Anda di halaman 1dari 149

KONSEP PLURALISME ABDURRAHMAN WAHID

DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd.I)

Oleh
Achmad Cahyadi
NIM: 1110011000072

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
ABSTRAK

Achmad Cahyadi (1110011000072), Konsep Pluralisme Abdurrahman Wahid dalam


Perspektif Pendidikan Agama Islam. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam.
Universitas Islam Negreri (UIN) Syarif Hidayatullah. 2017
Latar belakang penelitian ini adalah bahwa kemajuan zaman di era sekarang ini memiliki
berbagai macam tantangan, termasuk tantangan dalam menghadapi pemikiran radikal seperti
egois, tertutup (eksklusif), intoleran, dan berorientasi pada kesalehan personal yang dapat
memecah belah kebinekaan dan persatuan,. Abdurrahman Wahid melalui ide-ide cemerlangnya
khususnya dalam pemikiran pluralismenya akan penulis impelentasikan dalam pendidikan
Agama Islam sehingga akan ada pemikiran baru untuk menghadapi tantangan yang banyak
terjadi di Negara yang kaya akan keberagaman ini.
Studi ini juga dimaksudkan untuk menjawab permasalahan Bagaimana Pemikiran Abdurrahman Wahid
tentang Konsep Pendidikan Pluralisme? Dan Bagaimana Konsep Pendidikan Pluralisme menurut
Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam? Permasalahan tersebut dibahas
melalui studi kepustakaan yang datanya diperoleh dari berbagai karya tulisan Abdurrahman Wahid
terkait pendidikan pluralisme.
Penelitian ini merupakan penelitian studi pustaka (library research), dengan mengambil ide
pemikiran Abdurrahman Wahid. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis dan
historis. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan dokumen-dokumen dan transkip
yang telah ada.
Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Menurut Abdurrahman Wahid Konsep Pendidikan pluralisme
merupakan suatu pendidikan untuk menerima perbedaan sebagai sunnatullah agar saling mengenal,
menghindari perpecahan, mengembangkan kerjasama dengan menanamkan rasa saling pengertian,
saling memiliki dan bersikap inklusif, tidak membatasi pergaulan dengan siapapun, namun tetap
meyakini kebenaran agama sendiri dengan tidak mempersamakan keyakinan secara total. (2) Dalam
perspektif pendidikan Agama Islam, pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan pluralisme
memiliki keserasian yaitu berorientasi pada terbentuknya kepribadian serta akhlak yang luhur dengan
berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, serta mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi
pada peserta didik sejak dini yang berkelanjutan dengan mengembangkan rasa saling pengertian dan
memiliki terhadap umat agama lain.

i
KATA PENGANTAR

Bismiilahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji Syukur kehadirat Allah swt, Tuhan semesta alam yang telah memberikan
segala nikmat, taufik dan hidayah-Nya. Kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Konsep Pluralisme
Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam”.
Shalawat serta salam senantiasa penulis sanjungkan kepada Rasul-Nya yang
agung baginda Nabi Muhammad saw. Rasul terakhir yang membawa risalah,
penyejuk dan penerang hati umat sehingga selamat bahagia dunia dan akhirat serta
mendapatkan syafaat kelak pada hari yaumul qiyamah nanti.
Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan, saran
dan bantuan dari berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung
sehingga penulisan skripsi ini terselesaikan. Oleh karena itu, dalam kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Hj. Marhamah Saleh, Lc, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Dr. Khalimi. M.Ag, Dosen Penasehat Akademik juga sebagai Pembimbing
skripsi ini, yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk
memberikan bimbingan serta pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
6. Para Dosen di lingkungan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan pada
umumnya dan Jurusan Pendidikan Agama Islam khususnya yang telah
membekali berbagai ilmu pengetahuan sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini.

ii
7. Bapak/Ibu karyawan Perpustakaan Tarbiyah dan Perpustakaan Utama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan selama penyusunan skripsi ini.
8. Orang tua tercinta (Ibu Ida dan Bapak Yusuf) yang selalu mendo’akan,
memotivasi dan memberikan kasih sayangnya kepada penulis dalam setiap
situasi.
9. Seluruh Keluarga dan sahabat penulis yang senantiasa memberikan do’a dan
motivasi kepada penulis.
10. Teman-teman Pendidikan Agama Islam angkatan 2010 pada umumnya dan
Kelas B pada khususnya sahabat saya Albert Ferdinand, terima kasih atas
semangat, saran-saran, motivasi, bantuan, dan kebersamaan selama menimba
ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis

Akhir kata penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan


ketidaksempurnaan skripsi ini. Semoga Allah swt, membalas kebaikan kalian
dengan pahala yang berlipat ganda. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Alhamdulillaahi Rabbil’aalamin
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, 28 Agustus 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 9
C. Pembatasan Masalah ................................................................. 10
D. Perumusan Masalah .................................................................. 10
E. Tujuan Penelitian ...................................................................... 10
F. Manfaat Penelitian………………………………………..…... 10

BAB II KAJIAN TEORI


A. Pendidikan Pluralisme............................................................. 11
1. Pengertian dan Sejarah Munculnya Pluralisme ............ 11
a. Pengertian Pluralisme ...................................................... 11
b. Sejarah Munculnya Pluralisme ....................................... 13
1) Faktor Idiologi (Internal) ............................................ 14
2) Faktor Eksternal ........................................................ 14

2. Pengertian dan Sejarah Munculnya Pendidikan


Pluralisme .......................................................................... 15
a. Pengertian Pendidikan Pluralisme ................................... 15
b. Sejarah Munculnya Pemikiran Pluralisme ...................... 16
3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Pluralisme .................... 17
a. Dasar Pendidikan Pluralisme........................................... 17
1) Dasar Historis ............................................................. 17
2) Dasar Normatif ........................................................... 25

iv
b. Tujuan Pendidikan Pluralisme ........................................ 36
B. Biografi Abdurrahman Wahid................................................ 38
1. Biografi ............................................................................... 38
a. Kehidupan Awal .............................................................. 39
b. Riwayat Pendidikan ........................................................ 40
2. Karya-karya Abdurrahman Wahid ................................ 46
3. Penghargaan yang diperoleh Abdurrahman Wahid ..... 50
C. Pendidikan Agama Islam……................................................. 52
1. Dasar Pendidikan Agama Islam………………………… 54
a. Al-Qur’an ........................................................................ 55
b. Sunnah ............................................................................. 58
c. Ijtihad............................................................................... 59
b. Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ............ 60
2. Fungsi Pendidikan Agama Islam ..................................... 62
3. Tujuan Pendidikan Agama Islam .................................... 63

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................... 70
B. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian .......................... 70
C. Sumber Data ............................................................................. 71
D. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 71
E. Analisis Data ............................................................................. 72
F. Teknik Penulisan…………………………………………..…. 72

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Analisis konsep Pendidikan Pluralisme Menurut
Abdurrahman Wahid ........................................................... 73
1. Terbentuknya sikap Pluralisme Abdurrahman Wahid ....... 73
2. Konsep Pendidikan Pluralisme Abdurrahman Wahid……. 77

v
3. Relevansi Pemikiran Abdurrahman Wahid di Indonesia…. 81
B. Konsep Pendidikan Pluralisme menurut Abdurrahman
Wahid Ditinjau dari Pendidikan Agama Islam… .............. 90
1. Maqashid al-Syari’ah Sebagai Prinsip Pendidikan
Pluralisme............................................................................ 90
2. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman
Wahid Ditinjau dari Pendidikan Agama Islam ................... 93
3. Analisis Pluralisme dalam Pendidikan Agama Islam…..… 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan ............................................................................. 102
B. Saran ....................................................................................... 102

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 103


LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................. 105

vi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan merupakan sebuah konsep yang tidak ada habisnya dibahas dan
dikaji lebih dalam. Berbagai macam ide, wacana, dan gagasan tentang hal-hal
yang berkaitan dengan pendidikan menjadi suatu objek kajian yang menarik bagi
para ahli untuk meneliti dan mengembangkanya. Dari beberapa kajian tersebut,
munculah konsep-konsep pendikan yang mempunyai landasan pemikiranya
masing-masing.
Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan adanya interaksi.Interaksi
antar individu tersebut bermacam-macam, misalnya interaksi sosial, agama,
budaya, dan sebagainya. Proses adanya interaksi antar individu tidak hanya
melalui pendidikan saja, akan tetapi pendidikan merupakan media utama dalam
interaksi antar individu baik keadaan formal ataupun non formal.
Menurut para ahli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk atau
plural society,1 dari segi etnis, misalnya ada suku melayu dan ada suku Melanesia
yang selanjutnya membentuk seratus suku besar dan 1.072 suku-suku derivative
besar dan kecil. Dari segi bahasa, terdapat ratusan bahasa yang digunakan di
seluruh wilayah Nusantara. Dari segi pulau yang dihuni, terdapat sekitar 17.504
lingkungan kehidupan kepulauan.Dari segi sejarah politik lokal, terdapat puluhan
bahkan ratusan sistem kerajaan kesukuan lama yang berpengaruh terhadap sistem
stratifikasi sosial dan adat istiadat setempat sekarang.Dari segi mata pencaharian,
terdapat keragaman antara kehidupan pedesaan dan perkotaan.Dari segi agama,

1
Prof. Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan PraksisKerukunan Umat Beragama di
Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta:Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005),
Cet. I, hlm. 47

1
2

terdapat sejumlah agama besar dunia dan sejumlah sistem kepercayaan lokal yang
tersebar diseluruh wilayah Nusantara.2
Masyarakat semacam itu merupakan suatu fenomena unik dan menarik,
tetapi juga bisa menjadi pangkal konflik seperti yang banyak terjadi sejak dahulu
hingga kini. Di satu sisi keragaman dapat diterima oleh masyarakat sebagai
sebuah keniscayaan yang disikapi dengan arif, namun di sisi lain ternyata
menimbulkan masalah yang cukup kompleks.
Pada hakikatnya, bangsa kita sebagai sebuah masyarakat heterogen yang
sedang tumbuh, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian yang
mendalam antara beraneka ragam unsur-unsur etnis, budaya daerah, bahasa ibu,
dan kebudayaannya.Paling tidak tentu saling pengertian tercapai barulah bersifat
nominal belaka.Pola hubungan seperti itu dengan sendirinya tidak memiliki daya
tahan yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang datang dari perkembangan
politik, ekonomi, dan budaya, sehingga kerukunan yang ada hanyalah kondisi
yang rapuh.3
Sering kali perbenturan dalam pluralisme yang mendapat sorotan tajam
adalah mengenai pluralisme agama.Karena secara historis, di negara ini agama-
agama besar berkembang dengan suburnya.Dan secara sosiologis, hubungan
masing-masing agama sarat dengan berbagai dinamika, terkadang akomodatif dan
terkadang konfrontatif. Pola hubungan akomodatif terjadi karena masing-masing
umat dapat mengaktualisasikan ajaran agamanya dengan benar sekaligus para
pemeluk agama menaati dan mengakomodir nilai-nilai budaya lokal.Sedangkan
mencuatnya hubungan konfrontatif disebabkan oleh sifat dan watak umat
beragama, termasuk pemahaman agama yang sempit serta adanya pengaruh
provokasi dari luar.Yang selanjutnya menyebabkan kerusuhan yang bernuansa
agama.

2
Prof. Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan PraksisKerukunan Umat Beragama di Indonesia
dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta:Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), Cet. I, hlm.1-2
3
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan PemikiranK. H.
Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI, (Jakarta: Kompas, 1999), Cet. II, hlm. 15
3

Perbedaan sikap dan pandangan, apalagi perbenturan kepentingan dapat


membuat ketenangan suasana sewaktu-waktu berubah menjadi kebalauan.Mereka
yang tadinya saling menghormati, tiba-tiba dapat bersikap saling menyalahkan.
Dalam pelaksanannya, ada lima dimensi sebagai tujuan pendidikan
multikultur agar peserta didik maupun pendidik bisa menjadi penyeimbang dari
struktur masyarakat yang tertimpang kepada struktur yang berkeadilan, yaitu,
pertama adanya integrasi pendidikan dalam kurikulum yang didalamnya
melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang tujuan utamanya adalah
menghapus perasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan yang di wujudkan
dengan mengetahui dan mengetahui secara komperhensif keragaman yang
ada.Ketiga, pengurangan prasangka yang lahir dari intraksi antar keragaman
dalam kultur pendidikan. Keempat, pedagogic kesetaraan manusia yang member
ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap eleman yang beragam. Kelima,
pemberdayaankebudayaan sekolah adalah tujuan dari pendidikan multicultural
yaitu agar sekolah menjadi elemen social dari struktur masyarakat yang timpang
kepada struktur yang berkeadilan.4
Dua dasawarsa terakhir ini, Indonesia sedang ditandai oleh friksi dan tensi
krusial dengan warna keagamaan, misalnya konflik Kristen-Islam di Poso,
Maluku sampai Paling mutakhir dan paling menonjol dalam kurun tahun 2008
hingga awal 2011 adalah pada 1 Juni 2008 terjadi penyerangan oleh FPI (Front
Pembela Islam) terhadap anggota AKKBB (Aliansi Kebebasan untuk Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan) yang tengah melakukan aksi di Monas, Jakarta.
Pada 27 Juli 2010 masjid Syekh Ali Martaib di desa Lumban Lobu, Kec. Tapanuli
Utara-Sumatera Utara dibakar oleh orang tak dikenal menjelang subuh, 06
Februari 2011 terjadi tragedi di Cikeusik, Pandeglang-Banten yaitu penyerangan
terhadap Jama’ah Ahmadiyah yang menewaskan empat orang dan melukai lima
orang, 08 Februari terjadi perusakan tiga Gereja di Temanggung Jawa Tengah

4
Abdurrahman Wahid, Islam ku Islam anda Islam kita Agama Masyarakat Demokratis,
(Jakarta: the wahid institute 2006), hal. 223
4

oleh massa yang tidak puas karena terdakwa kasus penistaan agama Antonius
Richmon hanya divonis lima tahun penjara, serta yang terakhir adalah
penyerangan pesantren di Pasuruan oleh gerombolan bermotor pada 15 Februari
2011.5
Hal-hal demikian sangatlah disesalkan mengingat masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat yang plural dan hanya bisa di satukan dengan menjunjung
tinggi sikap toleransi baik suku, agama maupun budaya. Sikap toleransi inilah
yang membuat masarakat Indonesia bisa melihat keindahan Indonesia sebagai
negara yang plural menghargai perbedaan dan hidup dalam perdamaian meski
masalah di negara plural ini akan slalu ada akan tetapi masyarakat akan bisa
melihat berbagai permasalahan dengan sikap yang lebih dewasa, sehingga jangan
sampai ada yang menunggangi di setiap konflik memanfaatkan yang terjadi demi
kepentingan pribadi ataupun politik.
Sebenarnya, konflik-konflik tersebut tidak selalu berdasarkan pertimbangan
keagamaan, tetapi juga karena faktor kebangsaan, kesejarahan, kesenjangan
sosial-ekonomi dan politik, hegemoni kultural, kekuasaan teritorial, dan
sebagainya. Meskipun demikian, tampak bahwa pertimbangan religiusitas sedikit
banyak mengandung semangat kebencian pemeluk suatu agama vis a vis pemeluk
agama lainnya.6
Menurut Yenni Wahid, kekerasan berbau SARA (Suku Agama Ras dan
Antar golongan) terjadi karena ada pihak-pihak yang ingin memecah belah
bangsa Indonesia yang majemuk. Mereka membenturkan hal-hal yang berbeda,
juga ada keinginan untuk memimpin ruang-ruang tertentu namun rela
mengacaukan hubungan yang telah harmonis. Serta ada pula penyebab lain,
terutama faktor ekonomi yang bisa menyebabkan seseorang menjadi frustasi lalu

5
Fauzan Dj, “Kekalahan Negara atas Kekerasan Berlatar Agama”, Suara Merdeka, Semarang,
20 Februari 2011, hlm. 4
6
Abdul Dubbun Hakim, Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang Membebaskan,
Refleksi atasPemikiran Nurcholis Madjid (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006), hlm. 3-4
5

mudah ditawari untuk menjadi mujahid dengan mengikuti kelompok yang


menjanjikan surga dan kemuliaan.7
Agama dewasa ini ditantang dan diuji oleh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesatnya, agama-agama besar dunia,
Yahudi, Kristen, dan Islam disadari ataupun tidak telah memasuki periode krisis
yang akut dan berlangsung secara kontinyu. Krisis tersebut karena agama-agama
sudah tidak mampu memberikan solusi-solusi alternatif bagi manusia modern
dalam ragam masalah kehidupan mereka.
Adanya keanekaragaman corak beragama adalah fenomena empiris historis
yang tidak mungkin kita hindari.Berhadapan dengan realitas tersebut setiap umat
beragama disapa untuk menyikapi adanya pluralitas tersebut tanpa mengambil
sikap yang eksklusif, partikularis, dan intoleran dalam hidup di tengah-tengah
kemajemukan. Sebenarnya, pluralitas keagamaan adalah sebuah kehendak Tuhan
yang tidak akan berubah sehingga keberadaannya tidak mungkin ditolak atau
ditawar.8 Sikap mental yang apresiatif dan inklusif terhadap adanya
keanekaragaman agama tersebut sejalan dengan semangat nash al-Qur’an surat al-
Hujurat: 13

         

            
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang

7
Zannuba Arrifah Chafsoh, “Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah”, Suara Merdeka,
Semarang, 20 Februari 2011, hlm. 2
8
Abdul Dubbun Hakim, op. cit. hlm. 9-10
6

paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.9
Jika dicermati secara mendalam, Allah swt. Secara tegas menyatakan
melalui firman-Nya tersebut bahwa terdapat kemajemukan di muka bumi
ini.Adanya laki-laki dan perempuan serta perbedaan suku bangsa harus diterima
sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar keniscayaan
tersebut.Bahkan kita disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut dengan
berinteraksi sosial sebagai instrumen untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah
swt.
Sejalan dengan firman tersebut, maka pluralitas umat meningkat menjadi
pluralisme.Yaitu sistem nilai yang memandang optimis-positif terhadap
keanekaragaman dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.
Dalam sejarah perkembangan agama Islam, diketahui bahwa hijrahnya
Nabi ke Madinah bukan bertujuan untuk membentuk negara Islam, melainkan
hanya untuk menjamin keamanan masyarakat agamanya serta demi kondisi-
kondisi yang dibutuhkan bagi penyiaran agama Islam.Selain itu Nabi juga ingin
mengimplementasikan perintah-perintah Allah swt. di Makkah untuk diterapkan
di Madinah. Di Madinah, Nabi mengeluarkan sebuah Piagamyang menjamin
kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas, dengan
menekankan kerjasama seerat mungkin dengan sesama kaum Muslimin dan
menyerukan kepada orang-orang Muslim dan Yahudi untuk bekerjasama demi
keamanan mereka bersama.10
Pluralisme merupakan kenyataan bahwa dalam suatu kehidupan manusia
terdapat keragaman suku, ras, budaya, dan agama.Keragaman itu bisa terjadi
karena adanya faktor lingkungan tempat manusia hidup yang berbeda-beda.
Lingkungan empat musim bagi seseorang akan membuat orang tersebut memiliki

9
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema
Insani,2005),
10
hlm. 518
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm.13
7

karakter dan pembawaan yang berbeda dengan orang yang hidup dalam
lingkungan dua musim.
Menurut Nurcholis Madjid, Pluralisme tidak dapat dipahami hanya
dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari
berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi,
bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedarsebagai “kebaikan
negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan
fanatisme.11
Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam
ikatan-ikatan keadaban. Bahkan juga suatu keharusan bagi keselamatan ummat
manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang
dihasilkannya.12Dengan demikian, hal tersebut menegaskan adanya masalah besar
dalam kehidupan beragama yang ditandai oleh kenyataan pluralisme dewasa ini.
Salah satu masalah besar dari paham pluralisme yang telah menyulut perdebatan
abadi sepanjang masa menyangkut masalah keselamatan adalah bagaimana suatu
teologi dari suatu agama mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain.
Dari uraian tersebut, menjadi nyata bagi kita bahwa masalah pokok dalam
hal hubungan antarumat beragama adalah pengembangan rasa saling pengertian
yang tulus dan berkelanjutan. Kita akan menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat
agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya
sekedar saling menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki (sense
of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain.
Sikap mental ini kemudian berubah menjadi eksklusivisme, sektarianisme,
dan intoleransi antarumat beragama sehingga terjadilah konflik-konflik dan

11
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 119
12
Budhi Munawwar-Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaran Kaum Beriman, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 39
8

perang atas nama agama. Realitas empirik inilah yang memprihatinkan kita
semua.Namun, justru karena itulah dialog antaragama menjadi sangat penting.13
Kecenderungan sekelompok kecil umat Islam yang sering bersikap keras
terhadap penganut agama lain menurut Abdurrahman Wahid merupakan proses
pendangkalan agama. Pendangkalan ini muncul karena pengaruh politik Islam di
Timur Tengah di mana Islam sudah dijadikan ideologi atau komoditas politik.
Proses pendidikan dan dakwah Islam yang cenderung bersifat memusuhi,
mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain merupakan faktor lain yang
memperburuk hubungan antarumat beragama di Indonesia. Hal ini dilakukan baik
oleh mubalig maupun guru-guru di sekolah.Padahal tidak ada ayat atau hadis nabi
yang memerintahkan kaum Muslim bersikap keras demikian, apalagi terhadap
agama-agama samawi.14
Pluralisme yang ditekankan Abdurrahman Wahid adalah pluralisme dalam
bertindak dan berpikir. Pluralisme dalam bertindak mensyaratkan seseorang untuk
tidak membatasi pergaulan dengan orang lain (eksklusif) meskipun berbeda
keyakinan. Pluralisme dalam berpikir adalah kesediaan untuk menerima atau
mengambil gagasan atau pemikiran dari kalangan lain.
Sikap hidup yang demikian merupakan realisasi dari pandangan
demokratis, toleran dan pluralistik Abdurrahman Wahid. Sikap itu pula yang bisa
menjelaskan keluasan pergaulan dan wawasan Abdurrahman Wahid yang ternyata
bersumber dari banyak sekali ajaran, nilai moral, dan budaya yang ada di dunia
termasuk faktor pendidikan yang diterima di dalam keluarga dan pendidikan
formal yang ditekuninya bahkan sampai kepada keaktifannya di berbagai
organisasi kemasyarakatan.
Oleh sebab itu, pendidikan yang sampai sekarang masih diyakini
mempunyai peran besar dalam membentuk karakter generasi muda penerus

13
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran K. H.
Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI, (Jakarta: Kompas, 1999), Cet. II, hlm. 16
14
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (ed), Passing Over: Melintas Batas Agama, (Jakarta:
Paramadina, 1998), hlm. 51-54
9

bangsa, maka melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan pluralisme akan


sangat dibutuhkan serta dapat memelihara dan berupaya menumbuhkan
pemahaman yang inklusif pada anak bangsa. Dengan suatu orientasi untuk
memberikan penyadaran akan pentingnya sikap saling menghargai, menghormati
dan bekerja sama dengan agama-agama lain.
Mencermati realitas tersebut, pemikiran mengenai pentingnya pendidikan
pluralisme terutama bagi bangsa Indonesia yang majemuk menurut pandangan
seorang tokoh yang sangat mengedepankan pluralisme, baik pemikirannya yang
diaktualisasikan dalam bentuk tulisan di berbagai media, maupun bentuk sikap
dan tindakan riil yang dilakukannya, entah itu ketika menjabat sebagai presiden,
sebelum maupun sesudah menjabat, sangatlah menarik untuk dikaji. Dan untuk
penelitian ini, pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Pluralisme
akan ditinjau dalam perspektif Pendidikan Islam, sehingga penelitian ini diberi
judul “KONSEP PLURALISME MENURUT ABDURRAHMAN WAHID
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA ISLAM”.

B. Identifikasi Masalah
Permasalahan yang telah diuraikan menjadi sangat lebar, supaya masalah
yang terkait dengan judul menjadi jelas, maka penulis perlu mengidentifikasi
masalah yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Masalah-masalah yang terkait kebudayaan dan SARA selalu menjadi wacana
yang menarik untuk dikaji, namun pemecahan masalahnya belum
memuaskan.
2. Indonesia sebagai Negara multikultural berfrekuensi tinggi adanya konflik
kultural.
3. Pemikiran K.H Abdurrahman Wahid terkait dengan pendidikan pluralisme
belum terkonsepkan.
4. Pendidikan yang ada sekarang belum bisa mencapai tujuan pendidikan seperti
yang dirumuskan undang-undang sisdiknas.
10

5. Pendidikan Agama islam yang pluralisme merupakan pendidikan alternatif


yang perlu dikembangkan, tetapi konsepnya masih abstrak untuk
terealisasikan.
C. Pembatasan Masalah
Pembahasan dalam penulisan skripsi tidak mungkin dapat dibahas secara
keseluruhan.penulisan ini perlu dibatasi supaya tidak melebar dan menyimpang
dari fokus masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu
“Konsep pluralisme Abdurrahman Wahid dalam perspektif pendidikan Agama
Islam K.H Abdurrahman Wahid”.
D. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah dan kerangka pemikiran di atas, terdapat
beberapa permasalahan yang akan dikaji:
1. Bagaimana Konsep Pendidikan Pluralisme menurut Abdurrahman Wahid?
2. Bagaimana Konsep Pendidikan Pluralisme menurut Abdurrahman Wahid
ditinjau dari Perspektif Pendidikan Islam?
E. Tujuan Penelitian
Dari beberapa permasalahan di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1. Mengetahui pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Konsep Pendidikan
Pluralisme.
2. Mengetahui bagaimana Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Konsep
Pendidikan Pluralisme jika ditinjau dari Perspektif Pendidikan Agama Islam.
F. Manfaat Penelitian
Harapan dari penulisan skripsi ini adalah agar bermanfaat dalam
memberikan gambaran tentang Konsep Pluralisme Abdurrahman Wahid dalam
prspektif pendidikan Agama Islam untuk dijadikan pegangan sesama praktisi
pendidikan yang sekiranya dapat memberikan sumbangsih dan kontribusi nyata
dalam memecahkan berbagai masalah berbau SARA (Suku Agama Ras dan Antar
golongan) yang bisa menimbulkan dampak ketegangan di antara kelompok, suku,
serta pemeluk agama yang dihadapi oleh masyarakat plural, seperti di Indonesia.
BAB II

PLURALISME, BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID

DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

A. Pendidikan Pluralisme
1. Pengertian dan Sejarah Munculnya Pluralisme
a. Pengertian Pluralisme
Pluralisme yang dalam bahasa arabnya diterjemahkan al-
1
ta‟addudiyyah, secara lughawi berasal dari kata plural (Inggris)
yangberarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada
banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui. Pluralisme adalah
sebuah “ism” atau aliran tentang pluralitas.2
Menurut tokoh muslim Nusantara Cak Nur pluralism adalah satu
landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam
kehidupan social dan budaya, termasuk agama.3
Pluralisme yang berarti jamak atau lebih dari satu, dalam kamus
bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian.Pertama, pengertian
kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan
dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara
bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua,
pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya
landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga,
pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi
keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai
dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat
karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian
tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu

1
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2007),
Cet. III, hlm. 11
2
Syamsul Ma‟arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005),
hlm. 11
3
Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme (Malang: Aditya media publishing),
Hal.78

11
12

koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan


tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-
masing.4
Nurcholis Madjid menyatakan bahwa pluralisme tidak dapat
dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk,
beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya
menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme.Pluralisme juga
tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good),
hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme.
Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan
dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan juga suatu keharusan bagi
keselamatan ummat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan
dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci justru disebutkan
bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan
antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan
salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada ummat
manusia.5
Menurut Alwi Shihab, pengertian konsep pluralisme dapat
disimpulkan sebagai berikut: Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk
pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud
dengan pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan
kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai di
mana-mana, tapi seseorang dapat dikatakan menyandang sifat tersebut
apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan
tersebut.
Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme,
kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam, ras,
bangsa hidupberdampingan di suatu lokasi. Ambil contoh kota New York,

4
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2007),
Cet. III, hlm.12
5
BudhiMunawwar-Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 31
13

kota ini adalah kota kosmopolitan, yang terdapat orang Yahudi,Kristen,


Muslim, Hindu, Buddha, bahkan orang-orang tanpa agama. Namun
interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat
sedikit, kalaupun ada.
Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan denganrelativisme.
Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut
kebenaran atau nilai-nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka
berfikir seorang atau masyarakatnya. Sebagai konsekuensi dari paham ini
adalah agama apapun harus dinyatakan benar, atau tegasnya, semua agama
adalah sama.
Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni
menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau
sebagian komponen ajaran dari beberapa agama tersebut.6
Atau dapat diartikan bahwa pluralisme merupakan suatu sikap saling
mengerti, memahami, dan menghormati adanya perbedaan-perbedaan
demi tercapainya kerukunan antarumat beragama.Dan dalam berinteraksi
dengan aneka ragam agama tersebut, umat beragama diharapkan masih
memiliki komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing.7
b. Sejarah Munculnya Pluralisme
Pemikiran Pluralisme muncul pada masa yang disebut dengan
pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 M, masa
yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran
modern.Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru
pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal
(rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama.
Di tengah hiruk pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul dari
konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar
Gereja, muncullah suatu paham yang dikenal dengan “liberalisme”, yang

6
Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 41-42

7
Syamsul Ma‟arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, op. cit., hlm. 17
14

komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan


keragaman atau pluralisme. Oleh karena paham liberalisme pada awalnya
muncul sebagai madzhab sosial politis, maka wacana pluralisme yang lahir
dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama juga lebih kental
dengan nuansa dan aroma politik.8
Secara umum sebab-sebab lahirnya teori pluralisme dapat di
klasifikasikan dalam dua faktor utama yaitu faktor internal (ideologis) dan
faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang timbul akibat
tuntunan akan kebenaran yang mutlak (absolute truth claims) dari agama-
agama itu sendiri, baik dalam masalah akidah, sejarah maupun dalam
masalah keyakinan atau doktrin.
1) Faktor ideologi (internal)
Keyakinan seseorang yang serba mutlak dan absolut dalam apa
yang diyakini dan diimaninya itu paling benar adalah alami belaka.
Keyakinan akan absolutisme dan kemutlakan ini berlaku dalam hal
akidah dan ideologi (baik yang berasal dari wahyu Allah dan sumber
lainnya). Kenyataan ini hampir tak satupun yang mempertanyakannya,
hingga datangnya era modern di mana faham relativitas agama mulai
dikenal dan menyebar secara luas di kalangan para pemikir dan
intelektual, khususnya pada dekade terakhir abad ke-20 ini.
2) Faktor Eksternal
a) Faktor sosio – politis
Faktor yang mendorong munculnya teori pluralisme agama adalah
berkembangnya wacana-wacana sosio politis, demokratis dan
nasionalisme yang telah melahirkan sistem negara-bangsa dan
kemudian mengarah pada apa yang dewasa ini dikenal dengan
globalisasi, yang merupakan hasil praktis dari sebuah proses sosial
dan politis yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad. Proses
ini bermula semenjak pemikiran manusia mengenal liberalisme

8
Anis Malik Thoha, op. cit. hlm. 16
15

yang menerompetkan irama-irama kebebasan, toleransi, kesamaan


dan pluralisme sebagaimana telah di singgung di atas.
b) Faktor Ilmiah atau Keilmuan
Pada hakikatnya terdapat banyak faktor keilmuan yang berkaitan
dengan pembahasan ini.Namun yang memiliki kaitan langsung
dengan timbulnya teori-teori pluralisme agama adalah maraknya
studi-studi ilmiah modern terhadap agama-agama dunia, atau yang
sering juga dikenal dengan studi perbandingan agama.
Dengan kata lain peran penting studi agama modern adalah sebagai
supplier para filosof agama dan teolog dengan pengetahuan–
pengetahuan dan data–data lengkap yang dapat membantu peran
dan tugas utama mereka, yakni memahami hakikat agama.9

2. Pengertian Pendidikan Pluralisme dan Sejarah Munculnya Pemikiran


Pluralisme
a. Pengertian Pendidikan Pluralisme
Definisi tentang pendidikan pluralisme menurut Frans Magnez
Suseno adalah suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka
visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok
etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita mampu melihat
“kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan
maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar
kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.10
Pendidikan Pluralisme sering dikenal orang dengan sebutan
“Pendidikan Multikultural”. Ainurrofiq Dawam menjelaskan definisi
pendidikan multikultural sebagai proses pengembangan seluruh potensi

9
Anis Malik Thoha, op. cit. hlm. 16
10
Syamsul Ma‟arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, op. cit. hlm. 92
16

manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai


konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama).11
Muhammad Ali menyebut pendidikan multikultural sebagai
pendidikan yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan
pluralis secara agama sekaligus berwawasan multikultural, seperti itu,
dengan sebutan “Pendidikan Pluralis Multikultural”. Menurutnya,
pendidikan semacam itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya
komprehensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama,
radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai
dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.12
Memperhatikan beberapa definisi tentang pendidikan pluralisme
tersebut di atas, secara sederhana pendidikan pluralisme dapatlah
didefinisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman keagamaan dan
kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan.Pendidikan di sini, dituntut untuk dapat merespon terhadap
perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan
persamaan hak bagi setiap kelompok.
Melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan yang berbasis
pluralisme akan berusaha memelihara dan berupaya menumbuhkan
pemahaman yang inklusif pada peserta didik. Dengan suatu orientasi untuk
memberikan penyadaran terhadap para peserta didiknya akan pentingnya
saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan agama-agama
lain.13
b. Sejarah Munculnya Pemikiran Pluralisme
Menurut sejarahnya, di negara-negara yang menganut konsep
demokrasi seperti Amerika Serikat dan Kanada, Pendidikan Pluralisme

11
Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan
danKanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa
KaryaPress,
12
2003), hlm. 100
Syamsul Ma‟arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, loc. cit
13
Syamsul Ma‟arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme,
(Semarang: Nedd‟s Press, 2008), hlm. 100
17

bukanlah barang baru lagi.Karena mereka telah melaksanakannya


khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit
putih dan kulit hitam yang bertujuan memajukan dan memelihara integrasi
nasional. Sedangkan di Indonesia, pendidikan pluralisme relatif baru
dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi
masyarakat Indonesia yang heterogen.
Memang terdapat sejumlah kekuatan di dunia ini yang ikut
melahirkan Pendidikan Pluralisme-Multikulturalisme. Yang menurut
H.A.R Tilaar, kekuatan-kekuatan tersebut adalah:
1) Proses demokratisasi dalam masyarakat dunia, yang dipicu oleh
pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia yang tidak membedakan atas
warna kulit, agama, dan gender.
2) Pembangunan kembali Eropa sesudah Perang Dunia II (marshal plan),
yang telah menarik pekerja-pekerja di luar Eropa memasukinegara-
negara Eropa Barat. Akhirnya banyak yang menetap dan menjadi warga
setempat sehingga mereka meminta perlakuan adil, terutama pendidikan
bagi generasi mudanya agar bisa mengakomodir kultur asal mereka.
3) Lahirnya paham nasionalisme kultur, sejalan dengan berkembangnya
paham demokrasi dan HAM. Sehingga pendidikan pun mulai terbuka
untuk memenuhi kebutuhan serta mempersiapkan paradigma baru bagi
kelompok-kelompok etnis baru dengan kebudayaan mainstream-nya.14

3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Pluralisme


a. Dasar Pendidikan Pluralisme
1) Dasar Historis
Ada banyak bukti historis bahwa Nabi Muhammad SAW.
memberikan kebebasan kepada pemeluk agama lain untuk melakukan
ritual di masjid milik umat Islam. Dikisahkan oleh Ibnu Hisyam dalam
al-Sirah al-Nabawiyyah, bahwa Nabi pernah menerima kunjunganpara

14
Syamsul Ma‟arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme , op.cit.,
hlm. 98-99
18

tokoh Kristen Najran berjumlah 60 orang.Menurut Muhammad ibnu


Ja‟far ibnu al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah, mereka
langsung menuju masjid.Saat itu Nabi sedang melaksanakan shalat
ashar bersama para sahabatnya.Mereka datang dengan memakai jubah
dan surban, pakaian yang juga lazim digunakan oleh Nabi Muhammad
SAW.Dan para sahabatnya.Ketika waktu Kebaktian tiba, mereka pun
tak harus mencari gereja.Nabi memperkenankan mereka untuk
melakukan sembahyang di masjid.15
Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh kalangan Kristen. Ketika
umat Islam dikejar-kejar oleh Kafir-Quraisy Mekkah, yang memberikan
perlindungan adalah Najasy, raja Abesinia yang Kristen.Ia berpendirian
bahwa pengikut Muhammad haruslah dilindungi hak-haknya, termasuk
hak memeluk agama.Begitu pula ketika Nabi hijrah ke Madinah, Beliau
mengadakan pertemuan secara besar-besaran bersama sahabat Anshar
dan beberapa keluarga (Naqib) dari Mekkah.Dalam pertemuan itu, 23
artikel dari Piagam Madinah telah ditetapkan.Juga tercantum dalam
piagam itu, untuk membentuk masyarakat dan hubungan-hubungan
legal bagi kelompok Muslim yang baru.Selanjutnya Beliau
berkonsultasi dengan perwakilan dari non-Muslim.Akhirnya seluruh
dari mereka menyepakati dasar-dasarpembentukan sebuah “city-state”
yang baru.Inilah yang kemudiandiabadikan dengan sebutan “Piagam
Madinah”. Seperti yang telah dikatakan oleh Muhammad Husain
Haekal bahwa:
“Antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan masyarakat Yahudi,
Muhammad membuat perjanjian tertulis yang berisi pengakuan atas
agama mereka dan harta benda mereka, dengan syarat-syarat timbal
balik. Sehingga setiap warga Madinah tanpa membedakan agama
maupun suku, mereka berkewajiban mempertahankan kota itu. Mereka
harus bekerja sama antar sesama”16

15
Moh. Shofan, Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh
Muhammadiyah, (Jogjakarta: LSAF, 2008), hlm. 54-55
16
Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta: Litera
Antar Nusa, 2008), cet. Ke-30, hlm. 202
19

Piagam Madinah adalah piagam pertama dalam sejarah peradaban


Islam yang menyepakati soal-soal hubungan atau interaksi sosial
antara kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan agama dan
budaya, yakni antara kelompok Yahudi, Nasrani dan Muslim. Di sini,
Nabi Muhammad saw bertindak sebagai pencetus dan mediator dalam
gerakan ishlah ini. Isi dari piagam madinah yang telah di artikan
kedalam bahasa Indonesia yaitu:
(Piagam Madinah)
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang
Ini adalah piagam dari Muhammad Rasulullah saw, di kalangan
mukminin dan muslimin (yang berasal dari) Quraisy dan Yatsrib
(Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan
berjuang bersama mereka
a) Pasal 1 Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komuitas)
manusia lain.
b) Pasal 2 Kaum muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan)
mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka dan
mereka membayar tebusan tawanan dengan cara baik dan adil di
antara mukminin
c) Pasal 3 Banu Auf sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu
membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan
setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di
antara mukminin.
d) Pasal 4 Banu Sa‟idah sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka
bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula,
dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara mukminin.
e) Pasal 5 Banu Al-Hars sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka
bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula,
dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara mukminin.
20

f) Pasal 6 Banu Jusyam sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka


bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula,
dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara mukminin.
g) Pasal 7 Banu An-Najjar sesuai dengan keadaan (kebiasaan)
mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti
semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik
dan adil di antara mukminin.
h) Pasal 8 Banu „Amr bin „Awf sesuai dengan keadaan (kebiasaan)
mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti
semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik
dan adil di antara mukminin.
i) Pasal 9 Banu Al-Nabit sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka
bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula,
dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara mukminin.
j) Pasal 10 Banu Al-„Aws sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka
bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula,
dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara mukminin.
k) Pasal 11 Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang
yang berat menanggung utang di antara mereka tetapi
membantunya dengan baik dalam poembayaran tebusan atau diat.
l) Pasal 12 Seorang mukmin tidak diperbolehkan membuat
persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya tanpa persetujuan dari
padanya.
m) Pasal 13 Orang-orang mukmin yang taqwa harus menentang
orangyang di antara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara
zalim , jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan
mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya,
sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka.
21

n) Pasal 14 Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman


lainnya lantaran membunuh orang kafir. Tidak boleh pula orang
beriman membantu orang kafir untuk (membunuh) orang beriman.
o) Pasal 15 Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan
oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling
membantu, tidak bergantung kepada golongan lain.
p) Pasal 16 Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak
atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak
terzalimi dan ditentang olehnya.
q) Pasal 17 Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin
tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut serta mukmin lainnya
di dalam suatu peperangan di jalan Allah, kecuali atas dasar
kesamaan dan keadilan di antara mereka.
r) Pasal 18 Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu
membahu satu sama lain.
s) Pasal 19 Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin
lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman
dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.
t) Pasal 20 Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan
jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan
melawan orang beriman.
u) Pasal 21 Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup
bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali
terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman harus
bersatu dalam menghukumnya.
v) Pasal 22 Tidak dibenarkan orang mukmin yang mengakui piagam
ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu
pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang
memberi bantuan dan menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar
itu, akan mendapat kutukan dari Allah pada hari kiamat, dan tidak
diterima dari padanya penyesalan dan tebusan.
22

w) Pasal 23 Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya


menurut (ketentuan) Allah Azza Wa Jalla dan (keputusan)
Muhammad saw.
x) Pasal 24 Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama
dalam peperangan.
y) Pasal 25 Kaum Yahudi dari Bani „Awf adalah satu umat dengan
mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum
muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi
sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan
jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga.
z) Pasal 26 Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti
Yahudi Banu „Awf.
aa) Pasal 27 Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti
Yahudi Banu „Awf.
bb) Pasal 28 Kaum Yahudi Banu Sa‟idah diperlakukan sama seperti
Yahudi Banu „Awf.
cc) Pasal 29 Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti
Yahudi Banu „Awf.
dd) Pasal 30 Kaum Yahudi Banu Al-„Aws diperlakukan sama seperti
Yahudi Banu „Awf.
ee) Pasal 31 Kaum Yahudi Banu Sa‟labah diperlakukan sama seperti
Yahudi Banu „Awf.
ff) Pasal 32 Kaum Yahudi Banu Jafnah dari Sa‟labah diperlakukan
sama seperti Yahudi Banu „Awf.
gg) Pasal 33 Kaum Yahudi Banu Syutaibah diperlakukan sama seperti
Yahudi Banu „Awf.
hh) Pasal 34 Sekutu-sekutu Sa‟labah diperlakukan sama seperti mereka
(Banu Sa‟labah).
ii) Pasal 35 Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti
mereka (Yahudi).
23

jj) Pasal 36 Tidak seorang pun dibenarkan (untuk berperang), kecuali


seizin Muhammad saw. Ia tidak boleh dihalangi (menuntut
pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat jahat
(membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan
keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesunggunya Allah sangat
membenarkan ketentuan ini.
kk) Pasal 37 Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi mauk
muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin)
bantu membantu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka
saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari
khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan)
sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.
ll) Pasal 38 Kaum Yahudi memikul bersama mukiminin selama dalam
peperangan.
mm) Pasal 39 Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya haram (suci)
bagi warga piagam ini.
nn) Pasal 40 Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri
penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat.
oo) Pasal 41 Tidak boleh jaminan diberikan kecuali seizin ahlinya.
pp) Pasal 42 Bila terjadi suatu persitiwa atau perselisihan di antara
pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya,
diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza Wa
Jalla, dan (keputusan) Muhammad saw. Sesungguhnya Allah
paling memelihara dan memandang baik isi piagam ini.
qq) Pasal 43 Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy (Mekkah)
dan juga bagi pendukung mereka.
rr) Pasal 44 Mereka (pendukung piagam) bahu membahu dalam
menghadapi penyerang kota Yatsrib.
ss) Pasal 45 Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan
mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian serta melaksankan
perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka
24

diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi


ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang
yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan
(kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.
tt) Pasal 46 Kaum Yahudi Al-„Aws, sekutu dan diri mereka memiliki
hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung piagam ini,
dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung
piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari
kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bertanggung jawab atas
perbuatannya. Sesungguhnya Allah palingmembenarkan dan
memandang baik isi piagam ini.
uu) Pasal 47 Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan
khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang berada
di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah
adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan
Muhammad Rasulullah saw.
Demikianlah piagam madinah yg menjadi acuan bagi pluralisme
di dalam Agama Islam yang telah terjadi di masa rasulullah saw.
Kemudian Hal-hal penting yang dapat dijadikan sebagai dasar interaksi
sosial di tengah komunitas yang plural antara lain:
a) Seluruh suku yang ada di Madinah disebut dalam pasal-pasal
piagam dengan maksud menghormati identitas kolektivitas
keagamaan dan etnik yang ada dalam masyarakat tersebut
b) Tiap-tiap kelompok etnik dan keagamaan dijamin otonomi hukum
dan budayanya secara total.
c) Secara garis besar Piagam Madinah memuat kesepakatan antara
Muhammad, kaum Musyrik, dan Yahudi. Dari 47 pasal yang
termuat dalam piagam itu meliputi masalah monoteisme, persatuan-
kesatuan, persamaan hak, keadilan, kebebasan beragama, bela
negara, pelestarian adat, perdamaian dan proteksi.
25

d) Masing-masing berkewajiban menjaga keamanan dan stabilitas


Madinah.
e) Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam memiliki kepedulian
tinggi terhadap kesetaraan antaretnis dan ras. Dari sudut tinjauan
modern, ia diterima sebagai sumber inspirasi untuk membangun
masyarakat yang majemuk.
f) Piagam Madinah menjadi bukti bagi kerja sama kaum Muslimin
dengan kelompok beragama lain, sekaligus menunjukkan bahwa
Muhammad telah melembagakan asas toleransi beragama yang
dinyatakan dalam al-Qur‟an (Q.S al-Baqarah: 156, al-Maidah: 48,
dan al-Kafirun: 6).
g) Piagam Madinah menjadi piagam pertama yang mengakui
kebebasan hati nurani yang ditemui dalam sejarah umat manusia.
Juga dikisahkan oleh al Qushairi dalam al-Risalah; saya
mendengar seorang ulama mengabarkan, “seorang Majusi mengundang
Nabi Ibrahim as.untuk makan. Ibrahim menjawab: „aku mau menerima
undanganmu dengan satu syarat, yaitu bahwa engkau memeluk Islam.‟
Mendengar jawaban Ibrahim itu, orang Majusi itu langsung
pergi.Kemudian Allah SWT menurunkan wahyu kepada Ibrahim,
„selama lima puluh tahun Kami (Allah) telah memberinya makan
sekalipun ia kafir. (apa salahnya) jika engkau menerima seporsi
makanan darinya tanpa menuntutnya mengganti agama?‟ Ibrahim
kemudian mengejar si Majusi itu lalu meminta maaf kepadanya.Ketika
si Majusi bertanya mengapa ia minta maaf, Ibrahim menceritakan apa
yang telah terjadi, dan orang Majusi itu kemudian masuk Islam”.

2. Dasar Normatif
Al-Qur‟an secara jelas menyatakan bahwa pluralitas adalah salah
satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah
atau sunnah Allah, dan bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat
26

menjelaskan di hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu dari


yang lain. Hal tersebut tercantum dalam QS.al-Hujurat: 13.

        

           

 

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.17
Asbabun nuzul ayat tersebut menegaskan kesatuan asal usul
manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia.
Tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang
lain, bukan saja antar satu bangsa, suku atau warna kulit dengan
selainnya, tetapi juga antara jenis kelamin mereka.
Kata ta‟ārafū terambil dari kata „arafa yang berarti
mengenal.yakni mengandung makna timbal balik, dengan demikian
ia berarti saling mengenal. Semakin kuat pengenalan suatu pihak
kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi
manfaat.Karena itu ayat di atas menekankan perlunya saling mengenal.
Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan
pengalaman pihak lain, guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah

17
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda Kelompok
Gema Insani,2005), hlm. 518
27

swt. yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan


hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi.18
Islam juga memerintahkan umatnya untuk berinteraksi terutama
dengan agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali nilai-nilai
keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual dan teologis secara
bersama-sama dengan cara yang sebaik-baiknya. Hal tersebut terdapat
pada QS.al-Ankabut: 46:

          

         

      

Dan janganlah kamu berdebat denganAhli kitab, melainkan


dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di
antara mereka, dan Katakanlah: "Kami Telah beriman kepada (kitab-
kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu;
Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami Hanya kepada-Nya
berserah diri".
Dalam ayat ini, Allah memberi petunjuk kepada Nabi Muhammad
dan kaum Muslimin tentang materi dakwah dan cara menghadapi Ahli
Kitab karena sebagian besar mereka ini tidak menerima seruannya.
Ketika Rasulullah menyampaikan ajaran Islam, kebanyakan mereka
mendustakannya.Hanya sedikit sekali di antara mereka yang
menerimanya.Padahal mereka telah mengetahui Muhammad dan ajaran
yang dibawanya, sebagaimana mereka mengetahui dan mengenal anak-
anak mereka sendiri.Seperti juga dijelaskan dalam QS.al-Baqarah: 146:

18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 13, hlm. 261-262.
28

        

      

Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang Telah kami beri Al


Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka
mengenal anak-anaknya sendiri.dan Sesungguhnya sebahagian
diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka
Mengetahui.
Allah telah menetapkan syari‟at dan minhaj yang khusus buat
mereka dan masa mereka.Umat yang hidup pada masa Nuh as.ada
syari‟ah dan minhajnya, demikian juga pada masa nabi dan rasul yang
datang sesudahnya, Musa as. dan Muhammad saw. Pun demikian.
Allah juga tidak menghendaki menjadikan manusia semuasejak
dahulu hingga kini satu umat saja, yakni satu pendapat,
satukecenderungan, bahkan satu agama dalam segala prinsip dan
rinciannya.Karena jika Allah menghendaki demikian, dia tidakakan
memberi manusia kebebasan memilah dan memilih, termasuk
kebebasan memilih agama dan kepercayaan. Kebebasan memilah dan
memilih itu dimaksudkan agar manusia dapat berlomba-lomba dalam
kebajikan, dan dengan demikian akan terjadi kreativitas dan
peningkatan kualitas, karena hanya dengan perbedaan dan perlombaan
yang sehat, kedua hal itu akan tercapai.
Menurut Moh. Shofan, setidaknya ada empat tema pokok yang
menjadi kategori utama al-Qur‟an tentang pluralism agama:
a) Tidak ada paksaan dalam beragama, yang terdapat pada QS. al-
Baqarah: 256:
29

            

     

        

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);


Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang
kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.19
Tidak boleh ada paksaan dan tindakan kekerasan untuk
masuk ke dalam agama.Iman itu tunduk dan khudhu‟
(patuh).Untuk mencapai hal itu tidak bisa dilakukan dengan
paksaan dan tekanan, tetapi harus dengan alasan dan penjelasan
yang menguatkan.Iman adalah urusan hati.Tidak seorang pun bisa
menguasai hati manusia.
Ayat ini cukup untuk membuktikan tentang kekeliruan
musuh-musuh agama Islam yang mengatakan: “agama Islam
ditegakkan dengan pedang, dan orang yang tidak mau memeluk
agama Islam dipancung lehernya”. Sejarah telah
membuktikankebohongan dari pernyataan itu. Peperangan yang
terjadi pada masa Nabi bertujuan membela diri, supaya kaum
Musyrik berhenti mengganggu dan memfitnah para Muslim.
Inilah sebabnya, para Muslim tidak lagi memerangi para Musyrik

19
Kementerian Agama RI, al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid VII,
hlm. 29
30

ketika mereka telah memeluk Islam atau tetap pada agama semula
dengan membayar jizyah (pajak) sebagai jaminan keamanan.20
Allah Maha Kuasa, sehingga dengan kekuasaan-Nya, Dia
bisa jadi ada yang menduga bahwa hal tersebut dapat menjadi
alasan bagi Allah untuk memaksa makhluk mematuhi agama-
Nya. Namun yang terjadi tidak demikian, yang dimaksud dengan
tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut
akidahnya.Ini berarti jika seseorang telah memilih satu akidah,
maka dia terikat dengan tuntunan-tuntunannya, dia berkewajiban
melaksanakan perintah-perintahnya.Dia terancam sanksi jika
melanggar ketetapannya.
Allah menghendaki agar setiap orang merasakan
kedamaian.Agama-Nya dinamai Islam, yakni damai.Kedamaian
tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai, karena itu tidak ada
paksaan dalam menganut keyakinan agama Islam.Mengapa ada
paksaan, padahal telah jelas jalan yang benar dari jalan yang
sesat.Sangatlah wajar semua memilih agama ini, pasti ada sesuatu
yang keliru dalam jiwa seseorang yang enggan menelusuri jalan
yang lurus setelah jelas jalan yang terbentang di hadapannya.
Tidak ada paksaan dalam menganut agama, karena telah
jelas jalan yang lurus.Itu sebabnya, sehingga orang gila dan
belum dewasa, atau yang tidak mengetahui tuntunan agama, tidak
berdosa jika melanggar atau tidak menganutnya, karena bagi dia
jalan yang jelas itu belum diketahuinya.Tetapi Anda jangan
berkata bahwa Anda tidak tahu jika Anda mempunyai potensi
untuk mengetahui tetapi potensi itu tidak Anda gunakan.Di sini
Anda pun dituntut karena menyia-nyiakan potensi yang Anda
miliki.21

20
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddieqy, Tafsir al-Qur‟anul Majid an Nuur,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid II, hlm. 450-451
21
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 3, hlm. 115-116.
31

Anda juga tahu bahwa telah jelas yang ini membawa


manfaat dan itu mengakibatkan mudharat, jika demikian tidak
perlu ada paksaan karena yang dipaksa adalah yang enggan
tunduk akibat ketidaktahuan.Di sini telah jelas jalan itu sehingga
tidak perlu ada paksaan.Anda memaksa anak untuk minum obat
yang pahit, karena Anda tahu bahwa obat itu adalah mutlak untuk
kesembuhan penyakit yang dideritanya.
b) Pengakuan akan eksistensi agama-agama lain. Pengakuan al-
Qur‟an terhadap pemeluk agama-agama lain, antara lain
tercantum dalam QS. al-Baqarah: 62:

     

       

        

 

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi,


orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja
diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari
Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala
dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.22
Pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat
kelompok: al-ladzîna Âmanû (menunjuk pada umat Islam), al-
ladzîna Hâdû (ummat Yahudi), al-Nashârâ (umat Kristen), dan
al-Shâbi‟în. Al-Thabari berpendapat bahwa jaminan Allah
ataskeselamatan tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman, percaya

22
Departemen Agama, op. cit. hlm. 11
32

pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu


termasuk beriman kepada Allah dan Muhammad saw. atau
dengan kata lain, yang dimaksud dalam ayat ini ialah mereka
yang telah memeluk Islam.23
Yang dimaksud dengan kata Hâdû adalah orang-orang yang
beragama Yahudi.Mereka dalam bahasa Arab disebut
Yahûd.Penulis mengamati bahwa al-Qur‟an tidakmenggunakan
kata Yahûd kecuali dalam konteks kecaman.Agaknya itulah
sebabnya maka di sini tidak digunakan kata tersebut tetapi
digunakan kata Hâdû.Kata al-Nashârâ terambil dari kata
Nâshirah yaitu satu wilayah Palestina.Di mana Maryam, ibu Nabi
„Isa as. Dibesarkan dan dari sana dalam keadaan mengandung „Isa
as., beliau menuju baitul maqdis, tetapi sebelum tiba beliau
melahirkan „Isa as. Di Bethlehem. Dari „Isa as. Digelari oleh Bani
Israil dengan Yasu‟, dari sini pengikut-pengikut beliau dinamai
Nasharaa yang merupakan bentuk jamak dari Nashry atau
Nâshiry.
Kata al-Shâbi‟în ada yang berpendapat terambil dari kata
Shaba‟ yang berarti muncul atau Nampak, misalnya ketika
melukiskan bintang yang muncul.Dari sini ada yang memahami
istilah al-Qur‟an ini dalam arti penyembah bintang.Ada juga yang
memahaminya terambil dari kata Saba‟, satu daerah di Yaman di
mana pernah berkuasa ratu Balqis dan penduduknya menyembah
matahari dan bintang.
Persyaratan beriman kepada Allah dan hari Kemudian,
seperti bunyi ayat di atas, bukan berarti hanya kedua rukun itu
yang dituntut dari mereka, tetapi keduanya adalah istilah yang

23
Alwi Shihab, op. cit., hlm. 79
33

biasa digunakan oleh al-Qur‟an dan Sunnah untuk makna iman


yang benar dan mencakup semua rukunnya.24
Ada sementara orang yang perhatiannya tertuju pada
penciptaan toleransi antarumat beragama yang berpendapat
bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa
penganut agama-agama yang disebut ayat ini, selama mereka
beriman kepada Tuhan dan hari Kemudian, maka mereka semua
akan memperoleh keselamatan dan tidak akan diliputi oleh rasa
takut di akhirat kelak, dan tidak pula bersedih hati.
Pendapat semacam ini nyaris menjadikan semua agama
sama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda
dalam akidah serta ibadah yang diajarkannya. Bagaimana
mungkin Yahudi dan Nashrani dipersamakan, padahal keduanya
saling mempersalahkan. Bagaimana mungkin yang ini dan itu
dinyatakan tidak akan diliputi rasa takut atau sedih, sedang yang
ini menurut itu –dan atas nama Tuhan yang disembah– adalah
penghuni surga dan yang itu penghuni neraka? Yang ini tidak
sedih dan takut, dan yang itu bukan saja takut, tetapi disiksa
dengan aneka siksa.
Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah
memang harus diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikansemua
penganut agama sama dihadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan
damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan
merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu
bukan dengan mengorbankan ajaran agama. Caranya adalah hidup
damai dan menyerahkan kepada-Nya semata untuk memutuskan
di hari Kemudian kelak, agama siapa yang direstui-Nya dan
agama siapa saja yang keliru, serta siapa yang dianugerahi surge
dan siapa pula yang akan takut dan bersedih.

24
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 1, hlm. 215-216.
34

c) Kesatuan Kenabian, yang bertumpu pada QS. Asy Syura: 13:

        


Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku
Maka utuslah (Jibril) kepada Harun.
Penyebutan Nabi-Nabi sebagaimana terbaca di atas, sejalan
dengan masa kehadiran mereka di pentas bumi ini terkecuali
Nabi Muhammad saw. Itu untuk mengisyaratkan kedudukan
terhormat yang diperoleh Nabi Muhammad saw. Di kalangan
para Nabi.Ini serupa dengan firman-Nya dalam QS.al-Ahzab: 7.

       

        

 

Dan (Ingatlah) ketika kami mengambil perjanjian dari


nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan
Isa putra Maryam, dan kami Telah mengambil dari mereka
perjanjian yang teguh.25

Thabathaba‟i memahami dari penyebutan nama Nuh dalam


urutan pertama dalam konteks syari‟at sebagai isyarat bahwa
syari‟at Beliau adalah syari‟at pertama dan penyebutan kelima
Nabi di atas mengisyaratkan bahwa merekalah tokoh para nabi,
atau yang diistilahkan dengan Ulil „Azmi. Ulama ini juga
memahami bahwa syari‟at kedua adalah syari‟at Nabi Ibrahim,
lalu syari‟at Nabi Musa kemudian Nabi „Isa as., dan berakhir
dengan syari‟at Nabi Muhammad saw. Ini menurutnya berarti

25
Departemen Agama, op. cit. hlm. 485
35

bahwa Nabi yang diutus setelah Nabi Nuh dan sebelum Nabi
Ibrahim tidak memiliki syari‟at khusus, tetapi mereka
menjalankan syari‟at Nabi Nuh as. Demikian juga nabi yang
diutus setelah Nabi Ibrahim dan sebelum Nabi Musa as., mereka
semua melaksanakan syari‟at Nabi Ibrahim as. Sampai datangnya
Nabi Musa as., demikian seterusnya.26

d) Kesatuan Pesan Ketuhanan yang berpijak pada QS. an-Nisa‟: 131

          

         

          

   

Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di


bumi, dan sungguh kami Telah memerintahkan kepada orang-
orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu;
bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka
(ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di
bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha
Terpuji.27
Apa saja yang ada di langit dan bumi adalah kepunyaan
Allah. Dialah yang menciptakan dan Dialah yang
mengurus.Dalam mengurus makhluk-makhuk-Nya, Allah
menciptakan hukum secara mutlak, dan semuanya tunduk di
bawah hukum itu.

26
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 12, hlm. 473
27
Departemen Agama, op. cit. hlm. 100
36

Orang yang benar-benar memahami hukum-hukum Allah


yang berlaku umum terhadap bumi, langit dan semua isinya serta
memahami pula hukum yang mengatur kehidupan makhluk-Nya,
akan mengetahui betapa besar limpahan rahmat dan karunia-Nya
kepada semua makhluk-Nya. Oleh sebab itulah kepada setiap
hamba diperintahkan agar bertakwa kepada-Nya, seperti telah
diperintahkan kepada umat-umat terdahulu, yang telah diberi al-
Kitab seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani.Serta kepada
orang-orang yang melaksanakan ketakwaan dengan tunduk dan
patuh kepada-Nya dan dengan menegakkan syari‟at-Nya. Dengan
tunduk dan patuh kepada-Nya dan dengan menegakkan syari‟at-
Nya manusia akan berjiwa bersih dan dapat mewujudkan
kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.28
b. Tujuan Pendidikan Pluralisme
Menurut Clive Back tujuan Pendidikan Pluralisme adalah sebagai
berikut:
1) Mengajar siswa "etnis" tentang budaya etnis mereka sendiri,
termasuk beberapa bahasa "bahasa warisan";
2) Mengajar semua siswa tentang berbagai budaya tradisional, di dalam
dan luar negeri;
3) Mempromosikan penerimaan keragaman etnis di masyarakat;
4) Menunjukkan bahwa orang-orang dari berbagai latar belakang
agama, ras, latar belakang bangsa dan sebagainya setara;
5) Membina penerimaan penuh dan perlakuan yang adil terhadap sub
budaya etnik yang terkait dengan berbagai agama, ras, latar belakang
nasional, dan lain-lain di negara mereka sendiri dan di belahan dunia
lainnya; dan Membantu siswa untuk bekerja menuju bentuk budaya
yang lebih memadai, untuk diri mereka sendiri dan masyarakat.29

28
Kementerian Agama RI, al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010),
JilidII, hlm. 29
29
Syamsul Ma‟arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, op. cit. hlm. 93
37

Melalui pendidikan pluralisme yang demikian, seorang murid bisa


diantarkan untuk dapat memandang pluralitas dalam berbagai aspek sosial,
ekonomi, politik, sosial, dan agama sebagai kekayaan spiritual bangsa
yang harus dijaga kelestariannya.

Ainurrofiq Dawam memberikan kerangka orientasi Pendidikan


Pluralisme atau Pendidikan Multikultural agar pendidikan tersebut tidak
kehilangan arah dan dibangun berdasarkan orientasi nilai dasar
multikulturalisme, yaitu:

1) Orientasi Kemanusiaan.
Kemanusiaan atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang
menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan.Kemanusiaan bersifat
universal, global, di atas semua suku, aliran, ras, golongan, dan
agama.
2) Orientasi kebersamaan.
Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang sama sekali
lepas dari unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun
adalah kebersamaan yang tidak merugikan diri sendiri, orang lain,
lingkungan, negara, bahkan Tuhannya. Dengan demikian diharapkan
muncul manusia yang aktif, kreatif, toleran, tenggang rasa yang
mendalam, dan terbuka
3) Orientasi kesejahteraan.
Kesejahteraan yang dimaksud di sini adalah kondisi sosial yang
menjadi harapan semua orang.Konsistensi terhadap kesejahteraan
harus dibuktikan dengan perilaku menuju terciptanya
kesejahteraan.Konsekuensi yang kemudian terjadi adalah adanya
kedamaian di mana semua orang merasa aman, dihargai, diakui, dan
diperlakukan sebagai manusia oleh semua pihak yang berinteraksi
secara langsung atau tidak langsung.
38

4) Orientasi proporsional.
Proporsional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek
apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku,
tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat
kuantitatif, dan tepat tujuan. Orientasi pendidikan inilah yang
diharapkan menjadi pilar pendidikan multikultural.
5) Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas.
Pluralitas dan heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak
mungkin ditindas secara fasih dengan memunculkan sikap fanatisme
terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh sekelompok orang.
6) Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi.
Dominasi dan hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi
kaum tertindas.Istilah ini dihindari jauh-jauh oleh para pengikut faham
liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis. Hegemoni yang
dimaksud adalah hegemoni dalam segalanya; politik, pelayanan dan
lain sebagainya30

B. Biografi Abdurrahman Wahid


1. Biografi
K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur, lahir di
Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dan meninggal di Jakarta, 30
Desember 2009. Abdurrahman Wahid merupakan sala satu tokoh
pembaharu Islam di Indonesia yang berasal dari kalangan santri
tulen.31pada umur 69 tahun adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin
politik yang menjadi Presiden Indonesia keempat dari tahun 1999-2001. Ia
menggantikan Presiden B.J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu
1999. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober
1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23

30
Ainurrofiq Dawam, op. cit., hlm. 104 – 105.
31
Nur Rokhim, Kiai-Kiai Karismatik dan Fenomenal, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015),
Cet. Pertama, Hlm. 185
39

Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri


setelah mandatnya dicabut oleh MPR.
a. Kehidupan Awal
Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada 4
Agustus, tampaknya teman-teman dan keluarganya tak sadar bahwa
hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu.Gus Dur lahir pada tanggal 7
September 1940 (4 Sya‟ban 1940) di desa Denanyar, Jombang, Jawa
Timur.Ia putra pertama dari enam bersaudara. 32 Wahid lahir dalam
keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur.
Secara geneologi, Abdurrahman Wahid memiliki keturunan
”darahbiru” dan, menurut Clifford Geertz, Ia termasuk golongan santri
danpriyayi sekaligus. Baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya,
Abdurrahman Wahid adalah sosok yang menempati strata sosial
tertinggi dalam masyarakat Indonesia. 33 Kakek dari ayahnya adalah
K.H. Hasyim Asy‟ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek
dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama
yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid
Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri
Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah puteri pendiri
Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Shalahuddin
Wahid dan Lili Wahid.Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai
empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.
Gus Dur, Tokoh fenomenal yang dikenal sebagai pemikir brilian,
rasional, kiprah dan sepak terjangnya telah banyak mewarnai pelbagai
bidang: politik, sosial, budaya, ekonomi, seni, dan lainnya, lahir dengan
nama Abdurrahman ad Dakhil."Ad Dakhil" berarti "Sang Penakluk".34
Lalu ditambahkan nama "Wahid" (nama ayahnya), dan kemudian lebih

32
Biografi Gus Dur, terj. (Yogyakarta: LKiS, 2008), cet. VIII, hlm. 25
33
Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 33
34
Badiatul Roziqin, dkk.,101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara,
2009), hlm. 35.
40

dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan


khas pesantren kepada seorang anak Kiai yang berati "abang" atau
"mas".
Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran
membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain
itu, Ia juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada
usia belasan tahun, Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat
kabar, dan novel. di samping membaca, Ia juga hobi bermain bola,
catur, dan musik. Sehingga kesenangan Gus Dur terhadap sepak bola
menjadikannya pernah diminta menjadi komentator sepak bola di
televisi.Kegemaran lainnya adalah menonton bioskop.Kesukaaannya ini
menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film.Inilah
sebabanya Gus Dur pada tahun 1986-1987 diangkat menjadi Ketua Juri
Festival Film Indonesia (FFI).
b. Riwayat Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H.
Hasyim Asy‟ari. Saat serumah dengan kakeknya, Ia diajari mengaji dan
membaca al-Qur‟an di Ponpes. Tebu Ireng, Jombang. Dalam usia lima
tahun Ia telah lancar membaca al-Qur‟an. Selanjutnya pada usia 13
tahun, Abdurrahman Wahid harus sudah kehilangan ayahnya, yang
meninggal pada usia 38 tahun karena kecelakaan mobil.
Dahulu, pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar
formal di sekolah, Gus Dur juga mengikuti les privat Bahasa Belanda.
Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk
Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah
pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik
klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa.Inilah pertama kali
persentuhan Gus Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur
mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
Namun dalam waktu yang pendek, Gus Dur tidak terlihat sebagai
siswa yang cemerlang. Pada tahun 1954, setahun setelah Ia
41

menamatkan sekolah dasar dan memulai Sekolah Menengah Ekonomi


Pertama (SMEP), Ia terpaksa mengulang kelas satu karena gagal dalam
ujian. Kegagalan tersebut disebabkan oleh karena seringnya Ia
menonton pertandingan sepak bola sehingga Ia tak mempunyai cukup
waktu untuk menegerjakan pekerjaan rumah (PR). Lalu pada tahun
1954 tersebut, ketika sang ibu berjuang sendirian untuk membesarkan
anaknya (karena telah ditinggalkan suaminya dalam kecelakaan maut)
sementara Gus Dur sendiri kurang berhasil dalam pelajaran sekolahnya,
ia dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di SMP. Di kota
ini Ia berdiam di rumah seorang teman ayahnya Kiai Junaidi, seorang
anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah. Dan untuk melengkapi
pendidikannya, Ia juga pergi ke pesantren al Munawwir di Krapyak
yang terletak di luar kota Yogyakarta tiga kali seminggu.35
Ketika menjadi siswa SMP tersebut, hobi membacanya semakin
mendapatkan tempat.Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk
menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus
Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris.serta untuk
meningkatan kemampuan bahasa Inggrisnya sekaligus untuk menggali
informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of
America dan BBC London.
Di toko-toko buku di Yogyakarta yang menyediakan buku-buku
untuk mahasiswa-mahasiswa UGM, Gus Dur dapat menemukan judul-
judul buku menarik. Sebagai seorang remaja, ia mulai mencoba
memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, dua orang pemikir
penting bagi sarjana-sarjana mengenai Islam zaman pertengahan. Pada
saat yang sama ia bergulat memahami Das Kapital karya Marx dan
What is To be Done karya Lenin, kedua buku yang mudah diperoleh
dinegeri ini ketika Partai Komunis Indonesia membuat kemajuan besar.
Ia juga banyak tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara

35
Greg Barton, op. cit., hlm. 50-51.
42

radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam LittleRed Book-


Mao.36
Setamat dari SMP, dari tahun 1957-1959 Gus Dur melanjutkan
belajarnya di Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah.Pesantren ini
diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok Kyai yang humanis, shaleh dan guru
yang dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur
dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik.
Di bawah bimbingan Kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah
ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur
pindah kembali ke Jombang, di Pesantren Tambak Beras di bawah
bimbingan KH. Wahab Chasbullah. Ia belajar di sini hingga tahun 1963
dan selama kurun waktu itu ia selalu berhubungan dengan Kiai Bisri
Syansuri. Selama tahun pertamanya di Tambak Beras, Gus Dur
mendapat dorongan untuk mulai mengajar. Dan kemudian ia mengajar
di madrasah modern yang didirikan di kompleks pesantren dan juga
menjadi Kepala sekolahnya. Selama masa ini pula ia tetap berkunjung
ke Krapyak secara teratur. Di kota ini ia tinggal di rumah Kiai Ali
Ma‟shum. Pada masa inilah Gus Dur mengalami konsolidasi dalam
studi formalnya tentang Islam dan sastra arab klasik. Di kalangan
pesantren ia dianggap sebagai siswa yang cemerlang. Studinya ini
banyak bergantung pada kekuatan ingatan, hampir-hampir tidak
memberikan tantangan kepada Gus Dur yang mempunyai ingatan yang
amat kuat walaupun ia dikenal sebagai siswa yang malas dan kurang
disiplin dalam studi formalnya. Pada bulan November 1963, Gus Dur
mendapat beasiswa dari Menteri Agama berangkat ke Kairo-Mesir
untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar.37
Pada saat ia tiba di Universitas al-Azhar, ia diberitahu oleh pejabat
Universitas itu bahwa dirinya harus mengikuti kelas khusus untuk

36
Ibid, hlm. 56.
37
Ibid, hlm. 53
43

memperbaiki pengetahuan bahasa arabnya karena tidak memiliki ijazah


dari pesantren, meskipun ia telah lulus berbagai studi di pondok
pesantren. Di sekolah Ia merasa bosan, karena harus mengulang mata
pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan
kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat
layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku di mana Ia
dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di
Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasser, seorang
nasionalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum
intelektual.Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat mendapat
perlindungan yang cukup.Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak,
sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup
maju. Di Irak Ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas
Baghdad sampai tahun 1970. Selama di Baghdad, Gus Dur mempunyai
pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu
malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak
didapatkan di Mesir.38
Di kota ini Ia merasa cocok karena tidak hanya mempelajari sastra
arab, filsafat, dan teori-teori sosial barat, tetapi ia bisa memenuhi
hobinya untuk menonton film-film klasik. Bahkan, Gus Dur merasa
lebih senang dengan sistem yang diterapkan Universitas Baghdad yang
dalam beberapa segi dapat dikatakan lebih berorientasi barat dari pada
sistem yang diterapkan al-Azhar.Selama belajar di Timur Tengah inilah
Gus Dur menjadi Ketua Persatuan Mahasiswa Indonesia untuk Timur
Tengah (1964-1970).
Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam
keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani,
pendiri jamaah tarekat Qadiriyah.Ia juga menggeluti ajaran Imam

38
Badiatul Roziqin, dkk.,op. cit., hlm. 37
44

Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh


jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya.
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan
studinya ke Eropa.Akan tetapi persyaratan yang ketat tidak dapat
dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan
dan menjadi pelajar keliling, dari satu Universitas ke Universitas
lainnya. Pada akhirnya Ia menetap di Belanda selama enam bulan dan
mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang
tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup, dua kali sebulan Ia pergi ke
pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga
sempat pergi ke Mc Gill University di Kanada untuk mempelajari
kajian-kajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya Ia kembali
ke Indonesia setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar
perkembangan dunia pesantren.39
Pada tahun 1971, Sepulang dari Timur Tengah, Gus Dur kembali
ke Jombang, menjadi guru.Ia mengajar di Fakultas Ushuluddin
Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian Ia menjadi
Sekretaris Pesantren Tebu Ireng dan pada tahun yang sama, Gus Dur
mulai aktif menulis. Lewat tulisan-tulisannya, gagasan dan
pemikirannya, Ia mulai mendapat perhatian dari khalayak.
Pada pertengahan 1970-an, secara beraturan Ia telah menjalin
hubungan dengan Cak Nur dan Djohan Efendi. Karena itu, ketika
pindah ke Jakarta Ia semakin intens bergabung dalam rangkaian forum
akademik dan kelompok-kelompok kajian. Dari sini Gus Dur mulai
sering mendapat undangan menjadi nara sumber di sejumlah forum
diskusi keagamaan dan dunia pesantren, baik dalam maupun luar
negeri.
Semangat belajar Gus Dur memang belumlah surut.Pada tahun
1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah Universitas di Australia

39
Greg Barton, op. cit., hlm. 104-105
45

guna mendapatkkan gelar Doktor.Akan tetapi maksud yang baik itu


tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan
menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar
tersebut.Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor
dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi,
dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.
Setelah pindah ke Jakarta, mula-mula Gus Dur merintis Pesantren
Ciganjur.Pada awal tahun 1980, Gus Dur dipercaya sebagai Wakil
Katib Syuriah PBNU.Gus Dur pun menjadi ketua Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ) pada tahun 1983.pada 1984 Gus Dur dipilih secara
aklamasi oleh tim ahl halli wa al-‟aqdi yang diketuai KH. As‟ad
Syamsul Arifin untuk menjabat ketua umum PBNU pada Muktamar ke-
27 di Situbondo.jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada Muktamar
ke-28 di Pesantren Krapyak Yogyakarta (1989) dan Muktamar di
Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan Ketua Umum PBNU kemudian
dilepas ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI ke-4.selama
menjadi Presiden, pemikiran beliau masih mengundang kontroversi.
Sering kali pendapatnya berbeda dari pendapat banyak orang.40
Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam
pembahasan ini adalah Ia menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa
bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai
kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya
lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia).Tidak hanya menolak bahkan
menuduh organisasi kaum „elit Islam‟ sebagai dengan organisasi
sektarian.
Gus Dur juga pernah mengumumkan Tahun Bam Cina (Imlek)
menjadi hari libur nasional dan mencabut larangan penggunaan huruf
Tionghoa, berusaha membuka hubungan dengan Israel, sempat tercatat

40
Badiatul Roziqin, dkk., loc. cit
46

dalam keanggotaan Yayasan Shimon Peres, memisahkan Polri dari TNI,


mengembalikan nama Papua, merintis perdamaian dengan GAM di
Aceh, dan banyak "pluralisme" lain. Demokrasi juga tentu saja adalah
bagian vital perjuangan seorang Gus Dur.
Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa
kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti
kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup
dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan
pemikiran yang berbeda.Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi,
Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang
tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai modernis dan sekuler.
Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur
yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai dengan budaya Barat
yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya
dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai
yang liberal dan radikal semua dialami.
Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan
sulit dipahami.Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala
pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme
yang dipegangi komunitasnya sendiri.Gus Dur wafat, hari Rabu, 30
Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo (RSCM),
Jakarta, pukul 18.45 WIB.akibat berbagai komplikasi penyakit,
diantaranya jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama.
2. Karya-karya Abdurrahman Wahid
Sejak 1971 tulisan-tulisan Gus Dur telah dikenal luas sebagai
representasi kaum sarungan (Pesantren), padahal jika dicermati isi
tulisannya, banyak yang mengedepankan analisis progresif.Gus Dur
menawarkan pandangan baru untuk menjawab persoalan-persoalan yang
sedang tren saat itu.Dunia tulis-menulis Gus Dur dimulai sejak Beliau
menjadi pengurus Sekolah Mu‟allimat pondok pesantren Tambak Beras,
Jombang.Mulai 1961, aktif mengirimkan artikelnya untuk majalah
47

Horison dan Budaya Jawa. Tulisan-tulisannya semakin meningkat ketika


Ia berada di Kairo. Pada 1964, bersama Musthofa Bishri (Gus Mus,
Rembang), Gus Dur menerbitkan majalah Perhimpunan Pelajar Indonesia
Kairo (PPI-Kairo).
Pada 1972, Gus Dur mulai memberikan ceramah dan seminar secara
berkala di sela-sela aktivitasnya menulis untuk majalah Tempo dan
Kompas.Kolom-kolomnya mendapat sambutan sangat
baik.Intensitasmenulisnya semakin tinggi setelah LP3ES menerbitkan
Jurnal Prisma yang mengedepankan pemikiran sosial yang kritis.
Bagi Gus Dur, menulis atau berceramah bukan sekedar menebarkan
ide-ide segar kepada masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai
perlawanan kultural terhadap rezim yang berkuasa. Hingga tahun 2000,
Incres mengumpulkan 493 tulisan Gus Dur yang terbagi dalam berbagai
bentuk, yakni:41
Tabel Bentuk-Bentuk Tulisan Gus Dur

No Bentuk Tulisan Jumlah Keterangan


1 Buku 12 Terdapat Pengulangan
2 Terjemahan 1 Bersama Wahid Hasyim
3 Kata Pengantar 20
Buku
4 Epilog Buku 1
5 Antologi 41
6 Artikel 263 Tersebar di Beberapa
Majalah dan Koran
7 Kolom 105 Tersebar di Beberapa Majalah
8 Makalah 50 Sebagian Besar Tidak di
Publikasikan
Jumlah 493

41
Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, (Yogyakarta: LKiS,
2010), hlm.126-127
48

Setelah tahun 2000, terbit 3 buku kumpulan tulisan Gus Dur lainnya,
yaitu Kumpulan Kolom dan artikel Abdurrahman Wahid SelamaEra
Lengser (60 artikel), Gus Dur Bertutur (2 artikel), dan Universalisme dan
Kosmopolitanisme Peradaban Islam (20 artikel yang dimuat di Kompas).
Spektrum intelektualitas Gus Dur mengalami perluasan dari waktu ke
waktu, terutama wacana yang dikembangkannya. Temuan Incress (2000)
mengidentifikasi perkembangan tersebut sesuai dengan periodesasi per
sepuluh tahun, mulai 1970-2000;42

Tabel Tema-Tema Tulisan Gus Dur

No Priode Jumlah Keterangan


1 1970-an 37 Teradisi Pesantren, Moderenisasi
Pesantren, NU, HAM, Reinterpretasi
Ajaran, Pembangunan, Demokrasi
2 1980-an 198 Dunia Pesantren, NU, Ideologi Negara
(Pancasila), Pembangunan, Militerisme,
Pengembangan Masyarakat,
Pribumisasi Islam, HAM, Modernisme,
3 1990-an 253 Pembaruan ajaran Islam, demokrasi,
Kepemimpinan Umat, Pembangunan,
HAM, Kebangsaan, Parpol, Gendre,
Toleransi Agama, Universalisme Islam,
NU, Globalisasi
4 2000-an 122 Budaya, Demokratisasi, HAM,
Ekonomi dan Keadilan Sosial, Idiologi
dan Negara, Tragedi Kemanusiaan,
Islam dan Fundamentalisme

42
bid, hlm. 128-129
49

Sedangkan buku-buku kumpulan tulisan Gus Dur yang telah


dipublikasikan adalah:43

a. Bunga Rampai Pesantren (Dharma Bakti, 1979)


b. Muslim di Tengah Pergumulan (Lappenas, 1981)
c. Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Suatu Pergumulan Wacana dan
Transformasi (Fatma Press, 1989)
d. Universalisme dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam (Kompas,
1991)
e. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (LKiS, 1997)
f. Tabayun Gus Dur (LKiS, 1998)
g. Islam, Negara, dan Demokrasi: Himpunan Percikan Perenungan Gus
Dur (Erlangga, 1999)
h. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Kompas, 1999)
i. Tuhan Tidak Perlu Dibela (LKiS, 1999)
j. Prisma Pemikiran Gus Dur (LKiS, 1999)
k. Membangun Demokrasi (Rosda Karya, 1999)
l. Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Grasindo, 1999)
m. Melawan Melalui Lelucon (Tempo, 2000)
n. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Desantara, 2001)
o. Menggerakkan Tradisi (LKiS, 2001)
p. Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era
Lengser (LKiS, 2002)
q. Gus Dur Bertutur (Proaksi, 2005)
r. Islamku, Islam Anda, Islam Kita (The Wahid Institute, 2006)
s. Membangun Demokrasi (Rosdakarya, 1999)
t. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Kompas, 1999)

43
bid, hlm. 128-129
50

3. Penghargaan Yang Diperoleh Abdurrahman Wahid


a. Pada 1993, Gus Dur menerima penghargaan Ramon Magsaysay Award,
sebuah “Nobel Asia” dari pemerintah Filipina. Penghargaan ini
diberikan karena Gus Dur dinilai berhasil membangun landasan yang
kokoh bagi toleransi umat beragama, pembangunan ekonomi yang adil,
dan tegaknya demokrasi di Indonesia
b. Pada akhir 1994, Gus Dur juga terpilih sebagai salah seorang Presiden
WCRP (World Council for Religion and Peace-atau Dewan Dunia
untuk Agama dan Perdamaian).
c. Pada tahun 1996 dan 1997, majalah Asiaweek memasukkan Gus Dur
dalam daftar orang terkuat di Asia. Gus Dur menjadi pemimpin besar
dan diakui dunia karena pemikirannya dan gerakan sosial yang
dibangunnya mempunyai dampak yang luas terhadap demokrasi,
keadilan dan toleransi keagamaan di Indonesia.
d. Dia ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh
Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10
Maret 2004.
e. Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif
Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis
dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan
kebebasan berekspresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan
demokrasi di Indonesia.
f. Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah
yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM di Israel, karena
dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli dalam persoalan HAM.
g. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di
Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum
minoritas.
51

h. Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan


namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman
Wahid Chair of Islamic Studies44
Selain itu, Gus Dur juga memperoleh banyak gelar Doktor
Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai Perguruan Tinggi
ternama di berbagai negara, antara lain:45
a. Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University,
Israel (2003)
b. Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul,
Korea Selatan (2003)
c. Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan
(2003)
d. Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang
(2002)
e. Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat
University, Bangkok, Thailand (2000)
f. Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok,
Thailand (2000)
g. Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi
dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne
University, Paris, Perancis (2000)
h. Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand
(2000)
i. Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
j. Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000).

44
M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 43-
44
45
ttp://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-abdurrahmanwahidbiografi.html
52

C. Pendidikan Agama Islam


Pendidikan merupakan term terpenting dan menentukan dalam
perubahan masyarakat.Bahkan Islam sendiri menempatkan pendidikan dalam
posisi vital. Bukan sebuah kebetulan jika dalam lima ayat pertama dimulai
dengan perintah membaca. Tak heran jika dalam syiar yang dikembangkan
Nabi Muhammad dilakukan dengan pendekatan pendidikan.
Pendidikan Agama Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang
bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, menegembangkan
seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani.
Menumbuh suburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi dengan Allah,
manusia, dan alam semesta.Potensi jasmaniah manusia itu yang berkenaan
dengan seluruh organ-organ fisik manusia.sedangkan potensi rohaniah
manusia itu meliputi kekuatan yang terdapat di dalam batin manusia, yakni
kalbu, akal, nafsu, roh, fitrah. Atas dasar itulah apabila dikaitkan hakikat
pendidikan yang berperan untuk mengembangkan potensi manusia maka
sudah pada tempatnyalah seluruh potensi manusia itu dikembangkan secara
maksimal.Bertolak dari potensi manusia tersebut di atas maka paling tidak ada
beberapa aspek pendidikan yang perlu dididikkan kepada manusia yaitu aspek
pendidikan ketuhanan dan akhlak, pendidikan akal dan ilmu pengetahuan,
pendidikan kejasmanian, kejiwaan, keindahan dan keterampilan.46
Gagasan utama pendidikan, termasuk Pendidikan Agama Islam,
terletak pada pandangan bahwa setiap manusia mempunyai nilai positif
tentang kecerdasan, daya kreatif, dan keluhuran budi.Namun fokusnya bukan
semata kemampuan ritual dan keyakinan tauhid tetapi juga akhlak sosial dan
kemanusiaan.Kualitas akhlak pun tak bisa dicapai hanya dengan doktrin halal-
haram, tapi usaha budaya dari rumah, masyarakat dan ruang kelas.
Menurut Prof. Dr. Simanhadi Widyaprakosa yang dikutip oleh
sudirman, dkk dalam bukunya pendidikan dalam arti sempit berupa usaha
sadar dari orang dewasa untuk mengembangkan keperibadiannya dan

46
Haidar Putra daulay, Pendidikan Islam dalam Pendidikan Nasional Di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2004), h. 31
53

kemampuan anak didik untuk mencapai kedewasaannya, sedangkan dalam arti


luas adalah peruses perubahan tingkah laku manusia untuk perkembangan
keperibadian dan kemampuannya.47
Pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau
sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang
lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan kehidupan yang
lebih tinggi dalam arti mental48.
Menurut Drs. Sahilun A. Nasir pendidikan Agama Islam adalah suatu
usaha sistematis dan pragmatis dalam membimbing anak didik yang beraga
Islam dengan cara yang demikian rupa, sehingga ajaran-ajaran Islam itu benar-
benar dapat menjiwai, menjadi bagian yang integral, diyakini kebenarannya,
diamalkan menjadi pedoman hidupnya, menjadi pengontrol terhadap
perbuatannya, pemikiran, dan sikap mentalnya.
Menurut AKBP Soekarno dalam bukunya ilmu pendidikan Agama
Islam yang dikutip oleh Drs. Sahilun A. Nasir pendidikan Agama Islam adalah
suatu usaha bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah
selesai dari pendidikan dapat memahami apa yang terkandung di dalam Islam
secara keseluruhan, menghayati makna dan maksud serta tujuan dan pada
akhirnya dapat mengamalkannya serta menjadikan agama Islam yang telah
dianutnya itu sebagai pandangan hidupnya, sehingga dapat mendatangkan
keselamatan dunia dan akhiratnya kelak.49
Dalam Kurikulum PAI dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam
adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk
mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama Islam
dibarengi dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam
hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud
kesatuan dan persatuan bangsa.

47
Sahilun A. Nasir, Peran Pendidikan Agama terhadap pemecahan problema remaja,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet.2, hal.11
48
Sudirman, dkk.Ilmu Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1988), Cet.2, hal.5
49
Sahilun A. Nasir, Peran Pendidikan Agama terhadap pemecahan problema remaja,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet.2, hal.11-12
54

Menurut Zakiyah Daradjat yang dikutip oleh Abdul Majid, dkk


pendidikan Agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh
peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara
menyeluruh.Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan
serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.50
Sedangkan menurut penulis sendiri bahwa pendidikan Islam adalah
pembentukkan pribadi manusia ke arah yang lebih baik dan berakhlak mulia,
hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Azyumardi Azra bahwa
pendidikan Islam merupakan proses pembentukkan individu berdasarkan
ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada nabi Muhammad
SAW melalui proses di mana individu dibentuk agar dapat mencapai derajat
yang tinggi sehingga ia mampu menunaikan tugasnya sebagai khalifah di
bumi, yang dalam kerangka lebih lanjut mewujudkan kebahagiaan di dunia
dan di akhirat.51
1. Dasar Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama Islam sangat memperhatikan penataan
individual dan sosial yang membawa penganutnya pada pemelukan dan
pengaplikasian Islam secara komprehensif.Agar penganutnya mampu
memikul amanat yang dikehendaki Allah, pendidikan Islam harus kita
maknai secara rinci.Dasar pendidikan Islam adalah pandangan hidup yang
melandasi seluruh aktivitas pendidikan.52
Pendidikan Agama Islam pada hakikatnya adalah suatu proses
yang berlangsung secara kontinu dan berkesinambungan. Dalam hal ini
tugas dan fungsi yang diemban pendidikan Islam adalah pendidikan
manusia seutuhnya dan dijadikan sepanjang hayat. Pengertian pendidikan
Agama Islam merupakan proses pengajaran, bimbingan, pelatihan, dan
keteladanan untuk mencapai pertumbuhan keperibadian manusia dalam

50
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. 3, h. 130
51
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), cet. Ke4, h. 6
52
Abudin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2005), h. 15
55

semua aspeknya, baik fisik, intelektual, spiritual, keilmuan, maupun


bahasa. Semua itu dilakukan hingga pada pencapaian tujuan akhir yaitu
pengabdian yang sempurna kepada Tuhan.53
Menurut Sri Minarti, “Dasar adalah landasan tempat berpijak atau
tegaknya sesuatu agar sesuatu tersebut tegak kokoh berdiri. Dasar suatu
bangunan yaitu fondamen yang menjadi landasan bangunan agar bangunan
tersebut tegak dan kokoh”.54Demikian pula dasar pendidikan Islam yaitu
fondamen yang menjadi landasan atau asas agar pendidikan Agama Islam
dapat tegak berdiri dan tidak mudah goyah diterpa angin kencang berupa
ideologi yang bermunculan seiring perkembangan zaman. Dengan adanya
dasar ini maka pendidikan Agama Islam akan selalu berdiri kokoh dan
tegak.
Atas dasar itu, pandangan hidup yang mendasari seluruh kegiatan
pendidikan dalam Islam haruslah sejalan dengan pandangan hidup seorang
muslim. Yaitu al-Qur‟an yang merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat
universal dan sunnah sebagai penjabaran al-Qur‟an. Dalam hal ini Ahmad
D. Marimba mengatakan bahwa “yang menjadi landasan atau dasar
pendidikan diibaratkan sebagai sebuah bangunan sehingga isi Al-Qur‟an
dan hadits menjadi fondasi utamanya”. Sebab, keduanya menjadi sumber
kekuatan dan keteguhan tetap berdirinya pendidikan. Sejalan dengan yang
dikemukakan Ahmad D. Marimba, Abdurahman an Nahlawi menegaskan
bahwa “keberadaan sumber dan landasan pendidikan Islam haruslah sama
dengan sumber Islam yaitu Al-Qur‟an, Sunnah,”55dan juga pendapat para
sahabat dan ulama‟(ijtihad).
a. Al-Qur’an
Al-Qur‟an adalah kalam Allah (perkataan Allah) yang
diturunkan sebagai wahyu dan merupakan mukjizat agung kepada

53
Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme (Malang: Aditya media publishing),
Hal.26
54
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta Teoritis-Filosofis & Aplikatif-
Normatif,(Jakarta: Amzah, 2013), h.40
55
Abdurahman an Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 28.
56

Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril.Al-Qur‟an ini juga


dipandang sebagai keagungan (majid) dan penjelasan
(mubin).Kemudian sering kali disebut petunjuk (hidayah) dan buku
(kitab).56
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sumber ajaran Islam
yang pertama adalah Al-Quran dan kedua Hadits. Alquran sendiri
merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
secara berangsur-angsur. Al-Quran hanya memuat prinsip-prinsip
dasar dan tidak menjelaskannya secara terperinci khususnya dalam
masalah ibadah, sedangkan penjelasan terperincinya ada dalam Hadits
Nabi.
Al-Qur‟an merupakan kitab suci terakhir yang diwahyukan
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan sebagai
pedoman bagi manusia, sekaligus sebagai sumber nilai dan norma
setelah sunnah. Sri Minarti mengatakan bahwa, “Al-Qur‟an merupakan
sumber pendidikan terlengkap yang mencakup kemasyarakatan
(sosial), moral (akhlak), spiritual (rohani), material (kejasmanian), dan
alam semesta. Al-Qur‟an merupakan sumber nilai yang absolut dan
utuh”
Al-Qur‟an merupakan sumber pendidikan dan ilmu
pengetahuan yang mengajarkan manusia dengan bahasanya yang
lemah lembut, sastra yang indah sehingga Al-Qur‟an membawa
dimensi baru terhadap pendidikan dan berusaha mengajak para
manusia untuk menggali maksud kandungan agar lebih dekat kepada-
Nya. Petunjuk pendidikan dalam Al-Qur‟an tidak terhimpun dalam
kesatuan pragmen, tetapi ia diungkapkan dalam berbagai ayat Al-
Qur‟an, sehingga untuk menjelaskannya perlu melalui tema-tema
pembahasan yang relevan dan ayat-ayat yang memberikan informasi-
informasi pendidikan yang dimaksud. Al-Qur;an mengintroduksikan

56
Abdurahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur‟an, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2007), h. 17
57

dirinya sebagai pemberi petunjuk yang tidak ada keraguan di


dalamnya.
Kedudukan Al-Qur‟an sebagai sumber dapat dilihat dari
kandungan surat Al-Baqarah ayat 2:
Ialah kitab (Al-Qur‟an) yang tidak ada keraguan di dalamnya,
petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-Baqarah : 2).57
Selanjutnya firman Allah swt yang berbunyi:

         

  


Allah-lah yang menurunkan kitab dengan (membawa)
kebenaran dan (menurunkan) neraca keadilan. (QS. Asy-Syura : 17).

Al-Qur‟an merupakan sumber nilai yang absolut, yang


eksistensinya tidak mengalami perubahan walaupun interpretasinya
dimungkinkan mengalami perubahan sesuai dengan konteks zaman,
keadaan dan tempat.58

Al-Qur‟an adalah petunjuk-Nya yang apabila dipelajari akan


membantu menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman
berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan menjadi
pikiran rasa dan karsa mengarah pada realitas keimanan yang
dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi dan
masyarakat. 59 Sebagai kitab petunjuk yang berkaitan dengan segala
aspek kehidupan manusia termasuk aspek pendidikan, tidak sulit
menemukan prinsip dasar pendidikan dalam ajarannya.Sebab, sejatinya
Al-Qur‟an merupakan asas dari teori pendidikan. Setiap ayat Al-
Qur‟an menjadi bahan baku pendidikan yang dibutuhkan oleh setiap
57
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Asy-Syifa,
1998), h. 3
58
Muhaimin dan Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya,
1993), h. 145
59
M. Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 17
58

manusia. Penjabarannya di dalam dunia pendidikan difokuskan kepada


bagaimana pendidik tersebut mampu mengangkat harkat dan martabat
manusia dengan tidak keluar dari koridor Islam.60

Dalam konteks ini, Deliar Noer mengatakan bahwa “Al-Qur‟an


dan hadits bukan saja sebagai sumber pemikiran agama, melainkan
juga pemikiran tentang pendidikan, sosial, politik, ekonomi, dan
sebagainya”.61

Al-Qur‟an memberikan pandangan yang mengacu kepada


kehidupan di dunia ini, maka asas-asas dasarnya harus memberi
petunjuk kepada pendidikan Islam.Seseorang tidak mungkin dapat
berbicara tentang pendidikan Islam apabila tanpa mengambil Al-qur‟an
sebagai salah satu rujukan.Salah satu contohnya di dalam Al-Qur‟an
terdapat ajaran yang berisi prinsip-prinsip yang berkenaan dengan
kegiatan atau usaha pendidikan itu.

b. Sunnah
Selain Al-Qur‟an yang berfungsi sebagai dasar pijakan dan
prinsip pendidikan Islam, Sunnah sebagai tuntunan hidup Rasulullah
SAW merupakan sumber kedua yang sama-sama memiliki peran vital
dalam membangun dasar-dasar dan prinsip pendidikan Islam.Sunnah
rasul adalah setiap perkataan Rasulullah dan perbuatannya yang
dicontohkan kepada para sahabat dan umatnya melalui sikap, sifat dan
akhlaknya.Allah SWT berfirman:

       

60
Zulkarnain, Transformasi Nilai-nilai Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), h. 24
61
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Cakrawala Pemikiran
Pendidikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2004), h. 53
59

Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai


saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. (QS. Al-
Ahzab : 45)62

Sebagaimana Al-Qur‟an, Sunnah berisi petunjuk-petunjuk


untuk kemaslahatan manusia dalam segala aspeknya yang membina
manusia menjadi muslim yang bertaqwa.
Dalam dunia pendidikan, Sunnah memiliki dua faedah yang
sangat besar, yaitu:
1) Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam Al-
Qur‟an atau menerangkan hal-hal yg tidak terdapat didalamnya.
2) Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah
SAW bersama anak-anaknya dan penanaman keimanan kedalam
jiwa yang dilakukannya.63
Dari sini dapat dilihat posisi dan fungsi sunnahNabi sebagai
dasar pendidikan Islam yang utama setelah Al-Qur‟an. Eksistensinya
merupakan sumber ilmu pengetahuan yang berisikan keputusan dan
penjelasan Nabi dari pesan-pesan Ilahiyah yang tidak terdapat di dalam
Al-Qur‟an, maupun yang terdapat di dalam Al-Qur‟an tetapi masih
memerlukan penjelasan lebih lanjut secara terperinci.
c. Ijtihad
Selain Al-Qur‟an dan Sunnah, ijtihad juga dapat dijadikan
sebagai dasar pendidikan Islam.Kata ijtihad berasal dari kata jahada,
yang arti definisinya berarti pencurahan segala kemampuan untuk
memperoleh suatu dari berbagai urusan.Menurut Abu Hamid Hakim,
ijtihad adalah upaya yang sungguh-sungguh dalam memperoleh
hukum syara‟ berupa konsep yang operasional melalui metode
istimbath dari Al-Qur‟an dan Sunnah.64Menurut syara‟, ijtihad berarti

62
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 338
63
Abdurahman An Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung:
Diponegoro, 1992), h. 47
64
Muhaimin, Pemikiran pendidikan Islam, Kajian Teoritis dan Kerangka Oprasionalnya,
(Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 147
60

berpikir dengan sungguh-sungguh dan semaksimal mungkin untuk


mengetahui syara‟ dengan jalan dzanni. 65 Ijtihad bagi umat Islam
adalah sebuah kebutuhan dasar, tidak saja ketika nabi sudah tiada,
bahkan ketika nabi masih hidup.
Pendidikan adalah masalah duniawi yang dalam ajaran Islam
diberikan dasar pokok-pokoknya saja, yaitu berupa petunjuk-petunjuk
dalam wahyu yang masih perlu dijabarkan secara detail.Dengan
demikian, arahan detailnya diserahkan kepada akal sehat dalam
melakukan pemikiran-pemikiran secara mendalam. Dengan kata lain,
persoalan pendidikan sebenarnyamerupakan persoalan ijtihadiyah
sehingga umat Islam diperintahkan untuk mencermati, mengkritisi dan
mengkontribusi formula baru sehingga menjadi lebih baik.
Dalam bidang pendidikan, ijtihad dilakukan sejalan dengan
perkembangan zaman serta tuntutan manusia.Penggunaan dalil-dalil
ijtihad dalam lapangan pendidikan ini pada dasarnya merupakan
pantulan dan cermin fleksibelitas hukum Islam dalam semua bidang.
karena dengan menggunakan dalil-dalil ijtihad inilah persoalan-
persoalan pelik yang dihadapi dunia pendidikan saat ini dan massa
depan, akan memiliki tempat yang sesungguhnya dan damai. 66 Selain
itu, penggunaan ijtihad ini juga akan menjadikanpendidikan Islam
tetap eksis dan relevan sesuai dengan perkembangan zaman dan
teknologi.

d. Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia


Sri Minarti menjelaskan di dalam bukunya Ilmu Pendidikan
Agama Islam, menyatakan bahwa “Pendidikan Agama Islam juga tidak
lepas dari konteks sosio-geografis yang melingkupinya.”67 Oleh sebab

65
Abdurrahman Mas‟ud, Antologi Study Agama dan Pendidikan, (Semarang: Aneka Ilmu,
2004), h. 148
66
Bahruddin dan M. Makin, Pendidikan Humanistik: Teori, Konsep dan Aplikasi Praktis
dalam Dunia Pendidikan, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2009), h. 160
67
Sri Minarti, op, cit., h. 58.
61

itu dalam konteks kenegaraan Indonesia pendidikan Agama Islam


mempunyai dasar sebagaimana berikut ini:
1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 29
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada ayat (1)
menerangkan, bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa. Sementara itu, ayat (2) menyatakan bahwa negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya
68
dan kepercayaannya. Hal ini menyatakan bahwa negara
memberikan jaminan kepada seluruh warga negara Republik
Indonesia untuk dapat memeluk dan melaksanakan kegiatan
peribadatan sesui dengan agama yang mereka anut, bahkan
mengadakan kegiatan yang menunjang bagi pelaksanaan
ibadah. Karenanya pendidikan Islam yang searah dengan
bentuk ibadah yang diyakini dan tidak melenceng dengan
agama diizinkan dan dijamin pelaksanaannya oleh negara.
2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Bagian pertama Pasal 15 menyatakan, bahwa jenis pendidikan
mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
69
vokasi, keagamaan, dan khusus. Sementara itu, bagian
kesembilan Pasal 30 ayat (1) menyatakan bahwa pendidikan
keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau
kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Pasal 2
menyatakan bahwa pendidikan keagamaan berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat

68
UUD Negara Republik Indonesia: Yang Telah Diamandemen I, II, III, dan IV,
(Surabaya: Terbit Terang, 2004), h. 20.
69
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung: Fokus
Media), h. 11.
62

yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya


dan/atau menjadi ahli ilmu agama.70
Bahkan dasar pelaksanaan pendidikan agama yang berasal dari
peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang RI
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 30, secara langsung dapat dijadikan pegangan dalam
pelaksanaan pendidikan agama di lembaga pendidikan formal
atau nonformal. Dari undang-undang tersebut dapat
disimpulkan bahwa pendidikan keagamaan bermaksud
mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan
peranannya sebagai pemeluk agama yang benar-benar
memadai.Di antaranya syarat dan prasyarat agar peserta didik
dapat menjalankan peranannya dengan baik, diperlukan
pengetahuan ilmu pendidikan Islam.Dari dasar-dasar
pendidikan Islam itulah kemudian dikembangkan suatu sistem
pendidikan Islam yang mempunyai karakteristik tersendiri yang
berbeda dengan sistem-sistem yang lain.

2. Fungsi Pendidikan Agama Islam


Menurut Abdul Majid dan Dian Andayani dalam bukunya
Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, kurikulum pendidikan
agama Islam berfungsi sebagai berikut:
a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan
peserta didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam
lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama-tama kewajiban
menanamkan keimanan dan ketakwaan dilakukan oleh setiap orang
tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk
menumbuhkembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui
bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan

70
Ibid., h. 19
63

ketakwaan tersebut dapat berkembang sevara optimal sesuai


dengan tingkat perkembangannya.
b. Penanaman nilai sebagai pedoman hidup untuk mencari
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
c. Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial
dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama
Islam.
d. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahankesalahan,
kekurangan-kekurangan dan kelemahankelemahan peserta didik
dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran dalam
kehidupan sehari-hari.
e. Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari
lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan
dirinya dan menghambat perkembangannya menuju manusia
Indonesia seutuhnya.
f. Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum
(alam nyata dan nir-nyata), sistem dan fungsionalnya.
g. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki
bakat khusus di bidang agama Islam agar bakat tersebut dapat
berkembang secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk
dirinya sendiri dan bagi orang lain.71

3. Tujuan Pendidikan Agama Islam


Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah kegiatan
selesai dan memerlukan usaha dalam meraih tujuan tersebut. Pengertian
tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik
setelah mengalami proses pendidikan baik pada tingkah laku individu dan
kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya

71
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam ..., h. 134-135.
64

di mana individu hidup. 72 Tujuan merupakan masalah sentral dalam


pendidikan. Tanpa tujuan, semua usaha pendidikan yang dilakukan akan
berakhir dengan kegagalan atau mungkin tersesat dan salah langkah. oleh
karena itu, perumusan tujuan pendidikan yang tegas dan jelas merupakan
inti dari seluruh pemikiran pedagogis dan perenungan filosofis.73
Tujuan pendidikan Agama Islam menurut M Arifin di dalam
bukunya Ilmu Pendidikan Islam sebagai berikut : “bahwa pendidikan
memiliki tujuan yang luas dan dalam, seluas dan sedalam kebutuhan hidup
manusia sebagai makhluk. Oleh karena itu tujuan pendidikan adalah untuk
menumbuhkan pola kepribadian yang bulat melalui latihan kejiwaan,
kecerdasan otak, penalaran, dan indera”.74
Islam melakukan proses pendidikan dengan melakukan pendekatan
yang menyeluruh sehingga tidak ada yang terabaikan sedikit pun, baik dari
segi jasmani maupun segi rohani. oleh sebab itu dalam konsep pendidikan
Islam, perlu untuk meletakan Islam sebagai sebuah ilmu. Hal ini
dikarenakan ilmu pengetahuan terus berkembang dan mengikuti
perubahan.Nilai-nilai yang dianut pun fleksibel terhadap
perubahan.Karena dunia ini bersifat dinamis, maka yang ada hanya
kebenaran relatif, untuk itulah kebenaran harus terus dicari terus-menerus
agar dapat mengantarkan manusia pada kebenaran yang hakiki.75
Dalam perumusan tujuan pendidikan Agama Islam, paling tidak
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Tujuan dan tugas manusia di muka bumi, baik secara vertikal
maupun horizontal. Manusia hidup bukan karena kebetulan,
melainkan ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup
tertentu. Tujuan diciptakan manusia ialah untuk mengabdi kepada

72
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1995), h. 161
73
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009),
h. 117-118
74
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 41.
75
Sri Minarti, op, cit., h. 104.
65

Allah swt. Indikasi tugasnya berupa ibadah dan tugas sebagai


wakil-Nya di muka bumi (khalifah Allah).76
b. Sifat-sifat dasar manusia. Yaitu konsep tentang manusia sebagai
makhluk hidup unik yang mempunyai berbagai potensi bawaan,
seperti fitrah, bakat, minat, sifat dan karakter yang
berkecenderungan pada al-hanief (rindu akan kebenaran dari
Tuhan) berupa agama Islam (QS. Al-Kahfi:29) sebatas
77
kemampuan, kapasitas, dan ukuran yang ada.
c. Tuntutan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan.
Tuntutan ini berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah
melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat. Selain itu,
pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam
mengantisipasi perkembangan dunia modern.
78
d. Dimensi-dimensi kehidupan Islam. Kehidupan ideal dalam
pandangan Islam mengandung nilai-nilai yang dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup manusia di dunia untuk mengelola dan
memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat. Selain itu,
mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk
meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan sehingga.

Adapun arah dari pendidikan Agama Islam adalah menuju


terbentuknya peserta didik yang cerdas.Dengan kecerdasannya, manusia
dapat melakukan sesuatu yang baik menurut Islam untuk kemaslahatan
hidup bersama.Dalam kaitan ini, al-Attas mengatakan bahwa tujuan
pendidikan yang penting harus diambil dari pandangan hidup.Jika

76
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidian Islam, (Jakarta: Putra Grafika, 2008),
h. 71-72.
77
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan,
(Jakarta: Pustaka al-Khusna, 1989), h. 34.
78
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 33-34
66

pandangan hidup itu Islam, tujuannya adalah membentuk manusia yang


sempurna (insan kamil) menurut Islam.79

Dengan demikian, konsep dasar dan tujuan pendidikan dalam


Agama Islam harus dilandaskan pada pola pikir, atau sudut pandang yang
Islami, yaitu sudut pandang yang berprinsip pada al-Qur‟an dengan pola
menurut yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Sebab tujuan pendidikan
Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk
menciptakan hamba Allah swt yang selalu bertaqwa kepada-Nya.Juga,
hamba-Nya yang dapat mencapai kehidupan bahagia di dunia dan
akhirat.Hal ini sebagaimana tertera dalam firman Allah swt QS. Ali Imran:
2 sebagai berikut:

       

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang
hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya.”

Sedangkan Tujuan Pendidikan Agama Islam di Sekolah-sekolah


bertujuan untuk:

1) Untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui


pemberiandan pemupukan pengetahuan, pengalaman, penghayatan,
pengalaman, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam
sehingga menjadi manusia Muslim yang berkembang dalam hal
keimanan, ketakwaan kepada Allah swt.
Serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Meningkatkan keimanan
haruslah berbarengan dengan akhlak yang mulia agara selaras
dalah hidup di dunia.

79
Naquib al-attas, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan integrative di
sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 27
67

2) Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak


mulia.
Yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin ibadah, cerdas,
produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh)
menjaga keharmonisan secara menyeluruh serta mengembangkan
budaya agama dalam komunitas sekolah.
Mengembangkan budaya agama haruslah di lakukan di sekolah,
karna sudah sepatutnya penganut agama islam mengikuti aturan
atau arahan yang di ajarkan, karena sesunggahnya agama Islam
tidaklah mengajarkan kekerasan malah mengedepankan cinta kasih
dan perdamaian, maka tidaklah heran Islam mengatur juga
hubungan sosial masyarakat.
3) Untuk berkembangnya kemampuan peserta didik.
Pendidikan Agama Islam haruslah bertujuan mengembangkan
kemampuan dalam mengembangkan, memahami, dan
mengamalkan nilai-nilai agama Islam, penguasaan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni.
Al-Quran dan Hadits adalah sumber ilmu bagi penganut agama
Islam, di situ semua pengetahuan kehidupan sudah lengkap dan
kita tinggal mempelajari serta mengamalkannya lebih lanjut, agar
kita dapat menunjukan bahwa islam bukanlah agama yang
terbelakang.
4) Untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, keperibadian,
akhlak mulia, keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut serta meningkatkan tata cara membaca Al-
Quran dan tajwid sampai kepada tata cara menerapkan hokum
bacaan dan wakaf.
Dalam meningkatkan kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian
yang berakhlak mulia itu sejalan dengan konsep pluralism yang
Abdurrahman wahid inginkan yaitu agama Islam haruslah menjadi
plopor pribadi akhlak yang mulia bagi yang lainnya. Sehingga
68

sangatlah penting akhlak mulia ini agar tidak terjadi lagi tingkat
kekerasan di Indonesia ini khususnya mengenai Agama.

Tujuan pendidikan Agama Islam adalah suatu kondisi ideal dari


objek didik yang akan dicapai, yaitu dimana seluruh kegiatan dalam sistem
pendidikan diarahkan. Segala gagasan untuk merumuskan tujuan
pendidikan Agama Islam haruslah memperhitungkan bahwa kedatangan
Islam adalah permulaan baru bagi manusia. Islam datang untuk
memperbaiki keadaan manusia, menyempurnakan utusan-utusan (anbiya)
Tuhan sebelumnya, dan dalam rangka mencapai kesempurnaan agama.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian yang berjudul; “Konsep Pluralisme Abdurrahman
Wahid Dalam Persepektif Pendidikan Agama Islam” ini berlangsung
mulai bulan Juni 2016 sampai Juni 2017, digunakan untuk mengumpulkan
data dari sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari koleksi buku-buku di
perpustakaan, dan sumber lain yang mendukung penelitian, terutama yang
berkaitan dengan nilai-nilai, pendidikan Islam dimaksudkan untuk
menganalisis dan menyimpulkan hasil penelitian yang kemudian
menyusunnya dalam bentuk laporan hasil penelitian. Dan pelaksanaan
penelitian ini bertempatkan di perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan di tempat lain seperti perpustakaan yang di sekitar Jakarta.

B. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian


Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kepustakaan (library
research), yang bertumpu pada kajian referensi dan telaah teks literature
dengan pendekatan deskriftif dan filosofis. Karena sumber-sumber data yang
digunakan oleh peneliti adalah data literatur. Tujuan dari desain penelitian ini
adalah untuk melatih penulis untuk membaca secara kritis segala literatur
yang ada. Tujuan lain dari jenis penelitian ini ialah melatih penulis dalam
mengekspresikan semua bahan atau data mentah yang bermacam-macam
menjadi suatu karya tulis yang panjang dan teratur.1
Penelitian Kepustakaan (libraryresearch) ini Artinya penelitian yang
bersifat kepustakaan murni yang data-datanya didasarkan/diambil dari bahan-
bahan tertulis, baik yang berupa buku atau lainnya yang berkaitan dengan
topik/tema pembahasan skripsi ini.2

1
Gorys Keraf, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, (Flores: Penerbit Nusa
Indah, 1994)
2
Cet-10.h. 165
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 6

70
71

Adapun pendekatan penelitian yang digunakan adalah studi pemikiran


tokoh yaitu dengan pendekatan sosio histories dan factualhistories,
pendekatan sosio histories yaitu penelitian yang berupaya memeriksa secara
kritis peristiwa, perkembangan masa lalu, kemudian mengadakan interpretasi
terhadap sumber-sumber informasi.3 factual histories yaitu suatu pendekatan
dengan mengemukakan sejarahfakta mengenai tokoh.4

C. Sumber Data
Sumber penelitian yang digunakan penulis yaitu bersifat dokumenter
atau data yang bersifat simbol, literatur kepustakaan, dan sebagainya.
Kemudian sumber penelitian ini ada dua macam.
1. Pertama, sumber primer yaitu pemikiranpemikiran K.H Abdurrahman
wahid tentang pendidikan multikultural yang tertulis dalam buku,
jurnal, katalog dan sebagainya.
2. Kedua, sumber-sumber sekunder, yaitu sumber bacaan yang relevan
dengan sumber primer, baik dari koran, internet, dan sebagainya.5

D. Teknik Pengumpulan Data


Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis
melakukan telaah kepustakaan, yaitu dengan membaca kajian kepustakaan
yang berkenaan dengan pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid tentang
pendidikan multikultural. Setelah mengumpulkan data atau informasi mentah,
kemudian data tersebut diseleksi menjadi kerangka penelitian yang sesuai
dengan tujuan yang diinginkan.
Mekanisme teknik dalam mengumpulkan data tidak memungkinkan
penulis untuk membaca semua buku yang ada pada perpustakaan. Faktor
waktu dan tenaga menjadi alasan yang jelas, akan tetapi penulis

3
Komaruddin, Kamus Research, (Bandung: Angkasa, 1984), hlm. 120
4
Anton Bekker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), hlm. 61
5
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2006) cet 13.h. 158
72

memanfaatkan alat riset dan mekanisme standar yang biasa ada pada
perpustakaan seperti katalog online, ensiklopedia, maupun internet.6

E. Analisis Data
Dalam menganalisis data ini peneliti menganalisis dan
mendeskripsikan setiap sumber-sumber yang berhubungan dengan pemikiran-
pemikiran pluralism Abdurrahman Wahid dan nilai-nilai pendidikan Agama
Islam, agar peneliti dapat mengetahui nilai-nilai pendidikan Agama Islam
dalam pemikiran pluralisme tersebut.

F. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang dipakai pada skripsi ini berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan tahun
2014.

6
Gorys Keraf, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, (Flores: Penerbit Nusa
Indah, 1994) Cet-10.h. 166
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN ABDURRAHMAN
WAHID TENTANG KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME
DALAM PERSPEKTIFPENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Berkaitan dengan analisis terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid tentang


konsep pendidikan pluralisme dalam perspektif pendidikan Agama islam, penulis
menginterprestasikan pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid dengan
menggunakan bahasa yang dipakai penulis sendiri.
Ibarat sebuah teks, Abdurrahman Wahid banyak dibaca, diamati, dan bahkan
ditafsirkan banyak orang atas apa yang diucapkan dan menjadi sikap
kepribadiannya. Memahami Abdurrahman Wahid tentu saja tak bisa lepas dari apa
yang tampak secara kasat mata semata. Dengan penuturannya yang lugas dan
mudah dicerna banyak kalangan, Abdurrahman Wahid atau yang biasa dipanggil
Gus Dur ini sesungguhnya tengah melakukan diagnosa situasi nasional dan
problem keumatan yang melalui tulisannya, Ia melempar gagasan yang berani dan
konstruktif. Semuanya Ia lakukan tidak lain sebagai ikhtiar membingkai
kehidupan masyarakat dan bernegara di masa depan yang lebih kondusif, ada
jaminan hukum yang adil dan terciptanya harmonisasi yang maksimal diantara
sesama umat manusia.
A. Analisis Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid
1. Terbentuknya Sikap Pluralisme Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid seorang yang beragama dan percaya pada
konsep wahyu, tetapi Ia gabungkan dengan pemikiran modern. Bahwa
kalau memang ada Tuhan Allah Sang Pencipta, ada wahyu dan ada kitab
suci, tetapi juga ada pengetahuan obyektif.Jadi ada yang mutlak tetapi
kemutlakan itu dibatasi oleh yang tidak mutlak.Jadi secara otomatis ada
implikasi pluralisme. Ini adalah sumber pluralisme intelektual, tetapi ada
juga sumber-sumber pluralisme yang lain. Orang bisa pluralis karena

73
74

punya sikap humanitarian, kecintaan kepada manusia membuat kita saling


menghormati.
Telah disadari bahwa betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus
Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang
yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata
sosial dan pemikiran yang berbeda.Dari segi pemahaman keagamaan dan
ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari
yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai modernis dan sekuler.
Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur
yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai dengan budaya Barat yang
terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para
pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan
radikal semua dialami.
Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren.
Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik,
formal, dan struktural.Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah
mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari
yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal.
Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi
oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya.Secara rasa
maupun praktek perilaku yang humanis, pengaruh para Kyai yang
mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk
pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH.Ali
Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat
pribadi Abdurrahman Wahid menjadi orang yang sangat peka pada
sentuhan-sentuhan kemanusiaan.
Menurut Greg Barton, Sebagai seorang remaja, Abdurrahman Wahid
mulai mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, serta pada
saat yang sama ia bergulat memahami Das Kapital karya Marx dan What
is Tobe Done karya Lenin, sehingga Ia tertarik pada ide Lenin
75

tentangketerlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile


Communism dan dalam Little Red Book-Mao.
Saat di Mesir, Gus Dur juga dengan penuh minat mengikuti
bagaimana Mesir sebagai negara memperlakukan pemikir Islam Sayyid
Qutb. Pada saat itu ia telah membaca karya-karya penulis Islam dan
akhirnya mendapati bahwa pemikiran Islam bersifat ekstrim dan sangat
naif. Misalnya karya-karya Hasan al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimin),
Ali Syari’ati, Sayyid Qutb, dan penulis-penulis lain.
Gus Dur juga belajar kepada salah seorang temannya bernama Ramin
ketika ia tinggal di Baghdad, tepatnya karena mereka berdua sama-sama
bekerja di ar-Rahmadani (perusahaan impor tekstil dari Eropa dan
Amerika). Ramin berasal dari komunitas kecil Yahudi Irak, juga
merupakan pemikir liberal dan terbuka.Mereka bertemu secara rutin untuk
membicarakan agama, filsafat, dan politik.Dari Ramin-lah Gus Dur
pertama kali mengetahui Yudaisme dan pengalaman orang-orang
Yahudi.Ramin berbicara panjang lebar mengenai cobaan berat yang
dialami orang-orang Yahudi yang tinggal di Rusia.Ia juga bercerita
mengenai keluarganya sendiri yang tinggal di Irak. Dari Ramin jugalah
Gus Dur mulai belajar menghormati Yudaisme dan memahami pandangan
agama Yahudi serta keprihatinan politik dan sosial orang-orang Yahudi
yang hidup dalam diaspora sebagai kaum minoritas yang selalu disiksa.
Akan tetapi bagi Gus Dur, topik yang sangat menarik perhatiannya
bukanlah politik atau filasafat yang dipelajari sebagai sesuatu yang
abstrak, namun bagaimana agar mempunyai sifat manusiawi. Pada waktu
itu, dan kemudian sepanjang hidupnya, ia sangat suka memahami
kepelikan sifat manusia. Sebagaimana yang ia pelajari dalam Wayang
Kulit, yang berisi kisah-kisah mengenai bagaimana menghargai
ambivalensi, maka dalam sastra-sastra besar Eropa ia juga belajar
menghargai kepelikan dan bermacam lapis kelabu yang membentuk sifat
manusia. Cintanya akan kemanusian ini, yang dibinanya lewat sastra
76

klasik, dilengkapi oleh kegemarannya menonton film. Demikianlah rasa


cinta Gus Dur yang besar akan sastra dan ilmu pada umumnya.
Pluralisme merupakan salah satu komponen dari liberalisme, di
samping komponen yang lain yaitu kebebasan, toleransi, serta persamaan.
Terbentuknya liberalisme Gus Dur tidaklah sulit untuk diidentifikasi, dan
juga tidak mengejutkan bahwa daya tarik Islamisme radikalnya tidak
berumur panjang. Menurut Greg Barton, Pengaruh yang pertama adalah
keluarganya sendiri. Di dalam lingkungan keluarga ini ia dididik untuk
bersikap terbuka dan selalu mempertanyakan sesuatu secara intelektual.
Yang kedua, ia dibesarkan di dalam dunia sufistik Islam tradisional
Indonesia, dan yang ketiga adalah ia dipengaruhi oleh orientasi budaya
masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralisme dan
egalitarianisme. Akhirnya ia sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan
dipelajarinya karena keduanya memberikan kesempatan kepada dirinya
untuk mencoba mensintesiskan pemikiran Barat modern dengan Islam.
Terdapat lima elemen kunci yang dapat disimpulkan dari pemikiran
Abdurrahman Wahid: Pertama, pemikirannya progresif dan bervisi jauh
ke depan. Baginya seorang Gus Dur dari pada terlena oleh kemenangan
masa lalu, Gus Dur melihat masa depan dengan harapan yang pasti, bahwa
bagi Islam dan masyarakat Muslim, sesuatu yang terbaik pasti akan dating
dan meyakini Allah akan menjadikan setelah kesulitan pasti ada
kemudahan. Kedua, pemikiran Gus Dur sebagian besar merupakan respons
terhadap modernitas; respons dengan penuh percaya diri dan cerdas.
Sembari tetap kritis terhadap kegagalan–kegagalan masyarakat Barat
modern. Biasa dipahami bahwa Gus Dur bukanlah menerima pemikiran
liberal secara utuh tapi Gus Dur memilah-milah mana yang positif dan bisa
sesuai dengan masyarakat di Indonesia.
Ketiga, dia menegaskan bahwa posisi Pancasila merupakan dasar
yang paling mungkin dan terbaik bagi terbentuknya negara Indonesia
modern dengan alasan posisi Pancasila sangat penting bagi kesejahteraan
dan kejayaan bangsa. Gus Dur menegaskan bahwa ruang yang paling
77

cocok untuk Islam adalah ruang sipil (civil sphere), bukan ruang politik
praktis.
Keempat, Gus Dur mengartikulasikan pemahaman Islam liberal dan
terbuka yang toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli untuk menjaga
harmoni dalam masyarakat. Kelima, pemikiran Gus Dur
mempresentasikan sintesis cerdas pemikiran Islam tradisional, elemen
modernisme Islam, dan kesarjanaan Barat modern, yang berusaha
menghadapi tantangan modernitas baik dengan kejujuran intelektual yang
kuat maupun dengan keimanan yang mendalam terhadap kebenaran utama
Islam.
Dari kelima kunci pemikiran Gus Dur tersebut, terlihat bahwa fokus
utama pemikiran beliau bertumpu pada terciptanya kehidupan yang damai
sesuai dengan cita-cita Islam yang memberi rahmat kepada seluruh alam
dengan menghormati HAM dan toleransi secara penuh, memberi ruang
gerak demokrasi, serta mengembangkan sikap pluralisme, yang
kesemuanya itu merupakan ajaran Islam yang terkandung pada prinsip
universal Islam pada maqashid al-syari’ah.
2. Konsep Pendidikan Pluralisme Abdurrahman Wahid
Salah satu aspek yang paling dapat dipahami dari Abdurrahman
Wahid adalah bahwa Ia sang penyeru pluralisme dan toleransi, pembela
kelompok minoritas, khususnya China Indonesia, juga penganut Kristen
dan kelompok-kelompok lain yang tidak diuntungkan. Gus Dur dipahami
sebagai Muslim non-chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan
diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam.Yang secara
luas tidak atau tepatnya kurang diapresiasi adalah bahwa Gus Dur itu
orang yang bangga sebagai seorang Muslim.Dia sangat mencintai
kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam sendiri.Lebih
dari itu, Gus Dur adalah tokoh spiritual, figur mistik yang dalam
pandangannya dunia spiritual nyata seperti dunia materi yang dapat
dirasakan dengan indera manusia.
78

Dengan memahami berbagai pemikiran Gus Dur yang telah


dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka ide-ide mengenai Konsep
pendidikan pluralisme menurut beliau yaitu:
a. Pendidikan pluralisme Abdurrahman Wahid didasarkan pada
penghormatan yang mendalam terhadap tradisi keilmuan NU, yang
prinsip pluralismenya terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Dengan mengakui perbedaan sebagai keniscayaan bahwa Allah
memang menciptakan perbedaan itu agar saling mengenal dan
menghindari perpecahan. Konsep pluralisme yang didasarkan pada
QS. al-Hujurat ayat 13, menurut Gus Dur ayat tersebut jelas
menunjuk kepada perbedaan yang senantiasa ada antara laki-laki dan
perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan
demikian, perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui Islam,
sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan.
Beliau tidak mempersamakan keyakinan secara total, karena masing-
masing percaya bahwa akidahnya sendiri adalah benar.Namun
hendaknya kita tetap meyakini kebenaran agama kita sendiri.Kendati
demikian kita harus tetap menciptakan suasana yang harmonis.
Sehingga dipahami bahwa Pluralisme bukanlah ide yang menyatakan
semua agama sama. Kita semua mengakui dan menyadari bahwa
setiap agama mempunyai ajaran yang berbeda-beda.Tetapi
perbedaan tersebut bukanlah alasan untuk menebarkan konflik dan
perpecahan.
Perbedaan justru dapat dijadikan sebagai katalisator untuk
memahami anugerah Tuhan yang begitu nyata untuk senantiasa
merajut keharmonisan dan toleransi.Oleh sebab itu, perbedaan dan
keragaman merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari.
Apalagi dalam perbedaan dan keragaman tersebut tersimpan
keistimewaan, yang mana antara kelompok yang satu dengan
kelompok lain bisa saling mengisi dan menyempurnakan.
79

b. Tugas Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yaitu


membentuk masyarakat yang mengakui perbedaan sebagai ketentuan
dari Tuhan, serta menjalin kerjasama meskipun berbeda agama.
Abdurrahman Wahid mengembangkan pluralisme dengan bertindak
dan berpikir. Dalam bertindak yaitu hendaknya kita bersikap
inklusif, tidak membatasi pergaulan dengan orang lain, meski
berbeda keyakinan.
Dalam berpikir, bersedia menerima dan mengambil gagasan atau
pemikiran dari kalangan lain. Apa yang muncul paling jelas dalam
pemikiran Gus Dur adalah keyakinan bahwa pandangan religius
yang membentuk dan melahirkan nilai-nilai yang berasal dari Eropa
Kristen dan Yahudi sejajar dalam visi pokoknya dengan pesan Islam.
Dengan kata lain, Gus Dur seperti intelektual progresif lainnya di
Indonesia, tidak mempermasalahkan hubungan antara Islam dan
Barat. Walaupun tidak menolak adanya perbedaan penting antara
keduanya, Gus Dur berargumentasi dengan efektif bahwa arah dan
perhatian utama tradisi Judeo, Kristen dan Islam sangat dekat bila
dicari sistem nilainya yang paling utama.
Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama
antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang
menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan
kerjasama itu tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktek
kehidupan, apabila ada dialog antaragama
c. Fungsi Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yaitu
sebagai wadah untuk Mengembangkan rasa saling pengertian yang
tulus dan berkelanjutan terhadap umat beragama lain, bukan sekedar
saling menghormati serta tenggang rasa, tetapi yang diperlukan
adalah rasa saling memiliki.
Sebenarnya istilah toleransi jauh terlalu lemah untuk
mendeskripsikan sikap Gus Dur. Gus Dur tanpa sedikitpun
memperlemah keyakinan Islaminya, sepenuhnya menerima
80

keberadaan umat beragama lain. toleransi, keterbukaan, ketenangan


berhadapan dengan agama-agama lain, itu agak unik pada Gus Dur.
seakan-akan Ia begitu mantap dalam keislamannya sehingga dengan
gampang dapat berbesar hati pada agama-agama lain. Gus Dur
sering dianggap terlalu dekat dengan kaum minoritas dan kritis pada
agamanya sendiri.tetapi argumen itu lebih merupakan tanda
kekerdilan mereka yang mengajukannya. Dengan demikian, Gus Dur
adalah seorang humanisyakin dalam arti yang sebenar-benarnya; Ia
akan selalu membela yang lemah, tertindas, minoritas, dan Ia tidak
akan tunduk terhadap prasangka-prasangka.
d. Tujuan Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid
berorientasi pada terciptanya kerjasama anhtar pemeluk agama yang
berbeda serta menghindari perpecahan, agar terwujud kehidupan
yang harmonis dan sejahtera.
e. Mengenai penerapan Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman
Wahid yaitu dengan menanamkan pendidikan nilai-nilai toleransi
sejak dini dan berkelanjutan terhadap anak didik dari mulai kecil
sampai perguruan tinggi. Upaya ini sangat efektif untuk
menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik.
Perbedaan agama di antara peserta didik bukanlah menjadi
penghalang untuk bisa bergaul dan bersosialisasi diri. Justru
pendidikan agama pada peserta didik yang berbeda agama, dapat
dijadikan sarana untuk menggali dan menemukan nilai-nilai
keagamaan pada agamanya masing-masing sekaligus dapat
mengenal tradisi agama orang lain.
Cara paling efektif untuk menumbuhkan sikap pluralisme yaitu
berangkat dari penerimaan secara terbuka terhadap pluralisme
makanan.Keragaman menu makanan di Indonesia bisa diterima oleh
semua kalangan, demikian pula seharusnya pluralisme bangsa ini.
Gus Dur sangat yakin bahwa Islam adalah keyakinan yang menebar
kasih sayang, yang secara mendasar toleran dan menghargai
81

perbedaan. Bagi Gus Dur, Islam adalah keyakinan yang egaliter,


keyakinan yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan
yang tidak adil karena alasan ras, suku, kelas, gender, atau
pengelompokan-pengelompokan lainnya dalam masyarakat.
Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa dalam pandangan
Tuhan, semua manusia adalah setara.Bagian dari keyakinan
mendasar Gus Dur adalah bahwa nilai-nilai yang mendasari
demokrasi dan liberalisme adalah nilai-nilai universal. Kemudian Ia
berargumentasi bahwa prinsip-prinsip itu dapat diterapkan di Timur
sebagaimana di Barat. Kendati demikian, Ia menolak argumentasi
yang terlalu menyederhanakan, yaitu bahwa hal ini karena Islam
adalah sumber asli pemikiran, nilai-nilai, dan ide-ide. Bahkan Gus
Dur menganggap pandangan ini apologetik saja.Gus Dur lebih lanjut
menegaskan bahwa prinsip-prinsip mendasar yang berasal dari
pencerahan duduk setara dengan pesan utama Islam.
3. Relevansi Pemikiran Abdurrahman Wahid di indonesia
a. Indonesia Adalah Negara Pancasila
Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk yang terdiri dari
bermacam-macam etnis, bahasa, suku, ras, agama, dan kepercayaan
yang saling berinteraksi secara harmonis.Semuanya memiliki
kesadaran berbangsa dan cinta tanah air dengan ditunjukkannya
semangat membela Negara dan mempertahankan Kesatuan Negara
Republik Indonesia dari pihak-pihak penjajah sampai titik darah
penghabisan.Tak hanya suku Jawa yang berjuang dan tak hanya umat
Muslim yang mempertahankannya, namun semua komponen bangsa,
bukan segelintir pihak.Sehingga upaya untuk menerapkan formalisasi,
syari’atisasi maupun ideologisasi Islam pada Negara merupakan hal
yang mustahil.
Abdurrahman Wahid dengan tegas menolak pembentukan
Negara Islam bagi Indonesia, sikap tersebut didasari dengan
pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup tidak memiliki konsep
82

yang jelas tentang Negara. Dasar yang dipakai beliau adalah:


Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti
tentang pergantian kepemimpinan. Itu terbukti ketika wafatnya Nabi
Muhammad saw., dan digantikan Abu Bakar melalui bai’at oleh
kepala suku dan wakil-wakil kelompok umat pada waktu itu.
Sedangkan Abu Bakar sebelum wafat menyatakan kepada kaum
Muslimin, hendaknya Umar bin Khattab yang diangkat menggantikan
posisinya. Berarti sistem yang dipakai adalah penunjukan. Sementara
Umar menjelang wafat meminta agar penggantinya ditunjuk melalui
dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Lalu terpilihlah Usman bin
Affan. Selanjutnya Usman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada
saat itu Abu Sufyan juga telah menyiapkan anak cucunya untuk
menggantikan Ali .Sistem ini kelak menjadi acuan untuk menjadikan
kerajaan atau sistem marga yang menurunkan calon-calon raja dan
sultan dalam sejarah Islam.
Kedua, besarnya Negara yang diidealisasikan oleh Islam, juga
tak jelas ukurannya. Nabi Muhammad saw. meninggalkan Madinah
tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan kaum Muslimin.
Tidak ada kejelasan, misalnya Negara Islam yang diidealkan bersifat
mendunia dalam konteks Negara-bangsa ataukah hanya Negara kota.
Acuan inilah yang dipegang Gus Dur sebagai prinsip untuk menolak
dijadikannya Indonesia sebagai Negara Islam.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak zaman Kerajaan
Majapahit telah membuktikan adanya pluralisme. Para pendiri
Indonesia juga telah mewariskan nilai-nilai utama dalam membangun
kehidupan bangsa yang majemuk.Mereka mampu menempatkan
antara agama dan nasionalisme secara seimbang.Sikap dan perjuangan
Gus Dur membela pluralisme tidak datang seketika.Ia memahami
sejarah kebangsaan dan ke-NU-an dengan cermat, sebelum akhirnya
memilih jalan itu. Tokoh-tokoh NU sejak sebelum kemerdekaan,
KH.Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah, telah memikirkan
83

bagaimana menempatkan Islam agar dapat berfungsi dalam Indonesia


yang majemuk serta menjadikan Islam hidup berdampingan dengan
agama lain.
Pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, NU telah
memutuskan bahwa Hindia Belanda (nama Indonesia waktu itu) tidak
memerlukan Islam sebagai ideologi negara. Namun, umat Islam tetap
wajib membela negaranya meskipun negaranya tidak berbentuk
negara Islam. Keputusan ini pulalah yang membuat NU mengakui
Pancasila dan UUD 1945 saat ormas-ormas Islam lain masih
memperdebatkannya. UUD 1945 dan Pancasila yang memberikan
jaminan atas pluralisme juga banyak mengandung nilai Islam, seperti
mewujudkan kesejahteraan bersama serta menciptakan masyarakat
adil dan makmur.
Sering kali Gus Dur mengutip atau bahkan mendasarkan
tindakannya sesuai dengan kaidah ushul fiqih, menanggapi keadaan
atau situasi bangsa. Dalam soal kepemimpinan, misalnya, Gus Dur
sering mengutip kaidah ushul, tasharrafu al imām ’alāal-ra’iyyah,
manūthun bial-mashlahah (kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya,
bergantung padakemaslahatan atau kesejahteraan). Dalam soal
pembaruan, Gus Dur juga memakai kaidah ushul al-muhāfadzatu ’ala
al-qadim al-shālih, wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah (memelihara
tradisi terdahulu yang baik, danmenerima sesuatu yang baru, yang
lebih baik). Artinya, sikap pluralisme Gus Dur sudah terbangun sejak
kecil dan menerapkannya pada era modern.Apa yang selama ini
dipahami sebagai tradisi, Gus Dur mengubahnya menjadi sesuatu
yang lebih bermakna.
Sebelum dipimpin Gus Dur, citra NU yang menonjol adalah
sebagai organisasi Islam yang eksklusif dari pengaruh pemikiran
kontemporer yang berkembang, konservatif dalam pemahaman
keagamaan, dan fundamentalis dalam memperjuangkan nilai-nilai
kebenaran yang diyakininya. hanya dalam tiga periode
84

kepemimpinannya, dia berhasil mengubah citra NU menjadi inklusif,


modern, dan moderat.
Semangat itu pula yang menginspirasinya untuk menjadikan
Indonesia yang sejahtera dengan kemajemukan warganya.UUD 1945
telah menjamin hak hidup dan kemerdekaan untuk menganut
keyakinan dan mengungkapkan pendapat. Ini harus dipertahankan
mati-matian apa pun resikonya, Dalam hidup berbangsa, umat Islam
perlu saling mengembangkan dialog dan kerja sama dengan umat
agama lain. Hanya dengan dialog dan kerja sama inilah yang akan
membuat umat Islam terus belajar dan mampu hidup berdampingan
dengan umat lain. Kondisi ini menempatkan Islam bukan sebagai
alternatif, tetapi sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa.
b. Memperjuangkan Penegakan Demokrasi, HAM, dan Pluralisme di
Indonesia
Bagi kalangan minoritas, Gus Dur dianggap sebagai pembela
utama eksistensi mereka. Masyarakat Papua, etnis Tionghoa, atau
umat Nasrani menganggap Gus Dur sebagai pembela di tengah
tantangan dan ancaman politis masyarakat atau negara. Ia mengatakan
bahwa pembelaan terhadap kelompok minoritas bukan perjuangan
mudah. Oleh karena itu, nasib kelompok minoritas yang selama ini
tersisih harus terus diperjuangkan sesuai dengan amanat UUD 1945.
Menurut Gus Dur, pemerintah tidak perlu melihat segala
tuntutan kelompok minoritas hanya dari kacamata politis. Jika segala
tindakan kelompok minoritas dipandang sebagai gerakan politis,
berarti negara telah kehilangan penghargaan atas keragaman yang
dibangunnya sendiri. Pluralisme Indonesia merupakan yang paling
kuat dibandingkan negara lain. Karena itu, perbedaan itu tidak perlu
dipolitisasi. Kegigihannya membela pluralisme inilah yang membuat
Gus Dur pada dianugerahi Medals of Valor dari The Simon
Wiesenthal Center di Amerika Serikat. Iadinilai gigih
85

memperjuangkan moderasi dalam Islam dan membangun dialog


dengan agama-agama lain dan turut menciptakan perdamaian dunia.
Gus Dur adalah orang yang konsisten dengan prinsip-prinsipnya.
dan prinsip-prinsip ini berakar pada pemahamannya terhadap Islam
yang liberal, yaitu pemahamannya yang menekankan pada rahmat,
pengampunan, kasih sayang Tuhan dan keharusan kita untuk
mengikuti sifat-sifat ini dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam
kehidupan beragama. Gus Dur sudah lama dikenal sebagai pembela
kaum yang lemah, dan selama berpuluh-puluh tahun Ia adalah orang
yang terus terang, sering mempertaruhkan reputasi personal yang
cukup besar, dalam membela kelompok yang orang lain enggan
membelanya. dan komitmennya pada toleransi, keterbukaan, kasih
sayang dan pembebasan dalam hubungan antar-komunal maupun
antar-iman ini merupakan salah satu identitas Abdurrahman Wahid
dalam memandang kehidupan publik baik politik maupun religius.
Abdurrahman Wahid adalah sosok pemimpin sejati yang selalu
memayungi dan mengayomi semua golongan tanpa melihat perbedaan
ras, agama, kepercayaan dan profesi.Abdurrahman Wahid selalu
melindungi dan mengayomi hak-hak minoritas dari kesewenang-
wenangan mayoritas di Indonesia.Perjuangan beliau Tak hanya pada
konsep pemikiran belaka, namun langkah konkret beliau lakukan
dalam mewujudkan masyarakat berbangsa yang adil dan
harmonis.Sehingga beliau layak disebut sebagai Bapak Pluralisme,
Bapak Demokrasi, serta Pejuang HAM.
1) Bapak Pluralisme
Perjuangan konkrit Gus Dur misalnya, Ketika banyak kelompok
menghujat dan berusaha menyingkirkan kelompok lain yang
dianggap sesat dengan cara-cara kekerasan dan penistaan seperti
yang sering dialami jamaah Ahmadiyah, Gus Dur selalu tampil
sebagai pembelanya. Bukan berarti Gus Dur setuju dengan
keyakinan Ahmadiyah itu, tetapi Ia sangat menghormati
86

keyakinan seseorang. Ia juga ingin menunjukkan cara memahami


dan menghayati agama secara dewasa, penuh kearifan dan
kebijaksanaan. Tidak semata-mata pemahaman agama yang
berdasarkan pengetahuan dan sisi normatifnya saja.Ia berpegang
pada ajaran sang Kiai bahwa boleh saja kita memandang
keyakinan orang lain atau agama orang itu dianggap sesat, tetapi
hal itu tidak dengan sendirinya menjadi boleh bagi kita untuk
melarangnya atau melenyapkannya.
Pembelaan Gus Dur terhadap kelompok dan etnis Tionghoa
dibuktikan secara nyata. Saat Ia menjadi Presiden, hari raya Imlek
bisa diperingati dan dirayakan dengan bebas. Warga Tionghoa
tidak perlu lagi harus sembunyi-sembunyi jika merayakannya.
Karena sebelumnya para warga keturunan Tionghoa harus
mengganti namanya menjadi nama pribumi, tidak boleh
mendirikan sekolah, dilarang mendirikan surat kabar atau majalah
yang berbahasa Mandarin, dan yang lebih parah lagi bahwa
mereka dilarang beragama Konghucu.
Beliau berpandangan bahwa Indonesia dari latar belakang
sejarahnya terbentuk oleh orang yang mempunyai asal-usul
berbeda-beda secara bersama-sama mendirikan Negara ini,
termasuk warga keturunan Tionghoa.Sehingga segala bentuk
diskriminasi kepada masyarakat Tionghoa sangat bertentangan
dengan nilai perjuangan pembentukan bangsa ini.
2) pejuang Demokrasi
Gus Dur juga dikenal sebagai pejuang demokrasi yang sangat
gigih.Karena itu, pada Maret 1991 Abdurrahman Wahid bersama
para koleganya mendirikan Forum Demokrasi. Tujuan utamanya
adalah untuk memperjuangkan tegaknya demokrasi di Indonesia
baik pada level kelembagaan maupun kesadaran masyarakat.
Namun secara khusus berdirinya forum demokrasi
dilatarbelakangi oleh dua peristiwa penting di Republik ini.
87

Pertama, kasus Monitor pada bulan Oktober 1990, di mana


tabloid tersebut dirusak massa yang mengatasnamakan Islam
gara-gara sebuah surveinya yang menyinggung perasaan umat
Islam. Menurut Gus Dur, kasus monitor menunjukkan bahwa
kelompok dalam masyarakat ingin memanipulasi isu-isu agama
untuk mengedepankan kepentingan mereka.
Kedua, berdirinya ICMI pada Desember 1990. Menurut GusDur,
ICMI merupkan alat eksploitasi politik terhadap agama yang
mengutamakan kepentingan kelompok eksklusif yang sempit di
atas kepentingan nasional. ICMI akan mengaliansikan non-
Muslim dan memperburuk pembelahan dan salah paham yang
sudah kuat dalam masyarakat Indonesia selama ini antara
kelompok keagamaan, kesukuan dan budaya yang berbeda.
3) Pejuang HAM
Apresiasi Abdurrahman Wahid terhadap HAM bukan hanya
dalam konsep saja, Abdurrahman Wahid menyuarakan pembelaan
terhadap sejumlah kasus tertentu yang menyangkut hak-hak kaum
minoritas, penghormatan terhadap non-Muslim. Ia tanpa ragu
membela Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual muda NU yang
juga tokoh muda “Islam Liberal” yang mengemukakan
Liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan
memiliki sejumlah implikasi yang sangat jauh, misalnya
anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan kemerdekaan
berpikir seorang santri demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan
asas-asas keyakinannya sendiri akan kebenaran Islam. Itulah
sebabnya mengapa demikian besar reaksi orang terhadap
pemikirannya ini. Seperti diketahui bahwa sejumlah ulama’ serta
aktifis Islam tertentu menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar
dari Islam, dan karena itu Ia layak dihukum mati.
Menurut Gus Dur, kemerdekaan berpikir adalah sebuah
keniscayaan dalam Islam. Tentu saja Ia percaya akan batas-batas
88

kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna


kecuali kehadirat Tuhan. Selama Ia percaya ayat 88 QS. al-
Qashas yang berbunyi: “Segala sesuatu akan musnah kecuali Dzat
Allah”. Serta yakin akan kebenaran kalimat tauhid, maka Ia
adalah seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja,
tetapi tidak dapat mengubah kenyataan ini. seorang Muslim yang
menyatakan bahwa Ulil anti Muslim, akan terkena sabda Nabi
Muhammad saw. ”Barang siapa yang mengkafirkan saudaranya
yang beragama Islam, justeru ialah yang kafir”.
Disadari atau tidak, bahwa hanya dengan cara menemukan
pemikiran seperti itu, barulah islam dapat berhadapan dengan
tantangan sekularisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita
masih mengharapkan Ulil mau melahirkan pendapat-pendapat
terbuka dalam media khalayak.Bukankah para ulama’ di masa
lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan perbedaan-
perbedaan pemikiran seperti itu? Berpijak pada adagium seperti
“Perbedaan pandangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat
bagi umat.”
Demikian juga dalam kasus Inul Daratista, perempuan lugu dan
sederhana ini dicerca keras oleh sebagian Tokoh Agama, Majelis
Ulama’, dan Seniman karena goyang ngebornya dianggap
melanggar batas-batas kesusilaan umum. Mereka menggunakan
justifikasi fatwa-fatwa keagamaan untuk melarang Inul tampil di
depan publik. Di tengah kontroversi itu, Gus Dur tampil
melindungi dari gempuran kecaman dan panasnya opini publik
yang menekan Inul. Pembelaan Gus Dur didasarkan pada
melindungi Hak Asasi wong cilik dari hegemoni elit keagamaan
dan klaim atas moralitas kesenian yang agak represif.
Dari pandangan dan impressinya terhadap HAM itu, jelas bahwa
Gus Dur sebagai tokoh Islam punya paradigma sendiri dalam
memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai HAM. Gus Dur
89

menginginkan agar Islam memberikan kesempatan lebih luas


kepada semua orang untuk berkarya tanpa dibatasi oleh apapun,
seperti identitas politik dan etnik.
Islam bagi Gus Dur, mencapai titik kemajuan tertinggi justru
ketika seluruh ekspresi dan karya cipta orang perorang dan
kelompok diberi hak hidup yang sama betapapun
menyimpangnya atau dianggap bid’ah. Islam juga memberikan
kesempatan kepada siapapun untukterlibat langsung dalam
pemajuan islam itu sendiri. Merespon balik dengan cara menulis
atau menciptakan karya sebanding adalah satu-satunya cara yang
diperbolehkan jika seseorang atau kelompok tidak menyetujuinya.
Situasi seperti itulah ketika Islam mencapai titik tertinggi.Dan
itulah cita-cita kebangkitan Islam.
c. Solusi Bagi Permasalahan Kemajemukan di Indonesia
Pada hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang
tumbuh, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian yang
mendalam antara beraneka ragam unsur-unsur etnis, budaya daerah,
bahasa ibu, dan kebudayaannya.kalaupun tidak terjadi salah
pengertian mendasar antara unsur-unsur itu, paling tidak tentu saling
pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka.
Pola hubungan harmonis seperti itu dengan sendirinya tidak
memiliki daya tahan yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang
datang dari perkembangan politik, ekonomi, dan budaya.Kerukunan
yang ada hanyalah kondisi yang rapuh.Sudah tentu kedamaian yang
terselenggara sekedar sikap bertetangga baik, tanpa rasa senasib dan
sepenanggungan di antara orang yang merasa sesama bersaudara.
Dari uraian tersebut, menjadi nyata bagi kita bahwa masalah
pokok dalam hal hubungan antarumat beragama adalah
pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan.
Kita akan menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat agama-agama yang
berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekedar
90

saling menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki,


bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain.1
Memang mayoritas bangsa kita yang Notabene beragama
Islam, masih dicekam oleh kemiskinan dan kebodohan sehingga
mudah dirayu untuk berpindah agama secara murahan.kondisi logis
dari kenyataan itu sebenarnya adalah keharusan bagi gerakan Islam
untuk memajukan umat mereka. ini berarti para pemimpin Islam di
segenap tingkatan harus menutup mata terhadap semua ekses yang
terjadi dalam kehidupan beragama di negeri ini. harus ada langkah-
langkah untuk menangani dan mencegah terulangnya ekses-ekses itu,
termasuk cara penyebaran agama terlalu agresif, yang dilakukan oleh
sementara kelompok penganut agama dari golongan minoritas. Namun
cara penanganan dan penangkalan haruslah dilakukan dengan
bijaksana, tanpa harus melakukan generalisasi terhadap semua warga
umat dari agama tersebut.

B. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid Ditinjau


dari Pendidikan Agama Islam
1. Maqashid al-Syari’ah Sebagai Prinsip Pendidikan Pluralisme
Menurut Gus Dur, Prinsip pluralisme harus dilihat dalam konteks
manifestasi universalisme dan kosmopolitanisme peradaban Islam, ajaran
moralitas Islam yang secara teoritik bertumpu pada adanya lima buah
jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat
(maqashidal-syari’ah), meliputi; keselamatan fisik warga masyarakat
(hifdzu al-nafs), keselamatan keyakinan agama masing-masing (hifdzu
al-din),keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu al-nasl), keselamatan
harta benda dan milik pribadi (hifdzu al-mal), dan keselamatan hak milik

1
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran K.
H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI, (Jakarta: Kompas, 1999), Cet. II, hlm. 15
91

dan profesi (hifdzu al-milk). Kesemuanya itu merupakan konsep yang


dijadikan Gus Dur sebagai prinsip Universal Islam.2
Demikian juga jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama
masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan
antarwarga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati,
yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan
saling pengertian yang besar. Terlepas dari kentalnya perjalanan sejarah
dengan penindasan, kesempitan pandangan, dan kedzaliman terhadap
kelompok minoritas yang berbeda keyakinan atau agama dari keyakinan
mayoritas, sejarah umat manusia membuktikan bahwa sebenarnya
toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia.
Jaminan akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral
yang sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis yang utuh maupun
dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat
mungkin.Karena keluarga merupakan ikatan sosial paling dasar, maka
tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem
kekuasaan yang ada.Kesucian keluarga inilah yang melandasi keimanan
yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi.
Jaminan dasar atas keselamatan harta-benda merupakan sarana bagi
berkembangnya hak-hak individu secara wajar dan proporsional, dalam
kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu.Masyarakat dapat
menentukan kewajiban-kewajibannya yang diinginkan secara kolektif
atas masing-masing individu warga masyarakat.Tetapi penetapan
kewajiban itu ada batas terjauhnya, dan warga masyarakat secara
perorangan tidak dapat dikenakan kewajiban untuk masyarakat lebih dari
batas-batas tersebut.
Jaminan dasar atas keselamatan profesi menampilkan sosok lain
lagi dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada kebebasan
penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas

2
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan
TransformasiKebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute: 2007), hlm. 4-5
92

resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan


yang membayanginya. Dengan ungkapan lain, kebebasan menganut
profesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah hidup lengkap
dengan tanggung jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap dalam alur
umum kehidupan masyarakat.
Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar di atas menampilkan
universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat.Pemerintahan
berdasarkan hukum, persamaan derajat, dan sikap tenggang rasa terhadap
perbedaan pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan dan
dengan demikian menampilkan universalitas ajaran Islam.Namun, sejauh
ini semua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka teoritik (atau
bahkan mungkin hanya moralitas belaka) yang tidak berfungsi tanpa
didukung oleh kosmopolitanisme peradaban Islam.
Watak kosmopolitanisme dari peradaban Islam itu sesungguhnya
telah tampak sejak awal pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai
dengan cara-cara Nabi Muhammad saw. mengatur pengorganisasian
masyarakat Madinah hingga munculnya ensiklopedis Muslim awal pada
abad ketiga Hijriyah, memantulkan proses saling menyerap dengan
peradaban-peradaban lain di sekitar Islam pada waktu itu. Yaitu mulai
dari sisa-sisa peradaban Yunani Kuno yang berupa hellenisme hingga
peradaban Anak Benua India.
Peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti
hilangnya batasan etnik, kuatnya pluralitas budaya, heterogenitas politik,
dan bahkan menampakkan diri dalam unsur dominanyang menakjubkan,
yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad.
Peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal, manakala
tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dan
kebebasan berpikir semua warga masyarakat termasuk mereka yang non-
Muslim.Kosmopolitanisme seperti itu adalah kosmopolitanisme yang
kreatif, karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk
mancari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada
93

kebenaran.Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling


tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi
cair yang memaksa universalime ajaran Islam untuk terus-menerus
mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata.Namun demikian, proses
tersebut bukannya nyata dalam postulat-postulat spekulatif belaka.
2. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid
Ditinjau dari Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Islam merupakan bimbingan jasmani-rohani
berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran Islam.3 Pendidikan Islam juga
mempunyai pengertian sebagai suatu proses edukatif yang mengarah
kepada pembentukan akhlak atau kepribadian.4 Dari penjelasan tersebut,
diketahui bahwa pendidikan pluralisme Abdurrahman Wahid yang
mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik
sejak dini yang berkelanjutan dengan mengembangkan rasa saling
pengertian dan saling memiliki terhadap umat agama lain itu sesuai
dengan konsep pendidikan Islam yang selalu berorientasi pada
terbentuknya kepribadian serta akhlak yang luhur.
Dasar yang menjadi acuan Pendidikan Islam merupakan sumber
nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat mengantarkan peserta didik ke
arah pencapaian pendidikan.Oleh karena itu dasar yang terpenting dari
Pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW.kedua dasar
itulah yang dijadikan Abdurrahman Wahid sebagai landasan pemikiran
dan tindakannya.5
Menurut beliau, dalam mencapai taraf hidup yang sejahtera, Islam
mengajarkan umatnya agar senantiasa bekerjasama dalam hal muamalat
tak hanya dengan umat Muslim saja. Seperti yang telah dijelaskan dalam
ajaran agama bahwa umat Islam hendaknya saling tolong menolong

3
Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989), hlm. 23
4
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia,
1994), hlm. 4
5
Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2005), Cet. V, hlm. 34
94

dalam hal kebaikan dan taqwa (wa ta’āwanū’ala al-birri wa al-taqwā,


QS.al-Maidah:2), juga anjuran untuk berlomba dalam kebaikan
(fastabiqu al-khairāt, QS. al-Baqarah: 148). Dalam mengakui perbedaan
antara laki-lakidan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa di bumi ini,
menurut Abdurrahman Wahid hal itu sebagai keniscayaan bahwa Allah
memang menciptakan perbedaan itu agar saling mengenal dan
menghindari perpecahan.Dalam al-Qur’an juga dijelaskan bahwa kita
semua diperintahkan untuk berpegang teguh pada tali Allah, dan dilarang
untuk bercerai berai (QS. Ali Imran: 103).
Pada ayat yang lain misalnya, dalam menjelaskan QS.al-Baqarah:
120 yang artinya: “Dan orang-orang Yahudi dan Kristen tidak akan rela
kepadamu, hingga engkau mengikuti kebenaran/aqidah mereka.
Abdurrahman Wahid memandang bahwa selama Nabi Muhammad saw.
masih berkeyakinan; Tuhan adalah Allah, dan Beliau sendiri adalah
utusan Allah swt. selama itu pula orang-orang Yahudi dan Kristen tidak
dapat menerima (berarti tidak rela) kepada keyakinan/aqidah tersebut.
Sama halnya dengan sikap kaum Muslimin sendiri. Selama orang Kristen
yakin bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan orang Yahudi percaya bahwa
mereka adalah umat pilihan Tuhan, maka selama itu pula kaum Muslimin
tidak akan rela kepada kedua agama tersebut. Dalam arti tidak menerima
ajaran mereka.
Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa jika kita bersikap
demikian, hal itu sebenarnya wajar-wajar saja, karena menyangkut
penerimaan keyakinan.Tetapi hal itu tidak menghalangi para pemeluk
ketiga agama itu untuk bekerjasama dalam hal muamalat, yaitu
memperbaiki nasib bersama dalam mencapai kesejahteraan
materi.Mereka dapat bekerjasama untuk mengatur kesejahteraan materi
tersebut dengan menggunakan ajaran masing-masing.6

6
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute,
2002), hlm. 135
95

Amal perbuatan kaum Muslimin yang ikhlas kepada agama mereka


memiliki sebuah nilai lebih.hal itu dinyatakan sendiri oleh QS. Ali Imran:
85: “Dan orang yang menjadikan selain Islam sebagai agama, tak akan
diterima amal perbuatannya di akhirat. dan ia adalah orang yang merugi”.
dari Kitab suci ini dapat diartikan bahwa Allah tidak akan menerima
amal perbuatan seorang non-Muslim, tetapi di dalam kehidupan sehari-
hari kita tidak boleh memandang rendah kerja siapapun.
Sebenarnya pengertian kata diterima di akhirat berkaitan dengan
keyakinan agama dan dengan keyakinan demikian memiliki kualitas
tersendiri.sedangkan pada tataran duniawi perbuatan itu tidak tersangkut
dengan keyakinan agama, melainkan secara teknis membawa manfaat
bagi manusia lain. jadi manfaat dari setiap perbuatan dilepaskan oleh
Islam dari keyakinan agama dan sesuatu yang secara teknis memiliki
kegunaan bagi manusia diakui oleh Islam. Namun dimensi penerimaan
dari sudut keyakinan agama memiliki nilainya sendiri.pengislaman
perbuatan kita justru tidak tergantung dari nilai-perbuatan teknis semata,
karena antara dunia dan akhirat memiliki dua dimensi yang berbeda satu
dari yang lain.
Dengan demikian, dasar pendidikan Islam itulah yang juga menjadi
dasar pemikiran pendidikan pluralisme Abdurrahman wahid, sehingga
sangatlah relevan.Pemikiran mengenai sikap saling memahami
danmenghargai memang diajarkan dalam setiap agama.Islam dengan
jelas menempatkan toleransi sebagai ajaran penting yang diwakili idiom
al-irham (QS.An Nisa’: 1) dan al-ta’aruf (QS. Al Hujurat: 13) yang
berartisilaturrahmi dan saling mengenal.Demikian pula lafadz
‘amalunā‘amalukum dapat ditafsirkan sebagai asas penghargaan terhadap
wilayahkeunikan setiap agama.Sejarah berbicara bahwa Rasulullah telah
menanamkan sikap tasamuh pada masyarakat Makkah dan Madinah
untuk hidup berdampingan dengan kaum Yahudi dan Nasrani.
Ditinjau dari segi tugas pendidikan Islam yaitu membimbing dan
mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap
96

ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal7,maka


langkah beliau dalam merumuskan pendidikan pluralisme yaitu bahwa
untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik harus
dilakukan sejak dini dan berkelanjutan mulai dari kecil sampai perguruan
tinggi sehingga akan tercapai tugas tersebut yang menjadikan peserta
didik mampu membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu
melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga
akan mampu melihat kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang
memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita.
Dari segi fungsi pendidikan Islam yaitu menyediakan fasilitas yang
dapat memungkinkan tugas pendidikan agar berjalan dengan lancar,
hendaknya mampu menjadi wahana mempererat persaudaraan di antara
masyarakat beragama, mengantarkan peserta didik memiliki cara
pandang inklusif, peduli terhadap sesama manusia yang sama-sama
ciptaan Tuhan.
Sementara itu, pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman
Wahid jika ditinjau dari segi Tujuan Pendidikan Islam8, memiliki tujuan
yang sama, yaitu bertujuan menjadikan manusia sebagai hamba Allah
yang bertakwa, mengantarkannya menjadi khalifatullah fi al-ardl yang
mampu memakmurkannya, dan memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan
hidup di dunia sampai akhirat. Hal tersebut akan tercapai jika ada upaya
untuk menjalankan amanat sebagai khalifatullah fi al-ardl dengan cara
senantiasa menciptakan kedamaian bagi sesama makhluk Tuhan,
mengembangkan rasa saling pengertian yang tulus terhadap umat
beragama lain, bukan sekedar saling menghormati serta tenggang rasa,
tetapi yang diperlukan adalah rasa saling memiliki.
Dalam pembahasan mengenai kurikulum pendidikan Islam, maka
kurikulum yang sesuai bagi masyarakat Indonesia yang majemuk yaitu

7
Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2005), Cet. V, hlm. 34
8
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 95
97

kurikulum yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia yang


demokratis, pluralis dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi
untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi muda yang tidak hanya
pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana
demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang lain.9
Selain itu, perlu kiranya memperhatikan kurikulum sebagai proses.
Ada empat hal yang perlu diperhatikan guru dalam mengembangkan
kurikulum sebagai proses ini, yaitu; (a) posisi siswa sebagai subjek dalam
belajar, (b) cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang
budayanya, (c) lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi
siswa adalah entry behaviour kultur siswa, (d) lingkungan budaya siswa
adalah sumber belajar. Dalam konteks deskriptif ini, kurikulum
pendidikan seharusnya mencakup subjek seperti: toleransi, tema-tema
tentang perbedaan ethno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi,
penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi dan pluralitas,
kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.10
Salah satu cara paling efektif menerapkan kurikulum yang dapat
menunjang proses belajar siswa menjadi manusia yang demokratis,
pluralis artinya peserta didik dapat menerima dan mampu
mengembangkan pluralisme dengan kesadaran diri, menurut
Abdurrahman Wahid, hendaknya peserta didik mampu belajar dari
penerimaan secara terbuka terhadap pluralisme makanan. Siapapun yang
memahami realitas keragaman masakan yang hampir dimiliki oleh setiap
daerah di seluruh pelosok negeri ini, maka pemahamannya terhadap
pluralisme justru akan semakin kokoh. Keragaman masakan yang kita
miliki sebenarnya merupakan unsur kekuatan, bukan unsur
ancaman.Makanan yang begitu banyak aneka ragamnya telah menjadi
fakta bahwa pluralisme atau kebhinekaan merupakan rahmat Tuhan yang
harus didayagunakan untuk kemajuan bangsa.

9
Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka,
2005), hlm. 99
10
Ibid, hal.99
98

C. Analisis Pluralisme dalam Pendidikan Agama Islam


Pendidikan Islam yang merupakan subsistem pendidikan national
mempunyai andil yang cukup besar dalam upaya transformasi nilai-nilai
religiusitas kepada peserta didik, hal ini harus dimulai dari umat Islam
mengingat Islam sebagai agama mayoritas.Perubahan pradigma pendidikan
Islam harus dilakukan.Hal ini dikarnakan peradigma yang selama ini dipakai
ternyata lebih membentuk manusia yang egois, tertutup (eksklusif), intoleran,
dan berorientasi pada kesalehan personal. Dalam menghadapi pluralitas
masyarakat: multi etnik dan multi religi yang dibutuhkan adalah pradigma
pendidikan yang toleran, inklusif dan berorientasi pada kesalehan social
dengan tidak meninggalkan kesalehan individual.
Cara belajarpun harus dirubah dari metode ceramah menjadi problem
solving, dari menghafal materi sebanyak-banyaknya menjadi penguasaan
metodologi, dari memandang ilmu sebagai hasil final menjadi memandang
ilmu sebagai proses yang dinamis. Kemudian pendidik memandang peserta
didik sebagai pribadi dengan segala potensi masing-masing yang dimiliki
sehingga akan tercipta pula daya kretifitas peserta didik. Kemudian materi
pendidikan seharusnya mencakup nilai-nilai universal yang dimiliki agama
diantaranya; nilai-nilai persamaan, keadilan, keterbukaan, kejujuran, serta
adab soban santun. Karena kita telah mengetahui bahwa Indonesia adalah sala
satu bangsa yang memiliki heterogenitas masyarakat baik dalam hal budaya,
agama dan lainnya, jika hal ini tidak dikelola dengan baik makaakan menjadi
malapetaka besar. disatu sisi pluralitas masyarakat dapat menjadi kekuatan
jika dikelola dengan baik dan professional, namun jika tidak, perbedaan cara
pandang individu bangsa yang plural menjadi penyebab perpecahan dan
konflik yang berkepanjangan. Kerusuhan dan kekerasan yang terjadi di
Indonesia menunjukan bahwa keragaman itu belom dikelola dengan baik,
sehingga di butuhkan pendidik untuk menjadikan anak didik lebih universal
sikap yang arif dan bijaksana sebagai generasi yang akan menjadi bagian
dalam bangsa ini.
99

Masalah pokok kita dalam hal hubungan antarumat beragama, adalah


pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita
hanya akan mampu menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat agama-agama
yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya
sekadar saling menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki
(sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap
yang lain.
Karena Islam adalah agama golongan penduduk mayoritas bangsa
kita, maka menjadi sangat menyedihkan, bahwa sampai hari ini masih
sangat luas sikap negatif mereka kepada pihak-pihak lain. Materi khotbah
dan ceramah para pemimpin Islam, dari kalangan ulama hingga kalangan
cendekiawan, masih berubah sewaktu-waktu menjadi sangat memprihatinkan.
Memang mayoritas bangsa kita, yang notabene, beragama Islam,
masih dicengkam oleh kemiskinan dan kebodohan, sehingga mudah
"dirayu" untuk berpindah agama secara murahan.
Kondisi logis dari kenyataan itu sebenarnya adalah keharusan bagi
gerakan Islam untuk memajukan umat mereka. Ini berarti keharusan
untuk melakukan transformasi multidimensional atas kehidupan umat yang
mereka pimpin, bukannya mencari kambing hitam atas keterbelakangan dan
ketertinggalan sendiri.
Ini tidak berarti, para pemimpin Islam di segenap tingkatan
harus menutup mata terhadap semua ekses yang terjadi dalam
kehidupan beragama di negeri kita. Harus diambil langkah-langkah
untuk menangani dan mencegah terulangnya ekses-ekses itu, termasuk
cara penyebaran agama terlalu agresif, yang dilakukan oleh sementara
kelompok penganut agama dari golongan minoritas. Namun, cara
penanganan dan penangkalan haruslah dilakukan dengan bijaksana,
tanpa harus melakukan generalisasi terhadap semua warga umat dari agama
tersebut. Tentu kaum muslimin di negeri kita tidak mau dipersalahkan
atas kegiatan negatif yang dilakukan oleh minoritas muslimin di negeri-negeri
lain. Kita hanya mampu mendudukkan masalah ini secara proporsinal.
100

Kenyataan sederhana ini dan kearifan seperti dituntut di atas, memang tidak
mudah untuk diwujudkan, apalagi untuk dikembangkan dalam lingkup,
yang luas. Namun, kita tidak punya pilihan lain, kalau masih diinginkan
bangsa kita yang demikian heterogen dapat mengembangkan diri
menjadi bangsa yang kukuh sendi-sendi kehidupannya dalam memasuki abad
ke-21 nanti.
Semua pihak di kalangan kaum muslimin memikul tanggung jawab
untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap semua warga masyarakat
bangsa kita, karena hanya dengan cara demikian Islam dapat tumbuh
menjadi kekuatan pelindung bagi seluruh penduduk negeri ini secara
keseluruhan.
Dengan demikian sikap Abdurrahman Wahid yang perlu dicontoh
dalam menghadapi masyarakat yang pluralitas adalah dengan menempatkan
setiap kelompok masyarakat setara dengan kelompok lain dalam hal apapun
tanpa diskriminasi dan ketidak adilan.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisis tentang pendidikan pluralisme
menurut Abdurrahman Wahid yang ditinjau dari sudut pandang
pendidikan Agama Islam, maka dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Menurut Abdurrahman Wahid Konsep Pendidikan pluralisme
merupakan suatu pendidikan untuk menerima perbedaan sebagai
sunnatullah agar saling mengenal, menghindari perpecahan,
mengembangkan kerjasama dengan menanamkan rasa saling
pengertian, saling memiliki dan bersikap inklusif, tidak
membatasi pergaulan dengan siapapun, namun tetap meyakini
kebenaran agama sendiri dengan tidak mempersamakan
keyakinan secara total.
2. Dalam perspektif pendidikan Islam, pemikiran Abdurrahman
Wahid tentang Pendidikan pluralisme memiliki keserasian yaitu
berorientasi pada terbentuknya kepribadian serta akhlak yang
luhur dengan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, serta
mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada
peserta didik sejak dini yang berkelanjutan dengan
mengembangkan rasa saling pengertian dan memiliki terhadap
umat agama lain.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, saran yang diberikan sebagai
berikut: hendaknya kita sebagai manusia harus menghilangkan rasa

102
103

kesombongan dan keangkuhan yang melekat dalam diri kita, dan


senantiasa kita harus ingat akan asal muasal dari mana kita diciptakan.
Bawha kita diciptakan dari tanah dan akan kembali ke tanah, oleh
karena itu kita tidak pantas untuk berperilaku sombong dan angkuh
merasa diri yang paling benar, agar toleransi beragama dapat
terwujudkan.

Kemudian hendaknya para subjek pendidikan, baik pemikir,


tokoh maupun pelaksana lapangan dapat menjadikan pendidikan
pluralisme sebagai pendidikan untuk mengembangkan sikap pluralisme
pada peserta didik di era sekarang ini. Pendidikan Islam yang
berorientasi pada perbaikan tingkah laku peserta didik sangatlah perlu
untuk segera menerapkan ajaran-ajaran Islam yang toleran melalui
kurikulum pendidikannya dengan tujuan pada pemahaman serta upaya
untuk bisa hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya di tengah
kehidupan berbangsa dalam konteks Indonesia yang plural ini.

Demikian pula, hendaknya semua elemen masyarakat termasuk


pemerintah ikut serta berperan aktif dalam meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia dan menggalakkan pendidikan pluralisme
mencakup berbagai aspek seperti politik, sosial, ekonomi dan budaya
yang mendukung terwujudnya tatanan pendidikan yang bermutu dan
berkualitas, sehingga kemajemukan bangsa Indonesia bukanlah
ancaman, namun akan menjadi kekuatan dengan sumber daya yang
mampu bersaing di tengah globalisasi.

103
DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Abdul Dubbun. Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang
Membebaskan, Refleksi atasPemikiran Nurcholis Madjid Jakarta: Kompas
Media Nusantara, 2006
Majid, Abdul dan Andayani, Dian. Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006
Mujib, Abdul dan Mudzakir, Jusuf. Ilmu Pendidian Islam, Jakarta: Putra Grafika,
2008
Nahlawi, Abdurahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Abdullah, Abdurahman Saleh. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an,
Jakarta: Rineka Cipta, 2007
Mas’ud, Abdurrahman. Antologi Study Agama dan Pendidikan, Semarang: Aneka
Ilmu, 2004
Wahid, Abdurrahman. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan
Pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI, Jakarta: Kompas,
1999
------------------------------, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan, Jakarta: The Wahid Institute: 2007
-----------------------------, Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta: The Wahid
Institute, 2002
Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009
-----------------, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2005
-----------------, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Marimba, Ahmad D. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1989

103
104

Dawam, Ainurrofiq. Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan


Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural, Yogyakarta:
Inspeal Ahimsa KaryaPress, 2003
Maksum, Ali. Pluralisme dan Multikulturalisme Malang: Aditya media
publishing, 2011
Al-Rasyidin dan Nizar, Syamsul. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat
Press, 2005
Shihab, Alwi. Islam Inklusif, Bandung: Mizan, 1999
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta: Gema
Insani, 2007
Bekker, Anton dan Zubair, Achmad Charris. Metodologi Penelitian Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius, 1990
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium
Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002
Roziqin, Badiatul dkk. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: e-
Nusantara, 2009
Bahruddin, Pendidikan Humanistik: Teori, Konsep dan Aplikasi Praktis dalam
Dunia Pendidikan, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2009
Rachman, Budhi Munawwar. Islam Pluralis, Wacana Kesetaran Kaum Beriman,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Cakrawala
Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Mimbar Pustaka, 2004
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Al Huda
Kelompok Gema Insani,2005
---------------------------------, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Asy-
Syifa, 1998
Fauzan, Kekalahan Negara atas Kekerasan Berlatar Agama, Semarang: Suara
Merdeka, 2011
Rahman, Fazlur. Islam, Bandung: Pustaka, 2000
Keraf, Gorys. Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Flores: Penerbit
Nusa Indah, 1994
105

Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Pendidikan Nasional Di


Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004
Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisis Psikologi dan
Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Khusna, 1989
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Lentera Abadi, 2010
Hidayat, Komaruddin. Passing Over: Melintas Batas Agama, Jakarta:
Paramadina, 1998
Komaruddin, Kamus Research, Bandung: Angkasa, 1984
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000
Hanif Dhakiri, M. 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2010
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2005
-------------------------, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
Nazir, Moh. Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005
Shofan, Moh. Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh
Muhammadiyah, Jogjakarta: LSAF, 2008
Muhaimin dan Mujib, Abdul. Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya,
1993
--------------, Pemikiran pendidikan Islam, Kajian Teoritis dan Kerangka
Oprasionalnya, Bandung: Trigenda Karya, 1993
Haikal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Litera Antar
Nusa, 2008
Ahmad,Munawar. Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, Yogyakarta:
LKiS, 2010
Al-attas, Naquib. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan integrative
di sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta: LkiS, 2009
Rokhim, Nur. Kiai-Kiai Karismatik dan Fenomenal, Yogyakarta: IRCiSoD, 2015
Mudzhar, Atho. Meretas Wawasan dan PraksisKerukunan Umat Beragama di
Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Beragama, 2005
106

Ramayulis dan Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia,
2009
--------------, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1994
Nasir, Sahilun A. Peran Pendidikan Agama terhadap pemecahan problema
remaja, Jakarta: Kalam Mulia, 2002
Minarti,Sri. Ilmu Pendidikan Islam Fakta Teoritis-Filosofis & Aplikatif-Normatif,
Jakarta: Amzah, 2013
Sudirman, dkk. Ilmu Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1988
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2006
Ma’arif, Syafi’i dkk. Gila Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000
Ma’arif, Syamsul. Pendidikan Pluralisme di Indonesia, Jogjakarta: Logung
Pustaka, 2005
Ash Shieddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Tafsir al-Qur’anul Majid an Nuur,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000
Chafsoh, Zannuba Arrifah. Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah, Semarang:
Suara Merdeka 2011
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1995
Zulkarnain, Transformasi Nilai-nilai Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008
NU, Islam dan Demokrasi
Oleh: Abdurrahman Wahid
Sumber: Duta Masyarakat Jakarta, 28 Januari 2004

Peter Mansfield dalam bukunya History of The Middle East, menceritakan bagaimana
responsi berbagai bangsa muslim di Timur-Tengah terhadap negara sekuler. Ada yang menerima
negara tersebut setengah hati, ada pula sepenuhnya. Ini seperti juga di Indonesia, yang pada
tanggal 18 Agustus 1945 mengeluarkan Piagam Jakarta dari Undang-Undang Dasar NKRI.
Namun demikian masih ada ada yang menerima pemisahan negara dari agama (dalam hal ini
Islam) setengah hati, dan ada pula yang menerimanya secara bersungguh-sungguh. Yang
menerima setengah hati, dan kemudian hari menjadi partai Islam seperti PPP dan PBB.
Sedangkan yang menerima gagasan tersebut sepenuh hati adalah PKB dan PAN, walaupun di
dalam kedua partai itu juga masih ada yang berpendapat perlunya negara Islam. Tetapi secara
resmi keduanya bukanlah partai Islam, dan ini tidak berati kaum muslimin di dalamnya
meninggalkan syariah Islam. Kedua-duanya masih menganggap/menerima peranan syariah
dalam menentukan orientasi kedepan. Dengan demikian, syariah masih berlaku, walaupun tidak
diundangkan dalam produk-produk negara.
Untuk PAN kita tidak jelas apa sebab pimpinannya tidak mengatakan partainya bukanlah
Partai Islam. Tetapi bagi PKB, hal itu berdasar kepada keputusan Muktamar NU tahun 1935 di
Banjarmasin. Saat itu diajukan pertanyaan, soal wajib tidaknya bagi kaum muslimin
mempertahankan secara fisik kawasan Hindia-Belanda -demikian waktu itu Indonesia disebut.
Muktamar tersebut menjawab bahwa hukumnya wajib. Keputusan itu mengikuti sebuah literatur
terkenal dari masa lampau, Bughyah Al-Mustarysidin, bahwa setiap kawasan dimana dahulunya
ada kerajaan Islam harus dipertahankan (secara fisik) karena penduduknya dianggap muslimin
(dan memang demikian halnya di negeri kita). Di samping itu, negeri ini (dulu sampai sekarang
hingga mungkin seterusnya) kaum muslimin menjalankan ajaran-ajaran agama mereka tanpa
diatur oleh pemerintah.
Karena itulah kaum muslimin di negeri ini tidak memerlukan sebuah negara Islam, sebab
Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 sudah cukup bagi kaum
muslimin di negeri ini. Atas dasar itu, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada
pertengahan 1945 sudah menetapkan Republik Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat
penuh dengan wilayah-wilayah yang jelas. Ini diterima oleh NU sepenuh hati, hingga pada
tanggal 22 Oktober 1945 mengeluarkan Resolusi Jihad. Resolusi itu berbunyi mempertahankan
RI yang sekuler itu, dari serangan luar negeri (dalam hal ini tentara Sekutu dan dengan
sendirinya pihak Belanda) adalah sebuah kewajiban agama, karena hal itu berarti jihad dijalan
Allah SWT.
Mempertahankan sebuah negara sekuler sebagai sebuah kewajiban agama, adalah
sesuatu yang menunjukan bahwa pemisahan agama dari negara sudah bersifat final bagi NU.
Pandangan NU itu lebih diperkuat oleh Muktamar NU di Asembagus, Situbondo pada akhir
tahun 1984, yang menyatakan untuk selanjutnya NU berasaskan Pancasila. Jika landasan semua
kegiatan NU yang bersifat formal adalah pancasila dan bukanya Islam, maka lagi-lagi seperti ada
penegasan, bahwa syariah Islam harus ditegakan oleh masyarakat sebagai akhlak/moral pribadi,
bukanya melalui produk-produk negara, seperti undang-undang dan berbagai peraturan daerah.
Hal itu juga penulis terapkan ketika menjadi Presiden. Ketika ada pertanyaan bagaimana dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan daerah yang disebut sebagai “syariahtisasi hukum
Nasional”, dijawab oleh keputusan sidang kabinet sebualan sebelum penulis lengser dari
Kepresidenan, bahwa segala macam undang-undang dan peraturan peraturan yang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar dinyatakan batal. Dan yang harus yang menyatakan hal itu
haruslah Mahkamah Agung.
Dalam abad ke 21 ini, soal hubungan antara negara dan agama akan semakin hebat
dikalangan negeri-negeri muslim. Namun kerajaan Saudi Arabia, yang oleh banyak kalangan
disebut sebagai negaranya “kaum Wahabi”, mendiamkan hal ini sejak tahun 1924. Karena itu
setiap pihak dapat mengambil penafsirannya sendiri, termasuk pihak A.S yang melalui
perusahaan minyak Aramco yang melakukan penggalian minyak di kawasan itu. Sedangkan para
Rajanya secara brturut-turut mengambil langkah dan kebijaksanaan berganti-ganti. Ada Raja
yang mendorong sekularisasi, ada yang menentangnya. Karena itu para pejabat tingginya juga
terpecah dua dalam sikap, seperti mendiang Ahmad bin Abdul Aziz bin Baz yang menentang
sekularisasi habis-habisan dengan mengharamkan rokok.
Sebaliknya kaum nasionalis dikebanyakan di negara Arab menentang negara agama,
karena dahulu nasionalisme di negara-negara itu lahir dari penentangan terhadap penjajahan
Dinasti Ustmaniyah (Ottoman Empire) dari Turki, dengan para Rajanya yang bergelar Khalifah
dan Sultan. Jadi perjuangan kemerdekaan dari penjajahan Turki, mempunyai identitas yang sama
dengan penentangan terhadap Islam. Namun dijaman modern ini muncul gerakan bawah tanah
(underground movements) seperti Ikhwanul Muslimin dan Fis (Front Islamic Salvation) di
Tunisia dan Aljazair serta PAS (Partai Islam se-Malaysia) masih mencita-citakan negara Islam.
Sementara itu, baik MNLF (Moro National Liberation Front) maupun MILF (Moro Islamic
Liberation Front) di Mindanao, Filipina Selatan juga memiliki pikiran seperti itu, yaitu
penyatuan antara ajaran agama dan produk-produk negara.
Jadi jelaslah, akan muncul dua sikap sebagai responsi/tanggapan. Di satu pihak akan
semakin kuat tuntutan akan negara yang berdasarkan ajaran-ajaran Islam dikemudian hari.
Namun ada pula yang bertahan pada pendirian negara harus tetap sekuler. Dalam artian
pemisahan antara agama dan negara. Dan masalah mewujudkan nilai-nilai Islam dalam
kehidupan bersama kaum muslimin, adalah urusan gerakan-gerakan agama di luar tugas
pemerintahan. Hal-hal yang menyimpang dari prinsip ini, haruslah dilawan secara terbuka
sehingga semua pihak yakin akan kesungguhan hati pihak “sekuler” ini
NU secara jelas telah menggariskan sikap pandangan ini. Karenanya NU akan selalu
menentang gagasan negara Islam untuk Indonesia. menurut cerita keluarga yang tidak dapat
dibuktikan secara tertulis. Pada tahun 1943, ayahanda penulis Alm. KH. A Wahid Hasyim,
ditemui oleh Laksamana Maeda dari pemerintahan pendudukan Jepang. Ia bertanya, siapa yang
akan mewakili bangsa Indonesia dalam negosiasi kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan
pendudukan Jepang? Dua hari kemudian Wahid Hasyim menyampaikan jawaban ayah beliau,
Alm. KH. M Hasyim As‟yari dari Tebu Ireng Jombang, bahwa Seoekarno-lah yang paling layak
menjadi wakil bangsa Indonesia. Dari hal ini jelaslah, beliau lebih memikirkan kepentingan
bangsa di atas kepentingan golongan yaitu NU.
Nah, sekarang NU lebih memperkuat argumentasinya mempertahankan konsep
sekularisme agama dari negara itu. Yaitu bahwa NU akan mengembangkan demokratisasi bangsa
dan negara di masa yang akan datang. Dan nilai-nilai Islam yang sangat demokratis, harus
menjadi motor bagi upaya demokratisasi Indonesia. Sedangkan nilai-nilai yang tidak
emansipatif, seperti wanita lebih rendah kedudukan hukumnya daripada pria, haruslah diganti.
Ini sesuai dengan keputusan Menteri Agama Alm.KH. Wahid Hasyim, bahwa murid perempuan
dapat diterima di SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama), yang kemudian menjadi Fakultas
Syariah di IAIN/UIN di seluruh Indonesia. Ini mudah dikatakan namun sulit dilakukan, bukan?
Islam dan hubungan antar umat beragama di Indonesia

Oleh: Abdurrahman Wahid

dimuat di harian KOMPAS Senin, 14-12-1992. Halaman: 4

HUBUNGAN antarumat beragama di Indonesia tampaknya kembali mengalami


cobaan dan ujian berat dua tahun terakhir ini. Kalau diikuti dengan cermat tampak bahwa hal
ini masih akan berlangsung cukup lama.

Memulihkan hubungan yang semula tampak harmonis dan kemudian mengalami


keretakan, bukanlah hal yang mudah. Namun, masa depan kita sebagai bangsa banyak
bergantung kepada kemampuan pemulihan hubungan itu. Kegagalan dalam hal ini dapat
mengakibatkan ujung traumatik yang mengerikan: terpecah-belahnya kita sebagai bangsa.

Karenanya, mau tidak mau kita harus mengerahkan kemampuan sekuat tenaga untuk
mewujudkan pemulihan hubungan antarumat beragama itu. Untuk keperluan itu, kita terlebih
dahulu harus memahami sebab-sebab paling dasar dari retaknya hubungan dan sisi-sisi
multidimensional dari kemelut yang dihadapi. Tanpa mengetahui penyakitnya, tentu tak
akan ditemukan obatnya, dan penyembuhan tidak akan mungkin dilakukan.

PADA hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, seperti bangsa
kita, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian yang mendalam antara beraneka
ragam unsur-unsur etnis, budaya daerah, bahasa ibu, dan kebudayaannya. Kalaupun
tidak terjadi salah pengertian mendasar antara unsur-unsur itu, paling tidak tentu saling
pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka. Dengan kata lain, suasana optimal
yang dapat dicapai bukanlah saling pengertian, melainkan sekadar sangat kurangnya
kesalahpahaman.

Pola hubungan \"harmonis\" seperti itu, dengan sendirinya tidak memiliki daya tahan
yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang datang dari perkembangan politik, ekonomi, dan
budaya. Kerukunan yang ada hanyalah kondisi yang rapuh, yang mungkin dapat diistilahkan
dengan ungkapan dari masa Perang Dingin antara negara-negara adikuasa dahulu: hidup
berdampingan secara damai (peaceful co-existence).

Sudah tentu kedamaian yang terselenggara hanyalah sekadar sikap bertetangga


baik, tanpa rasa senasib dan sepenanggungan di antara orang yang merasa sesama bersaudara.
Hubungan baik yang disifati hanya oleh tatakrama dan rasa saling menghormati secara lahiriah
belaka. Persambungan rasa tentu akan sangat sedikit terjadi dalam keadaan demikian.

Perbedaan sikap dan pandangan, apalagi perbenturan kepentingan, dapat membuat


ketenangan suasana sewaktu-waktu berubah menjadi kebalauan. Mereka yang tadinya
saling menghormati, tiba-tiba dapat bersikap saling menyalahkan. Mereka yang tadinya
santun satu sama lain, sekonyong-konyong dapat bersikap saling menyalahkan. Suasana
kejiwaan yang dipenuhi rasa terkejut karena semula keadaan baik-baik saja, menambah intens
rasa \"kehilangan\" ketenangan semula. Hal itu lalu memperbesar rasa tambah parahnya
keadaan lebih dari kenyataan yang sebenarnya berlangsung.

DARI apa yang diuraikan di atas, menjadi nyata bagi kita, bahwa masalah pokok kita
dalam hal hubungan antarumat beragama, adalah pengembangan rasa saling pengertian yang
tulus dan berkelanjutan. Kita hanya akan mampu menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat
agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekadar
saling menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki (sense of belonging),
bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain.

Karena Islam adalah agama golongan penduduk mayoritas bangsa kita, maka menjadi
sangat menyedihkan, bahwa sampai hari ini masih sangat luas sikap negatif mereka kepada
pihak-pihak lain. Materi khotbah dan ceramah para pemimpin Islam, dari kalangan ulama
hingga kalangan cendekiawan, masih berubah sewaktu-waktu menjadi sangat memprihatinkan.

Memang mayoritas bangsa kita, yang notabene, beragama Islam, masih dicengkam
oleh kemiskinan dan kebodohan, sehingga mudah \"dirayu\" untuk berpindah agama secara
murahan. Kondisi logis dari kenyataan itu sebenarnya adalah keharusan bagi gerakan Islam
untuk memajukan umat mereka. Ini berarti keharusan untuk melakukan transformasi
multidimensional atas kehidupan umat yang mereka pimpin, bukannya mencari kambing hitam
atas keterbelakangan dan ketertinggalan sendiri.
Ini tidak berarti, para pemimpin Islam di segenap tingkatan harus menutup mata
terhadap semua ekses yang terjadi dalam kehidupan beragama di negeri kita. Harus
diambil langkah-langkah untuk menangani dan mencegah terulangnya ekses-ekses itu,
termasuk cara penyebaran agama terlalu agresif, yang dilakukan oleh sementara kelompok
penganut agama dari golongan minoritas. Namun, cara penanganan dan penangkalan
haruslah dilakukan dengan bijaksana, tanpa harus melakukan generalisasi terhadap semua
warga umat dari agama tersebut. Tentu kaum muslimin di negeri kita tidak mau dipersalahkan
atas kegiatan negatif yang dilakukan oleh minoritas muslimin di negeri-negeri lain. Kita
hanya mampu mendudukkan masalah ini secara proporsinal. Kenyataan sederhana ini dan
kearifan seperti dituntut di atas, memang tidak mudah untuk diwujudkan, apalagi untuk
dikembangkan dalam lingkup, yang luas. Namun, kita tidak punya pilihan lain, kalau masih
diinginkan bangsa kita yang demikian heterogen dapat mengembangkan diri menjadi bangsa
yang kukuh sendi-sendi kehidupannya dalam memasuki abad ke-21 nanti.

Semua pihak di kalangan kaum muslimin memikul tanggung jawab untuk


menumbuhkan rasa memiliki terhadap semua warga masyarakat bangsa kita, karena hanya
dengan cara demikian Islam dapat tumbuh menjadi kekuatan pelindung bagi seluruh
penduduk negeri ini secara keseluruhan.
Idiologi atau kah Kultural?
Oleh Abdurrahman Wahid
Beijing, 5/4/2002
Sumber: Kedaulatan Rakyat

Pada waktu penulis berkunjung ke Pusat Persatuan Muslim Tiongkok, penulis


menyatakan persamaan antara kaum muslimin Tiongkok dan Indonesia. Kedua negeri diatur oleh
Undang-Undang Dasar (UUD) yang mengingkari Islam sebagai dasar negara. Dalam struktur
seperti itu, Islam tidak berfungsi sebagai hukum negara, melainkan sebagai jalan hidup
masyarakat. Dalam hal ini, tentulah masyarakat yang memilih berkeyakinan Islam di Indonesia,
dan masyarakat yang menentukan untuk tidak menampakkan afiliasi agamanya seperti di
Tiongkok. Persamaan mendasar ini, harus dipakai selaku tali pengikat antara kedua negara itu
dalam hubungan formal dan non-formal antara mereka.
Namun, antara kedua negeri itu terdapat perbedaan yang sangat besar, yang sering luput
dari perhatian kita. mengingat perbedaan tersebut, maka pentinglah arti sejarah bagi
pembentukan pandangan umum sebuah negeri. Hal ini sering diabaikan orang, hingga secara
tidak terasa kita terjerumus kepada sikap menyamakan hal yang tidak sama. Karenanya, dalam
tulisan ini dicoba untuk menyoroti hal itu, agar kita tidak terus-menerus melakukan kesalahan.
Dengan cara inilah kita melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan masa lampau yang
diperbuat, dalam menyongsong masa depan.
Salah satu hal yang membedakan kedua negeri adalah sejarah masing-masing yang saling
berbeda. Karena sejak semula Tiongkok berpenduduk sangat banyak, pemerintahan dapat
berkembang lebih seragam. Keseragaman itu dilambangkan oleh sistem administrasi yang sama
dan birokrasi yanag tunggal di semua propinsi, mengikuti apa yang ditetapkan di ibu Kota
Nanking maupun Beijing. Kedudukan Han Lim sebagai wadah tunggal pendidikan tenaga
administrasi pemerintahan, telah ada semenjak ratusan tahun yang lalu. Sementara APDN
(Akademi Pegawai Dalam Negeri) dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) di negeri kita baru
berlangsung puluhan tahun lamanya, itupun dengan hasil yang sudah sangat menggembirakan.
Di Jepang (Universitas Tokyo) dan Perancis (Ecole Superieur) yang berusia sedikit lebih tua juga
mencatat hal yang sama.
Perbedaan sangat mencolok antara kedua bangsa dapat ditelusuri pada sejarah masing-
masing, satu sebagai negara daratan (land-based country) di Tiongkok dan satu lagi sebagai
negara maritim, sudah tentu dengan lebih banyak keseragaman di China dan keragaman
kerajaan-kerajaan di negeri kita. Kalau daratan Tiongkok terkenal dengan sistem agraris yang
berintikan sawah dan padang rumput (lengkap dengan tradisi penggembalaannya), maka perairan
negeri kita justru menunjukkan ciri perbedaan sangat besar dalam cara hidup masing-masing
daerah. Ada yang bergantung pada hasil hutan yang sangat besar, seperti di Jambi dan Pulau
Kalimantan, ada pula yang lebih mengandalkan perdagangan laut antar pulau, seperti terdapat
dalam kebudayaan Bugis dan Madura. Hanya di Jawa, Sultan Agung Hanyakra Kusuma dapat
menegakkan cara hidup agraris lengkap dengan sistem kepegawaiannya. Namun, pengenalan
anthropologis antara keduanya, dengan yang satu menggunakan konsep agraris dan yang kedua
dengan konsep maritim, harus diimbangi dengan analisa sosiologis, yang juga akan
menunjukkan perbedaan dan persamaan mereka. Umpamannya saja, kita tunjukkan pada kuatnya
akar kekuasaan pihak yang memerintah (the ruling class). Sebenarnya, nama Mandarin untuk
bahasa nasional Tiongkok saat ini, diambil dari nama kelompok birokrat pemerintahan yang
menguasai negeri itu semenjak lebih dari 2000 tahun lampau. Kelompok birokrat ini, sanggup
bertahan bahkan menghadapi tantangan kaum pendekar bersenjata yang menguasai pedalaman
Tiongkok selama ratusan tahun terakhir ini. Sekarangpun, masih belum diketahui bagaimana
mereka hilang dalam pemerintahan dan sistem politik yang ada, walaupun kekuasaan komite
Militer di lingkungan Partai Komunis Tiongkok masih sangat besar. Apakah klas bersenjata itu
diserap ke dalam komite militer tersebut dengan bawahan-bawahannya, juga tidak kita ketahui.
Di negeri kita pun kekuasaan kaum priyayi dengan nilai-nilainya sendiri terasa sangat besar di
masa lampau. Hanya saja, dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, kaum agamawan muslim
(dikenal dengan nama kaum santri) tampak menyelusup ke dalam jantung kekuatan kaum
priyayi tersebut. Jalan yang dilalui ada dua model, yaitu jalur kekuasaan politik dan jalur
pengembangan profesi. Kalau ini kita lupakan, sama saja artinya dengan membiarkan diri hidup
di masa lampau tanpa mengenal hidup masa kini dan masa mendatang.
Jelaslah, tampak betapa besar perbedaan antara Tiongkok dan Indonesia, serta betapa
besar pula persamaan antara keduanya. Kalau kita proyeksikan bayangan masa depan, sistem-
sistem politik yang dianut kedua negeri itu –di masa kini dan masa depan, akan bertambah nyata
persamaan maupun perbedaan antara kedua bangsa tersebut. Bagaimana masing-masing
menjawab tantangan yang dihadapi, yang datang dari proses modernisasi yang penuh dengan
persaingan, adalah pengenalan akan dua buah proses yang sama-sama menarik untuk dikaji. Di
sinilah, terasa betapa pentingnya diskripsi historis yang dikemukakan oleh kedua sistem politik
yang digunakan kedua bangsa itu (ethnografi, yang sangat dikuasai oleh administrasi
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda).
Mengingat hal itulah perlu kita sadari betapa pentingnya catatan-catatan historis yang
dikenal oleh kedua belah pihak. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dalam
perjalanan sejarah kedua bangsa. Bahwa perbedaan-perbedaan dari orkestra-kamar (chamber
orchestra) yang memang tidak sama sejarahnya itu adalah hal yang wajar, merupakan sebuah
kenyataan yang tidak dapat dibantah. Tetapi, membandingkan antar keduanya, untuk mencari
pelajaran yang dapat kita gunakan untuk mengenal cara hidup kita sendiri, adalah sebuah hal
yang wajar pula.
Karenanya, segala macam tulisan dan rekaman suara yang memberikan gambaran akan
perjalanan sejarah kedua bangsa itu, jelas akan sangat menarik hati para pengamat. Akankah kita
menjadi sebuah bangsa yang hanya menopang dominasi masa lampau, terlepas sama sekali dari
kontek historis yang sedang berjalan? Ataukah justru kita menjadi bangsa yang tidak dapat
menatap masa depan sendiri, semuanya terpulang kepada kita sendiri. Di sinilah perlunya kita
mengenal kedua bangsa secara lebih mendalam, baik sebagai bangsa yang sama-sama bukan
negara agama, walaupun mempunyai perkembangan sejarah (historical developments) yang
berbeda?
Islam dan Hak Asasi Manusia
Oleh Abdurrahman Wahid
Paso, 23 Mei 2002
Penulis adalah ketua umum dewan syura DPP PKB

Tulisan-tulisan yang menyatakan Islam melindungi Hak Asasi Manusia (HAM),


seringkali menyebutkan Islam sebagai agama yang paling demokratis. Pernyataan itu, seringkali
tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Justru di negeri-negeri muslim-lah terjadi banyak
pelanggaran yang berat atas HAM, termasuk di Indonesia.
Kalau kita tidak mau mengakui hal ini, berarti kita melihat Islam sebagai acuan ideal,
yang sama sekali tidak tersangkut dengan HAM. Dalam keadaaan demikian, klaim Islam sebagai
agama pelindung HAM hanya akan terasa kosong saja, tidak memiliki pelaksanaan dalam
praktek kehidupan.
Di sisi lain, kita melihat para penulis seperti Al-Maudoodi, seorang pemimpin muslim
yang lahir di India dan kemudian pindah ke Pakistan di abad yang lalu, justru tidak
mempedulikan hubungan antara Islam dan HAM. Baginya, bahkan hubungan antara Islam dan
Nasionalisme justru tidak ada. Nasionalisme adalah idiologi buatan manusia, sedangkan Islam
adalah buatan Allah swt.
Bagaimana mungkin mempersamakan sesuatu buatan Allah swt dengan sesuatu buatan
manusia? Lantas, bagaimanakah harus diterangkan hubungan antara perkembangan Islam dalam
kehidupan yang dipenuhi oleh tindakan-tindakan manusia? Al-Maudoodi tidak mau menjawab
pertanyaan ini, sebuah sikap yang pada akhirnya menghilangkan arti acuan yang digunakannya.
Bukankah Liga Muslim (Muslim League) yang didukungnya adalah buatan Ali Jinnah
dan Lia Quat Ali Khan, yang kemudaian melahirkan Pakistan, yang tiga kali berganti nama
antara Republik Pakistan dan Republik Islam Pakistan? Bukankah ini berarti campur tangan
manusia yang sangat besar dalam pertumbuhan negeri muslim itu? Dan, bagaimanakah harus
dibaca tindakan Pervez Musharraf yang pada bulan lalu telah memenangkan kepresidenan negeri
itu melalui plebisit, bukannya melalui pemilu? Dan bagaimana dengan tuduhan-tuduhannya,
bahwa para pemuka partai politik, termasuk Liga Muslim, sebagai orang-orang yang korup dan
hanya mementingkan diri sendiri?
Banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifikasi atas deklarasi universal
HAM, yang dikumandangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam tahun 1948. Dalam
deklarasi itu, tercantum dengan jelas bahwa berpindah agama adalah Hak Asasi Manusia.
Padahal Fiqh /Hukum Islam sampai hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa berpindah
dari agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan (apostasy), yang patut dihukum mati.
Kalau ini diberlakukan di negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang
berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah dihukum mati.
Dapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan yang tidak akan ada jawabnya, karena
hal itu merupakan kenyataan yang demikian besar mengguncang perasaan kita. Dengan demikian
menjadi jelas, bahwa dihadapan kita hanya ada satu dari dua kemungkinan: menolak deklarasi
universal HAM itu sebagai sesuatu yang asing bagi Islam, seperti yang dilakukan Al-Maudoodi
terhadap Nasionalisme atau justru merubah diktum fiqh/Hukum Islam itu sendiri.
Sikap menolak, hanya akan berakibat seperti sikap burung onta yang menolak kenyataan
dan menghindarinya, dengan bersandar kepada lamunan indah tentang keselamatan diri sendiri.
Sikap seperti ini, hanya akan berarti menyakiti diri sendiri dalam jangka panjang.
Dengan demikian, mau tak mau kita harus menemukan mekanisme untuk merubah ketentuan
fiqh/Hukum Islam, yang secara formal sudah berabad-abad diikuti. Tetapi disinilah terletak
kebesaran Islam, yang secara sederhana menetapkan keimanan kita pada Allah dan utusan-Nya
sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa Hukum Muhkamat lainnya, kita
harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu. Apabila yang demikian itu juga dapat diubah-
ubah maka hilanglah ke-islaman kita. Sebuah contoh menarik dalam hal ini adalah tentang budak
sahaya (slaves), yang justru banyak menghiasi Al-Qur\'an dan Al-Hadits (tradisi kenabian).
Sekarang, perbudakan dan sejenisnya tidak lagi diakui oleh bangsa muslim manapun,
hingga secara tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan pemikiran kaum muslimin. Praktek-
praktek perbudakan, kalaupun masih ada, tidak diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan
paling hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok muslimin yang kecil tanpa perlindungan
negara. Dalam jangka tidak lama lagi, praktek semacam itu akan hilang dengan sendirinya.
Karena itu kita harus mampu melihat ufuk kejauhan, dalam hal ini mereka yang
mengalami konversi ke agama lain. Ini merupakan keharusan, kalau kita ingin Islam dapat
menjawab tantangan masa kini dan masa depan. Firman Kitab Suci Al-qur\'an, \"tiadalah yang
tetap dalam kehidupan kecuali wajah Tuhan\" (walam yabqa illa wajha Allah) menunjukkan hal
itu dengan jelas. Ketentuan Ushul Fiqh (Islamic Legal Theory) \"hukum agama sepenuhnya
tergantung kepada sebab-sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri\" (yaduuru
al-hukmu ma\'a „illatihi wujudan wa „adaman) jelas menunjuk kepada kemungkinan perubahan
diktum seperti ini.
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan antisipasi terhadap hal ini. Dalam
salah sebuah muktamarnya, NU telah mengambil keputusan \"perumusan hukum haruslah sesuai
dengan prinsip-prinsip yang digunakan\".
Ambil contoh masalah Keluarga Berencana (KB), yang dahulu dilarang karena
pembatasan kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan Allah semata. Sekarang, karena
pertimbangan biaya pendidikan yang semakin tinggi membolehkan perencanaan keluarga,
dengan tetap membiarkan hak reproduksi di tangan Allah. Kalau diinginkan memperoleh anak
lagi, tinggal membuang kondom atau menjauhi obat-obat yang dapat mengatur kelahiran.
Jelaslah dengan demikian, bahwa Islam patut menjadi agama di setiap masa dan tempat (yasluhu
kulla zamanin wa makan). Indah bukan, untuk mengetahui hal ini semasa kita masih hidup?
Tentang Marxisme - Leninisme Dalam Pandangan ISLAM
Oleh Abdurrahman Wahid
Tulisan ini pernah dimuat di Persepsi, No.1, 1982

Selama ini orang menganggap bahwa Marxisme-Leninisme atau lebih mudahnya


komunisme, berada dalam hubungan diametral dengan Islam. Banyak faktor pendorong kepada
tumbuhnya anggapan seperti itu. Secara politis, umpamanya dalam sejarah yang belum sampai
satu abad. Marxisme-Leninisme telah terlibat dalam pertentangan tak kunjung selesai dengan
negara-negara (dalam artian pemerintahan negara bangsa atau nation state), bangsa-bangsa, dan
kelompok-kelompok muslim di seluruh dunia.
Dalam Peristiwa Madiun, 1948, umpamanya, kaum muslimin Indonesia berdiri
berhadapan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) karena dua alasan. Pertama, karena PKI di
bawah pimpinan Muso berusaha menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia yang
didirikan oleh bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kedua, karena banyak
pemuka agama Islam dan ulama yang terbunuh, seperti kalangan pengasuh Pesantren Takeran
yang hanya terletak beberapa kilometer di luar kota Madiun sendiri. Kiai Mursyid dan sesama
kiai pesantren tersebut hingga saat ini belum diketahui di mana dikuburkan.
Percaturan geo-politik saat ini pun menghadapkan Uni Soviet, kubu pertama paham
Marxisme-Leninisme kepada Dunia Islam, karena pendudukannya atas bangsa muslim
Afghanistan semenjak beberapa tahun lalu. Selain itu, secvara ideologis, Marxisme-Leninisme
juga tidak mungkin dipertemukan dengan Islam. Marxisme-Leninisme adalah doktrin politik
yang dilandaskan pada filsafat materialisme. Sedangkan Islam betapa pun adalah sebuah agama
yang betapa praktisnya, sekalipun dalam urusan keduniaan, masih harus mendasarkan dirinya
pada spiritualisme dan kepercayaan akan sesuatu yang secara empiris sudah tentu tidak dapat
dibuktikan.
Apalagi Marxisme-Leninisme adalah pengembangan ekstrem dari filsafat Karl Marx
yang justru menganggap agama sebagai opium (candu) yang akan melupakan rakyat dari
perjuangan strukturalnya untuk merebut alat-alat produksi dari tangan kaum kapitalis. Demikian
pula dari skema penataan Marxisme-Leninisme atas masyarakat, Islam sebagai agama harus
diperlakukan sebagai super struktur yang dibasmi, karena “merupakan bagian dari jaringan
kekuasaan reaksioner yang menunjang kapitalisme”, walaupun dalam dirinya ia mengandung
unsur-unsur antikapitalisme.
Atau dengan kata lain, yang menjadi bagian inti dari doktrin Marxisme-Leninisme, Islam
adalah “bagian dari kontradiksi internal kapitalisme”. Dialektika paham tersebut memandang
pertentangan antara Islam dan kapitalisme hanya sebagai pertentangan subsider dalam pola
umum pertentangan antara kaum proletar melawan struktur kapitalisme yang didirikan oleh
kaum feodal.
Sebuah aspek lain dari pertentangan ideologis antara Islam dan Marxisme-Leninisme
dapat dilihat pada fungsi kemasyarakatan masing-masing. Dalam kerangka ini, Marxisme-
Leninisme berusaha mengatur kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh atas wawasan-
wawasan rasional belaka, sedangkan Islam justru menolak sekulerisme seperti itu.
Menurut ajaran formal Islam, pengaturan kehidupan bermasyarakat harus diselaraskan
dengan semua ketentuan-ketentuan wahyu yang datang dari Allah. Pengaturan hidup secara
revelational (walaupun memiliki wawasan pragmatis dan rasionalnya sendiri untuk dapat
menampung aspirasi kehidupan nyata), bagaimanapun juga tidak mungkin akan berdamai
sepenuhnya dengan gagasan pengaturan masyarakat secara rasional sepenuhnya.
Tidak heranlah jika pengelompokan politik dan sosial budaya yang memunculkan apa
yang dinamai “golongan Islam” juga menggunakan pola penghadapan dalam meletakkan
Marxisme-Leninisme dalam hubungannya dengan Islam. Seperti dalam forum yang melawan
dan menentangnya. Forum-forum formal Islam sendiri juga demikian, senantiasa meletakkan
Marxisme-Leninisme dalam hubungannya dengan Islam. Seperti dalam forum yang melawan
dan menentangnya. Forum-forum formal Islam sendiri juga demikian, senantiasa meletakkan
Marxisme-Leninisme dalam kategori “ideologi lawan”. Atau dalam jargon Rabithah al-Alam al-
Islami/Islamic Word Association) yang berkedudukan di Makkah, “ideologi yang menentang
Islam (al-fahm al-mudhadli al-islami).” Dalam forum-forum resmi internasional di kalangan
kaum muslimin, Marxisme-Leninisme dalam “baju” komunisme secara rutin dimasukkan ke
dalam paham-paham yang harus ditolak secara tuntas.
Sikap demikian dapat juga dilihat pada karya-karya tulis para pemikir, ideolog, dan
budayawan yang menjadikan Islam sebagai kerangka acuan dasar untuk menata kehidupan
(dalam arti tidak harus dalam bentuk negara theokratis atau secara ideologis formal dalam
kehidupan negara, tetapi sebagai semangat pengatur kehidupan). Para penulis “pandangan Islam”
itu memberikan porsi panjang lebar kepada penolakan atas ideolgi dan paham Marxisme-
Leninisme dalam karya-karya mereka.
Penolakan ini antara lain berupa sikap mengambil bentuk peletakan “pandangan Islam”
sebagai jalan tengah antara kapitalisme dan komunisme atau menurut istilah Mustofa al-Siba‟I,
antara kapitalisem dan sosialisme.menurut pandangan mereka, kapitaisme akan membawa
bencana karena terlalu mementingkan kepentingan perorangan warga masyarakat, karena
sandarannya kepada inividualisme. Sedangkan kolektivisme yang menjadi ajaran Marxisme,
diserap oleh Marxisme-Leninisme, justru akan menghilangkan hak-hak sah dari individu yang
menjadi warga masyarakat. Islam menurut mereka memberikan pemecahan dengan jalan
menyeimbangkan antara “hak-hak masyarakat” dan “hak-hak individu”. Melihat pola hubungan
diametral seperti itu memang mengherankan. Bahwa masih saja ada kelompok-kelompok
Marxis-Leninis dalam masing-masing lingkungan bangsa muslim mana pun di seluruh dunia.
Bahkan di kalangan minoritas muslim di negara yang mayoritas penduduknya beragama bukan
Islam, seperti Sri-Lanka, Filipina. Bukan karena adanya orang-orang yang berpaham Marxis-
Leninis. Karena memang mereka ada di mana-mana. Tambahan pula, keadaan masyarakat
bangsa-bangsa yang memiliki penduduk beragama Islam dalam jumlah besar memang membuat
subur pertumbuhan paham itu. Secara teoritis, karena besarnya kesenjangan antara teori
kemasyarakatan yang terlalu meuluk-muluk yang ditawarkan dan kenyataan menyedihkan akan
meluaskan kemiskinan dan kebodohan. Yang menarik justru kenyataan bahwa oleh pemerintah
negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, (kecuali sudah tentu di Indonesia. Kalaupun
dilarang, maka bukan karena paham itu sendiri tidak dibarkan secara hukum neagara, melainkan
karena di lingkunagn bangsa itu tidak diperkenankan adanya gerakan politik dari rakyat sama
sekali, seperti Arab Saudi saat ini.
Yang lebih menarik lagi justru adalah terus-menerus adanya upaya untuk meramu ajaran
Islam kepada atau dengan paham-paham lain, termasuk Marxisem. Seperti yang saat ini
dilakukan dengan giatnya oleh Muammar Khadafi, pemimpin Lybia yang berperilaku eksentrik
itu. Ternyata upaya tersebut tidak terbatas pada “penggalian” konsep konsep Marx yang
nonkomunistis saja, tetapi juga mencapai “pengambilan” dari Marxisme-leninisme. Secara
formal, paham tersebut di larang di Lybia. Tetapi secara faktual banyak unsur-unsur Marxisme-
Leninisme ke dalam doktrin politik Khadafi. Umpanya saja, pengertian “kelompok yang
memelopori revolusi,‟ yang jelas berasal dari konsep Lenin tentang pengalihan pemerintah dari
kekuasaan kapitalisme (tidak harus yang berwatak finansial-industri, tetapi cukup yang masih
berwatak agraris belaka). Demikian juga konsep “pimpinan revolusi”, yang dicanangkan sebagai
“dewan-dewan rakyat” (al-jamariyah) sebagai satu-satunya kekuatan “pengawan revolusi” dari
kemunkginan direbut kembali oleh kapitalisme internasional.
Fenomena upaya meramu unsur Marxisme-Leninisme ke dalam teori politik yang
ditawarkan sebagai “ideolgoi Islam” sangat menarik untuk dikaji, karena bagaimanapun ia
mengandung dua aspek. Pertama, ia tidak terbatas pada kalangan eksentrik seperti Khadafi,
tetapi juga di kalangan sujumlah pemikir muslim serius, semisal Abdel Malek dan Ali Syari‟ati.
Saat ini pun, gerakan Mojaheddin eKhalq yang bergerak di bawah tanah di Iran dan dipimpin
oleh Masoud Rajavi dari Paris, menggunakan analisis perjuangan kelas yang mengikuti acuan
Marxisme-Leninisme. Kedua, kenyataan bahwa upaya “meramu” tersebut sampai hari ini masih
mampu mempertahankan warna agamanya yang kuat. Bukan proses akulturasi yang muncul, di
mana Islam dilemahkan, melainkan sebaliknya, terjadi penguatan ajaran-ajarannya melalui
“penyerapan sebagai alat analisis”.
Keseluruhan yang dibentangkan di atas menghendaki adanya kajian lebih mendalam
tentang hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme, yang akan membawa kepada pemahaman
yang lebih terinci dan pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan yang dapat
digali antara Islam sebnagai ajaran kemasyarakat dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi
politik.Pemahaman dan pengertian seperti itu akan memungkinkan antisipasi terhadap peluang
bagi terjadinya “titik sambung” keduanya dinegeri ini. Antisipasi mana dapat saja digunakan,
baik untuk mencegahnya maupun mendorong kehadirannya.
Salah satu cara untuk melihat titik-titik persamaan antara Islam dan Marxisme Leninisme,
keduanya sebagai semacam “ajarab kemasyarakatan” (untuk meminjam istilah yang populer saat
ini di kalangan sejumlah theolog Katolik yang menghendaki perubahan struktural secara
mendasar) adalah menggunakan pendekatan yang disebut sebagai vocabularies of motive
(keragaman motif) oleh Bryan Turner dalam bukunya yang terkenal, Weber and Islam (hlm.
142).
Menurut pendekatan in, tidak ada satu pun motif tunggal dapat diaplikasikan secara
memuaskan bagi keseluruhan perilaku kaum muslimin sepanjang sejarah mereka.
Kecenderungan “agama” seperti tasawuf (mistisisme), syariat (legal-formalisme), dan akhlak
(etika sosial), dalam hubungannya dengan kecenderungan “ekonomis”, seperti semangat dengan
etos kerja agraris, pola kemiliteran dan asketisme politis, ternyata menampilkan banyak
kemungkinan motivatif bagi perilaku kaum muslimin itu. Walaupun pendekatan itu oleh Turner
dipakai justru untuk mencoba melakukan pembuktian atas kaitan antara Islam dan kapitalisme,
bagimanapun juga penggunaannya sebagai alat untuk meneliti kaitan antara Islam Marxisme-
Leninisme akan membuahkan hasil kajian yang diharapkan.
Umpamanya saja, pendekatan ini dapat mengungkapkan adanya kesamaan orientasi
antara pandangan kemasyarakatan Marxisme-Leninisme yang bersumber pada kolektivisme dan
tradisi kesederhanaan hierarki dalam masyarakat suku yang membentuk masyarakat Islam yang
pertama di Madinah di zaman Nabi Muhammad.
Kesamaan orientasi tersebut dapat dilihat pada besarnya semangat egalitarianisme dan
populisme dalam kedua sistem kehidupan itu. Orientasi kehidupan seperti itu mau tidak mau
akan membawa sikap untuk cenderung menyusun pola kehidupan serba senang kepada tindakan
(action-oriented), dan menjauhi kecenderungan kontemplatif dan meditatif. Orientasi kepada
tindakan ini demikian kuat terlihat dalam kehidupan masyarakat Islam, sehingga keimanan dan
tuntasnya keterlibatan kepada ajaran agama (dikenal dengan nama Rukun Islam) sepenuhnya
diidentifisir dengan “tindakan”. Dari syahadat (pengakuan akan keesaan Allah dan kerasulan
Muhammad), salat, zakat, puasa, hingga kewajiban menjalankan peribadatan haji.
Walaupun Marxisme bersandar pada ajaran determinisme-materialistik (dalam jargon
sosialisme dikenal dengan nama historis-materialisme), dan dengan demikian Marxisme-
Leninisme mendasarkan idiologinya sampai titik tertentu pada acuan tersebut, tetapi orientasinya
kepada “sikap aksional” tetap tampak sangat nyata. Justru acuan deterministik yang mendorong
kaum Marxis termasuk Marxis-Leninis, untuk mempersoalkan struktur kekuasaan dan tindakan
terprogram dalam memperjuangkan dan kemudian melestarikan struktur masyarakat yang
mereka anggap sebagai bangunan kehidupan yang adil.
Orientasi inilah yang “menhubungkan” antara Islam dan Marxisme-Leninisme, menurut
versi pikiran orang-orang seperti Khadafi dan Masoud Rajavi. Walaupun secara prinsipil mereka
menentang komunisme sebgai ideologi dan memenjarakan pemimpin-pemimpin komunis serta
melawan mereka dalam bentrokan-bentrokan fisik.
Berbeda dengan mendiang Gamal Abdul Nasser dari Mesir, yang berideologi sosialistik
dan sedikit banyak dapat mentolerir kehadiran pemimpin-pemimpin komunis, seperti Mustafa
Agha di negerinya, walupun sering juga ditahan kalau ternyata masih melakukan aktivitas yang
dinilainya subversif. Sikap Nasser ini juga diikuti oleh kedua rezim sosialis Ba‟ath (kebangunan)
yang berkuasa di Irak dan Syiria sekarang ini.
Sebuah perkecualian menarik dalam hal ini, karena perbedaan ideologis yang ada dapat
“dijembatani” oleh kesamaan orientasi di atas adalah kasus Parta Tudeh di Iran. Pertai yang
nyata-nyata berideologi Marxis-Leninis itu ternyata hingga saat ini masih dibirakan hidup oleh
rezim revolusi Islam di Iran, walaupun gerakan gerilya Fedayen E-Khalq yang juga Marxis-
Leninis justru ditumpas dan dikejar-kejar.
Ternyata kesamaan orientasi populistik dan egalitarian anatara ideologi Islam dan
Marxis-Leninisme dihadapan lawan bersama imperialisme Amerika Serikat menurut jargon
mereka, mengandung juga benih-benih kontradiksi interen antara kaum mula dan kaum Marxis-
Leninis Iran, selama yang terakhir ini tidak mengusik-usik kekuasaan Partai Republik Islam,
selam itu pula mereka ditolerir.
Dari sudut pandangan ini, sikap kaum muslimin Indonesia yang menolak kehadiran
Marxisme-Leninisme melalui ketetapan MPR adalah sebuah anomali, yang hanya dapat
diterangkan dari kenyataan bahwa telah dua kali mereka dikhianati oleh kaum komunis di tahun
1948 dan 1965. Penolakan dengan demikian berwatak politis, bukannya ideologis.
Hal ini menjadi lebih jelas, jika diingat bahwa kaum muslimin Indonesia sudah tidak lagi
memiliki aspirasi mereka sendiri di bidang ideologi, tetapi meleburkannya ke dalam ideologi
“umum” bangsa, Pancasila.
Kenyataan seperi ini memang jarang dimengerti, karena tinjauan yang dilakukan selama
ini atas hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme sering sekali bersifat dangkal, melihat
persoalannya dari satu sisi pandangan saja, itu pn yang bersifat sangat formal. Wajar sekali kalau
kaitan dengan Marxisme-Leninisme tidak diakui secara formal di kalangan gerakan-gerakan
Islam, tetapi diterima dalam praktek. Seperti wajarnya ”garis partai” yang menolak kehadiran
agama di negara-negara komunis, tetapi dalam praktek diberikan hak melakukan kegiatan serba
terbatas.
Melihat kenyataan di atas, menjadi nyata bagi mereka yang ingin melakukan tinjauan
mendalam atas Maexisme-Leninisme dari sudut pandangan Islam. Bahwa harus dilakukan
pemisahan antara sikap Islam yang dirumuskan dalam ajaran resmi keagamaannya dan “sikap
Islam” yang tampil dalam kenyataan yang hidup dalam bidang politik dan pemahaman secara
umum.
Banyak pertimbangan lain yang mempengaruhi hubungan antara Islam dan Marxisme-
Leninisme dalam praktek, sehingga tidak dapat begitu saja digeneralisasi tanpa mengakibatkan
penarikan kesimpulan yang salah. Demikian juga, dalam melihat kaitan dalam praktek kehidupan
pemerintahan, tidaklah cukup kaitan itu sendiri diidentifikasikan sebagai sesuatu yang sumir dan
berdasarkan kebutuhan taktis belaka, seperi yang disangkakan pihak Amerika Serikat atas
hubungan Khadafy dan Uni Soviet. Karena sebenarnya yang terjadi adalah proses saling
mengambil antara dua ideologi besar, tanpa salah satu harus mengalah terhadap yang lain.
Betapa tidak permanennya hubungan itu sekalian, karena keharusan tidak boleh mangalah
kepada ideologi lain, kaitan antara Islam dan Marxisme-Leninisme memiliki dimensi
ideologinya sendiri. Yaitu kesamaan sangat besar dalam orientasi perjuangan masing-masing.
Kalau diproyeksikan terlebih jauh ke masa depan, bahkan akan muncul varian lain dari
pola hubungan yang telah ada itu. Yaitu dalam hasil akhir ideologis dari upaya yang sedang
dilakukan sejumlah intelektual muslim untuk mendalami sumber-sumber ajaran Islam melalui
analisis pertentangan kelas yang menjadi “merek dagang” Maxisme-Leninisme.
Ayat-ayat Al-Qur‟an, ucapan nabi dalam hadits dan penjelasan ulama dalam karya-karya
mereka diperiksa kembali “wawasan kelas”-nya, digunakan sudut pandangan sosial-historis
untuk melakukan penfsiran kembali atas “pemahaman salah” akan sumber-sumber ajaran agama
itu. Zakat sebagai salah satu Rukun Islam, umpamanya, dilihat secara kritis sebagai alat
populistik untuk menata orientasi kemasyarakat kaum muslimin dalam pengertian struktural.
Lembaga tersebut diwahyukan dengan beban terbesar atas penyelenggaraan hidup bermasyarakat
pada pundak lapangan pertanian sebagai profesi kaum elite Madinah waktu itu (karena
membutuhkan masukan modal sangat besar, tidak seperti usaha dagang kecil-kecilan di pasar
yang menjadi kerja utama kebanyakan penduduk Madinah). Pendekatan struktural dalam
menafsirkan kembali ajaran agama itu bagaiamanapun akan membawa kepada kesadaran akan
pentingnya analisis perjuangan kelas untuk menegakkan struktur masyarakat yang benar-benar
adil dalam pandangan Islam.
Di pihak lain, semakin berkembangnya pemahaman “humanis” atas Marxisme-
Leninisme, seperti dilakukan Partai Komunis Itali dewasa ini akan membawa apresiasi lebih
dalam lagi tentang pentingnya wawasan keagamaan ditampung dalam perjuangan kaum Marxis-
Leninis untuk menumbangkan struktur kapitalis secara global.
Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh sejumlah teoritisi Marxis-Leninis sejak dasawarsa
tigapuluhan dari abad ini, semisal Gramsci. Sudah tentu akan muncul aspek kesamaan orientasi
kemasyarakatan antara Islam dan Marxisme-Leninisme dengan dilakukan kajian-kajian di atas
yang antara lain sedang dilakukan oleh Mohammad Arkoun dan Ali Merad, yang dua-duanya
kini tinggal di Perancis.
Ras dan Diskriminasi di Negara Ini
Oleh: Abdurrahman Wahid
Memorandum; Jombang, 1 Februari 2003

Dalam perjalanan ke gedung TVRI saat subuh awal Februari 2003, penulis mendengar
siaran sebuah radio swasta Jakarta yang menyiarkan dialog tentang masalah ras dan diskriminasi.
Karena format siarannya dialog interaktif, maka dapat dimengerti jika para pendengar melalui
telepon mengemukakan pendapat dan pertanyaan berbeda-beda mengenai kedua hal itu. Ada
yang menunjuk kepada keterangan etnografis, yang menyatakan orang-orang di Asia Tenggara,
Jepang, Korea, Tiongkok, Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan mempunyai
penduduk asli dari ras Mongol (mongoloid). Karena itu narasumber pada dialog itu, menolak
perbedaan antara kaum asli dan kaum turunan di Indonesia. Menurutnya kita semua berasal dari
satu turunan dan tidak ada bedanya satu dari yang lain. Maka pembagian kelompok asli dan
keturunan di negeri kita tidak dapat diterima dari sudut pemikirannya.
Pendengar lain juga memiliki pandangan yang sama, ada yang melihat dari segi sejarah
atau historis, bahwa orang yang mempunyai asal-usul sangat berbeda secara bersama-sama
mendirikan negara ini, dengan demikian dari masa itulah harus dihitung titik tolak eksistensi kita
sebagai bangsa. Menurut pendapat ini, kalau menggunakan ukuran tersebut kita tidak akan dapat
membeda-bedakan warga negara Indonesia yang demikian besar jumlahnya. Dengan kata lain,
pendapat ini juga menolak pembedaan para warga negara kita menjadi asli dan keturunan, karena
hal itu tidak berasal dari kenyataan historis tentang pembentukan bangsa ini. Menurut pendapat
ini, perbedaan seperti itu terlalu dipaksakan dan tidak sesuai dengan kenyataan empirik, ini
berarti penolakan atas teori perbedaan tersebut.
Seorang pendengar, bahkan menolak bahwa ada diskriminasi golongan di negeri kita.
Yang ada adalah diskriminasi perorangan atau diskriminasi oknum yang terjadi pada warga
dengan ras yang berbeda. Penulis bertanya-tanya akan hal itu, bagaimana kita menjelaskan
adanya semacam kuota yang terjadi di negeri kita, seperti orang keturunan Tionghoa hanya boleh
mengisi 15% kursi mahasiswa baru disebuah Perguruan Tinggi Negeri? Juga, bagaimana
menerangkan bahwa dalam seluruh jajaran TNI, hanya ada dua orang Perwira Tinggi dari ras
“non pribumi”, yaitu Mayjen Purnawirawan TNI Iskandar Kami dan Brigjen Purnawirawan TNI
Teddy Yusuf? Juga pertanyaan sebaliknya, soal adanya “ kuota halus” di kalangan masyarakat
keturunan Tionghoa sendiri, mengenai sangat langkanya manager dari “orang-orang pribumi
asli” dalam perusahaan-perusahaan besar milik mereka.
Ada juga pendengar yang menyebutkan, bahwa di masa lampau bendera Merah Putih
berkibar diatas sejumlah kapal laut milik Indonesia, yang menandakan kebesaran angkatan laut
kita pada masa itu. Dalam kenyataan, sebenarnya angkatan laut kita waktu itu adalah bagian dari
angkatan laut Tiongkok. Jika dibandingkan dengan keadaan sekarang, seperti kekuatan angkatan
laut Australia dan Kanada, yang menjadi bagian dari sebuah dominion angkatan laut dari
angkatan perang Inggris Raya (Great Britain). Jadi sebagai angkatan laut dominion, angkatan
laut kita pada era tersebut adalah bagian dari sebuah angkatan laut Tiongkok. Kenyataan sejarah
ini harus kita akui, jika kita ingin mendirikan/mengembangkan sebuah entitas yang besar dan
jaya.
Sebelum masa ini para warga negara keturunan Tionghoa harus berganti nama menjadi
nama “pribumi”, tidak diperkenankan mendirikan sekolah-sekolah, tidak diperkenankan
beragama Khonghucu dan tidak diperbolehkan membuat surat kabar atau majalah umum
berbahasa Mandarin. Terlebih parah lagi adalah larangan beragama Khonghucu, yang didasarkan
pada asumsi bahwa aliran tersebut adalah sebuah filsafat hidup bukannya agama. Sebagai akibat,
kita memiliki pengusaha bermata sipit yang bernama Mochammad Harun Musa, padahal jelas
sekali, dia bukan seorang Muslim atau pun bukan beragama Kristiani, melainkan ia “beragama”
Budha dalam kartu identitasnya.
Dalam hal keyakinan ini, kita berhadapan dengan pihak-pihak pejabat pemerintah yang
beranggapan, negara dapat menentukan mana agama dan mana yang bukan. Mereka sebenarnya
memiliki motif lain, seperti dahulu sejumlah perwira BAKIN ( Badan Koordinasi Intelejen
Negara) yang beranggapan jika warga “keturunan Tionghoa” dilarang beragama Khonghucu,
maka para warga negara itu akan masuk ke dalam agama “resmi” yang diizinkan mereka. Inilah
bahaya atas penafsiran oleh negara, padahal sebenarnya yang menentukan sesuatu agama atau
bukan, adalah pemeluknya sendiri. Karena itu, peranan negara sebaiknya dibatasi pada
pemberian bantuan belaka. Karena hal itu pula lah penulis menyanggah niatan Kapolda Jawa
Tengah, yang ingin menutup Pondok Pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Solo. Biarkan masyarakat
yang menolak peranannya dalam pembentukan sebuah negara Islam di negara ini !
Di sini harus jelas, mana yang menjadi batasan antara peranan negara dan peranan
masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupan beragama. Negara hanya bersifat membantu,
justru masyarakat yang harus berperan menentukan hidup matinya agama tersebut di negeri ini.
Di sinilah terletak arti firman Tuhan dalam kitab suci Al-Qur‟an: “ Tak ada paksaan dalam
beragama, (karena) benar-benar telah jelas mana yang benar dan mana yang palsu “(La ikhroha
fi aldin qul tabayyana al-rus‟ydu min ar-ghayyi)”. Jelas dalam ayat itu, tidak ada peranan negara
sama sekali melainkan yang ada hanyalah peranan masyarakat yang menentukan mana yang
benar dan mana yang palsu. Jika kesemua agama itu bersikap saling menghormati, maka setiap
agama berhak hidup di negeri ini, terlepas dari senang atau tidaknya pejabat pemerintahan.
Sangat jelas dari uraian di atas, bahwa diskriminasi memang ada di masa lampau, tetapi
sekarang harus dikikis habis. Ini kalau kita ingin memiliki negara yang kuat dang bangsa yang
besar. Perbedaan di antara kita, justru harus dianggap sebagai kekayaan bangsa. Berbeda, dalam
pandangan Islam wajar terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi pada tingkat sebuah
bangsa besar, seperti manusia Indonesia, Kitab suci Al-Qur‟an menyebutkan: “Berpeganglah
kalian kepada tali Tuhan dan secara keseluruhan jangan terpecah-pecah dan saling bertentangan
“ (Wa‟ tashaimu bi habli allah jami‟an wa la tafarraqu). Ayat kitab suci tersebut jelas
membedakan perbedaan pendapat dengan pertentangan, yang memang nyata-nyata dilarang.
Walau telah lewat, tulisan ini dimaksudkan sebagai hadiah Tahun Baru Imlek yang harus kita
hargai, seperti hari-hari besar agama yang lain. Tentu, hadiah berupa peletakkan dasar-dasar
perbedaan diantara kita, sambil menolak pertentangan dan keterpecah-belahan diantara
komponen-komponen bangsa kita, jauh lebih berharga dari pada hadiah materi. Apalagi, jika
penerima hadiah itu berlimpah-limpah secara materi, sedangkan pemberi hadiah itu justru secara
relatif lebih tidak berpunya. Memang mudah sekali mengatakan tidak boleh ada diskriminasi,
tetapi justru upaya mengikis habis upaya itu memerlukan waktu, yang mungkin memerlukan
masa bergenerasi dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Memang selalu ada jarak waktu sangat
panjang antara penetapan secara resmi dengan kenyataan empirik dalam kehidupan. Mudah
dirumuskan, namun sulit dilaksanakan.
Kemajemukan Modal Membangun Bangsa
Oleh: Abdurrahman Wahid
Memorandum, 8 Agustus 2003

Bangsa kita sejak dulu sudah mejemuk dari sudut ras, kita mengenal paling tidak dua ras
utama, yaitu Melayu dan Austro Melanesia, yang satu berkulit langsat dan yang satunya berkulit
hitam, yang satu berambut lurus dan yang satu berambut kriting. Kedua Ras itu hidup
berdampingan secara damai, selama berabad-abad. Kemudian datang ras Tionghoa yang sampai
di kawasan ini -minimal di pantai utara pulau Jawa- pada abad ke-13 Masehi. Ketika kemudian,
dalam abad ke-16 kapal-kapal layar Tionghoa ditarik pulang, terputuslah hubungan antara
masyarakat mereka yang beragam Islam dengan daratan Tiongkok. Orang-orang Tionghoa itu
segera diserap oleh “masyarakat asli” dikawasan ini. Terjadilah kekosongan migrasi etnis
Tionghoa selama 2 abad dan baru kemudian mereka “diimpor” kelompok-kelompok Tionghoa
yang beragam Budha dan Konghucu dari Tiongkok Timur dan Selatan.
Bahwa kemudian mereka dianggap ras tersendiri, di luar dari mereka yang dianggap “ras
asli”, itu adalah perkembangan politik yang dipaksakan atas kenyataan. Kebetulan sekali,
anggapan “bukan asli” diperkuat dengan politik negeri ini yang pada abad ke-20 masehi,
masyarakat Tionghoa tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan kemahiran dibidang-bidang
yang ada. Melainkan hanya di bidang-bidang usaha. Di bidang politik, oleh rezim Orde Baru
mereka tidak diperkenankan langsung turut serta melainkan hanya “diayomi” melalui
pembiayaan oleh “oknum-oknum” yang berada dalam CSIS. Kedudukan mereka di bidang
politik sama dengan tempat mereka dalam kehidupan: “Sebagai istri gelap yang diajak hidup
bersama, tapi tidak pernah diperkenalkan kepada siapapun dan tidak pernah diajak ke pesta-
pesta.” Namun karena sukses di bidang usaha, mereka dianggap dan sering diperlakukan sebagai
“yahudi” nya Indonesia.
Sudah sepatutnyalah mereka kini diajak memperluas bidang-bidang kehidupan dalam
negara ini, sehingga kemudian dapat diminta turut bertanggung jawab atas kehidupan bangsa
secara keseluruhan. Walau demikian, diam-diam hal itu telah terjadi dengan sendirinya, seperti
dalam kasus seorang Tionghoa ahli budaya Jawa yang kini menjadi Bupati di salah satu Kraton
di pulau Jawa. Dalam kasus-kasus Tionghoa -yang secara lecehan ataupun serius sering disebut
orang Cina-, tadi menunjukkan perlunya kita mengembangkan kearifan lebih dari bangsa-bangsa
lain di benua ini. Kearifan itu diperlukan untuk menyanggah kemajemukan budaya bangsa, yang
saat ini dihadapkan oleh proses modernisasi bangsa ini, yang mengakibatkan anak-anak kita
tidak lagi mengenal siapa itu Ande-Ande Lumut, Malin Kundang, dan sebagainya tetapi terus
dijejali dengan tokoh-tokoh seperti Doraemon dan Satria Baja Hitam.
Pengakuan akan kemajemukan budaya ini memang terkadang menyakitkan. Ambil
contoh penulis sendiri, seorang Muslim tradisional yang lahir di pesantren dan menyakini
kebenaran ajaran-ajaran yang diterimanya di tempat itu. Namun ia harus menghormati agama-
agama lain dan mencoba memahami ajaran-ajaran mereka. Bahkan juga harus menghormati dan
hidup berdampingan dengan sekian pandangan yang berkembang dalam lingkungan agama
sendiri, Islam. Harus menghormati Muhammadiyah, Persis dan kejawen. Dengan mereka penulis
harus dapat hidup berdampingan tanpa saling merendahkan, yang bertentangan dengan sikap
eksklusif sebagian Muslimin yang berujung kepada peledakan bom di Bali.
Dengan demikian menjadi nyata bahwa kemajemukan budaya tidak dapat dibatasi hanya
pada hubungan antar keyakinan dan pandangan belaka, melainkan juga hubungan intern dalam
masing-masing kelompok. Bahkan akhir-akhir inipun hubungan intern kelompok juga sangat
dipengaruhi oleh perkembangan politik -seperti yang terjadi di PKB dan PDI-Perjuangan-.
Karenanya kita juga harus cerdik dan cermat mengamati perkembangan tersebut. Di saat
kedaulatan hukum kita masih rapuh dan sistem politik yang amburadul seperti sekarang ini.
Penulis yakin kita dapat menyelesaikan keadaan itu dengan berpegang kepada kemajemukan itu.
Kita harus tahu setiap kemunduran yang kita alami dalam kehidupan politik saat ini,
seperti hancurnya wibawa pemerintah dengan peristiwa pembelian pesawat terbang Sukhoi dan
peledakan bom di Hotel Marriott Jakarta. Tetapi kemunduran itu diimbangi dengan dua buah
kejadian penting, yaitu pilihan Doktor Nurcholish Madjid untuk mementingkan kepemimpinan
atas jabatan. Demikian juga sikap para pecundang untuk pemilihan Gubernur di lima daerah
(Banten, DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur) yang menahan diri tidak
menggunakan kekuatan massa secara fisik.” Walaupun terjadi banyak kecurangan dan
penggunaan uang dalam proses itu. Ini menunjukan bahwa hal buruk maupun baik turut
memberikan pengaruh pada proses pembangunan politik kita.
Semua hal di atas merunjuk kepada pentingnya kemajemukan dalam kehidupan bangsa
ini, sesuatu yang sangat bergantung kepada kearifan kita bersama saat ini. Tentu saja
pengorbanan hal-hal yang sebelumnya kita terima sebagai “ kebenaran kelompok“ dalam bentuk
sikap merelakan bagi kepentingan bersama bangsa ini.
Walaupun sebenaranya pengorbanan ini sudah lama juga kita jalankan, seperi kasus
Keluarga Berencana (KB). KH. M. Bisri Sansyuri, Ra‟is Aam PBNU waktu itu, antara 1973 –
1975 mengajak 6 orang temannya yang matang dalam Fi‟qh/hukum Islam untuk merumuskan
kembali praktek-praktek pembatasan kelahiran. Mereka melakukan perubahan rumusan, dengan
menamakan praktek itu sebagai Keluarga Berencana. Dengan perubahan itu, yang dapat diterima
hanyalah metode alat-alat dan obat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan
melakukan hal itu, mereka merumuskan kembali kerja merencanakan keluarga, yang mau tidak
mau harus dilakukan kaum muslimin di abad modern ini. Karena dihadapkan dengan biaya
pendidikan yang semakin mahal, pola hubungan warga masyarakat yang turut berubah dan
perencanaan ekonomi nasional yang menghendaki rasionalisasi jumlah tenaga kerja. Contoh
sederhana ini menunjukkan kepada kita, bahwa pandangan dan sikap lama harus berbaur dengan
pandangan dan sikap baru, dan itulah kenyataan yang harus kita hadapi sekarang.
Sebuah cara lain dalam melakukannya dapat dilihat dalam penafsiran ulang (re-
interpretasi) ajaran-ajaran agama yang ada selama ini. Ketika nabi Muhammad SAW
mengatakan “ Berkawin-kawinlah dan beranak-pinaklah kalian, karena aku akan membanggakan
kalian di muka umat-umat lain pada hari kiamat kelak “. (Tanakahu wa taktzuru fa inni
mubahain bikumu ya umma al-qiyamah). Maka kata “membanggakan” ini sekarang dapat
diartikan sebagai kualitas umat, bukan kuantitasnya.
Nah, kemajemukan pandangan dan sikap dalam bentuk berbeda-beda seperti inilah yang
kita namakan kemajemukan. Karena budaya kita memang susah terbilang, maka dengan
sendirinya kemajemukan itu telah ada dalam kehidupan bangsa ini. Tetapi akan lebih mantap dan
berwajah lebih lengkap, kalau hal ini kita sadari dengan baik sebagai warga negara yang
mengetahui kebutuhan hidup bersama, kebutuhan akan toleransi dan menghargai orang lain,
sebagai sebuah sikap hidup yang dimiliki sehari-hari. Dengan demikian, yang kita perlukan
adalah sikap inklusif bukanya sikap ekslusif dalam embina kehidupan bersama. Memang mudah
diungkapkan, namun sulit dilaksanakan.

Anda mungkin juga menyukai