Anda di halaman 1dari 71

NEPOTISME MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Theologi Islam (S.Th. I) pada Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik
UIN Alauddin Makassar

Oleh:

RAHMAWATI
NIM: 30300110067

FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2013
ii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan penuh kesadaran, penyusun yang bertandatangan di bawah ini

menyatakan bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya penyusun sendiri. Jika di

kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat

orang lain, sebahagian atau seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh

karenanya batal demi hukum.

Makassar, 09 april 2013

Penyusun,

RAHMAWATI
NIM: 30300110067
iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas nikmat yang tiada terhitung tiada
henti dikaruniakan-Nya kepada setiap manusia, sehingga rahmat, taufiq dan inayah-
Nya, sehingga karya atau skripsi ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya,
meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana.
Shalawat dan salam penulis hanturkan kepada junjungan Nabi Muhammad
saw, kepada keluarganya, para sahabat, tabi-tabi’in serta pengikut setia beliau hingga
akhir zaman.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyelesaian studi maupun
penyusunan skripsi ini tentunya tidak dapat penulis selesaikan tanpa adanya bantuan
dan dukunga dari berbagai pihak, olehnya itu maka patutlah kiranya penulis
menyampaikan rasa syukur dan ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada
yang terhormat:
1. Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing, HT, M.S, selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar.
2. Prof. Dr. H. Arifuddin Ahmad, M.Ag, selaku Dekan bersama Pembantu
Dekan I Drs. Tasmin Tangngareng, M.Ag, Pembantu Dekan II Drs. Ibrahim,
M.pd, dan Pembantu Dekan III Abduh Wahid, M.Ag, Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Alauddin Makassar.
3. Drs. Muh. Sadik Sabry. M.Ag, dan Muhsin Mahfidz, M.Th.I, selaku ketua dan
sekretaris Jurusan Tafsir Hadits.
4. Hasyim Haddade, S.Ag. M, Ag, selaku pembimbing I dan Dra.Marhany
Malik, M.Hum, selaku pembimbing II, yang telah banyak memberi
kemudahan dan meluangkan waktu disela-sela kesibukannya untuk
memberikan bimbingan kepada penulis dengan penuh kesabaran dan
kebijaksanaan mulai dari penyusunan draft hingga pada tahap penyelesaikan
skripsi ini.

iv
v

5. Kepala Perpustakaan UIN Alauddin dan staf-stafnya yang telah menyediakan


referensi yang dibutuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Para dosen dan asisten dosen di lingkungan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Alauddin Makassar yang telah
iv berjasa mengajar dan mendidik penulis
selama menjadi mahasiswa di UIN Alauddin Makassar.
7. Kedua orangtua penulis yang tercinta, tiada kesanggupan bagi ananda untuk
membalas kasih sayang dan ketulusannya mengasuh dan mendidik penulis
dengan sabar, penuh pengorbanan baik lahiriah maupun batiniah sampai saat
ini, semoga Allah mencurahkan cinta, kasih sayang dan ampunan-Nya bagi
kita semua. Tak lupa juga kepada kakak dan adik-adikku yang telah
membantu dalam bentuk materi dan non materi. Semoga Allah swt
membalasnya dengan yang lebih baik. Āmiin.
8. Para guru-guru kami yang telah memberikan ilmu yang tak ternilai dengan
materi, rekan-rekan mahasiswa baik dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
maupun dari fakultas lainnya, terutama rekan-rekan Jurusan Tafsir Hadits
Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2008, serta semua yang tidak
sempat penulis sebut namanya yang telah memberikan bantuan, motivasi
untuk secepatnya menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan hanya
kepada Allah swt penulis memohon ilmu yang bermanfaat dan berlindung untuk
dijauhkan dari ilmu yang tiada berguna.
iv

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL …………………………………………………. i


HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI …………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………. iii
KATA PENGANTAR ………………………………………………… iv
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. vi
ABSTRAK …………………………………………………………………. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………. 1
B. Rumusan dan Batasan Masalah ………………………………… …. 4
C. Defenisi Operasion dan Ruang Lingkup Penelitian ................ 5
D. Kajian Pustaka …………………………………………………. 6
E. Metodologi Penelitian …………………………………………. 8
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………………………………… 10
G. Garis-Garis Besar Isi Skripsi ………………………………… 11

BAB II HAKIKAT NEPOTISME PERSPEKTIF AL-QUR’AN


A. Pengertian Nepotisme ………………………………………... 13
B. Tern Nepotisme Dalam al-Qur’an ………………………………... 16
C. Ayat al-Qur’an tentang Nepotisme ………………………………. 17
D. Pandangan Para Mufassir ………………………………………... 30

BAB III WUJUD NEPOTISME PERSPEKTIF AL-QUR’AN


A. Hukum Nepotisme ………………............................................... 41
B. Karakteristik Nepotisme ……………………………………… 42
C.Penyebab dan Faktor Pendorong Terjadinya Nepotisme ……….. 47
BAB IV URGENSI NEPOTISME DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
A. Pengaruh Nepotisme dalam Kehidupan Manusia ……………… 50
B. Dampak Nepotisme dalam Kehidupan Masyarakat ……… 54

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………………. 62
B. Implikasi Penelitian …………………………………………. 62

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… 63


DAFTAR RIWAYAT HIDUP........................................................................ 63

vi
ABSTRAK

Nama Penyusun : RAHMAWATI


NIM : 30300110067
Judul Skripsi : Nepotisme Menurut Perspektif al-Qur’an

Skripsi ini membahas tentang nepotisme menurut perspektif al-Qur’an. Pokok


permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana hakikat, wujud dan urgensi
nepotisme menurut perspektif al-Qur’an.
Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data melalui studi kepustakaan
(library research), yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan,
buku, tesis, disertasi dan sebagainya. Data-data yang diperoleh melalui studi ini lebih
spesifik berkisar pada penafsiran para musafir dalam hal nepotisme perspektif al-
Qur’an.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menjelaskan tentang nepotisme,
menjelaskan pandanagan al-Qur’an mengenai nepotisme serta sebagai tambahan
khazanah keilmuan yang berkaitan dengan nepotisme.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tindakan nepotisme tidak
diperbolehkan menurut al-Qur’an, karena tindakan tersebut merupakan salah satu
bentuk ketidakadilan, baik terhadap dirinya, kerabatnya, apalagi terhadap rakyat.

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Persoalan nepotisme mendapatkan sorotan yang sangat tajam baik di

media massa maupun elektronik. Ia menjadi aktual karena masalah

nepotisme merupakan persoalan moral dan budaya yang tumbuh dan


berkembang hampir semua sistem birokrasi suatu lembaga, baik sosial,

ekonomi, maupun politik.1

Nepotisme merupakan bentuk pelanggaran terhadap kaidah

kejujuran, melanggar hukum yang berlaku, menurunkan kewibawaan negara

dan pemerintah, juga mengakibatkan high cost economi(yang dapat

menaikkan harga produk dan menurunkan harga), semua ini terjadi

karenaseseorang menginginkan keuntungan untuk memperkaya diri

pribadinya atau keluarganya. Akibatnya, timbul kesenjangan ekonomi dan

sosial antara golongan kaya raya dan berkuasa di level atas, dan golongan

wong cilik yang sehari-hari harus bekerja untuk mempertahankan hidup


yang layak di level bawah. 2

Pada aspek normatif, nepotisme dihadapkan dalam konsep agama.

Larangan ini tentu beralasan yakni karena dipandang melanggar hukum,

tidak bermoral, berlaku aniaya dalam arti merugikan pihak lain. Dapat

dikemukakan pula bahwa tujuan penetapan hukum dalam Islam, termasuk

1
Daud Rasyid, Hukum tentang Nepotisme (dikutip dari internet yang dimuat pada
hari Rabu, 09 Agustus 2008, akan tetapi diakses pada tanggal 26 Desember 2012).
2
Hassan Shadily, Nepotisme, Bagaimana Sebaiknya Disikapi, Jilid.4 (Jakarta:
Ichtiar Baru-van Hoeve, 1983), h. 2360.
2

larangan nepotisme, adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia

sekaligus menghindari mafsadat (dampak buruk yang akan timbul).3

Nepotisme sudah menjadi budaya dalam proses pengambilan

keputusan dalam sebuah birokrasi, baik pemerintahan maupun swasta.

Budaya semacam ini tidaklah asing dikalangan pembuat kebijakan. Perkara

nepotisme yang banyak meninpa pejabat, baik dari kalangan eksekutif,

yudikatif maupun legislatif, menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-


undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan

bebas dari nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai

kehidupan sosial masyarakat.4

Prinsip dasar sebuah jabatan adalah kontrak kekuasaan antara atasan

dan bawahan atau pemegang amanat dengan rakyatnya.Hal ini merupakan

salah satu ciri masyarakat yang menjunjung tinggi nilai sebuah kontrak

tanggung jawab dan hak-hak yang berada di atas pondasi moral dan

kebenaran. Negeri yang adil dan berkesinambungan akan berdiri tegak, dan

negeri yang tidak adil dan tidak berkesinambungan akan runtuh, lepas dari

soal siapa dan apa agama penduduknya. Berkenaan dengan hal ini, bangsa
yang penduduknya sebahagian besar adalah Muslim, tidak dibenarkan

hanya pada kenyataan statistik jumlah penduduk Islam. 5

Justru sejalan dengan hukum maka pelanggaran prinsip keadilan dan

kesinambungan oleh kaum Muslim akan mendatangakan malapetaka.6

3
Taqiyuddin Ahmad bin Abd Halim Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar’iyah (al-
Mamlakah al-Sa’udiyah al-‘Arabiyah: Wizarah al-Syu’un al-Islamiyah, Cet. I, 1918 H.), h.
10 .
4
Hassan Shadily, op. cit., h.2362.
5
Daud Rasyid, op. cit.
6
Nurcholis Madjid, Indonesia Kita (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2003), h. 86.
3

Penyalahgunaan jabatan biasanya dimulai dari sikap tidak sehat dalam

suatu komponen masyarakat, yang mempunyai implikasi terjadinya

degradasi sendi kehidupan.7Begitu pentingnya sebuah jabatan, maka peran

yang mengantarkan seseorang atau kelompok untuk sampai pada perolehan

jabatan tersebut haruslah bisa dipertanggung jawabkan secara vertical

maupun horizontal.8

Al-Qur’an merupakan pedoman hidup telah memberikan peringatan


kepada manusia agar tidak melakukan manipulasi persyaratan (melakukan

dengan cara-cara batil) untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan.Harta

ataupun jabatan yang biasanya bermuara pada pemuasan materi seperti

yang dijelaskan dalan firman Allah swt dalam QS.al-Bagarah/ 2: 188.

            

    


Terjemahnya:
‚Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.‛9
Pada saat yang bersamaan muncul teks-teks ayat yang apabila

dipahami secara sepintas, mendukung diperlakukannya pembelaan perilaku

dan pengutamaan kerabat dari pada orang lain. Sebagaimana firman Allah

swt dalam QS.al-Rū m/30: 38.

7
Ibid.
8
Ibid.,h. 87.
9
Departemen Agama R.I., Al-Qur’ā n dan Terjemahnya (Bandung: PT. Syamil
Cipta Media, 2005), h. 29.
4

              

   

Terjemahnya:
‚Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya,
demikian(pula)kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari
keridhaan Allah; dan merekaitulah orang-orang beruntung.‛10
Adapun pada ayat yang lain secara kontekstual melarang seorang
hamba lebih mencintai keluarganya, barang perdagangannya, hartanya,

dan tempat tinggalnya dibandingkan cintanya kepada Allah swt. dan

Rasul-Nya untuk melakukan pengorbanan dalam rangka ketaatan.11

Setelah mengemukakan nasehat dan peringatan di atas, maka

seyogyanya seorang hamba agar tidak terjatuh dalam sifat nepotisme

tersebut.

B. RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka masalah pokoh yang akan

dibahas dalam skripsi ini adalah: ‚Bagaimana konsep nepotisme perspektif

al-Qur’an?.‛

Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan sistematis, maka

penulis akan merinci pokok permasalahan tersebut sebagai berikut:

1. Bagaimana hakikat nepotisme perspektif al-Qur’an ?

2. Bagaimana wujud nepotisme perspektif al-Qur’an ?

3. Bagaimana urgensi nepotisme perspektif al-Qur’an ?

10
Ibid, h. 408.
11
QS. al-Taubah/9: 24.
5

C Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian


Sebagaimana biasanya dalam penyusunan skripsi penulis

menjelaskan istilah dalam pengambilan judul skripsinya agar tidak terjadi

kesalahpahaman dan juga memperjelas akan permasalahan yang ditulisnya.

Adapun judul skripsi adalah ‚Nepotisme Menurut Perspektif al-Qur’an‛

maka penulis akan menjelaskan batasan pengertian dan beberapa kata dalam

skripsi ini.
Nepotisme berasal dari bahasa latin yaitu nepos atau nepotis yang

berarti cucu (arti kiasan) keturunan dan atau keponakan.12Baik kerabat

langsung maupun hanya hubungan perkawinan dan bahkan bisa meningkat

pada relasi atau teman (konco-konco).13Jadi nepotisme dapat diartikan

sebagai sebuah kecenderungan untuk mengutamakan atau menguntungkan

sanak saudara sendiri terutama dalam masalah jabatan, pangkat di

lingkungan pemerintahan14 di luar ukuran mereka.

Adapun al-Qur’ā n menurut bahasa, kata ‚al-Qur’ā n‛ merupakan

bentuk mashdar yang maknanya sama dengan kata ‚qira’ah‛ yaitu bacaan.

Bentuk mashdar ini berasal dari fi’il maḍ i ‚qara’a‛ yang artinya membaca.

Menurut istilah, ‚al-Qur’ā n‛ adalah firman Allah yang bersifat

mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., yang tertulis

12
Hassan Shadily, dkk, Ensiklopedi Indonesia(Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve,
1983) Jilid 4 hal. 2361.
13
The Liang Gie, dkk, Ensiklopedi Administrasi(Jakarta: CV. Haji Masabung, Cet.
VI, 1989) hal. 292.
14
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990) hal. 613.
6

dalam mushaf-mushaf, yang dinukil dengan jalan mutawatir dan

membacanya merupakan ibadah.15

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis memberikan ruang

lingkup pembahasan ini hanyalah seputar nepotisme dalam al-Qur’ā n,

konsep al-Qur’ā n tentang nepotisme, dan wujud serta urgensinya dalam

kehidupan dengan pemahaman para ulama.

D. Kajian Pustaka
Setiap penelitian membutuhkan kajian pustaka dan dianggap

sebagai hal yang sangat esensial dalam penelitian. Hal itu tidak terlepas dari

fungsinya sebagai tolak ukur dalam membedakan hasil-hasil penelitian

sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan, sehingga tidak terjadi

taḥsȋl al-ḥaṣȋl (pengulangan penelitian, padahal tidak mempunyai

perbedaan). Di samping itu, kajian pustaka juga berfungsi untuk menjelaskan

bahwa teori sebelumnya masih perlu untuk diuji ulang atau dikembangkan

atau ditemukan teori baru yang dapat menjawab tantangan yang dihadapi

dalam kajian tafsir yang begitu kompleks.16

Untuk penelitian ini peneliti telah melakukan kajian pustaka, baik


kajian pustaka dalam bentuk hasil penelitian, pustaka digital, maupun dalam

bentuk buku-buku.

Hasil penelusuran terhadap pustaka, peneliti mendapatkan beberapa

kitab yang relevan di antaranya:

15
Manna’a al-Qaṭ ṭ an, Mabā hiṡ fȋ ‘Ulȗ mil Qur’ā n (Cet. VII; al-Qahirah:
Maktabah Wahhabiyyah, t. th), h. 14-16.
16
A. Qadir Gassing HT., Wahyuddin Halim, ed., Pedoman Penulisan Karya Tulis
Ilmiah Makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi (Makassar: Alauddin Press, 2008), h. 10-11.
7

Al-Muhābah: Ma’nāha wa Maḍmūnuha (Dirāsah Mauḍu’iyah min


Khilal al-Aḥādȋṡ al-Nabawiyah) terjemahnya: ‚Nepotisme: Makna dan
Cakupannya (Kajian Tematik terhadap Analisis Hadis-hadis Nabi). Risalah

ini merupakan skripsi oleh Abdul Gaffar dalam bidang hadis, yang isinya

menjelaskan: a) Pendahuluan, b) Defenisi Nepotisme dan Tahrij Hadisnya,

c) Kritik Hadis, d) Analisis Hadis, dan e) Penutup.

Dengan demikian risalah ini berbeda dengan penelitian yang akan


dilakukan karena risalah ini terbatas pada permasalahan nepotisme dalam

tinjauan Hadis Nabi. Adapun penelitian yang akan dilakukan menyangkut

tentang nepotismedalam perspektif al-Qur’an.

Nepotisme dan Bureumania dalam Birokrasi oleh Erlangga Masdiana

yang merupakan makalah yang menjelaskan bahwa nepotisme termasuk ke

dalam bentuk penipuan dan penyogokan yang terjadi di Indonesia dan

pengaruhnya dalam perekonomian.

Dilihat dari isi makalah ini semuanya berhubungan dengan tinjauan

ekonomi syari’ah tentang nepotisme, adapun penelitian ini berhubungan

dengan tinjauan al-Qur’an tentang nepotisme.


8

E. Metodologi Penelitian

Metode penelitian dalam pembahasan skripsi ini meliputi berbagai

hal sebagai berikut :

1. Metode Pendekatan17

Dalam penulisan skripsi ini penulis penggunakan metode pendekatan

yaitu:
a. Pendekatan Syar’i.

Pendekatan ini adalah pendekatan hukum (teologis), yakni

menjelaskan hukum-hukum yang berhubungan dengan pendapat

dari para ulama-ulama tentang hukum nepotisme.18

b. Pendekatan Filosofis

Pendekatan filosofis adalah cara berfikir yang digunakan untuk

mengkaji nepotisme dan memahami aspek-aspek ajaran Islam

dengan melihat hikmah atau hakekat nepotisme yang menjadi inti

masalah.19

c. Pendekatan Sosiologis.

Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang berhubungan dengan

masyarakat yang terjadi dalam berbagai situasi hidup dalam

hubungannya dengan ruang dan waktu.20Dimana nepotisme sangat

17
Masyhuri dan M. Zainuddin, Metodologi Penelitian (Bandung: Refika Aditama,
2008), h. 50.
18
Hamka, Falsafah Ushul Fiqhi (Cet. I; Ujung Pandang: al-Ahkam, 1998), h. 136.
19
Abuddin Nata, Metode Studi Islam (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006), h.
42.
20
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed), Metodologi Penelitian Agama
(Jakarta: Rajawali Press, 1992), h. 1.
9

berpengaruh dalam kehidupan, baik secara individu maupun secara

sosial (masyarakat).

2. Metode Pengumpulan Data21

Mengenai pengumpulan data, penulis menggunakan metode atau

teknik library research (penelitian kepustakaan), yaitu mengumpulkan

data-data melalui bacaan dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan

pembahasan penulis.Sumber pokoknya adalah nepotismedalam al-Qur’ān


dengan menggunakan metode mauḍȗ’ȋ (tematik).Metode mauḍȗ’ȋ ialah

cara mengkaji dan mempelajari ayat al-Qur’ān dengan menghimpun ayat-

ayat al-Qur’ān yang mempunyai maksud sama, dalam arti sama-sama

membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasarkan

kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat itu. Kemudian penafsir mulai

memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil

kesimpulan.22Juga sebagai penunjangnya yaitu buku-buku keislaman

yang membahas secara khusus tentang nepotisme dan buku-buku yang

membahas secara umum dan implisitnya mengenai masalah yang dibahas.

3. Metode Pengolahan Data23


Mayoritas metode yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini

adalah kualitatif, karena untuk menemukan pengertian yang diinginkan,

21
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi Aksara,
1999), h. 28 dan Soejono, dkk, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan (Jakarta:
Rineka Cipta, 1999), h. 2.
22
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsirannya (Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 77.
23
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2006), h.129.
10

penulis mengolah data yang ada untuk selanjutnya di interpretasikan ke

dalam konsep yang bisa mendukung sasaran dan objek pembahasan.

4. Metode Analisis24

Pada metode ini, penulis menggunakan tiga macam metode, yaitu :

a. Metode deduktif, yaitu metode yang digunakan untuk menyajikan

bahan atau teori yang sifatnya umum untuk kemudian diuraikan dan

diterapkan secara khusus dan terperinci.


b. Metode induktif, yiatu metode analisis yang berangkat dari fakta-

fakta yang khusus lalu ditarik suatu kesimpulan yang bersifat

umum.

c. Metode komparatif, yaitu metode penyajian yang dilakukan dengan

mengadakan perbandingan antara satu konsep dengan lainnya,

kemudian menarik suatu kesimpulan.

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


1. Tujuan Penelitian

Kajian ini bertujuan:

a. Untuk mengetahui hakekat nepotismeperspektif al-Qur’ān.

b. Untuk mengetahui wujudnepotismeperspektif al-Qur’ān.


c. Untuk mengetahui urgensi nepotisme dalam kehidupan manusia.

24
Sumadi Suryabarta, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998), h. 84.
11

2. Kegunaan Penelitian

Tentunya setiap penelitian haruslah memiliki kegunaan bagi diri

sendiri dan orang lain. Adapun kegunaan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Dapat memberikan sumbangsi pemikiran bagi umat Islam dalam

penyebaran dakwah Islam melalui karya tulis ilmiah.

b. Dapat memberikan informasi bagi umat Islam akan hakekat


nepotismeperspektif al-Qur’ān.

c. Penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat dijadikan sebagai

literatur dan sebagai rujukan dalam mengkaji dan meneliti

nepotismeperspektif al-Qur’ān.

G. Garis Besar Isi Skripsi


Untuk memberikan sistematika pembahasan yang jelas paka pada

skripsi ini penulis mencoba menguraikan isi kajian pembahasan. Adapun

sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab dengan uraian

sebagai berikut:
Bab I, merupakan pembahasan pendahuluan yang secara umum

pembahasannya bersifat metodologis. Bab ini memberikan gambaran

singkat dan orientasi dari obyek yang akan dibahas pada bab-bab

berikutnya. Dalam bab pendahuluan ini terdiri atas tujuh sub bab, dan

telah diuraikan muatannya masing-masing sebagaimana terdahulu.

Bab II, menguraikan HakekatNepotisme Perspektif al-Qur’ān.

Dalam uraian ini penulis mengemukakan tentang nepotisme yang


12

meliputi; defenisi nepotisme baik secara etimologi dan terminologi, term

nepotisme dalam al-Qur’ān, Ayat-ayat nepotisme dalam al-Qur’ān, dan

Pandangan Para Pakar Tafsir.

Bab III, menguraikan WujudNepotismePerspektif al-Qur’ān, yang

meliputi HukumNepotisme,Karakteristik Nepotisme dalam al-Qur’ān,

dan Penyebab dan Faktor Terjadinya Nepotisme.

Bab IV, adalah UrgensiNepotisme dalam Kehidupan Manusia.


Bab V, adalah bab penutup yang berisi tentang kesimpulan yang

berfungsi menjawab pokok permasalahan dan sub masalah yang penulis

telah kemukakan sebelumnya. Di samping itu akan dikemukakan pula

beberapa saran yang merupakan implikasi akhir dari hasil penelitian ini.
13

BAB II

HAKIKAT NEPOTISME PERSPEKTIF AL-QUR’AN

A. Pengertian Nepotisme

Nepotisme terambil dari akar kata nepos dan otis, yang berarti cucu lelaki,

keturunan atau saudara sepupu. 1Kata ini kemudian mengalami perluasan arti

:pertama, perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat


dekat, kedua, kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara

sendiri terutama dalam jabatan, atau pangkat dalam lingkungan pemerintahan. Ketiga,

tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memengang jabatan

pemeritahan (urusan publik).2Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggaraan

negara yang melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau

kroninya diatas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara .

Hubungan kedekatan emosional sangat mempengaruhi jalannya sebuah proses

perekrutan, penentuan calon anggota, mendapatkan proyek dan sebagainya. Tidaklah

berlebihan ketika para pengambilan keputusan menjadikan kedekatan emosional ini

sebagai pijakan dalam mengambil keputusan.


Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan

seorang saudara, bukannya seorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara,

manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar biologi telah mengisyaratkan

bahwa kendisi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu

bentuk dari pemilihan saudara.

1
W.J.S Poerwadarminta, Prent C.M.J. Adisubrata, Kamus Bahasa Indonesia(Yogyakarta:
Kanisius, tth. ), h. 691.
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka
2001), h. 726.

13
14

Kata Nepotisme berasal dari kata lain nepos, yang berarti “keponakan” atau

“cucu”. Pada abad pertengahan beberapa paus katholik dan iskup-yang telah

mengambil janji “chastity” sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung-

memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolal-olah seperti kepada

anaknya sendiri .

Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan

hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam


konteks derogatori (pelanggaran/ kemunduran).

Nepotisme dipakai sebagai istilah untuk menggambarkan perbuatan

mengutamakan sanak keluarga sendiri walaupun dia tidak memenuhi syarat, maka

tidaklah termasuk nepotisme dalam pengertian itu. Misalnya, John F Kennedy yang

mengangkat saudara kandungnya, yaitu Robert Kennedy yang kebetulan adalah

sarjana hukum dan ternyata mampu menjalannkan tugas sebagai jaksa Agung.3

Begitu pula cerita sekjen Kementerian kehakiman Belgia kepada A. Hamzah

(Guru Besar Fakultas Hukum Trisakti) pada bulan maret 1991, bahwa persyaratan

penerimaan jaksa di Belgia sama saja dengan di tempat lain, seperti IP, psikoteks , tes

akademik, kesehatan dan lain-lain. Tetapi jika terdapat dua calon yang sama-sama
memenuhi semua syarat, tetapi yang satu adalah anak jaksa dan yang lain bukan,

sedangkan tempat yang tersedia hanya satu, maka yang diterima ialah anak jaksa itu.4

Alasannya ialah anak jaksa itu sudah biasa dalam “habitat” jaksa, sehingga

lebih mudah untuk adaptasi. Lain an Presiden Rumania Nicolae Ceaucescu yang

mengangkat istrinya sendiri yang hanya tamatan SD menjadi Menteri Ilmu

3
A. Hamzah Jaksa Agung, Seharusnya Bisa Menangkap Seorang Menteri, http://www.
Transpatansi .or. id/majalah/edisi 17/17 berita_4. Html. Akses Tgl 28-02-2013.
4
Ibid.
15

Pengetahuan atau Mascos yang mengangkat istrinya yang hanya mantan peserta ratu

kecantikan menjadi Gubernur Metro Manila. Demikianlah itu Nepotisme dalam arti

tidak baik ini walaupun berupa perbuatan korupsi dalam arti sosiologis namun

bukanlah termasuk pengertian korupsi dalam arti yuridis (Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Nepotisme lebih bernuansa moral dari pada

yuridis.5

Adapun defenisi nepotisme dalam tatanam hukum positif Indonesia adalah:


”setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang

menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan

masyarakat, bangsa dan negara.”6

Menurut Leonerd D. White menjelaskan bahwa nepotisme adalah “sistem

penunjukan sanak saudara ke jabatan publik” sistem pengangkatan berdasarkan

nepotisme tergolong kedalam system yang rusak karena menyalahi prinsip merit-

sistem (system pengangkatan berdasarkan pendidikan, keahlian, pengalaman, dan

prestasi).7

Berdasarkan beberapa defenisi mengenai nepotisme tersebut, dapat diambil

sebuah rumusan bahwa Nepotisme adalah tingkatan pemegang jabatan publik (aparat
negara) yang cenderung kepada sanak saudaranya dalam pembagian kekuasaan dan

wewenang yang terkait dengan urusan publik dan menyalahi prinsip merid system.

5
Ibid.
6
Pasal 1Bab 1 Ayat (5) Undang-Udang Repoblik Indonesia No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih yang Beres dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
7
M. Dawam Rahardjo, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN): Kajian Konseptual dan Sosial
Cultural, dan Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed.), Menyingkap Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme di Indonesia (Yogyakarta: Adytya Media, 1999), h. 25.
16

B. Term Nepotisme dalam al-Qur’an

Term nepotisme dalam bahasa arab yaitu: al-muhābāh (karena akar katanya

ada keterkaitan dengan makna cinta, belas kasih dan suka terhadap sesuatu), al-gisy

wa al-gharar (adanya penipuan pada ruang publik), al-aṡar (adanya rasa

mendahulukan diri), Al-Ittikhāż bi al-Ābā‟ wa al-Ikhwān Auliyā‟(mengambil

keluarga menjadi penolong/pembantu dalam berbuat kekufuran),al-gil (adanya

dorongan hawa nafsu untuk melakukan kecurangan dalam segala aspek kehidupan),
al-syafa‟ah al-sayyi‟ah (adanya dorongan untuk dibantu dalam kesalahan). Semua

term ini tidak terdapat dalam al-Qur‟an kecuali sebagiannya saja, seperti Al-Ittikhāż

bi al-Ābā‟ wa al-Ikhwān Auliyā‟, al-gil dan al-syafa‟ah al-sayyi‟ah. Adapun ayat

tersebut sebagai berikut:

1. Al-Ittikhāż bi al-Ābā‟ wa al-Ikhwān Auliyā‟, dalam QS. al-Taubah/9:23.

           

        

Terjemahnya:

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-

saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas


keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, Maka

mereka Itulah orang-orang yang zalim.”8

2. Al-Gil, dalam QS. Āli Imrān/3: 161.

                  

    

8
Departemen Agama R.I., Al-Qur’ā n dan Terjemahnya (Bandung: PT. Syamil Cipta Media,
2005), h. 190.
17

Terjemahnya:
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan
perang. barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu,
Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan
tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang
mereka tidak dianiaya.”9
3. Al-Syafa‟ah al-Sayyi‟ah, dalam QS. al-Nisā‟/4: 85.

                
       
Terjemahnya:
“Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik,10 niscaya ia akan
memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. dan barangsiapa memberi
syafa'at yang buruk,11 niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari
padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”12

C. Ayat-ayat al-Qur’an tentang Nepotisme


1. Q.S. Al-Nisā‟/4: 135.

             
                 

         
Terjemahnya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatannya maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adlah maha mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan.”13
9
Ibid., h. 71.
10
Syafa'at yang baik ialah: setiap sya'faat yang ditujukan untuk melindungi hak seorang
muslim atau menghindarkannya dari sesuatu kemudharatan.
11
Syafa'at yang buruk ialah kebalikan syafa'at yang baik, seperti nepotisme dalam hal
melanggar hak seseorang.
12
Departemen Agama R.I.,op. cit., h. 91.
13
Depag RI, al-Quran dan Terjemahnya,h.81
18

Mendahulukan perintah penegakan keadilan atas kesaksian karena tidak

sedikit orang yang hanya pandai memerintahkan yang ma‟uf (kebaikan), tetapi dia

sendiri lalai. Ayat ini memerintahkan mereka, bahkan semua orang untuk

melaksanakan keadilan atas dirinya baru menjadi saksi yang mendukung atau

memberatkan orang lain. Di sisi lain, penegakan keadilan serta kesaksian dapat

menjadi dasar untuk menampik mudharat yang dapat dijatuhkan. Bila demikian hal,

maka menjadi wajar penegakan keadilan disebut terlebih dahulu karena menolak

kemudharatan atas diri sendiri, melalui penegakan keadilan lebih diutamakan

daripada menolak kemudharatan atas diri orang lain. Atau karena penegakan keadilan

memerlukan anekah kegiatan yang berbentuk fisik, sedang kesaksian hanya berupa

ucapan yang disampaikan, dan tentu saja kegiatan fisik lebih berarti daripada sekedar

ucapan dan tidak mengikuti hawa nafsu karena enggang berlaku adil. Kata (Khabir),

digunakan untuk siapa yang mendalami masalah. Seorang pakar dalam bidangnya

dinamai khabir, karena itu pula kata ini biasa digunakan untuk menunjuk

pengetahuan yang mendalam dan sangat rinci menyangkut hal-hal yang tersembunyi.

Allah swt. Menyandang nama Khabir. Menurut imam Ghazali, al-Khabar adalah yang

tidak tersembunyi bagi-nya hal-hal yang sangat dalam dan yang disembunyikan, serta

tidak terjadi sesuatu pun dalam kerajaa-Nya, di bumi maupun di alam raya kecuali

diketahui-Nya tidak bergerak satu dzarrah atau diam, tidak bergejolak jiwa, tidak

juga tenang, kecuali ada beritanya di sisi-Nya.14

14
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol.2(cet; Jakarta; Lentera Hati, 2002), h.617.
19

2. Q.S. Al-Maidah ayat 8

            
                 
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran)karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kamu kerjakan.15.

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar dapat

melaksanakan amal dan pekerjaan mereka dengan cermat jujur dan ikhlas karena

Allah, baik pekerjaan yang bertalian dengan urusan agama maupun pekerjaan

yang pertalian dengan urusan kehidupan duniawi. Karena hanya dengan demikian

mereka biasa sukses dan memperoleh hasil atau kebiasaan yang mereka inginkan

dan harapan. Dalam penyaksian, mereka harus adil menerangkan apa yang

sebenarnya tanpa memandang siapa orangnya, sekalipun akan menguntungkan

lawan dan merugikan sahabat dan kerabat. Ayat ini senafas dan seirama dengan

surah an-Nisa‟ ayat 135 yaitu sama-sama menerangkan tentang seseorang yang

berlaku adil dan jujur dalam persaksian. Perbedaanya adalah dalam ayat tersebut

diterangkan kewajiban berlaku adil dan jujur dalam persaksian walaupun

kesaksian itu akan merugikan diri sendiri, ibu, bapak dan kerabat, sedang dalam

ayat ini diterangkan bahwa kebencian terhadap sesuatu kaum tidak boleh

15
. Depag RI ,op. cit h. 88.
20

mendorong seseorang untuk memberikan persaksian yang tidak adil dan tidak

jujur, walaupun terhadap lawan.

Selanjutnya secara luas dan menyeluruh, Allah memerintahkan kepada

orang-orang yang beriman, supaya berlaku adil, karena keadilan dibutuhkan

dalam sega hal, untuk mencapai dan memperoleh ketenteraman, kemakmuran dan

kebahagiaan dinia dan akhirat. Oleh karena itu berlaku adil adalah jalan yang

terdekat untuk mencapai tujuan untuk bertakwa kepada Allah. 16

3. QS. Al-A‟raf/7: 142.

             

           

Terjemahnya:
“Dan Telah kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah
berlalu waktu tiga puluh malam, dan kami sempurnakan jumlah malam itu
dengan sepuluh (malam lagi), Maka sempurnalah waktu yang telah
ditentukan Tuhannya empat puluh malam. dan berkata Musa kepada
saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah Aku dalam (memimpin) kaumku, dan
perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat
kerusakan.”17

Setelah ayat-ayat yang lalu menguraikan nikmat Allah swt. kepada kaum

Nabi Musa as. Yang diselamatkan Allah dari segi jasmani dengan tenggelam dan

hancurnya kekuasaan Fir‟aun yang telah membunuh, menindas, dan melecehkan

16
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Tafsir , (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1990),
hal 401.
17
Depag RI, op. cit. h. 136.
21

mereka, kini ayat ini dan ayat berikutnya menguraikan nikmat yang lain, yakni

nikmat spiriyual melalui Nabi Musa as.18

Ayat ini menyatakan, ingatlah ketika Kami menyelamatkan kamu dari

pengikut-pangikut Fir‟aun dan ingat pulah anugerah lainnya, Dan telah kami

janjikan kepada Musa untuk bermunajat kepada kami dan memberikan kitab

taurat sudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan kami menyempurnakannya,

yakni jumlah malam-malam itu dengan menambahkan sepuluh malam lagi,

maka sempurnahlah keseluruhan waktu yang telah ditentukan Tubannya selama

empat puluh malam. Dan ingat juga ketika berkata Nabi Musa kepada

saudaranya, yaitu Nabi Harun sebelum keberangkatannya untuk memenuhi janji

itu; Gantikanlah aku pada, yakni dalam memimpin kaumku, dan perbaikilah, dan

janganlah engkau mengikuti jalan para pembuat kerusakan.19

Angka empat puluh adalah angka kesempurnaan menyangkut banyak hal.

Ia disebut dalam sekian banyak teks keagamaan, baik al-Qur‟an maupun al-

Sunnah.20Kata (miqat) digunakan dalam arti kadar waktu tertentu untuk

melaksanakan dan menyelesaikan satu pekerjaan tertentu. Dalam QS. al-Baqarah

janji Nabi Musa as. Di atas, disebut langsung empat puluh malam, bukan seperti

ayat di atas bermula dengan tiga puluh kemudian ditambah sepuluh. Diharapkan

dengan penyebutan seperti itu, hati mereka akan lebih tergugah untuk kembali

18
M.Quraish Shihab,vol. 2, op, cit., h.142.
19
Ibid; h. 232.
20
Ibid., h. 234.
22

beriman dan meninggal kekufuran. Ini dipahami dari ayat-ayat sebelumnya yang

mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah.

Dapat juga dikatakan bahwa pemisahan itu disebabkan karena ayat ini

menguraikan kisah penyembahan Bani Isra‟il yang justru terjadi pada sepuluh

malam terakhir yang merupakan penambahan dari tiga puluh malam. Banyak

uraian yang dikemukakan ulama tentang sebab penambahan itu. Salah satu yang

sangat populer , adalah bahwa selama tiga puluh hari dan malamnya Nabi Musa

as. Berpuasa, dan ketika dia merasakan akibat puasanya itu bauh yang tidak sedap

bersumber dari mulutnya, maka dia bersiwak yakni menggosok gigi

smenggunakan kayu siwak. Setelah itu, Allah swt . menyampaikan kepadanya

bahwa hal tersebut justru menjadikan bau mulutnya berbauh, dan selanjutnya

Allah memerintahkan penambahan sepuluh malam lagi. Demikian riwayat yang

luas. Tetapi sekian banyak pula pakar menolak kebenaran riwayat ini, dengan

alasan kelemahan rentetan perawinya serta kandungan maknanya.

Penyebutan kata malam, bukan hari atau siang, mengisyaratkan bahwa

malam adalah waktu yang paling baik untuk bermunajat menghadapkan diri

kepada Allah, karena keheningan dan kegelapan malam membantu melahirkan

ketenangan pikiran dan kekhusyu‟an kepada Allah.21

Pesan Nabi Musa as. Kepada Nabi Harun as. ang menyatakan perbaikilah,

dan janganlah engkau mengikuti jalan para pembuat kurusakan, tentu saja bukan

dimaksudkan untuk melarang Nabi Harun as. Melakukan kemaksiatan, apalagi


21
Ibid; h.235.
23

kekufuran karena beliau adalah Nabi sebagaima semua nabi yang terpelihara dari

keterjerumusan dalam kedurhakaan. Pesan itu merupakan larangan untuk

mengikuti, menyetujui atau merestui saran siapapun dari kaum yang melanggar

ketentuan agama. Agaknya Nabi Musa as. yang sangat mengenal kaumnya,

merasakan adanya tanda-tanda ke arah sana, bahkan mengetahui bahwa di antara

mereka ada perusak perusak, dan karena itu beliau meninggalkan pesan tersebut.

Pesan ini menjadi lebih perlu lagi karena seperti diketahui, pribadi Nabi Harun as.

Berbeda dengan pribadi Nabi Musa as. Beliau sangat lemah lembut,

kelemahlembutan yang boleh jadi mengantar kepada ketidaktegasan, sedang Nabi

Musa as. Dikenal sangat tegas lagi keras.

Pesan pertama tersebut merupakan salah satu pesan yang sangat penting

dalam membinah masyarakat, karena (shalah /perbaikan) dalam arti melakukan

yang bermamfaat, atau memelihara sesuatu agar memenuhi nilai-nilainya adalah

inti dari segala kebajikan. Inilah yang menjadikan aktifitas membuahkan hasil

yang memuaskan pelaku dan masyarakat umum, dan itu pula yang merupakan

tujuan hidup bermasyarakat.

Pesan kedua, dan janganlah engkau mengikuti jalan para pembuat

kerusakan, bukan sekedar bertujuan penekanan tentang pesan yang lalu untuk

melakukan kebaikan. Pesan kedua ini mengandung makna lain yang melebihi

pesan pertama. Itu sebabnya, pesan tersebut didahului kata dan. Pesan ini

mengandung makna larangan berpartisifasidalam kegiatan para perusak al-mufsid

atau perusak adalah siapa yang terbisa melakukan perusakan atau kebanyakan
24

aktivitasnya merupakan perusakan walaupun boleh jadi sekali-sekali ada

aktivitasnya yang bermamfaat.22

4. QS. Thaha/20: 29-32.

               


Terjemahnya:
“Dan Jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, Harun
saudaraku, teguhkanlah hatinya kekuatan dan jadikanlah dua sekutu dalam
urusanku.23

Setelah bermohon penyempurnaan yang berkaitan dengan pribadinya, kini

Nabi Musa as. Bermohon pengukuhan melalui keluarganya. Nabi agung itu

melanjutkan permohonannya dengan berkata: Dan jadikanlah untukku secara

khusus seorang pembantu dari keluargaku, agar dapat meringankan sebagian

tugas yang Engkau bebankan kepadaku. Pembantu yang kuharapkan adalah

Harun, saudaraku, teguhkanlah dengannya yakni dengan mengangkatnya

sebagai pembantu kekuatanku dalam menghadapi sebagai urusan khususnya

yang berkaian dengan dakwah, dan jadikanlah dia sekutu dan urusanku yakni

selalu menyertaiku dalam penyampaian risalah-Mu.

5. QS . Al-Nahl/16: 90.

           

      

22
Ibid; h. 236.
23
Depag RI, al-Qur‟an dan Terjemahnya, h.261
25

Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, dan berbuat kebajikan,
serta memberikan bantuan kepada kaum kerabat; dan melarang
daripada melakukan perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar serta
kezaliman. Ia mengajar kamu (dengan suruhan dan larangannya ini),
supaya kamu mengambil peringatan mematuhiNya.”

Kata (al-„adl) terambil dari kata („adala) yang terdiri dari huruf-huruf

„ain dan dal dan lam. Rangkaian huruf-huruf ini mengandung dua makna yang

bertolak belakang, yakni lurus dan sama serta bengkok dan berbeda.

Seseorang yang adil adalah yang berjalan lurus dan sikapnya selalu

menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang

menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah seseorang yang

berselisih.

Beberapa pakar mendefinisikan adil dengan penempatan sesuatu pada

tempat yang semestinya. Ini mengantar kepada persamaan, walau dalam

ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama. Ada junga yang menyatakan bahwa

adil adalah memberikan kepada pemilik hak-haknya, melalui jalan yang

terdekat. Ini bukan saja menuntut seseorang memberi hak kepada pihak lain,

tetapi juga hak tersebut harus diserahkan tanpa menunda-nunda. “penundaan

utang dari seseorang yang mampu membayar utangnya adalah

penganiayaan.”Demikian sabda Nabi saw. Ada lagi yang berkata adil adalah
26

mederasi: “tidak mengurangi tidak juga melebihkan,”dan masih banyak

rumusan yang lain.24

Kata(al-ihsan) menurut ar-Raghib al-Ashfahani digunakan untuk dua

hal; pertama, memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua, perbuatan baik.

Karena itu lanjutnya kata ihsan lebih luas dari sekedar “memberi nikmat atau

nafkah,” Maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam dari kandungan makna

“adil”, karena adil adalah “memperlakukan orang lain sama dengan

memperlakukannya terhadap Anda”, sedang ihsan adalah

“memperlakukannya lebih baik dari perlakuannya terhadap Anda”. Adil

adalah mengambil hak Anda dan atau memberi semua hak orang lain, sedang

ihsan adalah memberi lebih banyak dari pada yang harus Anda beri dan

mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya Anda ambil.

Kata ihsan menurut al-Harrali sebagaimana dikutip al-Biqa‟i adalah

puncak kebaikan amal perbuatan. Terhadap hamba, sifat perilaku ini

mencapai saat seseorang memandang dirinya pada diri orang lain sehingga dia

memberi untuknya apa yang seharusnya dia beri untuk dirinya; sedang ihsan

antara hamba dengan Allah adalah leburnya dirinya sehingga dia hanya

“melihat” Allah swt. Kerena itu pula ihsan antara hamba dan sesame manusia

adalah bahwa dia tidak melihat lagi dirinya dan hanya melihat orang lain itu.

Siapa yang melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang lain dan tidak melihat

24
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jil.4, (Jakarta: Lentera hati : 2002) h.328.
27

dirinya pada saat beribadah kepada Allah maka itulah yang dinamai muhsin,

dan ketika itu dia telah mencapai puncak dalam segala amalnya.

Kata (ita‟/pemberian) mengandung makna-makna yang sangat dalam.

Menurut pakar bahasa al-Qur‟an, ar-Raghib al-Ashfahani, kata ini pada

mulanya berarti “ kedatangan dengan mudah”. Al-Fairizadi dalam kamusnya

menjelaskan sekian banyak artinya, antara lain, istiqamah (bersikap jujur dan

konsisten), cepat, pelaksanaan secara amat sempurnah, memudahkan jalan,

mengantar kepada seorang agung lagi bijaksana, dan lain lain. Dari makna-

makna tersebut, dapat dipahami apa sebenarnya yang dikandung oleh perintah

ini dan apa yang seharusnya dilakukan oleh sang pemberi, serta bagaimana

seyogianya sikap kejiwaannya ketika memberi.

Makna-makna yang dikandung oleh kata (ita‟) itu hakikatnya adalah

sesuatu yang dampak dan ganjarannya tidak terlukiskan karena ia dinilai Allah

sebagai sesuatu yang agung. Memang, kalau kita membuka lembaran al-

Qur‟an, akan ditemukan pemberianyang diinformasikan dengan menggunakan

kata kerja (ata-yu/ti), yang mana kata ita‟ merupakan bentuk mushdar (kata

jadian) dari kata kerja tersebut. Kita akan temukan pemberian Allah swt.

Dalam berbagai bentuknya yang merupakan hal-hal agung lagi mulia.

Sebenarnya pemberian kepada sanak keluarga telah dicakup dalam dua

hal yang disebut sebelumnya, yaitu adil dan ihsan. Tetapi agaknya hal ini

sengaja ditekankan di sini, karena sementara orang mengabaikan hak keluarga

atau lebih senang memberi bantuan kepada orang lain yang bukan
28

keluarganya. Boleh jadi karena ada maksud tertentu di balik pemberian itu,

seperti pepularitas dan pujian. Perlu dicatat bahwa salah satu cara yang

ditempuh islam guna memberantas kemiskinan di samping kerja keras adalah

memberi bantuan, dan karena itu pula ketika sahabat Nabi saw. Bertanya

kepada Nabi Muhammad saw. Tentang nafka, al-Qur‟an penjelasan bahwa

sasaran pertamanya adalah kedua orang tua kemudian para kerabat Rasul saw.

Menekankan agar memberi terlebih dahulu siapa yang termasuk dalam

tanggungan seseorang, kemudian yang lebih dekat. Para kerabat, lebih utama

diberi ma‟rifat daripada yang lain.25

Kata (al-fahsya/keji) adalah nama segala perbuatan atau ucapan,

bahkan keyakinan yang dinilai buruk oleh jiwa dan akal yang sehat, serta

mengakibatkan dampak buruk bukan saja bagi pelakunya tetapi juga bagi

lingkungannya.

Kata (al-mungkar/kemungkaran) dari segi bahasa, berarti sesuatu yang

tidak dikenal sehingga diingkari. Itu sebabnya ia diperhadapkan dengan kata

al-ma‟rif/yang dikenal. Dalam bidang budaya kita dapat membenarkan

ungkapan: Apabila ma‟ruf sudah jarang dikerjakan. Ia bisa beralih menjadi

mungkar, sebaliknya bila mungkar sudah sering dikerjakan ia menjadi

ma‟ruf.”

Ibn Taimiyah mendefinisikan mungkar, dari segi pandangan syar‟ih

sebagai “segala sesuatu yang dilarang oleh agama,” Dari defenisi ini dapat
25
Ibid; hal.331.
29

disimak bahwa kata mungkar lebih luas jangkauan pengertiannya dari kata

ma‟syiat/kedurhakaan. Binatang yang merusak tanaman, merupakan

kemungkaran, tetapi bukan kemaksiatan, karena binatang tidak dibebani

tanggung jawab, demikian juga meminum arak bagi anak kecil, adalah

mungkar, walau apa yang dilakukannya itu melihat usianya bukanlah maksit.

Mungkar bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada yang

berkaitan dengan pelanggaran terhadap Allah, baik dalam bentuk pelanggaran

ibadah, perintah non ibadah, dan ada juga yang berkaitan dengan manusia,

serta lingkungan.

Kata (al-baghi/penganiayaan) terambil dari kata bagha yang berarti

meminta/menuntut, kemudian maknanya menyempit sehingga pada umumnya

ia di gunakan dalam arti menuntut hak pihak lain tanpa hak dan dengan cara

aniayah /tidak wajar. Kata tersebut mencakup segala pelanggaran hak dalam

bidang interaksi sosial, baik pelanggaran itu lahir tanpa sebab, seperti

perampokan, pencurian, maupun dengan atau dalih yang tidak sah, bahkan

walaupun dengan tujuan penegakan hukunm tetapi dalam pelaksanaanya

melampaui batas. Tidak dibenarkan memukul seseorang yang telah diyakini

bersalah sekalipun dalam rangka memperoleh pengakuannya. Membalas

kejahatan orang pun tidak boleh melebihi kejahatannya.

Kejahatan al-baghi pun sebenarnya telah dicakup oleh kedua hal yang

dilarang sebelumnya. Tetapi disini ditekanka, karena kejahatan ini secara

sadar atau tidak seringkali dilanggar. Dorongan emosi untuk membalas.


30

Bahkan keinginan menggebu untuk menegakkan hokum serta kebencian yang

meluap kepada kemungkaran, seringkali mengantar seorang yang taat pun

tanpa sadar melakukan al-baghy.

Firman-Nya: la‟allakum tazdakkarun/agar kamu dapat selalu

ingatyang menjadi penutup ayat ini dapat dipahami sebagai iayarat bahwa

tuntunan-tuntunan agama, atau paling tidak nilai-nilai yang disebut di atas,

melekat pada nurani setiap orang, dan selalu didambakan wujudnya, karena itu

nilai-nilai tersebut bersifat universal. Pelanggarannya dapat mengakibatkan

kehancuran kemanusiaan.

Demikian ayat-ayat di atas menyimpulkan nilai-nilai yang sangat

mengagungkan. Jangankan dewasa ini, kaum musrikin pun yang

mendengarkan ayat di atas, tanpa ragu berdecak kagum mendengarnya.

D. Pandangan Para Mufassir

Nepotisme merupakan pemberian kekuasaan yang termasuk dalam wilayah

publik kepada keluarganya sendiri tanpa memperhatikan basis kompetensi dari orang

yang diberi kekuasaan tersebut.

Allah swt menjelaskan dalam al-Qur‟an bahwa seseorang harus senantiasa

berlaku adil meskipun terhadap orang orang lain, bahwa terhadap dirinya sendiri. Hal

sersebut secara implisit meniscayakan bahwa tidak diperkenalkan bagi seorang aparat

negara yang merupakan pemegang jabatan publik untuk berlaku semena-mena dengan

memberikan kekuasaan yang bersifat publik kepada keluargannya sendiri, bahkan

orang yang terdekat dengannya meskipun bukan keluargannya, tanpa memperhatikan


31

unsur keadilan dalam pelimpahah wewenang dan kekuasaannya tersebut. Hal tersebut

sebangai mana yang dijelaskan dalam ayat –ayat al-Qur‟an sebagai berikut:

Namun demikian Allah swt juga menegaskan keharusan berlaku adil baik

terhadap dirinya sendiri maupun terhadap kerabatnya. Dalam hal ini, tindakan

nepotisme tidak dapat dibenarkan karena alasan itu. Hal tersebut sebagaimana yang

dijelaskan dalam firman-Nya:


1. QS.al-Nisa‟/4: 135.

Terjemahnya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia
kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tau kemaslahatannya. Maka janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan
jika kamu memutarbalikan (kata-kata) atau enggang menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan.”26

Ibn Kasir berpendapat bahwa keharusan berlaku adil tersebut harus dilakukan

meskipun dirinya sendiri akan mendapatkan bahaya (mudarat). Hal tersebut harus

dilakukan karena keadilan, ketakwaan, dan kebenaran adalah satu kesatuan yang

tetep harus ditegakkan tidak boleh mengalahkan yang lainnya. Keadilan harus

tetap ditegakkan meskipunakhirnya keluargannya menjadi miskin, karena hak

Allah lebih utama daripada hak kekeluargaannya sendiri.27

Lafaz (kunukawwamina bilqisti: jadilah penegak penegak keadilan), redaksi

yang sangat kuat. Perintah berlaku adil dapat di kemukakan dengan menyatakan

(i‟dilu) i‟ditu/berlaku adilah. Lebih tegas dari ini adalah Kunumuqassitin (jadilah

26
Depag RI , op.cit, h.81.
27
Ibn Kasir , op.cit, h.80.
32

orang-orang yang adil) dan lebih tegas dari ini adalah kunukawwamina bilqisti

(jadilah penegak-penegak keadilan), dan puncaknya adalah reaksi ayat di atas

kunukawwamina bilqisti (keadilan penegak-penegak keadilan yang sempurna

sebenar-benarnya) Yakni hendaklah secara sempurna dan penuh perhatian kamu

jadikan penegakan keadilan menjadi sifat melekat pada diri kamu dan kamu

melaksanakan dengan penuh keletihan sehingga tercermin dalam seluruh aktivitas

lahir dan batinmu. Jangan sampai ada sesuatu yang bersumber darimu

mengeruhkan keadilan itu. 28

Lafazsyuhadaalillahi Syuhada‟ (menjadi saksi-saksi karena Allah)

mengisyaratkan juga bahwa persaksian yang ditunaikan itu, hendaklah demi

karena Allah, bahkan untuk tujuan-tujuan duniawi yang tidak sejalan dengan nilai-

nilai ilahi.

Didahulukannya perintah penegakan keadilan atas kesaksian karena Allah

adalah dikarenakan tidak sedikit orang yang hanya pandai memerintahkan yang

ma‟ruf, tetapi ketika tiba gilirannya untuk melaksanakan ma‟ruf yang

diperintahkannya itu, dia lalai. Ayat ini memerintahkan mereka, bahkan semua

orang untuk melaksanakan keadilan atas dirinya baru menjadi menjadi saksi yang

mendukung atau memberatkan orang lain. Di sisi lain, penegakan keadilan serta

kesaksian dapat menjadi dasar untuk menolak medharat yang dapat dijatuhkan.

Bila demikian halnya, maka maka menjadi wajar penegakan keadilan disebut

terlebih dahulu karena menolak kemudharatan atas diri sendiri, melalui penegakan
28
Al-Qurtubi, op. cit. h. 617.
33

keadilan lebih diutamakan dari pada menolak mudharat atas orang lain. Atau

karena penegakan keadilan memerlukan aneka kegiatan yang berbentuk fisik,

sedangkan kesaksian hanya berupa ucapan yang disampaikan, dan tentu saja

kegiatan fisik lebih berat dari pada sekedar ucapan.29

Tunaikanlah kesaksian itu karena Allah. Maka bila kesaksian itu ditegakkan

karena Allah, barulah kesaksian itu dikatakan benar, adil, dan hak, serta bersih dari

penyimpangan, dan kepalsuan. Karena itu dalam firmannya walau ala anfusak

(biarpun terhadap diri kalian sendiri).Dengan kata lain, tegakkanlah persaksian itu

secara benar, sekalipun bahayanya menimpa diri sendiri. Apabila kamu ditanya

mengenai suatu perkara, katakanlah yang sebenarnya, sekalipun madharatnya

kembali kepada dirimu sendiri. Karena sesungguhnya Allah akan menjadikan jalan

keluar dari setiap perkara yang sempit bagi orang yang taat kepada-Nya.

Lafaz Awilwalidaini wal aqrabiina (ibu bapak dan kaum kerabat laiinya),

yakni sekalipun kesaksian itu ditujukan terhadap kedua orang tuamu dan

kerabatmu, janganlah kamu takut kepada mereka dalam mengemukakanya. Tetapi

kemukakanlah kesaksia secara benar, sekalipun bahayanya kembali kepada

mereka, karena sesungguhnya perkara yang hak itu harus ditegakkan atas setiap

orang, tanpa pandang bulu.30

Sedangkan lafaz falatattabiulkhawaa anta‟dilu‟ (janganlah kamu mengikuti

hawa nafsu karena ingin menyimpang) dari kebenaran, dapat juga berarti janggalan

29
M. Quraish Shihab vol 12, op, Cit, h. 37
30
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol.8, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) h. 35.
34

kamu mengikuti hawa nafsu karena enggan berlaku adil.Maksudnya, jangan sekali-

kali hawa nafsu dan fanatisme serta resiko dibenci orang lain membut kalian

meninggalkan keadilan dalam semua perkara dan urusan kalian. Bahkan tetaplah

kalian pada keadilan dalam keadaan bagaimanapun juga.31

Lafaz khabirah menurut imam Ghazali,al-Khabir adalah yang tidak

tersembunyi bagi-Nya hal-hal yang sangat dalam dan disembunyikan, serta tidak

terjadi sesuatupun di alam raya kecuali di ketahui-Nya, tidak bergerak satu dzarrah

atau diam, tidak bergejolak jiwa, tidak juga tenang, kecuali ada beritannya di sisi-

Nya.

Ayat tersebut turun berkenaan dengan adanya sengketa antara seorang fakir

dengan seorang kaya, tetapi Rasulullah saw langsung menegaskan bahwa orang

yang fakir itu tidak bersalah, kemudian turunlah perintah Allah untuk menegakkan

keadilan antara kedua orang yang bersengketa tersebu32.

Berdasarkan ayat tersebut, keadilan harus ditegakkan tanpa melihat kaya dan

miskin. Oleh karena itu, keadilan mengandung unsur obyektifitas yang harus

dijunjung tinggi.

Menurut konsep al-Qur‟an, keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu

meski kepada keluarganya sendiri, karena berlaku adil merupakan salah satu untuk

mencapai derajat taqwa yang merupakan perintah Allah swt.

31
Ibn Kasir, Tafsir Ibn Kasir (Suriah Dar al-Qalam al-Araby, tt) h. 478.
32
Jalal al-Din al-Suyuti, op.cip., h.98.
35

2. QS. al-Maidah/5: 8.

           

                

 
Terjemahnya :
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan
adil.dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
Mendorong kamu untuknberlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”33

Namun, jika memang tidak ada lagi yang pantas untuk diberi wewenang
dan kekuasaan yang menyangkut urusan publik selain kepada orang yang
berasal dari kerabatnya, maka hal itu boleh dilakukan. Pemberian kekuasaan
tersebut bukan karena faktor kerabat, tetapi lebih karena faktor kompetensi
dalam mengembang amanah tersebut, sehingga justru itulah yang lebih adil dan
lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Kasus tersebut memiliki alasan kembenaran dari islam, secara naqli, dari
kasus pengangkatan Nabi Harun as. Sebagai pemegang amanah kepemimpinan
selama Nabi Musa as. Tidak ada. Hal tersebut dilakukan karena memang hanya
dia yang pantas untuk menggantikannya.
3. QS. al-A‟raf/7: 142.

33
Depag RI, op cit ,h. 88.
36

            

           


Terjemahnya:
„…Dan berkata Musa kepada saudarannya yaitu Harun : “Gantikanlah
aku dalam (memimpin) kaumku, dan prbaikilah, dan janganlah kami
mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.”34

Pada peristiwa tersebut Nabi Musa as. tetap memperlakukan

saudaranya tersebut secara professional dengan memberikan arahan-arahSan

tugas, sehingga meskipun Nabi Harun as. Adalah saudarannya, ia tetep harus

menjalankan amanah yang akan dipertanggungjawabkan di kemudian hari.

Nepotisme juga dimasukkan dalam kategori korupsi (Ghulul dan khianat).

Inilah puncak pengendalian jiwa dan toleransi hati, yang ditugasi oleh

Tuhannya untuk memimpin manusia dan mendidik kemanusiaan untuk

mendaki kemuliaan. Inilah tanggung jawab Pemimpin yang menuntut orang-

orang yang beriman untuk mengesampingkan kepentingan pribadi dan

melupakan deritanya sendiri untuk maju kedepan menjadi teladan di dalam

mengaktualitaskan islam didala prilakuku.

34
Ibid., h. 136
37

4. QS. Thaha/20: 29-32.

            

   

Terjemahnya:
“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari Harun saudaraku,
teguhkanlah hatinya kekuatan, dan jadikanlah dua sekutu dalam
urusanku.” 35

Setelah bermohon penyempurnaan berkaitan dengan pribadinya, kini

Nabi Musa as, bermohon pengukuhan melalui keluarganya. Nabi musa

melanjutkan permohanan dengan berkata: dan jadikanlah untukku secara halus

seorang pembantu dari keluargaku, agar dapat meringankan sebagian tugas

yang Engkau bebankan kepadaku. Pembantu yang kuharapkan itu adalah

harun, saudaraku, teguhkanlah dengannya, yakni dengan mengangkatnya

sebagai pembantu kekuatan dalam menghadapi segala urusan, khususnya yang

berkaiitan dengan dakwah, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, yakni

selalu menyertaiku dalam penyampaian risalah-Mu.

Kata (wazir) wazir terambil dari kata (wizr) wizr yang berarti beban

yang berat. Karena itu dosa dinamai dengan wazir, karena dia memikul beban

yang berat. Nabii Musa meminta pembantu yang berasal dari an menjadi

teman keluarganya, yaitu saudaranya Harun. Ia tahu kepasihan saudaranya,

keteguhan hatinya, dan ketenangan temperamennya. Sedangkan Nabi Musa

memiliki emosi tinggi, mudah tersinggung, dan cepat naik darah. Ia meminta
35
Ibid., h. 261
38

kepada Tuhannya agar saudaranya dapat membantunya, menopong dan

mempertinggi posisinya, dan menjadi teman untuk bertukar pikiran dalam

urusan-urusan besar.36

Meminta agar Harun dijadikan Nabi, karena kenabian adalah anugerah

ilahi yang tidak dianugerahkan berdasar permohonan, tetapi berdasar

kebijaksanaannya sejak semula. Permohonan Nabi Musa as, tersebut berkaitan

dengan beban-beban tugas kenabian, yang tentu saja banyak dan beraneka

ragam, yang antara lain dapat dipikul oleh kaum beriman. Nabi Muhammad

saw. bertugas menyampaikan risalah, lagi menjelaskannya dengan ucapan dan

perbuatan serta membawa rahmat bagi seluruh alam. Tugas ini harus pula di

emban oleh ummatnya sekuat kemampuan masing-masing, tanpa menjadikan

setiap mukmin seorang nabi utusan Allah, agaknya itulah yang dimohonkan

Nabi Musa as, dan memang begitu saja beliau tidak khawatir atau cemas

menerima wahyu ilahi. Itu adalah kehormatan dan kenikmatan ruhani, tetapi

konsekuensi dari perolehan wahyu itu yang beliau sadari beratnya sehingga

memohon permohonan-permohonan diatas. Ini dikuatkan juga oleh lanjutan

ayat di atas yang menyatakan bahwa teguhkanlah dengan kekuatanku, dan

jadikanlah dia sekutu dalam urusanku seperti makna yang dikemukakan di

atas.37Begitu juga dalam surat al-Tahrim ayat 6:

36
. Tafsir, fi Zhilalil Quran, vii, h. 400
37
. Tafsir Al-Azhar, h. 125
39

           

          

Terjemahnya:
“Hai orang-oranng yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu,
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-n-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Di dalam ayat tersebut seakan-akan kita diperintahkan oleh Allah


untuk berbuat nepotisme karena kita diperintahkan untuk menjaga keluarga
kita saja dari api neraka sedangkan yang lainnya tidak. Hal tersebut bukanlah
yang tergolong nepotisme karena perintah tersebut diturunkan hanya pada
lingkup keluarga saja, bukan pada lingkup masyarakat luas, padahal yang
dikatakan nepotisme adalah mendahulukan/ mementingkan keluarga atau
orang yang dekat dari pada orang lain. Hal itu berarti nepotisme terjadi bila
ada unsur, yaitu keluarga dan orang lain. Nepotisme tidak akan pernah terjadi
kalau yang didalam institusi yang dinamakan keluarga saja, bagaimana akan
berbuat nepotisme kalau yang didalam institusi tersebut hanya ada anggota
keluarga saja tanpa adanya orang lain yang menjadi saingan.
Adapun Allah memerintahkan kita hanya menjaga diri kita dan
keluarga kita saja dari neraka karena setiap orang mempunyai keluarga
sendiri, dan mereka harus menjaga keluarga mereka sendiri-sendiri, adapun
bila ada orang yang hanya sebatang kara hidup di dunia ini berarti ia
berkewajiban menjaga dirinya sendiri dari api neraka. Selain itu menjaga diri
dan keluarga dari api neraka adaslah tugas/beban yang sangat berat dan sangat
menakutkan, sebab nerak telah menantin ya disana, dan dia beserta
keluarganya terancam dengannya. Maka merupakan kewajiban membentengi
dirinya dan keluarganya dari neraka ini yang selalu mengintai dan
40

menantinya.38 Oleh karena itulah mengapa Allah hanya memerintahkan untuk


menjaga diri dan keluarga saja, dan bagaimana mungkin bisa menjaga suatu
masyarakat luas dari api neraka kalau tidak bisa menjaga diri dan kaluarga
sendiri dari api neraka.
Oleh karena itu meskip[un harus dibenci oleh keluarganya, keadilan
harus tetap ditegakkan. Sebagaimana yang dilakukan oleh „Umar ibn Abd al-
Aziz‟ yang menegakkan dengan mengembalikan hak rakyat yang sebelumnya
digunakan secara sewenang-wenang oleh keluarga dinasti umayya, sehingga
banyak kerabatnya yang kemudian tidak lagi mendapatkan tunjangan dari
kerajaan. Padahal sebenaarnya mereka mendapatkan tunjangan itukarena
mereka adalah kerabat raj, bukan karena mereka memegang jabatan publik.
Hal tersebut berakibat tragis dengan kematian „Umar ibn Abd al-Aziz yang
diracuni oleh kerabatnya sendiri.39

38
. Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Quran, h.337.
39
Muhammad Ibrahim Qutb, As-siyasah al-Maliyah li „Umar ibn Abd Aziz, (Mesir: al-Hai-ah
al-Misriyyah al-Amanah li al-Kitab,1988), h. 48
41

BAB III

WUJUD NEPOTISME PERSPEKTIF AL-QUR’AN

A. Hukum Nepotisme

Nepotisme adalah suatu sikap atau tindakan seorang pemimpinan yang lebih

mendahulukan keluarga dan sanak keluarga dalam memberikan jabatan dan yang lain,

baik dalam birokrasi pemerintahan biasa dalam manajemen pemerintahan maupun

dalam pemerintahan perusahaan swasta.

Menurut ajaran Islam seorang peminpin tidak boleh memberikan jabatan

strategis kepada seseorang semata-mata atas dasar pertimbangan hubungan

kekerabatan atau kekeluargaan, padahal yang bersangkutan tidak mempunyai

kemampuan dan profesionalisme, atau tidak bersifat amanah dalam memegan jabatan

yang diberikan kepadanya, atau ada orang lain yang berhak dari padanya.

Uraian di atas dapat dipahami bahwa nepotisme yang dilarang oleh ajaran

islam adalah nepotisme yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan keluarga

atau sanak family dengan tanpa memperhatikan kemampuan dan profesionalisme

serta sifat amanah seseorang yang akan diberi jabatan. Adapun Nepotisme yang

disertai dengan pertimbangan kemampuan dan profesionalisme serta sifat amanah

seseorang yang akan diberi jabatan, maka hal itu tidak di larang. Sebagaimana

sabdanya:

41
42

‫حدثناحممدبنبشارحدثناغندرحدثناشعبةقالسمعتقتادةعنأنسبنمالكعنأسيدبنحضريرض‬
‫ياللهمعنهممأنرجالمناألنصارقاليارسوالللهأالستستعملنيكماسستعملتلالناقالستلقونبعدي‬
1
‫أثرةفاصربوسحتىتلقونيعلىاحلوض‬
Artinya:

“…Dari Usaid bin Hudhair, seoang laki-laki Anshar berkata kepada Nabi
“Wahai Rasulullah, tidakkah kau mengangkatku jadi pegawai sebagaimana
engkau telah mengangkat sifulan”. Rasulullah menjawab “Engkau akan
menemukan sepeninggalku orang-orang yang mendahulukan diri sendiri,
maka bersabarlah hingga engkau bertemu denganku di telaga (surga).”

Dalam hadis ini, terdapat term ‫أثرة‬yang berasal dari akar kata ‫ أثر‬yang

berarti‫إختارلنفسه دونهم‬2(mengutamakan dirinya atas orang lain). Makna ini, walau

dalam redaksi yang berbeda, dikemukakan pula dalam salah satu syarah Sunan al-

Turmudziy. Dalam syarah al-Turmudziy itu disebutkan bahwa makna dari term ‫أثرة‬

adalah ‫ يفضل نفسه‬.3

Dari makna akar katanya tersebut, maka kata ‫ أثرة‬dapat diartikan dengan

mengutamakan kepentingan diri sendiri (individualistis) dan bila dikaji lebih jauh

1
Shahih al-Bukhari, kitab al-Manaqib bab Qaul al-Nabi li al-Anshar Ishbiru. Op.Cit. Jilid 3 hal.
1381. Begitu juga dalam Shahih Muslim Kitab al-Imarah bab al-Amr bi al-Shabri ‘inda al-
Zhulm…Op.Cit. Jilid 6 hal. 19, Abu Isa Muhammad bin Isa al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, Kitab
al-Futan ‘an Rasulillah bab fi al-Itsrah (Bairut: Dar Ihya’ al-Turatz al-‘Arabi, t. thn), Jilid 4 hal. 482,
Abu Abd Rahman Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, kitab Adab al-Qudhah bab Tark
Isti’mal Man Yahrish ‘ala al-Qadha’ (Bairut: Dar al-Ma’rifah, Cet. V, 1420 H.), dan Musnad
Ahmad,MusnadAisyah bin Abi Bakar. Op.Cit. Jilid 4 hal. 351. Sedangkan status hadis tersebut shahih
sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Isa al-Turmudzi dalam Sunan al-Turmudzi, Jilid 4 hal. 482,
2
Louis Ma'louf, Al-Munjid fi al-Lughah (Cet. XII; Beirut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 3.
3
Abu 'Aliy Muhammad 'Abd al-Rahman al-Mubarakfuriy (al-Mubarakfuriy), Tuhfat al-
Ahwadziy liy Syarh al-Turmudziy (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz.VI, h. 359.
43

maka kata itu pun dapat dimaknai dengan "menganut sistem famili

(nepotis)."Menurut Hassan Sadiliy, praktek dari sikap nepotis merupakan

kecenderungan untuk memberikan prioritas kepada sanak famili dalam hal pekerjaan,

jabatan, dan pangkat di lingkungan kekuasaan.4

Kalau melihat syarh hadis tersebut, diketahui bahwa nama orang Anshar yang

bertanya kepada Nabi tersebut adalah Usayd ibn 'Umayr.5 Sedangkan si-fulan yang

disebutkan dalam materi hadis adalah 'Amr ibn al-'Ash yang pernahditunjuk oleh

Nabi untuk menjadi gubernur di Yaman6. Pada masa Rasul jabatan gubernur meliputi

segala bidang termasuk mengurusi persoalan zakat.Pengangkatan Nabi terhadap 'Amr

ibn al-'Ash memang terkesan nepotis. Akan tetapi, hal tersebut didasarkan atas

kapabilitas dan loyalitas yang dimiliki oleh 'Amr.

Dari pemaparan di atas, penekanan hadis ini adalah bagaimana memberikan

tugas kepada orang yang kompoten dan tidak memberikannya kepada orang yang

meminta jabatan tersebut.7 sekaligus informasi dari Nabi bahwa suatu saat nanti, akan

muncul kelompok yang suka melakukan nepotisme, maka pada saat itulah, setiap

orang membutuhkan kesabaran agar tetap selamat dunia dan akhirat.

4
Hasan Sadiliy, Ensiklopedia Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1983), h. 2361.
5
Lihat al-Hafidz Ahmad ibn 'Aliy ibn Hajr al-'Asqalaniy, Fath al-Bariy bi Syarh Shahih al-
Bukhariy (Beirut: Dar al-Ma'rifah, t. th.), juz V, h. 117-118.
6
Al-'Asqalaniy, Fath al-Bariy. Op.Cit. Juz V, h. 117-118.
7
Oleh karena itu, Imam al-Nasa’i mengkhususkan hadis tersebut dalam satu bab yang berjudul
tidak memberikan jabatan kepada orang yang menginginkan karena salah satu indikasi seseorang itu
tidak kompoten dan tidak bertanggung jawab terhadap jabatannya adalah meminta atau memaksakan
kehendak untuk menjadi pejabat. Baca: Sunan al-Nasa’i, kitab Adab al-Qudhah bab Tark Isti’mal
Man Yahrish ‘ala al-Qadha’. Op.Cit. Jilid 1 hal. 16.
44

Oleh karena itu, sangat wajar jika seorang pemimpin pemerintahan atau

perusahaan swasta atau yang lain, lebih senang memberikan jabatan-jabatan strategis

kepada keluarga atau orang yang disenanginya serta lebih mementingkan dan

mengutamakan mereka dalam segala hal dibanding dengan orang lain yang tidak

mempunyai ikatan apa-apa.

B. Karakteristik Nepotisme

Dengan melihat penjelasan dalam pengertian nepotisme, maka dapat diberikan

karekteristik nepotisme sebagai berikut:

1. Tidak beriman. Nepotisme adalah sebuah kejahatan karena merampas hak orang

lain dan memberikannya kepada kerabat atau sanak famili yang tidak layak

mendapatkannya. Salah satu pendorong seseorang untuk melakukan kejahatan

adalah karena tidak memiliki iman pada saat melakukan hal tersebut. Karena

dengan iman, setiap orang meyakini bahwa ia selalu diawasi oleh Yang

Mahakuasa, sehingga tidak akan melakukan hal-hal yang negatif apalagi dosa

besar. Hal itu sesuai firman Allah swt. dalam QS. al-Taubah/9:23.




Terjemahnya:
‚Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-
saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran
atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, Maka
mereka Itulah orang-orang yang zalim.‛8

8
Departemen Agama R.I., Al-Qur’ā n dan Terjemahnya (Bandung: PT. Syamil Cipta Media,
2005), h. 190.
45

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof Dr. Said Aqil
Siradj mengatakan, perbuatan zina merupakan dosa besar. Namun, melakukan
Nepotisme dosanya jauh lebih besar, karena dampak dari perbuatan itu lebih
besar dan menyangkut masyarakat luas, yakni bangsa Indonesia. "Ya, zina itu
dosa besar, tapi dosa korupsi itu lebih besar lagi karena berkaitan dengan hak
anak Adam dan dampaknya yang sangat besar." 9
2. Tidak amanah (jujur) dan tidak bertanggung jawab (kompoten)

Nepotisme berkaitan dengan rekrutmen. Dalam rekrutmen, ada dua

syarat menurut ajaran Islam yaitu kemampuan dan kejujuran.10Uji kelayakan

dan kepantasan(fit and proper test) yang sekarang dilakukan bagi calon pejabat

tertentu sejalan dengan semangat yang diajarkan al-Qur’an itu.

Berbagai jenispekerjaan atau jabatan jelas menuntut kemampuan yang

berbeda,akan tetapi apapun pekerjaan atau jabatan seseorang, dia harus

memiliki kejujuran dan tanggung jawab, yaitu sikap yang menghormati norma

dan hukum yang berlaku. Negara akan aman dari segala jenis kejahatan,

termasuk nepotisme, jika pejabat-pejabatnya berlaku jujur.

Rekrutmen yang tidak sehat banyak terjadi karena pejabat yang

bersangkutan tidak memiliki amanah dan tanggung jawab. Padahal selayaknya

sebuah amanah kekuasaan wajib dijalankan dengan sangat hati-hati dan

bertanggung jawab. Karena hal itu menyangkut pemberian kepercayaan

bukanhanya dari rakyat, melainkan juga dari Allah swt. sebagai pemberi

amanah.

9
Mujahid, Nepotisme Bahaya Dunia Akhirat (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), h.20.
Baca QS. al-Qashash /28: 26; ُ‫َن اسْ َتأْجَ رْ تَ ْال َق ِويُّ ْاْلَمِين‬
10 ْ ِ ‫ت إِحْ دَا ُه َما يَا أَ َب‬
ِ ‫ت اسْ َتأ ِجرْ هُ إِنَّ َخ ْيرَ م‬ ْ َ‫َقال‬
46

3. Melakukan kezhaliman

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa rekrutmen jabatan itu

melalui ketentuan-ketentuan yang telah disepakati. Oleh karena itu, menyalahi

kesepakatan itu dengan menunjuk keluarga yang tidak lolos fit and proper

testmerupakan sebuah kezhaliman karena merampas hak orang lain.

Utamakanlah orang yang suka memperbaiki tingkat kemahiran dan pelayanan

mereka kepada masyarakat. Pilihlah daripada golongan pemalu dan warak

serta mulia akhlaknya dan tidak tamak kepada pangkat dan kemuliaan serta

lebih teliti dalam setiap tindak tanduknya”.11

4. Melakukan kebohongan publik

Termasuk krakter nepotisme itu adalah suka melakukan kebohongan

publik, dimana pelakunya menutup-nutupi atau membatasi hak-hak orang lain

dengan tidak mengakses atau mengumumkan secara terbuka sehingga orang

lain tidak dapat mengetahui hal itu. Semisal ada sebuah lowongan kerja atau

kekosongan jabatan atau beasiswa kemudian hanya diumumkan kepada

keluarga atau kepada sejawatnya.

5. Tidak memiliki akhlak

Kejahatan yang terjadi di seluruh pelosok dunia tidak lepas dari

kemorosotan atau ketidakadaan akhlak. Indonesia misalnya terjadi

peningkatan kejahatan itu karena akhlak sudah amat langka ditemukan pada

11
M. Shabri Abd Majid, Pemimpin Masa Depan Aceh Yang Lebih Ideal(dikutip dari internet
www.hannanan@yahoo.com.tanggal akses 28-02-2013).
47

penduduk atau warga Negara. Oleh karena itu, keberhasilan dakwah

Rasulullah karena menggunakan pendekatan akhlak sehingga Nabi

mengatakan “Aku diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak”12.

Di samping itu, pejabat yang tidak punya malu akan melakukan apapun

sesuka hatinya. Hal itu sesuai dengan pesan Nabi “Jika kamu tidak malu,

lakukan apa saja sesukamu”. Di antara akhlak yang tidak terpuji adalah tidak

malu meminta jabatan padahal dia tidak layak untuk mendudukinya. Sebab

orang yang meminta atau menginginkan jabatan tentu memiliki motivasi atau

tujuan-tujuan tertentu yang dapat merusak tujuan utama dari sebuah jabatan

yaitu kemaslahatan kepada seluruh umat yang dipimpin, bukan terbatas

kepada keluarga semata.

C. Penyebab dan Faktor Pendorong Terjadinya Nepotisme

Praktek KKN biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan,

mereka melakukan tindakan KKN karena adanya kesempatan. Hal itu dapat diperkuat

dengan dalil yang dikemukakan oleh Lord Action tentang kekuasaan, yang
menyatakan bahwa, “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts

absolutely,” artinya manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk

menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tidak

terbatas pasti akan menyalahgunakan. Maka dari itu di Indonesia banyak pejabat

Negara yang terlibat dalam tindak korupsi, kolusi, dan Nepotisme (KKN). KKN telah

melandah seluruh lapisan pemerintahan mulai dari yang paling rendah hingga ke

12
Teksnya terdapat dalam kitab Muwattha’ Malik kitab al-Jami’ bab Annahu Qad Balagah.
Op.Cit. Jilid 2 hal. 904 dan Musnad Ahmad kitab Musnad Abi Hurairah, Op.Cit. Jilid 2 hal. 381
48

tingkat atas, yaitu presiden. Bahkan institusi yang ditunjuk pemerintah untuk

menangani dan mengawasi KKN Justru ikut larut dalam arus KKN. Adapun

perjadinya tindak KKN adalah13:

a. Munculnya paham materialism, dengan paham munculnya materialism dalam

kehidupan masyarakat maka dapat menimbulkan cara berfikir yang hanya

memandang kebendaan atau materi. Sehingga segalah sesuatu akan diukur

dengan materi.
b. Moral dan akhlak yang rendah, Rondahnya moral dan akhlak masyarakat akan

menimbulkan pandangan hidup yang hanya mementingkan keduniawian saja,

sehingga muncullah hedonism. Akhlak yang rendah akan menurunkan tingkat

rasa malu pada individu, sehingga jika ia mengambil uang atau hak dari orang

lain akan merasa biasa-biasa saja soal tidak pernah melakukan pelanggaran.

c. Nafsu keserakahan, rasa keserakahan akan menimbulkan rasa yang tidak

akan kunjung puas untuk memilikih suatu benda maupun materi dalam dalam

bentuk uang. Dengan adanya keserakahan dapat pula membutakan mata hati

seseorang, sehingga bisa saja memperoleh rezeki dengan cara yang tidak mahal.

Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat menimbulkan beberapa


kerugian bagi Negara, kerugian yang sangat dirasakan oleh Negara adalah kerugian

dalam ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi KKN telah mengakibarkan kurang

optimalnya pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh Negara. Hal itu disebabkan

hasil yang diperoleh Negara menjadi lebih kecil dari seharusnya dapat dicapai. Di

samping itu muncul pula ketidakadilan dalam pemerataan hasil pembengunan serta

ketidak adanya keadilan dalam pemberian kesempatan untuk melakukan kegiatan

13
Mujahid,op. cit., h. 24.
49

ekonomi. Hal tersebut dapat terjadi dengan cara pemberian fasilitas yang istimewa

kepada pihak tertentu sehingga dapat menutup peluang bagi pihak yang lain. Hal ini

disebabkan oleh factor-faktor sebagai berikut:

a. Pada umumnya, kerabat memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar terhadap

pekerjaannya dibandingkan dengan orang lain.

b. Pada umumnya, keluarga menaruh perhatian dan minat yang lebih besar

dibandingkan dengan orang lain.


c. Pada umumnya keluarga memiliki loyalitas dan kehandalan (dependability) yang

lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain.

d. Pada umumnya keluarga lebih mampu melaksanakan kebijakan-kebijakan

secara efektif dibandingkan dengan orang lain.

e. Jika keluarga yang diberi jabatan tertentu mampu melaksanakan tugas dan

tanggung jawab dengan baik, maka akan mendorong semanga kerja orang lain.
50

BAB IV

URGENSI NEPOTISME DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

A. Pengaruh Nepotisme dalam Kehidupan Masyarakat

1. Pengaruh Nepotisme di Dunia Islam

Seperti sebuah simpul yang pecah, Ketika Nabi Muhammad saw wafat,

Umat Islampun mulai bertumbangan, masing-masing saling berebutan

kekuasaan, yang satu menamakan demokrasi, yang satunya lagi mendahulukan

keturunan (Nepotisme) tidak heran 50 Tahun setelah Nabi Muhammad saw

wafat, orthodoksi Islam mulai retak. 1

Seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Usman bin Affan yang

semula Harum itu, berakhir tragis. Enam tahun kedua masa pemerintahannya

diwarnai dengan pemberontakan, yang berakhir dengan terbunuhnya Sang

Khalifah. Strategi ini berawal dari kecenderungan Usman yang sangat Nepotis.

Pejabat-pejabat tinggi Negara yang diangkatnya. Umumnya adalah anggota

keluarga, kerabat dan sahabat dekat khalifah. Diawali dengan pengangkatan

Mu’awiyah bin Abi Sofyan, sepupunya, menjadi Gubernur Mesir. Belakangan,

Mu’awiyah tercatat sebagai pendiri dinasti Bani Umayyah. 2

1
Sjafri Sairin, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN):Tinjauan Budaya, dalam Edy Suwandi
Hamid dan Muhammad Sayuti(ed) (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), h. 19.
2
Mujahid, Nepotisme Bahaya Dunia Akhirat (Jakarta: Bulan Bintang, 2011), h. 30.

50
51

Diantara pengaruh praktek nepotisme yang “dirintis” Usman bin

Affan diantaranya3:

a. Islam terpecah belah, baik secara politik maupun ediologi.

b. Dari segi politik, Kekuasaan Islam berpindah-pindah

tangan dari satu dinasti dari dinasti lainnya. Sehingga

selain Bani Umayyah, kita juga mengenal dinasti

Abbasiyah, Hasyimiyah, Fathimiyah, hingga Usmaniyah.

c. Dari segi ideology di akhir pemerintahan Usman bin Affan, terjadinya

perseteruan antara Sunni (Ahli Sunnah Waljama’ah) dengan Syi’ah (pengikit

Ali ban Abi Thalib)

Syi’ah sendiri juga mengalami keretakan dengan timbulnya aliran baru

bernama Ismailis, Pada abad 11 dan 12, kaum Ismailis inilah yang melancarkan

terror dari pegunungan Persia dan Syria dengan membunuh sesame Islam, baik

orang awam, jendral, ulama bahkan khalifah. Sebelum melancarkan kampanye

pembantaian ini mereka terkenal selalu menggunakan “ makanan surga” yaitu

Hashis, akibatnya klik Ismailis ini dinamakan Hashshasin, atau pemakan hashis,

orang Barat mengambil kosa kata ini menjadi Assassin.4

Perseteruan antara Sunni dengan Syi’ah, berawal dari pembangkangan

Gubernur Mesir, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang tidak mau mengetahui

3
Ibid.
4
Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum(Riyad: Makhtabah Dar al-Salam,
1414 H./1994 m.) hal. 463.
52

kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (khalifah keempat dan terakhir Khulafaur

Rasyidin, pengganti Uman bin Affan). /Mu’awiyah, yang merupakan kerabat dekat

Usman bin Affan itu, mendaulat dirinya sendiri menjadi Khalifah sebagai

pengganti dari Usman bin Affan, dan menyatakan perang terhadap Ali bin Abi

Thalib. Keluarga Ali dikejar-kejar, hingga kemudian dibantai di pandang Karbala,

Irak, oleh Yasid bin Mu’awiyah.

Betapa sejarah Islam telah memberikan pelajaran yang sangat berharga

dalam perkara nepotisme ini. Kecelakaan sejarah yang terjadi pada masa Khalifah

Usman bin Affan, telah membuat kaum Muslim tidak pernah bisa bersatu hingga

kini. Walaupun memang ada hikmah lain yang muncul dari balik tragedi itu. Yakni

semakin beragamnya dunia Islam, baik dalam segi politik maupun ideologi, penuh

warna-warni, seperti pelangi.

2. Pengaruh Nepotisme di Indonesia

Keterpurukan yang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini pada bidang

ekonomi, politik, sosial-budaya dan bidang hukum berasal dari suatu penyakit

yang telah lama menggorogoti tubuh bangsa Indonesia, penyakit tersebut adalah

korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). KKN kini telah menjadi suatu hal yang

wajar terjadi di Indonesia bahkan dapat dikatakan bahwa KKN telah membudaya

dalam masyarakat. Hal tersebut dikuatkan dengan dengan adanya tradisi dalam

masyarakat yang dimulai pada zaman kerajaan, tradisi tersebut adalah penyerahan

upeti kepada raja atau ratu. Tredisi tersebut hingga sekarang masih banyak
53

dilakukan oleh masyaraat. Padahal dari tradisi tersebut dapat muncul suatu tindak

KKN.

Keberadaan nepotisme sebetulnya lebih banyak menimbulkan pengaruh

negative baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang terhadap

perkembangan kualitas kehidupan bermasyarakat dalam bernegara, diantarah

pengaruh Nepotisme bagi kehidupan masyarakat atau kepentingan umum:

a. Orang tidak lagi serius meningkatkan kualitasnya, dan dianggap tidak ada

gunanya bila tidak memiliki latar keluarga atau kolegan yang memegang suatu

jabatan.

b. Menambah deretan pengangguran, yang pada akhirnya memperbesar potensi

lahirnya kecemburuan sosial.

c. Kemerosotan tingkat kesejahteraan masyarakat secara ekonomi.

d. Memudahkan terjadinya “kolusi” yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya

tindak pidana korupsi.

e. Akan terjadi ketimpangan dan kesenjangan dalam masyarakat.

f. Menyebabkan persepsi yang salah dari masyarakat terhadap birokrasi. Birokrasi

dalam pengertian sehari-hari dihentikan dengan ketidakefesienan atau

keruwetan (red tape) dalam pemerintah.

Dalam proses rekrutme politik pengaruh Nepotisme adalah:

1. Tidak kunjung melembaganya partai sebuah organisasi modern dan

demokratis.
54

2. Menutup peluan para kader atau aktivis partai yang benar-benar berjuang

meniti karier politik dari bawah.

3. Menjadi perangkat berkembang biaknya personalisasi kekuasaan dan

kepemimpinan oligarkis partai-partai.

4. Semakin melembaganya pratik korupsi politik dalam arti luas.

5. Mengambil hak politik para kader dan aktivis partai, pada akhirnya yang

menjadi korban berikutnya adalah rakyat melalui korupsi berjemaah atas

dana publik.

B. Dampak Nepotisme Dalam Kehidupan Masyarakat

Islam diturunkan Allah swt. Adalah untuk dijadikan pedoman dalam menata

kehidupan umat manusia, baik dalam berkeluarga, masyarakat, dan bernegara.

Aturan atau konsep itu bersifat “mengikat” bagi setiap orang yang mengaku

“muslim” konsep islam juga bersifat totalitas dan komprihensif, tidak boleh dipilah-

pilah seperti yang dilakukan kebanyakan rezim sekarang ini. Mengambil sebagian

dan membuang bagian lainnya, adalah sikap yang tercela dalam pandangan islam

salah satu aturan islam yang bersifat individual, adalah mencari kehidupan dari

sumber-sumber yang halal, islam mengajarkan kepada ummatnya agar dalam mencari

nafka kehidupan, hendaknya menempuh jalan yang halal dan terpuji dalam

pandangan syara’.5

Masyarakat masih dilema menyikapi Nepotisme, sebagian mereka

menganggap bahwa penunjukan keluaga meskipun kompoten di bidangnya tetap


5
Ibid.
55

dikatakan nepotisme. Sedangkan sebagian yang lain berfikiran bahwa bukan sebuah

nepotisme jika mengangkat kerabat dekat yang memenuhi kompotensi. Namun

bagaimana dengan islam, khususnya Hadis yang menjadi salah satu sumber utama

ajaran islam. prinsip apa yang ditanamkan dalam hadis, apakah soal kempotensi

seseorang atau sesuatu jabatan ataukah ada tidaknya hubungan kekerabatan. Padahal

jika prinsip “kekerabatan” sebagai landasan, secara rasional barangkali sikap ini

kurang obyektif. Hanya gara-gara hubungan kerabat, seseorang tidak berhak

mendapatkan haknya, padahal ia berkompeten dalam urusan itu.

Robin Fox dalam bukunya Kinship and Marriage menyatakan bahwa salah

satu ciri dari negara-negara yang sedang berkembang adalah meluasnya praktek

nepotisme di kalangan masyarakat. Hal ini berbeda dengan masyarakat Negara-

negara maju yang dapat menutup peluang Nepotisme itu dengan melaksanakan

berbagai peraturan secara ketat dalam kehidupan masyarakat. 6

Nepotisme itu pada hakikatnya adalah mendahulukan dan membuka peluang

bagi kerabat atau teman teman dekat untuk mendapatkan fasilitas dan kedudukan

pada posisi-posisi yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan, tanpa

mengindahkan yang berlaku, sehingga menutup peluang bagi orang lain. Praktek

nepotisme tidak dapat dikaitkan kepada pihak swasta yang memberikan kedudukan

kepada anak dan keluarganya, istilah ini hanya digunakan kepada birokrasi

pemerintahan .

6
Sjafri Sairin, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN):Tinjauan Budaya, dalam Edy Suwandi
Hamid dan Muhammad Sayuti(ed),op. cit., h. 344.
56

Nepotisme dapat muncul karena berbagai alasan, antara lain berkaitan dengan

nilai-nilai budaya masyarakat yang begitu kuat menurut anggota kerabat yang sukses

untuk membantu kerabat lain yang membutuhkan pertolongan. Dalam persaingan

yang tajam dalam masyarakat seperti yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia akhir-

akhir ini, kecenderungan untuk melakukan nepotisme menjadi praktek keseharian

masyarakat. Kecenderungan itu akan semakin menjadi-jadi jika kesempatan yang

ditawarkan dalam institusi pemerintahan tidak terbuka kepada publik, ketertutupan itu

telah menyebabkan peluang orang untuk melakukan nepotisme semakin terbuka.

Apabilah seorang pelamar tidak memiliki keluarga di birokrasi, maka ia akan

berusaha mencari “keluaga” yang dapat membantunya, Para calon yang berada dalam

birokrasi sering bertindak sebagai “keluarga” dengan imbalan keuntungan materi dari

bantuan yang diberikannya.

Oleh karena itu, dalam praktek yang lebih luas nepotisme akhirnya

berkembang menjadi praktek kolusi. Praktek kolusi dan nepotisme sering dikeluakan,

tapi sukar untuk dibasmi. Banyak yang menyadari bahwa praktek seperti itu tidak

sesuai dengan tuntutan keadilan dan kehidupan “modern”, tetapi tetep mereka tidak

mampu untuk mengubahnya. Di sini ada semacam kewajiban yang harus dipenuhi

oleh mereka yang sukses dalam birokrasi untuk membantu kerabatnya, karena kalau

tidak ia akan mendapat sanksi sosial dari komunitasnya.

Melihat akan hal itu, sebenarnya praktek kolusi dan nepotisme tidak berdiri

sendiri. Prakrek itu sebenarnya berkaitan pula dengan orientasi nilai budaya
57

masyarakat, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan system gagasan atau ide tentang hal-

hal apa yang bernilai dan tidak bernilai dalam kehidupan.

Dorongan pada praktek kolusi dan nepotisme itu menjadi semakin kuat

dengan semakin menebalnya paham materialism dalam kehidipan masyarakat akhir-

akhir ini. Orang selalu berpikir dan bermimpi untuk memperoleh sesuatu yang

bersifat kebendaan, terutama produk teknologi baru yang diimpor dari negara-negara

maju, yang sudah begitu jauh merambah kejantung ke hidupan masyarakat. Hal

tersebut menyebabkan munculnya sebagai bentuk kehidupan yang mengarah kepada

instsnt culture dan hedonism. Secara simbolik, model kehidupan seperti itu telah

memberikan isyarat akan rasa haus masyarakat yang tidak kunjung terpuaskan untuk

memilih benda-benda teknologi yang tidak putus-putusnya menginterverensi

kehidupan masyarakat.

Mengiringi meningkatnya paham materialism itu, masyarakat menemukan

jalan untuk memuaskan dahaganya itu melalui mentalitas nrabas yang telah berakar

lama dalam jantung kehidupan masyarakat Indonesia. Pada masa awal pemerintahan

orde baru, Koentjaraningrat telah meningkat tentang bahaya dari mentalitas nrabas

yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, karena mentalitas seperti itu mempunyai

potensi kuat untuk merintangi usaha pembangunan yang sedang dilakukan. 7

Hal ini terutama karena mereka yang mempunyai mentalitas nrabas akan

selalu menghindari kerja keras, disiplin tinggi, dan rasa tanggung jawab. Mereka

7
Ibid., h. 37
58

lebih suka mencari jalan pintas walaupun harus melakukannya dengan cara

melanggar etika dan aturan daripada bekerja keras. Untuk memudahkan mendapatka

kedudukan, lalu orang membentuk organisasi anak-anak pejabat. Dengan ini, mereka

mempunyai akses dengan mudah untuk mencapai tujuannya. Praktek darri mentalitas

inilah yang antara lain menyebabkan banyak orang yang tertarik dengan nepotisme.

Larangan nepotisme tidak berarti standar “tertutup bagi anggota keluarga”,

tetapi memang melarang pegawai negeri menggunakan atau menyalagunaskan

kedudukannya dalam lembaga publik untuk memberikan pekerjaan bagi anggota

keluarganya.8 Tujuan larangan itu bukan untuk mencegah pegawai negeri

mendahulukan anggota keluarga, dalam menggunakan wewenang subjektif, atas

nama publik, untuk menerima orang yang memenuhi syarat sebagai pegawai

administrasi publik.

Pada sektor publik, nepotisme berarti calon yang paling memenuhi syarat

tidak memperoleh kedudukan atau kenaikan pangkat, dan mengakibatkan seluruh

masyarakat menderita akibatnya, di samping orang yang dapat meraih kedudukan itu,

seandainya tidak ada nepotisme. Atau nepotisme dapat pula berarti, peserta tender

yang mengajukan penawaran yang tinggi justru yang mendapat kontrak pemerintah,

yang dibayar dengan uang pajak rakyat.

Nepotisme dapat menimbulkan konflik loyalitas dan organisasi, terutama bila

salah seorang keluarga di tempatkan sebagai pengawas langsung di atas anggota

8
Jeremy pope, Srtategi Memberantas Korupsi: Element Sistem Integritas Nasional, terj. Masri
Maris, edisi 1 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 362.
59

keluarga yang lain. Rekan kerja tidak mungkin akan merasa nyaman dalam situasi

seperti itu, karena hasil seperti ini harus dihindari.

Nepotisme itu sendiri berdampak yang sangat negatif bagi kelangsungan satu

bangsa. Nepotisme beriringan dengan korupsi, karena nepotisme itu sendiri dapat

dikatakan merupakan varian dari tindak korupsi.

Nepotisme bukan termasuk istilah hukum. Tiada satupun ketentuan detik

dalam Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana Korupsi, KUHP dan undang-

undang pinana lain yang mengancam pidana terhadap perbuatan berkolusi dan

nepotisme itu. Dua istilah tersebut lebih merupakan istilah sosiologis dan bukan

istilah hukum,Lebih merupakan suatu social essue ketimbang lega essue.9

Berdasarkan penjelasan tersebut, Nepotisme melanggar standar nilai-nilai

universal, yaitu keadilan, persamaan hak, dan keseimbangan, serta menggunakan cara

yang tidak sah mencari harkat dan jabatan.

C. Sanksi-sanksi Pelaku Nepotisme

Pemerintahan yang baik dan amanah dalam pandangan al-Qur’an dan Hadis

Nabi adalah pemerintahan yang mampu memenuhi hak-hak segenap warga dan

menegakkan keadilan di antara mereka. Oleh karena itu, pemerintahan yang

menjalankan penyelewengan akan mengalami beberapa sanksi, yang berdampak

dalam kehidupan dunia ini, baik sanksi di dunia, terlebih sanksi di akhirat kelak.

9
Ibid ., h. 372
60

Salah satu penyelewengan yang dapat dilakukan oleh para pejabat adalah

melakukan nepotisme. Di antara sanksi yang akan dirasakan oleh orang yang

melakukan nepotisme yaitu sebagai berikut:

1. Laknat dari Allah swt.

Salah satu sanksi yang diperoleh oleh pelaku nepotisme adalah laknat Allah

swt. karena telah memberikan sesuatu bukan pada orang yang berhak sehingga

dianggap sebagai sebuah kejahatan yang menyengsarakan khalayak, merugikan

rakyat, merugikan perekonomian dan manajemen Negara, merendahkan

martabat manusia dan bangsa di mata Allah maupun bangsa-bangsa lain di

dunia ini. Karena sangat membahayakan, maka Hadis melarangnya dan

mengancam pelakunya dengan tegas untuk tidak mendekatinya apatahlagi

melakukannya dengan ancaman tidak diterima segala amal baiknya dan pada

akhirnya dimasukkan ke dalam api neraka, sebagaimana tindakan preventif

ketika Allah melarang mendekati perbuatan zina.

‫حذثنبيزيذبنعبذسبهقبلحذثنببقيتبنبلىليذقبلحذثنيشيخمنقشيشعنشجبءبنحيىةعنجنبدةبنأبيأميتعنيزيذبنأبي‬

‫سفيبنقبلقبألبىبكشسضيبللهمعنهمحينبعثنيئلىبلشبميبيزيذإنلكقشابتعسيتأنتؤثشهمببإلمبسةورلكأكبشمبأخ‬

‫افعليكفئنشسىالللهصلىبللهمعليهىسلمقبلمنىليمنأمشالمسلمينشيئبفأمشعليهمأحذامحبببةفعليهلعنتاللهالي‬

‫قبالللهمنهصشفبوالعذالحتىيذخلهجهنمىمنأعطىأحذاحمىبللهفقذانتهكفيحمىبللهشيئببغيشحقهفعليهلعنتا‬

.‫للهأوقبلتبشأتمنهزمتاللهعزوجل‬

2. Haram masuk surga

Pejabat yang melakukan penipuan seperti nepotisme akan dimasukkan ke dalam

neraka sebagai konsekwensi dari kutukan Allah swt. Hat itu terjadi, karena
61

mereka tidak mengindahkan perintah-perintah Allah dengan melakukan

kezaliman terhadap orang lain.

...‫اليستشعيبللهعبذاسعيتيمىتحينيمىتىهىغبشلهبإالحشمبللهعليهبلجنت‬....

‫وحذثنبأبىغسبنبلمسمعيىمحمذبنبلمثنىىإسحقبنئبشاهيمقبإلسحقأخبشنبوقبالآلخشانحذثنبمعبربنهشبمقبل‬

‫حذثنيأبيعنقتبدةعنأبيبلمليحأنعبيذاللهبنزيبدعبدمعقلبنيسبسفيمشضهفقبللهمعقإلنيمحذثكبحذيثلىالأنيفيبلم‬

‫وتلمأحذثكبهسمعتشسىالللهصلىبللهعليهىسلميقىلمبمنأميشيليأمشالمسلمينثماليجهذلهمىينصحئاللميذ‬
10
‫خلمعهمبلجنت‬

Bahkan dalam konteks yang lebih besar lagi, yang dimaksud dengan tidak

masuk surga di sini, bukan hanya dapat diaplikasikan di akhirat semata akan

tetapi juga dapat direalisasikan di dunia dengan tidak merasakan kebahagiaan,

kenikmatan, keadilan, ketentraman dan kedamaian di muka bumi sebagaimana

yang bisa dirasakan oleh penduduk surga nanti.

3. Bertanggung jawab atas kejahatan di akhirat

Sebagaimana kejahatan-kejahatan yang lain, nepotisme juga akan

dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Yang Maha Kuasa atas kejahatan

yang telah dilakukannya. Pertanggungjawaban itu akan disesuaikan dengan

kejahatan yang telah dilakukan.

10
Musnad Ahmad, Musnad Abi Bakar al-Shiddiq(Beirut: Alam al-Kutub, 1419 H./1998 M.),
1hal. 6. Setelah melakukan pengkajian, maka Hadis ini dhaif karena salah satu sanadnya mubham
(tidak dikenal) sehingga bisa disebut hadis munqathi’.
62

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berbagai penjelasan mengenai nepotisme pada bab sebelumnya dapat

disimpulkan sebagai berikut:

Nepotisme berdampak pada timbulnya suatu komplik loyalitas dalam

organisasi, terutama bila salah seorang keluarga di tempatkan dalam posisi yang

tidak sesuai dengan kemampuannya, sedangkan terdapat keluarga lain yang mampu,

maka hal seperti ini dihindari dan dilarang oleh Islam.

Tindakan nepotisme tidak diperbolehkan menurut al-Qur’an, karena tindakan

tersebut merupakan salah satu bentuk ketidakadilan, baik terhadap dirinya,

kerabatnya, apalagi terhadap rakyat. Hal tersebut disebabkan karena tindakan

nepotisme tersebut tidak menempatkan seseorang sesuai dengan kapasitasnya.

Namun dalam al-Qur’an diperbolehkan memberikan jabatan / hak kepada


60
62
kerabat yang menyangkut urusan public, tetapi lebih karena faktor kompetensi dalam

menyampaikan amanat yang benar, sehingga akan lebih adil dan dapat

dipertanggungjawabkan.

B. Implikasi Penelitian

Berdasarkan pemaparan di atas mengenai nepotisme dalam kebijikan public

yang dilakukan oleh aparat Negara (selaku pemegamg jabatan publik), maka penulis

memberikan saran-saran berikut ini:


63

1. Perlu dikembangkan wacana nepotisme menurut Islam, yang berdasarkan pada

sumber-sumber hukumnya, yaitu al-Qur’an, al-Hadis, ijma, dan qiyas.

2. Perlu dikajikan yang lebih intensif mengenai wacana nepotisme menurut Islam,

khususnya yang terkait dengan tingkah laku aparat Negara (pemegnag jabatan

publik).

3. Penambahan literature perpustakaan mengenai wacana nepotisme menjadi

penting karena jumlahnya masih sangat minim.

.
65

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ibn Hambal, Musnad Ahmad, dalam Mausu’ah al-Hadis al-Syarif,
Riyadh;
Global Islamik Softwere Company, 1997
Amir Syamsuddin, Jebakan Istilah KKN, Jakarta, PPDI-LP3ES, 2001
Atabik Ali, Kamus Inggris-Indonesia-Arab, Yogyakarta: Multi Karya Grefika,
2003
Dawan Rahardjo, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) : Kajian Konseptual
dan dan Sosial-Kultural, dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti
(ed), Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia,
Yogyakarta: Aditya Media, cet.Ke-I
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, PT.Al-Ma’arif,
1969
Departeme Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2001, Edisi III , cet. Ke-1
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial Yogyakarta: UGM, 2005
Hamzah, A, Jaksa Agung Seharusnya Bisa Menangkap Seorang
Menteri,http://www. Transparansi. Or. Id/majalah/edisi 17/17
berita_4.html
Ibn Kasir, Tafsir Ibn Kasir, Suriah : Dar al-Qalam al-Araby, tt
Ibn Khaldum, Muqaddimat, Beirut : Dar al-Fikr, tth
Immam Jalalain, Tafsir Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Libanon : Dar al-Fikr, tt
Imam Sayuthi Farid, Tinjauan Syariat Islam terhadap Praktek Korupsi, dalam
Korupsi di Negari Kaum Beragama : Ikhiar Membangun Fiqh Anti
Korupsi, (Jakarta : P3M, 2004)
Jalal al-Din al-Suyuti, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, dalam Tafzir al-Qur’an
al-‘Azim, Beirud : Dar al-Fikr, 1991
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi : Elemen Sistem Integritas Nasional,
terj. Masri, edisi 1, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003,

65
64
66
65

Muhammad, Ibrahim, Qutb, As-siyasah al-Maliyah li al-Kitab ‘Umar ibn ‘abn


‘abd al-aziz, Mesir : al-Hai-an al Misriyyah al-Amanah al-Kitab, 1998
Nurcholis Masjid, Indonesia Kita, Jakarta: Paramadina
, 2003, cet. Ke-1
Pasal I Bab I ayat(4) Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 tahun 1999
tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
Al-Qurtubi, al-jami’ al-Ahkam al-Qur’an juz V, Libanon ; Dar al-Fikr, tt
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1992, cet. 1
Quraish Shihab, Tafsir Mishbah, Pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, Vol 4,
Jakarta: Lentera Hati
Al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nazair, Beirut: Dar al-Fikr, tth.
Said Agil, Husin al-Munawarah, al-Qur’an: Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki, Jakarta : Ciputat Press, 2003, cet. Ke-3
Sjafri Sairin, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN): Tinjauan Budaya, dalam
Edy Suwandi Hamid dan Muhammad Suyuti
Suharsini Arikunto, Metode Penelitian: Suatu pendekatan praktek Jakarta: Rineks
Cipta.1998
Sutrisni Hadi, Metodologi Riset, PT, Psikologi UGM, Yogyakarta 1983
Taufuk Abdullah, Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) : Sebuah Pendekatan
Kultural, dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti
W.J.S. Poerwadarminta, Prent, C.M.,J. Adisubrata, Kamus Latin-Indonesia,
Yogyakarta: Kanisius, tth
Yusuf Qaradawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, terj.Didin
Hafidhuddin, Jakarta : Robbani Press, 1997

Anda mungkin juga menyukai