Anda di halaman 1dari 106

“KALIMAH SAWA<” SEBAGAI KONSEP TEOLOGI INKLUSIF

NURCHOLISH MADJID

SKRIPSI
DiajukanuntukMemenuhiPersyaratanMemperoleh
GelarSarjana Strata Satu (S1)

Oleh:
Bahrur Rosi
1110033100048

JURUSAN AQIDAH FALSAFAH


FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017 M.
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “Kalimah Sawa> Sebagai Konsep Teologi Inklusif Nurcholish


Madjid” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2017, Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada
program studi Aqidah dan Filsafat Islam.

Jakarta, 17 Oktober 2017

Sidang Munaqasyah

Ketua merangkap anggota Sekretaris merangkap sebagai anggota

Dra. Tien Rohmatin, MA Dr. Abdul Hakim Wahid, MA


NIP. 196808031994032002 NIP.197804242015031001
Anggota

Dr. Edwin Syarif, MA Dr. Arrazy Hasyim


NIP.196709181997031001
ABSTRAKSI

Konsep pemikiran Nurcholish Madjid, didasarkan pada tiga bentuk, yaitu


Keislaman, Keindonesiaan dan Kemoderenan, yang kemudian oleh Cak Nur di deklarasikan
pada tahun 1992 di TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta. Sehingga pada tahun 1992,
ceramah Nurcholish Madjid menuai beberapa kritikan dari banyak tokoh terutama toko-tokoh
Islam. Pidato yang disampaikan oleh Cak Nur yaitu tentang Titik Temu Agama-Agama, dalam
bahasa Inggris Commond Platform, atau dalam bahasa Arabnya Kalimah sawa>>.

Menariknya, Cak Nur tidak hanya menggunakan kata Kalimah sawa>> pada Keislaman
saja. Beliau juga menggunakan kata Kalimah sawa>> pada konsep kenegaraan juga, yaitu
dengan menyinkronkan antara Kalimah sawa>> dengan pancasila --khususnya Indonesia. Hal
ini sebagai upaya Cak Nur untuk membangun perdamaian, khususnya tentang ras, suku dan
agama (Islam, Kristen, Hindhu, BudhadanKonghucu).

Dari pemikiran Cak Nur yang paling menarik juga yaitu tentang fitrah: fitrah
munazzalah (fitrah yang diiturunkan) dan fitrah Majbulah (fitrah yang tertanam dalam diri
manusia). Dari point ini dapat mengambil sebuah petunjuk bahwa setiap manusia juga perlu
memainkan fikirannya dalam bertindak dimasa-masa kemodernan seperti sekarang ini.

Di sini akan ditegaskan bahwa konsep pemikiran Cak Nur, pada intinya hanya
didasarkan pada tiga bentuk, yaitu Keislaman, Keindonesiaan dan Kemoderenan, yang
kemudian oleh Cak Nur di disampaikan lewat ceramahnya pada tahun 1992 di TIM (Taman
Ismail Marzuki) Jakarta. Sehingga pada tahun 1992 ceramah Nurcholish Madjid menuai
beberapa kritikan dari banyak tokoh terutama tokoh-tokoh Islam.

Kata kunci: Kalimah sawa>>, Fitrah, Keislaman, Keindonesiaan, Kemoderenan.

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini, berjudul: “ Kalimahsawa>>
Sebagai Konsep Teologi Nurcholish Madjid”. Salawat dan salam juga penulis curahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa semangat pencerahan melalui rahmat
yang dibawa-Nya.
Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan untaian terimakasih dan
penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

1. Dr. Arrazy Hasyim, MA. Selaku dosen pembimbing penulisan skripsi ini
yang telah dengan telaten, sabar, dan ikhlas membimbing penulis serta banyak
meluangkan waktu, tenaga dan fikiran demi memberikan masukan serta
nasehat dan memberikan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, selaku dekan fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dra. Tien Rahmatin, MA. Selaku Ketua Program Studi Aqidah dan Filsafat
Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Abdul Hakim Wahid, SHI. MA. selaku sebagai sekeretaris Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Terimakasih juga kepada seluruh Instansi akademika Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Terimakasih juga yang terdalam kepada kedua orang tua tercinta Rahmat dan
Ummi Qulsum. Juga kepada adek-adek tercinta, Holilullah, Baiturrahman,
Denis al-Farisi.
7. Terimakasih juga kepada abang-abang dan senior-senior; Kanda Edwin
Syarif, Kanda Aminurdin, Kanda Nanang Tahqiq, Kanda Su’udi, Kanda
Asyari, Kanda Dani Ramdhani dan semuanya tanpa terkecuali yang telah
membimbing dan memberikan semangat kepada penulis.
8. Terimakasih juga kepada temen-temen Kosan; Sulaiman, Holil, Tohari,
Saniman, Gazali, Roni, Roman, Hendri, Aliwafa, Hamidi, Anis kurniawa,
Qurnia dan juga lainnya yang penulis tidak sebutkan disini.
9. Terimakasih kasih juga kepada seluruh keluarga besar HMI KOMFUF
Jhojon, Turmudzi, Iksan Yaqub, Annalia, Fikri, Muflih Hamim, Alim, Rohim,
Fauzan, Yadi dan juga lainnya yang tak mungkin penulis sebutkan semuanya
di sini.

Ciputat, 04 Oktober
2017
BAHRUR ROSI
DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ........................................................................................................................iii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................................vi
DAFTAR ISI.........................................................................................................................viii
PEDOMAN TRANSLITERASI .........................................................................................ix
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................1


B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ...........................................................................12
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...............................................................................13
D. Metodelogi Penulisan dan Teknik Penulisan .............................................................15
E. Sistematika Penulisan ................................................................................................13
BAB II. TEOLOGI INKLUSIF DAN PLURALISME NURCHOLISH MADJID

A. Teologi Inklusif ..........................................................................................................16


B. Perspektif Pluralisme Agama .....................................................................................27
BAB III. RIWAYAT HIDUP NURCHOLISH MADJID

A. Riwayat Hidup Nurcholish Madjid ............................................................................35


B. Karya-karya Nurcholish Madjid ................................................................................49
BAB IV. KALIMAH SAWA> DALAM PANDANGAN NURCHOLISH MADJID
A. Kalimah Sawa> Dalam Pandangan Nurcholish Madjid .............................................58
1. Islam sebagai Agama Kemanusiaan ....................................................................66
2. Iman dan Sikap Terbuka ......................................................................................68
3. Masalah Pluralisme dan Dialog ...........................................................................70
B. Kalimah Sawa> Sebagai Teologi Inklusif ..................................................................72
C. Inklusifisme dan Tantangan Modernitas ....................................................................82
1. Manusia Sebagai Khalifah al-Ard .......................................................................87
2. Keadilan ...............................................................................................................89
3. Antar Iman dan Kelompok Keagamaan ...............................................................90
4. Paradigma Islam dan Peradaban Modern ............................................................93
BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................................96
B. Saran-Saran ................................................................................................................97
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 98
PEDOMANA TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan


‫ا‬ - tidak dilambangkan
‫ب‬ b be
‫ت‬ t te
‫ث‬ ts te dan es
‫ج‬ j je
‫ح‬ h} ha dengan titik di bawah
‫خ‬ kh ka dan ha
‫د‬ d de
‫ذ‬ dz de dan zet
‫ر‬ r er
‫ز‬ z zet
‫س‬ s es
‫ش‬ sy es dan ye
‫ص‬ sh es dan ha
‫ض‬ d} de dengan titik di bawa
‫ط‬ t} te dengan titik di bawah
‫ظ‬ z} zet dengan titik di bawah
‫ع‬ ‘ koma terbalik di atas hadap kanan
‫غ‬ gh ge dan ha
‫ف‬ f ef
‫ق‬ q qi
‫ك‬ k ka
‫ل‬ l el
‫م‬ m em
‫ن‬ n en
‫و‬ w we
‫ه‬ h ha
‫ء‬ \ apostrog
‫ي‬ y ye
Tanda Vokal Tanda Vokal Latin Keterangan
َ A< fath}ah
َ I< kasrah
َ U< d}hammah
Tanda Vokal Tanda Vokal Latin Keterangan
‫سا‬ a> a dengan topi di atas
‫سى‬ i> i dengan topi di atas
‫سو‬ u> u dengan topi di atas
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sepanjang sejarah pemikiran Islam, diskursus tentang kalam (teologi)

menempatkan posisi paling utama dalam kajian para ilmuan dan intelektual Islam.

Seperti yang telah dipahami bersama, bahwa perdebatan tentang kalam (teologi)

sebenarnya telah muncul sejak pembunuhan ‘Utsma>n bin Affa>n, khalifah ketiga, atau al-

Fitnah al-Kubra> (Malapetaka besar)1.

Pada dasarnya, isu utama yang berkaitan dengan teologi Islam, dapat dibagi

menjadi tujuh bagian, yaitu: pertama, analisis tentang konsep Tuhan; kedua, pembuktian

tentang eksistensi Tuhan secara ontologis dan kosmologis; ketiga, hubungan antara

manusia dan Tuhan secara Kosmologis, keempat, respek terhadap perintah-perintah

Tuhan yang berhubungan dengan free will, determinisme, takdir, kebaikan, kejahatan,

siksa dan pahala; kelima, bahasa agama yang pragmatis dan fungsi keanehan (mukjizat)

serta keistimewaan yang dimiliki Nabi, mistik dan pernyataan Nabi; keenam, hubungan

antara akal dan wahyu, ketujuh, politik terhadap aplikasi aturan Tuhan bagi masyarakat.

Pada umumnya pemahaman tentang persoalan-persoalan mengenai teologis,

kebanyakan para pemikir lebih menekankan pada aspek pragmatisme, sebagaimana

yang tercantum pada teks kitab suci (al-Quran), sunnah (al-Hadi>ts) dan ulama klasik

yang beberapa pemikirannya lebih pada wilayah tekstual tanpa menaruh perhatian

sedikitpun pada konteks. Hal itulah yang menjadikan para pemikir menjadi tidak

dinamis, dan bahkan utopis serta lebih cenderung pada determinis. Itulah yang menjadi

fokus utama pemikiran Nurcholis Madjid, yang dicurahkan melalui banyak artikel, buku-

1
Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 2
buku dan bahkan khotbah-khotbahnya dengan menggunakan pendekatan rasional dalam

merekonstruksi konsep-konsep kalam.

Sebagaimana yang dipahami oleh para pemikir dan bahkan masyarakat Indonesia

pada umumnya. Sebab agama adalah kesatuan lembaga dan praktek yang menjelmakan

atau memfokuskan respon pribadi kepada Tuhan (h}a>bl min Alla>h)2 dan agama juga

merupakan tempat pengaplikasian kesalehan sosial (h}a>bl min al-na>s). Kesalehan,

kesadaran individu dan respon pribadi kepada Tuhan, dapat dilalui dengan berbagai cara,

tetapi bagian kecil dengan agama (serangkaian orientasi dan institusi). Hal inilah yang

menjadikan agama sebagai kesalehan dzahir–kesalehan-kesadaran inti batinnya dan

batinnya tidak dapat dijelaskan secara sosiologis. 3

Implikasi dari skema yang disebutkan di atas, bahwa semakin dekat manusia

dengan lingkaran batin kepercayaan, semakin jauhlah ia menarik diri dari kekuatan-

kekuatan sosiologis. Oleh karena itu, kepercayaan agama batin adalah independen serta

tak dapat direduksi. Seperti pandangan Turner, inilah yang menjadikan Nurcholis Majid

dalam beberapa artikel dan buku-bukunya, sering kali mengatakan, bahwa “...dalam

memahami paham keagamaan, pandangan ilmiah tidak terlepas dari lingkungan, baik

lingkungan fisik maupun lingkungan budaya”.4 Hal ini dapat kita pahami, bahwa pada

dasarnya agama dan aliran keagamaan memberi bentuk eksistensi politik dan kekuasaan,

bahwa semuanya ada pada urutan yang merupakan jalan lebih lanjut bagi keteguhan

agama.5

Hudgson dalam pendapatnya tidak jauh beda dengan pendapat Nurcholis Madjid,

bahwa “...Kesalehan atau agama mengakibatkan kekebalan sosiologis

2
Turner S. Bryan, Orentalism, Posmodernism and Globalism, diterjemahkan oleh Eno
Syafrudin, cet. Pertama, (Jakarta, Riora Cipta, 2002), h. 72
3
Turner S. Bryan, Orentalism, Posmodernism and Globalism, , h. 72
4
Turner S. Bryan, Orentalism, Posmodernism and Globalism, , h. 475
5
Ibn Khaldun, Muqaddimah, Franz Rossenthal, penerjemah, The Muqaddimah, 3 Jilid, (New
York: Bollingen Foundation, 1958), h. 475
kepercayaan”.6Adapun yang dimaksud pengebalan di sini ditempatkan dalam pandangan

kantian mengenai pergaulan manusia yang di dalamnya masyarakat mendiami dunia

neuminal dimana kesadaran seseorang bebas beroperasi. Dalam hal ini, Smith juga

angkat bicara, menurutnya gagasan agama sebagai sistem sosial relatif lambat dalam

sejarah manusia, sementara kepercayaan telah dibangun jauh sebelum bangkitnya sistem

agama. Karena dalam agama sebagai setting sosial sudah dikembangkan dan

dimapankan.7 Oleh karena itu perlu memperkenalkan Islam secara mendalam dari aspek-

aspek lain, dalam berusaha memperkenalkan Islam terutama masyarakat Muslim

Indonesia dari sudut tinjauan teologi.8

Di dalam buku orientalis Islam, Syamsudin menjelaskan mengenai konsep teologi

dari pandangan tokoh orientalis, diantaranya, yaitu: William L. Rosse “discourse or

reason concerning God” (diskursus pemikiran tentang Tuhan).9 Namun, beberapa ahli

menilainya kurang tepat tentang konsep teolog yang ditawarkan oleh William L. Rosse.

Karena beberapa pertimbangan, yaitu karena dari definisi kata teologi itu sendiri. Teologi

berasal dari kata Yunani theos (Dewa, Tuhan), Logos (Wacana, Ilmu).10 Dalam Literatur

Islam, Logos (Wacana, Ilmu) atau lebih tepatnya Kala>m tidak sesederhana seperti yang

telah dijelaskan oleh William di atas, karena Kala>m dalam dunia Islam juga meliputi

prinsip ke-Imanan dan pokok-pokok ajaran berdasarkan dalil-dalil naqli>(wahyu) maupun

a>qli> (rasio, nalar). Firman Tuhan11:

6
Turner S. Bryan, Orentalism, Posmodernism and Globalism, , h. 73
7
Turner S. Bryan, Orentalism, Posmodernism and Globalism, , h. 76
8
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,(Jakarta: UI Press,
2013), h. XI
9
Syamsudin Arif, Orientalis dan Teologi Islam Sketsa Awal, Islamia Majalah Pemikiran dan
Peraban Islam, Jakarta, Vol II No 3, Desember 2005, h. 11
10
Haerul Anwar, Teolgi Dalam Perspektif Fazlurrahman, Program Studi Aqidah dan Filsafat
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1433/2012 M.
11
Mujamma’ al-Malik Li Tibha’at al-Mush-Haf Asy-Syarif, Medinah Munawwarah
P.O.BOX 6262, Kerajaan Saudi Arabia 1415 H., h. 512
“Dan diantara manusia ada yang membantah tentang Allah
tanpa ilmu pengtahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang
bercahaya”.12 (Qs. Alhaj: 8)

Karena itu, demi harkat dan martabatnya, manusia harus menghambakan dirinya

hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Nurcholis Madjid mengatakan bahwa “...Pada

dasarnya manusia melihat keatas hanya kepada Tuhan Yang Maha Tinggi, Sang

Pencipta, dan kepada Alam harus melihat kebawah. Sedang kepada sesama manusia

harus melihat secara mendatar (Horizontal)”.13

Sebagai seorang cendekiawan Islam, pemikiran tentang keislaman Nurcholish

Madjid memfokuskan pembahasannya pada dua dimensi kehidupanumat Islam, yaitu:

Keindonesiaan dan kemodernan. Merajut tiga segi umat Islam (keislaman, Kemodernan,

Keindonesiaan) membawa Nurcholish Madjid pada upaya pemikiran peradaban

Indonesia modern yang didasarkan pada Islam yang Inklusif,14 seperti yang dikatakan

oleh Goenawan Mohamad yang dikutip dari Nurcholis Madjid15 “...Kita tidak berhenti

pada Ha>blum min Alla>h. Tuhan mengubah dan menggugah, dan manusia terubah dan

tergugah dalam hubungannya dengan manusia lain”. Kutipan ini menunjukkan bahwa

pada dasarnya rasa kemanusiaan manusia yang beriman dapat dilihat hubungannya

dengan manusia lain dalam menjaga suatu kehormatan.

Manusia pada intinya mempunyai sifat yang sangat mulia (selalu cenderung pada

kebenaran) yaitu dalam bahasa Nurcholish Madjid “Fitrah” suci; sifat itulah yang

kemudian menuntun manusia untuk selalu berbuat baik tersmasuk sikap dasar manusia

untuk menerima kebenara, kebenaran sebagai perwujudan perjanjian dengan Tuhan.

Dalam hal ini berhubungan dengan kata Budhy Munawwar Rachman dalam disertasinya

12
Yang dimaksud “Bercahaya” dalam ayat ini ialah “antara yang hak dan yang batil”
13
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Yayasan Waaf Paramadina, 1992, h. 97
14
Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-Agama: Analisis Atas Islam Inklusif
Nurcholis Madjid, (Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara 2014), h. 18-19
15
Nurcholis Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta, Paramadina 1995), h. xiii
tentang Titik Temu Agama-Agama Nurcholish Madjid, bahwa ada dua jenis fitrah yang

selalu berhubungan, yaitu: Fi}trah munazzalah, fitrah yang diturunkan berupa kitab suci

yang merupakan petunjuk untuk manusia. Fit}rah majbu>lah, Fitrah yang tertanam kokoh

dalam diri manusia (Hati Nurani). 16

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa konsep Keislaman-Keindonesiaan-

Kemodernan tidak bertentangan dengan Islam, bahkan konsep itu menjadi “Kalimah

sawa>>”17 yang diterjemahkan oleh Nurcholis Madjid sebagai common platform yang

semua ajaran nabi tergabung di sini serta bermuara kepada teologi toleransi yang

merupakan asas civil society (masyarakat madani) yang dicita-citakan Islam dan yang

lainnya kalimah sawa>>ini juga merupakan sebuah pertemuan ajaran-ajaran pokok yang

dibawa oleh para nabi dan rasul.

Jika mencoba ditilik dari sisi sejarah, istilah kalimah sawa>> sebetulnya sudah

dikembangkan oleh Nurcholish Madjid dari tahun 1992. Dalam perkembangan global,

khususnya sejak 2007 para cendekiawan dan ulama’ Indonesia mengeluarkan dokumen

“A Commond Word,” dan menjadikan Istilah itu menjadi istilah dalam menggali cara

baru, perspektif baru, bahkan sikap baru dalam membangun hubungan Islam-Kristiani

yang lebih baik.18

Paham Islam inklusif yang dikembangkan Nurcholish Madjid merupakan sebuah

perspektif teologis dan filosofis, bahwa jika toleransi diharapkan membawa berkah

pengalaman suatu prinsip dan ajaran kebenaran, “Toleransi bukanlah sejenis netralisme

kosong yang bersifat prosedural semata, tetapi berakar pada pandangan hidup yang

berakar dalam ajaran kebenaran” pendapat Nurcholish Madjid yang dikutip Budy

Munawwar Rachman. Dari paparan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan sementara

16
Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-Agama:, h. 22
17
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, h. 18
18
Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-Agama,, h. 35
bahwa toleransi tidak hanya persoalan prosedural semata untuk kerukunan hidup, tetapi

merupakan persoalan prinsip ajaran kebenaran.

Hammurabi sebagai tokoh kenegaraan pertama, beliau memiliki kearifan untuk

menuntut tuduk kepada hukum, tidak kepada dirinya sendiri sebagai penguasa. 19 Karena

itulah Tuhan membangkitkan seorang Rasul atau sang pengajar kearifan di semua

umat,20 kearifan dimana saja yang merupakan nyata fitrah suci kemanusiaan universal,

karena pada dasarnya kearifan lokal atau regional harus diterima dan dipandang sebagai

kelanjutan ajaran sebagai sang penganjur kebenaran. Firman Tuhan:

Bukanlah kebajikan itu ialah, bahwa kamu mengarahkan wajahmu ke


timur atau kebarat; tetapi kebajikan ialah jika orang beriman kepada Allah,
Hari Kemudian, para malaikat, kitab suci, dan para nabi; dan orang yang
mendermakan hartanya, betapapun cintanya kepada harta itu, untuk karib
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin orang terlantar dalam
perjalanan, peminta-minta, dan orang-orang yang dalam belenggu
perbudakan; dan orang yang menegakkan sembhayang, menunaikan zakat
dan mereka yang menepati janji apabila telah berjanji, dan mereka yang tabah
dalam kesusahan kesulitan dan pada saat terjadi bencana. Mereka itulah
orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.21
Oleh karena itu, pada dasarnya prinsip-prinsip inklusivisme dan pluralisme,

semua pemeluk agama atau dalam perbedaan aliran dilarang bertikai, kecuali jika

dihadapkan dengan kedzaliman, sehingga pada dasarnya setiap aliran atau agama harus

mendermakan (berjanji) sumpah setia kepada dasar pegangan (kitab) masing-masing,

karena dalam perbedaan itu masih kesatuan (Tuhan yang sama) Muslim. Maka, dengan

prinsip kesatuan itulah dibangun sistem kehidupan bersama berbentuk polity, demi

terwujudnya maslahat umum yang berbentuk negara bangsa.

Kearifan itulah yang merupakan kelanjutan fitran suci kemanusiaan universal.

Oleh sebab itu manusia dianjurkan untuk mencari ilmu dan kearifan dimana saja,

sehingga dari kearifan lokal itulah terbangun sebuah prinsipil yang dibangun oleh

19
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Paramadina, Cet: III, 2004), h. 59
20
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita,, h. 60
21
Qs. 2: 177
kalimah sawa>>(kalimat kesamaan dalam ajaran kitab suci) al-Qur’an, Injil, Zabur, Taurat,

serta menolak-membeda-bedakan antara mereka (utusan Tuhan) adalah perbuatan ingkar

kepada hikmah Ilahi dan kearifan kemanusiaan Universal. Oleh sebab itu, setiap pribadi

manusia harus berbuat baik kepada sesamanya, dengan memenuhi kewajiban diri pribadi

terhadap diri pribadi yang lain, serta menghormati hak orang lain dalam jalinan

kehidupan yang damai dan terbuka.22

Dengan demikian, setiap pribadi mempunyai potensi untuk benar. Tetapi, karena

diciptakan sebagai mahluk yang lemah (berpandangan pendek, cenderung kepada hal-hal

yang bersifat segera), maka setiap pribadi mempunyai potensi untuk salah “tergoda” oleh

hal-hal menarik (Nurcholish Madjid dikutip Dari Budhy Munawwar Rachman). Oleh

karena itu, menurut Nurcholish Madjid, jika terjadi percekcokan di dalam masyarakat

merupakan hal yang wajar, karena tidak ada manusia yang terbebas sama sekali dari

perselisihan.23Oleh karena itu, ketidakwajaran itu mulai tampak jika perselisihan

semakin parah dan saling mengucilkan apalagi sampai terjadi terpecahnya hubugan

antara yang satu dengan yang lainnya.24 Karena pada dasarnya beberapa perbedaan

dalam kehidupan tidak selalu disebabkan oleh pemahaman tentang kepercayaan,

melainkan sering disebabkan oleh kepentingan-kepentingan kelompok.

Berdasarkan keterangan di atas, kalimah sawa>>merupakan jalan tengah yang harus

ditempuh untuk melakukan penyerahan diri kepada Tuhan. Oleh karena itu, implikasi

dari kalimah sawa>>menunjukkan tentang adanya keselamatan bagi setiap individu, sosial.

Jadi dari sini dapat ditegaskan bahwa, keselamatan itu hanya didapat oleh manusia-

manusia yang beriman kepada Tuhan, serta perbuatan-perbuatan yang saleh.

22
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholis Madjid, (Jakarta: Yayasan Abad
Demokrasi, 2011), h. 197
23
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholis Madjid h. 199
24
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin Peradaban,, h. 86
Dampak sosio kultural dalam Islam merupakan ajaran keagamaan yang pertama

kali secara langsung dengan doktrinnya, memperkenalkan toleransi kebebasan dalam

beragama kepada umat manusia, hal ini sesuai dengan pendapat Bertran Russel seorang

filsuf ateis radikal, mengakui kelebihan Islam atas agama lain, sehingga menurutnya

sejumlah kecil tentara Muslim mampu memerintah daerah yang amat luas dengan mudah

dengan adanya konsep Ahli Kitab itu.25 Oleh karena itu, pemeluk agama Allah adalah

Umat yang tunggal.26Penyempurnaan selalu dibutuhkan, sampai saatnya Utusan

(Muhammad) sang penutup itu tiba, karena menurut al-Qur’an, kebenaran dalam proses

sejarah selalu mengalami berbagai bentuk penyimpangan, Firman Allah:

Dia (Allah) mensyariatkan bagi kamu, tentang agama, apa yang di


pesankan kepada Nuh, dan kami kami mewahyukan kepada engkau
(Muhammad), dan yang kami pesankan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu
tegakkanlah olehmu semua agama itu, dan janganlah kalian terpecah belah
mengenainya. Terasa berat bagi kaum musyrik apa yang engkau
(Muhammad) serukan.27

Dengan demikian, dapat yakinkan bahwa hadirnya nabi Muhammad sebagai

penyempurna atas ajarin Nabi-nabi sebelumnya, sebagai makna orientasi kehidupan

kepada Tuhan, maka untuk memahami tentang kehidupan orientasi itu hanya dapat

dilalui dengan berita yang dibawa oleh sang pembawa berita (Nabi). Oleh karena beliau

(Muhammad) sebagai penyempurna utusan sebelumnya, maka sangatlah diwajibkan pula

agar manusia percaya akan kenabian beliau (Muhammad).

Dari berbagai pengalaman yang telah disebutkan di atas, pada dasarnya hanya

untuk melukiskan tentang nilai Islam serta penghayatan, pengalaman sebagai jalan untuk

menuju pada keinsyafan akan makna dan tujuan akan makna kehidupan untuk sampai

pada keimanan yang utuh, kesadaran orang yang beriman ini merupakan kesadaran akan

ketuhanan. Menurut Nurcholis Madjid, Iman itu tidak cukup hanya dengan percaya
25
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholis Madjid,, h. 204
26
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholis Madjid,, h. 205
27
Qs. 3: 84-85
kepada Allah, tetapi harus mempercayai Allah dengan kualitas-Nya sebagai satu-satunya

yang bersifat keilahian yang sama sekali tidak memandang adanya kualitas yang serupa

atau bahkan melebihi Dia.28

Kesadaran Ketuhanan yang mendalam, merupakan sebuah fondasi kehidupan

yang benar juga akan melahirkan sebuah ketakwaan. Yang kemudian kata takwa ini oleh

Nurcholish Madjid dipahami sebagai “rabba>ni>yah”dan “rabba>ni>, karenanya kesadaran

ketuhanan merupakan wujud yang sangat penting dari nilai keagamaan yang seharusnya

menjadi dasar dari usaha-usaha apapun, yang mau menyajikan Islam sebagai sumber

keinsyafan hidup.29 Firman Allah “Inilah kitab yang tiada diragukan, suatu petunjuk

bagi mereka yang bertaqwa.”

Dengan demikian, dapatlah dipahami yang oleh Nurcholish Madjid disebut

sebagai I@sla>m, I@ma>n dan Ih}sa>n. Ihsan (pengalaman kehadiran Tuhan) sebagai

kesempurnaan yang di bawahnya mencakup I@ma>n dan I@sla>m, sementara Iman berada di

tengah yang mencakup Islam yang mendasari sikap keberagamaan. Di sinilah, diletakkan

dasar-dasar filosofis keislaman Nurcholis Madjid, bahwa hakikat seluruh agama ialah

Islam “aslama-yuslimu-isla>man”, yaitu sikap tunduk dan pasrah kepada Allah dengan

tulus dan tawakkal.30

B. Pembatasan Dan Rumusan Masalah

Berdasarkan keterangan di atas dan demi menjaga efektifitas pembahasan, di sini

penulis membatasi pembahasan pada konsep Islam inklusif sebagai titik temu yang

dinyatakanoleh Nurcholish.Karena dengan pandangan ini, Nurcholis Madjid juga sangat

terbuka pada paham pluralisme agama. Nurcholis Madjid juga tidak banyak

mendialogkan dengan konsep pluralisme yang lebih “sekuler,” jadi dalam hal ini tidak

28
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholis Madjid,, h. 103
29
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholis Madjid,, h. 105
30
Nurcholish Madjid, Islam dan Hanifah, Makalah, tanpa tahun
hanya mengenai pluralisme agama, melainkan juga mengenai paham kebangsaan yang

dilihat dari sudut kebangsaan.

Penulis mengambil beberapa persoalan Islam Inklusif Nurcholis Madjid, yaitu

diantaranya: Pertama, ke-Isla>m-an, keindonesiaan, kemodernan yang dijadikan dasar

untuk membangun sebuah peradaban Indonesia modern yang didasarkan pada Islam

Inklusif. Kedua, Kalimah sawa>>(commond word) yang menurut Nurcholish Madjid

sebagai tingkatan transenden-keprihatinan etis-pada tingkat imanen. Keempat,

mempersiapkan dasar teologis umat Islam untuk menerima inklusivisme, agar bangsa

Indonesia berperan aktif dalam mengembangkan pemikiran ke-Indonesia-an moderen

tanpa ada halangan agama apapun. Karena pada dasarnya ada beberapa hal kesamaan

yang dimiliki manusia meskipun perbedaan itu ada, dan ada titik persamaan dari

kesemuanya itu yaitu common world .

Karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji pemikiran Nurcholish Madjid tentang

Islam Inklusif ini. Kemudian penulis memberikan judul yang pas dengan pokok

permasalahan yang sedang dibahas, yaitu Kalimah sawa>> sebagai teologi Inklusif

Nurcholish Madjid. Berdasarkan ruang lingkup di atas, penulis merumuskan beberapa

persoalan, yaitu:

1. Seperti apakah pandangan Nurcholis Madjid mengenai Teologi

Inklusif?

2. Bagaimana korelasi antara Inklusif dengan kalimah sawa>>?

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Dilihat dari beberapa judul di atas, memang terkesan tidak ada hal yang baru

dalam beberapa pembahasan skripsi ini, karena persoalan mengenai Inklusif dalam

pandangan Nurcholis Madjid sudah banyak didiskusikan bahkan buku-buku dan artikel-

artikel yang menulis mengenai Islam inklusif oleh para cendekiawan muslim.
Akan tetapi yang menjadi ketertarikan penulis untuk membahas mengenai Islam

inklusif ini, karena kebanggaan penulis terhadap Nurcholis Madjid sebagai tokoh

pembaharu Indonesia dan dari segi pemikirannya yang sangat cemerlang dalam

membahas mengenai ke-Isla>m-an yang sangat memumpuni.

Tujuan dari penulisan skripsi ini secara khusus adalah upaya mengkaji atau

menganalisa dalam memahami konsep teologi yang digagas oleh Nurcholis Madjid

sebagai tokoh pembaharu Indonesia yang dijadikan pegangan oleh banyak para pemikir

Islam di era sekarang.

Sedang tujuan penulisan skripsi ini secara umum yaitu:

1. Memberikan kontribusi wawasan untuk memperkaya khazanah pemikiran

cendikiawan muslim Indonesia, khususnya kepada penulis sendiri.

2. Mendorong kita sebagai masyarakat Indonesia agar bangga terhadap

Pemikiran Islam Indonesia dan guna memahami konstruk pemikiran

Nurcholis Madjid dalam upaya membedah realitas pengetahuan.

3. Untuk membangun peradaban yang lebih maju, terutama dikalangan

mahasiswa UIN Syarif Hidatullah Jakarta.

4. Untuk melengkapi persyaratan untuk menulis skripsi seperti yang telah di

tentukan oleh pedoman akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kegunaan secara teoritis dapat memberikan pemahaman, tentang bagaimana dan

seperti apa pemahaman teologi Inklusif yang digagas oleh Nurcholish Madjid untuk

menjawab perdebatan, dan bahkan perpecahan pada berbagai kalangan cendekiawan

muslim Indonesia sehingga dapat dijadikan landasan kebenaran yang utuh.

D. Metodologi Penelitian Dan Teknik Penulisan

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan kajian kepustakaan.

Data utama yang dipakai dalam penulisan skripsi ini diambil dari buku-buku dan
beberapa artikel yang ditulis oleh Nurcholish Madjid serta didukung data sekunder dari

buku-buku yang mempunyai kaitan dengan permasalahan yang sedang diangkat.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu mengkaji kemudian

memaparkan keadaan objek yang akan diteliti dengan merujuk pada data-data yang ada,

kemudian menganalisa secara proporsional dan komprohensif sehingga akan tampak

jelas perincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan

yang akan menghasilkan pengetahuan yang baru, jelas dan valid.

Secara teknik, analisis data yang digunakan bersifat kualitatif dengan teknik

pembahassan secara deskriptif analitis yang bertujuan untuk menghadirkan serta

menggambarkkan pemikiran (konsep teologi) Nurcholish Madjid.Teknik pengumpulan

data dan pembahasan masalah disesuaikan dengan standar Pedoman Karya Ilmiah yang

telah ditentukan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang merupakan suatu rangkaian

penulisan yang saling berhubungan dengan uraian sebagai berikut:

Bab I berisi tentang Latar Belakang Masalah, Ruang Lingkup dan Pembatasan

Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Teknik Penulisan dan

Sistematika Penulisan. Dengan menjelaskan beberapa point mengenai beberapa

pembahasan yang akan di ulas pada bab-bab berikutnya, seperti gambaran utama

mengenai pluralisme, inklusifisme, serta tata cara kepenulisan yang telah di tentukan

oleh akademik.

Bab II akan menggambarkan mengenai perkembangan dan beberapa pandangan

dan gesekan keras antara beberapa cendekiawan muslim Indonesia dalam hubungannya

dengan Islam inklusif yang mulai mengakar pada diri cendikiawan. Sebab pada dasarnya

setiap manusia akan mengalami persinggungan, baik internal agama dan ataupun yang
satu dengan yang lainnya, sehingga, dari persinggungan-persinggungan itu menuju satu

titik pertemuan yaitu kalimah sawa>>.Istilah kalimah sawa>>bukan sebuah istilah yang

baru, malainkan telah digunaka Nurcholish Madjid dari tahun 1992, sehingga Istilah

tersebut menjadi sangat popular dalam kalangan cendikawan Islam Indonesia.A

Commond Word/ Kalimat-un sawa’ ini menjadi sangat penting, sebab ide ini dapat

meliputi banyak hal, yaitu teologi, hubungan antar agama, dan bahkan kehidupan social,

politik dan ekonome.

Bab III, berisi tentang biografi Nurcholis Madjidyang meliputi riwayat hidup

beliau dari masa kecil sampai dengan melahirkan karya-karya terbaiknya. Seperti yang

telah di ketahui, bahwa pemikiran Nurcholish Madjid telah menjadi isu nasonal sebagai

tokoh sekularisasi. Ada beberapa point utamanya yang akan penulis jadikan gambaran

yaitu pentingnya sekularisasi politik dengan membedakan dua porsi yaitu ranah agama

dan ranah politik sehingga muncul sebuah slogan “Islam Yes, PartaiIslam No”.Pada

mulanya, pemikiran Nurcholish Madjid yang sangat kontrofersial dimulai sejak tahun

1970an dan bahkan bertahan sampai sekarang.Nurcholish Madjid sebagai penggagas

utamanya sangat menyayangkan adanya kontrofersi dalam merespon

pemikirannya.Sebab bagi beliau, adanya kontofersi tersebut karena stigma atas

penggunaan istilah sekularisasi yang belakangan setelah terjadi banyak kontrofersi,

istilah tersebut beliau ganti dengan istilah desaklarisasi atau demitologisai.

Bab IV, berisi tentang pandangan teologi Nurcholis madjid yang ditawarkan

secara khusus yang dimulai dari pembahasan tentang Gambaran Pemikiran Nurcholis

Madjid, Islam Inklusif dan Pluralisme. Islam inklusif Nurcholish Madjid telah menjadi

paham toleransi agama yang berkembang di negeri ini dan bahkan telah menjadi cacatan

kaki para penganut paham toleransi,seperti Islam Liberal (yang didirikan oleh Lutfi

Assaukane untuk di wilayah Indonesia) dan juga Liberal Islam.Nurcholish Madjid


sebagai seorang cendikiawan Islam dan inklusif serta pemikiran-pemikiran beliau sangat

erat kaitannya dengan kehidupan lapisan social masyarakat Indonesia dengan merajut

pada tiga deminsi utamnya, yaitu Keislaman, Keindonesiaan dan Kemoderenan.

Bab V penulis akan menyimpulkan dari seluruh pembahasan yang telah

dituangkan dalam bab-bab sebelumnya serta penulis akan memberikan sebuah gagasan

untuk menyikapi permasalahan Teologi yang sampai saat ini masih menjadi sebuah

pertentangan para tokoh Islam.


BAB II

TEOLOGI INKLUSIF DAN PLURALISME AGAMA

A. Teologi Inklusif

Sebelum masuk pada pembahasan tentang teologi inklusif, maka terasa perlu

untuk membahas terlebih dahulu pengertian tentang Teologi, baik secara etimologis

(bahasa), terminologi (istilah) dan juga perkembangannya dari masa kemasa.

Untuk memahami kata teologi, serta beberapa lapangan pembahasan terkait

teologi. Teologi berasal dari dua kata, yaitu Theos berarti Tuhan, dan logos berarti ilmu.

Teologi adalah ilmu tentang ketuhanan dan hubungan antara Tuhan dengan manusia.

Sedang teologi Islam adalah ilmu yang membahas tentang fakta-fakta dan gejala-

gejalaagama serta hubungan antara manusia dengan Tuhan. 31 Dengan kata lain, teologi

merupakan sebuah pentelaahan ajaran dasar agama.32

Dengan demikian, pembicaraan tentang teologi, bertumpu pada tiga hal, yaitu

“pembicaraan”, “pengetahuan”, dan “kebenaran”. Ketiga point ini tidaklah terpisahkan.

Ketiganya yang menjadikan teologi sebagai sebuah disiplin ilmu tentang Tuhan yang

berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya. Perbedaan ini sangatlah fundamental dan mendasar.

Karena, sebagai sebuah disiplin ilmu, teologi mempunyai objeknya yang khas untuk

dibicarakan, dan objek tersebut adalah sesuatu yang transendental (Tuhan).33

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Tuhan merupakan sebagai penanda

utama teologi (titik berangkat sekaligus sebagai titik akhir) dari refleksi dan pemikiran

dalam teologi dengan menjadikan Tuhan sebagai eidos (substansi) yang sekaligus

31
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta : PT Pustaka al-Husna, 2003), h. 1
32
Hamzah, Teologi Sosial, Telaah Pemikiran Hasan Hanafi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h.
1
33
Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan,
(Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. 5
sebagai idea (wacana). Menurut Muhammad al-Fayyad, pembahasan tentang teologi

dapat dibagi menjadi dua sistem, yaitu; teologi sebagai sistem keyakinan, dan teologi

sebagai kajian.

Pertama, sebagai sistem keyakinan, mengacu kepada pandangan dunia yang

dibentuk oleh cita-cita ketuhanan yang terkandung dalam praktek keagamaan itu sendiri.

Kedua, sebagai sebuah kajian, merujuk kepada wacana yang dikembangkan dari studi,

telaah dan pendekatan atas konsep ketuhanan, pada bagian yang kedua, sebagai sebuah

kajian karena lebih bersifat kritis daripada sifat normatif.34

Oleh karena itu, dalam perkembangannya, teologi bermakna secara variatif sesuai

dengan masing-masing agama dan kehidupan tertentu, contoh, St. Eusebius,

merumuskan definisi teologi tentang Kristus. Yang lainnya St. Thomas Aquinas yang

hidup pada sekitar abad pertengahan, beranggapan bahwa teologi sebagai pengetahuan

yang suci (sacra doctrina) di dalam agama Kristen.35

Dalam agama Yahudi, juga memiliki definisi tersendiri tentang definisi teologi,

meskipun teologi yang berkembang dalam agama Yahudi karena terpengaruh dari agama

Islam, mereka menamainya sebagai ilmu kalam. Menurut Saadia bin Joseph,

mendefinisikan teologi Yahudi sebagai pengetahuan tentang dasar-dasar keimanan, yang

sumber utamanya adalah kitab suci dan hasil dari penalaran akal.36

Dalam pemikiran Islam, pengertian teologi mencakup pada tiga pembahasan

besar, yaitu Falsafah Islam, Teologi Islam (ilmu kalam) dan Tasawuf. Namun, dalam

pembahsan ini, penulis akan lebih memfokuskan pembahasan hanya kepada teologi

34
Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibn ‘Arabi,, h. 5
35
Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibn ‘Arabi,, h. 64
36
Julius Guttmann, Philosophies of Judaism: The History of Jewish Philosophy from Biblical
Times to Franz Rosenzweigh, terj. David W. Silverman, ( New York: Schocken Books, 1973), h. 70.
Islam (ilmukalam). Sebelum menjadi sebuah keilmuan yang definitif, ilmukalam

mempunyai serangkaian sejarah panjang. Sebelum ilmukalam menjadi sebuah

terminologi khusus seperti yang terjadi seperti sekarang. Namun, seiring dengan

perkembangan sejarah, kata kalam mengalami pengkhususan makna, misalnya dapat

dilihat pada penggunaannya sebagai istilah teknis yang mengacu pada persoalan-

persoalan yang kemudian menjadi objek utama pembahasan.37

Istilah kalam dalam Islam, perkembangannya tampak sebagai sesuatu ilmu setelah

berkembangnya pemikiran-pemikiran Mu’tazilah. Untuk lebih jelasnya, kenapa keilmuan

ini dinamakan sebagai ilmukalam,menurut Harun Nasution, dalam teologi Islam

dipandang dari dua aspek, yaitu: Pertama, Perspektif Objektif, yaitu karena yang dibahas

dalam ilmu ini adalah sabda Tuhan(al-Qur’an), sebuah persoalan yang telah

menimbulkan pertentangan keras dikalangan umat Islam pada abad ke sembilan dan

kesepuluh Masehi. Kedua, perspektif subjektif, yaitu karena para ahli kalam dalam

sejarahnya sering menggunakan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan

pendiriannya berkenaan dengan problem keagamaan yang dihadapi.38

Dengan demikian, jika ditelisik lebih jauh lagi, istilah teologi, sebetulnya

bukanlah hal yang baru dalam Islam, hal ini dapat dilacak pada masa awal Islam, yaitu

pada saat terjadi transformasi Intelektual melalui penerjemahan-penerjemahan buku-

buku Yunani, seperti Theologia Aristoteles, ataupun Elementatio Theologia yang telah

dikenal oleh intelektual Islam pada masa itu. Penggunaan kata teologi sebagai pengganti

kalam tidak lain hanya merupakan sebuah proses sejarah yang berulang. Sehingga hal ini

37
Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-32 Th. XXI, Mei 2015, Abbas, Paradigma dan Corak Pemikiran
Islam Klasik dan Modern, h. 4
38
Harun Nasution, Teologi Islam,, h. ix
merupakan sesuatu yang wajar, sebagai akibat adanya interaksi dialektis seiring dengan

perkembangan pemikiran dalam kontek ruang dan waktu tertentu39.

Untuk mengawali kajian Teologi Inklusif, alangkah sangat penting untuk

mendefinisikan terlebih dahulu kata inklusif. Inklusif dalam bahasa Inggris inclusive,

setelah dirubah menjadi bahasa Indonesia menjadi inklusif yang secara bahasa berarti

terbuka, sebagai lawan dari eksklusif (tertutup). Sehingga ketika dinisbatkan dalam

sebuah agama menjadi teologi inklusif.

Pengertian Teologi Inklusif menurut beberapa tokoh, diantaranya: Nurcholish

Madjid, memaknai kata inklusif pada dua bagian, yaitu pandangan agama-agama lain,

sebagai bentuk implisit dari agama tertentu. Dan yang lainnya, sikap terbuka dan toleran

terhadap penganut agama non Muslim.40 Menurut Alwi Shihab, teologi ini dikaitkan

dengan pandangan Karl Rahner (seorang teolog Katolik), yang intinya menolak asumsi

bahwa Tuhan mengutuk mereka yang tidak meyakini Injil.

Baik dalam pandangan inklusif dalam Islam memiliki dasar spritual yang

memadai. Pandangan diantaranya seperti Qs. al-Baqarah: 62

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-


orang Nashrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang
benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka
akan pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan
tidak (pula) mereka bersedih hati”

Pesan yang kedua digambarkan oleh Qs. al-Maidah: 69.

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin


dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar

39
Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-32 Th. XXI, Mei 2015, Abbas, Paradigma dan Corak Pemikiran
Islam Klasik dan Modern, h. 6
40
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban,, h. 234
saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.”

Sudah tidak menjadi rahasia lagi, bahwa Cak Nur sebagai pemikir yang Inklusif

serta dikenal juga sebagai cendikiawan muslim Indonesia. Pemikiran-pemikiran ke-Islam-

annya sangat terkait dengan dengan dua dimensi kehidupan umat Islam, yaitu ke-

Indonesia-an dan ke-Moderen-an, yang merajut pada tiga dimensi ke-Islam-an, ke-

Indonesia-an dan ke-Moderen-an. Menurut Budhy Munawwar Rachman:

..... Salah satu masalah yang paling kuat Cak Nur kemukakan adalah
masalah Inklusivisme. Menurut Cak Nur, Inklusivisme adalah salah satu
sendi yang sangat menentukan keberhasilan bangsa Indonesia membangun
peradaban yang adil, terbuka, demokratis. Sebab, tanpa adanya sikap Inklusif,
tidak mungkin demokrasi itu ada. Oleh karena itu, Cak Nur menyiapkan
fondasi demokrasi dengan dasar normatif-teologis terlebih dahulu....
.... pada dasarnya, menurut Cak Nur, keberagamaan pada masa ini
sama sekali harus berbeda dengan masa lalu, yaitu dengan beberapa kunci
yang ditekankan; adil, terbuka dan demokratis (inklusif).41

Nurcholish Madjidtelah memberikan sebuah kontribusi yang sangat luar biasa

terhadap para pemikir Indonesia, baik dalam beragama dan bernegara, seperti demokrasi

Hak Asasi Manusia (HAM), kebesabasan berekspresi dan bahkan sampai kepada gagasan

masalah kemajuan. Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, bahwa pemikiran Cak

Nur adalah sintesis keislaman dengan dua unsur lainnya, yaitu keindonesiaan dan

kemoderenan. Bahkan dari semua pemikiran Cak Nur tentang Islam Inklusif merupakan

inti dari pemikiran keislamannya.42

Dalam kaitannya antara Islam dan teologi inklusivitas, di sini Cak Nur

memposisikan Islam sebagai agama yang universal, pendapat ini mengacu kepada

beberapa ayat al-Qur’an, bahwa pada dasarnya pesan yang dibawa oleh para Nabi dan

41
Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-agama,, h. 19-20
42
Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-agama,, h. 24
Rasul adalah ajaran Islam, yaitu; Nabi Nuh mengajarkan Islam (Qs. Yunus/10:72),43 Nabi

Ibrahim juga membawa Islam, hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa wasiatnya

kepada anak cucu beliau (Qs. Al-Baqarah/2:130-132),44 Ya’qub dan Yusuf juga berdoa

kepada Allah, agar kelak beliau meninggal sebagai seorang Muslim “orang yang

berislam” (Qs. Yusuf/12:101).45

Dengan demikian, semua agama itu adalah sama, seperti yang dibawakan oleh

Nabi Muhammad, dan pada dasarnya agama Islam ini tidak unik (tidak berdiri terpisah

dengan agama lainnya, Kristen, Hindhu, Budha, Yahudi, Konghucu dan beberapa

kepercayaan lainnya), namun pada proses perkembangannya itulah yang membuat Islam

maju dan menarik.46

Di dalam al-Quran sebenarnya sudah sangat jelas, bahwa, Tuhan mengutus para

Nabi dan Rasul ialah untuk mewujudkan masyarakat yang berketuhanan ( Rabba>niya>h),

dari sini terlihat dengan jelas, bahwa makna Isla>m sebagai pasrah kepada Tuhan yang

dibawa oleh para Nabi-Rasul terdahulu ialah untuk mewujudkan masyarakat yang

berketuhanan, Makna raba>niya>h sejajar dengan makna keimanan dan ketaqwaan

(imtaq),47 jika penulis telisik lebih jauh iman dan takwa merupakan sebuah fondasi yang

benar bagi kehidupan manusia.

43
“Jika kamu berpalig (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sekalipun dari padamu.
Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk dari golongan yang
berserah diri”.... Lihat al-Quran terjemahan, Prof. R.H.A. Soenarjo S.H., (Jakarta: Yayasan penyelenggara
penerjemah/pentafsir al-Quran, 1971), h. 318
44
“dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang-orang yang
memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di
akherat benar-benar termasuk orang-orang saleh (130). Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, tunduk dan
patuhlah!, ibrahim menjawab, aku tunduk dan patuh hanya kepada Tuhan semesta alam (131). Dan ibrahim
telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub (Ya’qub berkata), hai anak-
anakku! Sungguh Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali memeluk
agama Islam (132)”... lihat, Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, diterjemahkan Bahrun
Abubakar, Toha Putra, Semarang, 1985, h. 382-383
45
Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan,, h. 2
46
Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, , h. 3
47
Ahmadie Thaha – Budhy Munawwar Rachman, Fatosen Nurcholish Madjid, (Jakarta:
Republika, 2002), h.93
Seperti yang telah dijelaskan pada alinea sebelumnya, bahwa pemikiran Cak Nur

menjadi sangat penting untuk diaplikasikan di Indonesia, demi sebuah kerukunan umat

beragama.48 Pandangan seperti ini pula yang menjadikan pemikiran Cak Nur sangat

brilian sebab beliau memadukan keislaman dan keindonesia dengan tetap menjaga sisi

kemerdekaan setiap manusia dengan landasan utamanya teologi Inklusif (sunnatullah).

Pandangan hidup dan orientasi manusia pada rabba>niyya>h merujuk kepada

pandangan bahwa manusia (khalifah fil a>rd) merupakan puncak dari ciptaan Tuhan yang

paling baik. Oleh karenanya, manusia sebagai khalifah di dunia harus dapat menjaga

harkat dan martabatnya. Menurut Cak Nur, pada hakikatnya, manusia diciptakan sebagai

mahluk yang baik dan suci (fitra>h), 49


oleh karenanya, sebagai ciptaan yang paling mulia

dan terbaik, setiap manusia (individu) harus dapat memuliakan sesamanya. Oleh karena

itu, sebagai mahluk paling mulia yang Tuhan ciptakan, manusia harus dapat dan mampu

mengamati dan mengapresiasi alam ini, baik dalam bagiannya saja atau bahkan

seutuhnya. Sebab alam ini sebagai manifestasi dari Tuhan, guna menghayati

keagungannya sebagai dasar kesejahteraan spiritual.

Dari sinilah manusia akan mendapatkan titik pangkal kebenaran yang universal

sebagai ketuhanan yang Maha Esa (Tawhid). Menurut Budhy Munawwar Rachman,

pandangan inilah yang dapat ditafsirkan bahwa setiap agama menganut prinsip yang

sama50 maka, dari sebab inilah sebuah titik pertemua atau kalimah sawa>> (dalam istilah al-

Quran) dapat dijumpai dalam kehidupan berbangsa, bernegara dalam kaitan utamanya

dengan sistem kepercayaan. Serta, implikasi utamanya dari kalimah sawa>> adalah

siapapun, dari manapun dan agama apapun dia berhak mendapatkan sebuah keselamatan,

48
Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-agama,, h. 19-2023
49
Ahmadie Thaha – Budhy Munawwar Rachman, Fatosen Nurcholish Madjid,, h.94
50
Jurnal Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Dari Keseragaman Menuju
Keberagaman; Wacana Multikultural Dalam Media, Jakarta, 1999, h. 144
dengan landasan utamanya diaberiman kepada Allah, kepada hari kemudian dan berbuat

baik (Qs. al-Baqarah/2:62).51

Dari sisi agama sudah sering kali kita mendengarnya, bawa Islam adalah agama

yang toleran, agama yang dapat menghargai agama-agama lain. Tetapi, akhir-akhir ini

sering kali kita mendengarnya bahwa Islam sebagai agama konflik – hal ini dapat dilihat

dari beberapa hal yang diantaranya adalah banyaknya sebagian kelompok para penganut

Islam berjuang dengan kata jiha>ddan bahkan juga meneriakkan bahwa mereka atas nama

Islam.Kedua,lahir beberapa pemahaman radikal seperti teroris, dan juga yang lainnya.

Lantas di sinilah fungsi utama Islam sebagai agama yang toleran harus mampu dan dapat

mensosialisasikan pandangan toleransi sehingga pandangan toleransi di dalam Islam

dapat dihayati, dimengerti, dan diamalkan oleh seluruh lapisan umat Muslim. 52

Islam sebagai agama yang toleran, harus dapat mempraktekkan kerukunan dari

sudut agama Islam. Sebab pada dasarnya kerukunan yang harus di praktekkan oleh

ummat Muslim merupakan sebuah akibat wajar dari sistem keimanan manusia, bentuk ini

dapat dilihat dari diutusnya Nabi Muhammad, bahwa beliau diperintahkan untuk

menegaskan, bahwa dirinya bukanlah yang pertama dikalangan para utusan Allah (Qs. al-

Ahqaf/46:9),53 dan juga telah ditegaskan pula oleh Allah bahwa beliau juga sebagai

penerus dari rasul-rasul sebelumnya (Qs. al-Imran/3:144)54 dari dua tujuan hadirnya

51
Sesungguhnya orang-orang Mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani, dan
orang-orang Sabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari kemudian dan
beramal saleh, mereka akan menerimapahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekwatiran bagi mereka dan tidak
pula mereka bersedih hati.... lihat, Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, diterjemahkan Bahrun
Abubakar, (Semarang: Toha Putra, 1985), h. 228
52
Ahmadie Thaha – Budhy Munawwar Rachman, Fatosen Nurcholish Madjid,, h.77
53
“Katakanlah: Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak
mengetahui apa yang akan di perbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah
mwngikuti apa yang di wahyukan kepadaku dan aku tidak lain adalah seorang pemberi peringatan yang
menjelaskan”. Lihat al-Quran terjemahan, Prof. R.H.A. Soenarjo S.H., (Jakarta: Yayasan penyelenggara
penerjemah/pentafsir al-Quran, 1971), h. 823
54
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sesungguhnya telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau di bunuh kamu berbalik kebelakang (murtad)? Barangsiapa
yang berbalik ke belakang, maka ia tidak mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan
memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur” Lihat al-Quran terjemahan, Prof. R.H.A. Soenarjo
S.H., (Jakarta: Yayasan penyelenggara penerjemah/pentafsir al-Quran, 1971), h. 99
Muhammad dapat ditarik sebuah kesimpulan tentang kesamaan tujuan diutusnya para

rasul, sekalipun syariat yang di praktekkannya berbeda.

Sebagai penjelasan kata Iman pada alinea sebelumnya, bahwa Iman pada dasarnya

berhakikat dinamis. Karena masalah iman menyangkut masalah sikap batin dan hati

(qalb), sehingga tidak mungkin sedemikian rupa, sebab secara harfiah makna qalb adalah

yang berganti-ganti, sehingga untuk dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa iman

menuntut manusia untuk tetap berjuang secara terus menerus (tanpa henti). Sehingga pada

akhirnya dalam agama Islam muncul beberapa kata seperti Syariah, t}ariqah, sabil,

shira>th, minh}ajyang kesemuanya itu bermakna jalan.55 Dari beberapa kata ini sebagai

tuntutan Allah kepada manusia untuk tetap konsisten menuju kepada kebenaran yang

mutlak yaitu Allah swt, sebab inilah sebagai landasan dasar manusia untuk dapat

mencapai sebuah ketakwaan.

Taqwa disatu pihak mencakup pengertian keimanan manusia kepada Allah, hari
akhir, para malaikat, kitab-kitab, dan kepada para nabi terdahulu. Dilain pihak taqwa
disinonimkan dengan nilai... atau kebajikan seperti memberikan hartanya karena
cinta kepada Allah, yang diwujudkan dengan kasih kepada sanak keluarga, anak
yatim, orang-orang miskin, musafir, orang-orang yang membutuhkan pertolongan
dan untuk memerdekakan budak. Selain dari beberapa pengertian di atas, taqwa
juga diwujudkan dalam menegakkan salat dan membayar zakat; dicerminkan dalam
perilaku yang menempati janji tatkala sudah mengikat janjidan sabar pada waktu
mendapatkan kesulitan dan serta sabar dalam waktu menghadapi kesulitan saat
perang. Orang-orang dengan sikap dan perilaku itu disebut orang-orang yang lurus
(shadiqun) dan itu pula yang disebut orang yang bertaqwa. 56

Menurut para intelektual Islam, sikap taqwa kepada Tuhan sebagai kelanjutan dari

sikap fitrah manusia. Fitrah sangat berkaitan erat dengan makna hidup manusia. Agama

sebagai fitrah yang diturunkan dari langit (al-Fitrah al-Munazzalah) yang menguatkan

55
Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan,, h. 6-7
56
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 54. Lihat juga M. Dawam
Rahardjo, Ensiklopedi al-Quran, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kuncin,(Jakarta: Paramadina,
1996), h. 166.
fitrah bawaan manusia sejak dari lahir (al-Fitrah Majbu>lah),57 seperti yang telah penulis

jelaskan pada bagian Pertama di atas.

Pesan taqwa yang telah penulis uraikan di atas, pada prinsipnya merupakan

sebuah kesamaan untuk semua manusia yang harus dimiliki. Sebab dengan pesan takwa

inilah setiap manusia akan menemukan sebuah titik pangkal kesatuan yang sama, yaitu

kesamaan pesan dasar yang diberikan oleh Tuhan kepada semua utusan (Nabi dan Rasul)

yang telah Tuhan turunkan kemuka bumi ini. Kesamaan pesan dasar yang dimaksudkan

di sini yaitu dalam al-Quran disebut dengan washiyyah seperti yang ada pada sebuah

ajakan untk menemukan dasar-dasar sebuah kepercayaan, yaitu sikap hidup yang hanif

yang dalam teologi Islam termuat dalam fahamtauh}i>d.58

Kebenaran yang dilindungi dan bahkan didukung oleh al-Quran, merupakan

sebuah kebenaran azazi yang menjadi inti dari semua agama Allah, serta oleh karena

inilah al-Qur’an memberikan istilah al-Di>n (ketundukan, kepatuhan, ketaatan) yang

mengandung makna tidak hanya pada agama tertentu saja, melainkan untuk kebenaran-

kebenaran spiritual asasi yang tidak berubah-ubah, untuk mennjukkanhakikat primordial

manusia.59

Sebab pada dasarnya, setiap agama selalu mempuyai kesamaan klaim kebenaran

terhadap agama lain, yang pada pokoknya menyangkut kesempurnaan agamanya,dengan

merasa bahwa kesempurnaan ini tidak dimiliki oleh agama lain. hal ini juga diakui oleh

IbnTaymiyyah, bahwa kewajiban orang Yahudi dan Kristen menjalankan ajaran kitab suci

mereka itu berlaku sepanjang masa, jika mereka tidak pindah agama (misalnya kedalam

agama Islam), dari pendapat ini Ibn Taymiyyah juga berpendapat, bahwa pada dasarnya

57
Nurcholish Madjid, Makna Hidup Bagi Manusia Modern, Pengantar buku Hanna
Djumhana Bastaman, Meraih Makna Hidup Bermakna, Kisah Pribadi Dengan Pengalaman Tragis,(Jakarta:
Paramadina, 1996), h. xv
58
Jurnal Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Dari Keseragaman Menuju
Keberagaman; Wacana Multikultural Dalam Media, Jakarta, 1999, h. 148
59
Jurnal Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP),, h. 152
sampai sekarangpun, kitab-kitab suci (Taurat dan Injil) itu masih banyak mengandung

suatu kebenaran, sebab perubahan-perubahan yang terjadi pada kitab tersebut hanya

sebagian saja (yaitu pada yang bersifat berita), seperti bakal tampilnya Nabi penutup

(Muhammah SAW) dan beberapa perintah saja.60

Berpangkal dari berbagai pandangan mengenai toleransi dalam agama Islam, al-

Quran mengajarkan bahwa setiap manusia, harus menghormati semua pengikut kitab suci

(ahl al-kita>b). Seperti halnya yang terjadi pada umat Islam sendiri, diantaranya ada yang

memusuhi, menghormati, ada yang lurus dan begitu juga sebaliknya ada yang tidak lurus

alias melenceng dari garis yang telah di tentukan. Sikap toleransi agama Islam juga

ditunjukkan oleh nabi Muhammad s.a.w sendiri, sikap toleran Nabi ini ditunjukkan dengan

penghormatan beliau kepada orang-orang Nasrani yang lurus dan beliau juga bergaul baik

dengan mereka, sikap toleran Islam juga ditunjukkan oleh al-Quran (Qs. al-

Ankabu>t/29:46)61 (Qs. al-Mumtah}an> ah/60:8).62

Pendapat Cak Nur yang dikutip dari Budhy Munawwar Rachman:

Apa yang kita bawa menghadap Allah adalah amal, dan jika kita sudah
meninggalkan dunia menghadap Allah, maka amal itu terujud di dunia sebagai
bentuk reputasi. Seperti yang dikatakan dalam bahasa melayu, bahasa Indonesia
“Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia
mati meninggalkan amal”. Amal yang menjadi reputasi, yaitu ketika orang
mengenang seseorang yang sudah meninggal itu baik atau buruk.Dan umur reputasi
itu jauh lebih panjang daripada umur pribadi manusia. Contohnya, sampai sekaran
kita masih menyebut dengan penghargaan pada Achimedes, Aristoteles, apalagi
kepada Nabi yang kita cintai Muhammad saw. Tetapi, kita juga menyebut dengan
penuh kutukan dalam hati, orang-orang seperti Nero, Fir’aun, dan lain-lainnya.
Maka dari itu agar reputasi kita nanti baik, ya beberarti mencerminkan apa yag kita
alami di akhirat, maka hendaknya kita menyadari bahwa Allah itu selalu hadir.

B. Perspektif Pluralisme Agama

60
Ahmadie Thaha – Budhy Munawwar Rachman, Fatosen Nurcholish Madjid, h. 79
61
Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara baik, kecuali
dengan orang-orang zalim (orang-orang yang telah diberi penjelasan-penjelasan dengan cara baik tetapi tetap
membantah) di antara mereka. Dan katakan: kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan
kepada kami dan diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu, dan kami hanya kepadanya
berserah diri. Lihat al-Quran terjemahan, Prof. R.H.A. Soenarjo S.H., Yayasan penyelenggara
penerjemah/pentafsir al-Quran, Jakata, 1971, h. 99
62
Ahmadie Thaha – Budhy Munawwar Rachman, Fatosen Nurcholish Madjid,, h. 80
Sejatinya, pluralisme agama telah jelas-jelas ada sejak dahulu. Namun, kata

pluralisme sendiri beserta kajiannya baru t ampak pada sekitar abad ke-19, bersamaan

dengan berkembangnya study agama yang terkenal dengan istilah comperatif religion

(perbandingan agama). Kemudian kajian tentang pluralisme agama dalam religius studies

(studi agama), misalnya seperti sosiologi agama, antropologi agama, sejarah agama,

psikologi agama, fenomenologi agama. 63 Sebagai contoh, fenomenologi agama,

menemukan “Keimanan Universal” dalam setiap bentuk agama, baik primitif maupun

modern.64

Pendapat yang lainnya, mengenai pluralisme agama, penulis mengambil dari buku

Legenhausen, bahwa inti dari pluralisme agama kebenaran pada setiap agama (Islam,

Kristen, Hindhu, Budha dan Konghucu), menurutnya hal ini adalah sebagai bentuk

toleransi untuk memelihara kerukunan antar umat beragama ditengah-tengah keragaman

yang ada.

Dari beberapa argumentasi di atas penulis akan menghadirkan beberapa

pandangan dari tokoh-tokoh pluralisme, yaitu: Mohammad Fathi Usman, mendefinisikan

pluralisme sebagai bentuk kelembagaan, di mana penerimaan terhadap karagaman

melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan, maka pluralisme lebih dari

sekedar toleransi ataupun konsistensi pasif. Pluralisme pada satu sisi mensyaratkan

ukuran-ukuran kelembagaan yang melindungi dan mensyahkan kesetaraan dan

mengembangkan ukuran-ukuran kelembagaan yang bersifat bawaan.65

Menurut Budhy Munawwar Rachman yang penulis ambil dari Hendar Riyadi,

Pluralisme tidak hanya berarti actual plurality (kemajmukan atau keaneragaman) yang

63
Maufur, Pluralisme Agama Dalam Buddhisme, UNIVERSUM, Vol. 9 No. 2 Juli 2015, h.
225
64
Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), h. 44
65
Mohammad Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan; Pandangan al-
Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban, diterjemahkan oleh Irfan Abubakar, (Jakarta: Pramadina,
2006), h. 2
justru menggambarkan kesan pragmatis, bukan hanya sekedar “kebaikan negatif” sebagai

lawan fanatisme, melainkan harus di fahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam

ikatan peradaban”.66 Dalam bahasa agama, pluralitas atau kebinekaan agama, merupakan

sunnatullah (kepastian hukum Tuhan) yang bersifat abadi (parennial).67

Sementara di antara argumen historis pluralitas agama juga di kemukakan oleh

Isma>il< R}aj> i> al-Fa>ru>qi>, bahwa kebinekaan atau pluralitas agama disebabkan oleh peradaban

tingkat perkembangan sejarah, sebab pada dasarnya asal agama itu berkembang dari

Tuhan, yang disebut dengan agama fitrah, dengan berlandaskan pada Q.s. Arum; 30

“maka hadapkanlah wajahmu kepada (Allah) dengan lurus; (tetaplah) atau fitrah Allah

yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah.

Itulah agama yang benar, akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui ”. tetapi,

kemudian sejalan dengan dengan perkembangan sejarah, peradaban dan lokasi umat yang

menerimanya, sehingga berkembang menjadi agama agama historis atau tradisi agama

yang spesifik dan beraneka, plural.68

Dengan demikian perlunya sebuah agenda intelektual yang mampu memberikan

jawaban terhadap beberapa persoalan mengenai kehidupan bernegara. Hal inilah yang

menjadi sebuah keperluan khusus untuk membangun sebuah faham keagamaan (teologi)

baru sebagai sebuah rekonstruksi terhadap sebuah pemikiran yang lama dan bersifak

ekslusif dan mudah arogan. Serta pentingnya mewacanakan bahwa sebagai wacana

kemanusiaan yang terbuka serta siap berhadapan dengan persoalan-persolan baru dan

sebuah penafsiran yang baru pula.

Islam sendiri sebagai agama yang di peluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia

mempunyai peran yang sangat utama untuk kemajuan negara Indonesia, dan mampu

66
Hendar Riyadi, Melampaui pluralisme; Etika al-Qur’an tentang Keragaman Agama,
(Jakarta: RMBooks dan PSAP, 2007), h. 59-60
67
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 48
68
(diambil dari) Majlis Tarjih dan Pengembangan pemikiran Islam PP. Muhammadiyah,
Tafsir Tematik al-Quran, h. 15
bersikap proaktif dalam setiap perubahan di negeri ini. Namun, yang harus menjadi

catatan dan selalu di perhatikan bahwa di dalam tubuh Islam sendiri terdapat ke

anekaragaman, baik yang bersifat pemikiran teologis, pemikiran politis maupun pemikiran

sosiologis.69

Oleh karena itu, jika merujuk kepada agama Islam, sejak awal misi Islam adalah

pembebasan dari penindasan, tirani, dan ketidakadilan. Semangat itu perlu terus

dikembangkan, sampai tidak ada lagi kebenaran penafsiran. Liberalisme pada dasarnya

diakui oleh al-Qur’an, walaupun secara eksplisit istilah liberalisasi tidak dijelaskan dalam

al-Qur’an. Islam menjamin kebebasan beragama sebagai salah satu tujuan pokok dari

syari’ah. Menurut Sya>tibi> dalam konsep al-k}u>lliya>tl-k}ha>msah, lima hal pokok dalam

syariah, yang terdiri atas: menjaga agama ( h}ifz} al-dî>n), menjaga nalar (h}ifz} al-a>ql),

menjaga keturunan (h}ifz} al-n}a>sh), menjaga harta (h}ifz} al-mâ>l), dan menjaga kehormatan

(h}ifz} al-i>rdli). Dalam h}ifz} al-d}i>n, ajaran Islam menjamin kebebasan seseorang untuk

memeluk agamanya. Al-Qur’an juga menegaskan tidak ada paksaan dalam beragama. 70

Dalam konteks sekularisme yang dikembangkan para pemikir Islam Progresif di

Indonesia, mereka mendukung negara sekular (Negara Pancasila) yang tetap memberi

tempat pada agama. Di sini agama tidak bisa memerintahkan negara, demikian pula

sebaliknya. Yang harus diperjuangkan dalam masyarakat sekular adalah suatu sistem yang

berdasarkan konstitusionalisme, Hak Asasi Manusia (HAM) dan menjunjung tinggi

kebebasan beragama.

Pancasila, sebagai common platform menurut para pemikir Islam Progresif

merupakan kalimah sawa>>(titik temu agama-agama). Pancasila sudah cukup memuat

seluruh nilai-nilai yang dicita-citakan bersama bagi tatanan yang ideal. Pancasila

69
Von Grubeum, Islam Kesatuan dalam Keragaman, diterjemahkan oleh, N. Yahya,
(Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983), h. 21
70
Budhy Munawwar Rachman, Jurnal Annual Conference on Islamic Studies (ACIS),
Banjarmasin, 2010, h. 4
dirumuskan berdasarkan masyarakat yang majemuk, yang meliputi perbedaan suku dan

agama. Karena itu, maka Pancasila disepakati harus bisa diterima oleh semua umat

beragama, dan karena itu pula tidak bisa disebut sebagai sebuah konsep negara Islam,

dalam arti negara-agama.71 Menurut para pemikir Islam Progresif, Indonesia cukup dan

pantasdengan model seperti saat ini, di mana negara tidak formal atas dasar agama, tetapi

agama menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sensitifitas keberagamaan yang sering memunculkan prilaku emosional

penganutnya ditengarai adanya doktrin-doktrin keagamaan yang ditafsirkan secara tidak

tepat. Hal ini tentunya tidak menafikan adanya sebab-sebab lain seperti setting sosial,

stabilitas ekonomi dan kondisi politik. Dalam konteks Islam, corak penafsiran terhadap

dogma agama biasanya membawa pengaruh terhadap perilaku keberagamaan umat Islam.

Corak penafsiran yang eksklusif akan berdampak pada lahirnya perilaku keberagamaan

yang eksklusif, sementara penafsiran yang inklusif dan toleran juga akan memunculkan

sikap keberagamaan yang inklusif dan toleran pula. Terkait dengan hal tersebut penafsiran

terhadap dogma fikih mau tidak mau ikut memberi kontribusi atas terjadinya harmoni atau

disharmoni kehidupan beragama umat Islam baik antar sesama mereka maupun dengan

pemeluk agama lain. Di samping memiliki intensitas kajian yang tinggi menyangkut

interaksi umat manusia, juga sering dijadikan tolok ukur kesalihan seseorang dalam

menjalani aktifitas kehidupan. Kesalihan inilah yang nantinya akan menentukan

keselamatan seseorang di kehidupan kelak.72

Bagi masyarakat Indonesia, prinsip toleransi dan kebebasan bukan lagi hal yang

baru. Nenek moyang bangsa sejak dahulu mengenalkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Semboyan itu tentunya sangatrelevan dengan kondisi bangsaIndonesia yang memiliki

tingkat pluralitas tinggi. Tidak hanya pluralitas etnis, bahasa dan budaya, melainkan juga
71
Budhy Munawwar Rachman, Jurnal Annual ,, h. 2
72
Agus Sunaryo, Teologi Inklusif Nurcholish Madjid dan Pengaruhnya Terhadap Fiqih
Lintas Agama di Indonesia, (Artikel, tanpa tahun dan halaman)
pluralitas agama dan kepercayaan yang kesemuanya terpadu dalam wadah Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam pandangan Islam, kemanusiaan adalah sesuatu yang sangat penting bagi

manusia. Kemanusiaan ini tidak akan terpengaruh oleh zaman dan tempat, asal-usul rasial

dan kebahasaan, ia akan tetap ada meskipun zaman. Oleh karenanya Islam selalu

berurusan dengan kemanusiaan, maka ia harus ada bersama manusia tanpa harus ada

batasan-batasan ruang maupun waktu serta tanpa hambatan kualitas lahiriah manusia

(asalusul rasial dan bahasa).73 Dengan bahasa yang lebih sederhana bisa sebutkan bahwa

sikap pasrah kepada Tuhan itu adalah tuntutan alami setiap manusia yang berarti bahawa

agama (ad-Di>n), secara harfiah memiliki makna ketundukan, kepatuhan atau ketaatan,

tidak lain merupakan sikap pasrah kepada Tuhan (al-Isla>m).

Di zaman modern seperti saat ini, ide pluralisme dalam Islam di kembangkan oleh

beberapa pemikir-pemikir muslim kontemporer, seperti Fritjof Schoun, Sayyed Hossein

Nasr, Hasan Askari dan Abdul Azizschedina, dan khusus untuk ranah Indonesia,

dikembangkan oleh Nurcholish Madjid, Abdurahman Wahid, dan juga aliran Islam liberal

seperti yang di motori oleh Ulil Absar Abdallah. Menurut Budhy Munawwar Rachman,

sebenarnya Pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan

manusia tidak hanya berdasarkan pada satu kelompok saja, suku, warna kulit, dan agama,

melainkan Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar mereka dapat dan serta saling

belajar dan membantu antara yang satu dengan yang lainnya. 74

Argument dalam pesan agama didasarkan kepada keimanan pribadi atau individu,

atau mungkin dapat dikatakan bahwa keyakinan otoritas individu tidak boleh atau tidak

diperkenankan untuk mengganggu keyakinan individu yang lainnya. Penulis, mengutip

pendapat Schedina dari Budhy Munawwar Rachman:


73
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban,, h. 426
74
Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalism, (Jakarta: Friedich Naumann Stiftung,
2011), h. 220
Saya sangat percaya, bahwa jika kaum muslim menyadari pentingnya ajara al-
Qur’an mengenai pluralisme kultural atau religius sebagai suatu prinsip pemberian
Tuhan dalam membentuk suasana hidup berdampingan yang harmonis sesama
manusia, maka kaum muslim akan dapat menghindari dalam pemerintahan represif
dan tidak efisien. 75
Sebab kehidupan yang didasarkan pada semangat pluralisme atas dasar toleransi,
merupakan sebuah anugerah kesempurnaan. Sebab inilah kondisi yang paling
otentik, serta mengajak kepada nilai-nilai cinta dan keadilan. 76 Sedangkan menurut
Cak Nur pluralisme disebut sebagai pertalian kebhinnekaan yang paling sejati
dengan keadaban. 77

Islam Inklusif yang pernah Cak Nur Kembangkan dari tahun 1970-an sampai

beliau meninggal, sudah menjadi basis faham toleransi keagamaan dan persepektif

pluralisme agama yang tetap berkembang sampai saat ini. Namun, pada dasarnya faham

pluralisme dapat bertahan bukan sebuah usaha yang tanpa dasar, melainkan telah Cak

Nur persiapkan point-points khusus sebagai sebuah inti yang menjadi pegangan pegangan

utamanya, yaitu diantaranya;

Pertama, orientasi hidup pribadi yang transindental dengan Iman. Kedua,

menerjemahkan orientasi pribadi ke dalam bakti sosial. Ketiga, menerima dan mengakui

adanya hak para anggota masyarakat tempat kita melakukan bakri sosial untuk bebas

menyatakan pendapat dan pikiran yang berguna untuk saling mengawasi dan mengingat

tentang yang benar dan kebenaran. Keempat. Bersikap tabah dalam menjalankan beberapa

point yang telah di jelaskan, sebab dengan prinsip itulah cita-cita besar pluralisme dapat

tercapai.78

Sebab tidak dapat diingkari, artikulasi agama oleh para pemeluknya sering

menimbulkan berbagai persoalan yang menjadi ancaman bagi demokrasi kemanusiaan.

Munculnya fundemintalisme dan kultus dengan mengedepankan truth claim yang

75
Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalism, h. 221
76
Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalism, , h. 223
77
Nurcholish Madjid, Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi; Tantangan dan
Kemungkinan, Republika, 10 Agustus 1999. Lihat Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalism, ..... h.
224
78
Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-agama,, h. 29
menjakan umat beragama kurang toleran terhadap pihak, kelompok, aliran dan atau agama

lain serta anti pluralisme merupakan sebuah musuh yang nyata bagi perkembangan

kehidupan berbangsa dan bernegara.79

Dari berbagai persoalan yang tumbuh, seperti munculnya pertikaian atas nama

agama tak lepas dari pandang sebuah aliran atau kelompok yang dianutnya dengan cara

pandang yang eksklusif, sehingga, mereka mudah mengklaim bahwa teks-teks agama itu

bersifat, Pertama, konsisten dan penuh dengan kebenaran. Kedua, lengkap dan final,

sehingga tidak ada kebenaran selain agamanya sendiri. Ketiga, teks-teks agama agama itu

dianggab sebagai satu-satunya jalan keselamatan, Keempat, teks-teks tersebut dianggab

sebagai inspirasi langsung oleh Tuhan.80

79
Fihif Abdillah, Pluralisme Agama Dalam Pandangan Nurcholish Madjid, (tidak
diterbitkan), 2003, h. 3
80
Budhy Munawwar Rachman, Agama Masa Depan; Persepektif Falsafah
Parenial,(Jakarta:Paramadina, 1995), h. xxiv
BAB III

TENTANG NURCHOLISH MADJID

A. Riwayat Hidup Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid merupakan seorang putra dari dua pasangan H. Abdul Majid

dan Hj. Fathonah. Namun, nama Nurcholish Madjid bukanlah nama kecilnya, melainkan

nama kedua setelah beliau sering mengalami sakit-sakita semasa kecilnya, nama kecil

beliau adalah Abdul Malik yang berarti “hamba Allah”. Perubahan nama dari Abdul Malik

ke Nurcholish Madjid terjadi ada saat beliau berumur 6 (enam) tahun.81 Karena Abdul

Malik kecil mengalami sakit-sakitan.82 Pemberian nama Nurcholish Madjid tidak terlalu

jelas asal mulanya, kecuali nama itu dari kata Arab, Nur berarti “Cahaya” dan Cholish

berarti “Murni” atau “bersih”, sementara nama belakangnya Madjid diambil dari nama

ayahnya “Abdul Madjid”.83

Nurcholish Madjid84 lahir dari keluarga pesantren di Jombang, Jawa Timur.

Berasal dari keluarga NU (Nahdlatul Ulama’) yang berafialiasi pada politik modernis yaitu

Masyumi, Cak Nur mendapatka pendidikan dasar (SR) di Mojoanyar dan Bareng, dan
85
pendidikan Ibtidaiyahnya di Mojonyar, Jombang. Setelah lulus pada pendidikan

ibtidaiyah, Cak Nur melanjutkan pendidikannya (tingkat SMP) di pesantren Darul Ulum,

Rejoso, Jombang. Karena beliau berasal dari keuarga NU yang berafiliasi Masyumi, beliau

tidak betah dipesantren ini, karena afiliasi pesantren Darul Ulum pada politik NU,

81
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid; Jalan Hidup seorang Visioner,(Jakarta:
Kompas, 2010), h. 1
82
“kebotan jeneng” keberatan nama: Dalam tradisi jawa anak yang sering sakit dianggab
“kebotan jeneng” keberatan nama, sehingga anak yang sering sakit harus diganti namanya biar tak sakit-
sakitan lagi.
83
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 2
84
Nama Nurcholish Madjid, kemudian oleh penulis akan disebut “Cak Nur” seperti panggian
pada panggilan akrabnya.
85
Budhy Munawwar Rachman - Elza Peldi Taher, Satu Menit Pencerahan Nurcholish
Madjid, Imania dan (Depok: Paramadina, 2013), h. xiv
sehingga pada akhirnya, Cak Nur pindah ke pesantren yang modernis, yaitu Kulliyatul

Mu’allimin al-Islamiyah, pesantren Darus Salam, Gontor, Ponorogo.86

Perpindahan Cak Nur dari pesantren Darul Ulum, Rejoso ke pesantren Darus

Slam, Gontor, membuat heran masyarakat dikampungnya. Sebab di mata masyarakat

(kaum Nahdliyin Jombang), saat itu pesantren Gontor memiliki citra “setengah Kafir”,

setidaknya pesantren Gontor disebut bukan sebagai pesantren NU, melainkan pesantren

Masyumi.87 Namun, dari pesantren inilah Cak Nur mendapatkan beberapa keahlian dasar-

dasar agama, khususnya bahasa Arab dan bahasa Inggris. 88

Cak Nur pernah mengatakan, yang penulis kutip dari Budhi Munawwar Rachman:

Gontor memang sebuah pondok pesantren yang sangat modern, malah sangat
modern untuk ukuran waktu itu. Yang membuatnya modern adalah dari segi
kegiatan-kegiatannya, sistem, orientasi, dan metodelogi pendidikan. Serta
pengajarannya. Kemodernannya juga nampak pada materi-materi yang
diajarkan, diantaranya seperti bahasa, di pesantren ini sudah diajarkan bahasa
Inggris, bahasa Arab dan bahasa Belanda, sebelum pada akhirnya di hapus
karena ada larangan. Dan semua santri juga di wajibkan menggunakan
bahasa Arab dan bahasa Inggris dalam percakan sehari-harinya, serta juga
mendapatkan keringanan untuk santri baru dengan membolehkan berbahasa
Indonesia selama setengah tahun.
Selain dari sistem pengajarannya yang sangat modern, di pesantren ini ada
kegatan olah raga yang sangat maju, termasuk pakaiannya dengan kostum
bercelana pendek. Saya masih ingat, waktu itu sempat menjadi olok-olokan
masyarakat sekitar Jombang, “masuk Gontor santrinya bercelana pendek”,
begitu kata mereka. Soalnya di pesantren lain, seperti Rejoso, santrinya
masih sarungan meskipun saat olah raga dan atau bermain bola.
Waktu itu Gontor merupakan kantong, dan bisa dikatakan terpisah dari dunia
sekitarnya. Karena itu saat seorang pastur berkunjung kesana merasa kaget-
kaget sekali, menurutnya pondok Gontor merupakan pondok modern. Dan
istilah pondok modern ini berasal dari pastur ini.89
Belakangan setelah Cak Nur belajar dan tinggal di Gontor, pada akhirnya beliau

tahu, bahwa pesantren Gontor bukan pesantren Masyumi seprti anggapan masyarakat di

86
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,(Jakarta: Democracy Project,
2010), h. 2
87
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 15
88
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 2
89
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 2-3, diambil dari, Ikhsan
Ali Fauzi, Demi Islam, Demi Indonesia, Manuskrip Otobiografi Nurcholish Madjid, (tidak diterbitkan), 1999
sekitar Cak Nur. Hal ini di buktikan dengan para guru dan siswanya yang belajar di

Gontor, bersal dari berbagai kultur keagamaan. Dan bahkan para pendirinya pun bukan

(K.H. Ahmad Sahal, K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Zainuddin Fanani) bukan orang

Masyumi.90

Pada awalnya, saat Cak Nur masuk ke Gontor, sebenarnya beliau hanya tertarik

pada bahasa Arab dan bahasa Inggris. Tapi, Cak Nur dimadukkan ke kelas ilmu pasti.

Namun, hal itu tidak membuatnya tersudut dan galau mlainkan membuat Cak Nur suka

terhadap semua pelajaran, sebagai contohnya nilai beliau tentang ilmu hitung

mendapatkan nilai 10 (sepuluh). Dan pelajaran yang paling tidak Cak Nur sukai adalah

pelajaran mengarang (al-Insya’). Cak Nur menduga, pelajaran mengarang itu hanya

menduga dan menghayal saja. Dari pada mengarang, Cak Nur lebih suka menterjemahkan

dari pada mengarang, namun dengan cara menterjemahkan beberapa buku dari bahasa

inggris, dan cara inilah yang bisa membuat Cak Nur mendapatkan nilai tinggi. 91

Selain menterjemahkan bahasa Inggris dan belajar bahasa Arab, ketika belajar di

Gontor, beliau juga suka mengirimkan surat kepada kedutaan besar asing di Jakarta, dari

hasil inilah Cak Nur mendapatkan banyak buku-buku bahasa Inggris, seperti Hero with the

Thousand Thesis dan Mysticism; East and West. Hal ini terjadi bukan karena di Gontor

tidak ada perpustakaan, melainan sangat sulit diakses oleh para santri. Itulah yang

menyulitkan Cak Nur menyalurkan hobi membacannya yang telah di tanamkan oleh kedua

orang tuanya pada beliau.92

Semasa di Gontor Cak Nur juga aktif menjadi anggota PII (Pelajar Islam

Indonesia), cabang Gontor. Aktivitasnya di PII tidak terlalu banyak menyita waktu,

sehingga beliau masih dapat menjalankan tugas utamanya, yaitu belajar. Dalam proses

pembelajarannya semasa di Gontor inilah, Cak Nur menunjukkan prestasinya. Misalnya,


90
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 15
91
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 19
92
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 20
hanya cukup menyelesaikan selama 5 (lima) tahun untuk menyelesaikan studinya, padahal

biasanya harus 6 (enam) tahun yang harus ditempuh.93

Pada tahun 1960, Cak Nur menyelesaikan studinya di Gontor, dan kemudian

berencana untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi Muhammadiyah di Solo.

Tetapi, rencana itu di urngkan, sebab untuk bisa masuk ke perguruan itu harus mempunyai

ijazah SMA. Sehingga kiai Zarkasyi mencoba menenangkan hati Cak Nur, atas

kegagalannya untuk masuk di perguruan tinggi Muhammadiyah itu, dan pada akhirnya

Zarkasyi menjanjikan bahwa pada suatu saat beliau akan mengirim Cak Nur ke Mesir dan

meminta Cak Nur untuk mengajar dulu di Gontor. Cak Nur pun mengikuti saran yang

diberikan oleh kiainya itu.94

Satu tahun Cak Nur mengajar di Gontor, pelajaran yang beliau sampaikan adalah

Ilmu Balagah (ilmu yang mengajarkan tentang keindahan dan ketepatan berbahasa Arab).

Pelajaran ini hanya di sampaikan pada anak-anak yang masih belajar di kelas 5 (lima) dan

6 (enam)95 dan pengajarpun biasanya guru senior. Tetapi, pengecualian terhadap Cak Nur,

sebab dari awalnya Cak Nur memang sudah sering di minta untuk menggantikan guru-

guru yang berhalangan hadir.

Karena berita mngenai beasiswa belajar ke Mesir belum jelas dan pasti, pada

akhirnya beliau memutuskan untuk sekolah di perguruan tinggi IAIN Jakarta, dan ini juga

merupakan syaran dari kiai Zarkasyi, sehingga berangkatlah Cak Nur kejakarta. Pada awal

1961, Cak Nur masuk di fakultas Sastra Arab IAIN Jakarta, karena minatnya juga sangat

besar dalam bidang bahasa Arab. Selain dari minatnya dalam bidang bahasa Arab, Cak

Nur masuk di Fakultas ini karena ada dosen yang Alumnus Gontor juga, yaitu

Abdurrahman Partesentono, Abdurahman juga yang memudahkan Cak Nur masuk di IAIN

Jakarta ini. Sebab pada saat itu, ijazah pesantren belum di akui, dan karena itulah lulusan
93
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 21
94
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 21
95
Kelas 5 (lima) dan 6 (enam) setingkat dengan kelas 2 (dua) dan 3 (tiga) tingkat SMU.
pesantren tidak di akui masuk IAIN, mashasiswa yang masuk di IAIN kebanyakan mereka

lulusan PGA (Pendidika Guru Agama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Namun,

dengan bantuan Abdurahman itu akhirnya Cak Nur bisa masuk ke IAIN Jakarta ini.96

Keterlibatan Cak Nur di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), karena beliau

mengetahui di HMI Cabang Ciputat97 ada A.M. Fatwa yang namanya sudah di dengar

sebagai akivis PII dan HMI yag dekat dengan tokoh-tokoh Masyumi. Hubungan atara Cak

Nur dan Fatwa, karena Cak Nur mengikuti pesan ayahnya, ayahnya pernah berpesan “agar

di Jakarta Cak Nur menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh Masyumi. Karena itulah, Cak

Nur berfikiran bahwa, melalui Fatwa inilah perkenalan dengan tokoh-tokoh Masyumi

dapat terujud.98

Pada awal-awal di IAIN Jakarta, Cak Nur selalu berpindah-pindah tempat,

peramanya beliau bertempat di komplek Dosen IAIN Jakarta, bersama teman-teman

kelasnya, setelah itu beliau pidah ke Legoso seberang kampus IAIN Jakarta, beliau

memilih tempat ini karena di koskosan di sekitar kampus sangat mahal. Rumah yang

ditempati Cak Nur di Legoso terbuat dari bambu, disebelahnya terdapat sebuah empang

yang didapati lele dan di atas empang itu ada jamban kayu yang bentuknya mirip dengan

mimbar, sehingga setiap kali mau buang air menyebutnya mau “khutbah”.99

Sejak aktif di HMI selain mengenal Fatwa Cak Nur juga mengenal Zarkasyi

teman seniornya di Gontor, Zarkasyi menawarkan sebuah tempat tinggal (kos) kepada Cak

Nur di daerah kebayoran Baru, di Jl. K.H. Ahmad Dahlan. Tawaran ini terjadi karena

Zarkasyi akan keluar dar tempat yang pernah dia tempati ini. Dari tempat inilah, fatwa

96
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 24
97
Pada waktu itu, HMI Ciputat hanya sebagai Komisariat yang berada di bawah naungan
HMI Cabang Jakarta. Komisariat di Ciputat didirikan oleh Fatwa dan tiga orang temannya, Abu Bakar,
Salim Umar, dan Komaruddin.
98
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 26
99
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 27
mengajak Cak Nur tnggal bersama dengan di rumah prawoto. 100 Selama tinggal bersama

Fatwa inilah, Fatwa mulai mengetahui, bahwa Cak Nur adalah seorang yang pencinta

buku, dah bahkan pada saat antri toeletpun Cak Nur masih sempat membuka dan

membaca buku.101

Karir intelektual Cak Nur sebagai seorang pemikir dimulai pada saat beliau berada

di IAIN Jakarta, terutama pada saat beliau menjabat ketua umum PB HMI selama dua

periode pada tahun 1966-1968 dan 1969-1971.102 Pada masa ini, beliau juga menjadi

presiden pertama PEMIAT (Pesatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), dan wakil sekjen

IFSO (International Islamic Federation of Student Organizations) 1969-1971.103

Pada masa-masa inilah Cak Nur membangun citra dirinya sebagai seorang pemikir

muda Islam. Pada masa ini sekitar tahun 1968 Cak Nur juga menulis artikel yang sangat

menarik dan memancing kritikan dari beberapa tokoh, diantaranya H.M. Rasyidi, 104 judul

artikel tersebut adalah “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi”, artikel ini

sangat terkenal sekali dan bahkan banyak sekali para aktifis HMI yang mendiskusikan

artikel ini sampai pada pelosok-pelosok. Dari artikel inilah kemudian Cak Nur dijuluki

sebagai “Natsir Muda”.

Satu tahun setelah artikel “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi”

di cetuskan, Cak Nur membuat satu pegangan khusus dalam organisasi HMI, yaitu NIK

(Nilai Identitas Kader) yang kemudian dirubah menjadi NDP (Nilai-nilai Dasar

Perjuangan), buku kecil inilah yang sampai saat ini masih menjadi sebah pegangan khusus

bagi seluruh kader HMI di seluruh Indonesia. Buku kecil ini juga sebagai pengembangan

dari Dasar-dasar Islamisme yang pernah beliau sampaikan pada training kepemimpinan.

100
Prawoto adalah ketua Masyumi terakhir sebelum di bubarkan, pada saat itu rumah
Prawoto ditempati oleh Fatwa, karena Prawoto masih berada dalam tahanan resim orde lama.
101
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 30
102
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 4
103
Budhy Munawwar Rachman - Elza Peldi Taher, Satu Menit Pencerahan ,, h. xv
104
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 5
Buku kecil terbentuk setelah perjalanan beliau ke Amerika setelah beliau lulus lengkap di

IAIN Jakarta, yang kemudia dari perjalanan itu beliau lanjutkan ke Timur Tengah, dan

pergi haji selama tiga bulan.105

Penulis mencoba menganalisa pada “periode I” 106 pemikiran Cak Nur dimulai

sejak tahun 1968 dengan diterbitkannya artikel “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan

Westernisasi”, sebab pada masa inilah Cak Nur menunjukkan bahwa beliau sebagai

pemikir nasional,107 serta pada masa ini pula Cak Nur terlihat sebagai pemikir yang

modern yang sekaligus sosialis religius. Dan pada masa ini pula banyak para golongan tua

merasa kecewa pada Cak Nur, dengan cara mempromosikan sekularisasi yang telah beliau

sajikan di depan organisasi-organisasi mahasiswa pada 03 Januari 1970 yang berjudul

“Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat”.108

Sebenarnya jika di analisis kembali, artikel Cak Nur yang beliau terbitkan pada

tahun 1970 merupakan sebuah keanjutan dari artikel yang pernah beliau terbitkan pada

tahun 1968 tentang “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi”. Didalam

makalah yang di presentasikan pada tahun 1970-an, Cak Nur mnjelaskan tentang

perpecahan yang sangat mendesak untuk di pecahkan, khususnya dalam hubungan

integrasi ummat akibat perpecahan yang sebabkan oleh paham-paham dan kepartaian

politik. Dalam periode pertama ini Cak Nur memperkenalkan Jargon sekularisasinya yang

berbunyi “Islam Yes; Partai Islam No”.109

Artikel yang muncul tahun 1970-an inilah pada akhirnya yang akan menimbulkan

kontroversi lanjutan. Artikel inilah yang sangat menarik untuk dibahas sebab artikel ini

105
Budhy Munawwar Rachman - Elza Peldi Taher, Satu Menit Pencerahan,, h. xvi
106
Periode I adalah sebutan khas Budhy Munawwar Rachman untuk menunjukkan bahwa
inilah awal mula pemikiran Cak Nur menjadi sangat luar biasa dan juga menunjukkan bahwa pada pada
tahun-tahun ini pula Cak Nur menunjukkan bakatnya sebagai seorang pemikir dan cendikiawan muda
Indonesia.
107
Budhy Munawwar Rachman - Elza Peldi Taher, Satu Menit Pencerahan ,, h. xix
108
Artikel ini Cak Nur presentasikan pada pertemuan silaturahmi antar para aktifis, keluarga
dari empat organisasi Islam (Persami, HMI, GPI, PII) yang diselengarakan oleh PII Cabang Jakarta di
gedung pertemuan Islamic Research Center di jalan menteng Jakarta Raya.
109
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 11
mendapatkan posisi yang sangat substansial, serta artkel ini pula Cak Nur memunculkan

beberapa artikel selanjutnya yang muncul pada 1972 yang berjudul “Beberapa Catatan

Sekitar Masalah Pembaharuan Pemikiran Islam”, “Sekali Lagi tentang Sekularisas”,

“Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia” dan “Persepektif

Pembaharuan Pemikiran dalam Islam”.110 Dan harus di fahami bersama, bahwa pada

periode awal ini hanya terbatas pada kalangan-kalangan pemuda, terutama para anggota

dan pemimpin-pemimpin organisasi yang telah penulis jelaskan di atas. Pada periode ini

sebenarnya dapat dikatakan bahwa Cak Nur dalam awal ini memang agak represif oleh

sebab itu, inilah pentingnya bagi penulis untuk lebih mendalami pemahaman Cak Nur

tentang ide-ide pembaharuan. Penulis sependapat dengan pendapat BMR 111, bahwa “tidak

ada gagasan yan bersifat ahistoris”.

Istilah sekularisasi ini sebetulnya yang menjadi pangkal kehebohan, serta sebab

dari istilah ini pula Cak Nur dianggab sebagai atau di cap “kaum sekularis”, karena banyak

yang beranggapan bahwa Cak Nur telah mempromosikan sekularisme, padahal beliau

telah menjelaskan secara rinci, bahwa sekularisasi bukanlah sekularisme.112 Persoalan kata

sekularisasi ini menjadi seolah lebih sulit lagi ketika H.M. Rasjidi membuat koreksi

terhadap tulisan Cak Nur dengan judul artikel yang berjudul “Sekularisme dalam

Persoalan: Suatu Koreksi terhadap Tulisan Nurcholish Madjid” yang di terbitkan oleh

Yayasan Bangkit pada tahun 1972, dan koreksi H.M. Rasjidi keduanya di terbitkan oleh

DDII pada tahun 1973, yang berjudul “Suatu Koreksi Lagi Bagi Drs. Nurcholish Madjid”,

dua artikel inilah yang kemudian di terbitkan oleh Bulan Bintang menjadi sebuah buku

yang berjudul “sekularisasi ditinjau Kembali”.113

110
Artkel-artikel ini diterbitkan pada tahun 1970 sampai 1972.
111
BMR adalah singkatan dari nama Budhy Munawwar Rachman.
112
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 30
113
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 32
Namun, gagasan pembaharuan dapat dikatakan mulai surut saat Cak Nur

berangkat ke Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1978-1984. Dan surutnya isu

sekulrisasi ini hanya pada gagasan Cak Nur saja. Tetapi, disisi lain ada pengusung

sekularisasi kembali yang di kepalai oleh Prof. Dr. Harun Nasution, 114 dengan gagasan

utamanya membangun suatu teologi Islam rasional atas pemikiran Neo-Mu’tazilah dari

Muhammad Abduh.

Setelah Cak Nur tidak lagi menjabat ketua umum PB HMI pada tahun 1971,

beliau memiliki banyak banyak waktu yaitu untuk memperdalam kata-kata beliau dan juga

untuk ngobrol bersama anak istrinya. Waktu inilah yang menjadi menurut Cak Nur yang

ditunggu-tunggu menebus “kesalahan” pada istrinya. Sebab, selama beliau menjabat di

HMI, beliau sering tidak tidak pulang dan tidak ketemu dengan anak istrinya yang

disebabkan oleh kesibukan beliau sebagai ketua umum. Waktu luang ini Cak Nur alami

selama dua setengah tahun, sebelum beliau disibukkan dengan diskusi-diskusi dengan

kelompok pembaharu.

Namun, dari kelmpok diskusi pembaharu inilah Cak Nur mulai beaktivitas

kembali, dengan membuat LSIK (Lembaga Studi Ilmu Kemasyarakatan) 115 yang

kemudian lembaga ini di ganti dengan LKIS (Lembaga Kebajikan Samanhudi) pada

sekitar tahun 1974. Dari lembaga LSIK inilah Cak Nur kenal dengan Dr. Taufik

Abdullah116 ada tahun 1973 dan mengajak Cak Nur untuk aktif dalam LIPI (Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia), diri lembaga inilah Cak Nur tidak menyianyiakan kesempatan

beliau untuk mengikuti program penelitian ke daerah-daerah. Dari sinilah Cak Nur

114
Harun Nasution, pernah menjadi Rektor IAIN Jakarta pada 1973, semenjak menjadi rektor
di IAIN Jakarta, beliau merombak sistem pendidikan, dengan membuat sebuah buku pegangan untuk IAIN,
sebelum di ganti menjadi UIN pada tahun 2000.
115
Lembaga LSIK ini didirikan pada tahun 1972
116
Dr. Taufik Abdullah merupakan Derektur Leknas LIPI.
mendapat kepercayaan dari Dr. Taufik Abdullah memproses kepegawaian Cak Nur

sebagai peneliti LIPI. 117

Pada tahun 1976, Cak Nur berangkat ke Universitas sebagai Junior Participant

dalam seminar lokakarya Islam and Social Change yang berlangsung selama 8 bulan.118

Cak Nur sebagai tokoh yang menasional sejak tahun 1970-an beliau merasa terkesan saat

berada di Chicago meskipun kegiatan beliau hanya mengurusi lokakarya saja, sebab

kegiatan ini melibatkan banyak tokoh-tokoh besar Islam dari berbagai Universitas dan

dalam seminar ini, sesekali Cak Nur juga tampil sebagai narasumber untuk menjelaskan

Islam di Indonesia. Pada bulan Maret 1978 Cak Nur melanjutkan studinya di universitas

Chicago dengan bantuan beasiswa yang didapat dari Ford Foundation. Di universitas

inilah Cak Nur bergabung denga Arab Circle119 .

Sekitar setelah 4 (empat) tahun Cak Nur mendapatkan beasiswa dari Ford

Foundation. Sejak pada tahun 1980-an Cak Nur berada dibawah bimbingan Fazlurrahman,

seorang ahli dari pakistan yang hijrah ke Amerika karena mendapat tekanan-tekanan dari

negeri akibat pemikirannya yang selalu menyulut kontroversi. Cak Nur berada di bawah

bimbingan beliau merasa nyaman karena Fazlurrahman sebagai Profesor yang Muslim,

dan secara internasional beliau di akui sebagai pemikir besar Muslim.

Di bawah bimbingan Fazlurrahmanlah pada sekitar tahun 1984, Cak Nur

menyelesaikan studinya dengan disertasi doktor berjudul “Ibn Taymiyyah on Kalam and

Falsafah: A Problem of Reasion and Revilation in Islam”. Cak Nur pernah ditanya oleh

Mohammad Roem, mengenai judul skripsinya pada sekitar tahun 1983, kenapa beliau

mengambil pemikiran ibnu taymiah, Cak Nur menjawab:

“saya tertarik pada Ibnu Taymiyyah karena peranannya yang sering di


pandang sebagai leluhur doktrinal bagi banyak sekali gerakan-gerakan

117
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 137
118
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 138
119
Arab Circle adalah tempat perkumpulan orang-orang Muslim sedunia dan yang tertarik
kepada Islam.
pembaharuan Islam zaman moderen, baik yag fundemintais dan liberalistik.
Kritiknya terhadap kalam dan falsafah dilakukan dengan kompetensi yang
amatmengesankan, karena beliau benar-benar mengusai disiplin keilmuan ke-
Islam-an yang helenistik itu. Ia adalah seorang tokoh seorang tokoh dalam
sejarah pemikiran Islam yang terakhir secara kompeten berusaha
membendung helenisme, meskipun pahamnya sendiri tentang metode qiyas
tetapi bersifat Aristetolian. Ibnu Taymiah adalah seorang intelektual besar
yang tampaknya tidak banyak dipahami, padahal intelektualismenya itu baik
sekali jika dicontoh dan dikembangkan lebih baik.”120

Pada point di atas inilah kenapa Cak Nur pada tesisnya mengambil tentang

pemikiran dari IbnTaymiyyah.

Pada tanggal 4 Juli 1984, Cak Nur pulang dari Chicago ke tanah Air. Kepulangan

Cak Nur ke Indonesia mendapat sambutan yang sangat luar biasa, dengan lebih seratus

orang yang menyabut kehadiran kembali ke Indonesia di Bandara Halim Perdana Kusuma,

Jakarta, diantaranya adalah Sugeng Sarjadi, A.M. Fatwa, Nono Anwar Makarim, Abdul

Latif, Mar’e Muhammad, Sugiat, Dawam Raharjo, dan beberapa tokoh lainnya.

Sekitar dua hari dari kepulanga Cak Nur ke Indonesia, beliau diajak makan sate

oleh temannya Utomo, teman lamanya selama beliau masih aktif di HMI. Sambil bertukar

cerita, Utomo mengingatkan pada Cak Nur tentang hal yang pernah di capai 15 tahun yang

lalu, tepatnya pada periode pertama pemikiran beliau yang di presentasikan di depan 4

organisasi Islam pada tahun 70-an. Utomo mendorong Cak Nur untuk membuat satu

wadah sebagai tempat untuk melanjutkan pembaharuan yang pernah terjadi ada tahun

1970-an. Namun, Cak Nur belum menangkap secara jelas maksud dari apa yang dikatakan

Utomo itu, malah Cak Nur hanya bercerita mengenai karyanya yang paling awal,

Khazanah Intelektual Islam.121

Setelah pulang dari Chicago inilah gagasan tentang pembentukan Pramadina

mulai didiskusikan oleh Cak Nur dan beberapa kawan yang lainnya, dengan

mendiskusikannya pada Majlis Reboan. Sehingga diskusi pembentukan dari forum reboan

120
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 147
121
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 149-150
ini menjadi benar-benar terbentuk pada tahun 1986, pada awalnya, terbentuknya

Paramadina ini disebut sebagai “gang HMI”, karena banyaknya aktifis HMI masuk

kedalamnya. Tetapi, tak bisa di luakan bahwa di dalam Paramadina ada juga Sugiat

Ahmad Sumadi (NU) dan Ahmad Rifa’i, Moosolly Noer, Mohammad Yahya dan Utomo

(yang merupakan bagian dari penggagas terbentuknya Paramadina), mereka semua ini

merupakan aktifis PII.122

Tetapi, yang harus di garis bawahi adalah pembentukan Pramadina didasarkan

pada hukum yayasan, sebagai yayasan wakaf, dengan artian yayasan ini dimiliki oleh umat

bukan eksekutif atau perorangan yang dapat diwariskan turun temurun. Nama Paramadina

mengandung dua unsur, yaitu: Pramadina berasal dari bahasa sansakerta yang berarti

prima atau utama; dan dina berasal dari bahasa Arab, yang berarti Agama, itulah yang

menyebabkan pada awal terbentuknya nama Paramadina di pisahkan (Parama Dina) yang

berarti “Agama Utama”.123

Peluncuran Paramadina yang direncanakan pada 1986, sebagai lebaga ke-Islam-an

yang berambisi menjadi lembaga terbuka. Hal yang paling sulit bagi para pendiri ialah

untuk memperkenalkan lembaga ini kepada para pamerintah, sebab pada tahun 1980-an,

pembentukan apapun yang dasarnya berasaskan Islam sangat sulit, sebab pembicaraan

mengenai agama pada masa itu sangat sensitif. Sebab pada saat rezim Soeharto sangat

rigid dengan ideologi pancasila sebagai azaz tunggal, dimana pada masa itu semua

organisasi berdsarkan pada satu azaz, yaitu Pancasila.

Namun, hal ini sangat berbeda dengan apa yang ditakutkan oleh Cak Nur dan para

pendiri paramadina lainnya. Ini dikarena, Soeharto sangat menerima, dan bahkan telah

mengetahui atas rencana pembentukan Paramadina ini, dan Soeharto sangat mendukung

atas gagasan Cak Nur untuk membuat lembaga Paramadina. Dan Soeharto memberikan

122
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 151
123
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 151
pidato pembukaan pada 28 Oktober 1986 sebagai peluncuran pertamanya di Hotel Sari

Pan Pacific , Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat.124

Sejak awal terbentuknya, Paramadina didesain elit ecara intelekual oleh para

pembentuknya, Cak Nur juga menjelaskan tentang setingan ini, menurut beliau:

“Bila konstituen Paramadina aadalah kelas menengah, sebetulnya itu adalah


hal yang natural. Sebab dalam menguraikan gagasan, kita menggunakan pola
ekpresi tertentu yang disebut ilmiah, akademik dan lain sebagainya, maka
mau tidak mau yang bisa faham hanya kelas menengah. Jadi kelas menengah
paramadina itu bukanlah suatu tujuan tetapi, hanya efek dari pendekatan yag
digunakan saja.....
.... Bila banyak yang memandang Pramadina ini terkesan elit, itu hanya
disebabkan oleh sudut pandang saja. Sama halnya dengan ketika saya tampil
di RCTI pada acara “sahur bersama Cak Nur”, ada berbagai pendapat
diantaranya pendapat mereka adalah, “itu bagai mana Cak Nur kok mau
tampil dalam acara seperti itu, rendah sekali”, begitu juga sebaliknya, ada
yang berkomentar terlalu tinggi ....
.....ya pada intinya Cuma persepektif saja yang bermacam-macam.”125

Paramadina ini pada awalnya dirancang untuk menjadi pusat kegiatan kegiatan

keagamaan yang memadukan tradisi dan modernitas dengan berlandasan pada dalil Ushul

Fiqh, “al-Mahafadzatu ala al-Qadim as-Salih” (memelihara yang lama yang baik), Tradisi,

dan “wa ahdzu bil-Jadid al-Ashlah” (dan mengambil yang baru yang lebih baik),

Modernitas,126 menurut Cak Nur dengan cara inilah Paramadina dapat melampaui

beberapa Ormas-ormas Islam seperti NU (Nahdlatul Ulama’), Muhammadiyah, PERSIS

dan beberapa ormas Islam lainnya.

Sehingga, sejak Paramadina didirikan, inilah Cak Nur memulai menulis kembali,

baik untuk di konsumsi pribadi dan atau untuk keperluan forum diskusi KKA (Klub

Kajian Agama). Sehingga pada periode ini, beliau banyak membuat buku-buku, baik

dalam bentuk kumpulan makah beliau, seperti Islam, Doktrin dan Peradaban (1992),

Kontekstualiasasi Doktrin Islam dalam Sejarah (1994), Islam agama peradaban (1995),

124
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 153
125
Pendapat Cak Nur ini, penulis kutip dari BMR dalam ensiklopedinya yang berjudul
“membaca Nurcholish Madjid”.
126
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 154
Islam Agama Kemanusiaan (1995), dan beberapa buku lainnya yang merupakan isi lebih

detail dari program KKA.127

Pada tahun 1992 Cak Nur menyampaikan ceramah yang kedua kalinya setelah

tahun 1972 di satu tempat yang sama.128 Orasi budaya Cak Nur tepatnya pada tanggal 21

Oktober 1992 ini berjudul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di

Indonesia untuk Generasi Mendatang”. Sehingga setelah ceramah tim ini juga, polemik

yang pernah terjadi pada tahun 1970-an terjadi lagi tahun ini.129 Awal terjadinya polemik

ini di mulai dari laporan utama media dakwah yan mencoba mencari asal usul orientasi

pemikiran Cak Nur di TIM itu.

Polemik yang terjadi akibat dari pidatonya di TIM tersebut, terutama Cak Nur

mendapat kritikan dari generasi muda yaitu generasi 1990-an. Sehingga pada polemik kali

ini banyak tokoh-tokoh menyebutnya sebagai “Pengadilan Nurcholish Madjid”, yang

terjadi pada 13 Desember 1992. Kemarahan ini muncul karena dalam pidatonya Cak Nur

mengatakan bahwa fundemintalisme agama sama bahayanya dengan narkoba. 130 Mekipun

Irfan adalah bekas aktivis Ikhwan, justru Irfan menegaskan dan mendukung Cak Nur

dengan mengatakan bahwa, fundemintalisme hanya sebuh pelaria ketika kaum Muslim

merasa tidak berdaya di hadapan hegemoni budaya sekuler Barat. 131

Dari beberapa kontroversi yang terjadi dari tahun 1970-an dah bahkan sampai saat

ini dalam hubungannya dengan sekularisasi, meminjam kata BMR “pengertian Islam yang

generik dengan pengertian Islam yang par-exelent (yang Organizad)”,132 bukanlah hal

yang baru dah bahkan telah terjadi sejak dahulu kala. Menurut BMR di dalam buku yang

sama, beliau melanjutkan, bahwa persoalan “sekularisasi”, telah terjadi pada masa tokoh-

127
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 38
128
Ahmad Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 225
129
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 39
130
Hasil wawancara Ahmad Gaus dengan Irfan Mohammad (pengajar YISC al-Azhar dan
Jamaah Paramadina) pada tanggal 27 Juni 2007.
131
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 229
132
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 42
tokoh al-Maqribi (Malik Bernabi dan Muhammad Lahbab), di India (Alam Khudmiri)

sampai pada beberapa tokoh yang menganggab bahwa sekularisasi adalah sebagian dari

Islam.133

Namun, yang sangat menarik dari pemikiran Cak Nur adalah, pemikiran beliau

tidak hanya menjadi perdebatan dalam dunia Islam saja melainkan juga menjadi

perdebatan di dalam dunia kristen. Diantara tokoh dari luar Islam yang menyoroti

pemikiran Cak Nur adalah J.B. Binawiratma dari IKIP Sanata Dharma Jogjakarta, Franz

Magnis Suseno dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Jakarta, dan pendeta Protesten Martin

L. Sinaga dari Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta .134

Setelah bebrapa lama Cak Nur bergelut dalam dunia Intelektual, pada akhirnya

hari senin, tanggal 29 Agustus 2005, Cak Nur menghembuskan nafas terakhirnya di RSPI

(Rumah Sakit Pondok Indah), tepatnya jam 14.05 beliau pergi dengan tenang tenang

keharibaan-Nya.135

B. Karya-karya Nurcholish Madjid

Sebagai seorang cendikiawan muslim yang produktif, kita dapat menelusuri

karya-karya ilmiah yang pernah Cak Nur tulis, bauk yang dalam bentuk artikel sampai

dalam bentuk buku yang sering kali dicetak ulang. Dalam pembahasan ini, karya-karya

yang dihasilkan olehCak Nur sengaja tidak diungkap secara keseluruhan. Melainkan buku-

buku atau artikel yang dipaparkan di sini tidak lain lebih ditekankan pada karyakaryanya

yang dianggap mewakili gagasan sentral Cak Nur. Di antara karya-karya Nurcholish

Madjid yang telah beredar antara lain:

Khasanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984). Karya ini oleh Cak

Nur dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu segi kejayaan Islam di bidang

133
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 42
134
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid,, h. 242
135
Ihsan Ali Fauzi – Ade Armando, All You Need is Love; Cak Nur di Mata Anak Muda,
(Jakarta: Democrazy Project, 2012), h. 65
pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan teologi. Dalam buku ini, Cak

Nur memperkenalkan tokoh-tokoh muslim klasik, seperti Al Kindi, Asy‘ari, AFarabi,

Afghani, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyyah, Ibnu Khaldun dan Muhammad

Abduh. Buku ini sekedar pengantar pemikiran kepada kajian yang lebih luas dan

mendalam tentang khazanah kekayaan pemikiran Islam.

Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1988). Buku yang

memuat tulisan-tulisan mengenai sekularisasi, slogan“Islam Yes, Partai Islam No”, serta

penolakan terhadap negara Islam.Dalam bukunya ini Cak Nur berusahamemadukan antara

Islam dan kemodernan dan keindonesiaan. Buku initermasuk salah satu karya Cak Nur

yang laris. Ini terbukti denganadanya beberapa kali cetak ulang. Dari cetakan pertamanya

tahun 1988 sampaitahun 1997, buku ini telah dicetak ulang sebanyak 9 kali. Hal ini

menunjukkanbahwa tulisan-tulisan Cak Nur ini mendapat perhatian luas dari umatIslam,

baik yang pro maupun yang kontra.

Dikarenakan tulisan-tulisan dalam buku ini merupakan hasil perenungan Cak Nur

selama dua dasawarsa, maka melalui buku ini dapat dilihatproses perkembangan

pemikiran Cak Nur yang mengalami proses pematangan. Sebagai contoh, dalam buku ini

dapat dilihat mengenai permasalahan kata “sekularisasi”. Ketika penggunaan kata

“sekularisasi” itu menimbulkan penentangan keras, Cak Nur berusaha menjelaskan pada

tulisan berikutnya. Akan tetapi walaupun dia telah menjelaskan kata itu, namun tetap saja

penentangan keras tidak mengendur. Akhirnya untuk menghindari penentangan keras yang

justru akan merugikan umat Islam atau dirinya, Cak Nur tidak menggunakan kata itu lagi

dan menggantinya dengan kata “desakralisasi”.

Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah

Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992). Buku ini

merupakan kumpulandari sebagian makalah Klub Kajian Agama (KKA) yang


diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta. Oleh karena itu, tulisan dalam

buku ini memuat pembahasan-pembahasan terkait dengan suatu masalah tertentu, seperti

misalnya pembahasan mengenai Islam dan budaya lokal. Pendekatan topikal ini menurut

Cak Nur diperlukan untuk mempertajam pemusatan pembahasan, sehingga dapat

diperoleh hasil yang maksimal. Dengan tulisantulisan dalam buku ini diharapkan pembaca

mampu memahami Islam secara lebih komprehensif.

Buku ini berusaha menawarkan konsep Islam kultural yang produktif dan

konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua,

rahmatan lil ‘a>lami>n. Islam sebagai sebuah ajaran yang universal harus mampu diterapkan

kepada masyarakat agar Islam dapat membangun peradaban sebagaimana yang pernah

terjadi pada masa Islam klasik dahulu.

Buku ini ditulis sebagai bagian dari usaha membangun dialog keterbukaan dengan

mengembangkan tradisi menyatakan yang benar dan baik secara bebas dan tanpa

prasangka, untuk kepentingan bersama yang diharapkan dapat mendorong tumbuhnya

wawasan jauh ke depan dengan tetap berpegang teguh kepada Allah, Tuhan Yang Maha

Esa. Dikarenakan keluasan dan kedalaman pembahasannya, buku ini dianggap sebagai

magnum opus-nya Cak Nur.

Islam Agama Peradaban: Membangun Makna Relevansi Doktrin Islam dan

Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995). Buku ini menyajikan analisadan refleksi wacana

keislaman, baik wacana keislaman klasik maupun modern.Analisis Islam klasik digunakan

untuk merefleksikan wacana keislaman modern.Dalam karyanya ini, Cak Nur, menurut

Komaruddin Hidayat, tidak raguuntuk melakukan kritik historis terhadap perilaku Nabi

dan para sahabat.Kesalahan apapun yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan

mungkinMuhammad sendiri sebagai manusia, sama sekali tidak akan menodai

danmerendahkan ajaran Islam karena Islam memang tidak memiliki obsesi


bagiterwujudnya sebuah masyarakat suci (monastic and sacred society), melainkan

historical society, dengan segala sifat kemanusiaannya. 136

Dengan melalui kajian sejarah dan sosiologi, buku ini berusaha menyajikan

wawasan dan interpretasi terhadap Islam, sehingga ajaran Islam dapat terbebas dari mitos,

walaupun menurut Cak Nur sendiri agama Islam merupakan agama yang paling

terbebaskan dari mitos, dan pemihakan ideologis karena kepentingan politik praktis. Hal

ini penting dilakukan karena beberapa ajaran Islam telah “disusupi” oleh mitos-mitos yang

kadangkala diciptakan oleh umat Islam sendiri yang itu mengakibatkan Islam kehilangan

daya pencerahannya.

Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi Visi Baru Islam Indonesia

(Jakarta: Paramadina, 1995). Di dalam buku ini, nampaknya Cak Nur ingin menunjukkan

bahwa agama dan budaya itu berbeda, namun tidak dapat dipisahkan. Kebenaran Islam

yang universal selalu memiliki kemampuan untuk beradaptasi kepada lingkungan budaya

di mana ia tumbuh dan berkembang, secara otentik dan kreatif.137Dalam buku ini, Cak Nur

berhasil menunjukkan bahwa Islam Indonesia, sebagai pembahasan dalam buku ini,

merupakan Islam yang absah. Artinya Islam Indonesia tidak bisa dianggap “kurang

Islami” apabila dibandingkan dengan Islam di tempat-tempat lain, seperti Islam di Arab.

Setelah membaca buku ini diharapkan pembaca mampu membedakan antara

agama dan budaya sehingga tidak terjadi pencampuradukan antara keduanya. Hal ini

penting agar umat Islam Indonesia mampu memandang masa depannya dengan penuh

percaya diri tanpa merasa rendah diri apabila dibandingkan dengan umat Islam yang

berada di Arab.

136
Komaruddin Hidayat “Kata Pengantar”, dalam Cak Nur, Islam Agama Peradaban:
Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. xi
137
Cak Nur, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia,Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995, hal. xviii
Pintu-Pintu Menuju Tuhan(Jakarta: Paramadina 1996).Melalui buku ini, Cak

Nur ingin menyampaikan pesan bahwa untuk mencari kebenaran tidak harus melalui satu

pintu, tetapi dapat dilakukan dengan melalui berbagai pintu. Sebagaimana “Wahai anak-

anakku, janganlah kamu masuk dari satu pintu, melainkan masuklahdari berbagai pintu

yang berbeda.”138Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam seharusnya memiliki

kreatifitas untuk mencari kebenaran. Dalam buku ini Cak Nur menunjukkan berbagai

pintu untuk mencari kebenaran. Di antara pintu-pintu tersebut adalah pintu tawhid dan

iman, pintu sejarah dan peradaban, pintu tafsir, pintu etik dan moral, pintu spiritual, pintu

pluralisme dan kemanusiaan, dan pintu sosial dan politik. Semua pintu-pintu itu terdapat

dalam ajaran Islam. Dengan menunjukkan pintu-pintu tersebut, Cak Nur ingin

menegaskan bahwa perjuangan umat Islam dalam mencari keridaan Tuhan tidak hanya

bergantung kepada pintu politik semata, melainkan dapat ditempuh melalui pintu-pintu

lainnya.

Namun demikian, Cak Nur menegaskan bahwa dalam mencari kebenaran, sifat-

sifat toleran, lapang dada, terbuka, kerendah-hatian, tidak fanatik, dan tidak berpikiran

sempit, mutlak dibutuhkan. Dengan sifat-sifat tersebut, pencapaian kemenangan Islam

dapat dinikmati oleh setiap makhluk. Hal inilah yang menjadi pesan utama pemikiran-

pemikiran Cak Nur yang tertuang dalam buku ini.

Masyarakat Religius (Jakarta: Paramadina, 1997). Buku ini merupakan kumpulan

dari tulisan-tulisan Cak Nur pada tahun-tahun 1986-an sampai 1990-an. Melalui karyanya

ini, Cak Nur ingin menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia, individu maupun kolektif

(masyarakat), memiliki sisi religious (naluri untuk berkepercayaan). Menurut Cak Nur

manusia hidup tidak mungkin tanpa rasa dimensi kedalaman tertentu yang menyentuh

emosi dan jiwanya yang dinyatakan dalam keharuan, ketidakberdayaan diri, dan keinsafan.

138
QS. Yusuf:67
Dengan demikian, buku ini menyajikan tesis bahwa makna hidup yang hakiki dan

sejati dalam diri manusia memang ada. Tetapi, hal itu tidak Nampak dalam segi-segi

formal atau bentuk lahiriah kegamaan melainkan ia berada di baliknya. Artinya, segi

formalitas harus “ditembus” dan batas-batas lahiriah harus “diseberangi”. Jika hal itu

mampu dilakukan oleh manusia, maka akan tumbuh sikap-sikap religius yang lebih sejalan

dengan makna dan maksud hakiki ajaran agama. Pada akhirnya buku ini ingin

menunjukkan bahwa manusia, individu maupun masyarakat, dapat berkembang bersama

sisi religius yang dimilikinya yang dalam buku ini sisi religius yang dimaksud adalah

agama Islam.

Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam Dalam Wacana Sosial Politik

Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 1998). Buku ini berbeda dengan buku-buku Cak Nur

sebelumnya. Buku ini merupakan kumpulan wawancara Cak Nur yang pernah dimuat di

berbagai media massa dari sekitar tahun 1970-an hingga tahun 1996. Oleh karena itu, tema

yang dikemukakan sangat beragam, seperti tema mengenai agama, budaya, politik,

pendidikan, dan lain sebagainya. Dikarenakan dalam bentuk wawancara, tema-tema

tersebut muncul sesuai dengan konteks waktu pada saat wawancara dilangsungkan.

Sebagai sebuah pemikiran, gagasan Cak Nur tentunya tidak sepi dari kritikan.

Artinya tidak semua orang setuju dan menerima gagasan yang dilontarkan oleh Cak Nur.

Bahkan, banyak pihak yang secara keras mengkritik dan menyerang gagasannya itu.

Untuk itu, dibutuhkan sebuah dialog terbuka dan jujur dalam menanggapi berbagai

gagasannya itu. Dialog terbuka dibutuhkan agar tidak terjadi salah paham atau pun

pemitosan terhadap gagasannya itu. Dengan buku ini, gagasan-gagasan Cak Nur dapat

“didialogkan” secara terbuka dan kritis sehingga pemikirannya dapat ditempatkan sesuai

dengan tempat dan proporsinya.


Cita-cita Politik Islam Era Reformasi(Jakarta: Paramadina, 1999). Buku terakhir

yang memuat pemikiran politik Cak Nur. Buku ini memuat tujuh artikel yang pernah

ditulis oleh Cak Nur. Walapun berjudul Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, namun

kebanyakan tulisan yang dimuat dalam buku ini ditulis oleh Cak Nur pada masa sebelum

reformasi bergulir di Indonesia (pada masa Orde Baru), hanya dua tulisan yang ditulis

setelah Soeharto lengser, yaitu Menata Kembali Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara

Menuju Peradaban Baru Indonesia (183-199) dan Kalam Kekhalifahan Manusia dan

Reformasi Buku (203-265).

Tulisan-tulisan Cak Nur ini membahas nilai-nilai politik Islam yang dapat

diterapkan untuk kemajuan bangsa Indonesia atau terciptanya “masyarakat madani”.

Berbagai tema, seperti demokrasi, keadilan, keterbukaan, toleransi, dan lain sebagainya,

dibahas oleh Cak Nur. Menurut Cak Nur, dalam Islam terdapat nilai-nilai yang dapat

digunakan untuk kemajuan umat Islam, seperti tugas melawan setiap bentuk kezaliman

yang diungkapkan dengan kalimat amr ma’ruf nahi munkar.Umat Islam saat ini hanya

diperlukan untuk mendalami kembali dan mengembangkan nilai-nilai yang telah ada di

dalam Islam sesuai dengan masa saat ini agar umat Islam maju dan berkembang

sebagaimana yang pernah dicapai oleh umat Islam terdahulu, pada masa Rasul dan

Khalifah Ar-Rasyidin.

Buku ini ingin menunjukkan bahwa Islam sebenarnya memiliki nilai-nilai penting

yang dapat diterapkan untuk menciptakan peradaban besar umat Islam. Tinggal umat

Islam sendiri berusaha untuk merealisasikan perkatan Nabi SAW, “Kamu adalah sebaik-

baik umat yang diketengahkan untuk manusia, karena kamumenganjurkan kebaikan dan

mencegah kejahatan, lagi pula kamu percaya kepadaTuhan.” Dikarenakan Islam telah

memiliki semua “peralatan” untuk menciptakan sebuah peradaban maju, maka umat Islam
sudah seharusnya merealisasikan cita-cita politik Islam itu agar berguna bagi umat Islam

dan manusia secara keseluruhan, Islam rahmatan lil ‘alamiin.

Dari berbagai karya-karya Cak Nur tersebut dapat dilihat keinginan besarnya

untuk memajukan umat Islam Indonesia. Sesuai dengan gagasan Islam kulturalnya,

kemajuan umat Islam Indonesia dapat diraih tanpa harus melalui pembentukan negara

Islam sebagaimana yang diinginkan oleh pemimpin-pemimpin Islam sebelumnya. Yang

terpenting menurut Cak Nur adalah terlaksananya nilai-nilainya Islam dalam masyarakat,

seperti demokrasi, keadilan, toleransi, dan lain sebagainya.

Nilai-nilai Islam tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia tanpa harus

dibentuknya negara Islam secara formal. Dengan melalui pendidikan dan peningkatan

kesadaran umat Islam terhadap nilai-nilai Islam maka umat Islam dapat menerapkan nilai-

nilai itu dalam masyarakat. Dengan demikian, Indonesia akan menjadi “negara Islam”

tanpa harus mencantumkan Piagam Jakarta atau Islam secara jelas dan formal dalam

undang-undangnya

Karya-karya yang pernah ditulis Cak Nur, berangkat dari keprihatinan terhadap

kondisi umat Islam. Cak Nur berusaha menyuguhkan alternatif agar Islam menjadi agama

yang benar-benar melekat dan memiliki fungsi dalam kehidupan. Sehingga menurut

Nurcholish Madjid Al-Qur’an dan Sunnah perlu ditafsirkan secara kreatif, kritis.Namun,

tetap dengan sikap yang bertanggung jawab serta dipahami secara keseluruhan dengan

menerapkan metode filosofis sehingga nilai-nilai universal yang dikandungnya mampu

menjadi landasan bagi kehidupan umat, dan dapat dimanifestasikan secara konkret dalam

hidup ini.

BAB IV
KALIMAH SAWA>DALAM PANDANGAN NURCHOLISH MADJID

A. Kalimah Sawa> Dalam Kacamata Nurcholish Madjid

Konsep pemikiran Nurcholish Madjid, didasarkan pada tiga bentuk, yaitu


Keislaman, Keindonesiaan dan Kemoderenan, yang kemudian oleh Cak Nur di
deklarasikan pada tahun 1992 di TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta. Sehingga pada
tahun 1992 itu ceramah Nurcholish Madjid menuai beberapa kritikan dari banyak tokoh
terutama toko-tokoh Islam.

Tetapi, untuk saat ini mungkin apa yang disampaikan oleh Cak Nur di TIM itu
merupakan hal yang sangat biasa, meskipun masih ada beberapa aliran belum sepakat
sepenuhnya kepada Cak Nur. Pidato yang disampaikan oleh Cak Nur yaitu tentang Titik
Temu Agama-Agama, dalam bahasa Inggris Commond Plat Form, atau dalam bahasa
Arabnya kalimah sawa>,139kata kalimatun sawa’ ini oleh Nurcholish Madjid diambil dari
al-Quran, yang artinya:

Katakanlah wahai Muhammad, “Wahai Ahlul Kitab (orang-orang Yahudi


dan Nasrani), marila (berpegang) pada kalimat yang sama, yang tidak ada
perbedaan antara kami dan kalian. Hendaknya kita tidak menyembah selain
Allah dan hendaknya di antara kita tidak menjadikan bagian yang lain
sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, katakanlah, (Muhammad
dan orang-orang Mukmin) kepada mereka, kami adalah orang-orang yang
berserah diri.”140

Hal ini juga sama persis dengan kesepakatan yang dibangun oleh beberapa tokoh-
tokoh Islam seperti Sunni, Syiah, Muhammadiyah, dan juga beberapa kalangan lainnya
seperti Ikhwanul Muslimin, yang di motori oleh Prince Ghazi bin Muhammad Talal,
Jordan, setelah mendengar kuliah umum dari Paus benidiktus 14 di Jerman pada tahun
1997.

Dari beberapa konsep pemikiran Cak Nur, utamanya ada beberapa point yang
sangat menarik, yaitu ApakahCak Nur sebagai seorang Pluralis atau bukan? Mengenai
hal ini ada beberapa pendapat, yaitu diantaranya, beberapa aliran mengatakan bahwa Cak
Nur ini bukan seorang pluralis, salah satu pendapat ini disampaikan oleh Frans Magnes

139
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, (Jakarta: Democracy Project,
2010), h. 55
140
Qs. Ali Imran (3): 64
Suseno, dan pendapat yang lainnya dari Budhy Munaawar Rahcman, yang meyakini
bahwa Cak Nur adalah seorang yang pluralis.

Budhy Munaawar Rachman yang meyakini bahwa Cak Nur sebagai seorang
pluralis dengan mengambil sebuah alasan dari sisi Inklusifismenya Cak Nur, yaitu dengan
membawa gerbong Cak Nur secara utuh, yaitu Islam Inklusif. Namun, dapat dipastikan
bahwa meskipun Cak Nur sebagai seorang yang pluralis, beliau tidak seperti tokoh
pluralisme lainnya, yaitu dengan menjauhkan diri dari tiga point yang difahami oleh
banyak orang tentang pluralisme yaitu tidak ada keunikan dalam agama, semua agama
sama saja, bisa dicampur-campur, tiga point inilah yang dijahkan para teolog, terutama
Cak Nur.141

Dan yang paling menarik dari pemikiran Cak Nur adalah, Cak Nur tidak hanya
menggunakan kata kalimah sawa> pada Keislaman saja. Beliau juga menggunakan kata
kalimah sawa> ini pada konsep kenegaraan juga, yaitu dengan menyinkronkan antara
kalimah sawa> dengan pancasila-khususnya Indonesia. Hal ini dilakukan oleh Cak Nur
sebagai jalan atau syarat untuk membuat perdamaian ras, suku dan juga para penganut
agama (Islam, Kristen, Hindhu, Budha dan Konghucu).

Dari bebrapa pemikiran tentang Inklusif Cak Nur ada beberapa point yang sangat

menarik, yaitu tantang fitrah manusia. Cak Nur membagikan pada dua bagian yaitu fitrah

munazzalah (fitrah yang diturunkan “agama”) dan fitrah majbulah (fitrah yang tertanam di

dalam diri manusia). Sebetulnya konsep fitrah Cak Nur tentang fitrah ini mengambil dari

tokoh timur tengah, Ibn Timiyah. Namun dengan konsep ini harus di akui bahwa pada

dasarnya pengertian tentang fitrah ini bisa di pakai pada masa modern seperti skrang ini

agar setiap manusia dalam berfikir bisa menggunakan fikiran.

Islam berarti pasrah sepenuhnya (kepada Allah), Islam merupakan sebuah sebuah

inti dari ajaran setiap agama yang benar, seperti yang telah penulis uraikan pada bagian ke

dua, bahwa nabi Nuh juga mengajarkan Islam, nabi Ibrahim Juga membawa ajaran Islam,

141
Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-Agama, Analisis Atas (Jakarta: Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara 2014), h. 23-24
serta Nabi Yusuf juga meminta – agar kelak beliau meninggal dalam keadaan Islam.

Menurut tokoh klasik Ibn Taymiyyah dalam Iqtidla al-Sh}ira>th al-Mustaqi>m, yang penulis

kutip dari Nurcholish Madjid, menyatakan bahwa agama semua para Nabi sama dan Satu,

yaitu Islam (pasrah) kepada Allah. Namun, harus diakui juga bahwa secara syariat yang

mereka bawa ada perbedaan juga, hal ini sesuai dengan zaman, tempat masing-masing

Nabi itu.142

Islam sebagai sifat pasrah kepada kehendak Allah, mengandung beberapa point

penting di dalamnya yaitu, a, Keimanan, b, selalu berbuat benar, c, menghndarikesalahan.

Dari sinilah dapat kita nilai bahwa Islam tampil, bukan hanya untuk sebagian dan ataupun

untuk Muhammad saja, melainkan untuk semua utusan Allah. Menurut Osman Bakar

kesaksian pertama orang yang ber-Islam adalah keimanan kepada Allah (La> ila>h illa>-

Alla>h).143 Dari pendapat Osman ini dapat kita mengambil satu ksimpulan utamanya,

bahwa kesadaran beragama orang Islam pada dasarnya adalah kesadaran akan ketuhanan,

sebab dari kesadaran ketuhanan itu akan melahirkan sifat takwa kepda Tuhan Yang Maha

Esa, menurut Nurcholish Madjid manusia adalah mahluk yang berasal dari Tuhan dan

yang pasti akan kembali kepadanya (Inna> lil Allah wa inna> ilayhi ra>ji’ un).144

Memahami konsep universalisme Islam Cak Nur, meniscayakan adanya

pengakuan dan penerimaan dari pihak luar atas keyakinan sebuah kelompok, maksunya

apapun yang dianggab benar oleh kelompok atau seseorang dalam situasi yang sama.

Dalam pandangan Islam, alam manusia adalah sesuatu yang sangat penting, sebab alam

kemanusiaan tidak pernah terpengaruh oleh zaman, dan tempat asal-usul rasial dan

kebahasaan. Oleh karena itu, menurut Cak Nur, islam selalu berurusan dengan alam

142
Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 2
143
Osman Bakar, Tauhid dan Sains, (Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. II, 2008), h. 67
144
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan,(Jakarta: Yayasan Wakaf Pramadina, 1995), h. xv
kemanusiaan, maka ia harus selalu bersama manusia tanpa ada pembatasan apapun, serta

menghilangkan hambatan kualitas manusia (asal-usul rasial dan bahasa).145

Berbicara tentang Islam, tidak dapat dipisahkan dengan agama ( ad-Di>n), yang

secara harfiah berarti tunduk, patuh kepada Tuhan dengan landasan utamanya harus

menyerahkan diri kepada Tuhan. jika memang seperti itu, sangat beralasan, jika firman

Tuhan di dalam surat Ali Imran; 16 “tidak ada agama ( al-Di>n) yang benar tanpa

kepasrahan kepada Tuhan (al-Isla>m)”. Konsep al-Islam tumbuh dan berkembang karena

hakikat dan inti ajaran agama, yaitu sifat pasrah kepada Tuhan. mengutip pendapat

Wilfred, bahwa cak Nur berpendapat, Islam bukanlah nama yang lahir berdasarkan

agamanya, melainkan hanya sebuah ajaran yang ajaran-ajarannya diturunkan kepada Nabi

Muhammad,146 atau dapat dikatankan bahwa Islam bukan hanya sekedar sebuah nama

agama.

Adapun, Islam dalam pengertiannya sebagai nama agama, menurut Cak Nur juga

memiliki nilai-nilaiUniversal. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi al-Quran, Hadist dan

realitas yang melingkupinya.147 Ataupun lebih jelasnya al-Quran tidak berfungsi sebagai

petunjuk yang absolut (yang mengatur secara rinci dan detail) dalam hubungan dengan

kehidupan manusia. Sedangkan hadist tak lain, hanyalah sebuah penjabaran atas apa yang

telah dijelakan di dalam al-Quran yang tidak lain pemahaman Nabi atas kandungan al-

Qura, yang memiliki fungsi sebagai media transformasi agar cita-cita dan prinsip Tuhan

bisa diterima dengan baik oleh manusia. Menurut pendapat Jamez Kritzeck di dalam

Anthology of Islamic Literature yang penulis kutip dari Cak Nur mengatakan, bahwa tentu

bagi kaum Muslim, al-Qur’an adalah kalam (sabda) Tuhan yang nilainya transindental.

Berdasarkan keterangan di atas, sesungguhnya al-Quran lebih berfungsi sebagai bacaan

145
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, h. 426
146
Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Beberapa Aspek,(Jakarta: UI Press, 1985), Edisi I, h.
17
147
Budhy Munawwar Rachman, Konteks Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina,
2010), h. 210
suci dalam bahasa aslinya, yaitu Arab tidak dalam terjemahan.Inilah pendapat ulama

klasik.148

Untuk dapat menerapkan prinsip ini, diperlukan sebuah kemampuan zaman yang

baik. Sebuah Hukum hanya akan berlaku efektif apabila pemberlakuannya tidak keluar

dari konteks zaman. Tuntutan spesifik inilah yang kemudia dikenal dengan dogma fiqih

(hukum Islam). Menurut Cak Nur, yang berubah dari hukum Islam itu bukanlah prinsip

dasarnya, melainkan hanya pelaksanaan teknis yang bersifat kongkret dari hukum tersebut

dalam kehidupan masyarakat di masa tertentu.149

Melalui pendekatan holistik terhadap pemikiran Cak Nur akan tampak, bahwa

beliau adalah pembaharu pemikiran Islam yang mengemukakan gagasan tentang Integrasi

Keislaman, Keindonesiaan dan kemudernan sebagai paradiqma pemikirannya. Intregrasi

artinya pembauran sehingga menjadi suatu kesatuan yang bulat dan utuh, atau proses

penyatuan kelompok budaya sosial kedalam kesatuan wilayah dan pembentukan suatu

identitas nasional. Integrasi pemikiran cak Nur dalam dialektika tiga gagasan tercermin

secara jelas dalam bukunya, Islam, Kemodern dan Keindonesiaan dan Islam Doktrin

Peradaban dan Peradaban.150 Secara giografis Indonesia adalah bangsa muslim terbesar

dunia. Namun, secara religio-politik dan ideologis, Indonesia bukanlah negara Islam.

Indonesia adalah negara yang beridiologi pancasila, yang dipandang sebagai jalan tengah

antara gagasan nasionalis sekuler dan gagasan negara Islam. Pancasila sebagai falsafah

negara dapat “diterima” oleh sebagian besar umat muslim dengan catatan setelah sila-

silanya, sampai batas-batas tertentu, mengalami Islamisasi.151

148
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Bulan
Bintang, 1994), h. 82
149
NJ. Coulson, Konflik dalam Jurisprudensi Islam, diterjemahkan oleh, Fuad Zein,
(Yogyakarta: Navila, 2001), h. 221
150
Muhammad Rusydy, Paradigma Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Keislaman,
Keindonesiaan dan Kemoderan, dalam Jurnal Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-Juni 2015, h. 197
151
Mark R. Woordward, Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam
Indonesia, Diterjemahkan oleh Ihsan Ali Fauzi, (Bandung: Mizan, 1998), h. 91
Seperti yang telah djelaskan pada bagian kedua, bahwa salah satu masalah

keislaman yang paling kuat dikemukakan oleh Cak Nur adalah masalah inklusivisme,

menurut Cak Nur, Inklusivisme merupakan sendi yang sangat menentukan keberhasilan

Indonesia, sebab dengan sikap inklusiv akan dapat terbangun yaitu keadilan, keterbukaan

dan demokratis. Kata inklusif dalam konsep keislaman Cak Nur, diambil dari khazanah

keagamaan.Sebab, sebelum Cak Nur memperkenalkan istilah Inklusif, dapat dikatan

bahwa keragaman yang eklusif telah berkembang serta mewarnai corak keberagamaan di

Indonesia.152

Pemikiran Cak Nur merupakan hal yang sangat penting untuk di praktekkan

dalam sebuah Negara bangsa, seperti halnya di Indonesia.Pemikiran Islam yang telah

beliau kembangkan telah diterima oleh berbagai kalangan baik dalam skala nasional

ataupun internasional. Sumbangan pemikiran Cak Nur di Indonesia sendiri telah

menghegemini seperti yang telah di akui oleh seorang ahli Islam Indonesia, Martin van

Bruinessen, yang penulis kutip dari Budhy Munawwar Rachman, yaitu “… The liberal,

tolerant, and open minded discourse of Nurcholish Madjid ….was almost

hegememonic…”.153

Sebagai tokoh intelektual Islam Indonesia, Cak Nur merupakan sebuah sintesis

keislaman dengan dua unsur kehidupan kehidupan umat Islam Indonesia, yaitu

keindonesiaan dan kemodernan.Sintesis keislaman, keindonesiaan dan kemodern,

merupakan sebuah mantra yang sangat ampuh dalam pemikiran Cak Nur. “mengambil

yang lama yang baik, dan mengambil yang baru, yang lebih baik”, itulah yang menjadi

prisip dasar Cak Nur, sebab bagi beliau dapat dikatakan bahwa keindonesiaan dan

kemodernan merupakan koin yang sama dengan keislaman.

152
Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-agama,, h. 21
153
Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-agama,, h. 21, lihat, Van Bruinessen,
New Leadership, New Policies, dalam inside Indonesia, 16 juni 2010
Dari faham inklusif inilah Cak Nur melahirkan sebuah faham yang disebut dengan

kalimah sawa>> (dalam bahsa al-Quran), commont platform (dalam bahasa inggris) atau

yang lebih popular commond word, titik temu agama-agama dalam bahasa Indonesianya,

menurutnya inilah tumpuan utama dari semua ajaran yang di bawa oleh semua utusan

Tuhan kemuka bumi.154

Al-Quran sebagai pokok pegangan umat Islam telah menjelaskan bahwa baik

Muhammad ataupun para Nabi-nabi sebelumnya, mendapatkan tugas yang sama dari

Tuhan, yaitu sebuaha pesan untuk bertaqwa kepada Allah seperti yang ditegaskan dalam

al-Quran Q.s 4:131155 dari firman ini, dapat disimpulkan bahwa pesan Tuhan yang

diturunkan merupakan sebuah pesan untuk bertakwa kepada Tuhan. Seperti yang

disebutkan oleh dalam ensiklopedinya, yang penulis kutip dari Budhy Munawwar

Rachman:

… Takwa, menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan.Tetapi implikasi


dari takwa bersifat kemanusiaan.Apabila orang bertakwa kepada Tuhan, maka
implikasinya adalah bersikap adil terhadap sesame manusia.Sikap takwa juga
menyelamat manusia dari kekerdilan jiwa.Nabi Musa diperintah menjaga dirinya,
dengan bertakwa kepada Tuhan, sehingga tuhan menjaganya dari rencana buruk
yang dibuat oleh Fir’un. Takwa adalah dasar dari hubungan antara laki-laki dan
perempuan dalam membentuk keluarga (Qs. 4;1).
….Takwa disatu pihak dalam pengertiannya juga mencakup iman kepada Allah, hari
akhir, para malaikat, kitab-kitab dan para pendahulu…..
Takwa adalah sebuah dasar kemanusiaan.Takwa, menyatakan seluruh kemanusiaan,
hal ini dapat terlihat dengan jelas secara historis.Umpanya bangsa Yahudi pernah
mengklaim, bahwa dirinya sebagai bangsa kekasih Tuhan.Dan sekarang, masih
terlihat dengan jelas, bahwa masih ada sebuah kelompok atau sekumpulan manusia
yang merasa dirinya paling unggul dan paling benar dari pada bangsa yang lainnya.
Namun dibantah oleh al-Qur’an Qs. 49;13156. Dari penjelasan Qs. 49;19, Tuhan
meletakkan kriteria kemuliaan, yaitu dengan sikap taqwa kepada-Nya, inilah kriteria
yang paling objektif yang menjadi hubungan antar bangasa, ras, suku, individu,

154
Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-agama,, h. 25-26
155
“….Dan sesungguhnya telah kami perintahkan kepada mereka ahli kitab sebelum kamu,
juga kepada kamu, supaya bertaqwa kepada Allah….”
156
“Kami menciptkan kamu dari pria dan wanita, dan membuat kamu bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya sesungguhnya orang yang paling muliaa disisi
Allah adalah orang yang bertakwa di antara kamu”
suatu kriteria yang dapat membuat hidup lebih dinamis, karena disini orang
berlomba-lomba dalam kebaikan. 157

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan, bahwa sifat takwa hanya bisa dapat

dicapai dengan keimanan kepada Tuhan.Sehingga muncul sebuah konsep tawhid

(monoteisme) sebagai sentral pencapaian dari sifat takwa kepada Tuhan. Menurut Cak

Nur, takwa sering diartikan atau diterjamahkan “sikap takut kepada Tuhan” atau “sikap

diri menjaga dari perbuatan jahat serta menjauhkan diri dari larangan Tuhan”. dengan

mengutip Mohammad Asad, seorang penafsir yang terkenal, dalam the Message of the al-

Quran, Cak Nur menerjemahkan kata takwa tersebut sebagai God consciousness, atau

kesadaran ketuhanan (kesadaran Rabba>niyyah).

Dalam al-Quran, pencapaian kesadaran seperti yang dijelaskan di atas, sebagai

tujuan di utusnya para Nabi dan Rasul, yaitu lengkapnya untuk mencapai kesadaran

ketuhanan yang selalu mahahadir, ketuhanan opnipresent, dengan sekaligus sikap dan

kesediaan menyesuaikan diri dibawah cahaya kesadaran Ketuhanan tersebut.158

1. Islam sebagai Agama Kemanusiaan

Islam sebagai agama kemanusiaan, dari makna generiknya sangat jelas, bhawa

Islam sebagai agama yang membawa misi keselamatan.Islam hadir di bumi ini sebagai

sebagai bagian untuk mengajarkan moralitas.Seperti yang telah dijelaskan pada bagian

157
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, h. 53-54, lihat, Dawan
Rhardjo, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina,
1996), h. 165-167
158
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 55, fasiran Cak Nur
dengan istilah “kesadaran ketuhanan” ini oleh Cak Nur diambil dari tafsir Mohammad Asad, The Message of
Quran, Ej.Brill, London, 1980, h. 3
pertama, Islam hadir tidak hanya bercorak vertical (ke atas), namun juga membawa ajaran

yang bersifat horizontal (mendatar).

Pendapat di atas, senada dengan pendapat Muhammad Imarah yang penulis kuti

dari fiqih lintas agama cetakan paramadina, bahwa al-Isla>m ilahi> al-mashdar wa

insa>niyyat al-maudlu>(Islam bersumber dari Tuhan dan berorientasi kemanusiaan). Atas

dasar inilah Islam bukan hanya sebuah agama yang membawa wahyu ketuhanan,

melainkan juga agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.159

Sebagai agama yang menekankan sifat-sifat kemanusiaan selain dari ketuhanan,

adalah ajaran tentang persaudaraan yang universal, terbuka dan penuh kerahmatan, contoh,

masyarakat Arab sebelum Islam lebih bersifat komunal dengan berlandaskan pada jalur

keturunan, dengan berbagai persoalan yang sangat keras. Sebab di dalam masyarakat

komunal berlaku yang namanya darwinisme social, atau lebih tepatnya yang menentukan

kehidupan adalah pemimpin (penguasa).

Menurut pendapat Karen Amstrong160 pada awalnya kehidupan bangsa Arab

nomaden (sebagai pengelana), dan juga kelompok yang suka bermusuhan dan suka

perang. Mereka (bangsa Arab) suka memelihara unta dan menganggab dirinya sebagai

anak-anak padang pasir (son of the desert).161Menurut pendapat Zuhairi Misrawi;

“…. Kehidupan bangsa pengelana juga amat genting.Diantara bangsa-bangsa


pengelana juga sering terjadi silang selisih yang berkepanjangan, bahkan sampai
pada pertumpahan darah. Satu-satunya sacara bertahan hidup ialah dengan cara
berkelompok. Hal itulah sebagai penentu kehidupan bangsa pengelana untuk tetap
mempertahankan pertalian keluarga.Menanamkan kesetiaan absolut kepada kaum
dan atau kepada kelompokknya sangat penting.Sebab hanya suku yang dapat
menjamin keamanan anggotanya. Ini juga berarti tidak ada ruang sama sekali bagi

159
Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Masudi,
Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawwar Rachman, Ahmad Gaus AF, Fiqih Lintas Agama;
Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina dan The Asia Foundation, 2004), h. 176-
177
160
Karen Amstrong adalah seorang ahli Islam Inggris yang cukup bijak dalam menulis
kehidupan bangsa Arab pra-Islam.
161
Karen Amstrong, Muhammad Sang Nabi; Sebuah Biografi Kritis, diterjmahkan oleh
Sirikit Syah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), h. 60, lihat Zuhairi Misrawi, Novriantoni, Doktrin Islam
Progresif; Memahami Islam sebagai Ajaran Rahmat, (Jakarta: Lembaga Studi Islam Progresif, 2004), h. 96
individu untuk berekpresi dan tidak ada hak-hak dan tanggung jawab yang
ditetapkan berdarkan kepentingan individu…” 162

Setelah membaca tulisan Zuhairi Misrawi di atas, ada beberapa pertanyaan yang

kemudian muncul dalam benak penulis, apakah benar manusia hidup di dunia ini

mempunyai tujuan hidup? Atau mungkin, kehidupan ini hanya sebeuah kebetulan belaka?,

tanpa makna dan tanpa tujuan sama sekali.? Pertanyaan seperti di atas telah menyibukkan

para pemikir dunia, bahkan jauh sebelum manusia belajar merenungkan kehidupannya.

Menurut Cak Nur, persoalanmakna dan tujuan hidup, bisa di buat bisa dibuat

dengan melompat pada kesimpulan yang sudah tidak menjadi rahasia lagi. Bahwa tujuan

hidup manusia adalah liqa>’ (bertemu) dengan Allah dalam ridla-Nya. Sedangkan makna

hidup manusia didapatkan dari sebuah usaha yang penuh kesungghan ( muja>h}adah) untuk

mencapai tujuan itu, dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, dengan cara beriman

kepada-Nya, dan beramal kebajikan.163

Sedikit dari penalaran di atas, dapat dikatakan bahwa yang beragama dan yang

anti agama sama-sama mempunyai pendapat yang sama, bahwa kehidupan cukup

berharga, sebab di dalam kehidupan mengandung tujuan dan makna yang jelas, yaitu

makna dan tujuan, itulah pandangan yang tertanam dalam diri umat Islam khususnya dan

umat manusia pada umumnya. Serta sebagai panikmat kehudipan ini, manusia harus

mampu menjawabnya sendiri makna dan tujuan itu sendiri.

Kesadaran hidup bermakna dan bertujuan diperoleh seseorang hampir semata-


mata karena dia mempunyai tujuan yang dia yakini sebagai cukup berharga untuk di
perjuangkan, kalau perlu dengan pengorbanan.Tetapi itu tak berani, mengatakan bahwa
seseorang hidupnya bermakna, atau malah sangat bermakna, tidak dengan sendirinya
bahwa hidup itu bernilai positif (baik).Sebab selain contoh orang yang hidupnya bernilai
(penuh makna) itu yang disebut dirnya sebagai tokoh.164

162
Zuhairi Misrawi, Novriantoni, Doktrin Islam Progresif; Memahami Islam sebagai Ajaran
Rahmat, (Jakarta: Lembaga Studi Islam Progresif, 2004), h. 97
163
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, h. 18
164
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, h. 25-26
2. Iman dan Sikap Terbuka

Dalam kehidupan sehari-hari, Iman (i>ma>n) Islam (isla>m) dan ihsan (ih}sa>n), juga

sering terdengar kata yang lain, yaitu takwa (taqwa>), tawakkal (tawakkul) dan ikhlas

(ikhla>s). Beberapa point point ini menunjukkan kualitas pribadi kepada Allah sebagai

mahluk yang mulia dari mempunyai dasar keimanan kepada Allah Yang Maha Esa. Sebab

point-point itu merupakan sebuah kesimpulan keimanan (tunduk, patuh) kepada Allah.

Sebagai mana yang telah disinggung sebelumnya:


Iman (i>ma>n) sering diartkan sebagai percaya, pemberian arti kata iman yang seperti
itu tidak salah tetapi, juga tidak mencakup keseluruhan maknanya.Jika ingin
mendapatkan makna iman yang lengkap harus mengetahui dahulu asal kata iman itu
sendiri, iman berasal dari kata aman (ama>n) yang berarti kesejahteraan/sentausa, dan
amanat (ama>nah) yakni keadaan bisa dipercaya atau diandalkan (trustworthiness),
lawan dari kata khianat.165
Maka berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku.Yaitu mereka yang
mendengarkan perkataan kemudian mengikuti mana yang terbaik.Mereka itulah
orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang
berakal budi.166
Jadi, landasan utama pendapat Cak Nur di atas, belandaskan pada Qs. Azzumar;

17 yang telah penulis hadirkan pada bagian sebelumnya. Sebab, orang yang beriman, akan

mendapatkan hidayah dari Tuhan, yaitu dengan mendengarkan perkataan ( al-qawl), seperti

perkataan al-Ra>zi dan al-T}haba>ri yang penulis kutip dari Cak Nur, perkataan yang harus

didengarkan meliputi sabda para Nabi (sebagai utusan Tuhan) dan juga firman-firman

Tuhan yang di bawa oleh para utusan-Nya, serta pendapat sesame manusia, kemudian

memahami apa yang dia dengar dengan mengikuti yang baik. 167

Iman sebagai jalan penyelamat setiap manusia, maka seperti yang telah penulis

jelaskan pada bagian pertama (pendahuluan), sebagai gambaran grafisnya, untuk melihat

kepada Tuhan, manusia harus melihat keatas, dan kepada alam melihat kepada kebawah,

sedangkan untuk melihat sesame manusia, harus melihat mendatar. Sebab, hanya dengan

165
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, h. 94
166
Qs. Azzumar; 17
167
Nurcholish Madjid, Pinti-Pintu Menuju Tuhan,, h. 10
caraitulah manusia dapat menukan jati dirinya yang fitri. Dengan kata lain, manusia

menumukan sifatnya yang integral dan utuh hanya dengan memusatkan seluruh

perhatiannya kepada Tuhan.

Di sinilah menurut Cak Nur, manusia dapat bertemu dengan makna iman, yaitu

dengan menjadikan Tuhan Yang Maha Esa sebagai satu-satunya (secara monoistik) arah

dan tujuan kegiatan hidup manusia.Atau dengan ungkapan sehari-hari bahwa kita berbuat

sesuatu lilla>hi Ta’a>la>dan demi ridla Tuhan menggambarkan adanya pengarahan tujuan

hidup kepada-Nya.168

Sedangkan maksud sikap terbuka, ialah sikap taudiri, maksudnya mengetahui

bahwa, mustahil manusia dapat mengetahui seluruh kebenaran akan pengetahuan. Sikap

tahu diri atau dengan kata lain kualitas pribadi, menurut Cak Nur, siapapun yang

mengenal/mengetahui dirinya sendiri akan dapat mengenal Tuhannya, artinya kesadaran

seseorang akan keterbatasan dirinya merupakan sebuah akibat dari keyakinan bahwa

hanya Tuhanlah yang mutlak dan yang paling sempurna.169

Oleh sebab itu, orang yang beriman tentu akan memiliki keyakinan, bahwa hanya

Dia-lah Allah sang penyempurna dan yang paling mutlak Hasbuna> ‘Alla>h wa ni’ m al-

Waki>l (cukup Allah bagi kami”sebagai pelindung” dan Dia-lah tempat sebaik-baiknya

manusia bersandar).Oleh karenanya, diterangkan oleh Tuhan dalam kitab suci Qs. Al-

Hajj;24170sebab tutur kata merupakan sebuah cerminan dari sikap batin, serta tutur kata

yang baik, juga menunjukkan cerminan pribadi yang baik Qs. al-Ahzab; 70-71.171

Menurut Cak Nur, orang yang beriman kepada Allah adalah orang yang kuat

(batin dan jiwanya), sehingga mereka (yang beriman) tidak akan pernah gentar

168
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,, h. 97-98
169
Nurcholish Madjid, Pinti-Pintu Menuju Tuhan,, h. 11
170
Dibimbing kearah tuturkata yang baik, serta dibimbing kea rah jalan (Allah) yang maha
terpuji.
171
Wahai sekalian orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan bertutur katalah yang
baik, maka Allah akan membuatmu baik amal-perbuatanmu sekalian dan mengampuni dosa-dosamu…
menghadapi cobaan dalam kehidupan di dunia ini Qs. al-Hadid; 4,172 maka oleh karena itu,

orang yang senantiasa beriman kepada Allah tidak akan pernah sendiri dalam menjalani

kehidupan di dunia ini, cukup Allah baginya, karena Allah adalah sebaik-baik al-Waki>l

(tempat bersandar).173

3. Masalah Pluralisme dan Dialog

Faham kemajmukan manusia mendapatkan posisi yang sangat penting dari tatanan

masyarakat yang maju, sehingga dalam hal itu yang menjadi pertaruhan adalah demokrasi,

dan keadilan. Konsep pluralisme tidak hanya mengisyaratkan adanya sikap kesediaan

untuk menerima kelompok lain, melainkan juga kesediaan untuk berlaku adil kepada

kelompok lain atas dasar perdamaian sehingga saling menghormati.

Jelas, harus diakui bahwa bangsa Indonesia telah memperileh manfaat besar

dalam usaha transformasi sosialnya menuju demokrasi dan keadilan jika pluralisme itu

dapat ditanamkan dalam kesadaran kaum Muslim yang merupakan golongan terbesar

warga Negara yang secara interen umat Islam , pluralisme adalah persyaratan utama

ukwah Islamiyyah , petunjuk utama al-Quran dalam melihat ukwah Islamiyyah dijelaskan

dalam Qs. Hujarat;11,174 jadi jelas dijelaskan, jadi dalam ayat ini jelas menolak absolutism

sasama Muslim, dan hal ini telah menjadi kesadaran masyarakat muslim terdahulu.

Sikap pluralisme harus menjadi sebuah keinsafan umum dalam suatu masyarakat

modern yang ditandai oleh jaringan komunikasi yang intensif, baik nasional ataupun

global. Interen umat islam makin hari makin Nampak betapa sebenarnya mereka makin

majmuk.175 Sikap yang serupa (tetapi tidak perlu sama) juga harus diterapkan kepada

golongan lain diluar Islam. Sebagai sebuah ketentuamnyang sangat pasti bahwa Islam

menghormati agama-agama lain.

172
Dia (Allah) bersamamu dimanapun kau berada, dan Allah maha teliti akan segala sesatu.
173
Nurcholish Madjid, Pinti-Pintu Menuju Tuhan,, h. 14
174
Wahai sekalian orang-orang yang beriman, kalau-kalau mereka (mereka yang didepan
rendah) itu lebih baik dari pada mereka (yang memandang rendah)
175
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 604
Pengakuan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir menunjukkan adanya

unsure kontinuetas serta penyempurnaan, hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab suci,

bahwa setiap umat Islam harus mengimani para Nabi, hal inilah menunjukkan sikap

kontinuetas, serta penjelasan dalam kitab suci, bahwa agam yang dibawa oleh para Nabi

adalah Islam. Jelas dalam hal ini mengandung makna unsure kontinuetas agama-agama

Tuhan dan dengan begitu juga unsure persamaan dasar, yaitu Tuhan yang sama.

B. Teologi Inklusif dan Kalimatun Sawa sebagai Teologi

Agama `diyakini dan dirasakan oleh para pemeluknya sebagai sumber

ketengan.Karena agama agama member arah serta makna hidup yang pasti. Dan

setidaknya agama telah diyakini sebagai kebenaran yang pasti, serta berbeda dengan

kebenaran ilmiah dan filsafat yang mengandung berbagai kemungkinan dan selalu

menyisakan ruang keraguan.kebenaran ilmiah akan tetap terus melahirkan keraguan dan

kritik terus menerus, begitu pula dengan kebenaran filsafat yang radikal secara kritis telah

berjasa bagi dinamika perkembangan ilmu pengetahuan sepanjang zaman.

Sedangkan agama, secara gramatikal berarti tidak kacau, menurut wuraish yang

penulis ambil dari Qomaruddin Hidayat , mendefinisikan agama sebagai hubungan

manusia dengan satu kekuatan yang jauh melebihinya dimana manusia patuh kepada

sebuah kekuatan, yang kemudian kata “kekuatan” di sini diartikan sebagai sang pencipta

alam, yaitu Tuhan.176 Dan untuk itu kebenaran yang dimiliki ketiganya akan tetap ada,

sebab pada sejatinya, Agama, filsafat dan ilmu pengetahuan akan saling melengkapi satu

sama lainnya.
176
Qomaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, (Jakarta: Nouroa Book, 2012), h. VI
Namun, terlepas adanya interpretasi akan adanya berbagai pendapat dan sikap

orang terhadap agama, yang jelas peranan agama dalam perkembangan dewasa ini masih

tetap hidup dan tradisi yang dilahirkannya terus dijaga dan dibela oleh pemeluknya pada

setiap zaman. Bahkan tidak sedikit ada yang membela dengan cara “mengangkat pedang

dan menanam bom”. Berangkat dari pernyataan tersebut, peran dan fungsi agama menjadi

kerdil bahkan tidak sejalan dengan cita-cita awal agama itu sendiri untuk memberikan

kedamaian dan ketenangan batin bagi setiap pemeluknya. Seolah-olah agama menjadi

senjata bagi mereka untuk melakukan gerakan-gerakan dakwah yang sifatnya memaksakan

ummat lain untuk ikut dan taat pada agama yang dianutnya. Hal semacam itu didasari

dengan dalih semangat “jihad” atau tegaknya “kerajaan Tuhan” di muka bumi, dengan

adanya sikap seperti itu merupakan sikap eksklusi dalam beragama.

Munculnya gerakan-gerakan sosial seperti radikalisme atau pun kekerasan atas

nama agama yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak manusiawi merupakan salah satu

dampak akan adanya sikap ekslusif dalam beragama. Jelas sekali hal semacam ini perlu

adanya suatu resolusi yang berarti untuk dapat menuntaskan segala konflik sosial yang

didasari semangat keagamaan.

Seperti yang telah diketahui, bahwa Indonesia menganut ideologi Pancasila

sebagai suatu ideologi yang mengatur cara berkehidupan bangsanya yang multi-kultur.

Dengan keragaman yang dimilikinya, Indonesia harus mampu mewujudkan tatanan sosial

yang toleran di tengah-tengah pluralisme masyarakat Inodnesia. Manakala asumsi orang

yang mengatakan bahwa wajah agama dalam ranah realitas kehidupan kita sekarang ini

ada yang berwajah garang, ada pula yang berwajah menyejukan. Ada yang ramah, dan ada

juga yang menakutkan. Namun demikian, hal tersebut dapat disikapi dengan bijak dan

toleran dengan membentuk paradigma berpikir yang tepat dengan kondisi bangsa

Indonesia yang plural.


Cak Nur merupakan sosok pemikir Islam kontemporer yang memiliki wawasan

ke-Islaman yang luas, bahkan ia sempat disinggung bahwa pernah “berguru” langsung

pada Fazlur Rahman seorang pemikir Islam kontemporer dari Pakistan. Dengan modal

wawasan yang dimilikinya itu, ia mampu melahirkan ledakan pemikiran terkait

pandangannya yang didasarkan pada kehidupan sosio-kultur masyarakat Indonesia yang

majemuk. Di tengah-tengah kegersangan berpikir, ia mampu tampil membawa dobrakan

yang berarti bagi laju perkembangan umat beragama di Indonesia, khususnya Islam.

Dalam upaya merealisasikan pembaruan pemikirannya tentang kondisi Islam di

Indonesia, Cak Nur berpandangan bahwa pentingnya umat memahami esensi Islam itu

sendiri. Yang terpenting bagi Cak Nur, bahwa Islam tidak terletak pada simbol atau

penampakan simboliknya. Akan tetapi yang paling utama adalah bagaimana umat

diarahkan kepada nilai-nilai esensial Islam yang membebaskan.177 Di Indoensia

keragaman agama dan budaya yang memiliki tempat yang sama di depan hukum dan

Negara meskipun mayoritas rakyatnya beragama Islam. Dengan demikian, setiap agama

selalu tumbuh berkembang bersama tradisi dan kondisi geografis setempat. 178 Hal ini

merupakan landasan kemunculan pemikiran terkait pluralisme keberagamaan.

Jargon Cak Nur yang cukup popular saat itu adalah “Islam, yes! partai Islam,

no!” yang merupakan penegasan ihwal penting atas esensialitas keberagamaan sebagai

sarana menuju yang transenden, agar umat bisa keluar dari kungkungan simbol-simbol

yang tidak membebaskan. Hadirnya jargon tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya

parpol-parpol yang (sengaja) memakai nama Islam sebagai simbol untuk menarik

dukungan sebanyak-banyaknya. Upaya Cak Nur dalam mengarahkan umat kepada nilai-

nilai esensial Islam pada satu sisi karena kemunculan Orde Baru yang telah meminggirkan

politik Islam. Dan pada sisi yang lain, kebenciannya terhadap ideologi komunisme

177
Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban,, h. 34
178
Qomaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa,, h. 223-224
mendorong rezim militer mempromosikan pengajaran agama. Akibatnya, saat Islam

politik mandul, ketertarikan orang-orang terhadap Islam justru kian meningkat.179

Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa apa yang telah dilakukan oleh Cak Nur

merupakan sebuah bentuk sikap antisipasi yang didasari oleh komitmen keberagamaan

dalam menatap masa depan umat Islam Indonesia. Sikap antisipasi itu muncul di tengah

semakin maraknya umat digiring ke arah yang bersifat simbolik dan cenderung melupakan

yang esensial. Inilah sebuah paradoks keberagamaan yang lahir dari idealisme utopis. Pada

satu sisi umat diarahkan untuk bernaung di bawah payung partai Islam, dan pada sisi yang

lain mereka lupa meniupkan nilai-nilai keIslaman sebagai nafas perjuangan. 180

Islam semakin diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif

dan konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua,

tanpa eksklusifisme komunal. Orang muslim harus secara otentik mengembangkan paham

kemajemukan masyarakat (pluralisme sosial), dituntut pula kesanggupan mengembangkan

sikap-sikap saling menghargai antar sesama anggota masyarakat, dengan menghormati apa

yang dianggap paling penting pada masing-masing orang dan kelompok. Nilai-nilai

universal selalu ada pada inti ajaran agama yang mempertemukan seluruh umat manusia.

Nilai-nilai universal itu harus diikatkan kepada kondisi-kondisi nyata ruang dan waktu

agar memiliki kekuatan efektif dalam masyarakat, sebagai dasar etika sosial. Dan dalam

perkembangannya, Islam selalu dihadapkan dengan tantangan modern yang didalamnya

terdapat keanekaragaman kehidupan baik pemikiran maupun agama.181

Kecenderungan masa kini iptek yang mewakili faktor modernisme telah

bersinggungan keras dengan kaum agamawan dalam hal ini Islam, sehingga kezumudan

berfikir ummat terus tertanam. Dengan demikian, Islam harus senantiasa menyesuaikan

179
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), h.
16-17
180
Nurcholish Madjid, Pinti-Pintu Menuju Tuhan,, h. 56
181
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,, h. 28
dengan semangat zaman yang ada.182 Berbeda dengan agama, gerakan modern mencakup

wilayah yang luas dari berbagai kelompok dengan ragam pemikiran, walaupun bersatu

pada rasa kecemasan terhadap kehidupan masa kini. Sisi gelap dari gerakan ini

menggambarkan rasa putus asa, yang berbicara tentang kehancuran yang tak terelakan dan

kebenaran serta kepastian yang tidak mungkin dicapai.183 Untuk memberikan resolusi atas

pertentangan kaum modernis dengan agamawan adalah dengan mendamaikan diantarnya

dengan suatu sikap yang disebut dengan inklusifisme dan pluralisme dan toleransi dalam

beragama.184

Hubungan agama dan agama-agama harus dirawat dengan sikap toleransi dengan

memahami bahwa Allah telah mendamaikan dirinya dengan orang yang tidak bertuhan

(berikut dengan agamanya) melalui anugerah, seperti kesabaran (pengendalian diri) yang

ditunjukkan oleh Kristus. Secara analogis, agama lain harus dilihat seperti manusia yang

keras kepala dilengan ibunya, dimana Allah tetap melakukan tindakan penyelamatan

walaupun ia ditentang. Dalam hal ini, toleransi bukanlah merupakan suatu semangat untuk

bersikap tidak berlebihan terhadap penganut dan religiusitas agama lain. Toleransi yang

dimaksud adalah melatih pengendalian diri terhadap mereka yang telah mengatakan pada

diri mereka sendiri bahwa iman mereka bukanlah satu-satunya iman, bahwa fanatisme

adalah hal yang buruk, bahwa kasih harus selalu menjadi kata pertama dan terakhir.185

Pluralisme agama, konflik intern atau antaragama, adalah fenomena nyata. Untuk

mencari pemecahan atas segala sikap destruktif ini banyak tawaran teoritis maupun praktis

dikemukakan oleh mereka yang peduli terhadap kerukunan antaragama. Antara lain dan

paling keras gemanya, adalah upaya untuk menciptakan suasana dialog antarumat

182
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,, h. 30
183
Frans Magnis & Suseno. Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: Gramedia, 1988), h. 78
184
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,, h. 43
185
Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama,(Bandung: Mizan,
1997), h. 132
beragama. Ada dua komitmen penting yang harus dipegang oleh pelaku dialog yang

digarisbawahi oleh para ahli. Pertama adalah toleransi, dan Kedua adalah Pluralisme.186

Begitu pula dengan sekularisasi, sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan

sekularisme, sebab sekularisme adalah nama sebuah ideologi, sebuah pandangan dunia

tertutup yang baru yang berfungsi sangat mirip dengan agama.187 Dalam hal ini, yang

dimaksudkan ialah setiap bentuk perkembangan yang membebaskan. Proses pembebasan

ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi

membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana

yang temporal. Lebih lanjut lagi, Cak Nur mengatakan,

Sekularisasi, dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai


“khalifah” Allah dimuka bumi. Fungsi sebagai khlaifah Allah memberikan
kebebasan memberikan ruang kepada manusia untuk menetapkan dan memilih
sendiri cara dan tindakan-tindakan salam rangka perbaikan hidupnya diatas
bumi.dan sekaligus member pembenaran akan adanya sebuah tanggung jawab atas
perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan dihadapan Tuhan.
Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang adalah bahwa umat Islam kehilangan
kreativitasnya dalam hidup di dunia, sehingga memberikan kesan seolah-olah
mereka telah memilih untuk diam dan tidak berbuat apa-apa dari pada berbuat salah.
Dengan kata lain mereka telah kehilangan semangat Ijtihad. 188

Dari sedikit penjelasan Cak Nur di atas, sangat erat kaitannya dengan konsekuensi

logis dari tauhid (tawhi>d: keyakinan), inilah sebagai sebuah keharusan, bahwa kaum

Muslim seharusnya bersikap realistis dan apa adanya terhadap kehidupan duniawi, dengan

menghadirkan desakralisasi sebab adanya desakralisasi kepada selain Tuhan itu namanya

syirik, sebagai antonym dari kata syirik.

Oleh karena itu, konsistensi terhadap gagasan kemajuan merupakan sebuah sikap

mental dengan sifat keterbukaan. Diantaranya dapat dikatakan adanya sebuah kesediaan

dalam menerima dalam mengambil nilai-nilai duniawi yang mengandung sikap kebenaran,

186
Alwi Shihab, Islam Inklusif,, h. 15
187
Crles Kurzman, Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tantang Isu-Isu
Global, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 488
188
Crles Kurzman, Wacana Islam Liberal,, h. 487
yang diantaranya saling menghormati, saling menjaga kemajmukan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Sebab adanya sikap terbuka, merupakan sebuah petunjuk Tuhan

Yang Maha Esa Qs.Azzumar; 18.189

Terlepas dari perbedaan penafisiran firman-firman Allah dalam ayat-ayatnya.

Namun harus diakui bahwa firman-firman dalam kitab suci telah banyak membangun

keunikan dalam kehidupan keagamaan, diantaranya yaitu sikap-sikap yang didasari oleh

kesadaran tentang adanya kemajmukan keagamaan (religious pluralisme),190 dengan

sikap-sikap toleransi, keterbukaan, dan fairness (keadilan) yang sangat menonjol dalam

sejarah Islam.

Sikap keterbukaan yang sangat menonjol dalam Islam juga telah digambarkan

oleh seorang pengamat, Max I Dimont, yang diambil dari Cak Nur;

“… Tatkala kaum Yahudi menghadapi masyarakat terbuka dunia Islam, mereka


adalah kelompok manusia yang telah berumur 2,500 tahun.
Bagi kaum Yahudi, tidak ada tidak ada yang lebih terasa terasing dari peradaban
Islam yang fantastis, yang muncul dari debu padang pasir pada abad ke tujuh ini.
Tetapi, juga tidak ada yang lebih mirip. Meskipun, Islam mewakili suatu peradaban
baru, suatu agama baru, dan suatu lingkungan social baru yang dibangun di atas
ekonome baru, namun Islam menyerupai “prinsip kebahagiaan intelektual” yang
diwadahi dengan baik, yang pernah dihadiahkan kepada kaum Yahudi seribu tahun
yang lalu ketika Iskandar Agung membuka pintu helenistik kepada mereka.
Sekarang masyarakat Islam membuka pintu masjid mereka, sekolah-sekolah mereka
dan kamar tidur mereka untuk pindah agama, pendidikan dan pembaruan, tantangan
orang Yahudi, ialah bagaimana cara berenang dalam semerbak ini tanpa harus
tenggelam, ataud alam sosiologi modern bagaimana cara menikmati kenyamanan
somatic, intelektual, dan spiritual yang ditawarkan oleh mayoritas Islam yang
dominan tanpa lenyap sebagai minoritas marginal.
Kaum Yahudi melakukan hal yang wajar saja. Mereka tinggalkan para penulis kitab
keagamaan yang kuno, dan mengangkat dan mengangkat ahli-ahli baru. Mereka
(Yahudi) bukan menolak peradaban Islam, bahkan mereka sangat menerimanya.
Mereka menolak menjadi fosil-fosil yang terparokialkan, dan mereka bergabung
dengan masyarakat baru, yang sedang bergerak itu anggota pendukungnya. Bahasa
Arab menjadi bahasa Ibu mereka, khamar perempuan dan lagu-lagu duniiawi
menjadi hiburan mereka diwaktu luang; filsafat, matematika, astronomi, diplomasi,

189
“… Harus mendengar dan mengikuti ide-ide dan mengikuti yang paling baik…”
190
Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban,, h. 188
kedokteran dan sastra, merupakan kesibukan mereka sepenuh waktu. Bangsa Yahudi
belum pernah mengalami hal sebaik itu.191

Dari kutipan di atas, dapat kita lihat, begitu terbukanya masyarakat Islam klasik,

sehingga agama yang telah sejak 2500 tahun sebelumnya juga ikut menikmati peradaban

Islam kala itu. Prinsip-prinsip itulah yang menjadi landasan dasar atas kebebasan

beragama dalam Islam. Namun menurut Cak Nur kebebasan orang Islam saat ini sama

halnya dengan kebebasan dengan masa masa klasik atau mungkin dapat dikatakan bahwa

kebebasan pada saat ini hanyalah sebuah perkembangan dari kebabsan yang telah terjadi

pada zaman dahulu.

Sebagai contoh, bahwa kebebasan beragama pada masa klasik merupakan sebuah

perjanjian yang dibangun oleh Umar Ibn Khattab dengan penduduk Yarusalem atau bait

al-Maqdis, al-Qud (juga disebut Aelea), bunyi perjanjiannya seperti ini:

Dengan nama Allah yang Maha Esa Maha Pengasih dan Penyayang.
Inilah jaminan keamanan yang diberikan Ibnu Umar kepada penduduk Aelia:
Ia menjamin keamanan untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja dan salib-
salib mereka, baik dalam keadaan sakit atau sehat dan untuk mereka secara
keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan di duduki atau dirusak, dan juga tidak
akan dikurangi sesuatu apapun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari
lingkungannya, serta tidak dari salib mereka. Mereka juga tidak akan dipaksa untuk
meninggalkan agama-agama mereka dan tidak boleh seorangpun dari mereka boleh
diganggu, dan di Aelia tidak seorang Yahudipun boleh ditinggal bersama mereka.
Atas penduduk Aelia, mereka diwajibkan membayar jizyah, sebagai jizyah itu oleh
penduduk kota-kota lain (di Syiria). Mereka berkewajiban mengeluarkan orang-
orang Romawi dan kaum al-Lasut dari aelea. Tetapi jika mereka orang-orang
Romawi akan keluar ada yang keluar meninggalkan aelea, maka ia dijamin aman
dalam jiwa dan hartanya sampai tiba di daerah keamanan mereka (Romawi). Dan
jika ada yang mau tinggal, maka iapun dijamin aman, serta berkewajiban juga
membayar Jizyah, seperti halnya penduduk Aelia. Dan jika ada orang Aelia yang
lebih senang untuk menggabungkan diri dan hartanya dengan Romawi, serta
meninggalkan Gereja-Gereja dan salib-salib mereka.maka keamanan mereka dijamin
berkenaan dengan dengan jiwa mereka. Gereja mereka dan salib-salib mereka
diamin aman aman saman sampai kepada daerah keamanan mereka. Dan
barangsiapa yang telah berbeda disana (Aelia) dari kalangan penduduk setempat
(Syiria) sebelum terjadinya perang tertentu (perang pembebasan Syiria oleh tentara
Muslim), maka bagi yang menghendaki ia dibenarkan, tetap tinggal, maka Ia
diwajibkan membayar Jizyah seperti penduduk Aelia. Dan jika ia menghendaki,

191
Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban,, h. 192-192
mereka boleh bergabung dengan penduduk Romawi. And jika mereka mau, mereka
boleh kembali kepada keluarga mereka. Sebab tidak boleh ada sesutupun dari
mereka yang boleh diambil sampai mereka memetik panenan mereka.
Dan atas apa yang tercantum dalam lembaran ini ada janji Allah, perlindungan
Rasul-Nya, perlindungan para Kholifah dan perlindungan kaum beriman. Jika
mereka penduduk Aelia, membayar jizyah menjadi kewajiban mereka.
Menjadi saksi dalam perjanjian ini Khalid ibn al-Walid, Amr ibn al-Ash,
Abdurahman Ibn Awf, dan Muawiyah Ibn Abi Sofyan, ditulis dan disaksikan pada
pada tahun lima belas (Hijriyah).192

Dari perjanjian di atas, yang kemudian dikenal dengan piagam madinah,

merupakan sebuah perjanjian yang sangat menarik, dan selalu menjadi obrolan para

sarjana modern, sebab perjanjian itu merupakan sebuah perjanjian politik pertama. Jadi,

dapat dikatakan bahwa perjanjian itu merupakan sebuah poerjanjian kemanusiaan, yang

mempunyai semangat cita-cita permaian, sebab dalam ajaran Islam pemaksaan untuk

mengajak seseorang menjadi satu Alur dengan kita (kepercayaan) merupakan perbuatan

yang tidak dibenarkan, sehingga, kaum beriman diperintah untuk menerima pluralitas

masyarakat manusia sebagai kenyataan, sekaligus sebagai tantangan.

Berdasarkan keterangan di atas, menarik untuk diperhatikan, bahwa wacana al-

Quran dapat dengan mudah mendukung etika perbedaan toleransi dan pluralisme. Al-

Quran tidak hanya mengharapkan, melainkan juga menerima kenyataan perbedaan dan

keragaman dalam masyarakat. Para penafsir klasik tidak seutuhnya mengeksplorasi

implikasi dari dibiarkannya keragaman, atau pola interaksi social yang lahir dari

masyarakat yang saling mengenal (li ta’a>>rafu>). Al-Quran juga tidak memberikan sebuah

aturan atau perintah khusus mengenai bagaimana pengetahuan “bangsa-bangsa dan

bersuku-suku” diperoleh. Namun, tidak bias dipungkiri, bahwa terdapat sebuah keragaman

sebagai tujuan utama penciptaan.193

192
Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban,, h. 194
193
Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalisme, (Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung,
2011), h. 289
Dengan demikian, sangat layak untuk dikatakan, bahwa peradaban Islam adalah

peradaban yang pluralistic serta sangat toleran terhadap berbagai kelompok social dan

keagamaan. Adapun untuk menyikapi kemajmukan penting untuk melihat potensi

pluralitas masyarakat, bagaimanapun juga, konteks global yang terjadi sekarang, tidak ada

orang yang bisa hidup dalam kelompok komunitasnya saja. Cepat atau lanbat, pasti akan

dipaksa untuk membangun komunikasi dengan kelompok lain.

Cak Nur sebagai seorang yang Inklusif, atau oleh sebagian orang cendikiawan

menyebutkan sebagai tokoh Muslim terkemuka di Indonesia,pikiran keislamannya cukup

sangat luarbiasa dengan landasan utamanya keindonesiaan dan kemudernan, dua point itu

itu merajut pada tiga deminsi utamanya, yaitu keislama, keindonesiaan dan kemuderenan,

dan memilih kata peradaban sebagai landasan utamanya. 194

Menurut Cak Nur, setelah melihat perkembangan dewasa ini, serta setelah bangsa

Indonesia dijajah begitu lama, bangsa Indonesia membutuhkan sebuah corak keberagaman

dalam kehidupannya dengan menggunakan beberapa kata kunci, yaitu terbuka, adil dan

demokratis, menurut budhy Munawwar Rachman tiga kata kunci ini merupakan sebuah

landasan yang utama untuk mencapai keislaman yang hanif ( al-Ha>ni>fiyah al-Samh}ah)

yaitu keislaman yang terbuka pada kebenaran, serta membawa pada kelapangan hidup. 195

Pikiran-pikiran Cak Nur tentang Islam inklusif didasarkan pada kearifan Islam

klasik yang diberi kontek baru dengan pergulatan Islam di Indonesia yang terjadi pada saat

ini. Sebetulnya, jika di lihat kembali, pemikiran Cak Nur bukan hanya menyumbangkan

untuk umat Islam, tetapi lebih jauhnya sebagai corak yang sangat mendukung tentang

konsep kebangsaan didaerah demokrasi seperti Indonesia. Islam Inklusif yang dibawa Cak

Nur telah member ruang yang selebar-lebarnya untuk membangun sebuah komitment

bersama, yang disebut kalimah sawa>>(titik temu agama-agama). Sebab bagi Cak Nur,
194
Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-Agama,, h. 18
195
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 145
Keislaman yang inklusif akan mendorong umat Islam Indonesia, untuk member yang

terbaik untuk kemajuan bangsa Indonesia.196

Pemikiran Cak Nur tentang Islam Inklusif merupakan sebuah inti dari pemikiran

keislamnnya, islam inklusif, berada pada titik berat pada tiga eminsi yang telah disebutkan

di atas (keislaman, keindonesiaan, kemodernan), sehingga dapat dikatakan keislaman

inklusif yang ditawarkan Cak Nur dapat member sebuah wajah baru, yaitu keislaman yang

Indonesia atau keislaman yang modern.

C. Teologi Inklusif Dan Tantangan Modernitas

Seorang ahli filsafat Islam Indonesia, Harun Nasution mengatakan persoalan yang

memicu terjadinya konflik intelektual untuk pertama kalinya adalah keterkaitan

pembahasan tentang masalah hubungan agama dan Negara.197Perbincangan mengenai

agama dan Negara dimulai dari tidak adanya garis pembatas yang sangat jelas diantara

keduanya.Sehingga dari permulaan inilah menjadi meluas sedemikian rupa, sehingga pada

akhirnya sampai pada sebuah wacana yang disebut dengan “Negara Islam”.

Sesunggunya, diskusi-diskusi mengenai hubungan antara agama dan Negara

bukanlah hal yang baru, apalagi hanya khas Islam. 198Tetapi, pembiraan antara keduanya

ini sungguh sangat mengesankan, ekpresif dan kompleksitas dalam sejarah kehidupan

manusia, terutama pada masa-masa kontemporer seperti sekarang ini, pembicaraan

mengenai agama dan Negara begitu sangat dinamis. 199

Pengalaman tentang agama dan Negara pada zaman modern seperti sekarang ini,

begitu sangat ironis dengan munculnya stigma yang mungkin sangat menggangu

196
Budhy Munawwar Rachman, Titik Temu Agama-Agama,, h. 22
197
Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalisme,, h. 192
198
Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalisme, h. 192, Lihat, Franz Magnis Suseno,
Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moder, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 355-366
199
Budhy Munawwar Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta:
Paramadina, 1995), h. 588, Lihat, Nurcholish Madjid, Agama dan Negara dalam Islam; Telaah atas Fiqih
Siyasi Sunni, (Tanpa halaman dan Tahun).
kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti stigma teologis kafir, murtad, syirik dan lain

sebagainya. Namun, terlepas dari kompleksitas stigma-stigma tersebut, hubungan antara

agama dan Negara dalam, telah diberikan teladannya oleh nabi Muhammad SAW, ntah

apapun makna yang akan di berikan dengan masalah ini.

Cak Nur, sebagai seorang intelektual Muslim Indonesia, telah memberikan banyak

pengaruh tentang pandangan keislaman dan keindonesiaan. Pendapat ini dapat ditunjukkan

dengan penafsiran beliau tentang kehidupan nabi Muhammad setelah hijrah dari Mekkah

ke Madinah (Madinah: kota, peradaban), nama yang diberikan nabi untuk menggantikan

nama sebelumnya Yatsrib, menunjukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi

sucinya yaitu menciptakan masyarakat yang berbudaya tinggi, berperadaban untuk

menghasilkan negara bangsa (nation state), yaitu Negara yang dapat memberikan

ketenangan kepada seluruh warganya demi sebuah kemaslahata.200

Menurut budhy Munawwar Racman praktek intoleransi keagamaan, khususnya

dalam sepuluh tahun terakhir, telah menimbulkan kekhawatiranbanyak pihak. Tapi yang

lain juga mendorongsebagian kalangan cendikiawan muslim untuk mencari solusi

persepektif keagamaan yang terbuka pada perubahan.201 Nah di sinilah maksud dari budhy

munawwar Rachman, yaitu persepektif yang pernah dibangun oleh cak Nur dahulu, yaitu

rumusan tentang apa yang disebut dengan Islam inklusif. Budhy Munawwar Rachman

melanjutkan:

Apa yang dirintis Cak Nur sejak 1992 telah mengolohkan satu persepektif mengenai
demokrasi secara umum, termasuk di dalamnya pluralisme yang secarab konseptual
filosofis, dapat mendukung sepenuhnya perlindungan toleransi dan kebebasan
beragama di Indonesia.Karena Cak Nur sadar, tanpa pandangan keagamaan yang
inklusif, tatanan demokrasi tidak dimungkinkan dapat berjalan dengan sempurna.
Oleh karenanya beliau mencari landasan titik temu kagamaan.
Medel keberagamaan itu yaitu “Islam yang hanif” atau bahasa yang lainnya “Islam
inklusif”. Islam inklusif yang di cetuskan Cak Nur ini sebetulnya bukan sesuatu

200
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 48
201
Trisno S. Susanto, Titik Temu Agama-Agama,
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/mencari-titik-temu-agama-agama
yang asal jadi begitu saja melainkan hasil dari perenungan Cak Nur yang diambil
dari sebuah ayat suci pesan Tuhan (al-Quran), yaitu kalimah sawa>,yaitu suatu
agama yang dalam tingkatan transinden bertemu dalam satu ultimate concern,
sementara dalam tingkatan imanen dalam keprihatinan etis.
Perkembangan zaman dewasa ini membutuhkan corak keberagamaan yang berbeda
sama sekali. Masyarakat memerlukan model keberagamaan yang lebih inklusif,
terbuka, adil, dan demokratis.System seperti inilah yang oleh cak Nur disebut
sebagai Islam yang hanif, yakni keislaman yang terbuka pada kebenaran serta
membawa pada kelapangan hidup seluruh bangsa terutama bangsa Indonesia.

Dari sedikit penjelasan budhy Munawar Rachman di atas, menunjukkan jika

system yang ditawarkan oleh Cak Nur berjalan dengan lancer, itulah kemenangan Islam

yang susngguhnya.Kemengan Islam adalah kemengan sebuah ide, sebuah cita-cita, tanpa

terkecuali siapapun yang mempunyai ide tersebut. Menurt Cak Nur, kemenangan Islam di

sini, bukanlah kemenangan Ummat Islam, apalagi kemengan pribadi-pribadinya.

Lihatlah idenya, jangan melihat siapanya, sebab itulah pemahaman kita (umat
Muslim) kepada Islam. Pemahaman Islam dalam hal ini, yaitu pemahaman Islam
yang terbuka, yang karena keterbukaannya itu Is bersifat Inklusif dan mampu
menjadi rahmat kepada seluruh alam. Kemenangan Islam adalah bentuk kebahagiaan
setiap orang, atau bahkan lingkup besarnya yaitu kebahagiaan mahluk.
Di sini, disebut Inklusif, karena Islam mengakui adanya agama-agama lain, malah
mengisyaratkan bahwa para penganut agama-agama itu bisa juga memperoleh
kebahagiaan. Karena watak yang tertanam dalam Islam adalah watak inklusif bukan
watak yang eklusif. Dan bersifat ngemong kepada agama atau bahkan kepada
golongan lain, sebagaimana dalam sejarahnya sendiri. Semangat itulah yang harus
kita (umat Muslim) bangun kembali. 202

Dari penjelasan Cak Nur di atas, menunjukkan bahwa dalam ajaran setiap agama,

terutama dalam agama Islam, ada sebuah perintah yang sering kali di lupakan oleh banyak

orang, yaitu ajaran tentang tali hubungan sesame manusia, atau bahasa lainnya sebagai

dimensi social kehidupan bersosial. Sebab, dari kehidupan bersosial, manusia diperintah

untuk selalu bekerjasama, berhunbungan dengan sesame manusia secara baik.

Oleh karena itu, dalam setiap pilihan, manusia dituntut untuk meninggalkan yang

merugikan.Apalagi dalam pilihan tersebut adalah taruhan dalam kehidupan berbangsa dan

bernegera (kepentingan masyarakat), sebaiknya tidak mengambil resiko yang sangat

202
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan,, h. 279
banyak.Namun, harus diakui juga, bahwa pada akhirnya semuannya harus kembali kepada

keputusan individu, ialah dengan berdasarkan kepada pertimbangan hati nurani masing-

masing.

Nilai-nilai persaudaraan yang di gembar gemborkan oleh cak Nur dan para

koleganya, ialah disebut dengan etika persaudaraan, nilai ini terdapat di dalam kitab suci

“sesungguhnya orang-orang mukmin adalah saudara”203 ikatan persaudaraan ini oleh

udhy munawwar Rachman disebut dengan ukhu>wah basyariyyah (persaudaraan

kemanusiaan),204 pendapat ini juga didukung oleh al-Quran dalam surat al-Hujarat 13.205

Tujuan utama yang ingin di bangun dari konsep islam inklusif ialah kemajmukan dalam

kehidupan bernegara.

Nilai atau etika persaudaraan tidak hanya didengungkan oleh cak Nur, melainkan

praktek ini telah di bangun oleh Nabi Muhammad, yaitu persaudaraan yang universal,

terbuka, yang disemangati oleh nilai-nilai kemanusiaan. Nabi telah mencontohkan, bahwa

dalam membangun persaudaraan yang pertama-tama yang harus dilakukan yaitu

menentang fanatisme.Dalam ungkapan yang sangat populer, yaitu “bukan pengikutku

mereka yang mengkampanyekan fanatisme buta.Bukan pula pengikutku orang yang

menyabung nyawa demi fanatisme. Dan, tidak masuk golonganku mereka yang tewas

terbunuh hanya untuk mempertahankan fanatisme.206

Dalam hubungan social dam masyarakat, promordialisme akan dapat menjungkir

balikkan nilai-nilai kebenaran. Sudut pandang kebenaran fanatisme dijelaskan dengan

pepatah Arab yang menegaskan bahwa sudut pandang kemarahan akan selalu menyingkap

keburukan-keburukan pihak lain. Secara kongkrit, dalam hubungan social, fanatisme

203
Qs. al-Hujarat. 10
204
Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalisme, , h. 96
205
Wahai manusia, sesungguhnya kami ciptakan laki-laki dan perempuan, dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar supaya kamu saling mengenal.Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu adalah orang yang bertakwa.
206
Zuhairi Misrawi, Novriantoni, Doktrin Islam Progresif,, h. 103
hanya memandang keburukan kelompok lain, serta tidak ada upaya atau etos untuk

melakukan intropeksi dan koreksi kedalam kelompok.

Fanatisme buta lebih membawa keterbelakangan, bahkan kehancuran bagi para

penganutnya. Karenanya, kalangan ulama menciptakan Istilah tentang persaudaraan di

lingkungan umat Islam, yang mana Istilah ini biasanya disebut dengan ukhu>wah

isla>miyyah (persaudaraan Islam), dalam al-Quran istilah ini disebutkan innama> al-

mu’minu>na ikhwah (sesungguhnya, orang yang beriman itu adalah saudara).207

1. Manusia sebagai khalifah al-ard

Setelah melihat biografi Cak Nur yang telah dijelaskan pada bagian ketiga, dan

juga sedikit pandangan teologis Cak Nur yang telah penulis jelaskan pada bagian kedua,

akan tampak dengan sangat jelas rekonstruksi teologi social Islam. Umat Islam tidak boleh

kehilangan tugas sucinya sebagai penuntut sikap keadilan. Sebab, bagi Cak Nur,

kemengan Islam adalah kemengan ide, cita-cita, sikap hidup, bukan kemengan seseorang

atau individu,208 atau dalam istilah yang popular dewasa ini menumbuhkan masyarakat

madani (civil society) yaitu masyarakat yang berbudy luhur, berahlak mulia dan

berperadaban, seperti yang dicontohkan pada masa Nabi dan masa Khila>fah ra>syidah.

Dalam merelevansikan Madinah dengan konteks Indonesia, Cak Nur

menganalogikan Pancasila dengan Piagam Madinah, karena menurut beliau kedua-

keduanya sebagai common platform “Kalimah sawa>>”antara berbagai macam kelompok

dan agama. Walau pancasila sebagai etika bangsa dan mantap pada tingkat formal-

konstitusional, tetapi penyatuannya semua diperoleh dari beberapa (termasuk sumber

Islam),209 seperti yang akan dijelaskan berikut ini:

207
Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalisme,, h. 98
208
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 175
209
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, , h. 184
Ada sumber-sumber pandangan etis yang meluas dan dominan, yang secara sangat
potensial menjadi ragi pandangan etis bangsa secara keseluruhan, dan yang bias
dijadikan bahan pengisian wadah etika Pancasila, yaitu;
Pertama, etika kebangsaan Indonesia yang perwujudan paling baiknya dan
penampakan paling dinamisnya ialah bangsa Indonesia; Kedua, etika kemodernan
yang merupakan akibat langsung keberadaan kita di abad modern; Ketiga, etika
Islam, yang sebagai anutan rakyat merupakan agama paling luas yang menyebar
diseluru tanah air, dan yang peranannya diakui oleh ahli sebagai perata jalan untuk
tumbuhnya paham-paham maju dan modern dikalangan rakyat Indonesia, khususnya
dalam bentuk faham persamaan manusia (egalitarianisme) dan pengakuan serta
penghargaan kepada adanya hak-hak pribadi.210

Dalam kehidupan bersosial, sungguh sangat dibutuhkan sebuah teologi

bermasyarakat, sangatlah dibutuhkan teologi agama-agama melalui pencarian “Titik Temu

Agama-agama”.Metode ini dilakukan dengan menggunakan metode filsafat perenial

(perenialisme). Secara etimologi, istilah filsafat perenial berasal dari Istilah latin, yaitu,

philosophia parennis yang secara harfiah berarti filsafat yang abadi. Filsafat parenial

adalah filsafat yang abadi, hikmah abadi atau dapat juga disebut dengan hakikat abadi

istilah-istilah ini biasanya muncul dalam wacana filsafat.

Sedangkan dalam istilah agama, agenda-agenda yang dibicarakan adalah

pertama.Tentang talian wujud yang absolut, sumber dari segala wujud Tuhan yang maha

benar adalah satu. Dan hingga semua agama yang muncul dari Yang Satu pada prinsipnya

adalah sama. Kedua, filsafat parenial ingin membahas fenomena pluralisme agama secara

kritis dan kontemplatif.Meskipun agama yang benar hanya satu. Tetapi karena

diturunkannya pada manusia dalam sprektrum historis dan sosiologis maka ia tampil

dalam formatnya yang pluralistik. Sehingga setiap agama mempunyai kesamaan dengan

agama yang lain, sekaligus memiliki kekhasan sehingga berbeda dari yang lain. Ketiga,

filsafat parenial berusaha menelusuri seseorang atau kelompok melalui akar-akar

210
Nurcholish Madjid dan Mohammad Roem, Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Politik
Nurcholish Madjid-Mohammad Roem, (Jakarta: Djambatan, 1997), h. 75
kesadaran religiousitas seseorang atau kelompok melalui symbol, ritus serta pengalaman

keagamaan.211

Menurut Qomaruddin Hidayat, filsafat parenial berpendapat, hakikat keagamaan

yang benar adalah satu. Namun, karena agama muncul dalam ruang dan waktu secara tidak

simultan, maka pluralitas dan partikularitas bentuk bahasa agama tidak dapat dielakkan

dalam realitas sejarah atau dalam ungkapan lain, pesan kebenaran itu ikut dan bersimbiose

dalam dialektika sejarah.212

Mengatakan bahwa Islam adalah agama universal, sama halnya dengan mengakui

bahwa bumi bulat, hal itu bener untuk masa-masa saat ini. Sepertinya benar jika dikatakan,

bahwa tidak semua penganut Islam sendiri menyadari makna universalisme Islam. Contoh,

mungkin semua orang akan heran jika dikatakan bahwa bumi adalah bulat, karena tidak

ada garis lurus dipermukaan.

Kebanyakan orang Muslim dalam percakapan sehari-hari mengemukakan, bahwa

agama mereka adalah “sesuai dengan segala zaman dan tempat” atau dalam bahasa

Arabnya “al-Isla>m sha>hih li kulli zaman wa maka>n”. Hal ini dibuktikan dengan antara lain

oleh pengamatan bahwa Islam adalah agama yang paling banyak mencakup berbagai ras,

dan kebangsaan dengan kawasan yang meliputi semua cirri klimatologis dan geografis. 213

2. Keadilan.

Pada dasarnya, setiap kelompok keagamaan melihat pada masa lampaunya dalam

lukisan ideal. Namun, perbedaan orang muslim dengan komunitas lainnya. Tetapi, untuk

umat Islam sendiri, ada perbedaan yang sangat jelas, yaitu orang muslim modern bias

melihat banyak dukungan kenyataan historis untuk memandang masa lampau yang

211
Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalisme, , h. 267
212
Qomaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Persepektif Filsafat
Parenial, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 6
213
Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban,, h. 245-426
menurut Cak Nur (dalam literature keagamaan) disebut sala>f (klasik) atau al-Salaf al-

Sha>lih (Klasik yang saleh) dan atau bias juga disebut al-Sadr al-Awwal (Inti pertama)

pada masa selain zaman nabi Muhammad SAW masa para sahabat Nabi dan Ta>biu>n (para

pengikut Nabi).214

Adil dalam al-Qur’an diistilahkan dengan kata a>dl dan qist}.Keadilan sangat erat

kaitannya dengan Ihsan, yaitu sebuah keinginan untuk selalu berbuat baik dengan penuh

ketulusan.Dalam pandangan Cak Nur, adil (a>dl) sebagai bentuk keseimbangan dan

menengahi dalam dalam semangat moderasi dan toleransi, yang oleh beberapa tokoh

teologi Islam juga disebut sebagai pertengahan ( wasath).

Secara harifiah, kata adl adalah kata benda abstrak, berasal dari kata kerja adala

yang berarti; pertama, meluruskan atau duduk lurus, mengamandemin atau mengubah;

kedua, melarikan diri, atau mengelak dari jalan yang keliru menuju ke jalan yang benar;

ketiga, sama, sepadan atau menyamakan; keempat, menyeimbangkan atau mengimbangi

(state of equilibrium).215

Dalam kaitannya dengan keadilan, Tuhan tidak pernah mendiskriminasi, hal ini

diperkuat dengan firman Tuhan dalam Qs. 4;123-124,216 dari ayat ini dapat ditegaskan

bahwa Tuhan sebetulkan akan selalu berlaku objektif serta tidak akan memihak kecuali

hanya kepada kebenaran. Dilihat dari kontek ayat di atas, menunjukkan bahwa adanya

ganjaran baik untuk yang baik, dan juga sebaliknya ganjaran jahat untuk semua yang

jahat.217

3. Antar Iman dalam Kelompok Keagamaan.

214
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid,, h. 185
215
Budhy Munawwar Rachman, Islam dan Liberalisme, , h. 71
216
Ganjaran Tuhan itu bukan angan-angan kosongmu, dan pula tidak menurut angan-angan
ahli kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki atau perempuan dari kalangan orang yang
beriman, maka mereakan masuk ke dalam surgadan mereka tidak akan dizalimi (diperlakukan secara tidak
adil) sedikitpun.
217
Zuhairi Misrawi, Novriantoni, Doktrin Islam Progresif;, h. 47-48
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya, konsep keimanan

sangat erat kaitannya dengan keimanan, dan dalam kontek ini dapat difahami sebagai

bentuk kesejajaran antara sesama manusia.Barang tentu sangat logis, jika iman harus

berkaitan dengan faham kemajmukan.Dan bahkan menurut Cak Nur, faham kemajmukan

adalah taqdi>r (suatu kepastian Allah).

Oleh sebab itu, demokrasi menuntut adanya kesediaan dari pihak-pihak yang

bersangkutan untuk kemungkinan terjadinya kompromi atas dasar prinsipil, bukan

oportunisme (hanya semata-mata hanya mendapatkan keuntungan untuk dirinya

sendiri).Sehingga semuanya harus dirangkul, khususnya budaya-budaya yang berkembang

di daerah sebagai kearifan yang dapat memperkaya budaya.Sebab prinsip utama dari

kebhinnekaan adalah mendorong berlangsungnya cross-curtural fertilization (penyuburan

silang budaya) untuk menjadikannya lebih unggul, seprti biasanya yang sering dilakukan

oleh penguasa totaliter.218

Nalar manusia tidak bisa memungkiri, bahwa hadirnya agama dimuka bumi ini

membawa pesan khusus, jika di dalam Islam, yaitu pesan yang dibawa oleh Muhammad

SAW, sebagai penyampai risalah keagamaan, untuk dijadikan pedoman khusus oleh umat

manusia. Namun, salah satu karakter yang terpenting dari pesan Islam adalah kemestian

agar difahami makna terdalamnya atau makna batinnya.Pesan agama yang dibawa oleh

Nabi, bukanlah hanya bentuk titah dari Tuhan kepada manusia, melainkan harus difahami

secara mendalam dari makna batinnya. 219

Hampir semua ulamak Islam berpendapat, bahwa taka da pesan Tuhan yang

bersifat sia-sia atau tanpa kandungan maslahat di dalamnya. Maslahat merupakan kosa

kata dari bahasa arab al-maslah}ah , kata maslahat biasanya didefinisikan sebagai “segala

218
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita,, h. 90-100
219
Zuhairi Misrawi, Novriantoni, Doktrin Islam Progresif,, h. 55
sesuatu yang mengandung manfaat bagi umat manusia. Hal ini dapat di tandai dengan

banyaknya ayat al-Qur’an yang tentang apa manfaat maslahat bagi manusia.220

Selain dari apa yang telah dijabarkan di atas, lebih penting lagi, ialah bersyukur

kepada Tuhan, karena founding fathers (pendiri bangsa) telah meletakkan asas kenegaraan

dengan mengedepankan sifat atau prinsip bermusyawarah. Sistem bermusyawarah ini

merupakan point yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara apalagi

di Indonesia bangsanya menganut agama yang tidak sama (Islam, Kristen, Protesten,

budha, hindhu dan konghucu dan juga tradisi local “aliran kepercayaan” yang masih

bertahan sampai saat ini).

Namun, harus diakui juga, bahwa system musyawarah yang ada bukanlah tidak

berdasar ataupun berdiri sendiri, melainkan terkait dengan prinsip lain yang tidak bisa di

pisahkan. Konsep musyawarah ini dikaitkan dengan al-Quran dan Hadist, bahwa manusia

adalah mahluk fitrah (suci dan bersih).Karena itu, kesucian diri sering diungkapkan secara

metaforfosis sebagai keadaan bayi yang baru lahir.

Sebab dari kesucian itulah setiap perilaku manusia cenderung pada kebenaran, hal

kebenaran inilah landasan dasar manusia untuk selalu dan atau harus didengar setiap

pendapatnya.Tetapi menurut Cak Nur ada sedikit kontradiksi, jika setiap manusia suci.

Jika masing-masing manusia suci, dan mempunyai potensi pada kebenaran, “lalu
kenapa kita tidak cukup dengan diri kita sendiri?, mengapa masih perlu dan wajib
mendengar orang lain?”, jawabannya adalah meskipun manusia suci (fitri), namun
dia juga bersifat lemah (daif) dan terbatas, sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab
suci. Ini yang membuat manusia tidak mungkin bisa dan pasti dan selamanya baik
dan benar.
Dia hanya potensial baik dan benar, itu menjadi actual baik dan benar, seorang
manusia tidak boleh hanya mengandalkan kemampuan dirinya sendiri.Sebab
seseorang yang hanya bmengandalkan dirinya sendiri, merupakan sikap tidak taidiri
dan sombong. Dia harus menyertai orang lain, dalam mencari kebenaran, dan itulah
musyawarah. Lebih-lebih musyawarah juga menyangkut kepentingan orang banyak.
Pendapat ini sangat pas dengan adagium Islam Ra’sul hikmatil masyrah yang
berarti, “pangkal kebijaksanaan adalah musyawarah.”Dilil inilah yang menjadi dalil
pada sila keempat. 221

220
Zuhairi Misrawi, Novriantoni, Doktrin Islam Progresif,, h. 59
4. Paradigma Islam dan Peradaban Modern

Setelah berbicara tentang beberapa poin yang telah diuraikan dari atas, pada

bagian ini akan menjelaskan tentang situasi yang sangat penting dalam dalam

hubungannya dengan konsep kemanusiaan dalam kehidupan dunia modern. Ketika

mencoba merenungkan tentang kehidupan manusia pada madern seperti

sekarang.Alangkah sangat pentingnya untuk melakukan sebuah refleksi terhadap sebuah

kenyataan yang sering terjadi.

Tema tentang situasi kemanusiaan menjadi sangat penting, mengingat pada masa-

masa modern, bermacam-macam persoalan yang sangat penting untuk diselesaikan.dan

yang lebih menarik lagi bukan tentang kehidupan oranglain, melainkan diri sendiri

terkadang mempunyai masalah yang harus diselasaikan. Menurut Kunto Wijoyo;

Dibalik kemajuan ilmu dan teknologi, sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang
dapat menghancurkan martabat manusia, karena manusiatelah berhasil
mengorganisir ekonome, menata struktur politik serta membangun peradaban yang
maju untuk dirinya sendiri.Namun harus diakui pula, manusia telah menjadi tawanan
ciptaan mereka sendiri.
Sejak manusia memasuki zaman modern, yaitu sejak manusia mampu
mengembangkan potensi-potensi rasionalnya, mereka memang telah membebaskan
diri dari belenggu pemikiran mistis yang irrasional dan belenggu pemikiran hokum
alam yang sangat mengikat kebebasan manusia.Tetapi, selaindari itu semua, manusia
modern juga dapat menyembah dirinya sendiri.222

Dari penjelasan kunto wijoyo di atas sangat menarik untuk dikaji kembali, yaitu

kaitannya kehidupan manusia modern, dan sangat dibenarkan bahwa hal itu dapat terjadi

dalam masa-masa seperti pada zaman ini yang disebabkan oleh kebebasan manusia yang

terlalu bebas. Namun, pada posisi lain ummat Islam khususnya harus dapat melihat

beberapa kemungkinan juga, sebab jika terlalu mengabaikan kemajuan terjadi di

sekelilingnya. Menurut Cak Nur, pergeseran hirarki nilai, yang mendorong tidak saja

221
Nurcholish Madjid, Pinti-Pintu Menuju Tuhan, , h. 252-253
222
Kunto Wijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistimologi, Metodelogi dan Etika, (Jakarta: Refleksi
Masyarakat Maju, 2004), h. 119
penisbian beberapa nilai hidup tertentu, tetapi juga sebaliknya, pemutlakanbeberapa nilai

hidup lainnya, hal ini juga telah menjadi perbincangan yang menarik dalam kehidupan

modern dan modernisasi.223

Dari kedua pendapat di atas sangat jelas, kenyataannya memang zaman modern

menampakkan agama dalam ujian yang sangat berat, khususnya pada ranah

epistemology.Namun haruslah diakui pula, hal yang seperti ini sebenarnya tidak hanya

terjadi pada zaman sekarang ini, melainkan sebelumnya juga pernah terjadi.Meskipun

dalam skala yang mungkin agak ringan.

Sebelum berbicara lebih jauh pandangan yang lain diantaranya, pandangan Islam

tentang manusia, terlebih dahulu akan dijelaskan apadan bagaimana problem-problem

manusia dalam kebudayaan modern, yang semangatnya dapat dikatakan berangkat dari

barat, atau pula dapat pula dikatakan sebagai cita-cita renaisance, seperti yang telah

dijelaskan dalam buku-buku sejarah, bahwa pada awalnya orang barat masih

berpandangan yang sangat kolot yang pada akhirnya dating renaissance dengan sebuah

cita-cita dan gerakan yang maju, dengan cita-cita utamanya manusia harus menguasai

alam semesta, sebab setiap kekuatan berasal dari manusia sendiri.

Namun pada sisi lain, ada yang beranggapan bahwa pada awalnya manusia yang

merdeka, pada zaman modern telah menurunkan derajatnya sendiri yang tak lebih menjadi

sebagai bagian dari mesin, sebagai mesin raksasa modern.224Karena pandamngan inilah

manusia menjadi tereduksi. Nilai-nilai manusia kini menjadi terdegradasi oleh proses

bekerjanya teknologi.

Dari sedikit penjelasan di atas menurut kunto wijoyo dapat dikatakan bahwa barat

telah terjadi pergeseran konsepsi tantang manusia.manusia yang pada masa renaissance

menjadi gambaran pusat segala sesuatu, pada masa modern seperti sekarang ini telah

223
Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban,, h. 575
224
Kunto Wijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistimologi,, h. 122
tereduksi hanya sebagai unsure kecil di dalam system raksasa, dan bahkan dapat dikatakan

telah terbelenggu dalam mikanisme system tersebut.

Sesungguhnya jika ditelisik lebih jauh lagi, gambaran manusia dalam dunia

modern seperti yang dijelaskan dalam filsafat barat sangat jauh dari konsep keislaman.Di

dalam Islam manusia digambarkan sebagai mahluk yang merdeka, dan karena

kemerdekaan itulah manusia mendapatkan posisi yang sangat terhormat, 225 seperti yang

telah dijelaskan pada penjelasan diatas, bahwa manusia sebagai khalifah Allah dimuka

bumi ini.

Namun mungkindalam pembahasan ini, terlalu pelik dalam pembicaraan soal

sejarah.Namun, dirasa sangat perlu untuk disari adanya sebuah permasalahan dalam

system kehidupan modern, dalam sebuah susunan yang lebih besar dan juga lebih ruwet.

Mungkin dalam hal inilah yang disebut perlunya ada reinterpretasi dan reaktualisasi

kepada sebuah ajaran-ajaran keagamaan, serta untuk mengefektifkan fungsinya sebagai

sumber kehidupan.

Sikap positif kaum Muslim secara keseluruhan terhadap ilmu pengetahuan itu

tidak dapat diterangkan kecuali dari sudut bahwa Islam adalah agama yang secara sejati

memiliki hubungan organik dengan ilmu pengetahuan dan mampu menjelaskan kedudukan

ilmu pengetahuan itu dalam rangka keimanan.226 Inilah yang sangat kurang, jika

bukannya malah tidak ada sama sekali.

225
Kunto Wijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistimologi,, h. 125
226
Nurcholish Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban,, h. 589
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Agama (Islam, Kristen, Hindhu, Budha dan Konghucu) diyakini sebagai

sumber ketenangan, karena agama member arah serta makna hidup yang pasti. Selain

dari itu, agama juga disebut sebagai sumber yang pasti, tidak seperti keilmuan

lainnya, yang pada akhirnya masih menyisakan keraguan-keraguan. Sehingga, bukan

yang tidak mungkin, jika pada zaman modern seperti saat ini, ada orang yang mencaci

agama dengan menuduh, bahwa agama hanya sebagai seumberpetaka yang dapat

memecah belah bangsa.

Terlepas adanya berbagai interpretasi akan adanya berbagai pendapat dan

sikap terhadap agama, yang jelas, sampai saat ini, agama masih eksis, serta tetap

dijaga eksistensinya. Sedangkan munculnya berbagai gerakan social, seperti

radikalisme ataupun kekerasan atas nama agama tertentu, merupakan adanya sebuah

sikap eksklusif dalam beragama. Jelas, pada bagian ini sangat dibutuhkan sebuah

resolusi khusus untuk menuntaskan gerakan-gerakan mereka dengan cara memberikan

ulang tentang sebuah pemahaman mengenai agama yang sesungguhnya, yaitu tentang

adanya sebuah sikap keterbukaan dengan menghargai sifat-sifat kemanusiaan,

terutama di Indonesia, sebagai Negara yang berideologi pancasila.

Secara umum, pemikiran teologi (Islam) inklusif Cak Nur bermula pada

sebuah pemahaman tentang Islam. Maksudnya, setiap agama samawi pada dasarnya

adalah Islam (pasrah) kepada Tuhan, meskipun Islam yang dimaksud Cak Nur lebih

tertuju kepada Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Teologi Islam

Inklusif yang dimaksud oleh Cak Nur, yaitu pemahaman yang terbuka, serta toleran

atau dengan kata lain, teologi Islam Inklusif adalah keberanian untuk membongkar

sifat-sifat dogmatis yang tertanam dengan rapat didalam diri setiap Individu yang
beragama, sehingga dapat dipat dikatakan bahwa Teologi Islam Inklusif, lebih

menekankan kepada nilai dasar Islam bukan kepada symbol-simbol.

Sedang yang yang lainnya adalah kalimah sawa>>, bermaksud sebuah

keterbukaan untuk semua social guna mengambil sisi positif. Dalam social-budaya,

sejak dari Nabi Muhammad sampai saat ini, Islam terbentuk dari latar belakang social

dalam sejarah-sejarah tertentu. Begitu juga Islam di Indonesia, kita boleh

mengabaikan diri dari latar belakang social-budaya tertentu.

B. Saran-saran

Demi menjaga sebuah tradisi keilmuan, khususnya dalam khazanah

intelektual Islam di dunia akademis, penulis memeberikan bebrapa point saran, yaitu:

1. Tradisi keilmuan, pada dasarnya merujuk kepada tradisi Islam klasik yang sangat

kaya dan bernuansa, sehingga sangat penting untuk dipelajari kembali dan

dikembangkan serta menggali apa yang terkandung di dalamnya.

2. Penulis sangat berharap, kepada civitas akademik pada khususnya para petinggi

universitas agar memberikan sebuah penghargaan dan perhatian kepada para

akademisi yang menggeluti pemikiran keislaman.


DAFTAR PUSTAKA

Bakar, Osman, 2008, Tauhi dan Sain, Pustaka Hidayah, Jakarta Cet.II

Bryan, Turner, 2002, Orientalisme, Postmodernisme, dan Glbalisme, Riora Cipta, Jakarta,
Cet. I, Diterjemahkan Oleh Eno Syafrudien dari Judul Asli Orientalism, Post
Modernisme and Globalism, Routledge.

Coulson, 2001, Konflik dalam Jurispondensi Islam, diterjemahkan oleh, Fuad Zein,
Navilla, Yogyakarta.

Djumhana, Hanna Bastaman, 1996, Meraih Makna Hidup Bermakna, Kisah Pribadi
Dengan Pengalaman Tragis, Paramadina, Jakarta.

Fayyadl, 2012, Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan, LkiS, Yogyakarta

Fathi , Mohammad Osman, 2006, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan;


Pandangan al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban, diterjemahkan
oleh Irfan Abubakar, Pramadina, Jakarta.

Fauzi, Ikhsan Ali, 1999 Demi Islam, Demi Indonesia, Manuskrip Otobiografi Nurcholish
Madjid, (tidak diterbitkan).

Fauzi , Ihsan Ali – Armando, Ade, 2012 All You Need is Love; Cak Nur di Mata Anak
Muda, Democrazy Project, Jakarta.

Grubeum, Von , 1983, Islam Kesatuan dalam Keragaman, diterjemahkan oleh, N. Yahya,
Yayasan Perkhidmatan, Jakarta.

Gaus AF, Ahmad, 2010, Api Islam Nurcholish Madjid; Jalan Hidup seorang Visioner,
Kompas, Jakarta.

Guttmann , Julius, 1973, Philosophies of Judaism: The History of Jewish Philosophy from
Biblical Times to Franz Rosenzweigh, terj. David W. Silverman, Schocken
Books, New York.

Hanafi, 2003, Pengantar Teologi Islam, PT Pustaka al-Husna, Jakarta

Hamzah, 2013, Teologi Sosial, Telaah Pemikiran Hasan Hanafi, Yogyakarta: Graha
IlmuMuhammad

Hidayat, Qomaruddin, Wahyuni Nafis, 1995, Agama Masa Depan, Persepektif Filsafat
Parenial, Paramadina, Jakarta.

Hidayat, Qomaruddin, 2012, Agama Punya Seribu Nyawa, Nouroa Book, Jakarta.

Kurzman, Charles, 2003, Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang
Isu-Isu Global, Paramadina, Jakarta.
Madjid, Nurcholish, 2004, Indonesia Kita, Universitas Pramadina, Jakarta, Cet. III.

Madjid, Nurcholish, 1995, Islam Doktrin Peradaban; Sebuah Telaah Kerits Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Yayasan Wafakaf
Paramadina, Jakarta, Cet. V.

Madjid, Nurcholish, 1994, Khazanah Intelektual Islam, Yayasan Obor-Bulan Bintang,


Jakarta.

Madjid, Nurcholish, 1997, Masyarakat Religius, Paramadina, Jakarta.

Madjid, Nurcholish, 1995, Pintu-pintu Menju Tuhan, Paramadina, Jakarta, Cet. I.

Madjid, Nurcholish, 1995, Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Paramadina, Jakarta.

Madjid, Nurcholish, Kaki Langit Peradaban Islam, Paramadina, Jakarta Cet. I.

Madjid, Nurcholish, 2008, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Mizan, Bandung.

Madjid, Nurcholish, Kautsar Azari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Masudi, Zainun
Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawwar Rachman, Ahmad Gaus AF, 2004,
Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Paramadina-The
Asian Foundation, Jakarta.

Misrawi, Zuhairi, Novriantoni, 2004, Doktrin Islam Progresif, Memahami Islam Sebagai
Ajaran Rahmat, Lembaga Studi Islam Progresif (LSIP), Jakarta.

Nasuition, Harun, 1986, Teologi Islam; Aliran Sejarah Analisa Perandingan, Universitas
Indonesia, Cet. V.

Nasution, Harun, 1986, Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah analisa, perbandingan, UI


Press, Jakarta.

Nasution, Harun, 1985, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspek, UI Press, Jakarta, Cet. I

Rachman, Budhy Munawwar, 2011, Membaca Nurcholish Madjid; Islam dan Pluralisme,
Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, Jakara

Rachman, Budhy Munawwar, 2014, Titik Temu Agama-agama; Analisis Atas Islam Inklusif
Nurcholish Mardjid, Sekolah TinggI Filsafat Driyarkara. Jakarta.

Rachman , Budhy Munawwar, 1995, Agama Masa Depan; Persepektif Falsafah Parenial,
Paramadina, Jakarta.

Rachman, Budhy Munawwar, 2011, Islam dan Liberalism, Friedich Naumann Stiftung,
Jakarta.
Rachman , Budhy Munawwar - Taher, Elza Peldi, 2013, Satu Menit Pencerahan
Nurcholish Madjid, Imania dan Paramadina, Depok.

Rachman, Budhy Munawwar, 2010, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah,


Paramadina, Jakarta.

Rahardjo, Dawam , 1996, Ensiklopedi al-Quran, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-


Konsep Kuncin, Paramadina, Jakarta.

Riyadi, Hendar, 2007, Melampaui pluralisme; Etika al-Qur’an tentang Keragaman


Agama, RMBooks dan PSAP, Jakarta.

Rossenthal, Fran, 1986, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Pustaka Firdaus, Diterjemahkan oleh
Ahmadie Thoha, dari judul terjemahan Inggris, The Moqaddimah, New York
Bolingan Foundation.

Shihab, Alwi, 1997, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan
Bandung.

Sunaryo, 1971, al-Quran dan Terjemahan, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir


al-Quran, Jakarta.

Suseno, Franz Magnes, 2003, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia, Jakarta.

Soenarjo, 1971, Yayasan penyelenggara penerjemah/pentafsir al-Quran, Jakata.

Thaha, Ahmadie– Budhy Munawwar Rachman, 2002, Fatosen Nurcholish Madjid,


Republika, Jakarta.

Wijoyo, Kunto, 2004, Islam sebagai Ilmu, Epistimologi, Metodelogi dan Etika, Refleksi
Masyarakat Maju, Jakarta.

Woordward, Mark, 1998, Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam
Indonesia, diterjemahkan oleh, Ihsan Ali Fauzi, Mizan, Bandung.

Jurnal dan Artikel


Agus Sunaryo, Teologi Inklusif Nurcholish Madjid dan Pengaruhnya Terhadap Fiqih Lintas
Agama di Indonesia, (Artikel, tanpa tahun dan halaman)Budhy Munawwar
Rachman, Jurnal Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), Banjarmasin,
2010.

Arif, Syamsudin, 2005, Orientalis dan Teologi Islam Sketsa Awal, Islamia Majalah dan
Peradaban Islam, Jakarta, Vol. II No. 3.
Abbas, Paradigma dan Corak Pemikiran Islam Klasik dan Modern, Shautut Tarbiyah, Ed.
Ke-32 Th. XXI, Mei 2015,

Fihif Abdillah, 2003, Pluralisme Agama Dalam Pandangan Nurcholish Madjid, (tidak
diterbitkan).

Trisno S. Susanto, Mencari Titik Temu Agama—Agama,


http://www.satuharapan.com/read-detail/read/mencari-titik-temu-agama-agama

Jurnal Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Dari Keseragaman Menuju
Keberagaman; Wacana Multikultural Dalam Media, Jakarta, 1999, H. 144

Madjid, Nurcholish, (Tanpa Tahun), Islam dan Hanifah (Makalah).

Majlis Tarjih dan Pengembangan pemikiran Islam PP. Muhammadiyah, Tafsir Tematik al-
Quran. (Tidak diterbitkan dan tanpa tahun).

Muhammad Rusydy, Paradigma Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Keislaman,


Keindonesiaan dan Kemoderan, dalam Jurnal Innovatio, Vol. XI, No. 1, Januari-
Juni 2015.

Nurcholish Madjid, Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi; Tantangan dan


Kemungkinan, Republika, 10 Agustus 1999.
BIODATA

Nama : Bahrur Rosi

Tempat, tanggal lahir : Pamekasan, 07 Juni 1991

Jenis Kelamin : Laki-laki

Email : bahrurrosi@gmx.com

Alamat : Jurang Dalam, Desa Dempo Barat, Kec. Pasean, Kab.


Pamekasan, Madura, Jawa Timur.

Riwayat Pendidikan :

2003/2004 : SDN (Sekolah Dasar Negeri) Dempo Barat II.

2006/2007 : MTs. Al-Falah

2009/2010 : MA. Al-Falah

2017/2018 : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai