SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun oleh:
Lukman Hakim
11140331000027
Di Bawah Bimbingan
Sidang Munaqasyah
Pembimbing,
salah satu syarat memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
Lukman Hakim
ABSTRAK
METODE DEMONSTRASI DALAM LOGIKA AL-FĀRĀBĪ
Kata Kunci: Demonstrasi, Logika, al-Fārābī
Tulisan ini memfokuskan pada metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī yang ditulis
dalam bukunya Manṭiq ‘inda al-Fārābī: Kitāb al-Burhān atau secara singkat disebut
Logika Perspentif al-Fārābī: Demonstrasi. Dalam buku tersebut al-Fārābī menulis
mengenai metode demonstrasi untuk menghasilkan kesimpulan yang benar dan sesuai
dengan bukti rasional. Metode ini merupakan jenis silogisme yang berbeda dari bentuk-
bentuk silogisme lainnya, yang lebih mengedepankan bukti rasional yang sesuai
dengan kenyataan. Selain itu, metode demonstrasi, juga merupakan metode untuk
mendapatkan pengetahuan saintifik yang diambil dari kesimpulan yang logis dan dapat
dipertanggungjawabkan. Menurut al-Fārābī pengetahuan demonstrasi hanya dapat
ditempuh melalui metode demonstratif, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui
ketetapan akal tanpa proses observasi dan bertemu langsung, mengetahui melalui
esensi dan substansinya.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka
(library research) yaitu proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-
penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan
masalah penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam tentang
metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī.
Hasil penelitin ini berupa tulisan yang menjelaskan bahwa metode demonstrasi
memuat prinsip-prinsip rasional yang dapat membantu seseorang menghasilkan sebuah
kepastian pengetahuan dengan silogisme yang tersusun dari proposisi-proposisi yang
sudah terbukti kebenarannya dengan sendirinya (yaqīniyyah) dan niscaya
menghasilkan konklusi benar. Maka dari itu, tulisan ini menfokuskan pada metode
demonstrasi yang tujuan akhir dari pendekatan ini adalah mengetahui bentuk-bentuk
dasar yang merupakan eksistensi benda-benda yang ada secara pasti.
i
KATA PENGANTAR
Alḥamdulillāh, puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa kendala yang
berarti. Ṣhalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW
Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Agama (S.Ag) pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik
secara materiil dan immateriil. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan
terimakasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Moh. Risdi dan Ibunda Moplihah yang
telah memberikan cinta dan kasih sayangnya selama ini, serta doa yang tulus
2. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku pembimbing skripsi penulis, terimakasih atas
dan membantu penyusunan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
ii
iii
Penulis memanjatkan doa semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda
dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir, amin. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca
umumnya.
Lukman Hakim
PEDOMAN TRANSLITERASI
Vocal Panjang
Arab Indonesia Inggris
آ ā ā
إى ī ī
أو ū ū
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... iv
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 8
E. Tinjauan Pustaka............................................................................................ 9
F. Metode Penelitian ........................................................................................ 10
BAB II BIOGRAFI AL-FĀRĀBĪ ..................................................................... 12
A. Latar Belakang Pendidikan .......................................................................... 12
B. Karya-Karya ................................................................................................ 16
C. Al-Fārābī dan Falsafahnya ........................................................................... 19
1. Emanasi ............................................................................................... 20
2. Falsafah Kenabian............................................................................... 26
3. Falsafah Politik ................................................................................... 28
4. Logika ................................................................................................. 35
D. Peran dan Pengaruh ..................................................................................... 38
BAB III LOGIKA DAN PERKEMBANGANNYA ........................................ 43
A. Definisi Logika ............................................................................................ 43
B. Urgensi Studi Logika ................................................................................... 50
C. Sejarah Perkembangan Logika .................................................................... 58
1. Logika Pada Zaman Yunani Kuno...................................................... 59
2. Logika Pasca Sokrates ........................................................................ 60
3. Logika Pada Abad Pertengahan .......................................................... 64
4. Logika Pada Era Modern .................................................................... 66
BAB IV DEMONSTRASI DALAM LOGIKA AL-FĀRĀBĪ ........................ 69
A. Logika Aristoteles ........................................................................................ 69
B. Logika Al-Fārābī: Demonstrasi ................................................................... 72
v
vi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
sumbangsih mereka. Salah satu tokoh failasūf yang sangat berperan penting dan
1
Failasūf adalah Istilah yang dipakai dalam bahasa Arab untuk menyebut subjek atau
seseorang yang cinta kebijaksaan (Philosopher). Ibnu Mandzur, Lisān al-‘Arab (Libanon: Dār al-
Ma’ārif, 1981), h. 3461.
2
Aristoteles dilahirkan di Stageira, Yunani Utara, berdekatan dengan kota Macedonia,
tepatnya pada tahun 384 SM. Ayahnya adalah seorang dokter pribadi Amyntas II, raja Macedonia.
Aristoteles meninggal sekitar usia 62 tahun. Masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat
Barat (Jogjakarta: IRCiSoD, 2013), h. 163.
3
Organon adalah kumpulan dari enam risalah karya Aristoteles (384-322 SM.). Pertama,
adalah Categories yang membahas tentang term-term yang simpel, partikular, diferensia dan
katagori-katagori yang universal (sepuluh katagori Aristoteles). Kedua, On Interpretation
membahas tentang proposisi, penegasan atau negasi, menjelaskan tentang statemen yang valid
maupun yang tidak valid, dan inferensi. Ketiga, Prior Analylics berisi tentang inferensi dan
pembuktian silogisme. Keempat, Posterior Analytics tentang demonstrasi pembuktian ilmiah yang
berdasarkan premis-premis. Kelima, Topics yang membahas penalaran dialektik yang berdasar dari
yang disepakati bukan premis meyakinkan. Terakhir, On Sophistical Reputation yang membahas
tentang silogisme yang tidak valid (al-qiyas al-mughliṭa). Richard Mc. Keon, (ed), Introduction to
Aristotle (New York: the Modern Library, 1947), h. 2.
4
Aristoteles sendiri sebenarnya tidak menggunakan istilah logika, tetapi menggunakan
istilah analitika, untuk meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi-proposisi yang
benar. Adapun untuk meneliti argumen yang bertolak dari proposisi-proposisi yang diragukan
kebenarannya menggunakan istilah dealektika. Istilah silogisme atau logika tradisional atau metode
1
2
bisa disangkal bahwa logika adalah karya falsafah5 terbesar yang dihasilkan oleh
merupakan seperangkat alat analisis dan cara berpikir yang dengannya mampu
membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Maka setiap ilmu
yang sangat signifikan dalam sejarah intelektual umat manusia.6 Sampai saat ini,
buku-buku rujukan dan pegangan logika sebagian besar diisi oleh kontribusi
masa pemerintahan Abbasiyah7 abad ke-13 Masehi. Pada saat itulah ilmu
deduksi dikenal pada masa kini, bermula dari Alexander Aphrodisiasi (abad ke 3 SM.) menggunakan
istilah logika, sebagai alat dan mikanisme penalaran untuk menarik konklusi yang benar berdasarkan
premis-premis yang benar adalah suatu bentuk formal dari penalaran deduktif. Jan Hendrik Rapar,
Pengantar Logika Tradisional (Bandung: Bina Cipta, 1980), h. 1.
5
Falsafah (filsafat) merupakan suatu istilah yang masuk ke dalam bahasa Arab melalui
usaha penerjemahan teks Yunani yang dilakukan pada abad ke-2 H/ke-8 M dan ke-3 H/ke-9 M.
Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan,
Buku Pertama, 2003), h. 29, dan Ibnu Mandzur, Lisān al-‘Arab, h. 3461.
6
Zainun Kamal, Ibn Taimiyah Versus Para Filosof (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 2.
7
Kekhalifahan Bani Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas bin Abdul Muṭalib, paman
Rasulullah dari pihak bapak. Dinasti ini berdiri pada tahun 132 H. Ali Muhammad Ash-Shallabi,
Sejarah Daulah Umawiyah dan Abbasiyah (Jakarta: Ummul Qura, 2016), h. 133.
3
Umayyah8 abad ke-8 Masehi. Pengaruh falsafah Yunani secara mendalam terjadi
pada kekhalifahan al-Ma’mūn9 pada tahun 215 H., menjadikan Baghdad sebagai
pengetahuan.11
keilmuan di dunia Islam, dan secara khusus di bidang logika. Tidak ada edisi
8
Khalifah pertama Bani Umayyah adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, suku Quraisy dari
keluarga Umayyah. Kesepakatan terjadi atas kekhalifahan Muawiyah, dan seluruh rakyat sepakat
untuk membaiatnya pada tahun 41 H. Ali Muhammad Ash-Shallabi, Sejarah Daulah Umawiyah dan
Abbasiyah, h. 35-39.
9
Dia adalah Abdullah bin Hārūn bin Muḥammad bin Abdullah. Dilahirkan pada tahun 170
H. dan meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 218 H. Beliau mencintai ilmu, tetapi tidak memiliki
pengetahuan yang mendalam tentangnya. Al-ma’mūn memerintahkan agar buku-buku karya orang-
orang terdahulu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ali Muhammad Ash-Shallabi, Sejarah
Daulah Umawiyah dan Abbasiyah, h. 142-143.
10
Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam (London: Routledge and Kegan Paul, 1975),
h. 12.
11
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Universitas Indonesia dan Tintamas,
1980), h. 21.
12
Mazhab Paripatetik (Masya’i) adalah aliran yang memiliki hubungan “Benang Merah”
dengan Aristoteles. Karena kelahiran mazhab ini dilatarbelakangi oleh semangat meneruskan dan
menghidupkan falsafah Aristoteles. Beberapa tokoh failasūf Islam yang dikatagorikan kepada aliran
Paripatetik adalah al-Kindī (w. 866), al-Fārābī (w. 950), Ibn Sīnā (w. 1030), Ibn Rusyd (w. 1196),
dan Naṣir al-Din Thūsī (w. 1274). Mulyadhi Kertanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar
Filsafat Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 27.
4
muncul abad kelima sampai abad keduabelas, atau edisi dalam bahasa Arabnya,
dengan falsafah Islam membentuk reputasinya sebagai salah satu failasūf kaliber
dunia.
tinggi lagi. Jika al-Kindī dipandang sebagai seorang failasūf Muslim dalam arti
piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun.
Alpharabius) begitu “istimewa”. Bukan saja posisinya yang sentral karena dapat
13
Al-Fārābī Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan
Ibn Auzalagh yang biasa disingkat al-Fārābī (870-950 M). Beliau adalah seorang muslim keturunan
Parsi, yang dilahirkan di Wasij, Distrik Farab (Turkestan). Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof
dan Filsafatnya (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004), h. 65.
14
Al-Kindī, alkindus, nama lengkapnya Abū Yusūf Ya’qūb ibn Ishāq al-Kindī, lahir di
Kufah, Iraq (sekarng), sekitar tahun 185-252/801-866, pada masa khalifah Harun al-Rasyīd (786-
809 M) dari Dinasti Bani Abbas (750-1258 M). M. Syarif, Para Filosof Muslim, terj. A Muslim
(Bandung, Mizan, 1996), 11, dan Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis
Filsafat Islam, h. 207.
5
orang pertama yang menemukan ilmu logika.15 Penilaian ini didasarkan dengan
jasanya sebagai penafsir yang baik dari logika Aristoteles. Dengan demikian
maka beliau dianggap sebagai yang paling terpelajar dan tajam dari para
Mantik disebut pula dengan logika, berasal dari kata sifat logike (bahasa
Yunani) yang berhubungan dengan kata benda logos, yang artinya pikiran atau
kata sebagai pernyataan dari pikiran itu. Hal ini menunjukkan adanya hubungan
yang erat antara pikiran dan kata yang merupakan pernyataannya dalam bahasa.
Jadi, menurut etimologinya logika adalah ilmu yang mempelajari pikiran yang
dinyatakan dalam bahasa, dan berpikir itu sendiri adalah suatu kegiatan jiwa
empat jilid, yaitu: jilid pertama, Kitāb al-maqūlāt dan Kitāb al-‘Ibarāh. Jilid
kedua, Kitāb al-Qiyās dan Kitāb al-Tahlīl. Jilid ketiga, Kitāb al-Jadal. Jilid
Dalam kajian skripsi ini, penulis mengkhususkan bahasan tentang kitāb al-
burhān yang merupakan salah satu karya terpenting dalam logika al-Fārābī. Al-
15
Husayin Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya), h. 128.
16
Chaerudji Abdulchalik, Ilmu Mantiq: Undang-undang Berfikir Valid (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 1.
6
al-Fārābī sebut sebagai Second Analytics (anālūṭīqā al-tsānī) atau Last Analytics
kesalahan dalam pendapat, dan kebenaran dari kesalahan dalam keyakinan, serta
17
Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān (Beirut: Dārul al-Maṣriq, 1987), h. 5-6.
18
Penulis menggunakan term “demonstrasi” sebagai terjemahan dari “al-burhān” terdapat
beberapa alasan, pertama, secara etimologi, term al-burhān (bahasa Arab) memiliki makna yang
sepadan dengan demonstrasi (bahasa Indonesia) yaitu membuktikan, menunjukkan, bukti (dalīl)
atau petunjuk (bayyinah). Lihat, Atābik ‘Alī dan Aḥmad Zuhdī Muḥḍar, Kamus Kontemporer
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998), h. 321, Maḥmud Yūnus, Qāmūs ‘Arabī-Indūnisī (Jakarta:
PT. Maḥmud Yūnus wa al-dzuriyyah, 1990), h. 63, dan
https://kamuslengkap.com/kamus/sinonim/arti-kata/demonstrasi. Kedua, secara terminologi, dalam
beberapa buku yang penulis baca, kata demonstrasi (demonstration) menurut sarjanawan memiliki
definisi yang sama dengan definisi al-burhān menurut al-Fārābī, yaitu, prinsip-prinsip rasional yang
dapat membantu seseorang menghasilkan sebuah kepastian tentang pengetahuan ilmiah. Lihat, Al-
Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabah al-Hilal, 1996), h. 38, Laurence Johnstone, A Short
Introduction to The Study of Logic (London: Longmans, 1887), h. 88-89, dan Richard F. Clarke,
Logic (London: Longmans, 1921), h. 420, dll. Ketiga, kata demonstrasi - oleh sebagian sarjanawan
yang mengkaji tentang logika al-Fārābī - dipakai untuk menjelaskan tentang silogisme dalam logika
al-Fārābī yang merujuk pada karyanya yaitu Kitāb al-Burhān. Lihat, Seyyed Hossein Nasr dan
Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 226, dan Humaidi, Paradigma Sains
Integratif al-Farabi (Jakarta: Sadra Press, 2015), h. 82.
19
Ikhwān al-Ṣafā’ (Persaudaraan Suci) adalah organisasi yang bergerak dalam bidang
keilmuan dan juga bertendensi pada politik yang berhubungan dengan kondisi dunia Islam pada saat
itu. Perkumpulan ini lahir pada abad ke-4 H/10 M di kota Basrah. Dari Basrah, Ikhwān al-Ṣafā’ terus
menyebar dan berkembang ke berbagai daerah seperti Iran dan Kuwait. Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam, Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 139.
20
Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 82-83.
7
pengetahuan.
Oleh karena itu, skripsi ini menjadi penting untuk dibahas dalam
1. Pembatasan Masalah
karangan dalam ilmu mantik. Salah satu karangan beliau adalah Kitāb al-Burhān
atau bisa disebut “kitab tentang pembuktian” atau juga disebut demonstrasi.
Kitab tersebut merupakan tulisan terakhir dari empat jilid karangan al-Fārābī
Oleh karena itu, tulisan ini memfokuskan pada konsep mengenai metode
21
Mufaḍḍal ibn ‘Umar, Īsāghūjī, (İstanbul: Fazilet Neşriyat, 2011), h. 14-15.
8
2. Rumusan Masalah
Penulis menetapkan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini, yaitu:
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Tinjauan Pustaka
tentang pemikiran falsafah politik al-Fārābī, seperti yang penulis temukan dalam
karya akademik dalam bentuk skripsi. Skripsi tersebut ditulis oleh Desi
Bangsa (PBB).
Tidak hanya itu, penulis juga menemukan karya karya akademik dalam
bentuk skripsi yang lain. Skripsi tersebut ditulis oleh Muhammad Fanshobi salah
dalam Negara Utama al-Fārābī. Dalam skripsi tersebut membahas mengenai al-
istilah Negara Utama. Dalam skripsi tersebut juga dibahas tentang negara ideal
menurut al-Fārābī.
10
Selain itu, penulis juga menemukan karya akademik dalam bentuk skripsi.
Skripsi tersebut ditulis oleh Siti Rahayu Rahmayanti salah satu mahasiswi UIN
aplikasi musik religi terhadap jiwa manusia, yang di fokuskan kepada kasus
Dengan tinjauan tersebut, sejauh yang penulis telusuri, tidak ada skripsi
akademik tentang al-Fārābī yang penulis telusuri hanya pada pemikiran tentang
konsep negara utama dan pengaruh musik terhadap kejiwaan menurut al-Fārābī.
F. Metode Penelitian
Sumber data primer dari penelitian ini adalah mengambil dari buku hasil
data sekunder, berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku seperti buku
Sumber yang berkaitan dengan analisis yang ditulis oleh para sarjana dan
2. Teknik Penelitian
3. Teknik Penulisan
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh
Ilmu-Ilmu Ushuluddin).
BAB II
BIOGRAFI AL-FĀRĀBĪ
Abu Nasr Muḥammad bin Muḥammad bin Tarkhan bin Uzlagh al-Fārābī,
yang dikenal dengan al-Fārābī, merupakan failasūf Islam yang lahir di Wasij
Distrik Fārāb (yang juga dikenal dengan nama Otrar) di Transoxdiana (sekarang
Uzbekistan), pada tahun (257H/870 M).1 Nama al-Fārābī sendiri diambil dari
Auzalgh adalah seorang Jendral Panglima Perang Parsi. Ayahnya adalah seorang
Iran dan menikah dengan wanita Turkestan. Kemudian dia menjadi Perwira
al-Fārābī muda menerima pendidikan yang layak. Dia digambarkan sejak dini
memiliki kecerdasan istimewa dan bakat untuk menguasai hampir setiap subjek
dasar ilmu agama dan bahasa. Ilmu agama meliputi al-Qur’an, hadis, tafsir, dan
fikih. Sedangkan ilmu bahasa al-Fārābī memiliki kecakapan yang luar biasa.
Bahasa yang dikuasai antara lain bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan, bahkan
ada yang mengatakan bahwa al-Fārābī mampu berbicara dalam tujuh puluh
1
Al-Fārābi, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Al-Atruk: al-Maktabah al-Azhar, 1234
H/1906 M), Cet ke- 1, h. 1.
2
Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), Cet. Ke-2, h. 30.
12
13
macam bahasa, tetapi yang dia kuasai dengan aktif, hanya empat bahasa,
lain. Sejak muda hingga dewasa, dia bergelut di dunia ilmu pengetahuan. Pada
masa mudanya, al-Fārābī belajar falsafah dan logika kepada seorang Kristen
Nestorian, yaitu Yuḥannā ibn Ḥaylān4 (w. 910), dan belajar kepada Abū Bisyr
Mattā ibn Yūnus al-Qunnā’ī5 (w. 940).6 Kemudian, pada tahun 920 M, al-Fārābī
kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat
3
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Pers, 1993), h. 49.
4
Yuḥannā ibn Ḥaylān, failasūf Kristen yang pada tahun 820 telah pergi ke Baghdad dan
kemudian menjadi guru dari sarjana Islam pertama dalam falsafah Yunani bernama al-Fārābī (872-
950). http://www.tahoor.com/en/Article/View/117917. diakses pada 08 Mei 2019, 07.00 WIB.
5
Abū Bisyr Mattā ibn Yūnus al-Qunnā’ī adalah seorang failasūf Kristen yang memainkan
peran penting dalam transmisi karya-karya Aristoteles ke dunia Islam. Ia terkenal terkenal karena
mendirikan Sekolah Failasūf Aristotelian di Baghdad. https://en.wikipedia.org/
wiki/Abu_Bishr_Matta_ibn_Yunus. diakses pada 12 Mei 2019, 06.20 WIB.
6
Amroeni Drajat, Filsafat Islam (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 26.
7
Ainur Rahman Hidayat, Filsafat Berpikir (Pamekasan: Duta Media, 2018), h. 17.
8
Al-Muktafī Billah, Abu Muḥammad adalah anak al-Mu'taḍid (892-902) dengan seorang
budak Turki. Ia lahir pada Rajab 264 H. Ia dilantik menjadi khalifah Daulah Abbasiyah ke-18 ketika
ayahnya sakit, pada hari Jumat usai shalat Ashar 19 Rabiul Awwal 289 H, pada usianya yang ke-25.
Al-Muktafi hanya memerintah selama 6 tahun 6 bulan 19 hari. Al-Muktafī meninggal dalam usia
yang sangat muda. Dia meninggal pada malam Ahad, tanggal dua belas Dzulqa’dah tahun 295 H.
Dia meninggalkan delapan anak laki-laki dan delapan anak perempuan. Kemudian al-Muktafī
digantikan oleh saudaranya al-Muqtadīr (908-932 M). Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’ (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2009), cet ke-6, h. 451-453.
9
Al-Muqtadīr Billah, Abu al-Fadhl, bernama Ja’far bin al-Mu’taḍīd. Dia dilahirkan pada
bulan Ramadhan tahun 282 H. Dia adalah khalifah termuda dan belum pernah ada seorang khalifah
pun yang memerintah sebelumnya yang lebih muda daripadanya. Sebab ia mulai menjadi khalifah
pada usia tiga belas tahun. Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, h. 453.
10
Falsafah Yunani dan logika Aristoteles tersebar di empat tempat pusat kegiatan berilmu
pengetahuan, salah satunya di Roma, yang kemudian ibu kota dari Roma dipindahkan ke
Konstantinopel (didirikan oleh Kaisar Romawi Konstantinus I). Pengaruh falsafah Aristoteles ini,
mempengaruhi pemikiran orang-orang Kristen, terutama sehubungan dengan ketuhanan Yesus
14
tahun 297 H. dia telah kembali ke Baghdad untuk belajar, mengajar, mengaji
menetap di kota ini selama 20 tahun. Di Baghdad pula dia membuat ulasan
logika, etika, ilmu politik, musik, dan lain sebagainya.12 Meskipun kemungkinan
besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, tetapi ia banyak mengenal para failasūf
bahkan musik. Kitāb al-Mūsīqā al-Kabīr, sebagai salah satu karyanya. Ia dapat
Pada tahun 330 H (945 M), ia pindah ke Damaskus, dan berkenalan dengan
besar sekali, tetapi al-Fārābī memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik
Kristus di Roma. Aburisman, al-Fārābī dan Logika Aristoteles (Perpustakaan Digital UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2008), h. 6.
11
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filusuf dan Ajaran (Bandung:
Pustaka Setia, 2009), h. 75.
12
Kahrawi Ridwan (ed.), Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999), vol. 1,
Cet. Ke-4, h. 331.
13
Nama Plato sebenarnya adalah julu𝑘annya karena memiliki dahi dan bahu yang lebar,
nama aslinya adalah Aristocles. Ia hidup sekitar tahun 427-347 SM. Masykur Arif Rahman, Buku
Pintar Sejarah Filsafat Barat (Jogjakarta: IRCiSoD, 2013), h. 149.
14
Plotinus lahir di Mesir pada tahun 204 SM. Ia tertarik pada falsafat, karena itu ia datang
ke Alexandria untuk menemui seseorang yang terkenal ahli dalam falsafah, khususnya falsafah
Plato. Ia meninggal pada tahun 270 SM di Minturnae, Campania, Italia. Masykur Arif Rahman,
Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, h. 193-194.
15
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam (Jakarta:
Kencana, 2010), h. 6.
16
Abu al-Maḥasin ibn Abdullah (333H-356H /944-967M) yang bergelar Saif al-Daulat
adalah raja pertama dan pendiri Dinasti Hamdaniyah di Aleppo yang memerintah dari tahun 333 H
sampai tahun 356 H/944 -967M. Muchtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat (Palembang:
Universitas Sriwijaya, 2001), volume 5, h. 209.
15
sisa tunjangan yang diterimanya, di bagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal
adalah al-Fārābī bertemu dengan sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih dan
kedua kota ini semakin memburuk. Sehingga Saif al-Daulah menyerang kota
gemercik air sungai dan di bawah dedaunan dan pepohonan yang rindang.18 Al-
Fārābī hampir sepanjang hidupnya terbenam dalam dunia ilmu. Sehingga tidak
Al-Fārābī mukim di Syiriah hingga wafat pada bulan Rajab tahun 339H/
gerbang kecil (al-bāb al-saghīr) kota bagian selatan. Saif al-Daulah saat itu yang
17
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filusuf dan Ajaran, h. 75.
18
M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1998), h. 58.
19
Khudori Soleh, Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016), h. 93.
16
B. Karya-Karya
khusus pada ilmu kedokteran. Para bibliographer tradisional mencatat bahwa al-
Fārābī memiliki lebih dari seratus karya, yang sebagian besar masih
karyanya dalam bahasa Arab.20 Dari ratusan karya al-Fārābī tersebut – jika
Banyak di antara karya-karya ini yang baru belakangan tersedia dalam edisi
sejauh ini, sebagian besar karya al-Fārābī difokuskan pada logika dan falsafah
Fārābī sangat aktif dan produktif dalam membuat karya-karya yang sangat
mendahuluinya.
dibagi ke dalam enam bidang ilmu pengetahuan, yaitu 43 buah mengenai manṭiq,
20
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of
Science (Malaysia-Kuala Lumpur: Institute for Policy Research, 1992), h. 21.
17
yang diantaranya adalah metafisika, rahasia alam, akal dan sebagainya. 14 buah
tentang ilmu politik yang mencakup ilmu-ilmu akhlak, dan kenegaraan. Dan 28
buah lainnya, mengenai “Bunga Rampai” termasuk di dalamnya buku Iḥṣā’ al-
5. Al-Ta‘līqāt.
21
Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama (Madinah al-Fadhilah) (Jakarta: Kinta, 1968), h.
23.
18
politik, hukum dan ketuhanan yang sebenarnya telah pernah dibahas oleh para
penulis lain. Namun yang membuat buku itu istimewa adalah karena al-Fārābī
rangkum dalam dua cabang ilmu baru, yakni fikih (hukum Islam) dan ilmu kalam
310 H./941 M., setelah usianya hampir mencapai 50 tahun. Jika diperhitungkan
bahwa semenjak dia menulis sampai usianya 80 tahun, berarti paling lama
22
Sudarsono, Filsafat Islam, h. 32.
19
Selain dalam bentuk buku, risalah dan manuskrip tersendiri, al-Fārābī juga
kali ia belum juga mampu mencerna isinya sampai ia membaca buku “Intisari
falsafah sudah selesai, maka untuk selanjutnya tugas tersebut diteruskan oleh al-
23
A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 127-128.
24
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), h. 27.
20
dengan sistematis dan selaras. Falsafah al-Fārābī memiliki peranan yang penting
1. Emanasi
Emanasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu emanate, yang berarti berasal,
keluar. Emanasi adalah suatu teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang
mumkin (alam makhluk) dari zat yang wājib al-wujūd (zat yang mesti ada:
Tuhan). Teori ini juga dikenal dengan nama teori “urutan wujud”. Falsafah
emanasi ini muncul pertama kali pada masa puncak terakhir falsafah Yunani,
falsafah sebelumnya.26
Dalam sejarah falsafah Islam muncul seorang tokoh yang berpikir tentang
teori emanasi, yaitu al-Fārābī. Berawal dari rasa penasaran al-Fārābī tentang
memuaskan di sana, padahal pertanyaan bagaimana dari yang Esa muncul dunia
25
Neoplatonisme adalah ajaran falsafah yang didirikan oleh Plotinus. Dikatakan
Platonisme, karena inspirasi utama dalam falsafahnya berasal dari pemikiran Plato. Pemikiran
mengenai metafisika menurut Plotinus, Yang Esa adalah sumber sekaligus muara segala sesuatu.
Maksudnya, segala sesuatu berasal dari Yang Esa dan Yang Esa menjadi tujuan segala yang ada.
Masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, h. 195-196.
26
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik
hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2017), Edisi ke 3, h. 8.
27
Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas
(Jakarta: Erlangga, 2007), h. 65.
21
Neoplatonisme, dalam apa yang kemudian dikenal dengan “teori emanasi” (atau
dalam bahasa Arab disebut nazhariyyah al-faidh). Menurut teori ini, alam
muncul sebagai pelimpahan (emanasi) dari Tuhan Yang Maha Esa, yang
digambarkan sebagai Akal Murni. Alam muncul sebagai konsekuensi logis dari
aktivitas berpikir Tuhan. Dari pemikiran ini, muncullah Akal (Nous), kemudian
jiwa, dan dari jiwa kemudian muncul alam yang beraneka ini.28
Bagi Neoplatonis, akal adalah wujud yang paling jelas ‘menyerupai’ Tuhan
dari segala alam semesta. Kemudian dari akal tersebut ber-emanasi dan
bentuk. Ada tiga jiwa yang berbeda yaitu jiwa tumbuhan, hewan dan manusia.
dari jiwa melahirkan jasad yang merupakan pelimpahan wujud tingkat ketiga.
Pada wujud ketiga ini telah mengalami perubahan yang jauh dari sempurna.
Mengingat jasad lebih jauh posisinya dengan Akal (Tuhan). Namun demikian,
hal itu tidak kemudian mempunyai kemiripan dari segala-galanya. Jika akal
sehingga muncullah teori emanasi versi al-Fārābī yang lebih kompleks. Menurut
teorinya, setelah Tuhan, bukan hanya akal, jiwa, dan alam materi yang muncul
28
Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas, h.
66.
29
Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik (Yogyakarta: LKiS, 2005), h.
106.
22
Dengan munculnya akal-akal inilah, maka keanekaan muncul, karena ini objek
pemikiran menjadi ganda. Kalau Tuhan hanya bisa memikirkan satu objek saja
(yaitu diri-Nya saja Yang Esa) sehingga dari-Nya hanya satu objek yang bisa
muncul, maka akal-akal yang melimpah dari Tuhan mempunyai lebih dari satu
objek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya. Dari memikirkan Tuhan muncul akal
dan seterusnya, sampai pada “akal kesepuluh” (biasa juga disebut Malaikat
Jibril) yang kemudian menghasilkan dunia material ini. Akal kesepuluh atau akal
Neoplatonik yang dikenal al-Fārābī adalah teori emanasi, yang titik pusatnya
metafisikanya al-Fārābī, dan dapat disimpulkan bahwa alam ini berasal dari Zat
yang Maha Tunggal, Kekal dan Suci melalui pelimpahan (emanasi). Argumen
30
Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas, h.
66.
31
Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam
(Bandung: Mizan, Buku Pertama, 2003), h. 236.
23
al-Fārābī dalam penciptaan alam ini diawali dengan adanya semua alam ini
berasal dari wujud tunggal yang mesti ada (wajib al-wujūd) yaitu Tuhan,
dijadikan dasar oleh al-Fārābī adalah keteraturan alam dan tata letaknya yang
sangat teratur seperti anggota tubuh yang bekerja sesuai fungsinya. Hal ini
menunjukkan alam ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dari wujud yang
(sphere) konsentris: yang paling luar disebut sebagai langit pertama, bola langit
bintang-bintang tetap, dan bola langit Saturnus, Yupiter, Mars, Matahari, Venus,
sumber. Dalam premis dasarnya teori ini menunjukkan perbedaan yang radikal
dengan Aristoteles, yang menganggap Tuhan bukan sebab efisien bagi eksistensi
Namun, yang paling penting, Tuhan dicirikan oleh al-Fārābī sebagai intelek yang
32
M. Wiyono, Pemikiran Filsafat al-Fārābī (Jurnal Substantia, Volume 18 Nomor 1, April
2016), h. 72.
24
peran Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sebagai hasil dari perenungan-
dirinya terjadilah pelimpahan atau emanasi (faidh), berupa intelektual kedua dari
Tuhan. Intelek kedua ini, seperti Tuhan, dicirikan oleh aktifitas kontemplasi-diri.
Tetapi di samping itu, intelek kedua ini harus memikirkan wujud Tuhan.
ganda ini untuk tiap-tiap bola langit dalam kosmologi dan intelektualnya yang
Emanasi semua wujud pada dasarnya berasal dari wujud yang satu dan
menghasilkan wujud lain, terjadi dalam bentuk tunggal dan bertingkat secara
murni berpikir tentang dirinya yang menghasil wujud pertama (al-maujūd al-
awwal) yaitu Tuhan sebagai akal yang berdaya pikir tentang diri-Nya. Dari daya
pemikiran Tuhan yang besar dan hebat itu timbul wujud kedua yang merupakan
mana jiwa manusia adalah substansi rohani yang berdiri sendiri, dan inilah
33
Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 236-
237.
34
M. Wiyono, Pemikiran Filsafat al-Fārābī, h. 72-73.
35
Muhammad Usman Najati, Al-Dirasah al-Nafsiah ‘inda al-‘Ulama al-Muslimin. Terj.
Gazi Saloom (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 63.
25
dua unsur: pertama, substansi rohani dari alam amar atau amar Ilāhi (jiwa), dan
muwallidah; reproduction).
2. Jiwa hewani memiliki dua daya, yaitu: daya mengetahui (al-quwwah al-
motion).
bagian, yaitu: akal praktis (al-aql al-‘amali; practical intellect) dan akal
tiga tingkatan yaitu akal potensi, actual, dan mustafād. Akal mustafād
Kontak akal mustafād dengan Akal Kesepuluh atau Akal Aktif merupakan
yang paling besar yang dapat dicapai oleh manusia, serta tidak ada
36
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik
hingga Indonesia Kontemporer, h. 9-10.
26
mustafād. Ia siap menerima emanasi seluruh objek rasional dari Akal Aktif.
2. Falsafah Kenabian
kenabian secara lengkap, sehingga hampir tidak ada penambahan oleh failasūf
lain sesudahnya. Falsafahnya ini didasarkan pada psikologi dan metafisika yang
erat hubungannya dengan ilmu politik dan etika. Seperti yang akan dijelaskan
Dalam falsafah Kenabian, al-Fārābī erat kaitannya antara Nabi dan failasūf
eksistensi kenabian oleh Aḥmad ibn Isḥāq al-Ruwāndī (w. akhir abad III H.)38
dan Abū Bakr Muḥammad ibn Zakariya al-Rāzī (864-925 M)39. Di mana
dengan ‘aql fa’āl.40 Ahmad ibn al- Ruwāndī, tokoh yang berkebangsaan Yahudi
ini menurunkan beberapa karya tulis yang isinya mengingkari kenabian pada
37
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), h. 81.
38
Abu al-Ḥasan Aḥmad bin Yahya bin Isḥāq al-Ruwāndī, umumnya dikenal sebagai Ibn
al-Ruwāndī merupakan skeptis awal Islam dan pengkritik agama pada umumnya. Ia lahir di Greater
Khorasan, sekarang terletak di barat laut Afghanistan, sekitar tahun 815 M.
https://en.wikipedia.org/wiki/Ibn_al-Rawandi. diakses pada 09 Mei 2019, 20.45 WIB.
39
al-Rāzī – dokter, failasūf, kimiawan, dan pemikir bebas, dikenal oleh orang Latin sebagai
Rhazes – dilahirkan, sebagaimana diisyaratkan oleh namanya, di Rayy, dekat Teheran sekarang.
Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 243.
40
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. I, 1999), h. 44.
27
dua cara, yakni: penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau intuisi
(ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi pilihan yang
Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh Nabi. Perbedaan antara kedua
Tentu saja jika yang dipahami sebagai ‘aql fa’āl itu adalah Jibril, maka yang
failasūf pun tidak akan dapat mencapai derajat ini. Konon lagi, jika
menggunakan logika sederhana bahwa Nabi adalah failasūf, dan failasūf bukan
Nabi. Maka dari sisi tingkatannya pun antara Nabi dan failasūf sangat berbeda,
objek indrawi dari luar tidak akan dapat mempengaruhinya sehingga ia dapat
sekarang atau mendatang dari ‘aql fa’āl, pada waktu bangun. Dengan adanya
ketuhanan.43
sebelumnya, antara failasūf dan Nabi terdapat kesamaan. Oleh karena itu, al-
41
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 44.
42
Qosim Nursheha Dzulhadi, Al-Farabi dan Filsafat Kenabian (Jurnal Kalimah, Vol. 12,
No. 1, Maret 2014), h. 131.
43
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, h. 81.
28
3. Falsafah Politik
kebutuhan hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan
spiritual, tidak saja di dunia ini tetapi di akhirat nanti. Pendapat al-Fārābī ini
bermasyarakat inilah lahir berbagai kelompok sosial sehingga muncul kota dan
negara.45
dibangun oleh al-Fārābī juga tercermin dalam falsafah politiknya yang, bersama
44
Al-Fārābī, Ārā’ Ahl al-Madinah al-Fāḍilah, h. 96.
45
Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik
hingga Indonesia Kontemporer, h. 11.
29
mencerminkan cara ideal falsafah politik Plato yang didasarkan pada landasan-
landasan metafisika. Karena itu, dua karya utama al-Fārābī dalam falsafah
karya-karya ini dan karya-karya lainnya tentang falsafah praktis hingga masalah-
syarat negara ideal dan penguasanya, serta masalah hubungan antara falsafah
falsafah politik (‘ilm al-madanī) dalam kitab Iḥṣā’ al-‘Ulūm. Pembahasan kedua
ilmu tersebut berada di bab kelima bersama dengan pembahasan ilmu fikih (‘ilm
al-fiqh) dan ilmu kalam (‘ilm al-kalām). Menurut al-Fārābī, ilmu politik
ini juga membahas tujuan dari perbuatan tersebut, bagaimana mereka seharusnya
ada pada manusia, bagaimana cara mengaturnya di dalam dirinya menurut cara
46
Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam
(Bandung: Mizan, Buku Pertama, 2003), h. 238.
30
yang seharusnya ada di dalam dirinya, dan bagaimana cara untuk menjaga
tindakan-tindakan tersebut.47
Di dalam kitab yang lain, al-Fārābī menyebutkan bahwa ilmu politik adalah
ilmu tentang manusia dan ilmu yang menyelidiki bagaimana cara manusia
harus mengetahui apa dan bagaimana masing-masing dari mereka, dari manakah
dan untuk apa, sehingga ia benar-benar diketahui dan dapat dibedakan dengan
yang lain.48
Fārābī hiya al-wusūl ilā al-sa’ādah ‘an ṭarīqi islāh al-akhlāq wa tahdzībihā.”
Oleh karena itu, al-Fārābī memberi perhatian yang lebih terhadap pendidikan
akhlak melalui falsafah dan ilmu-ilmu yang perlu dipelajari sebelum falsafah.49
struktur alam semesta atau makrokosmos dan juga manusia atau mikrokosmos,
47
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabah al-Hilal, 1996), h. 79. Charles E.
Butterworth, Al-Fārābī, the Political Writings: Selected Aphorism and Other Text (London: Cornell
University Press, 2001), h. 76.
48
Muhsin Mahdi, Al-Fārābī’s Philosophy of Plato and Arestoteles (New York: The Free
Press of Glanco, 1962), h. 24.
49
Ibrāhīm ‘Atī, Al-Insān fī Falsafah al-Islāmiyyah: Namūḍaj al-Fārābī (Alexandria: al-
Hay’an al-Misyriyyah al-Āmah li-Alkitāb, 1993), 241-242.
31
dari mana alam berasal, bagaimana hubungan antara keduanya, serta bagaimana
dan berfungsi, serta apa saja yang harus dipersiapkan dan dilakukan untuk
berinteraksi, dan berkomunikasi. Tesis al-Fārābī adalah untuk dapat menjaga diri
membutuhkan banyak hal yang tidak mungkin dicapai oleh dirinya sendiri.51
Walaupun demikian, menurut al-Fārābī, yang paling baik dan paling baik
dan paling utama adalah komunitas yang ada di sebuah kota, bukan komunitas
50
Humaidi. Paradigma Sains Integratif al-Farabi (Jakarta: Sadra Press, 2015), h. 105.
51
Al-Fārābī, Kitāb al-Siyāsāt al-Madaniyyah, di dalam Rāsa’il al-Fārābī (Haydarabad:
Dār al-Ma’ārif, 1926), h. 39.
52
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 228-229.
32
yang lebih kecil dari sebuah kota, seperti desa, kampung, gang, dan keluarga.53
Alasannya adalah pada masyarakat kota inilah kerja sama untuk mencapai
masyarakat yang ada dalam sebuah kota ini saling bekerja sama untuk mencapai
kebaikan, maka dapat dipastikan kebahagiaan dapat diperoleh. Kota yang seperti
inilah yang kemudian al-Fārābī menyebutnya dengan sebutan kota utama (al-
madīnah al-fāḍilah). Jika kota-kota yang mencapai tingkat kota utama dan
secara bersama-sama bekerja sama dengan kota-kota lain yang ada dalam sebuah
negara, maka negara tersebut akan sampai pada sebutan negara utama (the
exelent nation). Di dalam negara seperti ini, masyarakatnya bekerja sama dan
saling membantu untuk mencapai kebahagiaan, yang menjadi tujuan akhir dari
Lawan dari kota utama, menurut al-Fārābī, adalah kota terbelakang (al-
madīnah al-jāhilah) dan rusak (al-fāsiqah). Kota yang terbelakang adalah kota
tersebut tidak pernah terlintas dalam benak mereka. Bahkan, jika mereka diberi
tahu, mereka tidak dapat memahami dan tidak percaya tentangnya. Kebahagiaan
yang mereka pahami dan ketahui hanyalah sesuatu yang bersifat parsial, yaitu
kebaikan dan kebahagiaan yang hanya berkaitan dengan tujuan hidup di dunia
kenikmatan indriawi, kebebasan untuk mengikuti hasrat orang lain, senang jika
53
Al-Fārābī, Kitāb al-Siyāsāt al-Madaniyyah, h. 39.
54
Humaidi. Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 107-108.
33
kota niscaya (ḍarūriyyah). Masyarakat kota ini adalah mereka yang hanya
berusaha dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, seperti
Kedua, disebut kota jahat (nadzālah), yaitu sebuah kota di mana tujuan
dibelanjakan pada sesuatu yang lain, melainkan dianggap sebagai tujuan hidup
di dunia ini.
Ketiga, disebut kota rendah (al-khassah) dan hina (suqūth). Kota ini
hubungan seks, dan sejumlah kesenangan indriawi dan imajinasi sebagai tujuan
hidup mereka.56
Keempat, kota gila kehormatan (karāmah), yaitu sebuah kota di mana tujuan
selalu mengharap untuk dipuji dan diperlakukan dengan rasa hormat, baik
55
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 254-255.
56
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 254-255.
34
kemuliaan dan keindahan, baik menurut kecamata orang lain maupun menurut
mereka sendiri.
yang masyarakatnya sama dengan kota utama di satu sisi, namun di sisi lain
Yang Maha Esa, mengerti tentang eksistensi tatanan kedua, paham mengenai
aktif intelek, dan semua yang diketahui serta diyakini oleh masyarakat kota
rusak adalah kota yang bersifat primitif, yang perhatian rakyatnya hanya terbatas
57
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 256-257.
58
Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 257-258.
35
pada pemenuhan kebutuhan hidup seperti makanan, minuman, pakaian, dan lain-
lain.59
Pemikiran politik al-Fārābī ini, menurut Muhsin Mahdi dalam bukunya Al-
dan akar pada pencarian dan penyandaran kebenaran kepada Tuhan kaitannya
dengan semua realitas, alam, dan manusia.60 Ilmu politik, dengan bantuan
dari persepsi dunia fisik dan prinsip-prinsipnya menuju pada realitas spiritual,
yaitu prinsip segala sesuatu yang ada. Ilmu ini mengajarkan manusia sebagai
anggota masyarakat untuk membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik
mengenai tujuan akhir hidupnya. Inilah salah satu alasan dan penjelasan
mengapa dari sembilan belas bab dalam al-Madīnah al-Fāḍilah, harus dimulai
dengan penjelasan panjang lebar tentang yang Satu, Tuhan, diikuti dengan
kosmologi, dan dilanjutkan dengan eksposisi dari falsafah, dan mengapa hanya
sembilan bab terakhir yang berkaitan dengan masalah politik dalam arti yang
ketat.61
4. Logika
59
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 51.
60
Muhsin Mahdi, Al-Fārābī’s Philosophy of Plato and Arestoteles, h. 24.
61
Humaidi. Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 112.
36
dan membimbing manusia pada jalan yang tepat menuju kebenaran, dan
tersebut, logika merupakan salah satu unsur yang penting bagi manusia untuk
dalam membedakan yang benar dari yang salah, dan menunjukkan cara berpikir
yang benar, atau membantu kita dalam membimbing orang lain kearah itu.63
Untuk mengetahui mana yang benar dan salah, berpikir secara logika sangat
dianjurkan, dimana logika bisa menuntun atau membimbing diri dan orang lain
pembahasan dari berbagai tulisannya, kurang lebih sama dalam cara yang dia
62
Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khasanah Islam; Bunga Rampai dari Chicago (Jakarta:
Paramadina, 2000), hal. 62.
63
Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khasanah Islam, h. 62.
64
Majid Fakhry, al-Fārābī Founder of Islamic Neoplatonism (England, Oneworld Oxford,
2002), h. 25.
37
menyeluruh dan sistematis. Hal ini dimulai dengan logika, yang al-Fārābī
yang berkaitan dengan argumen retoris. (8) Poetics (Kitāb al-Syi‘ir, Poetica),
65
Al-Fārābī, Falsafah Arisṭūṭālīs (Beirut: Dār Majallat Syia, 1961), h. 71.
66
Al-Fārābī, Falsafah Arisṭūṭālīs, h. 72-83, dan Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, h. 44-46, dan
Majid Fakhry, al-Fārābī Founder of Islamic Neoplatonism, h. 41-42, dan Richard McKeon, (ed.),
Introduction to Aristotle (New York: The Modern Library, 1947), h. 2.
38
baru ini terkaji, mempunyai suatu gema yang sangat modern. Minatnya terhadap
analisis kebahasaan yang cermat sebagai alat sangat penting bagi ketelitian dan
merupakan hasil dari pelbagai kondisi historis yang khas yang mewadahinya
kadang-kadang berlawanan antara falsafah dan agama, dan mencari “ceruk” bagi
falsafah dan wacananya dalam lingkungan Arab dan Islam. Minat al-Fārābī
dalam tipe-tipe rasionalitas, wacana dan argumentasi, dan pada hubungan antara
bahasa yang umum dan bahasa falsafah, merupakan bagian integral dari
67
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 241.
39
failasūf terkemudian dalam tradisi Islam, Yahudi dan, Kristen. Kita melihat
betapa besarnya rasa utang budi yang secara terbuka diakui Ibn Sīnā kepada al-
Fārābī dalam metafisika. Ibn Rusyd dan para failasūf Andalusia sejawatnya
meyakini al-Fārābī sebagai otoritas kunci, terutama dalam logika, psikologi, dan
kurang diterjemahkan secara luas seperti karya-karya Ibn Sīnā69 dan Ibn
Rusyd70, karya-karya al-Fārābī dalam bidang logika sangat penting pada awal
sedemikian sistematis dan selaras. Al-Fārābī adalah seorang yang logis baik
68
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 242.
69
Ibn Sīnā atau Avicenna, juga dikenal sebagai al-Syaikh al-Ra’īs, lahir di Afshanah (desa
kecil dekat Bukhara, Ibu Kota Dinasti Sāmāniyyah), tempat ayahnya ‘Abd Allāh, yang berasal dari
Balkh, bertemu dan menikah dengan Sitārah. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman,
Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 285.
70
Abū al-Walīd Muḥammad ibn Aḥmad ibn Rusyd al-ḥafīd (sang cucu) lahir di Kordoba
pada 520 H/1126 M, tahun kematian kakeknya. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman,
Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 415.
40
keliru dan mungkin juga berisi hipotesis yang telah ditolak oleh ilmu
Alpharabius) begitu “istimewa”. Bukan saja posisinya yang sentral karena dapat
Selain hal di atas, al-Fārābī telah mencoba untuk mengganti ilmu falsafah
words), dan kata-kata Persia sudah digunakan sejak awal di tanah Arab,
dibanding kata-kata Yunani (Greek). Seperti kata jawhar (substansi) berasal dari
Persia, namun karena sudah terjadi tradisi saling-pinjam istilah antara Persia dan
Arab, sehingga kata itu tidak asing bagi orang-orang Arab sebagaimana juga
71
M. Saeed Sheikh, Islamic Philosophy (London: The Octagon Press, 1982), h. 57.
41
Barat terpengaruh oleh aroma falsafahnya. Misalnya Albert the Great 73 dan
pijakan Ibn Sīnā, yaitu Ontologi, metafisika teologis, konsep kosmologi yang
72
Kiki Kennedy-Day, Books of Definition in Islamic Philosophy: The Limits of Word,
(London and New York: Routledge Curzon, 2003), h. 32.
73
Albert the Great lahir dekat Ulm sekitar tahun 1200 M. Pendidikan pertama ia belajar
adalah Padua, di mana ia ikut Dominican Order sekitar tahun 1220. Dia pergi ke Jerman untuk
belajar teologi dan pada tahun 1245 menjadi guru besar Jerman pertama di Universitas Paris.
Thomas Aquinas merupakan salah satu murid Albert di Paris. Arthur Stephen McGrade, Ethics and
Political Philosophy (United States of America: Cambridge University Press, 2001), volume 2, h.
12.
74
Thomas Aquinas lahir di Roccasecca, Italia, pada tahun 1225 dan meninggal di Lyons
pada tahun 1274. Ia adalah putra dari Pangeran Aquino kalangan bangsawan terkemuka. Ia menjadi
anggota Dominican Order kemudian pergi ke Cologne untuk menjadi murid Albertus Magnus
(Albert the Great) yang terkenal sebagai ahli Aristotelian. Masykur Arif Rahman, Buku Pintar
Sejarah Filsafat Barat, h. 212.
75
Herbert Spencer lahir di Derby, Inggris 27 April 1820 dan meninggal di Brighton 8
Desember 1903 (pada umur 83 tahun) adalah seorang failasūf Inggris dan seorang pemikir teori
liberal klasik terkemuka. George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta:
Kencana, 2007), h. 52.
76
Jean Jacques Rousseau merupakan seorang tokoh failasūf besar, penulis dan komposer
pada Abad Pencerahan. Ia lahir di Jenewa, Swiss, 28 Juni 1712 dan meninggal di Ermenonville,
Oise, Prancis, 2 Juli 1778 pada umur 66 tahun. https://id.wikipedia.org/wiki/Jean-
Jacques_Rousseau. diakses pada 12 Mei 2019, 07.30 WIB.
77
Baruch De Spinoza lahir di Amsterdam pada 24 November 1632. Ia berasal dari
masyarakat yang menganut agama Yahudi, yang melarikan diri dari dari Spanyol ke Amsterdam
(Belanda) akibat konflik keagamaan. Ayahnya adalah seorang pedagang yang kaya raya. Masykur
Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, h. 244.
78
Ian Richard Netton, Allah Transcendent (Suevey: Curson Press, 1994), h. 114.
42
dalam banyak bidang keilmuan dan memandang falsafah secara utuh dan
datang sesudahnya, seperti Ibn Sīnā (370 H/980 M – 428 H/1037 M) dan Ibnu
Arisṭū.79
yang disalin ke dalam bahasa Ibrani. Sampai sekarang, salinan tersebut masih
79
Sujatmoko, Tujuh Tokoh Filsafat Dunia (Sukoharjo: Penembahan Senopati, 2015), h. 59.
80
http://eliamonikasofyan.blogspot.com/2016/09/al-farabi-filsafat-islam.html. diakses
pada 12 Mei 2019, 07.00 WIB.
BAB III
A. Definisi Logika
Logika, yang disebut juga dengan istilah “manṭiq”,1 diturunkan dari kata
sifat “logike”, bahasa Yunani, yang berhubungan dengan kata benda “logos”,
yang berarti pikiran atau perkataan sebagai pernyataan dari pikiran. 2 M. Taib
Thahir Abdul Mu’in dalam bukunya Ilmu Manṭiq juga sepakat, bahwa logika
berasal dari bahasa Yunani “logos”. Namun ia mengartikannya dengan kata dan
pikiran yang benar.3 Ini membuktikan bahwa ternyata ada hubungan erat antara
pikiran dan kata atau perkataan yang merupakan pernyataan dalam bahasa (kata
atau perkataan).
penalaran, dan sekaligus juga sebagai dasar falsafah dan sebagai sarana ilmu.
Dengan fungsi sebagai dasar falsafah dan sarana ilmu karena logika merupakan
pada dasarnya bertitik tolak dari suatu pangkal-pikir tertentu, yang kemudian
pertimbangan akal dan runtut sehingga dapat dilacak kembali yang sekaligus
juga benar, yang berarti dituntut kebenaran bentuk sesuai dengan isi.
1
Manṭiq adalah bahasa Arab, berasal dari akar kata naṭaqa, artinya berpikir. Nāṭiqun, orang
yang berpikir, manṭūqun, yang dipikirkan, manṭīqun alat berpikir.
2
Dardiri, Humaniora, Filsafat, dan Logika (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 26.
3
M. Taib Thahir Abdul Mu’in, ‘Ilmu Manṭiq (Jakarta: Wijaya, 1993), h. 16.
43
44
dinyatakan dalam bentuk kata atau istilah, dan dapat diungkapkan dalam bentuk
keluasan. Dengan dasar himpunan, karena semua unsur penalaran dalam logika
pembuktian secara formal jika diungkapkan dengan diagram himpunan sah dan
karakteristik atau ciri-ciri tertentu. Pertama, adanya pola berpikir yang secara
luas (logis), hal inilah yang sering disebut sebagai logika. Selanjutnya dapat
dimaknai sebagai suatu pola, dan ketentuan tertentu yang digunakan dalam
proses berpikir. Maka dari itu sebuah kerangka logika dalam satu hal tertentu
sangat mungkin dianggap tidak logis jika ditinjau dari kerangka lainnya. Hal
pencerminan dari suatu proses berpikir yang bersandar pada suatu analisa dan
logika ilmiah sebagai pijakannya. Yang mana analisa sendiri adalah suatu
4
Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar
Harapan, 1985), h. 58.
45
tidak semuanya berlandaskan pada penalaran. Maka dari itu, berpikir dapat
dibedakan mana yang menggunakan dasar logika dan analisa, serta mana yang
menentukan pemikiran yang lurus, tepat dan sehat, dan mencari dalil-dalil untuk
menghasilkan ilmu pengetahuan secara benar. Agar dapat berpikir lurus, tepat,
Hal ini menyatakan bahwa logika bukanlah teori belaka. Logika juga merupakan
adalah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berpikir manusia dapat
logika, berpikir dipandang dari sudut kelurusannya dan ketepatnnya. Karena itu
berpikir lurus, tepat merupakan objek formal logika. Suatu pemikiran disebut
5
Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu, h. 52-53.
6
Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik: Wawasan Dasar, Keilmuan, dan
Falsafati (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), h. 5.
46
itu ditepati, maka kesalahan dan kesesatan berpikir dapat dihindarkan. Dengan
demikian, kebenaran juga dapat diperoleh dengan lebih mudah dan selamat.
sering menjadi perdebatan di antara para ahli, seperti yang dinyatakan Mahmud
sebagai kajian tentang “argumentasi” dan “pembuktian”. Dalam hal ini, yang
contoh penalaran yang disertai satu atau lebih pernyataan sebagai pendukung,
alasan, pertimbangan, atau bukti untuk pernyataan yang lain. Pernyataan yang
cara untuk mendukung klaim tentang suatu kebenaran. Hal yang menarik adalah
psikologis dalam mengubah pikiran atau meyakinkan orang lain. Untuk menilai
suatu argumentasi, hanya dua aspek atau sifat dari argumentasi tersebut yang
7
Alex Lanur OFM, Logika Selayang Pandang (Yogyakarta: Kanisius, 1983), h. 7-8.
8
Mahmud Yunus, Logika Suatu Pengantar (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 3.
47
yang mengarah pada kesimpulan. Suatu argumentasi adalah valid jika kebenaran
atas asumsi bahwa semua premisnya benar; atau jika mustahil kesimpulannya
salah bersamaan dengan semua premis benar; atau jika kesimpulannya dapat
Perhatikan bahwa pengertian validitas, yaitu valid dan tidak valid, hanya
benar dan salah, hanya digunakan untuk menilai pernyataan. Validitas berkenaan
dengan proposisi, bukan penalaran. Istilah valid dan tidak valid hanya diterapkan
digunakan istilah kuat atau lemah untuk menilai argumentasi. Dalam suatu
argumentasi deduktif yang valid dengan semua premis benar, kebenaran dari
tingkatan, melainkan tentang “semua atau tidak ada”. Akan tetapi, jenis
dengan tingkatan, yakni “lebih atau kurang”. Kesimpulan suatu deduksi yang
valid tidak pernah memuat informasi yang lebih dari yang termuat dalam
9
Mahmud Yunus, Logika Suatu Pengantar, h. 4.
48
lebih dari yang termuat dalam premisnya. Hal inilah yang menyebabkan deduksi
berdasarkan pendapat lama. Hal ini juga berlaku untuk Bahasa Ilmiah yang harus
dinyatakan secara logis, karena ilmu pengetahuan mengikuti aturan, langkah dan
coraknya, bahasa selalu merupakan bentuk berpikir dan alat berpikir. Sebagai
bentuk berpikir, bahasa harus disebut penjelmaan berpikir, sebagai alat berpikir,
sepenuhnya tentang apa itu logika, sehingga kita juga perlu memahaminya dari
10
Mahmud Yunus, Logika Suatu Pengantar, h. 5.
11
Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika (Yogyakarta: Aswaja Preeindo, 2014), h.
26-27.
49
Artinya:
Definisi tersebut memberikan kesan bahwa logika adalah alat (tool) yang
digunakan untuk dapat berpikir secara sah; dalam arti benar. Dalam
is a tool to physics”.13
Artinya:
“Logika bagi failasūf adalah seperti halnya teropong bagi astronom: suatu
alat penglihatan. Logika merupakan suatu alat (tool) dari pemikiran falsafah
12
Irving M. Copi, Introduction to Logics (New York: Macmillan Publishing Co, 1978), h.
3. Lihat juga: Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 2.
13
Susanne K. Langer, sebagaimana dikutip oleh: Dardiri, Humaniora, , Filsafat, dan
Logika, h. 26.
50
dipelihara, maka hati nurani manusia pasti dapat terhindar dari pikiran-
Dalam buku Logic and Language, seperti yang dikutip oleh Mundiri, logika
benar.15
Dari beberapa penjelasan dan definisi yang diajukan oleh beberapa ahli di
atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa definisi logika adalah ilmu yang
mempelajari tentang metode berpikir yang dinyatakan dalam bahasa yang harus
manusia untuk berpikir lurus, tepat, benar dan teratur. Dengan berpikir demikian
Manusia itu adalah hewan yang berpikir (al-hayawān al-nāṭiq atau homo
jawaban berarti mencari kebenaran. Mencari jawaban tentang Tuhan, alam, dan
manusia, berarti mencari kebenaran tentang Tuhan, alam, dan manusia. Dengan
benar. Sebagai contoh: Kita mengetahui ‘ada seorang anak yang lahir di dunia’.
Sementara itu kita juga telah mengetahui bahwa‘semua manusia itu pada
akhirnya akan mati’. Sehingga dari sesuatu yang telah kita ketahui yaitu: ‘Ada
anak lahir’ dan ‘semua manusia itu pada akhirnya akan mati’, maka kita dapat
mengambil kesimpulan ‘bahwa anak yang baru lahir itu tentu pada akhirnya
memperhatikan isi pemikiran yang akan dicarinya. Dalam hal ini, hasil
mungkin bisa “benar” atau mungkin juga “salah”. Maka dari itu kesimpulan
yang dapat ditarik adalah mungkin “benar” mungkin “tidak benar” Karenanya
16
Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 51.
17
Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 14.
52
soal benar dan tidak benar tersebut sangat penting dalam proses pemikiran
seseorang.18
berhadapan dengan orang yang tahu itu tidak hanya merupakan sasaran
objek itu. Jika orang tahu bahwa pengetahuannya tidak sesuai dengan objeknya,
kebenaran. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa yang disebut kebenaran dalam
Logika membantu manusia untuk berpikir lurus, tepat dan teratur. Dengan
secara logis dan analisis, dan diakhiri dengan kesimpulan.20 Kemampuan ini
18
Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 14-15.
19
Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 51-52.
20
Noor Ms Bakry, Logika Praktis Dasar Filsafat dan Sarana Ilmu (Yogyakarta: Liberty,
2001), h. 55.
53
hingga akhirnya sampai pada tingkatan yang dapat dipahami dengan mudah.
Karena hal inilah mengapa dalam istilah Aristoteles manusia ia sebut sebagai
secara sistematis, berpikir, dan berlogika serta menghindari diri dari subjektifitas
begitu pula dengan para ilmuan. Setiap individu merujuk pada falsafah yang
Karena pada hakikatnya setiap kebenaran ilmiah selalu diperkuat dengan adanya
21
Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern (Yogyakarta: Ar Ruzz Media,
2005), h. 1.
22
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006),
edisi ke-3, h. 13-15.
23
Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar
Harapan, 1985), h. 215.
54
Semua ilmu pengetahuan hampir tidak bisa dilepaskan dari logika. Logika
itu, logika terutama memaksa serta mendorong orang untuk berpikir sendiri.24
bernilai benar atau salah yang bisa dihubungkan dengan logika. 25 Sehingga
dalam sebuah diskursus keilmuan, kajian seputar logika memiliki andil yang
tentunya yang terangkai dalam sistematika yang logis, baik menggunakan panca
terdapat sebuah benang merah yang tidak tergantikan. Maka nampaklah bahwa
penyajian yang baik akan menjadi keyword dari kriteria ilmiah yang paling
dasar. Sehingga ungkapan bahwa metode berpikir ilmiah memiliki peran penting
24
Alex Lanur OFM, Logika Selayang Pandang, h. 12-13.
25
Imron Mustofa, Jendela Logika dalam Berpikir (Surabaya: El-Benat, Jurnal Pemikiran
dan Pendidikan Islam, Volume 6 No 2), (2016).
26
Geoge F. Kneller, Introduction to the Philosophy of Education (New York: John Willey
& Son, 1964), h. 4.
55
pengetahuannya.27
menjadikan sebuah diskursus tentang metode berpikir yang cocok dengan logika
penentuan pilihan dari metode atau cara yang mungkin diambil, akan
menentukan hasil akhir dari wacana tersebut. Maka dari itu akhirnya timbul
pertanyaan tentang seperti apa dan kapan sebuah metode dalam logika berpikir
Suatu tugas ilmiah untuk mencari aturan berpikir, agar diketahui - untuk
dikontrol - jika ada pelanggaran aturan atau penyelewengan dari jalan berpikir
yang lurus. Kemudian para ahli pikir mengadakan percobaan, untuk memenuhi
tugas itu. Hasilnya memang bermanfaat besar bagi manusia yang hendak
berpikir. Pengetahuan itu merupakan bagian dari falsafah dan disebut logika.
seharusnya berpikir. Ada yang menyebut bahwa logika itu mengutarakan teknik
Lebih jauh, alasan urgensi studi logika adalah karena logika merupakan alat
konsep) dan empirical world (dunia empiris). Analisis yang bergerak dari antara
27
Imron Mustofa, Jendela Logika dalam Berpikir.
28
Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 54.
56
analisis yang bergerak dari empirical world ke conceptual world dikenal sebagai
pola induksi. Alasan urgensi studi logika itu tampak juga dalam falsafah ilmu,
karena logika merupakan bagian dari substansi falsafah ilmu yang memuat
empat bagian, yakni: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3)
konfirmasi, dan (4) logika inferensi. Hal ini semakin mantap ketika dipahami,
bahwa falsafah ilmu bertugas menganalisis prosedur dan logika dari penjelasan
ilmiah. Dengan demikian logika berposisi sebagai alat kunci dalam kerja
falsafah ilmu.29
Logika memiliki peran dan fungsi dalam mengatur arah pemikiran manusia
untuk menuju kepada keabsahan dalam berpikir logis. Manfaat yang dapat
merupakan suatu sistem yang bersifat logis, karena itu, science tidak mungkin
Logika membantu manusia berpikir lurus, efisien, tepat, dan teratur untuk
berpikir dan bertindak, manusia mendasarkan diri atas prinsip ini logika
menyampaikan kepada berpikir benar, lepas dari berbagai prasangka emosi dan
keyakinan individu, karena itu logika mendidik manusia bersikap objektif tegas
dan berani, suatu sikap yang dibutuhkan dalam segala suasana dan tempat.30
29
Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 64-65.
30
Mundiri, Logika, h. 17.
57
yang tepat.
3. Membedakan proses dan kesimpulan berpikir yang benar dan yang salah.31
mencakup semua hasil pemikiran manusia, baik social science (ilmu sosial)
dan politik kenegaraan. Logika adalah alat analisis, bahan argmentasi, serta
seseorang yang tidak mengenal logika tidaklah valid dan tidak pula dapat
dipertanggungjawabkan.
31
Nūr Muḥammad Ibrāhīmī, ‘Ilmu al-Manṭiq (Jakarta: 1937), h. 6-7.
32
Nama lengkap al-Ghāzalī adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad bin Thaus Ahmad al-Thūsī al-Syafi’ī. Ia terkenal juga dengan sebutan Hujjah al-Islām,
“Argumentator Islam”. Beliau lahir di Thus, sebuah kota dekat dengan Meshhed di Khurasan pada
tahun 450 Hijriyah atau tahun 1058 Masehi. Lihat: Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis
al-Ghāzalī, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 1.
58
5. Seseorang akan lebih mandiri dan lebih cinta akan kebenaran, sehingga dia
akan mudah tertipu oleh bujuk rayu yang sepintas kelihatan menggiurkan
Menurut perspektif penganut aliran ini, logika dan penalaran adalah instrumen
33
Mazhab Paripatetik (Masya’ī) adalah aliran yang memiliki hubungan “Benang Merah”
dengan Aristoteles. Karena kelahiran mazhab ini dilatarbelakangi oleh semangat meneruskan dan
menghidupkan falsafah Aristoteles. Beberapa tokoh failasūf Islam yang dikatagorikan kepada aliran
Paripatetik adalah al-Kindī (w. 866), al-Fārābī (w. 950), Ibn Sīnā (w. 1030), Ibn Rusyd (w. 1196),
dan Naṣir al-Din Thūsī (w. 1274). Mulyadhi Kertanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar
Filsafat Islam (Jakarta, Lentera Hati, 2006), h. 27.
34
Richard McKeon, (ed.), Introduction to Aristotle (New York: The Modern Library,
1947), h. 2.
59
Istilah logika menurut sejarah pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium
(334-262 SM),35 pendiri Stoisisme.36 Logika adalah istilah yang dibentuk dari
kata Yunani Logikos yang berasal dari kata benda logos. Kata logos berarti
dan bahasa. Logikos berarti mengenai sesuatu yang diutarakan, mengenai suatu
pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan lewat
dalam pikiran dialektis madzhab Elea. Mereka telah melihat masalah identitas
dan perlawanan asas dalam realitas. Tetapi kaum Sofis38 yang membuat pikiran
manusia sebagai titik persoalan utama pemikiran secara eksplisit. Pada masa
35
Zeno Citium (334-262 SM) adalah failasūf Yunani dari Citium, Siprus. Zeno adalah
pendiri sekolah falsafah Stoa. Ia datang dari Citium ke Athena pada tahun 312/311 SM untuk
mempelajari falsafah di bawah Xenocrates, murid dan keponakan Plato. Para pengikut ajaran Zeno
disebut Zenonians. Zeno dan dua rekannya, Chrisippus, dan Cleanthes dari Assos dijuluki sebagai
Stoa mula-mula (Early Stoa). https://id.wikipedia.org/wiki/Zeno_dari_Citium.
36
Stoisisme adalah salah satu aliran atau mazhab falsafah Yunani-Romawi yang didirikan
di Athena oleh Zeno. Mazhab ini diambil dari lokasi di Athena tempat pertama kali mazhab ini
ditemukan. Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Stoisisme.
37
Muhammad Nur, Islam dan Logika Menurut Pemikiran Abu Hamid al-Ghazali
(Lampung: Jurnal al-Ulum, 2011), h. 51.
38
Sofis (sophistes) tidak digunakan sebelumm abad kelima.arti yang tertua adalah “seorang
bijaksana” atau “orang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu”. Adapun tokoh-tokoh
failasūf Sufisme adalah Protagoras , Hippias, dan Gorgias, Prodikos, dan Kritias. Lihat: K. Bertens,
Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: PT Kanisius, 1999), h. 83.
39
Gorgias lahir di Leontinoi, Sisilia, sekitar tahun 483 SM dan meninggal dunia tahun 375
SM pada usia 108 tahun. Ia adalah murid dari failasūf Empedokles dan dipengaruhi juga oleh
60
pikiran.40
Pada abad 5 Sebelum Masehi, hidup seorang tokoh bernama Sokrates (470-
metode Sokratik tersebut sehingga menjadi teori ide, yaitu teori Dinge n sick
tentang ilmu. Menurut Plato, ide adalah model yang bersifat umum dan
merupakan bentuk tiruan yang tidak sempurna, yang disebut ectypa. Gagasan
Plato ini banyak memberikan dasar pada perkembangan logika, lebih-lebih yang
dialektika Zeno. Ia adalah seorang failasūf yang termasuk sebagai kaum sofis. Selain sebagai
failasūf, ia juga terkenal di bidang retorika. Seperti kaum sofis lainnya, ia juga mengajar dan
mengumpulkan murid-murid. https://id.wikipedia.org/wiki/Gorgias.
40
W. Poespoprodjo, Logika Scientifika, Pengantar Dialektika dan Ilmu (Bandung:
Remadja Rosdakarya, 1999), h. 41.
41
Sokrates lahir di Athena pada tahun 470 SM dan meninggal pada tahun 399 SM.
Bapaknya adalah seorang tukang pembuat patung, sedangkan ibunya seorang bidan. Sekrates
terkenal sebagai orang yang berbudi baik, jujur, dan adil. Ia merupakan generasi pertama dari tiga
ahli falsafah besar dari Yunani selain Plato dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato, kemudian
Plato pada gilirannya mengajar Aristoteles. Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat
Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 177-178.
42
Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 40-41.
61
yang diberi nama Organon oleh muridnya yang bernama Andronikos dari
dasar simbolisme. Sampai saat ini mayoritas ahli ketika berbicara tentang logika,
mereka merujuk kepada pola yang telah disusun Aristoteles dalam karyanya
Organon.44
Logika sendiri tidak semata-mata lahir sebagai sebuah cara berpikir dalam
yang dimulai dari logika sebagai metode berpikir. Ia kemudian bergulir dan
Muncul logika sebagai suatu cara berpikir, tidak bisa begitu saja terlepas
seperti ini sudah ada dua abad sebelum zaman Aristoteles, sehingga ia hanyalah
sebagai pencetus awal pandangan tersebut. Dengan kata lain, di sini ia terlihat
43
Andronikos adalah seorang failasūf Yunani dari Rhodes yang juga merupakan sarjana
(kepala) dari sekolah Peripatetik. Ia paling terkenal karena menerbitkan edisi baru karya-karya
Aristoteles yang membentuk dasar teks-teks yang bertahan hingga hari ini. Sedikit yang diketahui
tentang kehidupan Andronicus. Dia dilaporkan adalah cendekiawan kesebelas dari sekolah
Peripatetic. https://en.wikipedia.org/wiki/Andronicus_of_Rhodes.
44
Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 41.
62
Maka dari itu, pada tahapan ini sumber pengetahuan yang mampu dicapai oleh
rasio sangatlah bergantung pada logika atau pun kemampuan akal dalam
penerjemahannya itu sendiri paling awal dimulai pada masa kekhalifahan Bani
Umayyah (661-750 M), khususnya masa kekhalifahan ‘Abd al-Malik ibn al-
Marwān (685-705 M).46 Namun, pada masa ini buku-buku yang diterjemahkan
Bani Abbasiyah, khususnya pada masa kekuasaan al-Ma’mūn pada tahun 215
45
Oesman Bakar, Hierarki Ilmu (Bandung: Mizan, 1997), h. 106.
46
‘Abd al-Malik ibn al-Marwān adalah khalifah yang berkuasa pada tahun 685 sampai 705.
‘Abd al-Malik lahir pada Ramadhan tahun 23 H (646/647), di kediaman ayahnya, Marwān ibn al-
Ḥakām, di Madinah pada masa kekuasaan Khalifah ‘Utsmān bin ‘Affān. Dia tumbuh di Madinah
sebagai pribadi yang saleh dan zuhud. Ayahnya adalah sekretaris dan tangan khalifah.
https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Malik_bin_Marwan.
47
Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Colombia University Press,
1983), h. 5.
63
keilmuan di dunia Islam, dan secara khusus bidang logika. Tidak ada edisi lebih
baik menyaingi komentar-komentar dalam bahasa Syria, yang muncul pada abad
kelima sampai abad keduabelas, atau edisi dalam bahasa Arabnya, sederet tokoh-
pengembangan logika yang sempat statis sejak masa Aristoteles. Sumbangan itu
dapat dibuktikan dengan masuknya materi baru tentang beberapa persoalan yang
berkenaan dengan pembahasan lafadz-lafadz. Maka tampillah pada masa ini, al-
48
Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam (London: Routledge and Kegan Paul, 1975),
h. 12.
49
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Universitas Indonesia dan Tintamas,
1980), h. 21.
50
Richard McKeon, (ed.), Introduction to Aristotle, xxvii.
64
sebagai ‘guru ilmu pengetahuan’. Apa yang dilakukan oleh mereka merupakan
selanjutnya.
Era berikutnya disusul era dekadensi logika yang cukup lama, yakni pada
ilmu yang dangkal sifatnya dan amat sederhana, sehingga perkembangan logika
menjadi merosot. Pada masa itu sumber logika yang dipakai sebagai acuan
51
Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 68.
52
Santo Yohanes dari Damaskus atau juga dikenal sebagai John Damascene adalah seorang
biarawan dan imam Gereja Katolik yang berasal dari Syria. Ia lahir dan dibesarkan di kota Damaskus
dan meninggal (kemungkinan terbesarnya) di biaranya Mar Saba, sebelah tenggara kota Yerusalem.
Ia adalah seorang yang memiliki pengetahuan mendalam dalam banyak bidang. Bidang-bidang yang
ia memiliki ketertarikan dan pernah memberikan kontribusi antara lain di bidang hukum, teologi,
falsafah dan musik. https://id.wikipedia.org/wiki/Yohanes_dari_Damaskus.
53
Anicius Manlius Severinus Boethius adalah seorang failasūf Romawi. Ia lahir di kota
Roma sekitar tahun 480 M dan meninggal tahun 524 M (usia sekitar 44) di Pavia. Pemikiran
Boethius memiliki pengaruh penting terhadap falsafah pada akhir era Falsafah Klasik dan juga awal
masa Abad Pertengahan. Selain itu, terjemahan dan komentar Boethius terhadap karya-karya
Aristoteles juga sangat memengaruhi seluruh sejarah falsafah setelahnya.
https://id.wikipedia.org/wiki/Boethius.
54
Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 42
65
karya Aristoteles yang berjudul Kategoriai dan Peri Hermeneias, ditambah juga
dengan karya Porphyry yang bernama Isagoge dan karya Boethius yang
suposisi yang tumbuh berkat pengaruh para failasūf Arab. Logika yang tumbuh
dari pengaruh failasūf Arab tersebut lebih mendalam dalam membahas suposisi
untuk menerangkan kesesatan berpikir, dan tekanan terletak pada ciri-ciri term
menjadi lebih berkembang. Tokoh-tokoh penting dalam bidang ini ialah Petrus
Lullus menemukan suatu metode logika baru yang disebut Ars Magna, yang
55
Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika.
56
Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 70.
66
pada abad ini telah tercatat berbagai pemikiran yang amat penting bagi
logika di Abad Pertengahan. Di samping itu, kemajuan yang dicapai pada Abad
yang jika diperdalam ternyata lebih kaya dari semiotika matematik zaman kini.
Masa ini juga dapat disebut masa penemuan-penemuan yang baru. Francis
menyusun logika aljabar (Ars Magna dari Raymundus Lullus). Logika ini
kepastian.60
57
Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 43.
58
Francis Bacon adalah seorang failasūf, negarawan dan penulis dari Inggris. Ia dikenal
sebagai pencetus pemikiran empirisme yang mendasari sains hingga saat ini. Bacon lahir di London
pada tahun 1561 sebagai putra pegawai eselon tinggi masa pemerintahan Ratu Elizabeth. Tatkala
menginjak usia dua belas tahun ia belajar di Trinity College di Cambridge.
https://id.wikipedia.org/wiki/Francis_Bacon.
59
Gottfried Wilhem Leibniz adalah seorang failasūf Jerman keturunan Sorbia dan berasal
dari Sachsen. Selain seorang failasūf, ia adalah ilmuwan, matematikawan, diplomat, fisikawan,
sejarawan dan doktor dalam hukum duniawi dan hukum gereja. Ia dianggap sebagai Jiwa Universalis
zamannya dan merupakan salah seorang failasūf yang paling berpengaruh pada abad ke-17 dan ke-
18. https://id.wikipedia.org/wiki/Gottfried_Leibniz.
60
Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 71.
67
dengan tekanan pada induksi. Hal ini tampak antara lain dalam buku System of
pengalaman.63
Pada era modern juga dikembangkan logika simbolik selain tetap menjaga
Aristoteles, seperti yang termuat dalam karya J.N. Keynes (1852- 1949)64 yang
berjudul Studies and Exercises in Formal Logic (1884). Pada karya tersebut
61
John Stuart Mill (lahir di Pentonville, London, Inggris, 20 Mei 1806 dan meninggal di
Avignon, Prancis, 8 Mei 1873 pada umur 66 tahun) adalah seorang failasūf empiris dari Inggris.
Ayahnya, James Mill, adalah seorang sejarawan dan akademisi. Ia mempelajari psikologi, yang
merupakan inti falsafah Mill, dari ayahnya. Sejak kecil, ia mempelajari bahasa Yunani dan bahasa
Latin. https://id.wikipedia.org/wiki/John_Stuart_Mill.
62
Immanuel Kant (lahir di Königsberg 22 April 1724 dan meninggal di Königsberg 12
Februari 1804 pada umur 79 tahun). Kota itu sekarang bernama Kaliningrad di Rusia. Ia lahir dari
pasangan Johann Georg Kant, seorang ahli pembuat baju zirah (baju besi), dan Anna Regina Kant.
Ibunya meninggal pada saat Kant berumur 13 tahun, sedangkan ayah Kant meninggal saat dia
berumur hampir 22 tahun. https://id.wikipedia.org/wiki/Immanuel_Kant.
63
Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik. h. 71.
64
John Neville Keynes (lahir 31 Agustus 1852 dan meninggal 15 November 1949 pada
umur 97 tahun) adalah failasūf dan ekonom asal Inggris dan ia juga merupakan ayah dari seorang
ekonom, John Maynard Keynes. https://id.wikipedia.org/wiki/John_Neville_Keynes.
65
Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 45.
68
ini membuktikan bahwa matematika murni berasal dari logika. Kemudian pada
66
Alfred North Whitehead, (lahir di Ramsgate, Kent, Inggris, 15 Februari 1861 dan
meninggal di Templat: Ciy-state, Amerika Serikat, 30 Desember 1947 pada umur 86 tahun) adalah
seorang matematikawan Inggris yang menjadi seorang failasūf. Ia menulis tentang aljabar, logika,
dasar matematika, falsafah ilmu pengetahuan, fisika, metafisika dan pendidikan.
https://id.wikipedia.org/wiki/Alfred_North_Whitehead.
67
Bertrand Arthur William Russell adalah seorang failasūf, ahli logika, ahli matematika,
sejarawan, penulis sejarah, penulis esai, kritik sosial, politik Inggris aktivis, dan pemenang Hadiah
Nobel. Ia lahir pada 18 Mei 1872 di Ravenscroft, Trellech, Monmouthshire, dari keluarga aristokrasi
Inggris yang berpengaruh dan liberal. Orang tuanya, Viscount dan Viscountess Amberley, adalah
radikal untuk zaman mereka. https://id.wikipedia.org/wiki/Bertrand_Russell.
68
Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 46.
BAB IV
A. Logika Aristoteles
Orang yang secara umum diakui sebagai bapak logika adalah sang failasūf
proposisi yang benar. Adapun untuk meneliti argumen yang bertolak dari
dealektika. Istilah silogisme atau logika tradisional atau metode deduksi dikenal
1
Rafael Raga Maran, Pengantar Logika (Jakarta: Grasindo, 2007), h. 7-8.
2
Bryan Magee, The Story of Philosophy (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 34.
3
Alexander of Aphrodisias merupakan failasūf paripatetik. Alexander dari Aphrodisias
mulai mengajar di Athena sekitar tahun 200. Dia penganut Aristotelian yang kukuh, membebaskan
69
70
tiga proposisi (proposition). Dalam setiap proposisi dapat dibedakan dalam dua
unsur: pertama, hal tentang apa sesuatu dikatakan atau disebut sebagai “subjek”.
Kedua, apa yang dikatakan tentang subjek atau disebut “predikat”. Sebagai
contoh propisisi “Raja adalah seorang manusia”, maka dalam proposisi ini
yang disebut silogisme menurunkan proposisi ketiga dari dua proposisi yang
sudah diketahui. Misalnya: Semua manusia akan mati (premis pertama), Raja
adalah seorang manusia (premis tengah), Dari sebab itu Raja akan mati
(konklusi).6
diri sepenuhnya dari karakteristik Platonisme religius yang mistis masa itu. Simon Blackburn,
Kamus Filsafat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 25.
4
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika Tradisional (Bandung: Bina Cipta, 1980), h. 1, dan
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 167, dan Richard F. Clarke,
Logic (London: Longmans, 1921), h. 27-28.
5
Inti logika Aristoteles adalah silogisme. Silogisme adalah alat dan mekanisme penalaran
untuk menarik kesimpulan yang benar berdasarkan premis-premis yang benar adalah bentuk formal
penalaran deduktif. Deduksi, menurut Aristoteles adalah metode terbaik untuk memperoleh
kesimpulan untuk meraih pengetahuan dan kebenaran baru. Pola dan sistematika penalaran
silogisme-deduktif adalah penetapan kebenaran universal kemudian menjabarkannya pada hal yang
lebih khusus. Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2015), cet. Ke
4, h. 35-36.
6
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h. 169.
71
sebagai tujuan itu sendiri, tetapi dengan maksud untuk menjadi alat atau sarana
penalaran logis, lalu kemudian diketahui hal itu bertentangan dengan kenyataan
7
Karya Organon Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh beberapa
sarjanawan Barat, diantaranya adalah Categories dan On Interpretation diterjemahkan oleh Harold
P. Cook, dulunya seorang dosen falsafah dan sarjanawan di Perguruan Tinggi Armstrong,
Universitas Durham. Prior Analytics dan Posterior Analytics diterjemahkan oleh Hugh Tredennick,
seorang sarjanawan dan Kepala Jurusan Classics (sarjana yang memperlajari sastra dan seni Yunani
Kuno) Perguruan Tinggi Queen Mary di Universitas London. Dan terakhir Topica, yang
diterjemahkan oleh E. S. Forster, seorang Profesor Emeritus (pensiun) Yunani di Universitas
Sheffield. Lihat, T. E. Page, The Loeb Classical Library (London: Harvard University Press, 1938).
8
Sahrul Maulidi, Aristoteles: Inspirasi dan Pencerahan untuk Hidup Lebih Bermakna
(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2016), h. 75.
72
dalam bahasa Arab disebut al-Burhān (istilah yang digunakan al-Fārābī, yang
tulisannya, kurang lebih sama dalam cara yang dia lakukan dalam falsafah Plato.
apa yang natural dan tentang apa yang secara sengaja. Sekarang, sejauh alam
menyelidiki hal-hal yang ada secara alami dan kemudian sesuatu tersebut ada
yang alami dan yang secara sengaja. Karena alasan ini Aristoteles meyakini,
pendapat (ẓann), serta tingkat dari persetujuan lainnya, seperti imajinasi dan
persuasi. Inilah yang dilakukan Aristoteles, kita diberitahu, dalam seni logika,
9
Sahrul Maulidi, Aristoteles, h. 76, dan Georgios Anagnostopoulos, A Companion to
Aristotle (Oxford: Blackwell Publishing, 2009), h. 51.
73
yang mendahului dua ilmu tentang yang secara alami dan secara sengaja, yaitu
terhadap logika Aristotelian dan tradisi dari maszhab yang muncul darinya. Di
antara karya-karyanya yang lebih pribadi sebagian besar isi Kitāb al-Ḥurūf dan
10
Al-Fārābī, Falsafah Arisṭūṭālīs (Beirut: Dār Majallat Syia, 1961), h. 70, dan Majid
Fakhry, al-Fārābī Founder of Islamic Neoplatonism (England: Oneworld Oxford, 2002), h. 25.
11
Porphyry (±232-305) ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dari Syria kuno,
murid sekaligus editor Plotinus. Porphyry juga menulis sejumlah komentar tentang Plato dan
Aristoteles. Karyanya yang paling berpengatuh adalah Isagoge, atau Introduction terhadap
Categories karya Aristoteles. Simon Blackburn, Kamus Filsafat, h. 676.
12
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (Buku
Pertama) (Bandung: Mizan, 2003), h. 223.
74
Realitas historis masuknya falsafah ke dalam bahasa Arab dari suatu bahasa dan
budaya asing, masuknya bahasa Yunani kuno, dan munculnya kesulitan akibat
kebutuhan untuk menciptakan kosakata falsafah dalam bahasa Arab, menjadi isu
yang penting sekali bagi para failasūf Arab awal, termasuk para guru dan murid
al-Fārābī sendiri. Di samping itu, fokus kebahasaan dari sebagian besar logika
Aristotelian menciptakan konflik teritorial dengan para praktisi ilmu tata bahasa
Arab setempat yang melihat bahwa minat para failasūf pada logika Yunani tidak
lain hanyalah merupakan upaya untuk menggantikan tata bahasa Arab dengan
epistemologi keilmuan Yunani yang dianggap asing di mata bangsa Arab. Al-
Yunani dan bahasa Arab, karena baginya memahami falsafah Yunani bukan
13
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 223.
14
Achmad Ghalib, Filsafat Islam (Jakarta: Faza Media, 2009), h. 117-118.
75
yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang benar dan mengarahkan
konsepsi tentang logika sebagai sejenis tata bahasa universal yang memberikan
kaidah-kaidah yang harus diikuti guna berpikir secara benar dalam bahasa apa
pun. Tata bahasa, di sisi lain, senantiasa wajib memberikan kaidah yang
dibangun atas dasar konvensi dalam pemakaian bahasa tertentu dari budaya
tertentu. Karena itu, al-Fārābī meletakkannya dalam suatu bagian karyanya yang
terkenal Iḥṣā al-Ulūm, “seni (logika) ini analog dengan seni tata bahasa, dalam
hal yang dapat dipikirkan dan dipahami oleh akal) adalah seperti hubungan seni
kaidah pengungkapan yang diberikan oleh ilmu tata bahasa kepada kita, terdapat
suatu (kaidah) intelijibel sepadan yang diberikan oleh ilmu logika kepada kita.”16
Dengan menegaskan bahwa logika dan tata bahasa merupakan dua ilmu
15
M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof Muslim (Bandung,
Mizan, 1998), h. 62.
16
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 223-
224.
76
tetapi, meskipun logika dan tata bahasa masing-masing tetap merupakan ilmu
yang terpisah dan otonom, al-Fārābī juga berpendirian bahwa logikawan dan
failasūf bergantung pada ahli tata bahasa kerena kemampuan mereka dalam
Karena itu, “seni tata bahasa seharusnya sangat diperlukan untuk menjadikan
sistematis. Hal ini dimulai dengan mendefinisikan logika, yang al-Fārābī sebut
ke arah yang pasti, membedakan mana yang benar dan mana yang salah sehingga
إذ كانت تقوم اجلزء الناطق من النفس وتس ّدده حنو اليقني وحنوالنافع من احناء التعليم والتعلّم
وألجل ا ّّنا أيضا, وتبصره األشياء اليت تعدل به عن اليقني وعن األايء النافعة يف التعليم والتعلّم
تبصره كيف النطق ابللسان وكيف املخاطبة اليت يكون هبا التعليم وكيف املخاطبة اليت هبا تكون
. املغالطة
Al-Fārābī memiliki analogika tertentu untuk tata bahasa, sejauh logika
memberikan kita aturan yang mengatur intelejen (ma’qūlāt) dalam cara yang
17
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 224.
18
Al-Fārābī, Falsafah Arisṭūṭālīs, h. 71.
77
sama bahwa tata bahasa memberi kita aturan istilah atau ungkapan yang
keduanya dan mengkritik mereka yang mengklaim bahwa studi logika itu
berlebihan, karena seperti tata bahasa, itu dapat dikuasai dengan mempraktikkan
penalaran logis, seperti halnya seseorang dapat menguasai tata bahasa dengan
menetapkan ilmu semantik sebagai alat atau sarana untuk menetapkan hukum
jalan yang benar dari kemungkinan adanya kesalahan di semua objek yang dapat
19
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabah al-Hilal, 1996), h. 28.
20
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, h. 28, dan Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1990), h. 88.
21
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 76.
78
Ketiga, sebuah hukum logis yang berfungsi sebagai alat untuk menguji pikiran-
وأشياء أخر ميكن أن يغلط فيها ويعدل عن احلق اىل ما ليس حبق وهى اليت شأّنا أن تدرك.1
.بفكر وأتمل
. يضطر اإلنسان الذي يلتمس الوقوف على احلق اليقني ىف مطلوابته كلها إىل قوانني املنطق.2
فإن القوانني املنطقية اليت هي آالت ميتحن هبا يف املعقوالت ماال يؤمن أن يكون العقل قد.3
.غلط فيه أو قصر يف إدراك حقيقته
Meskipun sebagian besar logika al-Fārābī dicurahkan pada topik-topik
dan semua metode lain diturunkan statusnya hanya sebagai alat untuk
komunikasi non-falsafah.23
syarat yang harus dipenuhi agar memperoleh ilmu atau pengetahuan ilmiah
analisis ini pada perbedaan antara dua tindakan kognitif dasar, yakni
22
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, h. 28-29.
23
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 226.
24
Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān (Beirut: Dārul al-Maṣriq, 1987), h. 6.
79
mencerap esensi objek yang kita pahami itu ketika tindakan itu menjadi utuh
atau sempurna. Tindakan kedua, yaitu pembenaran, terjadi atau muncul dalam
pertimbangan dan penilaian benar atau salah, ketika tindakan itu utuh atau
oleh definisi dan silogisme demonstratif, dua topik penting yang dibahas dalam
Salah satu sisi penting interpretasi ini adalah analisis al-Fārābī tentang
(1) keyakinan bahwa kebenaran yang telah kita terima mustahil menjadi
kebalikannya (salah); dan (2) keyakinan bahwa, tidak ada keyakinan lain yang
25
Taṣawwur adalah hasil gambaran tentang sesuatu dalam pikiran (ḥuṣūlun ṣūratu al-syaii
fī al-aqli), seperti konsep Ahmad, Tohir, Engkau, Rumah, Burung, Pohon, dll. Mufaḍḍhal ibn
‘Umar, Īsāghūjī (İstanbul: Fazilet Neşriyat, 2011), h. 2.
26
Taṣdīq adalah mengetahui hubungan (relasi) antara dua konsep yang memiliki
kemungkinan benar atau salah (isnādun amrun ilā amrin ākhara ījābān au salbān), seperti
pernyataan bahwa “Muhammad Abduh adalah pencetus kebangkitan Islam modern”, dan “Indonesia
adalah negara yang kaya”. Mufaḍḍhal ibn ‘Umar, Īsāghūjī, h. 2.
27
Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 19-22.
80
bahwa sesuatu itu adalah suatu hal, tetapi juga pengetahuan bahwa kita
diyakini seseorang sebagai suatu hal mustahil merupakan hal yang lain untuk
yang hanya pada saat-saat tertentu saja. Kepastian niscaya mensyaratkan suatu
objek yang niscaya dan abadi keberadaannya, sedangkan kepastian tidak niscaya
tidaklah demikian: “kepastian niscaya dan wujud yang niscaya dapat ditukar
delapan pembahasan:
28
Di samping pembahasan dalam Kitāb al-Burhān, al-Fārābī juga menulis pada kelanjutan
pembahasan pada topik ini, yang disebut Syarā’ith al-Yaqīn (Syarat-Syarat Kepastian) dalam
Manthiq ‘Inda al- Fārābī (Kitāb Syarā’iṭ al-Yaqīn) (Beirut: Dārul al-Maṣriq, 1987), h. 97-104.
29
Ungkapan proposisional adalah rangkian kata-kata yang merupakan pernyataan lengkap
atau proposisi. Ungkapan non-proposisional merupakan kata tunggal atau majemuk yang
menunjukkan sesuatu pengertian saja. Ungkapan ini belum dapat dinilai apakah benar atau salah,
karena belum menjadi pernyataan lengkap.
81
tersebut adalah:
a. Substansi (Substance), yang juga sering disebut esensi, hakikat atau zat,
ialah materi dasar yang dimiliki oleh sesuatu yang dapat berdiri sendiri,
bagaimana hubungannya”?
h. Waktu (time), yang menyatakan tempo atau berapa lama substansi itu
“bagaimana posisinya”?
82
keadaannya”?
pengetahuan ilmiah.
30
Al-Fārābī, Falsafah Arisṭūṭālīs, h. 72-83, dan Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, h. 44-46, dan
Majid Fakhry, al-Fārābī Founder of Islamic Neoplatonism, h. 41-42, dan Richard McKeon, (ed.),
Introduction to Aristotle (New York: The Modern Library, 1947), h. 2.
83
persoalan falsafah dan berkaitan dengan semua tindakan yang lebih utama dan
kebenaran dari kesalahan dalam pendapat, dan kebenaran dari kesalahan dalam
سواء،فالربهانية هي األقاويل اليت شأّنا أن تفيد العلم اليقني يف املطلوب الذي نلتمس معرفته
أو خاطب،استعملها اإلنسان فيما بينه وبني نفسه يف استنباط ذلك املطلوب أو خاطب هبا غريه
فإّنا يف أحواهلا كلها شأّنا أن تفيد العلم اليقني الذي ال،هبا غريه يف تصحيح ذلك املطلوب
.ميكن أصال أن يكون خالفه
Pada bagian ini, adalah menetapkan kebenaran pernyataan melalui metode
berbagai bukti, atau sebaliknya. Dari sudut pandang ini, argumen terbagi
31
Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi (Jakarta: Sadra Press, 2015), h. 82.
32
Mufaḍḍal ibn ‘Umar, Īsāghūjī, h. 14-15.
33
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, h. 38.
84
menjadi dua bagian. Pertama, argumen yang pasti atau demonstrasi, di mana
bukti itu sendiri meyakinkan. Kedua, argumen yang mungkin atau diragukan, di
bahwa, dari dua bagian ini, hanya yang pertama yang dapat disebut demonstrasi
proposisi lain yang sudah dikenal dan diakui kebenarannya, dan deduksi ini
menjadi aksioma bahwa “kebenaran tidak mengandung apa pun kecuali yang
benar. Jika suatu kebenaran dapat mengandung konsekuensi yang salah, secara
tidak dapat menentang apa yang benar,” apa pun yang bertentangan dengan
kebenaran tertentu, pastilah salah. Dari dua kontradiksi, yang satu harus benar
dan yang lainnya salah, dan karena dua pertentangan tidak bisa keduanya benar
secara bersamaan, jika satu benar, yang lain harus salah. Untuk mendapatkan
gagasan yang jelas tentang demonstrasi, kita harus membedakan antara materi
harus dibuktikan, dan ini disebut tesis atau proposisi yang ditetapkan sebagai
sebuah dalil jika ia adalah bersifat teoritis, dan sebagai sebuah masalah jika
34
Laurence Johnstone, A Short Introduction to The Study of Logic (London: Longmans,
1887), h. 88-89.
35
Laurence Johnstone, A Short Introduction to The Study of Logic, h. 89.
85
dari tesis utama ini, dependensi dan sub-dependensi disebut secara umum
terbukti dari tesis, yang disebut sebagai prinsip atau landasan demonstrasi. Hal
ini bisa secara langsung, yaitu ketika kebenaran tersebut jelas bagi pikiran tanpa
bukti. Atau secara tidak langsung, yaitu ketika kebenaran tersebut harus dibuat
jelas dengan adanya bukti. Dalam hal ini, prinsip demonstrasi terdiri dari sebuah
kesepakatan yang didasarkan padanya, dan harus sudah dibuktikan sendiri, atau
setidaknya dapat dibuktikan. Jika tidak benar-benar terbukti, itu hanya menjadi
sebuah asumsi.37
konsekuensi yang diperlukan tesis dari prinsip demonstrasi. Hanya ada sebuah
konsekuensi seperti itu yang bisa menjadi sebuah argumen. Oleh karena itu,
principia per se nota (terbukti dengan sendirinya), yang tanpanya argumen akan
demonstrasi, maka diperlukan bukti. Kita harus terus mencari selamanya dan
argumen kita tidak akan pernah berakhir, maka akibatnya akan berhenti menjadi
36
Hukum kontradiksi atau principium contradictionis (Bahasa Inggris: law of
contradiction) adalah aturan yang menyatakan bahwa tidak mungkin sesuatu itu pada waktu yang
sama adalah sesuatu itu dan bukan sesuatu itu. Maksudnya: mustahil sesuatu itu adalah hal satu dan
bertentangan pada waktu yang bersamaan. https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_kontradiksi.
Diakses pada 16 Mei 2019, pukul 09:55.
37
Laurence Johnstone, A Short Introduction to The Study of Logic, h. 90.
86
sebuah argumen. Seperti pada kasus paralel dalam menangani definisi. Sama
seperti definisi yang tidak akan mungkin kecuali jika dimulai dari mengarahkan
yang tidak dapat dihindarkan, atau tidak memerlukan maupun mengakui bukti.38
(2) prinsip atau landasan demonstrasi, (3) silogisme sebagai instrumen argumen,
jelas, bahwa tidak ada hal lain yang dapat dibuktikan selain apa yang harus
makna atau makna yang tidak jelas, dengan alasan bahwa penjelasannya
a. Benar dan pasti, karena apa yang diragukan dan tidak pasti tidak dapat
b. Prinsip demonstrasi harus diakui sebagai benar dan pasti sebelum dapat
38
Laurence Johnstone, A Short Introduction to The Study of Logic, h. 91.
39
Laurence Johnstone, A Short Introduction to The Study of Logic, h. 91-93.
87
c. Prinsip demonstrasi harus lebih dikenal daripada tesis, jika tidak maka
d. Yang terakhir, prinsip demonstrasi harus berbeda dari tesis, karena itu
adalah prinsip yang digunakan untuk membuat tesis. Oleh karena itu
tidak boleh mengungkapkan hal yang sama, juga tidak boleh memiliki
3. Terakhir, adalah aturan untuk silogisme yang dianggap sebagai bagian dari
argumen. Pertama, tidak boleh ada pelanggaran hukum dan aturan untuk
secara formal dan material. Karena itu, semua aturan untuk kebenaran
formal dan material dari silogisme berlaku dengan kekuatan yang sama
proposisi aksiomatis yang jelas dengan sendirinya atau proposisi teoretis yang
40
Dalam menerjemahkan qiyās burhānī, penulis memilih kata ‘silogisme demonstratif’.
88
kuat yang sesuai dengan realitas mutlak yang konstan. Maka, “keyakinan” di
sini adalah lawan dari dugaan, “sesuai dengan realitas” adalah lawan dari
murakkab), “mutlak” adalah lawan dari kenisbian, dan “yang konstan” adalah
adanya dalam realitas, dan pengetahuan yang mutlak dan kekal tanpa perubahan.
kita bahwa hal-hal yang sama untuk sesuatu yang sama adalah sama satu sama
lain, atau bahwa setiap akibat pasti memiliki sebab. Prinsip Pertama lebih pasti
dan lebih diketahui oleh kecerdasan manusia daripada kesimpulan yang diambil,
41
Syaikh Falah al-‘Abidī dan Sayyid Sa’ad al-Musawī, Buku Saku Logika: Sebuah Daras
Ringkas (Jakarta: Sadra Press, 2018), h. 117.
42
Richard F. Clarke, Logic (London: Longmans, 1921), h. 420.
43
Richard F. Clarke, Logic, h. 422-424.
89
Argumen priori adalah dimulai dari yang universal hingga yang khusus, dari
universal, dari hasil prinsip ke prinsip itu sendiri, dari sebab ke penyebab.
berikut:
Tetapi jika argumen tersebut adalah sebuah posteriori yaitu tentang sifat
tergantung dan bergantung pada hal-hal yang diciptakan dari eksistensi yang
Semua hal yang tidak berdiri sendiri menyiratkan keberadaan wujud pada
mereka bergantung.44
44
Dari argumen di atas adalah proses dari sebab menuju ke penyebab efisien mereka
sendiri.
90
premis yang keduanya merupakan posteriori, seperti dalam Kimia dan ilmu
fisika.
untuk susunan yang nyata dari pernyataan premis utama. Seperti pada
contoh:
benar atau tidak. Seperti ketika membuktikan skeptis adalah salah dengan
Karena demonstrasi ini sejenis silogisme, maka term tengah (ḥadd ausaṭ)
yang ada di dalamnya mestilah sebab (‘illah) bagi penilaian (taṣdīq) di konklusi
hubungan kohesif alami dalam realitas antara term tengah dan konklusi. Dan
Berdasarrkan hal ini, maka mestilah term tengah tersebut berupa sebab atau
akibat bagi konklusi, atau term tengah dan konklusi merupakan akibat dari satu
sebab.45
Berdasakan hubungan term tengah dengan konklusi dari sisi ini, selanjutnya
Contoh:
45
Syaikh Falah al-‘Abidī dan Sayyid Sa’ad al-Musawī, Buku Saku Logika, h. 118.
46
Syaikh Falah al-‘Abidī dan Sayyid Sa’ad al-Musawī, Buku Saku Logika, h. 119-122, dan
Atsīr al-Dīn al-Abharī, Mughnī al-Ṭullāb: Syaraḥ Matan Īsāghūjī (Damasyqu: Dār al-Fikr, 2003),
h. 89-90.
92
atau sebab dalam menetapkan term mayor (terbakar) terhadap term minor
2. Burhān innī (demonstrasi dari akibat menuju sebab), yaitu argumentasi yang
Contoh:
term mayor (panas) terhadap term minor (besi ini), tetapi ia merupakan
realitasnya merupakan akibat dari penetapan panas pada besi. Bagian ini
disebut dalīl.
Contoh:
Term tengah (ada cahaya) dan konklusi (tempat ini panas) merupakan
Burhān syibh limmī menyerupai burhān limmī dalam hal keberadaan term
tengah sebagai lāzim dan jelas bagi term minor, dan term mayor (ḥadd
Contoh:
47
Maksud dari empat sebab di antaranya adalah: sebab (1) sebab material (māddah), (2)
sebab formal (ṣūrah), (3) sebab efisien (fā’ilah), (4) dan sebab final (ghāyah). Al-Fārābī, Kitāb al-
Burhān, h. 26-27.
94
menjamin adanya keyakinan mutlak yang benar dan pasti. Kriteria keyakinan
adalah kejelasan, sedangkan kriteria benar, mutlak, dan pasti adalah adanya
sebab asersi dalam taraf penetapan (itsbāt), yang pada dirinya sendiri merupakan
Syarat ini diperlukan karena premis itu merupakan sebab penetapan bagi
48
Syaikh Falah al-‘Abidī dan Sayyid Sa’ad al-Musawī, Buku Saku Logika, h. 124-127.
95
a) Esensial dalam bab Īsāghūjī, yaitu esensial yang merupakan lawan dari
telah dijelaskan bahwa esensial terbagi menjadi tiga, yaitu genus (jins)
dengan ‘aradh dzātī (sifat esensial) dan merupakan kebalikan dari ‘aradh
gharīb (sifat asing). Aradh dzātī ini subjeknya atau sesuatu yang
adalah terbaginya bilangan menjadi dua bagian yang sama besar, dan
bilangan tersebut adalah yang bisa dibagi dua karena dua merupakan
genusnya. Dan juga pada contoh dinamis dan statis dalam hubungannya
49
Jins huwa kulliyun maqūlun ‘ala katsīrīna mukhtalifaini bi al-ḥaqāyiqi fī jawābin mā
huwa, ka al-ḥayawāni bi al-nisbati ilā al-insāni wa al-faras. Faṣl huwa kulliyun maqūlun ‘ala
katsīrīna mukhtalifaini bi al-‘adadi dūna al-ḥaqīqatu fī jawābin mā huwa, ka al-insāni bi al- nisbati
ilā Zaidun wa ‘Amrun. Nau’ huwa kulliyun maqūlun ‘ala syaii fī jawābin aiyi syaiin huwa fī ḍādzihi,
ka al-nātiqi bi nisbati ilā al-insān. Mufaḍḍhal ibn ‘Umar, Īsāghūjī, h. 3-4, dan Al-Fārābī, Manṭiq
‘Inda al- Fārābī: Īsāghūjī, al-Juz’u al-Awwal (Beirut: Dārul al-Maṣriq, 1987), h. 76-79.
50
Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 29.
96
esensial bagi subjek dalam dua premis demonstrasi. Hal ini bertujuan
subjek dan dalam semua waktu dan keadaan, hingga terjamin kontinuitasnya
bagi kita. Di samping itu, tidak ada keterpisahan predikat dari subjek dalam
indriawi, tetapi keduanya tidak sama. Metode induksi merupakan salah satu
bagian dari kemampuan akal yang beroperasi melalui bantuan memori dan alat-
alat indriawi. Dengan kata lain, induksi, menurutnya, tidak mengarahkan pada
51
Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 28.
52
Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 258-259.
97
indriawi adalah dengan katagori kepastian yang pasti yaitu dengan metode
demonstrasi.
yang tidak mungkin berbeda dari selain dirinya, sehingga menghasilkan sebuah
(ḍarūrī) dan keyakinan yang tidak pasti (ghairu ḍarūrī). Keyakinan yang pasti
merupakan keyakinan yang tidak mungkin pada wujud dan aslinya terdapat
tetapi menunjukkan hasil pemikiran yang positif atau negatif. Keyakinan yang
pasti dihasilkan dari suatu wujud yang tetap ada, seperti universal (kullī) lebih
besar dari partikular (juz’ī), pada perkara ini tidak mungkin berubah. Keyakinan
yang pasti ini merupakan landasan untuk mendapatkan sebuah kesimpulan yang
dalam bukunya Īsāghūjī, bahwa keyakinan yang pasti dalam demonstrasi terbagi
menjadi enam:54
Mufaḍḍhal ibn ‘Umar, Īsāghūjī, h. 14-15, dan Atsīr al-Dīn al-Abharī, Mughnī al-Ṭullāb:
54
akal tanpa membutuhkan dalil, cukup melihat pada subjek (mauḍu’) dan
predikat (maḥmūl). Contoh: satu setengah dari dua atau universal (kullī)
oleh akal dengan menyaksikan secara dzāhir dan bāṭin. Contoh: secara
dzāhir, matahari bersinar terang (dengan pandangan mata) atau api yang
membakar (dengan menyentuh). Secara bāṭin, bahwa kita lapar dan haus.
ketika melihat sughra dan kubra. Contoh: cahaya bulan diambil dari
matahari.
oleh akal dengan perantara mendengar dari kelompok atau kaum, yang mana
melalui tangannya.
yang dihukumkan oleh akal dengan perantara yang ada pada akal. Contoh:
bilangan genap).
99
Pada keyakinan yang tidak pasti ini dihasilkan dari perpindahan wujud yang
berubah, seperti pada keyakinan bahwa kamu berdiri dan Zaid ada di dalam
rumah.55
kebenaran, karena objek pengetahuan ilmiah tidak lepas dari dasar kebenaran
tersebut. Oleh karena itu, atribut yang melekat pada subyek, juga harus melekat
pada atribut itu sendiri, karena esensi atribut adalah dasar dalam sifat esensial
dari subjek itu sendiri. Dari sinilah premis-premis dari silogisme demonstratif
melalui esensi dan substansinya. Pengetahuan fisik atau indriawi, tegas al-
Fārābī, tidak akan cukup dan tidak akan mengantarkan manusia pada
55
Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 21.
56
Aristoteles, Organon: Posterior Analytics, Book I, Ch. 6. Versi bahasa Yunani
“APIƩTOTEΔOϒƩ ANAɅϒTIKΩN ϒƩTEPΩN”, diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Hugh
Tredennick, lihat: T. E. Page, The Loeb Classical Library (London: Harvard University Press, 1938),
h. 30, dan diterjemahkan juga oleh G. R. G. Mure, lihat: Richard Mc. Keon, Introduction to Aristotle
(New York: the Modern Library, 1947), h. 21-22.
57
Aristotle, Organon: Posterior Analytics, Book I. Lihat, Richard McKeon, (ed.),
Introduction to Aristotle, h. 21-22.
100
pengetahuan akal dan jiwa lebih tinggi dibanding pengetahuan indra. Pasalnya
secara ontologis, akal dan jiwa berada di atas indra. Dalam konteks tersebut, al-
melalui persepsi indra dan juga melalui demonstrasi. Akal dan jiwa dengan
mengetahui bentuk akal secara bersamaan karena indra hanya menerima satu
bentuk.58
Karena tempat dan tingkatan akal lebih tinggi dan lebih mulia, maka cara
lebih tinggi dan mulia daripada dirinya ditempuh melalui jalur pembuktian
meliput dan bertemu langsung. Dengan metode tersebut, maka pengetahuan akal
karena hubungan akal dengan jiwa adalah seperti hubungan cahaya dan mata,
mata tidak dapat melihat sesuatu, kecuali melalui cahaya dan sebagaimana
manusia tidak dapat melihat wajahnya, kecuali melalui cermin dengan cara
58
Al-Fārābī, al-Ta’līqāth di dalam Rāsa’il al-Fārābī (Haydarabad: Dār al-Ma’ārif, 1926),
h. 2-3, dan Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 186-187.
101
kecuali dengan cahaya akal, dan tidak dapat mengetahui realitas wujud, kecuali
Untuk memahami realitas fenomina salah satunya adalah ukuran. Alat ukur
dan hasil dari pengukuran oleh para fisikawan dianggap sebagai satu-satunya
ditafsirkan.
Tentunya, alat untuk menafsirkan bukan terdapat pada ukuran itu sendiri,
melainkan terdapat pada alat yang lain, yaitu akal. Metode untuk menasirkan
Metode demonstrasi dan tujuan akhir yang ingin diperoleh dari pendekatan ini
‘uqūl).61
berkaitan dengan ilmu ukur. Dan kedua, berkaitan dengan logika. Prinsip-prinsip
dalam dalam disiplin ilmu ukur diambil dari disiplin lain sebelumnya, seperti
perkataan Euclid, “Titik adalah sesuatu yang tidak terbagi; garis adalah panjang
59
Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h, 188.
60
Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Sa’ādah (Beirut: Dār wa Maktabah al-Hilal, 1995), h. 88-89, dan
Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 264.
61
Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 264.
102
tanpa lebar; permukaan adalah sesuatu yang mempunyai panjang dan lebar.”
perkataan ahli mantik, “bahwa setiap wujud, selain Allah, ada yang berupa
substansi dan ada yang aksiden.” Juga perkataan, “bahwa substansi (dapat)
aksiden adalah yang menempel pada sesuatu, dan tidak seperti menjadi bagian
wujud dan sebab secara bersamaan. Sebab terbagi menjadi empat: (1) sebab
material (māddah), (2) sebab formal (ṣūrah), (3) sebab efisien (fā’ilah), (4) dan
sebab final (ghāyah). Sebab-sebab ini tersusun dari qiyas pada premis tengah,
artinya, qiyas diambil pada bagian premis tengah dari sebab-sebab yang
membantu untuk membuat kesimpulan, baik sebab yang jauh atau sebab yang
dekat.63
Setiap salah satu dari sebab-sebab di atas ada pada jawaban: apakah sesuatu
itu, apa yang menjadi masalah dengan sesuatu tersebut, apakah mungkin sesuatu
mati? Maka jawaban dari pertanyaan tersebut adalah manusia tersusun dari
tubuh (sebab material), kehidupan manusia yang berakal akan mati (sebab
62
Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 265.
63
Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 26-27.
103
formal), yang paling cocok untuk manusia adalah mati (sebab tujuan), Tuhan
وكل واحد من تلك يوجد يف جواب. تنفسم اىل األقسام اليت ذكران,وأجناس األسباب األول أربعة
: فإان إمنا نقول, إمنا ميكن فيما حصلت لنا معرفة وجوده, فإن النمسألة بلم هو الشئ.مل هو الشئ
حي انطق
ّ وإما األنهّ , فيكون اجلواب يف ذلك إما ألنه مرّكب من األضداد.مل صار اإلنسان ميوت
األول
ّ فلجواب. وإما ألن احلافظ له أو الفاعل له متب ّدل, وإما ألن األصلح له أن ميوت,مائت
. والرابع من فاعله. والثالث من غايته. والثاين من صورته,مادته
ّ هو مأخوذ من
Sebab-sebab yang dijelaskan di atas merupakan sebab demonstrasi yang
cara mengetahui perkara yang dihasilkan dari demonstrasi yang diambil dari
وملا كان النظر فيما ينتج الكليّات يشتمل على ما ينتج. إما كلية وإما جزئية,واملعلومة ابلرباهني
فظاهر أن الرباهني اليت تنتج. لزم أن يعرف أوال أمر ما ينتج من الرباهني النتائج الكلية,اجلزئيات
.نتائج كليّة ينبغى أن تكون مق ّدماهتا كليّة
Dijelaskan juga oleh Aristoteles bahwa untuk menghasilkan pengetahuan
yang ilmiah dan berdasarkan pada prinsip-prinsip demonstrasi maka diambil dari
mengisyaratkan pada hubungan antara predikat dan subjek, yaitu predikat harus
benar untuk semua subjek, predikat harus esensial untuk subjek, dan predikat
64
Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 42.
65
Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 27.
104
harus dari subjek yang benar dari dirinya sendiri, bukan bagian dari yang lain.
Premis universal ini harus dihasilkan dari kepastian yang pasti (yaqīn
dihasilkan, pertama, melalui tanda (ṭabā’) yaitu dihasilkan dari kepastian yang
tanpa harus diketahui dari mana dan bagaimana ia dihasilkan, tanpa harus
prinsip pertama. Yang disebut sebagai premis petama atau pernyataan pertama.
Maka jelas bahwa untuk menghasilkan pada kepastian ini harus terdiri dari
qiyas-qiyas yang tersusun dari premis pertama. Dan jika tidak, maka tidak
didemonstrasikan untuk sesuatu yang tidak terbatas pada ukuran yang meliputi
hukum-hukum universal. Dan ini disebut sebagai premis kepastian. Dari premis-
premis inilah menurut al-Fārābī dapat digunakan sebagai metode ilmiah yang
66
Aristotle, Organon: Posterior Analytics. Lihat, E. Page, The Loeb Classical Library
(London: Harvard University Press, 1938), h. 7.
67
Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 23-24.
68
Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 25.
105
kurang lebih ada tiga prinsip metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī,
pertama, premis dan kesimpulan demonstrasi harus berada dalam satu genus.
merupakan premis yang pasti kebenarannya dan diambil dari pengetahuan yang
subjek (mauḍu’) dan predikat (maḥmūl) yang pasti juga.69 Sehingga akan
satu genus, yaitu subjek dan predikatnya menunjukkan pada genus yang sama.
Contoh: jika sama dua sisi dari segitiga, maka sisi segitiga yang lain juga sama.
Semua sisi saling berkaitan dan sudut keduanya meliputi bagian yang sama,
maka setiap segitiga yang sama adalah serupa.70 Oleh karena itu, untuk
maka kesimpulan juga berada pada satu genus. Seperti yang diungkapkan
sendiri, sehingga jika genus demonstrasi berpindah dari satu bidang ke bidang
yang lain, gunusnya juga harus sama. Jika tidak demikian, maka tidak mungkin
dapat berpindah, karena term tengah harus diambil dari genus yang sama,
sehingga ia tidak akan esensial dan akan menjadi rusak.71 Karena dasar dari
premis demonstrasi ini adalah definisi, merupakan premis yang tergantung pada
premis sebelumnya dan tidak akan berakhir, atau kebenaran utama dalam premis
69
Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 27.
70
Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 32.
71
Aristotle, Organon: Posterior Analytics, Book I. Lihat, Richard McKeon, (ed.),
Introduction to Aristotle, h. 25.
106
ini akan menjadi definisi yang tidak bisa dilanggar. Sehingga akan menghasilkan
Kedua, susunan demonstrasi harus terdiri dari definisi yang pasti. Al-Fārābī
definisi yang jelas. Untuk mendapatkan sebuah definisi tentang sesuatu, maka
Seperti: hewan pada batasan manusia, berbicara pada batasan manusia, manusia
pada batasan tertawa. Dan bilangan pada batasan genap dan ganjil. Kemudian,
untuk mendapatkan sesuatu dari jenis (jins) sesuatu yang lain, maka ia harus
Dan terkadang sesuatu tersebut merupakan faṣal dari sesuatu yang lain, seperti
manusia (insān). Dan sesuatu yang mengandung pada bagian faṣal ini, maka
juga menjadi bagian dari faṣal itu sendiri, seperti bentuk lingkaran yang meliputi
satu garis. Artinya, setiap yang meliputi satu garis adalah bagian dari satu faṣal,
yaitu bentuk lingkaran tersebut memiliki satu garis. maka tidak bisa dikatakan
bahwa sebagian garis tersebut tidak mungkin mengandung satu lingkaran, dan
Ketiga, demonstrasi harus terdiri dari hubungan yang abadi. Jelas bahwa,
demonstrasi juga harus bersifat abadi. Oleh karena itu, tidak ada atribut yang
72
Aristotle, Organon: Posterior Analytics, Book II. Lihat, Richard McKeon, (ed.),
Introduction to Aristotle, h. 76.
73
Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 33.
107
hubungan atribut dengan subjek yang fana hanya bersifat sementara dan khusus.
Jika demonstrasi ini dilakukan, maka premis akan rusak dan tidak universal,
wujud dan sebab secara bersamaan untuk mengetahui sebuah kesimpulan yang
diambil dari term tengah (haḍḍ ausaṭ).75 Yang menurut al-Fārābī harus
74
Aristotle, Organon: Posterior Analytics, Book I. Lihat, Richard McKeon, (ed.),
Introduction to Aristotle, h. 25-26.
75
Term Tengah merupakan term yang sama-sama disebut (diulang) pada proposisi pertama
dan proposisi kedua. Nūr Muḥammad Ibrāhimī, ‘Ilmu al-Manṭiq, terj. Achmad Bahrur Rozi, Logika
Lengkap (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), h. 65.
76
Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 41.
77
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasy
Mizan dan UIN Jakarta Press, 2015), h. 140 dan Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam: A Study in Islamic Philosophy of Science (Kuala Lumpur: Institute for Policy Research,
1992), h. 153.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui ketetapan akal tanpa proses observasi
demonstrasi dan tujuan akhir yang ingin diperoleh dari pendekatan ini adalah
benda-benda yang ada secara pasti. Bentuk-bentuk dasar ini diperoleh dengan
premis dan kesimpulan demonstrasi harus berada dalam satu genus. Kedua,
susunan demonstrasi harus terdiri dari definisi yang pasti. Ketiga, demonstrasi
hampir mirip dengan karangan al-Fārābī yang terkumpul dalam bukunya yang
108
109
berjudul Manṭiq ‘inda al-Fārābī, terutama dibagian yang penulis bahas yaitu
B. Saran
umum, tulisan ini hanya sebagai pengantar awal untuk melihat pemikiran
al-Fārābī. Namun, untuk melihat sosok al-Fārābī lebih perlu lebih jauh
akademisi, serta dapat menjadi bagian amal sholeh yang dicatat oleh Allah
SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulchalik, Chaerudji. Ilmu Mantiq: Undang-undang Berfikir Valid. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013.
Al-Abharī, Atsīr al-Dīn. Mughnī al-Ṭullāb: Syaraḥ Matan Īsāghūjī. Damasyqu: Dār
al-Fikr, 2003.
Al-‘Abidī, Syaikh Falah dan Sayyid Sa’ad al-Musawī. Buku Saku Logika: Sebuah
Daras Ringkas. Jakarta: Sadra Press, 2018.
Ahmad, Zainal Abidin. Negara Utama (Madinah al-Fadhilah). Jakarta: Kinta,
1968.
Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Amin, Husayin Ahmad. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Anagnostopoulos, Georgios. A Companion to Aristotle. Oxford: Blackwell
Publishing, 2009.
Aristotle. Organon: Posterior Analytics.
‘Atī, Ibrāhīm. Al-Insān fī Falsafah al-Islāmiyyah: Namūḍaj al-Fārābī. Alexandria:
al-Hay’an al-Misyriyyah al-Āmah li-Alkitāb, 1993.
Bakar, Osman. Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic
Philosophies of Science. Malaysia-Kuala Lumpur: Institute for Policy
Research, 1992.
Bakar, Oesman. Hierarki Ilmu. Bandung: Mizan, 1997.
Bakry, Noor Ms. Logika Praktis Dasar Filsafat dan Sarana Ilmu. Yogyakarta:
Liberty, 2001.
Bertens, K.. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008. Cet.
Ke-5.
________. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: PT Kanisius, 1999.
Blackburn, Simon. Kamus Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Butterworth, Charles E., Al-Fārābī, the Political Writings: Selected Aphorism and
Other Text. London: Cornell University Press, 2001.
Clarke, Richard F.. Logic. London: Longmans, 1921.
Copi, Irving M.. Introduction to Logics. New York: Macmillan Publishing Co,
1978.
111
112