Anda di halaman 1dari 117

STUDI KOMPARATIF TEOLOGI ISLAM HARUN NASUTION

DAN HASSAN HANAFI

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan


Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh:
Rizki Maulana
NIM: 11140331000014

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

STUDI KOMPARATIF TEOLOGI ISLAM HARUN NASUTION DAN


HASSAN HANAFI

Skripsi

Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh:

Rizki Maulana
NIM: 11140331000014

Dosen Pembimbing:

Kusen. Ph.D

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H / 2021 M

i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Studi Komparatif Teologi Islam Harun Nasution dan

Hassan Hanafi” telah diajukan dalam sidang munaqasyah pada program studi Aqidah dan

Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Juli

2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama

(S.Ag) pada program studi Aqidah dan Filsafat Islam.

Jakarta, 15 Juli 2021

Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang sekretaris Sidang

Dra. Tien Rahmatin, MA Dra. Banun Binaningrum, M. Pd


NIP: 19680803 199403 2 002 NIP: 19680618 199903 2 001

Penguji I Penguji II

Dr. Kholid Al Walid, MA Drs. Agus Darmaji, M.Fils.


NIP: 19700920 200501 1 004 NIP: 19610827 199303 1 002

Dosen pembimbing

Kusen. Ph.D

ii
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

‫ا‬ tidak dilambangkan

‫ب‬ b be

‫ت‬ t te

‫ث‬ ts te dan es

‫ج‬ j je

‫ح‬ h ha dengar garis di bawah

‫خ‬ kh ka dan ha

‫د‬ d de

‫ذ‬ dz de dan zet

‫ر‬ r er

‫ز‬ z zet

‫س‬ s es

‫ش‬ sy es dan ye

‫ص‬ s es dengan garis bawah

‫ض‬ ḏ de dengan garis bawah

‫ط‬ ṯ te dengan garis bawah

‫ظ‬ ẕ zet dengan garis bawah

‫ع‬ ‘ koma terbalik di atas hadap kanan

‫غ‬ gh ge dan ha

‫ف‬ f ef

‫ق‬ q ki

‫ك‬ k ka

iv
‫ل‬ l el

‫م‬ m em

‫ن‬ n en

‫و‬ w we

‫ه‬ h ha

‫ء‬ ` apostrof

‫ي‬ y ye

B. Vokal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin keterangan

َ‫ـَـــ‬ a fatḥah

َ‫ـَـــ‬ i kasrah

َ‫ـَـــ‬ u ḏammah

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ي‬
َ َ‫ـَــــ‬ ai a dan i

‫ـَـــَ َو‬ au a dan u

C. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ــَﺎ‬ â a dengan topi di atas

‫ﻲ‬
َ ‫ــ‬ î i dengan topi di atas

‫ــﻮ‬ û u dengan topi di atas

v
ABSTRAK

Rizki Maulana
Studi Komparatif Teologi Islam Harun Nasution dan Hassan Hanafi
Teologi merupakan suatu wacana ilmu pengetahuan yang di dalamnya
memuat ajaran-ajaran dari suatu agama tertentu. Di dalam agama Islam, teologi
Islam sering kali disebut dengan ilmu tauhid atau ilmu kalam. Di dalam ajaran
Islam, teologi menjadi sebuah perdebatan yang sangat mendalam di kalangan para
Mutakallimin. Berbagai macam perbedaan maupun persamaan pendapat diutarakan
oleh mereka. Di Indonesia kita mengenal sosok Harun Nasution, ia merupakan
pembaharu dan pemikir Islam yang memiliki citra luar biasa dalam pemikiran
teologinya. Harun Nasution berupaya mengenalkan ajaran teologinya yang bersifat
rasional dan lebih filosofis. Setiap gagasan tentang teologi yang dikemukakan oleh
Harun Nasution memiliki pengaruh atas sistem teologi yang dianut umat muslim di
Indonesia. Di sisi lain, Hassan Hanafi juga merupakan tokoh rasionalis Islam yang
melihat bahwa teologi tidak hanya berkisar pada persoalan agama saja, melainkan
suatu ajaran yang bisa membawa pada perubahan dan dapat diaktualisasikan dalam
kehidupan nyata.
Maka dari itu, pada skripsi ini penulis berupaya untuk menjabarkan dan
kemudian membandingkan, serta mengkorelasikan corak pemikiran teologi Islam
dari kedua tokoh tersebut yaitu, Harun Nasution dan Hassan Hanafi. Metode yang
digunakan penulis dalam pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan
teknik studi kepustakaan (Library Research). Kemudian metode yang digunakan
selanjutnya adalah metode deskriptif-komparatif. Dan dari hasil penelitian yang
didapat, penulis menemukan bahwa pandangan teologi menurut Harun Nasution
dan Hassan Hanafi memiliki perbedaan dan persamaan pendapat mengenai
persoalan teologi Islam. Perbandingan itu dapat dilihat dalam masalah akal, wahyu,
dan kebebasan manusia.

vi
KATA PENGANTAR

Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim

Segala puji serta syukur atas kehadirat Allah SWT. Sang pencipta alam,

Tuhan yang Maha Menghendaki atas segala sesuatu, sehingga atas kebesaran dan

karunia-Nya pula lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-

baiknya. Shalawat seiring salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi

Muhammad SAW. Yang menjadi suri tauladan bagi umatnya dan menjadi pelita

yang menerangi kehidupan umatnya di dunia maupun di akhirat.

Dengan izin Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, akhirnya

skripsi dengan judul “Studi Komparatif Teologi Islam Harun Nasution dan Hassan

Hanafi” ini dapat penulis selesaikan walau dengan jangka waktu yang cukup

panjang. Dan dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari tidak

menyelesaikannya dengan jerih payah sendiri, melainkan dengan bantuan serta

dukungan dari berbagai pihak dan orang-orang di sekitar penulis yang turut andil

dalam terselesaikannya skripsi ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis

ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Kusen. Ph.D, sebagai dosen pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan saran, dan

menjadi tempat bagi penulis untuk sekaligus menambah wawasan.

Berkat bimbingan beliau lah skripsi ini bisa terselesaikan.

2. Ibu Dra. Tien Rahmatin, MA, sebagai Ketua Jurusan Aqidah Filsafat

Islam, Fakultas Ushuluddin, serta sebagai Dosen Penasihat Akademik

vii
penulis, yang telah memberikan masukan kepada penulis ketika

konsultasi.

3. Dr. Yusuf Rahman, MA. Sebagai dekan Fakultas Ushuluddin,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Terimakasih kepada jajaran dosen pengajar Fakultas Ushuluddin, yang

telah senantiasa tulus memberikan ilmu dan pemikirannya kepada

penulis selama beberapa tahun ini.

5. Kepada kedua orang tua penulis, ayahanda tercinta Udin Syahrudin dan

ibunda tercinta Tuti Alawiyah. Terimakasih sebesar-besarnya yang

tanpa lelah selalu memberikan semangat, dukungan, serta motivasi

kepada penulis. Dan terimakasih juga atas segala doa yang terus-

menerus selama ini dipanjatkan kepada anak tunggalnya ini yang

memiliki banyak kekurangan.

6. Teman kos-kosan penulis Fitrah Permana dan Fauzan Bimo yang sudah

menemani penulis selama beberapa tahun untuk hidup dan tinggal

bersama di kos-kosan.

7. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan mahasiswa Aqidah Filsafat

Islam angkatan 2014. Terimakasih untuk selalu ada disaat penulis

membutuhkan bantuan dalam penyusunan skripsi ini. Dan terimakasih

sudah menjadi bagian dari perjalanan hidup penulis selama menempuh

pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat penulis sebutkan

satu per satu.

viii
Semoga kebaikan mereka semua mendapat balasan dari Allah SWT. Dan

mereka selalu dalam lindungan-Nya. Terakhir, penulis berharap skripsi yang jauh

dari kesempurnaan ini bisa memberikan banyak manfaat bagi kita semua dan

menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan.

Tangerang, 07 Januari 2021

Rizki Maulana

ix
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ iv
ABSTRAK ............................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................1


B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................7
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................7
E. Metode Penelitian ......................................................................................9
F. Sistematika Penulisan ..............................................................................11

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG TEOLOGI ISLAM .....................12

A. Pengertian Teologi Islam .........................................................................12


B. Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Teologi Islam ......................................16
a. Masa Klasik .................................................................................16
b. Masa Modern ...............................................................................23
c. Masa Kontemporer.......................................................................28

BAB III TEOLOGI ISLAM DALAM PANDANGAN HARUN NASUTION


DAN HASSAN HANAFI .......................................................................33

A. Harun Nasution ........................................................................................33


a. Riwayat Hidup Harun Nasution ...................................................33
b. Latar Belakang Intelektual ...........................................................35
c. Pokok Pikiran ...............................................................................39

x
d. Pemikiran Harun Nasution Tentang Akal, Wahyu, Kebebasan
Manusia dan Takdir......................................................................45
1. Akal .......................................................................................45
2. Wahyu ...................................................................................51
3. Kebebasan Manusia dan Takdir ............................................56
B. Hassan Hanafi ..........................................................................................61
a. Riwayat Hidup Hassan Hanafi .....................................................61
b. Latar Belakang Intelektual ...........................................................64
c. Pokok Pikiran ...............................................................................67
d. Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Akal, Wahyu, Kebebasan
Manusia dan Takdir......................................................................74
1. Akal .......................................................................................74
2. Wahyu ...................................................................................78
3. Kebebasan Manusia dan Takdir ............................................82

BAB IV PERBANDINGAN TEOLOGI ISLAM HARUN NASUTION DAN


HASSAN HANAFI.................................................................................86

A. Persamaan dalam Pandangan Fungsi Akal ..............................................86

B. Perbedaan Pandangan Tujuan Diturunkannya Wahyu ............................90

C. Persamaan Pandangan Manusia Memiliki Kebebasan ............................93

BAB V PENUTUP ................................................................................................98

A. Kesimpulan ..............................................................................................98
B. Saran ........................................................................................................99

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................101

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembaruan pemikiran umat Islam muncul sebagai akibat perubahan-

perubahan besar dalam segala bidang kehidupan yang dibawa oleh kemajuan pesat

yang terjadi karena pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi. Masalah-masalah

yang ditimbulkannya dalam bidang keagamaan, termasuk Islam adalah lebih sulit

jika dibandingkan dengan bidang kehidupan lainnya. Salah satu penyebab

kerumitan itu karena dalam agama terdapat ajaran-ajaran absolut, mutlak, benar,

kekal, tidak berubah, dan tidak bisa diubah.1 Manusia melalui beberapa periode,

yaitu dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan tua. Dalam berpikirnya manusia

tentu mengalami tahapan-tahapan sebagaimana tesebut. Dalam beragama manusia

dibekali akal untuk memahami ajaran-ajarannya. Agama bagi umat-umat yang

terdahulu, yang dapat diibaratkan mereka itu masih taraf anak-anak, maka ajaran-

ajaran agama yang diturunkan kepada mereka bersifat mutlak, perintah, larangan,

dan penyerahan diri kepada Tuhan.2

Kepercayaan terhadap sesuatu agama tertentu merupakan pokok dasar.

Islam sebagai yang mengingkari agama-agama Yahudi dan Nasrani serta agama-

agama berhala, merasa perlu untuk menjelaskan pokok dasar ajarannya dari segi-

1
Nurhidayat Muhammad Said, Pembaruan Pemikiran Islam Di Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Mapan, 2006), hlm. 1.
2
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2012), hlm. 309.

1
2

segi dakwah yang menjadi tujuannya. Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Muhammad

saw banyak berisi pembicaraan tentang wujud Tuhan, keagungan, dan ke-Esaan-

Nya.3 Karena, pada hakekatnya ajaran Islam yang sari patinya tersimpul dalam

kedua sumber utama itu mendidik manusia kepada pembentukan kepribadian yang

sempurna.4

Dalam membahas persoalan ketuhanan yang ada dalam al-Qur’an dan hadis,

umat Islam mengenalnya dengan sebutan ilmu kalam, ilmu tauhid , atau teologi.

Sejarah pemikiran dalam Islam merupakan kajian perjalanan pergumulan

pemikiran Islam yang membahas teologi atau ilmu kalam pada umumnya dengan

pendekatan sejarah secara kronologis. Karena dalam ilmu teologi ini seseorang

dapat memperkukuh keyakinannya sebagai seorang Muslim dari guncangan

pemikiran serba benda pada abad modern saat ini.5 Dengan mempelajari teologi

akan memberikan seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan

yang kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.6

Teologi seharusnya merupakan wacana keilmuan yang dihadapkan pada

sejumlah dilema antara keabsolutan dengan kenisbian. Teologi pada generasi awal

(Nabi), telah menekankan pada penciptaan masyarakat yang bermoral dan etika

praktis, berkaitan dengan baik dan buruk serta keadilan, yang bertumpu pada

kesadaran yang peka dan nyata akan adanya satu Tuhan. Teologi Islam pada masa

kekhalifahan, masih menampakkan adanya kontinuitas yang sangat kental dengan

3
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003), hlm. 11.
4
Achmad Ghalib, Rekonstruksi Pemikiran Islam, (Tangerang: UIN Jakarta Press, 2005),
hlm. 23.
Ris’an Rusli, Teologi Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 3.
5
6
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
UI Press, 2016), hlm. ix.
3

periode nabi yang bercorak “teologi praktis”. Meskipun fungsinya telah bergeser

sebagai pembela kepercayaan dan kepentingan politik sekte tertentu, yang muncul

sebagai akibat peristiwa “pembunuhan politik”.7

Teologi merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan

manusia. Teologi merupakan penyerapan atau perefleksian ajaran agama atas

realita dunia. Bahkan bagi manusia yang tidak beragamapun, tetap berteologi

sekalipun tanpa agama. Menelusuri jejak-jejak teologi Islam tidak luput dari

pemikiran serta gagasan-gagasan dari tokoh-tokoh pemikir Islam modern. Di

Indonesia khususnya, kita mengenal nama-nama besar teolog muslim yang

memiliki kekayaan intelektual dalam bidang teologi tersebut. Harun Nasution

merupakan salah satunya, untuk pandangan teologi, Harun Nasution seringkali

merujuk pada tradisi pemikiran teologi rasional Mu’tazilah dan juga para pemikir

pembaharu berikutnya seperti Muhammad Abduh dan lainnya.8 Kaum Mu’tazilah

ialah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam

dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa aliran teologi

lainnya. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka

mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.

Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-

kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh

pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya berpikir yang ada

dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri tuhan, dan wahyu

7
Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2000), hlm. 11-12.
8
Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, (Jakarta: Ciputat Pers, 2001), hlm. 163.
4

sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan

keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap

Tuhan.9

Dalam Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi, ada aliran

yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional, dan ada pula yang mempunyai

sifat antara liberal dan tradisional. Kedua corak teologi ini, liberal dan tradisional,

tidak bertentangan dengan ajaran Islam.10 Harun Nasution membawa cakrawala

berpikir umat Islam untuk tidak berpandangan sempit dan tradisional. Pandangan

sempit dan tradisionalisme tidak dapat berjalan sejajar dengan modernisasi, bahkan

bertentangan. Menurutnya, karena kesalahan menjatuhkan pilihan teologi inilah

akhirnya umat Islam mengalami keterbelakangan.

Menurut pendapat tokoh teolog yang lain, yaitu Hassan Hanafi, sejarah

teologi adalah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam kitab suci. Setiap ahli

teologi atau penafsir melihat bahwa kitab suci merupakan sesuatu yang ingin

mereka lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan

dan tujuannya pada naskah-naskah itu.11 Menurutnya lagi, bahwa teologi bukanlah

ilmu ketuhanan, teologi tidak lebih merupakan hasil pemikiran manusia yang

terkondisikan oleh waktu dan keadaan sosial, sehingga posisinya sama dengan

posisi ilmu-ilmu lainnya, tidak ada yang lebih utama di dalam ilmu-ilmu

pengetahuan, karena sebagai pengetahuan dapat saja berubah-ubah pada

9
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 81.
10
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. x.
11
E. Kusnadiningrat, Hassan Hanafi: Islam adalah Protes, Oposisi, dan Revolusi,
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=310.
5

perumusannya, sehingga memungkinkan untuk munculnya bentuk-bentuk teologi

baru.12

Dalam menganalisis tentang Islam dan tauhid atau teologi tidak bisa hanya

sebatas pada Tuhan dan mental saja. Karena itu, jalan terbaik untuk memahaminya

adalah dengan mengartikannya sebagai “penyatuan”. Ketika gagasan itu

dikembalikan kepada bidang ketuhanan, ia akan berarti Keesaan Tuhan”. Tetapi

sebagaimana telah dilihat, bahwa Islam mencakup bidang-bidang keduniawian,

mental, dan sekaligus ketuhanan.13 Teologi yang selama ini dipahami oleh umat

Islam menurut Hassan Hanafi, tidak membawa perubahan atau semangat kemajuan

dikalangan umat Islam. Konsep-konsep Teologi yang ditafsirkan oleh para ahli

teolog terlalu bersifat teosentris, dan sama sekali belum menjamah aspek

antroposentri. Padahal manusia membutuhkan konsep-konsep teologi yang bersifat

antroposentris yang bisa diaktualisasikan dalam kehidupan empirik.

Memahami berbagai macam pandangan dari Harun Nasution dan Hassan

Hanafi tersebut, mengantarkan penulis untuk tetap hormat pada keduanya, atau

paling tidak mengetahui alasan dan latar belakang suatu pandangan tersebut dapat

memberikan kepada pihak lain kesempatan untuk menemukan dalih atau alasan

pembenaran. Walaupun pemikiran yang dikemukakan itu tidak dapat diterima.

Tentu, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya, dan setiap hasil

renungan dan pemikiran dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tingkat intelegensi,

kecenderungan pribadi, latar belakang pendidikan, bahkan perkembangan ilmu

12
Arfiansyah, Rekonstruksi Teologi Islam Hassan Hanafi, (Skripsi Fakultas Ushuluddin,
Jurusan Aqidah dan Filsafat IAIN Ar-Raniry, 2004), hlm. 54-56.
13
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis
Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogyakarta: LkiS, 1993), hlm. 17-18.
6

pengetahuan. Karena, pikiran merupakan cermin dari masyarakat, di mana setiap

individu membaca konstruk-konstruk dan realitasnya di dalam cermin itu. Suatu

persepsi tidak akan terjadi atau perilaku tidak akan terealisasi kecuali dengan

kebebasan pikiran. Jika tidak demikian, maka pertarungan merupakan kebiadaban

murni.14 Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis berupaya

untuk mengkaji pemikiran teologi dari kedua tokoh tersebut dengan judul “Studi

Komparatif Teologi Islam Harun Nasution dan Hassan Hanafi”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka penulis membatasi

penelitian yang membahas teologi Islam ini pada persoalan akal, wahyu, kebebasan

manusia dan takdir menurut Harun Nasution dan Hassan Hanafi. Adapun

berdasarkan dari batasan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, maka

penulis menetapkan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan Harun Nasution dan Hassan Hanafi mengenai

konsep akal, wahyu, kebebasan manusia dan takdir?

2. Apa persamaan dan perbedaan akal, wahyu, kebebasan manusia dan

takdir menurut Harun Nasution dan Hassan Hanafi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam sebuah skripsi ini adalah sebagai berikut :

14
Hassan Hanafi, Studi Filsafat 1 Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer,
(Yogyakarta: LKiS, 2015), hlm. 298.
7

1. Untuk memperkenalkan pemikiran konsep teologi Islam Harun

Nasution dan Hassan Hanafi.

2. Untuk mengetahui perbandingan teologi Islam Harun Nasution dan

Hassan Hanafi.

3. Untuk mendapatkan gelar sarjana Islam pada prodi Aqidah dan Filsafat

Islam, fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menambah wawasan tentang berbagai pemikiran teologi dari dua tokoh

teolog terkemuka.

2. Memberikan gambaran teologi yang tidak hanya dilihat dari satu

perspektif.

3. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan bacaan dan sumber

referensi bagi masyarakat umum, dan khususnya bagi para mahasiswa.

D. Tinjauan Pustaka

Adapun beberapa penelitian yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini,

penulis mengambil beberapa penelitian diantaranya sebagai berikut :

Pertama, skripsi dengan judul “Ibadah, Moral, dan Pemikiran dalam

Kehidupan Harun Nasution”, tahun 2016, skripsi tersebut disusun oleh Abdul

Kholik, mahasiswa prodi Aqidah Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam

penelitian tersebut membahas konsepsi ibadah dan moral menurut Harun Nasution,

serta berbagai aspek pemikiran Harun Nasution seperti teologi, filsafat, dan

mistisisme.
8

Kedua, skripsi yang disusun oleh Ach. Khomaidi, mahasiswa jurusan

Aqidah Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi tersebut berjudul “Akal

dan Wahyu dalam Perspektif harun Nasution”, tahun 2005. Di dalamnya membahas

fungsi akal dan wahyu, serta analisis kritisnya terhadap pemikiran Harun Nasution.

Ketiga, penelitian yang berjudul “Kedudukan Akal dalam Pemikiran

Teologi Rasional Harun Nasution”, tahun 1999, penelitian tersebut dibahas oleh

Amsal Bachtiar dan Achmad Gholib di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam

penelitian ini meneliti fungsi akal dalam mengetahui tuhan, kebaikan, dan kejahatan

menurut Harun Nasution.

Keempat, skripsi yang berjudul “Humanisme Hassan Hanafi”, tahun 2017,

yang ditulis oleh Taufik Rahman mahasiswa jurusan Aqidah dan Filsafat Islam

fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi

ini menelusuri gagasan-gagasan humanisme Hassan Hanafi dan juga

membandingkan humanisme Hassan Hanafi dengan pemikir muslim yang lain.

Kelima, skripsi yang berjudul “Rasionalisme dalam Perspektif Hassan

Hanafi”, tahun 2016, skripsi ini ditulis oleh Zulfikar mahasiswa jurusan ilmu aqidah

fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Skripsi ini hanya

meneliti pemikiran Hassan Hanafi mengenai Rasionalisme.

Keenam, skripsi dengan judul “Teologi Pembebasan dalam Islam (Studi

atas Pemikiran Hassan Hanafi)”, skripsi tahun 2015 yang disusun oleh Muh. Alwi,

mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat, fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik, UIN

Alauddin Makassar. Skripsi ini berfokus pada pemikiran Hassan Hanafi tentang

teologi pembebasan.
9

Ketujuh, buku dengan judul “Kiri Islam”, karya Kazuo Shimogaki, buku

tahun 1993 dan diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta. Dalam buku ini Kazuo

Shimogaki menelaah posisi pimikiran Hassan Hanafi dan menelaah responsi hassan

Hanafi atas dunia barat dan Islam.

Dari beberapa penelitian diatas, penulis mendapati berbagai penelitian yang

membahas pemikiran Harun Nasution maupun Hassan Hanafi, tetapi penulis belum

menemukan sebuah penelitian yang membandingkan pemikiran dari Harun

Nasution dan Hassan Hanafi tentang teologi Islam, terutama pada persoalan akal,

wahyu, kebebasan manusia dan takdir. Maka pada penelitian ini lah penulis

mengenalkan perbandingan pemikiran dari kedua tokoh tersebut.

E. Metode Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam metode pengumpulan data, penulis menggunakan teknik library

research (studi kepustakaan) di dalam penelitian ini. Teknik ini dilakukan dengan

mengumpulkan data-data terkait permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi

ini melalui berbagai literatur, baik sumber primer maupun sumber sekunder.

Adapun untuk sumber primer, penulis mengambil beberapa data dari beberapa

karya Harun Nasution dan Hassan Hanafi. Sedangkan untuk sumber sekunder,

diperoleh dari bahan penelitian yang ditulis, baik berupa buku-buku, jurnal, artikel,

dan lain-lain, yang ada kaitannya dengan permasalahan dan pembahasan di dalam

penelitian penulis.
10

2. Metode Pembahasan

Selanjutnya metode yang digunakan adalah metode deskriptif-komparatif.

Deskriptif adalah menggambarkan secara jelas pemikiran kedua tokoh terkait

dengan masalah yang akan diteliti. Sedangkan komparatif adalah membandingkan

pandangan Harun Nasution dan Hassan Hanafi. Metode ini digunakan untuk

menjelaskan serta membandingkan pikiran-pikiran kedua tokoh yang berkenaan

dengan judul penulisan penelitian ini. Sehingga hal tersebut dapat memberikan

kejelasan yang sifatnya akurat dan akademik baik bagi penulis khususnya, maupun

bagi masyarakat atau pembaca umumnya.

Komparatif atau penelitian komparasi adalah penelitian yang dimaksudkan

untuk mengetahui dan atau menguji perbedaan dan persamaan dua individu, dua

kelompok atau lebih. Penelitian komparasi juga adalah penelitian yang dilakukan

untuk membandingkan suatu variabel (objek penelitian), antara subjek yang

berbeda atau waktu yang berbeda dan menemukan hubungan sebab-akibatnya.

Objek yang diperbandingkan dalam penelitian ini dapat berwujud tokoh atau

cendikiawan, aliran pemikiran, kelembagaan, manajemen, negara, maupun suatu

peristiwa atau kondisi.

Dalam arti lain, penelitian komparasi adalah suatu metode yang digunakan

untuk membandingkan data-data yang telah dikumpulkan, kemudian ditarik ke

dalam konklusi baru.

Adapun pedoman untuk penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku

Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.
11

F. Sistematika Penulisan

Pada sistematika penulisan ini, penulis membagi skripsi ini menjadi lima

bab, yang diantara lima bab tersebut terdiri dari beberapa sub bab bahasan, dengan

perincian sebagai berikut :

BAB I : Bab yang berisi tentang uraian permasalahan secara mendetail dan

menyeluruh mengenai materi, konteks, arah, dan ruang lingkup pembahasan yang

terdiri dari; latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

BAB II : Pada bab ini membahas mengenai pengertian umum tentang

teologi Islam, serta menguraikan beberapa aliran-aliran dan tokoh-tokoh teologi

Islam dari masa ke masa.

BAB III : Bab ini berisi tentang penjelasan secara rinci mengenai objek-

objek pembahasan dalam teologi Islam, yang diantaranya yaitu akal, wahyu,

kebebasan manusia dan takdir menurut kedua tokoh. Riwayat hidup dan latar

belakang intelektual kedua tokoh juga dibahas dalam bab ini. Selain itu berisi juga

tentang pokok-pokok pikiran dari kedua tokoh yang akan dibahas.

BAB IV : Bab ini merupakan inti dari penelitian ini, pada bab ini penulis

membandingkan persoalan akal, wahyu, dan kebebasan manusia dari pandangan

Harun Nasution dan Hassan Hanafi. Dan dari perbandingan tersebut terdapat

persamaan dan perbedaan pemikiran dari kedua tokoh terkait

BAB V : Berisi penutup dari penulisan penelitian ini, yang terdiri dari

kesimpulan dan saran-saran.


BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG TEOLOGI ISLAM

A. Pengertian Teologi Islam

Teologi merupakan “ilmu tentang ketuhanan”, yaitu membicarakan zat

Tuhan dari segala seginya dan hubungannya dengan alam. Teologi yang bercorak

agama dipahami sebagai intellectual expression of religion, atau keterangan tentang

kata-kata agama yang bersifat pikiran. Karena itu teologi biasanya diikuti dengan

kualifikasi tertentu seperti Teologi Yahudi, Teologi Kristen, dan juga Teologi

Islam.1 Teologi dalam Islam disebut juga sebagai ilmu al-tauhid, kata tauhid

mengandung arti satu atau esa, dan keesaan dalam pandangan Islam disebut sebagai

monotheisme yang merupakan sifat yang terpenting diantara segala sifat Tuhan.

Kemudian, teologi Islam disebut juga dengan ‘ilmu al-kalam.2 Menurut Harun

Nasution, teologi juga membahas ajaran-ajaran dari suatu agama. Dalam Istilah

Arab, ajaran-ajaran dasar tersebut disebut Ushuluddin. Oleh karena itu, buku yang

membahas soal-soal teologi dalam Islam diberi nama kitab al-Ushul al-Din. Ajaran-

ajaran tersebut disebut juga dengan akidah atau keyakinan.

Dalam sejarah perkembangan dunia Islam, ilmu kalam lahir lebih

belakangan dibanding dengan ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu hadis dan ilmu

fikih. Ilmu kalam tidak lahir secara spontan, melainkan telah melalui proses dan

melintasi kurun waktu yang cukup panjang, didahului oleh munculnya berbagai

1
Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, cetakan 3, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,
2003), hlm. 8.
2
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
UI Press, 2016), hlm. ix.

12
13

persoalan kalam secara parsial. Setiap suatu persoalan kalam muncul, pastilah

muncul pula pendapat yang berbeda bahkan saling bertentangan, yang pada

gilirannya melahirkan aliran. Sehingga aliran kalam pun mendahului lahirnya ilmu

kalam itu sendiri.3

Persoalan kalam bukan yang pertama muncul di dunia Islam sepeninggal

Rasulullah SAW, dan bukan pula sebagai hasil perenungan langsung terhadap

masalah-masalah teologis yang termuat dalam sistem akidah Islam. Bersumber dari

kemelut politik yang kemudian merambat ke masalah kalam. Jadi, masalah kalam

atau teologi muncul di dunia Islam bermula dan bersumber dari fenomena politik.

Sejak kaum Khawarij menggunakan term kafir terhadap lawan politik mereka,

persoalan politik sudah berubah menjadi persoalan kalam.4

Istilah Ilmu Kalam terdiri dari dua kata ilmu dan kalam. Kata ilmu dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengandung arti pengetahuan tentang suatu

bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu.5 Sedangkan kata

kalam, berasal dari Bahasa Arab yang berarti kata-kata. Ilmu kalam secara harfiah

berarti ilmu tentang kata-kata. Sebagaimana diketahui ilmu kalam membahas

ajaran-ajaran dasar dalam agama Islam. Ajaran-ajaran itu menyangkut wujud Allah,

kerasulan Muhammad, dan al-Qur’an.6 Maka, teologi dalam Islam disebut ‘ilmu al-

kalam, karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan

pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam diberi nama

3
Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu Kalam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 1.
4
Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu Kalam, hlm. 13.
5
W. J. S, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), hlm. 423.
6
M. Yunan Yusuf, Alam pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2014), hlm. 3.
14

Mutakallimin, yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata. Tujuan para

Mutakallimin atau teolog Muslim tidak lain adalah untuk memperkenalkan,

menanamkan, dan membela kebenaran akidah tauhid.

Ilmu kalam, seperti ilmu keislaman lainnya, juga mempunyai dasarnya

sendiri dari sumber al-Qur’an, baik menyangkut aspek metode maupun materi.

Ditinjau dari segi metode maupun materinya, keberadaan ilmu kalam bukan yang

terlarang dalam Islam. Bahkan ilmu kalam mutlak diperlukan demi terbangunnya

keimanan yang kukuh diatas bukti dan argumen yang kuat. Tanpa ilmu kalam

dengan metode rasionalnya, kaum Muslimin akan sulit membela dan

memperkenalkan kebenaran akidah islamiah di hadapan orang-orang, terutama

kaum non-Islam yang terbiasa berpikir rasional.7

Dasar ilmu kalam atau teologi Islam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh

dalil pikiran ini tampak sangat jelas dalam pembicaraan para mutakallimin. Mereka

jarang mempergunakan dalil naqli (Al-Qur’an dan hadis), kecuali sesudah

menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasarkan dalil-dalil

pikiran.8 Sumber utama dalam ilmu kalam yaitu al-Qur’an dan Hadis nabi yang

menerangkan tentang wujud Allah, sifat-sifat Allah, dan persoalan akidah Islam

lainnya. Oleh karena itu, pembahasan ilmu kalam ini selalu berdasarkan kepada dua

hal, yaitu dalil naqli (al-Qur’an dan Hadis) dan dalil-dalil aqli (akal pikiran).9

Cukup banyak definisi yang telah dikemukakan oleh parah ahli mengenai

ilmu kalam yang membahas masalah akidah ini. Sebagaimana menurut al-Farabi,

7
Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu Kalam, hlm. 19-20.
8
Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm. 5.
9
Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, hlm. 28-29.
15

ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas Dzat dan sifat Allah beserta

eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia

sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin-doktrin Islam.

Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang

mengandung berbagai argumentasi tentang akidah-akidah Imani yang diperkuat

dengan dalil-dalil rasional. Dan berisi bantahan-bantahan terhadap orang-orang

yang menyeleweng dan menyimpang dari kepercayaan Salaf dan Ahli Sunnah.10

Teologi Islam merupakan ilmu yang lebih mengutamakan pemahaman terhadap

masalah-masalah ketuhanan dalam pendekatannya yang rasional dari tauhid yang

bersama syariat membentuk orientasi keagamaan yang lebih bersifat eksoteris.

Teologi Islam pada dasarnya merupakan disiplin ilmu yang berbicara

tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan. Teologi

dalam Islam merupakan penegasan bahwa Tuhan itu satu, menciptakan manusia

dengan tujuan menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Sementara itu menurut

Muhammad Abduh, ilmu kalam atau tauhid ialah ilmu yang membahas tentang

wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib bagi-Nya, sifat-sifat yang boleh

disifatkan kepada-Nya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib ditiadakan

daripada-Nya. Juga membahas tentang rasul-rasul Allah untuk menetapkan

kebenaran risalahnya, apa yang wajib pada dirinya, hal-hal yang boleh, dan hal-hal

yang terlarang dinisbahkan kepada diri mereka.11

Kemudian menurut Muhammad Iqbal, secara umum teologi yaitu sebagai

ilmu yang berdimensi keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan

10
Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, hlm. 3.
11
Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, hlm. 2.
16

inklusivistik). Di dalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan,

kesetiakawanan, dan kebebasmerdekaan”.12

Bukan hanya sebagai sebuah ilmu dan ajaran agama, teologi atau aqidah

adalah sebuah world view bagi semua orang dan khususnya bagi umat Muslim,

sebab dalam rumusan teologi ini, segala macam prinsip hidup dan pandangan

seseorang telah diatur secara komperhensip. Dengan mempelajari teologi akan

membuat seseorang lebih yakin dan memiliki landasan yang kuat dalam menganut

agamanya, sehingga seseorang tersebut tidak mudah terombang-ambing dalam

beragama. Oleh karena itu, seseorang dalam beragama harus didasari dengan

akidah yang benar, yaitu dengan berpegang teguh kepada kitab suci al-Qur’an dan

hadis. Dengan demikian tinjauan teologi akan memberi pandangan yang lebih

lapang dan sikap yang lebih toleran dalam hal beragama.

B. Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Teologi Islam

Dalam perkembangan sejarah Islam, dari masa ke masa muncul berbagai

macam aliran dan tokoh teologi Islam. Dan untuk memudahkan pembahasan

berbagai macam aliran teologi dan tokoh-tokohnya tersebut, maka dapat

digolongkan kepada aliran teologi Islam klasik, modern, dan kontemporer. Masa-

masa aliran teologi Islam tersebut antara lain:

a. Masa Klasik

Pada masa klasik telah muncul beberapa aliran-aliran teologi Islam,

diantaranya; khawarij, mu’tazilah, asy’ariyah, maturidiyah.

12
Amin Abdullah, Falsafah Kalam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 87.
17

1. Khawarij

Dalam sejarah pemikiran Islam, pengaruh Khawarij tetap menjadi pokok

problematika pemikiran Islam.13 Seperti yang banyak terdapat dalam sejarah

gerakan umat Islam, gerakan kaum Khawarij mempunyai aspek politik dan

keagamaan, ia dapat dianggap sebagai rangkaian pemberontak politik yang

berdampak besar terhadap bidang teologi.14 Golongan Khawarij ini adalah

sekelompok orang-orang yang memisahkan diri dan keluar dari kelompok Ali Ibn

Abi Thalib, yang kemudian membentuk kekuatan baru. Kaum Khawarij terdiri atas

pengikut-pengikut ‘Ali Ibn Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak

setuju dengan sikap ‘Ali Ibn Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagai jalan

untuk menyelesaikan persengketaan tentang Khilafah dengan Mu’awiyah Ibn Abi

Sufyan.15

Dalam perkembangannya kelompok Khawarij selalu menentang kelompok

Ali dan Muawiyah dengan mengagungkan slogan “tidak ada hukum kecuali dari

Allah”. Mereka menamakan diri mereka dengan Khawarij tetapi dengan makna

yang lain, yaitu orang-orang yang keluar menegakkan kebenaran, hal ini menurut

mereka sesuai dengan Firman Allah. Kaum Khawarij kadang-kadang menamakan

golongan mereka dengan kaum Syurah yang artinya kaum yang mengorbankan

dirinya untuk kepentingan dan kerhidoan Allah.16

13
Nurcholish Madjid, Islam Doktri dan Paradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1992), hlm. 206.
14
Ris’an Rusli, Teologi Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 6.
15
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 13.
16
Sirajuddin Abbas, I’tikad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
1991), hlm. 153-155.
18

Paham Khawarij yang menonjol dalam bidang teologi berkisar pada soal

kufur dan dosa besar. Orang yang beriman kemudian melakukan dosa besar akan

menjadi kafir, dalam arti keluar dari Islam, yaitu murtad dan wajib dibunuh. Dalam

masalah kepemimpinan, menurut golongan Khawarij seorang pemimpin atau

khalifah tidak harus dari kalangan Bani Quraisy. Siapa saja orang Islam dapat

mencalonkan diri menjadi khalifah, selama mampu dan sanggup berlaku adil. Jika

di kemudian hari ia tidak sanggup berlaku adil, maka rakyat wajib menjatuhkannya

bahkan membunuhnya. Ketentuan khalifah dari kalangan Bani Quraisy dinilai

sebagai bentuk ketidakadilan, sebab seyogyanya setiap orang memiliki derajat yang

sama dan berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin

umat.17 Apabila dilihat dari sisi keteguhan memegang prinsip, Khawarij termasuk

kelompok yang berpegang teguh kepada prinsip yang diyakininya, akan tetapi

kelemahannya sangat kaku dalam penerapan ajarannya. Hal ini pula yang

mengakibatkan kurang kembangnya ajaran Khawarij.18

2. Mu’tazilah

Kata Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab “i’tazala” yang artinya adalah

memisahkan diri atau menjauhkan diri, maka dengan demikian, kata Mu’tazilah

mempunyai arti orang-orang yang memisahkan diri atau menjauhkan diri. Dalam

Ilmu Kalam yang dimaksud dengan Mu’tazilah adalah golongan yang dipimpin

oleh Washil Ibn Atha’ (80-131 H/699-748 M), serta para penerusnya. Namun

mereka lebih suka menamakan golongannya dengan “Ahlu al ‘Adli wa al - tauhid”

17
Muh Rusli, Khazanah Teologi Islam Klasik dan Modern, (Gorontalo: Sultan Amai
Press, 2015), hlm. 5.
18
Ris’an Rusli, Teologi Islam, hlm. 11.
19

(golongan Keadilan dan tauhid). Nama ini diambil dari pemikiran mereka, yaitu

keadilan Allah dan Keesaan-Nya.19 Dalam paham Mu’tazilah, Tuhan Maha Esa,

tidak ada Tuhan selain Allah, tunggal tidak ada serikat bagi-Nya, sesuai dengan

kandungan surah al-Ikhlas dan syahadat pertama dari syahadataini. Tuhan akan

betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan zat yang unik. Tiada yang

serupa dengan-Nya.20

Washil Ibn Atha’ sebagai pendiri ajaran ini memiliki dua ajaran pokok yakni

al-manzilah baina al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan. Kedua ajaran

tersebut merupakan bagian integral dari lima ajaran dasar Mu’tazilah (ushul al-

hamzah) yang belakangan dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf. Adapun konsep

yang lain dari lima ajaran mu’tazilah adalah tauhid, keadilan Allah, janji dan

ancaman, dan amar ma’ruf nahi mungkar.21

Golongan Mu’tazilah hadir dalam pentas pemikiran keislaman dengan ide-

ide yang berkonotasi rasionalis liberalis. Persoalan-persoalan teologi yang

dipaparkan lebih mendalam dan bersifat filosofis. Penggunaan rasio dalam kajian

mereka sangat intens, namun demikian Al-Qur’an tidak diabaikan. Karena cara

berpikir yang rasionalis dan liberalis inilah mereka dijuluki kaum “Rasionalis

Islam”.22 Aliran ini pun diapresisasi karena telah memberikan kontribusi yang

cukup besar dalam pengembangan pemikiran Islam. Mu’tazilah telah

mendiskusikan wacana-wacana penting seperti qada dan qadar, sifat-sifat

19
Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, hlm. 69.
20
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 52.
21
Muh Rusli, Khazanah Teologi Islam Klasik dan Modern, hlm. 41.
22
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 38.
20

ketuhanan, perbuatan manusia dengan sangat filosofis, dan memberikan kebebasan

penuh pada akal dalam memahaminya.

Kaum Mu’tazilah sudah tidak ada lagi. Mereka mendapat tantangan keras

dari umat Islam lain setelah mereka berusaha di abad kesembilan untuk

memaksakan faham-faham mereka dengan memakai kekerasan pada umat Islam

yang ada di waktu itu. Pemikiran rasionil Mu’tazilah dan sikap kekerasan mereka,

membawa pada lahirnya aliran-aliran teologi lain dalam Islam. Aliran-aliran itu

timbul untuk menjadi tantangan bagi aliran yang bercorak rasionil dan liberal

tersebut.23

3. Asy’ariyah

Aliran Asy’ariyah dikenal dengan nama Ahlu al-sunnah wa al-Jama’ah

yang diberikan kepada golongan yang lebih mengutamakan sunnah atau hadis Nabi

saw., daripada menggunakan pendapat akal pikiran dalam memahami aqidah.

Istilah Ahlu al-Sunnah biasanya dipertentangkan dengan Ahlu Al-Ra’yi, yaitu

golongan yang banyak menggunakan pendapat akal dalam memahami dan

menafsirkan ajaran Islam serta dalam menetapkan hukum dari satu permasalahan

yang tidak mereka temui pemecahannya dalam Al-Qur’an. Ahlu al-Sunnah dalam

Ilmu Kalam adalah aliran Asy ‘ariyah dan Maturidiyah.24

Teologi Asy’ariyah muncul karena tidak terlepas dari, atau malah dipicu

oleh situasi sosial politik yang berkembang pada saat itu. Teologi Asy’ariyah

muncul sebagai teologi tandingan dari aliran Mu’tazilah yang bercorak rasionil.

23
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: UI Press,
2018), hlm. 35.
24
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 65.
21

Pendiri golongan ini ialah Abu al-Hasan al-Asy’ari. Al-Asy’ari adalah murid dan

belajar ilmu kalam dari seorang tokoh Mu’tazilah, yaitu Abu ‘Ali al-Jubbai, malah

Ibn ‘Asakir mengatakan bahwa al-Asy’ari belajar dan terus bersama gurunya

selama 40 tahun, sehingga al-Asy’ari pun termasuk tokoh Mu’tazilah. Dan karena

kepintaran serta kemahirannya, ia sering mewakili gurunya itu dalam berdiskusi.

Namun pada perkembangan selanjutnya, al-Asy’ari menjauhkan diri dari pemikiran

Mu’tazilah dan selanjutnya condong kepada pemikiran para fuqaha dan ahli hadis.25

Dalam pandangannya, al-Asy’ari mencoba menciptakan suatu posisi

moderat dalam hampir semua isu teologis yang menjadi perdebatan pada waktu itu.

Ia membuat penalaran tunduk kepada wahyu dan menolak “kehendak bebas”

manusia dalam kebaikan yang dilakukan secara sukarela, yang menghilangkan

kehendak bebas manusia yang kreatif dan menekankan kekuasaan Tuhan dalam

semua yang terjadi di belakang ayat-ayat al-Qur’an.26

Kalau kaum Mu’tazilah banyak percaya pada kekuatan akal manusia, kaum

Asy’ariyah banyak bergantung pada wahyu. Sikap yang dipakai kaum Mu’tazilah

ialah mempergunakan akal dan kemudian memberi interpretasi pada teks wahyu

atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal. Kaum Asy’ariyah sebaliknya,

menggunakan teks wahyu terlebih dahulu dan kemudian membawa argument-

argumen rasionil untuk teks wahyu tersebut. Kalau kaum Mu’tazilah banyak

memakai ta’wil atau intrepetasi dalam memahami teks wahyu, Asy’ariyah banyak

25
Ghufron A. Mas’adi, Ensiklopedi Islam, Cetakan III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), hlm. 41.
26
Muh Rusli, Khazanah Teologi Islam Klasik dan Modern, hlm. 56.
22

berpegang pada arti lafzi atau terletak dari teks wahyu. Dengan kata lain kalau

Mu’tazilah membaca yang tersirat dalam teks, Asy’ariyah membaca yang tersurat.27

4. Maturidiyah

Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Mahmud al-Maturidi lahir di

Samarkand pada pertengahan kedua dari abad ke-9 M dan meninggal di tahun 944

M. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu

Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham

yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu

Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama

al-Maturidiyah.28 Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam

pandangan keagamaannya, al-Maturidi juga banyak pula memakai akal dalam

sistem teologinya.

Dalam kelanjutan dan pengembangan teologi Abu Mansur al-Maturidi

terdapat dua golongan besar, yaitu golongan al-Maturidiyah versi Samarkand yaitu

para pengikut al-Maturidi sendiri dan golongan Bukhara yaitu para pengikut dari

al-Bazdawi. Golongan Samarkand mempunyai paham-paham yang lebih dekat

kepada paham Mu’tazilah, sementara golongan Bukhara pendapat-pendapatnya

lebih mengarah kepada paham Asy’ariyah.

Aliran Maturidiyah adalah aliran teologi yang termasuk golongan Ahli

Sunnah dan Jama’ah dan aliran ini banyak dianut oleh umat Muslim yang memakai

27
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hlm. 42.
28
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 76.
23

mazhab Hanafi. Beberapa pemikiran dan ajaran kaum Maturidiyah diantaranya

yaitu:29

1. Akal dan Wahyu

2. Sifat-Sifat Tuhan

3. Keimanan

4. Perbuatan Tuhan

5. Kekuasaan dan Kehendak Tuhan

6. Keadilan Tuhan

7. Perbuatan Manusia

b. Masa Modern

Menurut Muhammad Ahmad, para teolog modern merasa ditantang untuk

merumuskan pemikiran keagamaan yang sesuai dengan tuntutan zaman, terutama

atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan-perubahan sosial yang

langsung secara drastis sebagai akibat infiltrasi kebudayaan Barat yang dibarengi

kolonialisme Barat atas dunia Islam, telah memunculkan sejumlah pembaharuan

yang concern akan relevansi agamanya bagi dunia modern.30

Dengan demikian, seiring dengan perkembangan dan tantangan zaman,

teologi Islam mengalami perkembangan. Hal tersebut nampak pada pemikiran para

tokoh teologi modern yang memiliki varian pemikiran yang merupakan gambaran

29
Ris’an Rusli, Teologi Islam, hlm. 155-161.
30
Muh. Rusli, Khazanah Teologi Islam Klasik dan Modern, hlm. 79.
24

Khazanah pemikiran teologi yang berkembangan pada zaman di mana tokoh

tersebut masih hidup. Tokoh-tokoh teologi modern antara lain:

1. Muhammad Abduh

Ciri gerakan Muhammad Abduh, adalah revolusioner sebab pilihan

prioritasnya adalah pendidikan dan kemasyarakatan. Muhammad Abduh

sebenarnya bukanlah seorang revolusioner yang ingin mengadakan pembaharuan

dalam waktu singkat, tetapi seorang pendidik yang ingin membawa pembaharuan

melalui pendidikan yang memakan waktu panjang, tetapi mewujudkan dasar yang

kuat.31

Abduh dalam pemikiran teologinya tentang akal dalam pandangan Islam

berpendapat bahwa antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan, keduanya dapat

disesuaikan. Kalau antara wahyu dan akal bertentangan maka ada dua

kemungkinan: Pertama, Wahyu sudah diubah sehingga sudah tidak sesuai dengan

akal dan, kedua, kesalahan dalam menggunakan penalaran. Pemikiran teologi

semacam ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang

umatnya bebas berpikir secara rasional sehingga mendapatkan ilmu pengetahuan

dan teori-teori ilmiah untuk kepentingan hidupnya, sebagaimana yang telah dimiliki

oleh bangsa Barat saat itu, di mana dengan ilmu pengetahuan mereka menjadi

kreatif, dinamis dalam hidupnya, manusia semacam inilah yang diharapkan oleh

Islam.32

31
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI
Press, 1987), hlm. 23.
32
Muh. Rusli, Khazanah Teologi Islam Klasik dan Modern, hlm. 85.
25

Gagasan teologi Muhammad Abduh menunjukkan bahwa umat Islam harus

menghargai peran akal manusia, bahkan akal dan wahyu bukanlah hal yang harus

dipertentangkan. Wahyu pun bukanlah hal yang mustahil baginya dan dapat

diterima oleh akal sehat manusia. Hal tersebut merupakan bukti nyata bahwa beliau

adalah seorang teolog Islam, di samping gelar yang dapat diberikan kepadanya

seperti reformer, mufti, diplomat, jurnalis, mufassir, dan lainnya.

Beberapa pemikiran teologi Muhammad Abduh, antara lain:

1. Tuhan

2. Rasul-Rasul

3. Wahyu

4. Akal dan Wahyu

5. Perbuatan Manusia.33

2. Jamaluddin al-Afghani

Menurut al-Afghani, umat Islam selama ini tidak banyak memahami al-

Qur’an sehingga pemikiran dan tindak tanduk mereka keluar dari garis-garis al-

Qur’an. Karena tidak memahami al-Qur’an, maka orang mudah terjerumus ke

dalam berbagai paham yang menyesatkan seperti faham Jabariyah yang tidak

percaya diri dan meniadakan usaha, faham sufistik yang tidak mengakui dunia

nyata, berbagai ajaran tasawuf yang mengajarkan khalwat, uzlah dan fanah yang

membawa kelemahan bagi umat Islam.34

33
Muh. Rusli, Khazanah Teologi Islam Klasik dan Modern, hlm. 82.
34
Muh. Rusli, Khazanah Teologi Islam Klasik dan Modern, hlm. 80.
26

Di dalam bukunya “Al-Raddu ala al Dahriyin” al-Afghani menyatakan

bahwa agama mengajarkan kepada manusia, paling tidak dalam tiga kebenaran

fundamental, yaitu; Pertama, manusia memiliki nilai-nilai spiritual yang tinggi

sehingga ia merupakan makhluk yang tertinggi. Kedua, dasar keimanan umat

beragama terletak kepada keunggulan kebenaran yang dianutnya sehingga akan

membedakan mereka dari kelompok lain. Ketiga, agama membawa kepada

keyakinan tentang kehidupan manusia di dunia ini sebagai persiapan bagi

kehidupan abadi yang bebas dari segala penderitaan.

Gagasan teologi Jamaluddin perlu diapresi oleh umat Islam untuk kembali

mencintai al-Qur’an dan Hadis, dan menjadikannya sebaga alat pemersatu di

kalangan umat Islam. Gagasan tersebut tentu tidak lahir begitu saja, tetapi

dipengaruhi oleh zaman yang melingkupinya, di mana ia hidup ketika umat Islam

di bawa tekanan imperealisme Barat. Di samping itu, munculnya berbagai

penafsiran yang kemudian melahirkan pertentangan dalam Islam dan berdampak

pada melemahnya umat Islam. Untuk itu, dibutuhkan alat pemersatu yakni al-

Qur’an dan Hadis.

3. Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal dilahirkan pada 1873 di Sialkot, suatu kota tua bersejarah

di perbatasan Punjab Barat dan Kashmir. Muhammad Iqbal merupakan salah

seorang tokoh pembaharu yang dianggap sebagai Bapak Pakistan sekaligus teolog

modern, yang mampu memadukan antara Mutakallimin dengan para sufi, dan ahli

tasawuf.35

35
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 194.
27

Muhammad Iqbal memperoleh pendidikan pertama di Murray College,

Sialkot. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Sialkot, Iqbal masuk ke

Government College (Sekolah Tinggi Pemerintah) Lahore. Ia menjadi mahasiswa

kesayangan Sir Thomas Arnold yang meninggalkan Aligarh dan pindah bekerja di

Government College Lahore. Ia lulus pada tahun 1897 dan memperoleh beasiswa

serta dua medali emas karena bahasa Inggris dan Arabnya baik. Ia memperoleh

gelar M.A. dalam filsafat pada tahun 1899.36

Dalam pemikiran teologinya, secara umum ia melihat teologi sebagai ilmu

yang berdimensi keimanan, mendasarkan kepada esensi tauhid (universal dan

inklusivistik). Di dalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan,

kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan.” Pandangannya tentang ontologi dan

teologi membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpangan) yang melekat pada

literatur ilmu kalam klasik. Teologi Asy’ariah, umpamanya, menggunakan cara dan

pola pikir ortodoksi Islam. Mu’tazilah sebaliknya, terlalu jauh bersandar pada akal,

yang akibatnya mereka tidak menyadari. bahwa dalam wilayah pengetahuan agama,

pemisahan antara pemikiran keagamaan dari pengalaman kongkrit merupakan

kesalahan besar.37

Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, Muhammad Iqbal menolak

argument kosmologis ataupun ontologis. Ia juga menolak argument teleologis yang

berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah

luar. Walaupun demikian, ia menerima landasan teleologis yang imanen (tetap ada).

36
Mukti Ali, Alam Pemikiran Islam Modern India dan Pakistan, (Yogyakarta: Mizan,
1992), hlm. 174.
37
Amin Abdullah, Falsafah kalam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 87.
28

Untuk menopang hal ini, Muhammad Iqbal menolak pandangan yang statis tentang

matter serta menerima pandangan whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian

dalam aliran dinamis yang tidak berhenti. Karakter nyata konsep tersebut

ditemukan Muhammad Iqbal dalam “jangka waktu murni-nya” Bergson.38

c. Masa Kontemporer

Pembahasan Teologi Islam saat ini haruslah membahas isu-isu

kontemporer, dimana kita harus menyandingkan teks dogmatik dengan konteks

realitas yang terus berkembang. Maka dengan begitu progresivitas umat Islam

khususnya dibidang ilmu pengetahuan diharapkan akan berkembang. Teologi

kontemporer tidak hanya bersifat teoritis, melainkan menyajikan langkah praktis

perwujudan dari nash dalam menghadapi persoalan yang ada atau yang

dihadapinya.

Pada masa kontemporer ini muncul nama-nama teolog muslim yang

berpengaruh pada perkembangan pemikiran teologi Islam, diantaranya: Fazlur

Rahman, Harun Nasution, dan Hassan Hanafi.

1. Fazlur Rahman

Fazlur Rahman merupakan salah satu tokoh ilmuan Muslim yang berasal

dari Pakistan. Ia dikenal sebagai orang yang memperkenalkan istilah neo

modernisme. Neo modernisme jika diartikan secara sederhana berarti “paham

modernisme baru”. Istilah ini digunakan untuk memberikan identitas pada

kecenderungan pemikiran keislaman yang merupakan usaha sintesis antara pola

38
Heri Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm.
104.
29

pemikiran yang tradisonalis dan modernisme.39 Nama lengkapnya adalah Fazlur

Rahman Malik. Rahman lahir pada tanggal 21 September tahun 1919 (21

Dzulhijjah 1337 H) di Hazara yang sebelumnya merupakan bagian dari India,

daerah Hazara saat ini berada di sebelah barat laut Pakistan.40

Dalam pandangan teologinya, Fazlur Rahman menyatakan semata-mata

Tuhan sebagai zat transenden tidaklah bersumber dari al-Qur’an, tetapi muncul dari

perkembangan teologis Islam belakangan. Jikalau ditelaah secara cermat dari

kandungan al-Qur’an akan sampai pada kesimpulan bahwa ia menghubungkan

seluruh proses dan peristiwa alam kepada Tuhan, mulai dari turunnya hujan, proses

bangun dan jatuhnya bangsa, sampai perjalanan benda-benda kosmis. Semua ini

jelas menegaskan “Tuhan bukan saja yang paling transenden, tetapi juga yang

paling immanen.” Karena ketidak terhinggaan-Nya merupakan eksistensi-Nya

bersama-sama dengan ciptaan-Nya.

Menurut Fazlur Rahman, Tuhan itu memang dekat, namun bisa juga

dipandang sangat jauh. Lebih lanjut ia mangatakan bahwa yang menjadi masalah

bukanlah bagaimana membuat manusia beriman dengan mengemukakan bukti-

bukti teologis yang Panjang lebar tentang eksistensi Tuhan, tetapi bagaimana

membuatnya beriman dengan mengalihkan perhatiannya kepada berbagai fakta

yang jelas dan mengubah fakta-fakta ini menjadi hal-hal yang mengingatkan

manusia kepada eksistensi Tuhan. Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan

adanya dimensi-dimensi lain; Dia memberikan arti dan kehidupan kepada setiap

39
Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999),
hlm. 15.
40
M. Hasbi Amirudin, Konsep Negara Islam Menurut Rahman, (Yogyakarta: UII Pers,
2000), hlm. 9.
30

sesuatu. Dia serba meliputi; secara harfiah Dia adalah tak terhingga dan hanya Dia

sajalah yang tak terhingga.41

2. Harun Nasution

Harun Nasution seorang ulama-cendikiawan yang diakui dan dihormati baik

oleh pemerintah maupun masyarakat, lebih-lebih di lingkungan perguruan tinggi

Islam di Indonesia. Harun Nasution adalah sebagai salah seorang tokoh pembaru

diantara sedikit tokoh yang ada, ia termasuk tokoh sentral dalam menyemaikan ide

pembaruan bersama tokoh lainnya di Indonesia.

Perkembangan intelektual di Indonesia muncul sejak era 1970-an sampai

dengan pertengahan 1990-an. Periode yang melahirkan neo-modernisme tersebut,

selain menuai kontroversi, diakui sebagian pengamat sebagai perkembangan

intelektual yang begitu progresif dan kreatif. Pemikiran Harun Nasution yang

termasuk dalam salah satu pemikiran neo-modernisme Islam yaitu pemikiran

rasionalnya. Harun Nasution berpandangan bahwa Islam bersifat rasionalis. Harun

Nasution juga berobsesi membangun suatu teologi Islam rasional yang menegaskan

fungsi wahyu bagi manusia, tentang sifat-sifat Tuhan dan sekitar perbuatan Tuhan

terhadap manusia. Di dalam pemikirannya tersebut, Harun Nasution banyak

terpengaruh oleh pemikiran rasionalitas kaum Mu’tazilah.42 Harun Nasution

memandang teologi rasional sesuai untuk masyarakat modern karena ia memiliki

konsekuensi erat dengan perbuatan manusia dalam hidup keseharian.

41
Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 88.
42
Aqib Suminto, Refleksi Pemikiran Pembaharuan Islam 70 Tahun Harun Nasution,
(Jakarta: LSAF, 1989), hlm. 102-106.
31

Teologi Harun Nasution dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan serta

kemunduran umat Islam Indonesia dan seluruh dunia disebabkan ada yang salah

dengan sistem teologi mereka. Pandangan ini mirip dengan pandangan kaum

modernis sebelumnya, yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam

yang sebenarnya. Dengan demikian, jika hendak merubah nasib umat Islam,

menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah merubah teologi mereka menuju

pada teologi yang berwatak free will atau bebas, rasional serta mandiri.43

Harun Nasution mengikuti Asy-Syahrastani, dalam pengungkapan bahwa

persoalan politik merupakan alasan pertama munculnya persoalan teologi dalam

Islam. Selanjutnya Harun Nasution menjelaskan, bahwa dalam Islam teologi

merupakan pembahasan mengenai Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan.44

3. Hassan Hanafi

Hassan Hanafi lahir pada 14 Februari 1935 di Kairo, Mesir dari keluarga

Muslim yang taat. Sejak kecil sudah terlihat tanda-tanda kecerdasannya. Pada usia

5 tahun Hassan Hanafi sudah mulai menghafal al-Qur’an. Pendidikan dasar ia

tempuh pada Madrasah Sulaiman Ghawisy dan kemudian dilanjutkan ke

pendidikan guru al-Mua’llimin. Pada usia remaja ia mulai berkenalan dengan

pemikiran Ikhwanul Muslimin dalam masa pendidikannya di Sekolah Menengah

Khalil Agha di Kairo pada 1948-1952. Ketika dia memasuki perguruan tinggi

43
Aqib Suminto, Refleksi Pemikiran Pembaharuan Islam 70 Tahun Harun Nasution,
hlm. 167.
44
Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, (Jakarta: Ciputat Pers, 2001), hlm. 121-122.
32

dengan memasuki Universitas Kairo pada tahun 1952-1956, Hassan Hanafi telah

menjadi anggota Ikhwanul Muslimin.45

Pemikiran Hassan Hanafi bertolak dari penjelajahan iman dan

intelektualnya dalam menghidupkan kembali semangat ilmu kalam dari iman ken

alar hingga menuju aksi. Proyek penjelajahan tersebut dia sebut dengan at-Turats

wa at-Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan). Salah satu karya monumentalnya adalah

Min al-‘Aqidah ila al-Tsawrah (Dari Aqidah ke Revolusi). Hassan Hanafi

merombak total isu-isu Ilmu Kalam, dari hanya semata-mata isu bangun teologi

yang berkaitan dengan hal-hal yang bernuansa teosentris, menjadi isu problema

kemanusiaan yang bernuansa antroposentris. Bahkan dengan latar belakang

kehidupannya yang dibesarkan di tengah debu revolusi negeri-negeri Muslim yang

terampas, Hassan Hanafi malah mengobarkan revolusi dari akidah tersebut.46

Menurut Hassan Hanafi, rumusan-rumusan teologis selama ini bertumpu

pada pemaparan substansi wujud Tuhan Yang Maha Mutlak sebagaimana Yang

Maha Kuasa dan Maha Berkehendak. Dia lah yang memulai segala sesuatu, dan

Dia pulalah yang mengembalikan segala sesuatu itu. Dia yang memulai dan Dia

pula yang metetapkan segalanya. Dia yang menghidupkan dan Dia pula yang

mematikan. Maka, seorang teolog klasik seakan-akan bercengkrama dengan

kekuasaan Tuhan Yang Maha Dahsyat ini, hingga mencapai derajat fana bersama-

Nya.47

45
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Prenada Media Group,
2014), hlm. 243.
46
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, hlm. 242.
47
Hassan Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsawrah, terjemahan Asep Usman Ismail, (Jakarta:
Paramadina, 2003), hlm. iiv.
BAB III

TEOLOGI ISLAM DALAM PANDANGAN HARUN NASUTION

DAN HASSAN HANAFI

A. Harun Nasution

a. Riwayat Hidup Harun Nasution

Harun Nasution lahir pada hari selasa tepatnya pada tanggal 23 September

1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Ayahnya bernama Abdul Jabbar

Ahmad, seorang ulama kelahiran Mandailing yang berkecukupan serta pernah

menduduki jabatan sebagai qadi, penghulu, kepala agama, hakim agama dan imam

masjid di Kabupaten Simalungun. Sedangkan ibunya bernama Maimunah yang

berasal dari Tanah Bato adalah seorang putri ulama asal boru Mandailing Tapanuli,

dan masa gadisnya pernah bermukim di Makkah dan pandai bahasa Arab. 1 Secara

ekonomi, keluarganya mendapatkan masukan uang yang cukup dari pekerjaan

ayahnya yang sebagai kepala agama dan penghulu. Keadaan ini menempatkan

keluarga Harun sebagai kelas menengah pada zamannya.2

Harun adalah anak keempat dari lima bersaudara. Kakak pertamanya

bernama H. Muhammad Ayyub, beda sepuluh tahun dari Harun. Kakak keduanya

bernama H. Khalil, seorang pegawai Departemen Agama di Pematang Siantar

semasa hidupnya. Kakak ketiganya adalah seorang perempuan bernama Sa’idah

1
Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, (Jakarta: Ciputat Pers, 2001), hlm. 3.
2
Nurhidayat Muhammad Said, Pembaruan Pemikiran Islam Di Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Mapan, 2006), hlm. 9.

33
34

yang sehari-harinya hanya sebagai ibu rumah tangga. Dan adiknya yang bungsu

juga seorang perempuan bernama Hafsah.3

Selain merupakan keturunan dari keluarga yang taat beragama dan

terhormat, orang tua Harun juga tergolong orang yang mampu di bidang ekonomi

saat itu. Di samping sebagai ulama, ayahnya juga seorang pedagang yang sukses

dan bahkan pernah menjadi seorang Kepala Agama merangkap Hakim Agama pada

masa pemerintahan Belanda.4 Sehingga tidak menjadi persoalan dan kendala bagi

Harun di dalam menempuh pendidikan, sebab dari segi biaya sekolah sudah

dicukupi oleh orang tuanya. Orang tuanya sangat menginginkan Harun menajadi

orang pintar di kemudian hari. Tentunya menjadi ahli di bidang keilmuwan

keislaman, sebagai tongkat estafet keluarga ulama dari nenek moyangnya.

Keluarga Harun Nasution adalah keluarga yang agamis dan disiplin dalam

menjalankan perintah agama, sehingga suasana keagamaan itu benar-benar

tertanam di hatinya. Sejak kecil, pendidikan disiplin telah didapatkannya dari

ibunya, dengan menetapkan peraturan tersendiri yang mesti dilaksanakan. Di rumah

Harun belajar dari pukul empat hingga lima sore, kemudian setelah shalat maghrib

ia diharuskan mengaji al-Qur’an. Setiap paginya sebelum berangkat sekolah Harun

ditugaskan untuk mencuci piring, begitu pun setelah ia pulang sekolah sebelum ia

pergi bermain. Pada bulan puasa, Harun bertadarrus al-Qur’an di masjid hingga

pukul 12 malam, sehingga ia dapat menamatkan al-Qur’an sampai tiga kali. Di

3
Aqib Suminto, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 tahun Harun Nasution,
(Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989), hlm. 5.
4
Aqib Suminto, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 tahun Harun Nasution, hlm.
5.
35

setiap pagi ia selalu bangun subuh untuk shalat berjamaah di masjid.5 Harun

mengatakan sikap kegamaan seperti itu sangat membekas di hati sanubarinya.

Bukan hanya sebagai seorang pemikir, Harun juga seorang yang wara’

(patuh kepada Allah) sehingga dapat membantah keraguan orang-orang yang

mempertanyakan keislaman beliau. Selain itu, Harun Nasution terkenal sebagai

seorang yang kanaah atau puas dengan harta seadanya. Hal ini terlihat dari

kesederhanaan beliau dalam menjalani kehidupan beliau yang jauh dari suasana

kemewahan bila dibandingkan dengan orang lain.

b. Latar Belakang Intelektual

Harun memulai pendidikannya pada waktu berumur tujuh tahun di sekolah

Belanda, yaitu Hollandsch Inlandsche School (HIS). Selama tujuh tahun Harun

belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS, di sekolah Belanda ini

pula Harun diajari disiplin kuat. Pelajaran yang paling ia senangi semasa di HIS

adalah pengetahuan alam dan sejarah. Setelah tamat dari HIS, Harun merencanakan

sekolah ke MULO. Akan tetapi, kedua orang tuanya tidak merestui. Orang tua

Harun sudah merasa cukup, ia mempunyai ilmu pengetahuan umum dengan sekolah

di HIS. Akhirnya Harun melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang

bersemangat modern, yaitu, Modern Islamietische Kweekschool (MIK), semacam

MULO, di Bukittinggi.6

5
Aqib Suminto, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 tahun Harun Nasution, hlm.
6.
6
Ris’an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, (Depok: Prenamedia Group, 2018),
hlm. 230.
36

Sewaktu melanjutkan pendidikan ke Modern Islamietische Kweekschool

(MIK) di Bukittinggi, suatu sekolah yang setingkat SMP pada zaman Belanda,

pelajaran agama yang diberikan disana banyak berupa hafalan. Bedanya, di MIK

diberikan pelajaran bahasa Arab sehingga apa yang dibaca dan dihafal itu sedikit

banyak diketahui maksudnya. Pelajaran agama yang ia peroleh saat itu menurutnya

sangat membosankan jika ia bandingkan dengan ilmu-ilmu umum yang ia peroleh,

baik di HIS, sekolah dasar Belanda, maupun di MIK. Kalau dalam pelajaran agama

ia dituntut menghafal tanpa banyak mengerti, sedangkan di bidang ilmu

pengetahuan umum ia dituntut untuk mengerti apa yang diajarkan dan menjadi

terpaksa berpikir dan dibolehkan mengajukan pendapat.7

Setelah menamatkan pendidikannya di MIK, Harun dikirim orang tuanya ke

Mekkah untuk meneruskan pelajaran agama di Masjid Al-Haram. Tidak hanya

untuk belajar, disana Harun juga menunaikan ibadah haji. Tetapi, karena yang

dipelajari disana adalah kitab kuning terutama tafsir, hadis, dan fiqih, ia tidak

sanggup meneruskan pelajaran tersebut yang diberikan di Masjid Al-Haram.

Menurutnya pelajaran agama yang diberikan disana tidak sesuai dengan

keinginannya.

Merasa tidak kerasan di Mekkah, Arab Saudi, Harun kemudian pergi ke

Kairo, Mesir. Di Mesir, ia mulai mendalami Islam pada Fakultas Ushuluddin, di

Universitas Al-Azhar, karena di sana diberikan ilmu-ilmu non-agama seperti ilmu

jiwa, etika, dan filsafat, di samping ilmu tafsir, hadis, dan ilmu-ilmu agama lainnya.

Di sana diberikan juga pelajaran Bahasa Iggris dan Perancis. Tetapi, untuk dapat

7
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996),
hlm. 53.
37

diterima di sana Harun harus mempunyai ijazah Aliyah yang dikeluarkan Al-Qism

Al-‘Alim yang berpusat di Masjid Al-Azhar.8

Setelah mengikuti pelajaran di fakultas Ushuluddin ternyata yang banyak

dipakai di sana adalah sistem menghafal. Bertanya boleh, tetapi melawan pendapat

syaikh yang memberi kuliah, apalagi melawan pendapat yang terkandung dalam

buku pegangan yang diwajibkan, tidak dibolehkan. Merasa tidak puas, akhirnya

tanpa meninggalkan Al-Azhar, pada malam hari Harun pun mengikuti kuliah

pendidikan dari Universitas Amerika di Kairo. Di universitas Amerika tersebut,

Harun mendalami dan menyelesaikan studi ilmu sosialnya.9 Setelah selesai dari

universitas tersebut, dengan mengantongi ijazah BA, Harun bekerja di perusahaan

swasta dan kemudian di konsulat Indonesia-Kairo. Dari Mesir, Harun ditarik ke

Jakarta bekerja sebagai pegawai Departemen Dalam Negeri dan kemudian

menjabat sebagai sekretaris pada kedutaan besar Indonesia di Brussel.

Pada dekade 60-an Harun mengundurkan diri dari karir diplomatik dan

melanjutkan studinya di Mesir. Pada saat itu studinya tersendat karena kekurangan

biaya. Ketika itulah ia menerima tawaran dari Prof. Rasjidi untuk menerima

beasiswa dari Institute of Islamic Studies McGill, Montreal Kanada. Untuk tingkat

magister di Universitas ini, Harun menulis tentang “Pemikiran Negara Islam di

Indonesia”, dan untuk disertasi Ph.D. ia menulis tentang “Posisi Akal dalam

Pemikiran Teologi Muhammad Abduh”. Setelah meraih Doktor, pada bulan Mei

8
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, hlm. 53.
9
Ris’an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, hlm. 230-231.
38

1968 Harun Kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatiannya pada

pengembangan pemikiran Islam lewat IAIN.10

Kedatangannya di IAIN Harun sudah siap dengan konsep. Sejak masih di

luar negeri, Harun telah mendengar kondisi IAIN, bahwa pemikiran di sana sangat

sempit. Buku-buku karangan Muhammad Abduh tidak boleh diajarkan di sana.

Maka setelah datang, Harun membawa pemikiran perkembangan modern dan segi

pembaruannya. Masalah yang dihadapi IAIN adalah keterpurukan pemikiran.

Persoalan itu tidak sanggup dihadapi hanya oleh seorang doktor pada saat itu

Zakiah Daradjat. Setelah pemilu 1971, Prof. Dr. Mukti Ali diangkat menjadi

Menteri Agama menggantikan K.H. Moh. Dahlan. Ketika itu, Harun menjabat

sebagai wakil Rektor I di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Rektor Thaha Yahya

yang saat itu menjabat menderita sakit lumpuh dan diusulkan kepada Menteri

Agama agar mengangkat rektor baru. Baru lah pada tahun 1973 Harun Nasution

diangkat dan diresmikan menjadi rektor di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai

tahun 1984.11 Langkah pertama yang dilakukan oleh Harun Ketika diangkat

menjadi rektor ialah mengubah kurikulum. Pengantar Ilmu Agama dimasukkan

dengan harapan akan mengubah pandangan mahasiswa. Mata kuliah filsafat,

tasawuf, ilmu kalam, tauhid, teologi, metodologi riset, dimasukkan pula kedalam

kurikulum IAIN.

Setelah berhenti dari jabatan rektor IAIN, beliau mengabdikan dirinya

menjadi Direktur pada program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

hingga akhir hayatnya pada 18 september 1998. Selain mengajar pada sekolah

10
Nurhidayat Muhammad Said, Pembaruan Pemikiran Islam Di Indonesia, hlm. 13.
11
Nurhidayat Muhammad Said, Pembaruan Pemikiran Islam Di Indonesia, hlm. 18.
39

Pascasarjana IAIN Jakarta, Harun Nasution juga menjadi pemimpin dosen terbang

pada program Pascasarjana se-Indonesia.

c. Pokok Pikiran Harun Nasution

1. Bidang Teologi

Dalam Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran

yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional. Hal seperti ini mungkin ada

hikmahnya. Bagi orang yang bersifat tradisional mungkin lebih sesuai dengan

jiwanya teologi tradisional, sedangkan orang yang bersifat liberal dalam

pemikirannya lebih dapat menerima ajaran-ajaran teologi liberal. Kedua corak

teologi ini, liberal dan tradisional, tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.12

Menurut Harun Nasution, dalam agama Islam persoalan yang pertama-tama

timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi. Tetapi

persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Persoalan-

persoalan yang terjadi dalam lapangan politik pada masa ‘Ali Ibn Abi Thalib

akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Kemudian,

timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa

yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.13 Penentuan

seseorang kafir atau tidak kafir bukanlah lagi soal politik, tetapi soal teologi. Kafir

ialah orang yang tidak percaya dan lawannya ialah Mu’min, orang yang percaya.

Dalam Al-Qur’an, kedua kata ini senantiasa dikontraskan.

12
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Pebandingan, (Jakarta:
UI Press, 2016), hlm. x.
13
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Pebandingan, hlm. 8.
40

Penyelesaian sengketa antara Ali Ibn Abi Thalib dan Mu’awiah Ibn Abi

Sufyan dengan jalan arbitrase oleh kaum Khawarij dipandang bertentangan dengan

ajaran Islam. Menurut golongan Khawarij orang-orang yang menerima arbitrase

saat itu adalah kafir dan mereka wajib dibunuh. Namun, lambat laun golongan

khawarij terpecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami

perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan

hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib al-

kaba’ir atau capital sinners, juga dipandang kafir.14

Persoalan orang berbuat dosa inilah kemudian yang mempunyai pengaruh

besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya dalam Islam. Lalu, menimbulkan tiga

aliran teologi dalam Islam. Pertama, aliran khawarij yang mengatakan bahwa orang

berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau murtad dan wajib

dibunuh. Kedua, aliran murji’ah yang menegasakan bahwa orang yang berbuat dosa

besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun dosa besar yang dilakukannya,

terserah kepada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Ketiga,

aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat dari dua aliran tersebut.

Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi pula bukan mukmin.

Melainkan, mengambil posisi diantara kedua posisi mukmin dan kafir yang dalam

Bahasa Arab dikenal dengan istilah almanzilah bain al-manzilatain (posisi di antara

dua posisi).15

Dalam pada itu timbul juga dalam Islam dua aliran dalam teologi yang

terkenal dengan nama al-qadariyah dan al-jabariyah. Menurut pandangan

14
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Pebandingan, hlm. 9.
15
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Pebandingan, hlm. 9.
41

qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya,

dalam istilah Inggrisnya disebut dengan free will atau free act. Jabariyah,

sebaliknya, mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan

dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala tingkah lakunya,

menurut paham jabariyah, bertindak dengan paksaan dari Tuhan. Segala gerak-

gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. Paham ini disebut dengan paham

predestination atau fatalism, dalam istilah Inggris.16

Harun Nasution berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat

Islam di dunia dan khususnya di Indonesia disebabkan karena ada yang salah

dengan sistem teologi mereka. Pandangan ini hampir sama dengan pandangan kaum

modernis sebelumnya, yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam

yang sebenarnya. Dengan demikian menurut Harun Nasution jika ingin merubah

nasib umat Islam, hendaklah merubah teologi mereka menuju kepada teologi yang

berwatak free will atau bebas, rasional serta mandiri.

2. Bidang Filsafat

Dalam arti yang sesungguhnya filsafat adalah, salah satu ilmu akademis.

Filsafat mengajak seseorang “berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas

tanpa terikat pada tradisi dogma serta agama dan dengan sedalam-dalamnya

sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan”. Karena itu, filsafat merupakan sebuah

ilmu pengetahuan dengan metode-metodenya yang khusus, dengan sebuah medan

permasalahan yang perlu dipelajari, dimana keahlian hanya dapat diperoleh melalui

studi berat bertahun-tahun lamanya.

16
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Pebandingan, hlm. 9.
42

Menurut Franz Magnis Suseno, seperti halnya ilmu pengetahuan, filsafat

mempunyai sesuatu yang khas dalam usaha manusia untuk menjalankan hidupnya.

Fungsi utama filsafat ialah penyediaan sarana-sarana teoritis untuk menangani

masalah-masalah dan pertanyaan-pertanyaan secara rasional dan bertanggung

jawab, yang di satu pihak terletak di luar kompetensi ilmu-ilmu pengetahuan

khusus, dan di lain pihak sangat sering berpengaruh dalam menentukan tindakan-

tindakan manusia, baik dalam perorangan maupun dalam masyarakat.17 Filsafat

tidak sekedar mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan seseorang,

melainkan mempergunakan argumentasi yang rasional. Filsafat juga dapat

membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis yang menggugah agama,

dengan mengacu pada hasil ilmu pengetahuan, dan ideologi-ideologi modern,

seperti pada ajaran evolusi atau pada feminisme.

Harun Nasution mengemukakan bahwa pemikiran filosofis masuk ke dalam

Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli pemikir Islam di Suria,

Mesopotamia, Persia dan Mesir. Kebudayaan dan falsafat Yunani datang ke daerah-

daerah itu dengan ekspansi Alexander yang Agung ke Timur di abad ke-empat

sebelum Kristus. Politik Alexander untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan

kebudayaan Persia meninggalkan bekas besar di daerah-daerah yang pernah

dikuasainya dan kemudian timbullah pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur,

seperti Alexandria di Mesir, Antioch di Suria, Jundisyapur di Mesopotamia, dan

Bactra di Persia. Di zaman Bani Umayyah, karena perhatian lebih banyak kepada

kebudayaan Arab, pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu

kelihatan. Pengaruh baru nyata kelihatan di masa Bani Abbas. Karena, yang

17
Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, hlm. 125.
43

berpengaruh di pusat pemerintahan bukan lagi orang-orang Arab, tetapi orang-

orang Persia, seperti keluarga Baramikah, yang telah lama berkecimpung dalam

kebudayaan Yunani.18

Menurut Harun Nasution terdapat tiga kategori dalam filsafat, pertama,

yaitu berpikir secara mendalam. Kedua, berpikir menurut logika. Ketiga, berpikir

secara bebas.19 Mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang dalam Islam.

Mempelajari filsafat tidak bertentangan dengan apa yang ada dalam al-Qur’an.

Namun, argumen-argumen yang dibawa al-Qur’an lebih meyakinkan daripada

filsafat. Tetapi, filsafat dan al-Qur’an tidak bertentangan. Umat Islam dianjurkan

mempelajari filsafat, karena apa yang dipelajari dari berfilsafat juga sama

memikirkan sang maha pencipta dari yang ada. Filsafat ialah pengetahuan yang

benar. Tujuan dari agama adalah menjelaskan apa yang benar. Filsafat seperti itu

juga menjelaskan apa yang benar. Agama di samping wahyu, ia menggunakan akal,

filsafat juga menggunakan akal. Sebagaimana yang diungkapkan al-Kindi, dalam

Islam persoalan Tuhan adalah yang pertama. Filsafat dengan demikian membahas

tentang Tuhan, begitu pula dengan agama yang pada dasarnya juga membahas

tentang Tuhan.20

3. Bidang Mistisisme

Didalam dunia Islam bahwa terdapat golongan-golongan umat Islam yang

belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadah salat,

18
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: UI Press,
2018), hlm. 42.
19
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, hlm. 354.
20
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2010),
hlm. 7.
44

puasa, dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan. Untuk

mencapai jalan tersebut ditempuh dengan al-tasawwuf. Al-tasawwuf atau Sufisme

yaitu istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisisme dalam Islam.21

Tasawuf atau mistisisme merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai

ilmu pengetahuan. Mistisisme mencari cahaya, petunjuk jalan, dan upaya untuk

menyatu dengan Tuhan. Mistisisme merupakan jalan membuka alam ghaib, yang

mana tidak setiap orang mampu menempuhnya untuk mencapai kesempurnaan, dan

harus melewati tangga yang berliku-liku.

Menurut Harun Nasution tujuan dari mistisisme, baik yang didalam maupun

yang diluar Islam, yaitu memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan

Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari

dari mistisisme, termasuk dalamnya tasawuf, adalah kesadaran akan adanya

komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan

diri dan berkontemplasi. Kesadaran itu selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat

sekali dengan Tuhan dalam arti bersatu dengan Tuhan yang dalam istilah Arab

disebut ittihad dan istilah Inggris disebut mystical union. Mistisisme, termasuk

didalamnya tasawuf, sangat erat hubungannya dengan keadaan menjauhi hidup

duniawi dan kesenangan materil. Hal ini dalam istilah tasawuf disebut zuhd

(asceticism). Mempunyai sifat zuhd merupakan langkah pertama dalam usaha untuk

mendekati Tuhan. Orang yang mempunyai sifat ini disebut Zahid (ascetic). Setelah

ini barulah orang tersebut meningkat menjadi sufi (mystic).22

21
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, hlm. 68.
22
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, hlm. 68-71.
45

Sufi adalah seorang yang banyak mengeluarkan rasa cinta pada Tuhan.

Mereka telah menginjak jenjang pertama dari tasawuf. Oleh karena itu mereka

diberi gelar sufi. Tujuan sebenarnya dari sufi yaitu, berada sedekat mungkin dengan

Tuhan sehingga tercapai persatuan. Jalan untuk mencapai tujuan itu panjang dan

juga berisi stasiun-stasiun yang disebut dalam bahasa Arab al-maqamat. Yang biasa

disebut yaitu tobat, zuhud, sabra, tawakal, dan ridha. Diatas stasiun-stasiun ini

terdapat al-mahabbah (cinta), al-ma’rifah (pengetahuan), al-fana’ dan al-baqa’

(kehancuran dan kelanjutan), dan al-ittihad (persatuan). Al-ittihad dapat mengambil

bentuk al-hulul (pengambilan tempat) dan wahdah al-wujud (kesatuan wujud).23

Jalan yang harus ditempuh untuk seorang sufi tentu saja tidaklah licin dan

juga mulus. Tetapi sulit dan penuh dengan duri. Untuk pindah dari satu stasiun ke

satu stasiun lainnya, membutuhkan kehendak usaha yang sungguh-sungguh dan

juga waktu yang tidak singkat. Terkadang seorang sufi harus tinggal selama

bertahun-tahun pada suatu stasiun. Menurut Harun Nasution, seperti yang telah

dijelaskan diatas bahwa seseorang untuk menjadi sufi maka ia harus menyucikan

diri. Penyucian diri dapat ditempuh melalui ibadah salat, puasa, membaca al-

Qur’an, dzikir, dan lainnya. Tujuan dari ibadah yang dilakukan tersebut semata-

mata untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan menyatu dengan-Nya.24

d. Pemikiran Harun Nasution Tentang Akal, Wahyu, Kebebasan

Manusia dan Takdir

1. Akal

23
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, hlm. 75-76.
24
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, hlm. 77.
46

Di dalam ajaran agama ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan,

pertama, jalan wahyu dalam arti komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua

jalan akal, yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dengan memakai kesan-

kesan yang diperoleh pancaindera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada

kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut

dan mutlak kebenarannya, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui akal

bersifat relatif, artinya mungkin benar dan mungkin juga salah.25

Kata akal diambil dari kata ‘aqala yang berarti mengikat dan menahan, akal

secara etimologi yaitu “pencegahan” dan “penahanan”. Alat yang berfungsi

mencegah seperti tali kendali. Dalam pengertian serupa, daya berpikir manusia

disebut ‘aql karena berfungsi mengendalikan dan mencegah manusia dari

ketersesatan. Dan bagaimanapun kata ‘aqala mengandung arti mengerti,

memahami, dan berpikir.26

Dalam pemahaman Profesor Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah dipakai

dalam arti kecerdasan praktis, yang dalam istilah psikologi modern disebut

kecakapan memecahkan masalah. Orang berakal, menurutnya adalah orang yang

mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan

dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia

hadapi.27

Menurut Harun Nasution, akal dalam pengertian Islam bukanlah otak, tetapi

adalah daya berpikir yang terdapat dalam setiap jiwa manusia, daya yang

25
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 2011), hlm. 1.
26
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, hlm. 6.
27
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, hlm. 7.
47

sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, memperoleh pengetahuan dengan

memperhatikan alam di sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan

dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia

yaitu dari Tuhan.28

Akal yang ada dalam diri manusia adalah yang digunakan oleh Tuhan

sebagai pegangan dalam menentukan pemberian pahala atau hukuman kepada

seseorang.29 Akal dipandang sebagai esensi manusia, bahkan dalam pandangan

Islam seseorang baru dapat dan layak dibebani kewajiban-kewajiban agama apabila

seseorang itu berakal. Menurut kaum teolog akal adalah sebagai daya untuk

memperoleh pengetahuan. Yaitu daya untuk memperoleh pengetahuan dan juga

daya yang membuat seseorang dapat memperbedakan antara dirinya dan benda-

benda lain. Seperti contohnya yaitu kaum Mu’tazilah, bagi Mu’tazilah segala

pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban

dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam30

Peranan akal sangat besar bagi keberlangsungan hidup manusia. Tanpa akal,

manusia hanyalah makhluk Tuhan yang lemah dan tak berdaya. Akal lah yang

membedakan manusia dengan makhluk Tuhan yang lainnya. Dalam hal ini, Harun

Nasution menjelaskan bahwa akal melambangkan kekuatan manusia. Karena

akalnyalah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan

makhluk lain yang ada di sekitarnya. Bertambah tinggi kekuatan akal manusia,

maka bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan kekuatan

28
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, hlm. 13.
29
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, hlm. 49.
30
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 2016), hlm. 82.
48

makhluk lain itu. Begitu pula sebaliknya, bertambah lemah kekuatan akal manusia,

maka bertambah rendah pula kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain

tersebut.31

Besar kecilnya peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat

menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam.

Sebagaimana yang dikatakan Harun Nasution, pemakaian akal dalam sejarah Islam

bukan hanya terjadi dalam soal keduniaan saja, tetapi juga dalam soal-soal

keagamaan itu sendiri. Hadis sebagai sumber kedua dari ajaran Islam ternyata juga

memberikan kedudukan yang tinggi pada akal. Dalam hadis dikatakan: “Agama

adalah pengguanaan akal, tiada agama bagi orang yang tak berakal.” Dan dalam

hadis qudsi Allah bersabda kepada akal:32

“Demi kekuasaan dan keagungan-Ku tidaklah Kuciptakan makhluk lebih mulia dari
engkau. Karena engkau Aku mengambil dan memberi, dan karena engkau Aku
menentukan pahala dan menjatuhkan hukuman.”

Tak perlu diragukan lagi bahwa, al-Qur’an dan hadis sama-sama

memberikan kedudukan yang tinggi terhadap akal. Lebih lanjut Harun Nasution

mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an, akal banyak dipakai dalam masalah

keimanan, ibadah, dan juga muamalah. Pemakaian akal yang dilakukan oleh para

ulama terhadap teks ayat al-Qur’an dan hadis disebut ijtihad, dan ijtihad merupakan

sumber ketiga dalam ajaran Islam. Lebih jelasnya, menurut Harun Nasution,

sumber ajaran Islam adalah tiga, yaitu: Al-Qur’an, hadis, dan akal.33 Tak diragukan

31
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, hlm. 80.
32
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996),
hlm. 55.
33
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, hlm. 56.
49

lagi, akal merupakan sebuah pelita pemahaman dan penyimpulan. Tanpa bantuan

cahayanya, memahami al-Qur’an dan hadis akan menjadi sulit, kalau bukan malah

mustahil.

Akal meyakinkan manusia sebuah nuktah, bahwa penciptaan dan

keberadaannya tidak sia-sia, dia didatangkan ke dunia dalam rangka menempuh

jenjang kesempurnaan mutlak dan meraih keselamatan abadi. Akal juga mampu

memahamkan bahwa untuk tujuan itu, manusia harus mengerjakan apa pun yang

diridhai oleh Tuhan dan menghindari yang dibenci-Nya. Mengikuti tuntunan akal

adalah jalan menuju keberuntungan, dan melanggar-nya adalah sebab penyesalan.

Akal selanjutnya memerintahkan manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang

akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-

perbuatan yang membawa pada kerendahan. Dengan demikian, perintah dan

larangan menjadi wajib dengan kemestian akal.34

Dalam ajaran Islam, manusia adalah makhluk Tuhan. Ketinggian,

keutamaan, dan kelebihan manusia diantara makhluk lain terletak pada akal yang

dianugerahkan Tuhan kepadanya. Menurut Harun Nasution, akal lah yang

membuat manusia mempunyai kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Akal

manusia lah yang mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan kemudian

ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat manusia dapat mengubah dan

mengatur alam sekitarnya untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya baik pada masa

kini maupun pada masa mendatang.35

34
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 91.
35
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, hlm. 139.
50

Harun Nasution berpendapat bahwa akal yang dianugerahkan Tuhan kepada

manusia, dapat mengetahui empat masalah dasar dan pokok dalam agama. Masalah

dasar dan pokok bagi agama ialah, mengetahui adanya Tuhan pencipta alam

semesta, mengetahui kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan,

mengetahui mana perbuatan baik dan mana perbuatan jahat, dan akal dapat pula

mengetahui bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk melakukan perbuatan

baik dan kewajiban untuk menjauhi perbuatan jahat. Disamping itu, wahyu turun

untuk memperkuat pendapat akal manusia ini dan untuk membuat norma-norma

yang ditentukan akal manusia yang bersifat absolut, sehingga tidak dapat ditentang

lagi oleh manusia yang suka membantah.36

Sebelum wahyu turun, manusia dengan kekuatan akal yang dianugerahkan

Tuhan kepadanya itu telah dapat mengatur hidupnya di dunia ini. Karena akal telah

dapat membedakan antara perbuatan baik dan perbuatan jahat. Manusia dapat

membuat peraturan atau hukum supaya perbuatan baik dilakukan dan perbuatan

jahat dijauhi, sekaligus dengan sanksi-sanksinya. Kalau akal telah dapat pula

membedakan budi pekerti baik dan budi pekerti buruk, manusia dapat membuat

norma-norma akhlak yang harus dipatuhi sesama manusia. Manusia tidak harus

menunggu wahyu untuk mengatur hidup kemasyarakatannya. Wahyu turun

kemudian tidak lain untuk menyempurnakan peraturan-peraturan tersebut yang

telah dibuat akal manusia.37

Seperti halnya dengan Muhammad Abduh, Harun Nasution sangat

meninggikan kekuatan akal. Menurut Harun Nasution, akal adalah lambang

36
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, hlm. 142.
37
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, hlm. 143.
51

kekuatan manusia. Dalam Islam akal mempunyai daya yang kuat, maka manusia

bukanlah makhluk yang lemah. Akal mempunyai kemampuan untuk

mempertimbangkan baik dan buruknya perbuatan, dapat menentukan kehendaknya

sendiri dan dapat pula mewujudkan apa yang dikehendakinya. Manusia mempunyai

kebebasan dalam kehendak atau disebut dengan free will dan kebebasan dalam

perbuatan yang disebut dengan free act. Menurutnya manusia adalah makhluk yang

dinamis lagi aktif dan bukan makhluk pasif yang menyerahkan masa depannya

kepada nasib dan perkembangan zaman.38

2. Wahyu

Wahyu berasal dari kata al-wahy, dan al-wahy adalah berarti suara, api dan

kecepatan. Di samping itu diartikan juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan

dan kitab. Al-Wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara

tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang

disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”. Didalam kata wahyu dengan demikian

terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanNya agar

diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Sabda Tuhan

tersebut mengandung ajaran, petunjuk serta pedoman yang diperlukan umat

manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.

Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad

SAW terkumpul semuanya dalam al-Qur’an.39

Harun Nasution berpendapat bahwa pertentangan antara wahyu dan akal,

pada hakekatnya adalah pertentangan antara ulama-ulama mengenai pemahaman

38
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, hlm. 144.
39
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, hlm. 15.
52

dan penafsiran nash atau teks wahyu. Sebagian ulama memberikan penafsiran yang

lebih atau kurang liberal dari penafsiran yang diberikan oleh ulama lain. Pada

umumnya penafsiran yang diberikan filosof lebih liberal daripada yang diberikan

teolog, dan penafsiran teolog lebih liberal dari penafsiran ulama fiqih.40

Menurut Harun Nasution, dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa wahyu terdiri

dari tiga macam. Pertama, wahyu seperti yang diungkapkan dalam al-Qur’an;

َ‫ى‬ ِ ‫ول فَي‬


َ ‫ُوح‬ ُ ‫اب أَ َْو ي ُْر ِس ََل َر‬
ًَ ‫س‬ َِ ٓ‫ل َوحْ يًا أَ َْو ِمن َو َرا‬
َ ‫ئ ِح َج‬ ََ ِ‫ٱّللُ إ‬ َ َ‫َو َما كَانََ ِلبَش ََر أ‬
ََ ُ‫ن يُك َِل َم َه‬

َْ ‫و َك َٰ َذ ِلكََ أَ ْو َح ْينََا ٓ إِلَيْكََ ُرو ًحا ِم‬.


‫ن أَ ْم ِرنََا‬ َ ‫يم‬ َ َ‫بِإِ ْذنِ ِه َۦ َما ي‬
ََ ‫شا ٓ َُءَۚ إِنَهَُۥ‬
َ ‫ع ِلىَ َح ِك‬

“Tidaklah dapat terjadi pada manusia bahwa Tuhan berbicara dengannya kecuali
melalui wahyu, atau dari belakang tabir, ataupun melalui utusan yang dikirim; maka
sampaikanlah kepadanya dengan seizin Tuhan apa yang dikehendakinya.
Sesungguhnya Tuhan Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. Demikianlah Kami
kirimkan kepadamu ruh atas perintah Kami.” (QS 42: 51-52)

Menurutnya wahyu dalam bentuk pertama tersebut adalah pengertian atau

pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan oleh seseorang yang timbul dalam dirinya,

timbul secara tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Kedua,

wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tertidur atau dalam

keadaan trance, ru’yat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang

diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu seperti ini

disampaikan dalam bentuk kata-kata.41

Tiap-tiap agama mempunyai ajaran yang diyakini sebagai wahyu dari

Tuhan dan oleh karena itu bersifat benar secara absolut. Tapi, harus diakui bahwa

40
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978),
hlm. 15.
41
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, hlm. 17.
53

tidak semua ajaran yang terdapat dalam agama merupakan wahyu dari Tuhan.

Ajaran-ajaran yang merupakan wahyu dari Tuhan itu pada umumnya hanya datang

secara garis besar, tanpa perincian dan tanpa penjelasan tentang cara

pelaksanaannya. Karena tidak ada kejelasan dari wahyu tentang perintah dan cara

pelaksanaannya tersebut, maka disini manusia memakai akal untuk menentukan

perincian dan cara pelaksanaan dari ajaran-ajaran yang diwahyukan tersebut.

Dengan demikian perincian dan cara pelaksanaan, telah masuk ke dalam ajaran-

ajaran agama, dan sebenarnya bukanlah wahyu dari Tuhan, tetapi hasil pemikiran

dari akal manusia.42

Oleh karena itu, dalam Islam lah wahyu dan akal menjalin hubungan

persaudaraan. Dalam persaudaraan itu, akal menjadi tulang punggung agama yang

terkuat, dan wahyu sendiri yang utama. Antara akal dan wahyu tidak ada

pertentangan. Mungkin agama membawa sesuatu yang di luar kemampuan manusia

untuk memahaminya, tetapi tidak mungkin agama membawa sesuatu yang mustahil

menurut akal. Jika wahyu membawa yang pada lahirnya kelihatan bertentangan

dengan akal, maka wajib bagi akal untuk meyakini bahwa apa yang dimaksud

bukanlah arti secara harfiah.43

Maka, Harun Nasution disini menegaskan bahwa pemakaian kata-kata

rasional, rasionalisme, dan rasionalis dalam Islam harus dilepaskan dari arti kata

yang sebenarnya, yaitu percaya kepada rasio semata-mata dan tak mengindahkan

42
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, hlm. 238.
43
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, hlm. 98.
54

wahyu, atau membuat akal lebih tinggi dari wahyu, sehingga wahyu dapat

dibatalkan oleh akal.44

Menurut Harun Nasution, dalam pemikiran Islam baik di bidang filsafat,

ilmu kalam, maupun di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu.

Menurutnya akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap

mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu dan sekali-kali

tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks

wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi.45 Yang

menjadi pertentangan sebenarnya adalah hasil penafsiran dari teks wahyu yang

dilakukan oleh salah satu ulama dengan penafsiran teks wahyu dari ulama yang

lain. Dalam hal ini disebut juga dengan ijtihad.

Satu dari peran terpenting agama atau wahyu adalah menjelaskan

kekurangan dan keterbatasan akal. Wahyu meliputi seluruh dimensi dan potensi

berpikir manusia. Karenanya, wahyu juga kerap mengingatkan soal keterbatasan

akal agar manusia tidak sampai gegabah dan menerawangi ranah yang pada

hakikatnya mustahil dijamah oleh akal.

Menurut Harun Nasution, salah satu bentuk kontribusi yang dimiliki oleh

wahyu untuk akal ialah bahwa wahyu dapat menguatkan pendapat akal melalui sifat

sakral dan absolut yang terdapat dalam wahyu. Sifat sakral dan absolut lah yang

membuat orang mau tunduk kepada sesuatu.46 Wahyu diperlukan untuk

memperkuat apa yang diketahui oleh golongan kaum khawas, untuk memberikan

44
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, hlm. 101.
45
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, hlm. 101.
46
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI
Press, 1987), hlm. 61.
55

kekuatan yang sakral kepada hukum serta peraturan-peraturan yang mereka buat

dan untuk memaksa manusia agar tunduk kepada hukum dan peraturan-peraturan

tersebut.47

Menurut Harun Nasution, mengenai akal dapat mengetahui empat masalah

dasar dan pokok dalam agama tidak lah diperlukan wahyu, namun tidak juga

sepenuhnya dilakukan dengan akal. Tetapi, untuk dapat mengetahui suatu perincian

dari keempat masalah dasar dan pokok keagamaan tersebut, wahyu sangat

diperlukan. Akal mengetahui wajibnya manusia untuk berterima kasih kepada

Tuhan, tetapi bagaimana caranya, itu tidak dapat dijangkau oleh akal. Maka wahyu

lah yang menjelaskan kepada umat manusia cara untuk berterima kasih kepada

Tuhan Yang Maha Esa. Dan Harun berpendapat bahwa dalam agama Islam yang

dibawa oleh nabi Muhammad menjelaskan bahwa jalannya adalah dengan cara

melakukan empat ibadah, yaitu salat, puasa, zakat, dan haji. Kemudian, begitu pula

dalam soal kebaikan dan kejahatan, tidak semua yang baik dan semua yang jahat

dapat diketahui akal. Wahyu perlu turun untuk menolong akal manusia dalam

menyempurnakan pengetahuan.48 Maka, wahyu datang untuk memperkuat

pengetahuan dan bukan untuk membawa pengetahuan yang baru.

Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan bahwa wahyu menolong akal

untuk mengetahui alam akhirat dan keadaan hidup manusia di sana, wahyu untuk

mengetahui sifat kesenangan serta kesengsaraan dan bentuk perhitungan yang akan

dihadapinya di hidup kedua nanti. Hanya wahyu lah yang memberi manusia

informasi tentang hal-hal tersebut. Wahyu, selanjutnya, menolong akal dalam

47
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 62.
48
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, hlm. 371-372.
56

mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, dalam

mendidik manusia untuk hidup dalam damai dengan sesamanya dan dalam

membukakan rahasia cinta yang menjadi dasar ketentraman hidup dalam

masyarakat. Menurutnya, wahyu selanjutnya membawa syariat yang mendorong

manusia untuk melaksanakan kewajiban seperti kejujuran, berkata benar, menepati

janji, dan lain sebagainya.49

3. Kebebasan Manusia dan Takdir

Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia

sendiri. Tuhan bersifat mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak.

Keyakinan manusia mengenai hubungan perbuatannya dengan Tuhan sangat

penting sekali. Dalam teologi dan falsafah terdapat dua konsep mengenai hal ini.

Satu pendapat mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan

dan perbuatan. Paham ini dalam Islam disebut dengan qadariah, dan dalam teologi

barat atau istilah Inggrisnya disebut free will dan free act. Pendapat lain mengatakan

bahwa semua perbuatan manusia telah ditentukan semenjak azal, sebelum ia lahir,

dan paham ini dalam teologi Islam disebut dengan jabariah. Dalam teologi Barat

dan istilah Inggrisnya paham ini disebut fatalisme atau predestination.50

Kaum qadariah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan

kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham qadariah

manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan

perbuatan-perbuatan yang hendak dilaksanakannya. Kaum jabariah berpendapat

sebaliknya. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menetukan kehendak

49
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 60-61.
50
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 64.
57

dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan.

Jadi nama jabariah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa.

Memang dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan

perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Perbuatan-perbuatan manusia telah

ditentukan dari semula oleh kada dan kadar Tuhan.51

Harun Nasution berpendapat, menurut keterangan ahli-ahli teologi Islam

paham qadariah ditimbulkan untuk pertama kali oleh seorang bernama Ma’bad al-

Juhani. Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-

Dimasyqi mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak.

Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia

sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan

kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi

perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Dalam paham

ini tidak dikatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, dan

bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut nasibnya

yang telah ditentukan semenjak azal.52

Aliran sebaliknya, yaitu paham jabariah, pertama kali dalam sejarah teologi

Islam ditimbulkan oleh al-Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang menyebarkan adalah Jahm

Ibn Safwan dari Khurasan. Paham yang dibawa oleh Jahm adalah lawan ekstrim

dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan. Manusia, menurut Jahm tidak

mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.

51
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 33.
52
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 34-
35.
58

Manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada

kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.53

Menurut Harun Nasution, dalam paham jabariah ini, segala perbuatan

manusia tidak merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi

perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Manusia hanya merupakan wayang yang

digerakkan dalang. Sebagaimana wayang bergerak hanya karena digerakkan

dalang, demikian pula manusia bergerak dan berbuat karena digerakkan oleh

Tuhan. Maka tanpa gerak dari Tuhan manusia tidak bisa berbuat apa-apa.54

Dalam membicarakan perbuatan manusia, di dalam Risalah al-Tauhid,

Muhammad Abduh mengatakan bahwa sebagaimana manusia tahu akan wujudnya

tanpa memerlukan bukti apa pun, begitu pula lah ia mengetahui adanya perbuatan

atas pilihan sendiri dalam dirinya. Hukum alam lah yang menentukan adanya

perbuatan atas pilihannya sendiri itu dalam diri manusia. Hukum alam ciptaan

Tuhan ini ia sebut sunnah Allah. Baginya manusia diciptakan sesuai dengan sifat-

sifat dasar yang khusus baginya dan dua diantaranya menurut Muhammad Abduh,

adalah berpikir dan memilih perbuatan sesuai dengan pikirannya.55

Jadi manusia selain mempunyai daya berpikir, juga mempunyai kebebasan

memilih yang merupakan sifat dasar alami yang mesti ada dalam diri manusia.

Manusia akan menjadi makhluk lain kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya.

Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan

53
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 35.
54
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 36.
55
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 65.
59

dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri dan

selanjutnya mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang ada dalam dirinya.

Menurut Harun Nasution, dalam pandangan Muhammad Abduh manusia

adalah manusia, semata-mata karena ia mempunyai kemampuan berpikir dan

kebebasan dalam memilih. Oleh karena itu dalam pemberian wujud bagi manusia

tidak termasuk paksaan berbuat. Manusia baginya tidak mempunyai kebebasan

absolut. Ia menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai kebebasan

mutlak sebagi orang yang takabur. Ia menjelaskan bahwa manusia, sungguhpun

berbuat atas kemauan dan pilihannya sendiri, tidaklah sempurna daya, kemauan dan

pengetahuannya. Karena, kebebasan manusia mempunyai batasan-batasannya.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kekuatan-kekuatan alam yang membatasi

kemauan dan kekuasaan manusia, membuat manusia sadar bahwa di dalam wujud

ini terdapat suatu kekuatan yang lebih tinggi, yang tak dapat dijangkau oleh

kekuatan manusia dan masih ada kekuasaan yang tak dapat ditandingi oleh

kekuasaan manusia. Kekuatan-kekuatan yang membatasi kebebasan manusia

adalah kejadian-kejadian alami. Kejadian-kejadian alami ini sebagaimana akan

dilihat, berlaku sesuai dengan sunnah Allah, hukum alam yang diciptakan sesuai

dengan pengetahuan dan kehendak-Nya.56

Dalam pandangan Mu’tazilah, perbuatan manusia diciptakan oleh daya

manusia sendiri dan bukan daya Tuhan yang mewujudkan perbuatan manusia. Daya

Tuhan tidak mempunyai bagian dalam pewujudan perbuatan-perbuatan manusia.

Perbuatan ini diwujudkan semata-mata oleh daya yang diciptakan Tuhan di dalam

56
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 66-67.
60

diri manusia. Kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatan manusia adalah

kemauan dan daya manusia sendiri dan tak turut campur di dalamnya kemauan dan

daya Tuhan. Oleh karena itu perbuatan manusia adalah sebenarnya perbuatan

manusia dan bukan perbuatan Tuhan.57

Perbuatan-perbuatan manusia terjadi sesuai dengan kehendak manusia. Jika

seseorang ingin berbuat sesuatu, maka perbuatan itu terjadi. Tetapi sebaliknya, jika

seseorang tidak ingin berbuat sesuatu maka itu tidak terjadi. Jika sekiranya

perbuatan manusia bukanlah perbuatan manusia, tetapi perbuatan Tuhan, maka

perbuatannya tidak akan terjadi kalaupun ia menginginkannya dan menghendaki

perbuatan itu, atau perbuatannya akan terjadi kalaupun ia tidak menginginkannya

dan tidak menghendaki perbuatan itu.

Menurut Harun Nasution, dalam soal kebebasan kemauan serta perbuatan

dan fatalisme ini terdapat tiga hal yang saling berkaitan, yaitu, perbuatan, kemauan

untuk berbuat dan daya untuk mewujudkan perbuatan itu. Jika kemauan dan daya

adalah kepunyaan Tuhan, maka perbuatan adalah pula perbuatan Tuhan, dan ini

adalah jabariah, fatalisme. Jika kehendak dan kemauan adalah dari manusia, maka

perbuatan adalah perbuatan manusia, dan ini adalah qadariah, atau free will dan

free act, paham kebebasan dalam kemauan dan perbuatan. Jika kemauan dan daya

sama-sama dari Tuhan dan manusia, maka perbuatan adalah perbuatan Tuhan pada

hakikatnya dan perbuatan manusia dalam arti kiasan.58

57
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 104-
105.
58
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 70.
61

Lebih lanjut Harun mengatakan bahwa kebebasan manusia tidaklah mutlak.

Kebebasan dan kekuasaan manusia dibatasi oleh hal-hal yang tak dapat dikuasai

oleh manusia. Seperti halnya manusia datang ke dunia ini bukanlah atas kemauan

dan kekuasannya. Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya dibatasi oleh

hukum alam. Pertama-tama manusia tersusun dari materi. Materi adalah terbatas,

dan mau tak mau, manusia sesuai unsur materinya bersifat terbatas. Manusia hidup

dengan dilingkungi oleh hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan. Hukum alam

ini tidak dapat diubah oleh manusia. Maka, manusia harus tunduk kepada hukum

alam itu.59

Kebebasan dan kekuasaan manusia sebenarnya terbatas dan terikat pada

hukum alam. Kebebasan manusia sebenarnya, hanyalah memilih hukum alam mana

yang akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan, karena paham

qadariah bisa disalahartikan mengandung paham, bahwa manusia adalah bebas

sebebasnya dan dapat melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hukum alam pada

hakikatnya merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan, yang tak dapat dilawan dan

ditentang manusia.60

B. Hassan Hanafi

a. Riwayat Hidup Hassan Hanafi

Hassan Hanafi dilahirkan di Kota Kairo, 13 Februari 1935 M. Keluarganya

berasal dari Bani Suwayf, sebuah provinsi yang berada di Mesir dalam, dan

59
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 117.
60
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 117.
62

berurban ke Kairo, ibukota Mesir. Mereka mempunyai darah keturunan Maroko.

Kakeknya berasal dari Maroko, sementara neneknya dari kabilah Bani Mur yang

diantaranya menurunkan Bani Gamal Abd Al-Nasser, Presiden Mesir kedua.

Kakeknya memutuskan untuk menetap di Mesir setelah menikahi neneknya, saat

singgah di Mesir tengah ketika pulang dari perjalanan menunaikan ibadah haji.61

Hassan Hanafi adalah seorang filosof dan teolog Mesir yang meraih sarjana

muda dalam bidang filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1956.62 Hassan Hanafi

hidup dalam lingkungan sosial yang dapat dikatakan tidak terlalu mendukung

tradisi keilmuan dapat berkembang sejak lama. Masa kecil Hanafi berhadapan

dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh

bangsa asing. Sejak masih remaja kesadaran pertama yang tumbuh dalam diri

Hanafi adalah “kesadaran nasional” (national consciousness), pertumbuhan

kesadaran ini terkait dengan kenyataan situasi Mesir yang dalam Perang Dunia II

menjadi sasaran serangan Jerman. Semangat nasionalisme yang membara

mendorong Hanafi untuk terjun secara sukarela membantu perjuangan Mesir dalam

perang melawan Israel pada tahun 1948. Ketika masih duduk di bangku sekolah

setara SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan langsung bagaimana

tentara Inggris membantai para Syuhada di Terusan Suez.63

Menyimpan rasa frustasti yang sangat pahit terhadap realitas nasionalisme

Arab sekuler yang gagal menyatukan bangsa Arab, Hanafi secara alamiah bergeser

61
Hassan Baharun, Akmal Mundiri, Metodologi studi Islam, Percikan Pemikiran tokoh
dalam Membumikan Agama, Cet III (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 186-187.
62
Hamzah, Teologi Sosial: Telaah Pemikiran Hasan Hanafi, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2013), hlm. 11.
63
Hassan Baharun, Akmal Mundiri, Metodologi Studi Islam, Percikan Pemikiran Tokoh
dalam Membumikan Agama, hlm. 166-167
63

kepada Islam. Ia kemudian aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwan al-

Muslimin yang sedang menemukan momentumnya, sehingga tahu tentang

pemikiran yang dikembangkan dan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan. Bukan

hanya kerena IM berdiri paling depan melawan Israel, tetapi juga karena ia percaya

bahwa organisasi ini mampu menghadapi sosialisme-komunisme yang juga

semakin kuat dalam lingkaran kekuasaan Mesir. Hanafi juga aktif mengikuti

demonstrasi-demonstrasi IM dan politik mahasiswa di kampus Universitas Kairo. 64

Selain itu, ia juga mempelajari pemikiran Sayyid Quthub tentang keadilan sosial

dan keislaman.

Dalam reputasi internasional, Hassan Hanafi berhasil mengantarkan dirinya

merengkuh beberapa jabatan guru besar luar biasa di berbagai perguruan tinggi di

luar Mesir dan pada tahun 1969 ia menjadi profesor tamu di Perancis.15 Ia juga

pernah mengajar di Belgia (1970), Amerika Serikat (1971- 1975), Kuwait (1979),

Maroko (1982-1984), dan Uni Einirat Arab (1985). Hassan Hanafi juga pernah

berkunjung ke Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, India, Sudan, Arab Saudi, dan

juga Indonesia yang berlansung antara 1980-1987. Dalam kunjungan ini banyak

bertemu dengan para pemikir ternama yang kemudian memberinya sumbangan

keluasan tentang persoalan hakiki yang dihadapi umat manusia umumnya dan umat

Islam khususnya. Dalam kunjungan tersebut ia dapat mengamati secara langsung

berbagai kontradiksi dan penderitaan kaum lemah yang terjadi di berbagai dunia,

bahkan Hassan Hanafi sempat menyaksikan agama revolusioner di Amerika Serikat

dan di Amerika Latin, ia menyaksikan dan merasa betul berkembangnya gerakan

64
Hasan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Terj.
Miftah Faqih, (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. xiii.
64

teologi pembebasan yang justru kemudian membuka wawasan dan pikirannya

bahwa agama (Islam) sudah saatnya dikembalikan kepada hakikat yang sebenarnya

yaitu sebagai agama pembebasan, agama yang sangat peduli pada persoalan-

persoalan kemanusiaan.65

b. Latar Belakang Intelektual

Hassan Hanafi ialah seseorang seperti kebanyakan anak-anak Mesir lainnya.

Hanafi ketika masih muda sudah belajar ilmu-ilmu agama Islam. Ketika masih

duduk di madrasah tsanawiyah Khalil Agha, dia sudah aktif dalam diskusi-diskusi

Ikhwanul Muslimin. Selain itu, beliau juga mempelajari pemikiran-pemikiran

Sayyid Qutb tentang keadilan sosial. Hal inilah yang membuatnya tertarik untuk

bergelut dengan aktivitas pemikiran dan intelektualitas. Menjelang umur lima

tahun, Hassan Hanafi kecil mulai menghafal al-Qur’an. Pendidikan Hanafi diawali

di pendidikan dasar di Madrasah Sulaiman Ghawish, tamat tahun 1948.66 Kemudian

melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah “Khalil Agha”, Kairo yang

diselesaikannya selama lima tahun pada tahun 1952. Empat tahun untuk

memperoleh bidang kebudayaan, dan satu tahun untuk bidang kependidikan.

Pada tahun 1952 Hanafi melanjutkan studinya di departemen Filsafat

Universitas Kairo, dan ia menyelesaikannya selama empat tahun dengan gelar

sarjana muda pada tahun 1956. Ketika Hanafi mendalami pemikiran tokoh ia

menemukan semangat “kebangkitan Islam” (al-nahdlah al-Islamiyah) yang banyak

mempengaruhi pandangan dunia, dan misi intelektual yang ia bayangkan harus

65
Syarifuddin, Konsep Teologi Hassan Hanafi, Jurnal Substantia; Vol. 14 No. 2, (oktober
2012), hlm. 203.
66
Moh Hefni, Rekonstruksi Maqashid Al-Syariah (Sebuah Gagasan Hasan Hanafi
tentang Revitalisasi Turats), (Jurnal al-Ihkam Vol.6 No.2 Desember 2011), hlm. 169.
65

dipikulnya. Dalam pandangannya Islam telah kehilangan relevansinya dengan

realitas zamannya. Di sinilah awal upaya Hanafi menuju pembentukan suatu

“metode Islam berdasarkan rasionalitas tentang baik dan buruk, penyatuan

kebenaran, kebaikan dan keindahan”.67

Pendidikan yang beliau terima di Departemen Filsafat Universitas Kairo

pada tahun 1952 mengantarkannya sebagai sarjana muda bidang filsafat. Studi

filsafatnya semakin menemukan bentuknya ketika ia melanjutkan ke jenjang

postgraduate di Universitas Sorbonne Paris, Prancis, selama lebih kurang 10 tahun

yaitu tahun 1956-1966, dengan disertasi setebal 900 halaman berjudul “Essai Sur

la Methode sd'exegese (Essai tentang Metode Penafsiran)”. Karya tulis ini menjadi

karya tulis terbaik di Mesir pada tahun 1961. Studinya di Prancis memberikan arah

baru bagi pemikiran kefilsafatannya, terutama pemantapan metodologisnya melalui

kuliah maupun bacaan karya Orientalis. Ia banyak memperoleh pengetahuan Barat.

Ia mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikiran Barat pra modern dan modern.

Meskipun ia menolak dan mengkritik Barat, tetapi tak pelak lagi, ide-ide liberalisme

Barat, demokrasi, rasionalisme, dan pencerahan telah mempengaruhi

pemikirannya, makai ia adalah seorang modernis liberal.68

Di Perancis ini lah Hanafi merasakan sangat berarti bagi perkembangan

pemikirannya, dan di Perancis lah ia berlatih berfikir secara metodologis, baik

melalui kuliah-kuliah ataupun bacaan karya-karya orientalis.69 Iklim akademik di

67
Hassan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Terj.
Miftah Faqih, hlm. xiv.
68
Kazuo shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis
Atas Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogyakarta: LKIS ,1993), hlm. 3.
69
A. H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam : Pemikiran Hassan Hanafi Tentang
Reaktualisasi Tradisi Keilmuwan Islam, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hlm. 15.
66

prancis pada saat itu cukup memberikan angin segar bagi munculnya berbagai

pemikiran kritis kefilsafatan. Bahkan pada dekade tersebut, Prancis telah

menancapkan dirinya sebagai wilayah bagi tumbuh suburnya pemikiran

kefilsafatan terutama kajian tentang strukturalisme. Disamping itu, Hanafi juga

tertarik untuk mendalami pemikiran filsafat Idealisme Jerman, terutama filsafat

dialektika yang lazim dalam pemikiran Hegel dan Karl Max. Hanafi belajar

fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Hussell, dan bimbingan

penulisan tentang pembaharuan Ushul Fiqih dari Profesor Masnion.

Setelah menyandang gelar doktor, pada tahun 1966 M, Hanafi kembali

pulang ke Mesir, dan mengajar di Fakultas Sastra, Jurusan Filsafat, Universitas

Kairo hingga tahun 1971. Kemudian Hanafi berangkat ke Amerika Serikat sebagai

dosen tamu di Universitas Temple, Philadelphia, hingga tahun 1975. Hanafi

kembali ke Universitas Kairo pada tahun 1982. Kemudian dipinjam sebagai dosen

kehormatan di Universitas Fers, Maroko, selama dua tahun. Dosen di Universitas

Tokyo dan Universitas PBB di Jepang dari tahun 1985 sampai tahun 1988. Dosen

di Universitas Los Angeles, Amerika Serikat. Dan terakhir di Universitas Cape

Town, Afrika Selatan. Pada tahun 1989 ditunjuk sebagai Ketua Jurusan Filsafat di

Fakultas Sastra Universitas Kairo hingga diberhentikan pada tahun 1995.70

Hassan Hanafi adalah pelopor pendiri organisasi himpunan filsuf Mesir

yang berdiri tahun 1986 dengan diketuai oleh Dr. Abu al-Wafa‟ al-Taftazani, yang

kemudian digantikan oleh Dr. Mahud Hamdi Zaqzuq Mentri agama mesir pada

masa itu. Sementara, Hanafi bertindak sebagai sekretaris jendralnya. Beberapa

70
Aunul Abied Shah. Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam timur Tengah,
(Bandung: Mizan, 2001), hlm. 220.
67

seminar tentang filsafat, baik nasional maupun internasional, selalu Hanafi ikuti.

Dalam pergumulannya dengan para pemikir Muslim Kontemporer lainnya, Hanafi

sering mendapatkan “sandungan” meski tidak sedikit para pemikir yang

mengacungkan jempol buatnya. Label-label seperti mulhid, sekuler, maupun bravo

‘alaik pun sudah akrab di telinganya, ia terus maju berjuang membela kaum lemah

yang tertindas.71

Dari berbagai kesibukan-kesibukannya di dunia akademis, Hassan Hanafi

juga masih tetap aktif di organisasi kemasyarakatan lainnya, seperti menjadi

sekretaris umum persatuan masyarakat filsafat Mesir, menjadi anggota ikatan

penulis se-Asia Afrika, menjadi anggota gerakan solidaritas Asia-Afrika serta

menjadi presiden persatuan masyarakat Arab.

c. Pokok Pikiran Hassan Hanafi

1. Bidang Teologi

Teologi dalam Islam atau teologi Islam, yang biasa juga disebut usuluddin

atau tauhid, merupakan penegasan bahwa Tuhan itu satu, menciptakan manusia

dalam bentuk yang paling sempurna dangan tujuan menyembah dan mengabdi

kepada-Nya. Tujuan penciptaan manusia mencakup tugas manusia sebagai wakil

Tuhan di bumi. Tugas tersebut meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, seperti

masalah keluarga, tata ekonomi, tata sosial, pengembangan pengetahuan, dan lain

sebaginya. Teologi berhubungan erat dengan sikap dan perilaku orang-orang

meyakininya. Karena konsep teologi yang diyakini oleh seseorang akan menjadi

dasar dalam menjalani kehidupannya. Teologi Islam merupakan teologi yang

71
Hassan Baharun, Akmal Mundiri, Metodologi studi Islam, Percikan Pemikiran tokoh
dalam Membumikan Agama, hlm. 190-191.
68

berpusat pada Tuhan (tauhid). Tuhan merupakan sentral segala kehidupan manusia.

Hanya kepada Tuhanlah manusia mengabdi dan memohon. Hanya tauhid yang

dapat menghantarkan manusia memperoleh kebahagian hidup dunia dan akhirat.72

Teologi Islam yang dianut oleh mayoritas umat Islam saat ini menurut

Hassan Hanafi belum bisa mengantarkan umat Islam kepada keyakinan atau

pengetahuan yang meyakinkan tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual lainnya,

tetapi baru pada tahap mendekati keyakinan.73 Selain itu menurutnya, konsep-

konsep teologi yang dianut umat Islam saat ini lebih berisi konsep-konsep yang

melangit dan ide-ide kosong, bukan ide-ide konkret yang bisa membangkitkan dan

menuntun umat untuk menjalani kehidupan nyata dan seakan konsep-konsep

tersebut seperti asing bagi dirinya sendiri dan bagi orang banyak.74

Hasan Hanafi mengajukan konsep baru tentang konsep teologi Islam yang

ilmiah dan membumi sebagai alternatif atas kritiknya bahwa teologi tidak ilmiah

dan melangit. Tujuannya sudah tentu untuk menjadikan teologi tidak sekadar

sebagai dogma keagamaan yang kosong tanpa makna, tetapi menjelma sebagai ilmu

tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai

landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu gagasan Hanafi berkaitan

dengan teologi adalah berusaha untuk mentranformasikan teologi tradisional yang

bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan di langit kepada manusia di

bumi, dari tekstual ke kontekstual, dari teori kepada tindakan, dari takdir

terkungkung kepada takdir kebebasan. Pemikiran ini setidaknya didasari dengan

72
Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003),
hlm. 115-118.
73
A. Khudori Sholeh, Filsafat Islam, (Sleman: Ar-Ruzz Media, 20014), hlm. 63.
74
Hassan Hanafi, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, (Jakarta: P3M, 1991), hlm. 408-
409.
69

alasan, yaitu kebutuhan adanya sebuah ideologi dan teologi yang jelas dan konkrit

ditengah pertarungan ideologi-ideologi global. Perlunya bangunan teologi yang

bukan hanya bersifat teoritik, namun juga praktis yang bisa melahirkan gerakan

dalam sejarah.75

Bagi Hassan Hanafi, teologi merupakan suatu ilmu yang paling fundamental

dalam tradisi Islam harus dibangun kembali sesuai dengan perspektif dan standar

modernitas. Untuk itu, ia mengajukan ide neo-kalam (ilmu kalam baru). Apa yang

dimaksudnya dengan ilmu tersebut bukan hanya ideologi doktrinal, melainkan ilmu

itu lebih merupakan ideologi revolusi atau revolusi ideologis yang dapat

memotivasi kaum Muslim modern untuk beraksi melawan despotisme dan

penguasa otoriter. Dalam bentuk yang beragam, Hassan Hanafi selalu mengaitkan

teologi ini dengan teologi tanah, teologi kaum tertindas, dan teologi pembebasan

ala Amerika Latin.76

2. Bidang Filsafat

Filsafat lahir dalam komunitas sosial yang mengeksplisitkan eksplorasi

pikiran dan mengapresiasikan apa yang hilang dari pikiran. Filsafat adalah identik

dengan realitas-realitas dinamis yang akan mati dan akan hidup. Filsafat adalah

inovasi manusia yang akan tercipta Ketika lokalitasnya memungkinkan dan akan

musnah ketika lokalitas ini berubah dan posisinya ditempati oleh lokalitas lain yang

75
AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hlm. 50.
76
A. Luthfi Assyaukanie, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer, dalam
Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Volume 1 Nomor 1, Juli-Desember 1998, hlm. 74-75.
70

diametral dimana realitas hidup yang masih bayi tidak kuat melawan dan

mencapainya sehingga menjamin konstantasi dan kontinuitas bagi dirinya.77

Dalam arti sempit filsafat diartikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan

metodologi atau analisis bahasa secara logis dan analisis makna-makna. Filsafat

diartikan sebagai (science of science) yang bertugas memberi analisis secara kritis

terhadap asumsi-asumsi dan konsep-konsep ilmu, mengadakan sistematisasi atau

pengorganisasian pengetahuan. Dalam pengertian yang lebih luas, filsafat mencoba

mengintegrasikan pengetahuan manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu

pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup dan makna hidup.

Masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia, dan karena

manusia di satu pihak tetap manusia dan di pihak lain berkembang dan berubah,

maka masalah-masalah baru filsafat sebenarnya adalah masalah-masalah lama

manusia.

Menurut Hassan Hanafi, filsafat adalah analisis pengalaman empirik

manusia untuk mengetahui esensinya. Ia adalah suatu pengalaman-pengalaman

zaman yang lahir dari sela-sela kesadaran individu-individu dan organisasi-

organisasi terhadapnya. Ia mempersyaratkan kesadaran yang mampu

mentransformasikan realitas-realitas menuju pengalaman-pengalaman hidup yang

menunjukkan kemungkinan pencapaian esensinya melalui intuisi. Filsafat juga

menuntut kapasitas nalar untuk mentransformasikan kesadaran dan mencapai

makna-makna universal komprehensif yang ada di dalamnya. Maka nalar beraksi

77
Hassan Hanafi, Studi Filsafat 2: Pembacaan Atas Tradisi Barat Modern, (Yogyakarta:
LKiS, 2015), hlm. 1.
71

dalam kesadaran dan realitas hidup dalam pengalaman. Keduanya, yakni nalar dan

realitas, membentuk kesadaran manusia terhadap dirinya dan terhadap dunia.78

Dalam pemikirannya, Hassan Hanafi berpendapat bahwa dalam filsafat juga

terdapat kehidupan dan kematiannya. Menurut Hassan Hanafi, kehidupan dan

kematian filsafat adalah dua siklus continue yang digerakkan oleh relasionalitas

filsafat dengan otoritas kekuasaan. Kehidupan filsafat adalah sesuatu yang natural

selama pada manusia tetap ada kehidupan, selama ada kehidupan berarti kebebasan

pikiran dan persepsi, kapasitas diskursus dan bercerita, dan selama dunia tetap

berdiri tegak dan di dalamnya ditemukan satu manusia yang bernafas atau berpikir.

Filsafat akan tetap hidup dengan perlawanan nalar terhadap otoritas kekuasaan,

konsistensi pada kebebasan berpikir dan memprioritaskan posisi nalar yang

diasumsikan sebagai penguasa yang mempersatukan segala sesuatu. Sebaliknya,

filsafat pun akan mati ketika ia kalah didepan otoritas kekuasaan. Filsafat akan

kosong dari sirkulasi tentang konsistensi kebebasan berpikir, fungsi kritis, tuntutan

perubahan, dan keniscayaan modernitas. Jadi filsafat akan mati ketika ia meringkuk

dan melingkar pada dirinya secara solipsistic dan bergeser kepada aliran yang

eksklusif sebagai alternatif pengganti dari realitasnya sendiri.79

3. Kiri Islam

Sebagaimana luas diketahui, bahwa sejak revolusi Perancis kelompok

radikal, kelompok Jakobin, mengambil sisi kiri dari kursi Ketua Kongres Nasional.

Sejak itu, Kanan dan Kiri sering digunakan dalm terminologi politik. Secara umum

Kiri diartikan sebagai partai yang cenderung radikal, sosialis, “anarkis”, reformis,

78
Hassan Hanafi, Studi Filsafat 2: Pembacaan Atas Tradisi Barat Modern, hlm. 23.
79
Hassan Hanafi, Studi Filsafat 2: Pembacaan Atas Tradisi Barat Modern, hlm. 26-33.
72

progresif, atau liberal. Dengan kata lain selalu menginginkan sesuatu yang bernama

kemajuan (progress), yang memberikan inspirasi bagi keunggulan manusia atas

sesuatu yang bernama “takdir sosial”. Dalam terminologi ilmu politik, Kiri berarti

perjuangan dan kritisisme. Kiri juga menempatkan kembali rasionalisme,

naturalisme, liberalisme, dan demokrasi dalam khazanah intelektual Islam. Namun,

Kiri dan Kanan sebenarnya tidak ada didalam Islam itu sendiri, melainkan terdapat

pada tataran sosial, politik, ekonomi dan sejarah.80

Kiri Islam merupakan salah satu proyek pemikiran Hassan Hanafi, yang

lahir karena keresahan yang dihadapinya dalam melihat realitas sosial di

lingkungannya. Berbagai bentuk penindasan, kemiskinan, dan penderitaan yang

dialami rakyat menjadi bumbu munculnya pemikiran Kiri Islam. Hanafi

menghendaki agama sebagai ruh kehidupan mampu mendorong lahirnya kehidupan

yang bermartabat dengan semangat pembebasan, kesejahteraan, dan keadilan. Kiri

Islam tak lahir di ruang hampa. Ia merupakan proyeksi tentang tatanan kehidupan

ideal yang dibayangkan Hassan Hanafi.

Dalam Islam, Kiri memperjuangkan pemusnahan penindasan bagi orang-

orang miskin dan tertindas, ia juga memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban

di antara seluruh masyarakat. Dalam arti singkat, Kiri adalah kecenderungan

sosialistik dalam Islam.81 Kiri Islam, merupakan salah satu upaya mengatasi

problem-problem yang muncul sebagai akibat dari modernisasi, tak terkecuali

modernisasi dunia pendidikan yang menumbuhkan kesenjangan sosial sebagai

80
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis
Atas Pemikiran Hassan Hanafi, hlm. 5-6.
81
Ahmad Gabbas Salih, al-Yamin wa al-Yasar fi al-Islam, (Beirut: al-Muassasa al-
Arabiyya li Dirasat wa al-Nasr, 1972), hlm. 6.
73

akibat akulturasi dari budaya kapitalis. Kiri Islam, sangat berkaitan erat dengan

transformasi bentuk-bentuk pengetahuan dari modernisme ke postmodernisme.

Menurut Hassan Hanafi, Kiri mengangkat posisi kaum yang dikuasai, kaum

yang tertindas, kaum miskin dan kaum menderita. Dalam jurnalnya yang berjudul

“Apa Arti Kiri Islam?”, Hassan Hanafi mendiskusikan beberapa isu penting yang

berkaitan dengan kebangkitan Islam. Menurutnya, Kiri Islam bertopang pada tiga

pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi

tauhid), dan kesatuan umat. Pilar pertama, adalah revitalisasi khazanah Islam

klasik. Pilar kedua, adalah perlunya untuk menantang peradaban Barat. Pilar ketiga,

adalah analisis atas realitas dunia Islam.82

Watak pemikiran Hassan Hanafi secara teoritis-filosofis adalah kiri

revolusioner. Menurutnya, dunia Islam saat ini sedang menghadapi tiga ancaman,

yaitu, imperialisme, zionisme, dan kapitalisme dari luar; kemiskinan, ketertindasan,

dan keterbelakangan dari dalam. Kiri Islam berfokus pada problem-problem era

saat ini. Hassan Hanafi menjelaskan munculnya Kiri Islam. Ia mengkaji beberapa

kecenderungan yang menurutnya penting bagi masa depan dunia Arab-Islam.

Pertama, ia menggambarkan adanya kecenderungan kooptasi agama oleh

kekuasaan, dan praktik keagamaan diubah menjadi semata-mata ritus. Kedua,

liberalisme adalah subyek kritik Hassan Hanafi. Meskipun secara teoritik anti

kolonial, namun liberalisme itu sendiri merupakan produk kolonialisme Barat.

Ketiga, kecenderungan Marxis Barat yang bertujuan memapankan suatu partai yang

berjuang melawan kolonialisme, telah menciptakan dampak-dampak tertentu.

82
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis
Atas Pemikiran Hassan Hanafi, hlm. 8.
74

Keempat, kecenderungan revolusi nasional terakhir telah membawa banyak

perubahan fundamental dalam struktur sosial dan kebudayaan Arab-Islam. Tugas

dari Kiri Islam adalah untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan itu dan

merealisasikan tujuan-tujuannya termasuk revolusi nasional yang berbasis pada

prinsip revolusi sosialisme melalui khazanah intelektual umat.83

Kiri Islam lahir dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan pergerakan

nasional dan prinsip-prinsip revolusi sosialis. Hal ini dilakukan melalui

pengembangan khazanah umat dan berpijak pada kesadaran rakyat muslimin. Kiri

Islam juga mendapat inspirasi dari keberhasilan revolusi Islam akbar di Iran yang

mengejutkan dunia. Kiri Islam adalah benteng pelindung bagi Islam dan kaum

muslimin untuk melawan upaya-upaya kolonialisasi kontemporer. Dan Kiri Islam

adalah ideologi gerakan kaum muslimin. Pemikiran Hassan Hanafi tentang Kiri

Islam menjadi sangat penting sebagai pijakan berpikir, dalam rangka

mengembalikan ruh agama Islam sebagai sebuah proyeksi kehidupan bersama yang

lebih bermartabat dan manusiawi.84

d. Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Akal, Wahyu, Kebebasan Manusia

dan Takdir

1. Akal

Dalam agama Islam, akal mendapat posisi yang istimewa karena Allah

sendiri yang menganugrahkannya kepada manusia sebagai jalan kepadanya. Para

ulama menganggap bahwa akal adalah alat yang kokoh dalam mencari kebenaran

83
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis
Atas Pemikiran Hassan Hanafi, hlm. 8-9.
84
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis
Atas Pemikiran Hassan Hanafi, hlm. 9.
75

dan sumber epistemologis untuk mendapatkan pengetahuan. Di dalam agama Islam

pula peran akal dinilai mendapat kedudukan yang tinggi sebagai penjaga wahyu.

Akal mutlak dibutuhkan oleh manusia dalam mencari dan membentuk ilmu

pengetahuan. Akal lah yang menggerakan dan mendorong manusia melahirkan

mahakarya berupa kebudayaan dan peradaban. Berkat akal juga manusia bisa

menghasilkan teknologi untuk bertahan di muka bumi dan bertahan hidup.

Al-Farabi menyebutkan beberapa makna akal atau rasio. Pertama, adalah

pengertian yang dikatakan oleh publik dalam masalah manusia. Manusia adalah

‘aqil (orang yang berakal). Yang dimaksud dengan akal adalah wahyu. Terkadang

mereka keberatan dengan pengertian tersebut karena manusia yang berakal

memerlukan agama. Agama dalam pandangan mereka adalah keutamaan. Oleh

karena itu, manusia yang berakal adalah manusia utama yang menggunakannya

pada hal yang baik. Sedangkan manusia yang menggunakan akal untuk melakukan

hal yang buruk maka ia adalah penipu atau licik. Kedua, adalah akal dalam

pandangan mutakallimin (para teolog). Mereka menyatakan bahwa hal ini

ditegaskan dan disangkal oleh akal, yakni dalam pengertian yang mahsyur di

kalangan mereka, yaitu suatu makna yang digelar dari lingkaran Islam murni.

Ketiga, adalah akal yang disebutkan oleh Aristoteles dalam buku Metafisika. Yaitu

rasio yang terpisah (al-‘aql al-mufariq) yang diidentifikasi sebagai alam arwah atau

yang sampai pada Tuhan.85

Ketika membicarakan masalah akal dan naql, Hassan Hanafi lebih

memberikan prioritas pada akal daripada naql. Menurutnya, pentingnya akal adalah

85
Hassan Hanafi, Islamologi 2 Dari Rasionalisme ke Empirisme, (Yogyakarta: LKiS,
2007), hlm. 132-134
76

untuk membangun pengetahuan keagamaan dan menegakkan keadilan. Naql tanpa

akal menjadi semata pandangan, karena akal adalah basis naql. Pada dasarnya,

pandangan ini benar. Namun ketika ia berbicara tentang akal ia tidak

mempertimbangkan sesuatu yang ada dibalik akal itu. Bagi Hassan Hanafi,

pertimbangan akal adalah suatu keniscayaan saat ini bagi kesejahteraan umat

Muslim.86

Segala sesuatu adalah bersifat rasional, dan semua yang rasional

mempunyai analisis bukti yang meyakinkan. Pada dasarnya, rasio mampu

memberikan keputusan terhadap segala sesuatu yang ada, dan dapat membuktikan

secara logis terhadap kebenaran dari setiap data dan fenomena yang diberikan

kepadanya.87 akal manusia telah dapat berpikir secara rasional karena kemampuan

akal untuk melakukan penalaran secara rasional adalah kodrat bagi otak manusia.

Karena di dalam akal hanya terdapat sesuatu yang inderawi.

Menurut Hassan Hanafi, fungsi fundamental rasio atau akal adalah

peliputan, penghimpunan dan representasi. Tidak adanya penolakan atas segala

sesuatu dan penerimaan terhadap segala sesuatu telah menyempurnakan

penempatan rasio pada posisi yang benar dalam wilayah konsepsi universal atas

realitas. Kebenaran tidak akan menolak terhadap kebenaran yang lain, tetapi

melengkapi. Sehingga rasio berfungsi mengakomodasikan benda-benda dengan

bagian-bagiannya dan menciptakan sistematisasi internalnya. Rasio berkuasa untuk

menetapkan kebaruan dan ke-qadim-an alam, menetapkan absurditas dan

86
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis
Atas Pemikiran Hassan Hanafi, hlm. 70.
87
Hassan Hanafi, Islamologi 2 Dari Rasionalisme ke Empirisme, hlm. 113.
77

kemutlakan kenabian, menetapkan mortalitas dan imortalitas jiwa, dan menetapkan

keaslian atau kepalsuan semua kepercayaan dan agama-agama.88

Oleh karena itu, lebih lanjut Hassan Hanafi berpendapat bahwa fungsi dan

pendayagunaan akal merupakan manifestasi dari keimanan, karena dengan

pendayagunaan tersebut manusia akan tersingkir dari keterbelakangan,

kemunduran, bahkan manusia akan menjadi maju dan menguasai alam ini.

Keimanan seseorang kurang sempurna apabila akalnya tidak digunakan untuk

membaca dan membedah fenomena realitas alam.

Hassan Hanafi mengatakan bahwa manusia berada di dalam wilayah

kealaman dan wilayah ketuhanan. Dan ia dibedakan dengan tiga potensi, yaitu

“potensi artikulasi” untuk berintegrasi dengan alam lain, yaitu rasio aktif. Dan dari

rasio aktif manusia melahap ilmu-ilmu dan pengetahuan. Rasio aktif adalah rasio

yang menentukan nasib dan kapabilitas manusia. Adapun teori integrasi ketuhanan

mengekspresikan eksistensi humanistik dari sisi sebagai potensi teoretis yang

berpegang pada dialog kognisi-kognisi. Oleh karenanya, hanya rasio aktif lah yang

immortal dan abadi sampai kapan pun.89

Menurut Hassan Hanafi, al-Ghazali telah mendekonstruksikan rasio dan

menyeru pada hati, mendekonstruksi syara’ dan menyeru pada abstraksi. Pada

dasarnya kita sangat membutuhkan rasio dan sistem dalam kehidupan ini.

Bagaimana mungkin kita menegakkan sistem dalam kehidupan ini berdasarkan

ketidakjelasan, sementara kita berusaha menjauhkan diri dari garis estimasi,

88
Hassan Hanafi, Islamologi 2 Dari Rasionalisme ke Empirisme, hlm. 38.
89
Hassan Hanafi, Islamologi 3 Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, (Yogyakarta:
LKiS, 2004), hlm. 82-83.
78

takhayul, dan mitos-mitos, dan membiarkan diri kita menjadi mangsa jin dan

setan.90 Sebab, rasio adalah cadangan alamiah manusia dan cahaya yang

dipancarkan Allah di dalamnya, kemudian cahaya ini akan tampak melalui

pelatihan dan menghasilkan ilmu pengetahuan.

2. Wahyu

Peradaban Islam muncul pasca penurunan wahyu dan kodifikasi al-Qur’an.

Sebelum penurunan wahyu, peradaban Arab dipusatkan pada satu titik, yaitu asy-

syi’r al-jahili (puisi jahiliah). Hanya saja di sekitar puisi-puisi itu tidak

dikembangkan sebuah keilmuan. Kemudian, ketika wahyu telah turun dan dijaga

dengan sempurna di dalam dada, peradaban belumlah tumbuh karena kodifikasi

juga belum muncul. Kaum muslimin tetap mentransferensi al-Qur’an dan hadis

secara oral.91

Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dinamakan dengan al-

Qur’an dan memiliki pengertian bahwa wahyu tersimpan dalam dada manusia

karena nama al-Qur’an sendiri berasal dari kata qira’ah (bacaan) dan di dalam kata

qira’ah terkandung makna agar selalu diingat. Wahyu Allah yang diturunkan

kepada utusan-Nya khususnya kepada Nabi Muhammad SAW pada garis besarnya

berisi: aqidah, prinsip-prinsip keimanan yang perlu diyakini oleh setiap mu’min;

hukum-hukum syari’at yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, dan

hubungan manusia dengan alamnya; akhlak, tuntunan budi pekerti luhur; ilmu

90
Hassan Hanafi, Islamologi 3 Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, hlm. 31.
91
Hassan Hanafi, Islamologi 3 Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, hlm. 109-110.
79

pengetahuan; sejarah tentang umat-umat terdahulu sebagai pelajaran; informasinya

tentang hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan datang.

Ketika wahyu merupakan sumber pengetahuan bagi kaum muslimin, dan

dijadikan sebagai data yang sempurna, tanpa ada pengkritisan atasnya, maka

muncullah totalitas ilmu yang bertitik sentral pada sumber ini. Ilmu tidak tumbuh

dari alam dan pembacaan atas peristiwa-peristiwa natural, atau dari rasio formal

dan sistem keteraturan. Akan tetapi, ia tumbuh dari wahyu (al-Qur’an) dalam

bentuk lingkaran kecil yang berangsur-angsur menjadi besar hingga tuntas sebagai

konstruksi ilmu.92

Hassan Hanafi mengatakan, wahyu adalah kebenaran yang diberikan

terlebih dahulu untuk memberikan kesatuan sumber, kesatuan pemahaman, dan

kesatuan aksi pada pemahaman manusia.93 Kadangkala perkembangan wahyu

dalam sejarah disebutkan tanpa menyebut nama nabi. Ini menunjukkan bahwa nabi

hanyalah sarana dan bukan sebagai tujuan. Nabi hanyalah seorang manusia. Semua

cahaya dituangkan kepada wahyu itu sendiri. Wahyu adalah suatu firman yang

diumumkan oleh lisan manusia dalam telinga orang lain.94

Wahyu dalam mengungkapkan tujuannya adalah kehidupan manusia, dan

orientasinya adalah kesejahteraan manusia. Wahyu adalah intensionalitas

kemanusiaan.95 Kita temukan juga bahwa Allah menjadikan manusia sebagai

92
Hassan Hanafi, Islamologi 3 Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, hlm. 110.
93
Hassan Hanafi, Tafsir Fenomenologi, (Yogyakarta: Pesantren Pasca Sarjana Bismillah
Press, 2001), hlm. 36.
94
Hassan Hanafi, Tafsir Fenomenologi, hlm. 42.
95
Hassan Hanafi, Tafsir Fenomenologi, hlm. 42.
80

tujuannya, kehidupan manusia sebagai batas, kebahagiaan manusia sebagai

orientasi sasaran, dan dia berbicara kepada manusia berdasarkan bahasa manusia.

Menurut Hassan Hanafi, dalil kebenaran wahyu adalah dalil esoteris, yaitu

pembenaran wahyu dengan akal dan realisasinya dengan tindakan praksis. Dengan

kata lain, dalil tersebut adalah dalil kemanusiaan, yaitu esensi wahyu dari segi

kebenarannya dalam realitas dan metaforisnya dalam estetika. Oleh karena itu,

wahyu dari segi isi, yakni suatu pikiran, dan dari segi bentuk, yaitu model-model

dan pembentukan, diturunkan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia.96 lebih

lanjut Hassan Hanafi mengatakan bahwa wahyu berdiri diatas rasio. Oleh karena

itu, wahyu tidak akan menghadirkan sesuatu yang tidak dapat diterima oleh rasio.

Namun, rasio mampu untuk sampai pada setiap apa yang diberikan oleh wahyu.97

Proses penurunan wahyu dari Allah kepada manusia dilakukan secara

sistematis, dan disebut juga dengan at-tanzil. Atau dengan bahasa logika yaitu dari

pikiran menuju realitas. Sedangkan kaum mistikus terkesan mengekspresikan

wahyu sebagai ilmu pengetahuan, bagi at-ta’wil atau alegori. Artinya, meregresi

teks pada sumber pertamanya, perpindahan dari huruf ke makna, dari tekstual ke

metafora, dari eksoterik ke esoterik, dari wahyu ke yang mengirimkan wahyu, dari

dunia ke akhirat dan dari realitas ke pikiran.98

Hassan Hanafi beranggapan bahwa sebenarnya wahyu bukanlah suatu

kejadian yang luar biasa dalam sejarah. Semua kejadian sejarah berada pada tingkat

yang sama dan jenis yang sama. Demikian pula, perbuatan Tuhan atau bahkan

96
Hassan Hanafi, Islamologi 3 Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, hlm. 79.
97
Hassan Hanafi, Islamologi 2 Dari Rasionalisme ke Empirisme, hlm. 174.
98
Hassan Hanafi, Islamologi 2 Dari Rasionalisme ke Empirisme, hlm. 339.
81

wujud Tuhan bukan merupakan wahyu, sebab hal itu mengungkapkan sesuatu yang

bersifat ketuhanan kepada manusia, bukan sesuatu yang berada dalam alam

kemanusiaan. Wahyu bukanlah obyek nyata yang dapat diraba, melainkan lebih

bersifat akustik, yakni kata-kata yang memiliki bunyi dan arti.99

Wahyu dalam Islam menerangkan dan menetapkan cinta kasih dalam

hakikat manusia, menegaskan otonomi kesadaran manusia dan kebebasan pikiran

serta kemauan manusia. Apa yang telah ingin dikatakan Tuhan dalam wahyu

sekarang ini menjadi obyek pengetahuan manusia dan motivasi bagi tindakan

manusia. Wahyu dalam Islam mengumumkan datangnya abad pemikiran, abad ilmu

pengetahuan, dan abad kebebasan.100

Hassan Hanafi mengatakan, wahyu bahwasanya ditujukan untuk semua

umat manusia tanpa memandang perbedaan tingkat pendidikan dan kemampuan

dalam pemahaman. Karena itulah dalam wahyu tidak digunakan bahasa yang

formal dan setiap gagasan tidak dinyatakan dalam dalil-dalil, melainkan dipakai

perumpamaan sebagai alat untuk mengungkapkan gagasan.101

Mendengarkan wahyu bukan hanya memahaminya, tetapi juga

mempraktekkannya. Iman tidak mau mengatakan secara sederhana suatu afirmasi

teoritik tentang wahyu, tetapi juga realisasi praktiknya. Kemudian, tujuan akhir

wahyu setelah diterima dan dipahami adalah diwujudkan dalam amal di dunia.

99
Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi I, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 3-
4.
100
Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi I, hlm. 17.
101
Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi I, hlm. 18.
82

Wahyu tidak pernah diambil sebagai kegunaan praktik dalam kehidupan, tetapi

sebaliknya yaitu sebagai sumber keuntungan material yang nyata.102

3. Kebebasan Manusia dan Takdir

Sebagai khalifah Tuhan di muka bumi ini, manusia dikaruniai Tuhan dengan

dua buah hadiah yang sangat istimewa; yang pertama adalah kebebasan dan yang

kedua adalah ilmu pengetahuan.

Kebebasan manusia bersandar pada kenyataan bahwa manusia bukan hanya

makhluk fisik jasmani, tetapi juga makhluk rohani dengan memiliki sumber rohani,

maka manusia tidak sepenuhnya tunduk pada hukum yang berlaku pada alam fisik.

Dengan sifatnya yang seperti itu, maka Tuhan mengkaruniai manusia dengan

kebebasan yang seperti itu, yakni kebebasan terbatas untuk memilih, sebagai hadiah

yang diberikan hanya kepada manusia. Kebebasan adalah amanat yang tidak mau

diemban oleh langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi hanya manusia yang menjadi

makhluk moral yang bisa diberi sifat baik atau sifat jahat, tergantung perbuatan

mana yang ia pilih secara sadar.103

Manusia tidak dipaksa Tuhan untuk mengerjakan ini atau itu, tetapi manusia

dapat memilih perbuatan ini atau itu. Dan baik buruknya manusia ditentukan oleh

pilihannya tersebut. Kalau manusia tidak punya kebebasan untuk memilih, maka

berarti manusia telah ditentukan dari semula untuk melakukan ini dan itu. Ini berarti

manusia pada hakikatnya tidak punya kekuatan apapun terhadap apa yang

102
Hassan Hanafi, Tafsir Fenomenologi, hlm. 37.
103
Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, (Jakarta: Ciputat Pers, 2001), hlm. 105-106.
83

dilakukannya. Ia tidak akan mampu mengubah suatu apapun, dan cara berada

manusia seperti itu tak ubahnya seperti cara berada benda-benda mati.

Kesadaran manusia mengenai apa yang ia lakukan di dunia akan

menghasilkan keabadian. Keabadian merupakan perbuatan manusia dalam sejarah

peradaban. Melalui perbuatan atau tindakan, manusia dapat mengenali antara yang

faktual dan yang ideal, dan dapat mentransformasikan yang hanya merupakan

proyeksi menjadi kesatuan yang sebenarnya. Kesadaran tidak pernah bersifat pasif.

Menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Kesadaran tidak seperti cermin atau

foto. Kesadaran merupakan praksis atau tindakan. Untuk itu terdapat interaksi

antara tindakan kesadaran (noesis) dan objek kesadaran (noema). Namun demikian,

interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerja sama antara dua unsur yang sama-

sama penting karena pada akhirnya hanya ada kesadaran. Objek yang disadari

(noema) hanyalah suatu ciptaan kesadaran.104

Menurut Hassan Hanafi manusia mempunyai kebebasan dan kesadaran

terhadap tanggung jawab. Manusia adalah bebas, sedangkan kebebasan adalah

sebuah tanggung jawab dan tuntutan.105 Lebih lanjut menurut Hassan Hanafi

manusia mempunyai kekuatan dalam menentukan baik sebelum maupun ketika

bertindak. Golongan Mu’tazilah mempunyai pandangan bahwa manusia

mempunyai kebebasan yang bertanggung jawab, sementara dunia Islam sedang

dalam menghadapi krisis kebebasan dan demokrasi.106

104
Hassan Hanafi, Islamologi 3 Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, hlm. xxii.
105
Hassan Hanafi, Islamologi 3 Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, hlm. 29.
106
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis
Atas Pemikiran Hassan Hanafi, hlm. 45.
84

Hassan Hanafi mengatakan bahwa mengenai persoalan “tindakan”, kita

mewarisi konsepsi Asy’ariah. “Allah berkuasa atas segala sesuatu”: berkuasa untuk

menciptakan dan tidak menciptakan sesuatu, mematikan dan menghidupkan

manusia, bahkan berkuasa untuk menemukan sesuatu yang tidak ditemukan, dan

berkuasa untuk tidak menemukan apa yang akan ditemukan. Asy’ariah

mengingkari kekuasaan dan kemampuan manusia sebelum dan sesudah melakukan

tindakan. Asy’ariah menetapkan kekuasaan manusia hanya pada saat melakukan

tindakan tanpa mempunyai kekuasaan untuk menghadirkan tindakan. Adanya

kesesuaian yang murni akan memungkinkan kekuasaan teologis berinteraksi dan

menciptakan sebuah tindakan.107

Karena nasib buruk yang telah dialami oleh Asy’ariah, kaum Mu’tazilah

tidak bertahan lama untuk menetapkan kemampuan kesadaran kita sebelum dan

sesudah tindakan, pertanggungjawaban manusia atas tindakan-tindakannya pada

masa lampau dan yang akan datang melalui jalan reproduksi sehingga manusia

mempunyai sejarah dan tempat berjalan, dan tindakan mempunyai sarana-sarana

sehingga bisa berjalan terus-menerus.108

Menurut Hassan Hanafi, dalam masyarakat modern, manusia membutuhkan

otonomi dalam berpikir dan bertindak agar individu memperoleh kebebasan.

Selanjutnya, ia dituntut untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas tindakan bebas

itu. Untuk itu, kata Hassan Hanafi sekarang dibutuhkan teologi yang memberikan

107
Hassan Hanafi, Islamologi 3 Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, hlm. 123.
108
Hassan Hanafi, Islamologi 3 Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, hlm. 123.
85

otonomi pada individu untuk bebas dalam berpikir dan bertindak sesuai dengan

pilihannya.109

Lebih lanjut menurut Hassan Hanafi, manusia adalah makhluk yang bebas.

Namun, dari kebebasan tersebut manusia memiliki sebuah tanggung jawab yang

harus dipikulnya, dan ia sendirilah yang bertanggung jawab atas segala perbuatan-

perbuatannya. Maka setiap manusia menanggung perhitungan atas dosa-dosanya

sendiri, dan tidak menanggung dosa dari orang lain.110

109
Moh. Nurhakim, Islam, Tradisi dan Reformasi: Pragmatisme Agama dalam Pemikiran
Hassan Hanafi, (Jawa Timur: Bayumedia Publishing, 2003), hlm. 141.
110
Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi I, hlm. 72.
BAB IV

PERBANDINGAN TEOLOGI ISLAM HARUN NASUTION DAN

HASSAN HANAFI

A. Persamaan dalam Pandangan Fungsi Akal

Dalam pemikiran teologi Islam Harun Nasution dan Hassan Hanafi, akal

adalah suatu daya yang dimiliki oleh manusia. Keduanya memiliki pandangan

bahwa akal merupakan suatu daya yang diberikan oleh Tuhan, dan dengan akal

manusia dapat memperoleh pengetahuan.

Kedudukan tinggi bagi akal dan perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan

sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadis, bukan hanya merupakan ajaran

dalam teori, tetapi ialah ajaran yang telah pernah diamalkan oleh para cendikiawan

dan ulama Islam pada zaman klasik, dan seterusnya pengaruh pemakaian akal dan

peradaban Islam itu kepada kebebasan dalam berfikir.

Harun Nasution sebagai seorang cendikiawan sangat menjunjung tinggi

nilai-nilai rasionalitas. Dalam sejarah peradaban manusia, hanya pemikiran rasional

yang mampu memajukan masyarakat. Bagi Harun Nasution, Pemikiran rasional

mengembangkan berbagai teori pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi manusia

dalam mengembangkan peradabannya. Dan pemikiran rasional baginya, adalah

jalan untuk memperoleh iman sejati. Harun Nasution berpendapat bahwa selama ini

umat Islam belum menggunakan potensi pemikiran rasional dengan optimal. Hal

ini menjadi perbedaan mendasar antara Barat dan Timur, yaitu penggunaan akal

secara maksimal. Masyarakat Barat menjadikan akal sebagai landasan dalam

86
87

pemikiran sehingga melahirkan karya-karya inovatif yang mendukung peradaban

mereka.1

Harun Nasution lebih lanjut berasumsi bahwa pemaksimalan pemakaian

akal dan berpikir teologi secara rasional dalam menuntut ilmu pengetahuan akan

berdampak pada perbaikan akhlak dan peningkatan kemakmuran dalam

masyarakat. Sebab berbagai aspek ajaran agama yang ada dalam Islam dipandang

Harun Nasution memiliki dimensi akhlak di belakangnya. Dan hal ini hanya dapat

dipahami jika sebuah pendidikan diberikan dengan menekankan penggunaan akal

dan rasionalitas.2

Dengan akal, manusia mempunyai kebudayaan dan peradaban yang tinggi.

Akal manusia lah yang mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan

kemudian ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat manusia dapat mengubah

dan mengatur alam sekitarnya untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya baik pada

masa kini maupun pada masa mendatang.

Pengetahuan yang diperoleh akal menurut Harun Nasution bersifat relatif,

artinya mungkin benar dan mungkin juga salah.3 Selain tidak hanya untuk

memperoleh pengetahuan keduniaan saja, akal dapat pula mengetahui empat

masalah dasar dan pokok dalam agama. Masalah dasar dan pokok bagi agama yaitu,

pertama, mengetahui adanya Tuhan pencipta alam semesta, kedua, mengetahui

kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan, ketiga, mengetahui mana

1
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution,
(Bandung: Mizan, 1995), hlm. 287.
2
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution,
hlm. 60.
3
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 2011), hlm. 1.
88

perbuatan baik dan mana perbuatan jahat, dan keempat, akal dapat pula mengetahui

bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk melakukan perbuatan baik dan

kewajiban untuk menjauhi perbuatan jahat.4

Dan jika kita telusuri juga pemikiran Hassan Hanafi tentang akal. Hassan

Hanafi berpendapat bahwa, akal merupakan suatu yang penting, pentingnya akal

adalah untuk membangun pengetahuan, pengetahuan kegamaan dan menegakkan

keadilan. Akal menurutnya tidak bisa dibatasi dengan kawasan sempit spekulasi

rasional dan intelektual yang mengontrol pemikiran. Namun akal juga berkaitan

dengan insting spiritual.5 Hassan Hanafi menekankan bahwa rasionalisme sangat

diperlukan untuk revitalisasi khazanah Islam. Rasionalisme adalah keniscayaan

untuk kemajuan dan kesejahteraan muslim serta untuk memecahkan situasi

kekinian didalam dunia Islam.

Hassan Hanafi memiliki perhatian yang besar terhadap golongan Mu’tazilah

dalam pemakaian akal. Hassan Hanafi masih mempertahankan pola pikir

Mu’tazilah untuk dipopulerkan kembali karena sifat rasionalnya. Sistem mu’tazilah

dipandang sebagai refleksi gerakan rasionalisme, naturalisme dan kebebasan

manusia. Meski dalam konteks ini Hanafi tidak mengulang secara mutlak ajaran

Mu’tazilah. Minimal semangat rasionalnya yang dapat diambil. Akibatnya konsep-

konsep tertentu dalam doktrin Mu’tazilah ditonjolkan kembali sebagai landasan

inspiratif rekontruksi kalam.6

4
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution,
hlm. 142.
5
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis
Atas Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogyakarta: LKIS ,1993), hlm. 69-70.
6
Muhammad Mansur, Kritik Hassan Hanafi atas Pemikiran Kalam Klasik, Esensia
Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. 1, No. II, Juli 2000, hlm. 222.
89

Akal merupakan sarana untuk memahami prilaku, sehingga manusia tidak

menjadi seperti robot atas perintah-perintah. Metode akal ialah metode manusiawi

yang bertujuan untuk membela hak-hak manusia, akal, kebebasan, dan

musyawarah. Akal ini juga membentuk peradaban dan tingkat kemajuan yang

diukur dengan tingkat rasionalnya.7

Hassan Hanafi mengatakan, akal dan kenyataan merupakan dasar

penerimaan kebenaran, pengetahuan mengenai yang benar dan yang salah tidak

datang dari atas, melainkan dari perenungan atas data-data pemikiran dan

kenyataan. Pengetahuan teoritis tidak merupakan anugerah, melainkan diperoleh

melalui analisis rasional yang cermat terhadap ide-ide dan kenyataan dan dengan

meneliti terjadinya berbagai peristiwa. Ini tidak berarti penolakan terhadap adanya

ukuran-ukuran kebenaran dan garis-garis yang mengatur pemikiran. Ini semua ada,

dan muncul dari tabiat akal sendiri dan ditangkap dengan intuisi, tidak berasal dari

luar. Jadi, sesuatu yang baru dikatakan benar, manakala akal telah menyelidikinya

dan membuktikannya dalam kenyataan bahwa itu memang benar.8

Dari argumen-argumen diatas Hanafi mengingatkan bahwa kita tidak boleh

berharap dapat mengembangkan ilmu dan mendambakan kemajuan jika belum

memiliki sikap rasional, karena ilmu merupakan kelanjutan akal. Dan hanafi

mengatakan akal merupakan petunjuk bagi hidup ijtihad manusia.

7
Hassan Hanafi, Dari Aqidah Ke Revolusi, (Jakarta Selatan: Paramadina, 2003), hlm.188-
189.
8
Hassan Hanafi, Min al-Aqidah Ila al-Tsawrah; Muhawalatun Li I’adat Bina’ Ushul al-
Din, (Kairo: Maktabah Madbuli, 1988), hlm. 8.
90

B. Perbedaan Pandangan Tujuan Diturunkannya Wahyu

Ketika membahas tentang wahyu, Harun Nasution tidak mengesampingkan

pendapat akal. Wahyu tidak luput dari jalinan hubungannya dengan akal.

Menurutnya, dalam Islam wahyu dan akal menjalin hubungan persaudaraan. Dalam

persaudaraan itu, akal menjadi tulang punggung agama yang terkuat, dan wahyu

sendiri yang utama. Akal tetap akan tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu tetap

dianggap mutlak benar. Akal hanya dipakai untuk memahami teks wahyu. Akal

hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderunan dan

kesanggupan pemberi interpretasi.9

Satu dari peran terpenting agama atau wahyu adalah menjelaskan

kekurangan dan keterbatasan akal. Wahyu meliputi seluruh dimensi dan potensi

berpikir manusia. Karenanya, wahyu juga kerap mengingatkan soal keterbatasan

akal agar manusia tidak sampai gegabah dan menerawangi ranah yang pada

hakikatnya mustahil dijamah oleh akal.

Menurut Harun Nasution, salah satu bentuk kontribusi yang dimiliki oleh

wahyu untuk akal ialah bahwa wahyu dapat menguatkan pendapat akal melalui sifat

sakral dan absolut yang terdapat dalam wahyu. Sifat sakral dan absolut lah yang

membuat orang mau tunduk kepada sesuatu. Wahyu diperlukan untuk memperkuat

apa yang diketahui oleh golongan kaum khawas, untuk memberikan kekuatan yang

sakral kepada hukum serta peraturan-peraturan yang mereka buat dan untuk

memaksa manusia agar tunduk kepada hukum dan peraturan-peraturan tersebut.10

9
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, hlm. 101.
10
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI
Press, 1987), hlm. 62.
91

Wahyu juga bertujuan untuk menyempurnakan pengetahuan akal dalam

mengetahui sifat-sifat Tuhan.

Selain itu, Harun Nasution mengatakan bahwa wahyu menolong akal untuk

mengetahui alam akhirat dan keadaan hidup manusia disana, untuk mengetahui sifat

kesenangan serta kesengsaraan dan bentuk perhitungan yang akan dihadapinya di

hidup kedua nanti. Sungguhpun itu semua sulit untuk dipahami oleh akal, akan

tetapi menurut Harun akal dapat menerima adanya hal-hal itu.11

Wahyu sebagai pemberi informasi kepada akal dalam mengatur masyarakat

atas dasar prinsip-prinsip umum yang sudah diwahyukan, dalam mendidik manusia

untuk hidup dalam damai dengan sesamanya dan dalam membukakan rahasia cinta

yang menjadi dasar ketentraman hidup dalam masyarakat. Menurutnya, wahyu

selanjutnya membawa syariat yang mendorong manusia untuk melaksanakan

kewajiban seperti kejujuran, berkata benar, menepati janji, dan lain sebagainya.12

Berlainan dari apa yang telah dikemukakan oleh Harun Nasution diatas,

Hassan Hanafi mempunyai pandangannya sendiri, Hassan Hanafi mengatakan,

yang paling utama dari diturunkannya wahyu yaitu untuk membuka selubung

manusia, mengisi makna pilihan-pilihan kepercayaan agar turut terlibat dalam

melengkapi kepercayaannya di atas bumi ini sebagai kebaktiannya terhadap Tuhan

dan realisasi Kehendak-Nya.13

11
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 60.
12
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 60.
13
Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi I, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm.
71.
92

Ketika wahyu merupakan sumber pengetahuan bagi kaum muslimin, dan

dijadikan sebagai data yang sempurna, tanpa ada pengkritisan atasnya, maka

muncullah totalitas ilmu yang bertitik sentral pada sumber ini. Ilmu tidak tumbuh

dari alam dan pembacaan atas peristiwa-peristiwa natural, atau dari rasio formal

dan sistem keteraturan. Akan tetapi, ia tumbuh dari wahyu (al-Qur’an) dalam

bentuk lingkaran kecil yang berangsur-angsur menjadi besar hingga tuntas sebagai

konstruksi ilmu.14

Wahyu dalam Islam menerangkan dan menetapkan cinta kasih dalam

hakikat manusia, menegaskan otonomi kesadaran manusia dan kebebasan pikiran

serta kemauan manusia. Bagi Hassan Hanafi Apa yang telah ingin dikatakan Tuhan

dalam wahyu sekarang ini menjadi obyek pengetahuan manusia dan motivasi bagi

tindakan manusia. Wahyu dalam Islam mengumumkan datangnya abad pemikiran,

abad ilmu pengetahuan, dan abad kebebasan.15

Pemikiran Hassan Hanafi sebenarnya ingin mentransformasikan wahyu

menjadi suatu ideologi, tetapi dianggap tidak sejalan dengan cara penafsiran yang

lazim digunakan dalam tradisi Islam.16 Menurutnya, wahyu dapat membebaskan

seluruh umat manusia dari semua kungkungan eksternal yang berasal dari alam atau

pribadi. Semua klaim wahyu yang mengafirmasi superioritas seseorang atas orang

14
Hassan Hanafi, Islamologi 3 Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, (Yogyakarta:
LKiS, 2004), hlm. 110.
15
Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi I, hlm. 17.
16
Moh. Nurhakim, Islam, Tradisi dan Reformasi: Pragmatisme Agama dalam Pemikiran
Hassan Hanafi, (Jawa Timur: Bayumedia Publishing, 2003), hlm. 80.
93

lain atau menjadikan nabi-nabi atau malaikat sebagai Tuhan bukanlah wahyu

otentik.17

Hassan Hanafi mengatakan, wahyu adalah kebenaran yang diberikan

terlebih dahulu untuk memberikan kesatuan sumber, kesatuan pemahaman, dan

kesatuan aksi pada pemahaman manusia.18 Wahyu dalam mengungkapkan

tujuannya adalah kehidupan manusia, dan orientasinya adalah kesejahteraan

manusia. Wahyu adalah intensionalitas kemanusiaan, diturunkan untuk

mewujudkan kesejahteraan manusia.19

Hassan Hanafi juga mengatakan, didalam al-Qur’an, wahyu itu sebenarnya

satu, tapi diturunkan dalam beberapa kali antara waktu, sesuai dengan tingkat

kemajuan kesadaran umat manusia. Hal ini dimaksudkan untuk membebaskan

kesadaran ini dari segala penindasan, baik penindasan material, sosial, maupun

politik, agar dapat menangkap adanya transendensi dan dengan demikian juga dapat

memahami bidang hukum moral. Karena pembebasan ini manusia akan berada di

tepi dua dunia: dunia nyata dan dunia ideal. Maka, misi wahyu akan selesai jika

kesadaran manusia telah menjadi otonom, jika manusia menjadi rasional dan

bebas.20

C. Persamaan Pandangan Bahwa Manusia Memiliki Kebebasan

Manusia selain mempunyai daya berfikir, juga mempunyai kebebasan

memilih yang merupakan sifat dasar alami yang mesti ada dalam diri manusia.

17
Hassan Hanafi, Tafsir Fenomenologi, (Yogyakarta: Pesantren Pasca Sarjana Bismillah
Press, 2001), hlm. 35.
18
Hassan Hanafi, Tafsir Fenomenologi, hlm. 36.
19
Hassan Hanafi, Tafsir Fenomenologi, hlm. 42.
20
Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi I, hlm. 57-58.
94

kalua sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya dia bukanlah manusia lagi, tetapi

menjadi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat

perbuatan yang akan dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan

kemauannya sendiri dan selanjutnya mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang

ada dalam dirinya.

Dalam membicarakan perbuatan manusia di Risalah Al-Tauhid,

Muhammad Abduh mengatakan bahwa sebagaimana manusia tahu akan wujudnya

tanpa memerlukan bukti apa pun, begitu pulalah ia mengetahui adanya perbuatan

atas pilihannya sendiri dalam dirinya. Dan hukum alamlah yang menentukan

adanya perbuatan atas pilihannya sendiri itu dalam diri manusia.21

Menurut Harun Nasution manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan

dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham Harun ini manusia

mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-

perbuatannya. Dan dalam pandangan ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya.

Ia berbuat baik adalah atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Demikian pula ia

berbuat jahat atas kemauan dan kehendaknya sendiri.22

Bagi Harun Nasution, kemauan dan daya untuk mewujudkan suatu

perbuatan manusia adalah kemauan dan daya manusia sendiri dan tak turut campur

dalamnya kemauan dan daya Tuhan. Oleh karena itu, perbuatan manusia adalah

sebenarnya perbuatan manusia dan bukan perbuatan Tuhan.23

21
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 65.
22
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
UI Press, 2016), hlm. 35.
23
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 105.
95

Paham Qadariah yang dianut Harun Nasution ini mendasarkan

pemikirannnya atas keadilan Allah, karena Allah itu adil, maka Ia akan memberi

pahala kepada orang yang berbuat baik dan siksa kepada orang yang berbuat dosa.

Allah memberikan kemampuan dan kebebasan kepada manusia dalam menentukan

pilihannya apakah akan berbuat baik atau berbuat buruk. Kalau kemampuan ini

tidak diberikan Allah, maka manusia ditentukan segala perbuatannya oleh Allah.

Dengan begitu, Allah zalim apabila menghukum manusia.

Sebagai makhluk yang memiliki kebebasan dalam perbuatan, manusia

waijb pula bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Harun Nasution mengatakan

bahwa kemauan manusia bebas untuk berbuat atau tidak berbuat, sehingga manusia

bertanggung jawab sepenuhnya terhadap perbuatannya, manusia berhak menerima

pujian dan pahala atas segala perbuatannya yang baik dan menerima celaan serta

hukuman atas perbuatannya yang salah atau dosa. Begitu juga menurut Hassan

Hanafi, bahwa manusia menurutnya adalah bebas, tapi dalam kebebasan tersebut

manusia mempunyai tanggung jawab atas segala perbuatan-perbuatannya, dan ia

mempunyai kekuatan untuk menentukan baik sebelum maupun ketika bertindak.24

Manusia ada melalui kehendak bebas yang dimilikinya, kebebasan manusia

sama dengan kepercayaan kepada Tuhan. Manusia tidak dapat mempertanggung

jawabkan perbuatannya di dunia tanpa kemampuan bertanggung jawab dan

pertanggung jawaban memerlukan kebebasan. Kebebasan manusia diperkuat dan

dibenarkan oleh hukum alam.25 Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya

24
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis
Atas Pemikiran Hassan Hanafi, hlm. 95.
25
Hassan Hanafi, Agama Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta: P3M, 1991), hlm. 27-28.
96

dibatasi oleh hukum alam. Pertama-tama manusia tersusun dari materi. Materi

adalah terbatas, dan mau tak mau, manusia sesuai unsur materinya bersifat terbatas.

Manusia hidup dengan dilingkungi oleh hukum-hukum alam yang diciptakan

Tuhan. Hukum alam ini tidak dapat diubah oleh manusia. Maka, manusia harus

tunduk kepada hukum alam itu.

Menurut Hassan Hanafi, dalam ilmu kalam klasik, Tuhan dikonsepsikan

sebagai zat yang serba absolut. Tuhan menentukan segala-galanya. Tuhan

mengetahui segala sesuatu. Sementara itu, manusia tidak memiliki kebebasan,

kehendak, perbuatan apa pun, kecuali ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan

(predestination). Manusia yang dikontruks pemikirannya dengan konsepsi tersebut,

menurut Hassan Hanafi, tidak akan mampu menghadapi penindasan dan

imperialisme. Untuk itu, diperlukan doktrin teologis yang membebaskannya.

Manusia diberi kebebasan oleh Tuhan untuk berkehendak dan berbuat. Mereka

diberi hak untuk memilih dan menentukan jalan hidupnya, tetapi tetap dimintai

pertanggungjawaban oleh Tuhan.26

Untuk lebih mudah dan jelasnya perbandingan pemikiran teologi Islam

mengenai akal, wahyu, dan kebebasan manusia menurut Harun Nasution dan

Hassan Hanafi, penulis menyajikannya dalam bentuk tabel dibawah ini, agar

pembaca dapat dengan mudah memahami perbandingan kedua tokoh tersebut :

26
Moh. Nurhakim, Islam, Tradisi dan Reformasi: Pragmatisme Agama dalam Pemikiran
Hassan Hanafi, hlm. 139.
97

Perbandingan akal, wahyu, dan kebebasan manusia menurut Harun

Nasution dan Hassan Hanafi

NO Aspek Harun Nasution Hassan Hanafi

1 Fungsi Akal • Memperoleh pengetahuan yang • Memperoleh pengetahuan

bersifat relatif dengan analisis rasional

2 Tujuan • Menyempurnakan akal • Sumber pengetahuan

Diturunkan • Memperkuat akal • Mewujudkan kesejahteraan

Wahyu manusia

3 Manusia • Manusia bebas dan merdeka • Manusia bebas dalam berpikir

Memiliki • Bertanggung jawab atas dan bertindak

Kebebasan perbuatannya • Kebebasan memiliki

tanggung jawab
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dari pemikiran Teologi Islam Harun Nasution dan

Hassan Hanafi yang telah dipaparkan oleh penulis, maka pada bab ini penulis

mengambil beberapa kesimpulan dari pembahasan diatas sebagai berikut:

Pertama, pemikiran Harun Nasution tentang teologi Islam bercorak

rasional. Bagi Harun Nasution persoalan akal dan wahyu sangat dibutuhkan dalam

membahas dan memahami tentang teologi Islam. Dalam Islam, akal dan wahyu

menjalin hubungan persaudaraan. Dalam persaudaraan itu, akal menjadi tulang

punggung agama yang terkuat, dan wahyu sendiri yang utama. Harun Nasution

mengatakan bahwa wahyu yang bersumber dari Tuhan ditujukan kepada umat

manusia untuk menjadi pedoman dan pegangan hidup, kemudian akal yang yang

ada dalam diri manusia berusaha keras untuk sampai kepada Tuhan. Selanjutnya,

dalam sistem teologi Harun Nasution manusia juga mempunyai kebebasan dalam

kehendak atau disebut dengan free will dan kebebasan dalam perbuatan yang

disebut dengan free act.

Kedua, teologi Islam dalam pandangan Hassan Hanafi, mengedepankan

penggunaan rasio untuk membangun pengetahuan keagamaan dan menegakkan

keadilan. Dan dengan rasio aktif lah manusia mampu melahap ilmu-ilmu dan

pengetahuan. Rasio aktif adalah rasio yang menentukan nasib dan kapabilitas

manusia. Bagi Hassan Hanafi, wahyu merupakan sumber pengetahuan bagi kaum

98
99

muslimin. Dalam pandangannya, wahyu adalah kebenaran yang diberikan terlebih

dahulu untuk memberikan kesatuan pemahaman. Wahyu bahwasanya ditujukan

untuk semua umat manusia tanpa memandang perbedaan tingkat pendidikan dan

kemampuan dalam pemahaman. Maka dari itu Hassan Hanafi memiliki keinginan

mentransformasikan wahyu menjadi suatu ideologi, untuk dapat membebaskan

seluruh umat manusia terutama kaum Muslimin dari semua kungkungan eksternal

yang berasal dari alam atau pribadi. Hassan Hanafi sangat menjunjung tinggi

kebebasan manusia, namun dalam kebebasan manusia tersebut, terdapat tuntutan

untuk bertanggung jawab atas kebebasan perbuatannya.

B. Saran

Kajian tentang teologi bukanlah sesuatu hal yang baru dalam dunia Islam.

Pembahasan teologi sudah menjadi perbincangan dan perdebatan bagi para

pemikir-pemikir Islam dari masa ke masa, baik dalam bidang akademik maupun

nonakademik. Penelitian yang telah penulis selesaikan ini hanyalah sedikit

gambaran dari luasnya pengetahuan tentang teologi. Penulis berharap skripsi ini

sekiranya dapat memberikan motivasi bagi pembaca untuk meneliti pemikiran

tokoh-tokoh teologi seperti Harun Nasution dan Hassan Hanafi, serta dapat

menambah ketertarikan minat terhadap ilmu teologi Islam, sehingga perkembangan

ilmu teologi Islam tidak akan memudar dan luntur dimakan zaman.

Penulis juga menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki banyak sekali

kekurangan dan jauh dari apa yang diharapkan. Dengan keterbatasan ilmu dan

kurangnya pengalaman yang penulis miliki, maka penulis berharap bagi para

pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun untuk melengkapi
100

kekurangan dari penelitian ini, sehingga penelitian ini dapat memberikan manfaat

yang seluas-luasnya bagi kita semua.


DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Sirajuddin, I’tikad Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah,

1991.

Abdullah, Amin, Falsafah Kalam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Ali, Mukti, Alam Pemikiran Islam Modern India dan Pakistan. Yogyakarta: Mizan,

1992.

Amirudin, M. Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Rahman. Yogyakarta: UII

Pers, 2000.

Aziz, Ahmad Amir, Neo-Modernisme Islam di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta,

1999.

Baharun, Hassan dan Akmal Mundiri, Metodologi studi Islam, Percikan Pemikiran

tokoh dalam Membumikan Agama, Cet III. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,

2014.

Ghalib, Achmad, Rekonstruksi Pemikiran Islam. Tangerang: UIN Jakarta Press,

2005.

Halim, Abdul, Teologi Islam Rasional. Jakarta: Ciputat Pers, 2001.

Hamersma, Heri, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia, 1983.

Hamzah, Teologi Sosial: Telaah Pemikiran Hasan Hanafi. Yogyakarta: Graha

Ilmu, 2013.

Hanafi, Ahmad, Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003.

Hanafi, Hasan, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, terj.

Miftah Faqih. Jakarta: Paramadina, 2003.

101
102

Hanafi, Hassan, Agama, Ideologi, dan Pembangunan. Jakarta: P3M, 1991.

Hanafi, Hassan, Dialog Agama dan Revolusi I. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.

Hanafi, Hassan, Islamologi 2 Dari Rasionalisme ke Empirisme. Yogyakarta: LKiS,

2007.

Hanafi, Hassan, Islamologi 3 Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme. Yogyakarta:

LKiS, 2004.

Hanafi, Hassan, Min al-Aqidah ila al-Tsawrah, terj. Asep Usman Ismail. Jakarta:

Paramadina, 2003.

Hanafi, Hassan, Min al-Aqidah Ila al-Tsawrah; Muhawalatun Li I’adat Bina’

Ushul al-Din. Kairo: Maktabah Madbuli, 1988.

Hanafi, Hassan, Studi Filsafat 1 Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer.

Yogyakarta: LKiS, 2015.

Hanafi, Hassan, Studi Filsafat 2: Pembacaan Atas Tradisi Barat Modern.

Yogyakarta: LKiS, 2015.

Hanafi, Hassan, Tafsir Fenomenologi. Yogyakarta: Pesantren Pasca Sarjana

Bismillah Press, 2001.

Jamrah, Suryan A, Studi Ilmu Kalam. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.

Madjid, Nurcholish, Islam Doktri dan Paradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf

Paramadina, 1992.

Mas’adi, Ghufron A, Ensiklopedi Islam, Cetakan III. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002.

Nasir, Sahilun A, Pemikiran Kalam (Teologi Islam). Jakarta: Rajagrafindo Persada,

2012.

Nasir, Sahilun A, Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: Rajawali Pers, 1991.


103

Nasution, Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press, 2011.

Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,

2010.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. Jakarta: UI Press,

2018.

Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun

Nasution. Bandung: Mizan, 1995.

Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI

Press, 1987.

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.

Jakarta: UI Press, 2016.

Nurhakim, Moh, Islam, Tradisi dan Reformasi: Pragmatisme Agama dalam

Pemikiran Hassan Hanafi. Jawa Timur: Bayumedia Publishing, 2003.

Poerwadarminta, W. J. S, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,

2002.

Rahman, Fazlur, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung: Pustaka, 1984.

Ridwan, A. H, Reformasi Intelektual Islam : Pemikiran Hassan Hanafi Tentang

Reaktualisasi Tradisi Keilmuwan Islam. Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998.

Romas, Chumaidi Syarif, Wacana Teologi Islam Kontemporer. Yogyakarta: Tiara

Wacana Yogya, 2000.

Rusli, Muh, Khazanah Teologi Islam Klasik dan Modern. Gorontalo: Sultan Amai

Press, 2015.

Rusli, Ris’an, Pemikiran Teologi Islam Modern. Depok: Prenamedia Group, 2018.
104

Rusli, Ris’an, Teologi Islam. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.

Said, Nurhidayat Muhammad, Pembaruan Pemikiran Islam Di Indonesia. Jakarta:

Pustaka Mapan, 2006.

Salih, Ahmad Gabbas, al-Yamin wa al-Yasar fi al-Islam. Beirut: al-Muassasa al-

Arabiyya li Dirasat wa al-Nasr, 1972.

Shah, Aunul Abied, Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam timur Tengah.

Bandung: Mizan, 2001.

Shimogaki, Kazuo, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah

Kritis Pemikiran Hassan Hanafi. Yogyakarta: LkiS, 1993.

Sholeh, A. Khudori, Filsafat Islam. Sleman: Ar-Ruzz Media, 2014.

Suminto, Aqib, Refleksi Pemikiran Pembaharuan Islam 70 Tahun Harun Nasution.

Jakarta: LSAF, 1989.

Yusuf, M. Yunan, Alam pikiran Islam Pemikiran Kalam. Jakarta: Prenadamedia

Group, 2014.

http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=310. Diakses pada 9 Agustus

2020.

JURNAL DAN SKRIPSI

Syarifuddin, Konsep Teologi Hassan Hanafi, Jurnal Substantia; Vol. 14 No. 2.

oktober 2012.

A. Luthfi Assyaukanie, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer, dalam

Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1, Nomor 1. Juli-Desember 1998.

Moh Hefni, Rekonstruksi Maqashid Al-Syariah (Sebuah Gagasan Hasan Hanafi

tentang Revitalisasi Turats). Jurnal al-Ihkam Vol.6 No.2 Desember 2011.


105

Muhammad Mansur, Kritik Hassan Hanafi atas Pemikiran Kalam Klasik, Esensia

Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. 1, No. II, Juli 2000.

Arfiansyah, Rekonstruksi Teologi Islam Hassan Hanafi. Skripsi Fakultas

Ushuluddin, Jurusan Aqidah dan Filsafat IAIN Ar-Raniry Banda Aceh,

2004.

Anda mungkin juga menyukai