Anda di halaman 1dari 81

PEMBERIAN CATATAN PERBUATAN DALAM SURAT AL-INSYIQÂQ

(STUDI KOMPARATIF ANTARA TAFSIR AL-MISBÂH DAN AL-QUR’ÂN

DAN TAFSIRNYA)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam

( S.Th.I )

Oleh:

IZHARUL IRFAN
NIM. 106034001234

JURUSAN TAFSIR HADITS


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
PEMBERIAN CATATAN PERBUATAN DALAM SURAT AL-INSYIQÂQ

(STUDI KOMPARATIF ANTARA TAFSIR AL-MISBÂH DAN AL-QUR’ÂN

DAN TAFSIRNYA)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam

( S.Th.I )

Oleh :

IZHARUL IRFAN
NIM. 106034001234

Di bawah Bimbingan :

Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA


NIP. 19620624200003 1 001

JURUSAN TAFSIR HADITS


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi ini berjudul Pemberian Catatan Perbuatan Dalam Surat al-

Insyiqâq (Studi Komparatif Antara Tafsir al-Misbâh dan al-Qur’ân dan

Tafsirnya) telah di ujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Maret 2011.

Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana

Theologi Islam (S.Th.I) pada Jurusan Tafsir Hadits.

Jakarta, 22 Juni 2011

SIDANG MUNAQASAH
Ketua, Sekertaris,

Dr. M. Suryadinata, MA Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A


NIP. 19600908 198903 1 005 NIP.19711003 199903 2 001
Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr. M. Suryadinata, M.A Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A


NIP. 19600908 198903 1 005 NIP.19711003 199903 2 001

Pembimbing,

Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA


NIP. 19620624200003 1 001
PEDOMAN TRANSLITERASI1

Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan


tidak dilambangkan

B be

T te

Ts te dan es

J Je

H h dengan garis bawah

Kh ka dan ha

D da

Dz De dan zet

R Er

Z Zet

S Es

Sy es dan ye

S es dengan garis bawah

D de dengan garis bawah

T te dengan garis bawah

Z zet dengan garis bawah

„ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan

Gh ge dan ha

1
Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105

iv
F Ef

Q Ki

K Ka

L El

M Em

N En

W We

H Ha

„ Apostrof

Y Ye

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebai beeriku:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


______َ a fathah
___ِ___ i kasrah
______ُ u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:


Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫__َ__ي‬ ai a dan i
‫َ____ و‬ au a dan u

v
Vokal Panjang (Madd)

Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ــَا‬ â a dengan topi di atas
‫ــي‬ î i dengan topi di atas
‫ـــو‬ û u dengan topi di atas

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan


huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh
huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân
bukan ad-dîwân.

Syaddah (Tashdid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan
berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,
demikian seterusnya.

Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).

vi
Contoh:

no Kata Arab Alih aksara


1 tarîqah

2 al-jâmî ah al-islâmiyyah

3 wahdat al-wujûd

Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-
Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.

vii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur tersanjung hanya bagi Allah swt, yang dengan taufiq-

Nya penelitian berjudul “Pemberian Catatan Perbuatan Dalam Surat Al-

Insyiqâq (Studi Komparatif Antara Tafsir Al-Misbâh Dan Al-Qur’ân Dan

Tafsirnya) ini dapat selesai, demikian juga, salawat serta salam semoga

tercurahkan untuk Rasulullah saw.

Sebagai karya tulis yang da’if, terutama di dalam penelitian ini masih terdapat

banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau

menelaah dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti

keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini tak luput dari jasa lembaga dan orang-

orang tertentu yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materil.

Atas segala bantuan tersebut penulis sampaikan banyak terima kasih; khususnya

kepada:

1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.

Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F.,MA (Dekan

Fakultas Ushuluddin), Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir-Hadis) dan

Dr. Lilik Ummi Kalsum, MA (Sekjur Tafsir-Hadis).

2. Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA, selaku pembimbing yang telah banyak

membantu, membimbing, dan mengarahkan penulisan skripsi ini.

viii
3. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya dosen-dosen di

jurusan Tafsir-Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga

berkat merekalah penulis mendapatkan setetes ilmu pengetahuan.

4. Yang tercinta Ayahanda Hariagusti Hiyayat dan Ibunda Nanih Sunarni yang

senantiasa mencurahkan kasih sayang dan perhatian dengan segenap hati dan

yang selalu mendoakan ananda untuk mencapai kesuksesan di masa depan,

semoga penulis selalu mendapat ridho mereka dan dapat berbakti kepadanya

(Âmîn).

5. Kakak penulis, dan adik-adik penulis yang selalu setia memberi semangat

penulis dalam menyelesaikan studi.

6. Teman-teman penulis di mana pun berada khususnya sahabat-sahabat penulis

mahasiswa Tafsir-Hadis angkatan 2006/2007, teman-teman KKN Hura-Hura,

dan teman-teman Lintasan Kalam.

7. Terakhir, untuk orang yang pernah melihat saya (ra‟ânî yaqazatan kâna am fi

al-manân), bertemu dengan saya (laqiyanî), belajar bersama saya (jâlasanî),

tinggal bersama saya (aqâma ma‟î), pernah mendengar suara dan ocehan saya

(sami‟a minnî wa akhaza „annî syai‟an), semua orang yang mau menerima

dan memperkenankan saya untuk mengambil hikmah darinya (wa akhaztu

„anhu al-hikam wa al-„ulûm), dan semua orang yang hidup semasa dengan

saya („asaranî). Ini bukan karena saya yang istimewa, melainkan anda semua

lah yang begitu spesial bagi saya. Bolehlah saya berharap dan ber-tafa‟ul

kepada nabi agar semua orang yang tersebut di atas menjadi orang yang

beruntung, sekali lagi- bukan karena saya, tetapi karena kita dianugerahkan

ix
oleh Allah Swt untuk bisa saling berhubungan. Teriring doa, “ Tûbâ liman

ra‟ânî (bifadlih), wa tubâ liman ra‟â man ra‟ânî (bifadlih)”. Atas semua

kebaikan tersebut, tidak ada suatu yang dapat penulis sampaikan, kecuali

ucapan terima kasih yang tidak terhingga, serta doa; semoga amal kebaikan

kita semua diterima dan dibalas oleh Allah Swt. Jazâkumullâh ahsan al-jazâ,

Âmîn…..!

Akhirnya hanya kepada Allah jualah, penulis mengharap ridha dan rasa syukur

penulis yang tak terhingga. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat,

khususnya bagi penulis. Amin

Jakarta, 22 Juni 2011

Ttd,

Izharul Irfan Yanuarina

Penulis

x
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………..1

A. Latar Belakang Masalah ………………………………………1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………6

C. Tujuan Peneltian ………………………………………………7

D. Tinjauan Pustaka ……………………………………………...7

E. Metodologi Penelitian ………………………………………...8

F. Sistematika Penulisan ………………………………………...9

BAB II PROFIL TAFSIR AL-MISBAH DAN PROFIL AL-QURÂN

DAN TAFSIRNYA ..……………………………………………11

A. Profil Tafsir Al-Misbah ……………………………………...11

1. Potret Pendidikan dan Karir Akademis ………………….11

2. Karya-karya M. Quraish Shihab ………………………...15

3. Metode dan Corak penafsiran …………………………...16

B. Profil al-Qurân dan Tafsirnya ……………………………….23

1. Sejarah Perkembangan Tafsir ……….…………………..25

2. Hal-hal yang diperbaiki ………………….………………30

xi
BAB III ANALISA PERBANDINGAN TENTANG PENAFSIRAN

SURAT AL-INSYIQAAQ ……………………………………..35

A. Menurut Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab ………35

1. Penafsiran ayat 1-5 ………………………………………36

2. Penafsiran ayat 6-9 ………………………………………39

3. Penafsiran ayat 10-15 ……………………………………41

4. Penafsiran ayat 16-19 ……………………………………43

5. Penafsiran ayat 20-21 ……………………………………48

6. Penafsiran ayat 22-25 …………………………………....49

B. Menurut Al-Qur’ân dan Tafsirnya karya Departemen Agama

Republik Indonesia ………………………………………….51

1. Penafsiran ayat 1-2 ………………………………………54

2. Penafsiran ayat 3-5 ……………………………………....55

3. Penafsiran ayat 6 ………………………………………...55

4. Penafsiran ayat 7-9 ………………………………………56

5. Penafsiran ayat 10-12 ……………………………………57

6. Penafsiran ayat 13-14 ……………………………………57

7. Penafsiran ayat 15 ……………………………………….58

xii
8. Penafsiran ayat 16-19 ……………………………………59

9. Penafsiran ayat 20-25 ……………………………………60

C. Sebab-sebab Persamaan dan Perbedaan Penafsiran …...…….61

1. Metode/sistematika penulisan ……………………….......62

2. Pemaknaan Qasam ………………………………………62

3. Rincian Penjelasan Penerimaan Buku Amal …………….63

BAB IV PENUTUP ………………………………………………………65

A. Kesimpulan …………………………….……………………65

B. Saran-saran …………………………………………………..66

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………...67

xiii
BAB I

PEMBERIAN CATATAN PERBUATAN DALAM SURAT AL-

INSYIQÂQ (STUDI KOMPARATIF ANTARA TAFSIR AL-MISBÂH DAN

AL-QUR’ÂN DAN TAFSIRNYA)

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟ân merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada

Nabi Muhammad SAW. Al-Qur‟ân sebagaimana diyakini oleh umat Islam

merupakan kalâm Allah. Dari dulu hingga sekarang umat Islam telah sepakat

bahwa al-Qur‟ân adalah kitab Allah yang kekal, tidak terbatas pada dimensi ruang

dan waktu dan tidak ada sedikitpun keraguan. Al-Qur‟ân juga diakui sebagai

teman berdialog yang sempurna serta diturunkan sebagai gambaran cara yang

benar bagi setiap orang serta memberikan jalan keluar dari berbagai kesulitan dan

masalah yang muncul dihadapan manusia.1

Bagi kaum Muslim, al-Qur‟ân sebagai kompilasi “Firman Tuhan” tidak

merujuk pada sebuah kitab yang diilhami atau dipengaruhi oleh-Nya atau ditulis

di bawah bimbingan ruh-Nya. Ia lebih dianggap sebagai kata-kata langsung

Tuhan. Ibn Manzur2, penulis Lisân al-‘Arab, merefleksikan pandangan mayoritas

pemikir muslim ini ketika mendefinisikan al-Qur‟ân sebagai “Wahyu yang tak

1
Muhammad al-Ghâzali, Berdialog dengan al-Qur’ân; Memahami Kitab Suci dalam
Kehidupan Masa Kini,terjm.Masykur Hakim dan Ubaidillah (Bandung: Mizan,1996), hal. 92
2
Dikutip dari Farid Esack, al-Qur’ân, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang
Tertindas, (Bandung: Mizan, 2000) hal. 85

1
2

bisa disamai, perkataan Tuhan yang diwahyukan kepada Malaikat Jibril secara

harfiah dan lisan dalam kata-kata bahasa Arab yang paling murni.”3

Salah satu dari fungsi al-Qur‟ân adalah sebagai petunjuk yang universal-

eternal. Universal dalam arti berlaku di mana saja, menjangkau seluruh letak

geografis dan eternal dalam arti bahwa al-Qur‟ân berlaku kekal abadi untuk

selama-lamanya sampai akhir zaman. Ini adalah pandangan teologi umat Islam

bahwa al-Qur‟ân cocok untuk setiap waktu dan tempat.

Selain itu, fungsi al-Qur‟ân juga sebagai mukjizat yaitu suatu kejadian luar

biasa dan tidak mustahil, yang terjadi pada Rasul Allah SWT, untuk

membuktikan, beliau benar Rasul-Nya dan dengan izin Allah SWT. Hal itu

diperlukan, karena setiap Rasul Allah mempunyai mukjizat dan dibutuhkan oleh

kaumnya.4 Umpamanya permintaan Raja Fir‟aun Mesir kepada Nabi Musa

Kalimullâh.

َ‫ه اىّصَبدِقِيه‬
َ ِ‫ذ م‬
َ ‫د ثٍَِب إِن مُى‬
ِ ْ‫ذ ثِآيَخٍ فَؤ‬
َ ْ‫ذ جِئ‬
َ ‫ه إِن مُى‬
َ ‫قَب‬

Artinya: Fir'aun menjawab: "Jika benar kamu membawa sesuatu bukti,


maka datangkanlah bukti itu jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang
benar". (Q.S. Al-A‟râf 7: 106)

Objek kajian penafsiran adalah al-Qur‟ân, kitab suci yang dibawa oleh

Nabi Muhammad untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Tidak diragukan lagi

di dalamnya terdapat mukjizat baik dari susunan katanya maupun makna yang

dikandungnya.

3
Farid Esack, al-Qur’ân, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas,
(Bandung: Mizan, 2000) hal. 85
4
Kahar Masyhur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’ân, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992) cet.
Pertama, hal. 11
3

Pada saat al-Qur‟ân diturunkan, Rasulullah SAW sendiri sebagai mufasir

yang menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan al-

Qur‟ân, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dapat dipahami atau yang

samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai wafatnya Rasulullah SAW,

walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua bisa diketahui

akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena Rasulullah sendiri

tidak menjelaskan semua kandungan al-Qur‟ân.5

Sesungguhnya kisah yang ada dalam al-Qur‟ân benar-benar nyata dan

sebagai peringatan bagi manusia untuk merenungkan kembali dari peristiwa yang

agung. Dalam al-Qur‟ân terdapat ayat-ayat tentang kisah Nabi dan umat-umat

terdahulu. Bahkan Allah SWT menceritakan kepada Rasulullah SAW, kisah-kisah

orang-orang terdahulu dalam al-Qur‟ân dengan firman-Nya:

ً‫ك مِه ىَدُوَب ذِمْسا‬


َ ‫ق ََقَ ْد آرَيْىَب‬
َ َ‫ه أَوجَبء مَب قَدْ سَج‬
ْ ِ‫ل م‬
َ ْ‫ّص عَيَي‬
ُ ُ‫ل وَق‬
َ ِ‫مَرَى‬

Artinya: Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian


kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya telah Kami berikan
kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (Al Qur'ân) (Q.S. Ta-ha 20: 99)

Namun tampaknya masih ada beberapa umat yang masih saja tidak bisa

menjadikan kesemuanya sebagai pelajaran berharga, hal ini sesuai dengan

gambaran yang termuat dalam firman-Nya:

ًِ ِ‫ت إِىَى أٌَْي‬


ُ ِ‫ ََيَىْقَي‬,‫ت حِسَبثًب يَسِيسًا‬
ُ َ‫ف يُحَبس‬
َ َُْ‫ فَس‬,ًِِ‫ي مِزَبثَ ًُ ثِيَمِيى‬
َ ‫ه أَُ ِر‬
ْ َ‫فَؤَمَب م‬

‫ ََيَّصْيَى سَعِيسًا‬,‫ف يَدْعُُ ثُجُُزًا‬


َ َُْ‫ فَس‬,ِ‫ي مِزَبثَ ًُ ََزَا َء ظٍَْسِي‬
َ ‫ه أَُ ِر‬
ْ َ‫ ََأَمَب م‬,‫مَسْسَُزًا‬

5
M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ân, (Bandung: Mizan,1996), hal. 71
4

Artinya: Adapun orang yang diberi kitabnya dari sebelah kanannya, maka
dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali
kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun
orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak:
“Celakalah aku”. Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(Neraka). (Q.S. al-Insyiqaaq 84: 7-12)

Melihat ayat di atas yang erat kaitannya dengan kematian yang merupakan

bentuk kiamat kecil atau tempat kembali pertama (al-ma’âd al-awwal), dan setiap

manusia pasti akan mengalaminya, setelah menikmati hidupnya di alam dunia ini.

Kematian bukanlah kefanaan dan ketiadaan. Akan tetapi ia adalah pergantian

keadaan, dan perpindahan dari suatu alam ke alam yang lain.6

Dalam keadaan seperti itu maka sudah menjadi sunnatullâh bahwa

kematian adalah suatu keharusan setelah bergelimang dalam kehidupan di alam

fana ini. Kematian juga merupakan awal menuju pengadilan yang hakiki, di

tangan Hakim Yang Maha Adil. Sungguh bahagia orang yang mendapat

kenikmatan pada kematiannya, sebaliknya sungguh celaka orang yang mendapat

kesengsaraan setelah kehidupan ini. Dan ini seperti ayat yang telah penulis

paparkan di atas.

Berdasarkan keterangan di atas, penulis merasa tertarik untuk mendalami

tentang alasan atau sebab musabab mengapa hal demikian dapat terjadi. Adapun

yang dijadikan objek ialah Q.S. al-Insyiqâq yang berkenaan dengan pemberian

catatan perbuatan manusia berdasarkan pekerjaannya di dunia.

6
Anis Masykur, Menyingkap Tabir Kematian, (Jakarta: CV. Sukses Bersama, 2006), hal.
16
5

Kajian ini ini juga didasari atas hadis Rasul yang diriwayatkan oleh Imam

Ahmad dari Siti „Aisyah bahwa beliau pernah mendengar Rasul , di solatnya ia

mengatakan agar dipermudah penghisabannya:

‫ه عَجْ ِد‬
ِ ْ‫ه حَمْصَ َح ث‬
ُ ْ‫ه حَدَثَىِي عَجْ ُد اىَُْاحِ ِد ث‬
َ ‫ه إِسْحَبقَ قَب‬
ُ ْ‫و حَدَثَىَب مُحَمَ ُد ث‬
ُ ‫حَدَثَىَب إِسْمَبعِي‬

‫ذ‬
ْ َ‫ه عَبئِشَخَ قَبى‬
ْ َ‫ه اىصُثَيْسِع‬
ِ ْ‫ه عَجْ ِد اىيَ ًِ ث‬
ِ ْ‫ه عَجَب ِد ث‬
ْ َ‫ه اىصُثَيْسِع‬
ِ ْ‫اىيَ ًِ ث‬

‫"اىيٍَُ َم حَبسِجْىِي حِسَبثًب‬ ًِ ِ‫ض صَيَبر‬


ِ ْ‫ي صَيَى اىيَ ًُ عَيَيْ ًِ ََسَيَ َم يَقُُهُ فِي ثَع‬
َ ‫ذ اىىَ ِج‬
ُ ْ‫سَمِع‬

ًِ ِ‫ن يَىْظُسَ فِي مِزَبث‬


ْ َ‫ه أ‬
َ ‫ة اىْيَسِيسُ قَب‬
ُ ‫ي اىيَ ًِ مَب اىْحِسَب‬
َ ‫ذ يَب وَ ِج‬
ُ ْ‫يَسِيسًا" فَيَمَب اوّْصَسَفَ قُي‬

‫ه‬
َ ِ‫ت اىْمُؤْم‬
ُ ‫و مَب يُّصِي‬
ُ ‫ل ََ ُم‬
َ َ‫ة يَُْمَئِ ٍر يَب عَبئِشَ ُخ ٌَي‬
َ ‫ش اىْحِسَب‬
َ ‫ه وُُ ِق‬
ْ َ‫فَيَزَجَبََ َش عَىًْ إِوَ ًُ م‬

ًُُ‫و ثِ ًِ عَىًْ حَزَى اىشَُْمَ ُخ رَشُُم‬


َ‫ج‬َ ََ ‫يُنَّفِ ُس اىيَ ًُ عَ َص‬

Selanjutnya, penulis juga tertarik untuk membuat kajian analisa

perbandingan terhadap Tafsir Al-Misbâh yang dikarang oleh M. Quraish Shihab

dan al-Qur’ân dan Tafsirnya yang disusun oleh departemen agama. Dalam

Analisa perbandingan kedua tafsir ini, penulis akan mengetahui tentang metode

penafsiran, teknik penafsiran, corak pemikiran penafsir dan hal-hal yang berkait

dengan karya kedua tafsir tersebut. Penulis juga bisa mengetahui apakah tafsir

mereka terpengaruh dengan pemikiran mufassir. Karena keduanya ini mempunyai

kecenderungan atau keistimewaan masing-masing sekalipun masih ada

keterkaitan di antaranya.

Alasan penulis memilih M. Quraish Shihab adalah karena Tafsir al-

Misbâh adalah kitab tafsir yang sangat representatif dalam dunia tafsir
6

kontemporer, memiliki berbagai macam disiplin ilmu serta jangkauan pemahaman

yang dinamis dan lebih komprehensif. Sedangkan tafsir al-Misbâh itu sendiri

menggunakan metode gabungan antara metode tahlili dan metode maudu’i 7.

Sedangkan alasan penulis mengambil al-Qur’ân dan Tafsirnya ialah karena

penyusunnya yang merupakan pakar-pakar tafsir di Indonesia dan sudah terbukti

sepak terjangnya dalam dunia Islam masa kini.

Melihat latar belakang permasalahan di atas, maka penulis mencoba untuk

membahasnya dalam sebuah kajian skripsi yang berjudul “PEMBERIAN

CATATAN PERBUATAN DALAM SURAT AL-INSYIQÂQ (STUDI

KOMPARATIF ANTARA TAFSIR AL-MISBÂH DAN AL-QUR’ÂN DAN

TAFSIRNYA”)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Sekalipun banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan tentang yaumul

hisâb, namun dalam mengurai skripsi ini penulis hanya membahas gambaran

pemberian kitab dari sebelah kanan dan kiri dalam surat al-Insyiqâq. Mengenai

penafsirannya penulis hanya mengambil penafsiran dari Tafsir al-Misbâh dan al-

Qur’ân dan Tafsirnya.

Adapun perumusan masalah yang ingin penulis angkat adalah “Apa

persamaan dan perbedaan mengenai penafsiran pemberian catatan perbuatan

dalam surah al-Insyiqâq menurut Tafsir al-Misbâh dan Al-Qur’ân dan

Tafsirnya?”.

7
Hamdani Anwar, Telaah kritis terhadap tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab; dalam
Mimbar Agama Dan Budaya, Vol.XIX, No.2, 2002, h.162-169
7

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, maka hal yang diharapkan

menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Dapat menjadi bahan wacana terhadap pengembangan khazanah keilmuan

dibidang tafsir, juga dapat memahami kajian dalam Tafsir Al-Misbâh dan

al-Qur’ân dan Tafsirnya mengenai pemberian catatan perbuatan dalam

surah al-Insyiqâq.

2. Untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dalam

menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana Strata ( S ) I UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penelitian khusus

tentang masalah ini baik dalam bentuk buku, jurnal ataupun skripsi. Namun dalam

bab II Setijadi Rahardjo (Tafsir Hadis 2007) dengan judul Kesaksian Anggota

Tubuh Pada Yaum al-Hisâb Menurut al-Qur’an dalam skripsi ini dikatakan

bahwa nanti setiap manusia di akhirat kelak akan mempertanggungjawabkan

seluruh amal perbuatannya yang mereka lakukan selama di dunia dan mereka

akan melihat apa yang telah diperjuangkan dan apa tujuan sesungguhnya dari

kehidupan ini. Karena kelak, di yaum al-Hisâb manusia akan ditimbang amal

perbuatannnya.

Kemudian Imam Al-Qurthubi dalam bukunya at-tadzkirah fî ahwâli al-

mautâ wa umûri al-âkhirah yang sudah diterjemahkan oleh Abdur Rosyad

Shiddiq dengan judul Rahasia Kematian, Alam Akhirat dan Kiamat dalam Bab
8

ke-92, menyatakan bahwa nanti di akhirat orang-orang yang mendapatkan kitab

dari sebelah kanan akan dipanggil dengan namanya dan nama ayahnya. Ia maju

untuk menghadap Allah. Ketika sudah dekat, dikeluarkanlah kitabnya berwarna

putih dengan tulisan serba putih pula. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari

belakang, ia harus menurunkan pundaknya yang sebelah kiri lalu tangan

menerimanya dari belakang. Dengan kata lain, ia harus berpaling ke belakang

ketika harus membacanya.

E. Metodologi Penelitian

Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian

kepustakaan ( Library research ) yaitu mencari dan mengumpulkan data-data,

dalam mengumpulkan data-data penulis menggunakan berbagai macam literatur

yang relevan dan menelaah dengan pokok masalah yang dibahas. Adapun buku

yang menjadi rujukan utama / sumber primer dalam penulisan skripsi ini antara

lain Tafsir Al-Misbâh karya M. Quraish Shihab dan al-Qur’ân dan Tafsirnya

karya Departemen Agama Republik Indonesia.

Penulis juga melakukan pembahasan skripsi ini secara telaah studi

komparatif yaitu dengan mengumpulkan data-data dan pendapat para ahli yang

berkaitan dengan masalah pemberian kitab di hari kiamat, kemudian data tersebut

dideskripsikan yang dimaksudkan untuk menuliskan keadaan objek semata-mata

apa adanya. Langkah ini diambil sebagai permulaan yang sangat penting, karena

ini adalah metode dasar bagi penelitian selanjutnya. M. Quraish Shihab misalnya,

tidak bisa lepas dari lingkungan sosial kemasyarakatan yang melingkupinya.

Dengan itu, penulisan biografi menjadi sangat perlu. Dan setelah itu dianalisis
9

dari setiap pendapat guna memperoleh kejelasan masalah. Metode analitis ini

dianggap perlu karena akan tersingkap keterlibatan dari kedua penafsir dengan

persoalan-persoalan yang berada di sekitarnya dalam menatap nilai-nilai yang

berlaku dizamannya.

Sedangkan teknik penulisan dan penyusun skripsi ini berpedoman pada

buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang disusun oleh Tim

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta8 dengan beberapa pengecualian:

1. Kutipan ayat Al-Qur‟ân tidak diberi catatan kaki dan terjemahannya

diambil dari “Al-Qur‟ân dan terjemah” yang diterbitkan oleh Departemen

Agama R.I., Jakarta, Proyek Pengadaan.

2. Kutipan yang menggunakan ejaan yang lama diganti dengan ejaan yang

disempurnakan (EYD) kecuali nama orang/pengarang.

F. Sistematika Penulisan

Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisis materi dalam

penulisan skripsi ini, maka berikut ini penulis jelaskan dalam sistematika

penulisan.

Secara garis besar skripsi ini terdiri dari empat bab. Setiap bab dibagi

menjadi sub bab, dan setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing

yang antara satu dan lainnya saling berkaitan.

Pada bab pertama, merupakan pendahuluan yang disajikan sebagai acuan

pembahasan bab-bab berikut dan sekaligus mencerminkan isi global skripsi yang

cangkupannya terdiri dari alasan pemilihan latar belakang masalah (judul),

8
Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah(Skripsi, Tesis dan Disertasi),
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: CeQda, 2007), cet. Ke-2
10

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,

metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Pada bab kedua, merupakan pembahasan tentang seputar biografi penafsir

secara umum. Dalam bab ini membahas biografi M. Quraish Shihab. Di dalamnya

terdiri dari potret pendidikan dan karir akademis, karya-karya, metode dan corak

penafsiran. Juga tak lupa penulis menyantumkan sejarah perkembangan Tafsir

Departemen Agama Republik Indonesia yang di dalamnya terdiri dari sejarah

perkembangan tafsir dan hal-hal yang diperbaiki.

Kemudian pada bab ketiga, bab ini merupakan analisa perbandingan

tentang penafsiran Surat Al-Insyiqâq yang diantaranya mengenai pemberian kitab

dari sebelah kanan dan pemberian kitab dari belakang.

Dan yang terakhir bab keempat, merupakan penutup dari skripsi ini yang

terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.


BAB II

PROFIL TAFSIR AL-MISBAH DAN PROFIL AL-QURÂN DAN

TAFSIRNYA

A. M. Quraish Shihab

I. Potret Pendidikan dan Karir Akademis

Muhammad Quraish Shihab adalah sarjana muslim kontemporer Indonesia

yang berhasil tidak hanya dalam karir keilmuannya, tetapi juga dalam karir sosial

kemasyarakatan, terutama dalam pemerintahan. Kesuksesan karir keilmuannya

ditunjang dengan kenyataan bahwa dia adalah doktor lulusan Universitas al-Azhar

bidang kajian al-Qur’ân bidang kajian tafsir al-Qur’ân dengan predikat ―dengan

pujian tingkat pertama‖ (Summa Cum Laude) pertama dari Asia Tenggara1,

penulis prolifik, dan mufassir al-Qur’ân kontemporer. Kesuksesan karir sosial

kemasyarakatannya mengiringi kesuskesan karir keilmuannya, dari mulai menjadi

Pembantu Rektor, Rektor, Staf Ahli Mendikbud, Ketua MUI, Menteri Agama,

sampai menjadi Duta Besar RI di Mesir.

M. Quraish Shihab Lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang,

Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keturunan Arab terpelajar2. Ayahnya3 merupakan

ulama dan seorang guru besar Tafsir di IAIN Alaudin, Ujung Pandang. Benih-

1
Kusmana, Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam (Sejarah dan Profil Pimpinan
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1957-2002) (Jakarta: IAIN Jakarta Press 2002) Cet. I hal. 254
2
Kusmana, Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam (Sejarah dan Profil Pimpinan
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1957-2002) (Jakarta: IAIN Jakarta Press 2002) Cet. I hal. 255
3
Abdurrahman Shihab adalah seorang yang berfikiran maju dan percaya akan fungsi
pendidikan sebagai agen perubahan. Wawasan maju ini bisa dirunut dari riwayat pendidikannya.
Lih. Kusmana, Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam (Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 1957-2002) (Jakarta: IAIN Jakarta Press 2002) Cet. I hal. 255

11
12

benih kecintaan jiwa Quraish kepada studi al-Qur’ân mulai tersemai ketika masih

anak-anak. Seringkali ayahnya mengajak anak-anaknya duduk bersama, dan pada

saat seperti itulah ayahnya menyampaikan petuah-petuah keagamaannya. Banyak

dari petuah itu — yang kemudian saya ketahui sebagai ayat al-Qurân atau petuah

Nabi, sahabat, atau pakar-pakar al-Qurân — yang hingga detik ini masih

terngiang di telinga saya.4

Dalam mengarungi bahtera hidupnya, Quraish Shihab ditemani

Fatmawati5 sang isteri tercinta. Bersama ia bertukar fikiran, berwelas asih dan

mengayuhkan kaki untuk membina kelima anaknya; empat putri dan satu putra,

yaitu Najla, Najwa, Naswa, Ahmad, dan Nahla6.

Pendidikan formal sekolah Dasar Quraish Shihab di Ujung Pandang,

kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil ―nyantri‖ di

Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-faqihiyyah. Pada 1958, dia berangkat ke

Kairo, Mesir dan diterima di kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada 1967, dia

meraih gelar Lc (S- 1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits

Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya pada fakultas

yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir al-

Qur’ân dengan tesis berjudul al-I’jaz al-Tasyri’iy li al-Qurân al-Karim.

Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan untuk

menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN

Aluddin, Ujung Pandang. Selain itu dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di

4
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qurân, (Bandung: Mizan 1994) Kata pengantar
5
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ân; Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung; Mizan, 1996) Kata Pengantar
6
M. Quraish Shihab, Mu’jizat al-Qur’ân, (Bandung; Mizan, 1996) Cet. Pertama hal. 2
13

dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII

Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan

Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung

Pandang ini dia juga sempat melakukan berbagai penelitian : antara lain,

penelitian dengan tema ―Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia

Timur‖ (1975) dan ―Masalah Wakaf Sulawesi Selatan‖ (1978)7.

Pada 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan

pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas al-Azhar. Pada 1982,

dengan disertasi berjudul Nazhm al-Durar li al-biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah, dia

berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu al-Qurân dengan yudisium Summa

Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma’a martabat al-syaraf al-

‘ula).

Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di

Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah,

Jakarta. Selain itu, di luar kampus dia juga dipercayakan untuk menduduki

berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak

1984), Anggota Lajnah Pentashih al-Qur’ân Departemen Agama (sejak 1989),

Anggota badan pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua

Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi

professional; antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah; Pengurus

7
Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999) Cet. Ketiga hal. 111
14

Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan

Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)8.

Di sela-sela segala kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai

kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.

Yang tidak kalah pentingnya, Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan

tulis-menulis. Di dalam surat kabar Pelita, pada setiap hari rabu dia menulis

dalam rubrik ―Pelita Hati‖. Dia juga mengasuh rubrik ―Tafsir al-Amanah‖ dalam

majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Selain itu dia juga tercatat

sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur’ân dan Mimbar Ulama,

keduanya terbit di Jakarta9.

Dari latar belakang keluarga dan pendidikan yang diperolehnya itu telah

menjadikannya ia seorang yang mempunyai kajian dan wawasan yang mendalam

dan menonjol dalam khazanah tafsir di Indonesia. Atau seperti apa yang dikatakan

Howard M. Federsfiel10, telah menjadikan ia terdidik lebih baik dibandingkan

8
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesi. Organisasi ini lahir melalui perhelatan akbar
―Simposium Nasional Cendekiawan Muslim: Membangun Masyarakat Indonesia Abad XXI‖,
pada 6-8 desember 1990 di Student Center, Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Peristiwa
itu kemudian disebut sebagai Muktamar I ICMI dengan Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie sebagai Ketua
Umum ICMI pertama. Lihat. Ensiklopedi Oxford - Dunia Islam Modern, (bandung: Mizan, 2001)
Cet. I hal. 248
9
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qurân, (Bandung: Mizan 1994) Kata pengantar
10
Howard M. Federsfiel adalah Profesor di Institut Studi-Studi Islam, universits McGill
di Montreal, Kanada, juga sebagai Profesor ilmu politik di Universitas Negara bagian Ohio di
Newark, Ohio, AS. Ia lahir di New York AS pada tahun 1932, setelah periode tiga tahun berada
dalam angkatan bersenjata AS sebagai penerjemah bahasa Jerman, ia memasuki Institut Studi-
studi Islam di Universitas McGill di mana ia belajar di bawah bimbingan Willfred Cantwell Smith,
Fazlur Rahman, Jhon Alden Williams, Niyazi Barkes dan Muhammad Rasyidi. Lihat. Howard M.
Federspiel diterjemahkan oleh: Tajul Arifin, Kajian al-Qur’ân di Indonesia; dari Mahmud Yunus
hingga Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1996) hal. 5
15

dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Populer Indonesia

Literature Of The Qur’an11.

II. Karya-karya M. Quraish Shihab

M. Quraish Shihab merupakan seorang penulis produktif yang menulis

berbagai karya ilmiah yang berupa artikel dan majalah maupun buku-buku.

Quraish Shihab menulis berbagai wilayah kajian yang menyentuh permasalahan

hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Beberapa

karyanya antara lain: Membumikan al-Qur’ân; Fungsi dan Peran Wahyu dalam

kehidupan Masyarakat (1992), Tafsir Amanah (1992), Studi Kritis Tafsir al-

Manâr; Keistimewaan dan kelemahannya (1994), Sejarah ‘Ulum al-Qur’ân

(1994), Wawasan al-Qur’ân; Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat

(1996), Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat al-Fâtihah) (1996), Lentera hati;

Kesan dan Hikmah Kehidupan (1996), Haji Mabrur Bersama Quraish Shihab

(1997), Tafsir al-Qur’ân al-Karim (1997), Menyingkap Tabir Ilahi Asma’ul

Husna dalam Perspektif al- Qur’ân (1998), Fatwa-fatwa seputar al- Qur’ân dan

al-Hadits (1999), Fatwa-fatwa seputar Ibadah dan Mu’amalah (1999), Fatwa-

fatwa seputar Wawasan agama (1999), Yang Tersembunyi; Jin, Iblis, Setan dan

Malaikat dalam al-Qur’ân dan Sunnah (1999), Fatwa-fatwa Seputar Tafsir al-

Qur’ân (2000), Secercah Cahaya Ilahi (2000), Perempuan (2005), Rasionalitas

al- Qur’ân (2006), dan Tafsir al-Misbâh yang merupakan karya yang menjadi

khazanah Tafsir di Indonesia.

11
Howard M. Federspiel diterjemahkan oleh: Tajul Arifin, Kajian al-Qur’ân di
Indonesia; dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1996) hal. 295
16

Demikianlah beberapa karya Quraish Shihab yang berhasil dipaparkan

dalam bagian ini. Tentunya masih banyak lagi karya-karyanya yang belum

disebutkan, baik berupa makalah, rubrik, artikel dalam berbagai surat kabar

maupun majalah.

III. Metode dan Corak Penafsiran

Pada kitab-kitab tafsir yang ada pada saat ini, yang ditulis oleh para

mufassir sejak zaman mutaqaddimin sampai mutaakhirin,, penafsir menggunakan

corak dan metode yang berbeda dalam penafsirannya. Hal ini tentunya

dilatarbelakangi oleh kapasitas mufassir itu sendiri dan situasi sosial dimana

seorang mufassir masih hidup.

Sementara para mufassir belakangan ini memilah-milah kitab tafsir yang

ada berdasarkan pada metode penulisannya ke dalam empat metode tafsir, yaitu:

metode tahlili, metode ijmali, metode muqaran, dan metode maudu’i12.

Metode Tafsir Tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ân dengan cara

meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya. Di dalam metode

ini, penafsir mengikuti tuntutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam

mushaf Utsmani. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa

kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Kemudian juga penafsir

mengemukakan korelasi ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat

tersebut satu sama lain. Di samping itu penafsir membahas mengenai latar

belakang turunnya ayat dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, Sahabat dan para

12
Abdul Hayy al-Farmawi diterjemahkan oleh: Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudu’i;
Dan Cara Penerapannya (Bandung, CV Pustaka Setia, 2002) hal. 23
17

Tabi’in yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat para mufassir itu

sendiri yang diwarnai oleh latar belakang pendidikannya.

Sementara metode Tafsir Ijmali yaitu menafsirkan al-Qur’ân secara global.

Dengan metode ini, mufassir berupaya menjelaskan makna-makna al-Qurân

dengan uraian singkat dan bahasa yang mudah sehingga dapat difahami oleh

semua orang, mulai dari orang yang berpengetahuan luas sampai kepada yang

berpengetahuan sekadarnya. Hal ini —sebagaimana metode tahlili— dilakukan

terhadap ayat per ayat dan surat per surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf

sehingga tampak keterkaitan antara makna satu ayat dengan ayat yang lain, antara

satu surat dengan surat yang lain. Dengan metode ini mufassir berupaya pula

menafsirkan kosa kata al-Qur’ân dengan kosa kata yang ada di dalam al-Qur’ân

sendiri, sehingga para pembaca yang melihat uraian tafsirnya tidak jauh dari

konteks al-Qur’ân, tidak keluar dari muatan makna yang dikandung oleh kosakata

yang serupa dalam al-Qurân, dan adanya keserasian antara bagian al-Qur’ân yang

satu dengan bagian yang lain13.

Untuk metode Tafsir Muqaran ialah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ân

dengan merujuk kepada penjelasan-penjelasan para mufassir. Langkah yang

ditempuh ketika menggunakan metode ini ialah; Mengumpulkan sejumlah ayat al-

Qur’ân, Mengemukakan penjelasan para mufassir, Membandingkan

kecenderungan tafsir mereka masing-masing, dan Menjelaskan siapa di antara

mereka yang penafsirannya dipengaruhi –secara subjektif— oleh mazhab tertentu.

13
Abdul Hayy al-Farmawi diterjemahkan oleh: Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudu’i;
Dan Cara Penerapannya (Bandung, CV Pustaka Setia, 2002) hal. 38
18

Keempat, untuk metode Tafsir Maudu’i. Menurut pengertian para ulama

adalah: ―Menghimpun seluruh ayat al-Qur’ân yang memiliki tujuan dan tema

yang sama. Setelah itu –kalau mungkin— disusun berdasarkan kronologis

turunnya dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya. Langkah selanjutnya

ialah mengurai dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali. Hasilnya

diukur dengan timbangan teori-teori akurat, sehingga mufassir dapat menyajikan

tema secara utuh dan sempurna. Bersamaan dengan itu, dikemukakan pula

tujuannya yang menyeluruh dengan ungkapan yang mudah difahami sehingga

bagian-bagian yang terdalam sekali pun dapat diselami.14‖

Kemudian apakah sebenarnya metode dan corak Tafsir al-Misbâh itu ?

dalam Tafsir al-Misbâh, dilihat dari cara penafsiran yang terdapat dalam karya

Quraish Shihab ini menggunakan metode tahlili, yaitu menfasirkan ayat demi

ayat, surat demi surat sesuai dengan mushaf Utsmani. Sebagaimana dikatakan

oleh Hamdani Anwar15, metode ini sengaja dipilih oleh Quraish Shihab, karena ia

ingin mengungkapkan semua isi al-Qur’ân secara rinci agar petunjuk yang

tergantung di dalamnya dapat dijelaskan dan difahami oleh para pembacanya.

Pada sisi lain, Quraish Shihab tidak begitu tertarik untuk menggunakan

metode tahlili, kerena menurutnya metode tahlili ini menyita waktu yang cukup

banyak dipergunakan untuk menafsirkan semua ayat al-Qur’ân. Selain itu, sering

kali menimbulkan banyak pengulangan dalam tafsirannya. Hal ini akan terjadi

14
Abdul Hayy al-Farmawi diterjemahkan oleh: Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudu’i;
Dan Cara Penerapannya (Bandung, CV Pustaka Setia, 2002) hal. 44
15
Dikutip oleh Rully Ridwansyah dalam skripsinya yang berjudul Hak-hak Politik
Perempuan dalam al-Qur’ân Menurut Quraish Shihab, hal 24 dari Hamdani Anwar, Mimbar
Agama Dan Budaya; Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, Vol.XIX,
No.2, 2002, hal. 182
19

jika kandungan kosakata atau pesan ayat atau suratnya sama atau mirip dengan

ayat atau surat yang telah ditafsirkan sebelumnya16.

Menyadari kelemahan dari metode tahlili, maka Quraish Shihab

memberikan tambahan lain dalam tafsir al-Mishbah dengan metode maudu’i.

Menurutnya, metode ini memiliki keistimewaan yaitu menghindari kita dari

problema atau kelemahan yang terdapat pada metode lain17. Dengan dasar

pertimbangan tersebut, Quraish Shihab berusaha menghidangkan bahasan setiap

surat pada apa yang dinamakan tujuan surat atau tema pokok surat. Memang

menurut pakar, setiap surat ada tema pokoknya18. Menurut Quraish Shihab

sebagaimana yang dikatakan dalam sekapur sirih Tafsir al-Misbah, jika seseorang

mufassir mampu memperkenalkan pesan utama setiap surat, maka ke 114 surat

yang ada dalam al-Qur’ân akan dikenal lebih dekat dan mudah.

Menurut Hamdani Anwar19, dari sini, dapat dinilai perbedaan Tafsir al-

Misbah dengan tafsir-tafsir lainnya, dan hal ini dapat disebut sebagai salah satu

kelebihan dari tafsir tersebut.

Dalam tafsirnya Quraish Shihab berusaha untuk melihat kosa kata dan

ungkapan-ungkapan dalam suatu ayat dengan merujuk kepada pandangan

beberapa pakar bahasa. Oleh karena itu, ia memaparkan makna kosa kata

sebanyak mungkin dan kaidah-kaidah tafsir yang menjelaskan makna ayat

16
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan Kesan Dan Keserasian al-Qur’ân (Jakarta;
Lentera Hati, 2002) cet. I vol. 1 hal. ix
17
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ân, (Bandung: Mizan 1994) hal. 117
18
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan Kesan Dan Keserasian al-Qur’ân (Jakarta;
Lentera Hati, 2002) cet. I vol. 1 hal. ix
19
Dikutip oleh Rully Ridwansyah dalam skripsinya yang berjudul Hak-hak Politik
Perempuan dalam al-Qur’ân Menurut Quraish Shihab, hal 24-25 dari Hamdani Anwar, Mimbar
Agama Dan Budaya; Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, Vol.XIX,
No.2, 2002, hal. 182
20

sekaligus dapat digunakan untuk memahami ayat-ayat lain yang tidak ditafsirkan.

Di samping itu ia juga berusaha untuk menjelaskan makna-makna yang

terkandung oleh suatu ayat, dan menunjukkan betapa serasi hubungan antar kata

dan kalimat-kalimat yang satu dengan yang lainnya dalam al-Qur’ân, seringkali

memerlukan penyisipan-penyisipan antar kata atau kalimat.

Selanjutnya, Quraish Shihab menegaskan bahwa kalimat-kalimat yang

tersusun dalam Tafsir al-Misbah ini sepintas lalu seperti terjemahan al-Qur’ân,

maka hendaknya jangan dianggap sebagai terjemahan. Oleh sebab itu Quraish

Shihab berusaha sedapat mungkin memisahkan terjemahan makna kata dalam al-

Qur’ân dengan sisipan atau tafsirnya melalui penulisan terjemahan makna dengan

italic letter (tulisan miring) dan sisipan atau tafsirnya dengan tulisan normal.

Meskipun demikian kitab tafsir ini bukanlah ijtihadnya sendiri, tetapi hasil

karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer serta pandangan-pandangan

mereka banyak dinukil oleh Quraish Shihab, antara lain: pakar Tafsir Ibrahim ibn

Umar al-Biqa’I, Sayyid Muhammad Thanthawi, Syeikh Mutawali al-Syar’awi,

Sayyid Quthb, Muhammad Thahir ibn Asyur dan Sayyid Muhammad Husein

Thabathaba’I serta beberapa pakar tafsir lainnya 20. Dari semua pendapat ini

kemudian dideskripsikan secara lengkap serta dianalisis menggunakan pendekatan

katagorisasi. Selain mengutip pendapat para ulama, ia juga mempergunakan ayat

al-Qur’ân dan hadist Nabi sebagai metode penjelasan dari tafsir yang

dilakukannya.

20
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan Kesan Dan Keserasian al-Qur’ân (Jakarta;
Lentera Hati, 2002) cet. I vol. 1 hal. xiii
21

Uraian-uraian di atas dapat difahami bahwa metode yang digunakan

Qurasih Shihab dalam tafsir ini menggunakan gabungan dari metode tahlili dan

metode maudu’i. Cara ini dipilih oleh Qurasih Shihab, karena ia menilai bahwa ia

mesti menguraikan seluruh ayat al-Qur’ân sesuai dengan mushaf Usmani (tahlili),

tetapi ia juga mesti mengelompokkan ayat-ayat sesuai dengan temanya, agar

kandungan ayat tersebut dapat dijelaskan sesuai dengan topiknya, yakni metode

maudu’i21.

Qurasih Shihab menggunakan dua metode sekaligus dalam Tafsir al-

Misbâh, karena dari segi teknik metode tahlili menafsirkan ayat demi ayat yang

terpisah satu dengan yang lainnya sehingga tidak disuguhkan kepada pembaca

untuk memahami isi al-Qur’ân. Oleh sebab itu ia menambahkan metode maudu’i,

karena metode ini menafsirkan satu surah secara menyeluruh dan mendetail yang

menjelaskan antara berbagai masalah yang dikandung dalam surat tersebut

sehingga surat ini tampak secara utuh dan juga metode maudu’i tergolong praktis

dan sistematis.

Dengan bahasan kiasan yang cukup jelas, ia mengatakan melalui metode

maudu’i itu diibaratkan seperti ia menjamu tamu-tamunya dengan sekotak

makanan yang didalamnya sudah tersedia jenis makanannya sehingga lebih cepat

untuk menyantapnya. ―Apabila anda sibuk dan ingin cepat, maka tentu saja anda

mengambil kotak berisi makanan yang telah tersedia. Sebaliknya, apabila anda

21
Dikutip oleh Rully Ridwansyah dalam skripsinya yang berjudul Hak-hak Politik
Perempuan dalam al-Qur’ân Menurut Quraish Shihab, hal 26 dari Hamdani Anwar, Mimbar
Agama Dan Budaya; Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, Vol.XIX,
No.2, 2002, hal. 188
22

santai dan memiliki waktu luang, maka pilihlah sesuai dengan pemahaman‖.

Adapun yang dimaksud dengan pemahaman di sini adalah metode tahlili22.

Contoh metode maudu’i dalam Tafsir al-Misbâh adalah penafsiran Quraish

Shihab mengenai surat al-An’am. Menurutnya surat al-An’am adalah surat

Makiyyah yang keseluruhan ayat-ayatnya turun secara sekaligus, sehingga tidak

ada surat panjang yang lain yang turun sekaligus kecuali surat al-An’am. Di

dalam surat ini membahas mengenai ajaran tauhid yang menggambarkan kesaan

Allah dan kekuasaan-Nya. Allah yang mewujudkan yang mematikan dan Dia juga

yang membangkitkan dari kematian. Di samping itu, ayat-ayat surat ini

mengandung penegasan tentang hal-hal yang diharamkan-Nya sambil

membatalkan apa yang diharamkan manusia atas dirinya, seperti yang dilakukan

kaum musyrikin yang menyangkut binatang dan yang lain sebagainya. Inilah yang

diisyaratkan oleh namanya yakni al-An’am.

Adapun corak dalam tafsir al-Misbâh ini termasuk amaliyatu al-ijtima’i

atau praktek kemasyarakatan yaitu penafsiran yang menitik beratkan kepada

penjelasan ayat-ayat al-Qur’ân yang berkaitan langsung dengan kehidupan

masyarakat serta berusaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka

berdasarkan petunjuk ayat-ayat dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk

tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar23.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Tafsir al-Misbâh ini

menggunakan corak kemasyarakatan, yaitu uraian yang berupa untuk menjelaskan

22
M.Qurasih Shihab, Wawasan al-Qur’ân; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung; Mizan, 1996) Cet. Ketiga hal. xii
23
Qurasih Shihab, Membumikan al-Qur’ân; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung; Mizan, 1994) hal. 73
23

persoalan-persoalan yang beredar dan terjadi di kalangan umat. Setelah

menguraikan isi ayat, biasanya paparan itu dilanjutkan dengan pendapat yang

ditawarkan untuk mengatasi persoalan.

Sebagai referensi yang digunakan Quraish dalam penyusunan kitab Tafsir

ini beliau mengatakan dalam Tafsir Misbah Vol VIII Hal 131-132 ―Akhirnya,

penulis merasa perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang

dihidangkan di sini bukanlah sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil ulama-ulama

terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh

banyak penulis nukil, khususnya pandangan para pakar Tafsir Ibrahim Umar al-

Biqâ’i (w.885 H/ 1480M) yang karya tafsirnya masih berbentuk manuskrip

menjadi bahan dasar disertasi penulis di Universitas al-Azhâr, Kairo, dua puluh

tahun yang lalu. Demikian juga karya pemimpin tafsir tertinggi al-Azhâr dewasa

ini Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak

ketinggalan pula Sayyid Quthub, Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur, Sayyid

Muhammad Hussain Thabathaba’i serta beberapa pakar tafsir lainnya‖.

B. Profil al-Qurân dan Tafsirnya

Adanya Terjemah dan Tafsir al-Qur’ân dalam bahasa Indonesia

memudahkan masyarakat Indonesia pada khususnya untuk dapat mempelajari dan

memahami agar dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian

tercapailah maksud dan tujuan diturunkannya kitab suci al-Qur’ân sebagai

petunjuk dan rahmat bagi umat manusia.


24

Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ân tidak dapat berdasar fikiran

semata, karena al-Qur’ân adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

SAW. menjadi petunjuk bagi manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat24.

Nabi Muhammad-lah orang pertama yang ditugaskan Allah menjelaskan

isi dan maksud ayat-ayat al-Qur’ân itu. Dan Allah berfirman:

َ‫ل إِلَيْهِ ْن وَلَعَلَهُ ْن يَتَفَّكَرُوى‬


َ ‫س هَا ًُ ِز‬
ِ ‫ي لِلٌَا‬
َ ِ‫ك الّذِكْ َر لِتُبَي‬
َ ْ‫وَأًَزَلٌَْا إِلَي‬

Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu


menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. an-Nahl 16:44)

Pada ayat lain Allah berfirman pula:

َ‫ي لَهُ ُن الَّذِي اخْتَلَفُىاْ فِي ِه وَهُدًي وَرَحْوَ ًة لِقَىْ ٍم يُؤْهٌُِىى‬


َ ِ‫ّال لِتُبَي‬
َ ‫ب ِإ‬
َ ‫ك الّْكِتَا‬
َ ْ‫وَهَا أًَزَلٌَْا عَلَي‬

Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Qur'an) ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman. (Q.S. an-Nahl 16:64)

Maka oleh sebab itu kita harus mendasarkan penafsiran al-Qur’ân kepada

hadits-hadits Rasulullah SAW. terutama yang mengenai sebab-sebab turunnya

ayat-ayat itu. Sesudah itu barulah diperhatikan pula ucapan-ucapan dan pendapat-

pendapat para sahabat Nabi dan penjelasan mereka mengenai maksud dari pada

ayat-ayat itu sesuai dengan apa yang diucapkan dan diamalkan oleh Rasulullah

SAW.

Kemudian barulah ditinjau pendapat para ulama dan Mufassirin yang telah

menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ân berdasarkan kepada hadis-hadis dan ucapan,

serta pendapat para sahabat. Selain itu para penafsir dalam menafsirkan suatu ayat

24
Al-Qur’ân dan Tafsirnya, (Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995) Kata Pengantar.
25

harus pula memperhatikan ayat-ayat lain yang erat hubungannya dengan ayat

yang ditafsirkan. Karena dengan demikian akan bertambah jelaslah pengertian dan

maksud dari yang ditafsirkan.

Selanjutnya untuk referensi yang digunakan sebagai pedoman pokok

penyusunan ialah Tafsir al-Marâghî oleh Mustafâ al-Marâgî, Tafsir Mahasîn al-

Ta’wîl oleh al-Qâsimî, Tafsir Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl oleh al-

Baidâwî, dan Tafsir al-Qur’ân al-‘Azîm oleh Ibnu Katsîr. Selain keempat referensi

pokok tersebut, juga ditelaah kitab-kitab tafsir lain, seperti Tafsir al-Manâr, Fî

Zilâl al-Qur’ân, Rûh al-Ma’âni25.

I. Sejarah Perkembangan Tafsir

Setelah berhasil menyelesaikan penyempurnaan al-Qur’ân dan

Terjemahannya secara menyeluruh yang dilakukan selama 5 tahun (1998-2002)

dan telah dilakukan cetak perdana tahun 2004 yang peluncurannya dilakukan

oleh Menteri Agama pada tanggal 2004, Departemen Agama melakukan kegiatan

yang lain berkaitan dengan al-Qur’ân, yaitu penyempurnaan tafsir al-Qur’ân

dalam bahasa Indonesia, yang telah hadir sejak lebih 30 tahun yang lalu26.

Pada mulanya, untuk menghadirkan al-Qur’ân dan Tafsirnya, Menteri

Agama pada tahun 1972 membentuk tim penyusun yang disebut Dewan

Penyelenggara Pentafsir al-Qur’ân yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H.

dengan KMA No. 90 Tahun 1972, kemudian disempurnakan dengan KMA No. 8

Tahun 1973 dengan ketua tim Prof. H. Bustami A. Gani dan selanjutnya

25
M. Shohib Tahar, Telaah tentang Tafsir al-Qur’ân Departemen Agama RI; dalam
Lektur Keagamaan, Vol. 1 No. 1, 2003, hal. 55
26
H. Fadhal AR Bafadal, M.Sc. (Ketua Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’ân Departemen
Agama RI tahun 2004), al-Qur’ân dan Tafsirnya; Edisi yang Disempurnakan, (Jakarta;
Departemen Agama RI, 2004) cet. Pertama hal. xvii
26

disempurnakan lagi dengan KMA No. 30 Tahun 1980 dengan ketua tim Prof.

K.H. Ibrahim Hosen, LML. Dengan susunan tim tafsir sebagai berikut:

 Prof. K.H. Ibrahim Husein, LML. Ketua merangkap anggota

 K.H. Syukri Ghazali Wakil Ketua merangkap

anggota

 R.H. Hoesein Thoib Sekretaris merangkap

anggota

 Prof. H. Bustami A. Gani Anggota

 Prof. Dr. K.H. Muchtar Yahya Anggota

 Drs. Kamal Muchtar Anggota

 Prof. K.H. Anwar Musaddad Anggota

 K.H. Sapari Anggota

 Prof. K.H.M. Salim Fachri Anggota

 K.H. Muchtar Lutfi El Anshari Anggota

 Dr. J.S. Badudu Anggota

 H.M. Amin Nashir Anggota

 H.A. Aziz Darmawijaya Anggota

 K.H.M. Nur Asjik, MA Anggota

 K.H.A. Razak Anggota

Kehadiran tafsir al-Qur’ân Departemen Agama pada awalnya tidak secara

utuh dalam 30 juz, melainkan bertahap. Pencetakan pertama kali dilakukan pada

tahun 1975 berupa jilid I yang memuat juz 1 sampai dengan juz 3, kemudian

menyusul jilid-jilid selanjutnya pada tahun berikutnya dengan format dan kualitas
27

yang sederhana. Kemudian pada penerbitan berikutnya secara bertahap dilakukan

penyempurnaan di sana sini yang pelaksanaanya dilakukan oleh Lajnah Pentashih

Mushaf al-Qur’ân Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan. Perbaikan tafsir

yang relative agak luas pernah dilakukan pada tahun 1990, tetapi juga tidak

mencakup perbaikan yang sifatnya substansial, melainkan pada aspek kebahasaan.

Sungguh pun demikian tafsir tersebut telah berulang kali dicetak dan

diterbitkan oleh pemerintah maupun oleh kalangan penerbit swasta dan mendapat

sambutan yang baik dari masyarakat.

Dalam upaya menyediakan kebutuhan masyarakat di bidang pemahaman

kitab suci al-Qur’ân, Departemen Agama melakukan upaya penyempurnaan tafsir

al-Qur’ân yang bersifat menyeluruh. Kegiatan tersebut diawali dengan

Musyawarah Kerja Ulama al-Qur’ân pada tanggal 28 s.d. 30 April 2003 yang

telah menghasilkan rekomendasi perlunya dilakukan penyempurnaan al-Qur’ân

dan Tafsirnya Departemen Agama serta merumuskan pedoman penyempurnaan

tafsir, yang kemudian menjadi acuan kerja tim tafsir dalam melakukan tugas-

tugasnya, termasuk jadual penyelesaian.

Sebagai tindak lanjut Muker Ulama al-Qur’ân tersebut Menteri Agama

telah membentuk tim dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 280 Tahun

2003, dan kemudian ada penyertaan dari LIPI yang susunannya sebagai berikut:

 Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar Pengarah

 Drs. H. Fadhal AR Bafadal, M.Sc. Pengarah


28

 Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad27, MA Ketua merangkap anggota

 Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, MA Wkl. ketua merangkap

anggota

 Drs. H. Muhammad Shohib, MA Sekretaris merangkap

anggota

 Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA Anggota

 Prof. Dr. H. Salman Harun Anggota

 Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi Anggota

 Dr. H. Muslih Abdul Karim Anggota

 Dr. H. Ali Audah Anggota

 Dr. H. Muhammad Hisyam Anggota

 Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo28, MA Anggota

 Prof. Dr. H.M. Salim Umar, MA Anggota

 Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA Anggota

 Drs. H. Sibli Sardjaja, LML Anggota

 Drs. H. Mazmur Sya’roni Anggota

27
Dilahirkan di Arjawinangun, 21 Februari 1956. Pengalaman pendidikan sekolah dasar
tamat tahun 1967, SMP tamat tahun 1970, kemudian melanjutkan pendidikan non-formal pada
tahun 1970-1973 di Lirboyo, kemudian di Kerapyak pada tahun 1973-1976. Beliau sempat
tabarrukan dengan Kiyai Umara bin Mannan dan mendapatkan ijazah atau sanad silsilah al-
Qur’ân sampai kepada Nabi Muhammad, belajar al-Qur’ân dengan Kiyai Munawwir pada tanggal
6 Agustus 1976-1977 kemudian melanjutkan jenjang studinya sampai jenjang s3 di Ummul Qurra’
Saudi Arabia. Beliau adalah dosen di beberapa Perguruan Tinggi seperti UIN Jakarta, PTIQ
Jakarta, IIQ Jakarta. Wawancara dengan Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA pada tanggal 27
Agustus 2009. Dikutip dari Tesis Irfan Hasanuddin, Penafsiran Bias Jender: Telaah Tafsir
Departemen Agama Yang Disempurnakan, (Jakarta; UIN Jakarta, 2009) hal. 52
28
Lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, 30 Desember 1946. Memperoleh gelar magister
dalam ilmu Fiqih Perbandingan Mazhab dari Universitas al-Azhar Kairo, Mesir tahun 1981. Gelar
Doktor diperoleh pada tahun 1984 pada bidang dan universitas yang sama. Aktivitas mengajar di
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta dan Pascasarjana UIN Jakarta, UM Jakarta dan IIQ dan
PTIQ Jakarta. Diambil dari karyanya Fiqih Perempuan Kntemporer, (Jakarta; al-Mawardi Prima,
20001) hal. 188
29

 Drs. H.M. Syatibi AH. Anggota

Staf Sekretariat:

 Drs. H. Rosehan Anwar, APU

 Abdul Aziz Sidqi, M.Ag

 Joni Syatri, S.Ag

 Muhammad Musaddad, S.Th.I

Tim tersebut didukung oleh Menteri Agama selaku Pembina, K.H. Sahal

Mahfudz, Prof. K.H. Ali Yafie, Prof. Drs. H. Asmuni Abd. Rahman, Prof. Drs. H.

Kamal Muchtar, dan K.H. Syafi’i Hadzami (Alm.) selaku Penasehat, serta Prof.

Dr. H.M. Quraish Shihab dan Prof. Dr. Said Agil Husin al Munawwar, MA selaku

Konsultan Ahli/Narasumber.

Ditargetkan setiap tahun tim ini dapat menyelesaikan 6 juz, sehingga

diharapkan akan selesai seluruhnya pada tahun 2007. Pada tahun 2007 tim tafsir

telah menyelesaikan kajian dan pembahasan juz 1 s.d. 30, yang hasilnya

diterbitkan secara bertahap. Pada tahun 2004 diterbitkan juz 1 s.d. 6, pada tahun

2005 diterbitkan juz 7 s.d. 12, pada tahun 2006 diterbitkan juz 13 s.d. 18, dan

pada tahun 2007 ini diterbitkan juz 19 s.d. 24, dan pada tahun 2008 diterbitkan juz

25 s.d. 30. Setiap cetak perdana sengaja dilakukan dalam jumlah yang terbatas

untuk disosialisasikan agar mendapat masukan dari berbagai pihak untuk

penyempurnaan selanjutnya. Dengan demikian terbitan perdana terbuka untuk

penyempurnaan pada tahun-tahun berikutnya.


30

II. Hal-hal Yang Diperbaiki

Di bawah ini akan dijelaskan tentang beberapa perbaikan yang telah

dilakukan oleh Tim Penyempurnaan Tafsir Departemen Agama.

Susunan tafsir pada edisi penyempurnaan tidak jauh berbeda dari tafsir

yang sudah ada, yaitu terdiri dari mukaddimah yang berisi tentang: Nama surah,

tempat diturunkannya, banyaknya ayat, dan pokok-pokok isinya. Mukaddimah

akan dihadirkan setelah penyempurnaan atas ke-30 juz tafsir selesai dilaksanakan.

Setelah itu penyempurnaan tafsir dimulai dengan mengetengahkan beberapa

pembahasan yaitu dimulai dari judul, penulisan kelompok ayat, terjemah,

kosakata, munasabah, sebab nuzul, penafsiran dan diakhiri dengan kesimpulan.

Pertama: Judul

Sebelum memulai penafsiran, ada beberapa judul yang disesuaikan dengan

kandungan kelompok ayat yang akan ditafsirkan. Dalam tafsir penyempurnaan

ada perbaikan judul dari segi struktur bahasa. Tim penyempurna tafsir kadangkala

merasa perlu untuk mengubah judul jika hal itu diperlukan, misalnya judul yang

ada kurang tepat dengan kandungan ayat-ayat yang akan ditafsirkan.

Kedua: Penulisan Kelompok Ayat

Dalam penulisan kelompok ayat ini, rasm yang digunakan adalah rasm

dari mushaf standar Indonesia yang sudah banyak beredar dan terakhir adalah

mushaf yang ditulis ulang (juga mushaf standar Indonesia) yang diwakafkan dan

disumbangkan oleh yayasan ―Iman Jama‖ kepada Departemen Agama untuk

dicetak dan dipersebarluaskan. Dalam kelompok ayat ini tidak banyak mengalami

perubahan. Hanya jika kelompok ayatnya terlalu panjang, maka tim merasa perlu
31

membagi kelompok ayat tersebut menjadi beberapa kelompok dan setiap

kelompok diberikan judul baru.

Ketiga: Terjemah

Dalam menerjemahkan kelompok ayat, terjemah yang dipakai adalah al-

Qur’ân dan Terjemahnya edisi 2002 yang telah diterbitkan oleh Departemen

Agama pada tahun 2004.

Keempat: Kosakata

Pada al-Qur’ân dan tafsirnya Departemen Agama lama tidak ada

penyertaan kosakata ini. Dalam edisi penyempurnaan ini, tim merasa perlu

mengetengahkan unsur kosakata ini. Dalam penulisan kosakata, yang diuraikan

terlebih dahulu adalah arti kata dasar dari kata tersebut, lalu diuraikan pemakaian

kata tersebut dalam al-Qur’ân dan kemudian mengetengahkan arti yang paling pas

untuk kata tersebut pada ayat yang sedang ditafsirkan. Kemudian jika kosakata

tersebut diperlukan uraian yang lebih panjang, maka diuraikan sehingga bisa

memberi pengertian yang utuh tentang hal tersebut.

Kelima: Munasabah

Sebenarnya ada beberapa bentuk munasabah atau keterkaitan ayat dengan

ayat berikutnya atau antara satu surah dengan surah berikutnya. Seperti

munasabah antara satu surah dengan surah berikutnya, munasabah antara awal

surah dengan akhir surah, munasabah antara akhir surah dengan awal surah

berikutnya, munasabah antara satu ayat dengan ayat berikutnya dan munasabah

antara kelompok ayat dengan kelompok ayat berikutnya. Yang dipergunakan

dalam tafsir ini adalah dua macam saja, yaitu munasabah antara satu surah dengan
32

surah sebelumnya dan munasabah kelompok ayat dengan kelompok ayat

sebelumnya.

Keenam, Sabab Nuzul

Dalam tafsir penyempurnaan ini, sebab nuzul dijadikan sub tema. Jika

dalam kelompok ayat ada beberapa riwayat tentang sebab nuzul maka sabab nuzul

yang pertama yang dijadikan subjudul. Sedangkan sabab nuzul berikutnya cukup

diterangkan dalam tafsir saja.

Ketujuh: Tafsir

Secara garis besar penafsiran yang sudah ada tidak banyak mengalami

perubahan, karena masih cukup memadai sebagaimana disinggung di muka. Jika

ada perbaikan adalah pada perbaikan redaksi, atau menulis ulang terhadap

penjelasan yang sudah ada tetapi tidak mengubah makna, atau meringkas uraian

yang sudah ada, membuang uraian yang tidak perlu atau uraian yang berulang-

ulang, atau uraian yang tidak terkait langsung dengan ayat yang sedang

ditafsirkan, men-takhrij hadis atau ungkapan yang belum di-takhrij, atau

mengeluarkan hadis yang tidak shahih.

Tafsir ini juga berusaha memasukkan corak tafsir ―ilmi‖ atau tafsir yang

bernuansa sains dan teknologi secara sederhana sebagai refleksi atas kemajuan

teknologi yang sedang berlangsung saat ini dan juga untuk mengemukakan

kepada beberapa kalangan saintis bahwa al-Qur’ân berjalan memacu kemajuan

teknologi.
33

Kedelapan: Kesimpulan

Tim juga banyak melakukan perbaikan dalam kesimpulan. Karena tafsir

ini bercorak ―Hidâ’i‖, maka kesimpulan akhir tafsir ini juga berusaha

mengetengahkan sisi-sisi hidayah dari ayat yang telah ditafsirkan29.

Sebagai respon atas saran dan masukan dari para pakar, penyempurnaan

Tafsir al-Qur’ân Departemen Agama telah memasukan kajian ayat-ayat kauniyah

atau kajian ayat dari perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam hal ini

dilakukan oleh tim pakar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu:

 Prof. Dr. H. Umar Anggara Jenie, Apt, M.Sc. Pengarah

 Dr. H. Hery Harjono Ketua merangkap

anggota

 Dr. H. Muhammad Hisyam Sekretaris merangkap

anggota

 Dr. H. Hoemam Rozie Sahil Anggota

 Dr. H.A. Rahman Djuwansah Anggota

 Prof. Dr. Arie Budiman Anggota

 Ir. H. Dudi Hidayat, M.Sc Anggota

 Prof. Dr. H. Syamsul Farid Ruskanda Anggota

Staf Sekretariat:

 Dra. E. Tjempakasari, M. Lib

 Drs. Tjejep Kurnia

29
Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad (Ketua Tim Penyempurnaan al-Qur’ân dan Tafsirnya
Departemen Agama RI tahun 2003), al-Qur’ân dan Tafsirnya; Edisi yang Disempurnakan,
(Jakarta; Departemen Agama RI, 2004) cet. Pertama hal. xxv
34

Demikian semoga al-Qur’ân dan Tafsirnya yang disempurnakan ini

memberikan manfaat dan dapat memandu mereka yang ingin mengetahui

kandungan dan ayat-ayat al-Qur’ân secara lebih mendalam.


BAB III

ANALISA PERBANDINGAN TENTANG PENAFSIRAN SURAT

AL-INSYIQÂQ

A. Menurut Tafsir al-Misbâh karya M. Quraish Shihab

Sebelum mengetahui bagaimana Quraish Shihab menafsirkan surah al-

Insyiqâq, penulis akan sedikit memaparkan mengenai surah ini. Ayat-ayat surah

ini disepakati oleh Ulama turun sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah.

Namanya yang dikenal pada masa sahabat Nabi SAW. adalah surah Idzâ

Insyaqqat as-Samâ1. Imâm Mâlik meriwayatkan sebagaimana tercantum dalam

al-Muwaththa’-nya bahwa Abû Salamah berkata: Sahabat Nabi, Abû Hurairah,

sujud ketika membaca surah Idzâ Insyaqqat as-Samâ. Setelah selesai Abû

Hurairah menjelaskan kepada mereka bahwa Rasul SAW. pun sujud ketika

membacanya. Dalam beberapa kitab tafsir, begitu juga dalam Mushaf, nama

tersebut dipersingkat sehingga hanya menjadi surah al-Insyiqâq. Inilah satu-

satunya nama yang dikenal untuk kumpulan ayat-ayat surah ini.

Tema untuk surah ini menurut al-Biqa‘i adalah penjelasan menyangkut

uraian akhir surah yang lalu (al-Mutaffifin) yaitu bahwa hamba-hamba Allah yang

mendekatkan diri kepada-Nya akan memperoleh kenikmatan, sedang musuh-

musuhnya akan tersiksa. Itu karena mereka tidak mempercayai adanya hari

Kebangkitan, tidak juga percaya bahwa akan ada manusia diperhadapkan dengan

Tuhan Maha Raja mereka, serupa dengan hamba sahaya diperhadapkan kepada

1
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 137

35
36

Raja atau Penguasa lalu dijatuhi putusan; ada yang memperoleh ganjaran baik dan

ada juga yang disiksa. Nama surah ini al-Insyiqâq menunjuk tema utama itu.

Demikian kurang lebih al-Biqa‘i2.

Surah ini dinilai sebagai surah yang ke-83 dari segi urutan turunnya. Ia

turun sesudah surah al-Infitâr dan sebelum surah ar-Rûm. Jumlah ayat-ayatnya

menurut cara perhitungan ulama Mekah, Madinah dan Kufah sebanyak 25 ayat,

dan menurut cara perhitungan ulama Bashrah sebanyak 23 ayat.

Ayat 1-5

‫ث يَا‬
ْ َ‫ َٔأَنْم‬- ْ‫ض يُذَت‬
ُ ْ‫ َٔئِرَا انْأَس‬- ْ‫ث نِشَتَِٓا َٔحُمَث‬
ْ َ ِ‫ َٔأَر‬- ْ‫ئِرَا انّسًََاء اَشَمَث‬

ْ‫ث نِشَتَِٓا َٔحُمَث‬


ْ َ ِ‫َٔأَر‬ - ْ‫فِيَٓا َٔجَخَهَث‬

Artinya: Apabila langit terbelah, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah
semestinya langit itu patuh, dan apabila bumi diratakan, dan dilemparkan
apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong, dan patuh kepada
Tuhannya, dan sudah semestinya bumi itu patuh, (pada waktu itu manusia
akan mengetahui akibat perbuatannya).

Surah yang lalu diakhiri dengan uraian tentang kenikmatan yang akan

diperoleh hamba-hamba Allah yang taat, dan bahwa musuh-musuhnya akan

disiksa. Di sini Allah bersumpah dengan kehancuran alam raya untuk menegaskan

bahwa manusia –suka atau tidak suka— pasti akan menemui Allah untuk

mengetahui dan memperoleh balasan bagi amal perbuatannya ketika hidup di

dunia. Dan kalau dalam surah yang lalu Allah menyinggung tentang catatan amal

manusia –baik yang durhaka maupun yang taat, maka di sini Allah menyebutkan

keniscayaan pertemuan dengan-Nya sambil menguraikan tentang penyerahan

2
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 137
37

kitab-kitab amalan itu. Di sini Allah berfirman: Apabila Langit yang terlihat

dewasa ini sedemikian kokoh, terbelah karena rapuhnya dan sangat patuh kepada

Tuhannya sehingga menerima putusan Allah, membelah dan

memporakporandakannya, dan memang sudah semestinya langit itu patuh atau

benar-benar telah menjadi nyata bagi semua pihak ketika itu keterbelahan dan

kehancurannya serta kepatuhannya kepada Allah, yang selama ini diduga oleh

sementara orang berdiri sendiri, dan apabila bumi dibentangkan yakni diratakan

gunung-gunung dan tebingnya, sehingga ia bagaikan sangat luas, dan bumi itu

pun mencampakkan serta memuntahkan apa saja yang ada di dalam perut-nya

dan bersungguh menjadikan dirinya kosong dari segala yang selama ini

terpendam di perut bumi, dan itu semua adalah karena ia sangat patuh kepada

Tuhannya, dan memang sudah semestinya bumi itu patuh. Betapa ia tidak patuh

padahal sejak semula, pada awal penciptaanya dia telah menyatakan

kepatuhannya (baca QS. Fussilat [41]: 11). Apabila itu terjadi, maka manusia akan

segera menerima balasan amal perbuatannya.

Kemudian, dalam menafsirkannya Quraish menjelaskan dahulu arti

kosakata yang terdapat dalam surat al-Insyiqâq. Kata ْ‫( أَرِ َث‬adzinat) terambil dari

kata ٌٌُ‫أُر‬ (udzunun) yakni telinga yang merupakan alat pendengaran. Dari sini

kata yang digunakan ayat di atas diartikan mendengar dan yang dimaksud adalah

patuh. Siapa yang mendengar dengan baik, maka tentu dia patuh, apalagi yang

dipatuhi langit dan bumi itu adalah َُّ‫( سَت‬rabbahû) yakni Tuhannya yang mencipta

dan mengendalikannya.
38

Ayat tersebut tidak menyebut secara tersurat apa yang akan terjadi setelah

kejadian-kejadian yang menimpa langit dan bumi. Ini karena hal tersebut sudah

cukup jelas, apalagi dalam surah al-Mutaffifin yang lalu telah disinggung tentang

keniscayaan Kiamat dan balasan bagi setiap orang.

Makna keterbelahan langit pada ayat ini serupa dengan makna infitâr pada

surah al-Infitâr. Hanya saja bedanya, di sini ditampilkan kepatuhan langit dan

bumi menerima ketetapan Allah SWT. yang mengakhiri peranannya di alam dunia

ini.

Langit dan bumi, oleh ayat di atas digambarkan sebagai sesuatu yang

hidup dan demikian patuh. Bumi adalah tempat manusia hidup. Ayat di atas

menggambarkan bahwa bumi mengeluarkan segala isinya. Ini memberikan kesan

bahwa bumi pun melepaskan diri dari segala sesuatu –termasuk manusia lebih-

lebih yang durhaka— melepaskan pula segala yang ada pada perutnya karena

takut kepada Allah. Kemudian Qurasih mencoba membandingkan ayat ini dengan

keadaan manusia menghadapi goncangan Kiamat:

‫م حًَْهََٓا‬
ٍ ًْ َ‫ت ح‬
ِ ‫م رَا‬
ُ ‫ث َٔجَضَ ُع ُك‬
ْ َ‫م يُشْضِعَ ٍة عًََا أَسْضَع‬
ُ ‫م ُك‬
ُ َْ ْ‫يَْٕ َو جَشَْٔ ََٓا جَز‬

ٌ‫ب انهَِّ شَذِيذ‬


َ ‫ٍ عَزَا‬
َ ِ‫َٔجَشَٖ انَُاطَ سُكَاسَٖ َٔيَا ُْى تِّسُكَاسَٖ َٔنَك‬

Artinya: (Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu,


lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya
dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat
manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk,
akan tetapi azab Allah itu sangat kerasnya. (Q.S. al-Hajj 22:2)
39

AYAT 6-9

ُّ َ‫ي كِحَات‬
َ ‫ٍ أُٔ ِج‬
ْ َ‫ فَأَيَا ي‬- ِّ ‫ك كَذْحاً فًَُهَالِي‬
َ ِ‫ح ئِنَٗ سَت‬
ٌ ِ‫ك كَاد‬
َ َ ِ‫ٌ ئ‬
ُ ‫يَا أَيَُٓا انْاَِّسَا‬

‫ة ئِنَٗ أَْْهِ ِّ يَّسْشُٔسًا‬


ُ ِ‫ َٔيَُمَه‬- ‫ة حِّسَاتًا يَّسِيشًا‬
ُ َ‫ف يُحَاس‬
َ َْٕ‫فَّس‬- ِّ ُِ‫تِيًَِي‬

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-


sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya, Adapun
orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan
diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada
kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira.

Setelah ayat yang lalu mengisyaratkan kepatuhan langit dan bumi serta

keniscayaan adanya balasan dan ganjaran maka ayat di atas menyeru dan

mengingatkan manusia bahwa : Hai manusia, sesungguhnya engkau siapa pun di

antara kamu giat bekerja menuju Tuhan Pencipta dan Pemelihara-mu; kegiatan

dengan penuh kesungguhan. Selanjutnya karena itu adalah bagian dari perjalanan

menuju kepada-Nya, maka pasti engkau akan menemui-Nya —suka atau tidak

suka dan ketika itulah masing-masing akan menerima balasan amal perbuatannya.

Adapun orang yang diberikan kitabnya dengan tangan atau dati arah kanannya,

maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah karena dia adalah

orang yang taat dan selama kehidupan dunia ini dia sudah selalu melakukan

perhitungan dan intropeksi terhadap dirinya, dan dia juga akan kembali kepada

sanak keluaranya yang sama-sama beriman atau pasangannya dari bidadari-

bidadari yang siap menyambutnya –atau sesamanya yang mukmin karena

merekalah saudara-saudaranya, ia kembali menemui mereka dengan gembira.

Dalam menafsirkan, Quraish juga mengutip pendapat Ibn ‗Âsyûr. Kata

‫ح‬
ٌ ِ‫كَاد‬ (kâdihun) dan ‫كَذْحَا‬ (kadhan) pada mulanya berarti bersungguh-sungguh
40

hingga letih dalam melakukan kegiatan. Manusia dalam bekerja pada dasarnya

melihat hari esoknya, bahkan melihat masanya yang akan datang baik singkat

maupun lama. Demikian yang dilakukan hingga berakhir umurnya dengan

kematian dan pertemuan dengan Allah. Atas dasar itulah sehingga ayat di atas

menyatakan bahwa usaha manusia berlanjut hingga akhirnya ia menemui Allah

SWT. Pengukuhan kata Kâdih dengan kadhan untuk memberi gambaran bahwa

perjalanan menuju Allah itu adalah sesuatu yang pasti dan tidak dapat dihindari3.

Manusia mau atau tidak pasti berakhir usahanya dengan kematian dan

pertemuan dengan Allah. Ini karena manusia adalah hamba-Nya, sekaligus Dia

adalah pengatur dan pengendali segala urusannya. Ayat ini mengisyaratkan

keniscayaan adanya pertanggungjawaban, karena tidak mungkin pertemuan itu,

tanpa tujuan, apalagi yang ditemui adalah Allah Yang Maha Agung Sang Pencipta

manusia. Allah dengan penciptaan dan pengaturan-Nya serta manusia dengan

kebebasan memilih yang dianugerahkan kepada-Nya, tentulah akan dituntut untuk

mempertanggungjawabkan hasil pilihannya itu. Akan berakhir perjalanan, usaha

serta hidupnya pada Allah, dalam arti segala sesuatu pada akhirnya kembali

kepada putusan Tuhan Yang Maha Agung itu.

Kata ٍِْ‫( انَيًِي‬al-yamîn) biasa diartikan kanan. Kata ini mempunyai banyak

arti, antara lain kekuatan, kebahagiaan, keberkatan. Agama menjadikan kanan

sebagai lambang kebajikan dan keberuntungan. Oleh karena itu, penghuni surga

kelak akan menerima buku amalan mereka dengan tangan kanan. Dari sini, serta

3
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 141
41

dari arti-arti yang disebutkan di atas seperti kebahagiaan dan lain-lain, penghuni

surga dinamai as-hâb al-yamîn/kelompok kanan.

Firman-Nya: kembali kepada sanak keluarganya dipahaminya sebagai

perumpamaan seorang musaffir yang kembali dari satu perjalanan dagang,

kembali dengan membawa keuntungan besar untuk diri dan keluarganya. Di

samping menurut Ulama asal Tunisia itu, tidak dapat dikatakan ia kembali ke

surga menemui keluarganya, karena sebelum ini ia belum pernah berada di surga.

Kembali kepada keluarga juga merupakan kiasan tentang rasa aman, santai dan

keterhindaran dari segala keletihan. Demikian lebih kurang pendapat Ibn ‗Âsyûr

yang dikutip oleh Quraish Shihab4.

Ayat 10-15

- ‫ َٔيَصْهَٗ سَعِيشًا‬- ً‫ف يَذْعُٕ ثُثُٕسا‬


َ َْٕ‫ فَّس‬- ِِ‫ي كِحَاتَ ُّ َٔسَاء ظَْٓش‬
َ ‫ٍ أُٔ ِج‬
ْ َ‫َٔأَيَا ي‬

ِّ ِ‫ٌ ت‬
َ ‫ٌ سَتَ ُّ كَا‬
َ ِ‫ تَهَٗ ئ‬- ‫ٍ أٌَ نٍَ يَحُٕ َس‬
َ َ‫ ئِ َ ُّ ظ‬- ً‫ئِ َ ُّ كَاٌَ فِي أَْْهِ ِّ يَّسْشُٔسا‬

ً‫تَصِيشا‬

Artinya: Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang, dia


akan berteriak: "Celakalah aku". dia akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka). Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira
di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir). Sesungguhnya dia
menyangka bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya). .
(Bukan demikian), yang benar, sesungguhnya Tuhannya selalu
melihatnya.

Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan keadaan yang taat, kini ayat di

atas menguraikan keadaan yang durhaka. Allah berfirman: Dan adapun orang

4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 142
42

yang diberikan kitabnya dengan tangan kiri dari balik punggungnya sebagai tanda

penghinaan, maka dia akan mengalami penghitungan yang sulit dan akan

berteriak memanggil kecelakaan agar ia segera binasa tidak mengalami lebih

banyak lagi siksaan, atau ia akan berkata: ―Celakalah aku karena akan mengalami

kesengsaraan.‖ dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala yaitu

neraka. Sesungguhnya dahulu ketika dia hidup di dunia di tengah keluarganya dia

selalu bergembira tanpa batas lagi angkuh dan berfoya-foya. Susungguhnya ketika

itu dia menduga atau yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali kepada

Tuhannya, dan karena itu dia tidak akan pernah melakukan perhitungan atas

dirinya. Tidaklah demikian ! Dia pasti akan kembali kepada Allah, sesungguhnya

Tuhannya selalu terhadapnya saja Maha Melihat sehingga Maha Mengetahui

tingkah laku dan motivasinya. Di samping itu Tuhan juga memerintahkan

malaikat mencatat amal-amalnya sehingga dia kelak tidak dapat ingkar atas apa

yang telah dilakukannya.

Ayat di atas menyatakan bahwa akan ada yang akan diberi kitab amalanya

dari balik punggungnya, maka itu tidak harus dipertentangkan dengan ayat-ayat

yang lain yang menyatakan diberikan melalui tangan kirinya, karena bisa saja

kitab diberikan melalui punggung dan diterima oleh tangan kirinya. Apalagi –

seperti ditulis Tabâtabâ‘i yang dikutip oleh Quraish— ada orang-orang di hari

kemudian yang diubah mukanya dan diputarkan ke belakangnya5 (baca QS. An-

Nisâ‘ [4]: 47). Ada juga yang diberi kitabnya di belakang punggungnya adalah

orang-orang yang durhaka dari kelompok kaum muslimin. Mereka itu tidak diberi

5
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 143
43

kitab amalannya dengan tangan kanannya, karena ini khusus kepada yang taat,

tidak juga diberi dengan tangan kirinya, karena ini khusus buat orang-orang yang

kafir. Yang diberi dari belakang itu, terlebih dahulu masuk neraka, lalu

dikeluarkan darinya untuk kemudian masuk ke surga.

Kata ‫يحٕس‬ berarti kembali yakni kembali setelah kematian. Yang

dimaksud ayat ini adalah bahwa yang bersangkutan mengingkari adanya hari

Kebangkitan.

Firman-Nya: Sesungguhnya Tuhannya selalu terhadapnya Maha Melihat,

dengan mendahulukan kata terhadapnya sebagai isyarat bahwa tidak satu pun

dari kegiatan yang bersangkutan, luput dari pengetahuan Allah, seakan-akan

hanya terhadapnya saja Tuhan melihat. Penggalan ayat ini memberi isyarat

tentang keniscayaan Perhitungan atas amal-amal manusia. Allah Maha

Mengetahui tentang manusia, dan ini berarti Dia Maha Mengetahui serta

membedakan antara yang taat dengan yang durhaka, dan tentu saja tidaklah wajar

mempersamakan antara keduanya. Dari sini perlu ada ganjaran bagi yang taat dan

siksa bagi yang durhaka.

Ayat 16-19

ٍَ‫ٍ طَثَمًا ع‬
َ ُ‫ نَحَشْكَث‬- َ‫ َٔانْمًََ ِش ئِرَا اجَّسَك‬- ‫ك‬
َ َ‫م َٔيَا َٔس‬
ِ ‫ َٔانهَ ْي‬- ‫ك‬
ِ َ‫فَهَا أُلّْسِ ُى تِانشَف‬
‫ك‬
ٍ َ‫طَث‬
Artinya: Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di
waktu senja, dan dengan malam dan apa yang diselubunginya, . dan
dengan bulan apabila jadi purnama, sesungguhnya kamu melalui tingkat
demi tingkat (dalam kehidupan).
44

Untuk lebih menegaskan kebatilan pandangan mereka yang menduga tidak

akan ada kebangkitan, Allah menekankan hal itu dengan berfirman: Maka

sesungguhnya Aku tidak bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja, dan

dengan malam serta apa yang dihimpun –nya baik manusia, binatang maupun

selainnya, dan dengan bulan apabila menjadi purnama, sesungguhnya kamu pasti

melalui tingkat demi tingkat dalam kehidupan, bermula di dunia, lalu kematian

lalu hidup di alam Barzakh, lalu Kebangkitan dan akhirnya berada di surga atau

neraka.

Kata ‫( نَا‬lâ) pada firman-Nya: ُ‫أُلّْسِى‬ ‫( فَهَا‬falâ uqsimu) bisa dipahami sebagai

menafikan kata ُ‫أُلّْسِى‬ (uqsimu) sehingga itu berarti Allah tidak bersumpah. Bisa

juga kata lâ dipahami sebagai sisipan atau yang diistilahkan dalam bahasa Arab

dengan lâ Zâidah6 guna menekan sumpah tentang cahaya merah di waktu senja

itu. Bila dipahami demikian, maka kata lâ tidak diterjemahkan. Walaupun

terdapat perbedaan itu, namun pada akhirnya semua sepakat bahwa ayat di atas

mengandung penekanan. Seseorang ketika menafikan sesuatu boleh jadi saat itu,

ia justru menekankan pentingnya kandungan pembicaraannya. Seperti yang

dikatakan Quraish. Misalnya ketika seseorang menasihati seorang anak untuk

memperhatikan orang tuanya dengan berkata, ―rasanya saya tidak perlu berpesan

pada Anda untuk memperhatikan orang tua Anda.” Menafikan pesan di sini,

justru merupakan penekanan sungguh-sungguh menyangkut perlunya perhatian

itu.

6
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 144
45

Kata ‫انشَفَك‬
7
(asy-syafaq) adalah warna merah yang terlihat di ufuk pada

awal malam pada saat terbenamnya matahari. Selain itu dalam menafsirkan,

Quraish juga mengutip pendapat ar-Râghib al-Asfahâni yang memahami kata ini

pada mulanya berarti bercampur. Warna merah yang terlihat di ufuk adalah

karena bercampurnya sisa-sisa cahaya siang (matahari) dengan kegelapan malam.

Dari sini rasa takut yang bercampur dengan cinta dinamai ‫( شَفَمَة‬syafaqah) . Ada

juga yang memahami asal maknanya adalah kelemahlembutan. Warna yang

terlihat di ufuk pada saat matahari mulai terbenam mengesankan

kelemahlembutan, karena itu ia dinamai syafaq.

Kata َ‫َٔسَك‬ (wasaqa) berarti menghimpun. Apabila malam tiba, maka

terhimpunlah apa yang tadinya bertebaran di siang hari. Manusia kembali ke

rumahnya berhimpun dengan sanak keluarganya, binatang pun demikian. Ini

karena semua mendambakan ketenangan yang dapat diberikan oleh kegelapan

malam. Ada juga yang memahami makna tersebut dengan arti kata mengusik,

maksudnya, kehadiran malam bagaikan mengusik bintang-bintang yang tadinya

tersembunyi sehingga menjadi nampak dengan jelas di langit. Makna ini lebih

serasi dengan penyebutan asy-syafaq pada ayat yang sebelumnya serta

penyebutan al-qamar/bulan pada ayat sesudahnya.

Allah bersumpah dengan hal-hal di atas bukan saja untuk menunjukkan

betapa besar kuasa-Nya, tetapi juga menjadikan keadaan apa yang disebutnya

sebagai keniscayaan. Yakni semua mengalami perubahan sebagaimana manusia

7
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 144
46

juga mengalami perubahan-perubahan dalam perjalanan hidupnya, karena dia

pasti melalui tingkat demi tingkat.

Berbeda-beda pendapat ulama tentang arti ( ٍ‫ٍ طَثَمًا عٍَ طَثَك‬


َ ُ‫)نَحَشْكَث‬

(latarkabunna tabaqan ‘an tabaq) yang Quraish terjemahkan dengan kamu pasti

melalui tingkat demi tingkat. Perbedaan itu lahir dari banyaknya makna yang

dapat dikandung oleh kata ٍ


َ ُ‫( نَحَشْكَث‬latarkabunna) dan kata ‫( طَثَما‬tabaqan)

Kata la tarkubunna terambil dari kata َ‫سَكِة‬ (rakiba) yang pada mulanya

berarti mengendarai. Di samping makna harfiah ini ia juga diartikan secara majâzi

dalam arti mengalahkan, menguasai, mengikuti, menelusuri, bercampur, selalu

bersama serta mengatasi dan meninggi.

Adapun kata tabaq maka ia antara lain mengandung makna persamaan

sesuatu atau situasi dengan sesuatu yang lain baik ia bertumpuk maupun tidak.

Walaupun tidak secara spesifik dalam penyebutan nama kitabnya,

dikatakan Quraish bahwa sahabat Nabi, Ibn ‗Âbbâs, memahami kalimat di atas

dalam arti ancaman menyangkut hari Kiamat yakni, kamu akan mengalami situasi

yang sulit setelah situasi sebelumnya. Sahabat Nabi yang lain, Jâbir Ibn ‗Abdillâh

memahami situasi dimaksud sebagai situasi kematian, Kebangkitan dan

kebahagiaan atau kesengsaraan8.

Ada juga yang memahami kata tabaq dalam arti kedudukan. Yakni kamu

semua mengalami kedudukan yang berbeda yaitu dari kedudukan duniawi menuju

kedudukan ukhrawi. Ada orang-orang yang hidup dalam dunia ini dalam

8
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 145
47

kedudukan yang rendah, namun di akhirat akan menuju kedudukan yang tinggi.

Ada lagi yang memahami dalam arti, ―siapa yang kini dalam kesalehan, maka

kesalehannya itu akan mengajaknya menuju kesalehan yang lebih tinggi, begitu

juga sebaliknya, karena segala sesuatu mengajak sesuai dengan keadaanya.‖

Ada lagi yang berpendapat bahwa, ―kamu akan berjalan menuju satu

tempat guna menghadiri perhitungan di hari kemudian. Kehadiran itu dalam

bentuk kelompok demi kelompok.‖

Quraish juga mengutip pendapat al-Biqâ‘i. Dalam memahami kalimat

tersebut sebagai berbicara tentang tingkat-tingkat yang dilalui manusia dalam

perjalanan hidupnya. Tingkat pertama yang dilaluinya adalah dalam perut ibu,

kemudian lahir dalam keadaan bayi, kemudian menyusu, lalu disapih, kemudian

menjadi remaja, dewasa, tua dan pikun, lalu meninggalkan dunia ini ke alam

barzakh. Selanjutnya, kebangkitan dari kubur, penggiringan ke padang mahsyar,

hisâb yakni perhitungan dan pertanggungjawaban, lalu penimbangan amal, lalu

melewati sirât atau jembatan dan akhirnya berada di surga atau neraka. Di

samping itu ada juga tingkat-tingkat yang bersifat non material dalam hal

keburukan atau keluhuran9.

Menurut Sayyid Qutub –lanjut Quraish—, makna ini adalah: ―kamu akan

mengalami situasi demi situasi sesuai dengan telah apa yang telah digariskan bagi

kamu. Situasi itu dilukiskan bagai sesuatu yang dikendarai dan semua akan

dibawa oleh kendaraannya menuju arah yang ditetapkan dan akan berakhir pada

tujuan itu, sebagaimana keadaan yang terlihat di alam raya ini, seperti cahaya

9
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 146
48

merah dikala senja, malam dengan apa yang telah dihimpunnya serta bulan ketika

purnama, sampai akhirnya semua akan menemui Tuhannya sebagaimana

disinggung oleh ayat-ayat yang lalu.‖

Ayat 20-21

ٌَُٔ‫ٌ نَا يَّسْجُذ‬


ُ ‫ب عَهَيِْٓ ُى انْمُشْآ‬
َ ِ‫ َٔئِرَا لُش‬- ٌ
َ ُُِٕ‫فًََا نَُٓ ْى نَا يُإْي‬
Artinya: Mengapa mereka tidak mau beriman? dan apabila Al Qur'an
dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud.

Cukup sudah penjelasan dan bukti-bukti yang dipaparkan Allah

menyangkut keniscayaan kiamat dan semua pemberitaan al-Qur‘ân. Jika

demikian, sungguh aneh sikap mereka. Mengapa mereka para pendurhaka ini tak

mau beriman kepada tuntunan Allah serta memperbaharui keimanannya secara

terus menerus dan dari saat ke saat ? apa yang merintangi mereka ? Dan mengapa

juga apabila dibacakan kepada mereka al-Qur’ân, oleh siapa pun, mereka

senantiasa enggan bersujud yakni tunduk dengan hati serta pikiran mereka atau

meletakkan dahi mereka ke bumi sebagai pengakuan tentang kebesaran Allah dan

kebenaran firman-firman-Nya ?.

Ayat di atas yang mengecam orang-orang kafir yang enggan bersujud,

merupakan salah satu ayat sajdah yakni dianjurkan bagi pembaca dan

pendengarnya untuk sujud. Demikian pendapat imam Syâfi‘i –kutip Qurasih—.

Salah satu alasannya adalah hadits Abû Hurairah yang telah dikutip pada awal

uraian surah ini. Namun –sambung Quraish— Imam Mâlik tidak menjadikan ayat

di atas sebagai ayat sajdah. Menurutnya tidak ada ayat sajdah pada surah-surah

al-Mufassal.
49

Ayat 22-25

‫ ئِنَا‬- ‫ب أَنِي ٍى‬


ٍ ‫ فَثَشِشُْْى تِعَزَا‬- ٌ
َ ُٕ‫ َٔانهَ ُّ أَعْهَ ُى تًَِا يُٕع‬- ٌَُٕ‫ٍ كَفَشُٔ ْا يُكَزِت‬
َ ‫م انَزِي‬
ِ ‫َت‬

ًٌٍَُُْٕ‫ت نَُٓ ْى أَجْ ٌش غَيْ ُش ي‬


ِ ‫ٍ آيَُُٕ ْا َٔعًَِهُٕ ْا انصَانِحَا‬
َ ‫انَزِي‬

Artinya: bahkan orang-orang kafir itu mendustakan(nya). Padahal Allah


mengetahui apa yang mereka sembunyikan (dalam hati mereka). Maka
beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang pedih, tetapi orang-orang
yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka pahala yang tidak putus-
putusnya.

Ayat-ayat yang lalu mempertanyakan apa yang merintangi mereka untuk

beriman dan patuh. Ayat di atas menyatakan bahwa tidak ada yang merintangi

mereka untuk bersujud dan beriman, bahkan sebaliknya terlalu banyak bukti dan

dorongan untuk melakukannya. Tetapi karena kebejatan hati mereka, maka

mereka enggan, bahkan orang-orang kafir itu terus-menerus mendustakan al-

Qur‘ân dengan berbagai dalih padahal Allah lebih mengetahui dari siapa pun

tentang apa yang mereka senantiasa sembunyikan dalam hati mereka antara lain

tentang kekaguman kepada al-Qur‘ân. Akan tetapi mereka pun enggan

mengakuinya karena khawatir kehilangan kedudukan dan pengaruh, demikian

juga tentang kebejatan dan kelicikan mereka. Jika demikian itu sikap mereka

maka ―gembirakanlah‖ mereka dengan siksa yang pedih. Demikian itulah yang

dipersiapkan untuk orang-orang kafir, tetapi orang-orang yang beriman dan

membuktikan keimanan mereka dengan beramal saleh, bagi mereka pahala yang

agung lagi tidak putus-putusnya dan itu secara sempurna mereka peroleh pada

hari kiamat yang bermula pada saat langit terbelah dan bumi dibentangkan.
50

Kata ٌُْٕ‫يُْٕع‬ (yû’ûn) seakar kata ‫َٔعَا‬ (wa’â) yakni wadah tempat

menghimpun sesuatu. Yang dimaksud di sini adalah menyembunyikan, karena

biasanya kata tersebut digunakan untuk menggambarkan penghimpunan sesuatu

agar tidak hilang, dan ini mengesankan kekikiran dan dari sini pula lahir makna

menyembunyikan. Demikian Ibn ‗Âsyur.

Penggunaan bentuk kata kerja pada kata ٌَُْٕ‫( يُكزّت‬yukdzdzibûn) dan ٌ


َ ُْٕ‫يُْٕع‬

(yû’ûn) di samping menunjukkan kesinambungan, juga untuk menghadirkan

dalam benak sikap buruk itu, seakan-akan nampak pada mereka sedang

melakukannya. Adapun penggunaan kata kerja masa lampau pada kata ‫ءَايَ ُْٕا‬

(âmanû) maka ini untuk mengisyaratkan bahwa keimanan mereka itu berlanjut

terus dan bagaikan telah terbukti hingga kematian mereka.

Kata ٌُْٕ ًَْ‫( ي‬mamnûn) terambil dari kata ٍَّ‫( ي‬manna) yang berarti putus.

Sehingga ajrun ghairu mamnûn berarti ganjaran yang demikian banyak dan tidak

putus-putusnya. Bisa juga kata tersebut terambil dari kata َُّّ‫ي‬ (mannahu) yang

antara lain berarti anugerah dan dengan demikian ia berarti ganjaran yang tidak

disebut-sebut sehingga tidak memalukan apalagi menyakitkan hati penerimanya.

Makna ini serupa dengan firman Allah:

َٖ‫ٍ َٔاألر‬
ِ ًَْ‫ال جُثْطِهُٕ ْا صَذَلَاجِكُى تِان‬
َ ْ‫ٍ آيَُُٕا‬
َ ‫يَا أَيَُٓا انَزِي‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan


(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan
si penerima).
51

Awal surah ini dimulai dengan sumpah menyangkut sekian banyak hal

yang menegaskan adanya pembalasan hari Pembalasan, akhirnya pun berbicara

tentang balasan yang disiapkan Allah bagi manusia –baik yang durhaka mau pun

yang taat. Demikian bertemu uraian awal surah ini dengan akhirnya10. Maha benar

Allah dalam segala firman-Nya dan Maha indah dan serasi ayat-ayat-Nya. Wa

Allâh A’lam.

B. Menurut Al-Qur’ân dan Tafsirnya karya Departemen Agama

Republik Indonesia

Dalam al-Qur’ân dan Tafsirnya dikatakan bahwa surat al-Insyiqâq terdiri

dari 25 ayat; termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, diturunkan sesudah surat

al-Infitâr. Dinamai ―al-Insyiqâq‖ (terbelah) diambil dari perkataan ―Insyaqqât‖

yang terdapat pada permulaan surat ini, yang pokok katanya ialah ―insyiqâq‖.

Dikatakan juga bahwa pokok-pokok isinya ialah paristiwa-peristiwa pada

permulaan terjadinya Hari Kiamat; peringatan bahwa manusia bersusah payah

menemui Tuhannya; dalam menemui Tuhannya kelak ada yang mendapat

kebahagiaan dan ada pula yang mendapat kesengsaraan; tingkat-tingkat kejadian

dan kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Dalam al-Qur’ân dan Tafsirnya

penafsiran surah al- Insyiqâq dikelompokkan ke dalam dua tema besar:

I. Orang-Orang Mukmin Menerima Catatan Amalnya Di

Sebelah Kanan Dan Akan Menerima Pemeriksaan Yang

Mudah

10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh, (Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 148
52

‫ث يَا‬
ْ َ‫ َٔأَنْم‬- ْ‫ض يُذَت‬
ُ ْ‫ َٔئِرَا انْأَس‬- ْ‫ث نِشَتَِٓا َٔحُمَث‬
ْ َ ِ‫ َٔأَر‬- ْ‫ئِرَا انّسًََاء اَشَمَث‬

‫ك‬
َ ِ‫ح ئِنَٗ سَت‬
ٌ ِ‫ك كَاد‬
َ َ ِ‫ٌ ئ‬
ُ ‫ يَا أَيَُٓا انْاَِّسَا‬- ْ‫ث نِشَتَِٓا َٔحُمَث‬
ْ َ ِ‫َٔأَر‬ - ْ‫فِيَٓا َٔجَخَهَث‬

- ‫ة حِّسَاتًا يَّسِيشًا‬
ُ َ‫ف يُحَاس‬
َ َْٕ‫فَّس‬- ِّ ُِ‫ي كِحَاتَ ُّ تِيًَِي‬
َ ‫ٍ أُٔ ِج‬
ْ َ‫ فَأَيَا ي‬- ِّ ‫كَذْحاً فًَُهَالِي‬

‫ف‬
َ َْٕ‫ فَّس‬- ِِ‫ي كِحَاتَ ُّ َٔسَاء ظَْٓش‬
َ ‫ٍ أُٔ ِج‬
ْ َ‫ َٔأَيَا ي‬- ً‫ة ئِنَٗ أَْْهِ ِّ يَّسْشُٔسا‬
ُ ِ‫َٔيَُمَه‬

ٍَ‫ٍ أٌَ ن‬
َ َ‫ ئِ َ ُّ ظ‬- ً‫ ئِ َ ُّ كَاٌَ فِي أَْْهِ ِّ يَّسْشُٔسا‬- ‫ َٔيَصْهَٗ سَعِيشًا‬- ً‫يَذْعُٕ ثُثُٕسا‬

ً‫ٌ تِ ِّ تَصِيشا‬
َ ‫ٌ سَتَ ُّ كَا‬
َ ِ‫ تَهَٗ ئ‬- ‫يَحُٕ َس‬

Artinya: Apabila langit terbelah, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah
semestinya langit itu patuh, dan apabila bumi diratakan, dan dilemparkan
apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong, dan patuh kepada
Tuhannya, dan sudah semestinya bumi itu patuh, (pada waktu itu manusia
akan mengetahui akibat perbuatannya). Hai manusia, sesungguhnya kamu
telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti
kamu akan menemui-Nya, Adapun orang yang diberikan kitabnya dari
sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang
mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman)
dengan gembira. Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari
belakang, dia akan berteriak: "Celakalah aku". dia akan masuk ke dalam
api yang menyala-nyala (neraka). Sesungguhnya dia dahulu (di dunia)
bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir). Sesungguhnya
dia menyangka bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada
Tuhannya). . (Bukan demikian), yang benar, sesungguhnya Tuhannya
selalu melihatnya.

Dalam melakukan penafsirannya, departemen agama terlebih dahulu

menjelaskan kosakata yang terdapat dalam surah ini:

1. Huqqat ْ‫( حُمَث‬al-Insyiqâq/84: 2)

Kata huqqat adalah fi’il mâdi (kata kerja lampau) dengan mabnî

majhûl, dari haqqa-yahiqqa-haqqan. Kata haqqa di-mu’annas-kan

(difeminimkan) menjadi haqqat. Haqqat mabnî majhûl-nya huqqat. Kata


53

al-haqq artinya berhak atau pantas. Dengan demikian, kata huqqat dalam

ayat ini langit diberi hak atau langit dibuat pantas untuk taat dan patuh

kepada perintah Tuhannya. Menurut penafsiran Ibnu al-Jauzi, huqqat

maksudnya memang langit berhaklah untuk mematuhi perintah Tuhannya

yang telah menciptakannya. Artinya, memang menjadi kodrat langitlah

untuk taat dan berserah diri sepenuhnya kepada perintah kepada perintah

Tuhan, yang menciptakan dan mengendalikannya

2. Kadhan ً‫( كَذْحا‬al-Insyiqâq/84: 6)

Kadh adalah isim masdar dari kadiha-yakdahu-kadhan. Isim fa’il-

nya kâdih. Kadh pada mulanya berarti ―usaha sungguh-sungguh hingga

letih dalam melakukan kegiatan‖. Menurut az-Zajjâj secara bahasa al-kadh

sama dengan as-sa’yu (berusaha). Manusia pada dasarnya dalam bekerja

melakukan dengan sungguh-sungguh, dengan melihat masa yang akan

datang baik pendek maupun panjang. Demikian yang dilakukannya hingga

berakhir umurnya dengan kematian dan perjumpaan dengan Allah, dan

bahwa perjalanan menuju Allah adalah sesuatu yang pasti dan tidak dapat

dihindari.

3. Tsubûran ً‫( ثُثُٕسا‬al-Insyiqâq/84: 11)

Tsubûr adalah isim masdar yang kedudukannya sebagai hâl

(menerangkan keadaan). Menurut az-Zajjaj, kata tsubûr dalam penuturan

orang Arab sering disamakan dengan ungkapan yâ wailah yâ tsubûrah

(aduh celaka, aduh celaka), dan hal itu sering dikatakan oleh orang yang

jatuh dalam kebinasaan. Setiap orang yang nasibnya buruk di akhirat dan
54

menerima catatannya dari belakangnya, nanti akan berseru (berteriaklah),

tsabartu tsubûran, ―celakalah aku‖.

4. Yahûra َ‫( يَحُٕس‬al-Insyiqâq/84: 14)

Kata yahûr adalah fi’il mudari’ (kata kerja berkelanjutan), dari

hâra-yahûru-hûran. Ahli bahasa Arab berkata bahwa kata al-hûr secara

bahasa artinya kembali (ar-rujû‘). Lan yahûra maksudnya tidak lain ialah

lan yarji’a. Ayat ini maksudnya ―dia menduga bahwa dia sekali-kali tidak

akan kembali ke akhirat dan tidak pula dibangkitkan. Itu merupakan

pandangan orang kafir. Kata yahûru maknanya kembali hidup setelah

kematian. Yang dimaksud adalah bahwa yang bersangkutan (orang kafir)

mengingkari hari kebangkitan. Bagi orang kafir, hidup dan kehidupan

hanyalah di dunia, setelah itu semua makhluk hidup akan mati dan habis

ditelan masa. Tidak ada yang namanya kembali‖

Tafsir

(1-2) Dalam ayat-ayat ini Allah menerangkan, bahwa apabila langit

terbelah karena telah rusak hubungan bagian-bagiannya dengan rusaknya

peraturan alam semesta pada Hari Kiamat nanti, disebabkan benturan-benturan

binatang di langit, karena masing-masing mempunyai daya tarik tersendiri, yang

ada pada mereka masing-masing, maka rusaklah peraturan alam semesta dan

terjadilah pada gumpalan-gumpalan awan yang gelap gulita yang timbul di

beberapa tempat di cakrawala angkasa luar dan langit itu akan patuh kepada apa-
55

apa yang diperintahkan Allah. Sepantasnya dia patuh karena dialah makhluk

Tuhan yang senantiasa berada dalam kekuasaan-Nya.

(3-5) Dalam ayat-ayat ini Allah menerangkan bahwa bila bumi dan

gunung-gunung hancur berkeping-keping sehingga menjadi rata dan

mengeluarkan apa-apa yang ada di dalamnya (perutnya), yang demikian itu adalah

karena tunduk kepada perintah Allah dan patuh melakukan kehendak-Nya.

Dalam ayat-ayat lain yang bersamaan maksudnya Allah berfirman:

‫ض أَثْمَانََٓا‬
ُ ْ‫ث انْأَس‬
ِ َ‫ َٔأَخْشَج‬- ‫ض صِنْضَانََٓا‬
ُ ْ‫ث انْأَس‬
ِ َ‫ئِرَا صُنْضِن‬

Artinya: Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat),


dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya.
(Q.S. al-Zalzalah 99: 1-2)

Dan firman-Nya:

ْ‫َٔئِرَا انْمُثُٕ ُس تُعْثِشَت‬

Artinya: dan apabila kuburan-kuburan dibongkar. (Q.S. al-Infitâr 82: 4)

Dan firman-Nya lagi:


ِ‫أَفَهَا يَعْهَ ُى ئِرَا تُعْثِ َش يَا فِي انْمُثُٕس‬

Artinya: Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang
ada di dalam kubur. (Q.S. al-Âdiyât 100: 9)

(6) Dalam ayat ini Allah mengungkapkan bahwa manusia dalam masa

hidupnya bekerja bersungguh-sungguh untuk mencapai cita-citanya. Setiap

langkahnya adalah sesungguhnya menuju kepada akhir hidupnya, ialah mati: yang

berarti kembali kepada Allah SWT. dan pada ketika itulah manusia akan
56

mengetahui tentang baik buruk pekerjaan yang telah mereka kerjakan dan ketika

itu pula manusia akan terbagi dalam dua golongan:

(7-9) Golongan Pertama

Dalam ayat-ayat ini Allah menerangkan golongan yang menerima catatan

dengan tangan kanannya yang berisi apa-apa yang telah dikerjakannya, maka ia

akan dihitung dengan perhitungan yang mudah dan ringan. Dipaparkanlah semua

perbuatannya yang baik dan yang buruk, maka kemudian diberi ganjaran atas

perbuatannya yang baik dan dimaafkanlah perbuatan yang buruk.

Dalam sebuah hadis yang bersamaan maksudnya yang diriwayatkan oleh

Siti Aisyah ra. bahwa ia telah mendengar Nabi Muhammad SAW berdoa dengan

mengucapkan:

‫انهَُٓ َى حَاسِثُِْي حِّسَاتًا يَّسِيشًا‬

Artinya: ―Wahai Tuhan, hisablah aku dengan hisab yang mudah‖

Yang dimaksud Rasul dengan perhitungan yang mudah ialah dimaafkan

segala kesalahannya, sedangkan orang yang diperiksa catatannya dengan teliti

adalah orang yang mendapat malapetaka. Barangsiapa yang mendapat

perhitungan, yang mudah dan yang ringan, ia akan kembali dengan keluarganya

yang mukmin dengan gembira dan bahagia sebagaimana firman Allah:

‫ق‬
ٍ ‫ث أََِي يُهَا‬
ُ ََُُ‫ئَِِي ظ‬- َّْ‫ل َْاؤُ ُو الْشَؤُٔا كِحَاتِي‬
ُ ُٕ‫ي كِحَاتَ ُّ تِيًَِيُِِّ فَيَم‬
َ ‫ٍ أُٔ ِج‬
ْ َ‫فَأَيَا ي‬

ٍ‫فََُٕٓ فِي عِيشَ ٍة سَاضِيَة‬- َّْ‫حِّسَاتِي‬

Artinya: Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari


sebelah kanannya, maka dia berkata: "Ambillah, bacalah kitabku (ini)".
Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab
57

terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai.
(Q.S. al-Hâqqah 19-21)

(10-12) Golongan Kedua

Dalam ayat ini Allah menerangkan, bahwa golongan kedua adalah mereka

yang banyak mengerjakan perbuatan maksiat, durhaka, dan tidak diridhai Allah.

Mereka akan menerima catatan perbuatan amal mereka dengan tangan kiri,

dari belakang mereka, kemudian mereka dimasukkan ke dalam api neraka.

‫َٔنَ ْى أَدْ ِس يَا‬- َّْ‫ت كِحَاتِي‬


َ ُٔ‫ل يَا نَيْحَُِي نَ ْى أ‬
ُ ُٕ‫ي كِحَاتَ ُّ تِشًَِانِِّ فَيَم‬
َ ‫ٍ أُٔ ِج‬
ْ َ‫َٔأَيَا ي‬

ّْ‫ك عَُِي سُهْطَاَِي‬


َ َ‫َْه‬- ّْ‫يَا أَغَُْٗ عَُِي يَانِي‬- َ‫ث انْمَاضِيَة‬
ِ َ ‫يَا نَيْحََٓا كَا‬- َّْ‫حِّسَاتِي‬

Artinya: Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah


kirinya, maka dia berkata: "Wahai alangkah baiknya kiranya tidak
diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab
terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala
sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah
hilang kekuasaanku daripadaku. (Q.S. al-Hâqqah 25-29)

(13-14) Dalam ayat-ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa ada dua hal

yang menjadi sebab mengapa mereka menerima catatan amalnya dengan tangan

kirinya, yaitu:

Pertama : Mereka berbuat sekehendak hatinya, mengerjakan kejahatan dan

kemaksiatan dengan tidak memikirkan akibat buruk yang akan

menimpa mereka di akhirat kelak.

Kedua : Mereka menyangka bahwa mereka tidak akan kembali kepada

Tuhannya dan tidak akan dibangkitkan kembali untuk dihisab dan

menerima hasil perbuatan mereka di dunia.


58

(15) Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa mereka sesungguhnya akan

kembali kepadanya dan akan menerima hasil perbuatan mereka di dunia. Orang

yang saleh, yang patuh mengerjakan perintah-Nya akan dimasukkan ke dalam

surga, sedang orang yang durhaka dan banyak berbuat maksiat akan dimasukkan

ke dalam neraka.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa:

1. Allah akan memperlihatkan kepada manusia di akhirat nanti catatan

perbuatannya

2. Bila ia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik maka ia akan

menerima buku catatan amal perbuatannya dengan tangan kanannya dan

akan dimasukkan ke dalam surga.

3. Bila ia mengerjakan perbuatan-perbuatan buruk dan maksiat maka ia akan

menerima buku catatan amal perbuatan-perbuatannya dengan tangan

kirinya dari belakangnya dan akan dimasukkan ke dalam neraka.

II. Manusia Mengalami Proses Kehidupan Tingkat Demi Tingkat

ٍَ‫ٍ طَثَمًا ع‬
َ ُ‫ نَحَشْكَث‬- َ‫ َٔانْمًََ ِش ئِرَا اجَّسَك‬- ‫ك‬
َ َ‫م َٔيَا َٔس‬
ِ ‫ َٔانهَ ْي‬- ‫ك‬
ِ َ‫فَهَا أُلّْسِ ُى تِانشَف‬

ٍ
َ ‫م انَزِي‬
ِ ‫ َت‬- ٌَُٔ‫ٌ نَا يَّسْجُذ‬
ُ ‫ب عَهَيِْٓ ُى انْمُشْآ‬
َ ِ‫ َٔئِرَا لُش‬- ٌ
َ ُُِٕ‫فًََا نَُٓ ْى نَا يُإْي‬- ٍ‫طَثَك‬

ٍ
َ ‫ ئِنَا انَزِي‬- ‫ب أَنِي ٍى‬
ٍ ‫ فَثَشِشُْْى تِعَزَا‬- ٌ
َ ُٕ‫ َٔانهَ ُّ أَعْهَ ُى تًَِا يُٕع‬- ٌَُٕ‫كَفَشُٔ ْا يُكَزِت‬

ًٌٍَُُْٕ‫ت نَُٓ ْى أَجْ ٌش غَيْ ُش ي‬


ِ ‫آيَُُٕ ْا َٔعًَِهُٕ ْا انصَانِحَا‬

Artinya: Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di


waktu senja, dan dengan malam dan apa yang diselubunginya, . dan
dengan bulan apabila jadi purnama, sesungguhnya kamu melalui tingkat
59

demi tingkat (dalam kehidupan). Mengapa mereka tidak mau beriman?


dan apabila Al Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud.
bahkan orang-orang kafir itu mendustakan(nya). Padahal Allah
mengetahui apa yang mereka sembunyikan (dalam hati mereka). Maka
beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang pedih, tetapi orang-orang
yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka pahala yang tidak putus-
putusnya.

Tafsir

(16-19) Dalam ayat ini Allah bersumpah dengan cahaya merah di waktu

senja, dengan malam dan apa-apa yang diselubunginya dan dengan bulan apabila

jadi purnama bahwa sesungguhnya kamu melalui tahap demi tahap dalam

kehidupan, ialah dari setetes mani sampai dilahirkan.

Dan kemudian dari masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan sampai tua.

Kemudian dari hidup sampai mati, dan dibangkitkan kembali, hidup kembali di

surga atau neraka setelah melalui ujian dan perhitungan yang sangat teliti.

Dalam ayat lain yang bersamaan maksudnya Allah berfirman:

‫ٌ تًَِا عًَِهْحُ ْى‬


َ ُ‫ٍ ُث َى نَحَُُثَإ‬
َ ُ‫م تَهَٗ َٔسَتِي نَحُثْعَث‬
ْ ‫ٍ كَفَشُٔا أٌَ نٍَ يُثْعَثُٕا ُل‬
َ ‫صَعَ َى انَزِي‬

ٌ‫ك عَهَٗ انهَ ِّ يَّسِيش‬


َ ِ‫َٔرَن‬

Artinya: Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali


tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: "Memang, demi Tuhanku, benar-
benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa
yang telah kamu kerjakan." Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
(Q.S. at-Tagâbûn 64: 7)

Dan firman Allah:

ً‫م انِْٕنْذَاٌَ شِيثا‬


ُ ‫ٌ ئٌِ كَفَشْجُ ْى يَْٕيًا يَجْ َع‬
َ ُٕ‫ف جَحَم‬
َ ْ‫فَكَي‬

Artinya: Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika


kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban. (Q.S.
al-Muzzammil 73: 17)
60

(20) Dalam ayat ini Allah mencela sikap dan perbuatan mereka, ―Mengapa

mereka masih tidak mau beriman, padahal bukti sudah nyata menunjukkan adanya

hari berbangkit itu ?‖.

(21-22) Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa mereka tidak mau

mengakui bahwa al-Qur‘ân itu kalam ilahi yang harus dimuliakan dan dipatuhi

serta mengakui bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW utusan Allah.

(23-24) Dalam ayat-ayat berikut Allah menerangkan sebab mereka tidak

mau mengakuinya ialah:

1. Mereka dengki kepada Nabi Muhammad atas kelebihan yang telah

dikaruniakan Allah kepadanya

2. Mereka takut kehilangan pengaruh dan kedudukan sebagai pemimpin

bangsanya.

3. Mereka tidak mau mengganti kepercayaan yang telah dianut oleh nenek

moyang mereka dengan kepercayaan yang lain. Allah mengetahui apa

yang mereka sembunyikan dalam hati mereka. Maka oleh karena itu Allah

mengejek mereka dengan kata-kata: ―berilah kabar gembira kepada

mereka dengan azab yang pedih di Hari Kiamat nanti‖.

(25) Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang beriman

kepada Allah dan Rasul-Nya, percaya kepada al-Qur‘ân serta mengerjakan ajaran

dengan sebaik-baiknya, maka mereka akan mendapat ganjaran dari Allah yang tak

putus-putus, abadi selamanya.


61

Kesimpulan11

1. Allah bersumpah hari berbangkit sungguh-sungguh akan terjadi.

2. Manusia akan melalui beberapa tahap kehidupan dari hidup di dunia

sampai mati, dan kemudian dibangkitkan kembali dan akhirnya

dimasukkan ke dalam surga atau neraka setelah diadakan perhitungan.

3. Orang-orang kafir itu tetap tertutup hatinya sehingga mereka tidak akan

beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta percaya kepada al-Qur‘ân.

4. Bagi mereka azab yang pedih di akhirat nanti.

5. Bagi orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya

serta percaya kepada al-Qur‘ân dan mengerjakan ajarannya akan mendapat

ganjaran yang tak putus-putus, kekal, abadi, selama-lamanya.

C. Sebab-sebab Persamaan dan Perbedaan Penafsiran

Tafsir al-Misbâh dan al-Qur’ân dan Tafsirnya merupakan salah satu kitab

tafsir yang sangat berpengaruh dalam khazanah Islam pada umumnya dan di

Indonesia pada khususnya. Karena selain menggunakan bahasa persatuan (bahasa

Indonesia) kitab tafsir ini juga menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.

Namun demikian ada beberapa persamaan dan perbedaan dalam kedua kitab tafsir

ini. Hal tersebut timbul karena beberapa faktor.

Untuk itu, penulis akan menganalisa surat al-Insyiqâq dari pandangan dua

kitab tafsir tersebut melalui beberapa metode yang di antaranya ialah:

11
Al-Qur’ân dan Tafsirnya, (Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1990) hal. 650
62

1. Metode / Sistematika Penulisan

Dalam penafsirannya kedua kitab tafsir ini sama-sama menggunakan

metode sama, yaitu tahlili dan coraknya yaitu adabi ijtimâ‘i dan lugawi. Dimana

metode Tafsir Tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur‘ân dengan cara

meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya. Di dalam metode

ini, penafsir mengikuti tuntutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam

mushaf Utsmani. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa

kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Kemudian juga penafsir

mengemukakan korelasi ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat

tersebut satu sama lain. Di samping itu penafsir membahas mengenai latar

belakang turunnya ayat dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, Sahabat dan para

Tabi‘in yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat para mufassir itu

sendiri yang diwarnai oleh latar belakang pendidikannya.

2. Pemaknaan Qasam

Dalam hal ini Quraish berpendapat bahwa, kata ‫ال‬ pada firman-Nya: ‫فال‬

‫ألّسى‬ bisa dipahami sebagai menafikan kata ‫ألّسى‬ sehingga itu berarti Allah tidak

bersumpah. Bisa juga kata lâ dipahami sebagai sisipan atau yang diistilahkan

dalam bahasa Arab dengan lâ Zâidah guna menekan sumpah tentang cahaya

merah di waktu senja itu. Bila dipahami demikian, maka kata lâ tidak

diterjemahkan. Walaupun terdapat perbedaan itu, namun pada akhirnya semua

sepakat bahwa ayat di atas mengandung penekanan.

Kemudian, Quraish menganalogikan dengan seseorang yang ketika

menafikan sesuatu boleh jadi saat itu, ia justru menekankan pentingnya


63

kandungan pembicaraannya. Misalnya ketika seseorang menasihati seorang anak

untuk memperhatikan orang tuanya dengan berkata, ―rasanya saya tidak perlu

berpesan pada Anda untuk memperhatikan orang tua Anda.” Menafikan pesan di

sini, justru merupakan penekanan sungguh-sungguh menyangkut perlunya

perhatian itu.

Sementara Departemen Agama hanya memaknai bahwa Dalam ayat ini

Allah bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja, dengan malam dan apa-

apa yang diselubunginya dan dengan bulan apabila jadi purnama bahwa

sesungguhnya kamu melalui tahap demi tahap dalam kehidupan, ialah dari setetes

mani sampai dilahirkan. Tanpa ada tambahan penjelasan seperti yang terdapat

dalam Tafsir al-Misbâh

3. Rincian Penjelasan Penerimaan Buku Amal

Di bagian ini sama seperti penjelasan-penjelasan sebelumnya, dimana

dalam penjelasan yang terdapat di Tafsir al-Misbâh lebih banyak menyebutkan

sumber kutipan atau penyebutan nama dan juga penjabaran makna yang lebih luas

dibanding al-Qur’ân dan Tafsirnya susunan Departemen Agama

Dalam hal ini Quraish menyebutkan nama Ibn ‗Âsyûr ulama asal Tunisia.

Ia menyatakan bahwa kata Kadhan ً‫ كَذْحا‬yang berarti bersungguh-sungguh hingga

letih dalam melakukan kegiatan. Berbeda dengan Departemen Agama yang hanya

manyatakan atau mengutip pendapat az-Zajjâj yang menurutnya secara bahasa al-

kadh sama dengan as-sa’yu (berusaha)

Kemudian pada ayat selanjutnya, yaitu tentang pemberian kitab dari

sebelah kiri Quraish mengutip pendapat Tabâtabâ‘i yang menyatakan bahwa


64

pemberian kitab dari sebelah kiri tidaklah harus menjadi perdebatan, karena

menurutnya, ada orang-orang di hari kemudian yang diubah mukanya dan

diputarkan ke belakangnya (untuk diberikan kitabnya melalui tangan kirinya).

Sementara dalam al-Qur’ân dan Tafsirnya susunan Departemen Agama hanya

sebatas menyatakan bahwa nanti di akhirat, mereka yang banyak mengerjakan

perbuatan maksiat, durhaka, dan tidak diridhai Allah akan menerima catatan amal

mereka dengan tangan kiri, dari belakang, kemudian dimasukkan ke dalam api

neraka.

Akan tetapi dalam al-Qur’ân dan Tafsirnya susunan Departemen Agama

menyebutkan bahwa ada dua hal yang menjadi sebab-musabab mereka menerima

catatan amal mereka dengan tangan kirinya, yaitu:

Pertama : Mereka berbuat sekehendak hatinya, mengerjakan kejahatan dan

kemaksiatan dengan tidak memikirkan akibat buruk yang akan

menimpa mereka di akhirat kelak.

Kedua : Mereka menyangka bahwa mereka tidak akan kembali kepada

Tuhannya dan tidak akan dibangkitkan kembali untuk dihisab dan

menerima hasil perbuatan mereka di dunia


BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Di bab-bab yang telah penulis jelaskan, secara umum tidak ada perbedaan

mencolok dari pengertian dan penjelasan surah al-Insyiqâq. Kedua kitab tafsir ini

satu suara bahwa setiap perbuatan baik akan berakhir pada kebaikan pula dan

begitu juga sebaliknya.

Tapi bukan berarti tanpa perbedaan. Hal itu disebabkan karena beberapa

factor yaitu: Metode/Sistematika Penulisan, Pemaknaan Qasam, dan Rincian

Penjelasan Penerimaan Buku Amal.

Perbedaan itu misalnya, Dalam Tafsir al-Misbâh yang mengutip pendapat

Ibn „Âsyûr tentang makna kata ‫ كادح‬dan ‫ كدحا‬pada mulanya berarti bersungguh-

sungguh hingga letih dalam melakukan kegiatan. Sementara dalam al-Qur’ân dan

Tafsirnya tidak menyebutkan atau mengutip pendapat dari manapun, sekalipun di

sana juga memaparkan arti yang sama. Kemudian dalam ayat 10-15, adanya dua

hal tambahan penjelasan yang menjadi sebab mengapa mereka menerima catatan

amalnya dengan tangan kirinya. Selanjutnya (16-19) dalam penafsiran maupun

penterjemahan bagian ini, terdapat perbedaan yang mencolok antara Tafsir al-

Misbâh dan al-Qur’ân dan Tafsirnya, apabila di dalam Tafsir al-Misbâh diartikan

dengan “Maka Aku tidak bersumpah dengan cahaya merah (di waktu senja), ….”.

maka dalam al-Qur’ân dan Tafsirnya diartikan dengan “Maka Aku bersumpah

demi cahaya merah pada waktu senja … “. Namun ini bukan tanpa alasan seperti

65
66

yang telah penulis sebutkan di atas. Terakhir, Al-Qur’ân dan Tafsirnya dalam ayat

23-24 menerangkan sebab-sebab mereka tidak mau mengakuinya (Allah, Rasul

sebagai utusan-Nya, dan al-Qur‟ân), yaitu:

1. Mereka dengki kepada Nabi Muhammad atas kelebihan yang telah

dikaruniakan Allah kepadanya.

2. Mereka takut kehilangan pengaruh dan kedudukan sebagai pemimpin

bangsanya.

3. Mereka tidak mau mengganti kepercayaan yang telah dianut oleh nenek

moyang mereka dengan kepercayaan yang lain. Allah mengetahui apa

yang mereka sembunyikan dalam hati mereka. Oleh karena itu Allah

mengejek mereka dengan kata-kata: “Berilah kabar gembira kepada

mereka dengan azab yang pedih di hari Kiamat nanti”.

B. Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat diajukan beberapa saran,

sebagai berikut:

1. Penelitian lebih lanjut disarankan untuk meneliti perbandingan penafsiran

Tafsir al-Misbâh dan al-Qur’ân Dan Tafsirnya.

2. Pada penelitian selanjutnya, sebaiknya menelaah tentang pemberian amal

catatan dengan ayat-ayat lain yang berhubungan.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Hamdani, Telaah Kritis terhadap Tafsir al-Misbâh karya M. Quraish Shihab;
dalam Mimbar Agama Dan Budaya, Vol.XIX, No.2, 2002.

Dasuki, A. Hafizh, Ensiklopedi Oxford - Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan,


2001)

Departemen Agama, al-Qur’ân dan Tafsirnya, (Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf,
1995)

_______, al-Qur’ân dan Tafsirnya; Edisi yang Disempurnakan, (Jakarta; Departemen


Agama RI, 2004)

Esposito, L. John, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999)

Esack, Farid, al-Qur’ân, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas,


(Bandung: Mizan, 2000)

al-Farmawi, Abdul Hayy, Penerjemah Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudu’i; Dan
Cara Penerapannya (Bandung, CV Pustaka Setia, 2002)

Federspiel, Howard M., Penerjemah Tajul Arifin, Kajian al-Qur’ân di Indonesia;


dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1996)

Hasanuddin, Irfan, Penafsiran Bias Jender: Telaah Tafsir Departemen Agama Yang
Disempurnakan, (Jakarta; UIN Jakarta, 2009)

Al-Ghazali, Muhammad, Penerjemah Masykur Hakim dan Ubaidillah, Berdialog


dengan al-Qur’ân; Memahami Kitab Suci dalam Kehidupan Masa Kini,
(Bandung: Mizan, 1996)

Kusmana, Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam (Sejarah dan Profil Pimpinan
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1957-2002) (Jakarta: IAIN Jakarta Press
2002)

Masyhur, Kahar, Pokok-pokok Ulumul Qur’ân, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992)

Masykur, Anis, Menyingkap Tabir Kematian, (Jakarta: CV. Sukses Bersama, 2006)

67
68

Nasuhi, Hamid, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi),
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: CeQda, 2007)

Al-Qurthubi, Penerjemah Abdur Rosyad Shiddiq, Rahasia Kematian, Alam Akhirat


dan Kiamat, (Jakarta; Akbar, 2008)

Ridwansyah, Rully, Hak-hak Politik Perempuan dalam al-Qur’ân Menurut Quraish


Shihab (Jakarta: UIN Jakarta, 2010)

Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’ân; Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan


Umat, (Bandung; Mizan, 1996)

_______, Membumikan al-Qurân, (Bandung: Mizan, 1996)

_______, Mu’jizat al-Qur’ân, (Bandung; Mizan, 1996)

_______, Tafsir al-Misbâh; Pesan Kesan Dan Keserasian al-Qur’ân (Jakarta;


Lentera Hati, 2002)

Tahar, M. Shohib, Telaah tentang Tafsir al-Qur’ân Departemen Agama RI; dalam Lektur
Keagamaan, Vol. 1 No. 1, 2003

Yanggo, Huzaemah T., Fiqih Perempuan Kntemporer, (Jakarta; al-Mawardi Prima,


20001)

Anda mungkin juga menyukai