Skripi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sastra (S.S)
Oleh
Aa Maulana
(1111024000028)
PRODI TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437/2016
i
ii
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
1. Pedoman Aksara
ب b Be
ت t Te
ث ts te dan es
ج j je
خ kh ka dan ha
د d de
ر r er
ز z zet
س s es
ش sy es dan ye
iv
ض d de dengan garis bawah
غ gh ge dan ha
ف f ef
ق q ki
ك k ka
ل l el
م m em
ن n en
و w we
ھـ h ha
ء ‘ apostrof
ي y ye
2. Vokal
A. Vokal Tunggal
fat ah
ـــَـــ a
kasrah
ـــِـــ i
ammah
ـــُـــ u
v
B. Vokal Rangkap
ــَـ ي ai a dan i
ــَـ و au a dan u
C. Vokal Panjang
3. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
4. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ()ـــّــ, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan menggandakan huruf
yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang
vi
menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikut oleh huruf-
seterusnya.
5. Ta Marb ah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marb ah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marb ah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marb ah diikuti kata
benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
1 ﻃﺮﯾﻘﺔ ariqah
6. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam kaidah Ejaan Ynag Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
vii
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
Beberapa ketentuan lain dalam kaidah EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengeani huruf cetak miring (italic) atau
cetak tebal (bold). Jika menurut EYD judul buku itu ditulis dengan cetak miring,
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
berasal dari bahasa Arab, misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf ( arf)
ditulis secara terpisah. Di bawah ini adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
أَﺷْﮭَﺪُ أَنْ ﻟَﺎ اِﻟَﮫَ إِﻟﱠﺎ اﷲ asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
viii
ABSTRAK
Aa Maulana. 1111024000028.
Kitab Riyâd al-Sâlihîn Karya al-Nawawi; Terjemahan Ahmad Najih S. Studi
Pemenggalan Kalimat (Pungtuasi).
Seorang penerjemah tidak hanya dituntut mampu menguasai bahasa sumber
(Bsu) dan bahasa sasaran (Bsa) atau mampu memilih diksi yang tepat untuk
mengalihkan pesan yang terdapat dalam teks sumber (Tsu) ke dalam teks sasaran
(Tsa), tetapi ia juga harus memahami kaidah-kaidah pemenggalan kalimat (pungtuasi)
atau pemakaian tanda baca sesuai dengan pedoman yang berlaku dalam bahasa
sasaran, dalam hal ini pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EYD) dalam bahasa
Indonesia.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hasil
terjemahan Ahmad Najih S. dalam kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm Abû Zakaria
Yahya al-Nawawi sudah tepat, khususnya dari segi pemenggalan kalimat (pungtuasi).
Dan Apakah hasil terjemahannya sudah sesuai dengan tata bahasa Indonesia?
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, menurut peneliti,
pemenggalan kalimat (pungtuasi) pada terjemahan Ahmad Najih S. dalam kitab
Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm Abû Zakaria Yahya al-Nawawi belum tepat. Namun,
apabila ditinjau dari segi tata bahasa Indonesia terjemahan tersebut sudah cukup baik.
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi, atas
segala nikmat, dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah sampaikan kepada utusan-Nya, nabi
Muhammad SAW, yang selalu menjadi suri tauladan bagi kita semua.
Saya menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat selesai tanpa
adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui selembar
kertas dan tinta ini saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada semua pihak yang telah membantu penulisan karya ilmiah ini, khususnya
kepada Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag, selaku dekan Fakultas Adab dan Humaniora.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Dr.
Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum, selaku ketua jurusan Tarjamah, dan Ibu Rizqi
Handayani, MA, selaku sekretaris jurusan Tarjamah. Terima kasih juga kepada
Bapak Abdul Wadud Kasyful Anwar, Lc.,MA, selaku dosen pembimbing penulisan
skripsi, yang selalu memberikan arahan, bimbingan, dan referensi serta motivasi,
Terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr. Darsita S, M.Hum, dan Drs. A.
Syatibi, M.A yang telah menjadi penguji dalam sidang munaqasyah, sudah
sehingga menjadikan skripsi ini lebih baik lagi. Terima kasih juga kepada seluruh
x
dosen jurusan Tarjamah atas segala ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan
sampaikan kepada dua sosok yang sangat berjasa selama ini, yakni Ayahanda
Ahmadi dan Ibunda Aisah. Terima kasih Ayah dan Ibu, atas doa-doa yang senantiasa
kalian panjatkan, atas dedikasi dan motivasinya selama ini. Terima kasih juga kepada
adik-adik tercinta, yaitu Sahrul Fauzi, Nurmala Sari, dan Indri Widya Sari, yang
telah mewarnai hari-hari semasa kuliah, atas canda tawa serta suka duka yang kalian
berikan. Semoga kita semua dapat meraih cita-cita dan kesuksesan bersama.
Saya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu,
bila ditemukan kesalahan atau kekurangan, harap disampaikan kepada penulis, demi
pengembangan dan pembelajaran diri. Di samping itu saya berharap semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya, dan bagi ilmu pengetahuan dan
ilmu penerjemahan pada umumnya. Terima kasih atas segala perhatian, dukungan,
kritik dan sarannya, semoga apa yang kita lakukan dan korbankan menjadi nilai
Penulis
xi
DAFTAR ISI
PERNYATAAN .................................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ......................................................................................... x
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
xii
2. Macam-macam Pungtuasi .................................................................... 25
AL-SÂLIHÎN
BAB IV ANALISIS
A. Pendahuluan ............................................................................................. 48
B. Analisis ..................................................................................................... 48
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 66
B. Saran ......................................................................................................... 67
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya terjemahan bukanlah hal yang asing dalam wawasan keilmuan. Banyak
penghubung.1
dalam mengalihkan informasi atau pesan, baik verbal maupun nonverbal; dari
informasi asal atau informasi sumber kedalam informasi sasaran. Dalam pengertian
dan cakupan yang lebih sempit, terjemah biasa diartikan sebagai suatu proses
pengalihan pesan yang terdapat dalam teks bahasa pertama atau bahasa sumber (BSu)
mempermudah penerjemah dalam memahami dan mengkaji suatu naskah atau teks.
terpenting dalam sebuah kalimat seperti subjek, predikat, objek ataupun keterangan
yang lainnya. Di samping itu, untuk menghasilkan terjemahan yang baik ternyata
1
Widyamartaya A, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta : Kanisius, 1989), h. 9
2
Suhendra Yusuf, Teori Terjemah, Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan
Sosiolinguistik, (Bandung : Mandar Maju, 1994), h.8
1
tidak cukup dengan memahami makna gramatikal saja, tetapi juga makna leksikal
pesan dengan gaya bahasa yang enak dibaca dan mudah dipahami, sehingga ketika
penulisan, idiom, serta hal-hal lain yang bersangkutan dengan bahasa sumber (BSu)
dan bahasa sasaran (Bsa). Sehingga ia dapat memilih dari sekian banyak alternatif
padanan terjemahannya.4
Selain itu, guna menjadikan hasil terjemahan yang baik dan mudah dipahami,
penerjemah dituntut juga untuk mampu menerapkan tanda baca atau pungtuasi
dengan tepat sesuai dengan kaidah yang berlaku, dalam hal ini pedoman Ejaan yang
Disempurnakan (EYD).
3
Zuchridin Suryawinata, Translation (Bahasa Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan),
(Yogyakarta : Kanisius, 2003), h. 7
4
Suhendra Yusuf, Teori Terjemah, Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan
Sosiolinguistik, h. 8.
2
Kata pungtuasi berasal dari Yunani “punctus” yang berarti “poin”. Pungtuasi
mengarah pada sistem tanda atau poin yang dimasukkan ke dalam teks untuk
suprasegmental, itu tidak lain dari gambar-gambar atau tanda yang secara
konvensional disetujui bersama untuk memberi kunci kepada pembaca terhadap apa
atas nada, dan lagu (suprasegmental), dan sebagian didasarkan atas relasi gramatikal,
frase, dan intel relasi antar bagian kalimat (hubungan sintaksis), yaitu:
1. Unsur-unsur sintaksis yang erat hubungannya tidak boleh dipisah oleh tanda
baca.
tanda baca.
3
3. Memisahkan ucapan langsung
melihatku shalat”.
liar.
Itulah sebagian kecil dari fungsi dan contoh pungtuasi, yang mana akan
dibahas pada bab II secara lebih lengkap. Dan ini adalah salah satu sampel dari buku
Menurut saya terjemahan hadis di atas masih belum tepat, khususnya dari segi
pemenggalan kalimat (pungtuasi), karena titik dua (:) tidak bisa menjadi tanda
pemisah antara ucapan langsung maupun ucapan tidak langsung dengan kalimat
menggunakan tanda baca koma (,). Sebab, bila mengacu pada pedoman Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD), salah satu fungsi tanda koma adalah untuk memisahkan
5
Abû Zakariya Yahya al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlih n. Penerjemah Ahmad Najih
S., (Surabaya : CV. Karya Utama), h. 130
4
ucapan atau petikan dari kalimat sebelumnya.6 Contoh: Kata Ibu guru, “kerjakan
tugasmu!”
Penerjemah juga tidak tepat dalam memberikan tanda petik (“…”) atau
mengapit petikan yang terdapat dalam petikan lain. Pada Tsa di atas terdapat dua
kutipan, pertama kutipan langsung yang dikutip dari pernyataan Aisyah r.a. dan kedua
kutipan yang dikutip dari pertanyaan Aisyah, yang mana petikan ini terletak dalam
petikan sebelumnya. Pada kutipan pertama, penerjemah sudah tepat dalam mengapit
kutipan tersebut, yakni menggunakan tanda petik. Namun, pada petikan kedua,
mengapit kutipan tersebut dengan menggunakan tanda petik tunggal (‘…’). Sebab,
kutipan tersebut merupakan kutipan yang berada dalam kutipan sebelumnya. Dalam
EYD dijelaskan salah satu fungsi tanda petik tunggal adalah untuk mengapit petikan
yang tersusun dalam petikan lain.7 Contoh: Abû Bakrah r.a. berkata, “Saya
mendengar rasulullah saw. bersabda, ‘siapa pun yang menghina pemerintah maka
tersebut lebih tepat jika diapit dengan memakai tanda petik tunggal.
6
Tim Redaksi Pustaka Setia (TRPS), Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan
Pedoman Umum Pembentukan Istilah, Disalin dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 1992), h. 48.
7
, TPRS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah , h. 49.
5
Kemudian pada bagian akhir dari masing-masing kutipan, penerjemah tidak
tepat dalam meletakkan tanda kutip penutup. Harusnya, tanda kutip penutup
mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan langsung. Misal: Kata Ibu, “adikmu
sakit.”
Dengan demikian, menurut saya Tsu di atas akan lebih tepat jika
mempunyai dua tetangga, maka tetangga mana yang harus saya sedekahi?’ Beliau
menjawab: ‘Kepada tetangga yang pintunya lebih dekat denganmu.’” (HR. Bukhari).
Oleh karena itu, tidak semua hasil karya terjemahan dapat kita terima apa
adanya, karena setiap hasil karya terjemahan perlu dianalisis dan dikritisi dengan
mutu karya terjemahan tersebut, dan mengacu pada Ejaan yang Disempurnakan
(EYD) dari tata bahasa sasaran itu sendiri, dalam hal ini bahasa indonesia.
salah satu karya terjemahan yang ada, untuk mengkaji dan mengetahui secara spesifik
apakah penerapan pungtuasi dalam terjemahan kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar penelitan ini lebih terarah, maka dalam meneliti terjemahan Ahmad
Najih S. pada kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm al-Nawawi ini, saya hanya akan
2. Apakah hasil terjemahannya sudah sesuai dengan struktur tata bahasa bahasa
Indonesia?
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka tujuan umum yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah ingin membuktikan betapa pentingnya pungtuasi dalam
penerjemahan, agar Tsa tersebut nyaman dibaca dan mudah dipahami. Adapun tujuan
7
Semoga dengan adanya penelitian ini kita mendapatkan beberapa manfaat, di
antaranya :
EYD.
D. Kajian Pustaka
Setelah melihat dan menelaah dari berbagai karya ilmiah baik melalui
perpustakaan Adab dan Humaniora atau pun Perpustakaan Utama UIN Syarif
“Teori Pemenggalan Kalimat (Pungtuasi) dalam Bahasa Indonesia dan Waqaf dalam
al-Quran: Studi Komparatif Terhadap Terjemahan QS. al-Baqarah pada Tafsir al-
tahun 2008.
beberapa pertanyaan, yaitu (1) apakah hubungan teori pemenggalan kalimat dalam
bahasa Indonesia dan waqf dalam al-Quran? (2) Bagaimana pengaplikasian kedua
teori tersebut dalam terjemahan al-Quran karya Habsi ash-Shiddiqy? Adapun objek
8
Pada penelitian tersebut Tohadi menggunakan metode penelitian kulitatif
untuk mengetahui fungsi dua entitas, membandingkan dan menguraikan relasi dalam
menginterpretasikannya.
dan membedakan pemenggalan kalimat dalam bahasa Indonesia dengan waqf dalam
al-Quran. Sayangnya, penelitian tersebut tidak didukung dengan analisis yang detail
berbeda dari segi objek penelitian dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini
penulis hanya terfokus pada pemenggalan kalimat dalam bahasa Indonesia saja
(pungtuasi) dalam hal ini terjemahan kitab Riyâd al-Sâlihîn. Dengan tujuan dapat
E. Metode Penelitian
a. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitab Riyâd al-
Sâlihîn karya al-Imâm al-Nawawi yang diterjemahkan oleh Ahmad Najih S. Di antara
9
beberapa kitab hadis karangan al-Nawawi, kitab Riyâd al-Sâlihîn lah yang paling
populer. Karena kitab ini terdiri dari kumpulan hadis sahih dan hasan yang
anjuran Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, kitab ini sangat diminati oleh para
pembaca dan menjadi salah satu mata pelajaran di berbagai pondok pesantren.
berikut terjemahannya yang terdapat dalam kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm al-
Nawawi dengan cara membuka kitab tersebut secara sembarang, dari setiap halaman
yang dibuka peneliti mengambil satu teks hadis berikut terjemahannya secara acak
(random). Hal itu dilakukan secara berulang-ulang sampai enam kali, sehingga
c. Analisis Data
10
2. Menggunakan metode library research (penelitian / studi kepustakaan), yaitu
dengan mengumpulkan bahan pustaka yang berkaitan dengan kitab Riyâd al-
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” yang disusun oleh tim UIN
Syarif Hidayatullah dan diterbitkan oleh Center for Quality Development and
F. Sistematika Penulisan
c) tujuan penelitian,
e) sistematika penulisan.
2. Bab II membahas:
1) Definisi penerjemahan,
2) macam-macam penerjemahan,
11
4) peranan penerjemahan.
2) macam-macam pungtuasi
a) Kesimpulan dan
b) saran.
12
BAB II
KERANGKA TEORI
Mesir dalam bidang ilmu eksakta dan kedokteran. Kegiatan ini dimulai pada masa
khalifah dari dinasti Abbasiah. Upayanya itu mencapai kegairahan yang menakjubkan
keemasan.8
pensyarah serta para penjual kertas untuk menjaga agar naskah kuno itu tidak sampai
jawab dalam urusan ini pada setiap bahasa sebagai pengawasan terhadap siapa yang
gaji yang besar. Setiap bulan mereka digaji sebesar 500 dinar, atau setara 2 kilogram
emas.9
8
A.M. Majid, Sejarah Kebudayaan Islam (Bandung : Pustaka, 1997), h. 31
9
Raghib al-sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2011), h. 242.
13
1. Definisi Penerjemahan
Kata penerjemahan merupakan kata turunan dari terjemah, yang berasal dari
bahasa Arab, yakni “tarjama”, yang berarti sebuah kegiatan pengalihan dari satu
mengalihkan pesan dari teks suatu bahasa ke bahasa lain. Dalam hal ini, teks yang
diterjemahkan disebut teks sumber (Tsu) dan bahasanya disebut bahasa sumber
(Bsu), sedangkan teks yang disusun penerjemah disebut teks sasaran (Tsa) dan
Telah banyak definisi yang diberikan oleh para ahli terkait penerjrmahan. Dari
berbagai definisi yang ada, secara umum dapat disimpulkan bahwa penerjemahan
adalah “proses memindahkan makna yang telah diungkapkan dalam bahasa yang satu
(Bsu) ke dalam bahasa yang lain /bahasa sasaran (Bsa) secara sepadan dan wajar
asing dalam menangkap pesan tersebut.”11 Dalam pengertian dan cakupan yang lebih
sempit, terjemah biasa diartikan sebagai suatu proses pengalihan pesan yang terdapat
dalam teks bahasa pertama atau BSu dengan padanannya di dalam bahasa kedua atau
Bsa. 12
10
Beny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006),
h. 23
11
Moch. Syarif Hidayatullah, Seluk Beluk Penerjemahan Arab-Indonesia Kontemporer,
(Ciputat : Uin Press, 2014), cet. I, h. 17
12
Suhendra Yususf, Teori Terjemah, Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan
Sosiolinguistik, (Bandung : Mandar Maju, 1994), h.8
14
2. Proses Penerjemahan
baiknya. Dan bukan pula menyadur saja, dengan pengertian menyadur sebagai
detailnya tanpa harus mempertahankan gaya bahasanya dan tidak harus ke dalam
bahasa lain. Selain memahami apa itu menerjemahkan dan apa yang harus dihasilkan
Proses yang dilalui penerjemah sangat variatif. Hal ini tergantung pada
kualifikasi penerjemah. Langkah yang ditempuh oleh penerjemah yang sudah ahli
lebih singkat dan bersifat otomatis. Proses itu pun tergantung pada jenis nas yang
diterjemahkan, kerumitan nas, dan kedekatan hubungan antara bahasa sumber dan
bahasa penerima. Namun, secara global proses penerjemahan itu terdiri atas dua
tahap, yaitu (a) memahami makna yang terkandung dalam nas sumber dan (b)
Dalam resensi Willie Koen, disebutkan bahwa menurut Nida dan Traber
dan memuat analisis gramatikal dan analisis semantik (baik arti referensial maupun
13
Widyamartaya A, Seni Menerjemahkan, h. 14.
14
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), (Bandung : Humaniora,
2005), cet. I, h. 168
15
arti konotatif). Transfer mempersoalkan “bagaimana hasil analisis tersebut di atas
ditransfer dari bahasa sumber berbahasa terjemahan dengan sedikit pemincangan arti
dan konotasi tetapi dengan kesamaan reaksi seperti pada orang aslinya. Maka di sini
Dibicarakan pula kerja sama antara penerjemah sendiri, antara mereka dan orang
atau gaya bahasa, teknik yang dapat dipakai untuk membuat gaya yang diinginkan”.15
setidaknya melalui sebelas proses, mulai dari struktur luar Bsu hingga menjadi
struktur luar Bsa, dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) struktur luar Bsu berarti masih
berupa teks sumber (Tsu), belum mengalami proses apapun; (2) pemahaman leksikal
memahami makna kosa kata yang terlihat pada Tsu: (3) pemahaman morfologis Tsu
mengharuskan penerjemah memahami bentuk morfologis kosa kata Tsu, sehingga dia
mengerti perubahan bentuk kosa kata pada Tsu yang berimbas pada perubahan
kalimat dalam Tsu, yang pada gilirannya mengontraskannya dengan Tsa; (5)
memahami pemahaman yang dikaitkan dengan konteks yang berlaku pada Tsu; (7)
pada struktur batin Tsu dan Tsa terjadi transformasi pada diri penerjemah untuk
15
A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, h. 14.
16
kemudian menyelaraskan pemahaman Tsu kedalam pemadanan Tsa; (8) pemadanan
leksikal Tsa mengharuskan penerjemah memilih padanan yang tepat untuk tiap kata
yang ditemuinya pada Tsu; (9) pemadanan morfologis Tsa mengharuskan penerjemah
memiliki pengetahuan soal pada padanan yang tepat pada suatu kata setelah
penerjemah memiliki kepekaan makna pada tiap pola kalimat dalam Tsa, sehingga
dapat memilih padanan yang akurat pada tiap kalimat yang ada di hadapannya; (11)
tertentu, yang tentu saja akan berbeda maknanya, meskipun bentuknya sama; (13)
ramuan dari pemahaman yang kemudian menghasilkan pemadanan itulah yang bisa
3. Metode Penerjemahan
penerjemah dalam menyampaikan makna Bsu secara keseluruhan ke dalam Bsa. Jika
sebuah nas, misalnya al-Quran, diterjemahkan dengan metode harfiah, maka makna
yang terkandung dalam surah pertama hingga terakhir disampaikan secara harfiah.
konsisten dari awal hingga akhir. Demikan halnya dengan sebuah metode
16
Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-an; Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia,
(Pamulang : Dikara, 2009), h. 13.
17
penerjemahan, keragaman yang dihadapi seorang penerjemah menuntutnya untuk
menyelesaikan dengan cara yang bervariasi pula. Karena itu, metode penerjemahan
biasanya digunakan hanya sebagai pendekatan umum atau perinsip pokok dalam
penerjemahan dapat ditilik dari segi penekanannya terhadap Bsu dan Bsa.
kata berada di bawah setiap bahasa sumber. Urutan kata bahasa sumber dijaga dan
dipertahankan. Kata diterjemahkan satu demi satu dengan makna yang paling umum
memahami cara operasi Bsu dan untuk memecahkan kesulitan nas, sebagai tahap
b. Penerjemahan Harfiah
dalam konstruksi Bsa yang paling dekat. Namun, kata-kata tetap diterjemahkan satu
17
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 71.
18
digunakan sebagai tahap awal dari kegiatan penerjemahan untuk memecahkan
c. Penerjemahan Setia
kedalam struktur bahasa penerima secara tepat. Karena itu, kosa kata kebudayaan
d. Penerjemahan Semantis
permainan kata serta pengulangan. Metode ini bersifat fleksibel dan memberi
berikut.18
e. Penerjemahan Adaptasi
karakter, dan alur cerita. Penerjemah pun mengubah kultur Bsu ke dalam Bsa.
18
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 72.
19
f. Penerjemahan Bebas
menggunakan cara tertentu. Isi Bsu ditampilkan dalam bentuk Bsa yang benar-benar
berbeda. Metode ini bersifat parafrastik, yaitu menggunakan amanat yang terkandung
dalam Bsu dengan ungkapan penerjemah sendiri di dalam Bsa sehingga terjemahan
g. Penerjemahan Idiomatis
h. Penerjemahan Komunikatif
kontekstual Tsu ke dalam Tsa dengan suatu cara sehingga isi dan maknanya mudah
Penerjemahan hadis adalah mengalihkan pesan dari Tsu yang berisi segala
informasi yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik berupa ucapan,
tindakan, karakter, dan ketetapan. Hadis terdiri dari sanad (nama-nama rawi yang
19
Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-an; Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, h. 55.
20
meriwayatkan hadis) dan matan (redaksi informasi tentang Nabi). Seorang
seperlunya.
penerjemahan apa yang bisa digunakan. untuk model periwayatan hadis jenis
21
e. Kata yang sulit harus dicarikan padanannya dengan melihat syarah hadis
berikut:
dicantumkan.
berikut:
sebagai berikut:
22
Untuk model periwayatan hadis kelima, ia bisa memanfaatkan strategi sebagai
berikut:
atas.
Selain strategi di atas ada teknik umum yang harus pula diketahui oleh
tulis merupakan pencerminan kembali dari bahasa lisan itu dalam bentuk symbol-
kata-kata seolah-olah dirangkaikan satu sama lain, serta di sana sini terdengar
23
perhentian sebentar atau agak lama dengan suara menaik atau menurun selai itu
sebagai suatu penolakan yang kasar. Banyak sekali warna arti yang dapat diberikan
kepada suatu ucapan dengan perbedaan variasi kecepatan, keras-lembut, dan intonasi
yang berlainan. Semua itu begitu biasa dalam percakapan sehari-hari, sehingga tidak
muncul persoalan bagi pendengar. Setiap orang yang diajak bicara langsung
memahami apa fungsi dari suara naik atau menurun, apa makna dari suara keras atau
lembut.
Tetapi semua ini baru menjadi persoalan bila bahasa lisan itu ditranskripsikan
dalam tulisan. Bagaimana seorang dapat menyatakan nada yang naik atau turun,
1. Definisi Pungtuasi
Kata pungtuasi berasal dari kata “punctus” yang berarti “poin”. Pungtuasi
mengarah pada sistem tanda atau poin yang dimasukkan ke dalam teks untuk
24
memperjelas arti atau tanda perubahan dalam intonasi. Pungtuasi yang lazim
digunakan dewasa ini menurut Gorsys keraf didasarkan atas nada dan lagu
(suprasegmental), dan sebagian didasarkan atas relasi gramatikal, frase, dan inter-
2. Macam-macam Pungtuasi
a. Titik (.)
Misalnya:
2) Tanda titik dipakai pada akhir singkatan gelar, jabatan, pangkat dan
singkatan kata atau ungkapan yang sudah lazim. Pada singkatan yang
terdiri dari tiga huruf atau lebih biasanya hanya dipakai satu tanda
titik.
Misalnya:
20
Gorys Keraf, Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, (Flores: Nusa Indah,
1994), h. 15
21
TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 36
25
Dr. (Dokter) a.n. (atas nama)
Misalnya:
123.000
1.000.000
b. Koma (,)
tengah tutur, biasanya dilambangkan dengan tanda (,). Selain itu, koma juga dipakai
untuk :
26
1) Memisahkan bagian-bagian kalimat, antara kalimat setara yang
Misalnya:
tercapai.
Misalnya:
Misalnya:
berturut-turut.
Misalnya:
22
Restriktif yaitu bersifaf restriksi; bersifat membatasi; terbatas. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), h. 1170
27
Ia membeli tiga buah apel, sepuluh jeruk dan setengah kilo
yang terdapat pada awal kalimat, misalnya: jadi, oleh karea itu, lagi
Misalnya:
raguan.
Misalnya:
Misalnya:
diterangkannya.
Misalnya:
28
Misalnya:
10) Tanda koma dipakai juga untuk memisahkan sebuah ucapan langsung
Misalnya:
dan tanggal.
Misalnya:
Misalnya:
Maulana, Aa
Misalnya:
Misalnya:
29
c. Titik-Koma (;)
Fungsi titik–koma sebenarnya terletak antara titik dan koma. Di satu pihak
di pihak lain dirasakan bahwa bagian kalimat tadi sudah dapat diakhiri dengan sebuah
titik.
Misalnya:
yang sederajat.
Misalnya:
Misalnya:
30
1. Pengetahuan umum mereka kebanyakan berada di bawah
taraf;
sebuah perhentian yang lebih lama dari koma. Dengan mempergunakan sebuah titik-
dirangkaikan begitu saja dengan kata dan atau dengan kata sambung
yang lain;
d. Titik dua
Titik dua biasanya dilambangkan dengan (:). Titik dua dipergunakan dalam
hal-hal berikut:
1) Tandan titik dua dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap yang
Misalnya:
31
Kita sekarang memerlukan perabot rumah tangga: kursi, meja,
dan lemari.
2) Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan
pemerian.
Misalnya:
Ketua : Ahmad
Sekretaris : Citra
3) Tanda titik dua dapat dipakai dalam naskah drama sesudah kata yang
Misalnya:
4) Tanda titik dua dipakai di antara (a) jilid atau nomor dan halaman, (b)
bab dan ayat dalam kitab suci, (c) judul dan anak judul suatu karangan,
serta (d) nama kota dan penerbit buku acuan dalam karangan.
Misalnya:
b) Surah Yasin: 9
32
d) Pedoman Umum Pembentukan Istilah Edisi Ketiga. Jakarta:
Pusat Bahasa
e. Tanda Hubung
Tanda hubung di lambangkn dengan tanda (-). Adapun fungsinya yaitu untuk
hal-hal berikut:
baris.
Misalnya:
baris.
Misalnya:
nas.
Misalnya:
Anak-anak
Berulang-ulang
dieja satu-satu.
33
Misalnya:
25-11-2015
C-i-n-t-a
bagian kata atau ungkapan dan (b) penghilangan bagian klausa atau
kelompok kata.
Misalnya:
Ber-evolusi
Indonesia.
dengar.
Misalnya:
34
di-smash
di-copy
Misalnya:
bekerja keras.
Misalnya:
Misalnya:
Tahun 1990—1995
Jakarta—Bogor
Catatan:
35
Tanda pisah tunggal dapat juga digunakan untuk memisahkan keterangan
Misalnya:
g. Tanda Tanya
Misalnya:
Misalnya:
h. Tanda Seru
Tanda seru dipakai untuk mengakhiri ungkapan atau pernyataan yang berupa
Misalnya:
Misalnya:
36
Kalau begitu …, marilah kita laksanakan sekarang.
Misalnya:
Misalnya:
j. Tanda Petik (“ ”)
1) Tanda petik dipakai untuk mengapit petikan langsung yang berasal dari
Misalnya:
bahasa Indonesia.”
2) Tanda petik dipakai untuk mengapit judul puisi, karangan, atau bab
Misalnya:
3) Tanda petik dipakai untuk mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal
Misalnya:
saja.
37
Catatan :
langsung.
Misalnya:
belakang tanda petik yang mengapit kata atau ungkapan yang dipakai
Misalnya:
sebabnya.
c) Tanda petik pembuka dan tanda petik penutup pada pasangan tanda
d) Tanda petik dapat digunakan sebagai pengganti idem dan sda (sama
berbentuk daftar.
Misalnya:
Asas “ Azas
Jadwal “ Jadual
38
1) Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit petikan yang terdapat di
Misalnya:
2) Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit makna kata atau ungkapan.
Misalnya:
3) Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit makna, kata atau ungkapan
Misalnya:
Feed-back ‘balikan’
penjelasan.
Misalnya:
Misalnya:
39
3) Tanda kurung dipakai untuk mengapit huruf atau kata yang
Misalnya:
kokain(a).
Misalnya:
1) Tanda kurung siku dipakai untuk mengapit huruf, kata, atau kelompok
kata sebagai koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat
yang ditulis orang lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan atau
Misanya:
Misalnya:
sini.
40
n. Tanda Garis Miring (/)
1) Tanda garis miring dipakai di dalam nomor surat, nomor pada alamat,
dan penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwim
Misalnya:
No. 7/Pk/2008
2) Tanda garis miring dipakai sebagai pengganti kata, atau, tiap, dan
ataupun.
Misalnya:
laut’
Catatan:
Tanda garis miring ganda (//) dapat digunakan untuk membatasi penggalan-
tahun.
Misalnya:
41
BAB III
A. Biografi Pengarang
Nama lengkapnya adalah al-Imâm Abû ZakaRiyâ Yahya bin Syaraf bin
Muriy bin Hasan bin Husain bin Hizam bin Muhammad bin Jam’ah al-Nawawi.23 Dia
dilahirkan oleh kedua orang tua yang saleh pada bulan Muharam di desa Nawa,
sebuah dusun di daerah Haruan, Suria, dari Damaskus sekitar dua hari perjalanan.
untuk bermain. Dalam kondisi yang demikian al-Nawawi yang dari kecilnya
mendapat perhatian besar dari orang tuanya, banyak menggunakan waktunya untuk
Pada suatu hari ada seorang syeikh yang melewati desa itu, yakni syaikh
Yasin bin al-Maraakisyi. Syeikh Yusuf melihat al-Nawawi kecil yang sedang dipaksa
tersebut menemui kedua orang tuanya dan menyuruhnya untuk menjaga dan
mendidiknya dengan baik. Karena syeikh ini yakin bahwa anak ini akan menjadi
orang yang paling pintar dan zuhud pada masanya, dan bisa memberikan manfaat
23
Al-Imâm al-Nawawi, Riyâd al-Sâlihîn, (Beirut: Manahil al-Irfan, 1395), h. 5.
24
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru van Hoeve, 1996), cet. ke-1, h. 1315
42
besar kepada umat Islam. Sejak saat itu perhatian orang tua dan guru-guru al-Nawawi
Nawawi. Dia terus berusaha agar dapat melakukan yang terbaik untuk menghasilkan
dari kotoran hawa, akhlak tercela dan keinginan-keinginan yang tercela. Dia juga
berusaha menguasai hadis beserta apa saja yang berkaitan dengannya, hafal mazhab
Dia menghabiskan waktunya dalam ketaatan. Jarang tidur malam untuk ibadah dan
menulis. Dia juga selalu menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, dan memberikan
‘amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa. Karena itu beliau
digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama). Tetapi ia membenci gelar ini karena
sikap tawadu’nya. Bahkan diriwayatkan bahwa beliau pernah berkata, “Aku tidak
ayahnya merasa tidak cukup kalau anaknya belajar di dusun tempat kelahirannya itu.
25
Ahmad Farid, 60 Biografi ‘Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar , 2005), Cet. ke-1, h.
761.
26
Farid, 60 Biografi ‘Ulama Salaf, h. 757.
43
Maka pada tahun 649 H, bersama ayahnya, al-Nawawi berangkat ke Damaskus. Saat
itu di sana lah tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, dan merupakan tempat
destinasi yang baik untuk orang-orang yang ingin mendalami ilmu-ilmu keislaman.27
seorang alim terkenal, yaitu Syekh Abdul Kafi bin Abdul Malik al-Rabi. Melalui
syeikh tersebut al-Imâm al-Nawawi banyak belajar. Beberapa waktu kemudian, dia
dikirim oleh gurunya itu ke sebuah lembaga pendidikan yang terkenal, yaitu
Madrasah al-Rawahiyyah.28
dengan menuntut ilmu dan beribadah kepada Allah swt. Dikatakan bahwa beliau
menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Dengan ketekunannya beliau mampu
menguasai berbagai bidang ilmu dan menghafal berbagai matan dan syarah. Hal itu
lah yang menjadikan beliau lebih menonjol dari teman-teman seangkatannya. Dan
membuat gurunya, Abi Ibrahim Ishaq bin Ahamd al-Maghribi tertarik untuk
bidang fiqih dia belajar dari ulama-ulama terkemuka dari Mazhab Syafi’i. Oleh sebab
Di antara guru-gurunya dalam ilmu fiqih dan ushul fiqih adalah Abdul Fatah
Umar bin Bandar bin Umar al-Taflisi, Syekh Abû Ibrahim Ishaq bin Ahmad bin
27
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam di Indonesia, h. 735-736.
28
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam di Indonesia, h. 736.
29
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam di Indonesia, h. 736.
44
Usman al-Maghribi, Syamsuddin Abd al-Rahman bin Nuh al-Maqdasy, Syekh Abû
Adapun guru-gurunya dalam bidang ilmu hadis adalah Ibrahim bin Isa al-
Muradi al-Andalusi al-Mashri al-Dimasyqi, Abû Ishaq Ibrahim bin Abi Hafsh Umar
bin Mudhar al-Wasithi, Zainuddin Abû al-Baqa’ Khâlid bin Yusûf bin Sa’ad al-Rida
bin al-Burhân dan ‘Abd al-Aziz bin Muhammad bin ‘Abd al-Muhsin al-Ansari.
Kemudian guru-gurunya dalam bidang Nahwu dan Lughah adalah Malik dan al-Fakhr
al-Maliki.31
Pada tahun 651 ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, dan menetap di
Madinah selama satu setengan bulan lalu kembali ke Damaskus. Pada tahun 665 H ia
adalah: Ibnu al-‘Aththar al-Syafi’iy, Abû al-Hajjaj al-Mizziy, Ibn al-Naqib asy-
Syafi’iy, Abû al-Abbas al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abd al-Hâdi, al-Khatib Sadar Sulaiman
al-Ja’fari, Syeikh Abû al-din Ahmad bin Ja’wan, Syeikh Abû al-din al-Arbadi dan
Pada tanggal 24 Rajab 676 H, al-Imâm al-Nawawi wafat pada usia 45 tahun di
desa Nawa. Beliau tidak meninggalkan keturunan karena beliau tidak berkeluarga.33
Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat yang luas dan segala ilmunya
bermanfaat. Amin.
30
Ibnu Qadi al-Syuhba al-Dimasyqi, Thabaqât Al-Syafi’iyah, (India: The Da’iratul
Ma’arifil Osmania, 1979), h. 197.
31
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi ‘Ulama Salaf, h. 773.
32
Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hoeve, 1996), Cet. ke-1, h. 1315.
33
Dewan Redaksi Depag RI, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV. Anda Utama,
1993), h. 846.
45
2. Karya-karya al-Imâm al-Nawawi
pun dikenal sebagai seorang pengarang yang handal. Sejak usia 25 tahun dia banyak
7) dan lain-lain.
b. Kitab-kitab fiqih;
1) Kitab al-Majmu’,
3) kitab Minhâj
7) kitab Hasiyah.
46
d. Kitab yang berisi tentang bahasa;
Ada beberapa kitab karangan al-Imâm al-Nawawi dalam bidang hadis. Akan
tetapi, kitab Riyâd al-Sâlihîn lah yang paling populer di antara karya-karyanya. Kitab
ini menjelaskan tentang bagaimana keseharian seorang mu’min yang sesuai dengan
anjuran Nabi Muhammad saw. Kitab ini terdiri dari 2 jilid, yang masing-masing jilid
mencakup banyak bab. Pada jilid yang pertama terdapat 129 bab. Sedangkan pada
jilid kedua terdapat 243 bab. Pada awal bab biasanya dicantumkan ayat-ayat suci al-
Quran yang berkaitan dengan masing-masing bab, yang kemudian diikuti oleh hadis-
hadis Nabi Muhammad SAW. Ini menunjukkan bahwa setiap apa yang dilakukan
oleh Rasulullah saw. sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Pada
47
BAB IV
ANALISIS DATA
A. Pendahuluan
Pada bab ini saya akan menguraikan hasil penelitian yang telah dilakukan
selama beberapa bulan terakhir, yakni menganalisis tentang kualitas terjemahan kitab
Riyâd al-Sâlih n yang diterjemahkan oleh Ahmad Najih S. khususnya dari segi
keterbatasan waktu, penulis tidak meneliti secara keseluruhan, di sini saya hanya
mengambil beberapa hadis yang akan dijadikan sebagai sampel untuk dianlisis.
B. Analisis
Berikut ini adalah beberapa sampel yang diambil secara acak (random):
1. Data I : Bab Tentang Zuhud dan Dorongan Agar Tidak Rakus Serta
ﺳﻮْلُ اﷲِ ﺻَﻠَﻰ اﷲ ﻋَﻠَﯿْ ِﮫ ُ َوَﻋَﻦْ أَﺑِﻲ ھُﺮَﯾْﺮَةَ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮫُ ﻗﺎلَ ﻗَﺎلَ ر
َ أُﻧْﻈُﺮُوْا إِﻟَﻰ ﻣَﻦْ أﺳْﻔَﻞَ ﻣِﻨْﻜُﻢْ وَﻟَﺎ ﺗَﻨْﻈُﺮُوْا إِﻟَﻰ ﻣَﻦْ ھُﻮَ ﻓَﻮْﻗَﻜُﻢْ ﻓَﮭُﻮ:وَﺳَﻠَﻢ
. وھﺬا ﻟﻔﻆ ﻣﺴﻠﻢ. ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ.أَﺟْﺪَرُ أَنْ ﻟَﺎ ﺗَﺰْدَرُوْا ﻧِﻌْﻤَﺔَ اﷲِ ﻋَﻠَﯿْﻜُﻢ
Dari Abû Hurairah ra. ia berkata, Rasulullah saw. bersabda : “Pandanglah
orang yang berada di bawahmu, dan janganlah kamu memandang orang
yang di atasmu karena yang demikian itu lebih tepat agar kamu tidak
meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kamu semua”. (HR.
Muslim).34
34
Al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlih n, h.185
48
Menurut penulis, terjemahan tersebut masih belum tepat, khususnya dari segi
tersebut, penerjemah kurang tepat dalam memberikan tanda petik (“…”) atau
mengapit kutipan, baik itu kutipan langsung maupun kutipan yang terdapat dalam
kutipan lain. Pada Tsa di atas terdapat dua kutipan, pertama kutipan langsung yang
bersumber dari Abû Hurairah r.a. dan kedua kutipan yang berasal dari Rasulullah
saw., yang mana kutipan ini terletak dalam kutipan sebelumnya. Harusnya tanda petik
diapitkan pada kutipan pertama, bukan pada kutipan yang terdapat dalam kutipan
sebelumnya. Sebab, bila mengacu pada pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD),
salah satu penggunaan tanda petik adalah untuk mengapit kutipan langsung yang
berasal dari pembicaraan, naskah atau bahan tertulis lain.35 Contoh: Ibuku berkata,
penerjemah dapat menggunakan tanda petik tunggal (‘…’).36 Misal, Abû Bakrah r.a.
berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Siapa pun yang menghina
pemerintah maka Allah akan menghinakan dirinya.’” Sebab selain digunakan untuk
menunjukkan makna, tanda petik tunggal dapat digunakan juga untuk mengapit
Kemudian penerjemah lebih memilih tanda baca titik dua (:) untuk
memisahkan ucapan atau kutipan dari kalimat sebelumnya, yang mana seharusnya
35
TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 48
36
TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 49
49
ucapan dipisah dari kalimat sebelumnya dengan menggunakan tanda baca koma (,).
Karena salah satu fungsi tanda koma yaitu untuk memisahkan petikan langsung dari
Pada akhir kalimat, penerjemah tidak tepat dalam meletakkan tanda petik
penutup (”). Seharusnya tanda tersebut diletakkan setelah tanda titik (.), akan tetapi ia
malah meletakkannya sebelum titik. Dalam EYD dijelaskan bahwa tanda petik
Berdasarkan hasil analisis di atas maka Tsu di atas akan lebih baik jika
mereka yang berada di atas kalian karena yang demikian itu lebih baik, agar kalian
tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian.’” (HR. al-
Kata “dari” pada terjemahan di atas sengaja dihilangkan, karena partikel ""ﻋﻦ
pada Tsu di atas sebaiknya tidak perlu diterjemahkan. Apabila kalimat وﻋﻦ أﺑﻲ
... ھﺮﯾﺮة ﻗﺎل pada Tsu di atas diterjemahkan dengan Dari Abû Hurairah ra. ia
berkata ... akan terlihat rancu dan tidak sesuai dengan struktur tata bahasa Indonesia.
37
Abd. Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. RINEKA CIPTA, 2011),
cet. ke-3, h. 77.
38
Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 49.
50
Sebab, seorang penerjemah dituntut sekreatif mungkin dapat menghasilkan
konteks hadis di atas, Nabi menyuruh kita untuk melihat orang yang status sosialnya
berada di bawah kita, bukan menyuruh untuk melihat orang yang posisinya berada di
bawah kita.
(Hadis ke-5)
ﺑَﺎلَ أَﻋْﺮَاﺑِﻲﱞ ﻓِﻲ اﻟﻤَﺴْﺠِﺪِ ﻓَﻘَﺎ َم: َوَﻋَﻦْ أَﺑِﻲْ ھُﺮَﯾْﺮَةَ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮫُ ﻗَﺎل
دَﻋُﻮْهُ وَأَرِﯾْﻘُﻮْا: ﻓَﻘَﺎلَ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱡ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ,ِاﻟﻨﱠﺎسُ إِﻟَﯿْﮫِ ﻟِﯿَﻘَﻌُﻮْا ﻓِﯿْﮫ
ْ ﻓَﺈِﻧَّ ﻤَﺎ ﺑُﻌِﺜْﺘُﻢ ﻣُﯿَﺴﱢﺮِﯾْﻦَ وَﻟَﻢ,ٍ أَوْ ذَﻧُﻮْﺑًﺎ ﻣِﻦْ ﻣَﺎء,ٍﻋَﻠَﻰ ﺑَﻮْﻟِﮫِ ﺳَﺠْﻠًﺎ ﻣِﻦْ ﻣَﺎء
. رواه اﻟﺒﺨﺎري.َﺗُﺒْﻌَﺜُﻮْا ﻣُﻌَﺴﱢﺮِﯾْﻦ
Dari Abû Hurairah ra. ia berkata: “Ada seorang Badui sedang kencing di
dalam masjid lalu orang-orang bangkit untuk memukulnya, maka Nabi saw.
lalu bersabda: “biarkanlah dia dan tuangkanlah setimba air pada
kencingnya itu. Sesungguhnya aku diutus kepada kamu semua adalah untuk
mempermudah dan bukan untuk mempersulit kamu semua”. (HR. Bukhari).39
memilih tanda baca titik dua (:) untuk memisahkan ucapan atau kutipan dari kalimat
sebelumnya, yang mana seharusnya petikan dipisah dari kalimat sebelumnya dengan
39
Al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlih n, h. 236.
51
menggunakan tanda baca koma (,). Karena salah satu fungsi tanda koma yaitu untuk
kutipan tersebut, yakni menggunakan tanda petik (“...”). Namun, pada kutipan kedua
ia tetap menggunakan tanda petik, padahal kutipan tersebut merupakan kutipan yang
terdapat dalam kutipan sebelumnya, yang mana seharusnya kutipan tersebut diapit
dengan tanda petik tunggal. Sebab, berdasarkan pedoman EYD apabila terdapat
petikan yang berada dalam petikan lain maka harus diapit menggunakan tanda petik
tunggal (‘...’).41
Sama halnya seperti kasus pada terjemahan data I, yakni penerjemah tidak
tepat dalam meletakan tanda petik penutup (”), seharusnya tanda tersebut mengikuti
tanda baca yang mengakhiri petikan langsung,42 akan tetapi ia malah meletakkannya
sebelum titik.
Dengan demikian, menurut saya Tsu di atas akan lebih tepat jika
Abû Hurairah r.a. bercerita, “Ada seorang Arab Badui kencing di dalam
masjid, lalu para sahabat bangkit ingin memukulnya, namun Nabi saw. melarangnya,
‘Biarkanlah ia dan siramlah bekas air kencing itu dengan seember air. Sesungguhnya
40
TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 40.
41
TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 49.
42
Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 83.
52
Kata ﻗﺎل tidak selamanya harus diterjemahkan dengan berkata, penerjemah
harus menyesuaikan dengan konteks dan isi perkataannya. Kata ﻗﺎل dapat
dan sebagainya. Karena ucapan Abû Hurairah r.a. berisi cerita, maka saya memilih
Lalu pada kata ﺑُﻌِﺜْﺘُﻢ, menurut saya kata tersebut kurang tepat jika
diterjemahkan dengan aku diutus karena kata ﺑُﻌِﺜْﺘُﻢ merupakan verba perfektif (fi’l
mâdî) yang diikuti sufiks pronomina persona kedua kategori jamak ( )أﻧﺘﻢbukan
pronomina persona pertama ()أﻧﺎ. Oleh karena itu, kata ﺑُﻌِﺜْﺘُﻢ akan lebih tepat jika
diterjemahkan dengan kalian diutus. Dalam konteks ini, maksud dari kata ﺑُﻌِﺜْﺘُﻢpada
hadis di atas yaitu, Nabi Muhammad saw. hanya sebagai penyampai wahyu dan
3. Data III : Bab Tentang Marah Ketika Hukum Allah Dilanggar dan
ﺟَﺎ َء:َوَﻋَﻦْ أَﺑِﻲْ ﻣَﺴْﻌُﻮْدٍ ﻋُﻘْﺒَﺔَ ﺑْﻦِ ﻋَﻤْﺮٍو اﻟﺒَﺪْرِيﱢ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮫُ ﻗَﺎل
ِرَﺟُﻞٌ إِﻟَﻰ رَﺳُﻮْلِ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲِ ﻋَﻠَﯿﮫِ وَﺳَﻠَﻢَ ﻓَﻘَﺎلَ إِﻧِّﻲْ ﻟَﺄَﺗَﺄَﺧﱠﺮُ ﻋَﻦْ ﺻَﻠَﺎة
ِ ﻓَﻤَﺎ رَأَﯾْﺖُ اﻟﻨّﺒِﻲَ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫ,اﻟﺼُﺒْﺢِ ﻣِﻦْ أَﺟْﻞِ ﻓُﻠَﺎنٍ ﻣِﻤﱠﺎ ﯾُﻄِﯿْﻞُ ﺑِﻨَﺎ
ُ ﯾَﺎأَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﻨﱠﺎس:َ ﻓَﻘَﺎل,ٍوَﺳَﻠَﻢَ ﻏَﻀِﺐَ ﻓِﻲْ ﻣَﻮْﻋِﻈَﺔٍ ﻗَﻂُّ أَﺷَﺪﱠ ﻣِﻤﱠﺎ ﻏَﻀِﺐَ ﯾَﻮْﻣَﺌِﺬ
َ ﻓَﺄَﯾُّﻜُﻢْ أَمَّ اﻟﻨَﺎسَ ﻓَﻠْﯿُﻮْﺟِﺰْ ﻓَﺈِنَّ ﻣِﻦْ وَرَاﺋِﮫِ اﻟْﻜَﺒِﯿْﺮ,َإنَّ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣُﻨَﻔﱢﺮِﯾْﻦ
. ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ,ِوَاﻟﺼﱠﻐِﯿْﺮَ وَذَا اﻟْﺤَﺎﺟَﺔ
Dari. Abû Mas’ud Ukbah bin Amr Al Badri ra. ia berkata : “Ada seorang
laki-laki datang kepada Nabi saw. dan berkata: “Saya terpaksa mundur dari
53
shalat jamaah subuh sebab si Fulan memanjangkan bacaan shalatnya
bersama kami”. Ukbah berkata : “Saya tidak pernah melihat Nabi saw.
marah saat memberi nasehat melebihi marahya waktu itu, dimana beliau
bersabda: “Hai Manusia, masih ada juga diantara kamu semua, orang yang
membuat orang jauh, maka barangsiapa di antara kamu menjadi imam maka
persingkatlah bacaannya, sebab di belakangnya ada orang yang sudah tua,
ada orang yang lemah dan ada juga yang mempunyai keperluan lain”. (HR.
Bukhari dan Muslim).43
Kasus pada terjemahan di atas, ditemukannya tanda baca titik setelah kata
pertama, tetapi saya yakin kalau itu hanyalah kesalahan redaksi saja. Kemudian sama
seperti pada kasus-kasus sebelumnya, yakni penerjemah menggunakan tanda titik dua
untuk memisahkan petikan langsung dari kalimat sebelumnya, yang mana seharusnya
dua kalimat tersebut dipisah dengan menggunakan tanda baca koma. Dalam EYD
dijelaskan macam-macam fungsi tanda koma, salah satunya yaitu untuk memisahkan
tanda petik atau mengapit petikan. Pada Tsa di atas terdapat dua petikan, pertama
petikan langsung yang bersumber dari Abû Mas’ûd Uqbah r.a. dan kedua petikan
yang berasal dari seorang laki-laki, yang mana petikan ini terletak dalam petikan
sebelumnya. Harusnya tanda petik diapitkan pada kutipan pertama saja, sedangkan
menggunakan tanda petik tunggal. Sebab, dalam EYD dijelaskan, salah satu fungsi
43
Al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlih n, h. 240.
44
TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 40.
54
tanda petik adalah untuk mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan,
Kemudian pada kalimat ... orang yang membuat orang jauh, Maka ...,
penerjemah lebih memilih tanda koma untuk memisahkan kalimat tersebut dengan
kalimat sesudahnya. Padahal menurut saya kalimat tersebut lebih tepat jika diakhiri
dengan tanda titik karena di dalamnya sudah terpenuhi syarat-syarat sebuah kalimat,
memberikan tanda koma untuk memisahkan induk kalimat dari anak kalimat,
meskipun anak kalimat itu mengiringi induk kalimat. Seharusnya, untuk memisahkan
anak kalimat dari induk kalimat, tanda koma dapat dipakai jika anak kalimat
Sama halnya seperti kasus pada terjemahan data I, yakni penerjemah tidak
tepat dalam meletakan tanda petik penutup (”), seharusnya tanda tersebut mengikuti
tanda baca yang mengakhiri petikan langsung,47 akan tetapi ia malah meletakkannya
sebelum titik.
Dengan demikian, Tsu di atas menurut saya akan lebih tepat jika
45
Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 82.
46
Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 77.
47
TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 49.
55
Abû Mas’ûd Ukbah bin Amr al-Badri r.a. bercerita, “Ada seorang laki-laki
datang kepada Nabi saw., lalu berkata, ‘Saya sengaja terlambat datang shalat subuh
pernah melihat Nabi saw. marah saat memberi nasehat melebihi marahya waktu itu,
di mana beliau bersabda, ‘Hai para sahabat, ternyata masih ada di antara kalian
yang suka membuat orang benci. Siapa pun di antara kalian yang menjadi imam,
persingkatlah bacaan shalatnya karena di belakang ada orang yang sudah tua, ada
anak kecil dan ada juga yang mempunyai keperluan lain,’” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Menurut saya kalimat ِإِﻧِّﻲْ ﻟَﺄَﺗَﺄَﺧﱠﺮُ ﻋَﻦْ ﺻَﻠَﺎةِ اﻟﺼُﺒْﺢ kurang tepat jika
diterjemahkan saya terpaksa mundur dari shalat jamaah subuh karena kata َﺗَﺄَﺧﱠﺮ
aritnya buka mundur, tapi terlambat; tertinggal; memperlambat; atau tertunda.48 Saya
Kemudian pada kata ﻣﻨﻔّﺮﯾﻦ, dalam kamus al-‘Asriy artinya yang menjijikan;
yang memuakkan.49 Namun, jika mengacu pada konteks hadis tersebut, menurut saya
kata ﻣﻨﻔّﺮﯾﻦlebih tepat jika diterjemahkan dengan kata membuat orang benci, karena
48
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, al-‘Asriy: Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi
Karya Grafika), cet. ke-9, h. 383.
49
Ali dan Ahmad, al-‘Asriy: Arab-Indonesia, h. 1844.
56
4. Bab Tentang Larangan Meminta Jabatan Kecuali Ditunjuk Sendiri atau
وَﻋَﻦْ أَﺑِﻲْ ذَرﱟ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮫُ ﻗَﺎلَ ﻗُﻠْﺖُ ﯾَﺎ رَﺳُﻮْلَ اﷲِ أَﻟَﺎ ﺗَﺴْﺘَﻌْﻤِﻠُﻨِﻲْ؟
ٌ وَإِﻧﱠﮭَﺎ أَﻣَﺎﻧَﺔ,ٌ ﯾَﺎ أَﺑَﺎ ذَرﱟ إِﻧﱠﻚَ ﺿَﻌِﯿْﻒ:َﻓَﻀَﺮَبَ ﺑِﯿَﺪِهِ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻨْﻜِﺒِﻲ ﺛُﻢَ ﻗَﺎل
ِوَإِﻧﱠﮭَﺎ ﯾَﻮْمَ اﻟﻘِﯿَﺎﻣَﺔِ ﺧِﺰْيٌ وَﻧِﺪَاﻣَﺔٌ إِﻟﱠﺎ ﻣَﻦْ أَﺧَﺬَھَﺎ ﺑِﺤَﻘﱢﮭَﺎ وَأَدﱠى اﻟﱠﺬِي ﻋَﻠَﯿْﮫ
. رواه ﻣﺴﻠﻢ.ﻓِﯿْﮭَﺎ
Dari Abû Dzarr ra. ia berkata: “Saya bertanaya: “Ya Rasulullah saw.,
mengapa engkau tidak memberi jabatan kepadaku ?”. Maka beliau menepuk
bahuku sambil bersabda: “Hai Abû Dzarr, engkau adalah seorang yag
lemah dan jabatan itu merupakan amanat yang besok di hari kiamat hanya
akan menjadi penyesalan dan kehinaan kecuali pejabat yang dapat
memanfaatkan haknya dan dapat menunaikan kewajibannya dengan sebaik-
baiknya”. (HR. Bukhari).50
Kasus pada Tsa di atas sama seperti pada kasus data I,II dan III, yakni
penerjemah tidak tepat dalam memberikan tanda petik (“…”) atau mengapit petikan.
Pada terjemahan tersebut terdapat dua petikan. Pertama, petikan langsung yang
bersumber dari Abû Dzarr dan kedua, petikan yang berasal dari Rasulullah saw.,
yang mana petikan ini terletak dalam petikan sebelumnya. Harusnya tanda petik
diapitkan pada kutipan pertama saja, sedangkan untuk mengapit kutipan yang
terdapat dalam kutipan, penerjemah dapat menggunakan tanda petik tunggal (‘…’).
Sebab, dalam EYD dijelaskan, salah satu fungsi tanda petik adalah untuk mengapit
petikan langsung yang berasal dari pembicaraan, naskah atau bahan tertulis lain.51
50
Al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlih n, h. 249.
51
TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 48
57
Selain tidak tepat dalam mengapit petikan, penerjemah juga tidak tepat dalam
memisahkan kutipan dari kalimat sebelumnya, yanki ia memisah dua kalimat tersebut
Kemudian pada bagian “Ya Rasulullah saw., mengapa engkau tidak memberi
jabatan kepadaku ?”. Maka beliau menepuk bahuku sambil menjaab, …, jika kita
cermati pada tanda baca yang telah digaribawahi di atas, selain tidak tepat dalam
meletakkan tanda Tanya (?), yakni memisah tanda tanya dari kalimat sebelumnya
dengan spasi, penerjemah juga membubuhi kalimat tersebut dengan tanda titik yang
mana sebenarnya telah diakhiri dengan tanda tanya. Mestinya, jika kalimat tersebut
merupakan kalimat interogatif, maka pada akhir kalimat cukup diakhiri dengan tanda
tanya saja.52
Lalu pada bagian sabda Rasulullah saw., “Hai Abû Dzarr, engkau adalah
seorang yang lemah dan jabatan itu merupakan amanat ..., penerjemah tidak
membubuhi tanda koma untuk memisahkan dua kalimat setara yang saling
bertentangan di atas. Menurut Rasulullah saw. Abû Dzarr seorsng yang lemah,
sedangkan jabatan merupakan amanat yang pada hari Kiamat akan diminta
pertentangan, antara anak kaliamat dengan induk kalimat, dan antara anak kalimat
52
TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 46.
58
dengan anak kalimat.53 Karenanya, dua kalimat di atas akan lebih tepat jika dipisah
Sama halnya seperti kasus pada terjemahan data I, II, III, yakni penerjemah
tidak tepat dalam meletakan tanda petik penutup (”), seharusnya tanda tersebut
mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan langsung,54 akan tetapi ia malah
Berdasarkan hasil analisis di atas maka menurut saya, Tsu di atas akan lebih
Abû Dzarr r.a. bertanya, “Ya Rasulullah saw., mengapa engkau tidak
‘Abû Dzarr, engkau adalah seorang yang lemah, sedangkan jabatan itu merupakan
amanat yang pada hari Kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan,
kecuali pejabat yang dapat Melaksanakan tugas dan menunaikan kewajiban dengan
ﺣَﺪﱠﺛَﻨَﺎ رَﺟُﻞٌ ﻣِﻦْ ﺑَﻨِﻲ ﻋَﺎﻣِﺮٍ أَﻧﱠﮫُ اﺳْﺘَﺄْذَنَ ﻋَﻠَﻰ:َوَﻋَﻦْ رِﺑْﻌِﻲﱢ ﺑْﻦِ ﺣِﺮَاشٍ ﻗَﺎل
ِ أَأَﻟِﺞُ؟ ﻓَﻘَﺎلَ رَﺳُﻮْلُ اﷲ: َ ﻓَﻘَﺎل,ٍاﻟﻨَﺒِﻲِّ ﺻَﻠَﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠَﻢَ وَھُﻮَ ﻓِﻲْ ﺑَﯿْﺖ
: ُ ﻓَﻘُﻞْ ﻟَﮫ,َ أُﺧْﺮُجْ إِﻟَﻰ ھَﺬَا ﻓَﻌَﻠﱢﻤْﮫُ اﻟْﺎِﺳْﺘِﺌْﺬَان,ِﺻَﻠَﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠَﻢَ ﻟِﺨَﺎدِﻣِﮫ
53
Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 76.
54
Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 83.
59
َﻗُﻞْ اﻟﺴﱠﻠَﺎمُ ﻋَﻠَﯿْﻜُﻢْ أَأَدْﺧُﻞُ؟ ﻓَﺴَﻤِﻌَﮫُ اﻟﺮﱠﺟُﻞُ ﻓَﻘَﺎلَ اﻟﺴﱠﻠَﺎمُ ﻋَﻠَﯿْﻜُﻢْ أَأَدْﺧُﻞُ؟ ﻓَﺄَذَن
. رواه أﺑﻮ داود.َﻟَﮫُ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱡ ﺻَﻠَﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠَﻢَ ﻓَﺪَﺧَﻞ
Dari Rib’i bin Hirasy ia berkata: “Seorang laki-laki dari Bani Amir
bercerita kepada kami tatkala ia memohon izin untuk masuk rumah Nabi
saw. yang mana saat itu beliau berada dalam rumah. Laki-laki itu berkata:
“Apakah saya boleh masuk ?”. Lalu beliau bersabda kepada pelayannya:
“Keluarlah dan ajarkan kepada laki-laki itu tentang cara mohon izin, dan
katakan kepadanya: “Ucapkan ASSALAMU ‘ALAIKUM, apakah saya boleh
masuk ?”. Laki-laki itu mendengar apa yang diajarkan Nabi saw. itu maka
ia berkata: “ASSALAMU ‘ALAIKUM, apakah saya boleh masuk ?”.
Kemudian beliau memberi izin kepadanya selanjutnya laki-laki itu pun
masuk”.55 ( HR. Abû Daud).
penerjemah lebih memilih tanda baca titik dua (:) untuk memisahkan ucapan atau
kutipan dari kalimat sebelumnya, yang mana seharusnya kutipan dipisah dari kalimat
sebelumnya dengan menggunakan tanda baca koma (,). Karena salah satu fungsi
tanda koma yaitu untuk memisahkan kutipan langsung dari bagian lain dalam
kalimat.56
Penerjemah juga tidak tepat dalam memberikan tanda petik atau mengapit
kutipan. Pada terjemahan tersebut terdapat dua kutipan. Pertama, kutipan langsung
yang bersumber dari Rib’i bin Hirasy. Pada bagian ini penerjemah sudah tepat
mengapit kutipan langsung dengan menggunakan tanda petik. Dan kedua, petikan
yang berasal dari seorang laki-laki, yang mana petikan ini terletak dalam petikan
55
Al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlihîn, h. 313
56
TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 40
60
tanda petik lagi. Sedangkan, untuk mengapit kutipan yang terdapat dalam kutipan,
penerjemah harusnya menggunakan tanda petik tunggal (‘…’). Sebab, salah satu
fungsi tanda petik tunggal adalah untuk mengapit petikan yang tersusut dalam petikan
lain.57
Kemudian, jika kita perhatikan terjemahan di atas, ada tiga kalimat interogatif
yang masing-masing diakhiri dengan tiga tanda baca sekaligus, yaitu tanda tanya,
tanda petik penutup dan tanda titik. Padahal seharusnya, apabila kalimat tersebut
Pada kutipan yang beasal dari Nabi saw., “Ucapkan assalamu ‘alaikum,
apakah saya boleh masuk ?”, penerjemah memisahkan dua kalimat tersebut dengan
kalimat imperatif, yang mana seharusnya klausa tersebut diakhiri dengan tanda seru
(!).
Kemudian pada kutipan berikutnya yang dipetik dari ucapan laki-laki itu,
“Assalamu ‘alaikum, apakah saya boleh masuk ?”, pada kutipan tersebut penerjemah
memisahkan ucapan salam dari kalimat apakah saya boleh masuk? dengan
kalimat. Sebagaimana telah dikutip oleh Moch. Syarif Hidayatullah, dalam bahasa
Arab, definisi kalimat adalah konstruksi yang tersusun dari dua kata atau lebih yang
57
Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesi., h. 83.
61
mengandung arti, disengaja, serta berbahasa Arab.58 Oleh karena itu, kutipan tersebut
Lalu pada bagian Laki-laki itu mendengar apa yang diajarkan Nabi saw. itu
maka ia berkata ..., penerjemah tidak membubuhi tanda koma untuk memisahkan dua
klausa di atas. Padahal kedua klausa tersebut terdiri dari anak kalimat dan induk
kalimat, yang mana anak kalimat mendahului induk kalimatnya. Dalam EYD
dijelaskan, jika anak kalimat mendahului induk kalimat, maka harus dipisah dengan
Sama seperti pada kasus data-data sebelumnya, yakni penerjemah tidak tepat
dalam meletakan tanda petik penutup (”), seharusnya tanda tersebut mengikuti tanda
sebelum titik.
Berdasarkan hasil analisis di atas, menurut saya Tsu di atas akan lebih baik
Rib’i bin Hirasy meriwayatkan, “Ada seorang laki-laki dari Bani Amir
menceritakan kepada kami ketika ia memohon izin kepada Nabi saw., yang saat itu
Nabi berada di dalam rumah. Ia mengucapkan, ‘Apakah saya boleh masuk?’ Lalu
Rasulullah saw. menyuruh pelayannya, ‘Keluarlah dan ajarkan laki-laki itu cara
58
Moch. Syarif Hidayatullah, Cakrawala Linguistik Arab, (Tangerang Selatan: Alkitabah,
2012), h. 96
59
TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h.39
60
Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesi., h. 83.
62
memohon izin. Katakan padanya, ‘Ucapkanlah ‘Assalamu ‘alaikum! Apakah saya
mengucapkan, ‘Assalamu ‘alaikum. Apakah saya boleh masuk?’ Lalu Nabi saw.
6. Bab Tentang Zuhud dan Dorongan agar Tidak Rakus serta Keutamaan
Miskin (Hadis ke-30)
وَﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ اﷲِ ﺑْﻦِ ﻣَﺴْﻌُﻮْدٍ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮫُ ﻗَﺎلَ ﻧَﺎمَ رَﺳُﻮْلُ اﷲِ ﺻﻠﻰ اﷲ
ِ ﯾَﺎ رَﺳُﻮْلَ اﷲِ ﻟَﻮ: ﻓَﻘُﻠْﻨَﺎ,ِﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻋَﻠَﻰ ﺣَﺼِﯿْﺮٍ ﻓَﻘَﺎمَ وَﻗَﺪْ اَﺛَﺮَ ﻓِﻲ ﺟَﻨْﺒِﮫ
ٍ ﻣَﺎ أَﻧَﺎ ﻓِﻲ اﻟﺪﱡﻧْﯿَﺎ إِﻟﱠﺎ ﻛَﺮَاﻛِﺐ, ﻣَﺎﻟِﻲْ وَﻟِﻠﺪﱡﻧْﯿَﺎ: َاﺗﱠﺨَﺬْﻧَﺎ ﻟَﻚَ وِﻃَﺎءً؟ ﻓَﻘَﺎل
. رواه اﻟﺘﺮﻣﺬي,اﺳْﺘَﻈَﻞﱠ ﺗَﺤْﺖَ ﺷَﺠَ ﺮَةٍ ﺛُﻢﱠ رَاحَ وَﺗَﺮَﻛَﮭَﺎ
Dari Abdullah bin Mas’ud ra. ia berkata: “Rasulullah saw. tidur di atas
tikar sehingga sewaktu bangun membekaslah tikar itu pada pinggangnya.
Lalu kami bertanya: Ya Rasulullah, bagaimana kalau kami buatkan kasur
lembut untukmu?” Beliau bersabda: “Buat apa dunia ini bagiku”. Aku di
dunia ini bagaikan orang yang berpergian berteduh di bawah pohon lalu
pergi meninggalkannya”. (HR. Al Turmudzi).
tanda titik dua untuk memisahkan petikan langsung dari kalimat sebelumnya, yang
mana seharusnya dua kalimat tersebut dipisah dengan menggunakan tanda baca
koma. Dalam EYD dijelaskan macam-macam fungsi tanda koma, salah satunya yaitu
Penerjemah juga tidak tepat dalam memberikan tanda petik atau mengapit
petikan. Pada terjemahan tersebut terdapat tiga petikan. Pertama, kutipan langsung
yang berupa isi cerita Abdullah bin Mas’ûd. Pada bagian ini penerjemah sudah tepat
61
TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 40.
63
dalam mengapit kutipan langsung, yakni dengan menggunakan tanda petik. Kedua,
kutipan yang berupa pertanyaan Abdullah kepada Nabi saw. Dan ketiga, kutipan yang
berisi jawaban Nabi saw. Petikan kedua dan ketiga merupakan petikan yang berada
dalam petikan pertama, harusnya kedua kutipan tersebut diapit menggunakan tanda
petik tunggal, bukan lagi kutip ganda. Sebab, salah satu fungsi tanda petik tunggal
membubuhi tanda koma untuk menghindari salah baca. Karena, kalimat tersebut
merupakan kalimat yang keterangannya terdapat pada awal kalimat. Dalam EYD
dijelaskan tanda koma dipakai - untuk menghindari salah baca – dibelakang kalimat
tersebut ditutup pada bagian akhir kutipan. Penerjemah juga tidak tepat dalam
meletakan tanda petik penutup (”), seharusnya tanda tersebut mengikuti tanda baca
titik.
Berdasarkan hasil analisis di atas, menurut saya Tsu di atas akan lebih baik
62
Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesi., h. 83.
63
TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 41
64
TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 49.
64
Abdullah bin Mas’ûd r.a. bercerita, “Rasulullah saw. tidur di atas tikar lalu
ketika bangun, membekaslah tikar itu pada pinggangnya. Kemudian kami bertanya,
‘Ya Rasulullah, bagaimana kalau kami buatkan kasur empuk untukmu?’ Beliau
menjawab, ‘Buat apa dunia ini bagiku? Aku di dunia ini bagaikan seorang musafir
Sama seperti kasus data II, kata ﻗﺎل tidak selamanya harus diterjemahkan
konteks dan isi perkataannya. Kata ﻗﺎل dapat diterjemahkan bertanya bila
Kemudian pada kata ﻓﻘﻠﻨﺎ, saya menerjemahkannya dengan kata bertanya, karena
jawaban atas pertanyaan Abdullâh, maka saya menerjemahkan kata ﻗﺎ ل tersebut
BAB VI
PENUTUP
65
A. Kesimpulan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada rumusan masalah dalam bab
I, yaitu: (1) Apakah penerapan pungtuasi dalam terjemahan kitab Riyâd al-Sâlihîn
karya al-Imâm al-Nawawi sudah tepat? dan (2) Apakah hasil terjemahannya sudah
Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan pada pada bab sebelumnya,
yaitu, bahwa hasil terjemahan Ahmad Najih S. dalam kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-
Imâm al-Nawawi belum tepat, khususnya dari segi pemenggalan kalimat (pungtuasi)
atau pemakaian tanda baca. Hal ini terlihat jelas dari kesalahan-kesalahan penerjemah
penerjemah tidak mengacu pada pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EYD), kedua,
cukup baik. Namun, dari enam sampel yang telah dianalisis pada bab IV, ada
beberapa kalimat yang masih rancu dan belum sesuai dengan kaidah tata bahasa
Indonesia. Penerjemah juga kerap kali keliru dalam memilih diksi yang tepat saat
66
B. Saran
saya berikan:
itu dari segi struktur kalimat, gaya bahasa, pemilihan diksi, pemakaian
tanda baca (pungtuasi) dan lain-lain; tidak terpaku pada teks sumber (Tsu).
dalam Tsu.
sumber (Bsu) maupun bahasa sasaran (Bsa). Sebab, bahasa itu selalu
dan mencarikan padanan yang paling sesuai dengan apa yang diinginkan
pengarang.
67
Saya sadar bahwa dalam penelitian ini masih banyak sekali kekurangan. Oleh
karenanya, penelitian ini harus diteruskan dan dijabarkan kebali secara lebih lengkap,
khususnya dari segi pemenggalan kalimat (pungtuasi) yang terdapat dalam buku
68
DAFTAR PUSTAKA
69
Machali, Rochayah. Pedoman bagi Penerjemah. Bandung: Kaifa, 2009.
Majid, A.M. Sejarah Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1997.
Nasuhi, Hamid. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi),
Ciputat: CeQDA, 2007.
Subuki, Makyun. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: Trans
Pustaka, 2011.
Suhardi. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.
Suryawinata, Zuchridin. Translation (Bahasa Teori dan Penuntun Praktis
Menerjemahkan), Yogyakarta : Kanisius, 2003.
Syihabuddin. Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), Bandung :
Humaniora, 2005.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: PT.
Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.
Tim Redaksi Pustaka Setia (TRPS). Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan
dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, Disalin dari Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia,
Bandung: Pustaka Setia, 1992.
Yususf, Suhendra. Teori Terjemah, Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan
Sosiolinguistik, Bandung : Mandar Maju, 1994.
70