Anda di halaman 1dari 88

TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ:

TINJAUAN KITAB AL-AQĪDAH AṬ-ṬAḤĀWIYYAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun oleh:

Khairul Anwar
NIM: 11140331000011

FAKULTAS USHULUDDIN

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/2021 M
TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ:
TINJAUAN KITAB AL-AQĪDAH AṬ-ṬAḤĀWIYYAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun oleh:

Khairul Anwar
NIM: 11140331000011

Di Bawah Bimbingan

Dosen Pembimbing Skripsi

Dr. Edwin Syarip, M.Ag.


NIP. 196709181997031001

FAKULTAS USHULUDDIN

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/2021 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ:


TINJAUAN KITAB AL-AQĪDAH AṬ-ṬAḤĀWIYYAH telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal, 15 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi Aqidah dan
Falsafah Islam
Jakarta, 15 Juli 2021

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dra. Tien Rohmatin, MA Dra. Banun Binaningrum, M. Pd


NIP. 19680803 199403 2 002 NIP. 19680618 199903 2 001
Anggota

Penguji I, Penguji II,

Dr. Kholid Al Walid, MA Ḥanafī, S.Ag, MA


NIP. 197009202005011004 NIP. 196912161996031002

Pembimbing,

Dr. Edwin Syarip, M.Ag.


NIP. 19670918 199703 1 001
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

Nama : Khairul Anwar

NIM : 11140331000011

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu syarat memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang

berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 15 Juli 2021

Khairul Anwar
ABSTRAK
TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ: TINJAUAN KITAB
AL-AQĪDAH AṬ-ṬAḤĀWIYYAH
Kata Kunci: Tuhan, Manusia, Hari Akhir, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī

Teologi adalah salah satu hal yang paling penting dalam ranah kehidupan manusia
untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Masalah yang akan dibahas
dalam penelitian ini difokuskan pada aspek-aspek teologi, yang berorientasi untuk
menganalisa secara mendalam terhadap pemikiran teologi Islam dalam pandangan
Imām aṭ-Ṭaḥāwī yang berkaitan tentang Tuhan, manusia dan hari akhirat.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka
(library research) yaitu proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-
penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan
masalah penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam tentang
teologi perspektif Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dalam Kitab Al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwiyyah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī tentang
teologi Islam bercorak kepada teologi tradisional dan fundamental. Pemikiran Imām
Aṭ-Ṭaḥāwī dapat digolongkan kepada Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah dalam kelompok
Salafiah dan Asy‘arīyah karena beberapa pemikiran teologinya sesuai dengan kedua
paham tersebut, selain itu, ia cenderung tekstualis dan literalis.
Imām Aṭ-Ṭaḥāwī berpendapat bahwa meyakini esensi dan eksistensi Allah
harus sepenuhnya tanpa ada keraguan sedikitpun. Allah tidak akan fana dan tidak akan
punah. Dia disifati sebagai Maha Hidup, yang kekal dan abadi.
Mengenai perilaku manusia, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menyatakan bahwa perbuatan
mereka berdasarkan kehendak dan kemauan mereka, akan tetapi bersama itu amal
perbuatan tersebut adalah makhluk ciptaan Allah. Maka Allah swt adalah sebagai yang
mencipta dan menetapkan takdir, sedangkan manusia memiliki kehendak dan
kemauan, serta memiliki perbuatan.
Kemudian Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengenai aspek hari akhir, berpendapat bahwa
iman kepada hari kebangkitan termasuk perkara yang benar dan telah ditetapkan oleh
al-Qur’an, akal, dan fitrah. Allah telah mengabarkan melalui kitab-Nya, menegakkan
bukti-bukti atasnya dan membantah orang-orang yang mengingkarinya. Menurut Imām
Aṭ-Ṭaḥāwī surga dan neraka telah diciptakan dan telah ada sekarang.

i
KATA PENGANTAR

Alḥamdulillāh, puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa kendala yang
berarti. Ṣhalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW
Beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.

Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Theologi Islam (S.Th.I) pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan
bantuan baik secara materiil dan immateriil. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A sebagai Rektor Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dra. Tien Rohmatin, MA. Selaku Ketua Program Studi Aqidah Dan Filsafat Islam,
dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku Sekretaris Program Studi Aqidah Dan
Filsafat Islam, yang telah sangat banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
studinya. Mohon beribu maaf karena penulis telah banyak merepotkan juga menyita
banyak waktu dan perhatiannya.
4. Dr. Edwin Syarip, M.Ag., selaku pembimbing skripsi penulis, terimakasih atas
semua kritik dan saran yang membangun untuk penulis.
5. Para Guru Besar yang mengajar di tingkat Strata Satu (S1) dan para dosen Fakultas
Ushuluddin yang telah memberikan pelajaran-pelajaran terbaik selama penulis
menjalankan studi. Terima kasih pula kepada seluruh Staf dan Karyawan Fakultas
Ushuluddin, segenap Staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan Perpustakaan
Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memudahkan penulis dalam
mencari referensi terbaik semasa perkuliahan hingga proses penyeleseian skripsi ini.

ii
iii

6. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Moh. Raja’ dan Ibunda Sitti Aminah yang telah
memberikan cinta dan kasih sayangnya selama ini, serta doa yang tulus sehingga
skripsi ini dapat selesai.
7. Seluruh teman-teman Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2014.
8. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan
membantu penyusunan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis memanjatkan doa semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda
dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir, amin. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca
umumnya.

Jakarta, 15 Juli 2021

Khairul Anwar
PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris


‫ا‬ A a ‫ط‬ ṭ ṭ
‫ب‬ B b ‫ظ‬ ẓ ẓ
‫ت‬ t t ‫ع‬ ‘ ‘
‫ث‬ ts th ‫غ‬ gh gh
‫ج‬ J j ‫ف‬ f f
‫ح‬ ḥ ḥ ‫ق‬ q q
‫خ‬ kh kh ‫ك‬ k k
‫د‬ D d ‫ل‬ l l
‫ذ‬ Dz dh ‫م‬ m m
‫ر‬ R r ‫ن‬ n n
‫ز‬ Z z ‫و‬ w w
‫س‬ S s ‫ه‬ h h
‫ش‬ sy sh ‫ء‬ ’ ’
‫ص‬ ṣ ṣ ‫ي‬ y y
‫ض‬ ḍ ḍ ‫ة‬ h h

Vocal Panjang
Arab Indonesia Inggris
‫آ‬ ā ā
‫إى‬ ī ī
‫أو‬ ū ū

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... iv
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 7
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 7
F. Metode Penelitian......................................................................................... 7
BAB II BIOGRAFI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ ......................................................... 9
A. Riwayat Hidup ............................................................................................. 9
B. Riwayat Intelektual .................................................................................... 12
C. Karya-Karya Imām Aṭ-Ṭaḥāwī .................................................................. 16
D. Peran Dan Pengaruh ................................................................................... 18
BAB III TEOLOGI ISLAM ............................................................................... 20
A. Definisi Teologi ......................................................................................... 20
B. Sejarah Teologi Islam ................................................................................ 24
C. Aliran dalam Teologi Islam ....................................................................... 29
1. Kelompok Syi’ah .................................................................................... 29
2. Kelompok Mu’tazilah............................................................................. 31
3. Kelompok Asy’ariyah ............................................................................ 33
4. Kelompok Maturidiah ............................................................................ 34
D. Kajian Teologi Islam .................................................................................. 35
BAB IV PEMIKIRAN TEOLOGI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ .............................. 39
A. Teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī........................................................................... 39
1. Aspek Ketuhanan.................................................................................... 39
2. Aspek Kemanusiaan ............................................................................... 49
3. Aspek Hari Akhir ................................................................................... 60

v
vi

B. Corak Teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī ................................................................ 68


BAB V PENUTUP ............................................................................................... 71
A. Kesimpulan ................................................................................................ 71
B. Saran........................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 75
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Teologi adalah ilmu yang membahas tentang keEsaan Allah, asma (nama-
nama), af’āl (perbuatan-perbuatan) Allah yang wajib, mustahil, jaiz, dan sifat wajib,
mustahil, jaiz bagi Rasulnya. Ia merupakan ilmu yang membahas tentang segala
aspek yang berkaitan dengan ketuhanan atau juga disebut ilmu ketuhanan.1 Kajian
teologi dalam ranah Islam memiliki nama terkenal lainnya seperti ilmu kalam dan
ilmu tauhid. Teologi pada dasarnya mencakup di dalamnya ilmu tentang Tuhan
(ma’rifat al-mabda), ilmu tentang utusan Allah (ma’rifat al-wāsiṭah), dan ilmu
tentang hari akhirat (marifat al-ma’ād).2
Seperti yang disebutkan di atas, mengenai teologi kita tidak bisa melepaskan
dari disiplin keilmuan tradisional Islam yaitu ilmu kalam. Ilmu kalam merupakan
salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh menjadi bagian dari
tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya adalah disiplin-disiplin keilmuan
fiqh, tasawuf dan falsafah.3 Ilmu kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-
segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya.

Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keIslaman. Ilmu Kalam


menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum muslim. Ini
terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai ilmu Aqā‘id,
ilmu Tauḥid, ilmu Uṣūl al-Dīn.4

Sesuai dengan makna harfiahnya, teologi adalah ilmu tentang ketuhanan


(“Theos” berarti Tuhan dan “logos” berarti ilmu), yaitu berbicara tentang Tuhan
dengan segala kemahakuasaan-Nya dan segala sifat-sifatnya sebagai zat yang Maha
Tinggi dan seterusnya. Oleh karena itu, sebagaimana diketahui bahwa teologi

1
Peter Connolly. Approaches to The Study of Religion terj. Imām Khoiri. Aneka Pendekatan
Studi Agama (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 316.
2
Syahrin Harahap. Teologi Kerukunan (Jakarta: Prenada, 2011), h. 15.
3
Term falsafah (filsafat) merupakan suatu istilah yang masuk ke dalam bahasa Arab melalui
usaha penerjemahan teks Yunani yang dilakukan pada abad ke-2 H/ke-8 M dan ke-3 H/ke-9 M.
Sayyed Hussein Nasr, Olover Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan, Buku
Pertama, 2003), h. 29, dan Ibnu Mandzur, Lisān al-‘Arab, h. 3461.
4
Nurcholish Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakal Paramadina,
1992), h. 201.

1
2

merupakan unsur yang penting dan dasar-dasar atau pondasi yang membentuk
“bangunan” keberagamaan, karena tanpa keyakinan dalam berteologi yang kuat,
maka suatu agama dianggap tidak akan pernah berdiri kokoh. Sebab teologi
merupakan ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang yang ingin
menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi
yang terdapat dalam agamanya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang
keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang-
ambing oleh peredaran zaman.5 Pembicaraan teologi selalu tersentral pada diri
Tuhan sebagai pusat pembahasan dengan segala sifat-sifatnya.6

Teologi merupakan elemen yang sangat fundamental dan esensial bagi


sebuah agama. Teologi merupakan pilar utama yang menentukan bagi eksistensi
agama. Oleh sebab itulah, teologi menjadi bidang kajian yang telah mentradisi
dalam sebuah agama. Dan pada dasarnya, sejarah agama dapat dikatakan juga
sebagai sejarah teologi.7

Kemunculan istilah teologi dalam Islam, pada awalnya terkait dalam ranah
politik dengan maksud perluasan ekspansi daerah kekuasaan Islam pada awal-awal
perkembangan Islam. Peristiwa yang diawali oleh pertentangan politik menyangkut
peristiwa pembunuhan ‘Utsmān bin ‘Affān (574-656 M) yang berujung pada
penolakan Mu’āwīyah bin Abū Sufyān (602-680 M) atas kekhalifahan ‘Alī bin Abī
Ṭālib (599-661 M). Pertentangan antara Mu’āwīyah bin Abū Sufyān dan ‘Alī bin
Abī Ṭālib berakhir pada peristiwa perang Ṣiffin yang menghasilkan keputusan
taḥkīm (arbitrase).8

Akibat adanya taḥkīm tersebut, muncullah aliran teologi yang pertama


dalam sejarah Islam, yaitu Khawarij. Kelompok Khawarij merupakan kelompok
yang keluar dari barisan ‘Alī bin Abī Ṭālib menganggap bahwa prilaku taḥkīm tidak
terdapat di dalam al-Qur’an. Peristiwa ini menyebabkan permasalahan kalam untuk

5
Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1972), h. ix
6
Chumadi Syarif Romas. Wacana Teologi Islam Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2000), cet 1, h. 42.
7
Rumadi. Masyarakat Post Teologi Wajah Baru Agama dan Demokratisasi Indonesia
(Bekasi: PT Gugus Press, 2002), cet ke-1, h. 23.
8
Harun Nasution. Teologi Islam, h. 3.
3

pertama kali tentang pelaku dosa besar yang dipandang sebagai kafir dan keluar
dari Islam. Selain pasukan yang keluar dari barisan ‘Alī bin Abī Ṭālib, terdapat
pasukan yang mendukung ‘Alī yang dikenal sebagai kelompok Syi’ah.9

Lawan dari aliran Khawarij, muncullah aliran Murjiah yang tidak ingin
terlibat dalam masalah politik dan tidak mau terlibat dalam persoalan teologi. 10
Kemudian, pada fase-fase berikutnya seiring berkembangnya Islam, pemahaman
tentang ketuhanan berkembang menjadi beberapa aliran yakni Mu’tazilah,
Qadariah, Jabariah, Salaf, Asy’ariah dan Maturidiah.11

Harun Nasution menyatakan bahwa corak teologi Islam ada tiga yakni
teologi yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional dan ada pula yang
mempunyai sifat antara liberal dan tradisional. Hal ini mungkin ada hikmahnya.
Bagi orang yang bersifat tradisional mungkin lebih sesuai dengan jiwanya teologi
tradisional, sedangkan orang yang bersifat liberal dalam fahamnya lebih dapat
menerima ajaran-ajaran teologi liberal. Dalam Islam dikenal berbagai aliran teologi
seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariah, Jabariah, Mu’tazilah, Asy’ariah, Maturidiah,
Bazdawiyah, Syiah dan lain-lain. Diantara sekian banyak aliran teologi ada yang
masih eksis dalam kehidupan anak manusia dan ada pula yang sudah hilang dan
tinggal nama dalam sejarah.12

Teologi Khawarij, Murjiah, Jabariah, Asyariah, dan Bazdawiyah dapat


dikategorikan sebagai teologi tradisional karena berpegang pada tradisi-tradisi lama
dan kurang memberikan ruang gerak dan penghargaan terhadap potensi akal,
ketidakbebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan, kebebasan berpikir yang
diikat banyak dogma, ketidakpercayaan terhadap sunnatullāh atau kausalitas,
terikat kepada makna harfiah dalam memberi interpretasi ayat-ayat al-Qur’an dan
hadits serta statis dalam bersikap dan berpikir yang membawa manusia kepada
sikap fatalistis.13

9
W. Montgomery Watt. Islamic Philosophy and Theology, terj. Umar Basalim. Pemikiran
Teologi dan Filsafat Islam (Jakarta: P3M, 1987), h. 10.
10
Nasution, Teologi Islam, h. 22-25.
11
Nasution, Teologi Islam, h. 42-43.
12
Nasution, Teologi Islam, h. 43.
13
Nasution, Teologi Islam, h. 44.
4

Qadariah dan Mu’tazilah dapat dikategorikan sebagai aliran teologi Islam


bercorak liberal karena sangat tinggi memberikan penghargaan terhadap potensi
akal, kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan, kebebasan berpikir hanya
dibatasi ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’an dan hadis yang sedikit sekali
jumlahnya, percaya kepada sunnatullāh atau kausalitas, mengambil arti
metamorfosis dari teks wahyu dan dinamis dalam bersikap dan berpikir. Sedangkan
Maturidiah dan Syiah dapat dikategorikan sebagai teologi Islam bercorak integral
karena menggAbūngkan sifatnya mengambil jalan tengah, yaitu mengintegrasikan
teologi tradisional dan rasional.14

Teologi Islam yang mengacu pada ajaran ilmu tauhid menjadi suatu
pembahasan menarik yang banyak dilakukan oleh para mutakallīmūn. Pembahasan
para mutakallīmūn terhadap berbagai persoalan teologis adalah mencari dalil yang
dapat memperkuat akidah tersebut dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan
Sunnah. Keyakinan yang benar terhadap Tuhan merupakan hal yang sangat
penting.15 Oleh karena itu, setiap Muslim tentunya memiliki pemahaman teologi
(tauhid atau akidah) sebagai dasar untuk beriman dan berhubungan dengan Allah.
Selain itu, pemahaman teologi yang benar, akan mempengaruhi hubungan sesama
manusia dan makhluk hidup.

Terkait dengan persoalan ini, maka perlu untuk mengetahui pemikiran


teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī, argumentasi dan solusi yang diberikannya. Imām Aṭ-
Ṭaḥāwī merupakan seorang ulama yang cerdas dan sangat jeli dalam membahas
suatu masalah. Beliau sangat memperhatikan apa yang dipelajari dalam majelis
ilmu, dan kemudian diulangi kembali setelah selesai majlis, mengklasifikasikan
secara rinci riwayat-riwayat yang ia terima dan menyusunnya dalam
mushannafnya. Ia tidak bertaklid pada seorang pun, tidak dalam masalah uṣūl
(pokok), dan tidak dalam masalah furu’. Beliau berputar bersama kebenaran yang
berdasar pada ijtihadnya. Mengikuti manhaj salaf dalam aqidah. Dan atas manhaj

14
Nasution, Teologi Islam, h. 45.
15
Muhammad Nazir Karim. Dialektika Teologi Islam: Analisis Pemikiran Kalam Syeikh
Abdurrahman Shiddiq al-Banjari (Bandung: Nuansa, 2004), h. 67.
5

ini pula beliau mengarang kitab aqidah yang masyhur yaitu al-Aqīdah Aṭ-
Ṭaḥāwiyah.

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī telah belajar madzhab Syāfi‘ī kepada pamannya al-


Muzannī, kemudian mempelajari madzhab Ḥanafī, dan tidak berta’ashub pada salah
seorang Imām pun. Akan tetapi memilih perkataan yang ia anggap paling benar
berdasarkan kekuatan dalilnya. Dan jika salah seorang Imām menyamai
pendapatnya maka disebabkan kesamaan yang berdasarkan dalil dan hujjah, tidak
karena taklid.

Dalam masalah teologi, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dekat dengan Ḥanafīah atau


Maturidiyah. Bahkan dalam mukaddimah Kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwiyah beliau
menerangkan menulis kitab tersebut karena terinspirasi oleh kitab Fiqh al-Akbar
karya Imām An-Nu’mān Abū Ḥanīfah. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa
Ḥanafīah dekat dengan Maturidiyah, dan Syāfi‘īyah dekat dengan Asy’ariyah,
mazhab teologi yang dibangun oleh Imām Abū Ḥasan al-Asy’arī. Baik Asy’ariah
maupun Maturidiyah, mendapatkan kehormatan ijma ulama sebagai Ahlu as-
Sunnah wa al-Jamaah atau yang kita kenal sebagai Mazhab Sunni.16

Oleh karena itu, skripsi ini menjadi penting untuk dibahas dalam
mengetahui teologi dalam pandangan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Sebab kajian teologi ini,
dibahas secara komprehensif dan berdasarkan analisis dari hasil ijtihad sendiri.
Sehingga dalam penulisan skripsi ini, mengetahui teologi dalam pandangan Imām
Aṭ-Ṭaḥāwī menjadi sangat penting untuk dijelaskan secara mendalam.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah


1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa teologi merupakan bagian dari hal


yang terpenting dalam kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan di
dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, masalah yang akan dikaji dalam penelitian

16
Achmad Fathurrohman. Imām Thahawi: Muhaddis dan Teolog Islam Awal (Juli 15, 2019),
https://afkaruna.id/Imām-thahawi-muhaddis-dan-teolog-islam-awal. Diakses pada 03 Oktober
2020, pukul 22.16.
6

ini dipusatkan pada aspek-aspek teologis, yang bertujuan untuk menganalisa


secara mendalam terhadap pemikiran teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī.

Dalam kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwiyah, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī membahas


mengenai teologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah secara umum yang memiliki
manfaat paling urgen di dunia Islam, yang menggambarkan tegaknya manhaj
as-Salaf aṣ-Ṣalih yang membuktikan bahwa semua ulama Ahlu al-Sunnah
memiliki akidah yang sama, sekalipun mereka berbeda dalam madzhab fiqih.

Ajaran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dalam kitab tersebut yang sangat perlu penulis
bahas adalah tentang teologi. Karena teologi dalam pandangan Imām Aṭ-
Ṭaḥāwī dikaji berdasarkan hasil ijtihad sendiri yang dikhususkan pada aqidah
Ahlu al-Sunnah. Oleh karena itu, pada skripsi ini, batasan masalah yang penulis
ambil hanya terpusat pada ajaran teologi dalam pandangan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī:
Tinjauan Kitab Aqīdah aṭ-Ṭaḥāwiyah.

2. Rumusan Masalah

Dengan mengetahui batasan masalah yang telah disebutkan sebelumnya,


penulis menetapkan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini, yaitu:
Bagaimana teologi perspektif Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dalam kitab Aqīdah aṭ-
Ṭaḥāwiyah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari pemaparan tentang rumusan masalah di atas, tujuan


penelitian dapat di tetapkan sebagai berikut:

1. Tujuan ilmiah, yaitu untuk mengetahui dan menambah wawasan


mengenai ajaran teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dalam teologi Ahlu al-Sunnah
wa al-Jama’ah.
2. Tujuan akademik, yaitu untuk memenuhi tugas akademik yang
merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka
menyelesaikan studi tingkat Sarjana program Strata Satu (S1) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas
7

Ushuluddin, jurusan Aqidah dan Filsafat Islam dengan gelar Sarjana


Agama (S.Ag)
D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan fokus permasalahan dan tujuan yang disebutkan di atas,


penelitian ini dapat bermanfaat:

1. Untuk masyarakat
Mengetahui dan memahami pandangan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengenai teologi
Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.
2. Untuk akademisi
Sebagai tambahan untuk sumber bacaan tentang teologi Islam dan sebagai
sumber rujukan mengenai kajian teologi Islam.
E. Tinjauan Pustaka
Penulis telah melakukan tinjauan pustaka terhadap karya-karya ilmiah
tentang skripsi ini, tetapi penulis tidak menemukan kajian yang secara khusus
membahas tentang teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī baik yang berupa skripsi, tesis,
desertasi, buku, maupun jurnal. Sehingga, jika memang demikian, penelitian yang
dilakukan oleh penulis menjadi penelitian perdana yang mengangkat tema ini.
F. Metode Penelitian
1. Sumber Data Penelitian
Sumber data primer dari penelitian ini adalah mengambil dari buku hasil
karya Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī yaitu Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah
dan buku karya Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, yaitu Penjelasan Matan
Akidah Ath- Thahawiyah: Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sedangkan
data sekunder, berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku seperti
Teologi Islam, karya Prof. Dr. Harun Nasution. Pengatar Teologi Islam:
Ilmu Kalam, Aḥmad Ḥanafī, Perkembangan Pemikiran Kalam dalam Islam.
Lalu penulis akan menggunakan sumber yang berkaitan dengan analisis
yang ditulis oleh para sarjana dan cendikiawan yang menggeluti pemikiran
tentang teologi. Data yang lain ialah seperti ensiklopedia, kamus, internet,
koran, jurnal, dan lain-lain, yang relavan dengan kajian skripsi ini sebagai
pendukung terhadap rujukan penulis dalam skripsi ini.
8

2. Teknik Penelitian
Penulis menggunakan teknik library research (studi kepustakaan) di
dalam penelitian ini. Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data
terkait permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini melalui
berbagai literatur, baik primer maupun skunder.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis
deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam
tentang teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī.
3. Teknik Penulisan
Dalam teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh
Center fot Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Adapun penyusunan ini mengikuti translitasi yang
digunakan oleh jurnal “Ilmu Ushuluddin” HIPIUS (Himpunan Peminat
Ilmu-Ilmu Ushuluddin).
BAB II
BIOGRAFI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ
A. Riwayat Hidup

Nama asli beliau adalah Imām al-‘Allāmah al-Ḥafiẓ Abū Ja’far Aḥmad bin
Muḥammad bin Salāmah bin ‘Abdu al-Mālik al-Azdī al-Ḥajrī al-Miṣrī Aṭ-Ṭaḥāwī1,
nisbat ke Ṭaha, sebuah desa di Ṣa’id Mesir yang merupakan bagian dari provinsi
Minya saat ini. Beliau bukan dari desa Ṭaḥa, akan tetapi dari desa yang dekat
dengan Ṭaḥa bernama Ṭaḥṭuṭ, tetapi beliau tidak suka dipanggil dengan Ṭaḥṭuṭī,
karena bisa disangka beliau menisbatkan diri kepada ḍuraṭ, bunyi kentut, maka
beliau menisbatkan diri ke Ṭaḥa.

Beliau lahir pada tahun 239 H, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn
Yūnus, yang merupakan salah seorang murid beliau. Sumber lain ada yang
mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 237 H. Sejak kecil beliau tumbuh
dikeluarga yang dikenal dengan ilmu dan keutamaan, sangat kondusif dengan
suasana ibadah dan amal shaleh yang mewarnai aktifitas dirumah tersebut. Ayahnya
sendiri adalah ulama dan ahli syair lengkap dengan periwayatannya. Ibunya juga
seorang yang berilmu dari kalangan mazhab Syāfi‘ī, bahkan termasuk murid-murid
Imām Syāfi‘ī yang sangat aktif dalam menghadiri berbagai majelisnya. Sementara
paman dari ibunya adalah al-Muzanī, murid dari Imām asy-Syāfi‘ī yang paling
faqih dan aktif dalam menyebarkan madzhabnya. Lingkungan yang kondusif inilah
yang membantunya untuk berkembang menuntut ilmu agama.

Beliau berasal dari rumah yang berlingkungan ilmiah dan unggul. Sebagian
besar menduga bahwa dasar kecendekiawanannya adalah di rumah, yang kemudian
lebih didukung dengan adanya halaqah ilmu yang didirikan di masjid Amr bin al-
‘Aṣ. Menghafal al-Qur’an dari Syaikhnya, Abū Zakaria Yaḥya bin Muḥammad bin
‘Amrūs, yang diberi predikat: “Tidak ada yang keluar darinya kecuali telah hafal
al-Qur’an.” Kemudian bertafaquh (belajar mendalami agama) pada pamannya al-
Muzannī, dan sami’a (mendengar) darinya kitab Mukhtasharnya yang bersandar
pada ilmu Syāfi‘ī dan makna-makna perkataannya. Dan beliau adalah orang

1
Ali Ridha & Ahmad Thaurân, Mu’jam al-Târîkh (Kayseri: Dar el-‘Aqabah, 2001), cet.
pertama, h. 467.

9
10

pertama yang belajar tentang itu. Ia juga menukil dari pamannya itu hadits-hadits,
dan mendengar darinya periwayatan-periwayatannya dari Syāfi‘ī tahun 252 H.
Beliau juga mengalami masa kebesaran pamannya, al-Muzannī. Pernah bertamu
dengan Yūnas bin Abdu al-‘A’lā (264 H), Baḥra bin Naṣrin (267 H), ‘Īsā bin
Matsrud (261 H) dan lain-lainnya. Semuanya adalah shahabat Ibn ‘Uyainah dari
kalangan ahlu Ṭabaqat.

Dengan lingkungan keluarga yang bersinar terang dengan ilmu seperti itu,
ditambah lagi dengan kenyataan beliau yang hidup pada masa keemasan kodifikasi
hadits bahkan sezaman dengan Imām ahli hadits yang enam, yaitu: Imām al-
Bukhārī, Imām Muslim, Imām Abū Dāwud, Imām at-Tirmidzī, Imām an-Nasāī dan
Imām Ibnu Mājah, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī muncul sebagai seorang ulama hebat yang di
dalam dirinya terpadu antara kekuatan ilmu hadits dan kebersihan aqidah.2

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mulai beranjak mendaki ketinggian ilmu dari Masjid Amr
bin al-‘Aṣ. Disana beliau menghafal al-Qur’an dibawah bimbingan Syaikh Abū
Zakariya Yaḥya bin Muḥammad bin ‘Amrūs. Kemudian Imām Aṭ-Ṭaḥāwī berguru
kepada murid-murid Imām Syāfi‘ī dalam ilmu fiqih, yaitu al-Rabi’ ibn Sulaimān
dan al-Muzanī yang tidak lain adalah paman dari ibunya, dan mendengar
Mukhtasharnya yang beliau intisarikan dari ilmu Imām Syāfi‘ī, gurunya. Bahkan
beliau juga menulis (meriwayatkan) hadits dari al-Muzanī, dan juga mendengar
riwayat-riwayat yang diambilnya langsung dari Imām Syāfi‘ī, dan tentu saja sempat
berguru dari ulama-ulama yang segenerasi dengan al-Muzanī.

Namun Imām Aṭ-Ṭaḥāwī muda waktu itu pernah merasa diremehkan oleh
al-Muzanī dalam bidang fiqih, sehingga ia pun berguru kepada Imām Aḥmad bin
Abū ‘Imran, tokoh besar mazhab Ḥanafī di Mesir pada masanya. Imām Aḥmad bin
Abū ‘Imran merupakan murid dari Ibn Bisyr, Ibn Samā’ah dan tokoh-tokoh lain
yang merupakan murid-murid Imām Abū Yusuf dan Imām Muḥammad Ibn Ḥasan
al-Syaybanī. Dua tokoh terakhir langsung mendalami ilmu kepada Imām Abū
Ḥanifah (w. 150 H.) . Adapun Imām Abū Ḥanifah belajar kepada Imām Ḥammad
bin Abū Sulaimān (w. 120 H.) dari Imām Ibrāhīm al-Nakha’ī (w. 95 H .) dari Imām

2
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Penjelasan Matan Al-Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah: Akidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Jakarta: Darul Haq, 2001), cet. I, h. vi.
11

al-Aswad Ibn Yazīd (w. 75 H.) dari ‘Umar Ibn al-Khattab ra. Pada umur 30 tahun
Imām Aṭ-Ṭaḥāwī kemudian berpetualang ke wilayah Syam, 3 di sana beliau
memperdalam ilmunya, sejak dari kota Baitul Maqdis, Ghaza dan Asqalan. Lalu
beliau mendalami fiqih di kota Damaskus di bawah asuhan gurunya al-Qadī Abū
Ḥāzim al-Baṣri. Dan pada masa-masa itulah beliau menjadi pakar dalam fiqih
mazhab Ḥanafi yang dihormati di wilayah Mesir.4

Pada mulanya beliau mengikuti madzhab Imām Syāfi‘ī, akan tetapi beliau
kemudian beralih mengikuti madzhab Imām Abū Ḥanīfah. Tentang beralihnya
Imām Aṭ-Ṭaḥāwī kepada madzhab Ḥanafī, al-Ḥafiẓ aẓ-Ẓahabī menyebutkan
sebagai berikut, Abū Sulaimān bin Zabr berkata, Aṭ-Ṭaḥāwī berkata kepada saya,
“Orang yang paling pertama aku tulis haditsnya ialah al-Muzanī, dan saya juga
mengambil pandangan Imām Syāfi‘ī. Setelah beberapa tahun kemudian, datang
Imām Aḥmad bin Abū Imran sebagai seorang hakim untuk wilayah Mesir, maka
saya menyertainya, dan kemudian mengambil pandangannya.”. Dan ada beberapa
faktor lain yang menyebabkan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī meninggalkan madzhab yang telah
ia geluti sebelumnya, yakni madzhab Syāfi‘ī ke madzhab Ḥanafī dalam
bertafaqquh, disebabkan beberapa faktor, antara lain sebagai berikut :

1. Karena beliau menyaksikan bahwa pamannya banyak menelaah kitab-kitab


Imām Abū Ḥanīfah.
2. Tulisan-tulisan ilmiah yang ada, yang banyak disimak para tokoh madzhab
Syāfi‘ī dan madzhab Ḥanafī.
3. Taṣnifāt (karangan-karangan) yang banyak dikarang oleh kedua madzhab itu
yang berisi perdebatan antara kedua madzhab itu dalam beberapa masalah.
Seperti karangan al-Muzannī dengan kitabnya al-mukhtaṣar yang berisi
bantahan-bantahan terhadap Abū Ḥanīfah dalam beberapa masalah.
4. Banyakanya halaqah ilmu yang ada di masjid Amr bin al-‘Aṣ tetangganya
mengkondisikan beliau untuk memanfaatkannya dimana disana banyak
munasyaqah (diskusi) dan adu dalil dan hujjah dari para pesertanya.

3
Syamsuddin al-Zhahabi, Tazkirah al-Huffaz (Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1390 H),
jilid 3, h. 809.
4
Dr. Arrazy Hasyim, Akidah Salaf Imām al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan (Ciputat:
Maktabah Darus-Sunnah, 2020), cet. pertama, halaman 2-3.
12

5. Banyak Syaikh yang mengambil pendapat dari madzhab Abū Ḥanīfah, baik
dari Mesir maupun Syam dalam rangka menunaikan tugasnya sebagai qadil,
seperti al-Qaḍī Bakar bin Qutaibah dan Ibn Abī ‘Imran serta Abū Khazīm.5

Akan tetapi peru diketahui bahwa perpindahan madzhabnya itu tidaklah


bertujuan untuk mengasingkan diri dan mengingkari madzhab yang ia tinggalkan,
karena hal ini banyak terjadi dikalangan ahli ilmu ketika itu yang berpindah dari
satu madzhab ke madzhab yang lainnya tanpa mengingkari madzhab sebelumnya.
Bahkan pengikut Imām Syāfi‘ī yang paling terkenal sebelumnya adalah seorang
yang bermadzhab Mālikī, dan di antara mereka ada yang menjadi syeikhnya
(gurunya) Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Tidak ada tujuan untuk menyeru pada ‘ashabiyah
(fanatisme) atau taklid, tetapi yang dicari adalah dalil, kemantapan dan hujjah yang
lebih mendekati kebenaran.

B. Riwayat Intelektual

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengambil ilmu dari sederetan ulama-ulama besar di


zamannya, dan itulah di antara yang menyebabkan beliau muncul sebagai salah
seorang ulama besar.6 Berikut di antara nama-nama mereka:

1. Al-Imām al-‘Allāmah, Faqīh al-Millāḥ, ‘Alamū al-Zuhād, Ismā’il bin Yaḥya


bin Ismā’il bin ‘Amr bin Muslīm al-Muzannī al-Miṣrī. Salah satu sahabat Imām
Syāfi‘ī yang mendukung madzhabnya, wafat tahun 264 H. Karangannya antara
lain al-Mukhtaṣār, al-Jamī’ al-Kabīr, al-Jamī’ aṣ-Ṣaghīr, al-Mantsūr, al-
Masāil al-Mu’tābarah, Targhīb fīl ‘Ilmi, dan lain-lainnya. Ia adalah orang
pertama yang dinukilkan haditnya oleh Aṭ-Ṭaḥāwī, dan kepadanya belajar di
bawah madzhab Syāfi‘ī, menyimak dari beliau juga kitab Mukhtasharnya serta
kumpulan hadits-hadits Syāfi‘ī.
2. Al-Imām al-‘Allāmah, Syaikhu al-Ḥanafiyah, Abū Ja’far Aḥmad bin Abī
‘Imran Musā bin ‘Īsā al-Baghdādī al-Faqīh al-Muḥaddits al-Ḥafiẓ, wafat tahun
280 H. Beliau disebut sebagai lautan ilmu, disifatkan sangat cerdas dan kuat

5
M. Abdul Khaled, Syahr Aqidah Thahawiyah (Bekasi: Islamic Center al-Islam, 2001),
https:/www.academia.edu/34678683/ath_thahawi_pdf. Diakses pada 29 September 2020, pukul
22.16.
6
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, cet. I,
h. vii.
13

hafalannya, banyak meriwayatkan hadits dengan hafalannya. Dan beliau


adalah seorang yang paling berpengaruh atas Aṭ-Ṭaḥāwī dalam madzhab Abū
Ḥanīfah. Adalah Aṭ-Ṭaḥāwī sangat membanggakan gurunya ini dan banyak
meriwayatkan hadits-hadits dari beliau.
3. Al-Faqīh al-‘Allāmah Qaḍī al-Qudlat Abū Khazim Abdu al-Ḥamid bin ‘Abdu
al-‘Azīz as-Sakūnī al-Biṣrī kemudian al-Baghdādī al-Ḥanafī, Menjabat Qaḍī di
Syam, Kufah dan Karkh, Baghdad. Dan dipuji selama menjalankan jabatannya.
Aṭ-Ṭaḥāwī belajar kepada beliau ketika menjadi tamu di Syam tahun 268 H.
Beliau menguasai madzhab Ahlul ‘Iraq hingga melampaui guru-gurunya.
Seorang yang tsiqah, patuh pada dien, dan wara’. Seorang yang ‘alim, paling
piawai dalam beramal dan menulis, cendekia disertai watak pemberani, sangat
dewasa dan cerdik, pandai membuat permisalan untuk memudahkan akal.
wafat tahun 292 H.
4. Al-Qaḍī al-Kabīr, al-‘Allāmah al-Muḥaddits Abū Bakrāh Bakkar bin Qutaibah
al-Biṣrī, Qaḍī al-Qudlat di Mesir, wafat tahun 270 H. Seorang yang ‘alim,
faqih, muhaddits, mempunyai kedudukan yang terhormat, dan agung, bila
dalam kebenaran tidak takut celaan orang yang mencela, zuhud, shaleh dan
istiqamah. Imām Aṭ-Ṭaḥāwī bertemu dengan beliau ketika ia masih seorang
pemuda, menyimak dari beliau, banyak pengaruhnya atas dirinya. Banyak
mengambil riwayat dari beliau, dan banyak menimpa dari beliau ilmu Hadits
serta tidak pernah absen dari majlisnya ketika mendiktekan hadits.
5. Al-Qaḍī al-‘Allāmah al-Muḥaddits ats-Tsabīt, Qaḍī al-Qudlat, Abū ‘Ubaid Alī
bin al-Ḥusain bin Ḥarb ‘Īsā al-Baghdādī, salah seorang sahabat Imām Syafi’ī,
wafat tahun 319 H. Sangat piawai dalam Ulumul Qur’an dan hadits, sangat
pendai dalam masalah ikhtilaf dan ma’ani serta qiyas fashih, berakal, lemah
lembut, suka menyatakan kebenaran.7

Berguru pada ulama-ulama hebat, kemudian muncul sebagai seorang ulama


yang hebat dan kemudian juga melahirkan murid-murid hebat. Inilah gambaran
ulama-ulama Ahlus Sunnah, dari zaman ke zaman lainnya, yang di antara mereka

7
Syu’aib Al-Arnauth dan Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, Syarh Aqidah
Thahawiyah (Riyadh, Daar’Alimal Kutub Lit Tiba’ah Wan Nasyr Wat Tauzi, 2001), h. 4-9.
14

ialah Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Di antara murid-murid Imām Aṭ-Ṭaḥāwī yang kemudian


muncul sebagai orang-orang yang terpandang ialah sebagai berikut:

1. Al-Ḥafiẓ Abū al-Faraj Aḥmad bin al-Qāsim bin ‘Ubaidillah bin Maḥdī al-
Baghdādī. Atau yang terkenal dengan nama Ibn Khasyab. Wafat tahun 364 H.
2. Al-Imām al-Faqīh al-Qaḍī Abū Bakar Aḥmad bin Muḥammad bin Manṣūr al-
Anṣarī ad-Damaghānī.
3. Ismā‘īl bin Aḥmad bin Muḥammad bin Abdu al-‘Azīz, atau yang terkenal
dengan nama Abū Sa’īd al-Jurjānī al-Khalāl al-Warāq. Wafat tahun 364 H.
4. Al-Muhaddits al-Ḥafiẓ al-Jawwāl al-Muṣannif Abū Abdullāh al-Ḥusain bin
Aḥmad bin Muḥammad bin ‘Abdurrahmān bin Asad bin Sammakh bin
Syammākhī al-Hirawī aṣ-Ṣaffar, pengarang al-Mustakhraj Al-Ṣahih Muslim.
Wafat tahun 371 H.
5. Al-Muhaddits al-Imām Abū ‘Alī al-Ḥusain bin Ibrāhīm bin Jābir bin Abī Az-
zamzām ad-Dimasyqī al-Faraiḍī asy-Syahīd. Wafat tahun 368 H.
6. Al-Imām al-Ḥafiẓ ats-Tsiqah ar-Rahāl al-Jawwāl Muhadditsul Islām ‘Alimal-
Mua’ammarīn Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad bin ‘Ayūb bin Muṭair a-
Lakhmī Asy-Syammī Aṭ-Ṭabrānī, pengarang tiga mu’jam; al-Kabīr, al-Ausath,
Aṣ-Ṣaghīr. Wafat tahun 360 H.
7. Al-Imām al-Hafiẓ an-Naqīd al-Jawal Abū Aḥmad Abūḍlah bin ‘Abdī bin
Abdullah bin Muḥammad bin al-Mubārak bin al-Qaṭṭān al-Jurjānī, pengarang
kitab al-Kāmil. Wafat tahun 365 H.
8. Al-Imām al-Hafiẓ Al-Mutqīn Abū Sa’īd Abdurraḥman bin Aḥmad bin Yūnus
bin Abdil ‘A’lā aṣ-Ṣadafī al-Miṣrī, pengarang kitab Tarikh Ulama’ Miṣra.
Wafat tahun 347 H.
9. Al-Imām al-Hafiẓ Ast Tsiqāh al-Jawwāl Abū Bakar Muḥammad bin Ja’far bin
al-Ḥusain al-Baghdādī al-Warrāq. Wafat tahun 370 H.
10. Asy-Syaikh al-‘Ālim al-Ḥafiẓ Abū Sulaimān Muḥammad bin al-Qaḍī Abdullah
bin Aḥmad bin Rābi’ah bin Zabrīn ar-Raba’ī. Wafat tahun 379 H.
11. Asy-Syaikh al-Ḥafiẓ al-Mujawwīd Muhaddits ‘Iraq Abūl Ḥusein Muḥammad
bin al-Muẓaffār bin Musā bin ‘Īsā bin Muḥammad al- Baghdādī. Wafat tahun
379 H.
15

12. Al-Muhaddits ar-Raḥḥal Abū al-Qāsim Maslāmah bin al-Qāsim bin Ibrāhīm
al-Andalusī al-Qurṭubī. Wafat tahun 353 H.
13. Muhaddits Aṣbahān al-Imām ar- Raḥḥal al-Ḥafiẓ aṣ-Ṣādiq Abū Bakar
Muḥammad bin Ibrāhīm bin ‘Alī bin ‘Āṣim bin Zādzan al-Aṣbahān, yang
termasyhur dengan sebutan Ibnul Muqri’ al-Mu’jam. Wafat tahun 381 H.
14. ‘Alī bin Aḥmad bin Muḥammad bin Salāmah Abū al-Ḥasan Aṭ-Ṭaḥāwī, anak
Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Wafat tahun 381 H.
15. Abū Utsmān Aḥmad bin Ibrāhīm bin Ḥammad bin Zaid al-Azdī, wafat tahun
329 H.8

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī adalah orang yang berilmu yang memiliki keutamaan.


Beliau menguasai sekaligus ilmu fiqih dan hadits, serta cabang-cabang keilmuan
lainnya. Beliau menjadi wakil dari al-Qaḍī Abū Abdillah Muḥammad bin ‘Abdah,
seorang Qaḍī di Mesir.9 Imām Aṭ-Ṭaḥāwī seorang hafiẓ (penjaga dan penghafal)
kitab Allah, yang mengerti hukum-hukumnya dan maknanya, dan terhadap atsar
dari sahabat dan tabi’in terhadap tafsir ayat-ayatnya, aṣbābūn nuzulnya. Imām Aṭ-
Ṭaḥāwī diberi gelar al-Hafiẓ yang mengindikasikan tingkat perbendaharaan dan
kredibilitasnya dalam hadits dan ilmu hadits, sehingga al-Ẓahabī misalnya melihat
sebagai ulama hadits yang pandangannya dapat dijadikan acuan dalam al-jarḥ wa
al-ta’dīl.10 Mempunyai wawasan yang menakjubkan dengan ilmu qira’ah.
Penghafal hadits, luas jangkauan pengenalannya terhadap ṭuruq (jalan-jalan) hadits,
matan, illah dan aḥwalnya, rijal-rijalnya, banyak menelaah madzhab para sahabat
dan tabi’in serta para Imām yang empat yang diikuti dan para Imām mujtahid yang
lain. Seperti Ibrāhīm an-Nakha’ī, Utsmān al-Baṭṭī, Auza’ī, ats-Tsaurī, Laits bin
Sa’d, Ibn Syubrumah, Ibn Abī Lailā dan al-Ḥasan bin Ḥay. Sangat piawai dalam
ilmu Syurut dan Watsaiq. Seorang yang sangat jeli dalam membahas suatu masalah.
Tidak bertaklid pada seorangpun, tidak dalam masalah ushul (pokok), dan tidak
dalam masalah furu’. Beliau berputar bersama kebenaran yang berdasar pada

8
Syu’aib Al-Arnauth, Syarh Aqidah Thahawiyah, h. 10-12.
9
Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi, Tahdzib Syarh Aṭ-Ṭaḥāwīyah – Dasar-dasar ‘Aqidah
Menurut Ulama Salaf, terj. Abū Umar Basyir Al-Medani (Solo: Pustaka At-Tibyan, 1999) cet. Ke-
1, h. 25.
10
Husein al-Zhahabi. Dzikr Man Yu’tamad Qaulah fi al-Jarh wa al-Ta’dil (Lahore: al-
Maktabah al-'Ilmiyyah, 1980), h. 195-196.
16

ijtihadnya. Mengikuti manhaj salaf dalam aqidah. Dan atas manhaj ini pula beliau
mengarang kitab aqidah yang masyhur (yakni Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah). Sangat
memperhatikan apa yang beliau dengan dalam majelis ilmu, dan kemudian diulangi
kembali setelah selesai majelis, mengklasifikasikan secara rinci riwayat-riwayat
yang ia terima dan menyusunnya dalam mushannafnya. Sifat inilah yang
mengantarkannya untuk menyusun mushannafat yang banyak menurut babnya.
Dan beliau adalah seorang yang lapang dada, baik akhlaqnya, baik dalam
pergaulan, bertindak tanduk sopan, memberi nasehat para pemimpin dengan penuh
tawadhu’, dekat dengan para qaḍī dan ahli ilmu, menghadiri halaqah ilmu dan
menukil riwayat dari sana. Orang-orang yang berbeda pendapat dan sependapat
dengan beliau mengakui kewara’annya dan kezuhudannya, lemah lembut terhadap
keluarga, jauh dari rasa ragu-ragu. Ketsiqahan ulama pada beliau mencapai
puncaknya ketika Abū ‘Ubaid bin Ḥarbawaih, salah seorang sahabat Imām Syāfi‘ī
mengakui keadilannya dan menerima syafa’atnya.

C. Karya-Karya Imām Aṭ-Ṭaḥāwī

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī adalah termasuk diantara sekian orang yang mempunyai


banyak kitab karangan dan mahir dalam menyusun taṣnīfāt. Dikarenakan beberapa
faktor yang dianugerahkan Allah kepadanya. Yakni cepat hafal, mempunyai
wawasan pengetahuan yang luas, dan mempunyai kesiapan hyang cukup, belau
telah menyusun berbagai macam dan jenis kitab, baik dalam bidang aqidah, tafsir,
hadits, fiqih dan tarikh.11 Berkah hidup beliau terwujud nyata dalam bentuk karya-
karya kitabnya dimana dapat diambil manfaatnya oleh generasi ke generasi.
Sebagian ahli tarikh menyatakan lebih daari tiga puluh kitab. Di antara yang paling
penting adalah sebagai berikut:

1. Syarḥ Ma’ānī al-Atsār, ini adalah karya tulis beliau yang paling pertama.
2. Syarḥ Musykil al-Atsār, sebuah karya ilmiah monumental yang penuh dengan
makna-makna yang bagus dan sarat dengan faidah.

11
M. Abdul Khaled, Syahr Aqidah Thahawiyah (Bekasi: Islamic Center al-Islam, 2001),
https:/www.academia.edu/34678683/ath_thahawi_pdf. Diakses pada 29 September 2020, pukul
22.47 .
17

3. Mukhtaṣar Aṭ-Ṭaḥāwī, dalam fiqih Madzhab Ḥanafī, yang tampaknya mirip


dengan karakter tulis Mukhtaṣar al-Muzanī dalam Madzhab asy-Syāfi‘ī.
4. Sunan asy-Syāfi‘ī, dalam kitab ini Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengumpulkan riwayat-
riwayat yang didengarnya langsung dari paman dan gurunya al-Muzanī, dari
Imām asy-Syāfi‘ī.
5. Al-Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, adalah dalah satu kitab yang memiliki manfaat
paling urgent di dunia Islam, yang menggambarkan tegaknya manhaj as-Salaf
aṣ-Ṣāliḥ di zaman hidup penulisnya, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Ini dari satu sisi. Dari
sisi lain, kitab ini juga membuktikan bahwa semua ulama Ahlus Sunnah
memiliki aqidah yang sama, sekalipun mereka berbeda dalam Madzhab fiqih.12
Banyak kelebihan kitab ini sebagai khazanah warisan ulama Salaf Shalih.

Pertama, kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah adalah sebagai salah satu kitab


aqidah tertua dalam khazanah Ulama Salaf. Meskipun tidak sepopuler karya-
karya Imām Abū al-Ḥasan al-Asy’arī, tetapi ajaran aqidah mereka tidak jauh
berbeda, padahal tidak terdapat riwayat yang melaporkan bahwa mereka
pernah bertemu. Secara sanad, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī lebih tinggi (‘alī) dari pada
Abū Ḥasan al-Asy’arī. Ini dikarenakan beliau langsung dapat dari al-Muzanī,
al-Murādī dan lainnya. Adapun Abū al-Ḥasan al-Asy’arī mendapatkannya dari
generasi murid-murid al-Muzanī, yaitu Zakariya al-Sajī.

Kedua, secara manhaj kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah tidak berbeda dengan


aqidah Abū Ḥasan al- Asy’arī. Dalam hal ini, Imām al-Subkī menilai aqidah
dua Imām tersebut sama secara konten, kecuali beberapa hal kecil.

Ketiga, ajaran yang terkandung dalam kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah


merupakan aqidah yang diwariskan oleh Imām Salaf pendiri madzhab
Ḥanafiyah, yaitu Imām Abū Ḥanīfah (w.150 H) dan kedua muridnya
Muḥammad Ibn al-Ḥasan al-Syaybanī dan Abū Yūsuf al-Ansarī. Ini yang
membedakannya dengan Abū al-Ḥasan al-Asy’arī yang diwariskan oleh Imām
Mālik, al-Syāfi’ī dan lebih khusus Aḥmad Ibn Ḥanbal.

12
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah,. h. ix.
18

Keempat, sosok Imām Aṭ-Ṭaḥāwī “diperebutkan” oleh aliran-aliran


setelahnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Ibn Abū al-‘Iz murid Ibn
Qayyim al-Jawziyah mensyarah kitabnya. Ini dilanjutkan oleh Salafi
Kontemporer seperti ‘Abdu al-‘Azīz Ibn Bāz, al-Rājiḥī, Ibn Jibrin, Ibn al-
Utsaymin, Ṣāliḥ al-Fawzān, al-Albānī dan tokoh-tokoh lainnya. Bahkan dari
kalangan Asy’ariyah terdapat ‘Abdullah al-Hararī pendiri gerakan Aḥbāsy
yang sangat ketat dan kritis. Tidak lupa juga terdapat al-Sayyid Ḥasan al-
Saqqāf, seorang ahli hadits yang semi Asy’ariyah-Zaydiyah.

Kelima, kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah dapat dijadikan sebagai panduan


untuk menimbang kevalidan aliran mana pun yang mengaku bermanhaj Salaf.

Keenam, kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah menunjukkan bahwa aqidah Salaf


Shalih tidak hanya satu manhaj, tetapi mempunyai banyak sistem berpikir
(manahij), tetapi dalam satu lingkaran Ahl al-Sunnah.13

Beliau wafat di Mesir, pada bulan Dzulqa’dah pada tahun 321 H dalam usia
80 tahun lebih. Beliau dimakamkan di daerah Qarafah Bani Asy’ats.

D. Peran Dan Pengaruh

Aṭ-Ṭaḥāwī telah belajar madzhab Syāfi‘ī kepada pamannya al-Muzanī,


kemudian mempelajari madzhab Ḥanafī, dan tidak berta’aṣub pada salah seorang
Imam pun. Akan tetapi memilih perkataan yang ia anggap paling benar berdasarkan
kekuatan dalilnya. Dan jika salah seorang Imam menyamai pendapatnya maka
disebabkan kesamaan yang berdasarkan dalil dan hujjah, tidak karena taklid.
Keadaannya seperti keadaan para ulama semasanya, yang tidak ridla dengan taklid.
Tidak kepada ahli hapal hadits dan tidak pula kepada para ulama fiqih. Berkata Ibnu
Zaulaq: “Aku mendengar Abū Ḥasan ‘Alī bin Abī Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī berkata: Aku
mendengar bapakku berkata dan disebutkan keutamaan Abī ‘Ubaid bin Harbawaih
dan fiqihnya lalu berkata: Ketika itu ia mengingatkan aku dalam satu masalah.
Maka aku jawab masalah itu. Tetapi beliau berkata kepadamu: Bagaimana ini,
kenapa memakai perkataan Abū Ḥanīfah? Maka aku katakan kepadamu: Wahai

13
Hasyim, Akidah Salaf Imām al-Ṭahawi, h. 3-6.
19

Qaḍī, apakah setiap perkataan yang diucapkan Abū Ḥanīfah aku katakan juga?
Beliau berkata: Aku tidak mengira engkau kecuali seorang muqallid (suka
mengikuti saja). Aku jawab: Apakah ada orang yang bertaklid kecuali orang yang
berta’ashub (fanatik buta)? Beliau menambahi: Atau orang yang bodoh? Berkata:
Maka menjadilah kalimat ini masyhur di Mesir hingga semacam menjadi pameo
yang dihafal manusia.

Dan tidak ada yang menghalanginya untuk berijtihad karena beliau telah
menguasai ilmu perangkatnya. Beliau adalah seorang hafiẓ. Luas telaahnya, dalam
pemahamannya, luas cakrawala tsaqafahnya, ahli dalam mengenali hadits dan
periwayatannya, piawai dalam mencari illat hadits serta mahir dalam ilmu fiqih dan
bahasa Arab.

Berkata Imām al-Laknawī dalam al-Fawāid al-Bahīyah hal. 31; Bahwa


Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mempunyai derajat yang tinggi dan urutan yang mulia. Banyak
menyelisihi shahibul madzhab (pendiri madzhab) dalam masalah ushul maupun
masalah furu’. Barang siapa yang menelaah kitab Syarḥ Ma’ānī al-Atsār dan
karangan-karangannya yang lain maka akan mendapati bahwa beliau banyak
menyelisihi pendapat yang dipilih para pemimpin madzhabnya jika yang mendasari
pendapatnya itu sangat kuat. Yang benar beliau adalah salah seorang mujtahid, akan
tetapi manusia tidak bertaklid kepada beliau. Tidak dalam furu’ maupun dalam
ushul, karena mereka mensifatinya dengan mujtahid. Atau paling tidak beliau
adalah seorang mujtahid dalam madzhab yang mampu untuk mengeluarkan hukum-
hukum dari kaidah-kaidah yang dinyatakan sang Imām madzhab, dan tidak pernah
derajat beliau rendah dari martabat itu selamanya.

Dan berkata Maulānā Abdu al-‘Azīz al-Muhaddits ad-Dahlawī dalam kitab


Bustan al-Muhadditsīn: “Dalam mukhtashar Thahawi menunjukkan bahwa beliau
adalah seorang mujtahid. Dan bukan seorang muqallid (pengekor) terhadap
madzhab Ḥanafī dengan pengekoran total. Karena beliau sering memilih pendapat
yang berbeda dengan madzhab Abū Ḥanafī ketika hal itu berdasarkan dalil-dalil
yang kuat.
BAB III
TEOLOGI ISLAM
A. Definisi Teologi

Islam merupakan sebuah agama yang diturunkan untuk semua umat


manusia yang ada di muka bumi ini. Ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Islam
terdapat sesuatu yang mendasar yaitu berupa akidah dan syariat, yang mana kedua
ajaran ini adalah ajaran inti yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang
lainnya. Korelasinya tidak hanya dalam bentuk pengalaman, tetapi juga pada dasar-
dasar pemikiran yang berkembang.
Ajaran Islam mengharuskan Muslim mempunyai akidah yang kuat dalam
masalah ketuhanan, sebab hal itu termasuk masalah yang sangat pokok dalam
sistem ajaran Islam yang tidak boleh diabaikan. Al-Qur’an, yang menjadi sumber
keagamaan dan moral bagi Islam, mempunyai ajaran-ajaran dasar (basic teachings)
yang bertujuan membentuk masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang
saleh, dengan kesadaran religius yang tinggi serta memiliki akidah yang benar dan
murni tentang Tuhan dan ajaran tentang syariat. Al-Qur’an juga memberikan
bimbingan pada manusia bagaimana cara berhubungan, antara manusia dan Tuhan,
manusia dan manusia, serta manusia dan alam.
Sejak masa Nabi Muhammad Saw., kegiatan ijtihad telah dilakukan dengan
menjadikan Nabi Muhammad Saw., sebagai rujukan, karena beliau yang
memegang otoritas itu. Pasca wafat Nabi, karena ada persoalan yang semakin
kompleks, kemudian para sahabat berijtihad dengan berpegang kepada kedua
sumber utama ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah sejauh yang mereka
mampu tafsirkan. Permasalahan yang pertama-tama muncul ada pada bidang
politik, namun persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. 1
Term teologi pada dasarnya bukan berasal dari khazanah dan tradisi Islam,
tetapi term ini sering dipakai oleh cendekiawan Muslim kontemporer.2 Secara
etimologis, teologi berasal dari kata theology (Inggris), theologie (Perancis dan
Belanda) atau theologia (Latin dan Yunani Kuno). Pada prinsipnya, setiap kata

1
Kamal Mukhtar, dkk, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Dana Bhakti, 1995), jilid II, h. 153.
2
Djohan Effendi, Konsep-Konsep Teologis: Kontekstualisasi Doktrin-Doktrin Islam dalam
Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 52-53.

20
21

dalam berbagai bahasa yang terdapat di Eropa dicari akar kata pada bahasa Latin
yang mengacu pada bahasa Yunani Kuno. Theologia dalam bahasa Yunani terdiri
dari dua suku kata, yaitu theo dan logia. Theo term jamak dari theos, menurut
mitologi Yunani Kuno term tersebut adalah sebutan nama untuk dewata (para
dewa). Namun, dalam bahasa Indonesia, kata theo berarti Tuhan.3 Sedangkan dalam
bahasa Yunani Kuno logia berasal dari kata logos (akal) yang berarti ilmu.4
Teologi merupakan “ilmu tentang Ketuhanan”, yaitu membicarakan zat
Tuhan dari segala seginya dan hubungannya dengan manusia dan alam. Teologi
yang bercorak agama dipahami sebagai intellectual expression of religion, atau
keterangan tentang kata-kata agama yang bersifat pikiran. Karena itu teologi
biasanya diikuti dengan kualifikasi tertentu seperti Teologi Yahudi, Teologi Kristen
dan juga Teologi Islam (Ilm Kalam).5
Aḥmad Ḥanafī menjelaskan dalam pengantarnya, bahwa teologi memiliki
banyak dimensi pengertian, namun secara umum teologi ialah “the science which
treats of the facts and phenomena of religion, and the relations between God and
man”, atau ilmu yang membicarakan kenyataan-kenyataan dan gejala-gejala agama
dan membicarakan hubungan Tuhan dan manusia, baik dengan jalan penyelidikan
maupun pemikiran murni, atau dengan jalan wahyu.6
Sedangkan menurut Muhamad Abduh, teologi merupakan sebuah jalan
yang dipakai untuk mengetahui Tuhan, bukan hanya melalui wahyu tetapi juga
melalui akal. Akal dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, berusaha memperoleh
pengetahuan tentang Tuhan dan wahyu. Konsep teologi seperti ini bisa
digambarkan bahwa Tuhan berada di puncak alam wujud sedangkan manusia ada
di dasarnya. Manusia yang jauh di dasar alam wujud itu berusaha mengetahui
eksistensi Tuhan dengan cara menurunkan wahyu untuk membantu manusia.7
Adapun menurut Nurcholish Madjid, teologi adalah ilmu yang menetapkan
kepercayaan dan menjelaskan apa yang terdapat pada nurbuat-nurbuat atau cahaya

3
Joesoef Sou’yb, Perkembangan Teologi Modern (Jakarta: Rainbow, 1987), h. 1.
4
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2001), cet. 3, h. 1177.
5
Ahmad Ḥanafī, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), cet. 3, h. 8.
6
Ahmad Ḥanafī, Theology Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), v-vi.
7
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press,
1987), h. 43.
22

kenabian yang sudah dikenal oleh umat-umat sebelum Islam. Sebab pada setiap
umat selalu ada orang yang bertanggung jawab atas urusan agama, dan berusaha
untuk memelihara serta menopangnya. Argumentasi tersebut merupakan cara yang
pertama-tama mereka gunakan. Tetapi mereka jarang sekali dalam argumentasi
menempuh melalui jalan pembuktian rasional, dan jarang sekali pula dalam
membangun doktrin-doktrin dan kepercayaan mereka menggunakan apa yang ada
dalam hukum alam atau apa yang terkandung oleh susunan semesta. Melainkan
metode-metode rasional yang mereka gunakan dalam ilmu itu, dan cara-cara
keagamaan yang dipakai untuk mempertahankan dogma-dogma serta
mendekatkannya kepada perasaan-perasaan hati (membuatnya popular) berada
dalam kedua ujung ekstrimitas yang berlawanan. Kebanyakan agama dikemukakan
melalui argumentasi para tokohnya bahwa ia adalah musuh akal, baik dalam resultat
maupun premis-premisnya. Sehingga bagian terpenting dari pada ilmu-ilmu kalam
adalah berupa interpretasi, komentar, ketakjuban kepada mu’jizat-mu’jizat, atau
kesenangan oleh berbagai cerita fantasi.8
Menurut William L. Reese, teologi artinya discourse or reason concerning
God yang berarti diskursus atau pemikiran tentang Tuhan. Artinya bahwa teologi
adalah disiplin ilmu yang membicarakan masalah ketuhanan berkenaan dengan
kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan.9 Menurut
Encyclopedia of Religion, kata teologi diberi batasan dengan the discipline which
concerns God and God’s relation to the world, yang berarti disiplin yang berkenaan
dengan Tuhan dan hubungan Tuhan dengan dunia.10
Penggunaan term teologi bagi ilmu-ilmu ketuhanan di Indonesia
dipopulerkan oleh Harun Nasution.11 Harun Nasution menghubungkan teologi
Islam dengan ilmu kalam, pada konteks kalam itu sendiri. Kalam adalah kata-kata,
adapun teologi Islam membahas tentang kalam ilahi dan kalam manusia. Dalam hal
ini, persoalan tentang kalam Ilahi muncul ketika adanya perdebatan tentang sifat
qadim al-Qur’an. Kalam manusia didasarkan pada perdebatan yang dilakukan oleh
para teolog Islam menggunakan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan

8
Nurcholish Madjid, Khazanah intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 365.
9
William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion (New York: Humanity Books,
1996), h. 766.
10
Virgilius Ferm, Encyclopedia of Religion (USA: Greenword Press Publisher, 1976), h. 782.
11
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), h. 368.
23

pendirian masing-masing. Oleh karena teologi Islam juga disebut juga ilmu
kalam,12 karena memiliki persamaan dalam pokok baḤasan yang dikaji, yaitu
kepercayaan tentang Tuhan dan kaitan-Nya dengan alam semesta.
Walaupun demikian, pada awalnya penggunaan kata ini ditentang oleh
sebagian ahli kalam, seperti H. M. Rasyidi yang mengatakan bahwa teologi berbeda
dengan ilmu Kalam dan tidak boleh disamakan.13 Namun, untuk selanjutnya istilah
teologi sering digunakan di kalangan akademisi. Menurut Djohan Effendi,
penggunaan kata teologi bukan untuk mengecilkan arti penting istilah-istilah yang
terkait dengan ilmu ketuhanan dalam khazanah Islam dan bukan suatu hal yang
negatif. Istilah tersebut hanya akan memperbanyak khazanah dan sistematis
pemahaman keagamaan.14
Adapun kata ‘Islam’ yang mengikuti kata teologi, berarti ruang lingkup dari
teologi itu sendiri. Term Islam secara bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu kata
aslama, yuslimu, islāman, dengan asal kata salāma yaitu menyelamatkan, atau
berarti juga al-ṣiḥḥah dan al-‘āfiyah (sehat wal’afiat). Al-Islām diartikan alinqiyād
yaitu kepatuhan.15 Secara istilah, Islam adalah al-khuḍū’ū wa al-inqiyād limā
akhbara bihi al rasūl ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam (tunduk dan patuh kepada apapun
yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.).16
Dalam ajaran Islam yang terkait dalam pembaḤasan teologi adalah ajaran
mengenai doktrin (aqidah).17 Oleh karena itu, pembaḤasan teologi adalah segala

12
Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 2010), ix.
13
H. M. Rasyidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang: Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 33.
14
Djohan Effendi, “Konsep-Konsep Teologis”, dalam Budhy Munawar Rahman, (ed.),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 52.
15
Abū al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā al-Qazwīnī al-Rāzī, Mu’jam Maqāyīs al-
Lugah (Beirut; Dār al-Fikr, 1991), Jilid III, h. 90.
16
Ali bin Muḥammad al-Sayyid al-Syarīf al-Jurjānī, Mu’jam al-Ta„rīfāt (Kairo: Dār al-
Fadīlah, t.t.), h. 23.
17
Ulama membagi ajaran Islam menjadi tiga bagian: 1) Doktrin (akidah) atau keyaninan hati
yaitu topik-topik yang harus dimengerti dan diimani, seperti keesaan Allah, sifat-sifat Allah, dan
kenabian yang sifatnya universal dan terbatas. Namun ada perbedaan tertentu dikalangan mazhab
seperti apa saja yang merupakan rukun iman (ushuluddin). 2) Moral (akhlak) adalah berkaitan
dengan perintah dan ajaran yang ada hubungannya dengan karakteristik spiritual dan moral manusia,
seperti adil, takwa, berani, arif, bersih, sabar, setia, jujur, dan menjaga amanah. 3) Hukum (hukm)
yaitu membahas mengenai topik-topik yang berkaitan dengan praktik dan cara yang benar dalam
menjalankan shalat, zakat, puasa, haji, jihad, dalam ber amar ma’ruf nahi munkar, dalam membeli,
menyewa, menikah, bercerai, dan membagi warisan. Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu
Islam: Ushul Fiqh, Hikamh Amaliah, Fiqh, Logika, Kalam, Irfan, dan Filsafat (Jakarta: Pustaka
Zahra, 2003), h. 196.
24

pengetahuan yang berkaitan dengan penetapan akidah keagamaan baik secara


langsung (dekat) atau secara tidak langsung (jauh). Sementara aksiologinya atau
nilai dari teologi adalah meningkatkan keyakinan para pengkajinya, membimbing
pengkajinya dengan argumentasi yang kuat sebagai bentuk perlindungan diri,
menjaga kaidah agama dari kerancuan, menjadi dasar ilmu-ilmu syariat, dan
meluruskan niat serta keyakinan para pengkaji.18
Teologi merupakan elemen yang sangat fundamental dan esensial bagi
sebuah agama. Teologi merupakan pilar utama yang menentukan bagi eksistensi
agama. Oleh sebab itulah, teologi menjadi bidang kajian yang telah mentradisi
dalam sebuah agama. Dan pada dasarnya, sejarah agama dapat dikatakan juga
sebagai sejarah teologi.19
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teologi
Islam merupakan ilmu yang membahas tentang eksistensi Allah, sifat-sifat-Nya dan
hubungan dengan manusia dan alam semesta.
B. Sejarah Teologi Islam
Perkembangan teologi Islam telah merambah jauh memasuki berbagai
persoalan ketuhanan yang rumit, mendetail dan filosofis, sehingga menimbulkan
pembaḤasan yang sangat banyak. Berawal dari fenomena ketuhanan yang
merupakan fakta universal, melahirkan berbagai kelompok pemikiran dalam
Islam yang muncul setelah Rasulullah wafat. Situasi dan kondisi pada saat itu
mendorong umat Islam untuk berusaha menegakkan Al-Qur’an dan Sunnah
dalam berbagai masalah, dengan tujuan agar permasalahan umat Islam yang
semakin banyak dapat terselesaikan dengan baik, sehingga tidak terjerumus pada
hal-hal yang dilarang oleh agama.20
Pada masa hidup Rasulullah, ajaran Islam telah terlaksana dengan baik dan
benar, sehingga semua permasalahan umat Islam dapat ditanyakan langsung
kepadanya dan jawaban terhadap permasalahan tersebut dapat diperoleh
langsung dari Rasulullah. Para sahabat kaum Muslimin percaya sepenuh hati,

18
Maria Ulfa Siregar. Pemikiran Teologis Badiuzzaman Said Nursi (Tesis Program
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utama Medan 2015), h. 19.
19
Rumadi, Masyarakat Post Teologi Wajah Baru Agama dan Demokratisasi Indonesia
(Bekasi, PT Gugus Press, 2002), h. 23.
20
Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam (Bandung: Citapustaka Media,
2013), h. 128.
25

bahwa segala yang disampaikan Rasulullah Saw., adalah berdasarkan wahyu


Allah Swt. Dengan demikian, tiada keraguan sedikitpun dalam masalah akidah,
tiada perpecahan dan juga pengelompokan. Saat Rasulullah Saw., wafat,
permasalahan bertumpu kepada para sahabat Rasul, dan hal inilah yang memicu
lahirnya permasalahan kalam atau teologi Islam.21
Timbulnya aliran-aliran teologi Islam tidak terlepas dari fitnah-fitnah yang
beredar setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw. wafat peran
sebagai kepala negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut
khulafaur Rasyidin yakni Abū Bakar, Umar bin Khatab, Utsmān bin Affan, dan
Ali bin Abi Thalib. Namun, ketika pada masa Utsmān bin Affan mulai timbul
adanya perpecahan antara umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnah
yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang
timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari
masalah politik sampai pada masalah teologis. 22
Sudah menjadi maklum bahwa kemunculan aliran-aliran kalam klasik
pertama-tama dipicu oleh problem politis yang selanjutnya berubah menjadi
sengketa politis dan meningkat menjadi permasalahan teologis, sehingga
penyelesaian suatu masalah teologis pasti membawa implikasi pada prilaku
masyarakat.
Timbulnya permasalahan-permasalahan di bidang politik terjadi pada masa
khalifah Utsmān bin Affān dan ‘Alī bin Abi Ṭalib. Pada masa khalifah Utsmān
bin Affan, beliau banyak mengangkat pejabat-pejabat di masa khalifahnya dari
keluarga dekatnya. Kebijakan politik Utsmān yang mengangkat sanak keluarga
ini menimbulkan rasa tidak simpatik terhadap dirinya. Setelah melihat sikap dan
tindakan yang kurang tepat itu, para sahabat yang semula menyokong Utsmān
kini mulai menjauh darinya. Kehadiran para pelaku aksi protes ini akhirnya
berakibat fatal bagi diri Utsmān, ia terbunuh oleh para pemuka aksi protes
tersebut.23 Setelah Utsmān wafat, ‘Alī bin Abī Ṭalib menggantikan beliau
menjadi khalifah berikutnya.

21
‘Allāmah asy-Syaikh Ja’far Subhāni, “Buhuṡ fil Milal wan Nihal Dirasah Mauwḍū‟iyyah
Muqarinatun lil Mażahibil Islāmiyyah”, terj. Hasan Musawa, Al-Milal Wan Nihal Studi Tematis
Mazhab Kalam (Pekalongan: Al-Hadi, 1997), h. 28.
22
Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia. 2007), h. 14.
23
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran dalam Islam (Jakarta, Pustaka Antara, 1996), h. 2.
26

Perbedaan pendapat pertama kali terjadi pada masa pemerintahan ‘Alī yang
ditandai dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Ṭalhah dan Zubair di
Makkah dengan mengajak ‘Ᾱisyah untuk bergAbūng dengan mereka dan
berangkat ke Basrah untuk mencari dukungan. Terjadilah peperangan di antara
kedua pihak yang dikenal dengan perang unta (Waq’atul Jamal). Setelah
peperangan berkobar, kelompok Ṭalhah menyadari kekeliruannya dan bertaubat,
serta menyatakan tunduk kepada pemerintahan ‘Alī. Namun, Zubair meninggal
terkena panah Ibnu Jurmūz dan Ṭalhah meninggal karena dibunuh Marwān ibn
Hakām sesudah peperangan usai, sedangkan ‘Ᾱisyah menyadari kekeliruannya,
kemudian menyatakan tunduk kepada pemerintahan ‘Alī.24
Perbedaan pendapat juga terjadi antara Mu’āwīyah dan ‘Alī, sehingga
mengakibatkan terjadinya perang Ṣiffin yang berakhir dengan keputusan tahkīm
(arbitrase). Sejarah menjelaskan bahwa dengan kecerdikan Mu’āwīyah yang
merasa akan kalah ketika perang Ṣiffin, mengangkat Mushaf di atas ujung
lembing dan meminta supaya pertengkaran antara ‘Alī dan Mu’āwīyah diakhiri
dengan suatu keputusan para hakim (para pendamai). Pada mulanya, sebagian
kelompok ‘Alī menganjurkan supaya meneruskan perang, karena memang
hampir memperoleh kemenangan, tetapi ada sebagian kelompok ‘Alī yang
menyetujui anjuran Mu’āwīyah tersebut. Pada akhirnya, yang menyetujuinya
adanya perdamaian menang suara dan ‘Alī pun menerima tahkīm.25
Kelompok Ali mengutus Abū Mūsa al-Asy’ari dan kelompok Mu’āwīyah
mengutus ‘Amr bin Aṣ dalam tahkīm. Peristiwa yang terjadi di pertemuan
mereka, terdapat siasat kelicikan ‘Amr bin Aṣ yang mengalahkan perasaan
takwa Abū Mūsa al-Asy’arī. Sejarah mengatakan bahwa mereka melakukan
pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemimpin yang bertentangan ‘Alī dan
Mu’āwīyah dan memilih khalifah secara musyawarah di antara keduanya, karena
Abū Mūsa lebih tua, ‘Amr bin Aṣ mempersilahkan ia untuk mengumumkan
terlebih dahulu kepada orang ramai keputusan menjatuhkan kedua pemuka yang
bertentangan tersebut. Berlainan dengan yang telah disetujui, ‘Amr bin ‘Aṣ

24
Muḥammad Bin Abdūl Karīm al-Syahrastānī, “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj. Asywadie
Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), h. 19.
25
M. Hasbi al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam (Jakarta: Bulan Bintang,
1986), h. 138.
27

mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan ‘Alī yang telah diumumkan Abū


Mūsa, tetapi menolak penjatuhan Mu’āwīyah.26
Ternyata keputusan tahkīm menjadikan Mu’āwīyah sebagai khalifah
menggantikan ‘Alī. Kelompok ‘Alī merasa ditipu oleh utusan Mu’āwīyah, ‘Amr
bin Aṣ, sungguh pun dalam keadaan yang terpaksa dan tidak disetujui oleh
sebagian tentara ‘Alī. Mereka menganggap bahwa kedudukan Mu’āwīyah yang
sebagai gubernur saat itu tidak resmi, karena yang seharusnya menjadi khalifah
yang sah adalah ‘Alī, tidak mengherankan kalau keputusan ini ditolak ‘Alī dan
tidak mau meletakkan jabatannya hingga ia meninggal terbunuh.27
Selanjutnya, kelompok yang mendukung ‘Alī, serta keluarganya muncul
sebagai kelompok yang dikenal dengan Syi’ah. W. Montgomery Watt
menyatakan bahwa Syi’ah muncul ketika berlangsungnya peperangan antara
‘Ali dan Mu’āwīyah yang dikenal dengan perang Ṣiffin. Kemudian muncul dua
kelompok, yakni Khawarij sebagai kelompok yang keluar dan Syi’ah sebagai
kelompok pendukung ‘Alī.28 Peristiwa arbitrase yang menyebabkan umat Islam
terpecah belah, menurut Al-Ṣiddieqy terpecah menjadi tiga kelompok yaitu:
1. Kelompok Syi’ah yaitu golongan yang memihak kepada ‘Alī dan ahli
baitnya dan berpendapat bahwa ‘Alī dan keturunannya yang berhak
menjadi khalifah.
2. Kelompok Khawarij yaitu golongan yang menentang ‘Alī dan
Mu’āwīyah, yang mengatakan bahwa peristiwa tahkīm itu melanggar
hukum agama Islam.
3. Kelompok Murjiah yaitu kelompok yang menggAbūngkan diri kepada
keduanya dan menyerahkan hukum pertengkaran itu kepada Allah
sendiri.29
Terbaginya tiga kelompok tersebut pada awalnya karena tujuan politik yaitu
perebutan kedudukan khalifah. Namun, permasalahan tersebut akhirnya
merambah kepada ranah teologi. Kelompok-kelompok tersebut, membahas

26
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 2009), Jilid
II, h. 5.
27
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 5.
W. Montgomery Watt, “Islamic Philosophy and Theology”, terj. Umar Basalim,
28

Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam (Jakarta: P3M, 1987), h. 10.


29
M. Hasbi al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, h. 139.
28

urusan-urusan yang berkaitan dengan dasar iman dan akidah. Atas dasar
politiklah mereka mendirikan pendapat-pendapat mereka. Harun Nasution
menyatakan bahwa permasalahan kalam pertama kali muncul adalah masalah
yang kafir dan bukan kafir, seperti kelompok Khawarij yang menganggap bahwa
kelompok yang terlibat dan setuju dengan peristiwa tahkīm adalah kafir dan halal
dibunuh, berdasarkan firman Allah pada Al-Qur’an surat al-Mā’idah ayat 44.
Sehubungan dengan itu, permasalahan teologi yang muncul berikutnya adalah
tentang pelaku dosa besar, masihkah pelaku dosa besar seorang mukmin atau
sudah menjadi kafir.30 Terkait dalam masalah tersebut, Harun membagi tiga
aliran teologi yang muncul pertama kali, yaitu:
1. Aliran Khawarij yang mengatakan pelaku tahkīm atau pelaku dosa besar
adalah kafir, yaitu keluar dari Islam (murtad) dan wajib dibunuh.
2. Aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar
tetap masih Mukmin dan bukan kafir. Adapun dosa yang dilakukannya,
terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
3. Aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat kedua kelompok di
atas, Menurut paham Mu’tazilah pelaku dosa besar bukan Mukmin bukan
juga kafir, yang dalam bahasa Arab konsep mereka dikenal dengan al-
manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).31
Dengan demikian, sejarah tentang persoalan kalam baru dimulai sejak
Rasulullah Saw. wafat, yang memuncak pada masa khalifah ‘Alī bin Abī Ṭālib,
ditandai dengan perang Ṣiffin yang berakhir dengan tahkīm. Sementara itu, ilmu
kalam dikenal sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri untuk pertama kalinya
dipakai pada masa pemerintahan khalifah Al-Makmun yang memerintah pada
813-833 M. Ilmu kalam dikenalkan oleh kelompok Mu’tazilah dengan
mengadobsi filsafat Yunani dan memadukannya dengan metode ilmu kalam.32
Walaupun demikian, jauh sebelumnya, Ḥasan al-Baṣri telah membuat
sebuah wacana dengan menggunakan istilah kalam yang mengacu kepada
pembaḤasan tentang persoalan kebebasan manusia dan takdir dalam konteks

30
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 6-7.
31
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 8-9.
32
A. Ḥanafī, Pengantar Teologi Islam, h. 14.
29

pertentangan pendapat antara kelompok Qadariah dan Jabariah.33 Selanjutnya,


perkembangan masa-masa berikutnya, istilah ilmu kalam yang pada masa itu
digunakan sebagai sebutan untuk ilmu yang mengkaji tentang permasalahan
ketuhanan dalam agama Islam, dikenal dengan beberapa istilah lainnya. Seperti
misalnya ilmu tauhid, ilmu akidah, ilmu usuluddin, dan juga dikenal dengan
teologi Islam.
C. Aliran dalam Teologi Islam
1. Kelompok Syi’ah
Syi’ah secara bahasa memiliki arti pengikut, pendukung, partai atau
kelompok. Sedangkan secara terminologi istilah, Syi’ah dikaitkan dengan
sebagian kaum Muslimin yang dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk
pada keturunan Nabi Muhammad Saw., atau disebut dengan ahl al-bait. Dasar
yang paling penting dalam konsep Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala
petunjuk agama bersumber dari ahl al-bait.34
Menurut al-Syahrastānī, Syi’ah merupakan sebuah kelompok masyarakat
yang mengikuti ‘Alī bin Abī Ṭālib. Mereka berpandangan bahwa ‘Alī bin Abī
Ṭālib merupakan khalifah dan Imām yang berdasarkan wasiat dari Rasulullah
melalui nas (wahyu), baik secara ekplisit maupun secara implisit. Mereka
berpendapat bahwa imāmah tidak boleh keluar dari jalur atau keturunan ‘Alī
maupun ahl al-bait. Jika seseorang menjadi Imām di luar keturunan ‘Alī atau ahl
al-bait, maka hal itu hanya merupakan kezaliman dan taqiyyah 35 dari pihak
keturunan ‘Alī. Mengenai kemunculan Syi’ah para ahli memiliki pendapat yang
berbeda. Menurut Abū Zahrah, golongan Syi’ah muncul pada akhir masa
khalifah ‘Utsmān, kemudian tumbuh dan berkembang pada mada khalifah
‘Alī.36

33
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1999), h.
279.
34
John L. Esposito, The Oxpord Encyclopedia of The Modern Islamic World (Oxford: Oxford
University Perss, 1995), jilid IV, h. 55.
35
Taqiyyah adalah menampakkan sesuatu yang berlainan dengan apa yang tersirat di dalam
dada untuk memelihara diri dari kezaliman, baik terhadap jiwa maupun terhadap kehormatan. Lihat
Al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, h. 164.
36
Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 36.
30

Perbedaan pendapat ini adalah suatu hal yang wajar. Sebab para ahli
berpegang teguh kepada fakta sejarah tentang perpecahan umat Islam yang mulai
mencolok pada masa pemerintahan ‘Utsmān bin Affān dan momentumnya pada
masa pemerintahan ‘Alī bin Abī Ṭālib, tepatnya setelah perang Ṣiffin. Adapun
kaum Syi’ah sendiri, berargumen bahwa perpecahan itu telah dimulai ketika
Nabi Muhammad Saw., wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abū Bakar,
maka setelah itu terbentuklah Syi’ah. Mereka bergAbūng dalam masyarakat,
mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrin Syi’ah kepada masyarakat.
Syi’ah sebagai satu faksi politik Islam muncul pada masa khalifah ‘Alī bin Abī
Ṭālib dan Syi’ah sebagai doktrin yang diajarkan secara diam-diam oleh ahl al-
bait, muncul setelah wafatnya Rasul.37
Pemikiran Syi’ah berkembang menjadi mazhab setelah wafatnya ‘Alī,
sebagiannya menyimpang dan sebagiannya lurus. Masa yang paling kondusif
pada perkembangan doktrin Syi’ah adalah pada pemerintahan Bani Umayyah.
Hal ini disebabkan oleh perlakuan kejam yang dilakukan oleh Bani Umayyah,
yakni pada pemerintahan Yazīd bin Mu’āwīyah sampai masa ‘Umar ibn Abdu
al-‘Azīz kepada keluarga dan keturunan ‘Alī bin Abī Ṭālib. Para pendukung ‘Alī
dan ahl al-bait menyaksikan kekejaman yang dilakukan oleh pemerintahan Bani
Umayyah yang menyebabkan sebagian kaum Muslim atau Syi’ah terdorong
untuk memberikan penghargaan yang berlebih kepada orang-orang yang
dianiaya, semakin mendukung dan menaruh simpati kepada ahl al-bait, karena
peristiwa kekejaman yang menimpanya.38
Golongan Syi’ah pada awal perkembanganya hanya terdiri dari dua
golongan saja yakni:
a. Golongan yang menunjukkan kepada kekhalifahan ‘Alī melalui dalil nas-
nas yang nyata. Oleh karena itu, Imāmah dari ‘Alī turun kepada yang dijuluki
‘Alī sendiri. Mereka berpendapat bahwa mengetahui Imām yang ditentukan itu
adalah suatu syarat yang menyempurnakan Imām, maka mereka sangat fanatik
dalam masalah imāmah ini, yang dinamakan mereka dengan kelompok
Imāmiyah.

37
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 114.
38
Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 36-37.
31

b. Golongan yang berpendapat bahwa tidak ada nas qaṭ’i yang menunjukkan
kepada Imāmah ‘Alī sendiri. Sesungguhnya, hanya ada dalil-dalil yang
menunjukkan tentang sifat-sifat Imām (kepala negara) yang harus diangkat.
Sebagian masyarakat tidak membai’atkan ‘Alī, padahal ‘Alī mempunyai ciri-ciri
sifat itu. Mereka adalah golongan Zaidiyah, pengikut Zaid ibn ‘Alī Zainul
‘Abidīn.39
Selain itu, penganut Syi’ah juga terdapat golongan yang ekstrim yaitu
kelompok al-Gulat yang menyatakan bahwa Imām memiliki kedudukan yang
sama dengan Tuhan. Kelompok al-Gulat menempatkan posisi ‘Alī pada derajat
keTuhanan dan ada yang mengangkat pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi
dari Nabi Muhammad Saw. Kelompok ini dipimpin oleh ‘Abdullāh bin Saba’
dan dianggap menyimpang dari pemahaman dasar Syi’ah.40
2. Kelompok Mu’tazilah
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala, artinya menyisihkan diri.
Kaum Mu’tazilah berarti orang-orang yang menyisihkan diri. Golongan
Mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain seperti Ahl al-Adl yang berarti
golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan Ahl al-Tauḥid wa al-Adl
yang berarti golongan yang mempertahankan keEsaan murni dan keadilan
Tuhan.41
Pemberian nama kepada kelompok Mu’tazilah ini, berpusat pada peristiwa
yang terjadi antara Waṣil bin ‘Aṭa’, serta temannya ‘Amr bin ‘Ubaid, dan Ḥasan
al-Baṣrī di Basrah. Pada waktu Waṣil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh
Hassan al-Baṣrī di mesjid Basrah, datang seseorang bertanya mengenai
pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Pada saat Ḥasan al-Baṣrī masih
berpikir, secara tiba-tiba Waṣil mengatakan, “Saya berpandangan bahwa orang
yang telah berbuat dosa besar bukanlah orang Mukmin dan bukan pula orang
kafir, melainkan berada pada posisi di antara keduanya (al-manzilah bain al-
manzilatain), tidak Mukmin dan tidak kafir”. Sesudah itu, Waṣil menjauhkan
diri Ḥasan al-Baṣrī, dan Waṣil menyerukan kembali pendapatnya di depan para
pengikutnya. Adanya peristiwa ini, Ḥasan al-Baṣrī berkata, “Waṣil menjauhkan

39
M. Hasbi al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, h. 147
40
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 127.
41
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 42
32

diri dari kita (I’tazala ‘anna)” yang menurut al-Syarastānī, kelompok yang
memisahan diri pada peristiwa tersebut adalah Mu’tazilah.42
Riwayat lain juga menjelaskan bahwa Mu’tazilah sudah ada lebih dulu
sebelum kisah Waṣil tersebut. Oleh sebab itu, banyak ahl al-bait yang
menempuh pola pikir yang sama dengan Waṣil seperti Zaid ibn ‘Alī yang
merupakan teman dekatnya. Waṣil bin ‘Aṭa’ sendiri adalah seorang penyiar
paham Mu’tazilah yang paling menonjol, sehingga sebagian ulama menganggap
dialah tokoh utamanya. 43
Asal-usul nama Mu’tazilah yang secara pasti, sangat sulit untuk diketahui,
disebabkan telah terjadi perbedaan pendapat tentang kemunculannya menurut
para ahli. Artinya, aliran Mu’tazilah merupakan aliran yang muncul karena
permasalahan teologi dalam sejarah Islam, yang mana Waṣil bin ‘Aṭa’ yang
menjadi ulama utamanya dalam aliran Mu’tazilah.44
Ada lima dasar ajaran Mu’tazilah atau al-Uṣūl al-Khamsah yaitu al-tauḥīd
(pengesaan Tuhan), al-‘adl (keadilan Tuhan), al-wa’d wa al-wa’īd (janji dan
ancaman Tuhan), al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi)
dan al-amr bi al-ma’rūf wa an-nahy ‘an al-munkar (menyeru kepada kebaikan
dan mencegah kemungkaran).45 Mu’tazilah adalah aliran yang banyak
berkontribusi di dalam pengembangan pemikiran kalam. Ciri khas aliran ini
adalah memberi porsi besar terhadap akal di dalam memahami berbagai
persoalan.
Aliran ini mengajarkan bahwa semua pengetahuan dapat diperoleh melalui
akal. Kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam.
Akal dapat mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan, bersyukur atas nikmatnya,
meninggalkan kekafiran, berbuat adil, mengetahui baik buruknya kezaliman dan
permusuhan. Oleh karena itu, manusia wajib mengerjakan yang baik dan
menjauhi yang jahat, sekalipun belum turun wahyu. Menurut Mu’tazillah,
walaupun akal dengan kemampuannya yang demikian penting, bukan berarti
membawa seseorang untuk mengabaikan wahyu. Wahyu tetap sangat

42
Muḥammad Bin Abdūl Karīm al-Syahrastānī, “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj. Asywadie
Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal, h. 41.
43
M. Hasbi al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, h. 150.
44
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, h. 32-33.
45
M. Hasbi al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, h. 151.
33

diperlukan, demikian pula diutusnya Rasul untuk memberikan penjelasan akan


ketentuan-ketentuan yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Wahyulah yang
menentukan waktu salat dan akal tidak dapat menjangkaunya. 46
3. Kelompok Asy’ariyah
Serangan Mu’tazilah terhadap para fuqaha dan muḥaddīṡin semakin gencar
dan serangan dalam bentuk pemikiran, disertai dengan penyiksaan fisik dalam
suasana mihnah. Akibatnya, muncul kebencian masyarakat terhadap paham
Mu’tazilah, sehingga berkembang menjadi permusuhan. Serangan dan tekanan
yang dilakukan Mu’tazilah terhadap masyarakat yang tidak sepaham dengan
mereka dalam hal pemikiran, mulai menurun setelah al-Mutawakil berkuasa, ia
menjauhkan pemerintahannya dari pengaruh Mu’tazilah. Sebaliknya, ia
mendekati lawan-lawannya dan membebaskan para ulama dari penjara.47
Pada akhir abad ke 3 H, muncul Abū al-Ḥasan al-Asy’ari yang lahir di
Bashrah pada tahun 260 H dan wafat pada tahun 330 H. Ia dikenal sebagai ulama
yang pada akhirnya menentang paham Mu’tazilah. Sebenarnya, Abū al-Ḥasan
al- Asy’arī mempelajari ilmu kalam dari seorang tokoh Mu’tazilah, Abū ‘Alī al-
Jubbā’ī, sebagai seorang murid yang pintar dan mahir, ia selalu mewakili
gurunya dalam berdiskusi. Namun, pada perkembangan selanjutnya, ia
menjauhkan diri dari pemikiran Mu’tazilah.48
Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun.
Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah Masjid
Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan akan
menunjukkan keburukan-keburukannya.49
Dengan kata lain, al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan selanjutnya
membentuk aliran teologi yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri yaitu
Asy’ariah. Pada perkembangan selanjutnya, paham yang dibawa oleh Abū al-
Ḥasan al-Asy’arī sering disebut juga dengan ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah.50

46
Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam, h. 146-147.
47
Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 189.
48
Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 190.
49
Ḥanafī, Pengantar Teologi Islam, h. 92.
50
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 64.
34

Istilah ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah terdiri dari tiga kata, yaitu alh, as-Sunnah,
dan al-Jamā’ah. Menurut bahasa, ahl adalah keluarga, kerabat, pengikut atau
golongan. As-Sunnah berarti Hadis, atau segala perkataan, perbuatan dan taqrir
Nabi Muhammad Saw., atas suatu perbuatan sahabat. Al-Jamā’ah berarti
kelompok, orang banyak, atau mayoritas. Jadi, secara istilah ahl as-Sunnah wa
al-Jamā’ah adalah sekelompok umat Islam yang menjadikan Hadis Nabi
Muhammad Saw., sebagai pedoman hidup.51 Pada perkembangan selanjutnya,
istilah ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah berkembang luas di kalangan umat Islam
di penjuru dunia, yang istilah tersebut dikenal juga dengan Sunni.
Sejak saat itu, al-Asy’ari menegakkan pemahaman tentang ahl as-Sunnah
wa al-Jamā’ah, dengan berpedoman dengan Al-Qur’an dan Sunnah serta
menggAbūngkannya dengan pertimbangan akal dan pikiran. Adapun doktrin
ajaran Asy’ariah adalah Allah memiliki sifat-sifat, manusia mengetahui
perbuatan baik dan buruk karena adanya wahyu, kadimnya Al-Qur’an, Allah
dapat dilihat di akhirat kelak, perbuatan Allah dan manusia, serta mukmin yang
berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik.52
4. Kelompok Maturidiah
Paham Maturidiah, muncul dan berkembang di Samarkand pada
pertengahan abad ke 3 H, yang dibawa oleh Abū Manṣūr al-Maturidī (w. 333
H). Paham al-Maturidiah yang berkembang di Bukhara dibawa oleh al-Bazdawī.
Sama dengan al-Asy’ariah, aliran ini juga menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah
sebagai argumen dalam pemikiran kalam mereka. Aliran Maturidiah
dikelompokkan juga ke dalam golongan ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah.53
Abū Manṣūr al-Maturidi dan Abū al-Ḥasan al-Asy’arī hidup dalam satu
masa. Keduanya memperjuangkan tujuan yang sama, hanya saja Abū al-Ḥasan
al-Asy’arī lebih dekat dengan lawan, karena ia berdomisili di Bashrah, tempat
domisili pertumbuhan Mu’tazilah. Adapun Abū Manṣūr al-Maturidī berada di
tempat yang jauh dari pusat perselisihan. Walaupun demikian, gaung

51
Muḥammad Abdul Hadī al-Miṣrī, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama‟ah Menurut
Pemahaman Ulama Salaf (Jakarta: Gema Insani Press, 1994.), h. 86.
52
Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 210.
53
Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Persoalan Teologi Islam (Jakarta:
Erlangga, 2006), h. 36.
35

perselisihan itu bergema juga di kawasan tempat ia berada, karena kaum


Mu’tazilah yang senantiasa mengumandangkan dan menyebarkan pemikiran-
pemikiran paham Mu’tazilah. Pada dasarnya, persamaan lawan yang dihadapi
al-Maturidī dan al-Asy’arī, maka kesimpulan-kesimpulan pemikiran mereka
hampir berdekatan.54
Demikianlah paham teologis klasik dalam sejarah umat Islam, yang
diwarnai dengan perbedaan-perbedaan. Aliran-aliran tersebut ada yang
menggunakan akal dan wahyu, dan ada yang hanya menggunakan wahyu saja
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologis. Pada hakikatnya semua
aliran kalam atau paham teologi Islam tetap menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah
sebagai pedoman ajaran Islam. Sesungguhnya, mereka hanya berbeda dalam
memahami Al-Qur’an dan Sunnah dalam menyelesaikan permasalahan-
permasalahan kalam, dan hal yang terpenting, mereka tidak melepaskan fungsi
wahyu sebagai sumber ajaran Islam.
D. Kajian Teologi Islam
Penulis hanya mambahas persoalan kalam yang diklasifikasikan menjadi
tiga bagian, yakni tentang Tuhan, manusia, dan hari akhirat. Penulis hanya akan
mengungkapkan beberapa persoalan kalam yang dianggap dan sering
dibicarakan oleh mutakallīmūn.
1. Tuhan
Permasalahan yang diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para teolog
Islam dari berbagai aliran adalah masalah yang berkenaan dengan sifat-sifat
Allah. Masalah tersebut antara lain Allah mempunyai sifat atau tidak, sebab di
dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan bahwa Allah
mempunyai beberapa nama, tetapi tidak ada satu ayat pun yang secara tegas
bahwa Allah memiliki beberapa sifat.
Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat, Tuhan
tidak memiliki sifat mengetahui, bukan berarti Tuhan tidak mengetahui, tetapi
Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan.
Mereka mengatakan Allah Maha mengetahui dengan zat-Nya, Maha kuasa

54
Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 210.
36

dengan zat-Nya, Maha hidup dengan zat-Nya, bukan dengan pengetahuan,


kekuasaan, dan kehidupan, karena semua ini adalah sifat sedangkan sifat adalah
sesuatu yang di luar zat. Menurut Mu’tazilah, jika sifat berada pada zat yang
Qadim, sedangkan sifat qidam adalah sifat yang lebih khusus, maka akan terjadi
dualisme, yakni zat dan sifat.55
Sementara itu, kelompok yang mengakui adanya sifat Allah adalah
kelompok Asy’ariah, Maturidiah, dan Salafiah. Mazhab Asy’ariah berpendirian
bahwa Tuhan memiliki sifat, yang menurut paham ini ‘ilm, qudrah, iradāh,
ḥayāh dan lainnya adalah sifat Allah, tetapi sifat Allah berbeda dengan sifat
makhluk. Semua sifat yang melekat pada zat Allah itu adalah kadim dan azali.56
Menurut al-Asy’arī, sifat-sifat Allah tetap bertempat pada zat, sifat itu bukan zat
dan bukan pula lain dari zat.
Kelompok Maturidiah memang mengakui adanya sifat Tuhan, tetapi
pengertian al-Maturidi tetang sifat Tuhan berbeda dengan al-Asy’arī. Menurut
al-Maturidī, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari
esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulazamah (ada bersama) zat-Nya tanpa
terpisah. Menetapkan sifat bagi Allah, tidak harus membawa pada pengertian
antropomorpisme karena sifat tidak berwujud yang tersendiri dari zat-Nya,
sehingga sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim. 57
Berbeda dengan kelompok Syi’ah yang menolak bahwa Allah senantiasa
bersifat mengetahui. Mereka menilai bahwa pengetahuan Allah bersifat baru,
tidak kadim. Sebagian dari kelompok Syi’ah berpendapat bahwa Allah tidak
tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya. Sebagiannya lagi berpendapat
bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum Ia menghendakinya, sehingga
ketika Ia menghendaki sesuatu, maka Ia pun bersifat tahu, jika Ia tidak
menghendakinya, maka Ia tidak bersifat tahu. Maksud dari Allah berkehendak
menurut pandangan Syi’ah adalah Allah mengeluarkan gerakan (taḥarraka
ḥarkah), maka ketika gerakan itu muncul atau ada ia bersifat tahu terhadap

55
Muḥammad Bin Abdūl Karīm al-Syahrastānī, “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj. Asywadie
Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal, h. 38.
56
Afrizal M., Ibn Rusyd, h. 46.
57
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 135.
37

sesuatu, dan mereka berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap
sesuatu yang tidak ada.58
2. Manusia
Allah Swt., telah menciptakan manusia (khalifah) dalam bentuk fisik yang
paling baik di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah. Selain itu, Allah juga
menganugrahkan akal hanya kepada manusia, karena akalnya tersebut manusia
dapat mengungguli makhluk hewani dan menjadikan hidupnya bermakna.
Kemampuan akal yang dimiliki manusia membawa perdebatan di kalangan
teolog Muslim, mereka mempersoalkan kemampuan akal dan fungsi wahyu.
Pada prinsipnya, akal dan wahyu merupakan dasar dan menjadi tolak ukur dalam
menganalisa dan menilai setiap persoalan kalam. Sementara itu, dalam kajian
teologi Islam, akal dan wahyu dihubungkan dengan empat persoalan pokok
yakni persoalan mengetahui adanya Tuhan, kewajiban yang mesti dilakukan
kepada Tuhan, mengetahui perbuatan baik dan jahat, kewajiban berbuat baik dan
menjauhi perbuatan jahat.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan untuk
mengetahui empat pokok persoalan teologi tersebut. Semua pengetahuan dapat
diketahui dengan akal, dan kewajiban manusia dapat diketahui dengan
pemikiran yang mendalam. Akal dapat mengetahui kewajiban mengetahui
Tuhan, bersyukur atas nikmat-Nya, meninggalkan kekufuran, berbuat adil,
mengetahui buruknya kezaliman dan permusuhan.59 Jadi, Mu’tazilah
berpendapat bahwa sebelum kedatangan wahyu, orang yang tidak mengetahui
Tuhan, kufur nikmat, tidak menjalankan kebaikan dan melakukan keburukan
akan mendapat siksa di neraka.60
Berbeda dengan aliran Mu’tazilah, paham Asy’ariah berpandangan bahwa
akal hanya mempunyai kemampuan untuk mengetahui satu persoalan pokok,
yaitu mengetahui Tuhan. Menurut paham ini, kewajiban manusia hanya dapat
diketahui dengan wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan
tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang
buruk itu wajib, kecuali dengan penjelasan Rasul dan wahyu Allah. Posisi wahyu

58
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 211-212.
59
Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam, Ilmu, h. 271.
60
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 81.
38

dalam aliran Asy’ariah sangat penting, manusia mengetahui baik dan buruk dan
kewajiban-kewajibannya karena turunnya wahyu. Wahyu juga berfungsi untuk
menjelaskan yang baik dan yang buruk, karena akal tidak mampu menetapkan
kebaikan dan keburukan.61
3. Akhirat
persoalan alam tidak terlepas dari pedebatan para teolog Islam tentang hari
akhirat. Perdebatan dimulai dari persoalan pelaku dosa besar yang dihukum kafir
dan tidak kafir. Persoalan ini kemudian bercabang menjadi permasalahan iman
dan kufur. Hal ini akan terlihat dalam kerangka berpikir setiap aliran kalam, yang
ternyata memberi warna berbeda dari setiap aliran kalam.
Khawarij yang memiliki ciri khas ekstrim menganggap bahwa semua pelaku
dosa besar (murtakib al-kabāir) adalah kafir dan disiksa di neraka selamanya,
walaupun terdapat iman dalam hatinya. 62
Selanjutnya, muncul aliran Mu’tazilah yang tidak menentukan status kafir
atau Mukmin terhadap pelaku dosa besar, tetapi mereka menyebutkan dengan
istilah al-manzilah bain al-manzilatain. Bagi pelaku dosa besar menurut
Mu’tazilah, berada pada posisi tengah-tengah di antara posisi Mukmin (surga)
dan kafir (neraka). Oleh sebab itu, jika pelaku dosa besar meninggal dunia dan
belum sempat bertaubat, maka ia akan masuk ke dalam neraka selama-lamanya,
namun siksa yang diterimanya lebih ringan dari siksa orang kafir.63
Sementara itu, aliran Asy’ariah dan Maturidiah menyatakan bahwa pelaku
dosa besar masih tetap sebagai Mukmin, karena adanya keimanan dalam dirinya.
Adapun balasan di akhirat kelak yang akan diperoleh bagi pelaku dosa besar,
apabila ketika meninggal belum bertaubat, maka keputusan itu diserahkan
sepenuhnya kepada kehendak Allah Swt. Pada hakikatnya, jika Allah
menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan dimasukkan ke dalam
neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya. 64

61
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 101.
62
Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam, h. 130.
63
Muḥammad Bin Abdūl Karīm al-Syahrastānī, “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj. Asywadie
Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal, h. 26.
64
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 164-165.
BAB IV
PEMIKIRAN TEOLOGI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ
A. Teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī

Keyakinan setiap umat Muslim tentang ajaran Islam terkait masalah


ketuhanan (akidah) merupakan masalah pokok yang tidak dapat diabaikan. Dasar-
dasar akidah, tentunya terdapat dalam pedoman utama umat Islam, yakni Al-Qur’an
dan Sunnah. Al-Qur’an sebagai sumber pertama ajaran Islam, sering kali
memberikan penjelasan masalah keagamaan dan moral agar terciptanya masyarakat
yang saleh, dengan kesadaran religius yang tinggi, serta memiliki keyakinan
(akidah) yang benar dan murni tentang Tuhan. Al-Qur’an sebagaimana diketahui
juga memberikan bimbingan kepada umat Islam dalam rangka terciptanya cara
yang baik bagi manusia untuk berhubungan dengan Allah dan juga hubungan
dengan sesama makhluk.

Persoalan akidah, muncul menjadi suatu pembahasan menarik yang banyak


dilakukan oleh para mutakallīmūn. Pembahasan para mutakallīmūn terhadap
berbagai persoalan teologis adalah mencari dalil yang dapat memperkuat akidah
tersebut dengan berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Keyakinan yang benar
terhadap Tuhan merupakan hal yang sangat penting. 1 Oleh karena itu, setiap
Muslim tentunya memiliki pemahaman teologi (tauhid/akidah) sebagai dasar untuk
beriman dan berhubungan dengan Allah. Selain itu, pemahaman teologi yang benar,
akan mempengaruhi hubungan sesama manusia dan makhluk hidup.

Terkait dengan masalah ini, maka perlu untuk mengetahui pemikiran teologi
Imām Aṭ-Ṭaḥāwī, argumentasi dan solusi yang diberikannya. Aspek pemikiran
teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dapat dikelompokkan dalam beberapa aspek, yaitu:

1. Aspek Ketuhanan

Persoalan kalam yang membuat munculnya perbedaan pendapat di kalangan


mutakallīmūn dan umat Muslim terjadi dalam persoalan yang berkisar pada

1
Muhammad Nazir Karim, Dialektika Teologi Islam: Analisis Pemikiran Kalam Syeikh
Abdurrahman Shiddiq al-Banjari (Bandung: Nuansa, 2004), h. 67.

39
40

argumentasi untuk membuktikan wujud Allah. Mereka berusaha membangun


argumen tentang eksistensi wujud Allah, menyucikan-Nya dan menghilangkan
segala hal yang merusak kesucian tersebut. Dengan demikian, permasalahan pokok
teologi yang terkait dengan Tuhan adalah wujud dan sifat Tuhan, Kalam Allah,
yang diuraikan sebagai berikut:

a. Wujud dan Sifat-Sifat Tuhan

Kondisi manusia sebelum masa Nabi Muhammad Saw., sebenarnya telah


mengetahui dan mengakui eksistensi Tuhan (Allah). Para Nabi yang datang
sebelum Nabi Muhammad Saw. telah menyerukan kepada umatnya untuk
mengenal Allah dan menyembah kepada-Nya, sebagaimana difirmankan Allah
dalam Al-Qur’an yang menyatakan:

‫اْلَ ْم ُد لِٰل ِه بَ ْل اَ ْكثَ ُرُه ْم َْل يَ ْعلَ ُم ْو َن‬


ْ ‫ض لَيَ ُق ْولُ َّن ٰاللهُ ۗقُ ِل‬ ِ َّ ‫ولَ ِٕىن ساَلْتَ هم َّمن خلَق‬
َ ‫الس ٰم ٰوت َو ْاْلَ ْر‬ َ َ ْ ُْ َ ْ َ

“Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang


menciptakan langit dan bumi?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”.
Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui”. (QS. Luqmān [31]: 25).2

Nabi Muhammad Saw., juga mengajarkan risalah tentang adanya wujud


Allah yang Maha Sempurna. Wujud Allah Swt, dalam ajaran Islam adalah
kepercayaan yang tidak perlu diragukan dan dipertanyakan lagi. Meyakini wujud
Allah adalah main belief yang paling utama. Oleh karena itu, dalam khazanah
keIslaman, tidak ada yang mempermasalahkan wujud Allah, baik para kaum teolog
maupun seluruh Muslim meyakini keberadaan Allah.3

Persoalan tentang sifat-sifat Tuhan mendapat perhatian utama dalam


pembahasan ilmu kalam. Seperti pada pembahasan sebelumnya, kelompok aliran
teolog, seperti Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat Tuhan, karena sifat Tuhan
dianggap menimbulkan ta’addud al-Qudāmā’ (adanya dua yang kadim) dan asumsi

2
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Al-Fatih, 2012), h. 413.
3
Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Persoalan Teologi Islam (Jakarta:
Erlangga, 2006), h. 92.
41

ini mengarah pada perbuatan syirik. Sebaliknya, kelompok Asy’ariyah,


Maturidiyah dan Salafiyah membenarkan adanya sifat Tuhan.

Menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī Allah Swt senantiasa menyandang sifat-sifat


kesempurnaan, baik sifat-sifat dzat dan sifat-sifat perbuatan.4 Tidak boleh diyakini
bahwa Allah disifati dengan satu sifat setelah sebelumnya tidak disifati dengannya,
karena sifat-sifat Allah adalah sifat-sifat kesempurnaan, hilangnya sifat-sifat
tersebut merupakan kekurangan, tidak boleh Allah sempurna setelah sebelumnya
kurang. Hal ini tidak tertolak oleh adanya sifat-sifat perbuatan dan sifat-sifat berkait
dengan kehendak Allah dan lainnya seperti mencipta, membentuk, menghidupkan,
mematikan, menggenggam, membentangkan, melipat, bersemayam, datang, hadir,
turun, marah, ridha, dan lainnya, sekalipun keadaan-keadaan ini terjadi pada satu
waktu, bukan pada seluruhnya, sebab kejadian dengan pertimbangan ini tidak
mustahil, tidak bisa dikatakan ia terjadi setelah sebelumnya tidak terjadi. 5

Tidakkah Anda melihat bahwa seseorang yang berbicara hari ini sedangkan
dia kemarin juga berbicara, tidak disebut bahwa berbicara baru terjadi hari ini.
Seandainya dia tidak berbicara karena sesuatu, seperti belum cukup umur atau
karena bisu, kemudian dia bisa berbicara, maka dikatakan, dia bisa berbicara. Orang
yang diam bukan karena cacat adalah orang yang berbicara, maksudnya punya
kemampuan berbicara, artinya kapan dia ingin, dia berbicara, saat dia berbicara dia
disebut pembicara dalam arti yang sebenarnya, demikian juga juru tulis saat dia
menulis, dia adalah juru tulis dalam arti yang sebenarnya, dia tidak keluar dari sifat
sebagai juru tulis dalam keadaan dia tidak menulis.6

Terjadinya hal-hal baru pada Allah yang dinafikan oleh ilmu kalam yang
tercela tidak ada penafian dan penetapannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Ia
bersifat global. Bila maksudnya adalah bahwa dzat Allah yang suci bukan tempat

4
Sifat dzat adalah sifat-safat Allah yang tidak terpisah dari dzat Allah dan tidak berkaitan
dengan kehendakNya dan kodratNya seperti sifat hidup, ilmu, kodrat, izzah, kemuliaan dan
kerajaan… Adapun sifat-sifat perbuatan, maka itu adalah sifat-sifat Allah yang berkenaan dengan
kehendak dan kodratNya pada setiap saat dan waktu, satuan dari sifat-sifat ini terjadi kepan Allah
berkehendak. Jenis sifat-sifat ini adalah azali, sementara satunya adalah hadist seperti Allah
berbicara, marah, rida, tertawa, dan lainnya.
5
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah (Jakarta: Darul Haq, 2016), h.
199.
6
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 199.
42

bagi sesuatu pun dan makhluk-makhluk-Nya yang diciptakan, atau Allah tidak
memiliki sifat baru yang sebelumnya tidak Dia miliki, maka ini adalah penafian
shahih. Tetapi bila maksudnya adalah menafikan sifat-sifat Allah yang berkenaan
dengan kehendak-Nya, bahwa Dia tidak melakukan apa yang Dia ingin, tidak
berbicara kapan Dia ingin dengan apa yang Dia ingin, tidak pula Dia marah dan rela
yang tidak sama dengan makhluk-Nya, tidak disifati dengan sifat yang Dia tetapkan
untuk diri-Nya seperti turun, bersemayam dan datang sesuai dengan keagungan dan
kemuliaannya, maka ini adalah penafian yang batil.7

Syaikh (Imām Aṭ-Ṭaḥāwī) mengisyaratkan dengan ucapannya,

.‫ص َفاتِِه قَ ِد ْيما قَ ْل َل َخ ْل ِق ِه‬


ِ ِ‫ما َز َال ب‬
َ

"Allah tetap dan senantiasa dengan Sifat-sifat-Nya, sebagai yang Qadīm,


sebelum makhluk-Nya,"8

Allah, tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya, dan itu maknanya: bahwasanya
Allah menyandang sifat kesempurnaan. Maka sifat-sifat-Nya adalah azali dan
abadi; sebagaimana Dia Yang Maha Awal tanpa permulaan, maka demikian pula
sifat-sifat-Nya, semuanya ikut kepada-Nya. Semua itu adalah yang utama
sebagaimana utamanya Allah swt sehingga Allah bukan Yang Maha Awal yang
mulanya tidak memiliki sifat lalu baru kemudian terjadilah sifat-sifat bagi-Nya
sebagaimana yang dikatakan oleh para pengikut dan penganut kesesatan, yang
mengatakan, “Mulanya Allah tidak memiliki sifat di zaman azali, lalu baru
kemudian adanya sifat-sifat bagi-Nya; agar hal itu tidak berkonsekuensi
berbilangnya tuhan -sebagaimana yang mereka klaim- atau berbilangnya yang
(dahulu), dan nama-nama serta sifat-sifat Allah dalam keutamaan-Nya.” Kami
jawab, Subhanallah, ini mengharuskan bahwa Allah memiliki sifat kurang –Maha
Tinggi Allah- dalam suatu masa, kemudian baru kemudian terjadinya sifat-sifat
bagi-Nya dan menjadi Maha Sempurna. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka
katakan. Qadīmnya sifat-sifat tidak mengharuskan Qadīmnya para pemilik sifat-
sifat tersebut, karena sifat-sifat bukan sesuatu yang lain dari yang memiliki sifat-

7
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 120.
8
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, (Bairut: Dar Ibnu Hazm,
1995), h. 9.
43

sifat di luar dzatnya, akan tetapi semua sifat adalah makna-makna yang ada karena
adanya yang memiliki sifat-sifat tersebut. Sekali lagi, bukan sesuatu yang berdiri
sendiri dari yang disifati. Jika anda misalnya mengatakan, “Fulan mendengar,
melihat, berilmu, ahli fikih, ahli bahasa dan nahwu”, maka apakah ini artinya bahwa
orang tersebut menjadi beberapa orang? Maka berbilangnya sifat tidak memastikan
berbilangnya yang disifati.9

Maka, sifat-sifat Allah tidak memiliki permulaan sebagaimana Dzat-Nya


tidak memiliki permulaan, sehingga Allah disifati sebagai yang senantiasa mencipta
dan selamanya. Sedangkan perbuatan-perbuatan Allah, maka ia adalah Qadīm
secara jenisnya akan tetapi baru secara sendiri-sendiri.

Maka Allah Maha Berbicara sebelum mengeluarkan Firman-Nya, dan Maha


Mencipta sebelum menciptakan. Adapun bahwa Dia Maha Berbicara dan Maha
Menciptakan, maka ini adalah perbuatan-perbuatan yang berulang, dan demikian
seterusnya.

Pernyataan ini merupakan bantahan terhadap Mu’tazilah, Jahmiyah dan


Syi’ah serta yang sepaham dengan mereka, yang berkata bahwa Allah mampu
berbuat dan berbicara setelah sebelumnya tidak mampu, karena perbuatan dan
pembicaraan menjadi mungkin baginya setelah sebelumnya mustahil, bahwa Dia
berubah dari mustahil dzati menjadi mungkin dzati. Bantahan juga terhadap Ibnu
Kullab, al-Asy‘arī dan orang-orang yang sepaham dengan keduanya yang berkata,
Perbuatan bagi Allah menjadi mungkin setelah sebelumnya mustahil dari-Nya.
Adapun sifat kalam menurut mereka, maka ia tidak termasuk ke dalam kehendak
dan kodrat, akan tetapi ia adalah sesuatu yang satu lazim bagi Dzat-Nya.10

Allah adalah Tuhan yang patut disembah, tiada Tuhan selain Allah. Imām
Aṭ-Ṭaḥāwī menjelaskan.

9
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan: Al-Aqidah Ath- Thahawiyah: Akidah
Ahlus Sunnah wal Jamaah (Jakarta: Darul Haq, 2014), cet. VI, h. 57-58.
10
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 120
44

ُ‫َوَْل إِلَ َه َغْي ُره‬

“Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia.”11

Inilah Tauhid Ulūhiyah. Lā ilāha, artinya: Tidak ada sesembahan yang hak
selain Dia.

Sedangkan apabila mengatakan, “Tidak ada sesembahan kecuali Dia,” atau


“Tidak ada sesembahan selain-Nya,” maka ini adalah batil; karena sesembahan-
sesembahan selain Allah itu banyak, sehingga jika anda mengatakan bahwa tidak
ada sesembahan kecuali Allah, maka telah menjadikan semua sesembahan adalah
Allah. Ini adalah pandangan penganut sufi Wiḥdah al-Wujūd. Apabila yang
mengatakan kalimat tersebut berdasarkan I’tiqad (keyakinan), maka dia termasuk
pemeluk Wiḥdah al-Wujūd. Sedangkan apabila dia tidak meyakininya, dan hanya
mengatakannya karena taklid (ikut-ikutan) atau karena mendengarnya dari
seseorang, maka orang ini keliru dan wajib dinasihati. Sebagian orang memulai
bacaannya di dalam shalat dengan ini, di mana dia membaca, “Tidak ada
sesembahan selainMu,” sedangkan Allah adalah sesembahan yang hak, dan apa saja
selain-Nya maka sesungguhnya ia adalah sesembahan yang batil. Firman Allah
swt.12

‫اط ُل َواَ َّن ٰالل َه ُه َو الْ َعلِ ُّي الْ َكلِْي ُر‬
ِ ‫اْل ُّق واَ َّن ما ي ْدعو َن ِمن دونِِه هو الْل‬
َ َ ُ ْ ُ ْ ْ ُ َ َ َ َْ ‫ك باَ َّن الل َه ُه َو‬
ٰ ِ ِ‫ٰذل‬
َ

"(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dia-
lah Rabb Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain
Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha
Tinggi lagi Maha Besar." (Al-Hajj: 62).13
Mengenai sifat Allah, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī melanjutkan.

11
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 8.
12
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan: Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 46.
13
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 339.
45

.‫َوَْل يَ ْفنَی َوَْل يَلِْي ُد‬

"Dia tidak akan fana dan tidak akan punah.”14

Fana dan berakhir adalah satu makna. Allah swt disifati sebagai Maha
Hidup, yang kekal dan abadi. Firman Allah:

ِ ْ ‫وتَوَّكل علَى‬
ُ ‫اْلَ ِّي الَّذ ْي َْل َيُْو‬
‫ت‬ َ ْ ََ

"Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati."
(Al-Furqān: 58).15
Maka Allah tidak akan mungkin bersifat fana. Firman Allah,

ِ ِ‫ُكل شي ٍء هال‬
ُ‫ك اَّْل َو ْج َهه‬
ٌ َ ْ َ ُّ

"Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya (Allah).” (Al-Qaṣash:


88).16
Dan Allah itu juga berfirman,

ِْ ‫اْل ٰل ِل و‬
ۗ‫اْل ْكَرِام‬ ٍ َ‫ُك ُّل من علَي ها ف‬
َ ِّ‫انۗ َّويَْل ٰقى َو ْجهُ َرب‬
َ َْ ‫ك ذُو‬ َْ َ ْ َ

"Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu
yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Ar-Raḥmān: 26-27).17

Maka Allah memiliki sifat Abadi, sedangkan semua makhluk-Nya akan


mati dan akan dibangkitkan kembali, pada mulanya mereka tidak ada kemudian
Allah menciptakan mereka, kemudian mereka akan mati, kemudian Allah akan
membangkitkan mereka kembali. Allah tidak memiliki permulaan dan tidak
memiliki kesudahan.

14
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 8.
15
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 365.
16
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 396.
17
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 532.
46

b. Kalam Allah

Pembahasan kalam Tuhan dalam kajian ilmu kalam merupakan


perkembangan dari perdebatan persoalan sifat-sifat Allah. Persoalan teologis
mengenai kalam Tuhan, merupakan perdebatan yang terjadi pada Dinasti
‘Abbasiah, di bawah pimpinan khalifah al-Ma’mūn, al-Mu’taṣim, dan al-Waṣiq.
mengenai status Al-Qur’an.18 Perdebatan mengenai status Al-Qur’an, perihal Al-
Qur’an diciptakan maka baharu atau tidak diciptakan maka kadim.

ِ‫وإِ َّن الْ ُقرآ َن َك ََلم الل‬


ُ ْ َ

“Al-Qur`an adalah Firman Allah (Kalamullah).”19

Setelah beriman kepada Allah, maka beriman kepada Rasulullah Saw., dan
juga wajib beriman bahwa al-Qur’an adalah Firman Allah (Kalamullah). Karena
inilah yang dibawa oleh Rasulullah dan disebutkan di dalam al-Qur`an. Al-Qur’an
ini bukan perkataan Nabi Muhammad dan bukan perkataan Jibril, akan tetapi ia
adalah Firman Allah, yang mana Allah berfirman dengannya. Jibril menerima
(mendengarnya) dari Allah, dan Nabi Saw. menerimanya dari Jibril yang kemudian
dari Nabi Saw. diterima oleh umat ini.

Maka al-Qur`an adalah Firman Allah, yang bermula dari-Nya. Jibril tidak
mengambilnya dari Lauh al-Maḥfuẓ, sebagaimana yang dikatakan oleh para
pengikut kesesatan, ia bukan dari perkataan Jibril dan bukan pula perkataan Nabi
Muhammad Al-Qur`an adalah Firman Rabb alam semesta, sedangkan Jibril dan
Nabi Muhammad -semoga rahmat dan salam tercurah kepada mereka berdua-,
keduanya hanya penyampai dari Allah. Sehingga suatu perkataan hanya dikatakan
dan disandarkan kepada yang mengatakannya pertama kali, bukan yang
mengatakannya untuk menyampaikan dan menunaikan.20

Maka barang siapa yang mengatakan, bahwa Jibril mengambilnya dari Lauh
al-Maḥfuẓ, atau mengatakan bahwa Allah menciptakannya pada sesuatu dan Jibril

18
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 138.
19
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 12.
20
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 91.
47

mengambilnya dari sesuatu itu, maka dia kafir kepada Allah dengan kekufuran yang
mengeluarkannya dari Agama; sebagaimana yang dikatakan oleh golongan
Jahmiyah dan Mu’tazilah serta orang-orang yang mengikuti mereka. Al-Qur’an
adalah Kalamullah, baik huruf-hurufnya dan segala maknanya. Allah berbicara
(berfirman) dengannya sebagaimana yang berfirman, dan berfirman adalah di
antara sifat-sifat Fi'liyah yang dikehendaki-Nya. Maka kita wajib menyifati Allah
sebagai Dzat-Nya. Lalu bagaimana cara (atau seperti apa) Allah berfirman? Maka
jawabanya hanya Allah yang mengetahuinya. Maka maknanya sudah diketahui
(semua), sedangkan caranya tidak diketahui oleh siapa pun.21

Seandainya al-Qur’an ini adalah perkataan manusia, niscaya akan banyak


orang yang mampu membuat suatu surat yang mirip dengannya (sebagaimana
tantangan Allah dalam al-Qur`an). Dan tatkala mereka tidak mampu untuk
melakukannya, maka hal tersebut menunjukkan bahwasanya itu adalah
Kalamullah. Allah swt berfirman,

‫استَطَ ْعتُ ْم ِّم ْن ُد ْو ِن ٰالل ِه اِ ْن‬ ٍ ِِ


ْ ‫اَ ْم يَ ُق ْولُْو َن افْ تَ ٰرىهُ ۗقُ ْل فَأْتُ ْوا بِ َع ْش ِر ُس َوٍر ِّمثْله ُم ْفتَ َرٰيت َّو ْادعُ ْوا َم ِن‬
‫ي‬ ِِ
َْ ‫ُكْنتُ ْم ٰصدق‬

“Bahkan mereka mengatakan, ‘Muhammad telah membuat-buat al-Qur`an


itu.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-
surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang
yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang
yang benar’.” (Hud: 13).22

Dengan tantangan itu Allah (memperlihatkan) bahwa mereka tak mampu,


padahal mereka (yang menjadi alamat tantangan tersebut) adalah orang-orang Arab
yang terkenal fasih berbahasa, dan al-Qur’an menggunakan Bahasa Arab bahkan
dengan huruf-huruf yang mereka gunakan untuk berbicara. Pada saat bersamaan
mereka sangat bersemangat dalam menentang Rasulullah swt, sehingga seandainya
mereka mampu untuk menandingi al-Qur`an, niscaya tak akan mereka simpan
keluasan waktu dan segala kemampuan mereka untuk menjawab tantangan

21
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 92.
22
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 223.
48

tersebut. Dan tatkala mereka memang tidak mampu untuk melakukannya, itu
menunjukkan bahwa al-Qur`an memang Kalamullah (Firman Allah) yang tidak
dihinggapi suatu kebatilan pun, baik dari hadapannya dan ataupun dari
belakangnya.23

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menganggap bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah


yang hakiki, tidak secara majas. Sebagaimana ia mengatakan,

‫اْلَِقْي َق ِة‬ ِ ‫وأَي َقنُوا أَنَّه َك ََلم‬


ْ ِ‫الل تَ َع َاَل ب‬ ُ ُ َْ

“Dan mereka meyakini bahwasanya al-Qur’an adalah Firman Allah secara


hakiki.”24

Al-Qur’an merupakan firman Allah secara hakikat bukan secara majazi


(kiasan) sebagaimana yang dikatakan Jahmiyah dan Mu’tazilah, di mana mereka
berpandangan: al-Qur’an adalah Kalamullah, akan tetapi nisbatnya kepada Allah
adalah secara majazi (kiasan); karena Allah adalah yang menciptakannya, sehingga
penyandarannya kepada Allah adalah penyandaran makhluk ciptaan kepada
PenciptaNya.

Hal ini disanggah oleh Imām Aṭ-Ṭaḥāwī; karena penyandaran kepada Allah
ada dua jenis: pertama, penyandaran secara maknawi dan kedua, secara materi.25

Pertama, penyandaran makna-makna kepada Allah, seperti: berfirman.


Maka penyandaran makna-makna kepada Allah adalah penyandaran sifat kepada
yang memiliki sifat tersebut. “Berbicara”, “mendengar”, “melihat”, “kuasa” dan
“berkehendak” adalah penyandaran sifat kepada yang memiliki sifat; karena semua
itu adalah makna-makna yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi senantiasa
tersandang pada yang disifati dengannya.

Kedua, penyandaran materi-materi, seperti: baitullah (rumah Allah),


naqatullah (unta Allah), ‘abdullah (hamba Allah). Semua ini adalah penyandaran

23
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 93.
24
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 12.
25
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 95.
49

makhluk kepada Penciptanya, dan faidah penyandaran dalam konotasi ini adalah
untuk memuliakan dan menghormati.

‫س ِِبَ ْخلُ ْو ٍق َک َك ََلِم الََِْبيَِّة‬


َ ‫لَْي‬

“(Al-Qur'an) bukan makhluk sebagaimana perkataan makhluk.”26

Artinya: Firman Allah bukan makhluk. Ini sebagai bantahan terhadap


Jahmiyah dan Mu’tazilah yang berpandangan bahwa al-Qur’an adalah makhluk;
karena Allah dalam pandangan mereka tidak berbicara, berdasarkan metodologi
mereka dalam menafikan semua sifat-sifat, sebagai tindakan -sebagaimana klaim
mereka- menghindari sikap menyerupakan Allah (at-Tasybih); karena mereka tidak
membedakan antara sifat-sifat Pencipta dan sifat-sifat makhluk yang diciptakan.27

‫ فَ َق ْد َك َفَر‬،‫فَ َم ْن ََِس َعهُ فَ َز َع َم أَنَّهُ َك ََل ُم الْلَ َش ِر‬

“Barangsiapa yang mendengarnya dan menganggap bahwa itu adalah


ucapan manusia, maka dia telah kafir.”28
Barangsiapa yang mendengar Kalamullah (Firman Allah) dan mengira
bahwa itu adalah perkataan manusia, maka dia telah kafir; karena dia mengingkari
Firman Allah. Apabila Allah tidak memiliki firman yang diturunkan-Nya kepada
hamba-hamba-Nya, maka dengan apa iqāmat al-ḥujjah dapat terlaksana atas
mereka? Maka maksud di balik pandangan mereka (yang batil ini) adalah
meruntuhkan hukum-hukum syariat. Jika di alam semesta ini tidak ada Firman
Allah, tidak di dalam Taurat, tidak di dalam Injil, dan tidak pula di dalam al-Qur`an,
maka makna dari semua itu adalah: hujjah dari Allah tak pernah ditegakkan atas
manusia. Dan ini adalah di antara kekufuran dan kesesatan yang paling besar. 29

2. Aspek Kemanusiaan

Manusia merupakan makhluk yang sangat menarik dan memiliki kelebihan


dari makhluk ciptaan Allah lainnya. Manusia dalam berbagai aspek ilmu

26
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 12.
27
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 95.
28
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 12.
29
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 95.
50

pengetahuan, sering menjadi perbincangan dan perdebatan, karena manusia dikenal


sebagai makhluk yang paling mulia, baik dilihat dari biologis maupun dari segi
psikologisnya dan memiliki berbagai potensi, serta memperoleh petunjuk
kebenaran dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat.
Hal inilah yang menjadi perdebatan di kalangan mutakallīmūn terkait
dengan persoalan manusia. Permasalahan yang akan dibahas dalam persoalan
kalam yang berhubungan dengan manusia di antaranya adalah Rasul dan wahyu,
perbuatan manusia, posisi pelaku dosa besar, dan konsep iman yang akan diuraikan
di bawah ini.
a. Rasul dan Wahyu

Allah Swt., telah mengutus beberapa Rasul dan Nabi, yang terakhir sekali
adalah Nabi Muhammad Saw., sebagai utusan-Nya yang menyampaikan kepada
manusia isi kitab-kitab Allah, dengan menerangkan segala perintah Allah dan
larangan-Nya, serta menjadi contoh dan panutan utama bagi umat manusia.30 Rasul
dan wahyu menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Wahyu yang
menjadi pedoman bagi manusia dalam keraguan karena tidak ada petunjuk yang
pasti. Wahyu tidak langsung diturunkan Allah kepada seluruh umat manusia,
melainkan melalui rasul. Oleh sebab itu, tanpa adanya rasul, manusia tidak dapat
memahami wahyu. Mutakallīmūn sepakat bahwa keberadaan rasul sangat penting
dalam penyampaian risalah Tuhan.
Para ulama menyebutkan perbedaan-perbedaan antara nabi dan rasul, dan
yang terbaik adalah siapa yang Allah kabari dengan berita langit, bila Allah
memerintahkannya agar menyampaikannya kepada orang lain, maka dia adalah
nabi sekaligus rasul, bila Allah tidak memerintahkannya agar menyampaikannya
kepada orang lain, maka dia nabi, bukan rasul.31

Rasul lebih khusus dari nabi, setiap rasul adalah nabi, dan tidak semua nabi
adalah rasul. Tetapi kerasulan lebih umum dari sisi dirinya, kenabian adalah bagian
dari kerasulan, sebab kerasulan mencakup kenabian dan selainnya, berbeda dengan

30
A. Hassan. Ringkasan Tentang Islam (Bangil: al-Muslim, 1980), h. 44.
31
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 297.
51

para rasul, mereka tidak mencakup para nabi dan selain mereka, dan yang benar
adalah sebaliknya, kerasulan lebih umum dari sisi dirinya. 32

Ketahuilah, bahwa di antara yang mengeruhkan perbedaan antara nabi dan


rasul yang pensyarah sebutkan, yaitu bahwa Allah telah mengambil janji dari para
ulama agar mereka menjelaskan kebenaran kepada manusia dan tidak
menyembunyikannya, sebagaimana Allah swt berfirman,

‫َّاس َوَْل تَ ْكتُ ُم ْونَهُ فَنَلَ ُذ ْوهُ َوَراۤءَ ظُ ُه ْوِرِه ْم َوا ْشتَ َرْوا‬
ِ ‫ٰب لَتُلَ يِّنُنَّهُ لِلن‬ ِ ِ َّ َ ‫واِ ْذ اَخ َذ ٰالله ِميث‬
َ ‫اق الذيْ َن اُْوتُوا الْكت‬ َْ ُ َ َ
‫س َما يَ ْشتَ ُرْو َن‬ ِ ِ ِِ
َ ‫به ََثَنما قَلْي مَل ۗ فَلْئ‬
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah
diberi kitab (yaitu), ‘Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada
manusia, dan jangan kalian menyembunyikannya’.” (Ali ‘Imran: 187).33

Lalu bagaimana dengan para nabi yang mereka lebih tinggi kedudukannya
dibanding ulama? Yang lebih dekat dalam masalah ini adalah apa yang disebutkan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa nabi adalah orang yang Allah beri wahyu
dan dia menyampaikan wahyu tersebut hanya saja dia tidak diutus kepada kaum
kafir untuk mengentas mereka dari kekufuran kepada iman, adapun rasul, maka dia
diutus kepada orang-orang kafir untuk mengajak mereka kepada tauhid, Allah
berfirman,

ۗۗ‫ك ِم ْن َّر ُس ْوٍل َّوَْل نَِ ٍِّب اَِّْلۗ اِذَا ََتَ ٰنۗ اَلْ َقى الشَّْي ٰط ُن ِ ْفۗ اُْمنِيَّتِه‬ ِ
َ ‫َوَماۗ اَْر َسلْنَا ِم ْن قَ ْلل‬

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak
(pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan,
setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu.” (Al-
Hajj:52).34

Allah menyebutkan bahwa pengutusan mencakup rasul dan nabi, lalu Allah
mengkhususkan salah satu dari keduanya bahwa dia adalah rasul, inilah rasul
mutlak yang Allah perintahkan agar menyampaikan risalah-Nya kepada kaum yang
menentang perintah Allah dan terjatuh ke dalam kesyirikan, sebagaimana yang
terjadi pada Nabi Nuh , telah diriwayatkan bahwa Nabi Nuh sang adalah rasul

32
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 297.
33
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 75.
34
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 338.
52

pertama yang diutus ke bumi, dan sebelumnya sudah ada nabi-nabi seperti Nabi
Adam, Nabi Syaits, dan Nabi Idris. 35

Mengenai penetapan kenabian menurut kalangan penganut ilmu kalam dan


rasionalis terdapat metode yang masyhur yaitu menetapkan kenabian para nabi
dengan mukjizat, dan kebanyakan dari mereka tidak mengenal kenabian para nabi
kecuali melalui mukjizat. Mereka menetapkannya dengan metode-metode yang
simpang siur (tidak jelas). Banyak kalangan dari mereka yang mengingkari
kejadian-kejadian luar biasa pada selain nabi, hingga mereka mengingkari karamah
para wali, sihir, dan lainnya. Tidak diragukan bahwa mukjizat merupakan bukti
yang shahih, tetapi bukti tidak hanya terbatas padanya. 36

Kenabian hanya diklaim oleh orang yang paling jujur atau orang yang paling
dusta. Keduanya tidak samar kecuali bagi orang-orang yang paling dungu, karena
indikator kehidupan masing-masing mengungkapnya dan mengenalkannya, dan
membedakan antara yang jujur dan yang dusta memiliki banyak cara terkait dengan
klaim selain kenabian, lalu bagaimana dengan kenabian?37

Tidak ada pendusta besar yang mengklaim sebagai nabi kecuali terlihat
padanya kebodohan, kedustaan, kedurjanaan memiliki akal terendah sekalipun.
Bahkan dua orang sama-sama dan dikuasai oleh setan-setan yang bisa dilihat oleh
orang yang mengklaim sesuatu, yang satu benar dan yang lain pendusta, kebenaran
yang pertama pasti terlihat dan kebohongan yang kedua pasti terlihat, cepat atau
lambat. Hal itu karena kejujuran mengajak kepada kebaikan dan kebohongan
menuntun kepada perbuatan dosa.38

Bila kebenaran dan kebohongan pembawa berita diketahui dengan indikasi


yang mengelilinginya, lalu bagaimana dengan klaim seseorang bahwa dia adalah
utusan Allah? Bagaimana kebenaran dan kebohongan orang ini bisa samar?
Bagaimana orang yang benar dan orang yang bohong tidak bisa dibedakan dengan
satu bukti pun?

35
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 298.
36
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 299.
37
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 299.
38
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 300
53

Hari ini, kita dapat mengetahui secara mutawatir tentang keadaan para nabi,
orang-orang yang mengikuti mereka dan musuh-musuh mereka. Kita pun
mengetahui dengan yakin bahwa para nabi itu adalah orang-orang benar di atas
kebenaran dari banyak sisi bukti. Mereka mengabarkan kepada orang-orang bahwa
para pengikut mereka akan mendapatkan kemenangan dan para musuh mereka akan
mendapatkan kekalahan, akibat baik berpihak kepada orang-orang yang mengikuti
mereka.39

Allah swt memenangkan mereka dan membinasakan musuh-musuh mereka,


bila peristiwa diketahui dengan sebenarnya seperti tenggelamnya Fir'aun, kaum
Nabi Nuh as dan keadaan-keadaan mereka yang lainnya,maka diketahui kebenaran
para rasul. Dan terdapat syariat-syariat yang dibawah oleh para rasul dan perincian
kehidupan mereka, niscaya dia mengetahui bahwa para rasul adalah makhluk
tertinggi, dan bahwa hal seperti itu tidak mungkin terjadi dari pembual yang jahil. 40

b. Perbuatan Manusia

Persoalan ini dalam kapasitas dan intensitasnya, dari awal telah menjadi
persoalan teologis yang cukup rumit dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam.
Kerumitan itu terlihat dalam bentuk diskusi yang dilakukan oleh para pemikir
Islam, khususnya mutakallīmūn. Persoalan tersebut telah menimbulkan perbedaan
paham di kalangan kaum Muslimin tentang hakikat perbuatan manusia (af’al al-
‘ibad). Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menjelaskan pandangan beberapa kelompok dalam
memahami perbuatan manusia.41

Pertama, Pandangan Golongan Jabariyah dan Jahmiyah, yang mengatakan


bahwa manusia itu terpaksa, tidak memiliki pilihan dalam berbuat. Maka perbuatan
manusia murni merupakan ciptaan Allah swt. Maka shalat yang dilakukannya
misalnya, bukan karena ikhtiarnya, dia hanya terpaksa. Mereka ini sangat ekstrim
dalam menetapkan Kuasa (qudrah) Allah. Pandangan mereka ini adalah kesesatan
yang nyata, dan maknanya adalah bahwasanya Allah menzhalimi mereka dan
mengazab mereka atas sesuatu yang mereka sama sekali tidak memiliki ikhtiar

39
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 332
40
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 333.
41
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 279.
54

padanya, dan mereka juga tidak memiliki kesanggupan padanya, dan Allah hanya
mengazab seorang hamba karena perbuatan orang lain, dan memberinya pahala atas
sesuatu yang tak pernah dilakukannya. Pandangan ini adalah pandangan yang
paling busuk.

Kedua, Pandangan Mu’tazilah, yang bertentang secara total dengan


pandangan pertama. Mereka mengatakan, amal perbuatan adalah semata karya dan
kehendak serta kemauan hamba secara mutlak, dan Allah sama sekali tidak punya
sangkut paut di dalamnya. Hambalah yang menciptakan perbuatan dirinya. Mereka
sangat ekstrim dalam menetapkan kuasa hamba.

Pandangan mereka ini mengharuskan munculnya pandangan lain yaitu


bahwasanya Allah lemah, dan bahwasanya Allah disekutui oleh selain-Nya dalam
mencipta dan mengadakan. Ini adalah pandangan orang-orang majusi, dan itu
sebabnya Mu’tazilah dinamakan sebagai kaum Majusi umat ini. Orang-orang
majusi mengatakan, alam ini memiliki dua pencipta: pencipta kebaikan dan
pencipta kejahatan. Mu’tazilah menambahkan pandangan mereka ini dengan
mengatakan, setiap orang menciptakan perbuatan dirinya sendiri, sehingga dengan
demikian Mu’tazilah menetapkan banyak pencipta.42

Pandangan yang moderat adalah pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah,


yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka mengatakan, amal perbuatan
manusia adalah perbuatan mereka berdasarkan kehendak dan kemauan mereka,
akan tetapi bersama itu amal perbuatan tersebut adalah makhluk ciptaan Allah. 43

‫َو ٰاللهُ َخلَ َق ُك ْم َوَما تَ ْع َملُ ْو َن‬


“Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat.” (Aṣ-Ṣaffat:
96).44

42
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 280.
43
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 280
44
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 449.
55

‫اَ ٰللهُ َخالِ ُق ُك ِّل َش ْي ٍء ۗ َّو ُه َو َع ٰلى ُك ِّل َش ْي ٍء َّوكِْي ٌل‬


“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”
(Az-Zumar: 62).45

ِ ‫الس َماِۤء َو ْاْلَ ْر‬


ۗ‫ض‬ َّ ‫َه ْل ِم ْن َخالِ ٍق َغْي ُر ٰالل ِه يَ ْرُزقُ ُك ْم ِّم َن‬
“Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki kepadamu dari
langit dan bumi?” (Faṭir: 3).46

Maka Allah Maha Esa sebagai yang mencipta dan menetapkan takdir, dan
manusia memiliki kehendak dan kemauan, serta memiliki perbuatan. Pergi ke
masjid adalah dengan ikhtiarnya, dan pergi ke tempat tontonan juga dengan
ikhtiarnya; karena dia memang memiliki kuasa. Dan orang yang tidak Allah berikan
kuasa dan ke sanggupan, Allah memberikannya udzur (alasan untuk meninggalkan
kewajiban), seperti orang yang gila atau orang yang dipaksa. Orang seperti itu tidak
memiliki kehendak dan tidak memiliki maksud. Sedangkan orang yang memiliki
kehendak dan maksud, inilah yang memilih perbuatan untuk dirinya, maka siksa
dan pahala terjadi atas perbuatannya tersebut, bukan atas perbuatan Allah.47

Bila sudah terbukti bahwa hamba adalah pelaku, maka perbuatan hamba
terbagi menjadi dua:48

Pertama, perbuatan yang terjadi darinya tanpa diikuti dengan kehendak dan
keinginannya, maka ia merupakan sifat baginya tetapi bukan perbuatan, seperti
gerakan orang menggigil.

Kedua, perbuatan yang terjadi darinya beriringan dengan kemampuan dan


kehendaknya. Untuk yang ini perbuatan tersebut dianggap sebagai sifat, perbuatan
dan usaha dari seorang hamba, ini seperti gerak-gerik yang dilakukan secara suka
rela. Allah yang menjadikan hamba melakukan secara suka rela. Hanya Dia semata,
tidak ada sekutu bagi-Nya yang sanggup melakukan itu. Karena itu ulama Salaf
mengingkari jabr (doktrin yang menyatakan hamba terpaksa dengan
perbuatannya), karena ia hanya terjadi dari orang yang lemah, sehingga ia tidak

45
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 465.
46
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 434
47
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 281.
48
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 515.
56

terjadi kecuali dengan tekanan. Karena itu ada perkataan, bapak memiliki hak
perwalian untuk memaksa putrinya yang masih kecil untuk menikah dan dia tidak
punya hak tersebut atas putrinya yang janda yang sudah dewasa. Maksudnya, bapak
bisa menikahkannya sekalipun dia tidak suka. Allah tidak disifati dengan
pemaksaan dari sisi ini, sebab Allah Pencipta kehendak dan keinginan, mampu
menjadikan hamba berkehendak dan berkeinginan, berbeda dengan selain-Nya.

c. Posisi Pelaku Besar

Sebagaimana telah dijelaskan sebelum-sebelumnya bahwa permasalahan


teologi yang pertama kali muncul adalah masalah kafir mengkafirkan. Masalah ini
kemudian berlanjut kepada status pelaku dosa besar, hingga kepada status iman
seseorang.49 Dari permasalahan ini, juga timbul untuk pelaku dosa besar apakah
akan masuk neraka dengan kekal atau tidak? Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menjelaskan,

‫ إِذَا َماتُوا َو ُه ْم ُم َو ِّح ُد ْو َن‬،‫َوأ َْه ُل الْ َكلَائِِر ِم ْن أ َُّم ِة ُُمَ َّم ٍد َْل ُُيَلَّ ُد ْو َن‬
“Para pelaku dosa-dosa besar dari umat Nabi Muhammad masuk neraka,
tapi mereka tidak kekal, apabila mereka mati dalam keadaan bertauhid.”50

Dosa-dosa besar adalah dosa-dosa selain syirik tetapi di atas dosa-dosa


kecil. Prinsip dasar suatu dosa dikatakan dosa besar adalah: setiap dosa yang harus
ditegakkan hukuman (had) atas (pelaku)nya, atau yang mendapatkan ancaman
murka, atau laknat Allah, atau neraka, atau Rasulullah anti terhadap orang-orang
yang melakukannya.51 Inilah dosa besar, seperti misalnya sabda beliau,

.‫س ِمنَّا‬
َ ‫الس ََل َح فَلَْي‬
ِّ ‫َم ْن ََحَ َل َعلَْي نَا‬
“Barangsiapa yang membawa senjata untuk melawan kami, maka dia
bukan dari kami.”52

Semua poin prinsip dasar ini menunjukkan bahwa dosa bersangkutan adalah
dosa besar, akan tetapi di bawah syirik. Pelaku dosa-dosa besar tersebut tidak keluar
dari Iman, akan tetapi dia tetap seorang Mukmin yang kurang imannya, atau bisa

49
Rozak dan Anwar, Ilmu, h. 159.
50
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 22.
51
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 207.
52
Hr. Al-Bukhari No. 6874 dan Muslim No. 98, 100, dan 101.
57

juga dinamakan orang fasik. Inilah pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah; mereka
tidak mengkafirkan (seorang Muslim) karena dosa-dosa besar, selama itu bukan
syirik, akan tetapi mereka juga tidak memberikan pelaku dosa-dosa besar nama
Iman secara mutlak. Mereka memberikan kepadanya Iman yang diberi batasan;
sehingga dikatakan, “Dia Mukmin dengan Imannya, tapi fasik dengan dosa besar
(yang dilakukan)nya.”53

Maka tidak dikatakan bahwa orang semacam itu adalah seorang Mukmin
dengan keimanan sempurna, sebagaimana yang dikatakan oleh golongan Murji’ah.
Tapi juga tidak dikatakan bahwa dia keluar dari Islam, sebagaimana yang dikatakan
oleh Khawarij dan Mu’tazilah.

Jika demikian, maka ada tiga kelompok manusia berkaitan dengan seorang
Muslim yang melakukan dosa besar:54

Pertama, Khawarij dan Mu’tazilah, yang mengeluarkan pelaku dosa besar


tersebut dari Islam, hanya saja, Khawarij memasukkannya ke dalam golongan
orang-orang kafir, sedangkan Mu’tazilah tidak; mereka mengatakan: pelaku dosa
besar berada pada kedudukan di antara dua kedudukan (Iman dan kufur), akan tetapi
mereka mengeluarkannya dari Islam.

Kedua, Murji’ah, yang mengatakan bahwa orang tersebut adalah seorang


Mukmin yang beriman sempurna, selama dia meyakini di dalam hatinya, menurut
pendapat mayoritas mereka, dan mengucapkan dengan lisannya, menurut pendapat
sebagian mereka. Yang jelas (dalam pandangan mereka), dia adalah seorang
Mukmin dilakukannya seorang sama sekali tidak mengurangi Imannya, sekalipun
dosa dosa besar. Ini juga suatu kesesatan.

Ketiga, Ahlus Sunnah wal Jama'ah, ialah pandangan yang haq, yang
berpandangan bahwa pelaku dosa besar selain syirik adalah tetap sebagai seorang
Mukmin, bukan kafir, akan tetapi dia adalah Mukmin yang kurang Imannya. Ini
wajib diketahui, dan wajib tertanam mantap di dalam akal anda. Orang-orang
pengikut pandangan jahat dewasa ini, semakin berani menampakkan pandangan

53
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 208.
54
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 208-209.
58

Murji'ah untuk mempublikasikannya kepada masyarakat luas, demi menutupi


kesesatan yang ada pada diri mereka.

Para pelaku dosa-dosa besar selain syirik, bukan orang-orang kafir. Dan
bahwasanya mereka ketika nanti bertemu dengan Allah (di Hari Kiamat), dan
mereka belum bertaubat dari dosa-dosa besar tersebut, maka mereka terserah
kepada kehendak Allah. Jika Allah berkehendak, Allah dapat mengazab mereka
seimbang dengan dosa-dosa mereka, kemudian mengeluarkan mereka dari neraka
dan memasukkan mereka ke dalam surga dengan tauhid dan Iman mereka, sehingga
mereka tidak kekal di dalam neraka.55 Dalilnya adalah Firman Allah,

ِ ِ‫اِ َّن ٰالله َْل ي غْ ِفر اَ ْن يُّ ْشرَك بِهۗ وي ْغ ِفر ما دو َن ٰذل‬
ُ‫ك ل َم ْن يَّ َشاۤء‬
َ ُْ َ ُ ََ َ ُ َ َ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (An-Nisā’: 48).56

Para pelaku maksiat dari orang-orang yang bertauhid akan keluar dari
neraka, boleh jadi dengan karunia Allah, dan boleh jadi dengan syafa’at para
pemberi syafa’at dengan izin Allah tu. Dan syafa’at adalah haq adanya, akan tetapi
tidak akan ada kecuali dengan izin Allah, dan yang diberikan syafa’at tersebut
adalah orang yang bertauhid, bukan orang kafir, bukan orang musyrik dan bukan
orang munafik.57

d. Konsep Iman

Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw.,
dan ia adalah agama yang berintikan keimanan dan perbuatan (amal). 58 Keimanan
itu merupakan akidah dan pokok, yang di atas syariat Islam. Perbuatan itu
merupakan syariat yang dianggap sebagai buah yang keluar dari keimanan dan
akidah itu. Keimanan dan perbuatan itu atau dengan kata lain akidah dan syariat,
keduanya saling terkait satu sama lain, dan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu,

55
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 210.
56
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 86.
57
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 212.
58
Hassan. Ringkasan, h. 29.
59

adanya hubungan yang erat di antara keduanya, maka amal perbuatan selalu
disertakan penyebutannya dengan keimanan.59

Menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī iman tidak hanya pada pengakuan dengan lisan
dan pembenaran dengan hati, tetapi juga diamalkan dengan anggota badan. Maka
amal masuk dalam hakikat Iman, dan bukan sesuatu yang lebih dari Iman.
Barangsiapa yang membatasi definisi Iman hanya pada ucapan dengan lisan dan
pembenaran dengan hati, dan tidak menyertakan amal, maka dia tidak termasuk
dalam ahli Iman yang benar.

Imām bukan satu, dan orang-orang yang beriman tidaklah sama, akan tetapi
Iman saling mengungguli, dapat bertambah dan berkurang. Manusia tidak sama
dalam membenarkan dengan hati. Iman Abū Bakar aṣ-Ṣiddiq tidak sama dengan
Iman seorang yang fasik dari kaum Muslimin; karena orang yang fasik dari kaum
Muslimin Imannya sangat lemah, sedangkan keimanan Abū Bakar aṣ-Ṣiddiq
seimbang (bahkan lebih kuat) dari Iman semua umat ini. Maka manusia pada
dasarnya tidak sama (dalam tingkat keimanan). Ini pada dasarnya (dari segi
keimananannya).Demikian juga dari segi amal, manusia saling mengungguli dalam
amal.60 Di antara mereka ada yang sebagaimana difirmankan Allah swt,

‫اصطََفْي نَا ِم ْن ِعلَ ِادنَاۗ فَ ِمْن ُه ْم ظَ ِاِلٌ لِّنَ ْف ِس ِه‬ ِ ‫ُُثَّ اَورثْنا الْ ِكت‬
ْ ‫ٰب الَّذيْ َن‬
َ َ َْ
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih
di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada orang-orang yang
menganiaya diri mereka sendiri.” (Faṭir: 32).61

Orang yang maksiat (dalam ayat) ini, yaitu yang kemaksiatannya selain
syirik, dia tentu saja dzalim terhadap dirinya; karena dengan demikian dia telah
membawa dirinya kepada bahaya.62

Maka umat ini tidak sama (dalam hal keimanan), dan paling tidak ada tiga
tingkatan: pertama, orang yang zhalim atas dirinya, kedua, orang yang tengah-

59
Sayid Sabiq, “Al-Aqāid al-Islāmiyyah”, terj. Moh. Abdai Rathomy, Aqidah Islam,
(Bandung: Diponegoro, 1993), h. 15.
60
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 201.
61
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 438.
62
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 202.
60

tengah, dan ketiga, orang yang telah lebih dahulu (segera dan berlomba) berbuat
segala kebaikan. Ini semua menunjukkan bahwa Iman itu berbeda-beda
tingkatannya. 63

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī juga menambahkan mengenai rukun-rukun iman,

‫ َو ُح ْل ِوِه‬،‫ َخ ِْْيِه َو َشِّرِه‬:‫ َوالْ َق ْد ِر‬،‫ َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر‬،‫ َوَر ُسلِ ِه‬،‫ َوكِتَلِ ِه‬،‫الل َوَم ََلئِ َكتِ ِه‬
ِ ِ‫ هو ْاْل ْيَا ُن ب‬:‫اْل ْيَا ُن‬
َُ
ِْ ‫َو‬
ِ ‫ ِمن‬،‫ومِّرِه‬
.‫الل تَ َعالَی‬ َ َُ
“Iman adalah: beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kita-
bNya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Qadar yang baik maupun yang
buruk, yang manis maupun yang pahit, (semuanya) adalah dari Allah
swt.”64

Wajib beriman kepada semua ini, dan jika seseorang mengingkari sesuatu
dari rukun-rukun tersebut, maka dia bukanlah seorang Mukmin; karena dia telah
mengurangi salah satu dari rukun-rukun Iman.

3. Aspek Hari Akhir

Percaya kepada hari akhir adalah merupakan satu dari rukun atau sendi dari
berbagai rukun keimanan dan merupakan bagian utama sekali dari beberapa bagian
akidah. Hari akhir adalah percaya bahwa akan datang satu hari yang penghabisan
bagi penghidupan alam ini, di hari itu binasa semua makhluk, lalu Allah bangkitkan
manusia kembali di alam akhirat untuk dibalas segala perbuatan di dunia mulai dari
amal baik dan perbuatan buruk.65
Fenomena kiamat adalah masalah yang gaib. Umat Islam seluruhnya
meyakini bahwa semua manusia akan mengalami hari akhirat. Fenomena surga dan
neraka di akhirat adalah di antara peristiwa hari akhirat yang dibicarakan. Akan
tetapi, pembahasan tentang hari akhir, tidak lepas dari pembahasan tentang
peristiwa kematian dan kebangkitan.66 Oleh sebab itu, Al-Qur’an memberikan
perhatian yang sangat istimewa terhadap penetapan keimanan kepada hari akhir,
sebagaimana firman-Nya berikut:

63
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 202.
64
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 22.
65
Hassan, Ringkasan, h. 45.
66
Di antara contoh fenomena yang terjadi pada hari kiamat adalah azab kubur, kebangkitan,
hisāb, mīzān, ṣirāṭ, surga, neraka dan lain-lain.
61

ِ ‫اْل ِخ ِر وع ِمل ص‬ ِ ِٰ ِ ِ ِ
‫اْلما‬ َ َ َ َ ٰ ْ ‫ي َم ْن اٰ َم َن بِالله َوالْيَ ْوم‬ َْ ِٕ ِ‫الصاب‬
َّ ‫ص ٰرى َو‬ ُ ‫ا َّن الَّذيْ َن اٰ َمنُ ْوا َوالَّذيْ َن َه‬
ٰ َّ‫اد ْوا َوالن‬
ٌ ‫فَلَ ُه ْم اَ ْج ُرُه ْم عِنْ َد َرِِّّبِ ْمۗ َوَْل َخ ْو‬
‫ف َعلَْي ِه ْم َوَْل ُه ْم ََْيَزنُ ْو َن‬
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-
benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka
akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. al-Baqarah [2]: 62).67

Ayat di atas menjelaskan tentang adanya alam akhirat dengan ditandai


adanya kebangkitan, surga dan neraka dan pertanggung jawaban manusia atas
amalnya. Hari akhirat itu adalah tujuan manusia yang sebenarnya. Pada hari itulah
manusia akan menerima balasan atas amalnya di dunia.68

Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa hari akhir adalah hari
kiamat yang didahului musnahnya alam semesta. Jadi, pada hari itu akan matilah
seluruh makhluk yang masih hidup. Bumi pun akan bertukar, bukan bumi atau
langit yang sekarang ini. Selanjutnya, Allah Swt., menciptakan alam lain yang
disebut alam akhirat. Sesudah itu, seluruh makhluk akan dibangkitkan yakni
dihidupkan kembali setelah mereka mati.69 Oleh karena itu, dalam persoalan ini,
akan diuraikan secara lebih lengkap pada pembahasan berikutnya, yakni
kebangkitan di akhirat dan surga dan neraka.

a. Kebangkitan di Akhirat

Iman kepada Hari Kebangkitan kembali termasuk perkara yang ditetapkan


oleh al-Qur`an, as-Sunnah, akal, dan fitrah. Allah swt mengabarkan tentangnya
dalam kitab-Nya yang mulia, menegakkan bukti-bukti atasnya, membantah orang-
orang yang mengingkarinya dalam banyak surat al-Qur’an. Para nabi sepakat di atas
iman kepada Hari Kiamat. Hal itu karena pengakuan terhadap Tuhan adalah sesuatu
yang umum pada manusia, bersifat fitrah, semua manusia mengakui Rabb, kecuali
siapa yang ngotot (bengal) seperti Fir’aun. Berbeda dengan Iman kepada Hari
Akhir, pengingkarnya banyak, dan karena Nabi Muhammad adalah penutup para

67
Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 10.
68
Hadiyah Salim, Dua macam Kehidupan Yang Berbeda Antara Dunia dan Akhirat
(Bandung: Angkasa, 1995), h. 43.
69
Sayid Sabiq, “Al-Aqāid”, h. 429-430.
62

nabi, beliau diutus di hadapan Hari Kiamat seperti ini, beliau adalah al-Hasyir dan
al-Muqaffi, maka beliau menjelaskan perincian kehidupan akhirat dengan
penjelasan yang belum ada pada kitab-kitab para nabi sebelum beliau.70

Oleh karena itu, sekelompok orang dari ahli filsafat dan orang-orang yang
seperti mereka menyangka bahwa yang berbicara secara terbuka tentang
kebangkitan badan hanya Nabi Muhammad, lalu mereka menjadikannya sebagai
hujjah bagi mereka bahwa apa yang beliau katakan hanya semacam ilusi dan
pembicaraan kepada orang-orang awam agar mereka memahaminya. Ini dusta,
karena Hari Kiamat sudah dikenal di kalangan nabi-nabi sejak Nabi Adam, Nabi
Nuh hingga Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan seterusnya. Allah telah
mengabarkannya saat menurunkan Nabi Adam as.71 Allah berfirman,

ٍ ْ ‫ض ُمستَ َقٌّر َّوَمتَاعٌ اِ َٰل ِح‬


‫ي قَ َال فِْي َها ََْتيَ ْو َن‬ ِ ٍ ‫ض ُك ْم لِلَ ْع‬ ُ ‫قَ َال ْاهلِطُْوا بَ ْع‬
ْ ِ ‫ض َع ُد ٌّو ۗ َولَ ُك ْم ِف ْاْلَ ْر‬
‫َوفِْي َها ََتُْوتُ ْو َن َوِمْن َها ُُتَْر ُج ْو َن‬
“Allah berfirman, ‘Turunlah kalian, sebagian kalian menjadi musuh bagi
sebagian yang lain. Dan kamu memiliki tempat kediaman dan kesenangan
(tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah
ditentukan’.” Allah berfirman, ‘Di bumi itu kalian hidup dan di bumi itu
kalian mati, dan dari bumi itu (pula) kalian akan dibangkitkan’.” (Al-
‘A‘raf: 24-25).72
Di antara hujjah-hujjah Al-Qur'an dalam menetapkan kebangkitan kembali
sesuai dengan firman Allah,

‫ب لَنَا َمثَمَل َّونَ ِس َي َخلْ َقهۗۗ قَ َال َم ْن َُّْي ِي الْعِظَ َام َوِه َي َرِمْي ٌم‬
َ ‫ضَر‬
َ ‫َو‬
“Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada
kejadiannya, dia berkata, "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang
belulang, yang telah hancur luluh?” (QS. Yāsīn: 78),73 hingga akhir surat.

Seandainya manusia paling berilmu, paling fasih dan paling ahli


menjelaskan ingin menghadirkan hujjah yang lebih unggul dari hujjah ini atau
sepadan dengannya dengan kata-kata yang semisal dengannya dari sisi keringkasan,

70
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 379-380.
71
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 380.
72
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 153.
73
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.
63

keakuratan, dan kebenaran bukti, niscaya tidak akan mampu. Allah membuka
hujjah ini dengan sebuah pertanyaan yang disodorkan oleh orang yang mengingkari
yang menuntut jawaban,74 Firman Allah,

ُُ ۗ‫َّونَ ِس َي َخلْ َقه‬


"Dan dia lupa kepada kejadiannya." (QS. Yāsīn: 78).75

Hal ini merupakan jawaban yang sangat memadai. Allah menegakkan


hujjah dan mengikis syubhat, sekalipun Allah tidak hendak menegaskan hujjah.
Dan menguatkan penetapannya, Allah berfirman,

ٍ‫قُل َُْييِْي َها الَّ ِذ ْيۗ اَنْ َشاَ َهاۗ اََّوَل َمَّرة‬
ْ
“Katakanlah, ‘Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali
yang pertama’,” (QS. Yāsīn: 79).76

Allah swt berhujjah kepada awal penciptaan atas kebangkitan, kepada


kehidupan pertama atas kehidupan lainnya. Setiap orang berakal mengetahui secara
mendasar bahwa siapa yang mampu melakukan yang pertama, maka dia mampu
melakukan yang keduanya, dan seandainya dia tak sanggup melakukan yang kedua,
niscaya dia lebih laik tidak sanggup melakukan yang pertama. Manakala penciptaan
menuntut kodrat Sang Khaliq atas makhluk-Nya dan ilmu-Nya terhadap rincian
makhluk-Nya,77 maka Allah menyusulkan Firman-Nya,

‫َو ُه َو بِ ُك ِّل َخلْ ٍق َعلِْي ٌم‬


“Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (QS. Yāsīn: 79).78

Allah Maha Mengetahui perincian penciptaan pertama, bagian-bagiannya,


bahan-bahannya dan bentuknya, demikian juga dengan yang kedua. Bila ilmu Allah
sempurna dan Kuasa-Nya lengkap, bagaimana Dia tidak sanggup menghidupkan
tulang belulang yang sudah lapuk? Kemudian Allah menegaskan urusan dengan

74
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 382.
75
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.
76
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.
77
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 383.
78
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.
64

sebuah hujjah yang telak dan bukti yang nyata, mengandung jawaban terhadap
pertanyaan pengingkar lain yang berkata bahwa bila tulang belulang sudah menjadi
lapuk, maka tabiatnya menjadi dingin kering, padahal bahan kehidupan dan
pembawanya haruslah tabiatnya yang panas lagi basah yang menunjukkan adanya
perkara kebangkitan, ia mengandung dalil dan jawaban sekaligus, 79 maka Allah dan
berfirman,

‫ض ِر نَ ماراۗ فَاِ َذاۗ اَنْتُ ْم ِّمْنهُ تُ ْوقِ ُد ْو َن‬ ِ


َ ‫الَّذ ْي َج َع َل لَ ُك ْم ِّم َن الش‬
َ ‫َّج ِر ْاْلَ ْخ‬
“Yaitu Tuhan yang menjadikan untuk kalian api dari kayu yang hijau, maka
tiba-tiba kalian nyalakan (api) dari kayu itu.” (QS. Yāsīn: 80).80

Allah swt mengabarkan bahwa Dia mengeluarkan unsur api yang sangat
panas dan kering dari kayu hijau yang sangat dingin dan basah, Allah Yang kuasa
untuk mengeluarkan sesuatu dari lawannya, bahan-bahan dan unsur-unsur makhluk
tunduk kepada-Nya, maka tidak sulit bagi-Nya melakukan apa yang diingkari oleh
pengingkar tersebut dan ditolaknya, yaitu menghidupkan tulang belulang yang
sudah lapuk. 81

Kemudian Allah menegaskan perkara ini dengan menyebutkan sesuatu yang


lebih besar dan lebih agung atas sesuatu yang lebih kecil dan lebih mudah, karena
setiap orang yang berakal mengetahui bahwa siapa yang kuasa (mampu) atas
sesuatu yang besar dan agung, maka dia lebih kuasa dan lebih kuasa atas sesuatu
yang di bawahnya, barangsiapa mampu membawa setumpuk harta, maka dia lebih
mampu membawa satu peser perak.82 Allah swt berfirman,

‫ض بِ ٰق ِد ٍر َع ٰلۗى اَ ْن َُّيْلُ َق ِمثْلَ ُه ْم‬ ِ َّ ‫اَولَيس الَّ ِذي خلَق‬


َ ‫الس ٰم ٰوت َو ْاْلَ ْر‬ َ َ ْ َ َْ
“Dan bukankah (Allah) yang menciptakan langit dan bumi, mampu
menciptakan kembali yang serupa itu (jasad mereka yang sudah hancur
itu?” (QS. Yāsīn: 81).83

Allah mengabarkan bahwa Dia yang menciptakan langit dan bumi, padahal
keduanya adalah makhluk yang besar, agung, luas, ajaib, tentu Dia lebih mampu

79
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 383.
80
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.
81
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 384.
82
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 384.
83
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.
65

menghidupkan tulang belulang yang sudah lapuk, lalu Dia mengembalikannya


kepada keadaanya semula.

Kemudian Allah menegaskan hal itu dan menjelaskannya dengan


penjelasan yang lain, yaitu bahwa perbuatan Allah bukan seperti perbuatan selain-
Nya yang bekerja dengan alat dan usaha, lelah dan payah, tidak independen dalam
berbuat, sebaliknya dia memerlukan alat dan pembantu, berbeda dengan Allah yang
cukup dengan kehendak-Nya itu sendiri dalam menciptakan sesuatu yang Dia
hendak ciptakan dan Firman-Nya untuk apa yang Dia ciptakan, “Jadilah”, dan ia
pun jadi sebagaimana yang Allah kehendaki dan inginkan. Kemudian Allah
menutup hujjah dengan mengabarkan bahwa kerajaan atas segala sesuatu adalah di
Tangan-Nya, Allah bertindak terhadapnya dengan Firman dan perbuatan-Nya.84

‫َّواِلَْي ِه تُْر َجعُ ْو َن‬


"Dan kepada-Nya kalian dikembalikan." (QS. Yāsīn: 83).85

Pendapat yang dipegang oleh Salaf dan mayoritas orang-orang berakal


adalah bahwa jasad berubah dari satu keadaan ke keadaan lain, ia berubah menjadi
tanah, kemudian Allah menghidupkannya kembali, sebagaimana jasad berubah
pada penciptaan pertama, ia adalah setetes air, kemudian berubah menjadi
segumpal darah kemudian sepotong daging, kemudian tulang yang terbungkus
daging kemudian terbentuk makhluk yang sempurna. Demikian juga penciptaan
kembali, Allah blamengembalikannya sesudah semuanya fana, kecuali tulang sulbi
(Ajb adz-Dzanab).86 Sebagaimana dalam ash-Shahih dari Nabi Saw. bahwa beliau
bersabda,

ِ ِ ِ َ‫الذن‬ َّ ‫آد َم يَْل لَى إَِّْل َع ْجب‬


َ ‫ ومنه يَُرَّك‬،‫آد َم‬
‫ب‬ َ ‫ مْنهُ ُخل َق ابْ ُن‬،‫ب‬ َ َ ‫ُك ُّل ابْ ِن‬
“Semua bagian dari anak Adam fana kecuali tulang sulbi, darinya dia
diciptakan dan padanya dia disusun kembali.”87

84
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 385.
85
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.
86
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 386.
87
Hadis diriwayatkan oleh Al-Bukhari, No. 4814; Muslim, no. 2955; Abū Dawun, no. 4743.
66

Kedua penciptaan adalah dua bentuk di bawah satu jenis, keduanya sama
dan semisal dari satu sisi, dan berbeda dan tidak sama dari sisi lain. Yang
dihidupkan kembali adalah yang pertama itu sendiri, sekalipun di antara
konsekuensi pengembalian dengan konsekuensi penciptaan awal terdapat
perbedaan, hanya tulang sulbi yang tersisa, adapun selainnya, maka ia berubah, lalu
ia dikembalikan dari materi yang ia berubah kepadanya. Sudah dimaklumi bahwa
siapa yang melihat seseorang yang masih kecil, kemudian melihatnya kembali saat
dia sudah tua, maka dia mengetahui bahwa dia adalah dia, padahal dia selalu
berubah dan tidak dalam satu keadaan, demikian juga hewanhewan dan tumbuh-
tumbuhan, siapa yang melihat satu pohon saat ia masih kecil, kemudian dia
melihatnya saat sudah besar, dia akan berkata ini adalah itu.

b. Surga dan Neraka

Perkataan surga dan neraka dalam bahasa Arab dikenal dengan jannah, dan
nār atau jahannam. Jika Allah Swt., akan memberikan balasan kepada orang-orang
yang taat dan berbakti itu dengan kenikmatan (surga), maka kepada orang yang
durhaka dan bersalah tentulah akan diberi balasan pula yaitu berupa siksa (neraka).
Menurut Hassan, pengertian jannah adalah satu negeri atau tempat kesenangan
yang Allah sediakan bagi orang-orang mukmin dan nār adalah satu negeri atau
tempat siksaan yang Allah sediakan bagi orang-orang kafir.88

Setelah mengetahui tujuan keberadaan surga dan neraka, sebagaimana


disebutkan di atas, maka yang menjadi perdebatan di kalangan ulama adalah
keberadaan surga dan neraka telah ada ataukah tidak, ataukah surga dan neraka
adalah kekal. Sebagian dari ulama-ulama Islam dan mutakallīmūn berpendapat
bahwa surga dan neraka sekarang belum Allah ciptakan. Mereka berpendirian
bahwa tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara tegas menerangkan bahwa surga dan
neraka telah ada. Kebanyakan ayat Al-Qur’an menerangkan tentang surga dan
neraka seperti: “telah disediakan surga bagi orang-orang yang berbakti” dan “telah
disediakan neraka bagi orang-orang kafir”. Berdasarkan perkataan telah disediakan
itu, belum berarti bahwa surga dan neraka sudah ada sekarang. Menurut mereka,

88
A. Hassan. Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama (Bandung: Diponegoro, 2007),
jilid III, h. 1238.
67

perkataan telah disediakan bisa berarti sudah ada dan terkadang belum ada.
Demikianlah Aḥmad Hassan menerangkan secara ringkas tentang golongan yang
berpendapat bahwa surga dan neraka belum ada.89

Sementara itu, menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menegaskan bahwa,

‫ َو َخلَ َق‬،‫َّار قَ ْل َل ا ْْلَْل ِق‬ ِ ِ ِ ِ ِ


َ ‫ َوإ َّن اللَ َخلَ َق ا ْْلَنَّةَ َوالن‬،‫ َْل تَ ْفنَ يَان أَبَ مدا َوَْل تَلْي َدان‬،‫َّار َمَْلُ ْوقَتَان‬
ُ ‫اْلَنَّةُ َوالن‬
ْ ‫َو‬
‫ََلَُما أ َْه مَل‬
“Surga dan neraka adalah makhluk, yang keduanya tidak akan fana dan
tidak akan musnah. Dan bahwasanya Allah swt telah menciptakan surga
dan neraka sebelum menciptakan makhluk lain, dan menciptakan penghuni
bagi keduanya.”90

Ahlus Sunnah sepakat bahwa surga dan neraka telah diciptakan dan telah
ada sekarang. Ahlus Sunnah sepakat di atas itu sebelum lahir sekelompok orang
yang bernama Mu’tazilah dan Qadariyah yang mengingkari hal itu. Mereka berkata,
“Allah swt baru akan menciptakan keduanya pada Hari Kiamat.” Mereka
berpendapat demikian karena didorong oleh prinsip mereka yang rusak, yang
mereka tetapkan sebagai syariat bagi apa yang Allah lakukan, bahwa Allah patut
melakukan ini, tidak patut melakukan ini. Mereka menyamakan Allah dengan
makhluk-Nya dalam perbuatan mereka, mereka adalah orang-orang yang
menyamakan dalam perbuatan, lalu akidah Jahmiyah menyusup kepada mereka,
akibatnya mereka pun menjadi ahlu ta'ṭil yang menolak Sifat-sifat Allah. Mereka
berkata, “Menciptakan surga sebelum saat pembalasan adalah sia-sia, karena ia
nganggur dalam masa yang panjang.” Mereka menolak dalil-dalil yang
bertentangan dengan syariat yang mereka tetapkan untuk Allah, mereka
menyelewengkan dalil-dalil dari tempatnya, menyesatkan dan membid’ahkan siapa
yang menyelisihi syariat mereka.91

Dalil-dalil yang menetapkan bahwa surga dan neraka sudah ada sekarang
Allah swt berfirman tentang surga,

89
A. Hassan, Soal-Jawab, Jilid III, h. 1238.
90
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 26.
91
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 407-408.
68

َُ ۗ‫َّت لِلْ ُمت َِّق ْي‬ ِ


ْ ‫اُعد‬
“Disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS, Alī ‘Imran: 133).92

Allah juga berfirman tentang neraka,

‫َّت لِلْ ٰك ِف ِريْ َن‬ ِ


ْ ‫اُعد‬
“Disediakan bagi orang-orang yang kafir.” (QS. ‘Alī ‘Imran: 131).93

Allah juga berfirman,

ۗ‫َولَ َقدۗ َرءَاهُ نَزۗلَ مة أُخۗ َر ٰى ِع َند ِسدۗ َرِة ٱلۗ ُمنتَ َه ٰى ِع َند َها َجنَّةُ ٱلۗ َمأۗ َو ٰى‬
“Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang
asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha324, di dekatnya ada
surga tempat tinggal.” (QS. An-Najm: 13-15).94

B. Corak Teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī

Penulis menemukan beberapa keutaman dari ajaran teologi Imām Aṭ-


Ṭaḥāwī yang terdapat dalam karyanya “Aqidah al- Aṭ-Ṭaḥāwīyah”.95

Pertama, kitab Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah adalah sebagai salah satu kitab akidah
tertua dalam khazanah Ulama Salaf. Meskipun tidak sepopuler karya-karya Imām
Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī, tetapi ajaran akidah mereka tidak jauh berbeda, padahal
tidak terdapat riwayat yang melaporkan bahwa mereka pernah bertemu. Secara
sanad, Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī lebih tinggi (‘ali) daripada Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī.
Ini dikarenakan ia langsung dapat dari al-Muzanī, al-Murādī, dan lainnya. Adapun
Abū al-Ḥasan al-Asy'arī mendapatkannya dari generasi murid murid al-Muzāni,
yaitu Zakariyā al-Sāji. Begitu juga, dari tahun kelahiran maka Abū Ja'far Aṭ-Ṭaḥāwī
lahir lebih awal, yaitu pada tahun 239 H, sedangkan Abū al-Ḥasan al-Asy'arī
diperkirakan lahir setelah tahun 250-an. Namun, popularitas Abū al-Ḥasan al-

92
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 67.
93
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 66.
94
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 526.
95
Arrazy Hasym. Akidah Salaf Imām Al-Ṭaḥāwī: Ulasan dan Terjemah (Banten: Yayasan
Wakaf Darus-Sunnah, 2020), h. 3-6.
69

Asy'arī memang lebih kuat daripada Abū Ja'far Aṭ-Ṭaḥāwī. Barangkali popularitas
tersebut dikarenakan Abū Ja'far al-Tahāwi tidak berdomisili di kota metropolitan,
seperti Baghdad. Ini berbeda dengan Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī yang berasal dari
Basrah dan hijrah ke Baghdad. Di samping itu, ada faktor lain seperti keterlibatan
dua tokoh tersebut dalam perdebatan teologis. Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī lebih sering
terlibat dalam perseteruan teologis dibandingkan Abū Ja'far Aṭ-Tähāwi.

Kedua, secara manhaj Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah tidak berbeda dengan akidah


Abū al-Ḥasan alAsy'arī. Dalam hal ini, Imām al-Subki menilai akidah dua Imām
tersebut sama secara konten, kecuali beberapa hal kecil. Ini sebagaimana
dikemukakan dalam kitab Mu’id al-Ni’am wa Mubid al-Niqam. Adapun di dalam
kitab Ṭabaqāt al-Syāfi'iyah al-Kubra, Imām al-Subki junior menyebutkan bahwa
pandangan yang menilai kesamaan tersebut adalah ayahnya sendiri, Imām Taqi al-
Dīn al-Subkī. Setelah itu, ia meneliti sendiri, sehingga mendapatkan sebagaimana
dikatakan oleh ayahnya.

Ketiga, ajaran yang terkandung dalam Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah merupakan


akidah yang diwariskan oleh Imām Salaf pendiri mazhab Ḥanafīyah, yaitu Imām
Abū Ḥanifah (w. 150 H.) dan kedua muridnya Muhammad Ibn al-Ḥasan al-
Syaybānī dan Abū Yusuf al-Anṣārī. Ini yang membedakannya dengan Abū al-
Ḥasan al-Asy'arī yang diwariskan oleh Imām Mālik, al-Syāfi’i, dan lebih khusus
Aḥmad Ibn Ḥanbal.

Keempat, sosok Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī “diperebutkan” oleh aliran-aliran


setelahnya, Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Ibn Abū al-‘Izz murid Ibn
Qayyim al-Jawzīyah mensyarah kitabnya. Ini dilanjutkan oleh Salafi kontemporer
seperti ‘Abdu al-‘Azīz Ibn Bāz, al-Rājihi, Ibn Jibrin, Ibn al-‘Utsaymīn, Ṣāliḥ al-
Fawzān, al-Albānī dan tokoh lainnya. Bahkan dari kalangan Asy‘arīyah terdapat
‘Abdulāh al-Ḥarari pendiri gerakan Ahbasy yang sangat ketat dan kritis. Tidak lupa
juga terdapat al-Sayyid Ḥasan al-Saqqāf, seorang ahli Hadis yang semi Asy‘arīyah-
Zaydīyah.

Kelima, kitab akidah Abū Ja'far Aṭ-Ṭaḥāwī dapat dijadikan sebagai panduan
untuk menimbang kevalidan aliran mana pun yang mengaku bermanhaj Salaf.
70

Keenam, kitab Abū Ja’far Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī menunjukkan bahwa


akidah Salaf Salih tidak hanya satu manhaj, tetapi mempunyai banyak sistem
berpikir (manāhij), tetapi dalam satu lingkaran Ahl al-Sunnah.

Uraian di atas telah menyimpulkan beberapa pemikiran teologi Imām Aṭ-


Ṭaḥāwī. Peneliti berpendapat bahwa pemikiran teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī bercorak
kepada teologi tradisional dan fundamental. Pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dapat
digolongkan kepada Ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah dalam kelompok Salafiah dan
Asy‘arīyah karena beberapa pemikiran teologinya sesuai dengan kedua paham
tersebut, selain itu, ia cenderung tekstualis dan literalis.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Imām al-Allāmah al-Ḥafiẓ Abū Ja’far Aḥmad bin Muḥammad bin Salāmah

bin Abdu al-Mālik al-Azdī al-Hajrī al-Miṣri Aṭ-Ṭaḥāwī, nisbat ke Ṭaḥa, sebuah desa

di Ṣa’id Mesir yang merupakan bagian dari provinsi Minya saat ini. Ia lahir pada

tahun 239 H. Sumber lain mengatakan lahir pada tahun 237 H. Sejak kecil beliau

tumbuh dikeluarga yang dikenal dengan ilmu dan keutamaan, sangat kondusif

dengan suasana ibadah dan amal shaleh. Imām Aṭ-Ṭaḥāwī adalah orang yang

berilmu yang memiliki keutamaan. Beliau menguasai sekaligus ilmu fiqih dan

hadits, serta cabang-cabang keilmuan lainnya. Salah satu karya beliau mengenai

teologi adalah kitab Al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwiyyah. Karya tersebut menjadi inti

penelitian ini adalah bagian terpenting dalam pemikiran Islam yang mengantarkan

kepada kemantapan akidah. Berdasarkan perspektif Imām Aṭ-Ṭaḥāwī tentang

teologi Islam, maka dapat ditemukan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengenai persoalan ketuhanan, yaitu:

a. Permasalahan teologi tentang wujud dan sifat Tuhan, Imām Imām Imām Aṭ-

Ṭaḥāwī berpendapat bahwa meyakini esensi dan eksistensi Allah harus

sepenuhnya tanpa ada keraguan sedikitpun. Allah tidak akan fana dan tidak

akan punah. Dia disifati sebagai Maha Hidup, yang kekal dan abadi. Allah

menyandang sifat kesempurnaan. Maka sifat-sifat-Nya adalah azali dan

abadi; sebagaimana Dia Yang Maha Awal tanpa permulaan, maka demikian

pula sifat-sifat-Nya, semuanya ikut kepada-Nya. Allah adalah Tuhan yang

patut disembah, tiada Tuhan selain Allah.

71
72

b. Persoalan teologi mengenai kalam Allah, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menganggap

bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah yang hakiki, tidak secara majas.

Al-Qur’an ini bukan perkataan Nabi Muhammad dan bukan perkataan Jibril,

akan tetapi ia adalah Firman Allah, yang mana Allah berfirman dengannya.

Jibril menerima (mendengarnya) dari Allah, dan Nabi Saw. menerimanya dari

Jibril yang kemudian dari Nabi Saw. Menurutnya, al-Qur’an bukan makhluk

sebagaimana perkataan makhluk.

2. Pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengenai aspek kemanusiaan, yaitu:

a. Persoalan teologi tentang Rasul dan wahyu, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī berpendapat

bahwa rasul lebih khusus dari nabi, setiap rasul adalah nabi, dan tidak semua

nabi adalah rasul. Tetapi kerasulan lebih umum dari sisi dirinya, kenabian

adalah bagian dari kerasulan, sebab kerasulan mencakup kenabian dan

selainnya, berbeda dengan para rasul, mereka tidak mencakup para nabi dan

selain mereka, dan yang benar adalah sebaliknya, kerasulan lebih umum dari

sisi dirinya. Rasul adalah yang Allah perintahkan melalui wahyu agar

menyampaikan risalah-Nya, kepada kaum yang menentang perintah Allah

dan terjatuh ke dalam kesyirikan.

b. Megenai perbuatan manusia Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menyatakan bahwa amal

perbuatan manusia adalah perbuatan mereka berdasarkan kehendak dan

kemauan mereka, akan tetapi bersama itu amal perbuatan tersebut adalah

makhluk ciptaan Allah. Maka Allah swt adalah sebagai yang mencipta dan

menetapkan takdir, dan manusia memiliki kehendak dan kemauan, serta

memiliki perbuatan.
73

c. Teologi tentang posisi pelaku dosa besar menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī adalah

para pelaku dosa-dosa besar dari umat Nabi Muhammad masuk neraka, tapi

mereka tidak kekal, apabila mereka mati dalam keadaan bertauhid. Pelaku

dosa-dosa besar tersebut, selama itu bukan syirik, tidak tidak akan

mengeluarkan seseorang dari Iman, akan tetapi dia tetap seorang Mukmin

yang kurang imannya, atau bisa juga dinamakan orang fasik.

d. Persoalan tentang konsep iman, menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī iman tidak hanya

pada pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati, tetapi juga

diamalkan dengan anggota badan. Maka amal masuk dalam hakikat Iman,

dan bukan sesuatu yang lebih dari Iman. Imām bukan satu, dan orang-orang

yang beriman tidaklah sama, akan tetapi Iman saling mengungguli, dapat

bertambah dan berkurang.

3. Pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī berkaitan dengan aspek hari akhir, yaitu:

a. Persoalan mengenai kebangkitan di akhirat, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengatakan

bahwa iman kepada hari kebangkitan termasuk perkara yang benar dan telah

ditetapkan oleh al-Qur’an, akal, dan fitrah. Allah telah mengabarkan melalui

kitab-Nya, menegakkan bukti-bukti atasnya dan membantah orang-orang

yang mengingkarinya.

b. Persoalan teologi tentang surga dan neraka, menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī surga

dan neraka adalah makhluk, yang keduanya tidak akan fana dan tidak akan

musnah. Dan bahwasanya Allah swt telah menciptakan surga dan neraka

sebelum menciptakan makhluk lain, dan menciptakan penghuni bagi

keduanya.
74

Uraian di atas telah menyimpukan beberapa pemikiran teologi Imām Aṭ-

Ṭaḥāwī. Peneliti berpendapat bahwa pemikiran teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī bercorak

kepada teologi tradisional dan fundamental. Pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dapat

digolongkan kepada Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah dalam kelompok Salafiah dan

Asy‘arīyah karena beberapa pemikiran teologinya sesuai dengan kedua paham

tersebut, selain itu, ia cenderung tekstualis dan literalis.

B. Saran

1. Diharapkan dengan penelitian tentang teologi dalam pandangan Imām Aṭ-

Ṭaḥāwī, tinjauan kitab al-Aqīdah aṭ-Ṭaḥāwiyyah, dapat dikembangkan dan

digali lebih lanjut.

2. Diharapkan kepada mahasiswa yang ingin menkaji tologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī

secara khusus, tulisan ini hanya sebagai pengantar awal untuk melihat pemikiran

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Namun, untuk melihat sosok Imām Aṭ-Ṭaḥāwī lebih dalam

harus ada upaya yang lebih serius.

3. Harapan untuk Fakultas Ushuluddin, khususnya jurusan Aqidah dan Falsafah

Islam dapat mengembangkan dan melakukan kajian intelektual tentang teologi

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī, karena pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī banyak memberikan

kontribusi terhadap khazanah intelektual dalam Islam.

4. Dan penulis mengharapkan penelitian sederhana ini bisa memberikan loncatan

awal terhadap dinamika pemikiran Islam, khususnya untuk kaum akademisi,

serta dapat menjadi bagian amal sholeh yang dicatat oleh Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Persoalan Teologi Islam.
Jakarta: Erlangga, 2006.
Al-Arnauth, Syu’aib dan Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki. Syarh Aqidah
Thahawiyah. Riyadh, Daar’Alimal Kutub Lit Tiba’ah Wan Nasyr Wat Tauzi,
2001.
Connolly, Peter. Approaches to The Study of Religion. Terj. Imām Khoiri. Aneka
Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKIS, 2009.
Effendi, Djohan. Konsep-Konsep Teologis: Kontekstualisasi Doktrin-Doktrin Islam
dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1994.
Esposito, John L. The Oxpord Encyclopedia of The Modern Islamic World. Oxford:
Oxford University Perss, 1995. Jilid ke-4.
Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. Penjelasan Matan Akidah Ath- Thahawiyah: Akidah
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jakarta: Darul Haq, 2014. Cet. Ke-6.
Ferm, Virgilius. Encyclopedia of Religion. USA: Greenword Press Publisher, 1976.
Glasse, Cyril. The Concise Encyclopedia of Islam. London: Staceny International,
1989.
Al-Ghunaimi, Abdul Akhir Hammad. Tahdzib Syarh Aṭ-Ṭaḥāwīyah – Dasar-dasar
‘Aqidah Menurut Ulama Salaf, terj. Abū Umar Basyir Al-Medani, (Solo:
Pustaka At-Tibyan, 1999.
Ḥanafī, Aḥmad. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989. Cet.
ke-3.
_____________. Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Al-Ḥanafī, Imām Ibnu Abil Izz. Tahzib Syarah Thahawiyah. Jakarta: Darul Haq,
2016.
Harahap, Syahrin. Teologi Kerukunan. Jakarta: Prenada, 2011.
Hassan, A. Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. Bandung: Diponegoro,
2007. Jilid ke-3.
_____________. Ringkasan Tentang Islam. Bangil: al-Muslim, 1980.
Hasyim, Arrazy. Akidah Salaf Imām al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan. Ciputat:
Maktabah Darus-Sunnah, 2020.

75
76

Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam. Bandung: Citapustaka


Media, 2013.
Al-Jurjānī, Ali bin Muḥammad al-Sayyid al-Syarīf. Mu’jam al-Ta„rīfāt. Kairo: Dār
al-Fadīlah, t.t.
Karim, Muhammad Nazir. Dialektika Teologi Islam: Analisis Pemikiran Kalam
Syeikh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari. Bandung: Nuansa, 2004.
Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Al-Fatih, 2012.
Madjid, Nurcholish. Khazanah intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
________________. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakal
Paramadina, 1992.
________________. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan,
1999.
Mukhtar, Kamal dkk. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Dana Bhakti, 1995. Jilid ke-2.
Muthahhari, Murtadha. Pengantar Ilmu-Ilmu Islam: Ushul Fiqh, Hikamh Amaliah,
Fiqh, Logika, Kalam, Irfan, dan Filsafat. Jakarta: Pustaka Zahra, 2003.
Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI
Press, 1987.
_______________. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1996.
_______________. Sejarah Pemikiran dalam Islam. Jakarta, Pustaka Antara, 1996.
_______________. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press,
2009. Jilid ke-2.
_______________. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press, 2010.
Nasr, Sayyed Hussein dan Olover Leaman. Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam.
Bandung: Mizan, 2003. Cet. Ke-1.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Cet. Ke-1
Rasyidi, H. M. Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang: Islam Ditinjau
Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Al-Rāzī, Abū al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā al-Qazwīnī. Mu’jam
Maqāyīs al-Lugah. Beirut; Dār al-Fikr, 1991. Jilid ke-3.
77

Reese, William L. Dictionary of Philosophy and Religion. New York: Humanity


Books, 1996.
Ridha, Ali dan Aḥmad Thaurân, Mu’jam al-Târîkh. Kayseri: Dar el-‘Aqabah, 2001.
Romas, Chumadi Syarif. Wacana Teologi Islam Kontemporer. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2000..
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Rumadi. Masyarakat Post Teologi Wajah Baru Agama dan Demokratisasi
Indonesia. Bekasi: PT Gugus Press, 2002.
Sabiq, Sayid. “Al-Aqāid al-Islāmiyyah”, terj. Moh. Abdai Rathomy, Aqidah Islam.
Bandung: Diponegoro, 1993.
Salim, Hadiyah. Dua macam Kehidupan Yang Berbeda Antara Dunia dan Akhirat.
Bandung: Angkasa, 1995.
Siregar, Maria Ulfa. Pemikiran Teologis Badiuzzaman Said Nursi. Tesis Program
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utama Medan 2015.
Sou’yb, Joesoef. Perkembangan Teologi Modern. Jakarta: Rainbow, 1987
Subhāni, ‘Allāmah asy-Syaikh Ja’far. “Buhuṡ fil Milal wan Nihal Dirasah
Mauwḍū‟iyyah Muqarinatun lil Mażahibil Islāmiyyah”, terj. Hasan Musawa,
Al-Milal Wan Nihal Studi Tematis Mazhab Kalam. Pekalongan: Al-Hadi,
1997.
Al-Syahrastānī, Muḥammad Bin Abdūl Karīm. “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj.
Asywadie Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal. Surabaya: Bina Ilmu, 2003.
Al-Ṣiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1986.
Aṭ-Ṭaḥāwī, Imām Abū Ja’far. Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah. Bairut: Dar Ibnu
Hazm, 1995.
Watt, W. Montgomery. “Islamic Philosophy and Theology”, terj. Umar Basalim,
Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Jakarta: P3M, 1987.
Zahrah, Imām Muḥammad Abū. “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd.
Rahman Dahlan dan Aḥmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam.
Jakarta: Logos Publishing House, 1996.
Al-Zhahabi, Syamsuddin. Tazkirah al-Huffaz. Kairo: Mushthafa al-Babi al-
Halabi, 1390 H. Jilid ke-3
78

Al-Zhahabi, Husein. Dzikr Man Yu’tamad Qaulah fi al-Jarh wa al-Ta’dil. Lahore:


al-Maktabah al-'Ilmiyyah, 1980.
https:/www.academia.edu/34678683/ath_thahawi_pdf. Diakses pada 29
September 2020, pukul 22.16.
https:/www.academia.edu/34678683/ath_thahawi_pdf. Diakses pada 29
September 2020, pukul 22.47.
https://afkaruna.id/Imām-thahawi-muhaddis-dan-teolog-islam-awal. Diakses pada
03 Oktober 2020, pukul 22.16.

Anda mungkin juga menyukai