Dsiusun Oleh :
NUNUNG LASMANA
NIM. 213410541
Pembimbing I Pembimbing II
ii
LEMBAR PENGESAHAN
iii
SURAT PERNYATAAN
Nunung Lasmana
iv
MOTTO
INNALLÂHA MA’ANÂ
v
Ku persembahkan Tesis ini untuk:
vi
Kata Pengantar
vii
9. Untuk seniorku Ahmad Suhendra, M. Hum. dan Mas Khoirul Hadi,
MHi. yang telah memotivasi, menyalurkan ilmunya dalam diskusi
akademik, dan membantuku selama tahap penyempurnaan tesis ini.
10. Kepada seluruh teman-teman seangkatan seperjuangan pascasarjana
IIQ dan terkhusus untuk teh Khodijah yang selalu jadi teman semangat
dan teman sharing dalam proses penyusunan tesis ini.
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
ix
2. Vokal
Vokal Tunggal Vokal Panjang Vokal Rangkap
Fathah :a ا :â ....يْ : ai
Kasrah :i ي :î ....ْو : au
Dhammah : u و :û
3. Kata Sandang
a. Kata sandang yang diikuti al-Qamariyyah
Kata sandang yang diikuti oleh al-Qamariyyah ditransliterasikan
sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf l (el) diganti dengan huruf yang
sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.
Contoh:
البقرة : al-Baqarah
املدينة : al-Madînah
b. Kata sandang yang diikuti as-Syamsiyyah
Kata sandang yang diikuti oleh as-syamsiyah ditransliterasikan
sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan
bunyinya.
Contoh:
الرجل : ar-rajul السيدة : as-Sayyidah
x
الرّك ِع
ّو : Wa ar-Rukka’i
d. Ta Marbuthah ()ة
Ta Marbuthah ( )ةapabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh
kata sifat (na’at), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf
‚h‛. Contoh:
الَفْئِ َدة : al-Af’idah
xi
DAFTAR ISI
xiii
Abstrak
Amtsâl merupakan salah satu dari bentuk keragaman redaksi dan uslûb
al-Qur’ân yang sangat menarik karena merupakan media transformasi pesan-
pesan illahi agar lebih cepat sampai ke jiwa. Dengan makna-makna Al-
Qur‟an menjadi lebih hidup dengan cara menganalogikan yang abstrak
dengan yang konkret. Urgensi amtsâl al-Qur’ân ini juga telah diungkapkan
oleh banyak ulama‟. Matsal Qur’âni diciptakan tanpa meniru, dan ia belum
pernah ada sebelumnya. Ayat-ayat perumpamaan tersebut memberikan
peluang yang cukup luas untuk ditafsirkan. Namun, dalam menafsirkan Al-
Qur‟an perlu melakukan kontekstualisasi dan aktualisasi agar Al-Qur‟an
terasa lebih hidup. Salah satu kitab tafsir dengan model “kontekstual” adalah
kitab Tafsîr al-Manâr. Apabila dibandingkan dengan karya tafsir lainnya,
karya Muhammad „Abduh dan M. Rasyîd Ridhâ ini memberikan apresiasi
tinggi terhadap kajian ayat-ayat yang tergolong amtsâl sehingga dalam
penelitian ini diarahkan untuk mengkaji teknik penafsiran ayat-ayat amtsâl
musharrahah dalam Tafsîr al-Manâr dan relevansinya dengan konteks
kekinian.
Jenis penelitian yang penulis gunakan termasuk jenis penelitian
kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-
analitis. Metode “deskripsi” digunakan untuk menguraikan penafsiran ayat-
ayat amtsâl musharrahah dalam kitab Tafsîr al-Manâr secara apa adanya.
Sedangkan, metode “analisis” digunakan untuk memberikan komentar
terhadap penafsiran ayat-ayat amtsâl musharrahah dalam kitab Tafsîr al-
Manâr. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis,
pendekatan balaghah, dan pendekatan komparatif.
Berdasarkan hasil penelitian, ada sembilan teknik yang digunakan
dalam al-Manâr dalam menafsirkan ayat-ayat amtsâl musharrahah, yaitu: (1)
penggunaan ra’yu atau akal, (2) kental dengan aspek-aspek sosial-kultural,
(3) penekanan aspek bahasa, (4) aspek munâsabah,(5) menjelaskan aspek
asbabun nuzul, (6) mengutip pendapat para ulama, (7) mengutip riwayat dari
sahabat, (8) menjelaskan aspek qirâ’ât, (9) menjelaskan konsep amtsâl.
Nilai-nilai yang terkandung dalam kitab Tafsîr al-Manâr dalam
menguraikan penjelasan mengenai ayat-ayat amtsâl musharrahah lebih
berorientasi pada dua hal, manusia dan ideologi. Pertama, nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap ayat diarahkan untuk membangun manusia dalam
aspek spiritual dan karakter (akhlaq). Kedua, terkait ideologi. Kedua karakter
yang terkandung dalam al-Manâr ini sangat berkaitan dengan konteks
kekinian.
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur‟an diyakini oleh semua umat Islam sebagai mu‟jizat Nabi
Muhammad saw yang terbesar. Dengan mu‟jizat ini nabi Muhammad dapat
membuktikan dirinya sebagai seorang rasul bagi umat manusia. Mu‟jizatnya
itu tidak dalam bentuk fisik yang dapat dipertontonkan kehebatannya di
depan mata orang banyak, tetapi dalam bentuk spiritual. Kemu‟jizatan Al-
Qur‟an tidak hanya terdapat pada aspek kandungan isinya, tetapi juga pada
aspek bahasanya yang sangat indah yang tidak mungkin siapapun dapat
menandinginya. Bahkan, imam al-Khattabi berkata bahwa kebanyakan para
ulama memilih sisi kemukjizatan Al-Qur‟an adalah dari aspek balaghahnya,
akan tetapi mereka sulit merincinya.1
Ayat demi ayat dalam Al-Qur‟an memiliki karakter yang beragam.
Keindahan sastra dalam setiap ayat menimbulkan keragaman penafsiran dari
ayat yang sama. Banyak tokoh Muslim yang mengakui keindahan sastra al-
Qur‟an. Tidak hanya keindahannya tetapi kedalaman makna yang terkandung
di dalamnya juga menjadi banyak lirikan para ulama dan sarjana muslim. Al-
Qur‟an mempunyai gaya bahasa yang khas yang tidak dapat ditiru oleh siapa
pun. Jalinan huruf-hurufnya serasi, ungkapannya sangat indah, uslûb-nya
manis, ayat-ayatnya teratur dan sangat memperhatikan situasi dan kondisi
dalam berbagai macam gayanya.2 Menurut al-Jurjâni uslûb mengandung
makna cara menyampaikan pemikiran melalui bahasa, kemudian teknik
pemilihan dan pemakaian kata-kata yang tergambar dalam pola-pola kalimat.
3
Menurut Muhammad „Abdullâh Darrâz4, jika diperhatikan secara seksama,
dalam Al-Qur‟an banyak terdapat rahasia kemukjizatannya dari segi bahasa.
Hal itu terlihat dari keteraturan bunyinya yang indah melalui nada huruf-
hurufnya, sewaktu berharakat maupun sukun, mâd maupun ghunnah, fâshilah
1
Abî Bakr Muhammad Ibn Thayyib al-Bâqilânî, I‟jâz al-Qur‟ân (Beirut: Dâr al-Jail,
1991 M), h. 22.
2
Manna‟ al-Qaththân, Mabâhits Fî „Ulûm al-Qur‟ân (Riyâdh: Manshûrât al-„Asr al-
Hadîts, T.th.), h. 266.
3
Baca: „Abdul Qâdir al-Jurjâni, Asrâr al-Balâghah (Beirut: Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1998), h. 338-339. Dalam kajian linguistik, ilmu al-uslub disebut sebagai ilmu
stilistika. Baca: Muhammad Taunji, al-Mu‟jam al-Mufahras Fi al-Adab (Beirut: Dâr al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 1993), h. 93-94. Hubungannya dengan stilistika (ilmu uslub), Hafni
Bustami telah menulis sebuah artikel yang berjudul “Ayat-ayat Tamtsil al-Qur‟an; Analisis
Stilistika” dalam jurnal al-Ta‟lim, Jilid I, Nomor 4 Februari 2013, h. 285-298.
4
Syeikh „Abdullâh Darrâz adalah ulama besar lulusan Ushuluddin al-Azhar. Lihat:
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Waktu Dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), Cet. XXXI, h. 138
1
2
5
Muhammad „Abdullâh Darrâz, “al-Naba‟ al-„Azhîm” sebagaimana dikutip oleh
Manna‟ al-Qaththân, Mabâhits Fî „Ulûm al-Qur‟ân (Riyâdh: Manshûrât al-„Asr al-Hadîts,
T.th.), h. 266.
6
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1999), Cet XIX, h.
16.
7
M. „Abdullâh Darrâz, al-Naba‟ al-„Azhîm (Quwait: Dârul Qalam, 1974), Cet. III, h.
117.
8
Mohammad Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt Mimoun, Kabilia, al-
Jazair. Baca: Aulia A. Muhammad, Bayang Baur Sejarah; Sketsa Hidup Penulis-penulis
Besar (Surakarta: Tiga Serangkai, 2003), h 149. Hubungannya dengan kajian al-Qur‟an,
Arkoun juga telah memberikan sumbangan pemikirannya terhadap kajian Qur‟aniyah. Ia
hendak melampaui kajian yang dilakukan oleh para ulama klasik-tradisional yang
menurutnya cenderung dogmatis, a historis, dan ideologis, dan sekaligus melampaui kajian
kaum orientalis yang cenderung dingin, kaku, dan tidak empatis. Lihat: Baidhawi,
Antropologi al-Qur‟an (Yogyakarta: LKiS, 2009), Cet. 1, h. vi.
3
9
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1999), Cet XIX, h.
16-17.
10
Ilham Thahir, Penafsiran Ayat-ayat Perumpamaan Dalam Tafsir al-Misbah
(Jakarta: Sedaun, 2011), Cet. I, h. 2.
11
Fuad Kauma, Tamtsîl Al-Qur‟an Memahami Pesan-pesan Moral Dalam Ayat-ayat
Tamtsîl (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), Cet. II, h. 10.
12
Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur‟an (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. I, h. 59.
13
Baca: Manna‟ Khalîl al-Qaththân, Mabahits Fi „Ulum al-Qur‟an, (Surabaya: al-
Hidayah, 1973), Cet. II, h. 306. Abdul Djalal H.A., Ulumul Qur‟an (Surabaya: Dunia Ilmu,
2008), h. 294.
4
hakiki maupun secara i‟tiqadi oleh orang yang bersumpah itu.”14, dan jadal
yang membahas tentang bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlomba
untuk mengalahkan lawan.15 Amtsâl seringkali dijelaskan sebagai uslûb Al-
Qur‟ân yang dapat mengungkapkan makna-makna Al-Qur‟an menjadi lebih
hidup dengan cara menganalogikan yang abstrak dengan yang konkret16,
seperti perumpamaan surga dengan cara menganalogikannya sebagai sesuatu
yang abstrak dengan kenikmatan-kenikmatan duniawi yang konkret bagi
manusia sehingga manusia dapat memahami bahwa surga adalah tempat yang
menyenangkan bagi orang-orang yang mendapatkannya.17
Urgensi amtsâl al-Qur‟ân ini juga diungkapkan oleh beberapa ulama,
seperti al-Mawardî18 yang berkata, “Di antara ilmu Al-Qur‟an yang terbesar
adalah ilmu amtsâl-nya. Sayangnya, banyak manusia yang lalai dengan Al-
Qur‟an karena sibuk dengan al-amtsâl dan lupa dengan al-matsûlât (objek
perumpamaan). Padahal, perumpamaan tanpa pelaku bagaikan kuda tanpa
kendali, atau seperti unta tanpa tali kekang.” Lebih dari itu, ulama lainnya
mengungkapkan bahwa Imam as-Syâfi‟i19 menganggap amtsâl sebagai salah
satu ilmu Al-Qur‟an yang wajib diketahui oleh seorang mujtahid. Dia
mengatakan bahwa seorang mujtahid harus memahami amtsâl dalam Al-
Qur‟an. Sebab, hal itu akan semakin mempertegas keharusan untuk mentaati-
Nya dan menjauhi maksiat kepada-Nya.20
Pada hakikatnya, amtsâl atau perumpamaan tidak hanya terdapat
dalam tradisi bangsa Arab, tetapi ada dalam tradisi manapun. Terkadang
pula, perumpamaan digunakan dalam bahasa sehari-hari guna memberikan
pengertian yang mudah dipahami oleh lawan bicara.21 Namun, yang
14
Manna‟ Khalîl al-Qaththân, Mabahits Fi „Ulum al-Qur‟an, h. 291.
15
Manna‟ Khalîl al-Qaththân, Mabahits Fi „Ulum al-Qur‟an, h. 298.
16
Manna‟ Khalîl al-Qaththân, Mabahits Fi „Ulum al-Qur‟an, h. 283.
17
Baca: Q.S. Muhammad [74]: 15.
18
Nama lengkap al-Mawardi adalah „Alî Muhammad Ibn Habîb al-Mâwardî al-
Bashrî, as-Syâfi‟î. Para ahli sejarah dan tabaqat memberi gelar kepada beliau dengan sebutan
al-Mâwardî, Qâdhî al-Qudhât, al-Bashrî dan as-Syâfi‟î. Al-Mâwardî dikenal sebagai salah
seorang ahli Fiqh terkemuka dari madzhab Syâfi‟î. Lihat: al-Mâwardî, Âdâb ad-Dunyâ wa
ad-Dîn (Libânon: Dâr al-Fikr, 1994), h. 4 dan 21. Dalam bidang tafsir al-Qur‟an, ia memiliki
beberapa karya, yaitu Tafsir al-Qur‟anil Karim, an-Nukat wa „Uyûnuhu, dan al-Amtsâl wal
Hikam.
19
Kemampuan Imam Syafi‟i dalam bidang bahasa, sastra, dan sya‟ir benar-benar
diakui oleh para pakar bahasa dan sastrawan ulung sebagaimana kehebatan Syafi‟i di bidang
fiqih, hadis, dan ushul fiqh. Ahmad Nahrawi „Abdus Salâm al-Indûnîsî, al-Imâm as-Syâfi‟î
Fî Madzhabihi al-Qadîm wa al-Jadîd (Mesir: T.Tp., 1988 M), h. 19.
20
Jalâl ad-Dîn as-Suyûthî, al-Itqân Fî „Ulûm al-Qur‟ân (Beirut: Dâr al-Kutub
al‟Ilmiyyah, 1421 H/2000 M), Jilid II, Cet. I, h. 254.
21
Ilham Thahir, Penafsiran Ayat-ayat Perumpamaan Dalam Tafsir al-Misbah
(Jakarta: Sedaun, 2011), Cet. I, h. 4.
5
22
Ja‟far Subhânî, Wisata Al-Qur‟an: Tafsir Ayat-ayat Metafora, penterj. Muhammad
Ilyas (T.P: al-Huda, 2007), Cet. I, h. 19.
23
Muhammad Jâbir al-Fayâd, “al-Amtsâl Fî al-Qur‟ân” (USA: al-Ma‟had al-„Âlami
Li al-Fikr al-Islâmî,1993), h. 438 dalam Mahfudz Masduki, Tafsir al-Misbah M. Quraish
Shihab: Kajian Atas Amtsal Al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 4.
24
Muhammad Jâbir al-Fayâdh menulis al-Amtsâl Fî al-Qur‟ân (1993),‟Abdurrahmân
Jambakah al-Maidânî menulis Amtsâl al-Qur‟ân (1992), Sâmih „Âthif az-Zain menulis
Mu‟jam al-Amtsâl Fî al-Qur‟ân al-Karîm (2000). Baca: Mahfudz Masduki, Tafsir al-Misbah
M. Quraish Shihab: Kajian Atas Amtsal Al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 1.
Selain itu juga ada Mawsû‟ah al-Amtsâl al-Qur‟âniyah (1993) karya Muhammad „Abdul
Wahhâb „Abd al-Lathîf, Amtsâl Fî al-Qur‟ân karya Ibn Qayyim al-Jauziyyah, dan Amtsâl Fî
al-Qur‟ânil Karîm karya Syamsuddîn Muhammad Ibn Abî Bakr,
25
Baca: JS. Kamdhi, Terampil Berargumentasi; Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia (Jakarta: Grasindo), h. 23.
6
Qur‟an tidak cukup dengan secara normatif saja, tetapi juga harus dilakukan
dengan mengaktualisasikan dan mengkontekstualisasikan sehingga Al-
Qur‟an terasa lebih hidup. Begitu pula dengan ayat-ayat perumpamaan yang
makna dan kandungannya masih sangat jauh didapatkan (apabila dimaknai
secara tekstual).26
Salah satu kitab tafsir dengan model “kontekstual” adalah kitab Tafsîr
al-Manâr karya Muhammad „Abduh dan Muhammad Rasyîd Ridhâ. Telah
banyak dilakukan penelitian terhadap kitab tafsir ini dari berbagai aspek.
Salah satunya adalah sebagaimana yang ditulis oleh M. Quraish Shihab
dengan judul “Rasionalitas Al-Qur‟an; Studi Kritis Atas Tafsîr al-Manâr”.
Dalam bukunya tersebut, Quraish Shihab menyebutkan bahwa kitab tafsir al-
Manâr adalah kitab tafsir yang berorientasi sosial, budaya, dan
kemasyarakatan.27 Dengan demikian sangat tidak menutup kemungkinan
kalau penafsiran terhadap ayat-ayat amtsâl pun sangat serat dengan aspek-
aspek tersebut.
Kitab tafsir al-Manâr adalah sebuah kitab tafsir yang menggabungkan
antara metode penafsiran klasik dan kontemporer. Hal ini dapat dibuktikan
dengan pandangan „Abduh mengenai tafsir. Dalam pandangan Muhammad
„Abduh, tafsir itu bertingkat-tingkat. Paling rendahnya, harus menjelaskan
secara global apa yang dirasakan hati tentang keagungan Allah dan kesucian-
Nya, memalingkan nafsur dari kejahatan, dan mendorongnya pada kebajikan.
Ini adalah mudah bagi setiap orang, Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami
telah mudahkan Al-Qur‟an untuk dihafal, adakah kamu termasuk di antara
orang yang memelihara.” (Q.S. Al-Qamar [54: 17])
Adapun tingkat yang tinggi tidak sempurna kecuali dengan beberapa
perkara, yaitu:
1. Memahami kebenaran lafal mufrad yang diletakkan Al-Qur‟an,
yang mana ahli tafsir harus pandai mempergunakan ahli bahasa.
Tidak cukup dengan ucapan si fulan dan pemahaman si fulan.
2. Susunan, maka sepatutnya mufassir memiliki pengetahuan yang
dapat memahami uslub yang tinggi ini. Hal itu bisa berhasil
dengan mengkaji ungkapan yang tinggi dan biasa saja, serta
pandai dalam memahami kalimat yang tersembunyi dan
keindahannya. Selain itu juga berbijak pada apa yang dikehendaki
orang yang bicara.
3. Mengetahui hal-ihwal manusia. Karena banyak dalam Al-Qur‟an
disebutkan cerita, tingkah laku makhluk dan kisah-kisah umat dan
26
Ilham Thahir, Penafsiran Ayat-ayat Perumpamaan Dalam Tafsir al-Misbah
(Jakarta: Sedaun, 2011), Cet. I, h. 2.
27
Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur‟an; Studi Kritis Atas Tafsir al-
Manâr (Jakarta: Lentera Hati, 2006) h. 5.
7
28
Mani‟ „Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode
Para Ahli Tafsir (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 256-257.
29
„Abdul Majid „Abdussalam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur‟an
Kontemporer, Much. Maghfur Wachid (penterj.), (Bangil: al-Izzah, 1998), h. 196.
8
30
Muhammad „Abduh dan Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr (Beirut: Dâr al-Fikr, T.t.),
h. 236.
31
Muhammad „Abduh dan Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr , (Kairo:
Dârul Manâr, 1947), Cet. ke II, Jilid I, h. 167.
32
Muhammad „Abduh dan Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr , Jilid I, h.
236.
33
Muhammad „Abduh dan Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr , Jilid IV, h.
75.
34
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm, Jilid I (T.tp: Dâr at-Thayyibah, 1999), h.
186.
35
Abû Ja‟far At-Thabarî, Jamî‟ul Bayân Fî Ta‟wîl al-Qur‟ân, Jilid I (T.tp: Mu‟assasah
ar-Risâlah,2000), h. 318
36
Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Jilid I (Mesir: Mushthafâ al-Bâbi al-
Halbî, 1946), h. 57.
9
B. Identifikasi Masalah
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, penelitian penulis
mencakup dua variabel, yaitu: kajian tentang kitab al-Manâr dan kajian
amtsâl al-Qur‟ân. Dalam melakukan penelitian terhadap sebuah kitab tafsir,
ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, di antaranya yaitu: pertama,
aspek kepengarangan. Pada aspek ini, peneliti harus mengungkapkan segala
hal yang terkait dengan kepengarangan baik itu dari sejarah penulisan, sistem
penulisan, maupun biografi dan pemikiran pengarangnya. Kedua, aspek
kandungan kitab tafsir. Aspek ini dapat dikatakan sebagai aspek yang paling
luas cakupannya dalam penelitian pustaka karena ayat-ayat Al-Qur‟an yang
dimuat dalam sebuah kitab tafsir sangat banyak ragam temanya dan
bervariasi pula redaksi penyampaiaannya. Ketiga, aspek metodologi. Aspek
ketiga ini mewajibkan peneliti untuk mengungkapkan metode penafsiran
yang digunakan dalam sebuah kitab tafsir. Namun, seorang peneliti baru
dapat mengetahui metode penafsiran yang digunakan dalam kitab tersebut
setelah mengetahui poin kedua yaitu aspek kandungan kitab tafsir. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa penelitian tentang kitab al-Manâr dapat
disoroti dari berbagai aspek sesuai dengan ketertarikan peneliti.
Adapun variabel kedua, yakni kajian amtsâl al-Qur‟ân memiliki
beberapa bagian, yaitu: amtsâl musharrahah, amtsâl kâminah, dan amtsâl
mursalah. Untuk memperjelas identifikasi masalah, maka di sini penulis
jelaskan secara singkat mengenai bagian-bagian amtsal al-Qur‟an, yaitu:
pertama, Amtsâl Musharrahah, yaitu sebuah perumpamaan sesuatu dengan
sesuatu yang lain dengan menggunakan lafal matsal atau sesuatu yang
menunjukkan kepada tasybîh. Kedua, Amtsâl Kâminah, yaitu suatu matsal
yang menyimpan makna peribahasa yang biasa terdapat di kalangan
masyarakat Arab dan diungkapkan dengan bahasa yang indah. Ia tidak
menggunakan lafal tasybîh atau matsal, tetapi ia menunjukkan makna-makna
yang indah, menarik, dan mempunyai pengaruh tersendiri. Ayat-ayat yang
mengandung matsal kâminah ini mempunyai makna yang mirip dengan
peribahasa yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, sehingga ia
mudah diterima dan dapat menyentuh jiwa. Ketiga, Amtsâl Mursalah, yaitu
10
C. Pembatasan Masalah
Uraian identifikasi masalah di atas menunjukkan betapa luasnya
cakupan materi kajian tentang kitab Tafsîr al-Manâr dan amtsâl al-Qur‟ân.
Dalam sebuah penelitian, ada banyak faktor yang menyebabkan seorang
peneliti melakukan perhitungan terlebih dahulu sebelum melangkah lebih
lanjut ke proses pelaksanaan penelitian yang akan dilakukannya yang di
antara lain adalah faktor keterbatasan. Karena faktor keterbatasan inilah,
pembatasan objek kajian perlu dilakukan, karena banyaknya aspek yang
dapat diangkat dari kitab Tafsîr al-Manâr dan banyaknya ayat yang masuk ke
dalam kategori amtsâl al-Qur‟ân yang apabila dibahas seluruhnya maka akan
menyebabkan penelitian ini menjadi kurang mendalam. Maka dari itu, objek
kajian penelitian ini hanya dibatasi pada penafsiran ayat-ayat amtsâl
musharrahah dalam kitab Tafsîr al-Manâr. Sedangkan ayat-ayat yang
termasuk ke dalam kategori al-amtsâl al-mursalah maupun al-amtsâl al-
kâminah yang terdapat dalam kitab tafsir al-Manâr tidak akan dibahas dalam
penelitian ini.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas,
maka rumusan masalah penelitian ini terkait tentang metode dan substansi
penafsiran, yaitu: Bagaimana teknik penafsiran ayat-ayat amtsâl
musharrahah dan relevansi penafsirannya dalam kitab Tafsir al-Manâr
dengan konteks kekinian?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka secara garis besar,
penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu: tujuan khusus dan tujuan umum.
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah mendeskripsikan dan memahami
37
Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur‟an (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. I, h. 62-63. Untuk
penguraian yang lebih lengkap mengenai bagian-bagian amtsâl akan diuraikan pada bab
selanjutnya.
11
F. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian yang meliputi aspek penggalian data
harus disusun langkah-langkah yang tersistematis dan terorganisir sehingga
dapat diperoleh penelitian yang terarah. Adapun metodologi penelitian pada
tesis ini meliputi tiga hal, yaitu sebagai berikut:
1. Jenis dan Metode Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif terbagi menjadi dua bagian yaitu penelitian lapangan dan penelitian
kepustakaan (library research). Dalam riset pustaka, aktivitas penelitian
dibatasi dengan bahan-bahan koleksi perpustakaan saja tanpa memerlukan
riset lapangan.38 Adapun penelitian ini, adalah penelitian kepustakaan karena
fokus penelitian adalah kitab Tafsîr al-Manâr.
Metode yang penulis gunakan berupa deskriptif-analitis. Metode
deskriptif adalah sebuah metode dalam penelitian untuk menggambarkan
situasi atau kejadian atau juga penelitian untuk melukiskan keadaan subjek
(seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain sebagainya). Sedangkan metode
analitis digunakan untuk melacak lebih jauh hal-hal yang melatarbelakangi
dan mengitari fenomena tersebut.39
Metode “deskripsi” di sini digunakan untuk menguraikan penafsiran
ayat-ayat amtsâl musharrahah dalam kitab Tafsîr al-Manâr secara apa
adanya. Sedangkan, metode “analisis” digunakan untuk memberikan
komentar terhadap penafsiran ayat-ayat amtsâl musharrahah dalam kitab
Tafsîr al-Manâr.
Dari data yang diperoleh, peneliti berusaha mengungkap hal-hal yang
berkaitan dengan tujuan penelitian untuk memperoleh pemahaman yang
komprehensif mengenai penafsiran ayat-ayat amtsal musharrahah dalam
kitab Tafsîr al-Manâr. Di samping itu, di dalam menganalisis kita Tafsîr al-
Manâr juga digunakan tiga pendekatan, yaitu pertama „pendekatan historis‟
untuk mengungkapkan sejarah kepengarangan al-Manar dan pengaruh-
38
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004), h. 2.
39
Baca: Gunawan Surnodiningrat, Pemberdayaan Sosial Kajian Ringkas Untuk
Pembangunan Manusia Indonesia (Jakarta: Buku Kompas, 2007),h. 3 dan Sokhi Huda,
Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah (PT LKIS Pelangi Aksara, 2008), h.13.
12
G. Kajian Pustaka
Pada bagian ini, penulis membuat dua kelompok kajian pustaka, yaitu
kajian pustaka yang ditinjau berdasarkan objek material dan formal. Jan
Hendrik Rapar menyebutkan bahwa yang dimaksud objek material suatu
ilmu adalah materi atau bidang atau lapangan penyelidikan ilmu
bersangkutan, sedangkan objek formal adalah bagaimana objek material itu
dipandang. Perlu dicatat disini bahwa yang layak untuk menjadi objek
material di sini adalah suatu ilmu yang benar-benar konkret dan dapat
13
diamati. 40 Dengan demikian, objek material dalam penelitian ini adalah al-
amtsal Al-Qur‟aniyah, sedangkan objek formalnya adalah kitab tafsir al-
Mannar.
Pertama, berdasarkan aspek objek material, di antaranya adalah:
Muhammad „Abdul Wahhâb „Abdul Lathîf dengan karyanya Mawsû‟ah al-
Amtsâl al-Qur‟âniyyah. Karya ini berusaha menampilkan pembahasan amtsâl
Al-Qur‟ân secara lengkap dengan memaparkan penjelasan seluruh ayat-ayat
amtsâl yang terdapat dalam Al-Qur‟an berdasarkan berbagai perspektif para
mufassir. Adapun sistematika pembahasan yang dilakukan oleh Muhammad
„Abdul Wahhâb adalah berdasarkan tartîb as-suwar.41 Kemudian karya Abî
„Abdillâh Muhammad Ibn „Alî al-Hâkim at-Tirmidzî yang berjudul al-Amtsâl
Min al-Kitâb wa as-Sunnah berusaha menampilkan perumpamaan-
perumpaan Al-Qur‟an maupun hadits berdasarkan tema-tema pokoknya.42
Kemudian karya-karya lainnya di antaranya adalah Mahmûd Ibn
Syarîf dengan karyanya al-Amtsâl Fî al-Qur‟ân, Muhammad Jâbir al-Fayâdh
menulis al-Amtsâl Fî al-Qur‟ân „Abdurrahmân Jambakah al-Maidânî
menulis Amtsâl al-Qur‟ân, Sâmih „Âthif az-Zain menulis Mu‟jam al-Amtsâl
Fî al-Qur‟ân al-Karîm. Meskipun terdapat perbedaan, namun dapat dilihat
secara umum bahwa karya-karya mereka berusaha menampilkan keindahan
dan keunikan amtsâl al-Qur‟ân sebagai salah satu model penyampaian
pesan-pesan illahi.
Selain karya-karya di atas, ada juga beberapa penelitian (skripsi, tesis,
dan disertasi) terkait amtsâl al-Qur‟ân di antaranya adalah: karya Nurhidayat
dengan judul “Matsal Dalam Al-Qur‟an” (Tesis Th. 2000). Karya ini
memaparkan segala aspek yang berkaitan dengan amtsâl al-Qur‟ân tanpa
menghubungkannya dengan salah satu kitab tafsir.43 Kemudian, karya
Lamingi Lam Tamdid dengan judul “Amtsâl Menurut Para Adib dan Para
Mufassir”. Karya ini berupaya menemukan sisi persamaan dan perbedaan
konsep amtsâl di kalangan ahli bahasa dan ahli tafsir.44
Ada juga karya yang selangkah lebih jauh dari hanya sekadar
memaparkan konsep amtsâl secara umum, yaitu di antaranya: karya Hafni
Bustami yang berjudul “Penafsiran Ayat-ayat Tamtsîl Dalam Tafsîr al-
40
Lihat: Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika; Asas-asas Penalaran Sistematis
(Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 10.
41
Lihat: Muhammad „Abdul Wahhâb, Mawsû‟ah al-Amtsâl al-Qur‟âniyah (Mesir:
Maktabah al-Adab, 1993), Cet. I, h. 603-607.
42
Lihat: Abû „Abdillah Muhammad, al-Amtsâl Min al-Kitâb was Sunnah (Kairo: Dâr
al-Mahdhah, T.T), h. 354-358.
43
Lihat: Nurhidayat , Matsal Dalam Al-Qur‟an, Tesis Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Dalam Prodi Bahasa dan Sastra Arab Th. 2010, h. vi-vii.
44
Lamingi Lam Tamdid, Amtsâl Menurut Para Adib dan Para Mufassir, Tesis
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Th. 1988, h. iii-iv.
14
Kasysyâf “ (2002) dan karya Mahfudz Masduki yang berjudul “Tafsîr al-
Mishbâh M.Quraish Shihab; Kajian Atas Amtsâl al-Qur‟ân” (2012). Model
kedua penelitian ini hampir mirip dengan penelitian penulis, hanya saja yang
membedakannya adalah objek formalnya. Ada juga tesis yang senada dengan
disertasinya Mahfudz Masduki, yaitu tulisan Ilham Thahir dengan judul
“Penafsiran Ayat-ayat Perumpamaan Dalam Tafsir al-Misbâh”. Selain itu,
ada tesis yang berjudul “Kehidupan Dunia Dalam Al-Qur‟an; Studi Ayat-
ayat Al-Qur‟an Yang Mengandung Amtsâl” (2005) karya Khairullah. Tesis
ini mengkaji tentang amtsâl al-Qur‟ân tentang kehidupan dunia dengan
kehidupan manusia, di antaranya adalah kehidupan akhirat versus kehidupan
dunia, peran dan tanggung jawab manusia, serta manusia sebagai pembentuk
budaya dan peradaban.45
Kedua, berdasarkan objek formal terdapat beberapa penelitian yang
telah membahas kitab tafsir al-Manâr dari berbagai sudut pandang yang
berbeda, yaitu di antaranya adalah: disertasi yang berjudul Pemikiran
Dakwah Muhammad Abduh Dalam Tafsir al-Manâr (2009) karya Sukriadi
Sambas. Kemudian terdapat pula disertasi lainnya yang berjudul Pemikiran
Rasyîd Ridhâ Tentang Pendidikan Formal Sebagai Terkandung Dalam al-
Manâr Dan Buku-bukunya (1989) karya Mappanganro, Penafsiran Ayat-Ayat
Ahkâm Dalam Tafsir al-Manâr: Studi Perbandingan Antara Muhammad
„Abduh dan Muhammad Rasyîd Ridhâ (2002) karya Sonafist. Diserta-
disertasi ini memiliki objek formal yang sama dengan penelitian ini, hanya
saja objek materialnya berbeda.
Mengenai kajian al-Manâr, Quraish Shihab juga mengarang sebuah
buku yang berjudul Rasionalitas Al-Qur‟an: Studi Kritis Atas Tafsir al-
Manâr. Karyanya ini lebih bernuansa metodogis. Artinya, dalam mengkaji
kitab Tafsîr al-Manâr, Quraish Shihab tidak mengangkat sebuah kasus
sebagai objek material yang dipandang dalam kitab Tafsîr al-Manâr, tetapi
lebih kepada menampilkan bentuk kerasionalitasan penafsiran ayat-ayat Al-
Qur‟an dalam kitab Tafsîr al-Manâr dengan melakukan studi kritis.
H. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan ditulis berdasarkan sistem deduksi, yakni
diurutkan dari kajian yang paling umum sampai ke yang paling khusus. Bab
pertama berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, metode penelitian, kajian pustaka, dan sistematika
pembahasan.
45
Khairullah, Kehidupan Dunia Dalam Al-Qur‟an; Studi Ayat-ayat Al-Qur‟an Yang
Mengandung Amtsâl, Tesis Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Th. 2005, h. xi.
15
Bab kedua berisi tentang konsep amtsal dalam kajian tafsir al-
Qur‟an. Bab ini memuat definisi amtsâl al-Qur‟ân; macam-macam amtsâl al-
Qur‟ân; karakter dan unsur-unsur amtsâl al-Qur‟ân; pemetaan ayat-ayat
amtsâl dalam Al-Qur‟an baik amtsâl musharrahah, kâminah maupun amtsâl
mursalah; nilai-nilai yang terkandung dalam ayat-ayat perumpamaan;
urgensi amtsâl al-Qur‟ân.
Bab ketiga berisi tentang biografi kitab Tafsîr al-Manâr. Penjelasan
pada bab ini dimulai dengan sejarah penulisan kitab al-Manâr dan
pengarangnya. Jadi, pada bagian ini juga dijelaskan tentang biografi singkat
Muhammad „Abduh dan Muhammad Rasyîd Ridhâ. Kemudian dilanjutkan
dengan menjelaskan metode penafsiran dalam kitab Tafsîr al-Manâr.
Dilanjutkan dengan penjelasan tentang corak penafsiran dalam kitab Tafsîr
al-Manâr. Dan diakhiri dengan penjelasan tentang perbedaan Muhammad
„Abduh dan Muhammad Rasyîd Ridhâ dalam menafsirkan al-Qur‟an.
Bab keempat berisi tentang penafsiran ayat-ayat amtsâl
musharrahah dalam kitab Tafsîr al-Manâr. Bab ini adalah inti dari
pemabahasan tesis ini. Bagian pertama dari bab ini akan dimulai dengan
menjelaskan ayat-ayat amtsâl musharrahah dalam kitab Tafsîr Al-Manâr.
Pada bagian pertama ini akan diketahui ayat-ayat amtsâl musharrahah yang
termasuk kategori penafsiran Muhammad „Abduh dan Muhammad Rasyîd
Ridhâ. Penjelasan ini dilanjutkan dengan mendeskripsikan penafsiran
Muhammad „Abduh maupun Rasyîd Ridhâ terhadap ayat-ayat amtsâl
musharrahah. Dan diakhiri dengan menjelaskan hasil analisis terkait teknik
penafsiran „Abduh maupun Rasyîd Ridhâ dalam menafsirkan ayat-ayat
amtsâl musharrahah dan relevansinya dengan konteks kekinian.
Bab kelima berisi penutup yang memuat kesimpulan dari jawaban
permasalahan yang diteliti beserta saran untuk penelitian atau peneliti
selanjutnya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistematika penulisan karya Muhammad „Abduh dan Rasyîd Ridhâ ini
tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab tafsir Al-Qur‟an yang lain (tafsir Al-
Qur‟an dengan metode tahlîlî) dan menerapkan sistematika tertib mushafî.
Kitab tafsir ini menggunakan metode tahlîlî (analisis) dengan mengambil
bentuk bir ra’yi (pemikiran), karena mufassir menafsirkan ayat dengan
urutannya dalam mushaf dengan memaparkan segala aspek yang terkandung
dalam ayat-ayat tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup di
dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir. Landasan
yang digunakan Abduh dan Ridha dalam menafsirkan terdapat beberapa hal,
yaitu 1) Memandang setiap surat sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi;
2) Kandungan Al-Qur‟an bersifat universal; 3) Al-Qur‟an adalah sumber
akidah dan hukum; 4) Menentang dan Memberantas Taqlid; 5) Penggunaan
akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur‟an; 6) Mengaitkan
Penafsiran Al-Qur‟an dengan Kehidupan Sosial; 7) Sangat Kritis Dalam
Menerima Hadits-hadits Nabi saw; 8) Sangat Kritis Terhadap Pendapat-
pendapat para sahabat dan menolak Isra’iliyyât; 9) Menghindari pembicaraan
panjang lebar.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa al-Manâr menggunakan
corak adâbi ijtimâ’î. Karakteristik corak adâbi ijtimâ’î ini dalam tafsir al-
Manâr terlihat jelas ketika menampilkan penafsiran yang menitikberatkan
penjelasan ayat-ayat Al-Qur‟an pada segi redaksionalnya, kemudian
menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah, dengan
penonjolan tujuan utama turunnya Al-Qur‟an, yakni membawa petunjuk
dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan
hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan
dunia. Dalam menyuguhkan penafsiran terkait ayat-ayat amtsâl
musharrahah, al-Manâr tidak terlepas dari sembilan prinsip penafsiran yang
dipegang oleh kedua pengarangnya. Penafsiran mengenai ayat-ayat
perumpamaan tersebut juga sangat serat dengan aspek sosial-kultural. Inilah
karakteristik khusus yang membedakan antara kitab Tafsîr al-Manâr dengan
kitab tafsir lainnya.
Adapun amtsâl musharrahah yang dijadikan objek materi penelitian
adalah perumpamaan yang jelas tertera ada kata matsal-nya. Amtsâl
musharrahah mengandung empat unsur, yaitu: al-musyabbah (yang
diserupakan), al-musyabbah bih (asal cerita/tempat menyamakan), wajh al-
syibh (segi/arah persamaan), dan adât at-tasybîh. Secara keseluruhan, jumlah
ayat amtsâl musharrahah dalam Al-Qur‟an ada 20 ayat. Adapun dalam kitab
Tafsîr al-Manâr, ayat-ayat yang termasuk kategori amtsâl musharrahah
153
154
B. Saran
Perlu disadari, bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari harapan untuk
bisa memberikan kontribusi langsung dan maksimal terhadap ilmu Al-Qur‟an
dan tafsir. Di samping itu, masih banyak celah yang dapat dilakukan oleh
peneliti selanjutnya mengingat penelitian ini hanya dibatasi dengan kajian
amtsâl musharrahah, sedangkan macam-macam amtsâl lainnya belum
tersentuh dalam penelitian ini. Tema-tema perumpamaan yang diangkat
dalam penelitian ini juga bisa jadi penelitian tersendiri yang menarik
manakala dibandingkan dengan kitab tafsir lainnya. Oleh sebab itu, kajian-
kajian berikutnya diharapkan dapat menambah kekurangan-kekurangan ini.
BIBLIOGRAFI
157
158
al-Bâqilânî, Abî Bakr Muhammad Ibn Thayyib, I’jâz al-Qur’ân. Beirut: Dâr
al-Jail. 1991 M.
al-Bugha, Musthafa Dib, Al-Wafi: Syarah Hadits Arba’in Imam an-Nawawi,
terj. Muzayin, Jakarta: Hikmah, 2007.
al-Fayâd, Muhammad Jâbir al-Amtsâl Fî ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm.
Firginia: al-Ma‟had al-„Alamî Li al-Fikr al-Islâmî, 1993.
al-Farmawy, Abdul Hayy, al-Bidayah Fi at-Tafsir al-Mawdhu’i, Kairo: T.tp,
1997.
al-Ghazali, Muhammad, Kayfa Nata’ammal Ma’al Qur’an. Mesir: al-Ma‟had
al-„Alami Lil Fikr al-Islami. 1991.
„Alî, Abdullâh Yûsuf, The Holy Qur’an, Maryland: Amana Corp, 1983.
Ali, Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, Jakarta:
Djambatan, 1995.
al-Iskandariy, Ahmad dan al-Amîn, Mushthafâ, al-Wasîth Fî al-Âdab al-
‘Arâbiy wa Târikuhu, Mesir: al-Ma‟ârif, 1930.
al-Jâwî, Muhammad Nawâwî, Marâh Labîd Tafsîr an-Nawâwî, Surabaya:
Dâr al-„Ilmi, T.Th.
al-Jurjâni, „Abdul Qâdir, Asrâr al-Balâghah. Beirut: Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1998.
al-Jundî, Anwâr, Tarâjim al-A’lam al-Mu’ashshirîn Fî al-A’lam al-Islâmi,
Kairo: Maktabah al-Ango, 1977.
al-Mahallî, Jalâluddîn dan as-Suyûthî, Jalâluddîn, Tafsîr al-Qur’ân al-
‘Azhîm, Indonesia: Dâr Ihyâ‟ al-Kutub al-„Arabiyyah, T.Th.
al-Marâghî, Mushthafâ, Tafsîr al-Marâghî, Mesir: Mushthafâ al-Bâbi al-
Halbî, 1946.
al-Mâwardî, Âdâb ad-Dunyâ wa ad-Dîn, Libânon: Dâr al-Fikr, 1994.
al-Muhtasib, „Abdul Majîd A.S., Ittijâhât at-Tafsîr Fî al-‘Ashr al-Hadîts,
Beirut: Dâr al-Fikr, 1973.
Amin, Ahmad, Zu’amâ’ al-Ishlâh Fî al-‘Ashr al-Hadîts, Kairo: Maktab al-
Nahdhah al-Mishriyyah, 1979.
al-Qardhawî, Yûsuf, Kayfa Nata’âmal ma’al Qur’ân, Kairo: Dâr as-Syurûq,
1999 M.
al-Qâsimi, Jamal ad-Dîn, Mahâsin at-Ta’wîl, Beirut: Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1997
159