Anda di halaman 1dari 130

HAK ASUH ANAK KEPADA IBU YANG MURTAD

DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH


(Studi Putusan Nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR )

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
ALYA KALTSUM NAJWA
NIM : 11170440000087

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2022
HAK ASUH ANAK KEPADA IBU YANG MURTAD
DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH
(STUDI PUTUSAN NOMOR 1/Pdt.G/2013/PA.MUR )

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

ALYA KALTSUM NAJWA


11170440000087

Pembimbing

Dr. Hj. Rosdiana, M.A


NIP. 196906102003122001

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2022 M

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:


Nama : Alya Kaltsum Najwa
NIM : 11170440000087
Program Studi : Hukum Keluarga / Syariah dan Hukum
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia untuk
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 07 Februari 2022

Alya Kaltsum Najwa


NIM. 11170440000087

iii
Abstrak

Alya Kaltsum Najwa, NIM 11170440000087. HAK ASUH ANAK KEPADA IBU
YANG MURTAD DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH (STUDI
PUTUSAN NOMOR 1/Pdt.G/2013/PA.MUR). Program Studi Hukum Keluarga
(Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2022 M.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dari pertimbangan hukum
Hakim pada putusan nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR, tentang permohonan hak
asuk seorang anak yang belum mumayyiz dan kepada siapakah anak itu diasuh jika
diantara ibu dan ayahnya sama-sama mempunyai cacat hukum sebagai pemegang
hadhanah. Serta menganalisis pertimbangan hakim tersebut menggunakan teori
Maslahah Mursalah.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dan metode
pendekatan studi kepustakaan. Sumber data yang di dapat dalam penelitian ini
berupa data primer, yaitu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
1/Pdt.G/2013/PA.MUR dan sumber data sekunder berupa Undang-Undang
tentang Perkawinan, Undang-Undang tentang Peradilan Agama, Kompilasi
Hukum Islam, jurnal, artikel, skripsi, dan buku bacaan mengenai Munakahat.
Teknik yang digunakan pada penelitian ini, yaitu studi pustaka dan dokumentasi.
Metode yang digunakan untuk menganalisis data yaitu metode analisis kualitatif.
Hasil penelitian terhadap putusan Nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR, bahwa
faktor perilaku buruk dan murtad yang dimiliki pemohon dan termohon, pada
dasarnya menjadikan kedua pihak terhalang untuk mendapatkan hak hadhanah
atas ketiga anak mereka. Pengasuhan anak diatur dalam Pasal 50-54 Undang-
Undang Perkawinan tentang perwalian dan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam
tentang hadhanah. Pada prinsipnya putusan Hakim telah sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Indonesia, walaupun ada syarat yang tidak terpenuhi sebagai
pemegang hak hadhanah. Namun, berdasarkan pertimbangan Hakim yang lebih
ringan mudharatnya, maka penulis juga sepakat dengan Putusan Hakim.

Kata Kunci : Hak Asuh Anak, Ibu Murtad, Maslahah Mursalah.


Pembimbing : Dr. Hj. Rosdiana, M.A.
Daftar Pustaka : 1988 s.d. 2021

iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam
tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan karena dalam karya tulis menggunakan
beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau
lingkup penggunaannya masih terbatas.
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
‫ﺍ‬ Tidak dilambangkan
‫ﺏ‬ B Be
‫ﺕ‬ T Te
‫ﺙ‬ Ts te dan es
‫ﺝ‬ J Je
‫ﺡ‬ H ha dengan garis bawah
‫ﺥ‬ Kh ka dan ha
‫ﺩ‬ D De
‫ﺫ‬ Dz de dan zet
‫ﺭ‬ R Er
‫ﺯ‬ Z Zet
‫ﺱ‬ S Es
‫ﺵ‬ Sy es dan ye
‫ﺹ‬ S es dengan garis bawah
‫ﺽ‬ D de dengan garis bawah
‫ﻁ‬ T te dengan garis bawah
‫ﻅ‬ Z zet dengan garis bawah
‫ﻉ‬ ‘ Koma terbalik di atas hadap kanan
‫ﻍ‬ Gh ge dan ha
‫ﻑ‬ F Ef
‫ﻕ‬ Q Qo
‫ﻙ‬ K Ka
‫ﻝ‬ L El

v
‫ﻡ‬ M Em
‫ﻥ‬ N En
‫ﻭ‬ W We
‫ﻫـ‬ H Ha
‫ﺀ‬ ` Apostrop
‫ﻱ‬ Y Ya

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
monoftong, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
______ A Fathah
------ I Kasrah
______ U Dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫_____ﻱ‬ Ai a dan i
‫______ﻭ‬ Au a dan u

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakah dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫َـﺎ‬ Â a dengan topi di atas

ِ‫ــﻲ‬ Î i dengan topi di atas


‫ُــﻮ‬ Û u dengan topi di atas

Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam,

vi
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf
qomariyyah. Misalnya:
‫ = ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ‬al-ijtihad
‫ = ﺍﻟﺮﺧﺼﺔ‬al-rukhsah, bukan ar-rukhsah
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggunakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf
yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
‫ = ﺍﺷﻔﻌﺔ‬al-syuf’ah tidak ditulis asy-syuf’ah
Dalam penulisan ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbutah
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbutah tersebut
diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
“t” (te) (lihat contoh 3).
No. Kata Arab Alih Aksara
1 ‫ﺷﺮﻋﻴﺔ‬ syarî’ah
2 ‫ﺷﺮﻋﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ‬ al-syarî’ah al-islâmiyyah

Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam
transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului
oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: ‫ = ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ‬al-Bukhari
tidak ditulis Al-Bukhari.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama tersebut
berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nur al-Din al-
Raniri.

vii
Setiap kata, baik kata kerja (fi’il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
al-darûrah tubîhu al-
1 ‫ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﺗﺒﻴﺢ ﺍﻟﻤﺤﻈﻮﺭﺍﺕ‬ mahzûrât
2 ‫ﺍﻻﻗﺘﺼﺎﺩ ﺍﻻﺳﻼﻣﻲ‬ al-iqtisâd al-islâmî
3 ‫ﺍﺻﻮﻝ ﺍﻟﻔﻘﻪ‬ usûl al-fiqh
al-‘asl fî al-asyya‫ ﹶ‬al-
4 ‫ﺍﺃﻟﺼﻞ ﻓﻲ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ‬ ibâhah
5 ‫ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﺍﻟﻤﺮﺳﻠﺔ‬ al-maslahah al-mursalah

viii
KATA PENGANTAR

ِ‫ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ‬

Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin, Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT
karena berkat rahmat dan karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Sholawat beserta salam semoga dapat tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum Program Studi Hukum Keluarga pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul peneliti
ajukan adalah “Hak Asuh Anak Kepada Ibu Yang Murtad Dalam Perspektif
Maslahah Mursalah (Studi Putusan Nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR)”.
Dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan, bimbingan serta
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti dengan senang hati
mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, M.A, selaku
Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, SH, M.H, M.A, sekalu Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Mesraini, S.H., M.Ag, selaku ketua Program Studi Hukum
Keluarga dan Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A, sekretaris Program
Studi Hukum Keluarga.
4. Ibu Dr. Hj. Rosdiana, M.A, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk mengarahkan dan memotivasi
selama membimbing penulis.
5. Bapak Afwan Faizin, M.A, selaku dosen pembimbing akademik yang
selalu menasehati dan membimbing selama perkuliahan.

ix
6. Segenap Dosen, Staf Perpustakaan, Karyawan-karyawan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak
memberi ilmu dan memfasilitasi dalam penyelesaian skripsi ini
7. Ayahanda tercinta H. Achmad Hutori, SE., MM dan Ibunda Hj.
Rohimah, yang senantiasa selalu menyayangi dan memberikan kasih
sayang dan dukungan kepada peneliti.
8. Teman-teman penulis di bangku perkuliahan yaitu Selina Abigail,
Rahmadini Septia Aikhiri, Syifa Fauziah, Hani Rifqial Aini, Siti
Kholisoh, Feni Nuraini, Arini Salwa yang selalu membantu peneliti dan
memberikan motivasi dari awal kuliah sampai sekarang peneliti dapat
menyelesaikan tugas akhir. Terima kasih peneliti ucapkan atas doa,
dukungan dan kebersamaannya di masa-masa perkuliahan.
9. Teman-teman seperjuangan Hukum Keluarga angkatan 2017,
Terkhusus untuk HK-C 2017 terimakasih atas semangat, canda, tawa
yang penuh kesan selama masa perkuliahan. Semoga kita selalu
diberikan kesehatan dan sukses dimasa depan.
10. Teman seperjuangan saat di Pondok Pesantren yang masih berteman
baik dengan penulis, Silvi Salamah, S.Pd dan kepada kak Ilham
Ramdani Rahmat, S.H selaku kakak kelas peneliti yang selalu
membantu peneliti dan dukungan kepada peneliti.
11. Semua pihak yang peneliti tidak dapat sebutkan satu persatu, yang telah
memotivasi serta menginpirasi peneliti baik secara langsung maupun
tidak langsung. Semoga selalu dilindungi oleh Allah SWT.

Semoga Allah memberikan rahmat dan balasan pada setiap kebaikan yang telah
diberikan untuk peneliti. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum keluarga.

Jakarta, 07 Februari 2022

Peneliti

x
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................ii


LEMBAR PERNYATAAN..................................................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................iv
ABSTRAK ..............................................................................................................v
PEDOMAN TRANSLITERASI ..........................................................................vi
KATA PENGANTAR...........................................................................................xi
DAFTAR ISI .......................................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah........................6
1. Identifikasi Masalah .............................................................6
2. Pembatasan Masalah.............................................................6
3. Rumusan Masalah.................................................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................7
D. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu ..........................................8
E. Metode Penelitian ......................................................................10
1. Jenis Penelitian ...................................................................10
2. Pendekatan Penelitian.........................................................10
3. Sumber Data .......................................................................10
4. Metode Pengumpulan Data ................................................11
5. Metode Analisis Data .........................................................12
6. Teknik Penulisan ................................................................12
F. Rancangan Sistematika Penelitian ...........................................12
BAB II KAJIAN TEORI...........................................................................15
A. Tinjauan Umum Hadhanah ......................................................15
1. Pengertian Hadhanah..........................................................15
2. Dasar Hukum Hadhanah.....................................................17
Syarat Hadhanah.................................................................22

ix
Pihak-pihak yang berhak atas Hadhanah.............................26
B. Murtad......................................................................................31
1. Pengertian dan Dasar Hukum Murtad ................................31
2. Kedudukan Murtad dalam Perkawinan ..............................33
Akibat Murtad Terhadap Hadhanah ...................................35
C. Maslahah Mursalah .................................................................39
1. Pengertian Maslahah Mursalah ..........................................39
2. Dasar Hukum Maslahah Mursalah .....................................40
3. Tingkatan Maslahah Mursalah ...........................................41
4. Macam-Macam Maslahah Mursalah ..................................48
5. Kehujjahan Maslahah Mursalah .........................................51
BAB III DESKRIPSI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MAUMERE
NOMOR 1/Pdt.G/2013/PA.MUR................................................55
A. Posisi Kasus .............................................................................55
B. Duduk Perkara..........................................................................55
1. Posita ..................................................................................55
2. Petitum................................................................................57
3. Proses Pemeriksaan Perkara ...............................................58
C. Amar Putusan ...........................................................................59
D. Pertimbangan Hukum...............................................................59
Putusan dan Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama Maumere
............................................................................................64
BAB IV PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MAUMERE NOMOR
1/Pdt.G/2013/PA.MUR TENTANG PEMBERIAN HAK
HADHANAH TERHADAP IBU MURTAD .............................66
A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Pemberian Hak
Hadhanah Terhadap Ibu Murtad (Putusan Agama Maumere
Nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR) .............................................66
B. Analisis Putusan Pengadilan Agama Maumere Nomor
1/Pdt.G/2013/PA.MUR Perspektif Maslahah Mursalah. .........75
BAB V PENUTUP .....................................................................................84

x
A. Simpulan ..................................................................................84
B. Saran.........................................................................................85
DAFTAR PUSTAKA...................................................................87
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..........................................................91

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu


memerlukan orang lain dalam kehidupannya, baik dalam pengaturan
fisiknya maupun dalam pembentukan akhlaknya. Untuk mencapai hal
tersebut diperlukan peran dan tanggung jawab dari kedua orang tua, karena
pada dasarnya mereka adalah sosok yang sangat menentukan tumbuh dan
kembangnya seorang anak.

Adapun begitu pentingnya hadhanah bagi seorang anak diperlukan


rasa peduli dan tanggung jawab dari kedua orang tua. Jalinan kerja sama
antara keduanya hanya akan bisa terwujud selama kedua orang tua masih
tetap dalam hubungan suami istri. Tugas hadhanah pada dasarnya akan
lebih banyak dilakukan oleh pihak ibu, namun peranan ayah tidak dapat
diabaikan, baik dalam memenuhi segala kebutuhan yang memperlancar
tugas hadhanah, maupun dalam menciptakan suasana damai dalam rumah
tangga di mana anak diasuh dan dibesarkan.

Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab


apabila mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil
kepada kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih
kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan
urusannya, dan orang yang mendidiknya. Pendidikan yang lebih penting
adalah pendidikan anak dalam pangkuan ibu bapaknya, karena dengan
adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan
akalnya, membersihkan jiwanya serta mempersiapkan diri anak dalam
menghadapi kehidupannya di masa yang akan datang.1

1 Tihami dan Sohari Sahrani, “Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap”, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2009), h., 216.

1
2

Harapan di atas tidak dapat terwujud, apabila terjadi perceraian


antara ayah dan ibu si anak. Perceraian diambil sebagai langkah terakhir
saat segala upaya perdamaian yang telah dilakukan tidak berhasil. Karena
pada hakikatnya, perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.2 Jika dalam perkawinan sudah tidak lagi ada kebahagiaan,
maka perceraian lah salah satu jalannya. Karena keadaan yang sudah
bertentangan dengan tujuan dalam pernikahan itu sendiri. Meskipun
perceraian adalah hal yang diperbolehkan, namun perceraian adalah hal
yang sangat dibenci oleh Allah SWT.

Sekalipun proses perceraian berjalan dengan baik dan damai,


namun dari perceraian tersebut, pasti akan terasa beberapa dampak
setelahnya, terutama dampak pada anak. Banyak anak yang merasa bahwa,
dia menjadi anak yang kurang beruntung dan kurang mendapatkan kasih
sayang karena hancurnya rumah tangga orang tuanya. Akibat lain dari
perceraian adalah anak akan merasa bingung harus ikut dengan ibu, ayah,
atau keluarga yang lain setelah orang tuanya bercerai. Dari sini lah Islam
mengatur tentang adanya hadhanah. Hadhanah adalah mendidik anak anak
yang tidak dapat mengurus diri sendiri menurut umur tertentu terhadap
orang yang berhak terhadapnya, yaitu dikalangan keluarganya.3

Hadhanah merupakan hak bagi suami, istri, dan anak itu sendiri.
Setelah perceraian, tanggung jawab suami dan isteri terhadap anak tidak
putus begitu saja. Dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan disebutkan
bahwa;4 Akibat putusnya Perkawinan karena perceraian ialah: pertama,
demi kepentingan anak, Ibu dan Bapak tetap memiliki kewajiban untuk
memelihara dan mendidik anak-anaknya dan apabila ada perselishan dalam

2 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.


3 Supardi, “Hadhanah dan Tanggung Jawab Perlindungan Anak”, Jurnal Al-Manahij Vol
8 No 1, 2014, h., 58.
4 Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan.
3

hal pengasuhan anak, maka bisa di selesaikan melalui proses Pengadilan;


Kedua, biaya pengasuhan anak termasuk tanggung jawab Bapak, dan jika
Bapak tidak mampu menanggung biaya pemeliharaan sepenuhnya maka ibu
boleh membantu dalam biaya pengasuhan tersebut; ketiga, Pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Di Indonesia, Hadhanah juga di atur dalam Kompilasi Hukum


Islam Pasal 105. Dimana aturan tersebut menyatakan bahwa anak yang
belum Mumayyiz hak asuh nya jatuh kepada Ibu. Sedangkan untuk anak
yang sudah Mumayyiz, hak tersebut ada pada anak itu sendiri. Dimana anak
berhak memilih akan ikut dengan Ayah atau Ibunya. Dan biaya pengasuhan
tersebut tetap menjadi tanggung jawab ayahnya.5

Hadhanah menurut para ulama fiqh adalah pemeliharaan terhadap


anak-anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan, atau yang
sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu untuk
kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang membahayakan, mendidik
jasmani, rohani, dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup
dan memikul tanggung jawab.6 Ulama fiqih sepakat bahwa bila terjadi
perceraian maka ibu yang lebih berhak mengasuh anak, sedangkan
pembiayaan yang sifatnya material pada operasional dalam pengasuhan
anak menjadi kewajiban dan tanggung jawab ayah.7

Dalam rangka mensejahterakan hak anak, Pemerintah membuat


regulasi tentang kesejahteraan anak yang tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 Pasal 2 ayat (3) dan (4) dan sebagai upaya penjamin
kemaslahatan bagi anak, pemerintah juga mengesahkan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, dimana pentingnya
pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian agar tidak menghilangkan

5 Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam.


6 Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah”, (Bandung: Al-Ma’arif, 2007), h., 173.
7 M. Djamil Latif, “Aneka Hukum Perceraian di Indonesia”, Cet 1, (Yogyakarta: Gama

Media, 2001), h., 82.


4

hak-hak anak. Karena selain memiliki kewajiban, anak juga memiliki hak
yang mana hak tersebut menjadi tanggung jawab orang tuanya.

Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin selalu


mengedepankan kemaslahatan bagi umatnya di dalam segala bidang
kehidupan. Hal demikian juga berlaku dalam masalah hadhanah, karena
untuk menjamin kemaslahatan, kepentingan dan pemeliharaan seorang anak
yang diakibatkan oleh perceraian. Islam menetapkan syarat-syarat bagi
calon hadhin (seseorang yang mendidik dan merawat anak dari pihak laki-
laki) maupun hadhinah (seseorang yang mendidik dan merawat anak dari
pihak perempuan), maka ditetapkan beberapa syarat diantaranya seperti
yang disebutkan dalam kitab Fiqih Sunnah, yaitu: Berakal sehat, Dewasa,
Mampu mendidik, Amanah dan berbudi, Islam, Ibunya belum menikah lagi,
Merdeka.8

Mengenai syarat di atas, terdapat perbedaan pendapat di antara


imam madzhab terhadap Islam sebagai syarat menjadi hadhin maupun
hadhinah. Jumhur ulama sepakat bahwa anak kecil muslim tidak boleh
diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim. Hal ini karena orang kafir tidak
mempunyai kuasa atas orang muslim. Selain itu, juga ditakutkan terjadi
pengkafiran terhadap anak tersebut.

Ulama Hanafiyah dan Malikiyyah tidak mensyaratkan orang yang


memelihara anak harus beragama Islam. Menurut mereka, non muslim
kitabiyah atau ghoiru kitabiyah boleh menjadi hadhinah atau pemelihara,
baik ia ibu sendiri maupun orang lain. Hal ini dikarenakan bahwa hadhanah
itu tidak lebih dari menyusui dan melayani anak kecil. Kedua hal ini boleh
dikerjakan oleh perempuan kafir.

Rasulullah SAW dalam hal ini, pernah memberikan kebebasan


kepada seorang anak untuk memilih antara ikut ayahnya yang muslim atau

8 Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah”, Jilid 2, (Beirut: Darul Kutub Al Arabiyah, 1971), h., 219-
221.
5

ibunya yang musyrik. Dan ternyata anak tersebut lebih condong pada
ibunya. Rasulullah SAW lantas berdoa, “Ya Allah, berilah petunjuk pada
anak itu, dan luruskan hati anak itu agar ikut pada ayahnya”. Dan lagi,
karena pemeliharaan anak itu berkaitan dengan kasih sayang, dan kasih
sayang tidak berbeda dengan perbedaan agama.9

Sekalipun menganggap orang kafir boleh menangani hadhanah,


tetapi golongan Hanafi juga menetapkan syarat-syaratnya, yaitu bukan kafir
murtad. Hal ini karena orang kafir murtad, menurut golongan Hanafi berhak
dipenjarakan hingga ia tobat dan kembali kepada Islam atau mati dalam
penjara. Karena itu, ia tidak boleh diberi kesempatan untuk mengasuh anak
kecil. Akan tetapi, kalau ia sudah tobat dan kembali kepada Islam, hak
hadhanahnya kembali juga.10

Dari uraian diatas, hal yang menarik untuk di teliti lebih lanjut
adalah mengenai putusan hakim pada Pengadilan Agama Maumere yang
menolak permohonan seorang bapak untuk ditetapkan sebagai pemegang
hak asuh atas anak nya yang saat permohonan itu diajukan, anak tersebut
belum mumyyiz. Dalam membaca putusan ini, patut menjadi pertanyaan
mengapa seorang Hakim bisa menolak permohonan penetapan hak asuh
anak yang diajukan oleh Pemohon selaku bapak kandung untuk menjadi
pemegang hak asuh anak yang anak tersebut usianya yaitu, anak pertama
umur 11 (sebelas) tahun, anak kedua umur 9 (Sembilan) tahun, dan anak
ketiga umur 8 (delapan) tahun. Tapi setelah membaca putusan lebih lanjut,
ditemukan fakta bahwa ibu mempunyai cacat hukum sebagai pemegang
hadhanah karena kemurtadannya dan ayah juga mempunyai cacat hukum
karena pernah dipidana terkait masalah penelantaran anak. Atas dasar
tersebut, pihak mana yang harusnya lebih berhak mendapatkan hak
pemeliharaan anak, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia.

9 Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, Jilid 7, (Damasukus; Daar al-Fikr,

1985) h., 727-728.


10 Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah”, Jilid 2, (Beirut: Darul Kutub Al Arabiyah, 1971), h., 343.
6

Penulis ingin mengakaji lebih lanjut tentang Putusan Nomor


1/Pdt.G/2013/PA.MUR dalam hal penentuan hak asuh apabila ditinjau dari
prespektif Maslahah Mursalah dengan menarik judul “HAK ASUH ANAK
KEPADA IBU YANG MURTAD PERSPEKTIF DALAM MASLAHAH
MURSALAH (STUDI PUTUSAN NOMOR 1/Pdt.G/2013/PA.MUR )”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah merupakan suatu permasalahan yang


terkait dengan judul skripsi yang sedang dibahas. Masalah-masalah
yang sudah tertuang pada subbab latar belakang diatas pada umumnya
kerap dijumpai direalita kehidupan untuk saat ini, maka dari itu penulis
memaparkan beberapa permasalahan yang ditemukan sesuai dengan
bagian latar belakang penelitian ini, diantaranya adalah:

a. Cara penyelesaian perkara hak asuh anak di Indonesia.


b. ketentuan hak asuh anak menurut Undang-Undang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
c. Agama sebagai salah satu pertimbangan hukum hakim.
d. Kesamaan agama antara hakim dan hadhanah.
e. Bagaimana hakim memutuskan perkara hak asuh anak yang salah
satu orang tuanya murtad.
f. Faktor penghambat seseorang mendapatkan hak asuh anak.
g. Murtad sebagai alasan penghalang untuk mendapatkan hak asuh
anak.
2. Pembatasan Masalah

Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih Pengadilan


Agama Maumere sebagai obyek penelitian. Mengingat banyaknya
perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama tersebut, maka penulis
melakukan pembatasan yakni agar pembahasan terarah dan lebih
spesifik, maka pembahasan dalam penelitian ini dibatasi hanya pada
7

pemberian hak asuh anak yang diberikan kepada ibu yang murtad dalam
putusan nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR.

Menarik untuk penulis teliti dalam skripsi ini sehingga nantinya


tidak meluas atau keluar dari pokok bahasan yakni sehubungan dengan
beraneka ragamnya kasus Hadhanah anak, maka dalam skripsi ini
penulis membatasi hanya pada kasus di atas yang difokuskan pada
argumentasi dan landasan hukum hakim dalam memutus perkara
tentang hak-hak anak dalam perebutan hak asuh anak yang disebabkan
salah satu dari orang tuanya murtad (Kristen).

3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, untuk mengetahui
maksud dan tujuan penelitian ini, maka dapat dikemukakan pokok
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan
Agama Maumere No 1/Pdt.G/2013/PA.MUR tentang pemberian
hak hadhanah terhadap ibu murtad?
b. Bagaimana putusan Pengadilan Agama Maumere No
1/Pdt.G/2013/PA.MUR tentang pemberian hak hadhanah terhadap
ibu murtad perspektif maslahah mursalah?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian.
Adapun tujuan penelitian yang ditetapkan sesuai dengan rumusan
masalah adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam putusan
Pengadilan Agama Maumere Nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR tentang
pemberian hak hadhanah terhadap ibu murtad.
2. Untuk mengetahui putusan Pengadilan Agama Maumere Nomor
1/Pdt.G/2013/PA.MUR tentang pemberian hak hadhanah terhadap ibu
murtad perspektif maslahah mursalah.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:
1. Manfaat Teoritis
8

Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi penambah ilmu


pengetahuan serta dapat memberikan manfaat pada bidang hukum
keluarga, khususnya mengenai hak asuh anak dalam perceraian beda
agama. Dengan adanya tulisan ini sekiranya juga dapat menambah
wawasan ilmiah bagi perkembangan hukum dalam masalah hak asuh
anak dalam perceraian beda agama.

2. Manfaat Praktis

Hasil penulisan ini dapat memberikan jawaban atas masalah


yang diteliti dan juga dapat memberikan pemikiran dan pemahaman
bagi mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum yang tertarik untuk
mengetahui lebih jauh tentang hak asuh anak dalam perceraian beda
agama.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dari hasil penelusuran pada karya tulis ilmiah yang berkaitan


dengan pembahasan hak asuh anak (Hadhanah), ternyata terdapat sejumlah
bahasan yang berbeda. Adapun kajian terdahulu yang penulis temukan
diantaranya:

1. Skripsi yang ditulis oleh Widya Eka Rahmawati dengan judul “Hak
Hadhanah Ghairu Mumayyiz Kepada Ayah Karena Perdamaian
(Analisis Putusan PA Jakarta Selatan No. 1091/Pdt.G/2004/PA.JS)”.
Skripsi ini membahas tentang hak asuh anak yang diberikan kepada
bapaknya atas perdamaian dari kedua belah pihak antara penggugat dan
tergugat, jadi penyerahannya anak itu atas kerelaan dari ibunya.11
Perbedaannya dalam penelitian penulisan skripsi ini, penulis membahas
hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada ibu yang murtad yang

11 Widya Eka Rahmawati, skripsi “Hak Hadhanah Ghairu Mumayyiz Kepada Ayah Karena

Perdamaian (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor


1091/Pdt.G/2004/PA.JS)”, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayutullah, 2009).
9

akan menimbulkan kerusakan pada akhlak anak, maka bukan


berdasarkan atas kerelaan dari ibunya.
2. Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Imamul Umam dengan judul “Hak
Asuh Anak Dalam Perkara Cerai Talak Karena Istri Murtad”. Hasil dari
penelitian ini adalah membahas tentang putusan Hakim Pengadilan
Agama Salatiga yang menyatakan bahwa memberikan hak asuh anak
kepada ayahnya karena ibu telah keluar dari agama Islam.12 Perbedaan
dengan skripsi di atas adalah hak asuh yang diberikan kepada ayahnya
disebabkan istrinya yang murtad, sedangkan skripsi yang dipaparkan
oleh penulis adalah mengenai hak asuh anaknya yang jatuh kepada
ibunya yang murtad.
3. Skripsi yang ditulis oleh Nova Andiani dengan judul “Penetapan hak
hadhanah kepada bapak bagi anak yang belum mumayyiz (analisis
putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat, perkara Nomor :
228/Pdt.G/2009/PA.JB)”. Hasil dari penelitian ini adalah menjelaskan
tentang metode ijtihad Hakim dalam perkara hadhanah yang jatuh pada
ayah nya.13
4. Skripsi yang ditulis oleh Hadi Zulkarnain dengan judul “hak asuh anak
akibat istri nusyuz (analisis putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur,
perkara Nomor : 377/pdt.G/2006/PA.JT)”. Hasil dari penelitian ini
adalah menjelaskan tentang hak asuh anak pasca perceraian yang
diakibatkan karena isteri yang nusyuz.14
5. Skripsi yang ditulis oleh Moh Anas Maulana Ibroohim dengan judul
“Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Akibat Perceraian
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor

12 Muhammad Imamul Umam, skripsi “Hak Asuh Anak Dalam Perkara Cerai Talak
Karena Istri Murtad”, (Salatiga: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, 2012).
13 Nova Andiani, skripsi “Penetapan Hak Hadhanah Kepada Bapak Bagi Anak Yang

Belum Mumayyiz (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat, Nomor


228/Pdt.G/2009/PA.JB)”, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayutullah, 2011).
14 Hadi Zulkarnain, skripsi “Hak Asuh Anak Akibat Istri Nusyuz (Analisis Putusan

Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 377/Pdt.G/2006)”, (Jakarta: Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayutullah, 2011).
10

345/Pdt.G/2007/PA.Bks)”. Hasil dari penelitian ini adalah menjelaskan


tentang hak asuh anak yang diberikan kepada bapak yang disebabkan
kurang harmonis dan ibu tidak bisa lagi menjaga dan merawat anaknya
dengan baik, sehingga mengakibatkan perceraian bagi keduanya maka
hak asuh tersebut diberikan kepada bapak.15

Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah diuraikan di atas,


fokus penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Maka
penulis akan lebih fokus terhadap bagaimana dasar pertimbangan
hukum dalam putusan Pengadilan Agama Maumere nomor
1/Pdt.G/2013/PA.MUR tentang pemberian hak asuh anak (hadhanah)
terhadap ibu yang murtad dan bagaimana pertimbangan hakim tentang
pemberian hak hadhanah terhadap ibu murtad perspektif maslahah
mursalah pada putusan tersebut.

E. Metode Penelitian
Metode yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini antara lain :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang lebih
menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu
masalah dengan hasil deskriptif dan bukan merupakan angka-angka.16
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian
normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk
menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.17
3. Sumber Data.

15 Moh Anas Maulana Ibroohim, skripsi “Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak
Akibat Perceraian (Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 345/Pdt.G/2007/PA.Bks)”,
(Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2014).
16 Amiruddin dan Zainal Asikin, “Pengantar Metode Penelitian Hukum”, (Jakarta : PT

Raja Grafindo Persada, 2016), h., 167.


17 Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, (Jakarta,:Kencana Prenada, 2010), h., 35.
11

Sumber data dalam penelitian ini ialah data sekunder. Yaitu data yang
diperoleh dari kepustakaan.18 Data sekunder terdiri dari bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan Hukum Primer.

Sumber data ini diperoleh dari data yang langsung


dikumpulkan oleh peneliti atau dari sumber pertamanya.19 Yaitu
melalui penelitian dokumentasi, serta data primer adalah bahan
orisinil yang menjadi dasar bagi peneliti lain, dan merupakan
penyajian formal pertama dari hasil penelitian20 putusan perkara
Nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR tentang adanya penghalang hak asuh
anak dari ibu yang murtad.

b. Bahan Hukum Sekunder.

Data ini didapat dari bahan pustaka yang berisikan informasi


tentang bahan primer,21 yang didapatkan dari buku Ushul Fiqh,
Undang-undangan tentang Perkawinan, Al-Qur’an, Hadits, karya
tulis ilmiah, jurnal, makalah umum dan bacaan lain yang berkaitan
dengan judul penelitian.

4. Metode Pengumpulan Data.


Dalam rangka mengumpulkan, mengelolah dan menyajikan
bahan-bahan yang diperlukan, maka dilakukan pengolahan data dengan
cara sebagai berikut:
a) Studi Dokumentasi (document research)
Melalui penelitian ini, penulis memfokuskan untuk dapat
menelaah bahan-bahan atau data-data yang diambil dari
dokumentasi dan berkas yang mengatur tentang pemeriksaan

18 Burhan Ashshofa, “Metode Penelitian Hukum”, (Jakarta:PT.Rineka Cipta, 1996) h., 20.
19 Sumadi Suryabrata, “Metodologi Penelitian”, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h., 39.
20 Iskandar, “Metodologi Penelitian Kualitatif”, (Jakarta: Gaung Persada, 2009), h., 117-

118.
21 Bambang Waluyo, “Penelitian Hukum Dalam Praktek”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
h., 35.
12

putusan yang terkait masalah hak asuh anak (Hadhanah) dalam


putusan perkara No. 1/Pdt.G/2013/PA.MUR.
b) Studi Pustaka (library research)
Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang
berhubungan dengan penulisan skripsi ini yaitu dari Undang-
undang, buku-buku, jurnal dan sumber bacaan lainnya yang
memuat laporan hasil penelitian22, yang kemudian sebagai dasar
teori dalam pembahasan masalah. Pengolahan data studi pustaka
ini dilakukan dengan cara dibaca, dikaji dan dikelompokkan sesuai
dengan pokok masalah yang terdapat dalam skripsi ini.
5. Metode Analisis Data.

Analisa data merupakan bagian penting dalam metode ilmiah.


Analisis data memberi arti dan makna yang berguna dalam
memecahkan masalah penelitian. Metode analisis data yang sesuai
dengan penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis
deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui secara sistematis, faktual
dan akurat mengenai fakta-fakta hukum yang dimaksud.23

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman


penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu
(PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017.
F. Rancangan Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
adalah BAB perbab, dimana antara BAB yang satu dengan BAB lainnya
memiliki keterkaitan. Sistematika penulisan yang dimaksudkan adalah
sebagai berikut:

22 Sumadi Suryabrata, “Metodologi Penelitian”, h., 18.


23 Sumardi Suryabrata, “Metodologi Penelitian”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995),
h., 18.
13

BAB I Pendahuluan
Bab ini memuat tentang latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian, sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Umum Tentang Hadhanah, Murtad dan Maslahah
Mursalah
Dalam bab ini memuat beberapa sub pembahasan yaitu
pengertian hadhanah, dasar hukum hadhanah, syarat
hadhanah, pihak yang berhak atas hadhanah. Pengertian dan
dasar hukum murtad, kedudukan murtad dalam perkawinan,
akibat murtad terhadap hadhanah. Pengertian maslahah
mursalah, dasar hukum maslahah mursalah, tingkatan
maslalah mursalah, macam-macam maslahah mursalah,
kehujjahan maslahah mursalah.
BAB III Putusan Pengadilan Agama Maumere Nomor
1/Pdt.G/2013/PA.MUR
Bab ini meliputi deskripsi putusan nomor 1/Pdt.G/
2013/PA.MUR tentang hadhanah anak kepada ibu murtad
pada Pengadilan Agama Maumere.
BAB IV Analisis Putusan Pengadilan Agama Maumere Nomor
1/Pdt.G/2013/PA.MUR Tentang Pemberian Hak Hadhanah
Terhadap Ibu Murtad.
Bab ini merupakan pokok dari penulisan skripsi ini, yang
meliputi pertama, analisis dasar pertimbangan hakim dalam
Putusan Agama Maumere nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR
tentang pemberian hak hadhanah terhadap ibu murtad.
Kedua, analisis putusan Pengadilan Agama Maumere
Nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR perspektif maslahah
mursalah.

BAB V Penutup
14

Dalam bab ini memuat kesimpulan, saran-saran, dan


penutup.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Hadhanah
1. Pengertian Hadhanah
Dalam Islam pemeliharaan anak disebut dengan hadhanah.1
Hadhanah berasal dari kata al-hidn yang berarti anggota tubuh dari
bawah ketiak sampai kepinggul. Adapun dalam istilah fiqih, hadhanah
berarti mengasuh anak kecil atau anak abnormal yang belum atau tidak
dapat hidup sendiri, dengan memenuhi kebutuhan hidupnya,
menjaganya dari hal-hal yang membahayakannya, memberinya
pendidikan fisik maupun psikis, dan mengembangkan kemampuan
intelektualnya agar suatu hari nanti dapat memikul beban kehidupan.2
Hadhanah juga diartikan melayani anak kecil untuk mendidik
dan memperbaiki kepribadiannya oleh orang-orang yang berhak
mendidiknya pada usia tertentu yang ia tidak sanggup untuk melakukan
sendiri.3Hadhanah yang dimaksud adalah kewajiban orangtua untuk
memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya.4
Beberapa ulama juga memberikan definisi yang berbeda
mengenai Hadhanah, yaitu sebagai berikut:
Menurut Hasbi Ash Shiddieqy hadhanah (mengasuh anak)
adalah kewajiban orangtua untuk mengasuh dan mendidik anak yang
lahir dari sebuah pernikahan sampai usia tertentu.5

1 Amiur Nuruddin, “Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan

Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai KHI)”, (Jakarta: Kencana,
2004), h., 292.
2 Perpustakaan Nasional, ”Ensiklopedia Islam julid 2”, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1994), cet ke 3, h., 37.


3 Abdullah Mustafa, “Kewenangan Pengadilan dalam Memeriksa, Memutus, dan

Menyelesaikan Perkara Permohonan Pengasuhan Anak oleh Selain Pihak Keluarga”, Jurnal
Dawwam, vol. 8, No. 2, 2014, h., 153.
4 Amiur Nuruddin, “Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan

Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai KHI)”, h., 294.
5 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqie, “Hukum Antar Golongan Interaksi Fiqih

Islam dengan syari’at Agama Lain”, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h., 111.

15
16

Menurut Ash-Shan’ani adalah memelihara (menjaga dan


merawat baik-baik) seseorang (anak) yang tidak bisa mandiri, mendidik
dan memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang
dapat merusak dan mendatangkan madlarat kepadanya.6
Menurut Amir Syarifudin, hadhanah atau disebut juga khafallah
adalah pemeliharaan anak7 yang masih kecil setelah terjadinya putus
perkawinan8.
Sedangkan menurut Zahabi, Hadhanah yaitu melayani anak
kecil untuk mendidik dan memperbaiki kepribadiannya, oleh orang-
orang yang berhak mendidiknya pada usia tertentu yang ia tidak
sanggup melakukannya sendiri.9
Sayyid Sabiq mendefinisikan hadhanah sebagai berikut:

ُ‫ﻋِﺒَﺎﺭَﺓٌ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻡِ ﺑِﺤِﻔْﻆِ ﺍﻟﺼَّﻐِﻴْﺮِ ﺍَﻭِﺍﻟﺼَّﻐِﻴْﺮَﺓِ ﺍَﻭِ ﺍﻟْﻤَﻌْﺘُﻮْﻩِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻻَُﻳَﻤِّﻴِﺰ‬
ُ‫ﻭَﻻَﻳَﺴْﺘَﻘِﻞُّ ﺑِﺎُﻣِﺮِﻩِ ﻭَﺗَﻌَﻬَّﺪَﻩُ ﺑِﻤَﺎ ﻳُﺼْﻠِﺤُﻪُ ﻭَﻭِﻗَﺎﻳَﺘُﻪُ ﻣِﻤَّﺎ ﻳُﺆْﺫِﻳْﻪِ ﻭَﻳَﻀُﺮُّﻩُ ﻭَﺗَﺮْﺑِﻴَﺘُﻪ‬
ِ‫ﺟِﺴْﻤِﻴًّﺎ ﻭَﻧَﻔْﺴِﻴًّﺎ ﻭَﻋَﻘْﻠِﻴًّﺎ ﻛَﻲ ﻳَﻘْﻮَﻱ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻨُّﻬُﻮْﺽِ ﺑِﺘَﺒِﻌَﺎﺕ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓِ ﻭَﺍ ﻻِﻃْﻼَﻉ‬
ِ‫ﺑِﻤَﺴْﺌُﻮْﻟِﻴَﺘِﻪ‬
Artinya:
“Suatu sikap pemeliharaan anak yang masih kecil, baik laki-
laki atau perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz tanpa
perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan
kebaikannya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu
berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya”.10

6 Ahmad Rofik, “Hukum Perdata Islam di Indonesia”, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h.,
197.
7 Pemeliharaan anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan primer dan sekunder
anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu: Pendidikan, biaya hidup, Kesehatan,
ketentraman, dan segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhannya.
8 Amir Syarifudin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, cet, 1,

2006, h., 327.


9 Andi Syamsu dan M. Fauzan, “Hukum Pengangkatan Anak dalam Prespektif Islam”,

(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h., 114.


10 Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah”, Jilid 2, (Beirut: Darul Kutub Al Arabiyah, 1971), h., 216-

217.
17

Adapun dalam kitab Kifayatul Akhyar disebutkan hadhanah adalah

‫ﻋِﺒَﺎﺭَﺓٌ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻡِ ﺑِﺤِﻔْﻆِ ﻣَﻦْ ﻻَﻳَﻤِﻴْﺰُ ﻭَﻻَ ﻳَﺴْﺘَﻘِﻞُّ ﺑِﺎَﻣْﺮِﻩِ ﻭَﺗَﺮْﺑِﻴَّﺘِﻪِ ﺑِﻤَﺎ‬
‫ﻳَﺼِﻠُﻪُ ﻭَﻭِﻗَﺎﻳَﺘُﻪُ ﻋَﻤَّﺎ ﻳُﺆَﺫِﻳﻪ‬
Artinya:
“Suatu sikap untuk menjaga seseorang yang belum tamyiz dan
belum bisa menjaga dirinya sendiri, kemudian mendidiknya dengan
sekiranya dia itu menjadi anak yang baik dan melindunginya dari suatu
ancaman yang dapat membahayakannya”.11
Menurut beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan hadhanah adalah kewajiban mengasuh dan
memelihara anak yang belum mumayyiz untuk menjaga perkembangan
jasmani dan rohani sebagai bekal kehidupan di masa yang akan datang.
2. Dasar Hukum Hadhanah
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya
adalah wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam
ikatan perkawinan. Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan
hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan
saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.12Adapun dasar
hukum Hadhanah merujuk kepada firman Allah SWT dalam Q.S Al
Baqarah: 233 yang berbunyi:

َّ‫۞ﻭَﺍﻟْﻮَﺍﻟِﺪٰﺕُ ﻳُﺮْﺿِﻌْﻦَ ﺍَﻭْﻻَﺩَﻫُﻦَّ ﺣَﻮْﻟَﻴْﻦِ ﻛَﺎﻣِﻠَﻴْﻦِ ﻟِﻤَﻦْ ﺍَﺭَﺍﺩَﺍَﻥْ ﻳُّﺘِﻢ‬


ُ‫ﺍﻟﺮَّﺿَﺎﻋَﺔَ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﻮْﻟُﻮْﺩِﻟَﻪُ ﺭِﺯْﻗُﻬُﻦَّ ﻭَﻛِﺴْﻮَ ﺗُﻬُﻦَّ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭْﻑِ ﻻَﺗُﻜَﻠَّﻒ‬
ِ‫ﻧَﻔْﺲٌ ﺍِﻻَّﻭُﺳْﻌَﻬَﺎ ﻻَﺗُﻀَﺎۤﺭّ َﻭَﺍﻟِﺪَﺓٌ ﺑِﻮَﻟَﺪِﻫَﺎ ﻭَﻻَﻣَﻮْﻟُﻮْﺩٌﻟَّﻪُ ﺑِﻮَﻟَﺪِﻩِ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻮَﺍﺭِﺙ‬
‫ﻣِﺜْﻞُ ﺫٰﻟِﻚَ ﻓَﺎِﻥْ ﺍَﺭَﺍﺩَﺍﻓِﺼَﺎﻻً ﻋَﻦْ ﺗَﺮَﺍﺽٍ ﻣِّﻨْﻬُﻤَﺎ ﻭَﺗَﺸَﺎﻭُﺭٍ ﻓَﻼَﺟُﻨَﺎﺡَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ‬

11 Taqyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, “Kifayatul Akhyar”, (Surabaya: Dar

Ilmi, 1995), h., 121.


12 Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2006),

h., 328.
18

ْ‫ﻭَﺍِﻥْ ﺍَﺭَﺩْﺗُّﻢْ ﺍَﻥْ ﺗَﺴْﺘَﺮْﺿِﻌُﻮْۤﺍ ﺍَﻭْﻻَﺩَﻛُﻢْ ﻓَﻼَﺧُﻨَﺎﺡَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺍِﺫَﺍﺳَﻠَّﻤْﺘُﻢْ ﻣَّﺎۤ ﺍٰﺗَﻴْﺘُﻢ‬
ٌ‫ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭْﻑِ ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮْﺍ ﺍﻟّٰﻠﻪَ ﻭَﺍﻋْﻠَﻤُﻮْۤﺍ ﺍَﻥَّ ﺍﻟﻠّٰﻪَ ﺑِﻤَﺎﺗَﻌْﻤَﻠُﻮْﻥَ ﺑَﺼِﻴْﺮ‬
Artinya :
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan
kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara
yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula
seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli warispun
(berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih
dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka
tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan
anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan
pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Al-Baqarah :233).13
Berdasarkan ayat diatas, Allah memerintahkan kepada orang tua
agar memelihara anak-anak mereka yang belum mumayyiz.
Memerintahkan ibu agar menyusui anaknya selama dua tahun penuh.
Sedangkan ayah berkewajiban menanggung nafkah bagi keduanya
dengan cara yang baik. Dan membolehkan mengambil wanita lain untuk
menyusukan anak-anak mereka, dengan catatan memberikan
pembayaran kepadanya dengan cara yang patut. Lebih lanjut, dalam ayat
tersebut Allah mengisyaratkan, agar ibu dan ayah tidak menderita
karena anaknya. Hal ini dimaksudkan agar orang tua memenuhi
kewajiban menurut kemampuannya. Apabila kedua orang tuanya
berhalangan, tanggung jawab tersebut dapat dialihkan kepada keluarga
yang mampu.14

13 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, h., 47.


14 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013),

h., 190.
19

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya


berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja,
namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian. Terkait dengan hal
ini, Mahammad Hasbi ash Shiddieqy di dalam fikih Islam menerangkan
bahwa hak hadhanah dipegang oleh ibu, selama ibu belum bersuami
(belum berkawin dengan yang lain), sesudah bercerai dengan ayah anak
yang dipeliharanya). Kalau sudah bersuami dan sudah disetubuhi
gugurlah hak ibu dan memeliharanya.15 Hukum tersebut disepakati oleh
sebagian besar Iman madzhab. Berdasarkan hadits Nabi Saw dari
Abdullah bin Amr ra., ia berkata:

ً‫ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺇِﻥَّ ﺇِﺑْﻨِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﻛَﺎﻥَ ﺑَﻄْﻨِﻲ ﻟَﻪُ ﻭِﻋَﺎﺀ‬:ْ‫ﺃَﻥَّ ﺇِﻣْﺮَﺃَﺓً ﻗَﺎﻟَﺖ‬
ُ‫ ﻭَﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋَﻪ‬,‫ ﻭَﺇِﻥَّ ﺃَﺑَﺎﻩُ ﻃَﻠَّﻘَﻨِﻲ‬,ً‫ ﻭَﺣِﺠْﺮِﻱ ﻟَﻪُ ﺣِﻮَﺍﺀ‬,ً‫ﻭَﺛَﺪْﻳِﻲ ﻟَﻪُ ﺳِﻘَﺎﺀ‬
ْ‫ ﻣَﺎﻟَﻢ‬,ِ‫ﻣِﻨِّﻲ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟﻬَﺎَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃَﻧْﺖِ ﺃَﺣَﻖُّ ﺑِﻪ‬
(‫ )ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ‬. ‫ﺗَﻨْﻜِﺤِﻲ‬
Artinya:
“Ada seorang wanita berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya
ini adalah anakku, dimana perutkulah yang telah mengandungnya,
haribaankulah yang telah melindunginya dan air susuku pula yang
telah menjadi minumannya. Akan tetapi, saat ini bapaknya memisahkan
ia dariku. Lalu beliau berkata: "Kamulah yang lebih berhak atas anak
itu, selagi kamu belum menikah (dengan orang lain)." (HR. Ahmad, Abu
Dawud)”16
Pengaturan tentang hadhanah (pemeliharaan anak) dalam
hukum positif di Indonesia terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pengasuhan
anak atau pemeliharaan anak memang sudah menjadi kewajiban semua

15 M. Zaenal Arifin dan Muh. Anshori, “Fiqih Munakahat”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2019), h., 151-152.
16 Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al Maram, Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam,

“Syarah Bulugul Maram”, jilid 6, Penerjemah Thahirin Suparta, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),
h., 70.
20

orang tua, baik dalam ikatan perkawinan maupun setelah putusnya


perkawinan. Pemeliharaan tersebut meliputi berbagai hal, mulai dari
ekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan
pokok sang anak.17Oleh karena itu, hal terpenting dalam hal
pemeliharaan anak adalah kerja sama antara bapak dan ibu untuk
memenuhi segala kebutuhan anak sampai anak tersebut beranjak dewasa
dan mandiri. Dalam ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 menyatakan:
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam Ayat (1) Pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri,
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara
kedua orang tua putus.18
Selain dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
perkawinan, ada juga hukum positive yang mengatur tentang
pemeliharaan anak. Di dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan
yang menyatakan bahwa:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak;
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya;19
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
Pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana dalam kenyataan
bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;20

17 M. Zaenal Arifin dan Muh. Anshori, “Fiqih Munakahat”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2019), h., 158.
18 Subekti, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tentang Undang-Undang
Perkawinan”, (Jakarta: Balai Pustaka, 2014), h., 551.
19 Pasal 41 ayat a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
20 Pasal 41 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
21

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk


memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri;21
Selain itu pemeliharaan anak juga diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 98, Pasal 104, Pasal 105 dan Pasal 106,
sebagai berikut:
Pasal 98
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah
21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun
mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat
terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila
kedua orang tuanya tidak mampu.22
Pasal 104
(1) Semua biaya penyusuan anak di pertanggungjawabkan kepada
ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya
penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban
memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat
dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan
persetujuan ayah dan ibunya.23
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
(1) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya;

21 Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


22 Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam.
23 Pasal 104 Kompilasi Hukum Islam.
22

(2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak


untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaanya;
(3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.24
Pasal 106
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta
anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak
di perbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali
karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan
kemaslahatan anak itu mengehendaki atau suatu kenyataan yang
tidak dapat dihindarkan lagi.
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan
karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat
(1).25
Pasal-pasal tersebut diatas menegaskan bahwa kewajiban orang
tua adalah menjaga, memelihara, mengasuh, memimpin, mengatur, dan
mengantarkan anak-anaknya dengan cara mendidik, membekali mereka
dengan ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun umum, serta
pemeliharaan terhadap harta anak untuk bekal mereka di masa depan.26
3. Syarat Hadhanah
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur
yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh
yang disebut hadhin, dan anak yang diasuh atau mahdhun. Keduanya
harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas
pengasuhan itu.27 Dalam masa ikatan perkawinan, ibu dan ayah secara
bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu.
Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu

24 Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam.


25 Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam.
26 Ahmad Rofiq, “Hukum Perdata Islam Di Indonesia”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2013), h., 189-190.


27 Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2006), h.,

328.
23

dan atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara


sendiri-sendiri.28
Melaksanakan tugas hadhanah bukanlah suatu pekerjaan yang
mudah, selain mencukupi kebutuhan anak dan memberinya pendidikan
untuk bekal dewasa nanti, seorang pemegang hadhanah juga
bertanggungjawab dalam pelaksanaan hadhanah itu sendiri. Maka dari
itu tidak sembarangan orang yang dapat melaksanakan hadhanah. Jika
ada satu kriteria atau syarat-syarat tidak terpenuhi, maka tidak berhak
untuk melaksanakan pemeliharaan anak tersebut.
Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang mengasuh
yaitu:29
1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu
melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai
kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan
memenuhi persyaratan artinya ia belum berhak mendapatkan tugas
mengasuh anak.
2. Berfikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak
mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu
tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain dan jelas ia tidak
berhak untuk mendapatkan hak mengasuh anak.
3. Beragama Islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur
ulama, karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang
akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh
orang yang bukan Islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh
dari agamanya.
4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan
meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari
dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama.

28 M. Zaenal Arifin dan Muh. Anshori, “Fiqih Munakahat”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2019), h., 156.


29 Satria Effendi M. Zein, “Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer”, (Jakarta:

Kencana, 2005), h., 172.


24

Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan


untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.30
5. Ibu tidak menikah lagi dengan laki-laki lain. Apabila ia menikah
dengan mahram anak seperti paman, maka hak pengasuhan itu tidak
gugur karena paman mempunyai hak asuh pula. Jika ibu menikah
dengan laki-laki lain yang bukan mahram dengan anak
dikhawatirkan ia tidak akan begitu saying kepada anak itu.31
6. Merdeka. Sehingga bagi seorang budak tidak diperbolehkan
mengasuh anak kecil, karena seorang budak biasanya sangat sibuk
dengan urusan-urusan tuannya sehingga ia tidak memiliki
kesempatan untuk mengasuh anak kecil.32
7. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan
mendidik anak, dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang dapat
mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.33
8. Orang yang sayang kepada anak bukan yang membenci anak karena
kalau orang yang membenci anak, maka akan menimbukan
kesengsaraan.34
9. Bermukim di suatu daerah yang jelas.35
Selain Hadhin, mahdun atau anak yang akan diasuh juga
mempunyai syarat-syarat yang wajib dipenuhi, yaitu:
a. Berada dalam usia anak-anak atau belum mumayyiz dan belum
dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
b. Berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu
tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang

30 Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2006),

h., 328-329.
31 Perpustakaan Nasional, “Ensiklopedia Islam”, Jilid 2, h., 37.
32 Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah”, Jilid 2, (Beirut: Darul Kutub Al Arabiyah, 1971), h., 219-

221.
33 Satria Effendi M. Zein, “Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis

Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah”, (Jakarta: Kencana, 2005), h., 136.


34 Eka Putra, “Kompetensi Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Gugatan Perceraian dan

Hadhanah Menurut Hukum Positif”, Jurnal Al-Qishthu, vol 14, No. 2 2016, h., 256.
35 Syeikh Ahmad bin Khusaeni Syahiri bin Abi Syujai, “Fathul Qorib Al-Mujib syarah kitab

Takrib”, Al-Kharomain Indonesia, h., 53.


25

idiot. Orang dewasa yang sempurna dan sehat sempurna akalnya


tidak boleh berada dibawah pengasuhan siapapun.36
Dari uraian di atas mengenai syarat menjadi hadhanah sesuai
dengan pendapat ulama yaitu menurut Syaikh Kamil Muhammad
Uwaidah dalam jurnalnya Mohammad Hifni, bilamana terjadi
perceraian, maka orang yang paling berhak mengasuh dan memelihara
anak-anaknya adalah ibunya yang secara emosional lebih sabar
dibandingkan ayahnya. Namun dalam hadhanah, agama Islam
memberikan syarat-syarat kepada pengasuhnya yaitu: berakal, baligh,
mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mendidik anak yang
diasuh, dapat dipercaya dan juga harus beragama Islam/seaqidah
dengan sang anak.
Begitupun mazhab Syiah Imamiyyah dan Syafiiyyah
berpendapat bahwa seorang kafir tidak boleh mengasuh anak yang
beragama Islam, kemudian ulama madzhab Hanafi mengatakan bahwa
kemurtadan wanita atau laki-laki yang mengasuh, secara otomatis
menggugurnya hak asuhan. Sedangkan madzhab yang lainnya tidak
mensyaratkannya.37 Para ahli fiqh mendasarkan kesimpulan tersebut
pada ayat 6 surat At-Tahrim:

ُ‫ﻳٰۤﺎَﻳُّﻬَﺎﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺍٰﻣَﻨُﻮْﺍ ﻗُﻮْۤﺍ ﺍَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻭَﺍَﻫْﻠِﻴْﻜُﻢْ ﻧَﺎﺭًﺍ ﻭَّﻗُﻮْﺩُﻫَﺎﺍﻟﻨَّﺎﺱ‬


..... ُ‫ﻭَﺍﻟْﺤِﺠَﺎﺭَﺓ‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu...” (QS at-Tahrim 6).38

36Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan”, (Jakarta: Kencana, 2006), h., 329.
37 Mohammad Hifni, “Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Suami Istri Dalam Perspektif

Hukum Islam, Jurnal Hukum Keluarga Islam”, Volume 1 No. 2 (Juli-Desember, 2016), h., 52.
38 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, h., 820.
26

Yang mengajarkan agar memelihara diri dan keluarga dari


siksaan neraka. Untuk tujuan itu perlu pendidikan dan pengarahan dari
waktu kecil. Tujuan tersebut akan sulit terwujad bilamana yang
mendampingi atau yang mengasuhnya bukan seorang muslim.39
4. Pihak-Pihak Yang Berhak atas Hadhanah
Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu,
memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya,
seperti makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada
pengaturan bangun dan tidur. Oleh karena itu, orang yang menjaganya
perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran dan mempunyai
keinginan agar anak itu baik (shaleh) di kemudian hari. Di samping itu,
ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu
dan orang yang memiliki syarat-syarat tersebut adalah ibu. Oleh karena
itu, agama menetapkan bahwa ibu adalah orang yang sesuai dengan
syarat-syarat tersebut.40
Ketika terjadi perceraian dan mempunyai anak dari istrinya
tersebut, maka yang lebih berhak dalam mengasuh anak sampai berumur
7 (tujuh) tahun adalah hak ibunya. Alasannya karena ibu lebih memiliki
rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah yang di dalam usia sangat
muda tersebut anak sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu,41
akan tetapi apabila anak tersebut sudah mencapai usia baligh ia boleh
memilih akan ikut siapa dan untuk orangtua yang tidak dipilih harus
memasrahkannya.42 Hal tersebut berdasarkan hadist Rasulullah SAW
yang berbunyi:

39 Satria Effendi M. Zein, “Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis


Yuriisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah”, (Jakarta: Kencana, 2005), h., 172.
40 Tihami dan Sohari Sahrani, “Fikih Munakahat Kajian Fikih Lengkap”, (Jakarta: Rajawali

Press, 2009), h., 217-218.


41 Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan”, (Jakarta: Kencana, 2006), h., 329.


42 Syeikh Ahmad bin Khusaeni Syahiri bin Abi Syujai, “Fathul Qorib Al-Mujib syarah kitab

Takrib”, (Al-Kharomain Indonesia), h., 52-53.


27

ُ‫ﻋِﻨْﺪَ ٲﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ٳﻥَّ ﺍﻣْﺮَٲﺓً ﺟَﺎﺀَﺕْ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪ‬
ْ‫ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻘَﺎﻟَﺖْ ﻓِﺪَﺍﻙَ ٲﺑِﻲ ﻭَٲﻣِّﻲ ٳﻥَّ ﺯَﻭْﺟِﻲ ﻳُﺮِﻳﺪُ ٲﻥْ ﻳَﺬْﻫَﺐَ ﺑِﺎﺑْﻨِﻲ ﻭَﻗَﺪ‬
‫ﻧَﻔَﻌَﻨِﻲ ﻭَﺳَﻘَﺎﻧِﻰ ﻣِﻦْ ﺑِﺌْﺮِ ٲﺑِﻲ ﻋِﻨَﺒَﺔَ ﻓَﺠَﺎﺀَ ﺯَﻭْﺟُﻬَﺎ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻣَﻦْ ﻳُﺨَﺎ ﺻِﻤُﻨِﻲ ﻓِﻲ‬
ِ‫ﺍﺑْﻨِﻲ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻳَﺎﻏُﻼَﻡُ ﻫَﺬَﺍ ٲﺑُﻮﻙَ ﻭَﻫَﺬِﻩِ ٲﻣُّﻚَ ﻓَﺨُﺬْ ﺑِﻴَﺪِ ٲﻳِّﻬِﻤَﺎ ﺷِﺌْﺖَ ﻓَﺎَ ﺧَﺬَ ﺑِﻴَﺪِ ٲﻣِّﻪ‬
(‫ﻓَﺎﻧْﻄَﻠَﻘَﺖْ ﺑِﻪِ )ﺭﻭﺍﻩ ٲﺣﻤﺪ ﻭﺍﻻﺭﺑﻌﺔ ﻭ ﺻﺤﺤﻪ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ‬
Artinya:
“Dari Abu Hurairah RA, bahwa seorang wanita berkata “Wahai
Rasulullah sesungguhnya suamiku ingin membawa anakku. Ia telah
memberikan makan dan minum kepadaku dari (penghasilan) yang
didapat dari sumur Abu Inabah”. Kemudian suaminya datang. Lalu
Nabi SAW bersabda: “Hai anak, ini ayahmu dan ini ibumu, raihlah
salah satu tangan yang engkau kehendaki.” Anak itu meraih tangan
ibunya. Kemudian sang ibu pergi dengannya” (HR Ahmad dan Empat
perawi hadis, disahkan oleh At-Tirmidzi).43
Para ulama berbeda pendapat mengenai suami istri yang bercerai
dan mempunyai anak yaitu :
a) Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, seorang ibu berhak
mengasuh anak laki-lakinya hingga anak tersebut dapat hidup
mandiri terhadap makannya, minumnya, memakai pakaian, wudhu
dan membersihkan hadastnya, setelah itu baru bapaknya lebih
berhak mengasuh anaknya. Begitupun ibu lebih berhak mengasuh
anak perempuannya, sampai ia baligh dan anak perempuan tidak
diperbolehkan memelih ikut bapaknya atau ibunya.
b) Imam Malik berpendapat bahwa, ibu lebih berhak mengasuh anak
perempuannya sampai ia menikah, sedangkan bagi anak laki-laki
sampai ia baligh.

43 Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al Maram, Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam,

“Syarah Bulugul Maram”, jilid 6, Penerjemah Thahirin Suparta, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),
h., 70.
28

c) Imam Syafi'I berpendapat bahwa, ibu lebih berhak mengasuh


kedua anaknya (laki-laki dan perempuan) sampai usia 7 tahun,
pada usia selanjutnya kedua anak tersebut dapat memilih. Jika dua
anak tersebut memilih ikut bersama ibu atau bapaknya, maka kedua
anak tersebut ikut dengannya.
d) Imam Ahmad mempunyai 2 pendapat: pertama, ibu lebih berhak
mengasuh anak lai-laki sampai berumur 7 tahun sedangkan untuk
anak perempuan yang sudah mencapai umur 7 tahun diperbolehkan
ikut bersama ibunya karena ia tidak diharuskan untuk memilih.
Kedua, mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah.44
Ada pula beberapa pendapat dari Imam Madzhab mengenai
orang yang berhak melakukan Hadhanah apabila seorang ibu tidak
mampu mengasuh anaknya :
a) Hanafiyah : ibu, ibunya ibu, ibunya ayah, saudara-saudara
perempuan, bibi dari jalur ibu, putri-putri saudara lelaki, bibi jalur
ayah, kemudian ashabah sesuai urutan warisan.
b) Malikiyyah : ibu, nenek dari jalur ibu, bibi dari jalur ibu, nenek dari
jalur ayah ke atas, saudara perempuan, bibi dari ayah, dan putri dari
saudara, orang yang mendapat wasiat dan bagian ashabah.
c) Syafi'iyyah : ibu, ibunya ibu, ibunya ayah, kakek dari ibu, saudara
perempuan, bibi dari ibu, putri-putri saudara lelaki, putri-putri
saudara perempuan, bibi dari ayah, kemudian setiap orang yang
termasuk mahram dan berhak mendapat warisan sebagai ashabah
sesuai urutan warisan. Pendapat ini sama seperti pendapat ulama
Hanafiyyah.
d) Hanabilah : ibu, nenek dari jalur ibu, nenek dari jalur ayah, kakek
dan ibunya kakek, saudara perempuan dari kedua orang tua, bibi
dari jalur ibu, saudara perempuan dari ayah, bibi dari jalur kedua
orang tua, bibi dari jalur ibu, bibi dari jalur ayah, bibinya ibu,

44 Syaikh Muhammad bin Abdurrahman As-Syafi’I, “Rahmatul Ummat”, h., 250.


29

bibinya ayah, putrinya saudara lelaki, putrinya paman ayah,


kemudian sisa kerabat yang paling dekat.
Adapun urutan-urutan yang berhak atas hadhanah dari kalangan
laki-laki yaitu : bapak, kakek terus keatas, saudara dan putra-putranya
terus ke bawah, paman-paman dan putra-putranya. Karena apabila
satupun dari kalangan perempuan diatas tidak ada, maka hak hadhanah
pindak ke kalangan laki-laki.45
Dari sebagian ulama berpendapat hak hadhanah pindah bukan
kepada ayahnya, karena ibu-ibunya merupakan cabang sedangkan ayah
bukan merupakan cabang daripada haknya. Dianggap lebih kuat
mengatakan bahwa bila ibu melepaskan haknya, maka hak tersebut
pindah kepada ibunya ibu karena kedudukannya ayah dalam hal ini lebih
jauh urutannya.46
Anak yang sudah dianggap Mumayyiz apabila ia telah mampu
makan, minum, buang air kecil dan buang air besar sendiri. Pada Pasal
105 huruf a Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa terjadi dalam
hal perceraian, pemeliharaan anak yang belum Mumayyiz atau belum
berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya.47
Oleh karena itu, mengenai urutan-urutan yang berhak atas
hadhanah anak yang belum mumayyiz menurut pasal 156 huruf (a), (b),
(c) Kompilasi Hukum Islam adalah:
a) Anak yang belum Mumayyiz berhak mendapatkan Hadhanah dari
ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. Ayah;

45 Tiyas Puji Istanti, Skripsi, “Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas
Pembatalan Putusan Perkara No. 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn Oleh Putusan Banding dan Kasasi)”,
(Tanggerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah, 2019), h., 30-31.
46 Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2006),

h., 332-333.
47 Wahyu Kuncoro, “Tips Hukum Praktis: Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga”,

(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2010), h. 66-67


30

3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;


4. Saudari perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari
ibu;
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari
ayah;
b) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya.
c) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
kemaslahatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah dicukupi, maka permintaan kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak
hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah
pula.48
Dari penjelasan pasal diatas mengenai urutan-urutan yang
berhak melakukan hadhanah tidak jauh berbeda dengan pendapat
ulama fiqh, maka hak hadhanah tersebut menunjukan bahwa
kewenangan seorang ibu lebih berhak memelihara anak yang belum
mumayyiz, kecuali jika ada hal yang benar-benar seorang ibu tidak
berhak atas pengasuhan anak. Sehingga hak asuh anak itu bisa diberikan
pada garis ibu ke atas dan apabila anak tersebut telah dewasa maka dia
boleh untuk memilih sendiri kepada siapa dia akan diasuhnya dan
Pengadilan juga berwenang atas pemindahan hak asuh anak karena
melihat pada kepentingan anaknya.

B. Murtad
1. Pengertian dan Dasar Hukum Murtad
Murtad dalam bahasa Arab di ambil dari kata ar-riddah yang
bermakna kembali kebelakang. Orang murtad adalah orang yang

48 Pasal 156 huruf (a), (b), (c) Kompilasi Hukum Islam.


31

kembali, baik dengan ucapan, keyakinan, perbuatan, atau dengan


keraguan.49 Murtad menurut istilah adalah masuknya seorang muslim
ke agama kafir, apapun macamnya. Bila seorang muslim meninggalkan
agama Islam dan kemudian masuk ke agama kafir, dia disebut Murtad.
Kata Murtad hanya berlaku bagi seorang muslim yang keluar
dari agama Islam, bukan orang kafir yang keluar dari agamanya
kemudian masuk ke agama kafir lainnya.50 Sedangkan menurut Sayyid
Sabiq, murtad adalah:

ِ‫ ﺍَﻟْﻌَﺎﻗِﻞِ ﺍَﻟْﺒَﺎﻟِﻎِ ﻋَﻦِ ﺍﻻِْﺳْﻼَﻣِﺎِﻟَﻰ ﺍﻟْﻜُﻔﺮِﺑِﺎﺧْﺘِﻴَﺎﺭِﻩ‬,ِ‫ﺭُﺟُﻮْﻉُ ﺍﻟﻤﺴْﻠِﻢ‬


ِ‫ ﻓَﻼَﻋِﺒْﺮَﺓَ ﺑِﺎﺭْﺗِﺪَﺍﺩ‬.ُ‫ﺩُﻭْﻧَﺎِﻛْﺮَﺍﻩٍ ﻣِﻨْﺄَﺣَﺪٍ – ﺳَﻮَﺍﺀٌ ﻓِﻰ ﺫَﺍﻟِﻚَ ﺍَﻟﺬْﻛُﻮْﺭُﺍَﻻُْﻧَﺎﺙ‬
َ‫ﺍﻟْﻤَﺠْﻨُﻮْﻥِ ﻭَﻻَﺍﻟﺼَﺒِّﻰ ﻻَِﻧَّﻬُﻤَﺎ ﻏَﻴْﺮَﻣُﻜَﻠَﻔِﻴْﻦ‬.
Artinya:
“Keluarnya seorang muslim yang berakal dan balig dari agama
Islam kepada agama kafir atas keinginannya sendiri tanpa tekanan dan
paksaan dari pihak manapun terlepas apakah ia seorang laki-laki atau
perempuan dan seorang anak kecil ataupun orang gila yang keluar dari
agama Islam tidak dianggap (tidak sah) murtad karena mereka berdua
bukanlah seorang mukallaf”.51
Adapun orang yang mengucapkan kekafiran karena dipaksa,
maka tidak dianggap murtad sebab Allah berfirman dalam QS. An-Nahl
106:

‫ﻣَﻦ ﻛَﻔَﺮَ ﺑِﭑﻟﻠَّﻪِ ﻣِﻦۢ ﺑَﻌْﺪِ ﺇِﻳﻤَٰﻨِﻪِۦٓ ﺇِﻻَّ ﻣَﻦْ ﺃُﻛْﺮِﻩَ ﻭَﻗَﻠْﺒُﻪُۥ ﻣُﻄْﻤَﺌِﻦٌّۢ ﺑِﭑﻹِْﻳﻤَٰﻦِ ﻭَﻟَٰﻜِﻦ‬
ٌ‫ﻣَّﻦ ﺷَﺮَﺡَ ﺑِﭑﻟْﻜُﻔْﺮِ ﺻَﺪْﺭًﺍ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻏَﻀَﺐٌ ﻣِّﻦَ ﭐﻟﻠَّﻪِ ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏ‬
ٌ‫ﻋَﻈِﻴﻢ‬
Artinya:

49 Ramayulis, “Ilmu Pendidikan Islam”, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h., 75.
50 Aulia Ulfa, Skripsi, “Fenomena Kemurtadan Dalam Perpektif Al-Qur’an (Desa Durian
Banggal, Kecamatan Raya Kahean, Kabupaten Simalungun)”, (Medan: UIN Medan, 2018), h., 41.
51 Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah”, Jilid 2, h., 286.
32

“Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia


mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang
yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah
menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar.”52
Berdasarkan firman di atas, dipahami bahwa Allah SWT murka
kepada orang murtad. Bahkan, Dia akan memberi azab yang besar
kepadanya. Allah juga menegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 217:

‫ﻭَﻣَﻦ ﻳَﺮْﺗَﺪِﺩْ ﻣِﻨﻜُﻢْ ﻋَﻦ ﺩِﻳﻨِﻪِۦ ﻓَﻴَﻤُﺖْ ﻭَﻫُﻮَ ﻛَﺎﻓِﺮٌ ﻓَﺄُﻭ۟ﻟَٰٓﺌِﻚَ ﺣَﺒِﻄَﺖْ ﺃَﻋْﻤَٰﻠُﻬُﻢْ ﻓِﻰ‬
َ‫ﭐﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﭐﻝْﺀَ ﺍﺧِﺮَﺓِ ﻭَﺃُﻭ۟ﻟَٰٓﺌِﻚَ ﺃَﺻْﺤَٰﺐُ ﭐﻟﻨَّﺎﺭِ ﻫُﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺧَٰﻠِﺪُﻭﻥ‬
Artinya:
“... Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya,
lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya.”53
Allah melalui firman tersebut menjelaskan bahwa seluruh amal
perbuatan orang yang murtad adalah sia-sia. Meskipun sebelum murtad
adalah seorang hamba yang saleh, tetapi apabila meninggal dalam
keadaan murtad, maka segala amal baiknya tidak berguna. Ia akan
masuk ke neraka.
Murtad terjadi bila seseorang keluar dari agama Islam kepada
agama kafir baik ia sungguh-sungguh, main-main, atau sekedar
memperolok agama Islam. Allah berfirman dalam QS. At-Taubah 65:

ِ‫ﻭَﻟَﺌِﻦْ ﺳَﺎَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮْﻟُﻦَّ ﺍِﻧَّﻤَﺎﻛُﻨَّﺎﻧَﺨُﻮْﺽُ ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ﻗُﻞْ ﺍَﺑِﺎﻟﻠّٰﻪِ ﻭَﺍٰﻳٰﺘِﻪ‬


‫ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟِﻪِ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺀُﻭْﻥ‬
Artinya:

52 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, h., 380.


53 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, h., 42.
33

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka niscaya mereka akan


menjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan
bermain-main saja". Katakanlah: "Mengapa kepada Allah, dan ayat-
ayat Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”54
2. Kedudukan Murtad Dalam Perkawinan
Murtad mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan
seseorang, terutama dalam hubungannya dengan masyarakat Islam
seperti perkawinan, hak waris dan hak-hak lainnya. Di dalam Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat mengenai
larangan perkawinan yang mengakibatkan adanya pencegahan dan
pembatalan perkawinan. Larangan perkawinan itu dijelaskan antara lain
pada Pasal 8 butir f yaitu perkawinan dilarang antara dua orang yang
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin.55
Dalam hukum Islam, seseorang yang murtad dijatuhi hukuman
mati. Tentu setelah diberikan kesempatan untuk bertaubat,
“Barangsiapa yang mengganti agamanya, bunuhlah ia”. Sabda
Rasulullah yang diriwayatkan Tirmidzi. Berarti wanita yang murtad
dihukum mati menurut jumhur ulama, apabila hukum Islam diterapkan.
Sementara Imam Hanafi berpendapat cukup dipenjara dan tidak perlu
dibunuh.
Apabila murtadnya di tengah-tengah perkawinan maka
perkawinannya menjadi fasakh (rusak). Ia harus diceraikan. Jadi
apabila ada pasangan suami isteri muslim, salah satunya baik suami
atau isteri keluar dari agama Islam menuju agama apapun atau sama
sekali tidak beragama, maka perkawinannya menjadi batal.56
Berkaitan dengan pasangan suami isteri yang berpindah agama,
ada beberapa hukum penting yang wajib menjadi perhatian:

54 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, h., 265.


55 Departemen Agama, Undang-Undang Perkawinan, h., 6.
56 Abdul Mustaal, “Perkawinan Campuran Menurut Hukum Islam”, (Jakarta: PT. Bulan

Bintang, 1988), h., 8.


34

1) Jika suami isteri keduanya kafir kemudian setelah bersetubuh,


isteri masuk Islam sedang suaminya tetap kafir, maka nafkah isteri
tidak gugur, sebab yang terhalang unutuk menikmati isteri adalah
dari pihak suami padahal kalau suami mau menghilangkan
halangan hukum dengan masuk Islam, ia dapat kembali menggauli
isterinya, karena itulah nafkah isteri tidak gugur.57
2) Bila pasangan suami isteri kafir hanya satu yang masuk Islam
maka:58
a. Seorang suami yang memiliki isteri ahli kitab kemudian laki-
laki tersebut masuk Islam sedang wanitanya tidak maka
keduanya tetap pada pernikahannya. Hal ini karena dalam
Islam menurut jumhur ulama seorang muslim boleh menikahi
wanita ahli kitab. Pasangan suami isteri ini masih bisa
melanjutkan rumah tangganya.
b. Suami isteri kafir yang bukan ahli kitab kemudian salah
satunya masuk Islam maka perkawinannya menjadi batal.
Apabila salah satu masuk Islam sebelum masa idddah selesai
maka bisa bersatu tanpa akad baru. Namun apabila yang satu
lagi masuk Islamnya setelah selesai masa iddah, maka jumhur
ulama keduanya boleh kembali dengan akad nikah yang baru.
c. Bila wanita kafir dan bersuami laki-laki kafir yang keduanya
bukan ahli kitab, kemudian sang wanita masuk Islam sebelum
terjadinya hubungan badan, maka perkawinan mereka menjadi
batal.
d. Bila pasangan muslim salah satu suami atau isteri murtad bila
masuk agama Yahudi atau Nasrani atau agama lainnya atau
tidak beragama, maka keduanya harus dipisahkan karena
perkawinannya batal, kecuali dia bertaubat masuk Islam

57 Sayid Sabiq, “Fiqh Sunnah”, (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1996, jilid VII), h., 78.
58 Lilis Mukhlisoh, Skripsi, “Murtad Dan Akibat Hukumnya Terhadap Status Perkawinan
Dalam Perspektif Fikih Dan Kompilasi Hukum Islam”, (Tanggerang Selatan: UIN Syarif
Hidayatullah, 2009), h., 40.
35

kembali sebelum masa iddah, bila taubat setelah masa iddah


maka akadnya harus diulang lagi.59
Telah diketahui ulama sepakat bahwa, riddahnya atau
murtadnya (keluar dari agama Islam) seseorang dari suami isteri
menyebabkan putusnya ikatan perkawinan, tetapi mereka berbeda
pendapat dalam menggolongkan apakah termasuk talak atau termasuk
fasakh. Di Indonesia putusnya ikatan perkawinan karena riddahnya
seseorang dari suami isteri termasuk fasakh dan dilakukan di depan
Pengadilan Agama. “Pengadilan Agama hanya dapat menerima
riddahnya seseorang jika orang itu menyatakan sendiri dengan tegas di
depan Pengadilan Agama itu bahwa ia keluar dari agama Islam.”
3. Akibat Murtad Terhadap Hadhanah
Mengenai syarat harus beragama Islam bagi hadhin maupun
hadhinah, terdapat perbedaan pendapat di antara imam mazhab. Jumhur
ulama sepakat bahwa anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh
pengasuh yang bukan muslim. Hal ini karena orang kafir tidak
mempunyai kuasa atas orang muslim, Selain itu, juga ditakutkan terjadi
pengafiran terhadap anak tersebut.60Allah berfiman dalam QS. An-
Nisaa 141:

ً‫……ﻭَﻟَﻦْ ﻳَّﺠْﻌَﻞَ ﺍﻟﻠّٰﻪِ ﻟِﻠْﻜٰﻔِﺮِﻳْﻦَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴْﻦَ ﺳَﺒِﻴْﻼ‬


Artinya:
“…Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk
mengalahkan orang-orang yang beriman.”61
Selain berdasarkan QS. An-Nissa 141 tentang dalil yang
melarang orang kafir memegang hak hadhanah anak kecil yang muslim.
Para ahli fiqh juga mendasarkan kesimpulan tersebut pada ayat 6 surah
At-Tahrim yang mengajarkan agar memelihara diri dan keluarga dari

59 Budi Handrianto, “Perkawinan Beda Agama Dalam Syariat Islam”, (Jakarta: PT. Khairil

Bayan, 2003), Cet. 1, h., 46-47.


60 Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah”, Jilid 2, (Beirut: Darul Kutub Al Arabiyah, 1971), h., 220.
61 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, h., 132.
36

siksaan neraka. Untuk tujuan itu perlu pendidikan dan pengarahan dari
waktu kecil. Tujuan tersebut akan sulit terwujud bilamana yang
mendampingi atau yang mengasuhnya bukan seorang muslim.
Menurut pendapat yang shahih, berdasarkan kemaslahatan
perempuan non muslim tidak berhak mengasuh anaknya yang muslim,
sebab dia tidak mempunyai hak mendidik anaknya. Kerabat yang
Muslim boleh mengasuh dan menanggung anak yang non muslim dan
orang gila yang kafir.
Golongan Hanafi, Ibnu Qasim dan bahkan Maliki serta Abu
Tsaur tidak mensyaratkan orang yang memelihara anak harus beragama
Islam. Menurut mereka, non muslim kitabiyah atau ghoiru kitabiyah
boleh menjadi hadhinah atau pemelihara, baik ia ibu sendiri maupun
orang lain. hal ini dikarenakan bahwa hadhanah itu tidak lebih dari
menyusui dan melayani anak kecil. Kedua hal ini boleh dikerjakan oleh
perempuan kafir.62
Persamaan agama tidaklah menjadi syarat bagi hadhinah kecuali
jika dikhawatirkan ia akan memalingkan si anak dari agama Islam.
Sebab, hal yang penting dalam hadhanah ialah hadhinah mempunyai
rasa cinta dan kasih sayang kepada anak serta bersedia memelihara anak
dengan sebaik-baiknya.
Rasulullah SAW sendiri dalam hal ini pernah memberikan
kebebasan kepada seorang anak untuk memilih antara ikut ayahnya yang
muslim atau ibunya yang musyrik. Dan ternyata anak tersebut lebih
memilih pada ibunya. Seperti yang dijelaskan pada Hadits Nabi SAW:

ْ‫ ﻭَﺍَﺑَﺖِ ﺍﻣْﺮَﺃَﺗُﻬَﺎَﻥ‬,َ‫ﻭَﻋَﻦْ ﺭَﺍﻓِﻊِ ﺑْﻦِ ﺳِﻨَﺎﻧِﺮَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠّٰﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﺍَﻧَّﻪُ ﺍَﺳْﻠَﻢ‬


َ‫ ﻭَﺍَﻗْﻌَﺪ‬,ً‫ ﻭَﺍﻻَْﺏَ ﻧَﺎﺣِﻴَﺔ‬,ً‫ﺗُﺴْﻠِﻤَﻔَﺎ َﻗْﻌَﺪَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠّٰﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍﻻُْﻡَّ ﻧَﺎﺣِﻴَﺔ‬
ُ‫ ﻓَﻤَﺎﻝَ ﺍِﻟَﻰ ﺍَﺑِﻴْﻪِ ﻓَﺎَﺧَﺬَﻩ‬.ِ‫ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟَّﻬُﻢَ ﺍﻫْﺪِﻩ‬,ِ‫ ﻓَﻤَﺎﻝَ ﺍِﻟَﻰ ﺍُﻣِّﻪ‬.‫ﺍﻟﺼَّﺒِﻲَّ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ‬
(‫ ﻭﺻﺤﺤﻪ ﻭﺍﻟﺤﺎﻛﻢ‬,‫)ﺍﺧﺮﺟﻪ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﻧﺴﺎﺉ‬

62 Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah”, Jilid 2, (Beirut: Darul Kutub Al Arabiyah, 1971), h., 220.
37

Artinya:
“ Dari Rafi’ Ibnu Sinan ra, bahwa ia masuk Islam dan istriku
menolak untuk masuk Islam, maka Nabi SAW mendudukkan ibu di satu
sisi, dan bapak di sisi lain, dan beliau mendudukkan si anak di antara
keduanya. Kemudian anak itu cenderung kepada ibunya. Beliau
berdoa: “Ya Allah berilah petunjuk (hidayah) kepadanya”. Kemudian
anak itu cenderung kepada ayahnya dan memegangnya”. (Hadits
dikeluarkan Abu Dawud al-Nasa’i dan dishahihkan oleh al-Hakim)63
Lebih lanjut tentang kebolehan orang kafir memegang hak
hadhanah anak yang beragama Islam, walaupun golongan Hanafiyah
dan Malikiyah memperbolehkan hal tersebut, Mereka berbeda pendapat
mengenai lamanya anak yang dipelihara oleh hadhinah wanita non
Muslim.64
Hanafiyah berpendapat bahwa anak tersebut ikut bersamanya
hingga mampu memikirkan masalah agama, yaitu pada usia tujuh tahun.
Atau jika memang agama si anak terancam karena bersama hadhinah
non muslim, yaitu jika hadhinah mulai menanamkan pendidikan agama
yang ia peluk kepada si anak atau mengajak si anak ke tempat
peribadatannya, atau mengajarkan anak untuk minum-minuman keras
dan makan daging babi.
Malikiyah berpendapat bahwa anak tersebut tinggal bersamanya
selama selesainya masa hadhanah menurut syariat, namun wanita non
muslim yang memeliharanya tidak boleh menghidangkan minuman
keras dan daging babi pada anak tersebut. Dan jika dikhawatirkan telah
terjadi penyelewengan maka pihak keluarga boleh memberikan hak
untuk mengawasi kepada semua muslim agar menjaga anak tersebut.
Malikiyah dan Hanafiyah juga berbeda pendapat mengenai
Islamnya hadhin atau laki-laki yang memelihara anak. Hanafiyah

63 Imam Muhammad Ibn Isma’il , “Subul al-Salam”, Juz 3, (Jakarta: Darus Sunnah, 2012),
h., 432.
64 Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, Jilid 7, (Damasukus; Daar al-Fikr,

1985), h., 727.


38

berpendapat bahwa seorang hadhin harus beraga Islam berbeda dengan


hadhinah karena pemeliharaan itu salah satu bentuk kekuasaan terhadap
jiwa, dan ini haruslah dalam bingkai persamaan agama. Selain itu,
menurut mereka hak memelihara itu dibangun berdasarkan hak
kewarisan dan harta warisan itu tidak diberikan kepada seseorang yang
berlainan agama. Jika si anak beragama Kristen atau Yahudi, dan ia
mempunyai dua saudara yang satu muslim dan yang lain non muslim,
maka hak hadhanahnya jatuh ke tangan saudaranya yang non muslim.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa seorang hadhin tidak
disyariatkan harus seorang muslim, sama seperti hadhinah. Alasannya,
karena hak seorang laki-laki mengurus hadhanah anak itu tidak bisa
ditetapkan kecuali jika ia masih punya kerabat perempuan yang berhak
untuk mengurus hadhanah, seperti istri, ibu, bibi, dari jalur ibu, atau bibi
dari jalur ayah. Jadi, hadhanah itu menurut mereka sebenarnya menjadi
hak kaum perempuan.
Sekalipun menganggap orang kafir boleh menangani hadhanah,
tetapi golongan Hanafi juga menetapkan syarat-syaratnya, yaitu bukan
kafir murtad. Hal ini karena orang kafir murtad menurut golongan
Hanafi berhak dipenjarakan hingga ia tobat dan kembali kepada Islam
atau mati dalam penjara. Karena itu, ia tidak boleh diberi kesempatan
untuk mengasuh anak kecil. Akan tetapi, kalau ia sudah tobat dan
kembali kepada Islam, hak hadhanahnya kembali juga.65

C. Maslahah Mursalah
1. Pengertian Maslahah Mursalah
Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu Maslahah dan
Mursalah. Mashlahah artinya baik (lawan dari buruk), manfaat atau
terlepas dari kerusakan. Adapun kata mursalah secara bahasa artinya
terlepas dan bebas.66Kata tersebut apabila digabungkan dengan

65 Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah”, Jilid 2, (Beirut: Darul Kutub Al Arabiyah, 1971), h., 220.
66 Sapiudin Shidiq, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 88.
39

maslahah memiliki maksud yakni terlepas dari dalil Al-Quran, as-


sunnah, dan Ijma, akan tetapi tetap terkait kepada maqasid syariah atau
tujuan-tujuan Syara’.67Maksudnya ialah terlepas dan bebas dari
keterangan yang menunjukkan boleh atau tidaknya sesuatu itu
dilakukan.
Beberapa Ulama Fiqh memberikan definisi Maslahah
Mursalah, yaitu:
a. Menurut Al Ghazali, Maslahah berarti sesuatu yang mendatangkan
manfaat (keuntungan) dan menjauhkan mudharat (kerusakan).68
b. Prof Muhammad Abu Zahrah, beliau menyebutkan definisi
Maslahah Mursalah dalam bukunya yang berjudul Ushul Fiqh ialah
maslahah yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan Syariat Islam, dan
tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus, baik bersifat
meligitimasi atau membatalkan maslahah tersebut.69
c. Al Syatibi, mendefinisikan Maslahah itu dari dua sudut pandang,
yaitu dari segi terjadinya maslahah dalam kenyataan dan dari segi
tergantungnya tuntutan syara’ kepada maslahah.70
d. Menurut Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,
dalam karya beliau yang berjudul Pengantar Hukum Islam, beliau
mendefinisikan Maslahah Mursalah adalah memelihara maksud
syara’ dengan jalan menolak segala yang merusak makhluk.71
Dari beberapa definisi Maslahah Mursalah diatas, bisa ditarik
kesimpulan tentang hakikat dari Maslahah Mursalah sebagai berikut:

67 Nur Asiah, “Istilah dan Aplikasi dalam Penetapan Hukum Islam”, Jurnal Hukum Diktum,

vol. 14, no.2, (Desember, 2016) h., 150.


68 Nasrun Haroen, “Ushul Fiqh 1”, (Jakarta: Logos, 1996), h., 114.
69 Muhammad Abu Zahrah, “Ushul Fikh”, cet, 4, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h., 427.
70 Fadhillah Ahmad Nahrawi, Skripsi, “Kebijakan Pemerintah Kabupaten Tangerang dalam

Mencegah Perkawinan Pada Usia Anak (Studi Terhadap Peraturan Bupati Kabupaten Tangerang
Nomor 78 Tahun 2017 dan Relevansinya Terhadap Maslahah Mursalah”, (Tangsel: UIN Syarif
Hidayatullah, 2018), h., 43.
71 Teungku Hasby Ash Shiddieqy, “Pengantar Hukum Islam”, (Semarang: Pustaka Riski

Putra, 1987), h., 219.


40

a. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan


dapat mewujudkan kebaikan dan menghindari keburukan bagi
manusia.
b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan
tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
c. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’
tersebut tidak ada petunjuk syara’ yang secara khusus menolaknya,
juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya.72
2. Dasar Hukum Maslahah Mursalah
Adapun bagi Ulama Hukum yang menjadikan dasar dalam
mempergunakan Maslahah Mursalah, sebagai dalil hukum dan hujjah
Syariah adalah Q.S Al-Nisa ayat 59:

‫ﻳٰۤﺎَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟًّﺬِﻳْﻦَ ﺍٰﻣَﻨُﻮْۤﺍ ﺍَﻃِﻴْﻌُﻮْﺍ ﺍﻟﻠّٰﻪَ ﻭَﺍَﻃِﻴْﻌُﻮﺍ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮْﻝَ ﻭَﺍُﻭﻟِﻰ‬


ْ‫ﺍﻻَْﻣْﺮِﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻓَﺎِﻥْ ﺗَﻨَﺎﺯَﻋْﺘُﻢْ ﻓِﻲْ ﺷَﻲْﺀٍ ﻓَﺮُﺩُّﻭْﻩُ ﺍِﻟَﻰ ﺍﻟﻠّٰﻪِ ﻭَﺍﻟﺮَّﺳُﻮْﻝِ ﺍِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢ‬
ً‫ﺗُﺆْﻣِﻨُﻮْﻥَ ﺑِﺎﻟﻠّٰﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻻْٰﺧِﺮِ ﺫٰﻟِﻚَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻭَّﺍَﺣْﺴَﻦُ ﺗَﺄْﻭِﻳْﻼ‬
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah
Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara
kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) an Rasul (sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”73
Adanya perintah ini untuk mengembalikan persoalan yang
diperselisihkan kepada Al-Quran dan as-Sunnah, dengan wajh al-istidal
sebab perselisihan tersebut di akibatkan persoalan baru yang tidak
ditemukan alam Al-Quran dan as-Sunnah. Untuk dapat menyelesaikan

72 Amir Syarifuddin, “Ushul fiqh”, Jilid 2, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h., 233.
73 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Fajar Mulya, 2012),
h., 87.
41

masalah ini, dapat ditempuh dengan metode Qiyas, dan juga dapat
ditempuh dengan metode lain seperti istislah dan maslahah mursalah.74
3. Tingkatan Maslahah Mursalah
Dalam kajian Ushul Fiqh, pembagian maslahah mursalah dapat
dilihat dari beberapa segi. Berdasarkan pandangan syar’i dan dalil-dalil
nash serta untuk menjaga maqashi al-syariah para ulama membagi
maslahah menjadi tiga tingkatan, yaitu maslahah dharuriyyah,
maslahah hajiyyah, maslahah tahsiniyyah.75
Imam al-Syatibi dalam kitab al-muwafaqat berkata: “Sekali-kali
tidaklah syariat itu dibuat kecuali untuk merealisasikan manusia baik di
dunia maupun di akhirat dan dalam rangka mencegah kemafsadatan
yang akan menimpa mereka”.76
Tujuan umum dari hukum syariat adalah untuk merealisasikan
kemaslahatan hidup manusia dengan mendatangkan manfaat dan
menghindari mudharat. Kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum
Islam adalah kemaslahatan yang hakiki yang berorientasi kepada
terpeliharanya lima perkara yaitu hifz al-din, hifz an-nafs, hifz al-aql,
hifz an-nasl, hifz al-mal. Dengan kelima perkara inilah manusia dapat
menjalankan kehidupannya yang mulia.
Menurut Imam Syatibi, kemaslahatan yang akan diwujudkan
oleh hukum Islam dari kelima perkara di atas memiliki tiga peringkat
kebutuhan yang terdiri dari kebutuhan daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
Hukum Islam bertujuan untuk memelihara dan melestarikan kebutuhan
manusia dalam semua peringkat baik dalam peringkat daruriyat,
hajiyat, dan tahsiniyat.77
a. Al-Maslahah Ad-Daruriyyah

74 Lutfi Zakaria Mubarok, Skripsi, “Kesepakatan Suami Istri dalam Pengasuhan Anak
Prespektif Teori Maslahah Mursalah”, (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah, 2019), h., 28.
75 Abd Rahman Dahlan, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Amzah, 2011), h., 309.
76 Sapiudin Shidiq, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 102.
77 Sapiudin Shidiq, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 102.
42

Maslahah ad-daruriyyah adalah kemaslahatan yang esensial


bagi kehidupan manusia dan karena itu wajib ada sebagai syarat
mutlak terwujudnya kehidupan itu sendiri, baik ukhrawi maupun
duniawi. Dengan kata lain, jika dharuriyyah ini tidak terwujud,
niscaya kehidupan manusia akan punah. Yang masuk kedalam ruang
lingkup maslahah dharuriyyah yaitu meliputi pemeliharaan agama,
pemeliharaan jiwa, pemeliharaan akal, pemeliharaan keturunan dan
pemeliharaan harta.78
Demikian pula dalam kemaslahatan agama ditetapkan
ketentuan-ketentuannya, baik dari sisi perwujudan maupun
pemusnahannya. Dari sisi perwujudannya adalah seperti ketentuan
tentang keimanan, pengucapan dua kalimat syahadat, kewajiban
salat, zakat, puasa, dan haji. Adapun dari sisi pemusnahannya adalah
seperti perintah jihad, memerangi orang-orang murtad, dan
mencegah terjadinya bid'ah di kalangan umat.
Kemaslahatan dalam adat (kebiasaan) dikembalikan kepada
pemeliharaan jiwa dan akal. Dari sisi perwujudannya, misalnya,
dapat dicontohkan makan, minum, berpakain dan bertempat tinggal.
Adapun kemaslahatan dalam muamalat dikembalikan kepada
pemeliharaan keturunan dan harta.79
e. Al-Maslahah al-Hajiyyah
Maslahah al-Hajiyyah adalah segala hal yang menjadi
kebutuhan primer manusia agar hidup bahagia dan sejahtera, dunia,
dan akhirat, dan terhindar dari berbagai kesengsaraan. Jika
kebutuhan ini tidak diperoleh, kehidupan manusia pasti mengalami
kesulitan (masyaqqah) meski tidak sampai menyebabkan
kepunahan.80 Maslahah al-Hajiyyah ini berkaitan erat dengan

78 Hamka Haq, “Al-Syathibi Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwafaqat”,
(Jakarta: Erlangga, 2007), h., 103.
79 Abdul Mughits, “Ushul Fikih”, (Jakarta: Artha Rivera, 2008), h., 119.
80 Hamka Haq, “Al-Syathibi Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwafaqat”,

(Jakarta: Erlangga, 2007), h., 103.


43

masalah rukhsah (keringanan) dalam ilmu fiqh.81Maslahah Hajiyyat


juga jika tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak sampai
secara langsung menyebabkan rusaknya lima unsur pokok tersebut,
tetapi secara tidak langsung memang bisa mengakibatkan
kerusakan.
Dalam bidang ibadah dapat diambil contoh, misalnya,
ketentuan rukhsah karena sakit, bepergian, atau kesulitan. Adapun
dalam adat adalah seperti kebolehan berburu dan menikmati segala
sesuatu yang baik asal halal. Dalam muamalat dapat dicontohkan
seperti ketentuan qirad, musaqah dan jual beli pesanan (bai' as-
salam).82
f. Al-Maslahah al-Tahsiniyyah
Maslahah al-Tahsiniyyah adalah kebutuhan hidup
komplementer-sekunder untuk menyempurnakan kesejahteraan
hidup manusia.83kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa
keleluasan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya.
Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi,
berpakaian yang bagus, melakukan ibadah-ibadah sunnah sebagai
amalan tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari
badan manusia.
Dalam ibadah dapat dicontohkan seperti perintah
menghilangkan najis, ketentuan bersuci, dan menutup aurat. Dalam
adat dapat dicontohkan seperti adab ketika makan dan minum, dan
menghindari makanan najis dan kotor. Dalam mamalat dapat
dicontohkan seperti larangan jual beli barang najis dan perintah
memendekakan budak. Adapun dalam jinayat dapat dicontohkan

81 Sapiudin Shidiq, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 102.


82 Abdul Mughits, “Ushul Fikih”, (Jakarta: Artha Rivera, 2008), h., 120.
83 Hamka Haq, “Al-Syathibi Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwafaqat”,

(Jakarta: Erlangga, 2007), h., 103.


44

seperti larangan membunuh wanita dan anak-anak kecil, serta hewan


tunggangan yang digunakan untuk berjihad.84
Menurut Abdul Wahab Khallaf, jika tiga peringkat kebutuhan di
atas masing-masing daruriyat, hajiyat, dan tahsiyat telah dipenuhi
secara sempurna berarti telah terealisasi kemaslahatan manusia yang
merupakan tujuan hukum syariat.85
Kategori Maslahah ad-daruriyyah terdiri dari kelima pokok ke
mashlahatan yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. As Syatibi
telah menyatakan bahwa kelima bidang ini telah diterima secara
universal. Dalam menganalisis tujuan-tujuan kewajiban syara’
ditemukan bahwa syariah juga memandang kelima hal tersebut.
Kewajiban-kewajiban syar’i bisa dibagi dari sudut pandang cara-cara
perlindungan yang positif dan preventif menjadi dua kelompok.
Termasuk dalam kelompok cara yang positif adalah ibadat, adat
(kebiasaan, adat istiadat), serta mu’amalah (transaksi), dan termasuk
kelompok preventif adalah jinayat (hukum pidana).86Kemudian dari
kelima pokok itu akan dilihat berdasarkan tingkat kepentingan atau
kebutuhannya masing-masing.87
a. Memelihara Agama (Hifz al-Din)
Menjaga dan memelihara agama berdasarkan
kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat.
1) Memelihara agama dalam tingkat daruriyat (pokok), yaitu
memelihara dan melaksanakan kewajiban agama yang termasuk
tingkat primer seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau
shalat ini diabaikan maka akan terancamlah keutuhan agama.
2) Memelihara agama dalam tingkat hajiyat, yaitu melaksanakan
ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan seperti

84 Abdul Mughits, “Ushul Fikih”, (Jakarta: Artha Rivera, 2008), h., 120.
85 Sapiudin Shidiq, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 103.
86 Muhammad Syukri Albani Nasution, Rahmat Hidayat Nasution, “Filsafat Hukum Islam

dan Maqashid Syariah”, (Jakarta: Prenada Media, 2020), h., 162.


87 Sapiudin Shidiq, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 103.
45

shalat jama' dan qashar bagi orang yang bepergian. Kalau


ketentuan itu tidak dilaksanakan, maka tidak akan mengancam
eksistensi agama melainkan hanya akan mempersulit orang
yang sedang dalam bepergian.
3) Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyat, yaitu mengikuti
petunjuk agama dan menjunjung tinggi martabat manusia
sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada
Tuhan. Misalnya, menutup aurat baik dalam shalat maupun di
luar shalat, membersihkan pakaian, dan badan. Kegiatan ini erat
hubungannya dengan akhlak terpuji. Jika hal ini tidak dilakukan,
maka tidak akan mengancam keutuhan agama dan tidak
mempersulit orang yang melakukannya. Artinya jika tidak ada
penutup aurat maka seseorang boleh saja shalat jangan sampai
meninggalkan shalat yang termasuk daruriyat.88
b. Memelihara Jiwa (Hifz an-Nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan peringkat kepentingannya
dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1) Memelihara jiwa dalam tingkat daruriyat, seperti memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan
hidup. Kalau kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan
mengakibatkan terancamnya jiwa manusia.
2) Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya
berburu dan menikmati makanan dan minuman yang lezat.
Kalau kegiatan ini diabaikan maka tidak akan mengancam
eksistensi manusia melainkan hanya akan mempersulit
hidupnya saja
3) Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyat, seperti
ditetapkannya tata cara makan dan minum. Hal ini, hanya
berhubungan dengan masalah kesopanan dan sama sekali tidak

88 Sapiudin Shidiq, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 103.


46

akan mengancam jiwa manusia maupun mempersulit


kehidupan manusia,
c. Memelihara Akal (Hifz al-Aql)
Memelihara akal dilihat dari segi kepentingannya dapat
dibedakan menjadi tiga tingkatan:
1) Memelihara akal dalam tingkat daruriyat, seperti
diharamkannya meminum minuman keras. Jika hal ini tidak
diindahkan, maka akan berakibat rusaknya akal.
2) Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti anjuran untuk
menuntut ilmu pengetahuan Sekiranya hal ini tidak dilakukan
maka tidak akan merusak akal tetapi akan mempersulit hidup
seseorang.
3) Memelihara akal pada tingkat tahsiniyat, seperti
menghindarkan diri dari mengkhayal atau mendengarkan
sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini, berkaitan erat dengan
etika dan tidak akan mengancam eksistensi akal secara
langsung.89
d. Memelihara Keturunan (Hifz an-Nasl)
Memelihara keturunan dilihat dari segi tingkat
kebutuhannya dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:
1) Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyat, seperti
disyariatakannya nikah dan larangan berzina. Kalau aturan ini
tidak dipatuhi maka akan mengancam keutuhan keturunan.
2) Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti
ditetapkannya menyebutkan mahar bagi suami pada waktu
akad nikah dan diberikan hak talak kepada sang suami. Jika
hal ini tidak dilakukan, maka akan menyulitkan si suami
karena ia harus membayar mahar misil. Adapun dalam
masalah talak si suami akan mengalami kesulitan jika ia tidak

89 Sapiudin Shidiq, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 104.


47

menggunakan hak talaknya sedangkan situasi rumah


tangganya sudah tidak harmonis lagi.
3) Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat, seperti
disyariatkannya khitbah (meminang) atau walimah dalam
perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi
kegiatan perkawinan. Jika hal ini tidak dilakukan maka tidak
akan mengancam keutuhan keturunan tetapi hanya sedikit
mempersulit saja.
e. Memelihara Harta (Hifz al-Mal)
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat
dibedakan menjadi tiga tingkatan antara lain:
1) Memelihara harta dalam tingkat daruriyat, seperti
disyaratkannya tata cara pemilikan harta dan larangan
mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Jika
aturan ini dilanggar maka akan mengancam keutuhan harta.
2) Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti
disyariatkannya jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini
tidak dipakai maka tidak akan mengancam eksistensi harta
melainkan akan mempersulit orang yang membutuhkan
modal.
3) Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat, seperti adanya
ketentuan agar menghindarkan diri dari usaha penipuan. Hal
ini erat kaitannya dengan masalah etika bermuamalah atau
etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada kesahan
jual beli sebab peringkat ini juga merupakan syarat adanya
peringkat yang pertama dan kedua.90
4. Macam-Macam Maslahah Mursalah

90 Sapiudin Shidiq, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 104-105.


48

Adapun para ahli Ushul Fiqh membagi maslahah menjadi


beberapa macam, diantaranya:91
a. Keberadaan Maslahah dilihat dari segi syara’ jumhur ulama
membaginya kedalam tiga bagian:
1. Al-Maslahah al-mu'tabarah, ialah maslahah yang secara tegas
diakui oleh syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan
hukum untuk merealisasikannya. Seperti perintah berjihad
untuk memelihara agama dari gempuran musuh. Diwajibkan
qishas untuk menjaga kelangsungan jiwa, hukuman untuk
peminum khamar demi memelihara akal, hukum zina untuk
memelihara kehormatan dan keturunan, hukuman bagi pencuri
untuk memelihara harta.92 Maslahah ini dapat dijadikan hujjah
hukum, tidak diragukan lagi keabsahannya, serta tidak ada
perselisihan dalam mengamalkannya.93
2. Al-Maslahah al-Mulgah, ialah sesuatu yang dianggap
maslahah oleh akal pikiran, tetapi kemudian dianggap palsu
karena kenyataannya bertentangan dengan ketentuan syariat.
Misalnya, ada anggapan bahwa menyamakan pembagian
warisan antara anak laki-laki dan perempuan adalah sebuah
maslahah. Tetapi anggapan ini bertentangan dengan ketentuan
syariat, yaitu dalam Q.S An-Nisa ayat 11, yang menegaskan
bahwa bagian anak laki-laki dua kali bagian anak
perempuan.94Contoh lain penambahan harta melalui riba
dianggap maslahat. Tetapi anggapan ini bertentangan dengan
hukum syariat yang menegaskan praktik riba adalah haram.
Contoh lain, anggapan orang yang tidak berangkat ke medan
perang karena takut mati adalah maslahat. Anggapan ini

91 Muthiarafa Adila, Skripsi, “Batas Usia Perkawinan Pada Undang-Undang Nomor 16


Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Ditinjau Dari Teori
Maslahah Mursalah”, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2020), h. 34
92 Sapiudin Shidiq, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 92.
93 Satria Effendi, “Ushul fiqh”, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 3, h. 146
94 Muliadi Kurdi, “Ushul Fiqh”, (Aceh: Lembaga Naskah Aceh, 2015), cet. 2, h. 223
49

bertentangan dengan hukum syariat yang menegaskan


kewajiban berjihad. Pertentangan di atas menunjukkan bahwa
apa yang dianggap oleh sebagian orang sebagai maslahat
ternyata bukan maslahat di sisi Allah SWT. Para ulama
sepakat bahwa maslahah mulgah tidak dapat dijadikan asas
hukum.95
3. Maslahah Mursalah, adalah maslahah yang tidak ada
ketentuan hukumnya baik dalam al-Qur'an maupun hadis
dalam bidang muamalat. Kendati demikian mampu
mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan.
Contohnya, peraturan lampu lalu lintas, tidak ada hukumnya
dalam al-Qur'an dan hadis namun peraturan lalu lintas sejalan
dengan tujuan hukum syariat yaitu menjaga jiwa.96 Jadi
pembentuk hukum dengan cara Maslahah al-Mursalah
semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia
dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak ke
mudharatan dan kerusakan bagi manusia.97Kemaslahatan ini
terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a) Al-Maslahah al-Gharibah yaitu maslahah yang sama sekali
tidak terdapat kesaksian syara’ terhadapnya, baik yang
mengakuinya maupun menolaknya. Dalam kenyataannya,
maslahah ini hanya ada dalam teori, tetapi tidak ditemukan
contohnya dalam kehidupan sehari-hari.98
b) Al-Maslahah al-Mula’imah yaitu maslahah yang meskipun
tidak terdapat nash tertentu yang mengakuinya, tetapi ia
sesuai dengan tujuan syara’ dalam lingkup yang umum, (al-
ushul al-khamsah). Tujuan syara’ ini dipahami dari makna

95 Sapiudin Shidiq, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Kencana, 2011), h., 92.


96 Satria Effendi, M. Zein, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. 3, h., 150.
97 Totok Jumantoro dan Samsul Munir, “Kamus Ilmu Ushul Fikih”, (Jakarta: Amzah, 2009),

cet. 2, h., 205.


98 Abd. Rahman Dahlan, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Amzah, 2011), cet. 2, h., 208.
50

umum yang terkandung di dalam Al-Qur’an, hadist, dan al-


ijma. Maslahah inilah yang biasa disebut dengan istilah al-
maslahah al-mursalah.
b. Dilihat dari segi kandungan maslahah, para Ulama Ushul Fiqh
membaginya menjadi:
1. Maslahah al-Ammah
Adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan
orang banyak. Kemaslahatan ini tidak berarti untuk
kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan
mayoritas umat. Misalnya, para ulama membolehkan
membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak akidah umat
manusia, karena menyangkut kepentingan orang banyak.99
2. Maslahah Al-Khashshah
Adalah kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang
sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan
hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang
(mafqud).100
c. Dilihat dari segi berubah atau tidaknya Maslahat, para Ulama
Ushul Fiqh membaginya kepada:
1. Maslahah ats-Tsabitah
Adalah kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak
berubah sampai akhir zaman.101Misalnya kewajiban sholat,
puasa, zakat, dan haji.
2. Maslahah al-Mutagayyirah
Adalah kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai
dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek
hukum.102Kemaslahatan ini berkaitan dengan permasalahan

99 Nasrun Haroen, “Ushul Fiqh 1”, (Jakarta: Logos, 1996), cet 1, h., 116.
100 Nasrun Haroen, “Ushul Fiqh 1”, (Jakarta: Logos, 1996), cet 1, h., 117.
101 Totok Jumantoro dan Samsul Munir, “Kamus Ilmu Ushul Fikih”, (Jakarta: Amzah,

2009), cet 2, h., 206.


102 Totok Jumantoro dan Samsul Munir, “Kamus Ilmu Ushul Fikih”, (Jakarta: Amzah,

2009), cet 2, h., 207.


51

mu’amalah dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah


makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah
lainnya. Perlunya pembagian ini, menurut Mushthafa al-
Syalabi, dimaksudkan untuk memberikan batasan
kemaslahatan mana yang bisa berubah dan yang tidak.
5. Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam kehujjahan maslahah mursalah, para Ulama Fiqh
memiliki pendapat yang berbeda, yaitu:
a. Ulama Syafi’iyyah, Ulama Hanafiyyah, dan sebagian Ulama
Malikiyyah semisal Ibnu Hajib dan ahli zahir. Mereka berpendapat
bahwa maslahah mursalah tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.103
b. Sebagian Madzhab Maliki dan sebagian asy-Syafi’iyyah
berpendapat bahwa maslahah mursalah dapat menjadi hujjah. Tetapi
ia harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Ulama-
Ulama Ushul. Bahkan diantara ulama yang paling banyak
melakukan atau menggunakan maslahah mursalah sebagai landasan
penetapan hukum adalah Imam Malik. Dengan alasan, Allah
mengutus utusan-utusannya ke permukaan bumi ini untuk
membimbing umatnya kepada kemaslahatan.104Untuk menguatkan
argument tersebut, ia merujuk kepada salah satu ayat Al-Quran,
yaitu Q.S Al-Anbiya ayat 107 yang berbunyi:

َ‫ﻭَﻣَﺎۤ ﺍَﺭْﺳَﻠْﻨٰﻚَ ﺍِﻻَّ ﺭَﺣْﻤَﺔً ﻟِّﻠْﻌٰﻠَﻤِﻴْﻦ‬


Artinya:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Adapun Imam Malik menjadikan maslahah mursalah sebagai
dalil karena beberapa argument sebagai berikut:

103 Khairul Umam, dkk, “Ushul Fiqh 1”, (Jakarta: CV Pustaka Setia, 2000), cet 2, h., 141.
104 Muliadi Kurdi, “Ushul fiqh”, (Aceh: Lembaga Naskah Aceh, 2015), h., 214.
52

a. Para sahabat banyak menggunakan maslahah mursalah didalam


mengambil kebijakan dan istinbath hukum, misalnya pembukuan
Al-Quran menjadi Mushaf oleh para sahabat Nabi tidak
memerintahkan kepada mereka untuk membukukannya, Umar Ibn
Khattab memerintahkan kepada para pejabat agar memisahkan
kekayaan pribadinya dari kekayaan yang diperoleh karena
jabatannya, demikian para sahabat yang menetapkan hukuman mati
teradap semua anggota kelompok atau jamaah yang melakukan
pembunuhan terhadap satu orang jika mereka melakukan
pembunuhan itu bersama-sama.105
b. Perwujudan kemaslahatan itu sesuai dengan tujuan syari’at. Artinya
mengambil maslahat berarti merealisasikan tujuan syari’at.
Mengesampingkan maslahat artinya mengesampingkan tujuan
syari’at.106
Sendainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang
jelas mengandung maslahat selama berada di dalam konteks
maslahat syar’iyyah maka orang-orang mukallaf akan mengalami
kesulitan dan kesempitan padahal Allah SWT. tidak menghendaki
adanya kesulitan itu. Sebagaimana di firmankan oleh Allah SWT
dalam surat Al-Baqarah ayat 185:

. . . َ‫ ﻳُﺮِﻳْﺪُ ﺍﻟﻠّٰﻪُ ﺑِﻜُﻢُ ﺍﻟْﻴُﺴْﺮَ ﻭَﻻَﻳُﺮِﻳْﺪُ ﺑِﻜُﻢُ ﺍﻟْﻌُﺴْﺮ‬. . .


Artinya:
…Allah mengehendaki kemudahan bagimu, dan tidak
mengehendaki kesukaran bagimu… (Q.S Al-Baqarah [2]: 185)
Meskipun Imam Malik merupakan tokoh dan pelopor maslahah
mursalah namun di dalam penerapannya, pendiri madzhab Maliki ini
menerapkan syarat-syarat adanya persesuaian antara maslahat yang
dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-

105 Muhammad Abu Zahrah, “Ushul Fiqh”, h., 429.


106 Nasrun Haroen, “Ushul Fiqh 1”, (Pamulang: Logos, 1996), cet 1, h., 124.
53

tujuan syariat. Maslahat itu harus masuk akal dan mempunyai sifat-sifat
yang sesuai dengan pemikiran yang rasional. Penggunaan dalil maslahat
ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang mesti terjadi.
Dengan arti, jika maslahat itu tidak diambil, maka manusia akan
mengalami kesulitan.107
Para ulama yang tidak menerima maslahah mursalah sebagai
dalil syara’ juga mengemukakan beberapa alasan:
a. Maslahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah
kepada salah satu bentuk pelampiasan dari keinginan hawa nafsu
yang cenderung mencari yang enak-enak saja, padahal Islam tidak
memiliki prinsip seperti itu.108
b. Jika maslahat dapat diterima (mu’tabarah), ia termasuk dalam
kategori qiyas dalam arti luas. Tetapi jika tidak mu’tabarah ia tidak
termasuk qiyas dan tidak dibenarkan suatu anggapan yang
menyatakan bahwa pada suatu masalah terdapat maslahah
mu’tabarah, sementara maslahat itu tidak termasuk di dalam nash
atau qiyas.109
c. Mengambil dalil maslahat tanpa berpegang kepada nash terkadang
akan berakibat kepada suatu penyimpangan dari suatu hukum syariat
dan tindakan kealiman terhadap rakyat dengan dalil maslahat,
sebagaimana dilakukan oleh raja-raja yang alim.
Jika maslahat dijadikan sebagai sumber hukum pokok yang
berdiri sendiri, niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan
hukum akibat perbedaan negara, bahkan perbedaan pendapat
perorangan didalam suatu perkara.110

107 Muhammad Abu Zahrah, “Ushul Fiqh”, h., 431.


108 Asmawi, “Perbandingan Ushul Fiqh”, (Jakarta: Amzah, 2018), h., 106.
109 Muhammad Abu Zahra, “Ushul Fiqh”, h., 432.
110 Muhammad Abu Zahra, “Ushul Fiqh”, h., 433.
BAB III
DESKRIPSI PUTUSAN NOMOR 1/Pdt.G/2013/PA.MUR TENTANG
HADHANAH ANAK KEPADA IBU MURTAD PADA PENGADILAN
AGAMA MAUMERE

A. Posisi Kasus

Pokok persoalan dalam putusan ini adalah tentang permintaan


untuk menjadi pemegang hak asuh anak atau biasa disebut dengan
Hadhanah. Permohonan tersebut diajukan oleh Pemohon selaku ayah
dari anak yang akan di ajukan permintaan hak asuh anaknya. Pemohon
berumur 39 tahun, beragama Islam, pekerjaan sebagai karyawan PT.
Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk cabang maumere, dan bertempat
tingal di Lorong Angkasa belakang Yamaha Yes, Kecamatan Alok,
Kabupaten Sikka.

Selanjutnya Termohon selaku ibu, berumur 39 tahun, beragama


Islam, pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga, dan bertempat tinggal di
Jalan Merpati No. xxx Rt. xx Rw. xxx, Kampung Sabu, Kelurahan
Beru, Kecamatan Alok Kabupaten Sikka.1

B. Duduk Perkara
1. Posita

Bahwa Pemohon dalam surat permohonannya tanggal 9 Januari


2013 telah mengajukan permohonan cerai talak yang telah terdaftar di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Maumere, dengan Nomor
1/Pdt.G/2013/PA.MUR yang pada tanggal 10 Januari 2013 diajukan
dengan dalil-dalil pokok.

Pada tanggal xx Mei xxx telah dilangsungkan pernikahan di


Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Maumere Kabupaten Sikka
sesuai dengan Kutipan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor

1 Salinan putusan Nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR.

54
55

Urusan Agama Kecamatan Maumere Kabupaten Sikka tanggal xx Mei


xxx.

Bahwa, antara Pemohon dan Termohon telah pisah tempat


tinggal selama kurang lebih 4 (empat) tahun, mulai tanggal 26
Desember 2009 sampai sekarang, Pemohon tinggal di Lorong Angkasa
Belakang Yamaha Yes Kelurahan Kota Waioti Kecamatan Alok
Kabupaten Sikka dan Termohon tinggal di rumah orang tuanya di Jalan
Merpati No. xxx Kampung Sabu Kelurahan Beru Kecamatan Alok
Kabupaten Sikka. Selama masa perkawinan. Pemohon dan termohon
dikarunia 3 (tiga) orang yaitu,

1). Aditya Pratama Hidayat (laki-laki), lahir pada 5 April 2002, umur
11 tahun.
2). Andina Yulianti Kartini (perempuan), lahir pada 10 November
2003, umur 10 tahun.
3). Dewi Wulandari (perempuan), lahir pada 23 September 2005, umur
8 tahun.

Bahwa Pemohon dan Termohon menikah atas dasar suka sama


suka dan sebelumnya telah saling kenal mengenal selama kurang lebih
4 (empat) tahun. Namun, memasuki usia perkawinan ke 9 (sembilan)
tahun rumah tangga antara Pemohon dan Termohon sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus.

Bahwa perselisihan dan pertengkaran tersebut disebabkan


Termohon telah berpindah agama yaitu semula dari beragama Islam
pindah agama menjadi agama Kristen Protestan.

Bahwa Termohon setiap minggu pergi ke Gereja bersama orang


tua Termohon secara diam-diam tanpa sepengetahuan Pemohon, karena
Termohon pamit dari rumah untuk pergi belanja ke pasar. Dan pada
akhirnya Pemohon melihat langsung Termohon pergi beribadah di
Gereja pada tanggal 25 Desember 2008 sampai sekarang.
56

Bahwa Pemohon telah menegur dan mengingatkan agar


Termohon sadar atas apa yang Termohon lakukan, tapi tidak dihiraukan
sama sekali bahkan Termohon semakin terang-terangan melakukan hal
yang dilarang oleh agama Islam di depan Pemohon.

Bahwa Termohon pada akhirnya memilih meninggalkan rumah


dengan membawa ketiga anak Pemohon dan Termohon, tanpa
sepengetahuan Pemohon sejak bulan Februari 2009 hingga sekarang.

Bahwa Termohon dengan sengaja memberi makan makanan


yang diharamkan oleh Islam yaitu daging babi kepada ketiga anak-anak
Pemohon pada saat merayakan Natal bersama orang tua Termohon di
rumah orang tua Termohon.

Bahwa Termohon melakukan fitnah dengan melaporkan


Pemohon ke Polisi dengan tuduhan penelantaran, padahal Termohon
yang dengan sengaja meninggalkan rumah dan bersembunyi di rumah
orang tua Termohon tanpa pamit sama sekali pada Pemohon sebagai
kepala keluarga. Dengan kejadian tersebut Pemohon menjadi tidak
tenang dan selalu gelisah sehingga membuat Pemohon menderita lahir
dan bathin.

Bahwa perbuatan Termohon telah mencerminkan bahwa


Termohon adalah seorang istri yang tidak bisa menjaga kehormatan
suami dan agama sehingga Termohon sudah tidak bisa lagi menjadi
istri/ibu yang baik bagi Pemohon dan anaknya.

2. Petitum

Berdasarkan posita di atas, Pemohon mohon agar Ketua


Pengadilan Agama Maumere memeriksa dan mengadili perkara
tersebut dengan menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai
berikut:2

2 Salinan putusan Nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR.


57

1) Mengabulkan permohonan Pemohon;

2) Menetapkan memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan


ikrar talak kepada Termohon;
3) Menetapkan ketiga anak Termohon dan Pemohon berada di bawah
Hadhanah Pemohon;
4) Membebankan biaya perkara kepada Pemohon sesuai dengan
peraturan yang berlaku;

Subsider;

Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan


yang seadil-adilnya.
3. Proses pemeriksaan perkara

Dalam hal ini, pada hari sidang yang telah ditetapkan, Pemohon
datang menghadap sendiri di persidangan sedangkan Termohon pada
sidang 22 Januari 2013 dan 28 Januari 2013 tidak hadir dan juga
mengutus orang lain sebagai wakil atau kuasanya yang sah untuk
datang menghadap di persidangan meskipun menurut berita acara
panggilan dari Pengadilan Agama Maumere telah dipanggil secara
resmi dan patut tanggal 16 Januari 2013 dan 22 januari 2013, dan
ketidakhadiran Termohon tidak disebabkan oleh suatu halangan yang
sah. Kemudian pada sidang tanggal 04 Februari 2013 dan selanjutnya
Termohon datang menghadap di persidangan diwakili kuasa
hukumnya, dan Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan pemohon
dan termohon namun tidak berhasil. Karena mediasi tidak berhasil
maka perkara tersebut dilanjutkan kejalur litigasi.

Setelah pembacaan gugatan, Termohon melalui Kuasa


Hukumnya memberikan jawaban secara tertulis tanggal 11 Februari
2013 yang pada pokoknya tidak keberatan dan membenarkan seluruh
permohonan Pemohon.
58

Untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya, Pemohon telah


mengajukan bukti-bukti berupa: Fotocopy Kartu Tanda Penduduk dan
fotocopy kutipan Akta Nikah. Pemohonpun menghadirkan dua orang
saksi, saksi Pemohon merupakan rekan kerja dari Pemohon sebagai
Security di BRI Cabang Maumere.

Terhadap keterangan-keterangan saksi-saksi tersebut Pemohon


menyatakan tidak keberatan dan Kuasa Termohon memberikan
tanggapannya di persidangan.

Termohon juga mengajukan bukti surat berupa: Surat


pernyataan dari Pemohon, fotocopy salinan putusan nomor
xx/xxxx/xxxx/xxxxx tanggal xx xxxx xxxx, dan fotocopy surat
pernyataan dari Bidan Wigati Dwi Istiari tanggal 26 Juli 2010.
Termohonpun menghadirkan dua orang saksi, saksi pertama merupakan
ibu dari Termohon dan saksi kedua kakak kandung dari Termohon.

C. Amar Putusan

Dalam menyelesaikan perkara cerai talak dalam putusan Nomor


1/Pdt.G/2013/PA.MUR Majelis Hakim Pengadilan Agama Maumere
memeriksa dan mengadili perkara tersebut dengan amar:

1) Mengabulkan permohonan Pemohon;


2) Menyatakan perkawinan Pemohon dan Termohon putus karena fasakh;
3) Menolak permohonan Pemohon sebagai pemegang Hadhanah;
4) Membebankan biaya perkara kepada Pemohon sebesar Rp 331.000,-
(tiga ratus tiga puluh satu ribu rupiah);
D. Pertimbangan Hukum

Dalam menyelesaikan perkara cerai talak dalam putusan Nomor


1/Pdt.G/2013/PA.MUR Majelis Hakim Pengadilan Agama Maumere
mempunyai beberapa pertimbangan antara lain :3

3 Salinan putusan Nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR.


59

Perceraian yang diajukan oleh Pemohon sebagaimana dalam surat


permohonannya adalah murtad oleh karena itu Pemohon memiliki legal
standing untuk mengajukan perceraian sebagaimana diatur dalam pasal 14
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
oleh karenanya permohonan Pemohon dapat diperiksa lebih lanjut.

Berdasarkan pemeriksaaan di persidangan maka majelis hakim telah


menemukan fakta bahwa pada awalnya perkawinan rumah tangga antara
Pemohon dengan Termohon terlihat harmonis, dan telah dikaruniai 3 (tiga)
orang anak. Bahwa sekitar Tahun 2009, Pemohon dan Termohon telah pisah
tempat tinggal dan sejak saat itu baik Pemohon dan Termohon tidak pernah
tinggal dalam satu rumah lagi. Bahwa saksi sering melihat Pemohon dan
Termohon bertengkar disebabkan Pemohon yang sering tidak berada
dirumah dan pulang malam hari. Bahwa Termohon pernah terlihat
memasuki gereja. Bahwa Pemohon pernah terbukti bersalah di Pengadilan
Negeri Maumere dalam perkara penelantaran anak. Bahwa Pemohon telah
memiliki hubungan dengan wanita lain yang dari wanita itu telah
melahirkan anak. Bahwa semua anak Pemohon dan Termohon sekarang
berada di tangan Termohon.

Bahwa alasan perceraian yang diajukan Pemohon adalah murtad


(riddah), maka Majelis berpendapat telah sesuai dengan Pasal 116 huruf “h”
Kompilasi Hukum Islam untuk mengajukan dengan alasan peralihan agama
(murtad).

Saksi-saksi dari Pemohon pernah melihat Termohon memasuki


gereja meskipun dari saksi-saksi dari Termohon menyatakan bahwa
Termohon masih beragama Islam, namun Majelis Hakim berpendapat
bahwa tidak ada alasan seorang yang beragama Islam memasuki tempat
ibadah yang bukan tempat ibadahnya, dan memasuki gereja pada hari
Minggu yang merupakan hari kebaktian bagi umat Kristiani dan
60

berkumpulnya para jemaat, maka Majelis Hakim berpendapat ada indikasi


yang kuat bahwa Termohon telah melakukan kebaktian di gereja, oleh
karenanya Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Termohon telah berpindah
agama. Alasan murtad mengakibatkan terjadinya perbedaan agama dan
perbedaan agama merupakan penyebab perselisiahan yang prinsipil dan
tidak mungkin didamaikan.

Terjadinya pisah tempat tinggal yang cukup lama, maka Majelis


Hakim berpendapat bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon jika
dibiarkan terus menerus akan menimbulkan dampak negatif diantara
keduanya. Diantara mereka tentu tidak bisa menjalankan kewajiban dimana
Pemohon sebagai suami tidak bisa menjalankan kewajiban dan tanggung
jawabnya terhadap Termohon sebagai suami istri dan begitu pula
sebaliknya, dan alasan perceraian yang diajukan Pemohon telah memenuhi
maksud Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal
116 huruf “h” Kompilasi Hukum Islam.

Bahwa rumah tangga keduanya sudah retak dan pecah sedemikian


rupa sifatnya, sehingga sulit disatukan kembali untuk menjadi rumah tangga
harmonis, sejahtera lahir dan batin, sehingga tujuan perkawinan
sebagaimana disebutkan QS. Ar-ruum ayat 21 dan Pasal 1 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tidak dapat
diwujudkan oleh Pemohon dan Termohon, sehingga mempertahankan
rumah tangga yang sudah sedemikian keadaannya justru akan memberikan
mudharat yang berkepanjangan bagi keluarga tersebut.

Majelis Hakim sebagai bahan pertimbangan menyandarkan


pertimbangannya kepada kaidah ushul fiqh yang mengatakan “menolak
kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan”

Menimbang, bahwa telah terjadi riddah, maka Majelis berpendapat


bahwa pernikahan Pemohon dan Termohon telah fasakh, dan ini sesuai
dengan pendapat Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhussunnah jilid II halaman
61

459 yang diambil alih menjadi pendapat Majelis Hakim yang mengatakan
“apabila suami atau istri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan
mereka satu sama lain, karena sesungguhnya riddahnya salah seorang dari
mereka itu menjadikan putusnya perkawinan antara keduanya dan putusnya
itu berupa fasakh.

Pemohon juga mengajukan hak hadhanah untuk anak-anak


Pemohon dan Termohon, berdasarkan keterangan para pihak dan
keterangan saksi-saksi di persidangan bahwa anak yang bernama Aditya
Pratama Hidayat, Andina Yulianti Kartini, dan Dewi Wulandari, adalah
anak Pemohon dan Termohon yang sah dan merupakan anak dari
perkawinan yang sah yang belum mumayyiz yang kesemuanya belum genap
berumur 12 (dua belas) Tahun.

Kuasa pengasuhan anak tidak semata-mata karena hal finansial.


Tetapi hal yang paling mendasar sebagai pertimbangan terhadap pihak yang
ditunjuk sebagai pemegang kuasa hak asuh adalah karena faktor perilaku
dan moral baik yang dimiliki pemegang atas hak asuh anak tersebut. Bahwa
pada saat dilahirkan semua anak Pemohon dan Termohon lahir dalam
kedaan beragama Islam dari Perkawinan yang dilaksanakan secara Islam.

Pada dasarnya hadhanah terhadap anak yang belum mumayyiz


adalah hak ibunya, sesuai dengan bunyi Pasal 105 ayat (1) KHI, kecuali
apabila terbukti bahwa ibu telah murtad dan memeluk agama selain Islam,
maka gugurlah hak ibu untuk memelihara anak tersebut, hal ini sesuai
dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor : 210/K/AG/1996, yang
mengandung abstraksi hukum bahwa agama merupakan syarat untuk
menentukan gugur tidaknya hak seorang ibu atas pemeliharaan dan
pengasuhan (hadhanah) terhadap anaknya yang belum mumayyiz, karena
seorang ibu yang menjadi non muslim tidak memenuhi syarat lagi sebagai
pemegang hadhanah.
62

Hal tersebut sesuai pula pendapat ulama dalam kitab Kifayatul


Akhyar Juz II halaman 94 yang diambil alih menjadi pendapat Majelis
Hakim yang mengatakan “syarat-syarat bagi orang yang akan melaksanakan
tugas hadhanah (pemeliharaan) ada 7 (tujuh) macam : Berakal sehat,
Merdeka, Beragama Islam, Iffah (sederhana), dapat dipercaya, bertempat
tinggal tetap/satu tempat kediaman dengan anak yang diasuh, tidak
bersuami/belum kawin lagi. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka
gugurlah hak hadhanah dari tangan ibu”.

Bahwa berdasarkan surat bukti (T.2) Pemohon telah terbukti


berperilaku tercela dengan menelantarkan anak-anak Pemohon dan
Termohon, oleh karenanya Pemohon memiliki kecacatan perilaku untuk
mengasuh anak-anak Pemohon dan Termohon sebagai hak hadhanah atas
ketiga anak Pemohon dan Termohon, disamping itu juga pekerjaan
Pemohon sebagai karyawan Bank yang tentunya banyak menyita waktu dari
pagi sampai sore.

Majelis Hakim berpendapat bahwa mengambil mudharat yang lebih


ringan sesuai dengan kaidah fiqih yang diambil sebagai pertimbangan
Majelis Hakim yang mengatakan “jika ada dua mudharat yang saling
bertentangan maka diambil yang paling ringan”.

Majelis Hakim menilai bahwa mudharat yang paling ringan diantara


keduanya adalah jika anak tetap berada di bawah asuhan ibunya, karena
ditakutkan perkembangan anak untuk tumbuh kembang akan terlalaikan dan
terhindar dari terlalaikannya hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh orang
tuanya.

Semua biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya, maka


dengan ditolaknya permohonan Pemohon untuk hak hadhanah ini maka
segala biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh Pemohon sebagai ayah dari
ketiga anaknya tersebut sesuai dengan maksud dari Pasal 105 huruf (c) KHI.
63

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka Majelis


Hakim berpendapat permohonan Pemohon untuk bercerai dengan
Termohon telah beralasan dan tidak melawan hukum, oleh karenanya
permohonan Pemohon dikabulkan dengan menyatakan perkawinan
Pemohon dengan Termohon putus karena Fasakh.

Permohonan Pemohon untuk ditetapkan sebagai hak hadhanah


terhadap semua anak Pemohon dan Termohon yang bernama Aditya
Pratama Hidayat yang berumur 11 (sebelas) tahun, Andina Yulianti Kartini
yang berumur 9 (Sembilan) tahun, dan Dewi Wulandari yang berumur 8
(delapan) tahun, patut untuk ditolak.

Meskipun permohonan pemohon untuk ditetapkan hak hadhanah


ditolak, baik pemohon maupun termohon tidak boleh memutus hubungan
komunikasi orang tua dengan anaknya, baik Pemohon maupun Termohon
mempunyai hak untuk berkunjung/menjenguk dan membantu mendidik
serta mencurahkan kasih sayangnya sebagai seorang orang tua terhadap
anaknya.

Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 maka
biaya perkara dibebankan kepada Pemohon.

Memperhatikan alasan-alasan tersebut hakim menolak permohonan


hak hadhanah yang diajukan oleh Pemohon di Pengadilan Agama Maumere
dan hak asuh anak tetap berada dibawah tangan ibu nya.

E. Putusan dan Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama Maumere

Setelah mempertimbangkan perkara Cerai Talak Nomor


1/Pdt.G/2013/PA.MUR Majelis Hakim Pengadilan Agama Maumere
memutuskan:
64

Permohonan pemohon telah cukup beralasan dan berdasarkan atas


hukum permohonan tersebut dapat dikabulkan. Majelis hakim berpendapat
telah sesuai dengan pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dan pasal 116 huruf “h” Kompilasi Hukum Islam untuk mengajukan dengan
alasan peralihan agama (murtad).

Mengenai biaya perkara dibebankan keapada pemohon karena


berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 dalam perkara bidang perkawinan biaya perkara dibebankan
kepada Pemohon.

Yang menjadi pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan


perkara tersebut yaitu dengan mempertimbangkan alat bukti dan saksi yang
telah dihadirkan ketika sidang. Majelis Hakim pun mengacu kepada
Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 dan juga kepada kitab Fiqhussunnah Jilid II pendapat Sayyid Sabiq,
kitab Kifayatul Akhyar Juz II, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor
210/K/AG/1996, dan kaidah fiqih.
BAB IV
Putusan Pengadilan Agama Maumere Nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR
Tentang Pemberian Hak Hadhanah Terhadap Ibu Murtad

A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Pemberian Hak


Hadhanah Terhadap Ibu Murtad (Putusan Pengadilan Agama
Maumere Nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR)
Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-
Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Undang-Undang
Perlindungan Anak”) Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.1

Pada perkara dalam putusan Pengadilan Agama Maumere dengan


nomor perkara 1/Pdt.G/2013/PA.MUR, yang dikeluarkan pada tahun 2013.
Pertimbangan Hakim yang menetapkan hak hadhanah anak yang belum
mumayyiz diberikan kepada ibu yang murtad, dengan mempertimbangkan
dua hal yaitu: Majelis Hakim mempertimbangkan mengenai pihak yang
berhak atas hak hadhanah seorang anak dengan berdasarkan terpenuhinya
syarat seseorang menjadi pemegang hak hadhanah dan pertimbangan untuk
menjamin kemaslahatan hidup seorang anak yang pertimbangannya
terdapat pada Pasal 105 KHI, kitab Kifayatul Akhyar juz 2, Yurisprudensi

1 Ulasan lengkap : Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak,

accessed 28 Januari 2022, https://www.kemhan.go.id/itjen/wp-content/uploads/2018/10/perpu1-


2016bt.pdf

65
66

Mahkamah Agung RI Nomor: 210/K/AG/1996, Pasal 1 Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 2002 dan kaidah fiqih yang berbunyi:

‫ﺍِﺫَﺍ ﺗَﻌَﺎﺭَﺽَ ﺿَﺮَﺭَﺍﻥِ ﺩُﻓِﻊَ ﺍَﺧَﻔِّﻬِﻤَﺎ‬


Artinya:

“Jika ada dua mudarat yang saling bertentangan maka ambil yang
paling ringan”

Pertimbangan mengenai pihak yang berhak atas hak hadhanah,


dalam faktanya usia ketiga anak yang diperebutkan antara Pemohon dan
Termohon masih dikategorikan anak yang belum mumayyiz atau belum
mencapai umur 12 tahun. Mengenai penentuan pihak mana yang berhak atas
hak hadhanah seorang anak, tidak dapat dilepaskan dari Pasal 105
Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:

Dalam hal terjadinya perceraian:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12


tahun adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak
untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.2

Berdasarkan Pasal di atas, mengenai pihak yang berhak atas hak


hadhanah bagi ketiga anak tersebut pada dasarnya merupakan hak seorang
ibu atau dalam kasus ini adalah hak Termohon mengingat usia ketiga anak
tersebut, belum mencapai umur 12 tahun. Berdasarkan uraian putusan
nomor perkara 1/Pdt.G/2013/PA.MUR, ada beberapa hal yang menyangkut
syarat seseorang sebagai pemegang hak hadhanah.

2 Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam.


67

Majelis Hakim menyimpulkan dalam perkara nomor


1/Pdt.G/PA.MUR, berdasarkan keterangan Pemohon dan saksi-saksinya
dapat diuraikan duduk perkara pada putusan tersebut, dijelaskan bahwa
pihak Pemohonlah yang lebih berhak menjadi pemegang hak hadhanah atas
ketiga anaknya, hal ini dikarenakan pihak Termohon telah berpindah agama
/ murtad. Selain itu, Termohon dengan sengaja memberi makan makanan
yang diharamkan oleh agama Islam yaitu, daging babi kepada ketiga anak-
anak Pemohon pada saat merayakan Natal bersama orang tua Termohon di
rumah orang tua Termohon. Termohon juga sering terlihat membawa ketiga
anaknya ke gereja pada hari minggu. Bahwa berdasarkan uraian perbuatan
yang dilakukan Termohon, Pemohon menilai bahwa perbuatan Termohon
telah mencerminkan bahwa Termohon adalah seorang isteri yang tidak bisa
menjaga kehormatan suami dan agama sehingga Termohon sudah tidak bisa
lagi menjadi istri / ibu yang baik bagi Pemohon dan anaknya.

Adapun pada pihak lain, Majelis Hakim juga telah mendengarkan


keterangan Termohon dan saksi-saksinya, yang terdapat pada jawaban
Termohon yang kemudian menerangkan bahwa pihak Termohon
membantah segala apa yang dituduhkan oleh pihak Pemohon. Bahwasannya
tuduhan seperti yang disebutkan oleh Pemohon adalah bohong, Termohon
tidak pernah menjadi murtad atau berpindah agama, Termohon juga tidak
pernah memberikan makanan yang diharamkan oleh agama Islam kepada
ketiga anaknya. Selain membantah tuduhan dari pihak Pemohon, Termohon
juga memberikan keterangan mengenai perilaku buruk Pemohon selama
menjalani kehidupan berumah tangga yaitu: perilaku Pemohon sebagai
suami / kepala keluarga sudah tidak pantas dan tidak terpuji secara hukum
dan moral yaitu berupa telah sering keluar malam pulang pagi, melakukan
KDRT, terbukti melakukan penelantaran hingga dipidana, serta memiliki
anak dari perempuan idaman lainnya. Maka sangat tidak layak apabila
Pemohon ditetapkan sebagai wali atau pengasuh bagi ketiga anaknya.
68

Berdasarkan uraian keterangan di atas, baik dari pihak Pemohon


beserta saksinya maupun Termohon beserta saksinya sudah jelas bahwa,
diantara keduanya terjadi perselisihan mengenai pihak yang berhak atas hak
hadhanah bagi ketiga anaknya. Pada dasarnya kedua belah pihak,
mempunyai alasan yang cukup kuat untuk Hakim menetapkan salah satu
dari keduanya sebagai pemegang hak hadhanah. Namun, pada pemberian
hak hadhanah pada seseorang bukanlah perkara yang mudah, Hakim harus
melihat fakta yang ada apakah kedua belah pihak telah memenuhi syarat-
syarat sebagai pemegang hak hadhanah. Dalam kitab Kifayatul Akhyar Juz
2 disebutkan bahwa, syarat seseorang menjadi pemegang hak hadhanah ada
7 (tujuh) yaitu:

ُ‫ ﺍَﻟْﻌَﻘْﻞُ ﻭَﺍﻟْﺤُﺮِﻳَّﺔُ ﻭَﺍﻟﺪِّﻳْﻦُ ﻭَﺍﻟْﻌِﻔَّﺔُ ﻭَﺍﻷَْﻣَﺎﻧَﺔ‬: ٌ‫ﻭَﺷَﺮَﺍﺋِﻂُ ﺍﻟﺤَﻀَﺎﻧَﺔ ﺳَﺒْﻌَﺔ‬


ْ‫ﻭَﺍﻟْﺨَﻠْﺆُ ﻣِﻦْ ﺯَﻭْﺝٍ ﻭَﺍﻻِْﻗَﺎﻣَﺔُ ﻓَﺎِﻥِ ﺍﺧْﺘَﻞَ ﺷَﺮْﻁٌ ﺳَﻘَﻄَﺖ‬
Artinya:

“Syarat-syarat bagi orang yang akan melaksanakan tugas


hadhanah (pemeliharaan) ada 7 (tujuh) macam: Berakal sehat, Merdeka,
Beragama Islam, ‘Iffah (sederhana), Dapat dipercaya, Bertempat tinggal
tetap/satu tempat kediaman dengan anak yang diasuh, Tidak
bersuami/belum kawin lagi. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi,
maka gugurlah hak hadhanah (pemeliharaan) itu dari tangan ibu.”3

Berdasarkan pernyataan dalam kitab di atas dapat disimpulkan


bahwa, seseorang yang berhak atas hak hadhanah seorang anak harus
memenuhi 7 (tujuh) syarat yang disebutkan di atas, apabila salah satu syarat
tidak terpenuhi maka gugurlah hak hadhanah pada diri seorang ibu sehingga
hak tersebut memungkinkan dapat berpindah pada kerabat yang lain
termasuk ayah. Namun, jika melihat redaksi dalam kitab di atas tidak adil
rasanya syarat tersebut hanya ditujukan kepada ibu, karena dalam hadhanah

3 Taqyuddin Abu Bakar bin Muahammad Al-Husaini, “Kifayatul Akhyar”, (Surabaya: Dar

Ilmi, 1995), h., 121.


69

baik ibu dan ayah mempunyai kedudukan yang sama sehingga perlu adanya
syarat umum yang mencakup bagi keduanya. M. Sayyid Sabiq dalam
kitabnya Fiqih Sunnah menyebutkan bahwa, syarat umum hadhanah ada 7
(tujuh) yaitu: berakal sehat, dewasa, mampu mendidik, amanah dan berbudi,
Islam, ibunya belum menikah lagi dan merdeka.4

Berdasarkan pada pernyataan dalam kedua kitab di atas,


ditetapkannya beberapa syarat bagi pemegang hak hadhanah bertujuan
untuk melindungi kehidupan seorang anak, sehingga untuk mewujudkan
tujuan tersebut diperlukan seseorang yang mampu mendidik, mengurus,
melindungi, dan memenuhi segala kebutuhan seorang anak.

Adapun dari uraian putusan nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR, bahwa


kedua belah pihak yang berperkara mempunyai cacat hukum yang
menjadikan penghalang bagi keduanya untuk menjadi pemegang hak
hadhanah atas ketiga anak tersebut, yaitu: ibu mempunyai cacat hukum
karena faktor murtad atau berpindah agama sedangkan ayah juga
mempunyai cacat hukum berupa perilaku buruk hingga pernah dijatuhi
hukuman pidana penjara karena kasus penelantaran anak.

Menurut pendapat jumhur ulama, murtad merupakan penghalang


bagi seseorang dalam hadhanah karena kekhawatiran akan perbedaan
aqidah antara pemegang hak hadhanah dengan anak yang diasuhnya
sehingga dikhawatirkan pemegang hak hadhanah yang murtad atau berbeda
keyakinan dengan anak yang di asuh mengajarkan aqidah yang dianutnya,
memberikan makanan yang diharamkan oleh agama Islam sehingga akan
menyebabkan si anak menjadi kafir karena mengikuti aqidah yang dianut
oleh orang yang mengasuhnya. Apalagi bagi anak yang belum mumayyiz
cenderung masih sangat mudah dan rawan untuk terpengaruh oleh segala

4 Sayid Sabiq, “Fiqih Sunnah”, Jilid 2, (Beirut: Darul Kutub Al Arabiyah, 1971), h., 219-
221.
70

yang diajarkan oleh pengasuhnya.5 Selain kekhawatiran tersebut para ahli


fiqh juga mendasarkan pendapat tersebut pada QS. At-Tahrim ayat 6:

ُ‫ﻳٰۤﺎَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺍٰﻣَﻨُﻮْﺍ ﻗُﻮْۤﺍ ﺍَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻭَﺍَﻫْﻠِﻴْﻜُﻢْ ﻧَﺎﺭًﺍﻭَّﻗُﻮْﺩُﻫَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻭَﺍﻟْﺤِﺠَﺎﺭَﺓ‬


َ‫ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻣَﻠٰۤﺌِﻜَﺔٌ ﻏِﻼَﻅٌ ﺷِﺪَﺍﺩٌ ﻻَّﻳَﻌْﺼُﻮْﻥَ ﺍﻟﻠّٰﻪَ ﻣَﺎۤ ﺍَﻣَﺮَﻫُﻢْ ﻭَﻳَﻔْﻌَﻠُﻮْﻥَ ﻣَﺎﻳُﺆْ ﻣَﺮُﻭْﻥ‬
Artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan


keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak
durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”6

Ayat di atas, mengajarkan agar memelihara diri dan keluarga dari


siksaan neraka. Untuk tujuan itu perlu pendidikan, pengarahan dan
penanaman aqidah yang sesuai dengan ajaran Islam sejak waktu kecil.
Tujuan tersebut akan sulit terwujud bilamana yang mendampingi atau yang
mengasuhnya bukan seorang muslim, sehingga mengakibatkan anak
tersebut jauh dari ajaran agama Islam.

Berdasarkan beberapa pertimbangan Hakim di atas sudah jelas


bahwa, faktor murtad yang dimiliki oleh Termohon atau ibu dari ketiga
anaknya merupakan penghalang baginya menjadi pemegang hak hadhanah,
selain itu murtad adalah salah satu dosa besar menurut golongan Hanafi
orang kafir murtad berhak dipenjarakan hingga ia tobat dan kembali kepada
Islam atau mati dalam penjara. Karena itu, ia tidak boleh diberi kesempatan
untuk mengasuh anak kecil. Akan tetapi, kalau ia sudah tobat dan kembali
kepada Islam, hak hadhanahnya kembali juga.

5 Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, Jilid 7, (Damasukus; Daar al-Fikr,

1985), h., 727.


6 Departemen Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahannya”, h., 820.
71

Adapun dari pihak ayah juga tidak memenuhi syarat sebagai


pemegang hak hadhanah, karena dalam faktanya ayah memiliki perilaku
buruk bahkan pernah dijatuhi hukuman pidana penjara lantaran terbukti
melakukan tindakan penelantaran anak. Sudah dijelaskan syarat-syarat
sebagai pemegang hak hadhanah baik itu yang terdapat dalam kitab
Kifayatul Akhyar maupun dalam Fiqih Sunnah salah satunya adalah mampu
mendidik. Dari kedua kitab tersebut dapat disimpulkan bahwasannya hak
hadhanah Pemohon / ayah telah gugur karena tidak memenuhi salah satu
syarat di atas. Mengenai perilaku buruk ayah yang menjadikan sebab
gugurnya hak hadhanahnya selain dijelaskan di dalam kitab di atas,
seharusnya Majelis Hakim dalam pertimbangannya juga perlu
mempertimbangkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
berbunyi:

Pasal 49

1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya


terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan
orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara
kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan
keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Berkelakuan buruk sekali;
2. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban
untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.7

Berdasarkan Pasal di atas dapat disimpulkan bahwa, perilaku buruk


dan melalaikan kewajiban sebagai kedua orang tua dapat menjadikannya
sebagai alasan hakim untuk mencabut kekuasaannya terhadap seorang anak
(hadhanah) untuk waktu tertentu atau untuk memindahkan hak hadhanah
kepada keluarga atau kerabat yang lain. Ketentuan Pasal 49 Undang-

7 Pasal 49 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


72

Undang Nomor 1 Tahun 1974 menunjukkan bahwa, penetapan pengasuh


anak oleh salah satu orang tuanya bukan merupakan penetapan yang
permanen, namun hak pengasuhan anak sewaktu-waktu dapat dialihkan
pada pihak lain melalui gugatan pencabutan kekuasaan yang diajukan ke
pengadilan. Kasus ini, dapat terjadi dengan mempertimbangkan perilaku
dan sikap tanggung jawab dari orang tua pengasuh.

Apabila Pasal di atas dihubungkan dengan Pasal 1 Undang-Undang


Nomor 35 Tahun 2014 terdapat relevansi karena, perilaku buruk orang tua
sangat bertentangan dengan tujuan hadhanah yaitu untuk menjaga
keselamatan hidup seorang anak, sebab perilaku buruk kedua orang tua yang
mengakibatkan kekerasan terhadap anak akan menimbulkan dampak buruk
terhadap anak tersebut baik fisik maupun psikis. Pada dasarnya orang tua
memiliki tanggung jawab melindungi, mengasuh, dan mendidik anak
sehingga menjadi bekal kehidupannya di masa depan. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 “Bahwa pada
dasarnya Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.8

Berdasarkan Pasal di atas dapat disimpulkan bahwa, seorang anak


mempunyai hak-hak dalam hidupnya yang harus diwujudkan sehingga ia
mempunyai bekal yang baik untuk masa depannya. Hal ini, hanya dapat
terwujud dengan adanya orang tua yang mampu menjamin keselamatan
hidup anak tersebut.

Mengenai hak-hak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya atau


orang yang memiliharanya. Hal ini, diatur di dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1979 Pasal 2 yang berbunyi:

8 Pasal 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindunga Anak.


73

1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan


berdasarkan kasih sayang baik dalam lingkungan keluarganya maupun
di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian
bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.
3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam
kandungan maupun sudah dilahirkan.
4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya
dengan wajar.9

Adapun dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, baik ibu


maupun ayah dalam kasus ini pada dasarnya tidak memenuhi syarat sebagai
pemegang hak hadhanah karena memiliki cacat hukum berupa murtad dan
perilaku buruk, yang menjadikan keduanya suatu penghalang ditetapkannya
sebagai pemegang hak hadhanah atas ketiga anaknya.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 156 khususnya huruf (c)


Kompilasi Hukum Islam dapat disimpulkan bahwa, Pasal tersebut
merupakan kriteria penting dalam menentukan apakah orang tua dapat
mengasuh atau kehilangan hak dalam pengasuhan anak. Hal ini, didasarkan
pada terjaminnya keselamatan hidup anak baik jasmani maupun rohani
seorang anak.

Jika diperhatikan secara lebih spesifik redaksi “tidak dapat


menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak” sudah jelas bahwa, kedua
belah pihak sama-sama tidak mampu menjamin keselamatan jasmani dan
rohani bagi ketiga anaknya. Sebab faktanya terdapat dua alasan, yang
pertama, terkait dengan aspek keagamaan ibu yang berbeda dengan anak,
sehingga hal ini dapat membahayakan kemaslahatan rohani anak apabila

9 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.


74

anak itu berada dalam pengasuhannya. Sedangkan alasan yang kedua terkait
perilaku buruk ayah yang pernah dijatuhi hukuman pidana karena terbukti
melakukan tindak pidana penelantaran anak, sehingga hal ini dapat
membahayakan keselamatan jasmani bahkan rohani anak apabila anak itu
berada dalam pengasuhannya karena perilaku buruk tersebut kemungkinan
akan berdampak pada terabaikannya kebutuhan jasmani dan rohani anak.

Kedua belah pihak baik Pemohon maupun Termohon mempunyai


cacat hukum sebagai pemegang hak hadhanah bagi ketiga anak mereka,
namun kepastian hukum harus tetap ditegakkan. Pada dasarnya Hakim
dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang lebih dapat
menjamin keselamatan jasmani dan rohani ketiga anak tersebut.

Mengenai penyelesaian permasalahan sengketa hak asuh anak,


Hakim tidak dapat menentukan begitu saja kepada siapa anak itu akan
diasuh. Namun, Majelis Hakim harus mengembalikan lagi kepada tujuan
hadhanah itu sendiri yaitu, untuk menjaga keselamatan hidup seorang anak
yang menjadikannya bekal di masa depan. Berlandaskan tujuan tersebut,
Majelis Hakim dalam putusan nomor 1/Pdt.G/PA.MUR, memberikan hak
hadhanah atas ketiga anak tersebut kepada ibu yang murtad dengan
berupaya dalam pertimbangan hukum mendasarkan pada maslahah
mursalah yaitu, berdasarkan kaidah fiqh yang berbunyi:

‫ﺍِﺫَﺍ ﺗَﻌَﺎﺭَﺽَ ﺿَﺮَﺭَﺍﻥِ ﺩُﻓِﻊَ ﺍَﺧَﻔِّﻬِﻤَﺎ‬


Artinya:

“Jika ada dua mudarat yang saling bertentangan maka ambil yang
paling ringan”

B. Analisis Putusan Pengadilan Agama Maumere Nomor


1/Pdt.G/2013/PA.MUR Perspektif Maslahah Mursalah
Putusan Hakim Pengadilan Agama Maumere dalam perkara Nomor
1/Pdt.G/2013/PA.MUR telah menetapkan bahwa, hak hadhanah diberikan
75

kepada ibu / Termohon. Adapun faktanya ibu tersebut tidak memenuhi


syarat sebagai pemegang hak hadhanah karena faktor murtad, namun
Majelis Hakim mempertimbangkan hal lain dengan mengutamakan
kemaslahatan ketiga anak tersebut.

Adapun Majelis Hakim menetapkan bahwa, ibu / Termohon telah


murtad dengan berdasarkan keterangan dari pihak Pemohon dan saksinya
yang memberikan keterangan bahwa, Termohon dengan sengaja memberi
makan makanan yang diharamkan oleh agama Islam yaitu daging babi
kepada ketiga anak Pemohon pada saat merayakan Natal bersama orang tua
Termohon di rumah orang tua Termohon. Termohon juga sering terlihat
membawa ketiga anaknya ke gereja pada hari minggu. Sedangkan pihak
Termohon dan saksinya membantah akan hal itu dengan menyatakan
bahwa, Termohon masih beragama Islam dan tidak pernah melakukan hal-
hal yang dituduhkan oleh pihak Permohon.

Berdasarkan keterangan di atas Majelis Hakim berpendapat bahwa,


tidak ada alasan seorang yang beragama Islam memasuki tempat ibadah
yang bukan tempat ibadahnya, dan memasuki gereja pada hari Minggu yang
merupakan hari kebaktian bagi umat kristiani dan berkumpulnya para
jemaat, maka Majelis Hakim berpendapat ada indikasi yang kuat bahwa,
Termohon telah melakukan kebaktian di gereja oleh karenanya, Majelis
Hakim berkesimpulan bahwa Termohon telah pindah agama.

Hukum Islam menerangkan bahwa, seorang muslim pada dasarnya


tidak dianggap keluar dari Islam dan tidak dihukumi sebagai seorang murtad
kecuali bila hatinya terasa lapang bersama agama kafirnya dan ia telah
benar-benar memeluk agama itu, namun sesuatu yang ada di hati merupakan
sesuatu yang ghaib yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah SWT.
Oleh karenanya, harus ada tindakan atau perilaku yang menjelaskan apa
yang terpendam di hati seseorang. Dalam kasus ini, tentu bukti atas
kekafirannya harus berupa bukti kuat dan tidak dapat ditakwilkan karena
adanya kemungkinan lain.
76

Menurut Sayyid Sabiq, faktor yang membuat seorang muslim


dihukumi murtad adalah sebagai berikut:

1. Mengingkari hal-hal yang mendasar dalam perspektif agama, misalnya


mengingkari keesaan Allah, Nabi, malaikat, kewajiban salat, zakat,
puasa dan haji.
2. Menghalalkan hal-hal haram yang telah menjadi ijma’ muslimin seperti
menghalalkan khamar, riba’, serta menghalalkan memakan daging
babi.
3. Mengharamkan hal halal yang disepakati oleh umat muslim, misalnya
mengharamkan segala perbuatan baik.
4. Mencela dan menghina nabi Muhammad, atau salah satu nabi Allah.
5. Mencela agama Islam, atau menghina Al-Qur’an dan As-Sunnah.
6. Mengaku bahwa wahyu telah diturunkan kepadanya.
7. Melemparkan Al-Qur’an atau hadits ke dalam kotoran sebagai bentuk
peremehan kepada keduanya maupun ajaran yang ada di dalamnya.
8. Meremehkan salah satu nama Allah atau meremehkan perintah,
larangan maupun janji-janjinya.10

Berdasarkan uraian dari faktor-faktor di atas, keterangan dari pihak


Pemohon dan saksinya sudah jelas bahwa, Termohon telah murtad dari
agama Islam karena Termohon telah melakukan salah satu dari delapan hal
di atas terutama nomor dua yaitu, Termohon telah memberikan makan
makanan yang diharamkan oleh agama Islam kepada ketiga anak Pemohon
dan Termohon. Sedangkan mengenai sering terlihatnya Termohon
membawa ketiga anaknya memasuki gereja pada hari minggu pada dasarnya
memang tidak tercantum di atas. Dalam kasus ini penulis kurang setuju
dengan pertimbangan Hakim, bahwa tidak ada alasan seorang muslim
sering memasuki tempat peribadatan agama lain pada saat berkumpulnya
jamaat jika memang ia benar telah berpindah agama. Seharusnya Majelis

10 Sayid Sabiq, “Fiqh Sunnah”, Jilid 2, (Beirut: Darul Kutub Al Arabiyah, 1971), h., 288-
289.
77

Hakim turut menyertakan Pasal 172 Kompilasi Hukum Islam yang


menyatakan bahwa, “seseorang dipandang beragama Islam apabila
diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,
sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa,
beragama menurut ayahnya atau lingkungannya”.11

Berdasarkan Pasal 172 Kompilasi Hukum Islam, penulis menilai


Majelis Hakim masih kurang berhati-hati didalam menentukan status
Termohon sebagai seorang yang telah murtad. Dalam putusannya Majelis
Hakim hanya mempertimbangkan kesaksian dari pihak Pemohon padahal
apabila dikorelasikan antara kesaksian pihak Termohon dengan Pasal 172
Kompilasi Hukum Islam secara yuridis, Termohon masih dikategorikan
orang yang beragama Islam karena dari kartu identitas Termohon masih
beragama Islam. Dari pengakuan Termohon, ia menyatakan bahwa
Termohon masih beragama Islam. Walaupun saksi dari Pemohon pernah
melihat Termohon berada di gereja pada hari Minggu namun, kasus ini
menurut penulis belum dapat dikatakan Termohon telah murtad karena saksi
tidak melihat Termohon beribadat di gereja. Dari kesaksian pihak keluarga
Termohon bersaksi bahwa, Termohon masih beragama Islam.

Adapun dalam putusan nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR, Hakim


memutuskan hak hadhanah ketiga anak tersebut diberikan kepada
Termohon yang menurut Majelis Hakim Termohon telah berpindah agama
/ murtad. Jika ditelusuri pendapat-pendapat fuqaha sudah jelas bahwa, kafir
maupun murtad merupakan penghalang seseorang sebagai pihak yang
berhak atas hak hadhanah anak muslim. Para fuqaha berpendapat bahwa,
orang kafir tidak mempunyai hak kuasa atas orang muslim selain itu,
hukuman seseorang yang terbukti telah melakukan murtad adalah dipenjara
atau dicambuk seumur hidup hingga ia tobat dan memeluk agama Islam
kembali.12

11 Pasal 172 Kompilasi Hukum Islam.


12 Sayid Sabiq, “Fiqih Sunnah”, Jilid 2, (Beirut: Darul Kutub Al Arabiyah, 1971), h., 343.
78

Dapat disimpulkan bahwa, murtad merupakan salah satu dosa besar


yang mempunyai akibat hukum salah satunya adalah dilarangnya ia menjadi
pemegang hak hadhanah dalam kasus ini murtad merupakan faktor
penghalang hadhanah yang tidak dapat ditolerir, kasus ini dikarenakan
aqidah merupakan sesuatu yang penting dalam hidup seseorang karena hal
tersebut berhubungan tentang ia dan Tuhannya. Jadi apabila seorang anak
yang belum mumayyiz diasuh oleh orang tua yang kafir besar kemungkinan
anak tersebut akan mengikuti agama orang tua tersebut, karena pada
dasarnya usia anak yang masuk kategori belum mumayyiz cenderung suka
mengikuti apa yang dilakukan oleh orang terdekatnya. Oleh karena itu,
pelarangan orang kafir sebagai pemegang hak hadhanah anak muslim sudah
tepat karena hal tersebut sangat membahayakan aqidah seorang.

Penentuan hak hadhanah, selain berdasarkan peraturan perundang-


undangan dan pendapat ulama dalam kitab yang telah dijadikan
pertimbangan. Seorang Hakim juga tidak dapat terlepas dari putusan serupa
dari Hakim terdahulu / Yurisprudensi. Mengenai Yurisprudensi dalam
perkara penentuan hak hadhanah terutama yang berkaitan tentang syarat
agama Islam bagi pemegang hak hadhanah adalah Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI Nomor: 210/K/AG/1996 yang mengandung abstraksi
hukum bahwa, agama merupakan syarat untuk menentukan gugur tidaknya
hak seorang ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan (hadhanah) terhadap
anaknya yang belum mumayyiz, karena seorang ibu yang menjadi non
muslimah tidak memenuhi syarat lagi sebagai pemegang hadhanah.

Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor:


210/K/AG/1996 dapat disimpulkan bahwa, persoalan aqidah menjadi
permasalahan diperolehnya hak hadhanah atas anak. Pertimbangan aqidah
orang tua sebagai dasar kelayakan mengasuh anak, merupakan
pertimbangan dari sudut keselamatan rohani anak.

Berdasarkan uraian di atas, walaupun pada faktanya murtad


merupakan penghalang bagi seseorang mendapatkan hak hadhanah, namun
79

Majelis Hakim dalam menetapkan ibu yang murtad sebagai pemegang hak
hadhanah atas ketiga anaknya yang berbeda agama, bukan hanya
berdasarkan satu pertimbangan saja. Dalam hal ini Majelis Hakim melihat
ada fakta dan pertimbangan lain yaitu, faktor perilaku buruk Pemohon serta
faktor kemaslahatan hidup atas ketiga anaknya.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim mendasarkan putusannya


dalam menetapkan Termohon sebagai pemegang hak hadhanah selain
dengan berdasarkan hukum nomatif, Majelis Hakim juga mendasarkan pada
kaidah fiqh yang berbunyi:

‫ﺍِﺫَﺍ ﺗَﻌَﺎﺭَﺽَ ﺿَﺮَﺭَﺍﻥِ ﺩُﻓِﻊَ ﺍَﺧَﻔِّﻬِﻤَﺎ‬


Artinya:

“Jika ada dua mudarat yang saling bertentangan maka ambil yang
paling ringan”

Berdasarkan kaidah di atas, Majelis Hakim menilai bahwa mudarat


yang paling ringan diantara keduanya adalah jika anak tetap berada di
bawah asuhan ibunya, kasus ini karena ditakutkan perkembangan anak
untuk tumbuh kembang akan terlalaikan dan terhindar dari terlalaikannya
hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, Majelis Hakim akhirnya menetapkan ibu yang
berstatus murtad sebagai pemegang hak hadhanah atas ketiga anaknya yang
muslim.

Mengenai maslahah mursalah dalam hukum Islam merupakan salah


satu metode dalam istinbath hukum dengan mempertimbangkan adanya
kemanfaatan yang mempunyai akses secara umum dan kepentingan tidak
terbatas, tidak terikat, namun dalam hal ini maslahah mursalah tetap terikat
pada konsep syari’ah yang mendasar. Karena syari’ah sendiri ditunjuk
untuk memberikan kemanfaatan kepada masyarakat secara umum, dan
80

berfungsi untuk memberikan kemanfaatan dan mencegah kemudaratan


(kerusakan). Hal ini diterangkan dalam QS. Al-Hajj: 78

. . . . . ٍ‫ ﻭَﻣَﺎ ﺟَﻌَﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻓِﻰ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ ﻣِﻦْ ﺣَﺮَﺝ‬. . . . .


Artinya:

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama


suatu kesempitan”.13

Maslahah mursalah tidak dapat dilepaskan dari adanya maqasid


syar’iyyah, karena keduanya sama-sama berorientasi untuk kemaslahatan
manusia yang mencakup lima perlindungan hidup manusia. Dalam konsep
maqasid al-shar’iyyah tersebut, secara hierarkis disebutkan ada lima tujuan
utama yang ingin dicapai dalam aturan Islam; hifz al-ddin, hifz an-nafs, hifz
al-‘aql, hifz al-‘ird, dan hifz al-mal. Ketentuan maqasid alshar’iyyah
tersebut, merupakan hierarki yang urutan atau pertingkatannya harus sesuai
dan tidak boleh di balik-balik. Sebaliknya, urutan yang berada di bawah bisa
dikalahkan demi tujuan yang lebih tinggi, misalnya, diperbolehkan
mengorbankan harta benda untuk kepentingan menjaga agama.

Jika dikorelasikan antara konsep maqasid al-shar’iyyah dengan


pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan Pengadilan Agama Maumere
nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR, bahwa putusan Hakim yang menetapkan
hak hadhanah diberikan kepada Termohon / ibu yang murtad. Dalam kasus
ini, jika hak hadhanah diberikan kepada ibu, sudah jelas bahwa mudaratnya
terhadap anak akan lebih besar dengan mengorbankan agama anak,
sedangkan jika hak hadhanah diberikan kepada ayah walaupun pada
faktanya ayah memiliki perilaku buruk tetap harus diutamakan sebagai
orang yang lebih berhak atas hak hadhanah. Kasus ini sesuai dengan konsep
maqasid al-shar’iyyah yang memiliki aturan bahwa, tidak boleh
mengorbankan pemeliharaan yang berada di urutan atas dengan lebih

13 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h., 474.


81

mengutamakan pemeliharaan yang urutannya berada di bawah. Dalam


putusannya Majelis Hakim memberikan hak hadhanah kepada ibu yang
murtad, berarti Majelis Hakim telah mengorbankan hifz al-ddin daripada
harus mengorbankan hifz an-nafs. Namun, pada putusan nomor
1/Pdt.G/2013/PA.MUR, dapat disimpulkan bahwa dalam putusan tersebut
terlihat jelas, Majelis Hakim berupaya menerapkan kaidah maslahah
mursalah yang bertujuan untuk menjaga kemaslahatan hidup bagi ketiga
anak tersebut.

Di Indonesia, Hadhanah di atur dalam Kompilasi Hukum Islam


Pasal 105. Dimana aturan tersebut menyatakan bahwa, anak yang belum
Mumayyiz hak asuh nya jatuh kepada Ibu. Sedangkan untuk anak yang
sudah Mumayyiz, hak tersebut ada pada anak itu sendiri. Dimana anak
berhak memilih akan ikut dengan Ayah atau Ibunya. Dan biaya pengasuhan
tersebut tetap menjadi tanggung jawab ayahnya.14 Ulama fiqih sepakat
bahwa bila terjadi perceraian maka ibu yang lebih berhak mengasuh anak,
sedangkan pembiayaan yang sifatnya material pada operasional dalam
pengasuhan anak menjadi kewajiban dan tanggung jawab ayah.15

Hadhanah muncul karena perceraian kedua orang tua dan keduanya


memenuhi syarat untuk menjadi pengasuh, maka yang paling berhak
melakukan hadhanah atas ketiga anak tersebut adalah pihak ibu. Alasannya
adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah,
sedangkan dalam usia yang sangat muda lebih membutuhkan kasih sayang.
Jika anak berada dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang
diperlukan untuk tetap berada dalam tanggung jawab si ayah.16 Alasan lain
ibu lebih diutamakan dalam hak hadhanah bahwa, keutamaan hak ibu
ditentukan oleh dua syarat yaitu, belum menikah lagi dan dia memenuhi

14 Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam.


15 M. Djamil Latif, “Aneka Hukum Perceraian di Indonesia”, Cet 1, (Yogyakarta: Gama
Media, 2001), h., 82.
16 Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2006),

h., 329.
82

syarat untuk melaksanakan tugas hadhanah. Bila kedua atau salah satu dari
syarat tidak terpenuhi, apabila ibu telah menikah lagi atau tidak memenuhi
persyaratan maka ibu tidak lebih utama dari ayah, jika syarat itu tidak
terpenuhi maka hak pengasuhan pindah kepada urut yang paling dekat yaitu
ayah.17

Kaidah maslahah mursalah sendiri bersifat preventif, yaitu


mencegah adanya kemudaratan dengan mempertimbangkan kemaslahatan
diantara dua akibat buruk dalam satu masalah. Selain ditinjau dari perspektif
hukum Islam dalam putusan tersebut terlihat jelas bahwa, Majelis Hakim
berupaya menerapkan asas putusan yang baik yaitu mengandung keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum. Dalam pertimbangannya, Majelis
Hakim mendasarkan putusannya dalam menetapkan ibu / Termohon sebagai
pemegang hak hadhanah, selain dengan berdasarkan hukum normatif
Majelis Hakim juga mendasarkan pada kaidah fiqh yang berbunyi:

‫ﺍِﺫَﺍ ﺗَﻌَﺎﺭَﺽَ ﺿَﺮَﺭَﺍﻥِ ﺩُﻓِﻊَ ﺍَﺧَﻔِّﻬِﻤَﺎ‬


Artinya:

“Jika ada dua mudarat yang saling bertentangan maka ambil yang
paling ringan”

Berdasarkan kaidah di atas, penulis sependapat dengan Majelis


Hakim menilai bahwa, mudarat yang paling ringan diantara keduanya
adalah jika anak tetap berada di bawah asuhan ibunya, kasus ini karena
ditakutkan perkembangan anak untuk tumbuh kembang akan terlalaikan dan
terhindar dari terlalaikannya hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh orang
tuanya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim akhirnya
menetapkan ibu yang berstatus murtad sebagai pemegang hak hadhanah
atas ketiga anaknya yang muslim.

17 Ibid., h., 330


83

BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Majelis Hakim berpendapat dalam putusan nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR,
bahwa cerai talak yang diajukan Pemohon dikabulkan karena fasakh dan
permohonan pengajuan untuk menjadi pemegang hak asuh anak diberikan
kepada Termohon/ibu yang murtad. Maka dari itu, pada amar putusan
nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR, Majelis Hakim menolak permohonan
Pemohon untuk ditetapkan sebagai pemegang hak asuh anak, karena
Pemohon berupa perilaku buruk hingga pernah dijatuhi hukuman pidana
penjara karena kasus penelantaran anak. Berdasarkan kaidah fiqih, penulis
sependapat dengan Majelis Hakim menilai bahwa mudarat yang paling
ringan diantara keduanya adalah jika anak tetap berada di bawah asuhan
Termohon/ibunya, hal ini karena ditakutkan perkembangan anak untuk
tumbuh kembang akan terlalaikan dan terhindar dari terlalaikannya hak-hak
anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, Majelis Hakim akhirnya menetapkan Termohon/ibu yang berstatus
murtad sebagai pemegang hak hadhanah atas ketiga anaknya yang muslim.
2. Dari hasil analisis penulis terhadap pertimbangan Majelis Hakim putusan
nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR, mengenai pemberian hak hadhanah anak
yang belum mumayyiz kepada ibu yang murtad didasarkan pada
pertimbangan hakim berupa: Pasal 105 KHI, Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor:
210/K/AG/1996, kitab Kifayatul Akhyar Juz II, dan maslahah mursalah
yang tertuang dalam kaidah fiqih. Mengenai dasar pertimbangan hakim
dalam putusan Pengadilan Agama Maumere No. 1/Pdt.G/2013/PA.MUR,
yang menolak permohonan Pemohon selaku bapak untuk ditetapkan
menjadi pemegang hak asuh anak ini sebenarnya sangat bertentangan
dengan kaidah fiqh maslahah mursalah. Dalam maslahah mursalah,
Majelis Hakim telah mengorbankan hifz al-ddin daripada harus
mengorbankan hifz an-nafs. Namun, pada putusan nomor
84

1/Pdt.G/2013/PA.MUR, dapat disimpulkan bahwa dalam putusan tersebut


terlihat jelas, Majelis Hakim berupaya menerapkan kaidah maslahah
mursalah yang bertujuan untuk menjaga kemaslahatan hidup bagi ketiga
anak tersebut. Dimana di Indonesia sendiri sudah ada Undang-Undang yang
mengatur tentang Hadhanah, salah satunya adalah KHI Pasal 105 yang
menyebutkan “Pemeliharaan anak yang belum berumur 12 tahun atau belum
mumayyiz jatuh kepada ibunya”. Namun yang menjadi alasan lain untuk
Hakim menolak permohonan Pemohon adalah fakta yang diketahui setelah
para Saksi yang di ajukan oleh Temohon bahwa, Pemohon telah terbukti
berperilaku tercela dengan menelantarkan anak-anak Pemohon dan
Termohon. Oleh karenanya Pemohon pun memiliki kecacatan perilaku
untuk mengasuh anak-anak Pemohon dan Termohon sebagai hak hadhanah
atas ketiga anak Pemohon dan Termohon, disamping itu juga pekerjaan
Pemohon sebagai Karyawan Bank yang tentunya menyita waktu dari pagi
sampai sore. Dan karena hal itulah yang menjadikan hak asuh anak tersebut
diberikan kepada Termohon/ibu yang murtad.
B. Saran
Berdasarkan dari hasil penelitian yang sudah penulis lakukan,
penulis sangat berharap penelitian ini akan memberikan manfaat untuk ilmu
pengetahuan dalam bidang hukum. Oleh karena itu, hasil dari penelitian ini
akan memberikan saran yang ditujukkan kepada:

1. Kepada para Hakim tertutama yang menangani perkara yang berkaitan


dengan seorang anak, diharapkan ketegasan para Hakim dalam
memutus suatu perkara demi terciptanya keadilan bagi para Pihak yang
berperkara.
2. Masyarakat hendaknya mempelajari dan memperluas pengetahuan
tentang hukum-hukum yang berkenaan dengan pengasuhan anak, baik
hak-hak anak sebagai pihak yang diasuh, maupun tentang kewajiban
pengasuh, dan batasan-batasan yang tidak dibenarkan dalam
pengasuhan.
85

3. Kepada para Dinas Sosial untuk selalu memberikan sosialisasi dan


edukasi yang berkaitan dengan pernikahan. Karena Hadhanah itu
sendiri timbul akibat perceraian yang terjadi, sehingga dampak dari
perceraian itu tidak lain adalah anak. Dan anak tersebut (belum
Mumayyiz) akan menjadi terganggu mental nya, kenyamanan nya, dan
kebahagiannya, karena pasti anak tersebut akan hidup dengan kondisi
terpisah dari salah satu orang tua nya.
86

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al Maram
Syarah Bulugul Maram. Penerjemah Thahirin Suparta. Jilid 6. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007.
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Pressindo, 2010.
Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Taqyuddin. Kifayatul Akhyar. Surabaya:
Dar Ilmi, t.t., 1995.
Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu. Damasukus: Daar al-Fikr, 1985.
Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2016.
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam Di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 sampai KHI). Jakarta: Kencana, 2014.
Andi Syamsu dan M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak dalam Prespektif Islam.
Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008.
Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:PT.Rineka Cipta, 1996.
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. Cet 3. Jakarta: Amzah, 2018.
Dahlan, Abd Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2011.
Handrianto, Budi. Perkawinan Beda Agama Dalam Syariat Islam. Cet 1. Jakarta:
PT. Khairil Bayan, 2003.
Haq, Hamka. Al-Syathibi Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-
Muwafaqat. Jakarta: Erlangga, 2007.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Cet 1. Pamulang: Logos, 1996.
Hasbi Ash Shiddiqie, Teungku Muhammad. Hukum Antar Golongan Interaksi
Fiqih Islam dengan syari’at Agama Lain. Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2001.
Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada, 2009.
Khairul Umam dkk. Ushul Fqih 1. Cet 2. Jakarta: CV Pustaka Setia, 2000.
Kuncoro, Wahyu. Tips Hukum Praktis: Solusi Cerdas Menghadapi Kasus
Keluarga. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2010.
Kurdi, Muliadi. Ushul Fiqh. Aceh: Lembaga Naskah Aceh, 2015.
M. Djamil Latif. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. Cet 1. Yogyakarta: Gama
Media, 2001.
M. Zaenal Arifin dan Muh. Anshori. Fiqih Munakahat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2019.
87

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada, 2010.


Mughits, Abdul. Ushul Fikih. Jakarta: Artha Rivera, 2008.
Muhammad bin Ismail al-Amir. Subulus Salam Syarah Bulugul Maram
Penterjemah Ali Nur Medan. Cet 7. Jilid III. Jakarta: Darus Sunnah, 2012.
Muhammad Syukri Albani Nasution, Rahmat Hidayat Nasution. Filsafat Hukum
Islam dan Maqashid Syariah. Jakarta: Prenada Media, 2020.
Mustaal, Abdul. Perkawinan Campuran Menurut Hukum Islam. Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1988.
Perpustakaan Nasional. Ensiklopedia Islam. Jilid 2. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994. cet ke 3.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2013.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Jilid 2. Beirut: Darul Kutub Al Arabiyah, 1971.
Satria Effendi M. Zein. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer
Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah. Jakarta: Kencana,
2005.
Satria Effendi M. Zein. Ushul Fiqh. Cet 3. Jakarta: Kencana, 2005.
Shidiq, Sapiudin.Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.
Subekti. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tentang Undang-Undang
Perkawinan. Jakarta: Balai Pustaka, 2014.
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Syaikh Muhammad bin Abdurrahman As-Syafi’I. Rahmatul Ummah.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Syarifuddin, Amir. Ushul fiqh. Jilid 2. Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
Syeikh Ahmad bin Khusaeni Syahiri bin Abi Syujai. Fathul Qorib Al-Mujib syarah
kitab Takrib. Al-Kharomain Indonesia.
Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2009.
Totok Jumantoro dan Samsul Munir. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Cet 2. Jakarta:
Amzah, 2009.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
88

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fikh. Cet 4. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Zed, Mestika. Metodologi Penelitian Kepustakaan. Cet I. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004.
JURNAL
Asiah, Nur. “Istilah dan Aplikasi dalam Penetapan Hukum Islam”, Jurnal Hukum
Diktum. vol. 14. no.2, (2016).
Hifni, Mohammad. “Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Suami Istri Dalam
Perspektif Hukum Islam”. Jurnal Hukum Keluarga Islam. Vol. 1 No. 2
(2016).
Mustafa, Abdullah. “Kewenangan Pengadilan dalam Memeriksa, Memutus, dan
Menyelesaikan Perkara Permohonan Pengasuhan Anak oleh Selain Pihak
Keluarga”. Jurnal Dawwam. Vol 8, No. 2, (2014).
Putra, Eka. “Kompetensi Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Gugatan
Perceraian dan Hadhanah Menurut Hukum Positif”. Jurnal Al-Qishthu. Vol
14, No. 2, (2016).
Supardi. “Hadhanah dan Tanggung Jawab Perlindungan Anak”. Jurnal Al-Manahij.
Vol 8, No 1, (2014).
SKRIPSI
Anas Maulana Ibroohim, Moh. “Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Akibat
Perceraian (Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor
345/Pdt.G/2007/PA.Bks)”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
Andiani, Nova. “Penetapan Hak Hadhanah Kepada Bapak Bagi Anak Yang Belum
Mumayyiz (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat, Nomor
228/Pdt.G/2009/PA.JB)”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayutullah Jakarta, 2011.
Fadhillah Ahmad Nahrawi. “Kebijakan Pemerintah Kabupaten Tangerang dalam
Mencegah Perkawinan Pada Usia Anak (Studi Terhadap Peraturan Bupati
Kabupaten Tangerang Nomor 78 Tahun 2017 dan Relevansinya Terhadap
Maslahah Mursalah”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2018.
Mukhlisoh, Lilis. “Murtad Dan Akibat Hukumnya Terhadap Status Perkawinan
Dalam Perspektif Fikih Dan Kompilasi Hukum Islam”. Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2009.
Muthiarafa Adila, Muthiarafa. “Batas Usia Perkawinan Pada Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Ditinjau Dari Teori Maslahah Mursalah”. Skripsi S1 Fakiltas
89

Syariah dan Hukum, Unuversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,


2020.
Puji Istanti, Tiyas. “Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas
Pembatalan Putusan Perkara No. 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn Oleh Putusan
Banding dan Kasasi)”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019).
Rahmawati, Widya Eka. “Hak Hadhanah Ghairu Mumayyiz Kepada Ayah Karena
Perdamaian (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
1091/Pdt.G/2004/PA.JS)”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayutullah Jakarta, 2009.
Ulfa, Aulia. “Fenomena Kemurtadan Dalam Perpektif Al-Qur’an (Desa Durian
Banggal, Kecamatan Raya Kahean, Kabupaten Simalungun)”. Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Medan, 2018.
Umam, Imamul. Muhammad. “Hak Asuh Anak Dalam Perkara Cerai Talak Karena
Istri Murtad”. Skripsi S1 Fakultas Ahwal Al-Syakhshiyah, Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri Salatiga, 2012.
Zakaria Mubarok, Luthfi. “Kesepakatan Suami Istri dalam Pengasuhan Anak
Prespektif Teori Maslahah Mursalah”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.
Zulkarnain, Hadi. “Hak Asuh Anak Akibat Istri Nusyuz (Analisis Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 377/Pdt.G/2006)”. Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayutullah
Jakarta, 2011.
INTERNET
Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, accessed 28
Januari 2022,
https://www.kemhan.go.id/itjen/wp-content/uploads/2018/10/perpu1-2016bt.pdf
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam.
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
PUTUSAN

a
Nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR

si
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

ne
ng
Pengadilan Agama Maumere yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

do
gu agama dalam tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara cerai talak

In
antara :
A
PEMOHON, umur 39 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawan PT. Bank Rakyat
ah

lik
Indonesia (Persero) tbk. Cabang Maumere, bertempat tinggal di

Lorong Angkasa belakang Yamaha Yes, Kecamatan Alok,


m

ub
Kabupaten Sikka, selanjutnya disebut Pemohon;
ka

-------------------------------------------------------------------
ep
MELAWAN
ah

si
TERMOHON, umur 39 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat

tinggal di Jalan Merpati No. XXX RT. XX, RW. XXX, Kampung

ne
ng

Sabu, Kelurahan Beru, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka

do
memberi kuasa kepada MERIDIAN DEWANTA DADO, SH,
gu

Advokat, yang beralamat di Jalan Jendral Sudirman Nomor XX


In
A

Maumere, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 20 Januari

2013 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Maumere


ah

lik

Nomor 1/Advokat/PA.MUR tanggal 29 Januari 2013, selanjutnya

disebut Termohon; ----------------------------------------


m

ub

Pengadilan Agama tersebut; -------------------------------------------------------------------


ka

ep

Telah membaca dan mempelajari surat-surat yang diajukan oleh Pemohon; -----
ah

Telah mendengar keterangan Pemohon, dan para saksi; ------------------------------


R

TENTANG DUDUK PERKARANYA


s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
Menimbang, bahwa Pemohon dalam surat permohonannya tertanggal 9 Januari

a
2013 telah mengajukan permohonan cerai talak, permohonan tersebut didaftar di

si
Kepaniteraan Pengadilan Agama Maumere, Nomor 1/Pdt.G/2013/PA.MUR tanggal 10

ne
ng
Januari 2013, pada pokoknya mengajukan hal-hal sebagai berikut :

--------------------------------------------------------

do
gu 1 Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang sah sesuai Kutipan Akta

In
Nikah Nomor xx/xx/x/xxxx tanggal xx Mei xxxx yang dikeluarkan oleh Kantor
A
Urusan Agama Kecamatan Maumere Kabupaten Sikka tanggal xxx Mei xxx;
ah

lik
-----------------------------------------------------------------

2 Bahwa Pemohon dan Termohon menikah atas dasar suka sama suka dan sebelumnya
m

ub
telah saling kenal mengenal selama kurang lebih 4 (empat) tahun;
ka

--------------------------------------------------------------------------------------------
ep
3 Bahwa setelah menikah Pemohon dan Termohon bertempat tinggal bersama sebagai
ah

si
suami isteri di Jalan Kartini Kelurahan Beru selama 1 (satu) tahun (XXXX s/d

XXXX) dan Jalan Merpati No.XX Kelurahan Beru selama 2 (dua) tahun (XXXX s/d

ne
ng

XXXX), dan Perumnas Kelurahan Madawat kontrak rumah milik H Taning selama

do
1 (satu) tahun (XXXX s/d XXXX), kontrak rumah samping CV Andi’s yang
gu

sekarang berdiri Kantor Adira selama 2 (dua) tahun (Thn XXXX s/d XXXX),
In
A

kontrak rumah perumnas milik Bapak Sukanda selama 1 (satu) tahun (thn XXXX/

XXXX). Pemohon sekarang bertempat tinggal di Lorong Angkasa Belakang


ah

lik

Yamaha Yes sampai sekarang;


m

-----------------------------------------------------------------------------
ub

4 Bahwa semula rumah tangga Pemohon dan Termohon cukup harmonis dan bahagia,
ka

ep

sehingga dikaruniai 3 (tiga) orang anak yang bernama : ---------------


ah

1 Anak 1, 12 (dua belas) tahun;


R

---------------------------------------------------------
s
M

ne
ng

2 Anak 2, perempuan, 9 (sembilan) tahun; -------------------------------------------


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
3 Anak 3, perempuan, 8 (delapan) tahun; --------------------------------------------

a
Namun memasuki usia perkawinan yang ke 9 (sembilan) tahun, rumah tangga

si
antara Pemohon dan Termohon sering terjadi perselisihan dan pertengkaran secara

ne
ng
terus menerus; ----------------------------------------------------

5 Bahwa perselisihan dan pertengkaran tersebut disebabkan Termohon telah berpindah

do
gu agama yaitu semula dari beragama Islam pindah agama menjadi agama Kristen

In
Protestan; -------------------------------------------------------------------
A
6 Bahwa Termohon setiap minggu pergi ke Gereja bersama orang tua Termohon
ah

lik
secara diam-diam tanpa sepengetahuan Pemohon, karena Termohon pamit dari

rumah untuk pergi belanja ke Pasar; ------------------------


m

ub
7 Bahwa pada akhirnya Pemohon melihat langsung Termohon pergi beribadah di
ka

Gereja pada tanggal 25 Desember 2008 sampai sekarang; -----


ep
8 Bahwa Pemohon telah menegur dan mengingatkan agar Termohon sadar atas apa
ah

si
yang Termohon lakukan, tapi tidak dihiraukan sama sekali bahkan Termohon

semakin terang terangan melakukan hal yang dilarang oleh agama Islam di depan

ne
ng

Pemohon; ---------------------------------------------------------

do
9 Bahwa Termohon pada akhirnya memilih meninggalkan rumah dengan membawa
gu

ketiga anak Pemohon dan Termohon, tanpa sepengetahuan Pemohon sejak bulan
In
A

Pebruari 2009 hingga sekarang; ----------------------------

10 Bahwa Termohon dengan sengaja memberi makan makanan yang diharamkan oleh
ah

lik

Islam yaitu daging babi kepada ketiga anak-anak Pemohon pada saat merayakan
m

Natal bersama orang tua Termohon di rumah orang tua Termohon;


ub

---------------------------------------------------------------------------------
ka

ep

11 Bahwa Termohon melakukan fitnah dengan melaporkan Pemohon ke Polisi dengan


ah

tuduhan penelantaran, padahal Termohon lah yang dengan sengaja meninggalkan


R

rumah dan bersembunyi di rumah orang tua Termohon tanpa pamit sama sekali pada
s
M

ne
ng

Pemohon sebagai kepala keluarga; ---------------------


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
12 Bahwa dengan kejadian tersebut Pemohon menjadi tidak tenang dan selalu gelisah

a
sehingga membuat Pemohon menderita lahir dan bathin; ---------------

si
13 Bahwa perbuatan Termohon telah mencerminkan bahwa Termohon adalah seorang

ne
ng
isteri yang tidak bisa menjaga kehormatan suami dan agama sehingga Termohon

sudah tidak bisa lagi menjadi isteri / ibu yang baik bagi Pemohon dan anaknya;

do
gu ---------------------------------------------------------------------

In
14 Bahwa sebagai akibat dari perbuatan Termohon tersebut antara Pemohon dan
A
Termohon telah pisah tempat tinggal selama kurang lebih 4 (empat) tahun, mulai
ah

lik
tanggal 26 Desember 2009 sampai sekarang dimana Pemohon tinggal di Lorong

Angkasa Belakang Yamaha Yes Kelurahan Kota Waioti Kecamatan Alok


m

ub
Kabupaten Sikka dan Termohon tinggal di rumah orang tuanya di Jalan Merpati
ka

No.xxx Kampung sabu Kelurahan Beru Kecamatan Alok Kabupaten Sikka;


ep
-----------------------------------------------------------------------
ah

si
15 Bahwa oleh karena segala upaya untuk hidup rukun lagi dengan Termohon tidak

pernah berhasil, maka tujuan mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawaddah

ne
ng

dan rahmah sebagaimana cita-cita semula sudah tidak mungkin lagi dapat dicapai,

do
oleh karena itu Pemohon bermaksud menceraikan Termohon di depan sidang
gu

Pengadilan Agama Maumere; -------------------------


In
A

16 Bahwa Pemohon sanggup membayar biaya perkara ini; ---------------------------

17 Bahwa berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas, maka mohon kiranya
ah

lik

Ketua Pengadilan Agama Cq Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan


m

memutuskan perkara ini untuk : -----------------------


ub

Primer : -----------------------------------------------------------------------------------------------
ka

ep

1 Mengabulkan permohonan Pemohon; --------------------------------------------------


ah

2 Menetapkan memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak kepada
R

Termohon; ----------------------------------------------------------------------------
s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
3 Menetapkan anak Termohon dan Pemohon yang bernama Anak 1, laki-laki umur 12

a
tahun, Anak 2, perempuan 9 tahun, Anak 3, perempuan 8 tahun, berada di bawah

si
Hadhonah Pemohon;

ne
ng
4 Membebankan Pemohon untuk membayar biaya perkara menurut hukum yang

berlaku; -----------------------------------------------------------------------------------

do
gu Subsider : --------------------------------------------------------------------------------------------

In
Atau Majelis berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya; ----------------
A
Bahwa, pada hari-hari persidangan yang telah ditetapkan untuk perkara ini
ah

lik
Pemohon telah ternyata datang menghadap sendiri ke persidangan, sedangkan

Termohon pada sidang 22 Januari 2013 dan 28 Januari 2013 telah ternyata tidak datang
m

ub
menghadap sendiri ataupun menyuruh orang lain untuk datang menghadap sebagai
ka

wakil ataupun kuasanya, meskipun menurut berita acara panggilan dari Pengadilan
ep
Agama Maumere tanggal 16 Januari 2013 dan tanggal 22 Januari 2013 telah dipanggil
ah

si
secara resmi dan patut, sedangkan tidak ternyata ketidak hadirannya tersebut disebabkan

oleh suatu halangan yang sah kemudian pada sidang tanggal 04 Pebruari 2013 dan

ne
ng

selanjutnya Termohon datang menghadap di persidangan diwakili kuasa hukumnya;

do
----------
gu

Bahwa Majelis Hakim telah berupaya untuk memberikan nasihat kepada


In
A

Pemohon agar mengurungkan niatnya untuk bercerai dengan Termohon, namun upaya

tersebut tidak berhasil; --------------------------------------------------------


ah

lik

Bahwa Majelis Hakim telah memerintahkan melalui proses mediasi dengan


m

Mediator Hakim Abdul Muhadi, S.Ag., MH yang ditempuh oleh para pihak untuk
ub

merukunkan kembali Pemohon dan Termohon namun upaya tersebut juga gagal
ka

ep

mencapai kesepakatan dan perdamaian; -------------------------


ah

Bahwa kemudian dibacakan permohonan Pemohon yang isinya mengalami


R

perubahan pada posita ke-13 dengan menambah pada kalimat terakhir yakni untuk itu
s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
Pemohon memohon untuk ditetapkan sebagai pemegang hak asuh atas ketiga anak

a
Pemohon dan Termohon; ---------------------

si
Bahwa atas permohonan Pemohon, Termohon melalui Kuasa Hukumnya

ne
ng
menyampaikan Jawabannya secara tertulis tanggal 11 Pebruari 2013 sebagai berikut :

-----------------------------------------------------------------------------------------------

do
gu I DALAM EKSEPSI

In
1 Bahwa benar antara Pemohon dengan Termohon adalah suami / isteri yang sah
A
sebagaimana tercatat legalitasnya dalam Kutipan Akta Nikah Nomor : xxx/xxx/
ah

lik
xx/xxxxx tertanggal xx xxxx xxxx yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama

Maumere; ----------------------------------------------------
m

ub
2 Bahwa benar sebagai hasil perkawinan antara Termohon dengan Pemohon maka
ka

telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak yaitu : Anak 1(laki-laki 12 tahun), Anak 2,
ep
(perempuan 9 tahun) dan Anak 3,(perempuan 8 tahun);
ah

si
---------------------------------------------------------------------------------------

3 Bahwa dalam Permohonan cerai talaknya, Pemohon mendalilkan pada usia

ne
ng

perkawinan memasuki tahun ke-9, rumah tangga Pemohon dan Termohon sering

do
terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus yang menurut
gu

Pemohon diakibatkan ulah Termohon yang telah pindah agama dari agama Islam
In
A

ke agama Kristen Protestan, Termohon setiap minggu selalu ke Gereja bersama

orang tuanya, Termohon meninggalkan rumah dengan membawa ketiga anaknya


ah

lik

tanpa sepengetahuan Pemohon sejak bulan Februari 2009, Termohon sengaja


m

memberi makanan yang diharamkan oleh agama Islam kepada ketiga anaknya
ub

dan karena Termohon melakukan fitnah terhadap Pemohon berupa laporan


ka

ep

pidana penelantaran; -----------------------------------------------


ah

4 Bahwa Termohon tidak pernah menjadi murtad atau berpindah agama,


R

Termohon tidak pernah meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan Pemohon,


s
M

ne
ng

Termohon tidak pernah memberikan makanan yang diharamkan oleh agama


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
Islam kepada ketiga anaknya, dan Termohon pun tidak pernah melakukan fitnah

a
terhadap Pemohon saat melaporkan Pemohon di Polres Sikka dengan tuduhan

si
perzinahan / penelantaran; ----

ne
ng
5 Bahwa dalil-dalil Pemohon menyangkut alasan dan sebab-musabab diajukannya

permohonan cerai talak terhadap Termohon sebagaimana tertuang dalam point 5,

do
gu 6, 7, 8, 9, 10 dan 11 tersebut haruslah dinyatakan sebagai dalil yang kabur dan

In
tidak jelas (Obscuur Libel) dikarenakan terjadinya perselisihan dan pertengkaran
A
secara terus menerus bukanlah akibat ulah Termohon namun Pemohonlah
ah

lik
penyebab utama atau biang masalah dalam rumah tangganya dimana dari awal

pernikahan Termohon dan ketiga anaknya telah teraniaya secara fisik dan psikis,
m

ub
ditelantarkan dan dilecehkan kesetiaannya oleh Pemohon, oleh karenanya
ka

permohonan cerai talak dari Pemohon terhadap Termohon patut dinyatakan


ep
sebagai Obscuur Libel; -------------------------------------------
ah

si
II DALAM POKOK PERKARA

1 Bahwa mohon segala hal yang terurai dalam bagian Eksepsi di atas dijadikan

ne
ng

sebagai suatu bagian yang tak terpisahkan dengan jawaban dalam pokok perkara

do
berikut ini; ------------------------------------------------------
gu

2 Bahwa benar antara Termohon dan Pemohon memang terjadi perselisihan atau
In
A

pertengkaran yang terus menerus, namun itu semua terjadi bukanlah karena ulah

Termohon sebagaimana dalil-dalil bohong dan penuh tipu muslihat dari


ah

lik

Pemohon yang terurai dalam Permohonan cerai talak dari Pemohon pada point 5,
m

6, 7, 8, 9, 10 dan 11. Pemohon lah yang memulai kehidupan rumah tangganya


ub

dengan Termohon menjadi tanpa kemudi, tanpa kendali atau tanpa imam serta
ka

ep

kepala keluarga yang mampu menjadi suri tauladan yang baik bagi Termohon
ah

dan anak-anaknya, dan untuk itu Termohon akan merincikan satu persatu yaitu
R

sebagai berikut : --------------------------------------------------------


s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
• Sejak awal pernikahan, Pemohon sering keluar malam dan pulang larut

a
R
malam menjelang pagi karena selalu berkunjung ke pub / tempat hiburan

si
malam, bahkan Pemohon saat masih tinggal di rumah mertuanya sering

ne
ng
masuk rumah menjelang pagi via jendela dikarenakan pintu rumah

terkunci; ----------------------------------------------

do
gu • Saat hamil anak kedua, Termohon sempat ingin bunuh diri akibat

In
A
kelakuan Pemohon yang sering keluar malam dan pulang menjelang

pagi;
ah

lik
-------------------------------------------------------------------------------------

• Bulan Mei 2007, Pemohon telah melakukan kekerasan / penganiayaan


m

ub
terhadap Termohon dan sempat dilaporkan oleh Termohon di Polres
ka

ep
Sikka; --------------------------------------------------------
ah

• Sejak awal tahun 2009, Termohon tidak pernah membawa anak-anaknya


R

si
untuk meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan Pemohon sebab justru

ne
ng

Pemohonlah yang menyuruh Termohon dan ketiga anaknya pulang ke

rumah orang tuanya di jalan Merpati Nomor xx Kampung Sabu,

do
gu

Maumere dengan alasan masa kontrak rumah yang disewanya sudah

habis dan karena Pemohon menyatakan dirinya akan dipecat oleh BRI
In
A

Cabang Maumere, setelah mengantarkan Termohon dan ketiga anaknya


ah

ke kediaman orang tua Termohon maka Pemohon saat itu berjanji akan
lik

menyusul tinggal bersama Termohon dan anak-anaknya, namun nyatanya


m

ub

Pemohon tidak pernah datang lagi dan sama sekali tidak pernah
ka

memberikan nafkah lahir maupun bathin kepada Termohon dan ketiga


ep

anaknya; ------------
ah

s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
• Pada bulan September tahun 2009, Termohon juga pernah mendapati

a
R
Pemohon dengan perempuan idaman lainnya berada di tempat kost

si
Rotherdam Waioti, Maumere; -----------------------------------

ne
ng
• Pada tanggal 28 Desember 2009, Termohon melaporkan Pemohon di

do
Polres Sikka dengan tuduhan perzinahan dan penelantaran, dan setelah
gu melalui proses persidangan di Pengadilan Negeri Maumere maka

In
A
Pemohon dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan

tindak pidana menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya


ah

lik
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia

wajib memberikan kehidupan, perawatan dan pemeliharaan, dan


m

ub
pemohon dipidana dengan pidana penjara selama 4 bulan dengan masa
ka

ep
percobaan 8 bulan; (vide Putusan Pengadilan Negeri Maumere Nomor :

xx/xxxx/xxxx/xxxxx tertanggal xx September xxxxx);


ah

si
------------------------------------------------------------------

ne
Pada tahun 2010, Pemohon juga diketahui telah memiliki anak dari
ng

perempun idaman lain (perempuan bukan isterinya) atas nama Anak 4,

do
gu

sebagaimana diterangkan oleh Bidan Wigati Dwi Istiarti; -------

3 Bahwa Termohon sangat amat sanggup membuktikan segenap dalil dan fakta
In
A

yang termuat dalam point ke-2 di atas sehingga dalam proses pembuktian kelak

akan terbukti dengan sebenar-benarnya tentang kebohongan dan tipu muslihat


ah

lik

Pemohon dalam menyusub alasan-alasan permohonan cerai talaknya, dimana


m

ub

Pemohon lah yang memulai rumah tangganya menjadi semakin buruk dari hari

ke hari dengan cara Pemohon nyata-nyata terbukti telah tidak menunjukkan


ka

ep

dirinya sebagai kepala keluarga atau imam yang bisa menjadi suri tauladan yang
ah

baik atau patut dicontoh oleh Termohon dan ketiga anaknya; ----------------------
R

s
4 Bahwa sebenarnya Pemohon lah yang terbukti tidak mampu menjaga
M

ne
ng

kehormatan dirinya dan terbukti bukan merupakan suami atau ayah yang baik
do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
dan berguna bagi Termohon dan ketiga anaknya, sehingga dalil-dalil Pemohon

a
dalam point ke 13 permohonan cerai talaknya adalah dalil-dalil yang

si
memutarbalikkan keadaan dan fakta, selanjutnya atas perilaku Pemohon yang

ne
ng
tidak mampu menjaga kehormatan dirinya dan tidak sanggup mengayomi

keluarganya tersebut maka Termohon dan ketiga anaknya lah yang menjadi

do
gu trauma, stress dan tidak tenang secara lahiriah maupun bathiniah;

In
-------------------------------------------------------------
A
5 Bahwa barang siapa yang mendalilkan sesuatu maka patutlah dia membuktikan
ah

lik
dalil-dalilnya tersebut, Termohon yakin bahwasanya Pemohon tidak akan

sanggup membuktikan dalil-dalil permohonan cerai talaknya sehingga adalah


m

ub
berdasarkan hukum pula apabila Majelis Hakim Pengadilan Agama Maumere
ka

yang menyidangkan perkara ini menyatakan menolak secara keseluruhan


ep
permohonan cerai talak dari Pemohon;
ah

si
-----------------------------------------------------------------------------------

6 Bahwa namun demikian kalaupun Majelis Hakim Pengadilan Agama Maumere

ne
ng

yang menyidangkan perkara ini berpendapat lain maka dikarenakan perilaku

do
Pemohon sebagai suami / kepala keluarga sudah tidak pantas dan tidak terpuji
gu

secara hukum dan moral yaitu berupa telah sering keluar malam pulang pagi,
In
A

melakukan KDRT, terbukti melakukan penelantaran serta memiliki anak dari

perempuan idaman lainnya, maka adalah sangat tidak layak apabila Pemohon
ah

lik

ditetapkan sebagai wali atau pengasuh bagi ketiga anaknya, sehingga poin ke-3
m

Petitum permohonan cerai talak dari Pemohon sangatlah layak untuk tidak
ub

dikabulkan atau harus dinyatakan ditolak;


ka

ep

---------------------------------------------------------------
ah

Bahwa berdasarkan segala hal yang terurai di atas, maka adalah berdasarkan hukum
R

apabila Majelis Hakim Pengadilan Agama Maumere yang menyidangkan perkara ini
s
M

ne
ng

berkenan memutuskan sebagai berikut : -------------------------------------


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
Dalam Eksepsi : ------------------------------------------------------------------------------------

a
• Menyatakan permohonan cerai talak dari Pemohon tidak dapat diterima;

si
Dalam Pokok Perkara :

ne
ng
• Menolak permohonan Cerai Talak dari Pemohon untuk seluruhnya; -------

do
gu • Membebankan biaya perkara kepada Pemohon; --------------------------------

Bahwa atas jawaban Termohon, Pemohon mengajukan dan menyampaikan

In
A
Repliknya di persidangan tanggal 18 Pebruari 2013 sebagai berikut :

1 Termohon tidak ada itikad baik dalam menyelesaikan masalah yang menimpa rumah
ah

lik
tangga Termohon dan Pemohon; ----------------------------------

2 Termohon sengaja mengulur-ulur waktu agar masalah gugatan cerai talak ini
m

ub
menjadi kabur dan berusaha mengalihkan perhatian Hakim pada pokok persoalan
ka

ep
yang menyimpang dari gugatan kami selaku Pemohon; --------------
ah

3 Termohon dalam jawabannya semakin jelas terlihat berupaya mengelak dari semua
R

si
gugatan pemohon dengan memberikan cerita-cerita yang tidak berhubungan dengan

ne
ng

pokok perkara; ---------------------------------------------------

4 Termohon tidak punya keberanian untuk datang ke Pengadilan Agama untuk

do
gu

menyelesaikan perkara ini dikarenakan Termohon tidak sanggup untuk berkata jujur

di depan sidang Majelis Hakim; ------------------------------------------


In
A

5 Pemohon sanggup menghadirkan saksi untuk membuktikan bahwa gugatan

Pemohon adalah benar; ---------------------------------------------------------------------


ah

lik

Bahwa atas replik Pemohon, Termohon menyampaikan dupliknya secara lisan di


m

ub

persidangan bahwa tetap dengan jawaban semula; ---------------------------

Bahwa untuk meneguhkan dalil dalil permohonannya Pemohon telah


ka

ep

mengajukan alat bukti surat berupa :


ah

• Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon yang dikeluarkan oleh Kepala
R

s
Badan Kependudukan bermaterai cukup dan telah dicocokkan dan ternyata cocok
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
dengan aslinya serta isinya tidak dibantah oleh pihak Termohon, (P.1);

a
------------------------------------------------------------------------------

si
• Fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor xx/xxx/xx/xxxxx tanggal xx xxx xxxx yang

ne
ng
dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Maumere Kabupaten Sikka

bermaterai cukup dan telah dicocokkan dan ternyata cocok dengan aslinya serta

do
gu isinya tidak dibantah oleh pihak Termohon, (P.2); -------

In
Bahwa selain surat-surat bukti tersebut, Pemohon juga menghadirkan saksi-saksi
A
masing-masing sebagai berikut : -----------------------------------------------
ah

lik
Saksi I umur 35 tahun, agama Kristen Protestan, pekerjaan Security di BRI Cabang

Maumere, bertempat tinggal di Kelurahan Kota Uneng Kecamatan Alok, Kabupaten


m

ub
Sikka, mempunyai hubungan kerja dengan Pemohon, dibawah sumpahnya telah
ka

ep
memberikan keterangan sebagai berikut :

-------------------------------------------------------------------
ah

si
1 Bahwa saksi adalah rekan Pemohon; ---------------------------------------------------

2 Bahwa saksi kenal Termohon sebagai isteri dari Pemohon yang mengenal Termohon

ne
ng

sejak tahun 2003; ---------------------------------------------------------------

do
gu

3 Bahwa Pemohon dan Termohon memiliki 2 (dua) orang anak, laki-laki dan

perempuan namun saksi tidak mengetahui nama dan umur anak-anak Pemohon dan
In
A

Termohon; -------------------------------------------------------------------

4 Bahwa saksi tidak mengetahui keadaan rumah tangga Pemohon dan Termohon
ah

lik

namun sejak 3 (tiga) tahun terakhir Pemohon dan Termohon pisah tempat tinggal;
m

ub

-------------------------------------------------------------------------

5 Bahwa saksi tidak mengetahui tempat tinggal Pemohon namun Termohon


ka

ep

sepengetahuan saksi tinggal dengan orang tua Termohon dan anak-anak Pemohon
ah

dan Termohon juga tinggal dengan orang tua Termohon; ------------


R

6 Bahwa saksi tidak pernah berkunjung ke rumah kediaman Pemohon dan Termohon;
s
M

ne
ng

--------------------------------------------------------------------------------------
do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
7 Bahwa 3 (tiga) tahun yang lalu, saksi pernah melihat Termohon di Gereja dan anak-

a
anak Termohon sampai sekarang juga masih sering ke gereja; ----

si
8 Bahwa saksi mengetahui Termohon ke Gereja pada saat saksi juga ke gereja namun

ne
ng
hanya satu kali, dan sejak saat itu saksi sering melihat anak-anak Pemohon dan

Termohon ke Gereja sampai sekarang; ----------------------

do
gu 9 Bahwa saksi tidak pernah merukunkan keluarga Pemohon dan Termohon karena

In
saksi tidak mengetahui keadaan rumah tangga Pemohon dan Termohon;
A
--------------------------------------------------------------------------------------
ah

lik
Saksi II , umur 39 tahun, agama Islam, pekerjaan security di BRI Cabang Maumere,

bertempat tinggal di Kelurahan Waioti Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka,


m

ub
mempunyai hubungan pekerjaan dengan Pemohon, dibawah sumpahnya telah
ka

memberikan keterangan sebagai berikut : --------------------------


ep
1 Bahwa saksi adalah rekan Pemohon yang bekerja di BRI Cabang Maumere;
ah

si
2 Bahwa saksi kenal Termohon sebagai isteri dari Pemohon dan saksi mulai bekerja

pada bulan September 2001; ---------------------------------------------------

ne
ng

3 Bahwa saksi mengetahui bahwa Pemohon dan Termohon telah memiliki 3 (tiga)

do
orang anak; -----------------------------------------------------------------------------
gu

4 Bahwa saksi tidak mengetahui keadaan rumah tangga Pemohon dan Termohon
In
A

namun sepengetahuan saksi Pemohon tinggal sendiri di kos; -----

5 Bahwa sekitar 2 (dua) tahun yang lalu, saksi pernah sekali melihat Termohon
ah

lik

memasuki Gereja yang terletak di sebelah kantor pos maumere; -


m

ub

Bahwa, terhadap keterangan keterangan saksi saksi tersebut Pemohon


ka

ep

menyatakan tidak keberatan dan Kuasa Termohon memberikan tanggapannya di


ah

persidangan; -------------------------------------------------------------------------------------
R

Bahwa Termohon juga telah mengajukan bukti untuk melumpuhkan bukti


s
M

ne
ng

Pemohon sebagai berikut : ----------------------------------------------------------------------


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
• Surat Pernyataan dari Pemohon bermaterai cukup dan telah dicocokkan dan ternyata

a
R
cocok dengan aslinya serta isinya tidak dibantah oleh pihak Pemohon, (T.1);

si
-------------------------------------------------------------------------------

ne
ng
• Fotokopi salinan putusan Nomor : xx/xxxx/xxxx/xxxxx tanggal xx xxxx xxxx

do
bermaterai cukup dan telah dicocokkan dan ternyata cocok dengan aslinya serta
gu isinya tidak dibantah oleh pihak Pemohon, (T.2); --------

In
A
• Fotokopi surat pernyataan dari Bidan Wigati Dwi Istiari tanggal 26 Juli 2010

bermaterai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya akan tetapi isinya dibantah
ah

lik
oleh pihak Pemohon, (T.3); ----------------------------------------------------

Bahwa disamping itu, Termohon telah mengajukan bukti saksi masing sebagai
m

ub
berikut : -----------------------------------------------------------------------------------
ka

ep
Saksi I, umur 73 tahun, agama Kristen Protestan, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat
ah

tinggal di No. xxx, RT.xxxx, RW.xxxx, Kampung Sabu Kelurahan Beru, Kecamatan
R

si
Alok, Kabupaten Sikka, mempunyai hubungan keluarga dengan Termohon, dibawah

ne
ng

sumpahnya telah memberikan keterangan sebagai berikut :

1 Bahwa saksi adalah ibu dari Termohon; ------------------------------------------------

do
gu

2 Bahwa saksi kenal Pemohon sebagai mantan suami Termohon; ----------------

3 Bahwa Pemohon dan Termohon memiliki 3 (tiga) orang anak, seorang laki-laki yang
In
A

berumur 11 (sebelas) tahun dan 2 (dua) perempuan yang masing-masing berumur 9

(sembilan) dan 7 (tujuh) tahun; -----------------------------------


ah

lik

4 Bahwa saksi mengetahui bahwa Pemohon dan Termohon sudah sering bertengkar
m

ub

bahkan sejak awal perkawinan mereka dan sejak tahun 2006 perselisihan dan

pertengkaran semakin sering terjadi; ------------------------------


ka

ep

5 Bahwa penyebab perselisihan dan pertengkaran Pemohon dan Termohon karena


ah

Pemohon sering pulang malam bahkan malah pagi baru pulang ke rumah, dan
R

s
Pemohon sering pergi ke pub bersama teman-teman Pemohon;
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
6 Bahwa sejak 4 (empat) tahun yang lalu, Pemohon dan Termohon sudah pisah tempat

a
tinggal. Pisah tempat tinggal tersebut disebabkan kontrakan rumah Pemohon dan

si
Termohon telah habis dan Pemohon menyatakan akan diberhentikan oleh BRI

ne
ng
kemudian Termohon dan anak-anak Pemohon dan Termohon diminta untuk tinggal

dengan orang tua Termohon dan sejak saat itu Pemohon tidak pernah menjemput

do
gu Termohon dan anak-anak Pemohon dan Termohon;

In
--------------------------------------------------------------------------------
A
7 Bahwa sejak saat itu, Pemohon masih ke rumah saksi untuk melihat anak-anak
ah

lik
Pemohon dan Termohon namun hanya berlangsung beberapa bulan saja, dan

biasanya Pemohon menemui anak-anak Pemohon dan Termohon di Sekolah;


m

ub
--------------------------------------------------------------------------------------
ka

8 Bahwa saksi mengetahui bahwa Pemohon telah memiliki wanita lain dan telah
ep
memiliki anak dari wanita lain itu; --------------------------------------------------
ah

si
9 Bahwa Termohon sampai sekarang masih beragama Islam; ---------------------

10 Bahwa Pemohon sudah pernah dijatuhi pidana di persidangan Pengadilan Negeri

ne
ng

Maumere dengan alasan penelantaran anak; -------------------------------

do
Saksi II, umur 45 tahun, agama Kristen Protestan, pekerjaan wiraswasta, bertempat
gu

tinggal di No. xxxx, RT.001, RW.001, Kampung Sabu Kelurahan Beru, Kecamatan
In
A

Alok, Kabupaten Sikka, mempunyai hubungan keluarga dengan Termohon, dibawah

sumpahnya telah memberikan keterangan sebagai berikut :


ah

lik

-------------------------------------------
m

1 Bahwa saksi adalah kakak kandung dari Termohon; --------------------------------


ub

2 Bahwa saksi kenal Pemohon sebagai suami Termohon; ---------------------------


ka

ep

3 Bahwa Pemohon dan Termohon memiliki 3 (tiga) orang anak, yang masing-masing
ah

bernama : -----------------------------------------------------------------------------
R

• Anak 1, laki-laki, lahir pada 5 April 2002; -------------------------------------------


s
M

ne
ng

• Anak 2, perempuan, lahir pada 10 Nopember 2003; ----------------------------


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
• Anak 2, perempuan, lahir pada 23 September 2005; ---------------------------

a
R
4 Bahwa saksi mengetahui bahwa Pemohon dan Termohon sudah sering bertengkar

si
bahkan dalam seminggu pertengkaran itu terjadi 2 (dua) kali; -----

ne
ng
5 Bahwa saksi mengetahui perselisihan dan pertengkaran itu karena saksi pernah

tinggal serumah dengan Pemohon dan Termohon; -----------------------

do
gu 6 Bahwa penyebab perselisihan dan pertengkaran Pemohon dan Termohon karena

In
Pemohon sering pulang malam bahkan malah pagi baru pulang ke rumah, dan
A
Pemohon sering pergi ke pub bersama teman-teman Pemohon pada saat Termohon
ah

lik
hendak melahirkan anak keduanya, Pemohon malah tidak ada di rumah;

---------------------------------------------------------------------------
m

ub
7 Bahwa sejak bulan Pebruari tahun 2009 Pemohon dan Termohon sudah pisah tempat
ka

ep
tinggal. Pisah tempat tinggal tersebut disebabkan kontrakan rumah Pemohon dan

Termohon telah habis dan Pemohon menyatakan akan diberhentikan oleh BRI
ah

si
kemudian Termohon dan anak-anak Pemohon dan Termohon diminta untuk tinggal

dengan orang tua Termohon dan sejak saat itu Pemohon tidak pernah menjemput

ne
ng

Termohon dan anak-anak Pemohon dan Termohon;

do
gu

--------------------------------------------------------------------------------

8 Bahwa sejak saat itu, Pemohon biasanya menemui anak-anak Pemohon dan
In
A

Termohon di Sekolah; ------------------------------------------------------------------

9 Bahwa saksi mengetahui bahwa Pemohon telah memiliki wanita lain dan telah
ah

lik

memiliki 2 (dua) orang anak dari wanita lain itu; -------------------------------


m

ub

10 Bahwa Termohon sampai sekarang masih beragama Islam; ---------------------

11 Bahwa Pemohon sudah pernah dijatuhi pidana di persidangan Pengadilan Negeri


ka

ep

Maumere dengan alasan penelantaran anak; -------------------------------


ah

s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
Bahwa, terhadap keterangan keterangan saksi saksi tersebut Kuasa Termohon

a
menyatakan membenarkan dan tidak keberatan dan Pemohon menolak keterangan saksi

si
dengan memberikan tanggapannya di persidangan; -

ne
ng
Bahwa Pemohon berkesimpulan tetap dengan permohonannya untuk bercerai

dengan Termohon dan tetap dengan permohonannya dan menyatakan tidak akan

do
gu mengajukan tanggapan apapun serta mohon putusan dan Termohon juga berkesimpulan

In
tetap dengan jawabannya dan menyatakan tidak akan mengajukan apapun serta mohon
A
putusan; ------------------------------------------------
ah

lik
Bahwa selanjutnya untuk meringkas uraian putusan ini maka ditunjuk segala hal

ikhwal yang tercantum dalam berita acara persidangan dianggap termuat dalam putusan
m

ub
ini; ----------------------------------------------------------------------
ka

ep
TENTANG HUKUMNYA
ah

si
DALAM EKSEPSI

Menimbang, bahwa Termohon mengajukan eksepsi dari permohonan Pemohon

ne
ng

dan eksepsi tersebut berupa jawaban-jawaban dari posita yang diajukan oleh Pemohon

do
maka berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 284 K/Pdt/1976 tanggal
gu

12 Januari 1976 yang mengandung kaidah hukum bahwa “Eksepsi yang isinya senada
In
A

dengan jawaban-jawaban biasa mengenai pokok perkara dianggap bukan eksepsi, oleh

karenanya harus dinyatakan ditolak”;


ah

lik

--------------------------------------------------------------------------------
m

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka Majelis


ub

Hakim berpendapat bahwa eksepsi Termohon haruslah ditolak; -----------


ka

ep

DALAM POKOK PERKARA


ah

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah


R

sebagaimana diuraikan di atas;-----------------------------------------------------------------


s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
Menimbang, bahwa pada hari hari persidangan yang telah ditetapkan untuk

a
perkara ini Pemohon telah ternyata datang menghadap sendiri ke persidangan,

si
sedangkan Termohon diwakili Kuasa hukumnya datang menghadap di persidangan;

ne
ng
--------------------------------------------------------------------

Menimbang, bahwa Majelis telah mengusahakan perdamaian kepada kedua

do
gu belah pihak, bahkan usaha damai dilakukan melalui proses mediasi yang dilaksanakan

In
tanggal 8 Februari 2011, namun usaha perdamaian tidak berhasil, karenanya maksud
A
pasal 82 ayat (1) Undang-Undang 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-
ah

lik
Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50

Tahun 2009 telah terpenuhi jo Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 telah
m

ub
terpenuhi;
ka

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Pemohon dan surat bukti (P.1)


ep
bahwa Pemohon benar bertempat tinggal atau berdomisili di wilayah Kabupaten Sikka
ah

si
dan merupakan tempat kediaman bersama Pemohon dan Termohon dan tidak ada

eksepsi relatif dari Termohon maka sesuai pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7

ne
ng

Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan

do
terakhir Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Pemohon beralasan hukum
gu

mengajukan perkaranya pada Pengadilan Agama Maumere;


In
A

-----------------------------------------------------------------

Menimbang, bahwa berdasarkan permohonan Pemohon, jawaban Termohon dan


ah

lik

surat bukti berupa Kutipan Akta Nikah (P.2) serta diperkuat pula dengan keterangan
m

para saksi di persidangan, maka harus dinyatakan terbukti bahwa antara Pemohon
ub

dengan Termohon telah terikat dalam perkawinan yang sah sejak tanggal xxx xxx xxxx
ka

ep

dan tidak pernah bercerai; ---------------------


ah

Menimbang, bahwa alasan perceraian yang diajukan oleh Pemohon sebagaimana


R

dalam surat permohonannya adalah murtad oleh karena itu Pemohon memiliki legal
s
M

ne
ng

standing untuk mengajukan permohonan perceraian sebagaimana diatur dalam pasal 14


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7

a
Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

si
dan terakhir Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 oleh karenanya permohonan

ne
ng
Pemohon formal dapat diperiksa lebih lanjut;

---------------------------------------------------------------------

do
gu Menimbang, bahwa berdasarkan pemeriksaan di persidangan maka majelis

In
hakim telah menemukan fakta sebagai berikut : -------------------------------
A
• Bahwa pada awalnya perkawinan rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon
ah

lik
terlihat harmonis, dan telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak yang masing-masing

bernama : ------------------------------------------------------------------
m

ub
• Anak 1, laki-laki berumur 11 (sebelas) tahun; --------------------------------
ka

ep
• Anak 2, perempuan berumur 9 (sembilan) tahun; ---------------------------
ah

• Anak 3, perempuan berumur 8 (delapan) tahun; ----------------------------


R

si
• Bahwa sekitar tahun 2009, Pemohon dan Termohon telah pisah tempat tinggal dan

ne
ng

sejak saat itu baik Pemohon maupun Termohon tidak pernah tinggal dalam satu

rumah lagi; -------------------------------------------------------------

do
gu

• Bahwa saksi sering melihat Pemohon dan Termohon bertengkar disebabkan

Pemohon yang sering tidak berada di rumah dan pulang malam hari; ----------
In
A

• Bahwa Termohon pernah terlihat memasuki gereja; ---------------------------------


ah

lik

• Bahwa Pemohon pernah terbukti bersalah di Pengadilan Negeri Maumere dalam

perkara penelantaran anak; -------------------------------------------------------


m

ub

• Bahwa Pemohon telah memiliki hubungan dengan wanita lain yang dari wanita itu
ka

telah melahirkan anak; ---------------------------------------------------------


ep

• Bahwa semua anak Pemohon dan Termohon sekarang berada di tangan Termohon;
ah

--------------------------------------------------------------------------------------
s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
Menimbang, bahwa alasan perceraian yang diajukan Pemohon adalah murtad

a
(riddah), maka Majelis berpendapat telah sesuai dengan pasal 116 huruf “h” Kompilasi

si
Hukum Islam untuk mengajukan dengan alasan peralihan agama (murtad);

ne
ng
---------------------------------------------------------------------------------------------

Menimbang, bahwa saksi-saksi Pemohon pernah melihat Termohon memasuki

do
gu gereja meskipun dari saksi-saksi Termohon menyatakan bahwa Termohon masih

In
beragama Islam, namun Majelis Hakim berpendapat bahwa tidak ada alasan seorang
A
yang beragama Islam memasuki tempat ibadah yang bukan tempat ibadahnya, dan
ah

lik
memasuki gereja pada hari Minggu yang merupakan hari kebaktian bagi umat kristiani

dan berkumpulnya para jemaat, maka Majelis Hakim berpendapat ada indikasi yang
m

ub
kuat bahwa Termohon telah melakukan kebaktian di gereja, oleh karenanya Majelis
ka

Hakim berkesimpulan bahwa Termohon telah pindah agama;


ep
------------------------------------------------------
ah

si
Menimbang, bahwa alasan murtad mengakibatkan terjadinya perbedaan agama

dan perbedaan agama merupakan penyebab perselisihan yang prinsipil dan tidak

ne
ng

mungkin didamaikan; ----------------------------------------------------------------

do
Menimbang, bahwa telah terjadi pisah tempat tinggal yang cukup lama, maka
gu

Majelis Hakim berpendapat bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon jika
In
A

dibiarkan terus menerus akan menimbulkan dampak yang negatif diantara keduanya.

Diantara mereka tentu tidak bisa menjalankan kewajiban dimana Pemohon sebagai
ah

lik

suami tidak bisa menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap Termohon
m

sebagai isteri dan begitu pula sebaliknya, dan alasan perceraian yang diajukan oleh
ub

Pemohon telah memenuhi maksud pasal 39 ayat (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun
ka

ep

1974 dan pasal 116 huruf “h” Kompilasi Hukum Islam;


ah

----------------------------------------------
R

Menimbang, bahwa rumah tangga keduanya sudah retak dan pecah


s
M

ne
ng

sedemikian rupa sifatnya, sehingga sulit disatukan kembali untuk menjadi rumah tangga
do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
harmonis, sejahtera lahir dan bathin, sehingga tujuan perkawinan sebagaimana

a
disebutkan dalam QS. Ar-ruum ayat 21 dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

si
1974 juncto Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tidak dapat diwujudkan oleh Pemohon dan

ne
ng
Termohon, sehingga mempertahankan rumah tangga yang sudah sedemikian

keadaannya justru akan memberikan mudharat yang berkepanjangan bagi keluarga

do
gu tersebut; --------------------------------

In
Menimbang, bahwa Majelis Hakim sebagai bahan pertimbangan pula
A
menyandarkan pertimbangannya kepada qaidah ushul fiqh yang berbunyi sebagai
ah

lik
berikut : -----------------------------------------------------------------------------------

‫درء �اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ �ﻣﻘﺪم �ﻋﻠﻰ �ﺟﻠﺐ �اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ‬


m

ub
Artinya :
ka

“ Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan “ ; -----


ep
ah

Menimbang, bahwa alasan perceraian Pemohon dapat dibuktikan, oleh karena


R

si
itu Majelis berpendapat permohonan Pemohon untuk bercerai dengan Termohon patut

ne
ng

untuk dikabulkan; ------------------------------------------------------------

Menimbang, bahwa telah terjadi riddah, maka Majelis berpendapat bahwa

do
gu

pernikahan Pemohon dan Termohon telah fasakh, dan ini sesuai dengan pendapat

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhussunnah ( ) jilid II halaman 459 yang diambil
In
A

alih menjadi pendapat Majelis Hakim yang berbunyi : -----------------


ah

lik
m

ub

Artinya :
“Apabila suami atau istri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan mereka satu
ka

sama lain, karena sesungguhnya riddahnya salah seorang dari mereka itu menjadikan
ep

putusnya perkawinan antara keduanya dan putusnya perkawinan itu berupa Fasakh”

Dan dalam Kitab Al-Muhadzdzab ( ) halaman 56 dan diambil alih sebagai


ah

pendapat hukum hakim yang berbunyi : -----------------------------------------------------


s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
‫ﺑﻌﺪ �اﻟﺪﺧﻮل �وﻗﻌﺖ �اﻟﻔﺮﻗﺔ �ﻋﻠﻰ �اﻧﻘﻀﺎء �اﻟﻌﺪة‬

si
Artinya :

ne
ng
"Apabila suami istri atau salah seorang diantaranya murtad, kalau hal itu terjadi
sebelum dukhul maka secara langsung pernikahannya dipisahkan, kalau terjadi
setelah dukhul maka perceraiannya jatuh setelah habis masa iddah, jatuh/ terjadi
setelah masa iddah”;

do
gu Menimbang, bahwa Pemohon juga mengajukan hak hadhanah untuk anak-anak

In
A
Pemohon dan Termohon, berdasarkan keterangan para pihak dan keterangan saksi-saksi

di persidangan bahwa anak yang bernama Anak 1, Anak 2, Anak 3, adalah anak
ah

lik
Pemohon dan Termohon yang sah dan merupakan anak dari perkawinan yang sah yang

belum mumayyiz yang kesemuanya belum genap berumur 12 (dua belas) tahun. Bahwa
m

ub
anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat
ka

ep
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah tunas, potensi, dan

generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan
ah

si
mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan

negara pada masa depan. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab

ne
ng

tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan

do
gu

berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia,

perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan
In
A

memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa

diskriminasi berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 bahwa pada


ah

lik

dasarnya Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
m

ub

anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
ka

ep

dari kekerasan dan diskriminasi;


ah

-----------------------------------------------------------------------------------------
R

s
Menimbang, bahwa kuasa pengasuhan anak tidak semata-mata karena hal
M

ne
ng

finansial. Tetapi hal yang paling mendasar sebagai pertimbangan terhadap pihak yang
do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
ditunjuk sebagai pemegang kuasa hak asuh adalah karena faktor perilaku dan moral baik

a
yang dimiliki pemegang atas hak asuh anak tersebut; ---

si
Menimbang, bahwa pada saat dilahirkan semua anak Pemohon dan Termohon

ne
ng
lahir dalam keadaan beragama Islam dan dari perkawinan yang dilaksanakan secara

Islam; ---------------------------------------------------------------------

do
gu Menimbang, bahwa pada dasarnya hadhanah terhadap anak yang belum

In
mumayyiz adalah hak ibunya, sesuai dengan bunyi pasal 105 ayat (1) Kompilasi Hukum
A
Islam, kecuali apabila terbukti bahwa ibu telah murtad dan memeluk agama selain
ah

lik
Islam, maka gugurlah hak ibu untuk memelihara anak tersebut, hal ini sesuai dengan

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor : 210/K/AG/1996, yang mengandung


m

ub
abstraksi hukum bahwa agama merupakan syarat untuk menentukan gugur tidaknya hak
ka

seorang ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan (hadhanah) terhadap anaknya yang
ep
belum mumayyiz, karena seorang ibu yang menjadi non muslimah tidak memenuhi
ah

si
syarat lagi sebagai pemegang hadhanah;

----------------------------------------------------------------------------

ne
ng

Menimbang, bahwa hal tersebut sesuai pula pendapat ulama dalam kitab

do
Kifayatul Akhyar ( ) Juz II halaman 94 yang diambil alih menjadi pendapat
gu

Majelis Hakim sebagai berikut:----------------------------------------------------


In
A
ah

lik

.
m

ub
ka

Artinya :
ep

Syarat-syarat bagi orang yang akan melaksanakan tugas hadhanah (pemeliharaan) ada
7 (tujuh) macam : Berakal sehat, Merdeka, Beragama Islam
ah

‘Iffah (sederhana), Dapat dipercaya, Bertempat tinggal tetap/satu tempat kediaman


R

dengan anak yang diasuh, Tidak bersuami/belum kawin lagi. Apabila salah satu syarat
s
tidak terpenuhi, maka gugurlah hak hadhanah (pemeliharaan) itu dari tangan ibu ;
-------------------------------------------------------------------------------
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
Menimbang, bahwa berdasarkan surat bukti (T.2) Pemohon telah terbukti

a
berperilaku tercela dengan menelantarkan anak-anak Pemohon dan Termohon, oleh

si
karenanya Pemohon pun memiliki kecacatan perilaku untuk mengasuh anak-anak

ne
ng
Pemohon dan Termohon sebagai hak hadhanah atas ketiga anak Permohon dan

Termohon, disamping itu juga pekerjaan Pemohon sebagai karyawan Bank yang

do
gu tentunya banyak menyita waktu dari pagi sampai sore; ----

In
Menimbang, bahwa hadhanah pada dasarnya adalah mengasuh sebagaimana
A
maksud dari makna “hadhanah” itu sendiri adalah pemeliharaan anak yang belum
ah

lik
mampu berdiri sendiri, biaya pendidikannya dan pemeliharaannya dari segala yang

membahayakan jiwanya agar terjamin hak-hak anak untuk hidup, tumbuh dan
m

ub
berkembang secara optimal; ---------------------
ka

Menimbang, bahwa pada dasarnya dalam hadhanah adalah untuk kepentingan


ep
anak baik untuk pertumbuhan jasmani dan ruhani, kecerdasan intelektual dan agamanya;
ah

si
----------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa atas alasan tersebut di atas, maka Majelis Hakim

ne
ng

berpendapat bahwa mengambil mudharat yang lebih ringan sesuai dengan kaidah fiqih

do
yang diambil sebagai pertimbangan Majelis hakim yang berbunyi :
gu

‫إذا � �ﺗﻌﺎرض � �ﺿﺮران � �دﻓﻊ �اﺧﻔﻬﻤﺎ‬


In
A

Artinya :
“Jika ada dua madharat yang saling bertentangan maka ambil yang paling ringan”
ah

lik

Menimbang, bahwa Majelis Hakim menilai bahwa madharat yang paling ringan

diantara keduanya adalah jika anak tetap berada di bawah asuhan ibunya, karena
m

ub

ditakutkan perkembangan anak untuk tumbuh kembang akan terlalaikan dan terhindar
ka

ep

dari terlalaikannya hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya;
ah

---------------------------------------------------------------------------------
R

Menimbang, bahwa semua biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya,


s
M

ne
ng

maka dengan ditolaknya permohonan Pemohon untuk hak hadhanah ini maka segala
do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh Pemohon sebagai ayah dari ketiga anaknya

a
tersebut sesuai maksud dari pasal 105 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam;

si
-------------------------------------------------------------------------

ne
ng
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas

maka Majelis berpendapat permohonan Pemohon untuk bercerai dengan Termohon

do
gu telah beralasan dan tidak melawan hukum, oleh karenanya permohonan Pemohon

In
dikabulkan dengan menyatakan perkawinan Pemohon dengan Termohon putus karena
A
Fasakh sebagaiman bunyi amar putusan ini; ---
ah

lik
Menimbang, bahwa permohonan Pemohon untuk ditetapkan sebagai hak

hadhanah terhadap semua anak Pemohon dan Termohon yang bernama Aditya Pratama
m

ub
Hidayat yang berumur 11 (sebelas) tahun, Andina Yulianti Kartini yang berumur 9
ka

(sembilan) tahun, dan Dewi Wulandari yang berumur 8 (delapan) tahun, patut untuk
ep
ditolak;------------------------------------------------------------------------
ah

si
Menimbang, bahwa meskipun permohonan Pemohon untuk ditetapkan hak

hadhanah ditolak, baik Pemohon maupun Termohon tidak boleh memutus hubungan

ne
ng

komunikasi orang tua dengan anaknya, baik Pemohon maupun Termohon mempunyai

do
hak untuk berkunjung / menjenguk dan membantu mendidik serta mencurahkan kasih
gu

sayangnya sebagai seorang orang tua terhadap anaknya;


In
A

---------------------------------------------------------------------------------

Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang Undang Nomor 7


ah

lik

Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006
m

dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 maka biaya perkara dibebankan kepada
ub

Pemohon; ------------------------------------------------------
ka

ep

Mengingat segala peraturan perundang undangan yang berlaku dan hukum


ah

syara’ yang berkaitan dengan perkara ini ; ---------------------------------------


R

MENGADILI
s
M

ne
ng

DALAM EKSEPSI
do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
• Menolak Eksepsi Termohon; ---------------------------------------------------------------

a
R
DALAM POKOK PERKARA

si
1 Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; ----------------------------

ne
ng
2 Menyatakan Perkawinan Pemohon dan Termohon putus karena Fasakh; ----

3 Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya; -------------------

do
gu 4 Membebankan kepada Pemohon membayar biaya perkara sebesar Rp. 331.000,-

In
(tiga ratus tiga puluh satu ribu rupiah); -------------------------------------
A
ah

lik
Demikian putusan ini dijatuhkan pada hari Senin tanggal 11 Maret 2013 Masehi

bertepatan dengan tanggal 28 Rabiul Akhir 1433 Hijriyah oleh Dra.Hj.HASNIA HD.,
m

ub
M.H. sebagai Ketua Majelis, MIFTAHUDDIN, S.H.I. dan MIFTAH FARIDI, S.H.I.
ka

ep
masing-masing sebagai Hakim Anggota yang pada hari itu juga diucapkan oleh Ketua

Majelis dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh Hakim Anggota
ah

si
tersebut dan dibantu oleh RUSDIANSYAH,S.H.,M.H. sebagai Panitera dan dihadiri

oleh Pemohon, diluar hadirnya Termohon;

ne
ng

-------------------------------------------------------------------------------

do
gu

Ketua Majelis,
In
A
ah

lik

Dra. Hj. HASNIA HD, M.H.


Hakim Anggota, Hakim Anggota,
m

ub

MIFTAH FARIDI, S.H.I.


ka

MIFTAHUDDIN, S.H.I.
ep

Panitera,
ah

s
M

ne

RUSDIANSYAH, S.H., M.H.


ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Perincian Biaya Perkara :
1. Biaya Pendaftaran : Rp. 30.000,- -----------------------------------------

si
2. Biaya Proses : Rp. 50.000,- -----------------------------------------
3. Biaya Panggilan Pemohon : Rp. 60.000,- -----------------------------------------

ne
4. Biaya Panggilan Termohon : Rp. 180.000,- -----------------------------------------

ng
5. Biaya Redaksi : Rp. 5.000,- -----------------------------------------
6. Materai : Rp. 6.000,- -----------------------------------------
Jumlah : Rp. 331.000,- --------------------------------------

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 27

Anda mungkin juga menyukai