Anda di halaman 1dari 153

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENYELESAIAN PERKARA

MUNASAKHAH (Analisis Putusan Nomor.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn


sampai Putusan Nomor.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg)

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

ALY DZULFIQAR
NIM. 11150440000034

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M
ABSTRAK

Aly Dzulfiqar. NIM. 11150440000034. TINJAUAN YURIDIS MENGENAI


PENYELESAIAN PERKARA MUNASAKHAH (Analisis Putusan
Nomor.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn sampai Putusan Nomor. 0074/Pdt.G/2015/
PTA.Bdg). Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan tentang pertimbangan hakim dalam
menetapkan gugatan penetapan ahli waris di Pengadilan Agama Cibinong dan
Pengadilan Tinggi Agama Bandung dari perspektif hukum kewarisan Islam,
munasakhah, dan hukum positif yang berkaitan dengan penelitian ini serta juga
menjelaskan sengketa waris munasakhah.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu
dengan mengumpulkan dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini metode pengumpulan data
dilakukan dengan teknik studi dokumen yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan
hukum, mengkategorisasikan berdasarkan bahan-bahan hukum serta memberikan
penilaian terhadap bahan hukum. Kemudian data yang telah dihimpun dianalisis
menggunakan metode deskriptif analitis.
Hasil Penelitian ini adalah pertimbangan hakim Pengadilan Agama
Cibinong dalam menetapkan putusan ini termasuk gugatan penetapan ahli waris
karena dalam gugatan Penggugat adanya unsur sengketa waris, sehingga putusan
ini termasuk gugatan bukan permohonan, kemudian hakim menggunakan metode
pembagian harta waris Islam berdasarkan surah al-Nisa ayat 11-12 dan 178,
Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf b-c, pasal 174 ayat (2), pasal 176 dan 180.
Sedangkan hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung dalam menetapkan putusan
ini termasuk permohonan penetepan ahli waris bukan termasuk gugatan karena
tidak adanya unsur sengketa waris/objek yang disengketakan tidak jelas dan
Mahkamah Agung sejalan dengan apa yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi
Agama Bandung, sehingga menolak permohonan kasasi dari Pengadilan Agama
Cibinong. Dalam memeriksa dan menyelesaikan perkara tersebut, hakim cenderung
hanya menggunakan melihat apakah putusan tersebut termasuk gugatan atau
permohonan, padahal dalam putusan tersebut terdapat unsur sengketa waris
munasakhah sehingga hakim harus menyelesaikan perkara waris tersebut dengan
menggunakan penyelesaian munasakhah bukan menggunakan hukum kewarisan
Islam pada umumnya. Oleh karena itu dalam pembagian kewarisan yang dilakukan
oleh hakim tidak adilnya dalam membagikan pembagian warisan padahal dalam
kewarisan Islam terdapat asas keadilan.

Kata Kunci: Waris, Munasakhah, Putusan

Pembimbing : Dr. Muchtar Ali, M. Hum.


Daftar Pustaka : 1973 s.d. 2018

v
PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum dapat
diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan


‫ا‬ tidak dilambangkan
‫ب‬ b Be
‫ت‬ t Te
‫ث‬ ts te dan es
‫ج‬ j Je
‫ح‬ h ha dengan garis bawah
‫خ‬ kh ka dan ha
‫د‬ d De
‫ذ‬ dz de dan zet
‫ر‬ r Er
‫ز‬ z zet
‫س‬ s Es
‫ش‬ sy es dan ye
‫ص‬ s es dengan garis bawah
‫ض‬ d de dengan garis bawah
‫ط‬ t te dengan garis bawah
‫ظ‬ z zet dengan garis bawah
‫ع‬ ‘ koma terbalik di atas hadap kanan
‫غ‬ gh ge dan ha
‫ف‬ f Ef
‫ق‬ q Qo
‫ك‬ k Ka

vi
‫ل‬ l El
‫م‬ m Em
‫ن‬ n En
‫و‬ w We
‫ه‬ h Ha
‫ء‬ ˋ Apostrop
‫ي‬ y Ya

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau
monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Tanda Vokal


Keterangan
Arab Latin
‫ﹶ‬ A fathah
‫ﹺ‬ I kasrah
‫ﹸ‬ U dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai berikut:

Tanda Vokal Tanda Vokal


Keterangan
Arab Latin
‫ي‬ Ai a dan i
‫و‬ Au a dan u

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Tanda Vokal
Keterangan
Arab Latin

 a dengan topi di
atas

vii
Î i dengan topi di
atas
Û u dengan topi di
atas

Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam (‫)ال‬,
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf
qomariyyah. Misalnya:

‫ = اإلجتهاد‬al-ijtihâd
‫ = الرخصة‬al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

‫ = الشفعة‬al-syuf’ah tidak ditulis asy-syuf’ah.

Dalam penulisan ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbȗtah
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
“t” (te) (lihat contoh 3).

No. Kata Arab Alih Aksara


1 ‫شريعة‬ syarî’ah
2 ‫الشريعة اإلسالمية‬ al-syarî’ah al-islâmiyyah
3 ‫مقارنة المذاهب‬ muqâranat al-madzâhib

Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam
transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului
oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal

viii
nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: ‫ = البخاري‬al-Bukhâri
tidak ditulis Al- Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut
berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.

Setiap kata, baik kata kerja (fi’il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan diatas:

No Kata Arab Alih Aksara


al-darûrah tubîhu al-
1 ‫الضرورة تبيح المحظورات‬
mahzûrât
2 ‫االقتصاد اإلسالمي‬ al-iqtisâd al-islâmî
3 ‫أصول الفقه‬ usûl al-fiqh
al-‘asl fî al-asyya ‫ﹶ‬al-
4 ‫األصل في األشياء اإلباحة‬
ibâhah
5 ‫المصلحة المرسلة‬ al-maslahah al-mursalah

ix
KATA PENGANTAR

Puji beserta syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada uswah hasanah kita
yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah mengajarkan kepada umatnya bagaimana
memaknai hidup ini sesungguhnya dan istiqomah dalam memegang sunnahnya
sampai hari pembalasan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah


membantu dalam penyusunan skripsi ini, baik moril maupun materil. Oleh karena
itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar
besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, M.A., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Mesraini, M.Ag selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan
Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A. selaku Sekretaris Program Studi
Hukum Keluarga.
3. Bapak Dr. Muchtar Ali, M. Hum. selaku dosen pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu serta memberikan arahan dan ilmunya selama
penulis mengerjakan skripsi ini.
4. Bapak Dr. H. A. Juaini Syukri, Lc., M.A selaku Dosen Penasihat
Akademik yang selalu membimbing dan menyemangati penulis selama
menjalani kuliah.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta terkhusus Bapak Massagus M. Ezra Fadriansyah, S.H., M.H.,
Bapak Qosim Arsadani, M.A , Ibu Sri Hidayati, M.Ag. yang telah
memberikan ilmunya dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
6. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan fasilitas dalam penelitian ini.

x
7. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan
Hukum yang telah memberikan fasilitas dalam penelitian ini.
8. Keluarga penulis, ayahanda H. Holies Basuno dan Ibunda Fransiska
Farida Palandi, yang tidak pernah berhenti untuk memberikan dukungan,
do’a maupun bantuan materil kepada penulis dalam menempuh
pendidikan. Kemudian kakak-kakak penulis dr. Latifa Hernisa, Sp.BTKV,
Tobby Abdillah dan Syaiful Haq, S.E. yang selalu menyemangati dan
mendoakan penulis hingga dapat menyelesaikan pendidikan S-1 ini.
9. Ibu Erma wati sekeluarga dan Sinta Felisia Agnes, S.H. yang senantiasa
meluangkan waktunya untuk berdiskusi, yang selalu menyemangati serta
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman seperjuangan penulis Bang Ahmad Vihandri Putra Hasibuan, S.P.,
M. Akbar Thariq, S.H., bang Rionaldi, bang Dirga, bang Roni, bang Akhir
yang telah menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Keluarga Besar Hukum Keluarga 2015, Anita Kurnia D., Kahfiel Waro
dan Ariyal Hikam P., S.H. yang telah berkontribusi dalam skripsi ini.
Kemudian teman-teman Hukum Keluarga A yang telah membantu penulis
dan selalu menyemengati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya untuk
mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.

Jakarta, 15 Januari 2020

Penulis

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ iii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................................... iv

ABSTRAK..... .................................................................................................. v

PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... vi

KATA PENGANTAR ..................................................................................... x

DAFTAR ISI ................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan Dan Perumusan Masalah ............... 3

1. Identifikasi Masalah ....................................................... 3

2. Pembatasan Masalah ....................................................... 4

3. Perumusan Masalah ........................................................ 4

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 4

D. Manfaat Penelitian................................................................ 5

E. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu .................................... 5

F. Metode Penelitian ................................................................ 7

1. Jenis Penelitian ............................................................... 7

2. Metode Pendekatan......................................................... 7

3. Sumber-sumber Data ...................................................... 8

xii
4. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 9

5. Analisis Data .................................................................. 9

G. Sistematika Penulisan .......................................................... 10

BAB II KONSEP KEWARISAN DALAM ISLAM............................. 12

A. Pengertian Hukum Kewarisan .............................................. 12

B. Dasar Hukum Kewarisan Islam ............................................. 15

C. Rukun dan Syarat-syarat Waris ............................................. 20

D. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam ...................................... 24

1. Asas Ijbari ...................................................................... 25

2. Asas Bilateral ................................................................. 26

3. Asas Semata Akibat Kematian ........................................ 27

4. Asas Integrity (Ketulusan) .............................................. 28

5. Asas Ta’abudi (Penghambaan diri) ................................. 28

6. Asas Huququl Maliyah (Hak-hak Kebendaan) ................ 28

7. Asas Huququn Thaba’iyah (Hak-hak Dasar) ................... 28

8. Asas Membagi Habis Harta Warisan ............................... 28

9. Asas Individual ............................................................... 28

10. Asas Keadilan Berimbang ............................................... 29

E. Jenis-jenis Ahli Waris dan Bagiannya ................................... 29

1. Ashabul Furudh .............................................................. 30

2. Ashabah........................................................................... 31

3. Dzawil Arham .................................................................. 32

F. Kewarisan Berganda (Munasakhah) ...................................... 33

xiii
1. Pengertian Kewarisan Berganda (Munasakhah) ............... 33

2. Unsur-unsur Munasakhah ................................................ 34

3. Keadaan-keadaan Munasakhah ........................................ 35

4. Penyelesaian Kasus Munasakhah ..................................... 38

BAB III KONSEP KEWARISAN BERGANDA (MUNASAKHAH) DI

PENGADILAN AGAMA .......................................................... 41

A. Kronologis Perkara Kewarisan Berganda (Munasakhah) di

Pengadilan Agama Cibinong No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn ... 41

1. Duduk Perkara dalam Putusan Pengadilan Agama

Cibinong No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn ........................... 41

2. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan Agama

Cibinong No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn ........................... 45

3. Amar Putusan dalam Pengadilan Agama Cibinong No.

2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn ................................................ 48

B. Kronologis Perkara Kewarisan Berganda (Munasakhah) di

Pengadilan Tinggi Agama Bandung No.007/Pdt.G/2015/

PTA.Bdg ............................................................................... 49

1. Duduk Perkara dalam Putusan Pengadilan Tinggi Agama

Bandung No.007/Pdt.G/2015/PTA.Bdg .......................... 49

2. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan Tinggi

Agama Bandung No.007/Pdt.G/2015/PTA.Bdg ............... 50

3. Amar Putusan dalam Pengadilan Tinggi Agama Bandung

No.007/Pdt.G/2015/PTA.Bdg .......................................... 52

xiv
C. Kronologis Perkara Kewarisan berganda (Munasakhah) di

Mahkamah Agung No.08K/Ag/2016 ..................................... 53

1. Duduk Perkara dalam Putusan Mahkamah Agung No.08K

/Ag/2016 ......................................................................... 53

2. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkmah Agung

No.08K/Ag/2016 ............................................................. 57

3. Amar Putusan dalam Mahkamah Agung No.08K/Ag/

2016 ................................................................................ 58

BAB IV ANALISIS TERHADAP KEWARISAN BERGANDA DALAM

PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA, PENGADILAN

TINGGI AGAMA DAN MAHKAMAH AGUNG

No.007/Pdt.G/2015/PTA.Bdg, dan No.08K/Ag/2016 ................ 59

A. Perbandingan Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama

Cibinong (No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn), Pengadilan Tinggi

Agama Bandung (No.007/Pdt.G/2015/PTA.Bdg), dan

Mahkamah Agung (No.08K/Ag/2016) ................................... 59

B. Analisis Yuridis terhadap Kewarisan Berganda dalam Putusan

Hakim Pengadilan Agama Cibinong No.2331/Pdt.G/2013/PA.

Cbn, Pengadilan Tinggi Agama Bandung No.007/Pdt.G/2015/

PTA.Bdg, dan Mahkamah Agung No.08K/Ag/2016 ............. 64

BAB V PENUTUP ................................................................................ 72

A. Kesimpulan ........................................................................... 72

B. Saran ..................................................................................... 73

xv
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 74

LAMPIRAN......................................................................................................... 78

xvi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam pembagian warisan harus adanya ketelitian dan kehati-hatian.
Sehingga hukum Kewarisan Islam telah mengatur tentang pembagian warisan
secara rinci tentang bagian-bagian yang diperoleh ahli waris pada surat al-Nisa
ayat 11, dan Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam telah mengatur pada Buku II tentang Hukum Kewarisan Bab III tentang
Besarnya Bahagian Pasal 176 sampai Pasal 1911.
Apabila dalam pembagian warisan terjadi perpecahan atau perselisihan,
Islam telah mengatur secara jelas dan detail mengenai cara menyelesaikan dan
memindahkan harta waris dari pewaris kepada ahli waris. Salah satunya adalah
kasus munasakhah. Munasakhah merupakan kasus kewarisan yang lama belum
diselesaikan secara keseluruhan maupun sebagian pembagiannya, sudah timbul
permasalahan kewarisan yang baru2.
Menurut Fatchur Rahman dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Waris” yang
dikutip dari al-Sayyid al-Syarif, munasakhah merupakan pemindahan sebagian
harta kepada ahli waris, lantaran pewaris meninggal sebelum pembagian harta
waris belum dilaksanakan3. Munasakhah dapat disebut tertundanya pembagian
warisan sehingga timbul pewaris baru dan terjadinya warisan tersebut
tercampur dengan warisan yang lama. Padahal Allah Swt telah menetapkan
bahwa dalam pembagian waris (faraidh) harus dipercepat, karena jika belum
dibagikan, maka harta waris tersebut masih dimiliki oleh pewaris dan ahli waris
tersebut belum mempunyai haknya yang terdapat pada harta waris tersebut.

1
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Bab II Hukum
kewarisan, Pasal 176-191.
2
Amir Syarifuddin, “Edisi Kedua: Hukum Kewarisan Islam”, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2015), Cet. 5, h., 156.
3
Dede Umu Kulsum, “Penyelesaian Kewarisan Ahli Waris Pengganti dan Munasakhah di
Pengadilan Agama (Analisis Penetapan Nomor. 108/Pdt.P/2014/PA.JB)”, (Skripsi S-1 Fakultas
Hukum Program Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2012), h., 43.

1
2

Tetapi secara fakta dari beberapa kasus mengenai waris terdapat kasus
munasakhah. Seperti perkara mengenai sengketa munasakhah yang terdapat
pada putusan Pengadilan Agama Cibinong No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn dan
Pengadilan Tinggi Agama Bandung No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg, dalam
kedua putusan tersebut terdapat perbedaan pertimbangan hakim dalam
menyelesaikan perkara ini pada Pengadilan Agama dengan Pengadilan Tinggi
Agama.
Hakim Pengadilan Agama4 memutuskan bahwa putusan tersebut
merupakan gugatan, dengan alasan bahwa adanya suatu sengketa mengenai
kewarisan tersebut yaitu munasakhah, dan harta waris yang tercampur itu
sangat sulit untuk dijabarkan secara rinci dan detail, seperti keabsahan harta
tersebut, dan tahun diperolehnya harta waris tersebut. Sedangkan menurut
hakim Pengadilan Tinggi Agama5 memutuskan bahwa putusan tersebut adalah
penetapan dengan alasan bahwa putusan tersebut tidak ada suatu permasalahan
warisan, harta waris dalam putusan tersebut juga sudah jelas keabsahan dan
tahun diperolehnya harta waris tersebut.
Putusan hakim Mahkamah Agung6 menolak putusan yang diajukan oleh
pemohon dengan alasan bahwa penetapan yang dilakukan oleh Pengadilan
Tinggi Agama Bandung sudah jelas dan tidak menyalahi aturan undang-
undang. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa hakim Pengadilan Agama
memberikan putusan sangat berbeda dengan Pengadilan Tinggi Agama dan
Mahkamah Agung. Sehingga peneliti melihat bahwa adanya perbedaan
pertimbangan hakim yang sangat jelas dalam menyelesaikan perkara
munasakhah dan adanya permasalahan yang tidak dibahas secara menyeluruh
oleh hakim Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Tinggi Agama Bandung,
maupun Mahkamah Agung yaitu mengenai sengketa waris munasakhah.
Oleh karena itu, timbullah beberapa pertanyaan mengenai sengketa
waris munasakhah seperti bagaimana pertimbangan hakim tentang

4
Salinan Putusan Nomor: 2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn (Lihat dalam lampiran).
5
Salinan Putusan Nomor: 0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg (Lihat dalam lampiran).
6
Salinan Putusan Nomor: 08 K/Ag/2016 (Lihat dalam lampiran).
3

sengketa waris munasakhah dalam menyelesaikan perkara putusan


Pengadilan Agama Cibinong No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn,
Pengadilan Tinggi Agama Bandung No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg
dan Mahkamah Agung No. 08 K/Ag/2016 dan bagaimana perspektif
Hukum Kewarisan Islam dan hukum positif tentang sengketa waris
munasakhah dalam menyelesaikan perkara putusan Pengadilan Agama
Cibinong No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn, Pengadilan Tinggi Agama
Bandung No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg dan No.08 K/Ag/2016. Hal
ini begitu menarik untuk diteliti secara mendalam dan komprehensif.
Sehingga penulis tertarik untuk meneliti masalah dengan berjudul
“Tinjauan Yuridis Mengenai Penyelesaian Perkara Munasakhah
(Analisis Putusan Nomor.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn sampai
Putusan Nomor.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg)”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan beberapa identifikasi
Masalah seperti:
1) Bagaimana pengaruh perceraian yang ditinggal mati yang terkait
tentang munasakhah berdasarkan hukum kewarisan Islam?
2) Bagaimana proses hakim dalam menyelesaikan perkara putusan tentang
munasakhah?
3) Mengapa hakim Pengadilan Agama Cibinong menyatakan bahwa
putusan tersebut adalah gugatan?
4) Mengapa hakim Pengadilan Agama Cibinong menyatakan bahwa
putusan tersebut terdapat adanya suatu sengketa atau permasalahan?
5) Mengapa hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung menyatakan
bahwa putusan tersebut adalah penetapan?
6) Mengapa hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung menyatakan
bahwa putusan tersebut tidak terdapat adanya suatu sengketa atau
permaasalahan?
4

7) Mengapa hakim Mahkamah Agung lebih menyetujui putusan yang


dilakukan oleh hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung dibandingkan
hakim Pengadilan Agama Cibinong?
8) Mengapa hakim Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari
pemohon kasasi?
2. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan pada penelitian ini lebih terarah dan terfokus, maka
pada penelitian yang berjudul “Tinjauan Yuridis Mengenai Penyelesaian
Perkara Munasakhah (Analisis Putusan Nomor.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn
sampai Putusan Nomor.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg” penulis membatasi
permasalahannya pada analisis proses pertimbangan hakim dalam
menyelesaikan perkara putusan Nomor.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn,
Nomor.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg, dan Nomor.08 K/Ag/2016 berdasarkan
dengan teori keadilan hukum, serta hukum positif yang berkaitan dengan
penelitian yang penulis teliti.
3. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana pertimbangan hakim dalam menyelesaikan sengketa warisan
munasakhah di Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Tinggi Agama
Bandung, dan Mahkamah Agung berdasarkan hukum kewarisan Islam dan
hukum positif?

C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, tujuan dari penelitian ini sesuai dengan rumusan
masalah pada penelitian ini adalah untuk menjelaskan pertimbangan hakim
dalam menyelesaikan sengket warisan munasakhah di Pengadilan Agama
Cibinong, Pengadilan Tinggi Agama Bandung, dan Mahkamah Agung
berdasarkan hukum kewarisan Islam.

D. Manfaat Penelitian
Dan dalam penelitian ini terdapat beberpa manfat adalah sebagai berikut:
5

1. Memberikan pengetahuan secara umum mengenai Penyelesaian Perkara


Munasakhah di Pengadilan Agama.
2. Menjadi rujukan bagi akademisi tentang Penyelesaian Perkara Munasakhah
di Pengadilan Agama.
3. Menambah khazanah pengetahuan dalam keilmuan bidang hukum keluarga
baik secara teoritis maupun praktis.

E. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu


Kajian pustaka atau review terdahulu adalah menyediakan informasi tentang
penelitian-penelitian atau karya-karya ilmiah lain yang berhubungan dengan
penelitian yang diteliti agar tidak terjadi duplikasi atau pengulangan dengan
penelitian yang telah ada. Dan dalam penelitian ini, penulis akan mereview
beberapa karya ilmiah atau penelitian yang sudah diteliti terlebih dahulu yang
berkaitan dengan penelitian penulis, setelah penulis me-review penulis
menemukan beberapa karya ilmiah yang sudah diteliti terlebih dahulu, seperti:
Dalam Skripsi yang berjudul Penyelesaian Kewarisan Ahli Waris
Pengganti dan Munasakhah di Pengadilan Agama Jakarta Barat (Analisis
Putusan Penetapan Pengadilan Agama Nomor.108/Pdt.P/2014/PA.JB), yang
ditulis oleh Dede Umu Kulsum7. Dalam tulisannya membahas pertimbangan
hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam menetapkan ahli waris pengganti
dan munasakhah berdasarkan teori munasakhah dan ahli waris pengganti.
Pengumpulan data dalam penelitian ini berupa studi pustaka yang bersumber
dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi dan
hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian.
Selanjutnya, dalam jurnal yang berjudul Munasakhah dalam Sistem
Kewarisan Islam¸ yang ditulis oleh Muh. Sudirman8. Dalam Jurnal ini
menguraikan masalah sistem munasakhah pembagian kewarisan Islam, untk

7
Dede Umu Kulsum “Penyelesaian Kewarisan Ahli Waris Pengganti dan Munasakhah di
Pengadilan Agama (Analisis Penetapan Nomor.108/Pdt.P/2014/PA.JB)”, (Skripsi S-1 Jurusan al-
Ahwal Asy-syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015).
8
Muh. Sudirman, “Munasakhah dalam Sistem Kewarisan Islam”, dalam Jurnal Supermasi
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar Volume XI Nomor 2, Makassar, (Oktober, 2016).
6

memperoleh pemahaman bahwa dalam menyelesaikan kasus munasakhah


dalam kewarisan harus mempunyai unsur-unsur dan bentuk-bentuk
munasakhah. Dalam penelitian tersebut mengenai pertimbangan hakim tentang
Penyelesaian Kewarisan Ahli Waris Pengganti dan Munasakhah pada putusan
Penetapan Nomor.108/Pdt.P/2014/PA.JB di Pengadilang Agama berdasarkan
teori Ahli Waris Pengganti dan Munasakhah.
Dalam jurnal yang berjudul Antara Munasakhah dan Ahli Waris Pengganti
pada Putusan Nomor.0311/Pdt.G/2009/PA.Sel, yang ditulis oleh Fatahullah,
Sugiyarno, Ita Surayya9. Dalam tulisannya membahas tentang pertimbangan
hakim dalam menyelesaikan perkara putusan dan Melihat amar putusan
Nomor.0311/Pdt.G/2009/PA.Sel, menurut peneliti amar dalam putusan tersebut
kurang jelas.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah peneliti paparkan di atas, dapat
penulis simpulkan bahwa penelitian terdahulu lebih membahas tentang
penyelesaian kasus munasakhah dalam kewarisan harus mempunyai unsur-
unsur dan bentuk-bentuk munasakhah, pertimbangan hakim Pengadilan Agama
Jakarta Barat dalam menetapkan ahli waris pengganti dan munasakhah
berdasarkan teori Munasakhah dan ahli waris pengganti tetapi lebih fokus
menggunakan teori ahli waris pengganti, dan pertimbangan hakim dalam
menyelesaikan perkara putusan dan melihat amar putusan
Nomor.0311/Pdt.G/2009/PA.Sel.
Sedangkan penelitian saya lebih fokus meneliti pertimbangan hakim tentang
Munasakhah dalam menyelesaikan perkara putusan Pengadilan Agama
Nomor.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn, Nomor.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg dan
Nomor. 08 K/Ag/2016, dan perspektif Hukum Waris Islam dan Hukum Positif.

F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian

9
Fatahullah, Sugiyarno, Ita Surayya, “Antara Munasakhah dan Ahli Waris Pengganti pada
Putusan Nomor.0311/Pdt.G/2009/PA.Sel.
7

Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian hukum yuridis


normatif yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma,
yaitu mengenai norma, kaidah dari peraturan perundangan, asas-asas,
putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran)10. Dan dikategorikan
sebagai penelitian pragmatis yang merupakan gabungan penelitian dari
penelitian kuantitatif dan kualitatif11.
Pada penelitian yang akan diteliti, penulis melakukan penelitian
terhadap asas-asas hukum yaitu penelitian terhadap unsur-unsur hukum,
baik unsur ideal yang menghasilkan kaidah-kaidah hukum maupun unsur
nyata dimasyarakat yang menghasilkan tata hukum tertentu12. Yang akan
dijadikan tumpuan dalam penelitian adalah Instruksi presiden no. 1 tahun
1991 tentang kompilasi hukum Islam, kitab-kitab fiqih, putusan
No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn, putusan No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg, dan
putusan No.08 K/Ag/2016.
2. Metode Pendekatan
a) Pendekatan Analitis (analytical approach)
Pendekatan analisis dilakukan dengan cara menganalisis pengertian
hukum, asas-asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum, dan berbagai
konsep yuridis. Misalnya konsep yuridis tentang subjek hukum, objek
hukum, perkawinan, perikatan, hubungan kerja, dan sebagainya13.
Pendekatan analisis dalam penelitian ini digunakan untuk
memperoleh gambaran tentang pertimbangan hakim dalam
menyelesaikan putusan Pengadilan Agama Nomor.
2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn, putusan Pengadilan Tinggi Agama
Nomor.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg, dan putusan Kasasi Nomor.08

10
Mukti Fajar, Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris”,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, cet. 1), hlm., 34.
11
Nusa Putra dan Hendarman, “Metode Riset Campur Sari: Konsep, Strategi dan Aplikasi”,
( Jakarta: Indeks, 2013), h., 24.
12
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, “Metode Penelitian Hukum”, (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, Cet. 1), h., 31.
13
Johnny Ibrahim, “Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif”, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2005, cet. 1), h., 257
8

K/Ag/2016 sehingga diharapkan dapat mengetahui pertimbangan hakim


dalam permasalahan munasakhah.
b) Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan konseptual berasal dari sudut pandang dan doktrin-
doktrin dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang
melahirkan suatu pengertian mengenai hukum, konsep-konsep hukum,
dan asas-asas yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman dari
sudut pandang dan doktrin-doktrin tersebut dijadikan suatu sandaran
bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum untuk
menyelesaikan isu yang sedang dihadapi14.
Dalam penelitian ini, peneliti akan mendapatkan konsep-konsep
tersebut dalam Fiqih, instruksi presiden no. 1 tahun 1991 tentang
kompilasi hukum Islam serta putusan hakim
Nomor.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn, Nomor.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg,
dan putusan Kasasi Nomor.08 K/Ag/2016 mengenai munasakhah.
3. Sumber-sumber data
Dalam penelitian hukum ini, peneliti menggunakan beberapa sumber
yang terdiri dari:
1) Bahan hukum Primer, merupakan bahan-bahan hukum yang bersifat
autoritatif (mempunyai otoritas)15, yakni putusan-putusan hakim yakni
Nomor.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn, Nomor.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg,
Nomor.08 K/Ag/2016, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, kitab-kitab fiqih, yakni Bulughul Maram,
Shahih Muslim, Subulussalam, Shofwatut Tafasir, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, al-Mawarits fi Alsyariah al-Islamiyah, Bidayatul Mujtahid
Analisa Para Mujtahid, Fiqhul Sunnah, Kutubus Sittah, al-Mirats.
2) Bahan hukum Sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang
berkaitan dengan penelitian seperti jurnal-jurnal hukum, buku-buku
teks, laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi dan analisis atas

14
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, (Jakarta: Kencana, 2016), cet. 9, h., 136.
15
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, h., 181.
9

komentar-komentar putusan pengadilan yang berkaitan dengan


penelitian16.
3) Bahan hukum Tersier, merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan atau menambah argumentasi terhadap bahan hukum primer
dan sekunder, seperti ensiklopedia, kamus, indeks komulatif dan
sebagainya17.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi
dokumen yang meliputi studi bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder18. Studi dokumen dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-
bahan hukum, mengkategorisasikan berdasarkan bahan-bahan hukum, serta
memberikan penilaian terhadap badan hukum. Penelitian tersebut dilakukan
melalui dua cara, yaitu kritik ekstern dan kritik intern.
5. Analisis Data
Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode deskriptif
analitis, yaitu dengan mengungkapkan pertimbangan hakim dalam
menetapkan sengketa warisan munasakhah di Pengadilan Agama,
Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung dikaitkan dengan teori-
teori hukum, kemudian diinterpretasikan menggunakan metode kepastian
hukum, keadilan dan hukum positif.
Setelah itu dianalisis menggunakan metode argumentatif. Metode ini
digunakan dengan mengupayakan lebih dahulu membuat ulasan, telaah
kritis atas berbagai pandangan dalam bentuk komparasi untuk menggiring
opini kearah terbangunnya nalar. Pada tahap ini penulis sudah
beragumentasi untuk menjawab permasalahan penelitiannya. Argumentasi
ini merupakan inti dari hasil penelitian hukum normatif19.

16
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, h., 181.
17
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet. 8, h., 13
18
Amiruddin dan Zainal Asikin, “Pengantar Metode Penelitian Metode Hukum, (Jakarta:
PT Raja Grafindo, 2004), h., 68
19
I Made Pasek Diantha, “Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori
Hukum”, (Jakarta: Prenada Media Group, 2017), cet. 2, h., 155
10

G. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini, peneliti menguraikan secara singkat dengan membagi
menjadi lima bab untuk mengetahui gambaran secara keseluruhan mengenai
penelitian ini.
Bab pertama merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang
masalah yang menjadi alasan peneliti membahas penelitian ini, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian yang
mencakup: jenis penelitian, metode pendekatan, sumber data, teknik
pengumpulan data, analisis data, serta sistematika penulisan.
Selanjutnya bab kedua membahas Konsep Kewarisan dalam Islam yang
terdiri dari pengertian kewarisan Islam, rukun dan syarat-syarat kewarisan
Islam, dasar hukum kewarisan Islam, sebab-sebab timbulnya dan halangan
kewarisan dalam Islam dan dalam hukum positif, pengertian munasakhah, dasar
hukum munasakhah.
Kemudian bab ketiga berisi tentang Konsep Kewarisan Berganda
(Munasakhah) di Pengadilan Agama dengan pembahasannya yaitu
Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia , menguraikan dan menjelaskan
kronologis perkara kewarisan berganda (munasakhah) di Pengadilan Agama
Cibinong No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn, Pengadilan Tinggi Agama Bandung
No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg, dan Mahkamah Agung No.08 K/Ag/2016.
Selanjutnya bab keempat, membahas tentang Analisis terhadap Kewarisan
Berganda dalam Putusan Hakim Pengadilan Agama tentang Sengketa Waris
Munasakhah dalam Putusan Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Tinggi
Agama Bandung, dan Mahkamah Agung yang mencakup Perbandingan
Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Cibinong
No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn, Pengadilan Tinggi Agama Bandung
No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg, dan Mahkamah Agung No.08 K/Ag/2016,
serta Analisis Yuridis terhadap Kewarisan Berganda dalam Putusan Hakim
Pengadilan Agama Cibinong No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn, Pengadilan Tinggi
11

Agama Bandung No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg, dan Mahkamah Agung


No.08K/Ag/2016.
Kemudian bab kelima, membahas tentang penutup yang berisikan
kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan serta saran-saran yang
berguna untuk penelitian selanjutnya.
BAB II

KONSEP KEWARISAN DALAM ISLAM

A. Pengertian Hukum Kewarisan


Secara bahasa, kata kewarisan1 berasal dari kata waratsa yang digunakan di
dalam al-Qur’an dan diuraikan di dalam sunnah Rasulullah Saw. Kata waratsa
memiliki beberapa makna: pertama, mengganti, seperti pada surat al-Naml ayat
16 yang artinya “sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Daud, serta
mewarisi ilmu pengetahuannya”. Kedua, memberi, seperti pada surat al-Zumar
ayat 74, dan Ketiga, mewarisi, seperti pada surat Maryam ayat 6.
Secara terminologis, hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-
masing2.
Dalam literatur hukum Islam lain, terdapat juga beberapa istilah kewarisan
dalam hukum Islam seperti fiqih Mawaris, faraidh dan hukum al warist. Fiqih
Mawaris berasal dari bahasa Arab fiqih dan mawaris. Fiqih menurut bahasa
berarti memahami, mengetahui. Menurut istilah fiqih adalah mengetahui atau
memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yang
bersungguh-sungguh. Sedangkan mawaris merupakan bentuk jamak dari
miraats yang berarti harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya. Maka
fiqih mawaris adalah suatu ilmu yang membahas tentang harta warisan, proses
pemindahan harta warisan, siapa saja yang berhak menerima harta warisan dan
bagian masing-masing3.
Menurut Imam al-Nawawi dalam kitab fiqih Manhaj ab Thalbin yang
sebagaimana dikutip oleh Destri Budi Nugraheni dalam bukunya bahwa kata

1
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), cet. 2, h., 1.
2
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), cet. 2, h., 1-2.
3
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan
Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet. 1, h., 5-7.

12
13

yang sering digunakan dalam memberikan istilah kewarisan Islam


menggunakan istilah faraidh4. Dalam kitab fiqh Manhaj ab Thalbin, Al Mahally
memberikan komentar atas matan minhaj dengan alasan lafadz faraidh
merupakan jamak dari lafadz faridhah yang mengandung makna mafrudhah
yang sama artinya dengan muqaddarah yaitu suatu bagian yang ditetapkan
secara jelas, contohnya mengenai bagian ahli waris yang sebagian besar telah
ditentukan dalam al-Qur’an daripada yang tidak ditentukan.
Ilmu Faraidh menurut sebagian Faradhiyun, yang sebagaimana dikutip dari
kitab Mughnil Muhtaj karangan al-Khatib al-Syarbini, yang kemudian dikutip
oleh Fatur Rahman dalam bukunya, dita’rifkan dengan: 5

ْ ‫ِو َم ْعرفَةَقَْدْر‬
ِ َ‫ِال َِواجبِمن‬ َ َ‫سابِاْل ُم ْوصلِِالٰىِ َم ْعرفَةَذَالَك‬ ْ ‫ِو َم ْعرفَة‬
َ ‫ِالح‬ َ ‫ا َ ْلفِ ْقهُِاْل ُمت َ َعل ُقِب ْاْل ْرث‬
ْ ‫الت ْر َكةِل ُكلَِذ‬
ِ‫ىِ َحق‬
“Ilmu Fiqih yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan
tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta
pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta
peninggalan untuk setiap pemilik.”

Ilmu Faraidh (ilmu waris) adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah


fiqih dan ilmu hitung (matematika) yang berkaitan dengan harta warisan dan
orang-orang yang berhak mendapatkan harta warisan, agar masing-masing
orang yang berhak mendapatkan bagian harta warisan yang menjadi haknya 6.
Menurut istilah hukum di Indonesia, Ilmu Faraid disebut dengan “Hukum
Waris” (Erfrecht) yaitu hukum yang mengatur tentang apa yang harus
dilakukan dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia 7. Menurut
Hasbi al-Shiddieqy sebagaimana yang ditulis oleh Suparman Usman di dalam
buku Fiqih Mawaris, mendefinisikan ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari

4
Destri Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Media University Press, 2014), h., 1.
5
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma’arif, 1975), cet. 10, h., 32.
6
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqh As-Sunnah Wa Adillatuhu wa
Taudhih Madzabib Al-A’immah, (Terj) Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh, Shahih Fiqih
Sunnah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h., 682
7
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran
Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h., 50.
14

tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya,
kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya 8.
Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam, hukum kewarisan diartikan
sebagai hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan hara
peninggalan (tirkah) pewaris menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa besar bagiannya masing-masing9.
Muhammad Amin Suma juga memberikan pengertian bahwa hukum
kewarisan Islam ialah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris, dan mengatur
kapan pembagian harta kekayaan pewaris dilaksanakan10.
Sejalan dengan itu, M. Idris Ramulyo berpendapat sebagaimana yang
dikutip oleh Mardani dalam bukunya, wirasah atau hukum waris adalah hukum
yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris,
harta peninggalan, serta pembagian yang lazim disebut hukum faraidh11.
Sedangkan menurut Hilman Hadikusumo dalam bukunya yang berjudul
Hukum Waris Adat yang sebagaimana dikutip oleh Agus Efendi dalam
skripsinya, mendefinisikan kewarisan sebagai “hukum penerusan harta
kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya 12.
Dalam istilah hukum baku yang digunakan adalah kata kewarisan, dengan
mengambil asal kata waris dengan tambahan awalan ke- dan akhiran -an. Kata
waris itu sendiri dapat berarti orang pewaris sebagai subjek dan dalam pula
berarti proses. Dalam arti pertama mengandung makna “hal ihwal orang yang

8
Maulana Hamzah, “Persepsi Aktivis Gender Indonesia Terhadap Sistem Pembagian Harta
Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam”, (Skripsi S-1 jurusan al-Ahwal Asy-syakhsiyyah,
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010), h., 15.
9
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Buku II Hukum
kewarisan, Pasal 171 point a.
10
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2004), h., 108.
11
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), cet. 2, h., 2.
12
Agus Efendi, “Pembagian Warisan Secara Kekeluargaan (Studi Terhadap Pasal 183
Kompilasi Hukum Islam)”, (Skripsi S-1 Jurusan al-Ahwal Asy-syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009), h., 20.
15

menerima harta warisan” dan dalam arti kedua mengandung makna “hal ihwal
peralihanharta dari yang telah mati kepada yang masih hidup”13.
Dan menurut istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari
orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Dengan
demikian apabila dilihat secara garis besar bahwa warisan yaitu perpindahan
berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia
kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam
mewarisi14.
B. Dasar Hukum Kewarisan
Adapun dasar-dasar hukum yang dijadikan sebagai pedoman untuk
menentukan pemberlakuan hukum waris bagi umat Islam sebagai berikut:
1. Ayat-ayat al-Qur’an15
a. QS. al-Nisa (4): 7

ِ‫يب ِم َّما ِت ََرَكَ ِ ۡٱل َولِ َْدان‬ َ ‫ِو ۡٱۡل َ َۡق َربُونَِ ِ َوللن‬
ٞ ‫سآء ِنَص‬ ۡ َ‫يب ِم َّماِت ََرَك‬
َ ‫ِٱل َول َْدان‬ ٞ ‫للر َجال ِنَص‬
. ‫َو ۡٱۡل َ َۡق َربُونَ ِم َّماَِقَلَِّم ۡنهُِأ َ ۡوِ َكث ُ َۚ َرِنَصيبٗ اِ َّم ۡف ُِروضٗ ا‬
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Sebab turunnya ayat ini, sebagian masyarakat arab pada jaman
jahiliyah, bahwa waris hanya untuk orang yang bisa berperang sehingga
Allah membatalkan hal tersebut dengan menurunkan ayat ini.
Sehingga ayat ini mengenai pembagian waris yang adil yang
bertujuan untuk membatalkan kebiasaan masyarakat arab pada jaman

13
Maulana Hamzah, “Persepsi Aktivis Gender Indonesia Terhadap Sistem Pembagian
Harta Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam”, (Skripsi S-1 jurusan al-Ahwal Asy-syakhsiyyah,
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010), h., 17.
14
Ahmad Ferizqo Achdan, “Analisis Yuridis Tentang Pembagian Harta Bersama Dan
Warisan Perkawinan Poligami”, (Skripsi S-1 Jurusan Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018), h., 9.
15
Al-Qur’an al-Karim.
16

jahiliyah yang hanya mewariskan harta warisan kepada orang yang bisa
berperang.16

b. QS. al-Nisa (4): 11

ۡ َ‫سا ٓ ٗءِفَ ۡوَق‬


ِ‫ِٱثنَِت َ ۡين ِفَلَ ُه َّن‬ ِ ۡ ‫ِٱَّللُ ِف ٓي ِأ َ ۡولَْدكُ ۡ ۖۡم ِللَذَّ َكر ِم ۡث ُل ِ َحظ‬
َ ‫ِٱۡل ُنث َ َي ۡي َۚنِفَِإنِكُ َّنِن‬ َّ ‫يُوصيكُ ُم‬
ِ‫س ِم َّما‬ ُ ِ‫ِوحْدِم ۡن ُه َماِٱلس ُْد‬ َ ‫ۡل َبَ َو ۡيهِل ُكل‬
ِ ‫ِو‬ َ ‫ف‬ ُ َۚ ۡ‫ِوح َْد ٗة ِفَلَ َهاِٱلنص‬
َ ‫ِوإنِ َكان َۡت‬ َ َ‫اِماِت ََر َۖۡك‬
َ َ ‫ثُلُث‬
ِٓ‫ثِفَِإِن ِ َكانَ ِلَهُۥ‬ ُ َۚ ُ‫ِو َِورثَهُۥِٓأَبَ َواُهُِفَُأِلُمهِٱلثل‬ َ ‫َۚ ِفَِإنِلَّ ۡمِيَكُنِلَّه‬ٞ‫ُۥِولَْد‬
َ ٞ‫ُۥِولَْد‬ َ ‫ت ََرَكَِ ِإنِ َكانَ ِلَه‬
َ ‫ِوأ َ ۡبنَا ٓ ُُؤكُ ِۡم‬
ِ َ‫ِْلِت َْۡد ُرون‬ َ ‫ِوصيَّةِيُوصيِب َهِا ِٓأ َ ۡوِ َْد ۡينِ َءابَا ٓ ُُؤكُ ۡم‬ َ ‫ُسِم ۢنِبَعۡ ْد‬ ُ َۚ ‫ةِفَُأِلُمهِٱلسْد‬ٞ ‫إ ۡخ َو‬
َ ِ َ‫َّللِ َكان‬
ِ .ِ‫علي ًماِ َحك ٗيما‬ َ َّ ‫ِٱَّللِإ َّنِٱ‬ َ ‫بِلَكُ ۡمِن َۡف ٗع َۚاِفَري‬
َّ َ‫ض ٗةِمن‬ ُ ‫أَي ُِه ۡمِأ َ َۡق َر‬
Artinya: Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan hak waris kepada


anak laki-laki dengan kelipatan dua atau satu, sedangkan anak
perempuan satu atau setengah bagiannya anak laki-laki karena hikmah
laki-laki untuk memberikan kebutuhan nafkah dan keperluan kepada
perempuan, sehingga laki-laki lebih membutuhkan harta lebih banyak
daripada perempuan. Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa
membagikan harta warisan selama hutang dan wasiat belum ditunaikan
itu tidak dibenarkan, maka harus dibayarkan dahulu hutangnya.

16
Muhammad Ali al-Shobuni, Shofwatut Tafasir, (Beirut: Darul Fikr, 1980), h., 260.
17

Kemudian mengeluarkan tidak lebih dari 1/3 harta warisnya untuk


menunaikan wasiatnya17.

c. QS. al-Nisa (4): 12

ِ‫ ِفَلَكُ ُمِٱلربُ ُعِم َّما‬ٞ‫ِولَْد‬َ ‫َۚ ِفَِإنِ َكانَ ِلَ ُه َّن‬ٞ‫فِ َماِت ََرَكَ ِأ َ ۡز َو ُجكُ ۡمِإنِلَّ ۡمِيَكُنِلَّ ُه َّنِ َِولَْد‬ ُ ۡ‫َولَكُ ۡمِنص‬
ِ‫ِولَ ُِه َّنِٱلربُ ُعِم َّماِت ََر ۡكت ُ ۡمِإنِلَّ ۡمَِِيكُنِلَّكُ ۡم‬ َ ‫ِوصيَّة ِيُوصينَ ِب َها ِٓأَ ۡو ِ َْد ۡي َۚن‬ َ ‫ت ََر ۡك َۚنَ ِم ۢن ِ َبعۡ ْد‬
ِ‫صونَ ِب َها ٓ ِِأ َ ۡو ِ َْد ۡين‬
ُ ‫ِوصيَّةِتُو‬ َ ‫َِۚ ِفَِإنِ َكانَ ِلَكُ ۡم‬ٞ‫َولَْد‬
َ ‫ ِفَلَ ُه َّنِٱلث ُمنُ ِم َّماِت ََر ِۡكت ُ َۚمِم ۢنِ َبعۡ ْد‬ٞ‫ِولَْد‬
ُ َۚ ‫ِوحْدِم ۡن ُه َماِٱلسِْد‬
ِ‫ُس‬ َ ‫تِفَلكُل‬ٞ ‫ِولَهُۥِٓأ َ ٌخ ِِأ َ ۡوِأ ُ ۡخ‬َ ‫ة‬ٞ َ‫ِٱم َرأ‬
ۡ ‫ث ِ َكلَلَةً ِأَو‬ُ ‫ُور‬ َ ‫ل ِي‬ٞ ‫ِر ُج‬ َ َ‫َوإنِ َكان‬
ِ‫صٰىِب َهآِأ َ ۡوِ َِْد ۡين‬ َ ‫فَِإنِ َكانُ ٓواِْأ َ ِۡكث َ َرِمنَِذَلَكَ ِفَ ُه ۡمِشُ َر َكا ٓ ُءِفيِٱلثلُِ َۚثِم ۢنِ َبعۡ ْد‬
َ ‫ِوصيَّةِيُو‬
.ِ‫م‬ٞ ‫علي ٌمِ َحلي‬
َ ُِ‫ٱَّلل‬
َّ ‫ِو‬ َّ َ‫ِوصي َّٗةِمن‬
َ ‫ِٱَّلل‬ َ ‫ضا ٓ َۚر‬
َ ‫غ َۡي َرِ ُم‬
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya
dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.

Ayat di atas menjelaskan bahwa suami mendapatkan 1/2 bagian dari


harta yang ditinggalkan istrinya, jika istri tidak mempunyai anak.
Sebaliknya, jika istri mempunyai anak, maka suami mendapatkan 1/4
bagian. Sedangkan istri mendapatkan 1/4 dari harta yang ditinggalkan

17
Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jilid 5, Penerjemah Ahmad Rijali Qadir,
Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Cet. 1, h., 152-154.
18

suami dengan syarat tidak mempunyai anak dan apabila mempunyai


anak, maka istri mendapatkan 1/818.

d. QS. al-Nisa (4): 176

ِٞ ‫ِولَهُۥِٓأ ُ ۡخ‬
ِ‫ت ِفَلَ َها‬ َ ٞ‫ُۥِولَْد‬
َ ‫سِلَه‬ َ ‫ِٱل َكلَلَ َۚة ِإن ِٱمِۡ ُر ٌُؤاِْ ََهلََكَ ِلَ ۡي‬
ۡ ‫ِٱَّللُ ِي ُۡفتيكُ ۡم ِفي‬
َّ ‫يَسۡ ت َۡفتُونََكَ َِقُل‬
ۡ ‫َِۚ ِفَِإنِ َكانَت‬ٞ‫اِولَْد‬
ِ‫َاِٱثنَت َۡينِفَلَ ُه َماِٱلثِلُثَان ِم َّما‬ َ َ‫ف ِ َماِت ََر ََۚك‬
َ ‫ِوَه َُو ِ َيرث ُ َها ِٓإنِلَّ ۡم ِ َيكُنِلَّ َه‬ ُ ۡ‫نص‬
ِ‫ِٱَّلل ِلَكُ ۡم ِأَن‬ ۡ ‫ِون َسا ٓ ٗء ِفَللَذَّ َكرِ ِم ۡث ُل ِ َحظ‬
َُِّ ُ‫ِٱۡلُنث َ َي ۡين ِيُ َبين‬ َ َ‫ت ََر ََۚك‬
َ ‫ِوإن ِ َكانُ ٓواْ ِإ ۡخ َو ٗة ِر َج ٗاْل‬
‫علي ۢ ُِم‬
َ ِ‫ٱَّللِبكُلِش َۡيء‬ َ ْ‫ت َضلِوا‬
ُ َّ ‫ِو‬
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu):
jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan
itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-
laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara
laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak
bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum
ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.

2. Hadits
a. Hadis dari Umayyah yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab
Shahih Muslim:19

ِ‫عبْْد‬ ِْ ‫ع‬
َ ِ‫ن‬ ْ َ‫َاِر ْو ُحِبْن‬
َ ِ،‫ِال َقاسم‬ َ ‫ َح َّْدثَن‬:ِ‫ِز َريْع‬ ْ ‫ام‬
ُِ ُ‫ِ َح َّْدثَنَاِ َيزيْدُِبْن‬:ِ ‫ِال َعيْشي‬ َ ‫أ ُ َميَّةُِبْنُ ِب ْس‬
َ ‫ط‬
َ ‫ع ْن‬
ِ.‫ِرسُِوِلِهللاِصليِهللاِعليهِوسلم‬ َ ِ،‫عبَّاِس‬ َ ِ،‫ع ْنِأَبيه‬
َ ِ‫عنِابْن‬ َ ِ،‫اِوِس‬
ُ ‫ط‬ َ ِ‫هللاِبْن‬
ِ َ‫ضِفَُأِل َ ْول‬
.))‫ٰىِ َر ُجلَِذَ َكر‬ ْ ‫ِفَ َماِت ََر َكت‬،‫ضِبأَِ َْهل َها‬
ُ ‫ِالَِف َراء‬ َ ‫َقَالَِ((أ ْلحقُواِالُفَ َرائ‬

Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
beliau bersabda: “Berikanlah harta pusaka kepada yang berhak, dan

18
Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-ayat Hukum, (Jakarta: Amzah,
September 2013), h., 287.
19
Abu Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1971), h., 627.
19

seberapa yang tinggal itu untuk laki-laki yang paling dekat (kepada
yang meninggal).

b. Hadis dari Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam
kitab Bulughul Maram: 20

َ ِ‫يِهللاُِتَعَالَٰى‬
َ ‫ِفَ َق‬:ِ‫ع ْنهُِفيِب ْنتِوبِ ْنتِابْنِِوأخت‬
ِ‫ضٰىِالنَّبي‬ َ ‫ِرض‬
َ ‫عنِابْنِ َم ْسعُ ْوْد‬
َ ‫َو‬
ِ‫ي‬ َ ‫ُِسِت َ ْكملَةَِالثلُثَيْن‬
َ ‫ِو َماِبَِق‬، َ ‫ِوْل ْبنَة‬،
ُ ‫ِاْلبْنَ ِالسِْد‬ َ ‫ف‬ ُ ‫ص‬
ْ ‫صليِهللاِعليهِوسلمِْل ْبنَةِِالن‬
ِ )‫فَلُأِل ُ ْختِ(رواُهِالبخاِري‬

Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud ra. tentang (bagian warisan) anak


perempuan, cucu perempuan, dan saudara perempuan. Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan untuk anak
perempuan setengah, cucu perempuan seperenam sebagai
penyempurna dua pertiga dan selebihnya adalah milik saudara
perempuan.”

c. Hadits yang diriwiyatkan oleh Ibnu Abbas yang sebagaimana terdapat


dalam kitab subulus salam21 dan terdapat juga dalam kitab al-mirats:22

َ ‫ِفَ َماِبَق‬،‫ضِباَِ َْهل َِها‬


ْ َ‫يِفَ ُه َوِْل‬
‫ِولٰى‬ ْ ُ‫ِأ َ ِْلحق‬:ِ‫َقالِالنبيِصليِهللاِعليهِوسلم‬
َ ِ‫واِال َف َِرائ‬
ِ ِ‫َر ُجلَِذَِ َكر‬
“Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Berikanlah
harta pusaka kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya,
untuk laki-laki yang paling dekat.”
d. Hadis dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
kitab Kutubus Sittah:23

َِ‫أ َ َْقس ُم ْواِا ْل َما َلِ َبيْنَ ِا َ َْهلِاْل َف َرائِضِ َعلِكت َاِبِهللاِ ت َ َعاِل‬

“Bagilah harta pusaka antara ahli-ahli waris menurut Kitabullah.”

20
Al-Hafidz ibnu Hajr al-Asqolani, Bulughul Maram, (Surabaya: Maktabah Daru jawahir),
h., 203.
21
Al-Sayyid al-Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy, Subulussalam, (Bandung:
Dahlan), Bab Faraid, Juz 3, h., 98.
22
Husain Yusuf Ghozal, al-Mirats, (Darul Fikr: 2003), cet. 2, h., 12
23
Kutubus Sittah, (Saudi Arabia: Darussalam, 2000), cet. 3, h., 958
20

3. Ijtihad Ulama
Dalam al-Qur’an dan hadis sudah memberikan ketentuan pembagian
harta warisan secara detail. Tetapi dalam beberapa hal masih diperlukan
adanya ijtihad. Misalnya mengenai bagian warisan banci (waris) diberikan
kepada siapa harta warisan yang tidak habis terbagi.
Mengenai munasakhah terdapat dalam kitab Fiqhul Sunnah24 dan al-
Mirats dengan melihat syarat waris mewarisi, seperti:25

ْ ‫ِو ْالع ْل ُمِبج َهة‬


ِ ِ‫ِاْل َرث‬ ِْ ُ ‫ِو َح َياة‬،
َ ‫ِال َوارث‬ ْ ُ‫ِ َم ْوت‬:ِِ‫ش ُر ْوط‬
َ ‫ِال ُم َورث‬ ُ ٌِ‫ل ْلمي َْراتِث َ ََلثَة‬

Artinya: syarat mewarisi ada tiga: Meninggalnya Pewaris, Hidupnya ahli


waris ketika itu, dan dari sisi mengetahui tentang hak Waris.

C. Rukun dan Syarat-syarat Waris


Kewarisan mempunyai tiga unsur rukun, yaitu26:
1. Mauruts (Tirkah) / Harta Peninggalan
Mauruts (Tirkah) / Harta Peninggalan yaitu harta benda yang
ditinggalkan oleh pewaris yang akan diberikan kepada ahli waris setelah
harta benda tersebut dikurangi untuk biaya perawatan jenazah, melunasi
hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Sedangkan menurut Kompilasi
Hukum Islam, Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh
pewaris baik berupa benda maupun hak miliknya 27.
Di dalam pembagian tirkah juga ada beberapa macam tirkah, yaitu:
a. Tirkah yang berupa nilai kebendaan, baik berupa benda maupun sifat.
Yaitu benda tetap, benda bergerak, piutang, denda wajib (diyat
wajibah), pengganti qisas.

24
Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhul Sunnah, (Libanon: Darul Fikr: 1998), Juz. 3, h., 303.
25
Husain Yusuf Ghozal, al-Mirats, (Libanon: Darul Fikr: 2003), cet. 2, h., 10.
26
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al-Faraidl: Deskripsi Hukum
Islam, Praktis dan Terapan, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h., 22-24.
27
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Bab II Hukum
kewarisan, Pasal 171 point d.
21

b. Tirkah yang berupa hak-hak kebendaan. Seperti hak monopoli untuk


menarik hasil jalan tol, sumber air minum, irigasi pertanian dan
perkebunan, hak cipta, pensiunan dan lain-lain.
c. Tirkah yang berupa hak yang bukan kebendaan. Yaitu hak khiyar, hak
suf’ah (hak utama dalam menentukan beli tanah dalam berserikat), hak
memanfaatkan barang yang diwasiatkan.
d. Tirkah yang berupa benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.
Seperti benda-benda yang digadaikan pewaris, pembelian yang
barangnya belum diterima, maskawin yang belum diserahkan.

Mengenai jenis-jenis tirkah yang telah dijelaskan sebelumnya, para


ulama terdapat perbedaan pendapat dalam menjeniskan harta peninggalan
(tirkah), antara lain: 28

a. Tirkah menurut Ibn Hazm adalah segala apa yang ditinggalkan oleh
orang yang meninggal dunia yang berupa harta benda saja dan ini
sependapat dengan para fuqaha Hanafiyah. Dalam hal ini Ibnu Hazm
mengemukakan:29
ِ‫ِوأ َ َّما‬ َ ‫ِمال ِْلَ ِف ْي َماِ َلي‬
َِ ‫ْس ِب َماِل‬ َ ‫ِالمي َْراثِف ْي َماِيُ ْخلفُهُِاْْل ْن َسا ُن ِبَ ْع َْد ِ َم ْوتِهِ ِم ْن‬
ْ ‫ب‬ ْ َ ‫ِهللا ِأ‬
َ ‫ِو َج‬ َ ‫إ َّن‬
ْ ‫ثِم ْن َهاِإْلَِّ َماِ َكانَ ِتَاِبعًاِلِْل َمالِأ َ ْوِفيِ َم ْعن‬
ِ‫َٰىِال َمال‬ ُ ‫اْل ُحِقُ ْو َُقِفََلَِي ُْو َر‬
Artinya: sesungguhnya Allah mewajibkan pewarisan dari apa yang
ditinggalkan oleh manusia setelah ia meninggal dunia yang berupa harta
benda. sedangkan hak-hak tidaklah diwariskan, kecuali hak-hak tersebut
mengikuti kepada bendanya atau ia diartikan sebagai harta benda.

b. Jumhur Ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat


bahwa tirkah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik
berupa harta benda maupun hak-hak, baik hak kebendaan maupun
bukan kebendaan. Hal ini terdapat dalam kitab Fiqhul Sunnah:30

28
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma’arif, 1975), cet. 10, h., 37-39.
29
Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhul Sunnah, (Libanon: Darul Fikr: 1998), Juz. 3, h., 301.
30
Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhul Sunnah, (Libanon: Darul Fikr: 1998), Juz. 3, h., 301.
22

ِ‫نِأ َ ْم َوال‬ ْ ‫ِماِِ َيتْ ُركُه‬


ِْ ‫ُِال َميتُ ِم‬ َ ‫ِو ْال َحنَابلَةِِت َ ْش َملُِ َجمِ ْي َع‬ َّ ‫ِوال‬
َ ‫شاِفعيَّة‬ ْ ‫يِع ْن َْد‬
َ ‫ِال َمالكيَّة‬ َ ‫َِوَه‬
َ ِ‫ِماليَّةًِأ َ ْم‬
ِ‫غي َْرِ َماليَّة‬ ْ ‫س َوا ٌءِأ َ َكانَت‬
َ ‫ِال ُحقُ ْو َُق‬ َ ِ‫َو ُحقُ ْوَق‬
Artinya: Dan ia (tirkah), menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah mencakup segala apa yang ditinggalkan oleh si mati dari
seluruh harta dan hak, baik hak-hak kebendaan maupun bukan
kebendaan.
Sedangkan menurut hukum adat di Indonesia, bahwa harta benda yang
ditinggalkan pewaris tidak semuanya dapat diwaris, yang dapat diartikan
bahwa harta benda pewaris dapat diwaris kepada ahli waris tetapi ada harta
benda yang menjadi milik bersama.

2. Muwarrits / Pewaris, atau orang yang meninggal dunia dan


meninggalkan harta waris31
Muwarrits / Pewaris menurut Kompilasi Hukum Islam adalah
seseorang yang saat meninggal atau dinyatakan meninggal berdasarkan
putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan32.
Mengenai muwarrits berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan
dimilikinya dengan sempurna, dan pewaris tersebut harus benar telah
meninggal dunia, baik menurut kenyataan maupun menurut hukum.
Kematian muwarrits menurut para fiqih dibedakan menjadi 3 macam,
yakni:
a. Mati haqiqi (Sejati) adalah hilangnya nyawa seseorang yang semula
nyawa itu sudah berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh
pancaindra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
b. Mati hukmy (berdasarkan keputusan hakim) adalah suatu kematian yang
disebabkan adalah vonis hakim baik pada hakikatnya, seseorang yang
masih hidup, maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati.
Salah satu contohnya, orang yang divonis mafqud (orang hilang), yakni

31
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), h., 60-61.
32
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Bab II Hukum
kewarisan, Pasal 171 point b.
23

orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya


dan tidak diketahui hidup dan matinya. Dan selama 15 tahun sebelum
divonis masih tidak diketahui kabarnya, maka hakim memberikan
putusan bahwa orang yang mafqud itu divonis mati, sehinga berlakunya
vonis tersebut sejak tanggal yang termuat dalam vonis itu atau setelah
hakim memberikan vonis. Warits / Ahli waris, yaitu orang yang akan
mewarisi harta peninggalan si muwarrits lantaran mempunyai sebab-
sebab untuk mewarisi.
c. Mati taqdiri adalah suatu kematian yang bukan haqiqi dan bukan hukmy,
tetapi semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras. Misalkan kematian
seorang bayi atau janin yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan
terhadap perut ibunya atau pemaksaan agar ibunya meminum racun.
Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras, dapat
juga disebabkan oleh yang lain, namun ada kuatnya pemikiran atas
akibat perbuatan semacam itu.
3. Warits / Ahli waris, yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan
si muwarrits lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi.
Yang dimaksud dari pengertian ahli waris adalah orang yang
mendapatkan harta waris karena adanya hak dari lingkungan keluarga
pewaris. Namun, tidak semua keluarga dari pewaris termasuk ahli waris.
Demikian pula orang yang berhak menerima harta waris mungkin saja di
luar ahli waris.
Ahli Waris menurut Kompilasi Hukum Islam adalah orang yang pada
saat meninggal dunia punya hubungan darah atau perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang hukum untuk menjadi ahli
waris33.
4. Al-Iris (Harta Warisan)
Yaitu harta warisan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris setelah
diambil untuk kewajiban (pengurusan jenazah, melunasi hutang, dan

33
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Bab II Hukum
kewarisan, Pasal 171 point c.
24

menunaikan wasiat)34. Harta Waris menurut Kompilasi Hukum Islam


adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan
untuk keperluan pewaris ketika sakit sampai meninggal, pembayaran
hutang, pengurusan jenazah dan pemberian untuk kerabatnya.
Harta Waris menurut Kompilasi Hukum Islam adalah harta bawaan
ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan
pewaris ketika sakit sampai meninggal, pembayaran hutang, pengurusan
jenazah dan pemberian untuk kerabatnya.

D. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam


Menurut al-Raghib yang sebagaimana dikutip oleh Ali Parman dalam
bukunya, asas berasal dari kata al-ussu kemudian berubah menjadi al-asasu
atau al-asᾱs yang bermakna asal, dasar, atau pangkal suatu bangunan.
Selanjutnya, kata asasa berubah menjadi ussu atau asᾱs yang mengandung
makna kaidah-kaidah yang harus dipertahankan karena ia berpangkal dari hati
atau dasar. Kemudian kata tersebut menjadi bahasa Indonesia yang baku dan
bermakna sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat 35.
Apabila kata tersebut dihubungkan dengan kata hukum kewarisan Islam,
maka dapat dirumuskan bahwa asas adalah alasan pendapat yang dijadikan
sebagai acuan dalam mencapai kebenaran hukum. Meskipun dalam al-Qur’an
tidak dijumpai secara tekstual mengenai asas kewarisan, maka alasan yang
dipergunakan untuk memakai kata asas adalah pertimbangan akal yang pada
dasarnya mengandung arti mengerti, memahami, dan berpikir. Sehingga untuk
memahami asas kewarisan, diperlukan pemikiran yang relevan antara akal dan
wahyu sehingga hasilnya lebih utuh36.

34
Ahmad Ferizqo Achdan, “Analisis Yuridis tentang Pembagian Harta Bersama dan
Warisan Perkawinan Poligami”, (Skripsi S-1 Jurusan Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018), h., 10.
35
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan
Tafsir Tematik, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h., 71.
36
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan
Tafsir Tematik, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h., 72.
25

Pada dasarnya, asas-asas kewarisan yang dapat ditemukan dalam al-Qur’an


beragam, seperti: 37
1. Asas Ijbari
Adalah peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli
warisnya berlaku secara sendirinya menurut kehendak Allah. Tanpa
digantungkan kepada kehendak pewaris dan ahli warisnya dan asas ini dapat
dilihat dari berbagai segi yaitu: 38
a. Dari segi pewaris, mengandung arti bahwa pewaris tidak perlu
memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya, karena
dengan meninggalnya pewaris, secara otomatis hartanya beralih kepada
ahli warisnya.
b. Dari segi peralihan harta, mengandung arti bahwa harta orang yang
meninggal (pewaris) itu beralih dengan sendirinya, bukan karena
dialihkan oleh siapa-siapa kecuali oleh Allah. Oleh karena itu,
kewarisan dalam Islam diartikan dengan peralihan harta bukan
pengalihan harta, karena peralihan harta berarti beralih dengan
sendirinya, sedangkan jika diartikan dengan pengalihan ialah usaha
seseorang, bukan beralih dengan sendirinya.
c. Dari segi jumlah harta yang beralih, dapat dilihat dari kata “mafrudan”
yang secara etimologis berarti telah ditentukan atau telah
diperhitungkan, dan dalam terminologi ilmu fikih berarti sesuatu yang
telah diwajibkan Allah kepadanya, maksudnya bagian yang sudah
ditentukan39.
d. Dari segi penerima peralihan harta, yaitu bahwa penerima harta dan
yang berhak atas harta peninggalan sudah ditentukan secara pasti.
Ketentuan asas ijbari dapat dilihat dalam ketentuan al-Qur’an surat al-
Nisa’: 7

37
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), cet. 2, h., 5-7.
38
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), h., 39.
39
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam¸ (Jakarta: Prenada Media, 2004), h., 19.
26

ۡ َ‫يب ِم َّما ِت ََرَك‬


ِ‫ِٱل َولِ َْدان‬ َ ‫ِو ۡٱۡل َ َۡق َربُونَِ ِ َوللن‬
ٞ ‫سآء ِنَص‬ ِۡ َ‫يب ِم َّماِت ََرَك‬
َ ‫ِٱل َول َْدان‬ ٞ ‫للر َجال ِنَص‬
ِ .ِ‫روضٗ ا‬ ُِ ‫َو ۡٱۡل َ َۡق َربُونَ ِم َّماَِقَلَِّم ۡنهُِأ َ ۡوِ َكث ُ َۚ َرِنَصيبٗ اِ َّم ۡف‬

Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa bagi seorang laki-laki maupun
perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang tuanya atau dari karib
kerabatnya, kata nasib dalam ayat tersebut diartikan saham, bagian atau
jatah dari harta peninggalan si pewaris.
2. Asas Bilateral
Adalah harta warisan yang beralih kepada atau melalui dua arah.
Maksudnya setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak
garis kerabat, seperti pihak kerabat garis keturunan dari laki-laki dan pihak
kerabat garis keturunan perempuan. Untuk lebih jelasnya asas bilateral ini
dapat dilihat dalam surat an-Nisa: 7, 11, 12 dan 176. Ayat-ayat yang telah
disebutkan sebelumnya akan dijelaskan secara rinci, antara lain: 40
a. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seorang laki-laki berhak memperoleh
warisan dari pihak ayahnya maupun ibunya. Begitu juga dengan
perempuan mendapat warisan dari kedua belah pihak orang tuanya.
Ayat ini merupakan dasar bagi asas kewarisan bilateral.
b. Dalam ayat 11 ditegaskan:
 Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya
sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan
seorang anak laki-laki menerima sebanyak yang didapat dua orang
anak perempuan.
 Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun
perempuan. Begitu pula ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak

40
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam: Edisi Kedua, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2015), cet. 5, h., 24-25.
27

menerima warisan dari anak-anaknya, baki laki-laki maupun


perempuan sebesar seperenam bagian, bila pewaris ada
meninggalkan anak.
c. Dalam ayat 12 ditegaskan bahwa:
 Bila pewaris adalah seseorang laki-laki yang tidak memiliki ahli
waris langsung (anak/ayah), maka saudara laki-laki dan/atau
perempuannya berhak menerima harta tersebut.
 Bila pewaris adalah seseorang perempuan yang tidak memiliki
pewaris langsung (anak/ayah), maka saudara laki-laki dan/atau
perempuan berhak menerima harta tersebut.
d. Dalam ayat 176 dinyatakan bahwa:
 Seseorang laki-laki yang tidak memiliki keturunan (ke atas dan ke
bawah) sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki dan perempuan,
maka, saudara-saudaranya itu berhak menerima warisannya.
 Seseorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan (ke atas
dan ke bawah) sedangkan dia mempunyai saudara laki-laki maupun
perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak mendapatkan
warisannya.
3. Asas Semata Akibat Kematian
Asas kewarisan akibat kematian adalah harta seseorang (pewaris) tidak
dapat beralih kepada orang lain (ahli waris) selama yang mempunyai harta
masih hidup. Asas ini berarti bahwa harta seseorang (pewaris) tidak dapat
beralih apabila pewaris belum meninggal41. Asas ini juga berarti bahwa
segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara
langsung maupun terlaksana setelah dia mati, tidak termasuk ke dalam
istilah kewarisan menurut hukum Islam. Dengan demikian, hukum
kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan, yaitu kewarisan
akibat kematian semata atau yang dalam hukum perdata atau BW disebut
dengan “Kewarisan ab intestato” dan tidak mengenal kewarisan atas dasar

41
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam¸ (Jakarta: Prenada Media, 2004), h., 28.
28

warisat yang dibuat pada waktu masih hidup yang disebut “kewarisan bij
testament”.
Asas ini dapat digali dari penggunaan kata-kata waratsa (‫ )ورث‬yang
banyak terdapat dalam al-Qur’an. Kata waratsa ditemukan beberapa kali
digunakan dalam ayat-ayat kewarisan. Dari keseluruhan pemakaian kata itu
terlihat bahwa peralihan harta berlaku setelah mempunyai harta itu
meninggal dunia. Makna terakhir ini akan lebih jelas apabila semua kata
waratsa yang terdapat dalam ayat-ayat kewarisan dianalisis dan
dihubungkan dengan kata waratsa yang terdapat di luar ayat-ayat
kewarisan, kata ini cukup banyak digunakan dalam al-Qur’an baik dalam
pengettian sebenarnya atau tidak.
4. Asas Integrity (Ketulusan)
Adalah harta yang akan dibagikan ke orang lain harus dilakukan dengan
ketulusan hati untuk menaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini.
5. Asas Ta’abudi (Penghambaan Diri)
Maksudnya adalah melaksanakan pembagian waris secara hukum Islam
yang merupakan bagian dari ibadah kepada Allah Swt.
6. Asas Huququl Maliyah (Hak-hak Kebendaan)
Maksudnya adalah hak-hak kebendaan yang dapat diartikan, hak dan
kewajiban terhadap kebendaan yang dapat diwariskan kepada ahli waris.
7. Asas Huququn Thaba’iyah (Hak-hak Dasar)
Adalah hak-hak dari ahli waris sebagai manusia. Maksudnya seseorang
dianggap cakap mewarisi harta meskipun masih bayi atau seseorang yang
sudah sakit parah dan suami istri yang belum bercerai.
8. Asas Membagi Habis Harta Warisan
Maksudnya semua harta peninggalan harus dibagi semua hingga tak
tersisa.
9. Asas Individual
Adalah harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara
perorangan. Maksudnya masing-masing ahli waris menerima bagiannya
secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Dengan
29

demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak
mendapatkan semua harta yang telah menjadi bagiannya 42.
Ketentuan ini juga dapat dijumpai dalam surat al-Nisa’: 7 yang secara
garis besar menjelaskan bahwa anak laki-laki maupun perempuan berhak
menerima warisan dari orang tuanya dan karib kerabatnya, terlepas dari
jumlah bagian yang telah ditentukan, sehingga dapat dikemukakan bahwa
bagian masing-masing ahli waris sudah ditentukan.
10. Asas Keadilan Berimbang
Adalah Keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan
antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Atas dasar
pengertian tersebut, terlihat asas dalam pembagian harta warisan dalam
hukum Islam. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender
tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Artinya, sebagaimana laki-
laki, perempuan pun memiliki hak yang sama kuat untuk mendapatkan
warisan. Hal ini telah disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an surat al-Nisa’
ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hak
mendapatkan warisan. Dijelaskan juga secara terperinci pada surat al-Nisa’
ayat 11-12, dan 176 yang menjelaskan kesamaan kekuatan hak menerima
warisan antara laki-laki dan perempuan, ayah dan ibu (ayat 11), suami dan
istri (ayat 12), saudara laki-laki dan perempuan (ayat 12 dan 176).

E. Jenis-jenis Ahli Waris dan Bagiannya


Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
1. Ashabul Furudh
Ashabul Furudh ialah kelompok waris yang mempunyai bagian harta
peninggalan yang telah ditentukan dengan nash atau ijma. Ada dua belas
orang yang merupakan Ashabul Furudh, yakni suami, ayah, kakek sejati,
saudara seibu, istri, ibu, anak perempuan kandung, cucu perempuan dari

42
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam¸ (Jakarta: Prenada Media, 2004), h., 21.
30

anak lelaki, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah dan


saudara perempuan seibu.
a. Ashabul Furudh yang berhak menerima ½ harta:
1) Suami, apabila istri meninggalkan anak, baik anak si suami itu
sendiri ataupun anak dari suami lain.
2) Seorang anak perempuan kandung, apabila tidak ada orang yang
menjadi ashabahnya.
3) Cucu perempuan, jika si pewaris tidak meninggalkan anak kandung
laki-laki.
4) Saudara perempuan sekandung, apabila seorang diri, dengan syarat
tidak ada orang yang menjadi ashabahnya dan tidak pula
bersamanya anak perempuan kandung.
5) Saudara perempuan seayah, dengan syarat telah dikemukakan pada
saudara-saudara perempuan kandung dan tidak pula bersamanya
saudara perempuan sekandung.
b. Ashabul Furudh yang berhak menerima ¼ harta:
1) Suami, jika istri yang wafat meninggalkan anak.
2) Istri, apabila suami tidak meninggalkan anak.
c. Ashabul Furudh yang berhak menerima 1/8 harta:
Istri, jika suami wafat meninggalkan anak.
d. Ashabul Furudh yang berhak menerima 2/3 harta:
1) Dua anak perempuan kandung.
2) Cucu-cucu perempuan dari anak lelaki.
3) saudara-saudara perempuan sekandung.
4) Saudara-saudara perempuan seayah, dengan syarat-syarat yang telah
diterangkan tentang berhaknya mereka menerima ½ diwaktu sendiri.
e. Ashabul Furudh yang berhak menerima 1/3 harta:
1) Ibu, dengan pewaris tidak meninggalkan anak dan tidak pula
meninggalkan beberapa saudara sebapak seibu, atau seibu, atau
sebapak.
2) Dua orang atau lebih saudara seibu, baik lelaki maupun perempuan.
31

f. Ashabul Furudh yang berhak menerima 1/6 harta:


1) Ayah, meninggalkan anak.
2) Kakek sejati, meninggalkan anak, tidak meninggalkan ayah.
3) Ibu, meninggalkan seorang anak atau dua orang dan dari saudara-
saudara laki-laki dan saudara perempuan, baik seibu sebapak, atau
sebapak, atau seibu.
4) Nenek sejati, tidak ada ibu.
5) Cucu perempuan dari anak lelaki seorang atau lebih bersama dengan
seorang anak perempuan kandung.
6) Saudara perempuan seayah, seorang ataupun lebih bersama seorang
saudara perempuan sekandung.
7) Seorang anak seibu, baik lelaki maupun perempuan43.
2. Ashabah
Ashabah secara bahasa adalah pembela, penolong, pelindung, atau
kerabat. Menurut istilah adalah ahli waris yang dalam penerimaannya tidak
ada ketentuan bagian yang pasti, bisa menerima sisa atau tidak dapat sama
sekali.
Ahli waris Ashabah ini terdiri dari orang-orang yang mempunyai
hubungan darah dari garis keturunan laki-laki, seperti anak laki-laki, ayah,
saudara laki-laki, kakek44. Dalam keadaan tertentu anak perempuan juga
mendapat ashabah apabila ia didampingi atau bersama saudara laki-lakinya.
Kelompok ashabah ini menerima setelah pembagian harta waris untuk
pembagian ashabul furudh selesai.
Yang termasuk ahli waris ashabah sebagai berikut: anak lelaki, cucu
lelaki, ayah, kakek, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak,
anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, anak laki-laki dari saudara
laki-laki sebapak, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki dari
paman kandung, anak laki-laki dari paman sebapak.

43
T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum Warisan dalam Syariat
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h., 74-77.
44
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), h., 64-65.
32

Ahli waris ashabah dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:


a. Ashabah Binafsihi
Adalah kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan pewaris, tanpa
diselingi oleh ahli waris perempuan. Atau ahli waris yang langsung
menjadi ashabah dengan sendirinya tanpa disebabkan oleh orang lain.
Misalnya, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayah, saudara
laki-laki sekandung.
b. Ashabah Bilghairi
Adalah seorang perempuan yang menjadi ashabah beserta laki-laki
yang sederajat dengannya. Kalau orang lain itu tidak ada, maka tidak
akan menjadi ashabah melainkan menjadi ashabul furudh.
c. Ashabah Ma’al ghairi
Adalah orang yang menjadi ashabah disebabkan ada orang lain yang
bukan ashabah. Orang lain tersebut tidak ikut menjadi ashabah. Akan
tetapi, kalau orang lain tersebut tidak ada maka ia akan menjadi ashabul
furudh.
4. Dzawil Arham
Adalah setiap kerabat yang bukan ashabul furudh dan bukan pula
ashabah. Kemungkinan untuk mendapat dzawil arham disebagian ulama
tidak berlaku lagi ketika ada Rad. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, dan
para fuqaha Amshar, begitu pula Zaid bin Tsabit r.a. dari kalangan sahabat,
berpendapat bahwa orang-orang tersebut (dzawil arham) tidak mewarisi45.
Hal ini sudah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 192 yang
menyebutkan bahwa:
“Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli warisnya
dzawil furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari
angka penyebut, maka angkat penyebut dinaikkan sesuai dengan angka
pembilang, dan baru sesudah itu harta warisnya dibagi secara Aul
menurut angka pembilang.”

45
Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid Analisa Para Mujtahid, (Terj.) Imam Ghazali dan Ahmad Ma’ruf Asrori, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2007), h., 381.
33

Pasal 193 yang menyebutkan bahwa:


“Apabila dalam pemberian harta warisan diantara para ahli warisnya
dzawil furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari
angkat penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah, maka
pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara Rad¸ yaitu sesuai
dengan hak masing-masing ahli waris sedangkan sisanya dibagi
berimbang diantara mereka.”

F. Kewarisan Berganda (Munasakhah)


1. Pengertian Kewarisan Berganda (Munasakhah)
Munasakhah secara bahasa, yaitu naql atau tahwil yang berarti
memindahkan46. Menurut al-Sayyid al-Syarif yang sebagaimana dikutip
oleh Mardani dalam bukunya bahwa munasakhah ialah memindahkan
bagian sebagian ahli waris kepada orang yang mewarisinya, lantaran
kematiannya sebelum pembagian harta peninggalan dilaksanakan. Seperti
A meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang anak yang bernama B
dan C, kemudian sebelum harta warisnya dibagikan kepada B dan C,
ternyata B menyusul meninggal47.
Menurut ilmu mawaris, munasakhah ialah kematian seseorang yang
sebelum harta peninggalannya dibagi terjadi kematian seseorang atau
beberapa orang ahli waris yang berhak mewarisinya sedemikian rupa
sehingga terjadi pemindahan bagian sebagian ahli waris tersebut kepada ahli
warisnya lantaran dia meninggal dunia sebelum pembagian harta pusaka
yang meninggal terdahulu dilaksanakan48.
Menurut Moh. Anwar yang sebagaimana dikutip oleh Muh. Sudirman
dalam jurnalnya, munasakhah ialah pembagian warisan yang beruntung,
seseorang telah meninggal dunia dengan meninggalkan bapak, ibu, suami,

46
Muh. Sudirman, “Munasakhah dalam Sistem Kewarisan Islam”, dalam Jurnal Supremasi
Vol. 11 No. 2 (Oktober 2016), h., 129.
47
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), cet. 2, h., 75.
48
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran
Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h., 166.
34

dan anak sebelum harta warisannya dibagikan, kemudian bapaknya


meninggal49.
Munasakhah merupakan bentuk mufa’alah (bermakna saling) dari al-
naskh yang berarti pemindahan dan pengalihan. Yang dimaksud adalah
perpindahan bagian ahli waris dari pewaris karena kematian pewaris 50.
Munasakhah menurut Ensiklopedia Muslim ialah proses penghitungan
untuk mengetahui bagian mayit kedua dari warisan mayit pertama sebelum
pembagian warisan dilakukan51.
Menurut Yusuf Musa yang sebagaimana dikutip oleh Suparman Usman
dan Yusuf Somawinata di dalam bukunya, Munasakhah52 ialah:

ُ ‫ض ْال َو َرثَة بِ َم ْو تِ ِه قَ ْب َل قِ ْس َم ِة التِ ْر َك ِة ِإلَى َم ْن يَ ِر‬


ُ‫ث ِم ْنه‬ ِ ‫ْب بَ ْع‬ ِ ‫أ َ ْن يَ ْنت َ ِق َل ن‬
ُ ‫َصي‬
“Berpindahnya bagian penerimaan sebagian ahli waris karena kematiannya
sebelum pelaksanaan pembagian tirkah (yang seharusnya ia terima) kepada
para ahli warisnya (Yusuf Musa, 1959:371).”

2. Unsur-unsur Munasakhah
Menurut Mardani dalam bukunya yang berjudul Hukum Kewarisan
Islam di Indonesia53, munasakhah mempunyai beberapa unsur, yaitu:
a. Harta warisan pewaris belum dibagikan kepada ahli waris.
b. Adanya kematian dari seseorang atau beberapa orang ahli warisnya.
c. Adanya pemindahan bagian harta warisan daari pewaris kepada ahli
waris yang lain atau kepada ahli warisnya yang semula belum menjadi
ahli waris terhadap orang yang meninggal pertama.

49
Muh. Sudirman, “Munasakhah dalam Sistem Kewarisan Islam”, dalam Jurnal Supremasi
Vol. 11 No. 2 (Oktober 2016), h., 129.
50
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 10, (Terj.) Abdul Hayyie al-
Khattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011), h., 490.
51
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhaajul Muslim, (Terj.) Fadhli Bahri, Ensiklopedia
Muslim, (Bekasi: PT Darul Falah, 2016), cet.21, h., 649.
52
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris: Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h., 157.
53
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), cet. 2, h., 76.
35

d. Pemindahan bagian ahli waris yang telah meningggal dunia kepada ahli
warisnya harus dengan jalan mewarisi.

3. Keadaan-keadaan Munasakhah
Berdasarkan Penjelasan mengenai munasakhah telah dibahas
sebelumnya, munasakhah memiliki 3 bentuk54:
a. Ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian harta warisan dari
orang yang meninggal belakangan adalah ahli waris juga bagi orang
yang meninggal duluan.
Contoh:
Seseorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris dua orang anak
laki-laki (Mahmud dan Fauzi), dan tiga orang anak perempuan
(Rahmah, Fatimah dan Sa’idah). harta warisannya sebesar
Rp.25.000.000,-. Akan tetapi sebelum pembagian warisan
dilaksanakan, Mahmud mendadak meninggal dunia. Dalam
pelaksanaan pembagiannya, Mahmud dianggap tidak ada. Dengan
demikian, harta warisan dibagikan langsung kepada: Fauzi, Rahmah,
Fatimah dan Sa’idah dengan anak laki-laki mendapat dua bagian dan
anak perempuan mendapat satu bagian:
Fauzi Mendapat : 2/5x25.000.000 = 10.000.000
Rahmah mendapat : 1/5x25.000.000 = 5.000.000
Fatimah mendapat : 1/5x25.000.000 = 5.000.000
Sa’idah : 1/5x25.000.000 = 5.000.000
Seandainya Mahmud ada meninggalkan harta, maka harta tersebut
digabung menjadi satu dengan harta yang ditinggal oleh orang yang
meninggal dunia sebelum Mahmud, kemudian dibagi seperti
pembagian yang sudah dijelaskan sebelumnya.
b. Ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian harta warisan dari
orang yang meninggal belakangan adalah bukan ahli waris bagi orang

54
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), cet. 2, h., 76-77.
36

yang meninggal duluan. Yakni seandainya tidak terjadi kematian yang


kedua, ia tidak dapat mewarisi orang yang mati duluan.
Contoh:
Seseorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris: suami, ibu, dan
ayah. Harta warisnya sebesar Rp.30.000.000,-. Akan tetapi sebelum
harta warisan dibagi, mendadak sang suami meninggal dunia,
sedangkan suami meninggalkan ahli waris (anak). tetapi anak dari
suami tersebut bukan dari istrinya yang meninggal sebelumnya,
Sehingga penyelesaiannya dengan melakukan dua tahap:
Pembagian tahap pertama

AW Bagian AM Harta Warisan Penerimaan


6 Rp.30.000.000

1/2 3 3/6x30.000.000 15.000.000


Suami
1/3 2 2/6x30.000.000 10.000.000
Ibu
Sisa 1 1/6x30.000.000 5.000.000
Ayah
30.000.000
Jumlah

Pembagian tahap kedua:


Harta yang sebesar 15.000.000,- (bagian suami yang meninggal)
sebelum warisan dibagikan itu dibagikan kepada anak, dengan
ketentuan yang berlaku, yaitu untuk anak laki-laki dua bagian dan untuk
anak perempuan satu bagian.
37

c. Ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewaris pertama
atau sebagian ahli waris termasuk kelompok ahli waris pewaris
pertama, juga termasuk kelompok ahli waris kedua55.
Contoh:
Penyelesaian tahap pertama
AW Bagian AM dan AW Bagian AM dan
Hitungan Hitungan
1/6 1/6x24 = Meninggal
Ayah
4x5 = 20
1/6 20x3= 60
Ibu 1/6x24 =
4x5 = 20
1/8 1/8x24 = 15x3= 45
Istri
3x5 = 15
2/3 2/3x24 = 80x3=240
5 Anak Pr
16x5 = 80
Istri 1/4 1/4x12=
3x5= 15
Sdr pr 1/2 1/2x12=
seibu- 6x5= 30
seayah
Sdr pr 1/6 1/6x12=
seibu 2x5= 10
Anak lk Sisa 1x5= 5
dari sdr lk
seibu-
seayah

Keterangan:
AW = Ahli Waris
AM = Asal Masalah

55
Muhammad Ali al-Shobuni, al-Mawarits fi Alsyariah al-Islamiyah, (Terj.) A. Zaini
Dahlan, Hukum Waris Menurut al-Qur’an dan Hadis/Muhammad, h., 175.
38

4. Penyelesaian Kasus Munasakhah


Para Faradhiyun dalam mengerjakan masalah munasakhah menempuh
jalan sebagai berikut:56
a. Mentashhihkan asal masalah pewaris yang meninggal duluan dan
memberikan saham-saham setiap ahli waris dari masalah sudah tashhih.
b. Mentashhihkan asal masalah pewaris yang kedua dan membadingkan
saham-saham yang ada di tangan ahli waris dari tashhih yang pertama
dengan tashhih yang kedua.

Dalam membandingkan saham-saham dalam tashhih yang pertama


dengan saham-saham yang berada dalam tashhih yang kedua terdapat tiga
hal:57

a. Mumatsalah
Jika hasil perbandingan saham-saham dalam tashhih pertama
dengan tashhih kedua itu mumatsalah, maka tidak perlu adanya
perkalian juzus-saham dengan asal masalah semula. Sebab tashhih yang
pertama adalah berstatus menempati asal masalah di tempat lain, dan
tashhih kedua adalah berstatus menempati status ‘adadur-ruus yang
terbagi atasnya dan apa yang berada di tangan orang yang mati kedua
berstatus menempati status saham-saham mereka dari asal-masalah,
seperti:
Seseorang meninggalkan ahli waris yang terdiri dari suami, ibu, dan
paman. Sebelum pembagian harta waris, suami meninggal dengan
meninggalkan ahli waris tiga orang anak laki-laki.

Penyelesaian pertama:
Asal masalah :6
Suami : 1/2 x 6 = 3
Ibu : 1/3 x 6 = 2
Paman : Ashabah (6 – 5 = 1)

56
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma’arif, 1975), cet. 10, h., 463.
57
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma’arif, 1975), cet. 10, h., 463-465.
39

Penyelesaian kedua:

3 (tiga) anak laki-laki mendapat 3 (tiga) (dari saham suami)


Ibu mendapat 2 (dari yang meninggal pertama)

Paman mendapat 1, (6-5 = 1), (dari yang meninggal pertama)


Keterangan:

Jika sahamnya sudah pas dibagikan kepada ‘adadur-ruus, maka tidak


perlu tashhih. Dengan kata lain, saham-saham dalam tashhih pertama
dinisbatkan dengan saham-saham dalam tashhih kedua adalah
mumatsalah.

b. Muwafaqah
Jika hasil perbandingan saham-saham dalam tashhih pertama
dengan tashhih kedua itu muwafaqah, maka wafqi (hasil bagi dari
pembagi yang sama) tashhih kedua hendaklah dikalikan dengan asal-
masalah yang pertama, seperti:
Seorang meninggalkan ahli waris yang terdiri dari suami, ibu, dan
paman. Sebelum pembagian harta waris, suami meninggal dunia
dengan meninggalkan ahli waris enam orang anak laki-laki.

Penyelesaian pertama:
Asal masalah :6
Suami : 1/2 x 6 = 3
Ibu : 1/3 x 6 = 2
Paman : Ashabah (6 – 5 = 1)

Penyelesaian kedua:
6 anak laki-laki mendapat ashabah berdasarkan jumlah saham mereka
yaitu: 6. Karena yang diwariskan dari bapaknya (suami yang meninggal
kedua). 3 saham tidak dapat dibagikan kepada mereka tanpa angka
pecahan adalah tawafuq (6:3), maka waqfinya adalah 2, dan digunakan
untuk mengkalikan asal masalah yang pertama, sehingga menjadi 12.
Dengan demikian kedua asal masalah tersebut sudah tashhih dan
40

pembagian saham kepada mereka dapat diselesaikan dengan


mengkalikan 2.
6 anak laki-laki :3x2=6
Ibu :2x2=4
Paman :1x2=2
Jumlah = 12

c. Mubayanah
Jika hasil perbandingan saham-saham dalam tashhih pertama
dengan tashhih kedua itu tabayun, maka seluruh tashhih kedua
dikalikan dengan seluruh tashhih yang pertama, seperti:
Seorang meninggalkan ahli waris yang terdiri dari: suami, ibu, dan
paman. Sebelum pembagian harta waris, suami meninggal dunia
dengan meninggalkan anak laki-laki sebanyak 10 orang.
Penyelesaian pertama:
Asal masalah :6
Suami : 1/2 x 6 = 3
Ibu : 1/3 x 6 = 2
Paman : Ashabah (6 – 5 = 1)

Penyelesaian kedua:

Karena 6 dengan 10 tidak dapat tawaquf, dan hal ini tabayyun maka
asal-masalah pertama dikalikan dengan asal masalah kedua. Dengan
kata lain jumlah ‘adadur-ruus (10) dijadikan asal masalah dalam
tashhih yang kedua, kemudian tashhih yang kedua dipergunakan untuk
mengalikan asal-masalah yang pertama. Sesudah itu, seluruh saham
ahli waris dikalikan dengan 10.
Asal masalah : 6 x 10 = 60
10 anak laki-laki : 3 x 10 = 30
1 anak laki-laki :3
Ibu : 2 x 10 = 20
Paman : 1 x 10 = 10
41

d. Mudakhalah
Adalah jika penyebut-penyebut pecahan fardh ahli waris dapat
dibagi oleh penyebut yang terkecil, seperti: dalam masalah mawaris
yang ahli warisnya terdiri dari anak perempuan mendapat 1/2, ibu 1/6
maka nisbah (perbandingan) 2 penyebut tersebut adalah tadakhul.
Sebab penyebut yang terbesar yaitu 6 dapat dibagi oleh penyebut yang
terkecil yaitu 258.

58
Fatchur Rahmn, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma’arif, 1975), cet. 10, h., 141.
BAB III
KONSEP KEWARISAN BERGANDA (MUNASAKHAH) DI
PENGADILAN AGAMA

A. Kronologis Perkara Kewarisan Berganda (Munasakhah) di Pengadilam


Agama
1. Duduk Perkara dalam Putusan Pengadilan Agama Cibinong
No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn
Dalam putusan No. 2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn1, terdapat beberapa duduk
perkara yang dapat dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam
menyelesaikan perkara gugatan penetapan ahli waris antara Penggugat (SS)
terhadap Tergugat I (EJ), Tergugat II (IAM), dan Tergugat III (ANI). Pada
tanggal 14 Nopember 2013 Penggugat sebagai istri kedua telah mengajukan
permohonan ahli waris atas nama pewaris (RHHN) ke Pengadilan Agama
Cibinong dan dicatat dalam perkara No.2331/Pdt.G /2013/PA.Cbn pada
tanggal 15 Nopember 2013 dengan mengajukan beberapa hal seperti:
a) Pada tanggal 21 Mei 2013 telah meninggal (RHHN) di kota Maastrich
Belanda yang disebut sebagai Pewaris II.
b) Pada tanggal 14 April 1999 Pewaris II telah melangsungkan perkawinan
dengan (SS) yang disebut sebagai Penggugat, di Masjid Agung Sunda
Kelapa, Kelurahan Menteng, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat.
c) Pewaris II dengan Penggugat telah menghasilkan dua orang anak, yaitu
(RN) merupakan anak laki-laki Penggugat pada tanggal 16 Mei 1999
dan (SH) merupakan anak perempuan Penggugat pada tanggal 11 Juli
2000.
d) Sebelum menikah dengan Penggugat, Pewaris II pernah menikah
dengan (CNS) atau Pewaris I pada tanggal 15 Oktober 1976 di
Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat dan dikaruniai 3 orang anak, yaitu
(EJ) atau anak perempuan Pewaris I pada tanggal 5 September 1977,

1
Salinan Putusan Nomor: 2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn (Lihat dalam lampiran).

41
42

(IAM) atau anak laki-laki 1 Pewaris I pada tanggal 24 September 1978,


dan (ANI) atau anak laki-laki 2 Pewaris I pada tanggal 7 Juli 1980.
e) Pada tanggal 1 Mei 1994 (CNS) Pewaris I telah meninggal dunia di Rs.
Sumber Waras, Jakarta Barat yang disebut sebagai Pewaris I karena
lebih dahulu meninggal dunia dibandingkan Pewaris II.
f) Dengan demikian Pewaris II meninggalkan satu orang istri (Penggugat),
serta lima orang anak kandung yaitu:
1) SS (Penggugat sekaligus Istri Kedua)
2) RN (Anak kandung dari Penggugat)
3) SH (Anak kandung dari Penggugat)
4) EJ (Anak kandung perempuan dari Pewaris I sekaligus Tergugat I)
5) IAM (Anak kandung laki-laki 1 dari Pewaris I sekaligus Tergugat
II)
6) ANI (Anak kandung laki-laki 2 dari Pewaris I sekaligus Tergugat
III)
g) Harta yang berasal dari Pewaris I dengan Pewaris II dan Pewaris II
dengan Penggugat belum dibagikan.

Selain hal ini, Penggugat hadir pada hari dan tanggal persidangan yang
telah ditetapkan dengan didampingi kuasa hukum, begitu juga dengan para
Tergugat untuk menghadap di persidangan. Kemudian Majelis Hakim telah
berupaya keras untuk menasihati Penggugat dan para Tergugat agar
menyelesaikan secara kekeluargaan, akan tetapi Penggugat dan para
Tergugat tetap pada pendirian masing-masing.
Kemudian Majelis Hakim telah memberikan perintah kepada Penggugat
dan para Tergugat untuk melakukan mediasi, setelah itu Hakim Mediator
telah berupaya mendamaikan para pihak tetapi sampai batas waktu mediasi
yang ditetapkan mediator tidak memberikan laporan hasil mediasi.
Setelah batas waktu maksimal yang diberikan untuk melaksanakan
mediasi terlewati, maka Majelis Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara
dengan dibacakan surat gugatan Penggugat yang isinya tetap dipertahankan
43

oleh Penggugat dengan perubahan usia Penggugat menjadi 38 tahun dan


usia CNS menjadi 52 tahun.

Dalam Konvensi dan Rekonvensi


Di dalam Konvensi, Para Tergugat menolak posita penggugat
dikarenakan Penggugat tidak menyebutkan kegunaan harta warisan
tersebut. Kemudian Penggugat juga tidak menyebutkan harta peninggalan
yang dimaksud, serta tidak menguraikan satu persatu harta peninggalan
almarhum Pewaris II (RHHN), padahal Penggugat mengetahui secara pasti
dan rinci serta menyimpan dan menguasai semua surat dan dokumen atas
seluruh harta, sehingga para Tergugat mengambil kesimpulan bahwa
Penggugat tidak mempunyai itikad baik.
Dalam Rekonvensi atas Konvensi para Tergugat, maka Penggugat
menyebutkan harta peninggalan dari almarhum Pewaris II secara jelas,
sebagaimana yaitu:
a. 5 rumah (Blok M-2 No. 11-14, M-1 No. 13, di komplek perumahan Duta
Mekar Asri Cileungsi).
b. 9 mobil (Chevrolet Bluo tahun 2005 dan 2012, Suzuki Katan 1995,
Daihatsu Taruna 1997, Daihatsu Ceria 2001, Daihatsu Xenia 2006,
Chen QQ 2007, Nissan Marth 2011, Nissan Grand Livina.
c. Emas batangan lebih kurang 1,5 Kg.
d. Koleksi Felateli, prangko berharga satu ruangan yang baru dibawa ke
Cileungsi tahun 2002.
e. Rumah di Cilengsir (Rumah no. 7 (1979), No. 9 (1979), No. 11 (1992)
atas nama Chaidar).
f. Rumah di Kramat Sentiong-II GG-77, Rt. 03/Rw. 07.
g. Tanah di Parung atas nama kuasa oleh OM.
h. Tanah di Serpong yang dibeli oleh Ayah pada tahun 1994.
i. Tanah kosong di Manado seluas lebih kurang 5000 m2.
j. Rumah kontrakan di Cileungsi
44

k. Rekening tabungan ( di bank BCA, BRI, ABH, AMROMEDA, dan


Mandiri).
Setelah Penggugat menyebutkan rekonvensi, Penggugat menyatakan
bahwa almarhum Pewaris II telah mengamanahkan kepada para Penggugat
/ Tergugat Konvensi: “Bahwa beliau telah menyimpan Safe Deposit Box
(SDB) di bank BCA dengan kartu register atas nama RHHN.
Pada tanggal 22 April 2013 dan tanggal 30 Mei 2013 jam 11.15,
Penggugat terbukti telah membuka sendiri SDB yang seharusnya hanya
dapat digunakan pemiliknya sendiri. Dan Penggugat telah mengambil
semua isi SDB dengan tidak transparan, sehingga menimbulkan kerugian
yang sangat besar terhadap para Penggugat rekonvensi / Terguggat
konvensi. Kemudian PA Cibinong menghukum Tergugat rekonvensi /
Penggugat konvensi untuk membuka secara transparan dan
memberitahukan kepada seluruh para ahli waris karena telah melakukan
perbuatan melawan hukum (1365 KUHPdt).
Untuk jaminan atas gugatan, PA Cibinong melakukan sita jaminan
(semua dokumen yang semula disimpan SDB pada bank BCA, dan Koleksi
Felateli Prangko).
2. Pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Cibinong
No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn
Dalam Konvensi
Setelah mengetahui beberapa duduk perkara, konvensi dan rekonvensi,
hakim mempertimbangkan bahwa Penggugat pada dasarnya meminta
permintaan untuk ditetapkan siapa yang menjadi ahli waris dari (RHHN)
Pewaris II dan berapa bagian masing-masing ahli waris yang bersifat
Voluntair atau ex-parte tidak ada lawan bukan berbentuk gugatan
Setelah itu majelas hakim membaca gugatan Penggugat, sehingga
hakim dapat menyimpulkan bahwa terdapat sengketa dalam perkara aquo.
Oleh karena itu, Pengadilan Agama berwenang memeriksa, mengadili dan
memutuskan perkara aquo. Selain mempunyai mempunyai kewenangan
absolut Pengadilan Agama mempunyai kewenangan relatif, ini berkaitan
45

dengan tempat untuk mengajukan perkara dimana dalam hal ini Pengadilan
Agama Cibinong berwenang secara wilayah yurisdiksi terhadap gugatan
aquo, dengan adanya alat bukti fotokopi Kartu Tanda Penduduk (P.1) dan
fotokopi Kartu Keluarga (P.2) sebagai penguat bahwa perkara ini termasuk
kewenangan Pengadilan Agama Cibinong.
Pada gugatan aquo dalam putusan ini mengenai perkara waris bukan
perkara perceraian. Sehingga hukum beracara yang berlaku untuk perkara
ini adalah hukum beracara yang berlaku umum sebagaimana Pasal 54
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaiamana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan atas kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Sedangkan kewenangan relatif diatur dalam Pasal
118 HIR, yaitu gugatan bisa diajukan kepada Pengadilan pada tingkat
pertama yang wilayahnya meliputi kediaman Tergugat atau di wilayah
terletak barang sengketa atau di wilayah kediaman Penggugat jika alamat
terguggat sudah tidak diketahui.
Selanjutnya, Para Tergugat yang berdomisili di Jakarta Pusat tidak
mengajukan keberatan baik dalam eksepsi maupun selama persidangan
mengenai lokasi persidangan. Oleh karena itu, Pengadilan Agama Cibinong
melalui Majelis Hakim berwenang untuk memeriksa, mengadili dan
memutus perkara aquo.
Kemudian untuk memenuhi maksud Pasal 130 HIR, majelis hakim
telah berupaya mendamaikan Penggugat dengan para Tergugat di depan
sidang, Penggugat dan para Tergugugat telah menempuh proses mediasi
sesuai ketentuan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi dengan Mediator
namun tidak berhasil.
Demikian juga gugatan dari Penggugat yang pada pokoknya memohon
agar ditetapkan siapa yang menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-
masing ahli waris dari (RHHN) Pewaris II. Sehingga hakim meminta
46

kepada Penggugat dan para Tergugat untuk membuktikan dalilnya masing-


masing sesuai dengan ketentan Pasal 163 HIR jo. Pasal 1865 KUH Perdata.
Untuk meneguhkan dalil-dalilnya, Penggugat telah mengajukan alat bukti
tertulis dan secara procedural memenuhi syarat pengajuan bukti tertulis.
Penggugat juga telah menghadirkan dua orang saksi. Begitu juga
dengan Para Tergugat telah mengajukan beberapa alat bukti dan secara
procedural memenuhi syarat pengajuan bukti tertulis untuk menguatkan
bantahannya atas gugatan dari Penggugat, tetapi hakim menganggap alat
bukti fotokopi Kartu Tanda Penduduk (T.1) atas nama RHHN dan fotokopi
Kartu Keluarga (T.2) tersebut tidak relevan untuk dijadikan alat bukti dalam
perkara aquo. Oleh karena itu, hakim berpendapat terhadap alat bukti T.3
sampai T.24 tidak akan dipertimbangkan lebih lanjut dan alat bukti tersebut
dikesampingkan. Selain alat bukti tersebut, para Tergugat juga telah
menghadirkan 4 orang saksi
Berdasarkan bukti-bukti yang telah diajukan oleh Penggugat dan
Tergugat, maka telah ditemukan fakta hukum sebagai berikut:
 Bahwa (RHHN) telah meninggal dunia pada 22 Mei 2013 di Maastrich
Belanda dan di makamkan di Indonesia di Taman Pemukiman Umum
Tanah Kusir.
 Bahwa RHHN ketika hidup mempunyai 3 (tiga) orang istri.
 Bahwa Istri pertama RHHN meninggal dunia, RHHN menikah dengan
CNS dan dikaruniai 3 (tiga) orang anak bernama EJ, IAM dan ANI.
 Bahwa orang tua dari RHHN telah meninggal dunia sebelum RHHN.
 Bahwa ketika RHHN meninggal dunia telah meninggalkan ahli waris 1
(satu) orang istri bernama SS dan 5 (lima) orang anak kandung yang
bernama EJ, IAM, ANI, RN, dan SH.
Setelah itu, hakim menggunakan pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum
Islam untuk menjelaskan definisi Pewaris, pasal 171 huruf c Kompilasi
Hukum Islam untuk menjelaskan definisi ahli waris, pasal 174 ayat (2),
Pasal 176 dan pasal 180 Kompilasi Hukum Islam untuk menetukan siapa
saja yang menjadi ahli waris dan bagian ahli waris, hakim juga
47

menggunakan al-Qur’an surat al-Nisa ayat 11-12, dan 178, sehingga


pembagiannya sebagai berikut:
a. SS (Istri kedua) = 8/64.
b. EJ (anak perempuan dari CNS) = 7/64.
c. IAM (anak laki-laki 1 dari CNS) = 14/64.
d. ANI (anak laki-laki 2 dari CNS) = 14/64.
e. RN (anak laki-laki dari SS) = 14/64.
f. SH (anak perempuan dari SS) = 7/64.

Dengan demikian, SS (Istri / Janda yang mempunyai anak)


mendapatkan 1/8, dan 5 orang anak mendapatkan sisa (7/8). Karena ada
anak perempuan dan ada anak laki-laki, maka pembagiannya 2:1 untuk anak
(EJ, IAM, ANI, RN, SH). Dengan pembagian seluruhnya adalah pembilang
dibagi penyebut sebesar 64.

Dalam Rekonvensi
Berdasarkan konvensi Penggugat, para Tergugat telah menyertakan
gugatan balik (rekonvensi) kepada Penggugat, sehingga posisi yang semula
sebagai para Tergugat menjadi para Penggugat rekonvensi, dan posisi yang
semula sebagai Penggugat menjadi Tergugat.
Kemudian berdasarkan ketentuan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, sehingga Pengadilan Agama mempunyai
kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara sebagai berikut:
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
48

g. Infaq
h. Shadaqah
i. Ekonomi syari’ah.
Berdasarkan turunan dari 9 perkara itu terdapat dalam penjelasan Pasal
49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Dalam Konvensi dan Rekonvensi


Berdasarkan Konvensi dan Rekonvensi, perkara waris termasuk perdata
keluarga bukan perdata murni, maka pembebanan biaya perkara sesuai
Pasal 181 ayat (1) HIR jo. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 32
K/AG/2002 harus dibebankan kepada kedua belah pihak secara tanggung
renteng.
Dari beberapa pertimbangan tersebut, hakim mengabulkan gugatan
Penggugat, menetapkan ahli waris RHHN, menetapkan bagian masing-
masing ahli waris, dan dalam gugatan rekonvensi diolak semua gugatan
Penggugatan rekonvensi.

3. Amar Putusan dalam Putusan Pengadilan Agama Cibinong


No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn
Dalam Konvensi
a. Hakim mengabulkan gugatan Penggugat.
b. Menetapkan ahli waris RHHN dan bagian masing-masing ahli waris
sebagai berikut:
1) SS (Istri) = 8/64.
2) EJ (anak perempuan dari CNS) = 7/64.
3) IAM (anak laki-laki 1 dari CNS) = 14/64.
4) ANI (anak laki-laki 2 dari CNS) = 14/64.
5) RN (anak laki-laki dari SS) = 14/64.
49

6) SH (anak perempuan dari SS) = 7/64.

Dalam Rekonvensi
Menolak gugatan rekonvensi Penggugat rekonvensi.
Dalam Konvensi dan Rekonvensi
Menghukum Penggugat dan para Terguggat untuk membayar biaya perkara
secara tanggung renteng sejumlah Rp. 1.216.000,- (satu juta dua ratus enam
belas ribu rupiah).

B. Kronologis Perkara Kewarisan Berganda (Munasakhah) di Pengadilan


Tinggi Agama Bandung No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg
1. Duduk Perkara dalam Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung
No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg
Pada putusan No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg2 merupakan perkara
lanjutan dari perkara Putusan No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn mengenai
perkara gugatan Penetapan Ahli Waris.
Berdasarkan duduk perkara yang termuat dalam putusan Pengadilan
Agama Cibinong Nomor.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn pada tanggal 26
Nopember 2014 Masehi yang bertetapan dengan 3 Shafar 1436 yang
amarnya berbunyi:

Dalam Konvensi
a. Hakim mengabulkan gugatan Penggugat.
b. Menetapkan ahli waris RHHN dan bagian masing-masing ahli waris
sebagai berikut:
1) SS(Istri) = 8/64.
2) EJ (anak perempuan dari CNS) = 7/64.
3) IAM (anak laki-laki 1 dari CNS) = 14/64.
4) ANI (anak laki-laki 2 dari CNS) = 14/64.
5) RN (anak laki-laki dari SS) = 14/64.
6) SH (anak perempuan dari SS) = 7/64.

2
Salinan Putusan Nomor: 0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg (Lihat dalam lampiran).
50

Dalam Rekonvensi
Menolak gugatan rekonvensi Penggugat rekonvensi.
Dalam Konvensi dan Rekonvensi
Menghukum Penggugat dan para Terguggat untuk membayar biaya perkara
secara tanggung renteng sejumlah Rp. 1.216.000,- (satu juta dua ratus enam
belas ribu rupiah).
Kemudian pada hari Senin, tanggal 22 Desember 2014 para Tergugat
telah mengajukan permohonan banding terhadap Putusan Pengadilan
Agama tersebut. Dan permohonan banding tersebut telah diberitahukan
kepada pihak lawannya pada hari Kamis, tanggal 08 Januari 2015 sesuai
dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
2. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan Tinggi Agama
Bandung No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg
Setelah memperhatikan dengan seksama putusan Pengadilan Agama
Cibinong, Majelis Hakim tingkat banding tidak sependapat dengan apa yang
telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim tingkat pertama dengan
beberapa pertimbangan sebagai berikut:
a. Berdasarkan posita Penggugat/Terbanding, terdapat Surat Keterangan
Kematian Nomor 474.3/36-Pem, tanggal 13 Juni 2013 yang dikeluarkan
oleh Lurah Cileungsi Kidul, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor
bahwa pewaris yang bernama RHHN telah meninggal dunia pada
tanggal 21 Mei 2013 di kota Maastrich Belanda yang dikebumikan di
Indonesia. Semasa hidupnya pewaris pernah menikah dengan
Penggugat SS dengan bukti Akta Nikah Nomor 90/90/IV/1999 tanggal
14 April 1999 yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat dari perkawinan
tersebut memperoleh dua orang anak masing-masing bernama:
1) RN, lahir pada tanggal 16 Mei 1999.
2) SH, lahir pada tanggal 11 Juli 2000.
b. Berdasarkan bukti Akta Nikah Nomor 51/30/1976 pada tanggal 15
Oktober 1976 yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor
51

Urusan Agama Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Pewaris sebelum


menikah dengan Penggugat pernah pula menikah dengan seorang
perempuan bernama: CNS, dan telah meninggal lebih dahulu dari
pewaris pada tanggal 1 Mei 1994 berdasarkan Surat Keterangan
Kematian Nomor 14/1.775.22 pada tanggal 1 Mei 1994 yang
dikeluarkan oleh Lurah Cideng, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat dan
dari perkawinan tersebut telah dikarunia anak tiga orang, masing-
masing bernama:
1) EJ.
2) IAM.
3) ANI.
Dalam perkara aquo, Penggugat/Terbanding tidak menyebutkan secara
jelas harta warisan dari pewaris yang akan dibagi tersebut baik jenis, cara
dan tahun perolehannya tidak jelas apalagi apabila dihubungkan dengan
posita Penggugat/Terbanding bahwa Pewaris telah menikah sebelumnya
dengan perempuan yang bernama CNS, walaupun istri pertama tersebut
telah meninggal lebih dahulu dari pewaris, namun tidak terlepas dari
percampuran harta dari kedua istri sehingga gugatan Penggugat/Terbanding
menjadi kabur karena posita gugatan tidak mendukung petitum.
Berdasarkan petitum gugatan perkara aquo adalah berbentuk voluntary
seakan-seakan perkara aquo tidak mempunyai lawan, yang berarti perkara
tersebut tanpa ada sengketa di antara para ahli waris. Akan tetapi, kode
perkara ditandai dengan kode G, artinya di dalam petitum mengandung
sengketa karena dikaitkan dengan pembagian harta peninggalan yang
mengandung sengketa kewarisan dengan bukti adanya pihak lawan perkara
yaitu para Tergugat.
Jika suatu perkara yang bersifat kontentius sudah jelas mengandung
sengketa, harus menyebutkan apa-apa obyek yang disengketakan itu akan
tetapi ternyata harta-harta yang disengketakan dalam perkara aquo yang
menjadi obyek dari perkara tdak jelas dan kabur karena
Penggugat/Terbanding tidak menyebutkan secara jelas, apa saja yang
52

menjadi obyek sengketa yang ingin diselesaikan sehingga manfaat dan


tujuan pokok dari gugatan tidak jelas dan kaburnya obyek (obscuur obyek)
yang berakibat hukum yang dapat menyebabkan tidak diterimanya gugatan
Penggugat/Terbanding, karena itu gugatan Penggugat/Terbanding harus
dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaard).
Dengan dinyatakan kaburnya gugatan Penggugat/Terbanding, maka
segala sesuatu yang berhubungan dengan jawaban, replik, duplik dan
seterusnya tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan dan tidak perlu
dilanjutkan kepada tahap-tahap proses siding berikutnya.
Dengan dinyatakan kaburnya gugatan Penggugat/Terbanding juga,
maka alasan Terbanding untuk mempertahankan Putusan Majelis Hakim
tingkat pertama di dalam kontra memorinya, tidak beralasan lagi dan tidak
perlu dipertimbangkan karena dianggap telah terjawab oleh pertimbangan-
pertimbangan tersebut.
Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut,
maka putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor:
2331/Pdt.G/2013PA.Cbn pada tanggal 26 Nopember 2014 Masehi
bertepatan dengan tanggal 3 Shafar 1436 Hijriah tidak dapat dipertahankan
dan harus dibatalkan.
Berdasarkan Pasal 181 HIR, Penggugat harus dihukum untuk
membayar biaya perkara pada tingkat pertama dan Terbanding harus
dihukum membayar biaya perkara di tingkat banding.

3. Amar Putusan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung


No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg
a. Menyatakan Permohonan banding Pembanding dapat diterima.
b. Membatalkan putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor:
2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn pada tanggal 26 Nopember 2014 Masehi
yang bertepatan dengan tanggal 3 Shafar 1436 Hijriah, dan dengan
mengadili sendiri:
53

c. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima untuk seluruhnya


(Niet Onvankelijk Verklaard).
d. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara di tingkat
pertama sebesar Rp 1.216.000,- (satu juta dua ratus enam belas ribu
rupiah).
e. Menghukum Terbanding untuk membayar biaya perkara di tingkat
banding sebesar Rp150.000,-

C. Kronologis Perkara Kewarisan Berganda (Munasakhah) di Mahkamah


Agung
1. Duduk Perkara dalam Putusan Mahkamah Agung No.08 K/Ag/2016
Pada putusan No.08 K/Ag/20163 merupakan perkara lanjutan dari
perkara Putusan No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn dan Putusan
No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg mengenai perkara gugatan Penetapan Ahli
Waris.
Dengan duduk perkara mengutip segala uraian yang sebagaimana
termuat dalam putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama Cibinong
No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn dan Pengadilan Tinggi Agama Bandung
No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg pada tanggal 26 Nopember 2014 Masehi
yang bertetapan dengan 3 Shafar 1436 yang amarnya berbunyi, sebagai
berikut:

Dalam Konvensi
a. Hakim mengabulkan gugatan Penggugat.
b. Menetapkan ahli waris RHHN dan bagian masing-masing ahli waris
sebagai berikut:
1) SS (Istri) = 8/64.
2) EJ (anak perempuan dari CNS) = 7/64.
3) IAM (anak laki-laki 1 dari CNS) = 14/64.

3
Salinan Putusan Nomor: 08 K/Ag/2016 (Lihat dalam lampiran).
54

4) ANI (anak laki-laki 2 dari CNS) = 14/64.


5) RN (anak laki-laki dari SS) = 14/64.
6) SH (anak perempuan dari SS) = 7/64.

Dalam Rekonvensi
Menolak gugatan rekonvensi Penggugat rekonvensi.
Dalam Konvensi dan Rekonvensi
Menghukum Penggugat dan para Terguggat untuk membayar biaya
perkara secara tanggung renteng sejumlah Rp. 1.216.000,- (satu juta dua
ratus enam belas ribu rupiah).
Pada hari Senin, tanggal 22 Desember 2014 para Tergugat telah
mengajukan permohonan banding terhadap Putusan Pengadilan Agama
tersebut. Dan permohonan banding tersebut telah diberitahukan kepada
pihak lawannya pad hari Kamis, tanggal 08 Januari 2015 sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku.
Bahwa dalam tingkat banding atas permohonan para Tergugat putusan
Pengadilan Agama Cibinong telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi
Agama Bandung dengan Putusan No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg, tanggal
11 Mei 2015 M bertepatan dengan 22 Rajab 1436 H yang amarnya sebagai
berikut:
a. Menyatakan Permohonan banding Pembanding dapat diterima.
b. Membatalkan putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor:
2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn pada tanggal 26 Nopember 2014 Masehi
yang bertepatan dengan tanggal 3 Shafar 1436 Hijriah, dan dengan
mengadili sendiri:
c. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima untuk seluruhnya
(Niet Onvankelijk Verklaard).
d. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara di tingkat
pertama sebesar Rp 1.216.000,- (satu juta dua ratus enam belas ribu
rupiah).
e. Menghukum Terbanding untuk membayar biaya perkara di tingkat
banding sebesar Rp150.000,-
55

Pada tanggal 17 Juni 2015 telah mengajukan permohonan Kasasi oleh


Penggugat/Terbanding sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Kasasi
No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn., jo. No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg yang
telah dibuat oleh Wakil Panitera Pengadilan Agama Cibinong, permohonan
tersebut diikuti dengan memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama Cibinong pada tanggal 1 Juli
2015.
Setelah itu Tergugat/Pembanding pada tanggal 28 Juli 2015 telah
diberitahu tentang memori kasasi dari Pengguat/Terbanding dan telah
mengajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Agama Cibinong pada tanggal 10 Agustus 2015 dan sesuai
dengan yang ditentukan dalam undang-undang, sehingga permohonan
kasasi tersebut dapat diterima secara formal.
Alasan-alasan Kasasi
Bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi/Penggugatdalam memori kasasinya sebagai berikut:
a. Bahwa Pemohon Kasasi/Terbanding/semula Penggugat memohon
dalam petitumnya untuk memutuskan: menetapkan bahwa ahli waris
yang berhak atas kematian dari almarhum RHHN, adalah satu orang istri
dan lima orang anak kandung yang masing-masing bernama:
- SS(Istri).
- EJ (anak kandung perempuan dari CNS)
- IAM (anak kandung laki-laki 1 dari CNS)
- ANI (anak kandung laki-laki 2 dari CNS)
- RN (anak kandung laki-laki dari SS)
- SH (anak kandung perempuan dari SS)

Namun justru Judex Facti mengadili harta warisan peninggalan


almarhum (RHHN), sehingga pendapat dan penerapan hukumnya
berbeda/bertentangan dengan putusan Pengadilan Agama Cibinong
Alasan Pemohon Kasasi/Terbanding/semula Penggugat
mengajukan penetapan ahli waris adalah karena pada saat Pemohon
56

mengajukan Permohonan Penetapan Ahli Waris yang terdaftar dengan


Register Perkara No.519/Pdt.P/2013/PA.Cbn pada tanggal 04 Oktober
2013, Para Termohon Kasasi/Para Pembanding/Para Tergugat tidak
mau menerima penetapan ahli waris dan tidak hadir dalam persidangan,
sehingga permohonan tidak dapat diteruskan dan permohonan telah
diajukan Pencabutan Perkara kepada Ketua Pengadilan Agama
Cibinong dengan surat No.02/SP/MP/IX/13 pada tanggal 11 November
2013.
Maka Pemohon Kasasi mengajukan gugatan Penetapan Ahli Waris
dengan No.2331/Pdt.G/2103/PA.Cbn. Pada saat dilakukan Mediasi,
Para Tergugat tidak mengakui SS selaku istri dari almarhum RHHN,
terutama Termohon Kasasi III, yang hadir sebagai principal ngotot tidak
mengakui, padahal Para Termohon Kasasi telah mengetahui sejak tahun
1999 bahwa almarhum RHHN telah menikah secara sah dan hidup
bersama SS selaku istri dan telah melahirkan dua orang putra/putri
secara sah dan sudah dibuktikan, sehingga hakim memutuskan perkara
No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn pada tanggal 26 November 2014 yang
menyatakan: menetapkan ahli waris yang berhak dari almarhum RHHN
adalah satu orang istri dan 5 orang anak kandung sudah tepat dan benar.

b. Bahwa pertimbangan hakim menyatakan: “Menimbang, bahwa dalam


perkara a quo, Penggugat/Terbanding tidak menyebutkann secara jelas
harta warisan dari pewaris yang akan dibagi tersebut sehingga gugatan
Penggugat/Terbanding menjadi kabur karena posita gugatan tidak
mendukung petitum.
Bahwa pertimbangan Majelis hakim tersebut tidak tepat, karena
Pemohon Kasasi/Terbanding terlebih dahulu ingin mendapatkan
kedudukan dan status hukum yang sama selaku ahli waris, yang selama
ini tidak diakui oleh Para Termohon Kasasi/Para Pembanding/semula
Para Tergugat. Sedangkan Pembagian harta warisan, rumusannya sudah
ada dan jelas dalam Kompilasi Hukum Islam, tanpa harus melihat harta,
57

karena wujud dan jenis harta almarhum RHHN masih belum jelas jenis,
wujud dan jumlahnya.
Bahwa dengan mempunyai kedudukan dan status hukum yang sama
dan rumusan pembagian yang sudah jelas, maka para ahli waris
berkumpul dan sepakat membagi harta warisan sesuai dengan bagian
masing-masing sesuai yang telah ditetapkan.
c. Bahwa pertimbangan Hakim menyatakan: “Menimbang, bahwa apabila
suatu perkara yang bersifat kontentius sudah jelas mengandung
sengketa, harus menyebutkan apa-apa obyek yang disengketakan dalam
perkara a quo……”
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung telah keliru dan
tidak memahami substansi gugatan dari Pemohon
Kasasi/Terbanding/semula Penggugat, karena yang menjadi petitum
adalah Penetapan Ahli waris dan formula pembagian masing-masing.
Bukan pembagian harta warisan karena jika dimaksud oleh Pemohon
Kasasi/Terbanding/semula Penggugat untuk membagi warisan, maka
gugatannya adalah gugatan Pembagian Harta Warisan, bukan gugatan
Penetapan Ahli Waris.
2. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No.08
K/Ag/2016
Pada alasan-alasan yang telah disampaikan oleh Pemohon
Kasasi/Terbanding/ semula Penggugat tersebut, Mahkamah Agung
mempertimbangkan sebagai berikut:
Mengenai Alasan ke-1 sampai dengan alasan ke-2
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex
Facti tingkat pertama tidak salah dalam menerapkan hukum
Bahwa gugatan Penggugat tidak mengandung sengketa unsur sengketa,
karena Penggugat hanya memohon penetapan ahli waris dan bagian masing-
masing ahli waris, permohonan mana seharusnya cukup diajukan secara
volunteer.
58

Berdasarkan pertimbangan di sebelumnya, bahwa putusan Judex


Facti/Pengadilan Tinggi Agama Bandung dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan
kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi SS tersebut harus ditolak.
Karena permohonan dari Pemohon Kasasi ditolak, maka biaya perkara
dalam tingkat kasasi dibebankan kepada Pemohon Kasasi.

3. Amar Putusan dalam Mahkamah Agung No. 08 K/Ag/2016


a. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi SS.
b. Menghukum kepada Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp.500.000,- (lima ratus
ribu rupiah)

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim


pada hari Kamis, tanggal 11 Februari 2016.
BAB IV

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA,


PENGADILAN TINGGI AGAMA DAN MAHKAMAH AGUNG No.2331/
Pdt.G/2013/PA.Cbn , No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg dan No.08 K/Ag/2016

A. Perbandingan Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Cibinong


(No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn), Pengadilan Tinggi Agama Bandung
(No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg), dan Mahkamah Agung (No.08
K/Ag/2016)
Hukum kewarisan Islam telah diatur secara jelas dan detail di dalam al-
Qur’an. Dengan terdapatnya beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menjelaskan
mengenai tata cara pembagian harta waris, terutama mengenai bagian-bagian
dari beberapa kelompok ahli waris, seperti surat al-Nisa ayat 11-13 dan 176.
Selain ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an, beberapa hadis juga
menjelaskan dengan detail bagian-bagian dari orang tertentu yang tidak
ditetapkan di dalam al-Qur’an1.
Para pihak yang dapat dianggap sebagai ahli waris yaitu apabila telah
memenuhi unsur atau memiliki sebab-sebab, yakni seperti hubungan
kekerabatan dan hubungan perkawinan. Akan tetapi, walaupun pihak-pihak
tersebut telah ditetapkan sebagai ahli waris, mereka dapat dikeluarkan dari
kelompok ahli waris jika terdapat beberapa halangan waris yang terjadi ataupun
yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut, sebagai contoh perbedaan agama dan
pembunuhan2.
Indonesia telah mengatur mengenai hukum kewarisan Islam secara rinci
dalam Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

1
Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati dan Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan
Bisnis: Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, (Jakarta: Kencana,
2013), h., 72-73.
2
Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati dan Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan
Bisnis: Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, (Jakarta: Kencana,
2013), h., 73.

59
60

pada Buku II tentang Hukum Kewarisan dan Bab III tentang Besarnya bagian
Pasal 176 sampai Pasal 1913.
Sehingga apabila terjadi sengketa dalam pembagian warisan, hukum Islam
dan hukum positif di Indonesia telah mengatur secara jelas dan detail mengenai
cara menyelesaikan dan memindahkan harta waris dari pewaris kepada ahli
waris. Salah satu sengketa dalam kewarisan adalah sengketa Munasakhah.
Munasakhah merupakan kasus kewarisan yang lama belum diselesaikan secara
keseluruhan maupun sebagian pembagiannya, akan tetapi sudah timbul
permasalahan kewarisan yang baru4.
Hal ini seperti yang terdapat dalam putusan hakim Pengadilan Agama
Cibinong, Pengadilan Tinggi Agama Bandung, dan Mahkamah Agung yang
penulis teliti saat ini. Dimana pada putusan tersebut terdapat perbedaan
pertimbangan hakim dalam mempertimbangkan dan menetapkan perkara
tersebut dikarenakan hakim memiliki keyakinan dan penafsiran yang berbeda-
beda.
Berikut penulis menguraikan beberapa perbandingan dari pertimbangan-
pertimbangan hakim, seperti pada putusan Pengadilan Agama Cibinong,
bahwasanya Penggugat (SS) meminta untuk ditetapkan siapa saja yang menjadi
ahli waris dari alm. RHHN dan bagian masing-masing ahli waris tersebut.
Dimana surat permohonan tersebut bersifat Voluntair atau ex-parte karena tidak
ada lawan bukan berbentuk gugatan.
Penulis juga melihat bahwa hakim Pengadilan Agama menyimpulkan
bahwa adanya sengketa waris dalam obyek-obyek yang disebutkan oleh
Penggugat, yaitu harta Pewaris I (istri pertama) dengan Pewaris II (suami) dan
harta Pewaris II (suami) dengan SS (istri kedua). Sebab di dalam gugatan
tersebut adanya beberapa harta yang telah tercampur. Oleh sebab itu, dari harta
yang tercampur tersebut maka akan menimbulkan sengketa. Sehingga dalam

3
Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Bab II Hukum
Kewarisan, Pasal 176-191.
4
Amir Syarifuddin, Edisi Kedua: Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2015), h., 156.
61

putusan tersebut hakim menganggap putusan ini bukan merupakan permohonan


tetapi termasuk pada gugatan.
Kemudian dalam pembagian ahli waris, hakim menjadikan Kompilasi
Hukum Islam pada Pasal 171 huruf b dan c, Pasal 174 ayat (2), 176, 178, 180
dan al-Qur’an dalam surat al-Nisa ayat 11-12 dan 176 sebagai dasar hukum
untuk memutuskan perkara ini. Penulis berpendapat bahwa pertimbangan-
pertimbangan hakim tersebut sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Akan
tetapi pada penetapan bagian-bagian ahli waris hakim keliru dalam
menyelesaikan pembagiannya, karena di dalam putusan ini terlihat bahwa
majelis hakim menetapkan bagian harta warisan masing-masing ahli waris
yaitu:
1. SS (Istri 1/8) sehingga menjadi 8/64.
2. EJ (anak perempuan dari CNS 7/8 dengan perbandingan 2:1) sehingga
menjadi 7/64.
3. IAM (anak laki-laki 1 dari CNS dengan perbandingan 2:1) sehingga
menjadi 14/64.
4. ANI (anak laki-laki 2 dari CNS dengan perbandingan 2:1) sehingga
menjadi 14/64.
5. RN (anak laki-laki dari SS dengan perbandingan 2:1) sehingga menjadi
14/64.
6. SH (anak perempuan dari SS dengan perbandingan 2:1) sehingga
menjadi 7/64.

Berdasarkan uraian di atas, hakim dalam menetapkan bagian harta


warisan ahli waris tersebut dengan cara menjumlahkan total dari
keseluruhan, yaitu 64/64 atau sama dengan 1 (satu). Pada pembagian
tersebut, hakim menetapkan bahwa pembagian ahli waris terhadap anak dari
istri pertama dengan anak dari istri kedua dengan pembagian sama rata.
Akan tetapi, menurut penulis pembagian ahli waris terhadap anak dalam
putusan ini tidak bisa dibagikan sama rata, karena pembagian harta terhadap
ahli waris tersebut telah memenuhi unsur munasakhah, sehingga harus
dibagikan berdasarkan penyelesaian pembagian munasakhah.
62

Kemudian dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung,


bahwasanya dalam perkara ini hakim menerima permohonan banding dari
Tergugat dan membatalkan putusan Pengadilan Agama Cibinong, dengan
menimbang bahwa gugatan Penggugat/Terbanding menjadi kabur karena
posita gugatan tidak mendukung petitum. Selanjutnya menimbang adanya
petitum gugatan aquo yang berbentuk voluntary seakan-akan tidak
mempunyai lawan, artinya bahwa perkara tersebut tidak ada sengketa di
antara para ahli waris. Akan tetapi, nomor putusan PA tersebut ditandai
dengan kode G yang berarti dalam petitum telah mengandung sengketa.
Namun objek yang disengketakan dalam perkara aquo tidak jelas dan kabur
dikarenakan Penggugat/Terbanding tidak menyebutkan secara jelas apa saja
yang menjadi objek sengketanya.
Dengan ditetapkan kaburnya gugatan Penggugat/Terbanding, maka
hakim menyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan
jawaban, replik, duplik dan seterusnya tidak relevan lagi untuk
dipertimbangkan, maka tidak perlu dilanjutkan kepada tahap-tahap proses
sidang berikutnya, dan dianggap telah terjawab oleh pertimbangan-
pertimbangan tersebut. Sehingga gugatan Penggugat/Terbanding harus
dinyatakan tidak dapat diterima, karena hakim Pengadilan Tinggi Agama
Bandung membatalkan putusan Pengadilan Agama Cibinong.
Sedangkan dalam pembagian ahli waris, hakim Pengadilan Agama
Cibinong dengan Pengadilan Tinggi Agama Bandung tidak adanya
perbedaan, dengan berdasarkan Pasal 171 huruf b dan c, Pasal 174 ayat (2),
176, 178, 180 Kompilasi Hukum Islam dan al-Qur’an surat al-Nisa ayat 11-
12, 176 dan dalam bagian masing-masing ahli waris juga tidak adanya
perbedaaan dari keduanya.
Selanjutnya, berdasarkan pertimbangan dan alasan-alasan yang
diajukan oleh Pemohon Kasasi/Penggugat Kasasi sebagaimana telah
penulis uraikan pada bab sebelumnya, bahwasanya Mahkamah Agung
menolak permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi/Penggugat Kasasi,
karena putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Agama Bandung sudah tepat
63

karena gugatan Penggugat tersebut tidak mengandung unsur sengketa dan


putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Agama Bandung tidak bertentangan
dengan hukum atau undang-undang yang berlaku. Sehingga hakim
Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh
Pemohon Kasasi (SS).
Berdasarkan pertimbangan hakim yang telah penulis uraikan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa dalam hal menetapkan jenis putusan yang
diajukan oleh penggugat, terdapat perbedaan penafsiran di antara hakim
Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Tinggi Agama Bandung, dan
Mahkamah Agung dimana PA Cibinong memutuskan bahwa putusan yang
disebutkan di atas merupakan gugatan dikarenakan adanya sengketa dalam
perkara waris tersebut. Sedangkan PTA Bandung tidak sependapat dengan
hakim PA Cibinong, karena menurut hakim perkara tersebut bukan
merupakan gugatan melainkan permohonan, dikarenakan tidak terdapat
sengketa di dalamnya.
Dalam hal ini, penulis sependapat dengan pertimbangan hakim
Pengadilan Agama Cibinong dibandingkan dengan putusan Pengadilan
Tinggi Agama Bandung dan Mahkamah Agung. Karena menurut penulis
pada putusan tersebut terdapat sengketa waris pada objek-objek yang
disebutkan oleh Penggugat, yaitu harta Pewaris I (istri pertama) dengan
Pewaris II (suami) dan harta Pewaris II (suami) dengan istri kedua. Sebab
dalam gugatan tersebut terdapat beberapa harta yang telah tercampur,
sehingga dari harta yang tercampur tersebut dapat menimbulkan sengketa.
Oleh karena itu, putusan Pengadilan Agama Cibinong
No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn tersebut termasuk kepada putusan gugatan
bukan penetapan.
Sedangkan dalam pembagian ahli waris, hakim Pengadilan Agama
Cibinong, Pengadilan Tinggi Agama Bandung dan Mahkamah Agung
menggunakan dasar hukum yang sama karena menyelesaikan pembagian
tersebut dengan berdasarkan Pasal 171 huruf b dan c, Pasal 174 ayat (2),
176, 178, 180 Kompilasi Hukum Islam dan al-Qur’an surat al-Nisa ayat 11-
64

12, 176, dan menetapkan bagian masing-masing ahli waris juga tidak ada
perbedaaan dari ketiganya. Sehingga tidak terdapat perbedaan penafsiran
baik dalam penggunaan dasar hukum untuk pertimbangannya maupun
dalam menetapkan bagian masing-masing ahli waris dari Pewaris I dan
Pewaris II.

B. Analisis Yuridis terhadap Kewarisan Berganda dalam Putusan Hakim


Pengadilan Agama Cibinong No.2331/Pdt.G/2013/PA.Cbn, Pengadilan
Tinggi Agama Bandung No.0074/Pdt.G/2015/PTA.Bdg, dan Mahkamah
Agung No.08K/Ag/2016
Pada dasarnya terdapat beberapa aturan yang mengatur mengenai hukum
kewarisan Islam di Indonesia, sebagaimana yang telah disebutkan pada bab
sebelumnya bahwa salah satu dasar hukum kewarisan Islam yang masih
digunakan hingga saat ini adalah Q.S al-Nisa ayat 7:

َِِ‫ِو ۡٱل َ ۡق َربُون‬ ۡ َ‫سآءِنَصيبِِم َّماِت ََرك‬


َ ‫ِٱل َٰ َول َدان‬ َ َ‫ٱل َ ۡق َربُون‬
َ ‫ِوللن‬ ِ ۡ ‫ِو‬ ۡ َ‫يبِم َّماِت ََرك‬
َ ‫ِٱل َٰ َول َدان‬ ِ ‫لِلر َجالِنَص‬
. ‫م َّماِقَ َّلِم ۡنهُِأ َ ۡوِ َكث ُ َِرِِۚنَص ِيباِ َّم ۡف ُروضِا‬
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan”.

Sebab turunnya ayat ini mengenai sebagian masyarakat Arab pada zaman
jahiliyah hanya mewariskan hartanya untuk orang yang bisa berperang. Oleh
sebab itu Allah membatalkan hal tersebut dengan menurunkan ayat ini. Yang
bertujuan untuk membatalkan kebiasaan masyarakat Arab di zaman jahiliyah
karena hanya mewariskan harta warisannya kepada orang yang bisa
berperang5.

5
Muhammad Ali al-Shobuni, Shofwatut Tafasir, (Beirut: Darul Fikr, 1980), h., 260.
65

Hukum waris Islam juga terdapat dalam hadits yang diriwiyatkan Umayyah
yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim yaitu:6

َ ِ ‫ع ْن‬
ِ‫عبْد ِاللهِ ِبْن‬ ْ َ‫َاِر ْو ُح ِبْن‬
َ ِ،‫ِالقَاسم‬ َ ‫ َح َّدثَن‬:ِ‫ِز َريْع‬
ُ ‫ِ َح َّدثَنَاِ َيزيدُِب ُْن‬:ِ ‫ي‬ ْ ‫ام‬
ُّ ‫ِالعَيْش‬ َ ‫أ ُ َميَّةُِب ُْنِب ْس‬
َ ‫ط‬
ِ‫ِقَالَِ((أ ْلحقُوا‬.‫سوِلِاللهِصليِاللهِعليهِوسلم‬ َ ‫ع ْن‬
ُ ‫ِر‬ َ ِ،‫عبَّاِس‬ َ ِ،‫ع ْنِأَبيه‬
َ ِ‫عنِابْن‬ َ ِ،‫اِوِس‬
ُ ‫ط‬ َ
َِٰ َ‫ضِفَأل َ ْول‬
.))‫ىِ َر ُجلِ َذ َكر‬ ْ ‫ِفَ َماِت ََر َكت‬،‫ضِبأَِ ْهل َها‬
ُ ‫ِالفَ َراء‬ َ ‫الُفَ َرائ‬

“Dari Ibnu Abbas r.a. dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau
bersabda: “Berikanlah harta pusaka kepada yang berhak, dan seberapa yang
tinggal itu untuk laki-laki yang paling dekat (kepada yang meninggal).”
Dalam hadits tersebut, dijelaskan bahwa ayah menjadi ashabah jika harta
warisan yang ditinggalkan oleh anaknya. Ayah mendapatkan harta warisan
tersebut setelah memberikan sepertiga untuk ibu. Jika si pewaris tidak
meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-laki, maka ayah menjadi ashabah
karena pada saat itu ayah adalah laki-laki yang paling dekat hubungan
kerabatnya dengan si pewaris7.
Kemudian penulisan kata ) ‫ ( ذَك ٍَر‬dzakarin dalam hadis tersebut mengandung
pengertian “laki-laki”, agar tidak terjadi salah pengertian sehingga maksud
) ‫)ر ُج ٍل‬
َ diperkirakan laki-laki yang sudah dewasa dan sudah mampu. Sebab,
anak laki-laki yang masih menyusu pun berhak mendapat bagian ashabah dan
mendapatkan semua harta apabila dia sendirian8.
Hukum kewarisan Islam juga terdapat pada Instruksi Presiden No.1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam buku II tentang Kewarisan, dan lain-
lain. Berbeda halnya dengan kewarisan berganda atau yang sering disebutkan
dengan munasakhah tidak memiliki aturan secara khusus baik di dalam al-
Qur’an maupun hukum positif di Indonesia.
Aturan mengenai munasakhah dapat ditemukan dalam beberapa ijtihad
ulama, seperti al-Sayyid al-Syarif yang sebagaimana dikutip oleh Mardani

6
Abu Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1971), h., 627.
7
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h., 124.
8
Muhammad Ali al-Shabuni, Shofwatut Tafasir, (Terj.) Zaini Dahlan, Hukum Waris
Menurut Al-Qur’an dan Hadis, (Bandung: Trigenda Karya, 1995), h., 78.
66

dalam bukunya bahwa munasakhah ialah memindahkan bagian sebagian ahli


waris kepada orang yang mewarisinya, lantaran kematiannya sebelum
pembagian harta peninggalan dilaksanakan9, Yusuf Musa juga berpendapat
yang sebagaimana dikutip oleh Suparman Usman dan Yusuf Somawinata di
dalam bukunya bahwa munasakhah ialah berpindahnya bagian penerimaan
sebagian ahli waris karena kematiannya sebelum pelaksanaan pembagian
tirkah.10 Dan Munasakhah menurut Wahbah Az-Zuhaili merupakan bentuk
mufa’alah (bermakna saling) dari al-naskh yang berarti pemindahan dan
pengalihan. Yang dimaksud adalah perpindahan bagian ahli waris dari pewaris
karena kematian pewaris11.
Apabila dalam sengketa waris tersebut menjadi munasakhah, maka harus
adanya beberapa unsur yang terpenuhi dalam unsur-unsur munasakhah, seperti
di dalam bukunya Mardani yaitu:12
a. Harta warisan pewaris belum dibagikan kepada ahli waris.
b. Adanya kematian dari seseorang atau beberapa orang ahli warisnya.
c. Adanya pemindahan bagian harta warisan daari pewaris kepada ahli waris
yang lain atau kepada ahli warisnya yang semula belum menjadi ahli waris
terhadap orang yang meninggal pertama.
d. Pemindahan bagian ahli waris yang telah meningggal dunia kepada ahli
warisnya harus dengan jalan mewarisi, bukan yang lainnya.
Kemudian jika sengketa waris tersebut tidak memenuhi beberapa unsur
munasakhah, maka sengketa waris tersebut tidak bisa disebut sebagai sengketa
warisan munasakhah, sehingga tidak dapat menggunakan sistem pembagian
munasakhah. Dalam munasakhah terdapat tiga keadaan, seperti di dalam

9
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,
2015), h., 75.
10
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris: Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h., 157.
11
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 10, (Terj.) Abdul Hayyie al-
Khattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011), h., 490.
12
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,
2015), h., 76.
67

bukunya Mardani dan bukunya Muhammad Ali al-Shobuni yang diterjemahkan


oleh A. Zaini Dahlan, yaitu:
a. Ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian harta warisan dari
orang yang meninggal belakangan adalah ahli waris juga bagi orang yang
meninggal duluan.
b. Ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian harta warisan dari
orang yang meninggal belakangan adalah bukan ahli waris bagi orang yang
meninggal duluan. Yakni seandainya tidak terjadi kematian yang kedua, ia
tidak dapat mewarisi orang yang mati duluan
c. Ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewaris pertama atau
sebagian ahli waris termasuk kelompok ahli waris pewaris pertama, juga
termasuk kelompok ahli waris kedua13.

Dari ketiga bentuk tersebut juga dapat menghasilkan beberapa cara


penyelesaiannya yang terdapat dalam bukunya Fatchur Rahman, yaitu:14
a. Mumatsalah
Jika hasil perbandingan saham-saham dalam tashhih pertama dengan
tashhih kedua itu mumatsalah, maka tidak perlu adanya perkalian juzus-
saham dengan asal masalah semula. Sebab tashhih yang pertama adalah
berstatus menempati asal masalah di tempat lain, dan tashhih kedua adalah
berstatus menempati status ‘adadur-ruus yang terbagi atasnya dan apa yang
berada di tangan orang yang mati kedua berstatus menempati status saham-
saham mereka dari asal-masalah.
b. Muwafaqah
Jika hasil perbandingan saham-saham dalam tashhih pertama dengan
tashhih kedua itu muwafaqah, maka wafqi (hasil bagi dari pembagi yang
sama) tashhih kedua hendaklah dikalikan dengan asal-masalah yang
pertama.
c. Mubayanah

13
Muhammad Ali al-Shobuni, al-Mawarits fi Alsyariah al-Islamiyah, (Terj.) A. Zaini
Dahlan, Hukum Waris Menurut al-Qur’an dan Hadis/Muhammad, h., 175.
14
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma’arif, 1975), cet. 10, h., 463-465.
68

Jika hasil perbandingan saham-saham dalam tashhih pertama dengan


tashhih kedua itu tabayun, maka seluruh tashhih kedua dikalikan dengan
seluruh tashhih yang pertama.
d. Mudakhalah
Jika penyebut-penyebut pecahan fardh ahli waris dapat dibagi oleh
penyebut yang terkecil, seperti: dalam masalah mawaris yang ahli warisnya
terdiri dari anak perempuan mendapat 1/2, ibu 1/6 maka nisbah
(perbandingan) 2 penyebut tersebut adalah tadakhul. Sebab penyebut yang
terbesar yaitu 6 dapat dibagi oleh penyebut yang terkecil yaitu 215.

Dengan demikian, menurut penulis bahwa perkara dalam putusan ini adalah
perkara mengenai munasakhah karena dalam putusan ini terdapat beberapa
unsur munasakhah yang terpenuhi, sehingga cara penyelesaian dalam putusan
ini harus menggunakan sistem pembagian munasakhah. Namun hakim tidak
menggunakan cara penyelesaian pembagian munasakhah, melainkan hanya
menggunakan pembagian kewarisan Islam pada umumnya saja. Padahal jika
dilihat secara detail bahwa putusan ini mengandung beberapa unsur
munasakhah, sehingga jika hakim hanya menggunakan pembagian kewarisan
Islam pada umumnya saja, maka akan menimbulkan hasil yang berbeda dan
menimbulkan adanya ketidakadilan dalam pembagian kewarisan tersebut.
Disisi lain, hakim Pengadilan Agama sampai Mahkamah Agung hanya
mempermasalahkan mengenai apakah putusan ini termasuk gugatan atau
permohonan, dimana Pengadilan Agama berpendapat bahwa putusan ini adalah
gugatan karena dari gugatan Penggugat terdapat sengketa waris yang
mengakibatkan bahwa putusan ini adalah gugatan bukan permohonan,
sedangkan hakim Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung
menyatakan bahwa putusan tersebut bukanlah gugatan dengan berpendapat
bahwa tidak jelasnya penyebutan objek perkara yang disengketakan atau
kaburnya objek gugatan.

15
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma’arif, 1975), cet. 10, h., 141.
69

Kemudian berdasarkan pertimbangan hakim, penulis berpendapat bahwa


putusan Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung keliru, karena dalam
putusan tersebut mengandung unsur munasakhah, sehingga putusan tersebut
mengandung sengketa waris dan harus diselesaikan pembagiannya dengan
penyelesaian pembagian munasakhah.
Dalam putusan ini, majelis hakim menetapkan bagian harta warisan masing-
masing ahli waris:
1. SS (Istri 1/8) sehingga menjadi 8/64.
2. EJ (anak perempuan dari CNS 7/8 dengan perbandingan 2:1) sehingga
menjadi 7/64.
3. IAM (anak laki-laki 1 dari CNS dengan perbandingan 2:1) sehingga
menjadi 14/64.
4. ANI (anak laki-laki 2 dari CNS dengan perbandingan 2:1) sehingga menjadi
14/64.
5. RN (anak laki-laki dari SS dengan perbandingan 2:1) sehingga menjadi
14/64.
6. SH (anak perempuan dari SS dengan perbandingan 2:1) sehingga menjadi
7/64.

Berdasarkan uraian di atas, hakim dalam menetapkan bagian harta warisan


ahli waris tersebut dengan cara menjumlahkan total dari keseluruhan, yaitu
64/64 atau sama dengan 1 (satu). Pada pembagian tersebut, hakim menetapkan
bahwa pembagian ahli waris terhadap anak dari istri pertama dengan anak dari
istri kedua dengan pembagian sama rata. Sedangkan menurut penulis bagian
harta warisan masing-masing ahli waris harus ditashihkan terlebih dahulu, dari
harta warisan saat pewaris I dunia dan harta warisan dari Pewaris II, seperti:
1. Penyelesain pertama
Pewaris I : Istri Pertama

Ahli Waris a.m. = 4 4 x 5 = 20


Suami 1/4 x 4 = 1 1 x 5 = 5/20 5/20 x 1/2 = 5/40
2 anak Laki-laki
70

1 anak Perempuan (Ashabah) 3 x 5 =15/20 = 15/ 20 x 1/2 =


3/4 x 4 = 3 15/40 15/40
Jumlah 20/40

2. Penyelesaian kedua
Pewaris II : Suami

Ahli Waris a.m. = 8 8 x 8 = 64


Istri kedua 1/8 1/8 x 8 = 8/64 8/64 x 20/40 +
5/40 = 8/64 x
25/40 = 200/2560
3 anak Laki-laki (Ashabah) 56/64 x 25/40 =
7/8 x 8 = 56/64
2 anak Perempuan 7/8 1400/2560

3. Penyelesaian ketiga
Pewaris I dan Pewaris II : Istri pertama dan Suami

Ahli Waris a.m = 8 x 8 = 64


6/40 x 64 = 384/2560 +
2 anak laki-laki @734/2560
384/2560 350/2560 =
3/40 x 64 = 192/2560 +
1 anak perempuan 367/2560
192/2560 175/2560 =
Istri kedua 200/2560
1 anak laki-laki
350/2560
dari Istri kedua
1 anak perempuan
175/2560
dari Istri kedua
Jumlah 2560/2560 = 1

Dengan demikian, hasil dari penjumlahan yang telah ditashih adalah


2560/2560 atau sama dengan 1, tetapi pembagian ahli waris anak 2 laki-laki
71

dan 1 anak perempuan dari istri pertama dengan suami mendapatkan bagian
lebih besar dibandingkan ahli waris 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan dari
istri kedua dengan suami, karena ahli waris 2 anak laki-laki dan 1 anak
perempuan dari istri pertama mendapatkan harta warisan dari istri pertama
(Pewaris 1) dan suami (Pewaris II), sedangkan ahli waris 1 anak laki-laki dan
1 anak perempuan dari istri kedua hanya mendapatkan warisan dari suami
(Pewaris II) karena mereka bukan termasuk ahli waris dari Pewaris I.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa uraian dari penelitian tersebut, penulis dapat menyimpulkan
beberapa poin sebagai berikut:
Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung
menyelesaikan masalah waris ini dengan menggunakan metode pembagian harta waris
Islam pada umumnya berdasarkan Surah al-Nisa ayat 11-12 dan 178, Kompilasi Hukum
Islam pasal 171 huruf b-c, pasal 174 ayat (2), pasal 176, dan 180. Sedangkan menurut
penulis, bahwa dalam perkara masalah waris ini mengandung unsur munasakhah, sehingga
menurut penulis hakim keliru dalam menggunakan menyelesaikan pembagian harta waris
tersebut dan Pengadilan Agama Cibinong menyatakan bahwa perkara ini termasuk perkara
gugatan bukan permohonan, karena adanya unsur sengketa dalam perkara tersebut.
Pengadilan Tinggi Agama Bandung membatalkan putusan Pengadilan Agama Cibinong
dan menyatakan bahwa perkara ini adalah permohonan bukan gugatan, karena tidak adanya
unsur sengketa dalam perkara ini/objek-objek sengketa yang dimaksud Pengadilan Agama
Cibinong tidak jelas, sehingga hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung membatalkan
putusan Pengadilan Agama Cibinong. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi karena apa yang telah diputuskan di Pengadilan Tinggi Agama Bandung
sudah jelas dan tidak menyalahkan undang-undang atau peraturan yang tertulis

Berdasarkan poin yang telah disebutkan, maka penulis dalam permasalahan gugatan
atau permohonan, lebih sepakat dengan Pengadilan Agama Cibinong karena adanya unsur
sengketa waris dan unsur munasakhah yang belum diselesaikan secara tepat. Dalam
pembagian warisan, menurut penulis Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Tinggi
Agama Bandung dan Mahkamah Agung keliru dalam menggunakan metode pembagian
waris tesebut, karena dalam perkara ini adanya unsur munasakhah, sehingga harus
diselesaikan dengan menggunakan metode penyelesaian munasakhah karena jika hanya
menggunakan pembagian warisan pada umumnya saja akan menimbulkan hasil yang

72
73

berbeda dan tidak adanya pembagian secara adil, berdasarkan asas kewarisan yaitu
keadilan seimbang.

B. Saran
Berdasarkan penelitian dan kesimpulan dalam penulisan ini, maka menurut penulis perlu
untuk memberikan beberapa saran sebagai bahan pertimbangan, diantaranya:
1. Pemerintah harus membuat suatu aturan/hukum tertulis, apabila belum ada aturan yang
mengatur secara jelas dan tegas, sehingga dapat lebih memudahkan dalam memutuskan
perkara di Pengadilan.
2. Kepada Majelis Hakim yang menangani perkara, sebaiknya lebih teliti dalam
menyelesaikan perkara waris, terutama apabila dalam perkara tersebut mengandung
beberapa unsur munasakhah, sehingga dapat menganalisis permasalahan tersebut lebih
mendalam dan detail.
3. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan lebih banyak mengkaji mengenai penelitiannya
dengan mencari, membaca, mengutip, dan detail sumber atau referensi yang terkait
tentang penelitiannya, agar penelitiannya dapat dijadikan rujukan majelis hakim,
peneliti lain atau masyarakat untuk mengetahui mengenai penelitiannya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al Karim.

Abta, Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al-Faraidl: Deskripsi
Hukum Islam, Praktis dan Terapan, Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana,
2005.

Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, “Metode Penelitian Hukum”,


Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, Cet. 1.

Amiruddin dan Zainal Asikin, “Pengantar Metode Penelitian Metode Hukum,


Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004.

Diantha, I Made Pasek, “Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi


Teori Hukum”, Jakarta: Prenada Media Group, 2017.

Ghozal, Husain Yusuf, al-Mirats, Darul Fikr: 2003, cet. 2.

Al-Hafidz ibnu Hajr al-Asqolani, Bulughul Maram, Surabaya: Maktabah Daru

jawahir.

Ibrahim, Johnny, “Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif”, Malang:


Bayumedia Publishing, 2005, cet. 1.

al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Minhaajul Muslim, penerjemah: Fadhli Bahri,


Ensiklopedia Muslim, Bekasi: PT Darul Falah, 2016, cet.21.

Fajar, Mukti, Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan


Empiris”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, cet. 1

Kamal, Abu Malik bin Al-Sayyid Salim, Shahih Fiqh As-Sunnah WaAdillatuhuwa
Taudhih Madzabib Al-A’immah, penerjemah: Khairul Amru Harahap dan
Faisal Saleh, Shahih Fiqih Sunnah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakarta:


Sinar Grafika, 2008.

Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,


2015.

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta: Kencana,


2006.

74
75

Marzuki, Peter Mahmud, “Penelitian Hukum”, Jakarta: Kencana, 2016, cet. 9.

Muhammad, Al-Faqih Abul Wahid bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd,
Bidayatul Mujtahid Analisa Para Mujtahid, penerjemah: Imam Ghazali dan
Ahmad Ma’ruf Asrori, Jakarta: Pustaka Amani, 2007

Muhammad, al-Sayyid al-Imam, bin Ismail al-Kahlaniy, Subulussalam, Bandung:


Dahlan, Bab Faraid, Juz 3.

Muhibbin, Moh. dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009.

Mujahidin, Ahmad, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung: PT Refika


Aditama, 2007.

Muslim, Abu Husain, bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih
Muslim, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1971.

Nasution, Amin Husein, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran


Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2012.

Nugraheni, Destri Budi dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam
di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Media University Press, 2014.

Parman, Ali, Kewarisan Dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Hukum dengan


Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995.

Putra, Nusa dan Hendarman, “Metode Riset Campur Sari: Konsep, Strategi dan
Aplikasi”, Jakarta: Indeks, 2013.
al-Qurthubi, Imam, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jilid 5, Penerjemah Ahmad Rijali
Qadir, Tafsir al-Qurthubi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, Cet. 1.

Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: PT. Alma’arif, 1975, cet. 10.

al-Shiddieqy, T.M Hasbi, Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum Warisan dalam


Syariat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

al-Shobuni, Muhammad Ali, Shofwatut Tafasir, Beirut: Darul Fikr, 1980.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, cet. 8.

Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta:


76

RajaGrafindo Persada, 2004.

Sabiq, Syekh Sayyid, Fiqhul Sunnah, Libanon: Darul Fikr: 1998.

Syarifuddin, Amir, Edisi Kedua: Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada


Media Group, 2015.

_______________, Hukum Kewarisan Islam¸ Jakarta: Prenada Media, 2004

Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris: Hukum Kewarisan


Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.

Yusuf, Kadar M., Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-ayat Hukum, Jakarta:
Amzah, September 2013.

al-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 10, penerjemah: Abdul


Hayyie al-Khattani, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011.

Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia,


Bandung: CV. Pustaka Setia, 2017.

Jurnal dan Penelitian Hukum

Efendi, Agus, “Pembagian Warisan Secara Kekeluargaan (Studi Terhadap Pasal


183 Kompilasi Hukum Islam)”, Skripsi S-1 Jurusan al-Ahwal Asy
syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009.

Fatahullah, Sugiyarno, Ita Surayya, “Antara Munasakhah dan Ahli Waris


Pengganti pada Putusan Nomor.0311/Pdt.G/2009/PA.Sel.

Ferizqo Achdan, Ahmad, “Analisis Yuridis Tentang Pembagian Harta Bersama


Dan Warisan Perkawinan Poligami”, Skripsi S-1 Jurusan Hukum Keluarga,
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018.

Kulsum, Dede Umu, “Penyelesaian Kewarisan Ahli Waris Pengganti dan


Munasakhah di Pengadilan Agama (Analisis Penetapan Nomor.
108/Pdt.P/2014/PA.JB)”, Skripsi S-1 Jurusan al-Ahwal Asy syakhsiyyah,
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015.

Maulana Hamzah, “Persepsi Aktivis Gender Indonesia Terhadap Sistem Pembagian


Harta Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam”, Skripsi S-1 jurusan
Ahwal Asy-syakhsiyyah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2010.

Puterichadijah, Ema, “Eksekusi Harta Bersama dalam Perkara Perceraian (Analisis


Putusan Perkara No. 1022/Pdt.G/2014/PA. Cms)”, Skripsi S-1: Jurusan
77

Hukum Keluarga, Fakultas UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017.

Sudirman, Muh., “Munasakhah dalam Sistem Kewarisan Islam”, dalam Jurnal


Supermasi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar Volume XI
Nomor 2, Makassar, Oktober, 2016.

Sugiswati, Besse, “Konsepsi Harta Bersama dari Perspektif Hukum Islam, Kitab
Undang-Undang, Hukum Perdata, dan Hukum Barat”, dalam Jurnal
Perspektif, Volume XIX No. 3 September 2014.

Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006


jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Anda mungkin juga menyukai