Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd.I)
Oleh
Achmad Cahyadi
NIM: 1110011000072
i
KATA PENGANTAR
Bismiilahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji Syukur kehadirat Allah swt, Tuhan semesta alam yang telah memberikan
segala nikmat, taufik dan hidayah-Nya. Kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Konsep Pluralisme
Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam”.
Shalawat serta salam senantiasa penulis sanjungkan kepada Rasul-Nya yang
agung baginda Nabi Muhammad saw. Rasul terakhir yang membawa risalah,
penyejuk dan penerang hati umat sehingga selamat bahagia dunia dan akhirat serta
mendapatkan syafaat kelak pada hari yaumul qiyamah nanti.
Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan, saran
dan bantuan dari berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung
sehingga penulisan skripsi ini terselesaikan. Oleh karena itu, dalam kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Hj. Marhamah Saleh, Lc, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Dr. Khalimi. M.Ag, Dosen Penasehat Akademik juga sebagai Pembimbing
skripsi ini, yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk
memberikan bimbingan serta pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
6. Para Dosen di lingkungan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan pada
umumnya dan Jurusan Pendidikan Agama Islam khususnya yang telah
membekali berbagai ilmu pengetahuan sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini.
ii
7. Bapak/Ibu karyawan Perpustakaan Tarbiyah dan Perpustakaan Utama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan selama penyusunan skripsi ini.
8. Orang tua tercinta (Ibu Ida dan Bapak Yusuf) yang selalu mendo’akan,
memotivasi dan memberikan kasih sayangnya kepada penulis dalam setiap
situasi.
9. Seluruh Keluarga dan sahabat penulis yang senantiasa memberikan do’a dan
motivasi kepada penulis.
10. Teman-teman Pendidikan Agama Islam angkatan 2010 pada umumnya dan
Kelas B pada khususnya sahabat saya Albert Ferdinand, terima kasih atas
semangat, saran-saran, motivasi, bantuan, dan kebersamaan selama menimba
ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis
Alhamdulillaahi Rabbil’aalamin
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 9
C. Pembatasan Masalah ................................................................. 10
D. Perumusan Masalah .................................................................. 10
E. Tujuan Penelitian ...................................................................... 10
F. Manfaat Penelitian………………………………………..…... 10
iv
b. Tujuan Pendidikan Pluralisme ........................................ 36
B. Biografi Abdurrahman Wahid................................................ 38
1. Biografi ............................................................................... 38
a. Kehidupan Awal .............................................................. 39
b. Riwayat Pendidikan ........................................................ 40
2. Karya-karya Abdurrahman Wahid ................................ 46
3. Penghargaan yang diperoleh Abdurrahman Wahid ..... 50
C. Pendidikan Agama Islam……................................................. 52
1. Dasar Pendidikan Agama Islam………………………… 54
a. Al-Qur’an ........................................................................ 55
b. Sunnah ............................................................................. 58
c. Ijtihad............................................................................... 59
b. Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ............ 60
2. Fungsi Pendidikan Agama Islam ..................................... 62
3. Tujuan Pendidikan Agama Islam .................................... 63
v
3. Relevansi Pemikiran Abdurrahman Wahid di Indonesia…. 81
B. Konsep Pendidikan Pluralisme menurut Abdurrahman
Wahid Ditinjau dari Pendidikan Agama Islam… .............. 90
1. Maqashid al-Syari’ah Sebagai Prinsip Pendidikan
Pluralisme............................................................................ 90
2. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman
Wahid Ditinjau dari Pendidikan Agama Islam ................... 93
3. Analisis Pluralisme dalam Pendidikan Agama Islam…..… 98
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
Prof. Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan PraksisKerukunan Umat Beragama di
Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta:Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005),
Cet. I, hlm. 47
1
2
terdapat sejumlah agama besar dunia dan sejumlah sistem kepercayaan lokal yang
tersebar diseluruh wilayah Nusantara.2
Masyarakat semacam itu merupakan suatu fenomena unik dan menarik,
tetapi juga bisa menjadi pangkal konflik seperti yang banyak terjadi sejak dahulu
hingga kini. Di satu sisi keragaman dapat diterima oleh masyarakat sebagai
sebuah keniscayaan yang disikapi dengan arif, namun di sisi lain ternyata
menimbulkan masalah yang cukup kompleks.
Pada hakikatnya, bangsa kita sebagai sebuah masyarakat heterogen yang
sedang tumbuh, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian yang
mendalam antara beraneka ragam unsur-unsur etnis, budaya daerah, bahasa ibu,
dan kebudayaannya.Paling tidak tentu saling pengertian tercapai barulah bersifat
nominal belaka.Pola hubungan seperti itu dengan sendirinya tidak memiliki daya
tahan yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang datang dari perkembangan
politik, ekonomi, dan budaya, sehingga kerukunan yang ada hanyalah kondisi
yang rapuh.3
Sering kali perbenturan dalam pluralisme yang mendapat sorotan tajam
adalah mengenai pluralisme agama.Karena secara historis, di negara ini agama-
agama besar berkembang dengan suburnya.Dan secara sosiologis, hubungan
masing-masing agama sarat dengan berbagai dinamika, terkadang akomodatif dan
terkadang konfrontatif. Pola hubungan akomodatif terjadi karena masing-masing
umat dapat mengaktualisasikan ajaran agamanya dengan benar sekaligus para
pemeluk agama menaati dan mengakomodir nilai-nilai budaya lokal.Sedangkan
mencuatnya hubungan konfrontatif disebabkan oleh sifat dan watak umat
beragama, termasuk pemahaman agama yang sempit serta adanya pengaruh
provokasi dari luar.Yang selanjutnya menyebabkan kerusuhan yang bernuansa
agama.
2
Prof. Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan PraksisKerukunan Umat Beragama di Indonesia
dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta:Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), Cet. I, hlm.1-2
3
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan PemikiranK. H.
Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI, (Jakarta: Kompas, 1999), Cet. II, hlm. 15
3
4
Abdurrahman Wahid, Islam ku Islam anda Islam kita Agama Masyarakat Demokratis,
(Jakarta: the wahid institute 2006), hal. 223
4
oleh massa yang tidak puas karena terdakwa kasus penistaan agama Antonius
Richmon hanya divonis lima tahun penjara, serta yang terakhir adalah
penyerangan pesantren di Pasuruan oleh gerombolan bermotor pada 15 Februari
2011.5
Hal-hal demikian sangatlah disesalkan mengingat masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat yang plural dan hanya bisa di satukan dengan menjunjung
tinggi sikap toleransi baik suku, agama maupun budaya. Sikap toleransi inilah
yang membuat masarakat Indonesia bisa melihat keindahan Indonesia sebagai
negara yang plural menghargai perbedaan dan hidup dalam perdamaian meski
masalah di negara plural ini akan slalu ada akan tetapi masyarakat akan bisa
melihat berbagai permasalahan dengan sikap yang lebih dewasa, sehingga jangan
sampai ada yang menunggangi di setiap konflik memanfaatkan yang terjadi demi
kepentingan pribadi ataupun politik.
Sebenarnya, konflik-konflik tersebut tidak selalu berdasarkan pertimbangan
keagamaan, tetapi juga karena faktor kebangsaan, kesejarahan, kesenjangan
sosial-ekonomi dan politik, hegemoni kultural, kekuasaan teritorial, dan
sebagainya. Meskipun demikian, tampak bahwa pertimbangan religiusitas sedikit
banyak mengandung semangat kebencian pemeluk suatu agama vis a vis pemeluk
agama lainnya.6
Menurut Yenni Wahid, kekerasan berbau SARA (Suku Agama Ras dan
Antar golongan) terjadi karena ada pihak-pihak yang ingin memecah belah
bangsa Indonesia yang majemuk. Mereka membenturkan hal-hal yang berbeda,
juga ada keinginan untuk memimpin ruang-ruang tertentu namun rela
mengacaukan hubungan yang telah harmonis. Serta ada pula penyebab lain,
terutama faktor ekonomi yang bisa menyebabkan seseorang menjadi frustasi lalu
5
Fauzan Dj, “Kekalahan Negara atas Kekerasan Berlatar Agama”, Suara Merdeka, Semarang,
20 Februari 2011, hlm. 4
6
Abdul Dubbun Hakim, Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang Membebaskan,
Refleksi atasPemikiran Nurcholis Madjid (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006), hlm. 3-4
5
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang
7
Zannuba Arrifah Chafsoh, “Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah”, Suara Merdeka,
Semarang, 20 Februari 2011, hlm. 2
8
Abdul Dubbun Hakim, op. cit. hlm. 9-10
6
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.9
Jika dicermati secara mendalam, Allah swt. Secara tegas menyatakan
melalui firman-Nya tersebut bahwa terdapat kemajemukan di muka bumi
ini.Adanya laki-laki dan perempuan serta perbedaan suku bangsa harus diterima
sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar keniscayaan
tersebut.Bahkan kita disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut dengan
berinteraksi sosial sebagai instrumen untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah
swt.
Sejalan dengan firman tersebut, maka pluralitas umat meningkat menjadi
pluralisme.Yaitu sistem nilai yang memandang optimis-positif terhadap
keanekaragaman dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.
Dalam sejarah perkembangan agama Islam, diketahui bahwa hijrahnya
Nabi ke Madinah bukan bertujuan untuk membentuk negara Islam, melainkan
hanya untuk menjamin keamanan masyarakat agamanya serta demi kondisi-
kondisi yang dibutuhkan bagi penyiaran agama Islam.Selain itu Nabi juga ingin
mengimplementasikan perintah-perintah Allah swt. di Makkah untuk diterapkan
di Madinah. Di Madinah, Nabi mengeluarkan sebuah Piagamyang menjamin
kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas, dengan
menekankan kerjasama seerat mungkin dengan sesama kaum Muslimin dan
menyerukan kepada orang-orang Muslim dan Yahudi untuk bekerjasama demi
keamanan mereka bersama.10
Pluralisme merupakan kenyataan bahwa dalam suatu kehidupan manusia
terdapat keragaman suku, ras, budaya, dan agama.Keragaman itu bisa terjadi
karena adanya faktor lingkungan tempat manusia hidup yang berbeda-beda.
Lingkungan empat musim bagi seseorang akan membuat orang tersebut memiliki
9
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema
Insani,2005),
10
hlm. 518
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm.13
7
karakter dan pembawaan yang berbeda dengan orang yang hidup dalam
lingkungan dua musim.
Menurut Nurcholis Madjid, Pluralisme tidak dapat dipahami hanya
dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari
berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi,
bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedarsebagai “kebaikan
negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan
fanatisme.11
Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam
ikatan-ikatan keadaban. Bahkan juga suatu keharusan bagi keselamatan ummat
manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang
dihasilkannya.12Dengan demikian, hal tersebut menegaskan adanya masalah besar
dalam kehidupan beragama yang ditandai oleh kenyataan pluralisme dewasa ini.
Salah satu masalah besar dari paham pluralisme yang telah menyulut perdebatan
abadi sepanjang masa menyangkut masalah keselamatan adalah bagaimana suatu
teologi dari suatu agama mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain.
Dari uraian tersebut, menjadi nyata bagi kita bahwa masalah pokok dalam
hal hubungan antarumat beragama adalah pengembangan rasa saling pengertian
yang tulus dan berkelanjutan. Kita akan menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat
agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya
sekedar saling menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki (sense
of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain.
Sikap mental ini kemudian berubah menjadi eksklusivisme, sektarianisme,
dan intoleransi antarumat beragama sehingga terjadilah konflik-konflik dan
11
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 119
12
Budhi Munawwar-Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaran Kaum Beriman, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 39
8
perang atas nama agama. Realitas empirik inilah yang memprihatinkan kita
semua.Namun, justru karena itulah dialog antaragama menjadi sangat penting.13
Kecenderungan sekelompok kecil umat Islam yang sering bersikap keras
terhadap penganut agama lain menurut Abdurrahman Wahid merupakan proses
pendangkalan agama. Pendangkalan ini muncul karena pengaruh politik Islam di
Timur Tengah di mana Islam sudah dijadikan ideologi atau komoditas politik.
Proses pendidikan dan dakwah Islam yang cenderung bersifat memusuhi,
mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain merupakan faktor lain yang
memperburuk hubungan antarumat beragama di Indonesia. Hal ini dilakukan baik
oleh mubalig maupun guru-guru di sekolah.Padahal tidak ada ayat atau hadis nabi
yang memerintahkan kaum Muslim bersikap keras demikian, apalagi terhadap
agama-agama samawi.14
Pluralisme yang ditekankan Abdurrahman Wahid adalah pluralisme dalam
bertindak dan berpikir. Pluralisme dalam bertindak mensyaratkan seseorang untuk
tidak membatasi pergaulan dengan orang lain (eksklusif) meskipun berbeda
keyakinan. Pluralisme dalam berpikir adalah kesediaan untuk menerima atau
mengambil gagasan atau pemikiran dari kalangan lain.
Sikap hidup yang demikian merupakan realisasi dari pandangan
demokratis, toleran dan pluralistik Abdurrahman Wahid. Sikap itu pula yang bisa
menjelaskan keluasan pergaulan dan wawasan Abdurrahman Wahid yang ternyata
bersumber dari banyak sekali ajaran, nilai moral, dan budaya yang ada di dunia
termasuk faktor pendidikan yang diterima di dalam keluarga dan pendidikan
formal yang ditekuninya bahkan sampai kepada keaktifannya di berbagai
organisasi kemasyarakatan.
Oleh sebab itu, pendidikan yang sampai sekarang masih diyakini
mempunyai peran besar dalam membentuk karakter generasi muda penerus
13
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran K. H.
Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI, (Jakarta: Kompas, 1999), Cet. II, hlm. 16
14
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (ed), Passing Over: Melintas Batas Agama, (Jakarta:
Paramadina, 1998), hlm. 51-54
9
B. Identifikasi Masalah
Permasalahan yang telah diuraikan menjadi sangat lebar, supaya masalah
yang terkait dengan judul menjadi jelas, maka penulis perlu mengidentifikasi
masalah yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Masalah-masalah yang terkait kebudayaan dan SARA selalu menjadi wacana
yang menarik untuk dikaji, namun pemecahan masalahnya belum
memuaskan.
2. Indonesia sebagai Negara multikultural berfrekuensi tinggi adanya konflik
kultural.
3. Pemikiran K.H Abdurrahman Wahid terkait dengan pendidikan pluralisme
belum terkonsepkan.
4. Pendidikan yang ada sekarang belum bisa mencapai tujuan pendidikan seperti
yang dirumuskan undang-undang sisdiknas.
10
A. Pendidikan Pluralisme
1. Pengertian dan Sejarah Munculnya Pluralisme
a. Pengertian Pluralisme
Pluralisme yang dalam bahasa arabnya diterjemahkan al-
1
ta‟addudiyyah, secara lughawi berasal dari kata plural (Inggris)
yangberarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada
banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui. Pluralisme adalah
sebuah “ism” atau aliran tentang pluralitas.2
Menurut tokoh muslim Nusantara Cak Nur pluralism adalah satu
landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam
kehidupan social dan budaya, termasuk agama.3
Pluralisme yang berarti jamak atau lebih dari satu, dalam kamus
bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian.Pertama, pengertian
kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan
dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara
bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua,
pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya
landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga,
pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi
keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai
dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat
karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian
tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu
1
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2007),
Cet. III, hlm. 11
2
Syamsul Ma‟arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005),
hlm. 11
3
Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme (Malang: Aditya media publishing),
Hal.78
11
12
4
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2007),
Cet. III, hlm.12
5
BudhiMunawwar-Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 31
13
6
Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 41-42
7
Syamsul Ma‟arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, op. cit., hlm. 17
14
8
Anis Malik Thoha, op. cit. hlm. 16
15
9
Anis Malik Thoha, op. cit. hlm. 16
10
Syamsul Ma‟arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, op. cit. hlm. 92
16
11
Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan
danKanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa
KaryaPress,
12
2003), hlm. 100
Syamsul Ma‟arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, loc. cit
13
Syamsul Ma‟arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme,
(Semarang: Nedd‟s Press, 2008), hlm. 100
17
14
Syamsul Ma‟arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme , op.cit.,
hlm. 98-99
18
15
Moh. Shofan, Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh
Muhammadiyah, (Jogjakarta: LSAF, 2008), hlm. 54-55
16
Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta: Litera
Antar Nusa, 2008), cet. Ke-30, hlm. 202
19
2. Dasar Normatif
Al-Qur‟an secara jelas menyatakan bahwa pluralitas adalah salah
satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah
atau sunnah Allah, dan bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat
26
17
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda Kelompok
Gema Insani,2005), hlm. 518
27
18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 13, hlm. 261-262.
28
19
Kementerian Agama RI, al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid VII,
hlm. 29
30
ketika mereka telah memeluk Islam atau tetap pada agama semula
dengan membayar jizyah (pajak) sebagai jaminan keamanan.20
Allah Maha Kuasa, sehingga dengan kekuasaan-Nya, Dia
bisa jadi ada yang menduga bahwa hal tersebut dapat menjadi
alasan bagi Allah untuk memaksa makhluk mematuhi agama-
Nya. Namun yang terjadi tidak demikian, yang dimaksud dengan
tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut
akidahnya.Ini berarti jika seseorang telah memilih satu akidah,
maka dia terikat dengan tuntunan-tuntunannya, dia berkewajiban
melaksanakan perintah-perintahnya.Dia terancam sanksi jika
melanggar ketetapannya.
Allah menghendaki agar setiap orang merasakan
kedamaian.Agama-Nya dinamai Islam, yakni damai.Kedamaian
tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai, karena itu tidak ada
paksaan dalam menganut keyakinan agama Islam.Mengapa ada
paksaan, padahal telah jelas jalan yang benar dari jalan yang
sesat.Sangatlah wajar semua memilih agama ini, pasti ada sesuatu
yang keliru dalam jiwa seseorang yang enggan menelusuri jalan
yang lurus setelah jelas jalan yang terbentang di hadapannya.
Tidak ada paksaan dalam menganut agama, karena telah
jelas jalan yang lurus.Itu sebabnya, sehingga orang gila dan
belum dewasa, atau yang tidak mengetahui tuntunan agama, tidak
berdosa jika melanggar atau tidak menganutnya, karena bagi dia
jalan yang jelas itu belum diketahuinya.Tetapi Anda jangan
berkata bahwa Anda tidak tahu jika Anda mempunyai potensi
untuk mengetahui tetapi potensi itu tidak Anda gunakan.Di sini
Anda pun dituntut karena menyia-nyiakan potensi yang Anda
miliki.21
20
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddieqy, Tafsir al-Qur‟anul Majid an Nuur,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid II, hlm. 450-451
21
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 3, hlm. 115-116.
31
22
Departemen Agama, op. cit. hlm. 11
32
23
Alwi Shihab, op. cit., hlm. 79
33
24
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 1, hlm. 215-216.
34
25
Departemen Agama, op. cit. hlm. 485
35
bahwa Nabi yang diutus setelah Nabi Nuh dan sebelum Nabi
Ibrahim tidak memiliki syari‟at khusus, tetapi mereka
menjalankan syari‟at Nabi Nuh as. Demikian juga nabi yang
diutus setelah Nabi Ibrahim dan sebelum Nabi Musa as., mereka
semua melaksanakan syari‟at Nabi Ibrahim as. Sampai datangnya
Nabi Musa as., demikian seterusnya.26
26
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 12, hlm. 473
27
Departemen Agama, op. cit. hlm. 100
36
28
Kementerian Agama RI, al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010),
JilidII, hlm. 29
29
Syamsul Ma‟arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, op. cit. hlm. 93
37
1) Orientasi Kemanusiaan.
Kemanusiaan atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang
menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan.Kemanusiaan bersifat
universal, global, di atas semua suku, aliran, ras, golongan, dan
agama.
2) Orientasi kebersamaan.
Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang sama sekali
lepas dari unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun
adalah kebersamaan yang tidak merugikan diri sendiri, orang lain,
lingkungan, negara, bahkan Tuhannya. Dengan demikian diharapkan
muncul manusia yang aktif, kreatif, toleran, tenggang rasa yang
mendalam, dan terbuka
3) Orientasi kesejahteraan.
Kesejahteraan yang dimaksud di sini adalah kondisi sosial yang
menjadi harapan semua orang.Konsistensi terhadap kesejahteraan
harus dibuktikan dengan perilaku menuju terciptanya
kesejahteraan.Konsekuensi yang kemudian terjadi adalah adanya
kedamaian di mana semua orang merasa aman, dihargai, diakui, dan
diperlakukan sebagai manusia oleh semua pihak yang berinteraksi
secara langsung atau tidak langsung.
38
4) Orientasi proporsional.
Proporsional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek
apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku,
tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat
kuantitatif, dan tepat tujuan. Orientasi pendidikan inilah yang
diharapkan menjadi pilar pendidikan multikultural.
5) Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas.
Pluralitas dan heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak
mungkin ditindas secara fasih dengan memunculkan sikap fanatisme
terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh sekelompok orang.
6) Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi.
Dominasi dan hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi
kaum tertindas.Istilah ini dihindari jauh-jauh oleh para pengikut faham
liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis. Hegemoni yang
dimaksud adalah hegemoni dalam segalanya; politik, pelayanan dan
lain sebagainya30
30
Ainurrofiq Dawam, op. cit., hlm. 104 – 105.
31
Nur Rokhim, Kiai-Kiai Karismatik dan Fenomenal, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015),
Cet. Pertama, Hlm. 185
39
32
Biografi Gus Dur, terj. (Yogyakarta: LKiS, 2008), cet. VIII, hlm. 25
33
Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 33
34
Badiatul Roziqin, dkk.,101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara,
2009), hlm. 35.
40
35
Greg Barton, op. cit., hlm. 50-51.
42
36
Ibid, hlm. 56.
37
Ibid, hlm. 53
43
38
Badiatul Roziqin, dkk.,op. cit., hlm. 37
44
39
Greg Barton, op. cit., hlm. 104-105
45
40
Badiatul Roziqin, dkk., loc. cit
46
41
Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, (Yogyakarta: LKiS,
2010), hlm.126-127
48
Setelah tahun 2000, terbit 3 buku kumpulan tulisan Gus Dur lainnya,
yaitu Kumpulan Kolom dan artikel Abdurrahman Wahid SelamaEra
Lengser (60 artikel), Gus Dur Bertutur (2 artikel), dan Universalisme dan
Kosmopolitanisme Peradaban Islam (20 artikel yang dimuat di Kompas).
Spektrum intelektualitas Gus Dur mengalami perluasan dari waktu ke
waktu, terutama wacana yang dikembangkannya. Temuan Incress (2000)
mengidentifikasi perkembangan tersebut sesuai dengan periodesasi per
sepuluh tahun, mulai 1970-2000;42
42
bid, hlm. 128-129
49
43
bid, hlm. 128-129
50
44
M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 43-
44
45
ttp://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-abdurrahmanwahidbiografi.html
52
46
Haidar Putra daulay, Pendidikan Islam dalam Pendidikan Nasional Di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2004), h. 31
53
47
Sahilun A. Nasir, Peran Pendidikan Agama terhadap pemecahan problema remaja,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet.2, hal.11
48
Sudirman, dkk.Ilmu Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1988), Cet.2, hal.5
49
Sahilun A. Nasir, Peran Pendidikan Agama terhadap pemecahan problema remaja,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet.2, hal.11-12
54
50
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. 3, h. 130
51
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), cet. Ke4, h. 6
52
Abudin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2005), h. 15
55
53
Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme (Malang: Aditya media publishing),
Hal.26
54
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta Teoritis-Filosofis & Aplikatif-
Normatif,(Jakarta: Amzah, 2013), h.40
55
Abdurahman an Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 28.
56
56
Abdurahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur‟an, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2007), h. 17
57
b. Sunnah
Selain Al-Qur‟an yang berfungsi sebagai dasar pijakan dan
prinsip pendidikan Islam, Sunnah sebagai tuntunan hidup Rasulullah
SAW merupakan sumber kedua yang sama-sama memiliki peran vital
dalam membangun dasar-dasar dan prinsip pendidikan Islam.Sunnah
rasul adalah setiap perkataan Rasulullah dan perbuatannya yang
dicontohkan kepada para sahabat dan umatnya melalui sikap, sifat dan
akhlaknya.Allah SWT berfirman:
60
Zulkarnain, Transformasi Nilai-nilai Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), h. 24
61
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Cakrawala Pemikiran
Pendidikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2004), h. 53
59
62
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 338
63
Abdurahman An Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung:
Diponegoro, 1992), h. 47
64
Muhaimin, Pemikiran pendidikan Islam, Kajian Teoritis dan Kerangka Oprasionalnya,
(Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 147
60
65
Abdurrahman Mas‟ud, Antologi Study Agama dan Pendidikan, (Semarang: Aneka Ilmu,
2004), h. 148
66
Bahruddin dan M. Makin, Pendidikan Humanistik: Teori, Konsep dan Aplikasi Praktis
dalam Dunia Pendidikan, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2009), h. 160
67
Sri Minarti, op, cit., h. 58.
61
68
UUD Negara Republik Indonesia: Yang Telah Diamandemen I, II, III, dan IV,
(Surabaya: Terbit Terang, 2004), h. 20.
69
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung: Fokus
Media), h. 11.
62
70
Ibid., h. 19
63
71
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam ..., h. 134-135.
64
72
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1995), h. 161
73
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009),
h. 117-118
74
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 41.
75
Sri Minarti, op, cit., h. 104.
65
76
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidian Islam, (Jakarta: Putra Grafika, 2008),
h. 71-72.
77
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan,
(Jakarta: Pustaka al-Khusna, 1989), h. 34.
78
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 33-34
66
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang
hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya.”
79
Naquib al-attas, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan integrative di
sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 27
67
sangatlah penting akhlak mulia ini agar tidak terjadi lagi tingkat
kekerasan di Indonesia ini khususnya mengenai Agama.
METODOLOGI PENELITIAN
1
Gorys Keraf, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, (Flores: Penerbit Nusa
Indah, 1994)
2
Cet-10.h. 165
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 6
70
71
C. Sumber Data
Sumber penelitian yang digunakan penulis yaitu bersifat dokumenter
atau data yang bersifat simbol, literatur kepustakaan, dan sebagainya.
Kemudian sumber penelitian ini ada dua macam.
1. Pertama, sumber primer yaitu pemikiranpemikiran K.H Abdurrahman
wahid tentang pendidikan multikultural yang tertulis dalam buku,
jurnal, katalog dan sebagainya.
2. Kedua, sumber-sumber sekunder, yaitu sumber bacaan yang relevan
dengan sumber primer, baik dari koran, internet, dan sebagainya.5
3
Komaruddin, Kamus Research, (Bandung: Angkasa, 1984), hlm. 120
4
Anton Bekker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), hlm. 61
5
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2006) cet 13.h. 158
72
memanfaatkan alat riset dan mekanisme standar yang biasa ada pada
perpustakaan seperti katalog online, ensiklopedia, maupun internet.6
E. Analisis Data
Dalam menganalisis data ini peneliti menganalisis dan
mendeskripsikan setiap sumber-sumber yang berhubungan dengan pemikiran-
pemikiran pluralism Abdurrahman Wahid dan nilai-nilai pendidikan Agama
Islam, agar peneliti dapat mengetahui nilai-nilai pendidikan Agama Islam
dalam pemikiran pluralisme tersebut.
F. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang dipakai pada skripsi ini berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan tahun
2014.
6
Gorys Keraf, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, (Flores: Penerbit Nusa
Indah, 1994) Cet-10.h. 166
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN ABDURRAHMAN
WAHID TENTANG KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME
DALAM PERSPEKTIFPENDIDIKAN AGAMA ISLAM
73
74
cocok untuk Islam adalah ruang sipil (civil sphere), bukan ruang politik
praktis.
Keempat, Gus Dur mengartikulasikan pemahaman Islam liberal dan
terbuka yang toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli untuk menjaga
harmoni dalam masyarakat. Kelima, pemikiran Gus Dur
mempresentasikan sintesis cerdas pemikiran Islam tradisional, elemen
modernisme Islam, dan kesarjanaan Barat modern, yang berusaha
menghadapi tantangan modernitas baik dengan kejujuran intelektual yang
kuat maupun dengan keimanan yang mendalam terhadap kebenaran utama
Islam.
Dari kelima kunci pemikiran Gus Dur tersebut, terlihat bahwa fokus
utama pemikiran beliau bertumpu pada terciptanya kehidupan yang damai
sesuai dengan cita-cita Islam yang memberi rahmat kepada seluruh alam
dengan menghormati HAM dan toleransi secara penuh, memberi ruang
gerak demokrasi, serta mengembangkan sikap pluralisme, yang
kesemuanya itu merupakan ajaran Islam yang terkandung pada prinsip
universal Islam pada maqashid al-syari’ah.
2. Konsep Pendidikan Pluralisme Abdurrahman Wahid
Salah satu aspek yang paling dapat dipahami dari Abdurrahman
Wahid adalah bahwa Ia sang penyeru pluralisme dan toleransi, pembela
kelompok minoritas, khususnya China Indonesia, juga penganut Kristen
dan kelompok-kelompok lain yang tidak diuntungkan. Gus Dur dipahami
sebagai Muslim non-chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan
diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam.Yang secara
luas tidak atau tepatnya kurang diapresiasi adalah bahwa Gus Dur itu
orang yang bangga sebagai seorang Muslim.Dia sangat mencintai
kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam sendiri.Lebih
dari itu, Gus Dur adalah tokoh spiritual, figur mistik yang dalam
pandangannya dunia spiritual nyata seperti dunia materi yang dapat
dirasakan dengan indera manusia.
78
1
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran K.
H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI, (Jakarta: Kompas, 1999), Cet. II, hlm. 15
91
2
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan
TransformasiKebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute: 2007), hlm. 4-5
92
3
Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989), hlm. 23
4
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia,
1994), hlm. 4
5
Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2005), Cet. V, hlm. 34
94
6
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute,
2002), hlm. 135
95
7
Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2005), Cet. V, hlm. 34
8
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 95
97
9
Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka,
2005), hlm. 99
10
Ibid, hal.99
98
Kenyataan sederhana ini dan kearifan seperti dituntut di atas, memang tidak
mudah untuk diwujudkan, apalagi untuk dikembangkan dalam lingkup,
yang luas. Namun, kita tidak punya pilihan lain, kalau masih diinginkan
bangsa kita yang demikian heterogen dapat mengembangkan diri
menjadi bangsa yang kukuh sendi-sendi kehidupannya dalam memasuki abad
ke-21 nanti.
Semua pihak di kalangan kaum muslimin memikul tanggung jawab
untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap semua warga masyarakat
bangsa kita, karena hanya dengan cara demikian Islam dapat tumbuh
menjadi kekuatan pelindung bagi seluruh penduduk negeri ini secara
keseluruhan.
Dengan demikian sikap Abdurrahman Wahid yang perlu dicontoh
dalam menghadapi masyarakat yang pluralitas adalah dengan menempatkan
setiap kelompok masyarakat setara dengan kelompok lain dalam hal apapun
tanpa diskriminasi dan ketidak adilan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisis tentang pendidikan pluralisme
menurut Abdurrahman Wahid yang ditinjau dari sudut pandang
pendidikan Agama Islam, maka dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Menurut Abdurrahman Wahid Konsep Pendidikan pluralisme
merupakan suatu pendidikan untuk menerima perbedaan sebagai
sunnatullah agar saling mengenal, menghindari perpecahan,
mengembangkan kerjasama dengan menanamkan rasa saling
pengertian, saling memiliki dan bersikap inklusif, tidak
membatasi pergaulan dengan siapapun, namun tetap meyakini
kebenaran agama sendiri dengan tidak mempersamakan
keyakinan secara total.
2. Dalam perspektif pendidikan Islam, pemikiran Abdurrahman
Wahid tentang Pendidikan pluralisme memiliki keserasian yaitu
berorientasi pada terbentuknya kepribadian serta akhlak yang
luhur dengan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, serta
mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada
peserta didik sejak dini yang berkelanjutan dengan
mengembangkan rasa saling pengertian dan memiliki terhadap
umat agama lain.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, saran yang diberikan sebagai
berikut: hendaknya kita sebagai manusia harus menghilangkan rasa
102
103
103
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Abdul Dubbun. Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang
Membebaskan, Refleksi atasPemikiran Nurcholis Madjid Jakarta: Kompas
Media Nusantara, 2006
Majid, Abdul dan Andayani, Dian. Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006
Mujib, Abdul dan Mudzakir, Jusuf. Ilmu Pendidian Islam, Jakarta: Putra Grafika,
2008
Nahlawi, Abdurahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Abdullah, Abdurahman Saleh. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an,
Jakarta: Rineka Cipta, 2007
Mas’ud, Abdurrahman. Antologi Study Agama dan Pendidikan, Semarang: Aneka
Ilmu, 2004
Wahid, Abdurrahman. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan
Pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI, Jakarta: Kompas,
1999
------------------------------, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan, Jakarta: The Wahid Institute: 2007
-----------------------------, Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta: The Wahid
Institute, 2002
Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009
-----------------, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2005
-----------------, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Marimba, Ahmad D. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1989
103
104
Ramayulis dan Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia,
2009
--------------, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1994
Nasir, Sahilun A. Peran Pendidikan Agama terhadap pemecahan problema
remaja, Jakarta: Kalam Mulia, 2002
Minarti,Sri. Ilmu Pendidikan Islam Fakta Teoritis-Filosofis & Aplikatif-Normatif,
Jakarta: Amzah, 2013
Sudirman, dkk. Ilmu Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1988
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2006
Ma’arif, Syafi’i dkk. Gila Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000
Ma’arif, Syamsul. Pendidikan Pluralisme di Indonesia, Jogjakarta: Logung
Pustaka, 2005
Ash Shieddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Tafsir al-Qur’anul Majid an Nuur,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000
Chafsoh, Zannuba Arrifah. Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah, Semarang:
Suara Merdeka 2011
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1995
Zulkarnain, Transformasi Nilai-nilai Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008
NU, Islam dan Demokrasi
Oleh: Abdurrahman Wahid
Sumber: Duta Masyarakat Jakarta, 28 Januari 2004
Peter Mansfield dalam bukunya History of The Middle East, menceritakan bagaimana
responsi berbagai bangsa muslim di Timur-Tengah terhadap negara sekuler. Ada yang menerima
negara tersebut setengah hati, ada pula sepenuhnya. Ini seperti juga di Indonesia, yang pada
tanggal 18 Agustus 1945 mengeluarkan Piagam Jakarta dari Undang-Undang Dasar NKRI.
Namun demikian masih ada ada yang menerima pemisahan negara dari agama (dalam hal ini
Islam) setengah hati, dan ada pula yang menerimanya secara bersungguh-sungguh. Yang
menerima setengah hati, dan kemudian hari menjadi partai Islam seperti PPP dan PBB.
Sedangkan yang menerima gagasan tersebut sepenuh hati adalah PKB dan PAN, walaupun di
dalam kedua partai itu juga masih ada yang berpendapat perlunya negara Islam. Tetapi secara
resmi keduanya bukanlah partai Islam, dan ini tidak berati kaum muslimin di dalamnya
meninggalkan syariah Islam. Kedua-duanya masih menganggap/menerima peranan syariah
dalam menentukan orientasi kedepan. Dengan demikian, syariah masih berlaku, walaupun tidak
diundangkan dalam produk-produk negara.
Untuk PAN kita tidak jelas apa sebab pimpinannya tidak mengatakan partainya bukanlah
Partai Islam. Tetapi bagi PKB, hal itu berdasar kepada keputusan Muktamar NU tahun 1935 di
Banjarmasin. Saat itu diajukan pertanyaan, soal wajib tidaknya bagi kaum muslimin
mempertahankan secara fisik kawasan Hindia-Belanda -demikian waktu itu Indonesia disebut.
Muktamar tersebut menjawab bahwa hukumnya wajib. Keputusan itu mengikuti sebuah literatur
terkenal dari masa lampau, Bughyah Al-Mustarysidin, bahwa setiap kawasan dimana dahulunya
ada kerajaan Islam harus dipertahankan (secara fisik) karena penduduknya dianggap muslimin
(dan memang demikian halnya di negeri kita). Di samping itu, negeri ini (dulu sampai sekarang
hingga mungkin seterusnya) kaum muslimin menjalankan ajaran-ajaran agama mereka tanpa
diatur oleh pemerintah.
Karena itulah kaum muslimin di negeri ini tidak memerlukan sebuah negara Islam, sebab
Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 sudah cukup bagi kaum
muslimin di negeri ini. Atas dasar itu, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada
pertengahan 1945 sudah menetapkan Republik Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat
penuh dengan wilayah-wilayah yang jelas. Ini diterima oleh NU sepenuh hati, hingga pada
tanggal 22 Oktober 1945 mengeluarkan Resolusi Jihad. Resolusi itu berbunyi mempertahankan
RI yang sekuler itu, dari serangan luar negeri (dalam hal ini tentara Sekutu dan dengan
sendirinya pihak Belanda) adalah sebuah kewajiban agama, karena hal itu berarti jihad dijalan
Allah SWT.
Mempertahankan sebuah negara sekuler sebagai sebuah kewajiban agama, adalah
sesuatu yang menunjukan bahwa pemisahan agama dari negara sudah bersifat final bagi NU.
Pandangan NU itu lebih diperkuat oleh Muktamar NU di Asembagus, Situbondo pada akhir
tahun 1984, yang menyatakan untuk selanjutnya NU berasaskan Pancasila. Jika landasan semua
kegiatan NU yang bersifat formal adalah pancasila dan bukanya Islam, maka lagi-lagi seperti ada
penegasan, bahwa syariah Islam harus ditegakan oleh masyarakat sebagai akhlak/moral pribadi,
bukanya melalui produk-produk negara, seperti undang-undang dan berbagai peraturan daerah.
Hal itu juga penulis terapkan ketika menjadi Presiden. Ketika ada pertanyaan bagaimana dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan daerah yang disebut sebagai “syariahtisasi hukum
Nasional”, dijawab oleh keputusan sidang kabinet sebualan sebelum penulis lengser dari
Kepresidenan, bahwa segala macam undang-undang dan peraturan peraturan yang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar dinyatakan batal. Dan yang harus yang menyatakan hal itu
haruslah Mahkamah Agung.
Dalam abad ke 21 ini, soal hubungan antara negara dan agama akan semakin hebat
dikalangan negeri-negeri muslim. Namun kerajaan Saudi Arabia, yang oleh banyak kalangan
disebut sebagai negaranya “kaum Wahabi”, mendiamkan hal ini sejak tahun 1924. Karena itu
setiap pihak dapat mengambil penafsirannya sendiri, termasuk pihak A.S yang melalui
perusahaan minyak Aramco yang melakukan penggalian minyak di kawasan itu. Sedangkan para
Rajanya secara brturut-turut mengambil langkah dan kebijaksanaan berganti-ganti. Ada Raja
yang mendorong sekularisasi, ada yang menentangnya. Karena itu para pejabat tingginya juga
terpecah dua dalam sikap, seperti mendiang Ahmad bin Abdul Aziz bin Baz yang menentang
sekularisasi habis-habisan dengan mengharamkan rokok.
Sebaliknya kaum nasionalis dikebanyakan di negara Arab menentang negara agama,
karena dahulu nasionalisme di negara-negara itu lahir dari penentangan terhadap penjajahan
Dinasti Ustmaniyah (Ottoman Empire) dari Turki, dengan para Rajanya yang bergelar Khalifah
dan Sultan. Jadi perjuangan kemerdekaan dari penjajahan Turki, mempunyai identitas yang sama
dengan penentangan terhadap Islam. Namun dijaman modern ini muncul gerakan bawah tanah
(underground movements) seperti Ikhwanul Muslimin dan Fis (Front Islamic Salvation) di
Tunisia dan Aljazair serta PAS (Partai Islam se-Malaysia) masih mencita-citakan negara Islam.
Sementara itu, baik MNLF (Moro National Liberation Front) maupun MILF (Moro Islamic
Liberation Front) di Mindanao, Filipina Selatan juga memiliki pikiran seperti itu, yaitu
penyatuan antara ajaran agama dan produk-produk negara.
Jadi jelaslah, akan muncul dua sikap sebagai responsi/tanggapan. Di satu pihak akan
semakin kuat tuntutan akan negara yang berdasarkan ajaran-ajaran Islam dikemudian hari.
Namun ada pula yang bertahan pada pendirian negara harus tetap sekuler. Dalam artian
pemisahan antara agama dan negara. Dan masalah mewujudkan nilai-nilai Islam dalam
kehidupan bersama kaum muslimin, adalah urusan gerakan-gerakan agama di luar tugas
pemerintahan. Hal-hal yang menyimpang dari prinsip ini, haruslah dilawan secara terbuka
sehingga semua pihak yakin akan kesungguhan hati pihak “sekuler” ini
NU secara jelas telah menggariskan sikap pandangan ini. Karenanya NU akan selalu
menentang gagasan negara Islam untuk Indonesia. menurut cerita keluarga yang tidak dapat
dibuktikan secara tertulis. Pada tahun 1943, ayahanda penulis Alm. KH. A Wahid Hasyim,
ditemui oleh Laksamana Maeda dari pemerintahan pendudukan Jepang. Ia bertanya, siapa yang
akan mewakili bangsa Indonesia dalam negosiasi kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan
pendudukan Jepang? Dua hari kemudian Wahid Hasyim menyampaikan jawaban ayah beliau,
Alm. KH. M Hasyim As‟yari dari Tebu Ireng Jombang, bahwa Seoekarno-lah yang paling layak
menjadi wakil bangsa Indonesia. Dari hal ini jelaslah, beliau lebih memikirkan kepentingan
bangsa di atas kepentingan golongan yaitu NU.
Nah, sekarang NU lebih memperkuat argumentasinya mempertahankan konsep
sekularisme agama dari negara itu. Yaitu bahwa NU akan mengembangkan demokratisasi bangsa
dan negara di masa yang akan datang. Dan nilai-nilai Islam yang sangat demokratis, harus
menjadi motor bagi upaya demokratisasi Indonesia. Sedangkan nilai-nilai yang tidak
emansipatif, seperti wanita lebih rendah kedudukan hukumnya daripada pria, haruslah diganti.
Ini sesuai dengan keputusan Menteri Agama Alm.KH. Wahid Hasyim, bahwa murid perempuan
dapat diterima di SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama), yang kemudian menjadi Fakultas
Syariah di IAIN/UIN di seluruh Indonesia. Ini mudah dikatakan namun sulit dilakukan, bukan?
Islam dan hubungan antar umat beragama di Indonesia
Karenanya, mau tidak mau kita harus mengerahkan kemampuan sekuat tenaga untuk
mewujudkan pemulihan hubungan antarumat beragama itu. Untuk keperluan itu, kita terlebih
dahulu harus memahami sebab-sebab paling dasar dari retaknya hubungan dan sisi-sisi
multidimensional dari kemelut yang dihadapi. Tanpa mengetahui penyakitnya, tentu tak
akan ditemukan obatnya, dan penyembuhan tidak akan mungkin dilakukan.
PADA hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, seperti bangsa
kita, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian yang mendalam antara beraneka
ragam unsur-unsur etnis, budaya daerah, bahasa ibu, dan kebudayaannya. Kalaupun
tidak terjadi salah pengertian mendasar antara unsur-unsur itu, paling tidak tentu saling
pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka. Dengan kata lain, suasana optimal
yang dapat dicapai bukanlah saling pengertian, melainkan sekadar sangat kurangnya
kesalahpahaman.
Pola hubungan \"harmonis\" seperti itu, dengan sendirinya tidak memiliki daya tahan
yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang datang dari perkembangan politik, ekonomi, dan
budaya. Kerukunan yang ada hanyalah kondisi yang rapuh, yang mungkin dapat diistilahkan
dengan ungkapan dari masa Perang Dingin antara negara-negara adikuasa dahulu: hidup
berdampingan secara damai (peaceful co-existence).
DARI apa yang diuraikan di atas, menjadi nyata bagi kita, bahwa masalah pokok kita
dalam hal hubungan antarumat beragama, adalah pengembangan rasa saling pengertian yang
tulus dan berkelanjutan. Kita hanya akan mampu menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat
agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekadar
saling menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki (sense of belonging),
bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain.
Karena Islam adalah agama golongan penduduk mayoritas bangsa kita, maka menjadi
sangat menyedihkan, bahwa sampai hari ini masih sangat luas sikap negatif mereka kepada
pihak-pihak lain. Materi khotbah dan ceramah para pemimpin Islam, dari kalangan ulama
hingga kalangan cendekiawan, masih berubah sewaktu-waktu menjadi sangat memprihatinkan.
Memang mayoritas bangsa kita, yang notabene, beragama Islam, masih dicengkam
oleh kemiskinan dan kebodohan, sehingga mudah \"dirayu\" untuk berpindah agama secara
murahan. Kondisi logis dari kenyataan itu sebenarnya adalah keharusan bagi gerakan Islam
untuk memajukan umat mereka. Ini berarti keharusan untuk melakukan transformasi
multidimensional atas kehidupan umat yang mereka pimpin, bukannya mencari kambing hitam
atas keterbelakangan dan ketertinggalan sendiri.
Ini tidak berarti, para pemimpin Islam di segenap tingkatan harus menutup mata
terhadap semua ekses yang terjadi dalam kehidupan beragama di negeri kita. Harus
diambil langkah-langkah untuk menangani dan mencegah terulangnya ekses-ekses itu,
termasuk cara penyebaran agama terlalu agresif, yang dilakukan oleh sementara kelompok
penganut agama dari golongan minoritas. Namun, cara penanganan dan penangkalan
haruslah dilakukan dengan bijaksana, tanpa harus melakukan generalisasi terhadap semua
warga umat dari agama tersebut. Tentu kaum muslimin di negeri kita tidak mau dipersalahkan
atas kegiatan negatif yang dilakukan oleh minoritas muslimin di negeri-negeri lain. Kita
hanya mampu mendudukkan masalah ini secara proporsinal. Kenyataan sederhana ini dan
kearifan seperti dituntut di atas, memang tidak mudah untuk diwujudkan, apalagi untuk
dikembangkan dalam lingkup, yang luas. Namun, kita tidak punya pilihan lain, kalau masih
diinginkan bangsa kita yang demikian heterogen dapat mengembangkan diri menjadi bangsa
yang kukuh sendi-sendi kehidupannya dalam memasuki abad ke-21 nanti.
Dalam perjalanan ke gedung TVRI saat subuh awal Februari 2003, penulis mendengar
siaran sebuah radio swasta Jakarta yang menyiarkan dialog tentang masalah ras dan diskriminasi.
Karena format siarannya dialog interaktif, maka dapat dimengerti jika para pendengar melalui
telepon mengemukakan pendapat dan pertanyaan berbeda-beda mengenai kedua hal itu. Ada
yang menunjuk kepada keterangan etnografis, yang menyatakan orang-orang di Asia Tenggara,
Jepang, Korea, Tiongkok, Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan mempunyai
penduduk asli dari ras Mongol (mongoloid). Karena itu narasumber pada dialog itu, menolak
perbedaan antara kaum asli dan kaum turunan di Indonesia. Menurutnya kita semua berasal dari
satu turunan dan tidak ada bedanya satu dari yang lain. Maka pembagian kelompok asli dan
keturunan di negeri kita tidak dapat diterima dari sudut pemikirannya.
Pendengar lain juga memiliki pandangan yang sama, ada yang melihat dari segi sejarah
atau historis, bahwa orang yang mempunyai asal-usul sangat berbeda secara bersama-sama
mendirikan negara ini, dengan demikian dari masa itulah harus dihitung titik tolak eksistensi kita
sebagai bangsa. Menurut pendapat ini, kalau menggunakan ukuran tersebut kita tidak akan dapat
membeda-bedakan warga negara Indonesia yang demikian besar jumlahnya. Dengan kata lain,
pendapat ini juga menolak pembedaan para warga negara kita menjadi asli dan keturunan, karena
hal itu tidak berasal dari kenyataan historis tentang pembentukan bangsa ini. Menurut pendapat
ini, perbedaan seperti itu terlalu dipaksakan dan tidak sesuai dengan kenyataan empirik, ini
berarti penolakan atas teori perbedaan tersebut.
Seorang pendengar, bahkan menolak bahwa ada diskriminasi golongan di negeri kita.
Yang ada adalah diskriminasi perorangan atau diskriminasi oknum yang terjadi pada warga
dengan ras yang berbeda. Penulis bertanya-tanya akan hal itu, bagaimana kita menjelaskan
adanya semacam kuota yang terjadi di negeri kita, seperti orang keturunan Tionghoa hanya boleh
mengisi 15% kursi mahasiswa baru disebuah Perguruan Tinggi Negeri? Juga, bagaimana
menerangkan bahwa dalam seluruh jajaran TNI, hanya ada dua orang Perwira Tinggi dari ras
“non pribumi”, yaitu Mayjen Purnawirawan TNI Iskandar Kami dan Brigjen Purnawirawan TNI
Teddy Yusuf? Juga pertanyaan sebaliknya, soal adanya “ kuota halus” di kalangan masyarakat
keturunan Tionghoa sendiri, mengenai sangat langkanya manager dari “orang-orang pribumi
asli” dalam perusahaan-perusahaan besar milik mereka.
Ada juga pendengar yang menyebutkan, bahwa di masa lampau bendera Merah Putih
berkibar diatas sejumlah kapal laut milik Indonesia, yang menandakan kebesaran angkatan laut
kita pada masa itu. Dalam kenyataan, sebenarnya angkatan laut kita waktu itu adalah bagian dari
angkatan laut Tiongkok. Jika dibandingkan dengan keadaan sekarang, seperti kekuatan angkatan
laut Australia dan Kanada, yang menjadi bagian dari sebuah dominion angkatan laut dari
angkatan perang Inggris Raya (Great Britain). Jadi sebagai angkatan laut dominion, angkatan
laut kita pada era tersebut adalah bagian dari sebuah angkatan laut Tiongkok. Kenyataan sejarah
ini harus kita akui, jika kita ingin mendirikan/mengembangkan sebuah entitas yang besar dan
jaya.
Sebelum masa ini para warga negara keturunan Tionghoa harus berganti nama menjadi
nama “pribumi”, tidak diperkenankan mendirikan sekolah-sekolah, tidak diperkenankan
beragama Khonghucu dan tidak diperbolehkan membuat surat kabar atau majalah umum
berbahasa Mandarin. Terlebih parah lagi adalah larangan beragama Khonghucu, yang didasarkan
pada asumsi bahwa aliran tersebut adalah sebuah filsafat hidup bukannya agama. Sebagai akibat,
kita memiliki pengusaha bermata sipit yang bernama Mochammad Harun Musa, padahal jelas
sekali, dia bukan seorang Muslim atau pun bukan beragama Kristiani, melainkan ia “beragama”
Budha dalam kartu identitasnya.
Dalam hal keyakinan ini, kita berhadapan dengan pihak-pihak pejabat pemerintah yang
beranggapan, negara dapat menentukan mana agama dan mana yang bukan. Mereka sebenarnya
memiliki motif lain, seperti dahulu sejumlah perwira BAKIN ( Badan Koordinasi Intelejen
Negara) yang beranggapan jika warga “keturunan Tionghoa” dilarang beragama Khonghucu,
maka para warga negara itu akan masuk ke dalam agama “resmi” yang diizinkan mereka. Inilah
bahaya atas penafsiran oleh negara, padahal sebenarnya yang menentukan sesuatu agama atau
bukan, adalah pemeluknya sendiri. Karena itu, peranan negara sebaiknya dibatasi pada
pemberian bantuan belaka. Karena hal itu pula lah penulis menyanggah niatan Kapolda Jawa
Tengah, yang ingin menutup Pondok Pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Solo. Biarkan masyarakat
yang menolak peranannya dalam pembentukan sebuah negara Islam di negara ini !
Di sini harus jelas, mana yang menjadi batasan antara peranan negara dan peranan
masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupan beragama. Negara hanya bersifat membantu,
justru masyarakat yang harus berperan menentukan hidup matinya agama tersebut di negeri ini.
Di sinilah terletak arti firman Tuhan dalam kitab suci Al-Qur‟an: “ Tak ada paksaan dalam
beragama, (karena) benar-benar telah jelas mana yang benar dan mana yang palsu “(La ikhroha
fi aldin qul tabayyana al-rus‟ydu min ar-ghayyi)”. Jelas dalam ayat itu, tidak ada peranan negara
sama sekali melainkan yang ada hanyalah peranan masyarakat yang menentukan mana yang
benar dan mana yang palsu. Jika kesemua agama itu bersikap saling menghormati, maka setiap
agama berhak hidup di negeri ini, terlepas dari senang atau tidaknya pejabat pemerintahan.
Sangat jelas dari uraian di atas, bahwa diskriminasi memang ada di masa lampau, tetapi
sekarang harus dikikis habis. Ini kalau kita ingin memiliki negara yang kuat dang bangsa yang
besar. Perbedaan di antara kita, justru harus dianggap sebagai kekayaan bangsa. Berbeda, dalam
pandangan Islam wajar terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi pada tingkat sebuah
bangsa besar, seperti manusia Indonesia, Kitab suci Al-Qur‟an menyebutkan: “Berpeganglah
kalian kepada tali Tuhan dan secara keseluruhan jangan terpecah-pecah dan saling bertentangan
“ (Wa‟ tashaimu bi habli allah jami‟an wa la tafarraqu). Ayat kitab suci tersebut jelas
membedakan perbedaan pendapat dengan pertentangan, yang memang nyata-nyata dilarang.
Walau telah lewat, tulisan ini dimaksudkan sebagai hadiah Tahun Baru Imlek yang harus kita
hargai, seperti hari-hari besar agama yang lain. Tentu, hadiah berupa peletakkan dasar-dasar
perbedaan diantara kita, sambil menolak pertentangan dan keterpecah-belahan diantara
komponen-komponen bangsa kita, jauh lebih berharga dari pada hadiah materi. Apalagi, jika
penerima hadiah itu berlimpah-limpah secara materi, sedangkan pemberi hadiah itu justru secara
relatif lebih tidak berpunya. Memang mudah sekali mengatakan tidak boleh ada diskriminasi,
tetapi justru upaya mengikis habis upaya itu memerlukan waktu, yang mungkin memerlukan
masa bergenerasi dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Memang selalu ada jarak waktu sangat
panjang antara penetapan secara resmi dengan kenyataan empirik dalam kehidupan. Mudah
dirumuskan, namun sulit dilaksanakan.
Kemajemukan Modal Membangun Bangsa
Oleh: Abdurrahman Wahid
Memorandum, 8 Agustus 2003
Bangsa kita sejak dulu sudah mejemuk dari sudut ras, kita mengenal paling tidak dua ras
utama, yaitu Melayu dan Austro Melanesia, yang satu berkulit langsat dan yang satunya berkulit
hitam, yang satu berambut lurus dan yang satu berambut kriting. Kedua Ras itu hidup
berdampingan secara damai, selama berabad-abad. Kemudian datang ras Tionghoa yang sampai
di kawasan ini -minimal di pantai utara pulau Jawa- pada abad ke-13 Masehi. Ketika kemudian,
dalam abad ke-16 kapal-kapal layar Tionghoa ditarik pulang, terputuslah hubungan antara
masyarakat mereka yang beragam Islam dengan daratan Tiongkok. Orang-orang Tionghoa itu
segera diserap oleh “masyarakat asli” dikawasan ini. Terjadilah kekosongan migrasi etnis
Tionghoa selama 2 abad dan baru kemudian mereka “diimpor” kelompok-kelompok Tionghoa
yang beragam Budha dan Konghucu dari Tiongkok Timur dan Selatan.
Bahwa kemudian mereka dianggap ras tersendiri, di luar dari mereka yang dianggap “ras
asli”, itu adalah perkembangan politik yang dipaksakan atas kenyataan. Kebetulan sekali,
anggapan “bukan asli” diperkuat dengan politik negeri ini yang pada abad ke-20 masehi,
masyarakat Tionghoa tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan kemahiran dibidang-bidang
yang ada. Melainkan hanya di bidang-bidang usaha. Di bidang politik, oleh rezim Orde Baru
mereka tidak diperkenankan langsung turut serta melainkan hanya “diayomi” melalui
pembiayaan oleh “oknum-oknum” yang berada dalam CSIS. Kedudukan mereka di bidang
politik sama dengan tempat mereka dalam kehidupan: “Sebagai istri gelap yang diajak hidup
bersama, tapi tidak pernah diperkenalkan kepada siapapun dan tidak pernah diajak ke pesta-
pesta.” Namun karena sukses di bidang usaha, mereka dianggap dan sering diperlakukan sebagai
“yahudi” nya Indonesia.
Sudah sepatutnyalah mereka kini diajak memperluas bidang-bidang kehidupan dalam
negara ini, sehingga kemudian dapat diminta turut bertanggung jawab atas kehidupan bangsa
secara keseluruhan. Walau demikian, diam-diam hal itu telah terjadi dengan sendirinya, seperti
dalam kasus seorang Tionghoa ahli budaya Jawa yang kini menjadi Bupati di salah satu Kraton
di pulau Jawa. Dalam kasus-kasus Tionghoa -yang secara lecehan ataupun serius sering disebut
orang Cina-, tadi menunjukkan perlunya kita mengembangkan kearifan lebih dari bangsa-bangsa
lain di benua ini. Kearifan itu diperlukan untuk menyanggah kemajemukan budaya bangsa, yang
saat ini dihadapkan oleh proses modernisasi bangsa ini, yang mengakibatkan anak-anak kita
tidak lagi mengenal siapa itu Ande-Ande Lumut, Malin Kundang, dan sebagainya tetapi terus
dijejali dengan tokoh-tokoh seperti Doraemon dan Satria Baja Hitam.
Pengakuan akan kemajemukan budaya ini memang terkadang menyakitkan. Ambil
contoh penulis sendiri, seorang Muslim tradisional yang lahir di pesantren dan menyakini
kebenaran ajaran-ajaran yang diterimanya di tempat itu. Namun ia harus menghormati agama-
agama lain dan mencoba memahami ajaran-ajaran mereka. Bahkan juga harus menghormati dan
hidup berdampingan dengan sekian pandangan yang berkembang dalam lingkungan agama
sendiri, Islam. Harus menghormati Muhammadiyah, Persis dan kejawen. Dengan mereka penulis
harus dapat hidup berdampingan tanpa saling merendahkan, yang bertentangan dengan sikap
eksklusif sebagian Muslimin yang berujung kepada peledakan bom di Bali.
Dengan demikian menjadi nyata bahwa kemajemukan budaya tidak dapat dibatasi hanya
pada hubungan antar keyakinan dan pandangan belaka, melainkan juga hubungan intern dalam
masing-masing kelompok. Bahkan akhir-akhir inipun hubungan intern kelompok juga sangat
dipengaruhi oleh perkembangan politik -seperti yang terjadi di PKB dan PDI-Perjuangan-.
Karenanya kita juga harus cerdik dan cermat mengamati perkembangan tersebut. Di saat
kedaulatan hukum kita masih rapuh dan sistem politik yang amburadul seperti sekarang ini.
Penulis yakin kita dapat menyelesaikan keadaan itu dengan berpegang kepada kemajemukan itu.
Kita harus tahu setiap kemunduran yang kita alami dalam kehidupan politik saat ini,
seperti hancurnya wibawa pemerintah dengan peristiwa pembelian pesawat terbang Sukhoi dan
peledakan bom di Hotel Marriott Jakarta. Tetapi kemunduran itu diimbangi dengan dua buah
kejadian penting, yaitu pilihan Doktor Nurcholish Madjid untuk mementingkan kepemimpinan
atas jabatan. Demikian juga sikap para pecundang untuk pemilihan Gubernur di lima daerah
(Banten, DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur) yang menahan diri tidak
menggunakan kekuatan massa secara fisik.” Walaupun terjadi banyak kecurangan dan
penggunaan uang dalam proses itu. Ini menunjukan bahwa hal buruk maupun baik turut
memberikan pengaruh pada proses pembangunan politik kita.
Semua hal di atas merunjuk kepada pentingnya kemajemukan dalam kehidupan bangsa
ini, sesuatu yang sangat bergantung kepada kearifan kita bersama saat ini. Tentu saja
pengorbanan hal-hal yang sebelumnya kita terima sebagai “ kebenaran kelompok“ dalam bentuk
sikap merelakan bagi kepentingan bersama bangsa ini.
Walaupun sebenaranya pengorbanan ini sudah lama juga kita jalankan, seperi kasus
Keluarga Berencana (KB). KH. M. Bisri Sansyuri, Ra‟is Aam PBNU waktu itu, antara 1973 –
1975 mengajak 6 orang temannya yang matang dalam Fi‟qh/hukum Islam untuk merumuskan
kembali praktek-praktek pembatasan kelahiran. Mereka melakukan perubahan rumusan, dengan
menamakan praktek itu sebagai Keluarga Berencana. Dengan perubahan itu, yang dapat diterima
hanyalah metode alat-alat dan obat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan
melakukan hal itu, mereka merumuskan kembali kerja merencanakan keluarga, yang mau tidak
mau harus dilakukan kaum muslimin di abad modern ini. Karena dihadapkan dengan biaya
pendidikan yang semakin mahal, pola hubungan warga masyarakat yang turut berubah dan
perencanaan ekonomi nasional yang menghendaki rasionalisasi jumlah tenaga kerja. Contoh
sederhana ini menunjukkan kepada kita, bahwa pandangan dan sikap lama harus berbaur dengan
pandangan dan sikap baru, dan itulah kenyataan yang harus kita hadapi sekarang.
Sebuah cara lain dalam melakukannya dapat dilihat dalam penafsiran ulang (re-
interpretasi) ajaran-ajaran agama yang ada selama ini. Ketika nabi Muhammad SAW
mengatakan “ Berkawin-kawinlah dan beranak-pinaklah kalian, karena aku akan membanggakan
kalian di muka umat-umat lain pada hari kiamat kelak “. (Tanakahu wa taktzuru fa inni
mubahain bikumu ya umma al-qiyamah). Maka kata “membanggakan” ini sekarang dapat
diartikan sebagai kualitas umat, bukan kuantitasnya.
Nah, kemajemukan pandangan dan sikap dalam bentuk berbeda-beda seperti inilah yang
kita namakan kemajemukan. Karena budaya kita memang susah terbilang, maka dengan
sendirinya kemajemukan itu telah ada dalam kehidupan bangsa ini. Tetapi akan lebih mantap dan
berwajah lebih lengkap, kalau hal ini kita sadari dengan baik sebagai warga negara yang
mengetahui kebutuhan hidup bersama, kebutuhan akan toleransi dan menghargai orang lain,
sebagai sebuah sikap hidup yang dimiliki sehari-hari. Dengan demikian, yang kita perlukan
adalah sikap inklusif bukanya sikap ekslusif dalam embina kehidupan bersama. Memang mudah
diungkapkan, namun sulit dilaksanakan.