan saham pemerintah. Hal ini agar sejalan dengan asas
Lembaga Keuangan Mikro yang salah satunya adalah asas
kemandirian.50 Dalam penjelasan atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro Pasal 2 huruf c disebutkan bahwa, “asas kemandirian
adalah suatu kegiatan yang dilakukan tanpa banyak tergantung
kepada pihak lain, baik dari aspek sumber daya manusia maupun
permodalan”.
c. Perizinan
Sebelum menjalankan kegiatan usaha, Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) harus sudah memiliki izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Terkait hal tersebut, maka
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) harus memenuhi persyaratan

49
Lihat Pasal 5 ayat (2), (3), (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.
50
Lihat Pasal 2 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
149

paling sedikit mengenai susunan organisasi dan kepengurusan,


permodalan, kepemilikan, dan kelayakan rencana kerja.51 Untuk
memperoleh izin usaha, Lembaga Keuangan Mikro (LKM) wajib
mengajukan permohonan kepada Kantor OJK/Kantor
Regional/Direktorat Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sesuai
tempat kedudukan, dengan memenuhi ketentuan dan persyaratan
yang telah ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 61/POJK.05/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan nomor 12/POJK.05/2014 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro.
Berdasarkan ketentuan POJK Nomor 61/POJK.05/2015,
permohonan izin usaha Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Permohonan izin usaha dengan setoran modal secara tunai,
berlaku bagi pendirian Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
baru. Pengajuan permohonan izin usaha harus melampirkan
beberapa dokumen, antara lain:52
a) Akta pendirian badan hukum Koperasi atau Perseroan
Terbatas termasuk anggaran dasar berikut perubahannya
yang telah disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang
atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang.
b) Data Direksi, Dewan Komisaris, Data Pengurus, Dewan
Pengawas, dan DPS.

51
Lihat Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro.
52
Lihat Pasal 5 ayat (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.05/2015
tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 12/POJK.05/2014 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro.
150

c) Data pemegang saham atau anggota


d) Surat rekomendasi pengangkatan DPS dari DSN MUI atau
sertifikasi pelatihan DPS dari DSN MUI bagi LKM yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
e) Struktur organisasi dan kepengurusan.
f) Sistem dan prosedur kerja LKM.
g) Rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama bagi LKM
dengan cakupan wilayah usaha kecamatan atau
kabupaten/kota.
h) Bukti pemenuhan modal disetor atau simpanan pokok,
simpanan wajib dan hibah dilakukan secara tunai dalam
bentuk fotokopi deposito berjangka yang masih berlaku atas
nama salah satu Direksi pada salah satu bank di Indonesia
atau salah satu bank syariah atau unit usaha syariah di
Indonesia bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, disertai dengan surat
pernyataan dari Direksi atau Pengurus.
i) Bukti kesiapan operasional.
OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha dalam jangka waktu paling lama 40
(empat puluh) hari kerja sejak permohonan izin usaha diterima
secara lengkap dan benar. Dalam rangka memberikan
persetujuan atau penolakan permohonan izin usaha, OJK
melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen, analisis
kelayakan atas rencana kerja, dan analisis pemenuhan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang LKM.
Dalam hal permohonan izin usaha yang disampaikan tidak
151

lengkap dan/atau tidak benar, OJK menyampaikan surat


pemberitahuan yang memuat syarat-syarat yang belum
terpenuhi kepada pemohon, paling lambat 20 (dua puluh) hari
kerja setelah permohonan diterima. Penolakan atas
permohonan izin usaha disertai dengan alasan penolakan.
Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK menetapkan
izin usaha sebagai LKM kepada pemohon.53
2) Permohonan izin usaha dengan setoran modal secara non
tunai, berlaku bagi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang
sudah berdiri dan beroperasi sebelum tanggal 8 Januari 2015,
namun belum memperoleh izin sesuai perundang-undangan
yang berlaku. Pengajuan permohonan izin usaha harus
melampirkan beberapa dokumen, antara lain:54
a) Akta pendirian badan hukum Koperasi atau Perseroan
Terbatas termasuk anggaran dasar berikut perubahannya
yang telah disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang
atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang.
b) Proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja
keuangan tahunan yang dimulai sejak LKM melakukan
kegiatan operasional untuk 2 (dua) tahun pertama bagi
LKM dengan cakupan wilayah usaha kecamatan atau
kabupaten/kota.

53
Lihat Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.05/2015 tentang
Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 12/POJK.05/2014 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro.
54
Lihat Pasal 5A ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.05/2015
tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 12/POJK.05/2014 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro.
152

c) Laporan keuangan tahunan yang paling sedikit terdiri dari


laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan
selama 2 (dua) tahun terakhir.
d) Laporan posisi keuangan penutupan dan laporan posisi
keuangan pembukaan dari LKM.
e) Daftar Pinjaman/Pembiayaan LKM selama 2 (dua) tahun
terakhir.
f) Data Direksi, Dewan Komisaris, DPS, pemegang saham
atau anggota tanpa melampirkan surat pernyataan mengenai
setoran modal.
OJK memberikan persetujuan atas permohonan izin
usaha dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari
kerja sejak permohonan izin usaha diterima secara lengkap dan
benar. Dalam rangka memberikan persetujuan atas
permohonan izin usaha tersebut, OJK melakukan penelitian
atas kelengkapan dokumen, dan analisis pemenuhan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang LKM. Dalam hal
permohonan izin usaha sebagai LKM disampaikan tidak
lengkap namun perhitungan ekuitas telah memenuhi ketentuan
jumlah modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib,
dan hibah LKM, maka dalam waktu paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja setelah permohonan diterima, OJK
memberikan persetujuan izin usaha bersyarat.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang telah mendapat
izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan kegiatan
usaha paling lambat 4 (empat) bulan setelah tanggal izin usaha
153

ditetapkan.55 Selanjutnya nama LKM harus dicantumkan secara


jelas dalam anggaran dasar yang dimulai dengan bentuk badan
hukum diikuti dengan frasa “Lembaga Keuangan Mikro” dan
nama LKM bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional, atau “Lembaga Keuangan Mikro Syariah” dan
nama LKM bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah.56 Contoh: Koperasi LKM/LKMS
(nama LKM/LKMS) atau PT. LKM/LKMS (nama LKM/LKMS).
Dari hasil analisis terkait ketentuan permohonan izin
usaha dapat disimpulkan bahwa bagi Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) yang sudah berdiri dan beroperasi sebelum tanggal 8
Januari 2015, serta telah berbadan hukum Koperasi/memperoleh
izin usaha sebagai koperasi berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku maka tidak wajib memperoleh ijin usaha
dari Otoritas Jasa Keuangan. Hasil penelitian ini senada dengan
penjelasan Direktorat Lembaga Keuangan Mikro Otoritas Jasa
Keuangan yang menyatakan bahwa, “Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) dan Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM) yang telah
memperoleh izin usaha sebagai koperasi, tunduk pada UU yang
mengatur mengenai Perkoperasian sehingga tidak wajib
57
memperoleh izin usaha dari OJK”.

55
Lihat Pasal 7 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.05/2015
tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 12/POJK.05/2014 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro.
56
Lihat Pasal 8 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.05/2015 tentang
Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 12/POJK.05/2014 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro.
57
Direktorat Lembaga Keuangan Mikro, “Frequently Asked Questions (FAQ)”,
diakses pada 27 Agustus 2020 dari https://www.ojk.go.id/Files/box/LKM/faq-lkm.pdf
154

Untuk lebih memberikan pemahaman yang komprehensif


terkait proses perizinan usaha Lembaga Keuangan Mikro (LKM),
secara visual dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4.2. Proses Perizinan Usaha LKM

Setoran Modal Secara Tunai Setoran Modal Secara


Bagi LKM Baru Non Tunai

Bagi LKM yang sudah


Permohonan berdiri dan beroperasi
sebelum tanggal 8
Maksimal 40 hari kerja Januari 2015, namun
belum memperoleh izin
sesuai perundang-
undangan yang berlaku
Maksimal 20 hari kerja

1
Cek Kelengkapan dan
Kebenaran Dokumen Keterangan:
Dokumen permohonon
izin usaha LKM
disampaikan ke Kantor
2 OJK sesuai tempat
Analisis kedudukan calon LKM

Surat Keputusan Izin


Usaha LKM

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (Diolah)


Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari
aspek kelembagaan, berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro berimplikasi terhadap
perubahan nama kelembagaan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sesuai
dengan pilihan bentuk badan hukumnya. Dimana Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa
155

Keuangan berubah nama menjadi Koperasi LKMS Baitul Maal wa


Tamwil atau PT. LKMS Baitul Maal wa Tamwil.

2. Implikasi Yuridis terhadap Aspek Kegiatan Usaha


Kegiatan usaha Baitul Maal wa Tamwil (BMT) pada dasarnya
adalah mencakup 2 (dua) hal, yaitu:
a. Kegiatan sosial (sebagai Baitul Maal), dilakukan melalui
penghimpunan, pengelolaan dan penyaluran dana Zakat, Infak,
Sedekah, dan Wakaf serta dana kebajikan dan sosial lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Prinsip
Syariah serta bertujuan untuk pemberdayaan anggota dan
masyarakat di bidang sosial dan ekonomi.
b. Kegiatan komersial (sebagai Baitul Tamwîl), menampung dana
yang berasal dari modal, simpanan anggota, donor, untuk
disalurkan berupa pinjaman dan pembiayaan kepada usaha mikro
kecil yang menjadi anggota Baitul Maal wa Tamwil (BMT).
Kedua kegiatan di atas dapat diterjemahkan sebagai misi
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yaitu pengembangan ekonomi dan
pemberdayaan masyarakat. Seiring dengan perkembangan regulasi,
lahirnya Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro memperluas
kegiatan usaha Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang berbadan hukum
Koperasi. Dimana Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang berbadan
hukum Koperasi dan telah memperoleh izin usaha sebagai lembaga
keuangan mikro syariah, tidak hanya dapat melakukan penghimpunan
dan penyaluran dana kepada anggotanya saja, melainkan juga dapat
melakukan penghimpunan dana simpanan masyarakat (PDSM)
kepada masyarakat selain anggota koperasi. Selain itu, Baitul Maal
156

wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah yang


berbadan hukum Koperasi juga dapat melakukan kegiatan berupa
pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha.
Di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dijelaskan bahwa,
kegiatan usaha Lembaga Keuangan Mikro (LKM) meliputi jasa
pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan
melalui 4 (empat) hal, yaitu penyaluran pinjaman atau pembiayaan
dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat,
pengelolaan simpanan, pemberian jasa konsultasi pengembangan
usaha, dan kegiatan berbasis fee. Kegiatan usaha tersebut dapat
dilakukan secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah.58
Dalam menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, wajib dilaksanakan sesuai dengan fatwa syariah yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama
59
Indonesia. Dengan demikian maka LKM yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib menggunakan akad yang
sesuai dengan Prinsip Syariah. Dalam pasal 13 ayat (2) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62 /POJK.05/2015 tentang Perubahan
Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014
tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro dijelaskan
bahwa akad yang sesuai dengan Prinsip Syariah meliputi:
a. kegiatan usaha penghimpunan Simpanan dilakukan dengan
menggunakan akad wadiah, mudharabah, atau akad lain

58
Lihat Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62 /POJK.05/2015 tentang
Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014 tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro.
59
Lihat Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro.
157

yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah serta


disetujui oleh OJK.
b. kegiatan usaha penyaluran Pembiayaan dilakukan dengan
menggunakan akad mudharabah, musyarakah, murabahah,
ijarah, salam, istishna, ijarah muntahiah bit tamlik, atau
akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
serta disetujui oleh OJK.
c. kegiatan jasa pemberian konsultasi dan pengembangan
usaha dilakukan dengan menggunakan akad ijarah, ju‟alah
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah serta disetujui oleh OJK.
d. kegiatan pendanaan melalui penerimaan pinjaman
dilakukan dengan menggunakan akad qordh, mudharabah,
musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah serta disetujui oleh OJK.
Untuk lebih jelasnya berikut ini disajikan tabel mengenai
ketentuan penggunaan akad yang sesuai dengan Prinsip Syariah oleh
Baitul Maal wa Tamwil (BMT).
Tabel 4.3. Ketentuan Penggunaan Akad yang Sesuai
Dengan Prinsip Syariah
Kegiatan Usaha Akad-Akad Yang Digunakan
1. Wadiah
2. Mudharabah
Penghimpunan
3. Akad lain yang tidak bertentangan
Simpanan
dengan Prinsip Syariah serta disetujui
oleh OJK
1. Mudharabah
2. Musyarakah
Penyaluran
3. Murabahah
Pembiayaan
4. Ijarah
5. Salam
158

Kegiatan Usaha Akad-Akad Yang Digunakan


6. Istishna
7. Ijarah Muntahiah Bit Tamlik
8. Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah serta disetujui
oleh OJK
1. Ijarah
Jasa Pemberian
2. Ju‟alah
Konsultasi dan
3. Akad lain yang tidak bertentangan
Pengembangan
dengan Prinsip Syariah serta disetujui
Usaha
oleh OJK
1. Qordh
2. Mudharabah
Pendanaan Melalui
3. Musyarakah
Penerimaan /
4. Akad lain yang tidak bertentangan
Penyaluran Pinjaman
dengan Prinsip Syariah serta disetujui
oleh OJK

Dari tabel 4.3 di atas terlihat bahwa Baitul Maal wa Tamwil


(BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah dalam
melaksanakan setiap kegiatan usahanya dapat melakukan
pengembangan akad dalam bentuk penggunaan akad-akad lain yang
memungkinkan selama tidak bertentangan dengan prinsip Syariah dan
mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Untuk
dapat memperoleh persetujuan, Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
sebagai lembaga keuangan mikro syariah mengajukan permohonan
kepada OJK dengan melampirkan fatwa DSN MUI.
159

Secara teknis penerapan akad transaksi kegiatan usaha Baitul


Maal wa Tamwil (BMT) harus berdasarkan fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagaimana yang
disajikan pada tabel berikut:
Tabel 4.4. Fatwa DSN-MUI
No Jenis Akad Fatwa DSN-MUI
1 Wadiah Fatwa Dewan Syariah Nasional
No. 02/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Tabungan
2 Mudharabah Fatwa Dewan Syariah Nasional
No. 07/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Pembiayaan Mudharabah
(Qiradh)
3 Musyarakah Fatwa Dewan Syariah Nasional
No. 08/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Pembiayaan Musyarakah
4 Murabahah Fatwa Dewan Syariah Nasional
No. 04/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Murabahah
5 Ijarah Fatwa Dewan Syariah Nasional
No. 09/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Pembiayaan Ijarah
6 Salam Fatwa Dewan Syariah Nasional
No. 05/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Jual Beli Salam
7 Istishna Fatwa Dewan Syariah Nasional
160

No Jenis Akad Fatwa DSN-MUI


No. 06/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Jual Beli Istishna’
8 Ijarah Muntahiah Bit Fatwa Dewan Syariah Nasional
Tamlik No. 27/DSN-MUI/III/2002
Tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah
Bi Al-Tamlik
9 Ju‟alah Fatwa Dewan Syariah Nasional
No. 62/DSN-MUI/XII/2007
Tentang Akad Ju’alah
10 Qordh Fatwa Dewan Syariah Nasional
No. 19/DSN-MUI/IV/2001
Tentang Al-Qardh
11 Ijarah Maushufah Fi Fatwa Dewan Syariah Nasional-
Zimmah Majelis Ulama Indonesia No.
101/DSN-MUI/X/2016 Tentang
Al-Akad Al-Ijarah Al-Maushufah
Fi Al-Dzimmah
12 Musyarokah Fatwa Dewan Syariah Nasional
Mutanaqishoh No. 73/DSN-MUI/XI/2008
Tentang Musyarakah
Mutanaqisah
13 Wakalah Fatwa Dewan Syariah Nasional
No. 10/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Wakalah
14 Kafalah Fatwa Dewan Syariah Nasional
161

No Jenis Akad Fatwa DSN-MUI


No. 11/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Kafalah
15 Hawalah Fatwa Dewan Syariah Nasional
No. 12/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Hawalah
16 Rahn Fatwa Dewan Syariah Nasional
No. 25/DSN-MUI/III/2002
Tentang Rahn

Dengan demikian dari aspek kegiatan usaha maka implikasi


yang timbul dari berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro adalah Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan
dapat melakukan penghimpunan dan penyaluran dana tidak hanya
kepada anggotanya saja, melainkan juga dapat melakukan
penghimpunan dana simpanan masyarakat (PDSM) kepada
masyarakat selain anggota koperasi.
Imam Gozali, Kepala Sub bagian pada Departemen
Pengawasan IKNB 1B Direktorat Lembaga Keuangan Mikro Otoritas
Jasa Keuangan menjelaskan bahwa, “Sesuai dengan Undang Undang
LKM, untuk LKM yang berbadan hukum Koperasi dan telah memiliki
izin usaha sebagai LKM dapat menerima simpanan dari masyarakat
non anggota. Hal tersebut yang membedakan Koperasi LKM dengan
Koperasi Simpan Pinjam Syariah.”60

60
Wawancara Pribadi dengan Imam Gozali, Jakarta, 26 Agustus 2020.
162

3. Implikasi Yuridis terhadap Aspek Cakupan Wilayah Usaha


Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro menjelaskan
bahwa, “Cakupan wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu
wilayah desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota.”61
Sedangkan luas cakupan wilayah usaha disesuaikan dengan skala
usaha masing-masing LKM yang ditetapkan berdasarkan distribusi
nasabah peminjam atau Pembiayaan sebagai berikut:
a. LKM memiliki skala usaha desa/kelurahan apabila memberikan
Pinjaman atau Pembiayaan kepada penduduk di 1 (satu)
desa/kelurahan;
b. LKM memiliki skala usaha kecamatan apabila memberikan
Pinjaman atau Pembiayaan kepada penduduk di 2 (dua)
desa/kelurahan atau lebih dalam 1 (satu) wilayah kecamatan yang
sama;
c. LKM memiliki skala usaha kabupaten/kota apabila memberikan
Pinjaman atau Pembiayaan kepada penduduk di 2 (dua) kecamatan
atau lebih dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota yang sama.62
Dari hasil analisis terhadap ketentuan Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 Tentang Suku Bunga Pinjaman
atau Imbal Hasil Pembiayaan dan Luas Cakupan Wilayah Usaha
Lembaga Keuangan Mikro di atas dapat disimpulkan bahwa
pembatasan cakupan wilayah usaha itu berlaku untuk kegiatan usaha
yang berupa pinjaman atau pembiayaan, sedangkan untuk kegiatan

61
Lihat Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro.
62
Lihat Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014
Tentang Suku Bunga Pinjaman atau Imbal Hasil Pembiayaan dan Luas Cakupan Wilayah
Usaha Lembaga Keuangan Mikro.
163

usaha yang berupa pengelolaan simpanan maupun pemberian jasa


konsultasi pengembangan usaha, tidak dibatasi oleh cakupan wilayah
usaha. Hasil penelitian ini senada dengan penjelasan Imam Gozali,
Kepala Sub bagian pada Departemen Pengawasan IKNB 1B
Direktorat Lembaga Keuangan Mikro Otoritas Jasa Keuangan, dalam
wawancara lanjutan melalui video call, yang menyatakan bahwa:
Tapi gini pak, untuk yang UU LKM sendiri yang dibatasi itu
hanya terkait dengan pembiayaannya pak yah, jadi
pembiayaan ke masyarakat, yang dibatasi sesuai cakupan
wilayah usahanya. Kan jadi cakupan wilayah usaha LKM tuh
ada tiga tuh pak, desa, kecamatan, maksimal sampai kabupaten
tergantung ijin usaha yang diberikan. Tapi kalau dia menerima
simpanan dari manapun, itu boleh pak, tidak ada pembatasan,
karena di PP nya, PP 89 nya pun tidak ada pembatasan terkait
dengan simpanan diluar cakupan wilayah usaha LKM, tidak
ada, gitu, jadi yang dibatasi hanya pembiayaannya.63

Kemudian apabila LKM melakukan kegiatan usaha melebihi 1


(satu) wilayah kabupaten/kota tempat kedudukan LKM, maka LKM
wajib bertransformasi menjadi bank.64 Ketentuan ini mengisyaratkan
adanya larangan bagi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai
lembaga keuangan mikro syariah melakukan kegiatan usaha melebihi
wilayah kabupaten/kota. Ketentuan tersebut sekilas membatasi
perkembangan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga
keuangan mikro syariah dalam membantu perekonomian masyarakat
menengah ke bawah. Namun demikian, jika dianalisis lebih
mendalam maka ketentuan tersebut memberikan sebuah harapan agar
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro

63
Wawancara Pribadi dengan Imam Gozali, Jakarta, 23 September 2020.
64
Lihat Pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.
164

syariah yang ada sekarang bisa tumbuh menjadi besar, sehingga akan
dapat melayani lebih banyak kelompok masyarakat berpenghasilan
rendah dan pelaku usaha mikro.
Dalam penjelasan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 62/POJK.03/2016 disebutkan bahwa Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) hanya dapat memberikan pelayanan jasa keuangan
kepada masyarakat paling luas dalam 1 (satu) kabupaten/kota agar
dapat berperan sebagai instrumen pemerataan dan peningkatan
pendapatan masyarakat, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat
miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Namun demikian Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) dapat melakukan perluasan jangkauan
layanan keuangan kepada masyarakat di luar kabupaten/kota dengan
bertransformasi menjadi bank.65 Firdaus Djaelani, Kepala Pengawas
Industri Keuangan Non Bank (IKNB), menyatakan bahwa fungsi dan
tugas LKM menyerupai BPR. Sehingga wajar jika bertransformasi.66
Untuk bisa bertransformasi menjadi bank, maka Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) harus memenuhi persyaratan-persyaratan
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pasal 2
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62/POJK.03/2016 Tentang
Transformasi Lembaga Keuangan Mikro Konvensional Menjadi Bank
Perkreditan Rakyat Dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah Menjadi
Bank Perkreditan Rakyat Syariah, menyatakan bahwa:

65
Lihat Penjelasan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62/POJK.03/2016
Tentang Transformasi Lembaga Keuangan Mikro Konvensional Menjadi Bank Perkreditan
Rakyat Dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah Menjadi Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
66
Firdaus Djaelani, dalam Kontan, LKM Wajib Menjadi BPR, Jakarta, 31 Juli 2016,
diakses pada 23 September 2020 dari https://keuangan.kontan.co.id/news/lkm-wajib-
menjadi-bpr
165

(1) LKMK wajib bertransformasi menjadi BPR atau LKMS


wajib bertransformasi menjadi BPRS jika:
a. melakukan kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah
Kabupaten/Kota tempat kedudukan LKMK atau tempat
kedudukan LKMS; atau
b. LKMK atau LKMS telah memiliki:
1. ekuitas paling sedikit 5 (lima) kali dari persyaratan
modal disetor minimum BPR atau BPRS sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
2. jumlah dana pihak ketiga dalam bentuk simpanan
yang dihimpun dalam 1 (satu) tahun terakhir paling
sedikit 25 (dua puluh lima) kali dari persyaratan
modal disetor minimum BPR atau BPRS sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) LKMK atau LKMS yang telah memiliki modal inti
sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) dapat
mengajukan permohonan Transformasi atas inisiatif
sendiri.

Selanjutnya ketentuan Pasal 4 Peraturan Otoritas Jasa


Keuangan Nomor 62/POJK.03/2016 Tentang Transformasi Lembaga
Keuangan Mikro Konvensional Menjadi Bank Perkreditan Rakyat
Dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah Menjadi Bank Perkreditan
Rakyat Syariah, menyatakan bahwa:
(1) Selama proses Transformasi, LKMK atau LKMS dilarang
melakukan perubahan:
a. lokasi kota/kabupaten tempat kedudukan;
b. bentuk badan hukum; dan/atau
c. prinsip kegiatan usaha.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dikecualikan bagi LKMS Transformasi.

Dengan demikian maka jika Baitul Maal wa Tamwil (BMT)


sebagai lembaga keuangan mikro syariah, telah memperoleh izin
usaha dan dengan izin Otoritas Jasa Keuangan serta telah memenuhi
166

persyaratan-persyaratan transformasi sebagaimana diatur dalam


Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), maka wajib
bertransformasi menjadi bank.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari aspek
cakupan wilayah usaha maka implikasi yang timbul dari berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro adalah Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang telah mendapat
izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan hanya dapat memberikan
pelayanan jasa keuangan kepada masyarakat paling luas dalam 1
(satu) kabupaten/kota. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dapat
melakukan perluasan jangkauan layanan keuangan kepada masyarakat
di luar kabupaten/kota dengan bertransformasi menjadi bank.

4. Implikasi Yuridis terhadap Aspek Pembinaan, dan Pengawasan


Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro mengatur bahwa
pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.67 Kewenangan yang dimiliki Otoritas Jasa
Keuangan dalam melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan
bersifat atribusi karena sumber kewenangan tersebut berasal dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro. Menurut Ridwan HR., wewenang yang diperoleh secara
atribusi bersifat asli berasal dari peraturan perundang-undangan.68
Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan
secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam peraturan
perundang-undangan.
67
Lihat Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
68
Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 105.
167

Selanjutnya dalam melakukan pembinaan dan pengawasan,


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan koordinasi dengan
kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi dan
69
Kementerian Dalam Negeri. Pelaksanaan pembinaan dan
pengawasan tersebut didelegasikan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.70 Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
belum siap, Otoritas Jasa Keuangan dapat mendelegasikan pembinaan
dan pengawasan tersebut kepada pihak lain yang ditunjuk.71
Berdasarkan ketentuan di atas dapat dipahami bahwa
pembinaan dan pengawasan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai
lembaga keuangan mikro syariah dilakukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) yang berkoordinasi dengan Kementerian Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah serta Kementerian Dalam Negeri.72
Koordinasi antara tiga lembaga tersebut dituangkan dalam Nota
Kesepahaman yang telah ditandatangani oleh Ketua Dewan
Komisioner OJK Muliaman D Hadad, Menteri Dalam Negeri
Gamawan Fauzi dan Menteri Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan
di Kantor OJK Kompleks Bank Indonesia Jakarta pada tanggal 11 Juli
2014.
Ruang lingkup Nota Kesepahaman tersebut adalah koordinasi
terkait pelaksanaan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro yang
meliputi:

69
Lihat Pasal 2 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK.05/2014
tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro.
70
Lihat Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
71
Lihat Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
72
Lihat dan Bandingkan dengan Novita Dewi dalam Tesis ini pada Bab I Huruf E
Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan, Nomor 2, h. 17-19.
168

a. Sosialisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang


Lembaga Keuangan Mikro;
b. Inventarisasi LKM yang belum berbadan hukum;
c. Penyusunan peraturan pelaksanaan Undang-Undang
tentang Lembaga Keuangan Mikro;
d. Pendataan dan peningkatan kapasitas SDM Pemerintah
Daerah yang akan ditugasi untuk melaksanakan pembinaan
dan pengawasan LKM;
e. Fasilitasi penunjukan Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) sebagai Pembina dan pengawas LKM oleh
Bupati/Walikota;
f. Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan LKM; dan
g. Pemanfaatan data dan informasi.73

Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan tersebut


didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setempat
diwilayah Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan
mikro syariah tersebut beroperasi sehingga diharapkan Baitul Maal
wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah dapat
terus berkontribusi untuk memberdayakan masyarakat berpenghasilan
rendah dan pelaku usaha mikro dengan tetap memperhatikan aspek
kehati-hatian dan perlindungan terhadap nasabah.74 Pembinaan dan
pengawasan ini bertujuan untuk memastikan bahwa Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah
melaksanakan praktik penyelenggaraan usaha Lembaga Keuangan

73
Otoritas Jasa Keuangan, “Siaran Pers Bersama Nota Kesepahaman Otoritas Jasa
Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Koperasi dan UKM tentang
Koordinasi Pelaksanaan UU Nomor 1/2013 Mengenai Lembaga Keuangan Mikro”, diakses
pada 27 Agustus 2020 dari https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-
pers/Documents/SIARANPERSMOUMENDAGRIMENKOPfinalOJK_1405067229.pdf
74
Lihat Penjelasan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK.05/2014
tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro.
169

Mikro (LKM) yang sehat, sehingga keberlangsungan usahanya akan


terjaga.75
Untuk dapat melaksanakan fungsi dan tugas pembinaan dan
pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Mikro (LKM) termasuk
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro
syariah, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan persiapan
sumber daya manusia dan infrastruktur. Oleh karena itu dalam rangka
meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM), Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) memberikan pelatihan bagi sumber daya manusia
(SDM) Pemerintah Daerah yang akan ditugasi untuk melaksanakan
pembinaan dan pengawasan LKM.
Adapun terkait pembinaan dan pengawasan yang
didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak
lain yang ditunjuk, di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
(POJK) dijelaskan bahwa pembinaan dan pengawasan tersebut
meliputi:
1. Penerimaan laporan keuangan dan input data ke dalam
sistem aplikasi;
2. Pelaksanaan analisis laporan keuangan LKM;
3. Penerimaan dan analisis laporan lain;
4. Pelaksanaan tindak lanjut atas laporan lainnya;
5. Penyusunan rencana kerja pemeriksaan, pelaksanaan
pemeriksaan, dan tindak lanjut atas hasil pemeriksaan
LKM;
6. Pengenaan sanksi administratif kepada LKM selain
pencabutan izin usaha dan denda; dan
7. Pelaksanaan langkah-langkah penyehatan terhadap LKM
yang mengalami kesulitan likuiditas dan solvabilitas yang
membahayakan keberlangsungan usaha.76
75
Otoritas Jasa Keuangan, “Penguatan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro”,
2017, diakses pada 27 Agustus 2020 dari https://adoc.pub/penguatan-kelembagaan-lembaga-
keuangan-mikro-otoritas-jasa-k.html
170

Untuk lebih jelasnya, berikut ini disajikan bagan pembinaan


dan pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
termasuk Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan
mikro syariah.
Gambar 4.3. Bagan Pembinaan dan Pengawasan Lembaga
Keuangan Mikro

Kementerian Koperasi dan


OJK Usaha Kecil dan Menengah
(Pembina, Pengatur, dan Koordinasi & Kementerian Dalam
Pengawas LKM)
Negeri

Pihak lain
Pemda
Pembinaan dan dalam hal
Kabupaten /
Pengawasan didelegasikan Pemda
Kota
belum siap

1. Penerimaan laporan keuangan dan input data ke dalam sistem aplikasi;


2. Pelaksanaan analisis laporan keuangan LKM;
3. Penerimaan dan analisis laporan lain;
4. Pelaksanaan tindak lanjut atas laporan lainnya;
5. Penyusunan rencana kerja pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan, dan
tindak lanjut atas hasil pemeriksaan LKM;
6. Pengenaan sanksi administratif kepada LKM selain pencabutan izin usaha
dan denda; dan
7. Pelaksanaan langkah-langkah penyehatan terhadap LKM yang mengalami
kesulitan likuiditas dan solvabilitas yang membahayakan keberlangsungan
usaha

76
Lihat Pasal 5 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK.05/2014
tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro.
171

Gambar 4.3 di atas secara jelas menyajikan bahwa pembinaan


dan pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
termasuk Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan
mikro syariah didelegasikan kepada Pemda Kabupaten/Kota.
Selanjutnya dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan
pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Mikro (LKM) termasuk
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro
syariah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan evaluasi yang
ketentuannya dijelaskan sebagai berikut:
(1) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang
menerima pendelegasian pembinaan dan pengawasan
melaporkan secara berkala hasil pembinaan dan
pengawasan LKM kepada OJK untuk periode 1 (satu)
tahun takwim paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak
tahun takwim berakhir.
(2) OJK melakukan evaluasi atas pelaksanaan pembinaan dan
pengawasan LKM yang telah dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk
untuk periode 1 (satu) tahun takwim.
(3) Dalam hal kewenangan pembinaan dan pengawasan LKM
yang telah didelegasikan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota atau pihak lain yang ditunjuk tidak dapat
dijalankan sebagaimana mestinya oleh sebab apapun, OJK
dapat mengambilalih kewenangan pembinaan dan
pengawasan LKM dan mendelegasikan kepada pihak
lain.77

Dalam prakteknya saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK)


melakukan pembinaan dan pengawasan langsung tanpa
pendelegasian. Dari hasil wawancara lanjutan dengan Imam Gozali,
Kepala Sub bagian pada Departemen Pengawasan IKNB 1B

77
Lihat Pasal 16 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
14/POJK.05/2014 tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro.
172

Direktorat Lembaga Keuangan Mikro Otoritas Jasa Keuangan,


diperoleh penjelasan bahwa pendelegasian pembinaan dan
pengawasan kepada Pemda Kabupaten/Kota pada awalnya didasarkan
pada asumsi bahwa Pemda Kabupaten/Kota memiliki infrastruktur
yang menjangkau sampai wilayah desa/kelurahan. Sedangkan kantor
regional dan kantor OJK di seluruh Indonesia hanya sampai propinsi.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, sesuai dengan
kewenangannya, Pejabat Pemda Kabupaten/Kota melakukan mutasi
dan rotasi terhadap tenaga-tenaga yang sudah dilatih, oleh karena itu
OJK menganggap bahwa Pemda Kabupaten/Kota belum siap,
sehingga OJK mengambil langsung pembinaan dan pengawasan
terhadap Lembaga Keuangan Mikro (LKM) termasuk Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah sampai saat
ini.78
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari aspek
Pembinaan dan Pengawasan maka implikasi yang timbul dari
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro adalah pembinaan dan pengawasan terhadap Baitul
Maal wa Tamwil (BMT) yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas
Jasa Keuangan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang
pelaksanaannya didelegasikan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam
membina dan mengawasi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) berbadan
hukum koperasi yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan
tentang Perkoperasian karena hal-hal sebagai berikut:

78
Wawancara Pribadi dengan Imam Gozali, Jakarta, 23 September 2020.
173

a. Sumber kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam


membina dan mengawasi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai
lembaga keuangan mikro syariah yang berbadan hukum koperasi
sebagai Lex Specialis. Sehingga pembinaan dan pengawasan
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro
syariah yang berbadan hukum koperasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) adalah aturan khusus yang mengenyampingkan
pembinaan dan pengawasan badan hukum koperasi oleh
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
b. Ijin usaha Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga
keuangan mikro syariah yang berbadan hukum koperasi
dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
c. Perlindungan terhadap kepentingan masyarakat dan perekonomian
nasional dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
industri jasa keuangan.
BAB V
BENTUK KELEMBAGAAN BAITUL MAAL WA TAMWIL (BMT)
PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013
TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan


Mikro lahir dari adanya ketentuan dari Pasal 16 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa, “Setiap pihak yang
melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum
atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila
kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-
undang tersendiri.”1 Pengaturan secara ketat terhadap kegiatan
penghimpunan dana simpanan masyarakat, menurut penjelasan Pasal 16 ayat
(1) Undang-Undang Perbankan adalah didasarkan pada alasan bahwa
kegiatan menghimpun dana dari masyarakat merupakan kegiatan yang perlu
diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang
dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut. Sehubungan
dengan itu ditegaskan bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang telah
memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau sebagai Bank Perkreditan
Rakyat.2

1
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
2
Penjelasan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
174
175

Berdasarkan hal tersebut, Lembaga Keuangan Mikro diatur melalui


Undang-Undang tersendiri yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro yang disahkan pada tanggal 8 Januari
2013 dan diundangkan pada tanggal 8 Januari 2013. Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan landasan hukum yang kuat atas beroperasinya Lembaga
Keuangan Mikro yang belum berbadan hukum dan juga untuk memberikan
kepastian hukum terhadap kegiatan Lembaga Keuangan Mikro yang banyak
beroperasi di tengah-tengah masyarakat sehingga layanan keuangan terhadap
masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah dapat terpenuhi.
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) merupakan lembaga keuangan mikro
dengan prinsip syariah yang lahir sebagai pilihan yang menggabungkan
fungsi maal dan tamwil dalam satu kegiatan lembaga. Dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro,
eksistensi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) telah diakomodir, dimana dalam
undang-undang ini disebutkan bahwa kegiatan usaha LKM dapat
dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana diatur dalam Pasal 12
ayat (1), bahwa “Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan dan pengelolaan
Simpanan oleh LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
dilaksanakan secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.”3 Secara
lebih luas di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dijelaskan bahwa,
kegiatan usaha LKM yang meliputi jasa pengembangan usaha dan
pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam
usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan,

3
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.
176

maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha, dapat dilakukan


secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah.4
Dengan demikian maka secara yuridis Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
sebagai lembaga keuangan mikro dengan prinsip syariah tunduk pada
Undang-Undang tentang Lembaga Keuangan Mikro. Namun demikian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
memberikan keleluasaan bagi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang telah
berbadan hukum dan mendapatkan ijin usaha sebagai Koperasi Simpan
Pinjam untuk tunduk pada Undang-Undang Perkoperasian sehingga tidak
perlu mendapatkan ijin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Direktorat
Lembaga Keuangan Mikro Otoritas Jasa Keuangan menjelaskan sebagai
berikut:
1. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dan Baitul Tamwil
Muhammadiyah (BTM) yang telah memperoleh izin usaha
sebagai koperasi, tunduk pada UU yang mengatur mengenai
Perkoperasian sehingga tidak wajib memperoleh izin usaha dari
OJK.
2. Koperasi Simpan Pinjam yang telah berbadan
hukum/mendapatkan izin usaha sebagai Koperasi Simpan Pinjam
berada dibawah pembinaan dan pengawasan Kementerian
Koperasi dan UKM dan tunduk pada Undang-Undang
Perkoperasian sehingga tidak perlu mendapatkan izin usaha dari
OJK.5
Berdasarkan hal tersebut, maka saat ini eksistensi Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) ada yang berada di bawah payung hukum Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang berada

4
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62 /POJK.05/2015
tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014 tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro.
5
Direktorat Lembaga Keuangan Mikro, “Frequently Asked Questions (FAQ)”,
diakses pada 27 Agustus 2020 dari https://www.ojk.go.id/Files/box/LKM/faq-lkm.pdf
177

dibawah regulasi dan pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dikenal
sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), dan ada yang berada di
bawah payung hukum Kementerian Koperasi dan UKM melalui Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) yang berada dibawah regulasi Kementerian Koperasi dan
UKM ini dikenal sebagai Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan
Syariah/Unit Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS/USPPS).
Henra Saragih, Plt. Asisten Deputi Peraturan Perundang-undangan
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menjelaskan
eksistensi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) pasca Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro sebagai berikut:
BMT mempunyai fungsi sebagai pemberdayaan sosial (maal) dan
pemberdayaaan ekonomi produktif (tamwil). Kehadiran BMT yaitu
untuk memfasilitasi masyarakat muslim di tengah perkembangan
kegiatan ekonomi dan lembaga pembiayaan dengan prinsip Islam
namun tidak terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Selain itu
kehadiran BMT diharapkan mampu mendorong sektor usaha mikro
dan kecil yang merupakan salah satu sektor penggerak perekonomian
di Indonesia.
Pertumbuhan BMT sejak pertama kali diperkenalkan pada awal tahun
2000-an hingga saat ini mengalami peningkatan yang luar biasa.
Pengawasan dan pembinaan BMT berada pada dua kelembagaan yaitu
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Koperasi dan
UMKM. BMT yang berada dibawah OJK disebut Lembaga Keuangan
Mikro Syariah (LKMS). Landasan hukum LKMS mengacu pada UU
Lembaga Keuangan Mikro No.1 Tahun 2013 yang mulai berlaku
sejak 08 Januari 2015 dan POJK No. 61/POJK 05/2015 Tentang
Perubahan atas Peraturan POJK No.12/POJK05/2014 Tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Keuangan Mikro. Sedangkan
BMT yang berada di bawah Kementrian Koperasi dan UMKM
disebut Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS).
Landasan hukum KSPPS adalah UU perkoperasian No. 25 Tahun
1992 dan Peraturan Menteri No.16 Tahun 2015 tentang pelaksanaan
kegiatan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah oleh koperasi.
178

Kedua otoritas tersebut menjadikan BMT mempunyai perbedaan


kewenangan pengaturan dan pengawasan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro UU LKM tidak mengatur secara rinci dan tegas
mengenai prosedur pendirian LKM. Pasal 4 UU LKM pun hanya
mengatur secara ringkas mengenai syarat pendirian LKM yang paling
sedikit harus memenuhi persyaratan bentuk badan hukum,
permodalan, dan izin usaha. Hal ini dipertegas dalam Pasal 10 UU
LKM yang menjelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai
permodalan, kepemilikan LKM, dan tata cara perizinan usaha LKM
akan diatur lebih lanjut berdasarkan peraturan yang dikeluarkan OJK.
Undang-undang ini sebagai payung hukum dalam memberikan
perlindungan hukum bagi BMT dalam menjalankan kegiatan usaha
layanan jasa keuangan mikro.6
Adanya dua regulasi yang mengatur Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
menjadikan konsep Baitul Maal wa Tamwil (BMT) saat ini ada yang
diimplementasikan dan berada di bawah regulasi dan pengawasan Ke-
menterian Koperasi dan UKM dan ada yang berada di bawah regulasi dan
pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Masing-masing otoritas
mengatur lebih lanjut terkait perizinan usaha, pelaksanaan kegiatan usaha,
pengawasan dan pembinaan, dan pengaturan lainnya yang tercantum di
dalam turunan peraturan-peraturan terkait.
A. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai Lembaga Keuangan Mikro
Syariah (LKMS)
Sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah, Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) tunduk pada Undang-Undang tentang Lembaga
Keuangan Mikro beserta peraturan turunannya. Terdapat beberapa
manfaat bagi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang telah mendaftarkan
diri sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) yaitu:

6
Wawancara Pribadi dengan Henra Saragih, Jakarta, 1 Oktober 2020.
179

1. Memperoleh kejelasan status hukum dan legalitas usaha, sehingga


dapat lebih dipercaya oleh masyarakat. Dengan telah memiliki badan
hukum dan ijin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka
simpanan nasabah penyimpan akan terlindungi;
2. Pembinaan dan Pengawasan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) dan didelegasikan kepada Pemda Kab/Kota atau Pihak lain
yang ditunjuk. Pembinaan dan Pengawasan bertujuan untuk
memastikan bahwa Baitul Maal wa Tamwil (BMT) melaksanakan
praktik penyelenggaraan usaha secara sehat, sehingga
keberlangsungan usahanya akan terjaga;
3. Dapat melakukan penghimpunan dana dari anggota dan masyarakat
umum;
4. Memperoleh peningkatan kapasitas (capacity building). Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) memberikan pelatihan antara lain terkait
penyusunan laporan keuangan, manajemen pengembangan usaha,
dan tata kelola Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang baik;
5. Dapat bersinergi dengan lembaga keuangan lainnya, seperti peluang
menjadi agen produk perbankan, asuransi, pembiayaan dan sekuritas,
serta memiliki akses pendanaan dari perbankan melalui linkage atau
chanelling;
6. Terdapat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Jika Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) mengalami kesulitan likuiditas, maka dilakukan
langkah-langkah upaya penyehatan, dan jika tidak berhasil maka
180

Baitul Maal wa Tamwil (BMT) ditutup dan dana masyarakat


terjamin.7
Berdasarkan data direktori Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai
dengan Juli 2020 terdapat 222 Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dengan rincian jumlah
Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK) sebanyak 146 unit
atau 65,77% dan jumlah Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)
sebanyak 76 unit atau 34,23%. Secara visual jumlah Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat
dilihat pada gambar berikut:
Gambar 5.1. Direktori LKM yang Terdaftar di OJK Juli 2020

120 105
100
80 75
60 41
40
20
1
0

LKMK
LKMS

PT KOPERASI

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, (diolah)8

7
Otoritas Jasa Keuangan, “Penguatan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro”,
2017, diakses pada 27 Agustus 2020 dari https://adoc.pub/penguatan-kelembagaan-lembaga-
keuangan-mikro-otoritas-jasa-k.html
8
Otoritas Jasa Keuangan, Direktori Lembaga Keuangan Mikro Juli 2020, diakses
pada 26 Agustus 2020 dari https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-
statistik/direktori/direktori-lkm/Pages/Direktori-Lembaga-Keuangan-Mikro-Juli-2020.aspx
181

Dari gambar 5.1 di atas dapat dilihat bahwa sebanyak 180 unit
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) memilih berbadan hukum koperasi,
dengan rincian jumlah Koperasi LKM sebanyak 105 unit dan Koperasi
LKMS sebanyak 75 unit. Sedangkan sebanyak 42 unit Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) memilih berbadan hukum perseroan terbatas
(PT), dengan rincian jumlah PT. LKM sebanyak 41 unit dan PT. LKMS
sebanyak 1 unit. Dari 75 unit LKMS yang berbadan hukum koperasi,
terdapat 3 (tiga) unit Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang telah
mendapat ijin usaha sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Baitul
Maal wa Tamwil (BMT) tersebut adalah a) Koperasi LKMS BMT
Sumber Harapan Maju yang berada di Kabupaten Semarang dengan
mendapatkan izin usaha pada 8 Oktober 2015; b) Koperasi LKMS
Gunung Jati yang berada di Kabupaten Cirebon dengan mendapatkan
izin usaha pada 19 Januari 2016; c) Koperasi LKMS BMT Talaga yang
berada di Kabupaten Majalengka dengan mendapatkan izin usaha pada
30 Januari 2018.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa jumlah Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) yang mendaftarkan diri ke Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah masih sangat sedikit.
Hal tersebut dikarenakan masih minimnya data yang dimiliki Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) terkait jumlah Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
yang belum berbadan hukum. Karena belum ada data pasti terkait jumlah
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang belum berbadan hukum, maka
dengan sendirinya pendataan berlangsung saat Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) mendaftarkan diri ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Imam
Gozali, Kepala Sub bagian pada Departemen Pengawasan IKNB 1B
Direktorat Lembaga Keuangan Mikro Otoritas Jasa Keuangan,
182

menjelaskan bahwa, “bagi BMT yang telah mendapatkan izin usaha


LKM saat ini mayoritas telah memenuhi ketentuan OJK, namun saat ini
masih banyak BMT yang belum berbadan hukum namun data tersebut
belum dimiliki OJK.”9
Masih minimnya jumlah Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang
mendaftarkan diri ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Lembaga
Keuangan Mikro Syariah juga disebabkan kurangnya sosialisasi terhadap
pengelola Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sehingga muncul sikap
kekhawatiran akan muncul banyak kendala jika Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) berada di bawah regulasi dan pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). Hal tersebut sebagaimana dijelaskan Achmad Halili,
Ketua Pengurus BMT Al-Bayan sebagai berikut:
Pada prinsipnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah cukup akomudatif
terhadap BMT, namun dalam tataran operasional yang diatur
melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan NOMOR
12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan
Lembaga Keuangan Mikro masih terdapat celah yang perlu
mendapat perhatian. Dalam peraturan tersebut pada Bab II pasal 2
ayat (1) berbunyi bahwa bentuk badan hukum LKM adalah
Koperasi atau Perseroan Terbatas. Menurut hemat kami bahwa
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selayaknya tidak mengatur
Koperasi karena masih ada Kementrian Koperasi dan Usaha
Kecil, dan Menengah (KUKM) agar tidak menjadi tumpang
tindih peraturan. Dalam hal ini perlu disampaikan bahwa
Koperasi Syariah sebelumnya bernama Koperasi Jasa Keuangan
Syariah (KJKS) dan dalam waktu singkat nama ini dirubah
menjadi Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah
(KSPPS), karena kalau namanya masih KJKS maka legislatornya
tentunya/tepatnya OJK, dan disini terlihat adanya perebutan
legislator. Sedangkan LKM dalam bentuk Perseroan Terbatas
menurut hemat kami masih mengalami kendala. Coba perhatikan

9
Wawancara Pribadi dengan Imam Gozali, Jakarta, 26 Agustus 2020.
183

dalam peraturan tersebut pada BAB II pasal 2 ayat (2) huruf b


berbunyi paling sedikit 60 % (enam puluh persen) sahamnya
wajib dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau
badan usaha milik Desa/Kelurahan. Hal ini berarti bahwa LKM
atau BMT dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah
milik Pemerintah Daerah, mana mau LKM diperlakukan seperti
itu, kecuali LKM milik BUMN, contohnya LKM milik Bank
Mandiri, artinya dari pemerintah untuk pemerintah. (maaf untuk
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan NOMOR: 61/ POJK.05/2015
dan NOMOR: 62/POJK.05/2015 belum membaca barang kali
disini sudah banyak yang berubah).
Mengenai Badan Hukum sedikit banyak telah disinggung di atas.
Pilihan yang paling tepat bagi BMT adalah berbadan hukum
Perseroan Terbatas sebagaimana layaknya Bank. Namun badan
hukum Perseroan Terbatas bagi BMT yang ada di OJK adalah
Perseroan Terbatas paling sedikit 60 % (enam puluh persen)
sahamnya wajib dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Hal semacam
ini dinilai tidak tepat bagi/ buat BMT sehingga pada akhirnya
Perseroan Terbatas model LKM OJK ini tidak menjadi pilihan.
Dengan demikian, maka selanjutnya dengan agak terpaksa yang
menjadi pilihan adalah badan hukum Koperasi yang tentunya
berada di bawah naungan Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil,
dan Menengah.10

Berdasarkan uraian di atas dapat dianalisis bahwa rendahnya


Baitul Maal wa Tamwil (BMT) mendaftarkan diri ke Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) yang disebabkan oleh faktor minimnya data terkait
jumlah Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang belum berbadan hukum
menunjukkan masih lemahnya koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) dengan Kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi,
dan Kementerian Dalam Negeri. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro mengamanatkan bahwa inventarisasi
LKM harus diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak

10
Wawancara Pribadi dengan Achmad Halili, Jakarta, 11 Agustus 2020.
184

Undang-Undang ini berlaku.11 Artinya sejak tanggal 8 Januari 2015


semestinya inventarisasi terhadap Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
termasuk di dalamnya Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang belum
berbadan hukum sudah selesai sehingga validitas data sudah dimiliki
oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Adapun yang disebabkan oleh faktor kurangnya sosialisasi,
mengakibatkan pelaku Baitul Maal wa Tamwil (BMT) memiliki
pemahaman yang kurang komprehensif terkait Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro beserta peraturan
turunannya. Sehingga hal ini menimbulkan kekhawatiran/ketakutan akan
muncul banyak kendala jika Baitul Maal wa Tamwil (BMT) berada di
bawah regulasi dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Diantara
bentuk kendala yang dihadapi adalah adanya kewajiban menyampaikan
laporan keuangan setiap 4 (empat) bulan kepada Otoritas Jasa Keuangan
(OJK).12 Selanjutnya penyampaian laporan keuangan dilakukan paling
lambat pada akhir bulan berikutnya.13 Hal tersebut menjadi kendala
mengingat kemampuan sumber daya manusia (SDM) Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) dalam melakukan pembukuan secara komputerisasi
belum memadai.
Sedangkan terkait badan hukum Perseroan Terbatas yang sampai
saat ini belum menjadi pilihan bagi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) maka

11
Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
12
Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
13
Pasal 25 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014
Tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro sebagaimana telah diubah oleh
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62/POJK.05/2015 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha
Lembaga Keuangan Mikro.
185

perlu dilakukan perubahan persentase kepemilikan saham agar tingkat


partisipasi masyarakat meningkat serta untuk mewujudkan kemandirian
bagi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang berbadan hukum Perseroan
Terbatas. Keikutsertaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan
usaha milik desa/kelurahan sebagai pemilik saham mayoritas, dapat
membuka peluang Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga
keuangan mikro syariah menjadi rentan terhadap intervensi dan sarat
dengan muatan politik sehingga akan kehilangan independensinya. Hal
ini dapat melumpuhkan keswadayaan masyarakat karena Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah menjadi
memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
Hasil penelitian ini senada dengan penjelasan Achmad Halili di
atas bahwa pilihan badan hukum yang paling tepat bagi Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) adalah Perseroan Terbatas sebagaimana layaknya Bank.
Hal ini karena ada kesamaan fungsi antara Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) dengan Bank Syariah. Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat
(3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
ditegaskan bahwa:
(2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial
dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang
berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial
lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola
zakat.
(3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang
berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada
pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi
wakaf (wakif).
186

B. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai Koperasi Simpan Pinjam


dan Pembiayaan Syariah (KSPPS)
Secara khusus, eksistensi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai
Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) diatur dalam
Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik
Indonesia Nomor: 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh
Koperasi. Sebagai Kebijakan Pemerintah untuk memberikan
perlindungan usaha koperasi yang melaksanakan kegiatan usaha simpan
pinjam berdasarkan prinsip syariah, maka Peraturan Menteri Koperasi
Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor:
11/Per/M.KUKM/XII/2017 merupakan landasan kegiatan usaha simpan
pinjam dan pembiayaan syariah oleh koperasi.
Dalam Permenkop dan UKM tersebut didefinisikan bahwa
Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah atau KSPPS adalah
koperasi yang kegiatan usahanya bergerak dibidang simpan, pinjam dan
pembiayaan sesuai prinsip syariah, termasuk mengelola zakat, infak,
sedekah, dan wakaf.14 Dengan mengacu pada definisi tersebut di atas,
maka apa yang selama ini telah dijalankan oleh Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) yang ada di Indonesia dapat digolongkan dalam KSPPS.
Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
Republik Indonesia Nomor: 11/Per/M.KUKM/XII/2017 selain
memperkuat landasan pelaksanaan kegiatan usaha Baitul Maal wa
Tamwil (BMT), juga memberikan penguatan legalitas Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) dalam pengembangan kegiatan sosial (Baitul Maal)
14
Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah
Republik Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
187

berupa zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF). Untuk lebih


jelasnya, kegiatan usaha KSPPS tersebut dapat dilihat pada gambar
berikut:
Gambar 5.2. Kegiatan Usaha KSPPS

KSPPS

Zakat

Infak Simpanan

Sedekah Pinjaman

Wakaf Pembiayaan

Dari gambar 5.2. di atas dapat dipahami bahwa kegiatan usaha


KSPPS selain memberikan layanan berupa simpanan, pinjaman dan
pembiayaan, juga mengelola zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
Perkembangan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai Koperasi
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) hingga Juni 2020
terbilang potensial. Henra Saragih, Plt. Asisten Deputi Peraturan
Perundang-undangan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah menjelaskan bahwa “berdasarkan data Kementerian Koperasi
dan UKM jumlah KSPPS per 30 Juni 2020 secara nasional sebanyak
4.115 koperasi”.15 Hal tersebut jika dibandingkan dengan jumlah KSPPS
per 31 Desember 2019 sebanyak 4.046 maka terdapat kenaikan sebesar
69 unit atau 1,71 %.

15
Wawancara Pribadi dengan Henra Saragih, Jakarta, 1 Oktober 2020.
188

Secara visual data koperasi kelompok Koperasi Simpan Pinjam


dan Pembiayaan Syariah per 30 Juni 2020 dan 31 Desember 2019 dapat
dilihat pada gambar berikut:
Gambar 5.3. Data Koperasi Kelompok KSPPS
Per 30 Juni 2020 dan 31 Desember 2019
4140
4115
4120
4100
4080
4060 4046
4040
4020
4000
DES 2019 JUNI 2020

KSPPS

Berdasarkan data yang tertera pada gambar 5.3 di atas dapat


dilihat bahwa hampir sebagian besar Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
memilih berada di bawah payung hukum Kementerian Koperasi dan
UKM melalui Undang-Undang tentang Perkoperasian beserta peraturan
turunannya.
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) baik sebagai Lembaga Keuangan
Mikro Syariah (LKMS) maupun sebagai Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah (KSPPS) yang dalam operasionalnya memberikan
pelayanan keuangan sosial syariah (Baitul Maal) dan pelayanan keuangan
komersial syariah (Baitul Tamwil), memiliki tantangan yang perlu menjadi
perhatian. Dengan kedua jenis pelayanan yang dimiliki, Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) baik sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)
189

maupun sebagai Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS)


harus menaati beberapa perundangan/peraturan yang ada. Selain dari dua
jenis perundangan sebagaimana yang disebutkan di atas, juga harus menaati
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.16
Peraturan terkait pelaksanaan kegiatan sosial (Baitul Maal), apabila
dianalisis lebih mendalam, baik Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62
/POJK.05/2015 maupun Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Nomor 11/Per/M.KUKM/XII/2017 belum seutuhnya menjawab
pelaksanaan Baitul Maal wa Tamwil (BMT), sebagaimana dijelaskan di atas
bahwa Baitul Maal wa Tamwil (BMT) melakukan kegiatan sosial dan
komersial. Baik Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62 /POJK.05/2015
maupun Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
11/Per/M.KUKM/XII/2017 lebih mengulas aspek pelaksanaan kegiatan
komersial sedangkan kegiatan sosial sangat terbatas.
Pelaksanaan kegiatan sosial dimaksud tertuang dalam pasal 13
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62 /POJK.05/2015 tentang
Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014
tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro yang berbunyi
sebagai berikut:
(1) LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah wajib menggunakan akad yang sesuai dengan Prinsip
Syariah.
(2) Akad yang sesuai dengan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. kegiatan usaha penghimpunan Simpanan dilakukan dengan
menggunakan akad wadiah, mudharabah, atau akad lain yang

16
Lihat dan Bandingkan dengan Nourma Dewi dalam Tesis ini pada Bab I Huruf E
Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan, Nomor 1, h. 16-17.
190

tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah serta disetujui oleh


OJK.
b. kegiatan usaha penyaluran Pembiayaan dilakukan dengan
menggunakan akad mudharabah, musyarakah, murabahah,
ijarah, salam, istishna, ijarah muntahiah bit tamlik, atau akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah serta
disetujui oleh OJK.
c. kegiatan jasa pemberian konsultasi dan pengembangan usaha
dilakukan dengan menggunakan akad ijarah, ju’alah atau akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah serta
disetujui oleh OJK.
d. kegiatan pendanaan melalui penerimaan pinjaman dilakukan
dengan menggunakan akad qordh, mudharabah, musyarakah,
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
serta disetujui oleh OJK.
(3) Untuk dapat memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), LKM mengajukan permohonan kepada OJK
dengan melampirkan fatwa DSN MUI.
(4) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), LKM yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah dapat melakukan pengelolaan dana
sosial dan kebajikan berupa zakat, infak, sedekah, dan wakaf
sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
(5) Pembukuan atas pengelolaan dana sosial dan kebajikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan secara terpisah.
Pelaksanaan kegiatan sosial juga tertuang dalam pasal 22 Peraturan
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan
Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi yang berbunyi sebagai
berikut:
(1) KSPPS atau USPPS Koperasi melaksanakan kegiatan sosial
(maal) untuk pemberdayaan anggota dan masyarakat di bidang
sosial dan ekonomi.
(2) Kegiatan sosial (maal) dilakukan melalui penghimpunan,
pengelolaan dan penyaluran dana Zakat, Infak, Sedekah, dan
Wakaf serta dana kebajikan dan sosial lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan Prinsip Syariah.
191

(3) Kegiatan sosial (maal) wajib dilaporkan dalam laporan sumber


dan penggunaan dana Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf serta
dana kebajikan dan sosial lainnya, terpisah dari laporan keuangan
kegiatan usaha Koperasi.
Dari ketentuan dalam 2 (dua) pasal di atas dapat disimpulkan bahwa
kegiatan sosial (Maal) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan zakat dan wakaf. Dengan demikian maka status Baitul
Maal wa Tamwil (BMT) dalam kegiatan sosial (Maal) adalah sebagai
perwakilan dari BAZNAS dan BWI.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat disebutkan bahwa “Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat
membentuk LAZ.”17 Lembaga Amil Zakat (LAZ) adalah lembaga yang
dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.18 Pembentukan Lembaga Amil
Zakat (LAZ) harus memenuhi persyaratan seperti; a. terdaftar sebagai
organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan,
dakwah, dan sosial, atau lembaga berbadan hukum19; b. mendapat

17
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
18
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
19
Penjelasan Pasal 57 Huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan
Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial atau lembaga berbadan
hukum” adalah organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan,
dakwah, dan sosial yang terdaftar di kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang dalam negeri atau lembaga berbadan hukum yang berbentuk yayasan
atau perkumpulan berbasis Islam yang telah disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Berkaitan dengan
perkumpulan, lihat penjelasan H.M.N. Purwosutjipto dalam Chaidir Ali, Badan Hukum,
(Bandung: Alumni, 2015), h. 116-117. Dijelaskan bahwa secara garis besar terdapat dua
jenis perkumpulan yaitu; 1. Perkumpulan dalam arti sempit, ialah perkumpulan yang lazim
disebut vereniging seperti perkumpulan yang diatur dalam: KUH Perdata Buku III Bab IX;
Stb. 1870-64; dan Stb. 1939-570, adalah perkumpulan yang tidak termasuk dalam bidang
192

rekomendasi dari BAZNAS; c. memiliki pengawas syariat; d. memiliki


kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan
kegiatannya; e bersifat nirlaba; f. memiliki program untuk mendayagunakan
zakat bagi kesejahteraan umat; dan g. bersedia diaudit syariat dan keuangan
secara berkala.20 Dari persyaratan tersebut, kelembagaan Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) dapat dianggap sebagai LAZ karena telah memenuhi kriteria
di atas.
Kedudukan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai LAZ
mengharuskannya mengikuti mekanisme yang ada dalam Undang-Undang
Pengelolaan Zakat. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun
2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat menyebutkan bahwa “LAZ wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan Pengelolaan Zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan
lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah setiap 6 (enam) bulan dan
akhir tahun.”21 Selanjutnya ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 2014 juga menyebutkan bahwa:
(1) Laporan pelaksanaan Pengelolaan Zakat, infak, sedekah, dan
dana sosial keagamaan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71, Pasal 72, dan Pasal 73 harus di audit syariat dan
keuangan.
(2) Audit syariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang agama.

hukum dagang; 2. Perkumpulan dalam arti luas, ialah perkumpulan yang merupakan bentuk
asal dari semua persekutuan, koperasi dan perkumpulan saling menanggung. Perkumpulan
dalam arti luas meliputi: 1) Perkumpulan yang tidak berbadan hukum, seperti: persekutuan
perdata, persekutuan firma, dan persekutuan komanditer. 2) Perkumpulan yang berbadan
hukum, seperti: perseroan terbatas, koperasi, dan perkumpulan saling menanggung.
20
Pasal 57 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
21
Pasal 73 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
193

(3) Audit keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan


oleh akuntan publik.
(4) Laporan pelaksanaan Pengelolaan Zakat, infak, sedekah, dan
dana sosial keagamaan lainnya yang telah di audit syariat dan
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
disampaikan kepada BAZNAS.22
Adanya kewajiban untuk menyampaikan laporan pelaksanaan
pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada
BAZNAS menunjukkan bahwa BAZNAS memiliki kewenangan dalam
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) sebagai LAZ dalam melakukan kegiatan sosial (Baitul Maal).
Kegiatan sosial Baitul Maal wa Tamwil (BMT) selain mengelola
zakat, infak, sedekah, juga mengelola wakaf. Dalam hal ini, Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) menjadi nazhir yaitu pihak yang menerima harta benda wakaf
dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menyatakan bahwa
nazhir meliputi: a. perseorangan; b. organisasi; atau c. badan hukum.23
Berdasarkan ketentuan tersebut maka posisi Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
adalah sebagai nazhir badan hukum.
Selanjutnya Undang-Undang Wakaf mengamanatkan bahwa badan
hukum hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir
perseorangan yang meliputi: a. warga negara Indonesia; b. beragama
Islam; c. dewasa; d. amanah; e. mampu secara jasmani dan rohani; dan f.
tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

22
Pasal 75 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
23
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
194

2. badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan


perundang-undangan yang berlaku.
3. badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.24
Sebagai nazhir, Baitul Maal wa Tamwil (BMT) mengemban tugas
sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf. Dalam ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf dijelaskan bahwa, “Nazhir mempunyai tugas: a.
melakukan pengadministrasian harta benda wakaf; b. mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya; c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; d.
melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.”25
Selanjutnya dalam Pasal 12 dijelaskan bahwa, “Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir dapat menerima imbalan dari
hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang
besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).”26
Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 13 dijelaskan bahwa, “Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir
memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.”27
Pembinaan dimaksud meliputi: a. penyiapan sarana dan prasarana penunjang
operasional Nazhir wakaf baik perseorangan, organisasi dan badan hukum; b.
penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas,
pengkoordinasian, pemberdayaan dan pengembangan terhadap harta benda
wakaf; c. penyediaan fasilitas proses sertifikasi Wakaf; d. penyiapan dan

24
Pasal 10 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
25
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
26
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
27
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
195

pengadaan blanko-blanko AIW, baik wakaf benda tidak bergerak dan/atau


benda bergerak; e. penyiapan penyuluh penerangan di daerah untuk
melakukan pembinaan dan pengembangan wakaf kepada Nazhir sesuai
dengan lingkupnya; dan f. pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf
dari dalam dan luar negeri dalam pengembangan dan pemberdayaan wakaf.28
Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (1) dijelaskan bahwa, “dalam rangka
pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Nazhir harus terdaftar
pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.29 Dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf secara lebih tegas dinyatakan bahwa, “Nazhir
badan hukum wajib didaftarkan pada Menteri dan BWI melalui Kantor
Urusan Agama setempat.”30
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa untuk memperoleh
pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia, maka Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) sebagai nazhir badan hukum wajib terdaftar pada Menteri
dan BWI. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dalam melaksanakan fungsi
sosialnya (Maal) berupa pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
harus melaporkan kepada BWI sebagai bentuk perlindungan hukum dan BWI
melakukan pembinaan kepada Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai wujud
dari pengawasan.
Dengan demikian, jika diragakan, eksistensi Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) pasca Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro adalah sebagai berikut:

28
Pasal 53 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
29
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
30
Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
196

Gambar 5.4. Eksistensi Baitul Maal wa Tamwil (BMT)

BMT-LKMS BMT-KSPPS
UU 1 th 2013 ttg
LKM
OJK Kemenkop
UU 25 th 1992
ttg Perkoperasian
OTORITAS
Permen KUKM 11 th
2017 ttg Keg. Usaha

REGULASI BMT

UU 23 th 2011 ttg
Pengelolaan
Zakat BADAN HUKUM

UU 41 th 2004
ttg Wakaf PT Koperasi

BMT-LKMS

BMT-KSPPS

Dari gambar 5.4 tampaklah bahwa eksistensi Baitul Maal wa Tamwil


(BMT) pasca Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro bertransformasi dan diakomodir badan hukum serta badan
usahanya di bawah regulasi dan pengawasan Otoritas Jasa keuangan (OJK)
yang dikenal sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dan
sebagian besar di bawah regulasi dan pengawasan Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah yang dikenal sebagai Koperasi Simpan Pinjam
dan Pembiayaan Syariah (KSPPS). Adanya keleluasaan bagi Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) dalam menentukan eksistensinya adalah dalam rangka
terwujudnya tujuan hukum.
Dalam perspektif hukum Islam, tujuan hukum adalah untuk
merealisasikan maslahat dan menghindarkan mafsadat. Dengan demikian
197

akan terwujud kemanfaatan kepada seluruh umat manusia yang mencakupi


kemanfaatan dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Terwujudnya
kemanfaatan ini, sesuai dengan prinsip umum hukum Islam yaitu:
31
1. ‫فامناف امني‬ ‫فامنيفي فاذإنه ففي‬ ‫في‬ ‫“ األلص‬Pada dasarnya, segala yang
bermanfaat dibolehkan, dan segala yang mudarat dilarang.”
32
2. ‫“ الضر ففالضرا‬Tidak boleh menimbulkan kemudaratan dan tidak boleh
menjadi korban kemudaratan.”
33
3. ‫“ إنا فتعف ض فامنفى ففامنقتاى فيقدم فامنفى‬Apabila larangan dan tuntutan saling
berlawanan, maka yang lebih didahulukan adalah larangan.”
Keberadaan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sangat diperlukan oleh
masyarakat Indonesia (khususnya masyarakat menengah bawah) untuk
membantu memberdayakan ekonomi mereka. Apalagi kelahiran Baitul Maal
wa Tamwil (BMT) ini tidak bisa dilepaskan dari keinginan dan aspirasi
masyarakat Muslim, akibat kegelisahan ekonomi berbasis riba yang
dirasakan oleh mereka. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) menjadi pendukung
(supporting) untuk pendanaan (funding) demi mengembangkan kegiatan
pemberdayaan ekonomi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Maka
dari itu, keberadaannya bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Dengan
demikian Baitul Maal wa Tamwil (BMT) telah berperan dalam mendorong
tercapainya tujuan hukum Islam.
Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro diundangkan, dari hasil penelitian Neni Sri Imaniyati dapat

31
Ahmad bin Abdullah bin Muhammad al-Duwaihi, Qa’idah al-Aslu fî al-Asy-yâ-i al-
Ibâhah, (al-Riyâd: Jami’ah al-Imam Muhammad bin su’ud al-Islamiyyah, 2007 M/1428 H),
h. 138
32
Muhammad Bakar Ismail, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah baina al-Asalah wa al-Taujîh
(Beirut: Dâr al-Manâr, 1997 M/1417 H), h. 96
33
Atiyah Adlan Atiyah Ramadan, Mausu‘ah al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah al-
Munazzamah li al-Mu‘amalat al-Maliyah al-Islamiyyah wa Dauruha fi Tawjih al-Nazm al-
Mu‘asirah, (Iskandariyah: Dar al-Aiman, 2007), h. 81
198

dipahami bahwa Baitul Maal wa Tamwil (BMT) ada yang telah berbadan
hukum dan ada pula yang tidak berbadan hukum serta ada beberapa Baitul
Maal wa Tamwil (BMT) yang tidak diketahui bentuk hukumnya. Baitul Maal
wa Tamwil (BMT) yang telah berbadan hukum menggunakan badan hukum
yang berbeda-beda, ada yang berbadan hukum koperasi dan ada yang
berbadan hukum yayasan. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang tidak
berbadan hukum umumnya menggunakan istilah LSM atau KSM.34
Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro, Baitul Maal wa Tamwil (BMT) diberikan
pilihan untuk menentukan status badan hukumnya yaitu Koperasi atau
Perseroan Terbatas. Jika berbadan hukum koperasi, maka yang dimaksud
adalah koperasi jasa.35 Seiring dengan perkembangan regulasi tersebut,
sebagian besar Baitul Maal wa Tamwil (BMT) bertransformasi berada di
bawah payung hukum Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
berikut peraturan turunannya sebagai Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah (KSPPS). Oleh karena itu bagi Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) yang telah berbadan hukum koperasi dan mendapatkan ijin usaha
sebagai Koperasi Simpan Pinjam, maka tunduk pada Undang-Undang
Perkoperasian sehingga tidak perlu mendapatkan ijin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Hal ini adalah
dalam rangka memberikan kepastian hukum serta mewujudkan tujuan hukum
yakni kemaslahatan.

34
Neni Sri Imaniyati, Aspek-Aspek Hukum BMT (Baitul Maal wat Tamwil),
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), h. 101-101
35
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang
Lembaga Keuangan Mikro.
199

Dalam realitasnya Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang memilih


eksitensinya dibawah regulasi dan pengawasan Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah yang dikenal sebagai Koperasi Simpan Pinjam
dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) telah memberikan kemanfaatan kepada
masyarakat. Sehingga eksistensinya harus tetap dijaga dan ditingkatkan. Hal
ini sesuai dengan prinsip umum hukum Islam sebagaimana tersebut di atas
yakni ‫ األلص في فامنيفي فاذإنه ففي فامناف امني‬bahwa pada dasarnya, segala yang
bermanfaat dibolehkan, dan segala yang mudarat dilarang. Oleh karena itu,
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah (KSPPS) tidak diperbolehkan melakukan penghimpunan
dana simpanan masyarakat kepada selain anggota meskipun permintaan
masyarakat selain anggota sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum
Islam ‫ إنا فتعف ض فامنفى ففامنقتاى فيقدم فامنفى‬yang berarti apabila larangan dan
tuntutan saling berlawanan, maka yang lebih didahulukan adalah larangan.
Dengan demikian maka bagi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai
Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) yang dalam
kegiatan usahanya memberikan layanan kepada masyarakat non anggota
wajib menundukkan diri pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro berikut peraturan turunannya dan berada di bawah
regulasi dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Lembaga
Keuangan Mikro Syariah (LKMS).
Sedangkan bagi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang belum berbadan
hukum, paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro berlaku yakni pada tanggal 8
Januari 2016 wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). Hal ini dalam rangka memberikan landasan hukum yang kuat atas
beroperasinya Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang belum berbadan hukum
200

sekaligus mewujudkan tujuan hukum. Sesuai dengan prinsip umum hukum


Islam sebagaimana tersebut di atas yakni ‫ الضر ففالضرا‬bahwa tidak boleh
menimbulkan kemudaratan dan tidak boleh menjadi korban kemudaratan,
Artinya bahwa apabila Baitul Maal wa Tamwil (BMT) melakukan kegiatan
usaha sementara belum berbadan hukum dan belum memperoleh izin usaha,
maka kegiatan tersebut akan dapat menimbulkan kemudaratan bagi
masyarakat khususnya nasabah dan bagi lembaga Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) itu sendiri karena kegiatannya dianggap illegal.
Dengan telah memiliki badan hukum dan ijin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), maka simpanan nasabah penyimpan akan terlindungi.
Dengan kata lain, kejelasan status badan hukum akan memberikan pengaruh
secara kelembagaan terutama dalam aktivitasnya melakukan penghimpunan
dana. Dengan memiliki badan hukum maka aktivitas penghimpunan dana
menjadi legal. Pada akhirnya Baitul Maal wa Tamwil (BMT) memiliki
legitimasi yang kuat dihadapan masyarakat dan anggotanya karena memiliki
hak dan kewajiban yang jelas sehingga mampu melaksanakan fungsinya
sebagai Baitul Maal (fungsi sosial) dan Baitul Tamwil (fungsi komersial) dan
mampu melindungi dan mengayomi anggota pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya.
Menurut al-Syatibi, Kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum Islam
(maqâsid al-syari’ah) terbagi menjadi tiga kebutuhan, yaitu; al-Daruriyyah
(primer), al-Hâjiyyah (sekunder), dan al-Tahsiniyyah (tersier).36 Maslahah
al-Daruriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan
pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini berpangkal
kepada memelihara lima perkara yaitu hifzu al-dîn (memelihara agama), hifzu

36
Abu Ishak al-Syatibi, al-Muwafaqat fî Usūli al-Syarî’ah, (T.tp: T.pn, t.t), Jilid II, h.
7
201

al-nafs (memelihara jiwa), hifzu al-‘aql (memelihara akal), hifzu al-mâl


(memelihara harta), dan hifzu al-nasl (memelihara keturunan).
Sedangkan cara untuk memeliharanya adalah dengan ada 2 (dua) hal,
37
yaitu: ‫( مراعفتهف فمو فجفىب فاموجود‬menjaga hal-hal yang dapat melanggengkan
keberadaannya) dan ‫( مراعفتهف فمو فجفىب فامعدم‬mencegah hal-hal yang dapat
menghilangkannya). Adapun maslahah al-hâjiyyah, yaitu kemaslahatan yang
dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar)
sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan kebutuhan
mendasar manusia. Sedangkan maslahah al-tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan
yang sifatnya pelengkap dan keluasan terhadap kemaslahatan daruriyyah dan
hâjiyyah.
Keberadaan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) menjadi pilar bagi
penjagaan kebutuhan daruriyyah. Dalam konteks Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) yang belum berbadan hukum dan wajib memiliki badan hukum serta
ijin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setelah Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro berlaku, maka maqâsid al-
syari’ah yang terbangun dari lima pilar penting dalam kehidupan manusia
yang harus terpenuhi tersebut, adalah upaya pelaksanaan dari prinsip hifzu al-
mâl (memelihara harta). Hal ini terwujud dalam bentuk perlindungan
konsumen dimana simpanan nasabah penyimpan akan terlindungi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa eksistensi Baitul
Maal wa Tamwil (BMT) pasca Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro yang terimplementasi menjadi 2 (dua)
pilihan bentuk kelembagaan harus tetap terwujud karena keberadaannya
dinilai efektif dalam mendorong pemberdayaan ekonomi skala kecil dan
menengah.

37
Abu Ishak al-Syatibi, al-Muwafaqat …………., h. 7
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tesis ini, maka dapat diperoleh
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan tentang Lembaga
Keuangan Mikro dan Perkoperasian dalam kaitannya dengan badan
hukum koperasi Baitul Maal wa Tamwil dilakukan dengan 2 (dua)
cara, yaitu:
a. Sinkronisasi Vertikal
Secara vertikal terjadi ketidaksinkronan pada aspek
perizinan, cakupan wilayah usaha, serta Laporan Keuangan dan
Pemeriksaan antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam Oleh Koperasi dan Peraturan Menteri Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
Pada aspek perizinan, di dalam UU LKM Pasal 9 ayat (1)
diatur bahwa sebelum menjalankan kegiatan usahanya, Baitul
Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah
harus memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
Sedangkan di dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan

202
203

Pinjam Oleh Koperasi diatur bahwa pengesahan akta pendirian


koperasi berlaku sebagai izin usaha.
Selanjutnya pada aspek cakupan wilayah usaha, di dalam
UU LKM Pasal 16 ayat (1) diatur bahwa cakupan wilayah usaha
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro
syariah berada dalam satu wilayah desa/kelurahan, kecamatan,
atau kabupaten/kota. Sedangkan di dalam Pasal 17 ayat (3)
Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Nomor 11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi
diatur bahwa cakupan wilayah usaha suatu KSPPS berada dalam 1
(satu) daerah kabupaten atau kota, lintas daerah kabupaten atau
kota dalam 1 (satu) daerah provinsi, dan lintas daerah provinsi.
Adapun pada aspek Laporan Keuangan dan Pemeriksaan,
di dalam UU LKM Pasal 30 ayat (1) diatur bahwa Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah wajib
menyampaikan laporan keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan
setiap 4 (empat) bulan. Demikian juga di dalam Pasal 31 diatur
bahwa dalam rangka pembinaan dan pengawasan, maka Otoritas
Jasa Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah.
Sedangkan di dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi diatur
bahwa Pengurus KSPPS atau Koperasi yang memiliki USPPS
wajib memberikan laporan kepada Pengawas dan rapat anggota
204

serta wajib menyampaikan laporan keuangan secara triwulanan,


dan tahunan kepada pejabat yang melaksanakan bimbingan dan
pembinaan teknis.
Karena terjadi ketidaksinkronan secara vertikal antara
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh
Koperasi dan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Nomor 11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan
Syariah Oleh Koperasi, maka dapat diselesaikan dengan
menerapkan asas hukum Lex Superior Derogat Legi Inferiori.
Menurut asas ini, apabila terjadi pertentangan antara peraturan
perundang-undangan yang secara hierarkis lebih rendah dengan
yang lebih tinggi, maka peraturan perundang-undangan yang
hierarkinya lebih rendah tersebut harus disisihkan.
Dengan demikian maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro menyisihkan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi dan Peraturan Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
b. Sinkronisasi Horizontal
Secara horizontal terjadi ketidaksinkronan pada aspek
Pembinaan dan Pengawasan, serta Kegiatan Usaha antara
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
205

Keuangan Mikro dengan Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang


Perkoperasian. Demikian juga pada aspek permodalan terjadi
ketidaksinkronan antara Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
61/POJK.05/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro dengan Peraturan
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
Pada aspek Pembinaan dan Pengawasan, di dalam UU
LKM Pasal 28 ayat (1) diatur bahwa pembinaan, pengaturan, dan
pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Sedangkan dalam UU tentang Perkoperasian Pasal 60 ayat (2),
ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan Koperasi
dilakukan oleh Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Demikian juga pada aspek kegiatan usaha, di dalam UU
LKM Pasal 11 ayat (1) diatur bahwa Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah dapat
memberikan pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro
kepada anggota dan masyarakat, sedangkan dalam UU tentang
Perkoperasian Pasal 44 ayat (1) diatur bahwa koperasi dapat
menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha
simpan pinjam dari dan untuk: a. anggota Koperasi yang
bersangkutan; b. Koperasi lain dan/atau anggotanya.
Selanjutnya pada aspek permodalan, dalam Pasal 9 ayat
(2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.05/2015
tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor
206

12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan


Lembaga Keuangan Mikro, ketentuan mengenai jumlah modal
minimal yang harus dipenuhi dalam pendirian Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) yang berbadan hukum Koperasi lebih
besar dari ketentuan dalam Pasal 17 ayat (3) Peraturan Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.
Adanya ketidaksinkronan antara Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Demikian juga
antara Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
61/POJK.05/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro dengan Peraturan
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi, dapat
diselesaikan dengan menerapkan asas hukum Lex Specialis
Derogat Legi Generalis. Asas ini mengandung makna, bahwa
aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum
yang umum.
Pada dasarnya aturan umum perkoperasian adalah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
beserta peraturan turunannya. Sedangkan koperasi sebagai badan
hukum dalam syarat untuk pendirian lembaga keuangan mikro
(LKM) diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
207

2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro beserta peraturan


turunannya.
Dengan demikian segala ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro beserta peraturan
turunannya adalah merupakan ketentuan khusus (spesialis) yang
harus didahulukan atau dimenangkan ketika terjadi benturan atau
ketidaksesuaian yang mengatur persoalan koperasi sebagai
lembaga keuangan mikro (LKM).
2. Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro menimbulkan implikasi yuridis terhadap status
badan hukum Baitul Maal wa Tamwil pada beberapa aspek berikut:
a. Implikasi Yuridis terhadap Aspek Kelembagaan
Ketentuan Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro telah memberikan
kejelasan terkait kelembagaan Baitul Maal wa Tamwil (BMT).
Pendirian Baitul Maal wa Tamwil (BMT) harus memenuhi
persyaratan, antara lain:
1) Bentuk badan hukum; Badan hukum Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) dapat berbentuk Koperasi atau Perseroan Terbatas
(PT). Adapun yang dimaksud dengan koperasi sebagai bentuk
badan hukum dalam syarat pendirian Lembaga Keuangan
Mikro adalah koperasi jasa.
2) Permodalan; Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang berbadan
hukum Koperasi dan telah memperoleh izin usaha sebagai
lembaga keuangan mikro syariah, harus menyesuaikan
besaran modal disetor berdasarkan cakupan wilayah usahanya.
208

3) Izin usaha; Permohonan izin usaha dengan setoran modal


secara tunai, berlaku bagi pendirian Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) baru, sedangkan Permohonan izin usaha dengan
setoran modal secara non tunai, berlaku bagi Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) yang sudah berdiri dan beroperasi sebelum
tanggal 8 Januari 2015, namun belum memperoleh izin sesuai
perundang-undangan yang berlaku. Adapun bagi Baitul Maal
wa Tamwil (BMT) telah berbadan hukum
Koperasi/memperoleh izin usaha sebagai koperasi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku maka tidak wajib
memperoleh ijin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
Dengan demikian, berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro berimplikasi
terhadap perubahan nama kelembagaan Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) sesuai dengan pilihan bentuk badan hukumnya. Dimana
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang telah mendapat izin usaha
dari Otoritas Jasa Keuangan berubah nama menjadi Koperasi
LKMS Baitul Maal wa Tamwil atau PT. LKMS Baitul Maal wa
Tamwil.
b. Implikasi Yuridis terhadap Aspek Kegiatan Usaha
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang berbadan hukum Koperasi
dan telah memperoleh izin usaha sebagai lembaga keuangan
mikro syariah, dapat melakukan penghimpunan dana simpanan
masyarakat (PDSM) tidak hanya kepada anggotanya saja,
melainkan juga kepada masyarakat selain anggota koperasi. Selain
itu, juga dapat memberikan jasa konsultasi pengembangan usaha,
dan kegiatan berbasis fee.
209

c. Implikasi Yuridis terhadap Aspek Cakupan Wilayah Usaha


Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang telah memperoleh izin usaha
sebagai lembaga keuangan mikro syariah, hanya dapat
memberikan pelayanan jasa keuangan kepada masyarakat paling
luas dalam 1 (satu) kabupaten/kota. Pembatasan cakupan wilayah
usaha itu berlaku untuk kegiatan usaha yang berupa pinjaman atau
pembiayaan, sedangkan untuk kegiatan usaha yang berupa
pengelolaan simpanan maupun pemberian jasa konsultasi
pengembangan usaha, tidak dibatasi oleh cakupan wilayah usaha.
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro
syariah, dapat melakukan perluasan jangkauan layanan keuangan
kepada masyarakat di luar kabupaten/kota dengan bertransformasi
menjadi bank.
d. Implikasi Yuridis terhadap Aspek Pembinaan, dan Pengawasan
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang telah memperoleh izin usaha
sebagai lembaga keuangan mikro syariah, pembinaan dan
pengawasannya dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
yang pelaksanaannya didelegasikan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
3. Eksistensi Baitul Maal wa Tamwil pasca diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
secara yuridis berada dibawah regulasi dan pengawasan dari Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) yang dikenal sebagai Lembaga Keuangan
Mikro Syariah (LKMS). Namun demikian Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro memberikan
keleluasaan bagi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang telah berbadan
hukum dan mendapatkan ijin usaha sebagai Koperasi Simpan Pinjam
210

untuk tunduk pada Undang-Undang Perkoperasian sehingga tidak


perlu mendapatkan ijin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dengan demikian dalam implementasinya, eksistensi Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) ada yang berada di bawah payung hukum
Kementerian Koperasi dan UKM melalui Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang dikenal sebagai Koperasi
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah/Unit Simpan Pinjam
Pembiayaan Syariah (KSPPS/USPPS).

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang disimpulkan di atas dan dalam
rangka memberikan landasan hukum yang kuat atas beroperasinya Baitul
Maal wa Tamwil (BMT), dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu
memperkuat kelembagaan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) melalui:
a. Pengaturan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dalam UU tersendiri
mengingat sifat dasar dan karakteristiknya yang berbeda dari
LKM yang lain; dan/atau
b. Penyempurnaan terhadap regulasi yang ada, dengan cara
melakukan revisi terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
diantaranya pada Pasal 1 perlu penambahan definisi permodalan,
Pasal 5 ayat (2) dan (3) perlu perubahan persentase kepemilikan
saham.
2. Kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melaksanakan
pembinaan dan pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Mikro
termasuk Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan
211

mikro syariah harus segera merealisasikan pendelegasian wewenang


kepada Pemerintah Kabupaten/Kota atau jika Pemerintah
Kabupaten/Kota belum siap maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
dapat menunjuk pihak lain sesuai ketentuan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 14/POJK.05/2014 Tentang Pembinaan dan
Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro.
3. Kepada DSN-MUI perlu mendorong Pemerintah agar segera
menyusun peraturan yang khusus mengatur Baitul Maal wa Tamwil
(BMT). Selain itu DSN-MUI perlu memberikan masukan kepada
OJK terkait penggunaan akad-akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah sebagai petunjuk pelaksanaan penggunaan
akad lain oleh Lembaga Keuangan Mikro Syariah termasuk Baitul
Maal wa Tamwil (BMT).
4. Kepada Praktisi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) perlu mematuhi
peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukumnya
terutama yang berkaitan perijinan dan kegiatan usaha.
5. Kepada para peneliti dan akademisi hukum perlu melakukan
penelitian lanjutan berkenaan dengan efektivitas pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro terhadap Baitul Maal wa Tamwil (BMT).
212

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abu Zahrah, Muhamad, Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1985.

_______, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma’shum dkk.,


Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994. Cet. Kedua.

Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis
Prudence). Jakarta: Kencana, 2017.

Ali, Chidir, Badan Hukum. Bandung: Alumni, 2015.

Alma, Buchari, dan Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syariah. Bandung:
Alfabeta, 2009.

Amalia, Euis, Keuangan Mikro Syariah. Bekasi: Gramata Publishing, 2016.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. Depok:


Rajawali Pers, 2018.

Asikin, Zainal, Pengantar Ilmu Hukum. Depok: Rajawali Pers, 2017.

Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca


Reformasi. Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006. Cetakan
Kedua.

Danupranata, Gita, Ekonomi Islam. Yogyakarta: UPFE-UMY, 2006.

Divisi Keuangan Mikro Syariah, Direktorat Keuangan Inklusi Dana Sosial


Keagamaan dan Keuangan Mikro Syariah KNKS, Strategi
Pengembangan Keuangan Mikro Syariah Di Indonesia. Jakarta:
KNKS, 2019.
213

al-Duwaihi, Ahmad bin Abdullah bin Muhammad, Qa’idah al-Aslu fî al-Asy-


yâ-i al-Ibâhah. al-Riyâd: Jami’ah al-Imam Muhammad bin su’ud
al-Islamiyyah, 2007 M/1428 H.

Effendi M. Zein, Satria, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2017.

Friedman, Lawrence M., The Legal System. New York: Russel Sage
Fondation, 1975.

Fuller, Lon L., The Morality of Law. New Haven: Yale University Press,
1969.

Hassan, Abdul Qadir, Ushul Fiqh. Bangil: Yayasan al-Muslimun, 1992.

HR., Ridwan, Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.

Ilmi, Makhalul, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah.


Yogyakarta: UII Press, 2002.

Indrati S., Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan 1: Jenis, Fungsi, dan


Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius, 2020.

Islamy, M. Irfan, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta:


Bumi Aksara, 2003.

Ismail, Muhammad Bakar, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah baina al-Asalah wa al-


Taujîh. Beirut: Dâr al-Manâr, 1997 M/1417 H.

al-Jurjani, al-Syarif Ali bin Muhammad, Kitab al-Ta’rifat. T.tp.: al-


Haramain, 2001 M/ 1421 H.

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
PN. Balai Pustaka, 1982.

Kansil, C.S.T., dan Cristine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum.


Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.

Kartohadiprodjo, Soediman, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia. Jakarta:


Pembangunan, 1965.
214

Kelsen, Hans, Pure Theory of Law, Penerjemah Raisul Muttaqien, Teori


Hukum Murni, Cet. VI. T.t.: Nusa Media, 2008.

Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Kuwait, 1968.

_______, Ilmu Ushul al-Fiqh, Penerjemah Noer Iskandar al-Barsany dan


Moh. Tolchah Mansoer, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul
Fiqh). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994. Cet. Keempat.

Lubis, Suharawardi K., Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group,


2019.

Manan, Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, Cetakan Kedua. Yogyakarta: FH


UII Press, 2004.

_______, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia. Cetakan Pertama.


Jakarta: Ind. Hill. Co, 1992.

_______, Hukum Positif Indonesia: Satu Kajian Teoritik. Yogyakarta: FH


UII Press, 2004.

Misbahuddin, Ushul Fiqh II. Makassar: Alauddin Press, 2015.

PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil), Peraturan Dasar dan Contoh
AD-ART BMT. Jakarta: Wasantara Net.Id, t.th.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014.

Ramadan, Atiyah Adlan Atiyah, Mausu‘ah al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah al-


Munazzamah li al-Mu‘amalat al-Maliyah al-Islamiyyah wa
Dauruha fi Tawjih al-Nazm al-Mu‘asirah. Iskandariyah: Dar al-
Aiman, 2007.

Ranggawidjaja, Rosjidi, Pedoman Teknik Perancangan Peraturan


Perundang-Undangan. Bandung: Cita Bhakti Akademika, 1996.

Raz, Joseph, The Concept of a Legal System: An Introduction to the Theory


of Legal System. New York: Oxford University Press, 1970.
215

Rido, R. Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,


Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf. Bandung: Alumni, 2012.

Ridwan, Muhammad, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT).


Yogyakarta: UII Press, 2004.

al-Risuni, Ahmad, Nadzariyyah al-Maqashid ‘inda al-Imam al-Syatibi.


Kairo: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 1416 H.
Cet. IV.

Sahroni, Oni, Ushul Fikih Muamalah: Kaidah-Kaidah Ijtihad dan Fatwa


dalam Ekonomi Islam. Depok: Rajawali Pers, 2017.

Sahroni, Oni, dan Adiwarman A. Karim, Maqasid Bisnis dan Keuangan


Islam: Sintesis Fikih dan Ekonomi. Depok: Rajawali Pers, 2017.

Sa’id Ramadan al-Buti, Muhammad, Dawabit al-Maslahah fi al-Syari’ah al-


Islamiyah. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1977.

Salim HS., H., Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali
Pers, 2010.

Saliman, Abdul R., Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh
Kasus. Jakarta: Kencana, 2011.

Sidharta, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai


Komisi Yudisial, Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian
Hukum, dan Kemanfaatan. Jakarta: Komisi Yudisial Republik
Indonesia, 2010.

Silalahi, Amin, Strategi Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya


Manusia. Surabaya: Batavia Press, 2005.

Simanjuntak, P.N.H., Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Kencana, 2015.

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Depok:


Rajawali Pers, 2019.
216

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3. Jakarta: UI Press,


1986.

_______, Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi. Bandung: Remadja


Karya, 2019.

Soeria Atmadja, Arifin P., Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum: Teori,
Praktek, dan Kritik. Jakarta: Badan Penerbit Universitas Indonesia,
2005.

Soeroso, R.. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Sri Imaniyati, Neni, Hukum Bisnis: Telaah Tentang Pelaku dan Kegiatan
Ekonomi. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.

_______, Aspek-Aspek Hukum BMT (Baitul Maal wat Tamwil). Bandung:


Citra Aditya Bakti, 2010.

Suadi, Amran, dan Mardi Candra, Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata
dan Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah. Jakarta: Prenadamedia
Group, 2016.

Surono, Agus, Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-


Undangan, Cet. 1. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar
Indonesia, 2013.

al-Syatibi, Abu Ishak, al-Muwafaqat fî Usūli al-Syarî’ah. T.tp: T.pn, t.t. Jilid
II

Winarno, Budi, Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media


Presindo, 2002.

Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang


Baik. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009.

B. Jurnal, Penelitian

Amin, Muhammad, “Implementasi Undang-Undang Lembaga Keuangan


Mikro Pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah Yang Berbadan
217

Hukum Koperasi”. Tesis Magister Hukum Islam, Fakultas Syariah


dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2018.

Barlinti, Yeni Salma, “Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam


Sistem Hukum Nasional Di Indonesia”. Disertasi, Fakultas
Hukum, Program Doktoral Pascasarjana Universitas Indonesia,
Jakarta, 2010.

Dewi, Nourma, “Regulasi Keberadaan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)


Dalam Sistem Perrekonomian Di Indonesia”, dalam Jurnal
Serambi Hukum, Vol. 11, No. 01, Februari-Juli 2017.

Fajrianty, Handieni, “Kepastian Hukum Baitul Mal Wat Tamwil Tinjauan


Undang-Undang Perkoperasian dan Lembaga Keuangan Mikro”.
Tesis Magister Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2019.

Huda, Ni’matul, “Kedudukan Peraturan Daerah Dalam Hierarki Peraturan


Perundang-undangan”, dalam Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 1,
Januari 2006.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Naskah Akademik


Rancangan Undang-Undang Tentang Perkumpulan. T.t.: Badan
Pembinaan Hukum Nasional, 2016.

________, Laporan Akhir Penyelarasan Naskah akademik Rancangan


Undang-Undang Tentang Perkoperasian. Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional, 2015.

Kriekhoff, Valerine J.L., “Analisis Konten Dalam Peneletian Hukum: Suatu


Telaah Awal”, dalam ERA HUKUM, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum,
Vol. 2, No. 4, 1995.

Masyithoh, Novita Dewi, “Analisis Normatif Undang-Undang No. 1 Tahun


2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Atas Status
Badan Hukum dan Pengawasan Baitul Maal wat Tamwil (BMT)”,
dalam Jurnal Economica, Vol. V, Edisi 2, Oktober 2014.
218

Muhtarom, Muhammad, “Reformulasi Peraturan Hukum Lembaga Keuangan


Mikro Syariah Di Indonesia”, dalam PROFETIKA, Jurnal Studi
Islam, Vol. 17, No. 1, Juni, 2016.

________, “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Perkoperasian dan


Lembaga Keuangan Mikro”. Disertasi, Program Doktor Ilmu
Hukum, Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta, 2016.

Mursid, Fadillah, “Kebijakan Regulasi Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Di


Indonesia”. Tesis Magister Hukum Islam, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2017.

Mustofa, Imam, “Zakat Lembaga Keuangan Syariah Sebagai Badan Hukum”,


dalam Jurnal Millah, Vol. XIV, No. 1, Agustus 2014.

Noer, Zakiah, “Akibat Hukum Pendirian Lembaga Keuangan Mikro Oleh


Badan Hukum Koperasi”, dalam Justiciabelen, Vol. 1, No. 1,
2018.

Rosika, Afione Ade, “Tinjauan Teori Perundang-Undangan Terhadap


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak”, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Qistie, Vol. 12, No. 1,
Mei 2019.

Sayuna, Inche, “Harmonisasi Dan Sinkronisasi Hukum Surat Kuasa


Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Ditinjau Dari
Otentisitas Akta Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris”. Tesis Magister Kenotariatan, Fakultas
Hukum, Universitas Sebelas Maret, 2016.

Sri Imaniyati, Neni, “Aspek-Aspek Hukum Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)
dalam Perspektif Hukum Ekonomi”, dalam Prosiding SNaPP2011:
Sosial, Ekonomi, dan Humaniora, ISSN 2089-3590

Wija Atmaja, Gede Marhaendra, “Ilmu Perundang-Undangan”, Bimbingan


Teknis Penyusunan Produk Hukum Daerah Sekretariat Daerah
Kabupaten Klungkung, 8 Desember 2016.
219

Winarno, “Kaidah Tarjih”, dalam Suhuf, Jurnal UMS, Vol. 22, No. 1, Mei
2010.

Yusuf, Sri Dewi, “Peran Strategis Batul Maal Wa-Tamwil (BMT) Dalam
Peningkatan Ekonomi Rakyat”, dalam Jurnal Al-Mizan, Volume
10, No. 1, Juni 2014.

Zubair, Muhammad Kamal, “Sustainabilitas Lembaga Keuangan Mikro


Syariah”. Disertasi, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2016.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang


Perkoperasian.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang


Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang


Perseroan Terbatas

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang


Pengelolaan Zakat.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga


Keuangan Mikro.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


220

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 tentang


Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014 tentang


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2014 tentang


Suku Bunga Pinjaman Atau Imbal Hasil Pembiayaan dan Luas
Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan Mikro.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK.05/2014 tentang


Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.05/2015 tentang


Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan
Lembaga Keuangan Mikro.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62 /POJK.05/2015 tentang


Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga
Keuangan Mikro.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62/POJK.03/2016 Tentang


Transformasi Lembaga Keuangan Mikro Konvensional Menjadi
Bank Perkreditan Rakyat Dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah
Menjadi Bank Perkreditan Rakyat Syariah.

Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik


Indonesia Nomor : 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan
Syariah Oleh Koperasi.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia


Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pengesahan Koperasi.
221

D. Media Daring (Online)

Djaelani, Firdaus, dalam Kontan, LKM Wajib Menjadi BPR, Jakarta, 31 Juli
2016, diakses pada 23 September 2020 dari
https://keuangan.kontan.co.id/news/lkm-wajib-menjadi-bpr

Global Islamic Finance Report (GIFR) 2019, Islamic Finance Country Index
- IFCI 2019, Chapter 01, Inggris: Cambridge IFA, 20190, diakses
pada 26 Maret 2020 dari
http://www.gifr.net/publications/gifr2019/ifci.pdf

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diakses pada 26 Maret 2020 dari
https://kbbi.web.id/

Kamus Hukum Online Indonesia – Indonesia Law Dictionary, diakses pada


26 Maret 2020 dari https://kamushukum.web.id/arti-
kata/badan+hukum/

Kementerian Koperasi dan UKM, Rekapitulasi Data Koperasi Per 31


Desember 2019, diakses pada 26 Maret 2020 dari
http://www.depkop.go.id/data-koperasi

Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS), Siaran Pers: Global Islamic


Finance Report 2019 Menempatkan Indonesia di Posisi Teratas
dalam Pasar Keuangan Syariah Global, Jakarta, 17 Oktober 2019,
diakses pada 26 Maret 2020 dari
https://knks.go.id/storage/upload/1571570175-Siaran Pers
Penghargaan GIFR 2019.pdf

Koperasi Syariah Saat Ini Capai 4.046 Unit”, Jurnas.com, 24 Februari 2020,
diakses pada 26 Maret 2020 dari
http://www.jurnas.com/mobile/artikel/67920/Koperasi-Syariah-
Saat-Ini-Capai-4046-Unit/

Mahendra, A.A. Oka, “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”, artikel


diakses pada 27 Agustus 2020 dari
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-
peraturan-perundang-undangan.html
222

Otoritas Jasa Keuangan, Laporan Kuartal III LKM Tahun 2019, diakses pada
26 Maret 2020 dari https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-
statistik/statistik-lkm/Pages/Laporan-Kuartal-III-LKM-Tahun-
2019.aspx

_______, Direktorat Lembaga Keuangan Mikro, “Frequently Asked


Questions (FAQ)”, diakses pada 27 Agustus 2020 dari
https://www.ojk.go.id/Files/box/LKM/faq-lkm.pdf

_______, “Siaran Pers Bersama Nota Kesepahaman Otoritas Jasa Keuangan,


Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Koperasi dan UKM
tentang Koordinasi Pelaksanaan UU Nomor 1/2013 Mengenai
Lembaga Keuangan Mikro”, diakses pada 27 Agustus 2020 dari
https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-
pers/Documents/SIARANPERSMOUMENDAGRIMENKOPfinal
OJK_1405067229.pdf

_______, “Penguatan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro”, 2017,


diakses pada 27 Agustus 2020 dari https://adoc.pub/penguatan-
kelembagaan-lembaga-keuangan-mikro-otoritas-jasa-k.html

_______, Direktori Lembaga Keuangan Mikro Juli 2020, diakses pada 26


Agustus 2020 dari https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-
statistik/direktori/direktori-lkm/Pages/Direktori-Lembaga-
Keuangan-Mikro-Juli-2020.aspx

Rahardjo, Ventje, dalam Indonesia Islamic Microfinance Leaders Forum di


Aryaduta Hotel, Jakarta, 20 November 2019, diakses pada 26
Maret 2020 dari https://republika.co.id/berita/q19ixu370/knks-
berkomitmen-hidupkan-kembali-bmt

Rosidah, Zaidah Nur, “Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan


Mengenai Perkawinan Beda Agama”, dalam Jurnal al-ahkam, Vol.
23, No. 1, April, 2013. diakses pada 26 Maret 2020 dari
http://journal.walisongo.ac.id/index.php/ahkam

Zuhraini, “Kajian Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Pekon Dalam


Perspektif Hukum Sebagai Sistem Nilai (Berdasarkan Teori Lon
Fuller)”, dalam Jurnal Asas, Vol. 9, No. 2, Juni, 2017. diakses
pada 26 Maret 2020 dari http://ejournal.radenintan.ac.id/
223

E. Wawancara

Wawancara Pribadi dengan Imam Gozali, Jakarta, 26 Agustus 2020 dan 23


September 2020.

Wawancara Pribadi dengan Henra Saragih, Jakarta, 1 Oktober 2020.

Wawancara Pribadi dengan Achmad Halili, Jakarta, 11 Agustus 2020 dan 23


September 2020.
224

Lampiran 1
Izin Penelitian dan Wawancara
225
226
227
228

Lampiran 2
Pedoman Wawancara
229

PEDOMAN WAWANCARA

Nama Informan :
Pekerjaan/Jabatan :
Instansi : Otoritas Jasa Keuangan
Tanggal wawancara :

1. Baitul Mal wat Tamwil (BMT) merupakan salah satu lembaga keuangan
mikro, yang secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Sejak berlakunya UU
LKM, berapa jumlah Baitul Mal wat Tamwil (BMT) yang memilih
mendaftarkan diri kepada OJK sebagai Lembaga Keuangan Mikro
Syariah (LKMS)?
2. Apa badan hukum yang dipilih oleh Baitul Mal wat Tamwil (BMT) yang
mendaftarkan diri kepada OJK sebagai Lembaga Keuangan Mikro
Syariah (LKMS)?
3. Apakah sama antara badan hukum koperasi dalam syarat pendirian LKM
dengan badan hukum koperasi sebagai badan usaha?
4. Apabila BMT sebagai LKMS memilih badan hukum koperasi, apakah
diperlakukan sama dengan LKM lainnya dalam hal hak dan kewenangan
untuk melakukan penghimpunan dana simpanan masyarakat (PDSM)
kepada masyarakat selain anggota koperasi?
5. Jika BMT sebagai LKMS memilih badan hukum koperasi yang diatur
oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM, maka
bagaimanakah kedudukan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
230

tentang Perkoperasian yang pada saat ini masih berlaku sebagai landasan
hukum Koperasi?
6. Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro telah berimplikasi pada terjadinya pengaturan secara
ganda bagi Baitul Mal wat Tamwil (BMT) sebagai LKMS yang
berbadan hukum koperasi. Bagaimana menurut pendapat Saudara!
7. Bagaimana koordinasi antara OJK dengan Kemenkop dan UKM dalam
mengawasi dan membina BMT sebagai LKMS yang berbadan hukum
koperasi.
8. Menurut pendapat Saudara, bagaimana eksistensi Baitul Mal wat Tamwil
(BMT) setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro?
231

PEDOMAN WAWANCARA

Nama Informan :
Pekerjaan/Jabatan :
Instansi : Kementerian Koperasi dan UKM
Tanggal wawancara :

1. Berapa jumlah Baitul Mal wat Tamwil (BMT) yang memilih


mendaftarkan diri kepada Kementerian Koperasi dan UKM sebagai
Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS)?
2. Apakah sama antara badan hukum koperasi dalam syarat pendirian LKM
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM dengan
badan hukum koperasi sebagai badan usaha?
3. Baitul Mal wat Tamwil (BMT) merupakan salah satu lembaga keuangan
mikro, yang secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Bagaimana pendapat
Saudara tentang Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro tersebut!
4. Apakah perbedaan yang mendasar antara BMT sebagai KSPPS dengan
BMT sebagai LKMS yang berbadan hukum koperasi?
5. Jika BMT memilih badan hukum koperasi yang diatur oleh Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM, maka bagaimanakah
kedudukan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian yang pada saat ini masih berlaku sebagai landasan hukum
Koperasi?
6. Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro telah berimplikasi pada terjadinya pengaturan secara
232

ganda bagi Baitul Mal wat Tamwil (BMT) yang berbadan hukum
koperasi. Bagaimana menurut pendapat Saudara!
7. Bagaimana koordinasi antara Kemenkop dan UKM dengan OJK dalam
mengawasi dan membina BMT sebagai LKMS yang berbadan hukum
koperasi.
8. Menurut pendapat Saudara, bagaimana eksistensi Baitul Mal wat Tamwil
(BMT) setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro?
233

PEDOMAN WAWANCARA

Nama Informan :
Pekerjaan/Jabatan :
Instansi : BMT Al-Bayan
Tanggal wawancara :

1. Bagaimana sejarah BMT Al-Bayan?


2. Berapa jumlah anggota dan aset BMT Al-Bayan?
3. Apa bentuk badan hukum BMT Al-Bayan?
4. Bagaimana cakupan wilayah usaha BMT Al-Bayan?
5. Bagaimana hubungan BMT Al-Bayan dengan Dinas Koperasi dan
Perangkatnya?
6. Apakah BMT Al-Bayan melakukan penghimpunan dana simpanan
masyarakat (PDSM) dan memberikan pembiayaan kepada masyarakat
selain anggota koperasi?
7. Baitul Mal wat Tamwil (BMT) merupakan salah satu lembaga keuangan
mikro, yang secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Bagaimana pendapat
Saudara tentang Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro tersebut!
8. Bagaimana pendapat Saudara tentang Peraturan Menteri Koperasi Dan
Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor :
11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi!
9. Dari peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, menurut
Saudara sebaiknya eksistensi Baitul Mal wat Tamwil (BMT) berada di
bawah payung hukum Kementerian Koperasi dan UKM melalui Undang-
234

Undang tentang Perkoperasian atau berada di bawah payung hukum


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Undang-Undang No. 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro!. Mengapa?
10. Bagaimana harapan anda kedepannya mengenai pengaturan Baitul Mal
wat Tamwil (BMT)?
235

Lampiran 3
Hasil Wawancara
236

JAWABAN WAWANCARA

Nama Informan : Imam Gozali


Pekerjaan/Jabatan : Kepala Sub bagian
Instansi : Departemen Pengawasan IKNB 1B –
Direktorat Lembaga Keuangan Mikro Otoritas Jasa
Keuangan
Tanggal wawancara : 26 Agustus 2020
No. HP / e-Mail : 0816 4859800 / imam.gozali@ojk.go.id

1. Sampai dengan Juli 2020 BMT yang telah mendapatkan izin usaha
sebagai LKM Syariah sebanyak 3 LKM dari total 222 LKM diseluruh
Indonesia yaitu:
 Koperasi LKMS BMT Sumber Harapan Maju
 Koperasi LKMS Gunung Jati
 Koperasi LKMS BMT Talaga
2. Badan Hukum (BH) BMT yang telah mendapatkan izin usaha sebagai
LKM adalah Koperasi dengan Jenis Koperasi Jasa Keuangan
dikarenakan mayoritas BMT berasal dari inisiatif individu.
3. Dalam hal ini untuk pengurusan BH Koperasi diserahkan kepada
Kementerian Koperasi dan UKM saat ini di Kemenkumham melalui
mekanisme One Single Submission (OSS) dengan system sisminbhkop.
Sedangkan untuk pengurusan izin usaha LKM dilakukan oleh OJK
dengan ketentuan yang tertuang dalam POJK 12 Tahun 2014 tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan LKM dan POJK 61 Tahun 2015
237

tentang Perubahan POJK 12 Tahun 2014 tentang Perizinan Usaha dan


Kelembagaan LKM.
4. Sesuai dengan Undang Undang LKM, untuk LKM yang berbadan
hukum Koperasi dan telah memiliki izin usaha sebagai LKM dapat
menerima simpanan dari masyarakat non anggota. Hal tersebut yang
membedakan Koperasi LKM dengan Koperasi Simpan Pinjam Syariah.
5. Kedudukan Undang Undang Koperasi Nomor 25 Tahun 1992 tetap
sebagai pedoman pembentukan BH Koperasi LKM, dikarenakan sesuai
Pasal 5 ayat (1) huruf a bentuk badan hukum Koperasi yang diatur dalam
Undang Undang LKM tetap mengacu kepada Undang Undang
Perkoperasian.
6. Perlu dibedakan terkait pengaturan badan hukum dan pemberian izin
usaha, untuk proses pembentukan badan hukum tetap mengacu pada
Undang Undang Perkoperasian yang saat ini berlaku. Sedangkan Undang
Undang LKM dibuat untuk menampung seluruh lembaga keuangan
mikro yang melakukan penghimpunan dana, namun tidak memiliki
badan hukum dan tidak memiliki izin usaha. Undang Undang LKM
dikecualikan untuk lembaga keuangan yang melakukan penghimpunan
dana dan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri
maupun lembaga keuangan yang dibentuk berdasarkan hukum adat.
7. Koordinasi yang dilakukan antara OJK dan Kemenkop UKM sudah
sejalan terkait dengan pengawasan LKM, untuk pengawasan Koperasi
LKM yang telahn mendapatkan izin usaha sebagai LKM sesuai Undang
Undang LKM diawasi oleh OJK dalam hal ini sesuai Pasal 28 UU LKM
didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kab/kota. Apabila Pemerintah
Daerah Kab/kota belum siap OJK dapat menunjuk pihak ketiga atau OJK
238

langsung yang mengawasi. Sedangkan, untuk Koperasi Simpan Pinjam


Syariah diawasi oleh Kementerian koperasi dan UKM.
8. Bagi BMT yang telah mendapatkan izin usaha LKM saat ini mayoritas
telah memenuhi ketentuan OJK, namun saat ini masih banyak BMT yang
belum berbadan hukum namun data tersebut belum dimiliki OJK.
239
240
241
242
243
244
245

JAWABAN WAWANCARA

Nama Informan : Achmad Halili


Pekerjaan/Jabatan : Ketua Pengurus
Instansi : BMT Al-Bayan
Tanggal wawancara : 09 Agustus 2020

1. Koperasi BMT Al-Bayan dibentuk dan telah disyahkan berdasarkan Akte


Pendirian NOMOR: 2/BH/KDK.10.4/I/1999 sebagai Anggaran Dasar
pada tanggal 4 Januari 1999 oleh Kepala Kantor Departemen Koperasi,
Pengusaha Kecil dan Menengah Kabupaten/Kodya Tangerang.
Koperasi BMT Al-Bayan telah memperoleh Piagam Penghargaan
NOMOR: 800/KEP.61/BID.KOPERASI/2018 dari Dinas Koperasi
Usaha Kecil dan Menengah Kota Tangerang Selatan, sebagai juara ke 1
(satu) Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syarah (KSPPS)
berprestasi tingkat Kota Tangerang Selatan.
Koperasi BMT Al-Bayan mengalami Perubahan Anggaran Dasar (PAD)
dari Koperasi Serba Usaha menjadi Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah (KSPPS) dengan Akta Perubahan Anggaran Dasar
tertanggal 15 Maret 2019, NOMOR: 02, yang dibuat dihadapan Riska
Kurnia SH, M.Kn, Notaris berkedudukan di Kota Tangerang Selatan dan
telah mendapat persetujuan dari Menteri Koperasi dan Usaha Kecil, dan
Menengah pada tanggal 8 Mei 2019, dengan NOMOR:
001061/PAD/M.KUKM.2/V/2019.
2. Jumlah anggota BMT Al-Bayan sebanyak 49 orang dan jumlah aset
sebasar Rp, 4.283.303.445,- per 31 Desember 2019.
246

3. Legalitas atau bentuk badan hukum BMT Al-Bayan sudah terjawab pada
butir (1) tersebut diatas.
4. Sesuai dengan legalitas/ anggaran dasar cakupan wilayah usaha BMT
Al-Bayan dapat dilakukan lintas provensi wilayah Indonesia, namun
pada saat ini wilayah usaha BMT Al-Bayan baru mencakup
Jabodetabek yang berkantor pusat di Tangerang Selatan tanpa dan/atau
belum memiliki kantor cabang/ jaringan pelayanan.
5. Hubungan BMTAl-Bayan dengan Dinas Koperasi dan perangkatnya
bahwa Dinas Koperasi berfungsi sebagai pembina, yaitu memberikan
masukan, bimbingan, kemudahan dan perlindungan kepada BMT Al-
Bayan.
6. BMT Al-Bayan menghimpun dana dari anggota, calon anggota, dan/atau
non anggota (termasuk masyarakat) dalam bentuk Tabungan Wadiah dan
Simpan Berjangka Mudharabah. Dalam bidang usaha BMT Al-Bayan
menyalurkan dana kepada anggota, calon anggota, dan/atau non anggota
(hanya) dalam bentuk pembiayaan dengan Akad Murabahah (jual-beli)
karena pembelinya sudah jelas sehingga lebih aman. Dalam bidang sosial
BMT Al-Bayan menyalurkan dana kepada anggota, calon anggota,
dan/atau non anggota dalam bentuk pinjaman dengan Akad Qardh.
7. Pada prinsipnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) adalah cukup akomudatif terhadap BMT,
namun dalam tataran operasional yang diatur melalui Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan NOMOR 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro masih terdapat celah yang
perlu mendapat perhatian. Dalam peraturan tersebut pada Bab II pasal 2
ayat (1) berbunyi bahwa bentuk badan hukum LKM adalah Koperasi
atau Perseroan Terbatas. Menurut hemat kami bahwa Otoritas Jasa
247

Keuangan (OJK) selayaknya tidak mengatur Koperasi karena masih ada


Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil, dan Menengah (KUKM) agar
tidak menjadi tumpang tindih peraturan. Dalam hal ini perlu disampaikan
bahwa Koperasi Syariah sebelumnya bernama Koperasi Jasa Keuangan
Syariah (KJKS) dan dalam waktu singkat nama ini dirubah menjadi
Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS), karena
kalau namanya masih KJKS maka legislatornya tentunya/tepatnya OJK,
dan disini terlihat adanya perebutan legislator. Sedangkan LKM dalam
bentuk Perseroan Terbatas menurut hemat kami masih mengalami
kendala. Coba perhatikan dalam peraturan tersebut pada BAB II pasal 2
ayat (2) huruf b berbunyi paling sedikit 60 % (enam puluh persen)
sahamnya wajib dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau
badan usaha milik Desa/Kelurahan. Hal ini berarti bahwa LKM atau
BMT dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah milik
Pemerintah Daerah, mana mau LKM diperlakukan seperti itu, kecuali
LKM milik BUMN, contohnya LKM milik Bank Mandiri, artinya dari
pemerintah untuk pemerintah. (maaf untuk Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan NOMOR: 61/ POJK.05/2015 dan NOMOR: 62/POJK.05/2015
belum membaca barang kali disini sudah banyak yang berubah).
8. Peraturan Mentri Koperasi dan Usaha Kecil, dan Menengah NOMOR:
11/PER/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah adalah cukup ideal bagi Baitul
Mal wat Tamwil (BMT) yang berbadan hukum Koperasi, karena semua
istilah syariah sudah tertuang di dalamnya dan ruang lingkup kegiatan
usahanya meliputi kegiatan sosial (maal) dan kegiatan usaha bisnis
(tamwil). Hal ini kalau dikaji dari kegiatan usahanya merupakan kegiatan
Baitul Maal wat Tamwil (BMT). Masalahnya bukan pada kegiatan
248

usahanya, akan tetapi pada badan hukum Koperasinya yang kurang tepat.
Ditinjau dari kelahiran BMT pada bulan Desember 1995 yang
dicanangkan oleh Presiden RI kedua di Hotel Indonesi (HI) menjadi
gerakan nasional, BMT dengan kepanjangan Baitul Maal wat Tamwil
atau dengan kata lain Balai usaha Mandiri Terpadu adalah lahir
sebagai Lembaga Keuangan Masyarakat (bukan sebagai Koperasi)
dengan izin operasional dari PINBUK, sedangkan PINBUK sendiri
mempunyai MOU atau kerjasama dengan Bank Indonesia (BI). Pada saat
itu BMT didirikan dengan tujan untuk melayani masyarakat bawah yang
tidak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan fasilitas dari Bank
(karena persyaratannya rumit dan komplek), dan pada saat itu pula BMT
dibutuhkan oleh masyarakat utamanya agar masyarakat bawah dapat
terhindar dari rentenir yang selanjutnya BMT dikenal sebagai Bank
kecil, dan sebagai konsekuensi logisnya pada saat itu BMT tidak
mengenal istilah anggota, calon anggota, dan/atau non anggota,
melainkan satu-satunya istilah yang dikenal adalah nasabah.
9. Mengenai Badan Hukum sedikit banyak telah disinggung pada butir (7)
di atas. Pilihan yang paling tepat bagi BMT adalah berbadan hukum
Perseroan Terbatas sebagaimana layaknya Bank. Namun badan hukum
Perseroan Terbatas bagi BMT yang ada di OJK adalah Perseroan
Terbatas paling sedikit 60 % (enam puluh persen) sahamnya wajib
dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Hal semacam ini dinilai tidak tepat
bagi/ buat BMT sehingga pada akhirnya Perseroan Terbatas model LKM
OJK ini tidak menjadi pilihan. Dengan demikian, maka selanjutnya
dengan agak terpaksa yang menjadi pilihan adalah badan hukum
Koperasi yang tentunya berada di bawah naungan Kementrian Koperasi
dan Usaha Kecil, dan Menengah (penjelasan dapat dilihat pada butir (7)).
249

10. Sebenarnya Baitul Maal wat Tamwil (BMT) saat ini dengan legalitas
Koperasi memang kurang pas/tepat, karena dengan legalitas Koperasi,
BMT berada dipersimpangan jalan. Dalam prakteknya BMT lebih
cendrung mendekati Bank. Oleh karena itu harapan kami bahwa BMT
yang asetnya sudah cukup memenuhi persyaratan minimal Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) selakyaknya diwajibkan untuk
menjadi BPRS.
250

Lampiran 4
Dokumentasi
251

Foto Wawancara dengan OJK (Online)


252

Foto Wawancara dengan BMT Al-Bayan (Online)


253

Foto Seminar BMT Summit (Online)


254

Sertifikat Seminar
255

Lampiran 5
Data LKM dan KSPPS
256

Direktori LKM yang Terdaftar di OJK Juli 2020


Tanggal Alamat
Badan Cakupan
No. Nama Jenis Usaha Izin (Kabupaten
Hukum Wilayah
Usaha /Kota)
Koperasi LKM Bulu
1 Koperasi Konvensional 23/09/2015 Kecamatan Wonogiri
Makmur
Koperasi LKM Sido
2 Koperasi Konvensional 23/09/2015 Kecamatan Wonogiri
Mulyo
Koperasi LKM
3 Koperasi Konvensional 23/09/2015 Kecamatan Wonogiri
Pondok Subur
Koperasi LKM
4 Koperasi Konvensional 23/09/2015 Kecamatan Wonogiri
Ngudi Lestari
Koperasi LKMA
5 Koperasi Konvensional 23/09/2015 Kecamatan Magelang
Ngudi Luhur
Koperasi LKMA
6 Koperasi Konvensional 23/09/2015 Kecamatan Magelang
Tani Makmur
Koperasi LKMA
7 Koperasi Konvensional 23/09/2015 Kecamatan Magelang
Randu Makmur
Koperasi LKM
8 Koperasi Konvensional 23/09/2015 Desa Pemalang
Gapoktan Ragil Jaya
Koperasi LKMS
9 BMT Sumber Koperasi Syariah 08/10/2015 Kabupaten Semarang
Harapan Maju
Koperasi LKMLKD
10 Koperasi Konvensional 08/10/2015 Kabupaten Semarang
Rejo Makmur
Koperasi LKM Soko
11 Koperasi Konvensional 18/11/2015 Kecamatan Sragen
Rahayu
Koperasi LKMA
12 Koperasi Konvensional 18/11/2015 Kecamatan Purbalingga
PUAP Mugi Rahayu
Koperasi LKMA
13 PUAP Manunggal Koperasi Konvensional 18/11/2015 Kecamatan Purbalingga
Lestari
Koperasi LKMA
14 Koperasi Konvensional 18/11/2015 Kecamatan Purbalingga
PUAP Subur
Koperasi LKMS
15 Koperasi Syariah 25/11/2015 Kabupaten Tegal
BTM Artha Surya
Koperasi LKMS Kota
16 Koperasi Syariah 18/12/2015 Kecamatan
Anggrek Mojokerto
Koperasi LKMS Al Kota
17 Koperasi Syariah 18/12/2015 Kecamatan
Ummahat Mojokerto
Koperasi LKM
18 Berkah Margo Koperasi Konvensional 30/12/2015 Kecamatan Batang
Mulyo
Koperasi LKMS
19 Koperasi Syariah 30/12/2015 Kabupaten Pemalang
BTM Pemalang
257

Tanggal Alamat
Badan Cakupan
No. Nama Jenis Usaha Izin (Kabupaten
Hukum Wilayah
Usaha /Kota)
Koperasi LKM
20 Koperasi Konvensional 31/12/2015 Kecamatan Semarang
Artha Nugraha
Koperasi LKMS
21 Koperasi Syariah 19/01/2016 Kabupaten Cirebon
Gunungjati
Koperasi LKM
22 Gapoktan Tani Koperasi Konvensional 03/02/2016 Desa Pemalang
Mandiri
Koperasi LKMS
23 Koperasi Syariah 23/03/2016 Kabupaten Temanggung
BTM Surya Amanah
Koperasi LKM
24 Gapoktan Tani Koperasi Konvensional 07/04/2016 Desa Pemalang
Karya
Koperasi LKM UPK
Lampung
25 DAPM Mandiri Koperasi Konvensional 07/04/2016 Kecamatan
Selatan
Sejahtera
Lombok
26 PT LKM Kalijaga PT Konvensional 12/04/2016 Desa
Timur
Koperasi LKMA
27 Blorok Makmur Koperasi Konvensional 13/04/2016 Kecamatan Kendal
Sejahtera
Koperasi LKMA
28 Koperasi Konvensional 13/04/2016 Kecamatan Kendal
Sido Rukun
Koperasi LKMA
29 Koperasi Konvensional 18/04/2016 Kecamatan Kendal
Sido Makmur
Koperasi LKMA
30 Koperasi Konvensional 18/04/2016 Kecamatan Kendal
Karangsari Sejahtera
Koperasi LKMA
31 Koperasi Konvensional 18/04/2016 Kecamatan Kendal
Sendang Mulyo
Koperasi LKM PED
32 Koperasi Konvensional 18/04/2016 Desa Rembang
Agung Samudra
Koperasi LKMA
33 Gapoktan Ngudi Koperasi Konvensional 20/04/2016 Kecamatan Kendal
Rejeki
Koperasi LKMA
34 Koperasi Konvensional 20/04/2016 Kecamatan Kendal
Mekar Arum
Koperasi LKMA
35 Koperasi Konvensional 20/04/2016 Kecamatan Kendal
Gapoktan Gondang
Koperasi LKMA
36 Anugerah Tani Koperasi Konvensional 21/04/2016 Kecamatan Kendal
Makmur
258

Tanggal Alamat
Badan Cakupan
No. Nama Jenis Usaha Izin (Kabupaten
Hukum Wilayah
Usaha /Kota)
Koperasi LKMA
37 Gapoktan Bangun Koperasi Konvensional 25/04/2016 Kecamatan Kendal
Karyo
38 PT LKM Ciamis PT Konvensional 12/05/2016 Kabupaten Ciamis
Koperasi Sari Mulyo
39 Koperasi Konvensional 31/05/2016 Desa Pati
Taman Sari
Koperasi LKMS
40 Wesal Keuangan Koperasi Syariah 08/06/2016 Kota Kota Depok
Syariah
Koperasi LKM Desa
41 Koperasi Konvensional 16/06/2016 Kecamatan Sragen
Bendo
Koperasi LKM
42 Sejahtera Karya Koperasi Konvensional 22/06/2016 Kabupaten Semarang
Mandiri
Koperasi LKM
43 Koperasi Konvensional 27/06/2016 Kecamatan Sragen
Murih Raharjo
Koperasi LKMS
44 BTM Banyumas di Koperasi Syariah 30/06/2016 Kabupaten Banyumas
Patikraja
Koperasi LKM Lampung
45 Koperasi Konvensional 30/06/2016 Kecamatan
Mandiri Sejahtra Selatan
Koperasi LKM UPK Lampung
46 Koperasi Konvensional 20/07/2016 Kecamatan
DAPM Mirba Selatan
Koperasi LKMS Kota
47 Koperasi Syariah 22/07/2016 Kecamatan
Usaha Mulia Probolinggo
Koperasi LKM
48 Koperasi Konvensional 31/10/2016 Kabupaten Pati
Pundi Mataram Pati
Koperasi LKMA
Gapoktan Sri Rejeki
Desa Watugajah,
49 Koperasi Konvensional 11/11/2016 Kecamatan Pekalongan
Kecamatan Kesesi,
Kabupaten
Pekalongan
Koperasi LKMA
50 Gapoktan Agung Koperasi Konvensional 15/11/2016 Desa Pekalongan
Rejeki
Koperasi LKMS
Kota
51 Ukhuwah Bintang Koperasi Syariah 22/02/2017 Kota
Bengkulu
Ihsani
Koperasi LKMA
52 Gapoktan Gerak Koperasi Konvensional 14/03/2017 Kecamatan Pekalongan
Makmur
259

Tanggal Alamat
Badan Cakupan
No. Nama Jenis Usaha Izin (Kabupaten
Hukum Wilayah
Usaha /Kota)
Koperasi LKMS
53 Madani Emas Koperasi Syariah 23/03/2017 Kota Kota Medan
Nusantara
Koperasi LKMA
Gapoktan Suka Tani
54 Desa Sastrodirjan Koperasi Konvensional 31/03/2017 Kecamatan Pekalongan
Kecamatan
Wonopringgo
Koperasi LKMS
Kota
55 Berkah Amanah Koperasi Syariah 27/04/2017 Kota
Tasikmalaya
Ummat
Koperasi LKMA
Gapoktan Tani Maju
56 Koperasi Konvensional 27/04/2017 Desa Pekalongan
Desa Wonoyoso
Kecamatan Buaran
Koperasi LKMA
57 Koperasi Konvensional 16/05/2017 Kecamatan Magelang
Tani Sukses Mandiri
Koperasi LKMS
Bankwakaf Al
58 Muttaqien Pancasila Koperasi Syariah 28/09/2017 Kecamatan Klaten
Sakti (LKMS
Bankwakaf Alpansa)
Koperasi LKMS
59 Amanah Berkah Koperasi Syariah 29/09/2017 Kecamatan Banyumas
Nusantara
Koperasi LKMS
60 Ranah Indah Koperasi Syariah 02/10/2017 Kecamatan Ciamis
Darussalam
Koperasi LKMS
61 Berkah Bersama Koperasi Syariah 03/10/2017 Kecamatan Bandung
Baiturrahman
Koperasi LKMS
62 Koperasi Syariah 03/10/2017 Kecamatan Cirebon
Buntet Pesantren
Koperasi LKMS
63 Denanyar Sumber Koperasi Syariah 05/10/2017 Kecamatan Jombang
Barokah
LKMS Almuna
64 Koperasi Syariah 06/10/2017 Kecamatan Bantul
Berkah Mandiri
Koperasi LKMS
65 Berkah Rizqi Koperasi Syariah 11/10/2017 Kecamatan Kota Kediri
Lirboyo
LKMS KHAS
66 Koperasi Syariah 16/10/2017 Kecamatan Cirebon
Kempek
260

Tanggal Alamat
Badan Cakupan
No. Nama Jenis Usaha Izin (Kabupaten
Hukum Wilayah
Usaha /Kota)
Koperasi LKMS
67 Pesantren An Koperasi Syariah 19/10/2017 Kecamatan Serang
Nawawi Tanara
PT LKM Artha
68 PT Konvensional 06/11/2017 Kabupaten Tangerang
Kertaraharja
PT LKM BKD
69 PT Konvensional 21/12/2017 Kabupaten Batang
Batang
Koperasi LKMA
70 Gapoktan Mekar Koperasi Konvensional 22/12/2017 Kecamatan Pekalongan
Wangi
71 PT LKM Sumedang PT Konvensional 27/12/2017 Kabupaten Sumedang
Koperasi LKMS
72 Amanah Makmur Koperasi Syariah 27/12/2017 Kecamatan Kota Kediri
Sejahtera
Koperasi LKMA
Gapoktan Sumber
73 Usaha Desa Koperasi Konvensional 28/12/2017 Desa Pekalongan
Pringsurat
Kecamatan Kajen
Koperasi LKMS
74 Assa Berkah Koperasi Syariah 05/01/2018 Kecamatan Kudus
Sejahtera
Koperasi LKMS El-
75 Koperasi Syariah 11/01/2018 Kecamatan Lebak
Manahij
76 PT LKM Sukabumi PT Konvensional 12/01/2018 Kabupaten Sukabumi
77 PT LKM Garut PT Konvensional 16/01/2018 Kabupaten Garut
Koperasi LKMS Al
78 Koperasi Syariah 16/01/2018 Kecamatan Cilacap
Ihya Baitul Auqof
Koperasi LKMS
79 Koperasi Syariah 17/01/2018 Kecamatan Lebak
BWM Lan Taburo
Koperasi LKMS
Bankwakaf Al
80 Koperasi Syariah 18/01/2018 Kecamatan Klaten
Manshur
Barokahing Gusti
PT LKM
81 Pancatengah PT Konvensional 22/01/2018 Kabupaten Tasikmalaya
Tasikmalaya
PT LKM Mekar
82 PT Konvensional 22/01/2018 Kabupaten Purwakarta
Asih Purwakarta
Koperasi LKM
83 Nahdlatul Wathon Koperasi Syariah 22/01/2018 Kecamatan Tasikmalaya
Cijantung
261

Tanggal Alamat
Badan Cakupan
No. Nama Jenis Usaha Izin (Kabupaten
Hukum Wilayah
Usaha /Kota)
Koperasi LKMS
84 Tebuireng Mitra Koperasi Syariah 23/01/2018 Kecamatan Jombang
Sejahtera
Koperasi LKMS
85 Bahrul Ulum Koperasi Syariah 25/01/2018 Kecamatan Jombang
Barokah Sejahtera
86 PT LKM Kuningan PT Konvensional 29/01/2018 Kabupaten Kuningan
Koperasi LKMS
87 Koperasi Syariah 30/01/2018 Kabupaten Majalengka
BMT Talaga
Koperasi LKMS Al
88 Koperasi Syariah 30/01/2018 Kecamatan Surabaya
Fitrah Wava Mandiri
Koperasi LKMS
89 Koperasi Syariah 31/01/2018 Kota Kota Tegal
BTM Kota Tegal
Koperasi LKMA
Gapoktan Sumber
Makmur Sri Rejeki
Desa Kulu
90 Koperasi Konvensional 31/01/2018 Desa Pekalongan
Kecamatan
Karanganyar
Kabupaten
Pekalongan
PT LKM
91 PT Konvensional 31/01/2018 Kabupaten Pandeglang
Pandeglang Berkah
92 PT LKM Karawang PT Konvensional 31/01/2018 Kabupaten Karawang
93 PT LKM Bogor PT Konvensional 26/02/2018 Kabupaten Bogor
Koperasi LKM Kota
94 Koperasi Konvensional 07/03/2018 Kota
Kemala Aman Bengkulu
PT LKM Lenek Lombok
95 PT Konvensional 08/03/2018 Kecamatan
Daya Timur
Koperasi LKMA
96 Karya Makmur Koperasi Konvensional 12/03/2018 Desa Kebumen
Poncowarno
Koperasi LKMS
97 Waysulan Mandiri Koperasi Syariah 12/03/2018 Kecamatan Lampung
Sejahtera
Koperasi LKM
Gapoktan Sekar
98 Koperasi Konvensional 14/03/2018 Kecamatan Kebumen
Harum
Karanggayam
Koperasi LKMA
99 Gapoktan Tani Koperasi Konvensional 29/03/2018 Kecamatan Pekalongan
Tanjung Jaya
262

Tanggal Alamat
Badan Cakupan
No. Nama Jenis Usaha Izin (Kabupaten
Hukum Wilayah
Usaha /Kota)
Koperasi LKMA
100 Maju Makmur Koperasi Konvensional 03/04/2018 Desa Magelang
Kalipucang
Koperasi LKMA
101 Koperasi Konvensional 04/04/2018 desa Kebumen
Tani Makmur Blater
PT LKM
102 PT Konvensional 09/04/2018 Kabupaten Banten
Rangkasbitung
PT LKM Badan
103 Kredit Desa PT Konvensional 16/04/2018 Kabupaten Ponorogo
Ponorogo
104 PT LKM Sedasa PT Konvensional 18/04/2018 Kabupaten Sleman
PT LKMS Mahirah
105 PT Syariah 20/04/2018 Kota Banda Aceh
Muamalah
Koperasi LKMS
Lima Puluh
106 Pondok Pesantren Koperasi Syariah 03/05/2018 Kecamatan
Kota
Modern Al Kautsar
PT LKM BKPD
107 PT Konvensional 04/05/2018 Kabupaten Semarang
Mitra Sejahtera
Koperasi LKMS
108 Koperasi Syariah 16/05/2018 Kecamatan Sleman
UNISA
Koperasi LKM
109 Gapoktan Sarwo Koperasi Konvensional 17/05/2018 Kecamatan Pemalang
Akur Tani
Koperasi LKMS
110 BWM Ponpes Koperasi Syariah 30/05/2018 Kecamatan Demak
Futuhiyyah
Koperasi LKMA
Gapoktan Tani
111 Makmur Desa Koperasi Konvensional 31/05/2018 Kecamatan Pekalongan
Randumuktiwaren
Kecamatan Bojong
Koperasi LKMA
112 Gapoktan Wono Koperasi Konvensional 31/05/2018 Kecamatan Pekalongan
Raharjo
Koperasi LKMA
113 Gapoktan Maju Koperasi Konvensional 31/05/2018 Desa Pekalongan
Makmur
Koperasi LKM
Kota
114 Mitra Mina Bina Koperasi Konvensional 31/05/2018 Kota
Semarang
Sejahtera Mandiri
Koperasi LKM Mina Kab
115 Koperasi Konvensional 06/06/2018 Kabupaten
Sumitra Karangsong Indramayu
263

Tanggal Alamat
Badan Cakupan
No. Nama Jenis Usaha Izin (Kabupaten
Hukum Wilayah
Usaha /Kota)
Koperasi LKMS
Kabupaten
116 Sinar Sukses Koperasi Syariah 26/06/2018 Kecamatan
Malang
Bersama
Koperasi LKMS
117 Bankwakaf Imam Koperasi Syariah 28/06/2018 Kecamatan Sukoharjo
Syuhodo
Koperasi LKMS
118 Alpen Barokah Koperasi Syariah 29/06/2018 Kecamatan Sumenep
Mandiri
PT LKM Demak
119 PT Konvensional 16/07/2018 Kabupaten Demak
Sejahtera
Koperasi LKMA
120 Koperasi Konvensional 01/08/2018 Desa Pekalongan
Sidodadi Makmur
Koperasi LKMA
121 Gapoktan Lestari Koperasi Konvensional 01/08/2018 Kecamatan Pekalongan
Raharjo
Koperasi LKMA
Gapoktan Subur
Makmur (dahulu
Koperasi LKMA
Gapoktan Subur
122 Koperasi Konvensional 01/08/2018 Kecamatan Pekalongan
Makmur Desa
Sumurjomblangbogo
Kecamatan Bojong
Kabupaten
Pekalongan)
Koperasi LKMA
123 Anduring Jaya Koperasi Konvensional 02/08/2018 Kelurahan Kota Padang
Sepakat
Koperasi LKMS
Kota
124 Ummul Mukminin Koperasi Syariah 03/08/2018 Kecamatan
Makassar
Aisyiyah
Koperasi LKMS
125 Berkah Umat Koperasi Syariah 03/08/2018 Kecamatan Bandung
Ciganitri
Koperasi LKMA
Kota
126 Gapoktan Setya Koperasi Konvensional 24/08/2018 Kecamatan
Semarang
Mandiri
Koperasi LKM
Kota
127 Sanuhe Fahasara Koperasi Konvensional 29/08/2018 Kota
Gunungsitoli
Dodo
264

Tanggal Alamat
Badan Cakupan
No. Nama Jenis Usaha Izin (Kabupaten
Hukum Wilayah
Usaha /Kota)
Koperasi LKMS
Bank Wakaf Mikro
Taawun Mitra Kota
128 Koperasi Syariah 17/09/2018 Kecamatan
Ummat Ponpes Al- Balikpapan
Mujahidin
Balikpapan
Koperasi LKMS
129 Pondok Pesantren Koperasi Syariah 20/09/2018 Kecamatan Pesawaran
Minhadlul Ulum
Koperasi LKMS Al
130 Koperasi Syariah 28/09/2018 Kecamatan Jember
Azhar Jember
Koperasi LKMS Al-
131 Koperasi Syariah 28/09/2018 Kecamatan Jember
Falah
Koperasi LKMS
132 Pondok Pesantren Koperasi Syariah 02/10/2018 Kecamatan Deli Serdang
Mawaridussalam
Koperasi LKM
133 Gapoktan Demang Koperasi Konvensional 03/10/2018 Kecamatan Kebumen
Tani
Koperasi LKM
Kotawaringi
134 Hatantiring Koperasi Konvensional 19/10/2018 Desa
n Timur
Manggatang Utus
Koperasi LKMS
135 Sinar Mandiri Koperasi Syariah 25/10/2018 Kecamatan Tuban
Sejahtera
Koperasi LKMS
136 BWM Sunan Pandan Koperasi Syariah 01/11/2018 Kecamatan Sleman
Aran
Koperasi LKMA
Gapoktan Maju Jaya
137 Koperasi Konvensional 01/11/2018 Desa Pekalongan
Desa Talun
Kecamatan Talun
Koperasi LKMA
Gapoktan
Manunggal, Desa
138 Koperasi Konvensional 05/11/2018 Kecamatan Pekalongan
Notogiwang
Kecamatan
Paninggaran
Koperasi LKMA
139 Gapoktan Melati Koperasi Konvensional 06/11/2018 Kecamatan Pekalongan
Makmur
Koperasi LKMA
140 Gapoktan Lumbung Koperasi Konvensional 06/11/2018 Desa Pekalongan
Pangan
265

Tanggal Alamat
Badan Cakupan
No. Nama Jenis Usaha Izin (Kabupaten
Hukum Wilayah
Usaha /Kota)
Koperasi LKMA
141 Gapoktan Sari Koperasi Konvensional 07/11/2018 Kelurahan Kota Metro
Makmur
Koperasi LKMS
142 Pondok Pesantren Koperasi Syariah 22/11/2018 Kecamatan Jambi
As'ad
Koperasi LKMS
143 Sunan Gunung Jati Koperasi Syariah 27/11/2018 Kecamatan Semarang
Ba'alawy Semarang
Koperasi LKMS
144 Barokah Pesantren Koperasi Syariah 04/12/2018 Kecamatan Sukabumi
Al-Masthuriyah
PT LKM Badan
145 Kredit Desa PT Konvensional 11/12/2018 Kabupaten Banyumas
Purwokerto
Koperasi LKMS
146 Koperasi Syariah 12/12/2018 Kecamatan Bogor
Amal Dana Bergulir
Koperasi LKMS
147 Koperasi Syariah 14/12/2018 Kecamatan Banyuwangi
Minhajut Thullab
Koperasi LKMS
148 Honai Sejahtera Koperasi Syariah 14/12/2018 Kecamatan
Papua
Koperasi LKMA
Gapoktan Tani Mugi
Rahayu Desa
149 Koperasi Konvensional 21/12/2018 Kecamatan Pekalongan
Bantarkulon
Kecamatan
Lebakbarang
Koperasi LKMA
150 Gapoktan Rukun Koperasi Konvensional 28/12/2018 Kecamatan Pekalongan
Makmur
Koperasi LKMA Pesisir
151 Koperasi Konvensional 31/12/2018 Kelurahan
Saiyo Sakato Selatan
Koperasi LKMA
Pesisir
152 Gapoktan Samo Koperasi Konvensional 31/12/2018 Desa
Selatan
Saiyo
Koperasi LKMA
153 Koperasi Konvensional 18/02/2020 Desa Grobogan
Sariro Utomo
Koperasi LKMA
154 Arta Makmur Koperasi Konvensional 07/01/2019 Kecamatan Magelang
Sejahtera
Koperasi LKMA
155 Sido Makmur Koperasi Konvensional 14/02/2020 Desa Grobogan
Sentosa
266

Tanggal Alamat
Badan Cakupan
No. Nama Jenis Usaha Izin (Kabupaten
Hukum Wilayah
Usaha /Kota)
Koperasi LKMA Tri
156 Koperasi Konvensional 16/01/2019 Kecamatan Purbalingga
Mulya Tani
PT LKM Badan
157 Kredit Desa Surya PT Konvensional 23/01/2019 Kabupaten Pemalang
Mandiri
Koperasi LKMS
158 MM Sejahtera Koperasi Syariah 31/01/2019 Kota Bengkulu
Propinsi Bengkulu
Koperasi LKMA
159 Mojo Agung Koperasi Konvensional 04/02/2019 Kecamatan Kendal
Sejahtera
Koperasi LKMA
Kab
160 Gapoktan Rukun Koperasi Konvensional 19/02/2019 Desa
Kebumen
Makmur
Kab
Koperasi LKMA
161 Koperasi Konvensional 28/02/2019 Kecamatan Lampung
Mekar Jaya
Tengah
Koperasi LKMA
Kabupaten
162 Gapoktan Sido Koperasi Konvensional 11/03/2019 Kecamatan
Pekalongan
Mulyo
Koperasi LKMA Tulang
163 Koperasi Konvensional 18/03/2019 Kecamatan
Sido Jaya Abadi Bawang
Koperasi LKMA Lima Puluh
164 Koperasi Konvensional 18/03/2019 Desa
Lubuak Simato Kota
Koperasi LKMA
Kabupaten
165 Tani Makmur Koperasi Konvensional 20/03/2019 Kecamatan
Magelang
Merapi
Koperasi LKM
Kabupaten
166 Gapoktan Sumber Koperasi Konvensional 20/03/2019 Desa
Kebumen
Barokah
Koperasi LKMS
167 BWM Fajar Pelita Koperasi Syariah 25/03/2019 Kecamatan Siak
Harapan
Koperasi LKMS Al
Kabupaten
168 Hidayah Rokan Koperasi Syariah 25/03/2019 Kecamatan
Rokan Hulu
Hulu
Koperasi LKMS
Kabupaten
169 BWM Apik Koperasi Syariah 02/04/2019 Kecamatan
Kendal
Kaliwungu Kendal
Koperasi LKMS
170 BWM Al Anshor Koperasi Syariah 16/04/2019 Kecamatan Kota Ambon
Peduli
267

Tanggal Alamat
Badan Cakupan
No. Nama Jenis Usaha Izin (Kabupaten
Hukum Wilayah
Usaha /Kota)
Koperasi LKMS
BWM Pondok Kabupaten
171 Koperasi Syariah 26/04/2019 Kecamatan
Pesantren Syubbanul Magelang
Wathon Maslahah
Koperasi LKMA Kab. Tulang
172 Koperasi Konvensional 30/04/2019 Kabupaten
Mulya Jaya Sentosa Bawang
PT LKM Akhlakul Kabupaten
173 PT Konvensional 06/05/2019 Kabupaten
Karimah Cianjur
Koperasi LKMS
Kabupaten
174 Kariman Birajuda Al Koperasi Syariah 14/05/2019 Kecamatan
Sumenep
Karimiyyah
PT LKM BKD Kabupaten
175 PT Konvensional 16/05/2019 Kabupaten
Indramayu Indramayu
Koperasi LKMA
Kabupaten
176 Subur Lestari Koperasi Konvensional 21/05/2019 Desa
Grobogan
Sejahtera
Koperasi LKMS
Kabupaten
177 Agribisnis Gapoktan Koperasi Syariah 22/05/2019 Kecamatan
Agam
Panampuang Prima
Koperasi LKM Kabupaten
178 Lembah Sarang Koperasi Konvensional 24/05/2019 Kecamatan Lima Puluh
Olang Kota
Koperasi LKMA
179 Koperasi Konvensional 28/05/2019 Kecamatan Agam
Batu Taba Sepakat
Koperasi LKMA
Kabupaten
180 PUAP Tri Argo Koperasi Konvensional 29/05/2019 Kecamatan
Purbalingga
Basuki
Koperasi LKMS
Kabupaten
181 Mantenan Aman Koperasi Syariah 29/05/2019 Kecamatan
Blitar
Makmur
PT LKM BKD Kabupaten
182 PT Konvensional 12/06/2019 Kabupaten
Mandiri Cirebon Cirebon
PT LKM BKD
Kabupaten
183 Kabupaten PT Konvensional 12/06/2019 Kabupaten
Pekalongan
Pekalongan
Koperasi LKMS
Kabupatem
BWM Ahmad
184 Koperasi Syariah 14/06/2019 Kecamatan Lombok
Taqiuddin Mansur
Tengah
"ATQIA"
Koperasi LKM Dana
Amanah Kabupaten
185 Koperasi Konvensional 08/07/2019 Kecamatan
Pemberdayaan Temanggung
Masyarakat Candi
268

Tanggal Alamat
Badan Cakupan
No. Nama Jenis Usaha Izin (Kabupaten
Hukum Wilayah
Usaha /Kota)
Koperasi LKMA Kabupaten
186 Koperasi Konvensional 08/07/2019 Desa
Bina Usaha Purworejo
Koperasi LKMS
Kabupaten
187 BWM Bangkit Koperasi Syariah 11/07/2019 Kecamatan
Rembang
Nusantara
Koperasi LKMS
Pensantren Kabupaten
188 Koperasi Syariah 25/07/2019 Kecamatan
Hidayatulloh Trenggalek
Trenggalek
Koperasi LKMA Tri Kabupaten
189 Koperasi Konvensional 29/07/2019 Desa
Asri Sejahtera Grobogan
Koperasi LKMS
Keabupaten
190 Bank Wakaf Mikro Koperasi Syariah 02/08/2019 Kecamatan
Aceh Besar
Babul Maghfirah
PT LKM Badan
Kabupaten
Kredit Desa
191 PT Konvensional 06/09/2019 Kabupaten Tulungagun
Kabupaten
g
Tulungagung
Koperasi LKMS
Kabupaten
192 Bita Amanah Koperasi Syariah 11/09/2019 Kecamatan
Garut
Ummat
Koperasi LKMA Kabupaten
193 Koperasi Konvensional 27/09/2019 Desa
Podo Mandiri Purworejo
Koperasi LKM
Kabupaten
194 Agrobisnis Sumber Koperasi Konvensional 30/09/2019 Desa
Grobogan
Rejeki Santosa
PT LKM BKD Kabupaten
195 PT Konvensional 18/10/2019 Kabupaten
Kebumen Kebumen
Koperasi Jasa LKM
Ssyariah
Kabupaten
196 BankWakaf Mikro Koperasi Syariah 28/10/2019 Kecamatan
Banjar
Al Hijrah Cindai
Alus
Koperasi LKM
Gapoktan Sekar
Kabupaten
197 Arum (belum ada Koperasi Konvensional 11/11/2019 Desa
Grobogan
salinan SK ke
DLKM)
Koperasi LKMA
(LKM-A)
Pengembangan Kabupaten
198 Koperasi Konvensional 14/11/2019 Kecamatan
Usaha Agribisnis Purbalingga
Pedesaan (PUAP)
Sindu Jaya Makmur
269

Tanggal Alamat
Badan Cakupan
No. Nama Jenis Usaha Izin (Kabupaten
Hukum Wilayah
Usaha /Kota)
Koperasi LKMS
Kota
199 Aulia Cendekia Koperasi Syariah 20/11/2019 Kecamatan
Palembang
Palembang
Koperasi LKMA
Kabupaten
200 PUAP Ngudi Koperasi Konvensional 12/12/2019 Kecamatan
Purbalingga
Rahayu Maju
PT LKM BKD Kabupaten
201 PT Konvensional 20/12/2019 Kabupaten
Pemalang Pemalang
Koperasi LKM-A Kabupaten
202 Koperasi Konvensional 20/12/2019 Desa
Merak Makmur Demak
Koperasi LKM Bank
Kabupatemn
203 Wakaf Mikro Al Koperasi Syariah 27/12/2019 Kecamatan
Kendal
Fadlu Kendal
PT LKM BKD Kabupaten
204 PT Konvensional 09/01/2020 Kabupaten
Sembada Sleman
PT LKM BKD Kabupaten
205 PT Konvensional 09/01/2020 Kabupaten
Kabupaten Bantul Bantul
PT LKM BKD Kabupaten
206 PT Konvensional 09/01/2020 Kabupaten
Cirebon Cirebon
PT LKM BKD Desa Kabupaten
207 PT Konvensional 23/01/2020 Kabupaten
Gombong Kebumen
PT LKM BKD Kabupaten
208 PT Konvensional 27/01/2020 Kabupaten
Kabupaten Tegal Tegal
Koperasi LKM BKD Kabupaten
209 Koperasi Konvensional 28/01/2020 Kabupaten
Purwokerto Banyumas
Koperasi LKMA Polewali
210 Koperasi Konvensional N/A Kecamatan
Gapoktan Mataram Mandar
PT LKM BKD Kabupaten
211 PT Konvensional 03/03/2020 Kabupaten
Purworejo Purworejo
Koperasi LKMS
Kota Bandar
212 Athaya Mandiri Koperasi Syariah 20/03/2020 Kota
Lampung
Berkah
Koperasi LKMA
Kabupaten
213 Gapoktan Tunas Koperasi Konvensional 09/03/2020 Desa
Pekalongan
Harapan
PT LKM BKD
Kabupaten
214 Kabupaten PT Konvensional 07/04/2020 Kabupaten
Situbondo
Situbondo
PT LKM BKD
Kabupaten Kabupaten
215 PT Konvensional 27/04/2020 Kabupaten
Pemalang Pemalang
(Perseroda)
270

Tanggal Alamat
Badan Cakupan
No. Nama Jenis Usaha Izin (Kabupaten
Hukum Wilayah
Usaha /Kota)
Koperasi LKM BKD
Kabupaten
216 Rejasari Makmur Koperasi Konvensional 04/05/2020 Kabupaten
Banyumas
Sejahtera
PT LKM BKD Kabupaten
217 PT Konvensional 08/05/2020 Kabupaten
Karanglewas Kidul Banyumas
Koperasi LKM BKD Kabupaten
218 Koperasi Konvensional 14/05/2020 Kelurahan
Mertasinga Cilacap
PT LKM BKD Kabupaten
219 PT Konvensional 08/05/2020 Kabupaten
Rembang Rembang
PT LKM BKD
Kabupaten
220 Mandiri PT Konvensional 11/06/2020 Kabupaten
Banyuwangi
Banyuwangi
PT LKM BKD Kabupaten
221 PT Konvensional 15/05/2020 Kabupaten
Ciasem Tengah Subang
PT LKM BKD Kabupaten
222 PT Konvensional 03/03/2020 Kabupaten
Kutoarjo Purworejo
271

Laporan Data Koperasi


Kelompok Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah
Per 30 Juni 2020
Koperasi
RAT Jumlah Modal Sendiri Modal Luar Asset Volume Usaha SHU
No Provinsi Sertifikat
Aktif (Unit) Anggota (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
NIK
(Unit)
(Unit)
1 Aceh 26 11 13 2,708 9,299,027,384 30,376,139,968 39,675,167,352 12,487,998,562 776,237,703
2 Sumatera Utara 107 28 40 6,009 16,853,040,319 57,808,719,961 74,661,760,280 41,199,015,478 1,909,551,408
3 Sumatera Barat 143 104 139 19,499 38,021,709,392 69,772,279,614 107,793,989,006 138,481,863,296 4,080,108,628
4 Riau 55 21 36 15,229 27,431,236,091 12,878,105,395 40,309,341,486 94,818,800,494 2,450,642,903
5 Jambi 16 9 13 2,346 1,136,455,375 2,471,279,495 3,607,734,870 2,531,861,879 184,806,461
6 Sumatera Selatan 26 10 12 4,219 1,931,727,606 2,188,955,180 4,120,682,786 5,866,728,177 370,837,447
7 Bengkulu 15 10 11 1,593 3,976,394,075 237,308,863,164 241,285,257,239 9,648,842,192 752,153,244
8 Lampung 179 103 137 274,889 117,643,986,026 236,747,217,820 354,391,203,846 331,016,810,135 7,221,199,383
Kepulauan Bangka
9 3 2 2 431 235,060,000 472,256,000 707,316,000 525,756,000 35,000,000
Belitung

10 Kepulauan Riau 7 3 3 250 958,897,735 2,949,563,165 3,908,460,900 4,897,505,760 141,771,592


11 DKI Jakarta 41 7 7 396 7,268,276,409 4,706,391,963 11,974,668,372 22,571,771,498 3,274,036,220
12 Jawa Barat 546 121 174 88,369 84,056,530,180 160,799,497,867 244,856,028,047 317,991,787,147 16,236,029,183
13 Jawa Tengah 550 365 428 1,195,477 439,060,922,455 3,036,184,729,768 3,475,245,652,223 3,933,940,099,040 47,321,798,154
14 D.I. Yogyakarta 150 134 140 100,914 60,048,157,174 346,785,124,720 406,833,281,894 326,633,420,382 7,343,162,347
15 Jawa Timur 1,981 1,189 1,487 303,533 263,530,938,574 374,168,507,845 637,699,446,419 1,048,863,021,580 17,565,377,130
16 Banten 37 18 23 189,027 178,607,299,826 58,412,458,767 237,019,758,593 668,638,700,264 15,038,857,280
17 Bali 1 - - - - - - - -
Nusa Tenggara
18 56 18 19 17,321 11,446,526,929 11,433,790,012 22,880,316,941 35,336,241,075 1,344,121,756
Barat

Nusa Tenggara
19 6 3 4 468 1,138,378,812 670,612,662 1,808,991,474 867,945,000 70,620,203
Timur

20 Kalimantan Barat 11 5 8 1,057 14,463,445,111 10,989,694,931 25,453,140,042 9,295,683,898 496,922,123


21 Kalimantan Tengah 9 4 6 19,335 11,123,221,497 8,252,892,363 19,376,113,860 183,850,419,753 1,159,071,274
22 Kalimantan Selatan 38 12 24 3,679 9,375,982,883 4,452,108,001 13,828,090,884 11,478,935,452 1,051,415,305
23 Kalimantan Timur 8 3 5 2,107 10,202,321,455 8,797,035,244 18,999,356,699 9,848,603,715 1,562,964,738
24 Kalimantan Utara - - - - - - - - -
25 Sulawesi Utara - - - - - - - - -
26 Sulawesi Tengah 12 3 8 1,031 2,502,987,150 4,144,852,786 6,647,839,936 5,014,626,050 207,501,446
27 Sulawesi Selatan 58 9 22 14,244 8,256,898,932 5,304,621,561 13,561,520,493 93,938,808,128 1,693,820,221
28 Sulawesi Tenggara 9 - 4 146 364,214,629 25,000,000 389,214,629 405,812,384 20,210,951
29 Gorontalo 2 - - - - - - - -
30 Sulawesi Barat 6 - - - - - - - -
31 Maluku 4 - - - - - - - -
32 Maluku Utara 4 2 2 174 118,175,349 3,339,783,000 3,457,958,349 2,879,201,800 1,222,950,451
33 Papua 4 3 3 1,612 3,469,118,135 16,529,191,064 19,998,309,199 12,710,773,364 415,292,056
34 Papua Barat 5 4 5 954 2,559,650,426 1,436,114,610 3,995,765,036 3,279,242,821 808,106,047
Total 4,115 2,201 2,775 2,267,017 1,325,080,579,929 4,709,405,786,926 6,034,486,366,855 7,329,020,275,324 134,754,565,654
272

RIWAYAT HIDUP

MOHAMAD NAJIB ANIS SUBEKHI, lahir


di Lebaksiu, 24 April 1969, merupakan putra ke
6 (enam) dari 11 (sebelas) bersaudara pasangan
H. Moh. Wasjhudi (alm.) dan ibu Hj.
Maemunah. Menyelesaikan pendidikan dasar di
SDN Lebakgowah, Kec. Lebaksiu, Kab. Tegal
pada tahun 1982, melanjutkan pendidikan pada
MTs N Babakan, Lebaksiu, Tegal dan tamat tahun 1985, setelah itu
pendidikannya dilanjutkan pada MA Serba Bakti Pondok Pesantren
Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat dan tamat tahun 1988. Mendapatkan
kesempatan melanjutkan ke jenjang Strata Satu (S-1) di Institut Agama Islam
Jamiat Kheir Jakarta, Fakultas Syariah Jurusan Al-Ahwal Al-Syahsiyah
(1994- ), Universitas Terbuka, Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen dan
lulus tahun 2004, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam dan
lulus tahun 2013. Mendapatkan kesempatan melanjutkan studi ke jenjang
Strata Dua (S-2) Program Studi Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri
Jakarta dan lulus tahun 2017, Pada September 2018 melanjutkan studi ke
Program Magister Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.
Sedangkan pendidikan non formal yang pernah diikuti adalah Mengetik
Tingkat Terampil di Lembaga Pendidikan Pembangun Slawi, Tegal pada
tahun 1989; Akuntansi Tingkat I di Lembaga Pendidikan Pembangun Slawi,
Tegal pada tahun 1989; Pendidikan Kader Dakwah di Ittihadul Muballighin
273

Jakarta pada tahun 1991; Akuntansi Tingkat II di Lembaga Latihan Kerja


TEC Jakarta pada tahun 1991; Akuntansi Tingkat Terampil di Lotus College
Jakarta pada tahun 1992; Computer Terpadu di Lotus College pada tahun
1993; Executive Tax Program; Brevet A-B-C di Program Ekstensi FE UI
pada tahun 2006; Pelatihan Pengawas Syariah untuk Lembaga Keuangan
Syariah di DSN-MUI pada tahun 2018.
Karir bidang pekerjaan dimulai sebagai guru bidang studi matematika
dan fiqih pada MTs Nurul Ulum Kesuben, Lebaksiu, Tegal tahun 1988-1990;
Karyawan PT. Kedaung Industrial Ltd. Jakarta tahun 1990-2006; Karyawan
Kopkar PT. JAS tahun 2006-2007; Pada tahun 2007 sampai sekarang bekerja
sebagai staf bidang penatausahaan dan akuntansi pada Badan Pengelola
Keuangan Daerah Pemerintah Kota Tangerang. Pada tahun 2016 sampai
sekarang aktif sebagai pengurus Yayasan Pendidikan Islam Al-Ittihad Tanah
Abang. Pada tahun 2018 sampai sekarang tercatat sebagai Dewan Pengawas
Syariah (DPS) BMT Al-Bayan Serpong.
274

Lampiran 6
Hasil Turnitin
275
276

Anda mungkin juga menyukai