Anda di halaman 1dari 93

STATUS HUKUM TALAK DI LUAR PENGADILAN AGAMA

(Studi Komparatif Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama dan


Muhammadiyah)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salahsatu syarat
memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Ahmad Faza Asy’ari

11140430000078

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
ABSTRAK

Ahmad Faza Asy’ari, NIM 11140430000078 STATUS HUKUM TALAK DI


LUAR PENGADILAN AGAMA (Studi Komparatif Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah). Program Studi Perbandingan
Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Dalam hal ini penulis membandingkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Fatwa
Nahdatul Ulama dan Fatwa Muhammadiyah terhadap status hukum talak di luar
Pengadilan Agama.
Pada Penelitian ini penulis menggunakan metode yuridis normatif yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau bahan
sekunder. Tipe penelitian yang digunakan yakni normatif, maka pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini juga menggunakan
pendekatan perbandingan. Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer
yang diperoleh dari Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah, dan data sekunder yang
diperoleh dari literatur buku-buku, jurnal, artikel, dan kepustakaan lain yang
menjadi referensi maupun sumber pelengkap penelitian.
Studi ini menyimpulkan tentang Status Hukum Talak di luar Pengadilan Agama
menurut MUI, NU dan Muhammadiyah, serta membanadingkan ketiga Fatwa
tersebut. Berdasarkan tiga fatwa tersebut menurut penulis talak harus dilakukan di
Pengadilan karena berdasarkan Undang-Undang Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Karena KHI merupakan Hukum Islam yang sudah terkodifikasi ke dalam hukum
positif yang berlaku.

Kata kunci: Status Hukum Talak, UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Fatwa
MUI, Bahsul Masa’il NU, Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Pembimbing : 1. Dr. K.H. Ahmad Mukri Aji, M.A.
2. Ummu Hanah Yusuf Saumin,M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1995 s.d 2018

iv
PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf
Huruf Latin Keterangan
Arab

‫ا‬ Tidak dilambangkan

‫ب‬ b be

‫ت‬ t te

‫ث‬ ts te dan es

‫ج‬ j Je

‫ح‬ h ha dengan garis bawah

‫خ‬ kh ka dan ha

‫د‬ d de

‫ذ‬ dz de dan zet

‫ر‬ r Er

‫ز‬ z zet

‫س‬ s es

v
‫ش‬ sy es dan ye

‫ص‬ s es dengan garis bawah

‫ض‬ d de dengan garis bawah

‫ط‬ t te dengan garis bawah

‫ظ‬ z zet dengan garis bawah

‫ع‬ koma terbalik di atas hadap


kanan
‫غ‬ gh ge dan ha

‫ف‬ f ef

‫ق‬ q Qo

‫ك‬ k ka

‫ل‬ l el

‫م‬ m em

‫ن‬ n en

‫و‬ w we

‫ه‬ h ha

‫ء‬ apostrop

‫ي‬ y ya

vi
b. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan

Arab Latin
‫ـــــَـــــ‬ a fathah
‫ـــــِـــــ‬ i kasrah
‫ـــــُـــــ‬ u dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:

Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan

Arab Latin
‫ي ـــــَـــــ‬
َ ai a dan i

‫ـــــَـــــ و‬ au a dan u

c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan

Arab Latin
‫اـَــــ‬ â a dengan topi diatas
‫ىـِــــ‬ î i dengan topi atas
‫وــُـــ‬ û u dengan topi diatas

vii
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan
lam )‫)ال‬, dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya: ‫ = اإلجثهاد‬al-ijtihâd

‫ =الرخصة‬al-rukhsah, bukan ar-rukhsah


e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: ‫ = الشفعة‬al-syuî
‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah

f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t”
(te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 ‫شريعة‬ syarî ‘ah

2 ‫الشريعة اإلسالمية‬ al- syarî ‘ah al-islâmiyyah

3 ‫مقارنة المذاهب‬ Muqâranat al-madzâhib

g. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa
jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan

viii
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata
sandangnya. Misalnya, ‫ =البخاري‬al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama
tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata


Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara


‫الضرورة تبيح المحظورات‬ al-darûrah tubîhu
1
almahzûrât
2 ‫اإلقتصاد اإلسالمي‬ al-iqtisâd al-islâmî
3 ‫أصول الفقه‬ usûl al-fiqh

4 ‫األشياء اإلباحة األصل فى‬ al-‘asl fi al-asyyâ’ alibâhah

5 ‫المصلحة المرسلة‬ al-maslahah al-mursalah

ix
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke zaman ilmiah seperti sekarang ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit
hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada jalan
kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang
penulisan skripsi ini banyak membantu dan memberikan bimbingan dan masukan
yang berharga kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

Dengan demikian dengan kesempatan yang berharga ini penulis


mengungkapkan rasa hormat serta ucapan terimakasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua tercinta H. Ahmad Zubaidi dan Hj. Nur Aminah S.Ag yang
telah merawat dan mendidik dengan baik sampai saat ini. Dengan kasih
sayangnya yang abadi, dengan do’anya yang tiada henti, dengan kesabarannya
yang tak tertandingi dan selalu memberikan penulis support baik segi moril
maupun materil. Terimakasih atas segala didikannya, doanya, kesabarannya,
jerih payahnya, serta nasihat yang selalu mengalir tiada henti tanpa pernah jenuh
hingga penulis dapat menyelesaikan studi. Juga kepada adik-adik penulis A.
Faza Masyhuri S.Ag, Fakhirah Zahrani dan Ahmad Bassam Dinalhak Husin
Dailami yang sudah membuat penulis semangat, menghibur, memberikan do’a
serta dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga
keluarga di Berkahi dan di Rahmati oleh Allah SWT.
2. Paman terbaik penulis Ustadz Ahmad Firdaus yang sudah memberikan banyak
support dalam masa kuliah penulis ini agar terselesaikan. Terimakasih atas
segala kontribusi yang paman berikan hingga penulis dapat menyelesaikan studi

x
S1. Semoga paman dapat dipermudah dalam segala urusan dan diberkahi oleh
Allah SWT.
3. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Hj. Siti Hanna, Lc., M.A. Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan
Bapak Hidayatulloh, M.H. sebagai Sekretaris Program Studi Perbandingan
Mazhab.
5. Ibu Dewi Sukarti, M.A. dosen penasehat akademik penulis.
6. Bapak Dr. K.H Ahmad Mukri Aji, M.A. dan Ibu Ummu Hanah Yusuf Saumin,
M.A. sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu serta
memberikan arahan, saran dan ilmunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
7. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan
memberikan ilmu yang tak ternilai harganya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. DMJ yang telah menyemangati dam memotivasi penulis. Semoga Allah
senantiasa memberikan Keberkahan dan Rahmatnya.
9. Sahabat-sahabat tercinta Ustadz Miftahul Huda L.c, S.Si, M.Si. H. Ahyad abdul
hadi zein S.Si, Yulizar Akbar dan Rizaldy terimakasih sudah menjadi sahabat
terbaik. Semoga kita akan terus diberikan kesehatan.
10. Sahabat terbaik semenjak SLTA Rozien M. El khair, Miftahuddin, Fatwa Banu
Alkaf, Abdul Azis dan Akbar Wijaya serta KALAM UIN terima kasih sudah
menjadi sahabat dari SLTA hingga sekarang banyak masukan dan motivasi dari
mereka.
11. Sahabat-sahabat tergokil ku Dimas Permadi, Arif Fadillah, Faqih Zuhdi,
Dailami, Zaki, Muaz, Fadliwaraman, Deni dan zein dikala penulis sedang butuh
hiburan untuk menyemangati skripsi ini dan sudah menjadi tempat suka duka
penulis selama di Ciputat. Terimakasih atas kebaikan yang selama ini diberikan
kepada penulis.

xi
12. Teman-teman seperjuangan Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum angkatan
2014, Terkhusus sahabat-sahabatku Ladies PMH 2014. Terimakasih sudah
memberikan arti dari sebuah persahabatan tanpa melihat harta, tahta, dan
lainnya, selama 4 tahun kita bersama.
13. Sahabat-sahabat Organisasi PMII, GP Ansor, PERGUNU dan IKRIMA AL
AMIN yang selalu memberikan penulis waktu untuk berkhidmat Bersama.
Adapun nasehat, saran dan penyemangat sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan baik. Semoga di Berkahi dan semua sukses selalu, bahagia dunia
akhirat, dan diberikan rezeki yang melimpah.
14. Penghargaan kepada mereka yang membaca dan berkenan memberikan saran,
kritikan atau bahkan koreksi terhadap kekurangan dan kesalahan yang pasti
masih terdapat dalam skripsi ini. Semoga dengan saran dan kritik tersebut,
skripsi ini dapat diterima di kalangan pembaca yang lebih luas lagi di masa yang
akan datang. Semoga karya yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan yang
telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi berkah dan amal
jariyah untuk kita semua. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
serta pembaca pada umumnya.
Jakarta, 14 Januari 2020
Penulis

Ahmad Faza Asy’ari

xii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................


LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING............................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iii
ABSTRAK................................................................................................. iv
PEDOMAN LITERASI ............................................................................ v
KATA PENGANTAR ............................................................................... x
DAFTAR ISI ............................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 6
C. Batasan dan Perumusan Masalah ................................................. 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 7
E. Review Studi Terdahulu .............................................................. 8
F. Metode Penelitian ....................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan.................................................................. 11
BAB II TINJAUAN UMUM TALAK ................................................... 13
A. Pengertian Talak ......................................................................... 13
B. Dasar Hukum Talak .................................................................... 15
C. Rukun dan Syarat Talak .............................................................. 18
D. Macam-macam Talak .................................................................. 20
E. Sebab-sebab Terjadinya Talak ..................................................... 27
F. Talak di dalam Pengadilan .......................................................... 30
BAB III PROFIL DAN METODE ISTINBATH HUKUM MAJELIS
ULAMA INDONESIA, NAHDLATUL ULAMA DAN
MUHAMMADIYAH ................................................................ 34
A. Majelis Ulama Indonesia ............................................................. 34
1. Sejarah Terbentuknya Majelis Ulama Indonesia .................... 34
2. Metode Istinbath Hukum ....................................................... 35

xiii
B. Nahdlatul Ulama ......................................................................... 37
1. Sejarah Terbentuknya Nahdlatul Ulama ................................ 37
2. Metode Istinbath Hukum ....................................................... 39
C. Muhammadiyah .......................................................................... 40
1. Sejarah Terbentuknya Muhammadiyah .................................. 40
2. Metode Istinbath Hukum ....................................................... 42
BAB IV STATUS HUKUM TALAK DI LUAR PENGADILAN AGAMA
(Studi Komparatif Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah) .................................................... 44
A. Status Hukum Talak di luar Pengadilan Agama menurut Majelis
Ulama Indonesia ........................................................................ 44
B. Status Hukum Talak di luar Pengadilan Agama menurut
Nahdlatul Ulama ......................................................................... 47
C. Status Hukum Talak di luar Pengadilan Agama menurut
Muhammadiyah .......................................................................... 52
D. Perbedaan dan Persamaan Fatwa MUI, NU dan Muhammadiyah
terhadap status hukum talak di luar Pengadilan Agama ............... 55
BAB V PENUTUP ................................................................................. 58
A. Kesimpulan ................................................................................. 58
B. Saran........................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 59
LAMPIRAN .............................................................................................. 62

xiv
BAB I

A. Latar Belakang Masalah

Akad perkawinan dalam hukum Islam bukan hanya perkara perdata semata,
akan tetapi merupakan ikatan suci yang terkait dalam keyakinan dan keimanan
kepada Allah sebagaimana Firman-Nya dalam surat An-Nisa’ ayat 21:

)21 :4/‫ض َوأَ َخ ْذ َن ِمْن ُك ْم ِمْي ثَاقًا َغلِْيظًا (النساء‬


ٍ ‫ض ُك ْم إِ ََل بَ ْع‬ َ ْ‫ف ََتْ ُخ ُذونَهُ َوقَ ْد أَف‬
ُ ‫ضى بَ ْع‬ َ ‫َوَكْي‬
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat”. (Q.S
An-nisa: 4 Ayat 21)
Oleh karena itu ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Dan
perkawinan itu harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang
menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga yang sakinah
mawaddah warahmah. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah akad yang
sangat kuat dan dapat di percaya untuk menaati perintah Allah
melaksanakannyapun merupakan ibadah.1 Dari pengertian tersebut dapat dilihat
perkawinan merupakan suatu ibadah bagi setiap manusia yang telah mampu untuk
segera dilakukan karena dapat dijadikan sebagai suatu kewajiban bagi manusia
yang akan berdampak negatif jika tidak dilaksanakan. Selain itu pengertian
perkawinan juga terdapat dalam Pasal 1 UU no. 1 Tahun 1974 yakni ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian perkawinan merupakan sebuah
ikatan antara seorang pria dengan wanita. Perkawinan sama dengan perikatan
(verbindtenis).

1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003), h. 10.

1
2

Perkawinan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan


perananannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dari perkawinan itu sendiri. 2
Perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga perkawinan dapat berlangsung
abadi dan dapat mewujudkan keluarga sejahtera (sakinah mawaddah warohmah ).3
Dalam perjalanan hidup perkawinan ada saja saat-saatnya dimana ketika tak
mungkin baginya melanjutkan hubungan yang harmonis karena disebabkan
perpecahan (problematika) seperti di antara suami atau istri melakukan
perselingkuhan yang dapat mengakibatkan perzinahan, perekonomian sehingga
hak dan kewajiban tak terpenuhi, KDRT dan lain sebagainya. Sehingga tidak
menutup kemungkinan membuat rumah tangga kandas di tengah jalan. Demikin
dalam keadaan itu maka perkawinan tak dapat lagi dipertahankan, disebabkan
perpechan yang tak ujung usai, sehingga perceraian adalah jalan yang terbaik
baginya.
Oleh karena itu dalam membina bahtera rumah tangga pada prakteknya
sangatlah sulit sehingga akan timbul hambatan-hambatan dalam melaksanakan
hak dan kewajiban suami istri. Bila hak dan kewajiban tersebut tidak dilaksanakan
dengan baik maka kemungkinan besar akan timbul perpecahan yang berujung
pada perceraian atau dalam bahasa lain disebut dengan talak.
Ikatan perkawinan walau bagaimanapun harus diupayakan terjalin utuh.
Dalam keadaan yang tak dapat dihindarkan maka perceraian dibolehkan dengan
alasan-alasan yang diperbolehkan dan tidak bisa dihindarkan kecuali berpisah,
tapi Allah sangat murka terhadap perbuatan itu sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW.

‫ض اَ ْْلََل ِل‬ ِ ِ ِ ُ ‫ال رس‬ َ َ‫َع ِن ابْ ِن ُع َمَر َر ِض َي اَ هَّللُ َعْن ُه َماَ ق‬
ُ َ‫صلهى للاُ َعلَْيه َو َسل َم (أَبْ غ‬
َ ‫ول اَ هَّلل‬ ُ َ َ َ‫ ق‬: ‫ال‬
4
‫ِعْن َد اَ هَّللِ اَلطهَل ُق ) َرَواهُ أَبُو َد ُاوَد‬

2
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakat 1 (Bandung: Pustaka Setia, 1999) h. 9.
3
Bani Ahmad Saebani, Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-Undang (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), h. 27.
4
Sulaiman bin al Asyas al Sijistani, Sunan Abu Dawud, jilid 1 (Beirut: Dar al Kutub al
Ilmiyah 1996), h. 120.
3

Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “perbuatan halal
yang sangat dibenci Allah adalah talak”. (HR. Abu Dawud).

Pada dasarnya putusnya sebuah perkawinan itu terjadi karena dua hal;
pertama karena kematian, dan kedua karena perceraian. Dalam hal putusnya
perkawinan karena perceraian, kemudian terdapat ketentuan perundangan di
Indonesia dan beberapa Negara Muslim yang mensyaratkan adanya putusan
pengadilan. Islam menyerahkan hak cerai sepenuhnya terhadap suami, tapi istri
juga punya hak menuntut cerai terhadap suami ke pengadilan ketika suami tidak
memberikan nafkah lahir maupun batin bahkan menurut Mazhab Hanafi ketika
istri bersuamikan pria yang tidak memberikan nafkah lahir dan batin atau
mempunyai penyakit yang merusak kebahagian rumah tangga maka dia punya hak
cerai langsung (tanpa melalui proses gugatan).5
Perceraian atau talak dalam hukum Islam memang tidak diharuskan melalui
Pengadilan. Ketentuan perceraian dalam Pengadilan atau melalui persidangan
kesaksian hakim ini tidak diatur dalam fiqih mazhab apapun, dengan
pertimbangan bahwa perceraian khususnya yang disebut talak adalah hak mutlak
seorang suami, dan dia dapat menggunakannya di mana saja dan kapan saja.
Untuk itu tidak perlu memberi tahu apalagi minta izin kepada siapapun. Dalam
pandangan fiqih perceraian itu sebagaimana keadaannya perkawinan adalah
urusan pribadi dan karenanya tidak perlu diatur oleh ketentuan publik. 6 Al-Qur’an
dan Hadits tidak mengatur secara rinci tata cara menjatuhkan talak. Oleh karena
itu terjadi perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini. Ada ulama yang
memberikan aturan ketat, seperti harus dipersaksikan atau dilakukan di depan
hakim, namun ada pula yang longgar sekali, seperti pendapat yang mengatakan
bahwa suami bisa menjatuhkan talak dengan alasan sekecil apapun dan tanpa
saksi karena talak itu adalah hak suami. 7

5
Thahir Al-Haddad, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus 1993),
h., 94.
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet.1, h. 227-228.
7
Emir, Himpunan Fatwa MUI Sejak Tahun 1975, (Jakarta: Erlangga, 2015), h. 1201.
4

Menjatuhkan talak di luar pengadilan hukumnya sah menurut agama, akan


tetapi hukumnya tidak sah menurut Undang-Undang. Yang dimaksud
menjatuhkan talak di luar pengadilan adalah perceraian yang telah memenuhi
syarat dan rukun talak yang ditetapkan dalam syariat Islam, namun tanpa
penetapan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan
Undang-Undang. 8
Menurut Hukum Positif bahwa setiap perceraian baik cerai talak (diajukan
oleh pihak suami) maupun cerai gugat (diajukan oleh pihak isteri) harus dilakukan
di pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Ketentuan hal tersebut juga diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa “Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak”.
Berkenaan dengan hal tersebut, dalam Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam Pasal 115 menjelaskan bahwa “Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Dalam menanggapi hal tersebut, MUI dan beberapa Organisasi masyarakat
(ORMAS) yakni Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah yang juga memiliki
lembaga fatwa mengambil sikap tentang kedudukan talak luar pengadilan dan
memiliki pendapat yang berbeda tentang permasalahan tersbut.
Majelis Ulama Indonesia pada sidang ijtima’ yang dilaksanakan tanggal 1 Juli
2012 di Tasikmalaya. Dalam sidang Ijtima’ tersebut terdapat perbedaan pendapat
sehingga terjadi perpecahan yang mengakibatkan adanya perbedaan pendapat
diantaranya ada yang menyatakan sah mentalak istri di luar Pengadilan. “Alasan
kelompok pertama bahwa talak merupakan hak preogratif suami, asalkan sesuai

8
Emir, Himpunan Fatwa MUI Sejak Tahun 1975, h. 1201.
5

dengan syar’i. Sudah menjadi ketentuan syara’ bahwa talak itu adalah hak laki-laki
atau suami dan hanya ia saja yang boleh mentalak istrinya, orang lain biarpun
familinya tidak berhak kalau tidak sebagai wakil yang sah dari suami tersebut.
Islam menjadikan talak hak laki-laki atau suami adalah karena laki-laki atau
suamilah yang dibebani kewajiban perbelanjaan rumah tangga, nafkah istri, anak-
anak dan kewajiban lain. 9 Kemudian ada yang menyatakan tidak sah mentalak
istri di luar Pengadilan dengan alasan untuk menyelamatkan lembaga pernikahan.
Hal ini dinyatakan tidak sah karena untuk menyelamatkan institusi pernikahan
jadi harus dipersaksikan oleh pengadilan.10 Alasan tersebut didasarkan pada
peraturan hukum di Indonesia yang mengharuskan perceraian dilakukan di
Pengadilan Agama.
Namun setelah adanya kesepakatan menghasilkan beberapa rumusan sebagai
berikut:
a. Talak di luar pengadilan hukumnya sah dengan syarat ada alasan syar’i
yang kebenarannya dapat dibuktikan di pengadilan.
b. Iddah talak dihitung semenjak suami menjatuhkan talak.
c. Untuk kepentingan kemaslahatan dan menjamin kepastian hukum, talak di
luar pengadilan harus dilaporkan (ikbar) kepada pengadilan agama. 11

Nahdlatul Ulama dalam putusan Bahsul Masa’il yang dilaksanakan pada


Muktamar NU yang ke-28 pada tanggal 26-29 Rabiul Akhir 1410 H/ 25-28
November tahun 1989 M. di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta yang menghasilkan putusan nomor: 03/MNU-28/1989 yang
menyatakan bahwa talak yang dilakukan di luar pengadilan hukumnya sah,
sehingga ketika suami sudah mengucapkan talak sekali kemudian sidang di
Pengadilan Agama, maka talaknya menjadi talak yang kedua. Sedangkan
perhitungan masa ‘iddahnya dimulai dari jatuhnya talak yang pertama dan selesai
setelah berakhirnya ‘iddah yang terakhir yang dihitung sejak jatuhnya talak yang

9
Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), h.
49.
10
https://almanaar.wordpress.com/2012/07/09/rumusan-fatwa-mui-talak-diluar-
pengadilan/#more-477.
11
Emir, Himpunan Fatwa MUI Sejak Tahun 1975, h. 1202.
6

terakhir tersebut. Selain itu, dalam keputusan tersebut juga menyatakan bahwa
talak di depan Hakim Pengadilan Agama jika dijatuhkan setelah habisnya masa
‘iddah atau dilakukan karena terpaksa (mukrah), maka talaknya tidak
diperhitungkan.12
Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam fatwanya yang disidangkan pada hari
Jum’at, 8 Jumadil ula 1428 H/ 25 Mei 2007 M memberikan putusan bahwa
perceraian harus dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan, cerai talak
dilakukan dengan cara suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan
dan cerai gugat diputuskan oleh hakim. Perceraian atau talak yang dilakukan di
luar sidang Pengadilan dinyatakan tidak sah.13
Dari pandangan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nahdatul Ulama dan
Muhammadiya di atas mencerminkan suatu hal yang kontradiktif terhadap status
hukum talak di luar Pengadilan. Masing-masing fatwa terebut memiliki istinbath
hukum tersendiri. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk
mengangkat permasalahan tersebut kedalam sebuah karya ilmiah dalam bentuk
skripsi dengan judul “STATUS HUKUM TALAK DI LUAR PENGADILAN
AGAMA (Studi komparatif Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah)

B. Identifikasi Masalah
Latar belakang masalah yang telah penulis paparkan, maka dapat di
identifikasi beberapa masalah dalam penelitian ini, di antaranya:
1. Bagaimana jika talak dilakukan di luar pengadilan agama yang sudah di
atur oleh undang-undang?
2. Bagaimana penetapan menjatuhkan talak menurut Majelis Ulama
Indonesia?
3. Bagaimana penetapan menjatuhkan talak menurut Nahdlatul Ulama?
4. Bagaimana penetapan menjatuhkan talak menurut Muhammadiyah?

12
http://repository.iainpurwokerto.ac.id/2792/.
13
https://www.konsultasisyariah.in/2017/05/fatwa-muhammadiyah-cerai-luar-pengadilan-
tidak-sah.html.
7

5. Bagaimana status hukum talak di luar pengadilan agama menurut Majelis


Ulama Indonesia, Nahadatul Ulama dan Muhammadiyah?
6. Bagaimana perbedaan dan persamaan fatwa Majlis Ulama Indonesia,
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terhadap Status Hukum Talak di
luar Pengadilan Agama.

C. Batasan dan Rumusan Masalah


1. Pembatasan Masalah
Untuk memudahkan penulis dalam penyusun skripsi ini, dengan tidak
mengurangi nilai pembahasan, maka penulis membatasi masalah dalam
skripsi ini hanya pada: “Statut Hukum Talak di luar Pengadilan Agama Studi
Komparatif Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah”
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana perbedaan dan persamaan fatwa Majlis Ulama Indonesia,
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terhadap Status Hukum Talak
di luar Pengadilan Agama.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan
Sesuai dengan pokok masalah yang telah dirumuskan dalam rumusan
masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pperbedaan fatwa Majelis Ulama Indonesia,
Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah terhadp Status Hukum Talak di
Luar Pengadilan Agama.
2. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Skripsi ini diharapkan dapat menambah hazanah mengetahuan dan
keilmuan dibidang hukum islam khususnya dalm menjatuhkan talak
pada istri di luar Pengadilan Agama.
8

b. Skripsi ini diharapkan akan menjadi pelengkap penelitian-penelitian


sebelumnya.

E. Studi (Review) Kajian Terdahulu


Dari pengamatan penulis ada beberapa karya maupun tulisan yang
berhubungan dengan status hukum talak di luar pengadilan, sehingga dengan
adanya skripsi ini bisa menjadi pelengkap dalam analisis penelitian sebelumnya,
penelitian tersebut antara lain: pertama skripsi Cici Indriani, dengan judul skripsi
Dampak Perceraian (cerai thalaq) Diluar Prosedur Pengadilan Agama Terhadap
Nafkah Iddah Dan Nafkah Anak (Studi Kasus Di Desa Purwadadi Barat Kec.
Purwadadi Subang), pada tahun 2006. Skripsi ini menjelaskan tentang adanya
nafkah iddah dan nafkah anak itu disebabkan jatuhnya thalaq baik talak yang
dilakukan melalui proses pengadilan atau tidak, tapi cerai yang dilakukan di luar
pengadilan tidak mengharuskan nafkah iddah dan nafkah anak, karena tidak
terikat dengan hukum. Kedua Mohd. Serajuddin bin Mokhtar dengan judul skripsi
Terhadap Penyelesaian Thalaq di Luar Sidang (Studi Kasus di Peradilan Agama
Daerah Sik Kedah, Malaysiya), pada tahun 2007. Skripsi ini menjelaskan bahwa
masyarakat di daerah Sik Kedah Malaysia mempunyai keyakinan thalaq dianggap
sah walau tanpa ke pengadilan dengan berpedoman pada fikih, karena menurut
fiqh sah thalaq yang dijatuhkan di luar pengadilan dan masyarakat disana sangat
sedikit melakukan perceraian kepengadilan, karena mereka menganggap sah talak
yang dilakukan di luar atau di dalam pengadilan. Ketiga skripsi Nurulhidayah
binti ismail dengan judul “Hukum perceraian diluar mahkamah rendah syari’ah
menurut undang-undang keluarga Islam negaeri kelantan (studi terhadap
masyarakat kota baru kelantan)”. Keempat skripsi Evi Sari Wahyuni Siregar
dengan judul “kedudukan talak diluar pengadilan menurut Tokoh Nahdhlatul
Ulama Dan Tokoh Muhammadiyah (Studi Kasus Kecamatan Aek Nabara
Barumun Kabupaten Padang Lawas)”. (Studi Kasus Kecamatan Aek Nabara
Barumun Kabupaten Padang Lawas)”. Pada tahun 2018, Skripsi ini Bertujuan
untuk mengetahui bagaimana pandangan tokoh Nahdhlatul Ulama dan Tokoh
muhammadiyah di Kecamatan Aek Nabara Barumun tentang
9

bagaimanakedudukan talak diluar pengadilan. Penelitian ini merupakan metode


penelitian lapangan di masyarakat Kecamatan Aek Nabara Barumun. Kelima
skripsi Dofir dengan judul “Status Hukum Thalaq di Luar Pengadilan dalam
Perspektif Fiqh, Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam”,
yang dimaksud Fiqh adalah para ulama mazhab yang empat, Maliki, Hanafi,
Syafi’i dan Hambali. Pada tahun 2010 skrpsi ini bertujuan untuk Mengetahui
perbedaan antara pendapat Fiqh, UU No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) mengenai kedudukan sah tidaknya thalaq di luar pengadilan.
Perbedaan skripsi hasil studi terdahulu dengan skripsi yang penulis tulis
terletak pada jenis analisis dan penelitian, bahwasannya skripsi ini merupakan
kajian komparatif fatwa kepustakaan dan memiliki perbedaan pada skripsi
sebelumnya.

F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang di pakai penulis yaitu:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian yuridis
normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 14 Sesuai
dengan karakteristik kajiannya, maka penelitian ini menggunakan metode
kajian kepustakaan.
2. Pendekatan Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan yakni normatif, maka pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini juga menggunakan
pendekatan perbandingan. 15 Dalam hal ini penulis membandingkan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Nahdatul Ulama dan Fatwa Muhammadiyah
terhadap status hukum talak di luar Pengadilan Agama.

14
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h. 13-14.
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media,2014), h.
172.
10

3. Metode Pengumpulan Data dan Sumber Data


Penelitrian ini menggunakan studi pustaka (library research). Metode
kepustakaan dilakukan guna mengeskplorasi teori-teori tentang konsep dan
pemahaman khususnya terkait dengan tema atau judul skripsi penulis.
Sumber data adalah segala sesuatu yang menjadi sumber dan rujukan
dalam penelitian. Adapun sumber data dalam penelitian ini penulis bagi ke
dalam tiga jenis data, yaitu:
a. Data Primer, yaitu semua sumber yang berhubungan langsung dengan
objek penelitian. Dalam hal ini adalah kitab-kitab, buku-buku serta
literatur yang berhubungan dengan Status hukum talak di luar
pengadilan agama. Adapun sumber yang dimaksud adalah:
1) Fatwa Majlis Ulama Indonesia perceraian diluar pengadilan sidang
ijtima’ pada tanggal 1 Juli 2012 di Tasikmalaya.
2) Fatwa Bahsul Masail Nahdatul Ulama yang dilaksanakan pada
Muktamar ke-28 tahun 1989 di Pondok Pesantren Al-Munawwir
Krapyak Yogyakarta.
3) Fatwa Tarjih Muhamadiyah Jum’at, 8 Jumadil ula 1428 H/ 25 Mei
2007 M.
b. Data Sekunder, yaitu semua sumber yang mendukung dan menjelaskan
data-data primer. Data sekunder ini berupa artikel, jurnal, dan lain
sebagainya yang berhubungan dengan pembahasan Status Talak diluar
Pengadilan Agama
c. Data Tersier, yaitu data non hukum, yang dimaksudkan untuk
memperkaya dan memperluas wawasan sepanjang mempunyai
relevansi dengan topik penelitian seperti, buku mengenai Talak.
4. Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan teknis analisis isi buku (content analysis). Tentunya cara ini
dengan mencari dan mengkaji buku-buku serta literatur yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas. Dan studi perpustakaan lainnya yang
11

berkaitan dengan Status Hukum Talak di luar Pengadilan Agama menurut


Majelis Ulama Indonesia, Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah.
5. Teknik Analisis Data
Data-data yng telah terkumpul dari hasil penelitian kemudian kan dianalisi.
Dalam hal ini, penulis menganalisi dengan menggunkan pendekatan
perbandingan (comparative approach) 16, yaitu hasil Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, Fatwa Bahsul Masa’il Nahdatul Ulama dan Fatwa Tarjih
Muhammadiyah terhadap Status Hukum Talak di Luar Pengadilan Agama.
6. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku Pedoman Penulisan
Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang penulis pakai tersistem sebagai berikut: Kata
pengantar, daftar isi dan memuat beberapa beb yaitu:
Bab I Berisi Pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
studi revew kajian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Penulis Menjelaskan pandangan umum tentang talak yang berisikan
pengertian talak, dasar hukum talak, rukun dan syarat talak, macam-macam talak,
sebab-sebab terjadinya talak dan talak di dalam pengadilan.
Bab III Merupakan Profil dan Metode Istimbath hukum MUI,
Muhammadiyah dan NU. Yang meliputi profil MUI yang mencakup sejarah
terbentuknya Majelis Ulama Indonesia dan metode istimbath hukum Majelis
Ulama Indonesia. Kemudian profil Nahdatul Ulama yang mencakup sejarah
terbentuknya NU dan metode istimbath hukum Bahsul Masa’il Nahdatul Ulama.
Lalu, profil Muhammadiyah yang mencakup sejarah terbentuknya
Muhammadiyah dan metode istimbath hukum Majelis Tarjih Nahdatul Ulama.

16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 172.
12

Bab IV Pembahasan inti, Perbandingan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,


Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terhadap status hukum talak di luar
pengadilan agama
Bab V Penutup yang memuat lampiran-lampiran, kesimpulan, saran dan yang
terakhir daftar pustaka.
BAB II

TINJAUAN UMUM TALAK

A. Pengertian Talak
Thalaq secara bahasa ialah lepas dan bebas yaitu putusnya suatu perkawinan
antara suami dan istri sehingga sudah lepas hubungannya dan masing-masing
sudah bebas. Sedangkan Thalaq secara istilah ulama berbeda pendapat namun
sensinya sama. Adapun Thalaq menurut pendapat Al-mahalli dalam kitabnya
Syarah Minhaj Al-Thalibin yaitu: 17

ِ ‫َح ُّل َع ْق ِد النِ َك‬


ِ‫اح بِلَ ْف ِظ الطهللَ ِق وََْن ِوه‬
َ
Artinya: Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunkan lafaz thalaq
dan sejenisnya.
Atau ringkasnya:

ِ ‫َح ُّل َع ْق ِد النِ َك‬


‫اح‬
Artinya: Melepaskan ikatan perkawinan.
Dalam kitab Kifayatul Akhyar menjelaskan talak sebuah nama untuk
melepaskan ikatan perkawinan dan talak adalah lafadz jahiliyah yang setelah
islam datang menetapkan lafadz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. 18
Jadi, yang dimaksud dengan thalaq ialah menghilangkan ikatan perkawinan,
sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi
suaminya, dan ini menjadi dalam hal thalaq ba’in, sedangkan arti mengurangi
pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak thalaq bagi suami yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah thalaq yang menjadi hak suami dari tiga
menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak thalaq itu,
yaitu terjadi dalam thalaq raj’i.19
Kesimpulan dari definisi yang telah penulis kemukakan bahwa yang
dimaksud dengan talak adalah terlepsnya tali perkawinan antara suami dan istri

17
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 198-199.
18
Taqiyuddin, Kifyatul Akhyar, Juz II, (Bandung: Al-Haromain Jaya, 2005), h. 84.
19
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, h. 192.

13
14

dengan menggunakan kata khusu yakni talak atau semacamnya, sehingga istri
sudah tidak halal lagi baginya.
Talak merupakan sebuah institusi yang digunakan untuk melepaskan sebuah
ikatan perkawinan, dengan demikian ikatan perkawinan sebenarnya dapat putus
dan tata caranya telah diatur baik dalam fikih maupun dalam Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). 20
Kehidupan rumah tangga harus didasari oleh cinta dan kasih sayang, yakni
suami istri harus memerankan peran masing-masing, yang satu dengan yang
lainnya saling melengkapi. Dan juga harus mewujudkan keseragaman, keeratan,
kelembutan dan saling pengertian satu sama lain sehingga rumah tangga menjadi
hal yang sangat menyenangkan, penuh kebahagiaan, kenikmatan dan juga dapat
melahirkan generasi yang baik. 21
Jika apabila suami dan istri sudah tidak lagi saling memperdulikan satu
dengan lainnya serta sudah tidak menjalankan tugas dan kewajibannya masing-
masing sebagaimana mestinya, sehingga yang tinggal hanya pertengkaran dan tipu
daya. Kemudian keduanya berusaha memperbaiki, namun tidak kunjung berhasil
juga, maka pada saat itu, talak adalah kata yang paling tepat.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa,
namun dalam realitanya seringkali perkawinan tersebut kandas ditengah jalan
yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian, perceraian
ataupun karena putusan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang. 22

20
Wahbah zuhaili, Fikih dan Perundangan Islam, Dewan Bahasa dan Pustaka, (Selangor,
2001), h, 579.
21
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 207.
22
Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal
Center Publishing, 2002), h. 41.
15

B. Dasar Hukum Talak


Talak pada dasarnya dalm hukum islam ialah makruh, 23 sebagaimana diatur
dalam dua sumber Hukum Islam. Yakni Al-Qur’an dan Hadis. Hal ini dapat
dilihat pada pada berikut ini:
1. Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 231:

ِ ٍ ِ ‫وأ أَو س ِرح‬ ٍ ِ ِ ِ ِ


‫وه هن‬ ُ ‫وه هن بَْع ُروأ َوََل ُتُْس ُك‬ ُ ُ َ ْ ‫َفلَ ُه هن فَ َْمس ُكوُه هن بَْع ُر‬ َ ‫َوإذَا طَله ْق ُُ ُم الن َس اءَ فَ َ لَ ْغ َن أ‬
ِ‫اَّلل‬
‫اَّللِ ُه ُ ًوا ۚ َواذْ ُك ُروا نِ ْع َم َ ه‬
‫ت ه‬ ِ ‫هخ ُذوا آَي‬ ِ َُ‫ِضرارا لُِ عُ ُدوا ومن ي ْفعل ذَلِك فَ َق ْد ظَلَم نَ ْفسه ۚ وََل ت‬
َ َ َُ َ َ ْ َ َ ْ َ َ َْ َ ً َ
‫اَّللَ بِ ُك ِل َي ْي ٍء‬ ‫ْم ِ يَعِظُ ُك ْم بِ ِه ۚ َواته ُق وا ه‬
‫اَّللَ َو ْاعلَ ُم وا أَ هن ه‬ ِْ ‫علَي ُكم وما أَنْ َل علَي ُكم ِم ن اْل ِكُ ا ِ و‬
َ ‫اْلك‬ َ َ َ ْ ْ َ َ ََ ْ ْ َ
)231 :2 /‫َعلِيم (ال قرة‬

Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati


akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki
mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-
hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah).
Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu.
dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu. (Al-Baqarah: 2 Ayat 231)

2. Hadis Rasulullah SAW tentang talak

‫ض اَ ْْلََل ِل اَ ََل‬ ِ
ُ َ‫ اَبْغ‬,‫صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلهم‬
ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اَهلل‬ َ َ‫َع ِن اِبْ ِن ُع َمَر َر ِض َي اَهللُ َعْن ُه َما ق‬
ُ َ َ َ‫ ق‬: ‫ال‬
ٍِ ‫ ور هفح أَبُو َح‬, ‫ص هح َحهُ اَ ْْلَاكِم‬
)ُ‫اِت إِْر َسالَه‬ َ ‫للاِ تَ َع‬
َ ََ ُ َ ‫اف ْه َو‬ َ ‫اَل اَلطهَل ُق‬
َ ‫ َوابْ ُن َم‬, ‫(رَواهُ أَبُو َد ُاوَد‬
24

Artinya: Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda,


“Sesuatu yang halal namun paling dibenci di sisi Allah adalah thalak.” (HR.

23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 199.
24
Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Syarah Bulughul Maram Jilid 5, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006), Cet.1, h. 557.
16

Abu Daud dan Ibnu Majah serta dinilai shahih oleh Al-Hakim dan Abu Hatim
mengunggulkan mursal-nya).

Dalam hal ini ditunjukkan pula bahwa Islam sangat berkeinginan agar
kehidupan rumah tangga itu tentram dan terhindar dari keretakan, bahkan
dapat diharapkan dapat mencapai suasana pergaulan yang baik dan saling
mencintai. Dan wanita yang menuntut cerai dari suaminya hanya karena
manginginkan kehidupan yang menurut anggapanya lebih baik, dia berdosa
dan diharamkan mencium bau surga kelak di akhirat. Karena perkawinan
pada hakekatnya merupakan salah satu anugerah dari Allah yang patut
disyukuri. Dan dengan bercerai berarti tidak mensyukuri anugerah tersebut
(kufur nikmat). Dan kufur itu tentu dilarang oleh agama dan tidak halal
dilakukan kecuali dengan sangat terpaksa (darurat) Perceraian merupakan
jalan terakhir yang harus ditempuh jika bahterah kehidupan rumah tanggah
tidak dapat lagi dipertahankan keutuhanya. Islam menunjukkan agar sebelum
terjadinya perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belaha
pihak karena ikatan perkawinan adalah ikatan yang paling suci dan kokoh.
Berdasarkan beberapa sumber hukum dalam keadaan dan situasi tertentu
maka hukum menjatuhkan talak itu, yaitu:
a. Wajib, Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri dan thalaq
digunakan, sebagai tujuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi
antara suami isteri jika masing-masing pihak melihat bahwa thalaq
adalah jalan satu-satunya untuk mengakhiri perselisihan.
b. Sunnah, talak disunnahkan jika isteri rusak moralnya, berbuat zina atau
melanggar larangan-larangan agama atau meninggalkan kewajiban-
kewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, isteri tidak afifah
(menjaga diri berlaku terhormat).
c. Makruh, Berdasarkan hadis yang menetapkan bahwa thalaq merupakan
jalan yang halal yang paling dibenci oleh Allah Swt yakni dibenci jika
tidak ada sebab yang dibenarkan, sedangkan Nabi tidak
17

mengharamkanya juga karena tidak dapat menghilangkan kemaslahatan


yang terkandung dalam perkawinan.25
d. Haram, menjatuhkan talak terhadap istri tanpa alasan, sedangkan istri
dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli.
e. Mubah, boleh saja di lakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan
tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan
manfaatnya juga ada kelihatannya. 26
3. Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam.
Talak (perceraian) disebutkan dalam Undang-undang Nomoe. 1 tahun
1974 tentang pwerkawinan pada pasal 38 yang berbunyi, perkawinan dapat
putus karena kematian dan perceraian, sehingga keputusan pengadilan. di
lanjutkan pada Pasal 39, yaitu berbunyi:
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
3) Tata cara percerian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
undang-undang itu sendiri.
4. Kompilasi Hukum Islam
Bukan hanya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
saja, namun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menjelaskan
putusnya suatu perkawinan hanya dengan sebab kematian, perceraian, dan
putusan pengandilan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 113 menyatakan:
a. Kematian
b. Perceraian
c. Atas Putusan Pengadilan

25
Abdul. Rahman Ghazaliy, Fiqh Munakahat, h. 241.
26
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h., 201.
18

Berkenaan dengan hal tersebut Pasal 114 KHI juga menyebutkan bahwa
perkawinan dapat putus dengan sebab gugatan perceraian, yaitu sebagai
berikut:
“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi
karena talak berdasarkan gugatan perceraian”.
Fuad Said mengemukakan bahwa perceraian dapat terjadi dengan cara
talak, khulu.27

C. Rukun dan Syarat Talak


Rukun dan syarta talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan
terwujudnya talak tergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur yang dimaksud,
rukun talak ada empat yaitu: 28
1. Suami
Yang memiliki hak thalaq dan yang berhak menjatuhkanya, selain suami
tidak berhak menjatuhkannya oleh karena thalaq itu bersifat menghilangkan
ikatan perkawinan, maka thalaq tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata
adanya akad perkawinan yang sah.
Abu Ya’la dan Al-Hakim meriwayatkan hadis dari Jabir bahwa Rasulullah
SAW bersabda:

ٍ ْ‫اح وَلَ ِعُْق اَِلهب ع َد ِمل‬ ِ ِ


‫ك‬ ْ َ َ َ ٍ ‫َلَطَلَق اَله بَ ْع َد ن َك‬
29

Artinya; Tidak ada thalaq kecuali setelah akad perkawinan dan tidak ada
pemerdekaan kecuali setelah ada pemilikan. (HR. Abu Ya’la dan al-Hakim)

27
Fuad Zaid, Perceraian Menurut Hukum Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994), h. 2.
28
Abdurrahman Bin Muhammad Awad Al-Jaziri, al-Fiqhu Ala al-Mazahibil al-Arba’ah,
Darul Ibnu al-Haitsam, 1360-1299 Hijriyah, h. 968.
29
Al-Hafidz Bin Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Toko Kitab al-Hidayah, 773
Hijriayah, h. 227.
19

Untuk sahnya thalaq, suami yang menjatuhkan thalaq di syaratkan:


a. Berakal.
Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan
gila dalam hal ini adalah hilang akal atau rusak akalnya karena sakit atau
rusak syaraf otaknya.
b. Baligh.
Seoramg yang menjatuhkan talak harus mumayyiz, karena anak kecil
tidak dapat menjatuhkan talak. Karena Baligh merupakan istilah dalam
hukum islam yang menunjukkan sepada seseorang telah mencapai dewasa.
c. Atas kemauan sendiri.
Yang dimaksud ialah adanya kehendak pada diri suami untuk
menjutuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan dipaksa
orang lain.
2. Istri
Masing-masing suami berhak menjatuhkan talak terhadap istrinya. Tidak
dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain. Untuk sahnya
talak, bagi istri yang di talak disyaratkan sebagai berikut:
a. Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri
yang menjalani masa iddah thalaq raj’i dari suaminya oleh hukum islam
dipandang masih berada dalam perlindungan kakuasaan suami. Bila
dalam masa itu suami menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya
sehingga menambah jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak
talak yang dimiliki suami. Dalam talak ba’in hal itu tidak terjadi, karena
istri tidak lagi dalam tanggungan suaminya.
b. Kedudakan istri yang ditalak oleh suami itu harus berdasarkan atas akad
perkawinan yang sah menurut syara’.
3. Sighat talak
Sighiat Talak ialah lafadz atau kata-kata yang diucapkan suami terhadap
istrinya yang menunjukkan talak, baik ungkapan itu secara jelas maupun
sindiran. Baik berupa ucapan atau lisan, tulisan, isyarat bagi suami ataupun
dengan mewakilkan pada orang lain.
20

4. Qashdu (sengaja)
Qashdu ialah bahwa dengan ucapan thalak itu memang dimaksudkan oleh
yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk bermaksud lain. Oleh karena
itu, salah ucap yang tidak dimaksudkan untuk talak dipandang tidak jatuh
talak, seperti suami memberikan sebuah talak kepada istrinya, tapi ia keliru
mengucapkannya seperti: “ini sebuah talak untukmu”, seharusnya ia
mengatakan: “ini sebuah salak untukmu”, maka tidak dipandang jatuh talak
tersebut.

D. Macam-macam Talak
Macam-macam talak di lihat dari beberapa beberapa keadaan. Dengan
melihat kepada keadaan istri waktu talak itu diucapkan oleh suami, talak itu ada
dua macam:30
1. Talak Sunni
Menurut Abdurrahman Bin Muhammad Awad al-Jaziri di dalam kitabnya
al-Fiqhu Ala al-Mazdahib al-Arba’ah yaitu:31

ٍ ‫َّي وَكا َن بِ َع َد ٍد ُم َع ه‬
ٍ ِ
‫َّي‬ َ ‫َما َكا َن ِف َزَم ٍن ُم َع ه‬
Artinya: “Thalaq yang sudah ditentukan zaman dan bilangannya”

Jadi, talak Sunni adalah talak yang dijatuhkan suami telah sesuai
dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadits. Yaitu jatuhkannya talak oleh
suami kepada istri yang si istri waktu itu tidak dalam keadaan haid atau
dalam masa suci yang pada masa itu belum pernah dicampuri oleh
suaminya. 32 Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat At-Thalaq ayat 1:

)1 :65/‫صوا الْعِ هد َة (الطلق‬ ِِ ِ ِ ‫َي أَيُّها النِهِب إِ َذا طَله ْقُم النِساء فَطَلِ ُق‬
ُ ‫َح‬
ْ ‫وه هن لعدهِت هن َو أ‬
ُ َ َ ُُ ُّ َ َ

30
Amir Syarifuddin, hukum perkawinan islam di Indonesia: antara fiqih munakahat dan
undang-undang perkawinan, h. 217.
31
Abdurrahman Bin Muhammad Awad Al-Jaziri, al-Fiqhu Ala al-Mazahibil al-Arba’ah,
Darul Ibnu al-Haitsam, 1360-1299 Hijriyah, h. 974.
32
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa: Mohammad Thalib (Bandung: PT Alma’arif,
1980), jilid 8, h. 42.
21

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka


hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar( ” (Q.S At-Thalaq: 65Ayat 1)
2. Talak Bid’iy
Abdurrahman Bin Muhammad Awad al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqhu
Ala al-Mazdahib al-Arba’ah mengatakan: 33

‫ أ َْو طَله َق َها ثََل ًث‬،‫ أ َْو نَِفاس‬،‫إِ َذا طَله َق َها َو ِه َي َحائِض‬

Artinya: “Ketika menthalaq istri dalam keadaan haid atau nifas atau
thalaq tiga”.

Yang dimaksud dengan talak bid’iy adalah talak yang dilakukan suami
dengan menyalahi aturan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Yaitu seorang suami
menjatuhkan talak kepada istrinya dalam keadaan haid atau dalam keadaan
nifas dan dalam keadaan suci tapi digauli oleh suami dalam keadaan sucinya
atau mentlak tiga kali dengan sekali ucapan atau juga dengan secara terpisah-
pisah34 sebagaimana Hadits yang di riwayatkan Nasa’i, Muslim dan Ibnu
Majah.

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ فَ َذ َكَر َذال‬،ً ‫ تَطْلْي َق‬،‫طَله َق ا ْمَرأًَة لَهُ َوه َي َحائض‬،‫ ا هن ابْ َن ُع َمَر‬: َ‫َوِِف ِرَواي‬
َ ‫ك ُع َم ُر للنِهِب‬
ُ‫صلَى للا‬
‫(رواه النساءومسلم وابن‬.‫ت اَْو َوِه َي َح ِامل‬ ِ ِ ِ َ ‫َعلَْي ِه َو َسله ُم فَ َق‬
ْ ‫م ْرهُ فَ ْل َُُياف ْع َها ُثُه يُطَل ُق َها ا َذاطَ َهَر‬:
ُ ‫ال‬
35
)‫مافه وابودود‬

Artinya: Dalam sebuah riwayat dikatakan: bahwa Ibnu Umar men-thalaq


salah seorang istrinya di masa haid dengan sekali thalaq. Lalu Umar
menyampaikan hal itu kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda: Suruhlah ia

33
Abdurrahman Bin Muhammad Awad Al-Jaziri, al-Fiqhu Ala al-Mazahibil al-Arba’ah, h.
975.
34
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 45.
35
Al-Hafidz Bin Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, h. 223.
22

merujuknya, kemudian bolehlah ia menthalaqnya jika telah suci atau ketika


ia hamil (HR. Nasa’i, Muslim, Ibnu Majah dan Abu Daud).

Dengan melihat kepada kemungkinan bolehnya si suami kembali kepada


mantan istrinya, talak tersebut ada dua macam:36

1. Talak Raj’iy
Talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang telah dikumpulinya
betul-betul yang ia jatuhkan bukan sebagai ganti rugi dari mahar yang
dikembalikannya dan sebelumnya belum pernah ia menjatuhkan talak
kepadanya sama sekali atau baru sekali saja. Di sini tidak berbeda antara talak
yang dinyatakan dengan terus terang dan sindiran. 37 Sebagaimana firman
Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 229:

ٍ ِ
ٍ ‫وأ أَو تَس ِريح بِِحس‬ ِ ِ
)229 :2 /‫ان (ال قرة‬ َْ ْ ْ ‫الطهَل ُق َمهرََتن فَإ ْم َساك بَْع ُر‬

Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (Al-
Baqarah: 2 Ayat 229)

Maksudnya talak yang ditetapkan Allah sekali sesudah sekali. Dan suami
berhak merujuk istrinya dengan baik sesudah talak yang pertama, dan begitu
pula ia masih berhak merujuknya dengan baik sesudah talak kedua kalinya.

2. Talak Ba’in
Yaitu talak yang ketiga kalinya, talak sebelum istri dikumpuli, dan talak
dengan tebusan oleh istri kepada suaminya. 38 Dalam Bidayatul al-Mujtahid
Ibnu Rusyd berkata: Para ulama sepakat, talak ba’in hanya terjadi dalam talak
sebelum disetubuhi sebelumnya tidak pernah ditalak, Mereka sepakat bahwa
bilangan talak yang merupakan talak ba’in yaitu tiga kali talak yang

36
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 220.
37
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 60.
38
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 68.
23

dilakukan laki-laki merdeka sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-
Baqarah ayat 229:

)229 :2 /‫الطهَل ُق َمهرََت ِن (ال قرة‬


Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali” (Al-Baqarah: 2 Ayat
229)
Kemudian mereka berbeda pendapat tentangalak tiga yang hanya
diucapkan sekali, bukan kejadiannya yang tiga kali. 39 Talak Ba’in ini terbagi
dua macam:40
a. Ba’in Sughra, ialah talak yang suami tidak boleh ruju’ kepada mantan
istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui
muhallil. Yang termasuk ba’in sughra sebagai berikut:
Pertama: Talak yang dilakukan sebelum istri digauli oleh suami.
Talak dalam bentuk ini tidak memerluka ‘iddah. Oleh karena itu, maka
tidak ada kesempatan untuk ruju’, sebab ruju’ hanya dilakukan dalam
masa ‘iddah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Surat
Al-Ahzab Ayat 49:
ِ ِ ِ ِ‫ه‬
ُ ‫آمنُوا إِذَا نَ َك ْحُُ ُم الْ ُم ْؤمنَات ُثُه طَله ْقُُ ُموُه هن م ْن قَ ْ ِل أَ ْن ُتََ ُّس‬
‫وه هن فَ َما لَ ُك ْم‬ َ ‫ين‬
َ ‫ََيأَيُّ َها الذ‬
َ ‫َعلَْي ِه هن ِم ْن ِعدهةٍ تَ ْعَُد‬
)49 : 33/ ‫ُّوَنَا (األح ا‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi


perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib
atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”
(Al-Ahzab: 33 Ayat 49)

39
Abdurrahman. Haris Abdullah, Terjemah Bidayatul Mujtahid, (Semarang: CV. Asy Syifa,
1990), cet, I, h. 478-480
40
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 221-222.
24

Kedua: Talak yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak istri
atau yang disebut Khulu’. Hal ini dapat dipahami dari isyarat firman
Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 229:

‫ان َوََل َِي ُّل لَ ُك ْم أَ ْن ََتْ ُخ ُذوا ِِمها‬ َْ ْ ْ


ٍ ‫الطهَل ُق مهرََت ِن فَِإمساك ِبعر‬
ٍ ‫وأ أَو تَس ِريح بِِحس‬
ُ َْ َ ْ َ
‫اَّللِ فَ َل‬
‫ود ه‬ ِ ِ ِ ‫آتَي ُموه هن يي ئا إِهَل أَ ْن ََيافَا أهََل ي ِقيما ح ُد‬
َ ‫ود ا هَّلل فَِإ ْن خ ْفُُ ْم أهََل يُق َيما ُح ُد‬ َ ُ َ ُ َ ًَْ ُ ُ ُ ْ
ِ‫اَّلل‬ ِ‫فناح علَي ِهما فِيما افْ ُ َدت بِِه تِْلك ح ُدود ه‬
‫ود ه‬ َ ‫وها ۚ َوَم ْن يََُ َع هد ُح ُد‬ َ ‫اَّلل فََل تَ ْعَُ ُد‬ ُ ُ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َُ
)229 :2 /‫ك ُه ُم الظهالِ ُمو َن (ال قرة‬ ِ
َ ‫فَ ُولَئ‬
Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara
yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang
telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir
tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-ukuhm
Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.41 Sebagaimana Firman
Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 229:

‫ك ُه ُم الظهالِ ُمو َن‬ ِ ِ‫اَّللِ فَ َل تَعُ ُدوها ومن ي ُ ع هد ح ُدود ه‬


َ ‫اَّلل فَ ُولَئ‬ َ ُ َ ََ ْ َ َ َ َ ْ ‫ود ه‬ ُ ‫ك ُح ُد‬
ِ
َ ‫ت ْل‬

)229 :2 /‫(ال قرة‬


Artinya: Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah
mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 2 Ayat 229)

Ketiga: Perceraian melalui putusan hakim di pengadilan atau yang


disebut fasakh.
b. Ba’in Kubra, yaitu tidak memungkinkan suami kembali (ruju’) kepada
mantan istrinya.

41
Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Khulu' Yaitu
permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh.
25

Dia hanya boleh kembali kepada istrinya setelah istrinya itu kawin
dengan laki-laki lain dan bercerai pula dengan laki-laki itu dan habis
masa ‘iddahnya. Yang termasuk talak ba’in kubra adalah sebagai
berikut:
Pertama: Istri yang telah ditalak tiga kali, atau talak tiga. Talak tiga
dalam pengertian talak ba’in itu yang disepakati oleh ulama adalah
talak tiga yang diucapkan secara terpisah dalam kesempatan yang
berbeda antara satu dengan lainnya diselingi oleh masa ‘iddah.
Termasuknya talak tiga itu ke dalam kelompok ba’in kubra itu adalah
sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 230
menyatakan:

‫اح َعلَْي ِه َما‬ ِ ِ ِ ِ ِ


َ َ‫فَإ ْن طَله َق َها فََل ََت ُّل لَهُ م ْن بَ ْع ُد َح هّت تَْنك َح َزْو ًفا َغ ْ َُيهُ ۗ فَإ ْن طَله َق َها فََل ُفن‬
)230 :2 /‫(ال قرة‬

Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang


kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin
dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagikeduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kawin kembali”. (Al-Baqarah: 2 Ayat 230)
Kedua: Istri yang bercerai dari suaminya melalui proses li’an.
Berbeda dengan bentuk pertama mantan istri yang di li’an itu tidak
boleh sama sekali dinikahi, meskipun sesudah diselingi oleh adanya
muhallil, menurut jumhur ulama.
Penjelasan talak ba’in dapat juga ditemukan dalam KHI pada Pasal
119 dan 120 yang menjelaskan:
1) Talak Ba`in Shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh
akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
2) Talak Ba`in Shughra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah:
a. Talak yang terjadi sebelum di gauli (qabla al dukhul).
b. Talak dengan tebusan (atahu khuluk).
c. Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
26

“Talak Ba`in Kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.
Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali,
kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah
degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian setelah di gauli
(ba`da al dukhul) dan habis masa iddahnya”.
Talak ditinjau dari segi ucapan yang digunakan, terbagi dua macam,
yaitu:42
1) Talak Tanjiz
Yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan
langsung, tanpa dikaitkan kepada waktu, baik menggunakan ucapan
sharih atau kinayah. Dalam bentuk ini talak terlaksana segera setelah
suami mengucapkan ucapan talak tersebut.
2) Talak Ta’liq
Yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan
yang pelaksanaannya di gantungkan kepada sesuatu yang terjadi
kemudian, baik menggunakan lafaz terang terangan (sharih) atau
sindiran (kinayah). Seperti ucapan suami: “bila ayahmu pulang dari
luar negeri engkau saya talak”. Talak seperti ini baru terlaksana
secara efektif setelah syarat yang digantungkan terjadi.
Talak Ta’liq ini berbeda dengan taklik talak yang berlaku di
beberapa tempat yang diucapkan oleh suami segera setelah ijab
qabul dilaksanakan. Taklik talak itu ialah sebuah bentuk perjanjian
dalam perkawinan yang di dalamnya disebutkan beberapa syarat
yang harus dipenuhi oleh suami. Jika tidak memenuhinya, maka si
istri yang tidak rela dengan itu dapat mengajukannya ke pengadilan
sebagai alasan untuk perceraian.
Talak dari segi siapa yang secara langsung mengucapkan talak, talak
bentuk ini dibagi dua macam:43

42
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h, 225.
43
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 226.
27

1) Talak Mubasyir, yaitu talak yang langsung diucapkan sendiri oleh


suami yang menjatuhkan talak, tanpa melalui perantara atau
wakil.
2) Talak Tawakil, yaitu talak yang pengucapannya tidak dilakukan
sendiri oleh suami, tetapi dilakukan oleh orang lain atas nama
suami. Bila talak itu diwakilkan pengucapannya oleh suami
kepada istrinya, seperti ucapan suami: “aku serahkan kepadamu
untuk mentalak dirimu”, secara khusus disebut talak tafwidh
(melimpahkan).

E. Sebab- Sebab Terjadinya Talak


1. Putusnya Perkawinan Sebab Syaqiq
Syaqiq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian
rupa, sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan
pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan
kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya. 44
Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 35 menyatakan:

‫ص َل ًحا يُ َوفِ ِق ه‬
ُ‫اَّلل‬
ِ ِ ِِ ِ ِ َ ‫وإِ ْن ِخ ْفُم ِي َق‬
ْ ِ‫اق بَْين ِه َما فَابْ َعثُوا َح َك ًما م ْن أَ ْهله َو َح َك ًما م ْن أ َْهل َها إِ ْن يُِر َيدا إ‬ ُْ َ
)35 :4/‫بَْي نَ ُه َما إِ هن هاَّللَ َكا َن َعلِ ًيما َخِ ًُيا (النساء‬

Artimya: “dan jika kamu khawatirkan ada syaqiq (persengketaan) antara


keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu.
Sesungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar.” (An-Nisa’: 4
Ayat 35)

44
Abdul. Rahman Ghazaliy, Fiqh Munakahat, h. 241-242.
28

2. Putusnya Perkawinan sebab Pembatalan


Jika suatu akad perkawinan telah dilaksanakan dan dalam pelaksanaannya
ternyata terdapat larangan perkawinan antara suami istri semisal karena
pertalian darah, pertalian susuan, pertalian semenda, atau terdapat hal-hal
yang bertentangan dengan ketentuan hukum seperti tidak terpenuhinya
hokum atau syaratnya, maka perkawinan menjadi batal demi hokum melalui
peroses pengadilan, hakim membatalkan pernikahan dimaksud. 45

3. Putusnya Perkawinan sebab Fasakh


Hukum islam mewajibkan suami untuk menunaikan hak-hak istri dan
memelihara istri dengan sebaik-baiknya, tidak boleh menganiaya istrinya dan
menimbulkan kemudharatan terhadapnya. 46 Suami dilarang menyengsarakan
kehidupan istri dan menyia-nyiakan haknya. Firman Allah surat Al-Baqarah
ayat 231 menyatakan:

‫وه هن‬ ِ ٍ ِ ‫وأ أَو س ِرح‬ ٍ ‫وإِ َذا طَله ْقُم النِساء فَ لَ ْغن أَفلَه هن فََم ِس ُكوه هن ِبعر‬
ُ ‫وه هن بَْع ُروأ َوََل ُتُْس ُك‬
ُ ُ َ ْ ُ َْ ُ ْ ُ َ َ َ َ َ ُ ُ َ
)231 :2 /‫ِضَر ًارا لَُِ ْعَُ ُدوا (ال قرة‬
Artinya: “Maka peliharalah (rujukIlah) mereka (istri-istri) dengan cara
yang ma’ruf (baik) atau lepaskanlah (ceraikanlah) mereka (istri-istri)
dengan yang ma’ruf (baik) pula. Janganlah kamu pelihara (rujuki) mereka
untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya
mereka.” (Al-Baqarah: 2 Ayat 231)
Hukum Islam tidak menghendaki adanya kemudharatan dan melarang
saling saling menimbulkan kemudharatan. Dalam hadist dinyatakan bahwa
Rasulallah SAW bersabda:

‫ضَر َار َوََل ِضَر ًار‬


َ ‫ََل‬
Artinya: Tidak boleh ada kemudharatan dan tidak boleh saling
menimbulkan kemudharatan.

45
Abdul. Rahman Ghazaliy, Fiqh Munakahat, h. 243.
46
Abdul. Rahman Ghazaliy, Fiqh Munakahat, h. 244-245.
29

4. Putusnya Perkawinan sebab Meninggal Dunia


Jika salah seorang dari suami atau istri meninggal dunia, atau kedua
suami istri itu bersama-sama meninggal dunia, semisal suami istri Bersama-
sama dalam kapal yang kemudian tenggelam Bersama kedalam laut,
terbakarnya rumah yang menjadi tempat tinggal bersama, terjatuhnya kapal
terbang yang ditumpangi suami istri dan lain sebagainya, maka menjadi
putuslah perkawinan mereka.
Dimakasudkan dengan mati yang menjadi sebab putusnya perkawinan
dalam hal ini meliputi baik mati secara fisik, yakni memang dengan kematian
itu diketahui jenazahnya, sehingga kematian itu benar-benar secara biologis,
maupun kematian secara yuridis, yaitu dalam kasus suami yang mafqud
(hilang tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal dunia),
lalu melalui peroses pengadilan hakim dapat menetapkan kematian suami
tersebut.47
Di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 pasal 19 dinyatakan
hal- hal sebab- sebab terjadinya Talak adalah:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-
berturut tanpak izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain diluar kemampuannya.
3. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak laian. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/ isteri.48

47
Abdul. Rahman Ghazaliy, Fiqh Munakahat, h. 247-248
48
Amiur Nuruddin dan Azhri Akmal Tarigan, Hukum Perdata Isalam Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), Cet.1, h. 218.
30

4. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ isteri.

F. Talak di dalam Pengadilan


Putusnya perkawinan yang di sebut talak dalam fikih, telah diatur dengan
cermat dalam UU perkawinan, PP No.9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksana dari
UU perkawinan dalam pasal 38 yang menjelaskan bentuk putusnya perkawinan
dengan rumusan: perkawinan dapat putus karena Kematian, Perceraian, dan atas
keputusan Pengadilan.
Undang-undang Perkawinan tahun 1974 mengatur bahwa untuk dapat
melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan istri itu
tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Sebagaimana terdapat pada
pasal 39 yang menjelaskan:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
3. Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Tata cara perceraian bila dilihat dari aspek subjek hukum atau pelaku yang
mengawali terjadinya perceraian.49 Suami mengajukan permohonan kepengadilan
Agama untuk menceraikan istrinya, kemuadian sang istri menyetujuinya maka hal
ini disebut cerai talak. Pengajuan permohonan cerai talak ke pengadilan Peraturan
Pemerintah No 9 Tahun 1975 telah diatur dalam Pasal 14 yang menjelaskan
“Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama islam,
yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat
tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya

49
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sniar Grafika, 2006), Cet.1, h.
80.
31

disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan


sidang untuk keperluan itu”.

Adapun tempat pengajuan gugatan perceraian yang daerah hukumnya


meliputi tempat tergugat (istri) terdapat pada Pasal 20 alam Peraturan Pemerintah
(PP) No.9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan dari UUP No.1 Tahun 1974, yang
menjelaskan:
1. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
2. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau
tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan
kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
3. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua
Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui
Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Setelah permohnan cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama, maka


pengadilan akan melakukan pemeriksaan terhadap alasan-alasan yang menjadi
dasar diajukannya permohonan tersebut.50 Sebagaimana telah di atur dalam Pasal
15 Peraturan Pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 yang menjelaskan bahwa
“Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam
Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil
pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu”.

Dalam hal pemeriksaan permohonan gugatan perceraian, dilakukan dalam


sidang tertutup setelah hakim mendamaikan dan tidak dicapai perdamaian itu.
Hal ini juga dijelaskan dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah (PP) No.9 Tahun
1975. Yang menjelaskan “Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan
gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup”.

50
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 80.
32

Adapun pemeriksaan gugatan perceraian itu dilakukan oleh Hakim, dan


selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat
gugatan perceraian. Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan
gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan
diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa
mereka. Apabila tergugat bertempat kediaman di luar negeri, sidang pemeriksaan
gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung
sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 mengharuskan
kehadiran suami atau istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya
dalam hal pemeriksaan gugatan perceraian, Hal ini diatur dalam Pasal 30 yang
menjelaskan “Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri
datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya”.

Setelah permohonan gugatan perceraian di ajukan kepengadilan yang meliputi


daerah hukum tergugat dan telah diperiksa oleh hakim dan hal itu layak untuk
disidangkan maka pengadilan memanggil penggugat dan tergugat atau kuasanya
untuk melakukan sidang pengadilan. Pemanggilan penggugat dan tergugat atau
kuasanya guna diadakan sidang pengadilan diatur dalam Pasal 26 dan Pasal 27
Peraturan Pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 yang berbunyi:
1. Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan
perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan
dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.
2. Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita, bagi
Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan Agama.
3. Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang
bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui
Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.
4. Panggilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan
disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun
tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 hari sebelum sidang
33

dibuka.
5. Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.

Pasal 27 Peraturan Pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 :


1. Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20
ayat 2. panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan
pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau
beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh
Pengadilan.
2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media
tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu
satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
3. Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2)
dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
4. Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan
tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya
tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
Jika tergugat bertempat tinggal di luar negeri maka panggilan disampaikan
melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
BAB III

PROFIL DAN METODE ISTINBATH HUKUM MAJELIS ULAMA


INDONESIA, NAHDATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH

A. Majelis Ulama Indonesia


1. Sejarah Terbentuknya Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia adalah suatu lembaga masyarakat islam di
Indonesian yng mewadahi para ulama, zu’ama dan cendikiawan, guna
membina, membimbing dan mengayomi kaum muslin di seluruh Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriyah, yang
bertepatan pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta.51
Sejarah lahirnya Majelis Ulama Indonesia, berawal dari peran para ulama
kepada masyarakat pada masa penjajahan, dimana masa-masaa perjuangan
merebut kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan sampai sekarang yang
tidak kalah penting dibandingkan dengan peran pemimpin-pemimpin yang
lain, karena pengaruh ulama sangat besar untuk masyarakat Indonesia. Dan
masyarakat juga banyak yang membutuhkan nasehat-nasehat mereka.
Terutama untuk program pemerintah yang berhubungan dengan keagamaan
hanya berhasil dan sukses apabila didukung oleh para ulama. Oleh karena itu
pemerintah merasa begitu pentingnya menjalin hubungan kerjasama dengan
para ulama untuk menyelenggarakan program-program.52
Majelis Ulama Indonesia diperlukan untuk menampung, menghimpun, dan
mempersatukan pendapat-pendapat serta pemikiran-pemikiran dari para
ulama. Kegunaannya adalah untuk mengokohkan kesatuan dan persatuan
umat dalam meningkatkan partisipasinya secara nyata untuk menjadikan
pembangunan yang sukses dan ketahanan nasional negara. Maka, Majelis

51
Sejarah MUI, https://mui.or.id/sejarah-mui/
52
Helmi Karim, Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengembangan Hukum
Islam, (Pekanbaru: Susqa Press 1994), Cet.1, h. 73.

34
35

Ulama adalah suatu wadah yang diperlukan dan diharapkan oleh para
pemerintah mau pun umat Islam. 53
Majelis Ulama Indonesia lahir dari hasil pertemuan atau musyawarah para
ulama, cendekiawan dan zu’ama yang hadir dari berbagai daerah di
Indonesia, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili
26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan
unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah,
Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI
dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat,
Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang
tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. 54
Dari musyawarah tersebut, yang dihasilkan adalah sebuah kesepakatan
untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zu’ama dan
cendekiawan muslim yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI”
yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut
Musyawarah Nasional Ulama Indonesia. Momentum berdirinya MUI
bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan
kembali, setelah 30 tahun merdeka, saat energi bangsa telah banyak terserap
dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah
kesejahteraan rohani umat.55

2. Metode Istinbath Hukum


Secara etimologi, fatwa dalam arti al-ifta, kata Syathibi berarti keterangan-
keterangan tentang hukum syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti. Secara
terminologi, MUI mengatakan bahwa fatwa adalah suatu putusan yang
dikeluarkan oleh MUI menyangkut masalah agama Islam, yang diperlukan
pelaksanaannya, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, demi kepentingan
pembangunan negara. Hal yang penting untuk diperhatikan disini adalah

53
Helmi Karim, Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengembangan Hukum
Islam, h. 74-75.
54
Sejarah MUI, https://mui.or.id/sejarah-mui/
55
Sejarah MUI, https://mui.or.id/sejarah-mui/
36

bahwa untuk menghasilkan suatu fatwa, dapat dipastikan lembaga ini perlu
membahas dan mengkaji secara fokus dan teliti. Karena, selama masalah
tersebut diproses dan kemudian lahirlah sebuah fatwa, para peserta yang
terlibat dalam pembahasan tersebut turut serta dalam melakukan ijtihad. 56
Dalam menetapkan fatwa di MUI, kajian komperehensif terlebih dahulu
dilakukan sebelum fatwa tersebut ditetapkan. Fungsinya adalah untuk
memperoleh deskripsi utuh tentang objek masalah (tashawwur al- masalah),
rumusan masalah, dampak sosial keagamaan yang ditimbulkan dan titik kritis
dari berbagai aspek hukum (norma syari’ah) yang berkaitan dengan masalah
tersebut. Kajian komprehensif mencakup: suatu telaah atas pandangan fuqaha
mujtahid masa lalu, pendapat para imam madzhab dan ulama yang mu’tabar,
dan telaah atas fatwa-fatwa yang terkait, serta pandangan ahli fikih terkait
masalah yang akan difatwakan. Kajian komprehensif bisa melalui penugasan
pembuatan makalah kepada anggota komisi atau ahli. 57
Masalah yang ma’lum min al-din bi al-dlarurah langsung difatwakan
dengan cara menyampaikan hukum sebagaimana apa adanya. Masalah yang
terdapat perbedaan pendapat (masail khilafiyah) dikalangan madzhab,
maka:58
a) Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha pencapaian titik temu
diantara pendapat melalui metode al-jam’u wa al-taufiq.
b) Jika tidak tercapai titik temu, penetapan fatwa didasarkan pada hasil
tarjih melalui metode Muqaranah (perbandingan) dengan
menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih muqaran.
Masalah yang tidak ditemukan pendapat hukum dikalangan madzhab atau
ulama yang mu’tabar, didasarkan pada ijtihad kolektif melalui metode bayani
dan ta’lili (qiyasi, istihsaniy, ilhaqiy, istihsaniy dan sad al-dzaraa’i) serta
metode penetapan hukum (manhaj) yang dipedomani oleh para ulama

56
Helmi Karim, Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengembangan Hukum
Islam, h. 103-104.
57
Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa, http://mui.or.id/wp-
content/uploads/2017/02/PEDOMAN-PENETAPAN-FATWA-sosialisasi-kemkes-materi- 2a.pdf
58
Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa, http://mui.or.id/wp-
content/uploads/2017/02/PEDOMAN-PENETAPAN-FATWA-sosialisasi-kemkes-materi- 2a.pdf
37

madzhab. Dalam masalah yang terdapat perbedaan di kalangan peserta rapat,


dan tidak tercapai titik temu, maka penetapan fatwa disampaikan tentang
adanya perbedaan pendapat tersebut disertai dengan penjelasan argumen
masing-masing, disertai penjelasan dalam hal pengamalannya, sebaiknya
mengambil yang paling hati-hati (ihtiyath) serta sedapat mungkin keluar dari
perbedaan pendapat (al-khuruuj min al-khilaaf).59

B. Nahdlatul Ulama
1. Sejarah Terbentuknya Nahdatul Ulama
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) adalah sebuah organisasi Islam di
Indonesia yang lahir pada tanggal 31 Januari 1926 Masehi atau 16 Rajab
1344 Hijriyah. Pendirinya adalah seorang ulama Indonesia yang bernama K.H
Hasyim Asy’ari. 60 Beliau lahir di Pondok Nggedang Jombang Jawa Timur
pada tanggal 10 April 1875 Masehi. Ayahnya bernama K.H Asy’ari yang
merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berlokasi di sebelah
selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis keturunan ibu, K.H
Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI (enam) yang juga
dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang
(keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir). 61
Latar belakang lahirnya Nahdlatul Ulama ini berawal dari kalangan
pesantren yang giat dalam melawan kolonialisme dengan membentuk
beberapa organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan
Tanah Air) yang didirikan pada tahun 1916 Masehi. Lalu, Taswirul Afkar
atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) yang
berdiri pada tahun 1918 Masehi. Didirikan sebagai wahana pendidikan sosial
politik kaum dan keagamaan kaum santri. Kemudian berdiri pula Nahdlatut
Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan sebagai landasan untuk
memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu,
59
Pedoman dan prosedur penetapan Fatwa, http://mui.or.id/wp-
content/uploads/2017/02/PEDOMAN-PENETAPAN-FATWA-sosialisasi-kemkes-materi- 2a.pdf
60
Sejarah NU (Nahdlatul Ulama), http://sejarahri.com/sejarah-nu-nahdlatul-ulama/
61
Biografi K.H Hasyim Al Asy’ari Pendiri Nahdlatul Ulama (NU), http://bio.or.id/biografi-
kh-hasyim-al-asyari-pendiri-nahdlatul-ulama-nu/
38

maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi
lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di
beberapa kota.62
Kemudian, Raja Ibnu Saud ingin mengaplikasikan asas tunggal yaitu
Madzhab Wahabi di Mekkah, dan ingin pula menghancurkan semua
peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak
diziarahi karena dianggap bi’dah. Ide Kaum Wahabi tersebut kemudian
mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia. Kalangan
pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan
bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.63
Minat yang teguh untuk menciptakan kebebasan bermadzhab dan
kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren
membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai
oleh K.H Wahab Hasbullah. Akibat desakan dari kalangan pesantren yang
terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam
di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini
ibadah memiliki kebebasan sesuai dengan madzhab mereka masing-masing di
Mekah.64
Berawal dari komite dan berbagai organisasi, maka setelah itu perlu
rasanya untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih
sistematis guna mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah
berkordinasi dengan para kiyai, akhirnya muncul sebuah kesepakatan dalam
membentuk organisasi yang bernama Nahdatul Ulama (Kebangkitan
Ulama).65
Di kalangan Nadlatul Ulama, Bahtsul Masail merupakan tradisi intelektual
yang sudah berlangsung lama. Sebelum Nahdlatul Ulama (NU) berdiri dalam
bentuk organisasi formal (jam’iyah), aktivitas Bahtsul Masail telah
berlangsung sebagai praktek yang hidup di tengah Masyarakat Muslim

62
Sejarah NU (Nahdlatul Ulama), http://sejarahri.com/sejarah-nu-nahdlatul-ulama/
63
Sejarah NU (Nahdlatul Ulama), http://sejarahri.com/sejarah-nu-nahdlatul-ulama/
64
Sejarah NU (Nahdlatul Ulama), http://sejarahri.com/sejarah-nu-nahdlatul-ulama/
65
Sejarah NU (Nahdlatul Ulama), http://sejarahri.com/sejarah-nu-nahdlatul-ulama/
39

nusantara, khususnya kalangan pesantren. Hal itu merupakan


pengejawantahan tanggung jawab ulama dalam membimbing dan memandu
kehidupan keagamaan masyarakat sekitarnya. 66
Nahdlatul Ulama kemudian melanjutkan tradisi itu dan mengadopsinya
sebagai bagian kegiatan keorganisasian. Bahtsul Masail sebagai bagian
aktivitas formal organisasi pertama dilakukan tahun 1926, beberapa bulan
setelah Nahdlatul Ulma berdiri. Tepatnya pada Kongres I Nahdlatul Ulama
(kini bernama Muktamar), tanggal 21-23 September 1926. Selama beberapa
dekade, forum Bahtsul Masa`il ditempatkan sebagai salah satu komisi yang
membahas materi muktamar. Belum diwadahi dalam organ tersendiri. 67
Bahtsul Masail baru dibuatkan organ tersendiri bernama Lajnah Bahtsul
Masail Diniyah. Hal itu dimulai dengan adanya rekomendasi Muktamar NU
ke-28 di Yogyakarta tahun 1989. Komisi I Muktamar 1989 itu
merekomendasikan PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah,
sebagai lembaga permanen. 68

2. Metode Istinbath Hukum


Untuk menggali dan menetapkan suatu keputusan hukum fiqih, tentu tidak
lepas dari bagaimana ulama-ulama NU melakukan istinbath. Istinbath hukum
dilakukan oleh Lembaga Bahtsul Masail (LBM) yang membahas masalah-
masalah aktual (al-Masa’il fiqhiyyah waqi’iyyah), maupun dalam membahas
masalah-masalah hukum yang bersifat tematik (al-masail fiqhiyyah
maudhu’iyyah).69

66
Sejarah LBMNU (Lembaga Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama),
https://lbmnu.blogspot.com/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu.html
67
Sejarah LBMNU (Lembaga Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama),
https://lbmnu.blogspot.com/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu.html
68
Sejarah LBMNU (Lembaga Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama),
https://lbmnu.blogspot.com/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu.html
69
Ahmad Arifi, Pergulatan Pemikiran Fiqh “Fiqh” Pola Mazhab, (Yogyakarta: Elsaq Press,
2010), cet.2, h. 193.
40

Dalam praktiknya, Bahtsul Masail NU menggunakan tiga macam metode


istinbath hukum tersebut adalah qauly, ilhaqy, dan manhajy.70
a. Metode Qauly
Metode qauly adalah metode yang dilakukan dengan cara mengacu dan
merujuk langsung pada bunyi teks hukumnya. Dengan kata lain, mengikuti
atau mengambil dari pendapat-pendapat yang sudah ada dalam lingkungan
madzhab. Jika suatu kasus ditemukan satu qaul maka dilakukan upaya
perbandingan dua qaul sehingga memilih salah satu qaul.
b. Metode Ilhaqy
Metode ini dilakukan apabila metode qauly tidak dapat dilakukan.
Maka dilakukanlah dengan metode ilhaqy yakni metode dengan
menyamakan hukum suatu kasus atau masalah yang belum ada hukumnya
di dalam kitab klasik dengan kasus hukum serupa yang telah ada ketetapan
hukumnya.
c. Metode Manhajy
Proses penetapan istinbath ini menggunakan qaidah fiqhiyyah yang
relevan dengan kasus yang akan ditetapkan hukumnya.

C. Muhammadiyah
1. Sejarah Terbentuknya Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah suatu organisasi atau perserikatan yang lahir pada
tanggal 18 November 1912 Masehi atau 9 Dzulhijjah 1330 Hijriyah di
Yogyakarta. Tokoh pendiri utamanya adalah sosok ulama dan ketib Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat yang bernama K.H. Ahmad Dahlan. Ia tinggal di
kampung Kauman, Yogyakarta.71

70
Sahal Mahfudh, Bahsul Masail dan Istinbath Hukum NU, (Jakarta: Lakpesden, 2002), cet-
I, h. 206.
71
Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan dan Lembaga Pustaka dan
Informasi (Majelis Diktilitbang dan LPI) PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah; Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, (Jakarta: Kompas, 2010), Cet.1, h. 1.
41

Secara etimologi Muhammadiyah adalah pengikut Nabi Muhammad


SAW. Maksud dari pemakain kata Muhammadiyah adalah untuk
menisbahkan pada pengajaran dan jejak dari perjuangan Nabi. 72
Lahirnya Muhammadiyah tidak terlepas dari sebuah keadaan dan suasana
yang berkembang di masanya. Umat Islam di Indonesia hidup dengan
keadaan yang masih dijajah dan kehidupannya sangat sinkretik. Hal itu
menyebabkan ajaran Islam dan pengamalannya menjadi tidak bisa berdiri
teguh. Selain itu, dalam dunia keislaman, timbul pula ajaran dan pengamalan
Islam yang bercampur dengan keyakinan dan kepercayaan agama lain. 73
Pada masa awal lahir dan terbentuknya Muhammadiyah adalah wujud dari
ide pemikiran dan perjuangan K.H Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang
merupakan pendiri Muhammadiyah. Setelah beliau pergi melaksanakan
ibadah haji ke tanah suci Mekkah dan menetap untuk yang kedua kalinya
pada tahun 1903 Masehi, K.H Ahmad Dahlan mulai menyebarkan suatu
pembaharuan di Indonesia. Ide pembaharuan tersebut diperoleh K.H Ahmad
Dahlan sesudah beliau berguru pada para ulama Indonesia yang sedang
menetap di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, K.H
Nawawi Al Bantani dari Banten, Kiyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan
Kiyai Fakih dari Maskumambang. Selain itu, juga setelah beliau membaca
pemikiran dari para pembaharu Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin
Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid
Ridha. Tertanamnya bibit ide-ide pembaharuan ke dalam diri K.H Ahmad
Dahlan adalah karena modal kecerdasan pemikirannya dan juga interaksi
selama beliau menetap di Saudi Arabia serta dari membaca karya-karya para
pembaharu pemikiran Islam. Maka, ketika beliau kembali dari Arab Saudi,

72
Sejarah Singkat Muhammadiyah, http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-178- det-
sejarah-singkat.html
73
Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan dan Lembaga Pustaka dan
Informasi (Majelis Diktilitbang dan LPI) PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah; Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 1-2.
42

K.H. Ahmad Dahlan pun membawa ide-ide serta gerakan pembaharuan dan
selanjutnya beliau membentuk organisasi Muhammadiyah. 74
Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini, Majlis Tarjih
belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang di hadapi oleh
Persyarikatan. Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya
Persyarikatan ini, maka kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut
berkembang juga, selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang
memicu timbulnya perselisihan paham mengenai masalah-masalah
keagamaan, terutama yang berhubungan dengan fiqh. Untuk mengantisipasi
meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari adanya peperpecahan
antar warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat
perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka
pada tahun 1927 M, melalui keputusan konggres ke 16 di Pekalongan,
berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majlis Tarjih Muhammdiyah. 75

2. Metode Istinbath Hukum


Muhammadiyah berpendapat bahwa sumber utama hukum dalam Islam
adalah Al-Qur’an dan Sunnah al-Shahihat. Hal ini juga dipegang teguh oleh
umat Islam lainnya dalam berbagai mazhab dan aliran. Al- Qur’an merupakan
sumber hukum utama dalam menetapkan hukum.
Sedangkan Hadis berfungsi sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an. Tentu
penjelasan dari Nabi tidak boleh bertentangan dengan apa yang dijelaskan
didalam Al-Qur’an. 76 Muhammadiyah secara menyatakan bahwa ijtihad
hanyalah metode penetapan hukum. 77 Selain dari Al-Qur’an dan Sunnah,

74
Sejarah Singkat Muhammadiyah, http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-178- det-
sejarah-singkat.html
75
Sejarah Majelis Tarjih Muhammadiyah, https://sangpencerah.id/2013/08/sejarah-
berdirinya-majlis-tarji/
76
Diantara ulama yang ketat menggunakan tolak ukur ini adalah Imam Malik. Lihat
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dawabith al-Maslahat Fi al-Syari’at al- Islamiyyat,
(Beirut: Mu’assasat al-Risalah, t.th), h. 188-190.
77
H.M. Djuwaini, Ketarjihan (Jakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis PPK, tt), h.
20.
43

Muhammadiyah juga menerima konsep ijma’ yang terjadi di kalangan


sahabat Nabi.
Qiyas sebagai metode penetapan hukum, pada dasarnya diterima oleh
Muhammadiyah, dengan catatan tidak mengenai masalah ibadah mahdah.
Ketika Muhammadiyah mengadakan pembahasan tentang qiyas sebagai
metode penetapan hukum dalam Islam, ternyata banyak peserta muktamar
tarjih yang tidak setuju menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukum
dalam Islam. Namun banyak pula peserta muktamar yang menyetujuinya.
Dengan kata lain, bahwa warga Muhammadiyah tidak sepakat tentang
penggunaan qiyas dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum. Kenyataan
ini menunjukkan bahwa sebagian warga Muhammadiyah ada yang
dipengaruhi oleh pendapat Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya. Bagi
Hanabillah, qiyas itu baru digunakan dalam keadaan terpaksa.
Namun demikian kenyataannya betapapun seseorang atau sekelompok
orang tidak menerima qiyas, namun persoalan-persoalan yang baru harus
diselesaikan dengan melihat ‘illat nya. Kegiatan itu tidak lain kecuali qiyas.
Selain dari qiyas, Muhammadiyah juga menggunakan metode istihsan dan
saddu al-zariat meskipun tidak secara eksplisit penggunaan metode tersebut.
BAB IV
STATUS HUKUM TALAK DI LUAR PENGADILAN AGAMA
(Studi Komparatif Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah)
A. Status Hukum Talak di Luar Pengadilan Agama Menurut Majelis
Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia pada sidang ijtima’ yang dilaksanakan pada
tanggal 1 Juli 2012 di Tasikmalaya memutuskan fatwa bahwa talak di luar
pengadilan agama hukumnya sah dengan syarat ada alasan syar’i yang
kebenarannya dapat dibuktikan dipengadilan. Dengan alasan agar supaya
pemerintah bersama ulama melakukan edukasi kepada masyarakat untuk
memperkuat lembaga pernikahan dan tidak mudah menjatuhkan talak. Dan jika
suami menceraikan istri, harus menjamin hak-hak istri yang di ceraikan dan
hak anak-anak. Dasar Penetapan hukum yang dilakukan Majelis Ulama
Indonesia dalam menyikapi status hukum talak di luar pemhadilan agama
sebagai berikut:
1. Firman Allah SWT dalam Surat Al-Thalaq, ayat 1:

‫صوا الْعِ هدةَ َواته ُقوا ه‬


‫اَّللَ َربه ُك ْم ََل‬ ِِ ِ ِ ‫َي أَيُّها النِهِب إِذَا طَله ْقُم النِساء فَطَلِ ُق‬
ُ ‫َح‬
ْ ‫وه هن لعدهِت هن َوأ‬
ُ َ َ ُُ ُّ َ َ
‫اَّللِ َوَم ْن يََُ َع هد‬
‫ود ه‬ ِ ٍ ٍ ِ
َ ‫َّي بَِفاح َش ُمَ يِنَ َوت ْل‬
ُ ‫ك ُح ُد‬
ِ ِِ ِ ‫ُُتْ ِرف‬
َ ‫وه هن م ْن بُيُوِت هن َوََل َيَُْر ْف َن إِهَل أَ ْن ََيْت‬
ُ ُ
‫ك أ َْمًرا‬ ِ ِ ‫اَّللِ فَ َق ْد ظَلَم نَ ْفسه ََل تَ ْد ِري لَع هل ه‬
َ ‫ث بَ ْع َد ذَل‬
ُ ‫اَّللَ ُْيد‬ َ َُ َ ‫ود ه‬ َ ‫ُح ُد‬
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri istrimu Maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah
kepada Allah Tuhanmu, dan janganlah kamu keluarkan mereka dari
rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah.
Maka sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.

44
45

Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu


sesuatu hal yang baru.
2. Firman Allah SWT dalam surat Al-Tholaq, ayat 2:
ٍ ‫وأ أَو فَا ِرقُوه هن ِبعر‬
‫وأ َوأَ ْي ِه ُدوا َذ َو ْي َع ْد ٍل ِمْن ُك ْم‬ ٍ ِ ‫فَِإ َذا ب لَ ْغن أَفلَه هن فََم ِس ُك‬
ُ َْ ُ ْ ‫وه هن بَْع ُر‬
ُ ْ َُ َ َ

‫ظ بِِه َم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن ِِب هَّللِ َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر َوَم ْن يَُ ِهق ه‬
‫اَّللَ ََْي َع ْل‬ ُ ‫وع‬ ِ ِ ِ ‫وأَقِيموا الش‬
َ ُ‫هه َاد َة هَّلل َذل ُك ْم ي‬
َ ُ َ
‫لَهُ ََْمَر ًفا‬

Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah


mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah
diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
Mengadakan baginya jalan keluar.
3. Firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat, 236:
ِ ‫َلَفنَاح علَي ُكم النِساءما ََل ُتََ ُّسوه هن اَوتَ ْف ِرضوا ََل هن فَ ِريض ًومُِعوه هن علَى الْم‬
‫وس ِع قَ َد ُرهُ َو َعلَى‬ ُ َ ُ ُ ََ َ ْ ُ ُْ ْ َ ْ َ َ ُ ْ َ َ ُ
ِِ ِ
‫َّي‬ َ ‫الْ ُم ْقِ ِِتقَ ْد ُرهُ َمَُاعاً ِِبالْ َم ْع ُروأ َحق‬
َ ْ ‫ًّاعلَى الْ ُم ْحسن‬
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu berncampur dengan mereka
dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan
suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan
bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
4. Hadits Nabi SAW:
ِ ِ ِ ُ ‫ قَا َل رس‬: ‫ال‬
َ َ‫َع ْن اَِِب ُهَريْ َرَة َر ِض َي للاُ َعْنهُ ق‬
ُ ‫ " ثََلث فد‬:‫صلهى للاُ َعلَْيه َو َسله َم‬
‫ُّه هن‬ َ ‫ؤل للا‬ َُ
" ُ ‫اح َو الطهَل ُق َو الهر ْف َع‬ ِ ِ ِ
ُ ‫ف ٌّد َو َه ْ َُلُ هن ف ٌّد الن َك‬
46

Dari Abu Hurairah ra. Berkata, Rasulullah SAW bersabda: terdapat


tiga hal yang seriusannya itu di kategorikan serius dan ketidak
seriusannya juga di anggap serius, yaitu nikah, talak dan ruju’.
5. Hadits Nabi SAW:

‫ِل َعلَْي ُك ْم َعْد َحَ ِش ٌّي‬ ِ ‫علَي ُكم ِِبلسم ِع والطه‬


‫اع ِ َوا ْن ُوِ ه‬
َ َ ْ‫َْ ْ ه‬

Diwajibkan atas kamu semua untuk mendengarkan dan taat (kepada


pemimpin) sekalipun kalian dipimpin oleh budak habasyi.
6. Kaidah Fikih:

‫اَلضَهرُر يَُ ُال‬


Kemudlaratan itu harus dihilangkan.
7. Kaidah Fikih:

ِ ْ ‫حكْم‬
َ ‫اْلَاكِ ِم ألَْام َويَ ْرفَ ُع ا ْْلَِل‬
‫أ‬ ُ ُ

Putusan hakim itu mengikat dan menghilangkan perbedaan


8. Kaidah Fikih:

ِ ‫األماَِم علَى الهر ِعيه ِ منُ وط ِِبلْمصلَح‬


ِ ُ ‫تَصُّر‬
َ ْ َ َْ َ ْ ‫أ‬ َ

Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus dikaitkan pada


kemaslahatan
9. Kaidah Fikih:

‫اص ِد َها‬
ِ ‫اَْألُمور ِبََق‬
ُُْ

Segala perkara itu tergantung dengan tujuannya


10. Kaidah Fikih:

‫اللفِ ِظ‬
‫اص ُدالله ْف ِظ َعلَى نِيه ِ ه‬
ِ ‫م َق‬
َ
47

Maksud yang dituju dari perkataan itu tergantung atas niat orang
yang berkata.
Dari dasar hukum yang telah dijelaskan di atas dapat di tentukan bahwa
Talak di luar pengadilan hukumnya sah dengan syarat ada alasn syar’i yang
dapat kebenarannya dibuktikan di pengadilan. Iddah talak dihitung semenjak
suami menjatuhkan talak. Dan untuk kepentingan kemaslahatan dan menjamin
kepastian hukum, talak di luar pengadilan harus dilaporkan (ikhbar) kepada
pengadilan agama.

B. Status Hukum Talak di Luar Pengadilan Agama Menurut Nahdlatul


Ulama
Nahdlatul Ulama dalam putusan Bahsul Masa’il yang dilaksanakan pada
Muktamar NU yang ke-28 pada tanggal 26 sampai 29 Rabiul Akhir 1410 H/ 25
sampai 28 November tahun 1989 M. di Pondok Pesantren Al-Munawwir
Krapyak Yogyakarta. Hasil putusan ini menyatakan bahwa talak yang
dilakukan di luar pengadilan hukumnya sah, sehingga ketika suami sudah
mengucapkan talak sekali kemudian sidang di Pengadilan Agama maka talak
talak yang di lakukan di pengadilan terhitung jatuh talak yang kedua selagi istri
masih dalam masa’iddah. Dasar penetapan hukum yang dilakukan oleh
Lembaga Bahsul Masa’il Mahdlatul Ulama dalam menyikapi status hukum
talak yang di lakukan di luar pengadilan agama sebagai berikut:
1. Fath al-Mu’in bi Syarh Qurroh al-‘Ain

ٍِ ٍِ ِ ِ ِ ‫ََل تَْن َق‬ ً َ‫َوأَهَّنَا (يَ َق ُع لِغَ ُِْي َِبئِ ٍن) َولَ ْو َر ْفعِي‬
َ ‫ض ع هد ُِتَا فََل يَ َق ُع ل ُم ْخَُل َع َو َر ْفعيه انْ َق‬
ْ‫ض‬ ْ
‫َي َِبلِ ٍغ َعاقِ ٍل‬ ٍ ِ
ُ ‫ع هد ُِتَا (طََل ُق) َُْمَُا ٍر‬
ْ ‫(م َكلهف) أ‬

Sesungguhnya talak seorang suami yang tidak terpaksa, mukallaf,


maksudnya baligh dan berakal, hanya terjadi pada wanita yang selain
talak ba’in, meski wanita yang tertalak raj’i yang belum habis ‘iddahnya.
48

Maka talak tidak terjadi pada wanita yang terkhulu’ dan tertalak raj’i
yang telah habis iddahnya.

2. Nihayah al-Zain Syarah Qurrah al-‘ain

)‫هن بََراءَ َة َر ْح ٍم‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫(َت‬ ِ


َ ‫(وأ ْن تَيَ ق‬...)
َ ‫(وط َئ‬...)
َ ‫ب عدهة ل ُف ْرقَ َزْو ٍج َح ٍي‬
ُ َ

‘iddah itu wajib karena berpisah dengan suami yang masih hidup …
yang telah menggaulinya, … walaupun telah yakin dengan kebersihan
Rahim (dari sperma).

3. Tuhfah al-Muhtaj

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ َ‫(وأِ ْن ق‬
ْ َ‫(وَُتَله َل ف‬
)‫صل‬ َ ‫ال أَنْ طَالق أَنْ طَالق أَنْ طَالق) أ َْو أَنْ طَالق طَالق طَالق‬ َ
)‫ (فَثََلث‬... ‫ُّس َوالْ َع ِي أ َْو َك َلٍم ِمْنهُ أ َْو َمْن َها‬
ِ ‫ت ِِبَ ْن يَ ُك ْو َن فَ ْو َق َسكَُْ ِ الُهنَ ف‬
ٍ ‫ب ي نَ ها بِس ُكو‬
ْ ُ َ َْ
‫ص ِل‬ ِِ ِ ِ ِ
ْ ‫ص َد الُه ْكْي َد لُ ْعده َم َع الْ َف‬
َ َ‫يَ َق ْع َن َوأ ْن ق‬

Seandainya suami berkata: “kamu saya talak, kamu saya talak, kamu
saya talak.” Atau “kamu saya talak, talak, talak.” Dan diantara kalimat
talak yang berulang-ulang tersebut terdapat pemisah dengan diam yakni
lebih dari sekedar bernafas dan gagap berbicara, atau pemisah dengan
pembicaraan si suami atau pembicaraan si istri, maka terjadi talak tiga,
meski si suami bermaksud menjadikan pengulangan itu sebagai
pengukuhan. Sebab, kemungkinan hal itu jauh disertai adanya pemisah.

4. Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain

ٍ ‫ص علَى امرأَةِ ِِبَ ْن و ِطء مطَله َقُه الهرفعِيه َ مطْلَ ًقا أَِو اْل ائِ ِن بِش ه‬ َ ‫افَُ َم َع ِعد‬
َ ُْ َ ُ ْ َُ ُ َ َ َ ْ َ ٍ ‫هَت َي ْخ‬ ْ ‫لَ ِو‬
‫ِج فِْي َها بَِقيه ُ ْاأل ُْوََل‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫تَكْف ْي عدهة أَخ ْ َُية مْن ُه َما فََُ ْعَُ ُّد ه َي م ْن فَر ِاغ الْ َو ْطء َوتَْن َدر‬
49

Seandainya terhimpun dua ‘iddah seorang suami pada istrinya, seperti


ia menyetubuhi istrinya yang ditalak raj’i secara mutlak, atau yang
ditalak bain dengan persetubuhan syubhat, maka cukuplah ‘iddah yang
terakhir dari kedua ‘iddah itu. Si wanita itu lalu ber‘iddah sejak usai
persetubuhan dari sisa ‘iddah pertama masuk pada ‘iddah kedua.

5. Nihayah al-Zain Syarah Qurrah al-‘Ain

ِ ِ ِ
ِ ‫أ طَ َق‬
‫ات‬ ِ ِ ِ ٍ ٍِ
َ ‫ف الْ َم ْح ُذ ْوُر ِب ْخُ َل‬
ُ ‫ب َحالَهُ َوَيََُْل‬
ُ ‫(مكَْره بَ ْح ُذ ْور) بَا يُنَاس‬
ُ ‫َ(َل) يَ َق ُع طََلق‬
ِ ‫ضرةِ الْم ََِل أِ ْكراه ِِف ح ِق َذ ِوي الْمروء‬
‫ات ََلِِف‬ ِ ِ ِِ ‫هاس وأ‬
َ ُُ َ َ ْ َ ِ ‫الن‬
َ َ ْ َ‫َح َواَلم َح هّت أَ هن الض ْهر َ الْيَس ْ َُي ِب‬
ِ ‫اأ ِِف ح ِق الْوِفي ِه أِ ْكراه وأَ هن ال هشُْم ِِف ح ِق أَه ِل الْمروء‬
‫ات أِ ْكَراه‬َ ُُ ْ َ َ
ِ
َ َ ْ َ َ َ ‫َحق َغ ُْيه ْم َوأَ هن ْاَل ْسُ ْح َف‬
ِِ ِ

‫ْسهُ أِ ْكَراه‬ ِ ‫ط أَ هن ُكل مايسهل فِعلُه علَى الْمكْرهِ بِفُ ِح الر ِاء لَي‬
ُ ‫س أ ْكَر ًاها َو َعك‬
َ ْ ‫ه َ َ ْ ُ ُ ْ ُ َ ُ َ َْ ه‬ ُ ِ‫َوالضهاب‬

Talak tidak terjadi dari orang terpaksa sebab kehawatiran yang sesuai
pada kondisi dirinya. Kekhawatiran itu berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan derajat manusia, sehingga suatu pukulan ringan di depan
orang banyak itu merupakan paksaan bagi orang-orang yang mempunyai
muruah (harga diri tinggi), dan bukan paksaan bagi selain mereka.
Pelecehan bagi orang yang berpangkat itu merupakan paksaan dan
makian bagi orang yang mempunyai muruah merupakan paksaan pula.
Parameternya adalah apapun yang mudah dilakukan mukrah (orang yang
dipaksa), dengan fathah huruf َ‫ َرا َء‬nya, itu tidak termasuk paksaan, dan
yang sebaliknya termasuk paksaan.
50

6. Bughyah al-Musytarsyidin

ِْ ‫ال نَعم فَِ ْن قَص َد ال هسائِ ِل طَلَب‬


‫األيْ َقاعَ ِم َن اله ْو ِج‬ ِ
َ َ َ َُ‫) َم ْس َلَ ُ ي) قْي َل لَهُ أَطَلَ ْق َ َزْو َف‬
ْ َ َ ‫ك فَ َق‬
‫ص ُدهُ فَِقْ َرار بِِه أِ ْن َكا َن قَ ْد طَلَ َق‬ ٍ ِ ِ
ْ َ‫ص َد ْاأل ْسُ ْخَ َار َع ْن طََلق َسابِ ٍق أ َْو ُف ِه َل ق‬
ِ
َ َ‫ص ِريْح َوأ ْن ق‬
َ َ‫ف‬
‫ص هح َوأِهَل فَ َل‬
َ

(Kasus dari Abdullah bin Umar bin Abi Bakr bin Yahya) Bila pada
seorang suami ditanyakan: “Apakah kamu mentalak istrimu? Lalu si
suami menjawab: “Ya”, maka bila si penanya bermaksud agar si suami
mentalak, maka jawaban tersebut merupakan talak yang sharih. Bila ia
bermaksud menanyakan talak yang sudah terjadi, atau maksudnya tidak
diketahui, maka jawaban itu merupakan ikrar talak. Bila si suami benar-
benar mentalak, maka sah talaknya, dan bila belum maka tidak.

7. Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ َ‫أَهما أِذَا ق‬
َ ‫َفا َ بنَ َع ْم فَ قْ َرار ِِبالطهَلق َويَ َق ُع َعلَْيه ظَاهًرا أ ْن َكذ‬
َ َ‫ك ُم ْسَُ ْخ ًِبا ف‬
َ ‫ال لَهُ َذل‬
‫ص ِد َق بِيَ ِمْينِ ِه‬ ِ
ُ ُ ‫ت طََلقًا َماصيًا َوَر َف ْع‬ َ َ‫الس َؤ ِال فَِ ْن ق‬
ُ ‫ال أ ََرْد‬ ُ ‫َويُ َديه ُن َوَك َذا لَ ْو ُف ِه َل َح‬
ُّ ‫ال‬

‫ص ِد َق بِيَ ِمْينِ ِه‬ ِ


ُ ً‫ال طَلَ ْق ُ َوأ ََر َاد َواح َدة‬
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ
َ َُ‫َل ْحُ َماله َولَ ْو قْي َل ل ُمطَل ٍق أَطَلَ ْق َ َزْو َف‬
َ ‫ك ثََل ًث فَ َق‬

Adapun bila ada yang mengatakannya (Apakah kamu mentalak


istrimu?) dengan maksud bertanya, lalu si suami menjawab: “Ya.” Maka
jawaban itu merupakan ikrar talak, dan secara hukum zhahir talak itu sah
bila ia berbohong dan tidak sah dalam urusan antara dirinya dan Allah
bila ia jujur.

Dan bila ditanyakan kepada suami yang telah mentalak: “Apakah


kamu mentalak istrimu tiga kali?” lalu ia menjawab: “saya mentalak.”,
51

dan yang ia maksud adalah talak satu, maka ia dibenarkan dengan


sumpahnya.

8. Bughyah al-Musytarsyidin

ِ
ْ ‫اْلَاكِ ُم ِِبلطهَل ِق فَطَله َق ََلْ يَ َق ْع َوأ ْن ََلْ يََُ َهد‬
ُ‫هده‬ ْ ُ‫(م ْس َلَ ُ َك) أ َْمَره‬
َ

(Kasus dari Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi) Seandainya hakim


memerintahkan suami untuk mentalak istri, lalu ia mentalaknya, maka
talaknya tidak sah, meski si hakim tidak menakuti nakutinya.

Berdasarkan dasar hukum tersebut Apabila suami belum menjatuhkan


talak di luar pengadilan Agama, maka talak yang di jatuhkan di depan Hakim
Agama itu di hitung talak yang pertama dan sejak itu pula di hitung ‘iddahnya.
Jika suami telah menjatuhkan talak di luar pengadilan Agama, maka talak yang
di jatuhkan di depan Hakim Agama itu merupakan talak yang kedua dan
seterusnya jika masih dalam waktu ‘iddah raj’iyyah. Sedangkan perhitungan
‘iddahnya di mulai dari jatuhnya talak yang pertama dan selesai setelah
berakhirnya ‘iddah yang terakhir yang di hitung sejak jatuhnya talak yang
terahir tersebut. Jika talak yang di hadapan Hakim Agama dijatuhkan setelah
habis masa ’iddah atau dalam masa ’iddah ba’in. maka talaknya tidak di
perhitungkan. Jika talak di hadapan Hakim Agama itu di lakukan karena
terpaksa (mukrah) atau sekedar menceritakan talak yang telah diucapkan, maka
tidak di perhitungkan juga.
Menurut bapak Dr. Fuad Thohari, M.A. salah satu tokoh Nahdhlatul Ulama
(NU) Talak di luar pengadilan hukuimnya sah. Terkait dengan masalah talak di
luar pengadilan NU memberikan keputusan hukum bahwa talak adalah hak
suami yang bisa dijatuhkan kapanpun dan dimanapun bahkan tanpa alasan
sekalipun. Oleh karena itu apabila suami belum menjahtukan talak di luar
pengadilan Agama maka talak yang dijatuhkan di depan Hakim Agama itu
dihitung talak yang pertama dan sejak itu di hitung iddahnya. Jika suami
menjahtukan talak di luar Pengadilan Agama maka talak yang dijahtukan
52

Hakim Agama itu merupakan talak yang kedua dan seterusnya jika masih
dalam masa iddah raj’iyyah.78

C. Status Hukum Talak di Luar Pengadilan Agama Menurutَ


Muhammadiyah
Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam fatwanya yang disidangkan pada hari
Jum’at, 8 Jumadil ula 1428 H/ 25 Mei 2007 M memberikan putusan bahwa
perceraian harus dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan, cerai talak
dilakukan dengan cara suami mengikrarkan talaknya di depan sidang
Pengadilan dan cerai gugat diputuskan oleh hakim. Perceraian atau talak yang
dilakukan di luar sidang Pengadilan dinyatakan tidak sah. Karena persoalan
cerai sesungguhnya juga menyangkut kepentingan luas, yakni ketentraman
rumah tangga, nasib anak-anak yang orang tuanya bercerai, bahkan
menyangkut kepentingan lebih luas lagi, yaitu tentang kepastian dalam
masyarakat apakah suatu pasangan telah berpisah atau masih dalam ikatan
perkawinan. Oleh karena itu perceraian tidak dapat dilakukan secara
serampangan. Sebaliknya harus dilakukan pengaturan sedemikian rupa agar
terwujud kemaslahatan dan ketertiban di dalam masyarakat. Dasar penetapan
hukum yang dilakukan oleh lembaga tarjih muhammadiyah dalam menyikapi
status hukum talak yang di lakukan di luar pengadilan agama.
Nabi saw bersabda:

)‫ود ُاوَد َوالَ ْي َه ِقي‬ ِ ِ ِ


َ ‫ض اَ ْْلََلل عْن َد اَ هَّلل اَلطهَل ُق‬
َ ُ‫(رَواهُ أَب‬ ُ َ‫أَبْ غ‬
Artinya: Suatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah
talak (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi).
Berdasarkan hadits ditersebut bahwa perceraian jangan dianggap remeh
dan dipermudah-mudah karena peceraian itu sangat dibenci oleh Allah
meskipun halal. Wujud dari tidak mengenteng-entengkan perceraian itu
adalah bahwa ia hanya dapat dilakukan bila telah terpenuhi alasan-alasan

78
Interfew pribadi dengan Fuad Thohari, Wakil Sekretaris LDNU BPNU. Jakarta 21
November 2019.
53

hukum yang cukup untuk melakukannya. Di samping itu harus dilakukan


melalui pemeriksaan pengadilan untuk membuktikan apakah alasannya
sudah terpenuhi atau belum. Oleh karena itulah ijtihad hukum Islam
modern, seperti tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal.
115) misalnya, mewajibkan prosedur perceraian itu melalui pengadilan; dan
bahwa perceraian terjadi terhitung sejak saat perceraian itu dinyatakan di
depan sidang Pengadilan (KHI,Pasal 123).
Memang dalam fikih klasik, suami diberi hak yang luas untuk
menjatuhkan talak, sehingga kapan dan di manapun ia mengucapkannya,
talak itu jatuh seketika. Keadaan seperti ini dipandang dari sudut
pemeliharaan kepentingan keluarga, kepastian hukum dan ketertiban
masyarakat tidak mewujudkan maslahat bahkan banyak merugikan terutama
bagi kaum wanita (isteri). Oleh karena itu demi terwujudnya kemaslahatan,
maka perceraian harus diproses melalui pengadilan. Jadi di sini memang ada
perubahan hukum, yaitu dari kebolehan suami menjatuhkan talak kapan dan
di manapun menjadi keharusan menjatuhkannya di depan sidang
pengadilan. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah
fiqhiyah yang berbunyi:

ِ ‫ََلي ْن َكر تَ ْغُِي ْاألَح َك ِام بَُِ ْغِ ُِي ْاأل َْزم‬
‫ان‬ َ ْ ُ ُ ُ
Artinya: tidak diingkari perubhan hukum karena perubahan zaman
Ibnu Al Qayyim menyatakan:

‫ات َوالْ َع َوائِ ِد‬


ِ ‫ب تَغُِْي ْاأل َْزِمنَ ِ و ْاألَحو ِال والنِي‬
َ َ َْ َ ُ
ِ ‫اخُِ َلفُ َها ِِبَس‬
ْ ْ ‫تَ ْغُِيُ الْ َفُْ َوى َو‬

Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan


zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat.
Para filosof syariah telah menyepakati bahwa tujuan syariah adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan. Menurut Asy-Syatibi, dasarnya adalah:

ِ ِ ِ َ ‫وما أَرس ْلن‬


َ ْ ‫اك أهَل َر ْْحَ ً ل ْل َعالَم‬
‫َّي‬ َ َ ْ ََ
54

Artinya: Tiadalah Kami mengutus engkau melainkan untuk menjadi


rahmat bagi semesta alam (QS. al-Anbiya’ (21): 107)
Dalam kaitan ini penjatuhan talak di depan sidang pengadilan bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan terhadap institusi
keluarga dan perwujudan kepastian hukum dimana perkawinan tidak dengan
begitu mudah diputuskan. Pemutusan harus didasarkan kepada penelitian
apakah alasan-alasannya sudah terpenuhi. Dengan demikian talak yang
dijatuhkan di depan pengadilan berarti talak tersebut telah melalui
pemeriksaan terhadap alasan-alasannya melalui proses sidang pengadilan.
K.H. Ahmad Azhar Basyir (mantan Ketua Majelis Tarjih dan Ketua PP
Muhammadiyah), mengenai masalah ini, menyatakan:
Perceraian yang dilakukan di muka pengadilan lebih menjamin
persesuaiannya dengan pedoman Islam tentang perceraian, sebab sebelum
ada keputusan terlebih dulu diadakan penelitian tentang apakah alasan-
alasannya cukup kuat untuk terjadi perceraian antara suami-istri. Kecuali itu
dimungkinkan pula pengadilan bertindak sebagai hakam sebelum
mengambil keputusan bercerai antara suami dan istri.
Pada bagian lain dalam buku yang sama K.H. Ahmad Azhar menjelaskan
lebih lanjut,
Untuk menjaga agar perceraian jangan terlalu mudah terjadi, dengan
pertimbangan “maslahat mursalah” tidak ada keberatannya apabila diambil
ketentuan dengan jalan undang-undang bahwa setiap perceraian apapun
bentuknya diharuskan melalui pengadilan.
Selain dari itu dapat pula ditegaskan bahwa penjatuhan talak di luar
sidang pengadilan, mengingat mudarat yang ditimbulkannya, harus dilarang
dan dinyatakan tidak sah berdasarkan prinsip sadduz-zari‘ah (menutup pintu
yang membawa kepada kemudaratan).
Dari dasara hukum yang di gunakan lembaga fatwa muhammadiyah
bahwa percerain harus dilakukan melalui peroses pemeriksaan pengadilan,
cerai talak dilakukan dengan cara suami mengikrarkan talaknya di depan
55

siding pengadilan dan cerai gugat diputuskan oleh hakim. Perceraian yang
dilakukan di luar siding pengadilan dinyatakan tidak sah.
Menurut bapak Endang Mintarja ketua Mjelis Tarjih dan Tajdid DKI Jakarta
bahwa menjatuhkan talak di luar sidang Pengadilan Agama merupakan
sesuatu yang dianggap tidak sah secara hukum karena mengandung mudorot
yang akan ditimbulkan, sebagaimana rujuk harus menggunakan saksi,
begitupun talak. Sehingga talakpun menurut pertimbangan maslahat mustinya
dilakukan dengan cara memenuhi syarat-syarat sperti adanya saksi dan lebih
kuatnya lagi talak dilakukan di dalam persidangan Pengadilan Agama. 79

D. Pebedaan dan Persamaan Fatwa MUI, NU dam Muhammadiyah


Terhadap Status Hukum Talak di luar Pengadilan Agama
Sangat sering terdengar, di dalam kehidupan sehari-hari yang
namanya perbedaan pendapat dalam menetapkan sebuah hukum,
begitupun perbedaan dan persamaan fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah terhadap status hukum talak di luar Pengadilan
Agama.
Perbedaan pendapat antara Majelis Ulama Indonsia, Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah penulis melihat bahwa hal ini dilatar belakangi oleh
berbedanya dalam menggunakan metode Istinbath untuk menetapkan suatu
hukum, di antaranya :
Pertama, Metode Istinbath yang digunakan Majelis Ulama Indonesia
dalam menetapkan fatwa status hukum talak di luar pengadilan, menggunakan
metode Qauly dengan mengutip atau merujuk kaidah-kaidah fikih yang
dikembangkan oleh ulama.
Kedua, Metode Istinbath yang digunakan Nahdlatul Ulama dalam
menetapkan fatwa status hukum talak di luar pengadilan, menggunakan metode
Qauly dengan berpijak atau merujuk kepada kitab-kitab kuning (kelasik)
seperti Kitab Fath al-Mu’in bi syarh Qurrah al-‘Ain yang dikarang oleh
79
Interfew pribadi dengan Endang Mintarja, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid DKI Jakarta, 15
Januari 2020.
56

Zainuddin Al-Malibari, Kitab Nihayah al-Zain bi syarh Qurrah al-‘Ain yang


dikarang oleh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi, Tuhfah al-Muhtaj yang
dikarang oleh Ibn Hajar Al-Haitami dan Kitab Bughyah al-Musytarsyidin yang
dikarang oleh Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi.
Ketiga, Metode Istinbath yang digunakan Muhammadiyah dalam
menetapkan fatwa status hukum talak di luar pengadilan, menggunakan metode
Qiyas yakni menganalogikan permasalahan yang tidak ada hukumya kepada
yang ada hukunya atas dasar persanaan ‘illat hukumnya. Pada dasarnya metode
ini diterima oleh Muhammadiyah, dengan catatan tidak mengenai masalah
ibadah mahdah. Ketika Muhammadiyah mengadakan pembahasan tentang
Qiyas sebagai metode penetapan hukum dalam Islam, ternyata banyak peserta
muktamar tarjih yang tidak setuju menggunakan qiyas sebagai metode
penetapan hukum dalam Islam. Namun banyak pula peserta muktamar yang
menyetujuinya. Menurut bapak Endang Mintarja ketua Mjelis Tarjih dan
Tajdid DKI Jakarta bahwa menjatuhkan talak di luar sidang Pengadilan Agama
merupakan sesuatu yang dianggap tidak sah secara hukum karena mengandung
mudorot yang akan ditimbulkan, sebagaimana rujuk harus menggunakan saksi,
begitupun talak.
Setelah itu pemulis melihat perbedaan pendapat dari ketiga fatwa tersebut
terdapat perbedaan dalam kedudukan talak diluar pengadilan tersebut.
Sebagaimana Majelis Ulama Indonesia terdapat dalam fatwanya bahwa talak di
luar pengadilan hukumnya sah dengan syarat ada alasan syar’i yang
kebenarannya dapat dibuktikan di pengadilan, dengan berpijak dalil-dalil yang
sudah di sebutkan dan juga beberpa kaidah fikih, Nahdlatul Ulama dalam fatwa
bahsul masa’il menyatakan bahwa talak di luar pengadilan itu hukumnya sah
dan di anggap sebagai talak yang pertama. Jika suami menjatuhkan talak di
dalam pengadilan agama setelah menjatuhkan talak di luar pengadilan, maka
talak di dalam di anggap talak yang ke dua jika masih ada masa iddah dari
talak pertama. Jika suami mentalak di pengadilan agama sementara iddah dari
talak yang pertama sudah habis, maka talak tersebut tidak terhitung, dan
Muhammadiyah dalam fatwa majelis tarjih menyatakan talak di luar
57

pengadilan agama hukumya tidak sah dan harus dilakukan di pengadilan


dengan mempertimbangkan Maslahat Mursalah supaya penjatuhan talak tidak
dilakukan sembarangan.
Meskipun terdapat beberapa perbrdaan dalam memutuskan masalah ini
penulis melihat bahwa Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memiliki suatu
kesamaan yaitu talak di dalam pengadilan jatuh, berbeda dengan Majelis
Ulama Indonesia yang mengharuskan Itsbath Talak.
Penulis juga melihat dari ketiga lembaga fatwa tersebut mengakui
keberadaan Pengadilan Agama , sebagaimana Fatwa Majelis Ulama Indonesia
mengharuskan memberi pembuktian talak dengan alasan syari kepada
pengadilan agama, pendapat hatwa Nahdlatul Ulama Apabila suami belum
menjatuhkan talak di luar pengadilan Agama, maka talak yang di jatuhkan di
depan Hakim Agama itu di hitung talak yang pertama dan sejak itu pula di
hitung ‘iddahnya, dan juga Muhammadiyah dalam fatwanya mengharuskan
talak dilakukan di pengadilan dengan mempertimbangkan Maslahat Mursalah
supaya penjatuhan talak tidak dilakukan sembarangan.
58

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasakan uraian yang sudah penulis paparkan, maka di bab terakhir ini
penulis menyimpulkan bahwa Majelis Ulama Indonesia memutuskan bahwa status
hukum talak di luar pengadilan sah hukumnya dengan syarat ada alasan syar’i
yang kebenarannya dapat dibuktikan di pengadilan. Nahdatul Ulama memutuskan
bahwa status hukum talak di luar pengadilan hukumnya sah dan di hitung sebagai
talak yang pertama. Muhmmadiyah memutuskan bahwa status hukum talak di luar
pengadilan agama tidak sah. Majelis Ulama Indonesia dan Nahdlatul Ulama masih
berpatokan dengan kitab fikih kelasik sehingga menyatakan talak di luar
pengadilan Agama itu sah. Sedangkan, Muhammadiya berpatokan kepada
maslahat mursalah di dalam instansi keluarga sehingga menyatakan talak di luar
pengadiilan Agama itu tidak sah. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memiliki
suatu kesamaan yaitu talak di dalam pengadilan jatuh, berbeda dengan Majelis
Ulama Indonesia yang mengharuskan Itsbath Talak dan Semua lembaga fatwa
tersebut mengakui Pengadilan Agama.

B. Saran
Sebagai catatan akhir, maka penulis membeikan saran:
1. Penulis Menyarankan Bagi pasangan suami istri yang hendak melakukan
perceraian hendaknya mendaftarkan perkara perceraiannya di pengadilan
Agama agar perceraiannya sah menurut agama dan hukum positif dan
akan mendapatkan akta cerai dari pengadilan, agar hak-hak isteri dan
anak terjamin dimata hukum.
2. Dan penulis menyarankan bagi aparatur pemerintah yang membuat
undang-undang, jangan jadikan undang-undang khusunya undang-undang
perkawinan terkesan kurang efektif dikarenakan masih ada sebagian umat
islam yang melakukan talak di luar pengadilan. Oleh sebab itu perlunya
penegasan hukum.
59

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Abidin, Slamet dan Aminudin. Fiqh Munakat 1. Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Ahmad, Bani Saebani. Perkainan dalam Hukum Islam dan Undang-Undang.


Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet.1. Jakarta: Sniar Grafika,
2006.

Arifi, Ahmad. Pergulatan Pemikiran Fiqh “Fiqh” Pola Mazhab. Cet.2.


Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.

Asqalani, Al-Hafidz Bin Hajar, Al. Bulughul Maram. Surabaya: Toko Kitab al-
Hidayah, 773 Hijriayah.

Bassam, Abdullah bin Abdurrahman, Al. Syarah Bulughul Maram. Jilid 5.


Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Djuwaini, M. Ketarjihan. Jakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis PPK, tt.

Emir. Himpunan Fatwa MUI Sejak Tahun 1975. Jakarta: Erlangga, 2015.

Haddad, Thahir, Al. Wanita dalam Syariat dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka
Firdaus 1993.

Haris, Abdurrahman Abdullah. Terjemah Bidayatul Mujtahid. Cet.1. Semarang:


CV. Asy Syifa, 1990.

Hasan, Syaikh Ayyub. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.

Jaziri, Abdurrahman Bin Muhammad Awad, Al. al-Fiqhu Ala al-Mazahibil al-
Arba’ah, Darul Ibnu al-Haitsam, 1360-1299 Hijriyah,

Karim, Helmi. Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengembangan


Hukum Islam. Cet.1. Pekanbaru: Susqa Press 1994.
60

Latif, Djamil. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia,


1982.

Mahfudh, Sahal. Bahsul Masail dan Istinbath Hukum NU. Cet.1. Jakarta:
Lakpesden, 2002.

Mahmud, Peter Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada


Media,2014.

Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan dan Lembaga Pustaka


dan Informasi (Majelis Diktilitbang dan LPI) PP Muhammadiyah, 1 Abad
Muhammadiyah; Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan. Cet.1. Jakarta:
Kompas, 2010.

Nuruddin, Amiur dan Azhri Akmal Tarigan. Hukum Perdata Isalam Di Indonesia.
Cet.1. Jakarta: Kencana, 2004.

Prodjohamidjodjo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Indonesia


Legal Center Publishing, 2002.

Rahman, Abdul Ghozali. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana, 2003.

Sa’id, Muhammad Ramadhan al-Buthi. Dawabith al-Maslahat Fi al-Syari’at al-


Islamiyyat. Beirut: Mu’assasat al-Risalah, t.th.

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah, Alih Bahasa: Mohammad Thalib. jilid 8. Bandung:
PT Alma’arif, 1980.

Sijistani, Sulaiman bin al Asyas, Al. Sunan Abu Dawud. jld 1. Beirut: Dar al
Kutub al Ilmiyah 1996.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu


Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Press, 2001.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih


Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Cet.1. Jakarta: Kencana,
2006.
61

Taqiyuddin. Kifyatul Akhyar. Juz II. Bandung: Al-Haromain jaya, 2005.

Zaid, Fuad. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994.

Zuhaili, Wahbah. Fikih dan Perundangan Islam. Dewan Bahasa dan Pustaka.
Selangor, 2001.

SUMBER LAIN

Sejarah MUI, https://mui.or.id/sejarah-mui/

Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa, http://mui.or.id/wp-


content/uploads/2017/02/PEDOMAN-PENETAPAN-FATWA-sosialisasi-
kemkes-materi- 2a.pdf

Sejarah NU (Nahdlatul Ulama), http://sejarahri.com/sejarah-nu-nahdlatul-ulama/

Biografi K.H Hasyim Al Asy’ari Pendiri Nahdlatul Ulama (NU),


http://bio.or.id/biografi-kh-hasyim-al-asyari-pendiri-nahdlatul-ulama-nu/

Sejarah NU (Nahdlatul Ulama), http://sejarahri.com/sejarah-nu-nahdlatul-ulama/

Sejarah LBMNU (Lembaga Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama),


https://lbmnu.blogspot.com/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu.html

Sejarah Singkat Muhammadiyah, http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-


178- det-sejarah-singkat.html

Sejarah Majelis arjih Muhammadiyah, https://sangpencerah.id/2013/08/sejarah-


berdirinya-majlis-tarji/
62

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai