(Studi Komparasi)
Skripsi
Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)
pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin
Oleh:
Nama: Muhammad Ghifari Misbahuddin
NIM: 11140331000004
iv
KATA PENGANTAR
di dunia fana ini. Semoga kemuliaan dan kedamaian tercurah bagi Manusia Agung,
Insan al-Kamil, Manusia Melampaui, Nabi Muhammad S.A.W. Hanya melalui Yang-
skripsi ini penuh dengan ketidaksempuran, kesederhanaan cita rasa, serta hal-hal
lainnya yang menjadi kekurangan skripsi ini, barangkali kesemuanya itu yang akan
mendorong penulis untuk terus belajar, hingga pada cita rasa tertinggi. Selesainya
skripsi ini adalah berkat dari banyak pihak. Oleh karena itu, dengan segala hormat
1. Dr. Edwin Syarif, M.A, sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia
2. Dra, Tien Rahmatin, M.A, sebagai Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam serta Dosen Penasihat Akademik penulis. Dan juga seluruh staf di
v
3. Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof. Dr. Yusuf Rahman, M.A, beserta
Hidayatullah Jakarta
Lubis, Prof. Dede Rosyada dan Prof. Komaruddin Hidayat, sebagai rektor
5. Kedua Orang Tua penulis, Ayahanda Asep Hisamudin dan Bunda Lela
Kautsar, yang telah bersabar menanti kelulusan anaknya, serta tanpa lelah
saudara penulis.
Nietzsche , barangkali jika tidak ada buku tersebut, skripsi ini tidak selesai
memotivasi penulis.
Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang tidak bisa
vi
bentuk material maupun immaterial. Semoga diberi ganjaran yang setimpal
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Vokal Panjang
viii
DAFTAR ISI
ix
B.2. Kehendak dalam Pandangan Nietzsche.......................................................... ….67
B.3. Metafisika Imanen Nietzsche ......................................................................... ….75
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
mewartakan hal ini – berangkat dari kritik Nietzsche akan tradisi filsafat
modern1.
1
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, hlm 343
2
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, Penerjemah : Risalatul Hukmi, Yogyakarta:
Penerbit Antinomi. Hlm 183-184
1
2
pengetahuan (epistemologi) yang dimulai dari pencarian akan suatu fondasi yang
kebenaran akan ide-ide yang jelas dan khas, yang ia gunakan untuk
“aku berfikir maka aku ada”, dan disudahi dengan keberadaan segala sesuatu di
ide-ide yang jelas dan khas ia raih dari suatu wawasan metafisis mengenai sifat
ketidak-sempurnaan Tuhan. Karena ide-ide yang jelas dan khas yang mana
Descartes temukan pada dirinya sendiri datang dari Tuhan, maka tidak mungkin
ide-ide tersebut salah dikarenakan Tuhan tidak memiliki sifat menipu. Dari poin
ini kita bisa menilai bahwa terdapat suatu pergerakan dalam epistemologi
Descartes dari suatu konsep fondasional (kejelasan dan kekhasan yang setara
Para positivis-logis melihat ini sebagai suatu kelemahan dari sistem epistemologi
filsuf modern. Sebab spekulasi metafisis mengenai Tuhan tidak didukung oleh
3
Owen Blayne Chapman, Tesis: The End of Metaphysics:Logical Positivism and
Postmodernism, Ontario: Queen’s University, hlm.2
3
fakta empiris. Oleh sebab itu, para positivis perlu mencari suatu sistem
Barat oleh kaum positivis-logis ini menjadi pengiring dari Kematian Tuhan4.
dikarenakan realitas dari kebenaran itu sendiri. Dalam kata lain yakni Nihilisme.
Nihisme sendiri adalah tesis utama yang diajukan Nietzsche bahwa tidak ada
konsep yang “benar” secara fundamental mengenai hubungan antara dunia yang
radikal yang mempertanyakan tiap klaim kebenaran yang dianggap sebagai suatu
4
Owen Blayne Chapman The End of Metaphysics:Logical Positivism and
Postmodernism,hlm.3
5
Owen Blayne Chapman,hlm.39
4
Dari poin tersebut, penulis menilai bahwa posisi Nietzsche secara khusus
dan Filsafat Barat secara umum pasca Nietzsche, menentang gagasan metafisika.
khusus lagi Stephen Houlgate menulis dalam Hegel, Nietzsche and the Criticism
Barat ke suatu Tuhan baru. Peng-iya-an secara naif terhadap kematian Tuhan
disambut dengan suka-cita. Seperti halnya yang dilakukan oleh Jean-Paul Sartre,
Tuhan Tukang Cetak, filsafat tidak bisa berurusan secara penuh kepada manusia.
Manusia hanya bebas manakala Tuhan yang Maha Tahu dihilangkan. Selama
Tuhan semacam itu ada, maka pengetahuan manusia selalu terbatas dan
Nietzsche serta padangan Nasr soal dekadensi manusia modern yang disebabkan
6
Stephen Houlgate, Hegel, Nietzsche and the Criticism of Metaphysics, Cambridge
University, hlm.38
7
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche , Yogyakarta: Kanisius, hlm.332
8
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 332
5
Kerusakan alam dianggap Nasr disebabkan oleh anggapan bahwa alam perlu
diatasi.10
metafisika yang menjadi satu-satunya jalan keluar atas krisis yang dialami oleh
dan Nietzsche mengenai metafisika. Dalam skripsi ini nantinya penulis akan
wacana metafisika ini tercermin dari gagasannya mengenai Scientia Sacra (Sains
Sakral). Sains sakral/pengetahuan sakral adalah suatu pengetahuan akan yang rill
membedakan antara yang ril dan yang maya, dan dapat mengetahui sesuatu
secara ilahi11.
metafisika. Kritik Nasr pada Metafisika Barat berkisar pada reduksi seluruh
9
Seyyed Hossein Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, Chicacgo : ABC
International Group, hlm. 5
10
Seyyed Hossein Nasr, hal.3
11
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, Albany : State University of New
York Press 1989, hlm 121.
6
dunia-ada (in „a world of being/ eine seiende Welt) , pada identitas dan bentuk
ada seperti itu, Nietzsche mengikut-sertakan tubuh (The Body), Tuhan (God),
idea, hukum alam, rumus-rumus, dan yang lainnya, yang kesemuanya, bagi
Nietzsche hanyalah fiksi yang mendistorsi watak pengalaman kita yang lain
daripada biasa. Nietzsche mengeanggap mereka yang meyakini dunia real yang
lainnya, sebagai hasrat kabur dari penderitaan dan kesakitan. Inilah yang
Melalui kritik terhadap metafisika Barat, baik kritik Nasr dan Nietzsche,
skripsi ini memliki alasan yang kuat untuk ditulis. Kritik terhadap metafisika
12
Seyyed H Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo, (Bandung: Mizan 1993)
hlm. 38
13
Stephen Houlgate, Hegel, Nietzsche and the Criticism of Metaphysics, Cambridge
University, hlm.39
7
Dalam skripsi ini penulis mencoba mempertemukan dua pemikir dari posisi yang
diametral dalam rangka membandingkan pendapatnya satu sama lain. Skripsi ini
Nietzsche mengenai metafisika. Eksposur dalam skripsi ini akan berfokus pada
hal, namun dalam penelitian ini, penulis hanya akan membatasi pada pandangan
berikut:
Metafisiska?
Nietzsche?
C. Tujuan Penelitian
Melalui batasan dan rumusan masalah diatas, skripsi ini ditulis dengan
maupun Nietzsche
8
maupun Nietzsche
D. Manfaat Penelitan
sarjanawan, namun, hingga saat ini penulis belum menemukan suatu tulisan
pemikiran Islam khususnya Filsafat Islam. Sebab hingga saat ini tradisi Filsafat
Islam dianggap berada di ranah periferal dalam diskursus filsafat secara global.
dengan wacana anti-metafisika merupakan suatu upaya agar di masa yang akan
datang para pemikir Islam dapat masuk pada wacana filosofis kontemporer.
E. Tinjauan Pustaka
Menurut Seyyed Hossein Nasr” yang ditulis oleh Anis Lutfi Masykur di jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017. Dalam
Kedua, skripsi yang berjudul “Pola Hubungan Sains dan Agama : Studi
Atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr dan Lois Leahy” yang ditulis oleh Awad di
jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
Dalam penelitian ini ia hanya memfokuskan pada relasi antara sains dan agama.
Krisis lingkungan: Telaah atas pemikiran Seyyed Hossein Nasr” yang ditulis
tahun 2012. Disertasi ini mengajukan suatu alternatif atas krisis ekologi yang
Materi Pelajaran dalam Masyarakat Modern) yang ditulis oleh Iman Nulhakim
pada tahun 2007 di Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi
ini membahas mengenai spiritualitas, yang telah hilang dari manusia modern,
Hossein Nasr Tentang Islam dan Pertemuan Agama-Agama dalam Buku Living
Sufism” di jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga yang ditulis oleh
Nurul Huda tahun 1996. Medan problematik dari skripsi ini ialah
F. Metode Penelitian
saja rujukan utama ialah buku Nasr yang berjudul “Islam and The Plight of
Modern Man”. “Knowledge and The Sacred” , “Man and Nature”. Dan sumber
metafisika, penulis merujuk buku Nietzsche “The Gay Science” dan “Beyond
Good and Evil” penulis juga menggunakan sumber sekunder untuk menggali
pendapat Nietzsche mengenai metafisika seperti buku “Hegel, Nietzsche and the
.
11
G. Sistematika Penulisan
masalah, tentang alasan mengapa judul “Nasr dan Kematian Tuhan ; Pandangan
Metafiska Nasr dan Nietzsche” perlu diteliti, dan bagaimana penelitian ini dapat
Serta dalam bab ini juga akan membahas mengenai obyek kajian metafisika,
wilayah kajian metafisika dan beberapa filsuf dan konsep metafisikanya masing-
masing
imanen Nietzsche
Dalam Bab ini penulis akan membahas mengenai tinjauan umum metafisika.
apakah alam semesta itu; bagaimanakah asal-usulnya; apa itu realitas; apa itu hakikat
jiwa; apa itu tubuh; bagaimana hubungan antara jiwa dan tubuh? Adalah pertanyaan-
manusia pada pencarian akan kebenaran. Kemudian, pada akhirnya dari pertanyaan-
1
James Iverach. “Epistemology”, Encyclopedia of Religion and Ethics, ed. James Hastings,
vol.5 (New York : Charles Scriber‟s Son‟s, 1995), hlm. 337
2
Alfred Cyril Ewing, The Fundamental Question of Philosophy, (New York:ColierBooks,
1962)
3
Anton Hermann-Chroust, “The Origin of “Metaphysics”, Jurnal The Review of Metaphysics,
vol.14 no.4 (New York: Philosophy of education Society Inc), hlm. 601
12
13
dan juga menamai buku-buku tersebut4. Karena malu dan kurangnya pengetahuan
yang pasti ia menyimpannya di deretan setelah buku Physic Aristoteles. Oleh karena,
([Ta] Meta [Ta] Phuisuka)5 –“ buku-buku yang [ada di daftar karya-karya Aristoteles]
setelah buku-buku Physic”. Aristoteles sendiri tidak pernah menulis kat “Metafisika”
Namun argumen mengenai kata metafisika yang lahir dari suatu tidak
seorang sarjana yang berasal dari Prancis, P. Moraux membuktikan bahwa kata
bahwa kata metafisika telah digunakan oleh Ariston yang menjadi filsuf Aristotelian
4
Pada zaman Yunani kuno terdapat suatu aturan dimana pengarang menulis karyanya tanpa
diberi judul. Judul dari buku nantinya akan dibubuhi oleh pustakawan , ahli tata bahasa, sarjanawan,
juru tulis atau orang yang sering menggunakan peryataan-pernyataan yang menyolok , ungakapan atau
kata yang terkandung di kalimat pertama dari suatu karya. Dalam kasus Metafisika Aristoteles,
nampaknya, para sarjanawan tidak dapat memahami apa yang dianggap Aristoteles penting dalam
kalimat pembuka yang akan cocok sebagai judul yang tepat. Lih. Anton Hermann-Chroust, “The
Origin of “Metaphysics”, Jurnal The Review of Metaphysics, hlm. 601
5
Anton Hermann-Chroust, “The Origin of “Metaphysics”,Jurnal, The Review of Metaphysic,
hlm. 601
6
Anton Hermann-Chroust, “The Origin of “Metaphysics”,Jurnal, The Review of Metaphysic,
hlm. 605
7
Anton Hermann-Chroust, “The Origin of “Metaphysics”, Jurnal The Review of Metaphysic ,
hlm. 611
14
termasuk ilmu sains alam. Hal ini di amini oleh Aristoteles dalam distingsi antara
prior dan “yang mendahului” (prior) dan “lebih dikenal” (better known) :
“ Now the terms „prior‟ and „better known‟ are used in two ways : that
which is „prior‟ or „better known‟ in the order of nature is quite different from
that which is „prior‟ and „better known‟ as far as we [our intellects] are
concerned …. Objects nearer to our senses are prior and better known to man;
objects without qualifications are prior and better known, and are further from
our senses. Furthest from our sense are the most universal causes”
(Term prior dan better known digunakan dalam dua cara : yang prior
atau yang-better known di dalam pemahaman alam, sangatlah berbeda dari
yang prior dan yang-better known sejauh ini kita [akal kita] anggap …. Obyek
yang lebih dekat pada akal kita adalah prior dan better known bagi manusia;
sedangkan obyek tanpa batasan adalah prior dan better known, sekaligus
lebih jauh pada akal kita. Yang paling jauh dari akal kita adalah sebab yang
paling universal.)8
Dari kutipan di atas penulis menyimpulkan bahwa; pertama, Aristoteles
mengandaikan suatu dunia yang “melampaui” atau “jauh” atau “menyudahi” dunia
fisis. Dimana sebab yang paling universal dilandaskan pada Aristoteles pada hal yang
paling jauh serta obyek yang tak terbatas. Kedua, bahwa cerita mengenai asal-usul
penamaan metafisika, tidak masuk akal jika hanya berlandaskan pada „ketidak-
sengajaan‟. Kutipan ini membuktikan bahwa kata metafisik adalah suatu rangkaian
yang “melampaui”, atau “ jauh” atau “yang mendasari” segala ilmu pengetahuan
pergeseran makna. Metafisika dipahami oleh para filsuf skolastik sebagai ilmu
tentang “yang-ada” atau “yang-rill” karena muncul “sesudah dan melebihi” fisika.
8
Aristotle, Posterior Analytics, terj. Johnatan Barnes , (Oxford University Press), hlm. 3
15
“sesudah” disini tidak dimaknai dalam arti temporal, tetapi bahwa obyek metafisika
berada pada abstraksi yang melampaui fisika dan matematika, yakni abstraksi ketiga.
filsafat sebagai pengetahuan tertinggi manusia, yang tidak bisa diatasi lagi.
Metafisika sebagai filsafat pertama dan sejati ini menurut Aristoteles berpusat
pada „Ada sebagai yang Ada‟ (being qua being). „Ada‟ menjadi dasar segala-galanya.
„Ada‟ menjadi sifat yang melingkupi dan mendasari segala sifat lainnga. Dari sini
bisa dipahami bahwa objek material metafisika adalah segala yang ada. Ilmu ini
menyangkut realitas dalam semua bentuk atau manifestasi, bukan bagian tertentu
realitas. Tidak dipedulikan di sini apakah bentuk atau manifestasi, bukan bagian
tertentu realitas. Tidak dipedulikan di sini apakah bentuk atau manifestasi itu pada
metafisika adalah „Ada sebagai yang Ada, metafisika berbeda dengan bentuk
pengetahuan yang lain. Dalam refleksi metafisika, meja, kursi atau manusia di
9
Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum; Filsafat Pengadaan Dasar-Dasar Kenyataan,(
Yogyakarta : Kanisius, 1992) hlm. 15
10
Loren Bagus, Metafisika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991) hlm. 24
16
tinggalkan. Metafisika hanya menyibukan diri dengan yang ada sebagai yang ada.
Metafisika tidak berurusan dengan apakah suatu itu berwarna atau tidak, berbau atau
tidak. Metafisika tidak memperkarakan sifat dari sesuatu melainkan Ada nya sesuatu.
bunga tersebut. Apakah bunga itu „Ada‟? Atau apakah bunga „Aktual‟? maka secara
sederhana dapat dikatakan metagisika adalah suatu disiplin mengenai yang ada yang
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa obyek material atau ruang lingkup
obyek formal atau fokus pembahasan adalah „ada sebagai yang ada‟ (being qua
being). Seluruh realitas yang dibahas metafisika adalah sebagaimana adanya. Karena
itulah metafisika diakui sebagai ilmu yang paling universal. Ia tidak merujuk pada
obyek material tertentu, melainkan mengenai suatu inti yang termuat pada setiap
kenyataan. Inti itu hanya tersentuh pada taraf peelitian yang paling fundamental dan
Berangkat dari hal diatas, maka obyek material metafisika adalah seluruh
realitas dipandang dari sisi adanya, tetapi justeru di titik inilah metafisika banyak
11
Loren Bagus, Metafisika, hlm. 25-26
12
Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum; Filsafat Pengadaan Dasar-Dasar Kenyataan,
hlm. 15
17
Jerman, Christian Wolff, pada abad ke-18 adalah ontologi disamping teologi
yang ada (being); teologi berkaitan dengan masalah keTuhanan; kosmologi denga
masalah alam dan psikologi dengan manusia. Kattsoff membagi metafisika menjadi
dua : ontologi dan kosmologi. Ontologi berusaha untuk menemukan esensi terdalam
dari yang ada, sedangkan kosmologi berusaha untuk mengetahui ketertiban seta
bahasa Latin ; “Ontos (being atau ada) dan Logos (knowledge atau pengetahuan).14
Jadi ontologi tak lain adalah metafisika, yaitu cabang filsafat yang bersangkutan
dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat yang ada yang paling ultim atau
13
Lois Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta : Tiara Wacana,
1995)
14
Samuel Enoch Stumpf, Philosophical Problems (New York: Mc Graw-Hill, Inc. 1994) hlm.
129
15
Warren E. Preece, et, al. (ed.) “Ontology”, Encyclopaedia Britanica , Vol.16 (Chicago;
Encylopaedia Britanica Inc, 1965) 97A. Bandingkan “ Istilah metafisika sebagai ilmu tentang yang ada
sering dinamakan metafisika umum, ontologi, atau metafiska saja” Lih. Loren Bagus, Metafisika,
hlm.20. Bandingkan juga “… ketiga nama “filsafat pertama” , “metafisika umum” dan “ontologi”
18
1. Ontologi
Ontologi membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya prinsip-
Sebagai contoh kita bisa mengatakan „ada‟ sepatu kuning, yang menjadi
sepatu tersebut. Yang „ada‟ di balik sepatu tersebut adalah yang menjadi dasar
mendasari segala sesuat yang ada. Menurut materialisme yang ada adalah segala
sesuat yang materil, yakni segala sesuatu yang dapat diketahui melalui pengamatan
mempunyai ujud sebenarnya dan selain materi tidaklah ada. Sehingga, gampangnya,
realitas yang ada atau hakikat kenyataan yang serba ragam dan rupa itu terjadi dari
suatu kekuatan roh, sukma budi, atau yang biasa disebut dengan Idea yang tidak
dapat dipergunakan tanpa dibedakan (indiscrimination), Lih. Anton Bakker, Ontologi, hlm. 17. Lihat
juga Tim Maudlin, The Metaphysic Within Physic (Oxford: Oxford University Press, 2007) hlm. 5-7
16
Pandangan-pandangan tentang realitas yang ada dengan segala aliran-alirannya dapat dilihat
dalam Sutan Takdir Alisyahbana , Pembimbing ke Filsafat Metafisika (Jakarta: Dian Rakyat, 1981),
hlm. 29
19
menempati ruang dan tidak berbentuk. Dengan kata lain, segala sesuatu yang ada,
2. Teologi Metafisik
dibanding dengan dua objek metafisika lainnya. Apabila manifestasi lahiriah dari
semesta maupun jiwa dapat ditangkap indera, maka hal yang sama tidak berlaku bagi
realitas keTuhanan. Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak dapat diketahui oleh
indera. Apabila filsafat keTuhanan mengambil Tuhan sebagai titik akhir atau
awal pembahasannya.
Tuhan yang didasarkan pada penalaran manusia. Terdapat suatu varian lain dalam
pertama yang ditak disebabkan. Hal tersebut membawa kepada kesimpulan, Jika tidak
ada penyebab yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda relatif kontingen
17
Sutan Takdir Alisyahbana, hlm. 39
20
3. Antropologi Metafisik
dan dipahami sebagai ke-berakal-an, kesadaran, subyektifitas, kontrol pada budi dan
term lainnya. 18
4. Kosmologi Metafisik
Pada jaman Yunani kuno pembahasan kosmologi telah di mulai oleh Thales.
Thales merupakan filsuf alam pertama yang membicarkan asal mula (archae) alam.
Thales beranggapan bahwa asal mula alam adalah air, yan di ikuti oleh Anaximander
„mekanis‟. Mereka beranggapan bahwa keseluruhan alam raya ini merupakan mesin
mesin, atau seluruh alam semesta ini berjalan susai dengan hukum mekanis (mesin).
18
https://Plato.stanford.edu / entries/consciousness/ dengan judul : “Cosnsciousness” , diakses
pada tanggal 9Agustus 2019 pukul 6:36 WIB
19
Lois Katsoff, Pengantar Filsafat, hlm. 263-265
21
1. Plato
Plato membedakan realitas menjadi dua dalam alegori tentang gua, yaitu
dunia indera (dunia bayang-bayang) dan dunia intelek (dunia ide). Plato bertitik tolak
dari problem yang Satu (the One) dan yang Banyak (the Many) untuk memahami
realitas. Pemikirannya mengenai yang Satu dan yang Banyak merupakan sintesis
antara dua pemikir besar yakni Heraklitos dan Parmenides 20. Plato bertitik tolak dari
itu berasal dari yang Satu, yang tetap tidak berubah; sedangkan Heraklitos
menganggap realitas berasal dari yang Banyak, yang selalu berubah. Plato
menyatakan bahwa disamping hal-hal yang beraneka ragam dan yang dikuasai oleh
dunia yang berubah-ubah – tidak memuaskan atau tidak memadai sebagai obyek
suatu jenis obyek. Plato memikirkan pengetahuan asli (genuine knowledge), yaitu
suatu jenis pengetahuan yang tidak berubah, sehingga obyeknya haruslah sesuatu
20
Rizal Mustansyir, “Aliran-Aliran Metafisika”, dalam Jurnal Filsafat, Juli 1997 (Yogyakarta :
Fakultas Filsafat UGM) hlm. 9. Bandingkan dengan “ … Plato derived the ideal theory from a double
source : by reaction, in the first place, from the Heraclitean teaching od Cratylus …. And in the second
place, from Socrates , through development of Socratic notion of the universal concept.” J. Murray,
“Notae : Plato‟s Theory of Ideas”, dalam jurnal Gregorianum, Vol.35 No.2 (1954) hal.247. dan lihat
juga Sir David Ross, Plato’s Theory of Ideas. (Oxford: Oxford University Press) hal. 230
22
yang tidak berubah (changeless). Plato yakin bahwa pengetahuan yang asli itu harus
diarahkan pada Being. Being, bagi Plato, dibentuk oleh dunia yang merupakan pola-
pola dari segala sesuaty yang dapat di indera, sedangkan ide-ide itu secara kodrati
Alasan Plato membedakan being dan becoming adalah sebagai cara untuk
“ The Platonic theory of form is an attempt to find, with the aid of other
influences, a metaphysical ground…, that is, to discover what reality must be
if knowledge consists in the understanding of things by means of distinctly
definded general conception.22
(Teori form Platonis adalah suatu usaha untuk mencari suatu dasar metafisis,
dengan bantuan dari pengaruh-pengaruh lainya, … , yakni, pencarian apakah
itu realitas yang seharusnya jika pengetahuan terbentuk dalam pemahaman
mengenai hal-ihwal dengan cara pendefinisian konsepsi general secara khas.)
Forma yang menentukan Being tidak sulit untuk dipahami, manakala Form
merupakan kualitas universal dari hal-hal yang dapat di indera, sifat-sifat sesuatu;
“seperti merah”, “manusia”, merupakan kualitas sesuatu yang konkret yang mudah
dipahami. Plato megarahkan pada hal-hal atau kualitas yang lebih abstrak, yakni hal-
hal yang mencerminkan sifat-sifat yang lebih umum (general conception). Sifat sifat
ini mengandung ide-ide abadi yang tidak akan pernah mati dan merupakan problem
aktual dalam pemikiran umat manusia. Yang banyak (the Many), memang bisa
terlihat dalam kenyataan konkret namun sulit dikenal, sedangkan ide lebih dikenal
21
Rizal Muntasyir, Jurnal Filsafat Hlm. 9
22
T.E Jessop , “The Metaphysic of Plato”, dalam Journal of Philosophical Studies, Vol. 5,
No.17 Royal Institute of Philosophy, hlm. 39
23
namun tidak terlihat. Idea menurut Plato tidak memiliki organ yang terpisah-pisah,
melainkan sebagai sebuah pikiran , yang melalui suatu kekuatan uang ada dalam
dirinya.
2. Ibn Sina
Konsepsi metafisis Ibn Sina terkandun dalam kitab al-Syifa’. Dalam kitab al-
Syifa’ Ibn Sina membahas mengenai struktur dasar eksisten (ada) dalam dunia
konkret serta begaimana eksisten (ada) tersusun dalam alam pikiran kita. Hal ini
kajian mengenai apa itu eksisten (yang ada sebagai yang ada) memerlukan
“ Keberadaan disebut dengan cara yang berbeda-beda, namun dengan merujuk pada
satu hal saja, yakni yang berada pada tabiat alamiah tersendiri dan bukan demikian
23
secara equivokal”. Asumsi bahwa untuk mengetahui eksistensi kita harus
Menurut M.F Attar, metafisika Ibn Sina beroperasi pada persoalan “Apa itu?”
yang pada akhirnya akan disimpulkan bahwa suatu benda dapat dikonsepsi oleh
pikiran. Hal ini nantinya akan menjadi dasar teoritis Ibn Sina dalam membedakan
23
Kutipan ini terdapat dalam Kitab al-Syifa Ibn Sina “Bagian V : Metafisika ”al-Syifa” ; al-
Ilahiyyat (Metafisika) di edit oleh Georges C. Anawati et. al. Vol.2 (Cairo: Al-Ammah li-Syu‟un al-
Mutabi al-Amiryyah, 1960) diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh M.F Attar dalam Jurnal
Ilmu Ushuluddin, “Fondasi Realisme Ibn Sina dalam Metafisika Ibn Sina” dalam Jurnal Ilmu
Ushuluddin, (Jakarta: Jurnal Ilmu Ushuluddin, 2015) Vol.2 no.3
24
Esensi dan Eksistensi,. Dari distingsi Esensi dan Eksistensi inilah pembuktian akan
Doktrin Ibn Sina tentang wujud, sebagaimana para filsuf Muslim sebalum Ibn
Sina, seperti misalnya Al-Farabi, bersifat emanasi. Dari Tuhanlah segala ke-maujud-
an, mengalir akal pertama, segala sesuatu dapat terwujud. Namun sifat akal pertama
tidak mesti Mutlak, sebab ia tidak „Ada‟ dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan
Ibn Sina mengkukuhkan eksistensi dari Wajib al-Wujud (eksisten wajib) dari
pertimbangan mengenai „Ada‟ secara umum. Hal ini cukup berbeda dari bukti akan
adanya Tuhan lainnya semisal Aristoteles, yang menganggap hanya sebuah bagian
dari „Ada‟, yakni Ciptaan Tuhan, hanyalah suatu dampak dari gerakan. Ibn Sina
membalik pembuktian adanya Tuhan dari prinsip-prinsip metafisis yang ditarik dari
metafisika.
Untuk itu kiranya perlu untuk membahas mengenai konsep Wujud menurut
Ibn Sina. Bagi Ibn Sina wujud terbagi menjadi tiga, yakni ; a) Wajib al-Wujud (wujud
non-eksisten)25. Wujud niscaya adalah sesuatu yang tidak mungkin tidak ada karena
dirinya sendiri dan karena alasan lainnya. Wujud niscaya merupakan suatu yang
24
M.F Attar, “Fondasi realisme Ibn Sina dalam Metafisika Ibn Sina”, Jurnal Ilmu Ushuluddin ,
hal. 186
25
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Ibn Sina‟s Concept of Wajibul Wujud, dalam Jurnal Tsaqafah
UNIDA Gontor, Vol.7, No.2, 2011 hlm.380
25
Sementara Wujud Kontingen, adalah sesuatu yang ketika di asumsikan tidak ada
diatas membalik konsep metafisika Aristoteles, yang berangkat pada persoalan fisika.
Ibn Sina mendasarkan segala realitas pada Wujud Niscaya, sebagai wujud yang
memberi atau meminjamkan „Ada‟ pada „Ada‟ lainnya, yakni Wujud Kontingen.
BAB III
a. Latarbelakang Intelektual
dengan nama Seyyed Hossein Nasr. Nasr adalah salah satu living philosopher di
semata, melainkan melalui proses panjang sejarah hidup Seyyed Hossein Nasr.
Ada beberapa hal yang membuat penulis tertarik dengan Seyyed Hossein
Nasr. Pertama, konsistensi Nasr pada posisi yang ia ambil, seorang tradisionalis.
Konsistensi atau ke-istiqomah-an Nasr pada posisi tersebut menghasilkan roh (geist)
dalam tulisan-tulisan dan buku-buku Nasr terhubung satu sama lain. Kedua ialah
penuturan argumentasi Nasr yang acapkali di sampaikan dalam bahasa yang puitis.
Serta ketiga, kritik Nasr pada peradaban modern yang khas. Kekhasan kritik Nasr
berupa fondasi
Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai riwayat hidup Seyyed Hossein
26
27
Hossein Nasr.
Seyyed Hossein Nasr lahir di Teheran, Iran pada tahun 1933 beliau lahir dari
pasangan Seyyed Valiallah dan Ashraf. Nasr mendapat gelar Seyyed dari jalur
Muhammad S.A.W. Salah satu leluhur Nasr dari jalur ayahnya, yakni Mulla Majed
Dalam bukunya, penulis mendapati beberapa nama besar yang berada dalam
Sekolah Tinggi Keguruan Teheran (Teachers‟ Collage) dan dekan dari beberapa
fakultas di Universitas Teheran. Nasr juga menulis bahwa ayahnya adalah salah-satu
1
Seyyed H. Nasr, dalam Lewis Edwin Hahn (ed.), The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr,
(United States of America : Open Court Publishing ), hlm. 3
2
Seyyed H. Nasr, hlm.3
28
dengan kajian falsafah, baik falsafah Islam maupun falsafah Barat. Salah satu bukti
dari ketertarikannya pada kajian falsafah, Seyyed Valiallah menulis satu buku
mengenai etika, yakni Danish wa Ahlaq (Knowledge and Ethic). Dan juga ragam
koleksi Seyyed Valiallah dalam literature berbahasa asing, seperti buku yang di tulis
Nama besar berikutnya ialah Ashraf, ibunda dari Seyyed Hossein Nasr. Latar
belakang keluarga ibunya berbeda dengan latar belakang keluarga ayahnya. Kakek
dari Ashraf , Syekh Fadlallah Nuri, merupakan tokoh politik-relijius pada masanya.
Namun Syekh Fadlallah Nuri memiliki pandangan politik yang berlawanan dengan
gerakan Revolusi Konstitusional 1906, sehingga ia ditangkap dan dihukum mati oleh
Keluarga Ashraf, ibunda Seyyed Hossein Nasr , merupakan keluarga dari tradisi
ke-Islaman yang kuat. Salah-satu bukti diantaranya ialah pengetahuan yang kuat
dalam sastra Persia dan Arab. Pengetahuan akan sastra Persia dan Arab ini lah yang
3
Seyyed H. Nasr, hlm. 4
29
“But she was devoted to Persian literature and, like my grandmother, knew and
in fact still knows numerous Persian and even Arabic poems by heart. It is she who
took me to the great centers of pilgrimage such as Qom and Hadrathi Abd-al-Azim
near Teheran when I was a child, making possible an experience of the sacred which
has remained indelibly etched in my memory to this day.4
(Namun ia menekuni sastra Parsi dan, seperti nenek saya, tahu dan faktanya tetap
mengetahui beragam syair Parsi dan bahkan Arab diluar kepala. Dialah juga yang
membawaku ke pusat ziarah agung seperti Qom dan makam Hadrathi Abd-al-Azim
di dekat Teheran ketika saya kanak-kanak, memungkinkan untuk suatu pengalaman
akan yang-sakral yang tetap tergores tak terhapuskan dalam ingatan saya hingga hari
ini).
Nasr juga menganggap bahwa ibunya lebih dominan mengajarkan keilmuan Islam
ketimbang ayahnya.
memiliki tradisi yang berlainan satu-sama lainnya. Nasr hidup dalam tegangan antara
keluarga ayahnya yang maju dalam bidang fisika dan keilmuan bersifat positifistik,
meskipun ayahnya juga menyelami falsafah, baik falsafah islam atau timur secara
umum dan falsafah barat, serta keluarga ibunya yang memiliki sejarah yang panjang
sains dan ilmu pengetahuan, seperti yang ia tulis dalam The Need of Sacred Science,
Man and Nature ,juga kritis terhadap pemikiran falsafah barat, seperti yang ia tulis
dalam A Young Muslim‟s Guide to Modern World dimana dalam bukunya ia dengan
Islam dan Falsafah Islam seperti yang ia tulis dalam buku The Garden of the Truth .
dari atmosfer intelektual dimana Nasr dibesarkan. Hal tersebut pula di amini oleh
Nasr sendiri:
“ I was brought up in an atmosphere which, while deeply Persian, was also open to
both Western ideas and religion and intellectual of other tradition.”5
(Saya tumbuh dalam suatu udara yang, adalah seorang Parsi yang berurat berakar,
sementara juga terbuka pada, baik pada ide-ide Barat maupun agama Barat, dan juga
intelektual dari tradisi lainnya)
Kemudian di beberapa kesempatan, Seyyed Valiallah, seringkali membawa
Nasr kecil ke majelis sastra yang di datangi Seyyed Valiallah. Dalam majlis tersebut
berkumpul banyak ahli-ahli di bidang sastra, khususnya sastra Parsi. Salah satu
diantaranya ialah Muhammad Ali Furughi, seorang tokoh besar dalam politik Iran,
Parsi. Nasr menganggap dalam melalui majelis tersebut, eksposur pertama di usia
gagasan-gagasan Nasr kecil ialah, Seyyed Ali Nasr. Seyyed Ali Nasr merupakan
salah-satu paman dari Nasr. Seyyed Ali Nasr merupakan salah satu pelopor teather
modern di Iran. Seyyed Ali Nasr merupakan salah satu penerjemah produktif.
Beberapa karya asing yang diterjemahkannya kedalam bahasa Paris seperti novel-
5
Seyyed H. Nasr, hlm. 8
31
Pengaruh Seyyed Ali Nasr pada Seyyed Hossein Nasr ialah terbukanya
wawasan mengenai khazanah pemikiran dari Asia Timur seperti dari China dan
Jepang. Sebab, Seyyed Ali Nasr merupakan seorang diplomat Iran yang sempat
peradaban Asia Timur baik China maupun Jepang mendorong Nasr untuk
dengan peradaban Indus, Nasr didorong oleh Valiallah untuk mempelajari puisi-puisi
seperti, pembunuhan kakek dari jalu ibu, invasi Iran oleh pasukan Sekutu, bersekolah
ke Amerika dan perpisahan dengan Valiallah, serta belokan saintis ke spiritualis dan
pertemuannya dengan Fritjof Schuon7. Empat peristiwa yang dialami Seyyed Hossein
diatas, bagi penulis merupakan peristiwa yang mengubah gagasan serta pemahaman
Nasr.
tepatnya di New York City yaitu Peddie Scholl di New Jersey. Ia sangat cepat dalam
6
Seyyed H. Nasr, hlm. 8
7
Penulis melihat peristiwa-peristiwa tersebut memiliki pengaruh dalam kehidupan intelektual
Nasr.
32
belajar dan menguasai bahasa Inggris, dan kemudian ia lulus dalam jangkah waktu
empat tahun sebagai pemidato di hari kelulusan dengan menunjukan bakat luar biasa
tentang ilmu-ilmu fisika dan matematika teoritis di bawah bimbingan Bertrand Russel
yang dikenal sebagai seorang failasuf modern. Ia juga pernah bergabung pada
kelompok kecil dalam diskusi yang secara langsung bertemu dengan Bertrand Russel,
serta sempat mempertanyakan mengenai struktur alam fisik yang kata Bertrand
Russel susunan alam fisik adalah terdiri dari sebagaimana struktur matematik8
bertemu dengan Bertrand Russel, Nasr juga bertemu dengan seorang ahli metafisika
bernama Giorgio De Santillana. Dari kedua ini Nasr banyak mendapat informasi dan
Schuon tentang perenialisme. Selain itu ia juga berkenalan dengan pemikiran Rene
8
Seyyed H. Nasr, hlm. 15-16
9
William Chittick (ed.) , The Essential Seyyed Hossein Nasr, hlm. xi
33
Islaman dan ke-Timuran, Seyyed Hossein Nasr tentunya sering kali mengikuti
seminar, dan menulis. Mengingat ia adalah salah satu pemikir Islam kekinian yang
memiliki gagasan dan ide-ide menarik, serta yang lebih utama dari gagasan tersebut
sebelumnya bahwa salah satu kegiatan akademis yang digemari oleh Nasr adalah
menulis. Hal ini tentu saja akan menjadikan adanya sebuah karya dari Nasr. Maka
dari itu peneliti akan memasukan beberapa karya dari Seyyed Hossein Nasr.
terlebih dahulu bahwasannya sejauh ini peneliti baru menemukan karya-karya Nasr
yang ditulis dalam bahasa Inggris. Peneliti juga mengambil sumber utamanya yang
ditulis dalam bahasa Inggris. Beberapa sumber ini merupakan gagasan dan ide hasil
karya tulis Nasr yang dikumpulkan oleh beberapa editor. Seperti dalam buku dengan
judul “The Essential Seyyed Hossein Nasr” yang di dalamnya adalah berisikan
gagasan dan ide Nasr, namun editornya adalah William C. Chittick. Selanjutnya
adalah “The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr” yang dieditori Lewis Edwin Hahm
dkk. Di dalamnya juga terdapat tulisan dan gagasan dari Nasr yang ditulis dalam
bahasa Inggris..
34
Adapun karya-karya lain dari Nasr yang ada di tangan peneliti saat ini masih
ada sembilan (9) buku dengan judul yang berbeda. Pertama adalah buku yang
berjudul “Ideals and Realities of Islam” diterbitkan oleh George Allen dan Unwin
Ltd., London pada tahun 1966. Kedua adalah buku dengan judul “Man and Nature”
yang diterbitkan oleh Mandala Book, London pada tahun 1968. Buku yang ketiga
adalah buku yang berjudul “Science an Civilization in Islam” dan diterbitkan oleh
New American Library, New York pada tahun 1970. Buku keempat adalah buku
dengan judul “Sufi Essays” yang diterbitkan oleh George Allen dan Unwin Ltd.,
London 1972. Kelima adalah buku yang berjudul “Islam and the Plight of Modern
Man” yang diterbitkan oleh Longman Group, London pada tahun 1975. Keenam
adalah buku yang berjudul “Traditional Islam in the Modern World” yang diterbitkan
oleh Foundation for Traditional Studies, Kuala Lumpur pada tahun 1987. Buku
ketujuh adalah buku yang berjudul “Knowledge and the Sacred” yang diterbitkan
oleh State University of New York Press, New York pada tahun 1989. Kedelapan
adalah buku yang berjudul “The Need for Sacred Science” yang diterbitkan oleh
Curzon Press Ltd., United Kingdom pada tahun 1993. Buku terakhir, yaitu buku yang
kesembilan adalah buku dengan judul “A Young Muslim‟s Guide to the Modern
World” yang diterbitkan oleh KAZI Publication, Inc, Chicago pada tahun 1994.
Kesembilan buku dengan judul yang berbeda tersebut adalah buku-buku karya Nasr
dari pada karya Seyyed Hossein Nasr. Karena sebagaimana telah disebutkan
sebelumya bahwa buku-buku tersebut di atas hanyalah beberapa judul buku yang saat
ini ada di tangan peneliti. Apabila kita merujuk pada buku yang berjudul “A Young
Muslim‟s Guide to the Modern World” kita akan mendapati lebih banyak lagi
mengenai karya Nasr. Sebagaimana dalam lembaran di bagian awal dari buku
tersebut telah dicatatkan dari pada buku-buku karyanya Nasr, lebih tepatnya, yaitu
pada halaman iv. Adapun dari pada catatan-catatan buku karya Nasr dalam buku
tersebut yang belum disebutkan di sini diantaranya adalah: “1. Three Muslim Sages,
Theosophy of Sadr al-Din Shirazi, 8. Islamic Life and Thought, 9. Muḥammad: Man
of Allah, 10. Islamic Art and Spirituality, 11. Isma‟ili Contribution to Islamic Culture
(ed.), 12. Philosophy, Literature and Fine Arts: Islamic Education Series (ed.), 13.
(ed.), 15. Islamic Spirituality: Volume I, Foundations (ed.), 16. Islamic Spirituality:
Volume II, Manifestation (ed.), 17. The Essential Writings of Frithjof Schuon (ed.)”.10
10
Seyyed H. Nasr. A Young Muslim‟s Guide to the Modern World. (Chicago: KAZI
Publication, Inc. 1994). h. ix
36
“That perrenial wisdom which lies at the heart of every religion and
which is none other than the Sophia whose possesion the sapiental
perspective in the West as well as the Orient has considered as the
crowning achievement of human life. This eternal wisdom … which
constitutes on of the main component of the concept of tradition is none
other than the sophia perennis of the West tradition, which the Hindus cal
the sanatan dharma and the Muslims al-hikmat al-khalidah11
dekat satu sama lain, dan kesemuanya itu menuntun pada Kebenaran Abadi (eternal
Truth), yang menubuh pada inti tiap-tiap agama pada „Tradisi‟, dan dapat dihayati
oleh manusia12. Term-term tersebut merupakan tak lain dari metafisika. Bagi Nasr,
metafisika adalah sesuatu yang menjadi inti dari tiap-tiap agama yang menubuh
dalam „Tradisi‟. Untuk itu barangkali kita perlu memahami terlebih dahulu apa itu
tradisi.
11
Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, (New York : SUNY Press), hlm. 68
12
Saille B. King, “The Philosophia Perennis and the Religion of the World, dalam The
Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, ed. Lewis Edwin Hahn, (Chicacgo : The Library of Living
Philosopher) 2001, Hlm. 204
37
(Tradisi terhubung sangat dekat dengan filsafat perennial jika kata ini
dipahami sebagai Kebijaksanaan yang telah-selalu dan akan selalu begitu dan
yang diabadikan dalam arti baik transmisi secara horizontal maupun
pembaruan secara verikal melalui kontak dengan realitas itu yang „ada di
awal‟ dan yang ada di sini serta sekarang)
Tradisi (Tradition) bagi Nasr bukan sekadar apa yang dipahami saat ini
sebagai adat istiadat, kebiasaan, cara berfirikir yang diwariskan dan seterusnya.
Tradisi melampaui kesemuanya itu, sebagai mana dikutip diatas, merupakan suatu
horizontal berarti antar peradaban, secara vertikal berarti antara manusia dengan
scientia sacra Nasr, (1) mengandaikan adanya suatu realitas asali yang melampaui
dunia positif, dan (2) realitas tersebut mendeterminasi segala sesuatu yang ada
didunia ini.
13
SeyyedcH. Nasr, Knowledge and The Sacred, hlm. 71
38
Tradisi memiliki episteme, untuk dapat meraih itu. Nasr mengistilahkannya dengan
Revelation atau Pewahyuan dan intelegensi Intuitif (Irfan). Pewahyuan adalah suatu
Nabi, Rasul, Avataras dan Logos, sedangkan intelegensi intuitif merupakan fakultas
ditunjukan Nasr, bahwa sanatha darma atau sophia perennis berhubungan dengan
tradisi primordial dan bahkan pada asal muasal eksistensi manusia.15 Tiap Tradisi
memiliki hubungan secara dalam dengan Filsafat Perennial, dan manusia perlu
menganggap bahwa hubungan tersebut bukan suatu hubungan yang termporer serta
bukan penyebab penolakan dart tiap-tiap pesan „Ukhrawi‟ yang membentuk tiap-tiap
agama yang secara penampakan berbeda namun secara batin memiliki hubungan
temporalitas.
14
Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 72
15
Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 68
39
melalui eksposisi Tradisi ini, penulis menyimpulkan bahwa dalam pandangan Nasr,
menyiratkan suatu Ada yang menjadi dasar dari segala sesuatu. Dan yang kemudian
Ada tersebut menjadi titik awal metafisika Nasr. Sebagaimana dinyatakan Huston
Smith:
His metaphyisical starting point is the infinite which he consider the one
unavoidable idea because its alternative, finitude, implies a limit, a cutoff
point, which the mind cannot accept as final because it must instinctively
wonder what lies beyond it; thought-wise, an absolute boundary would be like
a door with only one side, an imposible image. 16
( Titik awal pemikiran metafisikanya (Nasr) adalah Yang-Infinit yang ia
anggap satu-satunya idea yang tak terhindarkan karena sifat-kelainannya,
keterhinggan, menyiratkan suatu batas, suatu pemutus, yang mana pikiran
tidak dapat menerima segbagai akhir karena ia harus bertanya-tanya secara
naluriah apa yang berada melampauinya; kebijaksanaan, suatu batas absolut
seperti layaknya suatu pintu dengan satu sisi, suatu gambaran mustahil.
Sesuatu yang berada melampaui apa yang ada dengan yang ada di dunia ini
hanya bisa diraih melalui Tradisi. Sebagaimana Tradisi dalam konteks pembahasan di
16
Huston Smith, “ Nasr‟s Defence of the Perennial Philosophy”, dalam The Philosophy of
Seyyed Hossein Nasr, hlm. 144
40
atas, yakni suatu penyaluran akan pengetahuan Yang-Ilahi. Melalui Tradisi juga
dalam gagasaan filsafat Nasr, ialah apa yang menjadi alasan, reason d etre, gagasan
filsafat perennial Nasr. Pembahasan ini diperlukan agar memperlihatkan posisi Nasr
pengetahuan yang selama ini telah ditinggalkan oleh manusia, khususnya oleh
manusia modern dan modernisme. Modernisme, mencoba untuk mencari suatu dasar
fundamental yang tak terbantahkan, seperti cogito dalam Descartes. Pencarian akan
suatu fondasi yang meliputi segala sesuatu diikuti juga pada perpindahan subjek dari
sistem fondasional tersebut. Ketika Descartes menyatakan Cogito ergo sum dengan
serta merta memindahkan jangkar ontologis, atau subyek, dari Theos, Tuhan, pada
Antropos manusia17. Dalam pemahaman Nasr, diktum cogito ergo sum (I think
therefore I am) mengandaikan separasi antara „berpikir‟ dan wahyu. Manusia kini
17
Quentin Meillassoux, After Finitude,(London: Continuum) 2009, hlm 30
41
menjadi sumber pengetahuan bagi dirinya sendiri. Manusia tak membutuhkan wahyu
melampaui manusia melalui wahyu dan intuisi.19 Oleh sebab itu hubungan Nasr
dengan Filsafat Perennial membentuk asumsi metafisika Nasr yang akan dibahas di
bagian selanjutnya.
What is the sacred? The sacred is the Divine Reality as it is in Itself and as It
manifest Itself in beings in this world.
(Apa itu Yang-Sakral? Yang-Sakral adalah Realitas Ilahi sebagai Ia pada-
Diri-Nya dan sebagai Manifestasi dari Diri-Nya dalam hal-ihwal yang ada di
dunia ini.)20
18
Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim‟s Guide to the Modern World, (Chicago; KAZI
Publication) 1994, hlm. 158
19
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred, hlm. 79
20
Seyyed Hossein Nasr and Ramin Jahanbegloo, In Search of the Sacred : a Conversation with
Seyyed Hossein Nasr on His Life and Thought, (California: PRAEGER), 2010, hlm 203.
42
realitas duniawi. Realitas Ilahi merupakan Yang-Sakral itu sendiri dan yang
dengan realitas Yang-Sakral itu sendiri, yakni Tuhan. hal itu berarti setiap hal-ihwal
membentuk dunia dan segala macam isinya. Yang-sakral juga menjadi dasar akan
ide-ide pengetahuan dan kebudayaan. Dalam tradisi agama, seni Yang-Sakral tidak
manusia kepada segala sesuatu yang belum diketahui; suatu rangsangan pada akhirya,
asali, yakni Yang-Sakral. pengetahuan sakral (sacred knowledge) dapat diraih melalui
wahyu dan intuisi. Yang-Sakral menjadi pusat dan kemudian melingkupi seluruh
pengetahuan. Wahyu dan Intuisi terlibat pada iluminasi batin serta pikiran manusia,
21
Seyyed Hossein Nasr and Ramin Jahanbegloo, hlm.203
22
Seyyed Hossein Nasr and Ramin Jahanbegloo, hlm. 247
23
Seyyed H. Nasr, Knowledge and The Sacred, hlm. 130
43
hanya dapat diraih melalui rasionalitas subyek, impresi empirik, atau hal-ihwal lain
yang non-sakral. Bagi Nasr, pengetahuan seharusnya telah selalu berurusan dengan
Pada titik inilah tepat merupakan titik kritik Nasr terhadap modernisme. Bagi
intuisi. Filsafat telah menjadi tereduksi maknanya hanya sebagai logika 25. Di saat
yang bersamaan filsafat hanya berurusan dengan matematika dan sains fisika26.
Kemudian bagi Nasr, metafisika di Barat telah tereduksi menjadi semacam cabang
pengetahuan yang terberi (immediate knowledge) atau wahyu, dan akal (reason,
ratio), yang hanya dapat mengetahui secara tidak langsung melalui penguraian
24
Seyyed H. Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, 40
25
To begin with, it can be said that, if we accept the meaning of the term “Philosophy” current
in the West in most European languages, then it is nearly synoymous with logic. S. H. Nasr, Islam and
The Plight of Modern Man, hlm.43
26
Seyyed H. Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, hlm. 44
27
Seyyed H. Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, hlm. 44
28
Nasr sering merujuk manusia modern dengan Barat, dalam diskursus filsafat Barat penolakan
tradisi serta sumber-sumber pengetahuan dari tradisi tidak diterima sama sekali. Sebagaimana
moderinsme yang menolak gagasan agama dan hanya berurusan dengan sains fisik. Lih. Seyyed H.
Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, hlm. 6
44
memahami realitas metafisis yang tekandung dalam tradisi. Sehingga, pada akhirnya
manusia modern gagal memahami metafisika sebagai sesuatu yang melampaui taraf
sebagai sesuatu asumsi yang kepadanya segala sesuatu didasarkan30, maka metafisika
bahwa metafisika merupakan sesuatu yang melampaui taraf mental, serta mendorong
manusia agar dapat meraih sesuatu yang melampaui taraf mental itu sendiri.
Sakral merupakan jangkar ontologis dari segala sesuatu, 2) manusia modern atau
atas kenestapaannya.
dua realitas, yakni realitas manusia, dunia rill senyatanya dan fisis, dan realitas Yang-
29
Seyyed H. Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, hlm.46
30
Dalam Oxford Dictionary of Philosophy, “metafisika pada awalnya merupakan buku-buku
Aristoteles setelah Physics kemudian kata tersebut digunakan pada pertanyaan apapun yang
membangkitkan pertanyaan mengenai kenyataan yang terletak melampaui atau dibelakang apa-apa
yang dapat diraih oleh metode sains. Lih. Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (Oxford
: Oxford University Press), 2008, hlm.292
45
Sakral, ilahi dan metafisik. Kedua realitas ini dianggap Nasr bersifat hierarkis.
Pembedaan ontologis dari filsafat perennial Nasr adalah suatu upaya untuk
menjelaskan adanya suatu realitas yang melampaui realitas manusiawi, dan realitas
itu menjadi dasar dari segala sesuatu. Pembedaan ontologis ini juga berguna untuk
menjelaskan mengani the Problem of One and Many, Permasalaahan Yang Esa dan
yang Jamak. Persoalan ini dimulai dari teori dialektika yang abstrak. Bagi Robert
Cumming Neville, filsafat perennial Nasr memiliki beragam ekspresi simbolis, dari
31
Mehdi Aminrazavi, “Philosophia Perennis and Scientia Sacra in a Postmodern World”, dalam
The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 557
32
Robert Cummings Neville, “Perennial Philosophy in a Public Context”, dalam The
Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 178
46
Cumming ingin menunjukan bahwa teori dialektika abstrak telah dibawa Nasr dari
tradisi filsafat barat klasik mulai dari Plotinus dan Neo-Platonisme hingga ke masa
Yang Esa, bagi Nasr, merupakan memiliki tingkatan hierarkis yang lebih
tinggi sekaligus mendasari yang jamak. Melalui pembedaan ontologis ini kita bisa
melihat bagaimana alam semesta tercipta menurut pandangan Nasr33. Bagi Nasr
kosmologi, atau penciptaan alam semesta terjadi sebab adanya teophany34, dari Yang
Esa35. Segala sesuatu mengada terjadi sebab teofani (tajalli) sekaligus pada dirinya
merupakan teophany. Oleh sebab itu bisa disimpulkan bawha realitas yang jamak
merupakan maya atau semu, sedangkan yang sejati ialah realitas Yang-Esa, Yang-
Sakral, Tuhan.
Realitas Yang Esa oleh sebab itu mendeterminasi realitas maya. Sehingga
dalam kerangka ini kita bisa definisikan Yang-Esa, Yang-Sakral, Tuhan sebagai
Metafisika jika kita kembali pada definisi dalam bab sebelumnya yang
33
Robert Cummings Neville, “Perennial Philosophy in a Public Context”, dalam The
Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 178
34
Lihat. Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 189
35
Robert Cummings Neville, “Perennial Philosophy in a Public Context”, dalam The
Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 178
36
Definisi metafisika ini diambil dari pencarian penulis mengenai kata metafisika. Jauh
sebelumya, sebelum buku Metafisika Aristoteles selesai, dalam buku Prior Analytics, Aristoteles telah
mengandaikan adanya suatu dunia universal yang menjadi dasar determinan pada dunia realitas ini.
Melalui kutipan tersebut penulis mendefinisikan metafisika, lihat Bab II
47
realitas itu bersifat transenden atau jauh di hadapan manusia. 2) metafisika atau
realitas tersebut hanya bisa diperoleh melalui jalan transendensi. Hal ini sebagaimana
Maka dari itu, Sapiental dalam perspektif Nasr adalah suatu pengetahuan yang punya
relasi dengan kebijaksanaan, yang adalah Yang-Sakral, Tuhan. Dari kutipan di atas,
37
Robert Cummings Neville, dalam The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 179
48
prinsip sapiential, dalam perspektif Nasr, memiliki suatu dorongan untuk berada
1. Latarbelakang Intelektual
Oktober 1844, anak dari pasangan Karl Ludwig dan Franziska Oehler. Ayahnya
adalah pendeta Lutheran di kota Rocken. Kakek dan kakek buyut Nietzsche dari
(Elisabeth) – yang nantinya memiliki peran khusus untuk karya-karya Nietzsche yang
pada bulan Juli 1846. Belum genap Nietzsche berusia 5 tahun, ayahnya meninggal
bersama ibu dan kakak perempuannya. Pada usia 6 tahun Nietzsche masuk ke sekolah
swasta. Ia belajar disitu dari tahun 1851-1854. Kemudian setelah usianya menginjak
belajar di sekolah yang terkenal dengan tradisi humanis dan Lutheran tersebut sampai
Goethe, dan Feuerbach. Nietzsche mulai mengenal musik, dan tak kalah pentingnya
1
Bryan Magee, The Story of Philosophy, (Yogyakarta : Kanisius), hlm 172-179
49
50
ia berkenalan dengan Paul Deussen, seorang ahli tentang India yang akan
filologi klasik di Universitas di Bonn. Dia hanya dapat bertahan di Bonn selama satu
tahun (1864-1865). Meskipun begitu, dia sempat kenal dengan David Strauss,
seorang ahli Kitab Suci (exeget) liberal. Mulai tahun 1865 sampai dengan 1869
yang sama. Dua sumber utama yang dikerjakan oleh Nietzsche adalah Diogenes
Laertios dan Theognis dari Megara. Di Leipzig pula, pada tahun 1865, Nietzsche
bertemu secara kebetulan demham karya Arthur Schopenhauer Die Welt als Wille und
Vorstellung (Dunia sebagai Kehendak dan Representasi – buku ini terbit pertama kali
tahun 1818, Schopenhauer sendiri meninggal pada tahun 1860). Penemuan kebetulan
ini terbukti sangat penting dalam membelokan arah hidup Nietzsche dari filologi ke
filsafat. Pada tahun 1865 juga ditandai dengan mulai menjangkitnya penyakit sifilis
Itulah periode pertama hidup Nietzsche (1844-1868) yang bisa kita sebut
2
John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius) 2001
3
Ronald Hayman, “Nietzsche : A Critical Life”, (London : Oxford University Press) hlm. 42
51
Meski Nietzsche belum memiliki gelar doktor, pada tanggal 13 Februari 1869
Basel-Swiss. Pada bulan Mei di tahun yang sama Nietzsche memulai kuliah nya
dengan kuliah pembukaannya yang berjudul Homeros dan Filologi Klasik. Di sini ia
mengajar filologi Yunani, dan Saat ini pula Nietzsche memutuskan untuk menjadi
Dua figur penting yang ditemui Nietzsche pada periode ini adalah Jacob
Bruckhardt dan Franz Overbeck. Jacob adalah ahli sejarah. Ia memberi kuliah-kuliah
fenomen Dionysos dalam sejarah Yunani. Dalam buku The Twilight of the Idols
rekan kerjanya di Basel ini. Kemudian, yang kedua, Franz Overbeck, adalah seorang
ahli Kristianisme Purba (periode awal Kristianisme sampai dengan abad pertama
mengenai asal-usul dan periode awal Gereja Purba. Nietzsche akan tinggal dan
berkarya di universitas di Basel sampai dengan tahun 1879. Sepuluh tahun lamanya ia
4
A. Setyo Wibowo , “Gaya Filsafat Nietzsche “, (Yogyakarta : Kanisius) hlm. 40
5
A. Setyo Wibowo , “Gaya Filsafat Nietzsche “, hlm. 41.
52
Pada tahun 1872 tepatnya bulan Januari, buku yang berjudul The Birth of
Tragedy diterbitkan. Buku ini di persembahkan untuk sahabtnya saat itu; Richard
Wagner, eorang komponis berkebangsaan Jerman, dan istrinya Cosima, putri dari
komponis terkenal Franz Liszt. Dengan segera buku ini menimbulkan pertentangan
Nietzsche dengan pamphlet berjudul Filologi Masa Depan (pamflet ini di akhiri
dengan undangan kepada Nietzsche supaya mundur saja dari kursi pengajaran di
universitas). Beberapa rekan dekat membela Nietzsche . Erwin Rohde – juga seorang
Richard Wagner secara pribadi membuat surat terbuka kepada von Wilamowitz-
Mollendorf6.
Menurut A.Setyo Wibowo pada buku The Birth of Tragedy ini menjadi
ketimbang filologis. Dari soal Dionysos kita bisa lihat benih pemikiran filosofis
Nietzsche sudah disemaikan, yang mana Nietzsche melihat bahwa Tragedi Attik
merupakan suatu bentuk ritual untuk menghormati dewa Dionysos. Tentu saja
usul tragedi : koor musik kaum satyr – mahluk bertubuh setengah manusia setengah
kambing – untuk menghormati dewa Dionysos. Bisa jadi tesis Nietzsche itu benar
6
Peter Levine, Nietzsche and the Modern Crisis of Humanities,hlm. 7-8
53
karena kata Tragodia memang secara filologis bisa diartikan sebagai nyanyian
kambing. Atau, tragedi bisa diasalkan kepada dewa Dionysos yang dilakukan dalam
dan filologis, jenis literer tragedi lebih kompleks lagi. Secara historis susah untuk
sensual bisa menjadi titik kelahiran tragedi. Selain itu, persembahan yang diberikan
pada Dionysos adalah binatang buas pada umumnya (tidak spesifik kambing belaka),
sementara dari sudut literer (filologis), sulit mengaitkan kelahiran tragedi dengan
kesehatan, pada tahun ajaran 1876-1877 Nietzsche meminta cuti. Dia lalu berpindah-
pindah tempat. Pada tahun 1878 Nietzsche menerbitkan bagian pertama dari karyanya
Human all too Human ( Manusiawi terlalu Manusiawi). Buku dengan subjudul “buku
untuk orang berjiwa bebas” dipersembahkan kepada Voltaire. Ini adalah sebuah karya
pembebasan, karena Nietzsche merasa diri sudah mengatasi kultur Jerman, mengatasi
Sakit berat yang makin mendera Nietzsche sejak tahun 1875 (sakit kepala,
sakit di mata, muntah, selalu akan pingsan), membuatnya harus mengakhiri karier
7
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche , (Yogyakarta : Kanisius) 2017,hlm. 43
8
A. Setyo Wibowo , “Gaya Filsafat Nietzsche “, hlm.45
54
universiternya pada tahun 1879. Nietzsche mengundurkan diri dari universitas, dan
Basel, dan mulai menjadi pengembara. Setelah periode pembentukan dan periode
Demi kesehatannya, Nietzsche harus mencari iklim yang ramah pada dirinya.
Selama musim dingin, ia pergi ke Italia atau Peracis dimana udaranya lebih hangat
dari Swiss. Pada musim semi ia suka tinggal di Venezia. Dan untuk musim panas, ia
kembali ke Utara (Swiss) dan melewatkan waktunya di Sils Maria. Disini kita
penyakit. Sejak tahun 1879 Nietzsche harus bergulat dengan penyakit yang membuat
ini akhirnya membentuk suatu sudut pandang pemikiran Nietzsche secara khas.
Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa pengalaman sebagai orang sakit, membuat
Nietzsche mampu melihat secara lain apa itu kesehatan dan kesakitan. Pengalaman
selalu mengambil jarak, dan memiliki cara pikir yang khas. Selain itu secara fisik,
fragmentaris, terpisah-pisah, dan bukan lagi traktat filosofis yang sistematik ( tentu
saja hanya kecenderungan besar, karena pada periode ini juga Nietzsche masih
dari perpustakaan universitas, sakit yang datang tanpa bisa di ramal, itu semua
Pada bulan Juni 1881 Nietzsche menyepi di Sils Maria di Haute Engadine. Di
sini ia menulis : “Hari-hari pertama pertama bulan Agustus 1881, di Sils Maria, 6000
kaki di atas permukaan laut dan jauh lebih tinggi lagi diatas segala hal manusiawi”.9
(the Will to Power) dan Kekembalian yang Sama Secara Abadi (the Eternal
Recurrence of the Same) sudah bisa di temukan disini. Lebih dari itu semua, semua
Thus Spoke Zarathustra ( Demikianlah Zarathustra Bersabda), Beyond Good and Evil
(Melampai Baik dan Jahat), dan The Genealogy of Morality ( Genealogi Moral).
Pada tahun 1888 Nietzsche menulis Buku Der Fall Wagner ( Kasus Wagner dengan
Nietzsche lawan Wagner , the Antichrist dan Ecce Homo ( Inilah Manusia).
9
Surat ini dikutip dari buku Andre Simba, Nietzsche , Paris : Bordas, 1988. Hlm.20
56
Januari 1889 di Torino Italia, Nietzsche mencegah seorang kusir untuk melecut
seekor kuda sembari memeluki kuda tersebut. Kegilaannya tidak lekas sembuh
hingga akhir hayatnya di tahun 1900. Franz Overbeck membawa kembali Nietzschhe
ke Basel. Dia lalu memasukan Nietzsche ke Rumah Sakit Jiwa di Iena. Diagnosis
September kesehatan Nietzsche membaik secara fisik. Sejak bulan Mei 1890 ibu
Nietzsce mendekati anaknya. Dan sejak saat itu Nietzsche tinggal bersama ibunya.
Tahun 1897 Ibu Nietzsche meninggal dunia, dan setelah itu adik perempuannya –
pada usia 56 tahun, Nietzsche meninggal dunia akibat pneumonia pada tanggal 25
Agustus 1900. 10
mempengaruhi gaya menulis dan berfikirnya. Jika kita kembali pada formulasi
kehidupan manusia Nietzsche maka karya-karya Nietzsche dapat di bagi menjadi tiga
kategori.
10
Samuel Enoch Stump (ed.), Socrates to Sartre and Beyond, (New York: Kenneth King,
2003) hlm 380
57
Nietzsche utamanya berfokus pada persoalan filologi seperti Homeros dan Filologi
Klasik yang menjadi bahan kuliahnya di Universitas di Basel pada tahun 1869.
yang berkaitan erat dengan persoalan filologi. Serta jika memungkinkan salah satu
bukunya mengenai Tragedi Attik dimasa Yunani kuno, yakni The Birth of Tragedy
bisa dimasukan pada kategori dimana Nietzsche berfokus pada persoalan bagaimana
asal-usul tragedi.
membuat Nietzsche menarik diri dari dunia filologi, yakni debat Nietzsche dengan
pelacakan secara komprehensif. Dalam periode ini Nietzsche menulis beberapa karya,
Beriman dan Penulis, terbit pada bulan Agustus 1873 yang berisi serangan terhadap
kultur Jerman. Yang kedua adalah tentang Kegunaan dan Kerugian Sejarah bagi
Kehidupan,yang terbit bulan Februari 1874. Pada buku ini Nietzsche mengungkapkan
sejauh mana kultur akademis dan ilmiah aktual saat itu di Jerman ternyata meracuni
manusia. Yang ketiga adalah pujian terhadap Schopenhauer dan diberi judul
Schopenhauer Sang Pendidik pada bulan Oktober 1874. Di tahun 1876 Nietzsche
58
Richard Wagner di Bayreuth. Secara kontras dalam dua judul terakhir Nietzsche
mulai menunjukan apa yang sebenarnya menjadi manusia berbudaya. Di balik pujian
terhadap kultur Jerman, Idealisme, dan Seni Jerman. Tahun ini juga menandakan
mengembara tercermin dari gaya menulis Nietzsche yang tida terstruktur dan puitis.
kulur akademis-universitas yang menuntut untuk menulis secara sistematis dan lugas.
universitas.
dalam karir kepenulisan Nietzsche. Karya-karya jauh lebih subtil dan intim. Ini
“Tak diragukan lagi, sebetulnya buku ini membutuhkan lebih dari satu kata
pengantar; toh keragu-raguan tetap ada apakah lewat beberapa Kata Pengantar
seseorang yang tidak pernah mengalami sesuatu yang mirip bisa dibuat akrab
dengan pengalaman yang menjadi prasyarat terbitnya buku ini.12”
11
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche , (Yogyakarta : Kanisius) 2017, Hlm 38
12
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, Terj. Risalatul Hukmi , Yogyakarta : Pustaka
Antinomi. Hlm. 1
59
Dalam periode ini Nietzsche menerbitkan Die Frohliche Wissenschaft ( Sains yang
Mengasyikan – The Gay Science). Sebagai mana di jelaskan di atas, buku ini memuat
tema-tema besar Nietzschean. Buku ini di terbitkan pada tahun 1882. Pada Januari
Zarathustra , Nietzsche banyak menuliskan karya karya puitis. Namun buku ini akan
di terbitkan nanti oleh Adik Nietzsche yang berjudul Der Wille Zur Macht (Kehendak
Kuasa – the Will to Power) . pada tahun 1886 Nietzshe menerbitkan buku Jenseits
von Gut und Bose ( Melampaui Baik dan Jahat - Beyond Good and Evil ) dan
Genealogi Moral, dengan sub judul “sebuah tulisan polemis”). Dalam buku ini
dikalahkan oleh ressentiment ( dalam bahasa kita : sentimen) kaum lemah, sehingga
hidup kemudian berujung pada ideal asketis. Dengan demikian manusia masuk
genealogis untuk menelusuri bagaimana itu bisa muncul : analisis atas kehendak
Nietzsche dalam menulis, Nietzsche menerbitkan tiga buku; Nietzche lawan Wagner,
Der Antichrist (Antikrist) dan Ecce Homo ( Inilah Manusia). Periode ini adalah akhir
dari karir kepenulisan Nietzsche, sebelum pada akhirnya masuk ke periode kegilaan
dan kematian.
60
Barangkali kutipan tersebut menjadi dasar dari filsafat imanen dalam filsafat
Nietzsche. Orang-orang Yunani dalam kutipan tersebut bisa merujuk pada dua hal,
tubuh antrophos atau wacana filsafat Yunani yang dimulai dari masa Pre-Sokrates.
Setidaknya di masa Pra-Sokrates terdapat dua gagasan umum mengenai filsafat, yakni
filsafat Menjadi (Becoming) dan filsafat Ada (Being). Filsafat Menjadi menganggap
realitas selalu menjadi, tidak pernah identik, tidak bisa diidentifikasikan. Dengan
demikian ide, nama atau kata atas sesuatu tidak pernah mewakili halnya itu sendiri.14
Untuk memperjelas hal ini, misalkan, idea mengenai daun adalah identifikasi arbitrer
yang sama sekali tidak merepresentasikan daun; bagaimana mungkin benda yang
13
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Risalatul Hukmi, (Yogyakarta: Antinomi) 2018,
hlm.10
14
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, Hlm. 136
61
memiliki ketakteraturan pada sifat-sifatnya meimiliki suatu idea yang universal pada
dirinya? Sehingga posisi filsafat ini lalu dijargonkan dengan panta rhei15 (segalanya
Sebaliknya, filsafat Ada adalah suatu filsafat yang memiliki preferensi pada
kekekalan sebuah Ada di atas fluktuasi aliran realitas yang menjadi.16 Filsafat Ada
senantiasa beranggapan bahwa realitas yang berubah-ubah ini tidak memiliki pijakan
tanpa adanya Ada dibalik dunia ini. Pengetahuan yang dicerap dari realitas
Filsafat Menjadi diwakili oleh Heraklitos, sedang Filsafat Ada diwakili oleh
dari penolakan Nietzsche mengenai dunia idea, dan pengandaian realitas sebagai
sesuatu yang kontradiktif. Nietzsche bahkan mendaku dirinya sebagai seorang murid
15
Pantha rhei adalah nosi Heraklitos yang berarti bahwa “segala sesuatu mengalir” hal ini di
ucapkan oleh Herarklitos sebagai berikut : “Potamoisi toisin autotoisin embainosinm hetera kai hetera
hudata epirrei” yang artinya : Air yang selalu baru mengalir pada tiap-tiap langkah yang masuk
kedalam sungai yang sama”. Lihat. https://en.wikipedia.org/wiki/Heraclitus, diakses pada 9 Oktober
2019 jam 19.06 WIB
16
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm.137
62
could hold him back from a second, far bolder negation: he althogether
denied being. For this one world which he retainded -- supported by eternal
unwritten laws, flowing up ward and downward in brazen ryhtmic beat –
nowhere shows a tarrying, an indestructbility, a bulwark in the stream… “17
(Dari intuisi semacam itu Heraklitus menurunkan dua negasi yang
terhubung. Hanya melalui perbandingan dengan doktrin pendahulunya mereka
dapat menjadi tercerahkan. Sesuatu yang ia tolak adalah dualitas dari dunia
yang berbeda secara penuh – suatu posisi yang telah terpaksa Anaximander
asumsikan. Ia tak lagi membedakan suatu dunia dari suatu yang metafisis,
suatu bidang dari kualitas pasti dari suatu “ketakterhinggaan” yang tak
terbatasi. Dan setelah langkah pertama ini, tiada yang bisa menahannya dari
suatu yang berikutnya, negasi yang jauh lebih tegas: ia secara umum menolak
Ada. Untuk dunia yang satu ini yang ia pertahankan – didukung oleh hukum-
hukum tak tertulis, mengalir naik dan turun dalam irama yang tak tahu malu –
tidak menunjukan sebuah tempat, suatu benteng yan tidak dapat dihancurkan,
suatu pertahanan dalam aliran tersebut.)
diambil oleh Nietzsche. Dalam kutipan diatas, terdapat semacam kesan seolah olah
Namun kutipan diatas, perlu dipahami dalam konteks pemikiran lain dari
pemikiran Heraklitos yang lebih luas yaitu dalam pemikiran tentang kontradiksi.
itu sekaligus pahit dan manis, dan dunia ini adalah sebuah panci pencampur yang
senantiasa harus digoyang. Segala yang menjadi lahir dari peperangan dari unsur-
17
Friedrich Nietzsche, Philosophy in the Tragic Age of the Greeks, terj. Marianne Cowan,
(Massachusetts: Regenary Publishing), 1998, hlm. 51
63
Terdapat dua poin utama yang diambil Nietzsche dari Heraklitos, yakni
mengenai Menjadi dan mengenai kontradiksi. Hanya bisa beroperasi pada asumsi
tentang realitas kontradiktif yang menjadi generator dari gerakan realitas. Untuk itu
kita perlu melacak asumsi Nietzsche tentang realitas sebagai yang kontradiksi.
Pertama kita bisa melihat dalam The Gay Science §62 : “Ecce Homo”: Ya! Aku
adalah asal-usulku/ Tak pernah puas bak nyala api/ Aku menghabiskan diriku
berkobar,/ Menjadi cahaya apa saja yang kuambil,/ Menjadi arang apa saja yang
kutinggalkan:/ nyala api memang itulah aku.”19 Pemikiran tentang kontradiksi yang
melihat dirinya. Dan juga realitas, sebagai sesuatu yang inheren mengandungi dua hal
bertentangan: diam dan teridentifikasi sekaligus juga senantiasa berubah. Pada teks
Ecce Homo bab “Mengapa aku begitu bijaksana” §1 Nietzsche dengan bangga
„mati‟, dekaden, tangga akhir kehidupan) sekaligus unsur ibunya (yang „permulaan‟,
18
Friedrich Nietzsche, Philosophy in the tragic Age of the Greeks, hlm. 54
19
Friedrich Nietzscche, The Gay Science, hlm. 43
20
Friedrich Nietzsche, Ecce Homo : How to Become what You Are, (Oxford University Press)
hlm. 7
64
Dari kutipan tersebut jika dikaitkan dengan kutipan mengenai tiga metamorfosa
dalam Zarathustra maka akan bermakna demikian : Nietzsche tidak ingin secara naif
mengikuti kepolosan Unta yang iya-iya begitu saja terhadap apapun yang terjadi; ia
bukan Singa yang raungan menidaknya secara pada apapun yang terjadi 21. Nietzsche
adalah Bayi, yang melampaui posisi naif iya dan naif tidak, merangkumnya dalam
semacam itu. Yang diperlukan untuk menghadapi realitas semacam itu dibahasakan
terburu-buru mengafirmasi kenyatan secara naif, dan menegasi kenyataan secara naif.
kekosongan, suatu yang selalu lolos dari tangkapan pemahaman. Kebenaran juga
dalam perspektif Nietzsche harus masuk ke dalam prinsip kontradiktif. Jika suatu
kebenaran tersingkap maka ia tak lagi menjadi kebenaran23. Apa yang tersingkap tak
disingkap. Maka idea, kata, konsep, yang merupakan upaya identifikasi dari yang tak
Sense:
21
Lihat tiga metamorfosa spirit dalam ; Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj.
Walter Kaufmann, (Penguin Books) hlm. 25
22
Lih. A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm.163
23
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 196
65
kebenaran adalah suatu identifikasi atas apa yang non-identik. Aktifitas unifikasi
pemiskinan atas realitas itu sendiri. Realitas dari dirinya sendiri adalah plural, tidak
bisa diidentifikasi. Upaya penangkapan apa yang non-identik adalah suatu upaya
berikut : “ Apa itu sebuah kata? Transposisi sonor sebuah rangsangan syaraf” 25.
maksudnya mengatakan kata muncul dari suatu sebab (rangsangan syaraf sebagai
sebagai respon subyektif yang ditentukan oleh sensualitas tertentu, rangsangan ini,
inilah yang pada gilirannya menjadi suara, dalam proses terjadinya kata, menurut
wenangm tanpa kaitan adekuasi apapun dengan kenyataan yang hendak di-kata-kan26
24
Friedrich Nietzsche, Philosophy and the Truth, terj. Daniel Breazele, (Humanities Press) 84
25
Friedrich Nietzsche, Philosophy and the Truth, hlm.82
26
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 175
66
Karena kata, konsep ,idea, merupakan suatu hal yang bersifat subyektif maka
pluralitas demi sebuah suatu identitas fiktif. “Penghilangan yang partikular dan yang
real memberikan kita konsep atau bentuk, padahal alam, tidak mengenal baik bentuk
maupun konsep […] alam hanyalah mengenal sebuah x yang bagi kita tak
terdefinisikan dan tak bisa dimasuki”27. Ide abstrak yang dianggap lebih sempurna
sesuatu, yang diciptakan para filsuf atau pemikir untuk menghindari kesemrawutan
yang partikular, campur aduk membingungkan yang dia hadapi dalam realitas
senyatanya.
untuk memahami kehendak dari si pemikir. Penemuan sebuah konsep eksak, yang
kekal dan sempurna yang mendasari realitas kaotik, dilihat Nietzsche sebagai
adalah suatu kejatuhan dari sistem metafisika tradisional yang menganggap adanya
sesuatu yang Maha Meliputi di balik realitas senyatanya. Kematian Tuhan adalah
kematian idea, kata, konsep, yang mengandung kehendak dari pemikir yang
27
Friedrich Nietzsche, Philosphy and Truth, hlm.83
28
Untuk itu perlu penelusuran mengenai kehendak. Lih. A. Setyo Wibowo, hlm.169
67
konsep, kata, dan menerima realitas seada-adanya semakin menunjukan vitalitas dan
kekuatan kehendak. Untuk itu maka diperlukan suatu analisis mengenai kehendak.
perlu menjelaskan bagaimana Nietzsche bisa masuk pada wacana metafisika. Adalah
Martin Heidegger yang pertama kali mengangkat derajat Nietzsche dari sekedar
penyair atau sastrawan ke tataran filsafat, dengan menggunakan optik khusus dalam
membahas Kehendak Kuasa (Will to Power). Heidegger dengan amat serius memberi
karakter fundamental untuk Ada. Maksudnya Kehendak Kuasa serupa dengan cara
berpikir tradisi metafisis barat sejak Platon30. Karakter intim yang membelakangi
realitas bagi Nietzsche adalah Kehendak Kuasa tersebut. Plato melahirkan Idea
agama-agama mengatakan Tuhan sebagai yang terdasar sekaligus yang tertinggi dari
29
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 181
30
Martin Heidegger, “Nietzsche Fundamental Metaphysical Position”, Nietzsche II, terj. David
Farrell Krell, (Harper San Fransisco),1991, hlm. 201
68
realitas, maka Kehendak Kuasa Nietzsche juga berada dalam logika penjelasan
dengan kata kehendak itu sendiri. Dalam pemikiran Heidegger, Kehendak Kuasa
adalah The Be of being, atau Ada dari adaan-adaan. Maksudnya Kehendak Kuasa
bersifat saling terkait : Kehendak Kuasa, Nihilisme, Kekembalian Abadi Yang Sama,
Manusia melampaui (Ubermensch) dan, Keadian. Setiap kata kunci memiliki artinya
secara otonom, tetapi setiap kata kunci bertautan satu sama lainnya dengan pusat kata
kuncinya Kehendak Kuasa.33 Dan menurut Heidegger model berpikir metafisis ini
(dengan sebuah Ada yang menjadi kunci semua adaan) sama dengan esensi
metafisika secara umum yang dikritik Heidegger sebagai sumber aspirasi modern
yang berukung pada penguasaan alam dan bumi. Nietzsche tidak lolos dari
31
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 299
32
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 300
33
The Five main rubrics … -- “nihilism”, “revaluation of all values hitherto, “will to power”,
“eternal recurrence” and “overman” Lihat. Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. 4 , terj. David Farrell
Krell, (San Fransisco : Harper & Row) 1968, hlm. 9-10
69
Zaman devaluasi nilai lama, ketika semua cara menilai dunia berdasarkan
membuat manusia masuk ke dalam Nihilisme. Tetapi, situasi ini tidak menghabisi
kekuatan Kehendak Kuasa. Ia masih terejawantahkan dalam situasi baru, yang dalam
bahasa Nietzsche adalah proyek penilaian kembali semua nilai-nilai. Destruksi atas
nilai kuno membuat Nietzsche mesti mengusulkan sebuah konstruksi nilai baru. Dan
persis, dengan proyek transvaluasi atas nilai-nilai lama inilah esensi sebuah nilai
masih ada dalam pemikiran Nietzsche. Bagi Heidegger, Nihilisme Nietzsche tidak
pernah menjadi “pemikiran tentang yang nihil”35. Nihilisme hanyalah fase transisi
menuju sebuah Nilai baru, Jika bersamaan dengan dekstruksi nilai lama maka
manusia lama juga perlu dilampaui, maka muncullah Manusia yang Melampaui. Ia
tertransformasi secara baru, yang berpikir secara baru atas dasar nilai baru :
Kehendak Kuasa. Jadi, manusia yang memiliki hubungan khusus dengan Kehendak
Kuasa dan Kekembalian Abadi Yang Sama, adalah dia yang menghidupi zaman baru
setelah Nihilisme. Dalam skema Heidegger tersebut, Kehendak Kuasa menjadi titik
engkel paling inti dari Filsafat Nietzsche. Pada prinsip dan nilai baru Kehendak
34
Hinterwelt berasal dari dua kata yakni hinter yang berarti di belakang dan welt berarti dunia.
Penulis memahami kata Hinterwelt ini dengan arti Dunia yang membelakangi dunia realitas, atau
gampangnya dunia yang bersifat metafisis
35
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm.300
70
Schopenhauer dalam The World as Will and Representation.36 Dalam buku tersebut
All willing springs from need, and thus from lack, and thus from suffering.
Fullfilment brings ths to an end; but for every wish that is fullfilled, at least
ten are left denied; moreover, desire last a long time and demands go on
forever; fullfillment is brief and sparsely meted out. But even final satisfaction
itselfs is only illusory; the fullfilled wish quikly gives way to a new one. No
achieved object of willing gives lasting, unwavering satisfaction; rather, it is
only everlike the alms thrown to a beggar that spares his life today so that his
agony can be prolonged until tomorrow. – Thus, as long as our consciousness
is filled by our will, as long as we are given over to the pressure of desire with
their constant hopes and fears, as long as we are the subject of willing, we
will never have lasting happiness or peace. Whether we hunt or we flee,
whether we fear harm or chase pleasure, it is fundamentally all the same :
concern for the constant demands of the will, whatever from they take,
countinuously fills consciousness and keeps subject of willing remains on the
revolving wheel of Ixionm keeps drawing water from the sieve of the
Danaidsm, is the eternally yearning Tantalus
Semua kehendak berawal dari kebutuhan, artinya, dari sebuah kekurangan,
dari sebuah derita. Kepuasan akan mengakhirinya; tetapi untuk satu keinginan
yang terpuaskan, paling tidak ada sepuluh keinginan lainnya yang tidak
terpuaskan. Apalagi, keinginan itu berlangsung lama dan tuntutan-tuntutannya
cenderung tidak terbatas; kepuasan itu pendek dan sangat terukur intinya.
Dengan demikian, kepenuhan yang akhir pun bersifat sementara belaka;
sebuah keinginan yang terpuaskan akan digantikan oleh keinginan lainnya
lagi; yang pertama adalah kesalahan yang sudah dikenali; yang kedua adalah
kesalahan yang belum dikenali. Tak satu objek kehendak pun bisa
memberinya kepuasan yang menenangkan; itu mirip dengan sumbanga yang
dilemparkan bagi orang miskin, yang akan menyelamatkannya hari ini guna
memperpanjang penderitaannya keesokan harinya. Itulah sebabnya, sejauh
kesadaran kita dipenuhi oleh kehendak, sejauh kita mengikuti impuls
keinginan dengan harapan dan kektakutannya yang kontinyum sejauh kita
dikenai kehendak, tidak akan ada kebaghagiaan dan istirahat yang cukup lama
bagi kita. Mengikuti atau menghindari, menakuti sebuah bencana atau
mengejar kenikmatan, keduanya secara esensial adalah satu dan sama:
keresahan kehendak yang selalu penuh tuntutan, dalam bentuk apapun dia
36
Nietzsche memiliki kedekatan intelektual dengan Arthur Schopenhauer, bahkan ia pernah
menerbitkan sebuah buku untuk Arthur Schopenhauer.
71
keinginan, yang tak lain dan tak bukan adalah derita yang dipenuhi) dan kesia-siaan
kecewa, ingin lagi dan seterusnya. Hidup ini dihayati bak upaya baru dari sesuatu.
tidak memuaskannya, artinya pemenuhan akan keinginan itu tidak pernah berhenti
derita.
Jika demikian halnya, maka pertanyaannya adalah siapakah atau apakah yang
derita baru, kekecewaan baru dan seterusnya itu? Siapakah dalang yang mendorong
Kehendak.
37
Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, terj. Judith Norman,
(Cambridge University Pers:2010) hlm. 219-220
72
roda keinginan adalah hidup itu sendiri. Hiduplah yang membuat kita menginginkan
secara terus menerus. Dan inti kehidupan, bahkan inti terdalam dari alam semesta,
yang membuat keinginan kita senantiasa berubah-ubah dan selalu memiliki keinginan
baru adalah Kehendak. Bagi Schopenhauer, semua yang ada merupakan emanasi dari
suatu yang selalu bergerak, pancaran dari inti terdalam manusia dan alam semesta,
maka sebenarnya Sang Kehendak sebagai asal dari keinginan-partikular itu tidak
pernah berhenti. Dan Sang Kehendak inilah yang terus memunculkan keinginan-
keinginan lainya.
partikular yang dihasilkan dari pemenuhan keinginan dari suatu kekurangan (derita)
menjadi dasar atau inti terdalam dari realitas. Namun bagi Schopenhauer tidak ada
Kehendak bukanlah suatu prinsip kausalitas. Ia bersifat groundless (tanpa sebab, tak
bisa ditelusuri sebagai sebuah sebab). Dia bukan sebab karena tidak memiliki tujuan
Dalang, maka kita bisa membayangkannya sebagai Dalang tanpa pakem, yang
38
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm.264
73
mendalan tanpa maksud atau intensionalitas apapun kecuali mendalang begitu saja.
memiliki relasi dengan Kehendak Partikular? Sang Kehendak yang bersifat metafisis
ini menerobosi seluruh kehendak partikular yang ada di alam semesta tanpa memiliki
finalitas tertentu. Dia sendiri bersifat tak sadar, artinya manusa tidak menyadari
sendiri.
konsep Sang Kehendak Schopenhauer. Bagi Nietzsche, kehendak dalam konsep Sang
Artinya, bagi Nietzsche konsep Sang Kehendak masih menampilkan upaya untuk
terungkap dalam teks Beyond Good and Evil §19 sebagai berikut:
lurks, which has got the mastery over the inadequate precautions of
philosopher in all ages.39
"Filsuf terbiasa berbicara tentang kehendak meskipun itu adalah hal yang
paling terkenal di dunia; memang, Schopenhauer telah memberi kita untuk
memahami bahwa kehendak sendiri benar-benar diketahui oleh kita, benar-
benar dan sepenuhnya diketahui, tanpa pengurangan atau penambahan. Tetapi
berulang-ulang nampalnua bagi saya bahwa dalam kasus ini Schopenhauer
juga hanya melakukan apa yang biasa dilakukan oleh para filsuf -- ia
tampaknya telah mengadopsi prasangka populer dan membesar-besarkannya.
Kehendak -- bagi saya tampaknya merupakan sesuatu yang rumit, sesuatu itu
adalah persatuan hanya dalam nama - dan justru dalam nama itulah prasangka
populer mengintai, yang telah mendapatkan penguasaan atas tindakan
pencegahan yang tidak memadai dari filsuf di segala usia.
Paragraf pertama dari Beyond Good and Evil §19 memperlihatkan kritik
gerakan afeksional. Isitilah yang dipakai untuk menggambarkan hal kompleks ini
adalah affect, bukan passion yang bisa mengalihkan perhatian ke nafsu. Keinginan
mengemuka dari pluralitas sentimen yang sebelumnya belum tentu tersatukan. Affectt
ini muncul mengemuka dan dikatakan setelah ia mengalami keadaan teruji yang
kesatuan dari tubuh manusia yang tampil sebagai sesuatu yang mendera, merangsang,
menggerakan tubuh, kemudian, ia terdiri bukan dari satu sentimen melainkan banyak
39
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Helen Zimmern, e-Book :
thewriterdirection.net : 2004, hlm 25
40
Lihat. Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, hlm.27
75
berikut: “Apa yang disebut kehendak – yang kesatuan katanya murni hanya kesatuan
plural itu, bila tersatukan akan muncul sebagai sebuah kehendak. Seumpama kereta
dengan dua kuda, maka yang namanya sebuah kehendak bukan hanya campuran sais,
dua kuda dan kereta, melainkan gerakan yang muncul saat sais (pemikiran legislator)
menyatukan dan memerintah dua kuda untuk menggerakan kereta menuju satu arah”.
Dengan demikian kehendak adalah suatu Affect to command yang mengatur dan
menyatukan unsur-unsur yang ada dalam dirinya sendiri tanpa penghilangan salah
satu unsur, tanpa pula membiarkan diri diserap oleh masing-masing unsur. Sebuah
tindak memberi bentuk pada apa yang kaostis menjadi sebuah kosmos (keteraturan)
metafisika yang bersifat imanen. Metafisika sebagai suatu fiksi yang mendorong
41
A. Setyo Wibowo, hlm. 285
76
terbentuknya realitas, harus terdapat dalam realitas itu sendiri. Sebab pengandaian
Nietzsche tidak lolos dari logika platonisian. Nietzsche adalah metafisikus terakhir.
antara Wahre Welt (dunia sejati) dengan Scheinbare Welt (dunia selubung), atau
antara Welt (dunia) dan Nicht (kekosongan).42 Oposisi a la metafisika ini, di mata
Heidegger tampak dalam pelalaian Nietzsche atas pemikiran yang nihil. Dalam hal
sana (Da-Sein). Dengan begitu, bagi Heidegger, Nietzsche adalah seorang Platonik
berkutat pada sebuah prinsip dasar yakni Kehendak Kuasa. Selama ada sesuatu yang
bersifat inti murni dalam sebuah pemkiran, di situ Heidegger mendeteksi adanya
42
Martin Heidegger, Nietzsche, Vol.III, terj. David Farrel Krell, hlm.4
43
Soner Soysal, Nietzsche’s Perspectivist Epistemology, thesis (Middle East Tehnical
University : Ankara:2007)hlm. 75
77
kebenaran korespondensi.44
Kehendak Kuasa, atau lebih luas lagi tentang konsep atau kata yang merupakan
plural, kaotis, kompleks dan sebenarnya tak terkatakan. Kita perlu mengakui bahwa
Filsafat Nietzsche adalah Filsafat anti-metafisika. Namun tesis Heidegger ini juga
metafisika lain yang merupakan pembalikan dari metafisika tradisional atau yang
bersifat transenden. Metafisika itu adalah metafisika imanen, yang terangkum dalam
44
Soner Soysal, Nietzsche’ s Perspectivist Epistemology, hlm. 78
BAB V
Pada bagian ini kita akan melihat kritik Nasr dan Nietzsche terhadap
modernitas. Tepat pada titik inilah, yakni kritik terhadap modernitas, adalah titik
persamaan metafisika Nasr dan Nietzsche. Untuk itu kita perlu menelaah argumen
Nasr dengan panjang lebar mengkritik peradaban Filsafat Barat modern dalam
buku Knowledge and the Sacred. Untuk memulai diskusi tentangnya marilah kita
78
79
(yang merupakan faklutas manusia) yang mengetahui secara saintifik dari dunia iman
di satu sisi, dan Akal (entitas diluar manusia yang padanya akal manusia menerima
pengetahuan) yang mengetahui secara prinsip dan secara esensial di sisi yang lain.
Beberapa diantaranya bahkan telah menghubungkan kekacauan spiritual dunia
modern pada mekanisasi alam semesta ini dalam sains abad ke tujuh belas.)
Sekularisasi alam semesta terjadi dikarenakan banyak faktor. Namun faktor utamanya
berakibat pada krisis ekologi. Baginya kondisi modern saat ini adalah suatu kondisi
kerusakan yang terjadi dari sesuatu yang paling utama yakni akal.
modern pada umumnya untuk keluar dari bayang-bayang gereja dan agama. Manusia
modern yang diwakili oleh peradaban barat telah begitu membenci agama, tradisi,
Descartes untuk mengetengahkan cogito atau subjek yang mengetahui telah menutup
pintu-pintu dari pengetahuan lainnya. Bagi Nasr, upaya tersebut telah menutup
membawa manusia bercerai dengan Intelek. Ketika mencari suatu dasar bagi
pengetahuan, Descartes tidak menariknya pada Intellect, yang berfungsi pada batin
2
Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 44
80
manusia dan nalar manusia, tidak juga pada wahyu. Ucapan cogito ergo sum,
menandakan makna metafisis pada keutamaan subjek atau „Aku‟. „Aku‟ yang dirujuk
oleh Descartes bukanlah „Aku‟ yang memiliki implikasi pada yang ilahi melainkan
pada diri sendiri. Jika dikaitkan dalam pandangan tradisional3 dimana „aku‟ sebagai
diri sendiri adalah „aku‟ bayangan, ilusi, sementara „Aku‟ yang real adalah Tuhan,
maka ucapan Descartes disandarkan pada „aku‟ yang ilusi, bayangan sebagai dasar
Descartes4
Kemudian kutipan ini juga menyiratkan bahwa manusia modern atau wacana
metafisika Barat modern telah gagal untuk menangkap Realitas Ilahi. Hal ini
Intuisi.
Metafisika Barat. Metafisika Barat modern, bagi Nasr, tidak lagi memiliki hubungan
3
Untuk membedakan pemikiran yang berdasarkan pada Tradisi dan Modern Nasr menulisnya
dengan istilah tradisional, Lih. Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 41
4
Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 41
81
sehingga Realitas Ilahi menjadi tidak dapat diraih lagi untuk dipahami.5
dengan kritik pada modernisme pada umumnya. Nietzsche melihat apa yang
dilakukan oleh pemikir Barat sebagai pelanggengan dari Idea, atau suatu entitas pejal
dalam bentuk Tuhan dalam tradisi agama, Das Ding An Sich dalam Filsafat Kant,
Roh Absolut dalam Filsafat Hegel, atau Kebenaran dalam tradisi Saintifik.6
Kesemuanya itu masih mengandaikan suatu Causa Sui (Sebab Terhakhir yang dirinya
sendiri disebabkan oleh dirinya sendiri). Penghendakan atas causa sui semacam itu
realitas yang kaotis, yang berubah, yang selalu lolos dari identifikasi.7
Dengan cara begitu, metafisika tradisional – yang lahir dari tradisi platonis –
sebenarnya tidak ada. Oposisi yang dibuat metafisika tradisional antara sesuatu yang
lebih real, lebih sejati, lebih kekal daripada realitas senyatanya dilihat Nietzsche
sebagai cerita mengada-ngada. Di balik dunia ini ada causa sui,ada Being, yang
mengadakannya atau esensi yang mengadakan atau menopangnya ; dan esensi itu
5
Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 1-2
6
Mengenai kritik Nietzsche terhadap Kant dan Hegel dapat dilihat dalam : Friedrich Nietzsche,
The Gay Science, §357 “Tentang Persoalan Lama, terj. Risalatul Hukmi, (Yogyakarta: Pustaka
Antinomi) 2017, hlm. 183
hlm .328
7
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm.135
82
“[…] Manusia tidak bisa hidup tanpa mengkaitkan dirinya pada fiksi-fiksi
logika, (tidak bisa hidup) tanpa menghubungkan dengan sebuah dunia khawal yang
absolut dan identik, […] manusia cenderung cenderung menciptakan dunia khayali
Hinterwelt. […] Membuang penilaian yang salah sama dengan menolak/kehidupan.
Mengakui ketidakbenaran sebagai kondisi kehidupan, itulah cara yang penuh bahaya
utuk melawan makna nilai-nilai yang biasanya umum diterima. Dan sebuah filsafat
yang mengambil risiko seperti itu, otomatis dia sudah menempatkan dirinya
melampaui baik dan jahat.”8
Kekeliruan adalah bagian tak terpisahkan dari kebenaran. Ambisi pokok
benarnya yang merupakan dasar segala sesuatu). Pengandaiannya, bila kebenaran bisa
Nietzsche, ambisi mati-matian akan kebenaran ini memiliki resiko besar untuk
pada sistem metafisika tradisional. Untuk itu penulis akan mengetengahkan teks
“Si orang sinting. Pernahkah kalian mendengar kisah tentang orang sinting, yang
menyalakan lentera pada siang hari bolong, berlarian ke pasar dan berteriak-teriak
tanpa henti „Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!‟ – dan karena persis di
sana terkumpul banyak orang yang tidak percaya pada Tuhan yang tidak percaya
pada Tuhan, orang sinting itu mengakibatkan gelak tawa yang meriah. Apakah
8
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Helen Zimmern, e-book:
thewritedirectio.net, hlm.8-9
83
kita kehilangan Tuhan? kata yang satu. Apakah Tuhan tersesat seperti anak kecil?,
kata yang lainnya lagi. Atau mungkin dia bersembunyi entah dimana? Apa dia
takut sama kita? Apakah dia sudah pergi? Apakah dia sudah berimigrasi? –
demikianlah mereka berteriak-teriak dan tertawa sekaligus. Orang sinting itu
segera mendatangi orang-orang tersebut dan memandang tajam mereka „Dimana
Tuhan?‟ teriaknya. Aku akan mengatakannya kepada kalian. Kita telah
membunuhnya – kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuh-pembunuhnya. 9
gagasan mengenai Tuhan. Kematian Tuhan adalah kematian yang paling agung,
sebab Tuhan merupakan suatu causa sui, sebab utama, realitas akhir yang dibawa dari
upaya Nietzsche untuk membalik tradisi Filsafat Barat yang berakar pada tradisi
Platonis.
Nosi Kematian Tuhan merupakan suatu kritik yang dilancarkan bagi Hegel
dan Kant. Hegel dan Kant telah selalu menghendaki secara mati-matian
dalam Filsafat Kant dan Hegel hanyalah monumen dingin yang justeru
memperlambat gerak sejarah. Pendasaran filsafat pada suatu yang absolut, seperti
9
Friedrich Nietzsche, The Gay Science,terj. Risalatul Hukmi, (Yogyakarta: Pustaka Antinomi)
2017, hlm. 183
84
Das Ding an Sich Kant, Roh Absolut Hegel, berwatak pesimis dan tidak afirmatif
terhadap kehidupan. 10
atau epistemologi yang berbeda diantara para filsuf. Pelacakan epistemologi juga
berguna untuk menjelaskan pada taraf atau bentuk seperti apa sebuah pemikiran
didasarkan.
pengetahuan dari para filsuf. Penelusuran ini berkisar pada apa-apa yang dikehendaki
oleh para filsuf sebgai teori pengetahuan. Juga pada apa yang tidak dikehendakinya
atau ditolaknya.
Pendapat Nasr yang menganggap realitas terbelah menjadi dua, yakni Realitas
realitas yang padanya segala sesuatu disandarkan. Bagi Nasr pengetahuan yang benar
adalah pengetahuan yang telah selalu diraih dari Realitas Ilahiyah. Dan untuk
10
Lih. Friedrich Nietszche, The Gay Science, §357 dengan Judul “Tentang Persoalan Lama”,
hlm. 328
85
secara panjang dalam Islam and The Plight of Modern Man sebagai berikut:
adanya yang lebih tinggi. Ia menyaratkan suatu usaha manusia untuk meraih
pengetahuan dari Ada dengan cara adanya yang lebih tinggi. Usaha tersebut bagi Nasr
menubuh dalam kehidupan para Sufi. Sufi, bukan hanya ia menerima secara pasif
pengetahuan atau ma‟rifah akan pengetahuan tentang Tuhan, melainkan juga diraih
yang ber-Dzikir pada penyaksian Allah12. Namun Dzkir yang menyampaikan manusia
pada Realitas Ilahi adalah Dzikir sejauh hubungannya dengan tindakan atau aksi.
Mereka yang ber-Dzikir setelah mencapai Realitas Ilahi dituntut untuk kembali ke
realitas dan memberi pencerahan pada realitas dari pengetahuannya menegai Realitas
Ilahi.13
11
Seyyed H. Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, hlm.103
12
Seyyed H. Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, hlm. 110
13
Seyyed H. Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, hlm.111
86
Dalam Dzikir terdapat tiga macam fakultas manusia yang perlu diasah yakni:
merupakan kemampuan manusia untuk menerima emanasi Realitas Ilahi. Bagi Nasr
14
ketiga fakultas tersebut merupakan suatu kesatuan.
filsafat tidak dapat hanya diselesaikan melalui proses rasionalisasi. Nasr menganggap
bahwa filsafat rasionalistik dan logis baik untuk dipelajari oleh pelajar-pelajar
Muslim. Namun filsafat rasionalistik yang dikehendaki Nasr bukan hanya suatu
analisis belaka melainkan dalam rangka menyelamatkan tradisi intelektual Islam dari
“ Islam respect logic because on its own level of logic is an aspect of the truth
and the truth is name of Allah. Intelegence is likewise a divine gift which leads Man
to an affirmation of the doctrine of unity (al-Tawhid) and the essential varieties of the
islamic revelation”. The use of logic in the worldview of Islam is as a ladder which
leads man to the Divine.16
Pada persoalan pengetahuan ini Nasr mencoba mengkritik Nietzsche. Nasr
14
Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 130-131
15
Mehdi Aminrazavi, “ Philosophia and Scientia Sacra”, dalam The Philosophy of Seyyed
Hossein Nasr,hlm. 560
16
Seyyed H. Nasr, “Revelation, Intellect and Reason in the Qur‟an”, dalam Journal of
Regional Culture Institiute Vol.1, no.3 (Summer: 1968), hlm.61
87
promethean17. Promethean adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk tidak
menyampaikan pengetahuan akan Yang Sakral18. Nosi The Death of God, bagi Nasr
merupakan suatu upaya untuk memisahkan ilmu pengetahuan dari Yang-Sakral, yang
dimulai dengan „mematikan Tuhan‟. Pada akhirnya manusia hanya menerima sesuatu
suatu observasi mendalam tentangnya. Mengenai hal ini penulis hendak menyatakan
bahwa tidak ada suatu gagasan yang eksplisit dalam Filsafat Nietzsche mengenai teori
Untuk itu kita perlu kembali pada asumsi Nietzsche soal Realitas. Bagi
Nietzsche realitas adalah campur aduk, kesatuan kaotis dan kosmis, suatu kontradiksi.
mereduksi realitas tersebut. Oleh sebab itu Nietzsche mengandaikan tidak ada yang
namanya realitas objektif. Pada The Will to Power §567 menulis sebagai berikut:
17
Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm.182
18
Seyyed H. Nasr, Science and Civilization in Islam , (New York: The American Library:
1970), hlm. 146-157
88
asumsi dan konsep-konsep yang paling agung dan paling dipercaya dari tradisi
Dalam artian lain perspektivisme dapat dilihat sebagai suatu alternatif untuk
19
Friedrich Nietzsche, Will to Power, terj. Walter Kaufmann dan R.J Hollingdale. (New York :
Vintage Book : 1968) hlm. 305-306
20
Soner Soysal, Nietzsche‟s Perspectivist Epistemology : Epistemological Implications of Will
to Power, Disertasi ( Departemen of Philosophy Middle East Technical University :Ankara: 2007),
hlm.102
21
Friedrich Nietzsche, Will to Power, 305.
89
Dus, hal ini bisa berarti bahwa Nietzsche sedang berusaha untuk membalikam konsep
tradisional seperti subjek dan objek, dunia penampakan dan dunia real, kausalitas,
Memang tidak ada suatu teks yang mendefinisikan dengan jelas definisi dari
“ Let us be on guard against the dangerous old conceptual fiction that posited
a “ pure, will-less, pain-less timeless knowing subject”; let us guard against
the snares of such contradictory concept as “pure reason”, “absolute
spirituality”, “knowledge in itself”; these always demand that we should
think of an eyethat is completely unthinkable, an eye turned in no particular
direction, in which the active interpretating forces, through which alone
seeing becomes seeing something, are supposed to be lacking; these always
demand of the eye an absurdity and a nonsense. There is only a perspective
seeing, only a perspective “knowing”; and the more affects we allow to speak
about one thing, the more eyes, different eyes, we can use to observe one
thing, the more complete will our “concept” of this thing, our “objectivity”,
be. But to eliminate the will together, to suspend each and every affect,
supposing we were capable of this – what would then mean but to castrate the
intellect?23
"Mari kita berjaga-jaga terhadap fiksi konseptual lama yang berbahaya yang
mengemukakan" subjek pengetahuan yang murni, tanpa keinginan, tanpa rasa
sakit yang abadi "; mari kita waspada terhadap jerat konsep kontradiktif
seperti "akal murni", "spiritualitas absolut", "pengetahuan pada-dirinya-
sendiri"; kesemua itu selalu menuntut bahwa kita harus berpikir tentang mata
yang benar-benar tidak terpikirkan, mata berputar ke arah tertentu, di mana
kekuatan penafsiran aktif, yang melaluinya melihat hanya menjadi melihat
sesuatu, dianggap kurang; semuanya selalu menuntut mata sebuah, absurditas
dan omong kosong. Hanya ada perspektif untuk melihat , hanya perspektif
perspektif "mengetahui"; dan semakin banyak pengaruh yang kita izinkan
untuk berbicara tentang satu hal, semakin banyak mata, mata yang berbeda,
22
Soner Soysal, hlm. 103
23
Friedrich Nietzsche, Genealogy of Morals, terj. Walter Kaufmann, (New York: Vintage
Book: 1967), hlm.119
90
yang dapat kita gunakan untuk mengamati satu hal, semakin lengkap "konsep"
kita tentang hal ini, "objektivitas" kita. Tetapi untuk menghilangkan keinginan
bersama, untuk menangguhkan setiap pengaruh, seandainya kita mampu
melakukan ini - apa artinya kemudian mengebiri kecerdasan?
mencoba untuk memahami dunia melalui suatu perspektif statis, yang memasukan
penolakan atas perspektif aktif dan kekuatan interpretasi, yakni Kehendak Kuasa.
Pengadopsian suatu perspektif seperti itu adalah absurd dan tidak masuk akal, karena
ia membutuhkan suatu subjek yang mengetahui, yang begitu „murni‟ sehingga tidak
ada tujuan inheren dalam usaha-usaha kognitifnya untuk mengetahui atau untuk
memahami dunia. Subjek pengetahuan, oleh karenanya, terbebas dari seluruh tujuan
kehendak, dan penderitaan, melihat dunia dingan mata seperti Mata Tuhan, yang
Bagi Nietzsche, melalui interpretasi atas teks di atas, gagasan keduanya, baik
subjek dan dunia seperti itu, tidak masuk akal, karena keduanya adalah Kehendak
artian lain, subjek yang mengetahui, sebagai Kehendak Kuasa atau pusat kuasa,
secara aktif menginterpretasikan dunia dari perspektif yang bertumbuhnya itu, dan
dunia adalah suatu yang kontradiktif membentuk pusat kuasa semacam itu, bahkan
tiap-tiap pusat kuasa melihat dan mengetahui dunia melalui perspektif itu.
24
Istilah Mata Tuhan adalah suatu konsep mengenai subjek yang mengetahui segala sesuatu.
Baginya realitas adalah sesuatu yang dianggap dirinya. Lihat Soner Soysal, hlm. 104
91
Suatu pusat kuasa dunia adalah tak lain kecuali totalitas dari interpretasi yang
dibuat olehnya melalui prespektifnya yang diadopsi terhadap tiap-tiap pusat kuasa
peninggalan, yakni valuasi khusus yang dimilikinya, mode tindakannya, dan mode
valuasi, atau tindakan-tindakan26. Karena hal ini, Nietzsche mengklaim bahwa kita
hanya bisa memiliki sebuah pengetahuan tentang sesuatu. Yakni, ketika kita bertanya
“apa itu?” kita hanya bertanya mengeenai “apa itu bagi saya?”27 Karena, sebagaimana
Nietzsche nyatakan, dihadapan sesuatu atau sebuah fakta yang telah menjadi objek
makna harus selalu terproyeksikan pada mereka sebelum mereka menjadi „fakta‟”.
Hanya kemudian, sesuatu atau fakta nampak bagi kita sebagai sesuatu atau sebuah
Dalam artian lain, bagaimanapun juga, sesuatu atau sebuah fakta, harus
sesuatu yang mempengaruhi kita dalam perengkuhan kekuatan. Apa yang sebenarnya
kita pertanyakan ketika kita bertanya “apa itu?” adalah bahwa kita
pertanyaan dasar kita menjadi “apa itu bagiku?”; atau sebagaimana Nietzsche katakan
“pada dasarnya selalu terdapat „apa itu bagiku?‟ (bagi kita, bagi seluruh yang
hidup)30.
Tabel 1
Perbandingan Metafiska Nasr dan Nietzsche
30
Friedrich Nietzsche, Will to Power, hlm.306
93
Tabel 2
Kritik Terhadap Modernisme
PENUTUP
A. Kesimpulan
realitas, adalah suatu entitas yang adi kodrati yakni Yang-Sakral. Realitas bagi
Nasr terbelah menjadi Realitas Ilahiyah dan dunia rill. Realitas Ilahiyah
merupakan Realitas tertinggi sekaligus dasar dari dunia rill. Oleh karena itu
keyakinan baru yang menjadi inti dari Filsafat Nietzsche yakni Kehendak
Kuasa. Oleh sebab itu Metafisika Nietzsche adalah Metafisika imanen yang
96
97
gerak sejarah. Modernisme masih berkutat pada hal yang telah diwariskan
pengetahuan. Bagi Nasr, upaya untuk keluar dari krisi modern adalah dengan
B. Saran
membandingkan pandangan antara Filsuf Muslim dan Filsuf dari tradisi Filsafat
mempertemukan dunia Filsafat Islam dan Filsafat Barat. Di sisi lain pada awal
kejayaannya dimasa lalu. Hari ini pelampauan atas wacana Filsafat Barat adalah
Attar, M.F dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, “Fondasi Realisme Ibn Sina dalam
Metafisika Ibn Sina”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Jakarta: Jurnal Ilmu Ushuluddin,
2015 Vol.2 no.3
Heidegger, Martin, Nietzsche II, terj. David Farrell Krell, Harper San Fransisco,1991
Heidegger, Martin, Nietzsche, Vol. 4 , terj. David Farrell Krell, San Fransisco :
Harper & Row 1968
Hermann-Chroust, Anton, Jurnal The Review of Metaphysics, vol.14 no.4 New York:
Philosophy of education Society Inc
Lewis Edwin Hahn (ed.), The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, United States of
America : Open Court Publishing
Murray, J., “Notae : Plato’s Theory of Ideas”, dalam jurnal Gregorianum, Vol.35
No.2, 1954
Nasr Seyyed Hossein, Knowledge and the Sacred, New York : SUNY Press
Nasr, Seyyed Hossein, A Young Muslim’s Guide to the Modern World. Chicago:
KAZI Publication, Inc. 1994
Nasr, Seyyed Hossein, Islam and The Plight of Modern Man, Chicacgo : ABC
International Group
Nasr, Seyyed Hossein, Knowledge and the Sacred, Albany : State University of New
York Press 1989
Nasr, Seyyed Hossein, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo, Bandung: Mizan
1993
Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, terj. Helen Zimmern, e-Book :
thewriterdirection.net, 2004
Nietzsche, Friedrich, Ecce Homo : How to Become what You Are, Oxford University
Press
Nietzsche, Friedrich, Philosophy and the Truth, terj. Daniel Breazele, Humanities
Press
Nietzsche, Friedrich, Philosophy in the Tragic Age of the Greeks, terj. Marianne
Cowan, Massachusetts: Regenary Publishing, 1998
Nietzsche, Friedrich, Thus Spoke Zarathustra, terj. Walter Kaufmann, Penguin Books
Nietzsche, Friedrich, Will to Power, terj. Walter Kaufmann dan R.J Hollingdale. New
York : Vintage Book : 1968
Ross, Sir David, Plato’s Theory of Ideas. Oxford: Oxford University Press
Schopenhauer, Arthur, The World as Will and Representation, terj. Judith Norman,
Cambridge University Pers:2010
Stumpf, Samuel Enoch (ed.), Socrates to Sartre and Beyond, New York: Kenneth
King, 2003
Zarkasyi, Hamid Fahmy, “Ibn Sina’s Concept of Wajibul Wujud, dalam Jurnal
Tsaqafah UNIDA Gontor, Vol.7, No.2, 2011
Sumber Daring