SKRIPSI
Disusun oleh:
Khairul Anwar
NIM: 11140331000011
FAKULTAS USHULUDDIN
1442 H/2021 M
TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ:
TINJAUAN KITAB AL-AQĪDAH AṬ-ṬAḤĀWIYYAH
SKRIPSI
Disusun oleh:
Khairul Anwar
NIM: 11140331000011
Di Bawah Bimbingan
FAKULTAS USHULUDDIN
1442 H/2021 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Sidang Munaqasyah
Pembimbing,
NIM : 11140331000011
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
Khairul Anwar
ABSTRAK
TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ: TINJAUAN KITAB
AL-AQĪDAH AṬ-ṬAḤĀWIYYAH
Kata Kunci: Tuhan, Manusia, Hari Akhir, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī
Teologi adalah salah satu hal yang paling penting dalam ranah kehidupan manusia
untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Masalah yang akan dibahas
dalam penelitian ini difokuskan pada aspek-aspek teologi, yang berorientasi untuk
menganalisa secara mendalam terhadap pemikiran teologi Islam dalam pandangan
Imām aṭ-Ṭaḥāwī yang berkaitan tentang Tuhan, manusia dan hari akhirat.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka
(library research) yaitu proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-
penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan
masalah penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam tentang
teologi perspektif Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dalam Kitab Al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwiyyah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī tentang
teologi Islam bercorak kepada teologi tradisional dan fundamental. Pemikiran Imām
Aṭ-Ṭaḥāwī dapat digolongkan kepada Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah dalam kelompok
Salafiah dan Asy‘arīyah karena beberapa pemikiran teologinya sesuai dengan kedua
paham tersebut, selain itu, ia cenderung tekstualis dan literalis.
Imām Aṭ-Ṭaḥāwī berpendapat bahwa meyakini esensi dan eksistensi Allah
harus sepenuhnya tanpa ada keraguan sedikitpun. Allah tidak akan fana dan tidak akan
punah. Dia disifati sebagai Maha Hidup, yang kekal dan abadi.
Mengenai perilaku manusia, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menyatakan bahwa perbuatan
mereka berdasarkan kehendak dan kemauan mereka, akan tetapi bersama itu amal
perbuatan tersebut adalah makhluk ciptaan Allah. Maka Allah swt adalah sebagai yang
mencipta dan menetapkan takdir, sedangkan manusia memiliki kehendak dan
kemauan, serta memiliki perbuatan.
Kemudian Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengenai aspek hari akhir, berpendapat bahwa
iman kepada hari kebangkitan termasuk perkara yang benar dan telah ditetapkan oleh
al-Qur’an, akal, dan fitrah. Allah telah mengabarkan melalui kitab-Nya, menegakkan
bukti-bukti atasnya dan membantah orang-orang yang mengingkarinya. Menurut Imām
Aṭ-Ṭaḥāwī surga dan neraka telah diciptakan dan telah ada sekarang.
i
KATA PENGANTAR
Alḥamdulillāh, puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa kendala yang
berarti. Ṣhalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW
Beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.
Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Theologi Islam (S.Th.I) pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan
bantuan baik secara materiil dan immateriil. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A sebagai Rektor Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dra. Tien Rohmatin, MA. Selaku Ketua Program Studi Aqidah Dan Filsafat Islam,
dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku Sekretaris Program Studi Aqidah Dan
Filsafat Islam, yang telah sangat banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
studinya. Mohon beribu maaf karena penulis telah banyak merepotkan juga menyita
banyak waktu dan perhatiannya.
4. Dr. Edwin Syarip, M.Ag., selaku pembimbing skripsi penulis, terimakasih atas
semua kritik dan saran yang membangun untuk penulis.
5. Para Guru Besar yang mengajar di tingkat Strata Satu (S1) dan para dosen Fakultas
Ushuluddin yang telah memberikan pelajaran-pelajaran terbaik selama penulis
menjalankan studi. Terima kasih pula kepada seluruh Staf dan Karyawan Fakultas
Ushuluddin, segenap Staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan Perpustakaan
Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memudahkan penulis dalam
mencari referensi terbaik semasa perkuliahan hingga proses penyeleseian skripsi ini.
ii
iii
6. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Moh. Raja’ dan Ibunda Sitti Aminah yang telah
memberikan cinta dan kasih sayangnya selama ini, serta doa yang tulus sehingga
skripsi ini dapat selesai.
7. Seluruh teman-teman Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2014.
8. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan
membantu penyusunan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis memanjatkan doa semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda
dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir, amin. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca
umumnya.
Khairul Anwar
PEDOMAN TRANSLITERASI
Vocal Panjang
Arab Indonesia Inggris
آ ā ā
إى ī ī
أو ū ū
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... iv
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 7
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 7
F. Metode Penelitian......................................................................................... 7
BAB II BIOGRAFI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ ......................................................... 9
A. Riwayat Hidup ............................................................................................. 9
B. Riwayat Intelektual .................................................................................... 12
C. Karya-Karya Imām Aṭ-Ṭaḥāwī .................................................................. 16
D. Peran Dan Pengaruh ................................................................................... 18
BAB III TEOLOGI ISLAM ............................................................................... 20
A. Definisi Teologi ......................................................................................... 20
B. Sejarah Teologi Islam ................................................................................ 24
C. Aliran dalam Teologi Islam ....................................................................... 29
1. Kelompok Syi’ah .................................................................................... 29
2. Kelompok Mu’tazilah............................................................................. 31
3. Kelompok Asy’ariyah ............................................................................ 33
4. Kelompok Maturidiah ............................................................................ 34
D. Kajian Teologi Islam .................................................................................. 35
BAB IV PEMIKIRAN TEOLOGI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ .............................. 39
A. Teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī........................................................................... 39
1. Aspek Ketuhanan.................................................................................... 39
2. Aspek Kemanusiaan ............................................................................... 49
3. Aspek Hari Akhir ................................................................................... 60
v
vi
Teologi adalah ilmu yang membahas tentang keEsaan Allah, asma (nama-
nama), af’āl (perbuatan-perbuatan) Allah yang wajib, mustahil, jaiz, dan sifat wajib,
mustahil, jaiz bagi Rasulnya. Ia merupakan ilmu yang membahas tentang segala
aspek yang berkaitan dengan ketuhanan atau juga disebut ilmu ketuhanan.1 Kajian
teologi dalam ranah Islam memiliki nama terkenal lainnya seperti ilmu kalam dan
ilmu tauhid. Teologi pada dasarnya mencakup di dalamnya ilmu tentang Tuhan
(ma’rifat al-mabda), ilmu tentang utusan Allah (ma’rifat al-wāsiṭah), dan ilmu
tentang hari akhirat (marifat al-ma’ād).2
Seperti yang disebutkan di atas, mengenai teologi kita tidak bisa melepaskan
dari disiplin keilmuan tradisional Islam yaitu ilmu kalam. Ilmu kalam merupakan
salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh menjadi bagian dari
tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya adalah disiplin-disiplin keilmuan
fiqh, tasawuf dan falsafah.3 Ilmu kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-
segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya.
1
Peter Connolly. Approaches to The Study of Religion terj. Imām Khoiri. Aneka Pendekatan
Studi Agama (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 316.
2
Syahrin Harahap. Teologi Kerukunan (Jakarta: Prenada, 2011), h. 15.
3
Term falsafah (filsafat) merupakan suatu istilah yang masuk ke dalam bahasa Arab melalui
usaha penerjemahan teks Yunani yang dilakukan pada abad ke-2 H/ke-8 M dan ke-3 H/ke-9 M.
Sayyed Hussein Nasr, Olover Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan, Buku
Pertama, 2003), h. 29, dan Ibnu Mandzur, Lisān al-‘Arab, h. 3461.
4
Nurcholish Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakal Paramadina,
1992), h. 201.
1
2
merupakan unsur yang penting dan dasar-dasar atau pondasi yang membentuk
“bangunan” keberagamaan, karena tanpa keyakinan dalam berteologi yang kuat,
maka suatu agama dianggap tidak akan pernah berdiri kokoh. Sebab teologi
merupakan ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang yang ingin
menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi
yang terdapat dalam agamanya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang
keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang-
ambing oleh peredaran zaman.5 Pembicaraan teologi selalu tersentral pada diri
Tuhan sebagai pusat pembahasan dengan segala sifat-sifatnya.6
Kemunculan istilah teologi dalam Islam, pada awalnya terkait dalam ranah
politik dengan maksud perluasan ekspansi daerah kekuasaan Islam pada awal-awal
perkembangan Islam. Peristiwa yang diawali oleh pertentangan politik menyangkut
peristiwa pembunuhan ‘Utsmān bin ‘Affān (574-656 M) yang berujung pada
penolakan Mu’āwīyah bin Abū Sufyān (602-680 M) atas kekhalifahan ‘Alī bin Abī
Ṭālib (599-661 M). Pertentangan antara Mu’āwīyah bin Abū Sufyān dan ‘Alī bin
Abī Ṭālib berakhir pada peristiwa perang Ṣiffin yang menghasilkan keputusan
taḥkīm (arbitrase).8
5
Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1972), h. ix
6
Chumadi Syarif Romas. Wacana Teologi Islam Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2000), cet 1, h. 42.
7
Rumadi. Masyarakat Post Teologi Wajah Baru Agama dan Demokratisasi Indonesia
(Bekasi: PT Gugus Press, 2002), cet ke-1, h. 23.
8
Harun Nasution. Teologi Islam, h. 3.
3
pertama kali tentang pelaku dosa besar yang dipandang sebagai kafir dan keluar
dari Islam. Selain pasukan yang keluar dari barisan ‘Alī bin Abī Ṭālib, terdapat
pasukan yang mendukung ‘Alī yang dikenal sebagai kelompok Syi’ah.9
Lawan dari aliran Khawarij, muncullah aliran Murjiah yang tidak ingin
terlibat dalam masalah politik dan tidak mau terlibat dalam persoalan teologi. 10
Kemudian, pada fase-fase berikutnya seiring berkembangnya Islam, pemahaman
tentang ketuhanan berkembang menjadi beberapa aliran yakni Mu’tazilah,
Qadariah, Jabariah, Salaf, Asy’ariah dan Maturidiah.11
Harun Nasution menyatakan bahwa corak teologi Islam ada tiga yakni
teologi yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional dan ada pula yang
mempunyai sifat antara liberal dan tradisional. Hal ini mungkin ada hikmahnya.
Bagi orang yang bersifat tradisional mungkin lebih sesuai dengan jiwanya teologi
tradisional, sedangkan orang yang bersifat liberal dalam fahamnya lebih dapat
menerima ajaran-ajaran teologi liberal. Dalam Islam dikenal berbagai aliran teologi
seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariah, Jabariah, Mu’tazilah, Asy’ariah, Maturidiah,
Bazdawiyah, Syiah dan lain-lain. Diantara sekian banyak aliran teologi ada yang
masih eksis dalam kehidupan anak manusia dan ada pula yang sudah hilang dan
tinggal nama dalam sejarah.12
9
W. Montgomery Watt. Islamic Philosophy and Theology, terj. Umar Basalim. Pemikiran
Teologi dan Filsafat Islam (Jakarta: P3M, 1987), h. 10.
10
Nasution, Teologi Islam, h. 22-25.
11
Nasution, Teologi Islam, h. 42-43.
12
Nasution, Teologi Islam, h. 43.
13
Nasution, Teologi Islam, h. 44.
4
Teologi Islam yang mengacu pada ajaran ilmu tauhid menjadi suatu
pembahasan menarik yang banyak dilakukan oleh para mutakallīmūn. Pembahasan
para mutakallīmūn terhadap berbagai persoalan teologis adalah mencari dalil yang
dapat memperkuat akidah tersebut dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan
Sunnah. Keyakinan yang benar terhadap Tuhan merupakan hal yang sangat
penting.15 Oleh karena itu, setiap Muslim tentunya memiliki pemahaman teologi
(tauhid atau akidah) sebagai dasar untuk beriman dan berhubungan dengan Allah.
Selain itu, pemahaman teologi yang benar, akan mempengaruhi hubungan sesama
manusia dan makhluk hidup.
14
Nasution, Teologi Islam, h. 45.
15
Muhammad Nazir Karim. Dialektika Teologi Islam: Analisis Pemikiran Kalam Syeikh
Abdurrahman Shiddiq al-Banjari (Bandung: Nuansa, 2004), h. 67.
5
ini pula beliau mengarang kitab aqidah yang masyhur yaitu al-Aqīdah Aṭ-
Ṭaḥāwiyah.
Oleh karena itu, skripsi ini menjadi penting untuk dibahas dalam
mengetahui teologi dalam pandangan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Sebab kajian teologi ini,
dibahas secara komprehensif dan berdasarkan analisis dari hasil ijtihad sendiri.
Sehingga dalam penulisan skripsi ini, mengetahui teologi dalam pandangan Imām
Aṭ-Ṭaḥāwī menjadi sangat penting untuk dijelaskan secara mendalam.
16
Achmad Fathurrohman. Imām Thahawi: Muhaddis dan Teolog Islam Awal (Juli 15, 2019),
https://afkaruna.id/Imām-thahawi-muhaddis-dan-teolog-islam-awal. Diakses pada 03 Oktober
2020, pukul 22.16.
6
Ajaran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dalam kitab tersebut yang sangat perlu penulis
bahas adalah tentang teologi. Karena teologi dalam pandangan Imām Aṭ-
Ṭaḥāwī dikaji berdasarkan hasil ijtihad sendiri yang dikhususkan pada aqidah
Ahlu al-Sunnah. Oleh karena itu, pada skripsi ini, batasan masalah yang penulis
ambil hanya terpusat pada ajaran teologi dalam pandangan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī:
Tinjauan Kitab Aqīdah aṭ-Ṭaḥāwiyah.
2. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk masyarakat
Mengetahui dan memahami pandangan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengenai teologi
Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.
2. Untuk akademisi
Sebagai tambahan untuk sumber bacaan tentang teologi Islam dan sebagai
sumber rujukan mengenai kajian teologi Islam.
E. Tinjauan Pustaka
Penulis telah melakukan tinjauan pustaka terhadap karya-karya ilmiah
tentang skripsi ini, tetapi penulis tidak menemukan kajian yang secara khusus
membahas tentang teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī baik yang berupa skripsi, tesis,
desertasi, buku, maupun jurnal. Sehingga, jika memang demikian, penelitian yang
dilakukan oleh penulis menjadi penelitian perdana yang mengangkat tema ini.
F. Metode Penelitian
1. Sumber Data Penelitian
Sumber data primer dari penelitian ini adalah mengambil dari buku hasil
karya Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī yaitu Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah
dan buku karya Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, yaitu Penjelasan Matan
Akidah Ath- Thahawiyah: Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sedangkan
data sekunder, berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku seperti
Teologi Islam, karya Prof. Dr. Harun Nasution. Pengatar Teologi Islam:
Ilmu Kalam, Aḥmad Ḥanafī, Perkembangan Pemikiran Kalam dalam Islam.
Lalu penulis akan menggunakan sumber yang berkaitan dengan analisis
yang ditulis oleh para sarjana dan cendikiawan yang menggeluti pemikiran
tentang teologi. Data yang lain ialah seperti ensiklopedia, kamus, internet,
koran, jurnal, dan lain-lain, yang relavan dengan kajian skripsi ini sebagai
pendukung terhadap rujukan penulis dalam skripsi ini.
8
2. Teknik Penelitian
Penulis menggunakan teknik library research (studi kepustakaan) di
dalam penelitian ini. Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data
terkait permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini melalui
berbagai literatur, baik primer maupun skunder.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis
deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam
tentang teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī.
3. Teknik Penulisan
Dalam teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh
Center fot Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Adapun penyusunan ini mengikuti translitasi yang
digunakan oleh jurnal “Ilmu Ushuluddin” HIPIUS (Himpunan Peminat
Ilmu-Ilmu Ushuluddin).
BAB II
BIOGRAFI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ
A. Riwayat Hidup
Nama asli beliau adalah Imām al-‘Allāmah al-Ḥafiẓ Abū Ja’far Aḥmad bin
Muḥammad bin Salāmah bin ‘Abdu al-Mālik al-Azdī al-Ḥajrī al-Miṣrī Aṭ-Ṭaḥāwī1,
nisbat ke Ṭaha, sebuah desa di Ṣa’id Mesir yang merupakan bagian dari provinsi
Minya saat ini. Beliau bukan dari desa Ṭaḥa, akan tetapi dari desa yang dekat
dengan Ṭaḥa bernama Ṭaḥṭuṭ, tetapi beliau tidak suka dipanggil dengan Ṭaḥṭuṭī,
karena bisa disangka beliau menisbatkan diri kepada ḍuraṭ, bunyi kentut, maka
beliau menisbatkan diri ke Ṭaḥa.
Beliau lahir pada tahun 239 H, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn
Yūnus, yang merupakan salah seorang murid beliau. Sumber lain ada yang
mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 237 H. Sejak kecil beliau tumbuh
dikeluarga yang dikenal dengan ilmu dan keutamaan, sangat kondusif dengan
suasana ibadah dan amal shaleh yang mewarnai aktifitas dirumah tersebut. Ayahnya
sendiri adalah ulama dan ahli syair lengkap dengan periwayatannya. Ibunya juga
seorang yang berilmu dari kalangan mazhab Syāfi‘ī, bahkan termasuk murid-murid
Imām Syāfi‘ī yang sangat aktif dalam menghadiri berbagai majelisnya. Sementara
paman dari ibunya adalah al-Muzanī, murid dari Imām asy-Syāfi‘ī yang paling
faqih dan aktif dalam menyebarkan madzhabnya. Lingkungan yang kondusif inilah
yang membantunya untuk berkembang menuntut ilmu agama.
Beliau berasal dari rumah yang berlingkungan ilmiah dan unggul. Sebagian
besar menduga bahwa dasar kecendekiawanannya adalah di rumah, yang kemudian
lebih didukung dengan adanya halaqah ilmu yang didirikan di masjid Amr bin al-
‘Aṣ. Menghafal al-Qur’an dari Syaikhnya, Abū Zakaria Yaḥya bin Muḥammad bin
‘Amrūs, yang diberi predikat: “Tidak ada yang keluar darinya kecuali telah hafal
al-Qur’an.” Kemudian bertafaquh (belajar mendalami agama) pada pamannya al-
Muzannī, dan sami’a (mendengar) darinya kitab Mukhtasharnya yang bersandar
pada ilmu Syāfi‘ī dan makna-makna perkataannya. Dan beliau adalah orang
1
Ali Ridha & Ahmad Thaurân, Mu’jam al-Târîkh (Kayseri: Dar el-‘Aqabah, 2001), cet.
pertama, h. 467.
9
10
pertama yang belajar tentang itu. Ia juga menukil dari pamannya itu hadits-hadits,
dan mendengar darinya periwayatan-periwayatannya dari Syāfi‘ī tahun 252 H.
Beliau juga mengalami masa kebesaran pamannya, al-Muzannī. Pernah bertamu
dengan Yūnas bin Abdu al-‘A’lā (264 H), Baḥra bin Naṣrin (267 H), ‘Īsā bin
Matsrud (261 H) dan lain-lainnya. Semuanya adalah shahabat Ibn ‘Uyainah dari
kalangan ahlu Ṭabaqat.
Dengan lingkungan keluarga yang bersinar terang dengan ilmu seperti itu,
ditambah lagi dengan kenyataan beliau yang hidup pada masa keemasan kodifikasi
hadits bahkan sezaman dengan Imām ahli hadits yang enam, yaitu: Imām al-
Bukhārī, Imām Muslim, Imām Abū Dāwud, Imām at-Tirmidzī, Imām an-Nasāī dan
Imām Ibnu Mājah, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī muncul sebagai seorang ulama hebat yang di
dalam dirinya terpadu antara kekuatan ilmu hadits dan kebersihan aqidah.2
Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mulai beranjak mendaki ketinggian ilmu dari Masjid Amr
bin al-‘Aṣ. Disana beliau menghafal al-Qur’an dibawah bimbingan Syaikh Abū
Zakariya Yaḥya bin Muḥammad bin ‘Amrūs. Kemudian Imām Aṭ-Ṭaḥāwī berguru
kepada murid-murid Imām Syāfi‘ī dalam ilmu fiqih, yaitu al-Rabi’ ibn Sulaimān
dan al-Muzanī yang tidak lain adalah paman dari ibunya, dan mendengar
Mukhtasharnya yang beliau intisarikan dari ilmu Imām Syāfi‘ī, gurunya. Bahkan
beliau juga menulis (meriwayatkan) hadits dari al-Muzanī, dan juga mendengar
riwayat-riwayat yang diambilnya langsung dari Imām Syāfi‘ī, dan tentu saja sempat
berguru dari ulama-ulama yang segenerasi dengan al-Muzanī.
Namun Imām Aṭ-Ṭaḥāwī muda waktu itu pernah merasa diremehkan oleh
al-Muzanī dalam bidang fiqih, sehingga ia pun berguru kepada Imām Aḥmad bin
Abū ‘Imran, tokoh besar mazhab Ḥanafī di Mesir pada masanya. Imām Aḥmad bin
Abū ‘Imran merupakan murid dari Ibn Bisyr, Ibn Samā’ah dan tokoh-tokoh lain
yang merupakan murid-murid Imām Abū Yusuf dan Imām Muḥammad Ibn Ḥasan
al-Syaybanī. Dua tokoh terakhir langsung mendalami ilmu kepada Imām Abū
Ḥanifah (w. 150 H.) . Adapun Imām Abū Ḥanifah belajar kepada Imām Ḥammad
bin Abū Sulaimān (w. 120 H.) dari Imām Ibrāhīm al-Nakha’ī (w. 95 H .) dari Imām
2
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Penjelasan Matan Al-Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah: Akidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Jakarta: Darul Haq, 2001), cet. I, h. vi.
11
al-Aswad Ibn Yazīd (w. 75 H.) dari ‘Umar Ibn al-Khattab ra. Pada umur 30 tahun
Imām Aṭ-Ṭaḥāwī kemudian berpetualang ke wilayah Syam, 3 di sana beliau
memperdalam ilmunya, sejak dari kota Baitul Maqdis, Ghaza dan Asqalan. Lalu
beliau mendalami fiqih di kota Damaskus di bawah asuhan gurunya al-Qadī Abū
Ḥāzim al-Baṣri. Dan pada masa-masa itulah beliau menjadi pakar dalam fiqih
mazhab Ḥanafi yang dihormati di wilayah Mesir.4
Pada mulanya beliau mengikuti madzhab Imām Syāfi‘ī, akan tetapi beliau
kemudian beralih mengikuti madzhab Imām Abū Ḥanīfah. Tentang beralihnya
Imām Aṭ-Ṭaḥāwī kepada madzhab Ḥanafī, al-Ḥafiẓ aẓ-Ẓahabī menyebutkan
sebagai berikut, Abū Sulaimān bin Zabr berkata, Aṭ-Ṭaḥāwī berkata kepada saya,
“Orang yang paling pertama aku tulis haditsnya ialah al-Muzanī, dan saya juga
mengambil pandangan Imām Syāfi‘ī. Setelah beberapa tahun kemudian, datang
Imām Aḥmad bin Abū Imran sebagai seorang hakim untuk wilayah Mesir, maka
saya menyertainya, dan kemudian mengambil pandangannya.”. Dan ada beberapa
faktor lain yang menyebabkan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī meninggalkan madzhab yang telah
ia geluti sebelumnya, yakni madzhab Syāfi‘ī ke madzhab Ḥanafī dalam
bertafaqquh, disebabkan beberapa faktor, antara lain sebagai berikut :
3
Syamsuddin al-Zhahabi, Tazkirah al-Huffaz (Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1390 H),
jilid 3, h. 809.
4
Dr. Arrazy Hasyim, Akidah Salaf Imām al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan (Ciputat:
Maktabah Darus-Sunnah, 2020), cet. pertama, halaman 2-3.
12
5. Banyak Syaikh yang mengambil pendapat dari madzhab Abū Ḥanīfah, baik
dari Mesir maupun Syam dalam rangka menunaikan tugasnya sebagai qadil,
seperti al-Qaḍī Bakar bin Qutaibah dan Ibn Abī ‘Imran serta Abū Khazīm.5
B. Riwayat Intelektual
5
M. Abdul Khaled, Syahr Aqidah Thahawiyah (Bekasi: Islamic Center al-Islam, 2001),
https:/www.academia.edu/34678683/ath_thahawi_pdf. Diakses pada 29 September 2020, pukul
22.16.
6
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, cet. I,
h. vii.
13
7
Syu’aib Al-Arnauth dan Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, Syarh Aqidah
Thahawiyah (Riyadh, Daar’Alimal Kutub Lit Tiba’ah Wan Nasyr Wat Tauzi, 2001), h. 4-9.
14
1. Al-Ḥafiẓ Abū al-Faraj Aḥmad bin al-Qāsim bin ‘Ubaidillah bin Maḥdī al-
Baghdādī. Atau yang terkenal dengan nama Ibn Khasyab. Wafat tahun 364 H.
2. Al-Imām al-Faqīh al-Qaḍī Abū Bakar Aḥmad bin Muḥammad bin Manṣūr al-
Anṣarī ad-Damaghānī.
3. Ismā‘īl bin Aḥmad bin Muḥammad bin Abdu al-‘Azīz, atau yang terkenal
dengan nama Abū Sa’īd al-Jurjānī al-Khalāl al-Warāq. Wafat tahun 364 H.
4. Al-Muhaddits al-Ḥafiẓ al-Jawwāl al-Muṣannif Abū Abdullāh al-Ḥusain bin
Aḥmad bin Muḥammad bin ‘Abdurrahmān bin Asad bin Sammakh bin
Syammākhī al-Hirawī aṣ-Ṣaffar, pengarang al-Mustakhraj Al-Ṣahih Muslim.
Wafat tahun 371 H.
5. Al-Muhaddits al-Imām Abū ‘Alī al-Ḥusain bin Ibrāhīm bin Jābir bin Abī Az-
zamzām ad-Dimasyqī al-Faraiḍī asy-Syahīd. Wafat tahun 368 H.
6. Al-Imām al-Ḥafiẓ ats-Tsiqah ar-Rahāl al-Jawwāl Muhadditsul Islām ‘Alimal-
Mua’ammarīn Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad bin ‘Ayūb bin Muṭair a-
Lakhmī Asy-Syammī Aṭ-Ṭabrānī, pengarang tiga mu’jam; al-Kabīr, al-Ausath,
Aṣ-Ṣaghīr. Wafat tahun 360 H.
7. Al-Imām al-Hafiẓ an-Naqīd al-Jawal Abū Aḥmad Abūḍlah bin ‘Abdī bin
Abdullah bin Muḥammad bin al-Mubārak bin al-Qaṭṭān al-Jurjānī, pengarang
kitab al-Kāmil. Wafat tahun 365 H.
8. Al-Imām al-Hafiẓ Al-Mutqīn Abū Sa’īd Abdurraḥman bin Aḥmad bin Yūnus
bin Abdil ‘A’lā aṣ-Ṣadafī al-Miṣrī, pengarang kitab Tarikh Ulama’ Miṣra.
Wafat tahun 347 H.
9. Al-Imām al-Hafiẓ Ast Tsiqāh al-Jawwāl Abū Bakar Muḥammad bin Ja’far bin
al-Ḥusain al-Baghdādī al-Warrāq. Wafat tahun 370 H.
10. Asy-Syaikh al-‘Ālim al-Ḥafiẓ Abū Sulaimān Muḥammad bin al-Qaḍī Abdullah
bin Aḥmad bin Rābi’ah bin Zabrīn ar-Raba’ī. Wafat tahun 379 H.
11. Asy-Syaikh al-Ḥafiẓ al-Mujawwīd Muhaddits ‘Iraq Abūl Ḥusein Muḥammad
bin al-Muẓaffār bin Musā bin ‘Īsā bin Muḥammad al- Baghdādī. Wafat tahun
379 H.
15
12. Al-Muhaddits ar-Raḥḥal Abū al-Qāsim Maslāmah bin al-Qāsim bin Ibrāhīm
al-Andalusī al-Qurṭubī. Wafat tahun 353 H.
13. Muhaddits Aṣbahān al-Imām ar- Raḥḥal al-Ḥafiẓ aṣ-Ṣādiq Abū Bakar
Muḥammad bin Ibrāhīm bin ‘Alī bin ‘Āṣim bin Zādzan al-Aṣbahān, yang
termasyhur dengan sebutan Ibnul Muqri’ al-Mu’jam. Wafat tahun 381 H.
14. ‘Alī bin Aḥmad bin Muḥammad bin Salāmah Abū al-Ḥasan Aṭ-Ṭaḥāwī, anak
Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Wafat tahun 381 H.
15. Abū Utsmān Aḥmad bin Ibrāhīm bin Ḥammad bin Zaid al-Azdī, wafat tahun
329 H.8
8
Syu’aib Al-Arnauth, Syarh Aqidah Thahawiyah, h. 10-12.
9
Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi, Tahdzib Syarh Aṭ-Ṭaḥāwīyah – Dasar-dasar ‘Aqidah
Menurut Ulama Salaf, terj. Abū Umar Basyir Al-Medani (Solo: Pustaka At-Tibyan, 1999) cet. Ke-
1, h. 25.
10
Husein al-Zhahabi. Dzikr Man Yu’tamad Qaulah fi al-Jarh wa al-Ta’dil (Lahore: al-
Maktabah al-'Ilmiyyah, 1980), h. 195-196.
16
ijtihadnya. Mengikuti manhaj salaf dalam aqidah. Dan atas manhaj ini pula beliau
mengarang kitab aqidah yang masyhur (yakni Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah). Sangat
memperhatikan apa yang beliau dengan dalam majelis ilmu, dan kemudian diulangi
kembali setelah selesai majelis, mengklasifikasikan secara rinci riwayat-riwayat
yang ia terima dan menyusunnya dalam mushannafnya. Sifat inilah yang
mengantarkannya untuk menyusun mushannafat yang banyak menurut babnya.
Dan beliau adalah seorang yang lapang dada, baik akhlaqnya, baik dalam
pergaulan, bertindak tanduk sopan, memberi nasehat para pemimpin dengan penuh
tawadhu’, dekat dengan para qaḍī dan ahli ilmu, menghadiri halaqah ilmu dan
menukil riwayat dari sana. Orang-orang yang berbeda pendapat dan sependapat
dengan beliau mengakui kewara’annya dan kezuhudannya, lemah lembut terhadap
keluarga, jauh dari rasa ragu-ragu. Ketsiqahan ulama pada beliau mencapai
puncaknya ketika Abū ‘Ubaid bin Ḥarbawaih, salah seorang sahabat Imām Syāfi‘ī
mengakui keadilannya dan menerima syafa’atnya.
1. Syarḥ Ma’ānī al-Atsār, ini adalah karya tulis beliau yang paling pertama.
2. Syarḥ Musykil al-Atsār, sebuah karya ilmiah monumental yang penuh dengan
makna-makna yang bagus dan sarat dengan faidah.
11
M. Abdul Khaled, Syahr Aqidah Thahawiyah (Bekasi: Islamic Center al-Islam, 2001),
https:/www.academia.edu/34678683/ath_thahawi_pdf. Diakses pada 29 September 2020, pukul
22.47 .
17
12
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah,. h. ix.
18
Beliau wafat di Mesir, pada bulan Dzulqa’dah pada tahun 321 H dalam usia
80 tahun lebih. Beliau dimakamkan di daerah Qarafah Bani Asy’ats.
13
Hasyim, Akidah Salaf Imām al-Ṭahawi, h. 3-6.
19
Qaḍī, apakah setiap perkataan yang diucapkan Abū Ḥanīfah aku katakan juga?
Beliau berkata: Aku tidak mengira engkau kecuali seorang muqallid (suka
mengikuti saja). Aku jawab: Apakah ada orang yang bertaklid kecuali orang yang
berta’ashub (fanatik buta)? Beliau menambahi: Atau orang yang bodoh? Berkata:
Maka menjadilah kalimat ini masyhur di Mesir hingga semacam menjadi pameo
yang dihafal manusia.
Dan tidak ada yang menghalanginya untuk berijtihad karena beliau telah
menguasai ilmu perangkatnya. Beliau adalah seorang hafiẓ. Luas telaahnya, dalam
pemahamannya, luas cakrawala tsaqafahnya, ahli dalam mengenali hadits dan
periwayatannya, piawai dalam mencari illat hadits serta mahir dalam ilmu fiqih dan
bahasa Arab.
1
Kamal Mukhtar, dkk, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Dana Bhakti, 1995), jilid II, h. 153.
2
Djohan Effendi, Konsep-Konsep Teologis: Kontekstualisasi Doktrin-Doktrin Islam dalam
Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 52-53.
20
21
dalam berbagai bahasa yang terdapat di Eropa dicari akar kata pada bahasa Latin
yang mengacu pada bahasa Yunani Kuno. Theologia dalam bahasa Yunani terdiri
dari dua suku kata, yaitu theo dan logia. Theo term jamak dari theos, menurut
mitologi Yunani Kuno term tersebut adalah sebutan nama untuk dewata (para
dewa). Namun, dalam bahasa Indonesia, kata theo berarti Tuhan.3 Sedangkan dalam
bahasa Yunani Kuno logia berasal dari kata logos (akal) yang berarti ilmu.4
Teologi merupakan “ilmu tentang Ketuhanan”, yaitu membicarakan zat
Tuhan dari segala seginya dan hubungannya dengan manusia dan alam. Teologi
yang bercorak agama dipahami sebagai intellectual expression of religion, atau
keterangan tentang kata-kata agama yang bersifat pikiran. Karena itu teologi
biasanya diikuti dengan kualifikasi tertentu seperti Teologi Yahudi, Teologi Kristen
dan juga Teologi Islam (Ilm Kalam).5
Aḥmad Ḥanafī menjelaskan dalam pengantarnya, bahwa teologi memiliki
banyak dimensi pengertian, namun secara umum teologi ialah “the science which
treats of the facts and phenomena of religion, and the relations between God and
man”, atau ilmu yang membicarakan kenyataan-kenyataan dan gejala-gejala agama
dan membicarakan hubungan Tuhan dan manusia, baik dengan jalan penyelidikan
maupun pemikiran murni, atau dengan jalan wahyu.6
Sedangkan menurut Muhamad Abduh, teologi merupakan sebuah jalan
yang dipakai untuk mengetahui Tuhan, bukan hanya melalui wahyu tetapi juga
melalui akal. Akal dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, berusaha memperoleh
pengetahuan tentang Tuhan dan wahyu. Konsep teologi seperti ini bisa
digambarkan bahwa Tuhan berada di puncak alam wujud sedangkan manusia ada
di dasarnya. Manusia yang jauh di dasar alam wujud itu berusaha mengetahui
eksistensi Tuhan dengan cara menurunkan wahyu untuk membantu manusia.7
Adapun menurut Nurcholish Madjid, teologi adalah ilmu yang menetapkan
kepercayaan dan menjelaskan apa yang terdapat pada nurbuat-nurbuat atau cahaya
3
Joesoef Sou’yb, Perkembangan Teologi Modern (Jakarta: Rainbow, 1987), h. 1.
4
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2001), cet. 3, h. 1177.
5
Ahmad Ḥanafī, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), cet. 3, h. 8.
6
Ahmad Ḥanafī, Theology Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), v-vi.
7
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press,
1987), h. 43.
22
kenabian yang sudah dikenal oleh umat-umat sebelum Islam. Sebab pada setiap
umat selalu ada orang yang bertanggung jawab atas urusan agama, dan berusaha
untuk memelihara serta menopangnya. Argumentasi tersebut merupakan cara yang
pertama-tama mereka gunakan. Tetapi mereka jarang sekali dalam argumentasi
menempuh melalui jalan pembuktian rasional, dan jarang sekali pula dalam
membangun doktrin-doktrin dan kepercayaan mereka menggunakan apa yang ada
dalam hukum alam atau apa yang terkandung oleh susunan semesta. Melainkan
metode-metode rasional yang mereka gunakan dalam ilmu itu, dan cara-cara
keagamaan yang dipakai untuk mempertahankan dogma-dogma serta
mendekatkannya kepada perasaan-perasaan hati (membuatnya popular) berada
dalam kedua ujung ekstrimitas yang berlawanan. Kebanyakan agama dikemukakan
melalui argumentasi para tokohnya bahwa ia adalah musuh akal, baik dalam resultat
maupun premis-premisnya. Sehingga bagian terpenting dari pada ilmu-ilmu kalam
adalah berupa interpretasi, komentar, ketakjuban kepada mu’jizat-mu’jizat, atau
kesenangan oleh berbagai cerita fantasi.8
Menurut William L. Reese, teologi artinya discourse or reason concerning
God yang berarti diskursus atau pemikiran tentang Tuhan. Artinya bahwa teologi
adalah disiplin ilmu yang membicarakan masalah ketuhanan berkenaan dengan
kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan.9 Menurut
Encyclopedia of Religion, kata teologi diberi batasan dengan the discipline which
concerns God and God’s relation to the world, yang berarti disiplin yang berkenaan
dengan Tuhan dan hubungan Tuhan dengan dunia.10
Penggunaan term teologi bagi ilmu-ilmu ketuhanan di Indonesia
dipopulerkan oleh Harun Nasution.11 Harun Nasution menghubungkan teologi
Islam dengan ilmu kalam, pada konteks kalam itu sendiri. Kalam adalah kata-kata,
adapun teologi Islam membahas tentang kalam ilahi dan kalam manusia. Dalam hal
ini, persoalan tentang kalam Ilahi muncul ketika adanya perdebatan tentang sifat
qadim al-Qur’an. Kalam manusia didasarkan pada perdebatan yang dilakukan oleh
para teolog Islam menggunakan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan
8
Nurcholish Madjid, Khazanah intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 365.
9
William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion (New York: Humanity Books,
1996), h. 766.
10
Virgilius Ferm, Encyclopedia of Religion (USA: Greenword Press Publisher, 1976), h. 782.
11
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), h. 368.
23
pendirian masing-masing. Oleh karena teologi Islam juga disebut juga ilmu
kalam,12 karena memiliki persamaan dalam pokok baḤasan yang dikaji, yaitu
kepercayaan tentang Tuhan dan kaitan-Nya dengan alam semesta.
Walaupun demikian, pada awalnya penggunaan kata ini ditentang oleh
sebagian ahli kalam, seperti H. M. Rasyidi yang mengatakan bahwa teologi berbeda
dengan ilmu Kalam dan tidak boleh disamakan.13 Namun, untuk selanjutnya istilah
teologi sering digunakan di kalangan akademisi. Menurut Djohan Effendi,
penggunaan kata teologi bukan untuk mengecilkan arti penting istilah-istilah yang
terkait dengan ilmu ketuhanan dalam khazanah Islam dan bukan suatu hal yang
negatif. Istilah tersebut hanya akan memperbanyak khazanah dan sistematis
pemahaman keagamaan.14
Adapun kata ‘Islam’ yang mengikuti kata teologi, berarti ruang lingkup dari
teologi itu sendiri. Term Islam secara bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu kata
aslama, yuslimu, islāman, dengan asal kata salāma yaitu menyelamatkan, atau
berarti juga al-ṣiḥḥah dan al-‘āfiyah (sehat wal’afiat). Al-Islām diartikan alinqiyād
yaitu kepatuhan.15 Secara istilah, Islam adalah al-khuḍū’ū wa al-inqiyād limā
akhbara bihi al rasūl ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam (tunduk dan patuh kepada apapun
yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.).16
Dalam ajaran Islam yang terkait dalam pembaḤasan teologi adalah ajaran
mengenai doktrin (aqidah).17 Oleh karena itu, pembaḤasan teologi adalah segala
12
Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 2010), ix.
13
H. M. Rasyidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang: Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 33.
14
Djohan Effendi, “Konsep-Konsep Teologis”, dalam Budhy Munawar Rahman, (ed.),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 52.
15
Abū al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā al-Qazwīnī al-Rāzī, Mu’jam Maqāyīs al-
Lugah (Beirut; Dār al-Fikr, 1991), Jilid III, h. 90.
16
Ali bin Muḥammad al-Sayyid al-Syarīf al-Jurjānī, Mu’jam al-Ta„rīfāt (Kairo: Dār al-
Fadīlah, t.t.), h. 23.
17
Ulama membagi ajaran Islam menjadi tiga bagian: 1) Doktrin (akidah) atau keyaninan hati
yaitu topik-topik yang harus dimengerti dan diimani, seperti keesaan Allah, sifat-sifat Allah, dan
kenabian yang sifatnya universal dan terbatas. Namun ada perbedaan tertentu dikalangan mazhab
seperti apa saja yang merupakan rukun iman (ushuluddin). 2) Moral (akhlak) adalah berkaitan
dengan perintah dan ajaran yang ada hubungannya dengan karakteristik spiritual dan moral manusia,
seperti adil, takwa, berani, arif, bersih, sabar, setia, jujur, dan menjaga amanah. 3) Hukum (hukm)
yaitu membahas mengenai topik-topik yang berkaitan dengan praktik dan cara yang benar dalam
menjalankan shalat, zakat, puasa, haji, jihad, dalam ber amar ma’ruf nahi munkar, dalam membeli,
menyewa, menikah, bercerai, dan membagi warisan. Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu
Islam: Ushul Fiqh, Hikamh Amaliah, Fiqh, Logika, Kalam, Irfan, dan Filsafat (Jakarta: Pustaka
Zahra, 2003), h. 196.
24
18
Maria Ulfa Siregar. Pemikiran Teologis Badiuzzaman Said Nursi (Tesis Program
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utama Medan 2015), h. 19.
19
Rumadi, Masyarakat Post Teologi Wajah Baru Agama dan Demokratisasi Indonesia
(Bekasi, PT Gugus Press, 2002), h. 23.
20
Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam (Bandung: Citapustaka Media,
2013), h. 128.
25
21
‘Allāmah asy-Syaikh Ja’far Subhāni, “Buhuṡ fil Milal wan Nihal Dirasah Mauwḍū‟iyyah
Muqarinatun lil Mażahibil Islāmiyyah”, terj. Hasan Musawa, Al-Milal Wan Nihal Studi Tematis
Mazhab Kalam (Pekalongan: Al-Hadi, 1997), h. 28.
22
Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia. 2007), h. 14.
23
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran dalam Islam (Jakarta, Pustaka Antara, 1996), h. 2.
26
Perbedaan pendapat pertama kali terjadi pada masa pemerintahan ‘Alī yang
ditandai dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Ṭalhah dan Zubair di
Makkah dengan mengajak ‘Ᾱisyah untuk bergAbūng dengan mereka dan
berangkat ke Basrah untuk mencari dukungan. Terjadilah peperangan di antara
kedua pihak yang dikenal dengan perang unta (Waq’atul Jamal). Setelah
peperangan berkobar, kelompok Ṭalhah menyadari kekeliruannya dan bertaubat,
serta menyatakan tunduk kepada pemerintahan ‘Alī. Namun, Zubair meninggal
terkena panah Ibnu Jurmūz dan Ṭalhah meninggal karena dibunuh Marwān ibn
Hakām sesudah peperangan usai, sedangkan ‘Ᾱisyah menyadari kekeliruannya,
kemudian menyatakan tunduk kepada pemerintahan ‘Alī.24
Perbedaan pendapat juga terjadi antara Mu’āwīyah dan ‘Alī, sehingga
mengakibatkan terjadinya perang Ṣiffin yang berakhir dengan keputusan tahkīm
(arbitrase). Sejarah menjelaskan bahwa dengan kecerdikan Mu’āwīyah yang
merasa akan kalah ketika perang Ṣiffin, mengangkat Mushaf di atas ujung
lembing dan meminta supaya pertengkaran antara ‘Alī dan Mu’āwīyah diakhiri
dengan suatu keputusan para hakim (para pendamai). Pada mulanya, sebagian
kelompok ‘Alī menganjurkan supaya meneruskan perang, karena memang
hampir memperoleh kemenangan, tetapi ada sebagian kelompok ‘Alī yang
menyetujui anjuran Mu’āwīyah tersebut. Pada akhirnya, yang menyetujuinya
adanya perdamaian menang suara dan ‘Alī pun menerima tahkīm.25
Kelompok Ali mengutus Abū Mūsa al-Asy’ari dan kelompok Mu’āwīyah
mengutus ‘Amr bin Aṣ dalam tahkīm. Peristiwa yang terjadi di pertemuan
mereka, terdapat siasat kelicikan ‘Amr bin Aṣ yang mengalahkan perasaan
takwa Abū Mūsa al-Asy’arī. Sejarah mengatakan bahwa mereka melakukan
pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemimpin yang bertentangan ‘Alī dan
Mu’āwīyah dan memilih khalifah secara musyawarah di antara keduanya, karena
Abū Mūsa lebih tua, ‘Amr bin Aṣ mempersilahkan ia untuk mengumumkan
terlebih dahulu kepada orang ramai keputusan menjatuhkan kedua pemuka yang
bertentangan tersebut. Berlainan dengan yang telah disetujui, ‘Amr bin ‘Aṣ
24
Muḥammad Bin Abdūl Karīm al-Syahrastānī, “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj. Asywadie
Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), h. 19.
25
M. Hasbi al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam (Jakarta: Bulan Bintang,
1986), h. 138.
27
26
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 2009), Jilid
II, h. 5.
27
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 5.
W. Montgomery Watt, “Islamic Philosophy and Theology”, terj. Umar Basalim,
28
urusan-urusan yang berkaitan dengan dasar iman dan akidah. Atas dasar
politiklah mereka mendirikan pendapat-pendapat mereka. Harun Nasution
menyatakan bahwa permasalahan kalam pertama kali muncul adalah masalah
yang kafir dan bukan kafir, seperti kelompok Khawarij yang menganggap bahwa
kelompok yang terlibat dan setuju dengan peristiwa tahkīm adalah kafir dan halal
dibunuh, berdasarkan firman Allah pada Al-Qur’an surat al-Mā’idah ayat 44.
Sehubungan dengan itu, permasalahan teologi yang muncul berikutnya adalah
tentang pelaku dosa besar, masihkah pelaku dosa besar seorang mukmin atau
sudah menjadi kafir.30 Terkait dalam masalah tersebut, Harun membagi tiga
aliran teologi yang muncul pertama kali, yaitu:
1. Aliran Khawarij yang mengatakan pelaku tahkīm atau pelaku dosa besar
adalah kafir, yaitu keluar dari Islam (murtad) dan wajib dibunuh.
2. Aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar
tetap masih Mukmin dan bukan kafir. Adapun dosa yang dilakukannya,
terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
3. Aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat kedua kelompok di
atas, Menurut paham Mu’tazilah pelaku dosa besar bukan Mukmin bukan
juga kafir, yang dalam bahasa Arab konsep mereka dikenal dengan al-
manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).31
Dengan demikian, sejarah tentang persoalan kalam baru dimulai sejak
Rasulullah Saw. wafat, yang memuncak pada masa khalifah ‘Alī bin Abī Ṭālib,
ditandai dengan perang Ṣiffin yang berakhir dengan tahkīm. Sementara itu, ilmu
kalam dikenal sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri untuk pertama kalinya
dipakai pada masa pemerintahan khalifah Al-Makmun yang memerintah pada
813-833 M. Ilmu kalam dikenalkan oleh kelompok Mu’tazilah dengan
mengadobsi filsafat Yunani dan memadukannya dengan metode ilmu kalam.32
Walaupun demikian, jauh sebelumnya, Ḥasan al-Baṣri telah membuat
sebuah wacana dengan menggunakan istilah kalam yang mengacu kepada
pembaḤasan tentang persoalan kebebasan manusia dan takdir dalam konteks
30
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 6-7.
31
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 8-9.
32
A. Ḥanafī, Pengantar Teologi Islam, h. 14.
29
33
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1999), h.
279.
34
John L. Esposito, The Oxpord Encyclopedia of The Modern Islamic World (Oxford: Oxford
University Perss, 1995), jilid IV, h. 55.
35
Taqiyyah adalah menampakkan sesuatu yang berlainan dengan apa yang tersirat di dalam
dada untuk memelihara diri dari kezaliman, baik terhadap jiwa maupun terhadap kehormatan. Lihat
Al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, h. 164.
36
Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 36.
30
Perbedaan pendapat ini adalah suatu hal yang wajar. Sebab para ahli
berpegang teguh kepada fakta sejarah tentang perpecahan umat Islam yang mulai
mencolok pada masa pemerintahan ‘Utsmān bin Affān dan momentumnya pada
masa pemerintahan ‘Alī bin Abī Ṭālib, tepatnya setelah perang Ṣiffin. Adapun
kaum Syi’ah sendiri, berargumen bahwa perpecahan itu telah dimulai ketika
Nabi Muhammad Saw., wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abū Bakar,
maka setelah itu terbentuklah Syi’ah. Mereka bergAbūng dalam masyarakat,
mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrin Syi’ah kepada masyarakat.
Syi’ah sebagai satu faksi politik Islam muncul pada masa khalifah ‘Alī bin Abī
Ṭālib dan Syi’ah sebagai doktrin yang diajarkan secara diam-diam oleh ahl al-
bait, muncul setelah wafatnya Rasul.37
Pemikiran Syi’ah berkembang menjadi mazhab setelah wafatnya ‘Alī,
sebagiannya menyimpang dan sebagiannya lurus. Masa yang paling kondusif
pada perkembangan doktrin Syi’ah adalah pada pemerintahan Bani Umayyah.
Hal ini disebabkan oleh perlakuan kejam yang dilakukan oleh Bani Umayyah,
yakni pada pemerintahan Yazīd bin Mu’āwīyah sampai masa ‘Umar ibn Abdu
al-‘Azīz kepada keluarga dan keturunan ‘Alī bin Abī Ṭālib. Para pendukung ‘Alī
dan ahl al-bait menyaksikan kekejaman yang dilakukan oleh pemerintahan Bani
Umayyah yang menyebabkan sebagian kaum Muslim atau Syi’ah terdorong
untuk memberikan penghargaan yang berlebih kepada orang-orang yang
dianiaya, semakin mendukung dan menaruh simpati kepada ahl al-bait, karena
peristiwa kekejaman yang menimpanya.38
Golongan Syi’ah pada awal perkembanganya hanya terdiri dari dua
golongan saja yakni:
a. Golongan yang menunjukkan kepada kekhalifahan ‘Alī melalui dalil nas-
nas yang nyata. Oleh karena itu, Imāmah dari ‘Alī turun kepada yang dijuluki
‘Alī sendiri. Mereka berpendapat bahwa mengetahui Imām yang ditentukan itu
adalah suatu syarat yang menyempurnakan Imām, maka mereka sangat fanatik
dalam masalah imāmah ini, yang dinamakan mereka dengan kelompok
Imāmiyah.
37
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 114.
38
Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 36-37.
31
b. Golongan yang berpendapat bahwa tidak ada nas qaṭ’i yang menunjukkan
kepada Imāmah ‘Alī sendiri. Sesungguhnya, hanya ada dalil-dalil yang
menunjukkan tentang sifat-sifat Imām (kepala negara) yang harus diangkat.
Sebagian masyarakat tidak membai’atkan ‘Alī, padahal ‘Alī mempunyai ciri-ciri
sifat itu. Mereka adalah golongan Zaidiyah, pengikut Zaid ibn ‘Alī Zainul
‘Abidīn.39
Selain itu, penganut Syi’ah juga terdapat golongan yang ekstrim yaitu
kelompok al-Gulat yang menyatakan bahwa Imām memiliki kedudukan yang
sama dengan Tuhan. Kelompok al-Gulat menempatkan posisi ‘Alī pada derajat
keTuhanan dan ada yang mengangkat pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi
dari Nabi Muhammad Saw. Kelompok ini dipimpin oleh ‘Abdullāh bin Saba’
dan dianggap menyimpang dari pemahaman dasar Syi’ah.40
2. Kelompok Mu’tazilah
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala, artinya menyisihkan diri.
Kaum Mu’tazilah berarti orang-orang yang menyisihkan diri. Golongan
Mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain seperti Ahl al-Adl yang berarti
golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan Ahl al-Tauḥid wa al-Adl
yang berarti golongan yang mempertahankan keEsaan murni dan keadilan
Tuhan.41
Pemberian nama kepada kelompok Mu’tazilah ini, berpusat pada peristiwa
yang terjadi antara Waṣil bin ‘Aṭa’, serta temannya ‘Amr bin ‘Ubaid, dan Ḥasan
al-Baṣrī di Basrah. Pada waktu Waṣil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh
Hassan al-Baṣrī di mesjid Basrah, datang seseorang bertanya mengenai
pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Pada saat Ḥasan al-Baṣrī masih
berpikir, secara tiba-tiba Waṣil mengatakan, “Saya berpandangan bahwa orang
yang telah berbuat dosa besar bukanlah orang Mukmin dan bukan pula orang
kafir, melainkan berada pada posisi di antara keduanya (al-manzilah bain al-
manzilatain), tidak Mukmin dan tidak kafir”. Sesudah itu, Waṣil menjauhkan
diri Ḥasan al-Baṣrī, dan Waṣil menyerukan kembali pendapatnya di depan para
pengikutnya. Adanya peristiwa ini, Ḥasan al-Baṣrī berkata, “Waṣil menjauhkan
39
M. Hasbi al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, h. 147
40
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 127.
41
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 42
32
diri dari kita (I’tazala ‘anna)” yang menurut al-Syarastānī, kelompok yang
memisahan diri pada peristiwa tersebut adalah Mu’tazilah.42
Riwayat lain juga menjelaskan bahwa Mu’tazilah sudah ada lebih dulu
sebelum kisah Waṣil tersebut. Oleh sebab itu, banyak ahl al-bait yang
menempuh pola pikir yang sama dengan Waṣil seperti Zaid ibn ‘Alī yang
merupakan teman dekatnya. Waṣil bin ‘Aṭa’ sendiri adalah seorang penyiar
paham Mu’tazilah yang paling menonjol, sehingga sebagian ulama menganggap
dialah tokoh utamanya. 43
Asal-usul nama Mu’tazilah yang secara pasti, sangat sulit untuk diketahui,
disebabkan telah terjadi perbedaan pendapat tentang kemunculannya menurut
para ahli. Artinya, aliran Mu’tazilah merupakan aliran yang muncul karena
permasalahan teologi dalam sejarah Islam, yang mana Waṣil bin ‘Aṭa’ yang
menjadi ulama utamanya dalam aliran Mu’tazilah.44
Ada lima dasar ajaran Mu’tazilah atau al-Uṣūl al-Khamsah yaitu al-tauḥīd
(pengesaan Tuhan), al-‘adl (keadilan Tuhan), al-wa’d wa al-wa’īd (janji dan
ancaman Tuhan), al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi)
dan al-amr bi al-ma’rūf wa an-nahy ‘an al-munkar (menyeru kepada kebaikan
dan mencegah kemungkaran).45 Mu’tazilah adalah aliran yang banyak
berkontribusi di dalam pengembangan pemikiran kalam. Ciri khas aliran ini
adalah memberi porsi besar terhadap akal di dalam memahami berbagai
persoalan.
Aliran ini mengajarkan bahwa semua pengetahuan dapat diperoleh melalui
akal. Kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam.
Akal dapat mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan, bersyukur atas nikmatnya,
meninggalkan kekafiran, berbuat adil, mengetahui baik buruknya kezaliman dan
permusuhan. Oleh karena itu, manusia wajib mengerjakan yang baik dan
menjauhi yang jahat, sekalipun belum turun wahyu. Menurut Mu’tazillah,
walaupun akal dengan kemampuannya yang demikian penting, bukan berarti
membawa seseorang untuk mengabaikan wahyu. Wahyu tetap sangat
42
Muḥammad Bin Abdūl Karīm al-Syahrastānī, “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj. Asywadie
Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal, h. 41.
43
M. Hasbi al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, h. 150.
44
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, h. 32-33.
45
M. Hasbi al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, h. 151.
33
46
Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam, h. 146-147.
47
Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 189.
48
Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 190.
49
Ḥanafī, Pengantar Teologi Islam, h. 92.
50
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 64.
34
Istilah ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah terdiri dari tiga kata, yaitu alh, as-Sunnah,
dan al-Jamā’ah. Menurut bahasa, ahl adalah keluarga, kerabat, pengikut atau
golongan. As-Sunnah berarti Hadis, atau segala perkataan, perbuatan dan taqrir
Nabi Muhammad Saw., atas suatu perbuatan sahabat. Al-Jamā’ah berarti
kelompok, orang banyak, atau mayoritas. Jadi, secara istilah ahl as-Sunnah wa
al-Jamā’ah adalah sekelompok umat Islam yang menjadikan Hadis Nabi
Muhammad Saw., sebagai pedoman hidup.51 Pada perkembangan selanjutnya,
istilah ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah berkembang luas di kalangan umat Islam
di penjuru dunia, yang istilah tersebut dikenal juga dengan Sunni.
Sejak saat itu, al-Asy’ari menegakkan pemahaman tentang ahl as-Sunnah
wa al-Jamā’ah, dengan berpedoman dengan Al-Qur’an dan Sunnah serta
menggAbūngkannya dengan pertimbangan akal dan pikiran. Adapun doktrin
ajaran Asy’ariah adalah Allah memiliki sifat-sifat, manusia mengetahui
perbuatan baik dan buruk karena adanya wahyu, kadimnya Al-Qur’an, Allah
dapat dilihat di akhirat kelak, perbuatan Allah dan manusia, serta mukmin yang
berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik.52
4. Kelompok Maturidiah
Paham Maturidiah, muncul dan berkembang di Samarkand pada
pertengahan abad ke 3 H, yang dibawa oleh Abū Manṣūr al-Maturidī (w. 333
H). Paham al-Maturidiah yang berkembang di Bukhara dibawa oleh al-Bazdawī.
Sama dengan al-Asy’ariah, aliran ini juga menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah
sebagai argumen dalam pemikiran kalam mereka. Aliran Maturidiah
dikelompokkan juga ke dalam golongan ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah.53
Abū Manṣūr al-Maturidi dan Abū al-Ḥasan al-Asy’arī hidup dalam satu
masa. Keduanya memperjuangkan tujuan yang sama, hanya saja Abū al-Ḥasan
al-Asy’arī lebih dekat dengan lawan, karena ia berdomisili di Bashrah, tempat
domisili pertumbuhan Mu’tazilah. Adapun Abū Manṣūr al-Maturidī berada di
tempat yang jauh dari pusat perselisihan. Walaupun demikian, gaung
51
Muḥammad Abdul Hadī al-Miṣrī, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama‟ah Menurut
Pemahaman Ulama Salaf (Jakarta: Gema Insani Press, 1994.), h. 86.
52
Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 210.
53
Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Persoalan Teologi Islam (Jakarta:
Erlangga, 2006), h. 36.
35
54
Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 210.
36
55
Muḥammad Bin Abdūl Karīm al-Syahrastānī, “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj. Asywadie
Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal, h. 38.
56
Afrizal M., Ibn Rusyd, h. 46.
57
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 135.
37
sesuatu, dan mereka berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap
sesuatu yang tidak ada.58
2. Manusia
Allah Swt., telah menciptakan manusia (khalifah) dalam bentuk fisik yang
paling baik di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah. Selain itu, Allah juga
menganugrahkan akal hanya kepada manusia, karena akalnya tersebut manusia
dapat mengungguli makhluk hewani dan menjadikan hidupnya bermakna.
Kemampuan akal yang dimiliki manusia membawa perdebatan di kalangan
teolog Muslim, mereka mempersoalkan kemampuan akal dan fungsi wahyu.
Pada prinsipnya, akal dan wahyu merupakan dasar dan menjadi tolak ukur dalam
menganalisa dan menilai setiap persoalan kalam. Sementara itu, dalam kajian
teologi Islam, akal dan wahyu dihubungkan dengan empat persoalan pokok
yakni persoalan mengetahui adanya Tuhan, kewajiban yang mesti dilakukan
kepada Tuhan, mengetahui perbuatan baik dan jahat, kewajiban berbuat baik dan
menjauhi perbuatan jahat.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan untuk
mengetahui empat pokok persoalan teologi tersebut. Semua pengetahuan dapat
diketahui dengan akal, dan kewajiban manusia dapat diketahui dengan
pemikiran yang mendalam. Akal dapat mengetahui kewajiban mengetahui
Tuhan, bersyukur atas nikmat-Nya, meninggalkan kekufuran, berbuat adil,
mengetahui buruknya kezaliman dan permusuhan.59 Jadi, Mu’tazilah
berpendapat bahwa sebelum kedatangan wahyu, orang yang tidak mengetahui
Tuhan, kufur nikmat, tidak menjalankan kebaikan dan melakukan keburukan
akan mendapat siksa di neraka.60
Berbeda dengan aliran Mu’tazilah, paham Asy’ariah berpandangan bahwa
akal hanya mempunyai kemampuan untuk mengetahui satu persoalan pokok,
yaitu mengetahui Tuhan. Menurut paham ini, kewajiban manusia hanya dapat
diketahui dengan wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan
tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang
buruk itu wajib, kecuali dengan penjelasan Rasul dan wahyu Allah. Posisi wahyu
58
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 211-212.
59
Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam, Ilmu, h. 271.
60
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 81.
38
dalam aliran Asy’ariah sangat penting, manusia mengetahui baik dan buruk dan
kewajiban-kewajibannya karena turunnya wahyu. Wahyu juga berfungsi untuk
menjelaskan yang baik dan yang buruk, karena akal tidak mampu menetapkan
kebaikan dan keburukan.61
3. Akhirat
persoalan alam tidak terlepas dari pedebatan para teolog Islam tentang hari
akhirat. Perdebatan dimulai dari persoalan pelaku dosa besar yang dihukum kafir
dan tidak kafir. Persoalan ini kemudian bercabang menjadi permasalahan iman
dan kufur. Hal ini akan terlihat dalam kerangka berpikir setiap aliran kalam, yang
ternyata memberi warna berbeda dari setiap aliran kalam.
Khawarij yang memiliki ciri khas ekstrim menganggap bahwa semua pelaku
dosa besar (murtakib al-kabāir) adalah kafir dan disiksa di neraka selamanya,
walaupun terdapat iman dalam hatinya. 62
Selanjutnya, muncul aliran Mu’tazilah yang tidak menentukan status kafir
atau Mukmin terhadap pelaku dosa besar, tetapi mereka menyebutkan dengan
istilah al-manzilah bain al-manzilatain. Bagi pelaku dosa besar menurut
Mu’tazilah, berada pada posisi tengah-tengah di antara posisi Mukmin (surga)
dan kafir (neraka). Oleh sebab itu, jika pelaku dosa besar meninggal dunia dan
belum sempat bertaubat, maka ia akan masuk ke dalam neraka selama-lamanya,
namun siksa yang diterimanya lebih ringan dari siksa orang kafir.63
Sementara itu, aliran Asy’ariah dan Maturidiah menyatakan bahwa pelaku
dosa besar masih tetap sebagai Mukmin, karena adanya keimanan dalam dirinya.
Adapun balasan di akhirat kelak yang akan diperoleh bagi pelaku dosa besar,
apabila ketika meninggal belum bertaubat, maka keputusan itu diserahkan
sepenuhnya kepada kehendak Allah Swt. Pada hakikatnya, jika Allah
menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan dimasukkan ke dalam
neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya. 64
61
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 101.
62
Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam, h. 130.
63
Muḥammad Bin Abdūl Karīm al-Syahrastānī, “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj. Asywadie
Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal, h. 26.
64
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 164-165.
BAB IV
PEMIKIRAN TEOLOGI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ
A. Teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī
Terkait dengan masalah ini, maka perlu untuk mengetahui pemikiran teologi
Imām Aṭ-Ṭaḥāwī, argumentasi dan solusi yang diberikannya. Aspek pemikiran
teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dapat dikelompokkan dalam beberapa aspek, yaitu:
1. Aspek Ketuhanan
1
Muhammad Nazir Karim, Dialektika Teologi Islam: Analisis Pemikiran Kalam Syeikh
Abdurrahman Shiddiq al-Banjari (Bandung: Nuansa, 2004), h. 67.
39
40
2
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Al-Fatih, 2012), h. 413.
3
Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Persoalan Teologi Islam (Jakarta:
Erlangga, 2006), h. 92.
41
Tidakkah Anda melihat bahwa seseorang yang berbicara hari ini sedangkan
dia kemarin juga berbicara, tidak disebut bahwa berbicara baru terjadi hari ini.
Seandainya dia tidak berbicara karena sesuatu, seperti belum cukup umur atau
karena bisu, kemudian dia bisa berbicara, maka dikatakan, dia bisa berbicara. Orang
yang diam bukan karena cacat adalah orang yang berbicara, maksudnya punya
kemampuan berbicara, artinya kapan dia ingin, dia berbicara, saat dia berbicara dia
disebut pembicara dalam arti yang sebenarnya, demikian juga juru tulis saat dia
menulis, dia adalah juru tulis dalam arti yang sebenarnya, dia tidak keluar dari sifat
sebagai juru tulis dalam keadaan dia tidak menulis.6
Terjadinya hal-hal baru pada Allah yang dinafikan oleh ilmu kalam yang
tercela tidak ada penafian dan penetapannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Ia
bersifat global. Bila maksudnya adalah bahwa dzat Allah yang suci bukan tempat
4
Sifat dzat adalah sifat-safat Allah yang tidak terpisah dari dzat Allah dan tidak berkaitan
dengan kehendakNya dan kodratNya seperti sifat hidup, ilmu, kodrat, izzah, kemuliaan dan
kerajaan… Adapun sifat-sifat perbuatan, maka itu adalah sifat-sifat Allah yang berkenaan dengan
kehendak dan kodratNya pada setiap saat dan waktu, satuan dari sifat-sifat ini terjadi kepan Allah
berkehendak. Jenis sifat-sifat ini adalah azali, sementara satunya adalah hadist seperti Allah
berbicara, marah, rida, tertawa, dan lainnya.
5
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah (Jakarta: Darul Haq, 2016), h.
199.
6
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 199.
42
bagi sesuatu pun dan makhluk-makhluk-Nya yang diciptakan, atau Allah tidak
memiliki sifat baru yang sebelumnya tidak Dia miliki, maka ini adalah penafian
shahih. Tetapi bila maksudnya adalah menafikan sifat-sifat Allah yang berkenaan
dengan kehendak-Nya, bahwa Dia tidak melakukan apa yang Dia ingin, tidak
berbicara kapan Dia ingin dengan apa yang Dia ingin, tidak pula Dia marah dan rela
yang tidak sama dengan makhluk-Nya, tidak disifati dengan sifat yang Dia tetapkan
untuk diri-Nya seperti turun, bersemayam dan datang sesuai dengan keagungan dan
kemuliaannya, maka ini adalah penafian yang batil.7
Allah, tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya, dan itu maknanya: bahwasanya
Allah menyandang sifat kesempurnaan. Maka sifat-sifat-Nya adalah azali dan
abadi; sebagaimana Dia Yang Maha Awal tanpa permulaan, maka demikian pula
sifat-sifat-Nya, semuanya ikut kepada-Nya. Semua itu adalah yang utama
sebagaimana utamanya Allah swt sehingga Allah bukan Yang Maha Awal yang
mulanya tidak memiliki sifat lalu baru kemudian terjadilah sifat-sifat bagi-Nya
sebagaimana yang dikatakan oleh para pengikut dan penganut kesesatan, yang
mengatakan, “Mulanya Allah tidak memiliki sifat di zaman azali, lalu baru
kemudian adanya sifat-sifat bagi-Nya; agar hal itu tidak berkonsekuensi
berbilangnya tuhan -sebagaimana yang mereka klaim- atau berbilangnya yang
(dahulu), dan nama-nama serta sifat-sifat Allah dalam keutamaan-Nya.” Kami
jawab, Subhanallah, ini mengharuskan bahwa Allah memiliki sifat kurang –Maha
Tinggi Allah- dalam suatu masa, kemudian baru kemudian terjadinya sifat-sifat
bagi-Nya dan menjadi Maha Sempurna. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka
katakan. Qadīmnya sifat-sifat tidak mengharuskan Qadīmnya para pemilik sifat-
sifat tersebut, karena sifat-sifat bukan sesuatu yang lain dari yang memiliki sifat-
7
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 120.
8
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, (Bairut: Dar Ibnu Hazm,
1995), h. 9.
43
sifat di luar dzatnya, akan tetapi semua sifat adalah makna-makna yang ada karena
adanya yang memiliki sifat-sifat tersebut. Sekali lagi, bukan sesuatu yang berdiri
sendiri dari yang disifati. Jika anda misalnya mengatakan, “Fulan mendengar,
melihat, berilmu, ahli fikih, ahli bahasa dan nahwu”, maka apakah ini artinya bahwa
orang tersebut menjadi beberapa orang? Maka berbilangnya sifat tidak memastikan
berbilangnya yang disifati.9
Allah adalah Tuhan yang patut disembah, tiada Tuhan selain Allah. Imām
Aṭ-Ṭaḥāwī menjelaskan.
9
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan: Al-Aqidah Ath- Thahawiyah: Akidah
Ahlus Sunnah wal Jamaah (Jakarta: Darul Haq, 2014), cet. VI, h. 57-58.
10
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 120
44
Inilah Tauhid Ulūhiyah. Lā ilāha, artinya: Tidak ada sesembahan yang hak
selain Dia.
اط ُل َواَ َّن ٰالل َه ُه َو الْ َعلِ ُّي الْ َكلِْي ُر
ِ اْل ُّق واَ َّن ما ي ْدعو َن ِمن دونِِه هو الْل
َ َ ُ ْ ُ ْ ْ ُ َ َ َ َْ ك باَ َّن الل َه ُه َو
ٰ ِ ِٰذل
َ
"(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dia-
lah Rabb Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain
Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha
Tinggi lagi Maha Besar." (Al-Hajj: 62).13
Mengenai sifat Allah, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī melanjutkan.
11
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 8.
12
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan: Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 46.
13
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 339.
45
Fana dan berakhir adalah satu makna. Allah swt disifati sebagai Maha
Hidup, yang kekal dan abadi. Firman Allah:
ِ ْ وتَوَّكل علَى
ُ اْلَ ِّي الَّذ ْي َْل َيُْو
ت َ ْ ََ
"Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati."
(Al-Furqān: 58).15
Maka Allah tidak akan mungkin bersifat fana. Firman Allah,
ِ ُِكل شي ٍء هال
ُك اَّْل َو ْج َهه
ٌ َ ْ َ ُّ
ِْ اْل ٰل ِل و
ۗاْل ْكَرِام ٍ َُك ُّل من علَي ها ف
َ ِّانۗ َّويَْل ٰقى َو ْجهُ َرب
َ َْ ك ذُو َْ َ ْ َ
"Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu
yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Ar-Raḥmān: 26-27).17
14
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 8.
15
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 365.
16
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 396.
17
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 532.
46
b. Kalam Allah
Setelah beriman kepada Allah, maka beriman kepada Rasulullah Saw., dan
juga wajib beriman bahwa al-Qur’an adalah Firman Allah (Kalamullah). Karena
inilah yang dibawa oleh Rasulullah dan disebutkan di dalam al-Qur`an. Al-Qur’an
ini bukan perkataan Nabi Muhammad dan bukan perkataan Jibril, akan tetapi ia
adalah Firman Allah, yang mana Allah berfirman dengannya. Jibril menerima
(mendengarnya) dari Allah, dan Nabi Saw. menerimanya dari Jibril yang kemudian
dari Nabi Saw. diterima oleh umat ini.
Maka al-Qur`an adalah Firman Allah, yang bermula dari-Nya. Jibril tidak
mengambilnya dari Lauh al-Maḥfuẓ, sebagaimana yang dikatakan oleh para
pengikut kesesatan, ia bukan dari perkataan Jibril dan bukan pula perkataan Nabi
Muhammad Al-Qur`an adalah Firman Rabb alam semesta, sedangkan Jibril dan
Nabi Muhammad -semoga rahmat dan salam tercurah kepada mereka berdua-,
keduanya hanya penyampai dari Allah. Sehingga suatu perkataan hanya dikatakan
dan disandarkan kepada yang mengatakannya pertama kali, bukan yang
mengatakannya untuk menyampaikan dan menunaikan.20
Maka barang siapa yang mengatakan, bahwa Jibril mengambilnya dari Lauh
al-Maḥfuẓ, atau mengatakan bahwa Allah menciptakannya pada sesuatu dan Jibril
18
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 138.
19
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 12.
20
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 91.
47
mengambilnya dari sesuatu itu, maka dia kafir kepada Allah dengan kekufuran yang
mengeluarkannya dari Agama; sebagaimana yang dikatakan oleh golongan
Jahmiyah dan Mu’tazilah serta orang-orang yang mengikuti mereka. Al-Qur’an
adalah Kalamullah, baik huruf-hurufnya dan segala maknanya. Allah berbicara
(berfirman) dengannya sebagaimana yang berfirman, dan berfirman adalah di
antara sifat-sifat Fi'liyah yang dikehendaki-Nya. Maka kita wajib menyifati Allah
sebagai Dzat-Nya. Lalu bagaimana cara (atau seperti apa) Allah berfirman? Maka
jawabanya hanya Allah yang mengetahuinya. Maka maknanya sudah diketahui
(semua), sedangkan caranya tidak diketahui oleh siapa pun.21
21
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 92.
22
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 223.
48
tersebut. Dan tatkala mereka memang tidak mampu untuk melakukannya, itu
menunjukkan bahwa al-Qur`an memang Kalamullah (Firman Allah) yang tidak
dihinggapi suatu kebatilan pun, baik dari hadapannya dan ataupun dari
belakangnya.23
Hal ini disanggah oleh Imām Aṭ-Ṭaḥāwī; karena penyandaran kepada Allah
ada dua jenis: pertama, penyandaran secara maknawi dan kedua, secara materi.25
23
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 93.
24
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 12.
25
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 95.
49
makhluk kepada Penciptanya, dan faidah penyandaran dalam konotasi ini adalah
untuk memuliakan dan menghormati.
2. Aspek Kemanusiaan
26
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 12.
27
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 95.
28
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 12.
29
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 95.
50
Allah Swt., telah mengutus beberapa Rasul dan Nabi, yang terakhir sekali
adalah Nabi Muhammad Saw., sebagai utusan-Nya yang menyampaikan kepada
manusia isi kitab-kitab Allah, dengan menerangkan segala perintah Allah dan
larangan-Nya, serta menjadi contoh dan panutan utama bagi umat manusia.30 Rasul
dan wahyu menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Wahyu yang
menjadi pedoman bagi manusia dalam keraguan karena tidak ada petunjuk yang
pasti. Wahyu tidak langsung diturunkan Allah kepada seluruh umat manusia,
melainkan melalui rasul. Oleh sebab itu, tanpa adanya rasul, manusia tidak dapat
memahami wahyu. Mutakallīmūn sepakat bahwa keberadaan rasul sangat penting
dalam penyampaian risalah Tuhan.
Para ulama menyebutkan perbedaan-perbedaan antara nabi dan rasul, dan
yang terbaik adalah siapa yang Allah kabari dengan berita langit, bila Allah
memerintahkannya agar menyampaikannya kepada orang lain, maka dia adalah
nabi sekaligus rasul, bila Allah tidak memerintahkannya agar menyampaikannya
kepada orang lain, maka dia nabi, bukan rasul.31
Rasul lebih khusus dari nabi, setiap rasul adalah nabi, dan tidak semua nabi
adalah rasul. Tetapi kerasulan lebih umum dari sisi dirinya, kenabian adalah bagian
dari kerasulan, sebab kerasulan mencakup kenabian dan selainnya, berbeda dengan
30
A. Hassan. Ringkasan Tentang Islam (Bangil: al-Muslim, 1980), h. 44.
31
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 297.
51
para rasul, mereka tidak mencakup para nabi dan selain mereka, dan yang benar
adalah sebaliknya, kerasulan lebih umum dari sisi dirinya. 32
َّاس َوَْل تَ ْكتُ ُم ْونَهُ فَنَلَ ُذ ْوهُ َوَراۤءَ ظُ ُه ْوِرِه ْم َوا ْشتَ َرْوا
ِ ٰب لَتُلَ يِّنُنَّهُ لِلن ِ ِ َّ َ واِ ْذ اَخ َذ ٰالله ِميث
َ اق الذيْ َن اُْوتُوا الْكت َْ ُ َ َ
س َما يَ ْشتَ ُرْو َن ِ ِ ِِ
َ به ََثَنما قَلْي مَل ۗ فَلْئ
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah
diberi kitab (yaitu), ‘Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada
manusia, dan jangan kalian menyembunyikannya’.” (Ali ‘Imran: 187).33
Lalu bagaimana dengan para nabi yang mereka lebih tinggi kedudukannya
dibanding ulama? Yang lebih dekat dalam masalah ini adalah apa yang disebutkan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa nabi adalah orang yang Allah beri wahyu
dan dia menyampaikan wahyu tersebut hanya saja dia tidak diutus kepada kaum
kafir untuk mengentas mereka dari kekufuran kepada iman, adapun rasul, maka dia
diutus kepada orang-orang kafir untuk mengajak mereka kepada tauhid, Allah
berfirman,
ۗۗك ِم ْن َّر ُس ْوٍل َّوَْل نَِ ٍِّب اَِّْلۗ اِذَا ََتَ ٰنۗ اَلْ َقى الشَّْي ٰط ُن ِ ْفۗ اُْمنِيَّتِه ِ
َ َوَماۗ اَْر َسلْنَا ِم ْن قَ ْلل
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak
(pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan,
setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu.” (Al-
Hajj:52).34
Allah menyebutkan bahwa pengutusan mencakup rasul dan nabi, lalu Allah
mengkhususkan salah satu dari keduanya bahwa dia adalah rasul, inilah rasul
mutlak yang Allah perintahkan agar menyampaikan risalah-Nya kepada kaum yang
menentang perintah Allah dan terjatuh ke dalam kesyirikan, sebagaimana yang
terjadi pada Nabi Nuh , telah diriwayatkan bahwa Nabi Nuh sang adalah rasul
32
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 297.
33
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 75.
34
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 338.
52
pertama yang diutus ke bumi, dan sebelumnya sudah ada nabi-nabi seperti Nabi
Adam, Nabi Syaits, dan Nabi Idris. 35
Kenabian hanya diklaim oleh orang yang paling jujur atau orang yang paling
dusta. Keduanya tidak samar kecuali bagi orang-orang yang paling dungu, karena
indikator kehidupan masing-masing mengungkapnya dan mengenalkannya, dan
membedakan antara yang jujur dan yang dusta memiliki banyak cara terkait dengan
klaim selain kenabian, lalu bagaimana dengan kenabian?37
Tidak ada pendusta besar yang mengklaim sebagai nabi kecuali terlihat
padanya kebodohan, kedustaan, kedurjanaan memiliki akal terendah sekalipun.
Bahkan dua orang sama-sama dan dikuasai oleh setan-setan yang bisa dilihat oleh
orang yang mengklaim sesuatu, yang satu benar dan yang lain pendusta, kebenaran
yang pertama pasti terlihat dan kebohongan yang kedua pasti terlihat, cepat atau
lambat. Hal itu karena kejujuran mengajak kepada kebaikan dan kebohongan
menuntun kepada perbuatan dosa.38
35
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 298.
36
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 299.
37
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 299.
38
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 300
53
Hari ini, kita dapat mengetahui secara mutawatir tentang keadaan para nabi,
orang-orang yang mengikuti mereka dan musuh-musuh mereka. Kita pun
mengetahui dengan yakin bahwa para nabi itu adalah orang-orang benar di atas
kebenaran dari banyak sisi bukti. Mereka mengabarkan kepada orang-orang bahwa
para pengikut mereka akan mendapatkan kemenangan dan para musuh mereka akan
mendapatkan kekalahan, akibat baik berpihak kepada orang-orang yang mengikuti
mereka.39
b. Perbuatan Manusia
Persoalan ini dalam kapasitas dan intensitasnya, dari awal telah menjadi
persoalan teologis yang cukup rumit dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam.
Kerumitan itu terlihat dalam bentuk diskusi yang dilakukan oleh para pemikir
Islam, khususnya mutakallīmūn. Persoalan tersebut telah menimbulkan perbedaan
paham di kalangan kaum Muslimin tentang hakikat perbuatan manusia (af’al al-
‘ibad). Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menjelaskan pandangan beberapa kelompok dalam
memahami perbuatan manusia.41
39
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 332
40
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 333.
41
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 279.
54
padanya, dan mereka juga tidak memiliki kesanggupan padanya, dan Allah hanya
mengazab seorang hamba karena perbuatan orang lain, dan memberinya pahala atas
sesuatu yang tak pernah dilakukannya. Pandangan ini adalah pandangan yang
paling busuk.
42
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 280.
43
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 280
44
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 449.
55
Maka Allah Maha Esa sebagai yang mencipta dan menetapkan takdir, dan
manusia memiliki kehendak dan kemauan, serta memiliki perbuatan. Pergi ke
masjid adalah dengan ikhtiarnya, dan pergi ke tempat tontonan juga dengan
ikhtiarnya; karena dia memang memiliki kuasa. Dan orang yang tidak Allah berikan
kuasa dan ke sanggupan, Allah memberikannya udzur (alasan untuk meninggalkan
kewajiban), seperti orang yang gila atau orang yang dipaksa. Orang seperti itu tidak
memiliki kehendak dan tidak memiliki maksud. Sedangkan orang yang memiliki
kehendak dan maksud, inilah yang memilih perbuatan untuk dirinya, maka siksa
dan pahala terjadi atas perbuatannya tersebut, bukan atas perbuatan Allah.47
Bila sudah terbukti bahwa hamba adalah pelaku, maka perbuatan hamba
terbagi menjadi dua:48
Pertama, perbuatan yang terjadi darinya tanpa diikuti dengan kehendak dan
keinginannya, maka ia merupakan sifat baginya tetapi bukan perbuatan, seperti
gerakan orang menggigil.
45
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 465.
46
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 434
47
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 281.
48
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 515.
56
terjadi kecuali dengan tekanan. Karena itu ada perkataan, bapak memiliki hak
perwalian untuk memaksa putrinya yang masih kecil untuk menikah dan dia tidak
punya hak tersebut atas putrinya yang janda yang sudah dewasa. Maksudnya, bapak
bisa menikahkannya sekalipun dia tidak suka. Allah tidak disifati dengan
pemaksaan dari sisi ini, sebab Allah Pencipta kehendak dan keinginan, mampu
menjadikan hamba berkehendak dan berkeinginan, berbeda dengan selain-Nya.
إِذَا َماتُوا َو ُه ْم ُم َو ِّح ُد ْو َن،َوأ َْه ُل الْ َكلَائِِر ِم ْن أ َُّم ِة ُُمَ َّم ٍد َْل ُُيَلَّ ُد ْو َن
“Para pelaku dosa-dosa besar dari umat Nabi Muhammad masuk neraka,
tapi mereka tidak kekal, apabila mereka mati dalam keadaan bertauhid.”50
.س ِمنَّا
َ الس ََل َح فَلَْي
ِّ َم ْن ََحَ َل َعلَْي نَا
“Barangsiapa yang membawa senjata untuk melawan kami, maka dia
bukan dari kami.”52
Semua poin prinsip dasar ini menunjukkan bahwa dosa bersangkutan adalah
dosa besar, akan tetapi di bawah syirik. Pelaku dosa-dosa besar tersebut tidak keluar
dari Iman, akan tetapi dia tetap seorang Mukmin yang kurang imannya, atau bisa
49
Rozak dan Anwar, Ilmu, h. 159.
50
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 22.
51
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 207.
52
Hr. Al-Bukhari No. 6874 dan Muslim No. 98, 100, dan 101.
57
juga dinamakan orang fasik. Inilah pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah; mereka
tidak mengkafirkan (seorang Muslim) karena dosa-dosa besar, selama itu bukan
syirik, akan tetapi mereka juga tidak memberikan pelaku dosa-dosa besar nama
Iman secara mutlak. Mereka memberikan kepadanya Iman yang diberi batasan;
sehingga dikatakan, “Dia Mukmin dengan Imannya, tapi fasik dengan dosa besar
(yang dilakukan)nya.”53
Maka tidak dikatakan bahwa orang semacam itu adalah seorang Mukmin
dengan keimanan sempurna, sebagaimana yang dikatakan oleh golongan Murji’ah.
Tapi juga tidak dikatakan bahwa dia keluar dari Islam, sebagaimana yang dikatakan
oleh Khawarij dan Mu’tazilah.
Jika demikian, maka ada tiga kelompok manusia berkaitan dengan seorang
Muslim yang melakukan dosa besar:54
Ketiga, Ahlus Sunnah wal Jama'ah, ialah pandangan yang haq, yang
berpandangan bahwa pelaku dosa besar selain syirik adalah tetap sebagai seorang
Mukmin, bukan kafir, akan tetapi dia adalah Mukmin yang kurang Imannya. Ini
wajib diketahui, dan wajib tertanam mantap di dalam akal anda. Orang-orang
pengikut pandangan jahat dewasa ini, semakin berani menampakkan pandangan
53
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 208.
54
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 208-209.
58
Para pelaku dosa-dosa besar selain syirik, bukan orang-orang kafir. Dan
bahwasanya mereka ketika nanti bertemu dengan Allah (di Hari Kiamat), dan
mereka belum bertaubat dari dosa-dosa besar tersebut, maka mereka terserah
kepada kehendak Allah. Jika Allah berkehendak, Allah dapat mengazab mereka
seimbang dengan dosa-dosa mereka, kemudian mengeluarkan mereka dari neraka
dan memasukkan mereka ke dalam surga dengan tauhid dan Iman mereka, sehingga
mereka tidak kekal di dalam neraka.55 Dalilnya adalah Firman Allah,
ِ ِاِ َّن ٰالله َْل ي غْ ِفر اَ ْن يُّ ْشرَك بِهۗ وي ْغ ِفر ما دو َن ٰذل
ُك ل َم ْن يَّ َشاۤء
َ ُْ َ ُ ََ َ ُ َ َ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (An-Nisā’: 48).56
Para pelaku maksiat dari orang-orang yang bertauhid akan keluar dari
neraka, boleh jadi dengan karunia Allah, dan boleh jadi dengan syafa’at para
pemberi syafa’at dengan izin Allah tu. Dan syafa’at adalah haq adanya, akan tetapi
tidak akan ada kecuali dengan izin Allah, dan yang diberikan syafa’at tersebut
adalah orang yang bertauhid, bukan orang kafir, bukan orang musyrik dan bukan
orang munafik.57
d. Konsep Iman
Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw.,
dan ia adalah agama yang berintikan keimanan dan perbuatan (amal). 58 Keimanan
itu merupakan akidah dan pokok, yang di atas syariat Islam. Perbuatan itu
merupakan syariat yang dianggap sebagai buah yang keluar dari keimanan dan
akidah itu. Keimanan dan perbuatan itu atau dengan kata lain akidah dan syariat,
keduanya saling terkait satu sama lain, dan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu,
55
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 210.
56
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 86.
57
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 212.
58
Hassan. Ringkasan, h. 29.
59
adanya hubungan yang erat di antara keduanya, maka amal perbuatan selalu
disertakan penyebutannya dengan keimanan.59
Menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī iman tidak hanya pada pengakuan dengan lisan
dan pembenaran dengan hati, tetapi juga diamalkan dengan anggota badan. Maka
amal masuk dalam hakikat Iman, dan bukan sesuatu yang lebih dari Iman.
Barangsiapa yang membatasi definisi Iman hanya pada ucapan dengan lisan dan
pembenaran dengan hati, dan tidak menyertakan amal, maka dia tidak termasuk
dalam ahli Iman yang benar.
Imām bukan satu, dan orang-orang yang beriman tidaklah sama, akan tetapi
Iman saling mengungguli, dapat bertambah dan berkurang. Manusia tidak sama
dalam membenarkan dengan hati. Iman Abū Bakar aṣ-Ṣiddiq tidak sama dengan
Iman seorang yang fasik dari kaum Muslimin; karena orang yang fasik dari kaum
Muslimin Imannya sangat lemah, sedangkan keimanan Abū Bakar aṣ-Ṣiddiq
seimbang (bahkan lebih kuat) dari Iman semua umat ini. Maka manusia pada
dasarnya tidak sama (dalam tingkat keimanan). Ini pada dasarnya (dari segi
keimananannya).Demikian juga dari segi amal, manusia saling mengungguli dalam
amal.60 Di antara mereka ada yang sebagaimana difirmankan Allah swt,
اصطََفْي نَا ِم ْن ِعلَ ِادنَاۗ فَ ِمْن ُه ْم ظَ ِاِلٌ لِّنَ ْف ِس ِه ِ ُُثَّ اَورثْنا الْ ِكت
ْ ٰب الَّذيْ َن
َ َ َْ
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih
di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada orang-orang yang
menganiaya diri mereka sendiri.” (Faṭir: 32).61
Orang yang maksiat (dalam ayat) ini, yaitu yang kemaksiatannya selain
syirik, dia tentu saja dzalim terhadap dirinya; karena dengan demikian dia telah
membawa dirinya kepada bahaya.62
Maka umat ini tidak sama (dalam hal keimanan), dan paling tidak ada tiga
tingkatan: pertama, orang yang zhalim atas dirinya, kedua, orang yang tengah-
59
Sayid Sabiq, “Al-Aqāid al-Islāmiyyah”, terj. Moh. Abdai Rathomy, Aqidah Islam,
(Bandung: Diponegoro, 1993), h. 15.
60
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 201.
61
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 438.
62
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 202.
60
tengah, dan ketiga, orang yang telah lebih dahulu (segera dan berlomba) berbuat
segala kebaikan. Ini semua menunjukkan bahwa Iman itu berbeda-beda
tingkatannya. 63
َو ُح ْل ِوِه، َخ ِْْيِه َو َشِّرِه: َوالْ َق ْد ِر، َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر، َوَر ُسلِ ِه، َوكِتَلِ ِه،الل َوَم ََلئِ َكتِ ِه
ِ ِ هو ْاْل ْيَا ُن ب:اْل ْيَا ُن
َُ
ِْ َو
ِ ِمن،ومِّرِه
.الل تَ َعالَی َ َُ
“Iman adalah: beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kita-
bNya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Qadar yang baik maupun yang
buruk, yang manis maupun yang pahit, (semuanya) adalah dari Allah
swt.”64
Wajib beriman kepada semua ini, dan jika seseorang mengingkari sesuatu
dari rukun-rukun tersebut, maka dia bukanlah seorang Mukmin; karena dia telah
mengurangi salah satu dari rukun-rukun Iman.
Percaya kepada hari akhir adalah merupakan satu dari rukun atau sendi dari
berbagai rukun keimanan dan merupakan bagian utama sekali dari beberapa bagian
akidah. Hari akhir adalah percaya bahwa akan datang satu hari yang penghabisan
bagi penghidupan alam ini, di hari itu binasa semua makhluk, lalu Allah bangkitkan
manusia kembali di alam akhirat untuk dibalas segala perbuatan di dunia mulai dari
amal baik dan perbuatan buruk.65
Fenomena kiamat adalah masalah yang gaib. Umat Islam seluruhnya
meyakini bahwa semua manusia akan mengalami hari akhirat. Fenomena surga dan
neraka di akhirat adalah di antara peristiwa hari akhirat yang dibicarakan. Akan
tetapi, pembahasan tentang hari akhir, tidak lepas dari pembahasan tentang
peristiwa kematian dan kebangkitan.66 Oleh sebab itu, Al-Qur’an memberikan
perhatian yang sangat istimewa terhadap penetapan keimanan kepada hari akhir,
sebagaimana firman-Nya berikut:
63
Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 202.
64
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 22.
65
Hassan, Ringkasan, h. 45.
66
Di antara contoh fenomena yang terjadi pada hari kiamat adalah azab kubur, kebangkitan,
hisāb, mīzān, ṣirāṭ, surga, neraka dan lain-lain.
61
ِ اْل ِخ ِر وع ِمل ص ِ ِٰ ِ ِ ِ
اْلما َ َ َ َ ٰ ْ ي َم ْن اٰ َم َن بِالله َوالْيَ ْوم َْ ِٕ ِالصاب
َّ ص ٰرى َو ُ ا َّن الَّذيْ َن اٰ َمنُ ْوا َوالَّذيْ َن َه
ٰ َّاد ْوا َوالن
ٌ فَلَ ُه ْم اَ ْج ُرُه ْم عِنْ َد َرِِّّبِ ْمۗ َوَْل َخ ْو
ف َعلَْي ِه ْم َوَْل ُه ْم ََْيَزنُ ْو َن
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-
benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka
akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. al-Baqarah [2]: 62).67
Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa hari akhir adalah hari
kiamat yang didahului musnahnya alam semesta. Jadi, pada hari itu akan matilah
seluruh makhluk yang masih hidup. Bumi pun akan bertukar, bukan bumi atau
langit yang sekarang ini. Selanjutnya, Allah Swt., menciptakan alam lain yang
disebut alam akhirat. Sesudah itu, seluruh makhluk akan dibangkitkan yakni
dihidupkan kembali setelah mereka mati.69 Oleh karena itu, dalam persoalan ini,
akan diuraikan secara lebih lengkap pada pembahasan berikutnya, yakni
kebangkitan di akhirat dan surga dan neraka.
a. Kebangkitan di Akhirat
67
Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 10.
68
Hadiyah Salim, Dua macam Kehidupan Yang Berbeda Antara Dunia dan Akhirat
(Bandung: Angkasa, 1995), h. 43.
69
Sayid Sabiq, “Al-Aqāid”, h. 429-430.
62
nabi, beliau diutus di hadapan Hari Kiamat seperti ini, beliau adalah al-Hasyir dan
al-Muqaffi, maka beliau menjelaskan perincian kehidupan akhirat dengan
penjelasan yang belum ada pada kitab-kitab para nabi sebelum beliau.70
Oleh karena itu, sekelompok orang dari ahli filsafat dan orang-orang yang
seperti mereka menyangka bahwa yang berbicara secara terbuka tentang
kebangkitan badan hanya Nabi Muhammad, lalu mereka menjadikannya sebagai
hujjah bagi mereka bahwa apa yang beliau katakan hanya semacam ilusi dan
pembicaraan kepada orang-orang awam agar mereka memahaminya. Ini dusta,
karena Hari Kiamat sudah dikenal di kalangan nabi-nabi sejak Nabi Adam, Nabi
Nuh hingga Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan seterusnya. Allah telah
mengabarkannya saat menurunkan Nabi Adam as.71 Allah berfirman,
ب لَنَا َمثَمَل َّونَ ِس َي َخلْ َقهۗۗ قَ َال َم ْن َُّْي ِي الْعِظَ َام َوِه َي َرِمْي ٌم
َ ضَر
َ َو
“Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada
kejadiannya, dia berkata, "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang
belulang, yang telah hancur luluh?” (QS. Yāsīn: 78),73 hingga akhir surat.
70
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 379-380.
71
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 380.
72
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 153.
73
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.
63
keakuratan, dan kebenaran bukti, niscaya tidak akan mampu. Allah membuka
hujjah ini dengan sebuah pertanyaan yang disodorkan oleh orang yang mengingkari
yang menuntut jawaban,74 Firman Allah,
ٍقُل َُْييِْي َها الَّ ِذ ْيۗ اَنْ َشاَ َهاۗ اََّوَل َمَّرة
ْ
“Katakanlah, ‘Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali
yang pertama’,” (QS. Yāsīn: 79).76
74
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 382.
75
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.
76
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.
77
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 383.
78
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.
64
sebuah hujjah yang telak dan bukti yang nyata, mengandung jawaban terhadap
pertanyaan pengingkar lain yang berkata bahwa bila tulang belulang sudah menjadi
lapuk, maka tabiatnya menjadi dingin kering, padahal bahan kehidupan dan
pembawanya haruslah tabiatnya yang panas lagi basah yang menunjukkan adanya
perkara kebangkitan, ia mengandung dalil dan jawaban sekaligus, 79 maka Allah dan
berfirman,
Allah swt mengabarkan bahwa Dia mengeluarkan unsur api yang sangat
panas dan kering dari kayu hijau yang sangat dingin dan basah, Allah Yang kuasa
untuk mengeluarkan sesuatu dari lawannya, bahan-bahan dan unsur-unsur makhluk
tunduk kepada-Nya, maka tidak sulit bagi-Nya melakukan apa yang diingkari oleh
pengingkar tersebut dan ditolaknya, yaitu menghidupkan tulang belulang yang
sudah lapuk. 81
Allah mengabarkan bahwa Dia yang menciptakan langit dan bumi, padahal
keduanya adalah makhluk yang besar, agung, luas, ajaib, tentu Dia lebih mampu
79
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 383.
80
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.
81
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 384.
82
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 384.
83
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.
65
84
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 385.
85
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.
86
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 386.
87
Hadis diriwayatkan oleh Al-Bukhari, No. 4814; Muslim, no. 2955; Abū Dawun, no. 4743.
66
Kedua penciptaan adalah dua bentuk di bawah satu jenis, keduanya sama
dan semisal dari satu sisi, dan berbeda dan tidak sama dari sisi lain. Yang
dihidupkan kembali adalah yang pertama itu sendiri, sekalipun di antara
konsekuensi pengembalian dengan konsekuensi penciptaan awal terdapat
perbedaan, hanya tulang sulbi yang tersisa, adapun selainnya, maka ia berubah, lalu
ia dikembalikan dari materi yang ia berubah kepadanya. Sudah dimaklumi bahwa
siapa yang melihat seseorang yang masih kecil, kemudian melihatnya kembali saat
dia sudah tua, maka dia mengetahui bahwa dia adalah dia, padahal dia selalu
berubah dan tidak dalam satu keadaan, demikian juga hewanhewan dan tumbuh-
tumbuhan, siapa yang melihat satu pohon saat ia masih kecil, kemudian dia
melihatnya saat sudah besar, dia akan berkata ini adalah itu.
Perkataan surga dan neraka dalam bahasa Arab dikenal dengan jannah, dan
nār atau jahannam. Jika Allah Swt., akan memberikan balasan kepada orang-orang
yang taat dan berbakti itu dengan kenikmatan (surga), maka kepada orang yang
durhaka dan bersalah tentulah akan diberi balasan pula yaitu berupa siksa (neraka).
Menurut Hassan, pengertian jannah adalah satu negeri atau tempat kesenangan
yang Allah sediakan bagi orang-orang mukmin dan nār adalah satu negeri atau
tempat siksaan yang Allah sediakan bagi orang-orang kafir.88
88
A. Hassan. Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama (Bandung: Diponegoro, 2007),
jilid III, h. 1238.
67
perkataan telah disediakan bisa berarti sudah ada dan terkadang belum ada.
Demikianlah Aḥmad Hassan menerangkan secara ringkas tentang golongan yang
berpendapat bahwa surga dan neraka belum ada.89
Ahlus Sunnah sepakat bahwa surga dan neraka telah diciptakan dan telah
ada sekarang. Ahlus Sunnah sepakat di atas itu sebelum lahir sekelompok orang
yang bernama Mu’tazilah dan Qadariyah yang mengingkari hal itu. Mereka berkata,
“Allah swt baru akan menciptakan keduanya pada Hari Kiamat.” Mereka
berpendapat demikian karena didorong oleh prinsip mereka yang rusak, yang
mereka tetapkan sebagai syariat bagi apa yang Allah lakukan, bahwa Allah patut
melakukan ini, tidak patut melakukan ini. Mereka menyamakan Allah dengan
makhluk-Nya dalam perbuatan mereka, mereka adalah orang-orang yang
menyamakan dalam perbuatan, lalu akidah Jahmiyah menyusup kepada mereka,
akibatnya mereka pun menjadi ahlu ta'ṭil yang menolak Sifat-sifat Allah. Mereka
berkata, “Menciptakan surga sebelum saat pembalasan adalah sia-sia, karena ia
nganggur dalam masa yang panjang.” Mereka menolak dalil-dalil yang
bertentangan dengan syariat yang mereka tetapkan untuk Allah, mereka
menyelewengkan dalil-dalil dari tempatnya, menyesatkan dan membid’ahkan siapa
yang menyelisihi syariat mereka.91
Dalil-dalil yang menetapkan bahwa surga dan neraka sudah ada sekarang
Allah swt berfirman tentang surga,
89
A. Hassan, Soal-Jawab, Jilid III, h. 1238.
90
Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 26.
91
Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 407-408.
68
َۗولَ َقدۗ َرءَاهُ نَزۗلَ مة أُخۗ َر ٰى ِع َند ِسدۗ َرِة ٱلۗ ُمنتَ َه ٰى ِع َند َها َجنَّةُ ٱلۗ َمأۗ َو ٰى
“Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang
asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha324, di dekatnya ada
surga tempat tinggal.” (QS. An-Najm: 13-15).94
Pertama, kitab Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah adalah sebagai salah satu kitab akidah
tertua dalam khazanah Ulama Salaf. Meskipun tidak sepopuler karya-karya Imām
Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī, tetapi ajaran akidah mereka tidak jauh berbeda, padahal
tidak terdapat riwayat yang melaporkan bahwa mereka pernah bertemu. Secara
sanad, Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī lebih tinggi (‘ali) daripada Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī.
Ini dikarenakan ia langsung dapat dari al-Muzanī, al-Murādī, dan lainnya. Adapun
Abū al-Ḥasan al-Asy'arī mendapatkannya dari generasi murid murid al-Muzāni,
yaitu Zakariyā al-Sāji. Begitu juga, dari tahun kelahiran maka Abū Ja'far Aṭ-Ṭaḥāwī
lahir lebih awal, yaitu pada tahun 239 H, sedangkan Abū al-Ḥasan al-Asy'arī
diperkirakan lahir setelah tahun 250-an. Namun, popularitas Abū al-Ḥasan al-
92
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 67.
93
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 66.
94
Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 526.
95
Arrazy Hasym. Akidah Salaf Imām Al-Ṭaḥāwī: Ulasan dan Terjemah (Banten: Yayasan
Wakaf Darus-Sunnah, 2020), h. 3-6.
69
Asy'arī memang lebih kuat daripada Abū Ja'far Aṭ-Ṭaḥāwī. Barangkali popularitas
tersebut dikarenakan Abū Ja'far al-Tahāwi tidak berdomisili di kota metropolitan,
seperti Baghdad. Ini berbeda dengan Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī yang berasal dari
Basrah dan hijrah ke Baghdad. Di samping itu, ada faktor lain seperti keterlibatan
dua tokoh tersebut dalam perdebatan teologis. Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī lebih sering
terlibat dalam perseteruan teologis dibandingkan Abū Ja'far Aṭ-Tähāwi.
Kelima, kitab akidah Abū Ja'far Aṭ-Ṭaḥāwī dapat dijadikan sebagai panduan
untuk menimbang kevalidan aliran mana pun yang mengaku bermanhaj Salaf.
70
Imām al-Allāmah al-Ḥafiẓ Abū Ja’far Aḥmad bin Muḥammad bin Salāmah
bin Abdu al-Mālik al-Azdī al-Hajrī al-Miṣri Aṭ-Ṭaḥāwī, nisbat ke Ṭaḥa, sebuah desa
di Ṣa’id Mesir yang merupakan bagian dari provinsi Minya saat ini. Ia lahir pada
tahun 239 H. Sumber lain mengatakan lahir pada tahun 237 H. Sejak kecil beliau
tumbuh dikeluarga yang dikenal dengan ilmu dan keutamaan, sangat kondusif
dengan suasana ibadah dan amal shaleh. Imām Aṭ-Ṭaḥāwī adalah orang yang
berilmu yang memiliki keutamaan. Beliau menguasai sekaligus ilmu fiqih dan
hadits, serta cabang-cabang keilmuan lainnya. Salah satu karya beliau mengenai
penelitian ini adalah bagian terpenting dalam pemikiran Islam yang mengantarkan
a. Permasalahan teologi tentang wujud dan sifat Tuhan, Imām Imām Imām Aṭ-
sepenuhnya tanpa ada keraguan sedikitpun. Allah tidak akan fana dan tidak
akan punah. Dia disifati sebagai Maha Hidup, yang kekal dan abadi. Allah
abadi; sebagaimana Dia Yang Maha Awal tanpa permulaan, maka demikian
71
72
bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah yang hakiki, tidak secara majas.
Al-Qur’an ini bukan perkataan Nabi Muhammad dan bukan perkataan Jibril,
akan tetapi ia adalah Firman Allah, yang mana Allah berfirman dengannya.
Jibril menerima (mendengarnya) dari Allah, dan Nabi Saw. menerimanya dari
Jibril yang kemudian dari Nabi Saw. Menurutnya, al-Qur’an bukan makhluk
bahwa rasul lebih khusus dari nabi, setiap rasul adalah nabi, dan tidak semua
nabi adalah rasul. Tetapi kerasulan lebih umum dari sisi dirinya, kenabian
selainnya, berbeda dengan para rasul, mereka tidak mencakup para nabi dan
selain mereka, dan yang benar adalah sebaliknya, kerasulan lebih umum dari
sisi dirinya. Rasul adalah yang Allah perintahkan melalui wahyu agar
kemauan mereka, akan tetapi bersama itu amal perbuatan tersebut adalah
makhluk ciptaan Allah. Maka Allah swt adalah sebagai yang mencipta dan
memiliki perbuatan.
73
c. Teologi tentang posisi pelaku dosa besar menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī adalah
para pelaku dosa-dosa besar dari umat Nabi Muhammad masuk neraka, tapi
mereka tidak kekal, apabila mereka mati dalam keadaan bertauhid. Pelaku
dosa-dosa besar tersebut, selama itu bukan syirik, tidak tidak akan
mengeluarkan seseorang dari Iman, akan tetapi dia tetap seorang Mukmin
d. Persoalan tentang konsep iman, menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī iman tidak hanya
pada pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati, tetapi juga
diamalkan dengan anggota badan. Maka amal masuk dalam hakikat Iman,
dan bukan sesuatu yang lebih dari Iman. Imām bukan satu, dan orang-orang
yang beriman tidaklah sama, akan tetapi Iman saling mengungguli, dapat
bahwa iman kepada hari kebangkitan termasuk perkara yang benar dan telah
ditetapkan oleh al-Qur’an, akal, dan fitrah. Allah telah mengabarkan melalui
yang mengingkarinya.
b. Persoalan teologi tentang surga dan neraka, menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī surga
dan neraka adalah makhluk, yang keduanya tidak akan fana dan tidak akan
musnah. Dan bahwasanya Allah swt telah menciptakan surga dan neraka
keduanya.
74
B. Saran
secara khusus, tulisan ini hanya sebagai pengantar awal untuk melihat pemikiran
Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Namun, untuk melihat sosok Imām Aṭ-Ṭaḥāwī lebih dalam
serta dapat menjadi bagian amal sholeh yang dicatat oleh Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Persoalan Teologi Islam.
Jakarta: Erlangga, 2006.
Al-Arnauth, Syu’aib dan Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki. Syarh Aqidah
Thahawiyah. Riyadh, Daar’Alimal Kutub Lit Tiba’ah Wan Nasyr Wat Tauzi,
2001.
Connolly, Peter. Approaches to The Study of Religion. Terj. Imām Khoiri. Aneka
Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKIS, 2009.
Effendi, Djohan. Konsep-Konsep Teologis: Kontekstualisasi Doktrin-Doktrin Islam
dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1994.
Esposito, John L. The Oxpord Encyclopedia of The Modern Islamic World. Oxford:
Oxford University Perss, 1995. Jilid ke-4.
Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. Penjelasan Matan Akidah Ath- Thahawiyah: Akidah
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jakarta: Darul Haq, 2014. Cet. Ke-6.
Ferm, Virgilius. Encyclopedia of Religion. USA: Greenword Press Publisher, 1976.
Glasse, Cyril. The Concise Encyclopedia of Islam. London: Staceny International,
1989.
Al-Ghunaimi, Abdul Akhir Hammad. Tahdzib Syarh Aṭ-Ṭaḥāwīyah – Dasar-dasar
‘Aqidah Menurut Ulama Salaf, terj. Abū Umar Basyir Al-Medani, (Solo:
Pustaka At-Tibyan, 1999.
Ḥanafī, Aḥmad. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989. Cet.
ke-3.
_____________. Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Al-Ḥanafī, Imām Ibnu Abil Izz. Tahzib Syarah Thahawiyah. Jakarta: Darul Haq,
2016.
Harahap, Syahrin. Teologi Kerukunan. Jakarta: Prenada, 2011.
Hassan, A. Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. Bandung: Diponegoro,
2007. Jilid ke-3.
_____________. Ringkasan Tentang Islam. Bangil: al-Muslim, 1980.
Hasyim, Arrazy. Akidah Salaf Imām al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan. Ciputat:
Maktabah Darus-Sunnah, 2020.
75
76