Anda di halaman 1dari 128

STUDI TEMATIK HADIS TENTANG ETIKA

BERKOMUNIKASI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh


Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Ira Nur Azizah


NIM: 1113034000034

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2017 M
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman

pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015.

1. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan


‫ا‬ tidak dilambangkan

‫ب‬ b be

‫ت‬ t te

‫ث‬ ts te dan es

‫ج‬ j je

‫ح‬ h h dengan garis di bawah

‫خ‬ kh ka dan ha

‫د‬ d de

‫ذ‬ dz de dan zet

‫ر‬ r er

‫ز‬ z zet

‫س‬ s es

‫ش‬ sy es dan ye

‫ص‬ s es dengan garis di bawah

‫ض‬ ḏ de dengan garis di bawah

‫ط‬ ṯ te dengan garis di bawah

‫ظ‬ ẕ zet dengan garis di bawah

‫ع‬ ‘ koma terbalik di atas hadap kanan

i
‫غ‬ gh ge dan ha

‫ف‬ f ef

‫ق‬ q ki

‫ك‬ k ka

‫ل‬ l el

‫م‬ m em

‫ن‬ n en

‫و‬ w we

‫ه‬ h ha

‫ء‬ ` apostrof

‫ي‬ y ye

2. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal

tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


a fathah
i kasrah
‫و‬ u ḏammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫ي‬ ai a dan i
‫و‬ au a dan u

ii
3. Vokal panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫ا‬ ā a dengan garis di atas
‫ي‬ ī i dengan daris di atas
‫و‬ ū u dengan garis di atas

4. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-syamsiyyah bukan asy-

syamsiyyah, al-rijāl bukan ar-rijāl.

5. Tasydīd

Huruf yang ber-tasydīd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-

turut, seperti ‫ = ال ُسنَّت‬al-sunnah.

6. Ta marbūṯah

Jika ta marbūṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf

tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti ‫ = أبو هُ َر ْي َرة‬Abū Hurairah.

7. Huruf Kapital

Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam

Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang,

maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,

bukan huruf awal atau kata sandangnya, seperti ‫ = البخاري‬al-Bukhāri.

iii
ABSTRAK

IRA NUR AZIZAH

Studi Tematik Hadis tentang Etika Berkomunikasi

Komunikasi merupakan salah satu fitrah manusia yang apabila digunakan


secara efektif dapat mengantarkan kepada kesuksesan dan membawa
kemaslahatan bagi banyak pihak. Namun komunikasi juga dapat berakibat fatal
jika tidak dikontrol. Kenyataannya, tidak sedikit pertikaian dan perselisihan yang
terjadi dikarenakan komunikasi yang tidak beretika. Hal ini menandakan bahwa
etika sangat diperlukan ketika komunikasi berlangsung. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui etika berkomunikasi menurut hadis Nabi Saw, sehingga dapat
dijadikan sebagai pedoman oleh setiap muslim ketika berkomunikasi.
Terkait jenisnya, penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka
(Library Research) yaitu tehnik pengumpulan data dengan mengadakan studi
penelaahan terhadap buku-buku dan literatur-literatur yang berhubungan dengan
masalah terkait. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hadis
mauḏū’ī (tematik) yang secara umum menggunakan langkah-langkah:
menetapkan masalah yang akan dibahas; menghimpun hadis-hadis yang berkaitan
dengan masalah; melakukan takhrij al-hadis; meneliti keadaan perawi (sanad);
meneliti matan hadis; menarik kesimpulan dari hadis yang diteliti dan
menjelaskan aspek-aspek yang terkait, seperti faedah dan pendapat para ulama
mengenai hadis yang dimaksud.
Sumber data penelitian ini dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu:
Pertama, sumber primer berupa al-Kutub al-Sittah yang memuat hadis-hadis
tentang tema terkait berikut kitab syarah-nya. Kedua, sumber sekunder berupa
buku-buku, karya ilmiah dan artikel-artikel yang berkaitan dengan tema yang akan
diteliti.
Data yang ditemukan menunjukkan bahwa etika komunikasi menurut
hadis dapat dirumuskan sebagai berikut: berkomunikasi harus dengan kalimat
yang baik; berkomunikasi dengan efektif dan efisien (berbicara seperlunya dan
tidak banyak bertanya terhadap hal yang tidak penting); berkomunikasi dengan
jujur dan tidak berkata bohong; mendahulukan yang lebih tua dalam berbicara;
tidak berkata kotor, mencaci dan mencela; menjauhi perdebatan dengan lawan
bicara; komunikasi hendaknya berisikan pesan yang positif dan jauh dari unsur
ghībah.

iv
KATA PENGANTAR

‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam yang selalu

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Salawat beserta salam

semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Muhammad Saw, kepada

keluarganya, sahabat dan para pengikutnya.

Penelitian ini merupakan hasil dari pengamatan dan keingintahuan penulis

terhadap beberapa hal yang kelihatannya sepele, namun sebenarnya mempunyai

pengaruh dan manfaat yang luar biasa dalam bidang hadis. Penulis menyadari

bahwa dalam pembuatan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan

berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih

yang sedalam-dalamnya kepada orang-orang paling istimewa dalam kehidupan

penulis, yakni Ayahanda tercinta Sari Muda, Ibunda tersayang Desi Narti dan

Adinda terkasih Muhammad Aldi Aripan atas kasih sayang dan dukungannya

serta doa yang selalu dipanjatkan untuk penulis selama ini.

Begitu juga ucapan terima kasih yang tidak kalah pentingnya penulis

ucapkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A selaku

Dekan Fakultas Ushuluddin.

2. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis dan

Ibu Banun Binaningrum, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.

v
3. Bapak Dr. Bustamin, M.Si selaku dosen pembimbing dalam skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamya karena telah

dengan sabar membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis hingga

dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Dr. M. Isa HA. Salam, M.Ag dan Drs. Harun Rasyid, M.Ag selaku

dosen penguji yang telah memberi saya banyak saran atas kekurangan

skripsi ini.

5. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di Jurusan

Tafsir Hadis yang telah mendidik dan memberikan berbagai macam ilmu

kepada penulis. Semoga ilmu yang Bapak dan Ibu sampaikan dapat

bermanfaat dan menjadi amal jariyah.

6. Segenap karyawan/i akademik Fakultas Ushuluddin yang telah membantu

penulis selama menjalani kuliah.

7. Teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2013 UIN Syarif Hidayatullah dan

ATHA (Anak Tafsir Hadis A) yang telah berjuang bersama penulis selama

duduk di bangku kuliah.

8. My Roommate, Nelfoy dan Tiul. Terima kasih karena telah dengan setia

menjadi teman berjuang, teman bercanda dan teman berbagi keluh kesah

selama di Cempaka V. Dan juga kepada Ipeh, Icuik dan Uul yang telah

mengisi hari-hari sepi penulis dan kemudian menggantinya dengan

kebahagiaan.

9. Keluarga besar di kampung, Maknga, Makwo (almh), Wo Renti, Ayuk Ici,

Ayuk Cica, Wo Ang, Mbol, Wak Abang Yon, Wak Oki, Wak Rilo, Wak

Dang Lik, Wak Ema, Datuk Gajah, Mamang Cut, Dang Dudut dan semua

vi
nama yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas doa,

restu dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

10. Teman-teman penulis di manapun berada, Ijak, Chaim, Ocbem, Ayuk Yel,

Mbak Apil, Ojik, Alumni PPAH Bengkulu, MF 2023 dan semua rekan-

rekan seperjuangan yang selalu memberi support dalam menyelesaikan

penulisan skripsi ini.

11. Dan semua pihak yang sudah membantu proses penyelesaian skripsi ini,

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa keilmuan yang dimiliki penulis

masih sangat minim sehingga tulisan ini pasti mempunyai banyak kekurangan dan

jauh dari kata sempurna. Atas kekurangan penulis memohon maaf yang sebesar-

besarnya, semoga hal tersebut dapat menjadi pelajaran berharga khususnya bagi

penulis sendiri.

Akhirnya, hanya kepada Allah jualah penulis mengharap riḏa dan

mengucap rasa syukur. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat dan memberi motivasi

kepada pembaca agar senantiasa berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah Saw.

Amīn.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Ciputat, 15 Mei 2017

Ira Nur Azizah

vii
DAFTAR ISI

PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................... i


ABSTRAK ............................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................... v
DAFTAR ISI .......................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah .... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .................................... 8
D. Kajian Pustaka............................................................. 9
E. Metodologi Penelitian ................................................. 10
F. Sistematika Penulisan ................................................. 13
BAB II SEKILAS MENGENAI TEMATIK, HADIS DAN
ETIKA KOMUNIKASI
A. Sekilas Mengenai Tematik........................................... 14
1. Tematik Secara Etimologi dan Terminologi .......... 14
2. Tematik Menurut Para Ahli ................................... 15
B. Sekilas Mengenai Hadis............................................... 15
1. Pengertian Hadis .................................................... 15
2. Pembagian Hadis ................................................... 18
3. Kedudukan dan Fungsi Hadis ................................ 20
C. Etika Komunikasi ........................................................ 22
1. Pengertian Etika Komunikasi ................................ 22
2. Macam-macam Etika Komunikasi......................... 26
3. Kedudukan Etika Komunikasi dalam Islam .......... 29
BAB III KAJIAN TERHADAP HADIS-HADIS ETIKA
BERKOMUNIKASI
A. Teks Hadis tentang Berbicara Menggunakan Kalimat
yang Baik ..................................................................... 33
1. Takhrij al-Hadis ..................................................... 33

viii
2. Fiqh al-Hadis .......................................................... 35
B. Teks Hadis tentang Berbicara dengan Efektif dan
Efisien .......................................................................... 39
1. Takhrij al-Hadis ..................................................... 39
2. Fiqh al-Hadis .......................................................... 40
C. Teks Hadis tentang Berbicara Jujur dan Tidak Dusta .. 43
1. Takhrij al-Hadis ..................................................... 43
2. Fiqh al-Hadis .......................................................... 45
D. Teks Hadis tentang Mendahulukan yang Lebih Tua
dalam Berbicara ........................................................... 50
1. Takhrij al-Hadis ..................................................... 51
2. Fiqh al-Hadis .......................................................... 52
E. Teks Hadis tentang Larangan Mencaci, Mencela
dan Berkata Keji ........................................................... 54
1. Takhrij al-Hadis ..................................................... 55
2. Fiqh al-Hadis .......................................................... 56
F. Teks Hadis tentang Menjauhi Perdebatan dengan
Lawan Bicara ............................................................... 59
1. Takhrij al-Hadis ..................................................... 60
2. Fiqh al-Hadis .......................................................... 61
G. Teks Hadis tentang Larangan Mengumpat atau
Ghībah .......................................................................... 64
1. Takhrij al-Hadis ..................................................... 65
2. Fiqh al-Hadis .......................................................... 66
H. Asbāb al-Wurūd al-Hadis............................................. 70
I. Pandangan Ulama Mengenai Etika Komunikasi ......... 73
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................. 76
B. Saran-saran ................................................................... 76

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 78


LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................... 83

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sunnah memiliki kedudukan yang penting dalam Islam karena kekuatan

otoritatif yang dimilikinya. Posisi tersebut menjadikannya sebagai salah satu

sumber dalam pengambilan dan penetapan hampir setiap keputusan hukum.1

Umat Islam bersepakat bahwa apa saja yang berasal dari Rasulullah Saw baik

berupa ucapan, perbuatan dan taqrīr yang diriwayatkan dengan sanad yang sahih

dan dengan jalan mutawātir maupun ahād maka wajib untuk mematuhi dan

mengamalkannya. Hal ini senada dengan yang tertera dalam al-Qur’an pada

surat al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:

 ‫اﷲ‬   َ‫ اﷲ‬         …

 

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”

Ayat di atas menegaskan tentang kewajiban untuk mengikuti dan

mentaati Rasulullah Saw.2 Termasuk di dalamnya mematuhi apa yang ia

perintahkan dan berusaha menjauhi hal-hal yang ia larang. Semua ajaran Islam,

baik itu anjuran, perintah dan larangan, telah diatur dan tertera di dalam al-

Qur’an dan hadis. Jika penjelasan di dalam al-Qur’an masih bersifat umum,

maka penjelasan yang terperinci akan ditemukan di dalam hadis. Baik itu

1
Alamsyah, Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam dalam Pemahaman Syahrur dan Al-
Qaradhawi, Disertasi Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2005, h. 1.
2
Mannā’ al-Qaththān, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Penerjemah Mifdhol Abdurrahman
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 30.

1
2

perkara yang besar, sedang, maupun sangat kecil sekalipun akan ditemukan

penjelasannya di dalam al-Qur’an atau hadis. Dalam hadis sendiri, banyak

sekali ditemukan penjelasan yang berkenaan dengan adab dan etika, salah

satunya yaitu etika berkomunikasi.

Komunikasi merupakan salah satu fitrah manusia. Dengan komunikasi

manusia dapat mengekspresikan dirinya, membentuk jaringan interaksi sosial

dan mengembangkan kepribadiannya.3 Manusia yang terlatih untuk

berkomunikasi dan manusia yang tertutup serta enggan membangun interaksi

dengan individu lain sungguh berbeda. Mereka yang aktif berkomunikasi dan

berinteraksi dengan individu lain tidak akan menemukan kesulitan yang

signifikan dalam hidupnya. Berbeda halnya dengan manusia yang tertutup, ia

akan menemukan banyak kesulitan dalam hidupnya, karena ketidakmampuannya

dalam mengekspresikan diri. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa manusia

adalah makhluk sosial yang tidak mungkin bisa hidup sendirian, maka dalam hal

ini komunikasi merupakan jembatan yang menghantarkan manusia untuk

bersosialisi dan membangun empati antara satu individu dengan individu

lainnya.

Komunikasi mempunyai peran yang sangat penting dalam kelanjutan

hidup manusia, baik ketika kedudukannya sebagai seorang hamba dari Rabb-

nya, sebagai anggota masyarakat, anggota keluarga bahkan sebagai manusia

secara umumnya. Dengan kemampuan komunikasi, seseorang mampu memukau

pendengar selama berjam-jam, tanpa bergeming. Dengan kemampuan

3
Muh. Syawir Dahlan, Etika Komunikasi dalam Al-Qur’an dan Hadis, Jurnal Dakwah
Tabligh Vol. 15, No. 1, Juni 2014, h. 117.
3

berkomunikasi secara efektif, ternyata kebenaran pemikiran manusia yang

sedemikian relatif dapat mempengaruhi jalan pemikiran berjuta anak bangsa.4

Namun disisi lain, berkomunikasi juga dapat berakibat fatal jika tidak di

kontrol. Kenyataannya, tidak sedikit pertikaian dan perselisihan yang terjadi

dikarenakan komunikasi yang tidak beretika. Bahkan diantaranya ada yang

sampai menyebabkan pertumpahan darah yang mengerikan. Hal ini tidak akan

pernah terjadi jika umat manusia memahami dengan benar etika berkomunikasi

sebagaimana yang diajarkan oleh al-Qur’an dan sunnah.

Dalam segala hal, umat Islam hendaknya selalu bersandar kepada

keteladanan Nabi Muhammad Saw. Ia merupakan teladan utama bagi seluruh

umat manusia.5 Sebagaimana yang telah diketahui, Nabi Muhammad Saw adalah

sosok yang sangat berhasil, baik dalam kedudukannya sebagai hamba Allah,

sebagai Rasul, maupun sebagai model kehidupan manusia yang layak diteladani

oleh para pengikutnya hingga akhir zaman.6

Mengenai tutur kata dan lisan Nabi Saw, al-Jāhiz mengatakan bahwa

pada lisan Rasulullah Saw, Allah telah menaruh cinta dan dikumpulkan padanya

kewibawaan dan kemanisan, tidak ada yang tergelincir, tidak ada yang terbantah

dan tidak seorang pun musuh yang mampu menentang.7 Dikarenakan hal inilah

umat manusia khususnya kaum muslimin hendaknya meneladani lisan dan tutur

kata Nabi Saw serta menjadikannya panutan ketika berkomunikasi.

4
Muh. Syawir Dahlan, Etika Komunikasi dalam Al-Qur’an dan Hadis, h. 116.
5
Abdullah Syihata, Dakwah Islamiyah, diterjemahkan oleh Ibrahim Husein dkk (Proyek
Pembinaan Prasarjana dan Sarjana Perguruan Tinggi Agama: Departemen Agama, 1986), h. 23.
6
M. Munir, Metode Dakwah, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 204.
7
Abdurrahman Azam, Keagungan Nabi Muhammad SAW: Kepahlawanan dan
Keindahan Kehidupan Rasulullah (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1982), h. 113.
4

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhāri, Rasulullah Saw

menjelaskan tentang bahaya yang akan menimpa seorang hamba jika ia bertutur

kata dan bicara yang salah. Hadis tersebut berbunyi:

ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ََ ََ ََْ ‫يَ بْ ِن‬ َ َ ‫يم ََ ْن‬ َ ‫يم بْ ُن َحََْزَة َح َّدثَِِن ابْ ُن أَِب َحز ٍِِ ََ ْن ََِز‬
َ ‫َد ََ ْن َُُ ََّّد بْ ِن إبْ َراى‬ ُ ‫َح َّدثَِِن إبْ َراى‬
ُ ‫صَّْ اﷲ َََْْي ِو َو َسَّْ َم ََ ُق‬
‫ول إِ َّن الْ َعْب َد لَيَتَ َكَّْ ُم‬ َ ‫ول اﷲ‬ َ ‫بْ ِن َُبَ ْي ِد اﷲ الت َّْي َِّ ِّي ََ ْن أَِب ُىَرَْ َرةَ ََِس َع َر ُس‬
.‫ش ِرِق‬ ِ ِ ِ َّ ‫بِزلْ َكَِّْ ِ َ مز َ تب‬
َ ْ َ‫َّي ف َيهز ََِزُّل ِبَز ِِف النَّز ِر أَبْ َع َد ِمَّز ب‬
ْ ََّ ْ‫َّي ال‬
8
ُ َََ َ َ
“Telah menceritakan kepadaku Ibrāhim bin Hamzah telah menceritakan
kepadaku Ibnu Abu Hāzim dari Yazīd dari Muhammad bin Ibrāhim dari Isa bin
Talhah bin 'Ubaidullāh Al-Taimī dari Abu Hurairah dia mendengar Rasulullah
shallallāhu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya seorang hamba
mengucapkan kalimat tanpa diteliti yang karenanya ia terlempar ke neraka
sejauh antara jarak ke timur.”

Ibnu Hajar menjelaskan, bahwa hadis di atas merupakan peringatan dari

Rasulullah Saw untuk umatnya agar senantiasa menjaga lisan. Maksudnya,

menjaga ucapan agar tidak melontarkan perkataan yang tidak baik secara syar’i

dan tidak dibutuhkan oleh yang diajak bicara.9 Menjaga lisan dianggap sangat

penting, karena ia menjadi penentu akhir perjalanan hidup manusia, di surga atau

neraka.

Pada hadis lain, Rasulullah Saw menegaskan tentang lebih utamanya

diam daripada mengeluarkan perkataan yang tidak baik. Bahkan pada hadis

tersebut dinyatakan bahwa lisan yang baik merupakan ciri dari seorang yang

beriman. Hadis tersebut berbunyi:

8
Muhammad bin Ismāīl bin al-Mughīrah al-Bukhāri, Sahīh al-Bukhāri (Riyādh:
Maktabah al-Rusyd, 2006), h. 897.
9
Ibnu Hajar al-Asqalāni, Fath al-Bāri. Penerjemah Amir Hamzah (Jakarta Selatan:
Pustaka Azzam, 2009), Jilid 31, h. 267.
5

‫س ََ ْن ابْ ِن ِش َهزب ََ ْن أَِب َسَْ ََّ ََ بْ ِن ََْب ِد‬ ِ ْ ‫زل أ‬


ُ ُ‫َخبَ َرِن َُون‬ َ َ‫َح َّدثَِِن َح ْرَمَْ َُ بْ ُن ََْي ََي أَنْبَأَنَز ابْ ُن َوْىب ق‬
‫زل َم ْن َكز َن َُ ْؤِم ُن بِزﷲ َوالْيَ ْوٍِ ْاْل ِخ ِر‬
َ َ‫صَّْ اﷲ َََْْي ِو َو َسَّْ َم ق‬ ِ
َ ‫الر َْحَ ِن ََ ْن أَِب ُىَرَْ َرَة ََ ْن َر ُسول اﷲ‬ َّ
‫فَْيَ ُق ْل َخْي ًرا أ َْو لِيَ ْص َُّ ْت َوَم ْن َكز َن َُ ْؤِم ُن بِزﷲ َوالْيَ ْوٍِ ْاْل ِخ ِر فَْيُ ْك ِرٍْ َج َزرهُ َوَم ْن َكز َن َُ ْؤِم ُن بِزﷲ‬
ِ ِ
َ ٍْ‫َوالْيَ ْوٍ ْاْلخ ِر فَْيُ ْك ِر‬
ُ‫ضْي َفو‬
10

“Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya telah


memberitakan kepada kami Ibnu Wahab dia berkata, telah mengabarkan
kepadaku Yūnus dari Ibnu Syihāb dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu
Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia
mengucapkan perkataan yang baik atau diam. Dan barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tetangganya. Dan
barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia
memuliakan tamunya.”

Menurut hadis di atas, menjaga lisan bisa dilakukan dengan dua cara,

yaitu dengan berkata baik atau kalau tidak mampu maka diam. Dengan demikian

diam kedudukannya lebih rendah daripada berkata baik, namun masih lebih baik

dibandingkan dengan berkata yang tidak baik.

Pada hadis lain Rasulullah Saw menjelaskan mengenai jaminan surga

bagi orang-orang yang mampu menjaga lisan. Dalam hadis tersebut

digambarkan tentang dahsyatnya lisan yang bisa membawa manusia ke dalam

surga jika dijaga dan dipelihara. Hadis tersebut berbunyi:

‫َحدَّثَنَز َُُ ََّّ ُد بْ ُن أَِب بَكْر الْ َُّ َقد َِّم ُّي َحدَّثَنَز َُ ََّ ُر بْ ُن ََِْ ٍّي ََِس َع أَبَز َحز ٍِ ََ ْن َس ْه ِل بْ ِن َس ْعد ََ ْن‬

ََ َّ‫اْلَن‬ ْ ‫َّي ِر ْجَْْي ِو أ‬


ْ ُ‫َض ََّ ْن لَو‬ ِ
َ ْ َ‫ض ََّ ْن ِِل َمز ب‬
َ ْ َ‫َّي ََلْيَ ْيو َوَمز ب‬ َ َ‫صَّْ اﷲ َََْْي ِو َو َسَّْ َم ق‬
ْ ََ ‫زل َم ْن‬ ِ
َ ‫َر ُسول اﷲ‬
11

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu Bakr Al


Muqaddamī telah menceritakan kepada kami Umar bin Alī dia mendengar Abu
Hazim dari Sahl bin Sa'd dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beliau
bersabda: "Barangsiapa dapat menjamin bagiku sesuatu yang berada di antara
kedua tulang pipinya dan di antara kedua kakinya, maka aku akan menjamin
baginya surga.”

10
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjāj al-Naisābūrī, Sahīh Muslim, Jilid I (Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiyah, 1991), h. 68.
11
Al-Bukhāri, Sahīh al-Bukhāri…, h. 897.
6

Ibn Hajar menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “sesuatu yang ada

di antara kedua tulang pipinya” adalah bibir, tempat keluarnya lisan dan

perkataan. Barangsiapa yang bisa menjaganya, maka ia terpelihara dari semua

keburukan, karena yang tersisa tinggal pendengaran dan penglihatan.12 Hadis di

atas menjelaskan tentang pentingnya peran lisan di kehidupan manusia, sehingga

ia menjadi jaminan masuknya seorang hamba ke dalam surga. Lisan yang baik

dan terjaga akan mengantarkan pemiliknya ke dalam surga, begitupun

sebaliknya, lisan yang kotor dan tidak terpelihara akan mengantarkan

pemiliknya ke jurang api neraka.

Begitu banyak hadis-hadis yang disampaikan oleh Rasulullah Saw yang

berkenaan dengan etika berkomunikasi, namun sangat sedikit yang

mempraktikkannya di kehidupan sehari-hari. Bahkan yang terjadi saat ini sangat

bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh agama. Dewasa ini sangat

banyak lisan-lisan yang tidak beretika, ucapan-ucapan dusta, bahkan fitnah dan

namīmah merajalela di setiap sudut negeri. Padahal ancaman terhadap pelaku

dusta, ghībah, namīmah, fitnah dan penyakit lisan lainnya sudah sangat jelas

tertera di dalam hadis Nabi Saw.

Melihat fenomena yang terjadi, penulis merasa perlu untuk meneliti

bagaimana hadis Nabi Saw memberikan rambu-rambu dalam hal etika

berkomunikasi antar sesama. Hal ini dirasa perlu oleh penulis, karena pijakan

dan panutan umat manusia setelah al-Qur’an adalah hadis Nabi Saw. Oleh

karena itu penulis memilih judul skripsi adalah “Studi Tematik Hadis tentang

Etika Berkomunikasi.”

12
Ibnu Hajar al-Asqalāni, Fath al-Bāri…, Jilid 31, h. 271.
7

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Etika berkomunikasi merupakan hal yang sangat penting untuk

diketahui. karena komunikasi antar sesama merupakan aktivitas sehari-hari

yang akan senantiasa dilakukan. Untuk menemukan hadis-hadis yang berkenaan

dengan etika berkomunikasi, penulis melakukan pelacakan terhadap kitab-kitab

takhrij, yakni kitab Mu’jam al-Mufahras li Alfāz al-Hadīs, Miftāh al-Kunūz al-

Sunnah dan Mausū’ah Aṯrāf al-Hadīts. Selain itu, penulis juga menggunakan

jasa komputer dengan program CD Lidwa yang mampu mengakses sembilan

kitab sumber primer hadis.

Penelurusan hadis menggunakan kata kunci 13‫ قال‬, 14‫ حدث‬15‫ لسن‬dan 16‫كلم‬.

Setelah dilakukan pelacakan dengan 4 kata kunci tersebut, penulis menemukan

hadis-hadis yang berkenaan dengan hal-hal yang diperintahkan dan dilarang

ketika berkomunikasi. Data yang ditemukan menunjukkan bahwa terdapat

beberapa etika yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw, di antaranya adalah

etika komunikasi lisan dan komunikasi gerak tubuh atau isyarat.

2. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang dan identifikasi masalah yang telah

diuraikan di atas, maka diperlukan pembatasan masalah guna menjaga agar

penelitian ini fokus pada pembahasan dan lebih terarah. Penelitian ini akan

penulis fokuskan kepada hadis-hadis yang berkenaan dengan etika komunikasi

lisan saja.

13
A.J. Wensinck, Mu’jam Al Mufahras Li Alfāz Al Hadīts An Nabawy, Juz V (Madinah:
Maktabah Baril, 1936), h. 504.
14
A.J. Wensinck, Mu’jam Al Mufahras Li Alfāz Al Hadīts An Nabawy…, Juz I, h. 433.
15
A.J. Wensinck, Mu’jam Al Mufahras Li Alfāz Al Hadīts An Nabawy…, Juz VI, h. 115.
16
A.J. Wensinck, Mu’jam Al Mufahras Li Alfāz Al Hadīts An Nabawy…, Juz VI, h. 55.
8

Hadis Nabi Saw yang berbicara mengenai etika komunikasi juga

terpencar di beberapa kitab hadis, maka penulis sekiranya juga perlu

membatasi sumber rujukan kitab matan yang akan dipakai. Pada penelitian ini,

penulis membatasi kajian terhadap hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-

Kutub al-Sittah saja, yakni Sahīh al-Bukhārī, Sahīh Muslim, Sunan Abū Dāud,

Sunan al-Tirmidzī, Sunan al-Nasā’ī dan Sunan Ibnu Mājah. Hal ini

dikarenakan kitab-kitab tersebut merupakan enam kitab induk hadis yang

paling utama dan sudah diakui ke-eksistensiannya.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan

sebuah masalah, yaitu: Bagaimana etika berkomunikasi menurut hadis Nabi

Saw?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Pada dasarnya setiap penelitian yang dilakukan memiliki konsekuensi

logis yang berupa tujuan dan manfaat, baik secara teori, praktis maupun

akademis.

1. Tujuan Penelitian:

a. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana hadis-hadis Nabi

Saw berbicara mengenai etika berkomunikasi.

b. Dalam rangka memenuhi salah satu syarat akhir studi S1 di Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah.

2. Manfaat Penelitian:

a. Secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangsih dalam kajian Islam khususnya dalam kajian hadis dan


9

bermanfaat khususnya bagi penulis serta umumnya untuk masyarakat

Islam.

b. Aspek Praktis, melalui penelitian terhadap hadis-hadis tentang etika

komunikasi ini, penulis berharap dapat memberi masukan kepada

kaum muslimin untuk senantiasa memperhatikan adabnya ketika

berkomunikasi dengan lawan bicaranya sesuai dengan tuntunan hadis.

c. Aspek akademis, menambah keilmuan penulis akan berbagai hadis

yang berkenaan dengan etika komunikasi.

D. Kajian Pustaka

Dalam melakukan sebuah penelitian, tentunya seorang penulis akan

memerlukan beberapa referensi sebagai bahan untuk tulisan yang akan diteliti.

Untuk menghindari plagiarisme dan menegaskan perbedaan antara yang akan

penulis bahas dengan tulisan yang telah ada sebelumnya, maka penulis akan

mengulas tulisan lain yang dirasa memiliki judul ataupun pembahasan yang

hampir serupa dengan apa yang akan penulis bahas.

Di antara tulisan tersebut adalah skripsi yang ditulis oleh Amir Mu’min

Solihin, Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2011. Skripsinya berjudul “Etika Komunikasi Lisan

Menurut Al-Qur’an: Kajian Tafsir Tematik”. Dengan menggunakan metode

maudū’ī, penelitian dilakukan dengan mengumpulkan semua ayat al-Qur’an

yang berkenaan dengan etika berkomunikasi. Data yang ditemukan dari

penelitian menunjukkan bahwa kata komunikasi banyak ditemukan dalam al-

Quran baik yang menggunakan kata qāla, takallama, dan lain-lain. Dari semua

ayat yang diteliti, di dapatkan kesimpulan bahwa rumusan al-Qur’an terhadap


10

etika komunikasi adalah; berkomunikasi haruslah baik; isi pembicaraan haruslah

benar; dalam berkomunikasi harus menggunakan kalimat yang baik dan

menjauhi kalimat buruk; tidak boleh berkata bohong dan salah (batil);

merendahkan diri saat berkomunikasi; dan larangan bersikap manja bagi wanita

ketika berkomunikasi dengan laki-laki yang bukan muhrim.

Penelitian sebelumnya terfokus kepada etika berkomunikasi yang

terdapat dalam al-Qur’an, maka penulis pada penelitian ini akan berusaha

membahasnya dari perspektif yang berbeda, yakni etika berkomunikasi

dipandang dari perspektif hadis Nabi Saw. Sejauh pengetahuan penulis,

penelitian secara terfokus dengan tema ini belum pernah dilakukan.

E. Metodologi Penelitian

Sebagai landasan operasional dalam penulisan skripsi ini penulis

menggunakan metode tertentu yang kemudian penulis membatasinya kepada

beberapa bagian, yaitu:

1. Sumber Data

Dalam melakukan pengkajian dan penelitian terhadap hadis-hadis

tentang etika berkomunikasi, penulis sepenuhnya melakukan studi

kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan adalah tehnik

pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-

buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada

sehingga diperoleh data-data yang diperlukan yang berhubungan dengan

masalah yang dipecahkan.17

17
M. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), h. 27.
11

Sebagai langkah awal penelitian ini, dilakukan penelusuran terhadap

bahan-bahan kajian yang akan diambil dari data kepustakaan, baik dari

sumber utama (primer), maupun sekunder. Adapun sumber primer yaitu

kitab hadis (al-Kutub al-Sittah) yang memuat hadis-hadis tentang etika

berkomunikasi berikut kitab syarah-nya. Sedangkan sumber sekunder

diambil dari buku-buku, karya ilmiah, artikel-artikel, majalah yang relevan

dengan tema dan hadis yang akan diteliti.

2. Metode Pengumpulan Data

a. Metode Tematik (Maudū’ī)

Metode tematik (maudū’ī) adalah menafsirkan al-Qur’an (ayat-ayat

al-Qur’an) sesuai dengan tema yang telah ditetapkan atau tafsir yang

mengkaji masalah-masalah khusus ayat-ayat al-Qur’an dengan masalah

yang dibahas.18 Menurut Abd. Al-Hayy al-Farmawī, metode tematik atau

maudū’ī adalah menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai maksud

yang sama, dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah yang

menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat tersebut. 19

Pendekatan maudū’ī pada hadis tidak jauh berbeda dengan

pendekatan maudū’ī pada tafsir, yakni menghimpun hadis-hadis yang

membicarakan satu topik masalah yang sama kemudian memberikan

penjelasan terhadapnya. Sehingga pada penelitian ini, penulis mencoba

mengumpulkan hadis-hadis yang berkenaan dengan etika berkomunikasi

18
Muhammad Ali, Mengapa Tafsir al-Qur’an Dibutuhkan (Semarang: Wicaksana, t.th.),
h. 119
19
Abd. Al-Hayy Al-Farmawī, Metode Tafsir Maudhu’i: Suatu Pendekatan (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994), h. 36.
12

yang terdapat dalam al-Kutub al-Sittah, kemudian menarik kesimpulan dan

memberi penjelasan terhadap hadis-hadis tersebut.

b. Metode Analisis Data

Metode Deskriptif adalah menguraikan secara teratur seluruh konsep

yang akan dikaji.20 Sedangkan analisis adalah metode yang digunakan untuk

pemeriksaan secara konseptual atas data-data yang ada, kemudian

mengklarifikasi sesuai permasalahan, dengan maksud untuk memperoleh

atas data yang sebenarnya.21 Dalam hal ini penulis memaparkan data yang

ada yaitu berupa hadis-hadis Nabi Saw tentang etika berkomunikasi dan

mengklarifikasikan juga menafsirkannya. Adapun metode penelitian dalam

skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Langkah pertama, yakni melakukan pelacakan hadis, melalui kitab-

kitab Takhrij al-Hadīts sesuai dengan matan dari hadis-hadis yang

akan diteliti. Dalam hal ini, pelacakan hadis menggunakan tiga

kitab takhrij, yakni Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts, Miftāh

al-Kunūz al-Sunnah yang merupakan karangan A.J. Wensinck dan

Mausū’ah Aṯrāf al-Hadīts al-Syarīf karya Abu Hajir Muhammad

al-Said Basyuni Zaghlul.

2. Langkah selanjutnya adalah melakukan telaah terhadap matan

hadis dan memberikan kesimpulan berupa pesan penting dari

hadis-hadis tersebut.

20
Anton Bakker dan Chairris Zubair. Metode Penulisan Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,
1994), h. 65.
21
Lois O Katsoff, Pengantar Filsafat. Terj. oleh Suyono Sumargono (Yogyakarta, 1992),
h. 70.
13

c. Metode Penulisan

Metode penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman

Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015.

F. Sistematika Penulisan

Agar pembahasan ini berjalan dengan sistematis dan menghasilkan

sebuah skripsi yang utuh dan komprehensif, maka penelitian ini dibagi dalam

sub-sub bab sesuai dengan cakupan bab. Penulis membagi tulisan ini kepada

empat bab. Bab pertama berisikan gambaran umum penulisan skripsi yang

meliputi latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penulisan, kajian pustaka, metodologi penulisan dan sistematika penulisan.

Setelah menjelaskan latar belakang dan rumusan masalah pada bab

pertama, pada bab kedua penulis akan menguraikan mengenai tinjauan umum

mengenai etika komunikasi. Pada bab ini akan dimuat pembahasan mengenai

pengertian etika komunikasi, macam-macam etika komunikasi dan kedudukan

etika komunikasi dalam Islam. Pada bab ketiga, penulis akan masuk kepada

pembahasan inti. Yakni kajian mengenai hadis-hadis yang berkenaan dengan

etika komunikasi. Penulis telah mengklasifikasikannya menjadi beberapa sub-

bab sesuai dengan kebutuhan penelitian.

Pada bab keempat adalah penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-

saran bagi dunia akademik untuk menggali lebih spesifik lagi tentang tema

terkait. Terakhir adalah daftar pustaka yang menjadi rujukan penulis dalam

membuat skripsi ini dan lampiran-lampiran.


BAB II

SEKILAS MENGENAI TEMATIK, HADIS DAN ETIKA KOMUNIKASI

A. Sekilas Mengenai Tematik

1. Tematik Secara Etimologi dan Terminologi

Secara etimologis, tematik berasal dari bahasa Yunani thema dari

'tithemi yang berarti menempatkan atau menunjukkan. Dalam Kamus Besar

Ilmu Pengetahuan disebutkan setidaknya ada tiga pengertian umum tentang

tematik, yakni: a) Ciri khusus kegiatan tahu dan pengetahuan manusia, b)

Pengetahuan yang bersifat eksplisit, refleks, tepat secara konseptual, c) Isi dari

tindakan pengetahuan yang dikenal secara langsung.1 Secara terminologis,

tematik seringkali disamakan dengan maudhū’ī (berasal dari bahasa Arab ‫وضع‬

yang berarti meletakkan). Pendekatan tematik (maudhū’ī) diartikan sebagai

menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an sesuai dengan tema yang telah ditetapkan oleh

oleh pengkaji.2

Sesuai dengan namanya tematik, maka yang menjadi ciri utama dari

pendekatan ini adalah menonjolkan sebuah tema, judul dan topik pembahasan.

Mufassir akan mencari tema-tema dan masalah yang ada di tengah masyarakat

dan disesuaikan dengan ayat yang ada dalam al-Qur‟an. Tema-tema yang

terpilih kemudian dikaji secara menyeluruh agar menemukan sebuah solusi dari

permasalahan tersebut.3

1
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (T.tp: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN, 2013), h. 1783.
2
M. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), h. 27.
3
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), h. 152.

14
15

2. Tematik Menurut Para Ahli

Metode tematik atau maudhū’ī menurut Abd. Al-Hayy al-Farmawi

adalah menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang mempunyai maksud yang sama,

dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah yang menyusunnya

berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat tersebut.4 Menurut Muhammad

Baqir al-Sadr bahwa istilah tematik digunakan untuk menerangkan ciri pertama

dari bentuk tafsir ini, yaitu memulai dari sebuah terma yang berupa kenyataan

eksternal dan kembali ke al-Qur‟an.5

Pendekatan maudhū’ī pada kajian hadis tidak jauh berbeda dengan

pendekatan maudhū’ī pada tafsir, yakni upaya seorang peneliti dalam

menghimpun hadis-hadis yang membicarakan satu topik masalah yang sama

kemudian menganalisa dan memberikan penjelasan terhadap hadis-hadis

tersebut.

B. Sekilas Mengenai Hadis

1. Pengertian Hadis

Secara etimologis hadis adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdīts

yang berarti al-Ikhbār (pemberitaan)6 dan lawan dari kata Qadīm (lama).7 Kata

“hadis” itu sendiri berasal dari akar kata ً‫ ُح ُد ْوثًا – َو َح َدثَة‬-‫ث‬


ُ ‫ث – ََْي ُد‬
َ ‫ َح َد‬yang memiliki

beberapa makna, antara lain : ُ‫( اجلِدة‬al-jiddah = baru), ‫( الط ِري‬al-ṯarī = lunak,

4
Abd. Al-Hayy Al-Farmawy, Metode Tafsir Maudhu’i: Suatu Pendekatan (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994), h. 36.
5
Maragustam Siregar, “Metode Tafsir Maudhu‟i (Tematik),” Artikel diakses pada 6
Maret 2017 dari https://maragustamsiregar.wordpress.com/2011/01/10/metode-tafsir-tematik-oleh-
h-maragustam-siregar-prof-dr-m-a/
6
Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 1.
7
Ibnu Nashirudin al-Dimasyqi, Mutiara Ilmu Atsar Klarifikasi Kitab Hadis; Permata
Salaf yang Terpendam, Penerjemah Faisal Saleh (Jakarta: AKBAR Media Eka Sarana, 2008), h.
128.
16

lembut dan baru) dan ‫( اخلرب و الكالم‬al-khabar = berita dan al-kalām = perkataan).8

Sedangkan menurut istilah muhadditsīn, hadis adalah apa yang disandarkan

kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat

atau sirah beliau, baik sebelum dan sesudah kenabian.9

Menurut para pakar ilmu hadis, hadis mempunyai beberapa

sinonim/murādif, yaitu sunnah, khabar dan atsar. Berikut penjelasannya:

a. Mengenai sunnah itu sendiri, jumhur muhadditsīn sepakat bahwa tidak

ada perbedaan antara hadis dan sunnah kecuali dari segi makna

etimologi.10 Hadis secara etimologi diartikan sebagai sesuatu yang

baru,11 sedangkan sunnah diartikan sebagai jalan yang biasa ditempuh

dan dilalui.

b. Khabar, menurut etimologi berarti al-Nabā` (berita). Sedangkan menurut

istilah, jumhur ahli hadis ada yang menyamakannya dengan hadis, akan

tetapi sebagian yang lain membedakan keduanya.12 Mereka mengatakan

bahwa khabar sifatnya lebih umum dibandingkan hadis. Jika hadis

adalah apa yang datang dari Nabi Saw, maka khabar adalah apa yang

datang dari selainnya.13

c. Sinonim hadis yang ketiga adalah atsar. Menurut bahasa atsar berarti

bekas sesuatu. Sedangkan menurut istilah ada dua pendapat, ada yang

mengatakan bahwa atsar dan hadis mempunyai makna yang sama,

8
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2013), h. 1-2.
9
Mannā‟ al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Penerjemah Mifdhol Abdurrahman
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 22.
10
Al-Dimasyqi, Mutiara Ilmu Atsar Klarifikasi Kitab Hadis…, h. 128.
11
A. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits (Bandung: CV Penerbit Diponogoro, 2002), h.
17.
12
Al-Dimasyqi, Mutiara Ilmu Atsar Klarifikasi Kitab Hadis…, h. 129.
13
Mannā‟ al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits…, h. 25.
17

pendapat kedua mengatakan bahwa atsar adalah apa yang disandarkan

kepada sahabat dan tabi‟in.14 Penulis lebih condong kepada pendapat

kedua.

Selanjutnya, dalam disiplin ilmu hadis juga dikenal istilah hadis qudsi.

Adapun qudsi menurut bahasa dinisbatkan kepada qudus yang berarti suci, yaitu

penisbatan yang menunjukkan adanya pengangungan dan pemuliaan. Sedangkan

menurut istilah, hadis qudsi adalah apa yang disandarkan oleh Nabi Saw dari

perkataan-perkataan beliau kepada Allah Swt.15 Al-Tiby sebagaimana yang

dikutip oleh Teungku Muhammad Hasbie Ash Shiddieqy mendefinisikan hadis

qudsi sebagai titah Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Saw lewat mimpi atau

dengan jalan ilham, lalu Nabi Saw menerangkan mimpinya tersebut dengan

susunan perkataan beliau sendiri dan menyandarkannya kepada Allah Swt.16

Hadis qudsi memang disandarkan kepada Allah Swt, akan tetapi

hakikatnya berbeda dengan Al-Qur‟an yang juga merupakan kalamullah.

Mannā‟ al-Qattān menyebutkan beberapa perbedaan antara hadis qudsi dan al-

Qur‟an, diantaranya:17

a. Al-Qur‟an lafazh dan maknanya berasal dari Allah Swt, sedangkan hadis

qudsi maknanya saja yang berasal dari Allah Swt sedangkan lafazhnya

dari Nabi Saw.

b. Jika membaca al-Qur‟an merupakan ibadah dan mendapat pahala disisi

Allah Swt, maka lain halnya dengan membaca hadis qudsi, membacanya

bukan termasuk ibadah dan tidak pula berpahala.

14
Mannā‟ al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits…, h. 25.
15
Mannā‟ al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits…, h. 25.
16
Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 18.
17
Mannā‟ al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits…, h. 26.
18

c. Disyaratkan mutawātir dalam periwayatan al-Qur‟an, sedang dalam hadis

qudsi tidak disyaratkan mutawātir.

Hadis qudsi juga mempunyai perbedaan dengan hadis nabawi. Hadis

nabawi seutuhnya disandarkan kepada Nabi Saw baik lafazh maupun maknanya,

sedangkan hadis qudsi lafazhnya dari Nabi Saw tapi maknanya berasal dari

Allah Swt.18

2. Pembagian Hadis

a. Pembagian hadis didasarkan pada jumlah periwayat hadis

Semua yang dikatakan Nabi Saw dalam berbagai kesempatan dan

kondisi merupakan hadis. Karena itu, mungkin saja perkataan Nabi Saw

tersebut didengar dan disaksikan oleh banyak orang atau mungkin hanya satu

orang saja. Dikarenakan oleh hal inilah, para ulama hadis mengklasifikasi hadis

berdasarkan jumlah periwayatnya menjadi dua, yaitu hadis mutawātir dan hadis

ahād.19

Hadis mutawātir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak rawi dari

awal hingga akhir sanad, serta akan tidak masuk akal (mustahil) jika mereka

bersepakat untuk mengadakan kebohongan.20 Sedangkan hadis ahād adalah

hadis yang tidak memenuhi syarat dari hadis mutawātir. Hadis ahād juga

terbagi kepada tiga macam, yakni hadis masyhūr, hadis azīz dan hadis gharīb.

Pertama, hadis masyhūr adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang

atau lebih pada tiap tingkatan sanad, namun tidak mencapai derajat mutawātir.

18
Mannā‟ al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits…, h. 26.
19
Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis…, h. 133.
20
Ahmad Umar Hāsyim, Qawā’id Ushūl al Hadīts (Beirut: Dār al-Kutub al-Arabī, 1984),
h. 143.
19

Kedua, hadis azīz adalah hadis yang tidak diriwayatkan oleh perawi yang

jumlahnya kurang dari dua orang pada tiap tingkatan sanadnya. Definisi inilah

yang dikemukakan oleh al-Hāfiẕ Ibn Hajar al-Asqalāni (w 825 H). Ketiga, hadis

gharīb adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu orang pada bagian

manapun dari sanadnya.21

b. Pembagian hadis ditinjau dari segi kualitasnya

Secara garis besar, hadis dikelompokkan menjadi dua kategori; hadis

yang bisa diterima (maqbūl) dan hadis yang ditolak (mardūd). Hadis bisa

maqbūl jika memenuhi persyaratan-persyaratan dari diterimanya sebuah hadis,

baik dari segi sanadnya (sanadnya muttasīl, rawinya adil dan dabīt) maupun

matannya (terhindar dari syadz dan ‘illah).22 Pada akhirnya, dari segi diterima

dan tidaknya, hadis terbagi kepada tiga macam, sahīh, hasan dan da’īf.

Hadis sahīh adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh

perawi yang adil, dabīṯ23, tidak syazd24 dan tidak illah25. Ketika salah satu dari

syarat hadis sahīh tidak terpenuhi (rawinya kurang dabīṯ), maka inilah yang

21
Al-Dimasyqi, Mutiara Ilmu Atsar Klarifikasi Kitab Hadis…, h. 147.
22
Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis…, h. 143.
23
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalāni, dhābiṯ dapat dimaknai dengan sesuainya sesuatu dan
tidak bertentangan dengan lainnya, mengingat sesuatu secara sempurna, kuat pegangannya.
Adapun pengertian dhābiṯ menurut istilah adalah seseorang yang kuat hafalannya tentang apa-apa
yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja dia menghendakinya.
Lihat: referensimakalah.com
24
Syadz secara bahasa adalah kata benda yang berbentuk isim fā’il dari kata syadza-
yasyudzu-syadzdzan-syādzdzun yang diartikan ganjil, tidak sama dengan mayoritas, tersendiri dari
kelompoknya atau bertentangan dengan kaidah. Sedangkan dari segi istilah adalah hadis yang
diriwayatkan orang makbūl menyalahi orang yang lebih utama darinya. Imam al-Syafi‟ī (w 204 H)
dan ulama Hijaz memberikan definisi adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang tsiqah tetapi
menyalahi atau bertentangan dengan periwayatan orang banyak. Lihat: Abdul Majid Khon, Takhrij
dan Metode Memahami Hadis, h. 117.
25
Illah menurut bahasa berarti cacat atau berpenyakit. Sedangkan menurut istilah illah
adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat pada hadis, sementara secara lahir tidak
tampak adanya cacat tersebut. Lihat: Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis,
h.123.
20

dinamakan dengan hadis hasan. Apabila sebuah hadis tidak terdapat padanya

sifat-sifat hadis sahīh dan hadis hasan, maka ia dinamakan hadis da’īf.

Para ulama bersepakat bahwa hadis sahīh dan hasan wajib untuk

diamalkan, namun tidak halnya dengan hadis da’īf. Mereka berbeda pendapat

mengenai boleh atau tidaknya beramal dengan hadis da’īf. Pendapat mereka

dapat diklasifikasi menjadi tiga macam. Pertama, ulama yang tidak

membolehkan sama sekali dalam mengamalkannya. Di antara ulama yang

berpegang pada pendapat ini adalah Yahya bin Ma‟īn, al-Bukhāri dan Muslim.

Kedua, ulama yang membolehkan secara mutlak. Pendapat ini dianut oleh

kebanyakan ulama fikih seperti Abu Hanīfah, al-Syāfi‟ī, Mālik dan Ahmad.

Ketiga, ulama yang membolehkan beramal padanya dengan beberapa syarat;

kelemahan hadis tersebut tidak seberapa dan terkhusus pada masalah targhīb,

tarhīb serta keutaman amal saja.26

3. Kedudukan dan Fungsi Hadis

Ahli ‘aql dan ahli naql dalam Islam telah ber-ijma’ bahwa hadis adalah

dasar bagi hukum-hukum Islam dan umat diperintahkan untuk mengikutinya

sebagaimana mengikuti al-Qur‟an.27 Al-Quran merupakan wahyu yang

disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, di dalamnya dimuat berbagai

petunjuk untuk umat manusia. Akan tetapi, penjelasan yang ada dalam al-

Qur‟an tidak semuanya bersifat rinci. Masih banyak ayat-ayat yang global dan

tidak mungkin dipahami kecuali dengan membuka kitab-kitab hadis. Terhadap

26
Mannā‟ al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits…, h. 131.
27
Hasbie Ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits…, h. 127.
21

ayat al-Qur‟an yang masih bersifat global maknanya, maka hadis Nabi Saw

berperan sangat penting dalam memberikan penjelasan terhadapnya.28

Rasulullah Saw mendapatkan izin langsung dari Allah Swt untuk

menyelesaikan masalah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan

kepadanya, dan seluruh umat Islam berkewajiban untuk mengikutinya. Hal ini

tercermin dalam surat al-Hasyr ayat 7:

...       ...

“...Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…”

Ayat di atas mengajarkan bahwa apa saja yang disampaikan oleh Nabi

Saw, maka wajib untuk diikuti dan apa saja yang dilarang oleh Nabi Saw maka

wajib untuk ditinggalkan. Dalam surat Ali Imran ayat 32 juga dijelaskan:

    َ‫ اﷲ‬     َ‫ اﷲ‬ 

“Katakanlah: „Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka


Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa adalah sebuah kewajiban untuk mentaati

Rasulullah Saw. Bahkan taat kepada beliau berada setelah ketaatan kepada Allah

Swt. Hal inilah yang menjadi landasan kewajiban ittibā’ kepada hadis-hadis

Nabi Saw.

Selanjutnya, menurut M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi ada beberapa

fungsi hadis dalam kaitannya dengan al-Qur‟an, di antaranya:29

28
Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis…, h. 194.
29
M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015),
h. 78.
22

a. Bayān al-Tafsīr, yakni hadis memberikan tafsīl kepada ayat-ayat yang

masih mujmal, memberikan taqyīd ayat-ayat yang masih mutlaq dan

memberikan takhsīs ayat-ayat yang masih ‘ām,

b. Bayān al-Taqrīr (Bayān al-Ta’kid), yakni hadis berfungsi untuk

memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur‟an,

c. Bayān al-Nasakh, yakni hadis sebagai ketentuan yang datang berikutnya

dapat menghapus ketentuan-ketentuan atau isi al-Qur‟an yang datang

kemudian.

C. Etika Komunikasi

1. Pengertian Etika Komunikasi

Secara etimologi, etika berasal dari kata bahasa Yunani ethos. Dalam

bentuk tunggal, “ethos” berarti tempat tinggal yang biasa, kebiasaan, adat,

akhlak dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak ta etha berarti adat kebiasaan.

Sedangkan menurut istilah, etika dimaknai sebagai nilai-nilai dan norma yang

menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah

lakunya.30

Sementara itu, pengertian etika menurut Ki Hajar Dewantara

sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, adalah ilmu yang mempelajari

soal kebaikan dan keburukan dalam kehidupan manusia, terutama yang

berhubungan dengan pikiran dan perasaan yang akhirnya mencapai tujuannya

dalam bentuk perbuatan.31 Selanjutnya, Burhanudin Salam mengungkapkan

bahwa etika adalah suatu cabang ilmu Filsafat yang berbicara tentang nilai-nilai

dan norma yang dapat menentukan perilaku manusia dalam kehidupannya.


30
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2009), h. 173.
31
Abudin Nata, Ahklak Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), h. 88.
23

Definisi etika menurut A. Mustafa tidak jauh berbeda dari Ki Hajar Dewantara,

menurutnya etika adalah ilmu yang menyelidiki terhadap perilaku mana yang

baik dan yang buruk dan juga dengan memperhatikan perbuatan manusia sejauh

apa yang telah diketahui oleh akal pikiran.32

Dari pengertian tentang etika yang telah disebutkan, dapat diketahui

bahwa ada beberapa hal yang berkaitan erat dengan etika, yakni bahwa etika

selalu dikaitkan dengan perbuatan dan tingkah laku manusia; etika adalah

sebuah ilmu yang mengatur baik dan buruk; dan etika mempunyai hubungan

erat dengan norma dan nilai yang berlaku di kehidupan.

Etika mengatur segala gerak-gerik dan tingkah laku manusia dalam

kehidupan agar timbul kesadaran, keseimbangan dan menghindarkan manusia

dari kerusakan budi. Karna dengan budi pekertilah manusia dihargai, dan hal itu

pula yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Hal ini menandakan

betapa pentingnya etika dalam kehidupan manusia. Meskipun etika tidak dapat

membuat manusia menjadi pribadi yang baik secara instan, namun dengan etika

manusia dapat membuka mata dan melihat baik dan buruk.33 Seorang filosof, S.

Jack Odell sebagaimana dikutip oleh Richard L. Johannesen mengutarakan

tentang pentingnya etika, bahwa sebuah masyarakat bisa saja hancur jika tidak

memiliki etika.34

Etika mempunyai istilah lain yang semakna dengannya, yakni akhlak

(‫)األخالق‬. Dikatakan demikian, karena akhlak jika ditinjau dari segi bahasa

merupakan jamak dari kata khuluq atau khalq yang berarti tabi‟at, budi pekerti,

32
Seputar Pengetahuan, “15 Pengertian Etika menurut Para Ahli Terlengkap,” Artikel
diakses pada 3 Maret 2017 dari www.seputarpengetahuan.com/2015/10/15-pengertian-etika-
menurut-para-ahli-terlengkap.html
33
Ahmad Amin, Etika: Ilmu Akhlak (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), Cet ke-8, h. 6.
34
Richard L. Johannesen, Etika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), h. 6.
24

kebiasaan atau adat.35 Sedangkan definisi akhlak menurut istilah sebagaimana

yang dituturkan oleh Abdullah Nata adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang

mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pikiran dan

pertimbangan.36 Melihat pengertian-pengertian di atas, tidaklah salah jika etika

disamakan dengan akhlak, karena keduanya sama-sama mengatur mengenai

adab dan tata krama.

Selanjutnya, secara etimologi komunikasi berasal dari bahasa latin

“communicatio” dan perkataan sumbernya dari kata “communis” yang artinya

sama, pengertian sama yang dimaksud adalah sama makna.37 Sedangkan secara

terminologis, beberapa ahli mengungkapkan bahwa sulit untuk menemukan

makna hakiki dari komunikasi. hal ini dikarenakan kata kerja to communicate

(berkomunikasi) sudah sangat mapan sebagai kosakata yang umum dan

karenanya tidak mudah untuk menemukan maknanya. Stephen Littlejohn

sebagaimana dikutip oleh Morissan mengatakan: Communication is difficult to

define. The word is abstract and, like most term, posses numerous meanings

(Komunikasi sulit untuk didefinisikan. Kata “komunikasi” bersifat abstrak,

seperti kebanyakan istilah, memiliki banyak arti).38

Meskipun sulit untuk mengetahui makna hakiki dari komunikasi,

beberapa ahli melakukan terobosan dalam upaya mendefinisikannya. Menurut

Hovland seperti yang dikutip A. Markarma, bahwa komunikasi merupakan

suatu proses dimana seorang komunikator mengirimkan stimulus untuk

35
Sahriansyah, Ibadah dan Akhlak (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2014), h. 175.
36
Abudin Nata, Ahklak Tasawuf…, h. 3.
37
Tsalis Rifa‟i, “Komunikasi dalam Musyawarah (Tinjauan Konsep Asyura dalam
Islam),” Channel 3, no. 1 (April 2015): h. 37.
38
Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa (Jakarta: Prenada Media Group,
2015), Cet ke-3, h. 8.
25

mengubah perilaku dari orang lain atau komunikan. Pengertian lain menurut

Webster New Dictionary, bahwa komunikasi dimaknai sebagai seni

mengekpresikan ide-ide dan pikiran baik secara lisan maupun tulisan.39 Dan

Nimmo mendefinisikan komunikasi sebagai proses interaksi sosial yang

digunakan orang untuk menyusun makna yang merupakan citra mereka

mengenai dunia dan untuk bertukar citra tersebut melalui simbol-simbol.40

Menurut Muhammad Mufid, hakikat komunikasi adalah proses ekspresi

antar-manusia. Setiap manusia mempunyai kepentingan untuk menyampaikan

pikiran atau perasaan yang dimiliki.41 Komunikasi juga tidak luput dari

prosenya. Proses komunikasi terjadi ketika ada komunikator (orang yang

menyampaikan pesan), message (pesan yang disampaikan) dan komunikan

(orang yang menerima pesan). Ketika tiga hal tersebut terpenuhi dan ada pada

waktu tertentu, maka disaat itulah proses komunikasi berkemungkinan terjadi.

Setelah mengetahui definisi masing-masing dari etika dan komunikasi

baik secara bahasa maupun istilah, maka dapat dipahami bahwa etika

komunikasi adalah sesuatu yang mengatur cara penyampaian maksud dan

perasaan manusia kepada manusia lainnya, yang sesuai dengan nilai serta norma

yang berkembang di masyarakat dan bersifat konsensual.

Pengertian etika komunikasi lainnya adalah cara berkomunikasi yang

sesuai dengan standar nilai akhlak. Pengertian yang seperti ini terdengar

mempunyai nuansa begitu islami. Namun terdapat pengertian yang lebih umum,

bahwa etika komunikasi adalah sesuatu yang mengacu kepada pengertian

39
A. Markarma, “Komunikasi Dakwah Efektif dalam Perspektif al-Qur‟an,” Studi
Islamika 11, no. 1 (Juni 2014): h. 130.
40
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media (T.tp: Remadja
Karya CV, t.t.), h. 7.
41
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi…, h. 98.
26

bagaimana berkomunikasi yang sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di

masyarakat atau golongan tertentu.42

2. Macam-Macam Etika Komunikasi

Komunikasi tidak hanya multi makna dan multi definisi, namun

pembagiannya pun juga bermacam-macam.43 Menurut Hafied Cangara

sebagaimana yang ia kutip dari buku Human Communication (1980)

komunikasi terbagi kepada lima macam, yakni a) Komunikasi Antar Pribadi

(Interpersonal Communication), b) Komunikasi Kelompok Kecil (Small Group

Communication), c) Komunikasi Organisasi (Organizational Communication),

d) Komunikasi Massa (Mass Communication), dan e) Komunikasi Publik

(Public Communication).44

a. Etika Komunikasi Antar Pribadi

Komunikasi antar pribadi (interpersonal communication) adalah

komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka antara dua orang atau

lebih, baik secara terorganisasi maupun di kerumunan orang banyak.45 Etika

komunikasi antar pribadi bisa diartikan sebagai norma-norma yang harus

dipatuhi oleh dua orang atau lebih yang sedang berkomunikasi secara tatap

muka.

Lebih lanjut, pada komunikasi antar pribadi ini terdapat beberapa etika

yang harus dipenuhi, diantaranya: jujur dan terus terang, harus konsisten

42
Mafri Amir, Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam (Jakarta: Logos, 1999),
h. 33.
43
Anwar Arifin, Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2006), h. 31.
44
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2005), h. 29.
45
Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi…, h. 32.
27

terhadap apa yang disampaikan serta tidak memotong pembicaraan lawan bicara

dengan sengaja, termasuk di dalamnya tidak dengan tiba-tiba mengganti topik

pembicaraan.46

b. Etika Komunikasi Kelompok Kecil

Komunikasi kelompok kecil adalah proses komunikasi yang

berlangsung antara tiga orang atau lebih secara tatap muka, dan anggotanya

saling berinteraksi satu sama lainnya. Banyak kalangan yang menganggap

bahwa komunikasi kelompok kecil adalah bagian dari komunikasi antar

pribadi.47

Selanjutnya, etika komunikasi kelompok kecil bisa dimaknai sebagai

norma dan nilai yang harus dipatuhi ketika terjadi proses komunikasi dan

interaksi antara tiga orang atau lebih pada waktu tertentu.

c. Etika Komunikasi Organisasi

Etika Komunikasi organisasi adalah norma dan nilai yang harus dipatuhi

dan diterapkan ketika berada dalam forum diskusi atau lembaga tertentu. Etika

komunikasi organisasi berfungsi ketika mengatur penyelesaian konflik.48 Sudah

bukan lagi rahasia bahwa sebuah organisasi pasti dibumbuhi dengan

perselisihan dan konflik terutama ketika ingin mencapai sebuah keputusan

akhir. Maka pada saat itulah etika berfungsi untuk menjaga suasana agar tetap

tenang dan kondusif.

d. Etika Komunikasi Massa

Menurut Hafied Cangara komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai

proses komunikasi yang berlangsung yang message (pesan)nya dikirim dari


46
Richard L. Johannesen, Etika Komunikasi…, h. 148.
47
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi…, h. 32.
48
Richard L. Johannesen, Etika Komunikasi…, h. 162.
28

sumber yang melembaga kepada khalayak ramai melalui alat-alat mekanis

seperti radio, TV, surat kabar dan film. Ia mengungkapkan, bahwa komunikasi

masa mempunyai ciri tersendiri, ciri yang menonjol dari komunikasi tipe ini

adalah bahwa komunikasi yang terjadi antara komunikator dan komunikan

dihubungkan dengan alat yang bersifat mekanik. Komunikasi massa juga

bersifat sangat terbuka dan variatif, baik dari segi usia, suku, pekerjaan maupun

segi kebutuhan.49

Selanjutnya, dari keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa etika

komunikasi massa adalah norma dan nilai yang harus dipatuhi oleh

komunikator dan komunikan ketika proses komunikasi massa berlangsung.

Karena komunikasi ini bukan terjadi antara dua orang secara tatap muka, maka

yang perlu diperhatikan adalah pesan (message) yang disampaikan. Hendaknya,

pesan yang disajikan bersifat baik dan terhindar dari hal-hal yang berbau

negatif. Komunikan yang menerima message pun hendaknya selalu mengambil

sisi positif dari messege yang disampaikan.

e. Etika Komunikasi Publik

Komunikasi publik adalah suatu proses komunikasi yang pesan-

pesannya disampaikan oleh pembicara secara tatap muka kepada khalayak yang

lebih besar. Komunikasi ini sering disebut sebagai pidato, public speaking dan

komunikasi khalayak.50

Selanjutnya, dari definisi di atas dapat dipahami bahwa etika

komunikasi publik adalah norma dan nilai yang harus dipatuhi ketika proses

komunikasi publik berlangsung.

49
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi…, h. 36.
50
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi…, h. 34.
29

3. Kedudukan Etika Komunikasi dalam Islam

Islam memberikan perhatian yang besar terhadap etika. Hal ini terlihat

jelas ketika kita membaca dan merenungi lembaran kitab suci al-Qur‟an dan

hadis-hadis Nabi Saw. Dalam al-Qur‟an dapat ditemukan banyak ayat yang

berbicara tentang etika, baik etika kepada Tuhan, kepada orang tua, kepada

tetangga, dan manusia pada umumnya. Salah satu ayat yang berisikan tentang

etika terdapat dalam surat al-Isrā` ayat 23-24 yang berbunyi:

              

             

          

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah


selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-
baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”

Ayat di atas sarat dengan etika dan akhlak, baik itu kepada Allah Swt dan

kepada kedua orang tua. Termasuk akhlak kepada Allah Swt adalah dengan

tidak menyekutukannya dengan yang lain. Adapun akhlak kepada kedua orang

tua yang diajarkan oleh ayat di atas adalah dengan selalu berbuat baik kepada

keduanya, tidak melawan, tidak membentak, tidak meninggikan suara ketika

berbicara kepada mereka dan mendoakan keduanya dengan doa yang baik.

Terkhusus untuk etika dalam berkomunikasi, al-Qur‟an melalui ayat-

ayatnya yang agung telah memerintahkan manusia agar senantiasa berkata yang
30

baik. Hal ini sebagaimana yang dimuat dalam surat al-Nisā` ayat 5 yang

berbunyi:

       ‫ﷲ‬


ُ ‫ا‬     
  

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum


sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”

Pada ayat yang lain, Allah Swt memerintahkan manusia agar senantiasa
mengucapkan perkataan yang benar. Hal ini terdapat dalam surat al-Ahzāb ayat
70 yang berbunyi:

    َ‫ اﷲ‬   

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan


Katakanlah Perkataan yang benar.”

Dari ayat-ayat di atas, dapat diketahui bahwasannya al-Qur‟an yang

kedudukannya sebagai sumber hukum dan dalil paling utama dalam Islam

memberikan perhatian besar terhadap etika, khususnya etika berkomunikasi.

Tidak hanya sebatas itu, hadis yang merupakan sumber hukum kedua setelah al-

Qur‟an juga demikian. Dalam hadis-hadis yang telah dihimpun dalam kitab-

kitab hadis, ditemukan banyak sekali tuntunan Nabi Saw mengenai etika.

Nabi Muhammad Saw merupakan teladan bagi umat manusia. Beliau

dibekali oleh Allah perasaan lemah lembut, bijaksana dan sabar.51 Sebagaimana

yang telah diketahui, ia adalah sosok yang sangat berhasil, baik dalam

kedudukannya sebagai hamba Allah, sebagai Rasul, maupun sebagai model

51
Abdullah Syihata, Dakwah Islamiyah, diterjemahkan oleh Ibahim Husein dkk, (Proyek
Pembinaan Prasarjana dan Sarjana Perguruan Tinggi Agama: Departemen Agama, 1986), h. 23.
31

kehidupan manusia yang layak diteladani oleh para pengikutnya hingga akhir

zaman.52 Mengenai etika dalam berkomunikasi, Nabi Saw telah memberikan

rambu-rambu kepada kaum muslimin, bahkan hadis-hadis yang berkenaan

dengan hal itu sangat banyak jumlahnya. Salah satu hadis yang sangat familiar

adalah tentang perintah untuk mengucapkan hal-hal yang baik saja atau jika

memang tidak mampu berbuat demikian maka hendaklah diam. Hadis tersebut

berbunyi:

‫اب َع ْن أَِِب َسلَ َمةَ بْ ِن‬ ٍ ‫َخب رِِن يونُس َعن ابْ ِن ِشه‬ ٍ ‫َحدثَِِن َحرَملَةُ بْن ََْيَي أَنْبَأَنَا ابْن وْى‬
َ ْ ُ ُ َ َ ْ ‫ال أ‬ َ َ‫ب ق‬ َ ُ َ ُ ْ
‫ال َم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن بِاﷲ َوالْيَ ْوِم‬
َ َ‫صلى اﷲ َعلَْي ِو َو َسل َم ق‬ ِ
َ ‫َعْبد الر ْْحَ ِن َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة َع ْن َر ُسول اﷲ‬
ِ
ِ ِ
...‫ت‬
ْ ‫ص ُم‬ ْ َ‫ْاْلخ ِر فَ ْليَ ُق ْل َخْي ًرا أ َْو لي‬
53

“Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya telah


memberitakan kepada kami Ibnu Wahab dia berkata, telah mengabarkan
kepadaku Yūnus dari Ibnu Syihāb dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu
Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia
mengucapkan perkataan yang baik atau diam…”

Pada hadis lain disebutkan:

‫يد َع ْن بُ َش ِْْي بْ ِن يَ َسا ٍر َم ْوَل‬ٍ ِ‫حدثَنا سلَيما ُن بن حر ٍب حدثَنا َْحاد ىو ابن زي ٍد عن ََيَي ب ِن سع‬
َ ْ َ ْ ْ َ َْ ُ ْ َ ُ ٌ َ َ ْ َ ُ ْ َ ْ ُ َ َ
‫صةَ بْ َن‬ ٍ ‫صا ِر َع ْن َرافِ ِع بْ ِن َخ ِد‬
َ ِّ‫يج َو َس ْه ِل بْ ِن أَِِب َحثْ َمةَ أَن ُه َما َحدثَاهُ أَن َعْب َد اﷲ بْ َن َس ْه ٍل َوُُمَي‬ َ ْ‫ْاْلَن‬
ِ ٍ
َ ِّ‫َم ْسعُود أَتَيَا َخْيبَ َر فَتَ َفرقَا ِِف الن ْخ ِل فَ ُقت َل َعْب ُد اﷲ بْ ُن َس ْه ٍل فَ َجاءَ َعْب ُد الر ْْحَ ِن بْ ُن َس ْه ٍل َو ُح َوي‬
ُ‫صة‬
ِ ‫ود إِ َل النِب صلى اﷲ علَي ِو وسلم فَتَ َكلموا ِِف أَم ِر ص‬
‫احبِ ِه ْم فَبَ َدأَ َعْب ُد الر ْْحَ ِن‬ ٍ ‫وُُميِّصةُ اب نا مسع‬
َ ْ ُ َ ََ َْ َ ِّ ُ ْ َ َْ َ َ َ
...‫صلى اﷲ َعلَْي ِو َو َسل َم َكبِّ ْر الْ ُكْب َر‬ َ ‫َصغََر الْ َق ْوِم فَ َق‬
54
َ ‫ال لَوُ النِب‬ ْ ‫َوَكا َن أ‬
“Telah menceritakan kepada kami Sulaimān bin Harb telah
menceritakan kepada kami Hammād yaitu Ibnu Zaid dari Yahya bin Sa'īd dari
Busyair bin Yasar bekas budak Ansār, dari Rāfi' bin Khadīj dan Sahal bin Abu

52
M. Munir, Metode Dakwah, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 204.
53
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjāj al-Naisābūrī, Sahīh Muslim, Jilid I (Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiyah, 1991), h. 68.
54
Muhammad bin Ismāīl bin al-Mughīrah al-Bukhāri, Sahīh al-Bukhāri (Riyādh:
Maktabah Al-Rusyd, 2006), h. 855.
32

Hatsmah bahwa keduanya menceritakan kepadanya bahwa Abdullah bin Sahal


dan Muhayishah bin Mas'ūd pergi ke Khaibar, kemudian keduanya berpisah di
suatu kebun kurma, tiba-tiba Abdullah bin Sahal terbunuh, lantas Abdurrahman
bin Sahl Huwayishah dan Muhayishah bin Mas'ūd pergi menemui Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam untuk melapor mengenai perkara saudaranya,
Abdurrahman angkat bicara padahal dia adalah orang yang paling muda di
antara mereka, maka Rasulullah shallallāhu 'alaihi wasallam bersabda: „Yang
lebih tua, yang lebih tua‟…….”

Hadis di atas berisikan tentang etika yang diajarkan oleh Nabi Saw,

yakni mendahulukan yang dewasa untuk berbicara ketika berkomunikasi. Dari

beberapa ayat dan hadis yang telah disebutkan, dapat dipahami bahwa etika

berkomunikasi dalam Islam diberi perhatian yang sangat besar dan mempunyai

kedudukan yang sangat penting.


BAB III

KAJIAN TERHADAP HADIS-HADIS ETIKA BERKOMUNIKASI

A. Teks Hadis tentang Berbicara Menggunakan Kalimat yang Baik

َ َ‫صالِ ٍح َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة ق‬ ِ ‫ص عن أَِِب ح‬


ٍ‫ص‬ ٍِ
ٔ
‫ال‬ َ ‫ني َع ْن أَِِب‬ َ ْ َ ِ ‫َح َو‬ ْ ‫َحدَّثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْ ُن َسعيد َحدَّثَنَا أَبُو ْاْل‬
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن بِاﷲ َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر فَ ََل يُ ْؤِذ َج َارهُ َوَم ْن َكا َن‬
َ ‫ول اﷲ‬
ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ق‬
‫ضْي َفوُ َوَم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن بِاﷲ َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر فَ ْليَ ُق ْل َخْي ًرا أَْو‬ ِ ِ
َ ‫يُ ْؤم ُن بِاﷲ َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ ْليُ ْك ِرْم‬
ِ

‫ت‬ ِ
ْ ‫ص ُم‬ ْ َ‫لي‬
ٕ

“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟īd, telah


menceritakan kepada kami Abu al-Ahwās dari Abu Hasīn dari Abu Sālih dari
Abu Hurairah, ia berkata telah bersabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari Akhir maka janganlah ia menyakiti
tetangganya, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah
memuliakan tamunya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari
Akhir hendaklah berkata baik atau hendaklah diam”

1. Takhrij Hadis

Takhrij menurut bahasa berasal dari kata kharraja yang berarti tampak

atau jelas.3 Sedangkan menurut istilah, takhrij adalah menunjukkan tempat

hadis pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya

dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.4

Sebagaimana telah dikemukakan pada bab terdahulu, bahwa proses

takhrij hadis akan dilakukan dengan menelusuri hadis-hadis melalui tiga kitab,

yakni Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẕ al-Hadīs al-Nabawī dan Miftāh al-Kunūz

1
Hadis ini sanadnya bersambung dan semua perawinya dinilai tsiqah oleh ulama hadis.
2
Muhammad bin Ismāīl bin al-Mughīrah al-Bukhāri, Sahīh al-Bukhāri (Riyāḏ: Maktabah
Al-Rusyd, 2006), h. 840.
3
Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode Takhrij Hadis, Penerjemah Sa‟id Agil Husin
Munawwar dan Ahmad Rifqi Mukhtar (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 2.
4
Mannā‟ al-Qaṯṯān, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Penerjemah Mifdhol Abdurrahman
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 189.

33
34

karya A.J. Wensinck dan Mausū‟ah Aṯrāf al-Hadīts karya Abu Hājir

Muhammad al-Sa‟id Basyuni Zaghlul.

Setelah melakukan penelusuran pada kitab Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẕ

al-Hadīs al-Nabawī dari semua lafazd yang ada dalam matan hadis, penulis

menemukan hasil sebagai berikut:

٘
‫ َم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن بِاﷲ َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر‬: ‫أََم َن‬
‫ت‬ ِ
ْ ‫ص ُم‬ْ َ‫ فَ ْليَ ُق ْل َخْي ًرا أ َْو لي‬: ‫ت‬
َ ‫ص َم‬
ٙ
َ
ِ ِ
ُ‫ َو َم ْن َكا َن يُ ْؤم ُن فَ ََل يُ ْؤذ َج َاره‬: ‫أَذَى‬
ٚ

Kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāzh al-Hadīs al-Nabawī

‫أذى‬ ‫صمت‬ ‫أمن‬


ٖٔ ‫ رقاق ٖٕ و أدب‬: ‫ خ‬,ٛ٘ ‫ أدب ٖٔ و‬: ‫خ‬ ٖٔ ‫ أدب‬: ‫خ‬
ٗ ‫ أدب‬: ‫جو‬ ٕٖ ‫رقاق‬ ٕٖٔ ‫ أدب‬: ‫د‬
ٚٗ ‫ إّيان‬: ‫م‬ ٖٗ ‫ بر‬: ‫ت‬
ٕٖٔ ‫ أدب‬: ‫د‬ ٘ ‫ أدب ٗ و‬: ‫جو‬

Adapun hadis-hadis pada tabel di atas dan skema sanadnya terdapat

pada lampiran 1 dan 2.

Kedua, setelah melakukan penelusuran dalam kitab Miftāh al-Kunūz al-

Sunnah melalui tema hadis, penulis menemukan hasil sebagai berikut:

Kitab Miftāh al-Kunūz al-Sunnah


8
‫ وجوب إكرام الضيف على ادلسلم‬: ‫ضيف‬

5
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī, Juz I, (Leiden:
Maktabah Baril, 1936), h. 108.
6
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī…, Juz III, h. 416.
7
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī…, Juz I, h. 50.
8
A.J. Wensinck, Miftāh al-Kunūz al-Sunnah, (Lahore: Idarah Tarjaman Al Sunnah,
1978), h. 297.
35

Sahīh al-Bukhāri, kitab ke-81 bab ke-23 ٕٖ ‫ ب‬ٛٔ ‫ رقاق ك‬: ‫بخ‬
Sahīh Muslim, kitab ke-1 hadis ke- 74 ٚٗ ‫ إّيان ك ٔ ح‬: ‫مس‬
Sunan Ibnu Mājah, kitab k-33 bab ke-4 ٗ ‫ أدب ك ٖٖ ب‬: ‫جو‬

Ketiga, setelah melakukan penelusuran dalam kitab Mausū‟ah Aṯrāf al-

Hadīts dari awal matan hadis, penulisan menemukan hasil sebagai berikut:

Kitab Mausū‟ah Aṯrāf al-Hadīts


ِ ِ ِ ِ
‫ت‬ ْ َ‫َم ْن َكا َن يُ ْؤم ُن بِاﷲ َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ ْليَ ُق ْل َخْي ًرا أ َْو لي‬
ْ ‫ص ُم‬
9

Sahīh Muslim, kitab al-iman hadis ke-74; ٔٗ ‫ و اللقطة‬ٚٗ ‫م اإلّيان‬


kitab al-luqṯah hadis ke-14

Sunan al-Tirmidzī, hadis nomor 1967 dan


2500 ٕ٘ٓٓ ,ٜٔٙٚ ‫ت‬

2. Fiqh al-Hadīts

Fiqh al-Hadīts terdiri dari dua kata, yakni fiqh dan hadis. Secara

etimologi, fiqh berasal dari bahasa Arab ‫ فقها‬- ‫ فقه – يفقه‬yang berarti mengerti dan

memahami,10 sedangkan hadis adalah apa yang disandarkan kepada Nabi

Muhammad Saw, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan dan sifatnya.11

Maka dapat dipahami bahwa fiqh al-hadīs adalah upaya memahami maksud

hadis Nabi Saw. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Abu Yasir al-

Hasan al-Ilmi, menurutnya fiqh al-hadīts adalah:

ٕٔ ِ ِ
‫صلَّى اﷲ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِم ْن َك ََلمو‬ ِ ِ ِ ِ
ِّ ِ‫ف ْقوُ احلَديْث النَّبَ ِوي َم ْعنَاهُ فَ ْه ُم ُمَراد الن‬
َ ‫َِّب‬
“Fiqh al-hadīts adalah memahami maksud dari perkataan Nabi Saw”

9
Abu Hājir Muhammad al-Sa‟id Basyuni Zaghlul, Mausū‟ah Aṯrāf al-Hadīts al-Nabawī
al-Syarīf, Jilid 8, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, .t.t), h. 505.
10
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), Edisi Kedua, h. 1067.
11
Mannā‟ al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Penerjemah Mifdhol Abdurrahman
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 22.
12
Zilfaroni, “Fiqh al-Hadits.” Artikel diakses pada 25 April 2017 dari http://zilfaroni-
putratanjung-blogspot.co.id/2012/10/fiqh-al-hadits.html?m=1
36

Menurut hadis di atas berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tamu

serta selalu mengucapkan kata-kata yang baik atau diam mengenai sesuatu

yang tidak diketahuimya merupakan hal baik dan bagian dari manisnya iman.13

Pada akhir redaksi hadis dapat dipahami bahwa Rasulullah Saw

memerintahkan umatnya agar selalu menjaga lisan dari perkataan-perkataan

yang tidak baik, atau jika tidak mampu maka diam. Dengan demikian diam

kedudukannya lebih rendah daripada berkata baik, namun masih lebih baik

dibandingkan dengan berkata yang tidak baik.

Lidah diciptakan Allah Swt hanya untuk hal yang baik-baik saja, seperti

zikir mengingat-Nya, membaca kitab suci-Nya,14 melakukan amar ma‟rūf nahi

munkar, berdakwah dan saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran.

Sungguh tidak pantas jika lidah yang diciptakan dengan tujuan kebaikan

digunakan untuk mengucap hal-hal yang kotor dan keji.

Abu al-Hasan Ali al-Mawardi mengungkapkan beberapa syarat bicara

agar selamat dari ketergeliciran dan kecacatan. Di antaranya, pembicaraan itu

sengaja diucapkan guna mengajak manusia kepada ketaqwaan, meletakkan

pembicaraan tepat pada tempatnya, berbicara sekedar keperluan dan memilah

kata-kata yang akan diucapkan.15 Jika saja salah satu atau semua syarat di atas

tidak terpenuhi, maka tidak dianjurkan untuk berbicara atau lebih baik diam

saja.

13
Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi al-Dimasyqi, Asbabul Wurud: Latar Belakang
Historis Timbulnya Hadits-Hadits Rasul, Penerjemah Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim
(Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Jilid 3, h. 311.
14
Al-Ghazali, Tuntunan Dasar Pembinaan Pribadi Bertakwa (T.tp: Angkasa Raya, t.t.),
h. 95.
15
Abu al-Hasan Ali al-Mawardi, Mutiara Akhlak al-Karimah, Penerjemah M. Qodirun
Nur (Jakarta: Pustaka Amani, 1993), h. 137.
37

Mengenai hadis perintah berkata yang baik ini Ibnu Hajar menjelaskan,

termasuk kebaikan adalah semua perkataan yang diperlukan, baik fardu

maupun sunnah. Maka selain dari itu yang termasuk perkataan buruk, manusia

diperintahkan untuk diam agar tidak terjerumus kepada keburukan.

Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa manusia yang masih memiliki iman

di hatinya akan memiliki sifat kasih sayang kepada makhluk ciptaan Allah. Hal

ini dibuktikan dengan senantiasa mengucapkan perkataan yang baik dan penuh

manfaat serta meninggalkan perkataan yang buruk dan menimbulkan

mudarat.16

Dalam al-Qur‟an ditemukan beberapa ayat berkenaan dengan tuntunan

untuk berbicara dengan perkataan yang baik, salah satunya adalah surat al-

Nisā` ayat 5 yang berbunyi:

      ُ‫ اﷲ‬     
   

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum


sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian
(dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”

Khitab pada ayat di atas ditujukan kepada semua umat dan larangannya

mencakup setiap harta, yang pada intinya perintah agar memberikan harta

kepada anak yatim yang sudah baligh kecuali apabila mereka orang yang safih

(dungu) yang tidak bisa menggunakan harta benda. Pada akhir ayat disebutkan

bahwa hendaknya para wali menasehati orang yang diasuhnya apabila mereka

16
Ibnu Hajar, Fath al-Bāri…, Jilid 29, h. 158.
38

masih kecil dengan perkataan yang baik agar membuatnya menjadi penurut.17

Hamka menjelaskan, “perkataan yang baik” dalam ayat ini maksudnya adalah

perkataan yang terus terang.18

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī disebutkan

bahwa perkataan yang baik merupakan salah satu bentuk sedekah. Hadis

tersebut berbunyi:

‫صلَّى‬ َ ‫َِّب‬ َّ ِ‫َن الن‬ َّ ‫ات أ‬ٍِ ‫ي بْ ِن َح‬ ِّ ‫َحدَّثَنَا ُسلَْي َما ُن بْ ُن َح ْر ٍب َحدَّثَنَا ُش ْعبَةُ َع ْن َع ْم ٍرو َع ْن َخْيثَ َمةَ َع ْن َع ِد‬
َّ‫اح بَِو ْج ِه ِو فَتَ َع َّو َذ ِمْن َها ُُث‬
َ ‫َش‬
َ ‫َّار فَأ‬ ِ ِ ِ ِ ‫َش‬
َ ‫اح ب َو ْجهو فَتَ َع َّو َذ مْن َها ُُثَّ ذَ َكَر الن‬ َ َ ‫َّار فَأ‬
ِ
َ ‫اﷲ َعلَْيو َو َسلَّ َم ذَ َكَر الن‬
‫َّار َولَ ْو بِ ِش ِّق َتََْرةٍ فَ َم ْن ََلْ ََِي ْد فَبِ َكلِ َم ٍة طَيِّبَة‬
ٜٔ ٍ
َ ‫ال اتَّ ُقوا الن‬
َ َ‫ق‬
“Telah menceritakan kepada kami Sulaimān bin Harb telah
menceritakan kepada kami Syu'bah dari Amru dari Khaitsamah dari „Adī bin
Hatim, bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihiwasallam pernah
memperbincangkan neraka, kemudian beliau memalingkan wajahnya dan
berlindung diri daripadanya, kemudian beliau memperbincangkan neraka dan
beliau memalingkan wajahnya seraya meminta perlindungan daripadanya,
selanjutnya beliau bersabda: Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya
dengan setengah biji kurma, siapa yang tak mendapatkannya, ucapkanlah yang
baik.”

Menurut Ibnu Hajar kata tayyib (baik) adalah segala sesuatu yang

membuat panca indra menjadi enak dan nyaman. Kalimat yang tayyib menjadi

salah satu bentuk sedekah karena ia dapat menggembirakan siapa saja yang

mendengar dan menghilangkan perasaan tidak senang dalam hati.20

Hadis di atas membuktikan bahwa perkataan yang baik mempunyai

banyak keutamaan, salah satunya adalah sebagai perisai dari api neraka. Oleh

karena inilah Rasulullah Saw mendidik dan menanamkan nilai akhlak kepada

17
Amir Mu‟min Solihin, “Etika Komunikasi Lisan Menurut Al-Qur‟an: Kajian Tafsir
Tematik”, Skripsi S1 Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2011, h. 48.
18
Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1983), h. 265.
19
Al-Bukhāri, Sahīh al-Bukhāri..., h. 841.
20
Ibnu Hajar al-Asqalāni, Fath al-Bāri, Penerjemah Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam,
2008), Jilid 29, h. 167.
39

umatnya agar selalu berbicara dengan kalimat yang baik dan menjauhi kalimat-

kalimat yang tidak baik. Karena selain tidak bermanfaat, mengatakan perkataan

yang tidak baik, tidak sopan dan tidak layak merupakan perkara yang buang-

buang waktu dan bisa saja menyakiti perasaan orang lain.

Dari uraian di atas diketahui bahwa dalam berkomunikasi hendaknya

selalu dengan perkataan yang baik. Jika memang tidak mampu mengatakan hal

yang baik maka diam menjadi lebih utama.

B. Teks Hadis tentang Berbicara dengan Efektif dan Efisien

ٕٔ ِ ٍ
ِّ َِ‫ب َع ْن َوَّراد َع ْن ادلغْي َرِة َع ْن الن‬
‫ِب‬ ِ َّ‫ص ْور عن ادلسي‬
َ ُ ‫عن مْن‬ ْ ‫ َحدَّثَنَا َشْيبان‬: ‫ص‬ ٍ ‫بن ح ْف‬ ُ ‫سع ُد‬ ْ ‫َحدَّثَنَا‬
ِ َ‫ات ووأْد الْب ن‬
‫ات َوَك ِرَه‬ ِ ِ َ ‫ إِ َّن اﷲ َحَّرَم َعلَْي ُك ْم عُ ُق‬: ‫ال‬ َ َ‫صلَّى اﷲُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬
َ َ َ َ ‫وق ْاْل َُّم َهات َوَمنَ َع َوَى‬ َ
ٕٕ ِ ِ
‫اعةَ الْ َمال‬
َ‫ض‬ َ ِ‫الس َؤ ِال َوإ‬
ُّ ‫ال َوَكثْ َرَة‬ َ َ‫يل َوق‬َ ‫لَ ُك ْم ق‬
“Telah menceritakan kepada kami Sa‟ad bin Hafs, telah menceritakan
kepada kami Syaibān dari Mansūr dari al-Musayyab dari Warrād dari al-
Mughīrah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia bersabda: “Sesungguhnya
Allah mengharamkan atas kalian durhaka kepada ibu, tidak memberi tapi mau
menerima dan mengubur anak wanita hidup-hidup, serta membenci kalian dari
qīla wa qāla, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.”

1. Takhrij Hadis

Setelah melakukan penelusuran pada kitab Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẕ

al-Hadīts al-Nabawī dari semua lafazd yang ada dalam matan hadis, penulis

menemukan hasil sebagai berikut:

ٕٖ ِ ‫ حَّرم علَي ُكم ع ُقو َق اْلَُّمه‬/ ‫ات‬


‫ات‬ ِ ‫ ع ُقو َق اْلُم َّه‬... ‫ و َكا َن ي ْن هى عن‬: ‫ع َّق‬
َ ْ ُ ْ َْ َ َ َ ُْ َْ َ َ َ َ
ٕٗ ِ
‫ َو َع ْن َمْن ِع َو َىات‬... ‫ َو َكا َن يَْن َهى َر ُس ْو ُل اﷲِ (ص) َع ْن‬,‫ نَ َهى‬: ‫َمنَ َع‬
ٕ٘ ِ
َ َ‫ َو َكا َن يَْن َهى َع ْن قِْي َل َو ق‬: ‫َسئَ َل‬
ُّ ِ‫ال َو َكثْ َرة‬
‫الس َؤال‬
21
Hadis ini sanadnya bersambung dan semua perawinya dinilai tsiqah oleh ulama hadis.
22
Al-Bukhāri, Sahīh al-Bukhāri…, h. 836.
23
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī…, Juz IV, h. 288.
24
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī…, Juz VI, h. 275.
40

Kitab Mu‟jam Al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī

‫سئل‬ ‫منع‬ ‫عق‬


ٙ ‫خ أدب‬ ٜٔ ‫خ إستفراض‬ ٙ ‫خ أدب‬
ٕٔ ‫م أقضية‬ ٕٔ ‫م أقضية‬ ٔٗ ,ٕٔ ‫م أقضية‬

Adapun hadis-hadis pada tabel di atas dan skema sanadnya terdapat

pada lampiran 3 dan 4.

Kedua, setelah melakukan penelusuran dalam kitab Miftāh al-Kunūz al-

Sunnah melalui tema hadis, penulis menemukan hasil sebagai berikut:

Kitab Miftāh al-Kunūz al-Sunnah


26
‫ض ُل قِلَّ ِة ال َك ََلِم‬ ِ ِ
ْ َ‫ ال َكل َمةُ الطَّيِّبَةَ َو ال َكل َمةُ اخلَبِْيثَةُ َو ف‬: ‫كَلم‬
Sahīh al-Bukhāri, kitab ke-81 bab ke-22 ٕٕ ‫ ب‬ٛٔ ‫ رقاق ك‬: ‫خ‬

2. Fiqh al-Hadīts

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif diartikan sebagai

manjur, berguna dan dapat membawa hasil. Sedangkan efisien diartikan

sebagai ketepatan cara dalam melakukan sesuatu dengan tidak membuang-

buang waktu.27 Secara keseluruhan, berbicara dengan efektif dan efisien bisa

dimaknai sebagai berbicara dengan tepat dan tidak buang-buang waktu serta

berdampak positif, baik terhadap komunikator maupun komunikan.

Pada redaksi hadis di atas disebutkan, kariha lakum qīla wa qāla wa

katsra al-su`āl (Allah membenci kalian dari qīla wa qāla dan banyak

bertanya). Ibnu Hajar menjelaskan, qīla wa qāla diartikan sebagai

25
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī…, Juz II, h. 384.
26
A.J. Wensinck, Miftāh al-Kunūz al-Sunnah…, h. 421.
27
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2012), Edisi ke-4, h. 352.
41

memperbanyak perkataan yang tidak berguna, sedangkan banyak bertanya

maksudnya adalah mendesak dalam bertanya dan menanyakan hal yang tidak

penting.28 Hal inilah yang menjadikan hadis di atas sebagai salah satu tuntunan

dalam berkomunikasi, yakni keharusan berbicara dengan efektif dan efisien,

bahwa berbicara hendaknya seperlunya saja, tidak mengatakan hal yang tidak

bermanfaat dan tidak pula banyak menanyakan hal yang tidak penting.

Jika memperhatikan ayat-ayat al-Qur‟an, maka akan ditemukan

sebuah ayat yang mendukung pernyataan hadis untuk bicara seperlunya dan

yang bermanfaat saja. Hal ini tercermin dalam al-Qur‟an surat al-Mukminūn

ayat 1-3 yang berbunyi:

}ٖ-ٔ{      …   


“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) … dan
orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna.”

Salah satu ciri dari orang yang beriman sebagaimana dijelaskan oleh

ayat di atas adalah menjauhkan diri dari al-laghwu. Menurut Kamus Arab-

Indonesia karangan Mahmud Yunus, al-laghwu adalah sesuatu yang tiada

berguna.29 Perkataan maupun perbuatan yang tidak berguna juga termasuk

kategori al-laghwu. Maka menurut ayat di atas, semua yang tidak wajar dan

tidak bermanfaat hendaknya ditinggalkan walau ia tidak haram.30

Hal ini sama halnya dengan kandungan hadis yang diteliti. Bahwa

melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat, termasuk di dalamnya perkataan

28
Ibnu Hajar, Fath al-Bāri…, Jilid 31, h. 262.
29
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah,
1990), h. 398.
30
M. Quraish Shihab, Al-Lubāb: Makna, Tujuan dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-
Qur‟an (Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 537.
42

yang sia-sia dan banyak bertanya atas hal yang tidak penting merupakan hal

yang harus dijauhi dan ditinggalkan.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi disebutkan:

‫يل بْ ِن َعْب ِد اﷲ بْ ِن‬ ِ ِ ٍِ ٍِ


َ ‫ي َو َغْي ُر َواحد قَالُوا َحدَّثَنَا أَبُو ُم ْسهر َع ْن إ ْْسَع‬ ُّ ‫ص ٍر الن َّْي َسابُوِر‬
ْ َ‫َْحَ ُد بْ ُن ن‬
ْ ‫َحدَّثَنَا أ‬
‫صلَّى‬ ِ ‫َْساعةَ عن ْاْلَوز‬
َ ‫ول اﷲ‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ال ق‬َ َ‫ي َع ْن أَِِب َسلَ َمةَ َع ْن أَِِب ُىَريْ َرةَ ق‬ ِّ ‫الزْى ِر‬
ُّ ‫اع ِّي َع ْن قَُّرَة َع ْن‬ َْ ْ َ َ َ
‫اﷲ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِم ْن ُح ْس ِن إِ ْس ََلِم الْ َم ْرِء تَ ْرُكوُ َما ََل يَ ْعنيو‬
ٖٔ ِ ِ

“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Nasr al-Naisābūrī dan


yang lainnya telah menceritakan kepada kami mereka berkata bahwa Abu
Mushir telah menceritakan kepada kami dari Ismā'īl bin 'Abdullah bin Samā'ah
dari Al Auzā'i dari Qurroh dari al-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah
dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: „Di antara
tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak
bermanfaat baginya.”

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadis di atas adalah hendaknya kaum

muslimin meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk kemudian hijrah

melakukan hal yang lebih bermanfaat. Itulah ciri dari baiknya Islam seseorang.

Demikian pula halnya dengan meninggalkan pembicaraan yang tidak berguna

dan banyak bertanya yang tidak penting. Hendaknya dalam berbicara selalu

ringkas, jelas dan tidak bertele-tele. Karena pembicaraan yang panjang lebar

hanya akan membuat pusing dan bosan orang yang diajak bicara.32

Dari uraian di atas diketahui bahwa dalam berkomunikasi hendaknya

umat Islam berbicara seperlunya saja, tidak berlebihan, dan memperhatikan

mutu dari hal yang disampaikan. Karena percuma saja panjang lebar jika poin

yang ingin disampaikan tidak ditangkap dengan benar oleh lawan bicara.

31
Abu Isa Muhammad bin Isa Al-Tirmidzi, Jāmi‟ al-Tirmidzi (T.tp: Bait al-Afkār al-
Dauliyyah, t.t), h.382.
32
Khalil al-Musawi, Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, Penerjemah Ahmad Subandi
(Jakarta: PT Lentera Basritama, 1998), h. 158.
43

C. Teks Hadis tentang Berbicara Jujur dan Tidak Dusta

ِ ِ
‫ش ح و َحدَّثَنَا أَبُو‬ ُ ‫يع قَ َاَل َحدَّثَنَا ْاْل َْع َم‬ ٌ ‫َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َعْبد اﷲ بْ ِن ُُنٍَْْي َحدَّثَنَا أَبُو ُم َعا ِويََة َوَوك‬
َ َ‫ش َع ْن َش ِق ٍيق َع ْن َعْب ِد اﷲ ق‬ ٍ ْ‫ُكري‬
ٖٖ
‫صلَّى‬ َ ‫ول اﷲ‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ال ق‬ ُ ‫َع َم‬ ْ ‫ب َحدَّثَنَا أَبُو ُم َعا ِويَةَ َحدَّثَنَا ْاْل‬ َ
ْ ‫الص ْد َق يَ ْه ِدي إِ ََل الِْ ِِّب َوإِ َّن الِْ َِّب يَ ْه ِدي إِ ََل‬
‫اْلَن َِّة َوَما يََز ُال‬ ِّ ‫الص ْد ِق فَِإ َّن‬ ِّ ِ‫اﷲ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َعلَْي ُك ْم ب‬
ِ ِ ‫الص ْد َق ح ََّّت يكْتَب ِعْن َد اﷲ ِصدِّي ًقا وإِيَّا ُكم والْ َك ِذ‬
‫ب‬َ ‫ب فَإ َّن الْ َكذ‬ َ َ ْ َ َ ُ َ ِّ ‫ص ُد ُق َويَتَ َحَّرى‬ ْ َ‫الر ُج ُل ي‬َّ
ِ ِ َّ ‫ور يَ ْه ِدي إِ ََل النَّا ِر َوَما يََز ُال‬ ِ ِ ِ ِ
‫ب َح ََّّت‬َ ‫ب َويَتَ َحَّرى الْ َكذ‬ ُ ‫الر ُج ُل يَكْذ‬ َ ‫يَ ْهدي إ ََل الْ ُف ُجور َوإ َّن الْ ُف ُج‬
ٖٗ
‫ب ِعْن َد اﷲ َك َّذابًا‬
َ َ‫يُكْت‬
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abdullah bin
Numair; Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'āwiyah dan Wakī' keduanya
berkata; Telah menceritakan kepada kami al-A'masy; Demikian juga
diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Abu
Kuraib; Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'āwiyah; Telah menceritakan
kepada kami al-A'masy dari Syaqīq dari 'Abdullah dia berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Tempuhlah kejujuran, karena
sesungguhnya kejujuran itu membimbing kepada kebaikan, dan sesungguhnya
kebaikan itu membimbing ke surga. Ada orang yang senantiasa menempuh dan
memilih kejujuran sehingga dia dicatat sebagai orang yang jujur di sisi Allah.
Jauhilah kedustaan, karena sesungguhnya kedustaan itu membimbing kepada
kejahatan dan sesungguhnya kejahatan itu membimbing ke neraka. Ada orang
yang berdusta dan memilih kedustaan sehingga dia dicatat sebagai pendusta di
sisi Allah.”

1. Takhrij Hadis

Setelah melakukan penelusuran pada kitab Mu‟jam al-Mufahras Li

Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī dari semua lafazd yang ada dalam matan hadis,

penulis menemukan hasil sebagai berikut:

33
Hadis ini sanadnya bersambung dan semua perawinya dinilai tsiqah oleh ulama hadis
kecuali Abu Kuraib (Muhammad bin „Ilā`). Terdapat beberapa penilaian berbeda mengenai Abu
Kuraib. Abu Hātim menilainya sudūq, al-Nasā‟i menilainya lā ba`sa bihi dan Ibnu Hibbān
menilainya dengan tsiqah. (Lihat Tahdzīb al-Kamāl Fī Asmā` al-Rijāl karya Jamāl al-Dīn Abu al-
Hajjāj Yūsuf al-Mizzī, Jilid 26 h. 247, dan Tahdzīb al-Tahdzīb karya Ibn Hajar al-Asqalāni, Jilid 3,
h. 668)
34
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjāj al-Qusyairi al-Naisābūri, Sahīh Muslim (Beirūt:
Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), Jilid 4, h. 2013.
44

ٖ٘
‫ َك َّذابًا‬,‫اﷲ ِص ِّديْ ًقا‬ ِ ‫ فَي ْكتُب ِعْن َد‬,‫ ح ََّّت ي ْكتَب‬: ‫َكتَب‬
ُ َ َ ُ َ َ
ٖٙ ِ ِ
‫ب‬
َ ‫ إيَّا ُك ْم َوالْ َكذ‬: ‫كذب‬
ٖٚ
‫حَّت يَ ُك ْو َن ِصدِّيْ ًقا‬
َّ ‫ الرجل ليصدق‬: ‫صدق‬
ٖٛ
‫ور يَ ْه ِدي إِ ََل النَّار‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ب يَ ْهدي إ ََل الْ ُف ُجور َوإ َّن الْ ُف ُج‬
ِ ِ
َ ‫ فَإ َّن الْ َكذ‬: ‫فجر‬

Kitab Mu‟jam Al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī

‫فجر‬ ‫صدق‬ ‫كذب‬ ‫كتب‬


ٜٙ ‫ أدب‬: ‫خ‬ ٜٙ ‫ أدب‬: ‫خ‬ ٖٔٓ ‫ بر‬: ‫م‬ ٜٙ ‫ أدب‬: ‫خ‬
ٖٔٓ ‫ بر‬: ‫م‬ ٔٓ٘-ٕٔٓ ‫ بر‬: ‫م‬ ٛٓ ‫ أدب‬: ‫د‬ ٖٔٓ ‫ بر‬: ‫م‬
ٛٓ ‫ أدب‬: ‫د‬ ٛٓ ‫ أدب‬: ‫د‬ ٗٙ ‫ بر‬: ‫ت‬ ٛٓ ‫ أدب‬: ‫د‬
ٗٙ ‫ بر‬: ‫ت‬ ٚ ‫ مقدمة‬: ‫جو‬ ٚ ‫ مقدمة‬: ‫جو‬
ٚ ‫ مقدمة‬: ‫جو‬

Adapun hadis-hadis pada tabel di atas dan skema sanadnya terdapat

pada lampiran 5 dan 6.

Kedua, setelah melakukan penelusuran dalam kitab Miftāh al-Kunūz al-

Sunnah melalui tema hadis, penulis menemukan hasil sebagai berikut:

Kitab Miftāh al-Kunūz al-Sunnah

‫العاقِبَةُ ال َك ِذب‬
39 ِ
َ :‫ب‬
ِ
ُ ‫ال َكذ‬
Sahīh al-Bukhāri, kitab ke-78 bab ke-69 ٜٙ ‫ ب‬ٚٛ ‫ أدب ك‬: ‫بخ‬
Sahīh Muslim, kitab ke-45 hadis ke-102-105 ٔٓٙ-ٕٔٓ ‫ بر ك ٘ٗ ح‬: ‫مس‬
Sunan Abu Dāud, kitab ke-37 bab ke-80 ٛٓ ‫ٖ ب‬ٚ ‫ أدب ك‬: ‫بد‬
Sunan al-Tirmidzī, kitab ke-25 bab ke-46 ٗٙ ‫ بر ك ٕ٘ ب‬: ‫تر‬

35
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī…, Juz V, h. 522.
36
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī…, Juz V, h. 556.
37
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī…, Juz III, h. 271.
38
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī…, Juz V, h. 78.
39
A.J. Wensinck, Miftāh al-Kunūz al-Sunnah…, h. 412.
45

Ketiga, setelah melalukan penelusuran dalam kitab Mausū‟ah Aṯrāf al-

Hadīts dari awal matan hadis, penulisan menemukan hasil sebagai berikut:

Kitab Mausū‟ah Aṯrāf al-Hadīts


40
‫ب يَ ْه ِدي إِ ََل الْ ُف ُجوِر‬ ِ ِ ‫إِيَّا ُكم والْ َك ِذ‬
َ ‫ب فَإ َّن الْ َكذ‬
َ َْ
Sahīh Muslim, kitab al-Birr wa al-Silah hadis ke 105 ٔٓ٘ ‫م الِب و الصلة‬
Sunan al-Tirmidzī, hadis ke 1971 ٜٔٚٔ ‫ت‬
Sunan Abu Dāud, kitab al-Adab, bab ke-87 ٛٚ ‫اْلدب ب‬
َ ‫د‬

2. Fiqh al-Hadīts

Jujur dan dusta41 senantiasa dipasangkan dalam setiap keadaan. Kendati

demikian, dua sifat ini dipasangkan bukan karena kesamaan yang mereka

miliki, melainkan karena kebalikan yang layaknya langit dan bumi (berbeda

sekali). Jika jujur dapat mengantarkan manusia ke dalam surga, maka dusta

adalah kebalikannya, ia akan mengantarkan manusia ke dalam neraka yang

disana terdapat segala bentuk penyiksaan.


40
Basyuni Zaghlul, Mausū‟ah Aṯrāf al-Hadīts al-Nabawī al-Syarīf…, Jilid IV, h. 145.
41
Dusta adalah sesuatu dilarang, akan tetapi ada dusta yang diperbolehkan yakni dalam
tiga perkara: a) Dalam rangka mendamaikan pertikaian di antara manusia b) Dalam peperangan
dan c) Dalam perkataan seorang suami terhadap istrinya dan sebaliknya perkataan seorang istri
terhadap suaminya. Dalil yang mendasari hal ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dāud,
hadis nomor 4921:
‫اب بْ َن أَِِب بَ ْك ٍر َح َّدثَوُ َع ْن ابْ ِن‬ِ ‫َن َعْب َد الْوَّى‬
َ َّ ‫يد َع ْن ابْ ِن ا ْذلَ ِادي أ‬َ ‫َس َوِد َع ْن نَافِ ٍع يَ ْع ِِن ابْ َن يَِز‬
ْ ‫ي َحدَّثَنَا أَبُو ْاْل‬ ُّ ‫يع بْ ُن ُسلَْي َما َن ا ْْلِي ِز‬
ُ ِ‫الرب‬
َّ ‫َحدَّثَنَا‬
‫ص ِِف َش ْي ٍء ِم ْن‬ ِ
ُ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم يَُر ِّخ‬
ِ َ ‫ت ع ْقبةَ قَالَت ما َِْسعت رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ َُ ُ ْ َ ْ
ِ ِ ٍ ِ
َ ُ ْ‫الر ْْحَ ِن َع ْن أ ُِّمو أ ُِّم ُكلْثُوم بن‬ َّ ‫اب َع ْن ُْحَْي ِد بْ ِن َعْب ِد‬ ٍ ‫ِشه‬
َ
‫يد بِِو إََِّل‬ِ
‫ر‬ ‫ي‬ ‫َل‬ ‫و‬ ‫ل‬َ ‫و‬ ‫ق‬ ‫ل‬
ْ ‫ا‬ ‫ول‬
ُ ‫ق‬ ‫ي‬ ِ
‫َّاس‬ ‫ن‬‫ال‬ ‫ني‬ ‫ب‬ ‫ح‬ ِ
‫ل‬ ‫ص‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ج‬ ‫الر‬ ‫ا‬ ‫ب‬ ِ
‫اذ‬ ‫ك‬ ‫ُّه‬
‫د‬ ‫َع‬ ‫أ‬ ‫َل‬ ‫ول‬
ُ ‫ق‬ ‫ي‬ ‫م‬ َّ
‫ل‬ ‫س‬‫و‬ ‫و‬ِ ‫ي‬ ‫ل‬‫ع‬ ‫و‬َّ
‫ل‬ ‫ال‬ ‫ى‬َّ
‫ل‬ ‫ص‬ ِ
‫و‬ َّ
‫ل‬ ‫ال‬ ‫ول‬
ُ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫ك‬ ‫ث‬ٍ ‫َل‬َ‫ث‬ ‫ِف‬ِ َّ
‫َل‬ ِ‫إ‬ ‫ب‬ِ ِ
‫ذ‬ ‫ك‬ َ ْ‫ال‬
ُ ُ ََ ْ َ ُ َ َ ْ َ ُ ْ ُ ُ ُ َّ ً َ ُ ُ َ ُ َ َ َ َ َْ َ ُ َ َُ َ َ َ
‫ِّث َزْو َج َها‬
ُ ‫ِّث ْامَرأَتَوُ َوالْ َم ْرأَةُ ُُتَد‬
ُ ‫الر ُج ُل ُُيَد‬
َّ ‫ب َو‬ ِ ‫ول ِِف ا ْحلر‬ ُ ‫الر ُج ُل يَ ُق‬
َّ ‫ص ََل َح َو‬ْ ‫اإل‬ِْ
َْ
“Telah menceritakan kepada kami Ar Rabi' bin Sulaiman Al Jizi berkata, telah
menceritakan kepada kami Abul Aswad dari nafi' -maksudnya Nafi' bin Yazid- dari Ibnul Hadi
bahwa Abdul Wahhab bin Abu Bakr menceritakan kepadanya, dari Ibnu Syihab dari Humaid bin
'Abdurrahman dari ibunya Ummu Kultsum binti Uqbah ia berkata, "Aku tidak pernah mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi keringanan untuk berbohong kecuali pada tiga
tempat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan: "Aku tidak menganggapnya sebagai
seorang pembohong; seorang laki-laki yang memperbaiki hubungan antara manusia, ia
mengatakan suatu perkataan (bohong), namun ia tidak bermaksud dengan perkataan itu kecuali
untuk mendamaikan, seorang laki-laki yang berbohong dalam peperangan, dan seorang laki-laki
yang berbohong kepada isteri atau isteri yang berbohong kepada suami (untuk kebaikan).” Hadis
ini disahihkan oleh Al-Bāni. Lihat: Majid Sa‟ud Al-Ausyan, Panduan Lengkap dan Praktis Adab
dan Akhlak Islami, h. 153)
46

Dusta adalah sifat madzmūmah dalam Islam yang harus dijauhi dan

dihindari oleh setiap pribadi Muslim. Karena sifat ini senantiasa menunjukkan

kepada kejahatan.42 Orang yang sudah terbiasa berbohong dan nyaman dengan

kebohongannya akan terus-menerus melakukannya. Karena untuk menutupi

sebuah kebohongan, manusia harus berbohong lagi dengan kebohongan yang

lain.

Pada redaksi hadis yang diteliti, jujur disebut dengan al-sidq sedangkan

dusta dengan al-kidzb. Imam al-Nawawi menjelaskan, kejujuran (al-sidq) dapat

menuntun melakukan perbuatan baik yang bersih dari hal-hal tercela. Maksud

dari kata al-birru dalam hadis di atas adalah satu kata yang mencakup semua

jenis kebaikan. Dikatakan juga bahwa al-birru berarti surga. Sedangkan

kebohongan (al-kidzbu) dapat menyeret pada hal dosa dan melenceng dari

kebenaran, dikatakan juga maksudnya adalah dorongan untuk berbuat

maksiat.43

Redaksi hadis „alaikum bi al-sidqi… wa iyyākum wa al-kadziba

maksudnya adalah anjuran agar senantiasa berlaku jujur dan mengecam

kebohongan. Yang dimaksud dengan yuktabu „inda Allah… adalah dia

dihukumi dengan itu; seorang yang jujur yang akan mendapatkan pahala, atau

sebagai pendusta yang akan mendapatkan siksa.44

42
Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim (Minhajul Muslim): Thaharah, Ibadah
dan Akhlak, Penerjemah Rahmat Djatnika dan Ahmad Sumpeno (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1997), h. 387.
43
Yahya bi Syaraf al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Penerjemah Fathoni Muhammad
dan Futuhal Arifin (Jakarta: Darus Sunnah, 2014), Jilid 11, Cet ke-2, h. 737.
44
Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim…, h. 738
47

A. Ilyas Ismail mengungkapkan, bahwa kejujuran seseorang dapat

terlihat dari seberapa mampu ia dalam menjaga tiga aspek:45 af‟āl (perbuatan),

aqwāl (perkataan) dan ahwāl (keadaan). Jujur dalam perkataan berarti adanya

kesesuaian antara hati dan realita yang diucapkan, jujur dalam perbuatan

berarti adanya kesinambungan antara yang dilakukan dan perintah Allah Swt,

jujur dalam mental atau keadaan berarti adanya komitmen dan kesetiaan dalam

bekerja dan beribadah kepada Allah Swt.

Mengenai keadaan saat hadis ini disampaikan, Abu Bakar al-Siddīq

berkata, “Rasulullah Saw pernah berdiri di tempatku berdiri ini, pada tahun

pertama kerasulan beliau. Kemudian ia bersabda: „Hendaklah kamu menjauhi

bohong…dan seterusnya.”46 Jadi, dapat disimpulkan bahwa hadis ini tergolong

hadis ibtidā`i.47

Dalam al-Qur‟an banyak disinggung mengenai kejujuran dan dusta.

Salah satunya adalah yang terdapat dalam surat al-Taubah ayat 119 yang

berbunyi:

ٗٛ
    ‫ اﷲ‬   
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”

45
A. Ilyas Ismail, Pilar-Pilar Taqwa: Doktrin, Pemikiran, Hikmat, dan Pencerahan
Spritual (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), h. 136.
46
Al-Husaini al-Dimasyqi, Asbabul Wurud: Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-
Hadits Rasul…2004, Jilid 2, h. 235.
47
Hadis ibtidā`i adalah hadis yang datang tanpa didahului sebab tertentu. Hadis jenis ini
jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan hadis sababī (yang mempunyai sebab turun berupa
peristiwa tertentu atau pertanyaan para Sahabat). Hal itu karena sesuai dengan tugas Nabi Saw
sebagai penyampai syariat yang tidak perlu menunggu adanya sebab.
48
Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim (Minhajul Muslim): Thaharah, Ibadah
dan Akhlak…, h. 387.
48

Menurut Abu Ja‟far, maksud dari kata al-sādiqīn di atas adalah orang-

orang yang menyesuaikan ucapan dengan perbuatan dan tidak pernah menjadi

munafik.49 Allah Swt juga berfirman pada surat al-Hajj ayat 30 yang berbunyi:

       …

“…Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah


perkataan-perkataan dusta.”

Al-Raghib50 mengatakan bahwa maksud dari al-zūr pada ayat di atas

adalah dusta. Disebut zūr (bengkok) karena menyimpang dari kebenaran.51

Maka menurut ayat di atas, perilaku zūr (dusta) harus dijauhi.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhāri disebutkan:

ِ ‫احلا ِر‬ ِ ِ ْ ‫حدَّثَنا سلَيما ُن بن حر ٍب حدَّثَنا شعبةُ عن قَتاد َة عن صالِ ٍح أَِِب‬


‫ث‬ َْ ‫اخلَل ِيل َع ْن َعْبد اﷲ بْ ِن‬ َ ْ َ َ َ ْ َ َْ ُ َ َ ْ َ ُ ْ َ ْ ُ َ َ
ِ ‫ول اﷲ صلَّى اﷲ علَي ِو وسلَّم الْب يِّع‬
‫ان‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ال ق‬َ َ‫َرفَ َعوُ إِ ََل َح ِكي ِم بْ ِن ِحَزاٍم َر ِض َي اﷲ َعْنوُ ق‬
َ َ َ ََ َْ َ
‫ص َدقَا َوبَيَّ نَا بُوِرَك َذلَُما ِِف بَْيعِ ِه َما َوإِ ْن َكتَ َما َوَك َذبَا‬ َ َ‫اخلِيَا ِر َما ََلْ يَتَ َفَّرقَا أ َْو ق‬
َ ‫ال َح ََّّت يَتَ َفَّرقَا فَِإ ْن‬ ْ ِ‫ب‬
ٕ٘ ِ ِ ِ
‫ت بََرَكةُ بَْيعه َما‬ ْ ‫ُُم َق‬
“Telah menceritakan kepada kami Sulaimān bin Harb telah
menceritakan kepada kami Syu'bah dari Qatādah dari Sālih Abu al-Khalīl dari
'Abdullah bin al-Harits yang dinisbatkannya kepada Hakīm bin Hizām
radliallahu 'anhu berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
„Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk
melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah‟,
Atau sabda Beliau: „hingga keduanya berpisah. Jika keduanya jujur dan
menampakkan dagangannya maka keduanya diberkahi dalam jual belinya dan
bila menyembunyikan dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan jual
belinya.”

49
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarīr al-Tabari, Tafsir al-Tabari, Penerjemah Anshari
Taslim dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 367.
50
Ia adalah Al-Raghib al-Asfahāni. Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Husain bin
Muhammad bin al-Mufaḏal. Ia merupakan seorang ahli kebudayaan dan ahli ilmu yang terkenal.
Di antara buah penanya yang sangat berharga adalah Mu‟jam Mufradat Li Alfāẕ al-Qur‟ān. Ia
wafat pada tahun 502 M/1108 H.
51
Ibnu Hajar, Fath al-Bāri…, Jilid 29, h. 250.
52
Al-Bukhāri, Sahīh al-Bukhāri…, h. 275.
49

Umat Islam diperintahkan untuk berlaku jujur pada setiap keadaan,

dimanapun dan kapanpun. Bahkan pada saat berdagang sekalipun, nilai

kejujuran tidak boleh hilang. Menurut hadis di atas, keberkahan jual-beli

terdapat pada kejujuran pedagang dan pembelinya. Jika pada prosesnya

terdapat unsur dusta, maka akan hilanglah keberkahan dari jual-beli yang

dilakukan.

Pada hadis lain disebutkan bahwa dusta merupakan salah satu ciri orang

yang munafik. Dan sudah tidak dipungkiri lagi bahwa munafik adalah sifat

tercela yang harus dijauhi, karena balasan bagi pelakunya adalah ditempatkan

di al-darki al-asfali min al-nār (kerak neraka).53 Hadis tersebut berbunyi:

ِ ِ‫ال حدَّثَنَا نَافِع بن مال‬


‫ك بْ ِن أَِِب َع ِام ٍر‬ ِ ِ َ َ‫الربِي ِع ق‬
َ ُْ ُ َ َ َ‫يل بْ ُن َج ْع َف ٍر ق‬
ُ ‫ال َحدَّثَنَا إ ْْسَاع‬ َّ ‫َحدَّثَنَا ُسلَْي َما ُن أَبُو‬
ٌ ‫ال آيَةُ الْ ُمنَافِ ِق ثَََل‬
‫ث إِ َذا‬ َ َ‫صلَّى اﷲ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬ ِ
ِّ ِ‫أَبُو ُس َهْي ٍل َع ْن أَبِيو َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة َع ْن الن‬
َ ‫َِّب‬
٘ٗ
‫ف َوإِ َذا ْاؤَُتِ َن َخا َن‬ ْ ‫ب َوإِ َذا َو َع َد أ‬
َ َ‫َخل‬ َ ‫َّث َك َذ‬
َ ‫َحد‬
“Telah menceritakan kepada kami Sulaimān Abu al-Rabī‟ berkata, telah
menceritakan kepada kami Ismā'īl bin Ja'far berkata, telah menceritakan
kepada kami Nāfi' bin Mālik bin Abu 'Amir Abu Suhail dari bapaknya dari
Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tanda-
tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika
diberi amanat dia khianat‟.”

Dari uraian di atas diketahui bahwa dalam berkomunikasi hendaknya

umat Islam selalu mengutamakan kejujuran daripada dusta. Karena, kejujuran

akan membawa pelakunya kepada kebaikan dan berujung kepada surga,

sedangkan dusta akan membawa kepada keburukan yang akhirnya membuat

pelakunya terjerumus ke dalam neraka.

53
Hal ini dijelaskan dalam al-Qur‟an surat al-Nisā` ayat 145.
           
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari
neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.”
54
Al-Bukhāri, Sahīh al-Bukhāri…, h. 11.
50

D. Teks Hadis tentang Mendahulukan yang Lebih Tua dalam Berbicara

ٍ ِ‫حدَّثَنا سلَيما ُن بن حر ٍب حدَّثَنا َْحَّاد ىو ابن زي ٍد عن َُيَي ب ِن سع‬


‫يد َع ْن بُ َش ِْْي بْ ِن يَ َسا ٍر َم ْوََل‬ َ ْ َ ْ ْ َ َْ ُ ْ َ ُ ٌ َ َ ْ َ ُ ْ َ ْ ُ َ َ
َ ِّ‫َن َعْب َد اﷲ بْ َن َس ْه ٍل َوُُمَي‬
‫ص َة‬ ٍ ‫صا ِر َع ْن َرافِ ِع بْ ِن َخ ِد‬
َّ ‫يج َو َس ْه ِل بْ ِن أَِِب َحثْ َم َة٘٘ أَن َُّه َما َح َّدثَاهُ أ‬ َ ْ‫ْاْلَن‬
َّ ‫َّخ ِل فَ ُقتِ َل َعْب ُد اﷲ بْ ُن َس ْه ٍل فَ َجاءَ َعْب ُد‬ ٍ
‫الر ْْحَ ِن بْ ُن َس ْه ٍل‬ ْ ‫بْ َن َم ْسعُود أَتَيَا َخْيبَ َر فَتَ َفَّرقَا ِِف الن‬
ِ ‫ود إِ ََل النَِِّب صلَّى اﷲ علَي ِو وسلَّم فَتَ َكلَّموا ِِف أَم ِر ص‬
‫احبِ ِه ْم فَبَ َدأَ َعْب ُد‬ ٍ ‫وحويِّصةُ وُُميِّصةُ اب نا مسع‬
َ ْ ُ َ ََ َْ َ ِّ ُ ْ َ َْ َ َ َ َ َ ُ َ
‫ال َُْي ََي يَ ْع ِِن لِيَلِ َي‬
َ َ‫صلَّى اﷲ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم )) َكبِّ ْر الْ ُكْب َر(( ق‬ َ ‫َِّب‬ َ ‫َصغََر الْ َق ْوِم فَ َق‬
ُّ ِ‫ال لَوُ الن‬ ْ ‫الر ْْحَ ِن َوَكا َن أ‬
َّ
‫صلَّى اﷲ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ))أَتَ ْستَ ِحقُّو َن قَتِيلَ ُك ْم‬ َ ‫َِّب‬
ِ ‫الْ َك ََلم ْاْلَ ْكب ر فَتَ َكلَّموا ِِف أَم ِر ص‬
َ ‫احبِ ِه ْم فَ َق‬
ُّ ِ‫ال الن‬ َ ْ ُ َُ َ
ِ َ‫ال فَتُ ِِبئُ ُكم ي هود ِِف أ َّْي‬
‫ان‬ ُ ُ َ ْ ْ َ َ‫ول اﷲ أ َْمٌر ََلْ نََرهُ ق‬ َ ‫ني ِمْن ُك ْم(( قَالُوا يَا َر ُس‬ ِ ِ ِ ‫ال‬
َ ‫صاحبَ ُك ْم بِأ َّْيَان َخَْس‬ َ َ َ‫أ َْو ق‬
‫ال‬َ َ‫صلَّى اﷲ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِم ْن قِبَلِ ِو ق‬ ِ ُ ‫ول اﷲ قَوم ُكفَّار فَوداىم رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ ْ ُ ََ ٌ ٌْ َ ‫ني ِمْن ُه ْم قَالُوا يَا َر ُس‬ ِ
َ ‫َخَْس‬
‫ث َح َّدثَِِن َُْي ََي‬ ُ ‫ال اللَّْي‬ َ َ‫ضْت ِِن بِ ِر ْجلِ َها ق‬ ِ َ‫اإلبِ ِل فَ َدخل‬
َ ‫ت م ْربَ ًدا َذلُ ْم فَ َرَك‬
ْ َ ِْ ‫ك‬ َ ‫ت نَاقَةً ِم ْن تِْل‬ ُ ‫َس ْه ٌل فَأ َْد َرْك‬
‫ال ابْ ُن عُيَ ْي نَةَ َحدَّثَنَا َُْي ََي‬ َ َ‫يج َوق‬ٍ ‫ال َم َع َرافِ ِع بْ ِن َخ ِد‬ َ َ‫ت أَنَّوُ ق‬ ِ
ُ ‫ال َُْي ََي َحسْب‬َ َ‫َع ْن بُ َش ٍْْي َع ْن َس ْه ٍل ق‬
ُ‫َع ْن بُ َش ٍْْي َع ْن َس ْه ٍل َو ْح َده‬
٘ٙ

“Telah menceritakan kepada kami Sulaimān bin Harb telah


menceritakan kepada kami Hammād yaitu Ibnu Zaid dari Yahya bin Sa'īd dari
Busyair bin Yasār bekas budak Ansār, dari Rāfi' bin Khadīj dan Sahal bin Abu
Hatsmah bahwa keduanya menceritakan kepadanya bahwa Abdullah bin Sahal
dan Muhayyisah bin Mas'ūd pergi ke Khaibar, kemudian keduanya berpisah di
suatu kebun kurma, tiba-tiba Abdullah bin Sahal terbunuh, lantas Abdurrahman
bin Sahl, Huwayyisah dan Muhayyisah bin Mas'ud pergi menemui Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam untuk melapor mengenai perkara saudaranya,
Abdurrahman angkat bicara padahal dia adalah orang yang paling muda di
antara mereka, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang
lebih tua, yang lebih tua." Yahya berkata; "Maksudnya hendaknya yang paling
tua yang lebih dulu angkat bicara." Lalu mereka melaporkan mengenai perkara
saudaranya, lantas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hendaknya
lima puluh orang dari kalian bersumpah atas satu orang dari mereka (Yahudi),
maka kalian berhak menuntut darah sahabatmu." Mereka berkata; "Perkara ini
sama sekali belum pernah kami alami, bagaimana kami akan bersumpah?"
beliau bersabda: "Jika demikian, orang-orang Yahudi telah terbebas dari
tuduhanmu, dengan lima puluh orang dari mereka yang bersumpah." Mereka
berkata; "Wahai Rasulullah, mereka adalah orang-orang kafir." Kemudian
55
Hadis ini sanadnya bersambung dan semua perawinya dinilai tsiqah oleh ulama hadis.
56
Al-Bukhāri, Sahīh al-Bukhāri…, h. 855.
51

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membayar diyat dari diri beliau sendiri
kepada mereka." Sahal berkata; "Maka saya dapati seekor unta dari unta-unta
tersebut, lalu saya masukkan ke kandang unta mereka, tiba-tiba saya di tendang
oleh kaki unta itu." Laits berkata; Telah menceritakan kepadaku Yahya dari
Busyair dari Sahal. Yahya berkata; Aku mengira dia berkata bersama dengan
Rāfi' bin Khadīj. Ibnu 'Uyainah berkata; Telah menceritakan kepada kami
Yahya dari Busyair dari Sahal saja.”

1. Takhrij Hadis

Setelah melakukan penelusuran pada kitab Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẕ

al-Hadīts al-Nabawī dari semua lafazd yang ada dalam matan hadis, penulis

menemukan dengan hasil sebagai berikut:

٘ٚ
‫َُتل ُف ْو َن و تَ ْستَ ِحقُّون َد َم قَاتلِكم‬
ْ ‫ أ‬: ‫إستَ َح َّق‬
ْ -‫َح َّق‬
Kitab Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī

‫إستَ َح َّق‬
ْ -‫حق‬
ٕٕ ‫ ت ديات‬- ٜٛ ‫ أدب‬,ٕٔ ‫ خ جزية‬-
ٗ ‫ ن قسامة‬- ٔ ‫ م قسامة‬-
ٕٛ ‫ جو ديات‬- ٛ ‫ د ديات‬-

Adapun hadis-hadis pada tabel di atas dan skema sanadnya terdapat

pada lampiran 7 dan 8.

Kedua, setelah melakukan penelusuran dalam kitab Miftāh al-Kunūz al-

Sunnah melalui tema hadis, penulis menemukan hasil sebagai berikut:

Kitab Miftāh al-Kunūz al-Sunnah


58
‫اْلصغَا ِر‬
ْ ‫قبل‬ َّ
َ ‫ليتكل َم اْلَبْ َك ُار‬
Sahīh al-Bukhāri kitab ke-78 bab ke-89 ٜٛ ‫ ب‬ٚٛ ‫ أدب ك‬: ‫بخ‬

57
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī…, Juz I, h. 484.
58
A.J. Wensinck, Miftāh al-Kunūz al-Sunnah…, h. 422.
52

Ketiga, setelah melalukan penelusuran dalam kitab Mausū‟ah Aṯrāf al-

Hadīts dari awal matan hadis, penulisan menemukan hasil sebagai berikut:

Kitab Mausū‟ah Aṯrāf al-Hadīts


59
‫َكبِّ ْر لِْل ُكْب َر‬
Sunan al-Tirmidzī, hadis nomor 1422 ٕٕٔٗ ‫ت‬

2. Fiqh al-Hadīts

Petunjuk Islam telah memerintahkan kaum muslimin agar senantiasa

menghormati orang lain dan tidak menghina atau merendahkan mereka,

khususnya jika mereka yang memang layak mendapatkan penghormatan.

Bahkan Islam mengkategorikan penghormatan kepada orang tua, orang

berilmu dan orang-orang yang memiliki keutamaan dalam bidang pokok-pokok

akhlak.60

Mendahulukan yang lebih tua dalam berbicara merupakan salah satu

bentuk sopan santun dan penghormatan. Bahkan al-Hasyimi menyebutnya

sebagai bukti kemajuan masyarakat yang mengamalkannya sekaligus sebagai

bukti kepahaman mereka terhadap kaidah-kaidah akhlak kemanusiaan serta

tanda ketinggian jiwa.61 Oleh karena itulah Rasulullah Saw mengajarkan dan

menanamkan nilai tersebut ke dalam jiwa kaum muslimin, bahwa memuliakan

dan menghormati orang yang lebih tua merupakan salah satu akhlak mulia.

Pada hadis yang diteliti terlihat dengan jelas bahwa Rasulullah Saw

tengah mendidik sahabatnya agar mendahulukan yang lebih tua dalam

berbicara. Hal ini tergambar dari ucapan Rasulullah Saw kepada Abdurrahman

59
Basyuni Zaghlul, Mausū‟ah Aṯrāf al-Hadīts al-Nabawī al-Syarīf…, Jilid VI, h. 394.
60
Muhammad Ali al-Hasyimi, Jati Diri Muslim, Penerjemah Abdul Ghaffar (Jakarta:
Pustaka Al-Kaustar, 1999), h. 218.
61
Ali al-Hasyimi, Jati Diri Muslim…, h. 218.
53

bin Sahl yang pada saat itu berusaha menjelaskan perkara yang terjadi (saat itu

Abdurrahman adalah yang paling kecil usianya), kemudian Rasulullah Saw

menimpalinya dengan berkata, “Bicaralah yang lebih tua.”

Mengenai hal ini Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang dimaksud tua

adalah tua usianya. Ia juga menambahkan bahwa mendahulukan yang lebih tua

dalam berbicara berlaku jika mereka memiliki keutamaan yang sama. Namun

jika tidak, maka yang lebih utama dalam pemahaman dan ilmu lebih

didahulukan meskipun usianya lebih muda.62

Pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi disebutkan,

bahwa penghormatan kepada yang lebih tua dan kasih sayang kepada yang

muda memberikan identitas kepada yang mengamalkanya sebagai bagian dari

masyarakat Islam. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak mengamalkannya maka

dia telah kehilangan identitas tersebut.

‫ضْي ٍل َع ْن ُُمَ َّم ِد بْ ِن إِ ْس َح َق َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن‬ َ ُ‫َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ٍر ُُمَ َّم ُد بْ ُن أَبَا َن َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ف‬
‫س ِمنَّا َم ْن ََلْ يَ ْر َح ْم‬ َّ ِ
َ ‫صلى اﷲ َعلَْيو َو َسل َم لَْي‬
َّ َ ‫ول اﷲ‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ال ق‬َ َ‫ب َع ْن أَبِ ِيو َع ْن َجدِّهِ ق‬ ٍ ‫ُش َعْي‬
‫ال‬َ َ‫َّاد َحدَّثَنَا َعْب َدةُ َع ْن ُُمَ َّم ِد بْ ِن إِ ْس َح َق ََْن َوهُ إََِّل أَنَّوُ ق‬
ٌ ‫ف َكبِ ِْينَا َحدَّثَنَا َىن‬َ ‫ف َشَر‬ ْ ‫صغِ َْينَا َويَ ْع ِر‬
َ
ٖٙ
‫ف َح َّق َكبِ ِْينَا‬
ْ ‫َويَ ْع ِر‬
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Abān,
telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fuḏail dari Muhammad bin
Ishaq dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata; Rasulullah
bersabda: Tidak termasuk golongan kami, orang yang tidak mengasihi anak-
anak kecil dan tidak pula menghormati para orang tua kami. Telah
menceritakan kepada kami Hannād, telah menceritakan kepada kami Abdah
dari Muhammad bin Ishaq semisalnya. Hanya saja, ia menyebutkan; "Dan
(tidak pula) mengetahui hak para orang tua kami.”

62
Ibnu Hajar, Fath al-Bāri…, Jilid 29, h. 454.
63
Al-Tirmidzi, Jāmi‟ al-Tirmidzī…, h. 479.
54

Banyak hal yang harus diperhatikan ketika berbicara dengan orang yang

lebih tua. Selain dengan mendahulukan mereka dalam berbicara, ketika

berkomunikasi dengan mereka pun perkataan yang diucapkan hendaklah

terdengar jelas, tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu pelan. 64 Tentunya hal

ini juga perlu diperhatikan tidak hanya ketika berbicara dengan orang yang

lebih tua saja, ketika berbicara dengan teman sebaya bahkan dengan anak kecil

sekalipun, agar komunikasi berjalan dengan lancar, message (yang diucapkan)

pun harus jelas.

Dari uraian di atas diketahui bahwa dalam berkomunikasi hendaknya

mendahulukan orang yang lebih tua usianya dan orang yang lebih utama dalam

pemahaman dan ilmu.

E. Teks Hadis tentang Larangan Mencaci, Mencela dan Berkata Keji

‫ ُى َو فُلَْي ُح بْ ُن ُسلَْي َما َن َع ْن ِى ََل ِل بْ ِن‬,‫ أَ ْخبَ َرنَا أَبُ ْو َُْي ََي‬: ‫ب‬ ٍ ‫َخبَ رِن ابْن وْى‬
َ ُ َ ْ ‫ أ‬: ‫ال‬ َ َ‫صبَ ُغ ق‬ْ َ‫َح َّدثَنَا أ‬
ِ َ‫ول اﷲ صلَّى اﷲ علَي ِو وسلَّم ف‬ ٙ٘ ٍ ِ
‫اح ًشا َوََل لَ َّعانًا‬ َ ََ ْ َ َ ُ ‫س‬ ‫ر‬
َُ ْ َْ‫ن‬ ‫ك‬
ُ ‫ي‬ ‫َل‬
َ ‫ال‬َ ‫ق‬
َ ‫ل‬
َ َ‫ا‬َ‫ق‬ ‫س بْ ِن َمالك‬ ِ َ‫أُ َس َامة َع ْن أَن‬
ٙٙ ِ ِ ِ ُ ‫وََل سبَّابا َكا َن ي ُق‬
ُ‫ب َجبينُو‬ َ ‫ول عْن َد الْ َم ْعتَبَة َما لَوُ تَ ِر‬ َ ً َ َ
“Telah menceritakan kepada kami Asbagh ia berkata: telah
mengabarkan kepadaku Ibnu Wahb: telah mengabarkan kepada kami Abu
Yahya, dia adalah Fulaih bin Sulaimān dari Hilāl bin Usāmah dari Anas bin

64
Majid Sa‟ud Al-Ausyan, Panduan Lengkap dan Praktis Adab dan Akhlak Islami,
Penerjemah Abdurrahman Nuryaman (Jakarta: Darul Haq, 2015), Cetakan II, h. 155.
65
Hadis ini sanadnya bersambung, namun banyak perbedaan mengenai penilaian terhadap
para perawinya. Perawi pertama, Asbagh dinilai Abu Hātim dengan sudūq, al-„Ijli menilainya
dengan lā ba`sa bihi sedangkan Ibnu Hibbān dan Abu Ali bin al-Sakan menilainya tsiqāh (Lihat
Tahzīb al-Kamāl Jilid 3 h. 304 dan Tahzīb al-Tahzīb Jilid 1 h. 183). Perawi kedua, Ibn Wahab
(Abdullah bin Wahab bin Muslim al-Qurasyi) dinilai tsiqah oleh Yahya bin Ma‟īn dan al-„Ijly,
Abu Hātim menilainya dengan sālih al-hadīts, sudūq, sedangkan al-Nasā`i menilainya dengan lā
ba`sa bihi (Lihat Tahzīb al-Kamāl Jilid 16 h. 283 dan Tahzīb al-Tahzīb Jilid 2 h. 453). Perawi
ketiga, Fulaih bin Sulaimān, Abu Hātim dan Yahya bin Ma‟īn menilainya dengan laisa bi al-qawi,
sedangkan al-Nasā‟i menilainya dengan ḏa‟īf (Lihat Tahzīb al-Kamāl Jilid 23 h. 321). Perawi
keempat, Hilāl bin „Ali bin Usāmah, Abu Hātim menilainya dengan syaikhun, hadisnya ditulis, al-
Nasā‟i menilainya dengan laisa bihi ba`sun dan Ibnu Hibbān menilainya tsiqah (Lihat Tahzīb al-
Kamāl Jilid 30 h. 344).
66
Al-Bukhari, Sahīh al-Bukhāri…, h. 843.
55

Mālik dia berkata; „Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah


mencela, berkata keji dan mengutuk. Jika Rasulullah Saw ingin menegur
seseorang, beliau hanya berkata, “Semoga dahinya dipenuhi debu.” (dengan
bahasa sindiran).

1. Takhrij Hadis

Setelah melakukan penelusuran pada kitab Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẕ

al-Hadīts al-Nabawī dari semua lafazd yang ada dalam matan hadis, penulis

menemukan dengan hasil sebagai berikut:

ٙٚ ِ َ‫ول اﷲ صلَّى اﷲ علَي ِو وسلَّم ف‬


‫اح ًشا‬ ُ ‫ ََلْ يَ ُك ْن َر ُس‬: ‫ش‬
َ ََ َْ َ َ ‫فَ ُح‬
ٙٛ
‫اح ًشا َوََل لَعَّانًا‬ ِ َ‫ول اﷲ صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم ف‬ ُ ‫ ََلْ يَ ُك ْن َر ُس‬: ‫لَ َع َن‬
َ ََ َْ ُ َ
ٜٙ
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َسبَّابًا َوََل لَ َّعانًا‬
َ ‫ول اﷲ‬
ُ ‫ ََلْ يَ ُك ْن َر ُس‬: ‫ب‬
َّ ‫َس‬

Kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāzh al-Hadīs al-Nabawī

‫سب‬
ّ ‫لعن‬ ‫فحش‬
ٗٗ ‫ٖ و‬ٛ ‫ أدب‬: ‫خ‬ ٖٛ ‫ أدب‬: ‫ خ‬,ٕٚ ‫ فضائل أصحاب النِب‬,ٕٖ ‫ مناقب‬: ‫خ‬
ٖٜ-ٖٛ ‫أدب‬
ٙٛ ‫ فضائل‬: ‫م‬
ٗٚ ‫ بر‬: ‫ت‬

Adapun hadis-hadis pada tabel di atas dan skema sanadnya terdapat

pada lampiran 9 dan 10.

Kedua, setelah melakukan penelusuran dalam kitab Miftāh al-Kunūz al-

Sunnah melalui tema hadis, penulis menemukan hasil sebagai berikut:

Kitab Miftāh al-Kunūz al-Sunnah

‫ش‬
َ ‫ش َوََل التَّ َف َّح‬ ُّ ‫ إِ َن اﷲ ََل‬: ‫كَلم‬
َ ‫ُيب ال ُف ْح‬
70

67
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī…, Juz V, h. 79.
68
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī…, Juz VI, h. 129.
69
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī…, Juz II, h. 389.
56

Sahīh al-Bukhāri, kitab ke-78 bab ke-38 dan 82 ٕٛ ‫ٖ و‬ٛ ‫ ب‬ٚٛ ‫ ك‬: ‫بخ‬
Sunan Abu Dāud, kitab ke-40 bab ke-5 ٘ ‫ ك ٓٗ ب‬: ‫بد‬
Sunan al-Tirmidzī, kitab ke-25 bab ke-47 ٗٚ ‫ ك ٕ٘ ب‬: ‫تر‬

Ketiga, setelah melalukan penelusuran dalam kitab Mausū‟ah Aṯrāf al-

Hadīts dari awal matan hadis, penulisan menemukan hasil sebagai berikut:

Kitab Mausū‟ah Aṯrāf al-Hadīts


71 ِ َ‫ول اللَّ ِو صلَّى اﷲ علَي ِو وسلَّم ف‬
‫اح ًشا‬ ُ ‫ََلْ يَ ُك ْن َر ُس‬
َ ََ َْ َ
Sunan al-Tirmidzī, hadis nomor 2016 ٕٓٔٙ ‫ت‬

2. Fiqh al-Hadīts

Segala aktivitas yang kita lakukan hendaknya selalu bersandarkan

kepada tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Dari pengkabaran para

sahabat yang bertemu dan belajar langsung dari Nabi Saw bisa diketahui

bahwa beliau merupakan seseorang yang tutur katanya sangat terjaga. Ia tidak

pernah berbicara kotor apalagi mencaci dan mencela.

Hadis di atas merupakan hadis fi‟liyah72 yang diriwayatkan dari sahabat

Anas bin Mālik. Ia dikenal dengan julukan khādim al-Nabi (pembantu Nabi

Saw). Anas tinggal bersama Nabi Saw dalam jangka waktu yang sangat lama.

Ia telah menyaksikan banyak hal yang dilakukan Nabi Saw yang tidak

diketahui oleh sahabat-sahabat yang lain.

Anas sangat akrab dan selalu menyertai perjalanan Nabi Saw, sehingga

ia juga tahu dengan pasti bagaimana kepribadian Nabi Saw. Dalam sebuah

70
A.J. Wensinck, Miftāh al-Kunūz al-Sunnah…, h. 422.
71
Basyuni Zaghlul, Mausū‟ah Aṯrāf al-Hadīts al-Nabawī al-Syarīf…, Jilid 8, h. 683.
72
Hadis fi‟liyah adalah hadis yang berbentuk pernyataan sahabat yang menggambarkan
perilaku atau perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Saw yang kemudian dijadikan dasar hukum
yang harus diikuti dan dilaksanakan oleh umat Islam.
57

riwayat disebutkan, Anas berkata, “Selama dua puluh tahun saya menjadi

pembantu Nabi Saw, saya tidak pernah dipukul oleh Nabi Saw, tidak pernah

dicaci, dan tidak pula pernah ia bermuka masam kepada saya.”73

Umat Islam sudah seharusnya meneladani sosok Nabi Muhammad Saw.

Karena pada dirinya terdapat suri teladan yang baik (uswah al-hasanah). Hal

ini sebagaimana yang dijelaskan al-Qur‟an pada surat al-Ahzāb ayat 21:

ِ ِ
ْ ‫َولََق ْد َكا َن لَ ُك ْم ِِف َر ُس ْول اﷲ أ‬
[ٕٔ] ... ٌ‫ُس َوةٌ َح َسنَة‬

“Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah Saw itu suri teladan yang baik
bagimu…”

Setelah mengetahui bahwa pada diri Nabi Muhammad Saw terdapat

uswah yang baik, maka yang harus dilakukan oleh kaum muslimin adalah

mengikuti ajaran-ajarannya, meneladani kepribadiannya dan berusaha

mengamalkan sunnah-sunnahnya. Di antara kepribadian Nabi Saw yang harus

diikuti dan diteladani oleh umat Islam adalah menjaga lisan dari berkata yang

kotor dan keji, serta dari mencela dan mencaci.

Mencela, mencaci dan berkata kotor; semua sifat tersebut tidak baik

untuk dimiliki oleh seorang muslim yang telah menghirup angin hidayah Allah

Swt, yang hatinya telah dipenuhi dengan keimanan serta lidah dan perasaanya

telah dipoles oleh ajaran-ajaran syari‟at.74 Dalam sebuah hadis yang

diriwayatkan oleh al-Tirmidzi disebutkan:

‫ش َع ْن‬ ِ ‫ي َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َسابِ ٍق َع ْن إِ ْسَرائِيل َع ْن ْاْل َْع َم‬


َ ُّ ‫ص ِر‬
ْ َ‫ي الْب‬ ُّ ‫َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َُْي ََي ْاْل َْزِد‬
ِ ‫ول اللَّ ِو صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم لَيس الْم ْؤِمن بِالطَّ َّع‬
‫ان‬ ُ ُ َ ْ َ ََ َْ ُ َ ُ ‫ال َر ُس‬َ َ‫ال ق‬َ َ‫إِبْ َر ِاىْي َم َع ْن َع ْل َق َمةَ َع ْن َعْب ِد اللَّ ِو ق‬

73
Ibnu Ahmad „Alimi, Tokoh dan Ulama Hadis (Sidoarjo: Mashun, 2008), h. 57.
74
Ali al-Hasyimi, Jati Diri Muslim…, h. 199.
58

ٚ٘
ٌ ‫يسى َى َذا َح ِد‬ ِ ِ ‫ش وََل الْب ِذ‬ ِ ِ
ٌ ‫يث َح َس ٌن َغ ِر‬
‫يب‬ َ ‫ال أَبُو ع‬
َ َ‫ ق‬.‫يء‬ َ َ ِ ‫َوََل اللَّعَّان َوََل الْ َفاح‬
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya Al Azdī Al
Basari, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sābiq dari Isrā`īl dari
al-A'masy dari Ibrāhīm dari ‟Alqamah dari Abdullah ia berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah termasuk hamba yang
mukmin, yaitu mereka yang selalu mengungkap aib, melaknat, berperangai
buruk dan suka menyakiti.” Abu Isa berkata; Ini adalah hadits hasan shahih
gharib.

Al-Mubārakfūrī menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan laisa al-

mukmin (tidaklah termasuk hamba yang mukmin) adalah tidaklah sempurna

imannya dan yang dimaksud al-ṯa‟ān adalah aib-aib manusia.76 Maka, menurut

hadis di atas tidaklah sempurna iman seorang muslim jika ia mengungkap aib ,

melaknat, berperangai buruk dan suka menyakiti perasaan orang lain.

Al-Qur‟an memberikan penjelasan mengenai larangan mencaci,

mencela dan berkata keji. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam surat al-

Hujurat ayat 11 yang berbunyi:

                

               

         

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki


merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan
lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka
mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka Itulah orang-
orang yang zalim.”

75
Abu Isa Muhammad bin Isa Al-Tirmidzi, Jāmi‟ al-Kabīr Li al-Tirmidzi (Beirūt: Dār al-
Gharb al-Islāmī, 1996), Jilid 3, h.520.
76
Abu Abdrurrahmān bin Abdurrahīm al-Mubārakfūrī, Tuhfah al-Ahwādzī Syarah Jāmi‟
al-Tirmidzī (T.tp: Bait al-Afkār al-Dauliyyah, t.t), h. 1650.
59

Ayat di atas berisi tentang larangan dari Allah Swt kepada seluruh

orang beriman agar tidak mengejek orang beriman lainnya dengan berbagai

macam ejekan, misal karena kemiskinannya, dosanya,77 baik itu dilakukan

langsung dihadapan orang yang diejek maupun tidak.78 Semua hal yang

mengarah kepada ejekan, olokan dan hal semacamnya tetap saja dilarang.

Dari uraian di atas diketahui bahwa dalam berkomunikasi hendaknya

selalu dengan tutur kata yang baik dan jauh dari cacian, celaan dan perkataan

kotor. Umat Islam patut meneladani Nabi Muhammad Saw yang lisannya

selalu terjaga dari mencaci, melaknat dan mencela. Dengan begitu semua sifat

terpuji dan mulia dapat menggenangi kehidupan manusia khususnya

masyarakat Islam di dunia ini.79

F. Teks Hadis tentang Menjauhi Perdebatan dengan Lawan Bicara

‫ال َح َّدثَِِن َسلَ َمةُ بْ ُن َوْرَدا َن اللَّْيثِ ُّي‬ ٍ ‫ي حدَّثَنَا ابن أَِِب فُ َدي‬ ٍ
َ َ‫ك ق‬ ْ ُْ َ ُّ ‫ص ِر‬
ْ َ‫َحدَّثَنَا عُ ْقبَةُ بْ ُن ُم َكِّرم الْ َع ِّم ُّي الْب‬
‫ِن‬ُِ‫اط ٌل ب‬ ِ ‫ول اﷲ صلَّى اﷲ علَي ِو وسلَّم من تَرَك الْ َك ِذب وىو ب‬ ُ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ال‬
َ ‫ق‬
َ ‫ال‬
َ ‫ق‬
َ
ٛٓ ٍ ِ
‫س بْ ِن َمالك‬ ِ َ‫َع ْن أَن‬
َ َ ََُ َ َ َْ َ ََ ْ َ َ َُ
ٛٔ
‫ِن لَوُ ِِف أ َْع ََل َىا‬ ِ ِ ِ ُِ‫اْلَن َِّة وَم ْن تَرَك الْ ِمراء وُىو ُُِم ٌّق ب‬ ِ َ‫لَوُ ِِف َرب‬
َ ُ‫ِن لَوُ ِف َو َسط َها َوَم ْن َح َّس َن ُخلَُقوُ ب‬
َ َ َََ َ َ ْ ‫ض‬
“Telah menceritakan kepada kami Uqbah bin Mukarram Al 'Ammiyyu
Al Basari, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik ia berkata, Telah
menceritakan kepadaku Salamah bin Wardan Al Laitsi dari Anas bin Mālik ia

77
Abu Ja‟far al-Tabari, Tafsir al-Tabari…, Jilid 23, h. 742.
78
M. Quraish Shihab, Al-Lubāb: Makna, Tujuan dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-
Qur‟an…, buku 4, h. 537.
79
Ali al-Hasyimi, Jati Diri Muslim…, h. 201.
80
Hadis ini sanadnya bersambung, namun ada perbedaan mengenai penilaian terhadap
para perawinya. Ulama hadis sepakat memberi penilaian tsiqah kepada Uqbah bin Mukarram
(Lihat Tahzīb al-Tahzīb Jilid 3 h. 127). Ibnu Abu Fudaik dinilai tsiqah oleh Ibnu Hajar al-
Asqalāni, Ibnu Ma‟īn dan Ibnu Hibbān, sedangkan al-Nasā`i menilainya dengan laisa bihi ba`sun
(Lihat Tahzīb al-Kamāl Jilid 24 h. 488 dan Tahzīb al-Tahzīb Jilid 3 h. 514). Salamah bin Wardān
dinilai Abu Hātim dengan laisa biqawi, Ibnu Ma‟īn dengan laisa bi syai` dan ḏa‟īf menurut al-
Nasā‟i (Lihat Tahzīb al-Kamāl Jilid 11 h. 327. Al-Tirmidzi mengatakan hadis ini adalah hadis
hasan, dan tidak diketahui jalur lain selain jalur periwayatan Salamah bin Wardān dari Anas bin
Mālik.
81
Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Jāmi‟ al-Kabīr , (Beirut: Dār al-Gharb al-
Islām, 1996), Jilid 3, h. 530.
60

berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang


meninggalkan berbohong (dan berbohong pada waktu itu sesuatu yang tidak
dibenarkan) maka akan dibangunkan untuknya rumah di sekitar surga,
barangsiapa yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar maka akan
dibangunkan untuknya rumah di tengah surga, dan barangsiapa yang
memperbagus akhlaknya maka akan dibangunkan rumah untuknya di bagian
yang paling atas.”

1. Takhrij Hadis

Setelah melakukan penelusuran pada kitab Mu‟jam al-Mufahras Li

Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī dari semua lafazd yang ada dalam matan hadis,

penulis menemukan dengan hasil sebagai berikut:

ٕٛ
ِ ِ ِ
... ُ‫ِن لَو‬ َ ‫ َو َسلَّ َم َم ْن تَ َرَك الْ َكذ‬: ‫ترك‬
َ ُ‫ب َوُى َو بَاط ٌل ب‬
ٖٛ
‫ِن لَوُ ِِف أ َْع ََل َىا‬
ِ
َ ُ‫ َوَم ْن َح َّس َن ُخلُ َقوُ ب‬: ‫بىن‬
Kitab Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī
‫بىن‬ ‫ترك‬
ٛ٘ ‫ بر‬: ‫ت‬ ٛ٘ ‫ بر‬: ‫ت‬
ٚ ‫ مقدمة‬: ‫جو‬ ٚ ‫ مقدمة‬: ‫جو‬

Adapun hadis-hadis pada tabel di atas dan skema sanadnya terdapat

pada lampiran 11 dan 12.

Kedua, setelah melakukan penelusuran dalam kitab Miftāh al-Kunūz al-

Sunnah melalui tema hadis, penulis menemukan hasil sebagai berikut:

Kitab Miftāh al-Kunūz al-Sunnah


84
‫ ما جاء ىف ادلراء‬: ‫اْلداب‬
Sunan Al-Tirmidzī, kitab ke-25 bab ke-60 ٙٓ ‫ ك ٕ٘ ب‬: ‫تر‬

82
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī…, Juz I, h. 269.
83
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī…, Juz I, h. 221.
84
A.J. Wensinck, Miftāh al-Kunūz al-Sunnah…, h. 28.
61

Ketiga, setelah melalukan penelusuran dalam kitab Mausū‟ah Aṯrāf al-

Hadīts dari awal matan hadis, penulisan menemukan hasil sebagai berikut:

Kitab Mausū‟ah Athrāf al-Hadĭts


85
‫اْلَن َِّة‬
ْ ‫ض‬ ِ ‫من تَرَك الْ َك ِذب وىو ب‬
ِ َ‫اط ٌل بُِِن لَوُ ِِف َرب‬
َ َ ََُ َ َ َْ
Sunan al-Tirmidzī, hadis nomor 1993 ٜٜٖٔ ‫ت‬

2. Fiqh al-Hadīts

Rasulullah Saw mengajarkan umatnya agar meninggalkan perdebatan

sekalipun berada dalam posisi benar. Perdebatan dilarang karena seringkali

membuat kegaduhan dan muḏarat bahkan tidak sedikit yang berakhir dengan

permusuhan dan saling membenci.

Secara umum perdebatan terbagi menjadi dua, yakni perdebatan yang

terpuji dan tercela. perdebatan yang terpuji adalah debat yang dilakukan oleh

orang alim untuk menemukan kebenaran dan menetapkannya. Sedangkan

perdebatan yang tercela adalah debat yang dilakukan untuk menolak kebenaran

dan tanpa dilandasi ilmu. Hal inilah yang diungkapkan oleh Imam Nawawi,

“Terkadang debat itu dengan kebenaran dan terkadang dengan


kebatilan. Jika berdebat untuk menemukan kebenaran (al-haq) dan
menetapkannya, maka itu menjadi terpuji. Namun jika debat itu untuk
menolak kebenaran atau berdebat tanpa landasan ilmu, maka debat itu
menjadi tercela.”86

Dalam berkomunikasi, umat Islam diperintahkan untuk mengucapkan

hal-hal yang baik dan meninggalkan perkataan yang sia-sia.87 Namun dalam

perdebatan, seringkali yang terlontar bukan lagi perkataan yang baik dan wajar.

85
Basyuni Zaghlul, Mausū‟ah Aṯrāf al-Hadīts al-Nabawī al-Syarīf…, Jilid 8, h. 184.
86
Husain al-Awayisyah, Saat Diam Saat Bicara: Manajemen Lisan, Penerjemah Gunaim
Ihsan (Jakarta: Darul Haq, 2006), h. 150.
87
Hal ini sudah dijelaskan pada pembahasan hadis pertama dan kedua.
62

Karena sudah terlalu emosi, biasanya kalimat yang terlontar ketika berdebat

tidak terkontrol, bahkan sering dimuat dengan kata-kata makian.

Perdebatan yang sehat dalam rangka mencari dan menegakkan

kebenaran memang diperbolehkan, namun perdebatan jenis ini sangat jarang

sekali terjadi. Seringkali terlihat di TV, anggota DPR berdebat dengan LSM,

Polisi berdebat dengan pengacara dan beberapa perihal lain. Gara-gara

berdebat pula, pada tahun 2003 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob

Nuwa Wea menyerang dan memukul kepala koordinator ICW Danang

Widyoko di sebuah acara Today‟s Dialog di Metro TV. Tidak hanya memukul,

sang Menteri juga dinilai menghina Danang dengan kata-kata.88

Peristiwa di atas merupakan salah satu dari banyaknya kasus

perdebatan yang berujung kepada pertengkaran dan permusuhan. Umat Islam

hendaknya sebisa mungkin menahan diri untuk tidak melakukan perdebatan,

meskipun boleh jadi berada di posisi yang benar. Sebab Rasulullah Saw telah

menjamin sebuah rumah di surga teruntuk mereka yang mampu menahan diri

dari perdebatan. Redaksi hadis yang menunjukkan hal tersebut adalah:

‫ِن لَوُ ِِف َو َس ِط َها‬


ِ ِ ِ
َ ُ‫َوَم ْن تَ َرَك الْمَراءَ َوُى َو ُُم ٌّق ب‬
“Barangsiapa meninggalkan debat meskipun ia benar, maka akan
dibangunkan baginya rumah di tengah surga.”

Al-Mubārakfūrī menjelaskan, al-mirā` pada redaksi hadis di atas adalah

al-jidāl (perdebatan). Wa huwa muhiqqun maksudnya adalah seseorang yang

jujur dan berbicara dengan benar. Ia menambahkan bahwa berbohong dan

berdebat biasanya saling berkaitan. Hal ini dikarenakan, orang yang berbohong

88
Cholis Akbar, “Hindari Debat, Berbahasalah yang Bijak”, Atikel diakses pada 19 April
2017 dari www.hidayatullah.com
63

akan berusaha membenarkan dirinya dengan cara apapun, termasuk mendebat

lawan bicaranya. Namun dibandingkan berbohong saja, berdebat yang

dibumbui dengan unsur bohong lebih parah keburukannya. Orang yang mampu

meninggalkan kebohongan akan dibangunkan rumah di sekitar surga, namun

orang yang mampu meninggalkan perdebatan sekalipun dia benar akan

dibangunkan rumah di tengah-tengah surga. Karena meninggalkan debat ketika

berada dalam posisi benar tentu lebih sulit daripada meninggalkan debat ketika

dalam posisi salah. Inilah yang menjadikannya lebih utama.89

Pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mājah disebutkan:

ٍ ‫َحدَّثَنَا َعلِ ُّي بْن ُُمَ َّم ٍد َحدَّثَنَا أَبُو ُم َعا ِويَةَ َحدَّثَنَا َداو ُد بْن أَِِب ِىْن ٍد َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُش َعْي‬
‫ب َع ْن أَبِ ِيو‬ ُ ُ ُ
‫ص ُمو َن ِِف الْ َق َد ِر‬ ِ َ‫ول اﷲ صلَّى اﷲ علَي ِو وسلَّم علَى أَصحابِِو وىم َِيْت‬
ْ َُ َ ْ َ َ ََ َْ َ ُ ‫ال َخَر َج َر ُس‬ َ َ‫َع ْن َجدِّهِ ق‬
ِ ِ
ْ َ‫ال ِِبَ َذا أ ُِم ْرُْت أ َْو ذلََذا ُخل ْقتُ ْم ت‬
‫ض ِربُو َن الْ ُق ْرآ َن‬ ِ‫ض‬
َ ‫ب فَ َق‬ ِ ِ ‫الرَّم‬
َ َ‫ان م ْن الْغ‬ ُّ ‫ب‬ ُّ ‫فَ َكأََُّنَا يُ ْف َقأُ ِِف َو ْج ِه ِو َح‬
ٜٓ
‫ت ْاْل َُم ُم قَ ْب لَ ُك ْم‬ ِ ٍ ‫ب عضو بِب ع‬
ْ ‫ض ِبَ َذا َىلَ َك‬ ْ َ ُ َ َْ
“Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad berkata, telah
menceritakan kepada kami Abu Mu'āwiyah berkata, telah menceritakan kepada
kami Dāud bin Abu Hindun dari 'Amru bin Syu'aib dari Bapaknya dari
Kakeknya ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar menjumpai
para sahabatnya yang sedang berdebat tentang takdir. Maka seakan-akan wajah
beliau seperti buah delima karena marah. Beliau lalu bersabda: „Apakah untuk
ini kalian diperintahkan‟, atau beliau mengatakan, „untuk inikah kalian
diciptakan! Kalian benturkan sebagian Al Qur'an dengan sebagian yang lain.
Karena hal inilah kaum sebelum kalian binasa.”

Menurut keterangan hadis di atas, Rasulullah Saw sangat marah ketika

melihat sahabat-sahabatnya sedang berdebat mengenai takdir. Beliau sangat

tidak menyukai perdebatan dan berbantah-bantahan, apalagi yang

diperdebatkan adalah ayat-ayat al-Qur‟an. Hal ini mengindikasikan bahwa

89
Al-Mubārakfūrī, Tuhfah al-Ahwādzī Syarah Jāmi‟ al-Tirmidzī…, h. 1656.
90
Abu Abdullah Muhammad bin Yazīd Al-Qazwinī, Sunan Ibn Mājah…, h. 26.
64

termasuk ke dalam perdebatan yang dilarang; perdebatan yang menimbulkan

perpecahan dan perdebatan mengenai ayat-ayat al-Qur‟an.

Dari uraian di atas diketahui bahwa dalam berkomunikasi hendaknya

umat Islam selalu menjaga lisan dari hal-hal yang bisa menjerumuskan kepada

yang baṯil, salah satunya yaitu perdebatan. Debat memang tidak dilarang secara

mutlak, namun sangat dianjurkan untuk meninggalkannya. Redaksi hadis yang

menyebutkan “Bagi orang yang meninggalkan debat sekalipun pada posisi

yang benar sebuah rumah di tengah surga” mengisyaratkan bahwa sebisa

mungkin perdebatan harus dijauhi. Karena menjaga diri dari muḏarat lebih

diutamakan daripada mencari kemaslahatan. Berdebat untuk mencari

keberanan diperbolehkan, namun jika hal tersebut menjadikan diri hilang

kontrol dan memberi lebih banyak muḏarat, maka meninggalkan perdebatan

lebih diutamakan.

G. Teks Hadis tentang Larangan Mengumpat atau Ghibah

‫ش َع ْن‬ ِ ‫اش َع ْن ْاْل َْع َم‬ ٍ َّ‫َس َو ُد بْ ُن َع ِام ٍر َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن َعي‬
ْ ‫َحدَّثَنَا عُثْ َما ُن بْ ُن أَِِب َشْيبَةَ َحدَّثَنَا ْاْل‬
‫صلَّى اﷲ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ َ َ‫ ق‬ٜٔ‫َسلَ ِم ِّي‬ ِ ِِ
َ ‫ول اﷲ‬ ُ ‫ال َر ُس‬َ َ‫ال ق‬ ْ ‫َسعيد بْ ِن َعْبد اﷲ بْ ِن ُجَريْ ٍج َع ْن أَِِب بَ ْرَزةَ ْاْل‬
‫ني َوََل تَتَّبِعُوا َع ْوَراِتِِ ْم فَِإنَّوُ َم ْن‬ ِِ ِْ ‫يَا َم ْع َشر َم ْن َآم َن بِلِسانِِو َوََلْ يَ ْد ُخل‬
َ ‫اإلّيَا ُن قَ ْلبَوُ ََل تَ ْغتَابُوا الْ ُم ْسلم‬ ْ َ َ
‫ض ْحوُ ِِف بَْيتِ ِو‬ ِِ
َ ‫اتَّبَ َع َع ْوَراِت ْم يَتَّبِ ُع اﷲ َع ْوَرتَوُ َوَم ْن يَتَّبِ ْع اللَّوُ َع ْوَرتَوُ يَ ْف‬
ٜٕ

91
Hadis ini sanadnya bersambung, namun ada perbedaan mengenai penilaian terhadap
para perawinya. Ustmān bin Abu Syaibah dinilai sudūq oleh Abu Hātim dan tsiqah oleh Ahmad
bin Abdullah al-„Ijly dan Yahya bin Ma‟īn (Lihat Tahzīb al-Kamāl Jilid 9 h. 482). Aswād bin
Amir dinilai tsiqah oleh Ibnu Hajar, Ibnu al-Madini dan Ibnu Hibbān, Ibnu Ma‟īn menilainya
dengan lā ba`sa bihi, Abu Hātim menilainya sudūq sālih dan Ibnu Sa‟ad menilainya dengan sālih
al-hadīts (Lihat Tahzib al-Tahzīb Jilid 1 h. 172). Abu Bakr bin „Ayyāsy dinilai tsiqah oleh Yahya
bin Ma‟īn, Ahmad bin Hambal dan Ibnu Hibbān (Lihat Tahzīb al-Kamāl Jilid 33 h. 132). Sulaimān
al-A‟masy dinilai tsiqah oleh al-„Ijly, Yahya bin Ma‟in dan al-Nasā`i (Lihat Tahzīb al-Kamāl Jilid
12 h. 89). Sa‟īd bin Abdullah bin Juraij dinilai Abu Hatim dengan majhūl, dan tsiqah menurut Ibnu
Hibbān. (Lihat Tahzīb al-Tahzīb Jilid 2 h.28).
92
Abi Daud Sulaiman bin Al-Asy‟ats Al-Sijistāny, Sunan Abi Dāud (Beirut: Bait al-Afkār
al-Dauliyyah, 1420 H), h. 529
65

“Telah menceritakan kepada kami Utsmān bin Abu Syaibah berkata,


telah menceritakan kepada kami Al Aswad bin „Amir berkata, telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar bin „Ayyāsy dari al-A'masy dari Sa‟īd
bin Abdullah bin Juraij dari Abu Barzah al-Aslami ia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai orang-orang yang beriman
dengan lisannya namun keimanannya belum masuk ke dalam hatinya,
janganlah kalian mengumpat seorang muslim dan jangan pula mencari-cari
kesalahannya. Sebab siapa saja yang mencari-cari kesalahan mereka, maka
Allah akan mencari-cari kesalahannya. Maka siapa saja yang Allah telah
mencari-cari kesalahannya, Allah tetap akan menampakkan kesalahannya
meskipun ia ada di dalam rumahnya.”

1. Takhrij Hadis

Setelah melakukan penelusuran pada kitab Mu‟jam al-Mufahras Li

Alfāẕ al-Hadīs al-Nabawī dari semua lafazd yang ada dalam matan hadis,

penulis menemukan hasil sebagai berikut:

ٜٖ
ِْ ‫ َوََلْ يَ ْد ُخل‬... : ‫َد َخل‬
... ُ‫اإلّيَا ُن قَ ْلبَو‬ ْ َ
ٜٗ
‫ يَا َم ْع َشَر َم ْن َآم َن بِلِ َسانِِو‬: ‫أََم َن‬

Kitab Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīs al-Nabawī

‫أمن‬ ‫دخل‬
ٖ٘ ‫ أدب‬: ‫د‬ ٖ٘ ‫ أدب‬: ‫د‬

Adapun hadis-hadis pada tabel di atas dan skema sanadnya terdapat

pada lampiran 13 dan 14.

Kedua, setelah melalukan penelusuran dalam kitab Mausū‟ah Aṯrāf al-

Hadīts dari awal matan hadis, penulisan menemukan hasil sebagai berikut:

Kitab Mausū‟ah Aṯrāf al-Hadīts


95
ِْ ‫يَا َم ْع َشر َم ْن َآم َن بِلِسانِِو َوََلْ يَ ْد ُخل‬
ُ‫اإلّيَا ُن قَ ْلبَو‬ ْ َ َ

93
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīs al-Nabawī…, Juz II, h. 114.
94
A.J. Wensinck, Mu‟jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīs al-Nabawī…, Juz I, h. 107.
95
Basyuni Zaghlul, Mausu‟ah Athraf al-Hadĭts al-Nabawi al-Syarīf…, Jilid 8, h. 249.
66

Sunan Abu Daud, hadis nomor 4880 ٗٛٛٓ ‫د‬

2. Fiqh al-Hadīts

Ghībah berarti mempergunjingkan orang lain, yakni membicarakan hal-

hal yang tidak disukai oleh orang yang dibicarakan kalau ia mendengarnya. 96

Hal ini juga dikenal dengan gosip. Ketika komunikasi berlangsung, hendaknya

yang dikomunikasikan adalah hal-hal yang baik dan bermanfaat bukan hal

negatif seperti mempergunjingkan orang lain.

Menggunjing adalah salah satu perilaku tercela yang harus dijauhi oleh

seluruh umat Islam sejauh-jauhnya. Karena selain membicarakan orang lain

adalah sesuatu yang tidak bermanfaat, pelaku gunjing atau ghībah dalam al-

Qur‟an diibaratkan dengan orang yang suka memakan daging saudaranya

sendiri yang sudah meninggal. Tentu saja tidak ada seorangpun yang mau

disamakan dengan pengibaratan itu.

Abu Tayyib Abādī mengungkapkan, maksud dari potongan hadis yā

ma‟syar man āmana bi lisānihi wa lam yadkhul al-īmān qalbahu lā taghtābū

al-muslimīn (Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun

keimanannya belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian mengumpat

muslim) adalah peringatan bahwa bergunjing merupakan syi‟ār orang-orang

munafik dan bukan ajaran umat Islam. Wa lā tattabi‟ū „aurātahum (dan jangan

pula mencari-cari kesalahannya) maksudnya adalah jangan men-tajassus atau

memata-matai dan mencari-cari aib mereka.97

96
Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 216.
97
Abu al-Tayyib Muhammad Syam al-Haq al-„āẕīm Abādi, Aun al-Ma‟būd (Madīnah: al-
Maktabah al-Salāfiyah, 1969), Jilid 13, h. 224.
67

Biasanya manusia lebih cenderung memperhatikan aib orang lain dan

melupakan aib sendiri, hal ini bersumber dari sifat manusia yang mencintai

dirinya sendiri (hub al-dzāt).98 Namun, perilaku yang sering membuka dan

menceritakan aib orang lain dan melupakan aib sendiri karena terlalu hub al-

dzāt sangat tidak baik dan dilarang. Karena bisa jadi orang yang dibicarakan

tersebut lebih baik amalnya dan lebih sedikit aibnya dari orang yang

membicarakan.

Pada redaksi hadis yang diteliti disebutkan, “Janganlah kalian

mengumpat seorang muslim dan jangan pula mencari-cari kesalahannya.”

Dilarang mencari tau aib orang lain karena setiap pribadi bertanggung jawab

atas aibnya sendiri. Sedangkan mencari-cari kesalahan dan aib orang lain akan

membuat lupa aib yang ada pada diri sendiri. Sibuk mengurusi urusan orang

lain padahal urusan sendiri saja tidak tuntas. Repot kesana-kemari mencari tau

aib orang lain, padahal aib sendiri menggunung. Sungguh tercela perilaku

seperti ini.

Al-Qur‟an memberikan petunjuk mengenai larangan ghībah. Salah

satunya adalah yang terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 12 yang berbunyi:

               

  ‫ اﷲ‬            
   ‫اﷲ‬

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka


(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah

98
Khalil al-Musawi, Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana…, h. 156.
68

kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha


Penyayang.”

Ayat di atas berisi tentang larangan terhadap tiga hal yakni

berprasangka buruk, tajassus dan ghībah. Ketiga hal ini saling berkaitan satu

dengan lainnya. Orang-orang yang hatinya dipenuhi dengan ẕan yang buruk

akan selalu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus), dan ketika sudah

menemukan aib dan kesalahan orang lain, ia akan menggunjingkannya.

Redaksi ayat wa lā yaghtab ba‟ḏukum ba‟ḏā (dan janganlah

menggunjingkan satu sama lain) ditafsirkan oleh al-Tabari dengan, “Janganlah

sebagian dari kalian berkata tentang sebagian lainnya di belakangnya dengan

sesuatu yang tidak disukainya jika hal tersebut dikatakan dihadapannya.”99

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan

mengenai definisi ghībah. Hadis tersebut berbunyi:

‫يل َع ْن الْ َع ََل ِء َع ْن أَبِ ِيو َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة‬ِ ِ ٍ َ ُّ‫َحدَّثَنَا َُْي ََي بْ ُن أَي‬
ُ ‫وب َوقُتَ ْيبَةُ َوابْ ُن ُح ْجر قَالُوا َحدَّثَنَا إ ْْسَع‬
‫ال ِذ ْك ُرَك‬ َ َ‫ال أَتَ ْد ُرو َن َما الْغِيبَةُ قَالُوا اﷲ َوَر ُسولُوُ أ َْعلَ ُم ق‬ َ َ‫صلَّى اﷲ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬
َ ‫ول اﷲ‬ َ ‫َن َر ُس‬ َّ ‫أ‬
ُ ‫ال إِ ْن َكا َن فِ ِيو َما تَ ُق‬
‫ول فَ َق ْد ا ْغتَْبتَوُ َوإِ ْن‬ ُ ُ‫ت إِ ْن َكا َن ِِف أ َِخي َما أَق‬
َ َ‫ول ق‬ َ ْ‫يل أَفَ َرأَي‬
ِ ِ َ ‫أَخ‬
َ ‫اك ِبَا يَكَْرهُ ق‬ َ
ِِ
ُ‫ََلْ يَ ُك ْن فيو فَ َق ْد بَ َهتَّو‬
ٔٓٓ

“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyūb dan Qutaibah dan
Ibnu Hujr mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Isma'il dari Al-
„Alā` dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pernah bertanya: "Tahukah kamu, apakah ghībah itu?" Para sahabat
menjawab; 'Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.' Kemudian Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: 'Ghībah adalah kamu membicarakan saudaramu
mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.' Seseorang bertanya; 'Ya Rasulullah,
bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang
sesuai dengan yang saya ucapkan? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
berkata: 'Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti
kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada
padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.”

99
Abu Ja‟far al-Tabari, Tafsir al-Tabari…, Jilid 23, h. 757.
100
Muslim bin al-Hajjāj al-Qusyairi al-Naisābūri, Sahīh Muslim…, Jilid 4, h. 2001.
69

Dari keterangan hadis di atas dapat diketahui perbedaan antara ghībah

dan fitnah. Jika aib memang ada pada diri orang yang dibicarakan, maka itu

adalah ghībah, namun apabila aib tersebut tidak ada pada dirinya, maka itu

adalah kebohongan yang dibuat-buat alias fitnah. Ghībah dan fitnah memang

berbeda, namun yang jelas keduanya adalah perilaku yang dilarang dalam

Islam.

Pada hadis lain disebutkan:

‫ال َح َّدثَِِن َر ِاش ُد بْ ُن َس ْع ٍد َو َعْب ُد‬ َ َ‫ص ْف َوا ُن ق‬ ِ ِ ِ


َ ‫صفَّى َحدَّثَنَا بَقيَّةُ َوأَبُو الْ ُمغ َْية قَ َاَل َحدَّثَنَا‬
َ ‫َحدَّثَنَا ابْ ُن الْ ُم‬
ِ ٍ ِ‫س ب ِن مال‬
‫ت‬ ُ ‫ِج ِِب َمَرْر‬ َ ‫صلَّى اﷲ َعلَْيو َو َسلَّ َم لَ َّما عُر‬ َ ‫ول اﷲ‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ال ق‬َ َ‫ك ق‬ َ ْ ِ َ‫الر ْْحَ ِن بْ ُن ُجبَ ٍْْي َع ْن أَن‬ َّ
‫ال َى ُؤََل ِء‬ َ َ‫يل ق‬ ِ ِ ِ ٍ َ‫بَِق ْوٍم َذلُ ْم أَظْ َف ٌار ِم ْن َُن‬
ُ ‫ت َم ْن َى ُؤََلء يَا ج ِْب‬ ُ ‫ورُى ْم فَ ُق ْل‬
َ ‫ص ُد‬ُ ‫وى ُه ْم َو‬
َ ‫اس َِيْ ُم ُشو َن ُو ُج‬
َ‫ال أَبُو َد ُاود َحدَّثَنَاه َُْي ََي بْ ُن عُثْ َما َن َع ْن بَِقيَّة‬ ِ ‫َّاس وي َقعو َن ِِف أ َْعر‬
َ َ‫اض ِه ْم ق‬ َ ُ َ َ ِ ‫وم الن‬ َ ُ‫ين يَأْ ُكلُو َن ُحل‬
َ ‫الذ‬
ِ َّ

َ َ‫يِن َع ْن أَِِب الْ ُمغِ َْيةِ َك َما ق‬ ِ َّ ‫لَيس فِ ِيو أَنَس حدَّثَنَا ِعيسى بن أَِِب ِعيسى‬
‫صفَّى‬ َ ‫ال ابْ ُن الْ ُم‬ ُّ ِ ‫السْي لَح‬
ٔٓٔ
َ ُْ َ َ ٌ َ ْ
“Telah menceritakan kepada kami Ibnu al-Musaffa berkata, telah
menceritakan kepada kami Baqiyyah dan Abul Mughīrah keduanya berkata;
telah menceritakan kepada kami Safwān ia berkata; telah menceritakan
kepadaku Rāsyid bin Sa'ad dan 'Abdurrahmān bin Jubair dari Anas bin Mālik
ia berkata, „Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: „Ketika aku
dinaikkan ke lagit (dimi'rajkan), aku melewati suatu kaum yang kuku mereka
terbuat dari tembaga, kuku itu mereka gunakan untuk mencakar muka dan dada
mereka. Aku lalu bertanya, „Wahai Jibril, siapa mereka itu?‟ Jibril menjawab,
„Mereka itu adalah orang-orang yang memakan daging manusia (ghībah) dan
merusak kehormatan mereka.‟ Abu Dāud berkata, „Yahya bin Utsmān
menceritakannya kepada kami dari Baqiyyah, tetapi tidak disebutkan di
dalamnya nama Anas. Telah menceritakan kepada kami Isa bin Abu Isa As
Sailahini dari al-Mughīrah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu al-Musaffa.”

Ancaman pada hadis di atas menunjukkan bahwa ghībah termasuk dosa

besar102 dan pelakunya mendapatkan siksa yang sangat berat dan mengerikan.

Hal ini mengindikasikan bahwa ghībah benar-benar harus dijauhi dan

101
Abi Daud Sulaiman bin Al-Asy‟ats Al-Sijistāny, Sunan Abi Dāud..., h. 529
102
Ibnu Hajar, Fath al-Bāri…, Jilid 29, h. 239.
70

ditinggalkan. Namun ada beberapa ghībah yang diperbolehkan, di antaranya

adalah:103 a) Mengadukan orang yang menganiaya kepada wali hakim, b)

Meminta tolong menasihati orang yang berbuat munkar pada orang yang

dianggap sanggup menasehatinya, c) Karena minta fatwa, missal, “Fulan

menganiaya saya maka bagaimana jalan menghindarinya”, d) Bertujuan

menasihati jangan sampai orang lain tertipu oleh perbuatan jahatnya, e)

Terhadap orang yang benar-benar melakukan kejahatan, f) Untuk mengenali

orang-orang terkenal, seperti gelar atau sebutan para ahli hadis atau

semacamnya.

Dari uraian di atas diketahui bahwa dalam berkomunikasi hendaknya

umat Islam selalu menjauhkan diri dari ghībah. Komunikasi yang dibangun

oleh komunikator dan komunikan harus berisikan message (pesan) yang positif

dan jauh dari nilai-nilai gunjing dan fitnah. Dengan begitu, komunikasi yang

terjalin antara komunikator dan komunikan akan menjadi bermanfaat dan

membawa dampak baik kepada dua belah pihak.

H. Asbāb al-Wurūd al-Hadīts

Asbāb al-wurūd merupakan gabungan dua kata yang berasal dari kata

asbāb dan al-wurūd. Kata asbāb adalah jama‟ dari kata sabab yang berarti tali

atau segala sesuatu yang menghubungkan dengan yang lain, sedangkan al-

wurūd adalah ism masdar dari warada-yaridu-wurūdan yang berarti datang

atau sampai.104 Dengan demikian Asbāb al-wurūd al-hadīts dapat dimaknai

sebagai sesuatu yang menjadi sebab dari timbulnya sebuah hadis. Namun tidak

103
Choiruddin Hadhiri, Akhlak dan Adab Islami: Menuju Pribadi Muslim Ideal (Jakarta:
Qibla, 2015), h. 193.
104
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadis…, h. 177.
71

semua hadis mempunyai asbāb al-wurūd. Bahkan hadis yang tidak mempunyai

asbāb al-wurūd terbilang lebih banyak dibanding hadis yang ada asbāb al-

wurūdnya.

Mengenai hadis-hadis etika berkomunikasi yang diteliti oleh penulis

dalam skripsi ini, hanya tiga dari tujuh hadis yang mempunyai asbāb al-wurūd.

Berikut penjelasannya:

a. Hadis ke-1

‫صلَّى اﷲ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن بِاﷲ َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر فَ ََل يُ ْؤِذ َج َارهُ َوَم ْن َكا َن‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ َ َ‫ق‬
‫ضْي َفوُ َوَم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن بِاﷲ َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر فَ ْليَ ُق ْل َخْي ًرا أ َْو‬ ِ ِ ِ
َ ‫يُ ْؤم ُن بِاﷲ َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ ْليُ ْك ِرْم‬
‫ت‬ ِ
ْ ‫ص ُم‬
ْ َ‫لي‬
ٔٓ٘

Asbāb al-wurūd hadis ini, sebagaimana yang tercantum dalam al-Jamī‟

al-Kabīr dari Muhammad bin Abdullah bin Salam bahwa dia pernah menemui

Rasulullah Saw dan mengatakan, “Aku disakiti (diusik) oleh tetanggaku”,

Beliau bersabda, “Bersabarlah!” Abdullah bin Salam menemui Rasulullah

untuk kedua kalinya dan berkata, “Aku diusik oleh tetanggaku”, Beliau

bersabda, “Bersabarlah!” Kemudian datang untuk ketiga kalinya, “Aku diusik

oleh tetanggaku.” Beliau bersabda, “Lepaskan (sedikit) kesenanganmu lalu

berikan kepadanya untuk menjinakkannya. Jika seseorang mendatangimu dan

menyakitimu, maka katakanlah, dia menyakitiku, maka pantaslah laknat

terhadapnya. Barangsiapa beriman kepada Allah Swt dan hari Akhir hendaklah

ia memuliakan tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah Swt dan

105
Al-Bukhāri, Sahīh al-Bukhāri…, h. 840.
72

hari Akhir hendaklah ia memuliakan tamunya dan barangsiapa beriman kepada

Allah Swt dan Hari Akhir hendaklah berkata baik atau diamlah.”106

b. Hadis ke-4

ٔٓٚ
‫ َكبِّ ْر الْ ُكْب َر‬: ‫صلَّى اﷲ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ُّ ِ‫ال لَوُ الن‬
َ ‫َِّب‬ َ ‫… فَ َق‬
Mengenai asbāb al-wurūd hadis ini, diceritakan bahwa Abdullah bin

Sahl dan Muhayisah bin Mas‟ūd bin Zaid pergi ke Khaibar pada waktu dalam

keadaan damai. Kemudian keduanya berpisah. Sesudah itu datanglah

Muhayisah kepada Abdullah yang bermandikan darah karena terbunuh, lalu ia

menguburkannya. Kemudian ia datang ke Madinah. Maka pergilah

Abdurrahman bin Sahl, Muhayisah dan Huwayisah bin Mas‟ūd menghadap

Nabi Saw, lalu Abdurrahman lebih dahulu berbicara. Maka Nabi Saw

bersabda, “Yang tua, yang tua berbicara dahulu!” Sedangkan dia

(Abdurrahman) yang paling muda, lalu ia diam dan berbicaralah yang lebih

tua. Kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Maukah kamu bersumpah dan

menuntut orang yang membunuhmu dan kawanmu?” Mereka berkata,

“Bagaimana kami bersumbah atau menuntut padahal kami tidak menyaksikan

dan tidak melihat?” Beliau bersabda, “Orang Yahudi akan berlepas diri dari

kamu dengan sumpah sebanyak lima puluh kali” Mereka berkata, “Bagaimana

kami mengambil sumpah orang kafir?” Maka akhirnya Nabi Saw sendiri yang

membayarnya.108

106
Al-Husaini al-Dimasyqi, Asbabul Wurud: Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-
Hadits Rasul…, Jilid 3, h. 310.
107
Al-Bukhāri, Sahīh al-Bukhāri…, h. 855.
108
Al-Husaini al-Dimasyqi, Asbabul Wurud: Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-
Hadits Rasul…, Jilid 3, h. 90.
73

c. Hadis ke-6

‫اْلَن َِّة‬ ِ َ‫صٌر ِِف َرب‬ ِ ِ ِ ِ


ْ ‫ض‬ ْ َ‫ِن لَوُ ق‬ َ ُ‫ب َوُى َو بَاط ٌل ب‬ َ ‫صلَّى اﷲ َعلَْيو َو َسلَّ َم َم ْن تَ َرَك الْ َكذ‬
َ ‫ول اﷲ‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ق‬
‫ِن لَوُ ِِف أ َْع ََل َىا‬
ِ ِ ِ ُِ‫وَم ْن تَرَك الْ ِمراء وُىو ُُِم ٌّق ب‬
َ ُ‫ِن لَوُ ِف َو َسط َها َوَم ْن َح َّس َن ُخلُ َقةُ ب‬
ٜٔٓ
َ َ َََ َ َ
Mengenai asbāb al-wurūd hadis ini, sebagaimana yang tercantum

dalam al-Jamī‟ al-Kabīr dari Salamah bin Wardān bahwa Rasulullah Saw

sedang duduk bersama sahabatnya, maka beliau bersabda: “Telah diwajibkan

Allah Swt” (beliau berucap tiga kali). Seorang sahabat bertanya, “Wahai

Rasulullah Saw, apakah yang engkau maksudkan dengan sabdamu itu?” Beliau

menjawab, “Barangsiapa meninggalkan dusta, sementara dia batil, maka akan

dibangunkan baginya istana di tepian surga. Barangsiapa meninggalkan debat

meskipun ia benar, maka akan dibangunkan baginya istana di tengah

surga…dst.”110

I. Pandangan Ulama Mengenai Etika Komunikasi

Tidak dapat dipungkiri bahwa etika mempunyai kedudukan yang sangat

penting dalam kehidupan manusia. Dengan adanya etika, kehidupan manusia

menjadi lebih terarah karena ada yang mengatur dan menjelaskan ketentuan

mana yang baik dan yang buruk.

Para ulama memberikan perhatian yang cukup besar terhadap etika

berkomunikasi. Hal ini terbukti ketika menuntut ilmu, para ulama sangat

mengedepankan akhlak dan sopan santun terhadap guru-gurunya. Ibnu al-Jauzi

berkata, “Dan pada saat seorang penuntut ilmu tidak memahami suatu pelajaran,

109
Abu Abdullah Muhammad bin Yazīd Al-Qazwinī, Sunan Ibn Mājah (Beirut: Bait al-
Afkār al-Dauliyyah, 1999), h. 23
110
Al-Husaini al-Dimasyqi, Asbabul Wurud: Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-
Hadits Rasul…, 2002, Jilid 3, h. 273.
74

hendaklah ia bersabar sampai gurunya tersebut berhenti bicara, lalu barulah

bertanya kepada Syeikh dengan beradab dan cara yang lembut serta tidak

memotong penjelasan gurunya saat berbicara.”111 Di dalam hadis juga

disebutkan bahwa salah satu adab berkomunikasi dengan seseorang yang lebih

tua adalah dengan mendahulukan mereka berbicara.

Ibnu Katsir ketika menjelaskan isi kandungan surat al-Isra ayat 53112

mengatakan bahwa orang-orang yang beriman berkewajiban untuk

mengucapkan kata-kata yang baik bahkan menggunakan kata-kata yang terbaik

ketika berkomunikasi.113 Hal serupa juga dijelaskan oleh al-Tabari, ia

mengatakan bahwa kaum muslimin diharuskan mengucap perkataan yang lebih

baik dalam percakapan dan pergaulan mereka.114

Menurut Imam al-Nawāwi, jika seseorang ingin berkata mengenai suatu

hal baik yang berkenaan dengan perkara wajib maupun sunnah, maka

hendaknya ia berpikir terlebih dahulu mengenai akankah hal yang ia utarakan

tersebut mendatangkan pahala baginya. Karena jika hal yang ia ungkapkan

tidak mendatangkan pahala, hendaknya ia berusaha menahan perkataannya

tersebut.115 Ibnu Hajar juga mengungkapkan, bahwa diam merupakan solusi

111
Majid bin Su‟ud al-Usyan, Adab Menuntut Ilmu, Penerjemah oleh Muzafar Sahidu bin
Mahsun (T.tp: Islamhouse, 2009), h. 5.
112
Ayat tersebut berbunyi:
ِ ِ ِِ
ْ ‫َوقُ ْل لعبَادي يَ ُق ْولُْوا الَِِّت ى َي أ‬
…‫َح َس ُن‬
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, „Hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang lebih baik…”
113
Ismā‟īl bin Amr bin Katsir al-Dimasyqi Abu al-Fidā`, Tafsir al-Qur‟ān al-„Aẕīm Ibnu
Katsir (Beirūt: Dar al-Fikr, 1992), Jilid 3, h. 59.
114
Abu Ja‟far al-Tabari, Tafsir al-Tabari…, Jilid 16, h. 723.
115
Yahya bin Syaraf al-Nawāwi, Syarh al-Nawāwi „ala Sahīh Muslim (Beirūt: Dar al-
Ihya al-Turāts, 1392 M), Jilid 2, h. 29.
75

untuk orang-orang yang tidak mampu menjaga lisannya agar tidak terjerumus

kepada keburukan.116

Para sahabat juga sangat besar perhatiannya terhadap etika komunikasi.

Ali bin Abi Tālib berkata, “Berbicaralah kepada orang lain dengan sesuatu

yang mereka ketahui.” Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa Ibnu Abbas pernah

berkata, “Jangan engkau mendatangi suatu kaum saat mereka sedang bicara

sehingga bisa memotong pembicaraan mereka dan membuat mereka bosan.”117

Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat pun sangat memperhatikan cara

berkomunikasi yang baik.

Maka dari itu, kita hendaknya bisa meneladani para sahabat dan ulama

yang sangat berhati-hati dengan lisannnya dan yang besar perhatiannya

terhadap adab-adab yang diajarkan Nabi Saw ketika berkomunikasi.

116
Ibnu Hajar, Fath al-Bāri…, Jilid 29, h. 158.
117
Majid bin Su‟ud al-Usyan, Adab Menuntut Ilmu…, h. 9.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah dilakukan penelitian dalam al-Kutub al-Sittah, ditemukan banyak

hadis Nabi Saw yang berkenaan dengan etika berkomunikasi. Secara

keseluruhan, etika berkomunikasi menurut hadis dapat dirangkum menjadi

beberapa poin, di antaranya adalah: a) Berkomunikasi hendaknya menggunakan

kalimat yang baik, b) Berkomunikasi dengan efektif dan efisien, yakni berbicara

seperlunya, tidak mengatakan hal yang sia-sia dan tidak pula banyak

menanyakan hal yang tidak penting, c) Berkomunikasi dengan landasan

kejujuran dan menjauhi sifat dusta, d) Mendahulukan yang lebih tua untuk

berbicara saat komunikasi berlangsung, e) Tidak mencaci, mencela dan berkata

kotor, f) Menjauhi perdebatan dengan lawan bicara, dan g) Komunikasi yang

dibangun oleh komunikator dan komunikan hendaknya berisikan message

(pesan) yang positif dan jauh dari unsur ghībah.

Semua hadis yang ditemukan kemudian penulis rangkum menjadi tujuh

tema dengan tujuh bahasan hadis. Hadis-hadis tersebut memiliki kedudukan

yang sangat penting untuk menjelaskan kepada kaum muslimin mana yang patut

dan tidak patut dilakukan ketika berkomunikasi. Dengan mengamalkan hadis-

hadis tersebut, niscaya akan tercipta komunikasi yang beradab dan beretika yang

sesuai dengan tuntunan sunnah Nabi Saw.

B. Saran-saran

Penelitian ini sangatlah sederhana dan belum optimal, namun diyakini

akan dapat membimbing siapapun yang ingin mengamalkan hadis Nabi Saw,

76
77

khususnya dalam berkomunikasi. Tentu saja disarankan untuk membaca literatur

lainnya yang berkenaan dengan etika komunikasi. Hal ini dimaksudkan agar

pengetahuan tentang etika komunikasi menjadi maksimal, sehingga dapat

mengamalkannya secara maksimal pula.

Penulis juga menyarankan dan menghimbau kepada kaum muslimin

untuk lebih mensosialisasikan lagi hadis-hadis tentang etika berkomunikasi.

Karena apabila hadis-hadis tersebut sudah dikenal oleh masyarakat Islam, maka

bukan suatu yang mustahil hadis-hadis tersebut akan diamalkan dan dengan

berangsur akan tercipta komunikasi Islami yang berlandaskan tuntunan sunnah

Nabi Saw.

Akhirnya kepada Allah Swt penulis berharap agar skripsi ini menjadi

setitik sumber pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi

kaum muslimin pada umumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟an Al-Karīm.

Abādi, Abu al-Tayyib Muhammad Syam al-Haq al-„Aẕīm. Aun al-Ma’būd.


Madīnah: al-Maktabah al-Salāfiyah. 1969.

Abu al-Fidā`, Ismā‟īl bin Amr bin Katsir al-Dimasyqi. Tafsir al-Qur’ān al-‘Aẕīm
Ibnu Katsir. Beirūt: Dar al-Fikr. 1992.

Alamsyah. Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam dalam Pemahaman Syahrur


dan Al-Qaradhawi. Disertasi Program Pasca Sarjana UIN Sunan
Kalijaga, 2005.

Ali, Muhammad. Mengapa Tafsir al-Qur’an Dibutuhkan. Semarang: Wicaksana.

Alimi, Ibnu Ahmad. Tokoh dan Ulama Hadis. Sidoarjo: Mashun. 2008.

Amin, Ahmad. Etika: Ilmu Akhlak. Jakarta: Bulan Bintang, 1975, Cet ke-8.

Amir, Mafri. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam. Ciputat: Logos
Wacana Ilmu. 1999.

Amril, Etika Islam: Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghīb al-Isfahāni.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002, Cet ke-1.

Arifin, Anwar. Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada. 2006.

Al Asqalāni, Ibnu Hajar. Fath al-Bāri. Penerjemah: Amiruddin. Jakarta: Pustaka


Azzam, 2008.

_______. Tahdzīb al-Tahdzīb. Beirūt: Muassasah al-Risālah. 1995.

Al Ausyan, Majid Sa‟ud. Panduan Lengkap dan Praktis Adab dan Akhlak Islami.
Penerjemah Abdurrahman Nuryaman. Jakarta: Darul Haq. 2015.

Al Awayisyah, Husain. Saat Diam Saat Bicara: Manajemen Lisan. Penerjemah


Gunaim Ihsan. Jakarta: Darul Haq. 2006, Cet ke-2.

Azam, Abdurrahman. Keagungan Nabi Muhammad SAW: Kepahlawanan dan


Keindahan Kehidupan Rasulullah. Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya. 1982.

Baidan, Nashiruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar. 2012.

Bakker, Anton dkk. Metode Penulisan Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1994.

78
79

Al Bukhāri, Muhammad bin Ismāīl bin al Mughīrah. Sahīh al-Bukhāri. Riyādh:


Maktabah Al-Rusyd. 2006.

Bustamin. Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Ushul Press. 2009.

Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.


2005.

Dahlan, Muh. Syawir. Etika Komunikasi dalam Al-Qur’an dan Hadis. Jurnal
Dakwah Tabligh Vol. 15, No. 1, Juni 2014. h. 117.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama. 2012, Edisi ke-4.

Al Dimasyqi, Ibnu Nashirudin. Mutiara Ilmu Atsar Klarifikasi Kitab Hadis;


Permata Salaf yang Terpendam. Jakarta: AKBAR Media Eka Sarana.
2008.

Al Farmawy, Abd. Al-Hayy. Metode Tafsir Maudhu’i: Suatu Pendekatan. Jakarta:


Raja Grafindo Persada. 1994.

Al Ghazali. Tuntunan Dasar Pembinaan Pribadi Bertakwa. T.tp: Angkasa Raya.


t.t.

Hadhiri, Choiruddin. Akhlak dan Adab Islami: Menuju Pribadi Muslim Ideal.
Jakarta: Qibla. 2015.

Hamka. Tafsir al-Azhar. Jakarta: PT Pustaka Panjimas. 1983.

Al Hanafi, Ibnu Hamzah al-Husaini. Asbabul Wurud: Latar Belakang Historis


Timbulnya Hadits-Hadits Rasul. Penerjemah Suwarta Wijaya dan
Zafrullah Salim. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.

Hasan, A. Qadir. Ilmu Musthalah Hadits. Bandung: CV Penerbit Diponogoro.


2002.

Hāsyim, Ahmad Umar. Qawā’id Ushūl al Hadīts. Beirut: Dār al-Kutub al-Arabī.
1984.

Al Hasyimi, Muhammad Ali. Jati Diri Muslim. Penerjemah Abdul Ghaffar.


Jakarta: Pustaka Al-Kaustar. 1999.

Ismail, A. Ilyas. Pilar-Pilar Taqwa: Doktrin, Pemikiran, Hikmat, dan Pencerahan


Spritual. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2009.

Al Jazairi, Abu Bakar Jabir. Pola Hidup Muslim (Minhajul Muslim): Thaharah,
Ibadah dan Akhlak. Penerjemah Rahmat Djatnika dan Ahmad Sumpeno.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1997.
80

Johannesen, Richard L. Etika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1996.

Kastof, Lois O. Pengantar Filsafat. Yogyakarta. 1992.

Khan, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah. 2013.

M. Dagun, Save. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. T.tp: Lembaga Pengkajian


Kebudayaan Nusantara (LPKN). 2013.

M. Munir. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana. 2006.

M. Nazir. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia. 2003.

Markarma, A. “Komunikasi Dakwah Efektif dalam Perspektif al-Qur‟an,” Studi


Islamika 11, no. 1 (Juni 2014): h. 130.

Al Mawardi, Abu al-Hasan Ali. Mutiara Akhlak al-Karimah. Penerjemah M.


Qodirun Nur. Jakarta: Pustaka Amani. 1993.

Al Mizzī, Jamāl al-Dīn Abu al-Hajjāj Yūsuf. Tahdzīb al-Kamāl Fī Asmā` al-Rijāl.
Beirūt: Muassasah al-Risālah. 1988.

Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: Prenada Media


Group. 2015.

Al Mubārakfūrī, Abu Abdrurrahmān bin Abdurrahīm. Tuhfah al-Ahwādzī Syarah


Jāmi’ al-Tirmidzī. T.tp: Bait al-Afkār al-Dauliyyah. t.t.

Mufid, Muhammad. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana. 2009.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya:


Pustaka Progressif. 1997.

Al Musawi, Khalil. Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, Penerjemah Ahmad


Subandi. Jakarta: PT Lentera Basritama. 1998.

Al Naisābūrī, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjāj. Sahīh Muslim. Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiyah. 1991.

Nata, Abudin. Ahklak Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo. 1996.

Al Nawawi, Yahya bi Syaraf. Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Fathoni


Muhammad dan Futuhal Arifin. Jakarta: Darus Sunnah. 2014, Cet ke-2.

Al Nawāwi, Yahya bin Syaraf. Syarh al-Nawāwi ‘Ala Sahīh Muslim. Beirūt: Dar
al-Ihya al-Turāts. 1392 M.
81

Nimmo, Dan. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media. T.tp: Remadja
Karya CV. t.t.

Al Qaththān, Mannā‟. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.


2005.

Al Qazwinī, Abu Abdullah Muhammad bin Yazīd. Sunan Ibn Mājah. Beirut: Bait
al-Afkār al-Dauliyyah. 1999.

Rifa‟i, Tsalis. “Komunikasi dalam Musyawarah (Tinjauan Konsep Asyura dalam


Islam).” Channel 3, no. 1 (April 2015): h. 37.

Sahriansyah. Ibadah dan Akhlak. Banjarmasin: IAIN Antasari Press. 2014.

Al Shiddiqiey, Teungku Muhammad Hasbie. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.


Semarang: PT Pustaka Rizki Putra. 2009.

Shihab, M. Quraish. Al-Lubāb: Makna, Tujuan dan Pelajaran dari Surah-Surah


Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati. 2012.

Al Sijistāny, Abi Daud Sulaiman bin Al-Asy‟ats. Sunan Abi Dāud. Beirut: Bait al-
Afkār al-Dauliyyah. 1420 H.

Solahudin, M. Agus dan Suyadi, Agus. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka


Setia. 2015.

Solihin, Amir Mukmin. “Etika Komunikasi Lisan Menurut Al-Qur‟an: Kajian


Tafsir Tematik.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.

Syihata, Abdullah. Dakwah Islamiyah. Diterjemahkan oleh Ibahim Husein dkk.


Proyek Pembinaan Prasarjana dan Sarjana Perguruan Tinggi Agama:
Departemen Agama. 1986.

Al Tabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarīr. Tafsir al-Tabari. Penerjemah Anshari
Taslim dkk. Jakarta: Pustaka Azzam. 2009.

Tebba, Sudirman. Sehat Lahir Batin. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2005.

Al Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa. Jāmi’ al-Tirmidzi. T.tp: Bait al-Afkār
al-Dauliyyah. t.t.

_______. Jāmi’ al-Kabīr Li al-Tirmidzi. Beirūt: Dār al-Gharb al-Islāmī. 1996.

Al Usyan, Majid bin Su‟ud. Adab Menuntut Ilmu, Penerjemah oleh Muzafar
Sahidu bin Mahsun. T.tp: Islamhouse. 2009.
82

Wensinck, A.J. Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Hadīts al-Nabawī. Leiden:


Maktabah Baril. 1936.

________. Miftāh al-Kunūz al-Sunnah. Lahore: Idarah Tarjaman Al Sunnah.


1978.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT Mahmud Yunus


Wadzurriyyah. 1990.Zaghlul, Abu Hājir Muhammad al-Sa‟id Basyuni.
Mausū’ah Aṯrāf al-Hadīts al-Nabawī al-Syarīf. Beirut: Dār al-Kutub al-
Ilmiyah. t.t.

Akbar, Cholis. “Hindari Debat, Berbahasalah yang Bijak.” Artikel diakses pada
19 April 2017 dari www.hidayatullah.com

Pengetahuan, Seputar. “15 Pengertian Etika menurut Para Ahli Terlengkap,”


Artikel diakses pada 3 Maret 2017 dari
www.seputarpengetahuan.com/2015/10/15-pengertian-etika-menurut-para-
ahli-terlengkap.html

Siregar, Maragustam. “Metode Tafsir Maudhu‟i (Tematik).” Artikel diakses pada


6 Maret 2017 dari
https://maragustamsiregar.wordpress.com/2011/01/10/metode-tafsir-
tematik-oleh-h-maragustam-siregar-prof-dr-m-a/

Zilfaroni. “Fiqh al-Hadits.” Artikel diakses pada 25 April 2017 dari


http://zilfaroni-putratanjung-blogspot.co.id/2012/10/fiqh-al-
hadits.html?m=1
Lampiran 1

Keterangan hadis tentang menggunakan kata dan kalimat yang baik adalah

sebagai berikut:

a. Sahīh al-Bukhāri, kitab adab, bab 31, halaman 840.

‫صالِ ٍح َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة‬ َ ‫ني َع ْن أَِِب‬ ٍ‫ص‬ ِ ‫ص عن أَِِب ح‬


َ ْ َ ِ ‫َح َو‬
ٍِ
ْ ‫َحدَّثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْ ُن َسعيد َحدَّثَنَا أَبُو ْاْل‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ُ ‫ال رس‬
ُ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َم ْن َكا َن يُ ْؤم ُن بِاللَّو َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ ََل يُ ْؤذ َج َاره‬ َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫ق‬
‫ضْي َفوُ َوَم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن بِاللَّ ِو َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر فَ ْليَ ُق ْل‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫َوَم ْن َكا َن يُ ْؤم ُن بِاللَّو َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ ْليُ ْك ِرْم‬
‫ت‬ ِ
ْ ‫ص ُم‬ْ َ‫َخْي ًرا أ َْو لي‬
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'īd telah
menceritakan kepada kami Abu al-Ahwās dari Abu Hasīn dari Abu Sālih
dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: Barangsiapa berimana kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah
ia menyakiti tetangganya, barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari
Akhir hendaknya ia memuliakan tamunya dan barangsiapa beriman kepada
Allah dan Hari Akhir hendaknya ia berkata baik atau diam.”

b. Sahīh Muslim, kitab īman, hadis nomor 74, jilid I, halaman 68.

َ‫اب َع ْن أَِِب َسلَ َمة‬ ٍ ‫َخب رِِن يونُس َعن ابْ ِن ِشه‬ ٍ ‫َح َّدثَِِن َحرَملَةُ بْن ََْيَي أَنْبَأَنَا ابْن وْى‬
َ ْ ُ ُ َ َ ْ ‫ال أ‬ َ َ‫ب ق‬ َُ َ ُ ْ
‫ال َم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن‬ َ َ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬ ِ ِ
َ ‫الر ْْحَ ِن َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة َع ْن َر ُسول اللَّو‬ َّ ‫بْ ِن َعْب ِد‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ‫ت َوَم ْن َكا َن يُ ْؤم ُن بِاللَّو َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ ْليُ ْك ِرْم َج َاره‬ ْ ‫ص ُم‬ ْ َ‫بِاللَّو َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ ْليَ ُق ْل َخْي ًرا أ َْو لي‬
ِ ِ ِ ِ
َ ‫َوَم ْن َكا َن يُ ْؤم ُن بِاللَّو َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ ْليُ ْك ِرْم‬
ُ‫ضْي َفو‬
“Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya telah
memberitakan kepada kami Ibnu Wahab dia berkata, telah mengabarkan
kepadaku Yūnus dari Ibnu Syihāb dari Abu Salamah bin Abdurrahman
dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau
bersabda: Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka
hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam. Dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah
dia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan
Hari Akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.”

83
c. Sunan Abu Dāud, kitab adab, bab 123, halaman 554.

‫ي َع ْن أَِِب‬ ِّ ‫الزْى ِر‬


ُّ ‫َخبَ َرنَا َم ْع َمٌر َع ْن‬ ِ َّ ‫حدَّثَنَا ُُم َّم ُد بن الْمتَ وِّك ِل الْعس َق ََلِِنُّ حدَّثَنَا عب ُد‬
ْ ‫الرزَّاق أ‬ َْ َ ْ َ َ ُ ُْ َ َ
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن بِاللَّ ِو َوالْيَ ْوِم‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫َسلَ َمةَ َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة ق‬
‫ضْي َفوُ َوَم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن بِاللَّ ِو َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر فَ ََل يُ ْؤِذ َج َارهُ َوَم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن بِاللَّ ِو‬ ِ
َ ‫ْاْلخ ِر فَ ْليُ ْك ِرْم‬
ِ ِ ِ
‫ت‬ْ ‫ص ُم‬ ْ َ‫َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ ْليَ ُق ْل َخْي ًرا أ َْو لي‬
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibnu al-Mutawakkil
al-Asqalāni berkata, telah menceritakan kepada kami Abd al-Razzāq
berkata, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari al-Zuhri dari Abu
Salamah dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat,
hendaklah ia muliakan tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan
hari kiamat, maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Dan barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah ia berbicara yang baik-
baik, jika tidak bisa hendaklah ia diam.”

d. Sunan Al-Tirmidzī, hadis ke-2500 halaman 407.

‫ي َع ْن أَِِب َسلَ َم َة َع ْن أَِِب‬ ُّ ‫َخبَ َرنَا َعْب ُد اللَّ ِو بْ ُن الْ ُمبَ َار ِك َع ْن َم ْع َم ٍر َع ْن‬
ِّ ‫الزْى ِر‬ ْ ‫َحدَّثَنَا ُس َويْ ٌد أ‬
ِ ِ ِ ِ َ َ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬
َ ‫ال َم ْن َكا َن يُ ْؤم ُن بِاللَّو َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ ْليُ ْك ِرْم‬
ُ‫ضْي َفو‬ َ ‫َِّب‬ِّ ِ‫ُىَريْ َرَة َع ْن الن‬
ِ ِ ِ ِ ِ
‫ت‬
ْ ‫ص ُم‬ْ َ‫َوَم ْن َكا َن يُ ْؤم ُن بِاللَّو َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ ْليَ ُق ْل َخْي ًرا أ َْو لي‬
“Telah menceritakan kepada kami Suwaid telah mengkabarkan
kepada kami Abdullah bin al-Mubārak dari Ma'mar dari al-Zuhri dari Abu
Salamah dari Abu Hurairah dari nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam
bersabda: Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah
memuliakan tamunya dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari
akhir hendaklah mengatakan kebaikan atau diam.”

e. Sunan Ibnu Mājah, kitab adab, bab 4, jilid II, halaman 1211.

‫َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِِب َشْيبَةَ َحدَّثَنَا ُس ْفيَا ُن بْ ُن عُيَ ْي نَةَ َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ِدينَا ٍر ََِس َع نَافِ َع بْ َن‬
‫ال َم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن بِاللَّ ِو‬ َ َ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬ َّ ِ‫َن الن‬
َ ‫َِّب‬
ِ ‫اْلز‬
َّ ‫اع ِّي أ‬ َُْ ‫ُجبَ ٍْْي ُُيِِْبُ َع ْن أَِِب ُشَريْ ٍح‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
‫ضْي َفوُ َوَم ْن‬ َ ‫َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ ْليُ ْحس ْن إِ ََل َجا ِرِه َوَم ْن َكا َن يُ ْؤم ُن بِاللَّو َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ ْليُ ْك ِرْم‬
ِ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫َكا َن يُ ْؤم ُن بِاللَّو َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ ْليَ ُق ْل َخْي ًرا أ َْو ليَ ْس ُك‬
‫ت‬
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah
telah menceritakan kepada kami Sufyān bin Uyainah dari Amru bin Dīnār
dia mendengar Nāfi' bin Jubair mengabarkan dari Abu Syuraih al-Khuzā'ī,
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa beriman

84
pada Allah dan Hari Akhir hendaknya ia berbuat baik terhadap
tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir
hendaknya ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa beriman kepada
Allah dan Hari Akhir hendaknya ia berbicara baik atau diam.”

85
‫‪Lampiran 2‬‬

‫ِ‬ ‫ِ ِ ِ‬ ‫ِ‬
‫ت‬ ‫وم ْن كان يُ ْؤم ُن بِاللَّه والْي ْوم ْاْلخ ِر ف ْلي ُق ْل خْي ًرا أ ْو لي ْ‬
‫ص ُم ْ‬ ‫النيب‬

‫أبو هريرة‬ ‫أبو شريح اخلزائ‬

‫أبو صاحل‬ ‫أبو سلمة‬ ‫نافع بن جبري‬

‫أبو حصني‬ ‫إبن شهاب‬ ‫عمر بن دينار‬

‫أبو األحواص‬ ‫يونس‬ ‫معمر‬ ‫سفيان بن عيينة‬

‫قتيبة بن سعيد‬ ‫ابن وهب‬ ‫عبد الرزاق‬ ‫عبد اهلل بن املبارك‬ ‫أبو بكر بن أيب شيبة‬

‫البخاري‬ ‫حرملة بن حيىي‬ ‫حممد بن املتوكل‬ ‫سويد‬ ‫ابن ماجه‬

‫مسلم‬ ‫أبو داود‬ ‫الرتمذي‬

‫‪86‬‬
Keterangan nama-nama :
 Riwayat al-Bukhāri
1. Abu Sālih : Dzakwān, Abu Sālih al-Sammān
2. Abu Hasīn : Utsmān bin Asim
3. Abu al-Ahwās : Sallām bin Sulaim
 Riwayat Muslim
1. Ibn Syihāb : Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri
2. Yūnus : Yūnus bin Yazīd al-‘Ailay
3. Ibn Wahb : Abdullah bin Wahb bin Muslim al-Qurasyi
 Riwayat Abu Dāud
1. Al-Zuhri : Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri
2. Ma’mar : Ma’mar bin Rasyīd al-Azdi
3. Abd al-Razzāq : Abd al-Razzāq bin Hammām

87
Lampiran 3

Keterangan hadis tentang berbicara dengan efektif dan efisien adalah

sebagai berikut:

a. Sahīh al-Bukhāri, kitab adab, halaman 836.

‫ب َع ْن َوَّر ٍاد َع ْن الْ ُمغِ َريةِ بْ ِن‬ ِ َّ‫صوٍر َع ْن الْمسي‬


َُ ُ ‫ص َحدَّثَنَا َشْيبَا ُن َع ْن َمْن‬ ٍ ‫َحدَّثَنَا َس ْع ُد بْ ُن َح ْف‬
ِ ‫وق ْاْل َُّمه‬ َ َ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬
‫ات َوَمْن ًعا‬ َ َ ‫ال إِ َّن اللَّ َو َحَّرَم َعلَْي ُك ْم عُ ُق‬ ِّ ِ‫ُش ْعبَةَ َع ْن الن‬
َ ‫َِّب‬
‫اع َة الْ َم ِال‬ ِ ِ ِ ِ
َ‫ض‬ َ ِ‫الس َؤ ِال َوإ‬
ُّ ‫ال َوَكثْ َرَة‬
َ َ‫يل َوق‬ َ ‫َوَىات َوَوأْ َد الْبَ نَات َوَكرَه لَ ُك ْم ق‬
“Telah menceritakan kepada kami Sa'ad bin Hafs telah
menceritakan kepada kami Syaibān dari Mansūr dari al-Musayyib dari
Warrād dari al-Mughīrah bin Syu'bah dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam beliau bersabda: Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian
durhaka kepada kedua orang tua, tidak suka memberi namun suka
meminta-minta dan mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dan
membenci atas kalian tiga perkara, yaitu; suka desas-desus, banyak
bertanya dan menyia-nyiakan harta.”

b. Sahīh al-Bukhāri, kitab istifrādh, bab 19, halaman 318.

‫ِب َع ْن َوَّر ٍاد َم ْوََل الْ ُمغِ َريةِ بْ ِن ُش ْعبَةَ َع ْن‬ ْ ‫صوٍر َع ْن الش‬
ِّ ِ‫َّع‬ ُ ‫َحدَّثَنَا عُثْ َما ُن َحدَّثَنَا َج ِر ٌير َع ْن َمْن‬
‫ات‬ِ ‫وق ْاْل َُّمه‬ ِ
َ َ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم إِ َّن اللَّ َو َحَّرَم َعلَْي ُك ْم عُ ُق‬ َ ‫َِّب‬ُّ ِ‫ال الن‬ َ َ‫الْ ُمغِ َريِة بْ ِن ُش ْعبَةَ ق‬
َ َ‫ال ق‬
‫اعةَ الْ َم ِال‬ ِ ِ ِ ِ
َ‫ض‬ َ ِ‫الس َؤ ِال َوإ‬
ُّ َ‫ال َوَكثْ َرة‬ َ ‫َوَوأْ َد الْبَ نَات َوَمنَ َع َوَىات َوَكرَه لَ ُك ْم ق‬
َ َ‫يل َوق‬
“Telah menceritakan kepada kami Utsmān telah menceritakan
kepada kami Jarīr dari Mansūr dari al-Sya'bi dari Warrād, mantan budak
al-Mughīrah bin Syu'bah dari al-Mughīrah bin Syu'bah berkata: Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah mengharamkan
atas kalian durhaka kepada ibu, mengubur anak wanita hidup-hidup dan
serta membenci kalian dari qīla wa qāla), banyak bertanya dan menyia-
nyiakan harta.”

c. Sahīh Muslim, kitab aqdiyyah, hadis nomor 12, halaman 1341.

‫ِب َع ْن َوَّر ٍاد َم ْوََل‬ ِ ْ ‫و حدَّثَنا إِسحق بن إِب ر ِاىيم‬


ْ ‫صوٍر َع ْن الش‬
ِّ ِ‫َّع‬ ُ ‫َخبَ َرنَا َج ِر ٌير َع ْن َمْن‬
ْ ‫اْلَْنظَل ُّي أ‬ َ َْ ُ ْ ُ َ ْ َ َ
َ َ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ‫ال إِ َّن اللَّو‬ َ ‫الْ ُمغ َرية بْ ِن ُش ْعبَةَ َع ْن الْ ُمغ َرية بْ ِن ُش ْعبَةَ َع ْن َر ُسول اللَّو‬
ِ ِ ِ ِ ِ
‫ال‬
َ َ‫يل َوق‬ َ ‫وق ْاْل َُّم َهات َوَوأْ َد الْبَ نَات َوَمْن ًعا َوَىات َوَكرَه لَ ُك ْم ثَََلثًا ق‬ َ ‫َعَّز َو َج َّل َحَّرَم َعلَْي ُك ْم عُ ُق‬
‫اع َة الْ َم ِال‬
َ‫ض‬ َ ِ‫لس َؤ ِال َوإ‬
ُّ ‫َوَكثْ َرَة ا‬

88
“Dan telah menceritakan kepada kami Ishāq bin Ibrāhīm al-Hanẕāli
telah mengabarkan kepada kami Jarīr dari Mansūr dari al-Sya'bi dari
Warrād bekas budak al-Mughīrah bin Syu'bah, dari al-Mughĭrah bin
Syu'bah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
Sesungguhnya Allah 'azza wajalla mengharamkan kalian mendurhakai
seorang ibu, mengubur anak perempuan hidup-hidup, dan tidak suka
memberi dan suka meminta-minta. Dan membenci atasmu tiga perkara;
qīla wa qāla, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.”

d. Sahīh Muslim, kitab aqdiyyah, hadis nomor 14, halaman 1341.


ِ ُّ ‫َحدَّثَنَا ابْ ُن أَِِب ُع َمَر َحدَّثَنَا َم ْرَوا ُن بْ ُن ُم َعا ِويَةَ الْ َفَزا ِر‬
ْ ‫ي َع ْن ُُمَ َّمد بْ ِن ُسوقَةَ أ‬
‫َخبَ َرنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن‬
‫ت‬ ِ َ ‫ب الْ ُمغِ َريةُ إِ ََل ُم َعا ِويَةَ َس ََل ٌم َعلَْي‬
ُ ‫ك أ ََّما بَ ْع ُد فَِإ ِِّّن ََس ْع‬ َ َ‫ال َكت‬ َ َ‫عُبَ ْي ِد اللَّ ِو الثَّ َق ِف ُّي َع ْن َوَّر ٍاد ق‬
ٍ ‫ول إِ َّن اللَّو حَّرم ثَََلثًا ونَهى عن ثَََل‬ ُ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم يَ ُق‬ ِ َ ‫رس‬
‫وق‬
َ ‫ث َحَّرَم عُ ُق‬ َْ َ َ ََ َ َ ‫ول اللَّو‬ َُ
‫اع ِة الْ َم ِال‬ ِ ٍ ِ ِ ِِ
َ‫ض‬َ ِ‫الس َؤ ِال َوإ‬
ُّ ِ‫ال َوَكثْ َرة‬َ َ‫يل َوق‬ َ ‫الْ َوالد َوَوأْ َد الْبَ نَات َوََل َوَىات َونَ َهى َع ْن ثَََلث ق‬
“Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar telah
menceritakan kepada kami Marwān bin Mu‟āwiyah al-Fazāri dari
Muhammad bin Sūqah telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin
Ubaidullah al-Tsaqafi dari Warrād dia berkata: al-Mughīrah pernah
berkirim surat kepada Mu‟āwiyah, „Semoga engkau mendapat
keselamatan. Amma ba'du, sesungguhnya aku pernah mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah
mengharamkan tiga perkara dan melarang dari tiga perkara: Allah
mengharamkan durhaka terhadap orang tua, mengubur anak perempuan
hidup-hidup dan tidak mau memberi. Dan Allah melarang dari tiga
perkara: mengatakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, banyak bertanya
dan menyia-nyiakan harta.”

89
‫‪Lampiran 4‬‬

‫النيب‬
‫ات ووأْد الْب نَ ِ‬
‫ات َوَك ِرَه‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫إِ َّن اللَّوَ َحَّرَم َعلَْي ُك ْم ُع ُق َ‬
‫وق ْاْل َُّم َهات َوَمنَ َع َوَى َ َ َ َ‬
‫اعةَ الْ َم ِال‬ ‫ِ‬
‫ضَ‬‫الس َؤ ِال َوإِ َ‬
‫ال َوَكثْ َرةَ ُّ‬
‫يل َوقَ َ‬
‫لَ ُك ْم ق َ‬ ‫املغرية‬

‫وراد‬

‫املسيب‬ ‫الشعيب‬ ‫حممد بن عبيد اهلل الثقفي‬

‫منصور‬ ‫حممد بن سوقة‬

‫شيبان‬ ‫جرير‬ ‫مروان بن معاوية الفرازي‬

‫سعد بن حفص‬ ‫عثمان‬ ‫إسحاق بن إبراىيم احلنظلي‬ ‫ابن أيب عمر‬

‫البخاري‬ ‫مسلم‬

‫‪90‬‬
Keterangan nama-nama perawi :
 Riwayat al-Bukhāri 1
1. Al-Mughīrah : al-Mughīrah bin Syu’bah, sahabat.
2. Al-Musayyab : al-Musayyab bin Rāfi’
3. Mansūr : Mansūr bin al-Mu’tamir bin Abdullah bin Rubayya’ah
4. Syaibān : Syaibān bin Abd al-Rahmān
 Riwayat al-Bukhāri 2
1. Al-Sya’bi : Amir al-Sya’bi
2. Jarīr : Jarīr bin Abd al-Hamīd
3. Ustmān : Ustmān bin Muhammad bin Abi Syaibah
 Riwayat Muslim 2
1. Ibn Abu Umar : Muhammad bin Yahya bin Abu Umar al-‘Adani

91
Lampiran 5

Keterangan hadis tentang berbicara jujur dan tidak dusta adalah sebagai

berikut:

a. Sahīh al-Bukhāri, kitab adab, bab ke-69, halaman 849.


ِ ِ ِ ِ
ُ‫صوٍر َع ْن أَِِب َوائ ٍل َع ْن َعْبد اللَّو َرض َي اللَّو‬ ُ ‫َحدَّثَنَا عُثْ َما ُن بْ ُن أَِِب َشْيبَةَ َحدَّثَنَا َج ِر ٌير َع ْن َمْن‬
‫الص ْد َق يَ ْه ِدي إِ ََل الِْ ِِّب َوإِ َّن الِْ َِّب يَ ْه ِدي إِ ََل‬ ِّ ‫ال إِ َّن‬ َ َ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬َ ‫َِّب‬ِّ ِ‫َعْنوُ َع ْن الن‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ‫اْلَن َِّة َوإِ َّن‬
َ ‫ب يَ ْهدي إ ََل الْ ُف ُجور َوإ َّن الْ ُف ُج‬
‫ور‬ َ ‫ص ُد ُق َح ََّّت يَ ُكو َن صدِّي ًقا َوإ َّن الْ َكذ‬ ْ َ‫الر ُج َل لَي‬ ْ
‫ب ِعْن َد اللَّ ِو َك َّذابًا‬ ِ َّ ‫يَ ْه ِدي إِ ََل النَّا ِر َوإِ َّن‬
َ َ‫ب َح ََّّت يُكْت‬ ُ ‫الر ُج َل لَيَكْذ‬
“Telah menceritakan kepada kami Utsmān bin Abu Syaibah telah
menceritakan kepada kami Jarīr dari Mansūr dari Abu Wā`il dari Abdullah
raḏiallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda:
Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan
itu akan membimbing ke surga, sesungguhnya jika seseorang yang
senantiasa berlaku jujur hingga ia akan dicatat sebagai orang yang jujur.
Dan sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan pada kejahatan, dan
sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke neraka. Dan
sesungguhnya jika seseorang yang selalu berdusta sehingga akan dicatat
baginya sebagai seorang pendusta.”

b. Sahīh Muslim, kitab birr, hadis nomor 105, jilid IV, halaman 2013
ِ ِ ِ
‫شحو‬ ُ ‫َع َم‬ ْ ‫يع قَ َاَل َحدَّثَنَا ْاْل‬ٌ ‫َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َعْبد اللَّو بْ ِن ُُنٍَْْي َحدَّثَنَا أَبُو ُم َعا ِويَةَ َوَوك‬
‫ال‬ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫ش َع ْن َش ِق ٍيق َع ْن َعْب ِد اللَّ ِو ق‬ ُ ‫ب َحدَّثَنَا أَبُو ُم َعا ِويَةَ َحدَّثَنَا ْاْل َْع َم‬ ٍ ْ‫َحدَّثَنَا أَبُو ُكري‬
َ
‫الص ْد َق يَ ْه ِدي إِ ََل الِْ ِِّب َوإِ َّن الِْ َِّب‬
ِّ ‫الص ْد ِق فَِإ َّن‬ ِّ ِ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َعلَْي ُك ْم ب‬ ِ ُ ‫رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ َُ
‫ب ِعْن َد اللَّ ِو ِصدِّي ًقا‬ َ َ‫الص ْد َق َح ََّّت يُكْت‬ِّ ‫ص ُد ُق َويَتَ َحَّرى‬ ْ َ‫الر ُج ُل ي‬ ْ ‫يَ ْه ِدي إِ ََل‬
َّ ‫اْلَن َِّة َوَما يََز ُال‬
‫ور يَ ْه ِدي إِ ََل النَّا ِر َوَما يََز ُال‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ب يَ ْهدي إ ََل الْ ُف ُجور َوإ َّن الْ ُف ُج‬
ِ ِ ‫وإِيَّا ُكم والْ َك ِذ‬
َ ‫ب فَإ َّن الْ َكذ‬ َ َ ْ َ
‫ب ِعْن َد اللَّ ِو َك َّذابًا‬ ِ ِ
َ َ‫ب َح ََّّت يُكْت‬ َ ‫ب َويَتَ َحَّرى الْ َكذ‬ ُ ‫الر ُج ُل يَكْذ‬
َّ
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin
Numair, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’āwiyah dan Wakī’
keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami al-A'masy, demikian
juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami
Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’āwiyah, telah
menceritakan kepada kami al-A’masy dari Syaqīq dari Abdullah dia
berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Kalian harus
berlaku jujur, karena kejujuran itu akan membimbing kepada kebaikan dan

92
kebaikan itu akan membimbing ke surga. Seseorang yang senantiasa
berlaku jujur dan memelihara kejujuran, maka ia akan dicatat sebagai
orang yang jujur di sisi Allah. Dan hindarilah dusta, karena kedustaan itu
akan menggiring kepada kejahatan dan kejahatan itu akan menjerumuskan
ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan memelihara kedustaan,
maka ia akan dicatat sebagai pendusta di sisi Allah.”

c. Sunan Abu Dāud, kitab adab, bab 80, halaman 539.


ِ
‫َّد َحدَّثَنَا َعْب ُد‬
ٌ ‫ش ح و َحدَّثَنَا ُم َسد‬ ُ ‫َع َم‬ ْ ‫َخبَ َرنَا ْاْل‬ ٌ ‫َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِِب َشْيبَةَ َحدَّثَنَا َوك‬
ْ ‫يع أ‬
ُ‫صلَّى اللَّو‬
ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫ش َع ْن أَِِب َوائِ ٍل َع ْن َعْب ِد اللَّ ِو ق‬ ِ
ُ ‫اللَّو بْ ُن َد ُاوَد َحدَّثَنَا ْاْل َْع َم‬
‫ور يَ ْه ِدي إِ ََل النَّا ِر‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ب يَ ْهدي إ ََل الْ ُف ُجور َوإ َّن الْ ُف ُج‬
ِ ِ ‫َعلَْي ِو وسلَّم إِيَّا ُكم والْ َك ِذ‬
َ ‫ب فَإ َّن الْ َكذ‬ َ َ ْ َ ََ
ِّ ِ‫ب ِعْن َد اللَّ ِو َك َّذابًا َو َعلَْي ُك ْم ب‬
‫الص ْد ِق فَِإ َّن‬ ِ ِ َّ ‫َوإِ َّن‬
َ َ‫ب َح ََّّت يُكْت‬ َ ‫ب َويَتَ َحَّرى الْ َكذ‬ ُ ‫الر ُج َل لَيَكْذ‬
‫الص ْد َق‬
ِّ ‫ص ُد ُق َويَتَ َحَّرى‬ ْ َ‫الر ُج َل لَي‬ ْ ‫الص ْد َق يَ ْه ِدي إِ ََل الِْ ِِّب َوإِ َّن الِْ َِّب يَ ْه ِدي إِ ََل‬
َّ ‫اْلَن َِّة َوإِ َّن‬ ِّ
‫ب ِعْن َد اللَّ ِو ِصدِّي ًقا‬َ َ‫َح ََّّت يُكْت‬
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah
berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’ berkata, telah
mengabarkan kepada kami al-A’masy (dalam jalur lain disebutkan) Telah
menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada
kami Abdullah bin Dāud berkata, telah menceritakan kepada kami al-
A'masy dari Abu Wā`il dari Abdullah ia berkata, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: Jauhilah kebohongan, sebab kebohongan
menggiring kepada keburukkan, dan keburukkan akan menggiring kepada
neraka. Dan sungguh, jika seseorang berbohong dan terbiasa dalam
kebohongan hingga di sisi Allah ia akan ditulis sebagai seorang
pembohong. Dan hendaklah kalian jujur, sebab jujur menggiring kepada
kebaikan, dan kebaikan akan menggiring kepada surga. Dan sungguh, jika
seseorang berlaku jujur dan terbiasa dalam kejujuran hingga di sisi Allah
ia akan ditulis sebagai orang yang jujur.”

d. Sunan Al-Tirmidzī, kitab birr, bab 46, halaman 330.

‫ش َع ْن َش ِق ِيق بْ ِن َسلَ َم َة َع ْن َعْب ِد اللَّ ِو بْ ِن َم ْسعُوٍد‬ ِ ‫َع َم‬ْ ‫َّاد َحدَّثَنَا أَبُو ُم َعا ِويَةَ َع ْن ْاْل‬
ٌ ‫َحدَّثَنَا َىن‬
‫الص ْد َق يَ ْه ِدي إِ ََل الِْ ِِّب‬
ِّ ‫الص ْد ِق فَِإ َّن‬ ِّ ِ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َعلَْي ُك ْم ب‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫ق‬
‫ب ِعْن َد اللَّ ِو‬َ َ‫الص ْد َق َح ََّّت يُكْت‬
ِّ ‫ص ُد ُق َويَتَ َحَّرى‬ ْ َ‫الر ُج ُل ي‬ ْ ‫َوإِ َّن الِْ َِّب يَ ْه ِدي إِ ََل‬
َّ ‫اْلَن َِّة َوَما يََز ُال‬
‫ور يَ ْه ِدي إِ ََل النَّا ِر َوَما‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ب يَ ْهدي إ ََل الْ ُف ُجور َوإ َّن الْ ُف ُج‬
ِ ِ ‫ِصدِّي ًقا وإِيَّا ُكم والْ َك ِذ‬
َ ‫ب فَإ َّن الْ َكذ‬ َ َْ َ
‫ب ِعْن َد اللَّ ِو َك َّذابًا‬ ِ ِ
َ َ‫ب َح ََّّت يُكْت‬ َ ‫ب َويَتَ َحَّرى الْ َكذ‬ ُ ‫يََز ُال الْ َعْب ُد يَكْذ‬

93
“Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan
kepada kami Abu Mu'awiyah dari A'masy dari Syaqiq bin Salamah dari
Abdullah bin Mas'ud ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Hendaklah kalian bersikap jujur, karena kejujuran itu akan
membawa pada kebaikan, sedangkan kebaikan akan membawa kepada
surga. Tidaklah seorang bersikap jujur dan selalu berbuat jujur hingga ia
ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan hendaklah kalian
menjauhi sikap dusta, karena kedustaan itu akan membawa pada kekejian,
sedangkan kekejian akan membawa kepada neraka. Dan tidaklah seorang
berbuat dusta dan selalu berdusta hingga ia ditulis di sisi Allah sebagai
seorang pendusta."

e. Sunan Ibnu Mājah, kitab muqaddimah, bab 7, halaman 18.

‫ون الْ َم َدِِنُّ أَبُو عُبَ ْي ٍد َحدَّثَنَا أَِِب َع ْن ُُمَ َّم ِد بْ ِن َج ْع َف ِر بْ ِن أَِِب‬ ٍ ‫حدَّثَنَا ُُم َّم ُد بن عب ي ِد ب ِن ميم‬
ُ ْ َ ْ ْ َُ ُ ْ َ َ
ٍ ‫ص عن عب ِد اللَّ ِو ب ِن مسع‬ ِ
‫َن‬َّ ‫ود أ‬ ُْ َ ْ َْ ْ َ ِ ‫َح َو‬ ْ ‫وسى بْ ِن عُ ْقبَ َة َع ْن أَِِب إِ ْس َح َق َع ْن أَِِب ْاْل‬ َ ‫َكث ٍْي َع ْن ُم‬
‫َح َس ُن الْ َك ََلِم َك ََل ُم‬ ْ ‫ي فَأ‬
ِ َِّ َ َ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو و َسلَّم ق‬ ِ َ ‫رس‬
َ ‫ول اللَّو‬
ُ ‫ال إُنَا ُُهَا اثْنَتَان الْ َك ََل ُم َوا ْْلَْد‬ َ َ َُ
‫ات ْاْل ُُموِر فَِإ َّن َشَّر ْاْل ُُموِر ُُْم َدثَاتُ َها َوُك ُّل‬ ِ َ‫اللَّ ِو وأَحسن ا ْْل ْد ِي ى ْدي ُُم َّم ٍد أَََل وإِيَّا ُكم وُُْم ِدث‬
َْ َ َ ُ َ َ َُ ْ َ
ٍ ٍ
‫ض ََللَةٌ أَََل ََل يَطُولَ َّن َعلَْي ُك ْم ْاْل ََم ُد فَتَ ْق ُس َو قُلُوبُ ُك ْم أَََل إِ َّن َما ُى َو‬ َ ‫ُُْم َدثَة بِ ْد َعةٌ َوُك ُّل بِ ْد َعة‬
‫يد َم ْن‬ َّ ‫َّق ُّي َم ْن َش ِق َي ِِف بَطْ ِن أ ُِّم ِو َو‬
ُ ِ‫السع‬
ِ ‫آت أَََل أََُّنَا الش‬ ٍ ِ‫يد ما لَيس ب‬ ِ َِّ ‫آت قَ ِر‬
َ ْ َ ُ ‫يب َوإُنَا الْبَع‬ ٌ
ٍ
ِ ِ ِ ٌ ‫ظ بِغَ ِْْيهِ أَََل إِ َّن قِتَا َل الْ ُم ْؤِم ِن ُك ْفٌر َو ِسبَابُوُ فُ ُس‬ َ ‫ُو ِع‬
‫َخاهُ فَ ْو َق‬َ ‫وق َوََل ََي ُّل ل ُم ْسل ٍم أَ ْن يَ ْه ُجَر أ‬
َُُّ ُ‫صبِيَّو‬ َّ ‫اْلِ ِّد َوََل بِا ْْلَْزِل َوََل يَعِ ُد‬ ْ ِ‫صلُ ُح ب‬ ِ ِ ‫ث أَََل وإِيَّا ُكم والْ َك ِذ‬ ٍ ‫ثَََل‬
َ ‫الر ُج ُل‬ ْ َ‫ب ََل ي‬ َ ‫ب فَإ َّن الْ َكذ‬
َ َْ َ
ِّ ‫َّار َوإِ َّن‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
‫الص ْد َق‬ َ ‫ور يَ ْهدي إ ََل الن‬ َ ‫ب يَ ْهدي إ ََل الْ ُف ُجور َوإ َّن الْ ُف ُج‬ َ ‫ََل يَفي لَوُ فَإ َّن الْ َكذ‬
‫ب‬ ِ ِ‫ال لِْل َك ِا‬ُ ‫ص َد َق َوبََّر َويُ َق‬ ِ ِ َّ ِ‫ال ل‬ ْ ‫يَ ْه ِدي إِ ََل الِْ ِِّب َوإِ َّن الِْ َِّب يَ ْه ِدي إِ ََل‬
ُ ‫اْلَن َِّة َوإِنَّوُ يُ َق‬
َ ‫لصادق‬
‫ب ِعْن َد اللَّ ِو َك َّذابًا‬ ِ ِ
َ َ‫ب َح ََّّت يُكْت‬ ُ ‫ب َوفَ َجَر أَََل َوإ َّن الْ َعْب َد يَكْذ‬ َ ‫َك َذ‬
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid bin
Maimūn al-Madani Abu Ubaid berkata, telah menceritakan kepada kami
bapakku dari Muhammad bin Ja’far bin Abu Katsīr dari Mūsa bin Uqbah
dari Abu Ishāq dari Abu al-Ahwas dari Abdullah bin Mas'ūd berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Keduanya merupakan
perkataan dan petunjuk. Maka sebaik-baik perkataan adalah kalamullah,
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Ketahuilah, jangan
kalian membuat perkara-perkara baru. Sesungguhnya seburuk-buruk
perkara adalah hal-hal baru (diada-adakan), dan setiap hal baru adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat. Ketahuilah, janganlah kalian terlalu
panjang dalam berangan-angan, hingga menjadikan hati kalian keras.
Ketahuilah, segala sesuatu yang akan datang itu adalah dekat, dan
bahwasanya yang jauh itu sesuatu yang tidak datang. Ketahuilah,

94
bahwasanya orang yang sengsara itu adalah orang yang sengsara di perut
ibunya, dan orang yang berbahagia adalah orang yang diberi nasehat
dengan selainnya. Ketahuilah, sesungguhnya membunuh seorang muslim
adalah kekafiran, dan mencercanya adalah kefasikan. Tidak halal bagi
seorang muslim untuk tidak mengajak bicara saudaranya di atas tiga hari.
Ketahuilah, jauhilah oleh kalian berkata dusta, sesungguhnya dusta itu
tidak dibenarkan baik dilakukan dengan serius maupun main-main.
Janganlah seseorang berjanji kepada anak kecilnya kemudian dia tidak
menepatinya. Sesungguhnya dusta akan menggiring kepada perbuatan
dosa dan sesungguhnya perbuatan dosa akan menggiring ke dalam neraka.
Sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan kepada kebaikan dan
kebaikan akan menunjukkan kepada surga. Dan akan dikatakan kepada
orang yang jujur; ia telah berlaku jujur dan berbuat baik. Sementara
kepada pendusta dikatakan; ia telah berlaku dusta dan dosa. Seorang
hamba yang selalu berdusta, akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”

95
‫‪Lampiran 6‬‬

‫ص ُد ُق‬ ‫الص ْد َق يَ ْه ِدي إِ ََل الِْ ِِّب َوإِ َّن الِْ َِّب يَ ْه ِدي إِ ََل ا ْْلَن َِّة َوإِ َّن َّ‬
‫الر ُج َل لَيَ ْ‬ ‫إِ َّن ِّ‬
‫النيب‬
‫ور يَ ْه ِدي‬ ‫ِ ِ‬ ‫ح ََّّت ي ُكو َن ِصدِّي ًقا وإِ َّن الْ َك ِذ َ ِ ِ‬
‫ب يَ ْهدي إ ََل الْ ُف ُجور َوإ َّن الْ ُف ُج َ‬ ‫َ‬ ‫َ َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ب عْن َد اللَّه َك َّذابًا‬ ‫ِ‬ ‫إِ ََل النَّا ِر َوإِ َّن َّ‬
‫ب َح ََّّت يُكْتَ َ‬
‫الر ُج َل لَيَكْذ ُ‬
‫عبد اهلل بن مسعود‬

‫أبو وائل‬ ‫أبو األحواص‬

‫منصور‬ ‫األعمش‬ ‫أبو إسحاق‬

‫جرير‬ ‫أبو معاوية‬ ‫وكيع‬ ‫عبد اهلل بن داود‬ ‫موسى بن عقبة‬

‫عثمان بن أيب شيبة‬ ‫أبو كريب‬ ‫هناد‬ ‫حممد بن عبداهلل‬ ‫أبو بكر بن أيب شيبة‬ ‫مسدد‬ ‫حممد بن جعفر بن أيب كثري‬

‫البخاري‬ ‫أيب‬
‫مسلم‬ ‫الرتمذي‬ ‫أبو داود‬

‫حممد بن عبيد بن ميمون املدين‬

‫ابن ماجة‬

‫‪96‬‬
Keterangan nama-nama perawi:
 Riwayat al-Bukhāri
1. Abu Wāil : Syaqīq bin Salamah
2. Mansūr : Mansūr bin al-Mu’tamir
3. Jarīr : Jarīr bin Abd al-Hamīd
 Riwayat Muslim
1. Abu Kuraib : Muhammad bin ‘Ila` bin Kuraib al-Hamdāni
2. Muhammad bin Abdullah : Muhammad bin Abdullah bin Numair
 Riwayat Abu Dāud
1. Musaddad :
2. Al-A’masy : Sulaimān bin Mihrān al-A’masy
3. Wakī’ : Wakī’ bin al-Jarrāh
 Riwayat al-Tirmidzi
1. Abu Mu’āwiyah : Muhammad bin Khāzim al-Darīr
2. Hannād : Hannād bin al-Sarri
 Riwayat Ibn Mājah
1. Abu al-Ahwās : Auf bin Mālik al-Asyjā’i
2. Abu Ishāq : Amru bin Abdullah al-Sabī’i
3. Abī : Ubaid bin Maimūn al-Madani

97
Lampiran 7

Keterangan hadis tentang mendahulukan yang lebih dewasa untuk

berbicara ketika berkomunikasi adalah sebagai berikut:

a. Sahīh al-Bukhāri, kitab jizyah, bab 12, halaman 430.

‫َّل َحدَّثَنَا ََْي ََي َع ْن بُ َش ِْْي بْ ِن يَ َسا ٍر َع ْن َس ْه ِل بْ ِن‬ ِ ‫َّد َحدَّثَنَا بِ ْشٌر ُى َو ابْ ُن الْ ُم َفض‬ ٌ ‫َحدَّثَنَا ُم َسد‬
‫ود بْ ِن َزيْ ٍد إِ ََل َخْيبَ َر َوِى َي يَ ْوَمئِ ٍذ‬ ِ ‫ال انْطَلَق عب ُد اللَّ ِو بن سه ٍل وُُميِّصةُ بن مسع‬
ُْ َ ُْ َ َ َ َْ ُْ َْ َ َ َ‫أَِِب َحثْ َمةَ ق‬
‫ط ِِف َد ِم ِو قَتِ ًيًل فَ َدفَنَوُ ُُثَّ قَ ِد َم‬ ُ ‫صةُ إِ ََل َعْب ِد اللَّ ِو بْ ِن َس ْه ٍل َوُى َو يَتَ َش َّم‬ َ ِّ‫ص ْل ٌح فَتَ َفَّرقَا فَأَتَى ُُمَي‬
ُ
ُ‫صلَّى اللَّو‬ َ ‫َِّب‬
ٍ
ِّ ِ‫صةُ ابْنَا َم ْسعُود إِ ََل الن‬ َ ِّ‫صةُ َو ُح َوي‬ َّ ‫الْ َم ِدينَةَ فَانْطَلَ َق َعْب ُد‬
َ ِّ‫الر ْْحَ ِن بْ ُن َس ْه ٍل َوُُمَي‬
‫ت فَتَ َكلَّ َما‬ ِ َ ‫الر ْْحَ ِن يَتَ َكلَّ ُم فَ َق‬ َّ ِ
َ ‫ث الْ َق ْوم فَ َس َك‬ ُ ‫َح َد‬ْ ‫ال َكبِّ ْر َكبِّ ْر َوُى َو أ‬ َّ ‫ب َعْب ُد‬ َ ‫َعلَْيو َو َسل َم فَ َذ َى‬
‫ال‬َ َ‫ف َوََلْ نَ ْش َه ْد َوََلْ نََر ق‬ ِ ِ ‫ال ََْتلِ ُفو َن وتَستَ ِحقُّو َن قَاتِلَ ُكم أَو‬
ُ ‫ف ََْنل‬ َ ‫صاحبَ ُك ْم قَالُوا َوَكْي‬ َ ْ ْ ْ َ َ ‫فَ َق‬
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو‬ ٍ ِ ِ ‫فَتُ ِْبي ُكم ي ه‬
َ ‫َِّب‬ُّ ِ‫ف نَأْ ُخ ُذ أَْْيَا َن قَ ْوم ُكفَّا ٍر فَ َع َقلَوُ الن‬ َ ‫ني فَ َقالُوا َكْي‬ َ ‫ود ِبَ ْمس‬ ُ َُ ْ ْ
‫َو َسلَّ َم ِم ْن ِعْن ِد ِه‬
“Telah bercerita kepada kami Musaddad telah bercerita kepada
kami Bisyir, dia adalah anak al-Mufaḏḏal telah bercerita kepada kami
Yahya dari Busyair bin Yasār dari Sahal bin Abi Hatsmah berkata;
Abdullah bin Sahal dan Muhayyisah bin Mas‟ūd bin Zaid berangkat
menuju Khaibar yang saat itu Khaibar terikat dengan perjanjian damai lalu
keduanya terpisah. Kemudian Muhayyisah mendapatkan Abdullah bin
Sahal dalam keadaan gugur bersimbah darah lalu dia menguburkannya.
Kemudian dia kembali ke Madinah. Lalu Abdurrahmān bin Sahal,
Muhayyisah dan Huwayyisah, keduanya anak Mas‟ūd, menemui Nabi
shallallahu „alaihi wasallam. Abdurrahmān bin Sahal memulai berbicara
Namun Beliau Shallallahu 'alaihiwasallam berkata: Tolong yang bicara
yang lebih tua, tolong yang bicara yang lebih tua. Dia (Abdurrahmān)
memang yang paling muda usia diantara kaum yang hadir, lalu dia pun
diam. Maka keduanya (anak Mas‟ūd) berbicara. Beliau Shallallahu
'alaihiwasallam bertanya: Hendaknya kalian bersumpah sehingga bisa
menuntut pembunuhnya atau kalian tuntut darah saudara kalian. Mereka
berkata: Bagaimana kami dapat bersumpah padahal kami tidak
menyaksikan dan tidak melihat kejadiannya. Beliau berkata: Kalau begitu
kaum Yahudi bisa menyatakan ketidakterlibatannya dengan lima puluh
sumpah. Mereka bertanya: Bagaimana mungkin kami terima sumpah kaum
kafir? Akhirnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membayar diyatnya dari
harta Beliau sendiri.”

98
b. Sahīh al-Bukhāri, kitab adab, bab 89, halaman 430.

‫يد َع ْن بُ َش ِْْي بْ ِن يَ َسا ٍر‬ ٍ ِ‫ب حدَّثَنا َْحَّاد ىو ابن زي ٍد عن ََيَي ب ِن سع‬ ٍ
َ ْ َ ْ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ُ ٌ َ َ ‫َحدَّثَنَا ُسلَْي َما ُن بْ ُن َح ْر‬
‫َن َعْب َد اللَّ ِو بْ َن َس ْه ٍل‬ َّ ‫يج َو َس ْه ِل بْ ِن أَِِب َحثْ َم َة أَن َُّه َما َح َّدثَاهُ أ‬ ٍ ‫صا ِر َع ْن َرافِ ِع بْ ِن َخ ِد‬ َ ْ‫َم ْوََل ْاْلَن‬
‫َّخ ِل فَ ُقتِ َل َعْب ُد اللَّ ِو بْ ُن َس ْه ٍل فَ َجاءَ َعْب ُد ا َّلر ْْحَ ِن‬ ٍ
ْ ‫صةَ بْ َن َم ْسعُود أَتَيَا َخْيبَ َر فَتَ َفَّرقَا ِِف الن‬ َ ِّ‫َوُُمَي‬
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم فَتَ َكلَّ ُموا ِِف أ َْم ِر‬ ٍ
َ ‫َِّب‬ِّ ِ‫صةُ ابْنَا َم ْسعُود إِ ََل الن‬ َ ِّ‫صةُ َوُُمَي‬ َ ِّ‫بْ ُن َس ْه ٍل َو ُح َوي‬
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َكبِّ ْر‬ َ ‫َِّب‬ُّ ِ‫ال لَوُ الن‬ َ ‫َصغََر الْ َق ْوِم فَ َق‬ْ ‫الر ْْحَ ِن َوَكا َن أ‬ َّ ‫احبِ ِه ْم فَبَ َدأَ َعْب ُد‬ ِ‫ص‬
َ
َ ‫احبِ ِه ْم فَ َق‬ ِ ‫ال ََيَي ي ع ِِن لِيلِي الْ َك ًَلم ْاْلَ ْكب ر فَتَ َكلَّموا ِِف أَم ِر ص‬
ُ‫صلَّى اللَّو‬ َ ‫َِّب‬ ُّ ِ‫ال الن‬ َ ْ ُ َُ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َ‫الْ ُكْب َر ق‬
‫ول اللَّ ِو‬ َ ‫ني ِمْن ُك ْم قَالُوا يَا َر ُس‬ ِ ِ
َ ‫صاحبَ ُك ْم بِأ َْْيَان َخَْس‬
ِ ‫ال‬ ِ ِ
َ َ َ‫َعلَْيو َو َسلَّ َم أَتَ ْستَحقُّو َن قَتيلَ ُك ْم أ َْو ق‬
ِ
ِ َ ‫ان َخَْ ِسني ِمْن هم قَالُوا يا رس‬ ِ َ‫ال فَتُ ِْبئُ ُكم ي هود ِِف أَْْي‬
ٌ ‫ول اللَّو قَ ْوٌم ُكف‬
‫َّار فَ َوَد ُاى ْم‬ َُ َ ُْ َ ُ ُ َ ْ ْ َ َ‫أ َْمٌر ََلْ نََرهُ ق‬
‫ت‬ ْ َ‫اْلبِ ِل فَ َد َخل‬ ِْ ‫ك‬ َ ‫ت نَاقَةً ِم ْن تِْل‬ ُ ‫ال َس ْه ٌل فَأ َْد َرْك‬ َ َ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِم ْن قِبَلِ ِو ق‬ ِ ُ ‫رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ َُ
‫ت‬ ِ
ُ ‫ال ََْي ََي َحسْب‬ َ َ‫ث َح َّدثَِِن ََْي ََي َع ْن بُ َش ٍْْي َع ْن َس ْه ٍل ق‬ ُ ‫ال اللَّْي‬َ َ‫ضْت ِِن بِ ِر ْجلِ َها ق‬
َ ‫م ْربَ ًدا ََلُ ْم فَ َرَك‬
ِ

ُ‫ال ابْ ُن عُيَ ْي نَةَ َحدَّثَنَا ََْي ََي َع ْن بُ َش ٍْْي َع ْن َس ْه ٍل َو ْح َده‬ َ َ‫يج َوق‬ٍ ‫ال َم َع َرافِ ِع بْ ِن َخ ِد‬ َ َ‫أَنَّوُ ق‬
Telah menceritakan kepada kami Sulaimān bin Harb telah
menceritakan kepada kami Hammād yaitu Ibnu Zaid dari Yahya bin Sa'īd
dari Busyair bin Yasār bekas budak Ansar, dari Rāfi' bin Khadīj dan Sahal
bin Abu Hatsmah bahwa keduanya menceritakan kepadanya bahwa
Abdullah bin Sahal dan Muhayisah bin Mas‟ūd pergi ke Khaibar,
kemudian keduanya berpisah di suatu kebun kurma, tiba-tiba Abdullah bin
Sahal terbunuh, lantas Abdurrahmān bin Sahl Huwayisah dan Muhayisah
bin Mas'ud pergi menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk
melapor mengenai perkara saudaranya, Abdurrahmān angkat bicara
padahal dia adalah orang yang paling muda di antara mereka, maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: „Yang lebih tua, yang
lebih tua.‟ Yahya berkata; „Maksudnya hendaknya yang paling tua yang
lebih dulu angkat bicara.‟ Lalu mereka melaporkan mengenai perkara
saudaranya, lantas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: „Hendaknya
lima puluh orang dari kalian bersumpah atas satu orang dari mereka
(Yahudi), maka kalian berhak menuntut darah sahabatmu.‟ Mereka
berkata; „Perkara ini sama sekali belum pernah kami alami, bagaimana
kami akan bersumpah?‟ Beliau bersabda:‟Jika demikian, orang-orang
Yahudi telah terbebas dari tuduhanmu, dengan lima puluh orang dari
mereka yang bersumpah.‟ Mereka berkata; „Wahai Rasulullah, mereka
adalah orang-orang kafir.‟ Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam membayar diyat dari diri beliau sendiri kepada mereka.‟ Sahal
berkata; „Maka saya dapati seekor unta dari unta-unta tersebut, lalu saya
masukkan ke kandang unta mereka, tiba-tiba saya di tendang oleh kaki
unta itu.‟ Laits berkata; Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Busyair

99
dari Sahal. Yahya berkata: Aku mengira dia berkata bersama dengan Rāfi'
bin Khadīj. Ibnu 'Uyainah berkata: „Telah menceritakan kepada kami
Yahya dari Busyair dari Sahal saja.”

c. Sahīh Muslim, kitab qasāmah, hadis ke-1, jilid III, halaman 1291.

‫يد( َع ْن بُ َش ِْْي بْ ِن يَ َسا ٍر َع ْن‬ ٍ ِ‫ث عن ََيَي )وىو ابن سع‬ ٍِ


َ ُ ْ َ ُ َ َ ْ ْ َ ٌ ‫َحدَّثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْ ُن َسعيد َحدَّثَنَا لَْي‬
‫يج أَن َُّه َما قَ َال َخَر َج َعْب ُد‬ ٍ ‫ال( َو َع ْن َرافِ ِع بْ ِن َخ ِد‬ َ َ‫ت ق‬ ِ
ُ ‫ال ََْي ََي َو َحسْب‬ َ َ‫َس ْه ِل بْ ِن أَِِب َحثْ َمةَ )ق‬
‫ض َما‬ ِ ‫ود بْ ِن َزيْ ٍد َح ََّّت إِ َذا َكانَا ِِبَْيبَ َر تَ َفَّرقَا ِِف بَ ْع‬
ِ ‫اللَّ ِو بن سه ِل ب ِن زي ٍد وُُميِّصةُ بن مسع‬
ُ ْ َ ُ ْ َ َ َ َْ ْ ْ َ ُ ْ
ِ ِ ِ ِ ِ ِّ‫ك ُُثَّ إِ َذا ُُمَي‬ ِ
ُ‫صلَّى اللَّو‬ َ ‫صةُ ََي ُد َعْب َد اللَّو بْ َن َس ْه ٍل قَت ًيًل فَ َدفَنَوُ ُُثَّ أَقْ بَ َل إِ ََل َر ُسول اللَّو‬ َ َ ‫ُىنَال‬
ِ ٍ ‫علَي ِو وسلَّم ىو وحويِّصةُ بن مسع‬
‫ب َعْب ُد‬ ْ ‫الر ْْحَ ِن بْ ُن َس ْه ٍل َوَكا َن أ‬
َ ‫َصغََر الْ َق ْوم فَ َذ َى‬ َّ ‫ود َو َعْب ُد‬ ُ ْ َ ُ ْ َ َُ َ َُ َ َ َ ْ َ
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َكبِّ ْر )الْ ُكْب َر ِِف‬ ِ ُ ‫ال لَو رس‬ ِ ِ ‫الر ْْح ِن لِيتَ َكلَّم قَبل‬
َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ ُ َ ‫صاحبَ ْيو فَ َق‬ َ َ ْ َ َ َ َّ
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ِ ِ ِ ِ ‫الس ِّن( فَصمت فَتَ َكلَّم‬
َ ‫صاحبَاهُ َوتَ َكلَّ َم َم َع ُه َما فَ َذ َك ُروا لَر ُسول اللَّو‬ َ َ َ ََ ِّ
‫احبَ ُك ْم أ َْو قَاتِلَ ُك ْم‬ِ ‫ََتلِ ُفو َن َخَْ ِسني َْيِينًا فَتَستَ ِحقُّو َن ص‬ َ ‫َم ْقتَ َل َعْب ِد اللَّ ِو بْ ِن َس ْه ٍل فَ َق‬
َْ ‫ال ََلُ ْم أ‬
َ ْ َ
‫ف نَ ْقبَ ُل أَْْيَا َن قَ ْوٍم‬ ِ ‫ال فَتُ ِْبئُ ُكم ي هود ِِبَم ِس‬
َ ‫ني َْيينًا قَالُوا َوَكْي‬َ ْ ُ ُ َ ْ ْ َ َ‫ف َوََلْ نَ ْش َه ْد ق‬
ِ
ُ ‫ف ََْنل‬ َ ‫قَالُوا َوَكْي‬
ِ ِ ُ ‫ك رس‬ ِ
ُ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم أ َْعطَى َع ْقلَو‬ َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ َ ‫ُكفَّا ٍر فَلَ َّما َرأَى َذل‬
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'īd telah
menceritakan kepada kami Laits dari Yahya -yaitu Ibnu Sa'īd- dari Busyair
bin Yasār dari Sahal bin Abu Hatsmah - Yahya berkata: dan aku mengira
dia berkata- dari Rāfi' bin Khadīj bahwa keduanya berkata, „Abdullah bin
Sahl bin Zaid dan Muhayisah bin Mas'ūd bin Zaid pernah melakukan safar,
hingga ketika mereka sampai di Khaibar, mereka berdua berpisah, Tidak
beberapa lama Muhayishah mendapati Abdullah telah terbunuh, dia pun
menguburkannya. Sesudah itu dia datang menghadap Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersama-sama dengan Huwaisah bin Mas'ūd
dan Abdurrahmān bin Sahl. Sedangkan Abdurrahmān adalah yang paling
muda di antara mereka, tetapi Abdurrahmān yang lebih dahulu berbicara
daripada saudara sepupunya itu. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: „Dahulukanlah yang lebih tua umurnya.‟ Maka ia pun
diam dan kedua saudaranya lalu angkat bicara. Keduanya menceritakan
kepada beliau bahwa Abdullah bin Sahal telah terbunuh, lalu Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada mereka: „Maukah kalian
bersumpah lima puluh kali? Jika kalian mau bersumpah, maka kalian
berhak menuntut balas atas kematian saudara kalian.‟ Mereka menjawab,
„Bagaimana kami harus bersumpah, sedangkan kami tidak menyaksikan
terjadinya pembunuhan itu.‟ Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: „Jika begitu maka orang-orang Yahudi akan bebas dari kalian
dengan lima puluh sumpah yang mereka lakukan.‟ Mereka menjawab,

100
„Bagaimana mungin kami dapat menerima sumpah orang kafir itu?‟
melihat kondisi seperti itu, akhirnya Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam memberikan diyatnya (tebusannya).”

d. Sunan Abu Dāud, kitab diyāt, bab 8, halaman 495.

‫اد بْ ُن َزيْ ٍد َع ْن‬ ٍ ِ


ُ َّ‫َحدَّثَنَا عُبَ ْي ُد اللَّو بْ ُن عُ َمَر بْ ِن َمْي َسَرَة َوُُمَ َّم ُد بْ ُن عُبَ ْيد الْ َم ْع ََن قَ َال َحدَّثَنَا َْح‬
‫صةَ بْ َن‬ َّ ‫يج أ‬
َ ِّ‫َن ُُمَي‬ ٍ ‫يد َع ْن بُ َش ِْْي بْ ِن يَ َسا ٍر َع ْن َس ْه ِل بْ ِن أَِِب َحثْ َمةَ َوَرافِ ِع بْ ِن َخ ِد‬ ٍ ِ‫ََيَي ب ِن سع‬
َ ْ َْ
‫َّخ ِل فَ ُقتِ َل َعْب ُد اللَّ ِو بْ ُن َس ْه ٍل‬ ِ ِ ٍ
ْ ‫َم ْسعُود َو َعْب َد اللَّو بْ َن َس ْه ٍل انْطَلَ َقا قبَ َل َخْيبَ َر فَتَ َفَّرقَا ِِف الن‬
ِ
َّ ِ‫صةُ فَأَتَ ْوا الن‬
‫َِّب‬ َ ِّ‫صةُ َوُُمَي‬َ ِّ‫الر ْْحَ ِن بْ ُن َس ْه ٍل َوابْنَا َع ِّمو ُح َوي‬ َّ ‫َخوهُ َعْب ُد‬ ُ ‫ود فَ َجاءَ أ‬ َ ‫فَات ََّه ُموا الْيَ ُه‬
ِ ُ ‫ال رس‬ ِِ َّ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم فَتَ َكلَّ َم َعْب ُد‬
‫صلَّى‬َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ َ ‫َصغَُرُى ْم فَ َق‬ ْ ‫الر ْْحَ ِن ِِف أ َْم ِر أَخيو َوُى َو أ‬ َ
َ ‫احبِ ِه َما فَ َق‬ ِ ‫ال لِيب َدأْ ْاْلَ ْكب ر فَتَ َكلَّما ِِف أَم ِر ص‬ ِ
‫ول‬
ُ ‫ال َر ُس‬ َ ْ َ َُ َْ َ َ‫اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم الْ ُكْب َر الْ ُكْب َر أ َْو ق‬
ِِ ِ ِ ِ ِ ِ
ْ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم يُ ْقس ُم َخَْ ُسو َن مْن ُك ْم َعلَى َر ُج ٍل مْن ُه ْم فَيُ ْدفَ ُع بُِرَّمتو قَالُوا أَْمٌر ََل‬ َ ‫اللَّو‬
ِ َ ‫ان َخَْ ِسني ِمْن هم قَالُوا يا رس‬ ِ َ‫ال فَتُب ِّرئُ ُكم ي هود بِأ َْْي‬ ِ
ٌ ‫ول اللَّو قَ ْوٌم ُكف‬
‫َّار‬ َُ َ ُْ َ ُ ُ َ ْ َ َ َ‫ف ق‬ ُ ‫ف ََْنل‬ َ ‫نَ ْش َه ْدهُ َكْي‬
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِم ْن قِبَلِ ِو‬ ِ ُ ‫ال فَوداه رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ ُ َ َ َ َ‫ق‬
“Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Umar bin
Maisarah dan Muhammad bin Ubaid secara makna, keduanya berkata:
telah menceritakan kepada kami Hammād bin Zaid dari Yahya bin Sa‟īd
dari Busyair bin Yasār dari Sahl bin Abu Hatsmah dan Rāfi' bin Khadīj
berkata, „Muhayisah bin Mas'ūd dan Abdullah bin Sahl berangkat menuju
Khaibar, namun keduanya berpisah di perkebunan kurma. Lalu Abdullah
bin Sahl mati terbunuh, dan mereka menuduh orang-orang Yahudi-lah
yang telah membunuhnya. Kemudian saudaranya bernama Abdurrahmān
bin Sahl datang bersama dua orang anak pamannya, Huwayisah dan
Muhayisah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Lantas Abdurrahmān
menceritakan perihal saudaranya -dia adalah yang paling kecil di antara
saudaranya-, beliau pun bersabda; „Hendaknya dimulai dari yang lebih
besar, hendaknya dimulai dari yang lebih besar. Atau beliau bersabda;
„Hendaknya yang lebih besar yang memulai.‟ Lalu keduanya menceritakan
perihal saudaranya (yang terbunuh), Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: „Hendaklah lima puluh orang dari kalian bersumpah
atas seorang dari mereka (Yahudi yang membunuh), dengan demikian
maka akan dapat menebus tulang belulang saudaramu yang telah rapuh.‟
Mereka menjawab, „Kami tidak melihat peristiwanya secara langsung, lalu
bagaimana kami akan bersumpah!‟ Beliau bersabda: „Orang-orang Yahudi
itu akan bersih dari tuduhan kalian jika mereka bisa memberikan sumpah
dari lima puluh orang dari kalangan mereka.‟ Para sahabat menimpali,
„Mereka itu orang-orang kafir!‟ Ia (perawi) berkata, „Lantas Rasulullah

101
shallallahu 'alaihi wasallam menebus (diyat) jiwa korban itu dengan harta
pribadinya sendiri.”

e. Sunan al-Tirmidzī, kitab diyāt, bab 22, halaman 249.

‫يد َع ْن بُ َش ِْْي بْ ِن يَ َسا ٍر َع ْن َس ْه ِل بْ ِن‬ ٍ ِ‫حدَّثَنا قُت يبةُ حدَّثَنا اللَّيث بن سع ٍد عن ََيَي ب ِن سع‬
َ ْ َ ْ ْ َ ْ َ ُ ْ ُ ْ َ َ َْ َ َ َ
‫يج أَن َُّه َما قَ َال َخَر َج َعْب ُد اللَّ ِو بْ ُن َس ْه ِل بْ ِن‬ ٍ ‫ت َع ْن َرافِ ِع بْ ِن َخ ِد‬ ِ
ُ ‫ال ََْي ََي َو َحسْب‬ َ َ‫أَِِب َحثْ َم َة ق‬
‫ص َة‬َ ِّ‫اك ُُثَّ إِ َّن ُُمَي‬َ َ‫ض َما ُىن‬ ِ ‫ود بْ ِن َزيْ ٍد َح ََّّت إِ َذا َكانَا ِِبَْيبَ َر تَ َفَّرقَا ِِف بَ ْع‬
ِ ‫زي ٍد وُُميِّصةُ بن مسع‬
ُ ْ َ ُ ْ َ َ َ َْ
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫َو َج َد َعْب َد اللَّو بْ َن َس ْه ٍل قَت ًيًل قَ ْد قُت َل فَ َدفَنَوُ ُُثَّ أَقْ بَ َل إِ ََل َر ُسول اللَّو‬
‫الر ْْحَ ِن‬ ِ ٍ ‫ىو وحويِّصةُ بن مسع‬
َّ ‫ب َعْب ُد‬ َ ‫َصغََر الْ َق ْوم ذَ َى‬ ْ ‫الر ْْحَ ِن بْ ُن َس ْه ٍل َوَكا َن أ‬ َّ ‫ود َو َعْب ُد‬ ُ ْ َ ُ ْ َ َُ َ َُ
ِ ِ ِ ُ ‫ال لَو رس‬ ِ ِ ‫لِيتَ َكلَّم قَبل‬
‫ت َوتَ َكلَّ َم‬ َ ‫ص َم‬ َ َ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َكبِّ ْر ل ْل ُك ِْْب ف‬َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ ُ َ َ‫صاحبَ ْيو ق‬ َ َْ َ َ
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َم ْقتَ َل َعْب ِد اللَّ ِو بْ ِن َس ْه ٍل‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫صاحبَاهُ ُُثَّ تَ َكلَّ َم َم َع ُه َما فَ َذ َك ُروا لَر ُسول اللَّو‬َ
ِ ِ ِ ‫ََتلِ ُفو َن َخَْ ِسني َْيِينًا فَتَستَ ِحقُّو َن‬
ْ‫ف َوََل‬ ُ ‫ف ََْنل‬ َ ‫صاحبَ ُك ْم أ َْو قَاتلَ ُك ْم قَالُوا َوَكْي‬ َ ْ َ َْ ‫ال ََلُ ْم أ‬َ ‫فَ َق‬
ِ ٍ ِ ‫ال فَتُب ِّرئُ ُكم ي هود ِِبَم ِس‬
‫ك‬َ ‫ف نَ ْقبَ ُل أ َْْيَا َن قَ ْوم ُكفَّا ٍر فَلَ َّما َرأَى َذل‬ َ ‫ني َْيينًا قَالُوا َوَكْي‬ َ ْ ُ ُ َ ْ َ َ َ‫نَ ْش َه ْد ق‬
ِ ِ ُ ‫رس‬
ُ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم أ َْعطَى َع ْقلَو‬َ ‫ول اللَّو‬ َُ
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan
kepada kami al-Laits bin Sa'ad dari Yahya bin Sa'īd dari Busyair bin Yasār
dari Sahl bin Abu Hatsmah, Yahya berkata; Aku kira dari Rāfi' bin Khadīj
di antara keduanya ada yang berkata Abdullah bin Sahl bin Zaid dan
Muhayyisah bin Mas'ūd bin Zaid keluar hingga ketika sampai di Khaibar
keduanya berpisah untuk sebagian keperluan mereka di sana, kemudian
Muhayyisah mendapati Abdullah bin Sahl gugur, ia telah dibunuh, setelah
menguburnya kemudian ia pun menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, ketika itu beliau bersama Huwayyisah bin Mas'ūd dan
Abdurrahmān bin Sahl, ia adalah orang paling muda. Abdurrahmān pun
maju untuk berbicara sebelum kedua temannya, lalu Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda kepadanya: „Dahulukan orang yang lebih tua.‟ Ia
pun terdiam dan kedua temannya berbicara kemudian ia berbicara bersama
keduanya. Mereka menyebutkan perihal terbunuhnya Abdullah bin Sahl
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau pun bersabda
kepada mereka: „Apakah kalian mau bersumpah lima puluh kali sumpah
dan berhak terhadap sahabat atau orang yang membunuh kalian?‟ Mereka
berkata: „Bagaimana kami bersumpah sedangkan kami tidak
menyaksikan?‟ Beliau bersabda: „Apakah kalian mau orang-orang Yahudi
terbebas dari segala tuduhan kalian dengan lima puluh kali sumpah?‟
Maka mereka bertanya: „Bagaimana kami mengambil sumpah orang-orang
kafir?‟ Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihat hal itu,
beliau pun memberikan diyatnya.

102
f. Sunan al-Nasā‟ī, kitab qasāmah, bab 4, halaman 718.

‫ث َع ْن ََْي ََي َع ْن بُ َش ِْْي بْ ِن يَ َسا ٍر َع ْن َس ْه ِل بْ ِن أَِِب َحثْ َم َة قَا َل‬ ُ ‫ال َحدَّثَنَا اللَّْي‬ َ َ‫َخبَ َرنَا قُتَ ْيبَةُ ق‬
ْ‫أ‬
ٍ ِ ٍ ‫ال َو َع ْن َرافِ ِع بْ ِن َخ ِد‬ ِ
‫صةُ بْ ُن‬ َ ِّ‫يج أَن َُّه َما قَ َال َخَر َج َعْب ُد اللَّو بْ ُن َس ْه ِل بْ ِن َزيْد َوُُمَي‬ َ َ‫ت ق‬ ُ ‫َو َحسْب‬
‫صةَ ََِي ُد َعْب َد اللَّ ِو بْ َن َس ْه ٍل‬ ِ ِ ِ ‫ود َح ََّّت إِذَا َكانَا ِِبَْيبَ َر تَ َفَّرقَا ِِف بَ ْع‬ ٍ ‫مسع‬
َ ِّ‫ك ُُثَّ إِذَا ِبُ َحي‬
َ ‫ض َما ُىنَال‬ ُْ َ
‫ود َو َعْب ُد‬ ٍ ‫ول اللَّ ِو صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم ىو وحويِّصةُ بن مسع‬ ِ ‫قَتِ ًيًل فَ َدفَنَو ُُثَّ أَقْ بل إِ ََل رس‬
ُ ْ َ ُ ْ َ َُ َ َُ َ َ َ ْ َ ُ َ َُ ََ ُ
َ ‫احبَ ْي ِو فَ َق‬
ِ ‫الر ْْح ِن ي تَ َكلَّم قَبل ص‬ ِ
‫ول‬
ُ ‫ال لَوُ َر ُس‬ َ َ ْ ُ َ َ َّ ‫ب َعْب ُد‬ ْ ‫الر ْْحَ ِن بْ ُن َس ْه ٍل َوَكا َن أ‬
َ ‫َصغََر الْ َق ْوم فَ َذ َى‬ َّ
ِ ‫الس ِّن فَصمت وتَ َكلَّم ص‬ ِ ِ
‫احبَاهُ ُُثَّ تَ َكلَّ َم َم َع ُه َما‬ َ َ َ َ َ َ ِّ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َكبِّ ْر الْ ُكْب َر ِِف‬ َ ‫اللَّو‬
‫ََتلِ ُفو َن‬
َْ ‫ال ََلُ ْم أ‬ َ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َم ْقتَ َل َعْب ِد اللَّ ِو بْ ِن َس ْه ٍل فَ َق‬ ِ ِ ِ
َ ‫فَ َذ َك ُروا لَر ُسول اللَّو‬
‫ال فَتُبَ ِّرئُ ُك ْم‬َ َ‫ف َوََلْ نَ ْش َه ْد ق‬ ِ ِ ِ ‫َخَْ ِسني َْيِينًا وتَستَ ِحقُّو َن‬
ُ ‫ف ََْنل‬ َ ‫صاحبَ ُك ْم أ َْو قَاتلَ ُك ْم قَالُوا َكْي‬ َ ْ َ َ
ِ ُ ‫ك رس‬ ِ ٍ ِ ‫ي هود ِِبَم ِس‬
ُ‫صلَّى اللَّو‬ َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ َ ‫ف نَ ْقبَ ُل أَْْيَا َن قَ ْوم ُكفَّا ٍر فَلَ َّما َرأَى ذَل‬ َ ‫ني َْيينًا قَالُوا َوَكْي‬ َ ْ ُ َُ
ِ
ُ‫َعلَْيو َو َسلَّ َم أ َْعطَاهُ َع ْقلَو‬
“Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah telah menceritakan
kepada kami al-Laits dari Yahya dari Busyair bin Yasār dari Sahl bin Abu
Hatsmah, dia berkata: „Saya mengira dia mengatakan: dan dari Rāfi' bin
Khadīj bahwa mereka berkata „Abdullah bin Sahl bin Zaid dan
Muhayyisah bin Mas'ūd telah keluar hingga ketika mereka sampai di
Khaibar mereka berpisah di sebagian tempat di sana, kemudian
Muhayyisah mendapatkan Abdullah bin Sahl terbunuh. Lalu dia
menguburnya kemudian menghadap kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersama dengan Huwayyisah bin Mas'ūd serta Abdurrahmān bin
Sahl dan dia adalah orang yang paling muda. Kemudian Abdurrahmān
pergi untuk berbicara sebelum dua orang sahabatnya. Lalu Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: „Dahulukanlah yang tua.‟
Kemudian dia diam dan dua orang sahabatnya berbicara, kemudian dia
berbicara bersama mereka dan mereka menyebutkan kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam mengenai terbunuhnya Abdullah bin Sahl.
Lalu beliau bersabda: „Apakah kalian bersumpah lima puluh sumpah dan
kalian berhak terhadap sahabat kalian atau terhadap orang yang menyerang
kalian?‟ Mereka berkata „Bagaimana kami bersumpah sedang kami belum
menyaksikan?‟ Kemudian beliau bersabda: „Apakah kalian mau orang-
orang Yahudi akan bebas dari tuduhan kalian dengan lima puluh sumpah?‟
Mereka berkata: „Bagaimana kami menerima sumpah orang-orang kafir?‟
Kemudian tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihat hal
tersebut beliau memberikan diyatnya.”

103
g. Sunan Ibn Mājah, kitab diyāt, bab 28, halaman 893.
ِ ِ ِ
‫س َح َّدثَِِن أَبُو لَْي لَى بْ ُن‬ ٍ َ‫ك بْ َن أَن‬ َ ‫ت َمال‬ ُ ‫َحدَّثَنَا ََْي ََي بْ ُن َحكي ٍم َحدَّثَنَا بِ ْش ُر بْ ُن عُ َمَر ََس ْع‬
‫َخبَ َرهُ َع ْن ِر َج ٍال ِم ْن ُكبَ َر ِاء‬ ْ ‫الر ْْحَ ِن بْ ِن َس ْه ٍل َع ْن َس ْه ِل بْ ِن أَِِب َحثْ َمةَ أَنَّوُ أ‬ َّ ‫َعْب ِد اللَّ ِو بْ ِن َعْب ِد‬
‫ُخِ َْب‬ ٍ ِ ِ َّ ‫قَ ْوِم ِو أ‬
ْ ‫صةُ فَأ‬ َ ِّ‫َصابَ ُه ْم فَأُِِتَ ُُمَي‬َ ‫صةَ َخَر َجا إِ ََل َخْيبَ َر م ْن َج ْهد أ‬ َ ِّ‫َن َعْب َد اللَّو بْ َن َس ْه ٍل َوُُمَي‬
‫ال أَنْتُ ْم َواللَّ ِو‬ ِ ٍ ‫َن عب َد اللَّ ِو بن سه ٍل قَ ْد قُتِل وأُلْ ِقي ِِف فَ ِق ٍْي أَو ع‬
َ ‫ود فَ َق‬ َ ‫ني ِبَْيبَ َر فَأَتَى يَ ُه‬ َْ ْ َ ََ َْ َْ َْ َّ ‫أ‬
ِ ِ
‫ك ََلُ ْم ُُثَّ أَقْ بَ َل ُى َو‬ َ ‫قَتَ ْلتُ ُموهُ قَالُوا َواللَّ ِو َما قَتَ ْلنَاهُ ُُثَّ أَقْ بَ َل َح ََّّت قَد َم َعلَى قَ ْوِم ِو فَ َذ َكَر َذل‬
‫صةُ يَتَ َكلَّ ُم َوُى َو الَّ ِذي َكا َن‬ َ ِّ‫ب ُُمَي‬ َّ ‫صةُ َوُى َو أَ ْكبَ ُر ِمْنوُ َو َعْب ُد‬
َ ‫الر ْْحَ ِن بْ ُن َس ْه ٍل فَ َذ َى‬ َ ِّ‫َخوهُ ُح َوي‬ ُ ‫َوأ‬
ِ ِ ِ ُ ‫ال رس‬ ِ
ُ‫صة‬ َ ِّ‫الس َّن فَتَ َكلَّ َم ُح َوي‬ِّ ‫يد‬ َ ِّ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم ل ُم َحي‬
ُ ‫صةَ َكبِّ ْر َكبِّ ْر يُِر‬ َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ َ ‫ِبَْيبَ َر فَ َق‬
‫احبَ ُك ْم َوإَِّما أَ ْن‬ ِ ‫ول اللَّ ِو صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم إَِّما أَ ْن ي ُدوا ص‬
َ َ َ ََ َْ ُ َ ُ ‫ال َر ُس‬َ ‫صةُ فَ َق‬َ ِّ‫ُُثَّ تَ َكلَّ َم ُُمَي‬
‫ك فَ َكتَبُوا إِنَّا َواللَّ ِو َما‬ ِ
َ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم إِلَْي ِه ْم ِِف ذَل‬ ِ ُ ‫ب فَ َكتَب رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ َُ َ
ٍ ‫ي ْؤذَنُوا ِِبَر‬
ْ ُ
‫الر ْْحَ ِن ََْتلِ ُفو َن‬َّ ‫صةَ َو َعْب ِد‬ َ ِّ‫صةَ َوُُمَي‬
ِ ِ
َ ِّ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم ِلَُوي‬
ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ َ ‫قَتَ ْلنَاهُ فَ َق‬
ِِ ِ ِ َ َ‫احبِ ُك ْم قَالُوا َل ق‬ ِ ‫وتَستَ ِحقُّو َن دم ص‬
ُ‫ني فَ َوَداه‬ َ ‫ود قَالُوا لَْي ُسوا ِبُ ْسلم‬ ُ ‫ف لَ ُك ْم يَ ُه‬ ُ ‫ال فَتَ ْحل‬ َ ََ ْ َ
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ِ ُ ‫ث إِلَي ِهم رس‬ ِِ ِ ِ ِ ِ ُ ‫رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ ْ ْ َ ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم م ْن عْنده فَبَ َع‬ َ ‫ول اللَّو‬ َُ
ِ ِ ْ َ‫ِمائَةَ نَاقٍَة َح ََّّت أ ُْد ِخل‬
ُ‫ضْت ِِن مْن َها نَاقَةٌ ْحََْراء‬ َ ‫ال َس ْه ٌل فَلَ َق ْد َرَك‬ َ ‫َّار فَ َق‬
َ ‫ت َعلَْيه ْم الد‬
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hakīm, telah
menceritakan kepada kami Bisyr bin Umar, aku mendengar Mālik bin
Anas, telah menceritakan kepadaku Abu Laila bin Abdullah bin
Abdurrahmān bin Sahal dari Sahl bin Abu Hatsmah, dari para pembesar
kaum mereka, „Sesungguhnya Abdullah bin Sahl dan Muhayyisah,
keduanya keluar dari kediamannya menuju kawasan Khaibar karena
kesulitan yang menimpa mereka. Lalu Muhayyisah didatangi dan
diberitahu bahwa Abdullah bin Sahl telah terbunuh dan dilemparkan di
sebuah sumur yang biasa disebut Faqir atau Ain di kawasan Khaibar.
Orang-orang Yahudi datang lalu Muhayyisah berkata kepada mereka,
„Sungguh kalian telah membunuhnya! Demi Allah! Kalian telah
membunuhnya.‟ Mereka menjawab, „Demi Allah! kami tidak
membunuhnya.‟ Lalu ia kembali dan datang menemui kaumnya. Ia
mengemukakan hal yang terjadi kepada mereka. Kemudian Muhayyisah
dan saudara laki-lakinya Huwayisah yang lebih besar darinya serta
Abdurrahmān bin Sahl berangkat kembali. Muhayisah pergi lalu berbicara,
sebab dialah yang ada di kawasan Khaibar, namun Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam berkata kepada Muhayisah, „Yang besar, yang besar.‟
Maksudkan yang paling dewasa usianya. Maka Huwayishah berbicara
kemudian diikuti oleh Muhayisah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
berkata: „Mereka akan membayar diyat pada teman kalian atau mereka

104
memberi isyarat untuk berperang.‟ Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam menulis surat dalam hal ini. kemudian mereka membalas dengan
pernyataan: „Sungguh Demi Allah! Kami tidak membunuhnya.‟ lalu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Huwayisah,
Muhayisah dan Abdurrahmān: „Apakah kalian bersedia bersumpah dengan
benar hingga kalian mendapat hak darah saudara kalian?‟ Mereka
menjawab, „Tidak.‟ Rasulullah bersabda: „Jika demikian berarti orang-
orang Yahudi yang akan bersumpah pada kalian.‟ Mereka menjawab;
„Mereka bukan kaum Muslimin.‟ Rasulullah pun membayar diyat dari
pribadinya. Rasulullah mengirimkan seratus ekor unta kepada mereka
sampai dimasukan ke dalam rumah. Sahl berkata: Sungguh seekor unta
merah darinya telah menyepakku.”

105
‫‪Lampiran 8‬‬

‫النيب‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ‪َ :‬كبِّ ْر الْ ُكْب َر‬ ‫ال لَهُ النِ ُّ‬
‫َّيب َ‬ ‫فَ َق َ‬

‫سهل بن أيب حثمة‬ ‫رافع بن خديج‬

‫أبو ليلى بن عبد اهلل‬ ‫بشري بن يسار‬

‫مالك بن أنس‬ ‫حيىي بن سعيد‬

‫بشر بن عمر‬ ‫املفضل‬


‫بشر هو ابن ّ‬ ‫محّاد بن زيد‬ ‫الليث بن سعد‬

‫حيىي بن حكيم‬ ‫مسدد‬ ‫سليمان بن حرب‬ ‫عبيد اهلل بن عمر‬ ‫حممد بن عبيد املعىن‬ ‫قتيبة بن سعيد‬

‫ابن ماجه‬ ‫البخاري‬ ‫أبو داود‬ ‫مسلم‬ ‫الرتمذي‬ ‫النسائ‬

‫‪106‬‬
Keterangan Nama-Nama Perawi:
 Riwayat al-Bukhāri 1
1. Yahya : Yahya bin Sa’īd bin Qais al-Ansāri
2. Musaddad : Musaddad bin Musarhad
 Riwayat Muslim
1. Laits : Laits bin Sa’ad
 Riwayat al-Tirmidzi
1. Qutaibah : Qutaibah bi Sa’īd al-Balkhi

107
Lampiran 9

Keterangan hadis tentang larangan melontarkan perkataan yang keji dan

kotor adalah sebagai berikut:

a. Sahīh al-Bukhāri, kitab manāqib, bab ke-23, halaman 484.

‫وق َع ْن َعْب ِد اللَّ ِه بْ ِن َع ْم ٍرو‬


ٍ ‫ش عن أَِِب وائِ ٍل عن مسر‬
ُ ْ َ ْ َ َ ْ َ ِ ‫َحدَّثَنَا َعْب َدا ُن َع ْن أَِِب َحََْزةَ َع ْن ْاْل َْع َم‬
ِ َ‫ ََل ي ُكن النَِِّب صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم ف‬: ‫ال‬ ِ
‫اح ًشا َوََل ُمتَ َف ِّح ًشا َوَكا َن‬ َ ََ َْ ُ َ ُّ ْ َ ْ َ َ‫َرض َي اللَّهُ َعْن ُه َما ق‬
ِ ِ ُ ‫ي ُق‬
‫َخ ََلقًا‬ ْ ‫ول إِ َّن م ْن خيَا ِرُك ْم أ‬
ْ ‫َح َسنَ ُك ْم أ‬ َ
“Telah bercerita kepada kami Abdān dari Abu Hamzah dari al-
A'masy dari Abu Wā'il dari Masrūq dari 'Abdullah bin Amru radhiallahu
'anhu berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah sekalipun
berbicara kotor (keji) dan juga tidak pernah berbuat keji dan beliau
bersabda: Sesungguhnya di antara orang yang terbaik dari kalian adalah
orang yang paling baik akhlaqnya.”

b. Sahīh al-Bukhāri, kitab adab, bab ke-38, halaman 842.

‫َخبَ َرنَا أَبُو ََْي ََي ُه َو فُلَْي ُح بْ ُن ُسلَْي َما َن َع ْن ِه ََل ِل بْ ِن‬ ْ‫بأ‬ ٍ ‫َخبَ رِِن ابْن وْه‬
َ ُ َ ْ ‫ال أ‬ َ َ‫َصبَ ُغ ق‬
ْ ‫َحدَّثَنَا أ‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َسبَّابًا َوََل‬ ٍ ِ‫س ب ِن مال‬
َ َ‫ك َر ِض َي اللَّهُ َعْنهُ ق‬
ُّ ِ‫ال ََلْ يَ ُك ْن الن‬
َ ‫َِّب‬ َ ْ ِ َ‫ُس َام َة َع ْن أَن‬ َ‫أ‬
ِِ ِ ِ ‫ول ِْل‬
ُ‫ب َجبِينُه‬َ ‫َحدنَا عْن َد الْ َم ْعتبَة َما لَهُ تَ ِر‬
َ ُ ‫اشا َوََل لَعَّانًا َكا َن يَ ُق‬
ً ‫فَ َّح‬
“Telah menceritakan kepada kami Asbagh dia berkata: telah
mengabarkan kepadaku Ibnu Wahb telah mengabarkan kepada kami Abu
Yahya yaitu Fulaih bin Sulaimān dari Hilāl bin Usāmah dari Anas bin
Mālik radliallahu 'anhu dia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
adalah sosok yang tidak pernah mencela, berkata keji dan melaknat,
apabila beliau mencela salah satu dari kami, maka beliau akan berkata:
Mengapa dahinya berdebu (dengan sindiran).”

c. Sahīh al-Bukhāri, kitab fadāil ashāb al-Nabi, bab ke-27, halaman 511.

‫ت َم ْس ُروقًا‬ ِ َ َ‫ال ََِسعت أَبا وائِ ٍل ق‬


ُ ‫ال ََس ْع‬ َ َ ُ ْ َ َ‫ص بْ ُن ُع َمَر َحدَّثَنَا ُش ْعبَةُ َع ْن ُسلَْي َما َن ق‬ ُ ‫َحدَّثَنَا َح ْف‬
‫اح ًشا َوََل‬ ِ َ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم ََل ي ُكن ف‬ َ ‫ال َعْب ُد اللَّ ِه بْ ُن َع ْم ٍرو إِ َّن َر ُس‬
َ َ‫ال ق‬َ َ‫ق‬
ْ َ ْ َ ََ َْ ُ َ
ََّ ِ‫َحبِّ ُك ْم إ‬ ِ ِ َ َ‫متَ َف ِّح ًشا وق‬
‫َخ ََلقًا‬
ْ ‫َح َسنَ ُك ْم أ‬
ْ ‫َل أ‬ َ ‫ال إ َّن م ْن أ‬ َ ُ
“Telah bercerita kepada kami Hafs bin Umar telah bercerita kepada
kami Sy‟bah dari Sulaimān berkata, aku mendengar Abu Wā'il berkata,
aku mendengar Masrūq berkata: Abdullah bin Amr berkata: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bukanlah orang yang suka berbicara kotor
(keji) juga tidak pernah berbuat keji dan beliau bersabda: Sesungguhnya

108
orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah orang yang paling baik
akhlaqnya. Dan beliau juga bersabda: Ambillah bacaan Al Qur'an dari
empat orang. Yaitu dari 'Abdullah bin Mas'ud, kemudian Salim, maula
Abu Hudzaifah, lalu Ubay bin Ka'ab dan Mu'adz bin Jabal.”

d. Sahīh Muslim, kitab faḏāil, hadis nomor 68, jilid IV, halaman 1810.

‫ش َع ْن َش ِق ٍيق َع ْن‬ ٍ ‫حدَّثَنَا ُزَهْي ر بْن حر‬


ِ ‫ب َوعُثْ َما ُن بْ ُن أَِِب َشْيبَةَ قَ َاَل َحدَّثَنَا َج ِر ٌير َع ْن ْاْل َْع َم‬ َْ ُ ُ َ
َ ‫ني قَ ِد َم ُم َعا ِويَةُ إِ ََل الْ ُكوفَِة فَ َذ َكَر َر ُس‬
‫ول اللَّ ِه‬ ِ ِ ِ
َ ‫ال َد َخ ْلنَا َعلَى َعْبد اللَّه بْ ِن َع ْم ٍرو ح‬َ َ‫وق ق‬ٍ ‫مسر‬
ُْ َ
ِ ُ ‫ال رس‬ ِ َ‫ال ََل ي ُكن ف‬ ِ
ُ‫صلَّى اللَّه‬ َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫اح ًشا َوََل ُمتَ َف ِّح ًشا َوق‬ ْ َ ْ َ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم فَ َق‬ َ
‫ني قَ ِد َم َم َع ُم َعا ِويَةَ إِ ََل الْ ُكوفَِة‬ ِ
َ ‫ال عُثْ َما ُن ح‬ َ َ‫ق‬. ‫َخ ََلقًا‬ ِ ‫علَي ِه وسلَّم إِ َّن ِمن ِخيا ِرُكم أ‬
ْ ‫َحاسنَ ُك ْم أ‬َ ْ َ ْ َ ََ َْ
“Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Utsmān bin
Abu Syaibah keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Jarīr dari
al-A'masy dari Syaqīq dari Masrūq dia berkata: Kami menemui Abdullah
bin Amru ketika Mu‟āwiyah datang ke Kūfah, kemudian dia ingat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata: Beliau tidak pernah
berbuat kejelekan dan tidak menyuruh untuk berbuat kejelekan. Lalu
Abdullah bin Amru berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: „Sesungguhnya orang-orang pilihan di antara kamu ialah yang
paling indah budi pekertinya.‟ Utsmān berkata: Ketika dia datang bersama
Mu‟āwiyah ke Kūfah.”

e. Sunan Al-Tirmidzī, kitab birr, bab 47, halaman 330.

‫ت أَبَا َوائِ ٍل‬ ِ


ُ ‫ش قَال ََس ْع‬ ِ ‫ال أَنْبَأَنَا ُش ْعبَةُ َع ْن ْاْل َْع َم‬
َ َ‫ود بْ ُن َغْي ََل َن َحدَّثَنَا أَبُو َد ُاوَد ق‬
ُ ‫َحدَّثَنَا ََْم ُم‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫وق َع ْن َعْب ِد اللَّ ِه بْ ِن َع ْم ٍرو ق‬ ٍ ‫ِّث عن مسر‬
ُ ْ َ ْ َ ُ ‫َُيَد‬
ِ َ‫اسنُ ُكم أَخ ََلقًا وََل ي ُكن النَِِّب صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم ف‬
‫اح ًشا َوََل ُمتَ َف ِّح ًشا‬ ِ ‫ِخيارُكم أَح‬
َ ََ َْ ُ َ ُّ ْ َ ْ َ ْ ْ َ ْ َُ
“Telah menceritakan kepada kami Mahmūd bin Ghailān, telah
meriwayatkan kepada kami Abu Dāud ia berkata: Telah memberitakan
kepada kami Syu'bah dari al-A'masy ia berkata: Aku mendengar Abu
Wā`il menceritakan dari Masrūq dari Abdullah bin Amr ia berkata:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sebaik-baik orang di
antara kalian adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara kalian.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bukanlah seorang yang buruk
perangainya. Abu Isa berkata; Ini adalah hadits hasan shahih.”

109
‫‪Lampiran 10‬‬

‫صفة النيب‬

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ََلْ يَ ُك ْن‬ ‫إِ َّن رس َ ِ‬


‫ول اللَّه َ‬ ‫َُ‬
‫أنس بن مالك‬ ‫عبد اهلل بن عمرو‬ ‫اح ًشا وََل مت َف ِّح ًشا وقَ َ ِ ِ‬
‫فَ ِ‬
‫َحبِّ ُك ْم إِ ََّ‬
‫َل‬ ‫ال إ َّن م ْن أ َ‬ ‫َ‬ ‫َ َُ‬

‫َخ َالقًا‬
‫َح َسنَ ُك ْم أ ْ‬
‫أْ‬
‫هالل بن أسامة‬ ‫مسروق‬

‫أبو حيىي‬ ‫أبو وائل‬

‫إبن وهب‬ ‫األعماش‬

‫أصبغ‬ ‫أبو محزة‬ ‫شعبة‬ ‫جرير بن احلازم‬

‫عبدان بن عثمان‬ ‫حفض بن عمر‬ ‫أبو داود‬ ‫عثمان بن أيب شيبة‬ ‫زهري بن حرب‬

‫البخاري‬ ‫حممود بن غيالن‬ ‫مسلم‬

‫الرتمذي‬

‫‪110‬‬
Keterangan Nama-Nama Perawi:
 Riwayat al-Bukhāri 1
1. Masrūq : Masrūq bin al-Ajda’
2. Abu Wā`il : Syaqīq bin Salamah
3. Al-A’masy : Sulaiman al-A’masy
4. Abu Hamzah : Muhammad bin Maimūn al-Marwazi
5. ‘Abdān : ‘Abdān bin Utsmān
 Riwayat al-Bukhāri 2
1. Ibn Wahb : Abdullah bin Wahb bin Muslim al-Qurasyi
2. Asbagh : Asbagh bin al-Faraj
 Riwayat al-Bukhāri 3
1. Sulaimān : Sulaimān al-A’masy
2. Syu’bah : Syu’bah bin al-Hajjāj
 Riwayat Muslim
1. Jarīr : Jarīr bin Hāzim
 Riwayat al-Tirmidzi
1. Abu Dāud : Sulaimān bin Dāud al-Jārūd

111
Lampiran 11

Keterangan hadis tentang larangan berdebat sekalipun dalam posisi yang

benar adalah sebagai berikut:

a. Sunan Al-Tirmidzī, kitab birr, bab 85, halaman 530.


ٍ ‫ي حدَّثَنَا ابن أَِِب فُ َدي‬ ٍ
‫ال َح َّدثَِِن َسلَ َمةُ بْ ُن َوْرَدا َن‬َ َ‫ك ق‬ ْ ُْ َ ُّ ‫ص ِر‬ْ َ‫َحدَّثَنَا عُ ْقبَةُ بْ ُن ُم َكِّرم الْ َع ِّم ُّي الْب‬
ِ ِ ِ ُ ‫ال رس‬ ٍ ِ‫س ب ِن مال‬ ِ
‫ب َوُه َو‬ َ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َم ْن تَ َرَك الْ َكذ‬َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫ك ق‬ َ ْ ِ َ‫اللَّْيث ُّي َع ْن أَن‬
ِ ِ ِ ِ ِْ ‫ض‬ ِ‫ب‬
ُ‫ِن لَهُ ِِف َو َسط َها َوَم ْن َح َّس َن ُخلُ َقه‬ َ ُ‫اْلَنَّة َوَم ْن تَ َرَك الْمَراءَ َوُه َو ُم ٌّق ب‬
ِ َ‫اط ٌل بُِِن لَهُ ِِف َرب‬
َ َ
‫ِن لَهُ ِِف أ َْع ََل َها‬
ِ
َ ُ‫ب‬
“Telah menceritakan kepada kami Uqbah bin Mukarram al-
Ammiyyu al-Basri, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik ia
berkata, telah menceritakan kepadaku Salamah bin Wardān al-Laitsi dari
Anas bin Mālik ia berkata: Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam
bersabda: Barangsiapa yang meninggalkan berbohong (dan berbohong
pada waktu itu sesuatu yang tidak dibenarkan) maka akan dibangunkan
untuknya rumah di sekitar surga, barangsiapa yang meninggalkan
perdebatan (sedang dia orang yang berhak untuk berdebat) maka akan
dibangunkan untuknya rumah di tengah surga, dan barangsiapa yang
memperbagus akhlaknya maka akan dibangunkan rumah untuknya di
bagian yang paling atas.”

b. Sunan Ibnu Mājah, kitab muqaddimah, bab 7, halaman 23.

‫ك َع ْن‬ ٍ ‫الر ْْحَ ِن بن إِب ر ِاهيم الدِّم ْش ِق ُّي وهارو ُن بن إِسحق قَ َاَل حدَّثَنَا ابن أَِِب فُ َدي‬
ْ ُْ َ َ َ ْ ُ ْ ُ ََ َ َ َ ْ ُ ْ َّ ‫َحدَّثَنَا َعْب ُد‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن تَ َرَك‬ ِ ُ ‫ال رس‬ ٍ ِ‫س ب ِن مال‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫ك ق‬ َ ْ ِ َ‫َسلَ َمةَ بْ ِن َوْرَدا َن َع ْن أَن‬
‫ِن لَهُ ِِف َو َس ِط َها‬ ِ ِ ِ ِْ ‫ض‬ ِ َ‫صٌر ِِف َرب‬ ِ ِ ِ
َ ُ‫اْلَنَّة َوَم ْن تَ َرَك الْمَراءَ َوُه َو ُم ٌّق ب‬ ْ َ‫ِن لَهُ ق‬ َ ُ‫ب َوُه َو بَاط ٌل ب‬ َ ‫الْ َكذ‬
‫ِن لَهُ ِِف أ َْع ََل َها‬ِ
َ ُ‫َوَم ْن َح َّس َن ُخلَُقةُ ب‬
“Telah menceritakan kepada kami Abdurrahmān bin Ibrāhīm al-
Dimasyqi dan Hārūn bin Ishāq, keduanya berkata; telah menceritakan
kepada kami Ibnu Abu Fudaik dari Salamah bin Wardān dari Anas bin
Mālik ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Barangsiapa meninggalkan dusta, sementara dia bathil, maka akan
dibangunkan baginya istana di tepian surga. Barangsiapa meninggalkan
debat meskipun ia benar, maka akan dibangunkan baginya istana di tengah
surga. Barangsiapa memperbaiki akhlaknya maka baginya akan
dibangunkan istana di surga yang paling tinggi.”

112
‫‪Lampiran 12‬‬

‫ض ا ْْلَن َِّة َوَم ْن‬


‫صر ِِف َربَ ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫النيب‬
‫ِن لَهُ قَ ْ‬
‫ب َوُه َو بَاطل بُ َ‬
‫َم ْن تََرَك الْ َكذ َ‬
‫ِ ِ‬
‫ِن لَهُ ِِف َو َس ِط َها َوَم ْن َح َّس َن ُخلُ َقةُ‬ ‫ِ‬
‫تَ َرَك الْمَراءَ َوُه َو ُُم ٌّق بُ َ‬
‫أنس بن مالك‬
‫ِن لَهُ ِِف أ َْع ََل َها‬
‫ِ‬
‫بُ َ‬

‫سلمة بن وردان الليثى‬

‫أبن أيب فديك‬

‫مكرم‬
‫عقبة بن ِّ‬ ‫هارون بن إسحاق املهداين‬ ‫عبد الرمحن بن إبراهيم‬

‫الرتمذي‬ ‫ابن ماجه‬

‫‪Keterangan Nama Perawi:‬‬


‫‪1. Ibnu Abi Fudaik : Muhammad bin Ismā’īl bin Abi Fudaik‬‬

‫‪113‬‬
Lampiran 13

Keterangan hadis tentang larangan mengumpat atau ghībah adalah sebagai


berikut:
a. Sunan Abu Dāud, kitab adab, bab 35, halaman 529.

‫اش َع ْن‬ ٍ َّ‫َس َو ُد بْ ُن َع ِام ٍر َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن َعي‬ ْ ‫َحدَّثَنَا عُثْ َما ُن بْ ُن أَِِب َشْيبَةَ َحدَّثَنَا ْاْل‬
‫ول اللَّ ِه‬ َ َ‫َسلَ ِم ِّي ق‬ ِ ِ ِِ
ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ال ق‬ ْ ‫ش َع ْن َسعيد بْ ِن َعْبد اللَّه بْ ِن ُجَريْ ٍج َع ْن أَِِب بَ ْرَزَة ْاْل‬ ِ ‫ْاْل َْع َم‬
‫ني‬ ِِ ِْ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّم يَا َم ْع َشر َم ْن َآم َن بِلِسانِِه َوََلْ يَ ْد ُخل‬
َ ‫اْلميَا ُن قَ ْلبَهُ ََل تَ ْغتَابُوا الْ ُم ْسلم‬ ْ َ َ َ َ
ِِ ِِ
ِِ ُ‫َ ْْه‬ َ َْ‫َوََل تَتَّبِعُوا َع ْوَراِت ْم فَِإنَّهُ َم ْن اتَّبَ َع َع ْوَراِت ْم يَتَّبِ ُع اللَّهُ َع ْوَرتَهُ َوَم ْن يَتَّبِ ْع اللَّهُ َع ْوَرتَهُ ي‬
‫بَْيتِ ِه‬
“Telah menceritakan kepada kami Utsmān bin Abu Syaibah
berkata, telah menceritakan kepada kami al-Aswād bin Amir berkata, telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ayyāsy dari al-A'masy dari
Sa’īd bin Abdullah bin Juraij dari Abu Barzah Al Aslami ia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Wahai orang-orang
yang beriman dengan lisannya namun keimanannya belum masuk ke
dalam hatinya, janganlah kalian mengumpat seorang muslim dan jangan
pula mencari-cari kesalahannya. Sebab siapa saja yang mencari-cari
kesalahan mereka, maka Allah akan mencari-cari kesalahannya. Maka
siapa saja yang Allah telah mencari-cari kesalahannya, Allah tetap akan
menampakkan kesalahannya meskipun ia ada di dalam rumahnya.”

114
‫‪Lampiran 14‬‬

‫النيب‬
‫يَا َم ْع َشر َم ْن َآم َن بِلِسانِِه َوََلْ يَ ْد ُخ ْل ِْ‬
‫اْلميَا ُن قَلْبَهُ ََل تَغْتَابُوا‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ِِ‬ ‫ِِ‬ ‫ِِ‬
‫ني َوََل تَتَّبِ ُعوا َع ْوَراِت ْم فَإِنَّهُ َم ْن اتَّبَ َع َع ْوَراِت ْم يَتَّبِ ُع اللَّهُ‬
‫الْ ُم ْسلم َ‬ ‫أبو برزة األسلمي‬

‫ض ْحهُ ِِف بَْيتِ ِه‬


‫َع ْوَرتَهُ َوَم ْن يَتَّبِ ْع اللَّهُ َع ْوَرتَهُ يَ ْف َ‬
‫سعيد بن عبد اهلل بن جريج‬

‫األعمش‬

‫أبو بكر بن عياش‬

‫أسواد بن عامر‬

‫عثمان بن أيب شيبة‬

‫أبو داود‬
‫‪Keterangan Nama Perawi:‬‬
‫‪1. Abu Barzah al-Aslami : Naḏlah bin Ubaid‬‬
‫‪2. Al-A’masy : Sulaimān al-A’masy‬‬

‫‪115‬‬

Anda mungkin juga menyukai