Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk
Mencapai gelar (S 1) Sarjana Ushuluddin
Oleh
Fandi Rosadi
NIM. 203033102162
Di bawah bimbingan,
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Sidang Munaqasyah
Anggota:
Pembimbing,
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Fandi Rosadi
iii
KATA PENGANTAR
Seiring perjalan waktu dan atas karunia Allah Yang Maha Kuasa, dengan
selesainya skripsi ini, penulis mempersembahkan puji kepada Allah SWT, Tuhan
sekalian alam, yang dengan hidayah dan inayah-Nya, sehingga semuanya mudah
untuk penulis lalui. Shalawat dan salam diaturkan kepada Nabi Muhammad saw,
keluarga dan para sahabatnya, yang telah menuntun umatnya dari zaman
kebodohan (jahiliyah) hingga saat ini, semoga kita umatnya kelak di hari kiamat
Madjid dalam Etika Beragama”. Skripsi ini disusun untuk menambah khazanah
Penulis sangat yakin bahwa penulisan skripsi ini tidak mungkin hadir
tanpa ada pihak-pihak yang membantu, untuk itu penulis ucapkan terima kasih
Jakarta.
2. Dr. Zainun Kamal, M.A. (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
iv
penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga Bapak senantiasa
diberikan nikmat sabar dan selalu menjadi suri tauladan bagi kami.
Filsafat, terima kasih atas segala ilmu yang diberikan. Semoga menjadi
7. Yang tercinta kedua orang tua penulis, bapak Tating Kurniawan dan
dan waktu.
10. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis
Penulis
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
E. Metode Penelitian............................................................................ 9
F. Sistematika Penulisan...................................................................... 10
B. Aliran-aliran Etika........................................................................... 25
1. Barat................................................................................... 25
vi
2. Islam .................................................................................. 30
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................61
B. Saran-saran..............................................................................62
vii
BAB I
PENDAHULUAN
etika. Kata-kata yang terdengar di antaranya adalah “tindakan yang tidak etis”,
ditaati meskipun tidak ada sanksi atau hukuman yang menimpa jika
melanggarnya.
Etika itu sendiri adalah cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai
baik dan jahat yang berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang, yang
Tuhan, dengan sesama manusia dan dirinya, maupun dengan alam di sekitarnya,
Perbuatan manusia itu sendiri banyak sekali yang dilakukan atas dasar
kebiasaan dalam hidup dan kehidupannya. Dalam hal ini etika perbuatan telah
ditentukan oleh adat kebiasaan yang sudah berjalan dalam jangka waktu yang
lama.
1
Musa Asy’arie, Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta: LESFI,
1999), Cet. Ke-1, h. 83
1
2
Etika erat kaitan dengan ajaran agama, karena orang yang beragama
masalah iman dikaitkan dengan perbuatan baik (amal saleh). Hal ini menunjukkan
adanya jalinan dan korelasi antara iman dan etika. Sebaliknya, murka Tuhan yang
diturunkan pada suatu kaum bukan akibat syirik yang mereka lakukan, tetapi lebih
karena kejahatan dan kemunkaran mereka. Banyak perintah Tuhan tidak hanya
berhenti pada ritual belaka, tapi terkait dengan perbuatan-perbuatan baik. Begitu
juga halnya dengan yang dilarang agama, seringkali memiliki muatan akidah yang
sangat kental. 2
berbagai macam permasalahan, salah satunya adalah masalah etika. Etika Islam
ditemukan dalam sumber yang merentang luas mulai dari tafsir al-Qur’an hingga
dan begitu penting pula posisi etika dalam Islam, tetapi hal itu tidak diiringi oleh
perhatian para ulama dan intelektual muslim. Bidang ini hampir tak tersentuh
dalam wacana-wacana keilmuan Islam, baik filsafat, ilmu kalam, maupun fikih.
Filsafat Islam, kendati sangat terpengaruh oleh tradisi pemikiran Yunani yang
2
Ayat tersebut berbunyi(4 : ﻰ ﺧ ﻖ ﻈﻴ )ا ﻘ وإﻧﻚyang artinya Sesungguhnya
engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung. (al-Qalam: 4). Sedangkan hadis
yang dimaksud yang sering dikutip banyak orang adalah hadis yang berbunyi: ﻷ إﻧ ﺎ ﺑ ﺜ
( ﻜﺎرم اﻷﺧﻼق)رواﻩ ﺎ ﻚyang artinya Aku hanya diutus untuk menyemperunakan akhlak yang
mulia. (HR. Imam Malik).
3
Sayyed Hossen Nasr dan Oliver Leaman, (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj.
Tiara Mizan, (Bandung: Mizan, 2003), h. 1276
3
Etika sama artinya dengan moral atau akhlak, yang berarti: adat kebiasaan,
Adapun yang membedakan arti kata etika, moral dan akhlak dalam
Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penggunaannya ada sedikit
perbedaan. Moral dan moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai seperti baik dan buruk, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian
sistem nilai dan kode. Orang menyebut perbuatan yang bermoral dan
immoral, atau orang menyebut sistem nilai, norma etik atau kode etik yang
membedakan ialah kata akhlak yang berarti tabiat, watak, budi pekerti.4
Etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama, yang
moral. Etika hanya ingin mengerti mengapa seseorang mengikuti ajaran moral
jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Jadi etika sekaligus lebih dan
kurang dari ajaran moral. Kurang karena etika tidak berwenang menetapkan apa
yang boleh dilakukan manusia dan apa yang tidak boleh. Wewenang itu dikuasai
oleh berbagai pihak yang memberikan ajaran moral. Lebih karena etika berusaha
untuk mengerti mengapa dan atas dasar apa manusia hidup menurut norma-norma
etika masih belum banyak. Salah satu di antara orang yang menaruh perhatian
4
M. Said, Etika Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradaya Pramita, 1976), h. 23
5
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar; Masalah-masalah Pokok Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1987), h. 13-14
4
dan kursus-kursus yang diadakannya itu adalah tempat orang awam mengenal dan
Salah satu pemikiran Nurcholish Madjid yang ingin penulis telaah adalah
etika beragama yang bertujuan untuk mengerti dan memahami ajaran Islam secara
menakjubkan dari ujung ke ujung dunia Islam yang kesamaan itu telah mendasari
gejala yang sangat menonjol antara sesama muslim di mana saja, yaitu solidaritas
dan persaudaraan dalam iman. Argumen tersebut hanya berarti penegasan bahwa
kaum Muslim di muka bumi. Pola penyesuaian setempat untuk masalah setempat
agama, dapat lebih terfokus dan yakin mengenai ajaran yang terkandung di
6
Syu’ba Asa, “Nurcholish, Hari Baik untuk Pergi”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis
dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual, (Jakarta: Paramadina, 2005), Cet. Ke-1, h. 70
7
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin & Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2005), Cet.
Ke5, h. lxxiv
5
dalamnya. Bagaimana etika yang terdapat dalam ajaran agama, terutama agama
dalam kehidupan beragama? Hal ini menjadi pertanyaan besar, karena terjadi
paradoks ketika orang yang taat beragama justru tidak menunjukkan etikanya
ketika berhadapan dengan orang yang berbeda agama. Banyak kekerasan yang
dilakukan oleh orang yang beragama terhadap agama lain, justru karena dilandasi
etika itu hanya dilakukan terhadap orang-orang seagama atau kepada orang-orang
yang beragama lain? Karena sering kali seseorang akan bersikap ramah ketika
bertemu atau bersosialisasi dengan sesama, baik itu agama, suku, ras, maupun
antar golongan. Namun berbeda jika mereka berinteraksi dengan beda komunitas,
sering kali timbul perselisihan yang tidak jarang berakhir dengan pertengkaran
lainnya adalah apakah etika yang dimaksud itu adalah etika yang bersumber dari
apakah dalam hal ini agama juga memberikan kontribusi dalam etika tersebut?
ajaran yang berasal dari agama atau kelompoknya untuk melakukan tindak
itu, penulis berusaha untuk menggali pemikiran Nurcholish Madjid tentang etika
beragama. Hal ini penulis anggap penting, karena banyak peristiwa kekerasan
lain.
memang tidak ditemukan secara spesifik karya yang membahas secara khusus
Etika yang dimaksud di sini adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan
buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia kepada
lainnya, menyatakan tujuan apa yang harus dituju oleh manusia di dalam
memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang ghaib dan
suci.
mengenai etika.
D. Tinjauan Pustaka
tertarik dengan beliau. Salah satunya adalah Sutisna dalam skripsinya Pluralisme
Nurcholish Madjid, akan didapati pemahaman yang sarat dengan nuansa inklusif.
Inti dari gagasan pluralisme Nurcholish Madjid adalah untuk memandang positif
terhadap kemajemukan.
2008). Dalam skripsinya tersebut, Fauzi menjelaskan bahwa hubungan Islam dan
Negara ada sejak adanya agama Islam. Selama itu pula hubungan antara keduanya
menunjukkan pola beragama. di era Nabi dan para sahabat khulafa al-Rasyidin,
hubungan Islam dan Negara bersifat integral. Di mana Islam adalah aturan-aturan
dan hukum yang mengikat seluruh umatnya. Sedangkan Negara adalah bagian
sarana untuk menjalankan hukum-hukum dan aturan itu. Setelah era Nabi dan
sahabatnya berlalu, hubungan yang bersifat integral sudah tidak ditemui lagi,
termasuk di Indonesia.
dengan sikap pasrah (Islam) dan keimanan yang murni. Yaitu tidak menyekutukan
Tuhan kepada sesuatu yang pada dirinya tidak memiliki kualitas ilahiah. Dengan
model pemahaman dan sikap bertauhid semacam itu, maka secaha inheren akan
berdampak pada kualitas makna tauhid itu sendiri, yang sarat dengan nilai-nilai
kemanusiaan.
Jakarta, 2003). Dalam tulisannya dapat diambil kesimpulan bahwa Afifi ingin
Nurcholish Madjid dalam etika beragama. Hal ini penulis lakukan, karena tema ini
E. Metode Penelitian.
(library research) yang terdiri dari sumber primer yaitu dengan merujuk kepada
sumber buku-buku Nurcholis Madjid seperti Indonesia Kita, Islam Doktrin &
sumber sekunder meliputi pemikiran Nurcholish Madjid yang ditulis oleh orang
10
lain serta buku-buku filsafat, ensiklopedi, kamus, jurnal, majalah dan sumber-
Meskipun tidak ada karya yang khusus membahas tentang etika beragama, hal ini
metode deskriptif analitis, yakni melalui penyajian data pendapat filosof dan
Nurcholis Madjid mengenai etika, untuk kemudian penulis analisa lalu dijadikan
sebuah kesimpulan. Adapun tehnik penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada
buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), dengan
F. Sistematika Penulisan
berikut:
BAB I Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan
pengertian etika, aliran-aliran etika yang terdiri dari Barat dan Islam, perbedaan
tradisi salaf sebagai bahan rujukan, pluralisme sebagai aplikasi atas etika,
kesalehan sosial
seorang tokoh tidak terlepas dari latar belakang kehidupan, baik sosial maupun
intelektual yang pernah digeluti dan dilalui oleh tokoh tersebut. Hal ini pun tentu
berlaku kepada Nurcholish Madjid sebagai seorang tokoh pemikir dan pembaharu
di Indonesia.
Ayah Nurcholis Madjid, Abdul Madjid, adalah seorang petani di desa kecil
tamatan sekolah rakyat (SR) dan salah seorang santri kesayangan Kiai Hasjim
Asy’ari yang sempat dinikahkan oleh sang Kyai dengan salah seorang cucunya –
yang kemudian diceraikannya dan menikah lagi dengan perempuan lain pilihan
sang Kyai yang tidak lain putri dari teman baik sang Kyai, Kyai Abdullah Sajad, 1
Abdul Madjid sebagai kiai dan atau ulama yang lahir dari rahim NU
termasuk orang yang melawan arus mainstream, di mana ia tidak masuk dalam
jaringan ulama NU dan juga menolak bergabung dengan partai politik NU, alih-
alih penolakannya itu ia justru bergabung dan menjadi pendukung setia partai
1
Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia,
(Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), Cet. Ke-1, hal. 122
2
Dedi Djamaluddin Malik dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, hal.
126
12
13
Sikap yang diambil Abdul Madjid ini berpengaruh tidak hanya terhadap
pandangan Masyumi yang modernis lewat ayahnya akan masuk secara sadar atau
yang saat itu bersebarangan secara politis dan kultural, maka Nurholish mendapat
perlakuan dari lingkungannya secara sinis, dikucilkan dan dicemooh. Seperti yang
terjadi pada saat ia belajar di pesantren Darul Ulum, terutama oleh kawan
lebih intens dan intim setelah kepindahannya ke Jakarta untuk melakukan studi di
Selama di Jakarta ia bertemu dan berkenalan langsung secara tatap muka, maupun
melalui tulisan atau ceramah dengan tokoh-tokoh utama Masyumi, dan sebaliknya
tokoh dan pendukung Masyumi pun mengenal pribadi dan pandangan Nurcholish,
sehingga terjadi hubungan yang erat di antara mereka yang berujung pada
3
Selain disebabkan oleh faktor ideologi politik, alasan lainnya yang menyebabkan
kepindahan Nurcholish adalah faktor kesehatan. Nurcholish, Dialog Keterbukaan, hal. 271
14
Masyumi dan Nurcholish ini dikejutkan oleh gebrakan Nurcholish pada 3 Januari
1970 ia menyajikan makalah yang dari judulnya begitu dingin tapi secara
halal bihalal HMI, PII, Persami dan GPI. 4 Isi makalah ini mengakibatkan
politik Indonesia yang menuntut adanya reevaluasi dan reformasi visi dan misi
perjuangan umat Islam, di mana dalam pandangan Nurcholish sikap dan respon
yang diambil umat Islam saat itu tidak kondusif dan kontra produktif bagi masa
negeri Paman Sam untuk memenuhi undangan program “Profesional Muda dan
Tokoh Masyarakat” dan ke beberapa negara Arab yang berlangsung dua kali,
4
Dedy Jamaluddin Malik dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, hal.
128
5
Yang menarik, perlakuan kurang baik dari sebagian besar pendukung Masyumi ini tidak
membuat hubungan emosional Nurcholish terhadap Masyumi berubah, ini terbukti dengan
pernyataannya:
“Saya bukan orang Muhammadiyah. Saya jika dilihat dari segi kultural lebih banyak NU-
nya dari pada Muhammadiyah. Tetapi training saya kan di Gontor, HMI dan sebagainya. Saya dan
ibu saya kan Masyumi. Jadi, kalau ada sesuatu yang boleh diidentifikasikan diri saya itu adalah
masyumi, yakni “anak Masyumi”. Bukan Muhammadiyah, bukan NU, atau orang NU yang
menjadi Masyumi. Lihat Nurcholish Madjid, “Sekapur Sirih” dalam Sukidi, Teologi Inklusif Cak
Nur, (Jakarta: Kompas, 2001), Cet. Ke-1, hal. xvii
15
sebagai tamu resmi pelaksanaan ibadah haji yang diberikan atas penyajian
kamar masjid Al-Azhar, yang disediakan secara khusus oleh Buya Hamka. Di
dan penulis handal dan produktif, yang saat itu memimpin Majalah Gema Islam di
(MUI). 7
disekolahkan di Sekolah Rakyat (SR) pada pagi hari dan di Madrasah pada sore
hari. 8
Nurcholis lahir dari seorang petani, dari Jombang. Ia adalah Haji Abdul
Madjid, salah satu murid dari K.H. Hasyim Asyari. Abdul Madjid, yang
6
Dedy Jamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, hal.
126-127
7
Dedy Jamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, hal.
129
8
Greg Burton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj. (Jakarta: Paramadina, 2000),
Cet. Ke-1, h. 72
16
amat luas. Abdul Madjid menguasai keilmuan dalam hal agama dan pengetahuan
umum, dan ia juga sangat mengakar dengan tradisi pesantren. Abdul Madjid
sering disapa dengan sapaan Kiayi Haji (KH), walaupun secara pribadi beliau
dibuka pada sore hari karena diperuntukkan bagi para siswa yang pagi harinya
dikenal di Jakarta. Kalaupun beliau di kemudian hari banyak dikenal pada tingkat
yang cukup terkemuka. Sikap Abdul Madjid yang sangat sederhana, rendah hati
kagum sang ayah walaupun di sisi lain ada rasa malu (tidak enak), karena ayahnya
Di usia remaja, kurang lebih pada usia 14 tahun, Cak Nur sapaan akrab
9
Kita ketahui bersama bahwa pada saat itu hanya ada sekolah Rakyat yang bersifat
sekuler, sehingga belum tersedianya sekolah yang mengajarkan pengetahuan keagamaan secara
modern atau perpaduan antara pengetahuan keagamaan dengan pengetahuan umum, istilah
sekarang sekolah terpadu. Greg Burton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta:
Paramadina, 2000), Cet. Ke-1, h. 72
10
Greg Burton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 72
11
Greg Burton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 74
17
Ulum Rejoso Jombang. Namun di pesantren itu ia hanya bertahan 2 tahun, karena
ada persolaan yang membuatnya selalu risih. Beliau selalu diejek oleh teman-
temannya yang kebetulan secara umum santri dari kalangan Nahdhatul Ulama
(NU). Sedangkan NU pada saat itu sudah keluar dari Partai Masyumi dan
Jawa Timur. Gontor sebagai institusi pendidikan yang cukup modern banyak
Pesantren Gontor mengajarkan dua bahasa dunia, yaitu Bahasa Arab dan
berbeda dengan pendidikan pesantren pada umumnya yang ada di Jawa, sehingga
membuat Gontor begitu popular hingga pada tingkat Nasional. Pendidikan Gontor
12
Ini adalah sikap Abdul Madjid yang tetap setia pada gurunya (Hasyim Ashari) dan ia
pun berpendapat bahwa kalau mau berpolitik ya tempatnya di Masyumi bukannya di NU.
13
Greg Burton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 75
14
Kurikulum Gontor ditempuh untuk jangka waktu enam tahun dengan tiga tahun yang
terakhir mempelajari metode-metode pengajaran. Maka sangat lazim bahwa alumni Gontor masih
menetap di pesantren paling tidak untuk satu tahun lagi untuk mengajar. Adapun keberlangsungan
ekonomi para guru sepenuhnya bergantung pada pesantren. Greg Burton, Gagasan Islam Liberal
di Indonesia, 75
18
pada Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab. Pada tahun 1968 ia menyandang gelar
sebagai ketua HMI dan sebagai intelektual muda yang banyak menggulirkan ide-
Pada tahun 1973 datang dua (2) orang intelektual terkemuka ke Indonesia,
yaitu Leonard Binder dan Fazlur Rahman. Kedatangan dua intelektual senior ini
Chicago yang didanai oleh Ford Foundation. Sebenarnya kedua orang ini
pilihannya jatuh pada HM Rasyidi, namun HM Rasyidi sudah terlalu tua sehingga
sipil (PNS) terlebih dahulu. Ia pun dilantik menjadi tenaga LIPI yang menurut
serta pergaulannya dengan para ilmuan yang relatif setia dengan etika keilmuan. 16
Leonard Binder, namun Fazlur Rahman mengajarknya untuk studi kajian ke-
15
Greg Burton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 84
16
Untuk kepentingan karir keilmuan dan pembentukan sikap yang ilmiah, serta
lingkungan kerja yang kebetulan di sebuah lembaga penelitian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia). Dia (Cak Nur) sangat beruntung mendapatkan tempat kerja dengan minat dan bakat
intelektualnya, Lihat Komaruddin Hidayat “Kata Pengantar”, Islam Agama Peradaban, h. xiii
17
Greg Burton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, 85
19
memadukan tradisi Islam klasik dengan dunia modern, atau dengan kata lain
menjadi modern dengan tetap mengapresiasi tradisi. Hal ini bisa kita lihat dari
predikat Cum Laude, dengan judul disertasi, Ibn Taymiya on Kalam and Falsafah:
A Problem of Reason and Revelation in Islam (Ibn Taymiya Dalam Ilmu Kalam
18
Muhammad Afif, Teologi Islam tentang Agama-agama: Studi Kritis terhadap
Pemikiran Nurcholish Madjid, Tesis, Sarjana Pemikiran Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2003, (tidak diterbitkan), h. 29
BAB III
A. Pengertian Etika
Ketika membahas sebuah definisi kata, maka harus dilihat dari segi
berasal dari Yunani kuno. Kata Yunani Ethos dalam bentuk tunggal mempunyai
banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang, kebiasaan, adat,
akhlak, watak, perasaan, sikap, cara pikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya
adalah kebiasaan. 1 Hasbullah Bakry memberikan arti etika berasal dari bahasa
Yunani ethos yang artinya adat kebiasaan. Dalam bahasa Latin disebut mores
jamak dari mos yang artinya moral, adat kebiasaan. Dalam bahasa Arab disebut
akhlaq artinya budi pekerti. Dalam bahasa Indonesia disebut tata sulia. 2
Lebih banyak lagi etika diartikan sebagai norma, kaidah, peraturan hidup, dan
artinya dengan moral atau akhlak, yang berarti: adat kebiasaan, kesusilaan, budi
pekerti, norma atau peraturan hidup. Dari definisi yang ada, etika lebih diartikan
sebagai sebuah aturan yang ingin membuat hidup manusia lebih baik
20
21
Adapun yang membedakan arti kata etika, moral dan akhlak dalam
Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penggunaannya ada sedikit
perbedaan. Moral dan moralitas dipakai utnuk perbuatan yang sedang
dinilai seperti baik dan buruk, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian
sistem nilai dan kode. Orang menyebut perbuatan yang bermoral dan
immoral, atau orang menyebut sistem nilai, norma etik atau kode etik yang
membedakan ialah kata akhlak yang berarti tabiat, watak, budi pekerti,
watak. 4
batasan etika. Menurut K. Bertens etika ialah ilmu tentang apa yang bisa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. 5 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti: 1) ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral akhlak, 2)
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan akhlak, 3) Nilai mengenai benar dan
salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. 6 Ahmad Amin menjelaskan
etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
apa yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan
etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan
melihat perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. 8
4
M. Said, Etika Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradaya Pramita, 1976), h. 23
5
K. Bertens, Etika, h. 4
6
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1988), Cet. Ke-4, h. 227
7
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj. Farid Maruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),
Cet. Ke-3, h. 3
8
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, h. 63
22
sama, antara satu dengan yang lainnya saling melengkapi untuk mencapai tujuan
antaranya:
a. Hati Nurani
sesuatu. 9 Dalam hati nurani itu ada dua suara, suara was-was dan suara
karena pada manusia itu ada keinginan yang baik dan keinginan yang
buruk. Apabila keinginan buruk itu ditekan maka terdengar suara was-
was dan bujukan mengajak ke arah keburukan dan bila keinginan baik
9
K. Bertens, Etika, h. 92
23
b. Nilai
penting.
c. Norma
dalamnya, serta norma yang berlaku di dalamnya dan hati nurani untuk
antaranya:
10
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), h. 68
24
Kedua, vitalisme, baik dan buruk ditentukan oleh ada tidak adanya
kekuatan hidup yang dikandung oleh objek yang dinilai. Manusia yang kuat,
ulet, cerdas, itulah yang baik, manusia mengandung daya hidup yang besar.
baik. Jadi, mesti dihitung lebih dahulu, banyak mana kenikmatan ataukah
bahwa ukuran baik dan buruk yang dibicarakan etika ternyata ada perbedaan
Namun demikian, perbedaan yang ada tentang ukuran baik dan buruk
yang dibicarakan oleh etika tidak serta merta menafikan tujuan pemaknaan
memberikan makna yang baik bagi manusia dalam melaksanakan suatu etika.
11
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Haji sejak Thales sampai Copra, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 1999), cet. Ke-7, h. 40
25
B. Aliran-aliran Etika
1. Barat
antaranya adalah:
a. Hedonisme
yang melebihi tahap badani. Dalam sepucuk surat ia menulis: “Bila kami
kesenangan inderawi, tapi kebebasan dari nyeri dalam tubuh kita dan
12
K. Bertens, Etika, h. 236
26
depan. 13
b. Eudaimonisme
berpendapat bahwa uang dan kekayaan adalah inti kebahagiaan dan ada
kebahagiaan. 14
Dalam paham ini, kebahagiaan yang ingin dituju dalam hidup bisa
13
K. Bertens, Etika, h. 237
14
K. Bertens, Etika, h. 242-243
27
masing-masing.
c. Utilitalirisme
didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang terakhir ini diukur
suka. 15
besar, John Stuart Mill. Ada dua pendapatnya yang patut diperhatikan,
15
K. Bertens, Etika, h. 247
28
lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. Kesenangan manusia
orang seperti Sokrates lebih bermutu dari pada kesenangan orang tolol.
Yang kedua adalah bahwa kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah
utama. Raja dan seorang bawahan dalam hal ini harus diperlakukan
sama. Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting
sama. 16
d. Deontologi
hanyalah kehendak yang baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas
jika digunakan dengan baik oleh kehendak manusia, tapi jika dipakai
16
K. Bertens, Etika, h. 249-250
29
oleh kehendak yang jahat semua hal itu bisa menjadi jelek sekali. Bahkan
dua kewajiban yang tidak bisa dipenuhi sekaligus. Di satu pihak saya
berlaku sampai ada kewajiban yang lebih penting. Kita tahu semua akan
dengan bebas.
materiil.
17
K. Bertens, Etika, h. 259
30
Dari apa yang telah penulis uraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa
2. Islam
membahas tentang etika dalam Islam. Etika dalam filsafat Islam merupakan
bagian yang amat penting karena hakikat manusia itu adalah pada moral atau
akhlaknya. Jika akhlaknya baik, maka akan baik juga umat manusia secara
18
K. Bertens, Etika, h. 259-260
31
keseluruhan. Bahkan Nabi menegaskan bahwa dia diutus ke dunia ini tidak
lain hanya untuk menyempurnakan akhlak manusia. Artinya, sikap dan tindak
tanduk seseorang adalah unsur yang utama dalam dirinya. Etika atau filsafat
akhlak sebenarnya mengkaji hal itu secara lebih terinci dan mendalam. Para
tentang diri dan bahwa seorang filsuf wajib menempuh hidup susila. Hikmah
hidup bahagia (Stoa). Tabiat manusia baik, tetapi ia digoda oleh nafsu.
19
Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet.
Ke-1, hal. 210
32
perkembangan kepribadian secara wajar. Oleh karena itu, dalam akhlak dia
pertengahan antara dua ekstrem tidak ada pertapaan, maupun juga banyak
filsafat, yang tidak akan pergi untuk menjauhkan diri dari kesenangan-
kulitnya, dan lain-lain, di antara perbatasan, salah satu dapat tinggal tanpa
melebihi dua perbatasan tersebut. Dia tidak tinggal pada pelayanan raja
dokter dan penasehat. Dia tidaklah rakus, maupun pada konflik dengan orang
lain, tetapi pada pertentangan, dia sudah sangat toleran seperti menganggap
20
Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, h. 211
33
kebenaran yang semestinya. Dia tidak pernah melebihi untuk minum, makan,
belajar, itu adalah semua kebaikan yang diketahui untuk setiap orang.
pada teori tasawufnya dalam buku Ihyâ ‘Ulûmuddîn. Dengan kata lain,
‘alâ taqâlil-basyariyah.
pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa,
ibadat dari tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal
al-tahârah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga
puasa, dan haji, kita dapat menyimpulkan bahwa bagi al-Ghazali semua amal
ibadat yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan pembersihan
rohani.
rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini ia sama sekali tidak
cocok dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap Tuhan sebagai
diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama
seklai.
kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakan
ma’rifatullah, yaitu mengenal adanya Allah tanpa syak sedikit juga, dan
saja dengan akhlak hewan. Misalnya sifat berani dari singa, sifat sombong
dari merak, sifat rakus, sifat malu, sifat patuh, dan sebagainya. Akan tetapi,
sifat akali manusia yang menjadi pangkal ilmu mereka adalah sifat
hewaninya saja. Tentu saja keutamaannya akan menjadi hilang apabila sifat
ialah sifat yang mengutakan pertimbangan rohani yang tinggi, yakni akal,
dengan jiwa dan politik. Sifat utama yang harus diperhatikan untuk mencapai
21
Poerwantana, et.al., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994),
Cet. Ke-4, h. 172-173
22
Poerwantana, et.al., Seluk Beluk Filsafat Islam, h. 187-188
23
Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, h. 217
36
sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga diperoleh dengan
merusak jiwa dan fisik, atau mengambil posisi tengan-tengah. Hal itu juga
hal itu, serta tujuan yang dicari, cara yang digunakan dan kerja yang
terletak di antara dua sifat tercela, membabi buta (tahawwur) dan penakut
(jubn). Kemurahan (al-karâm) terletak antara dua sifat tercela, kikir dan boros
untuk suatu tindakan harus berlangsung bebas merdeka yakni seseorang harus
24
Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, h. 218
37
melepaskan diri dari ketergantungan pada materi, harus memupuk rasa cinta
untuk bisa sampai kepada ekstase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa
psikologi menjadi pengantar metafisika dan kosmologi, dan juga bagi semua
akan tersingkaplah kepadanya, bahwa ia berada dalam posisi antara dua yang
ekstrim, yaitu sangat kecil dan keluasaan yang tak terbatas, tubuhnya tidak
terlalu besar dan tidak terlalu kecil, masa hidupnya tidak terlalu lama dan
tidak pula terlalu singkat, dan dunia ini muncul tidak terlalu dini dan tidak
bentuk murni yang telah dipisahkan dari materi. Untuk itu, ikhwan
Moral atau akhlak menurut Ibn Maskawih adalah suatu sikap mental
(hâl li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir
dan pertimbangan. Asal sikap mental itu ada kalanya sangat penting
38
menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan tersebut
bisa membawa seseorang untuk memiliki sifat-sifat tercela. Oleh karena itu,
bahwa akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Maka dia
yang memiliki akhlak yang dekat dengan malaikat dan ada pula yang lebih
bahwa kata al-insân (manusia) berasal dari al-uns , yang berarti jinak. Oleh
karena itu, manusia merupakan micro cosmos yang di dalam dirinya terdapat
25
Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, h. 219
39
beralih ke tingkat daya khayal yang terletak di bagian depan otak. Dari daya
khayal naik ke daya piker sehingga dapat berhubungan dengan Akal Aktif
Menurut Ibn Maskawih, membagi masalah akhlak pada tiga hal yaitu:
manusia; dan kebaikan khusus, yaitu kebaikan bagi seseorang secara pribadi
manusia masih hidup atau selama jiwa masih terkait dengan badan maka
selama itu pula ia tidak akan memeroleh kebahagiaan. Pandangan kedua yang
manusia di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja
manusia ada dua unsur yaitu jiwa dan badan. Kebahagiaan itu ada dua
tingkat, yaitu ada manusia yang terkait dengan hal-hal yang bersifat benda
26
Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, h. 220
40
jiwa. Walaupun begitu kebahagiaan yang lebih dekat kepada benda tidak
memetingkan diri sendiri dan belum dapat dinilai bahwa ia telah memiliki
sifat terpuji maupun tercela. Bagaimana suatu masyarakat yang bobrok dapat
berubah menjadi baik bila orang-orang yang terbaik melakukan uzlah tanpa
situlah sifat uzlah dipandang dengan identik zalim dan bakhil. Jadi,
konteks masyarakat. 27
segala hal yang menimpa jiwa dan yang menyebabkannya cemas adalah rasa
takut, terutama perasaan takut akan mati yang menggerogoti pikiran orang-
orang bodoh dan sombong yang tidak memahami sifat asasi kematian, tetapi
27
Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, h. 221-222
41
merasa yakin bahwa dengan perceraian tubuh mereka, mereka sama sekali
tidak akan hidup lagi. Penyakit moral lain yang lebih menyedihkan yang
menimpa jiwa adalah rasa sedih. Rasa sedih ini timbul dari kebodohan, baik
menjadi tanda kesengsaaraan. Rasa sedih tersebut yang paling baik diobati
dengan filsafat.
masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dan jiwa manusia
berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani, dan ufuk manusiawi
dimulai. Oleh karena itu, anak-anak harus dididik akhlak mulia dengan
anak-anak, yaitu daya keinginan, daya marah, dan daya berpikir. Dengan
daya keinginan, anak-anak didik dalam hal adab makan, minum, berpakaian
dan lain-lainnya. Sifat berani dan kendali diri diterapkan untuk mengarahkan
daya marah yang dimilikinya. Daya berpikir dilatih dengan menalar, sehingga
terdapat beberapa perbedaan antara etika Barat dan Islam. Perbedaan tersebut
di antaranya adalah bahwa dalam etika Barat, lebih ditekankan pada aspek
42
rasio, di mana segala hal yang berkenaan dengan etika harus dapat dicerna
oleh akal pikiran manusia. Adapun dalam etika Islam, segala hal yang
Selain itu perbedaan yang mencolok antara etika Barat dan etika Islam
adalah terletak pada orientasinya. Jika etika Barat lebih ditekankan pada
jasmani manusia agar tercapai bahagia, maka etika Islam selain menekankan
dicapai dalam Islam tidak hanya terbatas pada kehidupan dunia saja. Karena
kebahagiaan yang hendak diraih, tidak bisa dilepaskan dari dua kehidupan
dinafikan begitu saja, namun hal tersebut bukan berarti seluruh energi
Terlepas dari perbedaan yang terdapat dalam etika Barat dan Islam,
dalam Islam kebahagiaan tersebut sesuai dengan apa yang diajarkan dalam al-
43
manusia akan kebahagiaan ruhani, yang diperoleh melalui ajaran yang ada
dalam agama.
Etika Barat dan etika Islam sama-sama ingin memberikan aturan, baik
yang tersirat maupun yang tersurat, dalam rangka sebagai pegangan manusia
ETIKA BERAGAMA
pengertian dari etika dan agama. Dengan penggabungan dua pengertian tersebut,
oleh beberapa ahli yang penulis kemukakan pada bab sebelumnya, meskipun
diungkapklan dalam bahasa yang berbeda, namun pada prinsipnya sama, antara
satu dengan yang lainnya saling melengkapi untuk mencapai tujuan yang hendak
Sedangkan agama itu sendiri secara etimologis istilah agama berasal dari
bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu a artinya tidak dan gama
artinya kacau. Dari pengertian seperti ini, agama dapat diartikan sebagai suatu
institusi penting yang mengatur kehidupan manusia agar tidak terjadi kekacauan.
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), Cet. Ke-3, hal. 12
44
45
Istilah agama juga dapat disamakan dengan kata religi yang berasal dari bahasa
latin religio yang berasal dari akar kata religare yang berarti mengikat. 2
seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan
yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau
konsep suci (sacred) dan ghaib (supranatural) yang dibedakan dari yang duniawi
(profane) dan hukum-hukum alamiah (natural). Selain itu hal lain yang
selalu bersumber pada wahyu Tuhan atau wangsit-dalam agama-agama lokal dan
primitif- yang diturunkan kepada nabi sebagai pesuruh-Nya. Adapun ciri yang
mencolok dari agama yang berbeda dengan isme-isme adalah penyerahan diri
Agama dalam perspektif sosiologi adalah gejala yang umum dan dimiliki
oleh sebuah masyarakat yang ada di dunia ini. 4 Dari pengertian ini agama
2
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung:Remaja Rosda Karya, 2000), h.13.
3
Roland Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, terj. Achmad
Fedyani Sifuddin, (Jakarta: PT Rajawali Press, 1988), Cet. Ke-1, h. v
4
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h.14
46
merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial
mampu dipecahkan oleh masyarakat itu sendiri. Selain pengertian di atas ternyata
masih banyak pengertian agama yang diberikan oleh para ahli sosiologi yang satu
atas kepercayaan dan praktek yang berhubungan dengan hal yang suci.
semua benda yang ada di bumi ini - baik yang berwujud nyata maupun yang
berwujud ideal - ke dalam dua kelompok yang saling bertentangan yaitu hal yang
definisinya secara evaluatif (menilai), mengenai baik dan buruknya, benar dan
dan apa yang dialami masyarakat bisa bersifat positif atau sebaliknya negatif. Ia
5
Dyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang,
(Jakarta: Gremedia, 1984), h. 19
6
Hendro Puspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta:Kanisius,1983), h.34-35.
47
berperan menghancurkannya. 7
memberikan sorotan dan tekanan khusus atas apa yang ia lihat dari agama.
institusi yang lain yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi
dengan baik, baik di lingkup lokal, regional maupun nasional. Maka tinjauan teori
fungsional yang dipentingkan adalah daya guna dan pengaruh agama terhadap
masyarakat sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama atau agama-agama, cita-
Dengan kata lain, etika beragama merupakan tuntunan bagi seseorang yang
masyarakat untuk melihat masa lampau sebagai masa yang berotoritas. Ini
melibatkan masalah teologis, yaitu masalah mengapa masa lampau itu mempunyai
salaf itu. 9
Mengenai masa lampau ini, menurut Cak Nur, para pemikir Islam tidak
banyak menemui kesulitan. Masa lampau itu otoritatif karena dekat dengan masa
hidup Nabi. Sedangkan semuanya mengakui dan meyakini bahwa Nabi tidak saja
menjadi sumber pemahaman ajaran agama Islam, tetapi sekaligus menjadi teladan
realisasi ajaran itu dalam kehidupan nyata. Maka sangat logis pandangan bahwa
yang paling mengetahui dan memahami ajaran agama itu ialah mereka yang
berkesempatan mendengarnya langsung dari nabi, dan yang paling baik dalam
meneladinya. Selain logis, hadis-hadis pun banyak yang dapat dikutip untuk
kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Empat pendapat tersebut adalah:
1. Kaum Sunni berpendapat bahwa masa keempat khalifah itu adalah benar-
9
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 2005), Cet. Ke-5, hal.
374-375
10
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 375
49
mengakui hanya masa-masa Abu Bakar, Umar dan Utsman, tanpa Ali,
yang berwenang dan otoritatif, sehingga boleh disebut sebagai masa salaf.
Dalam perkembangan lebih lanjut paham Sunni, golongan salaf tidak saja
terdiri dari kaum Muslim masa Nabi dan empat khalifah yang pertama, tetapi juga
meliputi mereka yang biasa dinamakan sebagai kaum tabi’in (kaum pengikut,
yakni, pengikut para sahabat Nabi, yang merupakan generasi kedua umat Islam).
Bahkan bagi banyak sarjana Sunni golongan salaf itu juga mencakup generasi
ketiga, yaitu generasi tabi’untuk al-tabi’in (para pengikut dari para pengikut). 12
Salah satu karakteristik kuat umat salaf ialah kesadaran hukumnya yang
tinggi. Kesadaran hukum itu merupakan kelanjutan ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya, serta kepada para pemegang kewenangan atau otoritas (ulu al-amr,
wali al-amr). Dengan perkataan lain, kesadaran hukum itu tumbuh akibat adanya
rasa iman yang melandasi orientasi etis dalam hidup sehari-hari. Maka konsep
11
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 375-376
12
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 377
50
tentang hukum dalam Islam tidaklah seluruhnya sama dengan konsep di Barat,
Secara fisik, Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari sekitar
13.000 pulau besar dan kecil, baik yang dihuni ataupun tidak. Selain itu, Indonesia
agama yang ada (misalnya Islam) juga terdapat keragaman pemahaman dan
pelaksanaan ajaran. 13
Kata “pluralis” berasal dari bahasa Latin “plures” yang berarti “beberapa”
manusia Indonesia pada umumnya. Ini adalah salah satu pokok ajaran Islam. Oleh
karena itu sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia adalah sistem
13
Nurcholis Madjid, Islam Dokrin dan Peradaban, hal. 4
14
Nurcholis Madjid, “Kebebasan Beragama dasn Pluralisme dalam Islam”, dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus EF (Ed), Passing Over: Melintasi Batas Agama, (Jakarta :
Gramedia, 1998), hal. 184.
15
Nurcholis Madjid, Islam Dokrin dan Peradaban, hal. 25
51
yang tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi juga membawa kebaikan untuk
Dalam salah satu materi yang disampaikan Cak Nur saat memberikan
khutbah Jum’at adalah tentang kebebasan beragama. Cak Nur menyatakan bahwa
setiap khatib dan juru dakwah dapat dipastikan telah mengetahui adanya prinsip
tidak boleh ada paksaan dalam agama. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
☺ ⌧
⌧
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya
Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang
tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.
Al-Baqarah/ 2: 256
suatu agama ialah karena manusia dianggap sudah mampu dan harus diberi
kebebasan untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan mana
yang salah. Dengan kata lain, manusia kini dianggap telah dewasa sehingga dapat
menentukan sendiri jalan hidupnya yang benar, dan tidak perlu lagi dipaksa-paksa
16
Menurut Nurcholis Islam adalah agama yang pengalamanya dalam melaksanakan
toleransi dan pluralisme memiliki keunikan dalam sejarah agama-agama. Hal ini terbukti bahwa
berbagai masyarakat dunia, di mana Islam merupakan panutan mayoritas, agamaagama lain tidak
menglami kesulitan berarti, tetapi sebaliknya dimana mayoritas bukan Islam dan umat Islam
menjadi minoritas, mereka selalu mengalami kesulitan, kecuali di negaranegara demokratis Barat.
Di sana umat Islam sejauh ini masih memperoleh kebebasan beragama. Selanjutnya lihat
Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 18
52
Oleh karena itu Tuhan telah “percaya” kepada kemampuan manusia itu,
maka Dia tidak lagi mengirimkan Utusan atau Rasul untuk mengajari mereka
tentang kebenaran. Deretan para Nabi dan Rasul telah ditutup dengan kedatangan
nabi Muhammad saw. Sebagai Rasul penutup, Nabi Muhammad membawa dasar-
dasar pokok ajaran yang terus menerus dapat dikembangkan untuk segala zaman
dan tempat. Maka sekarang terserah kepada manusia yang telah “dewasa” itu
untuk secara kreatif menangkap pesan dalam pokok ajaran nabi penutup itu dan
karena Tuhan mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalan hidupnya. Tentu
tidak perlu lagi ditegaskan bahwa semua risiko pilihan itu adalah tanggung jawab
dalam sejarah umat manusia, yang pertama klai ialah yang dibuat oleh Rasulullah
saw. Sesudah beliau hijrah ke Madinah dan harus menyusun masyarakat majemuk
beragama itu telah dijadikan salah satu sendi sosial politik modern. Prinsip itu
namun menolak agama formal, dan oleh Robespiere yang percaya kepada “Wujud
Maha Tinggi” namun juga menolak agama formal. Mungkin karena agama formal
yang mereka kenal di sana waktu itu tidak mengajarkan kebebasan beragama. 18
17
Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. Ke-3,
hal. 218
18
Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, hal. 219
53
Bahwa bangsa Indonesia plural, itu fakta yang sama sekali tak bisa
Merauke ini kaya akan beragam suku, budaya, agama, bahasa, karakter, warna
kulit. Nurcholish Madjid menyatakan sikapnya terkait dengan fakta pluralitas ini
dengan merujuk pada Kitab Suci Al-Qur’an. Al-Qur’an secara tegas dan pasti
merupakan kepastian (Arab: taqdîr) dari Allah. “Jika Tuhan menghendaki, tentu
Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat, kecuali orang yang mendapat rahmat Tuhan. Dan memang untuk itulah
Dalam kaca mata Nurcholish Madjid jika direnungkan lebih jauh, ayat di
monolitik tetapi itu tidak Dia lakukan. Kedua, pluralitas itu membuat manusia
orang yang mendapat rahmat Allah tidak mudah berselisih karena ia akan
bersikap penuh pengertian, lemah lembut dan rendah hati kepada sesamanya. Dan
19
Mengenai hal ini Abdurrahman Wahid menulis, “Nurcholish Madjid berangkat dari
keterbukaan sikap yang ditunjukkan Islam di puncak kejayaannya sekitar sepuluh abad yang lalu.
Keterbukaan yang membuat Islam mampu menyerap secara terbaik, dari mana pun datangnya.
Proses penyerapan ini menjadikan Islam agama yang sarat dengan nilai universal yang dianut umat
manusia secara tidak berkeputusan. Karenanya, Nurcholish Madjid selalu menekankan pentingnya
mencari kesamaan di antara semua agama dan semua kebudayaan”. Lih. Abdurrahman Wahid,
“Tiga Pendekar dari Chicago,” dalam Sukandi A.K., Prof. Dr. Nurcholish Madjid: Jejak
Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 19
54
politik, social ataupun ekonomi. Pluralitas bukan pula hasil kerja budi, kehendak
dan karya manusia. Pluralitas adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak
Tuhan dan Islam sendiri mengakui pluralitas seperti yang dinyatakan dalam Al-
Qur’an. 20
“kebaikan negatif” (negative good), yang hanya ditilik dari manfaatnya untuk
20
Lih. Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi
Baru Islam Indonesia, cet. ke-2, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2003), hal. 196. Dalam
kesempatan lain ia mengutip ayat lain dari Al- Qur’an: “Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya paling mulia di antara kamu di
sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal” (S. Al-Hujarât/49:13). Surat lainnya lagi yang dikutipnya, “…
sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan.
Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang
telah kamu perselisihkan itu” (S. Al-Ma’idah/5:48). Lih. Madjid “Etika Beragama dari Perbedaan
menuju persamaan” dalam Nur Achmad (ed.), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman,
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), hlm. 4. Pandangan Nurcholish Madjid tentang pluralitas
sebagai kehendak Tuhan ini dapat dibandingkan dengan pemikiran tokoh Islam lain yakni Alwi
Shihab dalam “Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam: Sebuah Pengantar,” dalam Surunin (ed.), Nilai-
Nilai Pluralisme dalam Islam: Bingkai Gagasan yang Terserak (Bandung: Penerbit Nuansa,
1994), hal. 16
21
Lih, Nurcholish Madjid, “Pluralisme dan Toleransi”, dalam Cendikiawan dan
Religiusitas Masyarakat (Jakarta: Penerbit Paramadina dan Tabloit Tekad, 2001), hal. 63
55
hanya dijadikan tujuan antara demi sebuah kepentingan pragmatistik baik yang
ancaman fanatisme tidak lagi membayang, hampir bisa dipastikan bahwa yang
(pemisahan) entah atas dasar kultur, ekonomi, ideologi, politik maupun agama. 22
kenyataan itu”. 24
dan dihidupi dalam ikatan-ikatan keadaban. Dengan begitu pluralisme lalu bisa
berada pada posisi tali-temali, berkaitan satu sama lain. Kalau kemajemukan
dibaca secara lain sebagai keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan itu
22
Nurcholish Madjid, “Tidak Boleh Partisan”, dalam Pintu-Pintu Menuju Tuhan, hal. 243
23
Madjid, “Pluralisme dan Toleransi”, dalam Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat,
hal. 63
24
Madjid, “Pengantar: Umat Islam Indonesia Memasuki Zaman Baru,” dalam Islam
Doktrin dan Peradaban, hal. lxxv.
56
pada saat yang sama membangun relasi interaksi (kerukunan dan dialog) dan kerja
sama. 25
diambil kesimpulan bahwa dalam etika beragama, Cak Nur lebih menekankan
pada bagaimana etika dalam hidup beragama. Hal ini berarti bahwa seseorang
hendaknya dapat memperlakukan orang yang berbeda agama dengan baik, tanpa
harus mempersoalkan perbedaan agama tersebut. Etika beragama bisa saja berarti
etika yang berasal dari agama. Namun etika beragama lebih diartikan sebagai
terhadap kondisi bangsa Indonesia yang majemuk, terdiri dari banyak agama.
25
Alwi Shihab, “Tantangan Pluralisme Agama,” dalam Islam Inklusif: Menuju Sikap
Terbuka dalam Beragama, Cet. ke-7 (Bandung: Mizan bekerja sama dengan ANTEVE, 1999), hal.
41
57
D. Kesalehan Sosial
Hal ini dikarenakan yang batini tidak bisa diukur di luar dan itu hanya Allah SWT
yang mengetahui. 26
Hal yang bisa diukur dan diamati oleh manusia adalah hal-hal lahiri. Kalau
iman memang memiliki korelasi dengan kehidupan yang baik, sedangkan pada
saat ini umat Islam tergolong yang paling tidak baik hidupnya di antara umat
manusia lain. Sedangkan yang paling baik kehidupannya saat ini adalah, pertama,
Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Selandia Baru, yang umumnya beragama
Kedua adalah orang Katolik seperti Perancis dan Itali dari Eropa Selatan
adalah orang-orang Budhis dan Shintois, yaitu Jepang. Keempat adalah negeri-
negeri yang sekarang sedang krisis tapi sempat disebut sebagai negara-negara
industri baru dan macan-macan Asia, yaitu Korea Selatan, Hongkong, dan
Singapura. Mereka disebut juga sebagai ular-ular naga kecil, sebab ada asosiasi
26
Dalam al-Qur’an banyak sekali penegasan bahwa Allah SWT yang tahu takwa
seseorang.
⌧
☺
Artinya: Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, Maka sekali-kali mereka tidak dihalangi
(menenerima pahala) nya; dan Allah Maha mengetahui orang-orang yang bertakwa. (QS.
Alî ‘Imrân/3 : 115)
27
Asrori S. Karni, Pesan-pesan Takwa Nurhcolish Madjid; Kumpulan Khutbah Jum’at di
Paramadina (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. Ke-1, hal. 166-167
58
mungkin bisa disebut orang-orang Islam dan mungkin sebanding dengan Amerika
Latin. Di bawah negeri-negeri Islam tidak ada yang lebih mundur dari negeri-
Ini tentu sesuatu yang salah. Sebab tidak ada korelasi positif antara
keimanan dan kehidupan. Sekalipun dari segi batin, segi ruhani, umat Islam masih
berhak mengatakan diri mereka adalah paling unggul di muka bumi karena
potensi ajarannya yang sangat koheren, sangat fitri, sangat alami dan sangat cocok
dengan “kesalehan maknawi”. Dan sekarang ini, umumnya baru pada kesalehan
tingkat ketakwaan dan keimanan seorang muslim, tentu saja kesalehan sosial yang
dimilikinya semakin tinggi pula. Dan ibadah adalah salah satu untuk
di dunia ini. Akar kesadaran itu adalah keinsafan yang mendalam akan
28
Asrori S. Karni, Pesan-pesan Takwa Nurhcolish Madjid, hal. 167-168
59
Ilahi yang tak terelakkan, yang di situ seseorang tampil mutlak hanya sebagai
pribadi. Maka karena sifatnya yang amat pribadi (dalam seginya sebagai
hubungan antara seorang hamba dan Tuhannya), ibadah dapat menjadi instrumen
diukur dari sesuatu yang berasal dari dirinya yang bersifat lahiri, sehingga untuk
mengatakan bahwa seseorang sudah memiliki kesalehan sosial, dapat dilihat dari
Apa yang penulis tangkap dari pemikiran Cak Nur tersebut adalah bahwa
ubudiah, sebagai bentuk taat dan patuh terhadap ajaran dan perintah agama. Peka
terhadap situasi dan kondisi sosial merupakan salah satu dari implementasi
kesalehan sosial. Dengan kata yang lebih sederhana, Cak Nur ingin mengatakan
bahwa kesalehan formal bentuk ubudiah memang penting, namun kesalehan sosial
atau kesalehan informal juga tidak bisa dikatakan tidak penting. Harus ada
29
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 62
60
bentuk lain dari kesalehan sosial. Seseorang yang sudah merasa saleh secara
immoral lainnya. Hubungan yang terjalin baik antara seseorang dengan Tuhannya,
hendaknya diikuti oleh hubungan yang baik pula dengan sesama manusia,
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil analisa yang penulis lakukan terhadap berbagai teori mengenai
mengenai etika maupun mengenai agama, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
majemuk. Menurutnya, pluralisme tidak bisa hanya berhenti pada pengakuan akan
Semakin tinggi tingkat ketakwaan dan keimanan seorang muslim, tentu saja
61
62
kesalehan sosial yang dimilikinya semakin tinggi pula. Dan ibadah adalah salah
di dunia ini. Akar kesadaran itu adalah keinsafan yang mendalam akan
Ilahi yang tak terelakkan, yang di situ seseorang tampil mutlak hanya sebagai
pribadi. Maka karena sifatnya yang amat pribadi (dalam seginya sebagai
hubungan antara seorang hamba dan Tuhannya), ibadah dapat menjadi instrumen
B. Saran-saran
yang belum mendapatkan perhatian dari para peneliti, sehingga belum bisa
baik.
Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), terj. Farid Maruf, Jakarta: Bulan Bintang,
1983, Cet. Ke-3
Bakhtiar, Amsal, Tema-tema Filsafat Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005,
Cet. Ke-1
Bertens, K., Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997, Cet. Ke-3
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus EF (Ed), Passing Over: Melintasi Batas
Agama, Jakarta : Gramedia, 1998
Johnson, Dyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z.
Lawang, Jakarta: Gremedia, 1984
-------, Islam Doktrin & Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2005, Cet. Ke-5
-------, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1989, Cet. Ke-3
64
65
Malik, Dedy Djamaluddin dan Ibrahim, Idi Subandi, Zaman Baru Islam
Indonesia, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998, Cet. Ke-1
Marwan Saridjo, Cak Nur; Di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulisa Tetap
Berjilbab, Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005, Cet. Ke-2
Nasr, Sayyed Hossen dan Oliver Leaman, (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam, terj. Tira Mizan, Bandung: Mizan, 2003
Sukandi A.K., Prof. Dr. Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu
sampai Guru Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas, 2001, Cet. Ke-1
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum; Akal dan Haji sejak Thales sampai Copra,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999, Cet. Ke-7
Tim Kahmi Jaya, Indonesia Di Simpang Jalan, Bandung: Mizan, 1998, Cet. Ke-2