Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salahsatu syarat
memperoleh
Oleh:
11140430000078
Kata kunci: Status Hukum Talak, UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Fatwa
MUI, Bahsul Masa’il NU, Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Pembimbing : 1. Dr. K.H. Ahmad Mukri Aji, M.A.
2. Ummu Hanah Yusuf Saumin,M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1995 s.d 2018
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf
Huruf Latin Keterangan
Arab
ب b be
ت t te
ث ts te dan es
ج j Je
خ kh ka dan ha
د d de
ر r Er
ز z zet
س s es
v
ش sy es dan ye
ف f ef
ق q Qo
ك k ka
ل l el
م m em
ن n en
و w we
ه h ha
ء apostrop
ي y ya
vi
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Arab Latin
ـــــَـــــ a fathah
ـــــِـــــ i kasrah
ـــــُـــــ u dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
Arab Latin
ي ـــــَـــــ
َ ai a dan i
ـــــَـــــ و au a dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Arab Latin
اـَــــ â a dengan topi diatas
ىـِــــ î i dengan topi atas
وــُـــ û u dengan topi diatas
vii
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan
lam ))ال, dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya: = اإلجثهادal-ijtihâd
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t”
(te) (lihat contoh 3).
g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa
jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan
viii
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata
sandangnya. Misalnya, =البخاريal-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama
tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
ix
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke zaman ilmiah seperti sekarang ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit
hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada jalan
kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang
penulisan skripsi ini banyak membantu dan memberikan bimbingan dan masukan
yang berharga kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
1. Kedua orang tua tercinta H. Ahmad Zubaidi dan Hj. Nur Aminah S.Ag yang
telah merawat dan mendidik dengan baik sampai saat ini. Dengan kasih
sayangnya yang abadi, dengan do’anya yang tiada henti, dengan kesabarannya
yang tak tertandingi dan selalu memberikan penulis support baik segi moril
maupun materil. Terimakasih atas segala didikannya, doanya, kesabarannya,
jerih payahnya, serta nasihat yang selalu mengalir tiada henti tanpa pernah jenuh
hingga penulis dapat menyelesaikan studi. Juga kepada adik-adik penulis A.
Faza Masyhuri S.Ag, Fakhirah Zahrani dan Ahmad Bassam Dinalhak Husin
Dailami yang sudah membuat penulis semangat, menghibur, memberikan do’a
serta dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga
keluarga di Berkahi dan di Rahmati oleh Allah SWT.
2. Paman terbaik penulis Ustadz Ahmad Firdaus yang sudah memberikan banyak
support dalam masa kuliah penulis ini agar terselesaikan. Terimakasih atas
segala kontribusi yang paman berikan hingga penulis dapat menyelesaikan studi
x
S1. Semoga paman dapat dipermudah dalam segala urusan dan diberkahi oleh
Allah SWT.
3. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Hj. Siti Hanna, Lc., M.A. Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan
Bapak Hidayatulloh, M.H. sebagai Sekretaris Program Studi Perbandingan
Mazhab.
5. Ibu Dewi Sukarti, M.A. dosen penasehat akademik penulis.
6. Bapak Dr. K.H Ahmad Mukri Aji, M.A. dan Ibu Ummu Hanah Yusuf Saumin,
M.A. sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu serta
memberikan arahan, saran dan ilmunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
7. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan
memberikan ilmu yang tak ternilai harganya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. DMJ yang telah menyemangati dam memotivasi penulis. Semoga Allah
senantiasa memberikan Keberkahan dan Rahmatnya.
9. Sahabat-sahabat tercinta Ustadz Miftahul Huda L.c, S.Si, M.Si. H. Ahyad abdul
hadi zein S.Si, Yulizar Akbar dan Rizaldy terimakasih sudah menjadi sahabat
terbaik. Semoga kita akan terus diberikan kesehatan.
10. Sahabat terbaik semenjak SLTA Rozien M. El khair, Miftahuddin, Fatwa Banu
Alkaf, Abdul Azis dan Akbar Wijaya serta KALAM UIN terima kasih sudah
menjadi sahabat dari SLTA hingga sekarang banyak masukan dan motivasi dari
mereka.
11. Sahabat-sahabat tergokil ku Dimas Permadi, Arif Fadillah, Faqih Zuhdi,
Dailami, Zaki, Muaz, Fadliwaraman, Deni dan zein dikala penulis sedang butuh
hiburan untuk menyemangati skripsi ini dan sudah menjadi tempat suka duka
penulis selama di Ciputat. Terimakasih atas kebaikan yang selama ini diberikan
kepada penulis.
xi
12. Teman-teman seperjuangan Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum angkatan
2014, Terkhusus sahabat-sahabatku Ladies PMH 2014. Terimakasih sudah
memberikan arti dari sebuah persahabatan tanpa melihat harta, tahta, dan
lainnya, selama 4 tahun kita bersama.
13. Sahabat-sahabat Organisasi PMII, GP Ansor, PERGUNU dan IKRIMA AL
AMIN yang selalu memberikan penulis waktu untuk berkhidmat Bersama.
Adapun nasehat, saran dan penyemangat sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan baik. Semoga di Berkahi dan semua sukses selalu, bahagia dunia
akhirat, dan diberikan rezeki yang melimpah.
14. Penghargaan kepada mereka yang membaca dan berkenan memberikan saran,
kritikan atau bahkan koreksi terhadap kekurangan dan kesalahan yang pasti
masih terdapat dalam skripsi ini. Semoga dengan saran dan kritik tersebut,
skripsi ini dapat diterima di kalangan pembaca yang lebih luas lagi di masa yang
akan datang. Semoga karya yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan yang
telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi berkah dan amal
jariyah untuk kita semua. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
serta pembaca pada umumnya.
Jakarta, 14 Januari 2020
Penulis
xii
DAFTAR ISI
xiii
B. Nahdlatul Ulama ......................................................................... 37
1. Sejarah Terbentuknya Nahdlatul Ulama ................................ 37
2. Metode Istinbath Hukum ....................................................... 39
C. Muhammadiyah .......................................................................... 40
1. Sejarah Terbentuknya Muhammadiyah .................................. 40
2. Metode Istinbath Hukum ....................................................... 42
BAB IV STATUS HUKUM TALAK DI LUAR PENGADILAN AGAMA
(Studi Komparatif Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah) .................................................... 44
A. Status Hukum Talak di luar Pengadilan Agama menurut Majelis
Ulama Indonesia ........................................................................ 44
B. Status Hukum Talak di luar Pengadilan Agama menurut
Nahdlatul Ulama ......................................................................... 47
C. Status Hukum Talak di luar Pengadilan Agama menurut
Muhammadiyah .......................................................................... 52
D. Perbedaan dan Persamaan Fatwa MUI, NU dan Muhammadiyah
terhadap status hukum talak di luar Pengadilan Agama ............... 55
BAB V PENUTUP ................................................................................. 58
A. Kesimpulan ................................................................................. 58
B. Saran........................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 59
LAMPIRAN .............................................................................................. 62
xiv
BAB I
Akad perkawinan dalam hukum Islam bukan hanya perkara perdata semata,
akan tetapi merupakan ikatan suci yang terkait dalam keyakinan dan keimanan
kepada Allah sebagaimana Firman-Nya dalam surat An-Nisa’ ayat 21:
1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003), h. 10.
1
2
ض اَ ْْلََل ِل ِ ِ ِ ُ ال رس َ ََع ِن ابْ ِن ُع َمَر َر ِض َي اَ هَّللُ َعْن ُه َماَ ق
ُ َصلهى للاُ َعلَْيه َو َسل َم (أَبْ غ
َ ول اَ هَّلل ُ َ َ َ ق: ال
4
ِعْن َد اَ هَّللِ اَلطهَل ُق ) َرَواهُ أَبُو َد ُاوَد
2
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakat 1 (Bandung: Pustaka Setia, 1999) h. 9.
3
Bani Ahmad Saebani, Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-Undang (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), h. 27.
4
Sulaiman bin al Asyas al Sijistani, Sunan Abu Dawud, jilid 1 (Beirut: Dar al Kutub al
Ilmiyah 1996), h. 120.
3
Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “perbuatan halal
yang sangat dibenci Allah adalah talak”. (HR. Abu Dawud).
Pada dasarnya putusnya sebuah perkawinan itu terjadi karena dua hal;
pertama karena kematian, dan kedua karena perceraian. Dalam hal putusnya
perkawinan karena perceraian, kemudian terdapat ketentuan perundangan di
Indonesia dan beberapa Negara Muslim yang mensyaratkan adanya putusan
pengadilan. Islam menyerahkan hak cerai sepenuhnya terhadap suami, tapi istri
juga punya hak menuntut cerai terhadap suami ke pengadilan ketika suami tidak
memberikan nafkah lahir maupun batin bahkan menurut Mazhab Hanafi ketika
istri bersuamikan pria yang tidak memberikan nafkah lahir dan batin atau
mempunyai penyakit yang merusak kebahagian rumah tangga maka dia punya hak
cerai langsung (tanpa melalui proses gugatan).5
Perceraian atau talak dalam hukum Islam memang tidak diharuskan melalui
Pengadilan. Ketentuan perceraian dalam Pengadilan atau melalui persidangan
kesaksian hakim ini tidak diatur dalam fiqih mazhab apapun, dengan
pertimbangan bahwa perceraian khususnya yang disebut talak adalah hak mutlak
seorang suami, dan dia dapat menggunakannya di mana saja dan kapan saja.
Untuk itu tidak perlu memberi tahu apalagi minta izin kepada siapapun. Dalam
pandangan fiqih perceraian itu sebagaimana keadaannya perkawinan adalah
urusan pribadi dan karenanya tidak perlu diatur oleh ketentuan publik. 6 Al-Qur’an
dan Hadits tidak mengatur secara rinci tata cara menjatuhkan talak. Oleh karena
itu terjadi perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini. Ada ulama yang
memberikan aturan ketat, seperti harus dipersaksikan atau dilakukan di depan
hakim, namun ada pula yang longgar sekali, seperti pendapat yang mengatakan
bahwa suami bisa menjatuhkan talak dengan alasan sekecil apapun dan tanpa
saksi karena talak itu adalah hak suami. 7
5
Thahir Al-Haddad, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus 1993),
h., 94.
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet.1, h. 227-228.
7
Emir, Himpunan Fatwa MUI Sejak Tahun 1975, (Jakarta: Erlangga, 2015), h. 1201.
4
8
Emir, Himpunan Fatwa MUI Sejak Tahun 1975, h. 1201.
5
dengan syar’i. Sudah menjadi ketentuan syara’ bahwa talak itu adalah hak laki-laki
atau suami dan hanya ia saja yang boleh mentalak istrinya, orang lain biarpun
familinya tidak berhak kalau tidak sebagai wakil yang sah dari suami tersebut.
Islam menjadikan talak hak laki-laki atau suami adalah karena laki-laki atau
suamilah yang dibebani kewajiban perbelanjaan rumah tangga, nafkah istri, anak-
anak dan kewajiban lain. 9 Kemudian ada yang menyatakan tidak sah mentalak
istri di luar Pengadilan dengan alasan untuk menyelamatkan lembaga pernikahan.
Hal ini dinyatakan tidak sah karena untuk menyelamatkan institusi pernikahan
jadi harus dipersaksikan oleh pengadilan.10 Alasan tersebut didasarkan pada
peraturan hukum di Indonesia yang mengharuskan perceraian dilakukan di
Pengadilan Agama.
Namun setelah adanya kesepakatan menghasilkan beberapa rumusan sebagai
berikut:
a. Talak di luar pengadilan hukumnya sah dengan syarat ada alasan syar’i
yang kebenarannya dapat dibuktikan di pengadilan.
b. Iddah talak dihitung semenjak suami menjatuhkan talak.
c. Untuk kepentingan kemaslahatan dan menjamin kepastian hukum, talak di
luar pengadilan harus dilaporkan (ikbar) kepada pengadilan agama. 11
9
Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), h.
49.
10
https://almanaar.wordpress.com/2012/07/09/rumusan-fatwa-mui-talak-diluar-
pengadilan/#more-477.
11
Emir, Himpunan Fatwa MUI Sejak Tahun 1975, h. 1202.
6
terakhir tersebut. Selain itu, dalam keputusan tersebut juga menyatakan bahwa
talak di depan Hakim Pengadilan Agama jika dijatuhkan setelah habisnya masa
‘iddah atau dilakukan karena terpaksa (mukrah), maka talaknya tidak
diperhitungkan.12
Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam fatwanya yang disidangkan pada hari
Jum’at, 8 Jumadil ula 1428 H/ 25 Mei 2007 M memberikan putusan bahwa
perceraian harus dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan, cerai talak
dilakukan dengan cara suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan
dan cerai gugat diputuskan oleh hakim. Perceraian atau talak yang dilakukan di
luar sidang Pengadilan dinyatakan tidak sah.13
Dari pandangan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nahdatul Ulama dan
Muhammadiya di atas mencerminkan suatu hal yang kontradiktif terhadap status
hukum talak di luar Pengadilan. Masing-masing fatwa terebut memiliki istinbath
hukum tersendiri. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk
mengangkat permasalahan tersebut kedalam sebuah karya ilmiah dalam bentuk
skripsi dengan judul “STATUS HUKUM TALAK DI LUAR PENGADILAN
AGAMA (Studi komparatif Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah)
B. Identifikasi Masalah
Latar belakang masalah yang telah penulis paparkan, maka dapat di
identifikasi beberapa masalah dalam penelitian ini, di antaranya:
1. Bagaimana jika talak dilakukan di luar pengadilan agama yang sudah di
atur oleh undang-undang?
2. Bagaimana penetapan menjatuhkan talak menurut Majelis Ulama
Indonesia?
3. Bagaimana penetapan menjatuhkan talak menurut Nahdlatul Ulama?
4. Bagaimana penetapan menjatuhkan talak menurut Muhammadiyah?
12
http://repository.iainpurwokerto.ac.id/2792/.
13
https://www.konsultasisyariah.in/2017/05/fatwa-muhammadiyah-cerai-luar-pengadilan-
tidak-sah.html.
7
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang di pakai penulis yaitu:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian yuridis
normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 14 Sesuai
dengan karakteristik kajiannya, maka penelitian ini menggunakan metode
kajian kepustakaan.
2. Pendekatan Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan yakni normatif, maka pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini juga menggunakan
pendekatan perbandingan. 15 Dalam hal ini penulis membandingkan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Nahdatul Ulama dan Fatwa Muhammadiyah
terhadap status hukum talak di luar Pengadilan Agama.
14
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h. 13-14.
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media,2014), h.
172.
10
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang penulis pakai tersistem sebagai berikut: Kata
pengantar, daftar isi dan memuat beberapa beb yaitu:
Bab I Berisi Pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
studi revew kajian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Penulis Menjelaskan pandangan umum tentang talak yang berisikan
pengertian talak, dasar hukum talak, rukun dan syarat talak, macam-macam talak,
sebab-sebab terjadinya talak dan talak di dalam pengadilan.
Bab III Merupakan Profil dan Metode Istimbath hukum MUI,
Muhammadiyah dan NU. Yang meliputi profil MUI yang mencakup sejarah
terbentuknya Majelis Ulama Indonesia dan metode istimbath hukum Majelis
Ulama Indonesia. Kemudian profil Nahdatul Ulama yang mencakup sejarah
terbentuknya NU dan metode istimbath hukum Bahsul Masa’il Nahdatul Ulama.
Lalu, profil Muhammadiyah yang mencakup sejarah terbentuknya
Muhammadiyah dan metode istimbath hukum Majelis Tarjih Nahdatul Ulama.
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 172.
12
A. Pengertian Talak
Thalaq secara bahasa ialah lepas dan bebas yaitu putusnya suatu perkawinan
antara suami dan istri sehingga sudah lepas hubungannya dan masing-masing
sudah bebas. Sedangkan Thalaq secara istilah ulama berbeda pendapat namun
sensinya sama. Adapun Thalaq menurut pendapat Al-mahalli dalam kitabnya
Syarah Minhaj Al-Thalibin yaitu: 17
17
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 198-199.
18
Taqiyuddin, Kifyatul Akhyar, Juz II, (Bandung: Al-Haromain Jaya, 2005), h. 84.
19
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, h. 192.
13
14
dengan menggunakan kata khusu yakni talak atau semacamnya, sehingga istri
sudah tidak halal lagi baginya.
Talak merupakan sebuah institusi yang digunakan untuk melepaskan sebuah
ikatan perkawinan, dengan demikian ikatan perkawinan sebenarnya dapat putus
dan tata caranya telah diatur baik dalam fikih maupun dalam Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). 20
Kehidupan rumah tangga harus didasari oleh cinta dan kasih sayang, yakni
suami istri harus memerankan peran masing-masing, yang satu dengan yang
lainnya saling melengkapi. Dan juga harus mewujudkan keseragaman, keeratan,
kelembutan dan saling pengertian satu sama lain sehingga rumah tangga menjadi
hal yang sangat menyenangkan, penuh kebahagiaan, kenikmatan dan juga dapat
melahirkan generasi yang baik. 21
Jika apabila suami dan istri sudah tidak lagi saling memperdulikan satu
dengan lainnya serta sudah tidak menjalankan tugas dan kewajibannya masing-
masing sebagaimana mestinya, sehingga yang tinggal hanya pertengkaran dan tipu
daya. Kemudian keduanya berusaha memperbaiki, namun tidak kunjung berhasil
juga, maka pada saat itu, talak adalah kata yang paling tepat.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa,
namun dalam realitanya seringkali perkawinan tersebut kandas ditengah jalan
yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian, perceraian
ataupun karena putusan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang. 22
20
Wahbah zuhaili, Fikih dan Perundangan Islam, Dewan Bahasa dan Pustaka, (Selangor,
2001), h, 579.
21
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 207.
22
Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal
Center Publishing, 2002), h. 41.
15
ض اَ ْْلََل ِل اَ ََل ِ
ُ َ اَبْغ,صلَى للاُ َعلَْيه َو َسلهم
ِ ُ ال رس
َ ول اَهلل َ ََع ِن اِبْ ِن ُع َمَر َر ِض َي اَهللُ َعْن ُه َما ق
ُ َ َ َ ق: ال
ٍِ ور هفح أَبُو َح, ص هح َحهُ اَ ْْلَاكِم
)ُاِت إِْر َسالَه َ للاِ تَ َع
َ ََ ُ َ اف ْه َو َ اَل اَلطهَل ُق
َ َوابْ ُن َم, (رَواهُ أَبُو َد ُاوَد
24
23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 199.
24
Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Syarah Bulughul Maram Jilid 5, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006), Cet.1, h. 557.
16
Abu Daud dan Ibnu Majah serta dinilai shahih oleh Al-Hakim dan Abu Hatim
mengunggulkan mursal-nya).
Dalam hal ini ditunjukkan pula bahwa Islam sangat berkeinginan agar
kehidupan rumah tangga itu tentram dan terhindar dari keretakan, bahkan
dapat diharapkan dapat mencapai suasana pergaulan yang baik dan saling
mencintai. Dan wanita yang menuntut cerai dari suaminya hanya karena
manginginkan kehidupan yang menurut anggapanya lebih baik, dia berdosa
dan diharamkan mencium bau surga kelak di akhirat. Karena perkawinan
pada hakekatnya merupakan salah satu anugerah dari Allah yang patut
disyukuri. Dan dengan bercerai berarti tidak mensyukuri anugerah tersebut
(kufur nikmat). Dan kufur itu tentu dilarang oleh agama dan tidak halal
dilakukan kecuali dengan sangat terpaksa (darurat) Perceraian merupakan
jalan terakhir yang harus ditempuh jika bahterah kehidupan rumah tanggah
tidak dapat lagi dipertahankan keutuhanya. Islam menunjukkan agar sebelum
terjadinya perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belaha
pihak karena ikatan perkawinan adalah ikatan yang paling suci dan kokoh.
Berdasarkan beberapa sumber hukum dalam keadaan dan situasi tertentu
maka hukum menjatuhkan talak itu, yaitu:
a. Wajib, Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri dan thalaq
digunakan, sebagai tujuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi
antara suami isteri jika masing-masing pihak melihat bahwa thalaq
adalah jalan satu-satunya untuk mengakhiri perselisihan.
b. Sunnah, talak disunnahkan jika isteri rusak moralnya, berbuat zina atau
melanggar larangan-larangan agama atau meninggalkan kewajiban-
kewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, isteri tidak afifah
(menjaga diri berlaku terhormat).
c. Makruh, Berdasarkan hadis yang menetapkan bahwa thalaq merupakan
jalan yang halal yang paling dibenci oleh Allah Swt yakni dibenci jika
tidak ada sebab yang dibenarkan, sedangkan Nabi tidak
17
25
Abdul. Rahman Ghazaliy, Fiqh Munakahat, h. 241.
26
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h., 201.
18
Berkenaan dengan hal tersebut Pasal 114 KHI juga menyebutkan bahwa
perkawinan dapat putus dengan sebab gugatan perceraian, yaitu sebagai
berikut:
“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi
karena talak berdasarkan gugatan perceraian”.
Fuad Said mengemukakan bahwa perceraian dapat terjadi dengan cara
talak, khulu.27
Artinya; Tidak ada thalaq kecuali setelah akad perkawinan dan tidak ada
pemerdekaan kecuali setelah ada pemilikan. (HR. Abu Ya’la dan al-Hakim)
27
Fuad Zaid, Perceraian Menurut Hukum Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994), h. 2.
28
Abdurrahman Bin Muhammad Awad Al-Jaziri, al-Fiqhu Ala al-Mazahibil al-Arba’ah,
Darul Ibnu al-Haitsam, 1360-1299 Hijriyah, h. 968.
29
Al-Hafidz Bin Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Toko Kitab al-Hidayah, 773
Hijriayah, h. 227.
19
4. Qashdu (sengaja)
Qashdu ialah bahwa dengan ucapan thalak itu memang dimaksudkan oleh
yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk bermaksud lain. Oleh karena
itu, salah ucap yang tidak dimaksudkan untuk talak dipandang tidak jatuh
talak, seperti suami memberikan sebuah talak kepada istrinya, tapi ia keliru
mengucapkannya seperti: “ini sebuah talak untukmu”, seharusnya ia
mengatakan: “ini sebuah salak untukmu”, maka tidak dipandang jatuh talak
tersebut.
D. Macam-macam Talak
Macam-macam talak di lihat dari beberapa beberapa keadaan. Dengan
melihat kepada keadaan istri waktu talak itu diucapkan oleh suami, talak itu ada
dua macam:30
1. Talak Sunni
Menurut Abdurrahman Bin Muhammad Awad al-Jaziri di dalam kitabnya
al-Fiqhu Ala al-Mazdahib al-Arba’ah yaitu:31
ٍ َّي وَكا َن بِ َع َد ٍد ُم َع ه
ٍ ِ
َّي َ َما َكا َن ِف َزَم ٍن ُم َع ه
Artinya: “Thalaq yang sudah ditentukan zaman dan bilangannya”
Jadi, talak Sunni adalah talak yang dijatuhkan suami telah sesuai
dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadits. Yaitu jatuhkannya talak oleh
suami kepada istri yang si istri waktu itu tidak dalam keadaan haid atau
dalam masa suci yang pada masa itu belum pernah dicampuri oleh
suaminya. 32 Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat At-Thalaq ayat 1:
)1 :65/صوا الْعِ هد َة (الطلق ِِ ِ ِ َي أَيُّها النِهِب إِ َذا طَله ْقُم النِساء فَطَلِ ُق
ُ َح
ْ وه هن لعدهِت هن َو أ
ُ َ َ ُُ ُّ َ َ
30
Amir Syarifuddin, hukum perkawinan islam di Indonesia: antara fiqih munakahat dan
undang-undang perkawinan, h. 217.
31
Abdurrahman Bin Muhammad Awad Al-Jaziri, al-Fiqhu Ala al-Mazahibil al-Arba’ah,
Darul Ibnu al-Haitsam, 1360-1299 Hijriyah, h. 974.
32
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa: Mohammad Thalib (Bandung: PT Alma’arif,
1980), jilid 8, h. 42.
21
أ َْو طَله َق َها ثََل ًث، أ َْو نَِفاس،إِ َذا طَله َق َها َو ِه َي َحائِض
Artinya: “Ketika menthalaq istri dalam keadaan haid atau nifas atau
thalaq tiga”.
Yang dimaksud dengan talak bid’iy adalah talak yang dilakukan suami
dengan menyalahi aturan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Yaitu seorang suami
menjatuhkan talak kepada istrinya dalam keadaan haid atau dalam keadaan
nifas dan dalam keadaan suci tapi digauli oleh suami dalam keadaan sucinya
atau mentlak tiga kali dengan sekali ucapan atau juga dengan secara terpisah-
pisah34 sebagaimana Hadits yang di riwayatkan Nasa’i, Muslim dan Ibnu
Majah.
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ فَ َذ َكَر َذال،ً تَطْلْي َق،طَله َق ا ْمَرأًَة لَهُ َوه َي َحائض، ا هن ابْ َن ُع َمَر: ََوِِف ِرَواي
َ ك ُع َم ُر للنِهِب
ُصلَى للا
(رواه النساءومسلم وابن.ت اَْو َوِه َي َح ِامل ِ ِ ِ َ َعلَْي ِه َو َسله ُم فَ َق
ْ م ْرهُ فَ ْل َُُياف ْع َها ُثُه يُطَل ُق َها ا َذاطَ َهَر:
ُ ال
35
)مافه وابودود
33
Abdurrahman Bin Muhammad Awad Al-Jaziri, al-Fiqhu Ala al-Mazahibil al-Arba’ah, h.
975.
34
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 45.
35
Al-Hafidz Bin Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, h. 223.
22
1. Talak Raj’iy
Talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang telah dikumpulinya
betul-betul yang ia jatuhkan bukan sebagai ganti rugi dari mahar yang
dikembalikannya dan sebelumnya belum pernah ia menjatuhkan talak
kepadanya sama sekali atau baru sekali saja. Di sini tidak berbeda antara talak
yang dinyatakan dengan terus terang dan sindiran. 37 Sebagaimana firman
Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 229:
ٍ ِ
ٍ وأ أَو تَس ِريح بِِحس ِ ِ
)229 :2 /ان (ال قرة َْ ْ ْ الطهَل ُق َمهرََتن فَإ ْم َساك بَْع ُر
Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (Al-
Baqarah: 2 Ayat 229)
Maksudnya talak yang ditetapkan Allah sekali sesudah sekali. Dan suami
berhak merujuk istrinya dengan baik sesudah talak yang pertama, dan begitu
pula ia masih berhak merujuknya dengan baik sesudah talak kedua kalinya.
2. Talak Ba’in
Yaitu talak yang ketiga kalinya, talak sebelum istri dikumpuli, dan talak
dengan tebusan oleh istri kepada suaminya. 38 Dalam Bidayatul al-Mujtahid
Ibnu Rusyd berkata: Para ulama sepakat, talak ba’in hanya terjadi dalam talak
sebelum disetubuhi sebelumnya tidak pernah ditalak, Mereka sepakat bahwa
bilangan talak yang merupakan talak ba’in yaitu tiga kali talak yang
36
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 220.
37
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 60.
38
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 68.
23
dilakukan laki-laki merdeka sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-
Baqarah ayat 229:
39
Abdurrahman. Haris Abdullah, Terjemah Bidayatul Mujtahid, (Semarang: CV. Asy Syifa,
1990), cet, I, h. 478-480
40
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 221-222.
24
Kedua: Talak yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak istri
atau yang disebut Khulu’. Hal ini dapat dipahami dari isyarat firman
Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 229:
41
Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Khulu' Yaitu
permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh.
25
Dia hanya boleh kembali kepada istrinya setelah istrinya itu kawin
dengan laki-laki lain dan bercerai pula dengan laki-laki itu dan habis
masa ‘iddahnya. Yang termasuk talak ba’in kubra adalah sebagai
berikut:
Pertama: Istri yang telah ditalak tiga kali, atau talak tiga. Talak tiga
dalam pengertian talak ba’in itu yang disepakati oleh ulama adalah
talak tiga yang diucapkan secara terpisah dalam kesempatan yang
berbeda antara satu dengan lainnya diselingi oleh masa ‘iddah.
Termasuknya talak tiga itu ke dalam kelompok ba’in kubra itu adalah
sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 230
menyatakan:
“Talak Ba`in Kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.
Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali,
kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah
degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian setelah di gauli
(ba`da al dukhul) dan habis masa iddahnya”.
Talak ditinjau dari segi ucapan yang digunakan, terbagi dua macam,
yaitu:42
1) Talak Tanjiz
Yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan
langsung, tanpa dikaitkan kepada waktu, baik menggunakan ucapan
sharih atau kinayah. Dalam bentuk ini talak terlaksana segera setelah
suami mengucapkan ucapan talak tersebut.
2) Talak Ta’liq
Yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan
yang pelaksanaannya di gantungkan kepada sesuatu yang terjadi
kemudian, baik menggunakan lafaz terang terangan (sharih) atau
sindiran (kinayah). Seperti ucapan suami: “bila ayahmu pulang dari
luar negeri engkau saya talak”. Talak seperti ini baru terlaksana
secara efektif setelah syarat yang digantungkan terjadi.
Talak Ta’liq ini berbeda dengan taklik talak yang berlaku di
beberapa tempat yang diucapkan oleh suami segera setelah ijab
qabul dilaksanakan. Taklik talak itu ialah sebuah bentuk perjanjian
dalam perkawinan yang di dalamnya disebutkan beberapa syarat
yang harus dipenuhi oleh suami. Jika tidak memenuhinya, maka si
istri yang tidak rela dengan itu dapat mengajukannya ke pengadilan
sebagai alasan untuk perceraian.
Talak dari segi siapa yang secara langsung mengucapkan talak, talak
bentuk ini dibagi dua macam:43
42
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h, 225.
43
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 226.
27
ص َل ًحا يُ َوفِ ِق ه
ُاَّلل
ِ ِ ِِ ِ ِ َ وإِ ْن ِخ ْفُم ِي َق
ْ ِاق بَْين ِه َما فَابْ َعثُوا َح َك ًما م ْن أَ ْهله َو َح َك ًما م ْن أ َْهل َها إِ ْن يُِر َيدا إ ُْ َ
)35 :4/بَْي نَ ُه َما إِ هن هاَّللَ َكا َن َعلِ ًيما َخِ ًُيا (النساء
44
Abdul. Rahman Ghazaliy, Fiqh Munakahat, h. 241-242.
28
وه هن ِ ٍ ِ وأ أَو س ِرح ٍ وإِ َذا طَله ْقُم النِساء فَ لَ ْغن أَفلَه هن فََم ِس ُكوه هن ِبعر
ُ وه هن بَْع ُروأ َوََل ُتُْس ُك
ُ ُ َ ْ ُ َْ ُ ْ ُ َ َ َ َ َ ُ ُ َ
)231 :2 /ِضَر ًارا لَُِ ْعَُ ُدوا (ال قرة
Artinya: “Maka peliharalah (rujukIlah) mereka (istri-istri) dengan cara
yang ma’ruf (baik) atau lepaskanlah (ceraikanlah) mereka (istri-istri)
dengan yang ma’ruf (baik) pula. Janganlah kamu pelihara (rujuki) mereka
untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya
mereka.” (Al-Baqarah: 2 Ayat 231)
Hukum Islam tidak menghendaki adanya kemudharatan dan melarang
saling saling menimbulkan kemudharatan. Dalam hadist dinyatakan bahwa
Rasulallah SAW bersabda:
45
Abdul. Rahman Ghazaliy, Fiqh Munakahat, h. 243.
46
Abdul. Rahman Ghazaliy, Fiqh Munakahat, h. 244-245.
29
47
Abdul. Rahman Ghazaliy, Fiqh Munakahat, h. 247-248
48
Amiur Nuruddin dan Azhri Akmal Tarigan, Hukum Perdata Isalam Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), Cet.1, h. 218.
30
4. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ isteri.
49
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sniar Grafika, 2006), Cet.1, h.
80.
31
50
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 80.
32
dibuka.
5. Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.
51
Sejarah MUI, https://mui.or.id/sejarah-mui/
52
Helmi Karim, Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengembangan Hukum
Islam, (Pekanbaru: Susqa Press 1994), Cet.1, h. 73.
34
35
Ulama adalah suatu wadah yang diperlukan dan diharapkan oleh para
pemerintah mau pun umat Islam. 53
Majelis Ulama Indonesia lahir dari hasil pertemuan atau musyawarah para
ulama, cendekiawan dan zu’ama yang hadir dari berbagai daerah di
Indonesia, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili
26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan
unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah,
Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI
dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat,
Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang
tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. 54
Dari musyawarah tersebut, yang dihasilkan adalah sebuah kesepakatan
untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zu’ama dan
cendekiawan muslim yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI”
yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut
Musyawarah Nasional Ulama Indonesia. Momentum berdirinya MUI
bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan
kembali, setelah 30 tahun merdeka, saat energi bangsa telah banyak terserap
dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah
kesejahteraan rohani umat.55
53
Helmi Karim, Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengembangan Hukum
Islam, h. 74-75.
54
Sejarah MUI, https://mui.or.id/sejarah-mui/
55
Sejarah MUI, https://mui.or.id/sejarah-mui/
36
bahwa untuk menghasilkan suatu fatwa, dapat dipastikan lembaga ini perlu
membahas dan mengkaji secara fokus dan teliti. Karena, selama masalah
tersebut diproses dan kemudian lahirlah sebuah fatwa, para peserta yang
terlibat dalam pembahasan tersebut turut serta dalam melakukan ijtihad. 56
Dalam menetapkan fatwa di MUI, kajian komperehensif terlebih dahulu
dilakukan sebelum fatwa tersebut ditetapkan. Fungsinya adalah untuk
memperoleh deskripsi utuh tentang objek masalah (tashawwur al- masalah),
rumusan masalah, dampak sosial keagamaan yang ditimbulkan dan titik kritis
dari berbagai aspek hukum (norma syari’ah) yang berkaitan dengan masalah
tersebut. Kajian komprehensif mencakup: suatu telaah atas pandangan fuqaha
mujtahid masa lalu, pendapat para imam madzhab dan ulama yang mu’tabar,
dan telaah atas fatwa-fatwa yang terkait, serta pandangan ahli fikih terkait
masalah yang akan difatwakan. Kajian komprehensif bisa melalui penugasan
pembuatan makalah kepada anggota komisi atau ahli. 57
Masalah yang ma’lum min al-din bi al-dlarurah langsung difatwakan
dengan cara menyampaikan hukum sebagaimana apa adanya. Masalah yang
terdapat perbedaan pendapat (masail khilafiyah) dikalangan madzhab,
maka:58
a) Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha pencapaian titik temu
diantara pendapat melalui metode al-jam’u wa al-taufiq.
b) Jika tidak tercapai titik temu, penetapan fatwa didasarkan pada hasil
tarjih melalui metode Muqaranah (perbandingan) dengan
menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih muqaran.
Masalah yang tidak ditemukan pendapat hukum dikalangan madzhab atau
ulama yang mu’tabar, didasarkan pada ijtihad kolektif melalui metode bayani
dan ta’lili (qiyasi, istihsaniy, ilhaqiy, istihsaniy dan sad al-dzaraa’i) serta
metode penetapan hukum (manhaj) yang dipedomani oleh para ulama
56
Helmi Karim, Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengembangan Hukum
Islam, h. 103-104.
57
Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa, http://mui.or.id/wp-
content/uploads/2017/02/PEDOMAN-PENETAPAN-FATWA-sosialisasi-kemkes-materi- 2a.pdf
58
Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa, http://mui.or.id/wp-
content/uploads/2017/02/PEDOMAN-PENETAPAN-FATWA-sosialisasi-kemkes-materi- 2a.pdf
37
B. Nahdlatul Ulama
1. Sejarah Terbentuknya Nahdatul Ulama
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) adalah sebuah organisasi Islam di
Indonesia yang lahir pada tanggal 31 Januari 1926 Masehi atau 16 Rajab
1344 Hijriyah. Pendirinya adalah seorang ulama Indonesia yang bernama K.H
Hasyim Asy’ari. 60 Beliau lahir di Pondok Nggedang Jombang Jawa Timur
pada tanggal 10 April 1875 Masehi. Ayahnya bernama K.H Asy’ari yang
merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berlokasi di sebelah
selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis keturunan ibu, K.H
Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI (enam) yang juga
dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang
(keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir). 61
Latar belakang lahirnya Nahdlatul Ulama ini berawal dari kalangan
pesantren yang giat dalam melawan kolonialisme dengan membentuk
beberapa organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan
Tanah Air) yang didirikan pada tahun 1916 Masehi. Lalu, Taswirul Afkar
atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) yang
berdiri pada tahun 1918 Masehi. Didirikan sebagai wahana pendidikan sosial
politik kaum dan keagamaan kaum santri. Kemudian berdiri pula Nahdlatut
Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan sebagai landasan untuk
memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu,
59
Pedoman dan prosedur penetapan Fatwa, http://mui.or.id/wp-
content/uploads/2017/02/PEDOMAN-PENETAPAN-FATWA-sosialisasi-kemkes-materi- 2a.pdf
60
Sejarah NU (Nahdlatul Ulama), http://sejarahri.com/sejarah-nu-nahdlatul-ulama/
61
Biografi K.H Hasyim Al Asy’ari Pendiri Nahdlatul Ulama (NU), http://bio.or.id/biografi-
kh-hasyim-al-asyari-pendiri-nahdlatul-ulama-nu/
38
maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi
lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di
beberapa kota.62
Kemudian, Raja Ibnu Saud ingin mengaplikasikan asas tunggal yaitu
Madzhab Wahabi di Mekkah, dan ingin pula menghancurkan semua
peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak
diziarahi karena dianggap bi’dah. Ide Kaum Wahabi tersebut kemudian
mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia. Kalangan
pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan
bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.63
Minat yang teguh untuk menciptakan kebebasan bermadzhab dan
kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren
membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai
oleh K.H Wahab Hasbullah. Akibat desakan dari kalangan pesantren yang
terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam
di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini
ibadah memiliki kebebasan sesuai dengan madzhab mereka masing-masing di
Mekah.64
Berawal dari komite dan berbagai organisasi, maka setelah itu perlu
rasanya untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih
sistematis guna mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah
berkordinasi dengan para kiyai, akhirnya muncul sebuah kesepakatan dalam
membentuk organisasi yang bernama Nahdatul Ulama (Kebangkitan
Ulama).65
Di kalangan Nadlatul Ulama, Bahtsul Masail merupakan tradisi intelektual
yang sudah berlangsung lama. Sebelum Nahdlatul Ulama (NU) berdiri dalam
bentuk organisasi formal (jam’iyah), aktivitas Bahtsul Masail telah
berlangsung sebagai praktek yang hidup di tengah Masyarakat Muslim
62
Sejarah NU (Nahdlatul Ulama), http://sejarahri.com/sejarah-nu-nahdlatul-ulama/
63
Sejarah NU (Nahdlatul Ulama), http://sejarahri.com/sejarah-nu-nahdlatul-ulama/
64
Sejarah NU (Nahdlatul Ulama), http://sejarahri.com/sejarah-nu-nahdlatul-ulama/
65
Sejarah NU (Nahdlatul Ulama), http://sejarahri.com/sejarah-nu-nahdlatul-ulama/
39
66
Sejarah LBMNU (Lembaga Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama),
https://lbmnu.blogspot.com/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu.html
67
Sejarah LBMNU (Lembaga Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama),
https://lbmnu.blogspot.com/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu.html
68
Sejarah LBMNU (Lembaga Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama),
https://lbmnu.blogspot.com/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu.html
69
Ahmad Arifi, Pergulatan Pemikiran Fiqh “Fiqh” Pola Mazhab, (Yogyakarta: Elsaq Press,
2010), cet.2, h. 193.
40
C. Muhammadiyah
1. Sejarah Terbentuknya Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah suatu organisasi atau perserikatan yang lahir pada
tanggal 18 November 1912 Masehi atau 9 Dzulhijjah 1330 Hijriyah di
Yogyakarta. Tokoh pendiri utamanya adalah sosok ulama dan ketib Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat yang bernama K.H. Ahmad Dahlan. Ia tinggal di
kampung Kauman, Yogyakarta.71
70
Sahal Mahfudh, Bahsul Masail dan Istinbath Hukum NU, (Jakarta: Lakpesden, 2002), cet-
I, h. 206.
71
Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan dan Lembaga Pustaka dan
Informasi (Majelis Diktilitbang dan LPI) PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah; Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, (Jakarta: Kompas, 2010), Cet.1, h. 1.
41
72
Sejarah Singkat Muhammadiyah, http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-178- det-
sejarah-singkat.html
73
Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan dan Lembaga Pustaka dan
Informasi (Majelis Diktilitbang dan LPI) PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah; Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 1-2.
42
K.H. Ahmad Dahlan pun membawa ide-ide serta gerakan pembaharuan dan
selanjutnya beliau membentuk organisasi Muhammadiyah. 74
Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini, Majlis Tarjih
belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang di hadapi oleh
Persyarikatan. Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya
Persyarikatan ini, maka kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut
berkembang juga, selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang
memicu timbulnya perselisihan paham mengenai masalah-masalah
keagamaan, terutama yang berhubungan dengan fiqh. Untuk mengantisipasi
meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari adanya peperpecahan
antar warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat
perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka
pada tahun 1927 M, melalui keputusan konggres ke 16 di Pekalongan,
berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majlis Tarjih Muhammdiyah. 75
74
Sejarah Singkat Muhammadiyah, http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-178- det-
sejarah-singkat.html
75
Sejarah Majelis Tarjih Muhammadiyah, https://sangpencerah.id/2013/08/sejarah-
berdirinya-majlis-tarji/
76
Diantara ulama yang ketat menggunakan tolak ukur ini adalah Imam Malik. Lihat
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dawabith al-Maslahat Fi al-Syari’at al- Islamiyyat,
(Beirut: Mu’assasat al-Risalah, t.th), h. 188-190.
77
H.M. Djuwaini, Ketarjihan (Jakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis PPK, tt), h.
20.
43
44
45
ظ بِِه َم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن ِِب هَّللِ َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر َوَم ْن يَُ ِهق ه
اَّللَ ََْي َع ْل ُ وع ِ ِ ِ وأَقِيموا الش
َ ُهه َاد َة هَّلل َذل ُك ْم ي
َ ُ َ
لَهُ ََْمَر ًفا
ِ ْ حكْم
َ اْلَاكِ ِم ألَْام َويَ ْرفَ ُع ا ْْلَِل
أ ُ ُ
اص ِد َها
ِ اَْألُمور ِبََق
ُُْ
اللفِ ِظ
اص ُدالله ْف ِظ َعلَى نِيه ِ ه
ِ م َق
َ
47
Maksud yang dituju dari perkataan itu tergantung atas niat orang
yang berkata.
Dari dasar hukum yang telah dijelaskan di atas dapat di tentukan bahwa
Talak di luar pengadilan hukumnya sah dengan syarat ada alasn syar’i yang
dapat kebenarannya dibuktikan di pengadilan. Iddah talak dihitung semenjak
suami menjatuhkan talak. Dan untuk kepentingan kemaslahatan dan menjamin
kepastian hukum, talak di luar pengadilan harus dilaporkan (ikhbar) kepada
pengadilan agama.
ٍِ ٍِ ِ ِ ِ ََل تَْن َق ً ََوأَهَّنَا (يَ َق ُع لِغَ ُِْي َِبئِ ٍن) َولَ ْو َر ْفعِي
َ ض ع هد ُِتَا فََل يَ َق ُع ل ُم ْخَُل َع َو َر ْفعيه انْ َق
ْض ْ
َي َِبلِ ٍغ َعاقِ ٍل ٍ ِ
ُ ع هد ُِتَا (طََل ُق) َُْمَُا ٍر
ْ (م َكلهف) أ
Maka talak tidak terjadi pada wanita yang terkhulu’ dan tertalak raj’i
yang telah habis iddahnya.
‘iddah itu wajib karena berpisah dengan suami yang masih hidup …
yang telah menggaulinya, … walaupun telah yakin dengan kebersihan
Rahim (dari sperma).
3. Tuhfah al-Muhtaj
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ َ(وأِ ْن ق
ْ َ(وَُتَله َل ف
)صل َ ال أَنْ طَالق أَنْ طَالق أَنْ طَالق) أ َْو أَنْ طَالق طَالق طَالق َ
) (فَثََلث... ُّس َوالْ َع ِي أ َْو َك َلٍم ِمْنهُ أ َْو َمْن َها
ِ ت ِِبَ ْن يَ ُك ْو َن فَ ْو َق َسكَُْ ِ الُهنَ ف
ٍ ب ي نَ ها بِس ُكو
ْ ُ َ َْ
ص ِل ِِ ِ ِ ِ
ْ ص َد الُه ْكْي َد لُ ْعده َم َع الْ َف
َ َيَ َق ْع َن َوأ ْن ق
Seandainya suami berkata: “kamu saya talak, kamu saya talak, kamu
saya talak.” Atau “kamu saya talak, talak, talak.” Dan diantara kalimat
talak yang berulang-ulang tersebut terdapat pemisah dengan diam yakni
lebih dari sekedar bernafas dan gagap berbicara, atau pemisah dengan
pembicaraan si suami atau pembicaraan si istri, maka terjadi talak tiga,
meski si suami bermaksud menjadikan pengulangan itu sebagai
pengukuhan. Sebab, kemungkinan hal itu jauh disertai adanya pemisah.
ٍ ص علَى امرأَةِ ِِبَ ْن و ِطء مطَله َقُه الهرفعِيه َ مطْلَ ًقا أَِو اْل ائِ ِن بِش ه َ افَُ َم َع ِعد
َ ُْ َ ُ ْ َُ ُ َ َ َ ْ َ ٍ هَت َي ْخ ْ لَ ِو
ِج فِْي َها بَِقيه ُ ْاأل ُْوََل ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ تَكْف ْي عدهة أَخ ْ َُية مْن ُه َما فََُ ْعَُ ُّد ه َي م ْن فَر ِاغ الْ َو ْطء َوتَْن َدر
49
ِ ِ ِ
ِ أ طَ َق
ات ِ ِ ِ ٍ ٍِ
َ ف الْ َم ْح ُذ ْوُر ِب ْخُ َل
ُ ب َحالَهُ َوَيََُْل
ُ (مكَْره بَ ْح ُذ ْور) بَا يُنَاس
ُ َ(َل) يَ َق ُع طََلق
ِ ضرةِ الْم ََِل أِ ْكراه ِِف ح ِق َذ ِوي الْمروء
ات ََلِِف ِ ِ ِِ هاس وأ
َ ُُ َ َ ْ َ ِ الن
َ َ ْ ََح َواَلم َح هّت أَ هن الض ْهر َ الْيَس ْ َُي ِب
ِ اأ ِِف ح ِق الْوِفي ِه أِ ْكراه وأَ هن ال هشُْم ِِف ح ِق أَه ِل الْمروء
ات أِ ْكَراهَ ُُ ْ َ َ
ِ
َ َ ْ َ َ َ َحق َغ ُْيه ْم َوأَ هن ْاَل ْسُ ْح َف
ِِ ِ
ْسهُ أِ ْكَراه ِ ط أَ هن ُكل مايسهل فِعلُه علَى الْمكْرهِ بِفُ ِح الر ِاء لَي
ُ س أ ْكَر ًاها َو َعك
َ ْ ه َ َ ْ ُ ُ ْ ُ َ ُ َ َْ ه ُ َِوالضهاب
Talak tidak terjadi dari orang terpaksa sebab kehawatiran yang sesuai
pada kondisi dirinya. Kekhawatiran itu berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan derajat manusia, sehingga suatu pukulan ringan di depan
orang banyak itu merupakan paksaan bagi orang-orang yang mempunyai
muruah (harga diri tinggi), dan bukan paksaan bagi selain mereka.
Pelecehan bagi orang yang berpangkat itu merupakan paksaan dan
makian bagi orang yang mempunyai muruah merupakan paksaan pula.
Parameternya adalah apapun yang mudah dilakukan mukrah (orang yang
dipaksa), dengan fathah huruf َ َرا َءnya, itu tidak termasuk paksaan, dan
yang sebaliknya termasuk paksaan.
50
6. Bughyah al-Musytarsyidin
(Kasus dari Abdullah bin Umar bin Abi Bakr bin Yahya) Bila pada
seorang suami ditanyakan: “Apakah kamu mentalak istrimu? Lalu si
suami menjawab: “Ya”, maka bila si penanya bermaksud agar si suami
mentalak, maka jawaban tersebut merupakan talak yang sharih. Bila ia
bermaksud menanyakan talak yang sudah terjadi, atau maksudnya tidak
diketahui, maka jawaban itu merupakan ikrar talak. Bila si suami benar-
benar mentalak, maka sah talaknya, dan bila belum maka tidak.
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ َأَهما أِذَا ق
َ َفا َ بنَ َع ْم فَ قْ َرار ِِبالطهَلق َويَ َق ُع َعلَْيه ظَاهًرا أ ْن َكذ
َ َك ُم ْسَُ ْخ ًِبا ف
َ ال لَهُ َذل
ص ِد َق بِيَ ِمْينِ ِه ِ
ُ ُ ت طََلقًا َماصيًا َوَر َف ْع َ َالس َؤ ِال فَِ ْن ق
ُ ال أ ََرْد ُ َويُ َديه ُن َوَك َذا لَ ْو ُف ِه َل َح
ُّ ال
8. Bughyah al-Musytarsyidin
ِ
ْ اْلَاكِ ُم ِِبلطهَل ِق فَطَله َق ََلْ يَ َق ْع َوأ ْن ََلْ يََُ َهد
ُهده ْ ُ(م ْس َلَ ُ َك) أ َْمَره
َ
Hakim Agama itu merupakan talak yang kedua dan seterusnya jika masih
dalam masa iddah raj’iyyah.78
78
Interfew pribadi dengan Fuad Thohari, Wakil Sekretaris LDNU BPNU. Jakarta 21
November 2019.
53
ِ ََلي ْن َكر تَ ْغُِي ْاألَح َك ِام بَُِ ْغِ ُِي ْاأل َْزم
ان َ ْ ُ ُ ُ
Artinya: tidak diingkari perubhan hukum karena perubahan zaman
Ibnu Al Qayyim menyatakan:
siding pengadilan dan cerai gugat diputuskan oleh hakim. Perceraian yang
dilakukan di luar siding pengadilan dinyatakan tidak sah.
Menurut bapak Endang Mintarja ketua Mjelis Tarjih dan Tajdid DKI Jakarta
bahwa menjatuhkan talak di luar sidang Pengadilan Agama merupakan
sesuatu yang dianggap tidak sah secara hukum karena mengandung mudorot
yang akan ditimbulkan, sebagaimana rujuk harus menggunakan saksi,
begitupun talak. Sehingga talakpun menurut pertimbangan maslahat mustinya
dilakukan dengan cara memenuhi syarat-syarat sperti adanya saksi dan lebih
kuatnya lagi talak dilakukan di dalam persidangan Pengadilan Agama. 79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasakan uraian yang sudah penulis paparkan, maka di bab terakhir ini
penulis menyimpulkan bahwa Majelis Ulama Indonesia memutuskan bahwa status
hukum talak di luar pengadilan sah hukumnya dengan syarat ada alasan syar’i
yang kebenarannya dapat dibuktikan di pengadilan. Nahdatul Ulama memutuskan
bahwa status hukum talak di luar pengadilan hukumnya sah dan di hitung sebagai
talak yang pertama. Muhmmadiyah memutuskan bahwa status hukum talak di luar
pengadilan agama tidak sah. Majelis Ulama Indonesia dan Nahdlatul Ulama masih
berpatokan dengan kitab fikih kelasik sehingga menyatakan talak di luar
pengadilan Agama itu sah. Sedangkan, Muhammadiya berpatokan kepada
maslahat mursalah di dalam instansi keluarga sehingga menyatakan talak di luar
pengadiilan Agama itu tidak sah. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memiliki
suatu kesamaan yaitu talak di dalam pengadilan jatuh, berbeda dengan Majelis
Ulama Indonesia yang mengharuskan Itsbath Talak dan Semua lembaga fatwa
tersebut mengakui Pengadilan Agama.
B. Saran
Sebagai catatan akhir, maka penulis membeikan saran:
1. Penulis Menyarankan Bagi pasangan suami istri yang hendak melakukan
perceraian hendaknya mendaftarkan perkara perceraiannya di pengadilan
Agama agar perceraiannya sah menurut agama dan hukum positif dan
akan mendapatkan akta cerai dari pengadilan, agar hak-hak isteri dan
anak terjamin dimata hukum.
2. Dan penulis menyarankan bagi aparatur pemerintah yang membuat
undang-undang, jangan jadikan undang-undang khusunya undang-undang
perkawinan terkesan kurang efektif dikarenakan masih ada sebagian umat
islam yang melakukan talak di luar pengadilan. Oleh sebab itu perlunya
penegasan hukum.
59
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Abidin, Slamet dan Aminudin. Fiqh Munakat 1. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet.1. Jakarta: Sniar Grafika,
2006.
Asqalani, Al-Hafidz Bin Hajar, Al. Bulughul Maram. Surabaya: Toko Kitab al-
Hidayah, 773 Hijriayah.
Emir. Himpunan Fatwa MUI Sejak Tahun 1975. Jakarta: Erlangga, 2015.
Haddad, Thahir, Al. Wanita dalam Syariat dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka
Firdaus 1993.
Jaziri, Abdurrahman Bin Muhammad Awad, Al. al-Fiqhu Ala al-Mazahibil al-
Arba’ah, Darul Ibnu al-Haitsam, 1360-1299 Hijriyah,
Mahfudh, Sahal. Bahsul Masail dan Istinbath Hukum NU. Cet.1. Jakarta:
Lakpesden, 2002.
Nuruddin, Amiur dan Azhri Akmal Tarigan. Hukum Perdata Isalam Di Indonesia.
Cet.1. Jakarta: Kencana, 2004.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah, Alih Bahasa: Mohammad Thalib. jilid 8. Bandung:
PT Alma’arif, 1980.
Sijistani, Sulaiman bin al Asyas, Al. Sunan Abu Dawud. jld 1. Beirut: Dar al
Kutub al Ilmiyah 1996.
Zaid, Fuad. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994.
Zuhaili, Wahbah. Fikih dan Perundangan Islam. Dewan Bahasa dan Pustaka.
Selangor, 2001.
SUMBER LAIN
LAMPIRAN