DAN TAFSIRNYA)
Skripsi
( S.Th.I )
Oleh:
IZHARUL IRFAN
NIM. 106034001234
DAN TAFSIRNYA)
Skripsi
( S.Th.I )
Oleh :
IZHARUL IRFAN
NIM. 106034001234
Di bawah Bimbingan :
SIDANG MUNAQASAH
Ketua, Sekertaris,
Pembimbing,
Konsonan
B be
T te
Ts te dan es
J Je
Kh ka dan ha
D da
Dz De dan zet
R Er
Z Zet
S Es
Sy es dan ye
Gh ge dan ha
1
Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105
iv
F Ef
Q Ki
K Ka
L El
M Em
N En
W We
H Ha
„ Apostrof
Y Ye
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebai beeriku:
v
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ــَا â a dengan topi di atas
ــي î i dengan topi di atas
ـــو û u dengan topi di atas
Kata Sandang
Syaddah (Tashdid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan
berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,
demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).
vi
Contoh:
2 al-jâmî ah al-islâmiyyah
3 wahdat al-wujûd
Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-
Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur tersanjung hanya bagi Allah swt, yang dengan taufiq-
Tafsirnya) ini dapat selesai, demikian juga, salawat serta salam semoga
Sebagai karya tulis yang da’if, terutama di dalam penelitian ini masih terdapat
banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau
menelaah dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti
Penulis menyadari bahwa penelitian ini tak luput dari jasa lembaga dan orang-
orang tertentu yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materil.
Atas segala bantuan tersebut penulis sampaikan banyak terima kasih; khususnya
kepada:
2. Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA, selaku pembimbing yang telah banyak
viii
3. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya dosen-dosen di
jurusan Tafsir-Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga
4. Yang tercinta Ayahanda Hariagusti Hiyayat dan Ibunda Nanih Sunarni yang
senantiasa mencurahkan kasih sayang dan perhatian dengan segenap hati dan
semoga penulis selalu mendapat ridho mereka dan dapat berbakti kepadanya
(Âmîn).
5. Kakak penulis, dan adik-adik penulis yang selalu setia memberi semangat
7. Terakhir, untuk orang yang pernah melihat saya (ra‟ânî yaqazatan kâna am fi
tinggal bersama saya (aqâma ma‟î), pernah mendengar suara dan ocehan saya
(sami‟a minnî wa akhaza „annî syai‟an), semua orang yang mau menerima
„anhu al-hikam wa al-„ulûm), dan semua orang yang hidup semasa dengan
saya („asaranî). Ini bukan karena saya yang istimewa, melainkan anda semua
lah yang begitu spesial bagi saya. Bolehlah saya berharap dan ber-tafa‟ul
kepada nabi agar semua orang yang tersebut di atas menjadi orang yang
beruntung, sekali lagi- bukan karena saya, tetapi karena kita dianugerahkan
ix
oleh Allah Swt untuk bisa saling berhubungan. Teriring doa, “ Tûbâ liman
ra‟ânî (bifadlih), wa tubâ liman ra‟â man ra‟ânî (bifadlih)”. Atas semua
kebaikan tersebut, tidak ada suatu yang dapat penulis sampaikan, kecuali
ucapan terima kasih yang tidak terhingga, serta doa; semoga amal kebaikan
kita semua diterima dan dibalas oleh Allah Swt. Jazâkumullâh ahsan al-jazâ,
Âmîn…..!
Akhirnya hanya kepada Allah jualah, penulis mengharap ridha dan rasa syukur
penulis yang tak terhingga. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat,
Ttd,
Penulis
x
DAFTAR ISI
xi
BAB III ANALISA PERBANDINGAN TENTANG PENAFSIRAN
xii
8. Penafsiran ayat 16-19 ……………………………………59
A. Kesimpulan …………………………….……………………65
B. Saran-saran …………………………………………………..66
xiii
BAB I
Al-Qur‟ân merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
merupakan kalâm Allah. Dari dulu hingga sekarang umat Islam telah sepakat
bahwa al-Qur‟ân adalah kitab Allah yang kekal, tidak terbatas pada dimensi ruang
dan waktu dan tidak ada sedikitpun keraguan. Al-Qur‟ân juga diakui sebagai
teman berdialog yang sempurna serta diturunkan sebagai gambaran cara yang
benar bagi setiap orang serta memberikan jalan keluar dari berbagai kesulitan dan
merujuk pada sebuah kitab yang diilhami atau dipengaruhi oleh-Nya atau ditulis
pemikir muslim ini ketika mendefinisikan al-Qur‟ân sebagai “Wahyu yang tak
1
Muhammad al-Ghâzali, Berdialog dengan al-Qur’ân; Memahami Kitab Suci dalam
Kehidupan Masa Kini,terjm.Masykur Hakim dan Ubaidillah (Bandung: Mizan,1996), hal. 92
2
Dikutip dari Farid Esack, al-Qur’ân, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang
Tertindas, (Bandung: Mizan, 2000) hal. 85
1
2
bisa disamai, perkataan Tuhan yang diwahyukan kepada Malaikat Jibril secara
harfiah dan lisan dalam kata-kata bahasa Arab yang paling murni.”3
Salah satu dari fungsi al-Qur‟ân adalah sebagai petunjuk yang universal-
eternal. Universal dalam arti berlaku di mana saja, menjangkau seluruh letak
geografis dan eternal dalam arti bahwa al-Qur‟ân berlaku kekal abadi untuk
selama-lamanya sampai akhir zaman. Ini adalah pandangan teologi umat Islam
Selain itu, fungsi al-Qur‟ân juga sebagai mukjizat yaitu suatu kejadian luar
biasa dan tidak mustahil, yang terjadi pada Rasul Allah SWT, untuk
membuktikan, beliau benar Rasul-Nya dan dengan izin Allah SWT. Hal itu
diperlukan, karena setiap Rasul Allah mempunyai mukjizat dan dibutuhkan oleh
Kalimullâh.
َه اىّصَبدِقِيه
َ ِذ م
َ د ثٍَِب إِن مُى
ِ ْذ ثِآيَخٍ فَؤ
َ ْذ جِئ
َ ه إِن مُى
َ قَب
Objek kajian penafsiran adalah al-Qur‟ân, kitab suci yang dibawa oleh
Nabi Muhammad untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Tidak diragukan lagi
di dalamnya terdapat mukjizat baik dari susunan katanya maupun makna yang
dikandungnya.
3
Farid Esack, al-Qur’ân, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas,
(Bandung: Mizan, 2000) hal. 85
4
Kahar Masyhur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’ân, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992) cet.
Pertama, hal. 11
3
Qur‟ân, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dapat dipahami atau yang
walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua bisa diketahui
sebagai peringatan bagi manusia untuk merenungkan kembali dari peristiwa yang
agung. Dalam al-Qur‟ân terdapat ayat-ayat tentang kisah Nabi dan umat-umat
Namun tampaknya masih ada beberapa umat yang masih saja tidak bisa
5
M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ân, (Bandung: Mizan,1996), hal. 71
4
Artinya: Adapun orang yang diberi kitabnya dari sebelah kanannya, maka
dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali
kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun
orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak:
“Celakalah aku”. Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(Neraka). (Q.S. al-Insyiqaaq 84: 7-12)
Melihat ayat di atas yang erat kaitannya dengan kematian yang merupakan
bentuk kiamat kecil atau tempat kembali pertama (al-ma’âd al-awwal), dan setiap
manusia pasti akan mengalaminya, setelah menikmati hidupnya di alam dunia ini.
fana ini. Kematian juga merupakan awal menuju pengadilan yang hakiki, di
tangan Hakim Yang Maha Adil. Sungguh bahagia orang yang mendapat
kesengsaraan setelah kehidupan ini. Dan ini seperti ayat yang telah penulis
paparkan di atas.
tentang alasan atau sebab musabab mengapa hal demikian dapat terjadi. Adapun
yang dijadikan objek ialah Q.S. al-Insyiqâq yang berkenaan dengan pemberian
6
Anis Masykur, Menyingkap Tabir Kematian, (Jakarta: CV. Sukses Bersama, 2006), hal.
16
5
Kajian ini ini juga didasari atas hadis Rasul yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dari Siti „Aisyah bahwa beliau pernah mendengar Rasul , di solatnya ia
ه عَجْ ِد
ِ ْه حَمْصَ َح ث
ُ ْه حَدَثَىِي عَجْ ُد اىَُْاحِ ِد ث
َ ه إِسْحَبقَ قَب
ُ ْو حَدَثَىَب مُحَمَ ُد ث
ُ حَدَثَىَب إِسْمَبعِي
ذ
ْ َه عَبئِشَخَ قَبى
ْ َه اىصُثَيْسِع
ِ ْه عَجْ ِد اىيَ ًِ ث
ِ ْه عَجَب ِد ث
ْ َه اىصُثَيْسِع
ِ ْاىيَ ًِ ث
ه
َ ِت اىْمُؤْم
ُ و مَب يُّصِي
ُ ل ََ ُم
َ َة يَُْمَئِ ٍر يَب عَبئِشَ ُخ ٌَي
َ ش اىْحِسَب
َ ه وُُ ِق
ْ َفَيَزَجَبََ َش عَىًْ إِوَ ًُ م
dan al-Qur’ân dan Tafsirnya yang disusun oleh departemen agama. Dalam
Analisa perbandingan kedua tafsir ini, penulis akan mengetahui tentang metode
penafsiran, teknik penafsiran, corak pemikiran penafsir dan hal-hal yang berkait
dengan karya kedua tafsir tersebut. Penulis juga bisa mengetahui apakah tafsir
keterkaitan di antaranya.
Misbâh adalah kitab tafsir yang sangat representatif dalam dunia tafsir
6
yang dinamis dan lebih komprehensif. Sedangkan tafsir al-Misbâh itu sendiri
TAFSIRNYA”)
hisâb, namun dalam mengurai skripsi ini penulis hanya membahas gambaran
pemberian kitab dari sebelah kanan dan kiri dalam surat al-Insyiqâq. Mengenai
penafsirannya penulis hanya mengambil penafsiran dari Tafsir al-Misbâh dan al-
Tafsirnya?”.
7
Hamdani Anwar, Telaah kritis terhadap tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab; dalam
Mimbar Agama Dan Budaya, Vol.XIX, No.2, 2002, h.162-169
7
C. Tujuan Penelitian
dibidang tafsir, juga dapat memahami kajian dalam Tafsir Al-Misbâh dan
surah al-Insyiqâq.
D. Tinjauan Pustaka
tentang masalah ini baik dalam bentuk buku, jurnal ataupun skripsi. Namun dalam
bab II Setijadi Rahardjo (Tafsir Hadis 2007) dengan judul Kesaksian Anggota
Tubuh Pada Yaum al-Hisâb Menurut al-Qur’an dalam skripsi ini dikatakan
seluruh amal perbuatannya yang mereka lakukan selama di dunia dan mereka
akan melihat apa yang telah diperjuangkan dan apa tujuan sesungguhnya dari
kehidupan ini. Karena kelak, di yaum al-Hisâb manusia akan ditimbang amal
perbuatannnya.
Shiddiq dengan judul Rahasia Kematian, Alam Akhirat dan Kiamat dalam Bab
8
dari sebelah kanan akan dipanggil dengan namanya dan nama ayahnya. Ia maju
putih dengan tulisan serba putih pula. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari
E. Metodologi Penelitian
yang relevan dan menelaah dengan pokok masalah yang dibahas. Adapun buku
yang menjadi rujukan utama / sumber primer dalam penulisan skripsi ini antara
lain Tafsir Al-Misbâh karya M. Quraish Shihab dan al-Qur’ân dan Tafsirnya
komparatif yaitu dengan mengumpulkan data-data dan pendapat para ahli yang
berkaitan dengan masalah pemberian kitab di hari kiamat, kemudian data tersebut
apa adanya. Langkah ini diambil sebagai permulaan yang sangat penting, karena
ini adalah metode dasar bagi penelitian selanjutnya. M. Quraish Shihab misalnya,
Dengan itu, penulisan biografi menjadi sangat perlu. Dan setelah itu dianalisis
9
dari setiap pendapat guna memperoleh kejelasan masalah. Metode analitis ini
dianggap perlu karena akan tersingkap keterlibatan dari kedua penafsir dengan
berlaku dizamannya.
buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang disusun oleh Tim
2. Kutipan yang menggunakan ejaan yang lama diganti dengan ejaan yang
F. Sistematika Penulisan
penulisan skripsi ini, maka berikut ini penulis jelaskan dalam sistematika
penulisan.
Secara garis besar skripsi ini terdiri dari empat bab. Setiap bab dibagi
menjadi sub bab, dan setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing
pembahasan bab-bab berikut dan sekaligus mencerminkan isi global skripsi yang
8
Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah(Skripsi, Tesis dan Disertasi),
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: CeQda, 2007), cet. Ke-2
10
secara umum. Dalam bab ini membahas biografi M. Quraish Shihab. Di dalamnya
terdiri dari potret pendidikan dan karir akademis, karya-karya, metode dan corak
Dan yang terakhir bab keempat, merupakan penutup dari skripsi ini yang
TAFSIRNYA
A. M. Quraish Shihab
yang berhasil tidak hanya dalam karir keilmuannya, tetapi juga dalam karir sosial
ditunjang dengan kenyataan bahwa dia adalah doktor lulusan Universitas al-Azhar
bidang kajian al-Qur’ân bidang kajian tafsir al-Qur’ân dengan predikat ―dengan
pujian tingkat pertama‖ (Summa Cum Laude) pertama dari Asia Tenggara1,
Pembantu Rektor, Rektor, Staf Ahli Mendikbud, Ketua MUI, Menteri Agama,
ulama dan seorang guru besar Tafsir di IAIN Alaudin, Ujung Pandang. Benih-
1
Kusmana, Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam (Sejarah dan Profil Pimpinan
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1957-2002) (Jakarta: IAIN Jakarta Press 2002) Cet. I hal. 254
2
Kusmana, Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam (Sejarah dan Profil Pimpinan
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1957-2002) (Jakarta: IAIN Jakarta Press 2002) Cet. I hal. 255
3
Abdurrahman Shihab adalah seorang yang berfikiran maju dan percaya akan fungsi
pendidikan sebagai agen perubahan. Wawasan maju ini bisa dirunut dari riwayat pendidikannya.
Lih. Kusmana, Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam (Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 1957-2002) (Jakarta: IAIN Jakarta Press 2002) Cet. I hal. 255
11
12
benih kecintaan jiwa Quraish kepada studi al-Qur’ân mulai tersemai ketika masih
dari petuah itu — yang kemudian saya ketahui sebagai ayat al-Qurân atau petuah
Nabi, sahabat, atau pakar-pakar al-Qurân — yang hingga detik ini masih
Fatmawati5 sang isteri tercinta. Bersama ia bertukar fikiran, berwelas asih dan
mengayuhkan kaki untuk membina kelima anaknya; empat putri dan satu putra,
Kairo, Mesir dan diterima di kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada 1967, dia
meraih gelar Lc (S- 1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits
yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir al-
Aluddin, Ujung Pandang. Selain itu dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di
4
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qurân, (Bandung: Mizan 1994) Kata pengantar
5
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ân; Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung; Mizan, 1996) Kata Pengantar
6
M. Quraish Shihab, Mu’jizat al-Qur’ân, (Bandung; Mizan, 1996) Cet. Pertama hal. 2
13
Pandang ini dia juga sempat melakukan berbagai penelitian : antara lain,
berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu al-Qurân dengan yudisium Summa
Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma’a martabat al-syaraf al-
‘ula).
Jakarta. Selain itu, di luar kampus dia juga dipercayakan untuk menduduki
berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak
7
Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999) Cet. Ketiga hal. 111
14
Yang tidak kalah pentingnya, Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan
tulis-menulis. Di dalam surat kabar Pelita, pada setiap hari rabu dia menulis
dalam rubrik ―Pelita Hati‖. Dia juga mengasuh rubrik ―Tafsir al-Amanah‖ dalam
majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Selain itu dia juga tercatat
sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur’ân dan Mimbar Ulama,
Dari latar belakang keluarga dan pendidikan yang diperolehnya itu telah
dan menonjol dalam khazanah tafsir di Indonesia. Atau seperti apa yang dikatakan
8
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesi. Organisasi ini lahir melalui perhelatan akbar
―Simposium Nasional Cendekiawan Muslim: Membangun Masyarakat Indonesia Abad XXI‖,
pada 6-8 desember 1990 di Student Center, Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Peristiwa
itu kemudian disebut sebagai Muktamar I ICMI dengan Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie sebagai Ketua
Umum ICMI pertama. Lihat. Ensiklopedi Oxford - Dunia Islam Modern, (bandung: Mizan, 2001)
Cet. I hal. 248
9
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qurân, (Bandung: Mizan 1994) Kata pengantar
10
Howard M. Federsfiel adalah Profesor di Institut Studi-Studi Islam, universits McGill
di Montreal, Kanada, juga sebagai Profesor ilmu politik di Universitas Negara bagian Ohio di
Newark, Ohio, AS. Ia lahir di New York AS pada tahun 1932, setelah periode tiga tahun berada
dalam angkatan bersenjata AS sebagai penerjemah bahasa Jerman, ia memasuki Institut Studi-
studi Islam di Universitas McGill di mana ia belajar di bawah bimbingan Willfred Cantwell Smith,
Fazlur Rahman, Jhon Alden Williams, Niyazi Barkes dan Muhammad Rasyidi. Lihat. Howard M.
Federspiel diterjemahkan oleh: Tajul Arifin, Kajian al-Qur’ân di Indonesia; dari Mahmud Yunus
hingga Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1996) hal. 5
15
dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Populer Indonesia
berbagai karya ilmiah yang berupa artikel dan majalah maupun buku-buku.
karyanya antara lain: Membumikan al-Qur’ân; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
kehidupan Masyarakat (1992), Tafsir Amanah (1992), Studi Kritis Tafsir al-
(1996), Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat al-Fâtihah) (1996), Lentera hati;
Kesan dan Hikmah Kehidupan (1996), Haji Mabrur Bersama Quraish Shihab
Husna dalam Perspektif al- Qur’ân (1998), Fatwa-fatwa seputar al- Qur’ân dan
fatwa seputar Wawasan agama (1999), Yang Tersembunyi; Jin, Iblis, Setan dan
Malaikat dalam al-Qur’ân dan Sunnah (1999), Fatwa-fatwa Seputar Tafsir al-
al- Qur’ân (2006), dan Tafsir al-Misbâh yang merupakan karya yang menjadi
11
Howard M. Federspiel diterjemahkan oleh: Tajul Arifin, Kajian al-Qur’ân di
Indonesia; dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1996) hal. 295
16
dalam bagian ini. Tentunya masih banyak lagi karya-karyanya yang belum
disebutkan, baik berupa makalah, rubrik, artikel dalam berbagai surat kabar
maupun majalah.
Pada kitab-kitab tafsir yang ada pada saat ini, yang ditulis oleh para
corak dan metode yang berbeda dalam penafsirannya. Hal ini tentunya
dilatarbelakangi oleh kapasitas mufassir itu sendiri dan situasi sosial dimana
ada berdasarkan pada metode penulisannya ke dalam empat metode tafsir, yaitu:
ini, penafsir mengikuti tuntutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam
kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Kemudian juga penafsir
tersebut satu sama lain. Di samping itu penafsir membahas mengenai latar
belakang turunnya ayat dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, Sahabat dan para
12
Abdul Hayy al-Farmawi diterjemahkan oleh: Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudu’i;
Dan Cara Penerapannya (Bandung, CV Pustaka Setia, 2002) hal. 23
17
Tabi’in yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat para mufassir itu
dengan uraian singkat dan bahasa yang mudah sehingga dapat difahami oleh
semua orang, mulai dari orang yang berpengetahuan luas sampai kepada yang
terhadap ayat per ayat dan surat per surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf
sehingga tampak keterkaitan antara makna satu ayat dengan ayat yang lain, antara
satu surat dengan surat yang lain. Dengan metode ini mufassir berupaya pula
menafsirkan kosa kata al-Qur’ân dengan kosa kata yang ada di dalam al-Qur’ân
sendiri, sehingga para pembaca yang melihat uraian tafsirnya tidak jauh dari
konteks al-Qur’ân, tidak keluar dari muatan makna yang dikandung oleh kosakata
yang serupa dalam al-Qurân, dan adanya keserasian antara bagian al-Qur’ân yang
ditempuh ketika menggunakan metode ini ialah; Mengumpulkan sejumlah ayat al-
13
Abdul Hayy al-Farmawi diterjemahkan oleh: Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudu’i;
Dan Cara Penerapannya (Bandung, CV Pustaka Setia, 2002) hal. 38
18
adalah: ―Menghimpun seluruh ayat al-Qur’ân yang memiliki tujuan dan tema
ialah mengurai dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali. Hasilnya
tema secara utuh dan sempurna. Bersamaan dengan itu, dikemukakan pula
dalam Tafsir al-Misbâh, dilihat dari cara penafsiran yang terdapat dalam karya
Quraish Shihab ini menggunakan metode tahlili, yaitu menfasirkan ayat demi
ayat, surat demi surat sesuai dengan mushaf Utsmani. Sebagaimana dikatakan
oleh Hamdani Anwar15, metode ini sengaja dipilih oleh Quraish Shihab, karena ia
ingin mengungkapkan semua isi al-Qur’ân secara rinci agar petunjuk yang
Pada sisi lain, Quraish Shihab tidak begitu tertarik untuk menggunakan
metode tahlili, kerena menurutnya metode tahlili ini menyita waktu yang cukup
banyak dipergunakan untuk menafsirkan semua ayat al-Qur’ân. Selain itu, sering
kali menimbulkan banyak pengulangan dalam tafsirannya. Hal ini akan terjadi
14
Abdul Hayy al-Farmawi diterjemahkan oleh: Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudu’i;
Dan Cara Penerapannya (Bandung, CV Pustaka Setia, 2002) hal. 44
15
Dikutip oleh Rully Ridwansyah dalam skripsinya yang berjudul Hak-hak Politik
Perempuan dalam al-Qur’ân Menurut Quraish Shihab, hal 24 dari Hamdani Anwar, Mimbar
Agama Dan Budaya; Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, Vol.XIX,
No.2, 2002, hal. 182
19
jika kandungan kosakata atau pesan ayat atau suratnya sama atau mirip dengan
problema atau kelemahan yang terdapat pada metode lain17. Dengan dasar
surat pada apa yang dinamakan tujuan surat atau tema pokok surat. Memang
menurut pakar, setiap surat ada tema pokoknya18. Menurut Quraish Shihab
sebagaimana yang dikatakan dalam sekapur sirih Tafsir al-Misbah, jika seseorang
mufassir mampu memperkenalkan pesan utama setiap surat, maka ke 114 surat
yang ada dalam al-Qur’ân akan dikenal lebih dekat dan mudah.
Menurut Hamdani Anwar19, dari sini, dapat dinilai perbedaan Tafsir al-
Misbah dengan tafsir-tafsir lainnya, dan hal ini dapat disebut sebagai salah satu
Dalam tafsirnya Quraish Shihab berusaha untuk melihat kosa kata dan
beberapa pakar bahasa. Oleh karena itu, ia memaparkan makna kosa kata
16
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan Kesan Dan Keserasian al-Qur’ân (Jakarta;
Lentera Hati, 2002) cet. I vol. 1 hal. ix
17
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ân, (Bandung: Mizan 1994) hal. 117
18
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan Kesan Dan Keserasian al-Qur’ân (Jakarta;
Lentera Hati, 2002) cet. I vol. 1 hal. ix
19
Dikutip oleh Rully Ridwansyah dalam skripsinya yang berjudul Hak-hak Politik
Perempuan dalam al-Qur’ân Menurut Quraish Shihab, hal 24-25 dari Hamdani Anwar, Mimbar
Agama Dan Budaya; Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, Vol.XIX,
No.2, 2002, hal. 182
20
sekaligus dapat digunakan untuk memahami ayat-ayat lain yang tidak ditafsirkan.
terkandung oleh suatu ayat, dan menunjukkan betapa serasi hubungan antar kata
dan kalimat-kalimat yang satu dengan yang lainnya dalam al-Qur’ân, seringkali
tersusun dalam Tafsir al-Misbah ini sepintas lalu seperti terjemahan al-Qur’ân,
maka hendaknya jangan dianggap sebagai terjemahan. Oleh sebab itu Quraish
Shihab berusaha sedapat mungkin memisahkan terjemahan makna kata dalam al-
Qur’ân dengan sisipan atau tafsirnya melalui penulisan terjemahan makna dengan
italic letter (tulisan miring) dan sisipan atau tafsirnya dengan tulisan normal.
Meskipun demikian kitab tafsir ini bukanlah ijtihadnya sendiri, tetapi hasil
mereka banyak dinukil oleh Quraish Shihab, antara lain: pakar Tafsir Ibrahim ibn
Sayyid Quthb, Muhammad Thahir ibn Asyur dan Sayyid Muhammad Husein
Thabathaba’I serta beberapa pakar tafsir lainnya 20. Dari semua pendapat ini
al-Qur’ân dan hadist Nabi sebagai metode penjelasan dari tafsir yang
dilakukannya.
20
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan Kesan Dan Keserasian al-Qur’ân (Jakarta;
Lentera Hati, 2002) cet. I vol. 1 hal. xiii
21
Qurasih Shihab dalam tafsir ini menggunakan gabungan dari metode tahlili dan
metode maudu’i. Cara ini dipilih oleh Qurasih Shihab, karena ia menilai bahwa ia
mesti menguraikan seluruh ayat al-Qur’ân sesuai dengan mushaf Usmani (tahlili),
kandungan ayat tersebut dapat dijelaskan sesuai dengan topiknya, yakni metode
maudu’i21.
Misbâh, karena dari segi teknik metode tahlili menafsirkan ayat demi ayat yang
terpisah satu dengan yang lainnya sehingga tidak disuguhkan kepada pembaca
untuk memahami isi al-Qur’ân. Oleh sebab itu ia menambahkan metode maudu’i,
karena metode ini menafsirkan satu surah secara menyeluruh dan mendetail yang
sehingga surat ini tampak secara utuh dan juga metode maudu’i tergolong praktis
dan sistematis.
makanan yang didalamnya sudah tersedia jenis makanannya sehingga lebih cepat
untuk menyantapnya. ―Apabila anda sibuk dan ingin cepat, maka tentu saja anda
mengambil kotak berisi makanan yang telah tersedia. Sebaliknya, apabila anda
21
Dikutip oleh Rully Ridwansyah dalam skripsinya yang berjudul Hak-hak Politik
Perempuan dalam al-Qur’ân Menurut Quraish Shihab, hal 26 dari Hamdani Anwar, Mimbar
Agama Dan Budaya; Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, Vol.XIX,
No.2, 2002, hal. 188
22
santai dan memiliki waktu luang, maka pilihlah sesuai dengan pemahaman‖.
ada surat panjang yang lain yang turun sekaligus kecuali surat al-An’am. Di
dalam surat ini membahas mengenai ajaran tauhid yang menggambarkan kesaan
Allah dan kekuasaan-Nya. Allah yang mewujudkan yang mematikan dan Dia juga
membatalkan apa yang diharamkan manusia atas dirinya, seperti yang dilakukan
kaum musyrikin yang menyangkut binatang dan yang lain sebagainya. Inilah yang
22
M.Qurasih Shihab, Wawasan al-Qur’ân; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung; Mizan, 1996) Cet. Ketiga hal. xii
23
Qurasih Shihab, Membumikan al-Qur’ân; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung; Mizan, 1994) hal. 73
23
menguraikan isi ayat, biasanya paparan itu dilanjutkan dengan pendapat yang
ini beliau mengatakan dalam Tafsir Misbah Vol VIII Hal 131-132 ―Akhirnya,
banyak penulis nukil, khususnya pandangan para pakar Tafsir Ibrahim Umar al-
menjadi bahan dasar disertasi penulis di Universitas al-Azhâr, Kairo, dua puluh
tahun yang lalu. Demikian juga karya pemimpin tafsir tertinggi al-Azhâr dewasa
ini Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak
semata, karena al-Qur’ân adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. menjadi petunjuk bagi manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat24.
Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Qur'an) ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman. (Q.S. an-Nahl 16:64)
Maka oleh sebab itu kita harus mendasarkan penafsiran al-Qur’ân kepada
ayat-ayat itu. Sesudah itu barulah diperhatikan pula ucapan-ucapan dan pendapat-
pendapat para sahabat Nabi dan penjelasan mereka mengenai maksud dari pada
ayat-ayat itu sesuai dengan apa yang diucapkan dan diamalkan oleh Rasulullah
SAW.
Kemudian barulah ditinjau pendapat para ulama dan Mufassirin yang telah
serta pendapat para sahabat. Selain itu para penafsir dalam menafsirkan suatu ayat
24
Al-Qur’ân dan Tafsirnya, (Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995) Kata Pengantar.
25
harus pula memperhatikan ayat-ayat lain yang erat hubungannya dengan ayat
yang ditafsirkan. Karena dengan demikian akan bertambah jelaslah pengertian dan
penyusunan ialah Tafsir al-Marâghî oleh Mustafâ al-Marâgî, Tafsir Mahasîn al-
Ta’wîl oleh al-Qâsimî, Tafsir Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl oleh al-
Baidâwî, dan Tafsir al-Qur’ân al-‘Azîm oleh Ibnu Katsîr. Selain keempat referensi
pokok tersebut, juga ditelaah kitab-kitab tafsir lain, seperti Tafsir al-Manâr, Fî
dan telah dilakukan cetak perdana tahun 2004 yang peluncurannya dilakukan
oleh Menteri Agama pada tanggal 2004, Departemen Agama melakukan kegiatan
dalam bahasa Indonesia, yang telah hadir sejak lebih 30 tahun yang lalu26.
Agama pada tahun 1972 membentuk tim penyusun yang disebut Dewan
Penyelenggara Pentafsir al-Qur’ân yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H.
dengan KMA No. 90 Tahun 1972, kemudian disempurnakan dengan KMA No. 8
Tahun 1973 dengan ketua tim Prof. H. Bustami A. Gani dan selanjutnya
25
M. Shohib Tahar, Telaah tentang Tafsir al-Qur’ân Departemen Agama RI; dalam
Lektur Keagamaan, Vol. 1 No. 1, 2003, hal. 55
26
H. Fadhal AR Bafadal, M.Sc. (Ketua Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’ân Departemen
Agama RI tahun 2004), al-Qur’ân dan Tafsirnya; Edisi yang Disempurnakan, (Jakarta;
Departemen Agama RI, 2004) cet. Pertama hal. xvii
26
disempurnakan lagi dengan KMA No. 30 Tahun 1980 dengan ketua tim Prof.
K.H. Ibrahim Hosen, LML. Dengan susunan tim tafsir sebagai berikut:
anggota
anggota
utuh dalam 30 juz, melainkan bertahap. Pencetakan pertama kali dilakukan pada
tahun 1975 berupa jilid I yang memuat juz 1 sampai dengan juz 3, kemudian
menyusul jilid-jilid selanjutnya pada tahun berikutnya dengan format dan kualitas
27
Mushaf al-Qur’ân Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan. Perbaikan tafsir
yang relative agak luas pernah dilakukan pada tahun 1990, tetapi juga tidak
Sungguh pun demikian tafsir tersebut telah berulang kali dicetak dan
diterbitkan oleh pemerintah maupun oleh kalangan penerbit swasta dan mendapat
Musyawarah Kerja Ulama al-Qur’ân pada tanggal 28 s.d. 30 April 2003 yang
tafsir, yang kemudian menjadi acuan kerja tim tafsir dalam melakukan tugas-
telah membentuk tim dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 280 Tahun
2003, dan kemudian ada penyertaan dari LIPI yang susunannya sebagai berikut:
anggota
anggota
27
Dilahirkan di Arjawinangun, 21 Februari 1956. Pengalaman pendidikan sekolah dasar
tamat tahun 1967, SMP tamat tahun 1970, kemudian melanjutkan pendidikan non-formal pada
tahun 1970-1973 di Lirboyo, kemudian di Kerapyak pada tahun 1973-1976. Beliau sempat
tabarrukan dengan Kiyai Umara bin Mannan dan mendapatkan ijazah atau sanad silsilah al-
Qur’ân sampai kepada Nabi Muhammad, belajar al-Qur’ân dengan Kiyai Munawwir pada tanggal
6 Agustus 1976-1977 kemudian melanjutkan jenjang studinya sampai jenjang s3 di Ummul Qurra’
Saudi Arabia. Beliau adalah dosen di beberapa Perguruan Tinggi seperti UIN Jakarta, PTIQ
Jakarta, IIQ Jakarta. Wawancara dengan Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA pada tanggal 27
Agustus 2009. Dikutip dari Tesis Irfan Hasanuddin, Penafsiran Bias Jender: Telaah Tafsir
Departemen Agama Yang Disempurnakan, (Jakarta; UIN Jakarta, 2009) hal. 52
28
Lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, 30 Desember 1946. Memperoleh gelar magister
dalam ilmu Fiqih Perbandingan Mazhab dari Universitas al-Azhar Kairo, Mesir tahun 1981. Gelar
Doktor diperoleh pada tahun 1984 pada bidang dan universitas yang sama. Aktivitas mengajar di
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta dan Pascasarjana UIN Jakarta, UM Jakarta dan IIQ dan
PTIQ Jakarta. Diambil dari karyanya Fiqih Perempuan Kntemporer, (Jakarta; al-Mawardi Prima,
20001) hal. 188
29
Staf Sekretariat:
Tim tersebut didukung oleh Menteri Agama selaku Pembina, K.H. Sahal
Mahfudz, Prof. K.H. Ali Yafie, Prof. Drs. H. Asmuni Abd. Rahman, Prof. Drs. H.
Kamal Muchtar, dan K.H. Syafi’i Hadzami (Alm.) selaku Penasehat, serta Prof.
Dr. H.M. Quraish Shihab dan Prof. Dr. Said Agil Husin al Munawwar, MA selaku
Konsultan Ahli/Narasumber.
diharapkan akan selesai seluruhnya pada tahun 2007. Pada tahun 2007 tim tafsir
telah menyelesaikan kajian dan pembahasan juz 1 s.d. 30, yang hasilnya
diterbitkan secara bertahap. Pada tahun 2004 diterbitkan juz 1 s.d. 6, pada tahun
2005 diterbitkan juz 7 s.d. 12, pada tahun 2006 diterbitkan juz 13 s.d. 18, dan
pada tahun 2007 ini diterbitkan juz 19 s.d. 24, dan pada tahun 2008 diterbitkan juz
25 s.d. 30. Setiap cetak perdana sengaja dilakukan dalam jumlah yang terbatas
Susunan tafsir pada edisi penyempurnaan tidak jauh berbeda dari tafsir
yang sudah ada, yaitu terdiri dari mukaddimah yang berisi tentang: Nama surah,
akan dihadirkan setelah penyempurnaan atas ke-30 juz tafsir selesai dilaksanakan.
Pertama: Judul
ada perbaikan judul dari segi struktur bahasa. Tim penyempurna tafsir kadangkala
merasa perlu untuk mengubah judul jika hal itu diperlukan, misalnya judul yang
Dalam penulisan kelompok ayat ini, rasm yang digunakan adalah rasm
dari mushaf standar Indonesia yang sudah banyak beredar dan terakhir adalah
mushaf yang ditulis ulang (juga mushaf standar Indonesia) yang diwakafkan dan
dicetak dan dipersebarluaskan. Dalam kelompok ayat ini tidak banyak mengalami
perubahan. Hanya jika kelompok ayatnya terlalu panjang, maka tim merasa perlu
31
Ketiga: Terjemah
Qur’ân dan Terjemahnya edisi 2002 yang telah diterbitkan oleh Departemen
Keempat: Kosakata
penyertaan kosakata ini. Dalam edisi penyempurnaan ini, tim merasa perlu
terlebih dahulu adalah arti kata dasar dari kata tersebut, lalu diuraikan pemakaian
kata tersebut dalam al-Qur’ân dan kemudian mengetengahkan arti yang paling pas
untuk kata tersebut pada ayat yang sedang ditafsirkan. Kemudian jika kosakata
tersebut diperlukan uraian yang lebih panjang, maka diuraikan sehingga bisa
Kelima: Munasabah
ayat berikutnya atau antara satu surah dengan surah berikutnya. Seperti
munasabah antara satu surah dengan surah berikutnya, munasabah antara awal
surah dengan akhir surah, munasabah antara akhir surah dengan awal surah
berikutnya, munasabah antara satu ayat dengan ayat berikutnya dan munasabah
dalam tafsir ini adalah dua macam saja, yaitu munasabah antara satu surah dengan
32
sebelumnya.
Dalam tafsir penyempurnaan ini, sebab nuzul dijadikan sub tema. Jika
dalam kelompok ayat ada beberapa riwayat tentang sebab nuzul maka sabab nuzul
yang pertama yang dijadikan subjudul. Sedangkan sabab nuzul berikutnya cukup
Ketujuh: Tafsir
Secara garis besar penafsiran yang sudah ada tidak banyak mengalami
ada perbaikan adalah pada perbaikan redaksi, atau menulis ulang terhadap
penjelasan yang sudah ada tetapi tidak mengubah makna, atau meringkas uraian
yang sudah ada, membuang uraian yang tidak perlu atau uraian yang berulang-
ulang, atau uraian yang tidak terkait langsung dengan ayat yang sedang
Tafsir ini juga berusaha memasukkan corak tafsir ―ilmi‖ atau tafsir yang
bernuansa sains dan teknologi secara sederhana sebagai refleksi atas kemajuan
teknologi yang sedang berlangsung saat ini dan juga untuk mengemukakan
teknologi.
33
Kedelapan: Kesimpulan
ini bercorak ―Hidâ’i‖, maka kesimpulan akhir tafsir ini juga berusaha
Sebagai respon atas saran dan masukan dari para pakar, penyempurnaan
atau kajian ayat dari perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam hal ini
dilakukan oleh tim pakar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu:
anggota
anggota
Staf Sekretariat:
29
Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad (Ketua Tim Penyempurnaan al-Qur’ân dan Tafsirnya
Departemen Agama RI tahun 2003), al-Qur’ân dan Tafsirnya; Edisi yang Disempurnakan,
(Jakarta; Departemen Agama RI, 2004) cet. Pertama hal. xxv
34
AL-INSYIQÂQ
Insyiqâq, penulis akan sedikit memaparkan mengenai surah ini. Ayat-ayat surah
ini disepakati oleh Ulama turun sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah.
Namanya yang dikenal pada masa sahabat Nabi SAW. adalah surah Idzâ
sujud ketika membaca surah Idzâ Insyaqqat as-Samâ. Setelah selesai Abû
Hurairah menjelaskan kepada mereka bahwa Rasul SAW. pun sujud ketika
membacanya. Dalam beberapa kitab tafsir, begitu juga dalam Mushaf, nama
uraian akhir surah yang lalu (al-Mutaffifin) yaitu bahwa hamba-hamba Allah yang
musuhnya akan tersiksa. Itu karena mereka tidak mempercayai adanya hari
Kebangkitan, tidak juga percaya bahwa akan ada manusia diperhadapkan dengan
Tuhan Maha Raja mereka, serupa dengan hamba sahaya diperhadapkan kepada
1
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 137
35
36
Raja atau Penguasa lalu dijatuhi putusan; ada yang memperoleh ganjaran baik dan
ada juga yang disiksa. Nama surah ini al-Insyiqâq menunjuk tema utama itu.
Surah ini dinilai sebagai surah yang ke-83 dari segi urutan turunnya. Ia
turun sesudah surah al-Infitâr dan sebelum surah ar-Rûm. Jumlah ayat-ayatnya
menurut cara perhitungan ulama Mekah, Madinah dan Kufah sebanyak 25 ayat,
Ayat 1-5
ث يَا
ْ َ َٔأَنْم- ْض يُذَت
ُ ْ َٔئِرَا انْأَس- ْث نِشَتَِٓا َٔحُمَث
ْ َ ِ َٔأَر- ْئِرَا انّسًََاء اَشَمَث
Artinya: Apabila langit terbelah, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah
semestinya langit itu patuh, dan apabila bumi diratakan, dan dilemparkan
apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong, dan patuh kepada
Tuhannya, dan sudah semestinya bumi itu patuh, (pada waktu itu manusia
akan mengetahui akibat perbuatannya).
Surah yang lalu diakhiri dengan uraian tentang kenikmatan yang akan
disiksa. Di sini Allah bersumpah dengan kehancuran alam raya untuk menegaskan
bahwa manusia –suka atau tidak suka— pasti akan menemui Allah untuk
dunia. Dan kalau dalam surah yang lalu Allah menyinggung tentang catatan amal
manusia –baik yang durhaka maupun yang taat, maka di sini Allah menyebutkan
2
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 137
37
kitab-kitab amalan itu. Di sini Allah berfirman: Apabila Langit yang terlihat
dewasa ini sedemikian kokoh, terbelah karena rapuhnya dan sangat patuh kepada
benar-benar telah menjadi nyata bagi semua pihak ketika itu keterbelahan dan
kehancurannya serta kepatuhannya kepada Allah, yang selama ini diduga oleh
sementara orang berdiri sendiri, dan apabila bumi dibentangkan yakni diratakan
gunung-gunung dan tebingnya, sehingga ia bagaikan sangat luas, dan bumi itu
pun mencampakkan serta memuntahkan apa saja yang ada di dalam perut-nya
dan bersungguh menjadikan dirinya kosong dari segala yang selama ini
terpendam di perut bumi, dan itu semua adalah karena ia sangat patuh kepada
Tuhannya, dan memang sudah semestinya bumi itu patuh. Betapa ia tidak patuh
kepatuhannya (baca QS. Fussilat [41]: 11). Apabila itu terjadi, maka manusia akan
kosakata yang terdapat dalam surat al-Insyiqâq. Kata ْ( أَرِ َثadzinat) terambil dari
kata ٌٌُأُر (udzunun) yakni telinga yang merupakan alat pendengaran. Dari sini
kata yang digunakan ayat di atas diartikan mendengar dan yang dimaksud adalah
patuh. Siapa yang mendengar dengan baik, maka tentu dia patuh, apalagi yang
dipatuhi langit dan bumi itu adalah َُّ( سَتrabbahû) yakni Tuhannya yang mencipta
dan mengendalikannya.
38
Ayat tersebut tidak menyebut secara tersurat apa yang akan terjadi setelah
kejadian-kejadian yang menimpa langit dan bumi. Ini karena hal tersebut sudah
cukup jelas, apalagi dalam surah al-Mutaffifin yang lalu telah disinggung tentang
Makna keterbelahan langit pada ayat ini serupa dengan makna infitâr pada
surah al-Infitâr. Hanya saja bedanya, di sini ditampilkan kepatuhan langit dan
bumi menerima ketetapan Allah SWT. yang mengakhiri peranannya di alam dunia
ini.
Langit dan bumi, oleh ayat di atas digambarkan sebagai sesuatu yang
hidup dan demikian patuh. Bumi adalah tempat manusia hidup. Ayat di atas
bahwa bumi pun melepaskan diri dari segala sesuatu –termasuk manusia lebih-
lebih yang durhaka— melepaskan pula segala yang ada pada perutnya karena
takut kepada Allah. Kemudian Qurasih mencoba membandingkan ayat ini dengan
م حًَْهََٓا
ٍ ًْ َت ح
ِ م رَا
ُ ث َٔجَضَ ُع ُك
ْ َم يُشْضِعَ ٍة عًََا أَسْضَع
ُ م ُك
ُ َْ ْيَْٕ َو جَشَْٔ ََٓا جَز
AYAT 6-9
ُّ َي كِحَات
َ ٍ أُٔ ِج
ْ َ فَأَيَا ي- ِّ ك كَذْحاً فًَُهَالِي
َ ِح ئِنَٗ سَت
ٌ ِك كَاد
َ َ ٌِ ئ
ُ يَا أَيَُٓا انْاَِّسَا
Setelah ayat yang lalu mengisyaratkan kepatuhan langit dan bumi serta
keniscayaan adanya balasan dan ganjaran maka ayat di atas menyeru dan
antara kamu giat bekerja menuju Tuhan Pencipta dan Pemelihara-mu; kegiatan
dengan penuh kesungguhan. Selanjutnya karena itu adalah bagian dari perjalanan
menuju kepada-Nya, maka pasti engkau akan menemui-Nya —suka atau tidak
suka dan ketika itulah masing-masing akan menerima balasan amal perbuatannya.
Adapun orang yang diberikan kitabnya dengan tangan atau dati arah kanannya,
maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah karena dia adalah
orang yang taat dan selama kehidupan dunia ini dia sudah selalu melakukan
perhitungan dan intropeksi terhadap dirinya, dan dia juga akan kembali kepada
ح
ٌ ِكَاد (kâdihun) dan كَذْحَا (kadhan) pada mulanya berarti bersungguh-sungguh
40
hingga letih dalam melakukan kegiatan. Manusia dalam bekerja pada dasarnya
melihat hari esoknya, bahkan melihat masanya yang akan datang baik singkat
kematian dan pertemuan dengan Allah. Atas dasar itulah sehingga ayat di atas
SWT. Pengukuhan kata Kâdih dengan kadhan untuk memberi gambaran bahwa
perjalanan menuju Allah itu adalah sesuatu yang pasti dan tidak dapat dihindari3.
Manusia mau atau tidak pasti berakhir usahanya dengan kematian dan
pertemuan dengan Allah. Ini karena manusia adalah hamba-Nya, sekaligus Dia
tanpa tujuan, apalagi yang ditemui adalah Allah Yang Maha Agung Sang Pencipta
serta hidupnya pada Allah, dalam arti segala sesuatu pada akhirnya kembali
Kata ٍِْ( انَيًِيal-yamîn) biasa diartikan kanan. Kata ini mempunyai banyak
sebagai lambang kebajikan dan keberuntungan. Oleh karena itu, penghuni surga
kelak akan menerima buku amalan mereka dengan tangan kanan. Dari sini, serta
3
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 141
41
dari arti-arti yang disebutkan di atas seperti kebahagiaan dan lain-lain, penghuni
samping menurut Ulama asal Tunisia itu, tidak dapat dikatakan ia kembali ke
surga menemui keluarganya, karena sebelum ini ia belum pernah berada di surga.
Kembali kepada keluarga juga merupakan kiasan tentang rasa aman, santai dan
keterhindaran dari segala keletihan. Demikian lebih kurang pendapat Ibn ‗Âsyûr
Ayat 10-15
ِّ ٌِ ت
َ ٌ سَتَ ُّ كَا
َ ِ تَهَٗ ئ- ٍ أٌَ نٍَ يَحُٕ َس
َ َ ئِ َ ُّ ظ- ًئِ َ ُّ كَاٌَ فِي أَْْهِ ِّ يَّسْشُٔسا
ًتَصِيشا
Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan keadaan yang taat, kini ayat di
atas menguraikan keadaan yang durhaka. Allah berfirman: Dan adapun orang
4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 142
42
yang diberikan kitabnya dengan tangan kiri dari balik punggungnya sebagai tanda
penghinaan, maka dia akan mengalami penghitungan yang sulit dan akan
banyak lagi siksaan, atau ia akan berkata: ―Celakalah aku karena akan mengalami
kesengsaraan.‖ dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala yaitu
neraka. Sesungguhnya dahulu ketika dia hidup di dunia di tengah keluarganya dia
selalu bergembira tanpa batas lagi angkuh dan berfoya-foya. Susungguhnya ketika
itu dia menduga atau yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali kepada
Tuhannya, dan karena itu dia tidak akan pernah melakukan perhitungan atas
dirinya. Tidaklah demikian ! Dia pasti akan kembali kepada Allah, sesungguhnya
malaikat mencatat amal-amalnya sehingga dia kelak tidak dapat ingkar atas apa
Ayat di atas menyatakan bahwa akan ada yang akan diberi kitab amalanya
dari balik punggungnya, maka itu tidak harus dipertentangkan dengan ayat-ayat
yang lain yang menyatakan diberikan melalui tangan kirinya, karena bisa saja
kitab diberikan melalui punggung dan diterima oleh tangan kirinya. Apalagi –
seperti ditulis Tabâtabâ‘i yang dikutip oleh Quraish— ada orang-orang di hari
kemudian yang diubah mukanya dan diputarkan ke belakangnya5 (baca QS. An-
Nisâ‘ [4]: 47). Ada juga yang diberi kitabnya di belakang punggungnya adalah
orang-orang yang durhaka dari kelompok kaum muslimin. Mereka itu tidak diberi
5
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 143
43
kitab amalannya dengan tangan kanannya, karena ini khusus kepada yang taat,
tidak juga diberi dengan tangan kirinya, karena ini khusus buat orang-orang yang
kafir. Yang diberi dari belakang itu, terlebih dahulu masuk neraka, lalu
dimaksud ayat ini adalah bahwa yang bersangkutan mengingkari adanya hari
Kebangkitan.
dengan mendahulukan kata terhadapnya sebagai isyarat bahwa tidak satu pun
hanya terhadapnya saja Tuhan melihat. Penggalan ayat ini memberi isyarat
Mengetahui tentang manusia, dan ini berarti Dia Maha Mengetahui serta
membedakan antara yang taat dengan yang durhaka, dan tentu saja tidaklah wajar
mempersamakan antara keduanya. Dari sini perlu ada ganjaran bagi yang taat dan
Ayat 16-19
ٍٍَ طَثَمًا ع
َ ُ نَحَشْكَث- َ َٔانْمًََ ِش ئِرَا اجَّسَك- ك
َ َم َٔيَا َٔس
ِ َٔانهَ ْي- ك
ِ َفَهَا أُلّْسِ ُى تِانشَف
ك
ٍ َطَث
Artinya: Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di
waktu senja, dan dengan malam dan apa yang diselubunginya, . dan
dengan bulan apabila jadi purnama, sesungguhnya kamu melalui tingkat
demi tingkat (dalam kehidupan).
44
akan ada kebangkitan, Allah menekankan hal itu dengan berfirman: Maka
sesungguhnya Aku tidak bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja, dan
dengan malam serta apa yang dihimpun –nya baik manusia, binatang maupun
selainnya, dan dengan bulan apabila menjadi purnama, sesungguhnya kamu pasti
melalui tingkat demi tingkat dalam kehidupan, bermula di dunia, lalu kematian
lalu hidup di alam Barzakh, lalu Kebangkitan dan akhirnya berada di surga atau
neraka.
Kata ( نَاlâ) pada firman-Nya: ُأُلّْسِى ( فَهَاfalâ uqsimu) bisa dipahami sebagai
menafikan kata ُأُلّْسِى (uqsimu) sehingga itu berarti Allah tidak bersumpah. Bisa
juga kata lâ dipahami sebagai sisipan atau yang diistilahkan dalam bahasa Arab
dengan lâ Zâidah6 guna menekan sumpah tentang cahaya merah di waktu senja
terdapat perbedaan itu, namun pada akhirnya semua sepakat bahwa ayat di atas
mengandung penekanan. Seseorang ketika menafikan sesuatu boleh jadi saat itu,
memperhatikan orang tuanya dengan berkata, ―rasanya saya tidak perlu berpesan
pada Anda untuk memperhatikan orang tua Anda.” Menafikan pesan di sini,
itu.
6
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 144
45
Kata انشَفَك
7
(asy-syafaq) adalah warna merah yang terlihat di ufuk pada
awal malam pada saat terbenamnya matahari. Selain itu dalam menafsirkan,
Quraish juga mengutip pendapat ar-Râghib al-Asfahâni yang memahami kata ini
pada mulanya berarti bercampur. Warna merah yang terlihat di ufuk adalah
Dari sini rasa takut yang bercampur dengan cinta dinamai ( شَفَمَةsyafaqah) . Ada
malam. Ada juga yang memahami makna tersebut dengan arti kata mengusik,
tersembunyi sehingga menjadi nampak dengan jelas di langit. Makna ini lebih
betapa besar kuasa-Nya, tetapi juga menjadikan keadaan apa yang disebutnya
7
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 144
46
(latarkabunna tabaqan ‘an tabaq) yang Quraish terjemahkan dengan kamu pasti
melalui tingkat demi tingkat. Perbedaan itu lahir dari banyaknya makna yang
Kata la tarkubunna terambil dari kata َسَكِة (rakiba) yang pada mulanya
berarti mengendarai. Di samping makna harfiah ini ia juga diartikan secara majâzi
sesuatu atau situasi dengan sesuatu yang lain baik ia bertumpuk maupun tidak.
dikatakan Quraish bahwa sahabat Nabi, Ibn ‗Âbbâs, memahami kalimat di atas
dalam arti ancaman menyangkut hari Kiamat yakni, kamu akan mengalami situasi
yang sulit setelah situasi sebelumnya. Sahabat Nabi yang lain, Jâbir Ibn ‗Abdillâh
Ada juga yang memahami kata tabaq dalam arti kedudukan. Yakni kamu
semua mengalami kedudukan yang berbeda yaitu dari kedudukan duniawi menuju
kedudukan ukhrawi. Ada orang-orang yang hidup dalam dunia ini dalam
8
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 145
47
kedudukan yang rendah, namun di akhirat akan menuju kedudukan yang tinggi.
Ada lagi yang memahami dalam arti, ―siapa yang kini dalam kesalehan, maka
kesalehannya itu akan mengajaknya menuju kesalehan yang lebih tinggi, begitu
Ada lagi yang berpendapat bahwa, ―kamu akan berjalan menuju satu
perjalanan hidupnya. Tingkat pertama yang dilaluinya adalah dalam perut ibu,
kemudian lahir dalam keadaan bayi, kemudian menyusu, lalu disapih, kemudian
menjadi remaja, dewasa, tua dan pikun, lalu meninggalkan dunia ini ke alam
melewati sirât atau jembatan dan akhirnya berada di surga atau neraka. Di
samping itu ada juga tingkat-tingkat yang bersifat non material dalam hal
Menurut Sayyid Qutub –lanjut Quraish—, makna ini adalah: ―kamu akan
mengalami situasi demi situasi sesuai dengan telah apa yang telah digariskan bagi
kamu. Situasi itu dilukiskan bagai sesuatu yang dikendarai dan semua akan
dibawa oleh kendaraannya menuju arah yang ditetapkan dan akan berakhir pada
tujuan itu, sebagaimana keadaan yang terlihat di alam raya ini, seperti cahaya
9
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,
(Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 146
48
merah dikala senja, malam dengan apa yang telah dihimpunnya serta bulan ketika
Ayat 20-21
demikian, sungguh aneh sikap mereka. Mengapa mereka para pendurhaka ini tak
terus menerus dan dari saat ke saat ? apa yang merintangi mereka ? Dan mengapa
juga apabila dibacakan kepada mereka al-Qur’ân, oleh siapa pun, mereka
senantiasa enggan bersujud yakni tunduk dengan hati serta pikiran mereka atau
meletakkan dahi mereka ke bumi sebagai pengakuan tentang kebesaran Allah dan
kebenaran firman-firman-Nya ?.
merupakan salah satu ayat sajdah yakni dianjurkan bagi pembaca dan
Salah satu alasannya adalah hadits Abû Hurairah yang telah dikutip pada awal
uraian surah ini. Namun –sambung Quraish— Imam Mâlik tidak menjadikan ayat
di atas sebagai ayat sajdah. Menurutnya tidak ada ayat sajdah pada surah-surah
al-Mufassal.
49
Ayat 22-25
beriman dan patuh. Ayat di atas menyatakan bahwa tidak ada yang merintangi
mereka untuk bersujud dan beriman, bahkan sebaliknya terlalu banyak bukti dan
Qur‘ân dengan berbagai dalih padahal Allah lebih mengetahui dari siapa pun
tentang apa yang mereka senantiasa sembunyikan dalam hati mereka antara lain
juga tentang kebejatan dan kelicikan mereka. Jika demikian itu sikap mereka
maka ―gembirakanlah‖ mereka dengan siksa yang pedih. Demikian itulah yang
membuktikan keimanan mereka dengan beramal saleh, bagi mereka pahala yang
agung lagi tidak putus-putusnya dan itu secara sempurna mereka peroleh pada
hari kiamat yang bermula pada saat langit terbelah dan bumi dibentangkan.
50
Kata ٌُْٕيُْٕع (yû’ûn) seakar kata َٔعَا (wa’â) yakni wadah tempat
agar tidak hilang, dan ini mengesankan kekikiran dan dari sini pula lahir makna
dalam benak sikap buruk itu, seakan-akan nampak pada mereka sedang
melakukannya. Adapun penggunaan kata kerja masa lampau pada kata ءَايَ ُْٕا
(âmanû) maka ini untuk mengisyaratkan bahwa keimanan mereka itu berlanjut
Kata ٌُْٕ ًَْ( يmamnûn) terambil dari kata ٍَّ( يmanna) yang berarti putus.
Sehingga ajrun ghairu mamnûn berarti ganjaran yang demikian banyak dan tidak
putus-putusnya. Bisa juga kata tersebut terambil dari kata َُّّي (mannahu) yang
antara lain berarti anugerah dan dengan demikian ia berarti ganjaran yang tidak
ٍَٖ َٔاألر
ِ ًَْال جُثْطِهُٕ ْا صَذَلَاجِكُى تِان
َ ٍْ آيَُُٕا
َ يَا أَيَُٓا انَزِي
Awal surah ini dimulai dengan sumpah menyangkut sekian banyak hal
tentang balasan yang disiapkan Allah bagi manusia –baik yang durhaka mau pun
yang taat. Demikian bertemu uraian awal surah ini dengan akhirnya10. Maha benar
Allah dalam segala firman-Nya dan Maha indah dan serasi ayat-ayat-Nya. Wa
Allâh A’lam.
Republik Indonesia
yang terdapat pada permulaan surat ini, yang pokok katanya ialah ―insyiqâq‖.
dan kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Dalam al-Qur’ân dan Tafsirnya
Mudah
10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh, (Jakarta; Lentera Hati, 2002) hal. 148
52
ث يَا
ْ َ َٔأَنْم- ْض يُذَت
ُ ْ َٔئِرَا انْأَس- ْث نِشَتَِٓا َٔحُمَث
ْ َ ِ َٔأَر- ْئِرَا انّسًََاء اَشَمَث
ك
َ ِح ئِنَٗ سَت
ٌ ِك كَاد
َ َ ٌِ ئ
ُ يَا أَيَُٓا انْاَِّسَا- ْث نِشَتَِٓا َٔحُمَث
ْ َ َِٔأَر - ْفِيَٓا َٔجَخَهَث
- ة حِّسَاتًا يَّسِيشًا
ُ َف يُحَاس
َ َْٕفَّس- ِّ ُِي كِحَاتَ ُّ تِيًَِي
َ ٍ أُٔ ِج
ْ َ فَأَيَا ي- ِّ كَذْحاً فًَُهَالِي
ف
َ َْٕ فَّس- ِِي كِحَاتَ ُّ َٔسَاء ظَْٓش
َ ٍ أُٔ ِج
ْ َ َٔأَيَا ي- ًة ئِنَٗ أَْْهِ ِّ يَّسْشُٔسا
ُ َِٔيَُمَه
ٍٍَ أٌَ ن
َ َ ئِ َ ُّ ظ- ً ئِ َ ُّ كَاٌَ فِي أَْْهِ ِّ يَّسْشُٔسا- َٔيَصْهَٗ سَعِيشًا- ًيَذْعُٕ ثُثُٕسا
ًٌ تِ ِّ تَصِيشا
َ ٌ سَتَ ُّ كَا
َ ِ تَهَٗ ئ- يَحُٕ َس
Artinya: Apabila langit terbelah, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah
semestinya langit itu patuh, dan apabila bumi diratakan, dan dilemparkan
apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong, dan patuh kepada
Tuhannya, dan sudah semestinya bumi itu patuh, (pada waktu itu manusia
akan mengetahui akibat perbuatannya). Hai manusia, sesungguhnya kamu
telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti
kamu akan menemui-Nya, Adapun orang yang diberikan kitabnya dari
sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang
mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman)
dengan gembira. Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari
belakang, dia akan berteriak: "Celakalah aku". dia akan masuk ke dalam
api yang menyala-nyala (neraka). Sesungguhnya dia dahulu (di dunia)
bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir). Sesungguhnya
dia menyangka bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada
Tuhannya). . (Bukan demikian), yang benar, sesungguhnya Tuhannya
selalu melihatnya.
Kata huqqat adalah fi’il mâdi (kata kerja lampau) dengan mabnî
al-haqq artinya berhak atau pantas. Dengan demikian, kata huqqat dalam
ayat ini langit diberi hak atau langit dibuat pantas untuk taat dan patuh
untuk taat dan berserah diri sepenuhnya kepada perintah kepada perintah
bahwa perjalanan menuju Allah adalah sesuatu yang pasti dan tidak dapat
dihindari.
(aduh celaka, aduh celaka), dan hal itu sering dikatakan oleh orang yang
jatuh dalam kebinasaan. Setiap orang yang nasibnya buruk di akhirat dan
54
bahasa artinya kembali (ar-rujû‘). Lan yahûra maksudnya tidak lain ialah
lan yarji’a. Ayat ini maksudnya ―dia menduga bahwa dia sekali-kali tidak
hanyalah di dunia, setelah itu semua makhluk hidup akan mati dan habis
Tafsir
ada pada mereka masing-masing, maka rusaklah peraturan alam semesta dan
beberapa tempat di cakrawala angkasa luar dan langit itu akan patuh kepada apa-
55
apa yang diperintahkan Allah. Sepantasnya dia patuh karena dialah makhluk
(3-5) Dalam ayat-ayat ini Allah menerangkan bahwa bila bumi dan
mengeluarkan apa-apa yang ada di dalamnya (perutnya), yang demikian itu adalah
ض أَثْمَانََٓا
ُ ْث انْأَس
ِ َ َٔأَخْشَج- ض صِنْضَانََٓا
ُ ْث انْأَس
ِ َئِرَا صُنْضِن
Dan firman-Nya:
Artinya: Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang
ada di dalam kubur. (Q.S. al-Âdiyât 100: 9)
(6) Dalam ayat ini Allah mengungkapkan bahwa manusia dalam masa
langkahnya adalah sesungguhnya menuju kepada akhir hidupnya, ialah mati: yang
berarti kembali kepada Allah SWT. dan pada ketika itulah manusia akan
56
mengetahui tentang baik buruk pekerjaan yang telah mereka kerjakan dan ketika
dengan tangan kanannya yang berisi apa-apa yang telah dikerjakannya, maka ia
akan dihitung dengan perhitungan yang mudah dan ringan. Dipaparkanlah semua
perbuatannya yang baik dan yang buruk, maka kemudian diberi ganjaran atas
Siti Aisyah ra. bahwa ia telah mendengar Nabi Muhammad SAW berdoa dengan
mengucapkan:
perhitungan, yang mudah dan yang ringan, ia akan kembali dengan keluarganya
ق
ٍ ث أََِي يُهَا
ُ ََُُئَِِي ظ- َّْل َْاؤُ ُو الْشَؤُٔا كِحَاتِي
ُ ُٕي كِحَاتَ ُّ تِيًَِيُِِّ فَيَم
َ ٍ أُٔ ِج
ْ َفَأَيَا ي
terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai.
(Q.S. al-Hâqqah 19-21)
Dalam ayat ini Allah menerangkan, bahwa golongan kedua adalah mereka
yang banyak mengerjakan perbuatan maksiat, durhaka, dan tidak diridhai Allah.
Mereka akan menerima catatan perbuatan amal mereka dengan tangan kiri,
(13-14) Dalam ayat-ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa ada dua hal
yang menjadi sebab mengapa mereka menerima catatan amalnya dengan tangan
kirinya, yaitu:
(15) Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa mereka sesungguhnya akan
kembali kepadanya dan akan menerima hasil perbuatan mereka di dunia. Orang
surga, sedang orang yang durhaka dan banyak berbuat maksiat akan dimasukkan
ke dalam neraka.
perbuatannya
ٍٍَ طَثَمًا ع
َ ُ نَحَشْكَث- َ َٔانْمًََ ِش ئِرَا اجَّسَك- ك
َ َم َٔيَا َٔس
ِ َٔانهَ ْي- ك
ِ َفَهَا أُلّْسِ ُى تِانشَف
ٍ
َ م انَزِي
ِ َت- ٌٌَُٔ نَا يَّسْجُذ
ُ ب عَهَيِْٓ ُى انْمُشْآ
َ ِ َٔئِرَا لُش- ٌ
َ ُُِٕفًََا نَُٓ ْى نَا يُإْي- ٍطَثَك
ٍ
َ ئِنَا انَزِي- ب أَنِي ٍى
ٍ فَثَشِشُْْى تِعَزَا- ٌ
َ ُٕ َٔانهَ ُّ أَعْهَ ُى تًَِا يُٕع- ٌَُٕكَفَشُٔ ْا يُكَزِت
Tafsir
(16-19) Dalam ayat ini Allah bersumpah dengan cahaya merah di waktu
senja, dengan malam dan apa-apa yang diselubunginya dan dengan bulan apabila
jadi purnama bahwa sesungguhnya kamu melalui tahap demi tahap dalam
Dan kemudian dari masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan sampai tua.
Kemudian dari hidup sampai mati, dan dibangkitkan kembali, hidup kembali di
surga atau neraka setelah melalui ujian dan perhitungan yang sangat teliti.
(20) Dalam ayat ini Allah mencela sikap dan perbuatan mereka, ―Mengapa
mereka masih tidak mau beriman, padahal bukti sudah nyata menunjukkan adanya
(21-22) Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa mereka tidak mau
mengakui bahwa al-Qur‘ân itu kalam ilahi yang harus dimuliakan dan dipatuhi
bangsanya.
3. Mereka tidak mau mengganti kepercayaan yang telah dianut oleh nenek
yang mereka sembunyikan dalam hati mereka. Maka oleh karena itu Allah
kepada Allah dan Rasul-Nya, percaya kepada al-Qur‘ân serta mengerjakan ajaran
dengan sebaik-baiknya, maka mereka akan mendapat ganjaran dari Allah yang tak
Kesimpulan11
3. Orang-orang kafir itu tetap tertutup hatinya sehingga mereka tidak akan
Tafsir al-Misbâh dan al-Qur’ân dan Tafsirnya merupakan salah satu kitab
tafsir yang sangat berpengaruh dalam khazanah Islam pada umumnya dan di
Indonesia) kitab tafsir ini juga menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.
Namun demikian ada beberapa persamaan dan perbedaan dalam kedua kitab tafsir
Untuk itu, penulis akan menganalisa surat al-Insyiqâq dari pandangan dua
11
Al-Qur’ân dan Tafsirnya, (Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1990) hal. 650
62
metode sama, yaitu tahlili dan coraknya yaitu adabi ijtimâ‘i dan lugawi. Dimana
ini, penafsir mengikuti tuntutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam
kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Kemudian juga penafsir
tersebut satu sama lain. Di samping itu penafsir membahas mengenai latar
belakang turunnya ayat dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, Sahabat dan para
Tabi‘in yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat para mufassir itu
2. Pemaknaan Qasam
Dalam hal ini Quraish berpendapat bahwa, kata ال pada firman-Nya: فال
ألّسى bisa dipahami sebagai menafikan kata ألّسى sehingga itu berarti Allah tidak
bersumpah. Bisa juga kata lâ dipahami sebagai sisipan atau yang diistilahkan
dalam bahasa Arab dengan lâ Zâidah guna menekan sumpah tentang cahaya
merah di waktu senja itu. Bila dipahami demikian, maka kata lâ tidak
untuk memperhatikan orang tuanya dengan berkata, ―rasanya saya tidak perlu
berpesan pada Anda untuk memperhatikan orang tua Anda.” Menafikan pesan di
perhatian itu.
Allah bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja, dengan malam dan apa-
apa yang diselubunginya dan dengan bulan apabila jadi purnama bahwa
sesungguhnya kamu melalui tahap demi tahap dalam kehidupan, ialah dari setetes
mani sampai dilahirkan. Tanpa ada tambahan penjelasan seperti yang terdapat
sumber kutipan atau penyebutan nama dan juga penjabaran makna yang lebih luas
Dalam hal ini Quraish menyebutkan nama Ibn ‗Âsyûr ulama asal Tunisia.
letih dalam melakukan kegiatan. Berbeda dengan Departemen Agama yang hanya
manyatakan atau mengutip pendapat az-Zajjâj yang menurutnya secara bahasa al-
pemberian kitab dari sebelah kiri tidaklah harus menjadi perdebatan, karena
perbuatan maksiat, durhaka, dan tidak diridhai Allah akan menerima catatan amal
mereka dengan tangan kiri, dari belakang, kemudian dimasukkan ke dalam api
neraka.
menyebutkan bahwa ada dua hal yang menjadi sebab-musabab mereka menerima
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Di bab-bab yang telah penulis jelaskan, secara umum tidak ada perbedaan
mencolok dari pengertian dan penjelasan surah al-Insyiqâq. Kedua kitab tafsir ini
satu suara bahwa setiap perbuatan baik akan berakhir pada kebaikan pula dan
Tapi bukan berarti tanpa perbedaan. Hal itu disebabkan karena beberapa
Ibn „Âsyûr tentang makna kata كادحdan كدحاpada mulanya berarti bersungguh-
sungguh hingga letih dalam melakukan kegiatan. Sementara dalam al-Qur’ân dan
sana juga memaparkan arti yang sama. Kemudian dalam ayat 10-15, adanya dua
hal tambahan penjelasan yang menjadi sebab mengapa mereka menerima catatan
penterjemahan bagian ini, terdapat perbedaan yang mencolok antara Tafsir al-
Misbâh dan al-Qur’ân dan Tafsirnya, apabila di dalam Tafsir al-Misbâh diartikan
dengan “Maka Aku tidak bersumpah dengan cahaya merah (di waktu senja), ….”.
maka dalam al-Qur’ân dan Tafsirnya diartikan dengan “Maka Aku bersumpah
demi cahaya merah pada waktu senja … “. Namun ini bukan tanpa alasan seperti
65
66
yang telah penulis sebutkan di atas. Terakhir, Al-Qur’ân dan Tafsirnya dalam ayat
bangsanya.
3. Mereka tidak mau mengganti kepercayaan yang telah dianut oleh nenek
yang mereka sembunyikan dalam hati mereka. Oleh karena itu Allah
B. Saran-saran
sebagai berikut:
Anwar, Hamdani, Telaah Kritis terhadap Tafsir al-Misbâh karya M. Quraish Shihab;
dalam Mimbar Agama Dan Budaya, Vol.XIX, No.2, 2002.
Departemen Agama, al-Qur’ân dan Tafsirnya, (Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf,
1995)
Esposito, L. John, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999)
al-Farmawi, Abdul Hayy, Penerjemah Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudu’i; Dan
Cara Penerapannya (Bandung, CV Pustaka Setia, 2002)
Hasanuddin, Irfan, Penafsiran Bias Jender: Telaah Tafsir Departemen Agama Yang
Disempurnakan, (Jakarta; UIN Jakarta, 2009)
Kusmana, Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam (Sejarah dan Profil Pimpinan
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1957-2002) (Jakarta: IAIN Jakarta Press
2002)
Masykur, Anis, Menyingkap Tabir Kematian, (Jakarta: CV. Sukses Bersama, 2006)
67
68
Nasuhi, Hamid, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi),
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: CeQda, 2007)
Tahar, M. Shohib, Telaah tentang Tafsir al-Qur’ân Departemen Agama RI; dalam Lektur
Keagamaan, Vol. 1 No. 1, 2003