Anda di halaman 1dari 77

MANUSIA MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR

Skripsi:

Diajukan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Anis Lutfi Masykur


109033100049

PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H./2017 M.
MANUSIA MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR

Skripsi:

Diajukan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Menperoleh


Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)

Oleh:

Anis Lutfi Masykur


NIM: 109033100049

Di bawah bimbingan:

Hanafi, MA
NIP: 19691216 199603 1 002

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H. / 2017 M.

i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul MANUSIA MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR


telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 30 Oktober 2017. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.
Ag.) pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam.

Jakarta, 30 Oktober 2017

Sidang Munaqasyah;

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dra. Tien Rohmatin, M.A. Dr. Abdul Hakim Wahid, M.A.


NIP: 19680803 199403 2 002 NIP: 197804242015031001

Anggota;

Penguji 1, Penguji 2,

Nanang Tahqiq, M.A. Dr. ArrazyHasyim, M.A.


NIP: 19660201 199103 1 001

Pembimbing;

Hanafi, M.A.
NIP: 19691216 199603 100 2

iii
PEDOMAN TRANSLITERASI

‫ا‬ = a ‫ﻑ‬ = f
‫ب‬ = b ‫ﻕ‬ = q
‫ﺖ‬ = t ‫ك‬ = k
‫ث‬ = ts ‫ﻝ‬ = l
‫ﺝ‬ = j ‫ﻡ‬ = m
‫ﺡ‬ = ḥ ‫ﻦ‬ = n
‫ﺥ‬ = kh ‫ﻭ‬ = w
‫ﺩ‬ = d ‫ﻩ‬ = h
‫ﺫ‬ = dz ‫ء‬ = ’
‫ﺮ‬ = r ‫ﻯ‬ = y
‫ﺰ‬ = z
‫ﺲ‬ = s Untuk Madddan Diftong
‫ﺶ‬ = sy ‫آ‬ = â
‫ﺹ‬ = sh ْ‫ﺇِﻯ‬ = î
‫ﺽ‬ = dl ْ‫ُﺃﻭ‬ = û
‫ﻁ‬ = th ْ‫ﺃَﻭ‬ = aw
‫ﻅ‬ = zh ْ‫ﺃَﻯ‬ = ay
‫ﻉ‬ = ‘
‫ﻍ‬ = gh

iv
Abstrak

Perbincangan mengenai manusia merupakan suatu kajian yang fundamental


dalam dunia pemikiran Islam. Pemikiran Seyyed Hossein Nasr mengenai manusia
didorong oleh kegelisahannya terkait dunia modern yang menggiring manusia
menjauh dari asal dan esensi kehidupannya sebagai makhluk religius spiritual.
Dengan pendekatan tradisionalnya ia berusaha menunjukkan bahwa umat manusia
yang telah kehilangan makna dan tujuan hidupnya harus kembali kepada tradisi
(baca: nash), agar sisi moralnya terisi sehingga misi penciptaan manusia sebagai
khalifah Tuhan di muka bumi dapat diemban dengan baik. Dalam tulisan ini penulis
mencoba mengetengahkan hasil penelusuran penulis terutama terkait dengan hakikat
manusia, fase-fase penciptaannya, serta konsep Insan Kamil menurut Seyyed Hossein
Nasr. Sebagai kesimpulan utama penulis mendapati bahwa manusia yang sempurna
adalah penghubung antara langit (Tuhan dan wahyu-Nya) dengan bumi (alam
semesta termasuk manusia), suatu agen yang dapat mewujudkan keselarasan dan
keteraturan alam semesta.

v
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Tak ada kata

yang mampu merefleksikan rasa syukur kepada-Nya. Atas bimbingan dan

kehendak-Nya akhirnya penulis sanggup dan mampu menyelesaikan penulisan

skripsi dengan judul MANUSIA MENURUT SEYYED HOSSEIN NASR.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi

Besar Muhammad Saw., serta seluruh keluarga, para sahabat dan para pengikut

beliau hingga akhir zaman.

Latar belakang penulisan skripsi ini adalah kegelisahan dalam mencari

makna yang memadai tentang hakikat manusia. Ini adalah suatu pencarian dalam

rangka memahami diri sebagai manusia. Dengan diketahui definisi yang memadai

tentang diri sebagai manusia, diharapkan mampu memaksimalkan diri untuk

mencapai pemahaman mendalah sebagai bahan refleksi untuk diri sendiri.

Dalam proses penulisan skripsi ini penulis melibatkan banyak kalangan,

yang tanpa bantuan moral dan materil dari mereka tak mungkin karya ilmiah ini

akan terselesaikan. Untuk itu penulis merasa perlu untuk menyampaikan ucapan

terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini,

diantaranya:

1. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak nasihat dan

arahan selama penulis menjalani kuliah.

vi
2. Dra. Tien Rohmatin, M.A. (Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam) dan Dr.

Abdul Hakim Wahid, M.A (Sekertaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam),

penulis sangat berterimakasih atas keramahan, nasihat, dan bantuannya

hingga akhirnya penulis tetap konsisten menyelesaikan skripsi ini dengan

baik.

3. Hanafi, M.A. yang telah membimbing penulis dengan sangat sabar, teliti, dan

mencerahkan, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Pimpinan dan segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi

dan birokrasi.

5. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas

Ushuluddin, terima kasih atas pinjaman buku-buku dan beberapa literatur

dalam penulisan skripsi ini.

6. Kedua orang tua penulis, Abdullah Masykur dan Siti Rochimah, yang telah

membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh rasa kasih dan sayang.

Ketiga adik penulis, Ulinnuha Asshofa, Ulumul Huda dan Inayatul Azzah,

yang telah menjadikan penulis selalu bersemangat. Tak lupa pula kepada

keluarga yang lain yang juga memberikan motivasi yang besar dalam rangka

penyelesaian skripsi ini.

7. Teman seperjuangan selama menjalani skripsi: Ali Khumaeni dan Enjis

Saputra. Teman-teman yang telah “mendahului” penulis dalam

menyelesaikan skripsi: Muhammad Zahidin Arief, Hairus Saleh, Muhammad

vii
Burhan Khoirul Adib, Muhammad Ainurrofiq, Misbahuddin, Helmi Hidayat,

Daqoiqul Misbah dan teman-teman yang lain yang tak bisa disebutkan semua.

8. Orang yang paling saya cintai, Rini Handayani, yang selalu mengingatkan,

membantu, dan mendoakan penulis setiap saat sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.

Jakarta, 30 Oktober 2017

Anis Lutfi Masykur

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING........................................................... i


LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN....................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ iv
ABSTRAK ...............................................................................................................v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI.................................................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 7
D. Kajian Pustaka ....................................................................................... 7
E. Metodologi Penelitian ........................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan Skripsi............................................................. 10

BAB II BIOGRAFI SEYYED HOSSEIN NASR


A. Riwayat Hidup ..................................................................................... 12
B. Tokoh yang Mempengaruhi ................................................................ 16
C. Karya-karya ......................................................................................... 21

BAB III KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA, FALSAFAT


DAN TASAUF
A. Pengertian Manusia............................................................................ 26
B. Konsep Manusia dalam Perspektif Agama ..................................... 28
C. Konsep Manusia dalam Perspektif Falsafat .................................... 34
D. Konsep Manusia dalam Perspektif Tasauf ..................................... 41

BAB IV KONSEP MANUSIA SEYYED HOSSEIN NASR

A. Hakikat Manusia ................................................................................. 49


B. Empat Fase Penciptaan ..................................................................... 51
C. Insan Kamil ......................................................................................... 55

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 64
B. Penutup ................................................................................................. 65

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 66

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

What is a man? Pertanyaan itu diajukan Jujun S. Suriasumantri ketika ia

memulai bahasan tentang filsafat.1 Maksud pertanyaan itu adalah, pada tahap

permulaan, filsafat senantiasa mempersoalkan perihal jati diri manusia.

Manusia merupakan obyek yang selalu menarik untuk dibahas. Bukan saja

ia menjadi pokok permasalahan, tetapi pembahasan manusia tidak dapat terlepas

dari sejumlah sistem budaya, tradisi, agama dan filsafat dengan segala perbedaan

latar belakang budaya dan pemikiran yang melingkupinya.2 Kenyataan ini

kemudian membawa kita pada suatu pernyataan bahwa manusia adalah makhluk

yang mempunyai kedudukan spesial, pengaruh luar biasa dan penuh misteri.

Selain sebagai satu-satunya makhluk yang sempurna di antara makhluk

Tuhan lainnya, manusia juga merupakan makhluk yang multi dimensi, yaitu

makhluk yang secara mendasar mempunyai dimensi ragawi, dimensi rohani, dan

dimensi sosio-kultural. Manusia sebagai makhluk ragawi (biologis) adalah

makhluk hidup yang berkembang sesuai dengan kebutuhan dasar seperti makan,

minum dan seks. Manusia sebagai makhluk rohani (religius) adalah makhluk

hidup yang memiliki jiwa dan keyakinan serta kepercayaan untuk menyembah

1
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996), h. 27.
2
Albert Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia, Paradoks dan Seruan (Yogyakarta:
Kanusius, 2004), h. 58.

1
2

Tuhan. Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial adalah makhluk yang selalu

bersosialisasi, berorganisasi, dan berhubungan dengan sesama manusia lainnya. 3

Menurut Islam, tujuan kemunculan manusia di dunia adalah untuk

memperoleh pengetahuan total tentang nama-nama benda sebagai prasyarat

untuk menjadi Manusia Sempurna (al-Insa>n al-Ka>mil), cermin yang

memantulkan Nama dan Sifat Allah.4 Dengan mendapat pengetahuan tersebut, ia

kemudian ditunjuk sebagai khali>fah Allah di bumi – ini adalah kehormatan yang

diberikan oleh Tuhan kepada manusia.5 Manusia diberi hak untuk menguasai

alam hanya karena watak teomorfisnya, bukan karena pemberontakannya

terhadap langit.6

Hasan Langgulung memberikan definisi tentang manusia dengan merujuk

dari kata insa>n dan basyar yang ada didalam al-Qur’an. Definisi basyar ini

menunjukan bentuk material manusia yang bersifat biologis. Dalam hal ini semua

anak Adam sama dan serupa. Sedangkan kata insa>n mengandung pengertian

manusia yang mengalami perkembangan ke arah yang membolehkannya

menduduki sifat khali>fah di bumi, memikul tanggung jawab (takli>f) dan amanah,

sebab dia menerima ilmu, baya>n, dan ‘aql yang mampu membedakan antara yang

3
Rifaat Syauqi Nawawi, dkk., Metodologi Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), h. 175.
4
Sujawa, Manusia dan Fenomena Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2001), h. 22-
23.
5
Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, terj. Ali Noer Zaman,
(Yogyakarta: Ircisod, 2005), h. 115.
6
Hadimulyo, “Manusia dalam Perspektif Humanisme Agama: Pandangan Ali Shari’ati”,
dalam M. Dawam Rahardjo, (Penyunting), Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam
(Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1987), h. 175.
3

baik dan buruk, sehingga kedudukan manusia paling tinggi di antara makhluk-

makhluk ciptaan Allah lainnya.7

Pertanyaan tentang siapakah manusia, asal-usul dan tugasnya di dunia

sebenarnya telah ada sejak lama. Sejarah pemikiran Barat modern sejak

Descartes ditandai dengan usaha menjawab pertanyaan tersebut. Seiring dengan

berkembangnya pemikiran, muncul berbagai aliran filsafat yang masing-masing

memiliki corak pemikiran tersendiri. Salah satu aliran yang ada ialah filsafat

perennial, yaitu sebuah filsafat yang dipandang bisa menjelaskan segala kejadian

yang bersifat hakiki, yang menjadi hakikat seluruh agama dan tradisi spiritual

manusia.8

Salah satu tokoh dari aliran filsafat ini adalah Seyyed Hossein Nasr.

Untuk memahami konsep manusia Nasr, kita harus berangkat dengan memahami

kritiknya terhadap manusia modern. Salah satu ungkapannya yang terkenal

adalah bahwa manusia modern telah membakar tangannya dengan api yang

dinyalakannya, karena ia telah lupa siapakah ia sesungguhnya.9 Ungkapan ini

disampaikan Nasr dalam mengomentari cara pandang manusia terhadap alam.

Dikatakannya bahwa dunia modern tidak lagi memiliki horizon spiritual.

“Hal itu terjadi bukan karena horizon spiritual itu tak ada, tapi
karena manusia modern – dalam istilah filsafat perennial yang
sering diintrodusir oleh Nasr – “hidup di pinggir lingkaran

7
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,
2003), h. 286.
8
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat Perennial (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 7.
9
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat Perennial, h. 1.
4

eksistensi”. “Manusia modern melihat segala sesuatu hanya dari


sudut pandang pinggiran eksistensinya itu, tidak pada “pusat
spiritualitas dirinya”, sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya.
Memang dengan apa yang dilakukannya sekarang — memberi
perhatian pada dunia dan eksistensi di luar dirinya — ia
memperoleh pengetahuan dunia material yang secara kuantitas
sangat mengagumkan, tetapi secara kualitatif dan keseluruhan
tujuan hidupnya — menyangkut pengertian-pengertian mengenai
dirinya sendiri — ternyata dangkal. Dekadensi atau kejatuhan
manusia di zaman modern ini terjadi karena manusia kehilangan
pengetahuan langsung mengenai dirinya itu, dan menjadi
bergantung pada pengetahuan eksternal, yang tak langsung
berhubungan dengan dirinya.”10
Dalam pandangan Nasr, manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu

manusia modern dan manusia tradisional, yang terakhir ini disebutnya pula

sebagai manusia suci, sebagaimana dijelaskannya dalam salah satu karyanya:

“Konsep tentang manusia suci, pontifex, atau jembatan antara surga


dan bumi, yang merupakan pandangan tradisional anthropos,
terletak pada antipoda konsep manusia modern yang
membayangkan manusia sebagai ciptaan Promethean di bumi,
melawan surga dan berusaha menyalahgunakan peranan Tuhan bagi
dirinya sendiri. Manusia suci, dalam pengertiannya di sini, tidak lain
daripada manusia tradisional, hidup di dalam dunia yang
mempunyai Asal maupun Pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh
sejak Asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan
berupaya untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan
kesucian awal dan keutuhannya.”11
Dari penjelasannya ini, tampak pula bahwa Nasr berusaha menegaskan

bahwa manusia dengan segala karakteristiknya tidak dapat terlepas dari dimensi

ketuhanan. Untuk mendapatkan pengetahuan tentang hakikat diri manusia yang

sebenarnya dapat dilakukan dengan menggali teks-teks keagamaan, tetapi

10
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat Perennial, h. 2.
11
Seyyed Hossein Nasr, Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, terj. Suharsono
(Depok: Inisiasi Press, 2004), h. 185.
5

manusia sekarang cenderung mengabaikannya sehingga ia tidak mengetahui arti

kearifan spiritual dalam kehidupannya.

Menurut Nasr, fungsi kesalehan manusia tidak pernah bisa dipisahkan

dari realitas dan dari mana manusia itu sesungguhnya berasal. Inilah sebabnya

mengapa ajaran-ajaran tradisional selalu menggambarkan kebahagiaan manusia

di dalam kesadaran dan kehidupannya menurut alam pontifikalnya, seperti

jembatan antara surga dan bumi. Hukum-hukum keagamaan dan ritus-ritusnya

mempunyai fungsi-sungsi kosmik untuk menyadarkan bahwa tidak mungkin

manusia menghindari tanggung jawab sebagai makhluk yang hidup di bumi yang

tidak 8 sekedar berhubungan dengan keduniaan semata, tetapi untuk

merefleksikan kekuasaan Tuhan di dunia.12 Nasr menulis:

“Situasi manusia sebagai jembatan antara surga dan bumi


direfleksikan dalam seluruh keberadaan dan seluruh kemampuannya.
Manusia adalah dirinya sendiri, keberadaan alamiah secara supra
natural. Ketika dia berjalan-jalan di muka bumi, pada satu sisi dia
muncul sebagai makhluk bumi; pada sisi yang lain, dia merupakan
keberadaan surgawi yang turun ke keberadaan duniawi. Sebaliknya,
memori, pembicaraan dan imajinasinya ikut serta seketika itu juga
dari beberapa tatanan realitas. Sebagian besar dari inteligensinya
merupakan kemampuan alamiah yang bersifat supra natural...”13
Seyyed Hossein Nasr berusaha menjelaskan hakikat diri manusia melalui

perspektif filsafat perennial – yang ia sebut sebagai filsafat tradisional – yang

pembahasannya justru berbeda dengan perspektif modern yang didasarkan

12
Seyyed Hossein Nasr, Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, h. 183-184.
13
Seyyed Hossein Nasr, Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, h. 184.
6

kepada sains.14 Nasr berkeyakinan bahwa penjelasan tuntas tentang hakikat

manusia dapat ditemukan secara jelas dalam teks-teks tradisional dan

keagamaan. Hal inilah yang menimbulkan ketertarikan peneliti untuk melakukan

penelitian lebih jauh dan mendalam berkenaan dengan pendapat Seyyed Hossein

Nasr tentang manusia, hasil penelitian tersebut selanjutnya akan dituangkan

dalam judul : “Manusia Menurut Seyyed Hossein Nasr”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Pada dasarnya banyak hal dari corak pemikiran Seyyed Hossein Nasr

yang menarik untuk dibahas. Namun, untuk menghindari pelebaran masalah

maka dalam kesempatan ini penulis membatasi objek kajian penelitian hanya

pada pemikiran Nasr tentang Manusia.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya,

maka masalah pokok dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa hakikat manusia menurut Seyyed Hossein Nasr?

2. Apa pandangan Sayyed Hossein Nasr tentang manusia sempurna.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

14
Lihat Budhy Munawar-Rachman, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial,
h. 5. Lihat juga Seyyed Hossein Nasr, The Knowledge and The Sacred , terj. Suharsono, et. al.
dengan judul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, h. 195.
7

Penuliasan skripsi dimaksudkan untuk memahami secara komprehensif

mengenai manusia dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr.

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui hakikat manusia dalam pandangan Seyyed Hossein

Nasr.

2. Untuk mengetahui empat fase penciptaan dan manusia sempurna dalam

pandangan Seyyed Hossein Nasr.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini meliputi manfaat praktis dan

akademis. Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu: Pertama, penelitian ini

diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peneliti-peneliti berikutnya yang

mengkaji tema yang sama serta memperkaya khazanah intelektual Islam dan

Indonesia. Kedua, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran

secara jelas mengenai konsep manusia menurut Seyyed Hossein Nasr.

Manfaat akademis adalah sebagai salah satu syarat untuk memenuhi

sebagian persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana pada fakultas Ushuluddin,

program studi Aqidah Filsafat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan hasil pengamatan penulis di Perpustakaan Umum UIN Syarif

Hidayatullah dan Perpustakaan Pasca Sarjana, sudah terdapat beberapa penelitian

yang mengaji pemikiran Seyyed Hossein Nasr, diantara penelitian-penelitian

tersebut yaitu:
8

Pertama, skripsi yang berjudul Pola Hubungan Sains dan Agama : Studi

Atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr dan Lois Leahy yang ditulis oleh Awad

pada tahun 2012. Dalam penelitian yang ia lakukan tidak ada pembahasan Tuhan

dan manusia, Awad hanya memfokuskan pada sains dan agama.15

Kedua, disertasi yang berjudul Respon Tradisionalisme Islam Terhadap

Krisis Lingkungan : Telaah atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang ditulis

oleh Abdul Quddus pada tahun 2012. Dalam disertasi ini penulis menekankan

pada pembuktikan kelemahan konsep pembangunan berkelanjutan berbasis sains

modern sekuler sebagai solusi krisis lingkungan dan menganjurkan

“pembangunan berdasarkan spiritualitas agama dan tradisinya” Nasr. 16

Ketiga, disertasi yang berjudul Tasawuf sebagai Terapi Krisis

Modernisme: Analisis atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang ditulis oleh

Syamsuri pada tahun 2008. Penulis mendeskripsikan secara panjang lebar

tentang krisis manusia modern dari sudut pandang pemikir islam dan barat dan

tokoh utama yaitu Nasr. Penulis kemudian hanya fokus menjabarkan poin-poin

dari tasauf yang digunakan sebagai langkah alternatif untuk terapi kebuntuan

spiritualitas manusia modern.17

E. Metode Penelitian

15
Awad, Pola Hubungan Sains dan Agama : Studi Atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
dan Lois Leah (Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2012), skripsi
tidak diterbitkan.
16
Abdul Quddus, Respon Tradisionalisme Islam Terhadap Krisis Lingkungan : Telaah
atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr (Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah,
2012), disertasi tidak diterbitkan.
17
Syamsuri, Tasawuf sebagai Terapi Krisis Modernisme : Telaah atas Pemikiran Seyyed
Hossein Nasr (Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2012), disertasi tidak
diterbitkan.
9

Penulisan skripsi ini sepenuhnya adalah riset perpustakaan (library

research) yaitu penelitian yang kajiannya dengan menelusuri dan menelaah

literature-literatur dan penelitian yang difokuskan pada bahan pustaka dengan

rujukan buku primer dan sekunder.

Dalam penulisan skripsi ini terdapat buku-buku primer dan sekunder.

Adapun rujukan buku primernya adalah: ‘Islam dalam Cita dan Fakta’, ‘Antara

Tuhan, Manusia, dan Alam’, ‘Islam dan Nestapa Manusia Modern’, ketiga buku ini

adalah karya Seyyed Hossein Nasr yang telah diterjemahkan. Sedangkan rujukan

buku sekundernya adalah buku, jurnal dan yang lainnya yang membahas tentang

manusia dan pemikiran Nasr secara umum

Jenis penelitian bersifat deskriptif-analitis yaitu pemecahan masalah yang

diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek dan objek penelitian. Metode

deskriptif digunakan untuk menjelaskan segala hal tentang Tuhan dan manusia

serta menjelaskan hubungan antara keduanya. Sedangkan metode analitik

digunakan untuk menganalisis setiap masalah dengan pendekatan failasufis dan

mengangkat pandangan Seyyed Hossein Nasr tentang hubungan tuhan dan

manusia.

Teknik penulisan dan penyusunan skripsi ini menggunakan buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and

Assurance) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2007. Sedangkan translitrasi


10

menggunakan pedoman Jurnal Ilmu Ushuludin terbitan Hipius (Himpunan

Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin)

F. Sistematika Penelitian

Setelah melalui tahap-tahap pemikiran dan pertimbangan secukupnya,

seluruh isi penelitian ini disajikan dalam lima bab uraian, dengan pembagian:

satu bab pendahuluan, tiga bab berisi isi dan analisis, satu bab terakhir berisi

penutup yang memuat kesimpulan dan saran.

Bab pertama, tentang pendahuluan yang memuat tentang latar belakang

masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab kedua, berisi biografi Seyyed Hossein Nasr, riwayat hidup, karya-

karya, tokoh yang mempengaruhi.

Bab ketiga, memuat pembahasan mengenai definisi manusia secara umum

dan konsep manusia dari perspektif agama, filsafat dan tasauf.

Bab keempat, memuat pembahasan manusia dalam pandangan Seyyed

Hossein Nasr, berupa hakikat manusia dan manusia sempurna.

Bab kelima, penutup, berisi kesimpulan dan saran.


BAB II

BIOGRAFI SEYYED HOSSEIN NASR

A. Riwayat Hidup Seyyed Hossein Nasr

Seyyed Hossein Nasr lahir pada tanggal 7 April 1933 di kota Teheran,

Iran. Ayahnya seorang guru dan dokter pada masa dinasti Qajar bernama Seyyed

Valiullah Nasr yang juga seorang ulama terkenal di Iran.

Nasr mendapat gelar Seyyed dari raja Syah Reza Pahlevi sebagai tanda

kebangsawanan Iran. Nasr dan keluarganya adalah penganut aliran Syi'ah

tradisional yang menjadi aliran teologi Islam mayoritas penduduk Iran. Dominasi

paham Syi'ah di Iran bertahan sampai sekarang karena didukung oleh banyak

ulama terkenal dan berpengaruh.1

Nasr memperoleh pendidikan tradisional di Iran, baik secara informal dan

formal. Pendidikan informalnya dia dapat dari keluarganya, terutama dari

ayahnya. Sedangkan pendidikan tradisional formalnya diperoleh di madrasah

Teheran. Selain itu, Nasr juga belajar di lembaga atau madrasah pendidikan di

Qum yang diasuh oleh 'Alla>mah T{aba>t}aba>'i> untuk belajar filsafat, teologi dan

tasauf serta mendapat pelajaran tentang hafalan al-Qur’an dan pendidikan

tentang seni Persia klasik. Untuk memahami ajaran agama, di dalam paham

Syi’ah digunakan beberapa metode yaitu, metode formal agama, metode

intelektual dan penalaran intelektual, metode intuisi atau penyingkapan spiritual.

1
Mehdi Aminrazavi, "Persia" dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.),
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h.1376-
1380.

12
13

Metode-metode tersebut merupakan tahapan belajar untuk memahami

aspek-aspek ajaran Islam dalam Syi'ah. Metode pertama digunakan untuk

mempelajari ilmu-ilmu keislaman formal yang mencakup hukum-hukum dalam

fiqh, mempelajari al-Qur’an dan Hadis.2

Dalam pembelajaran formal, para murid diajari cara menggali hukum-

hukum fiqh dengan baik dan benar dan sesuai dengan dalil-dalil dari al-Qur’an

dan Hadis, agar mengetahui hal mana yang boleh dilakukan dan hal mana yang

tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain pendidikan tentang syariat Islam

dilakukan di tahap awal untuk melandasi para murid tentang akhlak, cara

beribadah, hingga cara hidup bermasyarakat.

Pada tataran berikutnya digunakan metode intelektual yang berusaha

membimbing para muridnya untuk dapat menggunakan logika intelektual

('aqliyyah ) untuk memahami realitas-realitas hingga dapat diterima secara

rasional. Pelajaran tentang filsafat, kalam, dan logika diberikan untuk memenuhi

kebutuhan tersebut. Ajaran agama tidak dapat diterima dengan lebih baik tanpa

diajarkannya ilmu-ilmu tersebut. Hal ini penting karena dalil-dalil keagamaan

yang ada harus dijelaskan dengan benar dan diterima oleh rasio sebelum

dilakukan.

Doktrin dalam pelajaran syariat formal di atas harus diterima akal yang

kemudian diyakini dengan sepenuhnya. Pada tahap ketiga para murid diajarkan

tentang ilmu rasa yang berbasis pengetahuan intuitif. Pelajaran ini membimbing

para murid untuk mengetahui dan memahami Dunia Atas dan Realitas Tertinggi

2
M. Thabathaba'i, Islam Syi'ah ,(Jakarta: Graffiti Press, 1989), h. 90.
14

dengan melakukan penapakan-penapakan jalan kerohanian. Pelajaran tasauf

menjadi ilmu utama yang diajarkan guna membimbing murid memahami dan

melakukan hal ini.

Ketajaman intuisi dan peningkatan kadar spiritualitas menjadi target

utama untuk menuju al-H{aqq atau Yang Maha Benar. Pada tingkat pendidikan

pertama dan kedua di atas murid telah diarahkan menuju kadar keimanan yang

mantap, sedangkan di tataran pembelajaran yang ketiga ini para murid diajak

memasuki dunia makna dan kebenaran hakiki yang tidak terbantahkan lagi baik

oleh akal dan dalil-dalil formal yang masih memungkinkan mempunyai

kesalahan.

Dapat dilihat bagaimana Syi'ah mempunyai metode pembelajaran yang

cukup baik dengan membimbing para muridnya menggunakan nalar baya>ni>,

burha>ni>, dan 'irfa>ni> yang tersistematisasi. Belajar dari yang fisik menuju

metafisik, dari realitas terendah menuju Realitas Tertinggi dan dari jasmaniah

menuju ruhaniah.3 Sistem inilah yang menjadi ciri khas dan tradisi keberagamaan

kaum tradisional dan tentunya menjadi ciri khas. Keberagaman kaum tradisional

dan tentunya menjadi ciri khas masyarakat Timur dalam memandang realitas.4

Pada masa ini arus modernisasi Barat sangat gencar menyerang dunia

Timur. Secara sadar keadaan ini dipahami oleh Seyyed Valiullah Nasr untuk

segera melakukan sesuatu. Hal yang harus dia lakukan adalah menyelamatkan

puteranya agar tidak terkena imbasnya, sehingga beliau membekali Nasr dengan

3
Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 1115-1116.
4
Ali Maksum, Tasauf sebagai Pembebasan Manusia Modern: Signifikansi Konsep
Tradisionalisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 83-86.
15

ilmu tradisional semenjak dini sebelum belajar ilmu lain. Selain itu keinginan

membendung arus modernisasi ini harus dilakukan juga dengan mempelajarinya

di dunia asalnya, maka dikirimlah Seyyed Hossein Nasr untuk belajar di Barat,

yaitu di Amerika.

Obsesi Valiullah Nasr agar Hossein Nasr menjadi orang yang

memperjuangkan kaum tradisional dan nilai-nilai ketimuran dimulai dengan

memasukkan Hossein Nasr ke Peddie School di Hightstown, New Jersey, dan

lulus pada tahun 1950. Kemudian ia melanjutkan ke Massacheusetts Institute of

Technology (MIT). Di institusi pendidikan ini Nasr memperoleh pendidikan

tentang ilmu-ilmu fisika dan matematika teoritis di bawah bimbingan Bertrand

Russell yang dikenal sebagai seorang filosof modern, dan darinya Nasr banyak

memperoleh pengetahuan tentang filsafat modern.5

Selain bertemu dengan Bertrand Russell, Nasr juga bertemu dengan

seorang ahli metafisika bernama Geogio De Santillana. Dari tokoh kedua ini Nasr

banyak mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang filsafat Timur,

khususnya yang berhubungan dengan metafisika. Dia diperkenalkan dengan

tradisi keberagamaan di Timur, misalnya tentang Hinduisme.

Selain itu Nasr juga diperkenalkan dengan pemikiran-pemikiran para

peneliti Timur, diantaranya yang sangat berpengaruh adalah pemikiran Frithjof

Schuon tentang perenialisme. Selain itu ia juga berkenalan dengan pemikiran

Rene Guenon, A. K. Coomaraswamy, Titus Burckhardt, Louis Massignon dan

5
Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, terj. Rahmani Astuti (Bandung:
Mizan,1995), h. 65-69.
16

Martin Lings. Pada tahun 1956 Nasr berhasil meraih gelar Master di MIT dalam

bidang geologi yang fokus pada geofisika.

Belum puas dengan hasil karyanya, beliau merencanakan untuk menulis

disertasi tentang sejarah ilmu pengetahuan dengan melanjutkan studinya di

Harvard University. Dari sini terlihat adanya sebuah perubahan arah berpikir

Nasr yang semula menekuni ilmu-ilmu fisika, menjadi kearah yang abstrak

tentang sejarah pemikiran. Berpikir tentang sejarah ilmu pengetahuan dapat

dipastikan harus bersinggungan dengan filsafat yang pada ujungnya mengarah

kepada metafisika.

Hal ini dikarenakan adanya pengaruh para pemikir metafisis dan juga

karena latar belakang tradisionalismenya yang khas Timur dan Syi'ah yang

mendorong ke arah berpikir di balik yang fisik. Baginya berpikir fisika sudah

membosankan karena banyak hal dibalik fisika yang perlu dipahami dan tidak

dapat terelakkan untuk dipertanyakan dan dicari jawabannya.6

B. Tokoh yang Mempengaruhi

Semasa belajar di Barat Seyyed Hossein Nasr bertemu dengan banyak

pemikir Barat yang mengkaji Islam dari berbagai macam perspektif. Selain ia

belajar tentang ilmu sains di Barat, Nasr juga kemudian tertarik kembali

mempelajari ilmu-ilmu metafisika, khususnya metafisika Timur yang banyak ia

dapatkan di perpustakaan-perpustakaan Barat.

6
Ahmad Norma Permata, Tradisi dalam Perenialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), h. 161-166.
17

Ketertarikannya terhadap disiplin keilmuan ini tidak lepas dari latar

belakang kehidupannya sebagai seorang Iran yang kental dengan budaya mistik

kesufian dan didukung oleh pengetahuan mistis dari ajaran Syi’ah. Pemikiran

yang sangat mempengaruhi Nasr adalah pandangan filsafat perenial. Di antara

para tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah Frithjof Schuon, seorang

perenialis dan sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik dan esoterik Islam.

Nasr sangat memuji karya Schuon yang berjudul Islam and the Perennial

Philoshopy sebagai ungkapan yang paling mengagumkan dan paling lengkap dari

philosophia perennis yang ada di dunia sekarang. Nasr sangat mengagumi

Schuon, sehingga ia memberikan gelar padanya sebagai My Master.

Selain itu pemikiran tradisionalis Nasr dipengaruhi oleh konsep

tradisional dari A.K. Coomaraswamy, khususnya dalam studinya mengenai seni

tradisional. Kerangka pikir dari Coomaraswamy mengilhami pemahaman Nasr

tentang tradisionalisme khususnya mengenai studinya atas kesenian Islam.

Khusus mengenai seni ini ia juga banyak terpengaruh oleh pandangan Titus

Burckhardt yang secara spesifik memberikan perhatian pada seni Islam.

Keduanya dapat dikatakan sebagai rujukan utama Nasr dalam pembahasan

masalah seni dan spiritualitas dalam Islam.7

Salah satu tokoh yang juga banyak mempengaruhi Nasr adalah Rene

Guenon yang banyak memberikan pijakan kritis atas filsafat modern guna

membersihkannya dan memberikan bagi kehadiran metafisika yang sejati. Rene

7
Ahmad Norma Permata, Tradisi dalam Perenialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), h. 161-166.
18

Guenon merupakan salah satu tokoh yang banyak mempengaruhi orientasi

tradisionalisme Nasr, khususnya peletak pandangan metafisis hermetisme,

sebagai

bagian yang penting dalam kerangka besar pemikiran perennial.

Salah satu gagasan penting mereka adalah apa yang disebut filsafat

perenial, yaitu pemikiran kefilsafatan yang menyangkut metafisika universal.

Perenialisme nantinya juga dikembangkan oleh Nasr dan bahkan menjadi

landasan metodologi berpikirnya, terutama dalam bidang studi agama-agama.8

T{aba>t}aba>‘i adalah sosok yang memiliki wewenang keagamaan yang

dihormati masyarakat syi’ah karena menjadi mujtahid yang mendapat gelar unik

al-alammah (yang sangat pandai). Menurut Nasr di antara ulama-ulama

tradisional Syi’ah, T{aba>t}aba>‘i adalah orang yang memenuhi syarat menulis buku

yang berjudul Shi’a (edisi Indonesia: Islam Syi’ah).9 Ia telah mencetak puluhan

ulama dan pemikir yang memberikan konstribusi besar dalam pengembangan

studi filsafat, politik, irfan, tafsir dan lainnya.10

Massignon adalah seorang pemikir yang menaruh simpati pada Islam dan

mempunyai pengetahuan universal tentang Islam, terutama sufisme. Ia pernah

menulis disertasinya tentang tasauf al-H{alla>j. Di samping menaruh perhatian

pada sufisme, ia juga sarjana kristen pertama yang merintis dialog antar agama,

8
Waryono Abdul Ghafur, “Seyyed Hossein Nasr: Neo Sufisme Sebagai Alternatif
Modernisme” dalam A. Khudori Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Penerbit
Jendela, 2003), h. 392.
9
Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan h.40
10
Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan h.10
19

terutama titik temu antara Islam dan Katolik. Kontaknya dengan Massignon

terjadi sejak Nasr menjadi mahasiswa dan berlangsung terus hingga beberapa

bulan sebelum kematian Massignon di awal 1962.11

Pada akhir 1965 Nasr bersama dengan Murtad}a Mut}ahhari> dan Ali

Syariati serta beberapa tokoh lainnya mendirikan lembaga Hussainiyyah Irsyad,

yang bertujuan mengembangkan ideologi Islam untuk generasi muda berdasarkan

persepektif Syi’ah, tetapi kemudian ia bersama dengan Murtad}a keluar dari

lembaga tersebut karena berbeda pendapat dengan Ali Syariati yang semula

mengkritik ulama tradisional serta menggunakan lembaga ini untuk kepentingan

politiknya. Pada tahun 1973 lembaga ini ditutup oleh Shah Reza Pahlevi. Nasr

sangat mengecam Ali Syariati yang dipandangnya keliru menampilkan Islam

sebagai agama revolusioner dengan menghilangkan aspek spiritualitas.12

Bagi Nasr, Syari’ati adalah seorang modernis muslim pertama yang

menciptakan semacam “liberation theologi” di dunia Islam, karena pengaruh

westernisasi dan Marxisme. Dengan cara ini Syari’ati menyajikan Islam sebagai

kekuatan revolusioner dengan mengorbankan dimensi kerohanian Islam. Bagi

Syari’ati, “Shi’ism was religion for protest.” Dalam penilaian Nasr gagasan

Syari’ati ini sangat berbahaya.

Antara Nasr dengan kelompok Syari’ati terdapat perbedaan pendekatan

dalam upaya memperbaiki nasib Iran untuk masa depan. Nasr mendekatinya dari
11
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisional di Tengah Kancah Dunia Modern, terj.
Lukman Hakim, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 253-272.
12
Muhsin Labib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Sadra (Jakarta: Al Huda,
2005), h. 315.
20

sudut perkembangan rohaniah, karena pengaruh tasauf, sehingga tokoh yang

betapapun briliannya ini, tidak pernah terlibat dalam aksi kekerasan atau

melibatkan dari dalam gerakan massa untuk melakukan perubahan historis

dengan gagasannya secara revolusioner.13 Sementara Syari’ati dan kelompok

revolusioner lainnya seperti Ayatullah Khomeini melihatnya dari kaca mata

analisis sosiologis, sehingga mereka cendrung memilih jalur politik dan

melibatkan diri secara aktif dan bahkan memimpin dalam sikap setiap aksi yang

muncul. Gerakan revolusi yang diarsiteki oleh Khomeini dan Syari’ati ini, pada

akhirnya berhasil menumbangkan rezim Shah, dan mendirikan Republik Islam

Iran (RII) tahun 1979, hingga sekarang.

Menjelang revolusi meletus tahun 1979, Nasr hijrah ke Amerika Serikat.

Ia memutuskan untuk tidak kembali ke Iran, dan menetap di Amerika. Ketika

Fazlur Rahman dan Islamil Faruqi masih hidup, Nasr dan kedua tokoh itu disebut

disebut sebagai tiga intelektual muslim terkemuka di Amerika Serikat sejak

dekade 70-an. Harvard Seminary Foundation pernah mengadakan konfrensi tahun

1988 untuk membahas tentang kaum muslim di AS. Untuk aspek intelektualnya,

ketiga tokoh ini yang dibahas. Selain mengajar Nasr juga aktif memberikan

ceramah dan kuliah di berbagai Negara, di samping menulis buku dan artikel.

C. Karya-karya Seyyed Hossein Nasr

13
Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan, h. 47.
21

Selain aktif dalam mengajar dan memberikan ceramah-ceramah, Nasr

juga aktif menulis. Ia telah menulis lebih dari 50 buku dan 500 artikel dan

sebagian besar telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, terutama bahasa-

bahasa umat Islam, bahasa Eropa dan Asia. Meskipun menulis dengan

menggunakan bahasa Inggris, akan tetapi Nasr menyebut dirinya sebagai “Man

of the East” dan menyatakan bahwa salah satu tugasnya adalah mempertemukan

perbedaan antara Barat dan Timur setidaknya sebagai penengah antara keduanya.

Perkembangan pemikiran Nasr sejak awal dasawarsa 1960-an hingga

dasawarsa 1990-an ini masih menunjukkan konsistensi. Artinya, pemikirannya

sejak ia pertama kali mulai berkarir dan berkiprah dalam pergumulan intelektual,

topik-topik yang dikembangkannya belum mengalami perubahan, justru yang

dilakukan ialah mempertajam dan memperluas tema-tema pemikiran awalnya.14

Untuk melacak perkembangan pemikiran Nasr, dengan cara meneliti hasil karya-

karyanya yang berupa buku maupun artikel. Untuk memotret perkembangan

pemikirannya perlu di kalsifikasikan menjadi empat periode.

Pertama, periode 60-an sampai 90-an. Analisa pembagian periode ini,

tidak berarti terjadi lompatan atau peralihan dalam pemikiran Nasr, tetapi untuk

menganalisis penekanan (strassing) tema utama yang dikembangkan dalam

masing-masing periode tersebut.15

Periode 60-an ditandai dengan dua tema pokok. Pertama, tentang

rekonstruksi tradisi sains Islam dan Khasanah serta sumber pemikiran Islam.

14
Ali Maksum, Tasawaf sebagai Pembebasan Manusia Modern, h. 50
15
Ali Maksum, Tasawaf sebagai Pembebasan, h. 50
22

Kedua, tentang krisis dunia modern. Karya perdananya dalam bidang sejarah

sains dan sains Islam, an Intruction to Islamic Cosmological Doctrines (1964).

Buku ini berisi tentang kajian kosmologi Islam dalam perspektif tradisional

paling komprehensif, karena dikaji dari para tokoh filosof dan ilmuan.

Selanjutnya, Three Muslim Sages (1964), memperkenalkan tiga pemikir Islam:

Ibn Si>na>, Suhra>wardi> dan Ibn ‘Arabi>. Buku ini berisi tentang filsafat Islam yang

meliputi tiga aliran penting yakni: Peripatetik oleh Ibn Si>na, Illuminasi oleh

Suhra>wardi, Gnosis oleh Ibn ‘Arabi. Karya selanjutnya, Ideals and Realities of

Islam (1966) berisi uraian tentang kerakteristik Islam dan upaya menjadikan

wahyu sebagai sumber inspirasi ilmu pengetahuan, dan juga tentang tasauf yang

berangkat dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Sedang Science and Civilization in

Islam (1968) berisi tentang isi dan spirit sejarah sains Islam dalam perspektif

tradisional, dan juga tentang konsep-konsep agama, dan filsafat dalam Islam.

Mengomentari pemikiran tersebut, Bousfiled mengatakan, “Nasr merupakan

pemikir Islam kontemporer yang mulai membicarakan metafisika dalam

keilmuan modern.” Selanjutnya, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern

Man (1968) berisi tentang krisis spiritual manusia modern, bagaimana manusia

memandang atau memperlakukan alam.16 Pemikiran Nasr yang dicetuskan pada

1960-an, tidak saja mempunyai relevansi bagi masyarakat Barat, tapi juga

negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia, yang waktu itu sedang mengambil

ancang-ancang untuk mencopot pembangunannya.

16
Ali Maksum, Tasawaf sebagai Pembebasan, h. 56.
23

Periode 70-an, nampaknya tema pemikiran Nasr masih merupakan

kelanjutan dekade 60-an. Namun, ada perkembangan baru yang menarik yaitu ia

mulai bicara tentang sufisme dan filsafat Islam. Tentang sufisme ia menulis Sufi

Essays (1972) berisi tentang tasauf dan akar sejarahnya, alternatif bagaimana

sufisme harus dan dapat dipraktekkan dalam kehidupan modern sekarang.17

Adapun buku Islam and the Plight of Modern Man (1976), merupakan

penjelasan lebih mendalam dari Man and Nature. Namun dalam buku ini, Nasr

lebih mempertajam kritiknya terhadap peradaban modern, serta masalah-masalah

yang dihadapi pemikir modernis Muslim. Sedang tentang sains Islam ada dua;

Islamic Science; An Illustrated Study (1976), dan Annoted Bibliography of

Science, ditulis sebagai tiga volume. Vol. I (1975), vol. II (1978), dan vol. III

(1991). Secara umum buku ini melancarkan penokalan tuduhan bahwa Islam

hanya mewarisi ilmu dan budaya dari bangsa-bangsa sebelumnya tanpa memiliki

orginalitas.

Sedangkan tentang filsafat, Nasr menulis S{adr al-Di>n Shira>zi and His

Transendent Theosophy (1978), dalam buku ini sekalipun sifatnya studi tokoh,

namun ia mampu memperlihatkan karakteristik filsafat yang dikembangkan oleh

filosof muslim yang selalu bersumber pada wahyu. Ia mengenalkan filasafat

Mulla> S}adra>, yang dalam pandangan Nasr, dianggap sebagai tokoh penyambung

filsafat Islam sepeninggal Ibn Rusyd. Buku ini sekaligus sebagai jawaban atas

tuduhan bahwa filsafat Islam telah berakhir sepeninggalan Ibn Rusyd.

17
Ali Maksum, Tasawaf sebagai Pembebasan h. 58
24

Periode 80-an, ada tiga tema menarik yang dikembangkan Nasr. Pertama,

tentang pemikiran Islam, Kedua, penjelasan terperinci tentang istilah “Islam

Tradisional”, dan ketiga, tentang peradaban. Pertama, ia menulis Islamic Life

and Thought (1981) buku ini berisi tentang pendekatan sejarah (historical

approach) dalam membahas konfrontasi Islam dengan Barat, kritikan dengan

pemikir modernis Islam yang kebaratbaratan seperti Jamaluddin al-Afghani,

Muhammad Abduh, Ahmad Khan, Amir Ali. Dalam pandangannya, tokoh-tokoh

ini adalah penyebar westernisasi dan sekularisme di dunia Islam. Dan pada

bagian lain berisi tentang analisa sebab-sebab kemunduran Islam karena

penghancuran tasauf dan tarekat sufi oleh gerakan-gerakan rasionalisme puritan,

seperti gerakan Wahabi di Arabia dan Ahli Hadis} di India.18

Penjelasan secara rinci tentang “Islam Tradisional” dan konfrontasinya

dengan dunia modern, Nasr menulis dalam dua buku: Knowledge and the Sacred

(1981), dan Tradisional Islam in the Modern World (1987). Dalam buku ini berisi

tentang apa itu Islam tradisional, dan bagaiman pertentangan dengan dunia

modern.

Adapun tentang seni Islam, Nasr menulis dua buku: Philoshophy,

Literature and Fine Art (1987); dan Islamic Art and Spirituality (1987). Dalam

buku ini berisi tentang seni dalam Islam berdasarkan gagasan tauhid, yang

menjadi inti dari wahyu Islam. Menurutnya seni merupakan “teologi yang diam”,

yang mencerminkan ke dalam kesadaran keagamaan seseorang, dan karenanya

bersifat abstrak.

18
Ali Maksum, Tasawaf sebagai Pembebasan, h. 62
25

Periode terakhir (90-an), karya terpenting adalah usaha untuk

mengadakan titik temu agama-agama. Ia menulis buku, Religion and Religions:

The Challenge of Living in a Multireligious World (1991), dan The Young

Muslim’s Guide to the Modern World (1994) buku ini berisi tentang warisan

pemikiran klsik Islam dan karakteristik dunia Modern.

Dari seluruh uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Nasr

secara garis besar berkisar pada bidang sains Islam, filsafat, sufisme, pemikiran

Islam dan krisis-krisis yang dialami dunia modern.


BAB III
KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA,
FILSAFAT DAN TASAUF

A. Pengertian Manusia

Diskursus tentang hakikat manusia sejak zaman peradaban Yunani

sampai saat ini tetap terus menarik untuk dibahas. Berbagai macam pendekatan

telah dilakukan dalam mengkaji hakikat manusia, mulai dari pendekatan filosofis

sampai pendekatan multi disipliner. Namun pembahasan tersebut tidak pernah

final karena terkait peran dan fungsi manusia sebagai subjek dan sekaligus objek

dalam kehidupan di dunia ini. Sebagai subjek, manusia selalu menjadi aktor

utama dalam setiap dimensi kehidupan, dan sebagai objek manusia merupakan

target dalam setiap aktivitas kehidupan yang pada akhirnya bermuara kepada

terwujudnya kebahagiaan hidup manusia itu sendiri.

Secara etimologi, kita dapat melacak arti kata untuk menemukan makna

literal manusia. Namun bila kita mencoba untuk menelaah lebih dalam mengenai

manusia maka kita tidak sekedar membicarakan manusia sebatas sebuah definisi

literal, melainkan dapat dipahami berkaitan dengan hakikatnya. Manusia adalah

makhluk yang multidimensional, makhluk yang paradoksal, dan makhluk yang

dinamis. Sehingga manusia dirumuskan sebagai an ethical being, en aesthetical

being a metaphysical being, a religious being.1

1
Albert, Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia Paradoksal dan Seruan (Yogyakarta:
Kanisius, 2006), h. 17.

26
27

Manusia telah didefinisikan dengan pelbagai cara. Aristoteles melihat

manusia sebagai hewan yang dapat berkata-kata dan juga sebagai hewan politik.

Adam Smith dan Karl Marx mendefinisikan manusia sebagai agen ekonomi

semata. Para kapitalis melihat manusia sebagai agen ekonomi yang tingkah

lakunya mementingkan keuntungan individu sementara para komunis

meniadakan institusi hak milik pribadi.

Driyarkara dalam bukunya, Filsafat Manusia, mengatakan bahwa manusia

adalah makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri. Bersama dengan itu,

manusia juga makhluk yang berada dan menghadapi alam kodrat. Dia

merupakan kesatuan dengan alam, tetapi juga berjarak dengannya. Dia bisa

memandangnya, bisa mempunyai pendapat-pendapat terhadapnya, bisa merubah

dan mengolahnya. Hewan juga berada dalam alam, tetapi tidak berhadapan

dengan alam, tidak mempunyai distansi. Perhatikan hewan, dia tidak bisa

memperbaiki alam, tidak bisa menyerang alam dengan teknik. Lebih lanjut

Driyarkara mengatakan bahwa manusia itu selalu hidup dan merubah dirinya

dalam arus situasi konkrit. Dia tidak hanya berubah dalam tetapi juga karena

dirubah oleh situasi itu. Namun, dalam perubahan itu, dia tetap menjadi dirinya

sendiri.2

Ilmu filsafat telah mencoba menjawab pertanyaan mendasar tentang

manusia itu, sehingga dapat dibayangkan betapa banyak rumusan pengertian

tentang manusia. Selain yang telah disebutkan di atas, beberapa rumusan

atau definisi lain tentang manusia adalah sebagai berikut: homo sapiens,

2
Driyarkara, Filsafat Manusia (Jakarta: Kanisius, 1969), h. 7
28

homo faber, homo economicus, dan homo religiosus. Dengan ungkapan yang

berbeda, manusia juga didefinisikan sebagai animal rationale, animal

symbolicum dan animal educandum.3

Banyaknya definisi tentang manusia, membuktikan bahwa

manusia adalah makhluk multi dimensional. Berdasarkan fakta tersebut, maka

ada yang mencoba membuat polarisasi pemikiran tentang manusia

sebagaimana akan terlihat pada uraian di bawah ini, yakni manusia dalam

perspektif agama, perspektif filsafat, dan perspektif tasauf.

B. Konsep Manusia dalam Perspektif Agama

Kata “manusia” dalam bahasa Indonesia mempunya beberapa padanan

kata dalam bahasa Arab, contohnya: insa>n, basyar, bani Adam, unas>i, dan na>s. Di

dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan penciptaan manusia pertama term yang

digunakan adalah basyar, yaitu:

‫َﺮا‬
‫ِﻖ ﺑﺸ‬
‫َﺎﻟ‬
‫ﱢﻲ ﺧ‬
‫ِ إﻧ‬
‫َﺔ‬
‫ِﻜ‬
‫َﺎﺋ‬
‫ْﻤﻠ‬
‫ِﻠ‬
‫َ ﻟ‬
‫َ رﺑﻚ‬
‫َﺎل‬
‫ْ ﻗ‬
‫إذ‬

‫ِﻦ‬
‫ِ ﻣ‬
‫ِﯿﻪ‬
‫ْﺖ ﻓ‬
‫ﻔﺨ‬
ََ
‫ُﻪ وﻧ‬
‫َا ﺳﻮﯾﺘ‬
‫َﺈذ‬
‫ ﻓ‬- ‫ِﲔ‬
‫ﻣﻦ ﻃ‬

‫ِﯾﻦ‬
َ ‫َﻪ ﺳﺎﺟﺪ‬
‫َﻌﻮا ﻟ‬
‫َﻘ‬
‫ِﻲ ﻓ‬
‫روﺣ‬

Artinya: “Ingatlah ketika rabbmu berfirman kepada Malaikat, bahwa

sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah aku

3
Driyarkara, Filsafat Manusia (Jakarta: Kanisius, 1969), h. 7
29

sempurnakan kejadiannya dan aku tiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka

hendaklah kamu (tersungkur dengan) bersujud kepadanya.” (QS. Shad: 71-72).

Manusia diciptakan membawa potensi dan sifat masing-masing. Ada

beberapa ayat yang memuji sikap manusia dan ada pula yang merendahkan

derajat manusia. Dalam pandangan Quraish Shihab, Allah telah merencanakan

agar manusia memikul tanggung jawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud

tersebut di samping tanah (jasmani) dan ruh Ilahi (akal dan ruhani), manusia juga

diberi anugerah berupa potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda

alam, pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan dan

kenikmatannya, maupun rayuan iblis dan akibat buruknya dan terakhir petunjuk

keagamaan.4

Penyebutan manusia dalam al-Qur`an dengan berbagai istilah tersebut

mempunyai maksud masing-masing. Misalnya basyar dikaitkan dengan

kedewasaan kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul

tanggungjawab.5 Penyebutan term insa>n digunakan al-Qur`an untuk menunjuk

kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang

berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan

kecerdasan. Sedangkan term bani Adam untuk menunjukkan bahwa manusia

adalah makhluk yang mempunyai kelebihan dan keistimewaan dari makhluk

lainnya. Keistemawaan itu meliputi fitrah keagamaan, peradaban, dan

4
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an (Bandung: Mizan, 1997), h. 282-283.
5
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, h. 278.
30

kemampuan memanfaatkan alam.6 Una>si digunakan dalam al-Qur`an dapat

dipahami bahwa term ini selalu dihubungkan dengan kelompok manusia, baik

sebagai suku bangsa, kelompok pelaku kriminal, maupun kelompok orang yang

baik dan buruk nanti di akhirat. Jika ini dikaitkan dengan manusia maka term

una>si ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk yang berkelompok, dan

ia selalu akan membentuk kelompoknya sesuai dengan ciri persamaan, seperti

biologis dan kebutuhan sosial lainnya. Sedangkan ungkapan na>s untuk

menunjukkan sifat universal manusia atau untuk menunjukkan spesies manusia.

Artinya ketika menyebut na>s berarti adanya pengakuan terhadap spesies di dunia

ini yaitu manusia.7

Ada beberapa kata atau istilah yang digunakan al-Quran untuk

menyebut manusia, yaitu insa>n, ins, na>s, una>s, basyar, Bani> A<<>dam, dan

Dzurriyyati A>dam. Kata ins dan insa>n meskipun berasal dari akar kata yang

sama tetapi dalam penggunaannya memiliki makna yang berbeda. Kata ins

digunakan untuk dihadapkan (berlawanan) dengan kata ji>n yang berarti

makhluk halus, atau dihadapkan dengan kata ja>n yang juga bermakna sama.

Penyebutan kata ins yang berlawanan dengan ji>n atau ja>n ini memberikan

konotasi bahwa kedua makhluk Allah ini memiliki dua unsur yang berbeda, yakni

manusia dapat diindera dan jin tidak dapat diindera, manusia tidak liar sedang jin

liar.8

6
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam; Studi tentang Elemen Psikologi dari al-
Qur`an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 90.
7
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, h. 86
8
Aflatun Mukhtar, Tunduk kepada Allah (Jakarta: Paramadina, 2001), h.106-107.
31

Kata insa>n dijumpai dalam al-Quran sebanyak 65 kali. Penekanan kata

insa>n ini adalah lebih mengacu pada peningkatan manusia ke derajat yang

dapat memberinya potensi dan kemampuan untuk memangku jabatan khalifah

dan memikul tanggung jawab dan amanat manusia di muka bumi, karena

sebagai khalifah manusia dibekali dengan berbagai potensi seperti ilmu,

persepsi, akal, dan nurani. Dengan potensi-potensi ini manusia siap dan

mampu menghadapi segala permasalahan sekaligus mengantisipasinya. Di

samping itu, manusia juga dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai

makhluk yang mulia dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari

makhluk lain dengan berbekal potensi-potensi tadi.9 Dengan demikian, kata

insa>n digunakan al-Quran untuk menyebut manusia dengan segala

totalitasnya, jiwa dan raganya. Manusia dapat diidentifikasi perbedaannya,

seseorang dengan lainnya, akibat perbedaan fisik, mental, kecerdasan, dan sifat-

sifat yang dimiliknya.

Kata na>s merupakan bentuk jamak dari kata insa>n yang tentu saja

memiliki makna yang sama. Al-Quran menyebutkan kata na>s sebanyak 240 kali.

Penyebutan manusia dengan na>s lebih menonjolkan bahwa manusia merupakan

makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan dan bersama-sama manusia

lainnya. Al-Quran menginformasikan bahwa penciptaan manusia menjadi

berbagai suku dan bangsa bertujuan untuk bergaul dan berhubungan antar

sesamanya (QS. al-H{ujura>t: 13), saling membantu dalam melaksanakan

kebajikan (QS. al-Maidah: 2), saling menasihati agar selalu dalam kebenaran dan

9
Aflatun Mukhtar, Tunduk kepada Allah, h.106-107.
32

kesabaran (QS. al-‘As}r: 3), dan menanamkan kesadaran bahwa kebahagiaan

manusia hanya mungkin terwujud bila mereka mampu membina hubungan

antar sesamanya (QS. A>li Imran: 112).

Kata basyar secara etimologis berasal dari kata ba’, syin, dan ra’ yang

berarti sesuatu yang tampak baik dan indah, bergembira, menggembirakan,

menguliti atau mengupas (buah), atau memperhatikan dan mengurus suatu.

Menurut al-Ra>ghib al-Ashfahani, manusia disebut basyar karena manusia

memiliki kulit yang permukaannya ditumbuhi rambut dan berbeda dengan

kulit hewan yang ditumbuhi bulu. Kata ini dalam al-Quran digunakan dalam

makna yang khusus untuk menggambarkan sosok tubuh lahiriah manusia.10

Kata basyar digunakan al-Quran untuk menyebut manusia dari sudut

lahiriah serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Kata basyar juga

selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis manusia, seperti asalnya dari

tanah, yang selanjutnya dari sperma dan berkembang menjadi manusia utuh (QS.

al-Mu’minu>n: 12-14), manusia makan dan minum (QS. al-Mu’minu>n: 33; QS. al-

Furqa>n: 20), dan seterusnya. Karena itulah Nabi Muhammad Saw.

diperintahkan untuk menyampaikan bahwa beliau sama seperti manusia lainnya,

yang membedakannya hanyalah beliau diberi wahyu. Kata basyar ini disebutkan

al-Quran sebanyak 36 kali.11 Allah Swt. berfirman:

‫َﻲ‬
‫ُﻢ ﯾﻮﺣﻰ إﻟ‬
‫ُﻜ‬
‫ْﻠ‬
‫َﺮ ﻣﺜ‬
‫َﺎ ﺑﺸ‬
‫َﻧ‬
‫ﱠﻤﺎ أ‬
‫ْ إﻧ‬
‫ُﻞ‬
‫ﻗ‬

10
Aflatun Mukhtar, Tunduk kepada Allah, h.101.
11
Quraish Shihab, Logika Agama (Jakarta: Lentera Hati, 1996), h. 279.
33

‫َ ﯾﺮﺟﻮ‬
‫َﺎن‬
‫َﻤﻦ ﻛ‬
‫ِﺪ ۖ ﻓ‬
‫ٰﻪ واﺣ‬
‫ُﻢ إﻟ‬
َ ‫ٰﻬﻜ‬
‫ﱠﻤﺎ إﻟ‬
َ ‫َﻧ‬
‫أ‬

‫َﺎ‬
‫ِﺤﺎ وﻟ‬
‫ًﺎ ﺻﺎﻟ‬
‫ْ ﻋﻤﻠ‬
‫ْﯿﻌﻤﻞ‬
‫َﻠ‬
‫ِ ﻓ‬
‫َ رﺑﻪ‬
‫َﺎء‬
‫ِﻘ‬
‫ﻟ‬

‫َﺣﺪا‬
‫ِ أ‬
‫ِ رﺑﻪ‬
‫ِﺒﺎدة‬
‫ْ ﺑﻌ‬
‫ْﺮك‬
‫ﯾﺸ‬

Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang

diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan

yang Esa". (QS. al-Kahfi: 110)

Adapun kata banu> atau Bani> A>dam atau Dzurriyya>t A>dam maksudnya

adalah anak cucu atau keturunan Adam. Kedua istilah itu digunakan untuk

menyebut manusia karena dikaitkan dengan kata Adam, yakni sebagai

bapak manusia atau manusia pertama yang diciptakan Allah dan

mendapatkan penghormatan dari makhluk lainnya selain iblis (QS. al-

Baqarah: 34). Secara umum kedua istilah ini menunjukkan arti keturunan yang

berasal dari Adam, atau dengan kata lain bahwa secara historis asal usul

manusia adalah satu, yakni dari Nabi Adam.12 Dengan demikian, kata Bani>

A>dam atau Dzurriyya>t A>dam digunakan untuk menyebut manusia dalam konteks

historis.

Karena pentingnya pembahasan mengenai manusia kelompok sufipun

juga menulusuri mengenai manusia itu sendiri. Dalam pandangan sufi ada istilah

yang penting dan menjadi kunci dalam kajiannya, yaitu insa>n ka>mil. Namun

12
Aflatun Mukhtar, Tunduk kepada Allah, h. 109.
34

dalam al-Qur`an, tidak pernah disinggung mengenai insa>n ka>mil secara pasti,

tidak ada ayat yang menyatakan mengenai insa>n ka>mil, yang ada adalah ayat

mengenai manusia yang diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan

manusia yang mempunyai sifat yang keluh kesah, namun ia bisa dibisa menjadi

baik. Ayat yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam sebaik-baiknya

bentuk adalah:

‫ْﻮﱘ‬
‫َﻘ‬
‫َﺣﺴﻦ ﺗ‬
‫ِﻲ أ‬
‫َ ﻓ‬
‫ْﺴﺎن‬
‫ْﺈﻧ‬
‫َﺎ اﻟ‬
‫ْﻨ‬
‫َﻘ‬
‫َﻠ‬
‫َﺪ ﺧ‬
‫َﻘ‬
‫ﻟ‬

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang

sebaik-baiknya. (QS. al-Tîn: 4)

Ayat di atas adalah salah satu ayat yang dijadikan sebagai isyarat

mengenai kesempurnaan manusia dari segi fisik. Kesempurnaan yang demikian

membuat manusia menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk, yaitu

menjadi khalifah di muka bumi.13 Kendati manusia memiliki potensi

kesempurnaan sebagai gambaran dari kesempurnaan citra ilahi, tetapi kemudian,

ketika ia terjauh dari prototipe ketuhanan, maka kesempurnaan itu semakin

berkurang. Untuk itu, jalan satu-satunya mencapai kesempurnaan itu ialah

kembali kepada Tuhan dengan iman dan amal saleh. Jika manusia tidak bisa

mempertahankan bentuknya, maka ia juga bisa jatuh kedalam kehinaan. Dengan

ungkapan lain manusia bisa seperti malaikat dan bisa pula jelek seperti manusia.

Dari semua penjelasan diatas maka dapat dipahami bahwa manusia

13
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 2
35

merupakan makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifahnya di bumi, serta makhluk

yang di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan dan keesaan-Nya,

memiliki kebebasan, terpercaya, memiliki rasa tanggung jawab, juga dibekali

dengan kecenderungan ke arah kebaikan dan kejahatan.

C. Konsep Manusia dalam Perspektif Filsafat

Pemikiran filsafat masuk ke dalam dunia Islam melalui filsafat Yunani.

Kalangan filsuf Islam yang tertarik pada filsafat Yunani adalah al-Fa>ra>bi>.

Namun, kenyataannya al-Kindi> lah yang telah membuka pintu filsafat Yunani

bagi dunia Islam, tetapi ia tidak menciptakan sistem filsafat tertentu. Sebaliknya,

al-Fa>ra>bi> dapat menciptakan sistem filsafat yang lengkap dan telah memainkan

peranan penting dalam dunia Islam.

Menurut al-Fa>ra>bi> manusia adalah makhluk terakhir dan termulia yang

lahir di atas bumi ini. Ia terdiri atas dua unsur, yaitu jasad dan jiwa. Jasad berasal

dari alam ciptaan dan jiwa berasal dari alam perintah. Berdasarkan perbedaan

asal antara jiwa dan badan, jelaslah bahwa jiwa merupakan unsur yang lebih

penting dan lebih berperan daripada jasad, sehingga al-Fa>ra>bi>, seperti halnya

filsuf Yunani, lebih banyak perhatiannya dalam membahas hal-hal yang berkaitan

dengan jiwa, yang dianggap sebagai hakikat manusia.14 Menurut al-Fa>ra>bi>,

kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan accident. Ini berarti

14
Uci Sanusi dan Rudi Ahmad Suryadi, Kenali Dirimu (Yogyakarta: Deepublish, 2015),
h. 15.
36

keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan tidak esensial sehingga

binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa.15

Sebagaimana al-Fa>ra>bi>, Ibn Si>na juga menyatakan bahwa manusia terdiri

atas unsur jiwa dan jasad. Jasad dengan segala kelengkapannya yang ada

merupakan alat bagi jiwa untuk melakukan aktivitas. Jasad selalu berubah,

berganti, bertambah, dan berkurang sehingga ia mengalami kefanaan setelah

berpisah dengan jiwa. Dengan demikian, hakikat manusia adalah jiwanya dan

perhatian para filsuf Islam dalam membahas manusia lebih terfokus pada jiwanya

daripada jasadnya.16

Ibn Rusyd juga tidak kalah komentar dalam tema tentang manusia. Dalam

pandangannya tentang manusia, ia dipengaruhi oleh teori Aristoteles. Sebagai

bagian dari alam, manusia terdiri dari dua unsur materi dan forma. Jasad adalah

materi dan jiwa adalah forma. Seperti halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd membuat

definisi jiwa sebagai “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis.” Jiwa

disebut sebagai kesempurnaan awal untuk membedakan dengan kesempurnaan

lain yang merupakan pelengkap darinya, seperti yang terdapat pada berbagai

perbuatan. Sedangkan disebut organis untuk menunjukan kepada jisim yang

terdiri dari anggota-anggota.17

Adapun manusia menurut al-Fa>ru>qi> merupakan makhluk yang mampu

mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak tuhan dan menjadi sejarah. Ia

15
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda Karya,
2003), h. 10-11.
16
Adelbert Snijders, Kebenaran Sebuah Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius,
2006), h. 53.
17
Albert, Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia Paradoksal dan Seruan, h. 52.
37

merupakan makhluk kosmis yang amat penting, karena dilengkapi dengan semua

pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan.18

Berkenaan dengan syarat tersebut, manusia merupakan makhluk yang

mempunyai kesatuan jiwa raga dalam hubungan dengan dunia dan sesamanya.

Dalam kesatuan tersebut, ada unsur jasmani yang membuat manusia sama

dengan dunia luar dirinya.

Manusia menurut Ali Syari’ati adalah gabungan dari lumpur dan roh

Allah, manusia adalah zat yang berdimensi, makhluk yang bersifat ganda,

berbeda dengan makhluk Allah yang unidimensional. Dimensi yang satu

cenderung kepada susunan lumpur yang bersifat rendah, stagnan dan

immobilitas. Dimensi yang lain, berasal dari roh Allah, sebagaimana al-Qur’an

menyebutkan asal-muasal tersebut, dimensi ini cenderung untuk meningkat dan

berjalan kepuncak yang setinggi-tingginya yang dapat diraih yaitu menuju

kepada-Nya bukan bersatu dengan Tuhan.19

Hal yang sama juga disampaikan oleh Muh}ammad Ba>qir al-S{adr yang

membagi manusia menjadi dua sisi, yaitu sisi spritual dan sisi material. Sisi

materialnya tersusun dari komposisi organik, sedangkan sisi spiritualnya atau

nonmaterial yang merupakan pentas aktivitas pemikiran dan mental. Manusia

tidak hanya berwujud kumpulan dari materi yang sangat kompleks, tetapi

personalitasnya terdiri dari materi dan nonmaterial yang jamak disebut dualitas.

S{adr mengatakan cukup sulit untuk mengetahui hubungan antara dua komponen

18
Ismail Raji al-Faruqi, Islam dan Kebudayaan (Bandung: Mizan, 1984), h. 37.
19
Ali Syari‟ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, (Yogyakarta:
Ananda, 1982), h. 90.
38

manusia tersebut. Ada pendapat yang menjelaskan hubungan antara keduanya

sangat erat, dan saling mempengaruhi diantara keduanya. Apabila seseorang

melihat pocong dalam kegelapan, maka gemetarlah seseorang tersebut, apabila

seseorang berfikir, maka terjadilah suatu aktifitas tertentu. Ini akibat pengaruh

jiwa (nonmateri). Apabila usia ketuaan secara perlahan sudah merayapi tubuh,

lemahlah segala aktifitas mental, atau jika seseorang pemabuk sedang tenggelam

dalam minumannya, ia akan melihat benda sebagai dua benda yang sama. Akibat

dari pengaruh jiwa terhadap tubuh.

Sadr sependapat dengan filosof muslim S{adr al-Muta’allihin asy-Syirazi

tentang hubungan antara nonmaterial dan material. Filosof ini telah menemukan

gerak substansial dalam jantung alam. Gerak ini sebagai sumber primer dari

setiap gerak yang dapat ditangkap oleh segala indera yang terjadi di alam raya,

termasuk manusia. Materi dalam gerakan substansialnya berusaha untuk

menyempurnakan wujudnya dan terus-menerus berusaha melepaskan wujud

materialitasnya dengan syarat-syarat tertentu menjadi wujud yang nonmaterial,

yaitu wujud spiritual. Jadi, antara keduanya tidak ada dinding pemisah, tetapi

keduanya sebagai dua wujud keberadaan yang berbeda. Meskipun ia non

material, ia tetap memiliki hubungan material, karena yang nonmaterial tersebut

adalah maqam tertinggi dari riyadhah materi dalam gerak penyempurnaanya

yang substansial. Jembatan yang baik ini sebagai temuan yang apik dalam

hubungan antara materi dan nonmateri dari filosof diatas. S{adr menambahkan

bahwa jiwa itu sendiri tidak lain adalah imaji material yang menjadi tinggi

karena gerak substansial. Perbedaan antara sisi spritualitas dan materialitas


39

hanya terletak pada perbedaan derajat saja, seperti panas yang tinggi dengan

panas yang rendah. Tidak boleh juga beranggapan bahwa jiwa adalah produk

materi dan menjadi salah satu efeknya. Namun, sebenarnya adalah produk gerak

substansial yang bukan produk dari materi itu sendiri. Sebab, setiap gerak berasal

dari munculnya sesuatu dari potensialitas ke aktualitas secara berangsur-angsur.

Potensialitas tidak dapat menciptakan aktualitas dan kemungkinan tidak dapat

menciptakan keberadaan. Jadi, gerak substansial memiliki sebab diluar materi

yang bergerak. Ruh yang merupakan sisi non material manusia adalah produk

gerak tersebut. Adapun gerak ini sendiri adalah jembatan antara materialitas dan

spritualitas.20

Sedangkan Mut}ahhari> memandang manusia sebagai makhluk yang terdiri

dari apa yang ada pada malaikat dan apa yang ada di hewan.21 Dengan demikian,

dalam diri manusia terdapat unsur yang tidak dimiliki malaikat yaitu unsur

kehewanan meliputi nafsu, amarah dan lainnya dan juga terdapat unsur yang

tidak dimiliki hewan seperti akal dan lainnya. Jika melihat unsur-unsur tersebut,

sesungguhnya manusia memang diciptakan untuk diuji, karena unsur-unsur

tersebut yang mendorong lahirnya serangkaian potensi. Hal itulah yang

menjadikan manusia sebagai makhluk yang unik dan mempunyai keunggulan

melebihi makhluk lain.

20
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Filsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr
Terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M. Nur Mufid bin Ali (Bandung: Mizan, 1995), h.
270-272.
21
Murtadla> Muthahhari>, Manusia Seutuhnya: Studi Kritis berbagai Pandangan Filosofis,
terj. ʻAbdillâh Ḥâmid Baʻabud (Jakarta: Sadra Institute, 2012), h. 27.
40

Manusia merupakan makhluk yang diilhami kebaikan dan keburukan

kedalam jiwanya.22 Sehingga dengan itu manusia mampu memahami kebaikan

dan keburukan. Karena kebaikan dan keburukan memang sudah tertanam dalam

diri manusia, maka meskipun tanpa belajar atau tanpa guru manusia sebenarnya

sudah mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan.

Selain itu ia memposisikan manusia sebagai makhluk yang dalam dirinya

terdapat segumpalan potensi-potensi yang memang khas. Karena potensi-potensi

tersebut adalah suatu hal yang khas, maka makhluk selainnya tidak mempunyai

potensi-potensi sebagaimana manusia miliki. Di sinilah nilai lebih manusia

dibandingkan dengan makhluk lain, yaitu memiliki potensi yang tidak dimiliki

makhluk lain.

Sedangkan menurut Gus Dur, manusia adalah satu-satunya makhluk yang

mempunyai kesempurnaan keadaan yang paling tinggi dalam setiap ciptaan

Tuhan. Ia adalah makhluk yang dilengkapi akal, perasaan dan keterampilan untuk

mengembangkan diri. Segala kelengkapan itu tidak dimiliki makhluk lainnya.23

Demikianlah manusia lebih unggul dari makhluk lainnya.

Ditinjau dari aspek ini, sesungguhnya seluruh manusia memiliki

kedudukan yang tinggi dalam tatanan kosmologi sehingga setiap individu harus

memperoleh perlakuan dan hak-hak dasar yang sama.24 Karena posisi manusia

yang tinggi itu menuntut pula penghargaan kepada nilai-nilai dasar kehidupan

22
Murtadla> Muthahhari>, Islam dan Tantangan Zaman: Rasionalitas Islam dalam Dialog
Teks yang Pasti dan Konteks yang Berubah, terj. Ahmad Sobandi (Jakarta: Pustaka Hidayah,
2011), h. 321.
23
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan (Jakarta: The Wahid Institut, 2007), h. 30.
24
Samsul Bakri dan Udhofir, Jombang-Kairo, Jombang Chicago: Sintesis Pemikiran Gus
Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan Islam di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2004), h. 49.
41

manusia yang sesuai dengan martabatnya. Hal itu menuntut agar manusia

dipandang sebagai manusia.

Hak-hak dasar itu tidak lain ialah nilai-nilai dasar manusia. Nilai-nilai

dasar manusia merupakan dimensi-dimensi kemanusiaan yang memang sudah

melekat dalam diri manusia sejak lahir. Adapun dimensi-dimensi yang dimaksud

ialah dimensi materi, keyakinan, moralitas, kepemilikan, kreativitas25 dan

rasionalitasnya. 26

D. Konsep Manusia dalam Perspektif Tasauf

Manusia adalah makhluk paling sempurna, manusia merupakan hasil akhir

dari proses evolusi penciptaan alam semesta. Manusia adalah makhluk dua

dimensi, di satu pihak terbuat dari tanah (t{i>n) yang menjadikannya makhluk fisik,

di pihak lain manusia juga makhluk spiritual karena ditiupkan kedalam dirinya

roh yang berasal dari Tuhan. Dengan demikian, manusia menduduki posisi yang

unik antara alam semesta dan Tuhan, yang memungkinkannya berkomunikasi

dengan keduanya.27 Hubungan manusia tidak terbatas hanya dengan sesama

manusia, atau dengan alam semesta, tetapi manusia dapat berkomunikasi dengan

Allah Swt. untuk mengadukan nasibnya serta mengabdikan hidup sepenuhnya

kepada Allah Swt.

Berbicara tentang manusia, Suhra>wardi> memiliki pandangan tersendiri,

sebagaimana disebutkannya bahwa manusia tidak diciptakan secara langsung


25
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (Depok: Desantara,
2001), h. 180.
26
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 8-11.
27
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia
(Jakarta: Erlangga, 2007), h. 12.
42

oleh Allah Swt, karena Allah Swt sebagai al-Nu>r al-Anwa>r, hanya memunculkan

satu makhluk saja secara langsung, yakni Nu>r al-Aqrab (cahaya terdekat).

Suhra>wardi> berkata yang muncul pertama kali dari-Nya adalah cahaya murni

tunggal, yaitu cahaya terdekat dan cahaya teragung. Ia menambahkan bahwa

tidak ada satu yang muncul dari cahaya Maha Cahaya (Allah Swt.) selain cahaya

terdekat. Dengan demikian, manusia tidak berasal dari Allah Swt secara

langsung, dan manusia bukan ciptaan pertama Allah Swt. Sebab Allah Swt.,

hanya memunculkan Nu>r al-Aqrab secara langsung.28 Hal ini dikarenakan

manusia memiliki fisik, dan fisik manusia berasal dari kegelapan, bukan cahaya.

Jasad manusia pada awalnya diciptakan dari tanah, baru kemudian ditiupkan roh,

yang menjadikan manusia dapat menikmati kehidupannya. Kegelapan tidak

mungkin dipancarkan oleh Cahaya Maha Cahaya secara langsung, karena alasan

itu al-Nu>r al-Anwa>r tidak memunculkan manusia secara langsung, namun

memunculkan manusia dengan perantara.29

Hanya manusia, makhluk yang memiliki jiwa rasional. Jiwa rasional ini

memungkinkan manusia mampu mengambil premis-premis rasional yang berguna

untuk membimbing, mengatur, dan menguasai daya-daya dari jiwa-jiwa yang

lebih rendah. Dengan demikian, manusia merupakan inti dari alam semesta, dan

tidak heran kaum bijak menyebut manusia sebagai mikrokosmos karena

mengandung semua unsur yang terdapat dalam makrokosmos (alam semesta).30

28
Ja’far, Manusia Menurut Suhrawardi al-Maqtul, (Banda Aceh: Yayasan PeNa, 2011),
h. 172-173.
29
Ja’far, Manusia Menurut Suhrawardi al-Maqtul, h. 173.
30
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan
Manusia, h. 13.
43

Manusia menempati posisi yang istimewa karena manusia dikaruniai roh oleh

Allah Swt. yang menjadikan manusia memiliki dua dimensi yang membentuk

sebuah entitas diri (al-nafs).31

Melanjutkan pembahasan Suhrȃwardȋ tentang penciptaan manusia, maka

setelah al-Nu>r al-Anwa>r (Allah Swt.) memunculkan Nu>r al-Aqrab secara

langsung, maka Nu>r al-Aqrab memainkan peran sebagai penghasil cahaya-cahaya

lain. Karena Nu>r al-Aqrab memiliki kemandirian eksistensi sebagai anugerah dari

Ilahi, dan Nu>r al-Aqrab.

Menyaksikan kemuliaan dan keagungan-Nya, maka Nu>r al-Aqrab

memiliki kemampuan memunculkan cahaya abstrak lain.32 Nu>r al-Aqrab

memunculkan cahaya abstrak yang kedua, cahaya abstrak kedua memunculkan

cahaya abstrak ketiga, cahaya abstrak ketiga memunculkan cahaya abstrak

keempat,33 begitu seterusnya hingga cahaya terakhir telah melemah, tidak dapat

memancarkan cahaya lagi karena telah jauh dari sumber cahaya. Tiap-tiap cahaya

abstrak memunculkan cahaya abstrak lain, selanjutnya membentuk tatanan

vertikal dari cahaya paling tinggi menuju cahaya paling rendah. Setiap cahaya

abstrak ini menghasilkan alam fisik masing-masing.34 Setiap alam fisik memiliki

cahaya pengantur, cahaya-cahaya pengantur ini dikenal sebagai cahaya agung.

Cahaya-cahaya pengatur ini berperan sebagai pengatur makhluk-makhluk alam

fisik, dan setiap spesies memiliki cahaya pengatur masing-masing.

31
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius, h. 14.
32
Ja’far, Manusia Menurut Suhrawardi al-Maqtul, h. 174.
33
Ja’far, Manusia Menurut Suhrawardi al-Maqtul, h. 175.
34
Ja’far, Manusia Menurut Suhrawardi al-Maqtul, h. 177.
44

Sedangkan menurut Ru>mi>, ia mengatakan bahwa dalam hakikatnya

manusia, (bukan fisiknya) adalah makrokosmos. Kita adalah alam lain yang lebih

besar dari alam ini. Sebagaimana perkataannya Imam Ali, "Apakah kalian

mengira kalian, hanya tubuh kecil ini, padahal kalian adalah alam yang sangat

besar." Aneh memang manusia itu lebih banyak meneliti hal-hal diluar dirinya

sedangkan hakikat dirinya sendiri tidak pernah diteliti, tidak pernah mencoba

meneropong kedalam jiwanya. Selanjutnya Ru>mi> menjelaskan lebih jauh dengan

sebuah perumpamaan :

"Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah padahal ranting


itu tumbuh justru demi buah."35

Beliau umpamakan bahwa manusia itu ibarat buah, dan buah merupakan

hasil akhir dan harapan petani penanam buah. Sedangkan alam ibarat ranting,

ranting tercipta demi buah, ranting hanyalah sebagai wasilah untuk tumbuhnya

buah. Jadi yang paling penting itu adalah buahnya bukan ranting atau pun pohon.

Sebagaimana sering disebutkan dalam al-Quran bahwa alam diciptakan

merupakan tanda dari kasih sayang Allah akan manusia. Agar manusia bisa

memanfaatkannya untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Allah. Jadi inti dari

itu semua adalah alam diciptakan untuk manusia, yang harus dijadikan sebagai

perantara untuk mencapai ridha Allah.36

Tapi sayang berapa banyak dari manusia ini yang menjadikan alam,

materi, kekayaan sebagai tujuan bukannya sebagai perantara penghantar kepada

35
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 72-
73.
36
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 74
45

Tuhan. Dan akibat dari itu adalah penyimpangan dan keserakahan untuk

mendapatkan kekayaan dengan menggunakan segala cara. Kita terkadang

melebihi binatang untuk mendapatkan hal yang kita inginkan. Kita banyak

melakukan penyelewengan dalam menggunakan alam. Yang semestinya kita

gunakan untuk kemajuan kemanusiaan kita malah menghancurkan nilai-nilai

kemanusiaan demi menguasai alam. Sebagaimana Allah berfirman, "Apabila

kami berikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan darinya

(tidak berterima kasih) tapi apabila ia tertimpa kejahatan, ia (berdoa) dengan doa

yang panjang."

Tubuh kita hanyalah perantara, karena kita hidup di alam fisik, alam yang

senantiasa bebenturan dengan materi, Ru>mi> melanjutkan: "Kalau bukan

mengharap dan menginginkan tubuh betapa pekebun itu akan menanam pohon."37

37
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 75
BAB IV

KONSEP MANUSIA SEYYED HOSSEIN NASR

Persoalan manusia merupakan topik yang selalu menarik dan muncul

dalam kajian filsafat, mulai dari asal-usulnya, tugas pokok dan fungsinya di

dunia, dan lain-lain. Hal ini menjadi pendorong bagi aliran-aliran filsafat dalam

memberikan pandangannya berdasarkan genealogi dan perspektif masing-masing.

Seyyed Hossein Nasr termasuk di antara filsuf yang membahas secara

mendalam perihal manusia melalui filsafat perennialismenya. Dalam filsafat

perenialnya, Nasr secara radikal berusaha mengungkapkan berbagai objek kajian

melalui suatu perspektif yang ia sebut tradisional. Tradisional di sini dalam

artian bahwa Nasr berusaha menjelaskan pandangannya dengan berlandaskan

pada nash yang dalam bahasa Inggris disebut tradition. Nasr, bersama para

penganut perspektif tradisionalisme, meyakini bahwa pada dasarnya semua

penjelasan mengenai hakikat manusia telah tertuang dalam teks-teks keagamaan.

Tetapi karena teks-teks itu cenderung diabaikan oleh manusia, jadilah ia terkesan

seolah tersembunyi, apalagi sekarang di tengah modernisme yang cenderung

meninggalkan spiritualitas.1

Nasr dengan pendekatan tradisionalnya berusaha menjelaskan hakikat

manusia dengan memberikan kritik terhadap ideologi dunia modern yang

sekarang sedang melingkupi kehidupan umat manusia. Menurutnya, ideologi

dunia modern telah menjauhkan manusia dari pusat eksistensinya yang menurut
1
Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat
Perennial (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 5.

46
47

Nasr adalah spiritualitas, sehingga manusia semakin jauh dari esensinya serta

melupakan kedudukan dan fungsinya di muka bumi.

“Apabila dua dasawarsa yang lampau setiap orang berbicara


mengenai kemungkinan yang tak terbatas bagi manusia untuk
berkembang secara lahiriah dan materialistis, maka pada masa
kini setiap orang berbicara mengenai “batas-batas pertumbuhan”
– sebuah ungkapan yang pada saat ini sedang populer di Barat –
atau bahkan mengenai bencana yang segera akan menimpa umat
manusia. Tetapi konsep-konsep serta faktor-faktor yang
dipergunakan untuk menganalisa krisis yang dihadapi manusia
modern ini, pemecahan-pemecahan yang dicari, dan bahkan
warna-warna untuk melukiskan bencana yang akan menimpa
umat manusia itu biasanya berdasarkan unsur-unsur yang telah
menciptakan krisis itu juga. Kehidupan di dunia ini tampaknya
masih tidak memiliki horizon spiritual. Hal ini bukan karena
horizon spiritual ini tidak ada, tetapi karena yang menyaksikan
panorama kehidupan kontemporer ini seringkali adalah manusia
yang hidup di pinggiran lingkaran eksistensi, sehingga ia hanya
dapat menyaksikan segala sesuatu dari sudut pandangannya
sendiri. Ia senantiasa tidak peduli dengan jari-jari lingkaran
eksistensi dan sama sekali lupa dengan sumbu maupun pusat
lingkaran eksistensi yang dapat dicapai melalui jari-jari
tersebut.”2

Laju ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat serta manfaat

yang ditimbulkannya menyebabkan manusia berbangga diri dan melepaskan diri

dari kontrol nilai-nilai religius-spiritual. Manusia modern merasa menjadi pusat

kemajuan dan ilmu pengetahuan menggantikan posisi agama. Namun lama

kelamaan didapati bahwa ternyata ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki

manusia mengkhianati manusia itu sendiri, aplikasi ilmu pengetahuan tanpa

2
Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin
(Bandung: Pustaka, 1983), h. 4.
48

kontrol agama justru sering berujung bencana, sehingga manusia modern

mengalami apa yang diebut dengan krisis epistemologis, mereka kehilangan

makna dan tujuan hidup (meaning and purpose of life/sangkan paraning dumadi).

Kondisi di atas diperparah dengan kecenderungan merumuskan berbagai

masalah dalam kehidupan manusia kepada perubahan-perubahan fisik yang

biasanya tidak menyentuh aspek batin bahkan seringkali bertentangan, serta

bersifat temporal. Dimensi metafisik dari ilmu pengetahuan menjadi hilang

karena yang dikembangkan hanyalah ilmu yang bersifat praktis dan dapat diukur

dalam kerangka ilmiah yang diciptakan berdasarkan kebutuhan praktis manusia

dengan mengabaikan aspek moralitas dan nilai.3 Tentang hal di atas, Nasr

mengemukakan:

“Perbenturan di antara penemuan-penemuan beserta manipulasi-


manipulasi umat manusia di dalam bentuk teknologi dengan kultur
mereka, maupun efek yang mengerikan serta menghancurkan
lingkungan dari aplikasi pengetahuan yang diperoleh mereka sudah
sedemikian dahsyatnya, sehingga banyak pihak di dunia modern ini,
terutama sekali Barat, akhirnya mulai mempertanyakan validitas
konsep manusia yang diyakini Barat sejak kebangkitan dunia modern.
Tetapi walaupun adanya kesadaran untuk membahas masalah yang
sedemikian besar ini dengan cara yang berarti dan konstruktif, terlebih
dahulu kita harus menyingkirkan hal-hal yang biasanya menghalangi
pembahasan terhadap masalah-masalah yang paling pokok. Manusia
modern telah membakar tangannya dengan api yang telah
dinyalakannya karena ia telah lupa siapa ia sesungguhnya. Seperti yang
dilakukan Faust, setelah menjual jiwanya untuk memperoleh kekuasaan
terhadap alam lingkungan manusia, ia menciptakan suatu situasi di
mana kontrol terhadap lingkungan berubah menjadi pencekikan
terhadap lingkungan, yang selanjutnya tidak hanya berubah menjadi

3
Nur Said, Kritik Tradisionalisme Islam terhadap Krisis Dunia Modern (Studi atas
Pemikiran Seyyed Hossein Nasr), An-Nur, Vol. I, No. 2, Februari 2005, h. 3-4.
49

kehancuran ekonomi tetapi juga menjadi perbuatan bunuh diri.”4

Peradaban modern yang di bangun oleh manusia selama ini tidak

menyertakan hal paling esensial dalam kehidupan manusia, yaitu dimensi

spiritual, seolah dunia ini tidak memiliki sisi transendental (ketuhanan).

Dalam kondisi seperti inilah, tradisionalisme Islam yang digagas Nasr

berusaha mengaktualisasikan kembali nilai-nilai tradisional, termasuk yang

terkait dengan hakikat manusia.

A. Hakikat Manusia

Sesuai dengan ide Tradisionalisme Islam yang dibawanya, Nasr selalu

mengaitkan setiap pembahasannya dengan teks-teks Alquran dan Hadits.

Manusia menurut Nasr didefinisikan dalam hubungannya dengan Tuhan,

tanggung jawab dan hak-hak manusia dirumuskan dari hubungan tersebut. Form

atau bentuk manusia merupakan refleksi dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Tuhan.

Refleksi Sifat Tuhan dalam diri manusia ini sebagaimana cermin yang

merefleksikan cahaya matahari.5

Nasr berpijak pada term penciptaan manusia dalam Al-Qur’an, di mana

dijelaskan bahwa pada mulanya manusia diciptakan dari tanah liat, dan kemudian

Allah meniupkan Ruh-Nya ke dalamnya sebagaimana dalam Surah al-Hijr ayat

28-29:

4
Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, h. 3-4.
5
Seyyed Hossein Nasr, Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, terj. Nurasiah
Fakih Sutan Harahap (Bandung: Mizan, 2003), h. 336.
50

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para

malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat

kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku

telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh

(ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”

Pengaruh sufisme Ibnu ‘Arabi tampak jelas dalam pemikiran Nasr, ia

menegaskan bahwa menurut Islam, tujuan kemunculan manusia di dunia adalah

untuk memperoleh pengetahuan total tentang benda, untuk menjadi Manusia

Universal (al-Insa>n al-Ka>mil), yaitu cermin yang memantulkan semua Nama dan

Sifat Allah. Bagi Tuhan, maksud dan tujuan penciptaan manusia adalah untuk

“mengetahui” diri-Nya melalui instrumen pengetahuan-Nya yang sempurna,

yakni Manusia Universal.6 Dalam membahas kejadian manusia, Nasr

membandingkan konsep Islam dan agama-agama lain terutama Kristen dan

Yahudi. Nasr menyimpulkan adanya kesamaan konsep dalam setiap agama dan

tradisi tentang kejadian manusia terutama dalam hal adanya aspek Ketuhanan

dalam diri manusia, sesuatu yang merupakan pancaran dunia spiritual.

6
Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, terj. Ali Noer Zaman
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h. 115-116.
51

“Kejadian manusia, menurut semua tradisi, terjadi dalam banyak


tahap: pertama, dalam Tuhan itu sendiri, sehingga terdapat suatu
“aspek” manusia yang tidak diciptakan. Itulah mengapa manusia
dapat memperoleh pengalaman an-nihilisasi dalam Tuhan subsistensi
alam Dirinya (al-fana>’ dan al-baqa>’ pada sufism) dan mencapai
penyatuan puncak. Kemudian manusia dilahirkan dalam logos yang
merupakan kenyataan prototype manusia dan wajah lain dari realitas
yang sama, orang Islam menyebutnya dengan Manusia Universal dan
masing-masing tradisi mengidentifikasikan dengan pendirinya.
Kemudian manusia diciptakan dalam level kosmik dan apa yang
dinyatakan Bible sebagai makhluk surgawi, di mana dia dikenakan
dengan tubuh bercahaya yang sesuai dengan keadaan surga tersebut.
Dia kemudian turun ke level taman terestrial7 dan dikenakan tubuh
lain dari alam yang sangat halus dan tidak dapat disuapi. Akhirnya
dia dilahirkan ke dunia fisik dengan tubuh yang binasa tetapi
mempunyai landasan dalam tubuh-tubuh yang halus dan berkilau,
termasuk tahap-tahap awal elaborasi manusia dan kejadiannya
sebelum kemunculannya di bumi.”8

B. Empat Fase Penciptaan

Pembahasan mengenai hakikat penciptaan tidak akan lengkap tanpa

membahas urutan penciptaan. Seyyed Hossein Nasr membagi urutan penciptaan

kepada empat fase sebagai berikut:

Fase pertama penciptaan manusia menurut Nasr adalah ketika manusia

diturunkan dari ruh yang merupakan milik Allah,9 dengan demikian terdapat

7
Terestrial adalah kata sifat yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang hidup
dari atau di bumi (of or living on the land), lihat Martin H. Manser, Oxford Learner’s Pocket
Dictionary, (New York: Oxford University Press, 1995), h. 428. Nasr menggunakan istilah ini
untuk menunjukkan manusia yang hidup di bumi dengan segala tanggung jawabnya atas
tindakannya sebagai penjaga dan pelindung bumi, lihat Seyyed Hossein Nasr, Inteligensi dan
Spiritualitas Agama-Agama, terj. Suharsono, et. al., (Depok: Inisiasi Press, 2004), h. 167.
8
Martin H. Manser, h. 177.
9
Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum Muda
Muslim, terj. Hasli Tarekat, (Bandung: Mizan, 1994), h. 41.
52

dimensi Ketuhanan dalam diri manusia, sebagaimana dijelaskan dalam ayat

Alquran di atas. Di sini Nasr berusaha menegaskan bahwa ruh manusia bukanlah

ciptaan Allah, karena dalam berbagai ayat tentang kejadian manusia, selalu

dijelaskan bahwa Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad manusia, artinya,

menurut Nasr, jasad manusia diciptakan dan kemudian Allah meniupkan ruh-Nya

ke dalam jasad tersebut sebagai karunia yang menunjukkan kedudukan tertentu

yang dimiliki manusia.

Akan tetapi, Nasr menegaskan bahwa konsep ini tidak mengubah Tuhan

menjadi manusia atau sebaliknya, juga tidak ada kemungkinan inkarnasi dimensi

ke-Tuhanan dan kemanusiaan dalam diri manusia, melainkan menggambarkan

manusia sebagai makhluk theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung dalam

dirinya. Allah dengan sengaja menciptakan manusia sebagai cermin yang

memantulkan Nama dan Sifat-Nya, tegasnya ada sesuatu yang suci dalam diri

manusia.10 Penyatuan puncak dalam perspektif Nasr di atas lebih berorientasi

pada pengalaman religius manusia yang membuatnya menjadi manusia seutuhnya

sebagaimana penjelasan Nasr:

Manusia, sebagai wakil Tuhan di bumi (khali>fah) dan


panggung dimana nama-nama dan Sifat-Sifat Tuhan
dipertunjukkan, bisa mencapai kebahagiaan hanya dengan tetap
memegang teguh kodratnya ini atau dengan menjadi dirinya secara
sungguh-sungguh. Dan ini sebagai akibatnya berarti ia harus
menjadi utuh. Tuhan adalah satu dan demikian manusia harus
menjadi menyeluruh di dalam rangka untuk menjadi satu. Tercerai
berai dan terpisah-pisah, tenggelam di dalam permainan gambar

10
Lihat Seyyed Hossein Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, terj. Abdurrahman Wahid
dan Hashim Wahid, (Jakarta: LEPPENAS, 1981), h. 4 dan 177.
53

dan konsep-konsep mental yang tak habis-habisnya, atau


mengalami ketegangan dan tekanan kejiwaan, adalah berarti
terpisah jauh dari keadaan menyeluruh yang dituntut hati nurani
kita. Banyak orang dewasa ini lebih menyukai dirinya melampaui
batas dengan segala pengorbanan, malahan lebih memiliki
demikian dan memasuki neraka daripada menjadi wajar dan
berjalan menuju surga; sekalipun demikian, dibanding sifat
melampaui batas, sifat wajar lebih dekat kepada ketakberdosaan
dan kemurnian yang merupakan keadaan surgawi yang indah,
seperti Nabi Isa mengatakan bahwa kita harus menjadi seperti
kanak-kanak supaya bisa masuk surga.11

Fase kedua dalam penciptaan manusia adalah ketika ia diciptakan sebagai

logos yang menjadi prototipe semua manusia dan segala ciptaan, dalam Islam

logos, tegas Nasr, adalah Nabi Muhammad.12 Nabi Muhammad, sebagai

pembawa Islam, merupakan Nabi terakhir yang diutus Allah ke dunia, meskipun

seluruh nabi dalam Islam memiliki aspek logos tersebut, akan tetapi menurut

Nasr, Hakikat Muhammad yang menjadi ciptaan Allah yang pertama – konsep

yang sama dengan konsep Nur Muhammad dalam tasawuf – sehingga secara

batin beliau datang sebelum nabi yang lain pada awal siklus kenabian dan sebagai

perwujudan penuh dari sifat kemanusiaan yang sempurna, Muhammad adalah

Manusia Universal (al-insa>n al-ka>mil), dan aspek batinnya merupakan logos.13

Seperti pohon yang tumbuh dari sebuah bibit yang kemudian


berkembang dengan subur dan akhirnya berbuah yang mengandung

11
Seyyed Hossein Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi WM, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000), h. 37-38.
12
Dalam setiap agama, penyebar atau pendirinya selalu diidentifikasikan sebagai logos,
dalam Kristen, logos diidentifikasi sebagai Kristus seperti dijelaskan dalam Injil Yohannes. Lihat,
Seyyed Hossein Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, h. 57, juga Seyyed Hossein Nasr, Inteligensi
dan Spiritualitas Agama-Agama, h. 37-38.
13
Seyyed Hossein Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, h. 57.
54

bibit yang serupa, begitu pulalah siklus kenabian yang dimulai


dengan Hakikat Muhammad, dan diakhiri dengan manifestasinya
sebagai manusia. Secara batin ia adalah awal silus kenabian dan
secara lahir ia adalah akhir siklus kenabian yang telah ia satukan
dan integrasikan dalam dirinya. Pada lahirnya ia manusia biasa,
dan secara batin ia Manusia Universal yang menjadi norma segala
kesempurnaan...14

Keberadaan Nabi Muhammad sebagai logos ini terutama dari fungsi

kenabiannya sebagai pembawa wahyu Ilahi. Peranannya sebagai kha>tim al-

anbiya>’ memulai sebuah siklus kesucian yang diistilahkan Nasr dengan “kesucian

Muhammad” yang selalu ada dan menjadi kekuatan spiritual dalam Islam,

sehingga tidak lagi diperlukan adanya agama baru sesudah Islam, sebab wahyu

yang dibawa Nabi Muhammad dengan sendirinya mengandung segala hal yang

diperlukan untuk memenuhi kebutuhan religius dan spiritual setiap muslim.15

Fase ketiga dalam kejadian manusia adalah manusia dalam level kosmik,

yaitu Nabi Adam sebagai penghuni surga sebelum kejatuhan yang dialaminya

sehingga diturunkan ke bumi dan selanjutnya menjadi manusia terestrial.16

Fase keempat kejadian manusia adalah setelah diturunkan ke bumi, di

mana manusia tidak lagi berada dalam level kosmik, tetapi telah berpindah ke

dunia fisik. Pada fase ini manusia melengkapi penciptaan alam sebagai wakil

(khali>fah) Tuhan di bumi yang diberi kemampuan untuk mengetahui segala

14
Seyyed Hossein Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, h. 57.
15
Seyyed Hossein Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, h. 56.
16
Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, h. 115.
55

sesuatu, menundukkan bumi, kekuasaan untuk melakukan kebaikan tetapi di sisi

lain juga dapat menimbulkan kerusakan dan kehancuran bumi.17

Beberapa tahap penciptaan manusia menurut Nasr ini menunjukkan

adanya penurunan derajat manusia dari manusia yang sepenuhnya mencerminkan

Sifat-Sifat Allah – Nasr mengistilahkannya dengan Manusia Universal – hingga

menjadi manusia terestrial yang menghuni bumi. Penurunan derajat manusia

yang disebabkan kejatuhannya setelah melanggar larangan Allah di surga ini

membawa manusia ke dunia fisik sebagai hukuman atas pelanggaran tersebut.

Meski kejatuhan manusia merupakan hukuman, tetapi Allah tetap memberikan

kelebihan kepada manusia dengan eksistensinya sebagai wakil-Nya untuk

menjalankan semua kehendak-Nya di muka bumi.

C. Insan Kamil

Secara biologis manusia mempunyai beberapa unsur antara lain: mineral

termasuk didalamnya materi yang mengandung atom dengan segala dayanya,

tumbuh-tumbuhan yaitu daya nabati antara lain makan (nutrition), tumbuh

(growth), dan berkembang biak (reproduction), unsur hewan yang yaitu

penginderaan (sense perception) dan gerak (locomotion). Disamping itu yang

pasti dan harus dimiliki oleh manusia yaitu jiwa (daya) insani yang di sinilah

terletak intelektualitas, moralitas, dan rasa seni. Ruhani adalah yang

mengendalikan, dan memberikan visi dan nilai bimbingan-bimbingan kepada

jiwa-jiwa nabati, hewani, dan insani. Dari sini dapat di lihat bahwa manusia

17
Seyyed Hossein Nasr, Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, h. 18.
56

merupakan puncak evolusi yaitu manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan

penuh.18

Namun dari aspek spiritual manusia akan mencapai puncak evolusi ketika

ia telah mencapai kesatuan dengan Tuhan. Peringkat manusia sebagai makhluk

terbaik, termulia dengan kualitas fisik dan psikisnya diciptakan oleh Allah

dengan tujuan tertentu anatara lain: agar manusia menjadi hamba (a>bid)-Nya

yang baik, sekaligus menjadi khalifah-Nya di muka bumi, serta bertanggung

jawab terhadap apa yang diperbatnya selama hidup di dunia ini.

Dalam kitab al-Insa>n al-Ka>mil fi Ma’rifat al-Awa>khir wa al-Awa>’il, al-Ji>li>

mengidentifikasi insan kamil dalam dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam

pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam

pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu

yang dianggap mutlak yaitu Tuhan. Kedua, insan kamil yang jati diri yang

mengidealkan kesatuan nama serta sifat-safat Tuhan ke dalam hakikat atau

esensi dirinya.19

Al-Kama>l (kesempurnaan) menurut al-Ji>li> mungkin dimiliki manusi

secara potensial (bi al-quwwah), dan mungkin pula secara aktual (bi al-fi’l)

seperti yang terdapat pada diri wali dan Nabi, namun intensitasnya berbeda-beda.

Dan yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad. Al-Ji>li> juga menandaskan

bahwa insan kamil merupakan mikrokosmos dan makrokosmos, jami’ al-haqa>iq

al-wuju>diyyah, qalb-nya = ‘arsy, ‘aql-nya = qalam, nafs-nya = lawh} al-mah}fu>dh,

18
Ahmad Najib Burhani (ed.), Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf
Positif (Jakarta: IIMaN, 2002), h. 35
19
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997), h. 22
57

mudrikah-nya = kawkab, al-qawiy = al-muh}arrikah-nya = al-syams, dan lain

sebagainya.

Sedangkan mengenai kata “kamil” Mut}ahhari> membedakan antara

sempurna (ka>mil) dan lengkap (ta>mm), keduanya erat kaitannya namun tidak

sama persis. Perbedaannya adalah kata “lengkap” mengacu sesuai dengan rencana

seperti rumah atau masjid. Bila suatu bagiannya belum selesai maka bangunan

tersebut tidak lengkap (cacat). Tetapi sesuatu mungkin saja lengkap sekalipun

ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itulah

yang dinamakan “sempurna”. “Lengkap” adalah kemajuan horisontal ke arah

pengembangan yang maksimum, sedang “sempurna” adalah penanjakan yang

vertikal ke tingkat yang maksimum. Dari pengertian istilah yang di kemukakan

oleh Mut}ahhari> terlihat bahwa kesempurnaan itu bertingkat. Dengan demikian

bila suatu kesempurnaan itu tercapai, maka masih ada kesempurnaan yang di

atasnya sampai pada tingkat kesempurnaan yang sesungguhnya. Jika ada manusia

yang sempurna maka pasti ada yang lebih sempurna. Dan kesempurnaan yang

sesungguhnya hanya ada Yang Maha Sempurna.20

Konsep insan kamil atau bentuk manusia tradisional mengilhami Seyyed

Hossein Nasr untuk mengarahkan manusia ke bentuk sempurnanya sebagai

manusia yang hakiki. Manusia yang menyadari keberadaannya sebagai makhluk

Tuhan sekaligus bagian tak terpisahkan dari tatanan kosmik.

Situasi manusia sebagai jembatan antara surga dan bumi direfleksikan

dalam seluruh keberadaan dan seluruh kemampuannya. Manusia adalah dirinya

20
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh
al-Jili, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 45.
58

sendiri, keberadaan alamiah secara supra natural. Ketika dia berjalan-jalan di

muka bumi, pada satu sisi dia muncul sebagai makhluk bumi; pada sisi yang lain,

dia merupakan keberadaan surgawi yang turun ke keberadaan duniawi.

Sebaliknya, memori, pembicaraan dan imajinasinya ikut serta seketika itu juga

dari beberapa tatanan realitas. Sebagian besar dari inteligensinya merupakan

kemampuan alamiah yang bersifat supranatural.21

Keprihatinan Seyyer Hossein Nasr dengan masifnya kemajuan

masyarakat modern yang tidak disertai dengan penghayatan terhadap eksistensi

mereka tercermin dalam karyanya Islam dan Nestapa Manusia Modern, di antara

kutipannya adalah sebagai berikut.

Apabila dua dasawarsa yang lampau setiap orang berbicara


mengenai kemungkinan yang tak terbatas bagi manusia untuk
berkembang secara lahiriah dan materialistis, maka pada masa kini
setiap orang berbicara mengenai “batas-batas pertumbuhan” –
sebuah ungkapan yang pada saat ini sedang populer di Barat – atau
bahkan mengenai bencana yang segera akan menimpa umat
manusia. Tetapi konsep-konsep serta faktor-faktor yang
dipergunakan untuk menganalisa krisis yang dihadapi manusia
modern ini, pemecahan-pemecahan yang dicari, dan bahkan warna-
warna untuk melukiskan bencana yang akan menimpa umat manusia
itu biasanya berdasarkan unsur-unsur yang telah menciptakan krisis
itu juga. Kehidupan di dunia ini tampaknya masih tidak memiliki
horizon spiritual. Hal ini bukan karena horizon spiritual itu tidak
ada, tetapi karena yang menyaksikan panorama kehidupan
kontemporer ini seringkali adalah manusia yang hidup di pinggiran
lingkaran eksistensi, sehingga ia hanya dapat menyaksikan segala
sesuatu dari sudut pandangannya sendiri. Ia senantiasa tidak peduli
dengan jari-jari lingkaran eksistensi dan sama sekali lupa dengan
sumbu maupun pusat lingkaran eksistensi yang dapat dicapainya

21
Seyyed Hossein Nasr, Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, h 194.
59

melalui jari-jari tersebut.22

Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk yang

terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada

zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk yang suci, yang tak lain adalah manusia

tradisional. Manusia suci, menurut Nasr, hidup di dunia yang mempunyai asal

maupun pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak asal yang mengandung

kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki kembali, dan

mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.

Sejauh doktrin tradisional tentang manusia diperhatikan, hal itu

didasarkan pada konsep manusia primordial sebagai sumber kemanusiaan,

refleksi total dan lengkap mengenai Illahi dan realitas pola dasar yang

mengandung posibilitas-posibilitas eksistensi kosmik itu sendiri. Signifikasi

Islam tradisional dapat pula dipahami dalam sinaran sikapnya terhadap fase

Islam. Islam Tradisional menerima al-Qur’an sebagai kalam Tuhan baik

kandungan maupun bentuknya: sebagai persoalan duniawi abadi kalam Tuhan,

yang tak-tercipta dan tanpa asal-usul temporal. Islam tradisional juga menerima

komentar-komentar tradisional atas Qur‟an yang berkisar dari komentar-

komentar yang linguistik dan historikal hingga yang sapiental dan metafisikal.

Sifat primordial dan paripurna tentang manusia yang Islam menyebutnya

“Manusia sempurna” (insan kamil), dan doktrin-doktrin sapiensial kuno Gracco-

Aleksandrian juga menyinggung dalam istilah yang hampir sama, kecuali aspek-

22
Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, h. 4.
60

aspek Abrahamik dan Islamik yang secara khusus tidak muncul dalam sumber-

sumber Neo-platonik dan Hermetik, yang menyatakan bahwa realitas manusiawi

mempunyai tiga aspek fundamental. Pertama adalah dari realitas pola dasar alam

semesta, kedua instrumen atas makna dimana wahyu turun ke dunia, dan ketiga,

model sempurna untuk kehidupan spiritual dan pemancar pengetahuan esoterik

mutakhir. Dengan kebajikan realitas manusia universal, manusia terestrial dapat

memperoleh akses pewahyuan dan tradisi, sehingga tersucikan. Akhirnya,

melalui realitas yang tak lain daripada aktualisasi realitas manusia itu sendiri,

manusia mampu mengikuti jalan sempurna yang akhirnya memungkinkan

memperoleh pengetahuan suci, dan akhirnya menjadi dirinya sendiri secara

sempurna.23

Dalam pandangan Nasr, manusia dalam bentuk primordialnya atau

tingkatan paling alaminya, -sebelum ia terkontaminasi oleh paham-paham

modernis- memiliki setidaknya tiga aspek fundamental. Yakni realitasnya

sebagai bagian dari alam semesta, meliputi posisi biologisnya sebagai manusia,

yang kedua adalah medium atau perantara bagi pesan-pesan ilahi atau

penterjemah wahyu, dan yang terakhir adalah manusia sebagai perwujudan

sempurna bagi kehidupan spiritual.

Tiga hal di atas, dalam pandangan Nasr tidak benar-benar ter-

ejewantahkan dalam perspektif manusia modern. Barat dengan segenap

kemajuannya mengambil sebagian dan membuang sebagian dari keseluruhan


23
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1994), h. 192.
61

bentuk primordial ini. Untuk itu, manusia, khususnya umat Islam perlu kembali

menengok konsep Insan Kamil, sebagai bentuk dari primordialisme yang patut

dijadikan acuan.

Kondisi manusia modern sekarang ini, menurut Nasr karena mengabaikan

kebutuhannya yang paling mendasar yang bersifat spiritual, maka mereka tidak

dapat menemukan ketentraman batin, yang berarti tidak adanya keseimbangan

dalam diri manusia itu. Keadaan ini akan semakin akut apabila tekanan pada

kebutuhan materi kian meningkat sehingga keseimbangan akan semakin rusak.

Masyarakat Barat sejak renaissance merasa asyik bergelut dengan

problema empiris yang diistilahkan Nasr sebagai masyarakat yang hanya

menekuni dimensi luar yang senantiasa berubah, bukannya menguak hakikat

manusia yang lebih dalam tentang keberadaan manusia di alam ini. Hancurnya

pandangan suci manusia dan alam semesta ini, sama dengan hancurnya aspek-

aspek kemanusiaan dan alam yang tidak dapat berubah. Ilmu sekuler tidak akan

dapat memperlihatkan eksistensinya tanpa harus terlibat dalam proses perubahan

dan menjadi secara utuh.24

Manusia sebagaimana yang diutarakan Nasr, memiliki tiga unsur yaitu

jasmani, jiwa dan intelek. Yang terakhir itu berada di atas dan di pusat eksistensi

manusia. Esensi manusia atau hal yang esensial dari sifat manusia hanya dapat

dipahami oleh intelek (mata hati). Begitu mata hati tertutup, dan kesanggupan

24
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, (London:
Allen and Unwin, 1967), h. 47.
62

intelek dalam pengertiannya yang sedia kala mengalami kemandekan, maka tidak

akan mungkin mencapai pengetahuan yang esensial tentang hakikat manusia.25

Manusia untuk dapat mencapai tingkat eksistensinya, harus mengadakan

pendakian spiritual yang melatih ketajaman intelektualitas. Menurut Nasr,

pengetahuan fragmentaris tidak dapat digunakan untuk melihat realitas yang

utuh, kecuali jika ia memiliki visi intelektualitas tentang yang utuh tadi. Manusia

dapat mengetahui dirinya secara sempurna hanya bila ia mendapat bantuan ilmu

Tuhan, karena keberadaan yang relatif hanya akan berarti bila dikaitkan pada

yang absolut.26

Intelek yang dikehendaki oleh Nasr adalah sebuah akumulasi dari

kecerdasan otak dan mata hati. Kedua-duanya akan mencapai tingkat

sempurnanya jika bersamaan difungsikan, bukan sebagiannya saja. Jika Barat

hanya menggunakan rasionalisme semata dan memarginalkan mata hati, maka

intelektualitas dalam pengertiannya yang sempurna tidak akan pernah benar-

benar mereka gapai. Intelektualitas semacam ini tidak akan pernah tercapai tanpa

keterlibatan Tuhan. Orang dapat melihat realitas lebih utuh apabila ia berada

pada titik ketinggian dan titik pusat, sebab Yang Maha Tinggi saja yang dapat

memahami yang lebih rendah.

Dalam konteks ini, Nasr lalu menegaskan sebagai berikut:

terdapat suatu hirakhi pengetahuan dari yang inderawi, melalui yang


khayal dan yang rasional, sampai pada yang intelektual yang juga
intuitif dan dikenal dengan nama hati atau batin. Tetapi seperti

25
Saleh Nur, Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 1, Januari 2011, h. 18.
26
Saleh Nur, Jurnal Ushuluddin, h. 18.
63

halnya fakultas pengetahuan yang intelektual tidak dipertentangkan


dengan yang sensual (inderawi), yang intelektual dan intuitif itupun
tidak dipertentangkan dengan yang rasional. Malah, justru akal
merupakan pantulan dari hati, yakni sebagai pusat mikrokosmis.
Doktrin atau ajaran Islam tentang Ketuhanan (al-tawh}i>d) telah
mampu merangkum semua model pengetahun ke dalam suatu
peringkatan hirakhi yang saling melengkapi dan serasi menuju suatu
bentuk pengetahuan terluhur, yakni ma’rifah dari hati yang suci yang
pada akhirnya tidak lain merupakan pengetahuan yang esa dan
mengesakan tentang Yang Maha Esa serta pelaksanaan paling
mendasar dari Keesaan Tuhan (al-tawh}i>d).27

27
Seyyed Hossein Nasr, “Hubungan antara Intelek dan Intuisi dari Perspektif Islam”,
dalam Salem Azzam (ed), Islam dalam Masyarakat Kontemporer, diterjemahkan oleh Hamid L.
A. Basalamah, (Bandung: Gema Risalah, 1988), h. 66.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan pembacaan dan analisa terhadap beberapa karya

Seyyed Hossein Nasr, penulis menyimpulkan bahwa terkait hakikat manusia, ia

berpendapat bahwa manusia merupakan refleksi dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat

Tuhan. Refleksi Sifat Tuhan dalam diri manusia ini sebagaimana cermin yang

merefleksikan cahaya matahari. Hal ini ia hubungkan dengan ditiupkannya Ruh

Tuhan ke dalam tanah liat yang menjadi asal-usul primordial manusia. Nasr juga

mengungkapkan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk menjadi

pengejawantahan Tuhan, sebai refleksi sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Di

samping itu ia menemukan kesamaan konsep dalam agama-agama dan tradisi-

tradisi, terutama Yahudi dan Kristen, dalam hal kejadian manusia yang

dianugerahi aspek ketuhanan.

Fase penciptaan manusia ia bagi kepada empat tahapan:

1. Ketika manusia diturunkan dari ruh yang merupakan milik Allah.

2. Ketika ia diciptakan sebagai logos yang menjadi prototipe semua manusia

dan segala ciptaan.

3. Manusia dalam level kosmik, yaitu Nabi Adam sebagai penghuni surga

sebelum kejatuhan yang dialaminya sehingga diturunkan ke bumi dan

selanjutnya menjadi manusia terestrial.

64
65

4. Manusia setelah diturunkan ke bumi, di mana manusia tidak lagi berada

dalam level kosmik, tetapi telah berpindah ke dunia fisik.

Untuk mengkritik modernitas dan rasionalitas Barat, Nasr terilhami oleh

konsep insan kamil atau manusia tradisional. Barat dinilai tidak sempurna dalam

menginsyafi posisi mereka sebagai manusia. Manusia sudah menjadi kodratnya,

merupakan bentukan paling sempurna yang memiliki tiga fungsi dasar. Sebagai

bagian dari alam, sebagai medium diturunkannya wahyu Tuhan, dan sebagai

pancaran spriritual Tuhan. Tiga hal ini menempatkan manusia pada sisi mereka

sesungguhnya.

Berkaitan dengan apa yang telah dicapai Barat, menurut Nasr pengetahuan

mereka tidaklah final dan cenderung nisbi atau berubah-rubah. Untuk mencapai

puncak pengetahuan setidaknya mereka harus mengaktifkan intelek mereka

dengan benar. Intelek dalam istilah Nasr, bukan hanya kecerdasan diskurtif

normatif semata, intelek selalu melibatkan mata hati dan kehendak yang Maha

Kuasa yang menunjukkan pengetahuan yang hakiki.

B. Saran-Saran

Untuk melengkapi dan menyempurnakan penelitian ini, saran dan

masukan dari para pembaca sangat kami butuhkan. Banyak hal dari Seyyed

Hossein Nasr yang bisa digali dan ditelaah serta dikembangkan oleh akademisi.

Semua ini tidak lepas dari kiprah dan dedikasinya yang sangat berarti bagi

perkembangan pengetahuan pada era modern ini.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Yunasril Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn
‘Arabi oleh al-Jili. Jakarta: Paramadina, 1997.
An-Nur, Vol. I, No. 2, Februari 2005,
Awad, Pola Hubungan Sains dan Agama: Studi Atas Pemikiran Seyyed Hossein
Nasr dan Lois Leahy, Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Syarif Hidayatullah, 2012
Burhani, Ahmad Najib. Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf
Positif. Jakarta: IIMaN, 2002.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997.
Bakri, Samsul dan Udhofir. Jombang-Kairo, Jombang Chicago: Sintesis
Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan Islam di Indonesia,
Solo: Tiga Serangkai, 2004.
Snijders, Adelbert. Kebenaran Sebuah Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta:
Kanisius, 2006.
al-Faruqi, Ismail Raji. Islam dan Kebudayaan, Bandung: Mizan, 1984.
Hadimulyo, “Manusia dalam Perspektif Humanisme Agama: Pandangan Ali
Shari’ati”, dalam M. Dawam Rahardjo, (Penyunting), Insan Kamil:
Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1987.
Hidayat, Komaruddin dan Nafis, Wahyuni. Agama Masa Depan: Perspektif
Filsafat Perennial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2003.
Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 1, Januari 2011.
Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,
2003), h. 286.
Ja’far, Manusia Menurut Suhrȃwardȋ al-Maqtul, Banda Aceh: Yayasan PeNa,
2011.
Kartanegara, Mulyadhi. Nalar Religius Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan
Manusia, Jakarta: Erlangga, 2007.
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda
Karya, 2003.
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2006.
Muthahharî, Murtadlâ. Manusia Seutuhnya: Studi Kritis berbagai Pandangan
Filosofis, terj. ʻAbdillâh Ḥâmid Baʻabud, Jakarta: Sadra Institute, 2012.

66
67

__________. Islam dan Tantangan Zaman: Rasionalitas Islam dalam Dialog Teks
yang Pasti dan Konteks yang Berubah, terj. Ahmad Sobandi, Jakarta:
Pustaka Hidayah, 2011.
Manser, Martin H. Oxford Learner’s Pocket Dictionary. New York: Oxford
University Press, 1995.
Nasr, Seyyed Hossein. Islam dan Nestapa Manusia Modern. terj. Anas
Muhyiddin. Bandung: Pustaka, 1983.
__________.The Heart of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam untuk
Kemanusiaan. terj. Nurasiah Fakih Sutan Harahap. Bandung: Mizan,
2003.
__________. Antara Tuhan, Manusia dan Alam. terj. Ali Noer Zaman.
Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
__________. Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama. terj. Suharsono, et. al.
Depok: Inisiasi Press, 2004.
__________. Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim.
terj. Hasli Tarekat Bandung: Mizan, 1994.
__________.Islam dalam Cita dan Fakta. terj. Abdurrahman Wahid dan Hashim
Wahid dengan judul Jakarta: LEPPENAS, 1981.
__________.Tasauf Dulu dan Sekarang. terj. Abdul Hadi WM. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000.
__________. Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama. terj. Suharsono, et. al.
Depok: Inisiasi Press, 2004.
__________.Islam dan Nestapa Manusia Modern. terj. Anas Muhyiddin
Bandung: Pustaka, 1983.
__________.Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Bandung: Penerbit
Pustaka, 1994.
__________.Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London:
Allen and Unwin, 1967.
__________. “Hubungan antara Intelek dan Intuisi dari Perspektif Islam”, dalam
Salem Azzam (ed). Islam dalam Masyarakat Kontemporer, diterjemahkan
oleh Hamid L. A. Basalamah, Bandung: Gema Risalah, 1988.
__________.Antara Tuhan, Manusia dan Alam, terj. Ali Noer Zaman,
Yogyakarta: Ircisod, 2005
__________.The Knowledge and The Sacred , terj. Suharsono, et. al. dengan
judul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, Depok: Inisiasi Press,
2004
68

Nawawi, Rifaat Syauqi, dkk., Metodologi Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2000
Sanusi, Uci dan Rudi Ahmad Suryadi. Kenali Dirimu, Yogyakarta: Deepublish,
2015.
Al-Shadr, Muhammad Baqir. Filsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash-
Shadr Terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M. Nur Mufid bin Ali,
Cetakan V Bandung: Mizan, 1995.
Syari‟ati, Ali. Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, Yogyakarta:
Ananda, 1982.
Syari‟ati, Ali. Tugas Cendikiawan Muslim, terj. M. Amien Rais, jakarta: PT
RajaGrafndo Persada, 1995.
Quddus, Abdul. Respon Tradisionalisme Islam Terhadap Krisis Lingkungan:
Telaah atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr, Jakarta: Sekolah Pasca
Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2012
Snijders, Albert. Antropologi Filsafat: Manusia, Paradoks dan Seruan,
Yogyakarta: Kanusius, 2004
Sujawa, Manusia dan Fenomena Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2001
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1996
Syamsuri, Tasawuf sebagai Terapi Krisis Modernisme: Telaah atas Pemikiran
Seyyed Hossein Nasr, Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah, 2008
Wahid, Abdurrahman. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Depok:
Desantara, 2001.

Anda mungkin juga menyukai