SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ALY DZULFIQAR
NIM. 11150440000034
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum dapat
diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
vi
ل l El
م m Em
ن n En
و w We
ه h Ha
ء ˋ Apostrop
ي y Ya
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau
monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai berikut:
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Tanda Vokal
Keterangan
Arab Latin
 a dengan topi di
atas
vii
Î i dengan topi di
atas
Û u dengan topi di
atas
Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam ()ال,
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf
qomariyyah. Misalnya:
= اإلجتهادal-ijtihâd
= الرخصةal-rukhsah, bukan ar-rukhsah
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
Dalam penulisan ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbȗtah
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
“t” (te) (lihat contoh 3).
Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam
transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului
oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
viii
nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: = البخاريal-Bukhâri
tidak ditulis Al- Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut
berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.
Setiap kata, baik kata kerja (fi’il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan diatas:
ix
KATA PENGANTAR
Puji beserta syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada uswah hasanah kita
yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah mengajarkan kepada umatnya bagaimana
memaknai hidup ini sesungguhnya dan istiqomah dalam memegang sunnahnya
sampai hari pembalasan.
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, M.A., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Mesraini, M.Ag selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan
Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A. selaku Sekretaris Program Studi
Hukum Keluarga.
3. Bapak Dr. Muchtar Ali, M. Hum. selaku dosen pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu serta memberikan arahan dan ilmunya selama
penulis mengerjakan skripsi ini.
4. Bapak Dr. H. A. Juaini Syukri, Lc., M.A selaku Dosen Penasihat
Akademik yang selalu membimbing dan menyemangati penulis selama
menjalani kuliah.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta terkhusus Bapak Massagus M. Ezra Fadriansyah, S.H., M.H.,
Bapak Qosim Arsadani, M.A , Ibu Sri Hidayati, M.Ag. yang telah
memberikan ilmunya dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
6. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan fasilitas dalam penelitian ini.
x
7. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan
Hukum yang telah memberikan fasilitas dalam penelitian ini.
8. Keluarga penulis, ayahanda H. Holies Basuno dan Ibunda Fransiska
Farida Palandi, yang tidak pernah berhenti untuk memberikan dukungan,
do’a maupun bantuan materil kepada penulis dalam menempuh
pendidikan. Kemudian kakak-kakak penulis dr. Latifa Hernisa, Sp.BTKV,
Tobby Abdillah dan Syaiful Haq, S.E. yang selalu menyemangati dan
mendoakan penulis hingga dapat menyelesaikan pendidikan S-1 ini.
9. Ibu Erma wati sekeluarga dan Sinta Felisia Agnes, S.H. yang senantiasa
meluangkan waktunya untuk berdiskusi, yang selalu menyemangati serta
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman seperjuangan penulis Bang Ahmad Vihandri Putra Hasibuan, S.P.,
M. Akbar Thariq, S.H., bang Rionaldi, bang Dirga, bang Roni, bang Akhir
yang telah menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Keluarga Besar Hukum Keluarga 2015, Anita Kurnia D., Kahfiel Waro
dan Ariyal Hikam P., S.H. yang telah berkontribusi dalam skripsi ini.
Kemudian teman-teman Hukum Keluarga A yang telah membantu penulis
dan selalu menyemengati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya untuk
mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.
Penulis
xi
DAFTAR ISI
ABSTRAK..... .................................................................................................. v
D. Manfaat Penelitian................................................................ 5
2. Metode Pendekatan......................................................... 7
xii
4. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 9
2. Ashabah........................................................................... 31
xiii
1. Pengertian Kewarisan Berganda (Munasakhah) ............... 33
2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn ................................................ 48
PTA.Bdg ............................................................................... 49
No.007/Pdt.G/2015/PTA.Bdg .......................................... 52
xiv
C. Kronologis Perkara Kewarisan berganda (Munasakhah) di
/Ag/2016 ......................................................................... 53
No.08K/Ag/2016 ............................................................. 57
2016 ................................................................................ 58
A. Kesimpulan ........................................................................... 72
B. Saran ..................................................................................... 73
xv
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 74
LAMPIRAN......................................................................................................... 78
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
1
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Bab II Hukum
kewarisan, Pasal 176-191.
2
Amir Syarifuddin, “Edisi Kedua: Hukum Kewarisan Islam”, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2015), Cet. 5, h., 156.
3
Dede Umu Kulsum, “Penyelesaian Kewarisan Ahli Waris Pengganti dan Munasakhah di
Pengadilan Agama (Analisis Penetapan Nomor. 108/Pdt.P/2014/PA.JB)”, (Skripsi S-1 Fakultas
Hukum Program Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2012), h., 43.
1
2
Tetapi secara fakta dari beberapa kasus mengenai waris terdapat kasus
munasakhah. Seperti perkara mengenai sengketa munasakhah yang terdapat
pada putusan Pengadilan Agama Cibinong No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn dan
Pengadilan Tinggi Agama Bandung No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg, dalam
kedua putusan tersebut terdapat perbedaan pertimbangan hakim dalam
menyelesaikan perkara ini pada Pengadilan Agama dengan Pengadilan Tinggi
Agama.
Hakim Pengadilan Agama4 memutuskan bahwa putusan tersebut
merupakan gugatan, dengan alasan bahwa adanya suatu sengketa mengenai
kewarisan tersebut yaitu munasakhah, dan harta waris yang tercampur itu
sangat sulit untuk dijabarkan secara rinci dan detail, seperti keabsahan harta
tersebut, dan tahun diperolehnya harta waris tersebut. Sedangkan menurut
hakim Pengadilan Tinggi Agama5 memutuskan bahwa putusan tersebut adalah
penetapan dengan alasan bahwa putusan tersebut tidak ada suatu permasalahan
warisan, harta waris dalam putusan tersebut juga sudah jelas keabsahan dan
tahun diperolehnya harta waris tersebut.
Putusan hakim Mahkamah Agung6 menolak putusan yang diajukan oleh
pemohon dengan alasan bahwa penetapan yang dilakukan oleh Pengadilan
Tinggi Agama Bandung sudah jelas dan tidak menyalahi aturan undang-
undang. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa hakim Pengadilan Agama
memberikan putusan sangat berbeda dengan Pengadilan Tinggi Agama dan
Mahkamah Agung. Sehingga peneliti melihat bahwa adanya perbedaan
pertimbangan hakim yang sangat jelas dalam menyelesaikan perkara
munasakhah dan adanya permasalahan yang tidak dibahas secara menyeluruh
oleh hakim Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Tinggi Agama Bandung,
maupun Mahkamah Agung yaitu mengenai sengketa waris munasakhah.
Oleh karena itu, timbullah beberapa pertanyaan mengenai sengketa
waris munasakhah seperti bagaimana pertimbangan hakim tentang
4
Salinan Putusan Nomor: 2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn (Lihat dalam lampiran).
5
Salinan Putusan Nomor: 0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg (Lihat dalam lampiran).
6
Salinan Putusan Nomor: 08 K/Ag/2016 (Lihat dalam lampiran).
3
C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, tujuan dari penelitian ini sesuai dengan rumusan
masalah pada penelitian ini adalah untuk menjelaskan pertimbangan hakim
dalam menyelesaikan sengket warisan munasakhah di Pengadilan Agama
Cibinong, Pengadilan Tinggi Agama Bandung, dan Mahkamah Agung
berdasarkan hukum kewarisan Islam.
D. Manfaat Penelitian
Dan dalam penelitian ini terdapat beberpa manfat adalah sebagai berikut:
5
7
Dede Umu Kulsum “Penyelesaian Kewarisan Ahli Waris Pengganti dan Munasakhah di
Pengadilan Agama (Analisis Penetapan Nomor.108/Pdt.P/2014/PA.JB)”, (Skripsi S-1 Jurusan al-
Ahwal Asy-syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015).
8
Muh. Sudirman, “Munasakhah dalam Sistem Kewarisan Islam”, dalam Jurnal Supermasi
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar Volume XI Nomor 2, Makassar, (Oktober, 2016).
6
F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
9
Fatahullah, Sugiyarno, Ita Surayya, “Antara Munasakhah dan Ahli Waris Pengganti pada
Putusan Nomor.0311/Pdt.G/2009/PA.Sel.
7
10
Mukti Fajar, Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris”,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, cet. 1), hlm., 34.
11
Nusa Putra dan Hendarman, “Metode Riset Campur Sari: Konsep, Strategi dan Aplikasi”,
( Jakarta: Indeks, 2013), h., 24.
12
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, “Metode Penelitian Hukum”, (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, Cet. 1), h., 31.
13
Johnny Ibrahim, “Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif”, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2005, cet. 1), h., 257
8
14
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, (Jakarta: Kencana, 2016), cet. 9, h., 136.
15
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, h., 181.
9
16
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, h., 181.
17
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet. 8, h., 13
18
Amiruddin dan Zainal Asikin, “Pengantar Metode Penelitian Metode Hukum, (Jakarta:
PT Raja Grafindo, 2004), h., 68
19
I Made Pasek Diantha, “Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori
Hukum”, (Jakarta: Prenada Media Group, 2017), cet. 2, h., 155
10
G. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini, peneliti menguraikan secara singkat dengan membagi
menjadi lima bab untuk mengetahui gambaran secara keseluruhan mengenai
penelitian ini.
Bab pertama merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang
masalah yang menjadi alasan peneliti membahas penelitian ini, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian yang
mencakup: jenis penelitian, metode pendekatan, sumber data, teknik
pengumpulan data, analisis data, serta sistematika penulisan.
Selanjutnya bab kedua membahas Konsep Kewarisan dalam Islam yang
terdiri dari pengertian kewarisan Islam, rukun dan syarat-syarat kewarisan
Islam, dasar hukum kewarisan Islam, sebab-sebab timbulnya dan halangan
kewarisan dalam Islam dan dalam hukum positif, pengertian munasakhah, dasar
hukum munasakhah.
Kemudian bab ketiga berisi tentang Konsep Kewarisan Berganda
(Munasakhah) di Pengadilan Agama dengan pembahasannya yaitu
Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia , menguraikan dan menjelaskan
kronologis perkara kewarisan berganda (munasakhah) di Pengadilan Agama
Cibinong No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn, Pengadilan Tinggi Agama Bandung
No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg, dan Mahkamah Agung No.08 K/Ag/2016.
Selanjutnya bab keempat, membahas tentang Analisis terhadap Kewarisan
Berganda dalam Putusan Hakim Pengadilan Agama tentang Sengketa Waris
Munasakhah dalam Putusan Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Tinggi
Agama Bandung, dan Mahkamah Agung yang mencakup Perbandingan
Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Cibinong
No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn, Pengadilan Tinggi Agama Bandung
No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg, dan Mahkamah Agung No.08 K/Ag/2016,
serta Analisis Yuridis terhadap Kewarisan Berganda dalam Putusan Hakim
Pengadilan Agama Cibinong No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn, Pengadilan Tinggi
11
1
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), cet. 2, h., 1.
2
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), cet. 2, h., 1-2.
3
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan
Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet. 1, h., 5-7.
12
13
ْ ِو َم ْعرفَةَقَْدْر
ِ َِال َِواجبِمن َ َسابِاْل ُم ْوصلِِالٰىِ َم ْعرفَةَذَالَك ْ ِو َم ْعرفَة
َ ِالح َ ا َ ْلفِ ْقهُِاْل ُمت َ َعل ُقِب ْاْل ْرث
ْ الت ْر َكةِل ُكلَِذ
ِىِ َحق
“Ilmu Fiqih yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan
tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta
pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta
peninggalan untuk setiap pemilik.”
4
Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Media University Press, 2014), h., 1.
5
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma’arif, 1975), cet. 10, h., 32.
6
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqh As-Sunnah Wa Adillatuhu wa
Taudhih Madzabib Al-A’immah, (Terj) Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh, Shahih Fiqih
Sunnah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h., 682
7
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran
Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h., 50.
14
tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya,
kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya 8.
Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam, hukum kewarisan diartikan
sebagai hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan hara
peninggalan (tirkah) pewaris menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa besar bagiannya masing-masing9.
Muhammad Amin Suma juga memberikan pengertian bahwa hukum
kewarisan Islam ialah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris, dan mengatur
kapan pembagian harta kekayaan pewaris dilaksanakan10.
Sejalan dengan itu, M. Idris Ramulyo berpendapat sebagaimana yang
dikutip oleh Mardani dalam bukunya, wirasah atau hukum waris adalah hukum
yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris,
harta peninggalan, serta pembagian yang lazim disebut hukum faraidh11.
Sedangkan menurut Hilman Hadikusumo dalam bukunya yang berjudul
Hukum Waris Adat yang sebagaimana dikutip oleh Agus Efendi dalam
skripsinya, mendefinisikan kewarisan sebagai “hukum penerusan harta
kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya 12.
Dalam istilah hukum baku yang digunakan adalah kata kewarisan, dengan
mengambil asal kata waris dengan tambahan awalan ke- dan akhiran -an. Kata
waris itu sendiri dapat berarti orang pewaris sebagai subjek dan dalam pula
berarti proses. Dalam arti pertama mengandung makna “hal ihwal orang yang
8
Maulana Hamzah, “Persepsi Aktivis Gender Indonesia Terhadap Sistem Pembagian Harta
Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam”, (Skripsi S-1 jurusan al-Ahwal Asy-syakhsiyyah,
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010), h., 15.
9
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Buku II Hukum
kewarisan, Pasal 171 point a.
10
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2004), h., 108.
11
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), cet. 2, h., 2.
12
Agus Efendi, “Pembagian Warisan Secara Kekeluargaan (Studi Terhadap Pasal 183
Kompilasi Hukum Islam)”, (Skripsi S-1 Jurusan al-Ahwal Asy-syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009), h., 20.
15
menerima harta warisan” dan dalam arti kedua mengandung makna “hal ihwal
peralihanharta dari yang telah mati kepada yang masih hidup”13.
Dan menurut istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari
orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Dengan
demikian apabila dilihat secara garis besar bahwa warisan yaitu perpindahan
berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia
kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam
mewarisi14.
B. Dasar Hukum Kewarisan
Adapun dasar-dasar hukum yang dijadikan sebagai pedoman untuk
menentukan pemberlakuan hukum waris bagi umat Islam sebagai berikut:
1. Ayat-ayat al-Qur’an15
a. QS. al-Nisa (4): 7
ِيب ِم َّما ِت ََرَكَ ِ ۡٱل َولِ َْدان َ ِو ۡٱۡل َ َۡق َربُونَِ ِ َوللن
ٞ سآء ِنَص ۡ َيب ِم َّماِت ََرَك
َ ِٱل َول َْدان ٞ للر َجال ِنَص
. َو ۡٱۡل َ َۡق َربُونَ ِم َّماَِقَلَِّم ۡنهُِأ َ ۡوِ َكث ُ َۚ َرِنَصيبٗ اِ َّم ۡف ُِروضٗ ا
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Sebab turunnya ayat ini, sebagian masyarakat arab pada jaman
jahiliyah, bahwa waris hanya untuk orang yang bisa berperang sehingga
Allah membatalkan hal tersebut dengan menurunkan ayat ini.
Sehingga ayat ini mengenai pembagian waris yang adil yang
bertujuan untuk membatalkan kebiasaan masyarakat arab pada jaman
13
Maulana Hamzah, “Persepsi Aktivis Gender Indonesia Terhadap Sistem Pembagian
Harta Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam”, (Skripsi S-1 jurusan al-Ahwal Asy-syakhsiyyah,
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010), h., 17.
14
Ahmad Ferizqo Achdan, “Analisis Yuridis Tentang Pembagian Harta Bersama Dan
Warisan Perkawinan Poligami”, (Skripsi S-1 Jurusan Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018), h., 9.
15
Al-Qur’an al-Karim.
16
jahiliyah yang hanya mewariskan harta warisan kepada orang yang bisa
berperang.16
16
Muhammad Ali al-Shobuni, Shofwatut Tafasir, (Beirut: Darul Fikr, 1980), h., 260.
17
ِ ِفَلَكُ ُمِٱلربُ ُعِم َّماِٞولَْدَ َۚ ِفَِإنِ َكانَ ِلَ ُه َّنٞفِ َماِت ََرَكَ ِأ َ ۡز َو ُجكُ ۡمِإنِلَّ ۡمِيَكُنِلَّ ُه َّنِ َِولَْد ُ َۡولَكُ ۡمِنص
ِِولَ ُِه َّنِٱلربُ ُعِم َّماِت ََر ۡكت ُ ۡمِإنِلَّ ۡمَِِيكُنِلَّكُ ۡم َ ِوصيَّة ِيُوصينَ ِب َها ِٓأَ ۡو ِ َْد ۡي َۚن َ ت ََر ۡك َۚنَ ِم ۢن ِ َبعۡ ْد
ِصونَ ِب َها ٓ ِِأ َ ۡو ِ َْد ۡين
ُ ِوصيَّةِتُو َ َِۚ ِفَِإنِ َكانَ ِلَكُ ۡمَٞولَْد
َ ِفَلَ ُه َّنِٱلث ُمنُ ِم َّماِت ََر ِۡكت ُ َۚمِم ۢنِ َبعۡ ْدِٞولَْد
ُ َۚ ِوحْدِم ۡن ُه َماِٱلسِْد
ُِس َ تِفَلكُلٞ ِولَهُۥِٓأ َ ٌخ ِِأ َ ۡوِأ ُ ۡخَ ةٞ َِٱم َرأ
ۡ ث ِ َكلَلَةً ِأَوُ ُور َ ل ِيٞ ِر ُج َ ََوإنِ َكان
ِصٰىِب َهآِأ َ ۡوِ َِْد ۡين َ فَِإنِ َكانُ ٓواِْأ َ ِۡكث َ َرِمنَِذَلَكَ ِفَ ُه ۡمِشُ َر َكا ٓ ُءِفيِٱلثلُِ َۚثِم ۢنِ َبعۡ ْد
َ ِوصيَّةِيُو
.ِمٞ علي ٌمِ َحلي
َ ُِٱَّلل
َّ ِو َّ َِوصي َّٗةِمن
َ ِٱَّلل َ ضا ٓ َۚر
َ غ َۡي َرِ ُم
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya
dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.
17
Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jilid 5, Penerjemah Ahmad Rijali Qadir,
Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Cet. 1, h., 152-154.
18
ِٞ ِولَهُۥِٓأ ُ ۡخ
ِت ِفَلَ َها َ ُٞۥِولَْد
َ سِلَه َ ِٱل َكلَلَ َۚة ِإن ِٱمِۡ ُر ٌُؤاِْ ََهلََكَ ِلَ ۡي
ۡ ِٱَّللُ ِي ُۡفتيكُ ۡم ِفي
َّ يَسۡ ت َۡفتُونََكَ َِقُل
ۡ َِۚ ِفَِإنِ َكانَتٞاِولَْد
َِاِٱثنَت َۡينِفَلَ ُه َماِٱلثِلُثَان ِم َّما َ َف ِ َماِت ََر ََۚك
َ ِوَه َُو ِ َيرث ُ َها ِٓإنِلَّ ۡم ِ َيكُنِلَّ َه ُ ۡنص
ِِٱَّلل ِلَكُ ۡم ِأَن ۡ ِون َسا ٓ ٗء ِفَللَذَّ َكرِ ِم ۡث ُل ِ َحظ
َُِّ ُِٱۡلُنث َ َي ۡين ِيُ َبين َ َت ََر ََۚك
َ ِوإن ِ َكانُ ٓواْ ِإ ۡخ َو ٗة ِر َج ٗاْل
علي ۢ ُِم
َ ِٱَّللِبكُلِش َۡيء َ ْت َضلِوا
ُ َّ ِو
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu):
jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan
itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-
laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara
laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak
bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum
ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.
2. Hadits
a. Hadis dari Umayyah yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab
Shahih Muslim:19
ِعبْْد ِْ ع
َ ِن ْ ََاِر ْو ُحِبْن
َ ِ،ِال َقاسم َ َح َّْدثَن:ِِز َريْع ْ ام
ُِ ُِ َح َّْدثَنَاِ َيزيْدُِبْن:ِ ِال َعيْشي َ أ ُ َميَّةُِبْنُ ِب ْس
َ ط
َ ع ْن
ِ.ِرسُِوِلِهللاِصليِهللاِعليهِوسلم َ ِ،عبَّاِس َ ِ،ع ْنِأَبيه
َ ِعنِابْن َ ِ،اِوِس
ُ ط َ ِهللاِبْن
ِ َضِفَُأِل َ ْول
.))ٰىِ َر ُجلَِذَ َكر ْ ِفَ َماِت ََر َكت،ضِبأَِ َْهل َها
ُ ِالَِف َراء َ َقَالَِ((أ ْلحقُواِالُفَ َرائ
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
beliau bersabda: “Berikanlah harta pusaka kepada yang berhak, dan
18
Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-ayat Hukum, (Jakarta: Amzah,
September 2013), h., 287.
19
Abu Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1971), h., 627.
19
seberapa yang tinggal itu untuk laki-laki yang paling dekat (kepada
yang meninggal).
b. Hadis dari Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam
kitab Bulughul Maram: 20
َ ِيِهللاُِتَعَالَٰى
َ ِفَ َق:ِع ْنهُِفيِب ْنتِوبِ ْنتِابْنِِوأخت
ِضٰىِالنَّبي َ ِرض
َ عنِابْنِ َم ْسعُ ْوْد
َ َو
ِي َ ُِسِت َ ْكملَةَِالثلُثَيْن
َ ِو َماِبَِق، َ ِوْل ْبنَة،
ُ ِاْلبْنَ ِالسِْد َ ف ُ ص
ْ صليِهللاِعليهِوسلمِْل ْبنَةِِالن
ِ )فَلُأِل ُ ْختِ(رواُهِالبخاِري
َِأ َ َْقس ُم ْواِا ْل َما َلِ َبيْنَ ِا َ َْهلِاْل َف َرائِضِ َعلِكت َاِبِهللاِ ت َ َعاِل
20
Al-Hafidz ibnu Hajr al-Asqolani, Bulughul Maram, (Surabaya: Maktabah Daru jawahir),
h., 203.
21
Al-Sayyid al-Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy, Subulussalam, (Bandung:
Dahlan), Bab Faraid, Juz 3, h., 98.
22
Husain Yusuf Ghozal, al-Mirats, (Darul Fikr: 2003), cet. 2, h., 12
23
Kutubus Sittah, (Saudi Arabia: Darussalam, 2000), cet. 3, h., 958
20
3. Ijtihad Ulama
Dalam al-Qur’an dan hadis sudah memberikan ketentuan pembagian
harta warisan secara detail. Tetapi dalam beberapa hal masih diperlukan
adanya ijtihad. Misalnya mengenai bagian warisan banci (waris) diberikan
kepada siapa harta warisan yang tidak habis terbagi.
Mengenai munasakhah terdapat dalam kitab Fiqhul Sunnah24 dan al-
Mirats dengan melihat syarat waris mewarisi, seperti:25
24
Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhul Sunnah, (Libanon: Darul Fikr: 1998), Juz. 3, h., 303.
25
Husain Yusuf Ghozal, al-Mirats, (Libanon: Darul Fikr: 2003), cet. 2, h., 10.
26
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al-Faraidl: Deskripsi Hukum
Islam, Praktis dan Terapan, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h., 22-24.
27
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Bab II Hukum
kewarisan, Pasal 171 point d.
21
a. Tirkah menurut Ibn Hazm adalah segala apa yang ditinggalkan oleh
orang yang meninggal dunia yang berupa harta benda saja dan ini
sependapat dengan para fuqaha Hanafiyah. Dalam hal ini Ibnu Hazm
mengemukakan:29
ِِوأ َ َّما َ ِمال ِْلَ ِف ْي َماِ َلي
َِ ْس ِب َماِل َ ِالمي َْراثِف ْي َماِيُ ْخلفُهُِاْْل ْن َسا ُن ِبَ ْع َْد ِ َم ْوتِهِ ِم ْن
ْ ب ْ َ ِهللا ِأ
َ ِو َج َ إ َّن
ْ ثِم ْن َهاِإْلَِّ َماِ َكانَ ِتَاِبعًاِلِْل َمالِأ َ ْوِفيِ َم ْعن
َِٰىِال َمال ُ اْل ُحِقُ ْو َُقِفََلَِي ُْو َر
Artinya: sesungguhnya Allah mewajibkan pewarisan dari apa yang
ditinggalkan oleh manusia setelah ia meninggal dunia yang berupa harta
benda. sedangkan hak-hak tidaklah diwariskan, kecuali hak-hak tersebut
mengikuti kepada bendanya atau ia diartikan sebagai harta benda.
28
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma’arif, 1975), cet. 10, h., 37-39.
29
Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhul Sunnah, (Libanon: Darul Fikr: 1998), Juz. 3, h., 301.
30
Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhul Sunnah, (Libanon: Darul Fikr: 1998), Juz. 3, h., 301.
22
31
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), h., 60-61.
32
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Bab II Hukum
kewarisan, Pasal 171 point b.
23
33
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Bab II Hukum
kewarisan, Pasal 171 point c.
24
34
Ahmad Ferizqo Achdan, “Analisis Yuridis tentang Pembagian Harta Bersama dan
Warisan Perkawinan Poligami”, (Skripsi S-1 Jurusan Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018), h., 10.
35
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan
Tafsir Tematik, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h., 71.
36
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan
Tafsir Tematik, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h., 72.
25
37
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), cet. 2, h., 5-7.
38
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), h., 39.
39
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam¸ (Jakarta: Prenada Media, 2004), h., 19.
26
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa bagi seorang laki-laki maupun
perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang tuanya atau dari karib
kerabatnya, kata nasib dalam ayat tersebut diartikan saham, bagian atau
jatah dari harta peninggalan si pewaris.
2. Asas Bilateral
Adalah harta warisan yang beralih kepada atau melalui dua arah.
Maksudnya setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak
garis kerabat, seperti pihak kerabat garis keturunan dari laki-laki dan pihak
kerabat garis keturunan perempuan. Untuk lebih jelasnya asas bilateral ini
dapat dilihat dalam surat an-Nisa: 7, 11, 12 dan 176. Ayat-ayat yang telah
disebutkan sebelumnya akan dijelaskan secara rinci, antara lain: 40
a. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seorang laki-laki berhak memperoleh
warisan dari pihak ayahnya maupun ibunya. Begitu juga dengan
perempuan mendapat warisan dari kedua belah pihak orang tuanya.
Ayat ini merupakan dasar bagi asas kewarisan bilateral.
b. Dalam ayat 11 ditegaskan:
Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya
sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan
seorang anak laki-laki menerima sebanyak yang didapat dua orang
anak perempuan.
Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun
perempuan. Begitu pula ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak
40
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam: Edisi Kedua, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2015), cet. 5, h., 24-25.
27
41
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam¸ (Jakarta: Prenada Media, 2004), h., 28.
28
warisat yang dibuat pada waktu masih hidup yang disebut “kewarisan bij
testament”.
Asas ini dapat digali dari penggunaan kata-kata waratsa ( )ورثyang
banyak terdapat dalam al-Qur’an. Kata waratsa ditemukan beberapa kali
digunakan dalam ayat-ayat kewarisan. Dari keseluruhan pemakaian kata itu
terlihat bahwa peralihan harta berlaku setelah mempunyai harta itu
meninggal dunia. Makna terakhir ini akan lebih jelas apabila semua kata
waratsa yang terdapat dalam ayat-ayat kewarisan dianalisis dan
dihubungkan dengan kata waratsa yang terdapat di luar ayat-ayat
kewarisan, kata ini cukup banyak digunakan dalam al-Qur’an baik dalam
pengettian sebenarnya atau tidak.
4. Asas Integrity (Ketulusan)
Adalah harta yang akan dibagikan ke orang lain harus dilakukan dengan
ketulusan hati untuk menaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini.
5. Asas Ta’abudi (Penghambaan Diri)
Maksudnya adalah melaksanakan pembagian waris secara hukum Islam
yang merupakan bagian dari ibadah kepada Allah Swt.
6. Asas Huququl Maliyah (Hak-hak Kebendaan)
Maksudnya adalah hak-hak kebendaan yang dapat diartikan, hak dan
kewajiban terhadap kebendaan yang dapat diwariskan kepada ahli waris.
7. Asas Huququn Thaba’iyah (Hak-hak Dasar)
Adalah hak-hak dari ahli waris sebagai manusia. Maksudnya seseorang
dianggap cakap mewarisi harta meskipun masih bayi atau seseorang yang
sudah sakit parah dan suami istri yang belum bercerai.
8. Asas Membagi Habis Harta Warisan
Maksudnya semua harta peninggalan harus dibagi semua hingga tak
tersisa.
9. Asas Individual
Adalah harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara
perorangan. Maksudnya masing-masing ahli waris menerima bagiannya
secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Dengan
29
demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak
mendapatkan semua harta yang telah menjadi bagiannya 42.
Ketentuan ini juga dapat dijumpai dalam surat al-Nisa’: 7 yang secara
garis besar menjelaskan bahwa anak laki-laki maupun perempuan berhak
menerima warisan dari orang tuanya dan karib kerabatnya, terlepas dari
jumlah bagian yang telah ditentukan, sehingga dapat dikemukakan bahwa
bagian masing-masing ahli waris sudah ditentukan.
10. Asas Keadilan Berimbang
Adalah Keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan
antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Atas dasar
pengertian tersebut, terlihat asas dalam pembagian harta warisan dalam
hukum Islam. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender
tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Artinya, sebagaimana laki-
laki, perempuan pun memiliki hak yang sama kuat untuk mendapatkan
warisan. Hal ini telah disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an surat al-Nisa’
ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hak
mendapatkan warisan. Dijelaskan juga secara terperinci pada surat al-Nisa’
ayat 11-12, dan 176 yang menjelaskan kesamaan kekuatan hak menerima
warisan antara laki-laki dan perempuan, ayah dan ibu (ayat 11), suami dan
istri (ayat 12), saudara laki-laki dan perempuan (ayat 12 dan 176).
42
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam¸ (Jakarta: Prenada Media, 2004), h., 21.
30
43
T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum Warisan dalam Syariat
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h., 74-77.
44
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), h., 64-65.
32
45
Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid Analisa Para Mujtahid, (Terj.) Imam Ghazali dan Ahmad Ma’ruf Asrori, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2007), h., 381.
33
46
Muh. Sudirman, “Munasakhah dalam Sistem Kewarisan Islam”, dalam Jurnal Supremasi
Vol. 11 No. 2 (Oktober 2016), h., 129.
47
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), cet. 2, h., 75.
48
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran
Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h., 166.
34
2. Unsur-unsur Munasakhah
Menurut Mardani dalam bukunya yang berjudul Hukum Kewarisan
Islam di Indonesia53, munasakhah mempunyai beberapa unsur, yaitu:
a. Harta warisan pewaris belum dibagikan kepada ahli waris.
b. Adanya kematian dari seseorang atau beberapa orang ahli warisnya.
c. Adanya pemindahan bagian harta warisan daari pewaris kepada ahli
waris yang lain atau kepada ahli warisnya yang semula belum menjadi
ahli waris terhadap orang yang meninggal pertama.
49
Muh. Sudirman, “Munasakhah dalam Sistem Kewarisan Islam”, dalam Jurnal Supremasi
Vol. 11 No. 2 (Oktober 2016), h., 129.
50
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 10, (Terj.) Abdul Hayyie al-
Khattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011), h., 490.
51
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhaajul Muslim, (Terj.) Fadhli Bahri, Ensiklopedia
Muslim, (Bekasi: PT Darul Falah, 2016), cet.21, h., 649.
52
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris: Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h., 157.
53
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), cet. 2, h., 76.
35
d. Pemindahan bagian ahli waris yang telah meningggal dunia kepada ahli
warisnya harus dengan jalan mewarisi.
3. Keadaan-keadaan Munasakhah
Berdasarkan Penjelasan mengenai munasakhah telah dibahas
sebelumnya, munasakhah memiliki 3 bentuk54:
a. Ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian harta warisan dari
orang yang meninggal belakangan adalah ahli waris juga bagi orang
yang meninggal duluan.
Contoh:
Seseorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris dua orang anak
laki-laki (Mahmud dan Fauzi), dan tiga orang anak perempuan
(Rahmah, Fatimah dan Sa’idah). harta warisannya sebesar
Rp.25.000.000,-. Akan tetapi sebelum pembagian warisan
dilaksanakan, Mahmud mendadak meninggal dunia. Dalam
pelaksanaan pembagiannya, Mahmud dianggap tidak ada. Dengan
demikian, harta warisan dibagikan langsung kepada: Fauzi, Rahmah,
Fatimah dan Sa’idah dengan anak laki-laki mendapat dua bagian dan
anak perempuan mendapat satu bagian:
Fauzi Mendapat : 2/5x25.000.000 = 10.000.000
Rahmah mendapat : 1/5x25.000.000 = 5.000.000
Fatimah mendapat : 1/5x25.000.000 = 5.000.000
Sa’idah : 1/5x25.000.000 = 5.000.000
Seandainya Mahmud ada meninggalkan harta, maka harta tersebut
digabung menjadi satu dengan harta yang ditinggal oleh orang yang
meninggal dunia sebelum Mahmud, kemudian dibagi seperti
pembagian yang sudah dijelaskan sebelumnya.
b. Ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian harta warisan dari
orang yang meninggal belakangan adalah bukan ahli waris bagi orang
54
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), cet. 2, h., 76-77.
36
c. Ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewaris pertama
atau sebagian ahli waris termasuk kelompok ahli waris pewaris
pertama, juga termasuk kelompok ahli waris kedua55.
Contoh:
Penyelesaian tahap pertama
AW Bagian AM dan AW Bagian AM dan
Hitungan Hitungan
1/6 1/6x24 = Meninggal
Ayah
4x5 = 20
1/6 20x3= 60
Ibu 1/6x24 =
4x5 = 20
1/8 1/8x24 = 15x3= 45
Istri
3x5 = 15
2/3 2/3x24 = 80x3=240
5 Anak Pr
16x5 = 80
Istri 1/4 1/4x12=
3x5= 15
Sdr pr 1/2 1/2x12=
seibu- 6x5= 30
seayah
Sdr pr 1/6 1/6x12=
seibu 2x5= 10
Anak lk Sisa 1x5= 5
dari sdr lk
seibu-
seayah
Keterangan:
AW = Ahli Waris
AM = Asal Masalah
55
Muhammad Ali al-Shobuni, al-Mawarits fi Alsyariah al-Islamiyah, (Terj.) A. Zaini
Dahlan, Hukum Waris Menurut al-Qur’an dan Hadis/Muhammad, h., 175.
38
a. Mumatsalah
Jika hasil perbandingan saham-saham dalam tashhih pertama
dengan tashhih kedua itu mumatsalah, maka tidak perlu adanya
perkalian juzus-saham dengan asal masalah semula. Sebab tashhih yang
pertama adalah berstatus menempati asal masalah di tempat lain, dan
tashhih kedua adalah berstatus menempati status ‘adadur-ruus yang
terbagi atasnya dan apa yang berada di tangan orang yang mati kedua
berstatus menempati status saham-saham mereka dari asal-masalah,
seperti:
Seseorang meninggalkan ahli waris yang terdiri dari suami, ibu, dan
paman. Sebelum pembagian harta waris, suami meninggal dengan
meninggalkan ahli waris tiga orang anak laki-laki.
Penyelesaian pertama:
Asal masalah :6
Suami : 1/2 x 6 = 3
Ibu : 1/3 x 6 = 2
Paman : Ashabah (6 – 5 = 1)
56
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma’arif, 1975), cet. 10, h., 463.
57
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma’arif, 1975), cet. 10, h., 463-465.
39
Penyelesaian kedua:
b. Muwafaqah
Jika hasil perbandingan saham-saham dalam tashhih pertama
dengan tashhih kedua itu muwafaqah, maka wafqi (hasil bagi dari
pembagi yang sama) tashhih kedua hendaklah dikalikan dengan asal-
masalah yang pertama, seperti:
Seorang meninggalkan ahli waris yang terdiri dari suami, ibu, dan
paman. Sebelum pembagian harta waris, suami meninggal dunia
dengan meninggalkan ahli waris enam orang anak laki-laki.
Penyelesaian pertama:
Asal masalah :6
Suami : 1/2 x 6 = 3
Ibu : 1/3 x 6 = 2
Paman : Ashabah (6 – 5 = 1)
Penyelesaian kedua:
6 anak laki-laki mendapat ashabah berdasarkan jumlah saham mereka
yaitu: 6. Karena yang diwariskan dari bapaknya (suami yang meninggal
kedua). 3 saham tidak dapat dibagikan kepada mereka tanpa angka
pecahan adalah tawafuq (6:3), maka waqfinya adalah 2, dan digunakan
untuk mengkalikan asal masalah yang pertama, sehingga menjadi 12.
Dengan demikian kedua asal masalah tersebut sudah tashhih dan
40
c. Mubayanah
Jika hasil perbandingan saham-saham dalam tashhih pertama
dengan tashhih kedua itu tabayun, maka seluruh tashhih kedua
dikalikan dengan seluruh tashhih yang pertama, seperti:
Seorang meninggalkan ahli waris yang terdiri dari: suami, ibu, dan
paman. Sebelum pembagian harta waris, suami meninggal dunia
dengan meninggalkan anak laki-laki sebanyak 10 orang.
Penyelesaian pertama:
Asal masalah :6
Suami : 1/2 x 6 = 3
Ibu : 1/3 x 6 = 2
Paman : Ashabah (6 – 5 = 1)
Penyelesaian kedua:
Karena 6 dengan 10 tidak dapat tawaquf, dan hal ini tabayyun maka
asal-masalah pertama dikalikan dengan asal masalah kedua. Dengan
kata lain jumlah ‘adadur-ruus (10) dijadikan asal masalah dalam
tashhih yang kedua, kemudian tashhih yang kedua dipergunakan untuk
mengalikan asal-masalah yang pertama. Sesudah itu, seluruh saham
ahli waris dikalikan dengan 10.
Asal masalah : 6 x 10 = 60
10 anak laki-laki : 3 x 10 = 30
1 anak laki-laki :3
Ibu : 2 x 10 = 20
Paman : 1 x 10 = 10
41
d. Mudakhalah
Adalah jika penyebut-penyebut pecahan fardh ahli waris dapat
dibagi oleh penyebut yang terkecil, seperti: dalam masalah mawaris
yang ahli warisnya terdiri dari anak perempuan mendapat 1/2, ibu 1/6
maka nisbah (perbandingan) 2 penyebut tersebut adalah tadakhul.
Sebab penyebut yang terbesar yaitu 6 dapat dibagi oleh penyebut yang
terkecil yaitu 258.
58
Fatchur Rahmn, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma’arif, 1975), cet. 10, h., 141.
BAB III
KONSEP KEWARISAN BERGANDA (MUNASAKHAH) DI
PENGADILAN AGAMA
1
Salinan Putusan Nomor: 2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn (Lihat dalam lampiran).
41
42
Selain hal ini, Penggugat hadir pada hari dan tanggal persidangan yang
telah ditetapkan dengan didampingi kuasa hukum, begitu juga dengan para
Tergugat untuk menghadap di persidangan. Kemudian Majelis Hakim telah
berupaya keras untuk menasihati Penggugat dan para Tergugat agar
menyelesaikan secara kekeluargaan, akan tetapi Penggugat dan para
Tergugat tetap pada pendirian masing-masing.
Kemudian Majelis Hakim telah memberikan perintah kepada Penggugat
dan para Tergugat untuk melakukan mediasi, setelah itu Hakim Mediator
telah berupaya mendamaikan para pihak tetapi sampai batas waktu mediasi
yang ditetapkan mediator tidak memberikan laporan hasil mediasi.
Setelah batas waktu maksimal yang diberikan untuk melaksanakan
mediasi terlewati, maka Majelis Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara
dengan dibacakan surat gugatan Penggugat yang isinya tetap dipertahankan
43
dengan tempat untuk mengajukan perkara dimana dalam hal ini Pengadilan
Agama Cibinong berwenang secara wilayah yurisdiksi terhadap gugatan
aquo, dengan adanya alat bukti fotokopi Kartu Tanda Penduduk (P.1) dan
fotokopi Kartu Keluarga (P.2) sebagai penguat bahwa perkara ini termasuk
kewenangan Pengadilan Agama Cibinong.
Pada gugatan aquo dalam putusan ini mengenai perkara waris bukan
perkara perceraian. Sehingga hukum beracara yang berlaku untuk perkara
ini adalah hukum beracara yang berlaku umum sebagaimana Pasal 54
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaiamana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan atas kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Sedangkan kewenangan relatif diatur dalam Pasal
118 HIR, yaitu gugatan bisa diajukan kepada Pengadilan pada tingkat
pertama yang wilayahnya meliputi kediaman Tergugat atau di wilayah
terletak barang sengketa atau di wilayah kediaman Penggugat jika alamat
terguggat sudah tidak diketahui.
Selanjutnya, Para Tergugat yang berdomisili di Jakarta Pusat tidak
mengajukan keberatan baik dalam eksepsi maupun selama persidangan
mengenai lokasi persidangan. Oleh karena itu, Pengadilan Agama Cibinong
melalui Majelis Hakim berwenang untuk memeriksa, mengadili dan
memutus perkara aquo.
Kemudian untuk memenuhi maksud Pasal 130 HIR, majelis hakim
telah berupaya mendamaikan Penggugat dengan para Tergugat di depan
sidang, Penggugat dan para Tergugugat telah menempuh proses mediasi
sesuai ketentuan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi dengan Mediator
namun tidak berhasil.
Demikian juga gugatan dari Penggugat yang pada pokoknya memohon
agar ditetapkan siapa yang menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-
masing ahli waris dari (RHHN) Pewaris II. Sehingga hakim meminta
46
Dalam Rekonvensi
Berdasarkan konvensi Penggugat, para Tergugat telah menyertakan
gugatan balik (rekonvensi) kepada Penggugat, sehingga posisi yang semula
sebagai para Tergugat menjadi para Penggugat rekonvensi, dan posisi yang
semula sebagai Penggugat menjadi Tergugat.
Kemudian berdasarkan ketentuan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, sehingga Pengadilan Agama mempunyai
kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara sebagai berikut:
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
48
g. Infaq
h. Shadaqah
i. Ekonomi syari’ah.
Berdasarkan turunan dari 9 perkara itu terdapat dalam penjelasan Pasal
49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Dalam Rekonvensi
Menolak gugatan rekonvensi Penggugat rekonvensi.
Dalam Konvensi dan Rekonvensi
Menghukum Penggugat dan para Terguggat untuk membayar biaya perkara
secara tanggung renteng sejumlah Rp. 1.216.000,- (satu juta dua ratus enam
belas ribu rupiah).
Dalam Konvensi
a. Hakim mengabulkan gugatan Penggugat.
b. Menetapkan ahli waris RHHN dan bagian masing-masing ahli waris
sebagai berikut:
1) SS(Istri) = 8/64.
2) EJ (anak perempuan dari CNS) = 7/64.
3) IAM (anak laki-laki 1 dari CNS) = 14/64.
4) ANI (anak laki-laki 2 dari CNS) = 14/64.
5) RN (anak laki-laki dari SS) = 14/64.
6) SH (anak perempuan dari SS) = 7/64.
2
Salinan Putusan Nomor: 0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg (Lihat dalam lampiran).
50
Dalam Rekonvensi
Menolak gugatan rekonvensi Penggugat rekonvensi.
Dalam Konvensi dan Rekonvensi
Menghukum Penggugat dan para Terguggat untuk membayar biaya perkara
secara tanggung renteng sejumlah Rp. 1.216.000,- (satu juta dua ratus enam
belas ribu rupiah).
Kemudian pada hari Senin, tanggal 22 Desember 2014 para Tergugat
telah mengajukan permohonan banding terhadap Putusan Pengadilan
Agama tersebut. Dan permohonan banding tersebut telah diberitahukan
kepada pihak lawannya pada hari Kamis, tanggal 08 Januari 2015 sesuai
dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
2. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan Tinggi Agama
Bandung No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg
Setelah memperhatikan dengan seksama putusan Pengadilan Agama
Cibinong, Majelis Hakim tingkat banding tidak sependapat dengan apa yang
telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim tingkat pertama dengan
beberapa pertimbangan sebagai berikut:
a. Berdasarkan posita Penggugat/Terbanding, terdapat Surat Keterangan
Kematian Nomor 474.3/36-Pem, tanggal 13 Juni 2013 yang dikeluarkan
oleh Lurah Cileungsi Kidul, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor
bahwa pewaris yang bernama RHHN telah meninggal dunia pada
tanggal 21 Mei 2013 di kota Maastrich Belanda yang dikebumikan di
Indonesia. Semasa hidupnya pewaris pernah menikah dengan
Penggugat SS dengan bukti Akta Nikah Nomor 90/90/IV/1999 tanggal
14 April 1999 yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat dari perkawinan
tersebut memperoleh dua orang anak masing-masing bernama:
1) RN, lahir pada tanggal 16 Mei 1999.
2) SH, lahir pada tanggal 11 Juli 2000.
b. Berdasarkan bukti Akta Nikah Nomor 51/30/1976 pada tanggal 15
Oktober 1976 yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor
51
Dalam Konvensi
a. Hakim mengabulkan gugatan Penggugat.
b. Menetapkan ahli waris RHHN dan bagian masing-masing ahli waris
sebagai berikut:
1) SS (Istri) = 8/64.
2) EJ (anak perempuan dari CNS) = 7/64.
3) IAM (anak laki-laki 1 dari CNS) = 14/64.
3
Salinan Putusan Nomor: 08 K/Ag/2016 (Lihat dalam lampiran).
54
Dalam Rekonvensi
Menolak gugatan rekonvensi Penggugat rekonvensi.
Dalam Konvensi dan Rekonvensi
Menghukum Penggugat dan para Terguggat untuk membayar biaya
perkara secara tanggung renteng sejumlah Rp. 1.216.000,- (satu juta dua
ratus enam belas ribu rupiah).
Pada hari Senin, tanggal 22 Desember 2014 para Tergugat telah
mengajukan permohonan banding terhadap Putusan Pengadilan Agama
tersebut. Dan permohonan banding tersebut telah diberitahukan kepada
pihak lawannya pad hari Kamis, tanggal 08 Januari 2015 sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku.
Bahwa dalam tingkat banding atas permohonan para Tergugat putusan
Pengadilan Agama Cibinong telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi
Agama Bandung dengan Putusan No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg, tanggal
11 Mei 2015 M bertepatan dengan 22 Rajab 1436 H yang amarnya sebagai
berikut:
a. Menyatakan Permohonan banding Pembanding dapat diterima.
b. Membatalkan putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor:
2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn pada tanggal 26 Nopember 2014 Masehi
yang bertepatan dengan tanggal 3 Shafar 1436 Hijriah, dan dengan
mengadili sendiri:
c. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima untuk seluruhnya
(Niet Onvankelijk Verklaard).
d. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara di tingkat
pertama sebesar Rp 1.216.000,- (satu juta dua ratus enam belas ribu
rupiah).
e. Menghukum Terbanding untuk membayar biaya perkara di tingkat
banding sebesar Rp150.000,-
55
karena wujud dan jenis harta almarhum RHHN masih belum jelas jenis,
wujud dan jumlahnya.
Bahwa dengan mempunyai kedudukan dan status hukum yang sama
dan rumusan pembagian yang sudah jelas, maka para ahli waris
berkumpul dan sepakat membagi harta warisan sesuai dengan bagian
masing-masing sesuai yang telah ditetapkan.
c. Bahwa pertimbangan Hakim menyatakan: “Menimbang, bahwa apabila
suatu perkara yang bersifat kontentius sudah jelas mengandung
sengketa, harus menyebutkan apa-apa obyek yang disengketakan dalam
perkara a quo……”
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung telah keliru dan
tidak memahami substansi gugatan dari Pemohon
Kasasi/Terbanding/semula Penggugat, karena yang menjadi petitum
adalah Penetapan Ahli waris dan formula pembagian masing-masing.
Bukan pembagian harta warisan karena jika dimaksud oleh Pemohon
Kasasi/Terbanding/semula Penggugat untuk membagi warisan, maka
gugatannya adalah gugatan Pembagian Harta Warisan, bukan gugatan
Penetapan Ahli Waris.
2. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No.08
K/Ag/2016
Pada alasan-alasan yang telah disampaikan oleh Pemohon
Kasasi/Terbanding/ semula Penggugat tersebut, Mahkamah Agung
mempertimbangkan sebagai berikut:
Mengenai Alasan ke-1 sampai dengan alasan ke-2
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex
Facti tingkat pertama tidak salah dalam menerapkan hukum
Bahwa gugatan Penggugat tidak mengandung sengketa unsur sengketa,
karena Penggugat hanya memohon penetapan ahli waris dan bagian masing-
masing ahli waris, permohonan mana seharusnya cukup diajukan secara
volunteer.
58
1
Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati dan Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan
Bisnis: Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, (Jakarta: Kencana,
2013), h., 72-73.
2
Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati dan Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan
Bisnis: Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, (Jakarta: Kencana,
2013), h., 73.
59
60
pada Buku II tentang Hukum Kewarisan dan Bab III tentang Besarnya bagian
Pasal 176 sampai Pasal 1913.
Sehingga apabila terjadi sengketa dalam pembagian warisan, hukum Islam
dan hukum positif di Indonesia telah mengatur secara jelas dan detail mengenai
cara menyelesaikan dan memindahkan harta waris dari pewaris kepada ahli
waris. Salah satu sengketa dalam kewarisan adalah sengketa Munasakhah.
Munasakhah merupakan kasus kewarisan yang lama belum diselesaikan secara
keseluruhan maupun sebagian pembagiannya, akan tetapi sudah timbul
permasalahan kewarisan yang baru4.
Hal ini seperti yang terdapat dalam putusan hakim Pengadilan Agama
Cibinong, Pengadilan Tinggi Agama Bandung, dan Mahkamah Agung yang
penulis teliti saat ini. Dimana pada putusan tersebut terdapat perbedaan
pertimbangan hakim dalam mempertimbangkan dan menetapkan perkara
tersebut dikarenakan hakim memiliki keyakinan dan penafsiran yang berbeda-
beda.
Berikut penulis menguraikan beberapa perbandingan dari pertimbangan-
pertimbangan hakim, seperti pada putusan Pengadilan Agama Cibinong,
bahwasanya Penggugat (SS) meminta untuk ditetapkan siapa saja yang menjadi
ahli waris dari alm. RHHN dan bagian masing-masing ahli waris tersebut.
Dimana surat permohonan tersebut bersifat Voluntair atau ex-parte karena tidak
ada lawan bukan berbentuk gugatan.
Penulis juga melihat bahwa hakim Pengadilan Agama menyimpulkan
bahwa adanya sengketa waris dalam obyek-obyek yang disebutkan oleh
Penggugat, yaitu harta Pewaris I (istri pertama) dengan Pewaris II (suami) dan
harta Pewaris II (suami) dengan SS (istri kedua). Sebab di dalam gugatan
tersebut adanya beberapa harta yang telah tercampur. Oleh sebab itu, dari harta
yang tercampur tersebut maka akan menimbulkan sengketa. Sehingga dalam
3
Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Bab II Hukum
Kewarisan, Pasal 176-191.
4
Amir Syarifuddin, Edisi Kedua: Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2015), h., 156.
61
12, 176, dan menetapkan bagian masing-masing ahli waris juga tidak ada
perbedaaan dari ketiganya. Sehingga tidak terdapat perbedaan penafsiran
baik dalam penggunaan dasar hukum untuk pertimbangannya maupun
dalam menetapkan bagian masing-masing ahli waris dari Pewaris I dan
Pewaris II.
Sebab turunnya ayat ini mengenai sebagian masyarakat Arab pada zaman
jahiliyah hanya mewariskan hartanya untuk orang yang bisa berperang. Oleh
sebab itu Allah membatalkan hal tersebut dengan menurunkan ayat ini. Yang
bertujuan untuk membatalkan kebiasaan masyarakat Arab di zaman jahiliyah
karena hanya mewariskan harta warisannya kepada orang yang bisa
berperang5.
5
Muhammad Ali al-Shobuni, Shofwatut Tafasir, (Beirut: Darul Fikr, 1980), h., 260.
65
Hukum waris Islam juga terdapat dalam hadits yang diriwiyatkan Umayyah
yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim yaitu:6
َ ِ ع ْن
ِعبْد ِاللهِ ِبْن ْ ََاِر ْو ُح ِبْن
َ ِ،ِالقَاسم َ َح َّدثَن:ِِز َريْع
ُ ِ َح َّدثَنَاِ َيزيدُِب ُْن:ِ ي ْ ام
ُّ ِالعَيْش َ أ ُ َميَّةُِب ُْنِب ْس
َ ط
ِِقَالَِ((أ ْلحقُوا.سوِلِاللهِصليِاللهِعليهِوسلم َ ع ْن
ُ ِر َ ِ،عبَّاِس َ ِ،ع ْنِأَبيه
َ ِعنِابْن َ ِ،اِوِس
ُ ط َ
َِٰ َضِفَأل َ ْول
.))ىِ َر ُجلِ َذ َكر ْ ِفَ َماِت ََر َكت،ضِبأَِ ْهل َها
ُ ِالفَ َراء َ الُفَ َرائ
“Dari Ibnu Abbas r.a. dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau
bersabda: “Berikanlah harta pusaka kepada yang berhak, dan seberapa yang
tinggal itu untuk laki-laki yang paling dekat (kepada yang meninggal).”
Dalam hadits tersebut, dijelaskan bahwa ayah menjadi ashabah jika harta
warisan yang ditinggalkan oleh anaknya. Ayah mendapatkan harta warisan
tersebut setelah memberikan sepertiga untuk ibu. Jika si pewaris tidak
meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-laki, maka ayah menjadi ashabah
karena pada saat itu ayah adalah laki-laki yang paling dekat hubungan
kerabatnya dengan si pewaris7.
Kemudian penulisan kata ) ( ذَك ٍَرdzakarin dalam hadis tersebut mengandung
pengertian “laki-laki”, agar tidak terjadi salah pengertian sehingga maksud
) )ر ُج ٍل
َ diperkirakan laki-laki yang sudah dewasa dan sudah mampu. Sebab,
anak laki-laki yang masih menyusu pun berhak mendapat bagian ashabah dan
mendapatkan semua harta apabila dia sendirian8.
Hukum kewarisan Islam juga terdapat pada Instruksi Presiden No.1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam buku II tentang Kewarisan, dan lain-
lain. Berbeda halnya dengan kewarisan berganda atau yang sering disebutkan
dengan munasakhah tidak memiliki aturan secara khusus baik di dalam al-
Qur’an maupun hukum positif di Indonesia.
Aturan mengenai munasakhah dapat ditemukan dalam beberapa ijtihad
ulama, seperti al-Sayyid al-Syarif yang sebagaimana dikutip oleh Mardani
6
Abu Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1971), h., 627.
7
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h., 124.
8
Muhammad Ali al-Shabuni, Shofwatut Tafasir, (Terj.) Zaini Dahlan, Hukum Waris
Menurut Al-Qur’an dan Hadis, (Bandung: Trigenda Karya, 1995), h., 78.
66
9
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,
2015), h., 75.
10
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris: Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h., 157.
11
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 10, (Terj.) Abdul Hayyie al-
Khattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011), h., 490.
12
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,
2015), h., 76.
67
13
Muhammad Ali al-Shobuni, al-Mawarits fi Alsyariah al-Islamiyah, (Terj.) A. Zaini
Dahlan, Hukum Waris Menurut al-Qur’an dan Hadis/Muhammad, h., 175.
14
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma’arif, 1975), cet. 10, h., 463-465.
68
Dengan demikian, menurut penulis bahwa perkara dalam putusan ini adalah
perkara mengenai munasakhah karena dalam putusan ini terdapat beberapa
unsur munasakhah yang terpenuhi, sehingga cara penyelesaian dalam putusan
ini harus menggunakan sistem pembagian munasakhah. Namun hakim tidak
menggunakan cara penyelesaian pembagian munasakhah, melainkan hanya
menggunakan pembagian kewarisan Islam pada umumnya saja. Padahal jika
dilihat secara detail bahwa putusan ini mengandung beberapa unsur
munasakhah, sehingga jika hakim hanya menggunakan pembagian kewarisan
Islam pada umumnya saja, maka akan menimbulkan hasil yang berbeda dan
menimbulkan adanya ketidakadilan dalam pembagian kewarisan tersebut.
Disisi lain, hakim Pengadilan Agama sampai Mahkamah Agung hanya
mempermasalahkan mengenai apakah putusan ini termasuk gugatan atau
permohonan, dimana Pengadilan Agama berpendapat bahwa putusan ini adalah
gugatan karena dari gugatan Penggugat terdapat sengketa waris yang
mengakibatkan bahwa putusan ini adalah gugatan bukan permohonan,
sedangkan hakim Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung
menyatakan bahwa putusan tersebut bukanlah gugatan dengan berpendapat
bahwa tidak jelasnya penyebutan objek perkara yang disengketakan atau
kaburnya objek gugatan.
15
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma’arif, 1975), cet. 10, h., 141.
69
2. Penyelesaian kedua
Pewaris II : Suami
3. Penyelesaian ketiga
Pewaris I dan Pewaris II : Istri pertama dan Suami
dan 1 anak perempuan dari istri pertama dengan suami mendapatkan bagian
lebih besar dibandingkan ahli waris 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan dari
istri kedua dengan suami, karena ahli waris 2 anak laki-laki dan 1 anak
perempuan dari istri pertama mendapatkan harta warisan dari istri pertama
(Pewaris 1) dan suami (Pewaris II), sedangkan ahli waris 1 anak laki-laki dan
1 anak perempuan dari istri kedua hanya mendapatkan warisan dari suami
(Pewaris II) karena mereka bukan termasuk ahli waris dari Pewaris I.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa uraian dari penelitian tersebut, penulis dapat menyimpulkan
beberapa poin sebagai berikut:
Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung
menyelesaikan masalah waris ini dengan menggunakan metode pembagian harta waris
Islam pada umumnya berdasarkan Surah al-Nisa ayat 11-12 dan 178, Kompilasi Hukum
Islam pasal 171 huruf b-c, pasal 174 ayat (2), pasal 176, dan 180. Sedangkan menurut
penulis, bahwa dalam perkara masalah waris ini mengandung unsur munasakhah, sehingga
menurut penulis hakim keliru dalam menggunakan menyelesaikan pembagian harta waris
tersebut dan Pengadilan Agama Cibinong menyatakan bahwa perkara ini termasuk perkara
gugatan bukan permohonan, karena adanya unsur sengketa dalam perkara tersebut.
Pengadilan Tinggi Agama Bandung membatalkan putusan Pengadilan Agama Cibinong
dan menyatakan bahwa perkara ini adalah permohonan bukan gugatan, karena tidak adanya
unsur sengketa dalam perkara ini/objek-objek sengketa yang dimaksud Pengadilan Agama
Cibinong tidak jelas, sehingga hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung membatalkan
putusan Pengadilan Agama Cibinong. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi karena apa yang telah diputuskan di Pengadilan Tinggi Agama Bandung
sudah jelas dan tidak menyalahkan undang-undang atau peraturan yang tertulis
Berdasarkan poin yang telah disebutkan, maka penulis dalam permasalahan gugatan
atau permohonan, lebih sepakat dengan Pengadilan Agama Cibinong karena adanya unsur
sengketa waris dan unsur munasakhah yang belum diselesaikan secara tepat. Dalam
pembagian warisan, menurut penulis Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Tinggi
Agama Bandung dan Mahkamah Agung keliru dalam menggunakan metode pembagian
waris tesebut, karena dalam perkara ini adanya unsur munasakhah, sehingga harus
diselesaikan dengan menggunakan metode penyelesaian munasakhah karena jika hanya
menggunakan pembagian warisan pada umumnya saja akan menimbulkan hasil yang
72
73
berbeda dan tidak adanya pembagian secara adil, berdasarkan asas kewarisan yaitu
keadilan seimbang.
B. Saran
Berdasarkan penelitian dan kesimpulan dalam penulisan ini, maka menurut penulis perlu
untuk memberikan beberapa saran sebagai bahan pertimbangan, diantaranya:
1. Pemerintah harus membuat suatu aturan/hukum tertulis, apabila belum ada aturan yang
mengatur secara jelas dan tegas, sehingga dapat lebih memudahkan dalam memutuskan
perkara di Pengadilan.
2. Kepada Majelis Hakim yang menangani perkara, sebaiknya lebih teliti dalam
menyelesaikan perkara waris, terutama apabila dalam perkara tersebut mengandung
beberapa unsur munasakhah, sehingga dapat menganalisis permasalahan tersebut lebih
mendalam dan detail.
3. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan lebih banyak mengkaji mengenai penelitiannya
dengan mencari, membaca, mengutip, dan detail sumber atau referensi yang terkait
tentang penelitiannya, agar penelitiannya dapat dijadikan rujukan majelis hakim,
peneliti lain atau masyarakat untuk mengetahui mengenai penelitiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al Karim.
Abta, Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al-Faraidl: Deskripsi
Hukum Islam, Praktis dan Terapan, Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana,
2005.
jawahir.
Kamal, Abu Malik bin Al-Sayyid Salim, Shahih Fiqh As-Sunnah WaAdillatuhuwa
Taudhih Madzabib Al-A’immah, penerjemah: Khairul Amru Harahap dan
Faisal Saleh, Shahih Fiqih Sunnah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
74
75
Muhammad, Al-Faqih Abul Wahid bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd,
Bidayatul Mujtahid Analisa Para Mujtahid, penerjemah: Imam Ghazali dan
Ahmad Ma’ruf Asrori, Jakarta: Pustaka Amani, 2007
Muhibbin, Moh. dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009.
Muslim, Abu Husain, bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih
Muslim, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1971.
Nugraheni, Destri Budi dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam
di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Media University Press, 2014.
Putra, Nusa dan Hendarman, “Metode Riset Campur Sari: Konsep, Strategi dan
Aplikasi”, Jakarta: Indeks, 2013.
al-Qurthubi, Imam, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jilid 5, Penerjemah Ahmad Rijali
Qadir, Tafsir al-Qurthubi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, Cet. 1.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: PT. Alma’arif, 1975, cet. 10.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, cet. 8.
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Yusuf, Kadar M., Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-ayat Hukum, Jakarta:
Amzah, September 2013.
Sugiswati, Besse, “Konsepsi Harta Bersama dari Perspektif Hukum Islam, Kitab
Undang-Undang, Hukum Perdata, dan Hukum Barat”, dalam Jurnal
Perspektif, Volume XIX No. 3 September 2014.
Undang-Undang