Anda di halaman 1dari 92

TINJAUAN TRIAL BY THE PRESS DALAM HAK

ASASI MANUSIA DAN HUKUM ISLAM

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)

Oleh :

ABDULLAH MAHFUD
NIM: 1112043100010

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH


PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2019M

i
ABSTRAK

Abdulah Mahfud NIM: 1112043100010. Tinjauan Trial By The Press dalam


Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam. Program Studi Perbandingan
Mazhab, Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih Fakultas Syariah dan
Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.
Skripsi ini ditulis untuk menggambarkan persoalan yang kerap terjadi pada dunia
jurnalistik dalam melakukan pemberitaan yaitu trial by the press. Dalam prinsip
jurnalistik ada beberapa hal yang menjadi perhatian penulis dalam penelitian ini
yaitu kebebasan menyampaikan pendapat dan penyesuaian berita yang berdasarkan
fakta. Media massa sering terjebak pada definisi kebebasan yang keliru sehingga
media massa masuk pada tindakan trial by the press yaitu sebuah pemberitaan
yang dilakukan oleh media massa yang mendahului putusan pengadilan dalam
perkara pidana.
Dari hasil penelitian ini penulis telah mengupas salah satu tindakan trial by the
press dalam perkara yang dijalani oleh Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang
kemudian diberitakan oleh media ObsessionNews.Com dan Merdeka.Com, namun
kedua media ini dalam pandangan penulis telah melakukan trial by the press.
Tindakan trial by the press ini tidak hanya melakukan pelanggaran Hak Asasi
Manusia namun telah melanggar norma agama yaitu perbuatan fitnah. Hukum
pidana di Indonesia menganut asas praduga tak bersalah dimana asas ini
melindungi terdakwa terhadap justifikasi bersalah atau tidak bersalah sebelum
adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan cara melakukan
penelitian pustaka dan analisis media yang ada. Penelitian ini melibatkan beberapa
Peraturan Perundang-Undangan, Hukum Pidana Indonesia, Hukum Islam yang
berkaitan dengan Pers, serta buku-buku dan literatur serta jurnal yang terdapat
hubungannya dengan persoalan Tinjauan Trial By The Press dalam Hak Asasi
Manusia dan Hukum Islam. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan cara dokumentasi dengan mencatat dokumen- dokumen atau catatan-
catatan serta referensi lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

Kata Kunci : Pers, Media Massa, Trial By The Press, HAM, Hukum
Islam
Pembimbing I : Fahmi Muhammad Ahmadi,. M.Si
Pembimbing II : Atep Abdurofiq, M.Si.
Daftar Pustaka : 1973 s.d 2015

v
PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf
Huruf Latin Keterangan
Arab

‫ا‬ Tidak dilambangkan

‫ب‬ b be

‫خ‬ t te

‫ث‬ ts te dan es

‫ج‬ j Je

‫ح‬ h ha dengan garis bawah

‫خ‬ kh ka dan ha

‫د‬ d de

‫ذ‬ dz de dan zet

‫ر‬ r Er

‫س‬ z zet

‫س‬ s es

x
‫ش‬ sy es dan ye

‫ص‬ s es dengan garis bawah

‫ض‬ d de dengan garis bawah

‫ط‬ t te dengan garis bawah

‫ظ‬ z zet dengan garis bawah

‫ع‬ koma terbalik di atas hadap


kanan
‫غ‬ gh ge dan ha

‫ف‬ f ef

‫ق‬ q Qo

‫ك‬ k ka

‫ل‬ l el

‫م‬ m em

‫ن‬ n en

‫و‬ w we

‫ه‬ h ha

‫ء‬ apostrop

‫ي‬ y ya

xi
b. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan

Arab Latin
‫ـــــَـــــ‬ a fathah
‫ـــــِـــــ‬ i kasrah
‫ـــــُـــــ‬ u dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:

Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan

Arab Latin
‫ي ـــــَـــــ‬
َ ai a dan i

‫ـــــَـــــ و‬ au a dan u

c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan

Arab Latin
‫اـَــــ‬ â a dengan topi diatas
‫ىـِــــ‬ î i dengan topi atas
‫وــُـــ‬ û u dengan topi diatas

xii
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan
lam )‫)ال‬, dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya: ‫ = اإلجثهاد‬al-ijtihâd

‫ =الزخصح‬al-rukhsah, bukan ar-rukhsah


e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: ‫ = الشفعح‬al-syuî ‘ah, tidak
ditulis asy-syuf ‘ah

f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t”
(te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 ‫شزٌعح‬ syarî ‘ah

2 ‫الشزٌعح اإلسالمٍح‬ al- syarî ‘ah al-islâmiyyah

3 ‫مقارنح المذاهة‬ Muqâranat al-madzâhib

g. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika

xiii
nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf
kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.
Misalnya, ‫ =الثخاري‬al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini,
misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan
dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara
sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal
dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-
Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata


Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara
terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada
ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara


‫الضزورج تثٍح المحظىراخ‬ al-darûrah tubîhu
1
almahzûrât
2 ً‫اإلقتصاد اإلسالم‬ al-iqtisâd al-islâmî
3 ‫أصىل الفقه‬ usûl al-fiqh

4 ‫األشٍاء اإلتاحح األصل فى‬ al-‘asl fi al-asyyâ’ alibâhah

5 ‫المصلحح المزسلح‬ al-maslahah al-mursalah

xiv
KATA PENGANTAR

Puji dan rasa syukur mendalam peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
berkat limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik. Salam dan salawat semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah
Muhammad SAW.
Selanjutnya, peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih secara khusus yang
tak terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH., M.H., M.A. Selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, selaku Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hidayatullah, SHI, MH., selaku Sekretaris Program
Studi Perbandingan Mazhab;
3. Ibu Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag. Selaku Dosen Penasehat Akademik Peneliti;
4. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, dan Atep Abdurofiq, M.Si. selaku
dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, saran dan ilmunya
hingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan mengajarkan Ilmu dan
akhlaq yang tidak ternilai harganya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan studi
dengan baik;
6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Kudus H. Ma’mun dan Ibunda Hj. Kokom
Komariah, yang tak pernah berhenti mendoakan penulis, memperhatikan dan
mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis takkan pernah bisa
membalas jasa dan pengorbanan kedua orang tua, namun perjuangan ini penulis
persembahkan khusus kepada kedua orang tua penulis;
7. Kakak-kakak tercinta, Novita Safarinah beserta suami, Renny Latifah beserta
suami dan Siti Sarah beserta suami, yang tak henti memberikan dukungan
kepada adiknya ini dan juga penulis ucapkan terima kasih kepada adik penulis

vi
Yogi Sofiyullah yang selalu mendoakan dan mendukung kakakmu ini, semoga
kakakmu ini menjadi pribadi yang sukses.
8. Terima kasih kepada Keluarga Komunitas Mahasiswa Fotografi KALACITRA
yang telah banyak memberikan ilmu baru khususnya ilmu fotografi dan
pembangunan karakter kepada saya yang belum tentu saya dapatkan di bangku
perkuliahan. KALACITRA! KALA WAKTU BERJALAN KALACITRA
MEREKAM
9. Teman seperjuangan Ahmad Faby Kriyan Ardani, Reza Fazriansyah, Tian
Nurmawan, dan Muhammad Baihaqi yang tergabung dalam Komunitas Samsul
Fanbase dimana dalam komunitas ini penulis dapat banyak mendapatkan arti
persahabatan walaupun akhirnya kalian telah lulus terlebih dulu tapi kalian tetap
ada menemani sampai akhirnya penulis lulus.
10. Sahabat juga junior penulis dari Prodi PMH yang telah banyak membantu dalam
hal apapun selama di ciputat, ananda Enoy, Akang, Murtadhi , Kije, Ari, Fahmi,
Deni, Salam hormat penulis dan ucapan terimakasih sebanyak-banyak nya yang
telah banyak memberikan informasi akademik kepada penulis. Kami juga
tergabung dalam grup Jl. Ir. Juanda No. 95
11. Dan kepada semua pihak yang terkait dengan skripsi ini yang tidak bisa peneliti
sebutkan satu persatu.
12. Terimakasih juga kepada pihak yang tak disebutkan penulis, namun tak
mengurangi rasa terimakasih da
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala m n hormat penulis
kepada kalian semua. memberikan balasan atas bantuan yang telah diberikan kepada
peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan juga, semoga apa yang telah
kalian berikan menjadi berkah dan amal kebajikan serta bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin.
Jakarta, 21 April 2019

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i


PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................ 7
C. Batasan Masalah ....................................................................... 7
D. Rumusan Masalah .................................................................... 8
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 8
F. Tinjauan Kajian Terdahulu ....................................................... 8
G. Metode Penelitian ................................................................... 10
H. Sistematika Penulisan ............................................................. 13
BAB II HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM ISLAM ....................... 15
A. Hak Asasi Manusia dan Pers .................................................. 15
B. Hukum Islam dan Pers ............................................................ 27
BAB III TRIAL BY THE PRESS DAN ASAS PRADUGA TAK
BERSALAH .................................................................................. 40

A. Trial By The Press ................................................................... 40


B. Asas Praduga Tak Bersalah .................................................... 46

viii
BAB IV ANALISIS TRIAL BY THE PRESS DALAM HAK
ASASI MANUSIA DAN HUKUM ISLAM ................................. 58

A. Analisis Trial By The Press Dalam Hak Asasi


Manusia .................................................................................. 58
B. Analisis Trial By The Press Dalam Hukum Islam .................. 66

BAB V PENUTUP ..................................................................................... 72


A. Kesimpulan ............................................................................. 72
B. Saran ........................................................................................ 73
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 74

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tidak bisa dipungkiri, rasa untuk ingin tahu membuat manusia berusaha
mencari dan terus mencari beragam informasi yang ada di sekitarnya. Rasa untuk
ingin tahu ini juga akan semakin besar jika ia melihat benda atau mendengar sebuah
berita yang menurutnya masih asing, maka ia akan mencari tahu lebih lanjut tentang
berita tersebut, sehingga mereka menemukan informasi yang mereka butuhkan.1
Dibantu dengan segala macam perkembangan teknologi informasi pada era modern
dan memudahkan masyarakat dalam hal memperoleh berbagai macam informasi. Hal
ini ditunjukkan dengan mudahnya kita untuk memperoleh dan menggali informasi
melalui berbagai sarana media yang tersedia, yaitu media cetak, media elektronik,
dan juga media internet yang bisa diakses dengan mudah setiap hari.
Dalam era globalisasi arus informasi yang sedemikian cepatnya, masyarakat
sebagai objek penerima informasi sudah sepatutnya dilindungi dari efek negatif
derasnya arus informasi ini. Pemerintah menjadi pihak yang paling bertanggung
jawab untuk menciptakan sebuah wadah demi tercapainya informasi yang efektif,
efisien dan terkendali. Pemerintah telah memproduksi sebuah regulasi diantaranya
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Selain itu juga pemerintah
membentuk sebuah lembaga untuk mengendalikan informasi yang beredar di tengah-
tengah masyarakat dengan sebutan KEMKOMINFO (Kementerian Komunikasi dan
informatika). Melimpahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada pemerintah bukan
berarti dapat menyelesaikan semua masalah, peran masyarakat pun menjadi sangat
penting dalam membantu menciptakan arus informasi yang kondusif.

1
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2009), hlm. 22

1
2

Langkah preventif yang telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat,


bertujuan untuk memberikan kenyamanan pada masyarakat dalam mengkonsumsi
sebuah informasi yang datang. Selain itu langkah ini juga bertujuan untuk membatasi
para produsen informasi dalam menyajikan sebuah berita. Berita yang ideal untuk
dikonsumsi adalah berita yang terlepas dari kepentingan-kepentingan kelompok
tertentu. Indikasi yang paling mungkin terjadi pada sebuah berita yang tidak ideal
adalah informasi atau berita yang tidak relevan, keluar dari fakta maupun analisis
informasi yang tidak seimbang, sehingga langkah preventif menjadi langkah yang
penting dalam dinamika penyajian sebuah berita.
Terkadang dalam penyajian sebuah berita yang ideal tidak dipungkiri terdapat
pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan atas informasi tersebut. produsen
informasi atau yang juga disebut pers2 adalah pihak yang paling mungkin untuk
disalahkan terlepas dari konten atau muatan berita yang disajikan. Dalam masa orde
baru, pers menjadi sebuah profesi yang menakutkan. Penyajian berita pada masa itu
jauh dari ideal, pers pada masa itu menjadi alat kepentingan dalam membangun
image pemerintahan. Situasi ini menciptakan pers yang tidak independen, sehingga
masyarakat disuguhkan dengan informasi yang tidak berimbang dan manipulatif.
Memasuki masa reformasi, pers kembali mendapatkan hak sebagai produsen
infromasi yang independen dan bebas dari kepentingan. Hal ini terlihat dari dibuatnya
UU No.40 tahun 1999 yang menjadi payung hukum bagi penyedia informasi atau
yang disebut juga dengan pers. Pada pasal 2 Undang-Undang No.40 Tahun 1999
tentang pers menyatakan: “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan
rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.
Sedangkan fungsi pers sendiri diatur dalam pasal 3 Undang-Undang No.40
tahun 1999 tentang pers, yaitu: “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media
informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”.

2
Dalam UU No. 40 tahun 1999 Pasal 1 ayat 1 Tentang Pers, pers adalah lembaga sosial dan
wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara,
gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik dan segala segala jenis saluran yang tersedia.
3

Begitu pentingnya peran pers untuk memberikan informasi yang akurat, adil
dan terlepas dari segala macam bentuk kepentingan, maka pers perlu diberikan
kebebasan dalam menjalankan fungsinya. Kebebasan pers adalah kebebasan dan
tanggung jawab untuk mendiskusikan, mempertanyakan, dan menantang tindakan
dan pernyataan pemerintah serta masyarakat dan lembaga swasta. Pers menjunjung
tinggi hak untuk menyuarakan opini-opini yang tidak populer dan hak istimewa untuk
sependapat dengan mayoritas.3
Pers yang bertanggung jawab adalah pers yang bebas atau merdeka
menentukan diri sendiri hak dan kewajibannya tanpa suatu tekanan, keterpaksaan,
atau ketidak berdayaan. Pers yang semacam itu berlaku ketika adanya kemerdekaan
pers (freedom of press). Tanpa kemerdekaan, segala bentuk pertanggung jawaban pers
yang tidak merdeka semata-mata ditentukan oleh kehendak pihak yang dominan
sebagai alat kekuasaan.4
Pers merdeka memerlukan kebebasan, dan kebebasan tersebut memerlukan
demokrasi. Tanpa demokrasi tidak akan pernah ada kemerdekaan terhadap informasi
pers. Karena itu, siapapun yang menghendaki pers merdeka, seharusnya menjadi atau
pendukung demokrasi (the real democracy bukan crypto democracy).5 Agar pers
berfungsi secara maksimal sebagaimana di amanatkan oleh pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945, maka pers harus merdeka. Kemerdekaan pers adalah salah satu
perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Dimana pasal
28 UUD 1945 telah berbunyi: "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
Mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang”.

3
Horea Salajan, dkk., ABC Paket Berita TV, (Jawa Barat: PJTV Program Pelatihan Jurnalistik
Televisi, 2001), hlm. 10
4
Bagir Manan, “Menuju Pers Yang Bertanggung Jawab dan Sehat”, Varia Peradilan No. 299
Oktober 2010, hlm. 5
5
Bagir Manan, “Menuju Pers Yang Bertanggung Jawab dan Sehat”, Varia Peradilan No. 299
Oktober 2010, hlm. 6
4

Pers yang merdeka juga telah dijamin oleh Ketetapan Majelis


Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII / MPR / 1998 tentang
HAM, antara Pasal 19 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa
gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan
buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-
batas wilayah”.
Kebebasan berpendapat sejatinya diakui dunia Internasional sebagai salah satu
cabang dari Hak Asasi Manusia. Bahkan Bambang Poernomo berpendapat bahwa
kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat juga merupakan salah satu ukuran
tentang adanya sistem demokrasi dalam suatu negara.6
Sistem hukum yang menjelma dalam konsep ini tidaklah semata-mata sebagai
produk Barat, melainkan dasar pijakan yang kokoh dari seluruh budaya dan agama.7
Jika ditinjau dari hukum Islam, kebebasan ini diatur oleh akidah, dijaga oleh akhlak,
dan terus diawasi setiap saat oleh Allah SWT.
Akan tetapi kebebasan yang dimaksud di atas tidak berarti kebebasan yang
bersifat absolut atau bebas tanpa ada rambu-rambu pembatasanya, paling tidak
kemerdekaan tersebut dibatasi oleh kebebasan orang lain. Maka dari itu perlu
dibedakan antara kebebasan pers yang sebenarnya dengan kebebasan pers yang
kebablasan.
Khusus bagi negara kita yang masih tergolong sebagai negara berkembang,
pers kita tidak boleh bersikap “semau gue” (seenaknya saja), suatu kebebasan pers
yang dicerminkan dalam apa yang disebut “Crussading journalism”, hantam asal
hantam dengan dalih (seakan-akan) melindungi kepentingan “under dogs”

6
Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum
Pidanga, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), h. 45
7
Manfred Nowak, Introduction to the International Human Rights Regime, (Leiden: Martinus
Nijhoff Publishers, 2003), h.1.
5

(masyarakat menderita). Sikap demikian hakekatnya adalah pemborosan usaha,


waktu dan biaya disamping mengingkari konsensus nasional sebagai pencerminan
dari aspirasi-aspirasi pandangan hidup dan sikap bangsa kita.8
Lebih dari itu, dalam Islam, berpikir, melakukan riset, penelitian dalam
mempublikasi sebuah informasi tidak hanya sebatas anjuran, namun merupakan
sebuah kewajiban, dan merupakan ibadah sebagai metode yang sah untuk mencapai
keimanan kepada Allah SWT. Juga untuk mengungkapkan keagungan kekuasaannya
dan ciptaan-Nya. Islam menolak setiap klaim yang tidak berdasar pada dalil dan
bukti, maka berpikir, tadabbur, melakukan penelitian dan mengkaji merupakan
kewajiban seluruh umat manusia dalam mempublikasi sebuah informasi.
Agar sebuah informasi terpublikasi dengan ideal maka peran pemerintah dan
pers tidak cukup, sehingga seluruh elemen masyarakat harus berperan penting dalam
menyaring informasi yang muncul di masyarakat. Mengantisipasi sebuah informasi
yang tidak valid juga merupakan sebuah ibadah dalam terwujudnya amar ma’ruf nahi
munkar.
Amar makruf nahi munkar adalah konsep dalam Islam yang menerangkan
tentang menyerukan yang makruf (kebaikan) dan mencegah yang munkar
(keburukan) merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim, bahkan dalam sebuah
hadits disebutkan bahwa inti beragama adalah memberi nasihat yang baik. Untuk
mewujudkan amar ma’ruf nahi munkar banyak cara yang bisa dilakukan salah
satunya adalah media massa. Pada era informasi berbasis teknologi media massa
merupakan salah satu alat yang paling efektif untuk berinteraksi menyampaikan opini
secara masal. Oleh karena itu setiap individu harus mampu menjalankan amar ma’ruf
nahi munkar dengan menggunakan media massa.
Dalam mempublikasi sebuah informasi yang ideal sebaiknya media massa
tidak terlibat dalam menyajikan berita yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu.
Sebuah berita yang memiliki muatan tindak pidana dan melibatkan pihak-pihak
tertentu memilik sensitifitas yang sangat tinggi, sehingga media massa dalam hal ini

8
Eyo Kahya Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers,(Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004) h. 65-66
6

harus berhati-hati dan bersikap adil. Jika media massa tidak mampu menunjukkan
kredibilitas dan integritasnya, maka media massa akan terjebak dalam perbuatan
justifikasi terhapa pihak-pihak tertentu.
Dalam sistem hukum di Indonesia menganut prinsip asas praduga tak
bersalah.9 Hak asas praduga tak bersalah, merupakan kewajiban bagi semua pihak,
tidak terkecuali pers. Tujuan asas ini menjaga hak-hak yang dimiliki oleh pihak yang
terlibat dalam sebuah tindak pidana sebelum adanya putusan pengadilan yang bersifat
tetap (inkracht).10 Oleh karena itu pers dilarang memberitakan seseorang yang
disangka atau didakwa seolah-olah telah bersalah sebelum ada putusan pengadilan.
Kewajiban ini berlaku juga pada badan-badan atau perorangan yang memerhatikan
suatu peristiwa pidana.
Pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah bisa di kategorikan sebagai
pelanggaran HAM, merujuk pada pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang HAM.11 Dengan pelanggaran tersebut bisa menimbulkan kesewenang-
wenangan baik oleh aparat penegak hukum, masyarakat bahkan dari pers.
Pemberitaan oleh media yang memberi komentar dalam proses peradilan dapat
menimbulkan opini bagi publik agar tersangka atau terdakwa dipidana bersalah, dan
segera diadili, Hal seperti ini apabila dilakukan melalui pers disebut trial by the press.
Trial by the press merupakan kegiatan dimana pers bertindak sebagai
peradilan mencari bukti-bukti, menganalisa dan mengkaji sendiri untuk kemudian
berakhir dengan memberi putusan. Hal ini bagaimanapun akan memberi dampak

9
Pada UU kehakiman, asas praduga tak bersalah tertuang pada pasal 8 ayat (1), yaitu : “setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, ditahan, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap
tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap”.
10
Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang grasi yang berbunyi:
yang dimaksud dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah: (1)
putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; (2) Putusan pengadilan tingkat
banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang
Hukum Acara Pidana; atau (3) putusan kasasi.
11
Setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu
tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu
siding pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7

seperti dua sisi mata uang, yaitu akan mempengaruhi peradilan yang memihak atau
peradilan yang tidak memihak. Apabila hakim membaca analisa pers terhadap suatu
kasus dikhawatirkan para hakim terpengaruh terhadap analisa pers tersebut, terlebih
jika pers memiliki kemampuan untuk menunjukkan potensi gejolak yang akan
ditimbulkan oleh kasus tersebut. Pada realitasnya seringkali putusan hakim
dipengaruhi oleh tekanan publik atau tekanan politis tidaklah dapat dihindari.
dengan latar belakang demikian penulis mengangkat judul skripsi yang
berjudul:
“Tinjauan Trial By The Press Dalam Hak Asasi Manusia Dan Hukum Islam”

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi beberapa hal dalam
memberikan gambaran masalah yang akan penulis angkat menjadi beberapa poin
dibawah ini:
A. Penerapan pengaturan kemerdekaan bagi pers
B. Batasan-batasan kemerdekaan pers menurut Hak Asasi Manusia
C. Batasan-batasan kemerdekaan pers menurut Hukum Islam
D. Trial by the press menurut Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam

C. Batasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, peneliti
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan
terarah sesuai dengan yang di harapkan peneliti. Peneliti akan membahas trial by the
pers yang hanya terjadi di Indonesia dari perspektif Deklarasi Hak Asasi Manusia
atau Universal Independent Of Human Right tanggal 10 Desember 1948, Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers dan Undang-Undang lain yang berkaitan dengan penelitian ini serta
pembatasan dalam hukum islam tentang trial by the press dalam al-Quran, Hadist,
Tafsir dan pandangan ulama fikih yang relevan dengan penelitian ini. Dalam
penulisan skripsi ini penulis juga memberikan salah satu contoh kasus trial by the
8

press yang dialami Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam pemberitaan yang ditulis
oleh media massa.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah dan pembatasan
masalah, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana trial by the press dilihat dalam perspektif Hak Asasi Manusia
dan Hukum Islam?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
untuk mengetahui pandangan HAM dan Hukum Islam terhadap tindakan
trial by the press dalam dunia jurnalistik.
2. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Menambah khazanah kelimuan terhadap isu-isu terkini dalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan dapat dikorelasikan dengan
pandangan HAM dan Hukum Islam, serta sebagai bahan referensi
dalam hal pendalaman tentang HAM dan Hukum Islam khususnya
dalam pembahasan trial by the press.
2. Manfaat Praktis
Memberikan pemahaman yang komprehensif kepada masyarakat,
penegak hukum dan pemerintah dalam menghadapi masalah-masalah
terkait trial by the press.

F. Tinjauan Kajian Terdahulu


Dalam melakukan penelitian, penulis melakukan teknik pengumpulan data
dengan mengadakan studi terhadap literatur-literatur, skripsi, dan laporan-laporan
yang berkaitan dengan masalah yang diangkat. Hal ini akan menjadi bahan rujukan
atas masalah yang hendak diselesaikan dalam penelitian ini.
9

Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Novi Amalia Safitri yang berjudul
“Trial By The Press Dalam Proses Peradilan Jessica Kumala Wongso Di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah
apakah trial by the press terhadap Jessica Kumala Wongso dalam kasus
pembunuhan Wayan Mirna Salihin melanggar asas presumption of innocence, Apa
faktor penyebab dan cara mengurangi terjadinya trial by the press terhadap Jessica
Kumala Wongso dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin yang dilakukan
oleh media online. Penelitian ini menjelaskan tentang pers yang dengan atau tanpa
sengaja mengesampingkan asas presumption of innocence atau asas praduga tak
bersalah. Asas ini secara tegas dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia yaitu pada penjelasan umum butir ke 3 huruf c Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta
diatur pula dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Penulis tidak banyak menyinggung trial by the press
dalam hukum Islam maupun hak asasi manusia.
Mohd Sabri Bin Mamat yang menulis “Kebebasan Berpendapat Dalam
Hukum Indonesia dan Malaysia (Analisis Hukum Positif dan Hukum Islam)”.
Rumusan masalah dari penelitian ini diantaranya adalah bagaimana kebebasan
berpendapat diatur dalam undang-undang Negara Indonesia dan Negara Malaysia
dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pengaturan hak kebebasan
berpendapat di Indonesia dan Malaysia. Dimana penelitian ini menjelaskan tentang
kebebasan berpendapat dalam perspektif hak asasi manusia dan hukum Islam
secara umum saja, namun tidak secara detail menjelaskan tentang kebebasan pers
ataupun trial by the press.
Nurhikmah yang menulis “Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tentang Perkara Pidana Penghinaan
Oleh Pers (Putusan No.1426/PID.B/2003/PN.Jkt.Pst)”. Rumusan Masalah dari
penelitian ini adalah bagaimanakah putusan majelis hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tentang sanksi yang diputuskan kepada pers dan bagaimanakah
pandangan hukum Islam mengenai perkara pidana penghinaan yang dilakukan
10

oleh pers. Dalam skripsi ini menjelaskan bahwa tindak pidana penghinaan dalam
syari’at Islam merupakan tindak pidana ringan yang dihukum dengan ta’zir karena
tidak termasuk tindak pidana had maupun qishash. Para ulama berbeda pendapat
tentang lamanya penjara/ta’zir bagi pelaku tindak pidana tergantung kepada segi
niat si pembuat, apakah disengaja ataukah tidak disengaja. Maka dari itu, hukuman
ta’zir diserahkan kepada ulil amri yang memiliki otoritas untuk menetapkan
hukuman asal tidak memutuskan hukuman berdasarkan ijtihadnya sendiri,
melainkan hakim sudah mempunyai landasan hukum dalam menjatuhkan
hukuman tersebut.
Berdasarkan kajian terdahulu di atas, belum ditemukan karya ilmiah yang
secara khusus membahas tinjauan trial by the press dalam hukum Islam dan HAM,
para peneliti baru sebatas mengkaji trial by the press dalam proses peradilan
Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan kebebasan
berpendapat dalam hukum Indonesia dan Malaysia (analisis hukum positif dan
hukum islam). Oleh karena itu, peneliti bermaksud mengisi kekosongan penelitian
tentang trial by the press, khususnya tinjauan trial by the press dalam hukum
Islam dan Hak Asasi Manusia.

G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian Tinjauan Trial By The
Press Dalam Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam merupakan penelitian
hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem
norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin
(ajaran).12
2. Jenis Data dan Sumber Data
12
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h.31
11

Jenis data dan sumber data adalah segala sesuatu yang menjadi sumber
dan rujukan dalam penelitian. Dalam penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan dua jenis data, yaitu:

a. Data Primer
Data primer merupakan data yang didapat dari bahan-bahan
yang diperlukan. Dan disebut juga bahan-bahan hukum yang
mengikat.13 Dalam hal ini, yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XVII / MPR / 1998 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang
kebebasan berpendapat, Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang
pers. Data primer dalam hukum islam menggunakan al-Qur’an, Hadits
dan tafsir yang relevan.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data hukum yang menjelaskan data hukum
primer, yaitu data pendukung dan data pelengkap. Adapun bahan
hukum sekunder yang peneliti gunakan adalah buku-buku hukum,
jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus hukum, termasuk data-data atau
dokumen-dokumen dari internet yang berkaitan dengan pembahasan
dalam penelitian ini.14
3. Teknik Pengumpulan Data

13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: IND HILLCO,
2001), h. 13.
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005), hlm.155
12

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data studi pustaka


(library research). Studi pustaka dilakukan guna mengklasifikasi masalah yang
dikaji. Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, maupun bahan hukum
sekunder diuraikan dan di hubungakan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan
pada penelitian yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan.

4. Teknik Pengolahan Data


Cara mengolahnya dengan mengumpulkan data-data yang diperoleh dari
pendekatan yang dilakukan oleh peneliti yaitu pendekatan perundang-
undangan. Dan kemudian dianalisis untuk mendapatkan titik terang dan
jawaban terhadap permasalahan yang dikaji.
5. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul maka langkah selanjutnya adalah melakukan
analisis data. Dalam hal ini penulis menggunakan metode komparatif. Metode
komparatif ini digunakan untuk membandingkan peraturan perundang-
undangan tentang pers dan Hak Asasi Manusia dengan Hukum Islam.
6. Pedoman Penulisan Skripsi
Adapun pedoman penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
13

H. Sistematika Penulisan
Pedoman penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
berdasarkan buku pedoman panduan penyusunan skripsi dan karya tulis ilmiah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2017, dan untuk menjadikan penelitian ini menjadi penelitian yang terarah
dan sistematis maka pembahasan skripsi ini dilakukan dan ditulis melalui tiga
tahap penulisan yaitu pendahuluan, isi dan penutup. Dari bagian-bagian tersebut
terdiri dari bab-bab dan di dalam bab terdapat sub-sub bab. Adapun sistematika
penulisannya adalah sebagai berikut :
BAB I
Merupakan bab pendahuluan yang diawali dengan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan (review) terdahulu dan sistematika
penulisan.
BAB II
Berisikan tentang teori dasar yang membantu penulis untuk melakukan
pengembangan dalam penelitian ini, penulis menguraikan dua pokok pembahasan
yaitu pembahasan terkait definisi, sejarah dan teori-teori lain tentang hak asasi
manusia yang relevan dan berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dalam
penelitian ini. Penulis juga melakukan pengembangan penelitian ini dalam kajian
hukum Islam dimulai dari definisi, peristiwa-peristiwa hukum dan sejarah yang
berkaitan secara langsung ataupun tidak langsung dalam penelitian ini.
BAB III
14

Berisikian data penelitian yang menguraikan data-data yang berhubungan


langsung dengan Trial By The Press. Data-data yang dimuat dalam bab ini
menggunakan data-data yang telah digunakan dalam bab sebelumnya maupun
data-data baru yang belum digunakan.
BAB IV
berisikan tentang analisis penulis terhadap teori-teori umum maupun teori khusus
yang berhubungan dengan Trial By The Press.

BAB V
Dalam bab ini berisikan penutup, bagian akhir dari penulisan skripsi ini terdiri dari
kesimpulan terhadap penelitian, serta berisikan saran terhadap penulis,
masyarakat, media massa serta pemerintah dalam mengantisipasi Trial By The
Press dalam mencapai produksi informasi yang ideal, netral dan objektif.
BAB II
HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM ISLAM

A. HAK ASASI MANUSIA DAN PERS


Hak Asasi Manusia atau yang biasa disingkat HAM merupakan hak dasar atau
hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa,
bukan pemberian manusia atau penguasa. Hak ini bersifat sangat mendasar bagi
kehidupan manusia yang bersifat kodrati yakni sifat yang telah dimiliki sejak masih
dalam kandungan serta tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.1
Pengertian HAM dari pandangan Jan Martenson dari Komisi Hak Asasi
Manusia PBB bahwa HAM tidak berbeda jauh dari pandangan umum lainnya, bahwa
HAM merupakan hak yang melekat pada sifat manusia sehingga manusia mustahil
dapat dianggap sebagai manusia. Dari definisi ini kita menemukan bahwa pengertian
HAM itu sangat luas.2
Menurut Majda el-Muhtaj HAM diyakini sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari kehidupan manusia. Meskipun kemunculan HAM adalah sebagai respon dan
reaksi atas berbagai tindakan yang mengancam kehidupan manusia, namun sebagai
hak, maka HAM pada hakikatnya telah ada ketika manusia itu ada di muka bumi.3
Dasar adanya HAM itu digolongkan dalam tiga macam konsep sebagai
berikut:4
1. Berasal dari hukum kodrat (natural law)
Berdasarkan konsep ini HAM ada karena sesuai dengan kodrat manusia.
Artinya sejak manusia lahir sudah memiliki sejumlah hak asasi, seperti hak

1
Tim Puslit IAIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM
dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Press, 2000), Cet I, hlm. 207
2
Sri Ayu Astuti, Kebebasan Pers dan Etika Pers Dalam Perspektif Hukum Islam,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2015), Cet, I, hlm. 35-36
3
Majda el-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005), Cet, 2, hlm. 6
4
Krishna Harahap, Ruang Lingkup Dan Implementasi Kebebasan Pers Dalam Hukum
Indonesia, (Bandung: Grafitri, 2000), hlm. 71

15
16

hidup, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk menganut suatu agama atau
keyakinan tertentu.
2. Merupakan Karunia Tuhan Yang Maha Esa
Konsep ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa.
3. Merupakan hak yang diatur dalam peraturan (legal rights)

Salah satu jenis HAM adalah hak untuk menyampaikan pendapat secara lisan
maupun tertulis. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 28 menyebutkan
bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.5
Kemanusiaan manusia diakui sebagai konsensus universal yang justru tetap
melekat sebagai pemilik asasi mutlak atas dasar kemanusiaan, terlepas dari perbedaan
jenis kelamin, warna kulit, status ekonomi, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.
Inilah selanjutnya yang menghasilkan lahirnya konsepsi Hak Asasi Manusia (HAM).
Dengan kata lain, HAM merupakan puncak konseptualisasi pemikiran manusia
tentang hakikat dirinya sebagai pengemban fitrah kemanusiaan yang bersifat
universal dan langgeng (eternal).6 penting ditegaskan di sini bahwa keuniversalan
(universality) tidak sama dengan keseragaman (uniformity). Keuniversalan tidak
mengandaikan keseragaman. Menyatakan keuniversalan HAM bukan berarti bahwa
pandangan mengenai HAM melampaui perbedaan agama, budaya, atau filsafat.7
Mengacu pada pengertian di atas, menjadi dapat disadari bahwa HAM itu
sesungguhnya adalah hak-hak absolut yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia (inherent dignity) yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan diproteksi oleh
negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. Ini mengandung konsekuensi, bahwa
hak-hak yang melekat secara absolut tersebut tidak dapat dicabut (inalienable), tidak

5
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28
6
Majda el-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Group, 2005), Cet, 2, hlm. 41
7
Shashi Tharoor, “Are Human Right Universal?”, Word Policy Journal, Vol. 16, No. 4
(Winter 1999/2000)
17

boleh dikesampingkan (inderogable), dan tidak boleh dilanggar (invioable) oleh


siapapun. Pencabutan dan pelanggaran secara sengaja dan melawan hukum terhadap
hak-hak dasar kemanusiaan merupakan “kejahatan berat terhadap HAM.8
Oleh karena itu, menelaah HAM, menurut Todung Mulya Lubis
sesungguhnya adalah menelaah totalitas kehidupan; sejauh mana kehidupan kita
memberi tempat yang wajar kepada kemanusiaan.9 Berbicara tentang HAM berarti
membicarakan dimensi kehidupan manusia. HAM ada bukan karena diberikan oleh
masyarakat dan kebaikan dari negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai
manusia.
Dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR/DUHAM) 1948
disebutkan secara jelas bahwa setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-
kebebasan yang tercantum di dalam pernyataan DUHAM tanpa perkecualian apapun,
seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang
berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun
kedudukan lain. Dalam artian, semua manusia punya hak asasi yang harus dihormati
tanpa memandang perbedaan apapun. Tidak heran jika banyak negara mengadopsi
DUHAM ke dalam hukum domestik mereka seperti yang dilakukan pemerintah
Indonesia UUD 1945.
Walaupun DUHAM tidak mengikat secara yuridis sebagaimana perjanjian
internasional, tetapi ia mempunyai arti penting secara historis dan politik serta
yuridis, DUHAM telah menjadi dokumen yang memanfaatkan dalam forum politik
dan yuridis, serta dijadikan referensi pokok dalam penyusunan perjanjian
Internasional hak-hak asasi dilevel regional seperti Konvensi Eropa, Konvensi
Amerika, dan Piagam Eropa. DUHAM telah menjadi refrensi penting dalam
perumusan HAM di level konstitusi sebuah Negara atau Nasional. Bahkan, deklarasi
digunakan oleh bangsa-bangsa yang menuntut kemerdekaan, bebas dari praktik
penjajahan/kolonial, serta digunakan dalam perjuangan praktik diskriminasi rasial.10

8
Widiada Gunakaya, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: ANDI, 2017), h., 55-56
9
Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural (Jakarta: LP3ES, 1984),
hlm. 14
10
Dedi Nursamsi, HAM Syariah, dan Hukum,hal. 312
18

Sejalan dengan pemikiran ini maka PBB memprakarsai berdirinya sebuah


komisi HAM untuk pertama kali yang diberi nama Comission on Human Rights pada
tahun 1946. Komisi inilah yang kemudian menetapkan secara terperinci beberapa
hak-hak ekonomi dan sosial, disamping hak-hak politis, yaitu:
1. Hak hidup, kebebasan dan keamanan pribadi (pasal 3)
2. Larangan perbudakan (pasal 4)
3. Larangan penganiayaan (pasal 5)
4. Larangan penangkapan, penahanan atau pengasingan yang sewenang-wenang
(pasal 9)
5. Hak atas pemeriksaan pengadilan yang jujur (pasal 10)
6. Hak atas kebebasan bergerak (pasal 13)
7. Hak atas harta dan benda (pasal 17)
8. Hak atas kebebasan berfikir, menyuarakan hati nurani dan beragama (pasal 180)
9. Hak atas mengemukakan pendapat dan mencurahkan pikiran (pasal 19)
10. Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat (pasal 200)
11. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan (pasal 21)
Komisi yang dibentuk dalam rangka menjaga HAM pada tahun 1946 ini telah
memberikan ruang bebas kepada setiap manusia untuk menyampaikan pikiran dan
mengemukakan pendapat dimuka umum. Pasal 19 diatas menjadi sebuah langkah
awal bagi media (dalam perkembangannya akan disebut media masa) sebagai
produsen informasi bergerak maju tanpa khawatir terancam keselamatannya. Pada
pembentukan komisi HAM di tahun 1946 ini, penulis melihat bahwa komunitas
media telah direncanakan menjadi sebuah instrumen yang akan menjadi tombak
penyebaran informasi dimasa yang akan datang. Rencana ini telah menjadi nyata,
bagaimana media masa menjadi satu alat yang ampuh untuk mempublikasi sebuah
informasi, terlepas dari apakah informasi yang dibuat akan menguntungkan atau
bahkan merugikan bagi pihak tertentu.
Dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan
untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui
media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah). Dalam
19

perkembangannya media massa telah berperan menyampaikan informasi tidak hanya


dalam satu wilayah tertentu, namun telah mampu menjadi penyedia informasi bagi
masyarakat Internasional. Tidak dapat dipungkiri informasi yang bersifat
Internasional memiliki kekurangan dalam bahasa yang digunakan sehingga informasi
yang diterima tidak sepenuhnya mampu dicerna oleh semua kalangan. Kekurangan
ini memunculkan potensi interpretasi yang keliru bahkan dapat memunculkan konflik
yang luas.
Dalam sejarah perkembangan pemikiran HAM setidaknya terdapat 4 generasi
yang telah berbicara tentang HAM. Generasi pertama berpandangan bahwa HAM
berpusat terhadap hal-hal hukum dan politik, yakni hak-hak manusia yang klasik.
Akan tetapi seperangkat hukum yang disepakati tersebut sangat sarat dengan hak-hak
yuridis seperti, hak untuk hidup, untuk tidak menjadi budak, tidak disiksa dan
ditahan, hak-hak kesamaan di dalam hukum, hak akan fair trial, dan praduga tak
bersalah. Hak-hak itu muncul karena tuntutan untuk melepaskan diri dari kunkungan
kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya sebagaimana
yang muncul dalam revolusi hak yang bergelora di Amerika Serikat dan Prancis.
Hak-hak generasi pertama ini sering pula disebut sebagai hak-hak negatif.
Artinya tidak terikat dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya
campur tangan terhadap hak-hak dan kebebasan individual. Dengan demikian
generasi pertama ini menuntut ketiadaan intervensi oleh pihak-pihak luar (baik negara
maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap kekuatan individu dalam
berkumpul menyampaikan aspirasi, ide, gagasan hingga menciptakan opini dalam
menyikapi dan merespon sebuah informasi.
Generasi ini yang memberikan banyak pengaruh terhadap media untuk
memproduksi informasi dalam banyak peraturan di setiap negara. Namun generasi
inipun secara tidak langsung memberikan ruang yang begitu luas kepada individu
maupun kelompok (media) untuk menjadi hakim kepada pihak tertentu yang menjadi
objek dari sebuah informasi, kebebasan yang dapat melampaui hak dan kebebasan
20

orang lain akan bertentangan dengan pasal 29 deklarasi universal hak-hak asasi
manusia.11
Pada generasi kedua, pembahasan tentang HAM merupakan perluasan
horisontal dari generasi pertama. Penekanan mereka terjadi pada bidang sosial,
ekonomi dan budaya, sementara bidang hukum dan politik terabaikan, sehingga
menimbulkan ketidakseimbangan perkembangan dalam kemasyarakatan, seperti
merosotnya kehidupan hukum dan pengekangan politik yang berlebihan. Pada
generasi ini juga tidak berbicara tentang hak menyampaikan pendapat dimuka umum,
sehingga generasi ini dianggap masih terpengaruh oleh pemikiran generasi pertama.
Pada generasi ketiga HAM mengalami sebuah kemajuan pesat, generasi ini
mampu mewujudkan hampir seluruh hak asasi manusia secara komprehensif. Masih
terdapat banyak kesenjangan antara hak satu dengan hak lainnya. Terlebih dalam
generasi ini penekanan terhadap hak ekonomi menjadi prioritas utama. Meskipun hak
ekonomi menjadi sebuah prioritas pelanggaran hak ekonomi pun tetap terjadi.
Dominasi negara besar sebagai komando perekonomian dunia menjadi faktor ketidak
seimbangan hak ekonomi diseluruh dunia.
Pada generasi keempat terjadi banyak kritik terhadap peranan negara yang
sangat dominan dalam proses pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama yang
telah terbukti sangat menafikan hak-hak rakyat. Kritik yang mulai dilakukan dalam
generasi ini membuktikan bahwa hak menyampaikan pendapat dimuka umum telah
diberikan ruang yang besar. Penyampaian kritik yang dilakukan tidak terlepas dari
peran media dalam memobilisasi informasi yang massif dalam ruang publik.
Generasi keempat ini dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia pada
tahun 1983 yang melahirkan deklarasi hak asasi yang disebut Declaration of The
Basic Duties of Asia People and Goverment. Deklarasi ini lebih maju dari rumusan

11
Dalam pasal 29 DUHAM menyebutkan: (1) setiap orang memiliki kewajiban terhadap
masyarakat yang memungkinkan pengembangan kepribadiannya secara bebas dan penuh; (2) dalam
pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang
ditentukan oleh undang-undang dengan maksud menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak
serta kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban,
serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis; (3) hak dan kebebasan ini sama
sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan dengan tujuan dan asas perserikatan bangsa-bangsa
21

generasi sebelumnya, tetapi belum sepenuhnya mencakup tuntutan struktural HAM.


Namun demikian beberapa masalah dasar hak asasi sudah dirumuskan dengan lebih
berpihak kepada perombakan tatanan sosial yang berkeadilan. Deklarasi generasi ini
lebih menekankan persoalan-persoalan „kewajiban asasi‟ bukan lagi „hak asasi‟.
Alasan dari gagasan ini adalah bahwa kata kwajiban mengandung pengertian
keharusan akan pemenuhan, sementara kata hak baru sebatas perjuangan dari
pemenuhan hak. Deklarasi generasi ini selanjutnya secara positif mengukuhkan
keharusan imperatif dari negara untuk memenuhi hak asasi rakyatnya. Artinya urusan
hak asasi bukan lagi urusan orang perorang, tetapi justru tugas negara.
Kebebasan berpendapat, berpikir, menyatakan pendapat dan berekspresi yang
dimiliki setiap orang sebagai HAM telah memiliki jaminan secara konstitusi, dan
kedudukan media dan pers dalam negara hukum yang demokratis dan dijamin oleh
Undang-Undang, dipandang sebagai pilar negara (the fourth estate).12 Meskipun
ketentuan HAM dan kebebasan berekspresi dalam Amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 dapat dijumpai dalam pembukaan pada alinea pertama, dimulai dengan
pengakuan adanya freedom to be free dengan kata-kata: “Bahwa kemerdekaan itu
adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.13
Tetapi hal tersebut di atas belum dikatakan cukup sebagai pengakuan HAM secara
konstitusi. Namun setelah terjadi perubahan perumusan maka menjadikan UUD 1945
menjadi lengkap karena memuat perlindungan terhadap HAM.
HAM yang harus dihargai dan dihormati itu juga diatur dalam Undang-
Undang Pers dengan memuat unsur etika dengan meletakkan peraturan normatif. Hak
ini sering dilanggar oleh pers termasuk melanggar kode etik dalam aturan internal
pers dan media. Pengakuan negara terhadap HAM secara yuridis formal tercantum
dalam konstitusi negara. Konstitusi negara menjadi rujukan semua hukum
dibawahnya. Dalam rumusan HAM salah satu hak tersebut adalah hak atau kebebasan

12
Hari Wiryawan, Dasar-Dasar Hukum Media (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 193
13
Rusjdi Ali Muhammad, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Syariat Islam (Banda Aceh:
ar-Raniry Press, 2004), hlm. xxii
22

menyatakan pendapat (freedom of expression) dan kebebasan pers (freedom of the


pers) atau kebebasan media.14
Berbicara keterkaitan antara kebebasan pers sebagai perwujudan HAM, maka
perlu dikonstruksikan terlebih dahulu mengenai pemikiran awal pengaturan HAM
dalam bingkai negara hukum yang dimulai ketika Jhon Locke mengemukakan
pemikiran spekulatifnya mengenai kontrak sosial.15 Menurut Locke, negara
merupakan hasil kesepakatan antar rakyat yang dikuasai dengan penguasa sehingga
posisi masing-masing pihak wajib dilindungi dan dibatasi oleh aturan hukum yang
disebut konstitusi. Pemikiran Locke tentang HAM, kontekstualnya bersifat alamiah
melekat pada harkat dan martabat manusia sehingga tidak dapat dialihkan kepada
negara dan mewajibkan negara untuk melindunginya.
Manusia secara alamiah memiliki kebebasan walaupun suatu sistem politik
demokrasi tidak selalu diharapkan dalam praktiknya karena gagasan tentang
demokrasi akan selalu langgeng, diantaranya soal kebebasan pers. Responsi hukum
menjadi penting dalam persoalan kebebasan pers dan hal ini beralasan, sebab hukum
mengatasi kepentingan-kepentingan individu dan golongan, sebagaimana
diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum tidak ada untuk dirinya sendiri,
tetapi untuk manusia.16 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
menyebutkan bahwa “Kemerdekaan pers adalah suatu wujud kedaulatan rakyat yang
berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”. Makna dari
Undang-Undang Pers bahwa kemerdekaan pers dijalankan dalam bingkai moral, etika
dan hukum. Sehingga kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai dengan
kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh
pengadilan dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik
(KEJ).
Pers dan kebebasan pers adalah suatu wujud dari kedaulatan rakyat, memiliki
peranan penting dalam negara hukum demokratis. Namun, kenyataannya terkadang

14
Hari Wiryawan, Dasar-Dasar Hukum Media (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 27
15
Mohammad Noor Syam, Penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat Hukum, (Malang:
Luman Christi, 2000), hlm. 153
16
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 69
23

terjadi penyalahgunaan kebebasan sendiri (abuse of liberty) oleh pers. Ekses-ekses


negatif kebebasan pers seperti pornografi, penyebaran berita bohong, provokatif,
sampai pada character assassination dan pembentukan opini publik dengan
membawa kepada opini kebersalahan (culperend), menyesatkan masyarakat.
Kebebasan pers meskipun demikian bersifat tidak mutlak dan bukan tidak bersyarat,
karena dalam pelaksanaannya dibatasi oleh undang-undang setempat, jiwa (morality)
masyarakat dan suatu ketertiban sosial.17
Dalam konteks ke-Indonesiaan, kebebasan pers (freedom of the pers) adalah
bagian dari HAM yang dilindungi oleh UUD 1945, Undang-Undang Pers, Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Universal
Declaration of Human Rights. Sementara itu regulasi yang berbentuk ketetapan, Tap
MPR No. XVII / MPR / 1998 tentang Hak Asasi Manusia mengatur mengenai hak
masyarakat untuk mendapatkan informasi, dan kebebasan berpendapat. 18 Meskipun
kebebasan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, sekali lagi bukan menjadi
jaminan akan kebebasan pers atau tidak berarti dengan kebebasan pers, pers menjadi
bebas tanpa batas. Kebebasan pers sebagaimana Undang-Undang pers dalam
penjelasannya itu telah menegaskan bahwa pasal 28 UUD 1945 menjamin
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan. Oleh karena itu, pers dengan varian media cetak, media elektronik, dan media
lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan.
Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kebebasan
pers yang disebut dengan kemerdekaan pers itu adalah salah satu wujud kedaulatan
rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Kebebasan pers di negara Indonesia adalah kebebasan yang terbatas dan bukan tak
terbatas. Kebebasan yang dinikmati pers seharusnya tidak menabrak rambu-rambu
etika, norma, agama dan sosial yang telah disepakati bersama dalam masyarakat
berbangsa dan bernegara.

17
Armansyah, Pengantar Hukum Pers, (Bekasi: Gramata Publishing, 2015), hlm. 5
18
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2003), hlm. 44
24

Pers dalam mewujudkan kebebasan berekspresi sebagai bagian yang


melingkupi kemerdekaan pers seharusnya menyadari adanya kepentingan bangsa,
tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Kaitannya dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers
menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka
untuk dikontrol oleh masyarakat. Sebagaimana juga yang tercantum pada pasal 1 KEJ
dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Seharusnya pers sadar bahwa kebebasan pers di Indonesia harus berjalan
berkesesuaian dengan kepentingan kebebasan yang menghargai individu dan
mengikat kebebasan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Maka ketika pers
mengabaikan rambu, menolak segala bentuk kontrol hukum, budaya masyarakat dan
hanya mengeksploitasi kepentingan yang menguntungkan komunitas pers saja tanpa
melihat kepentingan publik, akan menuai reaksi keras spontanitas masyarakat yang
sering dikenal dengan istilah trial by the society, atau tindakan main hakim
masyarakat terhadap pers, yang tidak profesional dalam menjalankan fungsinya yaitu
menyajikan berita secara proporsional.
Pers tidak hanya bebas dalam berekspresi tapi kebebasan itu harus disertai
dengan tanggung jawab (responsible) dan pers harus menyadari akibat dari berita
yang disampaikannya, hingga tidak menjadi fitnah dan menimbulkan persoalan
hukum. Penekanan tanggung jawab, dalam penjelasan Undang-Undang Pers
menunjuk pasal 4 Ayat 1 yang menegaskan esensi “Kemerdekaan pers adalah
kemerdekaan yang disertai kesadaran pentingnya penegakan supremasi hukum yang
dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam
KEJ serta sesuai dengan hati nurani insan pers.” Apabila masih ada unsur keraguan,
berita tersebut sebaiknya tidak disebarluaskan, apalagi jika menyangkut nama baik
orang lain.19

19
Alex Sobur, Etika Pers Profesionalisme Dengan Nurani, (Bandung: Humaniora Utama
Press, 2001), hlm. 350
25

Kehadiran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers, telah


memberikan nafas kebebasan berekspresi bagi pers, dalam masa reformasi membuat
pers seolah bergerak tanpa memahami ada batas-batas dalam kehidupan sosial. Pers
seringkali menabrak etika dalam laporan jurnalistiknya, atau lebih dikenal dengan
trial by the press.20 Menurut Roger Fisher, apabila sampai terjadi penghakiman oleh
pers, banyak negara yang memberikan sanksi dengan dasar telah melakukan
kejahatan terhadap proses peradilan (contempt of court) itu berarti pers telah
melakukan trial by the press. Baik atas pelanggaran etika pers dalam pemberitaannya
yang menyinggung masyarakat, ataupun pemerintah.
Mengamati keberadaan pers saat ini banyak yang tidak menjalankan
profesinya secara profesional, dan tidak menegakkan KEJ sebagai pedoman dalam
menjalankan tugas jurnalistiknya, seperti halnya dalam meliput kasus hukum dalam
sidang peradilan, pers harus menghormati asas praduga tak bersalah. Contoh pers
yang meliput kasus seorang tersangka yang masih dalam proses persidangan, seperti
halnya kasus wisma atlet, pers tidak boleh mengambil opini tersangka Nasaruddin
bersalah, karena untuk menentukan dalam penulisan berita itu harus menanti
keputusan hakim yang tetap. Pers harus menghormati ketentuan persidangan agar
tersangka yang masih menjalani proses peradilannya mendapat hak hukumnya
sebagai masyarakat yang memiliki rasa keadilan dalam hal pemberitaannya.
Pada 09 September 2001 masyarakat dunia dikejutkan oleh sebuah tragedi
penyerangan Gedung WTC di Washington DC, informasi yang datang begitu cepat
membuat semua orang berspekulasi terhadap peristiwa ini, tak sedikit yang secara
spontan mengambil kesimpulan dan menghakimi pihak tertentu sebagai pelaku
penyerangan ini, namun dipihak lainnya masyarakat tak cepat mengambil
kesimpulan. Peristiwa ini menjadi sebuah polemik dan konflik berkepanjangan ketika
Amerika melakukan invansi dan serangan balik kepada satu kelompok muslim yang
diyakini menjadi pelaku dari peristiwa ini sehingga masyarakat dunia berkeyakinan

20
J.T.C Simorangkir, Hukum dan Kebebasan Pers, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional, 1980), hlm. 76
26

bahwa islam adalah kelompok agama yang membenarkan perilaku terorisme.


Informasi yang berulang-ulang dimunculkan oleh media dalam peristiwa ini tanpa
melakukan investigasi secara mendalam mengakibatkan media dianggap telah
menjustifikasi dan menjadi pengadilan sepihak kepada pihak tertentu.
Dalam pers asas praduga tak bersalah masuk dalam ketentuan etika yang
harus dihormati, dalam pasal 3 Kode Etik Jurnalistik:
“wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta
menerapkan asas praduga tak bersalah.”
Pers tidak berhak menyatakan seseorang bersalah. Pers hanya mewakili
kewenangan hak pada penyampaian fakta atau kenyataan bahwa “menurut
pengadilan” orang tersebut salah, tapi yang memberi penyebutan bukan pers, karena
pers tidak memiliki kewenangan menghakimi.21 Pers dalam meliput berita harus
memiliki kehati-hatian dalam meliput berita baik dari kejelasan narasumber, kutipan,
perimbangan, dan kejelasan meliput.
Dalam praktek asas praduga tak bersalah harus dimaknai pers dalam beberapa
keadaan,22 pertama; asas praduga tidak bersalah sebagai upaya penyelenggaraan
kontrol sosial yang menghindari adanya trial by the press. Pers hanya berhak mencari
berita tapi tidak merekayasa. Kedua; asas praduga tidak bersalah dimaknai dalam
praktek pers sebagai kesadaran bahwa playing judgement adalah penodaan nilai-nilai
demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan sampai dengan tuntasnya pemastian
bahwa diri seseorang memang bersalah melakukan tindak pidana, sesuai pasal 5 Ayat
(1) UU Pers mengatakan: “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan
opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta
asas praduga tak bersalah. Ketiga; asas praduga tidak bersalah dalam praktek pers
dimaknai sebagai pelaksanaan fungsi pers meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat dan penghormatan atas supremasi hukum.

21
L.R Baskoro, Jurnalisme Hukum Jurnalisme Tanpa Menghakimi, (Jakarta: Lintang Pers,
2010), hlm. 117
22
Sri Ayu Astuti, Kebebasan Pers dan Etika Pers Dalam Perspektif Hukum Islam,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2015), hlm. 182
27

Dalam pandangan Ashadi Siregar23 pasal 3 KEJ, dari ketentuan etika yang
harus dihormati dan diikuti pers dalam meliput dan membuat berita, menunjukkan
pembedaan antara “opini interpretatif” dan “opini yang menghakimi”. Pembedaan ini
penting agar pers dapat menyajikan pemberitaan yang jelas bagi khalayak dengan
memberikan penafsiran atau informasi latar belakang (background information) bagi
fakta-fakta peristiwa atau masalah. Tetapi sebaliknya, wartawan tetap tidak
mencampuradukkan fakta yang ditemukan dalam kegiatan peliputan dengan opininya
sendiri.

B. HUKUM ISLAM DAN PERS


Syariat Islam mahauniversal untuk mengatur segala ranah kehidupan manusia,
termasuk dunia jurnalisme. Dalam “perut” kitab-kitab fikih (baik klasik maupun
modern), terdapat kandungan yang harus dijadikan aturan dalam menggeluti kerja
jurnalistik. Pers sebagai dunia profesionalisme dan kajian studi, meski relatif baru
muncul dengan kaidah dan dasar aturan tertentu, namun ketika ditelusuri, akarnya
akan berujung pada sejarah lampau yang lama. Karena inti dari dunia pers adalah
usaha menyampaikan suatu informasi kepada pihak lain yang belum
mengetahuinya.24
Pada peristiwa Haji Wada‟ (Haji Perpisahan), Rasulullah berbicara di hadapan
umat, seraya meminta kesaksian kepada mereka bahwa beliau benar-benar telah
menyampaikannya. Bahkan beliau meminta secara khusus kepada umat Islam yang
hadir kala itu untuk mentransfer informasi yang disampaikannya kepada umat lain
yang kebetulan tidak hadir. Beliau mengatakan :
“hendaknya yang hadir di sini, menyampaikan kepada yang lain yang tidak
hadir.” (HR. Bukhari).
Ketika membicarakan aturan jurnalistik, seyogyanya kita melihat dari
perspektif setiap masyarakat di mana kita tumbuh dan hidup, serta dari aturan pers

23
Ashadi Siregar, pokok pikiran yang disampaikan pada lokakarya I bertema “Membangun
Kebebasan Pers Yang beretika”, (Jakarta: Yayasan Tifa, 2006), hlm. 86-87
24
Faris Khoirul Anam, Fikih Jurnalistik Etika & Kebebasan Pers Menurut Islam,(Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 3
28

yang bisa membela prinsip dan ajaran agama Islam yang kita anut. Saat pers
dihubungkan dengan ajaran Islam, biasanya dikenal dengan istilah pers Islami,
Jurnalistik Islami, Jurnalistik Islam dan Media Islam. Di mana pengertian dari istilah
tersebut adalah media yang dijalankan oleh umat Islam, dikelola dengan cara-cara
Islami, dan ditujukan untuk membela kepentingan kaum muslimin. Dalam
menjalankan kehidupannya, umat muslim diberikan pedoman oleh Allah SWT
melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad berupa al-Quran. Jika dicermati,
terdapat banyak kesamaan fungsi antara al-Quran dan media massa. Setidaknya ada
10 kesamaan fungsional dari fungsi media massa dan al-Quran, jika telah menyadari
dan memahaminya maka bangunlah media-media Islam untuk menunjang penyebaran
ayat-ayat al-Quran, kesamaan tersebut adalah:25
1. Sebagai Sumber Informasi
2. Sebagai Sarana Edukasi
3. Sebagai Sumber Hiburan
4. Sebagai Alat Promosi
5. Sebagai Sarana Dakwah
6. Sebagai Inspirasi Gaya Hidup
7. Sebagai Pengarah Opini Publik
8. Sebagai Pengarah Tindakan Politik
9. Sebagai Sumber Rujukan Hukum
10. Sebagai Sumber Penulisan Sejarah
Dari banyaknya kesamaan antara al-Quran dan media massa, terdapat
kesamaan yang palin penting yaitu keduanya menjadi media untuk menyebarkan
kebaikan dan mencegah keburukan, dalam Islam prinsip ini disebut amar makruf nahi
munkar. Islam mewajibkan kepada setiap kaum muslimin untuk mengekspresikan
pendapatnya dan melakukan kritik terhadap kesalahan yang terjadi, ketika hak
dirampas, kebenaran diabaikan, dan makin tampak saja penyimpangan-penyimpangan
di tengah masyarakat maka setiap muslim tanpa terkecuali wajib mengambil langkah

25
Waskito, AM, Invasi Media Melanda Kehidupan Umat, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2013) h. 90
29

tegas dan aktif dalam memeranginya. Inilah konsep amar ma‟ruf nahi munkar yang
dikenal dalam Islam. Amar ma‟ruf nahi munkar merupakan kewajiban bagi setiap
individu muslim apapun profesinya. Hukum Islam selangkah lebih maju dibanding
hukum-hukum lain produk manusia yang hanya menjadikan kritik sebagai hak saja
bukan kewajiban.
Umat Islam menjadi umat terbaik yang pernah ada di muka bumi, karena
kebebasan untuk mengungkapkan pendapatnya benar-benar terjamin. Islam
mewajibkan nahi munkar (melarang kemunkaran) terhadap segala perilaku yang
membahayakan Islam dan manusia. Amanat untuk mengajak kepada kebaikan dan
dakwah adalah tanggung jawab setiap muslim. Sebagaimana Islam juga menilai
bahwa amar makruf nahi munkar merupakan tanggung jawab kolektif. Allah SWT
berfirman.
َ ُ َ َّ ُ َ َ ْ ُ ْ َّ َ َ ْ َ َّ َ َ َّ ُ َ َ ْ
‫ًن ج ِص َيب َّ ًن ًل ِف ْت َىتً َو َّاج ُقىا‬
ً ‫اعل ُمىا ًۖ خاصتً ِمىك ًم ظلمىا ال ِر‬ ‫ًد الل ًه أ ًن و‬
ً ‫اب ش ِد‬
ً ِ ‫ال ِعق‬
“Dan periharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat
keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfal:25)

Maksud dari tanggung jawab kolektif adalah, jika kemungkaran terjadi namun
tidak ada yang berusaha melarangnya, maka Allah akan memberi sanksi kepada
semua umat. Kepada yang melakukan kemungkaran itu karena perilakunya, dan
kepada yang tidak melakukan kemungkaran karena sikapnya yang pasif dan diam.26
Jika umat Islam meninggalkan kewajiban amar ma‟ruf nahi munkar, maka mereka
tidak lagi memiliki keistimewaan sebagai umat yang terbaik. Allah SWT berfirman:
َ َ َّ َ ۡ ُ َ ُ ۡ َ َ ۡ َ ۡ َ ُ ۡ َ ‫ُك ُىت ۡم َخ ۡي َر ُأ َّمت ُأ ۡخس َج ۡت ل َّلى‬
‫وف َوج ۡن َه ۡىن َع ِن ٱۡلىك ِس َوجؤ ِم ُىىن ِبٱلل ِ ِۗه َول ۡى َء َام َن أ ۡه ُل‬ ِ ‫اس جأم ُسون ِبٱۡلع ُس‬ ِ ِ ِ ٍ
َٰ ۡ ََۡ ۡ َّ َ ‫ۡٱلك ََٰتب َل َك‬
‫ان َخ ۡي ٗرا ل ُه ۚم ِّم ۡن ُه ُم ٱۡلُ ۡؤ ِم ُىى َن َوأكث ُر ُه ُم ٱل َف ِس ُقى َن‬ ِ ِ

26
Faris Khoirul Anam, Fikih Jurnalistik Etika & Kebebasan Pers Menurut Islam,(Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 18
30

“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka,
diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik.” (QS. Ali Imran: 110)

Sampainya ajakan amar makruf nahi munkar pada umumnya dilakukan dalam
metode dakwah dan ceramah yang dilakukan oleh juru dakwah atau ulama, namun
sebagian kalangan berpendapat bahwa kewajiban dakwah hanya bagi mereka yang
bergelut dalam dunia dakwah, atau kewajiban para da‟i saja. Pendapat ini perlu dikaji
ulang. Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imran: 104.
َ ُْ َ
ۚ ‫وف َو َي ْن َه ْىن َع ِن اۡل ْى ك ِس‬ ْ َْ َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ ُ ْ َ ٌ ُ ْ ُ ْ ْ ُ َ ْ َ
ِ ‫ول ت ك ن ِم ىًك م أ َّم ت ً د ع ىن ِإ ل ى ال خ ي ِر و ي أ م ُسون ِب اۡل ع ُس‬
َ ُْ َٰ َ ُ
ً‫َوأ ول ِئ َك ُه ُم اۡل ْف ِل ُح ىن‬
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung.”

Apakah yang diwajibkan hanya sebagian alias segolongan umat saja? Ibnu
Katsir menafsirkan ayat ini, “Harus ada segolongan orang dari umat ini yang
mengemban amanat amar makruf nahi munkar, meski kewajiban ini adalah untuk
setiap individu sesuai bidang kemampuan masing-masing.” Jika dilihat dari fungsi
media dalam menyebarkan informasi maka media juga turut serta dalam melakukan
amar makruf nahi munkar. Dengan demikian, usaha amar makruf nahi munkar
bukanlah tanggung jawab para ulama atau juru dakwah saja. Setiap person yang
melihat suatu kejadian dan dinilainya sebagai bentuk kemungkaran, harus berusaha
merubahnya semaksimal mungkin. Usaha merubah tersebut, bisa disampaikan dalam
bentuk ucapan ataupun tulisan, baik lewat buku, selebaran atau media cetak.
Seorang wartawan juga dituntut berlaku sama, pemberitaan tentang suatu
kejadian yang dinilainya sebagai bentuk kemungkaran, harus didasari oleh niat dan
31

misi ber-nahi munkar. Begitu pula sebaliknya, jika kejadian tersebut dinilai sebagai
bentuk kebaikan (makruf) yang ditinggalkan atau tidak diindahkan masyarakat.
Semua usaha ini, bagi seluruh individu muslim, baik wartawan maupun bukan,
merupakan kewajiban dan tanggung jawab, bukan hanya sebatas anjuran atau hak
belaka.
Konsep hukum dalam Islam yang bersifat general terkadang memunculkan
dualisme dalam penafsirannya, sehingga para ulama melakukan konsep kaidah
sehingga konsep-konsep hukum yang sangat sulit ini dapat dipahami dengan lebih
sederhana. Maslahah dalam konsep ini oleh para ulama kemudian dipetakan dalam
sebuah kaidah jalbul manfa‟at wadaf‟ul madharah (menarik kemanfaatan dan
menolak kemudaratan).27 Maqashid Syari‟ah dalam berijtihad berangkat dari
pandangan bahwa syariat Islam adalah abadi. Artinya syari‟at Islam memiliki
kapasitas menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul akibat perkembangan
kehidupan dan situasi sosial, maka diperlukan pendekatan maqashid syari‟ah yang
menekankan penalaran akal sebagai sarananya yang paling utama dengan tujuan
untuk kemaslahatan dunia akhirat.28
Penekanan teori maqashid syariah dan maslahah, perlu digunakan dalam
bidang hukum etika pers Islam untuk mencapai kebaikan umat. Ini disebabkan karena
banyak bermunculan industri pers yang sekuler, dimana keberadaan pers sekuler
terkadang membangun pemikiran yang cenderung negatif dan menularkannya dalam
bentuk opini dan pemberitaan yang memiliki kecenderungan pada situasi tidak
membawa kemaslahatan bagi umat. Kalimat sinis yang tidak beretika, kini menjadi
hal biasa bahkan gambar (visualisasi) pada pers elektronik pun banyak melanggar
etika.
Pers Islam harus memiliki etika dalam melakukan liputan dan
memberitakannya sesuai pada ketentuan al-Qur‟an dan Hadits, karena pekerja pers
khususnya yang berkeyakinan Islam meski dalam ruang pers umum, memiliki

27
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1975), hlm. 314-315
28
Muhammad Iqbal dan Azhari Akmal Tarigan, Syari‟at Islam di Indonesia; aktualisasi
Ajaran dalam Dimensi Ekonomi, Politik dan Hukum, (Jakarta: Misaka Galiza, 2004) hlm. 371-372
32

tanggung jawab sebagai manusia untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.


Sebagai seorang muslim yang memiliki keyakinan pada Allah SWT, hendaknya
pekerja pers yang memiliki keyakinan Islam, harus berani menegakkan etika yang
sangat berkaitan dalam perilaku baik dan buruk dari dampak tulisan dalam karya
jurnalistik yang dibuat dan disiarkan ke ruang publik,29 Maka dari itu menjaga
kebebasan pers menurut Islam bukan hanya hak, tapi juga merupakan kewajiban.
Kebebasan pers mencakup kebebasan berpikir, kebebasan berbicara, dan
kebebasan untuk mengungkapkan sesuatu. Pengungkapan suatu peristiwa atau
pendapat, bisa diekspresikan melalui lisan, pena, atau tindakan. Di antara tujuan
jurnalistik adalah mentransfer, dalam bentuk informasi, tentang prilaku, perasaan, dan
pikiran manusia. Sedang kebebasan berbicara atau transfer informasi tersebut, akan
ada setelah kebebasan berbicara atau transfer informasi tersebut akan ada setelah
kebebasan berfikir terjamin, itu karena ucapan ataupun tindakan terlahir dari suatu
refleksi atau pemikiran. Islam menjamin kebebasan ini secara kongkrit dan nyata,
karena kebebasan ini diatur oleh akidah, dijaga oleh akhlak dan terus diawasi setiap
saat oleh pantauan Allah SWT.30
Kebebasan untuk berijtihad mencakup semua ranah kehidupan. Islam adalah
kumpulan peraturan universal yang mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya,
hubungan hamba itu dengan hamba lain, hubungan hamba itu dengan hamba lain,
hubungan individu hamba tersebut dengan negara atau pemerintah, hubungan negara
Islam dengan negara lain, baik dalam kondisi damai atau perang dan sebagainya.
Komunikasi sebagai fenomena sosial, eksistensinya tidak bisa dielakkan,
karena setiap perjumpaan itu memerlukan komunikasi, agar dapat berlanjut menjadi
persahabatan, pertemanan dan perkawinan. Banyak yang menyebut komunikasi
sebagai perekat hidup bersama dan merupakan aktivitas yang muncul bersama
kehadiran dan pertemuan pada kisah Adam dan Hawa.31

29
Sri Ayu Astuti, Kebebasan Pers dan Etika Pers Dalam Perspektif Hukum Islam,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2015), hlm. 149-150
30
Faris Khoirul Anam, Fikih Jurnalistik Etika & Kebebasan Pers Menurut Islam,(Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 11
31
Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), hlm. 42
33

Perkembangan penyampaian informasi dalam Islam telah terjadi sejak


berabad-abad yang lalu bahkan telah terjadi sejak generasi manusia pertama.
Penyampaian informasi ini mampu menciptakan perubahan besar dalam
perkembangan umat manusia bahkan mampu menciptakan konflik yang
berkepanjangan. Peristiwa penyampaian informasi ini sudah dimulai dari nabi Adam
AS dan Siti Hawa ketika di dalam surga. Pada masa itu Iblis telah menjadi media
informasi untuk mendapatkan keuntungan dari informasi yang ia sampaikan kepada
nabi Adam dan Siti Hawa. Informasi dari Iblis kepada nabi Adam dan Siti Hawa telah
diabadikan dalam sebuah dialog di dalam al- Qur‟an surat Thaha ayat 120:
َ َّ ْ ُْ ْ َ َ ُّ َ َٔ ٓ َ َ ُ ََٰ ْ َّ َ َ َ ْ ََ
ً‫ال ًََٰـ َاد ُم َه ْل أ ُدل َك َعل َٰى ش َج َس ِة ٱلخل ِد َو ُمل ٍك ل ًَ ْبل َٰى‬‫س ِإل ْي ِه ٱلشيطن ق‬‫فىسى‬
Artinya: Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan
berkata: “Hai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan
yang tidak akan binasa?”

Pada kisah ini Allah SWT telah mengingatkan kepada nabi Adam dan Siti
Hawa untuk menjauhi buah Khuldi, namun Allah tidak menginformasikan ancaman
yang akan diberikan kepada nabi Adam dan Siti Hawa jika tidak patuh terhadap
perintahnya. Iblis melihat ini sebagai peluang untuk memanipulasi informasi agar
mendapat keuntungan dari hal ini, Iblis kemudian menciptakan satu kebohongan
informasi bahwa buah khuldi yang seharusnya dijauhi oleh nabi Adam dan Siti Hawa
menjadi sebuah kebaikan bagi keduanya jika mendekati bahkan jika dapat
memakannya. Iblis mengatakan bahwa larangan yang diberikan Allah kepada
keduanya hanya untuk membuat mereka tidak abadi didalam surga, namun
sebaliknya, jika mereka memakan buah khuldi maka mereka akan abadi didalam
surga. Sebagaimana kisah ini digambarkan dalam al-Qur‟an surat al-A‟raf ayat 22:
ْ َ َ ْ َ َ َ َ َّ َ َ َ َ ُ َّ َ
‫ف َدل ُه َما ِبغ ُسو ًٍز ۚ فل َّما ذاقا الش َج َسة َب َد ْث ل ُه َما َس ْى ُآت ُه َما َوط ِفقا ًَخ ِصف ِان َعل ْي ِه َما ِم ْن َو َز ِقال َج َّى ِت‬
ُ َ َ َ ْ َّ َّ َ ُ َ ْ ُ َ َ َ َ َّ َ ُ ْ ْ َ َ ُ َ ْ َ ْ َ َ َ ُ ُّ َ َ ُ َ َ َ
ً ٌ ‫ان لك َما َع ُد ٌّو ُم ًِب‬
‫ين‬ ‫وهاداهما زبهما ألم أنهكما عن ِجلكما الشجس ِة وأقل لكما ِإن الشيط‬
34

Artinya: “maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu)


dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah
bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan
daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku
telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu:
"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"

Kisah ini memberikan sebuah gambaran bahwa berita yang disampaikan


mampu memberikan keuntungan pada pihak tertentu, dalam kisah ini Iblis lah yang
mendapatkannya. Namun juga mampu memberikan kerugian pada pihak lainnya
yaitu nabi Adam dan Siti Hawa. Kisah ini telah memberikan perubahan yang besar
pada tatanan kehidupan manusia dan telah menciptakan konflik antara manusia dan
Iblis.
Pada generasi berikutnya, kisah-kisah dalam penyampaian informasi semacam
ini kerap terjadi dalam sejarah perkembangan Islam, seperti kisah Nabi Yusuf yang
dimasukkan kedalam sumur oleh saudara-saudaranya. Kisah ini bermula ketika para
saudara Nabi Yusuf merasa cemburu dan menganggap bahwa Nabi Yusuf
mendapatkan perhatian lebih banyak dari ayahnya, Nabi Ya‟qub. Pada suatu hari
saudara-saudara Nabi Yusuf merencanakan perbuatan jahat dengan memasukkan
Nabi Yusuf kedalam sumur. Setelah perbuatan itu dilakukan, mereka segera menemui
Nabi Ya‟qub untuk menyampaikan informasi bahwa Nabi Yusuf telah dimangsa oleh
binatang buas dengan membawa pakaian yang berlumuran darah milik Nabi Yusuf.
Kisah Nabi Yusuf ini telah menjadi sebuah kisah legendaris dalam sejarah Islam
untuk menunjukkan bahwa kebohongan mampu dilakukan untuk mencapai sebuah
kepentingan.
Sebuah kisah dalam al-Qur‟an menceritakan peristiwa yang terjadi kepada Siti
Aisyah istri Rasulullah SAW, kisah ini tak kalah penting dari kisah-kisah
sebelumnya. Kisah ini diabadikan dalam surat an-Nuur ayat 11:
35

ُ َُ َ ُ َ َ ُ ُ َ ْ َ َ ْ ُ ْ ٌ َ ْ ُ ْ ْ ُ َ َ َّ َّ
‫ىه ش ًّسا لك ْم َب ْل ُه َى خ ْي ٌر لك ْم ِلك ِ ّل ْام ِس ٍا ًِم ْن ُه ْم َما‬ ‫اْلف ِك عصبت ِمىكم ل جحسب‬ ِ ‫ِإن ال ِرًن جاءوا ِب‬
ٌ ‫ْاك َت َس َب ِم َن ْْلا ْثم َو َّال ِري َج َى َّلى ِك ْب َر ُه ِم ْن ُه ْم َل ُه َع َر‬
ًٌ ‫اب َع ِظ‬
‫يم‬ ِ ِ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk
bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari
mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara
mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita
bohong itu baginya azab yang besar.”

Sepuluh ayat berikutnya dari ayat sebelas semuanya membicarakan tentang


„Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu „anha ketika orang-orang munafik
memberikan tuduhan bahwa Aisyah telah berselingkuh. Ayat ini diturunkan untuk
menunjukkan tidak benarnya tuduhan tersebut.32 Kisah fitnah ini bermula ketika
Rasulullah dan para kaum muslimin hendak kembali pulang setelah peperangan, pada
saat itu, Aisyah merupakan istri yang terpilih untuk mendapingi Rasulullah. Ketika
kaum muslimin hendak kembali ke Madinah, Siti Aisyah tertinggal dari rombongan
kemudian ditemukan oleh sahabat Shafwan bin al-Mua‟ththal as-Sullami adz-
Dzakwani lalu kembali ke Madinah bersamanya. Abdullah bin Ubay bin Salul
menjadi tokoh penyebar berita bohong kepada masyarakat Madinah bahwa Siti aisyah
dan Shafwan telah berselingkuh. Berita bohong ini bahkan dalam sebuah hadits
sedikit mempengaruhi sikap Rasulullah terhadap aisyah bahkan Rasulullah hendak
menceraikan Siti Aisyah. Berkat pertolongan Allah berita bohong terhadap Siti
Asiyah menjadi terang dan mampu membuktikan bahwa Abdullah bin Ubay bin Salul
adalah seorang munafik yang telah keji memfitnah Siti Asiyah.
Berita bohong yang disebarkan secara masif dalam kisah Siti Aisyah ini
menjadi perhatian bagi seluruh umat muslim untuk senantiasa mengklarifikasi dan

32
Ibnu Katsir Tafsir Al-Qur‟an Al-„Azhim, 5:500 Tafsir Al-Qur‟an Al-„Azhim. Cetakan
pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul JauzS
36

mengidentifikasi sebuah informasi sebelum menyebar luaskannya. Informasi yang


tidak diidentifikasi terlebih dahulu seperti kisah-kisah diatas mampu menciptakan
konflik yang sangat serius dalam sebuah kelompok masyarakat.
Para ulama fikih telah merumuskan berbagai hukum dalam sebuah konsep
fikih yang sistematis dan komprehensif seperti fikih jinayah dalam pembuktian zina
telah diatur sedemikian rupa untuk menghindari fitnah dan kabar bohong seperti yang
terjadi pada kisah Siti Aisyah. Dalam membuktikan sebuah perilaku zina, para ulama
fikih memberikan 3 macam alat bukti untuk melakukan pembuktian terhadap perilaku
tersebut, yaitu:
1. Dengan saksi
Saksi adalah salah satu alat pembuktian zina yang mana telah disepakati oleh
para ulama bahwa saksi sekurang-kurangnya harus berjumlah empat orang saksi.
Apabila saksi itu kurang dari empat orang, maka persaksisan tersebut tidak dapat
diterima. Sebagaimana pendapatnya imam Syafi‟i bahwa jumlah saksi dalam
qadzaf tidak boleh kurang dari empat orang saksi dan mereka adil.33 Sebagaimana
dalam QS. an-Nisa ayat 15:
ُ ‫ىك ۡم َفئن َشه ُد ْوا َف َأ ۡمس ُك‬
ُ ّ ٗ َ َ ۡ َ َّ ۡ َ َ ْ ُ ۡ َ ۡ َ ۡ ُ ٓ َ ّ َ َ ََٰ ۡ َ ۡ َ ََّٰ َ
‫ىه َّن ًِفي‬ ِ ِ ِ ‫م‬ِ ‫ت‬‫ع‬ ‫ب‬
‫ز‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫ه‬ِ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫وا‬‫د‬ ‫ه‬ِ ‫ش‬ ‫ت‬ ‫ٱس‬ ‫ف‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ب‬ِ ِ ِ ‫وٱل ِتي ًأ ِجين ٱلف ِحش‬
‫ا‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ت‬
ٗ َ َّ َ َۡ َّ ۡ
‫ىث َح َّت َٰى ًَ َت َىف َٰى ُه َّن ٱۡل ۡى ُث أ ۡو ًَ ۡج َع َل ٱلل ُه ل ُه َّن َس ِبيٗل‬
ِ ‫ً ٱل ُب ُي‬
“dan terhadap (para wanita) yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah
ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian
apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-
wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah
memberi jalan kepadanya”.

2. Dengan pengakuan

33
Imam asy-Syafi‟I, Mukhtasar Kitab Al-Umm, alih bahasa: Amiruddin, Ringkasan Al-
Umm, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 127.
37

Jarimah qadzaf dapat dibuktikan dengan adanya pengakuan dari pelaku


(penuduh), bahwa ia menuduh orang lain melakukan zina. Pengakuan ini cukup
dinyatakan satu kali dalam majelis pengadilan.
3. Dengan sumpah
Menurut imam Syafi‟i, jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah
apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Akan tetapi imam Malik dan imam Ahmad
tidak membenarkan pembuktian dengan sumpah, sebagaimana yang dikemukakan
oleh madzhab Syafi‟i. sebagian ulama Hanafiyah pendapatnya sama dengan
madzhab Syafi‟i yaitu membenarkan pembuktian dengan sumpah, tetapi sebagian
lagi tidak membenarkannya.34
Pembuktian jarimah qadzaf ini memiliki beberapa unsur seperti adanya
tuduhan, orang yang dituduh adalah muhshin dan adanya maksud jahat atau niat
untuk melawan hukum. Apabila pelaku menuduh korban dengan tuduhan melakukan
zina dan si pelaku tidak mampu membuktikan apa yang dituduhkannya. Padahal
tuduhan zina dapat menghilangkan nasab korban seperti contohnya. Seorang ayah
yang melontarkan kata-kata kepada anak nya “hai anak zina”, itu berarti orang
tersebut telah menghilangkan nasab anaknya karena menuduh anak nya adalah hasil
perselingkuhan dan sekaligus menuduh ibunya berbuat zina. Berbeda dengan kata-
kata “hai pezina”, itu berarti hanya menuduh zina dan tidak menghilangkan nasab
nya.35
Orang yang dituduh adalah muhshin (berasal dari kata ihsan), artinya baik.
Orang yang bersih dari zina. Atau dapat diartikan orang yang tidak mungkin berbuat
zina. Syaratnya adalah dia baligh dan berakal. Karena zina tidak mungkin terjadi dari
orang gila atau anak dibawah umur tidak dikenai hukuman had.36
Adanya niat untuk melawan hukum, syarat ini dapat terpenuhi apabila ia tahu
bahwa apa yang dituduhkannya tidak benar dan seseorang dianggap mengetahui
ketidakbenaran tuduhannya apabila ia tidak mampu membuktikan kebenaran

34
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) h. 69
35
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) h. 62
36
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) h. 62
38

tuduhannya tersebut. Ketentuan ini didasarkan kepada ucapan Rasulullah SAW


kepada Hilal ibnu Umayyah ketika menuduh istrinya berzina dengan Syarik ibnu
Sahma‟, yaitu: “Datangkanlah saksi, apabila tidak bisa mendatangkan saksi maka
hukuman had akan dikenakan kepada kamu”. (HR. Abu Ya‟la).37
Melakukan klarifikasi terhadap sebuah informasi dalam Islam tidak hanya
pada pidana zina, namun dalam setiap perilaku pidana. Islam begitu memperhatikan
hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia ketika terlibat dalam sebuah tindak pidana
atau yang saat ini dikenal sebagai asas praduga tak bersalah (presumption of
innocent). Penulis melihat bahwa melakukan justifikasi yang dilakukan oleh individu
maupun kelompok (media massa) tidak sepatutnya dilakukan, Islam melihat bahwa
menghakimi seorang pelaku tindak pidana tanpa melalui pembuktian yang cukup
tidak hanya menjadi sebuah kesalahan moral namun hal ini juga dipandang sebagai
perilaku yang harus mendapatkan hukuman sebagaimana tuduhan terhadap pelaku
perbuatan zina.
Islam begitu menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah ini yang sudah
sepatutnya menjadi sebuah konsep yang dikedepankan oleh individu maupun media
massa dalam menyikapi sebuah perilaku pidana. Islam juga telah mengenal metode
peradilan dalam menyikapi dan mengadili sebuah tindak pidana. Dalam sebuah kisah
pada masa sayyidina Ali, kala itu seorang Yahudi dianggap telah mencuri baju perang
sayyida Ali namun Yahudi ini tidak mengakui tuduhan tersebut hingga permasalahan
ini dibawa dalam sebuah pengadilan. Kala itu yang menjadi hakim adalah sahabat
sayyidina Ali yaitu Syuraikh. Dalam kisah ini sayyidina Ali tidak dapat membuktikan
kepemilikan baju perang tersebut sehingga hakim memutuskan bahwa Yahudi ini
adalah pemilik baju perang tersebut.38 Peristiwa ini menunjukkan bahwa seorang
pemimpin sekalipun tidak punya hak untuk memenangkan sebuah perkara tanpa
melalui prosedur hukum yang berlaku, sehingga melakukan tuduhan dan menghakimi
seseorang secara sepihak tanpa melalui prosedur hukum merupakan sebuah
pelanggaran terhadap keadilan dan hak asasi manusia.
37
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 63
38
Ditulis oleh Mahbib Khoiron Jum‟at, 25 Januari 2013 dalam website
http://www.nu.or.id/post/read/42030/ketika-khalifah-ali-kehilangan-baju diakses pada 1 April 2019
39

Media massa merupakan corong informasi dan komunikasi yang efektif pada
masa ini. Perubahan sosial dan pesatnya era teknologi komunikasi menjadi tugas
media dalam mengambil peranan yang sangat besar untuk melakukan pertukaran
informasi, sehingga media yang bergerak dalam kegiatan arus jurnalistik menjadi
kebutuhan manusia dalam mentransformasikan komunikasi ke dalam wilayah
populasi yang luas.
Ketika mengolah berita, hendaknya media massa atau pers yang berbasis
Islam harus senantiasa dituntun oleh prinsip-prinsip mengingat Tuhan. Bila prinsip
ini tidak diterapkan, maka berita yang disampaikan kepada publik oleh pers akan
membawa kekacauan kehidupan manusia. Dalam pers Islam informasi disampaikan
harus dengan membawa kebaikan bagi umat. Sebagaimana juga pandangan Anwar
Arifin yang mengatakan “tanpa moral dan etika yang kuat, media terutama media
massa dapat melaksanakan semacam malpraktik.39
Pers Islam tidak hanya sekedar menyampaikan berita tapi juga membawa
informasi untuk membangun umat ke arah amar makruf nahi munkar sebagai jalan
dakwah. Dalam meletakkan komunikasi pers Islam memang menerapkan prinsip
sendiri yang berbeda dari pers sekuler. Informasi yang diberikan oleh pers Islam
memiliki kewajiban untuk membentuk manusia yang ikhsan.
Terlepas dari perbedaan antara pers Islam dan pers sekuler idealnya lembaga
pers dengan basis apapun harus mengedepankan publikasi berita yang bertujuan
untuk mengedukasi masyarakat dalam menyikapi sebuah informasi. Jika prinsip
edukasi tidak dimiliki oleh lembaga pers, maka media tidak lagi menjadi lembaga
yang informatif, namun lembaga pers berpotensi untuk menjadi lembaga paling
provokatif. Media massa yang tidak menerapkan prinsip amar ma‟ruf nahi munkar
dapat menggiring opini masyarakat untuk bersama-sama melakukan penghakiman
sepihak kepada sebuah berita, perilaku ini yang kemudian dikenal dengan trial by the
press.

39
Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), hlm. 7-8
BAB III
TRIAL BY THE PRESS DAN ASAS PRADUGA TAK
BERSALAH
A. Trial By The Press
Profesionalisme wartawan dan media merupakan kunci utama bagi
kehidupan pers yang sehat. Fungsi media yang diamanatkan oleh UU No.40
Tahun 1999 akan berjalan dengan baik apabila profesionalisme dihayati sebagai
sikap yang bisa melindungi tugas profesi wartawan, kehidupan media dan
masyarakat. Melalui profesionalisme, pers menjamin diri untuk meraih
kepercayaan publik dan martabatanya. Seorang wartawan yang cakap secara
teknis, belum cukup untuk disebut sebagai jurnalis yang profesional apabila tidak
menghayati kode etik profesinya. Menghayati berarti mengalirkan pemahaman
kode etik itu pada keseharian tugas-tugas profesinya, sehingga memancar dalam
perilaku kewartawanannya.
Kode etik jurnalistik wartawan Indonesia menekankan pentingnya relasi
yang bersifat menjaga tanggung jawab sosial bersama antara pers dengan publik.
Wartawan bersama seluruh masyarakat wajib mewujudkan prinsip-prinsip
kemerdekaan pers yang professional dan bermartabat. Tugas dan tanggung jawab
yang luhur itu hanya dapat dilaksanakan, apabila wartawan selalu berpegang
teguh kepada kode etik jurnalistik dan masyarakat memberi kepercayaan penuh
serta menghargai integritas profesi tersebut. Penilaian kepercayaan publik
tergantung pada kemanfaatan yang dirasakan dari kinerja wartawan yang
professional.
Kehadiran Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang
memberikan nafas kebebasan berekspresi bagi pers, dalam masa reformasi
membuat pers seolah bergerak tanpa memahami ada batas-batas dalam kehidupan
sosial. Menurut J.T.C Simorangkir “Seringkali pers menabrak etika dalam laporan
jurnalistiknya, atau lebih dikenal dengan trial by the press hingga menimbulkan
perkara hukum.1

1
J.T.C Simorangkir, Hukum dan Kebebasan Pers, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional, 1980), hlm. 76

40
41

Pesta pora kemerdekaan pers di era reformasi, nyatanya ditafsirkan dalam


arti yang berbeda oleh beberapa praktisi pers, terkadang mereka lupa terhadap
koridor hukum pers dan etika pers yang pada gilirannya menimbulkan gejala
anarkisme praktek pers. Praktek anarkisme pers seperti ini ternyata menimbulkan
keluhan, kritik dan kecaman pedas dari berbagai kalangan, karena pemberitaan
pers telah di nilai melakukan provokasi, pembunuhan karakter, berita bohong,
serta merebaknya iklan yang tidak memenuhi standar. Selanjutnya anarkisme pers
itu disebut sebagai kebablasan pers.
Selain itu seorang jurnalis dalam melaksanakan tugas jurnalistik
wartawan wajib menjadikan Kode Etik Jurnalistik (selanjutnya disingkat KEJ)
menjadi pedoman dalam mencari, memperoleh, mengolah dan menyebarluaskan
informasi kepada masyarakat. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 3 KEJ
disebutkan:2 “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi serta
menerapkan asas praduga tak bersalah.”
Dalam pengertian yang terdapat dalam UU Pers semua kegiatan jurnalistik
tunduk dan mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers, termasuk jurnalistik penyiaran. Senada dalam bunyi pasal 42 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang menegaskan: “Wartawan
penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk
kepada KEJ dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dalam hal ini,
KEJ yang berlaku adalah yang sesuai dengan penjelasan pasal 7 ayat 2 UU Pers
Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers yang menyatakan: “Wartawan memiliki dan
menaati Kode Etik Jurnalistik.”
Pertanggung jawaban pers diberikan secara hukum sebagaimana
termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terkumpul pasal-pasal
pidana yang menjerat pers. Diantaranya yang menyangkut pencemaran nama baik,
menyebarkan permusuhan dan penghinaan. Pertanggungjawaban yang lain ialah
pertanggungjawaban dari dalam yaitu dari wartawan, dari pemilik, pengelola pers

2
Priyambodo RH, Indria Prawitasari, Kode Etik Jurnalistik dalam Buku Saku Wartawan,
(Jakarta: Lembaga Pers DR. Sutomo, 2010), hlm. 141
42

dan dari pers sebagai institusi. Pertanggungjawaban dari dalam ini juga disebut
pertanggungjawaban etika.
Etika menurut pandangan John C. Merril dari Missouri School of
Journalism, “has to do with duty, duty of self and duty to others”.3 Istilah yang
digunakan oleh Jhon ini dapat ditafsirkan dengan etika bermuka dua, yaitu etika
yang memiliki kewajiban terhadap diri sendiri dan kewajiban terhadap orang lain.
Hal ini menunjukkan posisi setiap orang sebagai insan individual dan insan sosial.
Menurut Jacob Oetama wartawan menulis tidak hanya untuk orang lain, khalayak
pembaca tetapi juga untuk dirinya sendiri. Artinya standar penulisan yang
diterapkan bukan hanya menyangkut orang lain tetapi juga terdapat standar diri
sang wartawan.4
Pers bertanggungjawab terhadap isi tulisannya, harusnya dalam isi tulisan
pers tidak ada unsur penghinaan, penghasutan, pernyataan memusuhi agama,
pornografi dan penyiaran kabar bohong. Termasuk di dalamnya tak mengganggu
keamanan nasional, dan ketertiban umum serta tidak menghambat jalannya
peradilan. Dalam menghadapi pemberitaan tentang perkara pidana, keadaan
masyarakat saat ini sangat cenderung untuk menyalahkan seorang tersangka atau
terdakwa tanpa melihat bukti-bukti yang telah diuji dalam persidangan. Hal ini
akan menjadi sangat berbahaya ketika seseorang menilai hanya mendasarkan pada
asumsi-asumsi tertentu yang dibangun di atas prasangka-prasangka tanpa fakta
dan didukung oleh bukti yang kuat di dalam berita.5
Saat ini kebebasan pers memasuki babak baru yaitu pers terjebak ke dalam
proses penegakan hukum yang seharusnya bukan menjadi tugas pers atau yang
lebih dikenal dengan “trial by the press”. Trial by the press atau terjemahannya
secara harfiah “pengadilan oleh pers” sebagaimana dikutip dalam laporan
penelitian hukum BPHN tahun 2013 merupakan kegiatan dimana pers bertindak

3
John C. Merrill and Ralph D. Barney, Ethics and the Press, (New York: Hasting House
Publishers, Inc, 1975), hlm. 428
4
Jacob Oetama, Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, (Jakarta:
Kompas, 2001), hlm. 80
5
http://www.fokkylaw.com/ dikunjungi pada 22 Februari 2019.
43

sebagai peradilan mencari bukti-bukti, menganalisa, dan mengkaji sendiri untuk


kemudian berakhir dengan memberi putusan. 6
Trial by the press dimaksudkan untuk menggiring opini publik dengan
menciptakan analisis subjektif dan tendensius terhadap kesalahan seseorang.
Pengadilan yang diciptakan oleh pers menjadi berbahaya ketika publik belum
dewasa dalam memaknai berita sehingga terjebak dalam sebuah pandangan semu
dan menyesatkan. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang memiliki
kehormatan, dan untuk itulah maka ketika publik tidak menghargai hak seseorang
maka jatuhlah kehormatan dan harga diri orang tersebut di mata masyarakat. Oleh
karena itu, hukum berkewajibkan menjaga martabat dan nama baik seseorang.
Akan tetapi ketika seseorang terlibat dalam tindakan melawan hukum pada
hakikatnya bersalah atau tidaknya tidak dapat disimpulkan oleh siapapun
termasuk oleh pers itu sendiri, melainkan oleh sebuah proses peradilan yang jujur
dan adil.7
Mengenai trial by the press ini, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) juga
memberikan pedoman yang rinci dalam “sepuluh pedoman penulisan tentang
hukum”. Diantaranya adalah Pedoman ketujuh menyebutkan bahwa untuk
menghindarkan trial by the press, pers hendaknya memperhatikan sikap terhadap
hukum dan sikap terhadap tertuduh, sehingga proses pengadilan dapat berjalan
dengan wajar. Dalam pedoman kedelapan juga adanya penekanan secara teknis
bahwa untuk menghindari trial by the press, nada dan gaya tulisan sebuah berita
jangan menggunakan kalimat yang bersifat tuduhan. Pedoman kesembilan, pers
hendaknya tidak berorientasi pada “polisi atau jaksa centred” tetapi memberikan
kesempatan yang sama kepada tersangka atau tertuduh.8

6
Ni Putu Noni Suharyanti, “Perspektif HAM Mengenai penerapan Asas Praduga Tidak
Bersalah Dalam Kaitannya Dengan Pemberitaan di Media Massa”, Jurnal Advokasi, Vol. 5, No.2,
September 2015, 123-128, hlm 126.
7
http://www.fokkylaw.com/ dikunjungi pada 22 Februari 2019.
8
Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik
Penafsiran Pasal 3 butir d.
44

Secara teori, pers dianggap telah melakukan trial by the press ketika
adanya pemberitaan mengenai sebuah dugaan kasus pidana yang sudah ditangani
aparat penyidik (pre-trial publicity) hingga masuk ke pengadilan (publicity during
trial) menyebabkan adanya pihak yang tertuduh dipojokkan pada posisi yang sulit
untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tak berpihak (fair trial).9
Trial by the press jelas merupakan praktik jurnalistik yang melanggar baik
ketentuan yang diatur oleh pasal 7 Kode Etik Jurnalistik maupun Pasal 4 Ayat (3)
dan pasal 8 UU No. 14 Tahun 1970. Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik berbunyi:
“Wartawan dalam memberitakan peristiwa yang diduga menyangkut pelanggaran
hukum dan atau proses peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah,
prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang”. Selanjutnya Pasal 4 ayat (3)
UU No. 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa: “segala campur tangan dalam urusan
peradilan oleh pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam
hal-hal yang disebut dalam Undang-Undang Dasar”. Pasal 8 juga menyatakan
bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/ atau
dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum yang tetap.
Hal ini bagaimanapun akan memberi dampak seperti dua sisi mata uang
yaitu akan mempengaruhi peradilan yang memihak atau peradilan yang tidak
memihak (impartial court). Pada satu sisi, pers menjadi lembaga yang menjadi
corong informasi publik untuk menggambarkan situasi hukum yang sedang
terjadi, namun di sisi yang lainnya, pers acapkali menjadi lembaga yang merusak
proses penegakan hukum itu sendiri dengan melakukan analisis dan justifikasi
yang terburu-buru.
Apabila kemudian seorang hakim membaca analisa pers terhadap sebuah
kasus, dikhawatirkan para hakim terpengaruh terhadap hasil analisa pers tersebut
sehingga memungkinkan salah menjatuhkan vonis atau putusan hukum. Hal ini

9
BPHN Kementrian Hukum dan HAM RI, “Pengaruh Praktik Courtroom Television
terhadap Independensi peradilan”, Penelitian Hukum, BPHN Kementrian Hukum dan HAM RI,
2013, hlm. 31-32
45

disebabkan pers memiliki kemampuan untuk mempengaruhi hakim sehingga


mampu menimbulkan gejolak yang akan ditimbulkan pada kasus tersebut.
Ada 3 konsekuensi logis yang terjadi dalam tindakan trial by the press:
1. Trial by the press menciptakan peradilan yang secara tidak lansgung
dilakukan oleh pers dengan mendahului lembaga peradilan yang sah.
Peradilan yang dimakasud adalah dengan melakukan pemberitaan yang
berlebihan terhadap sebuah perkara yang masih dalam proses peradilan
dengan menampilkan bukti-bukti sendiri yang dapat menyalahkan atau
mendukung terhadap terdakwa yang dimaksudkan untuk mengarahkan
pikiran masyarakat atau tidak.
2. Trial by the press menunjukkan pers yang tidak bertanggung jawab
terhadap kemerdekaan yang diberikan terhadap pers itu sendiri, dan juga
menunjukkan bahwa pers tidak menghormati asas praduga tak bersalah
sebagai hak asasi setiap manusia yang sedang menjalani proses peradilan.
3. Trial by the press dapat menimbulkan opini-opini liar pada publik yang
dapat menjatuhkan atau mendukung tersangka pada saat proses peradilan.
Selain itu opini-opini publik tersebut juga dapat memberikan tekanan
kepada majelis hakim pada saat pemberian putusan terhadap terdawka.
Pers yang telah melakukan trial by the press, bisa diartikan telah
melakukan publikasi dan pemberitaan yang berlebihan. Selain itu hak atas
keadilan dalam perkara pidana, bukan semata-mata memenuhi hak korban, akan
tetapi keadilan juga merupakan hak tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu
tersangka atau terdakwa berhak dijamin dan diperlakukan adil dalam proses
peradilan.10
Oemar Seno Adjie juga menentukan bahwa hal yang diberitakan oleh pers
ialah berupa factual statement yaitu apa yang didengar dan dilihat oleh pers dalam
persidangan, tidak menggunakan pernyataan yang sifatnya prajudisial terhadap

10
Bagir Manan, “Pers, Praduga tak Bersalah, dan Hak Atas Informasi”, Varia Peradilan
No. 303 Februari, 2011, hlm.10
46

putusan pengadilan, tidak membuat komentar yang tidak fair dan akurat, dan tidak
ditujukan untuk mempengaruhi hakim dalam membuat keputusan.11
Kekeliruan analisis yang dilakukan oleh pers menjadi hal yang sangat
berbahaya, tidak hanya melakukan intervensi hukum namun juga menganggu
independensi seorang penegak hukum dalam menjalankan sebuah proses hukum.
Dampak yang ditimbulkan menjadi sangat serius dan penting untuk direspon
secara konstitusional sehingga pers mampu menyadari sikapnya. Menurut Roger
Fisher,12 apabila sampai terjadi penghakiman oleh pers, maka sudah seharusnya
negara hadir karena banyak negara yang telah memberikan sanksi dengan dasar
telah melakukan kejahatan terhadap proses peradilan (contempt of court) itu
berarti pers telah melakukan trial by the press.
Perbedaan pandangan kemudian muncul dalam melihat fenomena trial by
the press antara media massa, para ahli hukum dan aparat penegak hukum. Media
massa beranggapan bahwa mereka tidak melakukan trial by the press dikarenakan
salah satu fungsi pers menurut mereka adalah menyajikan informasi seakurat
mungkin dan sebagai lembaga sub sistem dari negara yang bertugas mengawasi
penegakan hukum di sebuah negara.
Namun di mata para ahli hukum dan aparat penegak hukum tentu saja trial
by the press bertentangan dengan keberadaan salah satu asas dalam penegakan
hukum yaitu asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence, sehingga
semua jenis pelanggaran harus diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku.13
B. Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah atau juga yang biasa dikenal dengan istilah
Presumption of Innocence adalah hak setiap orang yang disangka maupun
didakwa melakukan tindakan pidana, wajib dianggap tidak bersalah hingga

11
Oemar Seno Adji, Perkembangan Delik Pers di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1991),
hlm. 79
12
Roger Fisher, “Constitutional Right of Speech, in Talks On American Law”, Forum
Lectures, 1973, hlm 97
13
Heri Tahir, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
(Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010), hlm. 17
47

adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (in kraht van gewijsde
atau final judgement)14
Indonesia adalah negara yang menganut Common Law System, dimana
salah satu asas yang digunakan adalah Asas hukum praduga tak bersalah yang
telah dikenal sejak abad ke-16 di Inggris dalam Bill of Right (1648). Asas ini
dilatarbelakangi oleh pemikirian individualistik-liberalistik yang sudah
berkembang pada pertangahan abad ke-19 di Indonesia. Di dalam sistem peradilan
pidana (criminal justice system) berdasarkan sistem hukum Common Law, asas
hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses
telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law).15
Secara sosiologis dan filosopis, asas praduga tak bersalah merupakan
implementasi dari nilai ke 5 Pancasila yaitu “keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Asas praduga tak bersalah juga menjadi guardians kepada masyarakat
dalam memenuhi proses pencarian keadilan ditengah-tengah rumitnya proses
peradilan. Asas ini diatur dalam pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan: “Setiap orang
yang disangka, ditahan, dituntut, atau dihadapkan didepan pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Asas praduga tak bersalah juga diatur dalam angka 3 butir c, Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
yang menyatakan: “Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut, atau
dihadapkan dimuka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap”.
Selain itu asas praduga tak bersalah juga diatur dalam pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, berbunyi:
14
Bagir Manan, Pers, “Praduga tak Bersalah, dan Hak Atas Informasi”, Varia Peradilan
No.303 Februari 2011, h.7
15
Romli Atmasasmita, “Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah:Reaksi Atas
Paradigma Individualistik”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b25f96c2ed41/logika-
hukum-asas-praduga-tak-bersalah-reaksi-atas-paradigma-individualistik-br-oleh-romli-
atmasasmita-, diakses 17 februari 2019
48

“Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut, karena disangka melakukan suatu
tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya
secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum
yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
Pemahaman pers terhadap asas praduga tak bersalah menjadi sangat
penting dalam pemberitaan sebuah kasus yang masih dalam proses peradilan. Hal
ini berkaitan dengan opini yang dapat terbentuk dalam masyarakat, karena dapat
berdampak pada fitnah dan pencemaran terhadap nama baik tersangka atau
terdakwa yang perkaranya masih dalam proses peradilan. Hal ini akan menjadi
berbahaya ketika masyarakat memandang berdasarkan pada dugaan-dugaan
semata dalam pemberitaan yang diberikan pers.
Menghormati asas praduga tak bersalah, dapat diartikan bahwa pers wajib
melindungi tersangka atau terdakwa suatu perbuatan pidana. Perlindungan
tersebut dilakukan dengan tidak menyebutkan nama dan identitasnya yang
menyatakan kesalahan si pelaku. Hal ini ditujukan sebagai hak setiap orang
sebelum mendapat kepastian hukum melalui putusan majelis hakim yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.16
Dalam asas praduga tak bersalah, hanya hakim yang berhak menyatakan
seseorang telah atau tidak melakukan suatu perbuatan pidana di dalam
persidangan. Dengan demikian maka setiap orang tidak boleh melakukan
penyangkaan atau menghakimi seseorang terdakwa atau tersangka yang masih
dalam proses peradilan. Keberadaan asas praduga tak bersalah sebagai salah satu
ketentuan yang juga merupakan asas hukum acara pidana yaitu: perlakuan yang
sama atas diri setiap orang di muka umum dengan tidak mengadakan perbedaan
perlakuan (asas persamaan di muka hukum).17 Dengan asas praduga tak bersalah
setiap orang akan memperoleh jaminan dalam proses hukum karena kedudukan
terdakwa/tersangka sejajar dengan kedudukan pejabat pemeriksa di dalam hukum,

16
Edy Susanto, Muhammad Taufik Makarao, dan Hamid Syamsudin, Hukum Pers di
Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 97-98
17
C.S.T Kansil, Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1986), hlm. 347
49

dengan kata lain si terdakwa/tersangka belum dapat dikatakan bersalah sebelum


adanya ketetapan yang menyatakan bahwa ia bersalah dan memperoleh kekuatan
hukum yang tetap.
Dalam menjalankan fungsinya, pers sebagai lembaga penyedia informasi
kepada masyarakat memiliki kewajiban untuk menghormati asas praduga tak
bersalah. Hal ini dikarenakan pers di Indonesia menganut konsep kebebasan pers
yang bertanggung jawab dalam penyampaian informasi dan wajib mematuhi
setiap peraturan yang berlaku, terutama terhadap asas praduga tak bersalah.
Kewajiban-kewajiban oleh pers diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 1999 tentang pers, yaitu:
(1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat
serta asas praduga tak bersalah.
(2) Pers wajib melayani hak jawab.
(3) Pers wajib melayani hak tolak.
Kewajiban pers untuk menghormati asas praduga tak bersalah juga diatur
dalam pasal 3 KEJ yang menyatakan: “Wartawan Indonesia selalu menguji
informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini
yang menghakimi serta menerapkan asas praduga tak bersalah”. Karena asas
praduga tak bersalah berlaku disetiap tingkat dalam proses peradilan, maka dalam
tingkat pemerikasaan di muka pengadilan asas praduga tak bersalah menjelma
dalam pasal 158 KUHAP, yang melarang hakim untuk menunjukan sikap atau
mengeluarkan pernyataan di persidangan tentang keyakinan mengenai salah atau
tidaknya terdakwa.
Oemar Seno Adjie memberikan pandangan yang menarik mengenai asas
praduga tak bersalah yang keberadaannya diakui dalam hukum acara pidana.
Oemar Seno Adjie menyatakan asas ini dapat dipindahkan pada perkara perdata
ketika mengadakan peliputan berita peradilan.18 Dengan begitu bahwa dalam
pemberitaan atau liputan sidang pengadilan, baik pidana maupun perdata, pers
turut memperhatikan asas praduga tak bersalah.

18
Oemar Seni Adji, Perkembangan Delik Pers di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1991),
hlm. 66
50

Adanya ketentuan tersebut pers nasional sudah seharusnya pers dalam


menyediakan informasi tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan
seseorang,19 terlebih lagi kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan serta
dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan
tersebut. Namun tidak berarti pers tidak boleh menyiarkan peristiwa hukum, pers
boleh menyiarkan suatu fakta atau peristiwa hukum dari proses kepolisian,
kejaksaan sampai pada tahanan pengadilan berdasarkan fakta peristiwa yang
terjadi di lapangan namun tidak boleh membuat berita yang menghakimi.
Asas praduga tak bersalah seolah-olah telah menjadi satu hambatan bagi
pers dalam mengekspresikan informasi yang sedang terjadi, kebebasan pers
adalah salah satu dalih bagi insan pers untuk tidak mendapatkan intimidasi dan
batasan dalam memuat sebuah berita. Namun asas praduga tak bersalah telah lahir
terlebih dahulu yang bersumber dari Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman No. 4 tahun 1970 dan telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, kemudian dinyatakan secara
eksplisit pula dalam KUHAP. Undang-Undang No. 14 tahun 1970 ini sebenarnya
terbentuk dari ketetapan MPR No. XIX. 1966, yang antara lain menghendaki agar
undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 ditinjau kembali. Asas
praduga tak bersalah juga diperkuat dengan Undang-Undang Mahkamah Agung
dan Undang-Undang mengenai Peradilan Umum.20 Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman di samping mengatur organisasi dan susunan dari badan-
badan pengadilan memuat pula hal-hal yang bersangkutan dengan hak asasi bagi
seorang terdakwa.
Asas Praduga Tak bersalah yang telah diatur dalam pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang

19
Padmo Wahyono, “Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Pers yang Bebas”
(Makalah yang diajukan dalam seminar Asas Praduga Tak Bersalah dan Trial By The Press, Hotel
Aryaduta, Jakarta, 25 Maret 1989)
20
Oemar Seno Adji, Perkembangan Delik Pers di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1991), h.
64
51

mengatakan: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau


dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekeuatan
hukum tetap”. Meskipun tidak secara eksplisit menyatakan hal yang sama, asas
tersebut diutarakan di dalam pasal 66 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menegaskan,
“Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Sedangkan di
dalam penjelasan pasal tersebut mengatakan bahwa ketentuan dalam pasal 66
KUHAP tersebut adalah penjelmaan dari asas praduga tak bersalah. Dikarenakan
asas tersebut diatur dalam UU hukum pidana, banyak yang berpendapat bahwa
asas itu hanya untuk hal-hal yang berhubungan dengan hukum pidana.
Asas praduga tak bersalah tidak hanya memonopoli hukum pidana, tetapi
juga menjadi bagian instrument dalam hukum pers. Hal ini dimaksudkan untuk
memberi Batasan dalam menyikapi kebebasan pers. Media massa sebagai pilar
demokrasi sepatutnya menundukkan diri kepada kekuatan gagasan pelindung
HAM. Berkenaan dengan hal ini, maka dalam praktek pers, seharusnya asas
praduga tak bersalah dimaknai beberapa keadaan.
1. Asas praduga tak bersalah dalam praktek pers dimaknai sebagai upaya
penyelenggaraan kontrol sosial yang menghindar dari adanya trial by the
press. Pers hanya berhak untuk mencari berita tetapi tidak membuat apalagi
merekayasanya. Dalam pemberitaan yang menyangkut nama baik atau
kehormatan seseorang, sangat penting dihindari labelisasi negatif atas diri
seseorang ataupun citra kredibilitas sebuah lembaga atau badan, baik privat
maupun publik.
2. Asas praduga tak bersalah dimaknai dalam praktek pers sebagai kesadaran
bahwa “playing-judgement” adalah penodaan nilai-nilai demokrasi yang
menjunjung tinggi kebebasan. Pada pasal 5 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999
tentang Pers disebutkan “Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa
dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan
masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Ketentuan ini pers harus
mengemas informasi yang disalurkannya secara berimbang dari dan kepada
masyarakat (narasumber), sehingga terhadap tuduhan yang berkaitan dengan
52

status hukum tertentu bersifat praduga (prejudice) dan tidak


menggambarkannya sebagai judgment atau presumption of quality.
3. Asas praduga tak bersalah dalam praktek pers dimaknai sebagai pelaksanaan
fungsi pers meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan penghormatan
atas supremasi hukum. Semuanya ini berpulang pada penafsiran. Berpangkal
tolak dari pandangan Dworkin bahwa, “hukum adalah melalui konsep
penafsiran”. Maka tentunya hal itu berkisar pada persoalan pemahaman atas
suatu peristiwa (fakta) dan pada aturan-aturan hukum (norma). Kadang-
kadang suatu peristiwa atau suatu perbuatan diyakini sebagian orang sesuatu
yang benar menurut hukum, tetapi adakalanya orang lain mengatakan hal itu
bertentangan dengan hukum. Dengan demikian, setiap kali terjadi suatu
peristiwa yang menarik suatu perhatian, maka seringkali pers dan masyarakat
melakukan penafisiran-penafsiran baru. Persoalannya bukan terletak pada
adanya penafsiran-penafsiran baru, tetapi terletak pada dikonstruksi
sedimikian rupa sehingga mewadahi kepentingan tertentu dalam masyarakat.
Pers seharusnya menjadi alternatif lembaga yang memiliki tugas untuk
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan penghormatan supremasi
hukum dengan menjadikan asas praduga tak bersalah sebagai dasar
pemberitaan yang disampaikannya kepada publik.
Ketentuan mengenai Asas Praduga Tak Bersalah juga tercermin dalam
Deklarasi Hak Asasi Manusia (PBB) ini diatur dalam pasal 11 ayat 1 dan 2 yang
berbunyi:
1. “Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan pelanggaran
pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut
undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang terbuka dan di dalam
sidang itu diberikan segala jaminan yang perlu untuk pembelaannya”.
2. “Tidak seorangpun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran pidana
karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran
pidana menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika
perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak di perkenankan menjatuhkan
53

hukuman lebih berat daripada hukuman yang seharusnya dikenakan


ketika pelanggaran pidana itu dilakukan”.21

Adapun mengenai keterkaitan Asas Praduga Tak Bersalah dalam


pemberitaan pers dalam pasal 12 piagam ini berbunyi:
“Tidak seorangpun dapat diganggu dengan sewenang-wenang dalam
urusan perseorangannya, keluarganya, rumah tangganya atau hubungan
surat-menyuratnya juga tak diperkenankan pelanggaran atas
kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat
perlindungan Undang-Undang terhadap gangguan-gangguan atau
pelanggaran-pelanggaran demikian”.22
Akan tetapi dalam prakteknya, pemberitaan pers tidak jarang membawa
dampak yang negatif, baik bagi pers, peradilan, dan juga bagi pencari keadilan
(tersangka atau terdakwa). Pemberitaan oleh pers yang disertai komentar dan
opini yang bersifat menganalisis, dan disampaikan dengan gaya bahasa yang
menyudutkan atau mengajak publik untuk menyimpulkan salah atau tidaknya
seorang pencari keadilan (tersangka atau terdakwa), dapat menimbulkan opini
publik yang luas oleh berita tersebut.
Dengan dapatnya suatu hal di luar pengadilan (pemberitaan oleh pers),
yang mampu mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan, maka putusan
yang diambil dapat menguntungkan satu pihak tertentu. Hal ini dapat
menimbulkan suasana yang tidak kondusif bagi peradilan untuk melaksanakan
proses penegakan hukum secara bebas (free), adil (fair) dan tidak memihak
(impartial).
Pers di Indonesia diwajibkan menghargai asas praduga tak bersalah, sesuai
peraturan yang telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. Apabila
tidak menghargai asas praduga tak bersalah dan tidak menjunjung kebebasan yang

21
Peter Baehr et. al, Instrumen International Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1996), h. 211-212
22
Peter Baehr et. al, Instrumen International Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1996), h. 211-212
54

bertanggung jawab, berita tersebut dapat menimbulkan opini di dalam


masyarakat, baik opini yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif terhadap
jalannya proses peradilan. Terbentuknya opini di dalam masyarakat yang
disebabkan oleh berita yang tidak menghormati asas praduga tak bersalah, maka
pemberitaan tersebut dapat merugikan seorang tersangka atau terdakwa dalam
proses peradilan yang dijalaninya, begitupula hal ini mampu mempengaruhi
putusan yang akan diberikan majelis hakim terhadap seorang terdakwa atau
tersangka pada proses peradilan.
Dalam sebuah berita yang di muat media massa sudah seharusnya
mengacu pada struktur berita yang baik. Struktur berita sangatlah penting untuk
membangun sebuah berita, dengan begitu berita pun tersusun rapi dan mudah
dipahami. Sebuah berita memiliki 3 struktur penting yaitu:
1. Judul berita (headline)
Judul adalah kunci yang mewakili berita secara keseluruhan. Judul sudah
seharusnya singkat, namun memuat inti dari keseluruah berita. Tak hanya itu,
judul juga harus dibuat menarik agar masyarakat pun berminat untuk membaca.
2. Teras berita (lead)
Jika judul memuat inti berita, teras berita justru merangkum inti
keseluruah berita. Teras berita merupakan perluasan dari judul, memberi sedikit
gambaran kepada masyarakat tentang apa isi berita yang ditulis. Mudahnya, teras
berita memuat unsur what, who, when, dan where.
3. Isi berita (body)
Inti dan rangkuman berita sudah ada pada judul dan teras. Isi berita
merupakan keterangan atau penjelasan faktanya. Di sini wartawan secara bebas
menulis sebanyak apa fakta, data, dan kutipan apa yang telah ia kumpulkan.
Merupakan perpanjangan dari teras berita, yakni memuat unsur why dan how.23
Berita yang diterbitkan oleh media massa sehingga termasuk dalam
kategori trial by the press telah dapat dilihat dari bagaimana media menyusun
judul sebuah berita. Judul merupakan inti dari keseluruhan berita, sehingga judul
mampu menggiring pembaca untuk masuk pada substansi permasalahan tanpa

23
https://kinibisa.com/artikel/detail/menulis/subdetai/penulisan-jurnalistik/read/4-tips-
menulis-berita-yang-baik-dan-benar
55

harus membaca isi berita. Dalam beberapa pemberitaan di media massa judul
yang digunakan mempengaruhi pembaca untuk membenarkan atau menyalahkan
pihak-pihak yang menjadi subjek dalam pemberitaan. Dalam kasus penistaan
agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama sebagai tersangka, media massa
menjadi instansi paling menikmati dalam melakukan pemberitaan baik
pemberitaan dalam media cetak, televisi maupun online.
Kasus yang sangat kontroversi ini menjadi perlombaan bagi setiap media
untuk saling mencuri perhatian masyarakat dalam mempublikasi berita ini.
Perlombaan ini tidak hanya menampilkan perjalanan kasusnya setiap saat, namun
perlombaan ini juga terjadi dalam memberikan judul berita agar ketertarikan
masyarakat pada media semakin tinggi.
Masih hangat dalam ingatan kita betapa hebohnya isu dugaan penistaan
agama yang dilakukan oleh Basuki Tjhaja Purnama atau yang dikenal dengan
sebutan „Ahok” beberapa tahun silam tepatnya ditahun 2016-2017. Dimulai dari
kalangan masyarakat dewasa, remaja bahkan anak-anakpun ikut meramaikan isu
ini. Kasus yang menjadi kontroversi ini tidak hanya disebabkan oleh isu agama,
namun isu ini juga terjadi dalam situasi politik yang begitu mendominasi ruang
publik.
Media memegang peranan penting dalam isu ini, media juga menjadi
institusi yang begitu diminati oleh kalangan politisi. Penyebaran informasi yang
begitu massif menjadi alasan untuk semua pihak yang terlibat untuk beramai rami
meminang media-media ternama demi mencapai tujuan kelompoknya. Namun tak
sedikit yang memberikan tawaran pada media-media kecil untuk dapat
mempublikasi isu ini.
Media masa berlomba-lomba untuk mencari perhatian masyarakat
sehingga berita yang mereka produksi dapat dinikmati atau sekedar mendapatkan
perkembangan berita penistaan agama ini. Perlombaan yang begitu luar biasa
membawa media pada situasi yang membingungkan. Media harus benar-benar
membuat beritanya menjadi berbeda dari berita lainnya, namun hal ini berpotensi
untuk menabrak ruang-ruang kode etik yang menjadi landasan bagi media itu
sendiri hingga dapat terjebak dalam tindakan trial by the press.
56

Diantara media yang menjadi ruang publikasi dalam penyebaran isu


penistaan agama ini adalah ObsessionNews.com yang menggunakan judul
“Waspada Air Mata Buaya Si Penista Agama”. ObsessionNews.com adalah salah
satu media berbasis online yang juga meramaikan isu penistaan agama ini. Dalam
muatan berita yang disajikan oleh ObsessionNews.com banyak menggunakan
kutipan yang dilakukan oleh pengguna media sosial Twitter atau biasanya disebut
“cuitan”. ObsessionNews.com juga menggunakan istilah air mata buaya yang
kemudia di terjemahkan menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Penerjemahan yang diberikan ObsessionNews.com terhadap istilah Air Mata
Buaya ini diantaranya untuk memberi respon terhadap banyaknya “cuitan” dalam
aplikasi Twitter yang menggunakan istilah air mata buaya dalam mengomentari
Basuki Tjhahaja Purnama yang menangis ketika menjalani persidangannya.24
Judul yang menarik perhatian dari berita yang ditulis oleh
ObsessionNews.com adalah penggunaan kata “si penista agama”. Kalimat ini
menjadi menarik karena mengandung unsur yang bersifat tuduhan, selain itu
kalimat ini juga seolah-olah memberikan julukan kepada Ahok yang berupaya
menggiring pembaca untuk setuju atas julukan ini. Julukan “si penista agama”
kepada Ahok ini diberikan ketika proses hukum belum sampai pada putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yaitu pada tanggal 16 Desember 2016
sedangkan putusan perkara ini pada tanggal 09 Mei 2017, sehingga
ObsessionNews.com berpotensi masuk dalam tindakan trial by the press.
Media lainnya yang juga tidak kalah kontroversi dalam memberitakan isu
penistaan agama ini adalah Merdeka.com yang menggunakan judul “Saat
Megawati Bicara Soal „Ahok Si Penista Agama.25 Judul berita yang ditulis oleh
Merdeka.com tersebut juga berpotensi dalam tindakan trial by the press, hal ini
dilihat dalam penggunaan kalimat “Ahok si penista agama” dimana kalimat ini
tidak jauh berbeda dengan kalimat yang ditulis oleh ObsessionNews.Com. Saat

24
https://www.obsessionnews.com/waspadai-air-mata-buaya-si-penista-agama/ dikunjungi pada
15 april 2019 pukul 23.12
25
https://www.merdeka.com/peristiwa/saat-megawati-bicara-soal-ahok-si-penista-agama.html
dikunjungi pada 15 april 2019 pukul 23.12
57

berita ini dipublikasikan ke publik pada hari Kamis tanggal 16 Maret 2017 proses
hukum Ahok masih berlangsung dan hakim belum menetapkan bahwa Ahok
adalah pelaku penistaan agama, sehingga judul berita ini seolah-olah
menggunakan kalimat yang tendensius dan bermuatan politis untuk meyakinkan
masyarakat bahwa Ahok adalah pelaku penistaan agama.

Kedua media ini memberikan dampak pada masyarakat yang terlihat dari
upaya demonstrasi untuk menuntut Ahok agar segera ditahan dan diberikan
tuntutan bersalah kepadanya. Demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat di
depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berlangsung dari persidangan pertama
hingga pembacaan putusan. Aksi yang dilakukan masyarakat ini adalah buah
provokasi dari pihak-pihak yang merasa kecewa atas sikap yang dilakukan oleh
Ahok.
BAB IV
ANALISIS TRIAL BY THE PRESS DALAM HAK ASASI
MANUSIA DAN HUKUM ISLAM

A. Analisis Trial By The Press Dalam Hak Asasi Manusia


Hak Asasi Manusia adalah hak yang diberikan bukan oleh negara maupun
pihak lainnya, namun hak ini lahir bersama setiap personal di belahan bumi
manapun. Ketika sebuah negara menyadari bahwa HAM bukanlah pemberiannya
maka tugas negara adalah menjaga dan mengawasi setiap HAM masyarakatnya agar
tidak mengalami benturan satu dengan yang lainnya. Disadari atau tidak, kebebasan
menyampaikan pendapat adalah bagian dari HAM yang harus dijaga dan dihormati
setiap pihak, namun hak ini juga tidak dapat menjadi alasan untuk menghilangkan
hak orang lain, hal ini kerap kali terjadi karena setiap orang lebih banyak
memperjuangkan hak individunya daripada menjaga hak-hak orang lain.
Negara tidak dapat melakukan aktifitas pelarangan terhadap kebebasan
menyampaikan pendapat, namun negara wajib untuk memberikan ruang-ruang yang
tepat bagi setiap masyarakat dan memberikan kontrol kebebasan sehingga kebebasan
berpendapat tidak menjadi pemicu munculnya konflik horizontal di tengah-tengah
masyarakat. Menciptakan stabilitas di tengah-tengah masyarakat menjadi sangat
penting dilakukan, mengingat kebebasan berpendapat dimaknai secara berlebihan
oleh sebagian pihak demi mencapai harapan dan ego-ego sektoral dengan
menciptakan informasi yang manipulatif. Hal ini tidak hanya melanggar prinsip
HAM itu sendiri namun juga melanggar etika komunikasi yang seharusnya informasi
disampaikan menggunakan data-data yang valid.
Dewasa ini, penyebaran informasi mencapai titik tercepat dengan munculnya
media-media massa yang tidak hanya menggunakan media cetak namun juga telah
memanfaatkan teknologi. Pemanfaatan teknologi ini berperan penting ditengah-
tengah masyarakat untuk dapat menjangkau informasi lebih cepat dan lebih luas.
Namun informasi yang begitu cepat ini terkadang tidak dibarengi dengan kesiapan

58
59

masyarakat untuk menganalisis informasi dengan baik, sehingga pesan yang hendak
disampaikan oleh media tidak diterima oleh masyarakat. Celah ini terkadang
dimanfaatkan oleh sebagian kelompok untuk begitu massif memproduksi informasi
dengan cepat untuk menggiring masyarakat agar bersepakat pada apa yang mereka
kehendaki. Masyarakat yang memiliki pola berfikir yang instan akan mudah sekali
terpengaruh dan terperdaya oleh sebuah berita yang provokatif, namun tidak sedikit
masyarakat yang mulai menggemari cara berfikir instan ini, disamping karena
mudah dimengerti juga karena pola berita yang disajikan terlihat menarik.
Penyebaran berita yang bersifat provokatif dan bernuansa penggiringan opini
menjadi satu fenomena yang mulai sering terjadi, hal ini disebabkan media telah
menjadi satu-satunya cara paling efektif untuk menyampaikan pesan tertentu
ketengah-tengah masyarakat. Penyebaran berita yang dilakukan media dengan
nuansa provokatif dan bohong menjadi polemik ditengah-tengah kalangan media,
selain telah melakukan pelanggaran etik terhadap profesi pers, juga mengganggu
stabilitas penegakan hukum di Indonesia. Indonesia adalah negara hukum, setiap
langkah dan perbuatan masyarakatnya betul-betul diawasi dan dijaga oleh hukum.
Hukum yang telah diposisikan sebagai panglima sudah seharusnya menjadi jalan
konstitusional bagi masyarakat dalam mencari sebuah keadilan. Keadilan yang
hendak dicapai oleh masyarakat tidak dapat diintervensi oleh siapapun termasuk
media.
Intervensi hukum yang dilakukan media juga disebut trial by the press atau
pers yang menfungsikan diri untuk melakukan justifikasi terhadap pihak-pihak
tertentu yang terlibat dalam perkara hukum. Dalam hukum pidana dikenal dengan
prinsip asas prduga tak bersalah, asas ini dimaknai setiap orang yang terrlibat dalam
proses hukum sekalipun telah ditetapkan menjadi tersangka tidak berhak dikatakan
bersalah hingga adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam
kasus hukum yang besar terkadang menjadi perhatian untuk kalangan pers, pers
bersama-sama memproduksi beritanya untuk kemudian disebarkan ditengah-tengah
masyarakat. Banyaknya media yang ada membuat iklim persaingan antar lembaga
pers menjadi lebih besar. Masyarakat akan cenderung memilih media yang berani
60

untuk menampilkan headline yang menarik dan juga berita yang menyajikan konten
yang berbeda dari yang lain.
Kompetisi media massa dalam mencari perhatian penikmat berita terkadang
melampaui batas-batas toleransi kebebasan pers, berita yang seharusnya menjadi
sarana informatif berubah menjadi sarana provokatif, penggiringan opini, bahkan
menjadi ajang adu domba. Proses hukum yang seharusnya dihormati juga dilampaui
dengan melakukan analisis-analis bodong oleh media tanpa melakukan penelitian
dan telaah data yang baik. Problematika yang kerap terjadi dalam dunia pers
terutama dalam trial by the press bukan hanya persoalan kompetensi seorang jurnalis
secara personal, namun juga berkaitan dengan bagaimana sebuah lembaga pers
memiliki Quality of Journalism atau kualitas jurnalistik.
Berita yang hendak diproduksi harus melewati berbagai prosedur dimulai
pengambilan data dilapangan hingga melalui meja redaksi untuk melakukan uji data
dan fakta sebelum akhirnya sebuah berita benar-benar di sebarkan ditengah-tengah
masyarakat. Prosedur yang relatif panjang seharusnya mampu menekan kesalahan
pers agar tidak terjebak dalam prilaku trial by the press, namun prosedur ini
nampaknya tak cukup mampu membuat pers terhindar dari praktek trial by the press.
Trial by the press bukan lagi kesalahan yang tidak sengaja dilakukan, terkadang
perilaku ini benar-benar sengaja dilakukan untuk beberapa alasan, salah satunya
adalah untuk melakukan framing kepada para pembaca agar sepakat pada apa yang
diharapkan oleh pers. Perilaku ini tidak hanya berpotensi melakukan pelanggaran
etik, namun telah masuk pada wilayah kejahatan publik yang dilakukan oleh pers.
Penulis mencoba membangun analisis ini dari prinsip Hak Asasi Manusia itu
sendiri yang juga menjadi dalil bagi para jurnalis melakukan trial by the press. Asas
praduga tak bersalah secara sosiologis adalah manifestasi dari bagaimana hukum
bekerja sebagai guardian bagi HAM dalam masyarakat. Dalam prosedur hukum,
seorang tersangka biasanya sudah dipastikan bersalah, namun cara berfikir demikian
bisa sangat berbahaya, karena hakim memiliki analisis yang mungkin sangat berbeda
dengan pihak manapun, sehingga pembebesan kepada tersangka mungkin saja
terjadi.
61

Jika media melakukan justifikasi bersalah kepada tersangka padahal di akhir


persidangan tersangka dibebaskan oleh majelis hakim, maka siapakah yang harus
bertanggung jawab jika ternyata masyarakat telah melakukan stigma negatif kepada
tersangka dan keluarganya? Maka menurut penulis yang harus bertanggung jawab
salah satunya adalah media yang telah melakukan trial by the press, sehingga hal ini
dapat dikategorikan sebagai sebuah kejahatan HAM oleh media. Terlepas jenis
kejahatan yang dilakukan, tidak memberikan hak apapun kepada media untuk
melakukan trial by the press karena yang paling penting adalah menjaga posisi
media untuk tidak terlibat dalam tindakan yang dapat merugikan pihak manapun.
Kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum sangat diperhatikan oleh
negara dalam rangka menjaga kemandirian masyarakat sebagai manusia seperti
disebutkan dalam pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi: “kemerdekaan berserikat dan
berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang”. Namun perlu diingat dalam pasal inipun mengatur
bagaimana sebuah hak berpendapat tidak boleh melanggar batas-batas kebebasan itu
sendiri, seperti dalam pasal 28 ayat (I) poin no 2 “setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Jika dilihat dari
muatan pasal ini, undang-undang telah memberikan kebebasan untuk menyampaikan
pendapat, namun juga memberikan larangan melakukan diskriminasi. Penjelasan ini
memberikan isyarat bahwa kebebasan yang diberikan tidak serta merta mencapai
taraf kebebasan yang mengganggu kebebasan orang lain.
Media massa adalah salah satu subjek yang rentan terhadap pelanggaran
terhadap pasal 28 ayat (I) poin no 2 tentang perlakuan diskriminatif terhadap para
pihak yang menjadi objek sebuah pemberitaan. Dalam sebuah pemberitaan, misalnya
pada proses peradilan pidana, sebuah media berpotensi melakukan trial by the press
dengan menggunakan redaksi contoh: “Seorang Pemuda Telah Melakukan Pencurian
di Sebuah Minimarket”, dari kalimat ini media telah melakukan trial by the press
62

dengan menggunakan kalimat “telah melakukan pencurian” padahal proses peradilan


masih berlangsung dan belum mendapatkan kekuatan hukum tetap sehingga media
tidak berhak untuk menjustifikasi bersalah kepada pemuda ini terhadap dugaan
tindak pidana yang menjeratnya, sehingga media harus lebih berhati-hati dalam
menggunakan redaksi agar tidak terjebak dalam tindakan trial by the press.
Masyarakat yang tidak mengerti proses hukum acara pidana, menganggap
bahwa informasi yang disampaikan media adalah hal yang biasa, namun tanpa
disadari masyarakat terpengaruh untuk membenarkan bahwa pemuda pada kasus
diatas telah bersalah walaupun dalam proses peradilan pemuda tersebut belum
dianggap bersalah. Hal ini tidak hanya merugikan si pemuda namun secara tidak
langsung merugikan pihak keluarga dalam pandangan masyarakat. Media sudah
seharusnya betul-betul menyadari bahwa sikap trial by the press memiliki dampak
yang sangat serius terhadap keberlangsungan hidup sebuah keluarga dan perilaku ini
dalam pandangan penulis telah masuk pada tindakan pelanggaran HAM.
Salah satu yang menjadi landasan bagi pers dalam melakukan aktivitas
pemberitaan adalah UU No. 40 Tahun 1999 Tentang kebebasan pers. Dalam sejarah
orde baru pers telah banyak merasakan sulitnya menyampaikan pendapat dan berita
secara objektif, sehingga undang-undang ini betul-betul menjadi nafas baru bagi pers
untuk berekspresi. Namun ekspresi yang berlebihan terkadang dilakukan secara
nyata oleh pers sehingga tindakan trial by the press tidak terhindarkan. Untuk
membatasi euphoria kebebasan pers, dewan pers yang telah dibentuk menciptakan
satu regulasi dalam bentuk kode etik jurnalstik, salah satu pasal yang sangat tegas
membatasi perilaku seperti trial by the press ini adalah pasal 3 KEJ yang berbunyi:
“wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi serta menerapkan asas
praduga tak bersalah”. Tak cukup menggunakan KEJ, undang-undang juga mengatur
seperti dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
secara tegas mengatakan “wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan
jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
63

Aturan yang telah dibuat sedemikian rupa tidak hanya untuk menjaga pers
agar tidak lagi kehilangan kebebasannya, namun juga untuk mengantisipasi dan
mengontrol pers agar tidak menggunakan kebebasannya sehingga tidak terjebak
dalam trial by the press. Jika pelanggaran masih saja terjadi, terlebih pelanggaran
yang bersifat penghilangan HAM maka dalam pandangan penulis sanksi yang
diberikan tidak lagi berupa administratif, namun sanksi ini juga dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana pelanggaran HAM.
Penulis menemukan beberapa kasus pada media massa yang telah ditulis
pada bab sebelumnya. Dalam pandangan penulis kasus ini merupakan tindakan trial
by the press, yaitu berita yang dimuat oleh media ObsessionNews.com yang
menggunakan judul “Waspada Air Mata Buaya Si Penista Agama”, Merdeka.com
“Saat Megawati Bicara Soal „Ahok Si Penista Agama”. Penulis akan melakukan
analisis terhadap dua berita ini mengapa keduanya termasuk dalam tindakan trial by
the press.
ObsessionNews.com adalah media online yang telah banyak melakukan
pemberitaan lokal, nasional bahkan hingga Internasional. Media ini juga merupakan
media yang memiliki pengalaman dalam melakukan pemberitaan, sehingga penulis
melihat ObsessionNews.com masuk dalam kriteria media massa yang memberikan
informasi yang cukup massif dan berpengaruh dalam dunia jurnalistik.
Pada tahun 2016 media massa sempat diramaikan oleh berita politik yang
melibatkan Basuki Tjahaya Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta yang juga
mencalonkan diri sebagai calon Gubernur DKI Jakarta bersama Djarot Saiful
Hidayat sebagai calon wakil Gubernur DKI Jakarta. Basuki Tjahaya Purnama yang
akrab disapa Ahok dilaporkan oleh beberapa orang, salah satunya adalah Novel
Chaidir Bamukmin kepada kepolisian karena diduga telah melakukan tindak pidana
penodaan agama.
Peristiwa ini kemudian direspon oleh banyak pihak yang juga menganggap
Ahok telah melakukan tindak pidana yang dimaksud, namun sebagian lainnya
menganggap Ahok tidak melakukan tindak pidana penodaan agama dengan
64

menggunakan pendekatan dan analisis yang berbeda. Dalam perjalanan proses


hukum yang dijalani oleh Ahok, sebagian masyarakat terprovokasi untuk melakukan
tuduhan dan justifikasi kepada Ahok bahwa ia telah benar-benar melakukan
penodaan agama. ObsessionNews.com adalah pihak yang juga turut andil dalam
melakukan tuduhan kepada Ahok dengan menggunakan redaksi berita yang dalam
pandangan penulis telah mendahului keputusan hakim dengan memberi julukan
penista agama kepada Ahok. Dalam Analisa penulis pemberian julukan penista
agama adalah bagian dari tuduhan yang serius mengingat pemberian julukan penista
agama kepada Ahok hanya dapat dilakukan ketika Ahok telah diputus oleh
pengadilan dan mendapatkan kekuatan hukum tetap.
Penistaan dan penodaan agama merupakan dua istilah yang memiliki
kesamaan dari tindakan yang dilakukan, istilah ini hanya berbeda penggunaannya
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sehingga istilah penista agama dan
tindak pidana penodaan agama adalah sama, ObsessionNews.com telah
menggunakan istilah penista agama kepada Ahok, sedangkan proses hukum masih
berlangsung. Tindakan yang dilakukan oleh ObsessionNews.com dalam pandangan
penulis telah melakukan tindakan trial by the press yang telah memprovokasi dan
melakukan penggiringan opini masyarakat untuk menyamakan persepsi bahwa Ahok
telah melakukan penodaan agama.
Tindakan yang sama juga dilakukan oleh media Merdeka.com yang dalam
pandangan penulis telah melakukan hal yang sama yaitu trial by the press.
Merdeka.com adalah salah satu media online yang masuk dalam kriteria media
mainstream yang memiliki tingkat penyebaran informasi yang massif dan luas
jangkauannya. Dalam salah satu judul berita yang juga membahas kasus hukum
tindak pidana penodaan agama oleh Ahok, Merdeka.com telah menggunakan redaksi
yang bersifat tuduhan kepada Ahok sebagai penista agama, yaitu berita yang
berjudul “Saat Megawati Bicara Soal “Ahok Si Penista Agama”. Pemilihan kata oleh
Merdeka.com tidak jauh berbeda dengan apa yang digunakan oleh
ObsessionNews.com yang berupaya mendahului putusan hakim yang belum
memiliki kekuatan hukum tetap. Penulis melihat trial by the press telah dilakukan
65

oleh Merdeka.com dalam upaya melakukan subjektivitas terhadap kasus ini yang
dapat dianggap telah melakukan penggiringan opini dan provokasi dalam
masyarakat.
Media massa sekaliber Merdeka.com yang memiliki jam terbang,
pengalaman dalam melakukan peliputan berita seharusnya mampu menghindari
kesalahan penggunaan redaksi dalam sebuah pemberitaan. Dari judul berita yang
digunakan oleh Merdeka.com sedikit banyaknya dapat menurunkan kredibilitas dan
kualitas pemberitaan, dimana sisi subjektivitas serta ketidak berimbangan
mendominasi judul berita ini.
Proses peradilan adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mendapatkan keadilan, pengadilan menggunakan teknik pe ncarian kebenaran
materil oleh pihak-pihak yang terlibat dan kemudian diputuskan oleh hakim tanpa
dapat diintervensi dan dipengaruhi oleh pihak manapun termasuk media, terlepas
dari hak media yang dapat secara bebas melakukan sebuah pemberitaan. Dari kedua
berita yang ditampilkan oleh media massa ObsessionNews.com dan Merdeka.com
diatas tidak hanya melanggar asas praduga tak bersalah, melanggar KEJ namun
kedua media ini juga melakukan tindakan yang dapat mempengaruhi Analisa hakim
dalam memberikan putusan kepada Ahok. Jika Analisa hakim terpengaruh oleh
pemberitaan ini maka Ahok sebagai tersangka menjadi pihak yang paling dirugikan
dalam proses hukum ini.
Beberapa contoh media massa yang terindikasi melakukan trial by the press
sebagai berikut:

NO Hari, Tanggal Nama Media Judul Berita

1 Jum‟at, 04 ObsessionNews.Com Tangkap Ahok Si Penista Agama


November 2016
2 Selasa, 13 TIME Sidang Penistaan Agama
Desember 2016 Gubernur Jakarta Mengancam
Sekulerisme di Indonesia
3 Selasa, 13 Suara.Com Penistaan Agama Ahok: dari
Desember 2016 Pulau Seribu, Demo 212, dan
Meja Hijau
66

4 Rabu, 14 ObsessionNews.Com Waspada Air Mata Buaya Si


Desember 2016 Penista Agama
5 Kamis 16 Maret Merdeka.com Saat Megawati Bicara Soal „Ahok
2016 Si Penista Agama‟
B. Analisis Trial By The Press Dalam Hukum Islam
Nabi Muhammad SAW adalah Rasul Allah atau utusan yang diturunkan
Allah kemuka bumi dengan tujuan membenahi perilaku dan kebiasaan buruk umat
manusia. Keputusan Allah untuk menurunkan nabi terakhir ini bukan tanpa alasan,
keputusan ini jika ditinjau dari perilaku sosial maka manusia pada masa itu dianggap
telah mencapai batas prilaku buruk sebagai manusia, sehingga tepatlah Allah untuk
menghadirkan sosok Nabi Muhammad untuk menjadi tauladan bagi manusia demi
tercapainya perilaku yang lebih humanis.
Kehadiran Nabi Muhammad SAW tidak hanya untuk menjadi suri tauladan
bagi manusia, namun kehadirannya juga membawa misi Tuhan mengaplikasikan
hukum-hukum baru untuk menjadi sosial kontrol bagi manusia. Manusia didalam
dirinya terdapat sifat-sifat hewani dimana satu dengan lainnya akan berusaha
bertahan hidup dengan menyingkirkan manusia lainnya, hal ini juga menjadi
perhatian Islam yang dibawa oleh Muhammad. Mengendalikan sifat hewani yang
begitu besar harus dilawan dengan sifat-sifat ilahiah, pengendalian ini diatur dalam
satu hukum syariah yang di berikan kepada manusia melalui kitab suci Qur‟an dan
Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Dalam kasus trial by the press juga berkaitan dengan pengendalian prilaku
yang diatur dalam Islam dimana trial by the press merupakan sebuah sikap yang
dapat merugikan masyarakat. Jika penulis melihat fenomena trial the press ini, maka
penulis dapat mengaitkan perilaku ini dengan perbuatan fitnah. Fitnah jika dilihat
dari istilah adalah perbuatan yang dituduhkan kepada seseorang atau pihak tertentu
tanpa menggunakan bukti yang akurat. Fitnah juga dapat diartikan sebagai tuduhan
kepada pihak tertentu sedangkan yang menjadi pihak tertuduh belum tentu
melakukan apa yang dituduhkan padanya. Allah telah memperingatkan
manusia tentang bahaya perbuatan f itnah, seperti dalam Al-Qur‟an:
ُ ْ َ َ َ ْ
ُ‫ال ق ْت ل ِم َنُ أ ش دُ َوال ِف ْت َن ة‬
67

“Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan” (QS. Al-Baqarah:
191)

Ayat ini begitu gamblang menjelaskan tentang perbuatan fitnah yang jika
dilakukan akan lebih berbahaya dari pembunuhan. Dalam pandangan penulis,
Analisa yang dilakukan pers tanpa melakukan verifikasi fakta tentang sebuah berita
yang hendak dipublikasi dapat termasuk dalam perbuatan fitnah. Jika dilihat dari sisi
akibatnya, perbuatan trial by the press tidak hanya merugikan pihak yang menjadi
objek pemberitaan, namun dapat merugikan dan mengganggu kehidupan keluarga
dan lingkungannya.
Seperti kisah yang terjadi pada „Aisyah radhiyallahu „anha ketika orang-
orang menceritakan berita bohong kepadanya. Diriwayatkan dari „Aisyah, istri
Nabi Shallallahu „Alaihi Wa Sallam, bercerita: “Biasanya Rasulullah apabila hendak
bepergian jauh melakukan undian bagi istri-istrinya, maka siapa saja di antara
mereka yang bagiannya keluar atas namanya maka dialah yang mendapat bagian ikut
pergi bersama beliau. Pada suatu ketika, Nabi akan pergi dalam suatu peperangan,
lalu beliau melakukan undian dan yang keluar adalah bagian atas namaku. Maka aku
pun ikut pergi bersamanya (mendampinginya) sesudah ayat tentang wajib hijab
diturunkan.
Aku pada saat itu dibawa di dalam sekedup (di atas punggung unta) dan di
situlah aku tinggal. Kami pun berjalan hingga Rasulullah shallallahu „alaihi
wasallam selesai dari misi peperangannya dan beliau pun kembali. Dan sudah terasa
dekat dari kota Madinah, maka pada suatu malam beliau mengizinkan (para
sahabatnya) untuk berangkat (pulang). Maka aku pun bangkit (untuk buang hajat)
ketika mereka diizinkan untuk pulang hingga pasukan itu telah berlalu. Seusai buang
hajat aku kembali kepada untaku, kemudian aku raba dadaku dan ternyata kalungku
terputus karena terenggut kukuku (dan hilang). Maka aku kembali (ke tempat buang
hajat) sambil mencari kalungku yang terjatuh hingga makan waktu cukup lama. Lalu
pada saat itu sekelompok orang yang biasa menuntun untaku datang menuju unta
68

yang dipunggungnya ada sekedupku dan mereka langsung menggiringnya dengan


mengira bahwa aku ada di dalamnya.
Rata-rata perempuan pada masa itu ringan, tidak gemuk, karena kami biasa
makan sesuap makanan saja, sehingga ketika mengangkat sekedupku ke atas
punggung unta tidak merasa bahwa aku tidak ada di dalamnya dan mereka pun
langsung membawanya. Sementara pada saat itu aku masih remaja di bawah umur
sedangkan unta telah pergi bersama mereka. Kalungku baru aku temukan sesudah
para pasukan berjalan jauh, maka dari itu aku pergi ke bekas tempat mereka singgah
(bermalam) dan di sana tidak ada seseorang. Lalu aku menuju bekas persinggahanku,
karena dalam dugaanku mereka pasti akan mencariku di sini.
Ketika aku sedang duduk menunggu, aku pun tertidur. Pada saat itu ada
seorang sahabat Nabi bernama Shafwan bin Mu‟aththal as-Sulami adz-Dzakwani,
bertugas sebagai orang yang memeriksa di belakang pasukan hingga kemalaman dan
pada keesokan harinya ia berada di dekat persinggahanku. Lalu ia melihat warna
kehitam-hitaman tampak seperti manusia yang sedang tidur dan ia pun
menghampirinya (aku) dan langsung mengenalku di saat ia melihatku, dan itu
(Shafwan pernah melihatku) sebelum diwajibkan hijab (tabir). Akupun terbangun
karena ucapan “istirja‟-nya di saat melihatku. (Istirja‟ adalah ucapan: Inna lillahi wa
inna ilaihi rajiu‟un). Maka aku langsung menutup wajahku dengan jilbabku, demi
Allah, ia tidak berbicara kepadaku dengan satu katapun, dan aku tidak mendengar
satu kata pun selain istirja‟-nya tadi. Lalu ia turun dan mendudukkan untanya
(supaya aku naik untanya). Maka aku naik ke untanya dan ia pun mengendalikannya,
hingga kami dapat mengejar para pasukan setelah mereka singgah beristirahat (di
suatu tempat).”
Atas kejadian ini munculah sebuah berita tuduhan fitnah bahwa „Aisyah
berselingkuh dengan Shafwan yang kemudian dibicarakan, disiarkan lalu dibenarkan
dan dikomentari. Fitnah tersebut dengan cepat beredar hingga Madinah sehingga
menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum muslimin. „Aisyah melanjutkan,
“Maka binasalah orang-orang yang terlibat dalam masalahku ini, dan tokoh yang
menyebarluaskan dosa besar ini adalah „Abdullah bin Ubay bin Salul.
69

Karena tuduhan berselingkuh di atas, sampai-sampai Rasulullah menunjukkan


perubahan sikap atas diri „Aisyah dan karena peristiwa inipun dirinya akhirnya jatuh
sakit. “Saat itu yang membuatku bingung, aku tidak melihat kelembutan dari
Rasulullah seperti biasa aku lihat ketika aku sakit. Beliau hanya mengucapkan salam,
lalu bertanya, “bagaimana keadaanmu,” lalu pergi. Itulah yang membuatku makin
merasa bimbang.
Kondisi fitnah itu tentu menyebar hingga mencapai satu bulan lamanya,
selama itu pula, tak ada wahyu yang diterima Rasulullah shalallahu „AlaIhi
Wasalam. Sampai akhirnya, Allah SWT mengabarkan berita gembira kepada
Rasulullah yang menyatakan bahwa „Aisyah terbebas dari segala tuduhan
perselingkuhan dan fitnah itu. Jawaban atas fitnah tersebut, Allah maktubkan di
dalam ayatnya QS. Annur ayat 11 yang berbunyi.
ُ َُ َ ُ َ َ ُ ُ َ ْ َ َ ْ ُ ْ ٌ َ ْ ُ ْ ْ ُ َ َ َّ َّ
‫ىه ش ًّرا لك ْم َب ْل ُه َى خ ْي ٌر لك ْم ِلك ِ ّل ْام ِر ٍئ ِم ْن ُه ْم َما‬ ‫اْلف ِك عصبة ُِمنكم َل تحسب‬ ِ ‫ِإن ال ِذًن جاءوا ِب‬
ٌ ‫ْاك َت َس َب ِم َن ْْلا ْثم َو َّال ِذي َت َى َّلى ِك ْب َر ُه ِم ْن ُه ْم َل ُه َع َذ‬
ٌُ ‫اب َع ِظ‬
‫يم‬ ِ ِ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk
bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari
mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara
mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita
bohong itu baginya azab yang besar.”

Ayat ini Allah turunkan sebagai jawaban atas beredarnya fitnah yang
menimpa Ummul Mukminin Aisyah RA. Setelah ayat ini turun, kondisi kaum
muslimin kembali normal dan bahkan semakin membaik dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Kisah ini memberikan pelajaran penting kepada kita, orang-
orang munafik seperti Abdulah bin Ubay bin Salul, dari sejak Rasulullah sampai
sekarang akan terus menebarkan fitnah dan kebencian kepada orang-orang mulia. Tak
tanggung-tanggung, Abdullah bin Ubay pernah berani memfitnah Rasulullah dan
70

keluarganya. Sebegitu beraninya Abdullah bin Ubay hingga akhir hayatnya penuh
dengan kesusahan yang tiada berujung.

Perbuatan fitnah ini jika diuraikan akan menghasilkan hukum-hukum lain


dengan ketentuan yang berbeda. Misalnya perbuatan fitnah kepada orang yang
melakukan perzinahan. Fitnah secara umum pada dasarnya hanya dihukumi sebagai
perbuatan dosa, namun jika fitnah ini dituduhkan kepada perbuatan zinah atau dalam
hukum islam disebut qodzaf, maka akan menghasilkan hukum yang lebih spesifik
yaitu dalam pandangan Imam Abu Hanifah seseorang yang melakukan perbuatan
qodzaf maka akan diberi hukuman 80 kali cambukan, tidak diterima persaksiannya
dan digolongkan dengan orang-orang fasik dan keluar dari ketaatan.
Trial by the press bisa saja terjebak dalam perbuatan fitnah, hal ini dalam
pandangan penulis dapat dikategorikan sebagai perbuatan dosa, namun jika trial by
the press telah masuk kepada perbuatan qodzaf maka dalam pandangan hukum islam
Imam Abu Hanifah hukuman qodzaf berlaku pada pihak yang melakukan perbuatan
qodzaf itu. Jika penulis meninjau perbuatan trial by the press hukum Islam maka
perbuatan trial by the press tidak bisa dibenarkan.
Terlepas dari perbuatan fitnah yang dilakukan oleh pers, Islam juga pada
dasarnya telah memberikan kebebasan kepada setiap muslim termasuk media masa
untuk berlomba-lomba melakukan perbuatan baik dan juga berlomba untuk
melakukan pencegahan terhadap prilaku buruk. Hal ini sebagaimana tertulis dalam
Al-Qur‟an:
َ َّ َ ۡ ُ َ ُ ۡ َ َ
‫وف َوت ۡن َه ۡىن َع ِن ٱۡلنك ِر َوتؤ ِم ُنىن ِبٱلل ِ ِۗه َول ۡى َء َام َن‬ ۡ َ ۡ َ ُ ۡ َ ‫ُك ُنت ۡم َخ ۡي َر ُأ َّمة ُأ ۡخر َج ۡت ل َّلن‬
ِ ‫اس تأم ُرون ِبٱۡلع ُر‬
ِ ِ ِ ٍ
َ‫َ ۡ ُ ۡ ََٰ َ َ َ َ ۡ ٗ َّ ُ ۚ ّ ۡ ُ ُ ۡ ُ ۡ ُ َن َ َ ۡ َ ُ ُ ُ ۡ ََٰ ُ ن‬
‫أهل ٱل ِكت ِب لكان خيرا لهم ِمنهم ٱۡلؤ ِمنى وأكثرهم ٱلف ِسقى‬

“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma‟ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka,
diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik.” (QS. Ali Imran: 110)
71

Islam memberikan ruang seluas-luasnya kepada media untuk menyampaikan


kebenaran, namun Islam juga memberikan peringatan untuk mencegah perbuatan
yang buruk atau mungkar sebagaimana ayat diatas. Pers harus memperhatikan ayat
ini dengan baik, karena jika informasi yang hendak di publikasi adalah sebuah
kebenaran, maka pers mendapatkan legitimasi untuk menyampaikannya, namun pers
juga perlu mengingat bahwa Indonesia adalah negara hukum dan memiliki prosedur
hukum tersendiri untuk mencari kebenaran yaitu dengan melalui prosedur peradilan.
Jika pers mengabaikan hal ini dan melakukan klaim kebenaran terhadap apa yang di
publikasikan, maka pers secara tidak langsung telah melakukan perbuatan fitnah.
Informasi yang di publikasi oleh sebuah media masa yang berkaitan dengan
tindakan hukum tidak dapat melakukan klaim kebenaran, walaupun pers telah merasa
cukup untuk melakukan pembuktian terhadap apa yang diberitakan. Penulis
memandang bahwa pers harus menunggu proses hukum yang sedang berjalan hingga
pengadilan telah memutuskan perkara hukum yang menjadi bahan pemberitaan pers.
Jika prosedur peradilan diabaikan maka penulis menganggap bahwa berita yang
disampaikan tetap termasuk dalam berita yang mengandung perbuatan fitnah dalam
sudut pandang hukum Islam.
Dalam pemberitaan yang dilakukan media ObsessionNews.com dan
Merdeka.com dalam kasus penodaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaya
Purnama juga bagian yang tidak terlepaskan dari pandangan Islam. Penulis melihat
terdapat indikasi perbuatan yang mendahului putusan pengadilan oleh media, hal ini
menunjukkan bahwa media telah berupaya melakukan klaim kebenaran untuk
melegitimasi dalam mempublikasi sebuah berita. Klaim kebenaran yang dilakukan
oleh media secara tidak langsung telah menghakimi Ahok dengan tuduhan bahwa ia
telah melakukan penodaan agama. Perbuatan yang dilakukan media ini telah
merugikan Ahok sebagai tertuduh serta keluarganya sehingga dalam pandangan Islam
perbuatan media ini telah sampai pada perbuatan menyebarkan berita bohong serta
fitnah.
72

Proses peradilan yang berjalan dalam kasus Ahok ini seharusnya menjadi
rambu bagi media untuk menahan diri menyebarkan informasi yang bersifar
tendensius dan telah mengganggu jalannya persidangan serta melakukan
penggiringan di dalam masyarakat untuk bersama-sama percaya dan melakukan
fitnah kepada Ahok yang telah melakukan penodaan agama.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Media massa adalah sarana penyebaran informasi yang paling efektif untuk
menyampaikan informasi dengan cepat di tengah-tengah masyarakat. Media massa yang
lahir pasca orde baru mendapatkan kebebasan untuk mempublikasi sebuah berita dengan
perlindungan undang-undang tanpa khawatir akan mendapatkan kecaman dari pihak
manapun, kebebasan ini juga kemudian memberikan peluang pada masyarakat untuk
menciptakan media massa baru. Maraknya media massa yang lahir pasca orde baru
melahirkan kompetisi dalam komunitas media massa itu sendiri untuk mempublikasi
berita, sehingga media massa yang pada awalnya diberi kebebasan, kemudian secara
berlebihan melakukan pemberitaan untuk menarik minat para pembaca sehingga secara
tidak sadar telah melanggar kebebasan itu sendiri.
Salah satu pelanggaran yang kerap terjadi dalam dunia media massa adalah trial by
the pres. Trial by the press atau terjemahannya secara harfiah “pengadilan oleh pers”
sebagaimana dikutip dalam laporan penelitian hukum BPHN tahun 2013 merupakan
kegiatan dimana pers bertindak sebagai peradilan mencari bukti-bukti, menganalisa, dan
mengkaji sendiri untuk kemudian berakhir dengan memberi putusan. Tindakan yang
dilakukan pers dalam menyampaikan informasi dapat menimbulkan dua konsekuensi,
konsekuensi yang dapat mempengaruhi masyarakat pada hal-hal positif yaitu ketika pers
mampu menyajikan berita yang edukatif dan informatif namun pers juga dapat memiliki
konsekuensi yang berdampak negatif pada masyarakat jika pers telah masuk pada
tindakan trial by the press.
Salah satu trial by the press yang terjadi adalah pemberitaan terhadap Ahok oleh
Obsessionnews.com dan Merdeka.com yang secra sepihak telah menjustifikasi Ahok
melakukan penodaan agama, sedangkan pengadilan belum memberikan putusan apakah
Ahok bersalah atau tidak. Tindakan trial by the press oleh kedua media ini tidak hanya
melanggar asas praduga tak bersalah namun telah melakukan pelanggaran HAM dengan
melakukan penghakiman secara sepihak. Penulis melihat bahwa kedua media ini juga
tidak hanya melakukan pelanggaran HAM namun juga dapat melakukan perbuatan fitnah

72
73

yang jika dilihat dari sudut pandang agama Islam adalah perbuatan yang dilarang dan
berdosa.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, melalui penelitian ini, penulis
mengajukan beberapa rekomendasi konstruktif sebagai berikut:
1. Media massa hendaknya melakukan kajian dan analisis yang lebih komprehensif dan
serius dalam mengupayakan aktifitas jurnalistik yang bersih dari tindakan trial by the
press dengan mempertimbangkan Hak Asasi Manusia.
2. Media massa harus memperhatikan prinsip dan norma agama salah satunya adalah agama
Islam yang telah memberi pandangan dalam melaksanakan aktifitas penyebaran
informasi yang lebih humanis, berimbang berdasarkan fakta-fakta sehingga media massa
terhindar dari perbuatan fitnah yang dapat merugikan orang lain.
3. Dewan pers harus memberikan sanksi yang tegas bagi media massa yang terbukti
melakukan trial by the press untuk mengembalikan citra pers yang berimbang, adil dan
berlandaskan fakta-fakta yang ada.
4. Pemerintah harus memberikan aturan-aturan yang efektif dalam mencegah
penyalahgunaan kebebasan pers serta melakukan pengkinian undang-undang sehingga
mampu melindungi masyarakat dari tindakan trial by the press.
5. Pemerintah harus tegas terhadap media massa yang telah terbukti melakukan tindakan
trial by the press tidak hanya melakukan sanksi administratif dan ganti rugi secara materi,
namun harus ada sanksi pidana jika diperlukan.
Akhirnya semoga skripsi ini dapat menjadi solusi untuk mencegah terjadinya
tindakan trial by the press dan memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang
kebebasan pers di Indonesia serta dapat menjadi edukasi bagi semua pihak agar dapat
membetengi diri dari pihak-pihak yang berusaha melakukan pelanggaran HAM serta
mencegah dari perbuatan fitnah.
DAFTAR PUSTAKA

Adji Oemar Seno, Perkembangan Delik Pers di Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1991
AM Waskito, Invasi Media Melanda Kehidupan Umat, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013

Arifin Anwar, Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi, Yogyakarta: Graha


Ilmu, 2011
Armansyah, Pengantar Hukum Pers, Bekasi: Gramata Publishing, 2015
Ash Shiddieqy Teungku Muhammad Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1975

Astuti Ayu Sri, Kebebasan Pers dan Etika Pers Dalam Perspektif Hukum Islam,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2015, Cet I

Atmasasmita Romli, “Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah:Reaksi Atas Paradigma
Individualistik”,https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b25f96c2ed41/lo
gika-hukum-asas-praduga-tak-bersalah-reaksi-atas-paradigma-individualistik-
br-oleh-romli-atmasasmita-,
Baehr Peter, et al, Instrumen International Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1996

Baskoro L.R, Jurnalisme Hukum Jurnalisme Tanpa Menghakimi, Jakarta: Lintang


Pers, 2010

BPHN Kementrian Hukum dan HAM RI, Pengaruh Praktik Courtroom Television
terhadap Independensi peradilan”, Penelitian Hukum, BPHN Kementrian
Hukum dan HAM RI, 2013

C. Merrill John dan Ralph D. Barney, Ethics and the Press, New York: Hasting
House Publishers, Inc, 1975

Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Penafsiran


Pasal 3 butir d

Edy Susanto, Muhammad Taufik Makarao, dan Hamid Syamsudin, Hukum Pers di
Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2010

El-Muhtaj Majda Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005

Fisher Roger, Constitutional Right of Speech, in Talks On American Law, Forum


Lectures, 1973

74
75

Fokky Law, Asas Praduga Tidak Bersalah dan Trial By The Press,
http://www.fokkylaw.com/, 19 Juni 2010

Gunakaya Widiada, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: ANDI, 2017

Harahap Krishna, Ruang Lingkup Dan Implementasi Kebebasan Pers Dalam Hukum
Indonesia, Bandung: Grafitri, 2000

Heri Tahir, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010

Horea Salajan, dkk., ABC Paket Berita TV, Jawa Barat: PJTV Program Pelatihan
Jurnalistik Televisi, 2001

https://kinibisa.com/artikel/detail/menulis/subdetai/penulisan-jurnalistik/read/4-tips-
menulis-berita-yang-baik-dan-benar

https://www.merdeka.com/peristiwa/saat-megawati-bicara-soal-ahok-si-penista-agama.html

https://www.obsessionnews.com/waspadai-air-mata-buaya-si-penista-agama/

Ibnu Katsir Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:500 Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan
pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul Jauz

Imam asy-Syafi‟I, Mukhtasar Kitab Al-Umm, alih bahasa: Amiruddin, Ringkasan Al-
Umm, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008

Iqbal Muhammad dan Azhari Akmal Tarigan, Syari’at Islam di Indonesia;


aktualisasi Ajaran dalam Dimensi Ekonomi, Politik dan Hukum, Jakarta:
Misaka Galiza, 2004

Kahya, Eyo Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers, Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2004
Kansil, C.S.T, Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1986

Khoirul Anam Faris, Fikih Jurnalistik Etika & Kebebasan Pers Menurut Islam,Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009

Lubis Mulya Todung, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, Jakarta: LP3ES,
1984

Mahbib Khoiron:http://www.nu.or.id/post/read/42030/ketika-khalifah-ali-kehilangan-
baju

Makarim, Edmon Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2003
76

Manan, Bagir, Menuju Pers Yang Bertanggung Jawab dan Sehat, Varia Peradilan
No. 299 Oktober 2010
----------, Pers, Praduga tak Bersalah, dan Hak Atas Informasi, Varia Peradilan No.
303 Februari, 2011

Muhammad Ahmadi, Fahmi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010

Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005

Ni Putu Noni Suharyanti, “Perspektif HAM Mengenai penerapan Asas Praduga Tidak
Bersalah Dalam Kaitannya Dengan Pemberitaan di Media Massa”, Jurnal
Advokasi, Vol. 5, No.2, September 2015, 123-128

Nowak Manfred, Introduction to the International Human Right Regine, Leiden:


Martinus Nijhoff Publishers, 2003

Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2009


Oetama Jacob, Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus,
Jakarta: Kompas, 2001

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005

Poernomo, Bambang, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi


Hukum Pidanga, Jakarta: Bina Aksara, 1984
Rahardjo Satjipto, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2010

RH, Priyambodo, Indria Prawitasari, Kode Etik Jurnalistik dalam Buku Saku
Wartawan, Jakarta: Lembaga Pers DR. Sutomo, 2010

Rusjdi Ali Muhammad, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Syariat Islam, Banda
Aceh: ar-Raniry Press, 2004

Shashi Tharoor, “Are Human Right Universal?”, Word Policy Journal, Vol. 16, No. 4
(Winter 1999/2000)

Simorangkir J.T.C, Hukum dan Kebebasan Pers, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional, 1980
Siregar, Ashadi, “Membangun Kebebasan Pers Yang beretika”, yang disampaikan
pada lokakarya I Jakarta: Yayasan Tifa, 2006

Sobur, Alex Etika Pers Profesionalisme Dengan Nurani, Bandung: Humaniora


Utama Press, 2001
77

Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: IND
HILLCO, 2001

Syam Mohammad Noor, Penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat Hukum,


Malang: Luman Christi, 2000

Tim Puslit IAIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)


Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Press, 2000, Cet I
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (i) poin 1, dan 2

Undang-Undang No. 22 pasal 2 ayat (1) Tahun 2002 tentang grasi

Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang penggunaan kata “pers” dalam


mendefinisikan produsen informasi, lembaga sosial dan wahana komunikasi
massa.

Wahyono Padmo, “Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Pers yang Bebas”
(Makalah yang diajukan dalam seminar Asas Praduga Tak Bersalah dan Trial
By The Press, Hotel Aryaduta, Jakarta, 25 Maret 1989)

Wiryawan, Hari Dasar-Dasar Hukum Media, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007

Anda mungkin juga menyukai