Anda di halaman 1dari 104

Kajian Mukhtalif al-Ḥadiṡ dalam Hadis Tentang Zikir Jaḥr dan

Sirr
Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar


Sarjanan Agama (S. Ag)

Oleh:

SALSABILA ARRAYYAN

11190360000003

PROGRAM STUDI ILMU HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1444 H / 2023 M
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi dimaksudkan sebagai pengalih-huruf dari abjad yang satu ke abjad yang
lain. Transliterasi Arab-Latin di sini ialah penyalinan huruf- huruf Arab dengan huruf-huruf
Latin beserta perangkatnya.

A. Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

‫أ‬ Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan

‫ب‬ Ba b be

‫ت‬ Ta t te

‫ث‬ Ṡa ṡ es (dengan titik di atas)

‫ج‬ Jim j je

‫ح‬ Ḥa ḥ ha (dengan titik di bawah)

‫خ‬ Kha kh ka dan ha

‫د‬ Dal d de

‫ذ‬ Dzal dz de zet

‫ر‬ Ra r er

‫ز‬ Zai z zet

‫س‬ Sin s es

‫ش‬ Syin sy es dan ye

‫ص‬ Ṣad ṣ es (dengan titik di bawah)

‫ض‬ Ḍad ḍ de (dengan titik di bawah)

‫ط‬ Ṭa ṭ te (dengan titik di bawah)

‫ظ‬ Ẓa zet (dengan titik di bawah)

‫ع‬ ‘ain ‘ koma terbalik (di atas)

v
‫غ‬ Gain g ge

‫ف‬ Fa f ef

‫ق‬ Qaf q ki

‫ك‬ Kaf k ka

‫ل‬ Lam l el

‫م‬ Mim m em

‫ن‬ Nun n en

‫و‬ Wau w we

‫ﮬ‬ Ha h ha
‫ء‬ Hamza ’ apostrof

‫ي‬ Ya y ye

B. Vokal
1. Vokal Tunggal (monoftong)
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

‫ﹷ‬ Fathah a a
‫ﹻ‬ Kasrah I i
‫ﹹ‬ Dammah u u

2. Vokal Rangkap (difton)

Huruf Arab Nama Huruf Latin


Nama

...َ‫ْي‬ Fathah dan ya ai a dan i

...َ‫ْو‬ Fathah dan wau au a dan u

vi
C. Maddah
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

...‫ى‬..
َ .‫َا‬ Fathah dan alif atau ya a dengan garis di atas
ā

...‫ى‬
ِ Kasrah dan ya i dengan garis di atas
ī

...‫ُو‬ ū u dengan garis di atas


Dammah dan wau

vii
ABSTRAK
Salsabila Arrayyan, 11190360000003, Kajian Mukhtalif al-Ḥadiṡ dalam
Hadis Tentang Zikir Jaḥr dan Sirr 2023

Zikir dalam praktiknya biasa dilakukan secara jaḥr (suara yang keras) dan secara sirr
(suara yang kecil/pelan). Kedua praktik zikir ini memiliki dalilnya masing-masing, namun
kedua dalilnya secara lahiriah tampak bertentangan (ikhtilaf), maka penelitian ini
dilakukan agar dapat mengetahui letak ikhtilaf dan cara penyelesaiannya dari kedua hadis
tersebut. Terdapat beberapa metode dalam menyelesaikan ikhtilaf al-Ḥadiṡ yaitu al-jam’u
wa al-tawfiq, naskh, tarjih, dan al-tawaqquf. Dalam menyelesaikan ikhtilaf al-Ḥadiṡ
tentang zikir secara jaḥr dan sirr peneliti menggunakan metode penyelesaian al-jam’u wa
al-tawfiq yaitu dengan mengompromikan kedua hadis bertentangan tersebut agar dapat
diamalkan kedua-duanya.

Dalam menyelesaikan ikhtilaf al-Ḥadiṡ menggunakan metode al-jam’u wa al-tawfiq


peneliti menggunakan teori Imam al-Syafi’i yaitu dengan menakwilkan kedua hadis yang
bertentangan tersebut. Imam al-Syafi’i dalam menakwilkan hadis tentang zikir jaḥr dan
sirr mengatakan bahwa ia lebih memilih bagi imam dan makmum untuk berzikir kepada
Allah setelah selesai salat, sambil memelankannya. Kecuali jika seorang imam ingin
mengajarkan zikir maka ia boleh mengeraskan hingga ia mengetahui bahwa mereka telah
mempelajarinya, lalu kembali memelankan suaranya. Jadi Imam Syafi’i menakwilkan
makna hadis tentang zikir jaḥr dengan bolehnya mengeraskan suara ketika hendak
mengajari sebagaimana terdapat juga hadis-hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah
pernah mengeraskan suaranya ketika berzikir, menurut Imam Syafi’i Rasulullah sengaja
untuk mengeraskan sedikit suaranya agar orang-orang dapat belajar mengenai zikir dari
beliau.

Kata Kunci: Mukhtilaf al-Ḥadiṡ, Zikir Jaḥr, Zikir Sirr

viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt, puji serta syukur saya ucapkan kepada Allah Swt. yang
senantiasa memberikan nikmat serta rahmat-Nya dalam segala proses kehidupan yang telah
saya lalui. Berkat ridho dan pertolongan-Nya saya mampu menyelesaikan skripsi ini hingga
akhir.

Shalawat serta salam saya haturkan kepada baginda besar Nabi Muhammad Saw.
Semoga saya termasuk kepada golongan umatnya yang taat dalam menjalankan perintahnya
dan mendapatkan syafaatnya di hari kiamat kelak. Semoga skripsi ini menjadi jembatan untuk
meraih syafaat dari Nabi Muhammad Saw.

Saya menyadari banyaknya bantuan dari orang-orang di sekitar saya yang selalu
mendukung dan memberikan semangat kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh
karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D., selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Ismatu Ropi, M.A., Ph.D., selaku dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Sandi Santosa, M. Si selaku kepala program studi Ilmu Hadis yang telah
membimbing saya semoga Allah Swt. kabulkan segala hajat bapak.
4. Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, M.A yang telah meluangkan waktu, menguji proposal,
membimbing, mengarahkan dan memberi masukan kepada saya hingga saya dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga Allah Swt membalas semua kebaikan
ibu dengan sebaik-baiknya balasan.
5. Bapak Dr. Ahmad Fudhaili, M. Ag selaku dosen konsultasi proposal skripsi yang telah
membimbing dan mengarahkan saya pada tahap proposal skripsi. Semoga Allah Swt.
mengabulkan segala semua hajat bapak.
6. Bapak Dr. Abdul Hakim Wahid, S.H.I, M.A. selaku dosen pembimbing akademik dan
dosen penguji komprehensif saya. Semoga Allah Swt. mengabulkan segala semua hajat
bapak.

ix
7. Seluruh dosen yang mengajar di program studi Ilmu Hadis yang telah memberikan
bimbingan dan pelajaran selama masa perkuliahan saya. Semoga segala ilmu yang
diberikan bermanfaat bagi saya dan menjadi ladang pahala bagi para dosen.
8. Kedua orang tua saya abati Mahdi Ibrahim, S.E., M. Si dan umi Cut Rita Zahara yang
telah memberikan dukungan penuh terhadap studi saya. Semoga Allah selalu
menyayangi kedua orang tua saya.
9. Sahabat saya sejak semester pertama hingga semester kedelapan Sari Nawang Arum,
yang selalu memberi dukungan dan membantu serta menemani saya dalam segala hal
terkait penyelesaian skripsi ini, dan seluruh teman-teman Ilmu Hadis. Semoga Allah
balas semua kebaikan kalian terhadap saya.
10. Sahabat terdekat saya Addurunnafis, yang selalu menyemangati, memberikan
dukungan, serta doa kepada saya. Semoga segala urusan dan cita-cita yang diinginkan
dikabulkan oleh Allah Swt.

Ciputat, 10 Juli 2023

Salsabila Arrayyan

x
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI ........................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................................... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................................. v

ABSTRAK ............................................................................................................................ viii

BAB I ......................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................................. 1


B. Permasalahan ................................................................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................................ 5
E. Kajian Terdahulu Yang Relevan ................................................................................. 5
F. Metodologi ..................................................................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ................................................................................................. 10
BAB II ..................................................................................................................................... 12

DEFINISI ZIKIR, KRITIK HADIS, DAN MUKHTALIF AL-ḤADIṠ ............................. 12

A. Zikir.............................................................................................................................. 12
B. Kritik Hadis ................................................................................................................. 15
C. Mukhtalif al-Ḥadiṡ....................................................................................................... 23
BAB III.................................................................................................................................... 29

TINJAUAN HADIS TENTANG ZIKIR JAḤR DAN SIRR .............................................. 29

A. Data Hadis Tentang Zikir Jaḥr ................................................................................. 29


B. Data Hadis tentang Zikir Sirr .................................................................................... 35
BAB IV .................................................................................................................................... 47

KUALITAS HADIS DAN PENYELESAIAN IKHTILAF ḤADIṠ TENTANG ZIKIR


JAḤR DAN SIRR ................................................................................................................... 47

A. Kualitas Hadis Tentang Zikir Jaḥr ........................................................................... 47


B. Kualitas Hadis Tentang Zikir Sirr ............................................................................ 62
xi
C. Pemahaman dan Penyelesaian Ikhtilaf al-ḥadiṡ Tentang Zikir Jaḥr dan Sirr ...... 82
BAB V ..................................................................................................................................... 89

PENUTUP ............................................................................................................................... 89

A. Kesimpulan .................................................................................................................. 89
B. Saran ............................................................................................................................ 90
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 91

xii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Pada hakikatnya, tidak ada hadis yang promblematik. Hadis merupakan sumber
kedua hukum Islam setelah al-Qur’an sehingga tidak mungkin suatu hadis itu
bermasalah. Di zaman nabi, hadis-hadis tidak pernah diperdebatkan, baik dari segi
keautentikan sifatnya, maupun status dan kualitas hadis tersebut tidak pernah
diperselisihkan, karena pada saat itu umat Islam dapat langsung mengklarifikasi
persoalan-persoalan yang memerlukan jawaban termasuk hadis yang diragukan
langsung kepada nabi.1 Hadis-Hadis pada saat itu disampaikan melalui majelis-majelis,
melalui para sahabat, melalui ceramah atau pidato atau dengan perbuatan langsung
yang dapat disaksikan oleh para sahabat.2 Istilah yang dipakai untuk hadis-hadis yang
problematik adalah ikhtilaf al-ḥadiṡ, yakni hadis-hadis kontroversial yang secara zahir
bertentangan dengan al-Qur’an, sesama hadis, ijma’ ulama, sejarah masa nabi, realita
empirik, sunnatullah, akal sehat dan sebagainya. Disiplin ilmu yang mengkaji bidang
ini adalah ilmu mukhtalif al-ḥadiṡ, yaitu sebuah ilmu yang membahas tentang hadis-
hadis yang kontroversial. Ilmu ini dipelopori oleh Imam Syafi’i lewat karyanya Ikhtilaf
al-Ḥadiṡ dan dilanjutkan oleh Ibn Qutaybah al-Dayruni dalam kitabnya Ta’wil
Mukhtalaf al-Ḥadiṡ serta beberapa ulama lain sesudah mereka. Subhi Salih
mendefinisikan ilmu ini sebagai berikut.3

‫اْلَ ِمع بَْي نَ َها إَِّما بِتَّ ْقيِْي ِد ُمطْلَ ِق َها‬


ْ ‫ان‬ِ ‫ث إِم َك‬
ْ ُ ‫ض م ْن َحْي‬
ِ
ِ ِ ُ‫اهرها التَّنَاق‬ ِ ِ ‫ث ِِف األ‬
َ ُ َ‫َحاديْث الَِِّت ظ‬
َ
ِ
ُ ‫العِْل ُم الَّذي يَْب َح‬

‫اْلَ ِادثَة أَو َغ ِْْيَها‬ ِ ‫صيص ع ِامها أَو َحلِها علَى تَعد‬
ْ ‫ُّد‬ ِ ِ
َ َ َ َْ ْ َ َ ْ ‫أ َْو بتَ ْخ‬

“Ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang menurut lahirnya saling


bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara
mentaqyid terhadap hadis yang mutlak atau mentakhsis hadis yang umum atau dengan
cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadis dan lain-
lain.”

1
Idri, Problematika Autentisitas Hadis Nabi Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Kencana,
2020), 23
2
Lukman Zain, Sejarah Hadis pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya dalam Jurnal Driya al-
Afkar, Vol. 2, 2014, 5
3
Idri, Problematika Autentisitas Hadis Nabi Dari Klasik Hingga Kontemporer, 24

1
2

Menurut referensi lain, ilmu mukhtalif al-ḥadiṡ merupakan suatu ilmu yang
membahas tentang hadis-hadis yang berselisih atau terlihat berlawanan agar dapat
antara keduanya, seperti membahas hadis-hadis yang sulit dipahami matan-nya untuk
selanjutnya dapat dihilangkan kesulitan pemahaman tersebut sehingga dapat
menjelaskan substansi matan hadis.4

Cabang keilmuan ini lahir karena adanya masalah yang terkait dalam kajian
hadis-hadis mukhtalif, al-Nawawiy sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuthiy,
mengatakan hadis mukhtalif adalah dua hadis yang saling berlawanan pada makna
lahiriahnya maka perlu diupayakan pengkompromian antara keduanya atau di-tarjiḥ
(dikuatkan) salah satu diantara kedua hadis-hadis tersebut.5

ِ ِ ِ ِ َ ‫ان مت‬ ِ ِ
َ ‫َّض َادان ِِف الْ َم ْع ََن ظَاهًرا فَيُ َوف ُق بَْي نَ ُه َما أ َْو يَ ْرج ُح أ‬
‫َح َد ُُهَا‬ ُ َ‫أَ ْن ََيِِْت َحديْث‬

“(Hadis mukhtalif) adalah dua hadis yang saling bertentangan pada makna
lahiriahnya (sehingga perlu dilakukan) upaya pengkompromian antara keduanya atau
ditarjiḥ (menguatkan salah satu diantara kedua hadis-hadis tersebut).”
Edi Safri menyempurnakan pengertian tersebut dengan mengatakan bahwa
terdapat kelemahan pada pengertian ini yaitu di dalam rumusannya sedikit kurangtegas.
Hal ini karena rumusan pengertian tersebut mencakup semua hadis yang secara lahiriah
tampak saling berlawanan antara satu dengan lainnya, baik hadis-hadis tersebut sama-
sama dalam kategori maqbul atau mardud. Al-Tahanuwiy berkata, hadis mukhtalif
adalah dua hadis maqbul yang secara lahir maknanya bertentangan sehingga perlu
dilakukan upaya kompromi agar dapat mendamaikan pertentangan di antara kedua
hadis tersebut dengan cara yang wajar.6

Al-Tahanuwiy merupakan seorang pakar dalam bidang hadis, salah satu


karyanya adalah Qawa’id fi ‘Ulum al-Ḥadiṡ, yang memberikan penyelesaian hadis-
hadis mukhtalif dengan hanya menggunakan cara kompromi saja. Berbeda halnya
dengan al-Nawawiy, Al-Tahanuwiy mengatakan hadis-hadis mukhtalif hendaknya
diterima sebagai hujjah. Edi Safri berpendapat hadis mukhtalif ialah hadis sahih atau
hasan yang tampak secara lahiriahnya kontradiksi dengan hadis lainnya. Akan tetapi,

4
Arbain Nurdin dan Ahmad Fajar Shodik, Studi Hadis Teori dan Aplikasi, (Bantul: Lembaga Ladang
Kata, 2019), 78
5
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadis, (Jakarta: Erlangga, 2010), 111
6
Edi Safri, al-Imam al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: Hayfa Press,
2013), 81-82
3

makna yang dituju oleh hadis-hadis tersebut sebenarnya tidaklah bertentangan karena
dapat dikompromikan atau dicari jalan penyelesainnya dalam bentuk naskh atau tarjiḥ
antara satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini, Edi Safri menawarkan tiga cara
penyelesaian hadis-hadis mukhtalif, seperti yang diungkapkan oleh al-Nawawiy, yaitu
kompromi, naskh, dan tarjiḥ. Ketiga definisi tersebut memiliki persamaan dan
perbedaan yang mendasar. Menurut Edi Safri hadis-hadis yang bertentangan itu harus
hadis maqbul, sementara al-Nawawiy tidak mengharuskan hal tersebut.7 Imam Syafi’i
mengatakan bahwa,

‫ فَ ََل نُ ْع ِطل ِمْن ُه َما‬,‫ْي‬ ِِ ِ ْ ‫ْي ُمُْتَلِ َف‬


ِ ْ َ‫ََل ََْت َعل َع ْن ر ُسوِل هللاِ َح ِديْث‬
َ ْ ‫السبِْي َل إِ ََل أَ ْن يَ ُك ْو ََن ُم ْستَ ْعمل‬
َّ ‫ْي أَبَ ًدا إِذَا َو َج َد‬ ْ َ ُ
‫ف إََِّل فِْي َما ََيُ ْوُز أَ ْن يَ ْستَ ْع ِم ُل أَبَ ًدا أَََّل بِطَّْرِح‬ ِ ِ ِ ‫َن علَي نَا ِِف ُك ِل ما علَي نَا ِِف‬
ُ ‫ َوَلَ ََْن َع ُل الْ ُم ْختَل‬,‫صاحبِه‬
َ َْ َ
ِ
ْ َ َّ ‫َواح ًدا أل‬
8
‫احبِ ِه‬
ِ‫ص‬
َ

”Jangan mempertentangkan hadis Rasulullah satu dengan yang lainnya, apabila


mungkin ditemukan jalan untuk menjadikan hadis-hadis tersebut dapat sama-sama
diamalkan. Jangan tinggalkan salah satu antara keduanya karena kita punya
kewajiban untuk mengamalkan keduanya. Dan jangan jadikan hadis-hadis
bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selain harus meninggalkan salah
satu darinya.”
Dari perkataan Imam Syafi’i tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam
menyelesaikan dua atau lebih hadis-hadis mukhtalif jangan langsung memberikan
penilaian pertentangan kepada kedua hadis tersebut, melainkan harus meneliti terlebih
dahulu langkah-langkah penyelesaiannya sehingga peluang untuk mengamalkan
keduanya dapat terlaksana. Nabi tidak mungkin mengantarkan ajaran Islam benar-benar
saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Jika terdapat penilaian yang
menyatakan bahwa satu hadis dengan hadis lainnya saling berlawanan, maka dalam hal
ini terdapat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, salah satu dari hadis tersebut
bukanlah hadis maqbul, karena hadis mardud, baik dha’if maupun maudhu’,
kemungkinan bertentangannya besar dengan hadis sahih atau ḥasan, dianggap
bertentangan itu hadis yang secara sanad dan matan sahih, kalau ternyata hadis tersebut
ḍaif sanad-nya, maka tidak menjadi permasalahan karena hadis tersebut ditolak sebagai
hujjah. Kedua, karena pemahaman yang keliru terhadap maksud yang dituju oleh hadis-

7
Edi Safri, al-Imam al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, 83
8
Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, al-Umm, vol. 7, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 664
4

hadis tersebut. Karena memungkinkan tiap-tiap hadis tersebut memiliki makna dan
keadaan yang berbeda sehingga dapat diamalkan keduanya menurut maksud masing-
masing.9

Dalam pelaksanaan zikir terdapat hadis-hadis yang menganjurkan untuk


melakukan zikir secara jaḥr dan sirr seperti yang peneliti contohkan di atas, karena
belum adanya penelitian yang membahas tentang hal ini sehingga menurut peneliti
perlu dilakukan analisis lebih lanjut, untuk dapat mengetahui dan mendapatkan
pemahaman yang tuntas terkait cara melaksanaan zikir. Karena terdapat hadis yang
menganjurkan zikir dilakukan secara jaḥr dan terdapat pula hadis yang menganjurkan
zikir dilakukan secara sirr dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan menggunakan
studi mukhtalif al-ḥadiṡ terhadap hadis-hadis tentang zikir yang berkaitan dengan
pelaksanaan zikir secara jaḥr dan sirr yang terdapat di dalam al-kutub al-tis’ah dan
yang dapat dikaji menggunakan ilmu mukhtalif al-ḥadiṡ. Maka dari itu peneliti akan
membuat kajian skripsi ini dengan judul “KAJIAN MUKHTALIF AL-ḤADIṠ
DALAM HADIS TENTANG ZIKIR JAḤR DAN SIRR.”

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas, maka peneliti mengidentifikasi
permasalahan-permasalahan sebagai berikut.
a. Kualitas hadis yang menganjurkan untuk berzikir secara jaḥr.
b. Kualitas hadis yang menganjurkan untuk berzikir secara sirr.
c. Penyelesaian mukhtalif al-ḥadiṡ. Untuk proses penyelesaiannya menggunakan
salah satu metode dalam ilmu mukhtalif al-ḥadiṡ, yaitu al-jam’u wa al-tawfiq.
2. Pembatasan Masalah
a. Hadis yang menganjurkan untuk berzikir secara jaḥr yang terdapat dalam Ṣahīh
al-Bukhārī Nomor Hadis 841.
b. Hadis yang menganjurkan untuk berzikir secara sirr yang terdapat dalam Ṣahīh
al-Bukhārī Nomor Hadis 4205.
3. Rumusan Masalah

9
Sri Aliyah, Teori Pemahaman Ilmu Mukhtalif Hadis dalam Jurnal Media Neliti, 2014, 5
5

Penyelesaian mukhtalif al-ḥadiṡ dari hadis anjuran untuk berzikir secara jaḥr
dan dari hadis anjuran untuk berzikir secara sirr.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui cara penyelesaian mukhtalif
al-ḥadiṡ dari hadis anjuran untuk berzikir secara jaḥr yang terdapat dalam Ṣahīh al-
Bukhārī Nomor Hadis 841 dan hadis anjuran untuk berzikir secara sirr yang terdapat
dalam Ṣahīh al-Bukhārī Nomor Hadis 4205.

D. Manfaat Penelitian

Dalam melakukan penelitian Kajian mukhtalif al-ḥadiṡ dalam Hadis Tentang


Zikir Jaḥr dan Sirr terdapat dua manfaat yang ingin peneliti capai, yaitu sebagai berikut.
a. Secara Teoritis
Sangat diharapkan penelitian ini dapat memberikan suatu sumbangan dalam
bidang keilmuan bagi para peneliti atau pelajar dalam memahami hadis dan
diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.
b. Secara Praktis
Selain dapat mengetahui kualitas hadis-hadis tentang pelaksanaan zikir jaḥr dan
sirr juga dapat mengetahui manakah cara pelaksanaan yang lebih afdal agar dapat
diimplementasikan pada kehidupan dan kegiatan sehari-hari, selain itu juga peneliti
berharap dapat memberikan pengetahuan kepada siapapun yang ingin mengkaji
mengenai hal ini.

E. Kajian Terdahulu Yang Relevan

Terdapat beberapa penelitian yang berhubungan dengan tema yang peneliti


teliti, oleh karena itu peneliti melakukan tinjauan pustaka tentang hadis-hadis bertema
zikir untuk menghindari kesamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian
sebelumnya. Penelitian yang paling relevan dengan penelitian adalah pertama, sebuah
skripsi yang ditulis oleh mahasiswa dari Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
Riau bernama Deo Tri Utama dengan judul “Perbedaan Pemahaman Makna Hadis
Tentang Zikir Bersama Dengan Suara Keras Setelah Sholat (Kajian Analisis Hadis).”
Fokus penelitian pada skripsi ini adalah penulis melakukan analisis hadis tentang
berzikir dengan suara yang keras lalu menjelaskan serta mengemukakan pendapat-
pendapat ulama tentang hal terkait, dan menganalisis hadis-hadis tersebut beserta
6

pendapat ulama yang telah didapat dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.
Pada penelitian ini, penulis meninjau tentang zikir yaitu pengertian dan macam-macam
zikir, dasar hukum dan manfaat zikir, bacaan-bacaan zikir, serta keutamaan dari zikir.
Selain itu penulis dalam penelitian ini juga memaparkan metodologi-metodologi dalam
men-syarh hadis. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan
adalah penelitian ini mengarah kepada kajian Ma’anil Ḥadiṡ dengan menganalisis
hadis-hadis yang menganjurkan untuk berzikir secara jaḥr yang dilakukan setelah
sholat, hadis-hadis tersebut diidentifikasi dan dijelaskan syarah-syarahnya serta
dikemukakan pandangan-pandangan ulama tentang zikir secara jaḥr setelah sholat.
Hasil dari penelitian ini adalah tidak ada ulama yang mewajibkan atau mengharuskan
seseorang untuk berzikir dengan suara keras, hal ini dilakukan tergantung pada situasi
dan kondisi yaitu seperti mengajarkan, membimbing dan menambah kekhusyukkan.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, peneliti
memfokuskan penelitian terhadap kajian mukhtalif al-ḥadiṡ dengan menggunakan
hadis-hadis yang menganjurkan untuk berzikir secara jaḥr dan hadis-hadis yang
menganjurkan untuk bezikir secara sirr.
Selain penelitian di atas, terdapat beberapa penelitian-penelitian lain yang
membahas seputar hadis tentang zikir. Kedua, sebuah jurnal yang ditulis oleh
Muhammad Alfatih Suryadilaga yang berjudul ”Zikir Memakai Biji Tasbih Dalam
Perspektif Living Hadis.” Fokus penelitian pada jurnal ini adalah peneliti melakukan
penelitian terhadap orang-orang yang berzikir di makam Sunan Drajat dan terhadap
santri-santri dari pondok pesantren Luqmaniyah di Yogyakarta. Pada penelitian ini
penulis menjelaskan keberagaman alasan orang-orang dalam menggunakan media/alat
zikir, dengan fokus kajiannya adalah menggunakan biji tasbih sebagai alat untuk
berzikir. Hasil dari penelitian yang dilakukan terhadap orang-orang yang berzikir di
makan Sunan Drajat adalah kebanyakan dari para peziarah tidak menggunakan biji
tasbih agar ritual berzikir dapat dipersingkat. Selanjutnya penelitian yang dilakukan di
pondok pesantren Luqmaniyah di Yogyakarta adalah beberapa santri yang memilih biji
tasbih dalam berzikir adalah karena biji ketika memegang biji tasbih dapat
mengingatkan kepada Allah, selain itu dapat mendatangkan rasa yakin karena
mempermudah jumlah hitungan dan dapat berzikir dengan khusyuk karena tidak
memfokuskan diri pada hitungan. Sedangkan alasan santri yang lebih memilih berzikir
dengan tangan karena merasa lebih nyaman, praktis dan tidak ribet, lebih mudah
menggunakanya, tidak terlalu menonjol, selalu ada, tidak akan lupa naruh atau
7

ketinggalan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang akan peneliti lakukan,
peneliti memfokuskan penelitian terhadap kajian mukhtalif al-ḥadiṡ dengan
menggunakan hadis-hadis yang menganjurkan untuk berzikir secara jaḥr dan hadis-
hadis yang menganjurkan untuk bezikir secara sirr.
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya bernama Wahyu Hidayatul Khoiriyah yang berjudul “Anjuran
Menghitung Bilangan Zikir Menggunakan Ruas Jari (Studi mukhtalif al-ḥadiṡ dalam
Sunan al-Tirmidzi Nomor Indeks 3583 dan Sunan Abi Dawud Nomor Indeks 1500).”
Fokus penelitian pada skripsi ini adalah kajian mukhtalif al-ḥadiṡ yaitu penulis
melakukan penelitian terhadap 2 hadis yang tampak bertentangan, hadis pertama adalah
anjuran nabi untuk menghitung zikir menggunakan ruas-ruas jari dan hadis kedua
adalah anjuran nabi untuk tidak menghitung bilangan zikir artinya zikir harus dilakukan
sebanyak-banyaknya. Penelitian ini diawali dengan mengkaji kualitas hadis dari jalur
periwayatan al-Tirmidzi tentang anjuran menghitung bilangan zikir menggunakan ruas
jari dan hadis tentang anjuran berzikir tanpa hitungan dari jalur periwayatan Imam Abi
Dawud dan cara penyelesaian ikhtilaf ḥadiṡ-nya dengan menggunakan metode
kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah penyelesaian dari kedua hadis yang tampak
bertentangan tersebut dilakukan dengan cara mengompromikannya dengan
menggunakan metode mutlaq-muqayyad. Hadis anjuran menghitung bilangan zikir
dengan ruas jari bersifat muqayyad karena untuk mengingat berapa banyak zikir yang
telah dilafazkan. Sedangkan hadis anjuran berzikir tanpa hitungan bersifat mutlaq
karena dapat mempermudah dan menambah kekhusyukan ketika berzikir. Penelitian ini
berbeda dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, peneliti memfokuskan penelitian
terhadap kajian mukhtalif al-ḥadiṡ dengan menggunakan hadis-hadis yang
menganjurkan untuk berzikir secara jaḥr dan hadis-hadis yang menganjurkan untuk
bezikir secara sirr.
Keempat, skripsi yang ditulis oleh mahasiswa Universitas Islam Negeri Ar-
Raniry bernama T. Ibrahim Syamaun yang berjudul “Pemahaman Masyarakat
Gampong Ceurih Ulee Kareng Terhadap Ayat-Ayat al-Qur’an Tentang Zikir Secara
Jaḥr.” Fokus pada penelitian ini adalah peneliti melakukan penelitian terhadap
masyarakat Gampong Ceurih Ulee Kareng terkait praktik zikir yang sering dilakukan
masyarakat desa tersebut. Hasil dari penelitian tersebut adalah Masyarakat Gampong
Ceurih Ulee Kareng melakukan praktik zikir secara jaḥr walaupun mereka tidak
mengetahui dalil yang konkrit tentang hal ini, alasan mereka melakukan praktik zikir
8

secara jaḥr adalah karena merupakan suatu syiar yang dapat mengajak masyarakat. Dari
segi pemahaman masyarakat terhadap ayat-ayat zikir secara sir masih banyak yang
belum mengetahui nya hanya sebatas sebagian dari tokoh-tokoh masyarakat yang
mengetahui akan hal tersebut. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang akan
peneliti lakukan, peneliti memfokuskan penelitian terhadap kajian mukhtalif al-ḥadiṡ
dengan menggunakan hadis-hadis yang menganjurkan untuk berzikir secara jaḥr dan
hadis-hadis yang menganjurkan untuk bezikir secara sirr.
Kelima, jurnal yang ditulis oleh Kaizal Bay yang berjudul “Metode
Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i.” Fokus penelitian pada jurnal
ini adalah peneliti mengkaji tentang metode penyelesaian hadis-hadis maqbul yang
tampak bertentangan akan tetapi maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut tidaklah
bertentangan, karena antara satu dengan yang lain dapat diselesaikan pertentangannya.
Cara menyelesaikannya adalah dengan mengkompromikannya yaitu berusaha untuk
mengumpulkan keduanya, sampai hilang perlawanannya. Selain itu juga dapat
diselesaikan dengan nasakh, yaitu mencari mana di antara kedua hadis tersebut yang
datang lebih dahulu, dan mana yang datang kemudian dan hadis yang datang lebih
dahulu hendaklah di-nasakh-kan oleh hadis yang datang kemudian. Terakhir,
penyelesaian pertentangan hadis tersebut dapat dilakukan dengan cara tarjiḥ yaitu
menguatkan salah satunya baik sanad maupun matannya. Cara penyelesaian tersebut
adalah menurut al-Syafi’i. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang akan peneliti
lakukan, peneliti memfokuskan penelitian terhadap kajian mukhtalif al-ḥadiṡ dengan
menggunakan hadis-hadis yang menganjurkan untuk berzikir secara jaḥr dan hadis-
hadis yang menganjurkan untuk bezikir secara sirr sedangkan penelitian ini hanya
fokus kepada metode-metode dalam penyelesaian mukhtalif ḥadiṡ.
Keenam, disertasi yang ditulis oleh mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta bernama Luqmanul Hakim yang berjudul “Kualitas Hadis-Hadis
Zikir”. Fokus pada penelitian ini adalah peneliti mengkaji sanad dan matan hadis-hadis
tentang zikir sebanyak 72 hadis. Peneliti juga menyelesaikan pertentangan dari
beberapa hadis diantara 72 hadis tersebut. Meskipun terdapat hadis yang sama dengan
hadis yang peneliti kaji dalam penelitian tersebut yaitu hadis tentang zikir jaḥr dan sirr,
tetapi hasil dari penelitian ini berbeda dengan yang peneliti lakukan. Hasil dari
penelitian ini, pertentangan antara zikir jaḥr dan sirr kedua hadis tersebut diselesaikan
dengan cara di-tarjih, artinya salah satu dari kedua hadis tersebut dikuatkan, dimana
hadis tentang zikir secara sirr dalilnya lebih kuat dibandingkan hadis tentang zikir
9

secara jaḥr. Sedangkan hasil dari penelitian yang peneliti lakukan adalah kedua hadis
tentang zikir jaḥr dan sirr dapat diselesaikan dengan cara al-jam’u yaitu
dikompromikan. Kedua hadis tersebut dapat dikompromikan sehingga kedua-duanya
dapat sama-sama diamalkan.

F. Metodologi

1. Jenis Penelitian
Dalam menulis penelitian ini peneliti menggunakan model penelitian kualitatif,
penulis akan mengawali penelitian ini dengan menentukan topik, mengumpulkan
data-data, dan menganalisis data yang sudah diperoleh. Selain itu metode yang
digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah metode library research
(kepustakaan) karena data-data penelitian skripsi didapatkan dari hadis-hadis yang
terdapat dalam kitab Ṣahīh al-Bukhārī serta dari al-kutub al-tis’ah selain Ṣahīh al-
Bukhārī, buku-buku, dan dokumen-dokumen. Pengambilan sampelnya hanya
diambil dari hadis yang menganjurkan untuk berzikir secara jaḥr dan hadis yang
menganjurkan untuk berzikir secara sirr yang terdapat dalam al-kutub al-tis’ah.
2. Sumber Data Penelitian
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah sumber data yang dapat
memberikan data langsung yaitu kitab Ṣahīh al-Bukhārī.
b. Sumber Data Sekunder
Adapun sumber data sekunder yang akan peneliti ambil adalah berbagai data
penunjang yang ada kaitannya dengan penelitian ini yaitu al-kutub al-tis’ah
selain dari Ṣahīh al-Bukhārī (Ṣaḥih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Nasa’i,
Sunan al-Tirmidzi, Sunan Ibn Majah, Musna Ahmad, Muwattha’ Malik, dan
Sunan al-Darimi) serta sumber lainnya berupa kitab-kitab mukhtalif al-ḥadiṡ,
buku-buku, jurnal, skripsi, dan lain sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode penelitian yang akan peneliti gunakan adalah metode penelitian
kepustakaan, oleh karena itu data-datanya dikumpulkan dengan menggunakan
metode dokumentasi secara literatur yang sesuai dengan pembahasan. Kemudian
menelusuri hadis tentang anjuran berzikir secara jaḥr dan hadis tentang anjuran
berzikir secara sirr yang terdapat dalam kitab Ṣahīh al-Bukhārī dan al-kutub al-
tis’ah agar mendapatkan sanad dan matan secara lengkap, membaca syarh tentang
10

hadis-hadis terkait, serta menelusuri asbab al-wurud hadis-hadis tersebut untuk


dapat diselesaikan ikhtilaf al-ḥadiṡ di antara kedua hadis tersebut.
4. Analisis Data

Dalam penelitian ini analisis datanya menggunakan metode kritik hadis yaitu
dengan melakukan kritik sanad dan kritik matan serta menggunakan metode
mukhtalif al-ḥadiṡ. Para ulama seperti Imam Syafi’i, Ibn Qutaybah, Al-Thahawiy,
dan Ibn Furak menawarkan beberapa cara dalam menyelesaikan ikhtilaf al-ḥadiṡ,
cara pertama yang harus ditempuh adalah dengan jalan mengkrompomikan atau
yang biasa disebut dengan al-jam’u wa al-taufiq, selain itu juga dapat ditempuh
dengan cara naskh-mansukh yaitu suatu hadis dihapus dengan hadis lainnya, apabila
suatu hadis tidak dapat dikompromikan dan tidak ditemukan cara untuk
memberlakukan naskh, maka cara selanjutnya untuk menyelesaikan ikhtilaf ḥadiṡ
adalah dengan dikuatkan salah satunya atau biasa disebut tarjiḥ, jika ketiga cara
tersebut tidak dapat dilakukan, maka cara terakhir yang ditawarkan para ulama
adalah dengan meninggalkan atau tidak mengamalkan hadis tersebut untuk
sementara waktu hingga mendapatkan jawaban yang pasti terhadap permasalahan
hadis tersebut, cara ini biasa disebut dengan tawaqquf. Dari keempat metode atau
cara yang ditawarkan para ulama tersebut, peneliti nantinya akan memilih metode
al-jam’u wa al-taufiq karena metode inilah yang paling relevan untuk digunakan
dalam penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terbagi kepada lima bab dengan masing-masing bab memiliki
topik pembahasan tertentu.
Bab pertama, terdiri dari pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
permasalahan (identifikasi masalah, rumusan masalah, dan batasan masalah), tujuan
penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metodologi penulisan (jenis penelitian,
sumber data dan analisis data), dan sistematika penulisan.
Bab kedua, berisi landasan teori. Dalam bab ini berisi tentang definisi atau
pengertian dari zikir, kritik hadis dan mukhtalif al-ḥadiṡ. Bab ini merupakan landasan
yang menjadi tolok ukur dalam penelitian ini.
Bab ketiga, berisi data-data hadis tentang anjuran berzikir secara jaḥr dan sirr.
11

Bab keempat, berisi tentang kualitas dari hadis-hadis yang terdapat di dalam
al-kutub al-tis’ah serta pemahaman dan penyelesaian ikhtilaf ḥadiṡ dari hadis yang
bersangkutan.
Bab kelima, berisi penutup, yaitu kesimpulan dari permasalahan dalam
rumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan saran-saran yang berhubungan dengan
penelitian ini.
BAB II

DEFINISI ZIKIR, KRITIK HADIS, DAN MUKHTALIF AL-ḤADIṠ


A. Zikir

Kata zikir secara etimologi berasal dari kata Bahasa Arab yaitu dzakara-
yadzkuru-dzikran yang berarti mengingat atau menyebut.1 Sedangkan zikir secara
terminologi adalah segala bentuk berkomunikasinya seorang hamba kepada Tuhannya
agar senantiasa mengingat dan tunduk kepada-Nya dengan cara mengucapkan takbir,
tahmid, tasbih, istighfar, memanjatkan do’a, membaca al-Qur’an, dan hal lainnya yang
disyariahkan yang dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja baik secara lisan
maupun di dalam hati. Pada hakikatnya zikir merupakan perbuatan hati sehingga di
setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia jangan sampai melupakan Allah. Hal ini
dapat menimbulkan rasa senang dalam melakukan kebaikan dan merasa malu dalam
melakukan hal yang tercela.2
Pada mulanya, makna zikir adalah mengucapkan dengan lidah atau menyebut
sesuatu yang kemudian berkembang menjadi mengingatnya. Menyebut dengan lidah
dapat mengantarkan hati untuk mengingatnya. Jika kata menyebut dikaitkan dengan
sesuatu, biasanya yang disebutkan itu adalah namanya, yang kemudian dapat
disebutkan sifatnya, perbuatannya, atau peristiwa yang ada kaitan dengannya. Oleh
karena itu, kata zikir dapat mencakup sifat-sifat atau perbuatan Allah, surga dan neraka-
Nya, rahmat dan siksa-Nya, perintah dan larangan-Nya, dan segala sesuatu yang dapat
dikaitkan dengan-Nya.3
Menurut Ibn Athaillah al-Sakandari zikir merupakan suatu tindakan di mana
seseorang melepaskan diri dari kelalaian dan senantiasa mengingat Allah di dalam
hatinya. Hal ini dilakukan dengan mengingat lafal jalalah, sifat-Nya, hukum-Nya,
perbuatan-Nya, atau suatu tindakan yang serupa. Menurut al-Kalabadzi, zikir adalah
melupakan segalanya kecuali Allah. Menurut Hasan al-Banna zikir adalah segala
sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah dan semua ingatan yang menjadikan

1
M. Khalilurrahman Al-Mahfani, Keutamaan Do’a dan Zikir untuk Hidup Sejahtera, (Jakarta: PT.
WahyuMedia, 2006), 30
2
M. Khalilurrahman Al-Mahfani, Keutamaan Do’a dan Zikir untuk Hidup Sejahtera, 33
3
Khoirul Amru Harahap dan Reza Pahlevi Dalimunthe, Dahsyatnya Do’a dan Zikir, (Jakarta:
QultumMedia, 2008), 3

12
13

seseorang dekat dengan Allah. Menurut Imam al-Ghazali zikir adalah ingatan
seseorang bahwa Allah akan mengamati seluruh tindakan dan pikirannya.4
Menurut imam al-Ghazali di dalam Ihya Ulum al-Din mengatakan manusia
mempunyai hati yang tidak ubahnya seperti telaga yang di dalamnya mengalir berbagai
macam air, baik dari luar maupun dari dalam. Maksudnya adalah pengaruh yang datang
ke dalam hati adakalanya datang dari luar misalnya dari pancaindra dan adakalanya
datang dari dalam misalnya seperti khayal, syahwat, amarah bahkan akhlak dari
manusia itu sendiri. Oleh karena itu peran zikir bagi hati adalah sebagai instrumen
dalam pengenalan Tuhan untuk memperoleh petunjuk dari-Nya.5
Adapun bentuk-bentuk zikir adalah sebagai berikut.
a. Zikir dengan lidah/lisan
Zikir dengan lidah/lisan adalah melakukan zikir dengan cara melafalkan
kalimat-kalimat zikir tertentu baik dengan suara yang keras atau suara yang hanya
dapat didengar oleh orang yang berzikir itu sendiri.
b. Zikir dengan hati/kalbu
Zikir dengan hati berarti berzikir dengan merasakan kehadiran Allah di dalam
hatinya. Yaitu dengan merasakan keagungan Allah serta keindahan cipataan-
ciptaan-Nya.
c. Zikir dengan perilaku
Zikir dengan perilaku adalah dalam setiap tindakan dan perbuatan seseorang
taat kepada Allah karena senantiasa mengingat Allah dan merasa segala
aktivitasnya diamati oleh Allah.
Ibn Athaillah yang merupakan seorang sufi juga membagikan zikir kepada tiga
bagian, yaitu sebagai berikut.6
a. Dzikir Jali
Dzikir jali biasa didefinisikan sebagai zikir yang jelas atau nyata, yaitu dengan
mengucapkan dengan lisan kalimat-kalimat yang mengandung puji-pujian, rasa
syukur dan do’a kepada Allah dengan menunjukkan suara yang jelas untuk
menuntun gerak hati yang dapat mendorong agar hatinya menyertai ucapan lisan
tersebut.

4
Luqman Junaidi, The Power of Wirid, (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2007), 4
5
Muhammad Basyrul Muvid, Zikir Penyejuk Jiwa, (Jakarta: Alifia Books, 2020), 2
6
Fadhli Ramadhan, Dzikir Pagi Petang, (Yogyakarta: Fillah Books, 2019), 8
14

b. Dzikir Khafi
Dzikir Khafi biasa didefinisikan sebagai zikir yang samar-samar, yaitu zikir
yang dilakukan secara khusyuk oleh pikiran dan hati baik disertai lisan atau pun
tidak. Seseorang yang dapat melakukan zikir seperti ini akan selalu merasakan
kehadiran Allah di dalam hatinya kapanpun dan di manapun.
c. Dzikir Hakiki
Dzikir Hakiki biasa didefinisikan sebagai zikir yang sebenar-benarnya, yaitu
zikir yang dilakukan dengan seluruh jiwa baik lahir maupun batinnya, kapanpun
dan di manapun dengan memelihara seluruh jiwa dari segala larangan Allah dan
melakukan sesuatu atas apa yang diperintahkan oleh Allah saja. Selain itu juga tidak
ada yang diingatnya melainkan hanya Allah saja. Dalam pandangan sufi untuk
mencapai tahap dzikir hakiki ini harus melalui dzikir jali dan dzikir khafi terlebih
dahulu.
Menurut Imam ‘Alwi al-Haddad ia mengutip pendapat Imam al-Ghazali bahwa
zikir itu memiliki empat tingkatan yaitu sebagai berikut.7
a. Zikir dengan lida/lisan saja.
b. Zikir dengan hati dan dibarengi dengan lisan, tetapi masih merasa kesulitan
dalam menggabungkan antara keduanya, zikir seperti ini karena kelalaian
sehingga apa yang diucapkan oleh lisan berbeda dengan apa yang direnungkan
oleh hati, hal ini sangat sedikit manfaatnya, namun lebih baik daripada tidak
melakukan zikir sama sekali. Apabila terus istiqamah dalam melakukannya
maka seseorang akan terbiasa hingga ia lanjut ketingkatan yang lebih tinggi
dalam berzikir.
c. Zikir dengan hati dan dibarengi dengan lisan tanpa merasa kesulitan dalam
menggabungkan antara keduanya.
d. Memenuhi hati dengan nama-nama Allah dan tenggelam di dalamnya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai penjelasan di atas ialah zikir
merupakan perpaduan antara perbuatan lidah dengan hati. Lidah melafalkan kalimat-
kalimat khusus yang memiliki makna menyucikan, mengagungkan, dan mengesakan
Tuhan secara berulang-ulang, sementara hati berupaya secara maksimal untuk dapat
memaknai kalimat-kalimat tersebut. Dalam menghadirkan zikir di dalam hati maka
dibutuhkannya penyesuaisan antara hati dengan lidah, oleh karena itu perlu

7
Muhammad Basyrul Muvid, Zikir Penyejuk Jiwa, 100
15

diciptakannya keselarasan antara keduanya. Apabila keselarasan tidak tercipta antara


lidah dengan hati, maka hati akan sibuk dengan berbagai imajinasi yang melintas
sehingga zikir yang dilakukannya tidak memberikan manfaat apapun, padahal makna
dasar dari zikir itu sendiri adalah mengingat dan menyebut. Kehadiran hati dalam
berzikir sangat penting, karena hati merupakan bagian dasar di dalam diri manusia yang
bisa menjalin komunikasi dengan Tuhan. Jika hanya lidah saja yang komat-kamit
menyucikan Tuhan, tetapi hati tidak sama sekali meresapinya, tidak menghayati,
bahkan tidak membenarkan kalimat-kalimat zikir yang diucapkan oleh lidah, maka hati
akan terasa hampa dan kering ibarat pohon yang tetap tegak padahal sudah mati.8
Sangat banyak manfaat yang dapat diperoleh dari zikir, zikir merupakan alat
pembersih kalbu, kunci pintu anugrah ilahi, kunci kebahagiaan, dan jalan menuju
tajalli, dengan berzikir seseorang akan mendapatkan kebahagiaan dan kegembiraan
serta jauh dari sifat lalai atau ghaflah yang merupakan kunci kesedihan dan kekeruhan
hati. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata, tidak dapat dipungkiri bahwa hati itu dapat
berkarat seperti berkaratnya besi dan perak. Alat yang dapat membersihkan hati yang
berkarat adalah zikir, zikir membersihkan hati yang berkarat sehingga menjadi bening
seperti cermin yang bersih.9
Pengaruh zikir sangatlah besar dalam mencegah seseorang melakukan hal-hal
yang tercela dan zalim. Ketika seseorang berzikir ia akan membuka jiwanya kepada
Allah dengan cara memuji-Nya, kemudian Allah akan menambahkan keimanan dan
keyakinan di dalam hatinya sehingga ia akan merasakan ketentraman dan hatinya
dipenuhi dengan kebenaran. Ketika hati seseorang telah dipenuhi oleh kebenaran maka
ia tidak akan terpengaruh lagi dengan hasrat atau hawa nafsu.10

B. Kritik Hadis

Dalam menganalisis hadis-hadis maka perlu diketahui kaidah-kaidah dalam


menentukan kesahihan hadis, para ulama menetapkan bahwa dalam menentukan
kesahihan hadis maka diperlukan metode kritik hadis. Metode kritik hadis terbagi
menjadi kritik sanad dan kritik matan. Esensi dari kritik hadis adalah mengkaji sanad
dan matan hadis dengan tujuan untuk dapat mengetahui orisinalitasnya.11 Kritik hadis

8
Luqman Junaidi, The Power of Wirid, 6-7
9
Khoirul Amru Harahap dan Reza Pahlevi Dalimunthe, Dahsyatnya Do’a dan Zikir, 46
10
Muhammad Hisyam Kabbani, Energi Zikir dan Salawat, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007),
29
11
Wasman, Metodologi Kritik Hadis, (Cirebon: CV. Elsi Pro, 2021), 13
16

sendiri sudah ada sejak zaman Rasulullah, hal ini dapat diketahui dengan adanya
peristiwa yang dialami oleh Umar bin al-Khattab pada suatu malam ketika seseorang
mengetuk pintu rumahnya dengan keras lalu membawa berita bahwa Rasulullah telah
menceraikan istri-istrinya, untuk memastikan berita tersebut benar atau tidak Umar bin
al-Khattab langsung menghadap Rasulullah dan bertanya perihal berita tersebut, hingga
akhirnya Umar mengetahui bahwa Rasulullah hanya bersumpah untuk tidak
mengumpuli istri-istrinya selama satu bulan. Pengecekan yang dilakukan Umar pada
saat itu untuk meyakinkan bahwa berita atau hadis yang berasal dari Rasulullah dan
sampai kepadanya melalui orang lain adalah benar atau tidak adanya. Hal inilah yang
menjadi cikal-bakal lahirnya Ilmu Kritik Hadis yang belakangan ini sudah
berkembang.12
Istilah kritik hadis (naqd al-ḥadiṡ) secara etimologi terdiri dari kata naqd dan
ḥadiṡ. Naqd berarti memilah, meneliti, serta mengkritisi, sebagaimana ungkapan
naqada ad-darahima wa gairaha yang artinya mayyazaha wa nazaraha li ya‘rifa
jayyidaha min radi’iha (memilah dan mengkritisinya sehingga diketahui mana hadis
yang sahih dan mana yang sebaliknya). Secara terminologi menurut Muhammad Tahir
al-Jawabi naqd al-ḥadiṡ adalah menetapkan kualitas rawi dengan menilai cacat atau
adil, lewat penggunaan lafal tertentu dan dengan menggunakan alasan-alasan yang
telah ditetapkan para ahli hadis, serta dengan meneliti matan-matan hadis yang sanad-
nya sahih dalam rangka untuk menetapkan kesahihan dan kelemahan matan tersebut
dan untuk menghilangkan kemusykilan pada hadis-hadis sahih yang tampak musykil
maknanya serta menghapuskan pertentangan kandungannya dengan melalui penerapan
standar yang akurat.13
1. Kritik Sanad Hadis
Al-naqd merupakan kata dari bahasa Arab yang berarti kritik, kritik juga
merupakan serapan dari kata bahasa Inggris yaitu criticue. Dalam bahasa Indonesia
kritik adalah suatu penilaian yang diutarakan dengan tulisan ataupun verbal tentang
suatu hal. Sedangkan sanad menurut Ibn Mandzur al-Ifriqi dalam bukunya yang
berjudul Lisan al-‘Arab, sanad secara etimologi berarti bagian bumi yang tinggi
dan menghadap ke gunung. Secara terminologi sanad adalah jalan yang
menghubungkan kepada matan, yaitu rangkaian nama perawi yang mengambil

12
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2020), 1-2
13
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, 14
17

matan hadis dari sumbernya. Dapat juga dikatakan sanad merupakan rangkaian
para perawi yang menyampaikan matan hadis. Dengan demikian kritik sanad
bertujuan untuk mengevaluasi perawi hadis secara proporsional, baik hal positif
maupun hal negatif dengan mengupas karakteristik setiap rangkaian sanad.
Tujuannya adalah untuk mengetahui para rawi memiliki kecacatan atau tidak,
takwa, jujur, cerdas, atau memiliki sifat dusta, pelupa, dan sebagainya.14

Ketika Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib terbunuh lahirlah kelompok-
kelompok politik di dalam Islam yang memengaruhi perkembangan Ilmu Kritik
Hadis. Tiap-tiap kelompok mencari legitimasi dari hadis-hadis dan apabila tidak
menemukannya maka kelompok-kelompok tersebut akan membuat hadis-hadis
palsu. Menurut Imam Muhammad bin Sirrin kaum muslimin pada mulanya tidak
mempersoalkan perihal sanad, akan tetapi setelah Utsman bin Affan terbunuh
ketika mendengar suatu hadis, mereka mempertanyakan darimana hadis tersebut
diperoleh, apabila dari Ahlul al-Sunnah maka hadisnya dapat diterima sebagai
hujjah, apabila hadis tersebut didengar dari penyebar bid’ah, maka akan ditolak
hadis tersebut untuk dijadikan hujjah.15

Syarat-syarat yang menjadikan sanad suatu hadis dapat diterima adalah sebagai
berikut.16
1. Sanad yang bersambung
Seluruh rangkaian periwayat di dalam sanad, mulai dari seorang
mukharrij hingga ke tingkatan para sahabat yang menerima hadis langsung dari
nabi harus bersambung dalam periwayatannya. Untuk dapat mengetahui
bersambung atau tidaknya suatu sanad maka dapat diteliti dengan cara-cara
sebagai berikut.
a. Mencatat nama-nama periwayat dalam sanad yang ingin diteliti.
b. Mempelajari sejarah hidup para periwayat melalui kitab-kitab Rijal al-
Ḥadiṡ agar mengetahui apakah setiap periwayat tersebut bersifat adil dan
dhabit serta tidak adanya kecacatan (tadlis). Kemudian dilihat juga apakah
periwayat yang satu dengan yang sebelumnya terdapat hubungan, baik itu
hubungan antara guru dan murid ataupun mereka hidup sezaman.

14
Fuad Thohari, Islam Perspektif Muamalah dan Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Jejak Pustaka, 2022),
177-178
15
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, 4
16
Wasman, Metodologi Kritik Hadis, 25-32
18

c. Kualifikasi antara periwayatan dengan metode periwayatan yang


digunakannya, dengan meneliti kata-kata yang menghubungkan antara
periwayat yang satu dengan periwayat sebelumnya menggunakan kata apa
misalnya seperti ḥaddaṡani, ḥaddaṡana, akhbarana, ‘an, anna, atau kata-
kata lainnya.
2. Bersifat ‘Adil
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan krieria ‘adil-nya
seorang periwayat, namun dapat disimpulkan bahwa periwayat yang ‘adil
adalah beragama Islam, baligh, takwa yakni melaksanakan ketentuan-ketentuan
agama dengan menjauhi dosa-dosa besar dan tidak mengulangi dosa-dosa kecil,
dan memelihara muru’ah yang sesuai dengan kaidah kesopanan masyarakat.
Cara-cara menetapkan keadilan periwayat hadis adalah sebagai berikut.
a. Popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadis, periwayat yang
terkenal keutamaan pribadinya.
b. Penilaian dari para pengkritik periwayat hadis, penilaian yang berisi
ungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadis.
c. Penerapakan kaidah al-jarh wa al-ta’dil, cara ini ditempuh bila para
pengkritik periwayat hadis tidak sepakat terhadap kualitas pribadi periwayat
tertentu.
3. Bersifat Dhabit
Istilah dhabit sebagaimana didefinisikan oleh Syuhudi Ismail adalah
sebagai berikut.
a. Seorang periwayat memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya
atau diterimanya.
b. Seorang periwayat hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya atau
diterimanya.
c. Seorang periwayat mampu menyampaikan riwayat yang dihafalnya dengan
baik kapan saja dia menghendakinya dan sampai saat dia menyampaikan
riwayat tersebut kepada orang lain.
Menurut berbagai pendapat ulama, cara menetapkan ke-dhabit-an para
periwayat adalah sebagai berikut.
a. Seorang periwayat dapat diketahui ke-dhabit-annya berdasarkan kesaksian
para ulama.
19

b. Ke-dhabit-an seorang periwayat dapat diketahui juga berdasarkan


kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat
lain yang telah dikenal ke-dhabit-annya. Tingkat kesesuaian tersebut
mungkin hanya sampai pada tingkatan makna atau tingkatan harfiahnya.
c. Apabila seorang periwayat sekali-sekali melakukan kekeliruan maka masih
dapat dikategorikan sebagai dhabit, namun apabila kekeliruan sering
dilakukan tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dhabit.
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani terdapat lima hal yang dapat merusak ke-
dhabit-an seorang periwayat, yaitu lebih banyak salah daripada benarnya dalam
meriwayatkan hadis, lebih menonjol sifat lupanya daripada sifat hafalnya,
riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan, riwayatnya
bertentangan dengan riwayat-riwayat yang disampaikan oleh periwayat yang
lebih ṡiqah, buruk hafalannya walaupun ada sebagian yang diriwayatkannya
benar. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang memiliki kategori
seperti di atas menurut ulama hadis dapat digolongkan kepada hadis ḍaif.
4. Terhindar dari Syuzuz
Syaz berarti penyendiri dan perlawanan. Maksudnya adalah ketika suatu
hadis diriwayatkan oleh seseorang yang ṡiqah bertentangan dengan riwayat
orang yang lebih ṡiqah darinya, maka hadis tersebut dianggap terdapat
kejanggalan. Menurut Imam Syafi’i suatu hadis tidak memiliki syaz apabila
hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang ṡiqah,
sedangkan periwayat yang ṡiqah lainnya tidak meriwayatkan hadis yang
demikian. Suatu hadis dikatakan syaz apabila diriwayatkan oleh seorang
periwayat yang ṡiqah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh
banyak periwayat yang juga bersifat ṡiqah. Menurut Imam al-Hakim al-
Naisaburi hadis yang syaz adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang
periwayat yang ṡiqah, tetapi tidak ada periwayat yang ṡiqah lainnya yang
meriwayatkan hadis tersebut. Menurut Abu Ya’la al-Khalili hadis yang
mengandung syaz adalah hadis yang sanad-nya hanya satu macam, baik
periwayatnya bersifat ṡiqah ataupun tidak bersifat ṡiqah, apabila periwayatnya
tidak bersifat ṡiqah maka hadis tersebut ditolak untuk digunakan sebagai hujjah,
tetapi apabila periwayatnya bersifat ṡiqah maka hadis tersebut dibiarkan saja
(mutawaqqaf). Dari ketiga pendapat di atas, pendapat Imam Syafi’i adalah yang
paling banyak dipakai oleh para ulama dan ahli hadis.
20

5. Terhindar dari ‘Illah


Menurut Ibn Salah dan al-Nawawi ‘illah adalah sebab tersembunyi yang
merusak kualitas hadis, keberadaannya membuat kualitas hadis yang awalnya
tampak sahih, menjadi tidak sahih.
2. Kritik Matan
Secara etimologi matan adalah tanah yang tinggi, punggung jalan, tanah yang
tinggi dan keras. Menurut Muhammad Tahir al-Jawabi kritik matan hadis adalah
praktik yang dilakukan untuk menganalisa matan-matan hadis sepanjang sahih
sanad-nya dengan tujuan mengakui validitas atau menilai lemah, menerangkan ke-
musykil-an pada matan hadis yang sahih dan mencari solusi yang menjadi
kontradiksi antar matan dengan tolok ukur tertentu. Menurut Musthafa al-Azami
kritik matan adalah upaya penyeleksian antara hadis yang sahih dan hadis yang ḍaif
serta menetapkan status perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau cacatnya.
Kedua definisi yang dikemukakan di atas cenderung menekankan pada penyebutan
kritik sanad hadis, sehingga Amar Fathan seorang ahli hadis kontemporer mencoba
untuk mendefinisikan kritik matan secara signifikan dengan konteks matan itu
sendiri. Kritik matan hadis merupakan upaya untuk memahami lebih dalam
mengenai studi kandungan hadis dari sisi menyeleksi riwayah hadis dari ‘illah dan
syaz yang parah dengan menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku seperti sesuai
dengan dasar-dasar syariat, sesuai dengan logika yang jelas, serta kebenaran ilmu
pengetahuan dan fakta sejarah.17
Aktivitas kritik matan hadis ini sudah dilakukan sejak masa sahabat, al-Adlabi
membuat klasifikasi nama-nama sahabat yang terlibat dalam kritik matan hadis
yaitu, kritik matan hadis yang dilakukan Aisyah dan yang dilakukan oleh sahabat-
sahabat lain selain Aisyah. Kritik matan hadis yang dilakukan Aisyah tertuju pada
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Umar, Ibn Umar, Jabir, dan
Ka’ab al-Akhbar. Sementara kritik matan hadis yang dilakukan oleh para sahabat
lain yaitu Umar bin al-Khattab, ‘Ali bin Abi Talib, ‘Abd Allah bin Mas’ud, dan
‘Abd Allah bin ‘Abbas. Para sahabat ini membangun dasar-dasar dalam kritik
matan hadis yang selanjutnya dikembangkan oleh generasi tabi’in. Di era sahabat
dan tabi’in kritik matan hadis masih dalam bentuk yang sederhana, kesempurnaan

17
Rizkiyatul Imtyaz, Metode Hasan bin Ali Assaqaf dalam Kritik Hadis, (Serang: Penerbit A-Empat,
2021), 51-51
21

metode kritik matan hadis muncul di era atba’ al-tabi’in. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya spesialis dalam bidang kritik hadis seperi ‘Abd Allah bin al-
Mubarak, Yahya bin Sa’id al-Qattan, ‘Abd al-Rahman bin Mahdi, dan Imam
Syafi’i, yang kemudian diikuti juga oleh Yahya bin Ma’in, Ali bin al-Madini dan
Imam Ahmad.18
Ada lima kriteria kesahihan suatu hadis yaitu sanad yang bersambung, perawi
yang bersifat ‘adil dan dhabit, terhindar dari syaz, serta terbebas dari ‘illah. Sanad
yang bersambung, perawi yang bersifat ‘adil dan dhabit hanya dikhususkan pada
aspek sanad saja, sedangkan terhindar dari syaz dan ‘illah mencakup aspek sanad
dan matan. Dengan demikian aspek kesahihan sanad hadis mencakup kelima butir
kriteria di atas sedangkan aspek kesahihan matan hadis hanya mencakup dua
kriteria terakhir yang disebutkan di atas yaitu syaz dan ‘illah. Adapun kriteria
kesahihan matan hadis yang bersifat global yang diajukan oleh beberapa ulama
antara lain yaitu, sebuah matan hadis dikatakan sahih apabila tidak bertentangan
dengan al-Qur’an, tidak bertentangan dengan hadis lain yang memiliki bobot
akurasi yang lebih tinggi baik hadis mutawatir maupun hadis ahad yang lebih kuat,
tidak bertentangan dengan akal, panca indera, dan sejarah, serta menunjukkan sabda
Rasulullah jika ditilik secara redaksional.19
Kriteria syaz yang terdapat dalam matan hadis adalah sebaga berikut.20
a. Al-Idraj fi al-Matn
Kata idraj berarti memasukkan sesuatu pada sesuatu yang lain dan
menggabungkannya dengan yang lain itu. Hadis mudraj adalah hadis yang di
dalamnya mengandung tambahan yang bukan merupakan bagian dari hadis
tersebut. Al-Idraj fi al-Matn dapat dipahami sebagai ucapan dari sebagian
perawi yang berasal dari kalangan sahabat atau generasi sesudahnya, di mana
ucapannya tersebut bersambung dengan matan hadis yang asli, sehingga ucapan
tersebut tersisip di dalam matan hadis dan sangat sulit dibedakan antara ucapan
para sahabat dengan matan hadis yang asli. Penyisipan pada matan hadis ini
dapat tersisip di bagian awal, tengah atau akhir matan hadis.

18
Wasman, Metodologi Kritik Hadis, 38-39
19
Wasman, Metodologi Kritik Hadis, 40
20
Wasman, Metodologi Kritik Hadis, 45-52
22

b. Al-Qalb fi al-Matn
Secara etimologi maqlub berarti yang terbalik atau diputarbalikkan.
Secara terminologi maqlub adalah mengganti suatu lafal dengan lafal yang lain
pada sanad hadis atau pada matan-nya dengan cara mendahulukan atau
setelahnya. Kalimat pada suatu matan hadis terbalik atau tertukar
keberadaannya, misalnya bagian kalimat yang seharusnya ada di depan tertukar
menjadi ke belakang. Hal ini mungkin terjadi di luar kesengajaan perawi yang
bersangkutan karena kadar ketahanan daya ingat.
c. Idtirab fi al-Matn
Idtirab berarti goncang, kacau, dan tiada berketentuan. Idtirab pada
matan dapat terjadi apabila suatu hadis dengan tema tertentu diriwayatkan dari
berbagai sanad dan sahabat perawinya tunggal. Hadis mudtarib adalah suatu
hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan beberapa jalan yang
berbeda-beda yang tidak mungkin dapat dikumpulkan atau di-tarjiḥ.
d. Al-Tashif wa al-Tahrif fi al-Matn
Tashif berarti perubahan bentuk kata yang kesalahannya terletak pada
syakal-nya dan Tahrif berarti pergeseran cara baca yang kesalahannya terletak
pada hurufnya. Di zaman dahulu masih mengandalkan naskan kuno dengan
tulisan tangan, kesalahan teknik dalam membacanya dapat mengarah pada
perubahan maknanya. Namun di zaman sekarang ini tashif dan tahrif mudah
terhindar selama naskah dokumentasi hadis yang dijadikan rujukan sudah di-
tahqiq oleh peneliti secara lengkap.
e. Ziyadah oleh perawi ṡiqah
Ziyadah berarti tambahan informasi. Tambahan informasi ini terjadi
ketika adanya selisih kata atau beda lafal dalam teknik memaparkan hadis. Jika
terjadi pada masa sahabat, hal ini tidak menjadi suatu masalah, namun beda
halnya jika terjadi pada generasi tabi’in atau generasi sesudahnya. Penggagas
yang menambahkan informasi harus orang yang integritas keagamaannya tidak
diragukan, dikenal sebagai hafiz al-ḥadiṡ, menguasai secara ilmiah kehadisan
dan kadar ke-dhabit-annya secara mantap. Hal ini dimaksudkan agar
menghindari pengagas penambahan informasi itu memiliki kredibilitas yang
lemah yang otomatis akan ditolak.
Adapun yang dimaksud dengan ‘illah pada matan hadis adalah adanya sebab
tersembunyi yang terdapat pada matan hadis yang secara lahir hadis tersebut
23

tampak berkualitas sahih. Sebab tersembunyi tersebut dapat berupa masuknya


redaksi hadis lain pada hadis tertentu, atau redaksi yang dimaksud memang bukan
lafal-lafal yang mencerminkan hadis Rasulullah, sehingga pada akhirnya matan
hadis tersebut sering sekali menyalahi nash-nash yang memiliki bobot lebih kuat.21
Langkah-langkah yang ditempuh oleh para ahli hadis dalam melacak ‘illah pada
matan hadis adalah sebagai berikut.22
a. Melakukan takhrij pada matan yang bersangkutan guna mengetahui seluruh
jalur sanad-nya
b. Melakukan i’tibar guna menghimpun matan hadis yang bertema sama
sekalipun berujung akhir sanad terpasang nama sahabat yang berbeda
c. Mencermati data dan mengukur kecocokan atau kedekatan pada nisbah
ungkapan kepada narasumber, pengantar riwayat, sigah tahdis, dan susunan
kalimat matan-nya, dan yang terpenting menentukan sejauh mana unsur
perbedaan yang teridentifikasi.

C. Mukhtalif al-Ḥadiṡ

Secara etimologi kata mukhtalif merupakan isim fa’il yang dapat di-idafat-kan
dengan isim lainnya, berasal dari kata kerja yang berarti menjadikan sesuatu berada di
belakangnya atau makna lainnya menjadikan sesuatu bertolak belakang dengannya.
Menurut Abu Syaibah mukhtalif al-ḥadiṡ merupakan isim fa’il dari ikhtalafa yangs
memberikan makna mukhtalif min al-ḥadiṡ. Ikhtalafa merupakan lawan dari ittafaqa
yang berarti adanya ketidaksesuaian atau perselisihan.23
Secara terminologi, menurut pendapat beberapa para ahli mukhtalif al-ḥadiṡ
adalah sebagai berikut.24
1. Imam al-Hakim dalam kitabnya Ma’rifat Ulum al-Ḥadiṡ

‫أبح ِد ُِهَا َو ُُها ِف‬ ِ


َ ‫اب املََذاهب‬
ُ ‫َص َح‬
ْ ‫ض َها مثْ لُ َها فَيَ ْحتَ ُج أ‬
ُ َُ ِ ‫سنَن لِرس‬
ِ ‫ول هللاِ صلى هللا عليه وسلم ي عا ِر‬
َُ ٌ ُ
‫الصحة والشقع سيان‬

21
Wasman, Metodologi Kritik Hadis, 56
22
Wasman, Metodologi Kritik Hadis, 60
23
M. Chalis Syamsuddin, Penetapan Hukum Berdasarkan Hadis Mukhtalif Perspektif Imam Syafi’i,
(Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2020), 89
24
Muhammad Choirul Huda, Ilmu Matan Hadis, (Ciputat: Yayasan Pengkajian Hadis el-Bukhori, 2019),
52-53
24

“Sunnah-sunnah Rasulullah SAW yang bertentangan dengan sesamanya, lalu para


ulama memakai salah satunya sebagai dalil di sisi lain keduanya setara dalam
kesahihan dan kelemahannya.”
2. Imam al-Nawawi
ِ ِ َّ ‫ض‬ ِ َ‫أَ ْن َيِِْت ح ِديث‬
َ ‫ادان ِِف الْ َم ْع ََن ظَاهًرا فَيُ َوفَّ ُق بَْي نَ ُه َما أ َْو يُربَّ ُح أ‬
‫َح ُد ُُها‬ َ َ‫ان ُمت‬ َ َ
“Dua hadis yang secara lahiriah maknanya saling bertentangan, lalu
dikompromikan atau dikuatkan salah satunya.”
3. Al-Suyuthi

‫اْلُ ْم ُع إِ ْن أ َْم َك َن ََل يُنَافُِر‬


ْ َ‫َخ ُر ف‬ ٌ ‫َح ِد‬
َ ‫يث قَ ْد أ َََبهُ أ‬
“Hadis yang ditolak oleh hadis lain, yang bila mungkin hendaknya dikompromikan
(dicarikan jalan tengah atau titik temunya).”
Dalam ulum al-ḥadiṡ istilah mukhtalif al-ḥadiṡ digunakan untuk hadis-hadis
yang memiliki kualitas yang sama-sama sahih, namun secara zahir terlihat bertentangan
tetapi pada substansinya tidak. Oleh karena itu, suatu hadis dapat dikatakan
bertentangan apabila status dari keduanya sama, kedua-duanya sahih atau kedua-
duanya ḥasan.25 Selain itu juga suatu hadis dapat dikatakan bertentangan jika sama-
sama maqbul, jika salah satunya mardud, maka tidak dianggap kontradiktif.26 Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa mukhtalif al-ḥadiṡ merupakan sebuah teori atau
tata cara untuk menyelesaikan hadis-hadis maqbul yang secara zahirnya tampak
bertentangan, untuk dapat dicari jalan keluar penyelesaiannya sehingga hadis-hadis
tersebut dapat dipahami dengan baik.27
Menurut Mustafa al-Siba’i sebab-sebab munculnya kontradiksi antara dua hadis
atau lebih adalah sebagai berikut.28
1. Adanya keberagaman konteks yang menjadi latar belakang terjadinya suatu
perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah kemudian para sahabat menceritakannya
dalam dua kali periwayatan atau lebih dengan versi yang berbeda.
2. Rasulullah melakukan suatu perbuatan dengan berbagai macam model. Kemudian
seorang sahabat menceritakan model perbuatan yang dilakukan Rasulullah dengan
versi yang ia lihat, sedangkan sahabat yang lain menceritakan model perbuatan
yang dilakukan Rasulullah dengan versi yang ia lihat pula namun berbeda dengan

25
M. Chalis Syamsuddin, Penetapan Hukum Berdasarkan Hadis Mukhtalif Perspektif Imam Syafi’i, 97
26
M. Chalis Syamsuddin, Penetapan Hukum Berdasarkan Hadis Mukhtalif Perspektif Imam Syafi’i, 100
27
M. Chalis Syamsuddin, Penetapan Hukum Berdasarkan Hadis Mukhtalif Perspektif Imam Syafi’i, 101
28
Muhammad Anas, Imron Rosyadi, “Metode Memahami Hadis-Hadis Kontradiktif”, Jurnal
Muttawatir, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2013, 129
25

versi sahabat yang sebelumnya. Salah satu contohnya adalah hadis tentang raka’at
shalat witir antara tujuh, sembilan, atau sebelas.
3. Perbedaan para sahabat dalam menceritakan apa yang ia saksikan dari Rasulullah.
Sebagaimana nasikh tentang pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan oleh
Rasulullah apakah termasuk haji qiran, ifrad atau tamattu’.
4. Perbedaan para sahabat dalam menginterpretasikan sabda yang diberikan oleh
Rasulullah.
5. Adanya seorang sahabat yang mendengar sebuah hukum baru dari Rasulullah yang
kapasitasnya menghapus (naskh) pada hukum yang telah ada, sedangkan seorang
sahabat lainnya tidak mendengar yang naskh dan tetap berpegang teguh dalam
meriwayatkan hadis pertama yang ia dengar.
Imam Syafi’i merupakan orang pertama yang menulis kitab tentang mukhtalif
al-ḥadiṡ, karyanya itu diberi judul ikhtilaf al-ḥadiṡ. Tujuan dari ditulisnya kitab ini
adalah untuk membantah adanya kontradiksi di antara hadis-hadis nabi. Pada saat itu
terdapat beberapa kelompok yang menolak hadis-hadis nabi dengan anggapan hadis-
hadis nabi tidak memenuhi syarat untuk dijadikan argumen dalam persoalan keagamaan
karena terdapat kontradiksi di dalamnya. Oleh karena itu, Imam Syafi’i mencoba untuk
membela eksistensi hadis sebagai bagian dari ajaran Islam, menurutnya hadis memiliki
posisi yang hampir setara dengan al-Qur’an sebagai sumber ajaran Tuhan yang otentik
dan otoritatif. Dalam karyanya ini Imam Syafi’i membawakan contoh-contoh yang
berdimensi hukum Islam dan fikih.29
Menurut Imam Syafi’i hadis-hadis Rasulullah tidak perlu dipertentangkan satu
dengan yang lainnya, selama memungkinkan untuk ditemukan jalan pengkompromian
agar hadis-hadis tersebut dapat sama-sama diamalkan. Hadis-hadis tidak dipandang
bertentangan kecuali apabila tidak mungkin dapat diamalkan selain harus
meninggalkan salah satunya.30
Selain Imam Syafi’i, Ibn Qutaibah juga menulis kitab tentang mukhtalif al-
ḥadiṡ, kitabnya berjudul Ta’wil Mukhtalaf al-Ḥadiṡ wa ar-Radd ‘ala man Yuribu fi al-
Akhbar al-Mudda’a ‘Alaiha al-Tanaqudl. Dalam menulis kitab ini, Ibn Qutaibah
memiliki perspektif yang berbeda dengan Imam Syafi’i, beliau berupaya menghadapi
kelompok ahli Ilmu Kalam Muktazilah. Kelompok ini sangat mengagungkan

29
Muhammad Choirul Huda, Ilmu Matan Hadis, 59
30
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Ikhtilaf al-Ḥadiṡ, (Beirut: Muassasah al-Kutub al-Thaqafiyyah, 1985),
270
26

rasionalisme Yunani dan merendahkan praktik umat Islam yang diyakini berasal dari
Nabi. Jika Imam Syafi’i berupaya untuk menjaga eksistensi hadis dari serangan fukaha
rasionalis, maka Ibn Qutaibah berusaha menahan serangan dari kelompok ahli kalam.
Namun karya Ibn Qutaibah ini dikritik oleh al-Nawawi, menurutnya Ibn Qutaibah
memasukkan hadis-hadis yang baik sanad-nya maupun tidak baik, karena sebenarnya
ada riwayat yang lebih utama dan yang lebih kuat selain yang dipakainya itu, ia juga
meninggalkan banyak hadis-hadis yang mukhtalaf tanpa mengkajinya (karena terfokus
pada hadis-hadis yang berkaitan dengan problem teologi). Karena terlalu fokus
terhadap hadis-hadis tentang akidah, Ibn Qutaibah secara tidak sengaja mengabaikan
ketelitian pada kesahihan dan terabaikannya sejumlah hadis yang bermasalah.31
Seratus tahun berikutnya al-Thahawi menulis kitab mukhtalif al-ḥadiṡ yang
berjudul Syarh Musykil al-Atsar. Sebab penulisan kitab ini diawali karena
ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaan pada kajian hadis. Al-Thahawi merupakan
pelanjut dari Imam Syafi’i dalam ranah fikih dan pelanjut dari Ibn Qutaibah dalam
wilayah kalam, ia berusaha menghadapi dua lawan sekaligus, yaitu ahli fikih yang anti
hadis dan ahli kalam pembuat bid’ah. Dua abad setelahnya muncul kitab Musykil al-
Ḥadiṡ aw Ta’wil al-Akhbar al-Mutasyabihah karya Ibn Faurak, dalam menulis kitabnya
beliau menggunakan pendekatan yang sama dengan Ibn Qutaibah.32
Ada beberapa metode yang digunakan dalam menyelesaikan mukhtalif al-ḥadiṡ,
dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang urutan metode yang digunakan.
Jumhur ulama hadis di antaranya al-Suyuti, Syafi’iyah, Zaydiyah, Hanabilah, dan
Malikiyah berpendapat bahwa urutan yang dipilih dalam menyelesaikan mukhtalif al-
ḥadiṡ adalah dengan menggunakan metode al-jam’u terlebih dahulu, naskh, tarjiḥ, dan
yang terakhir tawaqquf. Hal ini disebabkan beberapa hal sebagai berikut.33
1. Metode al-jam’u dipilih karena asumsi bahwa tidak ada hadis yang kontradiktif,
karena tidak mungkin dua hal dari sumber yang satu memiliki perbedaan, maka
tujuan akhirnya adalah mengamalkan kedua-duanya. Jika mengamalkan naskh dan
tarjiḥ terlebih dahulu maka tidak akan diamalkan kedua-dua hadis yang
bertentangan, melainkan hanya salah satunya saja dan yang lainnya ditinggalkan.

31
Muhammad Choirul Huda, Ilmu Matan Hadis, 62
32
Muhammad Choirul Huda, Ilmu Matan Hadis, 62
33
Muhammad Anas, Imron Rosyadi, “Metode Memahami Hadis-Hadis Kontradiktif”, Jurnal
Muttawatir, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2013, 129-130
27

2. Resiko kesalahan dalam menggunakan metode naskh dan tarjiḥ lebih besar
dibandingkan menggunakan metode al-jam’u, sebab konsekuensi dari metode
naskh dan tarjiḥ adalah menon-aktifkan salah satu dalil syari’at.
Sedangkan menurut Hanafiyah urutan yang dipilih dalam menyelesaikan
mukhtalif al-ḥadiṡ adalah dengan menggunakan metode naskh terlebih dahulu, tarjiḥ,
al-jam’u, dan yang terakhir adalah tawaqquf. Selanjutnya akan dijelaskan lebih rinci
terkait metode-metode yang telah disebutkan di atas.
1. Al-Jam’u wa Al-Tawfiq34
Secara etimologi al-jam’u merupakan isim masdar dari jama’a yang bermakna
menghimpun sesuatu dan menyusunnya dan menyatukan yang terpisah. Maksud
dari metode al-jam’u adalah menggabungkan dua hadis atau lebih yang saling
bertentangan dengan cara yang dapat menghindarkan pertentangan tersebut,
sehingga bersifat kompromistis dan akhirnya dapat diamalkan. Sedangkan al-tawfiq
secara etimologi merupakan isim masdar dari wafaq yang mempunyai beberapa
makna yaitu al-tasdid (meluruskan), al-ilham (inspirasi), al-islah (mendamaikan).
Menurut terminologi mukhtalif al-ḥadiṡ arti al-tawfiq adalah menyeleraskan atau
menyesuaikan dua dalil yang saling bertentangan dengan menggunakan cara yang
dapat menghindarkan pertentangan tersebut (sehingga tidak ada pertentangan antara
keduanya dan dapat diamalkan secara bersama-sama). Ada beberapa syarat dalam
mengunakan metode al-tawfiq. Pertama, redaksi (matan) dan sistem transmisi
(sanad) hadis yang diduga kontradiksi harus sama-sama sahih. Kedua, tidak
diketahui manakah hadis yang lebih dahulu muncul dari pada hadis yang lainnya.
Jika diketahui hadis yang terlebih dahulu muncul, maka ia menjadi nasikh untuk
hadis yang sebelumnya. Syarat ini adalah syarat yang disepakati oleh kelompok
yang mendahulukan metode naskh lebih dahulu dari pada metode al-jam’u. Ketiga,
takwil yang digunakan haruslah takwil yang sahih.
2. Naskh35
Menurut al-Hazimi, secara etimologi naskh hanya memiliki dua arti, yaitu
dipergunakan untuk arti al-izalah (menghilangkan) dan al-naql (memindahkan).
Secara terminologi kata naskh berarti mengangkat, menghapuskan hukum syari’at

34
Muhammad Anas, Imron Rosyadi, “Metode Memahami Hadis-Hadis Kontradiktif”, Jurnal
Muttawatir, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2013,130-131
35
Muhammad Anas, Imron Rosyadi, “Metode Memahami Hadis-Hadis Kontradiktif”, Jurnal
Muttawatir, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2013, 134-136
28

dengan dalil hukum syari’at yang lain. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, dan
menghapus disebut naskh. Sedangkan sesuatu yang diangkat, dibatalkan,
dipindahkan, dan dihapus disebut mansukh. Metode ini dapat digunakan apabila
masing-masing dari hadis yang bertentangan itu terdeteksi periode kejadiannya dan
sangat sulit untuk dikompromikan. Ada beberapa indikasi untuk dapat mengetahui
konsep naskh. Pertama, adanya penjelasan dari nabi bahwa suatu hadis di-naskh.
Kedua, adanya periode kejadian yang pasti, misalnya hadis yang
mengkonfirmasikan bahwa suami istri yang berhubungan badan namun tidak
sampai inzal bersucinya cukup dengan berwudhu saja. Ketiga, adanya pernyataan
dari sahabat.
3. Tarjiḥ36
Tarjiḥ adalah upaya mengunggulkan hadis-hadis yang berlawanan dengan
memenangkan salah satu pihak. Komponen-komponen yang menjadi pertimbangan
dalam melakukan tarjiḥ adalah sebagai berikut.
1. Aspek sanad, dengan menguji jumlah jalur transmisi, ketersambungan,
keadilan, dan kadar ke-dhabit-an perawi serta posisi sahabat perawi hadis.
2. Aspek matan dengan mencermati data kesejahteraan dari kerancuan redaksi,
redaksi matan dilengkapi ‘illat hukum dan nisbah penyandaran hadis pada
pemegang otoritas.
3. Dukungan eksternal yang diperoleh dari al-Qur’an, informasi hadis lain yang
sederajat atau lebih baik mutu, keserasian dengan qiyas, praktek kenegaraan dan
kepemimpinan khulafaur rasyidin, tradisi keagamaan pribumi Madinah, dan
sebagainya.
4. Al-Tawaqquf37
Metode tawaqquf merupakan metode yang menangguhkan prinsip
ajaran pada dua hadis yang saling bertentangan. Metode tawaqquf ini digunakan
apabila hadis yang bertentangan tidak bisa dikompromikan (al’jam’u), tidak
dapat menerapkan metode naskh karena tidak diketahui historisnya, dan tidak
terdeteksi keunggulan dari salah satu hadis yang bertentangan.

36
Muhammad Anas, Imron Rosyadi, “Metode Memahami Hadis-Hadis Kontradiktif”, Jurnal
Muttawatir, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2013, 137
37
Muhammad Anas, Imron Rosyadi, “Metode Memahami Hadis-Hadis Kontradiktif”, Jurnal
Muttawatir, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2013, 137
BAB III

TINJAUAN HADIS TENTANG ZIKIR JAḤR DAN SIRR


A. Data Hadis Tentang Zikir Jaḥr

1. Matan Hadis dan Terjemahan Tentang Zikir Jaḥr

‫اّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬


َّ ‫صلَّى‬ ِ ِ‫َّاس ِم ْن الْ َمكْتُوبَِة َكا َن َعلَى َع ْه ِد الن‬
َ ‫َّب‬ ُ ‫ص ِر‬
ُ ‫ف الن‬ َ ‫ْي يَْن‬
ِ ِ ِ َّ ‫َن رفْع‬
َ ‫الص ْوت َِبلذ ْك ِر ح‬ َ َ َّ ‫أ‬
ِ ِ
َ ‫صَرفُوا بِ َذل‬
ُ‫ك إِ َذا ََس ْعتُه‬ َ ْ‫ت أ َْعلَ ُم إِ َذا ان‬ ٍ َّ‫ال ابْ ُن َعب‬
ُ ‫اس ُكْن‬ َ َ‫َوق‬
“Sesungguhnya mengeraskan suara dalam berzikir setelah orang selesai
menunaikan salat fardu terjadi di zaman Nabi SAW. Ibn 'Abbas mengatakan, "Aku
mengetahui bahwa mereka telah selesai dari salat itu karena aku mendengarnya."
2. Takhrij al-Ḥadiṡ dan Tabel Periwayatan
Hadis di atas di-takhrij menggunakan metode takhrij melalui kosa kata dalam
hadis. Penelusuran hadis di atas menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufaḥras li al-
Faẓ al-Ḥadiṡ menggunakan kata kunci ‫رفع‬. Hasil dari penelusuran menggunakan

kitab al-Mu’jam al-Mufaḥras li al-Faẓ al-Ḥadiṡ adalah hadis di atas terdapat di


dalam kitab Ṣahīh al-Bukhārī, kitab azan, bab ke-155, nomor hadis 841, halaman
270, jilid 1. Berikut adalah hadis tersebut.1

‫َن أ َََب َم ْعبَ ٍد‬


َّ ‫َخ َََبِِن َع ْمٌرو أ‬
ْ ‫ال أ‬
َ َ‫َخ َََبََن ابْ ُن ُجَريْ ٍج ق‬
ْ ‫ال أ‬
ِ ‫الرز‬
َ َ‫َّاق ق‬ َ َ‫ص ٍر ق‬
َّ ‫ال َحدَّثَنَا َعْب ُد‬ ُ ‫َحدَّثَنَا إِ ْس َح‬
ْ َ‫اق بْ ُن ن‬

ُ‫َخ َََبه‬ َّ ‫اس َر ِض َي‬


ْ ‫اّللُ َعْن ُه َما أ‬ ٍ َّ‫َن ابْ َن َعب‬
َّ ‫َخ َََبهُ أ‬ ٍ َّ‫َم ْوََل ابْ ِن َعب‬
ْ ‫اس أ‬
‫اّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
َّ ‫صلَّى‬ ِ ِ‫َّاس ِم ْن الْ َمكْتُوبَِة َكا َن َعلَى َع ْه ِد الن‬
َ ‫َّب‬ ُ ‫ص ِر‬
ُ ‫ف الن‬ َ ‫ْي يَْن‬
ِ ِ ِ َّ ‫َن رفْع‬
َ ‫الص ْوت َِبلذ ْك ِر ح‬ َ َ َّ ‫أ‬
ِ ِ
َ ‫صَرفُوا بِ َذل‬
ُ‫ك إِ َذا ََس ْعتُه‬ َ ْ‫ت أ َْعلَ ُم إِ َذا ان‬ ٍ َّ‫ال ابْ ُن َعب‬
ُ ‫اس ُكْن‬ َ َ‫َوق‬
2

“Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Naṣir berkata, telah menceritakan
kepada kami Abd al-Razzaq berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibn Juraij
berkata, telah mengabarkan kepadaku 'Amr bahwa Abu Ma'bad mantan budak Ibn
'Abbas, mengabarkan kepadanya bahwa Ibn 'Abbas R.A mengabarkan kepadanya,
bahwa mengeraskan suara dalam berzikir setelah orang selesai menunaikan salat
fardu terjadi di zaman Nabi SAW. Ibn 'Abbas mengatakan, "Aku mengetahui bahwa
mereka telah selesai dari salat itu karena aku mendengarnya."

1
A. J Wensinck, al-Mu’jam Mufaḥras li al- Faẓ al-Ḥadiṡ, (Leiden: Maktabah Baril, 1936), 1, 283
2
Muhammad b. Ismail Al-Bukhārī, Ṣahīh al-Bukhārī, (Mesir: al-Salafiyah, 1400 H), 1, 270

29
30

Nama Lambang Urutan Tahun


Tabaqah
Perawi Periwayatan Perawi Wafat
Ibn ‘Abbas Anna 1 1 68 H
Aba Ma’bad Anna 2 - 104 H
‘Amr Akhbarani 3 4 126 H
Ibn Juraij Akhbarana 4 6 150 H
‘Abd al-
Ḥaddaṡana 5 9 211 H
Razzaq
Ishaq bin
Ḥaddaṡana 6 - 242 H
Nashir
al-Bukhārī Mukharrij Mukharrij 256 H

W: 68 H ٍ َّ‫ابْ َن َعب‬
‫اس‬
َّ ‫أ‬
‫َن‬
W: 104 H ٍ َّ‫أ َََب َم ْعبَ ٍد َم ْوََل ابْ ِن َعب‬
‫اس‬
َّ ‫أ‬
‫َن‬
W: 126 H ‫َع ْمٌرو‬
H ‫َخ َََبِِن‬
ْ‫أ‬
W: 150 H ‫ابْ ُن ُجَريْ ٍج‬
H ‫َخ َََبََن‬
ْ‫أ‬
W: 211 H ِ ‫الرز‬
‫َّاق‬ َّ ‫َعْب ُد‬
H ‫َحدَّثَنَا‬
W: 242 H ‫صر‬ ُ ‫إِ ْس َح‬
ْ َ‫اق بْ ُن ن‬
HH
‫َحدَّثَنَا‬
H
W: 256 H ‫أَبُ ْو َعْب ِد هللاِ ُُمَ َّم ِد بْ ِن‬
‫اعْيل الْبُ َخا ِري‬ ِ ‫إِ َْس‬
H َ
31

Kemudian peneliti juga mencoba menelusuri menggunakan aplikasi al-


ِ ‫ت َِب‬
Maktabah al-Syamilah menggunakan kalimat ‫لذ ْك ِر‬ ِ ‫الصو‬
ْ َّ ‫ َرفْ َع‬. Hasil dari penelusuran
menggunakan aplikasi al-Maktabah al-Syamilah adalah hadis di atas terdapat juga
di dalam kitab Ṣaḥih Muslim, kitab masjid dan tempat-tempat shalat, bab ke-22,
halaman 264 dan terdapat di dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal, nomor hadis
3478, halaman 433. Berikut adalah hadis tersebut.
1. Ṣaḥih Muslim, kitab masjid dan tempat-tempat shalat, bab ke-22, nomor hadis
122, halaman 264.

ُ ‫ال ح و َح َّدثَِِن إِ ْس َح ُق بْ ُن َمْن‬


‫صوٍر‬ ْ ‫َخ َََبََن ُُمَ َّم ُد بْ ُن بَ ْك ٍر أ‬
َ َ‫َخ َََبََن ابْ ُن ُجَريْ ٍج ق‬ ٍِ ‫َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْن َح‬
ْ ‫اِت أ‬ ُ
‫َن أ َََب َم ْعبَ ٍد َم ْوََل ابْ ِن‬
َّ ‫َخ َََبِِن َع ْم ُرو بْ ُن ِدينَا ٍر أ‬
ْ ‫َخ َََبََن ابْ ُن ُجَريْ ٍج أ‬
ِ َّ ‫ال أَخَبََن عب ُد‬
ْ ‫الرزَّاق أ‬ ُ ‫َواللَّ ْف‬
َْ ََ ْ َ َ‫ظ لَهُ ق‬

ُ‫َخ َََبه‬ ٍ َّ‫َن ابْ َن َعب‬


ْ ‫اس أ‬ َّ ‫َخ َََبهُ أ‬ ٍ َّ‫َعب‬
ْ ‫اس أ‬
‫اّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
َّ ‫صلَّى‬ ِ ِ‫َّاس ِم ْن الْ َمكْتُوبَِة َكا َن َعلَى َع ْه ِد الن‬
َ ‫َّب‬ ُ ‫ص ِر‬
ُ ‫ف الن‬ َ ‫ْي يَْن‬
ِ ِ ِ َّ ‫َن رفْع‬
َ ‫الص ْوت َِبلذ ْك ِر ح‬ َ َ َّ ‫أ‬
ِ ِ
َ ‫صَرفُوا بِ َذل‬
ُ‫ك إِ َذا ََس ْعتُه‬ َ ْ‫ت أ َْعلَ ُم إِ َذا ان‬ ٍ َّ‫ال ابْ ُن َعب‬
ُ ‫اس ُكْن‬ َ َ‫َوأَنَّهُ ق‬
َ َ‫ال ق‬
3

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hatim, telah mengabarkan


kepada kami Muhammad bin Bakr, telah mengabarkan kepada kami Ibn Juraij ia
berkata, (Dan diriwayatkan dari jalur lain) telah menceritakan kepadaku Ishaq bin
Manṣur dan lafaz darinya, dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Abd al-
Razzaq, telah mengabarkan kepada kami Ibn Juraij, telah mengabarkan kepadaku
'Amr bin Dinar, bahwa Abu Ma'bad mantan budak Ibn ‘Abbas mengabarinya,
bahwa Ibn ‘Abbas pernah mengabarinya, "Bahwa mengeraskan suara zikir sehabis
salat wajib, pernah terjadi di masa Nabi SAW." kata Abu Ma'bad; Ibn ‘Abbas
mengatakan, "Akulah yang paling tahu tentang hal itu, ketika mereka telah selesai
(mengerjakan salat), sebab aku pernah mendengarnya."

3
Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Ṣaḥih Muslim, (Riyadh: Dar
al-Thayyibah, 1427 H), 264
32

Lambang Urutan Tahun


Nama Perawi Tabaqah
Periwayatan Perawi Wafat
Ibn ‘Abbas Anna 1 1 68 H
Aba Ma’bad Anna 2 - 104 H
‘Amr Akhbarani 3 4 126 H
Ibn Juraij Akhbarana 4 6 150 H
Muhammad
Akhbarana 5 - 204 H
bin Bakkaar
Muhammad
Akhbarana 6 - 235 H
bin Hatim
Muslim Mukharrij Mukharrij 261 H

W: 68 H ٍ َّ‫ابْ َن َعب‬
‫اس‬
َّ ‫أ‬
‫َن‬
W: 104 H ٍ َّ‫أ َََب َم ْعبَ ٍد َم ْوََل ابْ ِن َعب‬
‫اس‬
َّ ‫أ‬
‫َن‬
W: 126 H ‫َع ْمٌرو‬
H ‫َخ َََبِِن‬
ْ‫أ‬
W: 150 H ‫ابْ ُن ُجَريْ ٍج‬
H ‫َخ َََبََن‬
ْ‫أ‬
W: 204 H ‫ُُمَ َّم ُد بْ ُن بَ ْك ٍر‬
H ‫َخ َََبََن‬
ْ‫أ‬
ٍِ ‫ُُمَ َّم ُد بْن َح‬
‫اِت‬
W: 235 H ُ
HH
‫َخ َََبََن‬
ْ‫أ‬
H
W: 261 H ‫ْي ُم ْسلِم بْ ِن‬ ِ ْ ‫اْلُس‬
َ ْ ‫أَبُو‬
‫اْلَجاج ال ُق َش ِْْيي‬ ْ
H
‫الن َّْي َسابُ ْوِري‬
33

2. Musnad Ahmad bin Hanbal, nomor hadis 3478, halaman 433.

‫َن أ َََب َم ْعبَ ٍد َم ْوََل ابْ ِن‬


َّ ‫َخ َََبِِن َع ْم ُرو بْ ُن ِدينَا ٍر أ‬
ْ ‫ال أ‬
ِ َّ ‫حدَّثَنَا عب ُد‬
ْ ‫الرزَّاق َوابْ ُن بَ ْك ٍر قَ َاَل أ‬
َ َ‫َخ َََبََن ابْ ُن ُجَريْ ٍج ق‬ َْ َ

ُ‫َخ َََبه‬ ٍ َّ‫َعب‬


ْ ‫اس أ‬

ِ ِ‫َّاس ِم ْن الْ َمكْتُوبَِة َكا َن َعلَى َع ْه ِد الن‬


‫َّب‬ ُ ‫ص ِر‬
ُ ‫ف الن‬ َ ‫ْي يَْن‬
ِ ِ ِ َّ ‫َن رفْع‬
َ ‫الص ْوت َِبلذ ْك ِر ح‬ َ َ َّ ‫َخ َََبهُ أ‬ ٍ َّ‫َن ابْ َن َعب‬
ْ ‫اس أ‬ َّ ‫أ‬

‫اّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬


َّ ‫صلَّى‬
َ
ِ ِ
َ ‫صَرفُوا بِ َذل‬
ُ‫ك إِذَا ََس ْعتُه‬ َ ْ‫ت أ َْعلَ ُم إِذَا ان‬ ٍ َّ‫ال ابْ ُن َعب‬
ُ ‫اس ُكْن‬ َ َ‫َوأَنَّهُ ق‬
َ َ‫ال ق‬
4

”Telah menceritakan kepada kami Abd al-Razzaq dan Ibn Bakr keduanya berkata,
telah mengabarkan kepada kami Ibn Juraij ia berkata, telah mengabarkan
kepadaku Amr bin Dinar bahwa Abu Ma'bad mantan budak Ibn ‘Abbas telah
mengabarkan kepadanya bahwa Ibn ‘Abbas mengabarkan kepadanya bahwa
meninggikan suara zikir ketika selesai orang-orang selesai salat wajib adalah
berlaku pada masa Nabi SAW. Bahwa ia berkata, Ibn ‘Abbas berkata, Aku
mengetahui hal itu bila mereka selesai, bila aku mendengarnya.”

4
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal vol. 5, (Beirut: Muassasah al-
Risalah, 2009), 433
34

Lambang Urutan Tahun


Nama Perawi Tabaqah
Periwayatan Perawi Wafat
Ibn ‘Abbas Anna 1 1 68 H
Aba Ma’bad Anna 2 - 104 H
‘Amr Akhbarani 3 4 126 H
Ibn Juraij Akhbarana 4 6 150 H
‘Abd al-
Ḥaddaṡana 5 9 211 H
Razzaq
Ahmad bin
Mukharrij Mukharrij 241 H
Hanbal

W: 68 H ٍ َّ‫ابْ َن َعب‬
‫اس‬
َّ ‫أ‬
‫َن‬
W: 104 H ٍ َّ‫أ َََب َم ْعبَ ٍد َم ْوََل ابْ ِن َعب‬
‫اس‬
َّ ‫أ‬
‫َن‬
W: 126 H ‫َع ْمٌرو‬
H ‫َخ َََبِِن‬
ْ‫أ‬
W: 150 H ‫ابْ ُن ُجَريْ ٍج‬
H ‫َخ َََبََن‬
ْ‫أ‬
W: 211 H ِ ‫الرز‬
‫َّاق‬ َّ ‫َعْب ُد‬
H ‫َحدَّثَنَا‬
W: 241 H ‫ََحَد بْ ِن َحْن بَ ِل‬
ْ‫أ‬
HH

H
35

B. Data Hadis tentang Zikir Sirr

1. Matan Hadis dan Terjemahan Tentang Zikir Sirr

َ ‫اّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِِف َس َف ٍر فَ ُكنَّا إِ َذا َعلَ ْو ََن َك ََّْبََن فَ َق‬
‫ال ْاربَعُوا َعلَى أَنْ ُف ِس ُك ْم فَِإنَّ ُك ْم ََل‬ َّ ‫صلَّى‬ ِ ِ‫ُكنَّا َم َع الن‬
َ ‫َّب‬
‫ول ِِف نَ ْف ِسي ََل َح ْو َل َوََل قُ َّوَة إََِّل‬ ِ ‫تَ ْدعو َن أَص َّم وََل َغائِبا تَ ْدعو َن ََِسيعا ب‬
ُ ُ‫ص ًْيا قَ ِريبًا ُُثَّ أَتَى َعلَ َّي َوأ َََن أَق‬ َ ً ُ ً َ َ ُ

ْ ‫س قُ ْل ََل َح ْو َل َوََل قُ َّوَة إََِّل َِب َّّللِ فَِإ ََّّنَا َكْن ٌز ِم ْن ُكنُوِز‬
َ َ‫اْلَن َِّة أ َْو ق‬
‫ال أَََل‬ َِّ ‫ال ِِل َي عب َد‬
ٍ ‫اّلل بْ َن قَ ْي‬ ِ
َْ َ َ ‫َِب َّّلل فَ َق‬
‫ك بِِه‬
َ ُّ‫أ َُدل‬
“Pernah kami bersama Nabi SAW dalam sebuah safar, jika kami menaiki tempat
yang tinggi maka kami bertakbir, dan beliau bersabda, 'Sederhanakanlah kalian
dalam berdo’a, sebab kalian tidak menyeru Dzat yang tuli dan tidak pula yang
ghaib, sesungguhnya kalian menyeru Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat dan Mahadekat." Kemudian beliau mendatangiku sedang aku berkata
dalam hati: 'Laa haula walaa quwwata illaa billaah (Tiada daya dan kekuatan
kecuali dengan pertolongan Allah)', maka beliau berkata, "Wahai ‘Abd Allah bin
Qais, ucapkanlah laa haula walaa quwwata illaa billaah, sebab bacaan itu adalah
perbendaharaan surga, atau beliau berkata dengan redaksi, 'Maukah aku
tunjukkan ucapan itu.”
2. Takhrij al-Ḥadiṡ dan Tabel Periwayatan
Hadis di atas di-takhrij menggunakan metode takhrij melalui kosa kata dalam
hadis. Penelusuran hadis di atas menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufaḥras li al-

Faẓ al-Ḥadiṡ menggunakan kata kunci ‫دعو‬. Hasil dari penelusuran menggunakan
kitab al-Mu’jam al-Mufaḥras li al-Faẓ al-Ḥadiṡ adalah hadis di atas terdapat di
dalam kitab Ṣahīh al-Bukhārī, kitab tauhid, bab ke-9, nomor hadis 7386, halaman
381, jilid 4, kitab qadar, bab ke-7, nomor hadis 6610, halaman 211, jilid 4, dan kitab
maghazi, bab ke-38, nomor hadis 4205, halaman 136, jilid 3. Terdapat juga di dalam
Ṣaḥih Muslim, kitab zikir, bab ke-13, nomor hadis 44 dan 45 halaman 1243-1244.
Berikut adalah hadis tersebut.5
1. Ṣahīh al-Bukhārī Kitab Tauhid bab ke-9, nomor hadis 7386, halaman 381, jilid
4.
ٍ ٍ ‫حدَّثَنَا سلَْيما ُن بْن حر‬
‫ال‬ َ ‫وب َع ْن أَِِب عُثْ َما َن َع ْن أَِِب ُم‬
َ َ‫وسى ق‬ َ ُّ‫اد بْ ُن َزيْد َع ْن أَي‬
ُ َّ‫ب َحدَّثَنَا ََح‬ َْ ُ َ ُ َ

5
A. J Wensinck, al-Mu’jam Mufaḥras li al-Fadh al-Ḥadiṡ, (Leiden: Maktabah Baril, 1936), 2, 130
36

َ ‫اّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِِف َس َف ٍر فَ ُكنَّا إِ َذا َعلَ ْو ََن َك ََّْبََن فَ َق‬
‫ال ْاربَعُوا َعلَى أَنْ ُف ِس ُك ْم فَِإنَّ ُك ْم‬ َّ ‫صلَّى‬ ِ ِ‫ُكنَّا َم َع الن‬
َ ‫َّب‬
‫ول ِِف نَ ْف ِسي ََل َح ْو َل َوََل‬ ِ ‫ََل تَ ْدعو َن أَص َّم وََل َغائِبا تَ ْدعو َن ََِسيعا ب‬
ُ ُ‫ص ًْيا قَ ِريبًا ُُثَّ أَتَى َعلَ َّي َوأ َََن أَق‬ َ ً ُ ً َ َ ُ
َِّ ‫س قُل ََل حو َل وََل قُ َّوَة إََِّل َِب‬
ْ ‫ّلل فَِإ ََّّنَا َكْن ٌز ِم ْن ُكنُوِز‬
‫اْلَن َِّة‬ َِّ ‫ال ِِل َي عب َد‬ ِ
َ ْ َ ْ ٍ ‫اّلل بْ َن قَ ْي‬ َْ َ َ ‫قُ َّوَة إََِّل َِب َّّلل فَ َق‬
6
‫ك بِِه‬
َ ُّ‫ال أَََل أ َُدل‬
َ َ‫أ َْو ق‬
“Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, telah menceritakan
kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Abu ‘Usman dari Abu Musa
berkata, "Pernah kami bersama Nabi SAW dalam sebuah safar, jika kami
menaiki tempat yang tinggi maka kami bertakbir, dan beliau bersabda,
'Sederhanakanlah kalian dalam berdo’a, sebab kalian tidak menyeru Dzat yang
tuli dan tidak pula yang ghaib, sesungguhnya kalian menyeru Tuhan yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat dan Mahadekat." Kemudian beliau
mendatangiku sedang aku berkata dalam hati: 'Laa haula walaa quwwata illaa
billaah (Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)', maka
beliau berkata, "Wahai ‘Abd Allah bin Qais, ucapkanlah laa haula walaa
quwwata illaa billaah, sebab bacaan itu adalah perbendaharaan surga, atau
beliau berkata dengan redaksi, 'Maukah aku tunjukkan ucapan itu?"

6
Muhammad b. Ismail Al-Bukhārī, Ṣahīh al-Bukhārī, (Mesir: al-Salafiyah, 1400 H), 4, 381
37

Lambang
Nama Perawi Urutan Perawi Tabaqah Tahun Wafat
Periwayatan
Abu Musa ‘an 1 1 50 H
Abu ‘Ustman ‘an 2 - 95 H
Ayyub ‘an 3 5 131 H
Hammad bin
Ḥaddaṡana 4 8 179 H
Zaid
Sulaiman bin
Ḥaddaṡana 5 9 224 H
Harb
al-Bukhārī Mukharrij Mukharrij 256 H

ِ‫رسو ُل ٰاّلل‬
11 H ُْ َ
‫ال‬
َ َ‫ق‬
50 H َ ‫أَِِب ُم‬
‫وسى‬
‫َع ْن‬
95 H ‫أَِِب عُثْ َما َن‬
‫َع ْن‬
131 H َ ُّ‫أَي‬
‫وب‬
‫َع ْن‬
179 H ‫اد بْ ُن َزيْ ٍد‬
ُ َّ‫ََح‬
‫َحدَّثَنَا‬
224 H ‫ُسلَْي َما ُن بْ ُن َح ْر ٍب‬
‫َحدَّثَنَا‬
256 H ‫أَبُ ْو َعْب ِد هللاِ ُُمَ َّم ِد بْ ِن‬
‫اعْيل الْبُ َخا ِري‬ ِ ‫إِ َْس‬
َ
38

2. Ṣahīh al-Bukhārī Kitab Qadar Bab ke-7, nomor hadis 6610, halaman 211, jilid
4.

‫َّه ِد ِي‬ ْ ‫َخ َََبََن َخالِ ٌد‬


ْ ‫اْلَ َّذاءُ َع ْن أَِِب عُثْ َما َن الن‬
َِّ ‫اْلس ِن أَخَبََن عب ُد‬
ْ ‫اّلل أ‬
ِ
َْ ََ ْ َ َْ ‫َح َّدثَِِن ُُمَ َّم ُد بْ ُن ُم َقات ٍل أَبُو‬
‫ال‬ َ ‫َع ْن أَِِب ُم‬
َ َ‫وسى ق‬

ُ ِ‫ص َع ُد َشَرفًا َوََل نَ ْعلُو َشَرفًا َوََل ََّنْب‬ ٍ ِ َّ ‫اّلل صلَّى‬ ِ ِ


‫ط‬ ْ َ‫اّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ِِف َغَزاة فَ َج َع ْلنَا ََل ن‬ َ َّ ‫ُكنَّا َم َع َر ُسول‬

َ ‫اّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَ َق‬ َِّ ‫ول‬


ُ ‫ال فَ َد ََن ِمنَّا َر ُس‬ ٍ
‫ال ََي أَيُّ َها‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫اّلل‬ ْ ‫ِِف َواد إََِّل َرفَ ْعنَا أ‬
َ َ‫َص َواتَنَا َِبلتَّ ْكبِ ِْي ق‬

‫ال ََي‬ ِ ‫النَّاس ارب عوا علَى أَنْ ُف ِس ُكم فَِإنَّ ُكم ََل تَ ْدعو َن أَص َّم وََل َغائِبا إََِّّنَا تَ ْدعو َن ََِسيعا ب‬
َ َ‫ص ًْيا ُُثَّ ق‬ َ ً ُ ً َ َ ُ ْ ْ َ ُ َْ ُ
َِّ ‫اْلن َِّة ََل حو َل وََل قُ َّوَة إََِّل َِب‬ ِ ِ ِ َ ‫س أَََل أُعلِم‬ َِّ ‫عب َد‬
‫ّلل‬ َ َْ َْ ‫ك َكل َمةً ه َي م ْن ُكنُوِز‬ َُ ٍ ‫اّلل بْ َن قَ ْي‬ َْ
7

“Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Muqatil Abul Hasan, telah


mengabarkan kepada kami ‘Abd Allah, telah mengabarkan kepada kami Khalid
al-Hadzdza` dari Abu ‘Utsman al-Nahdi dari Abu Musa menuturkan; kami
pernah bersama Rasulullah SAW dalam suatu peperangan, kami tidak menaiki
tanah mendaki atau tanah tinggi atau menuruni lembah selain kami
meninggikan suara kami dengan takbir. Kata Abu Musa, kemudian Rasulullah
SAW mendekati kami dan bersabda, "Hai manusia, rendahkanlah suara kalian
ketika berdo’a, sebab kalian tidak menyeru Dzat yang tuli lagi tidak ghaib,
sesungguhnya kalian menyeru kepada Dzat yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat." Kemudian beliau bersabda, "Hai ‘Abd Allah bin Qais, maukah kamu
kuajari kalimat yang menjadi harta karun surga? yaitu ucapan laa-haula walaa
quwwata illa billah."

7
Muhammad b. Ismail Al-Bukhārī, Ṣahīh al-Bukhārī, 4, 211
39

Lambang
Nama Perawi Urutan Perawi Tabaqah Tahun Wafat
Periwayatan
Abu Musa ‘an 1 1 50 H
Abu ‘Utsman ‘an 2 - 95 H
Khalid bin al-
Akhbarana 3 5 141 H
Huzai
‘Abd Allah Akhbarana 4 8 181 H
Muhammad bin
Ḥaddaṡani 5 - 226 H
Muqatil
al-Bukhārī Mukharrij Mukharrij 256 H

ِ‫رسو ُل ٰاّلل‬
11 H ُْ َ
‫ال‬
َ َ‫ق‬
50 H َ ‫أَِِب ُم‬
‫وسى‬
‫َع ْن‬
95 H ‫أَِِب عُثْ َما َن‬
‫َع ْن‬
َّ ْ ‫َخالِ ٌد‬
141 H ُ‫اْلَذاء‬
‫َخ َََبََن‬
ْ‫أ‬
181 H ِ‫اّلل‬
َّ ‫َعْب ُد‬
‫َخ َََبََن‬
ْ‫أ‬
226 H ‫ُُم َّم ُد بْ ُن ُم َقاتِ ٍل أَبُو‬
‫اْلَ َس ِن‬
ْ ‫َحدَّثَنَا‬
256 H ‫أَبُ ْو َعْب ِد هللاِ ُُمَ َّم ِد بْ ِن‬
‫اعْيل الْبُ َخا ِري‬ ِ ‫إِ َْس‬
َ
40

3. Ṣahīh al-Bukhārī, kitab maghazi, bab ke-38, nomor hadis 4205, halaman 136,
jilid 3.
ِ ِِ ِ ِ
َ ‫ َع ْن أَِِب ُم‬،‫ َع ْن أَِِب عُثْ َما َن‬،‫ َع ْن َعاص ٍم‬،‫ َحدَّثَنَا َعْب ُد الْ َواحد‬:‫يل‬
‫وسى‬ َ ‫وسى بْ ُن إ َْسَاع‬
َ ‫َحدَّثَنَا ُم‬
َ َ‫ أ َْو ق‬،‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َخْي َََب‬ ِ ُ ‫ لَ َّما َغزا رس‬:‫ال‬
َ َ‫ْاألَ ْش َع ِر ِي َر ِض َي هللاُ َعْنهُ ق‬
َ‫ لَ َّما تَ َو َّجه‬:‫ال‬ َ ‫ول هللا‬ َُ َ
ِِ ِ ٍ َ ‫ أَ ْشَر‬،‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ُ ‫رس‬
ُ‫ هللاُ أَ ْك ََبُ هللا‬:‫َص َو َاَتُْم َبلتَّ ْكبْي‬
ْ ‫ فَ َرفَ ُعوا أ‬،‫َّاس َعلَى َواد‬
ُ ‫ف الن‬ َ ‫ول هللا‬ َُ
‫ إِنَّ ُك ْم ََل‬،‫ ْاربَعُوا َعلَى أَنْ ُف ِس ُك ْم‬:‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ُ ‫ال رس‬ ِ ِ
َ ‫ول هللا‬ ُ َ َ ‫ فَ َق‬،ُ‫ ََل إلَ َه إََّل هللا‬،ُ‫أَ ْك ََب‬
ِ ِ ِ ِ ِ
‫صلَّى‬ َ ‫ َوأ َََن َخ ْل‬.‫ َوُه َو َم َع ُك ْم‬،‫ إِنَّ ُك ْم تَ ْدعُو َن ََس ًيعا قَ ِريبًا‬،‫َص َّم َوََل َغائبًا‬
َ ‫ف َدابَّة َر ُسول هللا‬ َ ‫تَ ْدعُو َن أ‬
ٍ ‫ ََي َعْب َد هللاِ بْ َن قَ ْي‬:‫ال ِِل‬
‫س‬ َ ‫ فَ َق‬،ِ‫ ََل َح ْو َل َوََل قُ َّوَة إََِّل َِبهلل‬:‫ول‬
ُ ُ‫ فَ َس ِم َع ِِن َوأ َََن أَق‬،‫هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
ِ ْ ‫ك علَى َكلِم ٍة ِمن َكْن ٍز ِمن ُكنُوِز‬ َ َ‫ ق‬،ِ‫ول هللا‬
‫ بَلَى ََي‬:‫ت‬
ُ ‫ قُ ْل‬.‫اْلَنَّة‬ ْ ْ َ َ َ ُّ‫ أَََل أ َُدل‬:‫ال‬ َ ‫ك ََي َر ُس‬
َ ‫ لَبَّ ْي‬:‫ت‬
ُ ‫قُ ْل‬
8
َ َْ َ َ‫ ق‬،‫ فِ َد َاك أَِِب َوأ ُِمي‬،ِ‫ول هللا‬
ِ ‫ ََل حو َل وََل قُ َّوةَ إََِّل َِب‬:‫ال‬
‫هلل‬ َ ‫َر ُس‬
“Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada
kami 'Abd al-Wahid dari 'Ashim dari Abu 'Utsman dari Abu Musa al-Asy'ari
R.A ia berkata, ketika Rasulullah SAW perang melawan (penduduk) Khaibar, -
atau dia berkata- ketika Rasulullah SAW melihat orang-orang menuruni
lembah sambil meninggikan suara dengan bertakbir, Allahu Akbar, Allahu
Akbar laa ilaaha illallah (Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, tidak ada ilah
yang berhak disembah selain Allah), maka Rasulullah SAW bersabda,
"Rendahkanlah, karena kalian tidak menyeru kepada Dzat yang tuli dan Dzat
yang ghaib. Sesungguhnya kalian menyeru Dzat yang Maha Mendengar lagi
Maha dekat dan Dia selalu bersama kalian." Saat itu aku berada di belakang
hewan tunggangan Rasulullah SAW dan beliau mendengar apa yang aku
ucapkan. Saat itu aku membaca, "Laa haula wa laa quwwata illa billah (Tidak
ada daya dan upaya melainkan dari Allah)", maka beliau berkata kepadaku,
"Wahai ‘Abd Allah bin Qais." Aku jawab, "Aku penuhi panggilanmu wahai
Rasulullah." Beliau melanjutkan, "Maukah aku tunjukkan kepadamu satu
kalimat yang termasuk perbendaharaan surga?" Aku jawab, "Tentu wahai
Rasulullah, demi bapak ibuku sebagai tebusan tuan." Beliau bersabda, "Laa
haula wa laa quwwata illa billah."

8
Muhammad b. Ismail Al-Bukhārī, Ṣahīh al-Bukhārī, (Mesir: al-Salafiyah, 1400 H), 3, 136
41

Lambang
Nama Perawi Urutan Perawi Tabaqah Tahun Wafat
Periwayatan
Abu Musa ‘an 1 1 50 H
Abu ‘Utsman ‘an 2 - 95 H
‘Ashim ‘an 3 - 142 H
‘Abd al-Wahid Ḥaddaṡana 4 - 176 H
Musa bin
Ḥaddaṡana 5 - 223 H
Isma’il
al-Bukhārī Mukharrij Mukharrij 256 H

ِ‫رسو ُل ٰاّلل‬
11 H ُْ َ
‫ال‬
َ َ‫ق‬
50 H َ ‫أَِِب ُم‬
‫وسى‬
‫َع ْن‬
95 H ‫أَِِب عُثْ َما َن‬
‫َع ْن‬
ِ ‫ع‬
‫اص ٍم‬
142 H َ
‫َع ْن‬
176 H ‫اح ِد‬
ِ ‫عب ُد الْو‬
َ َْ
‫َحدَّثَنَا‬
‫يل‬ ِ ِ
223 H َ ‫وسى بْ ُن إ َْسَاع‬
َ ‫ُم‬
‫َحدَّثَنَا‬
256 H ‫أَبُ ْو َعْب ِد هللاِ ُُمَ َّم ِد بْ ِن‬
‫اعْيل الْبُ َخا ِري‬ ِ ‫إِ َْس‬
َ
42

4. Ṣaḥih Muslim, kitab zikir, bab ke-13, nomor hadis 44, halaman 1243.
ِ ‫حدَّثَنَا أَبو ب ْك ِر بن أَِِب َشي بةَ حدَّثَنَا ُُم َّم ُد بن فُضي ٍل وأَبو معا ِويةَ عن ع‬
‫اص ٍم َع ْن أَِِب عُثْ َما َن َع ْن‬ َ ْ َ َ َ ُ ُ َ َْ ُ ْ َ َ َْ ُْ َ ُ َ
‫ال‬ َ ‫أَِِب ُم‬
َ َ‫وسى ق‬

َّ ‫صلَّى‬
ُ‫اّلل‬ َ ‫َّاس ََْي َه ُرو َن َِبلتَّ ْكبِ ِْي فَ َق‬
ُّ َِّ‫ال الن‬
َ ‫ب‬ ٍ ِ َّ ِ َّ ‫صلَّى‬ ِ ِ‫ُكنَّا َم َع الن‬
ُ ‫اّللُ َعلَْيه َو َسل َم ِف َس َفر فَ َج َع َل الن‬ َ ‫َّب‬
‫َص َّم َوََل َغائِبًا إِنَّ ُك ْم تَ ْدعُو َن ََِس ًيعا‬ ِ ِ
َ ‫َّاس ْاربَعُوا َعلَى أَنْ ُفس ُك ْم إنَّ ُك ْم لَْي‬
َ ‫س تَ ْدعُو َن أ‬ َّ ِ
ُ ‫َعلَْيه َو َسل َم أَيُّ َها الن‬
َِّ ‫ال َي عب َد‬ ِ
ٍ ‫اّلل بْ َن قَ ْي‬
‫س أَََل‬ َْ َ َ ‫ول ََل َح ْو َل َوََل قُ َّوةَ إََِّل َِب َّّلل فَ َق‬ َ َ‫قَ ِريبًا َوُه َو َم َع ُك ْم ق‬
ُ ُ‫ال َوأ َََن َخ ْل َفهُ َوأ َََن أَق‬
َِّ ‫ال قُل ََل حو َل وََل قُ َّوةَ إََِّل َِب‬ َِّ ‫ول‬ ِ ْ ‫ك علَى َكْن ٍز ِمن ُكنُوِز‬
‫ّلل‬ َ ْ َ ْ َ َ‫اّلل ق‬ ُ ‫اْلَنَّة فَ ُق ْل‬
َ ‫ت بَلَى ََي َر ُس‬ ْ َ َ ُّ‫أ َُدل‬
ٍ ِ ِ ‫جيعا عن ح ْف‬
ِ ‫اث عن ع‬
‫اص ٍم‬ ٍ ِ‫حدَّثَنا ابن َُّنَ ٍْي وإِسحق بن إِب ر ِاهيم وأَبو سع‬
ِ َ ‫يد ْاأل‬
َ ْ َ َ‫ص بْ ِن غي‬ َ ْ َ ً َ ‫َش ُّج‬ َ ُ َ َ َْ ُ ْ ُ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ
ِ ِْ ‫ِِب َذا‬
ُ‫اْل ْسنَاد ََْن َوه‬ َ
9

“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah, telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dan Abu Mu'awiyah dari
'Ashim dari Abu 'Utsman dari Abu Musa dia berkata, "Kami pernah menyertai
Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan. Tiba-tiba, ada beberapa orang
sahabat bertakbir dengan suara keras. Mendengar suara takbir yang keras itu,
Rasulullah pun berkata, 'Saudara-saudara sekalian, rendahkanlah suara
kalian! Sesungguhnya kalian tidak berdo’a kepada Dzat yang tuli dan jauh.
Tetapi kalian berdo’a kepada Tuhan Yang Maha Mendengar dan Mahadekat.
Dia selalu beserta kalian.' Abu Musa berkata, 'Pada saat itu saya sedang
berada di belakang Rasulullah SAW sambil membaca, 'Laa haula wa laa
quwwata ilIa billaah' (Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan
AlIah). Kemudian Rasulullah SAW bersabda, 'Hai ‘Abd Allah bin Qais,
inginkah aku tunjukkan kepadamu salah satu perbendaharaan surga?' Saya
menjawab, 'Tentu ya Rasulullah.' Rasulullah bersabda, 'Ucapkanlah, Laa haula
wala quwwata illaa billaah' (Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan
AIIah)." Telah menceritakan kepada kami Ibn Numair dan Ishaq bin Ibrahim
dan Abu Sa'id al-Asyaj semuanya dari Hafsh bin Ghiyats dari 'Ashim melalui
sanad ini dengan hadis yang serupa.”

9
Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Ṣaḥih Muslim, (Riyadh: Dar
al-Thayyibah, 1427 H), 1243
43

Lambang
Nama Perawi Urutan Perawi Tabaqah Tahun Wafat
Periwayatan
Abu Musa ‘an 1 1 50 H
Abu ‘Utsman ‘an 2 - 95 H
‘Ashim ‘an 3 - 142 H
Muhammad bin
Ḥaddaṡana 4 9 195 H
Fudhail
Abu Bakr bin
Ḥaddaṡana 5 10 235 H
Abi Syaibah
Muslim Mukharrij Mukharrij 261 H

ِ‫رسو ُل ٰاّلل‬
11 H ُْ َ
‫ال‬
َ َ‫ق‬
50 H َ ‫أَِِب ُم‬
‫وسى‬
‫َع ْن‬
95 H ‫ِأِب عُثْ َما َن‬
‫َع ْن‬
ِ ‫ع‬
‫اص ٍم‬
142 H َ
‫َع ْن‬
195 H ‫ضْي ٍل‬
َ ُ‫ُُمَ َّم ُد بْ ُن ف‬
‫َحدَّثَنَا‬
261 H ‫أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِِب َشْي بَ َة‬

‫َحدَّثَنَا‬
‫ْي ُم ْسلِم بْ ِن‬ ِ ْ ‫اْلُس‬
َ ْ ‫أَبُو‬
235 H
‫اْلَجاج ال ُق َش ِْْيي‬ ْ
‫الن َّْي َسابُ ْوِري‬
44

5. Ṣaḥih Muslim, kitab zikir, bab ke-13, nomor hadis 45, halaman 1244.

‫يد يَ ْع ِِن ابْ َن ُزَريْ ٍع َحدَّثَنَا الت َّْي ِم ُّي َع ْن أَِِب عُثْ َما َن َع ْن‬ ٍ ْ ‫ضْيل بْن ُحس‬
ُ ‫ْي َحدَّثَنَا يَِز‬ ِ
َ ُ ُ َ ُ‫َحدَّثَنَا أَبُو َكام ٍل ف‬

َ ‫أَِِب ُم‬
‫وسى‬

َ َ‫ص َع ُدو َن ِِف ثَنِيَّ ٍة ق‬ ِ َّ ‫اّللِ صلَّى‬ ِ


‫ال فَ َج َع َل َر ُج ٌل ُكلَّ َما َع ََل‬ ْ َ‫اّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َوُه ْم ي‬ َ َّ ‫أَ ََّّنُْم َكانُوا َم َع َر ُسول‬
ِ َّ ‫اّلل صلَّى‬ ِ َِ‫ال ن‬ َّ ‫ثَنِيَّةً ََن َدى ََل إِلَ َه إََِّل‬
‫َص َّم‬ ُ َ‫اّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم إِنَّ ُك ْم ََل تُن‬
َ ‫ادو َن أ‬ َ َّ ‫ب‬ َ َ‫اّللُ أَ ْك ََُب ق‬
ُّ َ ‫ال فَ َق‬ َّ ‫اّللُ َو‬
ِ ْ ‫ك علَى َكلِم ٍة ِمن َكْن ِز‬ َِّ ‫ال َي أََب موسى أَو َي عب َد‬ َ َ‫َوََل َغائِبًا ق‬
ُ ‫اْلَنَّة قُ ْل‬
‫ت‬ ْ َ َ َ ُّ‫س أَََل أ َُدل‬
ٍ ‫اّلل بْ َن قَ ْي‬ َْ َ ْ َ ُ َ َ َ ‫ال فَ َق‬
َِّ ‫ال ََل حو َل وََل قُ َّوَة إََِّل َِب‬
‫ّلل‬ َ ْ َ َ َ‫اّلل ق‬ َ ‫َما ِه َي ََي َر ُس‬
َِّ ‫ول‬

ِِ ِ ِ
‫ال‬ َ ‫و َحدَّثَنَاه ُُمَ َّم ُد بْ ُن َعْبد ْاأل َْعلَى َحدَّثَنَا الْ ُم ْعتَم ُر َع ْن أَبيه َحدَّثَنَا أَبُو عُثْ َما َن َع ْن أَِِب ُم‬
َ َ‫وسى ق‬

َّ ‫ف بْ ُن ِه َش ٍام َوأَبُو‬
‫الربِي ِع قَ َاَل َحدَّثَنَا‬ ِ َّ ‫اّللِ صلَّى‬
ُ َ‫اّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم فَ َذ َكَر ََْن َوهُ َحدَّثَنَا َخل‬ َ َّ ‫ول‬
ُ ‫بَْي نَ َما َر ُس‬

‫اّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِِف‬


َّ ‫صلَّى‬ ٍ
ِ ِ‫ال ُكنَّا َم َع الن‬
َ ‫َّب‬ َ ‫وب َع ْن أَِِب عُثْ َما َن َع ْن أَِِب ُم‬
َ َ‫وسى ق‬ َ ُّ‫اد بْ ُن َزيْد َع ْن أَي‬
ُ َّ‫ََح‬
َّ ْ ‫َخ ََبََن الثَّ َق ِف ُّي َحدَّثَنَا َخالِ ٌد‬ ِ ِ ِ ٍِ ِ ِ ٍ
ُ‫اْلَذاء‬ َ ْ ‫َس َفر فَ َذ َكَر ََْن َو َحديث َعاصم و َحدَّثَنَا إ ْس َح ُق بْ ُن إبْ َراه َيم أ‬
‫اّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِِف َغَزاةٍ فَ َذ َكَر‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬
ِ ‫ال ُكنَّا مع رس‬
َ ‫اّلل‬ ُ َ َ َ َ َ‫وسى ق‬َ ‫َع ْن أَِِب عُثْ َما َن َع ْن أَِِب ُم‬
‫س ِِف َح ِديثِ ِه ِذ ْك ُر‬ ِ ‫احلَ ِة أ‬
َ ‫َحد ُك ْم َولَْي‬
َ
ِ ‫ال فِ ِيه والَّ ِذي تَ ْدعونَه أَقْ رب إِ ََل أَح ِد ُكم ِمن عنُ ِق ر‬
َ ُ ْ ْ َ َُ ُ ُ َ َ َ‫يث َوق‬
ِْ
َ ‫اْلَد‬
َِّ ‫ََل حو َل وََل قُ َّوَة إََِّل َِب‬
‫ّلل‬ َ َْ
10

“Telah menceritakan kepada kami Abu Kamil Fudhail bin Husain, telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai', telah menceritakan kepada kami
al-Taimi dari Abu 'Utsman dari Abu Musa bahwa para sahabat pernah
menyertai Rasulullah SAW, dan ketika para sahabat sedang menaiki jalan
setapak di antara dua gunung, salah seorang dari mereka setiap naik ke atas
berseru, 'Laa Ilaaha Illa Allah wallahu Akbar.' (tidak ada Ilah selain Allah yang
Maha agung). Abu Musa berkata, lalu Rasulullah SAW berkata, 'Sesungguhnya
kalian tidak berseru kepada Dzat yang tuli dan jauh.' Abu Musa berkata,
kemudian beliau berseru, 'Hai Abu Musa atau hai ‘Abd Allah bin Qais, inginkah
aku tunjukkan kepadamu salah satu perbendaharaan surga?' Saya menjawab,
'Apa itu ya Rasulullah?' Rasulullah bersabda, Laa haula wala quwwata illaa
billaah' (Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan AIIah)." Dan telah
menceritakannya kepada kami Muhammad bin 'Abd al-A'la, telah menceritakan

10
Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Ṣaḥih Muslim, 1244
45

kepada kami al-Mu'tamir dari Bapaknya, telah menceritakan kepada kami Abu
'Utsman dari Abu Musa dia berkata, 'ketika Rasulullah SAW, -lalu dia
menyebutkan hadis yang serupa.- telah menceritakan kepada kami Khalaf bin
Hisyam dan Abu al-Rabi' mereka berdua berkata, telah menceritakan kepada
kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Abu 'Utsman dari Abu Musa dia
berkata, kami pernah bersama Nabi SAW dalam suatu perjalanan, -lalu dia
menyebutkan seperti hadis 'Ashim.- Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq
bin Ibrahim, telah mengabarkan kepada kami al-Tsaqafi, telah menceritakan
kepada kami Khalid al-Hadza dari Abu 'Utsman dari Abu Musa dia berkata,
kami pernah bersama Rasulullah SAW dalam suatu peperangan, -kemudian dia
menyebutkan hadis tersebut, dan di dalamnya berkata, Dzat yang kamu seru itu
lebih dekat dari leher hewan yang tunggangi salah seorang kalian. Dan di
dalamnya tidak menyebutkan kalimat, 'Laa haula wala quwwata illaa billaah'
(Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan AIIah)."
46

Lambang
Nama Perawi Urutan Perawi Tabaqah Tahun Wafat
Periwayatan
Abu Musa ‘an 1 1 50 H
Abu ‘Utsman ‘an 2 - 95 H
Al-Taimi Ḥaddaṡana 3 4 143 H
Yazid bin
Ḥaddaṡana 4 8 182 H
Zurai’
Abu Kamil Ḥaddaṡana 5 - 237 H
Muslim Mukharrij Mukharrij 261 H

ِ‫رسو ُل ٰاّلل‬
11 H ُْ َ
‫ال‬
َ َ‫ق‬
50 H َ ‫ِأِب ُم‬
‫وسى‬
‫َع ْن‬
95 H ‫ِأِب عُثْ َما َن‬
‫َع ْن‬
142 H ‫الت َّْي ِم ُّي‬
‫َحدَّثَنَا‬
195 H ُ ‫يَِز‬
‫يد ابْ َن ُزَريْ ٍع‬
‫َحدَّثَنَا‬
ٍ ْ ‫ضْيل بْن ُحس‬
‫ْي‬
235 H َ ُ ُ َ ُ‫ف‬
‫َحدَّثَنَا‬
261 H ‫ْي ُم ْسلِم بْ ِن‬ ِ ْ ‫اْلُس‬
َ ْ ‫أَبُو‬
‫اْلَجاج ال ُق َش ِْْيي‬ ْ
‫الن َّْي َسابُ ْوِري‬
BAB IV

KUALITAS HADIS DAN PENYELESAIAN IKHTILAF ḤADIṠ TENTANG ZIKIR


JAḤR DAN SIRR
A. Kualitas Hadis Tentang Zikir Jaḥr

1. Tinjauan al-Jarḥ wa al-Ta’dil Perawi Hadis Pertama


a. ‘Abd Allah bin ‘Abbas bin ‘Abd al-Muthalib (Ibn ‘Abbas W: 68 H)
‘Abd Allah bin ‘Abbas merupakan anak dari paman Rasulullah, menurut
al-Dzahabi ia merupakan salah satu dari sahabat Rasulullah dan meriwayatkan
hadis yang ia dapat langsung dari Rasulullah beserta para Khulafa al-Rasyidin.1
Selain dari Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidin ia juga meriwayatkan hadis dari
‘Abd al-Rahman bin ‘Auf, Muadz bin Jabal, Khalid bin Walid, ‘Usamah bin
Zaid, Abu Sa’id al-Khudri, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, ‘Aisyah binti Abu
Bakar, dan beberapa lainnya. Murid-murid dari ‘Abd Allah bin ‘Abbas di
antaranya ‘Abd Allah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas, ‘Abd Allah bin al-Harits bin
Naufal, Abu Salamah bin ‘Abd al-Rahman, al-Qasim bin Muhammad bin Abu
Bakar, ‘Amr bin Dinar, ‘Abd Allah bin Ka’ab bin Malik, Na’im maula Ummu
Salamah, dan beberapa lainnya.2
b. Nafidz maula Ibn ‘Abbas (Abu Ma’bad W: 104 H)
Nafidz merupakan budak dari Ibn ‘Abbas, ia memiliki kunyah Abu
Ma’bad. Ia meriwayatkan hadis yang ia dapat langsung dari Ibn ‘Abbas. Murid
dari Nafidz adalah ‘Amr bin Dinar, Yahya bin ‘Abd Allah bin Shaifi, Abu
Zubair, Sulaiman al-Ahwal, Qasim bin Abi Bazza, dan Furat al-Qazzaz.
Menurut Ahmad bin Hanbal, Ibn Ma’in, Abu Zur’ah, Ibn Sa’d, dan Ibn Hibban
ia merupakan seorang periwayat yang ṡiqah.3 Kritikus hadis memberikan
penilaian positif kepada Nafidz, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya
dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia menggunakan sighat al-
tahammu wa al-ada’ berupa lafaz anna.
c. ‘Amr bin Dinar al-Atsram (Abu Muhammad W: 126 H)

1
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, (Cairo: al-Faruq
al-Hadisiyah li Thaba’ah wa al-Nasir, 2004), 5, 191
2
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 5, 276
3
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 10, 404

47
48

‘Amr bin Dinar merupakan budak dari Bani Jumah dan dikatakan juga
ia merupakan budak dari Bani Makhzum, ia memiliki kunyah Abu Muhammad
dan termasuk ke dalam golongan tabi’in. Ia meriwayatkan hadis dari beberapa
gurunya di antaranya adalah Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Amr bin ‘Amr bin ‘Ash, Jabir bin
‘Abd Allah, Abi Thufail, Hasan bin Muhammad bin ‘Ali bin Abi Thalib, dan
Sa’id bin Abi Burdah. Beberapa di antara muridnya adalah Qatadah, Ayyub,
Ibn Juraij, Ja’far al-Shadiqi, Malik, Syu’bah, dan Daud bin ‘Abd al-Rahman.
Menurut Ibn ‘Uyainah ia seorang yang tsiqatun ṡiqah, al-Nasa’i ia adalah
seorang periwayat yang ṡiqah ṡabat, menurut Abu Zur’ah, Abu Hatim dan Ibn
Hibban ia adalah seorang periwayat yang ṡiqah.4 Kritikus hadis memberikan
penilaian positif kepada ‘Amr bin Dinar al-Atsram, dengan demikian hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia
menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’ berupa lafaz akhbarani.
d. ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij (Abu al-Walid W: 150 H)
Ibn Juraij memiliki kunyah Abu al-Walid. Ia meriwayatkan hadis dari
beberapa gurunya di antaranya adalah ‘Atha’ bin Abi Rabbah, Ishaq bin Abi
Thalhah, Al-Zuhri, ‘Amr bin Dinar, Nafi’ maula Ibn ‘Umar, Hisyam bin
‘Urwah, dan Ismail bin Muhammad bin Sa’id. Beberapa di antara muridnya
adalah ‘Abd al-‘Aziz, al-Auza’i, ‘Isa bin Yunus, Hammad bin Zaid, ‘Abd al-
Razzaq, Muhammad bin Bakr dan ‘Abd al-Wahab al-Tsaqafi. Menurut Ibn Abi
Maryam dari Ibn Ma’in ia adalah seorang yang ṡiqah, menurut Yahya bin Sa’id
ia adalah seorang yang ṣaduq, Ibn Hibban menyebutnya al-tsiqaat, menurut Ibn
Khirasy ia seorang yang ṣaduq, dan menurut al-‘Ajli ia adalah seorang yang
ṡiqah.5 Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada Ibn Juraij, dengan
demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan
hadis di atas, ia menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’ berupa lafaz
akhbarana.
e. ‘Abd al-Razzaq bin Hammam bin Nafi’ (Abu Bakar W: 211 H)
‘Abd al-Razzaq memiliki kunyah Abu Bakar. Ia meriwayatkan hadis
dari beberapa gurunya di antaranya adalah Ibn Juraij, al-Auza’i, Malik, Ja’far
bin Sulaiman, ‘Akramah bin ‘Umar, dan Ayman bin Nabil. Beberapa di antara

4
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 8, 28
5
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 6, 402
49

muridnya adalah, Abu Usamah, Ahmad, Ishaq, Ibn Mahdi, Ibn al-Mubarak,
Ahmad bin Shalih, Ibn Abi ‘Amr, dan Ibrahim bin Musa. Menurut Abu Zur’ah,
Ibn Ma’in, Ahmad bin Hanbal ia adalah seorang yang ṡabat, menurut Ya’kub,
Ibn Hibban, al-‘Ajli dan ‘Ali bin al-Madini ia adalah seorang yang ṡiqah.6
Menurut Ibn ‘Adi la ba’sa bih.7 Kritikus hadis memberikan penilaian positif
kepada ‘Abd al-Razzaq bin Hammam bin Nafi’, dengan demikian hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia
menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’ berupa lafaz ḥaddaṡana.
f. Ishaq bin Ibrahim bin Nashir (Abu Ibrahim W: 242 H)
Ishaq bin Ibrahim memiliki kunyah Abu Ibrahim. Ia meriwayatkan hadis
dari gurunya yaitu Abi Usamah dan ‘Abd al-Razzaq. Salah satu muridnya
adalah Imam Bukhārī. Ibn Hibban menyebutkan bahwa Ishaq bin Ibrahim bin
Nashir adalah seorang yang ṡiqah.8 Kritikus hadis memberikan penilaian positif
kepada Ishaq bin Ibrahim bin Nashir, dengan demikian hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia
menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’ berupa lafaz ḥaddaṡana.
g. al-Bukhārī (W: 256 H)
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin
bardizbah biasa dikenal dengan sebutan Imam al-Bukhārī, al-Dzahabi
mengatakan ia merupakan amirul mukminin fi ḥadiṡ.9 Beberapa di antara sekian
banyak guru-gurunya adalah Ubaidillah bin Musa, Muhammad bin Abdillah Al-
Anshari, ‘Afan, Abu ‘Asim al-Nabil, Makki bin Ibrahim, Abi Al-Mughirah, dan
Ahmad bin Khalid Al-Wahbi. Beberapa di antara sekian banyak muridnya yang
terkenal adalah Tirdmidzi, Muslim, dan al-Nasa’i.10 Kritikus hadis memberikan
penilaian positif kepada al-Bukhārī, dengan demikian hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima.

2. Tinjauan al-Jarḥ wa al-Ta’dil Perawi Hadis Kedua


a. ‘Abd Allah bin ‘Abbas bin ‘Abd al-Muthalib (Ibn ‘Abbas W: 68 H)

6
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 6, 310
7
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, 6, 85
8
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 1, 219
9
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, 8, 32
10
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 9, 47
50

Abd Allah bin ‘Abbas merupakan anak dari paman Rasulullah, menurut
al-Dzahabi ia merupakan salah satu dari sahabat Rasulullah dan meriwayatkan
hadis yang ia dapat langsung dari Rasulullah beserta para Khulafa al-
Rasyidin.11 Selain dari Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidin ia juga
meriwayatkan hadis dari ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf, Muadz bin Jabal, Khalid
bin Walid, ‘Usamah bin Zaid, Abu Sa’id al-Khudri, Mu’awiyah bin Abu
Sufyan, ‘Aisyah binti Abu Bakar, dan beberapa lainnya. Murid-murid dari
‘Abd Allah bin ‘Abbas di antaranya ‘Abd Allah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas,
‘Abd Allah bin al-Harits bin Naufal, Abu Salamah bin ‘Abd al-Rahman, al-
Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, ‘Amr bin Dinar, ‘Abd Allah bin Ka’ab
bin Malik, Na’im maula Ummu Salamah, dan beberapa lainnya.12
b. Nafidz maula Ibn ‘Abbas (Abu Ma’bad W: 104 H)
Nafidz merupakan budak dari Ibn ‘Abbas, ia memiliki kunyah Abu
Ma’bad. Ia meriwayatkan hadis yang ia dapat langsung dari Ibn ‘Abbas. Murid
dari Nafidz adalah ‘Amr bin Dinar, Yahya bin ‘Abd Allah bin Shaifi, Abu
Zubair, Sulaiman al-Ahwal, Qasim bin Abi Bazza, dan Furat al-Qazzaz.
Menurut Ahmad bin Hanbal, Ibn Ma’in, Abu Zur’ah, Ibn Sa’d, dan Ibn Hibban
ia merupakan seorang periwayat yang ṡiqah.13 Kritikus hadis memberikan
penilaian positif kepada Nafidz, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya
dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia menggunakan sighat al-
tahammu wa al-ada’ berupa lafaz anna.
c. ‘Amr bin Dinar al-Atsram (Abu Muhammad W: 126 H)
‘Amr bin Dinar merupakan budak dari Bani Jumah dan dikatakan juga
ia merupakan budak dari Bani Makhzum, ia memiliki kunyah Abu Muhammad
dan termasuk ke dalam golongan tabi’in. Ia meriwayatkan hadis dari beberapa
gurunya di antaranya adalah Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Amr bin ‘Amr bin ‘Ash, Jabir bin
‘Abd Allah, Abi Thufail, Hasan bin Muhammad bin ‘Ali bin Abi Thalib, dan
Sa’id bin Abi Burdah. Beberapa di antara muridnya adalah Qatadah, Ayyub,
Ibn Juraij, Ja’far al-Shadiqi, Malik, Syu’bah, dan Daud bin ‘Abd al-Rahman.
Menurut Ibn ‘Uyainah ia seorang yang tsiqatun ṡiqah, al-Nasa’i ia adalah
seorang periwayat yang ṡiqah ṡabat, menurut Abu Zur’ah, Abu Hatim dan Ibn

11
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, 5, 191
12
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 5, 276
13
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 10, 404
51

Hibban ia adalah seorang periwayat yang ṡiqah.14 Kritikus hadis memberikan


penilaian positif kepada ‘Amr bin Dinar al-Atsram, dengan demikian hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia
menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’ berupa lafaz akhbarani.
d. ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij (Abu al-Walid W: 150 H)
Ibn Juraij memiliki kunyah Abu al-Walid. Ia meriwayatkan hadis dari
beberapa gurunya di antaranya adalah ‘Atha’ bin Abi Rabbah, Ishaq bin Abi
Thalhah, Al-Zuhri, ‘Amr bin Dinar, Nafi’ maula Ibn ‘Umar, Hisyam bin
‘Urwah, dan Ismail bin Muhammad bin Sa’id. Beberapa di antara muridnya
adalah ‘Abd al-‘Aziz, al-Auza’i, ‘Isa bin Yunus, Hammad bin Zaid, ‘Abd al-
Razzaq, Muhammad bin Bakr dan ‘Abd al-Wahab al-Tsaqafi. Menurut Ibn
Abi Maryam dari Ibn Ma’in ia adalah seorang yang ṡiqah, menurut Yahya bin
Sa’id ia adalah seorang yang ṣaduq, Ibn Hibban menyebutnya al-tsiqaat,
menurut Ibn Khirasy ia seorang yang ṣaduq, dan menurut al-‘Ajli ia adalah
seorang yang ṡiqah.15 Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada Ibn
Juraij, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima. Dalam
meriwayatkan hadis di atas, ia menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’
berupa lafaz akhbarana.
e. Muhammad bin Bakkaar bin ‘Utsman (Abu Utsman W: 204 H)
Muhammad bin Bakkaar bin ‘Utsman memiliki kunyah Abu Utsman. Ia
meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya di antaranya adalah Aiman bin
Nabil, Hisyam bin Hasan, Ibn Juraij, ‘Abd Allah bin Ziyad, Syu’bah, Hammad
bin Salamah, dan Yunus bin Yazid. Beberapa di antara muridnya adalah Abu
Bakr bin Abi Syaibah, Ishaq bin Mansyur, ‘Ali bin al-Madani, Muhammad bin
Maimun, Sufyan bin Waqi’, dan ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Rahman al-Dari.
Menurut Ahmad bin Hanbal shalihul ḥadiṡ, menurut Ibn Ma’in, al-‘Ajli, Ibn
Sa’d, dan Ibn Hibban ia adalah seorang yang ṡiqah, menurut Abu Hatim ia
adalah seorang yang ṣaduq, al-Nasa’i menyebutnya laisa bil qawi.16 Kritikus
hadis memberikan penilaian positif kepada Muhammad bin Bakkar bin Utsman,
dengan demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima. Dalam

14
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 8, 28
15
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 6, 402
16
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 9, 77
52

meriwayatkan hadis di atas, ia menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’


berupa lafaz akhbarana.
f. Muhammad bin Hatim bin Maimun (Abu ‘Abd Allah W: 235)
Muhammad bin Hatim bin Maimun memiliki kunyah Abu ‘Abd Allah.
Ia meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya di antaranya adalah Ibn ‘Uyainah,
Muhammad bin Bakr, Yazid bin Harun, Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’d, Zaid
bin al-Habbab, ‘Umar bin Yunus al-Yami, dan Hajjaj bin Muhammad.
Beberapa di antara muridnya adalah Muslim, Abu Daud, al-Hasan bin Sufyan,
dan Ahmad bin al-Hasan bin ‘Abd al-Jabbar al-Shaufi. Menurut Abu Daud ia
adalah seorang yang ṣaduq, menurut Ibn ‘Adi dan al-Daruquthni ṡiqah, dan Ibn
Hibban men-ṡiqah-kannya.17 Kritikus hadis memberikan penilaian positif
kepada Muhammad bin Hatim bin Maimun, dengan demikian hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia
menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’ berupa lafaz akhbarana.
g. Muslim (W: 261 H)
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-
Naisaburi biasa dikenal dengan sebutan Imam Muslim. Ia berguru kepada al-
Qa’nabi, Ahmad bin Yunus, Daud bin ‘Amr, dan Yahya bin Yahya al-
Naisaburi, Sa’id bin Manshur, dan beberapa lainnya. Beberapa di antara
muridnya adalah al-Tirmidzi, Shalih bin Muhammad al-Hafiz, Muhammad bin
‘Abd al-Wahab, ‘Ali bin Isma’il al-Shafar, Abu Muhammad bin Hatim al-Razi,
dan Ibrahim bin Muhammad bin Hamzah. Ibn Abi Hatim mengatakan bahwa ia
adalah seorang yang ṡiqah di antara para hafiz.18 Kritikus hadis memberikan
penilaian positif kepada Muslim, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya
dapat diterima.

3. Tinjauan al-Jarḥ wa al-Ta’dil Perawi Hadis Ketiga


a. ‘Abd Allah bin ‘Abbas bin ‘Abd al-Muthalib (Ibn ‘Abbas W: 68 H)
‘Abd Allah bin ‘Abbas merupakan anak dari paman Rasulullah, menurut
al-Dzahabi ia merupakan salah satu dari sahabat Rasulullah dan meriwayatkan

17
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 9, 101
18
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 10, 126
53

hadis yang ia dapat langsung dari Rasulullah beserta para Khulafa al-Rasyidin.19
Selain dari Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidin ia juga meriwayatkan hadis dari
‘Abd al-Rahman bin ‘Auf, Muadz bin Jabal, Khalid bin Walid, ‘Usamah bin
Zaid, Abu Sa’id al-Khudri, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, ‘Aisyah binti Abu
Bakar, dan beberapa lainnya. Murid-murid dari ‘Abd Allah bin ‘Abbas di
antaranya ‘Abd Allah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas, ‘Abd Allah bin al-Harits bin
Naufal, Abu Salamah bin ‘Abd al-Rahman, al-Qasim bin Muhammad bin Abu
Bakar, ‘Amr bin Dinar, ‘Abd Allah bin Ka’ab bin Malik, Na’im maula Ummu
Salamah, dan beberapa lainnya.20
b. Nafidz maula Ibn ‘Abbas (Abu Ma’bad W: 104 H)
Nafidz merupakan budak dari Ibn ‘Abbas, ia memiliki kunyah Abu
Ma’bad. Ia meriwayatkan hadis yang ia dapat langsung dari Ibn ‘Abbas. Murid
dari Nafidz adalah ‘Amr bin Dinar, Yahya bin ‘Abd Allah bin Shaifi, Abu
Zubair, Sulaiman al-Ahwal, Qasim bin Abi Bazza, dan Furat al-Qazzaz.
Menurut Ahmad bin Hanbal, Ibn Ma’in, Abu Zur’ah, Ibn Sa’d, dan Ibn Hibban
ia merupakan seorang periwayat yang ṡiqah.21 Kritikus hadis memberikan
penilaian positif kepada Nafidz, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya
dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia menggunakan sighat al-
tahammu wa al-ada’ berupa lafaz anna.
c. ‘Amr bin Dinar al-Atsram (Abu Muhammad W: 126 H)
‘Amr bin Dinar merupakan budak dari Bani Jumah dan dikatakan juga
ia merupakan budak dari Bani Makhzum, ia memiliki kunyah Abu Muhammad
dan termasuk ke dalam golongan tabi’in. Ia meriwayatkan hadis dari beberapa
gurunya di antaranya adalah Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Amr bin ‘Amr bin ‘Ash, Jabir bin
‘Abd Allah, Abi Thufail, Hasan bin Muhammad bin ‘Ali bin Abi Thalib, dan
Sa’id bin Abi Burdah. Beberapa di antara muridnya adalah Qatadah, Ayyub,
Ibn Juraij, Ja’far al-Shadiqi, Malik, Syu’bah, dan Daud bin ‘Abd al-Rahman.
Menurut Ibn ‘Uyainah ia seorang yang tsiqatun ṡiqah, al-Nasa’i ia adalah
seorang periwayat yang ṡiqah ṡabat, menurut Abu Zur’ah, Abu Hatim dan Ibn
Hibban ia adalah seorang periwayat yang ṡiqah.22 Kritikus hadis memberikan

19
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, (Cairo: al-
Faruq al-Hadisiyah li Thaba’ah wa al-Nasir, 2004), 5, 191
20
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 5, 276
21
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 10, 404
22
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 8, 28
54

penilaian positif kepada ‘Amr bin Dinar al-Atsram, dengan demikian hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia
menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’ berupa lafaz akhbarani.
d. ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij (Abu al-Walid W: 150 H)
Ibn Juraij memiliki kunyah Abu al-Walid. Ia meriwayatkan hadis dari
beberapa gurunya di antaranya adalah ‘Atha’ bin Abi Rabbah, Ishaq bin Abi
Thalhah, Al-Zuhri, ‘Amr bin Dinar, Nafi’ maula Ibn ‘Umar, Hisyam bin
‘Urwah, dan Ismail bin Muhammad bin Sa’id. Beberapa di antara muridnya
adalah ‘Abd al-‘Aziz, al-Auza’i, ‘Isa bin Yunus, Hammad bin Zaid, ‘Abd al-
Razzaq, Muhammad bin Bakr dan ‘Abd al-Wahab al-Tsaqafi. Menurut Ibn Abi
Maryam dari Ibn Ma’in ia adalah seorang yang ṡiqah, menurut Yahya bin Sa’id
ia adalah seorang yang ṣaduq, Ibn Hibban menyebutnya al-tsiqaat, menurut Ibn
Khirasy ia seorang yang ṣaduq, dan menurut al-‘Ajli ia adalah seorang yang
ṡiqah.23 Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada Ibn Juraij, dengan
demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan
hadis di atas, ia menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’ berupa lafaz
akhbarana.
e. ‘Abd al-Razzaq bin Hammam bin Nafi’ (Abu Bakar W: 211 H)
‘Abd al-Razzaq memiliki kunyah Abu Bakar. Ia meriwayatkan hadis
dari beberapa gurunya di antaranya adalah Ibn Juraij, al-Auza’i, Malik, Ja’far
bin Sulaiman, ‘Akramah bin ‘Umar, dan Ayman bin Nabil. Beberapa di antara
muridnya adalah, Abu Usamah, Ahmad, Ishaq, Ibn Mahdi, Ibn al-Mubarak,
Ahmad bin Shalih, Ibn Abi ‘Amr, dan Ibrahim bin Musa. Menurut Abu Zur’ah,
Ibn Ma’in, Ahmad bin Hanbal ia adalah seorang yang ṡabat, menurut Ya’kub,
Ibn Hibban, al-‘Ajli dan ‘Ali bin al-Madini ia adalah seorang yang ṡiqah.24
Menurut Ibn ‘Adi la ba’sa bih.25 Kritikus hadis memberikan penilaian positif
kepada ‘Abd al-Razzaq bin Hammam bin Nafi’, dengan demikian hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia
menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’ berupa lafaz ḥaddaṡana.
f. Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (W: 241 H)

23
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 6, 402
24
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 6, 310
25
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, 6, 85
55

Ahmad bin Muhammad bin Hanbal memiliki nama lengkap Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris. Ia meriwayatkan hadis dari
beberapa gurunya di antaranya adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Jarir bin ‘Abd al-
Hamid, Abi Daud al-Tayalisi, ‘Abd al-Razzaq, al-Syafi’i, dan beberapa
lainnya. Beberapa di antara muridnya adalah Bukhārī, Muslim, Abu Daud, al-
Syafi’i, Abu al-Walid, Yahya bin Ma’in, ‘Ali bin al-Madani, Husain bin
Manshuur, dan Ziyad bin Ayyub. Menurut al-‘Ajli ia adalah seorang yang ṡiqah
ṡabat, menurut al-Nasa’i ia adalah seorang yang ṡiqah ma’mun, menurut Ibn
Hibban ia adalah seorang yang ṡiqah, menurut Ibn Sa’d ia adalah seorang yang
ṡiqah ṡabat.26 Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada Ahmad bin
Hanbal, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
4. Kritik Sanad Hadis Tentang Zikir Jaḥr Nomor Hadis 841
Sanad adalah unsur terpenting untuk dapat menentukan apakah suatu hadis
berkualitas sahih atau tidak. Suatu hadis dapat dikatakan sahih apabila memenuhi
syarat-syarat hadis sahih. Adapun syarat-syarat hadis sahih adalah ketersambungan
sanad, perawi yang bersifat adil dan dhabit dari awal hingga akhir sanad, dan tidak
adanya syadz (kejanggalan) serta ‘illat (kecacatan) dalam hadis tersebut. Berikut
adalah analisis peneliti terkait kritik sanad pada hadis tentang zikir secara jaḥr
dalam Ṣahīh al-Bukhārī nomor hadis 841.
a. al-Bukhārī (W. 256H) dengan Ishaq bin Ibrahim bin Nashir (W. 242 H)
Dalam hadis ini, al-Bukhārī merupakan seorang mukharrij dan
menggunakan sighat al-tahammu wa al-‘ada’ berupa lafaz ḥaddaṡana dalam
meriwayatkan hadis tersebut. Lafaz ḥaddaṡana termasuk ke dalam metode
periwayatan al-sama’ yaitu suatu metode dimana seorang murid mendengarkan
suatu hadis langsung dari gurunya. Menurut jumhur ulama metode al-sama’
memiliki tingkatan tertinggi di antara metode lainnya, karena metode ini
memungkinkan seorang murid bertemu dan berhadapan langsung dengan
gurunya. al-Bukhārī wafat pada tahun 256 H dan Ishaq bin Ibrahim bin Nashir
wafat pada tahun 242 H yang memungkinkan bahwa keduanya pernah bertemu
dan terlibat dalam hubungan antara murid dan guru. Selain itu juga, al-Bukhārī
tercatat sebagai murid dari Ishaq bin Ibrahim bin Nashir. Berdasarkan analisis
di atas, peneliti memberi kesimpulan bahwa jalur sanad antara al-Bukhārī

26
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 1, 72
56

dengan Ishaq bin Ibrahim bin Nashir memiliki sanad yang bersambung. Al-
Dzahabi mengatakan bahwa al-Bukhārī merupakan amirul mukminin fi al-
ḥadiṡ. Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada al-Bukhārī, dengan
demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
b. Ishaq bin Ibrahim bin Nashir (W. 242 H) dengan ‘Abd Al-Razzaq bin
Hammam bin Nafi’ (W. 211 H)
Dalam hadis ini, Ishaq bin Ibrahim bin Nashir menggunakan sighat al-
tahammu wa al-’ada’ berupa lafaz ḥaddaṡana. Lafaz ḥaddaṡana termasuk ke
dalam metode periwayatan al-sama’ yaitu suatu metode dimana seorang murid
mendengarkan suatu hadis langsung dari gurunya. Menurut jumhur ulama
metode al-sama’ memiliki tingkatan tertinggi di antara metode lainnya, karena
metode ini memungkinkan seorang murid bertemu dan berhadapan langsung
dengan gurunya. Ishaq bin Ibrahim bin Nashir wafat pada tahun 242 H dan
‘Abd al-Razzaq bin Hammam bin Nafi’ wafat pada tahun 211 H yang
memungkinkan bahwa keduanya pernah bertemu dan terlibat dalam hubungan
antara murid dan guru. Selain itu juga, ‘Abd al-Razzaq bin Hammam bin Nafi’
tercatat sebagai guru dari Ishaq bin Ibrahim bin Nashir dan Ishaq bin Ibrahim
bin Nashir juga tercatat sebagai murid dari ‘Abd al-Razzaq bin Hammam bin
Nafi’. Berdasarkan analisis di atas, peneliti memberi kesimpulan bahwa jalur
sanad antara Ishaq bin Ibrahim bin Nashir dengan ‘Abd al-Razzaq bin
Hammam bin Nafi’ memiliki sanad yang bersambung. Ibn Hibban
menyebutkan bahwa Ishaq bin Ibrahim bin Nashir adalah seorang yang ṡiqah.
Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada Ishaq bin Ibrahim bin
Nashir, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
c. ‘Abd al-Razzaq bin Hammam bin Nafi’ (W. 211 H) dengan ‘Abd al-Malik
bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij (W. 150 H)
Dalam hadis ini, ‘Abd al-Razzaq bin Hammam bin Nafi’ menggunakan
sighat al-tahammu wa al-’ada’ berupa lafaz ḥaddaṡana. Lafaz ḥaddaṡana
termasuk ke dalam metode periwayatan al-sama’ yaitu suatu metode dimana
seorang murid mendengarkan suatu hadis langsung dari gurunya. Menurut
jumhur ulama metode al-sama’ memiliki tingkatan tertinggi di antara metode
lainnya, karena metode ini memungkinkan seorang murid bertemu dan
berhadapan langsung dengan gurunya. ‘Abd al-Razzaq bin Hammam bin Nafi’
wafat pada tahun 211 H dan ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij wafat
57

pada tahun 150 H yang memungkinkan bahwa keduanya pernah bertemu dan
terlibat dalam hubungan antara murid dan guru. Selain itu juga, ‘Abd al-Malik
bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij tercatat sebagai guru dari ‘Abd al-Razzaq bin
Hammam bin Nafi’ dan ‘Abd al-Razzaq bin Hammam bin Nafi’ juga tercatat
sebagai murid dari ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij. Berdasarkan
analisis di atas, peneliti memberi kesimpulan bahwa jalur sanad antara ‘Abd al-
Razzaq bin Hammam bin Nafi’ dengan ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin
Juraij memiliki sanad yang bersambung. Menurut Abu Zur’ah, Ibn Ma’in,
Ahmad bin Hanbal ia adalah seorang yang ṡabat, menurut Ya’kub, Ibn Hibban,
al-‘Ajli dan ‘Ali bin al-Madini ia adalah seorang yang ṡiqah. Menurut Ibn ‘Adi
la ba’sa bih. Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada ‘Abd al-
Razzaq bin Hammam bin Nafi’, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya
dapat diterima.
d. ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij (W. 150 H) dengan ‘Amr bin
Dinar al-Atsram (W. 126 H)
Dalam hadis ini, ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij
menggunakan sighat al-tahammu wa al-’ada’ berupa lafaz akhbarana. Lafaz
akhbarana termasuk ke dalam metode periwayatan al-sama’ yaitu suatu
metode dimana seorang murid mendengarkan suatu hadis langsung dari
gurunya. Menurut jumhur ulama metode al-sama’ memiliki tingkatan tertinggi
di antara metode lainnya, karena metode ini memungkinkan seorang murid
bertemu dan berhadapan langsung dengan gurunya. ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-
‘Aziz bin Juraij wafat pada tahun 150 H dan ‘Amr bin Dinar al-Atsram wafat
pada tahun 126 H yang memungkinkan bahwa keduanya pernah bertemu dan
terlibat dalam hubungan antara murid dan guru. Selain itu juga, ‘Amr bin Dinar
al-Atsram tercatat sebagai guru dari ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij
dan ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij juga tercatat sebagai murid dari
‘Amr bin Dinar al-Atsram. Berdasarkan analisis di atas, peneliti memberi
kesimpulan bahwa jalur sanad antara ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin
Juraij dengan ‘Amr bin Dinar al-Atsram memiliki sanad yang bersambung.
Menurut Ibn Ma’in ia adalah seorang yang ṡiqah, menurut Yahya bin Sa’id ia
adalah seorang yang ṣaduq, Ibn Hibban menyebutnya al-tsiqaat, menurut Ibn
Khirasy ia seorang yang ṣaduq, dan menurut al-‘Ajli ia adalah seorang yang
58

ṡiqah. Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada Ibn Juraij, dengan
demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
e. ‘Amr bin Dinar al-Atsram (W. 126 H) dengan Nafidz (Abu Ma’bad) maula
Ibn ‘Abbas (W. 104 H)
Dalam hadis ini, ‘Amr bin Dinar al-Atsram menggunakan sighat al-
tahammu wa al-’ada’ berupa lafaz anna. Lafaz anna merupakan lafaz yang
menyatakan bahwa rawi belum pasti bertemu dengan gurunya. ‘Amr bin Dinar
al-Atsram wafat pada tahun 126 H dan Nafidz maula Ibn ‘Abbas wafat pada
tahun 104 H yang memungkinkan bahwa keduanya pernah bertemu dan terlibat
dalam hubungan antara murid dan guru. Selain itu juga, ‘Amr bin Dinar al-
Atsram tercatat sebagai murid dari Nafidz (Abu Ma’bad) maula Ibn Abbas.
Berdasarkan analisis di atas, peneliti memberi kesimpulan bahwa jalur sanad
antara ‘Amr bin Dinar al-Atsram dengan Nafidz (Abu Ma’bad) maula Ibn
‘Abbas memiliki sanad yang bersambung. Menurut Ibn ‘Uyainah ia seorang
yang tsiqatun ṡiqah, al-Nasa’i ia adalah seorang periwayat yang ṡiqah ṡabat,
menurut Abu Zur’ah, Abu Hatim dan Ibn Hibban ia adalah seorang periwayat
yang ṡiqah. Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada ‘Amr bin
Dinar al-Atsram, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
f. Nafidz (Abu Ma’bad) maula Ibn ‘Abbas (W. 104 H) dengan ‘Abd Allah bin
‘Abbas bin ‘Abd al-Muthalib bin Hasyim (W. 68 H)
Dalam hadis ini, Nafidz (Abu Ma’bad) maula Ibn ‘Abbas menggunakan
sighat al-tahammu wa al-’ada’ berupa lafaz anna. Lafaz anna merupakan lafaz
yang menyatakan bahwa rawi belum pasti bertemu dengan gurunya. Nafidz
(Abu Ma’bad) maula Ibn ‘Abbas wafat pada tahun 104 H dan ‘Abd Allah bin
‘Abbas bin ‘Abd al-Muthalib bin Hasyim wafat pada tahun 68 H, keduanya
sudah pasti bertemu karena Abu Ma’bad tercatat sebagai budak dari ‘Abd Allah
bin ‘Abbas. Selain itu juga, ‘Abd Allah bin ‘Abbas tercatat sebagai guru dari
Abu Ma’bad. Berdasarkan analisis di atas, peneliti memberi kesimpulan bahwa
jalur sanad Nafidz (Abu Ma’bad) maula Ibn ‘Abbas dengan ‘Abd Allah bin
‘Abbas bin ‘Abd al-Muthalib bin Hasyim memiliki sanad yang bersambung.
Menurut Ahmad bin Hanbal, Ibn Ma’in, Abu Zur’ah, Ibn Sa’d, dan Ibn Hibban
ia merupakan seorang periwayat yang ṡiqah. Kritikus hadis memberikan
penilaian positif kepada Nafidz, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya
dapat diterima.
59

Berdasarkan data analisis ketersambungan sanad dapat dikatakan bahwa hadis


tentang zikir jaḥr dalam Ṣahīh al-Bukhārī nomor hadis 841 sanadnya bersambung.
Hal ini dapat dibuktikan dengan suatu rawi dengan rawi sebelumnya atau
sesudahnya hidup sezaman dan memiliki hubungan antara guru dan murid, sehingga
dapat disimpulkan bahwa sanad hadis tentang zikir jaḥr dalam Ṣahīh al-Bukhārī
nomor hadis 841 sanadnya bersambung dari awal hingga mukharrij tanpa terputus.
Selain ketersambungan sanad, hal lain yang perlu ditinjau adalah keadilan dan
ke-dhabit-an seorang rawi. Untuk mengetahui apakah seorang rawi adil dan dhabit
diperlukan suatu ilmu, yaitu ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Ilmu al-jarh wa al-ta’dil
membahas tentang penilaian baik atau buruk dari seorang perawi. Dari data
penilaian para ulama terhadap para rawi di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh
perawi yang meriwayatkan hadis tersebut memiliki sifat yang adil namun dalam hal
ke-dhabit-annya, terdapat satu perawi yang dinilai ṣaduq, artinya hadis ini tidak
tegolong kepada hadis sahih, melainkan hadis ḥasan. Karena hadis ini memiliki
penguat dari jalur lain, yaitu hadis yang terdapat dalam ṣaḥih Muslim nomor 122
dan Musnad Ahmad nomor 3487 maka hadis ini dapat dikategorikan sebagai hadis
ṣaḥih li ghairihi.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tidak adanya syadz (kejanggalan) dan
‘illat (cacat) pada suatu hadis. Yang dimaksud dengan syadz adalah ketika suatu
hadis diriwayatkan oleh seorang rawi yang ṡiqah tetapi bertentangan dengan
riwayat lain yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang lebih ṡiqah darinya.
Sedangkan ‘illat adalah sebab tersembunyi yang dapat merusak kesahihan suatu
hadis. Setelah diteliti, pada hadis tentang zikir secara jaḥr dalam Ṣahīh al-Bukhārī
nomor hadis 841 terdapat hadis yang bertentangan mengenai zikir secara sirr yang
terdapat di dalam Ṣahīh al-Bukhārī Kitab Tauhid bab ke-9, nomor hadis 7386,
halaman 381, jilid 4, Kitab Qadar Bab ke-7, nomor hadis 6610, halaman 211, jilid
4, Kitab Maghazi, bab ke-38, nomor hadis 4205, halaman 136, jilid, 3, Ṣaḥih
Muslim, kitab zikir, bab ke-13, nomor hadis 44, halaman 1243, dan Ṣaḥih Muslim,
kitab zikir, bab ke-13, nomor hadis 45, halaman 1244. Namun hal ini akan di bahas
dalam analisa kontradiksi hadis, selain itu tidak ditemukan kecacatan tersembunyi
dalam sanad yang dapat merusak kesahihan hadis tersebut.
5. Kritik Matan Hadis Tentang Zikir Jaḥr Nomor Hadis 841
Selain kritik sanad, kritik matan juga perlu dilakukan guna mencari atau
membuktikan kebenaran dari suatu riwayat hadis. Dari segi bentuk periwayatan
‫‪60‬‬

‫‪matan hadis terbagi kepada dua bagian, yaitu diriwayatkan secara ma’na ataupun‬‬
‫‪secara lafzi. Hal ini dapat diketahui dengan cara melihat apakah terdapat perbedaan‬‬
‫‪redaksi dalam matan hadis yang setema. Berikut merupakan data hadis tentang zikir‬‬
‫‪jaḥr.‬‬
‫‪a. Ṣahīh al-Bukhārī, kitab azan, bab ke-155, nomor hadis 841, halaman 433.‬‬

‫َخ َََبِِن َع ْمٌرو أ َّ‬


‫َن أ َََب‬ ‫الرز ِ‬ ‫ص ٍر قَ َ‬ ‫َحدَّثَنَا إِ ْس َح ُ‬
‫ال أ ْ‬
‫َخ َََبََن ابْ ُن ُجَريْ ٍج قَ َ‬
‫ال أ ْ‬
‫َّاق قَ َ‬ ‫ال َحدَّثَنَا َعْب ُد َّ‬ ‫اق بْ ُن نَ ْ‬

‫اس َر ِض َي َّ‬
‫اّللُ َعْن ُه َما أ ْ‬
‫َخ َََبهُ‬ ‫َن ابْ َن َعبَّ ٍ‬
‫َخ َََبهُ أ َّ‬ ‫َم ْعبَ ٍد َم ْوََل ابْ ِن َعبَّ ٍ‬
‫اس أ ْ‬
‫اّللُ َعلَْي ِه‬
‫صلَّى َّ‬ ‫َّاس ِم ْن الْ َمكْتُوبَِة َكا َن َعلَى َع ْه ِد النِ ِ‬
‫َّب َ‬ ‫ص ِر ُ‬
‫ف الن ُ‬ ‫ْي يَْن َ‬
‫َن رفْع َّ ِ ِ ِ‬
‫الص ْوت َِبلذ ْك ِر ح َ‬ ‫أ َّ َ َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫صَرفُوا بِ َذل َ‬
‫ك إِ َذا ََس ْعتُهُ‬ ‫ت أ َْعلَ ُم إِ َذا انْ َ‬ ‫َو َسلَّ َم َوقَ َ‬
‫ال ابْ ُن َعبَّ ٍ‬
‫اس ُكْن ُ‬
‫‪b. Ṣaḥih Muslim, kitab masjid dan tempat-tempat shalat, bab ke-22, nomor hadis‬‬
‫‪122, halaman 264.‬‬

‫ال ح و َح َّدثَِِن إِ ْس َح ُق بْ ُن َمْن ُ‬


‫صوٍر‬ ‫َخ َََبََن ُُمَ َّم ُد بْ ُن بَ ْك ٍر أ ْ‬
‫َخ َََبََن ابْ ُن ُجَريْ ٍج قَ َ‬ ‫ُُمَ َّم ُد بْن َح ٍِ‬
‫اِت أ ْ‬ ‫ُ‬
‫َن أ َََب َم ْعبَ ٍد َم ْوََل ابْ ِن‬
‫َخ َََبِِن َع ْم ُرو بْ ُن ِدينَا ٍر أ َّ‬
‫َخ َََبََن ابْ ُن ُجَريْ ٍج أ ْ‬
‫ال أَخَبََن عب ُد َّ ِ‬
‫الرزَّاق أ ْ‬ ‫َواللَّ ْف ُ‬
‫ظ لَهُ قَ َ ْ ََ َْ‬

‫َخ َََبهُ‬ ‫َن ابْ َن َعبَّ ٍ‬


‫اس أ ْ‬ ‫َخ َََبهُ أ َّ‬ ‫َعبَّ ٍ‬
‫اس أ ْ‬
‫اّللُ َعلَْي ِه‬
‫صلَّى َّ‬ ‫اس ِم ْن الْ َمكْتُوبَِة َكا َن َعلَى َع ْه ِد النِ ِ‬
‫َّب َ‬ ‫ص ِر ُ‬
‫ف النَّ ُ‬ ‫ْي يَْن َ‬
‫َن رفْع َّ ِ ِ ِ‬
‫الص ْوت َِبلذ ْك ِر ح َ‬ ‫أ َّ َ َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫صَرفُوا بِ َذل َ‬
‫ك إِ َذا ََس ْعتُهُ‬ ‫ت أ َْعلَ ُم إِ َذا انْ َ‬ ‫ال ابْ ُن َعبَّ ٍ‬
‫اس ُكْن ُ‬ ‫َو َسلَّ َم َوأَنَّهُ قَ َ‬
‫ال قَ َ‬
‫‪c. Musnad Ahmad bin Hanbal, nomor hadis 3478, halaman 433.‬‬

‫َن أ َََب َم ْعبَ ٍد َم ْوََل ابْ ِن‬


‫َخ َََبِِن َع ْم ُرو بْ ُن ِدينَا ٍر أ َّ‬
‫ال أ ْ‬
‫عب ُد َّ ِ‬
‫الرَّزاق َوابْ ُن بَ ْك ٍر قَ َاَل أ ْ‬
‫َخ َََبََن ابْ ُن ُجَريْ ٍج قَ َ‬ ‫َْ‬

‫َخ َََبهُ‬ ‫َعبَّ ٍ‬


‫اس أ ْ‬
‫َّاس ِم ْن الْ َمكْتُوبَِة َكا َن َعلَى َع ْه ِد‬ ‫ص ِر ُ‬
‫ف الن ُ‬ ‫ْي يَْن َ‬
‫َن رفْع َّ ِ ِ ِ‬
‫الص ْوت َِبلذ ْك ِر ح َ‬ ‫َخ َََبهُ أ َّ َ َ‬ ‫َن ابْ َن َعبَّ ٍ‬
‫اس أ ْ‬ ‫أ َّ‬

‫اّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬


‫صلَّى َّ‬ ‫النِ ِ‬
‫َّب َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫صَرفُوا بِ َذل َ‬
‫ك إِ َذا ََس ْعتُهُ‬ ‫ت أ َْعلَ ُم إِ َذا انْ َ‬ ‫ال ابْ ُن َعبَّ ٍ‬
‫اس ُكْن ُ‬ ‫َوأَنَّهُ قَ َ‬
‫ال قَ َ‬
61

Dari ketiga redaksi hadis di atas, dapat dilihat bahwa setiap matan hadis sama
antara satu redaksi dengan redaksi lainnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa
hadis tentang berzikir secara jaḥr diriwayatkan secara lafzi. Selain itu, terdapat
beberapa kriteria kesahihan matan hadis, kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai
berikut.

a. Tidak bertentangan dengan ayat al-Qur’an


Dalam hadis zikir secara jaḥr yang terdapat di dalam Ṣahīh al-Bukhārī
nomor hadis 841, terlihat bertentangan dengan ayat al-Qur’an pada surah al-
A’raf ayat 55 yang berbunyi sebagai berikut.

‫ين‬ ِ ‫ب ٱلْمعت‬
‫د‬ َ ُّ ُِ ‫ٱ ْدعو۟ا ربَّ ُكم تَضُّرعا وخ ْفيةً ۚ إِنَّهۥ ََل‬
‫ُي‬
َ ُ ْ ُ َ َُ ً َ ْ َ ُ
“Berdo’alah kepada tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Setelah diteliti, ayat ini tidak bertentangan dengan hadis zikir secara jaḥr
yang terdapat di dalam Ṣahīh al-Bukhārī nomor hadis 841, Ibnu Jarir
mengatakan, makna tadarru' ialah berendah diri dan tenang dalam ketaatan
kepada-Nya. Yang dimaksud dengan khufyah ialah dengan hati yang
khusyuk, penuh keyakinan kepada keesaan dan kekuasaan-Nya terhadap
semua yang ada antara kalian dan Dia, bukan dengan suara yang keras untuk
pamer. Ibnu Juraij mengatakan bahwa makruh mengeraskan suara, berseru,
dan menjerit dalam berdoa, hal yang diperintahkan ialah melakukannya
dengan penuh rasa rendah diri dan hati yang khusyuk.27 Peneliti
menyimpulkan bahwa larangan zikir jaḥr konteksnya adalah ketika itu bisa
mengurangi kerendahan hati dan kekhusyukan, adapun ketika zikir jaḥr itu
dilakukan dengan kerendahan hati dan kekhusyukan dalam hal ini jelas
diperbolehkan.
b. Tidak bertentangan dengan hadis lain dan sejarah
Tidak ada data yang menunjukkan bahwa adanya naskh-mansukh pada
hadis ini. Dalam hal bertentangan dengan hadis lain, hadis tentang zikir
secara jaḥr dalam Ṣahīh al-Bukhārī nomor hadis 841 bertentangan dengan
hadis tentang zikir secara sirr yang terdapat di dalam Ṣahīh al-Bukhārī Kitab

27
Ismail bin Umar bin Katsir al-Qursyi al-Damasyqi, Lubaab al-Tafsir min Ibni Katsir vol. 3, Terj. M.
Abdul Ghaffar, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2003), 394
62

Tauhid bab ke-9, nomor hadis 7386, halaman 381, jilid 4, Kitab Qadar Bab
ke-7, nomor hadis 6610, halaman 211, jilid 4, Kitab Maghazi, bab ke-38,
nomor hadis 4205, halaman 136, jilid, 3, Ṣaḥih Muslim, kitab zikir, bab ke-
13, nomor hadis 44, halaman 1243, dan Ṣaḥih Muslim, kitab zikir, bab ke-
13, nomor hadis 45, halaman 1244. Oleh sebab itu di dalam penelitian ini
terdapat analisa terhadap kontradiksi hadis.
c. Tidak bertentangan dengan akal
Berzikir menggunakan suara yang keras pernah dilakukan di masa
Rasulullah, ketika itu ‘Abd Allah bin ‘Abbas pernah mendengar Rasulullah
mengangkat suaranya ketika berzikir setelah melaksanakan shalat fardu,
sehingga ‘Abd Allah bin ‘Abbas mengatakan ia tahu kapan orang-orang
meninggalkan shalat karena mendengar bacaan zikir tersebut.28 Dapat
disimpulkan bahwa, hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan akal.
Dari data kritik sanad dan kritik matan hadis tentang zikir secara jaḥr dalam
Ṣahīh al-Bukhārī nomor hadis 841 dapat disimpulkan bahwa seluruh sanad dari
mukharrij hingga sahabat memiliki ketersambungan, seluruh perawi memiliki sifat
adil, namun terdapat rawi yang ke-dhabit-annya dinilai ṣaduq akan tetapi terdapat
hadis penguat lainnya. Selanjutnya tidak adanya syadz maupun ‘illat di dalamnya
sehingga dapat di simpulkan kualitas dari sanad hadis tersebut adalah ṣaḥih li
ghairihi. Sementara, dari segi matan-nya terdapat kontradiksi dengan hadis lain
yaitu hadis tentang zikir secara sirr yang terdapat di dalam Ṣahīh al-Bukhārī Kitab
Tauhid bab ke-9, nomor hadis 7386, halaman 381, jilid 4, Kitab Qadar Bab ke-7,
nomor hadis 6610, halaman 211, jilid 4, Kitab Maghazi, bab ke-38, nomor hadis
4205, halaman 136, jilid, 3, Ṣaḥih Muslim, kitab zikir, bab ke-13, nomor hadis 44,
halaman 1243, dan Ṣaḥih Muslim, kitab zikir, bab ke-13, nomor hadis 45, halaman
1244. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini terdapat analisa terhadap kontradiksi
hadis.

B. Kualitas Hadis Tentang Zikir Sirr

1. Tinjauan al-Jarh wa al-Ta’dil Perawi Hadis Pertama


a. ‘Abd Allah bin Qais bin Sulaim bin Hadldlor (Abu Musa W: 50 H)

28
Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Baari vol. 4, Terj. Abdul Aziz Abdullah bin Baz, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2003), 712
63

‘Abd Allah bin Qais memiliki kunyah Abu Musa al-Asy’ari, ia


merupakan salah satu dari sahabat Rasulullah, ia datang ke Mekkah sebelum
hijrah kemudian ia memeluk Islam dan hijrah ke Habasyah. Ia meriwayatkan
hadis yang ia dapat langsung dari Rasulullah, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ali, Ibn
‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Ammar bin Yasir, dan Mu’az bin Jabal. Beberapa di
antara muridnya adalah Anas bin Malik, Abu Sa’id al-Khudri, Abu ‘Utsman
al-Nahdi, Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami, Zaid bin Wahhab, dan Abu
‘Ubaidah bin ‘Abd Allah bin Mas’ud.29
b. ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr (Abu ‘Utsman W: 95 H)
‘Abd al-Rahman bin Mall memiliki kunyah Abu ‘Utsman. Ia
meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya di antaranya adalah ‘Umar, ‘Ali,
Thalhah bin Mas’ud, Abi Dzar, ‘Ubay bin Ka’ab, ‘Usamah bin Zaid, ‘Amr bin
‘Ash, dan Abu Musa al-Asy’ari. Beberapa di antara muridnya adalah Qatadah,
‘Ashim al-Ahwal, Ayyub al-Sakhtiyani, Khalid al-Huzai, Abu Tamimah al-
Hajimi, ‘Utsman bin Ghiyats, ‘Abbas al-Jarir, dan Sulaiman al-Taim. Menurut
Abu Zur’ah, al-Nasa’i, Ibn Khurasy, Ibn Sa’d, dan Ibn Hibban ia merupakan
seorang yang ṡiqah.30 Menurut Ibn al-Madani dan Abu Hatim ia merupakan
seorang periwayat yang ṡiqah.31 Kritikus hadis memberikan penilaian positif
kepada ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr, dengan demikian hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia
menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’ berupa lafaz ‘an.
c. Ayyub bin Abi Tamimah Kaysan (Abu Bakar: 131 H)
Ayyub bin Abi Tamimah Kaysan memiliki kunyah Abu Bakar. Ia
meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya di antaranya adalah ‘Amr bin
Salamah al-Jarmi, al-Qasim bin Muhammad, ‘Abd al-Rahman bin al-Qasim,
‘Amr bin Dinar, Abu ‘Utsman al-Nahdi, dan Hafsah binti Sirrin. Beberapa di
antara muridnya adalah al-A’masy dari rekan-rekannya, Qatadah dari orang
tuanya, Hammadan, Sufayanan, Syu’bah, ‘Abd al-Warits, Malik, Ibn Ishaq,
Sa’id bin Abi ‘Urwabah, dan Ibn ‘Ulayyah. Menurut Ibn Khaitsamah ia seorang
yang ṡiqah ṡabat, Ibn Sa’id dan al-Nasa’i ia adalah seorang yang ṡiqah ṡabat,

29
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 5, 362
30
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 6, 277
31
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, 6, 57
64

menurut Abu Hatim dan Ibn Hibban ia adalah seorang yang ṡiqah, 32 menurut
Muhammad bin Sa’d ia merupakan seorang yang ṡiqah.33 Kritikus hadis
memberikan penilaian positif kepada Ayyub bin Abi Tamimah Kaysan, dengan
demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan
hadis di atas, ia menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’ berupa lafaz ‘an.
d. Hammad bin Zaid bin Dirham (Abu Ismail W: 179 H)
Hammad bin Zaid memiliki kunyah Abu Ismail. Ia berguru kepada
‘Ashim al-Ahwal, Abu Hazim Salamah bin Dinar, Shalih bin Kaysan, ‘Amr bin
Dinar, Hisyam bin ‘Urwah, dan yang lainnya dari kalangan tabi’in dan
setelahnya. Beberapa di antara muridnya adalah Ibn al-Mubarak, Ibn Mahdi,
Ibn Wahhab, Ibn ‘Uyaynah, Sulaiman bin Harb, ‘Amr bin ‘Auf, ‘Ali bin al-
Madani, dan Qutaibah. Menurut Muhammad bin Sa’id ia adalah seorang yang
ṡiqah ṡabat, menurut Ibn Hibban, Ya’kub bin Syaibah, dan al-Khalili ia adalah
seorang yang ṡiqah.34 Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada
Hammad bin Zaid bin Dirham, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya
dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia menggunakan sighat al-
tahammu wa al-ada’ berupa lafaz ḥaddaṡana.
e. Sulaiman bin Harb bin Bujail (Abu Ayyub W: 224 H)
Sulaiman bin Harb memiliki kunyah Abu Ayyub. Ia meriwayatkan hadis
dari beberapa gurunya di antaranya adalah Hammadin, Yazid bin Ibrahim, al-
Mubarak bin Fadhalah, Jarir bin Hazm. Beberapa di antara muridnya adalah
Bukhārī, Abu Daud, Abi Bakr ibn Abi Syaibah, Ahmad bin Sa’id al-Darimi,
‘Utsman bin Abi Syaibah, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, dan beberapa
lainnya. Menurut Abu Hatim, Ibn Hibban dan Ibn Sa’d ia adalah seorang yang
ṡiqah, menurut Ya’kub bin Abi Syaibah ia adalah seorang yang ṡiqah ṡabat.35
Menurut al-Nasa’i ia merupakan seorang yang ṡiqah ma’mun.36 Sulaiman bin
Harb bin Bujail. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia menggunakan sighat al-
tahammu wa al-ada’ berupa lafaz ḥaddaṡana.
f. al-Bukhārī (W: 256 H)

32
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 1, 397
33
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, 1, 433
34
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 3, 9
35
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 4, 178
36
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, 4, 133
65

Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin
bardizbah biasa dikenal dengan sebutan Imam al-Bukhārī, al-Dzahabi
mengatakan ia merupakan amirul mukminin fi ḥadiṡ.37 Beberapa di antara
sekian banyak guru-gurunya adalah Ubaidillah bin Musa, Muhammad bin
Abdillah Al-Anshari, ‘Afan, Abu ‘Asim al-Nabil, Makki bin Ibrahim, Abi Al-
Mughirah, dan Ahmad bin Khalid Al-Wahbi. Beberapa di antara sekian banyak
muridnya yang terkenal adalah Tirdmidzi, Muslim, dan al-Nasa’i.38 Kritikus
hadis memberikan penilaian positif kepada al-Bukhārī, dengan demikian hadis
yang diriwayatkannya dapat diterima.
2. Tinjauan al-Jarh wa al-Ta’dil Perawi Hadis Kedua
a. ‘Abd Allah bin Qais bin Sulaim bin Hadldlor (Abu Musa W: 50 H)
‘Abd Allah bin Qais memiliki kunyah Abu Musa al-Asy’ari, ia
merupakan salah satu dari sahabat Rasulullah, ia datang ke Mekkah sebelum
hijrah kemudian ia memeluk Islam dan hijrah ke Habasyah. Ia meriwayatkan
hadis yang ia dapat langsung dari Rasulullah, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ali, Ibn
‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Ammar bin Yasir, dan Mu’az bin Jabal. Beberapa di
antara muridnya adalah Anas bin Malik, Abu Sa’id al-Khudri, Abu ‘Utsman
al-Nahdi, Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami, Zaid bin Wahhab, dan Abu
‘Ubaidah bin ‘Abd Allah bin Mas’ud.39
b. ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr (Abu ‘Utsman W: 95 H)
‘Abd al-Rahman bin Mall memiliki kunyah Abu ‘Utsman. Ia
meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya di antaranya adalah ‘Umar, ‘Ali,
Thalhah bin Mas’ud, Abi Dzar, ‘Ubay bin Ka’ab, ‘Usamah bin Zaid, ‘Amr bin
‘Ash, dan Abu Musa al-Asy’ari. Beberapa di antara muridnya adalah Qatadah,
‘Ashim al-Ahwal, Ayyub al-Sakhtiyani, Khalid al-Huzai, Abu Tamimah al-
Hajimi, ‘Utsman bin Ghiyats, ‘Abbas al-Jarir, dan Sulaiman al-Taim. Menurut
Abu Zur’ah, al-Nasa’i, Ibn Khurasy, Ibn Sa’d, dan Ibn Hibban ia merupakan
seorang yang ṡiqah.40 Menurut Ibn al-Madani dan Abu Hatim ia merupakan
seorang periwayat yang ṡiqah.41 Kritikus hadis memberikan penilaian positif
kepada ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr, dengan demikian hadis yang

37
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, 8, 32
38
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 9, 47
39
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 5, 362
40
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 6, 277
41
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, 6, 57
66

diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia


menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’ berupa lafaz ‘an.
c. Khalid bin Mihran (Abu al-Manazil W: 141 H)
Khalid bin Mihran mempunya kunyah Abu al-Manazil. Ia meriwayatkan
hadis dari beberapa gurunya di antaranya adalah Abi Utsman al-Nahdi, Sa’id
bin Abi al-Hasan al-Bishri, Yusuf bin ‘Abd Allah, ‘Ammar bin Abi ‘Ammar
maula Bani Hisyam, dan beberapa lainnya. Beberapa di antara muridnya adalah
‘Abd al-Wahhab al-Tsaqfi, Ibn Abi ‘Adi, Yazid bin Zurai’, dan beberapa
lainnya. Menurut Ibn Ma’in, Abu Hatim, Ibn Hibban, dan al-‘Ajli ia adalah
seorang yang ṡiqah.42 Menurut Ahmad bin Hanbal ia merupakan seorang
periwayat yang ṡabat dan menurut an-Nasa’i ia merupakan seorang periwayat
yang ṡiqah.43 Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada Khalid bin
Mihran, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima. Dalam
meriwayatkan hadis di atas, ia menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’
berupa lafaz akhbarana.
d. ‘Abd Allah bin al-Mubarak bin Wadlih (Abu Abd al-Rahman W: 181 H)
‘Abd Allah bin al-Mubarak memiliki kunyah Abu ‘Abd al-Rahman. Ia
berguru kepada Ismail bin Abi Khalid, Yahya bin Sa’id al-Anshari, Sa’d bin
Sa’id al-Anshari, ‘Akramah bin Ammar, Ibrahim bin ‘Uqbah, Hisyam bin
‘Urwah, Muhammad bin Abi Hafsah dan beberapa lainnya. Beberapa di antara
muridnya adalah Abu Ishaq al-Fazari, Yahya bin Ma’in, Hibban bin Musa, ‘Abd
Allah bin Utsman ‘Abdan, Abu Bakr bin Ashram, dan Muhammad bin
Muqatil al-Marwazi. Menurut Ibn Ma’in dan Ibn Hibban ia adalah seorang
yang ṡiqah menurut Ibn Sa’d ia adalah seorang yang ṡiqah ma’mun, menurut
al-‘Ajli ia adalah seorang yang ṡiqah ṡabat.44 Menurut Ahmad bin Hanbal ia
merupakan seorang hafizh dalam bidang hadis dan menurut Abu Hatim ia
merupakan seorang ṡiqah imam.45 Kritikus hadis memberikan penilaian positif
kepada ‘Abd Allah bin al-Mubarak bin Wadlih, dengan demikian hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia
menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’ berupa lafaz akhbarana.

42
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 3, 120
43
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, 3, 106
44
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 5, 382
45
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, 5, 272
67

e. Muhammad bin Muqatil (Abu al-Hasan W: 226 H)


Muhammad bin Muqatil memiliki kunyah Abu al-Hasan. Ia berguru
kepada Ibn al-Mubarak, Mubarak bin Sa’id al-Tsauri, Khalif bin Khalifah,
Ya’la bin ‘Ubaid, al-Nadhr bin Syamil, dan beberapa lainnya. Beberapa di
antara muridnya adalah Bukhārī, Ahmad bn Hanbal, Abu Hatim, Abu Zur’ah,
Ibrahim bin al-Junaidi, Ibrahim al-Harabi, dan Muhammad bin ‘Ali bin Zaid al-
Shaigh. Menurut Abu Hatim ia merupakan seorang yang shaduuq dalam bidang
hadis dan menurut Ibn Hibban disebutkan dalam al-tsiqaah, menurut al-Khalili
ia adalah seorang yang ṡiqah.46 Kritikus hadis memberikan penilaian positif
kepada Muhammad bin Muqatil, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya
dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia menggunakan sighat al-
tahammu wa al-ada’ berupa lafaz ḥaddaṡana.
f. Al-Bukhārī (W: 256 H)
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin
bardizbah biasa dikenal dengan sebutan Imam al-Bukhārī, al-Dzahabi
mengatakan ia merupakan amirul mukminin fi ḥadiṡ.47 Beberapa di antara
sekian banyak guru-gurunya adalah Ubaidillah bin Musa, Muhammad bin
Abdillah Al-Anshari, ‘Afan, Abu ‘Asim al-Nabil, Makki bin Ibrahim, Abi Al-
Mughirah, dan Ahmad bin Khalid Al-Wahbi. Beberapa di antara sekian banyak
muridnya yang terkenal adalah Tirdmidzi, Muslim, dan al-Nasa’i.48 Kritikus
hadis memberikan penilaian positif kepada al-Bukhārī, dengan demikian hadis
yang diriwayatkannya dapat diterima.
3. Tinjauan al-Jarh wa al-Ta’dil Perawi Hadis Ketiga
a. ‘Abd Allah bin Qais bin Sulaim bin Hadldlor (Abu Musa W: 50 H)
‘Abd Allah bin Qais memiliki kunyah Abu Musa al-Asy’ari, ia
merupakan salah satu dari sahabat Rasulullah, ia datang ke Mekkah sebelum
hijrah kemudian ia memeluk Islam dan hijrah ke Habasyah. Ia meriwayatkan
hadis yang ia dapat langsung dari Rasulullah, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ali, Ibn
‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Ammar bin Yasir, dan Mu’az bin Jabal. Beberapa di
antara muridnya adalah Anas bin Malik, Abu Sa’id al-Khudri, Abu ‘Utsman

46
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 9, 469
47
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, 8, 32
48
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 9, 47
68

al-Nahdi, Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami, Zaid bin Wahhab, dan Abu
‘Ubaidah bin ‘Abd Allah bin Mas’ud.49
b. ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr (Abu ‘Utsman W: 95 H)
‘Abd al-Rahman bin Mall memiliki kunyah Abu ‘Utsman. Ia
meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya di antaranya adalah ‘Umar, ‘Ali,
Thalhah bin Mas’ud, Abi Dzar, ‘Ubay bin Ka’ab, ‘Usamah bin Zaid, ‘Amr bin
‘Ash, dan Abu Musa al-Asy’ari. Beberapa di antara muridnya adalah Qatadah,
‘Ashim al-Ahwal, Ayyub al-Sakhtiyani, Khalid al-Huzai, Abu Tamimah al-
Hajimi, ‘Utsman bin Ghiyats, ‘Abbas al-Jarir, dan Sulaiman al-Taim. Menurut
Abu Zur’ah, al-Nasa’i, Ibn Khurasy, Ibn Sa’d, dan Ibn Hibban ia merupakan
seorang yang ṡiqah.50 Menurut Ibn al-Madani dan Abu Hatim ia merupakan
seorang periwayat yang ṡiqah.51 Kritikus hadis memberikan penilaian positif
kepada ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr, dengan demikian hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia
menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’ berupa lafaz ‘an.
c. ‘Ashim bin Sulaiman (Abu ‘Abd al-Rahman W: 142 H)
‘Ashim bin Sulaiman al-Ahwal memiliki kunyah Abu ‘Abd al-Rahman
al-Bishri, ia merupakan budak dari Bani Tamim. Ia berguru kepada ‘Amr bin
Salamah al-Jarimi, Bakr bin ‘Abd Allah al-Mazali, Abi al-Walid ‘Abd Allah bin
al-Harits al-Bishri, Abi ‘Utsman al-Nahdi, Muhammad bin Sirin, Hafshah binti
Sirin, dan beberapa lainnya. Beberapa di antara muridnya adalah Hammad bin
Zaid, al-Hasan bin Shalih, ‘Abbad bin ‘Abbad, ‘Abd al-Wahid bin Ziyad,
Ismail bin Zakariya, Hafs bin Ghiyats, Muhammad bin Fudhail, dan ‘Abd al-
Rahim bin Sulaiman. Menurut Ahmad bin Hanbal, Ibn Hibban dan Ibn Ma’in
ia adalah seorang yang ṡiqah. Menurut al-Madini dan al-Daruquthni ia adalah
seorang yang ṡabat.52 Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada
‘Ashim bin Sulaiman, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya dapat
diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas ia menggunakan sighat al-
tahammu wa al-‘ada berupa lafaz ‘an.
d. ‘Abd al-Wahid bin Ziyad (Abu Bisyr W: 176 H)

49
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 5, 362
50
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 6, 277
51
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, 6, 57
52
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 5, 42
69

‘Abd al-Wahid bin Ziyad memiliki kunyah Abu Bisyr. Ia meriwayatkan


hadis dari beberapa gurunya, di antaranya adalah Abi Ishaq al-Syaibani, ‘Ashim
al-Ahwal, Yazid bin Abi Burdah, al-Hasan bin ‘Ubaidillah, Thalhah bin Yahya
bin Thalhah, ‘Utsman bin Hakim al-Anshari, dan ‘Amr bin Maimun bin Mihran.
Beberapa di antara muridnya adalah Ibn Mahdi, Yunus bin Muhammad, Musa
bin Ismail, Qais bin Hafs, Abu Bakar bin Abi al-Aswad, Yahya bin Yahya al-
Naisaburi, dan Qutaibah bin Sa’id. Menurut Abu ‘Awanah, Abu Hatim, Ibn
Sa’d, Abu Daud, al-‘Ajli, Ibn Hibban dan Abu Zur’ah ia adalah seorang yang
ṡiqah, al-Nasa’i menyebutnya laisa bihi ba’s, menurut al-Daruquthni ia adalah
seorang yang ṡiqah ma’mun, menurut Ibn ‘Abdilbarr ia adalah seorang yang
ṡiqah ṡabat.53 Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada ‘Abd al-
Wahid bin Ziyad, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
Dalam meriwayatkan hadis di atas ia menggunakan sighat al-tahammu wa al-
‘ada berupa lafaz ḥaddaṡana.
e. Musa bin Ismail (Abu Salamah W: 223 H)
Musa bin Ismail memiliki kunyah Abu Salamah. Ia meriwayatkan hadis
dari beberapa gurunya, di antaranya adalah Jarir bin Hazm, Hammad bin
Salamah, ‘Abd al-‘Aziz bin Abi Bakrah, Sulaiman bin al-Mughirah, ‘Abd al-
Wahid bin Ziyad, ‘Abd al-‘Aziz bin Muslim, dan ‘Abd al-Warits bin Sa’id.
Beberapa di antara muridnya adalah Bukhārī, Abu Dawud, Ahmad bin al-
Hasan al-Tirmidzi, Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Manshur al-Ramadi, Abu
Zur’ah, dan Abu Hatim. Menurut Ibn Ma’in ia adalah seorang yang ṡiqah
ma’mun, menurut Abu Hatim ia adalah seorang yang tsiqat ṣaduq, Ibn Hibban,
Ibn Sa’d, dan al-‘Ajli menyebutnya ṡiqah. Menurut Ibn Khirasy ia adalah
seorang yang ṣaduq.54 Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada
Musa bin Ismail, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
Dalam meriwayatkan hadis di atas ia menggunakan sighat al-tahammu wa al-
‘ada berupa lafal ḥaddaṡana.
f. Al-Bukhārī (W: 256 H)
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin
bardizbah biasa dikenal dengan sebutan Imam al-Bukhārī, al-Dzahabi

53
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 6, 434
54
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 10, 333
70

mengatakan ia merupakan amirul mukminin fi ḥadiṡ.55 Beberapa di antara


sekian banyak guru-gurunya adalah Ubaidillah bin Musa, Muhammad bin
Abdillah Al-Anshari, ‘Afan, Abu ‘Asim al-Nabil, Makki bin Ibrahim, Abi Al-
Mughirah, dan Ahmad bin Khalid Al-Wahbi. Beberapa di antara sekian banyak
muridnya yang terkenal adalah Tirdmidzi, Muslim, dan al-Nasa’i.56 Kritikus
hadis memberikan penilaian positif kepada al-Bukhārī, dengan demikian hadis
yang diriwayatkannya dapat diterima.
4. Tinjauan al-Jarh wa al-Ta’dil Perawi Hadis Keempat
a. ‘Abd Allah bin Qais bin Sulaim bin Hadldlor (Abu Musa W: 50 H)
‘Abd Allah bin Qais memiliki kunyah Abu Musa al-Asy’ari, ia
merupakan salah satu dari sahabat Rasulullah, ia datang ke Mekkah sebelum
hijrah kemudian ia memeluk Islam dan hijrah ke Habasyah. Ia meriwayatkan
hadis yang ia dapat langsung dari Rasulullah, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ali, Ibn
‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Ammar bin Yasir, dan Mu’az bin Jabal. Beberapa di
antara muridnya adalah Anas bin Malik, Abu Sa’id al-Khudri, Abu ‘Utsman
al-Nahdi, Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami, Zaid bin Wahhab, dan Abu
‘Ubaidah bin ‘Abd Allah bin Mas’ud.57
b. ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr (Abu ‘Utsman W: 95 H)
‘Abd al-Rahman bin Mall memiliki kunyah Abu ‘Utsman. Ia
meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya di antaranya adalah ‘Umar, ‘Ali,
Thalhah bin Mas’ud, Abi Dzar, ‘Ubay bin Ka’ab, ‘Usamah bin Zaid, ‘Amr bin
‘Ash, dan Abu Musa al-Asy’ari. Beberapa di antara muridnya adalah Qatadah,
‘Ashim al-Ahwal, Ayyub al-Sakhtiyani, Khalid al-Huzai, Abu Tamimah al-
Hajimi, ‘Utsman bin Ghiyats, ‘Abbas al-Jarir, dan Sulaiman al-Taim. Menurut
Abu Zur’ah, al-Nasa’i, Ibn Khurasy, Ibn Sa’d, dan Ibn Hibban ia merupakan
seorang yang ṡiqah.58 Menurut Ibn al-Madani dan Abu Hatim ia merupakan
seorang periwayat yang ṡiqah.59 Kritikus hadis memberikan penilaian positif
kepada ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr, dengan demikian hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia
menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’ berupa lafaz ‘an.

55
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, 8, 32
56
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 9, 47
57
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 5, 362
58
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 6, 277
59
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, 6, 57
71

c. ‘Ashim bin Sulaiman (Abu ‘Abd al-Rahman W: 142 H)


‘Ashim bin Sulaiman al-Ahwal memiliki kunyah Abu ‘Abd al-Rahman
al-Bishri, ia merupakan budak dari Bani Tamim. Ia berguru kepada ‘Amr bin
Salamah al-Jarimi, Bakr bin ‘Abd Allah al-Mazali, Abi al-Walid ‘Abd Allah bin
al-Harits al-Bishri, Abi ‘Utsman al-Nahdi, Muhammad bin Sirin, Hafshah binti
Sirin, dan beberapa lainnya. Beberapa di antara muridnya adalah Hammad bin
Zaid, al-Hasan bin Shalih, ‘Abbad bin ‘Abbad, ‘Abd al-Wahid bin Ziyad, Ismail
bin Zakariya, Hafs bin Ghiyats, Muhammad bin Fudhail, dan ‘Abd al-Rahim
bin Sulaiman. Menurut Ahmad bin Hanbal, Ibn Hibban dan Ibn Ma’in ia adalah
seorang yang ṡiqah. Menurut al-Madini dan al-Daruquthni ia adalah seorang
yang ṡabat.60 Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada ‘Ashim bin
Sulaiman, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima. Dalam
meriwayatkan hadis di atas ia menggunakan sighat al-tahammu wa al-‘ada
berupa lafaz ‘an.
d. Muhammad bin Fudhail bin Gazwan bin Jarir (Abu ‘Abd al-Rahman W: 195 H)
Muhammad bin Fudhail bin Gazwan bin Jarir memiliki kunyah Abu
‘Abd al-Rahman. Ia meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya di antaranya
adalah Ismail bin Abi Khalid, Hisyam bin ‘Urwah, Yahya bin Sa’id al-Anshari,
Basyir Abi Ishaq, ‘Ashim al-Ahwal, Hushain bin ‘Abd al-Rahman dan Bayan
bin Basyir. Beberapa di antara muridnya adalah Ahmad bin Hanbal, ‘Abd Allah
bin ‘Ammar, ‘Ali bin Harb, Abu Bakar, Abu Hasyim al-Rifa’i, ‘Imran bin
Maisarah, dan ‘Amr bin ‘Ali al-Fallasi. Menurut Ibn Ma’in ia adalah seorang
yang ṡiqah, menurut Abu Zur’ah ia adalah seorang yang ṣaduq, al-Nasa’i
menyebutkan laisa bihi ba’s, Ibn Hibban menyebutkan al-tsiqaah, menurut Ibn
Sa’d ia adalah seorang yang ṡiqah ṣaduq, menurut al-‘Ajli ia adalah seorang
yang ṡiqah, menurut ‘Ali bin al-Madini ia adalah seorang yang ṡiqah ṡabat.61
Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada Muhammad bin Fudhail bin
Gazwan bin Jarir, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
Dalam meriwayatkan hadis di atas ia menggunakan sighat al-tahammu wa al-
‘ada berupa lafal ḥaddaṡana.
e. ‘Abd Allah bin Muhammad bin Abi Syaibah (Abu Bakar W: 235)

60
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 5, 42
61
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 9, 405
72

‘Abd Allah bin Muhammad bin Abi Syaibah memiliki kunyah Abu
Bakar. Ia meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya di antaranya adalah ‘Abd
Allah bin Idris, Ibn al-Mubarak, Abi Usamah, Abi Mu’awiyah, Muhammad
bin Fudhail, Marwan bin Mu’awiyah, dan Yazid bin Harun. Beberapa di antara
muridnya adalah Bukhārī, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad bin
Hanbal, Yusuf bin Ya’qub al-Naisaburi, dan Abu Ya’la. Menurut Abu Hatim ia
adalah seorang yang ṡiqah, menurut al-‘Ajli dan Ibn Hibban ia adalah seorang
yang ṡiqah.62 Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada ‘Abd Allah
bin Muhammad bin Abi Syaibah, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya
dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas ia menggunakan sighat al-
tahammu wa al-‘ada berupa lafaz ḥaddaṡana.
f. Muslim (W: 261 H)
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-
Naisaburi biasa dikenal dengan sebutan Imam Muslim. Ia berguru kepada al-
Qa’nabi, Ahmad bin Yunus, Daud bin ‘Amr, dan Yahya bin Yahya al-
Naisaburi, Sa’id bin Manshur, dan beberapa lainnya. Beberapa di antara
muridnya adalah al-Tirmidzi, Shalih bin Muhammad al-Hafiẓ, Muhammad bin
‘Abd al-Wahab, ‘Ali bin Isma’il al-Shafar, Abu Muhammad bin Hatim al-Razi,
dan Ibrahim bin Muhammad bin Hamzah. Ibn Abi Hatim mengatakan bahwa ia
adalah seorang yang tsiqat di antara para hafiẓ.63
5. Tinjauan al-Jarh wa al-Ta’dil Perawi Hadis Kelima
a. ‘Abd Allah bin Qais bin Sulaim bin Hadldlor (Abu Musa W: 50 H)
‘Abd Allah bin Qais memiliki kunyah Abu Musa al-Asy’ari, ia
merupakan salah satu dari sahabat Rasulullah, ia datang ke Mekkah sebelum
hijrah kemudian ia memeluk Islam dan hijrah ke Habasyah. Ia meriwayatkan
hadis yang ia dapat langsung dari Rasulullah, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ali, Ibn
‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Ammar bin Yasir, dan Mu’az bin Jabal. Beberapa di
antara muridnya adalah Anas bin Malik, Abu Sa’id al-Khudri, Abu ‘Utsman
al-Nahdi, Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami, Zaid bin Wahhab, dan Abu
‘Ubaidah bin ‘Abd Allah bin Mas’ud.64
b. ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr (Abu ‘Utsman W: 95 H)

62
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 6, 1
63
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 10, 126
64
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 5, 362
73

‘Abd al-Rahman bin Mall memiliki kunyah Abu ‘Utsman. Ia


meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya di antaranya adalah ‘Umar, ‘Ali,
Thalhah bin Mas’ud, Abi Dzar, ‘Ubay bin Ka’ab, ‘Usamah bin Zaid, ‘Amr bin
‘Ash, dan Abu Musa al-Asy’ari. Beberapa di antara muridnya adalah Qatadah,
‘Ashim al-Ahwal, Ayyub al-Sakhtiyani, Khalid al-Huzai, Abu Tamimah al-
Hajimi, ‘Utsman bin Ghiyats, ‘Abbas al-Jarir, dan Sulaiman al-Taim. Menurut
Abu Zur’ah, al-Nasa’i, Ibn Khurasy, Ibn Sa’d, dan Ibn Hibban ia merupakan
seorang yang ṡiqah.65 Menurut Ibn al-Madani dan Abu Hatim ia merupakan
seorang periwayat yang ṡiqah.66 Kritikus hadis memberikan penilaian positif
kepada ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr, dengan demikian hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas, ia
menggunakan sighat al-tahammu wa al-ada’ berupa lafaz ‘an.
c. Sulaiman bin Thurkan (Abu al-Mu’tamar al-Bishri W: 143 H)
Sulaiman bin Thurkan al-Taim memiliki kunyah Abu al-Mu’tamar al-
Bishri. Ia meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya di antaranya adalah Anas
bin Malik, Abu ‘Utsman al-Nahdi, Nu’aim bin Abi Hindun, Abi Bakr bin Abi
Anas bin Malik, Qatadah, al-A’masy, dan Khalid al-Asyja’. Beberapa di antara
muridnya adalah Hammad bin Salamah, Ibn al-Mubarak, Ibrahim bin Sa’d, ‘Isa
bin Yunus, Mu’az bin Mu’az, Yazid bin Harun, Marwan bin Muawiyah, dan
Yusuf bin Ya’qub. Menurut Ibn Ma’in, al-Nasa’i, al-‘ajli, dan Ibn Sa’d, bIbn
Hibban, Ibn Hajar al-Asqalani ia adalah seorang yang ṡiqah.67 Kritikus hadis
memberikan penilaian positif kepada Sulaiman bin Thurkan, dengan demikian
hadis yang diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas
ia menggunakan sighat al-tahammu wa al-‘ada berupa lafaz ḥaddaṡana.
d. Yazid bin Zurai’ (Abu Muawiyah W: 182 H)
Yazid bin Zurai’ memiliki kunyah Abu Muawiyah. Ia meriwayatkan
hadis dari beberapa gurunya di antaranya adalah Sulaiman al-Taim, Abi
Salamah Sa’id bin Yazid, Hisyam bin Hasan, Yunus bin ‘Ubaid, dan ‘Amr bin
Maimun. Beberapa di antara muridnya adalah Ibn al-Mubarak, al-Qa’bani,
Yahya bin Yahya al-Naisaburi, ‘Ali bin al-Madani, Shalih bin Hatim bin
Wardani, Abu Musa, dan Abu Kamil al-Jahdari. Menurut Ibn Ma’in ia adalah

65
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 6, 277
66
Syamsuddin Abi Abdillah al-Dzahabi, Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, 6, 57
67
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 4, 201
74

seorang yang ṣaduq ṡiqah ma’mun, Abu Hatim menyebutnya ṡiqah imam, Ibn
Sa’d dan al-Nasa’i menyebutnya ṡiqah, menurut Ibn Zurai’ dan al-Zuhri ia
adalah seorang yang ṡabat.68 Kritikus hadis memberikan penilaian positif
kepada Yazid bin Zurai’, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya dapat
diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas ia menggunakan sighat al-
tahammu wa al-‘ada berupa lafaz ḥaddaṡana.
e. Fudhail bin Husain bin Thalhah (Abu Kamil al-Jahdari W: 237 H)
Fudhail bin Husain bin Thalhah memiliki kunyah Abu Kamil al-Jahdari.
Ia meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya di antaranya adalah Hammad bin
Zaid, ‘Abd al-Wahid bin Ziyad, Yazid bin Zurai’, Khalid bin ‘Abd Allah,
Khalid bin al-Harits, Sulaim bin Akhdhar, dan Ismail bin ‘Ulayyah. Beberapa
di antara muridnya adalah Bukhārī, Muslim, Abu Dawud, al-Nasa’i, Ahmad
bin Hanbal, Ibn Abi ‘Ashim, al-Hasan bin Sufyan, dan ‘Abdan al-Ahwazi. Ibn
Hibban menyebutnya al-tsiqaat, menurut Ibn Abi Hatim dan ‘Ali al-Madini ia
adalah seorang yang ṡiqah.69 Kritikus hadis memberikan penilaian positif
kepada Fudhail bin Husain bin Thalhah, dengan demikian hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima. Dalam meriwayatkan hadis di atas ia
menggunakan sighat al-tahammu wa al-‘ada berupa lafal ḥaddaṡana.
f. Muslim (W: 261 H)
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-
Naisaburi biasa dikenal dengan sebutan Imam Muslim. Ia berguru kepada al-
Qa’nabi, Ahmad bin Yunus, Daud bin ‘Amr, dan Yahya bin Yahya al-
Naisaburi, Sa’id bin Manshur, dan beberapa lainnya. Beberapa di antara
muridnya adalah al-Tirmidzi, Shalih bin Muhammad al-Hafiẓ, Muhammad bin
‘Abd al-Wahab, ‘Ali bin Isma’il al-Shafar, Abu Muhammad bin Hatim al-Razi,
dan Ibrahim bin Muhammad bin Hamzah. Ibn Abi Hatim mengatakan bahwa ia
adalah seorang yang tsiqat di antara para hafiẓ.70
6. Kritik Sanad Hadis Tentang Zikir Sirr Nomor Hadis 4205
Berikut adalah analisis peneliti terkait kritik sanad pada hadis tentang zikir
secara sirr dalam Ṣahīh al-Bukhārī nomor hadis 4205.
a. al-Bukhārī (W. 256 H) dengan Musa bin Ismail (W. 223 H)

68
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 11,325
69
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 8, 290
70
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, 10, 126
75

Dalam hadis ini, al-Bukhārī merupakan seorang mukharrij dan


menggunakan sighat al-tahammu wa al-‘ada’ berupa lafaz ḥaddaṡana dalam
meriwayatkan hadis tersebut. Lafaz ḥaddaṡana termasuk ke dalam metode
periwayatan al-sama’ yaitu suatu metode dimana seorang murid mendengarkan
suatu hadis langsung dari gurunya. Menurut jumhur ulama metode al-sama’
memiliki tingkatan tertinggi di antara metode lainnya, karena metode ini
memungkinkan seorang murid bertemu dan berhadapan langsung dengan
gurunya. al-Bukhārī wafat pada tahun 256 H dan Musa bin Ismail wafat pada
tahun 223 H yang memungkinkan bahwa keduanya pernah bertemu dan terlibat
dalam hubungan antara murid dan guru. Selain itu juga, al- Bukhārī tercatat
sebagai murid dari Musa bin Ismail. Berdasarkan analisis di atas, peneliti
memberi kesimpulan bahwa jalur sanad antara al-Bukhārī dengan Musa bin
Ismail memiliki sanad yang bersambung. Al-Dzahabi mengatakan bahwa al-
Bukhārī merupakan amirul mukminin fi al-ḥadiṡ. Kritikus hadis memberikan
penilaian positif kepada al-Bukhārī, dengan demikian hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima.
b. Musa bin Isma’il (W. 223 H) dengan ‘Abd al-Wahid bin Ziyad (W. 176 H
Dalam hadis ini, Musa bin Isma’il menggunakan sighat al-tahammu wa
al-’ada’ berupa lafaz ḥaddaṡana. Lafaz ḥaddaṡana termasuk ke dalam metode
periwayatan al-sama’ yaitu suatu metode dimana seorang murid mendengarkan
suatu hadis langsung dari gurunya. Menurut jumhur ulama metode al-sama’
memiliki tingkatan tertinggi di antara metode lainnya, karena metode ini
memungkinkan seorang murid bertemu dan berhadapan langsung dengan
gurunya. Musa bin Isma’il wafat pada tahun 223 H dan ‘Abd al-Wahid bin
Ziyad wafat pada tahun 176 H yang memungkinkan bahwa keduanya pernah
bertemu dan terlibat dalam hubungan antara murid dan guru. Selain itu juga,
‘Abd al-Wahid bin Ziyad tercatat sebagai guru dari Musa bin Isma’il dan Musa
bin Isma’il juga tercatat sebagai murid dari ‘Abd al-Wahid bin Ziyad.
Berdasarkan analisis di atas, peneliti memberi kesimpulan bahwa jalur sanad
antara Musa bin Ismail dengan ‘Abd al-Wahid bin Ziyad memiliki sanad yang
bersambung. Menurut Ibn Ma’in ia adalah seorang yang ṡiqah ma’mun, menurut
Abu Hatim ia adalah seorang yang ṡiqah ṣaduq, Ibn Hibban, Ibn Sa’d, dan al-
‘Ajli menyebutnya ṡiqah. Menurut Ibn Khirasy ia adalah seorang yang ṣaduq.
76

Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada Musa bin Ismail, dengan
demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
c. ‘Abd al-Wahid bin Ziyad (W. 176 H) dengan ‘Ashim bin Sulaiman (W. 142 H)
Dalam hadis ini, ‘Abd al-Wahid bin Ziyad menggunakan sighat al-
tahammu wa al-’ada’ berupa lafaz ḥaddaṡana. Lafaz ḥaddaṡana termasuk ke
dalam metode periwayatan al-sama’ yaitu suatu metode dimana seorang murid
mendengarkan suatu hadis langsung dari gurunya. Menurut jumhur ulama
metode al-sama’ memiliki tingkatan tertinggi di antara metode lainnya, karena
metode ini memungkinkan seorang murid bertemu dan berhadapan langsung
dengan gurunya. ‘Abd al-Wahid bin Ziyad wafat pada tahun 176 H dan ‘Ashim
bin Sulaiman wafat pada tahun 142 H yang memungkinkan bahwa keduanya
pernah bertemu dan terlibat dalam hubungan antara murid dan guru. Selain itu
juga, ‘Ashim bin Sulaiman tercatat sebagai guru dari ‘Abd al-Wahid bin Ziyad
dan ‘Abd al-Wahid bin Ziyad juga tercatat sebagai murid dari ’Ashim bin
Sulaiman. Berdasarkan analisis di atas, peneliti memberi kesimpulan bahwa
jalur sanad antara ‘Abd al-Wahid bin Ziyad dengan ‘Ashim bin Sulaiman
memiliki sanad yang bersambung. Menurut Abu ‘Awanah, Abu Hatim, Ibn
Sa’d, Abu Daud, al-‘Ajli, Ibn Hibban dan Abu Zur’ah ia adalah seorang yang
ṡiqah, al-Nasa’i menyebutnya laisa bihi ba’s, menurut al-Daruquthni ia adalah
seorang yang ṡiqah ma’mun, menurut Ibn ‘Abdilbarr ia adalah seorang yang
ṡiqah ṡabat. Kritikus hadis memberikan penilaian positif kepada ‘Abd al-Wahid
bin Ziyad, dengan demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
d. ‘Ashim bin Sulaiman (W. 142 H) dengan ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr
(W. 95 H)
Dalam hadis ini, ‘Ashim bin Sulaiman menggunakan sighat al-tahammu
wa al-’ada’ berupa lafaz ‘an. Beberapa ulama mengatakan bahwa jika suatu
hadis diriwayatkan menggunakan lafaz ‘an maka sanad hadisnya terputus,
namun jumhur ulama menganggap jika terbukti sanadnya bersambung, terdapat
hubungan antara guru dan murid dalam artian keduanya pernah bertemu dan
perawinya bukan termasuk mudallas maka dapat dikategorikan sebagai hadis
muttashil. ‘Ashim bin Sulaiman wafat pada tahun 142 H dan ‘Abd al-Rahman
bin Mall bin ‘Amr wafat pada tahun 95 H yang memungkinkan bahwa keduanya
pernah bertemu dan terlibat dalam hubungan antara murid dan guru. Selain itu
juga, ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr tercatat sebagai guru dari ‘Ashim bin
77

Sulaiman dan ‘Ashim bin Sulaiman juga tercatat sebagai murid dari Abd al-
Rahman bin Mall bin ‘Amr. Berdasarkan analisis di atas, peneliti memberi
kesimpulan bahwa jalur sanad antara ‘Ashim bin Sulaiman dan Abd al-Rahman
bin Mall bin ‘Amr memiliki sanad yang bersambung. Menurut Ahmad bin
Hanbal, Ibn Hibban dan Ibn Ma’in ia adalah seorang yang ṡiqah. Menurut al-
Madini dan al-Daruquthni ia adalah seorang yang ṡabat. Kritikus hadis
memberikan penilaian positif kepada ‘Ashim bin Sulaiman, dengan demikian
hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
e. ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr (W. 95 H) dengan ‘Abd Allah bin Qois bin
Sulaim bin Hadldlor (W. 50 H)
Dalam hadis ini, ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr menggunakan
sighat al-tahammu wa al-’ada’ berupa lafaz ‘an. Beberapa ulama mengatakan
bahwa jika suatu hadis diriwayatkan menggunakan lafaz ‘an maka sanad
hadisnya terputus, namun jumhur ulama menganggap jika terbukti sanadnya
bersambung, terdapat hubungan antara guru dan murid dalam artian keduanya
pernah bertemu dan perawinya bukan termasuk mudallas maka dapat
dikategorikan sebagai hadis muttashil. ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr
wafat pada tahun 95 H dan ‘Abd Allah bin Qois bin Sulaim bin Hadldlor wafat
pada tahun 50 H yang memungkinkan bahwa keduanya pernah bertemu dan
terlibat dalam hubungan antara murid dan guru. Selain itu juga, ‘Abd Allah bin
Qois bin Sulaim bin Hadldlor tercatat sebagai guru dari ‘Abd al-Rahman bin
Mall bin ‘Amr dan ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr juga tercatat sebagai
murid dari ‘Abd Allah bin Qois bin Sulaim bin Hadldlor. Berdasarkan analisis
di atas, peneliti memberi kesimpulan bahwa jalur sanad antara ‘Abd al-Rahman
bin Mall bin ‘Amr dan ‘Abd Allah bin Qois bin Sulaim bin Hadldlor memiliki
sanad yang bersambung. Menurut Abu Zur’ah, al-Nasa’i, Ibn Khurasy, Ibn
Sa’d, dan Ibn Hibban ia merupakan seorang yang ṡiqah. Menurut Ibn al-Madani
dan Abu Hatim ia merupakan seorang periwayat yang ṡiqah. Kritikus hadis
memberikan penilaian positif kepada ‘Abd al-Rahman bin Mall bin ‘Amr,
dengan demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
f. ‘Abd Allah bin Qois bin Sulaim bin Hadldlor (W. 50 H) dengan Rasulullah (W.
11 H)
Dalam hadis ini, ‘Abd Allah bin Qois bin Sulaim bin Hadldlor
menggunakan sighat al-tahammu wa al-’ada’ berupa lafaz ‘an. Beberapa ulama
78

mengatakan bahwa jika suatu hadis diriwayatkan menggunakan lafaz ‘an maka
sanad hadisnya terputus, namun jumhur ulama menganggap jika terbukti
sanadnya bersambung, terdapat hubungan antara guru dan murid dalam artian
keduanya pernah bertemu dan perawinya bukan termasuk mudallas maka dapat
dikategorikan sebagai hadis muttashil. ‘Abd Allah bin Qois bin Sulaim bin
Hadldlor wafat pada tahun 50 H dan Rasulullah wafat pada tahun 11 H yang
memungkinkan bahwa keduanya pernah bertemu dan terlibat dalam hubungan
antara murid dan guru. Selain itu juga, Rasulullah tercatat sebagai guru dari
‘Abd Allah bin Qois bin Sulaim bin Hadldlor. Kritikus hadis memberikan
penilaian positif kepada ‘Abd Allah bin Qois bin Sulaim bin Hadldlor, dengan
demikian hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
Berdasarkan data analisis ketersambungan sanad dapat dikatakan bahwa hadis
tentang zikir sirr dalam Ṣahīh al-Bukhārī nomor hadis 4205 sanadnya bersambung.
Hal ini dapat dibuktikan dengan suatu rawi dengan rawi sebelumnya atau
sesudahnya hidup sezaman dan memiliki hubungan antara guru dan murid,
sehingga dapat disimpulkan bahwa sanad hadis tentang zikir sirr dalam Ṣahīh al-
Bukhārī nomor hadis 4205 sanadnya bersambung dari Rasulullah hingga mukharrij
tanpa terputus.
Selain ketersambungan sanad, hal lain yang perlu ditinjau adalah keadilan dan
ke-dhabit-an seorang rawi. Untuk mengetahui apakah seorang rawi adil dan dhabit
diperlukan suatu ilmu, yaitu ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Ilmu al-jarh wa al-ta’dil
membahas tentang penilaian baik atau buruk dari seorang perawi. Dari data
penilaian para ulama terhadap para rawi di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh
perawi yang meriwayatkan hadis tersebut memiliki sifat yang adil namun dalam hal
ke-dhabit-annya, terdapat satu perawi yang dinilai ṣaduq dan satu perawi yang
dinilai laisa bihi ba’s, artinya hadis ini tidak tegolong kepada hadis sahih,
melainkan hadis ḥasan. Karena hadis ini memiliki penguat dari jalur lain, yaitu
hadis yang terdapat dalam Ṣahīh al-Bukhārī nomor 7386 dan 6610 serta Ṣaḥih
Muslim nomor 44 dan 45 maka hadis ini dapat dikategorikan sebagai hadis ṣaḥih li
ghairihi.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tidak adanya syadz (kejanggalan) dan
‘illat (cacat) pada suatu hadis. Yang dimaksud dengan syadz adalah ketika suatu
hadis diriwayatkan oleh seorang rawi yang ṡiqah tetapi bertentangan dengan
riwayat lain yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang lebih ṡiqah darinya.
79

Sedangkan ‘illat adalah sebab tersembunyi yang dapat merusak kesahihan suatu
hadis. Setelah diteliti, pada hadis tentang zikir sirr dalam Ṣahīh al-Bukhārī nomor
hadis 4205 terdapat hadis yang bertentangan mengenai zikir secara jaḥr yaitu Ṣahīh
al-Bukhārī Kitab Azan bab ke-155, nomor hadis 841, halaman 270, jilid 1, Ṣaḥih
Muslim, Kitab Masjid dan Tempat-Tempat Shalat, bab ke-22, halaman 264 dan
Musnad Ahmad bin Hanbal, nomor hadis 3478, halaman 433. Namun hal ini akan
di bahas dalam analisa kontradiksi hadis, selain itu tidak ditemukan kecacatan
tersembunyi dalam sanad yang dapat merusak kesahihan hadis tersebut.
7. Kritik Matan Hadis Tentang Zikir Sirr Nomor Hadis 4205
Selain kritik sanad, kritik matan juga perlu dilakukan guna mencari atau
membuktikan kebenaran dari suatu riwayat hadis. Dari segi bentuk periwayatan
matan hadis terbagi kepada dua bagian, yaitu diriwayatkan secara ma’na ataupun
secara lafzi. Hal ini dapat diketahui dengan cara melihat apakah terdapat perbedaan
redaksi dalam matan hadis yang setema. Berikut merupakan data hadis tentang zikir
secara sirr.
a. Ṣahīh al-Bukhārī, Kitab Tauhid bab ke-9, nomor hadis 7386, halaman 1824.
ٍ ٍ ‫حدَّثَنَا سلَْيما ُن بْن حر‬
‫ال‬ َ ‫وب َع ْن أَِِب عُثْ َما َن َع ْن أَِِب ُم‬
َ َ‫وسى ق‬ َ ُّ‫اد بْ ُن َزيْد َع ْن أَي‬
ُ َّ‫ب َحدَّثَنَا ََح‬ َْ ُ َ ُ َ
‫ال ْاربَعُوا َعلَى أَنْ ُف ِس ُك ْم فَِإنَّ ُك ْم ََل‬
َ ‫اّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِِف َس َف ٍر فَ ُكنَّا إِ َذا َعلَ ْو ََن َك ََّْبََن فَ َق‬
َّ ‫صلَّى‬ ِ ِ‫ُكنَّا َم َع الن‬
َ ‫َّب‬
‫ول ِِف نَ ْف ِسي ََل َح ْو َل َوََل قُ َّوَة إََِّل‬ ِ ‫تَ ْدعو َن أَص َّم وََل َغائِبا تَ ْدعو َن ََِسيعا ب‬
ُ ُ‫ص ًْيا قَ ِريبًا ُُثَّ أَتَى َعلَ َّي َوأ َََن أَق‬ َ ً ُ ً َ َ ُ

ْ ‫س قُ ْل ََل َح ْو َل َوََل قُ َّوَة إََِّل َِب َّّللِ فَِإ ََّّنَا َكْن ٌز ِم ْن ُكنُوِز‬
َ َ‫اْلَن َِّة أ َْو ق‬
‫ال أَََل‬ َِّ ‫ال ِِل َي عب َد‬
ٍ ‫اّلل بْ َن قَ ْي‬ ِ
َْ َ َ ‫َِب َّّلل فَ َق‬
‫ك بِِه‬
َ ُّ‫أ َُدل‬
b. Ṣahīh al-Bukhārī Kitab Qadar Bab ke-7, nomor hadis 6610, halaman 1368.

‫َّه ِد ِي َع ْن‬ ْ ‫َخ َََبََن َخالِ ٌد‬


ْ ‫اْلَ َّذاءُ َع ْن أَِِب عُثْ َما َن الن‬
َِّ ‫اْلس ِن أَخَبََن عب ُد‬
ْ ‫اّلل أ‬
ِ
َْ ََ ْ َ َْ ‫َح َّدثَِِن ُُمَ َّم ُد بْ ُن ُم َقات ٍل أَبُو‬
‫ال‬ َ ‫أَِِب ُم‬
َ َ‫وسى ق‬

ُ ِ‫ص َع ُد َشَرفًا َوََل نَ ْعلُو َشَرفًا َوََل ََّنْب‬


‫ط ِِف‬ ٍ ِ َّ ‫اّلل صلَّى‬ ِ ِ
ْ َ‫اّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ِِف َغَزاة فَ َج َع ْلنَا ََل ن‬ َ َّ ‫ُكنَّا َم َع َر ُسول‬

َ ‫اّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَ َق‬ َِّ ‫ول‬


ُ ‫ال فَ َد ََن ِمنَّا َر ُس‬ ٍ
‫َّاس ْاربَعُوا‬
ُ ‫ال ََي أَيُّ َها الن‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫اّلل‬ ْ ‫َواد إََِّل َرفَ ْعنَا أ‬
َ َ‫َص َواتَنَا َِبلتَّ ْكبِ ِْي ق‬
‫‪80‬‬

‫ال َي عب َد َِّ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬


‫اّلل بْ َن قَ ْي ٍ‬
‫س أَََل‬ ‫َص َّم َوََل َغائبًا إََِّّنَا تَ ْدعُو َن ََس ًيعا بَص ًْيا ُُثَّ قَ َ َ َْ‬
‫َعلَى أَنْ ُفس ُك ْم فَِإنَّ ُك ْم ََل تَ ْدعُو َن أ َ‬
‫اْلن َِّة ََل حو َل وََل قُ َّوَة إََِّل َِب َِّ‬ ‫أُعلِم َ ِ ِ ِ‬
‫ّلل‬ ‫َْ َ‬ ‫ك َكل َم ًة ه َي م ْن ُكنُوِز َْ‬ ‫َُ‬
‫‪c. Ṣahīh al-Bukhārī, kitab maghazi, bab ke-38, nomor hadis 4205, halaman 1033.‬‬
‫ِ‬ ‫ِِ‬ ‫ِ ِ‬
‫يل‪َ :‬حدَّثَنَا َعْب ُد الْ َواحد‪َ ،‬ع ْن َعاص ٍم‪َ ،‬ع ْن أَِِب عُثْ َما َن‪َ ،‬ع ْن أَِِب ُم َ‬
‫وسى‬ ‫وسى بْ ُن إ َْسَاع َ‬
‫َحدَّثَنَا ُم َ‬
‫ول‬ ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َخْي َََب‪ ،‬أ َْو قَ َ‬
‫ال‪ :‬لَ َّما تَ َو َّجهَ َر ُس ُ‬ ‫ال‪ :‬لَ َّما َغزا رس ُ ِ‬
‫ْاألَ ْش َع ِر ِي َر ِض َي هللاُ َعْنهُ قَ َ‬
‫ول هللا َ‬ ‫َ َُ‬
‫َص َو َاَتُْم َِبلتَّ ْكبِ ِْي‪ :‬هللاُ أَ ْك ََبُ هللاُ أَ ْك ََبُ‪ََ ،‬ل إِلَ َه‬ ‫ٍ‬ ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‪ ،‬أَ ْشَر َ‬ ‫ِ‬
‫َّاس َعلَى َواد‪ ،‬فَ َرفَعُوا أ ْ‬
‫ف الن ُ‬ ‫هللا َ‬
‫َص َّم َوََل َغائِبًا‪،‬‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ال رس ُ ِ‬
‫صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‪ْ :‬اربَعُوا َعلَى أَنْ ُفس ُك ْم‪ ،‬إِنَّ ُك ْم ََل تَ ْدعُو َن أ َ‬
‫ول هللا َ‬ ‫ِ‬
‫إََّل هللاُ‪ ،‬فَ َق َ َ ُ‬
‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‪ ،‬فَ َس ِم َع ِِن َوأ َََن‬ ‫ِ ِ ِ‬ ‫ِ‬
‫إِنَّ ُك ْم تَ ْدعُو َن ََس ًيعا قَ ِريبًا‪َ ،‬وُه َو َم َع ُك ْم‪َ .‬وأ َََن َخ ْل َ‬
‫ف َدابَّة َر ُسول هللا َ‬

‫ول هللاِ‪ ،‬قَ َ‬


‫ال‪ :‬أَََل‬ ‫ك ََي َر ُس َ‬
‫ت‪ :‬لَبَّ ْي َ‬ ‫ال ِِل‪ََ :‬ي َعْب َد هللاِ بْ َن قَ ْي ٍ‬
‫س قُ ْل ُ‬
‫ول‪ََ :‬ل حو َل وََل قُ َّوَة إََِّل َِب ِ‬
‫هلل‪ ،‬فَ َق َ‬ ‫َْ َ‬ ‫أَقُ ُ‬

‫ول هللاِ‪ ،‬فِ َد َاك أَِِب َوأ ُِمي‪ ،‬قَ َ‬


‫ال‪ََ :‬ل َح ْو َل‬ ‫ت‪ :‬بَلَى ََي َر ُس َ‬ ‫ك علَى َكلِم ٍة ِمن َكْن ٍز ِمن ُكنُوِز ْ ِ‬
‫اْلَنَّة‪ .‬قُ ْل ُ‬ ‫ْ‬ ‫َ ْ‬ ‫أ َُدلُّ َ َ‬
‫وََل قُ َّوَة إََِّل َِب ِ‬
‫هلل‬ ‫َ‬
‫‪d. Ṣaḥih Muslim, kitab zikir, bab ke-13, nomor hadis 44, halaman 1243.‬‬
‫حدَّثَنَا أَبو ب ْك ِر بن أَِِب َشي بةَ حدَّثَنَا ُُم َّم ُد بن فُضي ٍل وأَبو معا ِويةَ عن ع ِ‬
‫اص ٍم َع ْن أَِِب عُثْ َما َن َع ْن أَِِب‬ ‫َ ْ ُ َْ َ ُ ُ َ َ َ ْ َ‬ ‫َْ َ‬ ‫ُ َ ُْ‬ ‫َ‬
‫ال‬
‫وسى قَ َ‬
‫ُم َ‬
‫اّللُ َعلَْي ِه‬
‫صلَّى َّ‬ ‫َّاس ََْي َه ُرو َن َِبلتَّ ْكبِ ِْي فَ َق َ‬
‫ال النِ ُّ‬
‫َّب َ‬ ‫صلَّى َّ ِ َّ ِ ٍ‬
‫اّللُ َعلَْيه َو َسل َم ِف َس َفر فَ َج َع َل الن ُ‬ ‫ُكنَّا َم َع النِ ِ‬
‫َّب َ‬
‫َص َّم َوََل َغائِبًا إِنَّ ُك ْم تَ ْدعُو َن ََِس ًيعا قَ ِريبًا َوُه َو‬ ‫ِ ِ‬
‫َّاس ْاربَعُوا َعلَى أَنْ ُفس ُك ْم إنَّ ُك ْم لَْي َ‬
‫س تَ ْدعُو َن أ َ‬ ‫َّ‬
‫َو َسل َم أَيُّ َها الن ُ‬
‫ال َي عب َد َِّ‬ ‫ِ‬
‫س أَََل أ َُدلُّ َ‬
‫ك َعلَى‬ ‫اّلل بْ َن قَ ْي ٍ‬ ‫ول ََل َح ْو َل َوََل قُ َّوَة إََِّل َِب َّّلل فَ َق َ َ َْ‬
‫ال َوأ َََن َخ ْل َفهُ َوأ َََن أَقُ ُ‬
‫َم َع ُك ْم قَ َ‬
‫ال قُل ََل حو َل وََل قُ َّوَة إََِّل َِب َِّ‬
‫ّلل‬ ‫ول َِّ‬ ‫َكْن ٍز ِمن ُكنُوِز ْ ِ‬
‫اّلل قَ َ ْ َ ْ َ‬ ‫ت بَلَى ََي َر ُس َ‬
‫اْلَنَّة فَ ُق ْل ُ‬ ‫ْ‬
‫اص ٍم ِِبَ َذا‬ ‫جيعا عن ح ْف ِ ِ ٍ‬
‫اث عن ع ِ‬ ‫حدَّثَنا ابن َُّنَ ٍْي وإِسحق بن إِب ر ِاهيم وأَبو سعِ ٍ‬
‫يد ْاأل َ ِ‬
‫ص بْ ِن غيَ َ ْ َ‬ ‫َش ُّج َ ً َ ْ َ‬ ‫َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ُ ْ ُ َْ َ َ ُ َ‬
‫ِْ ِ‬
‫اْل ْسنَاد ََْن َوهُ‬
‫‪81‬‬

‫‪e. Ṣaḥih Muslim, kitab zikir, bab ke-13, nomor hadis 45, halaman 1244.‬‬

‫يد يَ ْع ِِن ابْ َن ُزَريْ ٍع َحدَّثَنَا الت َّْي ِم ُّي َع ْن أَِِب عُثْ َما َن َع ْن أَِِب‬ ‫ضْيل بْن ُحس ْ ٍ‬
‫ْي َحدَّثَنَا يَِز ُ‬ ‫ِ‬
‫َحدَّثَنَا أَبُو َكام ٍل فُ َ ُ ُ َ‬
‫وسى‬
‫ُم َ‬

‫ال فَ َج َع َل َر ُج ٌل ُكلَّ َما َع ََل ثَنِيَّةً‬


‫ص َع ُدو َن ِِف ثَنِيَّ ٍة قَ َ‬ ‫اّللِ صلَّى َّ ِ‬ ‫ِ‬
‫اّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َوُه ْم يَ ْ‬ ‫أَ ََّّنُْم َكانُوا َم َع َر ُسول َّ َ‬
‫َص َّم َوََل َغائِبًا‬ ‫اّلل صلَّى َّ ِ‬ ‫ال نَِ ِ‬
‫اّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم إِنَّ ُك ْم ََل تُنَ ُ‬
‫ادو َن أ َ‬ ‫ب َّ َ‬ ‫اّللُ أَ ْك ََُب قَ َ‬
‫ال فَ َق َ ُّ‬ ‫ََن َدى ََل إِلَهَ إََِّل َّ‬
‫اّللُ َو َّ‬

‫ت َما ِه َي ََي‬ ‫ك علَى َكلِم ٍة ِمن َكْن ِز ْ ِ‬


‫اْلَنَّة قُ ْل ُ‬ ‫َ ْ‬ ‫س أَََل أ َُدلُّ َ َ‬
‫ال َي أََب موسى أَو َي عب َد َِّ‬
‫اّلل بْ َن قَ ْي ٍ‬ ‫ال فَ َق َ َ َ ُ َ ْ َ َ ْ‬‫قَ َ‬
‫ال ََل حو َل وََل قُ َّوَة إََِّل َِب َِّ‬
‫ّلل‬ ‫ول َِّ‬
‫اّلل قَ َ َ ْ َ‬ ‫َر ُس َ‬
‫ِِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ال بَْي نَ َما‬ ‫و َحدَّثَنَاه ُُمَ َّم ُد بْ ُن َعْبد ْاأل َْعلَى َحدَّثَنَا الْ ُم ْعتَم ُر َع ْن أَبيه َحدَّثَنَا أَبُو عُثْ َما َن َع ْن أَِِب ُم َ‬
‫وسى قَ َ‬

‫اد بْ ُن‬ ‫ف بْ ُن ِه َش ٍام َوأَبُو َّ‬


‫الربِي ِع قَ َاَل َحدَّثَنَا ََحَّ ُ‬
‫اّللِ صلَّى َّ ِ‬
‫اّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم فَ َذ َكَر ََْن َوهُ َحدَّثَنَا َخلَ ُ‬ ‫ول َّ َ‬
‫َر ُس ُ‬

‫اّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِِف َس َف ٍر فَ َذ َكَر‬


‫صلَّى َّ‬ ‫ٍ‬
‫ال ُكنَّا َم َع النِ ِ‬
‫َّب َ‬ ‫وب َع ْن أَِِب عُثْ َما َن َع ْن أَِِب ُم َ‬
‫وسى قَ َ‬ ‫َزيْد َع ْن أَيُّ َ‬
‫َخ َََبََن الثَّ َق ِف ُّي َحدَّثَنَا َخالِ ٌد ْ‬
‫اْلَ َّذاءُ َع ْن أَِِب عُثْ َما َن‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ ِ‬
‫ََْن َو َحديث َعاص ٍم و َحدَّثَنَا إِ ْس َح ُق بْ ُن إِبْ َراه َيم أ ْ‬
‫ال فِ ِيه َوالَّ ِذي‬
‫يث َوقَ َ‬ ‫اّلل علَي ِه وسلَّم ِِف َغز ٍاة فَ َذ َكر ْ ِ‬
‫اْلَد َ‬ ‫َ‬ ‫صلَّى َُّ َ ْ َ َ َ َ‬
‫ول َِّ‬
‫اّلل َ‬
‫ال ُكنَّا مع رس ِ‬
‫وسى قَ َ َ َ َ ُ‬‫َع ْن أَِِب ُم َ‬
‫احلَ ِة أَح ِد ُكم ولَيس ِِف ح ِديثِ ِه ِذ ْكر ََل حو َل وََل قُ َّوَة إََِّل َِب َّّللِ‬
‫تَ ْدعونَه أَقْ رب إِ ََل أَح ِد ُكم ِمن عنُ ِق ر ِ‬
‫ُ َْ َ‬ ‫َ ْ َْ َ َ‬ ‫َ ْ ْ ُ َ‬ ‫ُ ُ َُ‬
‫‪Dari kelima redaksi hadis di atas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan antara‬‬
‫‪satu redaksi dengan redaksi lainnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa hadis‬‬
‫‪tentang berzikir secara sirr diriwayatkan secara ma’na. Selain itu, terdapat beberapa‬‬
‫‪kriteria kesahihan matan hadis, kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut.‬‬
‫‪a. Tidak bertentangan dengan ayat al-Qur’an‬‬
‫‪Dalam hadis zikir secara sirr yang terdapat di dalam Ṣaḥih Ṣahīh al-‬‬
‫‪Bukhārī nomor hadis 4025, tidak ditemukan ayat al-Qur’an yang membahas‬‬
‫‪mengenai hal tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa hadis tersebut‬‬
‫‪tidak bertentangan dengan ayat al-Qur’an bahkan hadis ini dikuatkan oleh‬‬
‫‪ayat al-Qur’an surah surah al-A’raf ayat 55 yang berbunyi sebagai berikut.‬‬

‫ين‬ ‫ب ٱلْمعت ِ‬
‫د‬ ‫َ‬ ‫ُّ‬ ‫ٱ ْدعو۟ا ربَّ ُكم تَضُّرعا وخ ْفيةً ۚ إِنَّهۥ ََل ُِ‬
‫ُي‬
‫ُ َ‬ ‫ْ‬ ‫ُ َ ْ َ ً َُ َ ُ‬
82

“Berdo’alah kepada tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
b. Tidak bertentangan dengan hadis lain dan sejarah
Tidak ada data yang menunjukkah bahwa adanya naskh-mansukh pada
hadis ini. Dalam hal bertentangan dengan hadis lain, hadis tentang zikir
secara sirr dalam Ṣahīh al-Bukhārī nomor hadis 4025 bertentangan dengan
hadis tentang zikir secara jaḥr yang terdapat di dalam Ṣahīh al-Bukhārī
Kitab Azan bab ke-155, nomor hadis 841, halaman 270, jilid 1, Ṣaḥih
Muslim, Kitab Masjid dan Tempat-Tempat Shalat, bab ke-22, halaman 264
dan Musnad Ahmad bin Hanbal, nomor hadis 3478, halaman 433. Oleh
sebab itu di dalam penelitian ini terdapat analisa terhadap kontradiksi hadis.
c. Tidak bertentangan dengan akal
Berzikir menggunakan suara yang pelan pernah dilakukan di masa
Rasulullah, ketika itu Rasulullah dan para sahabat sedang berperang,
kemudian para sahabat meninggikan suara mereka ketika bertakbir, lalu
Rasulullah bersabda agar tidak meninggikan suara ketika bertakbir karena
tidak menyeru kepada Dzat yang tuli. Dapat disimpulkan bahwa, hal ini
sama sekali tidak bertentangan dengan akal.
Dari data kritik sanad dan kritik matan hadis tentang zikir secara sirr dalam
Ṣahīh al-Bukhārī nomor hadis 4025 dapat disimpulkan bahwa seluruh sanad dari
mukharrij hingga Rasulullah memiliki ketersambungan, seluruh perawi memiliki
sifat adil namun terdapat rawi yang ke-dhabit-annya dinilai ṣaduq dan laisa bihi
ba’s akan tetapi terdapat hadis penguat lainnya. Selanjutnya tidak adanya syadz
maupun ‘illat di dalamnya sehingga dapat di simpulkan kualitas dari sanad hadis
tersebut adalah ṣaḥih li ghairihi. Sementara, dari segi matan-nya terdapat
kontradiksi dengan hadis lain yaitu hadis tentang zikir secara jaḥr yang terdapat di
dalam Ṣahīh al-Bukhārī Kitab Azan bab ke-155, nomor hadis 841, halaman 270,
jilid 1, Ṣaḥih Muslim, Kitab Masjid dan Tempat-Tempat Shalat, bab ke-22, halaman
264 dan Musnad Ahmad bin Hanbal, nomor hadis 3478, halaman 433. Oleh karena
itu, di dalam penelitian ini terdapat analisa terhadap kontradiksi hadis.

C. Pemahaman dan Penyelesaian Ikhtilaf al-ḥadiṡ Tentang Zikir Jaḥr dan Sirr

Terdapat dua hadis tentang cara pelaksanaan zikir. Pertama hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhārī yang menjelaskan tentang cara berzikir secara jaḥr dan kedua hadis yang
83

juga diriwayatkan oleh Imam Bukhārī yang menjelaskan tentang cara berzikir secara sirr.
Beberapa ulama mutakkhirin berpendapat bahwa hadis tentang berzikir secara jaḥr merupakan
dalil dianjurkannya mengeraskan suara ketika bertakbir dan berzikir setelah menunaikan salat
farḍu. Imam Muslim berpendapat bahwa hadis yang diriwayatkannya ini adalah sahih
meskipun orang yang memberitahukannya tidak setuju untuk melakukan zikir dengan suara
yang keras.71

Menurut Ibn Hazm, Ibn Bathal pernah mengatakan bahwa Imam Syafi’i lebih memilih
bagi imam dan makmum untuk berzikir kepada Allah setelah selesai salat, sambil
memelankannya. Kecuali jika seorang imam ingin mengajarkan zikir maka ia boleh
mengeraskan hingga ia mengetahui bahwa mereka telah mempelajarinya, lalu memelankan.72

Ibnu Adra’ mengatakan bahwa ketika ia berjalan bersama Rasulullah SAW ia bertemu
dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berzikir.
Kemudian ia bertanya kepada Rasulullah apakah mungkin ia melakukan itu dalam keadaan
riya' dan jawaban Rasulullah pada saat itu adalah tidak, Rasulullah mengatakan bahwa laki-
laki tersebut sedang mencari ketenangan.73

Ibn Hazm berkata mengenai hadis tentang zikir secara jaḥr,

74
‫ورفع الصوت َبلتكبْي إثر كل صَلة حسن‬

“Mengeraskan suara dengan bertakbir pada zikir sesudah shalat adalah suatu amalan yang
baik.”
Selain itu juga, di dalam kitab Ruh al-Bayan dijelaskan,

‫ص ْوتِِه ْاأل َْعلَى َل إِلَهَ إَل هللاُ َو ْح َدهُ َل‬ ِ َ َ‫اّلل َعلَْي ِه وسلَّم إِ َذا سلَّم ِمن ص ََلتِِه ق‬ ِ
َ ‫ال ب‬ َ ْ َ َ َ ََ َُّ ‫صلَّى‬
َ ‫َكا َن َر ُس ْو ُل هللا‬
75
‫اْلَ ْم ُد َوُه َو َعلَى ُك ِل َش ْي ٍء قَ ِد ٌير‬
ْ ُ‫ك َولَه‬
ُ ‫يك لَهُ لَهُ الْ ُم ْل‬
َ ‫َشر‬

71
Abu Zakaria Yahya bin Sharaf al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim vol. 3, Terj. Agus Ma’mun, Suharlan
Suratman, (Jakarta: Darussunnah, 2014), 670-671
72
Badr al-Din al-‘Aini, Umdat al-Qari vol. 6, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, 2001), 181
73
Tuti Maya Sari, Hukum Zikir Secara Jihar Menurut Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, (Banda
Aceh: Repository Ar-Raniry, 2016), 52
74
‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi, al-Muhalla bi al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2015), 260
75
Ismail Haqqi al-Buruswi, Tafsir Ruhul Bayan vol. 3, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2013), 272
84

“Rasulullah SAW setelah salam dari salatnya, beliau dengan suara yang keras membaca laa
ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu al-mulku walahu al-hamdu wahuwa ‘ala kulli syaiin
qadiir.”
Mengenai hadis tentang berzikir secara sirr ketika para sahabat dalam suatu perjalanan
bersama Rasulullah, mereka bertakbir dengan suara yang keras, kemudian mendengar hal itu
Rasulullah bersabda “sederhanakanlah kalian dalam berdo’a karena kalian tidak menyeru pada
Dzat yang tuli.” Hadis ini menjelaskan bahwa berzikir dengan suara yang pelan adalah sunnah
apabila tidak diperlukannya zikir menggunakan suara yang keras, karena berzikir dengan suara
yang pelan itu menunjukkan bahwa seseorang senantiasa menyerahkan diri sepenuhnya kepada
Allah dan merupakan bentuk pengakuan akan ketaatan kepada Allah.76

Al-Thabari berkata mengenai hadis tentang zikir secara sirr,

77
‫ْي اِنْتَ َهى‬ِ َّ ‫السلَف ِم ْن‬
َ ‫الص َحابَة َوالتَّابِع‬
ِ ‫الصوت َِبلدُّع ِاء و‬
َ َ‫ َوبِِه ق‬، ‫الذ ْكر‬
َّ ‫ال َع َّامة‬ َ َ
ِ ِِ
ْ َّ ‫فيه َكَراهيَة َرفْع‬

“Hadis ini menunjukkan dimakruhkannya mengeraskan suara pada do’a dan zikir.
Demikianlah yang dikatakan para salaf yaitu para sahabat dan tabi’in.”
Kedua hadis tersebut jika dilihat secara zahir tampak bertentangan. Menurut jumhur
ulama pada dasarnya dalil-dalil syari’ah tidak mungkin berlawanan, apabila terdapat
pertentangan atau kontradiksi terhadap dalil-dalil tersebut maka hal itu hanya tampak secara
zahirnya saja. Dalam ilmu hadis, hadis-hadis yang kontradiksi dapat diselesaikan dengan
menggunakan ilmu mukhtalif al-ḥadiṡ, teori mengenai mukhtalif al-ḥadiṡ ini telah dijelaskan
sebelumnya pada bab II.

76
Abu Zakaria Yahya bin Sharaf al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim vol. 11, Terj. Fathoni Muhammad,
Futuhal Arifin, 1011-1012
77
Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Baari vol. 6, 135
85

Dalam menanggapi pertentangan hadis di atas, Imam al-Nawawi menjelaskan,

ِ َّ ‫اب ا ِْل ْسرا ِر بِِه ِأب‬


ِ ‫استِ ْحب‬ ِ ِِ
ِ ‫لذ ْك ِر و‬ ِ ِ ‫ي بْي األ‬
ِ ِ ْ ‫ث الوا ِرَد ِة ِِف‬
َ‫َن اْل ْخ َفاء‬ َ َ ْ ‫الوا ِرَدة ِ ِْف‬
َ َ ‫است ْحبَاب اْلَ ْهر َب‬ ْ َ َ َْ ُّ ‫َوقَ ْد َجَ َع الن ََّوِو‬
َ ْ‫َحادي‬
َّ ‫الع َم َل فِْي ِه أَ ْكثَ ُر َوِأل‬
‫َن‬ َ ‫َن‬ َّ ‫ك ِأل‬ ِ
َ ‫ض ُل ِ ِْف َغ ِْْي ذَال‬ ِ
َ ْ‫ َواْلَ ْه ُر أَف‬.‫صلُّ ْو َن أ َْوالنَّائ ُم ْو َن‬ ِ ‫اف‬
َ ُ‫الرَيَءَ أ َْو ََتَذَّى امل‬ َ ‫ث َخ‬ ُ ‫ض ُل َحْي‬ َ ْ‫أَف‬
‫ف َسَْ َعهُ إِلَْي ِه َويُطَ ِرُد الن َّْوَم‬ ِ ِ َّ ‫ظ قَ ْلب‬ ِ ِ َ ْ ِ‫الس ِامع‬ َّ ‫فَائِ َدتَهُ تَتَ َع َّدى إِ ََل‬
َ ُ‫الذاك ِر َوََْي َم ُع َُهَّهُ إِ ََل الف ْك ِر َوي‬
ُ ‫ص ِر‬ َ ُ ‫ْي َوألَنَّهُ يُ ْوق‬
78

“Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadis yang meng-
sunnahkan mengeraskan suara zikir dan hadis yang meng-sunnahkan memelankan suara zikir
tersebut, bahwa memelankan zikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya',
mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan zikir lebih utama jika lebih
banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang zikir itu bisa sampai kepada orang
yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan
menghayati zikir, mengonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta
menambah semangat."
Faktor-faktor yang menyebabkan hadis tentang zikir secara jaḥr dan sirr bertentangan
adalah sebagai berikut.

1. Faktor Keadaan dan Waktu Penyampaian Hadis


Hadis tentang zikir secara jaḥr yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas kondisi pada
saat itu Ibn ‘Abbas mengetahui salat fardu telah selesai dilakukan karena ia mendengar
bahwa ada suara zikir yang keras yang dibacakan setelah melaksanakan salat. Menurut
Imam Syafi’i praktik zikir secara jaḥr tidak dilakukan secara terus-menerus, melainkan
hanya dilakukan beberapa waktu lamanya untuk mengajarkan cara berzikir. Hal ini
memungkin pada saat itu sedang dilakukannya pengajaran terhadap tata cara berzikir,
sehingga Ibn ‘Abbas meriwayatkan hadis tersebut.79 Sedangkan hadis tentang zikir
secara sirr kondisi para sahabat saat itu sedang dalam suatu perjalanan bersama
Rasulullah, mereka bertakbir dengan suara yang keras, kemudian Rasulullah menyuruh
untuk menyederhanakan suara mereka. Dalam kondisi ini tidak diperlukannya zikir
dengan suara yang keras, sehingga Rasulullah menyuruh untuk memelankannya saja.80
2. Perselisihan Ahli Hukum
Proses dan cara seseorang dalam memahami hadis dapat menyebabkan hadis-
hadis tampak bertentangan. Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas beberapa ulama

78
Ismail Haqqi al-Buruswi, Tafsir Ruhul Bayan, 3, 306
79
Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Baari vol. 4, Terj. Abdul Aziz Abdullah bin Baz, 712
80
Abu Zakaria Yahya bin Sharaf al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim vol. 11, Terj. Fathoni Muhammad,
Futuhal Arifin, 1011-1012
86

menganggap berzikir secara jaḥr merupakan amalan yang baik, sedangkan beberapa
ulama lainnya me-makruh-kan berzikir secara jaḥr.81

Dalam ikhtilaf al-ḥadiṡ para ulama menawarkan beberapa metode untuk


menyelesaikannya. Adapun metode tersebut adalah al-jam’u wa al-taufiq, nask-mansukh,
tarjiḥ, dan tawaqquf. Dalam penelitian hadis tentang zikir jaḥr dan sirr kontradiksi antara
kedua hadis tersebut akan diselesaikan dengan menggunakan metode al-jam’u wa al-taufiq
yaitu mengkompromikan kedua hadis yang tampak bertentangan tersebut. Terdapat beberapa
syarat yang harus diperhatikan dalam menggunakan metode al-jam’u, maka peneliti
melakukan analisa dengan menggunakan syarat-syarat al-jam’u.

a. Teks hadis tampak bertentangan secara zahir, hadis tentang berzikir secara jaḥr
berisi tentang perkataan Ibn ‘Abbas bahwasanya telah terjadi pada zaman
Rasulullah mengeraskan suara dalam berzikir setelah menunaikan salat fardu, Ibn
‘Abbas mengatakan “aku mengetahui bahwa mereka telah selesai dari salat itu
karena aku mendengarnya.” Hadis tentang berzikir secara sirr berisi tentang para
sahabat yang sedang melakukan perjalanan bersama Rasulullah, kemudian para
sahabat bertakbir saat menaiki tempat yang tinggi, mendengar hal itu Rasulullah
bersabda “sederhanakanlah kalian dalam berdo’a, sebab kalian tidak menyeru Dzat
yang tuli…”
b. Kedua hadis tersebut berstatus ṣaḥih li ghairihi karena kedua hadis tersebut
diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit serta tidak terdapat syadz maupun
‘illat dalam kedua hadis tersebut dan sanadnya bersambung dari awal hingga
mukharrij.
c. Dalam menganalisa kedua hadis tersebut, tidak ditemukan pendapat ulama yang
menyatakan adanya nask-mansukh terhadap kedua hadis tersebut.
d. Indikasi dapat diberlakukannya kedua hadis ini adalah bahwa hadis tentang berzikir
secara jaḥr menurut Imam Syafi’i tidak dilakukan secara terus-menerus, melainkan
hanya dilakukan beberapa waktu lamanya untuk mengajarkan cara berzikir.
Sedangkan pada hadis tentang berzikir secara sirr Rasulullah menganjurkan untuk
berzikir secara pelan agar lebih tenang dalam melakukannya.

81
Abu Zakaria Yahya bin Sharaf al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim vol. 11, Terj. Fathoni Muhammad,
Futuhal Arifin, 1011-1012
87

Sesuai dengan pendapat Imam Syafi’i dalam menyelesaikan ikhtilaf al-ḥadiṡ


menggunakan metode al-jam’u wa al-taufiq salah satu bentuk penyelesaiannya adalah dengan
cara takwil, yaitu dengan cara menakwilkan hadis tersebut dari makna lahiriah yang tampak
bertentangan kepada makna lain sehingga pertentangan yang tampak tersebut dapat dihindari
dan dapat ditemukan titik temu atau pengompromiannya.82

Di samping makna lahiriah yang tampak bertentangan, hadis-hadis tersebut sebenarnya


dapat dipahami dengan makna lain yang sejalan dengan makna yang dikandung oleh hadis
lainnya, yang semula tampak bertentangan, yakni dengan cara menakwilkan atau mencari
makna lainnya. Dengan demikian, makna pertentangan yang tampak semula dapat diselesaikan
dan ditemukan pengompromiannya.83

Dari hadis tentang zikir jaḥr dipahami bahwa pada masa Rasulullah praktik zikir secara
jaḥr pernah dilakukan. Akan tetapi hadis ini tampak bertentangan dengan hadis tentang zikir
secara sirr yang menerangkan bahwa Rasulullah menyuruh untuk menyederhanakan suara
dalam berzikir karena kita tidak menyeru kepada Dzat yang tuli. Pertentangan di antara hadis-
hadis ini melahirkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang bagaimana cara yang
afdal dalam melaksanakan zikir. Di dalam kitab ruh al-bayan dijelaskan bahwa Rasulullah
setelah menyelesaikan salamnya ketika salat membaca kalimat laa ilaaha illallah wahdahu laa
syarikalahu lahu al-mulku walahu al-hamdu wahuwa ‘ala kulli syaiin qadiir dengan suara yang
keras.84 Sedangkan al-Thabari me-makruh-kan mengeraskan suara dalam do’a dan zikir.
Menurutnya para sahabat dan tabi’in berkata demikian.85

Imam al-Syafi’i dalam menakwilkan hadis tentang zikir jaḥr dan sirr mengatakan
bahwa ia lebih memilih bagi imam dan makmum untuk berzikir kepada Allah setelah selesai
salat, sambil memelankannya. Kecuali jika seorang imam ingin mengajarkan zikir maka ia
boleh mengeraskan hingga ia mengetahui bahwa mereka telah mempelajarinya, lalu kembali
memelankan suaranya.86 Jadi Imam Syafi’i menakwilkan makna hadis tentang zikir jaḥr
dengan bolehnya mengeraskan suara ketika hendak mengajari sebagaimana terdapat juga
hadis-hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah pernah mengeraskan suaranya ketika berzikir,

82
Edi Safri, al-Imam al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, 120
83
Edi Safri, al-Imam al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, 121
84
Ismail Haqqi al-Buruswi, Tafsir Ruhul Bayan vol. 3, 272
85
Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Baari vol. 6, 135
86
Badr al-Din al-‘Aini, Umdat al-Qari vol. 6, 181
88

menurut Imam Syafi’i Rasulullah sengaja untuk mengeraskan sedikit suaranya agar orang-
orang dapat belajar mengenai zikir dari beliau.87

Zikir boleh dilakukan dengan suara yang keras selama dalam keadaan berzikir tetap
khusyuk, tidak bersifat riya’, dan tidak mengganggu orang yang sedang salat atau tidur, Ibn
Hajar al-Haitami berkata,

ِ ِ ِ ‫ضرِة ََْن ِو مص ٍل أو ََنئٍِم مكْروه كما ِف الْمجم‬ ِ ْ‫و‬


ُ‫ث مل يَ ْشتَ َّد ْاألَ َذى َوإََِّل فَيَ ْن بَغي َْت ِرميُه‬
ُ ‫وع َو َغ ِْْيه َولَ َعلَّهُ َحْي‬ ُْ َ ٌُ َ َُ َ ْ َ‫اْلَ ْه ُر ِب‬
88
َ

” Dan membaca dengan keras tatkala ada orang yang sholat atau sedang tidur maka
hukumnya makruh –sebagaimana dalam kitab Al-Majmuu’ dan kitab yang lainnya-. Hukum
makruh ini mungkin jika gangguan (terhadap orang yang sholat dan tidur-pen) tidaklah parah,
jika parah maka hukum membaca dengan keras adalah haram.”

87
Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, al-Umm, vol. 2, 288
Ahmad bin ‘Ali bin Hazm al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah vol.1, (Beirut: Dar al-Kutub
88

al-‘Ilmiyyah, 1987), 158


BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan

Setelah melakukan analisa mengenai hadis tentang berzikir secara jaḥr dan sirr
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil analisa terhadap sanad dan matan hadis
tentang berzikir secara jaḥr yang terdapat di dalam Ṣahīh al-Bukhārī nomor hadis 841
disimpulkan bahwa sanadnya bersambung dari awal hingga mukharrij, hal ini dapat
dibuktikan dengan suatu rawi dengan rawi sebelumnya atau sesudahnya hidup sezaman
dan memiliki hubungan antara guru dan murid. Selain ketersambungan sanad, seluruh
perawi yang meriwayatkan hadis tersebut memiliki sifat yang adil namun terdapat rawi
yang ke-dhabit-annya dinilai ṣaduq akan tetapi terdapat hadis penguat lainnya.
Selanjutnya tidak adanya syadz maupun ‘illat di dalamnya sehingga dapat di simpulkan
kualitas dari sanad hadis tersebut adalah ṣaḥih li ghairihi. Pada matan hadis tidak
terdapat syadz dan ‘illat, tidak kontradiksi dengan al-Qur’an dan akal sehat, akan tetapi
terdapat kontradiksi dengan hadis zikir secara sirr sehingga hal ini di bahas dalam
analisa kontradiksi hadis. Dari hasil analisa terhadap sanad dan matan hadis tentang
berzikir secara sirr yang terdapat di dalam Ṣahīh al-Bukhārī nomor hadis 4205
disimpulkan bahwa sanadnya bersambung dari Rasulullah hingga mukharrij, hal ini
dapat dibuktikan dengan suatu rawi dengan rawi sebelumnya atau sesudahnya hidup
sezaman dan memiliki hubungan antara guru dan murid. Selain ketersambungan sanad,
seluruh perawi memiliki sifat adil namun terdapat rawi yang ke-dhabit-annya dinilai
ṣaduq dan laisa bihi ba’s akan tetapi terdapat hadis penguat lainnya. Selanjutnya tidak
adanya syadz maupun ‘illat di dalamnya sehingga dapat di simpulkan kualitas dari
sanad hadis tersebut adalah ṣaḥih li ghairihi. Pada matan hadis tidak terdapat syadz dan
‘illat, tidak kontradiksi dengan al-Qur’an dan akal sehat, akan tetapi terdapat
kontradiksi dengan hadis zikir secara jaḥr sehingga hal ini di bahas dalam analisa
kontradiksi hadis. Kedua hadis yang tampak bertentangan tersebut diselesaikan dengan
cara ditakwilkan, yaitu menakwilkan hadis tersebut dari makna lahiriah yang tampak
bertentangan kepada makna lain sehingga pertentangan yang tampak tersebut dapat
dihindari dan dapat ditemukan titik temu atau pengompromiannya. Imam al-Syafi’i
dalam menakwilkan hadis tentang zikir jaḥr dan sirr mengatakan bahwa ia lebih
memilih bagi imam dan makmum untuk berzikir kepada Allah setelah selesai salat,
sambil memelankannya. Kecuali jika seorang imam ingin mengajarkan zikir maka ia

89
90

boleh mengeraskan hingga ia mengetahui bahwa mereka telah mempelajarinya, lalu


kembali memelankan suaranya. Jadi Imam Syafi’i menakwilkan makna hadis tentang
zikir jaḥr dengan bolehnya mengeraskan suara ketika hendak mengajari sebagaimana
terdapat juga hadis-hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah pernah mengeraskan
suaranya ketika berzikir, menurut Imam Syafi’i Rasulullah sengaja untuk mengeraskan
sedikit suaranya agar orang-orang dapat belajar mengenai zikir dari beliau.

B. Saran

1. Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam data-data yang telah
dianalisis dalam penelitian ini sehingga peneliti mengharapkan kritik serta saran
yang dapat membangun kedepannya.
2. Peneliti mengharapkan penelitian ini dapat memberikan wawasan tambahan baik
terkait ilmu mukhtalif al- ḥadiṡ maupun tentang zikir secara jaḥr dan sirr.
3. Terakhir, peneliti berharap penelitian ini dapat menjadi pedoman/acuan dalam
melakukan penelitian terkait ilmu mukhtalif al- ḥadiṡ dan zikir secara jaḥr dan sirr.
DAFTAR PUSTAKA
Aliyah, Sri. “Teori Pemahaman Ilmu Mukhtalif Hadis.” Jurnal Media Neliti. 2014.

Anas, Muhammad dan Imron Rosyadi. “Metode Memahami Hadis-Hadis Kontradiktif.”


Jurnal Muttawatir, Vol. 3, No. 1. 2013.

Al-Bukhārī, Muhammad b. Ismail. Ṣahīh al-Bukhārī. Mesir: al-Salafiyah. 1440 H.

Al-Damasyqi, Ismail b. Umar b. Katsir al-Qursyi. Lubaab al-Tafsir min Ibni Katsir. Terj. M.
Abdul Ghaffar. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i. 2003.

Al-Dzahabi, Syamsuddin Abi Abdillah. Tahdzib al-Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal.


Cairo: al-Faruq al-Hadisiyah li Thaba’ah wa al-Nasir. 2004.

Al-Asqalani, Ibn Hajar. Tahdzib al-Tahdzib. Cairo: Dar Kitab al-Islamiyyah. 1993.

----------------------------. Fathul Baari. Terj. Abdul Aziz Abdullah bin Baz. Jakarta: Pustaka
Azzam. 2003.

Al-Haitami, Ahmad b. ‘Ali b. Hazm. Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah. Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah. 1987.

Harahap, Khoirul Amru dan Reza Pahlevi Dalimunthe. Dahsyatnya Do’a dan Zikir. Jakarta:
QultumMedia. 2008.

Huda, Muhammad Choirul. Ilmu Matan Hadis. Ciputat: Yayasan Pengkajian Hadis el-
Bukhori. 2019.

Imtyaz, Rizkiyatul. Metode Hasan bin Ali Assaqaf dalam Kritik Hadis. Serang: Penerbit A-
Empat. 2021.

Junaidi, Luqman. The Power of Wirid. Jakarta: Penerbit Hikmah. 2007.

Juned, Daniel. Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadis. Jakarta: Erlangga.
2010.

Al-Kabbani, Muhammad Hisyam. Energi Zikir dan Salawat. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta. 2007.

Al-Mahfani, M. Khalilurrahman. Keutamaan Do’a dan Zikir untuk Hidup Sejahtera. Jakarta:
PT. WahyuMedia. 2006.

Muvid, Muhammad Basyrul. Zikir Penyejuk Jiwa. Jakarta: Alifia Books. 2020.

91
92

Al-Naisaburi, Muslim b. Al-Hajjaj. Ṣaḥih Muslim. Riyadh: Dar al-Thayyibah. 1427 H.

Al-Nawawi, Abu Zakaria Yahya bin Sharaf. Syarh Shahih Muslim. Terj. Agus Ma’mun,
Suharlan Suratman. Jakarta: Darussunnah. 2014.

-----------------------------------------------------. Syarh Shahih Muslim. Terj. Fathoni


Muhammad, Futuhal Arifin. Jakarta: Darussunnah. 2014.

Nurdin, Arbain dan Ahmad Fajar Shodik. Studi Hadis Teori dan Aplikasi. Bantul: Lembaga
Ladang Kata. 2019.

Ramadhan, Fadhli. Dzikir Pagi Petang. Yogyakarta: Fillah Books. 2019.

Safri, Edi. Al-Imam al-Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif. Padang: Hayfa
Press. 2013.

Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris. Ikhtilaf al-Ḥadiṡ. Beirut: Muassasah al-Kutub al-
Thaqafiyyah. 1985.

---------------------------------------. al-Umm. Beirut: Dar al-Fikr. 1990.

Syamssuddin, M. Chalis. Penetapan Hukum Berdasarkan Hadis Mukhtalif Perspektif Imam


Syafi’. 2020.

Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2020.

Anda mungkin juga menyukai