Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
1. Padanan Aksara
i
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
ﹷ A Fathah
ﹻ I Kasrah
ﹹ U ḏammah
berikut:
ﹷو au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
ii
4. Kata Sandang
huruf, yaitu اؿ, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
5. Syaddah (Tasydîd)
dengan sebuah tanda ( )ﹽdalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi,
hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
kata َّرْوَرة
ُ الضtidak ditulis aḏ-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah, demikian
seterusnya.
6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na´t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
iii
No. Kata Arab Alih Aksara
1 طَ ِريْػ َقة Ṯarîqah
2 الج ِاملَة ا ِإل ْس َل ِميَّة
َ
Al-Jâmilah al-Islâmiyyah
3 الو ُج ْود
ُ َو ْح َدة
Wahdat al-Wujûd
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk
menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama
diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf
awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak
iv
8. Cara Penulisan Data
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas
ketentuan di atas:
ُُستَاذ
ْ ب األ
َ َذ َه dzahaba al-ustâdzu
َج ُر
ْ ت األ
َ َثَػب tsabata al-ajru
ص ِريَّة
ْ الع
َ الح ْرَكة
َ al-harakah al-‘asriyyah
الصالِح
َّ َم ْوََلنَا َملِك Maulânâ Malik al-Salih
الع ْقلِيَّة ِ
َ المظَاهر
َ al-maẕâhir al-‘aqliyyah
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-
Rahmân.
v
ABSTRAK
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur ke hadirat Allah SWT. yang mana Dia-lah yang
memberikan nikmat sehat, nikmat iman, dan nikmat Islam, sehingga skripsi ini
dapat dikerjakan dengan baik hingga selesai, karena tanpa pertolongan-Nya
penulis tidak akan bisa menempuh pendidikan hingga meraih gelar Sarjana.
Shalawat serta salam tidak lupa penulis junjungkan kepada Rasulullah SAW.
beserta keluarga, para sahabat, dan para pengikut beliau hingga akhir zaman.
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof.
Dr. Masri Mansoer, M.Ag. beserta jajarannya.
3. Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Ibu Dr. Lilik Ummi
Kaltsum, M.Ag, beserta Sekretaris Program Studi Ibu Dra. Banun
Binaningrum, M.Pd.
4. Dosen Pembimbing Bapak Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag, yang telah
memberikan begitu banyak bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semoga ilmu yang diberikan dapat bermanfaat dan dapat pula penulis
amalkan serta kelak mendapat balasan yang terbaik di sisi Allah SWT.
6. Kedua orang tua tercinta, mamah dan papah (Bapak Adjie Maspul Padmo
dan Ibu Neny Nuraeni Natawiriya), terima kasih banyak atas segala
pengorbanan baik moril maupun materil, motivasi, dan do’a yang tidak
vii
pernah putus, cinta dan kasih sayang yang selalu memberikan semangat,
serta do’a dan restunya kepada penulis.
7. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir angkatan 2013, khususnya kepada sahabat TH-Family Dini Asrianti,
Puput Fauziyah, Fildzah Nida, Tuti Atianti, Rusnul Nur’ahlina Hanifi,
Yeni Yulianti, Nia Yuniarti, Lukmanul Hakim, Rozali Hidayatullah, dan
lain-lain.
8. Seluruh teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) 2016, khususnya Iqbal
Syafei selaku ketua KKN SMART, Prameswari Putri Pramono, Nur
Jannah, Lusiani, dan lain-lain.
viii
DAFTAR ISI
ix
BAB III : SOLUSI METODE PENYELESAIAN DALAM
IKHTILÂF AL-HADÎTS ........................................................................ 51
A. Hadis Mengenai Buang Hajat Menghadap dan Membelakangi Kiblat ......... 51
1. Hakikat Melakukan Buang Hajat Menghadap dan Membelakangi
Kiblat........................................................................................................ 51
2. Takhrij Hadis ........................................................................................... 52
3. Metode Penyelesaian Hadis Mengenai Buang Hajat Menghadap dan
Membelakangi Kiblat............................................................................... 54
A. Kesimpulan .................................................................................................... 63
B. Saran .............................................................................................................. 63
x
BAB I
PENDAHULUAN
kaitan sangat erat, yang untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa
Karena itu, hadis Nabi SAW. pun juga adalah wahyu, dan
Rasul Allah SWT. Hal ini dijelaskan dalam Firman Allah SWT. :
ِ َوَمآ ات ُكم ال ار ُس ْو ُل فَ ُخ ُذ ْوهُ َوَما نَه ُك ْم َع ْنوُ فَانْتَ ُه ْواۚ َواتا ُقوا اللَۚاِ ان اللَ َش ِديْ ُد ال ِْع َق
﴾۷﴿ۚاب ُ
۷: ]٥٥[ (سورة الحشر
1
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 19.
1
2
hadis Nabi SAW., dalam hal ini yang berkategori ahad, diperlukan
Merujuk pada Firman Allah SWT. tersebut, maka tidak ada alasan
bagi orang Islam untuk menafsirkan dan menolak hadis Nabi SAW. karena
ajaran agama Islam sebenarnya hal itu tidaklah dari sebuah pelecehan dan
2
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016),
h. 3-4.
3
kekuatan hafalannya. Pada fase tabi„in wilayah Islam sudah demikian luas,
kawasan Irak, Mesir, Persia, dan kawasan Samarkan. Perluasan daerah itu
pembukuan hadis.
maka beliau memerintahkan Abû Bakar ibn Hazm dan Ibn Syihâb al-
Zuhri3 serta ulama yang lainnya untuk mengumpulkan hadis, baik yang
Bakar Muhammad ibn „Amr ibn Hazm untuk membukukan hadis, yang
terutama pada abad kedua hijriah, dan mencapai puncaknya pada abad
jumlah kitab hadis yang telah disusun oleh ulama periwayat hadis cukup
3
Nama lengkap Ibn Syihâb al-Zuhri adalah Muhammad ibn Muslim ibn ´Abdillah ibn
´Abdullah ibn Syihâb al-Quraisyi al-Zuhri. Ia ulama besar kalangan tabi´in senior yang mula-mula
mengodifikasikan hadis dari hafalan ulama dan hafiz besar dari penduduk Madinah yang terkenal
di seluruh Hijaz dan Syam. Ia lahir pada tahun 51 Hijriah dan tinggal di Aylah, desa antara Hijaz
dan Syam. Ia sangat alim sehingga menjadi referensi bagi ulama sekitarnya. Lihat Abdul Majid
Khon, Takhrîj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h. 227.
4
Bustamin dan Hasanuddin, Membahas Kitab Hadis, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 5 dan 6.
4
para penghimpun hadis itu ada yang menghasilkan karya himpunan hadis
sekarang, ada yang cukup sulit ditemukan, da nada yang telah hilang.
(wafat 256 H/870 M); Sahîh Muslim susunan Muslim (wafat 261 H/875
M); Sunan Abû Dâwud susunan Abu Daud (wafat 275 H/892 M); Sunan
susunan al-Nasa`i (wafat 303 H/915 M); Sunan Ibn Mâjah susunan Ibn
Majah (wafat 273 H/887 M); Sunan al-Dârimî susunan al-Darimi (wafat
255 H/868 M); Musnad Ahmad ibn Hanbal susunan Ahmad ibn Hanbal
(wafat 241 H/855 M); Muwaṯṯa` Malik susunan Malik ibn Anas (wafat 179
H/795 M); Sahîh Ibn Khuzaimah susunan Ibn Khuzaimah (wafat 311
H/834 M); dan Musnad Abû „Awânah susunan Abû „Awânah (wafat 316
H/928 M).5
5
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016),
h. 18.
5
tidak seragam. Hal itu memang logis sebab yang lebih ditekankan dalam
penghimpunan hadisnya.
hadis yang tidak memenuhi kriteria sebagai hujah. Apalagi, kualitas para
periwayat yang termuat dalam berbagai sanad bagi hadis yang dihimpun
6
sanad dan matn-nya. Dalam hubungan ini, jumlah istilah yang diciptakan
disebut hadis itu benar-benar berasal dari Nabi SAW. Apalagi kita
mengetahui hadis palsu itu memang ada. Benar bahwa tadinya, hadis itu
yang dapat diterima (maqbul) sebagai dalil agama karena “diduga keras”
berasal dari Nabi SAW., dan mana pula yang ditolak (mardud).
hadis itu ada dua. Yang maqbul disebut shahih dan yang mardud disebut
dha„if. Tetapi sebenarnya ada hadis yang kalau disebut dha„if rasanya
tidak pas, kalau disebut shahih rasanya juga kurang tepat. Maka oleh al-
6
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016),
h. 18 dan 19.
7
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016),
h. 32.
7
Semua hadis yang sampai kepada kita, dilihat dari segi kualitasnya
yang telah dapat dinyatakan sebagai standar (baku) yang berlaku sampai
saat ini ada tiga macam, yakni sahîh, hasan, dan ḏa„îf. Dengan demikian,
hasil penelitian hadis ahad dilihat dari keadaan sanad dan matn-nya akan
orang-orang yang adil dan dhabit, serta tidak syadz dan tidak cacat.
2. Hadis Hasan. Sebenarnya hadis hasan itu sama dengan hadis shahih.
telah dibukukan oleh para ulama ada yang tampak bertentangan secara
para periwayat yang tsiqat untuk satu hadis. Namun demikian, al-riwâyah
8
Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syâfi´î”, Jurnal
Ushuluddin UIN SUSKA (Riau Vol. XVII No. 2, Juli 2011), h. 184.
9
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016),
h. 33.
10
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis & Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2011), h. 87-94.
11
Johar Arifin, “Pendekatan Ulama Hadis dan Ulama Fiqh dalam Menelaah
Kontroversial Hadis”, UIN SUSKA XXII, No. 2 (Juli 2014), h. 145-146.
8
seluruh sabda dan perbuatan Nabi SAW. untuk diriwayatkan secara lafal.
berimplikasi pada perbedaan redaksi. Perbedaan redaksi hadis ini ada yang
tidak mempengaruhi makna atau maksud hadis, namun ada juga yang
menghadap kiblat dan dalam kondisi lain beliau SAW. buang hajat
pendekatan yang digunakan oleh ulama hadis dan ulama fiqh dalam
berdiri dan di lain sisi ditemukan pula hadis yang melarang. Kontroversi
Rasulullah SAW. (1), Bab Larangan Untuk Menghadap Kiblat Waktu Berak atau Kencing (6), h.
11-12.
15
Abû „Abdullâh Muhammad ibn Ismâ„îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Wuḏu` (4), Bab Orang yang Buang Hajat Besar di Atas Dua Batu (12), h. 49.
16
Muhammad Fu„ad bin Abdul Baqi, Hadits Shahih Bukhari Muslim, Penerjemah: Abu
Firly Bassam Taqiy (Cet. V, Depok: Fathan Prima Media, 2015), Kitab Bersuci (2), Bab Adab
Buang Air (9), h. 77.
17
Johar Arifin, “Pendekatan Ulama Hadis dan Ulama Fiqh dalam Menelaah
Kontroversial Hadis”, UIN SUSKA XXII, No. 2 (Juli 2014): h. 148.
10
ِّد
ُ شد َ ُ َكا َن أَبُو ُم ْوسى ي:ال َ َ َعن أَبِ ْي َوائِ ٍل ق،ص ْوٍر ُ َعن َم ْن، أَ ْخبَ َرنَا َج ِريْ ٌر:َح ادثَنَا يَ ْحيَى بْ ُن يَ ْحيَى
َ َح ِد ِى ْم بَ ْو ٌل قَ َر
ُضو ِ إِ ان بنِي إِ ْسرائِْيل َكا َن إِذَا أَص: وي ب و ُل فِي قَارورٍة وي ُقو ُل.فِي الب و ِل
َ اب ج ْل َد أ َ َ َ َ َْ ْ َ َ َ ُْ ْ َُ َ ْ َ
فَ لَ َق ْد َرأَيْتُنِ ْي أَنَا َو،ِّد ى َذا التا ْش ِديْ َد ِ ت أَ ان ص ُ لََو ِد ْد:َال ُح َذيْ َفة ِ ْالم َقا ِري ِ
ُ شد َ ُاحبَ ُك ْم ََّل ي َ َ فَ َق.ض َ ب
،الَ َ فَب،َح ُد ُك ْم ٍ ِ َ فَأَتى سباطَ ًة َخل، نَتماشى، الل ﷺ ِ رسو ُل
َ ام َك َما يَ ُق ْو ُم أ
َ فَ َق.ْف َحائط َُ ََ ُْ َ
19
.) (رواه مسلم.غ َ ت ِع ْن َد َع ِقبِ ِو َحتّى فَ َرُ فَ ُق ْم،تُ فَأَ َش َار إِلَ اي فَ ِج ْئ،ُت ِم ْنوُ فَانْتَبَ ْذ
Telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Yahya telah
mengabarkan kepada kami Jarîr, dari Mansûr, diriwayatkan dari Abî Wâ`il
ia berkata: Abû Mûsâ sangat berhati-hati dalam urusan kencing. Ia
kencing di dalam botol dan berkata, “Sesungguhnya bani Israil apabila
kulit salah seorang dari mereka terkena kencing, maka digosok dengan alat
penggosok.” Hudzaifah mengatakan, “Saya merasa senang kalau teman
kalian tidak menyulitkan seperti ini. Saya pernah bersama Rasulullah
SAW. berjalan-jalan kemudian beliau SAW. mendekati tempat sampah
suatu kaum di balik pagar. Lalu beliau SAW. berdiri sebagaimana yang
dilakukan oleh salah seorang dari kamu, kemudian beliau SAW. kencing,
maka saya menjauh dari beliau SAW., namun beliau SAW. memberi
isyarat kepada saya, kemudian saya mendekat dan berdiri di sisi beliau
SAW. sehingga beliau selesai”. (HR. Muslim).20
(م ْن ْ َ َع ْن َعائِ َشةَ قَال، َع ْن أَبِْي ِو،الم ْق َد ِام بْ ِن ُش َريْ ٍح
َ :ت
ِ ك َع ِن ٌ ْ أَ ْخبَ َرنَا َش ِري،أَ ْخبَ َرنَا َعلِ ُّي بْ ُن ُح ْج ٍر
ِ ِ ِ َ الل ﷺ ب ِ ح ادثَ ُكم أَ ان رسو َل
(رواه.)سا ً َما َكا َن يَبُ ْو ُل إ اَّل َجال،ُصدِّقُ ْوه َ ُال قَائ ًما فَ ََل ت َ ُْ َ ْ َ
21
.)النّسائي
Telah mengabarkan kepada kami „Alî ibn Hujr, telah mengabarkan
kepada kami Syarîk, dari al-Miqdâm ibn Syuraih, dari bapaknya, dari
„Aisyah, dia berkata, “Barangsiapa yang mengabarkan kepadamu bahwa
Rasulullah SAW. buang air kecil sambil berdiri, maka kamu jangan
18
Johar Arifin, “Studi Hadis-Hadis Tentang Posisi Kencing Berdiri; Kajian Mukhtalaf
Hadis”, UIN SUSKA RIAU, Vol. XX No. 2, Juli 2013, h. 152.
19
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (2), Bab Membasuh Khuff (22),
h. 138.
20
Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun (Cet. II,
Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Kitab Wudu (2), Bab Mengusap Khuff (29), h. 91.
21
Abû „Abd al-Rahmân Ahmad ibn „Alî Syu´aib ibn „Alî ibn Sînân al-Nasâ`î, Sunan al-
Nasâ`î (Beirut: Dâr al-Ma´rifah, t.th), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (1), Bab Buang Air Kecil di Dalam
Rumah Sambil Duduk (25), h. 31.
11
،ص ْوٍر
ُ َع ْن َم ْن، َح ادثَنَا ُس ْفيَا ُن:ال ٍّ َح ادثَنَا َع ْب ُد ال ارحم ِن بْ ِن َم ْه ِد:ال
َ َ ق،ي َ َ ق،شا ٍرَح ادثَنَا ُم َح ام ُد بْ ُن بَ ا
( َم ْن:الل ﷺ ِ ال رسو ُل
ْ ُ َ َ َ ق:الَ َ ق، َع ْن أَبِْي ِو، َالم ِغ ْي َرِة بْ ِن ُش ْعبَة ٍِ
ُ َع ْن َع اقا ِر بْ ِن،َع ْن ُم َجاىد
.) (رواه الترمذي.)اوُّك ِل ِ ا ْكت وى أَ ِو است رقَى فَ َق ْد ب ِر
َ ئ م َن الت َ َ ْ َْ ََ
23
ِّ الزْى ِر
َع ْن،ي َ َ ق، َح ادثَنَا يَ ِزيْ ُد بْ ُن ُزَريْ ٍع:ال
ُّ َع ِن، أَ ْخبَ َرنَا َم ْع َم ٌر:ال َ َ ق،َح ادثَنَا ُح َم ْي ُد بْ ُن َم ْس َع َد َة
25
.) (رواه الترمذي.ش ْوَك ِة َك َوى اَ ْس َع َد بْ ُن ُزَر َارَة ِم َن ال ا، أَ ان النابِ اي ﷺ،س ٍ َأَن
Humaid ibn Ma„sadah menceritakan kepada kami, Yazîd ibn
Zurai„ menceritakan kepada kami, Ma„mar memberitahukan kepada kami,
dari al-Zuhri, dari Anas, “Bahwasanya Nabi SAW. membakar kulit As„ad
ibn Zurârah dengan besi panas karena terkena duri”. (HR. al-Tirmidzî).26
Berikutnya hadis kontradiksi mengenai aurat laki-laki di bagian
22
Muhammad Nashruddin Al-Albani, Shahih Sunan Nasa‟I, Penerjemah: Ahmad
Yuswaji (Cet. 2, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Jilid 1, Kitab Thaharah (1), Bab Buang Air Kecil
di Dalam Rumah Sambil Duduk (25), h. 16.
23
Abî „Îsâ Muhammad ibn „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi„ al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Garb al-
Islâmî, 1996), Jilid 3, Kitab Ṯibb (26), Bab Larangan Meruqyah (14), h. 573-574.
24
Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Penerjemah:
Moh. Zuhri Dipl. TAFL, dkk (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 3, Kitab Pengobatan dari
Rasulullah SAW. (27), Bab Dibencinya Jampi (Mantera) (14), h. 557 .
25
Abî „Îsâ Muhammad ibn „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi„ al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Garb al-
Islâmî, 1996), Jilid 3, Kitab Ṯibb (26), Bab Keringanan Berobat dengan Cara Membakar Kulit
dengan Besi Panas (11), h. 570.
26
Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Penerjemah:
Moh. Zuhri Dipl. TAFL, dkk (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 3, Kitab Pengobatan dari
Rasulullah SAW. (27), Bab Diperbolehkan Membakar Kulit dengan Besi Panas (11), h. 553
12
27
Abî „Îsâ Muhammad ibn „Îsā al-Tirmidzî, al-Jâmi„ al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Garb al-
Islâmî, 1996), Jilid 4, Kitab Adab (41), Bab Paha itu Aurat (40), h. 493.
28
Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Penerjemah:
Moh. Zuhri Dipl. TAFL, dkk (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 4, Kitab Minta Ijin dan
Sopan Santun dari Rasulullah SAW. (40), Bab Menerangkan Paha Termasuk Aurat (73), h. 401.
Lihat juga Umar Faruq, “Kritik Atas Kontroversi Hadis Tentang Aurat Laki-Laki”, Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadis Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Vol. III No. 1,
Januari-Juni 2013.
13
29
Abî „Abdillâh Muhammad ibn Ismâ„îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Shalat (8), Bab Mengenai Apa yang Disebutkan Perihal Paha (12), h. 104.
30
Abû „Abdullah Muhammad ibn Ismâ„îl al-Bukhârî, Tarjamah Shahih Bukhari,
Penerjemah: Achmad Sunarto, dkk (Semarang: CV Asy-Syifa‟, 1991), Kitab Shalat (7), Bab
Mengenai Apa yang Disebutkan Perihal Paha (12), h. 256-257. Lihat juga Umar Faruq, “Kritik
Atas Kontroversi Hadis Tentang Aurat Laki-Laki”, Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis Institut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Vol. III No. 1, Januari-Juni 2013.
14
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
a. Dari latar belakang terdapat pertentangan antara hadis dengan hadis, dan
b. Dari hadis mukhtalif terdapat kasus hadis mengenai buang air kecil dengan
laki-laki yang terletak di paha, dan mengenai buang hajat menghadap dan
2. Pembatasan Masalah
3. Perumusan Masalah
Kiblat?
D. Tinjauan Pustaka
tersebut.
Jurnal yang ditulis oleh Johar Arifin dengan judul “Studi Hadis-
Vol. XX No. 2, Juli 2013. Jurnal tersebut menjelaskan tentang kisah Nabi
namun dibantah oleh yang mengatakan bahwa Nabi SAW. tidak pernah
faktor penyakit tulang, sehingga lebih baik dengan posisi berdiri dan
Jurnal Ushuluddin UIN SUSKA Riau Vol. XXII No. 2, Juli 2014. Jurnal
Hal tersebut dapat dibagi kepada tiga, yaitu Sahîh, Hasan, dan Ḏa„îf.
Ushuluddin UIN SUSKA Riau Vol. XVII No. 2, Juli 2011. Jurnal tersebut
maqbûl, yakni yang wajib diamalkan dan dapat menjadi hujjah, sedangkan
yang disebut terakhir (Ḏa„îf) adalah mardûd, dalam arti tidak boleh
Jurnal yang ditulis oleh Umar Faruq dengan judul “Kritik Atas
Hadis Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Vol. III No. 1,
sebagai aurat, hadis kedua dinyatakan bahwa paha bukan aurat, artinya
17
paha hanya bagian dari aurat karena aurat yang sebenarnya yaitu qubul
dan dubur.
E. Metodologi Penelitian
1. Metodologi Penelitian
a. Sumber Data
jalan yang ditempuh dalam mencari, menggali, mengolah, dan membahas data
terdapat kitab, Sahîh al-Bukhârî, Sahîh Muslim, Sunan Abû Dâwud, Sunan al-
Tirmidzî, Sunan al-Nasâ`î, Sunan Ibn Mâjah, Sunan al-Dârimî, dan Musnad
menguatkan data primer dalam kajian tersebut, penulis merujuk pada kitab-
kitab Syarah al-Hadîts di antaranya yaitu : Fath al-Bârî karya Ibn Hajar al-
melihat hadis-hadis dari ketiga materi tersebut. Adapun metode takhrîj hadîts
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode takhrij menurut lafadz-
31
Joko Subagyo, Metodologi Penelitian Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1994), h. 2.
32
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Bina
Aksara, 1989), h. 10.
18
lafadz yang terdapat dalam hadis. Metode takhrij hadis menurut lafadz yang
terdapat dalam hadis yaitu suatu metode yang berlandaskan pada kata-kata
yang terdapat dalam matan hadis, baik berupa kata benda ataupun kata kerja.
diperoleh. Kamus yang diperlukan dalam metode takhrij ini salah satunya
yang paling mudah adalah kamus Mu„jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Hadîts al-
jilid.33
bertentangan:
2. Teknik Penulisan
ilmiah yang berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang terdapat
33
Mahmud Ṯahhân, Usul al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânid, (Riyaḏ: Maktabah al-Ma´ârif,
1991), h. 35.
19
(Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No. 507 tahun
2017.
F. Sistematika Penulisan
yang akan menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi, sehingga dapat
dalam sub bab yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, batasan
(yang terdiri dari empat bagian yaitu, teknik pengumpulan data, metode
hadis, hakikat Ikhtilâf al-Hadîts yang terdiri dari definisi, urgensi, faktor-
hadis-hadis mukhtalif.
yang dapat diterapkan dalam memahami hadis yang kontradiktif pada kasus
tersebut.
saran.
BAB II
A. Kedudukan Hadis
demikian, karena dalam sejarah umat Islam (dari dahulu sampai sekarang)
salah satu sumber ajaran Islam merupakan suatu keniscayaan dilihat dari
maka Al-Qur`an hanya berbicara dalam hal tertentu yang dijelaskan secara
1
Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 194.
2
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 19.
3
Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 194.
4
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 19.
21
22
Masalah umat dan tantangan yang dihadapi Nabi SAW. yang tidak
﴾٧ : ]٩٥[ ﴿الحشر... َوَمآات ُك ُم ا َّلر ُس ْو ُل فَ ُخ ُذ ْوهُ َوَما نَه ُكم َع ْنوُ فَانْ تَ ُه ْوا...
“… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah …”(QS. Al-Hasyr [59]:
7).
ُّ الر ُس ْو َلۚ فَِا ْن تَ َولَّ ْوا فَِا َّن اهللَ ََل يُ ِح
﴾۳۳ :]۳[ ب الك ِف ِريْ َن ﴿ ال عمران َّ قُ ْل اَ ِط ْي عُوا اهللَ َو
Katakanlah (Muhammad) :“Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
kafir.”(QS. Âli ´Imrân [3]: 32).
Ayat di atas mengajarkan kepada kita bahwa orang yang tidak
(melalui Sunnah Rasulullah SAW.) termasuk orang ingkar. Selain itu ayat
di atas juga menunjukkan bahwa sumber ajaran Islam ada dua yaitu Al-
uswah, berarti menjadikan beliau sebagai idola dan suri tauladan dalam
ini juga dapat dilihat melalui hadis-hadis Rasul SAW. sendiri. Banyak
5
Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 195-196.
23
satu dasar hukum dalam beramal. Penerimaan mereka terhadap hadis sama
B. Fungsi Hadis
hidup dan sumber ajaran Islam, antara satu dengan yang lainnya jelas tidak
6
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 22.
7
Al-Suyûṯî, al-Jâmi„ al-Sagîr (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 130.
8
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud (Riyadh: Maktabah
al-Ma´ârif Lil Nasyri wa Tauzî, t.t), h. 832.
9
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 23.
24
ajaran yang bersifat umum dan global, yang perlu dijelaskan lebih lanjut
macam. Mâlik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayân al-
taqrîr10, bayân al-tafsîr11, bayân al-tafsîl12, bayân al-basṯ13, dan bayân al-
10
Bayân al-Taqrîr disebut juga dengan Bayân al-Ta„kid dan Bayân al-Isbat. Maksudnya
ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-Qur`an. Lihat di Asep
Herdi, Memahami Ilmu Hadis (Cet. I; Bandung: Tafakur, 2014), h. 10.
11
Bayân al-Tafsîr adalah memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an
yang masih mujmal (samar-samar), memberikan persyaratan ayat-ayat Al-Qur`an yang masih
mutlak, dan memberikan penentuan khusus ayat-ayat Al-Qur`an yang masih umum. Lihat di Asep
Herdi, Memahami Ilmu Hadis (Cet. I; Bandung: Tafakur, 2014), h. 10.
12
Bayân al-Tafsîl berarti penjelasan dengan merinci kandungan ayat-ayat mujmal, yakni
ayat-ayat yang bersifat ringkas atau singkat, sehingga maknanya kurang atau bahkan tidak jelas
kecuali ada penjelasan ataupun perincian. Lihat di Idri, Studi Hadis (Cet 3; Jakarta: Prenada Media
Group, 2016), h. 26-27.
13
Bayân al-Basṯ yaitu bayân yang berfungsi memanjang lebarkan sesuatu yang
didatangkan oleh Al-Qur`an secara ringkas. Lihat di Daelan M. Danuri “Al-Sunnah sebagai Bayân
Al-Qur`an”, Jurnal Fakultas Syari‟ah, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta,
h. 3.
14
Bayân al-Tasyrî´ mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati
dalam Al-Qur`an. Lihat di Asep Herdi, Memahami Ilmu Hadis (Cet. I; Bandung: Tafakur, 2014),
h. 10.
15
Bayân al-Takhsîs adalah penjelasan Nabi SAW. dengan cara membatasi atau
mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur`an yang bersifat umum, sehingga tidak berlaku pada bagian-
bagian tertentu yang mendapat perkecualian. Lihat di Idri, Studi Hadis (Cet 3; Jakarta: Prenada
Media Group, 2016), h. 28.
16
Bayân al-Ta´yîn adalah bayân yang berfungsi menentukan mana yang dimaksud dari
dua atau tiga makna yang dipunyai oleh suatu lafal yang ada dalam Al-Qur`an. Lihat di Daelan M.
Danuri “Al-Sunnah sebagai Bayân Al-Qur`an”, Jurnal Fakultas Syari‟ah, Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, h. 3.
25
yang dihadapi Nabi SAW. yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-
berkewajiban mengikutinya.
) (مختلفadalah bentuk ism fâ„il dari kata اختالف. Menurut Ibn Manzûr,
17
Bayân al-Nasakh ialah adanya dalil syara´ (yang dapat menghapuskan ketentuan yang
telah ada), karena datangnya dalil berikutnya. Lihat di Asep Herdi, Memahami Ilmu Hadis (Cet. I;
Bandung: Tafakur, 2014), h. 11.
26
adalah dua hadis maqbul yang saling bertentangan pada makna zahirnya
dan maksud yang dituju oleh suatu dengan lainnya, dapat dikompromikan
dengan cara yang wajar (tidak dicari-cari). Definisi yang dikemukakan al-
sebagai sebuah ilmu. Ikhtilâf bermakna, “Dua hadis yang secara lahir
satunya”. Dua hadis yang bertentangan ini dari sisi sanadnya sama-sama
18
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 13. Lihat juga di Jamâl al-Dîn Muhammad Ibn
Mukarram Ibn Manẕur al-Afriqîy al-Misriy, Lisân al-´Arab (Beirut: Dâr al-Sâdir, t.t.), Jilid 2, h.
737.
19
Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syâfi´î”, UIN
SUSKA Riau, XVII No. 2, Juli 2011, h. 184.
27
dua hadîts maqbûl yang secara lahir maknanya bertentangan dan dapat
kita, namun satu sama lain saling bertentangan maknanya. Dengan kata
Hadîts, yaitu:
20
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 111-112.
21
Mahmud Thahhan, Ilmu Hadits Praktis (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1436 H/2014
M), h. 64. Lihat juga di buku asli Mahmud Ṯahhân, Taisîr Musṯalah al-Hadîts (Jakarta: Dār al-
Hikmah, t.th), h. 56.
22
Muhammad „Ajjâj Al-Khaṯib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2013), h. 254.
23
Subhi al-Sâlih, ´Ulûm al-Hadîts wa Musṯalahuhu (Beirut: Dâr al-´Ilmi lil Malâyîn,
1959), h. 111.
24
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 22.
28
Sementara itu, ulama memberikan nama lain bagi ilmu mukhtalif al-hadîts,
yaitu ilmu talfîq al-hadîts, ilmu musykil al-hadîts, dan ilmu ikhtilâf al-
hadîts.25
Dalam hal ini, Ibn Hajar lebih jelas menegaskan, “Hadis maqbûl,
jika tidak ada hadis maqbûl lain yang bertentangan dengannya disebut al-
Muhkam”. Tetapi, jika ada hadis setara (maqbûl) lain yang bertentangan
dipandang hadis mukhtalif. Jika tidak dapat dikompromikan dan ada data
sejarah yang memastikan bahwa kedua hadis itu tidak datang secara
yang lainnya dipandang mansûkh. Jika langkah ini tidak dapat dilakukan
(karena tidak ada data sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan) maka
jalan yang ditempuh selanjutnya adalah tarjîh. Namun bila hal ini tidak
(akhirnya) di-tawaqquf-kan.26
25
Abdul Majid Khon, Takhrîj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h.
195-196.
26
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 112-113.
29
dalam beberapa hal: antara hadis dengan hadis, hadis dengan Al-
Qur`an, hadis dengan dalil lain seperti ijma, qiyas, sains, akal/logika.
pertentangan, adakalanya dari segi zhahir saja, ada juga yang hakiki
27
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kنajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 23.
30
yang serius terhadap ilmu Mukhtalif al-Hadîts sejak masa sahabat. Mereka
memahaminya.
a. Ilmu ini termasuk bagian dari beberapa kajian keislaman (Islamic Studies),
dalil yang saling bertentangan, dan untuk memilih dan menetapkan mana
c. Dengan ilmu ini, para mujtahid dimungkinkan untuk melakukan tarjîh dan
mengambil salah satu dalil yang lebih kuat (arjah) berdasarkan hasil
28
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kنajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 24.
31
termasuk salah satu tema yang sangat penting yang menjadi fokus
pembahasannya.
satu cabang ilmu hadis yang perlu diketahui oleh semua umat Islam
kewibawaan hadis sebagai sumber hukum Islam, karena ilmu ini memiliki
Ilmu ini dapat membantu ulama dalam menghindari dari kekeliruan dan
hadîts mukhtalif.29
29
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kنajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 26-27.
30
Nafiz Husain Hammad, Mukhtalif al-Hadîts Baina al-Fuqahāʻ wa al-Muhadditsîn,
(Mesir: Dārul Wafa, 1993), h. 26.
32
pentahapan penetapan hukum tertentu, yang pada awalnya halal dan boleh
muslim dengan orang musyrik, hukum khamr, dan hukum nikah mut‟ah.
menjadi ḏa´îf. Jika memang ini yang terjadi, maka hadis tersebut harus
berwudu).31
menyampaikan hadis dan kepada siapa beliau berbicara. Dalam hal ini,
terdapat dua konteks, yaitu a). Konteks Nabi SAW. (mutakallim) dan b).
situasi dan kondisi dari para sahabat atau umat Islam yang dihadapi Nabi
SAW.
lain, atau dengan akal (ilmu pengetahuan), karena hadis tersebut dipahami
akan hilang. Sebagai contoh hadis tentang lalat, hadis tentang penciptaan
31
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Kitab: Sisa Musnad sahabat yang
banyak meriwayatkan hadis, Bab: Musnad Abu Hurairah ra., hadis no. 9485.
34
memahami suatu hadis. Suatu hadis dinilai bertentangan dengan hadis atau
ayat tertentu yang menjadi dasar ideologi madzhab atau alirannya. Solusi
masalah seputar hukum syari´ah secara alamiah saja dan belum ada
32
Prasangka atau Prejudice adalah suatu sikap negatif yang tidak tepat atau tidak benar
terhadap suatu kelompok atau anggota dalam kelompok tertentu.Lihat di Joko Kuncoro,
“Prasangka dan Diskriminasi”, Fakultas Psikologi UNISSULA Semarang, h. 5.
33
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 41-43.
34
Ahmad Amîn, Ḏuhâ al-Islâm (Kairo: Maktabah al-Nahḏah al-Misriyyah, t.t.), Juz II, h.
224.
35
Hadis.
antara dalil-dalil syara„. Akan tetapi, jika ada suatu hadis yang berbeda itu
hal ini, al-Syâfi„î berkata: “Tidak ada perbedaan dalam hadis, dan yang
paling penting adalah mereka tidak ragu dalam ketetapan hadis”. Begitu
juga pendapat al-Syâṯibî, bahwasanya dalam hukum syari„ah itu tidak ada
ini merupakan bagian dari pembahasan ilmu usul fiqh.37 Ulama telah
hadîts ini sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan utama segala
35
M. Nur Ahmad Musyafiq, terjemahan Ushul al-Hadîts (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2007), h. 255.
36
Ibnu Qutaibah, Ta`wîl Mukhtalif al-Hadîts (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), h. 27.
37
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 109.
36
1. Al-Jam‘u wa al-Taufîq
“Aku tidak tahu kalau ada dua hadis yang sanadnya sama-sama sahih
teorinya mengatakan bahwa khabar (hadis) itu ada dua macam, yakni
bertentangan.39
bahwa pada prinsipnya karena berasal dari sumber yang sama, semua
38
Muhammad „Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2013), h. 255.
39
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 114.
37
oleh beberapa faktor, diantaranya faktor umum dan khusus dalam hadis.
Tetapi, ada pula hadis bersifat umum namun yang dimaksudkan adalah
sehingga makna yang esensial dari hadis tersebut menjadi hilang. Bagian
makna dan faktor ketelitian para periwayat hadis sering menjadi penyebab
terjadi ikhtilâf.40
kemungkinan satu dipahami secara umum dan yang lain dipahami secara
hadis seperti ini dengan baik dan benar, kita harus melihat dan
umum dan khusus atau muṯlaq41 dan muqayyad42. Penerapan pola khusus
40
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 114-115.
41
Kata muṯlaq dari segi bahasa berarti “suatu yang dilepas/tidak terikat “. Dari akar kata
yang sama lahir kata ṯalâq (talak), yakni lepasnya hubungan suami maupun istri sudah tidak saling
terikat.Lihat di M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 188.
38
dapat pula dilihat kekhususan dari konteks kapan, di mana, dan kepada
siapa Nabi SAW. bersabda. Pola pikir yang dirumuskan oleh generasi awal
modern.
،ب ٍ أَ ْخبَ َرنَا ابْ ُن َو ْى:اى ِر) قَ َاَل ِ َّظ ِْلَبِي الط َّ َ اى ِر َو َح ْرَملَةُ بْن يَ ْحيَى ِ َّح َّدثَنِي أَب و الط
ْ ُ (والل ْف ُ ُْ ْ َ
ِح ْي َن، َع ْن أَبِ ْي ُى َريْ َرَة،الر ْحم ِن َّ فَ َح َّدثَنِ ْي أَبُ ْو َسلَ َم َة بْ ُن َع ْب ِد:اب
ٍ ال ابْ ُن ِش َه َ َ ق،س ِ
ُ ُأَ ْخبَ َرن ْي يُ ْون
ال ِ يا رسو َل:ال أَ ْعرابِ ٌّي
ُ َاهلل فَ َما ب َ :اهللﷺ ِ ال رسو ُل
ْ ُ َ َ َ َ فَ َق.)َص َف َر َوََل َى َامة َ (َل َع ْد َوى َوََل ْ ُ َ َ َق
َ َب فَ يَ ْد ُخ ُل فِ ْي َها فَ يُ ْج ِربُ َها ُكلَّ َها؟ ق
:ال ِ َّ ا ِإلبِ ِل تَ ُك ْو ُن فِ ْي
ْ فَ يَ ِج ْيءُ البَع ْي ُر اْل،ُالرْم ِل َكأَنَّ َها الظِّبَاء
ُ َج َر
43
.)(فَ َم ْن أَ ْع َدى اْل ََّو َل؟ (رواه مسلم
Telah menceritakan kepadaku Abû al-Ṯâhir dan Harmalah ibn
Yahya (dan pengucapan Abî al-Ṯâhir) berkata: Telah mengabarkan kepada
kami Ibn Wahb, telah mengabarkan kepadaku Yûnus, Ibn Syihâb berkata:
dan telah menceritakan kepadaku Abû Salamah ibn „Abdirrahmân, dari
Abû Hurairah r.a.: Ketika Rasulullah SAW. bersabda, “Tidak ada penyakit
yang menular (tanpa izin Allah), tidak ada tabu di bulan Shafar, dan tidak
ada mayat yang menjadi hantu (tidak ada hantu)”, maka seorang Arab
pedalaman bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan onta yang ada di
padang pasir yang sehat-sehat bagai rusa, lalu didatangi oleh seekor onta
yang berkudis kemudian turut menyusup ke tengah onta-onta yang sehat
itu sehingga semuanya berkudis?” Rasulullah SAW. bersabda, “Siapakah
yang menularkan penyakit pertama kali? (Yakni: Allah). (HR. Muslim).44
42
Muqayyad dari segi bahasa berarti “ikatan yang menghalangi sesuatu memiliki
kebebasan gerak (terikat/mempunyai batasan)”. Lihat di M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir
(Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 188.
43
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 2, Kitab Salam (39), Bab Tidak Ada Tanda
Penyakit yang Menular, Tidak Ada Tanda Buruk (Kesialan), Tidak Ada Hantu, Tidak Ada Tabu di
Bulan Shafar, dan Orang yang Sakit Tidak Menularkan Penyakit Kepada Orang yang Sehat (33),
h. 1057.
44
Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun (Cet. II,
Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Kitab Thiyarah dan Penyakit Menular (47), Bab Tidak Ada
Penyakit yang Menular (tanpa izin Allah), Tidak Ada Thiyarah, Tidak Ada Tabu di Bulan Shafar,
dan Tidak Ada Mayat yang Menjadi Hantu (1), h. 850.
39
ِ ِ َّ ِ ِ ِ
س َع ِن ٍ َ َُو َح َّدثَن ْي أَبُ ْو الطَّاى ِر َو َح ْرَملَة
ُ ُ أَ ْخبَ َرن ْي يُ ْون. أَ ْخبَ َرنَا ابْ ُن َو ْىب:(وتَ َق َاربَا في الل ْفظ) قَ َاَل
ِ َن رسو َل ٍ َّ َن أَبَا َسلَ َمةَ بْ َن َع ْب ِد ٍ ابْ ِن ِش َه
(َل
َ :ال َ َاهلل ﷺ ق ْ ُ َ َّ الر ْحم ِن بْ ِن َع ْوف َح َّدثَوُ أ َّ اب أ
ِ ض َعلَى الم
.) (رواه مسلم.)ص ِّح ُ ُ (َل يُ ْوِر ُد
ُ الم ْم ِر َ :ال َ َث اَنَّوُ قَ َع ْد َوى) ثُ َّم َح َّد
47
45
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 2, Kitab Salam (39), Bab Menjauhi Orang yang
Berpenyakit Menular (36), h. 1062.
46
Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun (Cet. II,
Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Kitab Thiyarah dan Penyakit Menular (47), Bab Menjauhi Orang
yang Berpenyakit Menular (5), h. 852.
47
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 2, Kitab Salam (39), Bab Tidak Ada Tanda
Penyakit yang Menular, Tidak Ada Tanda Buruk (Kesialan), Tidak Ada Hantu, Tidak Ada Tabu di
Bulan Shafar, dan Orang yang Sakit Tidak Menularkan Penyakit Kepada Orang yang Sehat (33),
h. 1058.
48
Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun (Cet. II,
Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Kitab Thiyarah dan Penyakit Menular (47), Bab Orang yang Sakit
Tidak Menularkan Penyakit Kepada Orang yang Sehat (2), h. 850-851.
40
a. Penyakit itu tidak menular menurut potensi dan sifatnya, tetapi Allah
orang yang sehat. Namun, tidak semua orang sehat tertular penyakit
Sementara itu, hadis kedua menyatakan bahwa ada penyakit tertentu yang
hadis kedua.49
2. Nasakh wa al-Mansûkh
yaitu:
الح ْك ِم
ُ ث ُ ض ِة الَّتِ ْي ََل يُ ْم ِك ُن الت َّْوفِ ْي ُق بَ ْي نَ َها ِم ْن َح ْي
َ المتَ َعا ِر ِ ِ ث َع ِن اْل
ُ َحاديْث َ ُ ْم الَّ ِذ ْي يَ ْب َح ِ
ُ العل
ِ َت تَ َق ُّدموُ َكا َن ن ِ َ ض َها ِ
ِ اس ٌخ و َعلَى ب ْع ِ
ت
َ َاس ًخا َوَما ثَب ُ َ َخ فَ َما ثَب ُ اَلخ ِر بأَنَّوُ َم ْن
ٌ س ْو َ َ ََعلَى بَ ْعض َها بِأَنَّوُ ن
ِ َتَأَخُّرهُ َكا َن ن
.اس ًخا ُ
“Ilmu yang membahas hadîts-hadîts yang saling bertentangan
yang tidak mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menentukan
sebagiannya sebagai nasakh dan sebagian lainnya sebagai mansûkh. Yang
terbukti datang terdahulu sebagai mansûkh dan yang terbukti datang
kemudian sebagai nasakh”.50
49
Abdul Majid Khon, Takhrîj & Metode Memahami Hadis (Cet. 1, Jakarta: Amzah,
2014), h. 200-201.
50
Muhammad ´Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadîts Pokok-Pokok Ilmu Hadîts (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2013), h. 258-259.
41
yang sangat penting dan tidak tertarik kepadanya kecuali para tokoh imam
fiqh. Al-Zuhri berkata, para fuqaha telah mengerahkan segala tenaga dan
Melalui fakta sejarah, seperti hadis Syidâd ibn Aus dan lainnya
ِ َعن أَبِي اْلَ ْشع، َعن أَبِي ِق َالب ِة، نَا أَيُّوب، نَا و َى ْيب،اع ْيل ِ ِ
َع ْن،ث َ ْ ْ َ ْ ْ ُ ْ ُ ُ ُ َح َّدثَنَا ُم ْوسى بْ ُن إ ْس َم
َو ُى َو آ ِخ ٌذ، َو ُى َو يَ ْحتَ ِج ُم،اهلل ﷺ أَتَى َعلَى َر ُج ٍل بِالبَ ِق ْي ِع ِ أَ َّن رسو َل،س
ُْ َ ِ ِش َد ِاد بْ ِن أ َْو
(رواه أبو.)الم ْح ُج ْو ُم ِ
َ الحاج ُم َو َ (اَفْطََر:ال َ ت ِم ْن َرَم
َ فَ َق،ضا َن ِ لِثَم،بِي ِدي
ْ َان َع ْش َرَة َخل َ ْ َ
52
.)داود
Telah menceritakan kepada kami Mûsâ ibn Ismâ„îl, telah
menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami
Ayyûb, dari Abî Qilâbah, dari Abî al-Asy„ats, dari Syidâd ibn Aus, bahwa
Rasulullah SAW. pernah melewati seorang laki-laki yang sedang
berbekam di Baqî„. Dan beliau SAW. serta memegang tanganku, pada
tanggal delapan belas Ramaḏân. Maka beliau SAW. bersabda:
“Berbukalah orang yang membekam dan yang dibekam”. (HR. Abû
Dâwud).53
ِ ٍ َّح َّدثَنَا أَب و م ْعم ٍر ح َّدثَنَا َع ْب ُد الوا ِرث ح َّدثَنَا أَيُّوب َعن ِع ْك ِرمةَ َعن ابْ ِن َعب
ُاس َرض َي اهلل ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ َ ُْ َ
.) (رواه البخاري.)صائِ ٌم ِ َ َعن هما ق
َ (ا ْحتَ َج َم النَّبِ َّيﷺ َو ُى َو:ال َ ُ َْ
54
51
Dr. Nuruddin „ltr, ʼUlûmul Hadîts (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h. 348.
52
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud (Riyadh: Maktabah
al-Ma´ârif Lil Nasyri wa Tauzî, t.t), Jilid 1, Kitab Saum (8), Bab Berpuasa Namun Melakukan
Bekam (28), h. 415.
53
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Tarjamah Sunan Abi Daud,
Penerjemah: Ustadz Bey Arifin (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, t.th.), Jilid 3, Kitab Puasa, Bab Orang
Puasa Berbekam, h. 211.
54
Abû ´Abdullâh Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Saum (30), Bab Melakukan Bekam Saat Berpuasa (32), h. 467.
42
Rasul SAW. melihat seseorang berbekam pada siang hari bulan Ramaḏân,
ِ َعن أَبِي اْلَ ْشع، َعن أَبِي ِق َالب ِة، نَا أَيُّوب، نَا و َى ْيب،اع ْيل ِ ِ
َع ْن،ث َ ْ ْ َ ْ ْ ُ ْ ُ ُ ُ َح َّدثَنَا ُم ْوسى بْ ُن إ ْس َم
َو ُى َو آ ِخ ٌذ، َو ُى َو يَ ْحتَ ِج ُم،اهلل ﷺ أَتَى َعلَى َر ُج ٍل بِالبَ ِق ْي ِع ِ َن رسو َل
ْ ُ َ َّ أ،س ِ َش َّد ِاد بْ ِن أ َْو
(رواه أبو.)الم ْح ُج ْو ُم ِ
َ الحاج ُم َو َ (اَفْطََر:ال َ ت ِم ْن َرَم
َ فَ َق،ضا َن ِ لِثَم،بِي ِدي
ْ َان َع ْش َرَة َخل َ ْ َ
56
.)داود
Telah menceritakan kepada kami Mûsâ ibn Ismâ„îl, telah
menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami
Ayyûb, dari Abî Qilâbah, dari Abî al-Asy„ats, dari Syiddâd ibn Aus r.a.,
bahwa Rasulullah SAW. pernah melewati seorang laki-laki yang sedang
berbekam di Baqî„. Dan beliau SAW. serta memegang tanganku, pada
tanggal delapan belas Ramaḏân. Maka beliau SAW. bersabda:
“Berbukalah orang yang membekam dan yang dibekam”. (HR. Abû
Dâwud).57
55
Abu Abdullah Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Tarjamah Shahih Bukhari,
Penerjemah: Achmad Sunarto, dkk (Semarang: CV Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 3, Kitab Puasa (12),
Bab Berbekam dan Bermuntah-muntah Bagi Orang Yang Berpuasa (32), h. 121.
56
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud (Riyadh: Maktabah
al-Ma´ârif Lil Nasyri wa Tauzî, t.t), Jilid 1, Kitab Saum (8), Bab Berpuasa Namun Melakukan
Bekam (28), h. 415.
57
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Tarjamah Sunan Abi Daud,
Penerjemah: Ustadz Bey Arifin (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, t.th.), Jilid 3, Kitab Puasa, Bab Orang
Puasa Berbekam, h. 211.
43
ِ ٍ َّح َّدثَنَا أَب و م ْعم ٍر ح َّدثَنَا َع ْب ُد الوا ِرث ح َّدثَنَا أَيُّوب َعن ِع ْك ِرمةَ َعن ابْ ِن َعب
ُاس َرض َي اهلل ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ َ ُْ َ
.) (رواه البخاري.)صائِ ٌم ِ َ َعن هما ق
َ (ا ْحتَ َج َم النَّبِ َّيﷺ َو ُى َو:ال َ ُ َْ
58
itu terjadi pada masa-masa penaklukan kota Makkah, yaitu pada tahun 8
Hijriah, dan hadis kedua (hadis Ibn „Abbâs) terjadi pada waktu Haji
Wada„, yaitu pada tahun 10 Hijriah. Jadi, hadis yang kedua merupakan
3. Al-Tarjîh
dikuatkan disebut dengan rajîh, dan dalil yang dilemahkan disebut dengan
salah satu dari dua dalil yang pantas yang menunjukkan kepada apa yang
58
Abû „Abdullâh Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Saum (30), Bab Melakukan Bekam Saat Berpuasa (32), h. 467.
59
Abû „Abdullah Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Tarjamah Shahih Bukhari,
Penerjemah: Achmad Sunarto, dkk (Semarang: CV Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 3, Kitab Puasa (12),
Bab Berbekam dan Bermuntah-muntah Bagi Orang Yang Berpuasa (32), h. 121.
60
Dr. Nuruddin „ltr, ʼUlūmul Hadīts, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h. 349.
44
terdapat tarjîh dalam dua dalil yang qaṯ´î karena dua dalil qaṯ´î, tidak
mungkin berbenturan.
2. Kedua dalil yang berbenturan itu adalah sama-sama pantas untuk memberi
َّاق قَ َاَل أَ ْخبَ َرنَا ابْ ُن ُج َريْ ٍج أَ ْخبَ َرنِ ْي َع ْم ُرو بْ ُن ِديْنَا ٍر َع ْنِ الرز
َّ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْ ُن بَك ٍر َو َع ْب ُد
ب َى َذا ِّ ي أَنَّوُ َس ِم َع أَبَا ُى َريْ َرَة يَ ُق ْو ُل َوَر ِ ي ْحي بْ ِن ج ْع َدةَ أَ ْخب رهُ َعن َع ْب ِد
ِّ اهلل بْ ِن َع ْم ٍرو ال َقا ِر ْ ََ َ َ َ
ِ ب َى َذا الب ْي ِّ الج ُم َع ِة َولَ ِك ْن ُم َح َّم ٌد نَ َهى َع ْنوُ َوَر ِ ِ ِ الب ْي
ت َما أَنَا َ ُ ت َع ْن صيَ ِام يَ ْوم ُ ت َما أَنَا نَ َه ْي َ
َّاق فِ ْي
ِ الرز َ َاهلل ﷺ قَالَوُ ق ِ الص ْبح جنُبا فَ لْي ْف ِطر ولَ ِكن رسو ُل
َّ ال َع ْب ُد ْ ُ َ ْ َ ْ ُ ً ُ ُ ُّ ُْت َم ْن أَ ْد َرَكو ُ قُل
(رواه.ي أَنَّوُ َس ِم َع أَبَا ُى َريْ َرَة يَ ُق ْو ُل ِ ح ِديْثِ ِو إِ َّن ي ْحيى بْن ج ْع َد َة أَ ْخب رهُ َع ْب ُد
ِّ اهلل بْ ُن َع ْم ٍرو ال َقا ِر ََ َ َ َ َ َ
62
.)أحمد
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Bakr dan „Abd
al-Razzâq mereka berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibn Juraij telah
mengabarkan kepadaku „Amr ibn Dînâr dari Yahya ibn Jad„ah telah
menceritakan kepadanya dari „Abdillah ibn „Amr al-Qâri bahwa ia
61
Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syāfiʼi”, UIN
SUSKA RIAU, Vol. XVII No. 2, Juli 2011, h. 197-198.
62
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Kitab: Sisa Musnad Sahabat Anshar, Bab:
Lanjutan Musnad yang lalu, hadis no. 25095. Lihat juga Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-
Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis (Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 124.
45
َ فِ ْي َرَم،احتِ َالٍم ِ
ثُ َّم،ضا َن ْ غَْي ِر،صبِ ُح ُجنُبًا م ْن ِج َم ٍاع ْ ُاهلل ﷺ لَي ِ إِ ْن َكا َن رسو ُل:قَالَتَا
ُْ َ
64
.) (رواه مسلم.ص ْو ُم
ُ َي
Telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Yahya berkata: Aku
membaca dari Mâlik dari „Abdirabbihi ibn Sa´îd, dari Abî Bakar ibn „Abd
al-Rahmân ibn al-Hârits ibn Hisyâm, dari „Aisyah dan Ummu Salamah
yang keduanya adalah isteri Rasulullah SAW. Keduanya mengatakan:
“Rasulullah SAW. pernah junub pada saat subuh karena habis bersetubuh
pada malam Ramadhan, bukan karena bermimpi, kemudian beliau SAW.
berpuasa”. (HR. Muslim).65
Hadis pertama menjelaskan bahwa seseorang yang tidak mandi
junub sebelum waktu subuh, tidak sah puasanya. Sebaliknya, hadis kedua
menjelaskan bahwa Nabi SAW. pernah mandi junub pada waktu subuh
63
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Kitab: Sisa Musnad Sahabat Anshar, Bab:
Lanjutan Musnad yang lalu, hadis no. 25095. Lihat juga Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-
Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis (Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 124.
64
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 1, Kitab Siyâm (13), Bab Puasa Orang yang
Junub Ketika Fajar (78), h. 495.
65
Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun (Cet. II,
Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Kitab Puasa (11), Bab Puasa Orang yang Junub Ketika Fajar (14),
h. 330.
46
diriwayatkan oleh „Aisyah ra. dan Ummu Salamah. Sementara itu, topik
mengalami kebuntuan.67
4. Tawaqquf
dinasakh, dan tidak dapat ditarjih. Oleh sebab itu, alternatif terakhir adalah
muḏṯarib68, yaitu dua hadis yang kontradiktif dan tidak dapat ditarjih.
Akan tetapi, hadis muḏṯarib lebih umum daripada hadis mutawaqqaf fîh.
66
Abdul Majid Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h.
204.
67
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 84.
68
Hadis Muḏṯarib adalah hadis yang diriwayatkan dari seorang rawi atau lebih dengan
beberapa redaksi yang berbeda dan dengan kualitas yang sama, sehingga tidak ada yang dapat
diunggulkan dan tidak dapat dikompromikan. Lihat Dr. Nuruddin „ltr, ʼUlūmul Hadīts, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2012), h. 465.
47
Hal itu karena hadis muḏṯarib dapat terjadi pada sanad dan matan;
sekaligus dapat terjadi pada hadis sahih, hasan, dha„if. Sementara itu,
hadis mutawaqqaf fîh hanya terjadi pada matan dan hadisyang maqbûl.
Berikut ini contoh hadis mutawaqqaf fîh sebagaimana hadis muḏṯarib pada
matan.
a. Hadis tentang Nabi SAW. Abû Bakar, „Umar, dan „Utsmân yang tidak
ٍ ِس بْ ِن مال ِ
ْف
َ ت َخل ُ صلَّْي
َ :ال َ َ أَنَّوُ َح َّدثَوُ ق،ك َ ِ َب إِلَْيو يُ ْخبِ ُرهُ َع ْن أَن َ َادةَ أَنَّوُ َكت
َ ََو َع ْن قَت
بِّ ْح ْم ُد لِلَّ ِو َر
َ النَّبِ ِّيﷺ َوأَبِي بَ ْك ٍر َوعُ َم َر َوعُثْ َما َن فَ َكانُوا يَ ْستَ ْفتَ ُح ْو َن بِ ﴿ﭐل
(رواه.اءةٍ َوََل ﺁ ِخ ِرَىا ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ﭐل َْعالَم ْي َن﴾ ََل يَ ْذ ُك ُرْو َن ﴿ب ْس ِم اهلل ﭐ َّلر ْحم ِن ﭐ َّلرح ْي ِم﴾ في أ ََّول ق َر
69
.)مسلم
Dan dari Qatâdah yang dia tulis menceritakan tentang Anas ibn
Mâlik, bahwasanya telah mengabarkan kepadanya, berkata: “Aku pernah
shalat di belakang Nabi SAW., Abû Bakar, „Umar, dan „Utsmân. Mereka
memulai al-Fatihah dengan “Al-hamd lillâh rabb al-„âlamîn”. Mereka
tidak menyebut, „Bism Allâh al-rahmân al-rahîm,‟ baik pada awal bacaan
maupun akhir bacaan”. (HR. Muslim).
b. Hadis tentang Nabi SAW. Abû Bakar, „Umar, dan „Utsmân membaca
Selain itu, ada hadis lain yang senada dengan hadis tersebut.
69
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 1, Kitab Shalat (4), Bab Larangan Ma‟mum
dalam Mengeraskan Bacaan di Belakang Imam (12), h. 187-188.
70
Hasan Sulaiman Al-Nuri, Ibânah al-Ahkâm: Syarh Bulûgh al-Marâm, Juz I, h. 400.
Lihat Abdul Majid Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h. 206.
48
ْف عُ َم َر َ ْف أَبِي بَ ْك ٍر َو َخل َ صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َو َخل
َ ْف النَّبِ ِّي
َ ت َخلُ صلَّْي
َ ال
َ َس ق ٍ ََع ْن أَن
اهلل ﭐ َّلر ْحم ِن ﭐ َّلرِح ْي ِم
ِ ْف َعلِ ٍي فَ ُكلُّ ُهم َكانُوا ي ْج َهرو َن بِِقراءةِ بِس ِم
ْ َ َ ُْ َ ْ َ ْف عُثْ َما َن َو َخل
َ َو َخل
Dari Anas, ia berkata, “Aku shalat di belakang Nabi SAW., Abû
Bakar, „Umar, „Utsmân, dan „Alî. Mereka semua membaca keras, „Bism
Allâh al-rahmân al-rahîm.‟”(HR. al-Hakim).71
disifatkan muḏṯarib. Akan tetapi, datang periwayatan ketiga dari Anas pula
“Tidak hafal sesuatu tentang hal itu dari Rasulullah.” Ia kesulitan atau uzur
71
Hasan Sulaiman Al-Nuri, Ibânah al-Ahkâm: Syarh Bulûgh al-Marâm, Juz I, h. 400.
Lihat Abdul Majid Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h. 206.
49
maupun meniadakannya. Oleh sebab itu, inilah sebab sifat iḏṯirab pada
hadis pertama.72
sampai ada penguat pada salah satunya. Namun, yang menjadi ganjalan di
sini adalah kedua hadis tersebut sahih, bahkan dikuatkan dengan beberapa
sirr (bersuara pelan). Kadang kala Nabi SAW. membaca jahr pada shalat
jahr (malam hari umumnya) dan membaca sirr pada shalat sirr (siang hari
umumnya) atau bisa jadi membaca sirr pada shalat jahr karena
banyak dilakukan oleh ulama dan bisa ditemukan hampir di semua kitab
Ulumul Hadis. Namun pembahasan ini hanya merupakan bagian kecil dari
cabang Ulumul Hadis. Meski demikian, sudah ada kitab-kitab yang ditulis
secara khusus membahas Ilmu Mukhtalif al-Hadîts atau Ilmu Musykil al-
72
Abdul Majid Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), h.
206-207. Lihat juga Shubhi Shalih, ʼUlūm al-Hadīts wa Musṯalahuhu, (Beirut: Dār al-ʼIlmi lil
Malāyīn, 1959), h. 189.
73
Abdul Majid Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h.
207.
50
b. Kitab Ta`wîl Mukhtalif al-Hadîts karangan Imâm „Abdillâh ibn Muslim al-
74
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 44.
BAB III
Kiblat.
aqidah, syari„ah, mu„amalah dan akhlâq dimana hal tersebut tidak dapat
Rasulullah SAW. yang hingga saat ini belum dapat dijangkau makna dan
dimana terdapat hadis yang menjelaskan tentang istinja atau buang hajat
51
52
2. Takhrij Hadis.
hadis tentang posisi kencing melalui berbagai sumber seperti Mu„jam al-
Wudhu (4), Bab Larangan Menghadap Kiblat Saat Membuang Air Besar
dan Kecil, Kecuali Bila Berada dalam Suatu Bangunan atau Terhalang
َج َدا ٍرَأ َْوَنح ِوه: ِ َع ْن َدَالبِنَا ِء ِ القب لَ َةَبِغَائِ ٍطَأَوَب و ٍلَإِاَل
ِ
ْ َابَ ََلَتُ ْستَ ْقبَ َُل
َُ َ – َب۱۱
َْ ْ
ََيَ َع َْنَ َعطَ ِاءَبْ ِنَيَ ِزيْ َدَاللاَْيثِي
َُّ الزَْى ِر
ُّ ََ َح ادثَنَا:ال ٍ َذ
َ َئبَق ِ َح اَدثَنَاَابنَأَبِي:ال
ْ ُْ َ َ ََ َح ادثَنَاَآ ََد ُمَق-۱٤٤
َطَفَ ََلَيَ ْستَ ْقبِ ِل َ َِح ُد ُك ُمَالغَائَ َاللَﷺَإِذَاَأَتَىَأ َِ َر ُس ْو ُل َ ال
َ ََق:ال َ َصا ِريََق َ ْبَاألَن َ َع َْنَأَبِ ْيَأَيُّ َْو
ِ
.َ َشرقُ ْواَأ َْوَغَربُ ْوا،ُالق ْب لَةََ َوََلَيُ َول َهاَظَ ْه َره
1
Wensinck, Mu´jam Al-Mufahras li Alfâẕil Hadîts (Belanda: Breil, 1962 M), Juz 5, h.
256.
2
Abû ´Abdullâh Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Wudhu (4), Bab Larangan Menghadap Kiblat Saat Membuang Air Besar dan
Kecil, Kecuali Bila Berada dalam Suatu Bangunan atau Terhalang Tembok Maupun yang
Sepertinya (11), h. 49.
53
َ)َالنهيَعنَاستدبارَالقبلةَعندَالحاجة٠٢(
menghadap kiblat dalam Sahîh al-Bukhârî Kitab Wudhu (4), Buang Hajat
ََعلَىَلَبَِنَتَ ْي َِن
َ ابَ َم ْنَتَبَ ارَز
ُ َ)َب۱٠(
ََم َح ام ِدَبْ ِن َ َس ِع ْي ٍد
ُ َع ْن َ َع ْنَيَ ْحيَىَبْ ِن َ كٌ ِاَمال
َ ََأَ ْخبَ َرن:ال
َ َفَق ِ اَع ْب ُد
َ َاللَبْ ُنَيُ ْو ُس َ َ–ََ َح ادثَن۱٤٤
ِ ِ َ َعن، ِ َعم ِو
ً ََإِ انَن:َع ْبدَاللَبْ ِنَعُ َم َرَأَناوَُ َكا َنَيَ ُق ْو ُل
َ:اساَيَ ُق َْولُو َن ْ َ َحباا َنَ َواس ِعَبْ ِنَ َ َع ْن َ يَ ْحيَىَبْ ِن
َ َحباا َن
3
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud (Riyadh: Maktabah
al-Ma´ârif Lil Nasyri wa Tauzî, t.t), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (1), Bab Larangan Menghadap Kiblat
Saat Membuang Hajat (9), h. 8.
4
Abû ´Abd al-Rahmân Ahmad ibn ´Alî Syu´aib ibn ´Alî ibn Sînân al-Nasâ`î, Sunan al-
Nasâ`î (Beirut: Dâr al-Ma´rifah, t.th), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (1), Bab Larangan Membelakangi
Kiblat Saat Membuang Hajat (20), h. 27-28.
5
Wensinck, Mu´jam Al-Mufahras li Alfâẕil Hadîts (Belanda: Breil, 1962 M), Juz 5, h.
257.
6
Abû ´Abdullâh Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Wudhu (4), Bab Buang Hajat di Atas Dua Batu Bata (12), h. 145.
54
َوَإباحتوَدونَالصحارى،َالرخصةَفيَذلكَفيَالكنيف:–ََبَاب۱۱/۱۱
ََح ادثَنِ ْيَيَ ْحيَىَابْ ُن، ِ ٍَ َالح ِم ْي ِدَبْ ُنَ َحبِْي َ –َ َح ادثَنَاَ ِى۱/۳٠٠
َ َثناَاألَ ْوَزاع َُّي،ب َ َ،امَبْ َُنَ َع اما ٍَر
َ ثناَع ْب ُد ُش
ٍ ََخ ا َُّ صا ِر ٍِ
ُ َثناَيَ ِزيْ ُدَبْ َُنَ َى:َم َح ام ُدَبْ ُنَيَ ْحيَىَقَ َاَل،
ََأَنْبَأَنَا،ارْو َن ُ َلد َ َ َو َح ادثَنَاَأَبُ ْوَبَ ْك ِرَبْ ُن،ي َ َْسع ْيدَاألَن
َ َاَ ان،َُحباا َنَأَ ْخبَ َره ِ َُع امو ٍ ِ يحيَىَابن
ََع ْب َد َ َواس َعَبْ َن َ َ َأَ ان،َُحباا َنَأَ ْخبَ َره َ َم َح ام َدَبْ َنَيَ ْحيَىَبْ ِن ُ َأَ ان،َسع ْيد َ ُْ ْ َ
ِ ِ ِ ِ ِ َ َإِ َذاَقَ ع ْد:َي ُقو ُلَأُنَاس:ال ِ
َات
َ َ َذ،ت َ تَل ْلغَائطَفَ ََلَتَ ْستَ ْقب ِلَالق ْب لَ َة
َُ َولََق ْدَظَ َه ْر، َ ٌ ْ َ َ ََق،َع َم َر ُ اللَبْ َن
ِ ستَ ْقبِلَب ْي ِ ِ تَرسو َل ِ ِ ي وٍم
َت َ َ َْ َم، ُ اَعلَىَلَبِنَتَ ْي ِنَ َاللَﷺ قَاع ًد ْ ُ َ ُ َْفَ َرأَي،َعلَىَظَ ْه ِرَبَ ْيتنَا، َ ام َِ م َنَاألَيا/ َْ
ِ الم ْق ِد
َ. س َ
3. Metode Penyelesaian Hadis Mengenai Buang Hajat Menghadap
Kiblat.
tembok maupun yang sepertinya” adalah seperti batu besar, pagar, pohon
pengecualian seperti itu.” Perkataan ini aku jawab dengan tiga jawaban:
(tempat buang air besar) di mana menurut hakikat bahasa, al-Gha`iṯ adalah
Meskipun setelah itu lafazh al-Gha`iṯ dipakai untuk nama semua yang
7
Abû ´Abdullâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah (Beirut: Dâr al-
Ma´rifah, t.th), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (1), Bab Kencing dengan Posisi Duduk (14), h. 196.
55
dikhususkan sebagai tempat buang air besar dalam arti majaz (kiasan).
Maka, larangan dalam hadis di atas khusus untuk tempat yang terbuka.
Sebab suatu lafazh bila tidak dibatasi dengan sesuatu, maka maknanya
kembali kepada hakikat lafazh tersebut. Jawaban ini dikemukakan oleh al-
hal tersebut. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibn al-Munir. Pendapat ini
menjadi kuat bila dikatakan bahwa tempat-tempat untuk buang air besar
tidak dapat digunakan untuk shalat, sehingga tidak ada istilah kiblat pada
tempat-tempat tersebut. Akan tetapi jawaban ini dikritisi, karena hal itu
Ka‟bah ada tempat yang tidak sah untuk dipergunakan shalat, dan ini
„Umar yang disebutkan setelah bab ini, sebab hadis-hadis Nabi SAW.
tertutup. Terlebih lagi sahabat yang meriwayatkan hadis ini telah memberi
makna hadis tadi dalam arti yang luas dan umum, dimana beliau
8
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008, Jilid 2, h. 42-43.
56
ampun.”
Ansarî (perawi hadis yang dimaksud) telah memberi makna lafazh al-
Gha`iṯ dari segi hakikat dan majaz sekaligus, dan itulah yang seharusnya
pada tempat terbuka belum sampai kepada beliau. Andaikata tidak ada
larangan menghadap kiblat saat buang air besar tidak berlaku pada tempat
yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abû Dâwud dan Ibn Khuzaimah dan
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ََثُ ام:ال
َ ََق.اء َ ََر ُس ْولََُاللَﷺ يَ ْن َهانَاَأَ ْنَنَ ْستَ ْدَب َرَالق ْب لَ َةَاَ ْوَنَ ْستَ ْقبلَ َهاَب ُف ُرْوجنَاَإِذَاَ َى َرقْن
َ اَالم َ َكا َن
.َم ْستَ ْقبِ َلَال ِق ْب لَ ِة ِِ رأَي تُوَُقَبل
ُ َم ْوتوَبِ َع ٍامَيَبُ ْو ُل
َ َْ َْ
(Rasulullah SAW. melarang kami membelakangi atau menghadap
kiblat dengan kemaluan-kemaluan kami saat kami menumpahkan air
(kencing). Jabir menambahkan, “Kemudian aku pernah melihat beliau
SAW. setahun sebelum wafat kencing dengan menghadap kiblat.”).
57
dibolehkan bagi Nabi SAW. tidak dapat dibenarkan, karena perkara yang
khusus bagi Nabi SAW. tidak ditetapkan dengan dalil yang masih
Andaikata bukan karena hadis Jâbir ini, tentu hadis Abû Ayyûb (tentang
hadis Ibn „Umar selain kebolehan untuk membelakanginya saja, dan tidak
tidak boleh untuk menghadapnya, pendapat ini dinukil dari Abû Hanifah
serta Ahmad. Di samping itu ada pula pendapat yang membedakan antara
9
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008, Jilid 2, h. 43-44.
58
dan Ishaq. Ini merupakan pendapat yang paling netral, karena ia telah
mengamalkan seluruh dalil yang ada. Pendapat ini diperkuat pula dari sisi
logika seperti yang telah disebutkan terdahulu dari Ibn Munir bahwa
khusus untuk buang hajat adalah tempat syetan, sehingga tidak pantas
dikatakan bahwa tempat itu memiliki kiblat, berbeda dengan tempat yang
masyhur dari Abû Hanifah serta Ahmad. Demikian pula pendapat Abû
pendapat ini dari madzhab Mâlikî adalah Ibn al-„Arabî, sementara dari
Di sisi lain ada pula ulama yang membolehkan secara mutlak, dan
dari itu kita harus kembali kepada hukum asal yaitu ibahah (boleh).
59
selain keempat pendapat tersebut. Namun dalam persoalan ini masih ada
lagi tiga pendapat lain, yaitu; pertama, boleh menghadap kiblat saat berada
dalam bangunan saja dengan berpegang pada makna lahir (zhahir) hadis
Ibn „Umar. Pendapat ini dikemukakan oleh Abû Yûsuf. Kedua, haram
yakni Baitul Maqdis. Pendapat ini dinukil dari Ibrâhim dan Ibn Sîrîn.
buang hajat.” Dalam riwayat lain oleh Ibn Khuzaimah dikatakan, “Aku
melihat beliau sedang buang hajat dengan ditutupi atau dibatasi batu bata.”
tempat tertutup.”
10
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008, Jilid 2, h. 45.
60
bata itu digunakannya sebagai tempat untuk berpijak agar berada dalam
posisi sedikit lebih tinggi. Akan tetapi kemungkinan yang mereka katakan
ini terbantah dengan sikap Ibn „Umar sendiri yang tidak membolehkan
(penghapus) dan hadis yang lain sebagai mansukh (yang dihapus)? Karena
kiblat bagi orang yang buang air besar dan air kecil adalah padang pasir
11
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008, Jilid 2, h. 50.
12
Al-Barahah adalah tempat-tempat yang tidak ada pohon dan tanamannya.
61
melaksanakan shalat dan sebagian yang lain dari mereka menghadap kiblat
untuk buang air besar. Lalu Nabi SAW. memerintahkan mereka agar
jangan menghadap kiblat saat buang air besar atau air kecil dalam rangka
rumah dan kakus yang digali yang dapat menutupi perbuatan hadats dan
diperkenankan shalat.13
13
Ibnu Qutaibah, Ta‟wil Hadits-Hadits yang Dinilai Kontradiktif, Penerjemah: team
Foksa (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 156-157.
62
14
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 2009), h. 75-76.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
hadis mengenai buang hajat menghadap dan membelakangi kiblat yaitu, dalam
kiblat apabila dilakukan secara mutlak di tempat yang terbuka atau yang dapat
melaksanakan sholat.
B. Saran
skripsi ini bermanfaat untuk kedepannya. Dan keluhan penulis dari materi
63
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Shahih Sunan Nasa’i, Penerjemah: Ahmad Yuswaji, Cet; 2, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007, Jilid 1.
Al-Bukhârî, Muḥammad ibn Ismâ´îl ibn Ibrâhîm, Ṣaḥîḥ al-Bukhârî Kairo: Maṭbaʻah as-Salafiyyah, 1400
H.
Al-Mundziri, Imam, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun Cet; 2, Jakarta:
Pustaka Amani, 2003.
Al-Naisâbûrî, Al-Imâm al-Hâfiẕ Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî, Sahîh Muslim Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H.
Al-Nasâ`î, Abû ´Abd al-Rahmân Ahmad ibn ´Alî Syu´aib ibn ´Alî ibn Sînân, Sunan al-Nasâ`î Beirut: Dâr
Ma´rifah, t.th.
Al-Syaukani, Al-Imâm, Ringkasan Nailul Authar, Penerjemah: Amir Hamzah Fachrudin, Asep Saefullah
Jakarta: Pustaka Azzam, 2011.
Amîn, Ahmad, Ḏuhâ al-Islâm, Kairo: Maktabah al-Nahḏah al-Misriyyah, t.t., Juz II.
Arifin, Johar,“Pendekatan Ulama Hadis dan Ulama Fiqh dalam Menelaah Kontroversial Hadis,” Jurnal
Ushuluddin UIN SUSKA, Vol. XXII No. 2, Juli 2014.
---------------“Studi Hadis-Hadis Tentang Posisi Kencing Berdiri; Kajian Mukhtalaf Hadis”, UIN
SUSKA RIAU, Vol. XX No. 2, Juli 2013
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis Jakarta: Bina Aksara, 1989.
´Asqalânî, Ibn Hajar, Fath al-Bârî, Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008,
Jilid 2.
Al-Sijistânî, Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats, Tarjamah Sunan Abi Daud, Penerjemah: Ustadz Bey
Arifin (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, t.th.
--------------- Sunan Abû Dâwud Riyaḏ: Maktabah al-Maʼârif Li Natsri at-Tauziʼ, t.t.
64
65
Al-Tirmidzi, Muhammad Isa bin Surah, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Penerjemah: Moh. Zuhri Dipl.
TAFL, dkk, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1992.
--------- Al-Imâm al-Hâfiẕ Abî ´Îsâ Muhammad ibn ´Îsâ, al-Jâmi´ al-Kabîr, Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmî,
1996.
Baqi, Muhammad Fu‟ad bin Abdul, Hadits Shahih Bukhari Muslim, Penerjemah: Abu Firly Bassam
Taqiy, Cet; 5, Depok: PT. Fathan Prima Media, 2015.
Bay, Kaizal, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syâfi´î”, Jurnal Ushuluddin UIN
SUSKA Riau, Vol. XVII No. 2, Juli 2011.
------------ Membahas Kitab Hadis, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Danuri, Daelan M., “Al-Sunnah sebagai Bayân Al-Qur`an”, Jurnal Fakultas Syar‟ah, Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Dârimî, Al-Imâm Abû Muhammad ´Abdullâh ibn ´Abd al-Rahmân ibn al-Faḏl, Sunan al-Dârimî Beirut:
Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1971.
Faruq, Umar, “Kritik Atas Kontroversi Hadis Tentang Aurat Laki-Laki”, Institut Agama Islam Negeri
Sunan Ampel Surabaya, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni, 2013.
Firdausi, Muhammad Anwar, “Membincang Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih”, Jurnal Fakultas
Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Vol. 16 No. 1, 2015.
Hammad, Nafiz Husain, Mukhtalif al-Hadîts Baina al-Fuqahâ` wa al-Muhadditsîn Mesir: Dârul Wafa
Hanbal, Ahmad ibn Muhammad ibn , Musnad Ahmad ibn Hanbal Kairo; Dar al-Hadits, 1416 H / 1996 M.
Ismail, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2016.
------------------- Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2009.
Juned, Daniel, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis Jakarta: Erlangga, 2010.
Khatib, Muhammad ´Ajjâj, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits Jakarta: Gaya Media Pratama,
2013.
Khon, Abdul Majid, Takhrîj & Metode Memahami Hadis, Jakarta: Amzah, 2014.
------------- Ilmu Hadits Praktis Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1436 H/2014 M.
Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ibnu, Tarjamah Sunan Ibnu Majah, Penerjemah: Abdullah
Shonhaji Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992.
Misriy, Jamâl al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manẕur al-Afriqîy al-Misriy Lisân al-´Arab Beirut:
Dâr al-Sâdir, t.t., Jilid 2.
Musyafiq, M. Nur Ahmad, terj. Ushul al-Hadīts Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Nawâwî, Abû Zakariyâ Yahyâ Al-Nawâwî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawâwî, Kairo: Dâr al-Hadîts,
2001.
Qazwînî, Abî ´Abdillâh Muhammad ibn Yazîd, Sunan Ibn Mâjah, Riyaḏ: Maktabah Al-Ma´ârif Li an-
Natsri wa al-Tauziʼt.th.
Qutaibah, Ibnu, Ta`wîl Hadîts-Hadîts yang Dinilai Kontradiktif, Penerjemah: Team Foksa Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008.
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadîts, Pengantar: Dr. H. Said Agil Husain al-Munawwar, M.A, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1996.
Sâlih, Subhi, ´Ulûm al-Hadîts wa Musṯalahuhu Beirut: Dâr al-ʼIlmilil Malâyîn, 1959.
Subagyo, Joko, Metodologi Penelitian Dalam Teori dan Praktek Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.
Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah Historis & Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011.