Anda di halaman 1dari 80

SOLUSI DALAM IKHTILÂF AL-HADÎTS

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

Maya Arianty Adjie


NIM: 1113034000223

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
PEDOMAN TRANSLITERASI

1. Padanan Aksara

HURUF ARAB HURUF LATIN KETERANGAN


‫ا‬ Tidak dilambangkan
‫ب‬ b Be
‫ت‬ t Te
‫ث‬ ts te dan es
‫ج‬ j Je
‫ح‬ h h dengan garis bawah
‫خ‬ kh ka dan ha
‫د‬ d De
‫ذ‬ dz de dan zet
‫ر‬ r Er
‫ز‬ z Zet
‫س‬ s Es
‫ش‬ sy es dan ye
‫ص‬ s es dengan garis bawah
‫ض‬ ḏ de dengan garis bawah
‫ط‬ ṯ te dengan garis bawah
‫ظ‬ ẕ zet dengan garis bawah
‫ع‬ ‘ koma terbalik diatas hadap kanan
‫غ‬ gh ge dan ha
‫ؼ‬ f Ef
‫ؽ‬ q Ki
‫ؾ‬ k Ka
‫ؿ‬ l El
‫ـ‬ m Em
‫ف‬ n En
‫و‬ w We
‫هػ‬ h Ha
‫ء‬ ` Apostrof
‫ي‬ y Ye

i
2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal

tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ﹷ‬ A Fathah

‫ﹻ‬ I Kasrah

‫ﹹ‬ U ḏammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫ﹷي‬ ai a dan i

‫ﹷو‬ au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ػ ػ ػ ػ ػ ػَ ػػا‬ â a dengan topi di atas

ْ‫ـــِي‬ î i dengan topi di atas

ْ‫ـــُو‬ û u dengan topi di atas

ii
4. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu ‫اؿ‬, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-

diwân bukan ad-diwân.

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda (‫ )ﹽ‬dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,

yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi,

hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak

setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya,

kata ‫َّرْوَرة‬
ُ ‫ الض‬tidak ditulis aḏ-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah, demikian

seterusnya.

6. Ta Marbûṯah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada

kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf

/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah

tersebut diikuti oleh kata sifat (na´t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta

marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

iii
No. Kata Arab Alih Aksara
1 ‫طَ ِريْػ َقة‬ Ṯarîqah
2 ‫الج ِاملَة ا ِإل ْس َل ِميَّة‬
َ
Al-Jâmilah al-Islâmiyyah
3 ‫الو ُج ْود‬
ُ ‫َو ْح َدة‬
Wahdat al-Wujûd

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam

alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti

ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk

menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama

diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang

ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf

awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid

Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan

dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)

atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak

miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang

berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan

meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis

Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-

Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Ranîrî.

iv
8. Cara Penulisan Data

Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf

(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas

kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-

ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

ُ‫ُستَاذ‬
ْ ‫ب األ‬
َ ‫َذ َه‬ dzahaba al-ustâdzu

‫َج ُر‬
ْ ‫ت األ‬
َ َ‫ثَػب‬ tsabata al-ajru

‫ص ِريَّة‬
ْ ‫الع‬
َ ‫الح ْرَكة‬
َ al-harakah al-‘asriyyah

‫أَ ْش َه ُد أَ ْف ََل إِلهَ إََِّل اهلل‬ asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh

‫الصالِح‬
َّ ‫َم ْوََلنَا َملِك‬ Maulânâ Malik al-Salih

‫يُػ َؤثِّػ ُرُك ُم اهلل‬ yu’atstsirukum Allâh

‫الع ْقلِيَّة‬ ِ
َ ‫المظَاهر‬
َ al-maẕâhir al-‘aqliyyah

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.

Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu

dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd;

Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-

Rahmân.

v
ABSTRAK

Maya Arianty Adjie


Solusi Dalam Ikhtilâf al-Hadîts

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa hadis adalah sumber ajaran


kedua yang disampaikan dari Rasulullah SAW. setelah Al-Qur`an dan
tidak boleh dipisahkan. Namun sebagaimana diketahui bahwa mayoritas
hadis-hadis Nabi SAW. diriwayatkan secara makna, hal ini ditunjukkan
oleh adanya perbedaan-perbedaan lafal dari para periwayat yang tsiqqat
untuk satu hadis. Namun demikian, al-riwâyah bi al-ma‘nâ dengan
berbagai alasannya, merupakan fenomena yang tak bisa dielakkan. Alasan
utamanya adalah ketidak mungkinannya seluruh sabda dan perbuatan Nabi
SAW. untuk diriwayatkan secara lafal. Namun jelas, bahwa adanya al-
riwâyah bi al-ma´nâ secara otomatis akan berimplikasi pada perbedaan
redaksi yang tidak mempengaruhi makna atau maksud hadis, namun ada
juga yang menyebabkan perbedaan makna, bahkan tidak jarang menjadi
pemicu munculnya perbedaan dan perpecahan umat sehingga akhirnya
timbullah adanya ikhtilâf, seperti pada hadis kontradiksi mengenai buang
hajat menghadap kiblat, buang air kecil dengan posisi berdiri, al-Kayy, dan
aurat laki-laki di bagian paha.
Metode penulisan yang digunakan adalah metode Library Research
yaitu penelitian melalui riset kepustakaan untuk mengkaji sumber-sumber
tertulis. Materi yang akan dibahas yaitu hadis mengenai buang hajat
menghadap dan membelakangi kiblat. Dari pembahasan itulah yang akan
dijelaskan hakikat tentang buang hajat menghadap dan membelakangi
kiblat, hadis yang membolehkan dan yang melarang, solusi metode
penyelesaian dalam ikhtilâf al-hadîts dan status dari ketiga kasus hadis
tersebut.
Kesimpulan dari judul skripsi tersebut, hadis mengenai buang hajat
menghadap dan membelakangi kiblat itu dilarang jika dilakukan secara
mutlak dalam keadaan terbuka atau di tempat yang dapat dilihat orang
banyak, sedangkan membuang hajat menghadap kiblat di dalam ruangan
atau WC sebenarnya bukan menghadap ke kiblat tetapi menghadap ke
dinding dan hal tersebut menunjukkan kebolehan, maka metode
penyelesaian hadis tersebut menggunakan metode al-Jam‘u wa al-Taufîq,
serta dapat pula diamalkan.

vi
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur ke hadirat Allah SWT. yang mana Dia-lah yang
memberikan nikmat sehat, nikmat iman, dan nikmat Islam, sehingga skripsi ini
dapat dikerjakan dengan baik hingga selesai, karena tanpa pertolongan-Nya
penulis tidak akan bisa menempuh pendidikan hingga meraih gelar Sarjana.
Shalawat serta salam tidak lupa penulis junjungkan kepada Rasulullah SAW.
beserta keluarga, para sahabat, dan para pengikut beliau hingga akhir zaman.

Dengan selesainya skripsi ini, merupakan suatu kebahagiaan yang tak


terhingga, meskipun banyak sekali rintangan-rintangan yang ditempuh demi
menyelesaikan skripsi ini, namun berkat pertolongan-Nya, rintangan-rintangan
tersebut dapat dijalani dengan kesabaran. Dan juga tidak lupa beberapa bantuan
dari berbagai pihak baik moril maupun materil yang tidak bisa penulis sebutkan
satu persatu yang pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof.
Dr. Masri Mansoer, M.Ag. beserta jajarannya.
3. Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Ibu Dr. Lilik Ummi
Kaltsum, M.Ag, beserta Sekretaris Program Studi Ibu Dra. Banun
Binaningrum, M.Pd.
4. Dosen Pembimbing Bapak Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag, yang telah
memberikan begitu banyak bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semoga ilmu yang diberikan dapat bermanfaat dan dapat pula penulis
amalkan serta kelak mendapat balasan yang terbaik di sisi Allah SWT.
6. Kedua orang tua tercinta, mamah dan papah (Bapak Adjie Maspul Padmo
dan Ibu Neny Nuraeni Natawiriya), terima kasih banyak atas segala
pengorbanan baik moril maupun materil, motivasi, dan do’a yang tidak

vii
pernah putus, cinta dan kasih sayang yang selalu memberikan semangat,
serta do’a dan restunya kepada penulis.
7. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir angkatan 2013, khususnya kepada sahabat TH-Family Dini Asrianti,
Puput Fauziyah, Fildzah Nida, Tuti Atianti, Rusnul Nur’ahlina Hanifi,
Yeni Yulianti, Nia Yuniarti, Lukmanul Hakim, Rozali Hidayatullah, dan
lain-lain.
8. Seluruh teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) 2016, khususnya Iqbal
Syafei selaku ketua KKN SMART, Prameswari Putri Pramono, Nur
Jannah, Lusiani, dan lain-lain.

Jakarta, 2 Juni 2018

Maya Arianty Adjie

viii
DAFTAR ISI

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. i


ABSTRAK ................................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
DAFTAR ISI............................................................................................................. ix

BAB I : PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1


B. Permasalahan ................................................................................................. 14
1. Identifikasi Masalah ................................................................................. 14
2. Pembatasan Masalah ................................................................................ 14
3. Perumusan Masalah ................................................................................. 15
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 15
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 15
E. Metodologi Penelitian .................................................................................... 17
1. Metodologi Penelitian .............................................................................. 17
a. Sumber Data....................................................................................... 17
b. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 17
c. Metode Analisa Data.......................................................................... 18
2. Teknik Penulisan ...................................................................................... 18
F. Sistematika Penulisan .................................................................................... 19

BAB II : IKHTILÂF DALAM HADIS ................................................................. 21

A. Kedudukan Hadis ........................................................................................... 21


B. Fungsi Hadis .................................................................................................. 23
C. Hakikat Ikhtilâf al-Hadîts .............................................................................. 25
1. Definisi Mengenai Ikhtilâf al-Hadîts ....................................................... 25
2. Urgensi Mempelajari Mukhtalif al-Hadîts ............................................... 30
3. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Ikhtilâf dalam Hadis ....................... 31
4. Pendapat Ulama Tentang Mukhtalif al-Hadîts ........................................ 34
D. Sejarah Perkembangan Ikhtilâf al-Hadîts ...................................................... 35
E. Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif ............................................... 36
1. Al-Jam´u wa al-Taufîq ............................................................................. 36
2. Nasikh wa al-Mansukh ............................................................................. 40
3. Al-Tarjîh................................................................................................... 43
4. Tawaqquf.................................................................................................. 46
F. Karya-Karya Dalam Bidang Ilmu Mukhtalif al-Hadîts ................................. 49

ix
BAB III : SOLUSI METODE PENYELESAIAN DALAM
IKHTILÂF AL-HADÎTS ........................................................................ 51
A. Hadis Mengenai Buang Hajat Menghadap dan Membelakangi Kiblat ......... 51
1. Hakikat Melakukan Buang Hajat Menghadap dan Membelakangi
Kiblat........................................................................................................ 51
2. Takhrij Hadis ........................................................................................... 52
3. Metode Penyelesaian Hadis Mengenai Buang Hajat Menghadap dan
Membelakangi Kiblat............................................................................... 54

BAB IV : PENUTUP .............................................................................................. 63

A. Kesimpulan .................................................................................................... 63
B. Saran .............................................................................................................. 63

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 64

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Membahas mengenai hadis, seluruh umat Islam telah sepakat

bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati

kedudukannya setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadis bagi umat

Islam, baik berupa perintah maupun larangannya sama halnya dengan

kewajiban mengikuti Al-Qur`an. Hal ini karena hadis merupakan

mubayyin (penjelasan) terhadap Al-Qur`an, yang karenanya siapa pun

tidak akan bisa memahami Al-Qur`an tanpa memahami dan menguasai

hadis. Begitu pula halnya menggunakan hadis tanpa Al-Qur`an. Karena

Al-Qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis

besar syari‟at. Dengan demikian, antara hadis dengan Al-Qur`an memiliki

kaitan sangat erat, yang untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa

dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.1

Karena itu, hadis Nabi SAW. pun juga adalah wahyu, dan

penampilannya muncul melalui redaksi atau perilaku Nabi SAW. sebagai

Rasul Allah SWT. Hal ini dijelaskan dalam Firman Allah SWT. :

٤-٣ : ]٥٣[ ‫﴾ (سورة النّجم‬٤﴿ ‫﴾ اِ ْن ُى َو اِاَّل َو ْح ٌي يُّ ْوحى‬٣﴿ ‫َوَما يَ ْن ِط ُق َع ِن ال َْهوى‬


“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur`an) menurut
keinginannya. Tidak lain (Al-Qur`an itu) adalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (QS. An-Najm [53] : 3-4).

ِ ‫َوَمآ ات ُكم ال ار ُس ْو ُل فَ ُخ ُذ ْوهُ َوَما نَه ُك ْم َع ْنوُ فَانْتَ ُه ْواۚ َواتا ُقوا اللَۚاِ ان اللَ َش ِديْ ُد ال ِْع َق‬
﴾۷﴿ۚ‫اب‬ ُ
۷: ]٥٥[ ‫(سورة الحشر‬

1
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 19.

1
2

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa


yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr [59] :
7).
Untuk Al-Qur`an, semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung

secara mutawatir, sedang untuk hadis Nabi SAW., sebagian

periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi

berlangsung secara ahad. Karenanya, Al-Qur`an dilihat dari segi

periwayatannya mempunyai kedudukan sebagai qaṯ„i al-wurûd, dan

sebagian lagi, bahkan yang terbanyak, berkedudukan sebagai ẕanni al-

wurûd. Dengan demikian, dilihat dari segi periwayatannya, seluruh ayat

Al-Qur`an tidak perlu dilakukan penelitian tentang orisinalitasnya, sedang

hadis Nabi SAW., dalam hal ini yang berkategori ahad, diperlukan

penelitian. Dengan penelitian itu akan diketahui, apakah hadis yang

bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari

Nabi SAW. ataukah tidak.2

Merujuk pada Firman Allah SWT. tersebut, maka tidak ada alasan

bagi orang Islam untuk menafsirkan dan menolak hadis Nabi SAW. karena

eksistensi hadis telah memperoleh justifikasi dari Al-Qur`an. Karena itu,

setiap upaya atau pemikiran untuk melepaskan hadis sebagai sumber

ajaran agama Islam sebenarnya hal itu tidaklah dari sebuah pelecehan dan

pada gilirannya akan memisahkan Al-Qur`an dari kehidupan umat Islam.

Pada zaman Rasul, al-Khulafâ` al-Rasyidun, sampai akhir abad

pertama hijriah, sebahagian hadis berpindah dari mulut ke mulut. Masing-

masing periwayat hadis meriwayatkannya berdasarkan kepada catatan dan

2
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016),
h. 3-4.
3

kekuatan hafalannya. Pada fase tabi„in wilayah Islam sudah demikian luas,

meliputi Jazirah Arab, Syiria, Palestina, Yordania, Libanon, seluruh

kawasan Irak, Mesir, Persia, dan kawasan Samarkan. Perluasan daerah itu

diikuti dengan penyebaran ulama untuk menyampaikan ajaran Islam di

daerah-daerah tersebut. Maka kondisi tersebut menjadi salah satu alasan

pembukuan hadis.

„Umar ibn „Abd „Azîz adalah orang pertama mengajurkan

pembukuan hadis. Sebagai seorang khalifah (99-101 H) Islam, „Umar ibn

„Abd „Azîz merasa berkewajiban mempertahankan keberadaan hadis,

maka beliau memerintahkan Abû Bakar ibn Hazm dan Ibn Syihâb al-

Zuhri3 serta ulama yang lainnya untuk mengumpulkan hadis, baik yang

berupa hafalan maupun catatan yang terdapat pada mereka.

Perintah „Umar ibn „Abd „Azîz kepada Gubernur Madinah, Abû

Bakar Muhammad ibn „Amr ibn Hazm untuk membukukan hadis, yang

pelaksanaannya ditangani oleh Ibn Syihab al-Zuhri, memotivasi para

ulama meningkatkan perhatian mereka untuk mengumpulkan dan

membukukan hadis, baik secara kuantitas maupun dalam bentuk kualitas,

terutama pada abad kedua hijriah, dan mencapai puncaknya pada abad

ketiga, ditandai dengan munculnya kitab-kitab hadis induk.4

Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan terdahulu bahwa

jumlah kitab hadis yang telah disusun oleh ulama periwayat hadis cukup
3
Nama lengkap Ibn Syihâb al-Zuhri adalah Muhammad ibn Muslim ibn ´Abdillah ibn
´Abdullah ibn Syihâb al-Quraisyi al-Zuhri. Ia ulama besar kalangan tabi´in senior yang mula-mula
mengodifikasikan hadis dari hafalan ulama dan hafiz besar dari penduduk Madinah yang terkenal
di seluruh Hijaz dan Syam. Ia lahir pada tahun 51 Hijriah dan tinggal di Aylah, desa antara Hijaz
dan Syam. Ia sangat alim sehingga menjadi referensi bagi ulama sekitarnya. Lihat Abdul Majid
Khon, Takhrîj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h. 227.
4
Bustamin dan Hasanuddin, Membahas Kitab Hadis, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 5 dan 6.
4

banyak. Jumlah itu sangat sulit dipastikan angkanya sebab mukharrijul

hadîts, ulama yang meriwayatkan hadis dan sekaligus melakukan

penghimpunan hadis tidak terhitung banyaknya. Apalagi, sebagian dari

para penghimpun hadis itu ada yang menghasilkan karya himpunan hadis

lebih dari satu kitab.

Di antara kitab-kitab hadis yang ditulis oleh para mukharrij-nya

masing-masing itu, ada yang beredar luas di masyarakat sampai zaman

sekarang, ada yang cukup sulit ditemukan, da nada yang telah hilang.

Kitab-kitab himpunan hadis yang banyak beredar tersebut tampaknya

hanya belasan buah saja, khususnya: Sahîh al-Bukhâri susunan al-Bukhari

(wafat 256 H/870 M); Sahîh Muslim susunan Muslim (wafat 261 H/875

M); Sunan Abû Dâwud susunan Abu Daud (wafat 275 H/892 M); Sunan

al-Tirmidzi susunan al-Tirmidzi (wafat 279 H/889 M); Sunan al-Nasâ`i

susunan al-Nasa`i (wafat 303 H/915 M); Sunan Ibn Mâjah susunan Ibn

Majah (wafat 273 H/887 M); Sunan al-Dârimî susunan al-Darimi (wafat

255 H/868 M); Musnad Ahmad ibn Hanbal susunan Ahmad ibn Hanbal

(wafat 241 H/855 M); Muwaṯṯa` Malik susunan Malik ibn Anas (wafat 179

H/795 M); Sahîh Ibn Khuzaimah susunan Ibn Khuzaimah (wafat 311

H/924 M); Sunan al-Kubra al-Baihaqî susunan al-Baihaqî (wafat 458

H/1066 M); Mustadrak al-Hakim susunan al-Hakim al-Naisaburi (wafat

405 H/1014 M); Musnad al-Humaidi susunan al-Humaidi (wafat 219

H/834 M); dan Musnad Abû „Awânah susunan Abû „Awânah (wafat 316

H/928 M).5

5
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016),
h. 18.
5

Metode penyusunan kitab-kitab himpunan hadis tersebut ternyata

tidak seragam. Hal itu memang logis sebab yang lebih ditekankan dalam

kegiatan penulisan itu bukanlah metode penyusunannya, melainkan

penghimpunan hadisnya.

Masing-masing mukharrij memiliki metode sendiri-sendiri, baik

dalam penyusunan sistematikanya dan topik yang dikemukakan oleh hadis

yang dihimpunnya, maupun kriteria kualitas hadisnya masing-masing.

Karenanya tidaklah mengherankan, bila pada masa sesudah kegiatan

penghimpunan itu, ulama menilai dan membuat kriteria tentang peringkat

kualitas kitab-kitab himpunan hadis tersebut, misalnya:

 Al-Kutubul-Khamsah (Lima Kitab Hadis yang Standar);

 Al-Kutubus-Sittah (Enam Kitab Hadis yang Standar);

 dan Al-Kutubus-Sab„ah (Tujuh Kitab Hadis yang Standar).

Dalam kriteria yang beragam terhadap hadis-hadis yang dihimpun

dalam kitab-kitab hadis tersebut, maka kualitas hadis-hadisnya menjadi

tidak selalu sama. Untuk mengetahui apakah hadis-hadis yang termuat

dalam berbagai kitab himpunan itu berkualitas shahih ataukah tidak

shahih, diperlukan kegiatan penelitian. Dengan melaksanakan kegiatan

penelitian tersebut akan dapat terhindar sedapat mungkin penggunaan dalil

hadis yang tidak memenuhi kriteria sebagai hujah. Apalagi, kualitas para

periwayat yang termuat dalam berbagai sanad bagi hadis yang dihimpun
6

dalam berbagai kitab itu bermacam-macam; ada yang memenuhi syarat

dan ada yang tidak memenuhi syarat.6

Karena tujuan utama penelitian hadis mengacu kepada status

kehujahan hadis, yang karenanya kualitas hadis yang bersangkutan harus

diketahui, maka ulama menciptakan istilah-istilah dilihat dari keadaan

sanad dan matn-nya. Dalam hubungan ini, jumlah istilah yang diciptakan

untuk kualitas hadis tidak sebanyak jumlah istilah untuk macam-macam

hadis dilihat dari keadaan sanad dan matn-nya.7

Sesuai dengan sejarah perjalanan hadis, ternyata tidak semua yang

disebut hadis itu benar-benar berasal dari Nabi SAW. Apalagi kita

mengetahui hadis palsu itu memang ada. Benar bahwa tadinya, hadis itu

segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW., yang fungsinya

sebagai rujukan dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam.

Selanjutnya, apa yang dinisbahkan kepada sahabat pun disebut hadis,

bahkan, yang disandarkan kepada tabi„in. Maka persoalannya, mana hadis

yang dapat diterima (maqbul) sebagai dalil agama karena “diduga keras”

berasal dari Nabi SAW., dan mana pula yang ditolak (mardud).

Di masa al-Bukhârî, Muslim, dan imam-imam sebelumnya, nilai

hadis itu ada dua. Yang maqbul disebut shahih dan yang mardud disebut

dha„if. Tetapi sebenarnya ada hadis yang kalau disebut dha„if rasanya

tidak pas, kalau disebut shahih rasanya juga kurang tepat. Maka oleh al-

Tirmidzi, hadis semacam ini disebut hadis Hasan (baik).

6
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016),
h. 18 dan 19.
7
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016),
h. 32.
7

Semua hadis yang sampai kepada kita, dilihat dari segi kualitasnya

untuk dapat diamalkan ataupun ditinggalkan,8 istilah-istilah kualitas hadis

yang telah dapat dinyatakan sebagai standar (baku) yang berlaku sampai

saat ini ada tiga macam, yakni sahîh, hasan, dan ḏa„îf. Dengan demikian,

hasil penelitian hadis ahad dilihat dari keadaan sanad dan matn-nya akan

tidak terlepas dari ketiga kemungkinan kualitas tersebut.9

1. Hadis Shahih. Yaitu hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh

orang-orang yang adil dan dhabit, serta tidak syadz dan tidak cacat.

2. Hadis Hasan. Sebenarnya hadis hasan itu sama dengan hadis shahih.

Bedanya, kalau di dalam hadis shahih semua periwayat harus sempurna

kedhabitannya, maka dalam hadis hasan ada perawi yang kedhabitan,

kecermatan atau hafalannya kurang sempurna.

3. Hadis Dha„if. Yaitu hadis yang tidak memenuhi persyaratan di atas,

misalnya sanadnya ada yang terputus, di antara periwayat ada yang

pendusta atau tidak kenal, dan lain-lain.10

Perkembangan selanjutnya, ternyata diantara hadis-hadis yang

telah dibukukan oleh para ulama ada yang tampak bertentangan secara

zahir, kemudian dikenal dengan ilmu mukhtalif al-hadîts.11 Sebagaimana

diketahui bahwa mayoritas hadis-hadis Nabi SAW. diriwayatkan secara

makna. Hal ini ditunjukkan oleh adanya perbedaan-perbedaan lafal dari

para periwayat yang tsiqat untuk satu hadis. Namun demikian, al-riwâyah
8
Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syâfi´î”, Jurnal
Ushuluddin UIN SUSKA (Riau Vol. XVII No. 2, Juli 2011), h. 184.
9
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016),
h. 33.
10
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis & Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2011), h. 87-94.
11
Johar Arifin, “Pendekatan Ulama Hadis dan Ulama Fiqh dalam Menelaah
Kontroversial Hadis”, UIN SUSKA XXII, No. 2 (Juli 2014), h. 145-146.
8

bi al-ma„nâ dengan berbagai alasannya, merupakan fenomena yang tak

dapat dielakkan. Sebagai alasan utamanya adalah ketidakmungkinannya

seluruh sabda dan perbuatan Nabi SAW. untuk diriwayatkan secara lafal.

Namun jelas, bahwa adanya al-riwâyah bi al-ma„nâ secara otomatis akan

berimplikasi pada perbedaan redaksi. Perbedaan redaksi hadis ini ada yang

tidak mempengaruhi makna atau maksud hadis, namun ada juga yang

menyebabkan perbedaan makna, bahkan tidak jarang menjadi pemicu

munculnya perbedaan dan perpecahan umat.12

Contoh hadis yang bertentangan yaitu hadis mengenai buang hajat

menghadap dan membelakangi kiblat. Dalam suatu riwayat Rasulullah

SAW. pernah bersabda:

‫ َع ْن‬،‫ي‬ ِّ ‫الزْى ِر‬


ُّ ‫ َع ِن‬،َ‫ َح ادثَنَا ُس ْفيَا َن بْ ُن ُعيَ ْي نَة‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫الم ْخ ُزْوِم ُّي‬ ِ
َ ‫َح ادثَنَا َسع ْي ُد بْ ُن َع ْب ُد ال ار ْحم ِن‬
ِ ‫ال رسو ُل‬ ِ ِ
‫ (إِذَا أَتَ ْيتُ ُم‬:‫الل ﷺ‬ ْ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ي‬ ِّ ‫صا ِر‬
َ ْ‫ب األَن‬ َ ‫ َع ْن أَبِ ْي أَيُّ ْو‬،‫َعطَاء بْ ُن يَ ِزيْ َد اللاْيث ِّي‬
‫ال أَبُ ْو‬َ َ‫ ق‬.)‫ َولَ ِك ْن َش ِّرقُوا أ َْو غَ ِّربُوا‬،‫ َوََّل تَ ْستَ ْدبِ ُرْو َىا‬،‫الق ْب لَةَ بِغَائِ ٍط َوََّل بَ ْو ٍل‬
ِ ‫ط فَ ََل تَستَ ْقبِلُوا‬
ْ َ ِ‫الغَائ‬
.ُ‫ف َع ْن َها َونَ ْستَ ْغ ِف ُر الل‬ ُ ‫الق ْب لَ ِة فَ نَ نَ ْح ِر‬
ِ ‫ت مستَ ْقبل‬ ِ َ ‫اح ْي‬ ِ ‫شام فَ وج ْدنَا مر‬ ِ
َ َ ْ ُ ْ َ‫ض قَ ْد بُني‬ َ َ َ َ َ ‫ فَ َقد ْمنَا ال ا‬:‫ب‬ َ ‫أَيُّ ْو‬
13
.)‫الترمذي‬
ْ ‫(رواه‬
Telah menceritakan kepada kami Sa„îd ibn „Abd al-Rahmân al-
Makhzûmî berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyân ibn „Uyaynah,
dari al-Zuhrî, dari „Aṯa` ibn Yazîd al-Laits, dari Abî Ayyûb al-Ansârî
berkata: bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila kalian mendatangi
tempat berak atau kencing, maka janganlah kamu menghadap kiblat
waktu berak atau kencing dan janganlah membelakanginya. Tetapi
menghadaplah ke timur atau ke barat.” Abû Ayyûb berkata: “Kami datang
(tiba) di Syam (Syiria) dan kami telah mendapat kakus-kakus telah
dibangun dengan menghadap kiblat, maka kami merubahnya dan mohon
ampunan kepada Allah.” (HR. al-Tirmidzî).14

Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts K‫ن‬ajian Metodologis dan Praktis


12

(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 3.


13
Abî „Îsâ Muhammad ibn „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi„ al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Garb al-
Islâmî, 1996), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (1), Bab Larangan Membuang Hajat Menghadap Kiblat (6),
h. 58.
14
Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Penerjemah:
Moh. Zuhri Dipl. TAFL, dkk (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 1, Kitab Bersuci dari
9

‫ك َع ْن يَ ْحيى بْ ِن َس ِع ْي ٍد َع ْن ُم َح ام ِد بْ ِن يَ ْحيى بْ ِن‬ ٌ ِ‫ أَ ْخبَ َرنَا َمال‬:‫ال‬


َ َ‫ف ق‬ ِ ‫ح ادثَنَا َع ْب ُد‬
َ ‫الل بْ ُن يُ ْو ُس‬ َ
‫ إِذَا‬:‫اسا يَ ُق ْولُو َن‬ ِ ِ ِ ِ
ً َ‫ إِ ان ن‬:‫ َع ْن َع ْبد الل بْ ِن ُع َم َر أَناوُ َكا َن يَ ُق ْو ُل‬،‫َحباا َن َع ْن َع ِّمو َواس ِع بْ ِن َحباا َن‬
‫ لََق ِد‬:‫الل بْ ُن ُع َم َر‬ ِ ‫ال َع ْب ُد‬ ِ ‫الم ْق ِد‬
َ ‫ فَ َق‬.‫س‬ َ ‫ت‬
ِ ‫ك فَ ََل تَستَ ْقبِ ِل‬
َ ‫الق ْب لَةَ َوََّل بَ ْي‬ ْ َ ِ‫اجت‬َ ‫ت َعلَى َح‬ َ ‫قَ َع ْد‬
ِ ‫الم ْق ِد‬
‫س‬ َ ‫ت‬ َ ‫الل ﷺ َعلَى لَبِنَتَ ْي ِن ُم ْستَ ْقبِ ًَل بَ ْي‬ ِ ‫ت رسو َل‬ ٍ
ْ ُ َ ُ ْ‫ فَ َرأَي‬،‫ت يَ ْوًما َعلَى ظَ ْه ِر بَ ْيت لَنَا‬ ُ ‫ا ْرتَ َق ْي‬
.)‫ (رواه البخاري‬.‫اجتِ ِو‬ ِ
َ ‫ل َح‬
15

Telah menceritakan kepada kami „Abdullâh ibn Yûsuf berkata:


Telah mengabarkan kepada kami Mâlik dari Yahyâ ibn Sa´îd dari
Muhammad ibn Yahyâ ibn Habbân dari pamannya Wâsi„ ibn Habbân dari
„Abdillâh ibn „Umar: Sesungguhnya orang-orang berkata, “Jika duduk
(jongkok) untuk buang air, maka jangan menghadap qiblat dan Baitul
Maqdis. Sungguh aku pernah naik ke atas rumah kami, tiba-tiba aku
melihat Nabi SAW. duduk di atas dua bata (buang air) menghadap Baitul
Maqdis.” (HR. al-Bukhari).16

Hadis tersebut di atas bila ditelaah, maka tampak kontroversi

dalam kondisi tertentu. Rasulullah SAW. melarang buang hajat

menghadap kiblat dan dalam kondisi lain beliau SAW. buang hajat

menghadap Bait al-Maqdis. Dari dua contoh di atas perlu mengkaji

pendekatan yang digunakan oleh ulama hadis dan ulama fiqh dalam

menyelesaikan hadis-hadis kontroversial.17

Berikut berkaitan dengan posisi kencing dalam Islam nampaknya

bertentangan, pada satu sisi terdapat hadis yang membolehkan kencing

berdiri dan di lain sisi ditemukan pula hadis yang melarang. Kontroversi

Rasulullah SAW. (1), Bab Larangan Untuk Menghadap Kiblat Waktu Berak atau Kencing (6), h.
11-12.
15
Abû „Abdullâh Muhammad ibn Ismâ„îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Wuḏu` (4), Bab Orang yang Buang Hajat Besar di Atas Dua Batu (12), h. 49.
16
Muhammad Fu„ad bin Abdul Baqi, Hadits Shahih Bukhari Muslim, Penerjemah: Abu
Firly Bassam Taqiy (Cet. V, Depok: Fathan Prima Media, 2015), Kitab Bersuci (2), Bab Adab
Buang Air (9), h. 77.
17
Johar Arifin, “Pendekatan Ulama Hadis dan Ulama Fiqh dalam Menelaah
Kontroversial Hadis”, UIN SUSKA XXII, No. 2 (Juli 2014): h. 148.
10

yang terjadi dalam pelbagai hadis menimbulkan pertanyaan tentang

kebolehan dan ketidakbolehan kencing berdiri.18

‫ِّد‬
ُ ‫شد‬ َ ُ‫ َكا َن أَبُو ُم ْوسى ي‬:‫ال‬ َ َ‫ َعن أَبِ ْي َوائِ ٍل ق‬،‫ص ْوٍر‬ ُ ‫ َعن َم ْن‬،‫ أَ ْخبَ َرنَا َج ِريْ ٌر‬:‫َح ادثَنَا يَ ْحيَى بْ ُن يَ ْحيَى‬
َ ‫َح ِد ِى ْم بَ ْو ٌل قَ َر‬
ُ‫ضو‬ ِ ‫ إِ ان بنِي إِ ْسرائِْيل َكا َن إِذَا أَص‬:‫ وي ب و ُل فِي قَارورٍة وي ُقو ُل‬.‫فِي الب و ِل‬
َ ‫اب ج ْل َد أ‬ َ َ َ َ َْ ْ َ َ َ ُْ ْ َُ َ ْ َ
‫ فَ لَ َق ْد َرأَيْتُنِ ْي أَنَا َو‬،‫ِّد ى َذا التا ْش ِديْ َد‬ ِ ‫ت أَ ان ص‬ ُ ‫ لََو ِد ْد‬:َ‫ال ُح َذيْ َفة‬ ِ ْ‫الم َقا ِري‬ ِ
ُ ‫شد‬ َ ُ‫احبَ ُك ْم ََّل ي‬ َ َ ‫ فَ َق‬.‫ض‬ َ ‫ب‬
،‫ال‬َ َ‫ فَب‬،‫َح ُد ُك ْم‬ ٍ ِ َ ‫ فَأَتى سباطَ ًة َخل‬،‫ نَتماشى‬، ‫الل ﷺ‬ ِ ‫رسو ُل‬
َ ‫ام َك َما يَ ُق ْو ُم أ‬
َ ‫ فَ َق‬.‫ْف َحائط‬ َُ ََ ُْ َ
19
.)‫ (رواه مسلم‬.‫غ‬ َ ‫ت ِع ْن َد َع ِقبِ ِو َحتّى فَ َر‬ُ ‫ فَ ُق ْم‬،‫ت‬ُ ‫ فَأَ َش َار إِلَ اي فَ ِج ْئ‬،ُ‫ت ِم ْنو‬ُ ‫فَانْتَبَ ْذ‬
Telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Yahya telah
mengabarkan kepada kami Jarîr, dari Mansûr, diriwayatkan dari Abî Wâ`il
ia berkata: Abû Mûsâ sangat berhati-hati dalam urusan kencing. Ia
kencing di dalam botol dan berkata, “Sesungguhnya bani Israil apabila
kulit salah seorang dari mereka terkena kencing, maka digosok dengan alat
penggosok.” Hudzaifah mengatakan, “Saya merasa senang kalau teman
kalian tidak menyulitkan seperti ini. Saya pernah bersama Rasulullah
SAW. berjalan-jalan kemudian beliau SAW. mendekati tempat sampah
suatu kaum di balik pagar. Lalu beliau SAW. berdiri sebagaimana yang
dilakukan oleh salah seorang dari kamu, kemudian beliau SAW. kencing,
maka saya menjauh dari beliau SAW., namun beliau SAW. memberi
isyarat kepada saya, kemudian saya mendekat dan berdiri di sisi beliau
SAW. sehingga beliau selesai”. (HR. Muslim).20

‫(م ْن‬ ْ َ‫ َع ْن َعائِ َشةَ قَال‬،‫ َع ْن أَبِْي ِو‬،‫الم ْق َد ِام بْ ِن ُش َريْ ٍح‬
َ :‫ت‬
ِ ‫ك َع ِن‬ ٌ ْ‫ أَ ْخبَ َرنَا َش ِري‬،‫أَ ْخبَ َرنَا َعلِ ُّي بْ ُن ُح ْج ٍر‬
ِ ِ ِ َ ‫الل ﷺ ب‬ ِ ‫ح ادثَ ُكم أَ ان رسو َل‬
‫ (رواه‬.)‫سا‬ ً ‫ َما َكا َن يَبُ ْو ُل إ اَّل َجال‬،ُ‫صدِّقُ ْوه‬ َ ُ‫ال قَائ ًما فَ ََل ت‬ َ ُْ َ ْ َ
21
.)‫النّسائي‬
Telah mengabarkan kepada kami „Alî ibn Hujr, telah mengabarkan
kepada kami Syarîk, dari al-Miqdâm ibn Syuraih, dari bapaknya, dari
„Aisyah, dia berkata, “Barangsiapa yang mengabarkan kepadamu bahwa
Rasulullah SAW. buang air kecil sambil berdiri, maka kamu jangan

18
Johar Arifin, “Studi Hadis-Hadis Tentang Posisi Kencing Berdiri; Kajian Mukhtalaf
Hadis”, UIN SUSKA RIAU, Vol. XX No. 2, Juli 2013, h. 152.
19
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (2), Bab Membasuh Khuff (22),
h. 138.
20
Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun (Cet. II,
Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Kitab Wudu (2), Bab Mengusap Khuff (29), h. 91.
21
Abû „Abd al-Rahmân Ahmad ibn „Alî Syu´aib ibn „Alî ibn Sînân al-Nasâ`î, Sunan al-
Nasâ`î (Beirut: Dâr al-Ma´rifah, t.th), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (1), Bab Buang Air Kecil di Dalam
Rumah Sambil Duduk (25), h. 31.
11

mempercayainya karena Rasulullah SAW. tidak buang air kecil kecuali


sambil duduk.” (HR. al-Nasâ`î).22

Selanjutnya hadis kontradiksi mengenai al-Kayy (Pengobatan

dengan Besi Panas) sebagai berikut:

،‫ص ْوٍر‬
ُ ‫ َع ْن َم ْن‬،‫ َح ادثَنَا ُس ْفيَا ُن‬:‫ال‬ ٍّ ‫ َح ادثَنَا َع ْب ُد ال ارحم ِن بْ ِن َم ْه ِد‬:‫ال‬
َ َ‫ ق‬،‫ي‬ َ َ‫ ق‬،‫شا ٍر‬‫َح ادثَنَا ُم َح ام ُد بْ ُن بَ ا‬
‫ ( َم ْن‬:‫الل ﷺ‬ ِ ‫ال رسو ُل‬
ْ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬َ َ‫ ق‬،‫ َع ْن أَبِْي ِو‬، َ‫الم ِغ ْي َرِة بْ ِن ُش ْعبَة‬ ٍِ
ُ ‫ َع ْن َع اقا ِر بْ ِن‬،‫َع ْن ُم َجاىد‬
.)‫ (رواه الترمذي‬.)‫اوُّك ِل‬ ِ ‫ا ْكت وى أَ ِو است رقَى فَ َق ْد ب ِر‬
َ ‫ئ م َن الت‬ َ َ ْ َْ ََ
23

Muhammad ibn Basysyâr menceritakan kepada kami, „Abd al-


Rahmân ibn Mahdi menceritakan kepada kami, Sufyân menceritakan
kepada kami, dari Mansûr, dari Mujâhid, dari „Aqâr ibn al-Mugîrah ibn
Syu„bah, dari bapaknya ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda,
“Barangsiapa yang menempelkan besi panas di kulit atau minta jampi,
maka dia orang yang lepas dari tawakkal.” (HR. al-Tirmidzi).24

ِّ ‫الزْى ِر‬
‫ َع ْن‬،‫ي‬ َ َ‫ ق‬،‫ َح ادثَنَا يَ ِزيْ ُد بْ ُن ُزَريْ ٍع‬:‫ال‬
ُّ ‫ َع ِن‬،‫ أَ ْخبَ َرنَا َم ْع َم ٌر‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫َح ادثَنَا ُح َم ْي ُد بْ ُن َم ْس َع َد َة‬
25
.) ‫ (رواه الترمذي‬.‫ش ْوَك ِة‬ ‫ َك َوى اَ ْس َع َد بْ ُن ُزَر َارَة ِم َن ال ا‬،‫ أَ ان النابِ اي ﷺ‬،‫س‬ ٍ َ‫أَن‬
Humaid ibn Ma„sadah menceritakan kepada kami, Yazîd ibn
Zurai„ menceritakan kepada kami, Ma„mar memberitahukan kepada kami,
dari al-Zuhri, dari Anas, “Bahwasanya Nabi SAW. membakar kulit As„ad
ibn Zurârah dengan besi panas karena terkena duri”. (HR. al-Tirmidzî).26
Berikutnya hadis kontradiksi mengenai aurat laki-laki di bagian

paha sebagai berikut ini:

22
Muhammad Nashruddin Al-Albani, Shahih Sunan Nasa‟I, Penerjemah: Ahmad
Yuswaji (Cet. 2, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Jilid 1, Kitab Thaharah (1), Bab Buang Air Kecil
di Dalam Rumah Sambil Duduk (25), h. 16.
23
Abî „Îsâ Muhammad ibn „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi„ al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Garb al-
Islâmî, 1996), Jilid 3, Kitab Ṯibb (26), Bab Larangan Meruqyah (14), h. 573-574.
24
Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Penerjemah:
Moh. Zuhri Dipl. TAFL, dkk (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 3, Kitab Pengobatan dari
Rasulullah SAW. (27), Bab Dibencinya Jampi (Mantera) (14), h. 557 .
25
Abî „Îsâ Muhammad ibn „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi„ al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Garb al-
Islâmî, 1996), Jilid 3, Kitab Ṯibb (26), Bab Keringanan Berobat dengan Cara Membakar Kulit
dengan Besi Panas (11), h. 570.
26
Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Penerjemah:
Moh. Zuhri Dipl. TAFL, dkk (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 3, Kitab Pengobatan dari
Rasulullah SAW. (27), Bab Diperbolehkan Membakar Kulit dengan Besi Panas (11), h. 553
‫‪12‬‬

‫ض ِر مولَى عُمر بْ ِن ُعب ْي ِد ِ‬


‫الل‪َ ،‬ع ْن ُزْر َعةَ بْ ِن‬ ‫ِ‬ ‫َح ادثَنَا ابْ ُن أَبِ ْي ُع َم َر‪ ،‬قَ َ‬
‫َ‬ ‫ال‪َ :‬ح ادثَنَا ُس ْفيَا َن‪َ ،‬ع ْن أَبي النا ْ َ ْ َ َ‬
‫الم ْس ِج ِد َوقَ ْد‬ ‫ِ ٍِ‬ ‫ِ‬
‫ال‪َ :‬م ار الناب ُّي ﷺ ب َج ْرَىد في َ‬ ‫َسلَ ِم ِّي‪َ ،‬ع ْن َجدِّهِ َج ْرَى ٍد‪ ،‬قَ َ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ‬
‫ُم ْسل ِم بْ ِن َج ْرَىد األ ْ‬
‫‪27‬‬
‫ال‪( :‬إِ ان ال َف ِخ َذ َع ْوَرةٌ)‪( .‬رواه الترمذي)‪.‬‬ ‫ف فَ ِخ ُذهُ فَ َق َ‬ ‫ش َ‬‫انْ َك َ‬
‫‪Ibn Abî „Umar menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan‬‬
‫‪kepada kami, dari Abî al-Naḏr hamba sahaya „Umar ibn „Ubaidillah, dari‬‬
‫‪Zur„ah ibn Muslim ibn Jarhad al-Aslamî, dari kakeknya Jarhad, ia berkata:‬‬
‫‪“Nabi SAW. melewati Jarhad di masjid, dia terbuka pahanya, maka Nabi‬‬
‫‪SAW. bersabda, “Sesungguhnya paha itu termasuk aurat”. (HR. al-‬‬
‫‪Tirmidzî).28‬‬

‫ال‪ :‬ح ادثَنا إِسم ِ‬ ‫ِ‬


‫ ٍ‬ ‫ص َه ْي ٍ‬ ‫الع ِزيْ ِز بْ ُن ُ‬
‫ال‪َ :‬ح ادثَنَا َع ْب ُد َ‬ ‫اع ْي ُل بْ ُن عُلَياةَ قَ َ‬ ‫ب بْ ُن إِبْ َراى ْي َم قَ َ َ َ ْ َ‬ ‫َح ادثَنَا يَ ْع ُق ْو ُ‬
‫س‪ ،‬فَ ركِ ٍ نَبِ ُّي ا ِ‬ ‫ِِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫لل‬ ‫ص ََلةَ الغَ َداة بغَلَ ٍ َ َ‬ ‫صلاْي نَا ع ْن َد َىا َ‬ ‫س أ ان َر ُس ْو َل الل ﷺ غَ َزا َخ ْيبَ َر فَ َ‬ ‫َع ْن أَنَ ٍ‬
‫َجرى نَبِ ُّي ﷺ فِي ُزقَ ِ‬ ‫ْح َة َوأَنَا َرِديْ ُ‬ ‫ِ‬
‫اق َخ ْيبَ َر َوإِ ان‬ ‫ْ‬ ‫ْحةَ‪ ،‬فَأ ْ َ‬‫ف أَبِ ْي طَل َ‬ ‫ ٍ أَبُ ْو طَل َ‬‫ﷺ َوَرك َ‬
‫اض فَ ِخ ِذ نَبِ ِّي‬ ‫س َر ا ِإل َز ُار َع ْن فَ ِخ ِذهِ َحتاى إِنِّي أَنْظُُر إِلَى بَيَ ِ‬ ‫س فَخ َذ نَب ِّي ﷺ‪ .‬ثُ ام َح َ‬
‫رْكبَتَ اي لَتَم ُّ ِ ِ‬
‫َ‬ ‫ُ‬
‫ٍ‬ ‫ت َخيب ر‪ ،‬وإَناا إِذَا نَزلْنَا بِس ِ‬
‫اء‬
‫احة قَ ْوم فَ َس َ‬ ‫َ َ َ‬ ‫ال‪( :‬اللُ أَ ْكبَ ُر َخ ِربَ ْ ْ َ ُ َ‬ ‫ﷺ‪ .‬فَ لَ اما َد َخ َل ال َق ْريَةَ قَ َ‬
‫ِ‬
‫ال َع ْب ُد‬ ‫(م َح ام ٌد! ‪ -‬قَ َ‬ ‫ج ال َق ْو ُم إِلَى أَ ْع َمال ِه ْم‪ ،‬فَ َقالُوا‪ُ :‬‬ ‫ال‪َ :‬و َخ َر َ‬ ‫الم ْن َذ ِريْ َن)‪ .‬قَالَ َها ثَََلثًا‪ .‬قَ َ‬
‫اح ُ‬ ‫صبَ ُ‬ ‫َ‬
‫س ْب ُي‪،‬‬ ‫اىا َع ْن َو ًة‪ ،‬فَ ُج ِم َع ال ا‬ ‫َص ْب نَ َ‬
‫ال‪ :‬فَأ َ‬ ‫ش‪ .‬قَ َ‬ ‫س) يَ ْعنِ ْي ْ‬
‫الجي َ‬
‫ِ‬
‫َص َحابنَا – َوال َخم ْي ُ‬
‫ضأ ْ ِ‬ ‫ال بَ ْع ُ‬‫الع ِزيْ ِز َوقَ َ‬
‫َ‬
‫ص ِفيا َة‬‫َخ َذ َ‬ ‫ ٍ فَ ُخ ْذ َجا ِريَةً‪ .‬فَأ َ‬ ‫ال‪ :‬ا ْذ َى ْ‬‫س ْبيِ‪ .‬قَ َ‬ ‫الل أَ ْع ِطنِ ْي َجا ِريَةً ِم َن ال ا‬
‫ال‪ :‬يا نَبِ اي ِ‬
‫اء د ْحيَةُ فَ َق َ َ‬
‫فَج ِ‬
‫ََ‬
‫ت ُحيَ ٍّي‬ ‫ص ِفياةَ بِْن َ‬
‫ت د ْحيَةَ َ‬
‫الل أَ ْعطَي َ ِ‬
‫ال‪ :‬يَا نَبِ اي ِ ْ‬ ‫اء َر ُج ٌل إِلَى النابِ ِّي ﷺ فَ َق َ‬ ‫ت ُحيَ ٍّي‪ .‬فَ َج َ‬ ‫بِْن َ‬
‫اء بِ َها‪ .‬فَ لَ اما نَظََر إِلَْي َها النابِ ُّي‬ ‫ِ‬ ‫صلُ ُح إَاَّل لَ َ‬ ‫سيِّ َدةَ قُريْظَةَ والن ِ‬
‫اض ْي ِر‪ََّ ،‬ل تَ ْ‬
‫ال‪ :‬ا ْدعُ ْوهُ ب َها‪ .‬فَ َج َ‬ ‫ك‪ .‬قَ َ‬ ‫َ َ‬ ‫َ‬
‫ال لَوُ‬‫ال‪ :‬أَ ْعتَ َق َها النابِ ُّي ﷺ َوتَ َزاو َج َها‪ .‬فَ َق َ‬ ‫س ْب ِي غَْي َرَىا‪ .‬قَ َ‬ ‫ال‪ُ :‬خ ْذ َجا ِريَةً ِم َن ال ا‬ ‫ﷺ قَ َ‬
‫ازتْ َها‬‫س َها‪ ،‬أَ ْعتَ َق َها َوتَ َزاو َج َها‪َ .‬حتاى إِ َذا َكا َن بِالطا ِريْ ِق َجه َ‬ ‫ال‪ :‬نَ ْف َ‬ ‫َص َدقَ َها؟ قَ َ‬ ‫ت‪ :‬يَا أَبَا َح ْم َزَة َما أ ْ‬ ‫ثَابِ ٌ‬
‫ِ‬ ‫َصبَ َح النابِ ُّي ﷺ َع ُرْو ًسا‪ ،‬فَ َق َ‬ ‫ِ‬
‫ال‪َ :‬م ْن َكا َن ع ْن َدهُ َش ْيءٌ‬ ‫لَوُ أ ُُّم ُسلَْي ٍم فَأ َْى َدتْ َها لَوُ م َن اللاْي ِل‪ ،‬فَأ ْ‬
‫س ْم ِن‪ ،‬قَ َ‬
‫ال‪:‬‬ ‫ط نِطَ ًعا فَ َج َع َل ال ار ُج ُل يَ ِج ْيءُ بِالت ْام ِر‪َ ،‬و َج َع َل ال ار ُج ُل يَ ِج ْيءُ بِال ا‬ ‫سَ‬ ‫ِ ِِ‬
‫فَ لْيَج ْئ بو َوبَ َ‬

‫‪27‬‬
‫‪Abî „Îsâ Muhammad ibn „Îsā al-Tirmidzî, al-Jâmi„ al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Garb al-‬‬
‫‪Islâmî, 1996), Jilid 4, Kitab Adab (41), Bab Paha itu Aurat (40), h. 493.‬‬
‫‪28‬‬
‫‪Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Penerjemah:‬‬
‫‪Moh. Zuhri Dipl. TAFL, dkk (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 4, Kitab Minta Ijin dan‬‬
‫‪Sopan Santun dari Rasulullah SAW. (40), Bab Menerangkan Paha Termasuk Aurat (73), h. 401.‬‬
‫‪Lihat juga Umar Faruq, “Kritik Atas Kontroversi Hadis Tentang Aurat Laki-Laki”, Jurnal‬‬
‫‪Keilmuan Tafsir Hadis Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Vol. III No. 1,‬‬
‫‪Januari-Juni 2013.‬‬
13

ِ ‫ت ولِْيمةَ رسو ِل‬


‫ (رواه‬.‫الل ﷺ‬ ‫َح ِسبُوُ قَ ْد ذَ َك َر ال ا‬
َ َ‫ ق‬.‫س ِويْ َق‬
ْ ُ َ َ َ ْ َ‫ فَ َكان‬،‫سا‬
ً ‫اسوا َح ْي‬
ُ ‫ فَ َح‬:‫ال‬ ْ ‫َوأ‬
29
.)‫البخاري‬
Telah menceritakan kepada kami Ya„qûb ibn Ibrâhîm berkata:
Telah menceritakan kepada kami Ismâ„îl ibn „Ulayyah berkata: Telah
menceritakan kepada kami „Abd al-„Azîz ibn Suhaib dari Anas,
bahwasanya Rasulullah SAW. perang Khaibar. Kami shalat Shubuh disana
masih dalam keadaan remang-remang. Rasulullah SAW. Abû Ṯalhah naik
kendaraan dan saya mengiringi Abû Ṯalhah. Nabi SAW. melarikan
(kendaraan beliau SAW.) di jalan sempit Khaibar. Lututku menyentuh
paha Nabi SAW. dan membuka kain dari paha beliau SAW. sehingga saya
melihat putihnya paha Nabi SAW. Ketika masuk desa, beliau SAW.
mengucapkan: “Allah Maha Besar. Robohlah Khaibar. Sesungguhnya
apabila kami tinggal di halaman suatu kaum, maka buruklah bagi orang-
orang yang diberi peringatan”. Beliau SAW. tiga kali. Ia berkata: “Kaum
itu pergi ke pekerjaannya”, lalu mereka berkata: “Awas, Muhammad dan
bala tentara”. Ia berkata: “Maka kami kalahkan kaum itu secara paksa.
Lalu tawanan-tawanan perang dikumpulkan. Datanglah komandan tentara
seraya berkata: “Wahai Nabiyullah, berilah saya seorang perempuan
tawanan”. Beliau SAW. bersabda: “Pergilah, ambillah seorang
perempuan”. Lalu ia mengambil Safiyyah binti Huyyai. Datanglah seorang
laki-laki kepada Nabi SAW. berkata: “Wahai Nabiyullah, kamu berikan
kepada komandan akan Safiyyah binti Huyyai pemimpin Quraiẕah dan
Naẕir, ia pantasnya hanya untuk engkau”. Ia berkata: “Panggilah ia”. Lalu
perempuan itu dibawa. Ketika Nabi SAW. melihatnya, beliau bersabda:
“Ambillah perempuan tawanan selainnya”. Ia berkata: “Nabi SAW.
memerdekakannya lalu memperisterikannya. Maharnya adalah
kemerdekaannya. Sehingga ketika di jalan, Ummu Sulaim mempersiapkan
perempuan itu dan memberikannya kepada beliau SAW. di malam hari,
maka Nabi SAW. masuk pagi sebagai pengantin, dan beliau SAW.
bersabda: “Orang yang memiliki sesuatu, bawalah kemari dan beliau
SAW. membentangkan kulit. Mulailah seorang laki-laki membawa tamar
(kurma), dan seorang laki-laki membawa minyak samin dan saya duga ia
menyebutkan sawik (makanan tepung campur kurma). Ia berkata: “Maka
mereka mengambilnya dan itulah walimah Rasulullah SAW.” (HR. al-
Bukhari).30
Dari beberapa hadis di atas, terdapat hadis-hadis yang dinilai

kontradiktif dan belum ditemukan pula solusi metode dalam

29
Abî „Abdillâh Muhammad ibn Ismâ„îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Shalat (8), Bab Mengenai Apa yang Disebutkan Perihal Paha (12), h. 104.
30
Abû „Abdullah Muhammad ibn Ismâ„îl al-Bukhârî, Tarjamah Shahih Bukhari,
Penerjemah: Achmad Sunarto, dkk (Semarang: CV Asy-Syifa‟, 1991), Kitab Shalat (7), Bab
Mengenai Apa yang Disebutkan Perihal Paha (12), h. 256-257. Lihat juga Umar Faruq, “Kritik
Atas Kontroversi Hadis Tentang Aurat Laki-Laki”, Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis Institut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Vol. III No. 1, Januari-Juni 2013.
14

menyelesaikan hadis-hadis kontradiktif tersebut. Berdasarkan latar

belakang di atas, maka penulis melakukan penelitian skripsi yang berjudul:

“SOLUSI DALAM IKHTILÂF AL-HADÎTS.”

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dari pembahasan latar belakang masalah di atas, penulis

mengemukakan beberapa akar permasalahan yang diidentifikasikan dalam

penelitian tersebut, yakni:

a. Dari latar belakang terdapat pertentangan antara hadis dengan hadis, dan

antara hadis dengan Al-Qur`an yang sebenarnya hadis tersebut dinilai

maqbûl, namun terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama yang

mencetuskan dua hukum yang membolehkan dan yang melarang dan

solusi metode penyelesaian belum ditemukan.

b. Dari hadis mukhtalif terdapat kasus hadis mengenai buang air kecil dengan

posisi berdiri, al-Kayy (pengobatan dengan besi panas), mengenai aurat

laki-laki yang terletak di paha, dan mengenai buang hajat menghadap dan

membelakangi kiblat belum ditemukan mengenai metode penyelesaian

dari kasus hadis-hadis tersebut.

2. Pembatasan Masalah

Dari beberapa masalah yang teridentifikasi di atas, maka

diperlukan batasan masalah agar penelitian tersebut dapat lebih terperinci.

Dalam penelitian tersebut, penulis hanya membatasi satu kasus hadis

yaitu, hadis mengenai buang hajat menghadap dan membelakangi kiblat.


15

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas yang akan dibahas dalam

penelitian, adapun bentuk rumusan masalahnya yaitu: Bagaimana

Memahami Solusi Metode yang Dapat Diterapkan Dalam Hadis

Kontradiktif Mengenai Buang Hajat Menghadap dan Membelakangi

Kiblat?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian tersebut yakni untuk mengetahui mengenai

bagaimana metode penyelesaian dari kasus hadis buang hajat menghadap

dan membelakangi kiblat. Adapun manfaat dari penelitian tersebut yakni

memberikan gambaran secara jelas mengenai pemahaman hadis tersebut,

agar dapat mengemukakan kasus hadis tersebut apakah dengan

menggunakan metode al-Jam„u wa al-Taufîq, Nasakh wa Mansûkh, at-

Tarjîh, atau al-Tawaqquf.

D. Tinjauan Pustaka

Di sini penulis mencantumkan beberapa karya ilmiah terdahulu

yang dianggap relevan dengan penelitian Mukhtalif al-Hadîts yang penulis

lakukan sekarang ini, sebagai bentuk gambaran relasi antara tulisan

penulis serta karya-karya ilmiah lainnya yang senada dengan penelitian

tersebut.

Jurnal yang ditulis oleh Johar Arifin dengan judul “Studi Hadis-

Hadis Tentang Kencing Berdiri”, Jurnal Ushuluddin UIN SUSKA Riau

Vol. XX No. 2, Juli 2013. Jurnal tersebut menjelaskan tentang kisah Nabi

SAW. yang melakukan kencing berdiri di tempat pembuangan sampah,


16

namun dibantah oleh yang mengatakan bahwa Nabi SAW. tidak pernah

kencing dengan posisi berdiri melainkan dengan posisi duduk. Namun

para sahabat kebanyakan melakukan kencing dengan posisi berdiri karena

faktor penyakit tulang, sehingga lebih baik dengan posisi berdiri dan

kemungkinan juga terjadi pada Rasulullah SAW.

Jurnal yang ditulis oleh Johar Arifin dengan judul “Pendekatan

Ulama Hadis dan Ulama Fiqh dalam Menelaah Kontroversial Hadis”,

Jurnal Ushuluddin UIN SUSKA Riau Vol. XXII No. 2, Juli 2014. Jurnal

tersebut menerangkan tentang semua hadis yang sampai kepada kita

dilihat dari segi kualitasnya untuk dapat diamalkan ataupun ditinggalkan.

Hal tersebut dapat dibagi kepada tiga, yaitu Sahîh, Hasan, dan Ḏa„îf.

Jurnal yang ditulis oleh Kaizal Bay dengan judul “Metode

Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syâfi„î”, Jurnal

Ushuluddin UIN SUSKA Riau Vol. XVII No. 2, Juli 2011. Jurnal tersebut

menjelaskan mengenai dua istilah pertama dikatakan sebagai hadis

maqbûl, yakni yang wajib diamalkan dan dapat menjadi hujjah, sedangkan

yang disebut terakhir (Ḏa„îf) adalah mardûd, dalam arti tidak boleh

diamalkan atau hadisnya ditolak.

Jurnal yang ditulis oleh Umar Faruq dengan judul “Kritik Atas

Kontroversi Hadis Tentang Aurat Laki-Laki”, Jurnal Keilmuan Tafsir

Hadis Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Vol. III No. 1,

Januari-Juni 2013, menjelaskan mengenai hadis pertama yang dinyatakan

sebagai aurat, hadis kedua dinyatakan bahwa paha bukan aurat, artinya
17

paha hanya bagian dari aurat karena aurat yang sebenarnya yaitu qubul

dan dubur.

E. Metodologi Penelitian

1. Metodologi Penelitian

a. Sumber Data

Yang dimaksud dengan metodologi penelitian adalah suatu cara atau

jalan yang ditempuh dalam mencari, menggali, mengolah, dan membahas data

dalam suatu penelitian untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap

permasalahan.31 Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library

Research), yaitu penelitian melalui riset kepustakaan untuk mengkaji sumber-

sumber tertulis yang telah dipublikasikan atau pun belum dipublikasikan.32

Data yang penulis gunakan dalam skripsi tersebut adalah sebagaimana

terdapat kitab, Sahîh al-Bukhârî, Sahîh Muslim, Sunan Abû Dâwud, Sunan al-

Tirmidzî, Sunan al-Nasâ`î, Sunan Ibn Mâjah, Sunan al-Dârimî, dan Musnad

Ahmad. Adapun sumber-sumber lainnya yang dapat mendukung dan

menguatkan data primer dalam kajian tersebut, penulis merujuk pada kitab-

kitab Syarah al-Hadîts di antaranya yaitu : Fath al-Bârî karya Ibn Hajar al-

Asqalânî, dan kitab Ta`wîl Mukhtalif al-Hadîts karya Ibn Qutaibah.

b. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data menggunakan metode takhrij untuk

melihat hadis-hadis dari ketiga materi tersebut. Adapun metode takhrîj hadîts

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode takhrij menurut lafadz-

31
Joko Subagyo, Metodologi Penelitian Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1994), h. 2.
32
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Bina
Aksara, 1989), h. 10.
18

lafadz yang terdapat dalam hadis. Metode takhrij hadis menurut lafadz yang

terdapat dalam hadis yaitu suatu metode yang berlandaskan pada kata-kata

yang terdapat dalam matan hadis, baik berupa kata benda ataupun kata kerja.

Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan

adalah bagian hadisnya sehingga pencarian hadis-hadis yang dimaksud dapat

diperoleh. Kamus yang diperlukan dalam metode takhrij ini salah satunya

yang paling mudah adalah kamus Mu„jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Hadîts al-

Nabawî yang disusun oleh A. J. Wensinck dan kawan-kawannya dalam 8

jilid.33

c. Metode Analisa Data

Metode analisa data menggunakan teori Ikhtilâf al-Hadîts. Ada 4

langkah yang digunakan sebagai metode penyelesaian hadis-hadis yang

bertentangan:

1. Al-Jam„u wa al-Taufîq (Kompromi).

2. Nasakh wa Mansûkh (membatalkan salah satu dan

mengamalkan yang lain).

3. Al-Tarjîh (Memilih yang terkuat).

4. Tawaqquf (tidak diamalkan).

2. Teknik Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini, digunakan teknik penulisan karya

ilmiah yang berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang terdapat

dalam Surat Keputusan Rektor Tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah

33
Mahmud Ṯahhân, Usul al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânid, (Riyaḏ: Maktabah al-Ma´ârif,
1991), h. 35.
19

(Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No. 507 tahun

2017.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tersebut dimaksudkan sebagai gambaran

yang akan menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi, sehingga dapat

memudahkan dalam memahami dan mencerna masalah-masalah yang akan

dibahas. Adapun sistematika penulisan tersebut adalah sebagai berikut:

Bab I, merupakan pendahuluan yang berisi uraian secara global

atau menyatakan keseluruhan isi skripsi secara sepintas, kemudian dirinci ke

dalam sub bab yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, batasan

dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian

(yang terdiri dari empat bagian yaitu, teknik pengumpulan data, metode

pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penulisan), tinjauan

pustaka, serta sistematika penulisan.

Bab II, merupakan pembahasan mengenai kedudukan dan fungsi

hadis, hakikat Ikhtilâf al-Hadîts yang terdiri dari definisi, urgensi, faktor-

faktor terjadinya ikhtilaf, contoh hadis-hadis mukhtalif, pendapat para ulama

mengenai mukhtalif hadis, sejarah perkembangan dan metode penyelesaian

hadis-hadis mukhtalif.

Bab III, merupakan penjelasan solusi mengenai kasus hadis

mengenai buang hajat menghadap dan membelakangi kiblat beserta takhrij

hadis, menjelaskan metode-metode penyelesaian dari kasus hadis yang saling

bertentangan, menjelaskan mengenai bagaimana memahami solusi metode


20

yang dapat diterapkan dalam memahami hadis yang kontradiktif pada kasus

tersebut.

Bab IV, merupakan akhir dari pembahasan berupa kesimpulan dan

saran.
BAB II

IKHTILÂF DALAM HADIS

A. Kedudukan Hadis

Kedudukan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam telah

disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam. Dikatakan

demikian, karena dalam sejarah umat Islam (dari dahulu sampai sekarang)

ada kalangan yang hanya berpegang kepada Al-Qur`an dalam menjalankan

ajaran agamanya (yang disebut Inkar al-sunnah). Hadis diterima sebagai

salah satu sumber ajaran Islam merupakan suatu keniscayaan dilihat dari

ruang lingkup dan jangkauan Al-Qur`an serta keterbatasan manusia dalam

memahami petunjuk Al-Qur`an.1

Hal ini karena hadis merupakan mubayyin terhadap Al-Qur`an,

yang karenanya siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur`an tanpa

dengan memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan

hadis tanpa Al-Qur`an. Karena, Al-Qur`an merupakan dasar hukum

pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari´at.2 Al-Qur`an sebagai

wahyu yang qadim dan menjangkau seluruh masa kehidupan manusia,

maka Al-Qur`an hanya berbicara dalam hal tertentu yang dijelaskan secara

terinci.3 Dengan demikian, antara hadis dengan Al-Qur`an memiliki kaitan

sangat erat, yang untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa

dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.4

1
Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 194.
2
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 19.
3
Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 194.
4
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 19.

21
22

Masalah umat dan tantangan yang dihadapi Nabi SAW. yang tidak

ditemukan jawabannya dalam Al-Qur`an, Nabi SAW. mendapat legitimasi

dari Allah SWT. untuk menyelesaikan masalah dan menjawab pertanyaan

tersebut dan umat berkewajiban mengikutinya. Kewajiban tersebut

merupakan amanat Al-Qur`an. Diantaranya ialah:

﴾٧ : ]٩٥[ ‫﴿الحشر‬... ‫ َوَمآات ُك ُم ا َّلر ُس ْو ُل فَ ُخ ُذ ْوهُ َوَما نَه ُكم َع ْنوُ فَانْ تَ ُه ْوا‬...
“… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah …”(QS. Al-Hasyr [59]:
7).
ُّ ‫الر ُس ْو َلۚ فَِا ْن تَ َولَّ ْوا فَِا َّن اهللَ ََل يُ ِح‬
﴾۳۳ :]۳[ ‫ب الك ِف ِريْ َن ﴿ ال عمران‬ َّ ‫قُ ْل اَ ِط ْي عُوا اهللَ َو‬
Katakanlah (Muhammad) :“Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
kafir.”(QS. Âli ´Imrân [3]: 32).
Ayat di atas mengajarkan kepada kita bahwa orang yang tidak

mengikuti perintah Allah SWT. (melalui Al-Qur`an) dan Rasul-Nya

(melalui Sunnah Rasulullah SAW.) termasuk orang ingkar. Selain itu ayat

di atas juga menunjukkan bahwa sumber ajaran Islam ada dua yaitu Al-

Qur`an dan hadis. Ucapan, perbuatan, tingkah laku, dan kehidupan

Rasulullah SAW. merupakan uswah bagi orang-orang yang beriman.

Uswah berarti idola dan teladan. Menjadikan Rasulullah SAW. sebagai

uswah, berarti menjadikan beliau sebagai idola dan suri tauladan dalam

berbagai aspek kehidupan.5

Selain berdasarkan ayat-ayat Al-Qur`an di atas, kedudukan hadis

ini juga dapat dilihat melalui hadis-hadis Rasul SAW. sendiri. Banyak

hadis yang menggambarkan hal ini dan menunjukkan perlunya ketaatan

kepada perintahnya. Dalam salah satu pesannya, berkenaan dengan

5
Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 195-196.
23

keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup di samping Al-

Qur`an, Rasul SAW. bersabda sebagai berikut6:

)‫ (رواه الحاكم‬.‫اهلل َو ُسنَّةَ َر ُس ْولِ ِو‬


ِ ‫س ْكتُم بِ ِهما كِتَاب‬
َ
ِ ِ ُ ‫تَرْك‬
َ ْ َّ ‫ت ف ْي ُك ْم اَ ْم َريْ ِن لَ ْن تَضلُّ ْوا أَبَ ًدا َما إِ ْن تَ َم‬ َ
“Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang
kepada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-
Qur`an) dan sunnah Rasul-Nya.”(HR. al-Hakîm).7
Dalam hadis lain Rasul SAW. bersabda:

َّ ‫الم ْه ِديِْي َن تَ َم‬


)‫ (رواه أبو داود‬.‫س ُك ْوا بِ َها‬ ِ ِ َّ ‫َعلَي ُكم بِسنَّتِي وسن َِّة ال ُخلَ َف ِاء‬
َ ‫الراشديْ َن‬ َُ ْ ُ ْ ْ
“… Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunnah-ku dan Sunnah
khulafâ` al-râsyidîn yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu
sekalian dengannya …” (HR. Abû Dâwud).8
Dalam salah satu taqrîr Rasul SAW. juga memberikan petunjuk

kepada umat Islam, bahwa dalam menghadapi berbagai persoalan hukum

dan kemasyarakatan, kedua sumber ajaran, yakni Al-Qur`an dan hadis

merupakan sumber asasi. Umat Islam, kecuali mereka para penyimpang

dan pembuat kebohongan, telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah

satu dasar hukum dalam beramal. Penerimaan mereka terhadap hadis sama

seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur`an, karena keduanya sama-

sama dijadikan sebagai sumber hukum Islam.9

B. Fungsi Hadis

Berdasarkan kedudukannya, Al-Qur`an dan hadis sebagai pedoman

hidup dan sumber ajaran Islam, antara satu dengan yang lainnya jelas tidak

dapat dipisahkan. Al-Qur`an sebagai sumber pertama memuat ajaran-

6
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 22.
7
Al-Suyûṯî, al-Jâmi„ al-Sagîr (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 130.
8
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud (Riyadh: Maktabah
al-Ma´ârif Lil Nasyri wa Tauzî, t.t), h. 832.
9
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 23.
24

ajaran yang bersifat umum dan global, yang perlu dijelaskan lebih lanjut

dan terperinci. Di sinilah hadis menduduki dan menempati fungsinya,

sebagai sumber ajaran kedua. Ia menjadi penjelas (mubayyin) isi

kandungan Al-Qur`an tersebut. Hal ini sesuai dengan Firman-Nya dalam

QS. Al-Nahl [16] : 44, yang berbunyi sebagai berikut:

ِ ‫الذ ْك َر لِتُبَ يِّ َن لِلن‬


﴾٤٤ : ]٦١[ ‫﴿ النحل‬... ‫َّاس‬ ِّ ‫ك‬َ ‫َوأَنْ َزلْنَا إِلَْي‬
“… Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur`an agar kamu
menerangkan kepada umat manusia …” (QS. An-Nahl [16] : 44).
Fungsi hadis sebagai penjelas terhadap Al-Qur`an itu bermacam-

macam. Mâlik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayân al-

taqrîr10, bayân al-tafsîr11, bayân al-tafsîl12, bayân al-basṯ13, dan bayân al-

tasyrî„14. Al-Syâfi„î menyebutkan lima fungsi, yaitu bayân al-tafsîl, bayân

al-takhsîs,15 bayân al-ta`yîn16, bayân al-tasyrî„, dan bayân al-nasakh17.

10
Bayân al-Taqrîr disebut juga dengan Bayân al-Ta„kid dan Bayân al-Isbat. Maksudnya
ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-Qur`an. Lihat di Asep
Herdi, Memahami Ilmu Hadis (Cet. I; Bandung: Tafakur, 2014), h. 10.
11
Bayân al-Tafsîr adalah memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an
yang masih mujmal (samar-samar), memberikan persyaratan ayat-ayat Al-Qur`an yang masih
mutlak, dan memberikan penentuan khusus ayat-ayat Al-Qur`an yang masih umum. Lihat di Asep
Herdi, Memahami Ilmu Hadis (Cet. I; Bandung: Tafakur, 2014), h. 10.
12
Bayân al-Tafsîl berarti penjelasan dengan merinci kandungan ayat-ayat mujmal, yakni
ayat-ayat yang bersifat ringkas atau singkat, sehingga maknanya kurang atau bahkan tidak jelas
kecuali ada penjelasan ataupun perincian. Lihat di Idri, Studi Hadis (Cet 3; Jakarta: Prenada Media
Group, 2016), h. 26-27.
13
Bayân al-Basṯ yaitu bayân yang berfungsi memanjang lebarkan sesuatu yang
didatangkan oleh Al-Qur`an secara ringkas. Lihat di Daelan M. Danuri “Al-Sunnah sebagai Bayân
Al-Qur`an”, Jurnal Fakultas Syari‟ah, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta,
h. 3.
14
Bayân al-Tasyrî´ mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati
dalam Al-Qur`an. Lihat di Asep Herdi, Memahami Ilmu Hadis (Cet. I; Bandung: Tafakur, 2014),
h. 10.
15
Bayân al-Takhsîs adalah penjelasan Nabi SAW. dengan cara membatasi atau
mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur`an yang bersifat umum, sehingga tidak berlaku pada bagian-
bagian tertentu yang mendapat perkecualian. Lihat di Idri, Studi Hadis (Cet 3; Jakarta: Prenada
Media Group, 2016), h. 28.
16
Bayân al-Ta´yîn adalah bayân yang berfungsi menentukan mana yang dimaksud dari
dua atau tiga makna yang dipunyai oleh suatu lafal yang ada dalam Al-Qur`an. Lihat di Daelan M.
Danuri “Al-Sunnah sebagai Bayân Al-Qur`an”, Jurnal Fakultas Syari‟ah, Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, h. 3.
25

Kedudukan hadis adalah salah satu sumber ajaran Islam. Sementara

fungsi hadis adalah sebagai penjelas, penguat, kandungan Al-Qur`an, dan

menetapkan hukum baru. Fungsinya tersebut merupakan suatu

keniscayaan dilihat dari ruang lingkup dan jangkauan Al-Qur`an serta

keterbatasan manusia dalam memahami petunjuk Al-Qur`an. Al-Qur`an

sebagai wahyu yang qadim dan menjangkau seluruh masa kehidupan

manusia, maka Al-Qur`an hanya berbicara dalam hal tertentu yang

dijelaskan secara terinci. Terhadap ayat-ayat Al-Qur`an yang global

maknanya dan tidak membumi bahasanya, Nabi SAW. mempunyai tugas

untuk menjelaskan dan merinci tujuannya. Masalah umat dan tantangan

yang dihadapi Nabi SAW. yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-

Qur`an. Nabi SAW. mendapat legitimasi dari Allah SWT. untuk

menyelesaikan masalah dan menjawab pertanyaan tersebut dan umat

berkewajiban mengikutinya.

C. Hakikat Mengenai Ikhtilâf al-Hadîts

1. Definisi Ikhtilâf al-Hadîts

Istilah bahasa (etimologi) menurut Dr. Salamah Noorhidayati,

M.Ag yaitu dalam kajian ilmu hadis, hadis-hadis kontradiktif sering

disebut dengan istilah mukhtalif al-hadîts. Secara bahasa, kata mukhtalif

)‫ (مختلف‬adalah bentuk ism fâ„il dari kata ‫اختالف‬. Menurut Ibn Manzûr,

17
Bayân al-Nasakh ialah adanya dalil syara´ (yang dapat menghapuskan ketentuan yang
telah ada), karena datangnya dalil berikutnya. Lihat di Asep Herdi, Memahami Ilmu Hadis (Cet. I;
Bandung: Tafakur, 2014), h. 11.
26

ikhtilâf yakni bentuk masdar, merujuk pada makna ‫( لم يتفق‬tidak serasi/tidak

cocok) dan ‫( يتساو كل مالم‬segala sesuatu yang tidak sama/beragam).18

Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama tentang

hadîts mukhtalif, diantaranya: Menurut al-Tahanuwi, hadîts mukhtalif

adalah dua hadis maqbul yang saling bertentangan pada makna zahirnya

dan maksud yang dituju oleh suatu dengan lainnya, dapat dikompromikan

dengan cara yang wajar (tidak dicari-cari). Definisi yang dikemukakan al-

Tahanuwi di atas, membatasi hadîts mukhtalif itu hanya pada hadis-hadis

maqbûl saja, dan tidak termasuk hadis-hadis ḏa„îf. Sedangkan menurut

pendapat mayoritas ulama, hadis yang memenuhi persyaratan maqbul

adalah hadis sahîh dan hasan.19

Selanjutnya dalam pendefinisian ini ada perbedaan antara makna

ikhtilâf al-hadîts sebagai sebuah fakta kehadisan dan ikhtilâf al-hadîts

sebagai sebuah ilmu. Ikhtilâf bermakna, “Dua hadis yang secara lahir

maknanya bertentangan, lalu dikompromikan atau di-tarjîh-kan salah

satunya”. Dua hadis yang bertentangan ini dari sisi sanadnya sama-sama

maqbûl (bisa diterima). Bila tidak sama-sama maqbûl, sebagaimana telah

dijelaskan, tidak dipandang sebagai ikhtilâf. Mukhtalif al-hadîts adalah

18
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 13. Lihat juga di Jamâl al-Dîn Muhammad Ibn
Mukarram Ibn Manẕur al-Afriqîy al-Misriy, Lisân al-´Arab (Beirut: Dâr al-Sâdir, t.t.), Jilid 2, h.
737.
19
Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syâfi´î”, UIN
SUSKA Riau, XVII No. 2, Juli 2011, h. 184.
27

dua hadîts maqbûl yang secara lahir maknanya bertentangan dan dapat

dikompromikan muatan makna keduanya dengan cara yang wajar.20

Makna dari hadis mukhtalif adalah hadis-hadis yang sampai kepada

kita, namun satu sama lain saling bertentangan maknanya. Dengan kata

lain, maknanya saling kontradiktif. Menurut istilah yaitu hadis maqbûl

yang bertentangan dengan hadis lain yang semisal, namun memiliki

peluang untuk di-jama´ (dikompromikan) diantara keduanya.21

Menurut Dr. Muhammad „Ajjâj Al-Khaṯib mengenai Ikhtilâf al-

Hadîts, yaitu:

ِ َ‫ث الَّتِي ظ‬ ِ ْ‫ث فِي ْاْلَحا ِدي‬ ِ ‫العل‬ ِ


‫ض َها أ َْويُ َوفِّ ُق بَ ْي نَ َها َك َما‬ ٌ ‫اى ُرَىا ُمتَ َعا ِر‬
ُ ‫ض فَ يُ ِزيْ ُل تَ َع‬
َ ‫ار‬ ْ َ ْ ُ ‫ْم الَّذ ْي يَ ْب َح‬
ُ
.‫ِّح َح ِق ْي َقتَ َها‬
ُ ‫ص ُّوُرَىا فَ يَ ْدفَ ُع أَ ْش َكالَ َها َويُ َوض‬
ِ ِ ِ ‫ث فِي ْاْل‬
َ َ‫َحاديْث الَّت ْي يَ ْش ُك ُل فَ ْه ُم َها ْأوت‬
َ ْ ُ ‫يَ ْب َح‬
“Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling
bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau
mengkompromikannya, di samping membahas hadīts yang sulit difahami
atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan
hakekatnya.”22

‫ْج ْم ِع بَ ْي نَ َها إِ َّم بِتَ ْقيِْي ِد‬ ِ


َ ‫ث إِ ْم َكان ال‬ ُ ‫ض ِم ْن َح ْي‬ ِ ِ
ُ ‫ث الَّتِ ْي ظَاى ُرَىا التَّنَاق‬
ِ ‫ث َع ِن ْاْلَح‬
ِ ْ‫ادي‬
َ ُ ‫ْم يُ ْب َح‬
ُ ‫عل‬
ِ
23 ِ ِ ‫ص َع ِامها اَو حملِها َعلَى تَع َّد ِد الْح‬
َ ‫ادثَِة اَ ْو غَْي ِر ذَل‬ ِ ‫مطْلَ َق َها اَو بِتَ ْخ‬
.‫ك‬ َ َ َ ْ َ ْ َ ِ ‫ص ْي‬ ْ ُ
“Ilmu mukhtalif al-hadîts sebagai suatu disiplin ilmu yang
mengkaji hadis-hadis Nabi SAW. yang secara ẕahirnya kelihatan berbeda
yang mungkin dikompromikan antara keduanya dengan cara
mentaqyidkan yang mutlak atau mentakhsiskan yang umum atau karena
hadis-hadis tersebut berada di dalam situasi dan peristiwa yang berbeda
dan sebagainya”.24

20
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 111-112.
21
Mahmud Thahhan, Ilmu Hadits Praktis (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1436 H/2014
M), h. 64. Lihat juga di buku asli Mahmud Ṯahhân, Taisîr Musṯalah al-Hadîts (Jakarta: Dār al-
Hikmah, t.th), h. 56.
22
Muhammad „Ajjâj Al-Khaṯib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2013), h. 254.
23
Subhi al-Sâlih, ´Ulûm al-Hadîts wa Musṯalahuhu (Beirut: Dâr al-´Ilmi lil Malâyîn,
1959), h. 111.
24
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 22.
28

Jika ada dua hadis kontradiktif padahal keduanya shahih, solusinya

adalah mengompromikannya, yaitu dengan membatasi yang mutlak,

mengkhususkan yang umum, dan atau menginterpretasikan peristiwa yang

terjadi berkali-kali dengan berbeda latar belakang dan kondisinya.

Sementara itu, ulama memberikan nama lain bagi ilmu mukhtalif al-hadîts,

yaitu ilmu talfîq al-hadîts, ilmu musykil al-hadîts, dan ilmu ikhtilâf al-

hadîts.25

Dalam hal ini, Ibn Hajar lebih jelas menegaskan, “Hadis maqbûl,

jika tidak ada hadis maqbûl lain yang bertentangan dengannya disebut al-

Muhkam”. Tetapi, jika ada hadis setara (maqbûl) lain yang bertentangan

dengannya, bila dapat dikompromikan secara wajar maka hadis tersebut

dipandang hadis mukhtalif. Jika tidak dapat dikompromikan dan ada data

sejarah yang memastikan bahwa kedua hadis itu tidak datang secara

bersamaan, maka yang datang terakhir dipandang mahmûd (nasikh) dan

yang lainnya dipandang mansûkh. Jika langkah ini tidak dapat dilakukan

(karena tidak ada data sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan) maka

jalan yang ditempuh selanjutnya adalah tarjîh. Namun bila hal ini tidak

juga dapat dilakukan, maka hadis-hadis yang bertentangan tersebut

(akhirnya) di-tawaqquf-kan.26

Demikian juga Ibn Qutaibah, melalui karyanya yang fenomenal

“Ta`wîl Mukhtalif al-Hadîts”, dia banyak mengumpulkan macam-macam

hadis yang bertentangan, baik dengan Al-Qur`an, hadis-hadis lain maupun

25
Abdul Majid Khon, Takhrîj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h.
195-196.
26
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 112-113.
29

ijma, qiyas, sains, dan logika/akal. Mengacu kepada beberapa definisi

maupun indikasi-indikasi yang dikemukakan di atas, maka menurut

penulis Ilmu Mukhtalif al-Hadîts adalah ilmu yang membahas tentang

hadis-hadis yang berbeda atau bertentangan dengan dalil lainnya untuk

kemudian dicarikan jalan penyelesaiannya.27

Definisi Ilmu Mukhtalif al-Hadîts di atas bisa mencakup beberapa

aspek, berikut ini penjelasannya:

a. Objek kajian Ilmu Mukhtalif al-Hadîts yaitu perbedaan dan

pertentangan dalam hadis, perbedaan atau pertentangan ini bisa terjadi

dalam beberapa hal: antara hadis dengan hadis, hadis dengan Al-

Qur`an, hadis dengan dalil lain seperti ijma, qiyas, sains, akal/logika.

b. Sifat perbedaan dan pertentangan. Perbedaan yang mengarah pada

bentuk variasi (tanawwu`) dan perbedaan yang menunjukkan pada

pertentangan (tanâqud/ta„âruḏ) dalam hadis itu. Sementara

pertentangan, adakalanya dari segi zhahir saja, ada juga yang hakiki

(memang benar-benar terjadi pertentangan).

c. Metode penyelesaian. Untuk memahami hadis yang berbeda-beda

tersebut, ada beberapa metode penyelesaian yang bisa diterapkan

sesuai dengan sifat perbedaannya. Metode al-Jam„u bisa diterapkan

untuk variasi (tanawwu`) hadis dan pertentangan ada pada zhahirnya,

sementara metode al-Naskh dan al-Tarjîh diterapkan untuk hadis yang

pertentangannya bersifat hakiki. Untuk kedua metode ini kemudian

27
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts K‫ن‬ajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 23.
30

melahirkan sebuah kajian tersendiri, yakni Ilmu al-Nâsikh wa al-

Mansûkh dan al-Tarjîh.28

2. Urgensi Mempelajari Mukhtalif al-Hadîts

Menurut „Ajjâj al-Khaṯîb para ulama telah memberikan perhatian

yang serius terhadap ilmu Mukhtalif al-Hadîts sejak masa sahabat. Mereka

melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai

hadis, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi

demi generasi mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antar hadis

yang tampak saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan dalam

memahaminya.

Berdasarkan keterangan di atas, maka bisa dinyatakan beberapa

poin tentang pentingnya mempelajari ilmu ini, yaitu:

a. Ilmu ini termasuk bagian dari beberapa kajian keislaman (Islamic Studies),

seperti Studi Hadis, Ilmu Hadis, Fiqh, dan Usul Fiqh.

b. Seluruh kelompok maupun golongan (baik teologis maupun ideologis)

membutuhkan ilmu ini dalam rangka menjelaskan kebenaran beberapa

dalil yang saling bertentangan, dan untuk memilih dan menetapkan mana

diantaranya yang lebih tepat dijadikan hujjah dan diamalkan.

c. Dengan ilmu ini, para mujtahid dimungkinkan untuk melakukan tarjîh dan

mengambil salah satu dalil yang lebih kuat (arjah) berdasarkan hasil

penelitiannya atas beberapa dalil yang saling bertentangan dan faktor

penyebabnya. Dalam hal ini, seseorang belum bisa mencapai derajat

mujtahid kalau belum mengetahui letak pertentangan dan penyebabnya.

28
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts K‫ن‬ajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 24.
31

d. Ilmu ini memungkinkan seseorang untuk melaksanakan hadis Nabi SAW.

sesuai dengan kemampuannya.

e. Bagi usuliyyûn, tema pertentangan antar dalil (ta„âruḏ al-adillah)

termasuk salah satu tema yang sangat penting yang menjadi fokus

pembahasannya.

Dengan demikian, maka ilmu mukhtalif al-hadîts merupakan salah

satu cabang ilmu hadis yang perlu diketahui oleh semua umat Islam

khususnya para fuqaha dan ahli hadis dalam usaha mempertahankan

kewibawaan hadis sebagai sumber hukum Islam, karena ilmu ini memiliki

fungsi sebagai alat panduan dalam memahami hadis-hadis Nabi SAW.

Ilmu ini dapat membantu ulama dalam menghindari dari kekeliruan dan

kesalahan dalam memahami ajaran-ajaran yang dikandung oleh hadîts-

hadîts mukhtalif.29

3. Faktor-Faktor Terjadinya Ikhtilâf al-Hadîts

Pada masa Rasulullah SAW. belum ada perbedaan pendapat dalam

menentukan hukum-hukum Islam, para sahabat masih bertumpu pada

Rasulullah SAW. Akan tetapi setelah wafatnya Rasulullah SAW., banyak

masalah baru yang mengharuskan para sahabat untuk berijtihad dalam

menentukan suatu hukum, seperti hukum fiqih.30 Dan beberapa faktor

yang lain sebagai berikut:

29
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts K‫ن‬ajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 26-27.
30
Nafiz Husain Hammad, Mukhtalif al-Hadîts Baina al-Fuqahāʻ wa al-Muhadditsîn,
(Mesir: Dārul Wafa, 1993), h. 26.
32

a. Faktor Historisitas Hadis

Yakni terkait dengan latar belakang munculnya hadis: a) Ibṯâl

umûr sâidah fî al-jâhiliyyah (pembatalan terhadap kepercayaan yang

beredar di masyarakat Arab); misalnya hadis tentang pengobatan

menggunakan al-kayy. Terdapat hadis-hadis yang saling bertentangan,

sebagian mengatakan boleh dan sebagian lagi mengharamkannya; b) al-

tadarruj bi al-tasyrî„ (gradualisasi penetapan hukum Islam). Terdapat dua

langkah pentahapan: (1) al-tadarruj bi al-tasyrî„iy al-zamâniy

(gradualisasi waktu), yaitu pentahapan ajaran Islam sesuai dengan fase

pewahyuan di Mekkah dan Madinah, misalnya awalnya disyariatkan

aqidah dan dasarnya, kemudian disyariatkan ibadah, jihad, muamalah, dan

hukum pidana-perdata; (2) al-tadarruj al-nau„îy (gradualisasi jenis), yaitu

pentahapan penetapan hukum tertentu, yang pada awalnya halal dan boleh

kemudian berubah menjadi haram. Misalnya, pernikahan antara seorang

muslim dengan orang musyrik, hukum khamr, dan hukum nikah mut‟ah.

b. Faktor Internal Hadis (al-‘Âmil al-Dâkhilî)

Yakni menyangkut internal redaksi teks hadis yang memang

terkesan bertentangan.Jika kontradiksi ini benar-benar terjadi, maka

biasanya karena hadis tersebut ada ´illat (cacat) yang menyebabkan

menjadi ḏa´îf. Jika memang ini yang terjadi, maka hadis tersebut harus

ditolak, terutama ketika bertentangan dengan hadis yang shahih.

Contohnya adalah hadis: “man ghassala maytan falyaghtasil wa man

hamalahu falyatawaḏḏa`” (barangsiapa yang memandikan jenazah,


33

hendaknya ia mandi dan barangsiapa yang membawanya, hendaknya ia

berwudu).31

c. Faktor Eksternal (al-‘Âmil al-Khârijî)

Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks di mana Nabi SAW.

menyampaikan hadis dan kepada siapa beliau berbicara. Dalam hal ini,

terdapat dua konteks, yaitu a). Konteks Nabi SAW. (mutakallim) dan b).

Konteks mukhâṯab. Yang dimaksud konteks Nabi SAW. adalah kondisi

dimana Nabi SAW. memang menghendaki untuk menjelaskan dan

menyampaikan hukum tentang sesuatu dan faktor perbedaan hadis karena

perbedaan peristiwa, waktu dan tempat (geografis) di mana Nabi SAW.

menyampaikan hadis. Sementara konteks mukhâṯab adalah perbedaan

situasi dan kondisi dari para sahabat atau umat Islam yang dihadapi Nabi

SAW.

d. Faktor Metodologi (al-Bu‘du al-Manhajî)

Yakni berkaitan dengan proses dan cara seseorang memahami

hadis tersebut. Ada sebagian hadis dianggap bertentangan degan hadis

lain, atau dengan akal (ilmu pengetahuan), karena hadis tersebut dipahami

secara tekstual. Padahal jika hadis tersebut dipahami secara kontekstual,

misalnya dengan metode ta`wîl (hermeneutis) kesan pertentangan tersebut

akan hilang. Sebagai contoh hadis tentang lalat, hadis tentang penciptaan

perempuan dari tulang rusuk Adam, dan lain-lain.

31
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Kitab: Sisa Musnad sahabat yang
banyak meriwayatkan hadis, Bab: Musnad Abu Hurairah ra., hadis no. 9485.
34

e. Faktor Ideologi (al-Bu‘du al-Madzhabî)

Yakni berkaitan dengan ideologi atau madzhab seseorang ketika

memahami suatu hadis. Suatu hadis dinilai bertentangan dengan hadis atau

ayat tertentu yang menjadi dasar ideologi madzhab atau alirannya. Solusi

terhadap hadis yang bertentangan disebabkan oleh faktor ideologi adalah

bagaimana “mengurung diri” dari prejudice-prejudice32 ideologi,

kemudian mengumpulkan hadis-hadis tersebut secara tematik, dianalisis

secara kritis, sehingga akan menghasilkan kesimpulan secara relatif lebih

obyektif dan intersubyektif. Contohnya adalah hadis tentang nikah mut„ah,

hadis tentang boleh tidaknya berdoa dengan ber-tawassul dengan Nabi

SAW. atau wali, hadis tentang imamah vs khilafah dan sebagainya.33

4. Pendapat Ulama Tentang Mukhtalif al-Hadîts

Sebelum kemunculan al-Syâfi„î, umat Islam hanya mendialogkan

masalah seputar hukum syari´ah secara alamiah saja dan belum ada

referensi kaidah otoritatif yang dapat digunakan sebagai metode

mengetahui dalil-dalil syari„ah serta metode menyeleksi dan menguatkan

dalil-dalil syari´ah tersebut.34 Ulama telah memberikan perhatian serius

terhadap mukhtalif al-hadîts sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan

utama segala persoalan setelah Nabi SAW. wafat mereka melakukan

ijtihâd mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai hadis,

menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi

32
Prasangka atau Prejudice adalah suatu sikap negatif yang tidak tepat atau tidak benar
terhadap suatu kelompok atau anggota dalam kelompok tertentu.Lihat di Joko Kuncoro,
“Prasangka dan Diskriminasi”, Fakultas Psikologi UNISSULA Semarang, h. 5.
33
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 41-43.
34
Ahmad Amîn, Ḏuhâ al-Islâm (Kairo: Maktabah al-Nahḏah al-Misriyyah, t.t.), Juz II, h.
224.
35

generasi mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antara hadis yang

tampaknya saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan dalam

memahaminya35 sebagaimana yang dilakukan para ulama fiqh, Usul dan

Hadis.

Mereka sepakat bahwasanya tidak ada pertentangan atau perbedaan

antara dalil-dalil syara„. Akan tetapi, jika ada suatu hadis yang berbeda itu

adalah ijtihâd atau pendapat dari masing-masing atau perseorangan. Dalam

hal ini, al-Syâfi„î berkata: “Tidak ada perbedaan dalam hadis, dan yang

paling penting adalah mereka tidak ragu dalam ketetapan hadis”. Begitu

juga pendapat al-Syâṯibî, bahwasanya dalam hukum syari„ah itu tidak ada

perbedaan. Jika ada perbedaan maka kembali kepada pandangan masing-

masing. Lebih lanjut, Ibn Qutaibah berpendapat bahwa semua hadis

sebenarnya tidak ada pertentangan melainkan tergantung dari pemahaman

seseorang dalam memahami sebuah hadis.36

D. Sejarah Perkembangan Ikhtilâf al-Hadîts

Para ulama hadis generasi awal telah berbicara banyak tentang

ikhtilâf al-hadîts ini serta telah merumuskan kaidah-kaidah

penyelesaiannya. Pada masa awal sistematisasi, perumusan dan

penulisannya, ilmu yang berhubungan dengan hadis-hadis yang mukhtalif

ini merupakan bagian dari pembahasan ilmu usul fiqh.37 Ulama telah

memberikan perhatian serius terhadap ilmu mukhtalif dan musykil al-

hadîts ini sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan utama segala

35
M. Nur Ahmad Musyafiq, terjemahan Ushul al-Hadîts (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2007), h. 255.
36
Ibnu Qutaibah, Ta`wîl Mukhtalif al-Hadîts (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), h. 27.
37
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 109.
36

persoalan setelah Rasulullah SAW. wafat. Mereka melakukan ijtihad

mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai hadis, menjelaskan

dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi generasi

mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antar hadis yang tampaknya

saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan dalam memahaminya.38

E. Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif

1. Al-Jam‘u wa al-Taufîq

Berangkat dari landasan teori bahwa pada hakikatnya tidak ada

ikhtilâf al-hadîts. Ibn Khuzaimah dengan begitu lantang menyatakan,

“Aku tidak tahu kalau ada dua hadis yang sanadnya sama-sama sahih

namun isinya bertentangan. Jika ada orang yang mendapatkan hadis-hadis

seperti itu, bawalah kepadaku untuk aku kompromikan keduanya”.

Selanjutnya, Abû Bakar Muhammad ibn al-Ṯayyib dalam rumusan

teorinya mengatakan bahwa khabar (hadis) itu ada dua macam, yakni

khabar yang diketahui pernah diucapkan Rasulullah SAW. dan khabar

yang diketahui tidak pernah diucapkan beliau. Semua khabar yang

dipastikan bersumber dari Rasulullah SAW. tidak mungkin terjadi ta„âruḏ

(pertentangan) dalam bentuk apapun, meski pada lahirnya tampak

bertentangan.39

Selanjutnya, al-Syâfi„î dengan logika yang sama mengatakan

bahwa pada prinsipnya karena berasal dari sumber yang sama, semua

hadisitu bersesuaian (muttafiq) dan shahih, tidak ada yang bertentangan.

38
Muhammad „Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2013), h. 255.
39
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 114.
37

Pertentangan yang kadangkala tampak pada hadis, menurutnya disebabkan

oleh beberapa faktor, diantaranya faktor umum dan khusus dalam hadis.

Ada hadis bersifat umum dan yang dimaksudkan memang keumumannya.

Tetapi, ada pula hadis bersifat umum namun yang dimaksudkan adalah

kekhususannya. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya pertentangan

adalah pengamalan hadis yang tidak sempurna atau sepotong-potong

sehingga makna yang esensial dari hadis tersebut menjadi hilang. Bagian

akhir komentar al-Syâfi„î ini mengandung isyarat bahwa riwayat dengan

makna dan faktor ketelitian para periwayat hadis sering menjadi penyebab

terjadi ikhtilâf.40

Dengan sejumlah argumen dan kemungkinan di atas, al-Syâfi„î

menegaskan bahwa tidak ditemukan dua hadis yang bertentangan kecuali

ada jalan penyelesaiannya. Antara duahadisyang bertentangan itu, ada

kemungkinan satu dipahami secara umum dan yang lain dipahami secara

khusus. Kemungkinan kedua, dua hadis yang bertentangan tadi terjadi

karena dikeluarkan pada situasi yang berbeda. Untuk memahami hadis-

hadis seperti ini dengan baik dan benar, kita harus melihat dan

mempertimbangkan situasi atau kondisi yang berbeda tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa upaya kompromi

hadis mukhtalif secara umum dapat dilakukan dengan penerapan pola

umum dan khusus atau muṯlaq41 dan muqayyad42. Penerapan pola khusus

40
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 114-115.
41
Kata muṯlaq dari segi bahasa berarti “suatu yang dilepas/tidak terikat “. Dari akar kata
yang sama lahir kata ṯalâq (talak), yakni lepasnya hubungan suami maupun istri sudah tidak saling
terikat.Lihat di M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 188.
38

dapat pula dilihat kekhususan dari konteks kapan, di mana, dan kepada

siapa Nabi SAW. bersabda. Pola pikir yang dirumuskan oleh generasi awal

ini, ternyata juga menjadi pegangan generasi selanjutnya hingga ke zaman

modern.

Berikut contoh hadits di bawah ini diriwayatkan dari Abû Hurairah

bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

،‫ب‬ ٍ ‫ أَ ْخبَ َرنَا ابْ ُن َو ْى‬:‫اى ِر) قَ َاَل‬ ِ َّ‫ظ ِْلَبِي الط‬ َّ َ ‫اى ِر َو َح ْرَملَةُ بْن يَ ْحيَى‬ ِ َّ‫ح َّدثَنِي أَب و الط‬
ْ ُ ‫(والل ْف‬ ُ ُْ ْ َ
‫ ِح ْي َن‬،‫ َع ْن أَبِ ْي ُى َريْ َرَة‬،‫الر ْحم ِن‬ َّ ‫ فَ َح َّدثَنِ ْي أَبُ ْو َسلَ َم َة بْ ُن َع ْب ِد‬:‫اب‬
ٍ ‫ال ابْ ُن ِش َه‬ َ َ‫ ق‬،‫س‬ ِ
ُ ُ‫أَ ْخبَ َرن ْي يُ ْون‬
‫ال‬ ِ ‫ يا رسو َل‬:‫ال أَ ْعرابِ ٌّي‬
ُ َ‫اهلل فَ َما ب‬ َ :‫اهللﷺ‬ ِ ‫ال رسو ُل‬
ْ ُ َ َ َ َ ‫ فَ َق‬.)َ‫ص َف َر َوََل َى َامة‬ َ ‫(َل َع ْد َوى َوََل‬ ْ ُ َ َ َ‫ق‬
َ َ‫ب فَ يَ ْد ُخ ُل فِ ْي َها فَ يُ ْج ِربُ َها ُكلَّ َها؟ ق‬
:‫ال‬ ِ َّ ‫ا ِإلبِ ِل تَ ُك ْو ُن فِ ْي‬
ْ ‫ فَ يَ ِج ْيءُ البَع ْي ُر اْل‬،ُ‫الرْم ِل َكأَنَّ َها الظِّبَاء‬
ُ ‫َج َر‬
43
.)‫(فَ َم ْن أَ ْع َدى اْل ََّو َل؟ (رواه مسلم‬
Telah menceritakan kepadaku Abû al-Ṯâhir dan Harmalah ibn
Yahya (dan pengucapan Abî al-Ṯâhir) berkata: Telah mengabarkan kepada
kami Ibn Wahb, telah mengabarkan kepadaku Yûnus, Ibn Syihâb berkata:
dan telah menceritakan kepadaku Abû Salamah ibn „Abdirrahmân, dari
Abû Hurairah r.a.: Ketika Rasulullah SAW. bersabda, “Tidak ada penyakit
yang menular (tanpa izin Allah), tidak ada tabu di bulan Shafar, dan tidak
ada mayat yang menjadi hantu (tidak ada hantu)”, maka seorang Arab
pedalaman bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan onta yang ada di
padang pasir yang sehat-sehat bagai rusa, lalu didatangi oleh seekor onta
yang berkudis kemudian turut menyusup ke tengah onta-onta yang sehat
itu sehingga semuanya berkudis?” Rasulullah SAW. bersabda, “Siapakah
yang menularkan penyakit pertama kali? (Yakni: Allah). (HR. Muslim).44

42
Muqayyad dari segi bahasa berarti “ikatan yang menghalangi sesuatu memiliki
kebebasan gerak (terikat/mempunyai batasan)”. Lihat di M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir
(Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 188.
43
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 2, Kitab Salam (39), Bab Tidak Ada Tanda
Penyakit yang Menular, Tidak Ada Tanda Buruk (Kesialan), Tidak Ada Hantu, Tidak Ada Tabu di
Bulan Shafar, dan Orang yang Sakit Tidak Menularkan Penyakit Kepada Orang yang Sehat (33),
h. 1057.
44
Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun (Cet. II,
Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Kitab Thiyarah dan Penyakit Menular (47), Bab Tidak Ada
Penyakit yang Menular (tanpa izin Allah), Tidak Ada Thiyarah, Tidak Ada Tabu di Bulan Shafar,
dan Tidak Ada Mayat yang Menjadi Hantu (1), h. 850.
39

Sedangkan hadis kedua berbunyi:

‫ك بْ ُن َع ْب ِد‬ ُ ْ‫ َح َّدثَنَا َش ِري‬،َ‫ َو َح َّدثَنَا أَبُ ْو بَ ْك ِر بْ ُن أَبِ ْي َش ْيبَة‬،‫ش ْي ٌم‬


َ ‫ أَ ْخبَ َرنَا ُى‬،‫َح َّدثَنَا يَ ْحيَى بْ ُن يَ ْحيَى‬
َ َ‫ ق‬،‫ َع ْن أَبِْي ِو‬،ُ‫ض َي اهللُ َع ْنو‬ ِ ‫الش ِريْ ِد ر‬ ٍ ِ ِ
:‫ال‬ َ َّ ‫ َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن‬،‫ش ْي ُم بْ ُن بَش ْي ٍر َع ْن يَ ْعلَى بْ ِن َعطَاء‬ َ ‫اهلل َو ُى‬
.)‫اك فَ ْارِج ْع‬ َ َ‫ (إِنَّا قَ ْد بَايَ ْعن‬:‫اهلل ﷺ‬ ِ ‫ فَأَرسل إِلَْي ِو رسو ُل‬،‫ف رجل م ْج ُذوٌم‬ ٍ ِ ِ ِ
ْ ُ َ َ َ ْ ْ َ ٌ ُ َ ‫َكا َن ف ْي َوفْد ثَق ْي‬
45
.)‫(رواه مسلم‬
Telah menceritakan kepada kami „Amr ibn Râfi„, telah
menceritakan kepada kami Husyaim, dari Ya„lâ ibn „Aṯâ` dari seorang
laki-laki dari kalangan keluarga al-Syarîd r.a. yang bernama „Amr dari
bapaknya, dia berkata: Dalam orang-orang Tsaqîf terdapat seorang laki-
laki yang menderita sakit kusta, lalu Nabi SAW. mengutus utusan
kepadanya agar menyampaikan jawaban Nabi SAW., “Kami telah
menerima baiatmu, maka kamu boleh pulang.” (HR. Muslim).46

ِ ِ َّ ِ ِ ِ
‫س َع ِن‬ ٍ َ ُ‫َو َح َّدثَن ْي أَبُ ْو الطَّاى ِر َو َح ْرَملَة‬
ُ ُ‫ أَ ْخبَ َرن ْي يُ ْون‬.‫ أَ ْخبَ َرنَا ابْ ُن َو ْىب‬:‫(وتَ َق َاربَا في الل ْفظ) قَ َاَل‬
ِ ‫َن رسو َل‬ ٍ َّ ‫َن أَبَا َسلَ َمةَ بْ َن َع ْب ِد‬ ٍ ‫ابْ ِن ِش َه‬
‫(َل‬
َ :‫ال‬ َ َ‫اهلل ﷺ ق‬ ْ ُ َ َّ ‫الر ْحم ِن بْ ِن َع ْوف َح َّدثَوُ أ‬ َّ ‫اب أ‬
ِ ‫ض َعلَى الم‬
.)‫ (رواه مسلم‬.)‫ص ِّح‬ ُ ُ ‫(َل يُ ْوِر ُد‬
ُ ‫الم ْم ِر‬ َ :‫ال‬ َ َ‫ث اَنَّوُ ق‬َ ‫َع ْد َوى) ثُ َّم َح َّد‬
47

Telah menceritakan kepadaku Abû al-Ṯâhir dan Harmalah (dan


dekat dengan pengucapannya), berkata: telah mengabarkan Ibn Wahb.
Telah mengabarkan kepadaku Yûnus dari Ibn Syihâb bahwa Abû Salamah
ibn „Abdurrahmân ibn „Auf memberitahu dia bahwa Rasulullah SAW.
pernah bersabda: “Orang yang sakit tidak menularkan penyakit kepada
orang yang sehat (tapi Allah-lah yang menularkannya).” (HR. Muslim).48
Secara lahiriah dua hadis di atas bertentangan. Hadis pertama

memberikan ketegasan bahwa tidak ada penyakit menular, sedangkan

hadis kedua memberikan ketegasan bahwa penyakit kusta itu menular

45
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 2, Kitab Salam (39), Bab Menjauhi Orang yang
Berpenyakit Menular (36), h. 1062.
46
Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun (Cet. II,
Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Kitab Thiyarah dan Penyakit Menular (47), Bab Menjauhi Orang
yang Berpenyakit Menular (5), h. 852.
47
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 2, Kitab Salam (39), Bab Tidak Ada Tanda
Penyakit yang Menular, Tidak Ada Tanda Buruk (Kesialan), Tidak Ada Hantu, Tidak Ada Tabu di
Bulan Shafar, dan Orang yang Sakit Tidak Menularkan Penyakit Kepada Orang yang Sehat (33),
h. 1058.
48
Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun (Cet. II,
Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Kitab Thiyarah dan Penyakit Menular (47), Bab Orang yang Sakit
Tidak Menularkan Penyakit Kepada Orang yang Sehat (2), h. 850-851.
40

sehingga Nabi SAW. memerintahkan untuk menjauh. Keduanya dapat

dikompromikan sebagai berikut.

a. Penyakit itu tidak menular menurut potensi dan sifatnya, tetapi Allah

menjadikannya menular melalui pergaulan antara orang yang sakit dan

orang yang sehat. Namun, tidak semua orang sehat tertular penyakit

tersebut. Terkadang orang sehat tidak tertular karena imunitas tubuhnya

yang kuat, sekalipun banyak bergaul dengan orang sakit.

b. Hadis pertama menyatakan bahwa tidak ada penyakit yang menular.

Sementara itu, hadis kedua menyatakan bahwa ada penyakit tertentu yang

dapat menular. Dengan demikian, keumuman hadis pertama ditakhsis oleh

hadis kedua.49

2. Nasakh wa al-Mansûkh

Nasakh secara etimologis berarti ‫( اإلز الة‬menghilangkan) dan ‫النقل‬

(mengutip, menyalin). Sedangkan pengertian nasakh secara terminologi

yaitu:

‫الح ْك ِم‬
ُ ‫ث‬ ُ ‫ض ِة الَّتِ ْي ََل يُ ْم ِك ُن الت َّْوفِ ْي ُق بَ ْي نَ َها ِم ْن َح ْي‬
َ ‫المتَ َعا ِر‬ ِ ِ ‫ث َع ِن اْل‬
ُ ‫َحاديْث‬ َ ُ ‫ْم الَّ ِذ ْي يَ ْب َح‬ ِ
ُ ‫العل‬
ِ َ‫ت تَ َق ُّدموُ َكا َن ن‬ ِ َ ‫ض َها‬ ِ
ِ ‫اس ٌخ و َعلَى ب ْع‬ ِ
‫ت‬
َ َ‫اس ًخا َوَما ثَب‬ ُ َ َ‫خ فَ َما ثَب‬ ُ ‫اَلخ ِر بأَنَّوُ َم ْن‬
ٌ ‫س ْو‬ َ َ َ‫َعلَى بَ ْعض َها بِأَنَّوُ ن‬
ِ َ‫تَأَخُّرهُ َكا َن ن‬
.‫اس ًخا‬ ُ
“Ilmu yang membahas hadîts-hadîts yang saling bertentangan
yang tidak mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menentukan
sebagiannya sebagai nasakh dan sebagian lainnya sebagai mansûkh. Yang
terbukti datang terdahulu sebagai mansûkh dan yang terbukti datang
kemudian sebagai nasakh”.50

49
Abdul Majid Khon, Takhrîj & Metode Memahami Hadis (Cet. 1, Jakarta: Amzah,
2014), h. 200-201.
50
Muhammad ´Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadîts Pokok-Pokok Ilmu Hadîts (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2013), h. 258-259.
41

Mengetahui hadis yang mengandung nasakh adalah salah satu ilmu

yang sangat penting dan tidak tertarik kepadanya kecuali para tokoh imam

fiqh. Al-Zuhri berkata, para fuqaha telah mengerahkan segala tenaga dan

pikiran untuk mengetahui hadis Rasulullah SAW. yang berkedudukan

sebagai nasikh (yang menghapus) dan hadis yang berkedudukan sebagai

mansûkh (yang dihapus).51

Melalui fakta sejarah, seperti hadis Syidâd ibn Aus dan lainnya

yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

ِ ‫ َعن أَبِي اْلَ ْشع‬،‫ َعن أَبِي ِق َالب ِة‬،‫ نَا أَيُّوب‬،‫ نَا و َى ْيب‬،‫اع ْيل‬ ِ ِ
‫ َع ْن‬،‫ث‬ َ ْ ْ َ ْ ْ ُ ْ ُ ُ ُ ‫َح َّدثَنَا ُم ْوسى بْ ُن إ ْس َم‬
‫ َو ُى َو آ ِخ ٌذ‬،‫ َو ُى َو يَ ْحتَ ِج ُم‬،‫اهلل ﷺ أَتَى َعلَى َر ُج ٍل بِالبَ ِق ْي ِع‬ ِ ‫ أَ َّن رسو َل‬،‫س‬
ُْ َ ِ ‫ِش َد ِاد بْ ِن أ َْو‬
‫ (رواه أبو‬.)‫الم ْح ُج ْو ُم‬ ِ
َ ‫الحاج ُم َو‬ َ ‫ (اَفْطََر‬:‫ال‬ َ ‫ت ِم ْن َرَم‬
َ ‫ فَ َق‬،‫ضا َن‬ ِ ‫ لِثَم‬،‫بِي ِدي‬
ْ َ‫ان َع ْش َرَة َخل‬ َ ْ َ
52
.)‫داود‬
Telah menceritakan kepada kami Mûsâ ibn Ismâ„îl, telah
menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami
Ayyûb, dari Abî Qilâbah, dari Abî al-Asy„ats, dari Syidâd ibn Aus, bahwa
Rasulullah SAW. pernah melewati seorang laki-laki yang sedang
berbekam di Baqî„. Dan beliau SAW. serta memegang tanganku, pada
tanggal delapan belas Ramaḏân. Maka beliau SAW. bersabda:
“Berbukalah orang yang membekam dan yang dibekam”. (HR. Abû
Dâwud).53

Dan dari Ibn „Abbâs ra.ia berkata:

ِ ٍ َّ‫ح َّدثَنَا أَب و م ْعم ٍر ح َّدثَنَا َع ْب ُد الوا ِرث ح َّدثَنَا أَيُّوب َعن ِع ْك ِرمةَ َعن ابْ ِن َعب‬
ُ‫اس َرض َي اهلل‬ ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ َ ُْ َ
.)‫ (رواه البخاري‬.)‫صائِ ٌم‬ ِ َ َ‫عن هما ق‬
َ ‫ (ا ْحتَ َج َم النَّبِ َّيﷺ َو ُى َو‬:‫ال‬ َ ُ َْ
54

51
Dr. Nuruddin „ltr, ʼUlûmul Hadîts (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h. 348.
52
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud (Riyadh: Maktabah
al-Ma´ârif Lil Nasyri wa Tauzî, t.t), Jilid 1, Kitab Saum (8), Bab Berpuasa Namun Melakukan
Bekam (28), h. 415.
53
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Tarjamah Sunan Abi Daud,
Penerjemah: Ustadz Bey Arifin (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, t.th.), Jilid 3, Kitab Puasa, Bab Orang
Puasa Berbekam, h. 211.
54
Abû ´Abdullâh Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Saum (30), Bab Melakukan Bekam Saat Berpuasa (32), h. 467.
42

Telah menceritakan kepada kami Abû Ma„mar, telah menceritakan


kepada kami „Abd al-Wârits, telah menceritakan kepada kami Ayyûb, dari
„Ikrimah, dari Ibn „Abbâs r.a. berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW.
berbekam, padahal beliau sedang berpuasa”. (HR. al-Bukhari).55
Al-Muṯṯalibi Muhammad ibn Idris al-Syâfi„î menjelaskan bahwa

hadis yang kedua merupakan nasakh terhadap hadis yang pertama.

Buktinya cukup unik, yakni diriwayatkan kepadanya bahwa Syidâd pada

masa-masa penaklukan kota Makkah bersama Rasulullah SAW. Ketika

Rasul SAW. melihat seseorang berbekam pada siang hari bulan Ramaḏân,

maka beliau berkata:

ِ ‫ َعن أَبِي اْلَ ْشع‬،‫ َعن أَبِي ِق َالب ِة‬،‫ نَا أَيُّوب‬،‫ نَا و َى ْيب‬،‫اع ْيل‬ ِ ِ
‫ َع ْن‬،‫ث‬ َ ْ ْ َ ْ ْ ُ ْ ُ ُ ُ ‫َح َّدثَنَا ُم ْوسى بْ ُن إ ْس َم‬
‫ َو ُى َو آ ِخ ٌذ‬،‫ َو ُى َو يَ ْحتَ ِج ُم‬،‫اهلل ﷺ أَتَى َعلَى َر ُج ٍل بِالبَ ِق ْي ِع‬ ِ ‫َن رسو َل‬
ْ ُ َ َّ ‫ أ‬،‫س‬ ِ ‫َش َّد ِاد بْ ِن أ َْو‬
‫ (رواه أبو‬.)‫الم ْح ُج ْو ُم‬ ِ
َ ‫الحاج ُم َو‬ َ ‫ (اَفْطََر‬:‫ال‬ َ ‫ت ِم ْن َرَم‬
َ ‫ فَ َق‬،‫ضا َن‬ ِ ‫ لِثَم‬،‫بِي ِدي‬
ْ َ‫ان َع ْش َرَة َخل‬ َ ْ َ
56
.)‫داود‬
Telah menceritakan kepada kami Mûsâ ibn Ismâ„îl, telah
menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami
Ayyûb, dari Abî Qilâbah, dari Abî al-Asy„ats, dari Syiddâd ibn Aus r.a.,
bahwa Rasulullah SAW. pernah melewati seorang laki-laki yang sedang
berbekam di Baqî„. Dan beliau SAW. serta memegang tanganku, pada
tanggal delapan belas Ramaḏân. Maka beliau SAW. bersabda:
“Berbukalah orang yang membekam dan yang dibekam”. (HR. Abû
Dâwud).57

55
Abu Abdullah Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Tarjamah Shahih Bukhari,
Penerjemah: Achmad Sunarto, dkk (Semarang: CV Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 3, Kitab Puasa (12),
Bab Berbekam dan Bermuntah-muntah Bagi Orang Yang Berpuasa (32), h. 121.
56
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud (Riyadh: Maktabah
al-Ma´ârif Lil Nasyri wa Tauzî, t.t), Jilid 1, Kitab Saum (8), Bab Berpuasa Namun Melakukan
Bekam (28), h. 415.
57
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Tarjamah Sunan Abi Daud,
Penerjemah: Ustadz Bey Arifin (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, t.th.), Jilid 3, Kitab Puasa, Bab Orang
Puasa Berbekam, h. 211.
43

Dan diriwayatkan kepadanya bahwa Ibn „Abbâs ra.berkata:

ِ ٍ َّ‫ح َّدثَنَا أَب و م ْعم ٍر ح َّدثَنَا َع ْب ُد الوا ِرث ح َّدثَنَا أَيُّوب َعن ِع ْك ِرمةَ َعن ابْ ِن َعب‬
ُ‫اس َرض َي اهلل‬ ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ َ ُْ َ
.)‫ (رواه البخاري‬.)‫صائِ ٌم‬ ِ َ َ‫عن هما ق‬
َ ‫ (ا ْحتَ َج َم النَّبِ َّيﷺ َو ُى َو‬:‫ال‬ َ ُ َْ
58

Telah menceritakan kepada kami Abû Ma„mar, telah menceritakan


kepada kami „Abd al-Wârits, telah menceritakan kepada kami Ayyûb, dari
„Ikrimah, dari Ibn „Abbâs r.a. berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW.
berbekam, padahal beliau sedang berpuasa”.59
Dengan demikian, jelas bahwa hadis yang pertama (hadis Syidad)

itu terjadi pada masa-masa penaklukan kota Makkah, yaitu pada tahun 8

Hijriah, dan hadis kedua (hadis Ibn „Abbâs) terjadi pada waktu Haji

Wada„, yaitu pada tahun 10 Hijriah. Jadi, hadis yang kedua merupakan

nasakh bagi hadis yang pertama.60

3. Al-Tarjîh

Hadis-hadis mukhtalif, bila tidak mungkin untuk dikompromikan

dengan cara apapun, tidak mungkin pula diperlakukan ketentuan takhsis,

tidak ditemukan pula cara untuk memberlakukan naskah. Akan tetapi

ditemukan petunjuk yang mungkin menguatkan salah satu di antara

keduanya, maka digunakanlah dalil yang memiliki petunjuk yang

menguatkan itu. Cara tersebut dinamakan tarjîh.

Secara etimologi, tarjîh berarti “menguatkan”. Dalil yang

dikuatkan disebut dengan rajîh, dan dalil yang dilemahkan disebut dengan

marjûh. Dalam arti istilah, tarjîh adalah ungkapan mengenai diiringinya

salah satu dari dua dalil yang pantas yang menunjukkan kepada apa yang

58
Abû „Abdullâh Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Saum (30), Bab Melakukan Bekam Saat Berpuasa (32), h. 467.
59
Abû „Abdullah Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Tarjamah Shahih Bukhari,
Penerjemah: Achmad Sunarto, dkk (Semarang: CV Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 3, Kitab Puasa (12),
Bab Berbekam dan Bermuntah-muntah Bagi Orang Yang Berpuasa (32), h. 121.
60
Dr. Nuruddin „ltr, ʼUlūmul Hadīts, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h. 349.
44

dikehendaki, di samping keduanya berbenturan yang mewajibkan untuk

mengamalkan satu di antaranya dan meninggalkan yang satu lagi.

Dari definisi di atas, dapat diketahui hakikat tarjîh dan sekaligus

merupakan persyaratan bagi tarjîh, yaitu:

1. Dua dalil tersebut berbenturan dan tidak ada kemungkinan untuk

mengamalkan keduanya dengan cara apapun. Dengan demikian, tidak

terdapat tarjîh dalam dua dalil yang qaṯ´î karena dua dalil qaṯ´î, tidak

mungkin berbenturan.

2. Kedua dalil yang berbenturan itu adalah sama-sama pantas untuk memberi

petunjuk kepada yang dimaksud.

3. Adanya petunjuk yang mewajibkan beramal dengan salah satu di antara

dua dalil, dan meninggalkan dalil yang satu lagi.61

Sebagai contoh antara lain, berikut ini dikemukakan dua hadis

Nabi SAW. yang tampak kontradiktif

‫َّاق قَ َاَل أَ ْخبَ َرنَا ابْ ُن ُج َريْ ٍج أَ ْخبَ َرنِ ْي َع ْم ُرو بْ ُن ِديْنَا ٍر َع ْن‬ِ ‫الرز‬
َّ ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْ ُن بَك ٍر َو َع ْب ُد‬
‫ب َى َذا‬ ِّ ‫ي أَنَّوُ َس ِم َع أَبَا ُى َريْ َرَة يَ ُق ْو ُل َوَر‬ ِ ‫ي ْحي بْ ِن ج ْع َدةَ أَ ْخب رهُ َعن َع ْب ِد‬
ِّ ‫اهلل بْ ِن َع ْم ٍرو ال َقا ِر‬ ْ ََ َ َ َ
ِ ‫ب َى َذا الب ْي‬ ِّ ‫الج ُم َع ِة َولَ ِك ْن ُم َح َّم ٌد نَ َهى َع ْنوُ َوَر‬ ِ ِ ِ ‫الب ْي‬
‫ت َما أَنَا‬ َ ُ ‫ت َع ْن صيَ ِام يَ ْوم‬ ُ ‫ت َما أَنَا نَ َه ْي‬ َ
‫َّاق فِ ْي‬
ِ ‫الرز‬ َ َ‫اهلل ﷺ قَالَوُ ق‬ ِ ‫الص ْبح جنُبا فَ لْي ْف ِطر ولَ ِكن رسو ُل‬
َّ ‫ال َع ْب ُد‬ ْ ُ َ ْ َ ْ ُ ً ُ ُ ُّ ُ‫ْت َم ْن أَ ْد َرَكو‬ ُ ‫قُل‬
‫ (رواه‬.‫ي أَنَّوُ َس ِم َع أَبَا ُى َريْ َرَة يَ ُق ْو ُل‬ ِ ‫ح ِديْثِ ِو إِ َّن ي ْحيى بْن ج ْع َد َة أَ ْخب رهُ َع ْب ُد‬
ِّ ‫اهلل بْ ُن َع ْم ٍرو ال َقا ِر‬ ََ َ َ َ َ َ
62
.)‫أحمد‬
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Bakr dan „Abd
al-Razzâq mereka berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibn Juraij telah
mengabarkan kepadaku „Amr ibn Dînâr dari Yahya ibn Jad„ah telah
menceritakan kepadanya dari „Abdillah ibn „Amr al-Qâri bahwa ia
61
Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syāfiʼi”, UIN
SUSKA RIAU, Vol. XVII No. 2, Juli 2011, h. 197-198.
62
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Kitab: Sisa Musnad Sahabat Anshar, Bab:
Lanjutan Musnad yang lalu, hadis no. 25095. Lihat juga Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-
Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis (Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 124.
45

mendengar Abû Hurairah berkata: “Demi Tuhan Pemilik Ka‟bah


sesungguhnya bukan aku yang melarang dari berpuasa pada hari Jum‟at
akan tetapi Muhammad SAW. yang melarangnya, dan demi Tuhan Pemilik
Ka‟bah bukan aku yang mengatakan; barangsiapa mendapatkan subuh
dalam keadaan junub maka hendaklah ia berbuka akan tetapi
Rasulullah SAW. yang mengatakan itu”. Barangsiapa yang pada waktu
subuh mandi junub, maka tidak sah puasanya”. „Abd al-Razzâq berkata
dalam haditsnya: Sesungguhnya Yahya ibn Jad„ah telah diberitahu oleh
„Abdullah ibn „Amr al-Qâri bahwa ia mendengar Abû Hurairah yang
berkata. (HR. Ahmad).63
ٌ ِ‫ت َعلَى َمال‬
‫ َع ْن أَبِ ْي بَ ْك ِر بْ ِن‬،‫ك َع ْن َع ْب ِد َربِِّو بْ ِن َس ِع ْي ٍد‬ ُ ْ‫قَ َرأ‬:‫ال‬
َ َ‫ ق‬.‫َح َّدثَنَا يَ ْحيَى بْ ُن يَ ْحيَى‬
‫شةَ َو أ ُُّم َسلَ َمةَ َزْو َج ِي النَّبِ ِّي ﷺ أَنَّ ُه َما‬ َ ‫ث بْ ِن ِى‬
َ ِ‫ َع ْن َعائ‬،‫ش ٍام‬ ِ ‫الرحم ِن ب ِن الحا ِر‬
َ ْ ْ َّ ‫َع ْبد‬
ِ

َ ‫ فِ ْي َرَم‬،‫احتِ َالٍم‬ ِ
‫ ثُ َّم‬،‫ضا َن‬ ْ ‫ غَْي ِر‬،‫صبِ ُح ُجنُبًا م ْن ِج َم ٍاع‬ ْ ُ‫اهلل ﷺ لَي‬ ِ ‫ إِ ْن َكا َن رسو ُل‬:‫قَالَتَا‬
ُْ َ
64
.)‫ (رواه مسلم‬.‫ص ْو ُم‬
ُ َ‫ي‬
Telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Yahya berkata: Aku
membaca dari Mâlik dari „Abdirabbihi ibn Sa´îd, dari Abî Bakar ibn „Abd
al-Rahmân ibn al-Hârits ibn Hisyâm, dari „Aisyah dan Ummu Salamah
yang keduanya adalah isteri Rasulullah SAW. Keduanya mengatakan:
“Rasulullah SAW. pernah junub pada saat subuh karena habis bersetubuh
pada malam Ramadhan, bukan karena bermimpi, kemudian beliau SAW.
berpuasa”. (HR. Muslim).65
Hadis pertama menjelaskan bahwa seseorang yang tidak mandi

junub sebelum waktu subuh, tidak sah puasanya. Sebaliknya, hadis kedua

menjelaskan bahwa Nabi SAW. pernah mandi junub pada waktu subuh

kemudian berpuasa Ramadhan. Kedua hadis ini tidak dapat

dikompromikan karena tidak diketahui hadis mana yang datang lebih

dahulu. Oleh sebab itu, langkah berikutnya adalah tarjîh, yaitu

mengunggulkan salah satu hadis yang lebih kuat.

63
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Kitab: Sisa Musnad Sahabat Anshar, Bab:
Lanjutan Musnad yang lalu, hadis no. 25095. Lihat juga Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-
Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis (Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 124.
64
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 1, Kitab Siyâm (13), Bab Puasa Orang yang
Junub Ketika Fajar (78), h. 495.
65
Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun (Cet. II,
Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Kitab Puasa (11), Bab Puasa Orang yang Junub Ketika Fajar (14),
h. 330.
46

Periwayat kedua hadis sama-sama kuat, yaitu al-Bukhârî dan

Muslim. Keduanya pun berkualitas sahih. Namun, sanadnya berbeda hadis

pertama diriwayatkan oleh Abû Hurairah, sedangkan hadis kedua

diriwayatkan oleh „Aisyah ra. dan Ummu Salamah. Sementara itu, topik

yang dibicarakan adalah masalah yang berkaitan dengan junub dan

hubungan suami-istri. Hadis yang kedua lebih unggul karena menyangkut

masalah internal dan para periwayatnya ikut terlibat.66

Konsep tarjih ini menjadi solusi metodologis dalam menyelesaikan

hadis-hadis mukhtalif yang tidak bisa dikompromikan dan tidak terdeteksi

kronologi waktu turunnya. Jadi sebagai sebuah metode penyelesaian

mukhtalif al-hadîts, tarjih diterapkan setelah metode al-jam„u dan al-naskh

mengalami kebuntuan.67

4. Tawaqquf

Al-Tawaqquf atau mutawaqqaf fîh ialah hadis yang ditunda,

dihentikan, ditinggalkan, atau tidak diamalkan. Hadis ini bermula karena

dua hadis yang kontradiktif tidak dapat dikompromikan, tidak dapat

dinasakh, dan tidak dapat ditarjih. Oleh sebab itu, alternatif terakhir adalah

ditunda, dihentikan, ditinggalkan, atau tidak diamalkan.

Hadis mutawaqqaf fîh ini kasusnya hampir sama dengan hadis

muḏṯarib68, yaitu dua hadis yang kontradiktif dan tidak dapat ditarjih.

Akan tetapi, hadis muḏṯarib lebih umum daripada hadis mutawaqqaf fîh.
66
Abdul Majid Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h.
204.
67
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 84.
68
Hadis Muḏṯarib adalah hadis yang diriwayatkan dari seorang rawi atau lebih dengan
beberapa redaksi yang berbeda dan dengan kualitas yang sama, sehingga tidak ada yang dapat
diunggulkan dan tidak dapat dikompromikan. Lihat Dr. Nuruddin „ltr, ʼUlūmul Hadīts, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2012), h. 465.
47

Hal itu karena hadis muḏṯarib dapat terjadi pada sanad dan matan;

sekaligus dapat terjadi pada hadis sahih, hasan, dha„if. Sementara itu,

hadis mutawaqqaf fîh hanya terjadi pada matan dan hadisyang maqbûl.

Berikut ini contoh hadis mutawaqqaf fîh sebagaimana hadis muḏṯarib pada

matan.

a. Hadis tentang Nabi SAW. Abû Bakar, „Umar, dan „Utsmân yang tidak

membaca basmalah dalam membaca al-Fatihah. Hadis tersebut

diriwayatkan dari Anas ibn Mâlik ra. Ia berkata,

ٍ ِ‫س بْ ِن مال‬ ِ
‫ْف‬
َ ‫ت َخل‬ ُ ‫صلَّْي‬
َ :‫ال‬ َ َ‫ أَنَّوُ َح َّدثَوُ ق‬،‫ك‬ َ ِ َ‫ب إِلَْيو يُ ْخبِ ُرهُ َع ْن أَن‬ َ َ‫ادةَ أَنَّوُ َكت‬
َ َ‫َو َع ْن قَت‬
‫ب‬ِّ ‫ْح ْم ُد لِلَّ ِو َر‬
َ ‫النَّبِ ِّيﷺ َوأَبِي بَ ْك ٍر َوعُ َم َر َوعُثْ َما َن فَ َكانُوا يَ ْستَ ْفتَ ُح ْو َن بِ ﴿ﭐل‬
‫ (رواه‬.‫اءةٍ َوََل ﺁ ِخ ِرَىا‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ﭐل َْعالَم ْي َن﴾ ََل يَ ْذ ُك ُرْو َن ﴿ب ْس ِم اهلل ﭐ َّلر ْحم ِن ﭐ َّلرح ْي ِم﴾ في أ ََّول ق َر‬
69
.)‫مسلم‬
Dan dari Qatâdah yang dia tulis menceritakan tentang Anas ibn
Mâlik, bahwasanya telah mengabarkan kepadanya, berkata: “Aku pernah
shalat di belakang Nabi SAW., Abû Bakar, „Umar, dan „Utsmân. Mereka
memulai al-Fatihah dengan “Al-hamd lillâh rabb al-„âlamîn”. Mereka
tidak menyebut, „Bism Allâh al-rahmân al-rahîm,‟ baik pada awal bacaan
maupun akhir bacaan”. (HR. Muslim).

b. Hadis tentang Nabi SAW. Abû Bakar, „Umar, dan „Utsmân membaca

basmalah dengan keras dalam membaca al-Fatihah.

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َوأَبِي بَ ْك ٍر َوعُ َم َر فَ َكانُوا‬


َ ‫ْف النَّبِ ِّي‬َ ‫ت َخل‬ ُ ‫صلَّْي‬ َ َ‫َع ْن ابْ ِن ُع َم َر ق‬
َ ‫ال‬
﴾‫اهلل ﭐ َّلر ْحم ِن ﭐ َّلرِح ْي ِم‬
ِ ‫ي ْج َهرو َن بِ ﴿ بِس ِم‬
ْ ُ َ
Dari Ibnu „Umar, ia berkata, “Aku shalat di belakang Nabi SAW.,
Abû Bakar, „Umar, dan „Utsmân. Mereka membaca dengan keras, „Bism
Allâh al-rahmân al-rahîm.‟” (HR. Daruquṯni).70

Selain itu, ada hadis lain yang senada dengan hadis tersebut.

69
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 1, Kitab Shalat (4), Bab Larangan Ma‟mum
dalam Mengeraskan Bacaan di Belakang Imam (12), h. 187-188.
70
Hasan Sulaiman Al-Nuri, Ibânah al-Ahkâm: Syarh Bulûgh al-Marâm, Juz I, h. 400.
Lihat Abdul Majid Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h. 206.
48

‫ْف عُ َم َر‬ َ ‫ْف أَبِي بَ ْك ٍر َو َخل‬ َ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َو َخل‬
َ ‫ْف النَّبِ ِّي‬
َ ‫ت َخل‬ُ ‫صلَّْي‬
َ ‫ال‬
َ َ‫س ق‬ ٍ َ‫َع ْن أَن‬
‫اهلل ﭐ َّلر ْحم ِن ﭐ َّلرِح ْي ِم‬
ِ ‫ْف َعلِ ٍي فَ ُكلُّ ُهم َكانُوا ي ْج َهرو َن بِِقراءةِ بِس ِم‬
ْ َ َ ُْ َ ْ َ ‫ْف عُثْ َما َن َو َخل‬
َ ‫َو َخل‬
Dari Anas, ia berkata, “Aku shalat di belakang Nabi SAW., Abû
Bakar, „Umar, „Utsmân, dan „Alî. Mereka semua membaca keras, „Bism
Allâh al-rahmân al-rahîm.‟”(HR. al-Hakim).71

Periwayatan dua kelompok hadis di atas tampak bertentangan.

Kelompok pertama menyatakan bahwa Nabi SAW, Abû Bakar, „Umar,

dan „Utsmân tidak membaca basmalah atau tidak mengeraskannya.

Sementara itu, kelompok hadis kedua menegaskan kebalikannya, yaitu

mereka membaca basmalah dengan keras. Shubhi al-Shalih menyatakan

bahwa kedua kelompok hadisdi atas adalah muḏṯarib. Al-Bukhârî dan

Muslim sepakat dalam periwayatan sanad lain yang tidak menyebutkan

kalimat aku shalat di belakang…, baik menetapkan maupun meniadakan

basmalah. Mereka hanya menyebutkan bahwa al-Fatihah adalah surat yang

dimulai dengan hamdalah.

Seandainya tidak disebutkan kelompok hadis kedua di atas, ada

kemungkinan dapat ditarjih dan teks hadis kelompok pertama tidak

disifatkan muḏṯarib. Akan tetapi, datang periwayatan ketiga dari Anas pula

ketika ditanya tentang memulai basmalah dalam al-Fatihah. Ia menjawab,

“Tidak hafal sesuatu tentang hal itu dari Rasulullah.” Ia kesulitan atau uzur

dalam menarjih hadis yang berkaitan dengan basmalah, baik menetapkan

71
Hasan Sulaiman Al-Nuri, Ibânah al-Ahkâm: Syarh Bulûgh al-Marâm, Juz I, h. 400.
Lihat Abdul Majid Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h. 206.
49

maupun meniadakannya. Oleh sebab itu, inilah sebab sifat iḏṯirab pada

hadis pertama.72

Dengan demikian, kedua hadis di atas dibiarkan dan tidak

diamalkan (mutawaqqaf fīh) karena terjadi kontradiksi yang tidak kunjung

dapat ditarjih. Selanjutnya, hal tersebut disebut dengan hadis muḏṯarib

sampai ada penguat pada salah satunya. Namun, yang menjadi ganjalan di

sini adalah kedua hadis tersebut sahih, bahkan dikuatkan dengan beberapa

periwayatan, sedangkan hadis muḏṯarib adalah ḏa„îf. Sementara itu,

mayoritas ulama sepakat bahwa basmalah merupakan bagian dari al-

Fatihah, hanya permasalahannya apakah dibaca jahr (bersuara keras) atau

sirr (bersuara pelan). Kadang kala Nabi SAW. membaca jahr pada shalat

jahr (malam hari umumnya) dan membaca sirr pada shalat sirr (siang hari

umumnya) atau bisa jadi membaca sirr pada shalat jahr karena

menjelaskan bahwa hal tersebut boleh dilakukan.73

F. Karya-Karya Dalam Bidang Ilmu Mukhtalif al-Hadîts

Pembahasan tentang Ilmu Mukhtalif al-Hadîts sebenarnya telah

banyak dilakukan oleh ulama dan bisa ditemukan hampir di semua kitab

Ulumul Hadis. Namun pembahasan ini hanya merupakan bagian kecil dari

cabang Ulumul Hadis. Meski demikian, sudah ada kitab-kitab yang ditulis

secara khusus membahas Ilmu Mukhtalif al-Hadîts atau Ilmu Musykil al-

Hadîts. Di antara kitab tersebut adalah:

72
Abdul Majid Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), h.
206-207. Lihat juga Shubhi Shalih, ʼUlūm al-Hadīts wa Musṯalahuhu, (Beirut: Dār al-ʼIlmi lil
Malāyīn, 1959), h. 189.
73
Abdul Majid Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h.
207.
50

a. Kitab Ikhtilâf al-Hadîts karangan Imâm Abû „Abdillâh Muhammad ibn

Idrîs al-Syâfi„î (150-204 H).

b. Kitab Ta`wîl Mukhtalif al-Hadîts karangan Imâm „Abdillâh ibn Muslim al-

Qutaibah al-Dainûrî (213-276 H).

c. Kitab Syarh Musykil al-Atsar fi Nafyi al-Taḏâḏ „an al-Ahâdîts wa Istikhrâj

al-Hanafi (239-321 H).

d. Kitab Musykil al-Hadîts wa Bayânuhu karangan Ibn Faurak al-Ansâri al-

Asbahâni al-Syâfi„î (406 H).74

74
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 44.
BAB III

SOLUSI METODE PENYELESAIAN DALAM IKHTILÂF AL-HADÎTS

A. Hadis Mengenai Buang Hajat Menghadap dan Membelakangi Kiblat.

1. Hakikat Melakukan Buang Hajat Menghadap dan Membelakangi

Kiblat.

Para ulama sepakat bahwasanya hadis Nabi SAW. merupakan

landasan syari´at setelah Al-Qur`an, dimana hadis-hadis Rasulullah SAW.

merupakan penjelasan atau penafsiran atas ayat-ayat Allah yang bersifat

mujmal. Hadis-hadis Rasulullah SAW. merupakan bentuk perkataan

Rasulullah SAW., perbuatan dan ketetapan yang menggambarkan tentang

aqidah, syari„ah, mu„amalah dan akhlâq dimana hal tersebut tidak dapat

dipisahkan dari Al-Qur`an.

Para ulama telah banyak menghabiskan umur mereka dalam

melakukan penelitian terhadap hadis-hadis Rasulullah SAW. baik dari segi

sanad, matan, bahasa, makna maupun kandungan syari„at yang terdapat di

dalamnya. Hal ini perlu untuk dilakukan melihat banyak hadis-hadis

Rasulullah SAW. yang hingga saat ini belum dapat dijangkau makna dan

kandungannya, diantara hadis-hadis Rasulullah SAW. tersebut adalah

hadis-hadis Rasulullah SAW. yang berhubungan dengan istinja meskipun

secara harfiyah atau lafdziyah hadis-hadis yang berhubungan dengan hal

ini sangat banyak dan bertebaran dipelbagai kitab-kitab hadis baik di

dalam kitab-kitab Shahih, Sunan, Masanid, dan bahkan Majami„.

Terdapat berbagai macam pendapat yang berkaitan dengan istinja

dimana terdapat hadis yang menjelaskan tentang istinja atau buang hajat

51
52

menghadap kiblat yang nampaknya bertentangan, hadis pertama melarang

buang hajat menghadap kiblat dan membelakangi kiblat sedangkan hadis

kedua dinyatakan buang hajat menghadap kiblat dan membelakangi kiblat.

Kontroversi yang terjadi dalam pelbagai hadis menimbulkan pertanyaan

tentang kebolehan dan ketidakbolehan dalam membuang hajat menghadap

dan membelakangi kiblat. Berdasarkan uraian di atas, maka akan

dijelaskan mengenai bagaimana metode penyelesaian dan status mengenai

hadis tentang membuang hajat menghadap dan membelakangi kiblat.

2. Takhrij Hadis.

Setelah melakukan penelusuran dalam melakukan takhrij hadis-

hadis tentang posisi kencing melalui berbagai sumber seperti Mu„jam al-

Mufahras1, maka ditemukan beberapa lafadz hadis. Dalam hadis mengenai

larangan membuang hajat menghadap dan membelakangi kiblat dalam

kitab Mu„jam al-Mufahras disebutkan dalam Sahîh al-Bukhârî Kitab

Wudhu (4), Bab Larangan Menghadap Kiblat Saat Membuang Air Besar

dan Kecil, Kecuali Bila Berada dalam Suatu Bangunan atau Terhalang

Tembok Maupun yang Sepertinya (11) hadis ke-1442

‫َج َدا ٍرَأ َْوَنح ِوه‬: ِ ‫َع ْن َدَالبِنَا ِء‬ ِ ‫القب لَ َةَبِغَائِ ٍطَأَوَب و ٍلَإِاَل‬
ِ
ْ َ‫ابَ ََلَتُ ْستَ ْقبَ َُل‬
َُ َ‫ – َب‬۱۱
َْ ْ
ََ‫يَ َع َْنَ َعطَ ِاءَبْ ِنَيَ ِزيْ َدَاللاَْيثِي‬
َُّ ‫الزَْى ِر‬
ُّ َ‫َ َح ادثَنَا‬:‫ال‬ ٍ ‫َذ‬
َ َ‫ئبَق‬ ِ ‫َح اَدثَنَاَابنَأَبِي‬:‫ال‬
ْ ُْ َ َ َ‫َ َح ادثَنَاَآ ََد ُمَق‬-۱٤٤
َ‫طَفَ ََلَيَ ْستَ ْقبِ ِل‬ َ ِ‫َح ُد ُك ُمَالغَائ‬َ ‫َاللَﷺَإِذَاَأَتَىَأ‬ َِ ‫َر ُس ْو ُل‬ َ ‫ال‬
َ َ‫َق‬:‫ال‬ َ َ‫صا ِريََق‬ َ ْ‫بَاألَن‬ َ ‫َع َْنَأَبِ ْيَأَيُّ َْو‬
ِ
.‫َ َشرقُ ْواَأ َْوَغَربُ ْوا‬،ُ‫الق ْب لَةََ َوََلَيُ َول َهاَظَ ْه َره‬

1
Wensinck, Mu´jam Al-Mufahras li Alfâẕil Hadîts (Belanda: Breil, 1962 M), Juz 5, h.
256.
2
Abû ´Abdullâh Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Wudhu (4), Bab Larangan Menghadap Kiblat Saat Membuang Air Besar dan
Kecil, Kecuali Bila Berada dalam Suatu Bangunan atau Terhalang Tembok Maupun yang
Sepertinya (11), h. 49.
53

Sunan Abû Dâwud Kitab Thaharah (1), Bab Larangan Menghadap

Kiblat Saat Membuang Hajat (4) hadis ke-93.

َ‫اج َِة‬ ِ َ َ‫َالقب لَ ِةَ ِع ْن َدَق‬


ِ ِ ‫َبابَ َكر ِاىي ِةَاستِ ْقب‬-٤
َ ‫الح‬
َ َ‫ضاء‬ ْ ‫ال‬ َ ْ َ َ ُ َ
َ،َ‫يَ َع َْنَ َعطَ ِاءَبْ ِنَيَ ِزيْ َدَاللاْيثِي‬ ُّ ‫َ َع ِن‬،‫َثَنَاَ ُس ْفيَا َُن‬،‫س ْرَى ٍد‬
َُّ ‫َالزْى ِر‬ َ ‫اَم َس اد َُدَبْ َُنَ ُم‬
ُ َ‫(صحيح)َح ادثَن‬
َ َ-٩
َ‫َ َولَ ِك َْنَ َشرقُ ْوا‬،‫طَ َوَََلَبَ ْو ٍَل‬ٍَ ِ‫الق ْب لَةََبِغَائ‬
ِ َ‫طَفَ ََلَتَستَ ْقبِلُوا‬
ْ ْ َ ِ‫َإِ َذاَأَتَ ْيتُ ُمَال َغائ‬:‫ال‬ َ ‫َع َْنَأَبِ ْيَأَيُّ ْو‬
َ َ‫َق‬،َ‫بَ ِرَوايَة‬
.‫أ َْوَغَربُ ْوا‬
Sunan al-Nasâ`î Kitab Thaharah (1), Bab Larangan Membelakangi

Kiblat Saat Membuang Hajat (20) hadis ke-214.

َ‫)َالنهيَعنَاستدبارَالقبلةَعندَالحاجة‬٠٢(

ََ ‫َ َع َْنَأَبِ ْيَأَيُّ ْو‬،‫يَ َع َْنَ َعطَ ِاءَبْ ِنَيَ ِزيْ َد‬


َ‫ب‬ َُّ ‫َالزْى ِر‬
ُّ ‫َحداثَنَاَ ُس ْفيَا َُنَ َع ِن‬:
َ ‫ال‬َ َ‫ص ْوٍَرَق‬
ُ ‫َم ْن‬
َ ‫اَم َح ام ُدَبْ ُن‬
ُ َ‫َأَ ْخبَ َرن‬-٠۱
ِ َ‫َول‬،‫اَالقب لَ َةَوََلَتَستَ ْدبِروىاَلِغَائِ ٍطَأَوَب و ٍل‬
ِ
َ‫ك ْنَ َشرقُ ْواَأ َْوَغَربُ ْوا‬ َ َْ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ ‫َ ََلَتَ ْستَ ْقبِلُ ْو‬:‫أَ اَنَالنابِ ايَﷺَقَ َال‬
Setelah melakukan takhrij hadis mengenai kebolehan membuang

hajat mengahadap dan membelakangi kiblat terdapat pula pada kamus

Mu„jam al-Mufahras.5 Hadis mengenai perintah membuang hajat

menghadap kiblat dalam Sahîh al-Bukhârî Kitab Wudhu (4), Buang Hajat

di Atas Dua Batu Bata (12) hadis ke-145.6

َ‫َعلَىَلَبَِنَتَ ْي َِن‬
َ ‫ابَ َم ْنَتَبَ ارَز‬
ُ َ‫)َب‬۱٠(
َ‫َم َح ام ِدَبْ ِن‬ َ ‫َس ِع ْي ٍد‬
ُ ‫َع ْن‬ َ ‫َع ْنَيَ ْحيَىَبْ ِن‬ َ ‫ك‬ٌ ِ‫اَمال‬
َ َ‫َأَ ْخبَ َرن‬:‫ال‬
َ َ‫فَق‬ ِ ‫اَع ْب ُد‬
َ ‫َاللَبْ ُنَيُ ْو ُس‬ َ َ‫–ََ َح ادثَن‬۱٤٤
ِ ِ َ ‫َعن‬، ِ ‫َعم ِو‬
ً َ‫َإِ انَن‬:‫َع ْبدَاللَبْ ِنَعُ َم َرَأَناوَُ َكا َنَيَ ُق ْو ُل‬
َ:‫اساَيَ ُق َْولُو َن‬ ْ َ ‫َحباا َن‬َ ‫َواس ِعَبْ ِن‬َ َ ‫َع ْن‬ َ ‫يَ ْحيَىَبْ ِن‬
َ ‫َحباا َن‬

3
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud (Riyadh: Maktabah
al-Ma´ârif Lil Nasyri wa Tauzî, t.t), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (1), Bab Larangan Menghadap Kiblat
Saat Membuang Hajat (9), h. 8.
4
Abû ´Abd al-Rahmân Ahmad ibn ´Alî Syu´aib ibn ´Alî ibn Sînân al-Nasâ`î, Sunan al-
Nasâ`î (Beirut: Dâr al-Ma´rifah, t.th), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (1), Bab Larangan Membelakangi
Kiblat Saat Membuang Hajat (20), h. 27-28.
5
Wensinck, Mu´jam Al-Mufahras li Alfâẕil Hadîts (Belanda: Breil, 1962 M), Juz 5, h.
257.
6
Abû ´Abdullâh Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Wudhu (4), Bab Buang Hajat di Atas Dua Batu Bata (12), h. 145.
54

َ‫َلََق ِد‬:‫َع َم َر‬ ِ ‫َع ْب ُد‬


ُ ‫َاللَبْ ُن‬ َ ‫ال‬ َ ‫َفَ َق‬.‫س‬ ِ ‫َالم ْق ِد‬
َ ‫ت‬ َ ‫َوََلَبَ ْي‬ ِ ِ
َ َ‫كَفَ ََلَتَ ْستَ ْقب ِلَالق ْب لَة‬ َ ِ‫اجت‬
َ ‫ىَح‬
َ َ‫َعل‬َ ‫ت‬َ ‫إِذَاَقَ َع ْد‬
ِ ‫َالم ْق ِد‬
َ‫س‬ َ ‫ت‬ َ ‫َم ْستَ ْقبِ ًَلَبَ ْي‬
ُ ‫َاللَﷺَ َعلَىَلَبِنَتَ ْي ِن‬ َِ ‫َر ُس ْو َل‬ َ‫ت‬
ٍ ‫اَعلَىَظَ ْه ِرَب ْي‬
ُ ْ‫َفَ َرأَي‬،‫تَلَنَا‬ َ َ ‫تَيَ ْوًم‬ ُ ‫ْارتَ َق ْي‬
.‫اجتِ ِو‬ ِ
َ ‫ل َح‬
Sunan Ibn Mâjah Kitab Thaharah (1), Bab Keringanan Dalam

Membuang Hajat di Kakus (18) hadis ke- 1/322.7

‫َوَإباحتوَدونَالصحارى‬،‫َالرخصةَفيَذلكَفيَالكنيف‬:‫–ََبَاب‬۱۱/۱۱
َ‫َح ادثَنِ ْيَيَ ْحيَىَابْ ُن‬، ِ ٍَ ‫َالح ِم ْي ِدَبْ ُنَ َحبِْي‬ َ ‫–َ َح ادثَنَاَ ِى‬۱/۳٠٠
َ ‫َثناَاألَ ْوَزاع َُّي‬،‫ب‬ َ َ،‫امَبْ َُنَ َع اما ٍَر‬
َ ‫ثناَع ْب ُد‬ ُ‫ش‬
ٍ َ‫َخ ا‬ َُّ ‫صا ِر‬ ٍِ
ُ ‫َثناَيَ ِزيْ ُدَبْ َُنَ َى‬:‫َم َح ام ُدَبْ ُنَيَ ْحيَىَقَ َاَل‬،
َ‫َأَنْبَأَنَا‬،‫ارْو َن‬ ُ ‫َلد‬ َ ‫َ َو َح ادثَنَاَأَبُ ْوَبَ ْك ِرَبْ ُن‬،‫ي‬ َ ْ‫َسع ْيدَاألَن‬
َ ‫َاَ ان‬،ُ‫َحباا َنَأَ ْخبَ َره‬ ِ ُ‫َع امو‬ ٍ ِ ‫يحيَىَابن‬
َ‫َع ْب َد‬ َ ‫َواس َعَبْ َن‬ َ َ ‫َأَ ان‬،ُ‫َحباا َنَأَ ْخبَ َره‬ َ ‫َم َح ام َدَبْ َنَيَ ْحيَىَبْ ِن‬ ُ ‫َأَ ان‬،‫َسع ْيد‬ َ ُْ ْ َ
ِ ِ ِ ِ ِ َ ‫َإِ َذاَقَ ع ْد‬:‫َي ُقو ُلَأُنَاس‬:‫ال‬ ِ
َ‫ات‬
َ ‫َ َذ‬،‫ت‬ َ ‫تَل ْلغَائطَفَ ََلَتَ ْستَ ْقب ِلَالق ْب لَ َة‬
َُ ‫َولََق ْدَظَ َه ْر‬، َ ٌ ْ َ َ َ‫َق‬،‫َع َم َر‬ ُ ‫اللَبْ َن‬
ِ ‫ستَ ْقبِلَب ْي‬ ِ ِ ‫تَرسو َل‬ ِ ِ ‫ي وٍم‬
َ‫ت‬ َ َ َْ ‫َم‬، ُ ‫اَعلَىَلَبِنَتَ ْي ِن‬َ ‫َاللَﷺ قَاع ًد‬ ْ ُ َ ُ ْ‫َفَ َرأَي‬،‫َعلَىَظَ ْه ِرَبَ ْيتنَا‬، َ ‫ام‬ َِ ‫م َنَاألَيا‬/ َْ
ِ ‫الم ْق ِد‬
َ. ‫س‬ َ
3. Metode Penyelesaian Hadis Mengenai Buang Hajat Menghadap

Kiblat.

Pengertian “Kecuali bila berada di suatu bangunan, terhadang

tembok maupun yang sepertinya” adalah seperti batu besar, pagar, pohon

dan pembatas-pembatas lain. Al-Ismâ„ili berkata, “Dalam hadis ini

disebutkan pada bab ini tidak ada keterangan yang mengindikasikan

pengecualian seperti itu.” Perkataan ini aku jawab dengan tiga jawaban:

Pertama, bahwa pengecualian itu didasarkan pada hakikat lafazh al-Gha`iṯ

(tempat buang air besar) di mana menurut hakikat bahasa, al-Gha`iṯ adalah

suatu tempat datar di muka bumi yang terdapat di lapangan terbuka.

Meskipun setelah itu lafazh al-Gha`iṯ dipakai untuk nama semua yang

7
Abû ´Abdullâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah (Beirut: Dâr al-
Ma´rifah, t.th), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (1), Bab Kencing dengan Posisi Duduk (14), h. 196.
55

dikhususkan sebagai tempat buang air besar dalam arti majaz (kiasan).

Maka, larangan dalam hadis di atas khusus untuk tempat yang terbuka.

Sebab suatu lafazh bila tidak dibatasi dengan sesuatu, maka maknanya

kembali kepada hakikat lafazh tersebut. Jawaban ini dikemukakan oleh al-

Isma‟ili yang merupakan jawaban yang terkuat.

Kedua, menghadap ke arah kiblat dapat terealisasi bila seseorang

berada di lapangan terbuka, sementara bila terhalang tembok atau

bangunan, maka secara adat kebiasaan dinamakan menghadap kepada hal-

hal tersebut. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibn al-Munir. Pendapat ini

menjadi kuat bila dikatakan bahwa tempat-tempat untuk buang air besar

tidak dapat digunakan untuk shalat, sehingga tidak ada istilah kiblat pada

tempat-tempat tersebut. Akan tetapi jawaban ini dikritisi, karena hal itu

mengakibatkan tidak sahnya shalat seseorang yang antara ia dengan

Ka‟bah ada tempat yang tidak sah untuk dipergunakan shalat, dan ini

adalah batil. Ketiga, pengecualian di atas adalah berdasarkan hadis Ibn

„Umar yang disebutkan setelah bab ini, sebab hadis-hadis Nabi SAW.

adalah merupakan satu kesatuan.8

Apabila dikatakan, “Mengapa kamu memberi makna al-Gha`iṯ

sebagaimana arti hakikinya dan tidak mengartikannya dengan arti yang

lebih luas, sehingga dapat mencakup tempat terbuka maupun bangunan

tertutup. Terlebih lagi sahabat yang meriwayatkan hadis ini telah memberi

makna hadis tadi dalam arti yang luas dan umum, dimana beliau

8
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008, Jilid 2, h. 42-43.
56

sebagaimana yang akan disebutkan oleh al-Bukhârî dalam bab Kiblat

penduduk Madinah pada awal mula disyariatkannya shalat berkata, “Kami

mendatangi negeri Syam, lalu kami temui tempat-tempat untuk buang

hajat telah dibangun menghadap kiblat, maka kami pun berpaling

(mengambil arah berlawanan) dari arah bangunan itu seraya memohon

ampun.”

Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mengatakan, “Abû Ayyûb al-

Ansarî (perawi hadis yang dimaksud) telah memberi makna lafazh al-

Gha`iṯ dari segi hakikat dan majaz sekaligus, dan itulah yang seharusnya

dilakukan. Seakan-seakan hadis yang mengkhususkan makna itu hanya

pada tempat terbuka belum sampai kepada beliau. Andaikata tidak ada

hadis Ibn „Umar yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan

larangan menghadap kiblat saat buang air besar tidak berlaku pada tempat

tertutup seperti bangunan, niscaya kami akan berpendapat pula bahwa

larangan itu berlaku umum baik di tempat terbuka maupun tertutup.

Sementara mengamalkan kedua dalil yang ada lebih utama daripada

mengabaikan salah satunya. Disebutkan dalam hadis Jâbir sebagaimana

yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abû Dâwud dan Ibn Khuzaimah dan

lainnya sebuah keterangan yang menguatkan pandangan ini. Adapun

lafazh hadis tersebut versi Ahmad, adalah:

ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ‫َثُ ام‬:‫ال‬
َ َ‫َق‬.‫اء‬ َ َ‫َر ُس ْولََُاللَﷺ يَ ْن َهانَاَأَ ْنَنَ ْستَ ْدَب َرَالق ْب لَ َةَاَ ْوَنَ ْستَ ْقبلَ َهاَب ُف ُرْوجنَاَإِذَاَ َى َرقْن‬
َ ‫اَالم‬ َ ‫َكا َن‬
.‫َم ْستَ ْقبِ َلَال ِق ْب لَ ِة‬ ِِ ‫رأَي تُوَُقَبل‬
ُ ‫َم ْوتوَبِ َع ٍامَيَبُ ْو ُل‬
َ َْ َْ
(Rasulullah SAW. melarang kami membelakangi atau menghadap
kiblat dengan kemaluan-kemaluan kami saat kami menumpahkan air
(kencing). Jabir menambahkan, “Kemudian aku pernah melihat beliau
SAW. setahun sebelum wafat kencing dengan menghadap kiblat.”).
57

Sebenarnya hadis ini bukan sebagai penghapus hukum larangan

menghadap kiblat sebagaimana anggapan sebagian orang, akan tetapi

hadis ini harus dipahami bahwa kejadian tersebut berlangsung di tempat

tertutup (bangunan) mengingat kebiasaan Nabi SAW. yang senantiasa

menutup diri bila melakukan melakukan hal-hal seperti itu.

Pandangan yang mengatakan bahwa perbuatan itu hanyalah khusus

dibolehkan bagi Nabi SAW. tidak dapat dibenarkan, karena perkara yang

khusus bagi Nabi SAW. tidak ditetapkan dengan dalil yang masih

memiliki kemungkinan lain. Sementara hadis Ibn „Umar yang akan

disebutkan kemudian memberi keterangan bolehnya buang hajat sambil

membelakangi kiblat apabila berada di tempat tertutup (bangunan),

sementara hadis Jâbir menunjukkan kebolehan menghadap kiblat.

Andaikata bukan karena hadis Jâbir ini, tentu hadis Abû Ayyûb (tentang

larangan menghadap kiblat saat buang hajat) tidak dikhususkan dengan

hadis Ibn „Umar selain kebolehan untuk membelakanginya saja, dan tidak

boleh dikatakan bahwa kebolehan untuk menghadap kiblat dianalogikan

dengan keterangan yang membolehkan membelakanginya.9

Lalu sebagian ulama ada yang berpedoman dengan hadis ini

sehingga membolehkan untuk membelakangi kiblat saat buang hajat dan

tidak boleh untuk menghadapnya, pendapat ini dinukil dari Abû Hanifah

serta Ahmad. Di samping itu ada pula pendapat yang membedakan antara

tempat terbuka dan tempat tertutup (dalam bangunan tertentu), dimana

9
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008, Jilid 2, h. 43-44.
58

mereka memperbolehkannya di tempat tertutup dan melarangnya di tempat

terbuka, baik menghadap maupun membelakanginya. Jumhur ulama

berkata, “Pendapat terakhir ini adalah pendapat madzhab al-Malik, Syâfi„î

dan Ishaq. Ini merupakan pendapat yang paling netral, karena ia telah

mengamalkan seluruh dalil yang ada. Pendapat ini diperkuat pula dari sisi

logika seperti yang telah disebutkan terdahulu dari Ibn Munir bahwa

menghadap kiblat dalam ruangan (bangunan) menurut kebiasaan dikatakan

menghadap dinding (bukan ke kiblat), dan di samping tempat-tempat

khusus untuk buang hajat adalah tempat syetan, sehingga tidak pantas

dikatakan bahwa tempat itu memiliki kiblat, berbeda dengan tempat yang

terbuka atau tanah lapang.”

Ulama yang lain berpendapat bahwa menghadap dan

membelakangi kiblat adalah haram mutlak. Ini adalah pendapat yang

masyhur dari Abû Hanifah serta Ahmad. Demikian pula pendapat Abû

Tsaur (salah seorang ulama madzhab Syâfi„î). Adapun yang mendukung

pendapat ini dari madzhab Mâlikî adalah Ibn al-„Arabî, sementara dari

madzhab al-Ẕahiriyah adalah Ibn Hazm. Hujjah (alasan) yang mereka

kemukakan adalah sesungguhnya larangan harus didahulukan daripada

pembolehan, sementara mereka menganggap hadis Jâbir yang telah kami

isyaratkan terdahulu sebagai hadis yang tidak shahih.

Di sisi lain ada pula ulama yang membolehkan secara mutlak, dan

ini adalah pandangan „Aisyah, „Urwah, Rabi„ah dan Dâwud. Mereka

beralasan bahwa hadis-hadis dalam masalah ini saling bertentangan, maka

dari itu kita harus kembali kepada hukum asal yaitu ibahah (boleh).
59

Demikianlah empat madzhab yang masyhur di kalangan ulama,

dimana al-Nawawi tidak menukil dalam kitabnya Syarh al-Muhadzdzab

selain keempat pendapat tersebut. Namun dalam persoalan ini masih ada

lagi tiga pendapat lain, yaitu; pertama, boleh menghadap kiblat saat berada

dalam bangunan saja dengan berpegang pada makna lahir (zhahir) hadis

Ibn „Umar. Pendapat ini dikemukakan oleh Abû Yûsuf. Kedua, haram

secara mutlak meskipun sekedar menghadap kiblat yang telah dihapus,

yakni Baitul Maqdis. Pendapat ini dinukil dari Ibrâhim dan Ibn Sîrîn.

Mereka berpedoman dengan hadis Ma„qil al-Asadi. 10

Sedangkan hadis kedua mengenai membuang hajat menghadap

kiblat, dalam riwayat Ibn Khuzaimah dikatakan, “Aku memandangi

Rasulullah SAW. dari ketinggian, sementara beliau berada di tempat

buang hajat.” Dalam riwayat lain oleh Ibn Khuzaimah dikatakan, “Aku

melihat beliau sedang buang hajat dengan ditutupi atau dibatasi batu bata.”

Sementara dalam riwayat al-Hakim dan Tirmidzî melalui silsilah

periwayatan yang shahih disebutkan, “Aku melihat beliau SAW. berada di

tempat tertutup.”

Berdasarkan riwayat-riwayat ini maka gugurlah alasan orang yang

membolehkan menghadap kiblat secara mutlak saat buang hajat, dimana

mereka mengatakan bahwa ada kemungkinan Ibn „Umar melihat beliau

SAW. di tempat terbuka. Demikian pula perkataan mereka bahwa adanya

batu bata seperti disebutkan dalam lafazh hadis tidaklah menunjukkan

bahwa beliau menggunakannya sebagai pembatas, sebab bisa saja batu

10
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008, Jilid 2, h. 45.
60

bata itu digunakannya sebagai tempat untuk berpijak agar berada dalam

posisi sedikit lebih tinggi. Akan tetapi kemungkinan yang mereka katakan

ini terbantah dengan sikap Ibn „Umar sendiri yang tidak membolehkan

seseorang menghadap kiblat saat buang hajat apabila berada di tempat

terbuka kecuali bila ada pembatas, sebagaimana disebutkan oleh Abû

Dâwud dan al-Hakim dengan sanad tidak apa-apa.11

Dalam buku Ta`wil Mukhtalif al-Hadîts karya Ibn Qutaibah

mengenai hadis perintah membuang hajat menghadap kiblat, yaitu:

َ‫َفَأ ََم َرَالنابِ ُّي‬،‫واَالق ْب لَةََبِغَائِ ٍطَأ َْوَبَ ْو ٍَل‬


ِ ُ‫َاللَﷺ أَ انَقَ وماَي ْكرىو َنَأَ ْنَيستَ ْقبِل‬
َْ َُْ َ ًْ
ِ ‫ذُكِرَلِرس َو ِل‬
ُْ َ َ
ِ ‫َفَاستَُ ْقبلَبِ ِو‬،‫ﷺ بِ َخ ََلئِِو‬
.َ‫َالق ْب لَة‬ ََ ْ
“Dikemukakan kepada Rasulullah SAW. bahwa ada suatu kaum
yang tidak suka menghadap kiblat saat membuang air besar dan air kecil,
lalu Nabi Muhammad SAW. memerintahkannya di tempat buang hajatnya
(WC), dengan tetap menghadap kiblat.”
Menurut kami, hadis ini boleh saja dinasakh (dihapus) karena ia

merupakan hadis yang mengandung perintah dan larangan. Mengapa

mereka tidak berpendapat bahwa salah satu hadis sebagai nasikh

(penghapus) dan hadis yang lain sebagai mansukh (yang dihapus)? Karena

kandungan makna dalam keduanya telah hilang dari mereka.

Menurut kami tidak ada nasikh dan mansukh, melainkan masing-

masing dipahami sesuai konteksnya. Tempat yang tidak boleh menghadap

kiblat bagi orang yang buang air besar dan air kecil adalah padang pasir

dan al-Barahah.12 Orang-orang Arab apabila singgah saat bepergian untuk

melaksanakan shalat, maka sebagian dari mereka menghadap kiblat untuk

11
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008, Jilid 2, h. 50.
12
Al-Barahah adalah tempat-tempat yang tidak ada pohon dan tanamannya.
61

melaksanakan shalat dan sebagian yang lain dari mereka menghadap kiblat

untuk buang air besar. Lalu Nabi SAW. memerintahkan mereka agar

jangan menghadap kiblat saat buang air besar atau air kecil dalam rangka

memuliakan kiblat dan mensucikan pelaksanaan shalat.

Suatu kaum berasumsi bahwa hal ini juga dimakruhkan saat di

dalam (WC) rumah dan kakus. Nabi Muhammad SAW. memerintahkan

untuk buang air di tempatnya (WC) dan menghadap kiblat. Di sini

Rasulullah SAW. ingin mengajarkan kepada mereka bahwa beliau SAW.

tidak membenci hal tersebut apabila dilakukan di dalam (WC) rumah-

rumah dan kakus yang digali yang dapat menutupi perbuatan hadats dan

tempat-tempat yang sepi, yaitu tempat-tempat yang di dalamnya tidak

diperkenankan shalat.13

Hadis yang dikutip pertama berisi larangan buang hajat menghadap

kiblat (Ka‟bah) ataupun membelakanginya, sedang hadis yang dikutip

berikutnya menyatakan bahwa Nabi SAW. pernah membuang hajat

dengan menghadap ke Baitulmukadis (Bait al-Maqdis), yang berarti

membelakangi kiblat. Dengan demikian, secara tekstual petunjuk kedua

hadis tersebut tampak bertentangan. Menurut penelitian ulama hadis,

petunjuk kedua hadis di atas tidak bertentangan. Larangan Nabi SAW.

berlaku bagi yang membuang hajat di lapangan terbuka, sedang yang

melakukan buang hajat di tempat tertutup, misalnya di WC, larangan tidak

berlaku. Penyelesaian dalam hal ini ditempuh dengan metode al-Jam„u wa

al-Taufîq. Dengan demikian, secara kontekstual kedua hadis tersebut tidak

13
Ibnu Qutaibah, Ta‟wil Hadits-Hadits yang Dinilai Kontradiktif, Penerjemah: team
Foksa (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 156-157.
62

bertentangan. Larangan dan kebolehan yang dikemukakan oleh masing-

masing hadis bersifat temporal ataupun lokal.14

14
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 2009), h. 75-76.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan mengenai ikhtilâf al-hadîts melalui kasus

hadis mengenai buang hajat menghadap dan membelakangi kiblat yaitu, dalam

membuang hajat memang tidak diperbolehkan menghadap dan membelakangi

kiblat apabila dilakukan secara mutlak di tempat yang terbuka atau yang dapat

dilihat orang banyak, karena arah kiblat untuk orang-orang yang

melaksanakan sholat.

Sedangkan membuang hajat di dalam ruangan atau WC pun bukan

menghadap kiblat akan tetapi menghadap ke dinding, maka hukum melarang

buang hajat menghadap dan membelakangi kiblat tidak berlaku dan

penyelesaian kasus hadis tersebut menggunakan metode al-Jam´u wa al-

Taufîq yaitu melakukan penyelesaian hadis yang bertentangan dengan cara

kompromi dan juga menyelaraskan, apabila buang hajat menghadap ke

dinding itu karena menunjukkan ibahah (kebolehan), artinya hadis tersebut

keduanya dapat diamalkan.

B. Saran

Dari sekian pembahasan materi skripsi tersebut, penulis berharap

skripsi ini bermanfaat untuk kedepannya. Dan keluhan penulis dari materi

skripsi tersebut adalah kurangnya bahan rujukan mengenai membuang hajat

menghadap dan membelakangi kiblat.

63
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Shahih Sunan Nasa’i, Penerjemah: Ahmad Yuswaji, Cet; 2, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007, Jilid 1.

Al-Bukhârî, Muḥammad ibn Ismâ´îl ibn Ibrâhîm, Ṣaḥîḥ al-Bukhârî Kairo: Maṭbaʻah as-Salafiyyah, 1400
H.

------------ Sahîh al-Bukhârî, Beirut: Dâr Ibn Katsîr, t.t

------------ Sahîḥ al-Bukhârî Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2008.

Al-Mundziri, Imam, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun Cet; 2, Jakarta:
Pustaka Amani, 2003.

Al-Naisâbûrî, Al-Imâm al-Hâfiẕ Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî, Sahîh Muslim Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H.

-----------Sahîh Muslim Kairo: Dâr Ibnu al-Haitsam, 1422 H / 2001 M.

---------- Sahîh Muslim Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2008.

Al-Nasâ`î, Abû ´Abd al-Rahmân Ahmad ibn ´Alî Syu´aib ibn ´Alî ibn Sînân, Sunan al-Nasâ`î Beirut: Dâr
Ma´rifah, t.th.

Al-Nuri, Hasan Sulaiman, Ibânah al-Ahkâm: Syarh Bulûgh al-Marâm, Juz I

Al-Syaukani, Al-Imâm, Ringkasan Nailul Authar, Penerjemah: Amir Hamzah Fachrudin, Asep Saefullah
Jakarta: Pustaka Azzam, 2011.

Amîn, Ahmad, Ḏuhâ al-Islâm, Kairo: Maktabah al-Nahḏah al-Misriyyah, t.t., Juz II.

Arifin, Johar,“Pendekatan Ulama Hadis dan Ulama Fiqh dalam Menelaah Kontroversial Hadis,” Jurnal
Ushuluddin UIN SUSKA, Vol. XXII No. 2, Juli 2014.

---------------“Studi Hadis-Hadis Tentang Posisi Kencing Berdiri; Kajian Mukhtalaf Hadis”, UIN
SUSKA RIAU, Vol. XX No. 2, Juli 2013

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis Jakarta: Bina Aksara, 1989.

´Asqalânî, Ibn Hajar, Fath al-Bârî, Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008,
Jilid 2.

Al-Sijistânî, Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats, Tarjamah Sunan Abi Daud, Penerjemah: Ustadz Bey
Arifin (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, t.th.

--------------- Sunan Abû Dâwud Riyaḏ: Maktabah al-Maʼârif Li Natsri at-Tauziʼ, t.t.

--------------- Sunan Abî Dâwud Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.

64
65

Al-Tirmidzi, Muhammad Isa bin Surah, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Penerjemah: Moh. Zuhri Dipl.
TAFL, dkk, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1992.

--------- Al-Imâm al-Hâfiẕ Abî ´Îsâ Muhammad ibn ´Îsâ, al-Jâmi´ al-Kabîr, Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmî,
1996.

-------- Sunan Al-Tirmidzî, Beirut: Dâr al-Fikr, 1994.

Baqi, Muhammad Fu‟ad bin Abdul, Hadits Shahih Bukhari Muslim, Penerjemah: Abu Firly Bassam
Taqiy, Cet; 5, Depok: PT. Fathan Prima Media, 2015.

Bay, Kaizal, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syâfi´î”, Jurnal Ushuluddin UIN
SUSKA Riau, Vol. XVII No. 2, Juli 2011.

Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis, Jakarta: Ushul Press, 2009.

------------ Membahas Kitab Hadis, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010

Danuri, Daelan M., “Al-Sunnah sebagai Bayân Al-Qur`an”, Jurnal Fakultas Syar‟ah, Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Dârimî, Al-Imâm Abû Muhammad ´Abdullâh ibn ´Abd al-Rahmân ibn al-Faḏl, Sunan al-Dârimî Beirut:
Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1971.

Faruq, Umar, “Kritik Atas Kontroversi Hadis Tentang Aurat Laki-Laki”, Institut Agama Islam Negeri
Sunan Ampel Surabaya, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni, 2013.

Firdausi, Muhammad Anwar, “Membincang Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih”, Jurnal Fakultas
Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Vol. 16 No. 1, 2015.

Hammad, Nafiz Husain, Mukhtalif al-Hadîts Baina al-Fuqahâ` wa al-Muhadditsîn Mesir: Dârul Wafa

Hanbal, Ahmad ibn Muhammad ibn , Musnad Ahmad ibn Hanbal Kairo; Dar al-Hadits, 1416 H / 1996 M.

Herdi, Asep, Memahami Ilmu Hadis Bandung: Tafakur, 2014.

Idri, Studi Hadis Cet 3; Jakarta: Prenada Media Group, 2016.

Ismail, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2016.

------------------- Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2009.

Juned, Daniel, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis Jakarta: Erlangga, 2010.

Khatib, Muhammad ´Ajjâj, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits Jakarta: Gaya Media Pratama,
2013.

Khon, Abdul Majid, Takhrîj & Metode Memahami Hadis, Jakarta: Amzah, 2014.

Kuncoro, Joko, “Prasangka dan Diskriminasi”, Fakultas Psikologi UNISSULA Semarang.


66

Ṯahhân, Mahmud, Taisîr Musṯalah al-Hadîts Jakarta: Dâr al-Hikmah, t.th.

-------------- Usul al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânid Riyaḏ: Maktabah al-Ma´ârif, 1991.

------------- Ilmu Hadits Praktis Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1436 H/2014 M.

Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ibnu, Tarjamah Sunan Ibnu Majah, Penerjemah: Abdullah
Shonhaji Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992.

Misriy, Jamâl al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manẕur al-Afriqîy al-Misriy Lisân al-´Arab Beirut:
Dâr al-Sâdir, t.t., Jilid 2.

Mustaqim, Abdul, Ilmu Ma´ani al-Hadits, Yogyakarta: Idea Press, 2008.

Musyafiq, M. Nur Ahmad, terj. Ushul al-Hadīts Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.

Nawâwî, Abû Zakariyâ Yahyâ Al-Nawâwî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawâwî, Kairo: Dâr al-Hadîts,
2001.

Noorhidayati, Salamah, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016.

Nuruddin „ltr, ʼUlūmul Hadîts, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014.

Qazwînî, Abî ´Abdillâh Muhammad ibn Yazîd, Sunan Ibn Mâjah, Riyaḏ: Maktabah Al-Ma´ârif Li an-
Natsri wa al-Tauziʼt.th.

Qutaibah, Ibnu, Ta`wîl Hadîts-Hadîts yang Dinilai Kontradiktif, Penerjemah: Team Foksa Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008.

Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadîts, Pengantar: Dr. H. Said Agil Husain al-Munawwar, M.A, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1996.

Sâlih, Subhi, ´Ulûm al-Hadîts wa Musṯalahuhu Beirut: Dâr al-ʼIlmilil Malâyîn, 1959.

Shihab, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Tangerang: Lentera Hati, 2013.

Subagyo, Joko, Metodologi Penelitian Dalam Teori dan Praktek Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.

Suyûṯî, al-Jâmi’ al-Sagîr, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.

Wensicjk, al-Mu´jam al-Mufahras li Alfâdz An-Nabawi Belanda: Breil, 1962.

Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah Historis & Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011.

Anda mungkin juga menyukai