Anda di halaman 1dari 181

PEDOMAN TRANSLITERASI DAN SINGKATAN

A. Transliterasi
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penulisan Tesis
ini, secara umum berpedoman kepada transliterasi ‘Ali ‘Awdah 1 dengan
keterangan sebagai berikut:

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Huruf Latin


Arab
‫ا‬ Tidak disimbolkan ‫ط‬ T̩

‫ب‬ B ‫ظ‬ Z̩

‫ت‬ T ‫ع‬ ‘˗

‫ث‬ TH ‫غ‬ GH

‫ج‬ J ‫ف‬ F

‫ح‬ H̩ ‫ق‬ Q

‫خ‬ Kh ‫ك‬ K

‫د‬ D ‫ل‬ L

‫ذ‬ DH ‫م‬ M

‫ر‬ R ‫ن‬ N

‫ز‬ Z ‫و‬ W

‫س‬ S ‫ه‬ H

‫ش‬ Sy ‫ء‬ ˋ˗

‫ص‬ S̩ ‫ي‬ Y

11
‘Ali ‘Awdah, Konkordasi Qur’an, Panduan dalam Mencari Ayat
Qur’an, Cet. II, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2007), hal. xiv

v
‫ض‬ D̩

Catatan:

1. Vokal tunggal
_____َ____, (fatḥah) = a misalnya, ‫ حدث‬ditulis
ḥadatha
____ِ_____, (kasrah) = i misalnya, ‫ وقف‬ditulis
wuqifa
_____ُ____, (ḍammah) = u misalnya, ‫ روي‬ditulis
ruwiya
2. Vokal Rangkap
(‫( )ي‬fatḥah dan ya) = ay, misalnya ‫ بين‬ditulis bayna
(‫( )و‬fatḥah dan waw) = aw, misalnya ‫ يوم‬ditulis yawn
3. Vokal Panjang (maddah)
( ‫( ) ا‬fatḥah dan alif) = a
( ‫( )ي‬kasrah dan ya) = i
( ‫( )و‬ḍammah dan waw) = u
Misalnya : ‫ برهان‬, ‫ تصديق‬, ‫ ))معلول‬ditulis burhān, taṣdīq, ma’lūl.
4. Tā’ Marbūtah ( ‫) ة‬
Tā’ Marbūtah hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, dan
ḍammah, transliterasinya adalah (t), misalnya ( ‫= ) الفلسفة الألولى‬
al-fasafat al-ūlā.
Sementara tā’ marbūtah mati atau mendapat harakat sukun,
transliterasinya adalah (h), misalnya: ( , ‫ة‬UU‫ل اإلناي‬UU‫ دلي‬, ‫ة‬UU‫مناهج االدل‬
‫فة‬UU‫افت الفالس‬UU‫ )ته‬ditulis Tahāfut al-Falāsifah, Dalīl al-‘ināyah,
Manāhij al-Adillah.
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan lambang
( __ّ_ ), dalam transliterasinya ini dilambangkan dengan huruf,
yakni yang sama dengan huruf yang mendapat syaddah, misalnya
( ‫ ) خطابية‬ditulis khattābiyah.
6. Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
huruf ‫ ال‬yang transliterasinya adalah al, misalnya: ‫ النفس‬, ‫الكشف‬
ditulis al-kasyfu, al-nafsu.
7. Hamzah ( ‫) ء‬
Untuk Hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata
ditransliterasikan dengan ( ‘ ), misalnya: ‫ مالئكة‬ditulis malā’ikah,
vi
‫زئ‬UU‫ ج‬ditulis juz’i. Adapun Hamzah yang terletak di awal kata,
tidak dilambangkan karena dalam bahasa Arab ia menjadi alif,
misalnya: ‫ اختراع‬ikhtirā’.

B. Modifikasi

1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa


transliterasi, seperti Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy.
Sedangkan nama-nama lainnya ditulis sesuai kaidah transliterasi.
Contoh: Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi.
2. Nama kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, seperti Mesir,
bukan Misra; Beirut, bukan Bayrut; Kairo, bukan al-Qahirah;
Cordova, bukan Qurtubah; dan sebagainya.

vii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan mengucap puji syukur kehadirat


Allah Swt. Yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia,
serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan tesis ini dengan baik, yang berjudul “Nasionalisme
Menurut Pekmikiran Yudi Latif ”
Tidak lupa pula shalawat beriring salam, penulis untaikan
kepangkuan junjungan alam sejagat raya ini, panutan seluruh
umat, yaitu rasulullah Saw., yang mana oleh beliau telah membawa
umatnnya dari alam jahiliyyah ke alam yang berilmu pengetahuan.
Tesis ini diajukan kepada Fakultas Ilmu Agama Islam,
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh
untuk mendapatkan gelar Magister Agama. Dalam menyelesaikan
tesis ini, penulis banyak menerima masukan, bimbingan, dan saran
dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Dalam usaha menyelasaikan
tesis ini, terdapat banyak kendala dan kesulitan yang dihadapi dan
di lewati. Hal ini penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan
waktu, pengetahuan pengalaman dan biaya, sehingga tanpa bantuan
dan bimbingan dan semua pihak tidaklah mungkin berhasil dengan
baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tidaklah berlebihan
apabila penulis menghaturkan banyak terima kasih yang setulus-
tulusnya kepada:
1. Ayahanda tecinta dan ibunda tersayang, yang telah
mencurahkan cinta dan kasih sayangnya serta do’a yang
tulus untuk penulis. Buat abang penulis yang senantiasa
mendukung perjuangan ini dan buat keluarga besar penulis
yang telah banyak membantu dan memotivasikan penulis.
Hanya Allah yang mampu membalas jasa-jasa kalian.
2. Bapak Dr. T. Safir Iskandar Wijaya, MA sebagai
pembimbing I dan Ibu Dr. Husna Amin, M.Hum sebagai
pembimbing II yang telah berbaik hati memberikan waktu,
viii
arahan, dan bimbingan kepada penulis dengan penuh
perhatian dan ketulusan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini dengan baik.
3. Penasehat Akademik (PA) penulis yang telah
memotivasikan penulis untuk terus berjuang dan semangat
dalam belajar dan menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Dr. Loeziana Abdul Aziz, M.Ag selaku ketua jurusan
Konsentrasi Pemikiran Dalam Islam yang telah memberikan
izin kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis ini.
5. Seluruh dosen Konsentrasi Pemikiran Dalam Islam yang
bersusah payah membantu dalam memberikan ilmu,
nasehat, dan semangat semenjak awal perkuliahan hingga
sekarang kepada penulis dan teman-teman.
6. Bapak Direktur yang telah memberikan nasehat selama
menjadi mahasiswa pascasarjana UIN Ar-Raniry, para
Wakil Direktur serta staf dan karyawan Fakultas Ilmu
Agama Islam.
7. Bapak Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh beserta bapak
Wakil Rektor
8. Bapak Dr. Saifuddin Abe S.Ag., M.Hum yang telah
meluangkan waktu dan pikiran sebagai tempat penulis
berdiskusi sehingga penulis bisa menemukan ide dan
pemikiran dalam menyelesaikan tesis ini.
9. Pihak pustaka Pascasarjana UIN Ar-Raniry, perpustakaan
wilayah dan perpustakaan Baiturrahman yang telah banyak
membantu referensi bagi penulisan tesis ini.
10. Sahabat-sahabat seperjuangan yang telah sekian lama
berjuang baik suka maupun duka dalam perjuangan penulis,
semoga Allah membalas jasa kalian.
Penulis hanya dapat mendoakan semoga semua pihak yang
telah memberikan bantuan dengan tulus ini mendapat balasan dari
Allah Swt. Mengingat keterbatasan kemampuan penulis miliki,
maka penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh
ix
dari kesempurnaan, walaupun demikian penulis berharap semoga
tesis ini dapat memberukan manfaat dan berguna bagi pihak-pihak
yang membutuhkan.

Banda Aceh, 07 Juli 2021

Penulis

x
ABSTRAK

Judul Tesis : Nasionalisme Menurut Pemikiran Yudi


Latif
Nama Penulis : T. Ichsan
NIM : 29173464
Pembimbing I
Pembimbing II
Kata Kunci

Indonesia merupakan negara yang majemuk dan


kemajemukan ini telah ada sejak dahulu yang kemudian disadari
oleh para pendiri bangsa dan menjadi ciri khas masyarakat
Indonesia. Para pendiri bangsa kemudian mencoba untuk
mempertahankan kemajemukan ini dengan merumuskan suatu
semangat hidup bersama dalam ikatan prinsip nasionalisme yang
lahir dari kultur bangsa Indonesia. Penelitian tesis ini berjudul
“Nasionalisme Menurut Pemikiran Yudi Latif”. Penelitian ini
dilatarbelakangi oleh kondisi kebangsaan yang menjadi
kegundahan dan kegelisahan Yudi Latif dalam melihat dan
memikirkan keadaan dan kondisi negara Indonesia selama ini. Ada
beberapa persoalan yang menjadi kegelisahan Yudi Latif, seperti
masalah integrasi, rasa kebangsaan, korupsi, aksi terorisme, dan
separatisme sebagai ancaman terhadap nasionalisme di Indonesia.
Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti tentang pentingnya
nasionalisme dalam menghadapi persoalan kebangsaan tersebut dan
negara harus mereformasi di segala lini demi mempertahankan
nilai-nilai nasionalisme masyarakat Indonesia sebagai sebuah
bangsa.
Penelitian ini memfokuskan tentang nasionalisme dalam
pemikiran Yudi Latif dan bagaimana solusi-solusi yang ditawarkan
oleh Yudi Latif untuk menjawab permasalahan bangsa yang terjadi
selama ini. Maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
analisis wacana dalam menelusuri pemikiran-pemikiran Yudi Latif
yang secara khusus pemikirannya tentang nasionalisme. Dalam
penelitian ini juga, peneliti menggunakan teori pendekatan tokoh.
Teori ini peneliti anggap tepat digunakan untuk mendapat suatu
xi
pemahaman tentang ketokohan Yudi Latif dan pemikirannya
tentang konsep nasionalisme serta apa saja pengaruh dari
pemikirannya terhadap dinamika perkembangan pemikiran politik
di Indonesia dewasa ini. Hasil penelitian yang peneliti temukan
adalah terdapat tiga bentuk perkembangan nasionalisme di
Indonesia, yaitu; nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif
dilandasai oleh historis sosio-kultural Indonesia, yang membagi
perkembangan kesadaran nasionalisme di Indonesia menjadi
archaic nationalism (nasionalisme purba) yang bercorak
kedaerahan, proto-nationalism (nasionalisme tua) yang bercorak
agama dan budaya, dan nasionalisme modern inteligensi politik,
dan dalam penelitian ini juga peneliti mengetengahkan beberapa
soluis yang dikemukakan oleh Yudi Latif dalam menjawab
persoalan nasionalis bangsa Indonesia saat ini, baik dari segi
politik, sosial, budaya, agama, pendidikan dan ekonomi. Dalam
menjawab persoalan kebangsaan ini juga Yudi Latif mengarahkan
sikap gotong royong bangsa Indonesia perlu digalakkan dan
dipertahankan.

xii
‫مستخلص البحث‬

‫عنوان األطروحة ‪ :‬القومية وفقا للتفكير يودي التيف‬


‫‪ :‬توكو احسان‬ ‫اسم الكاتب‬
‫نيم‬ ‫‪:٢ ٩ ١ ٧ ٣ ٤ ٦ ٤‬‬
‫در‪ .‬ت‪ .‬سفير إسكاندار وإجايا‪ ،‬الما جستير‬ ‫ناظر ‪: ١‬‬
‫در‪ .‬حىسنا أمين‪ ،‬الما جستير‬ ‫ناظر ‪: ٢‬‬
‫الكلمات الرئيسية ‪ :‬الفكر والقومية والقومية ‪ ،‬بانكاسيال ‪ ،‬مجتمع‬
‫الخدمة‬

‫اندونسيا بلد مركب من الجزائر و هذا التركيب قد علم به مؤسسو‬


‫الشعب منذ الزمان السابق و بالتالي جعل – هذا التركيب ‪ -‬خاصة‬
‫او مميزة جماعة اندونسيين‪ .‬و من ثم حاول المؤسسون ان‬
‫يحتفظوا او يحموا هذا التركيب بان يسبكوا همة الحياة على‬
‫القاعدة التي تولدت من ثقافة اندونسيا‪ .‬و تحر الرسالة يسمى‬
‫‪.‬بوطنية عند فكرة يودي التيف‬
‫و كانت خلفية التحر هي المعتب او القلق الذان يصدران من يودي‬
‫التيف لما يرى وضع شعبه اندونسيا‪ .‬و هناك بعض االمور الذي‬
‫يكون متعب يودي التيف كالتكامل والقومية و و الرشوة و‬
‫‪.‬االرهاب و االشقاق‬

‫‪xiii‬‬
‫رأى يدوي التيف هذه االمور تهديدا لوطنية ادونسيا‪ .‬و في هذا‬
‫التحر‪ ,‬المحقق يحقق حول اهمية الوطنية في توجيه هذه االمور و‬
‫كان البلد او العمومي الزم عليه ان يقوم بالتصليح من كل جهة‬
‫‪.‬لكي يستطيع ان يحمي قيمات وطنية مجتمع اندونسيا‬
‫و هذا التحقيق يركز على الوطنية الموجودة عند فكرة يودي‬
‫التيف و التحليالت التي اقترحها الجابة المسائل الموجودة في‬
‫اندونسيا‪ .‬و في تحقيقه‪ ,‬المحقق اعتمد على المكالمة ليستطلع‬
‫‪.‬فكرات يودي التيف التي كانت تختص بالوطنية‬
‫و اضافة الى ذلك‪ ,‬ان المحقق اتخذ نظرية تقريب القطب او‬
‫الوجيه‪ .‬و اعتبرها المحقق طريفة صحيحة لفهم قطبية يودي‬
‫‪.‬التيف و فكرته عن الوطنية و ما يؤثر تطور السيايسية‬
‫النتيجة من تحقيق المحقق هو ان هناك ثالثة نشوءات الوطنية في‬
‫‪:‬اندونيسا و هي‬
‫الوطنية المولدة من فكرة يودي التيف التي اعتمدت على ثقافية‬
‫اندونسيا‪ ,‬التي تقسم وعي الوطنية في اندونسيا الى الوطنية‬
‫القديمية التي توصف بالمنطقية‪ ,‬و ‪ ......‬التي توصف بالدينية و‬
‫‪.‬الثقافية‪ ,‬و الوطنية الحديثية التي توصف باستخبارات السياسية‬
‫و في هذا التحقيق‪ ,‬المحقق اتي ببعض التحليالت لكي تكون جوابا‬
‫عن المسائل الموجودة االن‪ ,‬سواء كانت من جهة السياسية او‬
‫االجتماعية او الثقافية او الدينية او التربية او االقتصادية‪ .‬و في‬
‫اجابة هذه المسائل‪ ,‬يودي التيف يدبر التعاون في مجنمع اندونسيا‬
‫‪.‬الذي ينبغي ان يمسك‬
‫‪.‬الكلمات المهمة هي الفكرة و الوطنية و القومية و‪ .....‬و التعاون‬

‫‪xiv‬‬
ABSTRACT

Thesis Title : Nasionalism based on Yudi Latif’s


Thinking
Name : T. Ichsan
Student Registration : 29173464
Supervisor I
Supervisor II
Keyword

Indonesia is a complex country and it has existed since a


long time ago. It is recognized by organizer of this country and it is
called as signature of Indonesia. These organizers tried to maintain
this complexity in order to live full of willingness while having
nasionalism principles since it was born from Indonesia’s culture.
This thesis entitled “Nasionalism based on Yudi Latif’s
Thinking”.
The background of this thesis is the condition of
Indonesian’s nationality. It can be seen from anguish and anxiety of
Yudi Latif for thinking about Indonesia’s situation during these
years. There are few problems can cause anxiety of Yudi Latif
such as, integration, corruption, terrorism actions, and separatism
as a threat towrd Indonesian’s nationality. In this case, the
researcher analyzes about how crucial nationality for facing its
problems. Additionally, the country should reform every aspects in
order to maintain nasionalism values of Indonesian society as a
nation.
This research aims to think of Yudi Latif and how the
solutions can overcome the problems due to Yudi Latif. It has a
purpose to answer all of issues that has happened lately.Therefore,
this research uses discourse on Yudi Latif thoughts especially
nationalism. Furthermore, this research tends to use character
approach. This theory categorizes appropriate to obtain a
knowledge about character of Yudi Latif and the concept of
nationalism. Even the impacts of dynamic growths on political
xv
ideas in Indonesia. The result of this research, there are three
development of nationalism in Indonesia : nationalism within Yudi
Latif’s thoughts regarded historical sociocultural Indonesia, it is
divided into variety regions of archaic nationalism, many types of
religion and culture based on proto-nationalism, and political
moern nationalism. Moreover, this research aims to interpret some
solutions according to Yudi Latif for answering nationalist
questions related with Indonesia’s condition nowadays from many
aspects involved politic, culture, religions, education, and
economy. Nevertheless, in porder to answer those problems, Yudi
Latif intends to build community of service toward Indonesian’s
society and retain it.

xvi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................
ABSTRAK....................................................................................
PERNYATAAN KEASLIAN DAN BEBAS PLAGIASI.........
HALAMAN PENGESAHAN......................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI.................................................
HALAMAN PEMBAHASAN.....................................................
KATA PENGANTAR..................................................................
DAFTAR ISI................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...........................................................
A. Latar Belakang Masalah....................................................
B. Fokus Penelitian.................................................................
C. Rumusan Penelitian...........................................................
D. Tujuan Penelitian...............................................................
E. Manfaat Penelitian.............................................................
F. Kajian Pustaka...................................................................
G. Kerangka Teori..................................................................
H. Metode Penelitian..............................................................
I. Teknik Penulisan................................................................
J. Sistematika Pembahasan....................................................

BAB II RIWAYAT HIDUP YUDI LATIF..............................


A. Biografi Yudi Latif............................................................
B. Riwayat Pendidikan Yudi Latif.........................................
C. Pengalaman Organisasi Yudi Latif....................................
D. Buku Karya Yudi Latif......................................................
E. Beberapa Tulisan Jurnal Yudi Latif...................................
F. Beberapa Penelitian Yudi Latif..........................................
G. Penghargaan Yudi Latif.....................................................

xvii
BAB III NASIONALISME DAN PERMASALAHANNYA....
A. Pengertian Nasionalisme....................................................
B. Konsep Dasar Nasionalisme..............................................
C. Perkembangan Nasionalisme di Dunia..............................
D. Perkembangan Nasionalisme di Indonesia........................
a. Nasionalisme Sebelum Kemerdekaan.........................
b. Nasionalisme Sesudah Kemerdekaan..........................
E. Nasionalisme dan Problematika di Indonesia....................
F. Islam dan Nasionalisme.....................................................
G. Nasionalisme dalam Pancasila...........................................

BAB IV PANDANGAN YUDI LATIF TENTANG


NASIONALISME DAN IMPLMENTASINYA
DALAM MENGATASI PROBLEM
KEBANGSAAN...........................................................

A. Konsep Nasionalisme Yudi Latif.......................................


B. Implementasi Konsep Nasionalisme di Indonesia
Menurut Yudi Latif............................................................
a. Dinamika Politik Nasionalisme di Indonesia...............
b. Pancasila sebagai Solusi dalam Penegakan.................
Nasionalisme Bangsa Indonesia..................................
a) Fase Perintisan.......................................................
b) Fase Kelahiran/Perumusan.....................................
c) Fase Pengesahan.....................................................
C. Solusi Penerapan Problem Nasionalisme di Indonesia
Menurut Yudi Latif............................................................
a. Beberapa Solusi sebagai Revolusi Nilai-Nilai
Pancasila yang Ditawarkan Yudi Latif dalam
Mempertahankan Nasionalisme Indonesia..................
a) Bidang Sosial.........................................................
b) Bidang Politik.........................................................
c) Baidang Pendidikan...............................................
d) Bidang Ekonomi.....................................................
xviii
e) Bidang Budaya.......................................................
b. Implementasi dan Penguatan Nilai-Nilai Pancasila
sebagai Solusi Memperkuat Nasionalisme
Indonesia......................................................................

BAB V PENUTUP......................................................................
A. Kesimpulan........................................................................
B. Saran..................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...................................................................
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENELITI

xix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ditetapkannya Pancasila sebagai dasar falsafah negara
Indonesia pada tanggal 1 Juni 1945, merupakan suatu nilai penting
bagi bangsa Indonesia dalam membangun kehidupan berbangsa
dan bernegara. Kehendak untuk membangun kehidupan yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sebagaimana
tertuang dalam UUD 1945, akan dapat dicapai apabila
memposisikan kembali Pancasila sebagai sebuah keyakinan standar
dan falsafah bangsa, sehingga segala aspek kehidupan budaya,
hukum dan kebijakan, sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan
dapat berjalan sesuai dengan Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia yang merdeka.2
Undang-Undang Dasar 1945 yang sejak sehari setelah
Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia telah mengalami
amandemen, namun di dalam mukaddimahnya selalu menegaskan,
bahwa dalam menyusun kemerdekaan ialah harus berdasarkan pada
Pancasila, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai yang saling
berkaitan. Pancasila yang sesungguhnya merupakan “jenius
nusantara” yang telah diwariskan oleh pendiri bangsa kepada
segenap rakyat Indonesia yaitu sebuah dasar dan pandangan hidup
negara yang menjadi jiwa atas konstitusi UUD 1945.3
Munculnya gagasan demokrasi Pancasila sebagai ciri khas
cita-cita politik Indonesia tampaknya belum cukup mewarnai
dinamika keteladanan politik yang dilakoni selama ini. Faktanya,
spirit otoriter atau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) terus
hidup, bahkan lebih tampil secara elegan dengan nuansa elitis,
2
Andika Widiyanto, M. Dian Hikmawan, dan Riswanda, Implimentasi
Rencana Aksi Nasional Bela Negara Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 7
Tahun 2018 Oleh Dewan Ketahanan Nasional Republik Indonesia, dalam
Journal of Social Politics and Govermance, Vol. 1, Nomor 2, Desember 2019,
h.179.
3
Yudi Latif, Negara Paripurna (Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 98.
1
walau rezim Orde Baru (ORBA) telah ditumbangi oleh era
reformasi, dengan sendirinya berarti bahwa era reformasi belum
begitu berprestasi dalam menata demokrasi pada saat ini.
Pancasila sebagai ideologi4 untuk bangsa Indonesia, hal ini
dipandang oleh salah satu Bapak Pendiri Bangsa Soekarno lebih
memenuhi kebutuhan manusia dan lebih menyelamatkan manusia
daripada Declaration of Independence-nya Amerika Serikat atau
manifesto Komunis. Declaration of Independence tidak
mengandung keadilan sosial, sedangkan Manifesto Komunis tidak
mengandung Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya, Bung
Karno menyebut Pancasila sebagai hogere optrekking
(peningkatan) daripada Declaration of Independence dan
Manifesto Komunis.(footnote)
Secara historis, kelima sila yang terkandung dalam pancasila
merupakan perpaduan (sintesis) dari keragaman keyakinan, paham
dan harapan yang berkembang di negara Indonesia. Sila pertama
merupakan rumusan sintesis dari segala aliran agama dan
kepercayaan. Sila kedua merupakan rumusan sintesis dari segala
paham dan cita-cita sosial-kemanusiaan yang bersifat transnasional.
Sila ketiga merupakan rumusan sintesis dari kebhinnekaan
(aspirasi-identitas) kesukuan ke dalam kesatuan bangsa. Sila

4
Istilah ideologi berasal dari kata idea yang memiliki arti gagasan,
konsep, pengertian dasar, cita-cita, dan ilmu. Secara harfiah, ideologi dapat
diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang ide-ide, atau berupa ajaran tentang
pengertian-pengertian dasar. Secara umum, ideologi dapat didefinisikan sebagai
seperangkat keyakinan dan paradigma pengetahuan yang menyeluruh dan
sistematis untuk melakukan tindakan. Baca: A. Heywood, Political Ideologies:
An Itroduction, (New York: Palgrave Macmillan, 2012), h.1214. hal serupa juga
dijelaskan oleh Kaelan, bahwa setiap ideologi idealnya harus mampu
memadukan tiga unsur, yaitu keyakinan, pengetahuan dan tindakan. Pertama,
ideologi mengandung seperangkat keyakinan berisi tuntunan-tuntunan normatif-
preskripstif yang menjadi suatu pedoman hidup. Kedua, ideologi mengandung
semacam paradigma pengetahuan yang berisi seperangkat prinsip, doktrin, dan
teori, yang menyediakan kerangkan interpretasi dalam memahami suatu realitas.
Ketiga, ideologi mengandung dimensi tindakan yang merupakan level
operasional dari keyakinan dan pengetahuan itu dalam realitas yang konkret.
Baca: H. Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma,
2013), h. 60-61.
2
keempat merupakan rumusan sintesis dari segala paham mengenai
kedaulatan. Sila kelima merupakan sintesis dari segala paham
keadilan sosial-ekonomi.5
Di antara kelima sila yang menjadi pilar ideologis tersebut
kemudian ditopang oleh “trilogi ideologi” sebagai arus utama, yaitu
ideologi-ideologi berhaluan keagamaan, ideologi-ideologi
berhaluan kebangsaan (nasionalisme), dan ideologi-ideologi
berhaluan sosialisme. Ketiga haluan ideologi tersebut, meski
memiliki titik perbedaan, memiliki titik temu dalam tiga prinsip
dasar, yaitu sosio-religius, sosio-nasionalisme, dan sosio-
demokrasi. Salah satu dari tiga pilar ideologi tersebut adalah sosio-
nasionalisme, yaitu merupakan prinsip kebangsaan yang bermurah
hati (sosius), penuh welas asih dan lapang, semangat kebangsaan
yang menjunjung tinggi perikemanusiaan ke dalam dan ke luar. 6
Sebagaimana pesan Bung Karno, “kebangsaan yang kita anjurkan
bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme... Kita
harus menuju kepada persatuan dunia dan persaudaraan dunia”.
Prinsip ini juga meruapakan perpaduan dari sila kedua dan ketiga.7
Seiring munculnya negara-bangsa, kemudian timbul pula
pemikiran tentang nasionalisme sebagai basis filosofis
terbentuknya negara-bangsa. Hans Kohn, suatu ketika pernah
berkata bahwa yang disebut dengan bangsa adalah suatu himpunan
komunitas yang sama-sama memiliki persamaan bahasa, ras,
agama, dan peradaban. Bagi Kohn, suatu bangsa dapat tumbuh dan

5
Yudi Latif, Revolusi Pancasila, (Bandung: Mizan, 2015), h. 39-40.
6
Sejalan dengan hal tersebut, Mohammad Hatta menyimpulkan bahwa
sila kedua dari Pancasila memiliki konsekuwensi ke dalam dan ke luar.
Maksudnya adalah; ke dalam akan menjadi suatu pedoman bagi neraga untuk
sedapatmungkin memuliakan nilai-nilai kemanusiaan dan hak dasar/asasi
manusia, dengan menjalankan fungsi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tanah tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan
mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ke luar menjadi pedoman politik luar negeri
bebas aktif dalam rangka “ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Baca: Yudi
Latif, Mata Air Keteladanan, Pancasila dalam Perbuatan, (Bandung: Mizan,
2014), h. 131.
7
Ibid. h. 40.
3
berkembang dikarenakan adanya unsur-unsur dan akar-akar sejarah
yang membentuknya. Oleh karenanya, untuk mengukuhkan itu
semua diperlukan pikiran bahwa pengabdian yang paling tinggi
adalah untuk bangsa dan negara yang disebut dengan nasionalisme.
Berbeda dengan Kohn yang menitikberatkan pada adanya
perasaan bersama, Ben Anderson lebih menekankan pada yang
disebut imajinasi bersama. Menurut Anderson, nasionalisme
merupakan suatu imajinasi sebuah kelompok yang mengandaikan
suatu bangsa yang mandiri dan bebas dari kekuasaan kaum
penjajah. Suatu bangsa yang diikat oleh media komunikasi, yaitu
bahasa. Definisi pertama mewakili pengalaman nasionalisme di
Eropa, sementara definisi yang kedua mewakili pengalaman
negara-negara jajahan, termasuk Indonesia dan negara Islam
lainnya.8
Nasionalisme telah menjadi arena ekspresi sosial dan budaya
dalam suatu masyarakat yang demokratis dan nasionalisme
merupakan sebuah ideologi politik yang memiliki kemampuan
untuk menciptakan dan mempertahan kedaulatan sebuah negara
dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama bagi
sekelompok bersama. Di negara Indonesia, Soekarno merupakan
pencetus bahkan melalui Partai Nasional Indonesia sebagai jalan
cikal bakal lahirnya sikap nasionalisme. Di sinilah kemudian
muncul legitimasi dan nasionalisme dalam diri seorang pemimpin
yang berkompeten bahkan kemudian dapat memunculkan
kepercayaan serta harapan dari rakyat Indonesia.
Tanpa nasionalisme dan praktik demokrasi yang berjalan
dalam arus mekanismenya yang berbeda, hampir dipastikan bahwa
lajur perpolitikan dalam sebuah negara akan berbeda dan sama
sekali juga akan berubah. Budaya masyarakat yang demokratis
digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan karena
kekuasaan itu ada jika masyarakat dapat menerima serta mau
mengakui sebagai institusi untuk membantu masyarakat dalam

8
Jamaluddin Mohammad, “Nasionalisme Santri”dalam Nasionalisme
Islam dan Nusantara, (Jakarta: Kompas, 2015), h. 16-17.
4
merealisasikan cita-cita individu. Pada tataran inilah legitimasi
sangat berkaitan langsung dengan sikap masyarakat terhadap suatu
kewenangannya.9
Rasa nasionalisme sebagai hal yang mutlak dimiliki oleh
bangsa Indonesia dalam menjaga keberlangsungan bangsa dan
negara. Rasa nasionalismelah yang telah menjadikan warga negara
untuk selalu mencintai dan bahkan akan memiliki rasa rela
berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Nasionalisme
harus selalu tumbuh bagi segenap bangsa Indonesia, hal ini
dikarenakan bangsa Indonesia yang akan menentukan nasib dan
keberlangsungan negara Indonesia. Tanpa nasionalisme, Indonesia
ini akan menadi sebagai sebuah kapal yang terombang-ambing di
samudera luas, apalagi di era globalisasi dan penuh keterbukaan.
Bahkan nasionalisme akan menjadi senjata pamungkas dalam
menghadapi abad penuh perubahan di era globalisasi.
Sebagaimana diketahui, tanpa adanya sikap nasionalisme di
benak seluruh anak bangsa, maka sebuah bangsa seperti hidup
tanpa ruh. Tanpa nasionalisme sangatlah mustahil suatu bangsa
dapat tumbuh sebagai sebuah bangsa besar. Bahkan sebaliknya,
akan menjadi bangsa yang lemah, rapuh, dan akan menjadi mudah
terombang-ambing dalam percaturan politik global. Bahkan akan
lebih berbahaya lagi seandainya dibenak anak bangsa akan muncul
bentuk nasionalisme sempit yang disebut dengan nasionalisme
bersifat kedaerahan atau kesukuan. Jika hal ini dibiarkan menjadi,
maka nasionalisme yang pernah diwariskan oleh para pendahulu
bangsa menjadi terasa asing, bahkan akan menjadi hilang. Hal
tersebut juga bisa jadi akan terjadi disintegrasi bangsa sebagaimana
yang terjadi di berbagai belahan dunia lainnya.
Dengan adanya semangat nasionalisme diharapkan setiap
warga negara untuk memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara.
Sebagai anak bangsa, maka oleh setiap anak bangsa yang
merupakan hal tak terpisahkan dari bangsa, memiliki rasa tanggung

9
Thomas T. Pureklolon, Nasionalisme Supremasi Perpolitikan Negara,
(Jakarta: Gramedia, 2018), h. vii.
5
jawab untuk menjaga, merawat, dan memajukan bangsanya. Setiap
anak bangsa memiliki rasa tanggung jawab untuk menumbuhkan
jiwa nasionalisme dan sedapat mungkin untuk dapat memberikan
sesuatu yang terbaik untuk negara yang dicintainya, berdasarkan
apa yang dimiliki dan sesuai dengan kemampuannya.10
Indonesia yang multi etnis, multi agama dan ideologi tetapi
kerukunan sosial dapat terjaga dengan baik, hal ini tak lain adalah
karena bangsa Indonesia memiliki suatu ikatan moral dan spiritual
yang mendalam, bahkan memiliki ikatan ideologi yang kokoh yang
itu Pancasila serta sikap kesatuan dan persatuan dalam ikatan
nasionalisme yang selalu terjaga. Hal ini berbanding terbalik
dengan negara-negara di Timur Tengah yang relatif homogen
secara agama, akan tetapi sangat sulit untuk bersatu bahkan selalu
dalam ketegangan, hal demikian ini tak lain, di samping sikap
spiritualitas yang keropos juga sikap nasionalisme yang tidak
pernah terjaga dengan baik, sehingga mereka tidak memiliki
kemampuan beradaptasi ketika tidak ada lagi sikap tawassuth,
tawazun dan tasamuh.
Indonesia juga harus hati-hati terhadap berbagai perkembangan
dunia, bahkan akibat gelombang globalisasi yang menghempas
seluruh sektor kehidupan, maka ikatan kebangsaan ditakutkan akan
menjadi pudar. Sehingga akibat pudarnya komitmen kebangsaan
hal ini merupakan ancaman terhadap keberlangsungan sebuah
negara. Kondisi ini yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sebagai
sebuah bangsa yang besar, yang terus berusaha untuk
menyelamatkan diri dari tantangan ini. Retaknya komitmen
kebangsaan, sesungguhnya bukan diakibatkan oleh adanya
propaganda besar yang menolak segala bentuk nasionalisme.
Melainkan karena maraknya semangat individualisme yang terus
merambah ke dalam keluarga, yang ini juga berakibat pudarnya
daya rekat masyarakat. Problem ini akan menjadi sulit untuk diatasi
kecuali dengan memperkuat kembali ikatan kebersamaan dan

10
Sigit Aris Prasetyo, Bung Karno dan Revolusi Mental, (Tangerang:
Imania, 2017), h. 26-27.
6
kebersatuan yang merupakan elemen paling urgen dalam
menentukan terbentuknya suatu ikatan dalam sikap integritas
bangsa.11
Globalisasi merestrukturisasi cara hidup umat manusia secara
mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan. Bagi Indonesia,
globalisasi modern membawa politik nasional ke pusaran
gelombang demokratisasi ketiga dunia, yang menurut Hungtington
bermula pada 1974 dan menerpa Indonesia melalui gerakan
reformasi pada akhir tahun 1990-an. Gelombang demokratisasi ini
melanda Indonesia ketika otoritas negara mendapatkan tekanan
yang serius dari penetrasi kekuatan-kekuatan global, yang setelah
perang dingin berakhir, terutama datang dari kekuatan
“fundamentalisme pasar” dan “fundamentalisme agama”. Pada sisi
lain, globalisasi juga menekan ke arah desentralisasi dan
otonomisasi. Negara-bangsa menjadi dirasa terlalu besar untuk
menyelesaikan renik-renik masalah di tingkat lokal, yang menyulut
merebaknya etno-nasionalisme dan tuntutan otonomi lokal
beriringan dengan revivalisme identitas-identitas kedaerahan.12
Di era Indonesia modern yang ditandai dengan derasnya arus
globalisasi dan kemajuan teknologi yang dirayakan secara gegap
gempita, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam hal
kesadaran berbangsa dan bernegara. Derasnya gempuran
kebudayaan asing yang terfasilitasi dengan media dan teknologi
internet dapat secara bebas dan leluasa hadir di tengah-tengah
masyarakat Indonesia dan berpotensi mendominasi serta
mempengaruhi kebudayaan lokal. Ditambah lagi dengan
permasalahan-permasalahan negara lainnya yang mengancam
kedaulatan bangsa, khususnya pasca 1998, seperti bermunculannya

11
Said Aqil Siroj, Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara Menuju
Masyarakat Mutamaddin, (Jakarta: LTNNU, 2014), h. 29-31
12
Yudi Latif, “Kebangsaan Indonesia dalam Pusaran Arus Globalisasi
dan Primordialisme”, dalam
http://pkn.unnes.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/Makalah-Pak-Yudi-Latif.pdf,
diunduh tanggal 17 Mei 2021.
7
ideologi yang berseberangan dengan ideologi negara, terorisme,
radikalisme, serta konflik sosial berbasis suku, ras dan agama.
Sejumlah permasalahan bangsa di atas, mengindikasikan
bahwa bahwa Indonesia sedang menghadapi tantangan serius
terkait dengan nasionalisme. Maka, nilai-nilai nasionalisme di
kalangan masyarakat sebetulnya bukan perkara baru, melainkan
permasalahan klasik yang terus dialami bangsa ini sejak Indonesia
merdeka dari penjajahan kolonial hingga saat ini.13
Pada sisi yang lain lagi, menerapkan substansial dan nilai-nilai
demokrasi untuk penguatan nasionalisme dalam konteks bernegara
terkesan serba-salah, terlebih ketika berada pada posisi
penyelenggara pemerintahan. Kekeliruan dalam mewujudkan
ketegasan kepada rakyat dapat diklaim sebagai praktik otoriter.
Rakyat ditangkap karena maling “sendal jepit” dianggap hukum
tumpul ke bawah dan tajam ke atas, pejabat negara merusak “aset
bangsa” luput dari prioritas penegakan hukum secara adil dan
merata.
Ambiguitas penerapan demokrasi yang demikian ini dapat
memicu penerapan hukum yang bersifat memaksa, hitam di atas
putih, namun kabur pada keadaban dan kesejateraan sosial, dengan
tidak menyebutnya hukum sebagai perwujudan kesolehan sosial.
Parahnya, penegakan hukum cenderung kering pada nilai-nilai
spiritualitas. Demikian halnya posisi rakyat yang dalam
berdemokrasi sangat ,dituntut untuk berpartisipasi dalam mengawal
laju pembangunan bangsa. Pada posisi ini rakyat malah dihadapkan
pada keadaan serba-keliru. Ingin mengkritik, namun dibayangi
undang-undang pencemaran nama baik. Ingin menggugat, rawan
undang-undang terkait kriminalitas berbasis teknologi informasi.
Pada tataran tersebut, Yudi Latif sebagai anak bangsa yang
juga merupakan seorang cendekiawan Muslim dan akademisi,
pemikiran-pemikirannya yang kritis-konstruktif, khususnya dalam
hal berbangsa dan bernegara, serta pemikirannya tentang

13
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/15/15304751/pentingnya-
nasionalisme-di-era-indonesia-modern?page=all. Diakses tangga 28 Januari 2021.
8
nasionalisme menjadi menarik untuk dikaji. Pemikirannya sangat
mewarnai berbagai media massa, buku-buku yang ditulisnya
bahkan ketika menjadi Kepala Bidang Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP), pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi
dan relevan terhadap laju dan berkembangnya negara Indonesia.
Sebagaimana diketahui, beberapa tahun terakhir pemikiran-
pemikiran Yudi Latif sangat mewarnai bangsa Indonesia, tidak
hanya dibeberapa surat kabar bahkan dalam berbagai diskusi serta
pertemuan-pertemuan akademis dan kenegaraan, pemikiran Yudi
Latif sangat dinantikan, khususnya dalam membina bangsa
Indonesia untuk menjunjung tinggi ideologi Pancasila. Pengaruh
dari pemikiran-pemikiran Yudi Latif tersebut secara tidak langsung
telah mampu membentuk karakter bangsa Indonesia yang
cenderung untuk menjaga keutuhan negara Indonesia.
Selanjutnya secara akademik ada beberapa alasan mengapa
peneliti memilih judul Nasionalisme Menurut Pemikiran Yudi
Latif, antara lain; pertama, topik yang membicarakan tentang
“nasonalisme” merupakan topik yang selalu menarik sekaligus
krusial sepanjang sejarah Indonesia. Pembicaraan dan perdebatan
mengenai “nasionalisme” selalu terjadi bahkan riak-riak yang
mengarah kepada terkikisnya nilai-nilai nasionalisme selalu
menjadi kajian yang menarik hingga saat ini, sehingga dengan
dilakukannya penelitian ini akan didapatkan sebuah pemahaman
dan penjelasan yang komprehensif terkait diskursus nasionalisme
dalam perjalanan sejarah Indonesia.
Kedua, jika pengetahuan, pemaknaan dan sekaligus
implementasi secara menyeluruh terhadap makna nasionalisme
telah terpenuhi, maka menjadi tidak dapat dipungkiri bahwa di
masa yang tidak akan lama lagi Indonesia dalam memaknai nilai-
nilai nasionalisme akan benar-benar dapat diterapkan dengan baik
dan akan lebih dipahami tentang nasionalisme tersebut. Oleh sebab
itu, penyegaran atas penafsiran terhadap makna nasionalisme
menjadi suatu keniscayaan.

9
Ketiga, narasi yang dibangun oleh Yudi Latif terkait dengan
“nasionalisme” relatif lebih segar dan menarik apabila
dibandingkan dengan para cendekiawan Muslim Indonesia lainnya
saat ini, sebagai sebuah upaya dalam rangka untuk membangun
peradaban Indonesia yang memiliki tatanan sosial yang solid dalam
suatu kehidupan berabangsa dan bernegara di tengah krisis
multidimensional yang sedang melanda Indonesia. Keempat,
ketokohan Yudi Latif dengan berbagai kontribusinya bahkan
pemikirannya menjadi menarik saat ini bahkan pemikiran-
pemikirannya terus mendapat pujian oleh berbagai kalangan,
hingga nyaris tidak ada usaha untuk mengkaji lebih dalam dan
kritis gagasan Yudi Latif tersebut.
Kelima, sebagai seorang cendekiawan muda, Yudi Latif
merupakan cendekiawan yang sangat konsisiten saat ini dalam
menuangkan gagasan tentang berbagai hal termasuk di antaranya
gagasan tentang nasionalisme. Berdasarkan penelusuran peneliti,
Yudi Latif telah menulis beberapa buku yang secara khusus
membicarakan tentang negara, Pancasila, kebangsaan, keislaman,
pendidikan, kebudayaan bahkan tentang sejarah Indonesia
termasuk juga tentang nasionalisme. Dalam bentuk yang lain, Yudi
Latif juga menuliskan idenya di dalam jurnal, mengisi seminar,
kuliah dan wahana lainnya. Yudi Latif juga tercatat aktif di
lembaga di lembaga dan pusat kajian kenegaraan dan keislaman,
seperti Nabil Foundation, PSIK Paramadina, Reform Institute,
Nurcholish Madjid Sosiety, termasuk sebelum mengundurkan diri
memimpin Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Bersamaan dengan hal tersebut, peniliti mencoba untuk
menjawab permasalahan kenegaraan saat ini untuk dianalisis
berdasarkann pemikiran politik Yudi Latif khususnya pemikirannya
tentang nasionalisme, bahkan Yudi Latif turut aktif mengawal
perkembangan dinamika politik negara melalui pendekatan politik
Pancasila di abad ke-21.

B. Fokus Penelitian
10
Fokus penelitian ini mengkaji tentang Nasionalisme Menurut
Pemikiran Yudi Latif, khususnya membahas tentang konsep
nasionalisme dan beberapa alternatif jawaban yang ditawarkan
dalam menjawab persoalan bangsa dan negara. Dalam perspektif
kajian filsafat politik, pemikiran tentang nasionalisme menurut
Yudi Latif belum begitu banyak dipahami dan dipraktikkan secara
serius, akibatnya, pemikiran politik nasionalismenya Yudi Latif
cenderung diidentikkan dengan narasi teoritis belaka.
Berangkat dari perspektif perkembangan politik kekinian di
Indonesia, pemikiran politik nasionalisme Yudi Latif sulit
dipisahkan dengan proses pendidikan politik di Indonesia, hal ini
melalui antusiasme masyarakat dalam mendiskusikan soal politik.
Melalui perspektif perkembangan ini senantiasa akan menampilkan
konsep pemikiran politik nasionalisme Yudi Latif sebagai mana
mestinya.
Dalam hal istilah nasionalisme yang cenderung muncul dalam
tulisan-tulisan Yudi Latif, pada tahapan ini menjelaskan
perkembangan politik yang mesti memiliki spirit Pancasila baik
dalam tatan konsepsi maupaun penerapan. Hal ini menjadi penting
untuk dikembagkan secara akademis karena implikasi pemikiran
politik tentang nasionalisme tidak hanya memperkuat daya wujud
Pancasila, tetapi juga dapat mendorong percepatan kesejahteraan
bangsa. Sehingga penelitian pemikiran politik nasionalisme
menurut Yudi Latif penting untuk ditelusuri dan diteliti dengan
seksama.
Tentunya konsep pemikiran politik tentang nasionalisme dapat
memunculkan tema-tema lain yang memiliki hubungan dengan
fokus penelitian dalam tesis ini. Dengan demikian, penelitian ini
akan dibatasi oleh perioderisasi mulai pada tahun 2014-2020 M.
Perioderisasi ini tentunya hanya fokus membicarakan hal-hal yang
berkaiatan dengan proses dinamika politik nasionalisme yang
cenderung aktif direspons oleh Yudi Latif dalam mengedepankan
gagasan politik nasionalisme beserta implikasi pemikirannya

11
terhadap perkembangan politik kebangsaan di pusat maupun di
daerah masa ini.

C. Rumusan Masalah
a. Bagaimana konsep nasionalisme menurut Yudi Latif ?
b. Bagaimana implementasi konsep nasionalisme di Indonesia
menurut Yudi Latif ?
c. Bagaimana solusi dalam menjawab persoalan nasionalisme
menurut Yudi Latif secara sosial, politik, pendidikan, dan
budaya?

D. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan kosep nasionalisme yang ditawarkan Yudi
Latif
2. Menjelaskanalis strategi implementasi konsep nasionalisme
di Indonesia menurut Yudi Latif.
3. Memetakan solusi yang ditawarkan Yudu Latif dalam
menjawab persoalan nasionalisme di indonesia.

E. Manfaat Penelitian
1. Menyumbangkan pemikiran politik nasionalisme terhadap
generasi di Indonesia.
2. Memberikan pemahaman kepada publik terkait
mendesaknya kebutuhan politik nasionalisme.
3. Menambah dan mengembangkan khazanah pemikiran
politik di Indonesia
4. Menjadi bahan kajian pemikiran politik nasionalisme lebih
lanjut bagi para peneliti yang selanjutnya.

F. Kajian Pustaka
Jika dipahami berdasarkan studi kepustakaan perlu
ditelusuri kajian-kajian yang telah dilakukan oleh para peneliti
sebelumnya, hal ini dimaksudkan agar penelitian yang peneliti
lakukan ini tidak menjadi tumpang tindih. Sepengetahuan peneliti,
12
penelitian ini sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya,
namun yang membedakan dengan peneliti sebelumnya adalah
tempat dan waktu, karena tempat dan waktu serta proses yang
dijadikan obyek penelitian sangat menentukan hasil penelitian. Ada
beberapa penelitian berkaitan dengan Yudi Latif, antara lain:
Penelitian yang dilakukan oleh Agus Rianto dan Rizal
Mustansyir dengan judul Konsep Nasionalisme dalam Pemikiran
Yudi Latif: Sebuah Tinjauan Filsafat Pancasila Notonagoro,
Penelitian ini membahas konsep nasionalisme dalam pemikiran
Yudi Latif yang ditinjau berdasarkan filsafat Pancasila Notonagoro.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh persoalan kebangsaan terkait
indikasi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan dalam bentuk
korupsi, aksi terorisme, dan separatisme sebagai ancaman terhadap
nasionalisme di Indonesia. Penelitian ini mengupas pentingnya
nasionalisme dalam menghadapi persoalan kebangsaan tersebut,
penelitian ini juga memfokuskan pada penjabaran nasionalisme
dalam pemikiran Yudi Latif secara mendalam terkait bagaimana
munculnya kesadaran nasionalisme di Indonesia secara historis dan
aspek-aspek apa saja yang mempengaruhi perkembangan
nasionalisme di Indonesia.
Tesis yang ditulis oleh Bakhtiar Yusuf, Mahasiswa
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga berjudul Diskursus Islam dan
Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia: Studi Terhadap
Pemikiran Yudi Latif Melalui Critical Discourse Analysis dan
Implementasinya Bagi Pembentukan Islamic Good Governance,
Tesis ini membahas tentang perdebatan seputar Islam dan
Pancasila yang selalu mewarnai perjalanan kehidupan politik
bangsa Indonesia, dalam penelitian tersebut dilakukan untuk
menemukan solusi dengan cara melakukan kajian terhadap
pemikiran Yudi Latif.
Skripsi yang ditulis oleh Said Riadi, Mahasiswa Fakultas
Ushuluddin, Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, dengan judul Konsep Keadilan dalam
Pancasila: Telaah Terhadap Pemikiran Yudi Latif. Dalam Skripsi
13
ini membahas tentang konsep keadilan yang terdapat dalam sila
kelima dalam Pancasila menurut Yudi Latif, pancasila merupakan
dasar dari negara Indonesia menjadi sebuah kajian menarik oleh
Said Riadi. Keadilam dalam Pancasila memiliki sejarah panjang
dalam perumusannya yang tidak terlepas dari permasalahan sosial,
ekonomi dan politik bangsa Indonesia. Konsep keadilan dalam
Pancasila memiliki cita-cita dalam mengharmoniskan dan
mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia melalui pemerataan
pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan hak-hak sosial lainnya.
Skripsi yang ditulis oleh Yamliho, Mahasiswa Fakultas
Syariah dan Ekonomi Islam, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin,
Banten, berjudul Gagasan Demokrasi Pancasila Menurut Yudi
Latif, Analisis Terhadap Sila Keempat Pancasila. Dalam skripsi ini
menjelaskan tentang demokrasi Pancasila merupakan
permusyawaratan berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila. Pancasila
merupakan proses usaha para pendiri bangsa untuk melakukan
“making demokracy wark” dalam konteks keindonesiaan. Negara
yang berdasarkan pada demokrasi Pancasila adalah negara yang
penuh perdamaian, tanpa kekerasan dan paksaan, terhadap
kebebasan individu untuk menentukan nasibnya sendiri, saling
menghormati perbedaan tetapi tetap memiliki tanggung jawab
mewujudkan ketertiban bersama, serta musyawarah adalah proses
berbincang dan mengkaji dalam mengambil keputusan yang
dilakukan dengan menyamakan mendapat untuk mencapai
kesepakatan.
Berdasarkan penelusuran peneliti tentang pemikiran Yudi
Latif yang secara khusus tentang nasionalisme, hanya Agus Rianto
dan Rizal Mustansyir yang meneliti, itu pun hanya sebatas
penelitian dosen sebagai sebuah kewajiban penelitian di perguruan
tinggi. Namun penelitian dalam bentuk tesis atau disertasi secara
khusus belum peneliti temukan.
Adapun perbedaan dengan penelitian yang sudah ada
khususnya tentang nasionalisme, hanya Agus Rianto dan Rizal
Mustansyir yang peneliti temukan meneliti tentang “nasionalisme”
14
menurut Yudi Latif, itu pun ditinjau berdasarkan filsafat Pancasila
Notonogoro. Namun pada penelitian ini, peneliti di samping
membahas konsep nasionalisme Yudi Latif, peneliti juga mencoba
membahas tentang solusi dan penerapannya dalam menjawab
problem nasionalisme di Indonesia saat ini berdasarkan pemikiran
Yudi Latif. Berdasarkan persoalan tersebut, maka penelitian ini
peneliti anggap memiliki nilai kebaruan, oleh karenanya maka
penelitian ini secara akademik menjadi layak untuk peneliti
lanjutkan.

G. Kerangka Teori
Penelitian ini menggunakan teori nasionalisme yang
dikembangkan oleh Sadikin. Menurut Sadikin, sebagaimana dikutip
dalam Arrohman Prayitno dkk., menjelaskan bahwa nasionalisme
merupakan sikap cinta tanah air atau bangsa dan negara sebagai
wujud dari cita-cita dan tujuan yang diikat oleh sikap-sikap politik,
ekonomi, sosial, dan budaya, sebagai wujud dari persatuan dan
kemerdekaan nasional, dengan menjunjung tinggi prinsip
kebebasan dan kemerdekaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.14
Pandangan ini diikuti oleh beberapa tokoh lain seperti: Hans
Kohn, L. Stoddard, Ernest Renan, dan lain-lain.Menurut Hans
Kohn, nasionalisme merupakan formalisasi (bentuk) dan
rasionalisasi kesadaran untuk berbangsa dan bernegara. L. Stoddard
memandang nasionalisme sebagai suatu kepercayaan yang dimiliki
oleh sebahagian besar masyarakat atau bangsa, di mana mereka
menyatakan rasa kebangsaan sebagai perasaan memeliki secara
bersama di dalam suatu bangsa. Sedangkan Renest Renan,
menyatakan bahwa nasionalisme merupakan suatu keinginan untuk
bersatu dan bernegara, merupakan suatu keinginan besar untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Arrohman Prayitno, dkk., Visi dan Perjuangan sebagai


14

Guru Bangsa, (Univ. TRisakti: Pusat Kajian Kapenam, 2018), 18


15
Konsep yang dikembangkan Ali Sadikin dipandang relevan
dijadikan sebagai landasan teoretis dalam menganalisis konsep
nasionalisme yang dikembangkan Yudi Latief serta apa saja
pengaruh dari pemikirannya terhadap dinamika perkembangan
pemikiran politik di Indonesia dewasa ini. Melalui pendekatan
historis faktual (ketokohan) persoalan penelitian ini akan dapat
ditemukan jawabannya. Teori pendekatan tokoh yang dimaksud
dalam penelitian ini tidak langsung bertatap muka dengan tokoh
yang dikaji, tetapi dengan melakukan penelusuran literatur yang
terdapat dalam berbagai sumber yang tersedia, baik di perpustakaan
atau media lainnya, melalui buku-buku, tulisan-tulisan serta
sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan tokoh yang
diteliti.

H. Metode Penelitian
Metode adalah suatu langkah cara untuk bertindak sesuai
dengan aturan atau sistem tertentu yang berarti usaha kegiatan yang
praktis dilakukan dengan rasional dan terarah supaya mencapai
keberhasilan secara optimal.15 Metode penelitian dapat bermakna
sebagai cara yang dilalui dalam suatu penelitian supaya mendapat
pengertian terhadap hal-hal yang akan diteliti.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif
sebagaimana yang disampaikan oleh Moleong sebagai penelitian
yang digunakan untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian, seperti; perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan dan lain-lain. Secara holistik dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.16
2. Sumber Data

15
Becker, A. Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 10.
16
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi),
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 6.
16
Pengumpulan data dalam penelitian tesis ini adalah
dilakukan dengan studi kepustakaan (library research), yaitu
pengumpulan data dengan membaca dan mempelajari buku-buku
baik primer maupun sekunder yang berkaitan dengan masalah yang
dibahas.
a. Sumber primer adalah merupakan suatu sumber referensi yang
menjadi sumber paling utama yang memberikan data secara
langsung, dalam hal ini berupa buku-buku yang ditulis oleh
Yudi Latif yang secara lebih khusus yang berhubungan dengan
nasionalisme.
b. Sedangkan sumber-sumber sekunder merupakan pelengkap
dari sumber primer yaitu berupa referensi-referensi pendukung
sebagai sebuah acuan untuk melengkapi penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan sebuah upaya dalam
mendapatkan data penelitian hingga kemudian dianalisis serta
dipilih untuk dapat disajikan sebagai sebuah laporan yang
menarik.17 Penulis mengawali dengan mengumpulkan data dari
berbagai literatur yang diperoleh selanjutnya dilakukan penelaahan
seluruh data yang ada, baik data primer maupun data sekunder.
Setelah ditelaah, langkah selanjutnya adalah melakukan reduksi
data, yaitu suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan dan pengabstrakan data yang merupakan sebuah
usaha untuk membuat rangkuman inti, proses dan pernyataan-
pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya.18
Reduksi data bertujuan untuk menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang data-data yang
dianggap tidak perlu dan mengorganisasikan data dengan cara
demikian rupa sehingga kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan
bahkan dapat diverifikasikan. Reduksi data dilakukan secara
berkesinambungan mulai dari awal pengumpulan data sampai
17
Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1998), h. 104.
18
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2013), h. 65.
17
dengan selesai, hal ini dimaksudkan agar penelitian ini tetap berada
pada fokus permasalahan yang telah dirumuskan.
4. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul kemudian diseleksi dengan cara
mengidentifikasi masalah yang akan dibahas, kemudian dilakukan
analisis deskriptis untuk mendeskripsikan data yang terkait
sehingga dapat tersusun secara sistematis dan sesuai dengan
variabel-variabel penelitian. Selanjutnya data pendeskrisian
tersebut akan diperoleh gambarah yang jelas tentang Nasionalisme
Menurut Pemikiran Yudi Latif. Setelah dideskripsikan
sebagaimana adanya, selanjutnya data-data tersebut dianalisis
dengan menggunakan metode analisis isi, yaitu analisis data yang
mendasar pada isi dari data deskripsi yang merupakan analisis
terhadap ide dan pemikiran para ahli terkait tema yang dibahas.
Langkah terakhir dari analisis data ini adalah melakukan
interpretasi, yaitu suatu proses penafsiran fakta yang sudah
dikumpulkan dalam rangka untuk membuat suatu kesimpulan.
Melalui proses ini hubungan atau kaitan antara semua data akan
muncul dan semua hasil interpretasi ini akan melahirkan sebuah
kesimpulan yang utuh untuk menjawab permasalahan utama kajian.

I. Teknik Penulisan
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menggunakan
teknik penulisan berdasarkan buku Panduan Penulisan Tesis dan
Disertasi yang dikeluarkan oleh Pascasarja UIN Ar-Raniry.

J. Sistematika Pembahasan
Untuk memecahkan permasalahan yang telah peneliti
uraikan di atas, peneliti menyusun kerangka penelitian secara
sistematis, agar penelitian ini dapat terarah dan pembahasannya
memiliki arah yang jelas. Maka dalam rangka rasionalisasi
pembahasan penelitian ini, maka sistematika penelitian ini disusun
sebagai berikut:

18
Bab I, pendahuluan, yang berisi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori,
kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II, berisi tentang riwayat hidup Yudi Latif, berisi
tentang biografi, riwayat pendidikan, pengalaman organisasi, karya,
beberapa tulisan jurnal, penelitian dan penghargaan yang diperoleh
Yudi Latif.
Bab III nasionalisme dan permasalahannya, yang berisi
tentang pengertian dan konsep dasar nasionalisme, perkembangan
nasionalisme di dunia dan Indonesia, nasionalisme dan
problematika di Indonesia, Islam dan nasionalisme serta
nasionalisme dalam Pancasila.
Bab IV, nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif, yang
berisi konsep nasionalisme Yudi Latif, perwujudan dan penerapan
konsep nasionalisme di Indonesia menurut Yudi Latif, solusi
penerapan nasionalisme di Indonesia menurut Yudi Latif
Bab V, berisikan kesimpulan dan saran,

19
BAB II
RIWAYAT HIDUP YUDI LATIF

A. Biografi Yudi Latif


Yudi Latif yang biasanya disapa dengan Kang Yudi,
merupakan seorangcendekiawan muda yang lahir di Sukabumi, Jawa
Barat, yaitu pada tanggal 26 Agustus 1964, berasal dari keluarga
yang heterogen dari segi afiliasi politik dan status sosial. Ibunya
dikenal sebagai seorang penari dan penyanyi yang datang dari
keluarga menak Sunda. Kakeknya merupakan seorang Kepala
Kantor Inspeksi Pendidikan, lulusan sekolah Belanda yang sangat
berorientasi politik ke Soekarno dan masuk PNI (Partai Nasional
Indonesia). Sementara sang ayah adalah berprofesi sebagai seorang
guru dari kalangan ulama yang memiliki pondok pesantren di
Sukabumi, aktif dalam organisasi Islam, dan masuk dalam organisasi
NU (Nahdlatul Ulama). Terjadinya perbedaan ideologi semakin
memuncak dipicu oleh ketegangan situasi politik di masa itu,
sehingga menjadikan kedua orang tua Kang Yudi memutuskan untuk
berpisah.
Yudi Latif kecil juga pernah merasakan hidup secara
berpindah-pindah dari satu tempat terpencil ke tempat terpencil
lainnya, hal ini mengikuti tugas sang ayah sebagai seorang guru.
Meski demikian, Kang Yudi mengaku tidak ada masalah sedikitpun
dalam berinteraksi dan berhubungan dengan teman-teman
sebayanya. Dalam kehidupannya, nyaris tiada hari tanpa obrolan
dewasa, yaitu persoalan-persoalan politik, sehingga yang demikian
ini justru menjadikan Kang Yudi merasa terlalu cepat merasa
dewasa dari waktu yang semestinya. Bahkan Kang Yudi sendiri
juga mengaku mengalam semacam psychological barrier untuk
melewati masa kanak-kanaknya yang penuh natural. Dari bapaknya
pula Kang Yudi ditanamkan tradisi membaca dan menulis,
berpidato, puisi, dan juga mengikutkannya pada lomba-lomba dan

20
tradisi panggung bagi Kang Yudi sudah dikenalnya sejak masih di
kelas satu SD.19
Setelah menamatkan studi S-1 dari Fakultas Ilmu
Komunikasi, Universitas Padjadjaran, Kang Yudi bekerja sebagai
peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kemudian
menyelesaikan program S-2 dan S-3 dari The Australian National
University. Sambil menempuh program S-3, Kang Yudi juga
sempat menjadi dosen pada Faculty of Asian Studies, The
Australian National University. Sempat menjadi Wakil Rektor pada
Universitas Paramadina, pernah bekerja sebagai Ketua Pusat Studi
Pancasila di Universitas Pancasila dan juga menjadi anggota
Lembaga Pengkajian pada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Selain itu, Kang Yudi juga menjadi pengajar di sejumlah perguruan
tinggi serta narasumber tetap untuk program-program pendidikan
dan latihan kepemimpinan pada Lembaga Administrasi Negara dan
Lembaga Ketahanan Nasional. Pada tahun 2015, terpilih menjadi
anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam Komisi
Kebudayaan.
Minat pengetahuan dan bidang keahliannya terutama dalam
studi-studi pascakolonial, multikulturalisme, serta wawasan
kebangsaan dan kenegaraan. Salah satu karyanya yang monumental
adalah Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila (2011). Dalam rangka memperingati 44 tahun Media
Indonesia (2014), buku ini dinobatkan sebagai salah satu dari 44
buku yang membawa perubahan dan mengubah Indonesia.
Pergumulannya dalam pemikiran kebangsaan dan kemanusiaan
membuatnya menerima sejumlah penghargaan.20

B. Riwayat Pendidikan Yudi Latif


1. Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur
19
Andi Awwaliyah Wulandari, Syahrir Karim, Muhammad Natsir,
“Cendekiawan dan Kekuasaan Perspektif Yudi Latif”, dalam Jurnal VOX
POPULI, Volume 2, Nomor 2, Desember 2019, hlm. 67.
20
Sumber: https://aipi.or.id/frontend/member/detail/, diakses pada
tanggal 28 April 2021.
21
2. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran (1990)
3. Sosiologi Politik dari Australian National University (1999)
4. Sosiologi Politik dan Komunikasi dari Australian National
University (2004)

C. Pengalaman Organisasi Yudi Latif


1. Ketua Ikatan Pemuda Masjid Agung Bandung (IKAPMA)
(1984)
2. Koordinator Gelanggang Seni Sastra, Teater dan Film
(GSSTF), Universitas Padjadjaran (1987-1988)
3. Sekretaris Jenderal, Senat Gabungan Universitas Padjadjaran
(1988-1989)
4. Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Canberra, Australia
(1998-1999)
5. Dosen, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam
Nusantara (UNINUS) (1991-1992)
6. Dosen, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Universitas
Pasundan (UNPAS) (1993)
7. Peneliti, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (1993)
8. Editor Buku, Center for Information and Development Studies
(CIDES) (1994-1995)
9. Perencana Strategis Pendirian Universitas Paramadina (1995-
1997)
10. Direktur, Center for the Studies of Islam and Democracy
(PSID), Universitas Paramadina (2000)
11. Peneliti Senior, Center for Presidential and Parliamentary
Studies (CPPS) (2003)
12. Pemimpin Redaksi Majalah ‘Kandidat’ (2004)
13. Konsultan ‘McLeader’ (Political Marketing) (2004)
14. Dosen Tamu Sejumlah Pendidikan Tinggi, termasuk UI, UIN,
LAN, ICAS-Paramadina, Universitas Padjadjaran (2004-
Sekarang)
15. Direktur Eksekutif, Reform Institute (2004-Sekarang)

22
16. Nara sumber untuk sejumlah institusi publik, termasuk
Lemhanas dan DPD (2005-Sekarang)
17. Wakil Rektor, Universitas Paramadina (2005-2007)
18. Kepala, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK), Universitas
Paramadina (2006-2007)
19. Presidium Pergerakan Kaum Muda Indonesia (PKMI) (2007-
Sekarang)
20. Dewan Pakar, Yayasan Nabil (Nation Building) (2008-
Sekarang)
21. Anggota Dewan Pendiri Nurcholish Madjid Society (2008-
Sekarang)
Pimpinan, Pesantren Ilmu Kemanusiaan dan Kenegaraan
(PeKiK-Indonesia) (2008-Sekarang)
22. Pemimpin Redaksi “Biografi Politik” (2008-Sekarang)
23. Anggota ahli Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)
(2009-Sekarang)
24. Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan-Indonesia (PSIK-
Indonesia)
Kepala Pelaksana Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi
Pancasila (UKP-PIP) (2017-2018)

D. Karya Yudi Latif


Dibandingkan dengan para tokoh dan intelektual lainnya di
Indonesia, sosok Yudi Latif memang tidak terlalu populer, namun
pemikirannya tentang apa saja yang dituangkan dalam buku-
bukunya sangat terkait dengan kondisi yang sedang berjalan di
Indonesia saat ini. Di samping aktif menulis buku, Kang Yudi juga
aktif menulis kolom di Koran Harian Kompas dan pemikiran-
pemikirannya sangat ditunggu oleh para pera pembaca. Adapun
fokus pemikiran Kang Yudi banyak mengenai keagamaan,
kenegaraan dan kebangsaan.

23
Adapun beberapa buku dan karya Yudi Latif yang penulis
temukan antara lain adalah:21
1. Hegemoni Budaya dan Alternatif Media Tanding (Cultural
Hegemony and Counter-Media Alternatives), Jakarta:
MASIKA, 1993
2. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde
Baru (Language and Power: The Politics of Discourse in the
New Order Period of Indonesia), Bandung: MIZAN, 1996
3. Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan (The Past that Kills
the Future), Bandung: MIZAN, 1999
4. Menuju Revolusi Demokratik: Mandat untuk Perubahan
Indoneisa (Towards a Democratic Revolution: Mandate for
Indonesian Changes), Jakarta: Djambatan, 2004
5. Muslim Inteligensia dan Kuasa (The Muslim Intelligentsia and
Power in the 20th Century Indonesia), Bandung: MIZAN,
2005
6. Geneologi Inteligensia, Pengetahuan dan Kekuasaan
Inteligensia Muslim Indonesia Abad XX, 2005
7. Dialektika Islam: Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia,
Yogyakart: Jalasutra, 2007
8. Indonesia Muslim Inteligensia and Power, Singapura: ISEAS,
2008
9. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis
Kesastraan, 2009
10. Negara Utama: Fundamen Rancangbangun Indonesia, 2009
11. Yang Laju Yang Layu, 2009
12. Sastra Menyemai Peradaban Bangsa, Jakarta: Kompas
Publisher, 2009
13. Kembalinya Politik Ideologi: Manifesto Politik Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, 2011
14. Negara Paripusrna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011

21
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Yudi_Latief, diakses pada
tanggal 24 April 2021.
24
15. Air Mata Keteladanan, Bandung: Jakarta, 2014
16. Revolusi Pancasila, Bandung: Jakarta, 2015
17. Wawasan Pancasila, Bandung: Jakarta, 2018

E. Tulisan Jurnal Yudi Latif


1. ‘Islamising the Indonesian Polity’, International Journal
Ihya’ulumum al-Din, February 2000
2. ‘From Nation Building to State Building’, Journal of
Democracy and Human Rights, The Habibie Center, March
2003
3. ‘Secularising the Indonesian Islamic Community’, Journal of
Universitas Paramadina, Mei 2004
4. ‘At the Crossroads: Early Fragmentation in the Formation of
Indonesian Intelligentsia’, Studia Islamika, 2006.
5. ‘Indonesian Modernization And The Rupture Of Young
Muslim Intelligentsia’, Studia Islamika, 2007
6. Dan lain-lain

F. Dunia Penelitian Yudi Latif


Karir dalam dunia penelitian, Kang Yudi mengawalinya
ketika bergabung dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) pada tahun 1993, dan sekaligus terlibat sebagai editor
awal rancangan yang kemudian berdirinya Universitas
Paramadina (1996) dan di sini pula menjadikan tempat
pengabdiannya dan di sini pula kemudian Kang Yudi mendirikan
berbagai pusat studi dan bahkan Kang Yudi sempat menjadi
wakil rektor dalam urusan pendidikan, kemahasiswaan dan
pengabdian masyarakat. 22

G. Penghargaan Yudi Latif

22
Andi Awwaliyah Wulandari, Syahrir Karim, Muhammad Natsir,
“Cendekiawan dan Kekuasaan..., hlm. 67.
25
1. Penghargaan dari IFI (Islamic Fair of Indonesia), untuk
kategori intelektual muda paling berpengaruh, pada Desember
2011.
2. Penghargaan dari Majalah Gatra untuk kategori Ikon Politik
Indonesia, pada Oktober 2011.
3. Penghargaan dari Nabil (Nation Building) Award, sebagai
pengakuan atas perjuangan dan pemikiran dalam menegakkan
Pancasila sebagai sumbangan bagi nation building, pada
Oktober 2012.
4. Penghargaan dari Megawati Soekarnoputri Award, sebagai
penghargaan dalam memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan
dan kemajemukan, pada Desember 2012.
5. Penghargaan Ilmu Sosial dari Himpunan Indonesia untuk
Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), tahun 2013.
6. Menerima Anugerah Kebahasaan dari Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, tahun 2014.
7. Terpilih menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
dan Menerima Anugerah Kompas sebagai Cendekiawan
Berdedikasi, tahun 2015.
8. Mendapat penghargaan Nasdem untuk 70 Tokoh Indonesia
yang membesarkan negeri, pada tahun 2015.

26
BAB III
NASIONALISME DAN PERMASALAHANNYA

A. Pengertian Nasionalisme
Pada dasarnya nasionalisme merupakan kata yang selalu
muncul ketika dikaitkan dengan sebuah bangsa dan negara. Bahkan
menjadi tidak asing terdengar di telinga, yang secara
kesejarahannya nasionalisme sudah ada dan bahkan adanya sudah
sejak sebelum Indonesia merdeka. Bangsa Indonesia merupakan
bangsa yang terlahir dari semangat nasionalisme yang digelorakan
oleh para pecinta kemerdekaan yang ingin melepaskan diri dari
tangan para penjajah. Semangat untuk membentuk sebuah tata
kehidupan yang merdeka dan terbebas dari kolonialisme akhirnya
melahirkan suatu semangat antarsuku, ras, agama dan
antargolongan untuk bersatu yang kemudian terbentuknya suatu
solidaritas bersama secara nasional yaitu nasionalisme Indonesia.
Yang secara prinsipil, semangat nasionalisme di Indonesia lahir
dari bentuk perlawanan terhadap kolonialisme.23
Nasionalisme merupakan konsep modern yang pertama sekali
muncul pada abad ke-17, hal ini bersamaan dengan lahirnya konsep
negara bangsa. Di Eropa, nasionalisme muncul sebagai wujud
perlawanan terhadap feodalisme (kekuasaan absolut yang dimiliki
oleh pemuka agama dan para bangsawan). Di Barat kemunculan
konsep nasionalisme biasanya dihubungkan dengan perjanjian
Westphalia pada tanggal 24 Oktober 1648. Perjanjian tersebut
menandakan akhir dari sebuah perang yang lamanya kurang lebih
tiga puluh tahun (1618-1648) antara kerajaan-kerajaan di seluruh
benua Eropa dan salah satu pemicunya adalah agama, yaitu antara
Protestan dan Katolik.
Salah satu butir penting dari perjanjian tersebut adalah
adanya perdamaian di antara negara-negara yang berdaulat dan
setiap negara berkembang secara mandiri dalam suatu bentuk
negara-bangsa. Pada tataran ini kemudian terjadi pergeseran
negara-negara yang tadinya diatur di bawah agama (otoritas gereja)
kemudian menjadi bebas mengatur dirinya sendiri. perjanjian
Westphalia ini kemudian melahirkan zaman Pencerahan di Eropa
23
Mifdal Zusron Alfaqi, “Memahami Indonesia Melalui Perspektif
Nasionalisme, Politik Identitas, serta Solidaritas”, dalam Jurnal Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015, hlm. 111.
27
dan puncaknya kemudian dapat melahirkan Revolusi Perancis pada
akhir abad ke-18, yaitu banyak negara feodal mengintegrasikan diri
ke dalam suatu negara-bangsa.24 Pada periode ini juga kemudian
muncul para pemikir politik seperti Thomas Hobbes, John Locke,
dan Rosusseau yang banyak menyumbangkan pikiran tentang
politik dan negara bahkan mereka kemudian juga dapat melahirkan
teori kontrak sosial sebagai asal-usul sebuah negara.25
Untuk melengkapinya, perlu juga dilihat penolakan
nasionalisme melalui penerimaan terhadap internasionalisme

24
Jamaluddin Mohammad, “Nasionalisme Santri”, dalam Nasionalisme
dan Islam Nusantara, (Jakarta: Kompas, 2017), hlm. 16.
25
Kontrak sosial adalah suatu perjanjian yang dilakukan antara pihak
penguasa dengan masyarakat. Baca: Akbar Kaelola, Kamus Istilah Politik
Kontemporer, (Yogyakarta: Cakrawala, 2009), hlm. 164. Sedangkan yang
dimaksud dengan Teori kontrak sosial atau teori
perjanjian masyarakat beranggapan bahwa negara dibentuk berdasarkan
perjanjian-perjanjian masyarakat dalam tradisi sosial masyarakat. Teori ini
meletakkan negara untuk tidak berpotensi menjadi negara tirani, karena
keberlangsungannya bersandar pada kontrak-kontrak sosial antara warga negara
dengan lembaga negara. Menurut Hobbes, kehidupan manusia terpisah dalam
dua zaman, yakni keadaan selama belum ada negara, atau keadaan alamiah
(status naturalis, state of nature), dan keadaan setelah ada negara. Bagi Hobbes,
keadaan alamiah sama sekali bukan keadaan yang aman dan sejahtera, tetapi
sebaliknya, keadaan alamiah merupakan suatu keadaan sosial yang kacau, tanpa
hukum, tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar-individu di
dalamnya. Karenanya, menurut Hobbes, dibutuhkan kontrak atau perjanjian
bersama individu-individu yang tadinya hidup dalam keadaan alamiah berjanji
akan menyerahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada seseorang
atau sebuah badan yang disebut negara. Berbeda dengan Hobbes yang melihat
keadaan alamiah sebagai suatu keadaan yang kacau, John Locke melihatnya
sebagai suatu keadaan yang damai, penuh komitmen baik, saling menolong antar
individuindividu di dalam sebuah kelompok masyarakat. Sekalipun keadaan
alamiah dalam pandangan Locke merupakan suatu yang ideal, ia berpendapat
bahwa keadaan ideal tersebut memiliki potensial terjadinya kekacauan lantaran
tidak adanya organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur kehidupan mereka.
Baca: https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-teori-kontrak-sosial-
atau-social-contract-theory/5108/2 Teori kontrak sosial menegaskan bahwa
negara terbentuk berdasarkan kesepakatan-kesepakatan tertentu dari sebuah
komunitas dan teori ini mau menggeser negara agama kepada negara sekular.
Teori ini juga merupakan antitesis terhadap teori yang mengatakan,
kekuasaan/negara sebagai penjelmaan kekuasaan Tuhan dan raja adalah
manifestasi Tuhan di muka bumi ini. Bacajuga: Jamaluddin Mohammad,
Nasionalisme Santri... hlm. 17.
28
(Soekarno juga memakainya).26 Walaupun hanya sedikit orang
yang memandang dunia dengan cara yang sama, dengan kecintaan
yang sama, seperti orang-orang memandang negeranya sendiri,
terhadap banyak orang yang berlaku demikian dan bahkan lebih
banyak lagi yang percaya bahwa mereka seharusnya dan bahkan
mungkin berusaha melakukan hal seperti itu. tanpa melakukan
analogi secara berlebihan, perlu membandingkan perbedaan antara
nasionalisme dan internasionalisme dengan perasaan-perasaan yang
berbeda, namun kuat, yang dapat dimiliki oleh seseorang terhadap,
misalnya ke suatu negara, katakanlah ke negara bagian Florida dan
Amerika Serikat. Sebagian besar negara Amerika betul-betul
memiliki rasa kesetiaan terhadap dunia sebagai suatu
kemanunggalan, namun hal ini tidak dapat dikatakan bahwa
perasaan yang demikian itu berbeda dari seseorang yang
mempunyai perasaan kuat baik terhadap negara bagian Florida
maupun Amerika Serikat. Internasionalisme merupakan jenis yang
sama dari fenomena patriotisme dan nasionalisme, dan mungkin
dengan melihat ketiganya, akan mampu untuk memahami masing-
masing secara lebih seksama.27
Menurut Lyman, internasionalisme dapat dianggap juga
identik dengan nasionalisme, sebagaimana halnya Soekarno
menggunakannya pada saat menyampaikan atau menggali butir-
butir Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945. Namun perlu disadar juga
internasionalisme tidak menghasilkan semangat emosional

26
Menurut Soekarno, internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau
tidak berakar di dalam buminya nasionalisme dan nasionalisme tidak dapat hidup
subur kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Apa yang
menjadi acuan Soekarno, menurut Aziz Syamsuddin, harus menjadi acuan bagi
generasi muda Indonesia dalam melihat dimensi internasional dan globalisasi
yang sedang terjadi, karena hal ini dapat mengikis dan menggerus semangat
nasionalisme, yang harus dilakukan adalah memadukan antara nasionalisme
dengan internasionalisme dalam diri. Mengagung-agungkan nasionalisme secara
berlebihan dapat menimbulkan chauvinisme (cinta berlebihan terhadap bangsa),
hal ini menyebabkan perasaan superior terhadap bangsa sendiri sembari
merendahkan bangsa lain. Sebaliknya, semangat internasionalisme yang
berlebihan dapat menyebakan kaum muda kehilangan pijakan nasionalisme.
Baca: Azis Syamsuddi, Api Nasionalisme Kaum Muda, Peluang dan Tantangan
Menumbuhkan Semangat Kebangsaan di Kalangan Muda Indonesia, (Jakarta:
RMBOOKS, 2011), hlm. 28-29.
27
Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, (Jakarta: Bina
Aksara, 1986), hlm.22-23.
29
sebagaimana yang ada dalam nasionalisme. Internasionalisme
nampaknya merupakan masalah penalaran ketimbang suatu emosi
yang dihasilkan. Orang yang mendukung internasionalisme dan
menentang perasaan-perasaan yang dibangkitkan oleh nasionalisme
sering mengatakan bahwa ia memecahbelah dan mengarah pada
konfrontasi riskan yang teramat luas antar bangsa-bangsa. Kaum
internasionalis percaya bahwa dunia sebagai satu kesatuan harus
disatukan dalam satu cara tersendiri. Dalam pengertian umum,
internasionalisme mirip dengan nasionalisme, namun perlu adanya
suatu pengakuan terhadap pertalian antar orang lain yang hidup di
negara tertentu. Nasionalisme memiliki simbol-simbol yang
menyemangatinya, sedangkan internasionalisme tidak memiliki
sombol-simbol bahkan secara individu juga orang jarang memiliki
emosional. Internasionalisme jelas tidak sekuat persatuan yang
berkembang dalam nasionalisme.28
Secara etimologis sebagaimana dijelaskan oleh Mifdal
Zusron Alfaqi, nasionalisme berasal dari kata nasional dan isme,
yaitu suatu paham tentang kebangsaan yang memiliki makna
kesadaran dan semangat cinta kepada tanah air, memiliki sikap
bangga sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa,
memiliki rasa solidaritas terhadap musibah dan
kekurangberuntungan kepada saudara setanah air, sebangsa dan
senegara serta menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan. Dari
pengertian tersebut dapat dimengerti bahwa nasionalisme
merupakan paham tentang kebangsaan dan sikap cinta tanah air
yang tinggi yang harus selalu dimiliki oleh setiap anak bangsa atau
warga negara, merasa memiliki sejarah dan cita-cita yang sama
dalam tujuan berbangsa dan bernegara.29
Ali Fahrudin mengutip dalam Kamus Oxford menjelaskan,
kata nasionalisme berasal dari bahasa Inggris “nationalism”, yang
merupakan perpaduan dari kata “national” dan “ism”. Nasional
adalah kata sifat yang memiliki arti “of a nation or the natiori”
sesuatu yang berkenaan dengan bangsa dan nation tersebut
merupakan kata Inggris yang berasal dari bahasa Latin “natio,
natus” yang berarti “to be born” yang berarti dilahirkan. Nation
artinya menurut bahasa menjadi komunitas besar manusia (bangsa)

28
Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, hlm.30-31.
29
Mifdal Zusron Alfaqi, “Memahami Indonesia, hlm. 112.
30
yang hidup dalam kawasan tertentu dan dinaungi dalam satu
pemerintahan.30
Secara harfiah, istilah nasionalisme merupakan paham
tentang bangsa atau kebangsaan. Bangsa yang dimaksud di sini
menurut Huszar dan Stevenson adalah “the natural and desirable
political unit”, kesatuan politik yang wajar dan diinginkan. L.
Stoddard juga memberi definisi nasionalisme sebagai satu
keyakinan yang dimiliki bersama oleh mayoritas individu bahwa
mereka merupakan satu bangsa. Devinisi bangsa ini dapat
digambarkan seperti rakyat atau masyarakat yang bergabung
bersama dan tersusun dalam satu kerajaan atau pemerintahan yang
menempati suatu daerah tertentu. Bila cita-cita nasional telah
menjadi suatu kenyataan, maka terbentuklah suatu badan politik
yang dikenal sebagai negara.31
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “bangsa”
memiliki beberapa arti, yang diantaranya adalah; pertama,
merupakan kesatuan orang yang memiliki kesamaan keturunan,
adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri; kedua,
golongan manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang
mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang sama atau
bersamaan, dan ketiga, kumpulan manusia yang biasanya terikat
karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum.
Sedangkan “nasionalisme” sendiri memiliki arti; pertama, paham
atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat
kenasionalan; kedua, kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa
yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai,
mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas,
kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; berupa semangat
kebangsaan.32
Dalam perkembangannya, nasionalisme memiliki
pengertian yang bragam, namun secara garis besar nasionalisme
dapat diklasifikasikan menjadi tiga pengertian. Pertama,
30
Ali Fahrudin, Nasionalisme Soekarno dan Konsep Kebangsaan
Musafir Jawa, (Jakarta: LITBANGDIKLAT PRESS, 2020), hlm. 29. Baca juga:
A. P Cowie, ed., Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English,
(Oxford University Press, 1989), hlm. 823.
31
Ali Fahrudin, Nasionalisme Soekarno dan Konsep Kebangsaan
Musafir Jawa,...hlm. 30.
32
Lukman Ali, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), hlm. 724.
31
merupakan sebuah ideologi sekaligus satu bentuk dari perilaku
(behavior). Kedua, merupakan sebuah cita-cita yang ingin memberi
batas antara ‘kita’ yang sebangsa dan ‘mereka’ dari bangsa lain.
Ketiga, merupakan dua sisi antara politik dan etnisitas.
Nasionalisme selalu memiliki elemen politik dan substansinya
adalah sentimen etnik. Dalam kamus Webster, nasionalisme
diartikan sebagai loyalitas dan kecintaan kepada suatu bangsa,
khususnya suatu rasa kesadaran nasional untuk memuliakan suatu
bangsa di atas bangsa lain. Sementara dalam Ensiklopedia
Britanica nasionalisme berarti filosofi politik atau sosial di mana
kesejahteraan negara bangsa sebagai entitas yang dipandang paling
penting yang pada dasarnya merupakan tahap pemikiran kolektif di
mana mereka loyal terhadap bangsanya.33
Secara fungsional, nasionalisme diartikan juga sebagai
paham kebangsaan yang timbul karena adanya persamaan nasib
dan sejarah, dan kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu
bangsa yang merdeka, bersatu berdaulat. Karenanya, nasionalisme
sering dipandang sebagai ideologi memelihara negara bangsa. 34
Sebagai sebuah ideologi, Smith menjelaskan ada 3 (tiga) sasaran
utama nasionalisme, yaitu; otonomi nasional, kesatuan nasional,
dan identitas nasional. Dalam pandangan nasionalis, suatu bangsa
tidak dapat melangsungkan hidupnya tanpa ketiga komponen itu
dalam derajat memadai. Nasionalisme juga berfungsi menjadi
“gerakan” ideologis untukmencapai dan mempertahankan otonomi,
kesatuan dan identitas bagi suatu polpulasi, yang sejumlah
anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang aktual
atau bangsa yang potensial.35
Terdapat beberapa jenis nasionalisme, yaitu
a. Nasionalisme liberal, yaitu nasionalisme yang berakar dari
liberal klasik Eropa yang muncul sejak terjadinya revolusi
Prancis. Nasionalisme ini menumbuhkan kesadaran tentang
perlunya perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan nasional
serta proses unifikasi yang mensyaratkan konstitusi untuk
membatasi pemerintah. Ini mempengaruhi terbentuknya
33
Tatang Muttaqin, dkk., Membangun Nasionalisme Baru, Bingkai
Ikatan Kebangsaan Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kementerian Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional, 2006), hlm. 21.
34
Tatang Muttaqin, dkk., Membangun Nasionalisme Baru..., hlm. 23.
35
Antony D. Smith, Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah, (Jakarta:
Erlangga, 2003), hlm. 10-11.
32
negara-negara baru di Eropa yang didasari oleh kesamaan
etnis, seperti Unifikasi Itali oleh Guesepp Mazzini (1805-1872)
serta terbebasnya negara Amerika Latin dari Spanyol.
Nasionalisme liberal berasumsi bahwa umat manusia secara
alamiah terbagi dalam banyak bangsa yang memiliki identitas
berbeda. Prinsip penentuan nasib sendiri dan kesetaraan ini
diterapkan oleh Wodrow Wilson, Presiden AS dalam
perjanjian Versailles pada tahun 1919, dalam pidatonya yang
dikenal dengan “14 pilar”, Wilson menata ulang wilayah
politik di Eropa. Wilson berusaha memecah imperium Eropa
(Austria, Jerman, dan Turki) menjadi negara-negara yang lebih
kecil, Wilson memandang bahwa bangsa Yugoslavia, Polandia
dan Chezh merupakan bangsa tersendiri yang memiliki hak
untuk mendirikan negara.
b. Nasionalisme konservatif, nasionalisme ini berkembang setelah
nasionalisme liberal, walaupun nasionalisme ini lebih dulu
muncul. Kecenderungan dari nasionalisme ini adalah
membentuk imperium, bukan menganggap ancaman seperti
nasionalisme liberal. Menginginkan sebuah bangsa yang
integral (pan-nasionalisme). Ini dicontohkan oleh Otto van
Bismarck (penguasa Prusia) yang menginginkan Prusia sebagai
pemimpin seluruh wilayah Jerman. Hal serupa juga dilakukan
oleh Tsar Alexander III yang dikenal dengan gagasan Pan-
Slavis. Nasionalisme konservatif mendukung terbentuknya
negara-bangsa terlebih dahulu dari pada pembentukan bangsa
(nation-building), bertujuan agar loyalitas dapat diberikan
kepada institusi politik sehingga menghindari terbentuknya
loyalitas terhadap bangsa.
c. Nasionalisme ekspansionis, ditandai dengan karakter yang
agresif, militeristik, dan ekspansionis, memanfaatkan
antusiasme massa sebagai bangsa unggul dan antitesis terhadap
nasionalisme liberal. Pada abad ke-19 pandangan ini banyak
mempengaruhi neraga-negara Eropa yang menganggap mereka
sebagai bangsa pilihan yang berhak untuk menguasai Asia dan
Afrika. Diperkenalkan pertama kali oleh Nicolas Chauvin,
prajurit Perancis pada masa Napoleon. Chauvin mengajarkan
pandangan irasional mengenai superioritas atau dominasi
bangsa tertentu (chauvinism). Kemudian dikembangkan oleh
Hitler sebagai teori tentang keunggulan ras Arya, sehingga
33
Jerman kemudian sebagai negara ekspansionis pada masa
Perang Dunia II. Ekspansionis memandang bangsa merupakan
segalanya, individu akan berarti bila mampu memberikan
loyalitas bagi kejayaan bangsa.
d. Nasionalisme anti-kolonial, muncul sebagai reaksi terhadap
kolonialisme Eropa di Asia-Afrika, benih-benihnya muncul
pada awal abad ke-20 dan baru mendapat momentumnya
setelah Perang Dunia II. Indonesia mendapat pengakuan pada
tahun 1949 setelah tiga tahun perlawanan menolak kehadiran
kembali Belanda. Perancis terpaksa hengkang dari Vietnam
pada tahun 1954 setelah timbul perlawanan bersenjata.
Perlawanan bersenjata yang muncul di Asia Tenggara
kemudian menginspirasi negara-negara Afrika sehingga di
Afrika juga muncul gerakan pembebasan. Nasionalisme anti-
kolonial ini meniru nasionalisme liberal, mengadopsi konsep
kesetaraan dan penentuan nasib sendiri dan kebanyakan
gerakan pembebasan justru lebih banyak mengambil ideologi
nasionalis terutama Marxism-Leninism, karena yang menjadi
konsern perjuangan mereka adalah memutus rantai sub-
ordinatif dengan negara industri Eropa.36
Nasionalisme juga mencakup patriotisme, sebagaimana
sering digunakan, ia lebih kuat dan mencakup tuntutan-tuntutan
untuk bertindak dengan satu tujuan yaitu memperkuat negara
yang dicintai. Ini merupakan pengertian yang paling besar tentang
nasuionalisme, namun perasaan nasionalisme juga dibangkitkan
oleh bangsa-bangsa yang tidak identi dengan negara atau negara
bagian yang modern. Dewasa ini juga sering digunakan apabila
terdapat bahasa yang berbeda yang dipakai dalam suatu negara.
Bahasa-bahasa yang berbeda inilah biasanya mengandung arti
bahwa telah terdapat pengelompokan orang-orang dengan tradisi
yang berbeda dan ini berarti bahwa orang paling tidak para
nasionalis, mengidentifisir, serta tradisi yang khusus pula. Hal ini
dapat dimengerti secara lebih baik melalui banyak peneliti yang
menjelaskan tentang perkembangan nasionalisme.37

36
Tappil Rambe, Sejarah Politik dan Kekuasaan: Islam, Nasionalisme
dan Komunisme dalam Pusaran Kekuasaan di Indonesia, (Medan: Yayasan Kita
Menulis, 2019), hlm. 111-114.
37
Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, hlm 28.
34
Mencermati berbagai pengertian nasionalisme di atas,
menjadi jelas bahwa bagi negara bangsa yang multietnik seperti
Indonesia, masionalisme mempunyai kaitan yang erat dengan
upaya menjaga kesatuan atau integrasi bangsa. Nasionalisme
adalah daya pengikat antar berbagai kelompok dalam suatu
bangsa. Untuk menjaga keutuhan dan bertahannya negara, segala
daya upaya terus dilakukan. Hal ini dapat dipahami, karena jika
rasa dan semangat kebangsaan pada komunitas bangsa tersebut
mengalami kelenturan akan berdampak langsung pada terjadinya
disintegrasi bangsa. Dengan kata lain, memudarnya nasionalisme
berhubungan dengan munculnya perpecahan. Maka mempertahan
keselamatan dan keutuhan bangsa adalah satu-satunya yang harus
diperjuangkan dan ditegakkan.

B. Konsep Dasar Nasionalisme


Nasionalisme sebagai manifestasi kesadaran bernegara
tumbuh di negara merdeka dan secara leluasa menurut kemampuan
dan kemauan para warga negara sendiri tanpa mengalami tekanan
dari phak mana pun. Sampai seberapa jauh nasionalisme itu
berkembang dalam suatu negara tergantung pada bagaimana
penerapan cara berpikir nasional warna negaranya. Cara berpikir
nasional adalah sikap seseorang terhadap kesadaran dalam
bernegara dan cara berpikirnya adalah mengutamakan kepentingan
kehidupan nasional. Tujuan nasionalisme di daerah jajahan adalah
tunggal, yaitu menghapus kolonialisme. Demikian juga di negara
yang merdeka, tujuan membangkitkan semangat nasionalisme
adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan, mencintai
negaranya serta sedapat mungkin menjaga keutuhan negaranya
agar terbebas dari hal-hal yang menyebabkan negaranya menjadi
kacau. Segala gerak dalam berbagai bidang kehidupan dijiwai oleh
semangat menentang penjajahan karena penjajahan adalah musuh
utama. Nasionalisme di alam penjajahan adalah manifestasi
“keinginan’ untuk bernegara dan mempunyai watak khas, yakni
menghapus penjajahan.38
Nasionalisme merupakan varian dari ideologi. Secara asal-
usul, istilah ideologie diciptakan oleh filsuf Perancis Antoine
Destutt De Tracy (1745-1836) pada 1796. De Tracy merupakan
38
Slamet Muljana, Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai
Kemerdekaan, Jilid 1, (Yogyakarta: LkiS, 2008), hlm. 3-9.
35
seorang bangsawan yang memiliki simpati pada revolusi Perancis
(1789). Sebagai pengikut gerakan rasional abad ke-18 yang dikenal
dengan aufklarung (pencerahan) yang kritis atas otoritas tradisional
dan mistikasi ajaran agama De Tracy memandang ideologi sebagai
ilmu tentang pikiran manusia (sebagaimana biologi dan zoologi
adalah ilmu tentang species) yang mampu menunjukkan arah yang
benar menuju masa depan.39 Pada segi lain, Frans Maginis Suseno
mempergunakan istilah ideologi untuk segala kelompok cita-cita,
nilai-nilai dasar dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung
tinggi sebagai pedoman normatif.40
Makna nasionalisme secara politis merupakan manifestasi
dari kesadaran nasional yang mengandung suatu cita-cita dan
merupakan pendorong bagi suatu bangsa, baik dalam rangka untuk
merebut kemerdekaan atau mengeyahkan penjajahan maupun
sebagai pendorong untuk membangun dirinya maupun lingkungan
masyarakat, bangsa dan negaranya. Sebagai warga negara
Indonesia, maka selayaknya merasa bangga dan mencintai bangsa
dan negara Indonesia. Kebanggaan dan kecintaan terhadap bangsa
dan negara tidak berarti bagi anak bangsa ada yang merasa lebih
hebat bahkan merasa lebih unggul daripada bangsa dan negara lain.
Tidak boleh memiliki semangat nasionalisme secara berlebihan
(chauvinisme) akan tetapi harus selalu mengembangkan sikap
saling menghormati, menghargai, dan bekerjasama dengan bangsa
manapun.
Nasionalisme dalam arti sempit adalah suatu sikap yang
selalu meninggikan bangsanya sendiri, sekaligus tidak menghargai
bangsa lain sebagaimana mestinya. Sikap yang semacam ini justru
dapat mencerai beraikan bangsa yang satu dengan bangsa yang
lain. Keadaan seperti sering disebut sebagai chauvinisme. Sedang
dalam arti luas, nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa
cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara serta sekaligus
menghormati bangsa lain.41

39
Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed.), Ideologi Politik
Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2004), hlm. 5.
40
Frans Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 366.
41
Yudi Latif, Adi Suryanto dan Abdul Azis Muslim, Nasionalisme:
Modul Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan Golongan III, Lembaga
Administrasi Negara Republik Indonesia, 2015, hlm. 1.
36
Menurut Soekarno, pada tahun 1882 Ernest Renan telah
menjelaskan pandangannya tentang paham kebangsaan. Menurut
Renan, bangsa merupakan suatu jiwa (une nation est un ame), satu
azas akal, yang terjadi dikarenakan oleh dua hal, pertama adanya
rakyat yang sejak awal sudah melakukan suatu kesepakatan.
Kedua, selanjutnya rakyat harus memiliki suatu kemauan,
keinginan hidup dalam satu kesepakatan yaitu hidup bersama. Hal
ini tanpa memandang ras, bahasa, agama, kemauan, termasuk
batas-batas suatu wilayah yang menjadikan suatu bangsa.42
Maksud Soekarno bahwa bangsa adalah jiwa adalah satu
bangsa merupakan satu jiwa, lebih jauh maksud Soekarno tersebut
adalah satu bangsa adalah satu solidaritas yang besar (une nation
est un grand solidarite). Jadi, yang memnjadikan suatu bangsa itu
menjadi bersatu (satu jiwa) bagi Renan adalah solidaritas
antarsesama anggotanya, masyarakatnya yang juga kemudian oleh
Renan disebut adanya suatu tekat untuk memiliki “kehendak hidup
bersama”. Pemikir yang lain menginspirasi Soekarno adalah Otto
Bauer yang mengatakan bahwa yang membuat bangsa menjadi
bersatu adalah adanya “persamaan watak”. Berangkat dari kedua
teoritikus tersebut, Soekarno kemudian merumuskan konsep
bangsa yang menurut Soekarno paling tepat untuk dapat diterapkan
bagi bangsa Indonesia yang majemuk dan Soekarno juga
menegaskan pentingnya geopolitik.43 Jadi, selain menggamit
pandangan Ernest Renan dan Otto Bauer tentang bangsa, Soekarno
kemudian mencoba untuk melengkapinya dengan teori geopolitik.44
Nasionalisme sesungguhnya adalah suatu keinginan, suatu
itikad bersama, yang bahwa rakyat ada satu keinginan, satu
42
Soekarno, Nasionalisme, Islamisme, Marxisme: Pikiran-Pikiran
Soekarno Muda, (Bandung: Sega Arsy, 2015), hlm. 13.
43
Bartolomeus Samho dan Rudi Setiawan, Mengartikulasi Pancasila
Menjadi Spiritualitas Kehidupan Bangsa Indonesia yang Majemuk: Sebuah
Kajian Filosofis, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Katolik Parahyangan, 2015, hlm. 44-45.
44
Istilah geopolitik adalah berakar dari “geo”, dari perkataan geografi,
peta, gambarnya. Geopolitik adalah hubungan antara letaknya tanah dan air,
petanya itu, dengan rasa-rasa dan kehidupan politik. Bangsa merupakan
segerombolan manusia yang besar, memiliki keinginan yang keras untuk bersatu,
memiliki sikap yang keras untuk charaktergemenischaft, memiliki persamaan
watak, tetapi hidup dalam satu wilayah yang nyata. Baca: Soekarno, Tjamkan
Pancasila (Pantja Sila Dasar Falsafah Negara), Panitia Nasional Peringatan
Lahirnya Pantjasila 1 Juni 1945-1 Juni 1964, hlm. 156-168.
37
golongan, yang kemudian menjadi tekat bersama dalam satu
bangsa. Sebagaimana yang disampaikan oleh para ilmuan dan
intelektual yang menjadi satu tekat bersama, bahwa rasa
nasionalisme dapat menimbulkan suatu rasa percaya terhadap diri
sendiri, suatu rasa untuk secara bersama-sama mempertahankan
diri sebagai sebuah bangsa dan secara bersama-sama pula ingin
mempertahankan terhadap bangsanya sebagaimana yang telah
menjadi suatu kesepakatan secara bersama-sama pula.45
Harjito dalam bukunya,46 menyimpulkan bahwa
nasionalisme adalah bermakna pada keunggulan suatu kelompok
yang didasarkan atas bahasa, budaya, keturunan, agama, dan
berupa wilayah secara bersama-sama. Oleh karenanya, ideologi
nasionalisme itu merupakan basis bersama semua bangsa untuk
mengorganisasi dirinya ke dalam entitas yang bebas dan otonom.
Istilah nasional dan nasionalis berasal dari Bahasa Latin yang
bermakna “lahir di”. Nasional dan nasionalis sering tumpang tindih
dengan istilah etnik yang lebih menunjukkan kepada kultur, bahasa,
dan keturunan bersama di luar konteks politik.
Nasionalisme merupakan ideologi yang mempengaruhi
semua ideologi lainnya yang ada di dunia. Nasionalisme juga
mengacu pada berbagai kelompok manusia yang memiliki ikatan
tertentu, yang juga diyakini memberikan suatu identitas sebagai
bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri, suatu
ikatan emosi yang membentuk suatu kelompok manusia menjadi
suatu komunitas, atau suatu cara individu mengidentifikasikan diri
dengan kelompok. Salah satu cara yang membantu
mengembangkan identitas nasional adalah pengalan karena adanya
kolonialisme di suatu daerah atau suatu negara dan hal ini sangat
terpengaruh bagi terbentuknya nasionalisme.47
Di antara ideologi-ideologi modern, nasionalisme-lah yang
paling sederhana, paling jelas dan paling canggih sekaligus juga
paling luas serta memiliki daya cengkram paling kuat pada
perasaan rakyat. Sebagai hasilnya, nasionalisme menjadi agen
perubahan politik yang paling kuat selama dua ratus tahun terakhir.

45
Soekarno, Nasionalisme, Islamnisme..., hlm. 14.
46
Harjito, Hegemoni Gramsci dalam Sastra Indonesia: Student Hijo,
Nasionalisme dan Wacana Kolonial, (Yogyakarta: UPGRIS Press, 2014), hlm.
61.
47
Harjito, Hegemoni Gramsci dalam Sastra Indonesia, hlm. 62.
38
Sengkatnya, nasionalisme berkeyakinan bahwa umat manusia
terbagi dalam bangsa-bangsa dan bahwa semua bangsa memiliki
hak untuk memiliki pemerintahan dan menentukan nasibnya
sendiri. negara-negara adalah satu-satunya unit politik yang sah
sebagai penjaga identitas bangsa. Persatuan bangsa merupakan
tujuan utama dari tindakan politik kaum nasionalis.48
Sesungguhnya, nasionalisme mengalami perkembangan
beragam, secara keseluruhannya dapat diklarifikasikan menjadi tiga
pemahaman, yaitu pertama, nasionalisme merupakan sebuah
ideologi sekaligus juga merupakan satu bentuk dari perilaku
(behaviour). Kedua, nasionalisme merupakan sebuah cita-cita yang
memiliki keinginan untuk memberikan suatu batas antara kita yang
sebangsa dengan mereka dan bangsa lain, antara negera kita dengan
negara lain. Ketiga, nasionalisme adalah ibarat satu koin yang
mempunyai dua sisi, yaitu sisi pertama adalah politik, dan sisi
lainnya adalah etnisitas atau rasa kesukubangsaan. Oleh karenanya,
tidak ada nasionalisme tanpa adanya elemen politik, sedangkan
substansinya tidak dapat lain kecuali sentimen etnik.49
Nasionalisme merupakan suatu paham yang mengutamakan
persatuan dan kebebasan bangsa. Nasionalisme adalah suatu paham
yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus
diserahkan kepada negara kebangsaan.50 Nasionalisme sebagai
sikap dan tingkah laku individu atau masyarakat yang merujuk
pada loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa dan negaranya.
Nasionalisme sebagai suatu paham tidak bersifat statis tetapi selalu
dinamis. Nasioanalisme yang merupakan hasil dari peradaban
manusia selalu mengalami perubahan dan perkembangan sesuai
dengan ruang dan waktu serta situasi dan kondisi yang ada.51

48
Arip Musthopa (ed.), Nasionalisme Elit Pemuda, (Jakarta: Genta
Pemuda Indonesia), hlm. 11.
49
Suharno, Membangun Kebangsaan Multikultural, Teoritis, Praktis,
dan Konteks Pengembangannya, (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia,
2016), hlm. 158.
50
Hal demikian ini sebagaimana dikemukakan oleh Snyder (1954)
sebagaimana dikutip oleh Suharno, “nationalism is primarly concerned with the
independence and unity of the nation”. Sedangkan menurut Anderson (1999),
nasionalisme merupakan, “...it is an imagined political community that is
imagined as both inhently limited and sovereign”. Baca: Suharno, Membangun
Kebangsaan Multikultural,..., hlm. 158-159.
51
Suharno, Membangun Kebangsaan Multikultural,..., hlm 159.
39
Nasionalisme berakar dari sistem budaya suatu kelompok
masyarakat yang saling tidak mengenal satu sama lain.
Kebersamaan mereka dalam gagasan mengenai suatu bangsa
dikonstruksikan melalui khayalan yang menjadi materi dasar
nasionalisme. Nasionalisme sebagai sikap dan tingkah laku
individu atau masyarakat yang merujuk kepada loyalitas dan
pengabdian terhadap bangsa dan negaranya. Nasionalisme sebagai
suatu paham tidak bersifat statis tetapi dinamis. Nasionalisme yang
merupakan hasil peradaban manusia selalu mengalami perubahan
dan perkembangan sesuai dengan ruang dan waktu serta situasi dan
kondisi yang ada.52
Nasionalisme menciptakan dan mempertahankan kedaulatan
sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama
untuk sekelompok manusia yang mempunyai tujuan atau cita-cita
yang sama dalam mewujudkan suatu kepentingan nasional, dan
nasionalisme juga suatu sikap rasa ingin mempertahankan
negaranya, baik dari internal maupun eksternal. Rasa nasionalisme
identik dengan memiliki rasa solidaritas. Nasionalisme juga
mengandung makna persatuan dan kesatuan. Nasionalisme
merupakan sikap yang sangat penting untuk kemudian
dikembangkan dalam berbangsa dan bernegara. Negara yang
rakyatnya menjunjung tinggi rasa nasionalisme akan menjadi suatu
bangsa yang kuat.53
Substansi nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur,
yaitu pertama, kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik dan agama. Kedua,
berupa kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan
segala bentuk penjajahan dan penindasan di Indonesia. Semangat
dari kedua substansi itulah yang kemudian tercermin dalam
proklamasi kemerdekaan dengan jelas dinyatakan “atas nama
bangsa Indonesia”, sedangkan dalam pembukaan UUD 1945
dikatakan secara tegas, “segala bentuk penjajahan dan penindasan

52
Suharno, Membangun Kebangsaan Multikultural, Teoritis, Praktis,
dan Konteks Pengembangannya, (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia,
2016), hlm. 157-159.
53
Tappil Rambe, dkk., Sejarah Politik dan Kekuasaan: Islam,
Nasionalisme dan Komunisme dalam Pusaran Kekuasaan di Indonesia, (Medan:
Yayasan Kita Menulis, 2019), hlm. 110-111.
40
di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan”.54
Inti dari nasionalisme adalah penekanan pada wisdom atau
kearifan sebagai suatu bangsa yang majemuk, yakni tidak melihat
kelompok lain sebagai orang lain, namun sebagai bagian dari
realitas kemajemukan itu sendiri. Relasi intersubjektivitas tidak
menempatkan pihak yang berbeda dengannya sebagai “the others”,
melainkan bagian dari “kita” sebagai subjek yang memiliki hak
yang sama. Prinsip egalitarianisme mengandung makna tidak
adanya diskriminasi, baik yang bersifat sosial, ekonomi, maupun
politik. Elemen-elemen penting dari doktrin nasionalisme
Indonesia, sebagaimana dikampanyekan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) adalah
Pancasila, UUD 1945, bentuk Negera Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.55
Nasionalisme menjadi perhatian utama bangsa-bangsa
berkembang karena sebagian di antara mereka merupakan
masyarakat bangsa yang baru berdiri sehingga belum memiliki
identifikasi. Bahkan dalam bangsa-bangsa yang mendiami wilayah
yang agak sama dan memiliki identifikasi yang telah terbentuk
lama, seperti suatu kesatuan, misalnya India, berbagai tingkatan
seperti kasta atau bahasa secara timbal balik mempengaruhi usaha-
usaha untuk memecah atau bahkan mengidentifikasikan masalah-
masalah nasional. Dalam banyak negara baru (di Afrika, misalnya),
secara historis loyalitas kesukuan (mungkin termasuk Indonesia)
telah menjadi lebih penting dibanding kesetiaan nasional, dan
dalam hal-hal tertentu juga batas-batas suku bangsa tidak sama
dengan batas-batas nasional.
Salah satu kesulitan utama dalam menghadapi bangsa-
bangsa baru adalah kurangnya pengetahuan tentang kebudayaan
dan sejarah tentang negara mereka, bahkan sejarah diketahui dan
diakui lebih bersifat kesukuan daripada nasional. Suatu tradisi
nasional tidak dapat dihasilkan hanya dengan kerja satu malam
namun paling tidak terdapat satu faktor yang dapat dipakai untuk
membantu mengembangkan suatu identitas nasional yaitu
pergerakan untuk mengusir kekuatan kolonial dari negara biasanya
merupakan suatu pergerakan nasionalis yang membantu
54
Tappil Rambe, dkk., Sejarah Politik dan Kekuasaan..., hlm. 111.
55
Arip Musthopa (ed.), Nasionalisme Elit Pemuda, hlm. 13-14.
41
membentuk identitas tertentu. Langkah pertama adalah
kemerdekaan. Terdapat dua kelompok dalam ideologi, yaitu:
pertama, berpendapat bahwa revolusi hanyalah suatu sarana untuk
mencapai kemerdekaan. Kedua, berbendapat bahwa revolusi atau
reformasi merupakan pendekatan terbaik yang mungkin dilakukan
di sebagian besar, namun tidak semua, wilayah-wilayah kolonial.56

C. Perkembangan Nasionalisme di Dunia


Nasionalisme sebagai ide, baru muncul antara tahun 1776
hingga 1830 khususnya di benua Eropa dan Amerika ketika terjadi
proses integrasi dari kerajaan-kerajaan sampai terbentuknya negara
nasional. Dalam proses transisi itu lahir apa yang disebut
masyarakat kelas menengah. Perkembangan nasionalisme di Barat
khususnya di Eropa berjalan melalui tiga fase, yaitu: pertama,
bermula pada saat hancurnya kerajaan yang dimulai pada zaman
akhir abad pertengahan dan mulai berdirnya negara-negara nasional
dengan ciri pokok dalam fase ini adalah identifikasi bangsa dalam
perorangan yang berkuasa. Tahap pertama ini memiliki karakter
yang mendasar dalam diri perorangan yang berkuasa sebagaimana
dikemukakan oleh Carr, the essential characterristic of the periode
was the identification of the nation with the periode was the
identification of the nation with the person of the sovereign.
Fase kedua, bermula sejak kekacauan perang Napoleon dan
berakhir dalam tahun 1914. Menurut pendapat Carr, sebagaimana
dikutip oleh Yosaphat Haris Nusarastriya, peletak dasar dari
nasionalisme modern yang dalam sejarah mulai dijumpai modelnya
pada abad ke-19, yaitu Jean Jacques Rousseau (1712-1778), yang
menolak penjelmaan bangsa pada seorang penguasa atau kelas
yang berkuasa dan yang secara berani mengindentifikasikan bangsa
dengan rakyat (volk) atau people. Penetapan Rousseau ini
kemudian berkembang menjadi suatu prinsip fundamental bagi
revolusi Perancis. Di dalam fase ini ciri pokok bukan lagi tercermin
pada perilaku seorang raja melainkan identitasnya tercermin pada
perilaku dari golongan masyarakat tertentu yang sedang berperan
besar saat itu, sehingga nasionalisme pada fase ini sering disebut
sebagai the middle class nationalism.
Fase ketiga, perkembangan nasionalisme di Eropa
merupakan ungkapan dari tuntutan massa untuk ikut berperan
56
Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, hlm.32-35.
42
sedemikian rupa hingga nasionalisme taraf ketiga ini disebut
sebagai “sosialisasi daripada bangsa”. Ungkapan kepentingan dan
perasaan massa ini tercermin di setiap kebijaksanaan politik dan
ekonomi bangsa yang bersangkutan dengan dorongan massa,
sehingga mensyaratkan adanya loyalitas dari massa tersebut. Corak
dalam fase ini melebih-lebihkan kepentingan bangsa sendiri,
melampaui batas sehingga mudah menjelma menjadi suatu
nasionalisme sempit dan congkak yang berkeinginan untuk
mengadakan adu kekuatan dengan bangsa lain.57
Menurut C.J.H. Hayes, revolusi Perancis merupakan awal
mula terciptanya satu negara nasional yang sesungguhnya, di mana
perbedaan kelas dan lokal dihapuskan, gereja disekulerkan dan
semua lembaga baik lembaga politik maupun gereja diletakkan di
atas satu basis nasional dan dibuat mengabdi untuk tujuan-tujuan
nasional. Selanjutnya Hayes menyatakan revolusi Perancis
memberi doktrin bahwa semua warga negara tanpa pandang bulu
berutang kesetiaan utama dan terpenting kepada negara nasional.58
Revolusi yang pencetusannya dimulai pada tahun 1789 ini,
telah diikuti oleh serangkaian peperangan antara Perancis dan
negara-negara lainnya di belahan Eropa. Peperangan ini juga
membangkitkan rasa patriotisme di kalangan rakyat lainnya di
Eropa serta di Amerika. Pada saat itulah, ada seorang Pastur yang
bernama Sieyes yang membuat pamflet berisikan tentang
pentingnya membela hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga
negara atau nasionalisme kemudian mereka mendeklarasikan Hak-
Hak Asasi Manusia serta Warga Negara. Sejak itulah kemudian
istilah “nasionalisme” memulai merasuki bahasa-bahasa Eropa
untuk merujuk kepada daya hidup “kekuasaan rakyat” baru yang di
Perancis ternyata bukan hanya sanggup menumbangkan raja,
bahkan juga mampu menumbangkan kerajaan itu sendiri.59
Menurut Barruel sebagaimana dikutip oleh Herry Ritter,
kata nasionalisme pertama kali dipakai di Jerman pada abad ke-15,
57
http://ris.uksw.edu/download/jurnal/kode/JO1043, diunduh tanggal 12
Mei 2021. Baca juga: S. Hardjosatoto, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia
Suatu Analisa Ilmiah, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hlm. 63.
58
C.J.H. Hayes, “Nationalism”, dalam ERA Saligman, Encyclopedia of
The Social Sciences, Vol. 11, (New York: The Macmillan Company, 1963), hlm.
244.
59
Rojer Eatwell and Anthony Right ed., Ideologi Politik Kontemporer,
terj. (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2004), hlm. 210.
43
yang peruntukkan bagi para mahasiswa yang datang dari daerah
yang sama atau memakai bahasa yang sama, sehingga para
mahasiswa tersebut di kampus yang baru dan daerah baru tetap
menunjukkan cinta mereka terhadap bangsa dan suku asal
mereka.60 Nasionalisme berakar dari sistem budaya suatu kelompok
masyarakat yang saling tidak mengenal satu sama lainnya.
Kebersamaan mereka dalam gagasan mengenai suatu bangsa
dikonstruksikan melalui khayalan yang menjadi materi dasar
nasionalisme. Hal demikian, sebagaimana dalam pandangan
Anderson bahwa nasionalisme Indonesia terbentuk dari adanya
suatu khayalan akan suatu bangsa yang diikat oleh suatu kesatuan
media komunikasi, yakni bahasa Indonesia.61
Di dunia Barat modern, nasionalisme yang dibangun dalam
abad ke-18 merupakan suatu gerakan politik untuk membatasi
kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak warga negara,
tujuannya adalah untuk membina suatu masyarakat sipil yang
liberal dan rasional, mewakili golongan tengah. Nasionalisme
setelah peperangan Napoleon, di Eropa Tengah dan Eropa Timur
atau sampai ke Spanyol dan Irlandia, maka nasionalisme memasuki
negera-negara yang memiliki cita-cita politiknya maupun struktur
masyarakatnya tidak semaju seperti dunia Barat Modern. Di
negara-negara itu hanya ada golongan-golongan yang lemah,
bangsa terbagi atas aristokrasi yang feodal dan proletariat dusun.
Maka nasionalisme mula-mula merupakan suatu gerakan
kebudayaan, impian dan harapan para sarjana dan penyair.
Nasionalisme di Barat didasarkan atas pengertian tentang
masyarakat yang merupakan hasil faktor-faktor politik.
Nasionalisme Jerman adalah pengganti daripada pengertian
rasional tentang kewarganegaraan yang disebut dengan
staatsbburgerschaft oleh bangsa Jerman yang memberi bahan yang
berlebihan kepada hayalan dan memperhebat perasaan.62

D. Perkembangan Nasionalisme di Indonesia

60
Herry Ritter, Dictionary of Concepts in History, (New York:
Greenwood Press, 1986), hlm. 286-295.
61
Suharno, Membangun Kebangsaan Multikultural,... hlm. 157-158.
62
Hans Kohn, Nasionalisme, Arti dan Sejarahnya, (Jakarta: Franklin
Publication INC, 1980), hlm. 40-41
44
Nasionalisme merupakan ideologi baru dikenal di Indonesia
pada akhir dasawarsa pertama abad ke-20, Kebangkitan Nasional
dianggap dumulai pada 1908, sekalipun orang sudah berkumpul
berdasarkan golongan sendiri sebelumnya. Nasionalisme Indonesia
baru “resmi” menjadi sebuah ideologi pada 1925 berdasarkan tahun
Manifesto Perhimpunan Indonesia atau pada 1927 berdasarkan
berdirinya Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI) atau 1928 berdasarkan ketika para pemuda
Indonesia menyatakan Sumpah Pemuda. Menurut Kuntowijoyo
sejak itulah nasionalisme menjadi ideologi kolektif dalam
perjuangan bangsa Indonesia menuju pintu kemerdekaan.
Nasionalismelah yang telah menggerakkan Mosi Integral 1950 oleh
Muhammad Natsir untuk membubarkan negara federal dan
membentuk suatu negara kesatuan dan sejak itu pula nasionalisme
Indonesia memilih unitarisme dan bukan federalisme.63
Nasionalisme pada awal mulanya adalah sebuah reaksi atas
gerakan perlawanan yang diikat oleh etnisitas, daerah dan agama,
orientasinya adalah anti kolonialisme, malahan basis historisnya
dari semua gerakan nasionalis adalah kolonialisme. Lambat laun
nasionalisme mengambil peranan yang progresif karena ia
menghancurkan bukan saja konsep feodalisme maupun
imprealisme tetapi juga meruntuhkan kedigdayaan peran agama.
Nasionalisme memperkenalkan kembali semangat kebangsaan
yang berwatak sekuler serta mengunggulkan kembali apa yang
dinamai dengan jati diri bangsa. Nasionalisme kemudian
memperkenalkan konsepnya dengan mengacu pada pemisahan
sesuatu yang bersumber dari Tuhan dan yang dari manusia, seperti
misalnya pelenyapan sifat teokrasi pada kekuasaan. Nasionalisme
menjadi sesuatu yang ‘sekuler’ bahkan dalam drama politik tanah
air misalnya adanya gejolak pada pencantuman tujuh kata dalam
UUD 1945 yang merupakan pertempuran keras antara sayap agama
dengan nasionalis. Budaya sekuler yang mengikat dalam
nasionalisme itulah yang mencoba menyerap kebutuhan massa
akan identitas kolektif, loyalitas puncak dan otoritas moral yang
kadangkala juga disediakan dan dilayani oleh agama.64

63
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD,
2018), hlm. 221-222.
64
Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana
Menuju Gerakan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 186.
45
Nasionalisme telah meletakkan Indonesia sebagai sebuah
kenyataan, sebagai suatu realitas. Menguatnya nasionalisme
dipengaruhi oleh berkembang-pesatnya media massa yang dikelola
oleh organ gerakan. Nasinalisme membentuk sebuah impian
tentang sebuah wilayah yang akan diraih, direbut dan dikuasai.
Nasionalisme menjadi sebuah semangat baru yang menggantikan
gerakan perlawanan yang berbasis Marxis dan Islam. Proyek
nasionalisme inilah yang pada akhirnya memberikan rumusan
politik bagi setiap tokoh dalam menetapkan paham kebangsaan.
Nasionalisme hendak membangun visi tentang apa yang mereka
inginkan dan bangsa apa yang hendak mereka wujudkan.
Kesadaran kebangsaan mulai membayangkan suatu
kesatuan politik dalam pengertian modern, suatu nation-state.
Konsepsi kebangsaan inilah yang memberikan andil besar bagi
meletusnya sebuah revolusi. Revolusi yang bertumpu pada
kekuatan massa dengan pimpinan yang memang semata-mata
mengandalkan wibawa. Nasionalisme telah mengantarkan
Indonesia dalam sebuah revolusi kemerdekaan yang berbeda
dengan revolusi-revolusi lainnya di dunia. Dalam istilah Taufik
Abdullah, sebagaimana dikutip Eko Prasetyo, nasionalisme
berfungsi mengganti peristiwa sejarah, sebagai sebuah peristiwa
masa lalu, menjadi motologi, sebagai sesuatu yang harusnya
terjadi. Proklamasi kemerdekaan telah membawa ideologi
nasionalisme dalam proses pertumbuhan; pertama, yang berkai-erat
dengan kesadaran subyektif tentang arti kemerdekaan, masyarakat
harus menciptakan lembaga negara untuk mempertahankan
Republik yang telah diproklamirkan. Kedua, paham nasionalisme
menuntut segala sesuatu yang konkrit berdasarkan perkembangan
sehari-hari. Ketiga, runtuhnya orde-orde sosial kolonial serta
tingginya perjuangan fisik dan diplomatik yang kesemuanya,
membentuk bayangan tentang masa depan yang belum
tergambarkan secara jelas.65
Lahirnya nasionalisme di Indonesia selain disebabkan oleh
penderitaan panjang di bidang ekonomi, sosial, pendidikan, hukum
dan politik, juga dipengaruhi oleh meningkatnya semangat bangsa-
bangsa terjajah lainnya dalam meraih kemerdekaan, antara lain dari
Filipina dan India. Sejarah terbentuknya nasionalisme di Indonesia
disebabkan adanya perasaan senasib sepenanggungan yang
65
Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme..., hlm. 187-191.
46
merupakan bentuk reaksi subyektif, dan kemudian kondisi obyektif
secara geografis menemukan koneksitasnya. Menurut Soekarno,
nasionalisme Indonesia bukanlah jingo-nasionalisme atau
chauvinisme dan bukan pula suatu tiruan atau copy dari
nasionalisme yang berkembang di dunia Barat, nasionalisme
Indonesia adalah nasionalisme yang menerima rasa hidupnya
sebagai wahyu.66
Rumusan nasionalisme Indonesia adalah memberikan label
identitas terhadap suatu bangsa. Meskipun dimungkinkan ada
kesamaan antara konsep suatu bangsa dengan bangsa lin, namun
karena dasar setiap negara berbeda maka tiap negara akan memiliki
konsep berbangsa yang unik atau khas.67 Nasionalisme dalam
sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dikenal sebagai kata
sakti yang mampu membangkitkan kekuatan berjuang dalam
melawan penindasan yang dilakukan oleh kaum penjajah selama
beratus tahun lamanya. Perasaan senasib dan sepenanggungan yang
telah mendarah daging mampu mengalahkan perbedaan etnik,
budaya, dan agama sehingga mampu melahirkan sejarah
pembentukan kebangsaan Indonesia.
Tonggak sejarah yang terpenting dalam proses nasionalisme
di Indonesia adalah ketika lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908,
diikuti dengan suatu ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yang
kemudian mengilhami lahirnya konsep bertanah air Indonesia,
berbangsa Indonesia dan berbahasa Indonesia. Proses nasionalisme
tersebut berlanjut sekaligus melandasi perjuangan-perjuangan
berikutnya hingga lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah melalui proses yang sangat
panjang dan berat serta melelahkan. Keberhasilan bangsa Indonesia
lepas dari penjajahan melalui perjuangannya sendiri juga
melahirkan pengakuan dunia bahwa nasionalisme Indonesia
termasuk salah satu yang terkuat karena hanya sedikit negara dari
dunia ketiga yang mampu merdeka melalui proses revolusi.68
66
Anggraeni Kusumawardani dan Faturochman, “Nasionalisme”, dalam
Bulletin Psikologi, Tahun XII, No. 2, Desember 2004, hlm. 65.
67
Anggraeni Kusumawardani dan Faturochman, “Nasionalisme”, hlm.
70. Baca juga: S.M. Martaniah, “Konsep dan Alat Ukur Kualitas berbangsa dan
Bernegara”, Laporan Penelitian, Tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi, Universitas Gadjah Mada, 1990.
68
Anggraeni Kusumawardani dan Faturochman, “Nasionalisme”, hlm.
62-63.
47
a. Nasionalisme sebelum kemerdekaan
Kesadaran nasionalisme bangsa Indonesia merupakan hasil
dari para orang-orang terpelajar dan intelektual yang menjadi kunci
utama dalam gerakan nasionalisme Indonesia, kaum terpelajar
tersebut merupakan hasil dari sistem yang pendidikan yang
diadakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Gerakan-gerakan yang
dilakukan untuk mencapai kemerdekaan tidak lagi dilakukan
dengan senjata melainkan dengan organisasi modern. Para
bangsawan yang terdidik merupakan motor dari ide-ide cemerlang
masa pergerakan nasionalisme, sebab kaum bangsawanlah yang
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi yang dengannya mereka
dapat berbaur dengan cara berpikir pemerinta kolonial.
Munculnya nasionalisme Indonesia dalam pengertian
modern merupakan bentuk reaksi atau antitesis terhadap
kolonialisme, yang bermula dari cara eksploitasi yang
menimbulkan pertentangan kepentingan yang permanen antara
penjajah dan yang dijajah. Nasionalisme Indonesia secara umum
bertujuan ke dalam memperhebat character building sesuai dengan
falsafah dan pandangan hidup bangsa, sedangkan tujuan ke luar
secara antitesis dan antagonis melakukan konfrontasi atau menolak
segala bentuk kolonialisme. Nasionalisme Indonesia bersikap
menentang secara prinsipil, hal itu dapat dimengerti karena
nasionalisme ingin mengembalikan lagi harga diri manusia yang
hilang akibat kolonialisme. Semua pengalaman yang
mengecewakan Indonesia akibat kolonialisme Belanda memaksa
terbentuknya solidaritas sosial yang kemudian mengantar lahirnya
organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia dan hal ini
merupakan suatu fenomena baru di dalam sejarah bangsa Indonesia
di abad ke 20.69
Nasionalisme menjadi dasar utama dan kuat bagi
perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda, dengan
nasionalisme kesadaran-kesadaran lain, seperti kesadaran personal,
sosial, etnis, agama, dan daerah menjadi subordinat dari, dan
diinkorporasikan ke dalam kesadaran nasional itu. Nasionalisme
menjadi kuat karena menyediakan kebanggaan, mengembangkan
kesetaraan, dan mengandung semangat pembebasan, sehingga
merangsang pengikutnya berani mengorbankan dan meninggalkan
69
Tappil Rambe, dkk., Sejarah Politik dan Kekuasaan..., hlm. 114-115.
48
dirinya (self-renunciation) demi loyalitas nasional. Orang bersedia
menginkorporasikan dan mengorbankan loyalitas-loyalitas lainnya
demi layalitas nasional, hal ini disebabkan karena merasa gerakan
nasional menjadi perisai dan pembebas dari kekuatan eksploitasi
baik dari luar (kolonialisme) maupun dari dalam (feodalisme).70
Terdapat beberapa organisasi pergerakan kebangsaan
Indonesia, sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya
dan keberadaan organisasi-organisasi ini juga telah mempersatukan
dan mengantarkan persatuan bangsa Indonesia hingga mencapai
kemerdekaan, adapun organisasi-organisasi tersebut adalah;
1. Boedi Utomo pada tahun 1908. Nasionalisme politik
Indonesia diperkenalkan oleh para intelektual dan kaum
terpelajar dengan membentuk Boedi Utomo. Gerakan ini
berkembang di kalangan terpelajar yang kelak menjadi cikal
bakal terbentuknya elit modern Indonesia. 71 Dengan
diterapkannya politik balas budi, secara tidak langsung telah
mendorong munculnya elit baru berpendidikan Barat yang
sadar akan nasib bangsanya akibat kolonialisme, mereka juga
sadar bahwa sangat perlu adanya sebuah organisasi modern.
Kesadaran ini memberi motivasi bagi sekelompok pelajar di
Stovia yang dipimpin oleh Soetomo untuk mendirikan Boedi
Utomo. Dengan demikian, maka nasionalisme Indonesia
mengalami pertumbuhan seirama dengan dinamika
pertumbuhan dan perkembangan pergerakan kebangsaan
Indonesia, walaupun bentuk nasionalismenya masih samar-
samar dan pergerakannya pun masih terbatas di Jawa dan
Madura.72
2. Sarekat Islam pada tahun 1912. Lahirnya SI memberikan
titik-terang bagi perkembangan nasionalisme Indonesia
selanjutnya. SI tidak semata-mata mengadakan perlawanan
terhadap pedagang China, tetapi membuat Front melawan
semua penghinaan terhadap rakyat Bumi Putera. Perjuangan
yang langsung membela rakyat, yaitu memperjuangkan
ekonomi rakyat telah menjadikan perkumpulan ini
70
Muhammad Umar Syadat Hasibuan, Revolusi Politik Kaum Muda,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 293-294.
71
Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, Reposisi Wacana
Universal dalam Konteks Nasional, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm.
38.
72
Tappil Rambe, dkk., Sejarah Politik dan Kekuasaan..., hlm. 114-115.
49
berkembang sangat pesat dan arah perjuangan nasionalisme
mengarak bercorak ekonomi, religius dan demokratis.73
3. Indische Partji pada tahun 1912. Oleh Indische Partji
nasionalisme diperkenalkan lebih luas lagi, dengan tegas
mencanangkan kemerdekaan tanah air dan bangsa Hindia
lepas dari nederland sebagai akhir dari perjuangannya.
Nasionalisme yang dikembangkannya pun bercorak tegas
bahkan mengarah radikal. Indisce Partji merupakan
organisasi politik pertama di Indonesia.74
4. Perhimpunan Indonesia (PI) berdiri pada tahun 1925. PI
merupakan perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda
yang awalnya bernama “Indische Vereneging” (1908) yang
pada mulanya hanyalah sebagai perkumpulan organisasi
sosiokultural saja. Akan tetapi sejak tahun 1925 organisasi ini
mereka kembangkan sebagai sebuah organisasi yang
membicarakan dan mengutamakan masalah-masalah politik.
Lewat organisasi PI inilah konsep nasionalisme menjadi lebih
tegas dan lebih revolusioner. Organisasi ini juga telah
memberikan sumbangan yang sangat penting yaitu nama
“Indonesia” sebagai identitas nasional.75 Nasionalisme
Indonesia menemukan visinya ketika di Belanda PI
menerbitkan Manifesto Politik.76 Konsep nasionalisme model
73
Tappil Rambe, dkk., Sejarah Politik dan Kekuasaan..., hlm. 116.
74
Tappil Rambe, dkk., Sejarah Politik dan Kekuasaan..., hlm. 116.
75
Tappil Rambe, dkk., Sejarah Politik dan Kekuasaan..., hlm. 116.
76
Manifesto Politik adalah salah satu bagian dari dua pernyataan politik
yang dikeluarkan oleh organisasi bernama Perhimpunan Indonesia (PI).
Manifesto yang diumumkan tahun 1925 melalui majalah “Indonesia Merdeka”
yang juga merupakan majalah terbitan PI ini menggambarkan corak organisasi
PI sebagai organisasi pergerakan nasional Indonesia yang menggagas dan
menggunakan cara yang dianggap radikal pada zamannya. Manifesto ini secara
singkat dapat dianggap sebagai lanjutan dari Deklarasi Indonesia 1925 yang
mengajak bangsa Indonesia untuk memimpikan pemerintahan sendiri. Terdapat
tiga rumusan permasalahan yang disebutkan dalam manifesto ini dalam rangka
menggapai pemerintahan Indonesia yang mandiri. Berkat gagasan yang
membangkitkan semangat kemandirian dalam berbangsa dan bernegara inilah,
Manifesto Politik 1925 menjadi salah satu bukti mengapa organisasi PI dapat
dikategorikan sebagai organisasi radikal pada periode pergerakan nasional
Indonesia.
https://www.zenius.net/prologmateri/sejarah/a/237/ManifestoPolitiknifestoPoliti
k, diunduh Tanggal 28 Juni 2021. Manifesto Politik 1925 menelurkan tiga pokok
pemikiran, pertama, rakyat Indonesia sudah sewajarnya diperintah oleh
50
PI ini kemudian dibulatkan dalam Sumpah Pemuda pada
tahun 1928. Sartono Kartodirdjo menyatakan bahwa,
Manifesto Politik PI 1925 merupakan sebuah tonggak
pemting dalam perkembangan pergerakan nasional Indonesia.
Manifesto itu bahkan tidak saja menggambarkan konsep
nation state melainkan juga menegaskan landasan kehadiran
negara Indonesia merdeka, yakni demokrasi, kesatuan dalam
pluralisme, otonomi, serta kemandirian.77
5. Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927. Kelahiran
PNI melanjutkan ide-de yang dikembangkan oleh PI yang
juga dilandasi oleh nasionalisme dan revolusioner. 78 Pada
awal berdirinya, Soekarno ditunjuk sebagai ketua. Sementara
itu, dalam perekrutan anggota disebutkan bahwa mantan
anggota PKI tidak diperkenankan menjadi anggota PNI
demikian juga pegawai negeri yang memungkinkan berperan
sebagai mata-mata pemerintahan kolonial. Ada dua macam
cara dilakukan PNI untuk memperkuat diri dan pengaruhnya
dalam masyarakat, yaitu pertama, usaha ke dalam, yaitu
usaha-usaha terhadap lingkungan sindiri, antara lain
mengadakan kursus-kursus, mendirikan sekolah-sekolah dan
bank-bank. Kedua, usaha ke luar, yaitu memperkuat opini

pemerintah yang dipilih sendiri. Kedua, dalam memperjuangkan pemerintahan


itu tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun, dan ketiga, tanpa persatuan
perjuangan tidak akan tercapai. Prinsip perjuangan ini dikenal dengan Unity
(persatuan), Equality (kesetaraan), dan Liberty (kemerdekaan). Adapun Sumpah
Pemuda hanya menonjolkan persatuan. Paling tidak demikianlah yang tertanam
dalam memori kolektif masyarakat Indonesia selama ini melalui slogan “Satu
nusa, Satu bangsa, Satu bahasa”. Menurut Sartono Kartodirdjo, bahwa
Manifesto Politik berhasil merumuskan nasionalisme Indonesia sebagai Ideologi.
Mencakup jelas unitarianisme sebagai sebuah dasar Negara-nasion yang dicita-
citakan. Manifesto itu akan mengarahkan gerakan-gerakan etno-nasionalisme
menjadi gerakan kearah Indonesia merdeka, jadi konsep kesatuan telah
mentransendensi etnisitas dan regionalisme. Sartono juga mempertanyakan
mengapa sampai sekarang yang diperingati secara nasional adalah “Sumpah
Pemuda” dan bukan Manifesto Politik 1925, padahal konsep-konsep dalam
pernyataan Perhimpunan Indonesia itu lebih fundamental bagi nasionalisme
sedangkan Sumpah Pemuda dapat dianggap sebagai sebuah pelengkap saja dari
Manifesto Politik 1925. https://ekspresionline.com/prinsip-persatuan-pertama-
manifesto-politik-atau-sumpah-pemuda/ diunduh pada tanggal 28 Juni 2021.
77
Muhammad Umar Syadat Hasibuan, Revolusi Politik Kaum Muda,
hlm. 284.
78
Tappil Rambe, dkk., Sejarah Politik dan Kekuasaan..., hlm. 116.
51
publik terhadap tujuan PNI, antara lain, melaui rapat-rapat
umum dan menerbitkan surat kabar Benteng Priangan di
Bandung dan Persatuan Indonesia di Batavia.79 Tujuan PNI
adalah kemerdekaan bagi Kepulauan Indonesia yang akan
dicapai dengan cara nonkooperatif dan dengan organisasi
massa. Inilah partai politik penting pertama yang
beranggotakan etnis Indonesia, semata-mata mencita-citakan
kemerdekaan politik, berpandangan kewilayahan yang
meliputi batas-batas Indonesia sebagaimana yang ditentukan
oleh pemerintah kolonial Belanda, dan berideologi
nasionalisme “sekuler”.80
6. Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Dicetusnya Sumpah
Pemuda pada 28 Oktober 1928 menjadi bukti bahwa
nasionalisme Indonesia telah melandasi dan dijunjung tinggi
dalam aktivitas bangsa Indonesia, untuk bersatu adalah
kemauan bersama yang akan mengatasi alasan-alasan dengan
tetap menghormati perbedaan-perbedaan yang ada. 81
Pertemuan itu menghasilkan sebuah rumusan (penegasan)
tentang nama diri bangsa, tanah air, dan bahasa, yaitu
Indonesia. Momen bersejarah itu hingga saat ini masih
diperingati menbagai Hari Sumpah Pemuda. 82 Sumpah
Pemuda mengandung nilai-nilai luhur yang menjadikan
inspirasi perjuangan para pemuda untuk menempatkan
persatuan dan kesatuan di atas segala-galanya yang dilandasi
oleh jiwa dan semangat patriotisme serta nasionalisme yang
tinggi. Pada waktulah secara de facto telah lahir bangsa
Indonesia yang terdiri dari persatuan antara seluruh
organisasi dan unsur yang ada di Nusantara.83
Selain organisasi-organisai tersebut, selanjutnya diikuti dan
berdirinya organisasi-organisasi lainnya, baik yang bercorak
keagamaan, politik, maupun bercorak kempemudaan, seperti
Muhammadiyah pada 18 November 1912,84 Nahdlatul Ulama pada

79
Thomas T. Pureklolon, Nasionalisme Supremasi Perpolitikan Negara,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018), hlm. 57-58.
80
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2008), hlm. 393.
81
Tappil Rambe, dkk., Sejarah Politik dan Kekuasaan..., hlm. 116.
82
Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme..., hlm. 42.
83
Soeprapto, Pancasila, (Jakarta: Konstitusi Press, 2013), hlm. 77.
52
31 Januari 1926,85 Christelijke Ethische Partij pada tahun 1916,
Indishe Katholieke Partij pada tahun 1918, Jong Java pada tahun
1915, Jong Sumatera Bond pada tahun 1917, dan lain sebagainya.
Lahirnya organisasi-organisasi tersebut menunjukkan bahwa telah
lahirnya nasionalisme dan menginginkan bebas dari penjajahan
Belanda serta ingin mewujudkan cita-cita yang lebih baik.

84
Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar kedua setelah NU juga
mempunyai andil besar dalam membangkitkan semangat nasionalisme di
Indonesia, KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri ormas Islam ini pernah terlibang
langsung dalam berdirnya Boedi Oetomo yang merupakan cikal bakal
kebangkitan bangsa di tangan para pemuda. Muhammadiyah sejak dulu tidak
terlibat secara langsung dalam partai politik, namun konstribusi Muhammadiyah
sangat nyata dalam menjawab persoalan-persoalan kebangsaan, seperti
menanggulangi kemiskinan, kebodohan, dan anak-anak yatim piatu. Kontribusi
Muhammadiyah bagi bangsa sangat banyak, seperti mendirikan sekolah-sekolah
Muhammadiyah dari TK sampai Perguruan Tinggi yang tersebar di seluruh
Indonesia, termasuk rumah sakit dan panti asuhan. Baca: Ali Fahruddin,
Nasionalisme Soekarno dan Konsep Kebangsaan Musafir Jawa, (Jakarta:
LITBANGDIKLAT PRESS, 2020), hlm. 48.
85
NU yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari sangat konsen dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia, salah satu buktinya adalah adanya resolusi
jihad yang dikeluarkan oleh NU dalam rangka menumpas penjajahan Belanda,
resolusi yang mengobarkan perlawanan menghadapi penjajah itu didorong oleh
keyakinan bahwa membela tanah air adalah fardhu ‘ain atau wajib bagi setiap
Muslim. Dalam resolusi itu disebutkan bagi tiap-tiap Muslim wajib hukumnya
memerangi orang kafir yang menjajah Indonesia. Semuanya wajib turun ke
medan perang mengusir penjajah bagi yang mati dalam medan perang
kemerdekaan atau dalam perang suci layak disebut sebagai syahid (mati syahid)
dan bagi warga Indonesia yang memihak kepada penjajah dianggap sebagai
pengkhianat atau memecah belah persatuan dan mereka harus dihukum mati.
Resolusi jihat mengandung anti-kompromi terhadap penjajah, semangat
nasionalisme, semangat mencintai bangsa dan semangat mempertahankan
kemerdekaan serta kedaulatan tanah air, yaitu Indonesia. Baca: Ali Fahruddin,
Nasionalisme Soekarno..., hlm. 45-47. Nasionalisme dalam pandangan NU
khususnya menurut KH. Yusuf Hasyim, harus dapat mewujudkan tiga hal utama,
yaitu; ukhuwwah Islamiyyah (persatuan dan kesatuan umat Islam), ukhuwwah
wathaniyyah (persaudaraan sesama bangsa), dan ukhuwwah basyariyyah
(hubungan dan kerjasama sesama manusia, meski berbeda negara). inilah yang
menjadi dasar nasionalisme NU dengan tiga hal tersebut dan nasionalisme akan
tumbuh menjadi sikap toleransi dan menghormati antar sesama manusia. Baca:
Yunahar Ilyas (ed.), Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman,
(Yogyakarta: Kerjasama LPPI UMY-LKPSM NU-PP AlMuhsin, 1994), hlm.
53
Nasionalisme Indonesia mencapai puncaknya saat dibentuknya
BPUPKI pada tanggal 1 Maret 1945.86

b. Nasionalisme setelah kemerdekaan


Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, perjuangan
rakyat Indonesia belum selesai ketika terjadi peristiwa agresi
militer Belanda II pada 1945-1949. Nasionalisme Indonesia pada
saat itu betul-betul diuji di tengah gejolak politik dan politik devide
et impera Belanda. Pada tahun berikutnya, konflik-konflik nasional
tidak terjadi dari luar, tetapi sikap nasionalisme bangsa kembali
dihadapkan pada tantangan baru dengan munculnya pemberontakan
di berbagai wilayah tanah air hingga akhirnya pada masa
Demokrasi Terpimpin, masalah nasionalisme diambil alih oleh
negara. Nasionalisme politik pun digeser kembali ke nasionalisme
politik yang sekaligus kultural. Berakhir pula situasi ini dengan
terjadinya tragedi nasional pemberontakan Gerakan 30 September
1965.87
Nasionalisme yang telah mengantarkan Indonesia pada
kemerdekaan tidaklah sama dengan nasionalisme yang muncul di
Eropa. Nasionalisme Indonesia merupakan kristalisasi dari
keinginan bangsa Indonesia bertujuan untuk menjadi negara yang
merdeka, dibungkus dengan perasaan sebasib sepenanggungan
sebagai bangsa tertindas. Oleh Soekarno nasionalisme Indonesia
disebut sebagai nasionalisme Timur yang berbeda dengan
nasionalisme Barat. Nasionalisme Barat merupakan produk
masyarakat peralihan, dari agraris ke indutri. Sebagai negara
industri baru, mereka memerlukan eksistensi dan logistik untuk
mendukung kepentingan nasional. Oleh sebab itu, penjajahan
menjadi metode yang dipilih. Ratusan tahun Indonesia dibelenggu
penjajahan, menjadi sisi gelap nasionalisme dengan pemahaman
yang berbeda.88
Menurut Zamroni, sebagaimana dikutip oleh Tatang
Muttaqin dkk., berdasarkan perkembangan sosial yang ada, maka
perkembangan nasionalisme setelah Indonesia merdeka, dapat
xvii.
86
Abdul Choliq Murod, “Nasionalisme “dalam Perspektif Islam”, dalam
Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XVI, Nomor 2 Agustus 2011, hlm. 49.
87
Slamet Muljana, Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai
Kemerdekaan, (Yogyakarta: LkiS, 2008), hlm. 6.
88
Tappil Rambe, dkk., Sejarah Politik dan Kekuasaan..., hlm. 117-118.
54
diidentifikasikan ke dalam tahapan sebagai berikut; pertama,
periode 1945-1950 yang disebut masa transitif. Pada tahap ini,
berbagai perbedaan pandangan bermunculan di antara kelompok-
kelompok masyarakat yang ada. walaupun demikian, kelompok-
kelompok yang bertikai tersebut tetap bersama, bahu-membahu,
mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang hendak dijajah
kembali oleh Belanda. Kebersamaan ini dapat dipahami karena
adanya ancaman dari luar, yakni bangsa Belanda.
Kedua, periode 1950-1960 yang disebut sebagai fase
destruktif. Pada masa ini terjadi pertentangan yang bersifat
ideologis antara kelompok-kelompok dengan aliran politiknya
masing-masing. Pertentangan ideologis ini berdampak negatif yang
merusak sekaligus melunturkan rasa dan semangat kebangsaan
Indonesia yang dengan susah payah telah ditegakkan bersama. Di
samping itu juga, pertentangan ideologi ini pun menyentuh aspek-
aspek yang sangat mendasar. Konflik antar partai politik hampir
dapat dipastikan juga merupakan konflik aliran politik, yang dalam
konflik tersebut tidak hanya menyentuh sebatas masalah-masalah
pragmatis. Oleh karenanya, perdamaian antara kelompok-
kelompok yang bertikai itu sangat sulit untuk dapat diwujudkan.
Ketiga, periode 1960-1965 yang disebut dengan fase
agresif, sebab nasionalisme Indonesia pada masa ini sangat agresif
terhadap yang namanya perbedaan pendapat dan pendapat yang
berbeda dapat dianggap sebagai musuh. konsekuensinya adalah
orang yang berbeda pendapat harus disingkirkan. Semangat dan
visi ideologis sangat menonjol, wujudnya adalah struktur sosial
yang sangat menekankan ‘politik sebagai panglima’. Produk-
produk ideologis bermunculan, seperti Manipol-Usdek (Manifesto
Politik-Usaha Demokrasi). Di samping itu, fase ini juga bersifat
konstruktif dan antagonistik sehingga nasionalisme Indonesia
penuh dengan jargon-jargon yang bersifat ‘hitam-putuh’, seperti
revolusioner versus reaksioner, tuan tanah versus proletariat, atau
setan kota versus kaum buruh.
Keempat, periode 1965-1978-an yang dapat disebut sebagai
periode integratif. Pada fase ini, persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia menjadi kokoh kembali. Konsensus di antara perbedaan
pendapat dapat diwujudkan. Dalam tahap integratif ini juga
nasionalisme diwarnai dengan semangat pembangunan. Prioritas
pembangunan itu sendiri ditekankan pada bidang ekonomi,
55
sehingga muncul jargon baru, yaitu ‘pembangunan sebagai
panglima’. Pembangunan pun cenderung disakralkan. Kegiatan apa
pun yang mengganggu pembangunan tidak dapat dibenarkan.
Selanjutnya, pada tahun 1980-an, nasionalisme menghadapi
tantangan baru, revolusi komunikasi dan informasi cenderung
melahirkan globalisasi. Di dunia seakan menjadi suatu kampung
besar (a global-village), batas-batas wilayah negara dengan
sendirinya menjadi kabur. Interaksi antarbudaya pun tidak dapat
dielakkan. Revolusi komunikasi dan informasi mengakibatkan
perubahan kehidupan masyarakat yang sangat cepat. Perubahan
yang cepat ini kemudian menyebabkan lembaga sosial menjadi
tidak berguna, dampak lebih jauh adalah individu-individu suatu
komunitas yang mempunyai budaya tertentu menjadi terasa tidak
‘pas’ dengan budayanya sendiri.89
Sesungguhnya terhadap terjadinya disrientasi bangsa
Indonesia antara awal dan pertengahan 90-an hingga awal tahun
2000-an tidak dapat dinafikan, nasionalisme sebagai akibat gerakan
reformasi yang terjadi di seluruh tanah air Indonesia. Reformasi
telah mengakibatkan besarnya tarikan bersifar lokalitas, di antara
indikasi-indikasinya adalah mengentalnya etnisitas dan
primordialisme yang dibarengi dengan gejala separatisme di
berbagai daerah, semakin menguatnya identitas lokal ini
menunjukkan bahwa identitas nasional semakin memudar. Gejala
memudarnya identitas nasional inilah yang dapat disebut sebagai
disorientasi nasionalisme Indonesia, akibatnya ikatan kebangsaan
menjadi semakin merenggang dan Indonesia menghadapi masalah
besar dalam menjaga integritas dan soliditas bangsa yang
multietnik dan multikultur. Setidaknya sejak 1998, gejala
disintegrasi bangsa semakin menguat, baik yang ditunjukkan oleh
para elit politik nasional maupun lokal, maupun oleh etnik-etnik
tertentu di daerah yang menuntut pemisahan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia telah
terjadi konflik atau bentrok fisik yang sebabnya harus dicari titik
persoalannya. Kasus Ambon, Lampung, konflik di Aceh yang
berkepanjangan.90 Terhadap persoalan-persoalan seperti, Negara

89
Tatang Muttaqin, dkk., Membangun Nasionalisme Baru..., hlm. 29-
30.
90
Tatang Muttaqin, dkk., Membangun Nasionalisme Baru..., hlm. 31-
32.
56
Kesatuan Republik Indonesia harus bijaksana dalam
menghadapinya serta harus melakukan pendekatan-pendekatan
kemanusiaan, sehingga dapat diselesaikan dengan penuh
kedamaian.

E. Nasionalisme dan Problematika di Indonesia


Menurut Kuntowijoyo, tahun-tahun 1950-1958 merupakan
awal-awal ujian terberat bagi nasionalisme Indonesia ketika
terdapat persoalan antara pemberontakan-pemberontakan. Pada
awal berdirinya Orde Baru, modernisasi menjadi primadona,
bahkan menjadi semacam ‘ideologi’, namun pada pertengahan
1970-an justru kata ‘pembangunan’ yang menjadi lebih poluler,
terutama dengan adanya ‘Pembangunan Lima Tahun’ (PELITA)
atau ‘Rencana Pembangunan Lima Tahun’ (REPELITA).
Merupakan sesuatu yang absurd, tidak masuk akal, tidak berdasar
fakta, untuk mengatakan bahwa pembangunan Indonesia selama 30
tahun merupakan sebuah kegagalan total. Hanya saja, adalah hal
biasa kalau setiap progress (kemajuan) selalu saja disertai dengan
disillusion (kekecewaan).91
Ada dua hal menurut Kuntowijoya menjadi sebuah
permasalahan mengenai nasionalisme pada masa Orde Baru,
pertama, adanya kekecewaan masyarakat yang dikarenakan oleh
semakin melebarnya jarak sosial antarkelas dalam masyarakat
industri. Kenyataan adanya inequality itu bertentangan dengan
ideologi nasionalisme. Kedua, dengan adanya pembangunan,
peranan negara menjadi semakin kuat (etatisme) namun sebaliknya
peranan masyarakat menjadi semakin lemah. Hal inilah yang
melahirkan cita-cita demokratisasi dan civil society. Kenyataan
tentang inequalality dan etatisme diperberat oleh adanya mitos-
mitos yang dipersangkakan ada dalam masyarakat agraris, yaitu
mitos egalitarianisme dan mitos masyarakat bebas.
Bahwa masyarakat agraris merupakan sebuah masyarakat
yang egalitarian hanyalah sebuah mitos. Sebab, dalam masyarakat
agraris ada perbedaan tajam antara desa-kota, kaya-miskin, rakyat-
penguasa, kalangan bawah-kalangan atas, penggarap-pemilik,
bahkan dalam masyarakat agraris justeru melahirkan
berbagaimacam peraturan yang mengikat. Satu-satunya jalan bagi
nasionalisme, demokratisasi, dan civi society adalah memandang
91
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam,... hlm, 222-223.
57
ke depan, tidak ke belakang. Hal ini berarti bahwa pembangunan
yang berarti progress harus jalan terus, sementara sambil jalan
disillusion dihapuskan. Kalau nasionalisme adalah pelaksanaan dari
sila ke-3 Pancasila, pembangunan adalah pelaksanaan sila ke-5
Pancasila, maka fase berikutnya adalah demokratisasi sebagai
pelaksanaan sila ke-4 Pancasila.92
Menurut As’ad Said Ali, sejak terjadinya reformasi di
Indonesia nasionalisme bangsa Indonesia sedang merosot, bahkan
pendidikan kewargaan tidak lagi populer, sehingga masyarakat
Indonesia mengalami perubahan sangat rasikal, reformasi telah
mengantarkan bangsa Indonesia pada dunia baru yang sama sekali
lain, terbuka bahkan liberal di tengah sebuah arus yang disebut
globalisasi. Globalisasi tidak hanya telah mengubah selera dan
gaya hidup satu masyarakat bangsa menjadi sama dengan bangsa
lain, bahkan juga menyatukan orientasi dan budaya menuju satu
budaya dunia (world culture). Perkembangan dan pengaruh
kapitalisme transnasional pun menjadi kian kokoh dan meluas
menggantikan kapitalisme negara.
Pada persoalan di atas, menjadi nyata suatu perubahan
corak nasionalisme di Indonesia, adanya tanda-tanda nasionalisme
ala negara sedang berganti dengan nasionalisme baru bercorak
massa. Nasionalisme ini lebih subtil, setiap individu berperan
sebagai penafsirnya sendiri. Pada nasionalisme ala negara, aktor
yang berperan sebagai penafsir nasionalisme adalah negara, karena
orientasinya adalah kekuasaan, semngatnya dijaga melalui yel-yel
dan lagu-lagu kebangsaan melalui berbagai macam aktivitas dan
ekspresinya juga lebih heroik. Sedangkan nasionalisme ala massa
tidak berbasis pada mitos tentang ancaman, utopia, atau berupa
kedigdayaan masa lalu, yang dapat mengorbankan patriotisme dan
heroisme. Sebaliknya justeru pada sesuatu yang lebih dekat,
konkret, dan memiliki makna pragmatis sebagai identitas diri,
yakni bangsa. Pada tataran ini konstruksi lebih sederhana, tidak
bersifat romantis dan hegemonik, namun cenderung praktis,
terbuka dan mengandung etos menuju harmoni, ekspresinya tidak
meluap-luap, tapi cenderung rasional.93

92
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam,... hlm, 223-224.
93
As’ad Said Ali, “Nasionalisme, Kewargaan, dan Pancasila”, dalam
Media Indonesia, Selasa, Tanggal 1 Juni 2010.
58
Pada tataran tersebut, menurut As’ad, patriotisme dan
nasionalisme ala massa memiliki definisinya tersendiri, yang bebas
dari imajinasi-imajinasi masa lalu yang heroik dan romantis.
Konstruksinya lebih berorientasi ke masa depan pada nilai-nilai
universal dan kemoderanan. Bentuk ekspresinya juga tidak tungga,
bahkan di mana-mana mencerminkan pengaruh budaya massa
sehingga tampak lebih pragmatis dan pada sisi ini lebih
dikembangkan oleh kelompok-kelompok anak muda atau
masyarakat dengan berbagai bentuk dan ekspresi dan hal ini juga
segala aktivitas terangkum dalam suatu komitmen, yakni
keterikatan pada semangat membangun negeri, tanah harapan yang
menjadi identitas mereka. demikianlah imajinasi dasar materi
nasionalisme era globalisasi ini, konstruksinya lebih sederhana
namun tetap tidak kehilangan roh nasionalismenya.
Masyarakat Indonesia terus saja berubah, termasuk dalam
mengekspresikan konstruksi nasionalisme. Bagi As’ad, dari
pengalaman masa lalu memperoleh pelajaran bahwa, dalam
menjaga keutuhan bangsa dengan pendekatan kekuasaan ternyata
tidak baik, bahkan menimbulkan ekses yang kontraproduktif. Yang
paling kasatmata adalah munculnya gerakan-gerakan perlawanan
dalam berbagai manifestasinya. Mudah dipahami bahwa, dalam
sebuah negara yang memiliki lebih dari 400 kelompok etnis dan
bahasa, pendekatan kekuasaan akan mudah terjerumus dalam
kediktatoran. Menegakkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip
kewargaan (citizenship) adalah cara yang paling baik untuk
menjaga kohesivitas dan keutuhan bangsa. Hal ini sebagaimana
disampaikan oleh Ben Anderson, bangsa merupakan sebuah
komunitas yang dibayangkan dalam keterikatan sebagai
comradeship, persaudaraan yang horizontal dan mendalam. Negara
lahir bukan atas dasar ras, agama, atau daerah, melainkan pada
persaudaraan dan cita-cita bersama dalam sebuah komunitas yang
bernama negara, sebagai tanah harapan(the land of promise).94

F. Islam dan Nasionalisme


Sebagai agama wahyu, Islam mengakui beragam wahyu
yang diturunkan sebelumnya dan menjadikannya sebagai media
toleransi keagamaan. Premis Islam yang bersifat universalis tidak
94
As’ad Said Ali, “Nasionalisme, Kewargaan, dan Pancasila”, dalam
Media Indonesia, Selasa, Tanggal 1 Juni 2010.
59
bertentangan dengal hal tersebut, sebagaimana diketahui bahwa
wahyu tersebut datang secara berturut-turut. Kebenaran tidak
disajikan kepada manusia secara sekaligus, tiap-tiap risalah Tuhan
berlaku sampai adanya wahyu baru. Pada dasarnya wahyu baru
itu membenarkan, meliputi, dan memperdalam. Alquran sebagai
ekspresi terakhir dari kehendak Tuhan menjamin otentisitas dan
kebenaran wahyu sebelumnya, akan tetapi tidak menjamin
berlakunya karena sebagian wahyu tersebut kadaluarsa karena
datangnya Islam. Islam merupakan agama wahyu yang komplit
dan sempurna dan melampaui agama-agama yang lain. Oleh
karena itu, dari segi agama, Islam menunjukkan universalisme
dengan doktrin monoteisme dan kesatuan alamnya. Wahyu Ilahi
ditujukan kepada semua manusia tanpa pandang bulu agar
manusia dapat menganut agama Islam dan ditujukan pada tingkat
lain secara khusus kepada kaum Mukminin untuk mentaati segala
peraturan-peraturannya. Oleh karena itu, pembentukan
masyarakat yang terpisah merupakan suatu akibat wajar dari
Alquran tanpa menciutkan universalisme dari Tuhan. mematuhi
ajaran yang diberikan Oleh Nabi Muhammad Saw., bagi Mukmin
berarti memutuskan hubungan dengan orde sosial kesukuan dan
mengidentifikasikan dirinya dengan suatu kesatuan baru.
Masyarakat Islam mempertahankan ideal universalis
karena tidak menolak kebenaran yuridis dan moral yang
tercantum dalam wahyu-wahyu sebelumnya. Universalitas Islam
digandakan dengan universalisme karena unsur pengikat dalam
masyarakat bukan ras, asal, atau kelahiran sebagaimana yang
terjadi dalam negara-negara kuno, akan tetapi memeluk
keyakinan monoteisme. Setelah menjadi monoteis, seseorang
akan tetap tunduk pada kaidah-kaidah agamanya. Fenomena
tersebut adalah inheren dalam suatu masyarakat Islam secara
teoritis, yang pokoknya didasarkan atas wahyu Ilahi yang
mengatur segala sesuatu di dunia.95
Di negara-negara jajahan yang berpendudukan Muslim,
kemunculan nasionalisme sering menimbulkan diskursus
hubungan antara Islam dan nasionalisme dalam suatu upaya untuk
mencari identitas bersama guna melawan kolonialisme, dan untuk
95
Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, Reposisi Wacana
Universal dalam Konteks Nasional, (Jakarta: Risalah Al-Kautsar, 2005), hlm.
159-160.
60
proses pemilihan identitas antara Islam dan nasionalisme tidak
dapat melepaskan kawasan Timur Tengah sebagai suatu subyek
bahasan. Hingga saat ini juga, diskursus Islam dan nasionalisme
masih mengemuka dan masih dalam pro-kontra terhadapnya
masih terus berlangsung di berbagai media. Dari kubu yang
menganggap nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam ada
Asghar Ali Engineer (1939-2013) dari India, sementara dari pihak
yang menilai nasionalisme bertentangan dengan Islam, antara lain
ada Shaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz (1912-1999) yang
merupakan ulama kontemporer yang ahli di bidang sains, hadis,
aqidah dan fiqh dan menulis artikelnya berjudul “the Evil of
Nasionalism” kelahiran Arab saudi.96
Pembicaraan tentang nasionalisme dalam tubuh umat
Islam diawali oleh gagasan Pan-Islamisme yang telah
berkembang sebelumnya dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani
(1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905). Menurut
analisis mereka, penyebab keruntuhan umat Islam dan kaum
Muslimin bukan karena kelemahan atau kekurangan internal
kaum Muslimin, melainkan adanya imperialisme agresif yang
dilancarkan oleh Kristen Eropa, dengan tujuan untuk
memperbudak umat Islam serta untuk menghancurkan Islam.
Rifa’at Al-Tahtawi (1801-1873) yang merupakan seorang teoritisi
nasionalisme Arab yang memiliki pengaruh yang sangat luas,
menganggap patriotisme merupakan sumber kemajuan dan
kekuatan, suatu sarana untuk mengatasi gap antar wilayah Islam
dan Eropa.97
Menurut Ali Fahrudin, era kebangkitan Islam diawali
dengan lahirnya gerakan revivalisme Islam atau revivalisme
pramodernis yang muncul pada abad ke-18 dan 19 Masehi di
tanah Arabia, India dan Afrika. Salah satu tokoh utama di negeri
Hijaz yang saat ini dikenal dengan Saudi Arabia adalah Imam
Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1792) yang dikenal dengan
aliran Wahabi. Muhammad bin Abdul Wahab dianggap
melanjutkan pemikiran ulama sebelumnya, yaitu Imam Ahmad
bin Hanbal (780-855) dan Imam Ibnu Taimiyah (1263-1328).
Gerakan modernisme Islam klasik yang muncul pada pertengahan
96
Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme,..., hlm. 22-23.
97
http:/hermawan.blogspot.com.2007/09/Islam-nasionalisme-
nasionalis-me Islam/html. Diunduh tanggal 12 Mei 2021.
61
abad ke-19 dan awal abad ke-20, dipengaruhi oleh ide-ide dari
Barat. Tokoh utamanya di Mesir adalah Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935).
Gerakan pemurnian agama Islam selanjutnya disebut neo-
revivalisme Islam atau revivalisme Islam pasca modernisme.
Penggeraknya adalah Hasan al-Banna (1906-1949), Muhammad
Sayyid Qutb (1906-1966), Abdul A’la al-Maududi (1903-1979)
dan Taqiyuddin al-Nabhani (1914-1977), yang kesemuanya hidup
pada awal abad ke-20. Gerakan modernisme Islam selanjutnya
disebut dengan neo-modernisme Islam yang oleh para tokoh
pembaharuan Islam kontemporer pada abad ke-20. Salah satu
tokohnya adalah Fazlur Rahman (1919-1988) dari Pakistan yang
dikenal liberar dan radikal, yang juga dikenal sebagai guru
Nurcholish Madjid (1939-2005). Dari gerakan pemikiran ini,
kemudian memberikan semangat pada gerakan nasionalisme Arab
yang ingin melepaskan diri dari penjajahan dunia Barat.98

G. Nasionalisme dalam Pancasila


Terhadap perkembangan nasionalisme di Indonesia,
nasionalisme kemudian melahirkan Pancasila sebagai ideologi
negara. Perumusan Pancasila sebagai ideologi negara terjadi dalam
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Dalam badan inilah kemudian Soekarno mencetuskan
ide yang merupakan perkembangan dari pemikirannya tentang
persatuan tiga aliran besar, yaitu nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme. Pemahaman Soekarno mengenai tiga hal tersebut
berbeda dengan pemahaman orang lain yang mengendalikan
ketiganya yang berpendapat bahwa ketiga ide tersebut tidak
mungkin untuk dipersatukan. Dalam sebuah artikel yang ditulis
oleh Soekarno, “saya tetap nasionalis, tetap Islam, tetap Marxis,
sintese (sintesis) dari tiga hal inilah memenuhi saya punya dada.
Satu sintese yang menurut anggapan saya sendiri adalah sintese
yang geweldig. Dalam artikel itu pula Soekarno juga menjelaskan
bahwa Islam telah menebalkan rasa dan haluan nasionalisme. Cita-
cita Islam untuk mewujudkan rasa persaudaraan umat manusia

98
Ali Fahrudin, Nasionalisme Soekarno dan Konsep Kebangsaan
Musafir Jawa..., hlm. 37. Baca juga: Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan
Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan,
1992), hlm. 79.
62
dinilai oleh Soekarno tidak bertentangan dengan konsep
nasionalisme.99
Terhadap permasalahan nasionalisme dalam nilai-nilai yang
tercantum dalam butir-butir pancasila, hal ini terdapat dalam modal
awal bagi terciptanya persatuan bangsa Indonesia. Merupakan
sikap yang mampu dalam menempatkan kepentingan bangsa
Indonesia di atas kepentingan pribadi, golongan bahkan memiliki
kemampuan untuk mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar
bhinneka tunggal ika. Maka persoalan nasionalisme ini sangat erat
kaitannya dengan sila ke tiga Pancasila, yaitu persatuan Indonesia,
yang mengandung makna angtara lain adalah:
a. Mengembangkan rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa
b. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan
bangsa apabila kemudian diperlukan
c. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar bhinneka
tunggal ika.100
Terhadap hal tersebut juga...
Persatuan bangsa Indonesia atau sering dikenal dengan
persatuan nasional, merupakan cita-cita mendasar bangsa
Indonesia. Keberadaan wilayah tanah air Indonesia yang terdiri dari
bagian pulau-pulau, kemudian juga terdapat beragam suku, etnis,
budaya, adat, latar belakang sejarah, serta agama dan kepercayaan,
hal ini juga dapat memungkinkan terjadinya perbedaan pandangan,
cara hidup, bahkan sampai kepada perbedaan cita-cita dan tujuan.
Maka untuk mempersatukan seluruh keragaman bangsa Indonesia
ini memerlukan suatu konsep yang dapat menjamin dalam
merekatkan persatuan bangsa dan terhadap persoalan ini
memerlukan suatu konsep dasar yang harus dipedomani oleh
seluruh komponen bangsa.101

99
Thomas T. Pureklolon, Nasionalisme Supremasi Perpolitikan Negara,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018), hlm. 9-10. Dengan dasar pemikiran
tersebut juga kemudian Soekarno mengusulkan lima asas untuk negara Indonesia
merdeka. Kelima asa itu adalah: kebangsaan Indonesia, Internasioanalisme atau
peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan.
Kelimanya kemudian disempurnakan menjadi Pancasila yang saat ini dikenal.
100
Subhan Sophian, Asep Sahih Gatera, Pendidikan Kewarganegaraan
(Civic Education), Cet. 1 (Bandung: Fokusmedia, 2011), hlm, 30.
101
Kholid O. Santosa, Paradigma Baru Memahami Pancasila dan
UUD 1945, Sebuah Rekonstruksi Sejarah atas: Gagasan Dasar Negara RI,
Konsensus Nasional dan Demokrasi di Indonesia, (Yogyakarta: SEGA ARSY,
63
Persatuan nasional tersebut menjadi cita-cita bangsa
Indonesia yang terus digelorakan serta dijaga bersama dan dalam
memperjuangkan ke arah persatuan nasional ini juga menjadi
persoalan bangsa yang sangat serius dan sudah pasti memiliki
berbagai kendala dan hambatan, hal ini dikarenakan keragaman
yang ada di Indonesia sangat rawan ke arah perpecahan. Terhadap
hal tersebut konstitusi Indonesia sangat penting untuk menjaga
persatuan dalam suatu kehidupan kenegaraan. Maka persatuan
nasional menjadi dasar kehidupan bangsa Indonesia. Dalam
Pancasila, “Persatuan Indonesia” menjadi salah satu sila yang
mencantumkan sebagai sebuah konsep dasar kehidupan berbangsa
dan bernegara, yaitu sebagaimana yang tercamtum dalam sila
ketiga. Konsep persatuan tersebut diimplimentasikan lagi melalui
lambang dasar negara “bhinneka tunggal ika”, yang mengandung
pengertian bahwa meskipun bangsa Indonesia terdiri dari beraneka
ragam suku, budaya, bahasa, agama, dan lain sebagainya, tetapi
merupakan bangsa yang memiliki tujuan dan cita-cita yang sama.102
Dengan mengkonstruksi negara menuju persatuan bersama,
para pendiri bangsa kemudian mendefinisikan negara sebagai
sebuah kerangka universal yang menyangkut berbagai sistem nilai
yang partikuler termasuk agama, kelas sosial, etnis dan golongan.
Dengan meletakkan negara sebagai pemersatu, Soekarno
memandang kondisi kemajemukan dan keragaman bangsa
Indonesia sebagai “kondisi alamiah” yang secara generik
mendasari semua masyarakat sebelum sebuah negara bangsa
dibangun. Bung Hatta juga memandang bahwa Indonesia bukan
negara agama, sehingga pendirian bangsa Indonesia harus mampu
mengakomodasi identitas-identitas kultural dan antropologis
segenap komponen bangsa yang telah lama tumbuh dan
berkembang. Terhadap pandangan kedua pendiri bangsa tersebut
sebagaimana ditunjukkan dalam Sidang BPUPKI yang
menunjukkan bahwa kerukunan, rasa kebangsaan dan persatuan
dalam berbangsa hanya dapat tumbuh dan tegak serta terbina jika
setiap entitas partikuler agama bersukarela mendahulukan konsep
bangsa dan rasa kemanusiaan.103

2005), hlm. 101.


102
Kholid O. Santosa, Paradigma Baru Memahami Pancasila dan
UUD 1945,... hlm. 102.
64
Dalam rangka memperkuat rasa persatuan Indonesia,
menjadi penting bagi setiap penyelenggara negara dan
pemerintahan untuk memahami landasan ideal, landasan
konstitusional, dan landasan konseptual kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia untuk menjadi acuan dasar dalam
pengelolaan hak beragama dan berkeyakinan. Pertama, landasan
ideal, Pancasila merupakan landasan ideal dalam menjalankan
kehidupan nasional dan menjadi landasan dasar bagi seluruh
komponen bangsa untuk mencapai cita-citanya. Di dalamnya
tercantum tujuan dasar negara Indonesia, yaitu melindungi segenap
tumpah darah bangsa Indoinesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia.
Kedua, Dalam Pancasila, maka sila “persatuan Indonesia”
mengandung prinsip nasionalisme, cinta bangsa dan tanah air;
menggalang terus persatuan dan kesatuan bangsa. Nasionalisme
adalah syarat mutlak bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup
suatu bangsa dalam abad modern sekarang ini, sebab tanpa
perasaan nasionalisme sesuatu bangsa akan hancur bahkan akan
terpecah dari dalam. Nasionalisme Pancasila mengharuskan bangsa
Indonesia untuk sedapatmungkin menghilangkan penonjolan
kesukuan, keturunan ataupun perbedaan warna kulit.

103
Ahmad Nurcholish, Merajut Damai dalam Kebinnekaan, (Jakarta:
Kompas Gramedia, 2017), hlm. 48-49.
65
BAB IV
GAMBARAN UMUM PEMIKIRAN NASIONALISME
YUDI LATIF

A. Konsep Nasionalisme Yudi Latif


Berbicara tentang konstruksi pemikiran nasionalisme dalam
kerangka pemikiran Yudi Latif, ada baiknya penulis terlebih dahulu
menjelaskan konstruk bangsa dan negara menurut Yudi Latif.
Dalam sebuah kegiatan ‘halaqah’ yang dilaksanakan oleh MAARIF
Institute pada tahun 2007, Yudi Latif mencoba menjelaskan tentang
konsep dasar ‘negara-bangsa’. Menurut Yudi Latif, bangsa (nation)
merupakan suatu konsepsi bersifat kultural tentang suatu komunitas
yang diimajinasikan sebagai entitas dari suatu kerabat (kinship)
yang biasanya diikat oleh suatu kemampuan self-rule. Sedangkan
‘negara’ (state) merupakan suatu ‘konsepsi politik’ tentang sebuah
entitas politik yang tumbuh berdasarkan kontrak sosial yang
meletakkan individu ke dalam kerangka kewarganegaraan
(citizenship).
Berdasarkan kerangka tersebut, menurut Yudi Latif individu
dipertautkan kepada suatu unit politik (negara) dalam kedudukan
yang memiliki kesederajatan di hadapan hukum. Dengan kata lain,
bangsa beroperasi atas prinsip yang disebut dengan kekariban.
Sedangkan negara beroperasi atas prinsip hukum dan keadilan.
Konsepsi negara-bangsa mengisyaratkan perlu adanya suatu
keserasiaan (congruency) antara bangsa sebagai ‘unit kultural’
dengan negara sebagai ‘unit politik’. Inti persoalan pada tataran ini,
Yudi Latif bertanya; bagaimana menemukan bangun dan jiwa
kenegaraan yang memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan
keragaman kebangsaan.104
Berbicara tentang bangsa dan negara, ada baiknya penulis
juga menjelaskan sebagaimana yang disampaikan oleh tim penulis
buku pendidikan kewarganegaraan. Untuk memahami pengertian
‘bangsa’, ada dua teori yang perlu dipahami, pertama, teori
objektif. teori ini menjelaskan bangsa adalah sesuatu yang
terbentuk karena adanya persamaan bahasa, ras, suku bangsa,
agama, dalan lain sebagainya yang bersifat entitas. Teori ini
104
Yudi Latif, “Tafsir Sosiologis atas Piagam Madinah”, dalam Islam,
HAM, dan Keindonesiaan, Refleksi dan Agenda Aksi untuk Pendidikan Agama,
(Jakarta: MAARIF Institute dan nzaid, 2007), hlm. 25.
66
dikemukakan oleh Hans Khon, antropolog etnis berkebangsaan
Jerman, menurutnya bangsa adalah sesuatu yang berbentuk
berdasarkan faktor asal keturunan, ras, etnis, bahasa, agama dan
wilayah. Kedua, adalah teori subjektif. Teori ini berpendapat
bahwa bangsa adalah sesuatu yang berbentuk berdasarkan faktor
jiwa, yaitu adanya kehendak untuk hidup bersama. Tokoh teori ini
adalah Ernest Renan, yang menurutnya ‘bangsa’ adalah suatu jiwa
(azas kerohanian), suatu solidaritas besar, suatu hasil dari sejarah
(sejarah itu berkembang tapi bukan sesuatu yang abadi) dan suatu
faktor bahasa, etnis, wilayah dan ras bukan menyebab timbulnya
bangsa, wilayah memberi ruang di mana bangsa dapat hidup,
sedangkan manusia membentuk jiwa. Berdasarkan hal ini semua
Renan berkesimpulan bahwa bangsa adalah suatu jiwa, yaitu
adanya kehendak untuk hidup bersama.105
Sedangkan negara adalah suatu oreganisasi kekuasaan atau
organisasi kewibawaan yang harus memehuni suatu unsur tententu,
yaitu harus ada pemerintah yang berdaulat, wilayah tertentu dan
rakyat yang hidup dengan teratur sehingga merupakan suatu
rangkaian nation (bangsa). Berdasarkan pengertian tersebut, secara
hakikatnya negara adalah berupa suatu organisasi. 106 Secara lebih
lengkap sebagaimana dijelaskan oleh Ahmad Sadzali, ‘negara’
sebagai organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan
tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat, kelompok sosial yang
menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di
bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai
kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan
nasionalnya.107
Pada sisi yang lain, Yudi Latif dalam memahami negara-
bangsa, mencoba berangkat dari pemikiran Nurcholish Madjid.
Apalagi sebagian umat Islam menurut Yudi Latif mengalami
kejumudan berpikir, sehingga perlu pencerahan agar pemikiran
umat Islam menjadi tercerahkan. Sebagaimana dijelaskan oleh
Yudi Latif, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa cikal-bakal
105
Tim Dosen Kewarganegaraan, Pendidikan Kewarganegaraan,
(Medan: Agustus 2004), hlm. 8-9.
106
Tim Dosen Kewarganegaraan, Pendidikan Kewarganegaraan..., hlm.
9-10.
107
Ahmad Sadzali, Relasi Agama dan Negara, Teokrasi-Sekuler-
Tamyiz, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, 2018), hlm. 2.
67
pertumbuhan konsepsi negara-bangsa modern justru disemai oleh
Rasulullah saw., di Negara Madinah. Negara-bangsa adalah suatu
gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh komunitas
bangsa. Pengertian “bangsa” atau “nation” itu dalam bahasa Arab
sering diungkapkan dengan istilah “ummah’ (ummatun, umat),
sedangkan konvergensi seluruh komunitas bangsa ke dalam suatu
kesatuan politik dan tatanan hidup bersama disebut umat-umat
bersatu (umam al-Muttahidah).108
Berdasarkan pemahaman tersebut, menurut Yudi Latif,
“negara-bangsa’ merupakan negara untuk seluruh umat, yang
didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang juga
menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka
antara pihak-pihak yang mengadakan suatu kesepakatan ketika
hendak mendirikan atau sudah menjadi sebuah negara. Adapun
tujuan dari “negara-bangsa” adalah untuk mewujudkan maslahat
umum, suatu konsep tentang kebaikan yang meliputi seluruh warga
negara tanpa kecuali.109
Dalam konteks Indonesia, bagi Yudi Latif, kesadaran
nasional serta terhadap pembentukan kesatuan kebangsaan, sudah
menjadi bagian dari reaksi terhadap keberadaan negara kolonial
yang asing. Perjuangan rakyat Indonesia pada negara terjajah, pada
awal mulanya diorientasikan dalam rangka untuk mempersiapkan
serta membentuk negara dalam negara, perjuangan tersebut untuk
sebuah tujuan agar dapat menghilangkan kata-kata “Belanda” dari
108
Yudi Latif, “Tafsir Sosiologis atas Piagam Madinah”, hlm. 21.
Menurut Yudi Latif, Madinah yang dibangun Rasulullah merupakan sebuah
entitas politik berdasarkan pengertian tentang negara-bangsa (nation-state), yaitu
negara untuk seluruh umat atau warga negara, demi masalat bersama(common
good). Sebagaimana termuat dalam Piagam Madinah, ‘negara-bangsa’ didirikan
atas dasar penyatuan seluruh kekuatan masyarakat menjadi bangsa yang satu
(ummatan wāẖidah) tanpa membeda-bedakan antara kelompok-kelompok
keagamaan yang ada. Maka ditegaskan bahwa kaum Yahudi Bani ‘Awf,
misalnya, adalah satu ummah (satu bangsa) bersama kaum beriman, dalam hal
ini ialah para pengikut Nabi saw., demikian pula kaum Yahudi dari kelompok-
kelompok lain, yang satu persatu disebutkan dalam Piagam Madinah. Bahwa
kaum Yahudi punya hak sepenuhnya atas agama mereka dan kaum Muslim juga
memiliki hak sepenuhnya atas agama mereka. Antara sesama warga terjalin
hubungan saling mengingatkan dan memberi nasehat dengan baik, bebas dari
berlaku curang, sebuah social contract atas dasar kejujuran dan kebajikan.
Semua warga Madinah mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam hal
biaya kemasyarakatan dan kenegaraan, terutama dalam bidang pertahanan.
109
Yudi Latif, “Tafsir Sosiologis atas Piagam Madinah”, hlm. 21.
68
istilah “Hindia Belanda”. Kehendak untuk mengganti negara
Kolonial Hindia Belanda (yang kemudian bernama Indonesia)
itulah yang mendorong awal mula timbulnya kesadaran
Nasionalisme Indonesia.
Untuk menggantikan Negara Kolonial dengan Negara
Hindia (Indonesia), pada mulanya dicoba dengan membentuk
komunitas bayangan (imagined) berdasarkan sebuah konsep;
ethnonationalism atau cultural nationalism. Cultural nationalism
merupakan konsep kebangsaan yang memandang bahwa
kemanusiaan secara inheren diorganisasikan ke dalam komunitas
historis yang masing-masing diwarnai oleh kekuatan uniknya
sendiri, melalui ekspresi kekhasan budaya, berbasiskan pada
persada alamiah (nilai lokal) dan tata pemerintahan yang khas,
seperti Budi Utomo dengan kesamaan etnis Jawa, dan Syarikat
Islam (SI) dengan sentimen keagamaan.110
Nasionalisme Indonesia merupakan cita-cita yang sangat
rasional. Kaum inteligensi Indonesia mengintroduksi gagasannya
dengan idealismenya sendiri. nasionalisme yang tumbuh bukan
sekedar keinginan untuk hidup bersama saja, melainkan keinginan
adanya demokrasi, pluralisme, otonomi, dan kemandirian. Tugas
awal nasionalisme untuk mencapai kemerdekaan agar berhasil
dicapai, bukan omong kosong belaka. Tetapi nasionalisme
mengemban tugas yang tak kalah beratnya yakni mewujudkan cita-
cita kemerdekaan itu sendiri. Sebagaimana dikatakan oleh
Soekarno kemerdekaan adalah suatu “jembatan emas” untuk
mencapai cita-cita kebangsaan Indonesia modern. Tugas
nasionalisme berikutnya adalah melestarikan dan merawat cita-cita
kemerdekaan.111
Berkenaan dengan Madinah Nabi saw., Robert N. Bellah,
seorang sosiolog Amerika, menyebutkan bahwa yang merupakan
contoh pertama penerapan nasionalisme modern yang berupa
sistem masyarakat Madinah masa Nabi saw., dan para khalifah
yang menggantikannya. Bellah mengatakan bahwa national
community building than might be imagined atau suatu contoh
bangunan komunitas nasional modern yang lebih baik dari yang

110
Yudi Latif, Nasionalisme, Modul Pendidikan dan Pelatihan..., hlm
53.
111
Muhammad Umar Syadat Hasibuan, Revolusi Politik Kaum Muda,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 284.
69
dapat dibayangkan. Komunitas tersebut disebut “modern” karena
dilakukan secara terbuka bagi pastisipasi bagi seluruh anggota
masyarakat dan juga karena adanya kesediaan para pemimpin
untuk dapat menerima penilaian berdasarkan kemampuan yang
dimilikinya. Hal ini ditandai oleh pencopotan nilai kesucian atau
kesakralan dalam memandang suku atau kabilah, sehingga dengan
pencopotan itu tidak dibenarkan untuk menjadikan suku atau
kabilah sebagai tujuan pengkudusan dan eksklusivisme. Lebih jauh,
Bellah juga menyebut bahwa sistem Madinah sebagai sebuah
bentuk nasionalisme yang egaliter partisipasif (equalitarian
participant nationalism).112
Menurut Yudi Latif, pada saat ini, konsepsi tentang
kebangsaan, kenegaraan, dan kewargaan sudah bergerak lebih jauh
lebih konpleks daripada pada masa Rasulullah saw., namun
semangat yang dilakukan oleh Rasulullah di Madinah yang
menjamin keterbukaan, kesederajatan, kebebasan dan sikap
solidaritas kewargaan masih tetap aktual dilaksanakan, apalagi
seperti Indonesia yang penduduknya sangat pluralitas tentu masih
aktual untuk dipraktekkan. Untuk itu bangsa Indonesia tidak perlu
gundah dengan pluralitas kebangsaan Indonesia, keragaman tidak
selamanya berakhir dengan pertikaian, di samping itu juga negara
Indonesia tidak perlu haru seragam kebangsaan, apalagi
keseragaman belum tentu menjadi ukuran untuk terjadinya
kedamaian dan kesejahteraan. Pada kenyataan ini, Yudi Latif
mencontohkan apa yang terjadi dengan pengalaman negara Inggris
dan Perancis.113 Keberlangsungan sebuah negara tergantung
bagaimana negara tersebut menegakkan prinsip-prinsip supremasi
hukum, keamanan, ketertiban dan keadilan. Dalam negara seperti
Inggris dan Perancis, hak-hak dan kewajiban politik pada
umumnya tidak diikatkan kepada kelompok (etnis, agama atau

112
Yudi Latif, “Tafsir Sosiologis atas Piagam Madinah”, hlm. 23.
113
Menurut Yudi Latif, orang-orang dari Britania Raya apabila ditanya;
‘what is your nationality?’, maka jawabannya boleh jadi adalah English, Wales,
Scotish atau bahkan Irish. Namun jika ditanya, ‘what is your citizdenship?’,
maka jawabannya adalah British. Demikian juga Perancis, karena negara
Perancis merupakan hasil pengambilalihan dari bekas kerajaan (dunasty state)
maka seluruh penduduk di wilayah bekas jajahan Perancis mempunyai hak untuk
menjadi warganegara Perancis. Dengan demikian, negara Perancis dihuni oleh
warga negara dengan imajinasi kebangsaan yang beragam. Singkat kata, suatu
negara dengan banyak bangsa bukanlah suatu yang mustahil.
70
status group yang lain) melainkan kepada individu sebagai warga
negara yang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.114
Bagi Yudi Latif, hakikat kebangsaan Indonesia adalah
“nations in nation” yang mencerminkan adanya ‘keragaman dalam
kesatuan’ dan ‘kesatuan dalam keragaman’. Maka keindonesiaan
itu muncul sebagai sebuah refleksi dari adanya kehendak bersama,
pelbagai gugus bangsa, untuk bersatu karena musuh bersama atau
demi kesejahteraan bersama. Pilihan pada negara kesatuan yang
sentralisasi kekuatan yang eksesif membawa konsekuwensi
melemahnya partisipasi partisipasi dan otonomi sebagai bantalan
vital kehendak bersama. Transformasi ke arah desentralisasi
pengelolaan negara merupakan solusi terhadap masalah tersebut.
Substansinya adalah melakukan gotong royong dengan melibatkan
otoritas lokal dalam manajemen sumber daya ekonomi, sumber
daya politik, dan sumber daya kultura. Desentralisasi secara
horizontal sangat perlu diikuti dengan demokratisasi secara
vertikal. Reformasi pengelolaan negara diperlukan untuk
mendorong pembentukan formasi sosial baru yang berbasis
kewarganegaraan dengan memperjuangkan keadilan reditribusi
sumber daya ekonomi, politik, dan kultural bagi seluruh warga
negara.115
Berdasarkan hasil wawancara IB Times.Id, Yudi Latif,
menjelaskan tentang nasionalisme. Menurut Yudi Latif, hingga kini
masih ada sebagian kalangan Muslim di Indonesia yang antipati
terhadap nasionalisme. Mencintai tanah air sendiri malah dianggap
sebagai bentuk kemusyrikan. Padahal, konsep nasionalisme
memiliki landasan historis pada masa Rasulullah Saw ketika
membina komunitas Madinah. Bahkan, komunitas Madinah yang
multikultural itu menjadi embrio konsep nasionalisme modern.
Secara sederhana, nasionalisme itu suatu paham kewargaan yang
tidak didasarkan pada kesamaan agama atau etnisitas, tetapi karena
kesapakatan-kesepakatan konsensus yang menyangkut aturan-
aturan kehidupan bersama. Jadi, nasionalisme itu pada dasarnya
suatu pengelompokan politik yang tidak didasarkan pada kesamaan
etnis atau agama, tetapi kehendak untuk bersatu atas dasar

114
Yudi Latif, “Tafsir Sosiologis atas Piagam Madinah”, hlm. 24-25.
115
Yudi Latif, “Tafsir Sosiologis atas Piagam Madinah”, hlm. 26.
71
konsensus bersama demi kebahagiaan dan kesejahteraan hidup
bersama.116
Terhadap perkembangan nasionalisme itu sendiri, Yudi
Latif membagi perkembangan nasionalisme kepada tiga tahap dan
Indonesia saat ini berada pada fase atau tahap nasionalisme
modern. Adapun tiga tahap nasionalisme yang dimaksud oleh Yudi
Latif adalah: Pertama, fase nasionalisme purba (archaic
nationalism). Yaitu, pada tahap ketika pembentukan kelompok-
kelompok politik sebagai respon terhadap kolonialisme. Pergerakan
atau pengelompokan politik awal ini melalui institusi pesantren
atau surau. Institusi tersebut yang menjadi tempat orang berkumpul
untuk disuplai agama. Maka sebenarnya basis pertahanan terhadap
kolonialisme diorganisasikan oleh komunitas-komunitas agama.
Itulah yang terjadi dengan Perang Diponegoro, Perang Padri,
116
https://ibtimes.id/yudi-latif-ummatan-wahida-embrio-nasionalisme-
modern/, diunduh pada tanggal, 12 Mei 2021. Terhadap perkembangan
nasionalisme dalam dunia Islam ini, menurut Yudi Latif, secara sederhana,
nasionalisme itu suatu paham kewargaan yang tidak didasarkan pada kesamaan
agama atau etnisitas, tetapi karena kesapakatan-kesepakatan konsensus yang
menyangkut aturan-aturan kehidupan bersama. Jadi, menurut Yudi Latif,
nasionalisme pada dasarnya suatu pengelompokan politik yang tidak didasarkan
pada kesamaan etnis atau agama, tetapi kehendak untuk bersatu atas dasar
konsensus bersama demi kebahagiaan dan kesejahteraan hidup bersama. Bentuk
dasar dari pembentukan nasioanlisme di dunia Islam adalah dasar pembentukan
nation ini sebenarnya ada dalam tradisi Nabi Muhammad di Madinah.
Komunitas Madinah itu suatu entitas atau suatu komunitas politik yang tidak
didasarkan atas agama Islam saja, tetapi di situ ada Yahudi, Kristen Nestorian,
juga berbagai macam suku seperti Aus, Khazraj, dan lain-lain. Meskipun
berbeda-beda, tetapi mereka membentuk satu umat bersama, namanya ummatan
wahidaha, yang kemudian mengikat kontrak sosial dalam bentuk Piagam
Madinah. Jadi, konsep umat dalam konteks awal tradisi nabi asosiasinya tidak
hanya umat Islam saja, tetapi Yahudi, Kristen, suku Aus, Khazraj, juga dikatakan
sebagai umat. Semua yang mengikat kontrak bersama itu disebut sebagai umat.
Sebenarnya, konsep umat ini merupakan cikal-bakal dari pembentukan konsepsi
sebuah bangsa dalam pengertian modern. Cikal bakal pengertian bangsa dalam
pengertian modern berasal dari dalam Islam. Boleh dibilang, Piagam Madinah
adalah konstitusi awal dalam sejarah umat manusia. Berbeda dengan pengalaman
bangsa-bangsa Eropa, kecenderungan agama mereka monolitik, Kristen dan
Yahudi. Bahkan, Yahudi tidak punya mengalaman kehidupan multikultural. Nah,
Muhammad Saw sebagai pembawa zaman ketika hadir di Madinah, di sana
sudah ada agama Yahudi dan Nasrani yang multikultural. Boleh dibilang, cikal
bakal dari konsepsi bangsa modern berasal dari tradisi Islam di Madinah ini.
Konteks tradisi Islam di Madinah ini menemukan padanannya dengan konteks
Indonesia ketika didirikan.
72
Perang Banten. Itulah cikal bakal dari pembentukan nasionalisme
purba ketika pengelompokan politiknya masih terbatas pada
lokalitas tertentu, dalam batas etnis tertentu, digerakkan oleh para
ulama atau tokoh Islam.117
Pada tahap nasionalisme purba ini, walaupun masyarakat
Indonesia dalam kondisi terjajah dan mengalami pemiskinan
bersama memberi prakondisi ke arah persatuan, bangkitnya
kesadaran kebangsaan Indonesia tidak muncul secara seketika.
Kesadaran nasionalisme muncul secara perlahan (gradual)
mengikuti struktur kesempatan politik yang dimungkinkan oleh
rezim kolonialisme, perkembangan secara komunikasi, dan
kapasitas jaringan sosial (agency) dalam mempertautkan elemen-
elemen sosial ke dalam suatu kolektivitas. Sebagian wilayah
kepulauan Indonesia juga merupakan wilayah taklukan Belanda,
wilayah yang ditaklukkan juga tidak langsung dipersatukan dalam
suatu kesatuan administrasi kolonial. Usaha pengintegrasian secara
intensif baru dilakukan pada paruh kedua abad ke-19 menyusul
kepentingan rezim liberal untuk melakukan ekspansi modal yang
menuntut adanya dukungan birokrasi dan jaringan komunikasi
dalam jangkauan luas.118
Secara perlahan perlawanan bangsa Indonesia terhadap
penjajah semakin berkembang seiring berkembangnya watak
administrasi (kolonial) dan komunikasi. Ketika wilayah-wilayah
belum dipertautkan ke dalam kesatuan administrasi kolonial dan
perlawanan juga belum menemukan konteks komunikasi bagi
penyebarluasan gagasan secara luas dan perlawanan juga masih
terbatas pada lokalitas-lokalitas tertentu. Namun demikian, adanya
interaksi melalui jaringan perdagangan, jaringan kekuasaan serta
jaringan keagamaan antarpulau membuat perlawanan lokal bisa
saling mempengaruhi satu sama lain. Ketika kolonialisme
menancapkan kuku-kukunya di pelbagai wilayah nusantara, reaksi
pribumi untuk melakukan perlawanan difasilitasi, diberi isi dan
tujuan oleh komunitas-komunitas keagamaan. Komunitas-
komunitas agama menjadi simpul pemberontakan politik sepanjang
abad ke-19. Gerakan-gerakan perlawanan berbasis etno-religius

117
https://ibtimes.id/yudi-latif-ummatan-wahida-embrio-nasionalisme-
modern/, diunduh pada tanggal, 14 Juni 2021.
118
Yudi Latif, Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2019), hlm 272.
73
inilah menurut Yudi Latif yang memberi dasar bagi munculnya
kesadaran “nasionalisme purba” (archanic nationalism). Suatu
bentuk kesadaran nasionalisme “negatif” (defensif) dalam skala
terbatas yang pada umumnya dibangkitkan dengan menggunakan
simbolisme dan jaringan keagamaan yang berimpitan dengan
entitas.119
Kedua, fase proto-nationalism atau nasionalisme tua. Fase
ini ditandai ketika institusi-institusi pendidikan sudah tumbuh, baik
yang didirikan oleh rezim kolonial maupun yang didirikan oleh
organisasi-organisasi keislaman modern. Di sini dapat dilihat
komunitas-komunitas Islam juga menjadi basis asosiasi
perkumpulan modern ini. Mereka adalah lulusan-lulusan
pendidikan modern Belanda yang tidak mau berkerjasama dengan
rezim kolonial karena memperjuangkan kemerdekaan. Biasanya,
organisasi yang menjadi tempat bernaung para intelektual pribumi
ini bersifat independen, baik secara ideologis tidak mau
berkolaborasi dengan Belanda, atau secara ekonomi tidak
tergantung pada basis-basis ekonomi kolonial, seperti Kauman,
Kretek, batik. Industri-industri awal yang digerakkan oleh
komunitas-komunitas muslim menjadi basis pembentukan gerakan
yang lebih modern, terstruktur, seperti Syarekat Islam,
Muhammadiyah, dan lain-lain. Radius pergerakannya lebih luas,
sampai luar kepulauan. Di situlah Islam memainkan peran
penting.120
Fase ini dimulai akhir abad ke-19 yang merupakan babak
baru dalam perkembangan kesadaran nasionalisme di tanah air.
Kemenangan sayap liberal yang didukung pengusaha swasta dan
kelas menengah, di Belanda sejak 1848, membawa perubahan
penting bagi kebijakan kolonial di negeri jajahan. Dalam rangka
melindungi modal swasta untuk menguasai tanah, buruh dan
perluasan usaha di tanah jajahan, pihak kolonialis melakukan
perbaikan infrastruktur dan layanan birokrasi demi untuk kesatuan
ekonomi dan administrasi kolonial. Selanjutnya pihak kolonial juga
memberikan perhatian kepada urusan pendidikan, walaupun usaha
pendidikan mengandung sebuah dilema. Satu sisi penting
untukmendukung ekonomi-politik industrialisasi dan birokratisasi
119
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 289
120
https://ibtimes.id/yudi-latif-ummatan-wahida-embrio-nasionalisme-
modern/, diunduh pada tanggal, 14 Juni 2021.
74
dan pada sisi lain pendidikan mengandung ancaman potensial bagi
‘kepercayaan mistis’ mengenai superioritas kolonial dan dilema ini
dipecahkan dengan membangun pendidikan yang didasarkan pada
prinsip segredasi etnik dan hierarki status. Sifat dari kebijakan awal
dalam pendidikan di Hindia adalah anti-asimilasi, elitis dan
dualistik.121
Pada fase ini juga, sekolah mulai didirikan dengan
keterbatasan-keterbatasannya, sekolah disediakan berdasarkan
bentuk statusnya, sehingga pada waktu itu dikenal dengan Sekolah
Pribumi Kelas Satu dan Sekolah Pribumi Kelas Dua. Pemerintah
Kolonial juga mendirikan sekolah kejuruan (vakscholen) untuk
memenuhi staf teknis, mendirikan sekolah khusus untuk pribumi
Kristen, didirikan juga sekolah pelatihan guru pribumi
(kweekschool). Mendidirkan sekolah Dokter-Djawa di Menteng
(Jakarta) untuk keperluan tenaga medis semi-terampil, terutama
untuk pelayanan kesehatan bagi para pekerja perkebunan.
Pemerintah Kolonial juga membuka sekolah Hoofdensholen untuk
tenaga pegawai sipil pribumi yang terlatih atau dikenal juga
sebagai ‘Sekolah raja’. Indroduksi sekolah-sekolah bergaya Barat
ini membawa dampak signifikan bagi pertumbuhan elit baru di
Hindia dan secara keseluruhan telah melahirkan prototipe ‘manusia
baru’ (homines novi) yang membentuk pegawai negeri sipil dan
inteligensia abad ke-20. Bagi embrio inteligensia ini, seraya
bergerak dari pinggir dunia kolonial dan feodal menuju pusaran
mesin birokrasi modern, menempati peran-peran baru, hal ini
berarti mengubah kehidupan mereka. pendidikan mengubah
mereka mengalami proses “belajar tak langsung” yang
menghasilkan kekuatan refleksi diri untuk menilai seberapa jauh
mereka melangkah maju.122
Dalam kondiri itu, menurt Yudi Latif persoalan bagaimana
mengejar kemadjoean menjadi wacana yang dominan di kalngan
bibit inteligensia yang baru mundul ini. Sampai akhir abad ke-19,
peran para guru dalam mempromosikan wacana kemadjoean sangat
menonjol, setidaknya karena dua alasan. Pertama, profesi guru
hingga masa ini menghimpun porsi terbesar dari orang-orang
pribumi berpendidikan terbaik, dan sebagai para pendidik, mereka
merasa terpanggil untuk mengemban misi suci untuk mencerahkan
121
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 290-291.
122
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 291-292.
75
saudara-saudara sebangsanya. Kedua, fakta bahwa profesi guru
kurang dihargai dibandingkan posisi administratif sudah
menstimulasi mereka untuk menjadi artikulator dari konsep
kemadjoean dalam rangka menjadikannya sebagai tolok ukur baru
dalam menentukan privilese sosial.
Artikulasi gagasan kemadjoean dari bibit kaum inteligensia
akhir abad ke-19 ini dimungkinkan oleh kehadiran secara
embrional ruang publik modern di Hindia, ruang publik yang
dimaksud adalah domain tempat wacana dan opini publik
diekspresikan serta tempat kegiatan-kegiatan intelektual dan politik
diaktualisasikan. Bibit-bibit kelahiran ruang publik modern di
Hindia dimungkinkan oleh dampak ikutan dari penerapan ekonomi
liberal. Untuk melayani gaya hidup kaum urban serta potensi pasar
dan kepentingan untuk mengiklankan produk-produk usaha, para
pengusaha Eropa terdorong untuk mendirikan perusahaan pers dan
klub-klub sosial bergaya Eropa, yang kemudian ditiru oleh orang-
orang keturunan China dan kemudian oleh inteligensi bumiputra
yang pada akhirnya mampu menciptakan ruang publiknya
sendiri.123
Sejak tahun 1860, fokus utama perhatian pemerintah adalah
pada bahasa Melayu. Selama paruh kedua abad ke-19, pihak
Belanda menetapkan dan menjalankan kebijakan standarisasi
bahasa Melayu yang dianggap ‘benar’ dan ‘asli’ dengan membuat
kamus-kamus bahasa Melayu. Meluasnya penggunaan bahasa
Melayu pasar ini diperkuat oleh pengenalan usaha kapitalisme
percetakan. Ketika ekonomi liberal menyentuh sektor media massa,
tertimbangan akan potensi pasar dan persepsi akan kesederhanaan
dan fleksibilitas dari bahasa Melayu ‘rendah’ secara pelan
membuat bahasa Melayu pasar menjadi bahasa pengantar utama
jurnalisme dan pada tataran inilah akhirnya wacana tentang
kemadjoean dan kesadaran politik kaum pribumi pada akhirnya
mendapatkan medium artikulasinya. Sejalan dengan kemadjoean,
maka berkembang pesatlah embrio klub-klub pribumi yang bersifat
lokal sebagai ruang alternatif bagi aksi-aksi bersama, hal ini juga
diilhami oleh keberadaan klub-klub orang Belanda dan keturunan
China dan klub-klub pribumi juga beredar diseputar isu

123
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 292-294.
76
kemadjoean, baik untuk menunjukkan gaya hidup maupun untuk
meningkatkan pengetahuan dan pendidikan para anggotanya.124
Gerakan kemajuan di dalam negeri secara internasional
terpaut dengan perkembangan baru di bidang komunikasi dan
transportasi yang mendorong peningkatan arus masuk dan keluar
Nusantara. Peningkatan arus orang naik haji ke Mekkah membuat
koloni Muslim dari Nusantara dan sekitarnya pada akhiir abad ke-
19 merupakan koloni terbesar dan paling aktif di Mekkah. Dalam
pandangan Hurgronje yang tinggal di Mekkah pada tahun
1884/1885: “jarang ada bagian dari dunia Muslim mana pun di
mana proposisi antara jumlah penduduk dan orang naik haji setiap
tahunnya yang lebih tinggi daripada kepulauan Malaya”.
Konvergensi beragam Muslim dari Nusantara ini menciptakan
suatu identitas kolektif berdasarkan kesamaan geokultural.
Kesadaran akan identitas bersama ini membentuk komunitas
pengetahuan Islam (Islamic ecumenism) yang khas,yang dikenal
dengan koloni Jāwah (Ash-hab al-Jawiyyin). Koloni ini berpusat
pada sosok ulama yang reputasinya diakui, selain sebagai penasihat
keagamaan, ulama ini juga menghasilkan banyak tulisan
keagamaan dan menjadi referensi utama bagi pemikiran-pemikiran
Islam di Hindi. Terbentuknya koloni Jawah dengan kesadaran akan
kesamaan identitas bersama ini menjadi jantung yang
memompakan kesadaran “kebangsaan Islam” di tanah air.125
Selain dipengaruhi oleh gagasan reformisme (purifikasi)
Islam yang sudah bangkit sejak abad ke-17, jaringan ulama
internasional di Mekkah dan Madinah pada akhir abad ke-19
terpengaruh oleh gelombang baru yaitu modernism Islam.
Modernisme Islam merupakan ideologi dari para elit baru di dunia
Muslim yang peduli dengan pembaharuan negara dan masyarakat
melalui jalan pengadopsian metode-metode, kemajuan-kemajuan
saintifik, dan teknologi modern namun dengan tetap
mempertahakan Islam sebagai basis kulturan dan kekuasaan dan
masyarakat. Di Mesir, modernisme Islam menghasilkan arah
kecenderungan yang khas di tangan generasi baru ulama Al-Azhar.
Satu sisi akademi Al-Azhar yang telah berusia tua masih tetap
menjadi sebuah pusat belajar yang prestisius bagi mahasiswa lokal

124
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 294-296.
125
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 296-297.
77
dan asing, di sisi lain menguatnya pengaruh peradaban Barat di
Mesir waktu itu, terutama setelah dikuasai Inggris sejak 1882.
Ulama Mesir mencoba memadukan konsep “reformisme
Islam” dari generasi ulama terdahulu dengan konsep “modernisme
Islam” seperti yang diformulasikan oleh intelektual Muslim yang
terdidik secara modern dan hasil dari sintesis ini lahirnya
“reformisme-modernisme Islam”, dengan tokoh utamanya adalah
Muhammad Abduh (1849-1905) di bawah bendera Pan-Islamisme
dengan gerakan salafiya dan gagasan itu cepat beredar ke Afrika
Utara dan Timur Tengah dan mencapai jantung haramain pada
abad ke-19. Hingga pada akhir abad ke-19 telah muncul embrio
inteligensia produk sekolah bergaya Barat dan embrio “ulama-
intelek” yang sudah bersentuhan dengan gagasan modernisme
Islam.126
Terhadap perkembangan Islam di Timur Tengah, akibat
penjajahan Barat di Indonesia, ide Pan-Islamisme dan modernisme
Islam telah membangkitkan semangat baru di tanah air. Secara
perlahan juga terpengaruh ke tanah air melalui pengadopsian mata
pelajaran dan metode pembelajaran modern ala Al-Azhar yang
kemudian diperkenalkan du dunia surau dan pesantren. Dengan
demikian telah muncul embrio inteligensia produk sekolah bergaya
Barat dan embrio “ulama-intelek” yang telah bersentuhan dengan
gagasan modernisme Islam. Kondisi ini tak begitu lama, dengan
munculnya perkembangan baru. Trayek kemajuan ini diperkuat
oleh kebijakan “Politik Etik” menyusul kegagalan dan dampak
negatif dari perekonomian liberal di tanah jajahan yang memberi
kemenangan kepada Partai Kristen Belanda pada pemilu 1901 dan
rezim Politik Etis dimulai dengan ditandai oleh pidato Ratu
Wilhemina pada penghujung tahun yang mengemukakan “utang
budi” dan tanggung jawab etis negeri Belanda kepada rakyat
Hindia. Di bawah Politik Etis, pendidikan, irigasi dan transmigrasi
menjadi prioritas dari program kesejahteraan. Dari tiga program itu,
pendidikan dianggap sebagai hal yang paling esensial127
Pengembangan pendidikan selanjutnya terus digalakkan,
mulai dengan diberlakukan pendidikan secara khusus kepada para
bangsawan pribumi oleh pemerintahan Hindia, pendidikan yang
lebih dasar dan praktis yang diperuntukkan bagi kalangan yang
126
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 298-299.
127
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 299-300.
78
lebih luas sampai memperluas pendidikan dan meningkatkan tarap
pendidikan hingga ke level universitas. Mengajarkan bahasa-
bahasa Eropa serta pengiriman secara selektif anak-anak keluarga
bangsawan untuk belajar ke negeri Belanda, sekolah-sekolah
kemudian ditingkatkan ke level selanjutnya, seperti sekolah
Dokter-Djawa menjadi STOVIA (school tot opleiding van
inlandsche artsen), sekolah pegawai sipil pribumi diangkat menjadi
OSVIA (opleidingscholen voor inlandsche ambtenaren) dan
sekolah-sekolah ditingkatkan.
Para pendukung modernisme juga mulai membuka
madrasah yang mengombinasikan kurikulum pendidikan Islam
tradisional dan sekolah-sekolah modern. Selanjutnya muncul pula
kaum inteligensia dan golongan “ulama-intelek” sebagai strata
terdidik yang memiliki status dan identitas kolektifnya tersendiri, di
luar orbit priyayi lama dan masyarakat Eropa dan di bawah
pengaruh pendidikan modern mentalitas kaum inteligensia menjadi
kosmopolitan. Penguasaan bahasa Eropa oleh mereka, lahirnya
industri penerbitan menjadikan mereka untuk membuka kunci
‘republik susastra’ semesta sebagai gudang pengetahuan dan
informasi termaju pada zamannya. Hal ini pula memberikan
mereka kepercayaan diri untuk melepaskan diri dari orbit
feodalisme bangsawan tua dengan membentuk komunitas baru.
Sebutan bagi ‘bangsawan ‘tua’ ialah ‘bangsawan oesoel’ dan bagi
bangsawan ‘muda’ yang berpendidikan baru ialah ‘bangsawan
pikiran’. Istilah ini diperkenalkan oleh Abdul Rivai, seorang
lulusan sekolah Dokter-Djawa yang berhasil melanjutkan sekolah
ke Belanda sebagai editor majalah Bintang Hindia.128
Istilah bangsawan pikiran segera digemakan oleh para
jurnalis Hindia dan menjadi slogan generasi pertama inteligensia
yang berasosiasi dengan gerakan kemadjoean. Selanjutnya lahir
istilah kaoem moeda sebagai ‘semua orang Hindia (muda dan Tua)
yang tidak mau lagi mengikuti atoeran koeno dan menyemangati
diri dengan ilmu pengetahuan. Istilah kaoem moeda menjadi
semakin luas yang merepresentasikan sebuah entitas kolektif dari
mereka membagi suatu titik kebersamaan untuk memperbaharui
masyarakat Hindia melalui jalur kemajoean. Pada awal abad ke-20
mulai didominasi lulusan dari STOVIA yang merupakan level
pendidikan tertinggi yang di Hindia hingga dua dekade pertama
128
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 301-302.
79
abad ke-20. Lahirlah tokoh-tokoh seperti Wahidin Sudiro Husodo,
Abdul Rivai, Tirto Adhi Surjo, Tjipto Mangunkusumo, Suwandi
Surjaningrat, dan Sutomo.
Selanjutnya di bawah kaoen moeda untuk meraih
kemajoean ini, kaum inteligensia dan “ulama-intelek” mulai
mengembangkan organisasi, institusi sosial-edukasi serta mulai
mengembangkan media komunikasi sendiri yang kemudian
memberi angin bagi kemunculan gerakan-gerakan kemajoean
pribumi. Pada tahun 1906, gerakan kemajoean muncul di kalangan
“pemuda melayu” di Sumatera Barat yang dipimpin Datuk Sutan
Maharadja, seorang bangsawan dan jurnalis Padang. Kemudian
Tirto Adhi Surjo memelopori berdirinya Sarekat Prijaji di Batavia
pada 1906 yang dipicu oleh keluhan kalangan bangsawan mengenai
kesejahteraan kaum pribumi yang bertujuan untuk meningkatkan
pendidikan bagi anak-anak priyayi. Pada tahun 1907 muncul
mingguan berbahasa Melayu di Batavia, Medan Prijaji yang
kemudian menjadi artikulator kesadaran proto-nasionalisme di
kalangan orang-orang pribumi Hindia.129
Pada 20 Mei 1908 berdiri Budi Utomo di Batavia,
perhimpunan ini lahir terinspirasi oleh kemenangan Jepang atas
Rusia (1905) dan karena adanya berbagai diskriminasi yang
berlangsung dalam kehidupan kolonial. Pada tahun 1915 lahir
perhimpunan Bond van Studeerenden van Java en Madoera, Tri
Koro Darmo yang pada tahun 1918 diubah namanya menjadi Jong
Java (pemuda Jawa) dengan tujuan dapat merekrut pemuda-
pemuda Sunda dan Madura dengan tujuan menyatukan para pelajar
pribumi di sekolah-sekolah menengah dan institusi-institusi
kejuruan, untuk memperluas pengetahuan dan membangkitkan rasa
persaudaraan. Pada tahun 1925 berdiri Jong Islamieten Bond.
Manivestasi dari adanya kesadaran kemudian muncul beragam
perhimpunan pemoeda-peladjar dengan mengikuti garis etnis dan
agama mereka, seperti Jong Sumatranen Bond (1917), Jong
Celebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar Rukun (1919) dan
lainnya. Terhadap kelahiran ini semakin menambah sifat
keragaman dari kesadaran proto-nasionalisme di Hindia.130
Dalam ranah media, kaoem moeda Islam menerbitkan pers
vernakular dengan tulisan huruf Jawi yang dapat dibaca oleh
129
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 303-306.
130
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 207-309.
80
khalayak Hindia secara luas. Terispirasi oleh majalah Al-Imam di
Singapura, maka terbitlah majalah Al-Munir pada 1911 yang
kemudian terinspirasi oleh pelbagai gerakan Islam di Nusantara.
Dalam ranah perhimpunan sosial, lahirlah Sarekat Dagang Islamiah
(SDI) di Bogor yang dirintis oleh Tirto Adhi Surjo. Kelahiran SDI
ini kemudian juag diikuti dengan kelahiran perhimpunan lainnya,
seperti Djaja Upaja di Batavia, tsamaratul Ikhwan di Sumatera
Barat, Baji Minahasa di Makassar, dan Setia Usaha di Surabaya.
Tujuan kelahiran perhimpunan ini adalah untuk memajukan
kesejahteraan, pendidikan, dan solidaritas Muslim/pribumi dengan
menggunakan identitas Islam sebagai perekat sosial dan untuk
memajukan ajaran dan praktek ke-Islam-an yang benar sebagai
pembimbing hidup.
Pada 1912 lahirlah Muhammadiyah dan Sarekat Islam (SI).
Muhammadiyah didirikan oleh Achmad Dachlan dengan dukungan
ulama-pedagang lokal, para pemimpin Budi Oetomo setempat, dan
para pelajar sekolah guru pribumi. Muhammadiyah berorientasikan
memperkuat persatuan dan kekuatan Islam dalam menghadapi
aktivitas-aktivitas kolonialisme dan misionaris Kristen melalui
strategi “peniruan secara taktis”. Muhammadiyah mendirikan
jaringan madrasah di Yogyakarta hingga kemudian berkembang ke
berbagai daerah. Sarekat Islam lebih berfokus ke advokasi ekonomi
dan politik. SI didirikan oleh H. Samanhudi, seorang pedagang
batik lokal yang berlatar belakang sekolah pribumi yang dibantu
oleh Tirto Adhi Surjo dalam merumuskan stututa perhimpunan.
Dengan pertumbuhan pengikut yang demikian cepat,
kepemimpinan SI segera beralih ke tokoh inteligensia
Tjokroaminoto. SI kemudian orientasi mengarah ke advokasi
umum terhadap hak-hak ekonomi dan sosio-politik dari masyarakat
pribumi secara luas. Pergeseran itu berdasarkan pernyataan
Tjokroaminoto, “de Islam is de gogsdiesnst van de armen en de
verdrukten”, Islam adalah agama kaum miskin dan yang
tertindas.131
SI mulai menunjukkan kecendrungan radikalnya setelah
tahun 1915 karena pengaruh propagandis Maexisme yang
menyusup di organisasi tersebut. Bahkan cabang-cabang SI di kota
dinamis seperti Semarang (Darsono), Jakarta (Alimin dan Musso),
dan Surakarta/Solo (H. Micbach), dengan cepat tertarik kepada
131
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 309-317.
81
ajaran komunis. Di bawah pengaruh Marxisme-Komunisme para
pemuda radikal mulai mengkritik politik kooperatif SI dan
menyerukan kepada pemimpin untuk mengambil jalur radikal.
Karena merasa SI sudah disusupi, beberapa pemimpin yang lain
seperti Agoes Salim dan Abdul Muis, segera menghidupkan Islam
sebagai sebuah ideologi tandingan dan satu-satunya identitas dari
SI. Munculnya anasir-anasir Marxisme dalam kesadaran proto-
nasionalisme menyingkap adanya varian ketiga dari gerakan kaoem
moeda yakni kaoem moeda berorientasi sekuler yang merusaha
melandaskan kemadjoean pada nilai-nilai sekuler dengan
membebaskan dirinya dari identitas adat-kesukuan dan
keagamaan.132
Ketiga, fase nasionalisme modern. Menurut Yudi Latif,
pada tahun 1920-an, pengelompokan dan imajinasi masa depan
bangsa ini tidak terbatas pada etnis dan etno-religius. Boedi
Oetomo itu masih sebatas nasionalisme etnis Jawa. Syarekat Islam
juga masih ada unsur-unsur Islam, sekalipun ada juga anggotanya
yang non muslim. Tetapi memasuki tahun 1920-an, bangsa
Indonesia memiliki nama baru yang menjadi semacam impian
semua komunitas yang berserak, yaitu Indonesia. Melalui Sumpah
Pemuda, muncul satu paham nasionalisme modern di mana
kehendak untuk bersatu tidak hanya terbatas pada etnis, agama,
lokalitas tertentu. Dalam konteks nasionalisme modern, banyak
juga aktor-aktor intelektualnya dari tokoh-tokoh Islam. Misalnya
Soekarno. Soekarno belajar politik dari Tjokroaminoto dan aktif di
Syarekat Islam. Soekarno juga ikut berbagai pengajian
Muhammadiyah. Bahkan, ketika mendirikan PNI, Soekarno masih
berstatus sebagai editor di majalah Syarekat Islam. Ada lagi tokoh
Mohammad Hatta yang keturunan ulama. Sebenarnya, aktivis-
aktivis nasionalisme modern banyak disuplai dari tokoh-tokoh
intelektual Islam.133
Pada awal tahun 1920, arus utama dalam opini publik
Belanda beranggapan bahwa para intelektual Hindia yang progresif
merupakan pengacau ketertiban publik di negeri jajahan, untuk
mengekang ketidakpatuhan itu, rezim rust en orde (ketenteraman
dan ketertiban) semakin dipertegas oleh pemerintahan kolonial.
132
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 318-320.
133
https://ibtimes.id/yudi-latif-ummatan-wahida-embrio-nasionalisme-
modern/, diunduh pada tanggal, 14 Juni 2021.
82
Sepanjang tahun 1920-1940-an, media massa disensor ketat, rapat-
rapat umum dikontrol oleh mata-mata, dan tokoh-tokoh politik
terkemuka ditangkap dan diasingkan. Maka, kehadiran ruang
publik modern yang masih belia itu pun segera “terpenjara” oleh
sangkar besi dari rezim rust en orde. Kontrol politik ini juga
memburuk pada masa penjajahan Jepang (1942-1945). Pemerintah
militer Jepang melarang setiap diskusi atau organisasi yang
berkaitan dengan politik atau pemerintahan di Hindia. Pengetatan
ini mengakibatkan organisasi-organisasi politik yang muncul
sebelum Perang Dunia II dengan segera lenyap dari ruang publik.134
Menurut Yudi Latif, perkembangan tersebut telah merubah
struktur peluang politik dan tradisi ruang publik, hal ini
memunculkan ide-ide yang mengarah kepada formasi “Indonesia”
sebagai sebuah komunitas imajiner bersama dan pada akhirnya
mengarah pada terbentuknya pelbagai tradisi politik intelektual.
Pada masa selanjutnya mulai muncul renca pembentukan ideologi
hal ini dibuktikan dengan perubahan dan bakitnya gerakan
identitas-identitas politik. Segera muncul beragam tradisi politik
yang berpusat di seputar gugus inteligensia dan “ulama-intelek”,
yang prinsip dasarnya bersumber dari perbedaan dalam jaringan
intelektual, tingkat keterbukaan terhadap peradaban Barat, basis
kultural dan sosio-ekonomi, dan orientasi politiknya. Selama masa
pra-pendudukan Jepang, setidaknya terbentuk 6 (enam) tradisi
politik intelektual utama, yaitu; tradisi reformis-modernis Islam,
tradisi tradisionalis Islam, tradisi komunis, tradisi “nasionalis”
(nasionalis-tradisonalis), tradisi “sosialis” (nasionalis-moderenis),
dan tradisi Kristen (baik Protestan maupun Katolik), tradisi yang
lain muncul pasca-penjajahan Jepang, yakni tradisi militer.135
Sepanjang perbedaan tradisi politik intelektual itu semua
dipersatukan oleh kehendak bersama untuk memerdekakan diri dari
kolonialis, maka rentang waktu 1920-1945 merupakan periode
ketika gagasan mengenai nasionalisme politik dan negara Indonesia
diperkenalkan dan dinegosiasikan di antara pelbagai kelompok
inteligensia. Pada periode ini, inteligensi berpendidikan tinggi
memainkan peranan dalam kepemimpinan pergerakan politik-
kebangsaan, meneruskan peran yang sebelumnya dimainkan oleh
mereka yang berlatar sekolah guru.
134
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 322-323.
135
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 324.
83
Selama kurun waktu itu, para mahasiswa Indonesia semakin
bertambah, sejak 1922, para mahasiswa Indo-Malaya di Kairo
mulai mendirikan perhimpunan mahasiswa Djama’ah Al-Chairiah
Al-Talabiyah Al-Azhariyah Al-Djawah, yang lebih populer dikenal
Djama’ah Al-Chairiyah. Tujuannya untuk memajukan
kesejahteraan sosial dari para mahasiswa Indo-Malaya di Mesir dan
pada tahun 1925 perhimpunan ini berubah diri dengan mengadopsi
pandangan-pandangan yang lebih radikal, kritis, baik terhadap
kolonialisme Belanda maupun Inggris. Berdirinya universitas di
Bandung pada tahun 1920 Technische Hoogeschool (Sekolah
Tinggi Teknik) yang tujuan awalnya untuk menghasilkan insinyur
sipil bagi proyek-proyek irigasi dan konstruksi sipil dan pada 1924
pemerintah mengambil alih institut itu dan menglolanya sebagai
sebuah lembaga milik pemerintah. Pata tahun 1924 berdiri Sekolah
Tinggi Hukum yang tujuannya meningkatkan kebutuhan personil
medis yang tidak dapat dipenuhi lagi oleh Belanda. Pada tahuan
1927 berdiri Sekolah Tinggi Kedokteran di Batavia.136
Menurut Yudi Latif, tahun-tahun berikutnya, sikap dan
semangat nasionalisme pemuda Indonesia semakin memuncak, hal
ini disemai sejak tahun 1910-an, yaitu dengan kedatangan tiga
serangkai pemimpin IP, yaitu Dauwes Dekker, Suwandi
Surjaningrat dan Tjipto Mangunkusumo sebagai tahapan politik
pada 1913 yang membuat haluan perhimpunan perlahan bergeser
dari orientasi kultural ke politik. Pada 1916 perhimpunan ini
menerbitkan majalah Hindia Poetra sebagai medium untuk
memperdebatkan isu-isu politik di Hindia. Mereka juga
mempertautkan beragam unsur pergerakan dan memandang perlu
adanya konsepsi kebangsaan baru yang dapat mengatasi pelbagai
perbedaan agama, etnis, dan ideologi. Konsepsi kebangsaan baru
memerlukan kode baru yang terbebas dari bias kolonial, dalam
semangat inilah mereka menyadari bahwa istilah “(East) Indie”
(India/Hindia-Timur) tidak lagi tepat, bisa ambigu, bisa saja ada
yang beranggapan dengan “India” (British India) dan sebutan itu
merupakan konstruksi kolonial. Pada akhirnya menemukan kode
konsepsi kebangsaan baru dengan menggunakan istilah
“Indonesia”.137
136
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 325-328.
137
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 330. Menurut Yudi Latif,
istilah “Indonesia” (indunesians) dalam studi etnologi dan antropologi, untuk
84
Yudi Latif melanjutkan, penemuan Indonesia sebagai kode
kebangsaan baru dipertautkan dengan visi kemerdekaan Indonesia
dan hal ini sangat didukung oleh Mohammad Hatta (1902-1980).
Terjadinya perdebatan tentang ideologi negara, antara inteligensia
Muslim dan komunis tidak dapat terjembatani, bahkan menurut
mahasiswa yang mengeyam pendidikan sekuler menganggap tidak
sesuai Islam sebagai ideologi negara tidak bersesuaian dengan
habitus dan alam kehidupan mereka. dengan menolak ideologi
Islam dan komunisme serta nasionalisme kesukuan sebagai basis
bagi Indonesia merdeka, PI sampai pada sampai pada sebuah
konsepsi ideologi yang baru yang menekankan keutamaan
pencapaian kemerdekaan politik terlebih dahulu dan PI tidak ada
maksud untuk mengesampingkan persoalan-persoalan sosio-
ekonomi. Menurut konsepsi PI tujuan kemerdekaan politik haruslah
didasarkan pada empat prinsip, yaitu; persatuan Indonesia,
solidaritas, nonkooperasi, dan kemandirian.138

menamai suatu gugus geobudaya di sepanjang India “kepulauan” (nesos dalam


bahasa Yunani, nusa dalam bahasa Melayu), sebagai suatu entitas tersendiri yang
dapat dibedakan dari India darata. Istilah “Indonesia” pertama kali diperkenalkan
dalam bentuk “Indunesians” oleh seorang sarjana Inggris, George Windsor Earl
pada tahun 1850. Pada mulanya istilah ini merupakan etnografis untuk
melukiskan suatu rumpun ras Polinesia yang mendiami kepulauan India, atau ras
kulit sawo matang dari kepulauan India. Dalam perkembangannya, penggunaan
ini diteruskan oleh rekannya, James Richardson Logan, tidak dalam artian
etnografis melainkan dalam artian geografis. Istilah ini menjadi terkenal setelah
dipakai oleh seorang etnolog Belanda terkemuka, Adolf Bastian dalam karyanya
pada 1884-1894. Penggunaan istilah “Indonesia” dalam kaitan spesifik dengan
Hindia Belanda dimulai pada 1910-an. Hatta pernah berkata (1928), “bagi kami,
Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena Indonesia melambangkan dan
mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya, tiap
orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya. Baca:
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 330-331
138
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 333-334. Menurut Yudi Latif,
persatuan nasional berarti keharusan untuk menyingkirkan perbedaan-
perbedaan partikular dan kedaerahan, dan membentuk sebuah front perjuangan
bersatu melawan Belanda. Solidaritas berarti menghapuskan perbedaan-
perbedaan di antara rakyat Indonesia dan lebih menghiraukan konflik-konflik
kepentingan antara pihak penjajah dan rakyat yang terjajah, dan konflik ini dapat
disimbolkan dalam kerangka ras (orang kulit coklat dengan orang kulit putih).
Nonkooperasi berarti keharusan untuk mencapai kemerdekaan melalui usaha-
usaha bangsa Indonesia sendiri karena pihak Belanda memang tidak akan pernah
mau memberikannya secara sukarela. Hal ini mengharuskan penolakan terhadap
gagasan koperasi (kerjasama) dengan pihak Belanda, seperti keikutsertaan dalam
85
Bangsa Indonesia juga memebentuk blok nasional sebagai
sebuah blok historis yang menekankan pada pertautan dari
keragaman yang dapat melibatkan semua kesatuan bangsa
Indonesia. Hingga suatu waktu anggota PI menadari pentingnya
untuk membangun sebuah partai persatuan nasional yang baru
sebagai badan nasional, yaitu para kaum nasionalis yang radikal
dan semua aliran politik dapat bergabung. Komunikasi antara para
aktivis PI dengan aktivis mahasiswa di Tanah Air juga menjadi
katalis bagi pembentukan pelbagai study club di Indonesia.
Studieclub yang petama berdiri adalah Indonesische Studieclub
(ISC) tahun 1924 di Surabaya oleh Sutomo yang baru pulang dari
Belanda pada 1923 yang bertujuan untuk memajukan kesadaran
akan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan untuk memajukan rasa
tanggung jawab sosio-politik di kalangan orang Jawa yang
berpendidikan Barat. Selanjutnya menular dan berdiri di Surakarta,
Yogyakarta, Batavia, Semarang, dan Bogor. Namun yang paling
terkenal yang didirikan di Bandung (1926) yaitu Algemene
Studieclub (ASC).
Sebagaimana halnya aktivis mahasiswa di luar negeri yang
terobsesi dengan ide blok nasional, Soekarno dan aktivis lainnya di
Hindia, pada tahun 1926 menulis esai dalam majalah milik ASC,
Indonesia Moeda, dengan judul “Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme” yang mengidealkan sintesis dari ideologi-ideologi besar
tersebut demi terbangunnya blok nasional. Langkah lebih jauh
dalam membentuk blok nasional adalah pendirian Perhimpunan
Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) pada 1926. PPPI ini berkembang
pesat dan memiliki banyak anggotanya bahkan dapat menyatukan
beragam perhimpunan pemuda-pelajar. Pada saat bersamaan hadir
ISC mengirimkan sekretarisnya R,P. Singgih (mantan aktivis PI)
untuk mempromosikan pendirian dan penyatuan studiesclub
melalui perjalanan keliling Jawa, pada akhirnya tahun 1926 di
Bandung, organisasi pemuda pelajar, serta organisasi-organisasi
sosial-politik (BU,SI< Miuhammadiyah, Pasundan) membentuk
“Komite Persatuan Indonesia”. Perkumpulan ini pada akhirnya

keanggotaan volksraad. Kemandirian berarti keharusan untuk membangun


sebuah struktur nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum alternatif yang
berakar kuat dalam masyarakat pribumi yang sejajar dengan struktur
pemerintahan kolonial.
86
bersepakat untuk mengadakan Kerapatan (Kongres) Pemuda
Indonesia pertama pada 30 April-2 Mesi 1926 di Jakarta.139
Suatu langkah besar akhirnya terbentuknya dua
perhimpunan politik, yaitu berdirinya Perserikatan Nasional
Indonesia (PNI) pada Juli 1927 yang memiliki tujuan untuk
mencapai Indonesia merdeka, dan berdirinya Permufakatan
perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI)
pada Desember 1927 yang berusaha untuk menciptakan kesadaran
nasionalisme seluruh Indonesia. Kehadiran PNI dan PPPKI
menjadi rangsangan untuk mengadakan Kongres Pemuda Indonesai
II. Di pimpin oleh PPPI, kongres ini diadakan pada 26-28 Oktober
1928 dan menghasilkan tonggak sejarah dengan lahirnya Sumpah
Pemuda. Pada 25 Desember 1928 dilaksanakannya Kongres
Perempuan Indonesia dan setelah kongres itu perubahan radikal
terjadi, oleh Siti Soendari dengan berani menyatakan bahwa bahasa
Indonesia sebagai bahasa ibu pertiwi dan terhadap itu semua
menjadi sebuah simbol dari kuatnya komitmen kebangsaan baru.140
Pada titik tersebut, maka menurut Yudi Latif, nasionalisme
politik tumbuh melalui proses transendensi ikatan warga dengan
simbol-simbol primordialnya. Dengan Sumpah Pemuda, kaum
muda dengan kesadaran baru menerobos kelembaban solidaritas
etno-religius melalui “penemuan” politik dan hingga awal abad ke-
20, Bahasa Melayu-indonesia tidak memiliki kata spesifik untuk
“politik”, tetapi lebih penting, pemuda-pelajar pada akhir 1920-an
mulai merumuskan konsepsi baru ideologi politik perjuangan.
Perjuangan politikuntuk menjelmakan suatu nation of citizen yang
dapat menyatukan pelbagai keragaman posisi, determinasi, dan
aliran kultural ke dalam suatu blok nasional, kebangsaan Indonesia.
Komitmen kebangsaan baru kaum muda ini terbukti tidak bertepuk
sebelah tangan. Peristiwa Sumpah Pemuda serta organisasi-
organisasi dari berbagai latar etnis-keagamaan mendorong untuk
mengintergrasikan dalam keindonesiaan dengan mencantumkan
kata “Indonesia” dalam namanya.
Sarekat Islam bermetamorfosis menjadi Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII) pada 1929. Budi Utomo bertransformasi
menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) pada 1935. Komunitas
Protestan mendirikan Partai Kaum Masehi Indonesia (PKMI) pada
139
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 336-338.
140
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 339-340.
87
1930, lalu muncul Federasi Perkumpulan Kristen Indonesia (FPKI)
tahun 1939. Komunitas Katolik mendirikan Persatuan Politik
Katolik Indonesia (PPKI pada 1938. Komitmen kebangsaan
Indonesia tidak hanya diartikulasikan melalui jalur politik,
melainkan juga melalui jalur kultural. Periode 1920-an/1930-an
memperlihatkan perkembangan kesadaran nasional dan kultural
dalam medan kesusasteraan.141
Menjelang pendudukan Jepang, Indonesia sebagai kode
kebangsaan baru telah ditemukan dan bahasa persatuan telah
diproklamirkan, pada akhirnya menentukan penguatan dan perluasa
kesadaran nasionalisme Indonesia yang mengarah pada perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Pendudukan Jepang, dengan
fokusnya pada usaha-usaha kemiliteran, menghadirkan penjajahan
yang lebih kejam dan menyengsarakan bangsa Indonesia. Akan
tetapi program kemiliteran berkembang menjadi ruang penempaan
nasionalisme Indonesia. Bagi Jepang organisasi-organisasi militer
yang dibentuknya, seperti Heiho dan Sukarelawan Pembela Tanah
Air (PETA) dan paramiliter, seperti Barisan Pelopor dan Hisbullah,
dibentuk sebagai sarana untuk merebut dukungan rakyat Indonesia
terhadap kepentingan perang Jepang. Namun bagi para pemimpin
nasionalis, organisasi-organisasi tersebut menjadi kendaraan untuk
mempersiapkan diri untuk kemerdekaan Indonesia.142

B. Perwujudan dan Penerapan Konsep Nasionalisme di


Indonesia Menurut Yudi Latif
Sebelum peneliti membicarakan tentang perwujudan dan
penerapan konsep nasionalisme di Indonesia, peneliti mencoba
menjelaskan terlebih dahulu tentang kondisi Indonesia saat ini dan
hal ini juga berdasarkan gambaran yang disampaikan oleh Yudi
Latif. Dalam penelitian Tesis Bakhtiar Yusuf menjelaskan bahwa
dalam banyak tulisannya, Yudi Latif selalu memberikan gambaran
dengan nada yang menggugat bahwa saat ini Indonesia sedang
dilanda krisis multidimensional. Sedemikian kronisnya krisis yang
melanda Indonesia sehingga kekhawatiran akan kegagalan
Indonesia sebagai bangsa di masa depan selalu menghantui.143
141
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 342-344.
142
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 345-347.
143
Bakhtiar Yusuf, Diskursus Islam dan Pancasila Sebagai Dasar
Negara Indonesia..., hlm. 255-256.
88
Berbicara tentang fenomena negara gagal, Bakhtiar Yusuf
mengutip tulisan Francis Fukuyama menjelaskan bahwa dalam
salah satu tulisannya menjelaskan bahwa salah satu faktor dari
kegagalan suatu negara adalah karena kelemahan pemerintah dalam
menjalankan fungsinya, terutama dalam fungsinya mengelola
pelbagai persoalan mendasar dari sebuah negara, seperti
pengelolaan sektor kesehatan, budaya, ekonomi, keamanan, serta
sektor-sektor penting lainnya. Dengan demikian, menurut
Fukuyama lemahnya negara merupakan suatu persoalan nasional
dan internasional yang paling utama. Kelemahan negara pada
puncaknya telah menciptakan pelbagai malapetaka kemanusiaan
dan hak asasi manusia selama tahun 1990-an di Somalia, Haiti,
Kamboja, Bosnia, Kosovo, dan Timor-Timur. Jika sudah menjadi
seperti ini, agenda untuk memperkuat negara semakin mendesak
untuk segera mungkin dilakukan.144
Menurut Yudi Latif, negara-bangsa Indonesia didirikan
dengan penuh harapan menjadi suatu bangsa yang benar-benar
merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. Dalam mewujudkan
semua harapan tersebut, bagi Yudi Latif diperlukan adanya usaha-
usaha pembangunan di bidang fisik dan pembangunan di bidang
nilai-kejiwaan secara berkesinambungan. Bagi Yudi Latif, lagu
Indonesia Raya dengan jelas selalu mengingatkan; “bangunlah
jiwanya, bangunlah badannya”. Kedua sayap pembangunan itu
tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, melainkan harus bergerak
serempak, selaras dan seimbang. Gerak laju pembangunan
Indonesia hingga saat ini dihadapkan pada tantangan yang sungguh
pelik. Pada satu sisi, bangsa Indonesia harus mengejar
ketertinggalan di bidang infrastruktur fisik, pertumbuhan ekonomi
dan produktivitas nasional. Pada sisi yang lain, bangsa Indonesia
juga harus menghadapi kerentanan sosial yang ditimbulkan oleh
krisis nilai dan fragmentasi sosial yang dapat menghambat
pembangunan fisik.145
Pada sisi yang lain lagi, Yudi Latif dalam setiap tulisannya
apakah dalam Jurnal, tulisan lepas atau kolom di dalam Surat
Kabar, atau dalam makalah-makalah seminarnya, selalu mengawali

144
Bakhtiar Yusuf, Diskursus Islam dan Pancasila..., hlm. 256-257.
145
Yudi Latif, “Reaktualisasi Pendidikan Pancasila: Sebuah Pengantar”,
dalam Pancasila dalam Praksis Pendirikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2019),
hlm. 18.
89
tulisannya dengan berbagai pertanyaan dan keresahannya terhadap
laju perkembangan negara Indonesia saat ini. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut mempertanyakan tentang gerak laju
pembangunan bangsa Indonesia yang penuh dengan ketimpangan
bahkan tanpa haluan. Terhadap hal ini, bangsa Indonesia boleh
bangga bahkan membangga-banggakan memiliki konsep ideologi
Pancasila dengan visi dan relevansi yang katanya aktual dengan
perkembangan zaman bahkan lintas batas. Namun, menurut Yudi
Latif operasionalisasi konsepsi Pancasila dalam penyelenggaraan
negara dan kehidupan berbangsa sepertinya kian jauh panggang
dari api.
Gerak politik Indonesia ke masa depan sekadar mengikuti
irama rutinitas. Tak ada kejelasan visi, peta jalan, dan bahkan
haluan negara. tak terbangun keandalan tata nilai, tata kelola, dan
tata sejahtera. Setiap saat kapal republik dapat dicegat dan
dibelokkan arahnya. Diskusi publik dilumpuhkan fiksi politik,
perwakilan bermutu disisihkan keterpilihan semu, pemerintahan
hukum dilumpuhkan oleh personalisasi kekuasaan. Untuk
mengeluarkan bahtera republik dari situasi limbung, sebuah negara
memerlukan strategi yang dapat menghubungkan secara
proporsional antara tujuan (ends) dan sarana (means), antara
aspirasi dan kapabilitas. Dalam usaha itu, menurt Yudi Latif bangsa
Indonesia perlu memulihkan kembali kejelasan dan keajekan visi,
yang memberi prinsip dan haluan direktif berjangka panjang, tanpa
harus kehilangan daya fleksibilitas untuk dapat merespons berbagai
ancaman dan perkembangan yang terus berubah. Jalan ke arah itu
semua adalah harus dimulai dari kejujuran untuk menerima
kenyataan.146
Menurut Yudi Latif, krisis multidimensional yang mendera
Indonesia merupakan krisis yang sungguh para terjadi, sehingga
mengalami kesulitan untuk diatasi hanya dengan mengandalkan
solusi-solusi yang sifatnya teknis dan partikuler. Krisis yang
melanda Indonesia ini, memiliki cakupan yang begitu luas dan
penetrasi yang mendalam ke seluruh penjuru kehidupan
masyarakat. Kondisi krisis seperti ini layaknya suatu zaman yang
penuh prahara dan keonaran, yaitu tak ubahnya zaman jahiliyah.
Kehidupan di zaman jahiliyah, menurut Yudi Latif dicirikan
146
Yudi Latif, “Pancasila dalam Perbuatan”, dalam Harian Kompas,
Kamis, 3 Juli 2021, hlm. 1.
90
dengan bertebarannya perilaku-perilaku hidup yang mengancam
dan mematikan kehidupan itu sendiri. dalam hal ini Yudi Latif
mengutip pendapat Mohandas K. Ghandi yang menyatakan ada
tujuh dosa sosial, yaitu politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja
keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani,
pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan peribadatan
tanpa pengorbanan. Situasi yang mereduksi pokok atau esensi
kehidupan, dari politik hingga agama tersebut, dapat diperhatikan
dari merebaknya perilaku korup dan hancurnya rasa saling percaya
antar warga negara. Hukum dan institusi tak mampu meredamnya.
Ketamakan dan hasrat mendulang kehormatan merajalela
mengakibatkan kematian dan pengasingan. Kehidupan bangsa
Indonesia yang sesungguhnya mencerminkan nilai-nilai moralitas,
diisi dengan praktik politik yang melulu mengejar kekuasaan
pribadi dibanding kebajikan bersama.147
Terhadap hal-hal disebutkan di atas, Yudi Latif
mengkhawatirkan dapat terjadinya disintegrasi bangsa dan
merosotnya nilai-nilai kebangsaan pada masyarakat Indonesia
khususnya. Menurut Yudi Latif, terhadap merosotnya dalam nilai-
nilai kebangsaan dan ketahanan ideologi dapat dilihat dari berbagai
hasil survei dan pengukuran. Indeks Ketahanan Nasional yang
disusun Labkurtannas, Lembaga Ketahanan Nasional,
mengindikasikan melemahnya ketahanan ideologi dan politik
dalam kurun tujuh tahun terakhir, yaitu antara tahun 2010 hingga
tahun 2016. Indeks ketahanan ideologi yang meliputi variabel
toleransi, kesederajatan dalam hukum, kesamaan hak kehidupan
sosial, dan persatuan bangsa, cenderung terus merosot dari skor
2,31 (pada tahun 2010) menjadi 2,06 (pada tahun 2016).148
Yudi Latif juga mengutip hasil survei Nilai-Nilai
Kebangsaan (SNK) oleh BPS 2015 yang merupakan survei pertama
sekali di Indonesia. Menurut survei tersebut, dari setiap 100 orang
Indonesia, 18 orang bahkan tidak tahu judul lagu kebangsaan
Republik Indonesia; 53% orang Indonesia tidak hafal seluruhnya
lirik lagu kebangsaan; 24 dari setiap 100 orang Indonesia tidak
hafal sila-sila dalam Pancasila; 42% orang Indonesia terbiasa

147
Yudi Latif, “Membumikan Etika Pancasila dalam Penyelenggaraan
Negara”, dalam Jurnal Digest Epistema Berkala Isu Hukum dan Keadilan Eko-
sosial, Volume 4/ Tahun 2013, hlm. 13.
148
Yudi Latif, “Reaktualisasi Pendidikan Pancasila..., hlm 19.
91
menggunakan barang bajakan; 55% orang Indonesia jarang bahkan
tidak pernah ikut kerjabakti. Menurut Yudi Latif, bila saat ini
kehidupan negeri meliputi kabut apatisme dan pesimisme, riuh
kegaduhan dengan miskin solusi, banyak gerakan jalanan tanpa
kejelasan arah yang benar, rasa saling percaya lenyap dalam
pergaulan, hukum disalahgunakan, kebaikan dimusuhi, kejahatan
diagungkan, sebab utamanya karena bangsa Indonesia mengalami
krisis nilai yang diakibatkan oleh keterbelakangan di bidang
pembangunan nilai.149
Bagi Indonesia, menurut Yudi Latif, tantangan global
bukanlah hal baru dan bukan juga yang terakhir, namun postur
geografis Indonesia tidak memungkinkan bagi Indonesia untuk
menutup diri. Dengan banyaknya pulau serta berada dalam
simpangan dunia, pengaruh dunia akan selalu mewarnai kehidupan
Indonesia dan Indonesia mengalami pematangan peradaban justru
ketika mengolah ragam pengaruh dunia. Makanya, lapangan
kebangsaan mengalami tantangan sebagaimana bangsa-bangsa lain
di dunia, misalnya post-truth (di mana opini dan persuasi jauh lebih
canggih dan penting daripada fakta), ketidakseimbangan global
termasuk akumulasi kekuatan pada aktor-aktor tertentu saja,
otomatisasi mengenai ketenagakerjaan dan jasa atas pilar ragam
rupa mesin dan komputasi, migrasi termasuk migrasi tenaga kerja
rendah dan pengungsi, potensi kegagalan negara yang membesar
termasuk lunturnya relevasi batas-batas geografi negara,
munculnya kripto-ekonomi, kerentanan keuangan global, dan
munculnya aktor-aktor yang tidak mudah didefinisikan. Menurut
Yudi Latif, untuk menghadapi tantangan ini, lapangan kebangsaan
tidak dapat direduksi hanya dengan membuat batas-batas baru dan
memperkuat batas-batas yang lama, melainkan dengan cara
mengolah sebuah kemampuan dan ekosistem yang mengahadirkan
nilai-nilai keindonesiaan, dan bagi Yudi Latif untuk menjawab
semua ini hanyalah ada pada Pancasila.150
Menurut Mohammad Yamin, Pancasila adalah sebagaimana
yang ia sampaikan dalam sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945, yang
berisi peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri

149
Yudi Latif, “Reaktualisasi Pendidikan Pancasila..., hlm. 19-20.
150
Yudi Latif, “Identitas Keindonesiaan dan Aktualisasi Pancasila bagi
Generasi Milenial di Era Digital”, dalam Jurnal Kajian LEMHANAS RI, Edisi
Maret 2018, hlm. 6-7.
92
kerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Menurut Soekarno,
sebagaimana ia sampaikan pada dihadapan sidang BPUPKI pada
tanggal 1 Juni 1945, Pancasila di samping berisi internasionalisme
atau peri kemanusiaan, mufakat atau bersifat demokrasi,
kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan, juga
Pancasila harus berisi nasionalisme atau kebangsaan Indonesia.
Sejarah Indonesia mencatat bahwa tokoh-tokoh yang telah menjadi
perumus dari Pancasila antara lain Mohammad Yamin, Soepomo,
dan Soekarno. Terdapat anggapan bahwa Pancasila itu sakti dan
selalu dapat bertahan dari guncangan kemelut permasalahan politik
yang selalu senantiasa terjadi di Indonesia.
Alasan pertama, secara intrinsik, Pancasila berisi toleransi.
Oleh karena itu, siapa saja yang menentang Pancasila, berarti telah
menentang toleransi yang terdapat dalam Pancasila. Kedua,
Pancasila merupakan suatu wadah yang cukup fleksibel, yang dapat
mencakup paham-paham positif yang dianut oleh bangsa Indonesia
serta juga paham lainnya yang bersifat positif. Hal ini juga
membuat Pancasila memiliki keleluasaan yang cukup untuk
mengembangkan diri. Ketiga, sila-sila yang terdapat dalam
pancasila terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat
positif dan sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Nilai
serta norma yang bertentangan dengan Pancasila pasti akan ditolak
oleh Pancasila.151 Dalam proses sejarah, terutama dari persidangan
BPUK dan PPKI, lahirnya Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara dan sebagai pandangan hidup (weltanschauung). Maka
dapat dilihat dari kebaruan sekaligus keberlanjutan dari rumusan
Pancasila. Maka Pancasila, secara keseluruhan mencerminkan cita-
cita emansipasi (lepas dari dunia lama) menuju kenyataan baru di
mana “bangsa, tanah air, bahasa persatuan” menjadi pemersatu atau
jalan nasionalisme bangsa Indonesia.152
Yudi Latif, dalam bukunya Wawasan Pancasila Bintang
Penuntun untuk Pembudayaan, menjelaskan panjang lebar tentang
visi dan misi negara Indonesia dengan tujuan negara Indonesia agar
dapat berjalan pada porosnya sebagai sebuah bangsa sebagaimana

151
Adji Nugroho dan Novi Fuji, Soekarno dan Tan Malaka Negarawan
Sejati yang Pernah Diasingkan, (Yogyakarta: Roemah Soekarno, 2020), hlm.
141-145.
152
Yudi Latif, “Identitas Keindonesiaan dan Aktualisasi Pancasila...,
hlm. 10-11.
93
yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa, sehingga menjadi
negara yang penuh keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Menurut
Yudi Latif, dalam rangka untuk merealisasikan visi negara
Indonesia merdeka, maka segenap elemen negara-bangsa harus
mengemban misi negara, hal tersebut sebagaimana tertuang dalam
alinea keempat Konstitusi Proklamasi. Pertama, “melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Kedua, “memajukan kesejahteraan umum”. Ketiga, “mencerdaskan
kehidupan bangsa”. Keempat, “ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan-
sosial”.
Adapun perwujudan visi dan misi negara, menurut Yudi
Latif adalah berangkat dari realitas sosio-historis Indonesia sebagai
masyarakat pasca-kolonial yang bercorak feodalistik, kapitalistik,
kolonialistik, dan imperealistik yang diskriminatif dan represif.
Oleh karena itu, proyek emansipasi dan cakupan transformasi
sosial dari visi negaranya bersifat multikompleks, dengan masing-
masing dimensi transformatif yang memiliki tujuannya masing-
masing.153 Pada tataran ini, Yudi Latif menjelaskan dengan jelas
tentang tujuan beberapa dimensi transformatif, yang antara lain;
1. Transformasi nasional, bertujuan untuk pembebasan nasional
dari segala bentuk imperealisme dan kolonialisme, juga
emansipasi nasional dari kungkungan ethno-nationalism (yang
eksklusif) menuju civic-nationalism (yang egaliter dan
inklusif) dan cosmopolitan-nationalism (yang menjalin
persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain), dalam rangka
membentuk sebuah bangsa yang benar-benar merdeka,
berdaulat, mandiri, dan bersatu.
2. Transformasi politi, bertujuan untuk perombakan mendasar
terhadap sistem politik feodalistik dan kolonialistik, menjadi
sistem politik demokratis-kerakyatan secara “terpimpin” oleh
hikmat-kebijaksanaan (Pancasila).
3. Transformasi ekonomi, bertujuan untuk penghapusan sistem
ekonomi kapitalistik-kolonialistik, menjadi sistem ekonomi
nasional yang merdeka, berkeadilan, dan berkemakmuran.
4. Transformasi sosial, bertujuan untuk penjungkirbalikan
struktur sosial masyarakat feodalistik dan kolonialistik yang
153
Yudi Latif, Wawasan Pancasila Bintang Penuntun untuk
Pembudayaan, (Jakarta: Mizan, 2020), hlm. 218.
94
bersifat diskriminatif, sama dapat-sama rasa, dengan semangat
persatuan nasional yang mengatasi kepentingan perseorangan
dan golongan.
5. Transformasi budaya, bertujuan untuk penghancuran berbagai
bentuk sisa-sisa kebudayaan feodalistik dan kapitalistik-
imperialistik, untuk digantikan dengan kebudayaan baru yang
lebih emansipatif, kebudayaan progresif yang sesuai dengan
kepribadian luhur bangsa Indonesia, dengan kekuatan
spiritualitas, pencerahan akal budi (logos), integritas etis, dan
etos kerja yang positif.154
Ketika bangsa Indonesia berkembang menuju fase
nasionalisme modern, diletakkanlah prinsip-prinsip dasar filsafat
sebagai suatu asas dalam hidup berbangsa dan bernegara. Temuan
bersama para founding fathers yang kemudian melakukan suatu
penyelidikan oleh badan BPUPKI, dalam rapat dilaksanakan pada
29 Mei 1945, pidato pembukaan tentang dasar negara dimulai oleh
Mr. Mohammad Yamin yang menyebutkan konsep lima dasar (peri
kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan,
dan kesejanteraan rakyat). Meskipun memiliki perbedaan
aksentuase dengan Soekarno (kebangsaan Indonesia,
internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi,
kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan) namun
keduanya memiliki prinsip yang sama.
Mohammad Yamin dan Soekarno, menekankan pada aspek
kebangsaan sebagai hal tertinggi dari seluruh nilai. Soekarno yang
baru menyampaikan gagasannya tiga hari setelah Mohammad
Yamin yaitu pada 1 Juni 1945. Bahkan sebelum itu, Muhammad
Hatta dan Soepomo lebih dahulu menyampaikan gagasan prinsip
ekonomi dan bentuk negara “Indonesia Baru”. Terhadap hal ini
dapat disimpulkan bahwa nilai Pancasila menjadi ruh dasar
(philosofische grondslag) bagi keberlanjutan nagara Indonesia yang
diperas dari, Renan pernah menyampaikan sebagai ‘pengalaman
menderita bersama’ (having suffered together) yang lebih bernilai
untuk mempersatukan ketimbang kesenangan yang pernah
dirasakan bersama. Sebuah semangat anti-kolonialisme dan
perbudakan dengan sebenar-benarnya dan seluas-luasnya. Prinsip-
prinsip dasar tersebut yang ditentukan oleh para pendiri bangsa
diangkat dari falsafah hidup atau pandangan hidup manusia bangsa
154
Yudi Latif, Wawasan Pancasila..., hlm. 218-219.
95
Indonesia, yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip
dasar filsafat negara yaitu Pancasila.155
a. Dinamika Politik Nasionalisme di Indonesia
Berbicara seputar dinamika politik nasionalisme di
Indonesia selalu saja menarik untuk diperbincangkan dan dikaji,
hal ini tidak saja dalam alam Indonesia merdeka, melainkan juga
dalam sejarah pergerakan kebangsaan negara Indonesia. Pada masa
kemerdekaan, masalah dinamika politik nasionalisme banyak
berkutat pada masalah dasar negara, yang menjadi topik terpenting
dalam sidang-sidang Konstituante tahun 1956-1959. Dalam pasa
pra-kemerdekaan ketika masa pendudukan Jepang juga
mengundang perdebatan pada tahun 1945, yaitu dalam sidang-
sidang BPUPK. Sementara itu, pada era pergerakan kebangsaan
pada zaman penjajahan Belanda, masalah tersebut telah muncul
dan mengemuka dalam dekade berdirinya Sarekat Islam.
Perdebatan yang terjadi pada era tersebut salah satunya dipicu
ketika pihak komunis mencoba untuk menguasai Sarekat Islam,
karena salah satu tokoh komunis yaitu Alimin yang pada saat itu
juga menjadi tokoh utama dalam Sarekat Islam berbalik arah untuk
mendukung PKI sekalis kemudian Alimin mengusulkan agar
Sarekat Islam diubah namanya menjadi Sarekat Hindia. Kemudian
unsur pemicu lainnya ketika golongan “kebangsaan” pada paruh
kedua tahun 1020 serta tahun 1930, hendak menekankan dasar
negara dengan semangat kebangsaan yang diberi jarak dengan cita
rasa keagamaan, dalam hal ini Islam.156
Menurut Yudi Latif, nasionalisme dalam perspektif teoritis
yang secara khusus dalam konteks Indonesia, kesadaran nasional
serta pembentukan kesatuan kebangsaan, hal ini merupakan suatu
reaksi terhadap keberadaan negara kolonial yang asing. Perjuangan

155
Kamaruddin Hasan, “Pancasila dan Arsitektur Negara Hukum
Indonesia. Pancasila: Solusi Problema Patologis Multidimensi Negara Bangsa
Indonesia”, dalam Jurnal Digest Epistema Berkala Isu Hukum dan Keadilan
Eko-sosial, Volume 4/2013, hlm. 29.
156
Deliar Noer, “Politik dan Islam: Suatu Pemikiran Kembali”, dalam
Deliar Noer, Islam dan Politik, (Jakarta: Yayasan Risalah, 2003), hlm. 67. Baca
juga: Bakhtiar Yusuf, Diskursus Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara
Indonesia: Studi Terhadap Pemikiran Yudi Latif melalui Critical Discourse
Analisys dan Implimentasinya bagi Pembentukan Islamic Good Governance,
Tesis pada Magister Ilmu Syari’ah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2019, hlm 97-98.
96
yang dilakukan oleh rakyat pada negara terjajah, awal mulanya
diorientasikan untuk membentuk negara dalam negara, dengan
tujuan untuk menghilangkan kata-kata “Belanda” dari istilah
“Hindia Belanda”. Atas dasar kehendak untuk menggantikan
negara kolonial Hindia Belanda dengan negara Hindia (yang
kemudian menjadi nama Indonesia) hal itulah kemudian dapat
mendorong timbulnya kesadaran nasionalisme Indonesia. Dan
untuk mengganti negara kolonial dengan negara Hindia
(Indonesia), pada mulanya dicoba dengan membentuk suatu
komunitas bayangan (imagined)157 berdasarkan konsep;
ethnonationalism atau cultural nationalism. Bagi Yudi Latif,
Cultural nationalism merupakan konsep kebangsaan yang
memandang bahwa kemanusiaan secara inheren diorganisasikan ke
dalam suatu komunitas historis yang masing-masing diwarnai oleh
kekuatan unitnya sendiri, melalui ekspresi kekhasan budaya,
berbasiskan pada persada alamiah (nilai lokal) dan tata
pemerintahan yang khas pula, seperti halnya Budi Utomo dengan
kesamaan etnis Jawa, dan Syarikat Islam (SI) dengan komitmen
keagamaan.158
Indonesia, menurut Yudi Latif menganut political
nasionalism di mana negara menjadi unsur pemersatu, akan tetapi
konsepsi kebangsaan Indonesia mengandung unsur kultural
nasionalism, yaitu adanya semangat untuk mempertahankan
warisan historis tradisi kekuasaan dan kebudayaan sebelumnya
sebagai kemajemukan etnis, budaya, dan agama. Hal ini tercermin
dari bayangan para pendiri bangsa (dalam BPUPKI) tentang patas-
157
Pada tataran ini, Yudi Latif mencoba memahami pembentukan
negara Indonesia berdasarkan pemikiran yang dilontarkan oleh Ben Anderson,
yaitu suatu konsep tentang negara-bangsa (nation state). Bangsa merupakan
konsep budaya tentang suatu komunitas politis yang secara keseluruhan
dibayangkan (iamagined) sebagai kerabat yang bersifat terbatas dan berdaulat.
Bayangan ini dapat saja muncul dikarenakan adanya kesamaan historis,
kesamaan mitos, kesamaan persada, kenangan sejarah, berbagi budaya publik
massa, ekonomi bersama, kesamaan hak-hak ilegal, dan kewajiban bersama bagi
semua anggota komunitas. Dalam komunitas politik modern, bayangan tersebut
menjelma menjadi negara-bangsa. Sedangkan makna negara (state) adalah
sebuah konsepsi politik tentang sebuah kesatuan politik yang berdaulat yang
tumbuh berdasarkan kesepakatan dan kontrak sosial yang meletakkan individu
ke dalam kerangkan kewarganegaraan (citizenship).
158
Yudi Latif, Nasionalisme, Modul Pendidikan dan Pelatihan..., hlm.
53.
97
batas teritori negara Indonesia merdeka yang menyatakan sebagai
keberlanjutan dari kekuasaan sebelumnya sebagaimana halnya
Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.159
Soekarno pernah menyatakan dalam pidatonya tentang asas
kebangsaan Indonesia. Indonesia menurut Soekarno, tidak hanya
terdiri dari etnis Jawa saja, tetapi juga Minang, Batak, Dayak, Bali,
Flores, Bugis, Minahasa, Ambon, Papua, peranakan Arab,
peranakan Tionghoa, peranakan Indo dan sebagainya. Rakyat
Indonesia terdiri dari berbeda-beda agama, ada yang Islam, Kristen,
Katolitk, Hindu, Budha, Konghucu dan berbagai aliran
kepercayaan lainnya. Kebiasaan, adat, tradisi, gaya hidup dan alam
pemikiran pun berlainan sifatnya. Berdasarkan itu semua, maka
menjadi jelas bahwa negara Indonesia merdeka tidak dapat
didirikan atas dasar persatuan dari berbagai macam perbedaan di
antara rakyat yang tinggal di nusantara. Oleh karena itu, Soekarno
mengusulkan dengan jitu, negara Indonesia merdeka harus
didirikan atas dasar kebangsaan.160
Pada sisi yang lain, menurut Yudi Latif, dalam konsep
Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat suatu pengakuan
terhadap hak-hak asal-usul dari daerah yang bersifat istimewa,
seperti tercantum dalam pasal 18 UUD 1945. 161 Beberapa daerah
159
Yudi Latif, Nasionalisme, Modul Pendidikan dan Pelatihan..., hlm.
54.
160
Panitia Peringatan Hari Lahir Pancasila, Kisah Pancasila, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, 2017), hlm. 57-58.
161
Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai Pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang”, artinya
negara Indonesia terdiri dari beberapa provinsi, kabupaten dan kota sedangkan
Pemerintahnya terdiri dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. Daerah
provinsi, Kabuapten/Kota merupakan daerah yang otonom, yaitu suatu
masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak,
berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Pada pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Pemerintah daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas perbantuan.” Dalam rangka penyelenggaraan
hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah, dalam
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tepatnya
Pasal 10 ditegaskan Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-
98
yang memiliki kekhasannya diberikan kewenangan untuk dapat
eksis dan dapat berkembang seperti daerah-daerah kecil yang
memiliki susunan rakyat asli, ada Desa untuk di Jawa, Nagari di
Sumatera Barat, Dusun dan Marga di Palembang, Huta dan Kuria
di Tapanuli, Gampoung dan Mukim di Aceh. Demikian juga halnya
dengan kebudayaan nasional dan bahasa nasional (bahasa
Indonesia) tetap harus ditopang oleh terpeliharanya keragaman
kebudayaan daerah dan bahasa daerah (yang lama maupun yang
asli), serta pengakuan tokoh-tokoh daerah dalam pergerakan
nasional sebagai pahlawan nasional, seperti Teuku Umar dan Cut
Nya’ Dhien dari Aceh, Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta,
Sultan Hasanuddin dari Makassar, Pangeran Antasari dari
Banjarmasin, Imam Bonjol dari Sumatera Barat dan lainnya.162
Kebangsaan Indonesia tidak ditentukan atas dasar etnis
maupun agama. Kebangsaan Indonesia ditentukan atas dasar
perasaan senasib sepenanggungan di bawah penjajahan dan
solidaritas bersama untuk lahir kembali sebagai satu bangsa yang
merdeka. Kebangsaan Indonesia adalah persatuan dari semua etnis
yang ada di Indonesia, dari semua pemeluk agama dan keyakinan
yang ada di Indonesia. Kebangsaan Indonesia adalah hasil dari
usaha politik bersama dalam rangka untuk bebas dari penjajahan
dan membangun susunan masyarakat yang merdeka, yang adil dan
makmur tanpa adanya penindasan. Kebangsaan Indonesia adalah
Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah Pusat. Pemberian otonomi
luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk membentuk Perda untuk membantu
proses dalam pelaksanaan Pemerintahan di daerah. Sesuai ketentuan Pasal 14
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
perundang-undangan yaitu, “materi muatan Peraturan Daerah provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi
khusus daerah dan/ atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.” Baca: https://jdih.kalteng.go.id/berita/baca/pengaturan-
executive-review-terhadap-peraturan-daerah-kabupatenkota diunduh pada
tanggal 15 Juni 2021.
162
Yudi Latif, Nasionalisme, Modul Pendidikan dan Pelatihan..., hlm.
54.
99
milik siapa saja yang berjuang bagi kemerdekaan Indonesia.
Negara Indonesia yang merdeka adalah yang dibangun di atas dasar
usaha untuk menegakkan keadilan dan keadaban dalam pergaulan
antar bangsa, yang diwarnai dengan rasa kemanusiaan, perasaan
senasib sepenanggungan dengan sesama manusia dari berbagai
daerah dan bangsa. Negara Indonesia yang merdeka adalah yang
turut memperjuangkan nasib anak-anak bangsa sendiri serta juga
yang memperjuangkan nasib bangsa lain yang terkena penjajahan
dalam rangka menjaga ketertiban dan peradaban dunia.163

b. Pancasila sebagai Solusi dalam Menegakkan


Nasionalisme Bangsa Indonesia
Secara konstitusional, Pancasila disepakati menjadi dasar
(falsafah) dan ideologi negara Republik Indonesia. Sebagai
fundamen bangsa dan negara, keberadaan Pancasila tidak saja
penting, tetapi mutlak diperlukan bagi pencapaian visi atau cita-cita
sosial bangsa Indonesia. Pancasila juga sebagai pedoman hidup
sekaligus menjiwai seluruh praktik kekuasaan (politik) demi
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pancasila menjadi sumber etika
dan moral dalam tata pergaulan hidup berikut cita ideal daripada
tujuan berbangsa dan bernegara. Sebagai common denominator,
Pancasila juga dipandang sebagai pemersatu yang mampu
mengatasi perpecahan bangsa. Diketahui bahwa konseptualisasi
Pancasila mula-mula merupakan kreasi Soekarno, namun Pancasila
bukanlah karya individual.
Dalam fase perumusan, penyempurnaan hingga
pengesahannya, terdapat banyak silang gagasan, pendapat,
masukan dan perubahan, sebelum akhirnya mencapai konsesus
bersama (civic nationalism). Sehingga dari sana terlihat dengan
jelas bahwa Pancasila bukanlah hasil perseorangan, tetapi telah
tertampung beragam pandangan dari berbagai anasir golongan.
Sebagai hasil karya bersama, secara otomatif Pancasila memiliki
daya perekat yang sangat kuat (durable). Pancasila tidak hendak
mengakui satu kelompok di atas kelompok lain, tidak juga
mengakomodir mayoritas di atas minoritas yang lain. Pancasila
tepatnya menjadi alat pemersatu bangsa, di mana semua golongan
yang hidup dalam alam nusantara diakui hak dan keberadaannya.
Dengan demikian, Indonesia sebagai salah satu negara yang
163
Panitia Peringatan Hari Lahir Pancasila, Kisah Pancasila, hlm. 58.
100
didirikan di atas dasar pemikiran yang menghargai aneka
kebudayaan dan keyakinan, tidak pernah mempersoalkan
perbedaan dan warna sosial yang hidup bersama dalam wadah
NKRI.164
Menurut Yudi Latif, setiap bangsa harus memiliki suatu
konsepsi bersama menyangkut nilai-nilai haluan dasar bagi
keberlangsungan, keutuhan, dan kejayaan bangsa yang
bersangkutan. Sebagaimana seorang cendekiawan Amerika, John
Gardner, mengingatkan, “tidak ada bangsa yang dapat mencapai
kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika
sesuatu yang dipercayainya itu tidak memiliki dimensi-dimensi
moral guna menopang peradaban besar”.165 Pada tataran ini
kemudian Yudi Latif menyimpulkan bahwa Pancasila dapat
menjadi pedoman sekaligus sebagai ideologi bagi bangsa Indonesia
dalam rangka untuk menjaga keutuhan negara Indonesia. Pancasila
menjadi suatu sikap nasionalisme bersama, sebagai wadah untuk
mempersatu, sebagai wadah untuk penguat keinginan bersama serta
sebagai wadah untuk mempererat persatuan bangsa.
Dalam menetapkan ideologi negara sudah pasti sejak awal
terjadi tarik-menarik antara kelompok yang satu dengan kelompok
yang lain, apabila tidak memiliki kejelasan tentang ideologi negara
yang mapan, sudah pasti negara tersebut menjadi rapuh dan akan
terjadi konflik berkepanjangan. Dalam suatu negara, kesulitan-
kesulitan itu biasanya terjadi pada proses pertumbuhan ideologi
negara yang berjalan secara labil. Pertentangan antara ideologi-
ideologi sekuler dan teokratis senantiasa akan berjalan dengan
berlarut-larut, dan pasti tidak akan selesai dengan hanya
tercapainya kompromi formal saja. Kasus penetapan Pancasila
sebagai ideologi negara Republik Indonesia misalnya, aspirasi
sekularistik dan gerakan-gerakan nasionalis dan gerakan-gerakan
keagamaan non-Islam berbenturan dengan aspirasi “golongan
Islam” dengan hebatnya di saat-saat kritis menjelang tercapainya
kemerdekaan formal dari tangan tentara pendudukan Jepang.166

164
R. Saddam Al-Jihad, Pancasila Ideologi Dunia, Sintesis
Kapitalisme, Sosialisme, dan Islam, (Jakarta: Alvabet, 2018), hlm. 157-158.
165
Yudi Latif, Revolusi Pancasila, hlm. 27-28
166
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia
dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hlm. 170.
101
Berdirinya organisasi-organisasi Islam di seluruh Indonesia
pada prinsipnya telah terbentuk sebuah ‘masyarakat warga’ (civil
society). Umat Islam Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan
barangkali merupakan 90% bangsa Indonesia. Tetapi tidak semua
organisasi masyarakat warga mendasarkan diri pada ajaran Islam.
Kebanyakan menganut berbagai macam ideologi, seperti
komunisme, sosialisme, nasionalisme, kristianisme, hinduisme,
budhisme, bahkan juga konfusianisme. Dengan perkataan lain,
masyarakat Indonesia, sejak masa pergerakan, merupakan sebuah
masyarakat multikultural dan multireligius, walaupun secara
mayoritasnya Islam. Tetapi kehadiran Soekarno kemudian
mencoba untuk menyederhanakan ideologi pergerakan tersebut
menjadi tiga ideologi besar, yaitu nasionalisme, islamisme, dan
marxisme.167
Islam sendiri sebagai agama, tidak pernah luput dari kritik,
misalnya saja terhadap ajaran poligami, ibadah haji yang dianggap
sebagai pemborosan, dan hukum potong tangan. Kritik tersebut
dijawab oleh tokoh seperti Haji Agus Salim, sehingga
menghebohkan dan sempat menjadi polemik yang panjang serta
terjadi debat terbuka. Untuk menjawab berbagai persoalan, gerakan
Islam menerbitkan banyak majalah yang berisi tulisan-tulisan,
antara lain yang bercorak apolegetik (pembelaan). Salah satu
polemik yang paling penting adalah tentang hubungan antara
agama dan negara, antara Soekarno yang menganut paham
nasionalisme sekular dan A. Hassan dan M. Natsir yang menolak
nasionalisme sekular. Pada satu sisi Soekarno berpendapat perlunya
pemisahan negara dengan agama, sebagaimana berlaku di Turki.
Tetapi, pemikir-pemikir Muslim justeru ingin mewujudkan syariat
Islam dalam sistem kenegaraan modern. Jawaban-jawaban terhadap
isu sekularisme itulah yang menimbulkan pemikiran tentang
konsep negara Islam. Tetapi produk akhir dari konseptualisasi itu
yang diintegrasikan dengan konsep negara kebangsaan (natio-state)
adalah Piagam Jakarta yang disusun oleh 9 tokoh bangsa, 4 di
antaranya adalah tokoh Islam, 4 tokoh nasionalis dan satu orang
tokoh Kristen.168

167
M. Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan. Kebebasan dan
Kebangsaan, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2010), hlm. 6.
168
M. Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan, hlm. 7.
102
Perdebatan tentang ideologi negara memang tak
menemukan titik temu, corak perdebatannya tak kenal kompromi
dan panas memperparah perpecahan di antara partai-partai yang
terlibat. Bakhtiar Effendi, mengutip apa yang disampaikan oleh
Adnan Buyung Nasution, menjelaskan; perdebatan-perdebatan
tersebut bersifat ideologis, mutlak-mutlakan dan antagonistik,
sehingga partai-partai (terutama kelompok Islam dan kelompok
nasionalis) tidak saling mendekati satu sama lain, melainkan
bahkan makin jauh terpecah. Dalam perdebatan tentang dasar
ideoligi negara (yang sekaligus sebagai cita-cita nasionalisme
Indonesia), pada masa itu tiga aliran ideologi tampil menonjol,
yaitu Islam,169 Pancasila,170 dan Sosial-ekonomi.171 Tetapi,
mengingat perdebatan-perdebatan tentang dasar ideologi negara
yang berlangsung sebelumnya, pertentangan yang paling sengit
berlangsung antara para pendukung aliran ideologi Islam dan
Pancasila.172

169
Ideologi Islam mendapat dukungan lima partai yang beraliran Islam,
yaitu Masyumi, NU, PSII, Perti, dan PPTI serta didukung oleh tiga kelompok
dan perseorangan lainnya, yakni GPS, AKUI dan Idrus Effendi dengan total
pendukung berjumlah 230 orang. Blok Islam ini secara bersama-sama menguasai
sedikit kurang dari setengah jumlah anggota majelis. Baca: M. Dzulfikriddin,
Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, Peran dan Jasa
Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia, (Bandung: Mizan Pustaka,
2010), hlm. 113.
170
Yang mendukung Pancasila sebagai ideologi negara adalah PNI yang
besar bersama golongan-golongan nasionalis yang lebih kecil, seperti IPKI, PIR,
GPPS, dan PRN; tetapi juga didukung oleh PKI dan golongan-golongan
beraliran komunis, seperti Acoma dan Republik Persatuan, termasuk oleh PSI
dan Permai yang beraliran Sosial-Demokratis. Selain itu, ideologi Pancasila juga
didukung oleh Baperki yang terdiri dari minoritas keturunan Cina, serta partai-
partai keagamaan non-Islam seperti Parkindo dan Partai katolik. Ditambah
beberapa partai dan kelompok kecil lainnya sehingga semuanya berjumlah 275
orang. Blok Pancasila ini secara bersama-sama menguasai sedikit lebih dari
setengah jumlah anggota majelis. Baca: M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir
dalam Sejarah Politik Indonesia..., hlm. 113.
171
Dan yang mendukung ideologi sosial ekonomi didukung oleh 9
orang anggota majelis yang berasal dari Partai Buruh dan Partai Murba. Oleh
karena sedikitnya dukungan bagi ideologi ke tiga ini, maka wajar apabila
beberapa peminat sejarah politik Indonesia menyatakan bahwa perbincangan
lantar terfokus hanya pada dua rancangan dasar negara, yaitu Islam dan
Pancasila. Baca: M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik
Indonesia..., hlm. 113.
103
Terhadap diskursus tersebut, kelompok Islam pada intinya
menyatakan kembali aspirasi-aspirasi ideologi-politik yang sudah
dikemukakan pada masa prakemerdekaan, yakni mendirikan negara
berdasarkan Islam. Kelompok ini mengusulkan Islam dijadikan
ideologi negara berdasarkan argumen-argumen mengenai, antara
lain; watak holistik Islam, keunggulan Islam atas semua ideologi
dunia lain, dan kenyataan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas
warga negara Indonesia. Dipinpin oleh Mohammad Natsir, Kasman
Singodimedjo, Zainal Abidin, Isa Anshari, K.H. Masjkur, mereka
merupakan tokoh yang mempertahankan watak Islam yang holistik
dan mereka percaya bahwa Islam mengatur setiap aspek kehidupan.
Mereka beranggapan bahwa negara yang pada dasarnya merupakan
sebuah organisasi yang meliputi seluruh masyarakat dan lembaga,
yang memiliki kekuatan untuk membuat dan menerapkan aturan-
aturan yang mengikat.173
Para kelompok Islam tersebut memandang bahwa Pancasila
pada dasarnya merupakan ideologi sekular (ladiniyah), tanpa
sumber keagamaan yang pasti. Walaupun sila pertamanya
mengakui pentingnya kepercayaan kepada satu Tuhan,
perumusannya pada dasarnya lebih didasarkan kepada keharusan
sosiologis dan bukan keilahiahan Tuhan. Dengan kata lain, hal itu
merupakan konsepsi mengenai Tuhan yang dibuat oleh manusia
dan dapat berubah sewaktu-waktu tergantung situasi. Pendeknya,
dalam pandangan mereka, Pancasila itu netral dan tanpa warna, dan
kelima silanya tidak saling berkaitan. Karenanya mereka menolak
gagasan Pancasila sebagai dasar negara. Dalam hal ini, Mohammad
Natsir menyatakan, “Bagi kami, Pancasila sebagai dasar filsafat
negara itu tidak jelas dan tidak menyatakan apa-apa kepada jiwa
masyarakat Muslim yang sudah memiliki ideologi yang pasti, jelas
dan lengkap. Sesuatu yang terpancar dalam lubuk hati rakyat
Indonesia sebagai ilham yang hidup dan sumber kekuatan, yakni
Islam. Bagi kaum Muslim, mengganti Islam dengan Pancasila sama
artinya dengan lompat dari bumi yang kokoh ini ke ruang hampa,
ke dalam suatu kekosongan”.174

172
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan
Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad
Demokrasi, 2011), hlm. 124.
173
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi..., hlm. 124-125.
174
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi..., hlm. 125-126.
104
Tanggapan para pendukung Pancasila tidak kurang
antagonistisnya, sejalan dengan cara penalaran mereka yang lebih
awal, tokoh seperti Roeslan Abdulgani, seorang Muslim dengan
orientasi ideologi-politis nasionalis, menolak pandangan bahwa
Pancasila merupakan konsep yang netral, apalagi ideologi sekular.
Kenyataannya bahwa Pancasila mengandung sila seperti
“Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan bahwa negara terdiri dari badan-
badan yang mengurus maslah-masalah yang berhubungan dengan
agama (yakni Departemen Agama) merupakan idikasi kuat bahwa
Indonesia tidak didasarkan kepada ideologi sekular. Yang lebih
penting lagi, ia percaya bahwa Pancasila mengandung unsur-unsur
Islam, meski memang tidak hanya mengandung unsur-unsur itu.175
Dalam konteks Pancasila sebagai ideologi negara, menurut
Bakhtiar Effendi Indonesia merupakan sebuah negara yang
heterogen secara keagamaan, beberapa tokoh kelompok nasionalis
memandang Pancasila sebagai suatu kesepakatan bersama. Bagi
para politisi PNI dan aktivis Kristen seperti Arnold Mononutu,
Pancasila merupakan sebuah sintesis yang memadai bagi berbagai
kelompok agama yang berbeda. Jika Islam harus dijadikan dasar
negara, yang terutama dikhawatirkan adalah tempat Kelompok-
Kelompok agama lain di kepulauan Nusantara. Bagaimana pun, hal
demikian mengandung citra diskriminasi Konstitusional.
Sementara itu, beberapa kalangan lain tidak menerima
gagasan mengenai Islam sebagai dasar negara berdasarkan
pertimbangan kemungkinannya untuk dapat diterapkan. Mengingat
kenyataan bahwa masyarakat Indonesia heterogen secara sosial-
keagamaan, mereka meragukan bahwa Islam dapat berperan
sebagai pandangan dunia ideologis-politis bagi seluruh masyarakat.
Sementara itu Pancasila, betapapun tidak sempurnanya, telah
terbukti dapat menjadi dasar ideologi bersama seluruh masyarakat
Indonesia. Kalangan lainnya lagi menolak Iskam sebagai dasar
negara dengan alasan mereka khawatir kalau-kalau hukum Islam
akan diterapkan kepada seluruh warga negara Indonesia. Karena
alasan-alasan tersebut, ketika menanggapi pernyataan Mohammad
Natsir mengenai posisi Islam vis-à-vis Pancasila, Arnold Mononutu
menyatakan, dari ideologi Pancasila ke negara Indonesia berdasar
agama Islam bagi umat Kristen adalah ibarat: melompat dari bumi,
yang tenang dan sentosa untuk menjalankan agamanya sebagai
175
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi..., hlm. 126-127.
105
manusia Indonesia yang volwaarding, ke ruang kosong vacum, tak
bernyawa.
Dengan pendirian yang mutlak-mutlakan tersebut, masuk
akal jika kompromi sulit ditemukan. Bahwa ketika kelompok Islam
mundur dari tuntunan yang awal untuk menjadikan Islam sebagai
dasar negara dan hanya menuntut penegasan kembali Piagam
Jakarta, konflik tersebut telah terlanjur menyebabkan macetnya
sidang-sidang Majelis Konstituante. Dilihat dari perolehan suara
mereka dalam pemilihan umum, tidak satupun partai yang memiliki
suara yang diperlukan (yakni mayoritas 2/3 suara) untuk
menggolkan preferensi-preferensi ideologis mereka. Sementara itu,
usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 tidak mendapat
dukungan yang diperlukan. Terhadap perkembangan itu semua,
mengakibatkan presiden Soekarno, dengan dukungan tentara,
mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945. Langkah ini,
sebuah straregi yang merupakan telah dicanangkannya sejak lama,
memberinya kekuatan eksekutif yang kuat untuk mengontrol
negara.
Sekali lagi, Kelompok Islam secara simbolik berhasil
dikalahkan, dibalik kekalahan simbolik tersebut, selama masa
Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno, artikulasi
legalistik/formalistik gagasan dan praktik politik Islam, terutama
gagasan Islam sebagai dasar ideologi negara, mulai melunjukan
implikasi-implikasi bawaannya yang lebih negatif. Kecuali NU,
yang segera menata kembali orientasi politiknya dan menerima
Manipol Usdek-nya Soekarno, dan kekuatan politik Islam menurun
dratis. Para pemimpin Masyumi khususnya, yang sejak awal
diskursus ideologi di Indonesia dipandang sebagai pendukung-
pedukung sejati gagasan negara Islam, dijebloskan ke bdalam
penjara karena oposisi mereka terhadap rezim yang terus
berkelanjutan. Akhirnya, dengan alasan bahwa beberapa pemimpin
utamanya (seperti Mohammad Natsir dan Sjafruddin
Prawiranegara) ikut terlibat dalam pemberontakan PRRI, Soekarno
mebubarkan Masyumi pada tahun 1960.
Perdebatan tentang ideologi selalu saja menjadi warna pada
negara-negara yang baru merdeka, hal demikian juga terjadi ketika
Indonesia mencapai kemerdekaan. Segera setelah sekian puluh
negara terjajah berhasil memerdekakan diri, bukannya ideologi
utama berupa nasionalisme yang berkembang dan yang disepakati,
106
melainkan serangkaian varian dari sebuah ideologi yang umum,
yang bentuk utamanya adalah paham kebangsaan di luar
nasionalisme sebagai ideologi. Paham kebangsaan sementara bekas
negeri-negeri terjajah hanyalah gambaran samar dari kobaran api
nasionalisme semula. Ia hanyalah sekedar kekuatan pengikat yang
tak memiliki daya dobrak apa pun. Kebangsaan seperti itu terlihat,
sebagaimana terjadi pada ‘nasionalisme’ Malaysia segera setelah
angkatan pemimpin berorientasi kepada Inggris memegang tampuk
pemerintahan, seperti Teungku Abdurrahman Putera.176
Menurut Yudi Latif, konsepsi kenegaraan dan hukum
sebagai sebuah landasan untuk memperkuat nasionalisme, maka
tiap-tiap negara-bangsa harus memiliki kekhasannya masing-
masing negara sesuai dengan latar kesejarahan, kondisi sosial-
budaya, serta berdasarkan karakteristik bangsa yang bersangkutan.
Salah satu karakteristik Indonesia sebagai negara-bangsa adalah
kebesaran, keluasan, dan kemajemukannya.177 Indonesia perlu suatu
konsepsi, kemauan dan kemampuan yang kuat dan adikuat, yang
dapat menopang kebesaran, keluasan, dan kemajemukan
keindonesiaan. Di atas segala kebesaran, keluasan, dan
kemajemukan itu, bangsa Indonesia harus merumuskan suatu
konsepsi tentang dasar negara yang dapat meletakkan segenap
elemen bangsa di atas suatu landasan yang statis (“meja statis”),
sekaligus dapat memberi tuntunan yang dinamis (bintang
penuntun).
Para pendiri bangsa berusaha menjawab semua tantangan
tersebut dengan melahirkan suatu konsepsi negara persatuan
(kekeluargaan) yang berwatak gotong royong, bukan merupakan
negara perorangan sebagaimana dalam konsepsi liberalisme-
176
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan..., hlm. 185-186.
Abdurrahman Wahid juga menjelaskan bahwa konsep nasionalisme tersebut
sangat erat kaitannya dengan konsep bangsa atau kebangsaan. Menurutnya,
tulisan yang sangat bagus tentang persoalan apa itu bangsa ditulis dengan bagus
oleh Ernest Renan dalam Qu’est ce qu’une nation?, (Apakah Bangsa itu?).
Benedict Anderson dalam Imagined Community: Reflection on the Origin and
Spread of Nationalism juga secara panjang lebar mengurai seputar persoalan
bangsa, kebangsaan dan juga nasionalisme.
177
Sebagai negara-bangsa yang memiliki kebesaran, keluasan dan
kemajemukan, Indonesia mengikat lebih dari lima ratus suku bangsa dan bahasa,
ragam agama, budaya, dan kelas sosial di sepanjang sekitar 17.508 pulau, yang
membentang dari 6ᵒ08’ LU hingga 11ᵒ15’ LS, dan dari 94ᵒ45’ BT hingga
141ᵒ05’ BT.
107
kapitalisme atau negara golongan (kelas) seperti konsepsi
komunisme. Berdasarkan ungkapan tersebut, Yudi Latif mengutip
ungkapan Soekarno yang mengatakan bahwa negara Indonesia
tidak merupakan negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk
satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi negara Indonesia
didirikan ‘semua buat semua’, ‘satu buat semua, semua buat satu’.
Negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan
golongan, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.178
Menurut Yudi Latif, dengan semangat kekeluargaan
tersebut, konsepsi tentang dasar (falsafah) negara dirumuskan
dengan merangkum lima prinsip utama sebagai sebuah “titik temu”
(yang mempersatukan keragaman bangsa), “titik tumpu” (yang
mendasari ideologi dan norma negara), serta “titik tuju” (yang
memberi orientasi kenegaraan-kebangsaan) negara-bangsa
Indonesia. Kelima prinsip utama tersebut kemudian disebut dengan
Pancasila. Pancasila dapat dikatakan sebagai lima nilai fundamental
yang diidealisasikan sebagai konsepsi tentang dasar (filsafat)
negara, pandangan dunia, dan ideologi negara-bangsa Indonesia.
Dihasilkan melalui proses penggalian dan pergumulan, sejarah
konseptualisasi Pancasila melintasi rangkaian panjang fase
“perintisan-pembuatan”, fase “kelahiran-perumusan”, dan fase
“pengesahan”.179
a. Fase perintisan
Fase “perintisan” (pembuahan) setidaknya dimulai pada
1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk mencari
sintesis antar-ideologi dan gerakan seiring dengan proses
“penemuan” Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civil
naitonalism). Sejak 1924, Perhimpunan Indonesia (PI), di Belanda,
mulai merumuskan konsepsi ideologi politiknya, bahwa tujuan
kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada empat prinsip:
persatuan nasional, solidaritas, non-koperasi, dan kemandirian
(sefl-help). Konsepsi ideologis PI ini pada hakikatnya merupakan
sintesis dari ideologi-ideologi terdahulu. Persatuan nasional
merupakan platform politik kaum komunis, dan kemandirian
178
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, Bintang Penuntun untuk
Pembudayaan, (Jakarta: Mizan, 2020), hlm. 25-26.
179
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 26-27.
108
merupakan tema dari Serekat Islam. Sementara solidaritas
merupakan simpul yang menyatukan ketiga tema utama tersebut.
Bersamaan dengan itu, Tjokroaminoto mulai
mengidealisasikan suatu sintesis antara Islam, sosialisme, dan
demokrasi. Sekitar tahun 1932, Soekarno mulai merumuskan
sintesis dari substansi ketiga unsur ideologi tersebut dalam istilah
“sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi”. Sosio-nasionalisme
yang Soekarno maksudkan adalah semangat kebangsaan yang
menjunjung tinggi perikemanusiaan kedalam dan keluar, “yang
tidak mencari ‘gebyarnya’ atau kilaunya negeri luar saja, tetapi ia
haruslah mencari selamatnya semua manusia”. Adapun “sosio-
demokrasi” adalah demokrasi yang memperjuangkan keadilan
sosial, yang tidak hanya memperdulikan hak-hak sipil dan politik,
melainkan juga hak ekonomi; “demokrasi sejati jang mencari
keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan
rezeki”.180
Monumen dari usaha intelektual untuk mencari sintesis dari
keragaman anasir keindonesiaan itu adalah “sumpah pemuda” (28
Oktober 1928), dengan visinya yang mempertautkan segala
keragaman itu kedalam kesatuan tanah air dan bangsa dan dengan
menjunjung bahasa persatuan. Lewat sumpah pemuda, kaum muda
berusaha menerobos batas-batas sentiment etno-religius (etno-
nationalism) dengan menawarkan fantasi inkorporasi baru
berdasarkan konsepsi kewargaan yang menjalin solidaritas atas
dasar kesamaan tumpah darah, bangsa, dan bahasa persatuan (civic
nationalism). Visi sumpah pemuda ini amat penting, karena
memberi kemungkinan kepada segenap penduduk Indonesia
menjadi pribumi, bahkan bagi mereka yang berlatar imigran baru.
Dalam perkembangannya, rintisan gagasan-gagasan yang
disemai diruang publik itu memiliki kakinya tersendiri;
mempengauhi pemikiran-pemikiran semasa dan meninggalkan
jejak pada generasi selanjutnya. Dalam proses pertukaran
pemikiran, secara horizontal antarideologi semasa dan secara
vertical antargenerasi, setiap tesis tidak hanya melahirkan anti-
tesis, melainkan juga sintesis. Maka akan kita dapati, betapa pun
mengalami benturan antarideologi, karakter ke-Indonesian yang
serba mencerap dan menumbuhkan, pada akhirnya cenderung
mengarahkan keragaman tradisi pemikiran itu ke titik sintesis.
180
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 27-30.
109
Endapan pemikiran sebagai hasil pergumulan sejarah yang
tersimpan dilaci ingatan para pendiri bangsa itu mempermudah
mereka dalam merespon tantangan untuk merumuskan dasar
negara. Dengan mengurai kembali jaringan memori kolektif ke
belakang dan ke samping, meresapi kesamaan nasib dan impian
kemerdekaan serta petautan genealogis dan kesatuan geopolitik,
masing-masing pendukung aliran politik memahami titik-titik
persamaannya secara substantive, sehingga dapat mengatasi
perbedaan identitas masing-masing. Situasi demikian membantu
mempermudah proses pencairan konvergensi pada fase “kelahiran-
perumusan”, pada persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK).181

b. Fase kelahiran/perumusan
Menurut Yudi Latif, setelah pasukan Sekutu berhasil
menduduki berbagai tempat di Tanah Air yang ditandai oleh
pendudukan Jayapura (April 1944), Biak (Mei 1944), dan Morotai
(September 1944). Rentetan-rentetan kekalahan Jepang ini diikuti
oleh kejatuhan Perdana Menteri Hideki Tojo pada 22 Juli 1944.
Untuk mempertahankan sisa-sisa kekuasaannya di daerah-daerah
pendudukan, Pemerintah Jepang merasa perlu untuk membujuk
para pemimpin bangsa Indonesia dalam rangka mendapatkan
dukungan. Pada 7 September 1944, Perdana Menteri pengganti,
Kuniaki Kaiso, mengucapkan janji historisnya bahwa daerah yang
dinamakan “To Indo” (Hindia Timur) akan diperkenankan merdeka
“kelak di kemudian hari”. Meski demikian, format kemerdekaan
yang dijanjikan itu tidak jelas, apakah meliputi seluruh wilayah
kepulauan Indonesia yang diduduki Jepang atau hanya sebagian
wilayah saja.
Dalam rancangan awal Jepang, kemerdekaan akan
diberikan melalui dua tahap: pertama, melauli Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yang dalam bahsa
Jepangnya disebut Dokuritsu Junbi Cusakai; kemudian kedua,
disusun oleh pendirian Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK),
yang dalam bahsa Jepangnya disebut Dokuritsu Junbi Iinkai. Tugas
BPUPK hanyalah melakukan usaha-usaha penyelidikan
kemerdekaan, adapun tugas penyusunan rancangan dan penerapan
UUD menjadi kewenangan PPK(I). tetapi scenario ini berubah
181
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 31-32.
110
karena keberanian dan kreativitas para pemimpin bangsa yang
berhasil menerobos batas-batas formalitas.182
Sebagai tindak lanjut dari janji kemerdekaan itu,
selanjutnya dibentuk BPUPK. Yang pertama-tama dibentuk adalah
BPUPK Jawa-Madura pada tanggal 29 April 1945, diketuai oleh
Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat. Sedangkan BPUPK
Sumatera baru dibentuk pada 25 Juli 1945, diketuai oleh
Muhammad Sjafe’i (pendiri lembaga pendidikan Ins/Indonesisch
Nederlansche School Kayutanam), sepekan setelah berakhirnya
persidangan BPUPK Jawa-Madura. Karena pembentukan BPUPK
Sumatra ini telat, pada hari-hari terakhir menjelang kekalahan
Jepang, maka tidak melahirkan dokumen berarti. Adapun untuk
wilayah kekuasaan Angkatan Laut di bagian Timur Indonesia
belum sempat dibentuk BPUPK.
Masa persidangan pertama BPUPK dibuka pada 28 Mei
1945 dan mulai bersidang pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Pada
awal persidangan, Dr. Radjiman Wediodiningrat, selaku ketua
BPUPK, mengajukan pertanyaan kepada siding mengenai apa yang
akan menjadi dasar Negara Indonesia merdeka. Sebelum pidato
Soekarno pada 1 Juni, lebih dari 30 pembicara telah terlebih dahulu
mengemukakan pandangannya. Dari berbagai pandangan yang
mengemuka, ada yang menyebutkan salah satu dari beberapa
prinsip yang bersinggungan dengan nilai-nilai Pancasila.
Pengertian “dasar negara” yang diajukan oleh ketua BPUPK
dipersepsi secara berbeda oleh para pembicara. Bagi Muhammad
Yamin, pengertian “dasar” itu lebih dimaknai sebagai dasar
sosiologis-politis eksistensi negara. Sehingga yang dimaksud
olehnya sebagai dasar negara itu juga termasuk “pembelaan
negara”, “budi-pekerti negara”, “daerah negara”, “penduduk dan
putera negara”, “susunan pemerintahan”, dan bahkan tentang “hak
tanah”. Selain itu, secara eksplisit atau implisit, Yamin memang
menyebut juga prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
permusyawaratan, dan keadilan/kesejahteraan sebagai fundamental
kenegaraan.183
Adapun dalam pernyataan Soepomo, prinsip-prinsip
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan
keadilan/kesejahteraan itu hanya disebutkan secara implisit dalam
182
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 32-34.
183
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 35-37.
111
uraiannya mengenai aliran pikiran negara integralistik. Dalam
uraian Soepomo, pengertian “dasar”, yang ia maksudkan malah
dalam konteks bahwa “negara kita harus berdasar atas aliran
pikiran (staatsidee) negara yang integralistik”, juga dalam konteks
“dasar” kewarganegaraan dan “dasar” sistem pemerintahan.
Alhasil, yang dimaksud dasar (dasar negara) oleh Yamin dan
Soepomo bukanlah dalam pengertian “dasar filsafat”
(philosophische grondslag).
Betapa pun juga, pandangan-pandangan tersebut
memberikan masukan penting bagi Soekarno dalam merumuskan
konsepsinya. Masukan-masukan ini yang dikombinasikan dengan
gagasan –gagasan ideologisnya yang telah dikembangkan sejak
1920-an dan refleksi historisnya mengkristal dalam pidatonya pada
1 Juni 1945. Selanjutnya, Bung Karno mengajukan lima prinsip
yang menurutnya merupakan titik temu segenap elemen bangsa.
Kelima prinsip tersebut adalah: kebangsaan Indonesia,
internasionalisme dan perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi,
kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang
berkebudayaan/berkeadaban.184

184
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 37-41. Adapun usulan
Soekarno tersebut adalah Pertama: Kebangsaan Indonesia; Baik saudara-
saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara
yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat…. Kita hendak
mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan
buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, -
tetapi “semua buat semua”…. “Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat
Negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan”. Kedua: Internasioanalisme atau
perikemanusiaan; Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang
menyendiri, bukan chauvinism…. Kita harus menuju persatuan dunia. Kita
bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus
menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Ketiga: Mufakat atau
demokrasi, dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar
permusyawaratan…. Kita mendirikan negara “semua buat semua”, satu buat
semua, semua buat satu. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya
Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan…. Apa-apa saja yang
belum memuaskan, kita bicarakan didalam permusyawaratan. Keempat:
Kesejahteraan sosial, kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan
demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek
economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial….
Maka oleh karena itu jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat,
mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip politiek economische
democratie ini, yaitu bukan saja persamaan politiek saudara-saudara, tetapipun
112
Di akhir masa persidangan pertama, ketua BPUPK
membentuk Panitia Kecil yang bertugas unutk menyusun rumusan
tentang dasar Negara yang dapat disetujui oleh golongan nasionalis
religious dan Islam nasionalis dengan pidato Soekarno sebagai
bahan utamanya ditambah usul dari anggota BPUPK lainnya.
Panitia Kecil ini juga bertugas mengumpulkan usul-usul para
anggota yang akan dibahas pada masa sidang berikutnya (10-17
Juli 1945). Panitia Kecil yang resmi ini beranggotakan delapan
orang (Panitia Delapan) di bawah pimpinan Soekarno. Panitia
Delapan ini terdiri dari 6 orang wakil golongan kebangsaan dan 2
orang wakil golongan Islam.
Di ujung pertemuan pada 22 Juni, Soekarno mengambil
inisiatif informal lainnya, yakni membentuk Panitia Kecil (“tidak
resmi”) beranggotakan 9 orang, yang bertugas merumuskan
Pancasila sebagai dasar Negara dalam suatu rancangan pembukaan
hukum dasar (preambul konstitusi) yang semula juga dipersiapkan
sebagai rancangan teks proklamasi. Panitia Sembilan ini pun
diketuai Soekarno, yang dibentuk sebagai ikhtiar untuk
mempertemukan pandangan antara dua golongan tersebut
mengenai dasar Negara. Dengan komposisi relatif seimbang antar
dua golongan tersebut, panitia ini berhasil menyepakati rancangan
preambul, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila itu, pada
22 Juni. Oleh Soekarno rancangan preambul ini diberi nama
“Mukaddimah”. Oleh M. Yamin dinamakan “Piagam Jakarta”, dan
oleh Sukiman Wirdjosandjojo disebut “Gentlemen’s Agreement”.
Hasil rumusan Piagam Jakarta itu menimbulkan perdebatan
yang tajam menyangkut pencantuman “tujuh kata”, sebagai anak
kalimat dari sila Ketuhanan, dengan segala turunannya. Keberatan
terhadap pencantuman “tujuh kata” tersebut bukan hanya dating
diatas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya
kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya. Kelima: Ketuhanan yang
berkebudayaan/berkeadaban, prinsip Indonesia Merdeka dengan bertqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa…. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara
yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang
leluasa…. Marilah kita amalkan…. Jalankan agama…. Dengan dara yang
berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati
satu sama lain…. Marikah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini,
sesuai dengan itu, kita ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang
berbudi pekerti yang luhur, ke-Tuhanan yang hormat-menghormati satu sama
lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa
Negara Indonesia Merdeka berazaskan ke-Tuhanan Yang Maha Esa!
113
dari golongan kebangsaan, melainkan ada variasi pandangan di
kalangan golongan Islam sendiri. Bagi sebagian golongan
kebangsaan, pencantuman “tujuh kata”, yang mengandung
perlakuan khusus bagi umat Islam, dirasa tidak cocok dalam suatu
hukum dasar yang menyangkut warga negara dalam keseluruhan.
Kendati demikian, hasil rumusan Piagam Jakarta itu bertahan
hingga akhir masa persidangan kedua (17 Juli 1945).185

c. Fase pengesahan
Betapa pun keberadaan “ketujuh kata” dari Piagam Jakarta
itu masih bertahan hingga berakhirnya persidangan BPUPK,
penerimaan tersebut sesungguhnya masih merupakan produk
kesepakatan BPUPK Jawa-Madura, belum melibatkan kesepakatan
perwakilan-perwakilan dari seluruh wilayah kekuasaan Jepang.
Lebih dari itu, meskipun telah terjadi consensus secara luas dan
rancangan UUD telah disepakati oleh sekalian anggota BPUPK
pada 16 Juli, kecuali satu orang (Muhammad Yamin), di bawah
permukaan rupanya masih tetap ada sesuatu yang mengganjal. Bagi
sebagian anggota, terutama dari golongan kebangsaan,
pencantuman “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, yang
mengandung perlakuan khusus bagi umat Islam, dirasa tidak cocok
dalam suatu hukum dasar yang menyangkut warga negara secara
keseluruhan. Suasana seperti itulah yang memberi latar sosio-
psikologis pada “fase pengesahan” dalam persidangan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pada 18 Agustus 1945, PPKI memilih Soekarno dan
Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia. Pada saat yang sama, PPKI menyetujui naskah “Piagam
Jakarta” sebagai pembukaan UUD 1945, kecuali “tujuh kata” di
belakang sila Ketuhanan, yang telah memunculkan kontroversi
terpanas dalam sesi terakhir persidangan BPUPK, dicoret lantas
diganti dengan kata-kata “Yang Maha Esa”, sehingga selengkapnya
menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sebagai ikutan dari
pencoretan “tujuh kata” ini, dalam batang tubuh UUD 1945
disetujui pula pasal 6 ayat 1: “Presiden ialah orang Indonesia asli”,
tak ada tambahan kata-kata “yang beragama Islam”. Demikian pula

185
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 41-46.
114
Pasal 29 ayat 1 bunyinya menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhana
Yang Maha Esa”, tanpa disertai “tujuh kata” di belakangnya.186
Sejak 18 Agustus 1945, Pancasila telah menjadi dasar
filsafat negara (philosophische grondslag) dan pandangan dunia
(weltanschauung) bangsa Indonesia. Meskipun Undang-Undang
Dasar sejak Proklamasi telah mengalami beberapa kali perubahan,
namun semua Konstitusi itu dalam pembukaannya selalu
menegaskan bahwa negara Indonesia merdeka harus disusun
berdasarkan Pancasila, yang mengandung lima sila yang saling
kait-mengait. Dalam rangkaian perubahan konstitusi tersebut,
rumusan redaksional Pancasila memang mengalami beberapa kali
perubahan, namun urutan silanya tetap. Dalam Pembukaan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), rumusannya adalah:
pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua, Peri Kemanusiaan,
ketiga, Kebangsaan, keempat, Kerakyatan, dan kelima, Keadilan
Sosial.187
Sedangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS 1950) rumusannya adalah: pertama, Ketuhanan
Yang Maha Esa, kedua, Kemanusiaan Yang adil dan beradap,
ketiga, Persatuan Indonesia, keempat, Kedaulatan Rakyat, dan
kelima Keadilan Sosial. Meski demikian, untuk diterima sebagai
norma fundamenta negara (Staatsfundamentalnorm), yang pada
gilirannya akan terkandung dalam (Pembukaan) Konstitusi,
rumusan Pancasila itu perlu persetujuan kolektif melalui
perumusan Piagam Jakarta (22 Juni) dan akhirnya mengalami
perumusan final lewat proses pengesahan Konstitusi Proklamasi
(Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945),
pada 18 Agustus. Oleh karena iu, rumusan final Pancasila sebagai
dasar negara yang secara konstitusional mengingat kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan bukanlah rumusan Pancasila versi 1
Juni atau 22 Juni, melainkan versi 18 Agustus 1945. Rumusan final
Pancasila ini mendapatkan pungukuhan setelah Dekrit Presiden 5
Juli 1959, yang mengembalikan Indonesia ke UUD NRI 1945.
Berdasarkan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 75 Tahun
1959, Rumusan Pancasila dalam Dekrit Presiden itu sama dengan
rumusan yang terdapat dalam Pembukaan UUD NRI tanggal 18
Agustus 1945, dengan sedikit perubahan pada rumusan sila
186
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 46-49.
187
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 51-52.
115
keempat, yakni “permusyawarakatan-perwakilan” diubah menjadi
“Permusyawarakatan/perwakilan”, sesuai dengan yang terdaftar
dalam berita Republik Indonesia Tahun II No. 7.188
Menurut Moh. Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi RI 2008-2013, dasar ideologi Pancasila yang dicetuskan
tanggal 1 Juni 1945 di depan Sidang BPUPKI, dalam kaitannya
dengan agama, khususnya pada sila “ketuhanan” merupakan hasil
penggalian oleh Soekarno setelah, antara lain, bergelut dalam
wacana melalui diskusi, korespondensi, dan polemik mengenai
hubungan antara negara dan agama. Soekarno telah berhasil
menawarkan formula yang sangat fundamental sebagai hasil
penggaliannya melalui wawasannya yang luas, pemikirannya yang
terbuka, dan integritasnya yang tangguh sebagai seorang Muslim
yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Dengan
tawadhu’ (rendah hati) Soekarno mengatakan, bahwa dirinya bukan
orang yang membuat Pancasila melainkan hanya orang yang
menggali dan menemukan Pancasila dari bumi Indonesia sendiri.
Alhasil, Soekarno yang berwawasan luas dengan pemikiran
yang terbuka itu, dalam penggaliannya telah berhasil merumuskan
suatu jalan tengah, yang merupakan jalan kompromi antara
pemikirannya sendiri dengan pemikiran-pemikiran lain, sehingga
berhasil menawarkan suatu formula ideal untuk negara Indonesia
yang kemudian dikenal sebagai negara Pancasila. Jika kemudian
dilihat berdasarkan sudut agama dapat dikatakan, Soekarno telah
berhasil membuat formula mītsāqan ghalīdzā atau kesepakatan
luhur (modus vivendi) yang harus ditaati demi keberlangsungan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesepakatan luhur itu tak
lain adalah Pancasila, yang dalam konsep ilmiah untuk identifikasi
negaranya di dalam literatur sering disebut sebagai religious nation
state, negara kebangsaan yang beragama, bukan negara agama dan
bukan juga sebagai negara sekular.189
Pada tataran tersebut, Yudi Latif menjadikan Pancasila
sebagai jalan panjang untuk memperkuat sikap nasionalisme
Bangsa Indonesia. Pada tataran ini juga, Yudi Latif berpendapat

188
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 52-54.
189
Moh. Mahfud MD, “Bung Karno dan Persenyawaan antara Agama
dan Negara di dalam Pancasila”, dalam sambutan Buku Karya Ahmad Basarah,
Bung Karno, Islam dan Pancasila, (Jakarta: Konstitusi Press, 2017), hlm. xxviii-
xxix.
116
bahwa Pancasila merupakan titik temu, titik tumpu, dan titik tuju
bangsa Indonesia dalam mempertahankan dan dapat menjadi
sebuah konsensus titik temu, titik tumpu dan titik tuju bersama
untuk kedaulatan Indonesia, sehingga dalam mempertahankan dan
menjaga keutuhan Indonesia memiliki persetujuan bersama. 190
Menurut Yudi Latif, Pancasila adalah warisan dari jenius nusantara.
Sesuai dengan karakteristik lingkungan alamnya, sebagai negeri
lautan yang ditaburi pulau-pulau (archipelago), jenius nusantara
merefleksikan sifat lautan. Sifat lautan merupakan menyerap dan
membersihkan, menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Sikap
kelautan juga dalam keluasannya, mampu menampung segala
keragaman jenis dan ukuran. Sebagai “negara kepulauan” terbesar
di dunia, Indonesia sejak lama menjadi titik temu penjelajahan
bahari yang membawa pelbagai arus peradaban, maka jadilah
nusantara sebagai taman sari peradaban dunia.191
Jenius nusantara juga merefleksikan sifat tanahnya yang
subur, memudahkan segala hal yang ditanam yang sesuai dengan
sifat tanahnya, pasti tumbuh. Jenius nusantara adalah
kesanggupannya untuk menerima dan menumbuhkan, termasuk apa
pun budaya dan ideologi yang masuk, sejauh dapat dicerna oleh
sistem sosial dan tata nilai setempat, dapat berkembang secara
berkelanjutan. Sifat religius dan sensitivitas kekeluargaan
memijarkan daya-daya etis dan estetis yang kuat, maka jadilah
nusantara sebagai pusat persemaian dan penyerbukan silang
budaya, yang mengembangkan pelbagai corak kebudayaan yang
lebih banyak dibandingkan dengan kawasan Asia mana pun.
Alhasil, prinsip-prinsip dasar negara Indonesia merdeka yang
dirumuskan oleh para pendiri bangsa tidaklah dipungut dari udara,
melainkan digali dari bumi sejarah keindonesiaan, yang tingkat
penggaliannya tidak berhenti sampai zaman gelap penjajahan,
melainkan menerobos jauh ke belakang hingga ke zaman kejayaan
nusantara. Dalam usaha penggalian itu, para pendiri bangsa juga
memikirkan dan merasakan apa yang dialami bangsanya selama

190
Sebagaimana disampaikan oleh Yudi Latif dalam diskusi melalui
daring dengan tema: Pancasila-Is-Me: Nilai-Nilai Pancasila untuk Indonesia
Maju dan Bahagia, oleh Lembaga Nenilai, Sabtu, Tanggal 11 Juni 2021.
191
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila, cet. Ketujuh, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2019 ),
hlm. 2-3.
117
masa penjajahan dan mengingat apa saja yang pernah mereka
perjuangkan dan impikan sebagai sumber pembebasan,
kebahagiaan, dan identitas bersama.192
Terhadap Pancasila sebagai sebuah konsensus nasionalisme
dalam menjaga keutuhan Indonesia, yang menjadi sentral
pemikiran Yudi Latif, hal senada juga diperkuat oleh pendapat
yang disampikan oleh Arief Hidayat yang merupakan Ketua
Mahkamah Konstitusi RI tahun 2015-2020, dalam sebuah
pengantar buku Ahmad Basarah, menurut Arief Hidayat Pancasila
yang digali oleh Soekarno telah menjadi sebuah konsensus secara
nasional, di dalamnya terkandung nilai-nilai kebenaran etis yang
berakar dari nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai religius yang
hidup dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia jauh sebelum
negara Indonesia merdeka. Artinya, Pancasila bukanlah merupakan
sebatas wacana belaka, melainkan juga sebagai sebuah realitas
objektif dengan legitimasi kuat, baik secara filsafat, politis, yuridis,
historis, maupun secara kultural.
Menurut Arief Hidayat, falsafah Pancasila sebagaimana
Soekarno gali merupakan suatu warisan yang sangat luar biasa.
Betapapun rumusan Pancasila digali dari bumi Indonesia,
kandungan nilainya dapat diterima secara universal. Sebagaimana
dalam pidato Soekarno di depan Kongres Amerika Serikat pada
tanggal 17 Mei 1956. Soekarno dengan kepercayaan diri yang
tinggi menguraikan Pancasila sebagai the five guiding principles of
our bational life, lima pedoman kehidupan nasional, first: believe
in God, second: nationalism, third: humanity, fourth: democracy,
fifth: social justice. Ketika setiap sila disebutkan, semua yang hadir
dalam sidang tersebut bertepuk tangan riuh dan diangkhiri dengan
standing ovation yang panjang.193
Para tokoh nasional sebelum kemerdekaan yang memiliki
kepedulian kuat pada masalah-masalah kebangsaan terkait dengan
agama, sudah sejak awal menyadari potensi ketegangan antara
negara dan agama. Beberapa tokoh bangsa tersebut kemudian
mendiskusikan hubungan antara agama sebagai seperangkat ajaran
dengan negara bangsa atau nasionalisme. Akhirnya mereka

192
Yudi Latif, Negara Paripurna..., hlm. 3-5.
193
Arief Hidayat, “Pengantar”, dalam sambutan Buku Karya Ahmad
Basarah, Bung Karno, Islam dan Pancasila, (Jakarta: Konstitusi Press, 2017),
hlm. xvi.
118
meyakini bahwa negara yang akan dibangun harus mampu
menjamin keutuhan bangsa Indonesia serta harus mampu
melestarikan tradisi dan budaya bangsa. Dari sinilah lahir Pancasila
yang dirimuskan dan digali Soekarno dari tradisi dan budaya
bangsa Indonesia sendiri.194
Secara historis maupun sosiologis serta kultural, menjadi
jelas bahwa Pancasila merupakan bagian integral dan falsafah
hidup bangsa Indonesia. Ini sebabnya, para tokoh dan pemimpin
nasional memahami dengan tepat arti penting Pancasila bagi
bangsa Indonesia, mereka juga sangat merasakan bahwa di dalam
Pancasila itu terkandung pesan-pesan luhur semua agama. Tidak
hanya sampai di situ, nilai-nilai luhur sebagaimana terkandung di
dalam Pancasila tercermin dalam aktivitas sehari-hari bangsa
Indonesia yang moderat, toleran, dan lain-lain. Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa praktik bangsa Indonesia adalah living
Pancasila. Memang, sekalipun hubungan antara Islam sebagai
seperangkat ajaran dengan nasionalisme telah dibincang secara
intensif jauh sebelum kemerdekaan yaitu dalam sidang-sidang
penetapan dasar negara.195
Pancasila merupakan representasi terbaik dari semua konsep
yang ada. pengakuan terhadap eksistensi Tuhan sebagai suatu
entitas yang sakral dan disembah termaktub dengan baik di dalam
sila pertama Pancasila. Ajaran tentang Tuhan merupakan konsep
dasar manusia (Indonesia) sebagai bamba Allah. Hubungan vertikal
antara manusia dengan Allah merupakan sebagai wujud kepatuhan
universal kepada Sang Pencipta merupakan suatu pengakuan tak
terbantahkan dalam sejarah agama-agama samawi. Islam sebagai
agama besar dan mayoritas penganut di Indonesia menempati
posisi penting dalam peletakan dasar negara Pancasila. Rumusan
Ketuhanan Yang Maha Esa telah mengalami perdebatan yang
panjang. Akibat secara langsung dari rumusan tersebut, maka
dalam berbagai surat-surat resmi, keputusan resmi lembaga-
lembaga negara, terutama keputusan hakim, selalu menempatkan
Tuhan sebagai entitas prinsipil. Bahkan dalam putusannya hakim di

194
Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan
Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The
Wahid Institute dan Ma’arif Institute, 2009), hlm.171-172.
195
Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, hlm.172.
119
pengadilan harus mencantumkan dalam amarnya: demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Uang Maha Esa.196
Bagi Yudi Latif, penemuan Pancasila merupakan sejarah
perjuangan dalam mencari titik-temu dari kebhinekaan bangsa.
Dalam hal ini, keteladanan luhur telah ditunjukkan oleh para
founding fathers bangs Indonesia yang merupakan pendiri negara
Indonesia. Betapun para pendiri bangsa memiliki suatu imajinasi
yang beragam tentang corak kebangsaan yang hendak diwujudkan
di masa depan, menjelang kemerdekaan Indonesia perwakilan
masing-masing pihak yang saling berseberangan itu dapat duduk
bersama dalam rangka untuk mencari titik-temu. Di dalam panitia 9
dari BPUPKI, yang merancang Preambul UUD 1945, silang
pandangan antara kelompok tersebut akhirnya memperoleh
konsesus yang dewasa dan memenangkan semua pihak. Hai itu
tercantum pada alinea ketiga: “atas berkat rahmat Allah Yang
Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Alinea ini
mencerminkan bertemunya pandangan dua arus utama politik
Indonesia: “nasionalis sekuler” yang menitikberatkan kehidupan
kebangsaan yang bebas, dan “nasionalis Islamis” yang
melandaskan perjuangannya atas rahmat Allah Yang Mahakuasa.197

C. Solusi Penerapan Problem Nasionalisme di Indonesia


Menurut Yudi Latif
Menurut Yudi Latif, hal yang paling utama untuk dapat
menjawab semua problem dalam rangka untuk memperkuat
kembali rasa nasionalisme bangsa Indonesia adalah mereformasi
pengelolaan negara dengan memahami kembali konsepsi dasar
‘negara-bangsa’. Bangsa (nation) merupakan suatu ‘konsepsi
kultural’ yang berhubungan dengan komunitas yang diimajinasikan
sebagai entitas dari suatu kerabat (kinship) yang biasanya diikat
oleh suatu kemampuan self-rule. Sedangkan ‘negara’ (state)
merupakan suatu ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas politik
yang tumbuh berdasarkan kontrak sosial yang meletakkan individu

196
Asmaeny Azis, Dasar Negara Hubungan Pancasila, Marhaenisme,
Marxisme dan Kapitalisme dalam Skema Politik Indonesia, (Yogyakarta: RUAS
Media, 2017), hlm. 49.
197
Yudi Latif, “Tafsir Sosiologi atas Piagam Madinah”, hlm. 29.
120
ke dalam kerangka kewarganegaraan (citisenship). Dalam kerangka
ini, menurut Yudi Latif, individu akan dipertautkan kepada suatu
unit politik (negara) dalam kedudukan yang sederajat di depan
hukum. Dengan kata lain, bangsa akan beroperasi atas prinsip
kekariban. Sedangkan negara beroperasi atas prinsip hukum dan
keadilan. Konsepsi negara-bangsa mengisayaratkan perlu adanya
keserasian (congruency) antara ‘unit kultural’ (bangsa) dengan
‘unit politik’ (negara). terhadap persoalan ini intinya adalah
bagaimana menemukan bangun dan jiwa kenegaraan yang mampu
mengakomodasi keragaman kebangsaan.198
Menurut Yudi Latif, masalah yang dihadapi oleh Indonesia,
khususnya pasca-kolonial adalah ketiadaan keserasian antara kedua
unit, yaitu antara bangsa sebagai unit kultural dan negara sebagai
unit politik. Hakikat kebangsaan Indonesia adalah “nations in
nation” yang mencerminkan adanya ‘keragaman dalam kesatuan’
dan ‘kesatuan dalam keragaman’. Keindonesiaan mencul sebagai
refleksi dari adanya kehendak bersama, pelbagai gugus bangsa,
untuk bersatu karena musuh bersama atau demi kesejahteraan
bersama. Sekali “merdeka”, kehendak bersama itu ternyata sulit
ditumbuhkan lagi, karena ketidakmampuan bangsa Indonesia
dalam menghadirkan bangun negara memiliki kecocokan dengan
watak bangsanya. Pilihan pada negara kesatuan yang sentralistik
dengan kecenderungan penyeragaman dan sentralisasi kekuasaan
yang eksesif membawa konsekuwensi melemahnya partisipasi dan
otonomi sebagai bantalan vital sebagai kehendak bersama.
Transformasi ke arah desentralisasi pengelolaan negara merupakan
solusi terhadap masalah tersebut. Substansinya adalah bagaimana
melakukan ‘gotong royong’ dengan melibatkan otoritas lokal
dalam manajemen sumberdaya ekonomi, politik, dan kultural.199
Lemahnya keterpautan asosiasional sebagian besar orang
Indonesia terutama disebabkan oleh ekspresi hegemonik dari
negara, terutama selama berkuasanya Orde Baru. Melalui strategi
korporatisnya, negara Orde Baru melakukan kontrol yang sangat
ketat terhadap pelbagai asosiasi, yang secara otomatis melakukan
kendali terhadap proses belajar sosial. Hasil akhir dari cara-cara
autoritarian dalam manajemen negara itu adalah kesinambungan
evolusi sosial-politik yang bersifat patologis. Dalam kondisi yang
198
Yudi Latif, “Tafsir Sosiologi atas Piagam Madinah”, hlm. 25.
199
Yudi Latif, “Tafsir Sosiologi atas Piagam Madinah”, hlm. 25-26.
121
demikian, civil society dan asosiasi-asosiasi terbuka yang
diharapkan dapat menciptakan universum simbolik alternatif,
sebagai tandingan terhadap simbol-simbol komunal tidak bekerja
sebagaimana mestinya. Sebagai konsekuwensinya, konflik sosial
yang seringkali berdimensi ekonomi-politik seringkali
disublimasikan ke dalam konflik-konflik identitas, dengan
menggunakan simbol-simbol komunal yang diwarisi dari
pengalaman traumatis masa lalu.200
Kesemua persoalan dan kemungkinan solusinya harus
diletakkan dalam kerangka reformasi kelembagaan dan pranata
kenegaraan. Semua pengandaian lama tentang hubungan dan fungsi
lembaga-lembaga kenegaraan harus ditinjau ulang. Manajemen
negara patrimonial, dengan kecenderungan personifikasi
kekuasaan, yang sarat penyalahgunaan wewenang dan irasionalitas
dukungan politik, harus digantikan oleh majemen fungsi yang
berbasis transparansi dan akuntabilitas, dengan memberdayakan
lembaga kontrol dan ‘keseimbangan’ (checks and balances).
Penyelesaian-penyelesaian sosial-politik yang bersifat high-touch
melalui mekanisme ‘bawah tangan’ yang bersifat ad hoc harus
ditransformasikan ke dalam penemuan mekanisme institusional dan
konstitusional yang bersifat ‘sekali untuk selamanya’ (once and for
all). Dengan demikian, menurut Yudi Latif, reformasi kenegaraan
harus diletakkan dalam suatu kerangka tertib politik di bawah
kepemimpinan hukum. Di dalam kerangka supremasi hukum,
negara harus mampu melindungi keamanan dan keadilan bagi
seluruh warga negara dan seluruh tumpah darah Indonesia. Di
depan hukum, semua individu adalah warga negara tidak dibeda-
bedakan menurut latar belakang sosiografisnya. Demi menegakkan
hukum, aparatur negara, terutama lembaga yustisia dan tentara
harus dibuat impartial secara politik.201

a. Beberapa Solusi sebagai Revolusi Nilai-Nilai Pancasila


yang Ditawarkan Yudi Latif dalam Mempertahankan
Nasionalisme Indonesia

a) Sosial

200
Yudi Latif, “Tafsir Sosiologi atas Piagam Madinah”, hlm. 27-28.
201
Yudi Latif, “Tafsir Sosiologi atas Piagam Madinah”, hlm. 28-29.
122
Menurut teori ‘patologi sosial’, sebab pokok masalah sosial
adalah terjadinya kegagalan sosialisasi norma-norma moralitas.
Sangat banyak individu yang melakukan pelanggaran terhadap
ekspektasi kepatutan moral. Seperti oknum penegak hukum yang
menjadi pelindung para penjahat, “bonek” menghacurkan sarana
publik, wakil rakyat yang hanya mementingkan dan
memperjuangkan aspirasi yang dibayar. Erosi moralitas ini
disebabkan oleh kegagalan proses belajar sosial akibat kerapuhan
sistem pendidikan dan pranata sosial. Dalam masyarakat
tradisional, kontrol moral ini dapat dilakukan melalui kedekatan
hubungan sosial yang selalu dijalin dan dijaga bersama. Karena
modernisasi, hubungan sosial menjadi renggang diikuti
menguatnya ketidakpedulian sosial. Sementara itu, institusi
pendidikan dan pranata baru masyarakat tidak memiliki
kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan. Dalam
perspektif ini, menurut Yudi Latif solusinya adalah penyempurnaan
proses belajar sosial dan pendidikan moral-karakter.202
Menurut Yudi Latif, dalam rangka untuk penguatan serta
dukungan terhadap kohesi sosial bagi masyarakat, setidaknya hal
yang harus dilakukan, antara lain:
1. Melenyapkan struktur sosial masyarakat feodalistik dan
kolonialistik-kapitalistik yang bersifat diskriminatif, menjadi
struktur masyarakat Pancasilais yang bersifat egaliter, sama
dapat sama rasa, dengan semangat persatuan nasional yang
mengatasi kepentingan perseorangan dan golongan.
2. Cara yang ditempuh untuk melakukan transformasi sosial itu
dengan menetapkan “kesadaran sosial” dari lima kesadaran,
yaitu: pertama, kesadaran nasional, kedua, kesadaran
bernegara, ketiga, kesadaran berpemerintahan, keempat,
kesadaran sosial, dan kelima, kesadaran bela negara.
3. Perwujudan dari kelima kesadaran tersebut tercermin dalam;
pertama, semangat persatuan dan kemandirian bangsa, kedua,
semangat kewargaan yang inklusif, ketiga, semangat
menyelaraskan hak dan kepentingan perseorangan dengen
kewajiban dan kepentingan bersama, keempat, semangat
gotong royong yang dinamis, dan kelima, semangat patriotisme
dengan rela berkorban.203
202
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 393.
203
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 422.
123
Pada kesempatan yang lain, dalam kolom analisis politik
harian Kompas, Yudi Latif menjelaskan bahwa, merenggangnya
kohesi sosial bangsa Indonesia saat ini mengindikasikan
melemahnya semangat gotong royong yang disebabkan oleh
memudarnya faktor-faktor sebagai berikut:
Pertama, kepentingan bersama mulai memudar yang
diakibatkan oleh kesenjangan sosial dalam beragam bentuk; yang
satu untung, yang lain buntung. Konsekuensinya adalah persepsi
tentang ancaman bersama pun menjadi pudar, bahkan ada yang
memandang bahwa ancaman tersebut datang dari fundamentalisme
agama, bahaya laten komunisme, fundamentalisme pasar, golongan
ras dan etnis tertentu, dan sebagainya.
Kedua, negara Indonesia telah berkembang menjadi negara
surplus peraturan, tetapi devisit etika dan penegakan noram.
Beragam Undang-Undang dibuat hanya untuk dilanggar. Rasa
hormat dan kesetiaan pada bersama telah pudar karena undang-
undang dan peraturan disalahgunakan. Rasa malu dan hasrat
menjaga reputasi aus karena sanksi sosial tak lagi efektif. Hasrat
mengejar kemuliaan hidup dengan menjalan kebajikan kewargaan
terus meredup karena ganjaran dan hukuman tidak dijalankan dan
tidak dipatuhi secara konsisten bahkan segala nilai dikonversikan
ke dalam nilai uang.
Ketiga, mekanisme pengambilan keputusan mengenai
urusan bersama mulai kehilangan daya inklusivitas. Hal ini terjadi
manakala model demokrasi yang dikembangkan lebih didasarkan
pada prinsip-prinsip majoritarian dengan adu modal finansial,
ketimbang pada prinsip-prinsip permusyawaratan berlandaskan adu
argumen dan hikmat kebijaksanaan. Demokrasi yang semestinya
mampu menautkan keragaman dengan ikatan persatuan dan
keadilan justeru mendorong ke arah perpecahan dan kesenjangan
sosial.
Keempat, sebagai taruhan dari segala dekadensi tersebut,
kesetiaan warga terhadap konsesnsus bersama sebagai sesuatu yang
“disucikan” mulai ditanggalkan. Banyak pihak mulai berani
mengabaikan bahkan menghinakan dasar negara Pancasila. Dasar
nilai bersama (shared values) yang menjadi titik-temu, titik-tuju,
dan titik-tumpu dari segala perbedaan kepentingan dan golongan di
negeri ini, tak lagi sungguh-sungguh dibudayakan dan dijunjung

124
tinggi sebagai “agama sipil” (civic religion) yang menempati
jantung spiritualitas gotong royong.
Bagi Yudi Latif persoaln tersebut adalah bukan masalah
yang harus diremehkan, namun harus ditanggapi secar serius,
bahkan semua itu merupakan tanda-tanda alam sosial yang harus
dicermati dengan sungguh-sungguh. Kurang waspada terhadap
pergeseran lempengan-lempengan sosial dan kurang taat terhadap
prinsip-prinsip tata (ruang) negara, maka kemunculan gempa sosial
dapat saja membuat negara Indonesia mengalami lukuefaksi yang
membuatnya terperosok ambles ditelah bumi.204

b) Politik
Dalam persoalan politik, Yudi Latif juga menawarkan
beberapa solusi dalam rangka merubah kebijakan-kebijakan negara
yang selama ini dianggap tidak tidak pro-rakyat. Yudi Latif
menawarkan melalui revolusi politik, dengan tujuan untuk
perombakan mendasar terhadap sistem politik feodalistik dan
kolonialistik, menjadi sistem politik demokratis-kerakyatan secara
terpimpin oleh hikmat-kebijaksanaan.205 Adapun solusi yang
ditawarkan oleh Yudi Latif adalah meliputi: mengukuhkan
Pancasila sebagai ideologi negara, mengukuhkan negara hukum
Pancasila, memperjuangkan kedaulatan dalam politih yang
meliputi, pertama, penataan kelembagaan negara, dan kedua,
penguatan demokrasi musyawarah.

1. Mengukuhkan Pancasila sebagai ideologi negara


a. Menjadikan prinsip-prinsip pancasila sebagai titik tumpu
dalam penyusunan haluan Negara (pedoman direktif),
peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan tata kelola
negara.
b. Mengembangkan Pancasila secara integral sebagai sistem
keyakinan (membangsa-menegara), sistem pengetahuan,
dan sistem tindakan.
c. Menetapkan norma hukum dan norma etika yang
mewajibkan para penyelenggara negara untuk menjunjung
nilai Pancasila sebagai pedoman kebijakan dan tindakan.
204
Yudi Latif, “Likuefaksi Negara”, dalam Analisis Politik Harian
Kompas, Edisi Kamis, 11 Pktober 2018.
205
Yudi Latif, Revolusi Pancasila, hlm. 65.
125
d. Menjadikan Pancasila sebagai dasar haluan dan
transformasi mental-karakter, institusional-politikal, dan
material-teknologikal.
e. Mentransformasikan Pancasila yang semula hanya melayani
kepentingan vertical (negara) menjadi Pancasila yang
melayani kepentingan horizontal, dengan melibatkan segala
elemen dan kekuatan nasional dalam proses penafsiran,
pengisian, dan penyebarluasan Pancasila
f. Menjadikan pancasila sebagai kritik terhadap kebijakan
negara.

2. Mengukuhkan Negara Hukum Pancasila


a. Menetapkan konstitusi yang tepat untuk melaksanakan
transformasi sosial berbasis Pancasila. Perlu ada peninjauan
ualang terhadap (UUD NRI 1945) hasil amandemen,
dengan mempertahankan kerangka dasar sistematik negara
kekeluargaan, seraya memberi peluang bagi perubahan pada
hal-hal yang bersifat instrumental.
b. Menetapkan Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat),
dengan menetapkan pancasila sebagai
staatfundamentalnorm yang harus menjadi sumber dari
segala sumber hukum negara. Atas dasar itu, harus ada
audit terhadap produk perundang-undangan dan peraturan
daerah dengan menghapus segala undang-undang yang
kandungan nilainya bertentangan dengan norma dasar
Pancasila
c. Pengembangan demokrasi harus sejalan dengan nomokrasi
(rule of law). Agar kualitas demokrasi kita berjalan sehat,
perlu ada jaminan penegakan dan kepastian hukum, yang
benar, adil, dan profesional. Untuk itu perlu ada
pembenahan secara mendasar pada aparatur penegak
hukum.

3. Memperjuangkan Kedaulatan dalam Politik


Membentuk pemerintahan negara yang dapat melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan cara:
a. Mengembangkan hubungan luar negeri bebas-aktif
berdasarkan prinsip kemerdekaan, perdamaian dan keadilan

126
b. Menjamin hak dasar warga dan keselamatan wilayah,
keadilan dan kepastian hukum, serta ketertiban dan
kedisiplinan aparatur negara dan masyarakat.
c. Melakukan pendalaman dan perluasan demokrasi
berlandaskan nilai-nilai Pancasila, melalui penataan
kelembagaan negara dan penguatan demokrasi
permusyawaratan.
d. Arah pembangunan tata kelola negara harus mampu
merespon empat sasaran utama pembangunan institusi
sosial-politik, seperti yang telah diuraikan diatas:
pemberdayaan partisipasi rakyat dalam berbagai bidang
pembangunan, pertanggungjawaban sistemik melalui
pemerintahan yang respontif dan efektif, penyempurnaan
rezim kesejahteraan umum, dan revitalisasi nomokrasi (rule
of law).206

Dalam memperjuangkan kedaulatan dalam hal politik,


menurut Yudi Latif, terdapat dua hal yang harus dilakukan
penataan, yaitu;
1. Penetaan Kelembagaan Negara
a. Merevitalisasi peran dan fungsi Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Keanggotaan MPR terdiri dari anggtota-anggota
DPR, perwakilan (utusan) daerah, dan perwakilan (utusan)
golongan. Dalam institusionalisasinya di MPR, perwakilan
daerah dan perwakilan golongan ini bisa merupakan fraksi
yang terpisah atau bisa juga disatukan dalam suatu kamar
bersama (Dewan Perwakilan Daerah dan Golongan). Selain
itu, bila dalam UUD 1945 asli, utusan daerah dan golongan
ini hanya berfungsi di MPR; dengan begitu, pekerjaan
rutinnya boleh dikatakan selesai setelah UUD dengan
GBHN ditetapkan. Di masa depan, perwakilan daerah dan
golongan bisa diberi kewenangan legislasi biasa, dengan
berhak mengajukan dan ikut membahas RUU, atau
memberikan persetujuan terhadap RUU yang diajukan
DPR, sebagai kekuatan penyeimbang terhadap DPR dala
semangat kekeluargaan.
b. Presiden tidak diberi kewenangan untuk membentuk haluan
kebijakan dasar tersendiri. Tugas Presiden hanya membuat
206
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 412-415
127
progam-program pembangunan dan kebijakan
implementasinya yang sejalan dengan haluan direktif.
c. Masa jabatan dan berapa kali Presiden bisa dipilih kembali
harus dibatasi. Seturut dengan itu, Presiden tidak bisa
dimakzulkan langsung oelh MPR tanpa melalui mekanisme
pengadilan di Mahkamah Konstitusi/Mahkamah Agung.
d. Perlu dibentuk peradilan konstitusi; bisa dengan
membentuk mahkamah tersendiri (Mahkamah Konstitusi)
atau bagian khusus dalam Mahkamah Agung. Terhadap
keputusan MK/MA yang bermasalah (tak sejalan dengan
semangat pancasila dan prinsip-prinsip negara hukum)
dalam memutus perkara yang berkaitan dengan judicial
review, harus disediakan mekanisme korektifnya.
e. Perlu ada pembenahan secara mendasar terhadap postur
birokrasi, dengan melakukan perampingan untuk
menghindari jebakan disfungsi “obesitas birokrasi” yang
menguras anggaran pembangunan.
f. Perlu ada penataan uang terhadap komisi-komisi negara
untuk menghindari tumpang-tindih kewenangan, serta
pelemahan terhadap institusi-institusi negara yang
permanen.
g. Perlu penguatan terhadap lembaga pemberatasan korupsi.
h. Merehabilitasi kewibawaan dan integritas lembaga-lembaga
penegak hukum, melalui perbaikan sistem rekrutmen,
sistem pengawasan, dan sistem promosi jabatan.
i. Melakukan peninjauan ulang pelaksanaan otonomi daerah
agar tidak merusak sendi-sendi integrasi dan konektivitas
negara kesataun. Peninjauan mana akan berimplikasi
terhadap cara pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah

2. Penguatan Demokrasi Permusyawaratan


a. Menggantikan anasir-anasir sistem demokrasi liberal
dengan merestorsi sistem demokrasi Pancasila, dengan
memulihkan cita kerakyatan, permusyawaratan, dan himat
kebijaksanaan.
b. Melakukan penyederhanaan kepartaian, dengan
mengembangkan partai-partai yang berbasis ideologis
bukan berbasis kekuatan logistic. Untuk konsolidasi
kepartaian, sistem pemilihan secara proposional terbuka
128
harus diganti dengan sistem pemilihan yang lebih memberi
ruang bagi keterpilihan kader-kader ideologis yang
berkompeten dan berintegritas.
c. Membatasi biaya kekuasaan dengan menerapkan aturan
permainan yang lebih fair yang ketata dalam biaya dan
masa berkampanye, serta mencari modus pembiayaan partai
yang lebih sehat.
d. Memperluas demokrasu yang mengarah pada keadilan
sosial melalui penerapan rezim negara kesejahteraan.
Negara kesejahteraan yang dimaksud adalah pemerintahan
demokratis yang menempatkan negara sebagai institusi
yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan rakyat,
melalui serangkaian kebijakan publik dalam
mengintegrasikan kebijakan ekonmi dan kebijakan sosial
demi pencapaian kesejahteraan dan keadilan sosial, sistem
negara kesejahteraan diorientasikan untuk: pertama,
mempromosikan efisiensi ekonomi; kedua, mengurangi
kemiskinan; ketiga, memperkuat kesejahteraan sosial;
keempat, mengembangkan integrasi sosial atau menghindari
ekslusi sosial; kelima, menajamin stabilitas sosial; dan
keenam, mempromosikan kemandirian individu.
e. Perlu dibentuk semacam front nasional yang melibatkan
elemen-elemen masyarakat politik dan masyarakat sipil
dengan konsensus memperjuangkan transformasi sosial
berbasis Pancasila.207

c) Pendidikan
Pendidikan hendaknya senantiasa memelihara, membina,
dan turut mengembangakan budaya nasional pada umumnya, serta
budaya sekolah yang mengarah kepada kondusif bagi transmisi dan
transformasi nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat bangsa
dan negara. Pendidikan yang baik, merupakan vital bagi dinamika
dan keselamatan suatu bangsa, karena pendidikan menjadi penjaga
peradaban dan pelindung kemajuan. Pendidikan nasional Indonesia
harus senantiasa mengelorakan pengembangan Indonesian spirit
serta ilmu dan teknologi yang tidak bertentangan dengan
kepribadian bangsa Indonesia. Pendidikan nasional Indonesia perlu
senantiasa direjuvenasi agar proses pembentukan yang tiada henti
207
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 415-418.
129
dapat mewujudkan bangsa yang maju, bermartabat, dan memiliki
jati diri yang kokoh dinamis dalam menjawab tantangan zaman.208
Menurut Yudi Latif, untuk memperkuat basis nilai dan
karakter bangsa maka diperlukan proses persemaian dan
pembudayaan dalam sistem pendidikan. Proses pendidikan sejak
dini, baik secara formal, non-formal maupun informal, menjadi
tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan
memiliki karakter yang kuat. Maka pendidikan sebagai proses
belajar menjadi manusia berkarakter berorientasi ganda, yaitu
memahami diri sendiri dan memahami lingkungannya. Ke dalam,
pendidikan harus memberi wahana kepada peserta didik untuk
mengenali siapa dirinya sebagai ‘perwujudan khusus’ dari alam.
Sebagai perwujudan khusus dari alam, setiap orang memiliki
keistimewaan-kecerdasannya masing-masing. Proses pendidikan
harus membantu peserta didik menemukenali kekhasan potensi diri
tersebut sekaligus kemampuan untuk menempatkan keistimewaan
diri dalam konteks keseimbangan dan keberlangsungan jagad besar.
Sedangkan ke luar, pendidikan harus memberi wahana
kepada anak didik untuk mengenali dan mengembangkan
kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem
perilaku bersama, melalui olah pikir, olah rasa, olah karsa dan olah
raga. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan
sistem perilaku tersebut secara keseluruhan membentuk lingngan
sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter seseorang
berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk. Dengan kata lain,
perilaku manusia merupakan fungsi dari karakter personal dan
budaya (lingkungan karakter kolektif). Adapun pendidikan sebagai
proses belajar memanusia berfungsi untuk memfasilitasi
pengembangan karakter personal dan kebudayaan yang baik, benar,
dan indah, sebagai wahana pembentukan manusia seutuhnya.209
Pendidikan sebagai proses pembudayaan bukan hanya
diorientasikan untuk mengembangkan pribadi yang baik, tetapi
juga masyarakat yang baik. Setiap pribadi membentuk dan
dibentuk oleh jaringan relasi sosial. Kebijakan individu hanya
208
Dwi Siswoyo, “Diskursus Pendidikan Pancasila”, dalam Pancasila
dalam Praksis Pendidikan, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2019),
hlm. 60-65.
209
Yudi Latif, “Prolog Pancasila: Basis Pendidikan Karakter dan
Pemupukan Kecerdasan Kewargaan”, dalam Pancasila dalam Praksis
Pendidikan, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2019), hlm. 1-3.
130
mencapai pertumbuhannya yang optimum dalam kolektivitas yang
baik. Pribadi yang baik lebih besar kemungkinannya menjadi
warga negara yang baik manakala tumbuh dalam lingkungan
kolektif yang baik. Para pendiri bangsa menyadari benar arti
pentingnya Pendidikan bagi perwujudan cita-cita kesetaraan dan
kemajuan bangsa. Atas dasar renungan sejarah akan pentingnya
pendidikan sebagai sarana emansipasi, kesejahteran, dan
kemartabatan bangsa, dalam menyusun pembukuan UUD 1945,
para perancang yang mewakili kesadaran ini secara terang
menempatkan usaha ‘mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai
salah satu basis legitimasi negara kesejateraan Indonesia, sebagai
mana tertuang dalam Alinea ke empat pembukaan UUD NRI
1945.210
Hasrat umum akan kesetaraan sosial dan berakhirnya
diskriminasi itu memperoleh pijakannya pada politik pendidikan.
Menyadari bahwa kualifikasi pendidikan merupakan sarana kuat
yang mengakat status sosial selama priode kolonial, munculah
kesadaran politik yang kuat pada orang-orang dari kelompok-
kelompok status yang berbeda untuk menghapuskan regulasi-
regulasi yang membatasi, seraya memperluas pilihan-pilihan
masyarakat dalam bidang pendidikan. Komitmen politik untuk
memenuhi hasrat semacam itu menjadi salah satu misi negara
seraya mana tertuang dalam alinea ke empat pembukaan UUD NRI
19945, yakni ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Seturut dengan
itu, pasal 31 UUD NRI 1945 menyatakan: ‘setiap warga negara
berhak mendapatkan pengajaran’. Dengan pasal itu, pendidikan
merefleksikan cita-cita kesetaraan sekaligus dihadapkan sebagai
pebentuk kesetaraan. Semangat yang terkandung di dalam pasal 31
tersebut menggemakan apa yang pernah dikatakan oleh Horace
Mann, pelopor pendidikan publik Amerika Serikat, pada 1848:
‘education, then, beyond all other device of the social machinery’
(pendidikan, oleh karenanya, melebihi seluruh perangkat asal
manusia lainya, adalah suatu penyetara akbar dari kondisi-kondisi
manusia, roda keseimbangan dari mesin sosial).211

210
Yudi Latif, Pendidikan yang Berkebudayaan; Historis, Konsepsi,
dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2020), hlm. 237-238
211
Yudi Latif, Pendidikan yang Berkebudayaan..., hlm. 240.
131
Terhadap gerak laju pendidikan di Indonesia, mengutip
pasal 26 dari Duham, menurut Yudi Latif, ketetapan pasal 31 yang
mengakui kesetaraan akses terhadap pendidikan sebagai hak dasar
warga negara mendahului apa yang kemudian akan menjadi
ketetapan dalam Universal Declarationa of human rights
(Deklarasi universal Hak-Hak Asasi Manusia, Duham) pada 1948,
yang menjadi bagian dari pendidikan persatuan bangsa-bangsa.
Pasal 26 dari deklarasi tersebut menyatakan:
1. Setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus
gratis, setidak-tidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan
pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan.
Pendidikan teknik dan jurusan secara umum harus terbuka bagi
semua orang, dan pengajaran tinggi harus secara adil dapat di
akses oleh semua orang, berdasakan kesepakatan.
2. Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi
yang seluas-luasnya serta memperkokoh rasa penghargaan
terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi. Pendidikan
harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan
persahabatan di antara semua bangsa, kelompok ras maupun
agama, serta harus memajukan kegiatan Perserikatan Bangsa-
Bangsa dalam memelihara perdamaian.
3. Orang tua mempunyai hak utama untuk memilih jenis
pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.212
Dalam kaitan dengan substansi dalam segi transformasi
pendidikan, perlu dijaga kesepadanan antara aspirasi dan
kapabilitas. Untuk itu, jangan melakukan dekonstruksi yang tak
terukur, yang sulit direkonstruksi ulang dalam jangka pendek.
Apabila dalam kondisi tatanan politik yang tidak memberi jaminan
bagi keberlangsungan agenda antar-rezim.

1. Pembenahan Sekolah Dasar dan Guru.


Ibarat pohon, akar merupakan titik tumpu ketahanan
bertumbuh. Demikian juga halnya dalam proses tumbuh hidup
manusia. Solusi atas keterbelakangan hasil pendidikan, harus
dimulai dengan memperkuat pendidikan pada tingkat sekolah
212
Yudi Latif, Pendidikan yang Berkebudayaan..., hlm. 241.
132
dasar. Sesuai dengan namanya, pendidikan dasar harus benar-benar
memberikan modal kapabilitas dasar dalam proses belajar menjadi
manusia seutuhnya. Pendidikan sebagai proses kebudayaan
menghendaki agar proses belajar-mengajar tidak hanya berorientasi
pada pengembangan kemampuan kognitif, melainkan juga
kemampuan afektif dan konatif.
Pendidikan dasar bertujuan menyiapkan peserta didik
menjadi manusia pembelajar dan warga negara yang baik. Sebelum
memasuki Sekolah Dasar (SD), pendidikan usia dini menjadi
wahana pembentukan karakter personal dengan belajar mengenali
diri dan lingkungannya, rasa ingin tahu serta sehat jasmani-rohani
dengan melatih fungsi pancaindra. Pada tahap ini, harus dihindari
pemaksaan dini aneka jenis hafalan dan kemampuan literasi-
numetik. Pendidikan SD harus menghindari beban kurikulum yang
berlebihan. Yang perlu ditumbuhkan adalah kecakapan (ilmu) dasar
manusia pembelajaran: budaya membaca, menulis, menghitung,
dan menutur. Sesuai dengan namanya.213
Menurut Yudi Latif, pendidikan dasar harus benar-benar
memberikan modal dasar dalam proses belajar menjadi manusia
seutuhnya. Dengan demikian, kurikulum pendidikan dasar harus
memperhatikan empat hal mendasar sebagai berikut:
a. Kurikulum pendidikan dasar harus memberi perhatian pada
olah pikir lewat pembelajaran membaca, menghitung,
menukur, mendengar, menulis, dan meneliti dalam kerangka
budi pekerti.
b. Kurikulum pendidikan dasar harus menyediakan peserta didik
suatu wahana olah rasa untuk mengasah daya-daya afeksi yang
dapat memperkuat kepekaan esteik, kehalusan perasaan,
keindahan perangai, kepekaan empati dan solidaritas sosial,
sensitivitas daya sripitualitas, ketajaman rasa keadilan,
semangat kebangsaan (nasionalisme), dan gotong-royong.
Untuk itu, kurikulum pendidikan hendaklah memberi perhatian
pada pelajar kesenian (estetika). Moral keagamaan,
213
Yudi Latif, Pendidikan yang Berkebudayaan..., hlm. 376-377.
133
kesejateraan, pendidikan karakter personal dan kewargaan,
wawasan kebangsaan dan kemanusiaan.
c. Kurikulum pendidikan harus memberi wahana olah raga untuk
mengembangkan ketahanan, ketangkasan, dan kesehatan
jasmani, yang diperlukan sebagai sarana fisik untuk
mengaktualisasikan segala potensi budi-pekerti anak. Tak
kurang dari filsuf pendidikan seperti Socrates dan Plato jauh-
jauh hari telah menekankan pentingnya pendidikan gimnastik
(olah tubuh/fisik). Olah raga selain menawarkan
kesederhanaan dalam menghasilkan hidup sehat, juga dapat
mengembangkan sportivitas, keriangan permainan, ketahanan
mental, keberanian mengambil resiko, semangat kerjasama,
dan jiwa patriotisme.
d. Kurikulum pendidikan harus membutuhkan olah karsa yang
dapat mendorong kemauan peserta didik untuk
mengembangkan kreativitas-inovasi dan kecakapan hidup
dengan mengenali dan mengaktualisasikan potensi kecerdasan
masing-masing.214

2. Pembenahan Pendidikan pasca-SD


Di tingkat SLTP, berbagai mata pelajaran menurut rumpun
ilmu boleh mulai diperkenalkan, namun fungsinya sebatas
mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi pelajaran
sesungguhnya di tingkat SLTA. Sekolah sesungguhnya, dalam arti
mendalami keilmuan, dimulai pada tingkat SLTA. Meski demikian,
menurut Yudi Latif, penjurusan pada tingkat ini belum diperlukan.
Sebelumnya sudah dikemukakan, tidak perlu melakukan
spesialisasi terlalu dini. Biarkan anak mengenali berbagai ilmu,
agar memiliki wawasan multidisiplin, seraya lebih menyadari
bidang keilmuan apa yang sesuai dengan predisposisinya.
Pada tingkat Perguruan Tinggi, orientasi pendidikan
bukanlah menjadi word class university seperti secara latah
didengungkan, melainkan menjadi pilar penting dalam mendukung
214
Yudi Latif, Pendidikan yang Berkebudayaan..., hlm. 378-379.
134
pembangunan nasional. Menjadi universitas kelas dunia hanyalah
dampak ikutan manakala penyelenggaraan Tridharma Perguruan
Tinggi dalam kerangka pembangunan nasional dijalankan secara
sungguh-sungguh dengan memberi nilai tambah secara efektif,
efisien, dan unggul secara berkesinambungan.
Pembenahan mutu dan kompetensi pendidikan itu
memerlukan pembenahan dan transformasi dalam kebijakan
pendidikan. Pada tataran ini, Yudi Latif mengutip buku The
Politics of Structural Education Reform, karya Keith A. Nitta
(2017), menujukan perubahan kecenderungan dalam usaha
transformasi pendidikan diberbagai negara. Dikatakan bahwa,
pendidikan dipandang sebagai isu domestik. Keputusan kebijakan
mengenai apa yang akan di bayar, apa yang akan diajarkan pada
siswa, siapa yang aka mengajar mereka, dan di mana mereka akan
dididik, ditetapkan dengan mempertimbangkan sejarah nasional,
budaya, norma, dan kondisi politik masing-masing negara.
Meskipun demikian, arus global membawa ke cenderungan baru
dalam manajemen pendidikan. Beberapa negara mengadopsi
beberapa elemen dari praktik-praktik terbaik negara lain, yang
membawa irisan-irisan persamaan dalam kebijakan terutama untuk
sistem pendidikan dasar dan menengah.215

d) Ekonomi
Ekonomi merupakan salah satu faktor yang bersifat rasional
instrumental. Rasional berarti orang-orang akan mau dan bersedia
bersatu karena kepentingan-kepentingan dan pertimbangan-
pertimbangan yang logis, semua akan berpikir akan mendapatkan
segala sesuatunya berdasarkan kebutuhannya, sepanjang seseorang
mendapatkan apa yang diperlukan terpenuhi, maka orang akan
bersedia dan bahkan mendukung kesatuan atau kelompok orang-
orang tersebut. Dalam konteks ekonomi, kebutuhan lebih bersifat
pemenuhan kebutuhan material. Artinya, sikap dan perilaku yang
dimunculkan seseorang lebih banyak atau bahkan sepenuhnya
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kebutuhan material.
Sepanjang kebutuhan material banyak didapatkan oleh orang-orang
215
Yudi Latif, Pendidikan yang Berkebudayaan..., hlm. 381-384.
135
dalam kesatuan tersebut, maka semakin kuatlah kohesivitas (daya
ikat) kelompok tersebut, sebaliknya maka kohesivitas kelompok
tersebut akan mengendur dan bahkan dapat terjadi disintegrasi.
Demikian juga yang terjadi pada bangsa Indonesia, bila
secara ekonomi seluruh warga bangsa terpenuhi segala
keperluannya secara layak atau bahkan dapat berkecukupan, maka
kesatuan dan persatuan bangsa akan semakin kokoh dan
nasionalisme dengan sendirinya akan semakin kuat. Dengan
catatan, dalam pemenuhan kebutuhan tersebut terjadi pembagian
secara adil, apabila sebaliknya yaitu tidak terdapat keadilan atau
justru banyak di antara warga bangsa yang tidak terpenuhi
kebutuhan materinya, maka disintegrasi bangsa dapat
mengancam.216
Faktor ekonomi dapat menjadi alat atau instrumen kebijakan
dalam rangka pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa.
Kebijakan-kebijakan ekonomi beserta implimentasinya akan dapat
memainkan peranan penting atau berpengaruh terhadap pembinaan
persatuan dan kesatuan bangsa. Bila pelaksanaan dan pembagian
pembangunan kepada masyarakat dapat dijalankan dengan adil dan
merata serta memberikan manfaat secara nyata bagi warga bangsa,
maka kohesifitas dan ikatan-ikatan di antara warga bangsa tersebut
akan semakin kuat dan kokoh. Namun bila pelaksanaan
pembangunan hanya dapat dinikmati untuk segelintir atau
sekelompok orang saja, sementara yang lainnya hanya gigit jari,
maka secara lambat laun akan menimbulkan kesenjangan sosial
dan hal demikian juga akan memperbesar kesenjangan sosial. Pada
akhirnya ikatan-ikatan kebangsaan yang sudah terbina dan terjalin
dengan baik akan menjadi lepas. Selanjutnya maka konflik pun
tidak akan terhindarkan, sehingga disintegrasi bangsa tidak dapat
dielakkan. Maka dengan demikian, hal ini harus dikelola dengan
baik agar ikatan kebangsaan menjadi semakin kuat dan persatuan
bangsa pun menjadi kokoh. Dari segi ekonomi, semakin
terpenuhinya nilai-nilai ekonomi bagi masyarakat dengan baik dan
merata, maka semakin positif sikap masyarakat terhadap

216
Tatang Muttaqin, dkk., Membangun Nasionalisme Baru, Bingkai
Ikatan Kebangsaan Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kementerian Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional, 2006), hlm. 57-58.
136
pembangunan ekonomi dan akan semakin tinggi pula rasa
nasionalisme masyarakat.217
Menurut Yudi Latif, memperjuangkan kemandirian
perekonomian merupakan salah satu solusi dalam menjawan
terhadap keadilan ekonomi bagi kemakmuran rakyat Indonesia.
Oleh karenanya, bagi Yudi Latif ada beberapa solusi, yaitu
1. Merebut kemerdekaan ekonomi sebagai prasyarat untuk
membumikan rencana ekonomi yang teratur dalam rangka
mengadakan kemakmuran yang cukup bagi rakyat Indonesia.
Yudi Latif mengutip istilah Tan Malaka, “yang berhak
menentukan nasib rakyat Indonesia adalah kemauan, pelor,
atau bambu runcingnya rakyat Indonesia sendiri”.
2. Agar dapat leluasa menentukan nasib sendiri, bangsa Indonesia
harus mengembangkan sikap kejiwaan dan kesanggupan untuk
sedapat mungkin mencukupi diri sendiri. Bangsa Indonesia
hendaknya tidak mengembangkan perilaku ekonomi boros,
“besar pasak daripada tiang”, yang dapat mengarah pada
ekonomi utang. Ketergantungan pada utang luar negeri dapat
menjadi pintu masuk bagi dikte-dikte kebijakan ekonomi
nasional oleh kekuatan-kekuatan asing, yang dapat
mendistorsikan sistem ekonomi dan rencana keadilan yang
ingin dikembangkan.
3. Melakukan retooling atas alat-alat produksi dan alat-alat
distribusi; dengan mereorganisasi dan membelokkan setirnya
ke arah pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945.
4. Merevitalisasi peran negara dalam lapangan perekonomian
yang menguasai hajat hidup orang banyak. Semua alat vital
dalam produksi dan distribusi harus dikuasai atau sedikitnya
diawasi oleh negara (pemerintah).
5. Merevitalisasi peran negara dalam penguasaan bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok
kemakmuran rakyat untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Segala bentuk investasi asing dan kontrak
karya pertambangan harus ditinjau ulang. Dipilah dan dipilih,
mana yang dapat diteruskan dengan skema transfer teknologi
dan pembagian keuntungan yang lebih adil, serta mana yang
harus diakhiri dalam batas waktu yang ditentukan.

217
Tatang Muttaqin, dkk., Membangun Nasionalisme Baru,... hlm. 59.
137
6. Semua bentuk badan usaha (BUMN, koperasi, dan swasta)
harus mencerminkan sifat “tolong-menolong” (kekeluargaan).
Ke dalam, setiap bentuk badan usaha harus mengembangkan
hubungan industrial Pancasila yang saling menguntungkan
bagi semua pemangku kepentingan. Ke luar, di antara ketiga
bentuk badan usaha tersebut harus ada pembagian peran dan
interdependensi dalam penguasaan dan pengusahaan sektor-
sektor ekonomi dari hulu ke hilir (forward and backward
linkages). Harus dicegah terhadinya penguasaan sektor-sektor
ekonomi dari hulu ke hilir di tangan orang seorang secara
monopolistik dan oligopolistik.
7. Perhatian khsusu harus diberikan kepada pengembangan badan
usaha koperasi sebagai wujud demokrasi ekonomi. Dalam
dominasi sistem kapitalisme dengan dasar “free competition”,
kebanyakan orang Indonesia, yang hanya pandai melaksanakan
segala yang kecil, sulit diharapkan dapat naik ke atas, kecuali
berjejaring dalam usaha koperasi untuk meningkatkan
selangkah demi selangkah ekonomi rakyat jelata.
8. Melaksanakan landreform, dengan melakukan perombakan
atas hak tanah dan penggunaan tanah. Tanah tidak boleh
menjadi alat pengisapan, apalagi pengisapan dari modal-modal
asing terhadap rakyat Indonesia.
9. Memperkuat daya saing perekonomian dengan meningkatkan
nilai tambah dari keunggulan potensi sumber daya yang
dimiliki.
10. Memperkuat kedaulatan pangan dan energi serta pengutamaan
pembelian produk dalam negeri.
11. Memberikan perhatian yang lebih besar pada pembangunan
ekonomi kelautan-kemaritiman dan ekonomi kreatif.
12. Segala modal dan tenaga yang terbukti progresif dapat
diikutsertakan dalam pembangunan perekonomian
Indonesia.218

f). Budaya
Kebudayaan pada esensinya merupakan suatu yang krusial
dalam membangun rasa kebersamaan yang akan mewujudkan rasa
kebangsaan. Secara umum, banyak asumsi yang berkembang

218
Yudi Latif, Revolusi Pancasila,... hlm. 184-187.
138
bahwa manusia dibangun oleh dua susunan wakat. Pertama,
manusia diciptakan sesuai dengan citra Tuhan, yakni sebagai
makhluk yang memiliki jiwa, dapat memahami dirinya, memiliki
kemampuan, keperluan secara umum, atau manusia menciptakan
satu susunan alamiah yang sama. Kedua, manusia diciptakan dari
hal-hal yang bervariasi dari satu budaya yang lain dan dari individu
ke individu lainnya. Bentuk tersebut digunakan untuk membangun
kemanusiaan mereka secara ontologis menjadi hak khusus.
Manusia diciptakan untuk menjadi setara karena memiliki watak
yang sama atau mirip dan kesetaraan diperlukan karena perlakuan
mereka dalam cara yang kurang lebih sama dan memberi
sekumpulan hak yang kurang lebih sama.219
Pada segi budaya, menurut Yudi Latif ada beberapa solusi
dalam menjawab persoalan nasionalisme dewasa ini, khususnya
Yudi Latif mengaitkannya dengan melakukan revolusi mental bagi
masyarakat Indonesia. Budaya menurut Yudi Latif harus dilakukan
revolusi, hal ini bertujuan untuk penghancuran berbagai bentuk
sisa-sisa kebudayaan yang bersifat feodalistik dan kapitalistik-
imperialistik, untuk digantikan dengan kebudayaan baru yang lebih
mengarah kepada emansipasi; kebudayaan progresif yang sesuai
dengan kepribadian luhur bangsa Indonesia.220 Adapun beberapa
solusi yang ditawarkan oleh Yudi Latif antara lain adalah:
1. Bahwa revolusi Pancasil tidak hanya pada tataran revolusi
material, melainkan juga revolusi mental-kebudayaan.
Adapun revolusi mental diarahkan dalam rangka untuk
menggembleng manusia Indonesia agar, seperti yang
diharapkan oleh Soekarno, berhati putih, berkemauan baja,
bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-
nyala.
2. Mengikis dengan seksasama mentalitas feodalistik-
kolonialistik-hedonistik serta mental budak (inferiority
complex) yang menjiwai bangsa Indonesia, dengan penuh

219
Suharno, Membangun Kebangsaan Multikultural..., hlm. 108.
220
Yudi Latif, Revolusi Pancasila,... hlm. 66.
139
keberanian untuk sedapat mungkin membuang nilai lama
yang buruk, mempertahankan yang baik, dan
mengupayakan nilai-nilai baru yang lebih baik, yang lebih
sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
3. Sedapat mungkin rakyat Indonesia untuk menciptakan
pikiran-pikiran dan konsepsi-konsepsi teoritis dalam usaha
mengobjektivikasikan nilai-nilai Pancasila.
4. Rakyat Indonesia diharapkan tidak hanya mengejar
kemakmuran material, tetapi juga kekayaan spiritual.
Masyarakat Indonesia harus terbebaskan dari penjara
materialisme dengan merelatifkan materi yang imanen
dihadapkan pada sesuatu yang transenden. Pengembangan
semangat ketuhanan dalam kehidupan publik harus lebih
menekankan dimensi etis dan spiritual agama-kepercayaan.
5. Rakyat Indonesia juga harus berani serta berjuang
menentang imperialisme kebudayaan dan Pemerintah harus
selalu melindungi dan menjamin berkembangnya
kebudayaan nasional, dengan cara memadukan
kecemerlangan lokal (local genius) dan visi perkembangan
global.
6. Rakyat Indonesia harus mengarahkan usaha kebudayaan
diutamakan membangun mentalitas kesetaraan,
kemandirian, gotong-royong, amanah, dan pelayanan dalam
rangka mempertinggi mutu kemanusiaan, keadaban, dan
persatuan.
7. Rakyat Indonesia harus memperkuat wawasan nusantara,
dengan memperluas horizon kebudayaan dari bias
perspektif daratan menuju perhatian yang lebih adekuat
terhadap visi kenaritiman.
8. Rakyat Indonesia harus mampu mengembangkan
pembangunan berbasis modal kultural dengan
menggalakkan budaya baca dan meneliti serta kreativitas
inovasi masyarakat.221
221
Yudi Latif, Revolusi Pancasila,... hlm. 187-188.
140
Dalam merevolusi budaya, Yudi Latif, sebagaimana pernah
dicetuskan oleh Soekarno, menggulirkan suatu gerakan hidup baru,
yaitu suatu gerakan yang tidak hanya untuk hidup secara sederhana,
melainkan seluruh jiwa bangsa Indonesia harus dipermuda kembali,
harus dicuci kembali, harus disikat, harus ditempa, digembleng.
Maka gerakan hidup baru ini bertujuan untuk membangun
masyarakat yang dicita-citakan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sebagai isi hidup baru adalah:
1. Melakukan perombakan cara berpikir, cara kerja, cara
hidup, oleh semua yang merintangi terhadap kemajuan.
2. Melakukan peningkatan dan pembangunan cara berpikir,
cara kerja, serta cara hidup ke arah yang lebih baik.222

b. Implimentasi dan Penguatan Nilai-Nilai Pancasila


sebagai Solusi dalam Memperkuat Nasionalisme
Indonesia
Keragaman atau kebhinekaan bangsa Indonesia belakangan
ini kian mendapatkan tantangan dalam beragam bentuk dan
kesempatan. Di antaranya adalah semakin menipisnya rasa
nasionalisme (kebangsaan) sebagai masyarakat Indonesia,
khususnya generasi muda, hingga adanya sekelompok orang yang
hendak mengganti dasar ideologi Pancasila dengan landasan agama
tertentu. Radikalisme bernuansa agama dan intoleransi dengan
beragam bentuk juga masih mewarnai kehidupan masyarakat
Indonesia sehari-hari.223 Terhadap hal yang demikian, Yudi Latif
juga mempertanyakan bahwa, jalan panjang proses menjadi negara-
bangsa Indonesia harus dipahami dan dihayati secara mendalam
manakala Indonesia hari ini menunjukkan tanda menghadapi
ancaman disrupsi kebangsaan. Meski konektivitas fisik mengalami
kemajuan dengan pembangunan infrastruktur perhubungan dan

222
Yudi Latif, Revolusi Pancasila,... hlm. 109-110.
223
Ahmad Nurcholish, Merajut Damai dalam Kebinekaan, (Jakarta:
Alex Media Koputindo, 2017), hlm. 15-16.
141
penggunaan media sosial yang sangat intens, konektivitas mentak-
kejiwaan mengalami kemunduran.224
Salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia
dewasa ini antara lain adalah memudar semangat nasionalisme dan
patriotisme, hal ini juga disebabkan oleh banyaknya pengaruh
budaya asing yang menjadi banyak panutan oleh generasi
Indonesia, akibatnya banyak generasi muda bangsa Indonesia
melupakan budaya sendiri hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa
budaya asing merupakan budaya modern. Hal ini berakibat nilai-
nilai luhur bangsa Indonesia banyak diabaikan. Pada sisi lain,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini
juga memberikan dampak positif atau negatif yang juga akan
menimbulkan berbagai permasalahan yang kompleks. Globaliisasi
memberikan kemudahan dengan terbuka lebarnya interaksi antar
masyarakat bangsa-bangsa di dunia, namun akibatnya memberi
efek yang menimbulkan paradoksnya nilai-nilai yang berasal dari
luar terhadap nilai-nilai Pancasila. Negara Indonesia masuk dalam
peta dunia yang tentu saja tidak dapat terhindarkan dari dampak
globalisasi yang terjadi hingga saat ini.225
Semangat nasionalisme merupakan suatu hal penting yang
harus dimiliki bangsa Indonesia dalam menghadapi ancaman-
ancaman ketahanan nasional di era globalisasi. Globalisasi tidak
hanya menjadi tantangan, tetapi sekaligus juga merupakan peluang
untuk lebih mengetahui kehidupan lain di berbagai belahan dunia.
Globalisasi dapat mempengaruhi kehidupan berebangsa dan
bernegara baik secara langsung maupun tidak langsung. Pancasila
sebagai kepribadian bangsa Indonesia yang berarti bahwa segala
sikap mental dan tingkah laku bangsa Indonesia yang memiliki ciri
khas, dan yang membedakan antara bangsa Indonesia dengan

224
Yudi Latif, “Memperkuat Identitas Nasional”, dalam Harian
Kompas, edisi Kamis, 9 Juli 2020.
225
Abdul Gofur, “Peaktualisasi Pancasila sebagai Upaya Preventif
Radikalisme di Indonesia”, dalam Prosiding Konferensi Nasional
Kewarganegaraan III, Tanggal 11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan,
Yogyakarta, hlm. 380.
142
bangsa lain. Fungsi sebagai kepribadian bangsa Indonesia bahwa
Pancasila merupakan gambaran secara tertulis dan fakta serta pola
perilaku atau gambaran tentang amal perbuatan bangsa Indonesia
yang membedakan dengan bangsalainnya.
Bagi bangsa Indonesia sebenarnya sudah memiliki
Pancasila sebagai ideologi yang dapat mengakomodir seluruh
kepentingan masyarakat bangsa Indonesia dan pada dasarnya
ideologi negara diartikan sebagai cita-cita negara atau cita-cita
yang menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk
seluruh rakyat dan bangsa Indonesia yang pada hakikatnya
merupakan asas kerohanian, sumber derivasi dan motivasi, sumber
nilai dan dalam sistem kenegaraan menduduki fungsi fundamental
negara atau yang disebut sebagai (staasfundamentalnorm) dan
sebagai perangkatprinsip pengarahan (guiding principles) yang
dijadikan dasar serta memberikan arah dan tujuan untuk dicapai
dalam rangka melangsungkan kehidupan nasional.
Pancasila yang berisi seperangkat nilai-nilai dasar ideal,
merupakan suatu komitmen kebangsaan, identitas bangsa dan
menjadi dasar pembangunan karakter keindonesiaan. Mendasarkan
pada perspektif teori fungsionalisme struktural, 226 sebuah negara
bangsa yang majemuk seperti Indonesia membutuhkan nilai

226
Teori struktural fungsional adalah sebuah teori berisi sudut pandang
yang menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian
yang saling berkaitan. Cirinya adalah gagasan tentang kebutuhan masyarakat.
Masyarakat sama dengan organisme biologis, karena mempunyai kebutuhan
dasar yang harus dipenuhi agar masyarakat dapat melangsungkan hidupnya dan
berfungsi dengan baik. Ciri kehidupan struktural sosial muncul untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan merespon permintaan masyarakat sebagai suatu
sistem sosial. Teori struktural fungsional juga mengutamakan pandangan
harmonisasi dan regulasi yang dapat dikembangkan lebih jauh sebagai berikut:
pertama, masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem yang kompleks; kedua,
setiap bagian dari masyarakat memiliki fungsi penting dalam eksistensinya dan
stabilitas masyakat secara keseluruhan; ketiga, semua masyarakat mempunyai
mekanisme untuk mengintegrasikan diri.
https://www.kompasiana.com/nurulwidad/54f74b5fa333113a2c8b45b1/teori-
struktural-fungsional, diunduh Tanggal 29 Juni 2021.
143
bersama yang dapat dijadikan nilai pengikat integrasi (integrative
value), titik temu (common denominator), jati diri bangsa (national
identity) dan sekaligus nilai yang dianggap baik untuk diwujudkan
(ideal value).227
Sila ketiga dalam Pancasila, yakni Persatuan Indonesia
menandaskan adanya persatuan dan kesatuan dalam keragaman
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Mulai dari suku, etnis, adat
istiadat, budaya hingga agama. Artinya, dengan keragaman tidak
perlu dilihat sebagai sesuatu yang negatif, melainkan sebagai
sesuatu yang positif. Keragaman dapat melahirkan kekuatan
sekaligus keindahan bagi bangsa Indonesia. Tonggak penting
dalam menumbuhkan persatuan dalam keragaman (unity in
diversity) itulah yang dipancangkan dalam momen Sumpah
Pemuda pada Kerapatan Besar Pemuda Indonesia (KBPI) II, 28
Oktober 1928, tujuh belas tahun sebelum Indonesia merdeka.
Persatuan dalam keragaman itulah yang menjadikan seluruh
masyarakat Indonesia merasa dalam satu kesatuan tubuh.228
Upaya untuk melaksanakan sila ketiga Pancasil dalam
masyarakat plurasl seperti Indonesia bukanlah sesuatu hal yang
mudah. Sejak awal berdirinya Indonesia, agenda membangun
bangsa (nation building) merupakan sesuatu yang harus terus-
menerus dibina, dilakukan dan ditumbuh kembangkan. Soekarno
misalnya, membangun rasa kebangsaan dengan membangkitkan
sentimen nasionalisme yang menggerakkan suatu itikad, suatu
keinsyafat masyarakat, bahwa rakyat Indonesia adalah satu
golongan, satu bangsa. Soekarno mengatakan bahwa semangat
kebangsaan mengakui manusia dalam keragaman, dan terbagi
dalam golongan-golongan. Maka keberadaan bangsa Indonesia
terjadi karena memiliki satu nyawa, satu asal akal, yang tumbuh
dalam jiwa rakyat sebelumnya yang menjalani satu kesatuan

227
Abdul Gofur, “Peaktualisasi Pancasila sebagai Upaya Preventif
Radikalisme di Indonesia”, hlm. 384.
228
Ahmad Nurcholish, Merajut Damai dalam Kebinekaan, hlm. 17-18.
144
riwayat, yang membangkitkan persatuan kareakter dan kehendak
untuk hidup bersama dalam satu wilayah geopolitik nyata.229
Menurut Yudi Latif, dengan meminjam kategori Mannheim,
Pancasila itu dapat dikatakan sebagai ideologi total yang beroperasi
dalam ranah negara, namun bukan suatu sistem pemikiran yang
tertutup seperti hanya fasisme, komunisme, dan fundamentalisme.
Pancasila dikehendaki sebagai ideologi total yang bersifat terbuka
(dalam kategori Popper), sehingga memiliki daya sintas yang
senantiasa dapat merespons berbagai tantangan dan perkembangan.
Soekarno sendiri menyebut Pancasila sebagai “leitstar” bintang
penuntun yang dinamis, yang dapat mengarahkan pergerakan
bangsa ke depan.230
Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 menyebutkan bahwa satu
hal yang mengikat kelima prinsip dasar, satu intisari dari kelima
intisari sejarah pergerakan rakyat Indonesia menuju pintu
kemerdekaan. Itulah makna dari ekasila yang menjadi roh
Pancasila 1 Juni 1945, itulah disebut dengan gotong royong.
Indonesia yang merdeka hanya akan langgeng apabila semua
golongan menjalankan “pertimbangan tulang bersama, pemerasan
keringat bersama, dan perjuangan saling membantu secara
bersama”. Gotong royong jugalah yang mengatur hubungan antara
kelima sila Pancasila. Harus ada gotong royong di antara unsur-
unsur yang religius, yang humanis, yang nasionalis, yang
demokratis dan yang mengutamakan keadilan sosial. Semua unsur
itumesti duduk sama rendah berdiri sama tinggi, bahu membahu
memenangkan cita-cita kemerdekaanIndonesia. Menghidupi
Pancasila berarti menghidupi kelima sila sebagai suatu kesatuan tak
terpisahkan yang diresapi oleh jiwa gorong royong.231
Menurut Yudi Latif, dalam Pancasila, relasi triadik
dikembangkan dengan semnagat ketuhanan yang berkeadaban,
yang memancarkan relasi ketuhanan yang lapang dan toleran (sila

229
Yudi Latif, Nasionalisme..., hlm. 57-58.
230
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 199.
231
Panitia Peringatan Hari Lahir Pancasila, Kisah Pancasila, hlm. 84.
145
pertama), kemanusiaan yang adil dan beradab, yang memancarkan
relasi kasih bermartabat dalam hubungan sesama manusia (sula
kedua), dan persatuan Indonesia, yang memancarkan semangat
kohesivitas dalam perbedaan, dengan mengembangkan semangat
kasih dalam relasi dengan ruang hidup (tanah air) dan pergaulan
hidup kebangsaan (sila ketiga). Kristalisasi dari semangat ketiga
sila tersebut harus termanifestasi dalam semangat musyawarah
(penuh kasih) dalam demokrasi (sila keempat), dan semangat
kooperatif (penuh kasih) dalam ekonomi, yang dapat mempekuat
persatuan dan keadilan (sila kelima).232
Di bawah terang cahaya kasih, manusia yang saling
berinteraksi di bawah tuntunan “kasih emas” (golden rule). Dalam
kalimat negatif, kaidah emas itu menggariskan “janganlah berbuat
sesuatu kepada orang lain yang engkau sendiri tak ingin
diperlakukan seperti itu”. dalam kalimat positif, tuntunannya,
“cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri”.
Dalam istilah Indonesia, kaidah emas itu tersimpul dalam semangat
“gotong royong”. Semangat gotong royong lebih dinamis
ketimbang “kekeluargaan”, karena kemampuannya merentangkan
kaidah emas melewati batas-batas identitas primordial. Gotong
royong adalah level tertinggi dari proses adaptasi manusia dalam
mengarungi tantangan seleksi alam kehidupan, dari makhluk
individu dengan kecenderungan simpanse (yang bersifat selfsh)
menjadi makhluk sosial dengan kecenderungan lebah (yang bersifat
groupish) dalam pergaulan luas lintas agama, lintas etnis, lintas
golongan, lintas budaya, lintas wilayah. Semangat gotong royong
itu adalah semangat kooperatif, kolaboratif: “ satu untuk semua,
semua untuk satu”, senasib-sepenanggungan, berat sama dipikul,
ringan sama dijinjing; bukan yang satu untung, yang lain rugi.233
Dalam perkembangannya, Pancasila dalam tataran
penerapannya dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan masih kerap mendapat ujian dan ujian ini berlangsung

232
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 14.
233
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 15-16.
146
sejak ditetapkannya hingga era reformasi. Pancasila sebagai
ideologi negara yang merupakan visi kebangsaan Indonesia
dipandang sebagai sumber demokrasi yang baik di masa depan dan
yang lahir dari sejarah kebangsaan Indonesia. Penempatan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah
sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, Pancasila kemudian ditetapkan sebagai dasar
dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofi bangsa dan negara
sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Dalam kerangka kewarganegaraan, tidak perlu
dipersoalkan mengenai etnisitas, anutan agama, warna kulit, dan
bahkan status sosial seseorang. yang penting dilihat adalah status
kewarganegaraan seseorang dalam wadah negara. semua orang
memiliki kedudukan yang sama sebagai warga negara. setiap warga
negara adalah rakyat, dan rakyat itulah yang berdaulat dalam
negara Indonesia, di mana kedaulatannya diwujudkan melalui
mekanisme atau dasar bagi rakyat Indonesia.234
Kedudukan Pancasila adalah sebagai dasar negara, dibentuk
setelah menyerap berbagai pandangan yang berkembang secara
demokratis dari para anggota BPUPKI dan PPKI sebagai
representasi bangsa Indonesia. Apabila dasar negara dihubungkan
dengan cita-cita negara dan tujuan negara, maka jadilah Pancasila
sebagai ideologi negara. Maka dalam konteks ideologi negara,
Pancasila dapat dimaknai sebagai sistem kehidupan nasional yang
meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan dalam rangka pencapaian cita-cita dan tujuan bangsa
yang berlandaskan dasar negara. Soekarno melukiskan urgensi
Pancasila sebagai satu dasar falsafah, satu alat pemersatu bangsa
yang pada hakikatnya satu alat mempersatu dalam perjuangan
melenyapkan segala penyakit yang telah dilawan berpuluh-puluh
tahun yaitu imperealisme. Perjuangan suatu bangsa, perjuangan

234
Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, (Jakarta: Sekretaris Jenderal
MPR RI, 2017), hlm. 88-92.
147
melawan imperealisme, perjuangan mencapai kemerdekaan,
perjuangan suatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri.235
Secara ringkas, terhadap persoalan itu semua, Yudi Latif
menguraikan pokok-pokok moralitas dan haluan kebangsaan
kenegaraan menurut alam pikiran Pancasila, dan hal ini juga
sekaligus sebagai jiwa nasionalisme bangs Indonesia dalam
Pancasila. Menurut Yudi Latif, pertama, menurut alam pikran
Pancasila, nilai-nilai ketuhanan (religiusitas) sebagai sumber etika
dan spiritualitas (yang bersifat vertikal-transendental) dianggap
penting sebagai fundamen etika kehidupan bernegara. Dalam kaitan
ini menurut Yudi Latif, Indonesia bukanlah negara sekuler yang
ekstrim, yang memisahkan agama dan negara dan berpretensi untuk
menyudutkan agama ke ruang privat/komunitas. Negara menurut
Pancasila bahkan diharapkan dapat melindungi dan
mengembangkan kehidupan beragama, sementara agama
diharapkan dapat memainkan peran publik yang berkaitan dengan
penguatan etika sosial. Sebagai negara yang dihuni oleh penduduk
dengan multiagama dan multikeyakinan, negara Indonesia
diharapkan dapat mengambil jarak yang sama terhadap semua
agama/keyakinan, melindungi semua agama/keyakinan, dan harus
dapat mengembangkan politiknya yang dipandu oleh nilai-nilai
agama. Maka terhadap persoalan ini, peran agama dan negara tidak
perlu dipisahkan, melainkan dibedakan. Dengan syarat bahwa
keduanya saling mengerti natas otoritasnya masing-masing yang
disebut dengan istilah “toleransi-kembar”.
Kedua, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai
kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum
alam, dan siafat-sifat sosial manusia (yang bersifat horizontal)
dianggap penting sebagai fundamen etika politik kehidupan
bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas
yang mengarah pada persaudaraan dunia itu dikembangkan melalui
jalan eksternalisasi dan internalisasi. Secara eksternalisasi bangsa
Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang
235
Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, hlm. 93-95.
148
dimilikinya untuk secara bebas aktif ‘ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial’, dan memulikan hak-hak dasar warga dan
penduduk negeri. Landasan etik sebagai prasyarat persaudaraan
universal adalah “adil” dan “beradab”.
Ketiga, menurut alam pemikiran Pancasila, aktualisasi nilai-
nilai etis kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar kuat
dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum
internalisasi nilai-nilai persaudaraan kemanusian, Indonesia adalah
negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan
perseorangan. Persatuan dari kebhinnekaan masyarakat Indonesia
dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan
persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan, yang
dalam slogan negara dinyatakan dengan ungkapan ‘bhinneka
tunggal ika’. Di satu sisi wawasan kosmopolitanisme236 yang
236
Kosmopolitanisme merupakan sebuah paham yang berasal dari
bahasa Yunani cosmos dan polites. Cosmos dapat diartikan
sebagai universe, sementara polites memiliki arti citizen. Sehingga dengan
demikian arti dari kosmopolitanisme sendiri adalah paham yang meyakini
manusia adalah citizen of the universe atau warga dunia. Bagaimana manusia
dapat hidup bersama dan bagaimana manusia dapat hidup dengan manusia lain.
Paham ini pun mengarah pada identitas setiap individu sebagai warga dunia yang
mempunyai rasa tanggung jawab atas apa yang terjadi dengan manusia lain
meskipun memiliki perbedaan status warga negara, ras, agama, dan lain-lain.
Konsep kosmopolitanisme sendiri pertama kali dikemukakan oleh Diogene de
Sinope yang merupakan seorang filsuf dari Yunani yang lahir pada tahun 412
SM. Diogene mengungkapkan, “I am a citizen of the world” atau bahwa dirinya
adalah seorang warga dunia. Selain Diogene, filsuf Yunani lain yang
menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang warga dunia adalah Socrates.
Socrates sendiri mengungkapkan, “I am not an Athenian but a citizen of the
world”. Kemudian terdapat kaum Stoic yang mengembangkan ide Diogene
tentang kosmopolitanisme. Bahwa setiap manusia dapat dimasukkan dalam dua
komunitas, komunitas lokal di mana mereka lahir dan komunitas dunia.
Sehingga seluruh umat manusia adalah saudara, seluruh umat manusia hidup
harmonis sesuai dengan hukum negara, orang asing itu tidak ada, dan budak juga
adalah manusia. Dalam era globalisasi kosmopolitanisme kemudian mendapat
banyak tantangan. Kembali pada isu batas-batas negara, interkoneksi yang
meningkat dari orang-orang pada skala global telah membuat batas-batas etika-
politik yang terkait dengan negara-bangsa menjadi problematis. Meskipun batas-
batas tersebut tidak berarti ditinggalkan, tetapi sebagai proses globalisasi hal
tersebut membawa orang-orang ke dalam hubungan baru dengan orang-orang
149
berusaha mencari titi-temu dari segala kebhinnekaan yang
terkristalisasikan dalam dasar negara (Pancasila), Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan segala turunan
perundang-undangannya, negara persatuan, bahasa persatuan, dan
simnol-simbol kenegaraan lainnya. Di sisi lain, ada wawasan
pluralisme yang menerima dan memberi ruang hidup bagi aneka
perbedaan, seperti aneka agama/keyakinan, budaya dan bahasa
daerah, dan unit-unit politik tertentu sebagai warisan tradisi
budaya.
Dengan demikian, menurut Yudi Latif, Indonesia memiliki
prinsip dan visi kebangsaan yang kuat, yang tidak saja
mempertemukan kemajemukan masyarakat dalam kebaruan
komunitas politik bersama, tetapi juga mampu memberi
kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk tidak tercerabut
dari akar tradisi dan kesejarahannya masing-masing. Dalam
khazanah teori tentang kebangsaan, konsepsi kebangsaan Indonesia
menyerupai perspektif ‘etnosimbolis’ yang memadukan antara
perspektif ‘modernis’ yang menekankan unsur-unsur kebaruan
dalam kebangsaan, dengan perspektif ‘primordialis’ dan
‘perenialis’ yang melihat keberlangsungan unsur-unsur lama dalam
kebangsaan.

lain di luar perbatasan nasional mereka, batas-batas tersebut lah yang kemudian
menjadi titik refleksi dan perdebatan. Sehingga globalisasi telah secara
signifikan mengubah cara di mana orang-orang berinteraksi di batas-batas
tersebut. Secara konsep kosmopolitanisme seolah menjanjikan perdamaian
global. Kaburnya batas-batas yang ada membuat pergerakan manusia semakin
bebas. Munculnya hal-hal semacam konflik agama, nasionalisme, xenophobia,
dan ketidaktoleranan membuat kosmopolitanisme semakin terbatas. Isu-isu
tersebut kemudian membuat kosmopolitanisme ditolak karena sama sekali tidak
mencerminkan nilai-nilai kosmopolitanisme yang telah disebutkan sebelumnya.
Padahal untuk menjadi seorang yang kosmopolit harus dapat menyadari adanya
rasa tanggung jawab terhadap orang lain, dan mengakui bahwa manusia adalah
berbeda tetapi siapa saja dapat mengerti dan menjelaskan perbedaan tersebut.
Baca: Baiq L. S. W. Wardhani, 2017. What is Cosmopolitanism? Materi
disampaikan pada perkuliahan Kosmopolitanisme, Nasionalisme, dan
Fundamentalisme. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga,
7 Maret 2017. Tidak dipublikasikan.
150
Keempat, menurut balam pikiran Pancasila, nilai ketuhanan,
nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam
aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam
semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi
memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika
kebebasan politik berkeadilan dengan kesetaraan ekonomi, yang
menghdupkan semnagat persaudaraan dalam kerangka musyawarah
mufakat. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak
didikte oleh golongan mayoritas (mayorokrasi) atau kekuatan
minoritas elit politik dan pengusaha (minorokrasi), melainkan
dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya
rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang
bulu.
Kelima, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan,
nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi
permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat
mewujudkan keadilan sosial. Pad satu sisi, perwujudan keadilan
sosial harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya dan
di sisi lain lagi otentisitas pengamalan sila-sila Pancasila dapat
ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam perikehidupan
kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang
dikehendaki adalah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan
jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran manusia sebagai
makhluk individu dengan peran manusia sebagai makhluk sosial,
juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan
hak ekonomi, sosial dan budaya.237
Menurut Yudi Latif, dalam kerangka inilah, Pancasila
sebagai falsafah, pandangan hidup, dan ideologi kenegaraan
Indonesia mengandung cita hukum (rechts idee) tersendiri. Bahwa
nilai-nilai Pancasila harus dipandang sebagai norma dasar
bernegara yang menjadi sumber dari segala sumber hukum di
237
Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, hlm. 95-101. Baca juga:
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 45-48. Yudi Latif, Revolusi Pancasila,
hlm. 45-50.
151
Indonesia. Dalam kedudukannya seperti itu, Pancasila adalah dasar
persatuan dan haluan kemajuan-kebahagiaan bangsa. Selama
bangsa Indonesia belum dapat membumikan nilai Pancasila dalam
kehidupan nyata, selama itu pula bangsa Indonesia sulit untuk
meraih kemajuan-kebahagiaan yang dipelihara.238
Secara nyata dapat dilihat bila berbicara Pancasila sebagai
dasar dan ideologi negara, maka yang terjadi seharusnya adalah
bagaimana negara Indonesia berusaha dengan berbagai daya upaya
untuk menegakkan masyarakat yang berkeutuhan adil dan
bermoral, mempunyai jiwa ukhuwwah (persaudaraan) atau
kebersamaan, demokrasi dan menciptakan kemakmuran
masyarakat sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa Indonesia.
Nasionalisme Indonesia harus tumbuh di atas kekeluargaan yang
mampu mempersatukan aneka suku, agama, budaya, bahkan batas
negara sekalipun. Pada pasal 1 dalam UUD 1945 yang menyatakan
bahwa Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten
dalam kehidupan bernegara. Ketetapan tersebut menyatakan bahwa
dasar negara yang dimaksud dalam ketetapan yang mengandung
makna ideologi nasional sebagai cita-cita dan tujuan negara
Indonesia.
Yang perlu ditekankan bahwa dalam sejarah Indonesia
khususnya, memang sikap nasionalisme memiliki peran yang
sangat penting, misalnya, sebagai sebuah ideologi pemersatu dalam
rangkan untuk menentang dan melawan kaum penjajah Belanda
atau Jepang. Boleh jadi, kalau orang-orang yang mendiami
kepulauan nusantara tersebar terus tanda adanya ideologi yang
dapat mempersatukan, hala ini tentu saja dengan mudah kaum
penjajah akan menguasai terus sampai kapan pun. Demikian pula,
sangat dimungkinkan bahwa orang-orang yang mendiami
kepulauan nusantara ini justru saling berperang sendiri. Apalagi,

238
Yudi Latif, Wawasan Pancasila, hlm. 52.
152
ketika politik yang dilakukan oleh pihak Belanda terus menerus
memompakan permusuhan dan konflik-konflik.239
Nasionalisme Indonesia telah melahirkan Pancasila sebagai
ideologi negara. Perjuangan yang lama untuk mencapai
kemerdekaan kini telah menjadi kenyataan. Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan puncak perjuangan
yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan, hal ini sekaligus
sebagai pertanda bahwa Indonesia menyatakan sebagai sebuah
negara yang berdaulat, merdeka dan mandiri. Untuk memperkuat
itu semua, disahkanlah Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal
18 Agustus 1945 yang menjadi simbol kekuasaan besar yang penuh
revolusioner yang mengandung persamaan dan persaudaraan, suatu
tanda hari cerah setelah digulingkannya kekuatan asing, yaitu kaum
kolonialis yang telah bercokol di tanah air Indonesia selama
beberapa abad.240 Demikian pula dengan disahkannya UUD 1945,
semangat dan jiwa proklamasi, yaitu Pancasila memperoleh bentuk
dan dasar hukumnya yang resmi sebagai dasar dan sebagai wujud
dari nasionalisme bangsa dan negara Republik Indonesia, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan
seluruh rakyat Indonesia.
Pada akhirnya, tinjauan sejarah politik sampai kepada
sebuah kesimpulan bahwa dorongan nasionalisme yang sekian
lama terpupuk dan diperjuangan tanpa henti berhasil menciptakan
sebuah bangsa, sebagai sebuah kesatuan yang membedakan diri
dari kesatuan politik lain, dan sebuah negara, sebagai sebuah
lembaga kekuasaan. Tinjauan sejarah sosial-kultural dapat pula
memperlihatkan bahwa kekuatan daya dorong nasionalisme, yang
dilahirkan dalam suasana kebudayaan bazar “komunitas orang-
orang asing” akhirnya menciptakan sebuah komunitas bangsa.
239
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional: dari Budi Utomo sampai
Proklamasi 1908-1945, (Yugyakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 75.
240
Georde Mc. Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1995), hlm. 175.
153
Inilah “komunitas yang dibayangkan” oleh “para perantau” yang
pernah secara konseptual menjadi penghuni “komunitas orang-
orang asing”. Jadi dapat dilihat bahwa proses pembentukan bangsa
dan negara Indonesia adalah sebagai pergumulan munculnya
nasionalisme yang lain membentuk sebuah bangsa dalam wadah
segara yang berdaulat.241

241
Taufik Abdullah, Nasionalisme dan Sejarah, (Bandung: Satya
Historika, 2001), hlm. 66-67.
154
BAB V
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Menurut Yudi Latif, “negara-bangsa’ merupakan negara
untuk seluruh umat, yang didirikan berdasarkan kesepakatan
bersama yang juga menghasilkan hubungan kontraktual dan
transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan suatu
kesepakatan ketika hendak mendirikan atau sudah menjadi sebuah
negara. Adapun tujuan dari “negara-bangsa” adalah untuk
mewujudkan maslahat umum, suatu konsep tentang kebaikan yang
meliputi seluruh warga negara tanpa kecuali.
Dalam konteks Indonesia, bagi Yudi Latif, kesadaran
nasional serta terhadap pembentukan kesatuan kebangsaan, sudah
menjadi bagian dari reaksi terhadap keberadaan negara kolonial yang
asing. Perjuangan rakyat Indonesia pada negara terjajah, pada awal
mulanya diorientasikan dalam rangka untuk mempersiapkan serta
membentuk negara dalam negara, perjuangan tersebut untuk sebuah
tujuan agar dapat menghilangkan kata-kata “Belanda” dari istilah
“Hindia Belanda”. Kehendak untuk mengganti negara Kolonial
Hindia Belanda (yang kemudian bernama Indonesia) itulah yang
mendorong awal mula timbulnya kesadaran Nasionalisme Indonesia.
Bagi Yudi Latif, nasionalisme Indonesia merupakan cita-
cita yang sangat rasional. Kaum inteligensi Indonesia
mengintroduksi gagasannya dengan idealismenya sendiri.
nasionalisme yang tumbuh bukan sekedar keinginan untuk hidup
bersama saja, melainkan keinginan adanya demokrasi, pluralisme,
otonomi, dan kemandirian. Tugas awal nasionalisme untuk
mencapai kemerdekaan agar berhasil dicapai, bukan omong kosong
belaka. Tetapi nasionalisme mengemban tugas yang tak kalah
beratnya yakni mewujudkan cita-cita kemerdekaan itu sendiri.
Sebagaimana dikatakan oleh Soekarno kemerdekaan adalah suatu
“jembatan emas” untuk mencapai cita-cita kebangsaan Indonesia

154
modern. Tugas nasionalisme berikutnya adalah melestarikan dan
merawat cita-cita kemerdekaan.
Menurut Yudi Latif, terdapat tiga bentuk perkembangan
nasionalisme di Indonesia, yaitu; nasionalisme yang dilandasai oleh
historis sosio-kultural Indonesia, Yudi Latif membagi perkembangan
kesadaran nasionalisme di Indonesia menjadi archaic nationalism
(nasionalisme purba) yang bercorak kedaerahan, proto-nationalism
(nasionalisme tua) yang bercorak agama dan budaya, dan
nasionalisme modern inteligensi politik. Dalam memberi solusi
terhadap permasalahan nasionalisme yang dihadapi bangsa
Indonesia, Yudi Latif menawarkan revolusi Pancasila untuk
menjawab beberapa persoalan dan permasalahan, seperti revolusi
dalam bidang politik, sosial, budaya, ekonomi dan pendidikan. Pada
segi yang lain, dalam menjawab persoalan kebangsaan ini juga Yudi
Latif mengarahkan sikap gotong royong bangsa Indonesia sebagai
sebuah jawaban, agar bangsa Indonesia bahu-membahu dapat
menyelesaikan persoalan dan permasalahan Bangsa.

B. Saran
Setelah melakukan dan menylesaikan penulisan penelitian
ini, ada beberapa hal yang ini peneliti ingin sampaikan guna dalam
melanjutkan kajian yang sama. Terutama kajian yang berusaha
untuk mengkaji secara khusus pemikiran Yudi Latif, khususnya
tentang nasionalsme. Bahwa penelitian masih sangat banyak
kekurangan, mengingat keterbatasan peneliti dalam menelaah
pemikiran Yudi Latif, termasuk keterbatasan referensi yang peneliti
miliki dan dapatkan. Untuk itu peneliti harapkan kepada peneliti
selanjutnya dapat melanjutkan penelitian ini. Kemungkinan dan
pasti peneliti selanjutnya dapat memperlengkap pemikiran Yudi
Latif khususnya tentang nasionalisme. Peneliti sangat memerlukan
masukan dan saran dari para pembaca sekalian agar suatu saat jika
penelitian ini ada yang melanjutkan, semoga penelian selanjutnya
dapat melengkapi kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam
penelitian ini. Bahkan peneliti berharap selanjutnya semoga
155
memiliki gambaran yang lebih luas lagi tentang pemikiran Yudi
Latif, khususnya berkenaan dengan nasionalisme.

156
DAFTAR PUSTAKA

A. Heywood, Political Ideologies: An Itroduction, New York:


Palgrave Macmillan, 2012.

A. P Cowie, ed., Oxford Advanced Learner’s Dictionary of


Current English, Oxford University Press, 1989.

Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia


dan Transformasi Kebudayaan, Jakarta: The Wahid
Institute, 2007.

___________________ (ed), Ilusi Negara Islam, Ekspansi


Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta:
Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan
Ma’arif Institute, 2009.

Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, Reposisi Wacana


Universal dalam Konteks Nasional, Jakarta: Risalah Al-
Kautsar, 2005.

Adji Nugroho dan Novi Fuji, Soekarno dan Tan Malaka


Negarawan Sejati yang Pernah Diasingkan, Yogyakarta:
Roemah Soekarno, 2020.

Ahmad Nurcholish, Merajut Damai dalam Kebinekaan, Jakarta:


Alex Media Koputindo, 2017.

Ahmad Sadzali, Relasi Agama dan Negara, Teokrasi-Sekuler-


Tamyiz, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Islam Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia, 2018.

Akbar Kaelola, Kamus Istilah Politik Kontemporer, Yogyakarta:


Cakrawala, 2009.

Ali Fahrudin, Nasionalisme Soekarno dan Konsep Kebangsaan


Musafir Jawa, Jakarta: LITBANGDIKLAT PRESS, 2020.

156
Andika Widiyanto, M. Dian Hikmawan, dan Riswanda,
Implimentasi Rencana Aksi Nasional Bela Negara
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2018 Oleh
Dewan Ketahanan Nasional Republik Indonesia, dalam
Journal of Social Politics and Govermance, Vol. 1, Nomor
2, Desember 2019.

Antony D. Smith, Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah, Jakarta:


Erlangga, 2003.

Arief Hidayat, “Pengantar”, dalam sambutan Buku Karya Ahmad


Basarah, Bung Karno, Islam dan Pancasila, Jakarta:
Konstitusi Press, 2017.

Arip Musthopa (ed.), Nasionalisme Elit Pemuda, Jakarta: Genta


Pemuda Indonesia.

Asmaeny Azis, Dasar Negara Hubungan Pancasila,


Marhaenisme, Marxisme dan Kapitalisme dalam Skema
Politik Indonesia, Yogyakarta: RUAS Media, 2017.

Azis Syamsuddi, Api Nasionalisme Kaum Muda, Peluang dan


Tantangan Menumbuhkan Semangat Kebangsaan di
Kalangan Muda Indonesia, Jakarta: RMBOOKS, 2011.

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan


Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Democracy
Project Yayasan Abad Demokrasi, 2011.

Bakhtiar Yusuf, Diskursus Islam dan Pancasila Sebagai Dasar


Negara Indonesia: Studi Terhadap Pemikiran Yudi Latif
melalui Critical Discourse Analisys dan Implimentasinya
bagi Pembentukan Islamic Good Governance, Tesis pada
Magister Ilmu Syari’ah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2019.

Becker, A. Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Kanisius, 1992.

157
C.J.H. Hayes, “Nationalism”, dalam ERA Saligman, Encyclopedia
of The Social Sciences, Vol. 11, New York: The Macmillan
Company, 1963.

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta:


Bumi Aksara, 2013.

Deliar Noer, “Politik dan Islam: Suatu Pemikiran Kembali”, dalam


Deliar Noer, Islam dan Politik, Jakarta: Yayasan Risalah,
2003.

Eko Prasetyo, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal dari


Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002.

Frans Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar


Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2003.

Georde Mc. Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di


Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1995.

H. Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, Yogyakarta:


Paradigma, 2013.

Herry Ritter, Dictionary of Concepts in History, New York:


Greenwood Press, 1986.

Jamaluddin Mohammad, “Nasionalisme Santri”dalam


Nasionalisme Islam dan Nusantara, Jakarta: Kompas, 2015.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Yogyakarta: IRCiSoD,


2018.

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi),


Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.

Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, Jakarta: Bina


Aksara, 1986.
158
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2008.

M. Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan. Kebebasan dan


Kebangsaan, Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2010.

M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik


Indonesia, Peran dan Jasa Mohammad Natsir dalam Dua
Orde Indonesia, Bandung: Mizan Pustaka, 2010.

Moh. Mahfud MD, “Bung Karno dan Persenyawaan antara Agama


dan Negara di dalam Pancasila”, dalam sambutan Buku
Karya Ahmad Basarah, Bung Karno, Islam dan Pancasila,
Jakarta: Konstitusi Press, 2017.

Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja


Rosdakarya, 1998.

Muhammad Umar Syadat Hasibuan, Revolusi Politik Kaum Muda,


Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Panitia Peringatan Hari Lahir Pancasila, Kisah Pancasila, Jakarta:


Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2017.

R. Saddam Al-Jihad, Pancasila Ideologi Dunia, Sintesis


Kapitalisme, Sosialisme, dan Islam, Jakarta: Alvabet, 2018.

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta:


Kencana, 2006.

Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed.), Ideologi Politik


Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2004

Rojer Eatwell and Anthony Right ed., Ideologi Politik


Kontemporer, terj. Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2004.

159
S. Hardjosatoto, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Suatu
Analisa Ilmiah, Yogyakarta: Liberty, 1985.

Said Aqil Siroj, Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara Menuju


Masyarakat Mutamaddin, Jakarta: LTNNU, 2014.

Sigit Aris Prasetyo, Bung Karno dan Revolusi Mental, Tangerang:


Imania, 2017.

Slamet Muljana, Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai


Kemerdekaan, Jilid 1, Yogyakarta: LkiS, 2008.

Soeprapto, Pancasila, Jakarta: Konstitusi Press, 2013.

Suharno, Membangun Kebangsaan Multikultural, Teoritis, Praktis,


dan Konteks Pengembangannya, Yogyakarta: Diandra
Pustaka Indonesia, 2016.

Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional: dari Budi Utomo sampai


Proklamasi 1908-1945, Yugyakarta: Balai Pustaka, 2001.

Tappil Rambe, dkk., Sejarah Politik dan Kekuasaan: Islam,


Nasionalisme dan Komunisme dalam Pusaran Kekuasaan
di Indonesia, Medan: Yayasan Kita Menulis, 2019.

Tatang Muttaqin, dkk., Membangun Nasionalisme Baru, Bingkai


Ikatan Kebangsaan Indonesia Kontemporer, Jakarta:
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional,
2006..

Taufik Abdullah, Nasionalisme dan Sejarah, Bandung: Satya


Historika, 2001.

Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas


Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1992.

Thomas T. Pureklolon, Nasionalisme Supremasi Perpolitikan


Negara, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018.

160
Yudi Latif, Negara Paripurna (Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2011.

__________, Mata Air Keteladanan, Pancasila dalam Perbuatan,


Bandung: Mizan, 2014.

__________, Revolusi Pancasila, Bandung: Mizan, 2015.

__________, Nasionalisme, Modul Pendidikan dan Pelatihan


Prajabatan Golongan III, (Jakarta: Lembaga Administrasi
Negara Republik Indonesia, 2015.

__________, “Tafsir Sosiologis atas Piagam Madinah”, dalam


Islam, HAM, dan Keindonesiaan, Refleksi dan Agenda Aksi
untuk Pendidikan Agama, Jakarta: MAARIF Institute dan
nzaid, 2007.

__________, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan


Aktualitas Pancasila, cet. Ketujuh, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2019.

__________, Wawasan Pancasila, Bintang Penuntun untuk


Pembudayaan, Jakarta: Mizan, 2020.

__________, Pendidikan yang Berkebudayaan; Historis, Konsepsi,


dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2020.

__________, “Reaktualisasi Pendidikan Pancasila: Sebuah


Pengantar”, dalam Pancasila dalam Praksis Pendirikan,
Yogyakarta: UNY Press, 2019.

Yunahar Ilyas (ed.), Muhammadiyah dan NU: Reorientasi


Wawasan Keislaman, Yogyakarta: Kerjasama LPPI UMY-
LKPSM NU-PP AlMuhsin, 1994.

Jurnal/Laporan Penelitian:
161
Abdul Choliq Murod, “Nasionalisme “dalam Perspektif Islam”,
dalam Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XVI, Nomor 2
Agustus 2011.

Abdul Gofur, “Peaktualisasi Pancasila sebagai Upaya Preventif


Radikalisme di Indonesia”, dalam Prosiding Konferensi
Nasional Kewarganegaraan III, Universitas Ahmad
Dahlan, Yogyakarta, Tanggal 11 November 2017.

Anggraeni Kusumawardani dan Faturochman, “Nasionalisme”,


dalam Bulletin Psikologi, Tahun XII, No. 2, Desember
2004.

Baiq L. S. W. Wardhani, 2017. What is Cosmopolitanism? Materi


disampaikan pada perkuliahan Kosmopolitanisme,
Nasionalisme, dan Fundamentalisme. Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, 7 Maret 2017.
Tidak dipublikasikan.

Dwi Siswoyo, “Diskursus Pendidikan Pancasila”, dalam Pancasila


dalam Praksis Pendidikan, Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta, 2019.

Kamaruddin Hasan, “Pancasila dan Arsitektur Negara Hukum


Indonesia. Pancasila: Solusi Problema Patologis
Multidimensi Negara Bangsa Indonesia”, dalam Jurnal
Digest Epistema Berkala Isu Hukum dan Keadilan Eko-
sosial, Volume 4/2013.

S.M. Martaniah, “Konsep dan Alat Ukur Kualitas berbangsa dan


Bernegara”, Laporan Penelitian, Tidak dipublikasikan.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada,
1990.

Yudi Latif, “Membumikan Etika Pancasila dalam Penyelenggaraan


Negara”, dalam Jurnal Digest Epistema Berkala Isu Hukum
dan Keadilan Eko-sosial, Volume 4/ Tahun 2013.

162
__________, “Identitas Keindonesiaan dan Aktualisasi Pancasila
bagi Generasi Milenial di Era Digital”, dalam Jurnal Kajian
LEMHANAS RI, Edisi Maret 2018.

__________, “Prolog Pancasila: Basis Pendidikan Karakter dan


Pemupukan Kecerdasan Kewargaan”, dalam Pancasila
dalam Praksis Pendidikan, Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta, 2019.

Koran:
As’ad Said Ali, “Nasionalisme, Kewargaan, dan Pancasila”, dalam
Media Indonesia, Selasa, Tanggal 1 Juni 2010.

Yudi Latif, “Likuefaksi Negara”, dalam Analisis Politik Harian


Kompas, Edisi Kamis, 11 Pktober 2018.

__________, “Memperkuat Identitas Nasional”, dalam Harian


Kompas, edisi Kamis, Tanggal 9 Juli 2020.

__________, “Pancasila dalam Perbuatan”, dalam Harian Kompas,


Kamis, Tanggal 3 Juli 2021.

Internet:
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/15/15304751/
pentingnya-nasionalisme-di-era-indonesia-modern?
page=all. Diakses tangga 28 Januari 2021.

Mudjia Rahardjo, “Sekilas Tentang Studi Tokoh dalam Penelitian”,


dalam http://www.uin.malang.ac.id/r/100601/sekilas-
tentang-studi-tokoh-dalam-penelitian.html. Diakses pada
tanggal 19 Mei 2021.

Yudi Latif, “Kebangsaan Indonesia dalam Pusaran Arus


Globalisasi dan Primordialisme”, dalam
http://pkn.unnes.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/Makalah
-Pak-Yudi-Latif.pdf, diunduh tanggal 17 Mei 2021.

163
http:/hermawan.blogspot.com.2007/09/Islam-nasionalisme-
nasionalis-me Islam/html. Diunduh tanggal 12 Mei 2021.

https://jdih.kalteng.go.id/berita/baca/pengaturan-executive-review-
terhadap-peraturan-daerah-kabupatenkota. Diunduh tanggal
15 Juni 2021

https://ibtimes.id/yudi-latif-ummatan-wahida-embrio-nasionalisme-
modern/, diunduh pada tanggal, 14 Juni 2021.

https://www.zenius.net/prologmateri/sejarah/a/237/
ManifestoPolitiknifestoPolitik, diunduh Tanggal 28 Juni
2021.

https://ekspresionline.com/prinsip-persatuan-pertama-manifesto-
politik-atau-sumpah-pemuda/ diunduh pada tanggal 28 Juni
2021.

164

Anda mungkin juga menyukai