Anda di halaman 1dari 150

HERMENEUTIKA DAN PENAFSIRAN

TERHADAP AYAT-AYAT KEWARISAN

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

NURUL HIDAYAH
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Program Studi: Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir

NIM: 180303067

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR – RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2022 M / 1443 H
SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat


UIN Ar-Raniry Sebagai Salah Satu Beban Studi
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S1)
dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir

Diajukan Oleh:

Nurul Hidayah
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Program Studi: Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
NIM: 180303067

Disetujui Oleh:

Pembimbing II,

Dr. Azwarfajri, S. Ag., M.Si

iv
Pembimbing I,
NIP. 197606162005011002

Prof. Dr. Fauzi, S.Ag.,Lc.,M.Ag

NIP.197405202003121001

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat


UIN Ar-Raniry Sebagai Salah Satu Beban Studi
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S1)
dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir

Diajukan Oleh:

Nurul Hidayah
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Program Studi: Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
NIM: 180303067

v
Disetujui Oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Fauzi, S.Ag.,Lc.,M.Ag Dr. Azwarfajri, S. Ag., M.Si


NIP.197405202003121001 NIP. 197606162005011002

SKRIPSI

Telah Diuji oleh Tim Penguji Munaqasyah Skripsi


Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry dan
Dinyatakan Lulus Serta Diterima sebagai Salah Satu Beban
Studi Program Strata Satu dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Prodi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir

Pada Hari / Tanggal : Jumat, 22 Juli 2022 M


23 Zulhijah 1443 H

di Darussalam - Banda Aceh


Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua, Sekretaris,

Prof. Dr. Fauzi, S.Ag.,Lc.,M.Ag Dr. Azwarfajri, S. Ag., M.Si


NIP. 197405202003121001 NIP. 197606162005011002
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI DAN SINGKATAN

A. TRANLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penulisan
dalam penulisan skripsi ini berpedoman pada transliterasi „Ali
„Audah1 dengan keterangan sebagai berikut:

Arab Transliterasi Arab Transliterasi


‫ا‬ Tidak disimbolkan ‫ط‬ T (titik di bawah)

‫ب‬ B ‫ظ‬ Z (titik di bawah)

‫ت‬ T ‫ع‬ „

‫ث‬ Th ‫غ‬ Gh

‫ج‬ J ‫ف‬ F

‫ح‬ H (titik di bawah) ‫ق‬ Q

‫خ‬ Kh ‫ك‬ K

‫د‬ D ‫ل‬ L

‫ذ‬ Dh ‫م‬ M

‫ر‬ R ‫ن‬ N

‫ز‬ Z ‫و‬ W

‫س‬ S ‫ه‬ H

‫ش‬ Sy ‫ء‬ ‟

‫ص‬ S (titik di bawah) ‫ي‬ Y

‫ض‬ D (titik di bawah)

1
„Ali „Audah, Konkordansi Qur‟an; Panduan dalam Mencari Ayat
Qur‟an, Cet ke-II, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1997), hlm. xiv.

v
Catatan :
1. Vokal tunggal
َ (fathah) = a misalnya, ‫ حدث‬ditulis hadatha
َ¸ (kasrah) = i misalnya, ‫ قيم‬ditulis qi>la
َ (dammah) = u misalnya, ‫ روي‬ditulis ruwiya
2. Vokal Rangkap
(‫( )ي‬fathah dan ya) = ay, misalnya, ‫ هريرة‬ditulis Hurayrah
(‫( )و‬fathah dan waw) = aw, misalnya, ‫ تىحيد‬ditulis tawhid
3. Vokal Panjang (maddah)
(‫( )ا‬fathah dan alif) = ā, (a dengan garis di atas)
(‫( )ي‬kasrah dan ya) = ī, (i dengan garis di atas)
(‫( )و‬dammah dan waw) = ū, (u dengan garis di atas)
Misalnya: ‫ معقىل‬ditulis ma‟qūl, ‫ برهان‬ditulis burhān, ‫ تىفيق‬ditulis
taufīq.
4. Ta’ marbu>t}ah (‫)ة‬
Ta’ marbu>t}ah hidup atau mendapatkan harakat fathah, kasrah
dan dammah, transliterasinya adalah (t), misalnya ‫االونى انفهسفة‬
ditulis al-falsafat al-ūlā. Sementara ta’ marbu>t}ah mati atau
mendapatkan harakat sukun, transliterasinya adalah (h),
misalnya: ‫ انفالس „فة ته„افت‬ditulis Tahāfut al-Falāsifah, ‫االناي„„ة دنيم‬
ditulis Dalīl al-Ināyah, ‫ االدنة مناهج‬ditulis Manāhij al-Adillah.
5. Tasydi>d
Tasydi>d yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan
lambang ّ’ , dalam transliterasi ini dilambangkan dengan huruf,
yakni yang sama dengan huruf syaddah, misalnya ‫ اسالمية‬ditulis
islāmiyyah.
6. Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
huruf ‫ ال‬transliterasinya adalah al, misalnya : ‫ اننفس‬ditulis al-
nafs, dan ‫ انكشف‬ditulis al-kasyf.

vi
7. Hamzah (‫)ء‬
Untuk hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata
ditransliterasikan dengan (‟), misalnya: ‫ مالئكة‬ditulis dengan
malāikah, ‫ ج„„زئ‬ditulis dengan juz‟i. Adapun hamzah yang
terletak di awal kata, tidak dilambangkan karena dalam bahasa
Arab, ia menjadi alif, misalnya: ‫ اختراع‬ditulis ikhtirā„.
B. Modifikasi
1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa
transliterasi, seperti Hasbie Ash Shiddieqy. Sedangkan nama-
nama orang lain ditulis sesuai kaidah penerjemahan. Contoh:
Mah}mu>d Syaltu>t.
2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia,
seperti Damaskus, bukan Dimasyq; Kairo, bukan Qahiran dan
sebagainya.
C. Singkatan
Swt : Subhānahu wa ta‟āla
saw : Sallallāhu „alaihi wa sallam
QS : Quran Surat
Ra : Radiyallahu „anhu
As : „Alaihis salam
HR : Hadis Riwayat
Terj : Terjemahan
t. th. : Tanpa tahun terbit

vii
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah Swt


yang telah memberikan kesehatan, kesabaran, dan ketabahan serta
melimpahkan rahmat dan kasih sayang kepada penulis yang telah
menyelesaikan skripsi ini. Selawat beriring salam penulis
persembahkan kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarga dan
sahabatnya sekalian yang telah membawa cahaya Islam ke seluruh
penjuru bumi.
Dengan izin Allah Swt serta bantuan semua pihak penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul:
Hermeneutika dan Penafsiran terhadap Ayat-ayat Kewarisan.
Karya tulis ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Agama pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-
Raniry Banda Aceh. Selesainya karya tulis ini juga tidak terlepas
dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu,
Pada tulisan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih
kepada:
Ayah dan Ibu tercinta, Syamsuddin dan Salmah, berkat doa
dan keikhlasannya mencurahkan kasih sayang, perhatian,
pengorbanan, dukungan serta nasehat yang tak henti-hentinya
diberikan, dengan penuh harap agar penulis dapat meraih cita-
citanya di dunia dan di akhirat. Terimakasih juga kepada adik
tercinta Epi, Hayat dan Mawaddah serta seluruh keluarga besar
yang terus memberikan semangat dalam menyelesaikan tulisan ini.
Terimakasih penulis ucapkan kepada dosen pembimbing
skripsi Bapak Prof. Dr. Fauzi, S.Ag., lc., M.Ag sebagai
pembimbing pertama dan Bapak Dr. Azwarfajri, S.Ag., M.Si
selaku pembimbing kedua yang rela meluangkan waktu untuk
membimbing dengan penuh kesabaran dan ketelitian dalam
mengoreksi, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Rasa terima kasih juga kepada Bapak Dr. Abdul Wahid
M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-
Raniry Banda Aceh, Bapak Dr. Muslim Djuned, M.Ag selaku

v
Ketua Prodi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Ibu Nurullah S.TH., MA
selaku Sekretaris Prodi, Bapak Furqan, Lc., M.A selaku Penasehat
Akademik, beserta staf dan para dosen yang senantiasa
memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang bermanfaat
bagi penulis.
Tidak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih kepada
Perpustakaan UIN Ar-Raniry, taman baca Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat dan juga Perpustakaan Wilayah yang telah memfasilitasi
data penelitian berupa buku, skripsi, disertasi maupun jurnal ilmiah
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Mauliza, Windy,
Maya, Lia, Nabel, Riska, kak Nasyrah serta teman-teman angkatan
lainnya yang turut membersamai dalam suka duka dunia
perkuliahan dan memberikan semangat serta bantuan dalam
menyelesaikan penelitian ini.
Terima kasih juga kepada teman-teman MUQ Langsa,
terutama kepada Khana, Meta, Yon, dan teman-teman lainnya yang
telah memberikan semangat kepada penulis sehingga penelitian ini
selesai.
Penulis mengakui bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan agar kiranya
bagi pembaca memberikan kritik dan saran, sehingga penulis
mengetahui kekurangan pada skripsi ini. Akhirnya, hanya kepada
Allah penulis berserah diri dan memohon pertolongan. Semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat khususnya kepada penulis,
dan umumnya kepada seluruh masyarakat. A>mi>n ya> rabbal ‘a>lami>n.

Banda Aceh, 1 Juli 2022


Penulis,

Nurul Hidayah
NIM.180303067

v
ABSTRAK

Nama / NIM : Nurul Hidayah / 180303067


Judul Skripsi : Hermeneutika dan Penafsiran terhadap Ayat-
ayat Kewarisan
Tebal Skripsi : 107 Halaman
Prodi : Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
Pembimbing I : Prof. Dr. Fauzi, S.Ag., Lc.,M.Ag
Pembimbing II : Dr. Azwarfajri, S. Ag., M.Si

Perbedaan metode dalam menafsirkan ayat Alquran dapat


melahirkan produk yang berbeda sebagaimana yang ditemui dalam
penafsiran ayat-ayat kewarisan khususnya mengenai bagian anak
laki-laki dan anak perempuan (QS. al-Nisa>’: 11). Ibnu Kathir> dan
Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat kewarisan merupakan
ketentuan yang telah Allah Swt tetapkan dan tidak boleh ditambah
maupun dikurangi. Namun, dalam perkembangannya metode
hermeneutika mulai dipakai sebagai alat penafsiran Alquran.
Konsekuensi hermeneutika yang menekankan pada pluralitas
pemahaman sangat dimungkinkan adanya reinterpretasi terhadap
kuantitas pembagian warisan bagi anak. Berdasarkan perbedaan
hasil penafsiran klasik dengan hasil penafsiran menggunakan
metode hermeneutika tersebut penulis mengangkat penelitian
mengenai hermeneutika dan penafsiran terhadap ayat-ayat
kewarisan. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
mengetahui penafsiran ayat pembagian harta warisan bagi anak
laki-laki dan anak perempuan dengan menggunakan metode tafsir
klasik dan metode hermeneutika serta mengetahui dinamika
penafsiran ayat tersebut. Penelitian ini masuk kategori library
research (penelitian kepustakaan) yang bersifat kualitatif. Adapun
metode analisis data yang penulis gunakan adalah metode
komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwasanya Ibnu
Kathir>, Quraish Shihab dan beberapa mufasir lainnya menafsirkan
ayat tersebut secara tekstual. Konsep 2:1 bagi anak laki-laki dan
anak perempuan merupakan pembagian yang adil mengingat beban
dan kewajiban yang dipikul anak laki-laki lebih berat dibandingkan
anak perempuan, sedangkan menurut hermeneutika Fazlur Rahman

v
dan Amina Wadud kuantitas 2:1 tidak mutlak harus dilaksanakan.
Pembagian yang setara bagi anak boleh dilakukan jika aspek
keadilan, kesetaraan dan kebutuhan terpenuhi. Ayat tersebut
dianggap oleh mayoritas mufasir sebagai teks qat}‘i>
yang mengandung arti sangat jelas. Namun dalam pandangan tokoh
hermeneutis tidak ada pemahaman teks Alquran yang baku, setiap
teks harus didialogkan dengan konteks dan konteksualisasi
sehingga pesan Alquran dapat dipahami lintas generasi.

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................i
PERNYATAAN KEASLIAN......................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING.............................iii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI........................................iv
PEDOMAN TRANSLITERASI DAN SINGKATAN...............v
KATA PENGANTAR...............................................................viii
ABSTRAK.....................................................................................x
DAFTAR ISI...............................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................ 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................ 7
D. Kajian Pustaka ..................................................... 8
E. Definisi Operasional ............................................ 10
F. Kerangka Teori .................................................... 11
G. Metode Penelitian ................................................ 14
H. Teknik Pengolahan dan Analisis Data................. 15
I. Sistematika Pembahasan...................................... 16
BAB II METODE PENAFSIRAN
A. Metodologi Penafsiran Klasik ............................. 18
1. Metode Tafsir Ijma>li ............................................ 19
2. Metode Tafsir Tah}li>li .......................................... 21
3. Metode Tafsir Muqa>ran ....................................... 24
4. Metode Tafsir Mawd}u>‘i....................................... 27
B. Metode Hermeneutika. ........................................ 32
1. Sejarah Pengaplikasian Hermeneutika
sebagai Mitra Tafsir Alquran............................... 33
2. Metode Hermeneutika Fazlur Rahman................ 37
3. Metode Hermeneutika Amina Wadud. ................ 46
C. Kelebihan dan Kekurangan Metode
Hermeneutika dalam Penafsiran Alquran............ 50

i
1. Kelebihan Metode Hermeneutika ........................ 50
2. Kekurangan Metode Hermeneutika..................... 52
BAB III AYAT-AYAT WARIS DALAM ALQURAN
A. Lafaz Waris dalam Alquran................................. 56
B. Kumpulan Ayat-ayat Mawaris dalam
Alquran ................................................................ 60
C. Asba>b al-Nuzu>l Surah al-Nisa>’: 11...................... 63
BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN KLASIK DAN
HERMENEUTIK TERHADAP AYAT
PEMBAGIAN WARISAN BAGI ANAK
LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN
A. Penafsiran Mufasir Mengenai Ayat
Pembagian Warisan bagi Anak laki-laki dan
Anak Perempuan....................................................65
B. Aplikasi Metode Hermeneutik Terhadap
Ayat Pembagian Warisan bagi Anak Laki-
laki dan Anak Perempuan......................................74
1. Menurut Fazlur Rahman........................................74
2. Menurut Amina Wadud.........................................88
3. Perbedaan Hasil Penafsiran Ayat Pembagian
Warisan bagi Anak laki-laki dan Anak
Perempuan Menurut Fazlur Rahman dan
Amina Wadud........................................................90
C. Dinamika Penafsiran Ayat Warisan 2:1 bagi
Anak Laki-laki dan Anak Perempuan....................91
D. Perbedaan Metode dan Hasil Penafsiran
Pembagian Warisan bagi Anak Laki-laki dan
Anak Perempuan....................................................96
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................98
B. Saran......................................................................99

x
DAFTAR PUSTAKA.................................................................101
DAFTAR RIWAYAT HIDUP...................................................107

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kewarisan merupakan salah satu bagian syariat Islam yang
mendapat perhatian serius dalam Islam dan kedudukannya sangat
tinggi disisi Allah Swt. Bahkan Rasulullah saw dalam hadisnya
memerintahkan umat Islam untuk selalu mempelajari dan
mengajarkan Ilmu Faraid.1 Perintah Rasulullah saw untuk
mempelajari ilmu ini bertujuan agar umat Islam mengetahui
bagian-bagian bagi ahli waris sebagaimana yang tertuang dalam
nas sehingga terciptanya keadilan dalam pembagian harta warisan.
Disebabkan begitu pentingnya ilmu ini, Alquran telah
mengatur pembagian warisan secara rinci, sistematis, dan panjang
lebar. Menurut beberapa ahli hukum, topik warisan adalah satu-
satunya prinsip hukum yang spesifik dijelaskan dalam Alquran. 2
Rincian yang sudah Allah Swt tetapkan dalam Alquran tersebut
menutup kemungkinan adanya multiinterpretasi.3 Menurut al-
Sya>t}ibi>, ketentuan kewarisan yang tertuang dalam Alquran
haruslah diterima secara ta‘abbudi (taken for granted) sebagai
bukti ketundukan seorang hamba kepada ketentuan yang telah
Allah Swt tetapkan.4
Dasar hukum kewarisan dalam Islam menempati posisi
yang sangat kuat dan akurat, yakni dalil-dalil Alquran yang
kedudukannya qat}‘i> al-wuru>d dan juga qat}‘i> dala>lah. Qat}‘i dala>lah
ialah nas yang menunjukkan kepada arti yang jelas sehingga tidak

1
Lihat Abi „Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibn Majah,
Sunan Ibnu Ma>jah, Jilid II, (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-„Arabiyyah), hlm.908.
2
Maimun Nawawi, Pengantar Kewarisan Islam, (Surabaya: Pustaka
Radja, 2016), hlm.13.
3
Muhibbusabry, Fikih Mawaris, (Medan: Pusdikra Mitra Jaya, 2020),
hlm. 1.
4
Dwi Putra Jaya, Hukum Kewarisan di Indonesia, (Bengkulu: Zara
Abadi, 2020), hlm. 115.

1
ada interpretasi lain dan mustahil untuk ditakwilkan. 5 Salah satu
ciri-ciri dari dalil qat}‘i> berupa nas jelas dan maknanya tegas,
ketentuan rukun Islam dan hukum-hukum yang telah ditetapkan
secara permanen, dan penyebutan angka, bilangan atau jumlah
dalam nas Alquran sebagaimana yang tertuang dalam ayat
mawaris. Dengan demikian, ayat mawaris yang tercantum dalam
Alquran sudah semestinya ditafsirkan sebagaimana adanya oleh
para mufasir.
Namun dalam perkembangannya terjadi dinamika dalam
produk tafsir. Paradigma ulama dalam menafsirkan ayat Alquran
juga berbeda sejalan dengan perkembangan zaman. Hal ini
meniscayakan munculnya penafsiran yang berbeda sesuai dengan
pendekatan dan kecenderungan mufasir. Salah satu pembahasan
mawaris yang mendapat perhatian dari mufasir khususnya mufasir
kontemporer ialah ayat Alquran yang menjelaskan bagian waris
bagi anak laki-laki dua kali lipat dibandingkan anak perempuan
sebagaimana yang terdapat dalam QS.al-Nisa>’:11. Perhatian khusus
yang diberikan pada ayat tersebut disebabkan jika diperhatikan
secara sepintas adanya kepincangan dalam menentukan bagian bagi
anak laki-laki dan anak perempuan.

              


    
 

… 
            g    
       
 

Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang


(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian
seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak
perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu

2
seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan)…

5
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqh
Islam (Bandung: al-Ma‟arif, 1986), hlm.37.

3
Mayoritas para mufasir menafsirkan ayat diatas secara
literal. Ibnu Kathi>r menjelaskan bahwa adapun asba>b al-nuzu>l
QS.al-Nisa>’:11 berkenaan dengan kondisi zaman jahiliah yang
sama sekali tidak melibatkan anak perempuan sebagai ahli waris.
Hanya anak laki-laki saja yang berhak menerima warisan pada saat
itu. Kemudian melalui ayat tersebut Allah Swt memerintahkan
untuk berlaku adil dalam membagikan harta warisan bagi anak
laki-laki dan anak perempuan dengan formulasi satu bagian anak
laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan.6 Dalam Tafsir
al-Misbah Quraish Shihab menafsirkan potongan ayat tersebut,
bahwa Allah Swt telah menetapkan bagian waris bagi anak laki-
laki dan bagi anak perempuan. Jika tidak ada perkara apapun yang
dapat menghalangi ahli waris untuk mendapatkan warisan seperti
memiliki agama yang berbeda atau membunuh ahli waris maka
anak laki-laki mendapatkan bagian dua anak perempuan. Manakala
yangditinggalkansatuoranganaklaki-lakidanseorang
perempuan, maka anak laki-laki tersebut mendapatkan dua pertiga
dan anak perempuan mendapatkan 1/3.7
Perbedaan dalam segi kuantitas harta waris antara bagian
anak laki-laki dan anak perempuan disebabkan perbedaan peran
dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki
menanggung beban yang lebih berat daripada perempuan karena
dituntut untuk memenuhi nafkah keluarganya.8 Oleh karena itu,
formulasi 2:1 yang ditawarkan oleh Alquran dapat menjadi bagian
yang dapat dipertanggungjawabkan mengingat karakter, fungsi, dan
tugas yang diemban laki-laki dan perempuan. Keadilan yang
terkandung dalam konsep kewarisan bagi anak laki-laki dan
perempuan tidak dapat diukur dari segi jumlah yang diperoleh
setiap anak yang berbeda jenis kelamin, tetapi harus dilihat dari

6
Ibnu Kathi>r, Tafsir Ibnu Kathi>r, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1438), hlm. 415.
7
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Alquran, Vol.2, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm.359.
8
Ibnu Kathi>r, Tafsir Ibnu Kathi>r, terj. Bahrun Abu Bakar
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2016), hlm. 481.

4
segi pemanfaatan dan kebutuhan setiap anak, baik laki-laki maupun
perempuan.
Namun Jika keadilan ditinjau dari segi pemanfaatan harta,
yakni posisi laki-laki sebagai tulang punggung keluarga, maka
keadaan tersebut bisa saja berubah seiring berkembangnya zaman.
Perubahan itu terjadi berkaca pada banyaknya kaum perempuan
yang menjadi tulang punggung keluarga saat ini. Disebabkan
Perubahan kedudukan dan strata sosial antara laki-laki dan
perempuan, tak ayal beberapa tokoh kontemporer menginginkan
adanya reinterpretasi terhadap ayat yang menjelaskan bagian
warisan bagi anak laki-laki dan anak perempuan berdasarkan
pembacaan kontekstual.
Pembacaan kontekstual terhadap ayat Alquran acap kali
melahirkan pemahaman yang bertolak belakang dengan penafsiran
ulama klasik. Ayat-ayat yang dipandang qat}‘i> oleh ulama klasik
dan dipahami secara literal, dapat ditafsirkan ulang oleh ulama
kontekstual. Adapun pembacaan ulang yang ulama kontekstual
lakukan berdasarkan pada tujuan penetapan hukum Islam atau
maqa>s}id al-syari>‘ah.9 Akibatnya, pembacaan kontekstual
terhadap ayat pembagian warisan bagi anak laki-laki dan
perempuan membuka kemungkinan penafsiran ulang terhadap
rumusan 2:1.
Menurut Jalaluddin Rahman, dalam ayat mawaris yang
menyebutkan 2:1 antara anak laki laki dan anak perempuan
terdapat pesan keadilan dan penghormatan kepada kaum
perempuan. Pembagian warisan boleh saja tidak sebagaimana yang
tertuang dalam ayat tersebut, sesuai dengan tuntutan keadilan
gender dan persamaan.10 Dari pandangan Jalaluddin Rahman, dapat
disimpulkan bahwa ia menginginkan adanya pembacaan ulang

9
Idris Rasyid, “Eksekusi Ab Intertato Warisan Dua Banding Satu:
Rasionalisasi Surah al-Nisa>’ Ayat 11”. dalam Jurnal Hukum Diktum, Vol.
14, no.02. (2016), hlm. 202.
10
Jalaluddin Rahman, Metodologi Pembaharuan: Sebuah Tuntunan
Kelanggengan Islam (Studi Beberapa Tokoh Pembaharu), (Makasar: IAIN
5
Alauddin, 2001), hlm. 37-38.

6
makna ayat tersebut sesuai konteks zaman berlandaskan pada
kesetaraan gender dan keadilan.
Perubahan bagian kewarisan khususnya anak laki-laki dan
anak perempuan juga pernah terjadi dalam rumusan Counter Legal
Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang digagas oleh
Musdah Mulia dan timnya pada tahun 2004.11 Pasal-pasal yang
disusun oleh Musdah beserta timnya atas landasan pluralisme,
nasionalis, penegakan HAM, demokrasi, kemaslahatan dan
kesetaraan gender. Ada delapan poin yang menjadi fokus
permasalahan hukum Islam dalam KHI, salah satunya ialah
permasalahan bagian warisan.12 Menurut Musdah Mulia pembagian
2:1 antara laki-laki dan perempuan tidaklah adil. Laki-laki dan
perempuan sudah seharusnya dipandang setara, tidak ada
perbedaan antara keduanya.13
Kesadaran akan konteks dalam memahami ayat Alquran
merupakan salah satu proses kerja hermeneutik. Manakala sebuah
teks dipisahkan dari aspek konteksnya maka terjadi penyempitan
makna. Melalui kesadaran konteks, seseorang akan dibawa menuju
masa lalu untuk mengetahui tujuan pengarang dan pemaknaan teks
oleh audiens pertama. Namun kesadaran konteks tidak cukup jika
tanpa adanya usaha kontekstualisasi. Kontekstualisasi ialah
kesadaran akan masa kini beserta segala logika dan kondisi yang
berkembang di dalamnya.14 Kontekstualisasi ini dilakukan agar
penafsir dapat mendalami dunia teks yang bergradasi tempo dulu
untuk diterapkan dalam dunia empiris saat ini.15 Dengan demikian,

11
Idris Rasyid, “Eksekusi Ab Intertato Warisan Dua Banding Satu”…
hlm.203.
12
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah,
2007), hlm. 239.
13
Marwan Sarijo, Cak Nur di Antara Sarung dan Dasi dan Musdah
Mulia Tetap Berjilbab, Catatan Pinggir Sekitar Pemikir Islam di Indonesia
(Jakarta: Aksara Permadani, 2005), hlm. 74.
14
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Alquran Tema-tema Kontroversial
(Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm. 21-22.
15
Muhammad Zuhri, Hermeneutika Alquran (Kudus: STAIN Kudus,
2000), hlm. 9.
7
substansi Alquran senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman
dan terlepas dari kepentingan ideologi penafsir.16
Proses penafsiran yang ditawarkan oleh hermeneutika tidak
hanya melibatkan teks saja melainkan konteks yang melingkupi
teks dan disusul dengan usaha kontekstualisasi. Ketiga komponen
tersebut bekerja secara bersamaan untuk memproduksi makna baru
yang sesuai dengan kondisi ruang dan waktu. Hal tersebut
merupakan sumbangan paling berharga dari hermeneutika dalam
memberikan nuansa baru terhadap Ilmu Tafsir Alquran.
Walaupun pada prosesnya pendekatan hermeneutika tidak
serta merta diterima dengan lapang dada oleh para tokoh muslim
khususnya bagi golongan yang memegang erat Islam tradisionalis
dan fundamentalis. Sikap kontra tersebut merupakan hal yang
wajar terjadi manakala sesuatu yang baru dan asing hadir dan
menghancurkan paradigma awal yang sudah lama terbentuk. Dalam
perkembangannya teori hermeneutika dan tokoh hermeneutik
khususnya dikalangan pegiat Alquran juga mengalami gejolak yang
tidak dapat dihindari.
Salah satu problem dari hermeneutika yang menyebabkan
banyaknya kalangan yang kontra terhadap metodologi tersebut
ialah konsekuensi hermeneutika yang menekankan pada pluralitas
pemahaman. Akibatnyaterjadi relativitas pemahaman sesuai
dengan konteks yang melingkupi masing-masing penafsir.17
Konteks akan selalu berubah dan berbeda sesuai dengan ruang dan
waktu yang terus berkembang sehingga kebenaran tidak ada yang
objektif. Berdasarkan hal tersebut, dapat saja ayat-ayat qat}‘i>
yang hanya ditafsirkan secara literal oleh mayoritas mufasir
seperti ayat
mawaris memungkinkan untuk diinterpretasi kepada makna lain.
Disisi lain ada juga yang mengapresiasi pluralitas pemahaman yang
ditawarkan oleh hermeneutika dengan anggapan bahwa kehidupan
tidak pernah tunggal melainkan multidimensi, sehingga pemaknaan

16
Muhammad Muchlish Huda, “Fisibilitas Hermeneutika dalam
Penafsiran Alquran”, dalam Jurnal Dialogia Vol. 12 No. 1, (2014), hlm.67.

8
17
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Alquran...hlm.45.

9
Alquran harus sejalan dengan kondisi zaman demi tercapainya
Alquran yang s}a>lih likulli zama>n wa maka>n.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis akan
meneliti bagaimana penafsiran QS.al-Nisa>’:11 khususnya
pada bagian waris bagi anak laki-laki dan perempuan dan
bagaimana jika ayat tersebut ditinjau dengan memakai pendekatan
hermeneutika. Perbedaan dalam segi pendekatan penafsiran ayat
mawaris menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Terlebih lagi,
perubahan metodologi penafsiran dapat merekonstruksi bahkan
mendekonstruksi beberapa hukum Islam yang sudah matang. Oleh
karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
Hermeneutika dan Penafsiran terhadap Ayat-ayat Kewarisan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini yaitu:
1. Bagaimanakah penafsiran ayat pembagian warisan bagi anak
laki-laki dan anak perempuan berdasarkan metode tafsir klasik?
2. Bagaimana penafsiran ayat kewarisan bagi anak laki-laki dan
anak perempuan dengan pendekatan hermeneutika?
3. Bagaimana dinamika Penafsiran ayat pembagian warisan bagi
anak laki-laki dan anak perempuan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui Penafsiran ayat pembagian warisan bagi anak laki-
laki dan anak perempuan dalam kitab tafsir.
2. Mengetahui penafsiran ayat waris bagi anak laki-laki dan anak
perempuan dengan pendekatan hermeneutika.
3. Mengetahui dinamika penafsiran pembagian warisan bagi anak
laki-laki dan anak perempuan.
Adapun manfaat dari penelitian ini ialah:
1. Secara teoritis: Guna menumbuhkan sikap objektif dan kritis
dalam menanggapi perubahan metodologi dan pendekatan
penafsiran yang terus berkembang hingga saat ini khusus pada
produk penafsiran ayat kewarisan.
1
2. Secara praktis:
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan kalangan
akademisi maupun masyarakat muslim mengenai perkembangan
metodologi tafsir pada abad kontemporer dan implikasi yang
dihasilkan dari perubahan metodologi tersebut.
b. Mendorong para peneliti selanjutnya agar senantiasa kritis
dalam meneliti perkembangan penafsiran Alquran yang terus
berlanjut hingga saat ini.
D. Kajian Pustaka
Diantara karya ilmiah yang membahas penelitian mengenai
kewarisan bagi anak laki-laki dan anak perempuan menurut tafsir
klasik dan hermeneutika khususnya pada teori double movement
Fazlur Rahman dan pemikiran Amina Wadud ialah:
Skripsi dengan judul “Pembagian Waris 2:1 Bagi Ahli
Waris Laki-laki dan Perempuan dalam Alquran (Studi Komparatif
Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Amina Wadud)” karya Vivit Fitriana.
Pada skripsi tersebut Vivit membandingkan pandangan Ibnu Kathi>r
dan Amina Wadud mengenai pembagian warisan bagi anak laki-
laki dan anak perempuan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut
didapati bahwa 2:1 bagi ahli waris laki-laki dan perempuan berlaku
menurut tafsir Ibnu Kathi>r sedangkan menurut pandangan
Amina Wadud pembagian warisan haruslah ditinjau dari segi
kebutuhan. 18 Skripsi yang berjudul “Pembagian Waris Anak
Perempuan
(Studi Komparatif M. Quraish Shihab dan Siti Musdah Mulia)”
oleh Lusi Ochtaviana Sari. Dalam penelitian tersebut diketahui
bahwa terdapat perbedaan yang jelas anatara pemikiran Quraish
Shihab dengan Musda Mulia dalam menanggapi masalah
kewarisan anak. Menurut Quraish Shihab dalam hal pembagian
warisan hendaklah mengikuti apa yang telah diatur oleh Alquran
(kadar 2:1), sedangkan menurut Musdah Mulia pembagian warisan
18
Vivit Fitriana, “Pembagian Waris 2:1 bagi Ahli Waris Laki-laki dan
Perempuan dalam Alquran (Studi Komparatif Tafsir Ibnu Kathi>r dan Tafsir
Amina Wadud)” (Skripsi Ilmu Alquran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab
1
dan Humaniora, IAIN Purwokerto Jawa Tengah, 2020).

1
2:1 tidak mengandung aspek keadilan jika diterapkan dalam situasi
saat ini.19
Kedua skripsi tersebut berbeda dengan penelitian yang akan
penulis laksanakan. Vivit mengaitkan penafsiran Ibnu
Kathi>r dengan Amina Wadud, sedangkan dalam penelitian ini
penulis tidak hanya menganalisis ayat kewarisan dari Ibnu
penafsiran Kathi>r saja, melainkan juga dari penafsiran ulama
lainnya.
Tesis dengan judul “Prinsip Keadilan Berimbang dalam
Pembagian Harta Warisan Antara Anak Laki-laki dan Perempuan
Perspektif Hermeneutika Double Movement Fazlur Rahman (Studi
di Desa Kuwolu Kecamatan Bululawang Kabupaten Malang)” oleh
Mufti Kamal. Dalam tesis tersebut Mufti Kamal mencoba
menganalisis praktek kewarisan di desa Kuwolu dan
mengaitkannya dengan konsep kewarisan berdasarkan teori double
movement Fazlur Rahman. Adapun hasil dari penelitian tersebut
adalah mayoritas masyarakat Kuwolu membagi harta warisan
setara antara anak laki-laki dan perempuan sesuai dengan keadilan
berimbang. Dalam mewujudkan keadilan berimbang dalam
kewarisan mereka menggunakan jalur hibah atau kesepakatan.20
Skripsi yang ditulis oleh Wahyu Muszdalifi dengan judul
“Praktek Pembagian Waris Berdasarkan Adat Sapikulan
Ronggendongan Ditinjau dari Perspektif Fazlur Rahman dan
Muhammad Syahrur (Studi Kasus Desa Karangmalang Kec.
Ketanggungan Kab. Brebes)”. Sebagaimana tesis sebelumnya,
Wahyu Muszdalifi mengaitkan praktek kewarisan pada masyarakat
tertentu dengan konsep kewarisan yang ditawarkan oleh ulama
kontemporer. Hanya saja pada penelitian sebelumnya yang menjadi

19
Lusi Ochtaviana Sari, “Pembagian Waris Anak Perempuan (Studi
Komparatif M. Quraish Shihab dan Siti Musdah Mulia)”, (Skripsi Hukum
Keluarga Islam Fakultas Syari‟ah, IAIN Ponorogo Jawa Timur, 2021).
20
Mufti Kamal, “Prinsip Keadilan Berimbang dalam Pembagian Harta
Warisan antara Anak Laki-laki dan Perempuan Perspektif Hermeneutika Double
Movement Fazlur Rahman (Studi di Desa Kumolu Kecamatan Bululawang
Kabupaten Malang), (Tesis Magister al-Ahwal al-Syakhshiyyah, UIN Maulana
1
Malik Ibrahim Malang, 2020).

1
penekanan Mufti Kamal ialah pada konsep keadilan berimbang,
sedangkan pada penelitian Wahyu Muszdalifi berdasarkan adat
Sapikulan Ronggendong.21
Berdasarkan dua karya ilmiah tersebut, Musti Kamal dan
Wahyu Muszdalifi mengaitkan praktek pembagian warisan pada
suatu daerah dengan teori double movement, sedangkan dalam
penelitian ini penulis tidak mengkhususkan praktek kewarisan di
sebuah daerah dengan teori double movement. Dalam hasil analisis
penulis mencantumkan praktek double movement pada beberapa
kewarisan adat yang ada di beberapa wilayah Indonesia.
E. Definisi Operasional
Peneliti memberikan definisi operasional dari judul
penelitian guna menentukan dan membatasi maksud serta tujuan
penelitian agar lebih terarah. Berikut definisi operasional dari judul
penelitian ini:
1. Hermeneutika
Hermeneutika menurut F. Leidecker ialah seni atau ilmu
dalam menafsirkan tulisan, khususnya teks-teks keagamaan.22
Walaupun pada perkembanganya hermeneutika tidak hanya dipakai
dalam menginterpretasi teks keagamaan saja.23 Secara keseluruhan
hermeneutika dapat dipahami sebagai seni memahami atau
menafsirkan sebuah teks dengan menentukan landasan filosofis,
hubungan antar teks, penulis atau pengarang, kondisi sosial
masyarakat di sekitar teks, dan pembaca atau penafsir. Aktivitas
pemahaman teks sebagaimana yang disebutkan tersebut, juga

21
Wahyu Muszdalifi, “Praktik Pembagian Waris Berdasarkan Adat
Sapikulan Ronggendongan Ditinjau dari Perspektif Fazlur Rahman dan
Muhammad Syahrur (Studi Kasus Dewa Karangmalang Kec. Ketanggungan
Kab. Brebes), (Skripsi Ahwal al-Syakhsiyyah Fakultas Syari‟ah dan Hukum,
UIN Walisongo Semarang, 2018).
22
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002), hlm. 257.
23
Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik Dari Schleiermacher
Sampai Derrida (Yogyakarta: Kanisius, 2015), hlm. 5.

1
dipakai dalam memahami teks Alquran oleh beberapa tokoh
hermeneutika Islam dengan kekhasan metodologinya masing-
masing. Adapun metode hermeneutika yang dipakai dalam
penelitian ini yaitu metode hermeneutika yang digunakan oleh
Fazlur Rahman dan Amina Wadud.
2. Penafsiran ayat kewarisan
Secara etimologi kata tafsir berasal dari kata al-fasr berarti
al-baya>n (keterangan), al-kasyaf (pengungkapan), al-
iz}ha>r (menampakkan), al-tafs}i>l (memerinci), dan al-i>d}a>h
(penjelasan). Secara terminologi tafsir menurut Muhammad ‘Ali al-
S}a>bu>ni> ialah ilmu untuk mengetahui kandungan kitab Allah
Swt, dan menjelaskan makna yang terkandung di dalamnya serta
mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.24 Adapun yang
menjadi objek penafsiran dalam penulisan skripsi ini ialah salah
satu ayat mawaris. Ayat mawaris ialah ayat-ayat Alquran yang
membahas mengenai orang yang menerima pusaka, kadar yang
diterima oleh masing-masing ahli waris beserta tata cara
pembagiannya. Al-Jundi menambahkan bahwa kewarisan
merupakan suatu disiplin ilmu tentang kaidah-kaidah fikih dan tata
cara perhitungannya agar dapat diketahui bagian dari setiap ahli
waris atas harta warisannya. Diantara ayat-ayat yang memuat
masalah kewarisan yaitu QS. al-Nisa>’ :11, QS. al-Nisa>’ :12,
dan QS. al-Nisa>’ :176. Pada penelitian ini, penulis hanya
memfokuskan pada pembagian harta warisan bagi anak laki-laki
dan anak perempuan yang tercantum dalam QS. al-Nisa>’ :11.
D. Kerangka Teori
Kajian Alquran terus berkembang secara dinamis seiring
berkembangnya kondisi sosial budaya dalam peradaban manusia.
Menurut Abdul Mustaqim Perkembangan kajian Alquran

24
Muhammad ‘Ali al-S}a>bu>ni, al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut:
„Alim al-Kutub), hlm. 66.

1
melahirkan paradigma25 dan epistemologi penafsiran yang
berbeda.26
Pertama, memandang Alquran sebagai kalam Allah Swt
yang kebenarannya hanya diketahui oleh Allah Swt semata.
Paradigma ini menganggap bahwa Alquran hanya dapat dipahami
secara literal dan manakala ingin mengungkap makna dibalik teks,
seseorang harus merujuk kepada otoritas-otoritas riwayat tertentu.
Paradigma tersebut terjadi pada era formatif dengan nalar quasi-
kritis. Nalar quasi-kritis merupakan sebuah metode berfikir dengan
cara meminimalisir penggunaan rasio dan belum melestarikan
budaya kritisme.27 Ignaz Goldziher mengemukakan paradigma
tersebut dapat ditemui pada era sepeninggalan nabi hingga awal
abad kedua hijriah.28 Pada permulaan abad tersebut para sahabat
Nabi sangat berhati-hati dalam menafsirkan Alquran dan mereka
sangat menjaga diri dari penafsiran bi al-ra’yi. Oleh sebab itulah,
penafsiran di masa tersebut sangat kental dengan penafsiran bi al-
riwa>yah.
Paradigma kedua memandang Alquran sebagai kalam Allah
Swt yang maknanya diketahui oleh Allah Swt dan juga orang-orang
yang memiliki pengetahuan yang mendalam.29 Paradigma ini lahir
pada abad pertengahan yakni pada era afirmatif dengan nalar
ideologis.30 Penafsiran pada era ini ditandai dengan ragamnya
corak penafsiran yang muncul sesuai dengan kemampuan penafsir.
Disamping itu, banyak pula mufasir yang melakukan penafsiran
untuk kepentingan tertentu seperti sebagai alat legitimasi bagi
sebuah disiplin ilmu dan kepentingan mazhab. Penafsiran pada era
25
Paradigma menurut Steven Covey adalah cara pandang seseorang
terhadap sesuatu: pandangan, kerangka acuan, atau keyakinan. Lihat Steven
Covey “7 Habits of Highly Effective People”.
26
Nasaiy Aziz, Penafsiran Alquran Kontemporer: Metode Penafsiran
Bintu Syati‟ dan Fazlur Rahman (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2012), hlm. 2-
4. 27Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta:
LKiS Group, 2012), hlm. 34.
28
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer…hlm. 35.
29
Nasaiy Aziz, Penafsiran Alquran Kontemporer…hlm. 3.
30
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer…hlm.49.

1
ini tidak hanya berdasarkan kepada riwayah semata tetapi juga
bersumber dari ra’yi penafsir. Al-S}a>bu>ni membagi tafsir bi al-
ra’yi kepada tafsir terpuji dan tafsir tercela. Disebut tafsir terpuji
(tafsi>r mah}mud / tafsi}r masyru>‘) jika penafsiran yang dilakukan
sesuai dengan tujuan yang dikandung Alquran, selaras dengan
kaidah Bahasa Arab dan juga uslu>b-uslu>b nya. Adapun tafsir tercela
(tafsi>r madhmu>m / tafsi>r ba>t}il) adalah penafsiran yang
dilakukan berdasarkan ambisi maupun kepentingan tertentu tanpa
disertai dengan pengetahuan yang memadai. Pengetahuan tersebut
dapat berupa pengetahuan bahasa maupun syariat.31
Adapun paradigma ketiga memandang Alquran sebagai
kalam Allah Swt yang memiliki sifat manusiawi. Paradigma ini
menekankan pada makna pluralitas Alquran dan keberagamannya
bagi kehidupan manusia kontemporer.32 Metode yang digunakan
ialah kontekstualitas, historis-kritis dan hermeneutis. Paradigma ini
lahir pada era reformatif dengan nalar kritis. Era tersebut dimulai
dengan kemunculan tokoh pembaharu Islam seperti Sayyid Ahmad
Khan dan Muhammad Abduh dengan karya tafsirnya. Karangan-
karangan tokoh tersebut memuat kritikan terhadap produk
penafsiran ulama terdahulu.33 Pada perkembangannya, mulai
bermunculan tokoh penafsir kontemporer lainnya seperti Hasan
Hanafi, Fazlur Rahman, Muh}ammad Syahru>r, dan tokoh lainnya.
Berdasarkan perkembangan paradigma dan epistemologi
penafsiran tersebut, penulis mengumpulkan data dari beberapa
karya mufasir di setiap era-nya agar tampak perkembangan produk
penafsiran khususnya pada ayat pembagian warisan bagi anak laki-
laki dan anak perempuan.

Muhammad ‘Ali al-S}a>bu>ni, al-Tibya>n fi ‘Ulum al-Qur’a>n, (Pakistan:


31

Maktabat al-Bushra,1432 H/ 2011 M), hlm. 101-102.


32
Nasaiy Aziz, Penafsiran Alquran Kontemporer…hlm 4.
33
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer…hlm.51-52.

1
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada
penggalian makna, konsep, gejala, simbol dan deskripsi dari suatu
fenomena.34 Adapun metode penelitian pada penelitian ini ialah
library research (penelitian kepustakaan). Yaitu penelitian yang
menjadikan sumber sumber tertulis sebagai bahan penelitian.
Sumber tertulis dapat berupa buku buku, jurnal, artikel, dan karya
ilmiah lain yang berkaitan dengan judul penelitian.

2. Sifat Penelitian
Jika ditinjau dari sifatnya, penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif. Maksudnya ialah penelitian yang
menggambarkan objek tertentu dan menjelaskan hal-hal yang
terkait dengannya.35
3. Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini terdiri dari sumber data
primer dan sumber data sekunder.
a. Sumber data primer. Sumber data primer ialah sumber data
utama yang peneliti kumpulkan langsung dari objek penelitian.
Adapun sumber data primer dari penelitian ini ialah Tafsir al-
Qur’a>n al –‘Azhim karya Ibnu Katsir, Tafsir al-Misbah
karya
M. Quraish Shihab, Islam and Modernity karya Fazlur Rahman,
Islamic Methodology in History karya Fazlur Rahman, Qur‟an
and Women: Rereading the Sacred Text From a Women‟s
Perspective karya Amina Wadud.
b. Sumber data sekunder. Sumber data sekunder merupakan
sumber data lain yang berisikan informasi dan penjelasan dari

34
Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuatitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 330.
35
Sarifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1
1998), hlm. 7.

2
sumber data primer.36 Sumber data sekunder ini bisa berupa
jurnal, artikel, skripsi, tesis, disertasi, maupun buku-buku yang
berkaitan dengan data primer atau judul penelitian. Di antara
literatur yang membahas hal tersebut ialah, Kewarisan dalam Al-
Qur‟an karya Ali Parman, Kontekstualitas Al-Qur‟an (Kajian
Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur‟an) karya Umar
Shihab, Hermeneutika Al-Qur‟an Tema-tema Kontroversial
karya Fahruddin Faiz, Epistemologi Tafsir Kontemporer karya
Abdul Mustaqim, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
Qur‟an karya Sahiron Syamsuddin, dan lain-lain.
H. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian dalam skripsi ini menggunakan teori komparasi
(muqa>ran). Tafsir muqa>ran merupakan sebuah cara
penafsiran Alquran yang dilakukan dengan membandingkan
pendapat seorang mufasir dengan mufasir lainnya terhadap
sejumlah ayat Alquran.37 Selain itu tafsir muqa>ran juga berarti
membandingkan suatu ayat dengan ayat lain atau dengan hadis lain.
Adapun yang dibandingkan tersebut merupakan ayat atau hadis
yang membahas permasalahan serupa.38 Tafsir muqa>ran juga
dapat dilakukan pada ayat-ayat Alquran yang secara sepintas
terlihat bertentangan dengan hadis.39 Diantara beragamnya objek
kajian tafsir muqa>ran, penulis memfokuskan tafsir muqa>ran pada
perbandingan pendapat mufasir terkait sejumlah ayat Alquran.
Dengan memanfaatkan metode ini, penulis dapat melihat
perbedaan dan hubungan antara pemikiran satu tokoh dengan tokoh
yang lain di setiap era-nya. Disamping itu, dengan menggunakan
metode ini juga penulis akan mencari titik persamaan dan
perbedaan hasil pemikiran dari beberapa tokoh yang secara

36
Burhan al-Shofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta,
2004), hlm. 103.
37
Kadar M. Yusuf, Studi Alquran (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 137.
38
Kadar M. Yusuf, Studi Alquran…hlm. 137.
39
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013), hlm. 383.

2
keseluruhan dikelompokkan menjadi tokoh mufasir dan tokoh
hermeneutis.
Adapun langkah-langkah yang disusun agar tersampainya
pada penelitian komparatif dalam skripsi ini yaitu:40
1. Mengumpulkan ayat yang membahas mengenai pembagian
warisan bagi anak laki-laki dan anak perempuan.
2. Melacak dan mengumpulkan berbagai pandangan mufasir klasik
dan kontemporer mengenai ayat tersebut.
3. Membandingkan penafsiran antara metode tafsir klasik dengan
metode hermeneutika sehingga dapat ditemukan informasi
mengenai kecenderungan, aliran-aliran, maupun pola pikir
masing-masing tokoh. Sebab pola pikir, metode, maupun
kecenderungan setiap mufasir dapat mempengaruhi hasil dari
penafsirannya.
Metode analisis data dalam skripsi ini yaitu kualitatif-
normatif. Dengan menganalisis data dari dokumen-dokumen baik
berupa data primer maupun skunder mengenaihermeneutika dan
penafsiran terhadap ayat-ayat kewarisan.

I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah penelitian ini dan mendapatkan
kesimpulan yang jelas, maka peneliti menyusun sistematika
pembahasan sebagai berikut:
Bab I berupa pendahuluan. Berisi tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian
pustaka, kerangka teori, definisi operasional, metode penelitian dan
teknik pengolahan dan analisis data. Bab 1 disusun agar jalannya
penelitian terkonsep dengan jelas.
Bab 2 berisikan landasan teori. Pada landasan teori
dijelaskan metode penafsiran yang telah ditetapkan oleh ulama
klasik. Selanjutnya akan dijelaskan secara umum mengenai sejarah
pemakaian pendekatan hermeneutika dalam penafsiran Alquran dan
40
Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Alquran, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 100-101.

2
metode hermeneutika yang dipakai oleh Fazlur Rahman dan Amina
Wadud berikut kelebihan serta kekurangan metode hermeneutika
dalam penafsiran Alquran.
Bab 3 memuat kumpulan ayat-ayat waris dalam Alquran
yang mencakup lafaz waris, ayat-ayat waris dan asba>b al-nuzu>l
QS.al-Nisa>’:11.
Bab 4 analisis hasil penelitian. Pada bab empat penulis
mencantumkan hasil aplikasi metode tafsir dan pendekatan
hermeneutika terhadap ayat kewarisan. Dalam pembahasan
tersebut, memuat analisis penafsiran ayat pembagian warisan bagi
anak laki-laki dan perempuan menurut para mufasir, dan
pengaplikasian metode hermeneutika terhadap ayat pembagian
warisan bagi anak laki-laki dan perempuan. Selanjutnya penulis
juga memuat analisis dinamika penafsiran ayat mawaris 2:1 bagi
anak laki-laki dan anak perempuan dan perbedaan hasil aplikasi
hermeneutik dengan penafsiran ulama klasik pada potongan ayat
tersebut.
Bab 5 berisikan kesimpulan dan saran. Pada kesimpulan
akan dicantumkan jawaban pertanyaan dari rumusan masalah
sebelumnya. Selain itu, dalam bab lima juga memuat saran dari
penulis untuk para peneliti berikutnya.

2
BAB II
METODE PENAFSIRAN

A. Metodologi Penafsiran Klasik


Kata metode berasal dari bahasa Yunani yakni metha
(melalui) dan hodos (cara, jalan, alat, atau gaya). 1 Dalam bahasa
Inggris istilah metode disebut dengan method, sedangkan dalam
Bahasa Arab disebut dengan istilah t}ari>qat dan manhaj. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia metode ialah cara yang ditempuh
setelah dipikirkan dengan baik untuk mencapai maksud tertentu
atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan suatu pekerjaan
sehingga sampailah kepada apa yang dituju.2 Dari kata tersebut
dapatlah dipahami metode ialah jalan atau cara yang harus dilalui
untuk mencapai tujuan tertentu. Metode tafsir berbeda dengan
metodologi tafsir. Jika metode tafsir diartikan sebagai jalan atau
cara-cara seorang mufasir dalam menafsirkan Alquran sedangkan
metodologi tafsir ialah kumpulan metode-metode penafsiran
Alquran.
Adapun kata tafsir berasal dari kata fassara yang memiliki
arti menyingkap sesuatu yang tertutup.3 Istilah tafsir secara
etimologi juga berarti wad}d}ah}, atau baya>n (penjelasan).4 Secara
terminologi terdapat pengertian yang beragam mengenai makna
tafsir. Al-Zarkasyi mengatakan tafsir ialah ilmu yang membahas
kitab Allah Swt yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw baik
berupa penjelasan makna-makna yang dikandungnya,
mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmah dalam ayat

1
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara,
1987), hlm. 97.
2
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 581.
3
Dikutip dari Manna al-Qathan, Maba>h}ith fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Riyadh:
Maktabah Ma‟arif, 1981), hlm. 277. Lihat juga Muhammad ‘Ali al-S}a>bu>ni, al-
Tibya>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Pakistan: al-Bushra Publishers, 2011), hlm. 89.
4
Muhammad ‘Ali al-S}a>bu>ni, al-Tibya>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n … hlm. 89.

2
Alquran dengan merujuk kepada ilmu bahasa, nah}wu, s}araf, ilmu
baya>n, us{u>l al-fiqh, asba>b al-nuzu>l, na>sikh wa mansu>kh, qira>’at dan
keilmuan lainnya yang menjadi syarat-syarat seorang mufasir. 5
Adapun yang dimaksud dengan metode penafsiran berupa
cara yang tersistematis dan dipikirkan dengan matang untuk sampai
pada pemahaman yang benar berkenaan dengan apa yang dimaksud
oleh Allah Swt dalam ayat-ayat Alquran. 6 Metode penafsiran juga
dapat dipahami sebagai sebuah kerangka atau kaedah yang
digunakan dalam menafsirkan Alquran. Metode tafsir ini lahir
beriringan dengan lahirnya tafsir. al-Farmawi membagi metode
penafsiran menjadi empat yaitu; metode tafsi>r tah}li>li, metode tafsi>r
ijma>li>, metode tafsi>r muqa>ran, dan metode tafsi>r mawd}u>‘i.7
1. Metode Tafsir Ijma>li
Secara etimologi kata ijma>li berasal dari kata ajma>la yang
berarti menyebutkan sesuatu secara terperinci.8 Kata ijma>li juga
berarti ikhtis}a>r atau ringkasan, global, dan penjumlahan.9 Adapun
yang dimaksud dengan tafsir ijma>li adalah metode penafsiran
yang hanya mengemukakan makna Alquran secara global.10
Penafsiran tersebut tidak perlu mencantumkan asba>b al-nuzu>l,
muna>sabah maupun makna kosa-kata Alquran, akan tetapi
langsung kepada makna global ayat yang ditafsirkan.11

5
Dikutip dari Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-
Qur’a>n: Ulumul Qur‟ an II, terj. Editor Indava, ( Surakarta: Indava Pustaka,
2009), hlm. 888.
6
Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran Alquran, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hlm. 55.
7
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i Sebuah Pengantar,
terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 11.
8
Kadar M. Yusuf, Studi Alquran, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 138.
9
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013) hlm. 379.
10
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i Suatu
Pengantar…hlm. 29.
11
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2019), hlm.
324.

2
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikenali ciri-ciri dari
tafsir ijma>li berupa penyajiannya yang ringkas dan mudah
dimengerti, penafsiran yang tidak jauh dari gaya bahasa Alquran,
dan penulisan tafsir tersebut yang sesuai dengan urutan ayat
maupun surah dalam Alquran sebagaimana tertib penulisan tafsir
tah}li>li. Hanya saja yang membedakan tafsir tah}li>li dengan
ijma>li terletak dari metode analisis ayat. Jika metode tah}li>li
menafsirkan ayat secara terperinci dan panjang lebar, maka
metode ijma>li menyajikan penafsiran secara global.
Perbedaan dalam proses analisis ayat tersebut yang menjadi
pembeda antara kedua metode diatas. Melalui metode tafsir tah}li>li,
seorang mufasir diberi kesempatan untuk menganalisis ayat
selebar-lebarnya dari segala aspek sesuai dengan kecenderungan
masing-masing mufasir. Oleh sebab itu, dengan tafsir tah}li>li
bermunculan corak-corak penafsiran seperti corak tafsir fiqh, corak
tafsir al-adab al-ijtima>‘i, corak tafsir ‘ilmi, corak tafsir falsafi, dan
corak tafsir lainnya. Berbeda dengan metode tafsir ijma>li yang
mana mufasir hanya menjelaskan ayat secara global sehingga tidak
tampak corak penafsiran didalamnya.12
Disebabkan pembahasan tafsir ijma>li bersifat global,
metode ini dianggap lebih praktis dan mudah dipahami karena
akrab dengan bahasa Alquran, sehingga sangat membantu bagi
yang ingin mempelajari penafsiran Alquran dalam waktu singkat.
Oleh karenanya banyak pondok pesantren ataupun lembaga
keislaman yang menjadikan tafsir dengan corak ijma>li seperti
tafsir Jala>lain sebagai bahan ajar.
Selain itu, kelebihan dari metode tafsir ini ialah minimnya
riwayat israiliyat dan subjektifitas penafsir seperti pemikiran-
pemikiran spekulatif yang dikembangkan oleh seorang sufi.13
Selain itu, Penafsiran yang relatif singkat dapat membendung

12
Abdullah Karim dan Abun Bunyamin, Bunga Rampai „Ulum al-
Qur‟an, (Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2012), hlm.183
13
Tinggal Purwanto, Metodologi Tafsir Alquran, (Yogyakarta: Adab
Press, 2013), hlm.43-44.

2
masuknya riwayat-riwayat israiliyat yang kerap dipertanyakan
kebenarannya. Disamping itu mufasir juga tidak menafsirkan ayat
Alquran menurut pandangannya secara bebas, karena dalam tafsir
ijma>li mufasir hanya menjelaskan pengertian arti kata dan ayat
secara global tanpa menyertakan ijtihad pribadi mufasir.
Namun dikarenakan pembahasannya yang sederhana,
metode tafsir ijma>li terkesan dangkal dan parsial (tidak
komprehensif).14 Pada dasarnya Alquran memiliki karakter yang
komprehensif. Dalam artian, antara ayat yang satu dengan ayat lain
atau surah lainnya memiliki hubungan yang membentuk
pemahaman yang utuh. Disisi lain, metode ijma>li tidak
menyediakan ruang bagi para mufasir untuk memberikan
penafsiran yang mendalam mengenai suatu ayat, sehingga metode
ini tidak sesuai jika digunakan bagi yang ingin memahami
penafsiran Alquran secara rinci.
Diantara kitab yang menggunakan metode ijma>li adalah
Tafsi>r al-Jala>lain karangan Jalal al-di>n al-Suyu>t}i (w. 911
H/1505 M) dan Jalal al-Di>n al-Mah}alli (w. 864 H/1445 M).
Mara>h} Labi>d karangan al-Allamah al-Syekh Muhammad Nawawi
al-Jawi al- Bantani (w.1314 H/ 1879 M), al-Muharrar al-Waji>z
fi> Tafsi>r al- Kita>b al-Azi>z yang disusun Muh}ammad ‘Abd al-
Haq bin Gha>lib bin ‘At}iyyah al-Andalusi (w. 541 H/ 1146 M),
Kita>b al-‘Azi>z al- Tashi>l li ‘Ulum al-Tanzi>l karya Muh}ammad
bin Ahmad bin Juzay al-Kalbi (w. 792 H/ 1389 M) dan lain
sebagainya.
2. Metode Tafsir Tah}li>li
Salah satu metode penafsiran Alquran adalah metode tafsir
tah}li>li. Tafsir tah}li>li merupakan salah satu metode penafsiran tertua
yang digunakan oleh para mufasir bahkan sebelum metode tafsir
mawd}u>‘i muncul. Secara etimologi tah}li>li yaitu membuka sesuatu
atau tidak menyimpang dari sesuatu,15menjadi lepas atau terurai.16

14
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an …hlm.383.
15
Ahmad bin Faris, Mu‟jam Maqayis al-Lugah, (Beirut: Dar al Fikr,

2
1999), Jilid 2, hlm. 20.

2
Secara terminologi tafsir tah}li>li ialah sebuah metode penafsiran
yang mencoba menjelaskan kandungan ayat Alquran dari berbagai
aspeknya17yang menekankan pada analisis ayat dengan cara
mendeskripsikan makna-makna yang terkandung di dalamnya
berdasarkan tertib urutan surah dan ayat Alquran.18
Pengertian tafsir tah}li>li lebih lanjut dijelaskan oleh Quraish
Shihab sebagai sebuah metode yang digunakan mufasir dengan
cara menjelaskan ayat-ayat Alquran dari segala sisi sesuai dengan
pandangan dan kecenderungan mufasir, menafsirkan secara
berurutan ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan
runtutan mushaf.19 Pada umumnya tafsir tah}li>li mencakup di
dalamnya arti kosakata ayat, muna>sabah ayat, asba>b al-nuzu>l,
makna ayat secara global, kandungan hukum yang terdapat dalam
ayat, uraian qira>’at, i‘ra>b dan keistimewaan susunan kata
dalam Alquran.
Secara keseluruhan tafsir tah}li>li dapat dikenali dengan
beberapa ciri:20 pertama, Penafsir menjelaskan kandungan ayat
secara komprehensif baik itu tafsir berbentuk ra’yi> ataupun
ma’thu>r, mufasir menafsirkan ayat demi ayat, surah demi surah
berikut kajian kosa kata, asba>b al-nuzu>l dari ayat yang ditafsirkan
dan muna>sabah antar ayat dan surah, beserta analisi bahasa yang
meliputi keindahan susunan kalimat, i‘ja>z, badi>‘, ma‘a>ni, baya>n,
h}aqi>qat, maja>z, kina>yah, isti‘a>rah, dan lain sebagainya.21
Dalam tafsir tah}li>li juga memuat penafsiran Nabi, sahabat,
tabiin, tabi tabiin dan mufasir lainnya.
Kedua, model penafsiran tah}li>li (analitis) diwarnai dengan
kecenderungan masing-masing penafsir. Menurut Abu Hayy al-
16
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013), hlm. 379.
17
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i Suatu
Pengantar…hlm. 12.
18
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an …379.
19
Quraish Syihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm.
378.
20
Tinggal Purwanto, Pengantar Studi Tafsir Alquran ... hlm. 47-49.
21
Kadar M. Yusuf, Studi Alquran, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 137.
2
Farmawi, penafsir yang menggunakan metode tahlili memiliki
kecenderungan yang beraneka ragam. Jika ditinjau dari
kecenderungan mufasir, metode tah}li>li dapat dibedakan
menjadi; tafsir bi al-riwa>yah, bi al-ra’yi, tafsir corak fiqh, corak
tafsir al- adab al-ijtima>‘i, corak tafsir ‘ilmi, tafsir falsafi, dan
corak tafsir lainnya.22 Corak dalam penafsiran yang beragam
sesuai dengan keilmuan maupun kecenderungan dari tiap-tiap
penafsir, menjadikan daya tarik tersendiri dari kitab tafsir metode
tah}li>li dalam rangka memperluas khazanah keilmuan bagi yang
membacanya.
Ketiga, penafsiran ayat dilakukan sesuai urutan mushaf dari
ayat ke ayat dan surah demi surah. Namun, metode ini bukan
berarti harus menafsirkan Alquran secara keseluruhan dari awal
hingga akhir, melainkan dilihat dari aspek pola pembahasannya.
Jika pembahasan yang dilakukan oleh seorang penafsir tidak
bersifat mawd}u>’i maupun muqa>ran melainkan analitis sebagaimana
ciri yang disebutkan, maka metode tafsir tersebut masuk kategori
metode tafsir tah}li>li walau tidak ditafsirkan secara keseluruhan
mushaf seperti tafsir al-Manar.
Diantara kitab Tafsir yang menggunakan metode tafsir
tah}li>li ialah; Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l ayi al-Qur’a>n karya
Ibn Jarir al-Tabari (w. 310 H/ 922 M), Tafsi>r al-Qur’a>n al- ‘Az}i>m
yang disusun oleh Abi al-Fida‟ Isma‟il bin Kathi>r (w. 774 H/
1343 M), al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n karangan al-Allamah
al-Sayyid Muhammad Husain al-Thabathaba‟i (w.1402 H/ 1981
M), al- Misbah karya M. Quraish Shihab, dan masih banyak kitab
lainnya.
Sebagaimana metode penafsiran yang lain, penafsiran
tah}li>li juga tidak terlepas dari kelebihan dan kekurangan. Diantara
kelebihan tafsir tah}li>li terletak pada keluasan penafsirannya yang
meliputi kajian bahasa, hukum, sejarah, dan aspek lainnya.23

22
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i Suatu
Pengantar…hlm. 12.

3
23
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran …hlm. 381.

3
Melalui metode tah}li>li, seorang mufasir dituntut untuk memahami
Alquran secara tartil dari awal surah hingga akhir surah.
Adapun kekurangan dari metode ini terletak pada kajiannya
yang memerlukan waktu yang lama untuk menuntaskan penafsiran
secara utuh, penafsirannya yang tidak sistematis,24 penafsiran
terhadap kosa kata yang berlebihan atau berkurang khusus pada
tafsir tah}li>li corak lughawi, dan juga metode tah}li>li yang
menekankan uraian pada hukum terkadang terlalu menekankan
pada kecenderungan mazhabnya.25
3. Metode Tafsir Muqa>ran
Secara etimologi muqa>ran merupakan isim fa>‘il dari
kata qa>rana, yang berarti membandingkan antara dua perkara.26
Secara istilah tafsir muqa>ran berupa sebuah metode penafsiran
Alquran yang dilakukan dengan cara membandingkan pendapat
seorang mufasir dengan mufasir lainnya terhadap sejumlah ayat
Alquran. Selain itu tafsir muqa>ran juga berarti membandingkan
suatu ayat dengan ayat lain atau dengan hadis lain. Adapun yang
dibandingkan tersebut merupakan ayat atau hadis yang membahas
permasalahan serupa.27 Tafsir muqa>ran juga dapat dilakukan pada
ayat-ayat Alquran yang secara sekilas terlihat bertentangan dengan
hadis.28
Dengan demikian, metode tafsir muqa>ran mencakup ruang
lingkup kajian yang sangat luas. Metode ini dapat digunakan untuk
membandingkan teks ayat Alquran yang memiliki kesamaan atau
kemiripan redaksi dalam satu kasus yang sama ataupun
membandingkan antara ayat-ayat dengan hadis yang secara
zahirnya tampak bertentangan dan berbagai ragam pendapat ulama
dalam menafsirkan Alquran.

24
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qurán …hlm. 381.
25
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir…hlm. 322.
26
Abdullah Karim dan Abun Bunyamin, Bunga Rampai Ulum al-
Qur‟an…hlm. 188.
27
Kadar M. Yusuf, Studi Alquran…hlm. 137.
28
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an…hlm. 383.

3
Muhammad Chirzin memandang ruang lingkup tafsir
muqa>ran lebih luas lagi. Menurutnya, pembahasan tafsir muqa>ran
mencakup; perbandingan ayat-ayat Alquran dengan ayat-ayat al-
Kitab mengenai tema tertentu, membandingkan tafsir Alquran
dengan tafsir al-Kitab mengenai kisah nabi tertentu,
membandingkan penerjemahan Alquran dari berbagai bahasa,
membandingkan pendapat para mufasir mengenai nuzul al-qur’a>n
dan lain-lain, membandingkan metode penafsiran antar mufasir
seperti metode tafsir yang dirumuskan oleh tokoh kontemporer
semisal Fazlur Rahman, membandingkan metode tafsir tertentu
seperti metode tafsir tematik yang dicetus oleh Abu Hayy al-
Farmawi, Quraish Shihab maupun M.Dawam Raharjo,
membandingkan pandangan mufasir mengenai madha>hib al-
tafsi>r seperti karya Ignaz Goldziher dengan Abdul Mustaqim.29
Ada beberapa tahap yang harus dilakukan apabila seseorang
ingin membandingkan pendapat beberapa mufasir terkait suatu
ayat, yaitu:30
a. Menentukan sejumlah ayat yang akan ditafsirkan.
b. Mengumpulkan pendapat para mufasir mengenai ayat tersebut.
Baik dari kalangan salaf maupun kalangan khalaf, baik
penafsiran tersebut berdasarkan riwa>yah maupun menurut ra’yi.
c. Menganalisis perbandingan antara pendapat mufasir dengan
memperhatikan corak penafsiran, kecenderungan, dan pengaruh
madzhab terhadap penafsiran mereka.
d. Membuat kesimpulan terhadap tafsir yang dinilai benar dan
menolak penafsiran yang dianggap tidak dapat diterima.
Manakala mufasir ingin melakukan perbandingan antara
ayat yang menggunakan redaksi yang berbeda terhadap kasus yang
sama atau redaksi yang sama terhadap kasus yang serupa, maka
langkah awal yang harus dilakukan penafsir ialah menghimpun
ayat-ayat yang dimaksud. Setelah itu barulah melakukan

29
Tinggal Purwanto, Pengantar Studi Tafsir Alquran…hlm. 54-55.
30
Kadar M.Yusuf, Studi Alquran…hlm. 138.

3
perbandingan dan pengkajian dari berbagai segi sesuai kaidah
penafsiran, di susul langkah terakhir ialah menarik kesimpulan.
Disamping itu, jika mufasir bermaksud membandingkan
antara ayat Alquran dengan hadis yang secara lahiriah tampak
bertentangan, maka mufasir harus mengumpulkan ayat Alquran dan
hadis yang dimaksud. Setelah itu, barulah penafsir membandingkan
ayat dan hadis tersebut dengan melakukan analisis terlebih dahulu
dan menarik kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan.31
Contoh kitab tafsir muqa>ran adalah Durrat al-Tanzi>l wa
Gharrat al-Ta’wi>l karangan al-khatib al-Iskafi (w. 420 H/ 1029
M) dan Burha>n fi> Tawji>h Mutasyabbih al-Qur’a>n yang
disusun oleh Taj al-Qarra‟ al-Kirmani (w. 505 H/ 1111M).
Diantara kelebihan dari metode ini ialah mampu
memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembacanya. Melalui
metode muqa>ran, Alquran dapat ditafsirkan dengan lebih luas
berdasarkan berbagai ide mufasir, dapat menumbuhkan sikap
toleran dalam menerima berbagai pendapat yang muncul dari
penafsiran Alquran, metode ini sangat cocok bagi mereka yang
ingin mengetahui pendapat para mufasir mengenai suatu ayat,
mendorong mufasir untuk mengkaji Alquran secara lebih luas
mencakup kajian ayat dengan ayat, maupun hadis dan berbagai
pendapat para mufasir terhadap ayat tersebut,32 metode muqa>ran
juga dapat menjadi sarana untuk menemukan hikmah dibalik ayat-
ayat Alquran yang bervariasi redaksinya dalam kasus serupa dan
hikmah di balik ayat-ayat Alquran yang redaksinya mirip untuk
kasus yang berbeda.33
Adapun kekurangan dari metode tersebut diantaranya yaitu
disebabkan pembahasannya yang terlalu luas, penafsiran muqa>ran
tidak cocok digunakan bagi pemula atau kalangan awam, metode
ini kurang dapat diandalkan dalam menyelesaikan permasalahan

31
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an…hlm. 389.
32
Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Alquran… hlm. 142-143.
33
Ajahari, Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2018), hlm.
267.

3
masyarakat, dan tafsir dengan metode ini sangat minim penafsiran-
penafsiran baru karena fokus pada penafsiran-penafsiran yang
sudah dikemukakan oleh mufasir sebelumnya.34
4. Metode Tafsir Mawd}u>‘i
Seiring berkembangnya zaman, problem-problem baru
mulai bermunculan dan para ulama mengkaji jawaban-jawaban
tersebut melalui petunjuk Alquran. Alhasil, muncullah karya-karya
ilmiah yang hanya membahas mengenai satu topik tertentu dalam
Alquran. Pada awalnya, karya ilmiah tersebut tidaklah disusun
sebagai bagian dari pembahasan tafsir. Namun, dari karya tersebut
menghasilkan gagasan unuk menyusun Alquran dengan cara
menghimpun beberapa ayat yang membahas tema tertentu dengan
mengaitkan makna suatu ayat dengan ayat lain dan kemudian
ditarik kesimpulan secara menyeluruh mengenai topik tersebut
dalam Alquran. Metode ini pertama kali digagas oleh Prof. Dr.
Ahmad Sayyid al-Kumiy, ketua jurusan Tafsir pada Fakultas
Ushuluddin Universitas Al-Azhar.35
Tafsir mawd}u>‘i atau dikenal juga sebagai tafsir tematik
menurut Dr. Musthafa Muslim adalah tafsir yang membahas
masalah tertentu dalam Alquran dengan cara menghimpun ayat-
ayat Alquran kemudian ayat-ayat tersebut dianalisis isi
kandungannya dengan cara-cara maupun syarat yang telah
ditentukan dan menghubungkan ayat yang satu dengan yang
lainnya dengan korelasi yang komprehensif.36 Quraish Shihab
menjelaskan agar tersampainya pada pandangan Alquran mengenai
tema tertentu, seorang mufasir harus mengumpulkan ayat Alquran
yang berbicara mengenai tema yang serupa, kemudian dianalisis,
dan dipahami ayat demi ayat, ayat yang bersifat umum dikaitkan
dengan ayat yang bersifat khusus, yang mut}laq disandingkan
dengan yang muqayyad, dan menyertakan hadis-hadis yang
34
Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Alquran…hlm. 143-144.
35
Quraish Shihab, Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2013), hlm. 175.
36
Dikutip dari Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an …hlm. 391.
3
berbicara mengenai tema yang bersangkutan. Setelah itu barulah
ditarik kesimpulan mengenai pandangan menyeluruh dan tuntas
mengenai tema yang diangkat.37
Menurut Abu Hayy al-Farmawi, ada dua faktor yang
menyebabkan munculnya corak tafsir mawd}u>‘i. Pertama,
Keinginan para tokoh ilmuan dan tokoh peneliti untuk menggali
salah satu ilmu dari berbagai macam ilmu yang terkandung dalam
Alquran. Kajian tersebut dilakukan tanpa mengurangi perhatian
terhadap syariat, hukum-hukum dan aspek pokok lainnya. 38 Hal
tersebut sangat mungkin terjadi mengingat Alquran mengandung
makna yang tidak terbatas, Alquran mampu menghadirkan
pemikiran dan penjelasan pada tingkat dasariah, eksistensi yang
absolut. Dengan demikian, pemahaman Alquran selalu terbuka,
tidak baku dan hanya bertumpu pada satu penafsiran saja.39
Kedua, untuk mematahkan pandangan kaum orientalis yang
mengeluarkan tuduhan negatif terhadap penafsiran Alquran yang
bersifat atomistik. Tuduhan tersebut juga dilontarkan oleh orang-
orang yang minim pengetahuannya mengenai Islam dan tidak
terbiasa dengan tradisi keilmuan Islam. Singkatnya, kemunculan
metode mawd}u>‘i tidak terlepas dari kebutuhan pada
zaman sekarang. Pembaharuan metode ini diperlukan agar mampu
mengimbangi perkembangan kondisi maupun keilmuan saat ini.40
Kajian tafsir mawd}u>‘i juga terdiri dari dua bentuk. Pertama,
tafsir surah, yaitu membahas suatu surah secara menyeluruh
dengan cara menguraikan maksudnya yang bersifat umum dan
khusus, menjelaskan korelasi berbagai masalah yang terdapat di
dalamnya, sehingga penafsiran ayat tersebut utuh dan cermat. 41
37
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2019), hlm.
328.
38
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i Suatu
Pengantar…hlm. 41-44.
39
Quraish shihab, Membumikan al-Qur‟an…hlm. 213.
40
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i Suatu
Pengantar...hlm. 44.
41
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i Suatu
Pengantar… hlm. 35.

3
Tafsir mawd}u>‘i bentuk pertama ini memiliki beberapa
kelebihan. Diantaranya ialah merupakan salah satu cara terbaik
dalam penafsiran sebab metode tersebut bekerja dengan
menafsirkan ayat dengan ayat lain, menjadi salah satu cara
tersingkat dan termudah dalam menemukan makna Alquran, dapat
menjawab berbagai persoalan umat selaras dengan petunjuk
Alquran, metode tersebut juga membuka peluang bagi mufasir
untuk menyingkap makna Alquran dari sisi fas}a>h}ah}, bala>ghah, dan
dapat mengkompromikan antara ayat-ayat yang secara zahir
tampak bertentangan.42 Salah satu karya mufasir yang
menggunakan metode mawd}u>‘i model pertama ini adalah
kitab Nahwa Tafsi>r Mawd}u>‘i li Suwar al- Qur’a>n al-Kari>m
karya Muhammad Ghazali.
Bentuk tafsir mawd}u>‘i kedua, mengumpulkan sejumlah ayat
dari berbagai surah yang membahas tema tertentu. Ayat-ayat
tersebut disusun dan diletakkan dibawah satu tema kemudian dikaji
dengan metode mawd}u>‘i. Bentuk kedua ini lebih masyhu>r
dibandingkan dengan bentuk pertama.43 Dalam pembahasan ini,
penulis lebih banyak menerangkan tafsir mawd}u>‘i bentuk kedua.
Jika ditinjau dari sisi sejarah, tafsir mawd}u>‘i sudah muncul
benihnya sejak zaman Rasulullah saw. Pada masa tersebut beliau
seringkali menafsirkan ayat dengan ayat lain. Dalam
perkembangannya para ulama tafsir menulis kitab tafsir dengan
metode yang dekat dengan tafsir mawd}u>‘i. 44 Seperti uraian
Ibn Qayyim mengenai sumpah-sumpah yang terdapat dalam
Alquran dalam kitabnya al-Tibya>n fi Aqsa>m al-Qur’a>n, al-
Mufrada>t fi
Ghari>b al-Qur’a>n karya al-Raghib al-Asf} ahan> i, Ah}ka>m al-Qur’a>n
karangan al-Jas}a>s}, Asba>b al-Nuzu>l yang disusun oleh al-
Wa>h}idi, Abu „Ubaidah menyusun kitab mengenai Maja>z al-
Qur’a>n dan

42
Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik dalam Alquran, terjemah.
Qodirun Nur dan Ahmad Musyfiq, (Jakarta: Gaya Media, 2005), hlm.vii
43
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i Suatu
3
Pengantar… hlm. 36.
44
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i Suatu
Pengantar… hlm. 43.

3
karya ulama lainnya yang serupa.45 Semua karya tersebut walau
mirip dengan penafsiran mawd}u>‘i namun cara kerja
metode mawd}u>‘i belum ditetapkan secara jelas dan belum menjadi
metode ilmu tersendiri.
Ilmu mengenai metode tafsir mawd}u>‘i baru muncul
belakangan yang digagas oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy
(ketua jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas Al-
Azhar) beserta beberapa dosen. Dengan metode mawd}u>‘i beberapa
dosen di Universitas tersebut berhasil membuahkan karya ilmiah.
Diantaranya ialah al-Husaini Abu Farhah menulis al-Futu>h}a>t
al- Rabba>niyah fi al-Tafsi>r al-Mawd}u>‘i li Aya>t al-Qur’a>n al-
Kari>m. Namun dalam karyanya tersebut masih terdapat beberapa
kelemahan seperti beliau menyusun pembahasan secara
mawd}u>‘i tanpa mencantumkan keseluruhan ayat dari sebuah surah
dan tidak merincikan mengenai ayat-ayat yang diturunkan pada
periode Mekkah dan membedakannya dengan ayat yang turun pada
periode Madinah.46
Langkah-langkah penyusunan tafsir mawdu} >‘i
disusun secara sistematis oleh Abu Hayy al-Farmawi dalam
bukunya al- Bida>yah fi al-Tafsi>r al-Mawd}u>‘i. Adapun
langkah-langkah sistematis penulisan tafsir mawd}u>‘i adalah sebagai
berikut:
a. Menentukan terlebih dahulu masalah Alquran yang ingin dikaji
secara tematik.
b. Mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut
baik ayat makiyah maupun ayat madaniyah.
c. Menyusun ayat secara kronologi sesuai masa turunnya ayat
(asba>b al-nuzu>l).
d. Mencari muna>sabah ayat dalam masing-masing surah.
e. Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang sistematis dan
utuh.

45
Muhammad Husain al-Zahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, jilid 1,
(Mesir: Dar al-Hadist, 1396 H/ 1976 M), hlm. 149.
46
Quraish Shihab, Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu

3
dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2009), hlm. 176.

4
f. Menyertakan hadis yang berkaitan dengan tema bahasan agar
pembahasan menjadi jelas dan sempurna.
g. Menganalisis ayat secara sistematis dengan cara mengumpulkan
ayat yang memiliki makna serupa, mengompromikan antara ayat
‘am dengan kha>s}, mut}laq dengan muqayyad, menyelaraskan
ayat-ayat yang secara zahirnya tampak bertentangan, dan
menjelaskan ayat na>sikh wa mansu>kh.
Melalui metode tafsir mawd}u>‘i tercapai
pemahaman alquran yang komprehensif. Disebabkan
komprehensifnya pemahaman alquran mengenai suatu masalah jika
dikaji dengan metode mawd}u>‘i, banyak ulama maupun tokoh
cendikiawan yang mengapresiasi metode tersebut salah satunya
ialah Syekh Syaltut. Menurut Syekh Syaltut, tafsir mawd}u>‘i
merupakan sebuah metode tafsir yang paling ideal dibandingkan
dengan metode lain. Sebab melalui metode ini petunjuk yang
dikandung Alquran dapat tersampaikan dengan baik dikalangan
masyarakat. Selain itu metode tersebut juga menegaskan bahwa
masalah yang dikandung Alquran tidak selalu bersifat teoritis
melainkan juga memiliki hubungan dengan segala aspek kehidupan
manusia.
Ada empat hal yang harus diperhatikan oleh mufasir ketika
menafsirkan alquran secara tematik. Keempat hal tersebut ialah:47
a. Penafsir harus menyadari bahwa penafsiran yang dilakukannya
tidak secara menyeluruh dan utuh. Sebab dengan metode
mawd}u>‘i sebenarnya penafsir tidak menafsirkan Alquran secara
keseluruhan karena penafsiran hanya dibatasi pada satu masalah
saja.
b. Penafsir harus selalu mengingat bahwa yang ditafsirkannya
hanya pada satu permasalahan saja tanpa harus menyangkut paut
dengan masalah lain diluar tema. Selain itu, penafsir juga
dituntut untuk membahas ayat dari seluruh aspeknya.
c. Mufasir harus memperhatikan tahapan-tahapan pemberlakuan
hukum yang tercantum dalam Alquran.
47
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i Suatu

4
Pengantar… hlm. 57.

4
d. Penafsir haruslah menerapkan metode atau langkah-langkah
dalam menyusun tafsir tematik sebagaimana yang telah
tercantum sebelumnya.
Diantara kitab yang membahas penafsiran Alquran secara
mawd}u>‘i adalah al-Mar’ah fi al-Qur’a>n karya Mah}mu>d al-„Aqad> ,
Us}u>l al-Din wa Asas al-I>ma>n fi al-Qur’a>n disusun oleh Ayatullah
al-Syekh Muhammad al-Yazdi, al-Riba> fi al-Qur’an> karangan Abu
A‟la al-Maududi, Nahwa Tafsi>r Mawd}u>’i li S}uwar al-Qur’a>n
al- Kari>m karangan Muhammad al-Ghazali, dan masih banyak
kitab lainnya yang terus lahir hingga saat ini.
B. Metode Hermeneutika
Istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani
hermeneuein yang berarti menafsirkan. Kata hermeneuein menurut
tradisi bangsa Yunani kuno memiliki tiga makna yaitu;
mengatakan, menjelaskan, dan menerjemahkan.48 Ketiga makna
tersebut diberi arti lebih luas lagi menjadi: mengungkapkan isi
pikiran melalui kata-kata agar tersampai kepada yang dituju,
menjelaskan makna yang masih kabur sehingga dapat dipahami,
dan menerjemahkan kedalam bahasa yang diketahui oleh sasaran.49
Jika ditinjau secara terminologi, terdapat pengertian yang
terus berkembang mengenai makna hermeneutika dari masa ke
masa yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Carl Bart
hermeneutika yaitu ilmu untuk memahami peristiwa dan kata di
masa lalu sehingga peristiwa tersebut dapat dipahami sekaligus
bermakna manakala diaplikasikan ke dalam situasi masa kini, yang
di dalamnya memuat aturan metodologis dari aktivitas
pemahaman.50 Hermeneutika menurut Schleiermacher berfungsi
sebagai penjelasan dan interpretasi teks suci dan dogma-dogma

48
Richard E. Palmer, Hermeneutich: Interpretethion Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, (Evenston: Northwestren
University Press, 1969), hlm. 23.
49
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir…hlm 342.
50
Farid Esack, Qur‟an: Liberation & Pluralism (Oxford: One World,
1997), hlm. 61.

4
agama.51 Hermeneutika juga lahir dengan tujuan menguak misteri
yang terdapat dalam sebuat simbol sehingga terbukalah makna
sebenarnya.52
Adapun hermeneutika menurut cendekiawan muslim
maupun mufasir kontemporer ialah alat untuk memahami sebuah
teks sehingga tampaklah sisi lain dari makna Alquran yang
sebelumnya tidak tampak.53 Sahiron Syamsuddin menambahkan
bahwa demi tercapainya makna yang diinginkan dalam sebuah teks
maka diperlukan sebuah metodologi, hakikat dan syarat dari
penafsir. Ketiga komponen tersebut tertuang dalam hermeneutika. 54
Dari beberapa ulasan para ahli mengenai pengertian hermeneutika,
dapatlah ditarik benang merah bahwa hermeneutika merupakan
sebuah alat atau seni untuk mengungkapkan makna dibalik teks
dengan metodologi dan cara-cara tertentu. Metode dan aliran
hermeneutika yang lahir pun sangatlah beragam dan kompleks.
1. Sejarah Pengaplikasian Hermeneutika sebagai Mitra Tafsir
Alquran
Hermeneutika pada perkembangannya juga menyentuh
ranah pemahaman Alquran sebagai kitab suci umat manusia.
Walaupun pada prosesnya pendekatan ini tidak serta merta diterima
dengan lapang dada oleh para tokoh muslim terlebih mereka yang
masih memegang erat islam tradisionalis dan fundamentalis. Sikap
kontra tersebut merupakan hal yang wajar terjadi manakala sesuatu
yang baru dan asing hadir dan menghancurkan paradigma awal
yang sudah lama terbentuk. Oleh sebab itu, dalam
perkembangannya teori hermeneutika dan hermeneus (tokoh

51
Edi Susanto, Studi Hermeneutik Kajian Pengantar, (Jakarta: Kencana,
2016), hlm. 44.
52
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Alquran (Antara Teks, Konteks, dan
Kontekstualisasi), (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm.55-133.
53
Muhammad Quraish Shihab, Kaidah Tafsir…hlm 340.
54
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
Qur‟an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm. 5.

4
hermeneutik) khususnya dikalangan pegiat Alquran, mengalami
gejolak yang tidak dapat dihindari.
Menurut Farid Esack, jika ditinjau sejarah masa lalu
sebenarnya hermeneutika dalam penafsiran Alquran sudah
diaplikasikan sejak masa klasik. Hanya saja, tidak ada istilah yang
secara khusus menunjukkan hermeneutika.55 Farid Esack
menyatakan hal yang demikian berdasarkan:
a. Kajian-kajian asba>b al-nuzu>l dan na>sikh wa mansu>kh. Kajian-
kajian ini pada dasarnya juga merupakan problematika yang
dikaji oleh hermeneutika dengan istilah yang berbeda.
b. Perbedaan pemahaman mufasir yang termuat dalam teori
maupun metode penafsiran, sehingga disusun sebuah disiplin
ilmu yang disebut ilmu tafsir.
c. Adanya pengategorian tafsir seperti tafsir Syi‟ah, tafsir hukum,
tafsir Muktazilah, dan lain-lain. Pengelompokan ini muncul
berdasarkan periode-periode sosial maupun ideologi tertentu
dari tafsir.
Dari beberapa alasan yang dikemukakan oleh Farid Esack
diatas dapat dikatakan bahwa corak hermeneutika sudah tampak
bibitnya dalam ‘Ulum al-Qur’a>n terdahulu. Hanya saja operasional
hermeneutika dalam penafsiran Alquran barulah dirintis oleh para
tokoh pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh dengan
pemikirannya yang lebih menekankan pada analisis sosial
masyarakat dan juga pembaharu lainnya seperti Ahmad Khan
maupun Ghulam Ahmad yang melakukan demitologisasi. Perlu
digaris bawahi, pada masa tersebut rumusan metodologi
hermeneutika belum tersusun secara sistematis. Kajian
hermeneutika Alquran baru dikaji secara khusus dan serius pada
tahun 1960-an.56
55
Pendapat Farid Esack dimuat dalam bukunya “Qur‟an: Pluralism and
Liberation” (Oxford: One World, 1997) hlm. 161. kemudian dikutip ulang oleh
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur‟an (Tema-tema Kontroversial),
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), hlm.13-14.
56
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Alquran (Tema-tema Kontroversial)…
hlm. 14.

4
Apa yang diutarakan oleh Farid Esack hampir sama dengan
pandangan Sahiron Syamsuddin. Menurut beliau hermeneutika
dalam penafsiran Alquran di masa awal dan pertengahan sudah
diterapkan secara tidak langsung. Di samping memahami ayat dari
sisi tinjauan linguistik, para mufasir juga melibatkan usaha dalam
mengungkapkan makna dibalik teks.57 Pemahaman ayat yang tidak
literalis ini merupakan salah satu bentuk hermeneutika. Contohnya
sebagaimana usaha khalifah Umar ibn al-Khathab tatkala
menafsirkan QS. al-Taubah: 60. Ayat tersebut berisikan golongan
orang-orang yang berhak menerima zakat yang mana salah satunya
ialah al-mu’allafah qulu>buhum (orang orang yang hatinya perlu
dilunakkan). Di antara kasus yang masuk golongan al-mu’allafah
qulu>buhum yaitu orang yang diberi zakat agar orang tersebut
masuk Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw
kepada Shafyan Ibn Umayyah. Namun setelah Rasulullah saw
wafat, Umar, „Amir, al-Sya>t}ibi>, dan beberapa ulama lain tidak
menyertakan mu’allafah dalam pembagian zakat saat itu.58
Hermeneutika Alquran juga digunakan oleh kaum sufi
dalam memaknai Alquran dengan makna zahir dan batin. 59 Makna
zahir ialah makna yang dipahami secara literal (sesuai bunyi
teksnya). Adapun makna batin ialah makna yang hanya diketahui
oleh mereka yang sudah terbuka hatinya oleh Allah Swt. 60 Para
kaum sufi manakala ingin menafsirkan ayat tidak hanya berhenti
pada makna lahirnya saja, melainkan juga berusaha menyelami
makna teks secara mendalam.
Diantara bukti perkembangan pemikiran hermeneutik dalam
literatur Islam pada masa kontemporer ini dapat dilihat sebagai

57
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
Qur‟an…hlm. 30.
58
Ibnu Kathi>r, Tafsir Ibnu Kathi>, Terj. Arif Rahman Hakim, dkk, jilid 5,
(Jawa Tengah: Insan Kamil Solo, 2016), hlm.178-179.
59
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
Qur‟an…hlm. 33.
60
Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, terj. Tim
Editor Indava, jilid 2, (Solo: Indava Pustaka), hlm. 923.

4
berikut:61 Pertama, adanya interaksi dengan hermeneutika Barat
yang dilakukan oleh kaum muslimin. Di satu sisi kaum muslimin
memberikan respon negatif dan di sisi lain memberikan respon
positif. Tak jarang pula beberapa tokoh muslim terinspirasi
pemikirannya setelah mempelajari model hermeneutika Barat. Oleh
sebab itu, tidak mengherankan jika nama-nama tokoh barat seperti
Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Emilio Betti dan Hans Georg
Gadamer kerap terdengar saat mempelajari hermeneutika. Keempat
tokoh tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
perkembangan pemikiran hermeneutika di beberapa belahan dunia.
Banyak pula tokoh pemikir muslim yang terinspirasi dengan teori
hermeneutik yang mereka canangkan. Salah satunya ialah Nasr
Hamid yang mengadopsi pemikiran Gadamer dalam karyanya.62
Begitu pula metode double movement yang ditawarkan oleh Fazlur
Rahman mirip dengan pandangan Hans Georg Gadamer terkait
„Fusion of horison‟ dan hermeneutika objektivis yang dibawa oleh
Emilio Betti.63 Namun tidak benar jika dikatakan para cendikiawan
muslim mengadopsi seutuhnya pemikiran hermeneutik Barat. Jika
diperhatikan tokoh hermeneutik muslim sangatlah kritis terhadap
pandangan kaum orientalis dan sangat jeli dalam memfilter
pemikiran yang cocok dipakai dalam khazanah keislaman tanpa
terlepas dari pemikiran masing masing tokoh.
Kedua, menghilangkan kajian otentisitas teks Alquran.64
Rahman mengatakan bahwa keotentikan Alquran itu sudah jelas
dan final tanpa harus dipersoalkan lagi, yang perlu dikaji dan

61
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
Qur‟an… hlm. 38-41.
62
Kusmana, “Hermeneutika Humanistik Naṣr Ḥamīd Abū Zayd:
Alquran sebagai Wacana”, dalam Jurnal Kanz Philosophia Vol.2, No. 2 (2012),
hlm. 271.
63
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
Qur‟an…hlm. 39.
64
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
Quran…hlm.39.

4
ditanggapi hanya pemahaman mufasir terkait makna Alquran.65
Sebab proses pewahyuan tidak berada pada ranah saintifik,
melainkan ranah keyakinan dan keimanan dan yang menjadi objek
kajian hanya pada pemahaman terhadap teks Alquran itu sendiri.
Salah satu tokoh kontemporer yang memusatkan kajian
Alquran dengan hermeneutik ialah Fazlur Rahman, Muhammad
Arkoun, Amina Wadud, dan Nasr Hamid Abu Zayd. Pada dasarnya
rumusan hermeneutik berangkat dari analisis bahasa menuju
analisis konteks untuk ditarik makna yang dikandungnya kepada
ruang dan waktu saat penafsiran tersebut dilakukan.66 Rumusan
tersebut menegaskan bahwa hermeneutika tidak hanya memandang
dari sisi teks saja, melainkan turut melibatkan analisis konteks yang
meliputi teks, baik itu konteks psikologis maupun konteks sosial. 67
Apa yang ditawarkan oleh hermeneutik ini memberikan pandangan
baru bagi pegiat studi Alquran agar Alquran senantiasa berdialog
dengan ruang yang berbeda maupun masa yang senantiasa berubah-
ubah dari waktu ke waktu.
2. Metode Hermeneutika Fazlur Rahman
Fazlur Rahman merupakan salah satu pemikir Islam yang
berkonsentrasi pada perumusan gagasan Islam kembali sehingga
mampu menjawab permasalahan di era kontemporer. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan lahirnya pemikiran Fazlur Rahman
diantaranya ialah adanya polemik di Pakistan yang terjadi antara
kaum modernis dengan kaum tradisionalis fundamentalis,
kesadaran Rahman akan tantangan yang akan dihadapi kaum
muslim di era modern, dan faktor kedudukannya sebagai Direktur
lembaga Riset Islam dan anggota Dewan penasehat Ideologi Islam
Pemerintah Pakistan. Jabatan tersebut menjadi salah satu faktor

65
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta:
LKiS Group, 2012) hlm. 89.
66
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Alquran (Tema-tema Kontroversial)…
hlm.17.
67
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Alquran (Tema-tema Kontroversial)…
hlm. 23.

4
Rahman serius dalam upaya meredefinisikan Islam agar sejalan
dengan kemajuan zaman saat itu. 68
Perkembangan pemikiran Fazlur Rahman oleh Nasaiy Aziz
dibagi menjadi tiga periode. Periode awal, pada periode ini
Rahman memusatkan perhatiannya pada pemikiran religio-filosofis
modernisme Islam seperti pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina terkait
wahyu, kenabian, mukjizat, dan lainnya. Pada periode awal ini
pemikiran beliau belum terformat dengan jelas. Selanjutnya pada
Periode Pakistan yang ditandai dengan terbitnya artikel dalam
Islamic Studies. Pada periode Pakistan Rahman memusatkan
pemikirannya pada konsep sunah, ijma, ijtihad, dan ajakan untuk
kembali kepada hadis. Fazlur Rahman juga bersikap kritis terhadap
gagasan keagamaan modernis klasik. Pada periode tersebut,
Rahman berpendapat bahwa pendekatan historis merupakan salah
satu jalan penafsiran Alquran dan pentingnya integritas moral.
Walaupun demikian rumusan metode secara sistematis mengenai
penafsiran Alquran belum ia lakukan. Perumusan pemikiran
Rahman baru muncul pada periode Chicago. Pada masa tersebut
atas dasar dorongan, kesadaran, dan tanggung jawab terhadap
kondisi Islam yang tengah menghadapi krisis modernitas, Fazlur
Rahman menciptakan sebuah metodologi yang sistematis dan
komprehensif dan dianggap mampu menjawab segala persoalan
saat itu.69
Metode yang dicetuskan oleh Rahman menurut Sahiron
Syamsuddin mirip dengan pandangan Hans Georg Gadamer terkait
Fusion of horizon. Fusion of horizon yang dibawa oleh Gadamer
menawarkan penggabungan dua cakrawala yakni cakrawala masa
lalu dengan cakrawala masa kini.70 Penggabungan cakrawala ini
menjadi mediasi masa lampau dengan masa kini sehingga maksud
dari teks secara keseluruhan dapat tersampaikan. Agar
68
Umma Farida, Pemikiran dan Metode Tafsir Alquran Kontemporer,
(Kudus: Idea Press , 2010), hlm. 9.
69
Nasaiy Aziz, Penafsiran Alquran Kontemporer, (Banda Aceh: Ar-
Raniry Press, 2012), hlm. 155-157.
70
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer…hlm. 176.

4
tersampainya pada penggabungan tersebut diperlukan analisis
bagaimana teks dipandang bagi orang pada masa lalu dengan jalan
exegese dan setelahnya mencari makna teks bagi masa kini dengan
hermeneutika.71 Adapun hasil akhir yang diinginkan dari
penggabungan cakrawala ialah transformasi atau perubahan
pembacanya menjadi kontekstual dan selaras dengan
72
perkembangan zaman. Penggabungan antara cakrawala masa lalu
dengan masa kini mirip dengan teori double movement Rahman.
Berdasarkan hal tersebut yang memungkinan Sahiron Syamsuddin
menyatakan adanya kemiripan antara pandangan dua tokoh
tersebut.
Adapun yang mengatakan pemikiran Rahman terinspirasi
dengan hermeneutika Emilio Betti, berdasarkan pandangan
objektivitas yang menerima adanya original meaning. Walaupun
ada beberapa perbedaan dalam memahami konsep original
meaning antara Betti dengan Rahman. Di antara perbedaannya
ialah Betti meyakini makna teks yang asli hanya terletak pada akal
pengarang, dan manakala ingin melakukan interpretasi penafsir
harus menyelami pikiran pengarang untuk mengetahui makna
aslinya. Sedangkan dalam pandangan Rahman makna asli teks
dapat diketahui dari konteks sejarah saat teks tersebut diturunkan, 73
sebab mustahil seseorang dapat menyelami pemikiran Allah Swt.
Dalam hal penafsiran, Rahman memetakan objektivitas
berada pada beberapa wilayah. Pertama, makna orisinal yang
dikandung teks. Makna orisinal dalam Alquran terletak pada ideal-
moral yang bersifat objektif universal. Kedua, konteks teks yang
dipahami dengan objektif melalui ilmu sejarah, dan ilmu lainnya
yang mendukung keorisinilan konteks. Ketiga, orisinalitas dalam
wilayah penafsir. Seorang penafsir tidak boleh memaksa
subjektivitasnya demi tujuan-tujuan tertentu seperti kecenderungan

71
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer…hlm. 176.
72
Jens Zimmermann, Hermeneutika Sebuah Studi Pengantar,
(Yogyakarta: Diva Press, 2021), hlm.99-100.
73
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer…hlm. 177.

5
ideologi. Subjektivitas seorang penafsir justru lahir dari objektivitas
realitas sosial saat itu. Untuk tercapainya objektivitas maka
diperlukan seperangkat ilmu Sosial Humaniora agar realitas di
masa tersebut terbukti dengan akurat.74
Secara keseluruhan, pemikiran Fazlur Rahman dapat
dipetakan menjadi dua bentuk. Bentuk pertama teori double
movement dengan pendekatan sosio-historis dan kedua metode
sintetis-logis. Kedua metode yang ditawarkan oleh Rahman ini
dikategorikan berdasarkan tema yang terkandung dalam ayat
Alquran. Ayat-ayat yang berisikan tentang hukum dapat dianalisis
menggunakan teori double movement, sedangkan ayat-ayat yang
membahas persoalan eskatologi dikupas dengan memakai metode
sintetis-logis.
a. Double Movement
Agar pemahaman Alquran komprehensif, Fazlur Rahman
menggagas sebuah metode yang disebut dengan istilah double
movement. Double movement (gerakan ganda) ialah sebuah proses
penafsiran yang terdiri dari gerakan ganda yakni dari situasi
sekarang menuju masa Alquran diturunkan dan kembali ke masa
kini.75 Teori double movement diaplikasikan pada ayat-ayat yang
berbicara mengenai tema kemanusiaan, sosial maupun ayat-ayat
hukum. Teori double movement terdiri dari dua gerakan dan
masing-masing gerakan terdiri dari beberapa langkah.
Gerakan pertama berpijak dari situasi saat ini kembali ke
masa dimana Alquran diturunkan. Rahman memformulasikan
gerakan pertama menjadi dua langkah. Langkah pertama, mengkaji
situasi kondisi historis saat Alquran diturunkan baik secara spesifik
maupun secara keseluruhan (makro).76 Dengan melibatkan kondisi
historis Alquran, maka akan ditemukan makna keseluruhan dari
74
Elya Munfarida, “Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an Menurut Fazlur
Rahman”, dalam jurnal Komunika,vol.9, No. 2, (2015). hlm. 253.
75
Fazlur Rahman, Islam dan modernitas: Tentang Transformasi
Intelektual, terjemah. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 6.
76
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas… hlm. 7

5
pesan Alquran. Hal ini menjadi penting karena keputusan-
keputusan Alquran (legislasi) tidak pernah terlepas dari latar
belakang atau konteks historisnya. Alquran diturunkan secara
berangsur-angsur sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
Arab saat itu, sehingga kebutuhan akan pengetahuan mengenai
konteks turunnya ayat sangatlah dibutuhkan.
Pendekatan sosio-historis yang Rahman gunakan dalam
langkah pertama merupakan penyempurnaan dari asba>b al-nuzu>l
yang telah ditetapkan oleh ulama klasik. Asba>b al-nuzu>l terbagi
kepada asba>b al-nuzu>l mikro dan asba>b al-nuzu>l makro.77 Asba>b al-
nuzu>l makro dapat berupa kondisi masyarakat, agama, adat istiadat,
lembaga maupun seluruh aspek kehidupan masyarakat Arab saat
Islam turun.78
Dalam kajian penafsiran, para mufasir klasik sangat jarang
menyertakan asba>b al-nuzu>l makro dalam karya-karyanya. Mufasir
di masa tersebut hanya melibatkan asba>b al-nuzu>l mikro mengenai
kasus partikular dan dianggap sebagai latar belakang turunnya ayat
tersebut. Hal inilah yang menyebabkan analisis antara teks dengan
konteks pada masa tersebut belum begitu tajam.79 Berbeda dengan
pendekatan sosio-historis yang menjadi tawaran Fazlur Rahman.
Pendekatan ini sangat luas cakupannya, tidak hanya sebatas
peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat saja, melainkan
juga ditinjau dari segi kondisi Arab sebelum dan saat Alquran
diturunkan ataupun perjalanan dakwah semasa Rasulullah saw
hidup.
Rahman memandang pendekatan sosio-historis sebagai satu
satunya jalan penafsiran Alquran yang berorientasi pada keadilan
dan sejalan dengan tuntutan intelektual maupun moral. Di samping
itu, pendekatan sosio-historis juga dapat membawa mufasir kepada
penafsiran yang jauh dari kesewenang-wenangan maupun

77
Fazlur Rahman, Islam, terjemah. Ahsin Muhammad, (Bandung:
Pustaka, 2010), hlm.43.
78
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas… hlm.7.
79
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer…hlm.183.

5
penafsiran yang dibuat-buat, sehingga melalui pendekatan sosio-
historis pesan yang terkandung dalam Alquran menjadi jelas
setelah dikaji dengan jalan yang sistematis dan terpadu.80
Adapun langkah kedua, menemukan ideal-moral (moral
sosial) dalam ayat Alquran yang dikaji. Ideal-moral tersebut di
dapati dari proses penyaringan ayat-ayat spesifik yang melibatkan
sosio historis dan rationes legis suatu ayat.81 Pemisahan antara nilai
ideal-moral dengan legal-formal berfungsi agar tampak mana yang
merupakan nilai eternal-universal dan mana yang masuk kategori
nilai temporal-partikular.82 Langkah kedua berupa implikasi dari
langkah pertama, yakni menggeneralisasi jawaban-jawaban spesifik
dan menarik tujuan moral-sosial secara keseluruhan dari ayat
spesifik tersebut.83
Secara keseluruhan dapatlah dipahami bahwa gerakan
pertama fokus pada tugas pemahaman berupa pencarian dan
pensistematisan nilai-nilai, prinsip umum dan tujuan jangka
panjang dari ayat-ayat yang spesifik dalam Alquran. Ketiga
variabel tersebut tertuang dalam ideal-moral. Rahman memandang
moral merupakan dasar ajaran Alquran yang menitikberatkan pada
monoteisme dan keadilan sosial.84 Agar tercapainya pada
pemahaman ideal-moral dalam suatu ayat, diperlukan tiga
perangkat berupa ‘illat hukum yang terkandung dalam Alquran
secara jelas, ‘illat hukum yang termuat dalam Alquran secara tidak
jelas (implisit), dan seperangkat kajian sosio-historis.85
Adapun gerakan kedua berangkat dari masa Alquran
diturunkan ke masa kini. Dengan cara mengaplikasikan prinsip-
prinsip umum teks kepada realitas sosio-historis saat ini.86 Agar
80
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer… hlm. 184-185.
81
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas… hlm.7.
82
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer…hlm.135-136.
83
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas…hlm. 7.
84
Fazlur Rahman, Islam …hlm. 49.
85
Bustami Saladin, Studi Komparatif Metode Penafsiran Klasik dan
Kontemporer tentang Ayat Ahkam, (dalam Disertasi Program Studi Ilmu
Keislaman, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018), hlm.152.
86
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas…hlm. 6 dan 8.

5
prinsip umum dapat disandingkan dengan realitas sosial pada masa
tersebut, diperlukan kajian yang cermat terhadap situasi dan
kondisi zaman. Analisis yang dilakukan ialah dengan menilai
kondisi masa kini berikut komponen-komponennya agar dapat
mengondisikan realitas sekarang dengan apa yang diinginkan oleh
Alquran. Oleh sebab itu, seorang penafsir harus paham betul
perkembangan kehidupan aktual saat ini dalam berbagai aspeknya.
Gerakan kedua tidak hanya bekerja sebagai perwujudan
nilai Alquran dalam konteks kekinian saja, melainkan juga sebagai
pengoreksi kekeliruan baik dari segi pemahaman Alquran yang
tertuang dalam gerakan pertama ataupun dari segi konteks
kekinian. Dalam artian, jika seandainya pemahaman Alquran dalam
gerakan pertama yang dilakukan tidak sesuai dengan realitas
konteks saat ini, maka mufasir bisa saja telah gagal dalam
memahami Alquran ataupun gagal dalam menilai situasi di masa
tersebut, sehingga terjadi ketimpangan antara gerakan pertama dan
realitas saat ini.87
Secara sistematis, pemikiran Rahman yang tertuang dalam
teori double movement dapat diturunkan menjadi beberapa poin:
1) Situasi masa kini ke masa Alquran diturunkan.
a) Pemahaman situasi tekstual ayat.
b) Memperhatikan konteks ayat dari segi situasi historis (kajian
makro dan mikro).
c) Respon Alquran terhadap situasi tersebut. Poin a, b, dan c
bekerja secara bersamaan untuk menemukan jawaban dari
problem historis, yang mana jawaban tersebut termaktub dalam
Alquran.
d) Upaya menggeneralisasi jawaban-jawaban spesifik. Maksudnya
ialah mengambil kesimpulan secara umum dari jawaban-
jawaban spesifik.

87
Nasaiy Aziz, Penafsiran Alquran Kontemporer …hlm. 182.

5
e) Dari upaya generalisasi, penafsir dapat menentukan arah tujuan
moral-sosial dari hasil penyaringan ayat-ayat spesifik. Setelah
itu, pemahaman ayat bergerak menuju tahap kedua.
2) Masa Alquran diturunkan menuju masa kini. Dari prinsip-
prinsip umum yang telah ditemukan dalam gerakan pertama
dibawa kepada masa sekarang. Sebelum melakukan Penerapan
nilai-nilai moral kedalam kondisi saat ini, terlebih dahulu harus
melalui kajian yang mendalam terhadap situasi dan kondisi
masyarakat saat ini. Sehingga penafsir dapat menghasilkan
penafsiran yang sejalan dan sesuai dengan realita perkembangan
zaman yang terus terjadi.
Adapun salah satu tujuan dari metode yang ditawarkan
oleh Rahman ialah guna tercapainya pembumian Alquran. Menurut
Amin Abdullah ada beberapa cara yang ditempuh oleh para mufasir
dalam rangka membumikan Alquran. Yaitu dengan pengaplikasian
isi kandungan Alquran secara harfiah dan merumuskan nilai-nilai
dasar ideal yang terkandung dalam Alquran untuk diterapkan pada
masa kini.88 Pembumian Alquran yang menjadi pilihan Rahman
masuk kategori klasifikasi kedua berupa menemukan nilai ideal
yang terdapat dalam Alquran untuk diterapkan di era kontemporer.
Perumusan nilai moral dalam Alquran merupakan hal yang
harus dilakukan agar pesan tuhan dapat tersampaikan dan
direalisasikan hingga saat ini. Rahman mengungkapkan dalam
tulisannya, dasar dari Alquran berupa nilai moral yang
menitikberatkan pada keadilan sosial dan ekonomi.89 Namun
Rahman tidak menjelaskan secara rinci apa yang menjadi patokan
dalam menentukan ideal-moral dalam suatu ayat. Fazlur Rahman
hanya mengemukakan secara implisit ideal-moral berupa nilai
universal yang dikandung Alquran seperti keadilan sosial yang
mencakup nilai kesetaraan, kebebasan maupun keadilan.

88
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Alquran: Tema-tema Kontroversial
…hlm. 165-166.
89
Fazlur Rahman, Islam, terjemah. Senoaji Saleh, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1992), hlm. 51.

5
b. Sintetis-Logis
Aplikasi double movement yang ditawarkan oleh Fazlur
Rahman hanya dapat diterapkan pada ayat-ayat hukum sedangkan
ayat yang berisikan tentang alam metafisis, teologi, dan eskatologi,
Fazlur Rahman menggunakan pendekatan sintetis-logis.90 Cara
kerja sintetis-logis berupa memahami ayat melalui metode
intertekstual dan dicari hubungan logis antar ayat tersebut.91 Dalam
pendahuluan buku Major Themes of The Qur‟an Rahman menulis:
Kecuali dalam penggarapan beberapa tema penting semisal
aneka ragam komunitas agama, kemungkinan dan aktual
mukjizat, serta jihad yang kesemuanya menunjukkan
evolusi melalui Alquran, prosedur yang dipergunakan
dalam mensintesiskan tema-tema lebih bersifat logis
daripada kronologis.92
Fazlur Rahman menggunakan metode tematik ketika
membahas ayat-ayat tersebut, namun ia cenderung mengabaikan
kronologis turunnya ayat. Menurutnya ayat-ayat dengan tema
metafisis atau teologis, latar belakang spesifik turunnya ayat tidak
dibutuhkan. Yang dibutuhkan agar tersampainya kepada pandangan
dunia Alquran saat menafsirkan ayat-ayat metafisis ialah prosedur
sintetis. Metode sintetis-logis dapat ditemui dalam salah satu
karangannya yakni Major Themes of The Qur‟an (Tema-tema
Pokok Alquran). Dalam buku tersebut Rahman mengklasifikasikan
kandungan Alquran menjadi delapan tema besar yaitu; Tuhan,
manusia sebagai individu, manusia dalam masyarakat, alam
semesta, Kenabian dan wahyu, eskatologi, setan dan kejahatan, dan
kelahiran masyarakat Islam.

90
Nasaiy Aziz, Penafsiran Alquran Kontemporer (Banda Aceh: Ar-
raniry Press) hlm. 232.
91
Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur‟an (Miniapolis: Chicago
Press, 1980) hlm. xi.
92
Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur‟an…hlm. Xi.

5
3. Metode Hermeneutika Amina Wadud
Amina Wadud merupakan salah satu tokoh aktivis feminis
muslim dengan konsentrasi kajian Alquran khususnya pada ayat
yang berbicara mengenai wanita. Amina Wadud mencoba
menyusun rekonstruksi metodologis penafsiran yang berkeadilan
gender. Dalam pandangannya, produk tafsir yang telah dilakukan
oleh ulama klasik masih terkesan bias gender. Hal tersebut terjadi
mengingat mayoritas penafsir berasal dari kalangan laki-laki.
Selain itu, karya-karya yang Amina Wadud ciptakan juga
berlandaskan pada kegelisahannya melihat kondisi masyarakat
yang kerap mendiskriminasi kaum perempuan.
Tafsir Alquran mengenai perempuan dikelompokkan
menjadi tiga kategori oleh Wadud:93 kategori pertama, berupa
tafsir tradisional. Tafsir tradisional dapat ditemui di era-klasik
maupun era-modern. Salah satu ciri utama yang menandai bahwa
sebuah tafsir dikatakan tafsir tradisional ialah penafsirannya yang
bersifat atomistik. Metode penafsiran dilakukan dengan penjelasan
ayat dimulai dari ayat pertama dan surah pertama hingga ayat
terakhir dari Alquran. Penafsiran model ini hampir tidak
melibatkan hubungan antar gagasan, struktur sintaksis, prinsip,
maupun tema-tema yang sama dalam Alquran. Selain itu, karya-
karya tradisionalis secara keseluruhan ditulis oleh mufasir laki-laki.
Alhasil penafsiran dilakukan hanya menurut visi, perspektif,
kehendak dan kebutuhan laki-laki saja.
Kategori kedua, tafsir Alquran menyangkut isu perempuan
(pembacaan reaktif). Penafsiran tersebut muncul berdasarkan reaksi
sarjana modern atas kondisi kaum wanita pada zaman itu. Adapun
cita-cita dan metode yang digunakan acapkali berasal dari
pemikiran kaum feminis. Melalui penafsiran tersebut, kaum
feminis menginginkan adanya perbaikan kedudukan perempuan
dengan argumen yang terkadang tidak sesuai dengan pandangan

93
Amina Wadud, Qur‟an and Women Rereading the Sacred Text From
a Woman‟s Perspective, (New York: Oxford University Press, 1999), hlm 1-3.

5
Alquran mengenai wanita. Penafsiran model ini menyebabkan
hilangnya analisis Alquran secara komprehensif.
Kategori ketiga, tafsir holistik. Penafsiran model holistik
melibatkan berbagai bidang dalam pembahasannya seperti sosial,
moral, ekonomi, politik modern dan masuk juga di dalamnya
pembahasan mengenai isu perempuan. Oleh sebab itulah kategori
tafsir holistik lebih komprehensif dibandingkan kategori tafsir
lainnya. Menurut Amina, belum ada tafsir yang secara khusus
membahas mengenai perempuan dari sudut pandang keseluruhan
Alquran dan prinsip umumnya. Oleh sebab itu, Amina Wadud
menggunakan analisis teks Alquran secara holistik mengenai isu
perempuan.
Salah satu tawaran metode penafsiran yang dapat
menyampaikan kepada penafsiran yang holistik ialah melalui
hermeneutika. Dalam pemikirannya, ia banyak mengadopsi metode
penafsiran Alquran yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman. 94 Salah
satu pemikiran Rahman yang mengilhami pemikirannya ialah teori
gerakan ganda (double movement) yakni sebuah gerakan yang
berangkat dari situasi sekarang menuju masa Alquran pertama kali
diturunkan dan kembali lagi kemasa sekarang.95 Setiap ayat
Alquran yang diturunkan tidak pernah terlepas dari situasi historis
yang meliputi ayat tersebut. Namun, pesan yang dikandung dalam
ayat tidaklah terbatas pada masa penurunannya saja. Seseorang
harus mampu menangkap pesan yang dikandung ayat saat pertama
kali diturunkan untuk menemukan makna yang sebenarnya.
Untuk memahami Alquran pada era kontemporer ini, harus
ada seperangkat aplikasi praktis yang dapat menunjang tujuan
orisinal Alquran. Pada zaman modern semangat dalam menemukan
makna yang terkandung dalam Alquran disebut dengan spirit
Alquran.96 Agar tercapainya spirit Alquran, dibutuhkan model

94
Amina Wadud, Qur‟an Menurut Perempuan, terjemah. Abdullah Ali,
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm.19.
95
Amina Wadud, Qur‟an Menurut Perempuan…hlm. 60.
96
Amina wadud, Qur‟an Menurut Perempuan…hlm. 20

5
hermeneutika yang sistematis. Menurut Amina Wadud,
hermeneutika memperhatikan tiga aspek dalam memahami sebuah
teks. Pertama, berupa konteks saat teks pertama kali ditulis
(konteks dimana Alquran pertama kali diturunkan). Kedua, susunan
gramatikal berupa cara teks Alquran menyampaikan pesan
sebagaimana apa yang ingin ia katakan. Ketiga, weltanschauung
(pandangan dunia) yang terkandung dalam teks. Perbedaan
penekanan dalam ketiga aspek tersebut dapat menyebabkan
lahirnya pemahaman yang berbeda.97
Adapun metode analisis ayat-ayat yang berbicara mengenai
perempuan menurut Amina Wadud sebagai berikut:
a. Analisis konteksnya.
b. Menurut konteks topik-topik yang serupa dalam Alquran.
c. Menganalisis bahasa dan struktur sintaksis yang sama yang
digunakan ditempat lain dalam Alquran.
d. Dari sudut prinsip Alquran yang menolaknya.
e. Konteks weltanschauung (pandangan dunia) Alquran. 98
Salah satu konteks weltanschauung Alquran yang sangat
pokok ialah takwa. Hanya ketakwaan yang menjadi pembeda antar
individu. Ketakwaan tidak ditentukan berdasarkan jenis kelamin
ataupun kedudukan manusia dimata manusia. Melalui QS. al-
H{ujura>t: 13 Alquran dengan gamblang menyatakan hal tersebut.

                


     
  


             


   


Wahai manusia! sungguh, kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian
5
kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.

97
Amina Wadud, Qur‟an and Women…hlm. 3 dan 62.
98
Amina Wadud, Qur‟an and Women…hlm.5.

6
Yang dimaksud dengan takwa menurut Amina wadud yaitu
kesalehan yakni perilaku seseorang yang menjauhi segala bentuk
larangan dan kesadaran karena Allah Swt. Kesadaran karena Allah
Swt ialah melaksanakan perintah yang Allah Swt tetapkan
disebabkan rasa takzim kepada Allah Swt.99 Melalui analisis ayat
tersebut Amina Wadud ingin memberikan penekanan pada
kesamarataan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, yang
menjadi pembeda di mata Allah Swt hanyalah dari segi ketakwaan.
Selain berdasarkan nas tersebut, Amina Wadud juga
mengambil kisah yang terdapat dalam Alquran mengenai
kedudukan perempuan. Salah satu kisah yang diangkat dalam buku
Qur‟an and Women ialah kisah Ratu Bilqis yang memimpin
kerajaan. Amina juga mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah mengenai Ummi Waraqah yang pernah diperintahkan oleh
nabi Muhammad saw untuk menjadi imam bagi keluarganya.
Amina Wadud menjadian beberapa kisah di atas sebagai legitimasi
bahwa sudah selayaknya kaum wanita mendapatkan kedudukan
yang sama dengan kaum lelaki sebab yang menjadi tolak ukur
dalam Alquran bukan berdasarkan jenis kelamin melainkan pada
tingkat ketakwaan seseorang dimata Allah Swt. Berdasarkan hal
tersebut Amina Wadud menawarkan sebuah konsep baru yang ia
sebut dengan istilah hermeneutika tauhid.
Di antara latar belakang yang menyebabkan lahirnya
pemikiran hermeneutika tauhid disebabkan kritik Amina wadud
terhadap tafsir tradisional yang cenderung atomistik. Penafsiran
model tersebut dapat membatasi ruang gerak penafsir. Agar
terlepas dari batasan-batasan tersebut, Amina Wadud menawarkan
metode hermeneutika tauhid. Dinamakan hermeneutika tauhid
sebab jika dilihat dari konteks hubungannya dengan tuhan, manusia
merupakan insan yang tidak ada pembeda dari segi ras, gender,
kedudukan diantara manusia, dan aspek pembeda lainnya. Satu-
satunya yang menjadi celah pembeda antara manusia dalam
konteks tauhid ialah takwa. Dengan hermeneutika tauhid penafsiran
99
Amina Wadud, Qur‟an and Women…hlm. 36-37.
6
Alquran dapat dikembangkan menjadi lebih sistematis dengan
menarik korelasi dan menunjukkan pengaruh utuh dari koherensi
Alquran. 100
C. Kelebihan dan Kekurangan Metode Hermeneutika dalam
Penafsiran Alquran
1. Kelebihan Metode Hermeneutika
Salah satu tujuan dari pengaplikasian metode hermeneutika
dalam interpretasi teks ialah agar teks yang bernuansa zaman
dahulu dapat dipahami dan diaplikasikan pada zaman sekarang
yang budaya, zaman, dan tempatnya berbeda dengan masa saat teks
tersebut dituliskan. Dengan tujuan agar teks tersebut tidak asing
lagi dan seolah-olah menjadi milik masa kini. Hasan Hanafi
mengatakan bahwa hermeneutika tidak hanya sebatas ilmu dalam
memahami sebuah teks, tetapi juga ilmu dalam memahami proses
penerimaan wahyu dari penerima pertama sampai penerima
terakhir di bumi atau ilmu untuk memahami proses transformasi
wahyu dari pikiran tuhan kepada manusia.101 Dalam proses
penyampaian wahyu, teks tidak dapat berbicara jika tidak
meminjam mulut manusia sebagai perantara. Teks tersebut
diturunkan dengan perantara malaikat dan disampaikan melalui
lisan nabi Muhammad saw kepada masyarakat Arab yang berbeda
kondisi sosial, politik, maupun ekonomi yang meliputi zaman
tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah pendekatan yang dapat
mengatasi jarak saat wahyu diturunkan dengan masa sekarang
sehingga makna Alquran senantiasa sesuai dengan perkembangan
kondisi zaman dan perkembangan situasi.
Ketika metode hermeneutika diterapkan dalam penafsiran
teks, metode ini tidak pernah terlepas dari tiga unsur. Ketiga unsur
tersebut adalah teks, konteks (dunia pengarang), dan
kontekstualisasi (dunia pembaca). Masing-masing unsur tersebut

100
Amina Wadud, Qur‟an Menurut Perempuan…hlm.182
101
Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, terjemah.Tim Pustaka
Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm.1.

6
memiliki konteksnya masing- masing yang harus dipertimbangkan
dalam penafsiran. Ketika sebuah penafsiran hanya berdasarkan satu
unsur saja tanpa adanya kontrol dari unsur lain, maka pemahaman
akan sempit dan miskin.
Menurut Fahruddin Faiz, rute teks-konteks-kontekstualisasi
harus diaplikasikan secara dialektis-dialogis dan
berkesinambungan. Dengan pengaplikasian antara ketiga unsur
tersebut, seorang penafsir mampu menangkap tujuan utama
Alquran dan spirit Alquran sehingga pemahaman tersebut tidak
berlawanan dengan sejarah (ahistoris). Selain itu penggabungan
antara tiga dimensi juga dapat menghasilkan pemahaman teks yang
sesuai dengan realitas zaman sekarang. Upaya tersebut menjadi
salah satu jalan keluar dari kelemahan beberapa kitab tafsir klasik.
Di antara tafsir klasik ada pemahaman yang hanya melibatkan teks
saja sehingga makna yang dihasilkan sebatas makna harfiah. Ada
pula penafsiran yang dilakukan berdasarkan pemahaman konteks
yang hanya melihat ideal-ideal pemaknaan masa lalu. Selain itu di
antara kitab tafsir ada juga yang hanya melibatkan unsur
tekstualisasi Alquran yang menyebabkan terputusnya tujuan awal
makna Alquran. 102
Dengan pemahaman sebagaimana yang berasal dari
hermeneutika, dapat menumbuhkan kesadaran bahwa tidak ada
penafsiran yang mutlak benar dan yang paling objektif. Kesadaran
akan perbedaan kondisi budaya, sosial maupun politik yang
mewarnai masing-masing mufasir dapat mempengaruhi perbedaan
hasil interpretasi teks. Perbedaan tersebut menyadarkan penafsir
akan adanya pluralitas pemahaman. Kesadaran itulah yang dapat
menghilangkan sifat saling menyalahkan pandangan atau gagasan
yang berbeda dengan penafsirannya.

102
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Alquran: Tema-tema Kontroversial
…hlm.23.

6
2. Kekurangan Metode Hermeneutika
Menurut beberapa kalangan pegiat hermeneutika, agar
pemahaman teks dapat tersampaikan dengan sempurna seorang
penafsir harus menempatkan teks Alquran sejajar dengan teks
lainnya. Anggapan seperti ini menimbulkan polemik antara tokoh
hermeneutika dengan tokoh agama, mufasir, dan tokoh lainnya
yang menentang pendekatan tersebut. Posisi Alquran sejajar
dengan teks lain dapat dilihat dalam beberapa pernyataan tokoh
hermeneutika seperti Fazlur Rahman. Dalam bukunya Islam
Rahman mengatakan “Alquran merupakan firman Allah Swt dan
dalam pandangan biasa merupakan perkataan nabi Muhammad
saw.”103 Dalam pernyataan tersebut secara tidak langsung, Rahman
memposisikan Alquran sebagai perkataan manusia. Polemik yang
terus muncul hingga saat ini menjadi salah satu kelemahan dari
hermeneutika.
Selain faktor tersebut, perdebatan sengit antara dua kubu
yang menerima dan menolak juga disebabkan sifat hermeneutika
yang sangat jauh berbeda dari metode penafsiran konvensional. Di
antara perbedaan yang tampak dari dua metode tersebut yaitu:104
a. Jika dilihat dari sisi pandangan terhadap teks, tafsir didasari dari
bentuk keimanan dan Alquran merupakan kalam Allah Swt yang
bersifat tanzi>l, sedangkan hermeneutik meyakini relativisme
teks sehingga setiap teks memiliki kedudukan yang setara.
b. Ulama tafsir meyakini bahwa salah satu sumber penafsiran
terbaik ialah yang berasal dari Rasulullah saw, sedangkan dalam
hermeneutika tidak ada otoritas penuh dalam penafsiran teks.
c. Sumber penafsiran yang berbeda antara keduanya. Jika tafsir,
penafsiran bersumber dari bi al-riwa>yah dan bi al-ra’yi,
sedangkan hermeneutika berdasarkan kepada tiga aspek yakni
sejarah, bahasa dan budaya.

103
Fazlur Rahman, Islam, terjemah. Senoaji Saleh…hlm. 48.
104
Akhmad Sulthoni, “Hermeneutika Alquran Perspektif al-Dakhil fi al-
Tafsir”, dalam Jurnal Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Vol.3, No. 2 (2019) hlm.
19-20.

6
d. Dalam tradisi ‘Ulum al-Qur’a>n seseorang harus memiliki
beberapa keilmuan yang telah ditetapkan sebagai syarat dapat
menafsirkan Alquran, sedangkan dalam tradisi hermeneutika
tidak ada aturan baku mengenai keilmuan yang harus dipenuhi
sebelum menafsirkan teks.
e. Dalam keilmuan Islam dan Ilmu Tafsir terdapat beberapa hal
yang bersifat tetap dan ada pula yang dapat berubah. Sesuatu
yang bersifat tetap tidak boleh berubah dan kedudukannya akan
selalu tetap. Hukum Islam yang tidak dapat berubah disebabkan
perkembangan zaman biasanya berkaitan dengan ibadah mah}d}ah
sedangkan hukum Islam yang bersifat dinamis berkaitan dengan
muamalah yang tidak ada nas yang secara khusus membahas
permasalahan tersebut. Hukum Islam yang masuk kategori
muamalah seperti permasalahan politik, ekonomi, maupun
hukum perdata dan perdana.105 Dengan demikian dalam
keilmuan Islam yang dapat berubah menyesuaikan
perkembangan zaman hanya pada hal-hal yang dapat berubah,
sedangkan dalam pandangan hermeneutika tidak ada penafsiran
yang tetap dan baku. Seorang hermeneut dapat memberikan
penafsiran Alquran tanpa terkecuali selama ia memahami betul
tiga dimensi hermeneutika (teks, konteks, dan kontekstualisasi).
Hal tersebut tidak sesuai dengan keilmuan Islam yang ada
beberapa aturan baku sehingga terlepas dari multi-interpretasi
dan juga banyak hal yang tidak dapat dijangkau dengan akal
seperti permasalahan gaib.
Adian Husaini menjelaskan ada tiga persoalan yang dapat
terjadi jika metode hermeneutika diaplikasikan dalam penafsiran
Alquran:106 pertama, antara teks dengan hermeneut tidak dapat
dipisahkan dengan kepentingan-kepentingan tertentu, baik itu
berasal dari pengarang maupun dari luar diri pengarang seperti
105
Muhammad Sulthon, “Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi
Epistemologi Hukum Islam dalam Menjawab Tantangan Zaman)”, dalam Jurnal
Ilmiah Universitas Batanghari jambi, Vol.19, No. 1 (2019), hlm. 27.
106
Aidin Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di
Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 153-155.
6
budaya masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, metode hermeneutika
mengakui adanya subjektivitas penafsir. Manakala subjektivitas
penafsiran tidak dibendung dengan aspek lain, maka penafsiran
teks dapat beralih kepada penafsiran yang liberal dan semena-
mena.
Kedua, dengan memakai pendekatan hermeneutika, maka
kajian Alquran hanya sebatas produk budaya tanpa melibatkan hal-
hal yang transenden (ilahiyyah).
Ketiga, keragaman aliran hermeneutika menyebabkan tidak
ada satu panduan baku mengenai pendekatan ini. Kepluralan
metode tersebut juga berimplikasi pada kebenaran tafsir yang
relatif. Tidak ada kebenaran yang tunggal, sebab setiap mufasir
memahami ayat sesuai dengan konteksnya masing-masing.107
Pluralitas pemahaman ini pada akhirnya menyebabkan ragam
bentuk penafsiran yang membingungkan manakala teks tersebut
hendak diaplikasikan.
Relativisme tafsir juga berbahaya karena dapat
menyebabkan hilangnya keyakinan akan finalitas pemahaman
Islam, runtuhnya tradisi ilmu pengetahuan yang bersumber dari
Alquran dan hadis. Padahal kebanyakan tokoh hermeneutika belum
ada yang mampu menafsirkan Alquran secara utuh, kebanyakan
hanya bergulat pada dekonstruksi konsep Islam yang sudah ada dan
menjadikan Islam sebagai agama yang terus berubah mengikuti
perkembangan zaman sehingga setiap hukum Islam yang
dipandang tetap (thubu>t /qat}’i) mampu diubah sesuai
dengan kondisi saat itu.108
Selain itu, metode hermeneutika menghendaki penafsir
untuk senantiasa bersikap kritis dan curiga terhadap teks. Sikap
curiga terhadap teks ini tidak sesuai jika diterapkan pada teks
Alquran yang berbeda dengan teks Bible. Menurut Quraish Shihab,

107
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Alquran: Tema-tema Kontroversial
…hlm. 45.
108
Edi Susanto, Studi Hermeneutika: Kajian Pengantar, (Jakarta:
Kencana, 2016), hlm. 36.

6
wajar jika kecurigaan hermeneutika dimunculkan ketika
berhadapan dengan Bible. Mengingat isi kandungan Bible yang
sering dipertanyakan keasliannya oleh para kristolog berhubung
penulisan teks tersebut jauh setelah kepergian Nabi Isa.109 Sifat
tersebut sangat berbeda dengan teks Alquran yang sudah jelas
keotentikannya sejak diturunkan hingga saat ini, sehingga aneh jika
seorang muslim mencurigai Alquran sebagai teks yang memiliki
kesalahan dan kekeliruan.

109
Quraish Shihab, “Tafsir, takwil, dan Hermeneutika: Suatu Paradigma
Baru Pemahaman Alquran.” dalam Jurnal Kajian Al-Qur‟an dan Kebudayaan,
vol. 2, No. 1, (2009), hlm. 6.

6
BAB III
AYAT-AYAT WARIS DALAM ALQURAN

A. Lafaz Waris dalam Alquran


Kata mawa>rith merupakan jamak dari kata al-mirath. Kata
mirath/irth merupakan bentuk masdar dari kata ‫ورث‬- ‫يرث‬- ‫اراث‬.
Lafaz tersebut juga merupakan bentuk masdar dari wirthan,
tura>than, dan wira>than. Semua kata itu berakar dari huruf ‫ ر‬,‫ و‬,
dan 1.‫ ث‬Kata al-mirath memiliki makna peralihan sesuatu dari
seseorang kepada orang lain ataupun dari satu golongan kepada
golongan lain.2
Kata waris dapat ditemui dalam Alquran pada beberapa
keadaan. Istilah tersebut dapat digunakan sebagai pengalihan harta
kepemilikan sesudah kematian seseorang. Dapat juga menunjukkan
kepada segala sesuatu yang Allah Swt wariskan kepada manusia
yang fana seperti bumi beserta isinya dan juga dapat berarti
mewarisi keilmuan, kemuliaan, kebaikan, dan lain sebagainya. 3
Dengan demikian istilah waris, tidak hanya disandangkan kepada
harta saja, melainkan juga kepada ilmu, kenabian, maupun fad}i>lah
(keutamaan), dan lain sebagainya. 4
kata ‫ ورث‬ditemukan dalam Alquran sebanyak 35 ayat5

1
Ali Parman, Kewarisan dalam Alquran, (Jakarta: RajaGrafindo, 1995),
hlm. 23.
2
Muhammad ‘Ali al-S}a>bu>ni, Hukum Kewarisan Menurut Alquran dan
Sunnah, terjemah. Hamdan Rasyid, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2005),
hlm. 41.
3
Muhammad Ismail Ibrahim, Mu‘jam al-Alfa>z} wa al-I‘la>m al-
Qur’aniyyah, (Dar al-Fikr al-Harb, 1388 H) hlm. 570.
4
Ibrahim Syamsuddin, Mu‘jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1418 H), hlm. 590.
5
Muhammad Fuad „Abd al-Baqi, al-Mu‘jam al- Mufahras li-Alfa>z}i al-
Qur’a>n al-Kari>m, (Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1364 H), hlm. 748.
6
No Surat Ayat
1. al-Baqarah: 233
        
2. ‘Ali- ‘Imra>n: 180
         
3. al-Nisa>’ : 11
       
         
4. al-Nisa>’: 12
              
     
5. al-Nisa>’: 19
     
      
6. al-Nisa>’: 176
         g  
7. al-A‘ra>f: 43
          
     
8. al-A‘ra>f: 100
         g
  
9. al-A‘ra>f: 128
        
  g      

10. al-A‘ra>f: 137
   
      

        g  


   
11. al-A‘ra>f: 169
           
     
12. al-H}ijr: 23
         
6
       
13. Maryam: 6
          
14. Maryam: 6
           
 
15. Maryam: 40
                
  
  

7
16. Maryam: 63
            
       
 
17. Maryam: 80
             
18. al-Anbiya>’ : 89
         
     
19. al-Anbiya>’: 105
     
   g     

20. al- Mu’minu>n: 10
         
21. al- Mu’minu>n: 11
        
   
22. al-Syu‘ara’: 14
          
       
23. al-Syu‘ara’: 59
        g     
  
24. al-Syu‘ara’: 85
           
 
25. al-Naml: 16
    
26. al-Qas}as}: 5
    g     
   g     
27. al-Qas}as}: 58
        
28. al-Ah}za>b: 27
              
  

7
29. Fa>t}ir: 32
           
           
30. al-Zumar: 74
          
           
 
31. Gha>fir: 53
            
  
32. al-Zukhruf: 72
          
  

7
33. al-Dukha>n: 28
       g  
34. al-H}adid> : 10
       

35. al-Fajr: 19
       
   
Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat dari sekian banyak
ayat yang berbicara mengenai kewarisan, hanya ada 7 ayat secara
khusus menempatkan waris sebagai perpindahan harta benda yaitu
surah al-Baqarah: 233, al-Nisa>’: 11, 12, 19, 176, al-Ah}za>b: 27, dan
al-Fajr: 19.
Selain kata ‫ورث‬, Alquran juga menggunakan istilah ‫تر‬
‫ ك‬untuk menunjukkan adanya kewarisan. Kata tersebut memiliki
beberapa makna, yakni membiarkan (QS. al-Baqarah: 17),
menjadi (QS. al-Baqarah: 264), meninggalkan agama (QS.
Yu>suf: 37), menjulurkan (QS. al-A‘ra>f: 176) dan harta
peninggalan (QS. al- Nisa>’ : 7, 9, 11, 12, 33, dan 176). Kata
taraka ditemukan sebanyak 43 kali dalam Alquran.6 Dari beberapa
kata yang terdapat dalam ayat tersebut, hanya ada lima ayat yang
berisikan masalah pembagian warisan yaitu surah al-Nisa>’: 7,
11, 12, 33 dan 176. Term tirkah dalam QS. al-Nisa>’: 11, 12,
dan 176 juga terkandung lafaz ‫ ورث‬didalamnya, sedangkan pada
QS. al-Nisa>’: 7 dan 33 hanya menggunakan lafadz taraka.
al-Nisa>’: 7

         


        

 

…    
al-Nisa>’: 33    

7
          
   

6
Muhammad Fuad „Abd al-Baqi, al-Mu‘jam al- Mufahras li-Alfa>z}i al-
Qur’a>n…hlm. 153- 154.

7
B. Kumpulan Ayat-ayat Mawaris dalam Alquran
Adapun ayat-ayat Alquran yang menunjukkan kepada
warisan sebagai pengalihan harta pusaka dapat ditemui dalam ayat
berikut ini:
1. al-Nisa>’: 11-12

              


      

 g                


      
    

               


   

               


         
    

        


      
    

           g   


  

 

Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang


(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga

7
dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu
seorang saja, dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-
masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia
(yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang
meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh
kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-
pembagian tersebut diatas) setelah (dipenuhi) wasiat yang
dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya

7
bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh Allah Maha
Mengetahui, Mahabijaksana”
                
   

          


    


           g 


    
 

           


     

                
        g

            


     
 

               g  
    

        


   


7
Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat
atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para
istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau
(dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang, baik
laki-laki maupun perempuan, meninggal dunia tanpa
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang
saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi, jika mereka
(saudara-saudara seibu itu) lebih dari seorang, mereka
bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah
(dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar)
utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris).

7
Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui,
Maha Penyantun.
2. al-Nisa>’: 176

                 


 
 

            g    


 g    
  

                  


    


           


  
 


    

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalālah).


Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalālah, (yaitu) jika seseorang mati dan dia tidak
mempunyai anak, tetapi mempunyai seorang saudara
perempuan, maka bagian (saudara perempuannya itu)
seperdua dari harta yang ditinggalkannya. Dan saudaranya
yang laki-lakinya mewarisi (seluruh harta saudara
perempuan) jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi, jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan
perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama
dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan
7
(hukum ini) kepadamu agar kamu tidak tersesat. Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ketiga ayat diatas, merupakan ayat yang mengatur tentang
hukum kewarisan secara terperinci. Disamping itu, ada pula
beberapa ayat Alquran yang berisikan tentang masalah kewarisan
secara global seperti QS. al-Nisa>’: 7, al-Anfa>l: 75, dan al-Ah}za>b: 6.
Adapun ayat yang memuat rincian bagi anak laki-laki dan anak
perempuan tertuang dalam QS. al-Nisa>’: 11.

8
C. Asba>b al-Nuzu>l al-Nisa>’: 11
‫ِ ه َشٌا م َأ َّن اْب َن َُجرْي ٍج َأ‬ .‫ُ مو َسى‬ ‫َرا ِهي ُم‬.‫َنا ْإ ِب‬.‫َ ح َّدث‬
:‫َُره ْم َقا َل‬.‫ْخب‬ ‫نا‬.َ‫َح َّدث‬ ‫ْب ُن‬
‫ َعاَدِِن َر ُسُو ل ا‬:‫ِرِن اْب ُن اْل ُْمن َك ِد ِر َ جابِ ر ْب ِن َْعب ِد ا َِّل َقا َل‬.‫َأ َْخب‬
َ
َّ‫ََّّلِ َصلى‬ ‫َع ْن‬
،‫ْ ِْي‬.‫َ وَأُبو َب ْكٍ ر ِِف َِبِن َسَل َمَة َما َِشي‬ ‫ا َّلُ َعَلْيِ ه َو َسَّلَ م‬
‫َ و َج َِدِن اَّلِن ُِّب َصَّلى ا َّ ُل‬.‫َف‬
‫ فَ د َعا‬،‫ًئا‬.‫َ عَلْيِ ه َو َسَّلَ م ََل َأ ِْع قُل َْشي‬
ِِ
:‫ُ ْق ل ُت‬.‫ْ ق ُت َف‬.‫َ و َّضأَ منه مث رش َّي َفأ َف‬.‫َت‬.‫َبٍا ء َف‬
‫َ ما‬
ََ
‫ْ ِْي‬.‫َي‬.‫َث‬.‫لِل ََّذ كِ ر ِمْثُل َح ِّظ اْلُْن‬
‫َزَل ْت ُيو ِصي ُك ُم ا َّ َّلُ ِِف َْأوَل ِدُ ك ْم‬.‫ن‬.‫ْتُ مُ رِِن َأ ْن َأ ْصَن َع ِِف َماِِل ََي َر ُسَول ا َّ َِّل؟ َف‬

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa, telah


menceritakan kepada kami Hisyam bahwasanya Ibnu Juraij
telah mengabarkan kepada mereka bahwasanya: telah
mengabarkan kepadaku Ibnu Munkadir dari Jabir bin
Abdillah bercerita: “Aku dijenguk oleh Rasulullah saw
bersama Abu Bakar dan ia mendapatiku dalam keadaan
tidak sadar (pingsan). Kemudian Rasulullah saw meminta
air, lalu berwudu menggunakan air tersebut dan menciprat
air itu kepadaku. Kemudian akupun sadar kembali.
Kemudian aku bertanya kepada beliau, “Apa yang harus
kulakukan dengan harta kekayaanku wahai Rasulullah
saw?”. Maka turunlah ayat “Allah Swt mensyariatkan
(mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan
untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki
sama dengan dua bagian anak perempuan…”.

8
‫َ ح َّدث‪َ.‬نا ََزكرََِّي ْب ُن َع ِد ٍّي‪َ ،‬ح َّدث‪َ.‬نا ُعَب‪ْ.‬ي ُد ا َّلِ ُهَ و اْب ُن َع ْمٍ رو‬
‫اّلَرِّق ُّي‪َ ،‬ع ْن َْعب ِد ا َِّل‬
‫ْب ِن ُُمَ َّم ِد ْب ِن َِع قي ٍل‪ ،‬عن جابر‪َ ،‬قا َل‪َ :‬جاءَ ِت ْا مَرَأُة َس ْع ِد ْب‬
‫ِن اّلَرِبي ِع َِإ َل‬
‫رسول هلال ملسوهيلعهلالىلص‪ ،‬فقالت‪ََ :‬ي َر ُسَول ا ََّّلِ َها ََت ِن ْا ب‪َ.‬ن‪َ.‬تا َس ْع ِد ْب ِن الربيع‪،‬‬
‫قتل‬
‫أبومها معك ِف يوم ُأ ُح ٍد َش ِهي ًدا‪َ ،‬وِإ َّن َع َّم ُه َما َأ َخ َذ‬
‫َما َ‬
‫َُلما َف‪َ.‬ل ْم َي د ْع‬
‫َ‬
‫َُلما‬

‫‪7‬‬
‫‪Abi „Abdillah Muhammad bin Ismail, S}ah}i>h{ al-Bukha>ri, jilid 5,‬‬
‫‪(Beirut: Dar al- Kitab al-Ilmiyyah, 1992), hlm. 213.‬‬

‫‪8‬‬
»‫ْ ق ِضي َذِل َك‬.‫ قا َل «ي‬.‫ َف‬:‫ َقا َل‬،‫ما ٌل‬ ‫ْن َك َحا َن َِّإَل‬.ُ‫ َ َوَل ي‬،‫َ ماًَل‬
َ َ َ
‫ا َّلُ ِِف‬ ‫ََو‬
‫َُلما‬
‫ َفأَْر َس ل َر ُسُو ل ا َِّل َصلَّى ا َّ ُل َعَلْيِ ه َ ع ِّم ِه َما‬،‫زَل ْ ت آَيُة اْل ِم َ يرا ِث‬.‫َن‬.‫َف‬
َ
ِ‫و سلَّ م َإ َل‬
َ َ َ
،‫ َو َُّأم ُه َما ال ُُّث م َن‬،‫ْ ِْي‬.‫ُلَث‬.ُّ‫َ ْ َت َس ْع ٍد الث‬.‫َن‬.‫ َأ ْع ِط ْا ب‬:‫َ قا َل‬.‫َ ف‬
8
‫ ُهو َل َك‬.‫ََوما َبِق َي َف‬
Dari „Abdillah bin Muhammad bin „Aqil. Dari Jabir,
berkata: elah datang Istri Sa‟ad bin Rabi‟ kepada
Rasulullah saw bersama dua orang anak perempuannya, lalu
ia berkata: wahai Rasulullah saw inilah kedua puteri Sa‟ad
bin Rabi, yang ayahnya (Sa‟ad bin Rabi‟) gugur dalam
perang Uhud bersamamu. Dan paman mereka berdua datang
untuk mengambil harta peninggalannya tanpa menyisakan
sedikitpun untuk mereka berdua. Dan mereka berdua tidak
akan bisa menikah kecuali bila memiliki harta. Rasulullah
saw menjawab: “Allah Swt akan memberi putusan
mengenai hal ini”. lalu turunlah ayat warisan ini, kemudian
paman dari kedua anak perempuan itu dipanggil dan
diperintahan “Berilah kedua puteri Sa‟ad bagian dua pertiga
dan ibunya seperdelapan, dan apa yang tersisa dari harta
tersebut menjadi milikmu.”
Ibnu Hajar mengatakan bahwa QS. al-Nisa>’: 11-12
turun berkenaan dengan dua kisah diatas. Ada kemungkinan pada
awalnya ayat tersebut diturunkan kepada kedua orang anak wanita
Sa‟ad bin Rabi‟ sedangkan penggalan ayat ke-12 “Jika seseorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta” turun berkenaan dengan Jabir bin Abdullah.
Adapun maksud Jabir bin Abdullah menyebutkan: maka turunlah
firman Allah Swt “Allah Swt mensyariatkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu yaitu: bagian seorang

8
anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan yakni
untuk menyebutkan kalālah sebagaimana sambungan ayat ini.9

8
Abi Daud Sulaiman al- Asy‟as al-Sijistani, Sunan Abi> Da>wud, Jilid 2,
(Beirut: Dar al- Fikr, 2003), hlm. 11.
9
Jalal al-Din al-Suyuti, Asbabun Nuzul, terjemah. Andi Muhammad
Syahril dan Yasir Maqasid, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), hlm. 130.

8
BAB IV
ANALISIS PENAFSIRAN KLASIK DAN HERMENEUTIKA
TERHADAP AYAT PEMBAGIAN WARISAN

A. Penafsiran Mufasir Mengenai Ayat Pembagian Warisan


Bagi Anak laki-laki dan Anak Perempuan

             


    

…
             

      
 g 

Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang
(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu
seorang saja, dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan)…(QS. al-Nisa>’: 11)
kata al-was}iyyah ُ‫ ُيو ِصي ُك م ا َّل‬Allah(
dalam
Lafaz ُ
mewasiatkan kepadamu) digunakan untuk menunjukkan suatu
pekerjaan atau perbuatan yang dijanjikan kepada orang lain. Atau
perintah yang ditujukan kepada seseorang agar orang tersebut
melaksanakan perbuatan seperti yang telah dijanjikan sebelumnya.
Sebagaimana perkataan, “Aku mewasiatkan (janjikan) kepada sang
guru, agar mendidik anakku”.1 Makna mewasiatkan disini ialah
mensyariatkan mengenai pembagian pusaka berupa ‫ِدُ ك َْأوَل ِِف‬ ‫م‬
ْ
(bagian anak-anak kamu) baik itu anak perempuan maupun anak
laki-laki terlepas dari berapapun usianya.2 Dalam ayat tersebut,
perihal yang pertama kali disebutkan yakni bagian untuk anak.
Anak memperoleh atensi lebih sehingga dicantumkan pada

8
1
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terjemah. Bahrun Abu
akar dan Hery Noer, jilid 4, (Semarang: Karya Toha Putra, 1993), hlm. 352.
2
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Alquran, jilid 2, (Tangerang: Lentera Hati, 2006), hlm. 361.

8
permulaan ayat disebabkan anaklah yang nantinya menjadi
penerus bagi generasi setelahnya. Oleh karena itu, bila dalam
permasalahan kewarisan sang anak telah terlebih dahulu meninggal
atau tiada, maka harta warisan diambil alih oleh cucu anak
tersebut.3
Anak yang dimaksud pada potongan ayat tersebut
mencakup anak laki-laki maupun anak perempuan. Sebagaimana
yang termaktub dalam kalimat setelahnya, َّ ‫ذ كِ ر لِل‬ َ (yaitu bagian
seorang anak laki-laki) dari anak kamu dengan syarat; memiliki
saudari perempuan dan tidak ada penghalang baginya untuk
menerima warisan. Seperti anak tidak beragama Islam, atau anak
pernah membunuh pewaris. Kata ‫( ذكر‬anak laki-laki) dari segi
bahasa berarti lelaki baik kecil (anak) maupun besar (dewasa),
dapat digunakan bagi binatang maupun manusia. Pada ayat tersebut
Alquran tidak menggunakan kata raju>l (laki-laki dewasa)
melainkan kata ‫ ذكر‬sebagai bukti bahwa usia tidak menjadi
penghalang seseorang untuk menerima warisan.
Adapun bagian yang telah Allah Swt tetapkan bagi anak
ialah laki-laki ‫ْ ِْي‬.‫َي‬.‫َث‬.‫ ِمْثل َح ِّظ اْلْن‬anak orang dua bagian dengan sama
ُ
perempuan, kata ْ ْ ‫ْأ ن‬.‫َ ث‬.‫َي‬.‫( ي‬dua anak perempuan) merupakan bentuk
tunggal dari ‫ أنثى‬yang berarti perempuan, baik besar (dewasa)
maupun kecil (anak-anak), binatang atau perempuan.4
Pengibaratan laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat
ayat potongan pada perempuan dibandingkan ‫ْ ِْي‬.‫َي‬.‫َث‬.‫ذ كِ ر ِمْث ل َح ِّظ ْالْن‬
ُ َ َّ ‫لِل‬
menunjukkan bahwasanya seakan-akan di masa terdahulu (sebelum
ayat ini diturunkan) bagian anak perempuan telah ditetapkan
sebelumnya. Quraish Shihab memberikan permisalan, ketika
seseorang ingin mengukur sesuatu tentunya harus menentukan alat
ukurnya terlebih dahulu barulah dapat mengukur sesuai dengan
kadar ukur tersebut. Jadi pada lafaz tersebut memiliki penekanan
pada bagian anak perempuan yang semestinya mendapatkan
3
Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 4, (Jakarta: Panjimas, 1983), hlm. 278.
4
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Alquran … hlm. 361.

8
warisan, tidak sebagaimana pada masa Jahiliah yang sama sekali
tidak melibatkan anak perempuan sebagai ahli waris.5
‫ فَن َسخ ا َّ ُل ِم‬،‫ ََوكاَن ِ ِت اْلَ و ِصَّيةُ ِْلَ واَِل دْي ِن‬،‫َ كا َن اْل َما ُل ِْلَ وَل ِد‬
‫ْن َذل َك َما‬
‫َ وْي‬.‫ َو ََج ع َل ِْلَب‬،‫ْ ِْي‬.‫َي‬.‫َ ث‬.‫ج ع َل لِل ََّذ كِ ر ِمْث َل َح ِّظ اْل ُن‬ َ َ ‫ َف‬،‫َأ َح َّب‬
‫ِن لِ ُك ِّل َوا ِح ٍد‬
،‫ َو ََج ع َل ِلَّزْو َِج ة ال َُّث م َن َواّلُر َُب ع‬،‫ُل َث‬.ُّ‫ ُه َما ال ُّس ُد َس َوالث‬.‫ِ مْن‬
‫َو ِلَّْزِو ج ال َّش َْطر َواّلُر َُب ع‬
Pada zaman dahulu, harta warisan hanyalah milik anak laki-
laki dan yang berhak menerima wasiat hanya kedua orang
tua. Kemudian Allah menghapus kebiasaan tersebut dengan
pembagian anak laki-laki mendapatkan bagian dua kali
lipat dibandingkan anak perempuan, dan bagi orang tua (ibu
dan bapak) masing-masing dari mereka mendapatkan
seperenam (jika mereka memiliki anak) dan sepertiga (jika
tidak mempunyai anak), bagi istrinya mendapat
seperdelapan (jika memiliki anak) dan seperempat (jika
tidak memiliki anak), dan bagi suami mendapatkan
seperdua (jika tidak memiliki anak) dan seperempat (jika
memiliki anak).6
Ketika ayat mawaris ini turun, banyak kalangan yang tidak
senang dan mengomel seraya berkata “Bagaimana bisa seorang
perempuan mendapatkan seperempat atau seperdelapan dari harta,
anak perempuan dapat separuh dan anak kecil mendapat bagian.
Sedangkan tidak ada seorangpun dari mereka keluar untuk
berperang dan mereka tidak menerima bagian dari ghani>mah.
Diantaranya juga berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai
Rasulullah saw, bagaimana mungkin seorang perempuan
mendapatkan bagian warisan separuh dari peninggalan harta
ayahnya, sedangkan ia tidak mampu menunggang kuda dan tidak
turut serta dalam berperang, demikian pula anak kecil, bagaimana
mungkin mereka mendapatkan bagian dari warisan sedang mereka

8
5
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur‟an…hlm. 361.
6
Ibnu Kathi>r, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, terjemah. Salim
Bahrieisy dan Said Bahriesy, jilid 2 (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm. 320.

8
tidak berguna sedikitpun.”7 Apa yang menjadi pertanyaan tersebut
saat ayat warisan ini turun, merupakan impact dari kebiasaan
mereka di zaman jahiliah yang tidak memberikan harta warisan
kecuali kepada anak yang tertua dan anak laki-laki yang turut serta
dalam peperangan.
Melalui beberapa riwayat yang Ibnu Kathi>rtulis berkenaan
dengan penafsiran QS. al-Nisa>’: 11, dapat dilihat dengan jelas
bagaimana perlakuan masyarakat jahiliah dan pemikiran
masyarakat pada awal masuknya agama Islam terhadap pembagian
harta pusaka. Identitas wanita yang melekat di benak arab pra-
Islam menyebabkan timbulnya ketimpangan perlakuan antara kaum
laki-laki dan kaum perempuan. Diantara bentuk diskriminasi yang
terjadi saat itu ialah tidak adanya hak waris bagi anak perempuan
dan yang berhak menerima waris saat itu hanya anak laki-laki.
Stigma tersebut terus bertahan hingga awal kedatangan Islam dan
manakala perintah pembagian warisan ini turun, timbul rasa heran
di benak masyarakat saat itu.
Berdasarkan surah al-Nisa>’: 11 Allah Swt juga menjelaskan
bagian warisan anak perempuan jika yang tinggalkan dua orang
lebih. (‫ رَك‬.‫لَ ُثا َما َت‬.ُ‫َل ُه َّن ث‬.‫ْ ِْي َف‬.‫َت‬.‫َن‬.‫ْ و َق ْا ث‬.‫ َ) فِإ ْن ُك َّن ِن ساء َف‬Swt Allah
atau َ ً َ
menjelaskan bahwa jika seandainya yang ditinggalkan berupa dua
anak perempuan tanpa ada bersamanya saudara laki-laki maka
bagian anak perempuan tersebut dua pertiga. Pendapat mayoritas
ulama mengenai bagian dua orang anak perempuan jika tidak ada
bersamanya saudara laki-laki juga berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Ahmad. Sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya, dalam hadis tersebut diceritakan istri Sa‟ad bin Rabi‟
datang menemui Rasulullah saw bersama kedua orang putrinya. Ia
mengadu perihal harta warisan yang ditinggalkan oleh Sa‟ad
diambil seluruhnya oleh saudara Sa‟ad (paman anak tersebut).
Tidak lama kemudian turun dalil yang membahas perihal warisan.
7
Ibnu Kathi>r, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir…hlm 320-321. Lihat
juga Jalal al-Din al-Suyuti, Dur al-Manthu>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’thu>r, jilid
2, (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 445.

9
Kemudian Rasulullah saw berkata kepada paman kedua anak
tersebut
.‫ ََوما َبِق َي َف‬،‫ و ُّأم ُه َما ال ُُّث م َن‬،‫ْ ِْي‬.‫ُلَث‬.‫َنَت َس ْع ٍد الُّث‬.‫أ ْع ِط ْا ب‬
‫ه و لَ َك‬َ ُ
Berilah kepada anaknya Sa‟ad dua pertiga, ibu anak tersebut
seperenam, dan apa yang tersisa dari harta tersebut menjadi
milikmu.
Dalam QS. al-Nisa>’: 11 tidak ada rincian bagian dua
anak perempuan jika sekiranya ada bersamanya anak laki-laki.
Namun mayoritas ulama menjelaskan bahwa bagian dua anak
perempuan ialah sama dengan lebih dari dua orang perempuan. 8
Dua pertiga bagian anak laki-laki akan disamakan dengan bagian
dua anak perempuan. Dengan demikian dua orang anak perempuan
akan mendapat dua pertiga dari harta warisan jika tidak ada saudara
laki- laki dalam sebuah keluarga.9 Manakala yang ditinggalkan
hanya seorang anak perempuan maka baginya separuh dari harta
warisan, tidak lebih dan tidak kurang.10
Dalam pembagian warisan perlu diperhatikan bahwa jika
seorang suami meninggal dunia dan istrinya sedang mengandung,
maka warisan bagi anak laki-laki ataupun anak perempuan (yang
dikandung) belum bisa diberikan kepadanya. Karena dapat saja
anak yang dikandungnya berjumlah satu atau dua. Imam Syafi‟i
berpendapat alangkah baiknya pembagian harta warisan ditunda
hingga ada kejelasan, begitu pula halnya dengan wasiat dari si
mayit.11
Perbedaan dari segi kuantitas bagian anak laki-laki dengan
anak perempuan disebabkan peran yang ditanggung oleh anak laki-
laki lebih berat dibandingkan dengan tanggung jawab seorang anak

8
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Alquran…hlm. 361.
9
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Alquran…hlm. 362.
10
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Alquran…hlm. 360.

9
11
Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi‟i, terjemah. Fedrian
Hasmand, Fuad, Ghafur, dll, ( Jakarta: Almahira, 2008), hlm. 36.

9
perempuan. Anak laki-laki dituntut untuk mencari nafkah bagi
keluarganya kelak dan mengharuskan baginya untuk memenuhi
kebutuhan keluarga dengan jalan berniaga atau cara lainnya.12
Selain itu, seorang laki-laki juga dituntut untuk memenuhi nafkah
bagi keluarganya. Menurut al-T}aba>t}aba>’i alasan lain dari anak
laki- laki mendapatkan bagian yang lebih besar dibandingkan
wanita disebabkan laki-laki memiliki kemampuan mengendalikan
emosi lebih baik dari wanita. Pengendalian tersebut sangat berguna
mengingat dalam pembelanjaan harta, pertimbangan akal harus
lebih dikedepankan dibandingkan dengan keinginan berdasarkan
emosi (nafsu). 13
Buya Hamka menyatakan pembagian warisan sebagaimana
yang tersebut dalam Surah al-Nisa>’: 11 merupakan bentuk
keadilan, terlepas dari perkembangan zaman yang terus terjadi.
Walaupun pada zaman modern hak-hak perempuan sudah diberi
keluasan dan lebih maju dibandingkan zaman sebelumnya, namun
tidak dapat dipungkiri kemampuan rohani-jasmani seorang
perempuan dalam menghasilkan harta tidak sama dengan
kemampuan anak laki-laki. Selain itu, seorang perempuan semasa
hidupnya akan selalu mendapatkan perlindungan dan tanggung
jawab dari laki-laki. Sejak kecil, anak perempuan memperoleh
perlindungan dari ayahnya, dan ketika ia sudah menikah, ia berada
di bawah tanggung jawab suaminya, dan tatkala suaminya telah
meninggal maka anak laki-lakinya yang akan bertanggung jawab
atas nafkah dan dirinya.14 Dengan demikian pembagian antara
keduanya merupakan ketentuan yang adil mengingat posisi anak
laki-laki dan perempuan yang berbeda.

12
Ibnu Kathi>r, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, terjemah. Salim
Bahrieisy dan Said Bahriesy, jilid 2, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm. 320.
13
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Alquran… hlm. 369-370
14
Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 4…hlm. 279-280.

9
Keadilan dalam pembagian warisan dapat dilihat dalam
beberapa poin:15
Pertama, pembagian kewarisan merupakan ketetapan Allah
Swt tanpa mengabaikan pemilik harta. Maksudnya ialah, Allah Swt
masih memberikan kesempatan kepada pemilik harta untuk
menentukan hak sepertiga dari hartanya melalui wasiat. Dengan
catatan wasiat yang ia lakukan berdasarkan siapa yang dinilai lebih
memerlukan harta tersebut dan kepada ahli waris yang wajar diberi.
Bukan berdasarkan kepada kemaksiatan ataupun yang dapat
mendorong kepada keberlangsungan maksiat.
Kedua, ketentuan waris diberi kepada kerabat terdekat tanpa
memandang usia. Begitu pula anak-anaknya mendapat bagian yang
lebih besar dibandingkan kerabat yang lainnya sebab anak-anaklah
yang nantinya akan menjadi penerus keturunan.
Ketiga, dalam hal pembagian warisan juga diperhatikan dari
segi kebutuhan. Anak laki-laki mendapatkan bagian yang lebih
besar sebab selama anak laki-laki menjalani kehidupan, tuntutan
untuk membelanjakan harta lebih besar dibandingkan wanita.
Seorang laki-laki akan menjadi tulang punggung bagi keluarga dan
istrinya. Bahkan sebelum bekeluarga, laki-laki harus menyediakan
mahar bagi wanita yang akan dinikahinya. Bukan disebut keadilan
jika keduanya mendapatkan bagian yang sama sedangkan
kebutuhan dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan berbeda.
Keempat, ketentuan pembagian warisan bersifat
menyeluruh bukan monopoli. Alquran memerintahkan untuk
mendistribusi harta warisan kepada seluruh pihak saudara seperti
ayah, ibu, paman, bibi, dan keluarga lainnya, dan lebih
mengutamakan kerabat terdekat seperti anak.
Kelima, mengingat posisi wanita yang sama sekali tidak
mendapatkan warisan pada zaman jahiliah, ketentuan yang Allah
Swt berikan merupakan penghargaan kepada kaum wanita. Tidak

15
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Alquran… hlm. 370-371.

9
hanya kepada anak perempuan, tetapi juga melibatkan kerabat
perempuan seperti bibi.
Berdasarkan beberapa alasan yang diutarakan oleh para
mufasir, keadilan dalam pembagian warisan tidaklah ditinjau dari
segi kuantitatif, melainkan dilihat dari aspek kualitatifnya. Banyak
mas}lah}ah yang ditimbulkan dari hasil pembagian warisan bagi anak
laki-laki jika lebih besar dibandingkan bagian anak perempuan. hal
tersebut tidak menjadi bentuk diskriminasi terhadap perempuan,
justru dengan adanya ayat yang mengatur bagian warisan masing-
masing anak menjadi suatu bentuk keistimewaan bagi anak
perempuan. Sebab pada awalnya, anak perempuan sama sekali
tidak mendapatkan bagian harta waris.
Ketentuan pembagian harta warisan sebagaimana yang
tercantum dalam surah al-Nisa>’: 11 dan ayat setelahnya merupakan
pembagian yang harus dijalankan oleh umat Islam dan tidak boleh
dilanggar. Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat
berikutnya (al-Nisa>’: 13-14)

          


  
   

            


     g   g g 
    

g              


   


 g  


Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barang siapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, dia akan memasukkannya ke dalam
surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang
9
agung. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah akan
memasukkannya kedalam api neraka, dia kekal di dalamnya
dan dia akan mendapatkan azab yang menghinakan.
Maksud dari (itulah batas-batas (hukum) Allah) yakni
ketentuan-ketentuan Allah Swt yang tidak boleh dilanggar.
Barangsiapa taat kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, dengan
mematuhi ketetapan-ketetapan tersebut, maka ia akan mendapatkan

9
balasan berupa dia akan memasukkan ke dalam surga-surga yang
mengalir dibawahnya sungai-sungai, sedangkan bagi sesiapa saja
yang mendurhakai Allah Swt dan Rasulnya dengan
mempersekutukannya dan tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan
yang telah Allah Swt tetapkan, maka Allah Swt akan
memasukkannya kedalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan
akan mendapatkan azab yang menghinakan.16
Balasan bagi siapapun yang tidak berlaku adil terhadap
pembagian harta warisan walau dengan jalan wasiat begitu keras.
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya seorang laki-laki atau
perempuan beribadah taat kepada Allah Swt selama enam puluh
tahun kemudian tatkala mendekati ajalnya ia membuat wasiat yang
memudharatkan ahli warisnya, maka patutlah ia masuk ke dalam
api neraka.”17 Wasiat yang diberikan oleh pewaris hanya mencakup
sepertiga dari hartanya saja dan pewaris tidak berwenang
menentukan jumlah wasiat melebihi batas maksimal yang telah
ditentukan.
Melalui penafsiran ayat pembagian warisan bagi anak yang
dikemukakan oleh beberapa mufasir dapat ditarik satu titik
kesamaan, yakni mayoritas mufasir menafsirkan ayat tersebut
sebagaimana bunyi ayat secara literal. Ada beberapa poin yang
menjadi titik fokus penafsiran dalam QS. al-Nisa>’: 11
mengenai pembagian warisan bagi anak yaitu:
1. Anak laki-laki mendapatkan warisan dua kali lipat dibandingkan
anak perempuan.
2. Jika anak perempuan yang ditinggalkan berjumlah lebih dari dua
dan tidak ada bersamanya saudara kandung laki-laki maka
bagian mereka dua pertiga.
3. Seorang anak perempuan yang tidak memiliki saudara baik laki-
laki maupun perempuan mendapatkan separuh dari harta yang
ditinggalkan.

16
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Alquran… hlm. 368.
17
Ibnu Kathi>r, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir … hlm. 328.

9
B. Aplikasi Metode Hermeneutik terhadap Ayat Pembagian
Warisan bagi Anak Laki-laki dan Anak Perempuan
1. Menurut Fazlur Rahman
Guna menemukan spirit Alquran, Fazlur Rahman
menawarkan teori double movement (gerakan ganda) untuk
menafsirkan ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alquran.
Adapun proses dari gerakan ganda sebagaimana yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya. Secara sistematis, pengaplikasian
metode double movement pada surah al-nisa>’: 11 khususnya pada
pembagian warisan bagi anak laki-laki dan anak perempuan
sebagai berikut:
a. Gerakan Pertama
Dalam gerakan pertama berangkat dari kekhususan ayat
kepada prinsip-prinsip umumnya. Yakni berangkat dari situasi saat
Alquran diturunkan dengan meninjau kondisi sosial-budaya yang
mewarnai masyarakat saat itu, kemudian menggali prinsip-prinsip
umum yang terdapat dalam ayat tersebut untuk dibawa kepada
gerakan kedua.18
1) Analisis Kajian Sosio-Historis (Langkah Pertama)
Hukum kewarisan yang terbentuk pada masa Arab pra-
Islam tidak terlepas dari pengaruh kondisi ekonomi, sosial, maupun
budaya yang berkembang pada masyarakat Arab saat itu. Kondisi
Arab pra-Islam seringkali dimaknai dengan zaman jahiliah. Kata
jahiliah menunjukkan kepada keadaan masyarakat Arab sebelum
masuknya agama Islam. Istilah jahiliah digunakan untuk
menunjukkan bahwa pada zaman tersebut, masyarakat diselimuti
oleh kebodohan dalam mengetahui adanya Tuhan, Rasul dan
kebodohan dalam menghalalkan perbuatan maksiat.19

18
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad…hlm.
23.
19
Muhammad Hendra, Jahiliah, (Yogyakarta: Deepublish, 2012), jilid
II, hlm. 2.

9
Kehidupan yang terbentuk pada masa tersebut dapat
tergolong sebagai kehidupan yang keras. Untuk bertahan hidup di
tengah-tengah kondisi geografis yang kering dan gersang,
masyarakat Arab hidup secara nomaden (berpindah-pindah).20
Adapun profesi yang paling banyak dilakukan masyarakat Arab
kala itu ialah sebagai pedagang. Tidak hanya dengan sesama
bangsa Arab, melainkan juga sudah mencakup daerah non-Arab
seperti beberapa negara di Asia Tengah dan India.21
Sistem sosial yang berkembang dalam masyarakat Arab
pra-Islam berupa sistem kesukuan (tribalisme). Masyarakat Arab
sangat loyal dan menjunjung tinggi sukunya masing-masing. Pada
masa tersebut, yang menjadi prioritas sehingga patut untuk
dipertahankan dan diperjuangkan ialah segala sesuatu yang
berkaitan dengan kepentingan suku. Seluruh harta maupun jiwa
dipertaruhkan dalam mempertahankan citra dan eksistensi masing-
masing suku. Jika reputasi sukunya lebih rendah dibandingkan
suku lain, maka seolah-olah martabat anggota suku tersebut juga
turut menjadi rendah. Oleh sebab itulah tidak jarang terjadi
pertikaian yang berakhir kepada peperangan demi mempertahankan
eksistensi sukunya masing-masing.22
Seorang laki-laki dituntut untuk dapat berperang demi
kepentingan harta ataupun suku. Kemampuan dalam berperang
menjadi salah satu keuntungan pada saat itu. Diantara bentuk
keuntungan tersebut ialah bagi yang mampu berperang dan
menggunakan alat perang lebih berhak atas harta warisan. Secara
tidak langsung anak perempuan yang sama sekali tidak turut serta
dalam peperangan dikesampingkan dalam hal pembagian warisan.

20
Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam, (Surabaya:
Pustaka Radja, 2016) hlm. 56.
21
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 61-62.
22
Muhibbussabry, Keistimewaan Perempuan dalam Kasus Kewarisan
Islam, (dalam Laporan Penelitian Program Studi Perbandingan Madzhab
Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2020),
hlm. 33.

9
Al-Suddi menceritakan bahwa pada zaman dahulu, anak
perempuan tidak mendapatkan warisan sama sekali, begitu juga
dengan anak laki-laki yang belum mampu berperang. Harta warisan
hanya akan diberikan kepada anak laki-laki yang sudah mampu
berperang.23 Identitas yang melekat pada kaum wanita saat itu ialah
sebagai insan yang rendah, hina dan tidak bermartabat, sehingga
tidak heran jika pada masa tersebut wanita kerap mendapatkan
perlakuan yang tidak mengenakkan seperti dirampas hak-haknya.
Ada dua cara yang dilakukan oleh masyarakat Arab pra-
Islam dalam mendistribusikan harta warisan yaitu berdasarkan
hubungan nasab, melalui perjanjian, dan dengan proses adopsi
anak. Dalam prakteknya, pembagian warisan yang didasari pada
hubungan nasab tidak dilakukan secara menyeluruh, yang berhak
menerima warisan hanya anak laki-laki dan kerabat laki-laki yang
sudah dapat berperang. Selain itu tidak mendapatkan harta waris
seperti anak kecil yang belum mampu menunggang kuda maupun
berperang dan anak perempuan. Adapun cara kedua yang dilakukan
untuk pembagian warisan ialah dengan jalan perjanjian. Perjanjian
ini terbagi kepada dua bentuk. Bentuk pertama dengan melakukan
sumpah seperti mengatakan bahwa “Darahmu merupakan darahku”
atau “Harta milikku menjadi milikmu juga” dan lafaz lain yang
serupa. Bentuk ketiga yaitu dengan proses adopsi anak dan
menasabkan anak dengan namanya bukan dengan ayah kandung
anak.24
Identitas wanita yang melekat dalam paradigma masyarakat
pada masa tersebut tidak semudah itu untuk dihilangkan. Bahkan
pada awal-awal kedatangan agama Islam kebiasaan-kebiasaan ini
masih mewarnai masyarakat Arab sehingga tidak heran, ketika
ayat-ayat kewarisan turun, timbul pertanyaan “Bagaimana mungkin

23
Jalal al-Din al-Suyuthi, Asbabun Nuzul, terj. Andi Muhammad
Syahril….hlm. 130.
24
Muhammad Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid 9, (Beirut:
Dar al-Fikr), hlm. 209.

1
anak perempuan yang sedari dulu tidak mendapatkan bagian harta
waris menjadi salah satu bagian ahli waris”.
Selain melibatkan situasi makro, Kajian historis terhadap
Alquran juga tidak terlepas dari situasi mikro saat ayat tersebut
diturunkan. Kajian asba>b al-nuzu>l begitu penting untuk
mengetahui peristiwa dari penurunan ayat secara khusus. Apakah
ayat tersebut diturunkan terkait kejadian tertentu, ataukah untuk
menjawab pertanyaan yang diajukan sehingga jelaslah pemahaman
terhadap suatu ayat.
Sebelum ayat mawaris turun, Rasulullah saw sama sekali
tidak menentukan siapa-siapa saja ahli waris yang lebih berhak atas
harta serta bagian masing-masing ahli waris. Manakala ada diantara
sahabat yang menemui beliau dan mengadu kepada Rasulullah saw
perihal harta warisan yang ditinggal oleh suaminya diambil alih
oleh saudara suami wanita tersebut, atau ketika seorang sahabat
menanyakan bagaimana cara pembagian harta waris yang harus
dilakukan, Rasulullah saw hanya diam sembari mengatakan
“Tunggulah hingga datang ketentuan tersebut kepadaku (wahyu
Allah Swt)”.
Adapun penyebab turunnya ayat yang berkenaan dengan
pembagian warisan bagi anak ialah karena adanya eksploitasi
terhadap harta pewaris, sehingga harta peninggalan hanya
bertumpu pada satu orang saja. Seperti peristiwa yang menyangkut
harta peninggalan Sa‟ad yang diambil alih oleh saudaranya tanpa
meninggalkan sedikitpun untuk kedua puteri Sa‟ad dan istri Sa‟ad.
Hal tersebut juga terjadi pada Ummu Kuhhah dan kelima orang
anaknya pada saat kematian Abdurrahman (suami Ummu Kuhhah).
Harta yang ditinggalkan oleh Abdurrahman pada saat itu menjadi
hak milik ahli waris dari pihak suami dan anak tidak mendapatkan
bagian sama sekali. Berdasarkan dua kejadian tersebut, sebelum
proses pembagian warisan diatur oleh Alquran terjadi kesewangan
dalam menentukan siapa yang berhak menerima warisan. Sehingga
muncul kegelisahan dalam hati istri Sa‟ad maupun Ummu Kuhhah
dan mengadukan perihal ketidakadilan yang dirasakannya kepada

1
Rasulullah saw. Kemudian turunlah ayat yang mengatur masalah
pembagian warisan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Selain disebabkan peristiwa tersebut, ayat mawaris juga
diturunkan untuk menjawab pertanyaan salah seorang sahabat yaitu
Jabir bin Abdillah yang bertanya mengenai apa yang harus ia
lakukan terhadap hartanya ketika ia meninggal nanti. Berdasarkan
pertanyaan tersebut, Perhatian terhadap harta warisan sedari dulu
menjadi masalah yang cukup besar sehingga patut dipertanyakan.
Sebab, segala hal yang menyangkut harta merupakan perkara
sensitif yang dapat menimbulkan keretakan dalam hubungan
kekeluargaan.
Pada kenyataannya konsep dua banding satu antara bagian
harta anak laki-laki dan bagian anak perempuan yang ditawarkan
oleh Alquran tidak jauh dari bentuk interpretasi terhadap kondisi
kaum wanita pada masa Arab pra-Islam. Potret pembagian warisan
pada masa Arab jahiliyah dan awal masuknya risalah Islam
menunjukkan bahwa wanita sama sekali tidak dilibatkan sebagai
bagian dari ahli waris. Pembagian warisan kala itu dilihat
berdasarkan siapa yang membawa manfaat lebih dalam
keluarganya. Seperti anak laki-laki yang mampu berjuang di medan
perang sehingga mendapatkan bagian ghani>mah dan mampu
menjaga martabat kesukuannya. Bahkan dikatakan bahwa anak
laki-laki yang masih kecil dan lemah tidak mendapatkan bagian
waris, apalagi anak perempuan yang dianggap tidak mampu
memberikan manfaat kepada keluarganya.
Pada masa tersebut, kaum wanita dipandang sebelah mata
oleh masyarakat. Bahkan kelahiran anak perempuan dianggap aib
bagi keluarganya. Jika menilik masa lalu, ruang gerak perempuan
masih sangat dibatasi, sehingga demi keberlangsungan hidup
perempuan pada masa tersebut laki-lakilah yang menjadi tulang
punggung baginya. Kewajiban mencari nafkah hanya dibebankan
kepada pihak laki-laki saja, perempuan mendapatkan nafkah dari
ayahnya jika ia belum menikah, dan dari suaminya jika ia sudah
menikah.

1
2) Generalisasi Jawaban-jawaban Spesifik dan Penentuan Ideal-
Moral Ayat (Langkah Kedua)
Ideal-moral ayat ialah wujud dasar moral yang dikandung
dalam ayat Alquran atau prinsip dasar ajaran Alquran yang menjadi
sumber pokok ajaran Islam secara keseluruhan. Menurut Fazlur
Rahman, dalam memberikan pemaknaan terhadap ayat Alquran
penafsir harus mampu memisah antara ideal-moral dan legal-
formal yang terdapat dalam ayat. Legal-formal merupakan
ketentuan-ketentuan hukum yang terkandung dalam ayat dan
biasanya bersifat temporal-partikular.25 Pemisahan antara nilai
ideal-moral dengan legal-formal berfungsi agar tampak mana yang
merupakan nilai eternal-universal dan mana yang masuk kategori
nilai temporal-partikular.26
Adapun bentuk legal formal dari ayat yang berisikan rincian
bagian warisan bagi anak sebagaimana yang tercantum dalam
potongan QS. al-Nisa>’ 11. Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa
dalam hal pembagian warisan hendaklah seseorang memberikan
bagian anak laki-laki sebesar dua bagian anak perempuan. Jika
anak perempuan tersebut lebih dari dua maka bagian baginya dua
pertiga dan jika anak perempuan tersebut tunggal maka berikan
kepadanya setengah hari harta. Pembagian tersebut dilakukan
setelah harta si pewaris dikurangi dengan wasiat yang disampaikan
ketika masih hidup dan dikurangi pembayaran hutang-hutangnya.
Nilai ideal yang dapat ditarik pada kasus pembagian
warisan bagi anak khususnya jika dalam sebuah keluarga terdapat
anak laki-laki dan anak perempuan sebagaimana yang termaktub
dalam QS. al-Nisa>’: 11 yaitu;

25
Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, terj.
Taufiq Adnan Amal, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 21.
26
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer…hlm.135-136.

1
a) Nilai Keadilan Berimbang
Jika ditinjau secara bahasa yang dimaksud kata keadilan
berasal dari kata adil. Istilah adil ini merupakan kata serapan dari
Bahasa Arab yakni al-‘adlu yang berarti seimbang yakni tidak
condong.27 Lafaz adil dapat dipahami sebagai perilaku terhadap
sesama manusia yang tidak berat sebelah atau tidak pandang bulu
dengan memperhatikan hak dan kewajibannya. Kata berimbang
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sama berat baik
dari segi jumlah atau kuasa.28 Dengan demikian yang dimaksud
dengan keadilan berimbang dalam konsep kewarisan ialah
kesesuaian antara hak dan kewajiban ahli waris. Dalam artian hak
yang diperoleh oleh masing-masing waris setimpal dengan
kewajiban yang ia pikul dalam keluarga maupun masyarakat baik
itu ditinjau dari segi hak dan kewajiban laki-laki maupun
perempuan.29
Pada dasarnya nilai moral yang tertuang dalam Alquran
menitikberatkan pada keadilan sosial.30 Begitu pula halnya dengan
pembagian warisan, Allah Swt telah menetapkan bagian bagi
masing-masing anak dengan adil mengingat peran yang ditanggung
oleh anak laki-laki lebih berat dibandingkan dengan tanggung
jawab seorang anak perempuan. Anak laki-laki dituntut untuk
mencari nafkah bagi keluarganya kelak dan mengharuskan baginya
untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan jalan berniaga atau
cara lainnya.31

27
Muhajirin, “Keadilan dalam Alquran: Kajian Semantik Kata al-„Adl
dan al-Qist} dalam Alquran”, dalam Hermeneutik: jurnal Ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir, Vol. 13, No. 01, (2019), hlm. 34.
28
KBBI Daring, “Berimbang”, diakses pada 25 Juni 2022,
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/berimbang.
29
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2011) hlm. 14.
30
Fazlur Rahman, Islam…hlm. 49.
31
Ibnu Kathi>r, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, terjemah. Salim
Bahrieisy dan Said Bahriesy, jilid 2, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm. 320.

1
                
     
  

…       


     
  
 

Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua


tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna.
Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian
mereka dengan cara yang patut… (al-Baqarah: 233)
Selain itu, ketika seorang anak perempuan telah menikah
maka tanggung jawab yang pada awalnya dipikul oleh ayah,
berpindah kepada suami. Suamilah yang berkewajiban memenuhi
kebutuhan istri dan anak-anaknya. Sehingga sangatlah wajar jika
Allah Swt menetapkan bagian anak laki-laki lebih besar
dibandingkan anak perempuan saat itu.
Sebelum ayat yang mengatur masalah kewarisan secara
rinci muncul, Islam telah mengatur kaum muslimin untuk
membagikan warisan dengan jalan wasiat. Hal ini sebagaimana
yang tertuang dalam QS. al-Baqarah: 180.

                


     
 

         


          

Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput
seseorang diantara kamu, jika dia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat
dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang
1
yang bertakwa.
Ketika wasiat diaplikasikan sebagai jalan pengalihan harta
dari pewaris kepada ahli waris, muncul masalah baru seperti
adanya pihak yang tidak mendapatkan keadilan. Walaupun dalam
ayat tersebut dikatakan hendaklah berwasiat dengan cara yang
makruf, yakni dengan adil dan baik. Namun, dalam prakteknya
keadilan yang diinginkan dalam berwasiat masih kabur. Hal
tersebut terjadi sebab dalam ketentuan wasiat, pewasiat bebas
dalam menentukan kepada siapa ia hendak mewariskan hartanya

1
tanpa ada batasan maupun ketentuan-ketentuan yang baku. Hal ini
menyebabkan beberapa sahabat datang menemui Rasulullah saw
dan melaporkan perihal tersebut. Maka turunlah ayat yang
mengatur masalah pembagian warisan secara detail dan jelas
dengan prinsip keadilan dan kesetaraan.32
b) Persamaan Hak
Dalam Bahasa Arab persamaan hak disebut dengan
musawwah, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah
equality. Yang dimaksud dengan persamaan hak adalah
keseimbangan atau kesamarataan antara satu sama lain. Istilah
musawwah juga bermakna penyamarataan martabat seluruh
manusia tanpa memperhatikan gender, suku, maupun kedudukan. 33
Istilah persamaan hak atau musawwah sering dibicarakan oleh para
tokoh feminisme Islam.
Hak laki-laki dan perempuan tidak dapat dipandang berbeda
hanya karena adanya perbedaan peran antara keduanya. Perbedaan
peran antara laki-laki dengan perempuan dapat ditinjau dari dua
aspek, yaitu pertama aspek biologis. Perbedaan fungsi biologis
masing-masing gender dapat mempengaruhi peran sosial. Kedua,
aspek peran sosial. Perbedaan peran sosial antara laki-laki dan
perempuan dapat dipengaruhi oleh aspek budaya. Setiap budaya
yang berkembang dalam masyarakat membentuk pola-pola peran
yang dinisbahkan kepada masing-masing gender.34 Dari perbedaan
peran tersebut, tidak serta merta terjadinya ketimpangan antara hak
perempuan dan hak laki-laki. Masing-masing gender memiliki hak
yang sama sesuai dengan kodrat yang melekat dalam diri laki-laki
dan perempuan.

32
Muhammad Fakhruddin al-Razi, Mafa>ti>h} al-Ghaib, (Beirut: Dar al-
Fikr), jilid 9, hlm. 201-210.
33
Quraish Shihab, al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran,
(Tangerang: Lentera Hati , 2002), hlm. 261.
34
Nasruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Alquran,
(Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 4-7.

1
Konsep persamaan hak antara laki-laki dan perempuan
menurut Asghar Ali Engineer mencakup dua hal. Pertama.
Keyakinan bahwa martabat antara laki-laki dan perempuan
sepadan. Anak laki-laki tidak lebih tinggi kedudukannya
dibandingkan anak perempuan.35 Amina wadud memberikan
penjelasan dalam bukunya Qur‟an and Women bahwa hanya
ketakwaan yang menjadi pembeda antar individu. Ketakwaan
bukan ditentukan berdasarkan jenis kelamin ataupun kedudukan
manusia dimata manusia. Melalui QS. al-H}ujura>t: 13 Alquran
dengan gamblang menyatakan hal tersebut.

               


       

              


    
 
Wahai manusia! sungguh, kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian
kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.
Yang dimaksud dengan takwa ialah takut kepada Allah Swt
yaitu takut akibat perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan baik
berupa balasan yang akan ia terima di dunia maupun di akhirat. 36
Istilah takwa juga dapat berarti kesalehan yakni perilaku seseorang
yang menjauhi segala bentuk larangan dan kesadaran karena Allah
Swt. Kesadaran karena Allah Swt ialah melaksanakan perintah
yang Allah tetapkan disebabkan rasa takzim kepada Allah Swt. 37
Melalui analisis ayat tersebut Amina Wadud ingin memberikan
penekanan pada kesamarataan kedudukan antara laki-laki dan
35
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid

1
Wajdi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994),
hlm. 57.
36
Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Alquran, terj. Ahmad Mahyuddin,
(Bandung: Pustaka, 1996), hlm. 43.
37
Amina Wadud, Qur‟an and Women: Rereading the Sacred Text from
a Woman‟s Perspective, (New York: Oxford University Press, 1999), hlm. 36-
37.

1
perempuan serta yang menjadi pembeda di mata Allah Swt
hanyalah dari segi ketakwaan.
Kedua, laki-laki dan wanita memiliki hak yang setara dalam
segala bidang. Baik itu mencakup bidang ekonomi, politik, sosial,
dan lain sebagainya.38 Dalam hal tersebut, menurut hemat penulis
konsep kesetaraan di segala bidang tidak dapat disamaratakan
sebab masing-masing gender memiliki sifat dan kekhasan yang
berbeda. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa Alquran
memberikan porsi yang sama terhadap kedudukan laki-laki dan
perempuan. Bahkan Allah Swt memberikan kelebihan pada
masing-masing gender agar dapat menjadi pelengkap satu sama
lainnya.
Hak yang setara antara laki-laki dan perempuan tidak
didapati ketika Islam belum menyentuh umat manusia. Pada masa
Arab jahiliah, hak-hak perempuan diabaikan dan dirampas begitu
saja. Kehadiran wanita dianggap sebagai benalu bagi masyarakat.
Selain itu, kondisi sosial budaya yang berkembang dalam
masyarakat Arab memperparah kedudukan wanita. Kondisi sosial
tersebut berupa kesukuan dan kebiasaan berperang antar suku
mempengaruhi hukum yang terbentuk saat itu. Sebagaimana dalam
hal kewarisan, berdasarkan adat istiadat pada masa tersebut harta
warisan hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang mampu
berperang, berkuda dan menguasai alat perang. Adapun anak kecil
dan anak perempuan tidak mendapatkan bagian sama sekali.
Adanya ketimpangan hak waris antara anak laki-laki dan
anak perempuan pada masa tersebut dihilangkan dengan turunnya
ayat yang menegaskan bahwa anak perempuan juga mendapatkan
bagian dari harta warisan sebagaimana yang tercantum dalam QS.
al-Nisa>’: 11. Walaupun dalam rinciannya anak perempuan
tidak mendapatkan bagian yang sama dengan bagian yang didapati
oleh anak laki-laki. Perbedaan tersebut terjadi sebab adanya
perbedaan kewajiban antara anak laki-laki dengan anak perempuan.
Perbedaan

1
38
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam…hlm. 57.

1
dari segi kewajiban ini sudah penulis uraikan dalam ideal-moral
pertama yaitu keadilan berimbang.
Anak laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar
dibandingkan anak perempuan juga berkaca dari konteks
masyarakat saat itu yang sama sekali tidak melibatkan anak
perempuan sebagai ahli waris. Sehingga dalam prosesnya
kewajiban memberikan warisan kepada anak perempuan walaupun
tidak sebanyak anak laki-laki tidak semudah itu untuk diterima oleh
masyarakat Arab, terlebih lagi jika bagian yang diberikan setara
antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Dengan demikian,
melalui QS. al-Nisa>’: 11 Allah Swt menegaskan bahwa perempuan
juga berhak atas harta warisan sebagaimana anak laki-laki walau
dengan jumlah yang berbeda mengingat pada saat itu, kewajiban
yang diemban oleh anak laki-laki dan anak perempuan yang
berbeda. Konsep persamaan hak antara anak laki-laki dan anak
perempuan yang terdapat dalam ayat kewarisan, sudah semestinya
diterapkan dalam situasi saat ini tanpa mengesampingkan konteks
terdahulu dan konteks zaman sekarang.
b. Gerakan Kedua
Gerakan kedua berangkat dari situasi umum ayat kembali
kepada situasi saat ini, dengan mempertimbangkan nilai ideal-
moral yang terkandung dalam ayat dan kajian atas kondisi sosial-
budaya masyarakat sekarang.39 Sebelum ayat tersebut disandingkan
dengan konteks masa kini, diperlukan kajian yang cermat terhadap
kondisi yang berkembang saat itu. Sebab perubahan waktu dan
tempat meniscayakan kondisi yang berbeda jauh dengan konteks
saat ayat Alquran diturunkan maupun pada masa sebelumnya.
Dalam hal kewarisan bagi anak, ketentuan anak laki-laki
mendapatkan bagian dua anak perempuan sebagaimana yang telah
diatur oleh Alquran jika ditinjau dari konteks masyarakat saat ini
memungkinkan untuk ditafsirkan ulang. Dengan

39
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad…hlm.
23.

1
mempertimbangkan konsep keadilan berimbang dan persamaan hak
maka ada beberapa kemungkinan yang dihasilkan dari proses
pembagian warisan bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Di
antara kemungkinan penafsiran tersebut ialah:
Pertama, anak laki-laki tetap mendapatkan dua bagian anak
perempuan. Pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan anak
perempuan memungkinkan untuk diaplikasikan jika adanya
kesamaan konteks saat ini dengan kondisi sosio-kultural
masyarakat Arab saat ayat kewarisan turun. Yakni kondisi sosial
dimana laki-laki dibebankan kewajiban dalam memenuhi nafkah
bagi keluarganya, sedangkan anak perempuan tetap mendapatkan
warisan tanpa adanya beban kewajiban untuk menafkahi
keluarganya kelak.40 Dalam sistem kewarisan masyarakat Jawa
misalnya, dikenal dengan istilah sapikul sagendhongan (satu pikul
satu gendong). Yaitu anak laki-laki mendapatkan dua bagian
(sapikul) berbanding satu (sagendhongan) anak perempuan. Hal
tersebut menurut mereka dikarenakan anak laki-laki memiliki peran
yang lebih besar dalam memenuhi kebutuhan keluarga
dibandingkan perempuan,41 sehingga wajar jika anak laki-laki
mendapatkan bagian yang lebih dibandingkan anak perempuan.
Kedua, anak laki-laki dan anak Perempuan mendapatkan
bagian yang setara. Kondisi tersebut dapat terjadi dalam beberapa
konteks. Ditinjau dari aspek kewajiban dan hak masing-masing
anak. Jika dalam prakteknya mayoritas masyarakat memiliki
pandangan bahwa kewajiban mencari nafkah tidak sepenuhnya
diserahkan kepada laki-laki melainkan ada campur tangan istri,
maka bagian warisan untuk anak perempuan perlu ditinjau ulang.
Kondisi yang demikian berbeda dengan konteks sosial pada masa
Nabi Muhammad saw, yang mana ruang gerak wanita dalam

40
Muhammad ‘Ali al-S}a>bu>ni, Pembagian Waris Menurut Islam,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 18.
41
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994),
hlm. 161.

1
menghasilkan harta terbatas dan kebutuhan mereka sepenuhnya
ditanggung oleh laki-laki.
Jika diperhatikan kondisi saat ini, wanita cenderung lebih
produktif dibandingkan pada masa lalu. Sehingga dalam beberapa
kasus perempuan justru menjadi tulang punggung bagi
keluarganya. Manakala anak perempuan lebih berjasa terhadap
keluarganya dibandingkan anak laki-laki maka sah-sah saja jika ia
mendapatkan bagian yang sama.42 Selain itu, pada beberapa daerah
memegang erat adat istiadat berupa persamaan kuantitas harta
warisan bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Jika konsep 2:1
tetap dipertahankan maka akan dikhawatirkan timbul perpecahan
dalam keluarga. Biasanya praktek ini dilaksanakan pada
masyarakat yang memandang kedudukan ayah dan ibu sama dalam
hal kewajiban mencari nafkah.43
Pada beberapa daerah Jawa, selain menganut sistem
kewarisan sapikul sagendhongan, diantara mereka juga ada yang
menggunakan sistem dumdum kupat atau sigar semangka. Yakni
praktek pembagian harta warisan setara antara bagian anak laki-laki
dan anak perempuan.44 Menurut masyarakat yang memegang adat
tersebut semua anak, baik itu anak laki-laki maupun anak
perempuan berhak atas harta warisan. Hak yang diinginkan disini
maksudnya ialah perlakuan yang sama terhadap pembagian harta.45
Namun perlu diperhatikan dari beragam konteks yang
terbentuk dalam masyarakat saat ini, persamaan dalam proses
pembagian harta warisan tidak boleh terlepas dari kesepakatan

42
Amina Wadud, Qur‟an and Women: Rereading the Sacred Text from
a Woman‟s Perspective …hlm. 87.
43
Mufti Kamal, “Prinsip Keadilan Berimbang dalam Pembagian Harta
Warisan antara Anak laki-laki dan Perempuan Perspektif Hermeneutika Double
Movement Fazlur Rahman”, (Tesis Program Magister al-Ahwal al-Syakhshiyyah,
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2020), hlm. 44.
44
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1999), hlm. 106.
45
Agus Sudaryanto, “Aspek Ontologi Pembagian Waris dalam Hukum
Islam dan Hukum Adat Jawa”, dalam jurnal Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 03,
(2010), hlm. 543.

1
bersama dan rasa rela sehingga terhindar dari percekcokan
dikemudian hari.
2. Menurut Amina Wadud
Ayat (bagian laki-laki sama dengan bagian dua perempuan)
yang tertuang dalam QS. al-Nisa>’: 11 jika dilakukan kajian
yang lebih mendalam dan komprehensif menunjukkan bahwa
metode tersebut bukanlah satu-satunya metode pembagian warisan
yang diinginkan Alquran melainkan merupakan salah satu dari
berbagai cara pembagian warisan yang seimbang (proporsional).46
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Amina merujuk pada
pernyataan Alquran yang memberikan bagian waris yang beragam
kepada orang tua, saudara kandung, maupun bagian sanak saudara
lainnya.47
Selain itu, pembagian warisan antara anak laki-laki dan
anak perempuan perlu diperhatikan dua perkara: pertama,
perempuan baik anak maupun kerabat tidak dikecualikan dalam hal
kewarisan (berhak atas harta warisan). Tidak sebagaimana
kebiasaan arab pra-Islam yang menghilangkan hak anak perempuan
maupun keturunannya dan memberikan kepada kerabat laki-laki.
Kedua, memperhatikan aspek keadilan ketika mendistribusikan
harta warisan. Yang dimaksud dengan adil menurut Amina Wadud
yaitu pembagian harta warisan dengan mempertimbangkan manfaat
bagi yang ditinggalkan.48 Amina Wadud menginginkan agar hak
dan keadilan dalam distribusi harta warisan kepada anak terpenuhi,
sehingga tidak masalah manakala pembagian harta warisan tersebut
setara selama hak dan keadilan antara anak laki-laki dan anak
perempuan terwujud.

46
Amina Wadud, Qur‟an and Women: Rereading the Sacred Text from
a Woman‟s Perspective…hlm. 87.
47
Amina Wadud, Qur‟an and Women: Rereading the Sacred Text from
a Woman‟s Perspective…hlm. 87.
48
Amina Wadud, Qur‟an and Women: Rereading the Sacred Text from
a Woman‟s Perspective …hlm.87.

1
Walaupun Alquran tidak menjelaskan berbagai
kemungkinan yang terjadi dalam hal pembagian warisan, namun
jika ditilik kondisi saat ini banyak skenario yang muncul sehingga
memungkinkan hadir kombinasi lain dari jumlah bagian warisan
bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Kemungkinan lain ini
menjadi pertimbangan agar tercapainya keadilan dalam pembagian
warisan.49 Contohnya manakala dalam sebuah keluarga terdiri dari
satu orang anak laki-laki dan satu anak perempuan. Kemudian sang
ayah meninggal dunia, lalu sepeninggalan ayah, ibu dirawat dengan
sepenuhnya oleh anak perempuan. Dengan demikian mengapa anak
laki-laki harus mendapatkan bagian yang lebih besar?. Jika menilik
manfaat harta sebagaimana yang ditulis sebelumnya, maka
keputusan 2: 1 bukan keputusan yang tepat menurut Amina
Wadud.50
Amina Wadud, menetapkan setidaknya ada tiga poin
penting yang harus menjadi pertimbangan dalam distribusi harta
warisan yaitu:51
a. Mempertimbangkan hak anak perempuan maupun hak anak
laki-laki dan membagikan harta warisan kepada sanak famili
dari pihak perempuan dan pihak laki-laki.
b. Sepertiga harta dapat diwasiatkan oleh pewaris tanpa adanya
ketentuan kepada siapa harta tersebut wajib didistribusikan.
Wasiat dapat dilakukan oleh pewaris kepada siapa saja yang ia
kehendaki selama harta tersebut tidak lebih dari sepertiga dan
tetap memenuhi kadar keadilan.
c. Pembagian harta warisan harus dilaksanakan dengan
pertimbangan keadaan yang ditinggalkan, manfaat atau jasa
mereka yang ditinggalkan kepada almarhum, dan manfaat harta
bagi ahli waris.
49
Amina Wadud, Qur‟an and Women: Rereading the Sacred Text From
a Woman‟s Perspective …hlm. 87.
50
Amina Wadud, Qur‟an and Women: Rereading the Sacred Text From
a Woman‟s Perspective …hlm. 87.
51
Amina Wadud, Qur‟an and Women: Rereading the Sacred Text From
a Woman‟s Perspective …hlm. 88.

11
3. Perbedaan Hasil Penafsiran Ayat Pembagian Warisan bagi Anak
laki-laki dan Anak Perempuan Menurut Fazlur Rahman dan
Amina Wadud
Walaupun dalam pandangan Amina Wadud dan aplikasi
teori double movement keduanya dapat menghasilkan interpretasi
selain 2:1, namun ada beberapa proses penafsiran yang menjadi
pembeda antara keduanya yaitu:
Pertama, dalam memberikan penafsiran terhadap ayat,
Fazlur Rahman menggagas metode double movement (gerakan
ganda). Teori tersebut bekerja dengan cara berangkat dari situasi
masa kini menuju situasi saat Alquran diturunkan dan kembali
kepada realitas masa sekarang. Dalam teori double movement
beberapa aspek yang menjadi pertimbangan adalah konteks
Alquran saat pertama kali diturunkan, aspek ideal-moral yang
ditarik dari ayat, dan kontekstualisasi ideal-moral ayat kedalam
kondisi saat ini. Sedangkan Amina Wadud mengutarakan ada
beberapa aspek yang menjadi pertimbangan analisis ayat yaitu:
konteksnya, konteks pembahasan ayat-ayat yang serupa dalam
Alquran, memperhatikan struktur bahasa atau sintaksis, dari sudut
prinsip Alquran yang menolaknya dan aspek weltanschauung
(pandangan dunia) Alquran.
Kedua, dalam pemikirannya mengenai pembagian warisan
bagi anak laki-laki dan anak perempuan, agaknya Amina Wadud
hanya memberikan penekanan pada aspek weltanschauung ayat
dan kontekstualisasi dengan realitas saat ini, sedangkan kajian
historis maupun analisis kebahasaan ayat tidak ia paparkan secara
rinci. Manakala teori double movement diterapkan kedalam ayat
pembagian warisan bagi anak laki-laki dan anak perempuan, maka
akan dihasilakan cara yang tersusun dengan sistematis. Dimulai
dengan kajian historis (sisi makro dan mikro) ayat tersebut,
penggalian ideal-moral ayat dan terakhir penarikan idea moral
kedalam situasi masa kini.
Ketiga, pada teori double movement, yang menjadi
penekanan terhadap prinsip umum ayat tersebut terletak pada aspek
11
keadilan berimbang dan kesetaraan hak, sedangkan dalam
pandangan Amina Wadud, selain aspek keadilan dan kesetaraan hal
yang perlu diperhatikan ialah dari segi manfaat.
Keempat, selain disebabkan keprihatinan terhadap metode
klasik yang dianggap tidak cukup dalam menjawab persoalan yang
muncul pada zaman saat ini, muncul motivasi yang berbeda antara
Fazlur Rahman dan Amina Wadud. Fazlur Rahman menggagas
pemikirannya murni disebabkan rasa tanggung jawab maupun
kesadaran akan kondisi Islam saat ini yang sedang mengalami
krisis modernitas, sehingga ia menyusun metodologi yang
sistematis dan dianggap mampu menjawab persoalan era-
kontemporer.52 Adapun Amina Wadud berangkat dari rasa
keprihatinan terhadap produk tafsir terdahulu yang ditafsirkan
menurut visi, kehendak, dan perspektif laki-laki saja. Hal tersebut
terjadi sebab mayoritas mufasir yang lahir dari kalangan laki-laki. 53
Oleh sebab itulah, dalam praktiknya Amina Wadud memfokuskan
pemikirannya pada ayat-ayat yang berbicara seputar gender.
C. Dinamika Penafsiran Ayat Warisan 2:1 Bagi Anak Laki-laki
dan Anak Perempuan
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan kondisi
sosial budaya, kajian Alquran juga turut mengalami perkembangan
secara dinamis. Hal tersebut dapat dilihat dari munculnya kitab-
kitab tafsir dengan corak, metode maupun pendekatan yang
beragam selaras dengan perkembangan zaman. 54 Salah satu bentuk
perubahan metode tafsir berawal dari kesadaran akan konteks yang
mulai menjadi perhatian beberapa pegiat Alquran. Muncul
pandangan yang menganggap bahwa ilmu tafsir yang selama ini
menjadi acuan dalam penafsiran memiliki keterbatasan dalam
menangkap makna Alquran agar sesuai dengan realitas masa kini.
52
Nasaiy Aziz, Penafsiran Alquran Kontemporer, (Banda Aceh: Ar-
Raniry Press, 2012), hlm. 155-157.
53
Amina Wadud, Qur‟an and Women: Rereading the Secred Text from
a Woman‟s Perspective …hlm.2.
54
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer…hlm. 1.

11
Keilmuan tafsir hanya fokus pada kajian makna teks semata tanpa
adanya dialog yang serius antar teks dengan konteks maupun
kontekstualisasi.55 Realitas teks tanpa disertai pemahaman konteks
dan kontekstualisasi dapat menjadi penghalang dalam menangkap
pesan Alquran lintas generasi. Oleh sebab itu, beberapa tokoh
menawarkan metode hermeneutika yang dirasa sesuai dan mampu
mengatasi problematika yang terjadi era kontemporer ini.
Dinamisasi yang terjadi dalam ilmu tafsir sudah barang
tentu mempengaruhi produk dari penafsiran. Tidak terkecuali
dalam ayat kewarisan, penafsiran yang diberikan oleh ulama pada
setiap periodenya dapat saja berubah manakala pendekatan dan
metode yang dipakai berbeda. Penulis memetakan dinamika
penafsiran ayat pembagian warisan bagi anak laki-laki dan anak
perempuan menjadi tiga era. Ketiga era tersebut sebagaimana yang
tertuang dalam history of idea yang disusun oleh Abdul Mustaqim.
Era pertama disebut sebagai era formatif dengan nalar
quasi-kritis. Era ini dimulai sejak diutusnya Nabi Muhammad saw
hingga abad ke-2 H. Paradigma berpikir pada zaman tersebut ialah
kebenaran yang terkandung dalam Alquran yang mengetahui
maknanya secara mutlak hanyalah Allah Swt. Walaupun demikian,
rujukan yang paling utama dalam penafsiran ialah Rasulullah saw
sebagai penerima wahyu. Ada dua ciri yang menjadi kekhasan
nalar berpikir quasi kritis: pertama, otoritas tertinggi dalam
penafsiran ialah berdasarkan riwayat yang dikemukakan oleh Nabi
Muhammad saw, sahabat, maupun tabi‟in, sehingga penggunaan
akal dalam penafsiran Alquran masih sangat minim. Kedua, tidak
ada budaya kritisme dalam menanggapi produk tafsir yang lahir
pada abad tersebut.56
Era kedua disebut sebagai era afirmatif dengan nalar
ideologis. Era ini diawali pada abad pertengahan. Ketika itu,
banyak kitab-kitab tafsir yang lahir dengan kepentingan-

55
Edi Susanto, Studi Hermeneutika Kajian Pengantar, (Jakarta:
Kencana, 2016), hlm. 13.
56
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer…hlm. 34-36.

11
kepentingan tertentu seperti kepentingan politik, ideologi (mazhab),
maupun ilmu pengetahuan. Pada masa tersebut perhatian kaum
muslimin terhadap tafsir sangat besar. Hal ini dibuktikan dengan
menjamurnya literatur tafsir dengan metode maupun corak yang
beragam.57 Adapun metode penafsiran yang dipakai saat era ini
tidak hanya bi al-riwa>yah saja melainkan juga dengan metode bi
al-ra’yi. Walaupun pada era ini banyak bermunculan tafsir dengan
kepentingan-kepentingan tertentu, tetapi ada juga karangan mufasir
yang murni untuk kepentingan agama dan masyarakat.
Era ketiga yaitu era reformatif dengan nalar kritis. Diawali
dengan kemunculan tokoh pembaharu muslim seperti Sayyid
Ahmad Khan dan Muhammad Abduh. Pada era ini penafsiran lebih
cenderung kepada nalar kritis, sehingga setiap produk penafsiran
dilihat dari kacamata objektif dan kritis. Pada era ini pula
pemikiran hermeneutika mewarnai penafsiran Alquran. Di antara
pegiat Alquran yang menggunakan metode ini adalah Fazlur
Rahman, Muhammad Syahrur, Amina Wadud, Riffat Hasan, dan
tokoh lainnya dengan harapan penafsiran Alquran dapat senantiasa
s}a>lih} likulli zama>n wa maka>n.58
Produk tafsir khususnya pada ayat yang menjelaskan bahwa
anak laki-laki mendapatkan dua bagian anak perempuan ditafsirkan
oleh mayoritas ulama pada era formatif dan afirmatif secara literal.
Penafsiran tersebut didasari pada riwayat-riwayat, kajian bahasa,
dan pendapat mufasir lain yang dikutip oleh penafsir maupun
pendapat pribadinya. Riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa
anak laki-laki mendapatkan dua bagian anak perempuan dapat
ditemui dalam tafsir Ibnu Kathi>r. Walaupun tafsir Ibnu
Kathi>r muncul pada era afirmatif yang kental dengan
sektarianisme dan
menjamurnya tafsir bi al-ra’yi, namun tafsir Ibnu Kathi>rbebas dari
kepentingan ideologi dan pendapat subyektifitas penafsir. Sebab

57
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer…hlm. 45-46.

12
58
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer…hlm. 51-53.

12
dalam buku tersebut Ibnu Kathi>r menggunakan metode bi
al- riwa>yah dan hanya mencantumkan riwayat-riwayat s}ah}i>h}.59
Selain itu, penulis juga menjadikan tafsir al-Misbah sebagai
salah satu sumber dalam penafsiran QS. al-Nisa>’: 11 khususnya
pada bagian warisan anak. Walaupun tafsir al-Misbah masuk
kategori tafsir kontemporer, namun metode penafsiran yang
digunakan tidak jauh berbeda dengan ketentuan penafsiran yang
telah ditentukan oleh ulama klasik sebelumnya. Tafsir al-Misbah
merupakan tafsir pertama di Nusantara yang menjelaskan
kandungan Alquran secara rinci dan gamblang. Inilah yang menjadi
salah satu ciri penulisan tafsir ini yakni konsistensinya dalam
mengurai kalimat-kalimat yang terdapat dalam setiap ayat Alquran.
Kalimat-kalimat tersebut diuraikan secara panjang lebar dan
kemudian maknanya dikaitkan dengan permasalahan sosial saat ini.
walaupun tafsir al-Misbah menitik beratkan kepada persoalan masa
kini, penafsirannya tidak terlepas dari makna tekstual ayat.60
Dalam metode penafsiran Alquran, tafsir al-Misbah berbeda
dengan tafsir al-Qur’a>n al-‘Azhim Ibnu Kathi>r. Jika tafsir al-Qur’a>n
al-‘Azhim Ibnu Kathi>r menjelaskan ayat secara riwa>yah, tafsir
al- Misbah lebih mengedepankan ijtihad dalam mengupas makna
ayat. Walaupun corak dan sumber yang digunakan dalam tafsir al-
Qur’a>n al-‘Azhim dengan tafsir al-Misbah berbeda namun produk
penafsiran QS. al-Nisa>’: 11 tetaplah sama, yakni sebagaimana
bunyi ayat bahwa anak laki-laki mendapatkan harta warisan dua
kali lipat bagian anak perempuan. Ketentuan yang telah Allah Swt
tetapkan tersebut dalam kedua tafsir disebutkan sebagai ketentuan
yang adil. Keadilan dalam pembagian warisan tidaklah dipandang
dari segi kuantitas melainkan dilihat dari segi kualitas. Mufasir
juga mencantumkan beberapa alasan dibalik perbedaan jumlah
warisan bagi anak laki-laki dan perempuan.

59
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Alquran, (Semarang:
Rizki Putra, 2002) , hlm. 229.
60
Lufaefi, “Tafsir Al-Misbah: Tekstualitas, Rasionalitas dan Lokalitas
Tafsir Nusantara”, dalam jurnal Substantia, Vol. 21, No. 1, (2019), hlm.34.

12
Dalam perkembangan selanjutnya, melalui metode
hermeneutika pembagian warisan 2:1 bagi anak laki-laki dan anak
perempuan dapat diinterpretasi ulang. Metode ini mulai
diaplikasikan dalam penafsiran Alquran pada era reformatif.
Penafsiran ulang pembagian warisan bagi anak laki-laki dan anak
perempuan dilakukan dengan menggunakan seperangkat metode
yang telah tersusun secara sistematis. Adapun metode yang penulis
gunakan dalam penelitian ini adalah metode double movement
(gerakan ganda) Fazlur Rahman dan hermeneutika Amina Wadud.
Dengan menggunakan metode double movement, terdapat beberapa
kemungkinan yang terjadi mengenai kuantitas bagian harta warisan
bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Pembagian warisan bisa
saja sebagaimana yang tersurat dalam Alquran yakni 2:1 dan bisa
pula mendapatkan bagian yang setara anak laki-laki dan anak
perempuan. Kedua kemungkinan tersebut dapat terjadi tergantung
situasi dan kondisi masyarakat saat ini. Melalui pendekatan
hermeneutika dapat ditarik kesimpulan bahwa pembagian warisan
2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan merupakan salah satu
jenis pembagian harta warisan kepada anak.
Disamping aspek keadilan dan kesetaran, Amina Wadud
memandang hendaklah pembagian warisan ditinjau dari segi
kemanfaatan baik berupa manfaat harta kepada mereka yang
ditinggalkan maupun manfaat ahli waris kepada pewaris dimasa
hidupnya. Dengan demikian melalui metode hermeneutika yang
digunakan oleh Amina Wadud maupun Fazlur Rahman konsep 1:1
sangat memungkinkan terjadi pada era-kontemporer ini.

12
D. Perbedaan Metode dan Hasil Penafsiran Pembagian
Warisan bagi Anak Laki-laki dan Anak Perempuan

Perbedaan metode yang digunakan dalam menafsirkan


Alquran dapat menghasilkan produk penafsiran yang berbeda.
Adapun perbedaan metode dan hasil penafsiran ayat pembagian
warisan bagi anak laki-laki dan anak perempuan jika ditinjau dari
kacamata metode tafsir klasik dengan metode hermeneutika ialah
sebagai berikut:
Pertama, penggunaan hermeneutika sebagai mitra tafsir
dibangun atas dasar spirit Alquran dan keinginan untuk
membangun pemahaman Alquran yang s}a>lih likulli zama>n wa
maka>n, sedangkan tafsir murni digunakan untuk mengungkapkan
makna-makna Alquran beserta mengeluarkan hukum-hukum dan
hikmah-hikmah yang terkandung didalamnya.61 Adapun keinginan
untuk membangun pemahaman yang sesuai dengan perkembangan
zaman dan tempat tidak menjadi perhatian yang serius oleh para
penafsir klasik.
Kedua, dalam kajian hermeneutika ada tiga unsur yang
menjadi titik fokus pencarian makna Alquran yakni teks, konteks,
dan kontekstualisasi. Ketiga unsur tersebut tertuang dalam double
movement (gerak ganda) Fazlur Rahman. Saat memahami ayat
hukum hendaklah ayat tersebut dibawa kembali pada masa
penurunannya dengan memperhatikan situasi sosial yang
berkembang saat itu. Proses ini tertera dalam gerakan pertama yang
terdiri dari dua langkah, disusun dengan tujuan menangkap nilai
idea ayat. Kemudian nilai ideal ayat akan dibawa ke dalam konteks
kekinian (dikontekstualisasikan). Proses kontekstualisasi ini tidak
digunakan dalam metode penafsiran klasik. Dalam metode klasik
mufasir memberikan perhatian terhadap teks Alquran dan
terkadang juga mencantumkan konteks penurunan ayat. Namun,
kontekstualisasi ayat ini tidak didapati dalam prosesnya.

61
Muhammad ‘Ali al-S}a>bu>ni, al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n … hlm. 66.

12
kata ِ‫ لِل ََّذ ك‬metode dari ditinjau jika
‫ْ ِْي‬.‫َي‬.‫َث‬.‫ر ِمْث ُل َح ِّظ ْالْن‬,Ketiga
penafsiran klasik ditafsirkan sebagaimana bunyi literal teks bahwa
anak laki-laki mendapatkan bagian dua anak perempuan,
sedangkan jika ditinjau dari kacamata hermeneutik khususnya Pada
pemikiran Amina Wadud dan Fazlur Rahman, ayat tersebut tidak
serta merta harus diinterpretasi sebagaimana bunyi lahiriah teks.
Anak laki-laki mendapatkan bagian dua anak perempuan dianggap
sebagai salah satu cara dari berbagai cara pembagian harta warisan.
Bisa saja anak perempuan mendapatkan bagian yang sama dengan
anak laki-laki jika konteks dalam keluarga mendukung.
Keempat, konteks keadilan dan kesetaraan yang tersirat
dalam ayat pembagian harta warisan bagi anak laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi kewajiban yang diemban oleh masing-
masing gender. Anak laki-laki berkewajiban dalam memenuhi
nafkah bagi keluarganya sehingga wajar jika anak laki-laki
mendapatkan bagian dua kali lipat dibandingkan anak perempuan.
Pandangan mengenai keadilan ini sama antara metode tafsir klasik
dengan metode double movement. Hanya saja yang membedakan
antara keduanya ialah, aspek keadilan dalam kacamata mufasir
hanya bersandar kepada situasi masa lalu, tanpa menyebutkan
kemungkinan lain dari situasi saat ini. Namun keadilan yang
dibangun oleh hermeneutik tidak hanya berhenti pada konteks
terdahulu melainkan juga ditinjau dari perkembangan situasi saat
ini. Manakala dalam sebuah keluarga anak perempuan yang
menjadi tulang punggung keluarga, maka boleh saja jika ia
mendapatkan warisan yang setara dengan anak laki-laki.

12
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis penulis memperoleh kesimpulan
yang dapat diambil dari penelitian mengenai Hermeneutika dan
Penafsiran terhadap Ayat-ayat Kewarisan sebagai berikut:
1. Lafaz lidhdhakari mithlu h}az}z}il unthayain oleh mayoritas
mufasir dipahami sebagaimana bentuk tekstual ayat. Ibnu Kathir
menjelaskan tentang ayat tersebut bahwa sudah selayaknya
seorang anak laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat
dibandingkan anak perempuan mengingat peran yang diemban
olehnya. Begitu pula Quraish Shihab mengatakan bahwa kadar
anak laki-laki mendapatkan bagian dua anak perempuan
merupakan sebuah ketetapan yang telah diatur oleh Allah Swt
secara adil dan tidak boleh ditentang oleh siapapun. Konsep
keadilan dalam pembagian warisan menurut mufasir tidaklah
ditinjau dari segi kuantitatif, melainkan dilihat dari aspek
kualitatifnya. Anak laki-laki dituntut untuk mencari nafkah bagi
keluarganya kelak sedangkan anak perempuan senantiasa berada
dalam tanggung jawab laki-laki semasa hidupnya. Oleh sebab
itu, menurut para mufasir pembagian harta warisan 2:1 bagi
anak laki-laki dan anak perempuan merupakan pembagian yang
adil mengingat perbedaan fungsi dan peran yang diemban oleh
anak laki-laki dan anak perempuan.
2. Potongan surah al-Nisa>’: 11 lidhdhakari mithlu h}az}z}il unthayain
jika ditinjau dari teori double movement maka akan didapati
interpretasi yang berbeda dengan hasil penafsiran ulama klasik.
Melalui teori double movement anak laki-laki tidak mutlak harus
mendapatkan bagian dua anak perempuan. Perubahan kadar
dapat terjadi setelah dilakukan analisis yang mendalam terkait
konteks masa lalu dan konteks masa kini tanpa
mengesampingkan nilai moral yang terkandung dalam ayat

12
tersebut. Menurut Amina Wadud, dalam proses pembagian
warisan harus mempertimbangkan tiga perkara yaitu, pembagian
warisan harus melibatkan famili laki-laki dan famili perempuan
yang masih hidup, mempertimbangkan wasiat, dan
mempertimbangkan keadaan orang yang ditinggalkan, manfaat
ahli waris semasa pewaris hidup, dan juga manfaat dari harta
yang diwarisi.
3. Dinamika penafsiran dibagi menjadi tiga era oleh Abdul
Mustaqim yaitu era formatif, afirmatif, dan reformatif. Produk
tafsir khususnya pada ayat yang menjelaskan bahwa anak laki-
laki mendapatkan dua bagian anak perempuan ditafsirkan oleh
mayoritas ulama pada era formatif dan afirmatif secara literal.
Dalam perkembangan selanjutnya, melalui metode
hermeneutika pembagian warisan 2:1 bagi anak laki-laki dan
anak perempuan dapat diinterpretasi ulang. Metode ini mulai
diaplikasikan dalam penafsiran Alquran pada era reformatif.
Walaupun terdapat perbedaan hasil dari metode penafsiran
klasik dengan metode hermeneutika manakala diaplikasikan
pada ayat warisan bagi anak, namun keduanya sama-sama
menginginkan tercapainya persamaan hak dan keadilan
meskipun dalam konteks yang berbeda. Dalam hal penafsiran
ayat kewarisan ini, penulis lebih cenderung setuju dengan
penafsiran yang diberikan oleh para mufasir klasik, sebab jika
ayat tersebut ditinjau dengan metode hermeneutika Fazlur
Rahman dan Amina Wadud maka akan dihasilkan penafsiran
yang beragam sesuai konteks yang mengitari zaman tersebut.

B. Saran
Dalam penelitian ini, penulis sadar bahwa tulisan ini masih
jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangannya. Oleh
karena itu, penulis ingin menyampaikan beberapa saran untuk
penelitian selanjutnya:
1. Pembahasan yang diuraikan oleh penulis mungkin belum
komprehensif. Oleh sebab itu penulis berharap agar peneliti-

12
peneliti berikutnya mengkaji dinamika penafsiran ayat
kewarisan secara lebih mendalam lagi. Selain itu, penulis juga
menerima masukan dan kritikan secara ilmiah dari teman-teman
maupun dari kalangan akademisi.
2. Diantara saran judul yang penulis harapkan untuk penelitian
berikutnya ialah Pengaruh hermeneutika terhadap hukum-
hukum yang thubut atau aplikasi teori double movement dalam
penafsiran ayat kepemimpinan wanita, atau ayat-ayat lainnya
yang berhubungan dengan situasi kontemporer saat ini.
3. Hendaklah peneliti-peneliti berikutnya bersifat objektif dalam
memahami dan menanggapi pandangan-pandangan baru
maupun keilmuan-keilmuan baru yang terus bermunculan
hingga saat ini khususnya dalam kajian Alquran. Perubahan
paradigma yang terjadi merupakan hal yang wajar mengingat
kondisi sosio historis, keilmuan maupun budaya yang terus
berubah. Sehingga ketika mengkaji pemikiran tokoh ada
baiknya mengetahui landasan berpikir dan latar belakang
pemikirannya.

12
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ahmad. Mu‟jam Maqayis al-Lugah. Beirut: Dar al-Fikr, 1999.
Ajahari. Ulumul Qur‟an. Yogyakarta: Aswaja Pressindo,
2018.
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press,
2011.
Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara,
1987.
Aziz, Nasaiy. Penafsiran Alquran Kontemporer: Metode
penafsiran Bint Syati‟ dan Fazlur Rahman. Banda Aceh:
Ar-raniry press, 2012.
Al-Baqi, Muhammad Fuad „Abd. al-Mu‘jam al-Mufahras li-Alfa>z}i
al-Qur’a>n al-Kari>m. Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyah,
1364 H.
Baidan, Nasruddin. Metodologi Penafsiran Alquran. Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2012.
Chamid, Nur. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
E.Palmer, Richard. Hermeneutich: Interpretethion Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evenston:
Northwestren University press, 1969.
Engineer, Asghar Ali. Hak-hak Perempuan dalam Islam. Terjemah.
Farid Wajdi dan Cici Farkha Assegaf. Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 1994.
Esack, Farid. Qur‟an: Liberation & Pluralism. Oxford: One
World, 1997.
Al-Farmawi, Abd al-Hayy. Metode Tafsir Maudhu‟i Sebuah
Pengantar. Terjemah. Suryan A. Jamrah. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1996.
Al-Farran, Ahmad Musthafa. Tafsir Imam Syafi‟i. Terjemah.

12
Fedrian Hasmand, Fuad, Ghafur, dll. Jakarta: Almahira,
2008.

13
Faiz, Fahruddin. Hermeneutika Alquran Tema-tema Kontroversial.
Yogyakarta: Kalimedia, 2015.
Faiz, Fahruddin. Hermeneutika Alquran (Antara Teks, Konteks,
dan Kontekstualisasi). Yogyakarta: Qalam, 2002.
Farida, Umma. Pemikiran dan Metode Tafsir Alquran
Kontemporer. Kudus: Idea Press , 2010.
Ghazali, Muhammad. Tafsir Tematik dalam Alquran. Terjemah.
Qodirun Nur dan Ahmad Musyfiq. Jakarta: Gaya Media,
2005.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1999.
Hamka. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Panjimas, 1983.
Hanafi, Hasan. Dialog Agama dan Revolusi. Terjemah.Tim Pustaka
Firdaus. Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994.
Handrianto, Budi. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia. Jakarta:
Hujjah, 2007.
Hardiman, Budi. Seni Memahami Hermeneutik Dari
Schleiermacher Sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius,
2015.
Hendra, Muhammad. Jahiliah. Yogyakarta: Deepublish, 2012.
Husaini, Aidin. Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di
Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Gema Insani, 2006.
Ibn Majah, Muhammad bin Yazid al Qazwini. Sunan Ibnu Majah.
Kairo: Dar Ihya al-kutub al-„Arabiyyah.
Ibrahim, Muhammad Ismail. Mu‘jam al-Alfa>z} wa al-I‘la>m al-
Qur’aniyyah. Dar al-Fikr al-Harb, 1388 H.
Jaya, Dwi Putra. Hukum Kewarisan di Indonesia. Bengkulu: Zara
Abadi, 2020.
K.Bertens. Filsafat Barat Kontemporer. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002.
Karim, Abdullah dan Abun Bunyamin. Bunga Rampai „Ulum
Alquran. Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2012.

13
Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1438.
Kathi>r, Ibnu. Tafsir Ibnu Kathi>r. Terjemah. Arif Rahman
Hakim, dkk. Jawa Tengah: Insan Kamil Solo, 2016.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi. Terjemah.
Bahrun Abubakar dan Hery Noer. Semarang: Karya Toha
Putra, 1993.
M. Yusuf, Kadar. Studi Alquran. Jakarta: Amzah, 2014.
Muhibbusabry. Fikih Mawaris. Medan: Pusdikra Mitra Jaya, 2020.
Muhibbusabry, Keistimewaan Perempuan dalam Kasus Kewarisan
Islam. Dalam Laporan Penelitian Program Studi
Perbandingan Madzhab Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2020.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta:
LKiS Group, 2012.
Nawawi, Maimun. Pengantar Kewarisan Islam. Surabaya: Pustaka
Radja, 2016.
Parman, Ali. Kewarisan dalam Alquran. Jakarta: RajaGrafindo,
1995.
Purwanto. Tinggal. Metodologi Tafsir Alquran. Yogyakarta: Adab
Press, 2013.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Al-Qathan, Manna. Maba>h}ith fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Riyadh:
Maktabah Ma‟arif, 1981.
Rahman, Fazlur. Islam dan modernitas: Tentang Transformasi
Intelektual. Terjemah. Ahsin Muhammad. Bandung:
Pustaka, 1985.
Rahman, Fazlur. Islam. Terjemah. Ahsin Mohammad. Bandung:
Pustaka, 2010.
Rahman, Fazlur. Major Themes of The Qur‟an. Miniapolis:
Chicago Press, 1980.
13
Rahman, Fazlur. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam.
Terjemah. Taufiq Adnan Amal. Bandung: Mizan, 1993.
Rahman, Jalaluddin. Metodologi Pembaharuan: Sebuah Tuntunan
Kelanggengan Islam (Studi Beberapa Tokoh Pembaharu).
Makasar: IAIN Alauddin, 2001.
Razi, Muhammad Fakhruddin. Mafatih Al-Ghaib. Beirut: Dar Al-
Fikr.
Al-S}a>bu>ni, Muhammad „Ali. Hukum Kewarisan Menurut Alquran
dan Sunah. Terjemah. Hamdan Rasyid. Jakarta: Dar al-
Kutub al-Islamiyah, 2005.
Al-S}a>bu>ni, Muhammad „Ali. al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut:
„Alim al-Kutub.
Al-Suyuti, Jalal al-Din. Dur al-Manthu>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’thu>r.
Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Suyuti, Jalal al-Din. Asbabun Nuzul: Sebab-sebab Turunnya
Ayat Alquran. Terjemah. Andi Muhammd Syahril dan
yasir Maqasid. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014.
Al-Suyuti, Jalal al-Din. al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n:
Ulumul Qur‟an II. Terjemahan. Editor Indava. Surakarta:
Indava Pustaka, 2009.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Ilmu-ilmu Alquran. Semarang:
Rizki Putra, 2002.
Ash-Shofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka
Cipta, 2004.
Sarijo, Marwan. Cak Nur di Antara Sarung dan Dasi dan Musdah
Mulia Tetap Berjilbab, catatan Pinggir Sekitar Pemikir
Islam di Indonesia. Jakarta: Aksara Permadani, 2005.
Shihab, Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati, 2019.
Shihab, Quraish. Membumikan Alquran. Bandung: Mizan, 2013.
Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Alquran. Tangerang, Lentera Hati, 2006.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur‟an. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013.

13
Susanto, Edi. Studi Hermeneutik kajian Pengantar. Jakarta:
Kencana, 2016.
Syamsuddin, Ibrahim. Mu‘jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1418 H.
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
Qur‟an. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009.
Umar, Nasruddin. Argumen Kesetaraan Jender Prespektif Alquran.
Jakarta: Paramadina, 1999.
Wadud, Amina. Qur‟an and Women rereading the Secred Text
From a Woman‟s Perspective. New York: Oxford
University Press, 1999.
Wadud, Amina. Qur‟an Menurut Perempuan. Terjemah. Abdullah
Ali. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan
Fiqh Islam. Bandung: Alma‟arif, 1986.
Yusuf, Muri. Metode Penelitian Kuatitatif, kualitatif, dan
Penelitian Gabungan. Jakarta: Kencana, 2012.
Zimmermann, Jens. Hermeneutika Sebuah Studi Pengantar.
Yogyakarta: Diva Press, 2021.
Al-Zahabi, Muhammad Husain. al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Mesir:
Dar al-Hadist, 1396 H/ 1976 M.
Zuhri, Muhammad. Hermeneutika Alquran. Kudus: STAIN, 2000.
Jurnal
Huda, Muhammad Muchlish. Fisibilitas Hermeneutika Dalam
Penafsiran Al-Qur‟an. Dalam Jurnal Dialogia Vol. 12 No.
1, (2014)
Kusmana. Hermeneutika Humanistik Naṣr Ḥamīd Abū Zayd;
Alquran Sebagai Wacana. Dalam Jurnal Kanz Philoshopia
Vol. 2, No. 2 (2012).
Lufaefi. Tafsir Al-Misbah: Tekstualitas, Rasionalitas dan Lokalitas
Tafsir Nusantara. Dalam Jurnal Substantia, Vol. 21, No.
1, (2019).

13
Muhajirin. Keadilan dalam Al-Qur‟an: Kajian Semantik Kata al-
„Adl dan al-Qist} dalam al-Qur‟an. Dalam
Hermeneutik: jurnal Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Vol. 13,
No. 01, (2019).
Munfarida, Elya. Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an Menurut Fazlur
Rahman. Dalam Jurnal Komunika,vol.9, No. 2, (2015).
Rasyid, Idris. Eksekusi Ab Intertato Warisan Dua Banding Satu:
Rasionalisasi Surah An-Nisa Ayat 11. Dalam Jurnal
Hukum Diktum, Vol. 14, no.02. (2016).
Shihab, Quraish. Tafsir, takwil, dan Hermeneutika: Suatu
Paradigma Baru Pemahaman Al-Qur‟an. Dalam Jurnal
Kajian Al-Qur‟an dan Kebudayaan, vol. 2, No. 1, (2009).
Sudaryanto, Agus. Aspek Ontologi Pembagian Waris dalam
Hukum Islam dan Hukum Adat Jawa. Dalam Jurnal
Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 03, (2010).
Sulthoni, Akhmad. Hermeneutika Al-Qur‟an Prespektif al-Dakhil fi
al-Tafsir. Dalam Jurnal Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir,
Vol.3, No. 2 (2019).
Tesis dan Disertasi
Kamal, Mufti. “Prinsip Keadilan Berimbang dalam Pembagian
Harta Warisan Antara Anak laki-laki dan Perempuan
Perspektif Hermeneutika Double Movement Fazlur
Rahman”. Tesis Program Magister al-Ahwal al-
Syakhshiyyah, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,
2020.
Saladin, Bustami. “Studi Komparatif Metode Penafsiran Kalsik
dan Kontemporer Tentang Ayat Ahkam”. Disertasi
Program Studi Ilmu Keislaman, UIN Sunan Ampel
Surabaya, 2018.
Website
KBBI Daring. “Berimbang”. Diakses pada 25 Juni 2022,
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/berimbang.

13
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Identitas Diri :
Nama : Nurul Hidayah
Tempat / Tgl.Lahir: Langsa / 29 November 2000
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan / NIM : Mahasiswi / 180303067
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Aceh Tamiang

2. Orang Tua / Wali :


Nama Ayah : Syamsuddin
Nama Ibu : Salmah
Pekerjaan : PNS Guru

3. Riwayat Pendidikan :
a. MIN 7 Bandar Mahligai Tahun Lulus 2012
b. MTs Ulumul Qur‟an Langsa Tahun Lulus 2015
c. MA Ulumul Qur‟an Langsa Tahun Lulus 2018
d. UIN Ar-Raniry, Prodi Ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir Tahun Lulus 2022

Banda Aceh, 1 Juni 2022


Penulis,

Nurul Hidayah
NIM.180303067

13

Anda mungkin juga menyukai