SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh :
ABDULLAH MAHFUD
NIM: 1112043100010
i
ABSTRAK
Kata Kunci : Pers, Media Massa, Trial By The Press, HAM, Hukum
Islam
Pembimbing I : Fahmi Muhammad Ahmadi,. M.Si
Pembimbing II : Atep Abdurofiq, M.Si.
Daftar Pustaka : 1973 s.d 2015
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf
Huruf Latin Keterangan
Arab
ب b be
خ t te
ث ts te dan es
ج j Je
خ kh ka dan ha
د d de
ر r Er
س z zet
س s es
x
ش sy es dan ye
ف f ef
ق q Qo
ك k ka
ل l el
م m em
ن n en
و w we
ه h ha
ء apostrop
ي y ya
xi
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Arab Latin
ـــــَـــــ a fathah
ـــــِـــــ i kasrah
ـــــُـــــ u dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
Arab Latin
ي ـــــَـــــ
َ ai a dan i
ـــــَـــــ و au a dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Arab Latin
اـَــــ â a dengan topi diatas
ىـِــــ î i dengan topi atas
وــُـــ û u dengan topi diatas
xii
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan
lam ))ال, dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya: = اإلجثهادal-ijtihâd
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t”
(te) (lihat contoh 3).
g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika
xiii
nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf
kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.
Misalnya, =الثخاريal-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini,
misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan
dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara
sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal
dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-
Rânîrî.
xiv
KATA PENGANTAR
Puji dan rasa syukur mendalam peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
berkat limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik. Salam dan salawat semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah
Muhammad SAW.
Selanjutnya, peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih secara khusus yang
tak terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH., M.H., M.A. Selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, selaku Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hidayatullah, SHI, MH., selaku Sekretaris Program
Studi Perbandingan Mazhab;
3. Ibu Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag. Selaku Dosen Penasehat Akademik Peneliti;
4. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, dan Atep Abdurofiq, M.Si. selaku
dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, saran dan ilmunya
hingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan mengajarkan Ilmu dan
akhlaq yang tidak ternilai harganya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan studi
dengan baik;
6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Kudus H. Ma’mun dan Ibunda Hj. Kokom
Komariah, yang tak pernah berhenti mendoakan penulis, memperhatikan dan
mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis takkan pernah bisa
membalas jasa dan pengorbanan kedua orang tua, namun perjuangan ini penulis
persembahkan khusus kepada kedua orang tua penulis;
7. Kakak-kakak tercinta, Novita Safarinah beserta suami, Renny Latifah beserta
suami dan Siti Sarah beserta suami, yang tak henti memberikan dukungan
kepada adiknya ini dan juga penulis ucapkan terima kasih kepada adik penulis
vi
Yogi Sofiyullah yang selalu mendoakan dan mendukung kakakmu ini, semoga
kakakmu ini menjadi pribadi yang sukses.
8. Terima kasih kepada Keluarga Komunitas Mahasiswa Fotografi KALACITRA
yang telah banyak memberikan ilmu baru khususnya ilmu fotografi dan
pembangunan karakter kepada saya yang belum tentu saya dapatkan di bangku
perkuliahan. KALACITRA! KALA WAKTU BERJALAN KALACITRA
MEREKAM
9. Teman seperjuangan Ahmad Faby Kriyan Ardani, Reza Fazriansyah, Tian
Nurmawan, dan Muhammad Baihaqi yang tergabung dalam Komunitas Samsul
Fanbase dimana dalam komunitas ini penulis dapat banyak mendapatkan arti
persahabatan walaupun akhirnya kalian telah lulus terlebih dulu tapi kalian tetap
ada menemani sampai akhirnya penulis lulus.
10. Sahabat juga junior penulis dari Prodi PMH yang telah banyak membantu dalam
hal apapun selama di ciputat, ananda Enoy, Akang, Murtadhi , Kije, Ari, Fahmi,
Deni, Salam hormat penulis dan ucapan terimakasih sebanyak-banyak nya yang
telah banyak memberikan informasi akademik kepada penulis. Kami juga
tergabung dalam grup Jl. Ir. Juanda No. 95
11. Dan kepada semua pihak yang terkait dengan skripsi ini yang tidak bisa peneliti
sebutkan satu persatu.
12. Terimakasih juga kepada pihak yang tak disebutkan penulis, namun tak
mengurangi rasa terimakasih da
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala m n hormat penulis
kepada kalian semua. memberikan balasan atas bantuan yang telah diberikan kepada
peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan juga, semoga apa yang telah
kalian berikan menjadi berkah dan amal kebajikan serta bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin.
Jakarta, 21 April 2019
Penulis
vii
DAFTAR ISI
viii
BAB IV ANALISIS TRIAL BY THE PRESS DALAM HAK
ASASI MANUSIA DAN HUKUM ISLAM ................................. 58
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak bisa dipungkiri, rasa untuk ingin tahu membuat manusia berusaha
mencari dan terus mencari beragam informasi yang ada di sekitarnya. Rasa untuk
ingin tahu ini juga akan semakin besar jika ia melihat benda atau mendengar sebuah
berita yang menurutnya masih asing, maka ia akan mencari tahu lebih lanjut tentang
berita tersebut, sehingga mereka menemukan informasi yang mereka butuhkan.1
Dibantu dengan segala macam perkembangan teknologi informasi pada era modern
dan memudahkan masyarakat dalam hal memperoleh berbagai macam informasi. Hal
ini ditunjukkan dengan mudahnya kita untuk memperoleh dan menggali informasi
melalui berbagai sarana media yang tersedia, yaitu media cetak, media elektronik,
dan juga media internet yang bisa diakses dengan mudah setiap hari.
Dalam era globalisasi arus informasi yang sedemikian cepatnya, masyarakat
sebagai objek penerima informasi sudah sepatutnya dilindungi dari efek negatif
derasnya arus informasi ini. Pemerintah menjadi pihak yang paling bertanggung
jawab untuk menciptakan sebuah wadah demi tercapainya informasi yang efektif,
efisien dan terkendali. Pemerintah telah memproduksi sebuah regulasi diantaranya
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Selain itu juga pemerintah
membentuk sebuah lembaga untuk mengendalikan informasi yang beredar di tengah-
tengah masyarakat dengan sebutan KEMKOMINFO (Kementerian Komunikasi dan
informatika). Melimpahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada pemerintah bukan
berarti dapat menyelesaikan semua masalah, peran masyarakat pun menjadi sangat
penting dalam membantu menciptakan arus informasi yang kondusif.
1
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2009), hlm. 22
1
2
2
Dalam UU No. 40 tahun 1999 Pasal 1 ayat 1 Tentang Pers, pers adalah lembaga sosial dan
wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara,
gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik dan segala segala jenis saluran yang tersedia.
3
Begitu pentingnya peran pers untuk memberikan informasi yang akurat, adil
dan terlepas dari segala macam bentuk kepentingan, maka pers perlu diberikan
kebebasan dalam menjalankan fungsinya. Kebebasan pers adalah kebebasan dan
tanggung jawab untuk mendiskusikan, mempertanyakan, dan menantang tindakan
dan pernyataan pemerintah serta masyarakat dan lembaga swasta. Pers menjunjung
tinggi hak untuk menyuarakan opini-opini yang tidak populer dan hak istimewa untuk
sependapat dengan mayoritas.3
Pers yang bertanggung jawab adalah pers yang bebas atau merdeka
menentukan diri sendiri hak dan kewajibannya tanpa suatu tekanan, keterpaksaan,
atau ketidak berdayaan. Pers yang semacam itu berlaku ketika adanya kemerdekaan
pers (freedom of press). Tanpa kemerdekaan, segala bentuk pertanggung jawaban pers
yang tidak merdeka semata-mata ditentukan oleh kehendak pihak yang dominan
sebagai alat kekuasaan.4
Pers merdeka memerlukan kebebasan, dan kebebasan tersebut memerlukan
demokrasi. Tanpa demokrasi tidak akan pernah ada kemerdekaan terhadap informasi
pers. Karena itu, siapapun yang menghendaki pers merdeka, seharusnya menjadi atau
pendukung demokrasi (the real democracy bukan crypto democracy).5 Agar pers
berfungsi secara maksimal sebagaimana di amanatkan oleh pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945, maka pers harus merdeka. Kemerdekaan pers adalah salah satu
perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Dimana pasal
28 UUD 1945 telah berbunyi: "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
Mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang”.
3
Horea Salajan, dkk., ABC Paket Berita TV, (Jawa Barat: PJTV Program Pelatihan Jurnalistik
Televisi, 2001), hlm. 10
4
Bagir Manan, “Menuju Pers Yang Bertanggung Jawab dan Sehat”, Varia Peradilan No. 299
Oktober 2010, hlm. 5
5
Bagir Manan, “Menuju Pers Yang Bertanggung Jawab dan Sehat”, Varia Peradilan No. 299
Oktober 2010, hlm. 6
4
6
Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum
Pidanga, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), h. 45
7
Manfred Nowak, Introduction to the International Human Rights Regime, (Leiden: Martinus
Nijhoff Publishers, 2003), h.1.
5
8
Eyo Kahya Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers,(Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004) h. 65-66
6
harus berhati-hati dan bersikap adil. Jika media massa tidak mampu menunjukkan
kredibilitas dan integritasnya, maka media massa akan terjebak dalam perbuatan
justifikasi terhapa pihak-pihak tertentu.
Dalam sistem hukum di Indonesia menganut prinsip asas praduga tak
bersalah.9 Hak asas praduga tak bersalah, merupakan kewajiban bagi semua pihak,
tidak terkecuali pers. Tujuan asas ini menjaga hak-hak yang dimiliki oleh pihak yang
terlibat dalam sebuah tindak pidana sebelum adanya putusan pengadilan yang bersifat
tetap (inkracht).10 Oleh karena itu pers dilarang memberitakan seseorang yang
disangka atau didakwa seolah-olah telah bersalah sebelum ada putusan pengadilan.
Kewajiban ini berlaku juga pada badan-badan atau perorangan yang memerhatikan
suatu peristiwa pidana.
Pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah bisa di kategorikan sebagai
pelanggaran HAM, merujuk pada pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang HAM.11 Dengan pelanggaran tersebut bisa menimbulkan kesewenang-
wenangan baik oleh aparat penegak hukum, masyarakat bahkan dari pers.
Pemberitaan oleh media yang memberi komentar dalam proses peradilan dapat
menimbulkan opini bagi publik agar tersangka atau terdakwa dipidana bersalah, dan
segera diadili, Hal seperti ini apabila dilakukan melalui pers disebut trial by the press.
Trial by the press merupakan kegiatan dimana pers bertindak sebagai
peradilan mencari bukti-bukti, menganalisa dan mengkaji sendiri untuk kemudian
berakhir dengan memberi putusan. Hal ini bagaimanapun akan memberi dampak
9
Pada UU kehakiman, asas praduga tak bersalah tertuang pada pasal 8 ayat (1), yaitu : “setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, ditahan, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap
tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap”.
10
Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang grasi yang berbunyi:
yang dimaksud dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah: (1)
putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; (2) Putusan pengadilan tingkat
banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang
Hukum Acara Pidana; atau (3) putusan kasasi.
11
Setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu
tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu
siding pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7
seperti dua sisi mata uang, yaitu akan mempengaruhi peradilan yang memihak atau
peradilan yang tidak memihak. Apabila hakim membaca analisa pers terhadap suatu
kasus dikhawatirkan para hakim terpengaruh terhadap analisa pers tersebut, terlebih
jika pers memiliki kemampuan untuk menunjukkan potensi gejolak yang akan
ditimbulkan oleh kasus tersebut. Pada realitasnya seringkali putusan hakim
dipengaruhi oleh tekanan publik atau tekanan politis tidaklah dapat dihindari.
dengan latar belakang demikian penulis mengangkat judul skripsi yang
berjudul:
“Tinjauan Trial By The Press Dalam Hak Asasi Manusia Dan Hukum Islam”
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi beberapa hal dalam
memberikan gambaran masalah yang akan penulis angkat menjadi beberapa poin
dibawah ini:
A. Penerapan pengaturan kemerdekaan bagi pers
B. Batasan-batasan kemerdekaan pers menurut Hak Asasi Manusia
C. Batasan-batasan kemerdekaan pers menurut Hukum Islam
D. Trial by the press menurut Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam
C. Batasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, peneliti
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan
terarah sesuai dengan yang di harapkan peneliti. Peneliti akan membahas trial by the
pers yang hanya terjadi di Indonesia dari perspektif Deklarasi Hak Asasi Manusia
atau Universal Independent Of Human Right tanggal 10 Desember 1948, Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers dan Undang-Undang lain yang berkaitan dengan penelitian ini serta
pembatasan dalam hukum islam tentang trial by the press dalam al-Quran, Hadist,
Tafsir dan pandangan ulama fikih yang relevan dengan penelitian ini. Dalam
penulisan skripsi ini penulis juga memberikan salah satu contoh kasus trial by the
8
press yang dialami Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam pemberitaan yang ditulis
oleh media massa.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah dan pembatasan
masalah, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana trial by the press dilihat dalam perspektif Hak Asasi Manusia
dan Hukum Islam?
Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Novi Amalia Safitri yang berjudul
“Trial By The Press Dalam Proses Peradilan Jessica Kumala Wongso Di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah
apakah trial by the press terhadap Jessica Kumala Wongso dalam kasus
pembunuhan Wayan Mirna Salihin melanggar asas presumption of innocence, Apa
faktor penyebab dan cara mengurangi terjadinya trial by the press terhadap Jessica
Kumala Wongso dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin yang dilakukan
oleh media online. Penelitian ini menjelaskan tentang pers yang dengan atau tanpa
sengaja mengesampingkan asas presumption of innocence atau asas praduga tak
bersalah. Asas ini secara tegas dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia yaitu pada penjelasan umum butir ke 3 huruf c Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta
diatur pula dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Penulis tidak banyak menyinggung trial by the press
dalam hukum Islam maupun hak asasi manusia.
Mohd Sabri Bin Mamat yang menulis “Kebebasan Berpendapat Dalam
Hukum Indonesia dan Malaysia (Analisis Hukum Positif dan Hukum Islam)”.
Rumusan masalah dari penelitian ini diantaranya adalah bagaimana kebebasan
berpendapat diatur dalam undang-undang Negara Indonesia dan Negara Malaysia
dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pengaturan hak kebebasan
berpendapat di Indonesia dan Malaysia. Dimana penelitian ini menjelaskan tentang
kebebasan berpendapat dalam perspektif hak asasi manusia dan hukum Islam
secara umum saja, namun tidak secara detail menjelaskan tentang kebebasan pers
ataupun trial by the press.
Nurhikmah yang menulis “Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tentang Perkara Pidana Penghinaan
Oleh Pers (Putusan No.1426/PID.B/2003/PN.Jkt.Pst)”. Rumusan Masalah dari
penelitian ini adalah bagaimanakah putusan majelis hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tentang sanksi yang diputuskan kepada pers dan bagaimanakah
pandangan hukum Islam mengenai perkara pidana penghinaan yang dilakukan
10
oleh pers. Dalam skripsi ini menjelaskan bahwa tindak pidana penghinaan dalam
syari’at Islam merupakan tindak pidana ringan yang dihukum dengan ta’zir karena
tidak termasuk tindak pidana had maupun qishash. Para ulama berbeda pendapat
tentang lamanya penjara/ta’zir bagi pelaku tindak pidana tergantung kepada segi
niat si pembuat, apakah disengaja ataukah tidak disengaja. Maka dari itu, hukuman
ta’zir diserahkan kepada ulil amri yang memiliki otoritas untuk menetapkan
hukuman asal tidak memutuskan hukuman berdasarkan ijtihadnya sendiri,
melainkan hakim sudah mempunyai landasan hukum dalam menjatuhkan
hukuman tersebut.
Berdasarkan kajian terdahulu di atas, belum ditemukan karya ilmiah yang
secara khusus membahas tinjauan trial by the press dalam hukum Islam dan HAM,
para peneliti baru sebatas mengkaji trial by the press dalam proses peradilan
Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan kebebasan
berpendapat dalam hukum Indonesia dan Malaysia (analisis hukum positif dan
hukum islam). Oleh karena itu, peneliti bermaksud mengisi kekosongan penelitian
tentang trial by the press, khususnya tinjauan trial by the press dalam hukum
Islam dan Hak Asasi Manusia.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian Tinjauan Trial By The
Press Dalam Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam merupakan penelitian
hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem
norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin
(ajaran).12
2. Jenis Data dan Sumber Data
12
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h.31
11
Jenis data dan sumber data adalah segala sesuatu yang menjadi sumber
dan rujukan dalam penelitian. Dalam penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan dua jenis data, yaitu:
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang didapat dari bahan-bahan
yang diperlukan. Dan disebut juga bahan-bahan hukum yang
mengikat.13 Dalam hal ini, yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XVII / MPR / 1998 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang
kebebasan berpendapat, Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang
pers. Data primer dalam hukum islam menggunakan al-Qur’an, Hadits
dan tafsir yang relevan.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data hukum yang menjelaskan data hukum
primer, yaitu data pendukung dan data pelengkap. Adapun bahan
hukum sekunder yang peneliti gunakan adalah buku-buku hukum,
jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus hukum, termasuk data-data atau
dokumen-dokumen dari internet yang berkaitan dengan pembahasan
dalam penelitian ini.14
3. Teknik Pengumpulan Data
13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: IND HILLCO,
2001), h. 13.
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005), hlm.155
12
H. Sistematika Penulisan
Pedoman penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
berdasarkan buku pedoman panduan penyusunan skripsi dan karya tulis ilmiah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2017, dan untuk menjadikan penelitian ini menjadi penelitian yang terarah
dan sistematis maka pembahasan skripsi ini dilakukan dan ditulis melalui tiga
tahap penulisan yaitu pendahuluan, isi dan penutup. Dari bagian-bagian tersebut
terdiri dari bab-bab dan di dalam bab terdapat sub-sub bab. Adapun sistematika
penulisannya adalah sebagai berikut :
BAB I
Merupakan bab pendahuluan yang diawali dengan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan (review) terdahulu dan sistematika
penulisan.
BAB II
Berisikan tentang teori dasar yang membantu penulis untuk melakukan
pengembangan dalam penelitian ini, penulis menguraikan dua pokok pembahasan
yaitu pembahasan terkait definisi, sejarah dan teori-teori lain tentang hak asasi
manusia yang relevan dan berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dalam
penelitian ini. Penulis juga melakukan pengembangan penelitian ini dalam kajian
hukum Islam dimulai dari definisi, peristiwa-peristiwa hukum dan sejarah yang
berkaitan secara langsung ataupun tidak langsung dalam penelitian ini.
BAB III
14
BAB V
Dalam bab ini berisikan penutup, bagian akhir dari penulisan skripsi ini terdiri dari
kesimpulan terhadap penelitian, serta berisikan saran terhadap penulis,
masyarakat, media massa serta pemerintah dalam mengantisipasi Trial By The
Press dalam mencapai produksi informasi yang ideal, netral dan objektif.
BAB II
HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM ISLAM
1
Tim Puslit IAIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM
dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Press, 2000), Cet I, hlm. 207
2
Sri Ayu Astuti, Kebebasan Pers dan Etika Pers Dalam Perspektif Hukum Islam,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2015), Cet, I, hlm. 35-36
3
Majda el-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005), Cet, 2, hlm. 6
4
Krishna Harahap, Ruang Lingkup Dan Implementasi Kebebasan Pers Dalam Hukum
Indonesia, (Bandung: Grafitri, 2000), hlm. 71
15
16
hidup, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk menganut suatu agama atau
keyakinan tertentu.
2. Merupakan Karunia Tuhan Yang Maha Esa
Konsep ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa.
3. Merupakan hak yang diatur dalam peraturan (legal rights)
Salah satu jenis HAM adalah hak untuk menyampaikan pendapat secara lisan
maupun tertulis. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 28 menyebutkan
bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.5
Kemanusiaan manusia diakui sebagai konsensus universal yang justru tetap
melekat sebagai pemilik asasi mutlak atas dasar kemanusiaan, terlepas dari perbedaan
jenis kelamin, warna kulit, status ekonomi, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.
Inilah selanjutnya yang menghasilkan lahirnya konsepsi Hak Asasi Manusia (HAM).
Dengan kata lain, HAM merupakan puncak konseptualisasi pemikiran manusia
tentang hakikat dirinya sebagai pengemban fitrah kemanusiaan yang bersifat
universal dan langgeng (eternal).6 penting ditegaskan di sini bahwa keuniversalan
(universality) tidak sama dengan keseragaman (uniformity). Keuniversalan tidak
mengandaikan keseragaman. Menyatakan keuniversalan HAM bukan berarti bahwa
pandangan mengenai HAM melampaui perbedaan agama, budaya, atau filsafat.7
Mengacu pada pengertian di atas, menjadi dapat disadari bahwa HAM itu
sesungguhnya adalah hak-hak absolut yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia (inherent dignity) yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan diproteksi oleh
negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. Ini mengandung konsekuensi, bahwa
hak-hak yang melekat secara absolut tersebut tidak dapat dicabut (inalienable), tidak
5
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28
6
Majda el-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Group, 2005), Cet, 2, hlm. 41
7
Shashi Tharoor, “Are Human Right Universal?”, Word Policy Journal, Vol. 16, No. 4
(Winter 1999/2000)
17
8
Widiada Gunakaya, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: ANDI, 2017), h., 55-56
9
Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural (Jakarta: LP3ES, 1984),
hlm. 14
10
Dedi Nursamsi, HAM Syariah, dan Hukum,hal. 312
18
orang lain akan bertentangan dengan pasal 29 deklarasi universal hak-hak asasi
manusia.11
Pada generasi kedua, pembahasan tentang HAM merupakan perluasan
horisontal dari generasi pertama. Penekanan mereka terjadi pada bidang sosial,
ekonomi dan budaya, sementara bidang hukum dan politik terabaikan, sehingga
menimbulkan ketidakseimbangan perkembangan dalam kemasyarakatan, seperti
merosotnya kehidupan hukum dan pengekangan politik yang berlebihan. Pada
generasi ini juga tidak berbicara tentang hak menyampaikan pendapat dimuka umum,
sehingga generasi ini dianggap masih terpengaruh oleh pemikiran generasi pertama.
Pada generasi ketiga HAM mengalami sebuah kemajuan pesat, generasi ini
mampu mewujudkan hampir seluruh hak asasi manusia secara komprehensif. Masih
terdapat banyak kesenjangan antara hak satu dengan hak lainnya. Terlebih dalam
generasi ini penekanan terhadap hak ekonomi menjadi prioritas utama. Meskipun hak
ekonomi menjadi sebuah prioritas pelanggaran hak ekonomi pun tetap terjadi.
Dominasi negara besar sebagai komando perekonomian dunia menjadi faktor ketidak
seimbangan hak ekonomi diseluruh dunia.
Pada generasi keempat terjadi banyak kritik terhadap peranan negara yang
sangat dominan dalam proses pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama yang
telah terbukti sangat menafikan hak-hak rakyat. Kritik yang mulai dilakukan dalam
generasi ini membuktikan bahwa hak menyampaikan pendapat dimuka umum telah
diberikan ruang yang besar. Penyampaian kritik yang dilakukan tidak terlepas dari
peran media dalam memobilisasi informasi yang massif dalam ruang publik.
Generasi keempat ini dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia pada
tahun 1983 yang melahirkan deklarasi hak asasi yang disebut Declaration of The
Basic Duties of Asia People and Goverment. Deklarasi ini lebih maju dari rumusan
11
Dalam pasal 29 DUHAM menyebutkan: (1) setiap orang memiliki kewajiban terhadap
masyarakat yang memungkinkan pengembangan kepribadiannya secara bebas dan penuh; (2) dalam
pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang
ditentukan oleh undang-undang dengan maksud menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak
serta kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban,
serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis; (3) hak dan kebebasan ini sama
sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan dengan tujuan dan asas perserikatan bangsa-bangsa
21
12
Hari Wiryawan, Dasar-Dasar Hukum Media (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 193
13
Rusjdi Ali Muhammad, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Syariat Islam (Banda Aceh:
ar-Raniry Press, 2004), hlm. xxii
22
14
Hari Wiryawan, Dasar-Dasar Hukum Media (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 27
15
Mohammad Noor Syam, Penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat Hukum, (Malang:
Luman Christi, 2000), hlm. 153
16
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 69
23
17
Armansyah, Pengantar Hukum Pers, (Bekasi: Gramata Publishing, 2015), hlm. 5
18
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2003), hlm. 44
24
19
Alex Sobur, Etika Pers Profesionalisme Dengan Nurani, (Bandung: Humaniora Utama
Press, 2001), hlm. 350
25
20
J.T.C Simorangkir, Hukum dan Kebebasan Pers, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional, 1980), hlm. 76
26
21
L.R Baskoro, Jurnalisme Hukum Jurnalisme Tanpa Menghakimi, (Jakarta: Lintang Pers,
2010), hlm. 117
22
Sri Ayu Astuti, Kebebasan Pers dan Etika Pers Dalam Perspektif Hukum Islam,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2015), hlm. 182
27
Dalam pandangan Ashadi Siregar23 pasal 3 KEJ, dari ketentuan etika yang
harus dihormati dan diikuti pers dalam meliput dan membuat berita, menunjukkan
pembedaan antara “opini interpretatif” dan “opini yang menghakimi”. Pembedaan ini
penting agar pers dapat menyajikan pemberitaan yang jelas bagi khalayak dengan
memberikan penafsiran atau informasi latar belakang (background information) bagi
fakta-fakta peristiwa atau masalah. Tetapi sebaliknya, wartawan tetap tidak
mencampuradukkan fakta yang ditemukan dalam kegiatan peliputan dengan opininya
sendiri.
23
Ashadi Siregar, pokok pikiran yang disampaikan pada lokakarya I bertema “Membangun
Kebebasan Pers Yang beretika”, (Jakarta: Yayasan Tifa, 2006), hlm. 86-87
24
Faris Khoirul Anam, Fikih Jurnalistik Etika & Kebebasan Pers Menurut Islam,(Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 3
28
yang bisa membela prinsip dan ajaran agama Islam yang kita anut. Saat pers
dihubungkan dengan ajaran Islam, biasanya dikenal dengan istilah pers Islami,
Jurnalistik Islami, Jurnalistik Islam dan Media Islam. Di mana pengertian dari istilah
tersebut adalah media yang dijalankan oleh umat Islam, dikelola dengan cara-cara
Islami, dan ditujukan untuk membela kepentingan kaum muslimin. Dalam
menjalankan kehidupannya, umat muslim diberikan pedoman oleh Allah SWT
melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad berupa al-Quran. Jika dicermati,
terdapat banyak kesamaan fungsi antara al-Quran dan media massa. Setidaknya ada
10 kesamaan fungsional dari fungsi media massa dan al-Quran, jika telah menyadari
dan memahaminya maka bangunlah media-media Islam untuk menunjang penyebaran
ayat-ayat al-Quran, kesamaan tersebut adalah:25
1. Sebagai Sumber Informasi
2. Sebagai Sarana Edukasi
3. Sebagai Sumber Hiburan
4. Sebagai Alat Promosi
5. Sebagai Sarana Dakwah
6. Sebagai Inspirasi Gaya Hidup
7. Sebagai Pengarah Opini Publik
8. Sebagai Pengarah Tindakan Politik
9. Sebagai Sumber Rujukan Hukum
10. Sebagai Sumber Penulisan Sejarah
Dari banyaknya kesamaan antara al-Quran dan media massa, terdapat
kesamaan yang palin penting yaitu keduanya menjadi media untuk menyebarkan
kebaikan dan mencegah keburukan, dalam Islam prinsip ini disebut amar makruf nahi
munkar. Islam mewajibkan kepada setiap kaum muslimin untuk mengekspresikan
pendapatnya dan melakukan kritik terhadap kesalahan yang terjadi, ketika hak
dirampas, kebenaran diabaikan, dan makin tampak saja penyimpangan-penyimpangan
di tengah masyarakat maka setiap muslim tanpa terkecuali wajib mengambil langkah
25
Waskito, AM, Invasi Media Melanda Kehidupan Umat, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2013) h. 90
29
tegas dan aktif dalam memeranginya. Inilah konsep amar ma‟ruf nahi munkar yang
dikenal dalam Islam. Amar ma‟ruf nahi munkar merupakan kewajiban bagi setiap
individu muslim apapun profesinya. Hukum Islam selangkah lebih maju dibanding
hukum-hukum lain produk manusia yang hanya menjadikan kritik sebagai hak saja
bukan kewajiban.
Umat Islam menjadi umat terbaik yang pernah ada di muka bumi, karena
kebebasan untuk mengungkapkan pendapatnya benar-benar terjamin. Islam
mewajibkan nahi munkar (melarang kemunkaran) terhadap segala perilaku yang
membahayakan Islam dan manusia. Amanat untuk mengajak kepada kebaikan dan
dakwah adalah tanggung jawab setiap muslim. Sebagaimana Islam juga menilai
bahwa amar makruf nahi munkar merupakan tanggung jawab kolektif. Allah SWT
berfirman.
َ ُ َ َّ ُ َ َ ْ ُ ْ َّ َ َ ْ َ َّ َ َ َّ ُ َ َ ْ
ًن ج ِص َيب َّ ًن ًل ِف ْت َىتً َو َّاج ُقىا
ً اعل ُمىا ًۖ خاصتً ِمىك ًم ظلمىا ال ِر ًد الل ًه أ ًن و
ً اب ش ِد
ً ِ ال ِعق
“Dan periharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat
keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfal:25)
Maksud dari tanggung jawab kolektif adalah, jika kemungkaran terjadi namun
tidak ada yang berusaha melarangnya, maka Allah akan memberi sanksi kepada
semua umat. Kepada yang melakukan kemungkaran itu karena perilakunya, dan
kepada yang tidak melakukan kemungkaran karena sikapnya yang pasif dan diam.26
Jika umat Islam meninggalkan kewajiban amar ma‟ruf nahi munkar, maka mereka
tidak lagi memiliki keistimewaan sebagai umat yang terbaik. Allah SWT berfirman:
َ َ َّ َ ۡ ُ َ ُ ۡ َ َ ۡ َ ۡ َ ُ ۡ َ ُك ُىت ۡم َخ ۡي َر ُأ َّمت ُأ ۡخس َج ۡت ل َّلى
وف َوج ۡن َه ۡىن َع ِن ٱۡلىك ِس َوجؤ ِم ُىىن ِبٱلل ِ ِۗه َول ۡى َء َام َن أ ۡه ُل ِ اس جأم ُسون ِبٱۡلع ُس ِ ِ ِ ٍ
َٰ ۡ ََۡ ۡ َّ َ ۡٱلك ََٰتب َل َك
ان َخ ۡي ٗرا ل ُه ۚم ِّم ۡن ُه ُم ٱۡلُ ۡؤ ِم ُىى َن َوأكث ُر ُه ُم ٱل َف ِس ُقى َن ِ ِ
26
Faris Khoirul Anam, Fikih Jurnalistik Etika & Kebebasan Pers Menurut Islam,(Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 18
30
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka,
diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik.” (QS. Ali Imran: 110)
Sampainya ajakan amar makruf nahi munkar pada umumnya dilakukan dalam
metode dakwah dan ceramah yang dilakukan oleh juru dakwah atau ulama, namun
sebagian kalangan berpendapat bahwa kewajiban dakwah hanya bagi mereka yang
bergelut dalam dunia dakwah, atau kewajiban para da‟i saja. Pendapat ini perlu dikaji
ulang. Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imran: 104.
َ ُْ َ
ۚ وف َو َي ْن َه ْىن َع ِن اۡل ْى ك ِس ْ َْ َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ ُ ْ َ ٌ ُ ْ ُ ْ ْ ُ َ ْ َ
ِ ول ت ك ن ِم ىًك م أ َّم ت ً د ع ىن ِإ ل ى ال خ ي ِر و ي أ م ُسون ِب اۡل ع ُس
َ ُْ َٰ َ ُ
ًَوأ ول ِئ َك ُه ُم اۡل ْف ِل ُح ىن
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung.”
Apakah yang diwajibkan hanya sebagian alias segolongan umat saja? Ibnu
Katsir menafsirkan ayat ini, “Harus ada segolongan orang dari umat ini yang
mengemban amanat amar makruf nahi munkar, meski kewajiban ini adalah untuk
setiap individu sesuai bidang kemampuan masing-masing.” Jika dilihat dari fungsi
media dalam menyebarkan informasi maka media juga turut serta dalam melakukan
amar makruf nahi munkar. Dengan demikian, usaha amar makruf nahi munkar
bukanlah tanggung jawab para ulama atau juru dakwah saja. Setiap person yang
melihat suatu kejadian dan dinilainya sebagai bentuk kemungkaran, harus berusaha
merubahnya semaksimal mungkin. Usaha merubah tersebut, bisa disampaikan dalam
bentuk ucapan ataupun tulisan, baik lewat buku, selebaran atau media cetak.
Seorang wartawan juga dituntut berlaku sama, pemberitaan tentang suatu
kejadian yang dinilainya sebagai bentuk kemungkaran, harus didasari oleh niat dan
31
misi ber-nahi munkar. Begitu pula sebaliknya, jika kejadian tersebut dinilai sebagai
bentuk kebaikan (makruf) yang ditinggalkan atau tidak diindahkan masyarakat.
Semua usaha ini, bagi seluruh individu muslim, baik wartawan maupun bukan,
merupakan kewajiban dan tanggung jawab, bukan hanya sebatas anjuran atau hak
belaka.
Konsep hukum dalam Islam yang bersifat general terkadang memunculkan
dualisme dalam penafsirannya, sehingga para ulama melakukan konsep kaidah
sehingga konsep-konsep hukum yang sangat sulit ini dapat dipahami dengan lebih
sederhana. Maslahah dalam konsep ini oleh para ulama kemudian dipetakan dalam
sebuah kaidah jalbul manfa‟at wadaf‟ul madharah (menarik kemanfaatan dan
menolak kemudaratan).27 Maqashid Syari‟ah dalam berijtihad berangkat dari
pandangan bahwa syariat Islam adalah abadi. Artinya syari‟at Islam memiliki
kapasitas menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul akibat perkembangan
kehidupan dan situasi sosial, maka diperlukan pendekatan maqashid syari‟ah yang
menekankan penalaran akal sebagai sarananya yang paling utama dengan tujuan
untuk kemaslahatan dunia akhirat.28
Penekanan teori maqashid syariah dan maslahah, perlu digunakan dalam
bidang hukum etika pers Islam untuk mencapai kebaikan umat. Ini disebabkan karena
banyak bermunculan industri pers yang sekuler, dimana keberadaan pers sekuler
terkadang membangun pemikiran yang cenderung negatif dan menularkannya dalam
bentuk opini dan pemberitaan yang memiliki kecenderungan pada situasi tidak
membawa kemaslahatan bagi umat. Kalimat sinis yang tidak beretika, kini menjadi
hal biasa bahkan gambar (visualisasi) pada pers elektronik pun banyak melanggar
etika.
Pers Islam harus memiliki etika dalam melakukan liputan dan
memberitakannya sesuai pada ketentuan al-Qur‟an dan Hadits, karena pekerja pers
khususnya yang berkeyakinan Islam meski dalam ruang pers umum, memiliki
27
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1975), hlm. 314-315
28
Muhammad Iqbal dan Azhari Akmal Tarigan, Syari‟at Islam di Indonesia; aktualisasi
Ajaran dalam Dimensi Ekonomi, Politik dan Hukum, (Jakarta: Misaka Galiza, 2004) hlm. 371-372
32
29
Sri Ayu Astuti, Kebebasan Pers dan Etika Pers Dalam Perspektif Hukum Islam,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2015), hlm. 149-150
30
Faris Khoirul Anam, Fikih Jurnalistik Etika & Kebebasan Pers Menurut Islam,(Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 11
31
Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), hlm. 42
33
Pada kisah ini Allah SWT telah mengingatkan kepada nabi Adam dan Siti
Hawa untuk menjauhi buah Khuldi, namun Allah tidak menginformasikan ancaman
yang akan diberikan kepada nabi Adam dan Siti Hawa jika tidak patuh terhadap
perintahnya. Iblis melihat ini sebagai peluang untuk memanipulasi informasi agar
mendapat keuntungan dari hal ini, Iblis kemudian menciptakan satu kebohongan
informasi bahwa buah khuldi yang seharusnya dijauhi oleh nabi Adam dan Siti Hawa
menjadi sebuah kebaikan bagi keduanya jika mendekati bahkan jika dapat
memakannya. Iblis mengatakan bahwa larangan yang diberikan Allah kepada
keduanya hanya untuk membuat mereka tidak abadi didalam surga, namun
sebaliknya, jika mereka memakan buah khuldi maka mereka akan abadi didalam
surga. Sebagaimana kisah ini digambarkan dalam al-Qur‟an surat al-A‟raf ayat 22:
ْ َ َ ْ َ َ َ َ َّ َ َ َ َ ُ َّ َ
ف َدل ُه َما ِبغ ُسو ًٍز ۚ فل َّما ذاقا الش َج َسة َب َد ْث ل ُه َما َس ْى ُآت ُه َما َوط ِفقا ًَخ ِصف ِان َعل ْي ِه َما ِم ْن َو َز ِقال َج َّى ِت
ُ َ َ َ ْ َّ َّ َ ُ َ ْ ُ َ َ َ َ َّ َ ُ ْ ْ َ َ ُ َ ْ َ ْ َ َ َ ُ ُّ َ َ ُ َ َ َ
ً ٌ ان لك َما َع ُد ٌّو ُم ًِب
ين وهاداهما زبهما ألم أنهكما عن ِجلكما الشجس ِة وأقل لكما ِإن الشيط
34
ُ َُ َ ُ َ َ ُ ُ َ ْ َ َ ْ ُ ْ ٌ َ ْ ُ ْ ْ ُ َ َ َّ َّ
ىه ش ًّسا لك ْم َب ْل ُه َى خ ْي ٌر لك ْم ِلك ِ ّل ْام ِس ٍا ًِم ْن ُه ْم َما اْلف ِك عصبت ِمىكم ل جحسب ِ ِإن ال ِرًن جاءوا ِب
ٌ ْاك َت َس َب ِم َن ْْلا ْثم َو َّال ِري َج َى َّلى ِك ْب َر ُه ِم ْن ُه ْم َل ُه َع َر
ًٌ اب َع ِظ
يم ِ ِ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk
bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari
mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara
mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita
bohong itu baginya azab yang besar.”
32
Ibnu Katsir Tafsir Al-Qur‟an Al-„Azhim, 5:500 Tafsir Al-Qur‟an Al-„Azhim. Cetakan
pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul JauzS
36
2. Dengan pengakuan
33
Imam asy-Syafi‟I, Mukhtasar Kitab Al-Umm, alih bahasa: Amiruddin, Ringkasan Al-
Umm, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 127.
37
34
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) h. 69
35
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) h. 62
36
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) h. 62
38
Media massa merupakan corong informasi dan komunikasi yang efektif pada
masa ini. Perubahan sosial dan pesatnya era teknologi komunikasi menjadi tugas
media dalam mengambil peranan yang sangat besar untuk melakukan pertukaran
informasi, sehingga media yang bergerak dalam kegiatan arus jurnalistik menjadi
kebutuhan manusia dalam mentransformasikan komunikasi ke dalam wilayah
populasi yang luas.
Ketika mengolah berita, hendaknya media massa atau pers yang berbasis
Islam harus senantiasa dituntun oleh prinsip-prinsip mengingat Tuhan. Bila prinsip
ini tidak diterapkan, maka berita yang disampaikan kepada publik oleh pers akan
membawa kekacauan kehidupan manusia. Dalam pers Islam informasi disampaikan
harus dengan membawa kebaikan bagi umat. Sebagaimana juga pandangan Anwar
Arifin yang mengatakan “tanpa moral dan etika yang kuat, media terutama media
massa dapat melaksanakan semacam malpraktik.39
Pers Islam tidak hanya sekedar menyampaikan berita tapi juga membawa
informasi untuk membangun umat ke arah amar makruf nahi munkar sebagai jalan
dakwah. Dalam meletakkan komunikasi pers Islam memang menerapkan prinsip
sendiri yang berbeda dari pers sekuler. Informasi yang diberikan oleh pers Islam
memiliki kewajiban untuk membentuk manusia yang ikhsan.
Terlepas dari perbedaan antara pers Islam dan pers sekuler idealnya lembaga
pers dengan basis apapun harus mengedepankan publikasi berita yang bertujuan
untuk mengedukasi masyarakat dalam menyikapi sebuah informasi. Jika prinsip
edukasi tidak dimiliki oleh lembaga pers, maka media tidak lagi menjadi lembaga
yang informatif, namun lembaga pers berpotensi untuk menjadi lembaga paling
provokatif. Media massa yang tidak menerapkan prinsip amar ma‟ruf nahi munkar
dapat menggiring opini masyarakat untuk bersama-sama melakukan penghakiman
sepihak kepada sebuah berita, perilaku ini yang kemudian dikenal dengan trial by the
press.
39
Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), hlm. 7-8
BAB III
TRIAL BY THE PRESS DAN ASAS PRADUGA TAK
BERSALAH
A. Trial By The Press
Profesionalisme wartawan dan media merupakan kunci utama bagi
kehidupan pers yang sehat. Fungsi media yang diamanatkan oleh UU No.40
Tahun 1999 akan berjalan dengan baik apabila profesionalisme dihayati sebagai
sikap yang bisa melindungi tugas profesi wartawan, kehidupan media dan
masyarakat. Melalui profesionalisme, pers menjamin diri untuk meraih
kepercayaan publik dan martabatanya. Seorang wartawan yang cakap secara
teknis, belum cukup untuk disebut sebagai jurnalis yang profesional apabila tidak
menghayati kode etik profesinya. Menghayati berarti mengalirkan pemahaman
kode etik itu pada keseharian tugas-tugas profesinya, sehingga memancar dalam
perilaku kewartawanannya.
Kode etik jurnalistik wartawan Indonesia menekankan pentingnya relasi
yang bersifat menjaga tanggung jawab sosial bersama antara pers dengan publik.
Wartawan bersama seluruh masyarakat wajib mewujudkan prinsip-prinsip
kemerdekaan pers yang professional dan bermartabat. Tugas dan tanggung jawab
yang luhur itu hanya dapat dilaksanakan, apabila wartawan selalu berpegang
teguh kepada kode etik jurnalistik dan masyarakat memberi kepercayaan penuh
serta menghargai integritas profesi tersebut. Penilaian kepercayaan publik
tergantung pada kemanfaatan yang dirasakan dari kinerja wartawan yang
professional.
Kehadiran Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang
memberikan nafas kebebasan berekspresi bagi pers, dalam masa reformasi
membuat pers seolah bergerak tanpa memahami ada batas-batas dalam kehidupan
sosial. Menurut J.T.C Simorangkir “Seringkali pers menabrak etika dalam laporan
jurnalistiknya, atau lebih dikenal dengan trial by the press hingga menimbulkan
perkara hukum.1
1
J.T.C Simorangkir, Hukum dan Kebebasan Pers, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional, 1980), hlm. 76
40
41
2
Priyambodo RH, Indria Prawitasari, Kode Etik Jurnalistik dalam Buku Saku Wartawan,
(Jakarta: Lembaga Pers DR. Sutomo, 2010), hlm. 141
42
dan dari pers sebagai institusi. Pertanggungjawaban dari dalam ini juga disebut
pertanggungjawaban etika.
Etika menurut pandangan John C. Merril dari Missouri School of
Journalism, “has to do with duty, duty of self and duty to others”.3 Istilah yang
digunakan oleh Jhon ini dapat ditafsirkan dengan etika bermuka dua, yaitu etika
yang memiliki kewajiban terhadap diri sendiri dan kewajiban terhadap orang lain.
Hal ini menunjukkan posisi setiap orang sebagai insan individual dan insan sosial.
Menurut Jacob Oetama wartawan menulis tidak hanya untuk orang lain, khalayak
pembaca tetapi juga untuk dirinya sendiri. Artinya standar penulisan yang
diterapkan bukan hanya menyangkut orang lain tetapi juga terdapat standar diri
sang wartawan.4
Pers bertanggungjawab terhadap isi tulisannya, harusnya dalam isi tulisan
pers tidak ada unsur penghinaan, penghasutan, pernyataan memusuhi agama,
pornografi dan penyiaran kabar bohong. Termasuk di dalamnya tak mengganggu
keamanan nasional, dan ketertiban umum serta tidak menghambat jalannya
peradilan. Dalam menghadapi pemberitaan tentang perkara pidana, keadaan
masyarakat saat ini sangat cenderung untuk menyalahkan seorang tersangka atau
terdakwa tanpa melihat bukti-bukti yang telah diuji dalam persidangan. Hal ini
akan menjadi sangat berbahaya ketika seseorang menilai hanya mendasarkan pada
asumsi-asumsi tertentu yang dibangun di atas prasangka-prasangka tanpa fakta
dan didukung oleh bukti yang kuat di dalam berita.5
Saat ini kebebasan pers memasuki babak baru yaitu pers terjebak ke dalam
proses penegakan hukum yang seharusnya bukan menjadi tugas pers atau yang
lebih dikenal dengan “trial by the press”. Trial by the press atau terjemahannya
secara harfiah “pengadilan oleh pers” sebagaimana dikutip dalam laporan
penelitian hukum BPHN tahun 2013 merupakan kegiatan dimana pers bertindak
3
John C. Merrill and Ralph D. Barney, Ethics and the Press, (New York: Hasting House
Publishers, Inc, 1975), hlm. 428
4
Jacob Oetama, Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, (Jakarta:
Kompas, 2001), hlm. 80
5
http://www.fokkylaw.com/ dikunjungi pada 22 Februari 2019.
43
6
Ni Putu Noni Suharyanti, “Perspektif HAM Mengenai penerapan Asas Praduga Tidak
Bersalah Dalam Kaitannya Dengan Pemberitaan di Media Massa”, Jurnal Advokasi, Vol. 5, No.2,
September 2015, 123-128, hlm 126.
7
http://www.fokkylaw.com/ dikunjungi pada 22 Februari 2019.
8
Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik
Penafsiran Pasal 3 butir d.
44
Secara teori, pers dianggap telah melakukan trial by the press ketika
adanya pemberitaan mengenai sebuah dugaan kasus pidana yang sudah ditangani
aparat penyidik (pre-trial publicity) hingga masuk ke pengadilan (publicity during
trial) menyebabkan adanya pihak yang tertuduh dipojokkan pada posisi yang sulit
untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tak berpihak (fair trial).9
Trial by the press jelas merupakan praktik jurnalistik yang melanggar baik
ketentuan yang diatur oleh pasal 7 Kode Etik Jurnalistik maupun Pasal 4 Ayat (3)
dan pasal 8 UU No. 14 Tahun 1970. Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik berbunyi:
“Wartawan dalam memberitakan peristiwa yang diduga menyangkut pelanggaran
hukum dan atau proses peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah,
prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang”. Selanjutnya Pasal 4 ayat (3)
UU No. 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa: “segala campur tangan dalam urusan
peradilan oleh pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam
hal-hal yang disebut dalam Undang-Undang Dasar”. Pasal 8 juga menyatakan
bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/ atau
dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum yang tetap.
Hal ini bagaimanapun akan memberi dampak seperti dua sisi mata uang
yaitu akan mempengaruhi peradilan yang memihak atau peradilan yang tidak
memihak (impartial court). Pada satu sisi, pers menjadi lembaga yang menjadi
corong informasi publik untuk menggambarkan situasi hukum yang sedang
terjadi, namun di sisi yang lainnya, pers acapkali menjadi lembaga yang merusak
proses penegakan hukum itu sendiri dengan melakukan analisis dan justifikasi
yang terburu-buru.
Apabila kemudian seorang hakim membaca analisa pers terhadap sebuah
kasus, dikhawatirkan para hakim terpengaruh terhadap hasil analisa pers tersebut
sehingga memungkinkan salah menjatuhkan vonis atau putusan hukum. Hal ini
9
BPHN Kementrian Hukum dan HAM RI, “Pengaruh Praktik Courtroom Television
terhadap Independensi peradilan”, Penelitian Hukum, BPHN Kementrian Hukum dan HAM RI,
2013, hlm. 31-32
45
10
Bagir Manan, “Pers, Praduga tak Bersalah, dan Hak Atas Informasi”, Varia Peradilan
No. 303 Februari, 2011, hlm.10
46
putusan pengadilan, tidak membuat komentar yang tidak fair dan akurat, dan tidak
ditujukan untuk mempengaruhi hakim dalam membuat keputusan.11
Kekeliruan analisis yang dilakukan oleh pers menjadi hal yang sangat
berbahaya, tidak hanya melakukan intervensi hukum namun juga menganggu
independensi seorang penegak hukum dalam menjalankan sebuah proses hukum.
Dampak yang ditimbulkan menjadi sangat serius dan penting untuk direspon
secara konstitusional sehingga pers mampu menyadari sikapnya. Menurut Roger
Fisher,12 apabila sampai terjadi penghakiman oleh pers, maka sudah seharusnya
negara hadir karena banyak negara yang telah memberikan sanksi dengan dasar
telah melakukan kejahatan terhadap proses peradilan (contempt of court) itu
berarti pers telah melakukan trial by the press.
Perbedaan pandangan kemudian muncul dalam melihat fenomena trial by
the press antara media massa, para ahli hukum dan aparat penegak hukum. Media
massa beranggapan bahwa mereka tidak melakukan trial by the press dikarenakan
salah satu fungsi pers menurut mereka adalah menyajikan informasi seakurat
mungkin dan sebagai lembaga sub sistem dari negara yang bertugas mengawasi
penegakan hukum di sebuah negara.
Namun di mata para ahli hukum dan aparat penegak hukum tentu saja trial
by the press bertentangan dengan keberadaan salah satu asas dalam penegakan
hukum yaitu asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence, sehingga
semua jenis pelanggaran harus diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku.13
B. Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah atau juga yang biasa dikenal dengan istilah
Presumption of Innocence adalah hak setiap orang yang disangka maupun
didakwa melakukan tindakan pidana, wajib dianggap tidak bersalah hingga
11
Oemar Seno Adji, Perkembangan Delik Pers di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1991),
hlm. 79
12
Roger Fisher, “Constitutional Right of Speech, in Talks On American Law”, Forum
Lectures, 1973, hlm 97
13
Heri Tahir, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
(Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010), hlm. 17
47
adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (in kraht van gewijsde
atau final judgement)14
Indonesia adalah negara yang menganut Common Law System, dimana
salah satu asas yang digunakan adalah Asas hukum praduga tak bersalah yang
telah dikenal sejak abad ke-16 di Inggris dalam Bill of Right (1648). Asas ini
dilatarbelakangi oleh pemikirian individualistik-liberalistik yang sudah
berkembang pada pertangahan abad ke-19 di Indonesia. Di dalam sistem peradilan
pidana (criminal justice system) berdasarkan sistem hukum Common Law, asas
hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses
telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law).15
Secara sosiologis dan filosopis, asas praduga tak bersalah merupakan
implementasi dari nilai ke 5 Pancasila yaitu “keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Asas praduga tak bersalah juga menjadi guardians kepada masyarakat
dalam memenuhi proses pencarian keadilan ditengah-tengah rumitnya proses
peradilan. Asas ini diatur dalam pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan: “Setiap orang
yang disangka, ditahan, dituntut, atau dihadapkan didepan pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Asas praduga tak bersalah juga diatur dalam angka 3 butir c, Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
yang menyatakan: “Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut, atau
dihadapkan dimuka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap”.
Selain itu asas praduga tak bersalah juga diatur dalam pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, berbunyi:
14
Bagir Manan, Pers, “Praduga tak Bersalah, dan Hak Atas Informasi”, Varia Peradilan
No.303 Februari 2011, h.7
15
Romli Atmasasmita, “Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah:Reaksi Atas
Paradigma Individualistik”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b25f96c2ed41/logika-
hukum-asas-praduga-tak-bersalah-reaksi-atas-paradigma-individualistik-br-oleh-romli-
atmasasmita-, diakses 17 februari 2019
48
“Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut, karena disangka melakukan suatu
tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya
secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum
yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
Pemahaman pers terhadap asas praduga tak bersalah menjadi sangat
penting dalam pemberitaan sebuah kasus yang masih dalam proses peradilan. Hal
ini berkaitan dengan opini yang dapat terbentuk dalam masyarakat, karena dapat
berdampak pada fitnah dan pencemaran terhadap nama baik tersangka atau
terdakwa yang perkaranya masih dalam proses peradilan. Hal ini akan menjadi
berbahaya ketika masyarakat memandang berdasarkan pada dugaan-dugaan
semata dalam pemberitaan yang diberikan pers.
Menghormati asas praduga tak bersalah, dapat diartikan bahwa pers wajib
melindungi tersangka atau terdakwa suatu perbuatan pidana. Perlindungan
tersebut dilakukan dengan tidak menyebutkan nama dan identitasnya yang
menyatakan kesalahan si pelaku. Hal ini ditujukan sebagai hak setiap orang
sebelum mendapat kepastian hukum melalui putusan majelis hakim yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.16
Dalam asas praduga tak bersalah, hanya hakim yang berhak menyatakan
seseorang telah atau tidak melakukan suatu perbuatan pidana di dalam
persidangan. Dengan demikian maka setiap orang tidak boleh melakukan
penyangkaan atau menghakimi seseorang terdakwa atau tersangka yang masih
dalam proses peradilan. Keberadaan asas praduga tak bersalah sebagai salah satu
ketentuan yang juga merupakan asas hukum acara pidana yaitu: perlakuan yang
sama atas diri setiap orang di muka umum dengan tidak mengadakan perbedaan
perlakuan (asas persamaan di muka hukum).17 Dengan asas praduga tak bersalah
setiap orang akan memperoleh jaminan dalam proses hukum karena kedudukan
terdakwa/tersangka sejajar dengan kedudukan pejabat pemeriksa di dalam hukum,
16
Edy Susanto, Muhammad Taufik Makarao, dan Hamid Syamsudin, Hukum Pers di
Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 97-98
17
C.S.T Kansil, Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1986), hlm. 347
49
18
Oemar Seni Adji, Perkembangan Delik Pers di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1991),
hlm. 66
50
19
Padmo Wahyono, “Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Pers yang Bebas”
(Makalah yang diajukan dalam seminar Asas Praduga Tak Bersalah dan Trial By The Press, Hotel
Aryaduta, Jakarta, 25 Maret 1989)
20
Oemar Seno Adji, Perkembangan Delik Pers di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1991), h.
64
51
21
Peter Baehr et. al, Instrumen International Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1996), h. 211-212
22
Peter Baehr et. al, Instrumen International Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1996), h. 211-212
54
23
https://kinibisa.com/artikel/detail/menulis/subdetai/penulisan-jurnalistik/read/4-tips-
menulis-berita-yang-baik-dan-benar
55
harus membaca isi berita. Dalam beberapa pemberitaan di media massa judul
yang digunakan mempengaruhi pembaca untuk membenarkan atau menyalahkan
pihak-pihak yang menjadi subjek dalam pemberitaan. Dalam kasus penistaan
agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama sebagai tersangka, media massa
menjadi instansi paling menikmati dalam melakukan pemberitaan baik
pemberitaan dalam media cetak, televisi maupun online.
Kasus yang sangat kontroversi ini menjadi perlombaan bagi setiap media
untuk saling mencuri perhatian masyarakat dalam mempublikasi berita ini.
Perlombaan ini tidak hanya menampilkan perjalanan kasusnya setiap saat, namun
perlombaan ini juga terjadi dalam memberikan judul berita agar ketertarikan
masyarakat pada media semakin tinggi.
Masih hangat dalam ingatan kita betapa hebohnya isu dugaan penistaan
agama yang dilakukan oleh Basuki Tjhaja Purnama atau yang dikenal dengan
sebutan „Ahok” beberapa tahun silam tepatnya ditahun 2016-2017. Dimulai dari
kalangan masyarakat dewasa, remaja bahkan anak-anakpun ikut meramaikan isu
ini. Kasus yang menjadi kontroversi ini tidak hanya disebabkan oleh isu agama,
namun isu ini juga terjadi dalam situasi politik yang begitu mendominasi ruang
publik.
Media memegang peranan penting dalam isu ini, media juga menjadi
institusi yang begitu diminati oleh kalangan politisi. Penyebaran informasi yang
begitu massif menjadi alasan untuk semua pihak yang terlibat untuk beramai rami
meminang media-media ternama demi mencapai tujuan kelompoknya. Namun tak
sedikit yang memberikan tawaran pada media-media kecil untuk dapat
mempublikasi isu ini.
Media masa berlomba-lomba untuk mencari perhatian masyarakat
sehingga berita yang mereka produksi dapat dinikmati atau sekedar mendapatkan
perkembangan berita penistaan agama ini. Perlombaan yang begitu luar biasa
membawa media pada situasi yang membingungkan. Media harus benar-benar
membuat beritanya menjadi berbeda dari berita lainnya, namun hal ini berpotensi
untuk menabrak ruang-ruang kode etik yang menjadi landasan bagi media itu
sendiri hingga dapat terjebak dalam tindakan trial by the press.
56
24
https://www.obsessionnews.com/waspadai-air-mata-buaya-si-penista-agama/ dikunjungi pada
15 april 2019 pukul 23.12
25
https://www.merdeka.com/peristiwa/saat-megawati-bicara-soal-ahok-si-penista-agama.html
dikunjungi pada 15 april 2019 pukul 23.12
57
berita ini dipublikasikan ke publik pada hari Kamis tanggal 16 Maret 2017 proses
hukum Ahok masih berlangsung dan hakim belum menetapkan bahwa Ahok
adalah pelaku penistaan agama, sehingga judul berita ini seolah-olah
menggunakan kalimat yang tendensius dan bermuatan politis untuk meyakinkan
masyarakat bahwa Ahok adalah pelaku penistaan agama.
Kedua media ini memberikan dampak pada masyarakat yang terlihat dari
upaya demonstrasi untuk menuntut Ahok agar segera ditahan dan diberikan
tuntutan bersalah kepadanya. Demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat di
depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berlangsung dari persidangan pertama
hingga pembacaan putusan. Aksi yang dilakukan masyarakat ini adalah buah
provokasi dari pihak-pihak yang merasa kecewa atas sikap yang dilakukan oleh
Ahok.
BAB IV
ANALISIS TRIAL BY THE PRESS DALAM HAK ASASI
MANUSIA DAN HUKUM ISLAM
58
59
masyarakat untuk menganalisis informasi dengan baik, sehingga pesan yang hendak
disampaikan oleh media tidak diterima oleh masyarakat. Celah ini terkadang
dimanfaatkan oleh sebagian kelompok untuk begitu massif memproduksi informasi
dengan cepat untuk menggiring masyarakat agar bersepakat pada apa yang mereka
kehendaki. Masyarakat yang memiliki pola berfikir yang instan akan mudah sekali
terpengaruh dan terperdaya oleh sebuah berita yang provokatif, namun tidak sedikit
masyarakat yang mulai menggemari cara berfikir instan ini, disamping karena
mudah dimengerti juga karena pola berita yang disajikan terlihat menarik.
Penyebaran berita yang bersifat provokatif dan bernuansa penggiringan opini
menjadi satu fenomena yang mulai sering terjadi, hal ini disebabkan media telah
menjadi satu-satunya cara paling efektif untuk menyampaikan pesan tertentu
ketengah-tengah masyarakat. Penyebaran berita yang dilakukan media dengan
nuansa provokatif dan bohong menjadi polemik ditengah-tengah kalangan media,
selain telah melakukan pelanggaran etik terhadap profesi pers, juga mengganggu
stabilitas penegakan hukum di Indonesia. Indonesia adalah negara hukum, setiap
langkah dan perbuatan masyarakatnya betul-betul diawasi dan dijaga oleh hukum.
Hukum yang telah diposisikan sebagai panglima sudah seharusnya menjadi jalan
konstitusional bagi masyarakat dalam mencari sebuah keadilan. Keadilan yang
hendak dicapai oleh masyarakat tidak dapat diintervensi oleh siapapun termasuk
media.
Intervensi hukum yang dilakukan media juga disebut trial by the press atau
pers yang menfungsikan diri untuk melakukan justifikasi terhadap pihak-pihak
tertentu yang terlibat dalam perkara hukum. Dalam hukum pidana dikenal dengan
prinsip asas prduga tak bersalah, asas ini dimaknai setiap orang yang terrlibat dalam
proses hukum sekalipun telah ditetapkan menjadi tersangka tidak berhak dikatakan
bersalah hingga adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam
kasus hukum yang besar terkadang menjadi perhatian untuk kalangan pers, pers
bersama-sama memproduksi beritanya untuk kemudian disebarkan ditengah-tengah
masyarakat. Banyaknya media yang ada membuat iklim persaingan antar lembaga
pers menjadi lebih besar. Masyarakat akan cenderung memilih media yang berani
60
untuk menampilkan headline yang menarik dan juga berita yang menyajikan konten
yang berbeda dari yang lain.
Kompetisi media massa dalam mencari perhatian penikmat berita terkadang
melampaui batas-batas toleransi kebebasan pers, berita yang seharusnya menjadi
sarana informatif berubah menjadi sarana provokatif, penggiringan opini, bahkan
menjadi ajang adu domba. Proses hukum yang seharusnya dihormati juga dilampaui
dengan melakukan analisis-analis bodong oleh media tanpa melakukan penelitian
dan telaah data yang baik. Problematika yang kerap terjadi dalam dunia pers
terutama dalam trial by the press bukan hanya persoalan kompetensi seorang jurnalis
secara personal, namun juga berkaitan dengan bagaimana sebuah lembaga pers
memiliki Quality of Journalism atau kualitas jurnalistik.
Berita yang hendak diproduksi harus melewati berbagai prosedur dimulai
pengambilan data dilapangan hingga melalui meja redaksi untuk melakukan uji data
dan fakta sebelum akhirnya sebuah berita benar-benar di sebarkan ditengah-tengah
masyarakat. Prosedur yang relatif panjang seharusnya mampu menekan kesalahan
pers agar tidak terjebak dalam prilaku trial by the press, namun prosedur ini
nampaknya tak cukup mampu membuat pers terhindar dari praktek trial by the press.
Trial by the press bukan lagi kesalahan yang tidak sengaja dilakukan, terkadang
perilaku ini benar-benar sengaja dilakukan untuk beberapa alasan, salah satunya
adalah untuk melakukan framing kepada para pembaca agar sepakat pada apa yang
diharapkan oleh pers. Perilaku ini tidak hanya berpotensi melakukan pelanggaran
etik, namun telah masuk pada wilayah kejahatan publik yang dilakukan oleh pers.
Penulis mencoba membangun analisis ini dari prinsip Hak Asasi Manusia itu
sendiri yang juga menjadi dalil bagi para jurnalis melakukan trial by the press. Asas
praduga tak bersalah secara sosiologis adalah manifestasi dari bagaimana hukum
bekerja sebagai guardian bagi HAM dalam masyarakat. Dalam prosedur hukum,
seorang tersangka biasanya sudah dipastikan bersalah, namun cara berfikir demikian
bisa sangat berbahaya, karena hakim memiliki analisis yang mungkin sangat berbeda
dengan pihak manapun, sehingga pembebesan kepada tersangka mungkin saja
terjadi.
61
Aturan yang telah dibuat sedemikian rupa tidak hanya untuk menjaga pers
agar tidak lagi kehilangan kebebasannya, namun juga untuk mengantisipasi dan
mengontrol pers agar tidak menggunakan kebebasannya sehingga tidak terjebak
dalam trial by the press. Jika pelanggaran masih saja terjadi, terlebih pelanggaran
yang bersifat penghilangan HAM maka dalam pandangan penulis sanksi yang
diberikan tidak lagi berupa administratif, namun sanksi ini juga dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana pelanggaran HAM.
Penulis menemukan beberapa kasus pada media massa yang telah ditulis
pada bab sebelumnya. Dalam pandangan penulis kasus ini merupakan tindakan trial
by the press, yaitu berita yang dimuat oleh media ObsessionNews.com yang
menggunakan judul “Waspada Air Mata Buaya Si Penista Agama”, Merdeka.com
“Saat Megawati Bicara Soal „Ahok Si Penista Agama”. Penulis akan melakukan
analisis terhadap dua berita ini mengapa keduanya termasuk dalam tindakan trial by
the press.
ObsessionNews.com adalah media online yang telah banyak melakukan
pemberitaan lokal, nasional bahkan hingga Internasional. Media ini juga merupakan
media yang memiliki pengalaman dalam melakukan pemberitaan, sehingga penulis
melihat ObsessionNews.com masuk dalam kriteria media massa yang memberikan
informasi yang cukup massif dan berpengaruh dalam dunia jurnalistik.
Pada tahun 2016 media massa sempat diramaikan oleh berita politik yang
melibatkan Basuki Tjahaya Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta yang juga
mencalonkan diri sebagai calon Gubernur DKI Jakarta bersama Djarot Saiful
Hidayat sebagai calon wakil Gubernur DKI Jakarta. Basuki Tjahaya Purnama yang
akrab disapa Ahok dilaporkan oleh beberapa orang, salah satunya adalah Novel
Chaidir Bamukmin kepada kepolisian karena diduga telah melakukan tindak pidana
penodaan agama.
Peristiwa ini kemudian direspon oleh banyak pihak yang juga menganggap
Ahok telah melakukan tindak pidana yang dimaksud, namun sebagian lainnya
menganggap Ahok tidak melakukan tindak pidana penodaan agama dengan
64
oleh Merdeka.com dalam upaya melakukan subjektivitas terhadap kasus ini yang
dapat dianggap telah melakukan penggiringan opini dan provokasi dalam
masyarakat.
Media massa sekaliber Merdeka.com yang memiliki jam terbang,
pengalaman dalam melakukan peliputan berita seharusnya mampu menghindari
kesalahan penggunaan redaksi dalam sebuah pemberitaan. Dari judul berita yang
digunakan oleh Merdeka.com sedikit banyaknya dapat menurunkan kredibilitas dan
kualitas pemberitaan, dimana sisi subjektivitas serta ketidak berimbangan
mendominasi judul berita ini.
Proses peradilan adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mendapatkan keadilan, pengadilan menggunakan teknik pe ncarian kebenaran
materil oleh pihak-pihak yang terlibat dan kemudian diputuskan oleh hakim tanpa
dapat diintervensi dan dipengaruhi oleh pihak manapun termasuk media, terlepas
dari hak media yang dapat secara bebas melakukan sebuah pemberitaan. Dari kedua
berita yang ditampilkan oleh media massa ObsessionNews.com dan Merdeka.com
diatas tidak hanya melanggar asas praduga tak bersalah, melanggar KEJ namun
kedua media ini juga melakukan tindakan yang dapat mempengaruhi Analisa hakim
dalam memberikan putusan kepada Ahok. Jika Analisa hakim terpengaruh oleh
pemberitaan ini maka Ahok sebagai tersangka menjadi pihak yang paling dirugikan
dalam proses hukum ini.
Beberapa contoh media massa yang terindikasi melakukan trial by the press
sebagai berikut:
“Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan” (QS. Al-Baqarah:
191)
Ayat ini begitu gamblang menjelaskan tentang perbuatan fitnah yang jika
dilakukan akan lebih berbahaya dari pembunuhan. Dalam pandangan penulis,
Analisa yang dilakukan pers tanpa melakukan verifikasi fakta tentang sebuah berita
yang hendak dipublikasi dapat termasuk dalam perbuatan fitnah. Jika dilihat dari sisi
akibatnya, perbuatan trial by the press tidak hanya merugikan pihak yang menjadi
objek pemberitaan, namun dapat merugikan dan mengganggu kehidupan keluarga
dan lingkungannya.
Seperti kisah yang terjadi pada „Aisyah radhiyallahu „anha ketika orang-
orang menceritakan berita bohong kepadanya. Diriwayatkan dari „Aisyah, istri
Nabi Shallallahu „Alaihi Wa Sallam, bercerita: “Biasanya Rasulullah apabila hendak
bepergian jauh melakukan undian bagi istri-istrinya, maka siapa saja di antara
mereka yang bagiannya keluar atas namanya maka dialah yang mendapat bagian ikut
pergi bersama beliau. Pada suatu ketika, Nabi akan pergi dalam suatu peperangan,
lalu beliau melakukan undian dan yang keluar adalah bagian atas namaku. Maka aku
pun ikut pergi bersamanya (mendampinginya) sesudah ayat tentang wajib hijab
diturunkan.
Aku pada saat itu dibawa di dalam sekedup (di atas punggung unta) dan di
situlah aku tinggal. Kami pun berjalan hingga Rasulullah shallallahu „alaihi
wasallam selesai dari misi peperangannya dan beliau pun kembali. Dan sudah terasa
dekat dari kota Madinah, maka pada suatu malam beliau mengizinkan (para
sahabatnya) untuk berangkat (pulang). Maka aku pun bangkit (untuk buang hajat)
ketika mereka diizinkan untuk pulang hingga pasukan itu telah berlalu. Seusai buang
hajat aku kembali kepada untaku, kemudian aku raba dadaku dan ternyata kalungku
terputus karena terenggut kukuku (dan hilang). Maka aku kembali (ke tempat buang
hajat) sambil mencari kalungku yang terjatuh hingga makan waktu cukup lama. Lalu
pada saat itu sekelompok orang yang biasa menuntun untaku datang menuju unta
68
Ayat ini Allah turunkan sebagai jawaban atas beredarnya fitnah yang
menimpa Ummul Mukminin Aisyah RA. Setelah ayat ini turun, kondisi kaum
muslimin kembali normal dan bahkan semakin membaik dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Kisah ini memberikan pelajaran penting kepada kita, orang-
orang munafik seperti Abdulah bin Ubay bin Salul, dari sejak Rasulullah sampai
sekarang akan terus menebarkan fitnah dan kebencian kepada orang-orang mulia. Tak
tanggung-tanggung, Abdullah bin Ubay pernah berani memfitnah Rasulullah dan
70
keluarganya. Sebegitu beraninya Abdullah bin Ubay hingga akhir hayatnya penuh
dengan kesusahan yang tiada berujung.
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma‟ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka,
diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik.” (QS. Ali Imran: 110)
71
Proses peradilan yang berjalan dalam kasus Ahok ini seharusnya menjadi
rambu bagi media untuk menahan diri menyebarkan informasi yang bersifar
tendensius dan telah mengganggu jalannya persidangan serta melakukan
penggiringan di dalam masyarakat untuk bersama-sama percaya dan melakukan
fitnah kepada Ahok yang telah melakukan penodaan agama.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Media massa adalah sarana penyebaran informasi yang paling efektif untuk
menyampaikan informasi dengan cepat di tengah-tengah masyarakat. Media massa yang
lahir pasca orde baru mendapatkan kebebasan untuk mempublikasi sebuah berita dengan
perlindungan undang-undang tanpa khawatir akan mendapatkan kecaman dari pihak
manapun, kebebasan ini juga kemudian memberikan peluang pada masyarakat untuk
menciptakan media massa baru. Maraknya media massa yang lahir pasca orde baru
melahirkan kompetisi dalam komunitas media massa itu sendiri untuk mempublikasi
berita, sehingga media massa yang pada awalnya diberi kebebasan, kemudian secara
berlebihan melakukan pemberitaan untuk menarik minat para pembaca sehingga secara
tidak sadar telah melanggar kebebasan itu sendiri.
Salah satu pelanggaran yang kerap terjadi dalam dunia media massa adalah trial by
the pres. Trial by the press atau terjemahannya secara harfiah “pengadilan oleh pers”
sebagaimana dikutip dalam laporan penelitian hukum BPHN tahun 2013 merupakan
kegiatan dimana pers bertindak sebagai peradilan mencari bukti-bukti, menganalisa, dan
mengkaji sendiri untuk kemudian berakhir dengan memberi putusan. Tindakan yang
dilakukan pers dalam menyampaikan informasi dapat menimbulkan dua konsekuensi,
konsekuensi yang dapat mempengaruhi masyarakat pada hal-hal positif yaitu ketika pers
mampu menyajikan berita yang edukatif dan informatif namun pers juga dapat memiliki
konsekuensi yang berdampak negatif pada masyarakat jika pers telah masuk pada
tindakan trial by the press.
Salah satu trial by the press yang terjadi adalah pemberitaan terhadap Ahok oleh
Obsessionnews.com dan Merdeka.com yang secra sepihak telah menjustifikasi Ahok
melakukan penodaan agama, sedangkan pengadilan belum memberikan putusan apakah
Ahok bersalah atau tidak. Tindakan trial by the press oleh kedua media ini tidak hanya
melanggar asas praduga tak bersalah namun telah melakukan pelanggaran HAM dengan
melakukan penghakiman secara sepihak. Penulis melihat bahwa kedua media ini juga
tidak hanya melakukan pelanggaran HAM namun juga dapat melakukan perbuatan fitnah
72
73
yang jika dilihat dari sudut pandang agama Islam adalah perbuatan yang dilarang dan
berdosa.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, melalui penelitian ini, penulis
mengajukan beberapa rekomendasi konstruktif sebagai berikut:
1. Media massa hendaknya melakukan kajian dan analisis yang lebih komprehensif dan
serius dalam mengupayakan aktifitas jurnalistik yang bersih dari tindakan trial by the
press dengan mempertimbangkan Hak Asasi Manusia.
2. Media massa harus memperhatikan prinsip dan norma agama salah satunya adalah agama
Islam yang telah memberi pandangan dalam melaksanakan aktifitas penyebaran
informasi yang lebih humanis, berimbang berdasarkan fakta-fakta sehingga media massa
terhindar dari perbuatan fitnah yang dapat merugikan orang lain.
3. Dewan pers harus memberikan sanksi yang tegas bagi media massa yang terbukti
melakukan trial by the press untuk mengembalikan citra pers yang berimbang, adil dan
berlandaskan fakta-fakta yang ada.
4. Pemerintah harus memberikan aturan-aturan yang efektif dalam mencegah
penyalahgunaan kebebasan pers serta melakukan pengkinian undang-undang sehingga
mampu melindungi masyarakat dari tindakan trial by the press.
5. Pemerintah harus tegas terhadap media massa yang telah terbukti melakukan tindakan
trial by the press tidak hanya melakukan sanksi administratif dan ganti rugi secara materi,
namun harus ada sanksi pidana jika diperlukan.
Akhirnya semoga skripsi ini dapat menjadi solusi untuk mencegah terjadinya
tindakan trial by the press dan memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang
kebebasan pers di Indonesia serta dapat menjadi edukasi bagi semua pihak agar dapat
membetengi diri dari pihak-pihak yang berusaha melakukan pelanggaran HAM serta
mencegah dari perbuatan fitnah.
DAFTAR PUSTAKA
Adji Oemar Seno, Perkembangan Delik Pers di Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1991
AM Waskito, Invasi Media Melanda Kehidupan Umat, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013
Astuti Ayu Sri, Kebebasan Pers dan Etika Pers Dalam Perspektif Hukum Islam,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2015, Cet I
Atmasasmita Romli, “Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah:Reaksi Atas Paradigma
Individualistik”,https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b25f96c2ed41/lo
gika-hukum-asas-praduga-tak-bersalah-reaksi-atas-paradigma-individualistik-
br-oleh-romli-atmasasmita-,
Baehr Peter, et al, Instrumen International Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1996
BPHN Kementrian Hukum dan HAM RI, Pengaruh Praktik Courtroom Television
terhadap Independensi peradilan”, Penelitian Hukum, BPHN Kementrian
Hukum dan HAM RI, 2013
C. Merrill John dan Ralph D. Barney, Ethics and the Press, New York: Hasting
House Publishers, Inc, 1975
Edy Susanto, Muhammad Taufik Makarao, dan Hamid Syamsudin, Hukum Pers di
Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2010
El-Muhtaj Majda Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005
74
75
Fokky Law, Asas Praduga Tidak Bersalah dan Trial By The Press,
http://www.fokkylaw.com/, 19 Juni 2010
Harahap Krishna, Ruang Lingkup Dan Implementasi Kebebasan Pers Dalam Hukum
Indonesia, Bandung: Grafitri, 2000
Heri Tahir, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010
Horea Salajan, dkk., ABC Paket Berita TV, Jawa Barat: PJTV Program Pelatihan
Jurnalistik Televisi, 2001
https://kinibisa.com/artikel/detail/menulis/subdetai/penulisan-jurnalistik/read/4-tips-
menulis-berita-yang-baik-dan-benar
https://www.merdeka.com/peristiwa/saat-megawati-bicara-soal-ahok-si-penista-agama.html
https://www.obsessionnews.com/waspadai-air-mata-buaya-si-penista-agama/
Ibnu Katsir Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:500 Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan
pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul Jauz
Imam asy-Syafi‟I, Mukhtasar Kitab Al-Umm, alih bahasa: Amiruddin, Ringkasan Al-
Umm, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008
Kahya, Eyo Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers, Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2004
Kansil, C.S.T, Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1986
Khoirul Anam Faris, Fikih Jurnalistik Etika & Kebebasan Pers Menurut Islam,Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009
Lubis Mulya Todung, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, Jakarta: LP3ES,
1984
Mahbib Khoiron:http://www.nu.or.id/post/read/42030/ketika-khalifah-ali-kehilangan-
baju
Makarim, Edmon Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2003
76
Manan, Bagir, Menuju Pers Yang Bertanggung Jawab dan Sehat, Varia Peradilan
No. 299 Oktober 2010
----------, Pers, Praduga tak Bersalah, dan Hak Atas Informasi, Varia Peradilan No.
303 Februari, 2011
Muhammad Ahmadi, Fahmi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Ni Putu Noni Suharyanti, “Perspektif HAM Mengenai penerapan Asas Praduga Tidak
Bersalah Dalam Kaitannya Dengan Pemberitaan di Media Massa”, Jurnal
Advokasi, Vol. 5, No.2, September 2015, 123-128
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005
RH, Priyambodo, Indria Prawitasari, Kode Etik Jurnalistik dalam Buku Saku
Wartawan, Jakarta: Lembaga Pers DR. Sutomo, 2010
Rusjdi Ali Muhammad, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Syariat Islam, Banda
Aceh: ar-Raniry Press, 2004
Shashi Tharoor, “Are Human Right Universal?”, Word Policy Journal, Vol. 16, No. 4
(Winter 1999/2000)
Simorangkir J.T.C, Hukum dan Kebebasan Pers, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional, 1980
Siregar, Ashadi, “Membangun Kebebasan Pers Yang beretika”, yang disampaikan
pada lokakarya I Jakarta: Yayasan Tifa, 2006
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: IND
HILLCO, 2001
Wahyono Padmo, “Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Pers yang Bebas”
(Makalah yang diajukan dalam seminar Asas Praduga Tak Bersalah dan Trial
By The Press, Hotel Aryaduta, Jakarta, 25 Maret 1989)