Anda di halaman 1dari 281

Dr. Muhammad Ilyas Ismail, M.Pd.,M.Si.

ISU-ISU PENDIDIKAN
KONTEMPORER

Alauddin University Press


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang:
Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau
seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis
dari penerbit

All Rights Reserved


ISU-ISU PENDIDIKAN KONTEMPORER

Penulis:
Dr. Muhammad Ilyas Ismail, M.Pd.,M.Si.

Editor:
Munirah

Cetakan: I 2014
viii+ 271 halaman, 14 cm x 21 cm

ISBN : 978-602-237-958-4

Alauddin University Press


Kampus I : Jalan Sultan Alauddin No. 63 Makassar
Kampus II : Jalan Sultan Alauddin No. 36 Samata – Gowa

ii
SAMBUTAN REKTOR
Jika engkau ingin meng”abadi”, maka tinggalkanlah “Legacy”

Ungkapan di atas memberi gambaran bahwa setiap


manusia hendaknya selalu melahirkan karya terbaiknya
untuk dipersembahkan kepada umat. Karya itu akan
menjadi sebuah legacy yang akan selalu diingat dan
dikenang, bahkan diabadikan dalam catatan sejarah
peradaban anak manusia. Jutaan bahkan milyaran anak
manusia telah dan akan lahir di permukaan dunia ini,
namun tidak semua mampu mencatatkan dirinya dalam
kelindan sejarah yang “menyejarah”. Hanya sebagian kecil
anak manusia yang mampu menghadirkan dan
meng”abadi”kan dirinya dalam garis lingkar lintasan
sejarah.
Dalam bingkai dan konstruksi emosional, manusia
pada hakikatnya ingin abadi. Itulah sebabnya manusia ingin
selalu mengabadikan momentum penting dalam ruang dan
waktu yang senantiasa berubah. Mereka membuat gambar,
foto, lukisan, dan sejenisnya yang seakan-akan berkeinginan
menyetop waktu yang senantiasa berubah. Demikian pula
aktivitas manusia membangun monumen bersejarah tidak
lain tujuannya untuk mengabadikan sebuah peristiwa
penting dalam sejarah peradaban manusia, bahkan Khairil
Anwar berkata: “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”.
Karya akademik pada hakikatnya merupakan sebuah
monumen penting dalam kehidupan yang dapat menjadi
legacy. Karya itu dapat dinikmati oleh siapa saja yang cinta
terhadap pengetahuan. Karya akademik bukan sekadar
sebuah tulisan yang menjadi hiasan di dalam rak, lemari
atau ruang baca, tetapi dia mampu melahirkan perubahan
dan memberikan pencerahan kepada manusia. Terlebih

iii
dalam perspektif eskatologis, karya akademik dapat menjadi
amal jariah di “alam sana”.
Atas dasar kesadaran itulah, maka program Gerakan
Seribu Buku (GSB) ini dilaksanakan, dengan harapan setiap
dosen mampu melahirkan “legacy” dalam catatan
kehidupannya berupa karya tulis yang dipublikasikan.
Gerakan ini diharapkan menjadi “trigger” untuk melahirkan
karya-karya berikutnya.
Saya merasa gembira bahwa dosen UIN Alauddin
tidak saja mampu berorasi di atas mimbar, tetapi juga dapat
menuangkan gagasan, ide, dan pikirannya dalam bentuk
tulisan. Hingga periode akhir masa jabatan saya sebagai
Rektor, program GSB ini telah tuntas dilaksanakan. Itu
artinya, hingga saat ini tidak kurang dari 1000 buah karya
akademik telah dipublikasikan oleh para dosen UIN
Alauddin Makassar. Fakta ini harus diapresiasi dan menjadi
catatan penting bagi pejabat (Rektor) berikutnya.
Karya tulis merupakan perbendaharaan terbesar di
dunia akademik. Hanya dengan budaya menulis dan
membaca, maka dunia akademik menjadi hidup, bahkan al-
Quran mengisyaratkan bahwa lahir dan hadirnya
pengetahuan serta peradaban harus diawali dengan budaya
“iqra/baca” dan “al-qalam/pena”. Karena itulah, UIN
sebagai kampus peradaban harus menjadi pioneer dari
tradisi literasi ini, sebab rendahnya budaya “baca-tulis”
pada suatu bangsa atau sebuah kampus mengindikasikan
lemahnya kesadaran terhadap eksistensi diri, alam, dan
Tuhan.
Samata, 2 Oktober 2014
Rektor,

Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing, HT, MS

iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘aalamin, segala puji dan
syukur kepada Allah SWT semata, yang telah memberikan
rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga
dapat menyusun dan menyelesaikan buku yang berjudul
ISU-ISU PENDIDIKAN KONTEMPORER. Shalawat dan
salam, serta kedamaian dan kesejahteraan dari-Nya semoga
tercurah kepada Baginda Rasullullah saw penyempurna
risalah Ilahi, dan rahmatan lil alamin, beserta keluarga,
sahabat dan pengikutnya.
Alhamdulillah, akhirnya buku ini dapat
dipublikasikan. Buku ini disusun dengan maksud
membantu para prsktisi pendidikan, mulaidari guru, dosen,
instruktur, widyaiswara, penilik, pengawas, para
pengembang, pengelola, dan penentu kebijakan serta siapa
saja yang menaruh minat dalam bidang kependidikan,
kiranya buku ini dapat dijadikan pedoman dalam
melaksanakan proses pendidikan, dan bahan untuk
mengingatkan kembali dalam profesinya sebagai pendidik
dan bukan hanya pengajar. Selain dari hal tersebut, buku ini
juga diharapkan bermanfaat untuk parama hasiswa
kependidikan yang ada di lembaga-lembaga pendidikan
tenaga kependidikan (LPTK) FKIP, STKIP, dan UIN, IAIN,
STAIN yang memiliki Fakultas dan atau Jurusan Ilmu
Pendidikan (Fakultas Tarbiyah), sebagai referensi dalam
matakuliah Ilmu Pendidikan, di perguruan tinggi.
Penulis sangat menyadari, bahwa tulisan ini
tentu tidak akan pernah ada jika tidak didukung dan
dibantu oleh mereka, yang banyak terlibat dalam
penulisan ini. Karena itu, ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tinggnya disampaikan
kepada:

v
1. Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing H.T., M.S. selaku, Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar yang selalu mendorong para dosen untuk
senantiasa meningkatkan potensi inner capacity.

2. Panitia penyelenggara penyusunan Gerakan


Seribu Buku Universitas Islam Negeri (UIN)
Alauddin Makassar tah un 2013 yan g de n gan
sabar sen an tiasa me n doron g dan mengingatkan
agar penulisan Gerakan Seribu Buku dapat
diselesaikan tepat waktu.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan


dalam buku ini masih perlu disempurnakan, oleh karena
itu, dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan tegur sapa dari para pembaca, terutama
dari pakar pendidikan agar dapat lebih disempurnakan
lagi sehingga buku ini akan memberi manfaat yang
maksimal.

Makassar, Agustus 2014


Penulis

Dr. Muh. Ilyas Ismail, M.Pd., M.Si.

vi
DAFTAR ISI

SAMBUTAN REKTOR ......................................................... i


KATA PENGANTAR ..................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................... vii

BAB I HOMESCHOOLING: Sebuah Pendidikan


Alternatif................................................................... 1
A. Pendahuluan............................................... 1
B. Konsep Homeschooling.......................... 4
C. Sejarah Homeschooling........................... 11
D. Klasifikasi Homeschooling..................... 16
E. Dasar Hukum Homeschooling.............. 19
F. Pelaksanaan Homeschooling di
Indonesia................................................... 21
G. Homeschooling dan Perkembangan
Anak........................................................... 23

BAB II PENDIDIKAN ISLAM di ERA


GLOBALISASI........................................... 27
A. Pendahuluan............................................... 27
B. Pengaruh Globalisasi dalam Pendidikan
Islam............................................................ 29
C. Orientasi Pendidikan Islam di Era
Globalisasi .................................................. 41
D. Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam
di Era Globalisasi............................ 49

BAB III KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL 63


A. Pendahuluan ............................................. 63
B. Hakikat Pendidikan Multikultural .......... 66
C. Paradigma Pendidikan Multikultural...... 79
D. Pendidikan Multikultural dalam
Perspektif Islam......................................... 89

vii
BAB IV UN dan PERMASALAHANNYA 101
A. Pendahuluan ............................................. 110
B. UN dalam Perspektif Evaluasi
Pendidikan................................... 103
C. Dasar Pelaksanaan UN.................................. 107
D. Permasalahan U N...................................... 112
E. Dampak UN terhadap Kualitas
Pendidikan Nasional............ 121

BAB V PENGEMBANGAN dan IMPLEMENTASI


KURIKULUM 2013 .................. 131
A. Pendahuluan................................................. 134
B. Hakikat Kurikulum 2013............................ 140
C. Pengembangan Kurikulum 2013.............. 156
D. Implementasi Kurikulum 2013.................. 167

BAB VI PENDIDIKAN dan OTONOMI


DAERAH.................................................. 179
A. Pendahuluan................................................ 179
B. Pengertian Otonomi Daerah.................... 182
C. Pengertian Desentralisasi.........................
D. Proses Pemberlakuan UU Otonomi
Daerah.......................................................... 183
E. Analisis Pelaksanaan Otonomi Daerah dan
Sistem Desentralisasi.......................... 190

BAB VII PENDIDIKAN KARAKTER: Sebuah


Pendekatan Nilai........................................ 197
A. Pendahuluan................................................. 197
B. Hakikat Pendidikan Karakter.................... 199
C. Sumber Nilai Pendidikan Karakter..........
204
D. Implementasi Pendidikan Karakter..........
225
BAB PENDIDIKAN GRATIS dan DANA
VIII BOS............................................................ 235
A. Pendahuluan................................................. 235
B. Pendidikan Gratis...................................... 237
viii
C. Pengertian Dana BOS................................ 245
D. Pengaruh Dana BOS................................... 247
E. Latar Belakang Pemberian Dana
BOS..............................................................
248

DAFTAR PUSTAKA ............................................................ 254


RIWAYAT HIDUP................................................................. 269

ix
BAB I
HOMESCHOOLING:
Sebuah Pendidikan Alternatif

A. Pendahuluan
Kesulitan mencari sekolah ideal bagi anak menjadi
isu yang sering diperbincangkan belakangan ini di kalangan
orang tua yang memiliki anak usia sekolah. Tak dapat
dipungkiri bahwa standar sekolah ideal yang diinginkan
para orang tua maupun pemerhati pendidikan menjadi
semakin sulit untuk ditemukan.
Sebagian orang berpendapat bahwa sekolah
merupakan satu-satunya pusat pendidikan, karena sekolah
merupakan lembaga yang diperuntukkan secara khusus
bagi pendidikan. Kenyataan menunjukkan terdapat banyak
pusat pendidikan seperti keluarga, tetangga, kampung
halaman, lingkungan, sekolah, masjid, tempat-tempat
pertemuan, media massa (seperti surat kabar, radio, dan
televisi), dan lain-lain yang berpengaruh secara langsung
maupun tidak langsung terhadap pendidikan dan
pembentukan kepribadian individu.1 Namun tetap saja
masyarakat masih menganggap sekolah sebagai satu-
satunya sarana pendidikan yang sangat ampuh untuk
memperoleh pendidikan.
Ada asumsi bahwa orang yang tidak bersekolah
maka orang tersebut tidak berpendidikan. Sebenarnya apa
yang dimaksud dengan pendidikan itu sendiri? Pendidikan
merupakan suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh
aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup.
Oleh karena itu, pendidikan tidak harus didapat melalui

1Hery Noer Aly dan H. Munzier S, Watak Pendidikan Islam


(Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), h. 197.
bangku sekolah saja. Ada sebagian masyarakat yang kritis
terhadap lembaga pendidikan formal itu. Mereka
berpendapat bahwa sekolah itu mengungkung dan menjajah
anak.
Banyak anak yang secara potensial dapat berpikir
mendalam, kreatif, dan memiliki sikap sopan santun,
kemudian berubah drastis setelah masuk sekolah. Anak-
anak dipaksa belajar apa saja dalam tempo yang telah
ditetapkan dan diikat dengan belenggu kurikulum yang
ketat hanya untuk mengejar skor tertentu yang ditetapkan
sebagai batas kelulusan dalam Ujian Nasional (UN).
Keadaaan demikian membuat anak akan merasa dan
mengalami tekanan ketika potensi itu tidak tersalurkan di
tempat yang benar. Sebagaimana yang dialami seorang anak
usia 15 tahun bernama M. Izza Ahsin yang merasa dirinya
terpenjara dalam sekolah formal. Hal ini karena ia
mempunyai bakat untuk menulis yang tidak dapat
tersalurkan dan diasah bila ia terus berada dalam sekolah
formal tersebut. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk
keluar dari “penjara” itu.2
Belum lagi adanya gejala komersialisasi pendidikan
atau perdagangan ilmu di sekolah, misalnya saat sekolah
mewajibkan anak untuk membayar sejumlah diktat atau
buku. Sekolah juga sering membebani anak didik. Tugas
rumah atau yang sering disebut PR kadang sering menjadi
masalah tersendiri bagi anak. Bayangkan dalam satu hari
ada dua atau tiga guru memberikan PR masing-masing
sepuluh soal, belum lagi di hari berikutnya PR tersebut
semakin bertambah. Hal ini bisa menjadikan anak tidak
merasa fun dalam belajar karena dihadapkan pada

2M. Izza Ahsin, Dunia Tanpa Sekolah ( Cet. I; Bandung:

Read, 2007), h. 30.


2
kewajiban yang memaksa. Kesan lain dari sekolah formal
adalah hanya disikapi sebagai lahan untuk mencari ijazah
dan mencetak sarjana saja. Semua itu sebagian dari
kelemahan sekolah, tetapi sekolah juga mempunyai peran
yang penting dalam proses bersosialisasi dan
mengembangkan diri. Seperti kata Syafinuddin al-Mandari
bahwa sekolah yang mengungkung, membebani, menguras,
maupun membius, bebarengan dengan suasana rumah yang
tidak akrab dengan hawa keilmuan dan perilaku mulia,
menjadikan anak ibarat bergantung pada dahan yang
rapuh.3
Berdasarkan berbagai masalah di atas, maka
muncullah berbagai alternatif pendidikan. Sebagai solusi
untuk mencari format pendidikan yang benar-benar baik
untuk anak-anak. Salah satu yang sedang marak di
perbincangkan adalah homeschooling. Sebenarnya istilah
homeschooling ini bukanlah hal yang baru lagi. Jika ditelusuri
biografi para tokoh yang berpengaruh di masa lalu,
sesungguhnya merekapun ditempa dengan pendidikan “di
rumah”, meskipun formatnya berbeda dengan yang
sekarang, seperti Ki Hajar Dewantara dan Buya Hamka.
Model pendidikan homeschooling ini tanggung jawabnya
secara penuh berada di tangan orang tua, tidak diserahkan
kepada pihak lain sebagaimana sekolah formal.
Model pendidikan homeschooling sebagai sekolah
alternati akan di dalam bab ini dibahas secara teoretis mulai
dari bagaimana konsep homeschooling, bagaimana sejarah
homeschooling, bagaimana klasifikasi homeschooling,
bagaimana dasar hukum pelaksanaan homeschooling,
bagaimana Pelaksanaan homeschooling di Indonesia, dan

3Syafinuddin al-Mandari, Rumahku Sekolahku (Jakarta:

Pustaka Zahra, 2004), h. 4.


3
dakhiri dengan kajian Bagaimana homeschooling dalam
perspektif perkembangan anak.

B. Konsep Homeschooling
Homeschooling merupakan bahasa Inggris yang
terdiri dari kata home dan school. Menurut kamus bahasa
Inggris homeschooling merupakan bentuk kata kerja,
homeschooling is to instruct (a pupil, for example) in an
educational program outside of established schools, especially in the
home.4 Homeschooling berarti membimbing (misalnya:
seorang murid) dalam program pendidikan di luar sekolah
umum, khususnya dilaksanakan di rumah.
Banyak istilah yang digunakan untuk
menyebutkan homeschooling. Ada home education dan home-
based learning/home-based education.5 Home education is the
education of children at home, typically by parents or guardians,
rather than in a public or private school.6 (Pendidikan rumah
adalah pendidikan bagi anak yang dilaksanakan di rumah,
tidak seperti sekolah umum baik negeri/swasta, jenis
pendidikan ini biasanya dilaksanakan dengan
menitikberatkan peran orang tua atau pembimbing).
Selanjutnya pengertian home-based education dapat
digambarkan dengan makna (a) sebuah komitmen bagi
orang tua untuk mendidik anak-anaknya sendiri, (b)

4The Free Online Dictionary, “Definition of Homeschooling”

http://www. thefreedictionary.com/homeschool (20 Agustus


2014).
5Sumardiono,
“Pengertian Homeschooling”, http://www.
sumardiono.com/index.php?option=com_content&task=
view&id=287& itemid= 79 (20 Agustus 2014).
6Wikipedia, “Homeschooling”,
http://en.wikipedia.org/wiki/ homeschooling (20 Agustus 2014).
4
pendidikan berbasis keluarga dan biasanya orang tua
sebagai pemimpinnya (tetapi kadang siswa juga sebagai
pemimpin), (c) suasana yang kondusif untuk mencapai
kemandirian, (d) secara umum tidak berada dalam kelas
konvensional dan tidak di setting dalam suatu institusi.7
Berbagai istilah yang digunakan untuk
menunjukkan arti homeschooling bukanlah hal yang perlu
diperdebatkan, karena yang terpenting adalah esensi dan
maknanya sama. Istilah yang diperkenalkan oleh Depdikbud
adalah sekolah rumah. Istilah ini juga digunakan oleh
asosiasi homeschooling yang bernama ASAH PENA (Asosiasi
Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia).
Penggunaan terminologi sekolah rumah kelihatannya
merupakan usaha penerjemahan dari homeschooling dengan
memberi nama sekolah rumah. Persepsi yang paling umum
terbentuk di masyarakat ketika mendengar istilah ini adalah
bersekolah di rumah. Persepsi selanjutnya yang biasanya
terbentuk adalah orang tua menjadi guru bagi anak-anaknya
sendiri. Memang tidak salah dengan persepsi tersebut
karena merupakan salah satu pengertian homeschooling.
Tetapi, sebenarnya homeschooling jauh lebih luas daripada
sekadar sekolah di rumah atau orang tua yang mendidik
anaknya sendiri.
Salah satu pengertian umum homeschooling adalah
sebuah keluarga yang memilih untuk bertanggung jawab
sendiri atas pendidikan anak-anaknya dengan berbasis
rumah. Pada homeschooling, orang tua bertanggung jawab
sepenuhnya atas proses anak; sementara pada sekolah

7www.homeedsa.com, “Definition of Homeschooling”


http://www.homeedsa.com/Article
/HS%20Teaching%20Strategies.asp# Definition%20f%20HS. (20
Agustus 2014)
5
reguler tanggung jawab itu didelegasikan kepada guru dan
sistem sekolah. Walaupun orang tua menjadi penanggung
jawab utama, akan tetapi pendidikan homeschooling tidak
hanya dan tidak harus dilakukan orang tua sendiri. Selain
dilakukan sendiri, orang tua juga bisa mengundang guru
privat, mendaftarkan pada kursus, melibatkan anak-anak
pada proses magang, dan sebagainya. Sesuai namanya
homeschooling memang berpusat di rumah, tetapi proses
homeschooling tidak hanya mengambil lokasi di rumah. Para
orang tua homeschooling dapat menggunakan sarana apa saja
dan di mana saja untuk pendidikan homeschooling anaknya.
Beberapa orang pemerhati pendidikan
merumuskan homeschooling, antara lain: Ella Yulaelawati
dalam indosiar.com mengemukakan “homeschooling adalah
proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur, dan
terarah dilaksanakan oleh orang tua atau keluarga dan
proses belajar mengajar pun berlangsung dalam suasana
yang kondusif.”8 Sri Utami Soedarsono Djamaluddin dikutip
Hendrie Suheryana mengemukakan “homeschooling adalah
pilihan program pendidikan yang fleksibel dan bervariasi
yang mencerminkan adanya keanekaragaman manusia
dalam memilih metode yang dipakai.”9 Sementara
Sumardiono menjelaskan “homeschooling atau sekolah
mandiri adalah ketika anak-anak tidak tergantung pada
sistem sekolah formal yang ada sekarang, tetapi
memutuskan sendiri (bersama orang tua sebagai mentornya)

8News@indosiar.com, “Homeschooling: Sekolah Rumah atau

Rumah Sekolah”, http://news. indosiar.com/news_


read.htm?id=60082 (20 Agustus 2014)
9Hendrie Suheryana,”Home-Schooling Solusi Pendidikan
Untuk yang Tidak Puas di Sekolah Formal”,Tabloid Mom & Kiddie,
edisi 14, tahun 1, 12-25 Maret 2007, h. 12.
6
mengenal apa yang dipelajari, bagaimana cara belajar,
waktu belajar dan di mana proses belajarnya.”10
Homeschooling bisa jadi juga berupa
instruksi/modul-modul yang diberikan di rumah namun
tetap di bawah supervisi sekolah korespondensi/mitra
(correspondence schools) sekolah yang menaungi (umbrella
schools). Di beberapa tempat, anak-anak yang akan
mengikuti homeschooling dituntut untuk mengikuti
kurikulum yang disetujui secara legal. Filosofi homeschooling
yang curriculum-free bisa jadi dianggap sebagai unschooling,
suatu terma yang diciptakan pada tahun 1977 oleh tokoh
pendidikan John Holt dalam majalahnya Growing Without
Schooling.11
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat
disimpulkan bahwa homeschooling merupakan alternatif
pendidikan yang fleksibel, tidak kaku dalam proses
belajarnya. Bagaimana cara atau metode belajar yang akan
dipakai? Kapan waktu belajar? Di mana kegiatan belajar itu
dilaksanakan? Semua itu disesuaikan dengan kondisi dan
keadaan anak, sehingga akan muncul perasaan fun dan
nyaman dalam belajar. Kalau demikian, anak juga dijadikan
subjek dalam pembelajarannya, dan tidak lupa bahwa dalam
homeschooling orang tua berperan sebagai penanggung jawab
utama.

10Sumardiono, “Homeschooling, Sekolah Rumah/Mandiri,”

http://www.sekolahrumah.com/index.php?option=com_content
&task=category&sactionied=4&id=13&itemid=31(20 Agustus
2014).
11Chris Verdiansyah (ed). Homeschooling. Rumah Kelasku,

Dunia Sekolahku (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), h. ix.


7
Berikut ini merupakan persamaan dan perbedaan
homeschooling dengan sekolah regular, di antaranya:
a. Persamaan
1. Sekolah dan homeschooling merupakan model
pendidikan anak.
2. Sekolah dan homeschooling bertujuan untuk mencari
kebaikan bagi anak-anak.
3. Sama-sama dapat mengantarkan anak-anak pada
tujuan pendidikan
b. Perbedaan
1. Sistem di sekolah terstandarisasi, sistem homeschooling
customized sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi
orang tua.
2. Pengelolaan di sekolah terpusat (kurikulumnya
diatur), pengelolaan homeschooling tergantung pada
orang tua (orang tua memilih sendiri kurikulum dan
materi ajar untuk anak).
3. Jadwal belajar di sekolah telah tertentu, jadwal belajar
homeschooling tergantung kesepakatan orang tua dan
anak.
4. Tanggung jawab pendidikan di sekolah didelegasikan
orang tua kepada guru dan sekolah, pada
homeschooling tanggung jawab sepenuhnya ada pada
orang tua.
5. Peran orang tua di sekolah relatif minimal karena
pendidikan dijalankan oleh sistem dan guru; pada
homeschooling peran orang tua sangat vital dalam
menentukan keberhasilan pendidikan anak.
6. Pada model belajar di sekolah, sistem sudah mapan
dan orang tua tinggal memilih/mengikuti; pada
homeschooling membutuhkan komitmen dan kreativitas
orang tua untuk mendesain dan melaksanakan
homeschooling sesuai kebutuhan anak.
8
Konsep homeschooling adalah mengembalikan suatu
hal mendasar yaitu mengembalikan peran orang tua dan
keluarga ke tempat yang semestinya karena disanalah peran
utama keluarga, khususnya seorang ibu dalam
pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Dilihat dari
ajaran Islam, anak merupakan karunia dan amanah Allah
yang harus dijaga, dibina, dan dibimbing. Amanah wajib
dipertanggungjawabkan. Tanggung jawab orang tua
terhadap anak tidaklah kecil. Secara umum inti tanggung
jawab itu ialah penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak
dalam keluarga. Tuhan memerintahkan agar setiap orang
tua menjaga keluarganya dari siksa neraka.
Hal ini sebagaimana Allah swt. berfirman dalam QS. al-
Tahrim/66: 6:
          

           
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, da keras, yang tidak durhaka kepada Allah
terhadap apa yang dia perintahkan kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.12
Orang tua merupakan pendidik pertama dan
utama, mempunyai peranan yang penting untuk menolong
pertumbuhan anak-anaknya, baik secara fisik maupun
psikis. Anak dilahirkan dalam keadaan fitrah dan

12Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan

Terjemah (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 560.


9
tergantung pada orang tualah untuk menjaga atau merusak
fitrah itu. Rasulullah saw. bersabda:
َّ ‫ي َع ْن أيَِب َسلَ َمةَ بْ ين َعْب يد‬
‫الر ْْحَ ين‬ ِّ ‫الزْه ير‬ ٍ ْ‫آد ُم َحدَّثَنَا ابْن أيَِب يذئ‬
ُّ ‫ب َع ين‬ ُ َ ‫َحدَّثَنَا‬
ٍ ُ‫عن أيَِب هري رَة ر يضي اهلل عْنه قَ َال قَ َال النيَِّب صلَّى اهلل علَي يه وسلَّم ُك ُّل مول‬
‫ود‬ ْ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ُّ ُ َ ُ َ َ َ َْ ُ ْ َ
‫يم ية تُْنتَ ُج‬ ‫ي‬ ‫يي‬ ‫يولَ ُد علَى الْ يفطْرية فَأَب واه ي ه ِّودانييه أَو ي نَ ِّ يي‬
َ ‫صَرانه أ َْو ُُيَ ِّج َسانه َك َمثَ يل الْبَه‬ ُ ْ َ َ ُ ُ ََ َ َ ُ
‫ي‬ ‫ي‬
َ‫يمةَ َه ْل تَ َرى ف َيها َج ْد َعاء‬َ ‫الْبَه‬
13

Artinya:
(Imam Bukhari berkata), telah menyampaikan berita
kepada kami Adam, telah menyampaikan berita kepada
kami Ibnu Abi Zi´bin, dari al-Zuhri, dari Abu Salamah
bin ´Abd. Al-Rahman, dari Abu Hurairah ra berkata,
Nabi saw. bersabda: setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah (suci), kedua orang tuanyalah yang
menjadikan Yahudi atau Nasrani atau Majusi, bagaikan
seekor binatang melahirkan anaknya, apakah engkau
melihat dia melindunginya?
Ilmu pengetahuan, kesabaran, kasih sayang, dan
ketulusan, serta tanggung jawab yang tinggi adalah modal
untuk membawa diri dan keluarga pada keselamatan itu.14
Konsep homeschooling sama sekali tidak bertentangan
dengan Islam, karena menuntut ilmu bisa dilakukan di
mana saja, kapan pun dan kepada siapapun tidak dibatasi
oleh waktu, usia dan jenis kelamin. Oleh sebab itu,

13Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mugirah al-

Bukhari, Sahih al-Bukhari (CD al-Maktabah al-Syamila Versi 2. 1),


Juz 5, h. 182, nomor hadis 1296.
14Maya
Pujiati, “Mendidik Anak adalah Sebuah Investasi”,
Selasa 20 Desember 2005, http://my.opera.com/madrasah-
keluarga/blog/ show.dml/91758 (20 Agustus 2014)
10
pendidikan bagi anak sangat diutamakan dan orang tua
berkewajiban memelihara anak-anaknya dengan cara
mendidik, menanamkan nilai keimanan, mengembangkan
wawasan, dan mengarjakan akhlak mulia, serta
menghindarkannya dari teman-teman yang berbudi pekerti
buruk.

C. Sejarah Homeschooling
Pendidikan di rumah bukanlah hal baru. Sebelum
ada sistem pendidikan modern (sekolah) sebagaimana
dikenal pada saat ini, pendidikan dilaksanakan dengan
berbasis rumah. Pada zaman Yunani, sekolah (skhole) artinya
menggunakan waktu senggang secara khusus untuk belajar
(leisure devoted to learning). Awalnya memang diadakan di
rumah, bersama ibu dan bapak, yang disebut dengan schola
materna.15 Lalu karena orang tua mulai sibuk mencari
nafkah, maka anak-anak dicarikan tempat pengasuhan anak
di mana ada orang yang pandai dalam hal tertentu.
Sehingga schola maternal berubah menjadi schola in loco
parentis (lembaga pengasuhan anak di luar rumah sebagai
ganti orang tua). Sebelum jenis pekerjaan di sektor formal
mulai bermunculan, kebutuhan akan pendidikan formal
belum terlalu besar, kurikulum atau muatan pendidikan
lebih menitikberatkan pada life skill (keterampilan hidup)
sebagai bekal untuk memenuhi kebutuhan hidup serta etika
perilaku yang didasarkan pada nilai-nilai agama atau pun

15Schola maternal adalah tingkatan pendidikan awal


dalam keluarga dengan diasuh oleh ibunya sendiri sampai batas
umur tertentu, biasanya untuk anak prasekolah. Istilah ini
dikemukakan oleh Amos Comenius. Lihat www.glorianet,
org/mau/kliping/klipbers.html, dan http:// fuadinotkamal.
wordpress.com/2007/12/31/sekolah-sebagai-rumah-kedua/. (20
Agustus 2014).
11
adat kebiasaan masyarakat. Proses belajarnya sendiri
dilakukan di rumah masing-masing oleh orang tua maupun
keluarga besar. Hanya ketika anak-anak dianggap perlu
memiliki keterampilan tambahan, orang tua mengirimnya
“berguru” kepada orang-orang yang memang ahli di
bidangnya.16
Selain itu para bangsawan zaman dahulu biasa
mengundang guru privat untuk mengajar anak-anaknya.
Itulah jejak homeschooling masa lalu. Sejak perkembangan
revolusi industri, terjadi proses sistematisasi pendidikan dan
proses belajar. Perkembangan ilmu filsafat dan ilmu
pengetahuan serta usaha untuk memasuki proses
pembelajaran selama berabad-abad menghasilkan sebuah
evolusi sistem pendidikan yang kemudian dikenal sebagai
sekolah.
Sekolah adalah salah satu representasi institusional
dari nilai-nilai modern yang dipegang manusia saat ini.
Institusi modern sekolah adalah solusi untuk mengatasi
keterbatasan keluarga dalam mendidik anaknya secara sadar
dan terencana. Walaupun sekolah menjadi institusi
pendidikan yang terbukti bermanfaat bagi kemanusiaan,
tetapi sekolah bukanlah satu-satunya cara bagi anak untuk
memperoleh pendidikan. Sekolah merupakan salah satu cara
anak untuk belajar dan memperoleh pendidikan. Sebagai
sebuah institusi/sistem belajar, sekolah tidaklah sempurna.
Itulah sebabnya selalu ada pembaruan untuk memperbaiki
sistem pendidikan. Berbagai filsafat dan pemikiran terus

16Jurnal Madrasah Kelurga, “Melirik Kembali


Homeschooling”, http://my.opera.com/madrasah-
keluarga/blog/melirik-kembali-homeschooling, (20 Agustus
2014).
12
lahir dan berinteraksi dengan kondisi sosial yang dialami
oleh masyarakat.
Di Amerika Serikat, gelombang pertama
homeschooling terjadi pada era 1960-an. Tepatnya pada tahun
1964, John Caldwell Holt mengemukakan pemikirannya
bahwa anak-anak belajar lebih baik jika tanpa instruksi
sebagaimana sekolah. Holt sebagaimana dikutip
Sumardiono menyatakan bahwa kegagalan akademis pada
siswa tidak disebabkan oleh kurangnya usaha pada sistem
sekolah, tetapi disebabkan oleh eksistensi sekolah itu sendiri.
Ini tertuang dalam karya pertamanya “How Children Fail”.17
Banyak pemikiran muncul mempertanyaan
efektivitas sekolah pada masa itu, di antaranya adalah Dr.
Raymon dan Dorothy Moore, seorang psikolog
perkembangan dan peneliti pendidikan. Mereka melakukan
penelitian mengenai kecenderungan orang tua untuk
menyekolahkan anak lebih awal (Early Childhood Education).
Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-
anak pada sekolah formal sebelum usia 8 sampai 12 tahun
bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya berakibat
buruk bagi anak-anak, khususnya bagi laki-laki (karena
keterlambatan kedewasaan mereka).18 Hasil penelitian
tersebut dipublikasikan pertama kali pada tahun 1975 dalam
buku “Better Late Than Early”. Kemudian pada 1977, Holt
mulai mempublikasikan buletin berita sebanyak empat
halaman yang di sebut Growing Without Schooling (Tumbuh
Tanpa Sekolah) untuk keluarga yang menginginkan ide-ide
dan dukungan demi membantu anak-anak mereka belajar di

17Sumardiono, Homeschooling: A Leap for Better Learning,


Lompatan Cara Belajar (Jakarta: PT Elex Media Komputindo), h. 20.
18Sumardiono, Homeschooling: A Leap for Better Learning,

Lompatan Cara Belajar, h. 21.


13
luar sekolah. Ide-ide Holt mempengaruhi banyak orang tua
yang juga memikirkan hal yang serupa. Dalam waktu enam
bulan, GWS, punya hampir lima ratus pelanggan. Istilah
yang digunakan Holt pada waktu itu adalah Unschooling
(pendidikan tanpa sekolah). Pada awalnya Holt
menggunakan kata “pendidikan tanpa sekolah” untuk
menggambarkan tindakan mengeluarkan anak seseorang
dari sekolah, tapi hal ini segera menjadi sinonim untuk
“sekolah di rumah” (homeschooling). Selama beberapa
dekade terakhir, arti istilah itu telah menyempit, sehingga
unschooling mengacu pada gaya khusus sekolah di rumah
yang dianjurkan Holt, berdasarkan pembelajaran yang
berpusat pada anak.19
Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan
berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan,
pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh
ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah. Keadaan
pergaulan sosial di sekolah yang tidak sehat juga
memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
homeschooling. Walaupun awalnya dipersepsi sebagai
keluarga konservatif dan menyendiri (isolationists),
homeschooling terus tumbuh dan membuktikan diri sebagai
sistem yang efektif dan dapat dijalankan. Praktisi
homeschooling pun bervariasi; dengan berbagai alasan
memilih homeschooling dengan berbagai latar belakang sosial
dan profesi.20

19Mary Griffith, Belajar Tanpa Sekolah: Bagaimana


Memanfaatkan Seluruh Dunia sebagai Ruang Kelas Anak Anda
(Bandung: Nuansa, 2005), h.11.
20Sumardiono, Homeschooling: A Leap for Better Learning,

Lompatan Cara Belajar, h. 23.


14
Sebagai istilah, homeschooling adalah sebuah istilah
yang relatif baru dalam khazanah pendidikan Indonesia.
Tetapi jika dirunut esensi dari filosofi, model dan praktik
penyelenggaraannya, homeschooling bukanlah sebuah hal
yang baru. Dengan merunut konsep-konsep kunci
homeschooling, didapati bentuk-bentuk praktik homeschooling
yang pernah ada di Indonesia. Sebelum pendidikan Belanda
hadir di Indonesia, homeschooling sudah berkembang di
Indonesia. Di pesantren misalnya, banyak kyai, buya, dan
tuan guru secara khusus mendidik anaknya dirumah. Begitu
pula para pendekar dan bangsawan zaman dahulu. Mereka
melakukan itu semua agar ilmunya dapat diturunkan
kepada anaknya, bukan orang lain. Saat ini, perkembangan
homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap
informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang
tua memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan
anaknya. Banyak keluarga Indonesia belajar ke luar negeri
menyelenggarakan homeschooling untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Selain itu
ketidakpuasan terhadap kualitas pendidikan di sekolah
formal juga menjadi pemicu bagi keluarga Indonesia untuk
menyelenggarakan homeschooling yang dinilai lebih dapat
mencapai tujuan pendidikan yang direncanakan oleh
keluarga.
Ada beberapa teori yang berpengaruh dalam
perkembangan homeschooling, salah satunya adalah teori
yang digagas oleh Howard Gardner, yaitu multiple
intelligences.21 Teori ini berusaha mengubah cara pandang

21Teori ini muncul pada tahun 1983, oleh Gardner, dalam

bukunya Frame of Mind., ia mengungkapkan ragam kecerdasan


manusia, yaitu: kecerdasan linguistik, kecerdasan logika-
matematika, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik-tubuh,
kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan
15
terhadap kecerdasan seseorang. Seseorang tidak hanya
dapat dikatakan cerdas manakala ia cerdas secara kognitif
saja. Menurut teori ini setiap manusia memiliki satu atau
lebih jenis kecerdasan yang menonjol, dan kecerdasan-
kecerdasan lain yang biasa atau kurang. Sehingga jika
seorang anak tidak memiliki satu kecerdasan, misalnya
kecerdasan logika-matematika, tidak berarti anak tersebut
bodoh. Sangat dimungkinkan anak tersebut memiliki jenis-
jenis kecerdasan lain yang menonjol. Teori ini sejalan dengan
homeschooling yang menghargai keunikan individual seorang
anak.

D. Klasifikasi Homeschooling
Berdasarkan jenisnya, homeschooling dibedakan
menjadi tiga, yaitu homeschooling tunggal, homeschooling
majemuk, dan komunitas homeschooling.
1. Homeschooling Tunggal
Jenis homeschooling ini dilaksanakan oleh orang tua
dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan lainnya.
Biasanya homeschooling jenis ini diterapkan karena adanya
tujuan dan alasan khusus yang tak dapat diketahui atau
dikompromikan dengan komunitas homeschooling lain.
Alasan lain, karena lokasi atau tempat tinggal si pelaku
homeschooling yang tidak memungkinkan berhubungan
dengan komunitas homeschooling lain.
a. Pengajar
Bisa ayah, ibu, atau keduanya, tetapi jika keduanya
sama-sama bekerja, harus ada pilihan lain, yaitu ada
orang yang bisa dipercaya dan dapat mengelola

intrapersonal. Lihat Linda Campbell, et al., Metode Praktis


Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences, terj. Tim Intuisi (Depok:
Intuisi Press, 2006), h. 2-3.
16
kegiatan anak, baik itu tante, paman, nenek, atau
anggota keluarga lain.

b. Kelebihan
Anak bisa belajar kapan saja, di mana saja, dan dengan
siapa saja.
c. Kekurangan
Bila anak hanya menjalani kegiatan homeschooling di
rumah (tidak bergabung dengan komunitas lain),
dikhawatirkan berpengaruh pada kemampuan
pergaulan atau sosialisasinya. Selain itu, anak juga
tidak memiliki kesempatan untuk bersaing atau
berkompetisi dengan orang lain.
d. Tantangan
1) Sulitnya memperoleh dukungan atau tempat
bertanya, berbagi, dan berbanding keberhasilan.
2) Kurangnya tempat sosialisasi untuk
mengekspresikan diri sebagai syarat pendewasaan.
3) Orang tua harus melakukan penilaian hasil
pendidikan dan mengusahakan penyetaraan.22
2. Homeschooling Majemuk
Homeschooling ini terdiri atas dua keluarga atau
lebih.Untuk kegiatan tertentu dilaksanakan oleh dua
keluarga atau lebih. Sementara kegiatan pokok tetap
dilaksanakan oleh orang tua masing-masing. Alasannya, ada
kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa
keluarga untuk melaksanakan kegiatan bersama. Misalnya
kegiatan olah raga, musik/ seni, sosial, ataupun kegiatan
keagamaan.
a. Pengajar

22Hilman, “Pilih-Pilih Homeschooling”, Tabloid Nakita, No.

430/TH IX/30 Juni 2007, h. 7.


17
Sama seperti homeschooling jenis tunggal, dilakukan
orang tua.
b. Kelebihan
Ruang gerak sosialisasi peserta didik lebih luas
c. Kelemahan
Relatif tidak ditemui persoalan
d. Tantangan
1) Perlu kompromi dan fleksibelitas jadwal, suasana,
fasilitas, dan kegiatan tertentu.
2) Perlu ahli dalam bidang tertentu walaupun
kehadiran orang tua harus tetap ada.
3) Anak-anak dengan keahlian atau kegiatan khusus
harus menyesuaikan atau menerima lingkungan
lainnya dan menerima perbedaan-perbedaan
lainnya sebagai proses pembentukan jati diri.
4) Orang tua masing-masing penyelenggara
homeschooling harus menyelenggarakan sendiri
penyetaraannya.23
3. Komunitas Homeschooling
Jenis ini merupakan gabungan beberapa homeschooling
majemuk yang menyusun dan menentukan silabus dan
bahan ajar. Termasuk meramu kegiatan pokok (olah raga,
seni dan bahasa), menyediakan sarana dan prasarana serta
jadwal pembelajaran.
a. Pengajar
Bisa orang tua, bisa juga orang lain yang mampu
berperan sebagai fasilitator utama dalam kegiatan anak
b. Kelebihan
1) Tersedia fasilitas pendukung pembelajaran yang
lebih baik, seperti bengkel kerja, laboratorium alam,
perpustakaan, fasilitas olah raga dan kesenian.

23Hilman, “Pilih-Pilih Homeschooling”, h. 7.


18
2) Dukungan yang lebih besar karena masing-masing
bertanggung jawab untuk saling mengajar sesuai
keahlian masing-masing.
c. Kekurangan
Dikhawatirkan komunitas ini tergelincir menjadi
sekolah formal, karena terstruktur atau terjadwal,
seperti mengadakan kegiatan seminggu dua kali, dan
sebagainya.
d. Tantangan
1) Perlu kompromi dan fleksibelitas jadwal, suasana,
fasilitas, dan kegiatan tertentu yang dapat
dilaksanakan bersama-sama.
2) Perlunya pengawasan yang profesional sehingga
perlu keahlian dalam bidang tertentu walaupun
kehadiran orang tua harus tetap ada.
3) Anak-anak dengan keahlian atau kegiatan khusus
harus menyesuaikan atau menerima lingkungan
lainnya dan menerima perbedaan-perbedaan
lainnya sebagai proses pembentukan jati diri.24
Ketiga jenis homeschooling tersebut dapat dipilih
sesuai dengan tipe belajar anak. Karena setiap anak itu
mempunyai kemampuan yang berbeda-beda.

E. Dasar Hukum Homeschooling


Keberadaan homeschooling legal di mata hukum
Indonesia. Homeschooling termasuk kategori pendidikan
informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan
dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak
mengatur proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan
informal diakui sama dengan pendidikan formal dan
nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan

24Hilman, “Pilih-Pilih Homeschooling”, h. 7.


19
standar nasional pendidikan. Hal ini termuat dalam UURI
No. 20 Tahun 2003 pasal 27:
1) Kegitan pendidikan informal yang dilakukan oleh
keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan secara
mandiri.
2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal
setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar
nasional pendidikan.25
Siswa yang mengikuti homeschooling akan
memperoleh ijazah kesetaraan yang dikeluarkan oleh
Depdikbud yaitu Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan
Paket C setara SMU. Ijazah ini dapat digunakan untuk
meneruskan pendidikan sekolah formal yang lebih tinggi.26
Sedangkan jika keluarga homeschooling (pendidikan
informal) ingin beralih ke sekolah (jalur pendidikan formal),
secara prinsip UU RI No. 20 tahun 2003 menjamin hak untuk
berpindah jalur, bahkan secara eksplisit UU RI No 20 Tahun
2003 pasal 12 ayat 1, butir ”e”, menyatakan bahwa: ”Setiap
peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak pindah
ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan
lain yang setara.”27
Dukungan pemerintah terhadap keberadaan
homeschooling juga ditunjukkan melalui penandatangan Nota
Kesepahaman antara Depdiknas dan Asosiasi Sekolah

25Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Cet. IV;


Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 19.
26Imas Kurniasih, Homeschooling Bersekolah di Rumah Kenapa
Tidak (Yogyakarta: Cakrawala, 2009), h. 9-10.
27Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 11.


20
Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia (Asah Pena)
pada 10 Januari 2007 yang berisi pengakuan Komunitas
Sekolah Rumah sebagai salah satu bentuk Satuan
Pendidikan Kesetaraan.28 Jadi, mengenai kredibilitas
homeschooling ini sudah diakui oleh pemerintah. Bagi anak
homeschooler tidak perlu khawatir jika ingin masuk ke
perguruan tinggi di mana saja. Hal ini telah dibuktikan oleh
anak pertama Seto Mulyadi atau Kak Seto (psikolog anak)
yang mengikuti homeschooling. Seto Mulyadi “Jadi untuk
mengikuti ujian nasional kesetaraan itu, mereka cukup
mendaftar melalui dinas pendidikan setempat, hasilnya
seratus persen setara. Anak saya yang mengikuti ujian paket
B dan paket C, sekarang ini sudah masuk di Lim Kok Wing
University, Universitas desain di Kuala Lumpur.”29

F. Pelaksanaan Homeschooling di Indonesia


Sebetulnya sudah lama bangsa kita mengenal
konsep homeschooling ini. Bahkan jauh sebelum sistem
pendidikan barat datang. Tengok saja di pesantren-
pesantren misalnya, para kyai, buya, dan tuan guru secara
khusus mendidik anak-anaknya sendiri. Saat ini sistem
persekolahan di rumah juga bisa dikembangkan untuk
mendukung program pendidikan kesetaraan.30

28Maria Magdalena, Anakku Tidak Mau Sekolah Jangan Takut

Cobalah Homeschooling, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,


2010), h. 8.
29MutiaraDwi R, “Belajar Tidak Harus di Sekolah
Formal”,Tabloid Mom&Kiddie, edisi 14, tahun 1, 12-25 Maret 2007, h.
14.
30Chris Verdiansyah (ed). Homeschooling. Rumah Kelasku,

Dunia Sekolahku, h. 18-19.


21
Bagaimana sikap pemerintah? Secara prinsip tidak
ada masalah. Sebagaimana tercantum dalam Undang-
undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional (Sisdiknas) dalam pasal 27 ayat (1) dikatakan
bahwa, ”Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh
keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri”. Lalu pada ayat (2) dikatakan bahwa, “Hasil
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui
sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah
peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional
pendidikan”. Jadi secara hukum kegiatan homeschooling
dilindungi oleh undang-undang.31
Perkembangan homeschooling di Indonesia juga
dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin
terbuka dan membuat para orang tua punya banyak pilihan
untuk pendidikan anak-anaknya. Diperkuat dengan aspek
legalitas 5 Istilah homeschooling ini sudah cukup populer
belakangan ini. Sayangnya, upaya pemasyarakatan
homeschooling tidak cukup diikuti dengan informasi yang
berkenaan dengan persyaratan yang seharusnya dimiliki
dalam menerapkannya. Akibatnya, praktek homeschooling di
negara kita menjadi berbeda, alias salah kaprah.
Pemasyarakatan homeschooling tidak dengan dasar pikiran
yang tepat dan kuat. Masyarakat – seperti biasanya – sangat
cepat memberikan respon positif; bila yang berbicara adalah
orang-orang yang dianggap ahli. Sebagain kalangan
mengatakan bahwa homeschooling di Indonesia tak ubahnya
semacam private school yang eksklusif. Orang tua yang
memiliki anak-anak yang bermasalah dengan lingkungan
sosialnya malah dipindahkan ke sekolah jenis ini. Adapula

31Chris Verdiansyah (ed). Homeschooling. Rumah Kelasku,

Dunia Sekolahku , h. 19.


22
lembaga-lembaga pendidikan yang membuka peluang ini
bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Orangtua yang masih
berpandangan tradisional umumnya masih menganggap
ijazah adalah segala-galanya bagi masa depan anak-
anaknya. Anak-anak spesial yang –tentu saja – tidak
memungkinkan bersekolah di sekolah umum diarahkan
untuk mengikuti homeschooling hanya agar dapat
menyelesaikan pendidikannya dan…: mendapatkan ijazah!
Kalaulah sekolah rumah ini sudah merupakan
kebutuhan utama bagi segelintir masyarakat kita, sebaiknya
harus dipertimbangkan lagi berbagai kondisi dan dampak
yang dihasilkannya. Misalnya saja, harus disadari bahwa
homeschooling memiliki kompleksitas yang lebih tinggi
karena orangtua harus bertanggung jawab atas keseluruhan
proses pendidikan anak. Harus diantisipasi berbagai
kelemahan yang dikhawatirkan banyak orang berkenaan
dengan ketrampilan sosial anak karena sekolah ini
berpotensi menghasilkan keterampilan sosial yang relatif
rendah, terutama dengan teman sebaya. Bisa jadi akan
menimblkan resiko berkurangnya kemampuan bekerja
dalam kelompok, kemampuan berorganisasi dan
kemampuan memimpin. Proteksi berlebihan dari orang tua
juga akan menyebabkan anak mengalami kesulitan untuk
menyelesaikan situasi dan masalah sosial yang kompleks
dan tidak terprediksi.

G. Homeschooling dan Perkembangan Anak


Memperbincangkan tentang bagaimana sebuah
sekolah masa kini dapat meningkatkan perkembangan anak,
maka bahasan tidak dapat terlepas dari berbagai perubahan
dalam filosofi pendidikan yang terjadi sepanjang sejarah
yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam teori dan
praktek pendidikan. Pendidikan yang mengandalkan “ three
23
R ” (reading, ‘riting, dan ‘rithmetic) ke metode “berpusat pada
anak” yang berfokus pada minat anak.32 Saat ini banyak
pendidikan yang merekomendasikan pengajaran anak pada
tingkat awal dengan mengintegrasikan bidang yang
berkaitan dengan subjek dan mendasarkan kepada minat
dan bakat alamiah anak. Misalnya belajar membaca dan
matematika dalam konteks proyek studi sosial, atau
mengajarkan konsep matematika melalui studi musik.
Mereka mendukung proyek kooperatif, menawarkan
partisipasi aktif pemecahan masalah dan kooperasi rapat
orang tua-guru.33 Banyak pendidik kontemporer yang juga
menekankan ”R” keempat, yaitu reasoning (penalaran).
Anak-anak yang diajari keterampilan berpikir dalam
konteks subjek akademis terbukti lebih baik dalam tes
kecerdasan dan prestasi sekolah. Stenberg mengungkapkan
bahwa siswa akan belajar lebih baik ketika diajari dengan
berbagai macam cara, menekankan keterampilan kreatif dan
praktis sekaligus mengingat dan berpikir kritis.34
Berbagai perubahan dalam teori dan praktek
pendidikan yang disebutkan di atas tampaknya akan sulit
dicapai pada model praktek pendidikan yang biasa kita
temukan pada sekolah-sekolah formal di Indonesia. Para
orangtua yang memiliki perhatian pada pendidikan anak-
anaknya pada umumnya menganggap bahwa model
pendidikan yang tepat hanya mungkin diperoleh dari

32RD.
Feldman Papalia, DE., Old, SW., Human Development
(New York-USA: McGraw-Hill, 2004), h. 334-335.
33RD. Feldman Papalia, DE., Old, SW., Human Development,
h. 335.
34RD. Feldman Papalia, DE., Old, SW., Human Development,
h. 335.
24
homeschooling, dimana mereka dapat mengatur sendiri
kurikulum dan metode belajar yang mendekati ideal.
Di samping sumbangan positifnya terhadap
perkembangan anak, ternyata kritik terbesar yang banyak
diterima praktek homeschooling juga berkenaan dengan
perkembangan anak, yaitu dalam hal kemampuan
sosialisasi. Arif Rahman, mengatakan bahwa hal yang harus
menjadi titik perhatian penting dari homeschooling adalah
strategi untuk menghindari kekhawatiran bahwa siswa yang
mengikuti metode pendidikan ini akan teralienasi dari
lingkungan sosialnya sehingga potensi kecerdasan sosialnya
tidak muncul.35 Kecemasan itu wajar mengingat lingkungan
rumah yang sangat terbatas sehingga anak tidak terbiasa
dengan perbedaan dan cenderung memahami sesuatu daari
sudut pandangnya sendiri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyaknya
siswa yang berasal dari Asia Timur yang berprestasi bagus
di Amerika Serikat adalah karena pengaruh budaya dan
praktik pendidikan di negara asal mereka. Hari dan tahun
bersekolah yang lebih tinggi dibanding sekolah AS,
kurikulum yang diatur secara sentral, kelas lebih besar
(sekitar 40 – 50 murid), dan para guru menghabiskan lebih
banyak waktu mengajari seluruh kelas, sedangkan anak AS
lebih banyak waktu bekerja sendiri atau dalam kelompok
kecil dan karena itu menerima perhatian yang lebih besar
tetapi lebih sedikit instruksi total.36

35Chris
Verdiansyah (ed). Homeschooling. Rumah Kelasku,
Dunia Sekolahku , h. ix.
36RD. Feldman Papalia, DE., Old, SW., Human Development,
h. 337.
25
Di sisi lain, hasil penelitian Taylor37 menunjukkan
bahwa sangat sedikit siswa homeschooling yang mengalami
masalah dalam berhubungan sosial. Menurutnya, berbagai
kritik yang dilontarkan mengenai homeschooling berkenaan
dengan kemampuan sosialisasi anak justru menghasilkan
hal yang sebaliknya. Konsep diri yang positif yang diperoleh
anak-anak dari pendidikan homeschooling ternyata mampu
mendorong kemampuan sosialisasi yang baik.

37Wikipedia.org, Homeschooling, h. 13.


26
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI

A. Pendahuluan
Pendidikan selalu berkembang mengikuti dinamika
kehidupan masyarakat. Dewasa ini masyarakat Indonesia
sedang mengalami perubahan transisional dari masyarakat
agraris ke arah masyarakat industri. Bahkan, terjadi lompatan
perubahan dari masyarakat agraris ke arah masyarakat
informasi. Perubahan tersebut meniscayakan desain
pendidikan memiliki relevansi dengan kebutuhan masyarakat
yang terus berubah.1
Pendidikan pada masyarakat agraris didesain
relevan dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat agraris.
Pendidikan pada masyarakat industri dan informasi didesain
mengikuti arus perubahan dan kebutuhan masyarakat era
industri dan informasi. Demikian siklus perkembangan
perubahan pendidikan yang senantiasa didesain relevan
dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat pada
suatu era, baik pada aspek konsep, materi, kurikulum, proses,
dan fungsi serta tujuan lembaga-lembaga pendidikan.
Pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional, kini dihadapkan pada tantangan-
tantangan baru di era globalisasi, sebagai konsekuensi dari
dinamika modernitas. Menghadapi tantangan tersebut
diperlukan suatu strategi baru yang solutif dan antisipatif.

1H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian


Pendidikan Masa Depan (Cet. IX; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2008), h. 90.
27
Menurut H.A.R. Tilaar, apabila tantangan-tantangan
baru tersebut dihadapi dengan menggunakan strategi lama,
maka segala usaha yang dijalankan akan menemui
kegagalan.2 Hal ini menuntut para pemikir dan praktisi
pendidikan Islam agar dapat menemukan strategi pendidikan
Islam yang tepat untuk menghadapi kehidupan di era
globalisasi.
Pendidikan Islam seharusnya lebih maju disebabkan
social power yang dimilikinya. Berdasarkan konteks Indonesia,
pendidikan Islam dalam bentuk madrasah, pesantren, sekolah
Islam, dan lembaga pendidikan tinggi Islam seharusnya lebih
maju karena berada di tengah wilayah yang memiliki
penduduk muslim terbesar di dunia.3 Kenyataan
menunjukkan sebaliknya, lembaga-lembaga pendidikan Islam
tersebut tidak lebih unggul, bahkan reputasinya lebih rendah
dibanding dengan yang lain.
Berdasarkan paparan di atas, pendidikan Islam
harus diarahkan pada kebutuhan dan perubahan masyarakat
di era globalisasi. Menghadapi suatu perubahan, diperlukan
suatu desain paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-
tuntutan yang baru. Makalah ini berusaha untuk
menguraikan peluang dan tantangan pendidikan Islam di era
globalisasi.
Model pendidikan Islam di era globalisasi (peluang
dan tantangan) di dalam bab ini dibahas secara teoretis mulai
dari bagaimana pengaruh globalisasi dalam pendidikan
Islam, bagaimana orientasi pendidikan Islam di era

2H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional


dalam Perspektif Abad 21 (Magelang: Tera Indonesia, 1998), h. 245.
3Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem

Pendidikan Nasional (Cet. 1; Jakarta: Kencana, 2004), h. 146-147.


28
globalisasi, bagaimana tantangan dan peluang pendidikan
Islam di era globalisasi.

B. Pengaruh Globalisasi dalam Pendidikan Islam


Keadaan dunia pendidikan khususnya pendidikan
Islam, saat ini sedang digoncang issue dan berbagai tuntutan
serta tekanan perubahan kebutuhan masyarakat global, serta
ditantang supaya dapat menjawab berbagai permasalahan
lokal dan global yang terjadi begitu pesat. Perubahan global
meminta perubahan di dalam mengelola dan pengolahan
hidup masyarakat, pendidikan harus dijadikan tumbal untuk
menjawab keadaan pasar global. Jika keadaan pendidikan
bisa dipaksa dan terfokus pada kubutuhan pasar global, tentu
tantangan globalisasi dapat diatasi secara cepat, dan peluang
pasar global dapat segera dinikmati oleh segenap masyarakat.
Keberadan pendidikan yang berorientasi pada pasar
global dapat tercapai, tentu membutuhkan berbagai konsep
dan teori yang jitu. Pergolakan ini harus segera dirumuskan
secara seksama, agar tujuan pendidikan mampu berorientasi
pada kemaslahatan umat manusia. Sebelum menguraikan
pengaruh globalisasi dalam pendidikan Islam terlebih dahulu
dikemukan tentang makna dan dampak globalisasi.

1. Pengertian Globalisasi
Globalisasi di ambil dari kata global yang maknanya
universal. Menurut Achmad Suparman, globalisasi adalah
sebuah proses menjadikan sesuatu benda atau perilaku
sebagai ciri dan setiap individu di dunia ini tampa dibatasi
oleh wilayah, atau seluruh proses di mana penduduk dunia
terhubung ke dalam komunitas dunia tunggal, komunitas

29
global.4 Keterangan di atas, dapat di simpulkan bahwa
globalisasi secara singkat adalah Sebuah proses di mana antar
individu / kelompok menghasilkan suatu pengaruh terhadap
dunia.
Setiap manusia tidak bisa terhindar dari arus
globalisasi ini, kecuali dia tidak menjalin kontak dengan
orang lain, tidak melihat acara-acara di televisi, tidak
mendengarkan radio, dan dia hidup dengan apa adanya.
Kenyataannya, hanya segelintir manusia bisa melakukan hal
seperti itu karena manusia mempunyai sifat makhluk sosial
yaitu selalu membutuhkan orang lain.
Globalisasi berawal dari transportasi dan
komunikasi, tetapi dampaknya segera terasa dalam berbagai
bidang kehidupan manusia baik ekonomi, politik,
perdagangan, gaya hidup, bahkan agama.5 Begitu cepat
masyarakat mengikuti perkembangan zaman, mereka tidak
mau ketinggalan sedikitpun dari perkembangan ini. Berikut
ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya
fenomena globalisasi di dunia:
a. Perubahan dalam konsep dan waktu seperti adanya
telepon genggam, televisi, dan internet menjadikan
komunikasi semakin cepat.
b. Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang
berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari
pertumbuhan Perdagangan international.
c. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan
media massa.

4Achmad Suparman, “Pengertian Globalisasi”,


http://globalisasiriva.blogspot.com/p/pengertian-globalisasi.html.
(Diakses pada 17 Mei 2014).
5Tim Penyusun, Pengantar Studi Islam (Surabaya: IAIN

Sunan Ampel Press, 2009), h. 233.


30
d. Meningkatkan masalah bersama, misalnya pada bidang
lingkungan krisis multinasional, instalasi regional, dan
lain-lain.
Globalisasi adalah sebuah fenomena kompleks yang
telah memiliki efek luas. Tidak mengherankan, jika istilah,
"globalisasi" ini telah memperoleh konotasi arti yang banyak.
Globalisasi disatu sisi dipandang sebagai kekuatan yang tak
tertahankan dan jinak untuk memberikan kemakmuran
ekonomi kepada orang-orang di seluruh dunia, tetapi di sisi
lain, ia dituding sebagai sumber dari segala penyakit
kontemporer.6
Era globalisasi yang di tandai dengan kompetisi
mutu menuntut semua pihak dalam berbagai bidang,
termasuk bidang pendidikan untuk senantiasa meningkatkan
kompetisinya, sehingga dalam kondisi yang demikian,
tuntutan terhadap kualitas sumber daya manusia sangat di
prioritaskan dan kalau diperhatikan di era globalisasi yang
dibutuhkan adalah kualitas diri dapat diterima
keberadaannya di belahan dunia.
Globalisasi merupakan kata serapan berasal dari
bahasa Inggris “globalization” yang berakar kata global yang
berarti seluruhnya; menyeluruh; garis besar; umumnya;
secara utuh.7 Mendorong manusia untuk berorientasi dan
mentransformasi peradaban dunia melalui proses
modernisasi, industrialisasi dan revolusi informasi. Secara

6Bakhtiari Sadegh, Globalization and Education Challenges and

Opportunities (Iran: Journal Isfahan University, 1995), h. 95.


7Pius A. Partanto & M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah
Populer (Surabaya: Arkolo, 2001), h. 203. Lihat pula Robertson,
Globalization: Sosial Theory and Global Cultur (London: Sage, 1992), h.
12.
31
lebih jauh akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam
struktur kehidupan bangsa di dunia termasuk Indonesia.8
Globalisasi dapat juga didefinisikan sebagai
pengaturan dunia secara luas berdasarkan pada sebuah
keyakinan terhadap sistem perdagangan sebagai sebuah
pertukaran kontrol, dan pada kebebasan investasi pasar
modal, yakni perpindahan sektor modal publik ke sektor
swasta. Artinya, globalisasi perspektif terminologis
merupakan penggolongan seluruh aspek kehidupan.9
UNDP dalam Human Development Report
menggambarkan globalisasi merupakan meningkatnya
ketergantungan penduduk dunia, pada tingkat ekonomi,
teknologi, budaya, maupun politik. Hal ini dipandang
sebagai kecenderungan umum terhadap liberalisasi

8Abudin Nata, Pendidikan Islam di Era Global (Jakarta: UIN


Syarif Hidayatullah Press, 2005), h. 342.
9J. A. Scholte dalam Zubaedi, membagi pengertian
globalisasi menjadi lima kategori: 1) Globalisasi sebagai
internasionalisasi yaitu pertumbuhan dalam pertukaran dan
interdependensi nasional; 2) Globalisasi sebagai liberalisasi yaitu
merujuk kepada sebuah proses penghapusan hambatan-hambatan
yang dibuat oleh pemerintah terhadap mobilitas antarnegara untuk
menciptakan sebuah ekonomi dunia yang “terbuka” dan “tanpa
batas”; 3) Globalisasi sebagai universalisasi bahwa proses
“mendunia” dan “globalisasi” merupakan proses penyebaran
berbagai objek dan pengalaman kepada semua orang ke seluruh
penjuru dunia; 4) Globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi
yaitu sebuah dinamika, di mana struktur-struktur sosial modernitas
(kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme, dan
sebagainya disebarkan ke seluruh penjuru dunia; 5) Globalisasi
sebagai penghapusan batas-batas teritorial yaitu mendorong
rekonfigurasi geografis sehingga ruang sosial tidak lagi semata
dipetakan dengan kawasan teritorial. Lihat Zubaedi, Isu-Isu Baru
dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita Selekta Pendidikan
Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 97.
32
perdagangan ekonomi, sirkulasi yang lebih luas dari modal,
barang dan produk, dan penghapusan kuasi-perbatasan
nasional. Kecepatan komunikasi dan biaya yang relatif
rendah pengolahan informasi telah menyebabkan jarak untuk
dihilangkan. Kategori-kategori ruang dan waktu telah benar-
benar terbalik. Model konsumsi, nilai-nilai, dan produk-
produk budaya standar sehingga cenderung untuk membuat
perilaku dan sikap lebih mirip dan menghapus perbedaan di
seluruh dunia.10
Merujuk pada kondisi aktual yang merupakan satu
kenyataan bahwa globalisasi harus dipahami sebagai
kecenderungan, yakni kecenderunagn terjadi proses
hubungan sosial dan ekonomi seluruh dunia, yang
menghubungkan lokasi yang jauh satu sama lain secara
intensif, sehinga kejadian-kejadian di satu tempat
berpengaruh dan terjadi di tempat lain, jadi istilah globalisasi
dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk merujuk pada
kebijakan ekonomi dan menguatkan keyakinan pemerintah,
sistem lembaga pendidikan dan sebagainya. Globalisasi
diartikan sebagai fenomena untuk melihat deskripsi
penggunaan istilah dan globalisasi sebagai keyakinan untuk
pada fungsi yang menentukan peluang.

2. Dampak positif dan negatif globalisasi


Globalisasi tampaknya tidak dapat dihindarkan oleh
berbagai negara, banyak inisiatif dan upaya telah dilakukan
untuk beradaptasi dengan globalisasi, hal ini dilakukan
dengan tujuan mengambil peluang untuk mengembangkan
potensi masyarakat luas, dalam beberapa tahun terakhir dan

10Bakhtiari Sadegh, Globalization and Education Challenges and

Opportunities, h. 96.
33
juga peningkatan kekhawatiran internasional dengan dampak
bahaya globalisasi terhadap perkembangan adat dan
nasionalisme. Berbagai gerakan sosial telah dimulai oleh
negara-negara maju terhadap ancaman globalisasi khususnya
di negara-negara berkembang. Dampak negatif dari
globalisasi meliputi berbagai jenis baik ekonomi, politik,
pendidikan, dan budaya. Selanjutnya, mereka berpikir keras
bagaimana memaksimalkan peluang dan manfaat dari
globalisasi untuk mendukung perkembangan lokal dan
mengurangi ancaman dan dampak negatif dari globalisasi,
hal ini merupakan pekerjaan besar yang menjadi perhatian
utama negara-negara berkembang.11
Berdasarkan uraian di atas, globalisasi adalah
menciptakan kesempatan untuk berbagi pengetahuan,
teknologi, nilai-nilai sosial, pendidikan dan norma-norma
perilaku serta perkembangan, mereka mempromosikan diri
pada tingkat individu, organisasi, masyarakat, dan warga di
berbagai negara. Konsep yang mereka usungpun beragam,
dan memiliki corak pasar yang bersaing.
Secara khusus, keuntungan dari globalisasi dapat
meliputi:
a. Penguasaan berbagi pengetahuan, keterampilan, dan aset
intelektual yang diperlukan untuk beberapa
perkembangan pada tingkat yang berbeda;
b. Dukungan mutu, melengkapi dan menguntungkan
supaya menghasilkan sinergi untuk pengembangan
berbagai negara, masyarakat, dan individu;

11Bakhtiari Sadegh, Globalization and Education Challenges and

Opportunities, h. 96.
34
c. Menciptakan nilai dan meningkatkan efisiensi melalui
berbagi mobilisasi global atas dan saling mendukung
untuk melayani kebutuhan lokal dan pertumbuhannya;
d. Mempromosikan pemahaman internasional, kerjasama,
harmoni, dan penerimaan terhadap keanekaragaman
budaya di seluruh negara dan wilayah;
e. Memfasilitasi komunikasi, interaksi, dan mendorong
multi-budaya kontribusi pada tingkat yang berbeda antar
negara.12
Globalisasi, berpotensi menciptakan dampak negatif
serius bagi negara berkembang dan negara terbelakang, hal
ini juga merupakan alasan utama mengapa ada begitu banyak
gerakan sosial yang sedang berlangsung di berbagai belahan
dunia terhadap kecenderungan globalisasi khususnya di
bidang ekonomi, politik, dan pendidikan. Dampak negatif
dari globalisasi berbagai aspek, di antaranya penjajahan
politik, ekonomi, pendidikan dan budaya, dan memiliki
pengaruh besar terhadap negara-negara maju ke negara-
negara berkembang dan meningkat pesat kesenjangannya,
antara daerah kaya dan daerah miskin di berbagai belahan
dunia.
Secara khusus, dampak negatif globalisasi meliputi:
a. Meningkatkan kesenjangan teknologi dan digital
membagi antara negara maju dan negara-negara kurang
berkembang
b. Menciptakan peluang yang sah lebih untuk negara-negara
maju untuk beberapa bentuk baru penjajahan negara-
negara berkembang

12ILO, A Fair Globalization: Creating Opportunities for All

(Geneva: International Labour Office, 2004), h. 12.


35
c. Meningkatkan kesenjangan dan konflik antara daerah dan
budaya
d. Mempromosikan nilai-nilai budaya yang dominan
(budaya negatif) dari beberapa daerah maju.13
3. Pendidikan Islam dalam menghadapi era globalisasi
Sebagaimana dipahami bahwa pendidikan Islam,
baik secara kelembagaan maupun keilmuan, masih
menghadapi persoalan-persoalan yang belum terpecahkan,
dari persoalan manajemen, ketenagaan, sumber dana,
infrastruktur dan kurikulum. Akibatnya mutu pendidikan
Islam sangat rendah, juga dibarengi oleh para pengelola
pendidikan Islam tidak lagi sempat dan mampu
mengantisipasi terhadap adanya tantangan globalisasi yang
menghadang.
Pendidikan merupakan faktor utama yang dapat
dijadikan referensi utama dalam rangka membentuk generasi
yang dipersiapkan untuk mengelola dunia global yang penuh
dengan tantangan. Demikian pula pendidikan Islam yang
bercita-cita membentuk insan kamil yang sesuai dengan ajaran
al-Qur’an dan Sunnah. Secara lebih spesifik pendidikan Islam
adalah pendidikan yang berdasarkan Islam atau sistem
pendidikan yang Islami, yakni pendidikan yang dipahami
dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai
fundamental yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis.
Sehingga pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan
teori pendidikan yang mendasarkan diri dan dibangun dari
al-Qur’an dan Hadis.14

13T. Brown, Challenging Globalization as Discourse and

Phenomenon (International Journal of Lifelong Education, 1995), h.


18.
14Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang
Kusut Dunia Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 4.
36
Memperhatikan pendefinisian di atas, pendidikan
Islam sebagai upaya pengejawantahan nilai-nilai al-Qur’an
dan Hadis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan
pendidikan Islam berupaya menjadikan manusia sebagai
makhluk ciptaan Allah swt. yang diberikan kepadanya
amanat sebagai ‘abd dan juga menjadi khalifah di muka bumi.
Secara khusus, pendidikan Islam bermaksud untuk:
a. Memberikan pengajaran al-Qur’an sebagai langkah
pertama pendidikan.
b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada
ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam al-
Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran tersebut
bersifat abadi.
c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk
pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas
bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan
perubahan yang ada dalam masyarakat dan dunia.
d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan
tanpa basis iman adalah pendidikan yang tidak utuh dan
pincang.
e. Menciptakan generasi yang memiliki kekuatan baik
dalam keimanan maupun penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
f. Mengembangkan manusia islami yang berkualitas tinggi
yang diakui secara universal.15
Mengingat betapa luhur tujuan pendidikan Islam
tersebut, sudah menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh umat
Islam untuk kembali kepada khiththah pendidikan Islamnya.
Apalagi keberadaan pendidikan Islam di era globalisasi ini

15Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam


Kontemporer (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), h. 11.
37
harus mampu menjadi mitra perkembangan dan
pertumbuhannya, bukan menjadi counter attack yang justru
akan berseberangan dengan semakin pesatnya kemajuan. Era
globalisasi ini akan terus berjalan maju dan tidak akan
mengenal siapapun yang akan menjadi penikmatnya dan
kemajuannya akan mampu menggilas dan menggerus
apapun yang menghalanginya.
Pendidikan Islam harus mampu menyiapkan
sumber daya manusia yang dapat berfikir kritis dengan fokus
dan tidak hanya sebagai penerima informasi global, tetapi
juga harus memberikan bekal kepada peserta didik agar
dapat mengolah, menyesuaikan, dan mengembangkan segala
hal yang diterima melalui arus informasi tersebut, yakni
manusia yang kreatif dan produktif.16
Efek negatif yang menyertai munculnya globalisasi
yang harus dihadapi oleh pendidikan Islam,17 di antaranya
persaingan bisnis yang sangat ketat, nilai-nilai agama sudah
bergeser dan kabur, dekadensi moral, pergaulan remaja yang
cenderung bebas, kebutuhan hidup yang tinggi sehingga
sering merusak kelembagaan keluarga, penyalah gunaan
obat, minum-minuman keras, dan penyakit sosial lainnya.
Menghadapi problem yang demikian berat,
pendidikan Islam tidak bisa menghadapinya dengan model-
model pendidikan dan pembelajaran seperti yang sudah ada
sekarang ini. Pendidikan Islam harus terus menerus

16Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan


Pendidikan Islam di Indonesia (Bogor: Kencana, 2003), h. 78.
17Efek negative dari globalisasi harus di hadapi oleh agama

yang mendidik kearah perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan


hidup. Lihat Abdurrahman Assegap, Pendidikan Tanpa Kekerasan:
Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004),
h. 150.
38
melakukan pembenahan dan inovasi serta bekerja keras
untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dan juga
melakukan langkah-langkah baru ke arah kemajuan
khususnya Sumber Daya Manusia.18
Berdasarkan pengembangan keilmuan, dari
berbagai problem yang muncul di atas, jelas tidak bisa
direspon hanya dengan ilmu-ilmu yang selama ini ada di
lembaga pendidikan Islam seperti fiqih, ilmu kalam, tasawuf,
aqidah akhlak, dan tarikh.19 Ilmu-ilmu tersebut, perlu
diinterpretasi sehingga mampu menjawab persoalan aktual
pada lingkungan hidup, seperti: global warning, datangnya
industri, adanya pencemaran limbah beracun, penggundulan
hutan, gedung pencakar langit, polusi udara, dan problem
sosial antara lain banyaknya pengangguran, penegakan
hokum, hak asasi manusia dan sebagainya.
Arus global itu bukan lawan atau kawan bagi
pendidikan Islam, melainkan sebagai dinamisator. Bila
pendidikan Islam mengambil posisi anti global, maka akan
macet tidak bergerak dan pendidikan Islam akan mengalami
penutupan intelektual. Sebaliknya bila pendidikan Islam
terseret oleh arus global, tanpa daya lagi identitas keislaman
sebuah proses pendidikan akan dilindas. Pendidikan Islam
harus memposisikan menarik ukur global, dalam arti yang
sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam untuk diadopsi dan

18A. Malik Fadjar (ed), Platform Reformasi Pendidikan dan


Pengembangan Sumber Daya Manusia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 10.
19T. Raka Joni, Memicu Perbaikan Melalui Kurikulum Dalam

Kerangka Pikir Desentralisasi dalam Sindunata (ed), Membuka Masa


Depan Anak-Anak Kita (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 253. Lihat
juga Donald Arstine, Philosophy of Education (New York: Harper and
Row, 1976), h. 339.
39
dikembangkan, sedangkan yang tidak sesuai dengan nilai-
nilai ajaran Islam diulurkan, dilepas dan ditinggalkan.
Pendidikan Islam akan ketinggalan zaman, bila menutup diri
(bersikap eksklusif) sedangakan membuka diri beresiko
kehilangan jati diri atau kepribadian.20
Arus globalisasi dalam pendidikan Islam bisa
menimbulkan paradoks atau gejala kontra moralitas, yakni
pertentangan dua visi moral secara dianetral, contohnya guru
menekankan dan mendidik para siswanya berdisiplin berlalu
lintas tetapi realita di lapangan sopir bus tidak berlalu lintas
dengan baik, guru mengajar anak didiknya untuk tidak dan
menghindar tawuran antar pelajar akan tetapi siswa melihat
dilayar televisi anggota DPR RI tidak bisa mengendalikan
emosinya di mata bangsa, di sekolah diadakan razia
pornografi di media televisi, internet menampilkan
pornografi termasuk iklan-iklan yang merangsang hawa
nafsu syahwat, dan lain-lain.21
Dampak globalisasi, langsung atau tidak, dapat
membawa paradoks bagi praktik pendidikan Islam, seperti
terjadinya kontra moralitas antara apa yang diidealkan dalam
pendidikan Islam dengan realitas di lapangan berbeda, maka
gerakan pembaruan dalam pendidikan Islam hendaknya
melihat kenyataan kehidupan masyarakat lebih dahulu,
sehingga ajaran Islam yang hendak dididikkan dapat landing
dan sesuai dengan kondisi masyarakat setempat agar dapat
dirasakan makna dan faedahnya, akan tetapi mengabaikan

20Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta:


Logos, 2003), h. 126.
21Sudarman Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 64.


40
lingkungannya tentu akan kehilangan makna ibadah itu
sendiri.
Pendidikan Islam dalam tataran idealisme
mengalami benturan nilai dengan peristiwa yang terjadi di
berbagai belahan dunia, di mana dalam era global ini kita bisa
langsung melihat layar televisi mengenai perang antar
negara, kerusuhan massal, unjuk rasa yang anarkis,
pemberontakan gerakan sparatis, dan lain-lain. Pendidikan
Islam mengajarkan aurat kaum hawa apabila menginjak
dewasa atau baligh, akan tetapi arus global non-Islami
menciptakan sebaliknya yakni buka paha tinggi dan buka
wilayah dada, sebagaimana yang ditayangkan di televisi dan
internet, berupa pornografi dan pornoaksi, adalah trends
modernitas.22
Sebagaimana diketahui bersama bahwa hadirnya
media massa terutama televisi memberikan dampak tertentu
kepada masyarakat kalangan remaja yang kadang kala
menimbulkan efek dehumanisasi, demoralisasi. Tiga hal yang
merupakan tema sentral hadirnya turbulensi arus global bagi
pendidikan Islam dewasa ini adalah: life style, gaya makanan,
gaya hiburan, dan gaya berpakaian (food, fun, and fashion).
Apabila pendidikan Islam tidak berbuat dalam menghadapi
perkembangan teknologi canggih dan modern tersebut, dapat
dipastikan bahwa umat Islam akan pasif sebagai penonton
bukan pemain, sebagai konsumen bukan produsen.

C. Orientasi Pendidikan Islam di Era Globalisasi


Orientasi pendidikan Islam yakni berusaha
mengubah keadaan sesorang dari tidak tahu menjadi tahu,

22Sudarman Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan,


h. 107-109.
41
dan dari tidak dapat berbuat menjadi dapat berbuat. Sehingga
dengan pendidikan orang mengerti akan diri dan segala
potensi kemanusiaanya, lingkungan masyarakat, alam sekitar
dan yang lebih dari semua itu adalah dengan adanya
pendidikan manusia dapat menyadari sekaligus menghayati
keberadaannya di hadapan khaliknya.
Berbicara pendidikan adalah berbicara keyakinan,
pandangan dan cita-cita, tentang hidup dan kehidupan
manusia dari generasi ke generasi, maka pengunaan istilah
“Pendidikan Islam” atau penambahan kata Islam dibelakang
kata “Pendidikan” pada kajian ini meniscayakan bahwa
pendidikan Islam tidak dapat dipahami secara terbatas hanya
kepada “Pengajaran Islam” mengingat keberhasilan
pendidikan Islam tidak cukup diukur hanya dari segi
seberapa jauh anak menguasai hal-hal yang bersifat kognitf
atau pengetahuan tentang ajaran agama atau bentuk-bentuk
ritual keagamaan semata. Justru yang lebih penting adalah
seberapa jauh tertanam nilai-nilai keagamaan tersebut dalam
jiwa dan seberapa jauh pula nilai-nilai tersebut mewujud
dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari.
Berangkat dari fenomena inilah menarik untuk
ulasan selanjutnya perlu dijabarkan bagaimana pendidikan
Islam dalam bingkai pengertian, fungsi dan tujuan
pendidikan Islam itu sendiri.

1. Pengertian pendidikan Islam


Berangkat dari pemikiran bahwa suatu usaha yang
tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa.
Ibarat seseorang yang bepergian tak tentu arah maka hasilnya
adalah tak lebih dari pengalaman selama perjalanan.
Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan sehingga
dalam penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakan.

42
Namun sebelum masuk pada pembahasan mengenai fungsi
dan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan
apa pengertian pendidikan Islam.
Pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang
dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang
seutuhnya, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta
mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di
muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran al-Qur’an dan
Sunnah, maka tujuan dalam konteks ini terciptanya insan
kamil setelah proses pendidikan berakhir.23
Muhammad Daud Ali, berpendapat bahwa
pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia
untuk mengembangkan potensi manusia lain atau
memindahkan nilai-nilai yang dimilikinya kepada orang lain
dalam masyarakat. Proses pemindahan nilai itu dapat
dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya: (1) melalui
pengajaran yaitu proses pemindahan nilai berupa (Ilmu)
pengetahuan dari seorang guru kepada murid-muridnya dari
suatu generasi kegenerasi berikutnya; (2) melalui pelatihan
yang dilaksanakan dengan jalan membiasakan seseorang
melakukan pekerjaan tertentu untuk memperoleh
keterampilan mengerjakan pekerjaan tersebut; (3) melalui
indoktrinnasi yang diselenggarakan agar orang meniru atau
mengikuti apa saja yang diajarkan orang lain tanpa
mengijinkan si penerima tersebut mempertanyakan nilai-nilai
yang diajarkan.24

23Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam


(Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 16.
24Muhammad Daud Ali dan Hj. Habiba Daud, Lembaga-
lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
h. 137.
43
Terkadang apabila ingin membahas seputar Islam
dalam Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat menarik
terutama dalam kaitannya dengan upaya pembangunan
sumber daya manusia Muslim, sebagaimana Islam dipahami
sebagai pegangan hidup yang diyakini mutlak kebenarannya
akan meraih arah dan landasan etis serta moral pendidikan,
atau dengan kata lain hubungan antara Islam dan pendidikan
bagaikan dua sisi keping mata uang. Artinya, Islam dan
pendidikan mempunyai hubungan filosofis yang sangat
mendasar baik secara ontologis, epistimologis maupun
aksiologis.
Pemikiran di atas sejalan dengan falsafah bahwa
sebuah usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan
mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak
tentu arah maka hasilnya adalah tidak lebih dari pengalaman
selama perjalanan. Pendidikan merupakan usaha yang
dilakukan sehingga dalam penerapannya ia tak kehilangan
arah dan pijakan, namun sebelum masuk dalam pembahasan
mengenai fungsi dan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu
perlu dijelaskan apa pengertian pendidikan Islam itu sendiri.
A. Malik Fajar, mengemukakan bahwa pendidikan
Islam paling tidak mempunyai tiga pengertian, yakni: (1)
lembaga pendidikan Islam itu pendirian dan
penyelenggaraannya didorong oleh hasrat
mengejawantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam
nama lembaga pendidikan itu dan kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan; (2) lembaga pendidikan memberikan
perhatian dan menyelenggarakan kajian tentang Islam yang
tercermin dalam program sebagai ilmu yang diperlukan
seperti ilmu-ilmu lain yang menjadi program kajian lembaga
pendidikan Islam yang bersangkutan; (3) mengandung
kedua pengertian di atas dalam arti lembaga tersebut

44
memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan
tingkah laku yang harus tercermin dalam
penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang
tercermin dalam program kajiannya.25
Konsep pendidikan Islam sebagaimana
dikemukakan A. Malik Fajar tersebut, terkesan sederhana dan
belum terlalu luas cakupannya, namun paling tidak konsep
ini bisa diterapkan dalam upaya peningkatan sumber daya
manusia melalui pencerminan penyelenggaraan pendidikan
dan program kajian yang bernuansa Islami dalam proses
pemindahan nilai-nilai yang dimiliki dan dapat di bawah ke
masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami
bahwa pendidikan Islam merupakan sebuah proses yang
dilakukan untuk menciptakan manusia yang seutuhnya,
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu
mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka
bumi, yang berdasarkan kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah,
maka tujuan dan konteks ini terciptanya manusia seutuhnya
“Insan Kamil”. Artinya bahwa pendidikan Islam adalah proses
penciptaan manusia yang memiliki kepribadian serta
berakhlak al-karimah “Akhlak Mulia” sebagai makhluk
pengemban amanah di bumi.
Pemahaman lain, bahwa pendidikan Islam adalah
pendidikan yang mampu menyiapkan kader-
kader khalifah, sehingga secara fungsional keberadaannya
menjadi pemeran utama terwujudnya tatanan dunia
yang rahmatan lil–‘alamin. Ditambahkan lagi bahwa
pendidikan Islam adalah pendidikan yang berwawasan

25A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta : Fajar

Dunia, 1999), h. 31.


45
semesta, berwawasan kehidupan yang utuh dan multi
dimensional, yang meliputi wawasan tentang Tuhan,
manusia dan alam secara integratif.
2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam
Sebelum lebih jauh menjelaskan tujuan pendidikan
Islam terlebih dahulu apa sebenarnya makna dari “tujuan”
tersebut. Secara etimologi tujuan adalah “arah, maksud atau
haluan.26 Terminologinya tujuan berarti sesuatu diharapkan
tercapai setelah sebuah usaha atau kegiatan selesai. M. Arifin
menyebutkan, bahwa tujuan proses pendidikan Islam adalah
“idealitas” (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai Islam yang
hendak dicapai dalam proses kependidikan yang berdasarkan
ajaran Islam secara bertahap.27
Secara umum, tujuan pendidikan Islam terbagi
kepada: (1) tujuan umum adalah tujuan yag akan dicapai
dengan semua kegiatan pendidikan baik pengajaran atau
dengan cara lain; (2) tujuan sementara adalah tujuan yang
akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman
tertentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum; (3)
tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta
didik menjadi manusia sempurna (insan kamil); (4) tujuan
oprasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan
sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.
Sementara itu dalam Konferensi Internasional
pertama tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun
1977 telah merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagai
berikut:

26Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar

Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka 1995), h. 1077.


27M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan
Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Cet. IV; Jakarta: Bumi
Aksara, 1996), h. 10-11.
46
“Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan
kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang
melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional
perasaan dan indera. Oleh karena itu pendidikan harus
mencakup pertumbuhan manusia dalam segala
aspeknya: spritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah,
bahasa, baik secara individu maupun secara kolektif, dan
mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan untuk
mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan
muslim terletak pada perwujudan ketundukkan yang
sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas,
maupun seluruh umat manusia”.28
Konsep di atas sejalan dengan rumusan tujuan
pendidikan Islam, yaitu meningkatkan keimanan,
pemahaman, penghayatan dan pengalaman anak tentang
Islam, sehingga menjadi manusia Muslim yang beriman dan
bertaqwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan konteks ini pendidikan Islam haruslah
senantiasa mengorientasikan diri untuk menjawab kebutuhan
dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai
konsekuensi logis dari perubahan.
Hal lain, dapat pula dikatakan, bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah kepribadian muslim, yaitu sesuatu
kepribadian yang seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam.
Orang yang dalam kepribadian muslim dalam al-Qur’an
disebut “Muttaqin” karena itu pendidikan Islam berarti pula
pembentukan manusia yang bertaqwa, sebagaimana konsep
pendidikan nasional yang dituangkan dalam tujuan

28Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi


Menuju Milenium Baru (Cet. 1; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.
57.
47
pendidikan nasional yang akan membentuk manusia
pancasila yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan tujuan pendidikan di atas maka dengan
sendirinya terimplisit fungsi pendidikan Islam. Fungsi
pendidikan Islam adalah untuk menjaga keutuhan unsur-
unsur individu anak didik dengan mengoptimalkan
potensinya dalam garis keridhaan Allah, serta
mengoptimalkan perkembangannya untuk bertahan hidup
terhadap aspek keterampilan setiap anak. Pendidikan Islam
adalah pendidikan terbuka. Artinya Islam mengakui adanya
perbedaan, akan tetapi perbedaannya yang hakiki ditentukan
oleh amalnya. Pendidikan Islam pada dasarnya terbuka,
demokratis, dan universal. Keterbukaan tersebut ditandai
dengan kelenturan untuk mengadopsi (menyerap) unsur-
unsur positif dari luar, sesuai perkembangan dan kebutuhan
masyarakatnya, dan tetap menjaga dasar-dasarnya yang
original yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadis.
Singkatnya, pendidikan Islam secara ideal berfungsi
membina dan menyiapkan anak-anak dalam keluarga
termasuk anak didik yang berilmu, berteknologi,
berketerampilan tinggi dan sekaligus beriman dan beramal
saleh. Penjabaran materi pendidikan Islam tidak hanya
berkisar pada hal-hal yang berkaitan dengan masalah–
masalah ubudiyah yang khas (khusus) seperti shalat, puasa,
zakat, haji dan lain–lain, akan tetapi ubudiyah yang lebih
umum dan luas, yaitu pengembangan ilmu sosial sehingga
anak dapat berinteraksi dengan lingkungannya secara baik
maupun pengembangan pengetahuan dan teknologi yang
sangat bermanfaat dalam meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan.

48
D. Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam di Era
Globalisasi
Tantangan globalisasi merupakan suatu kondisi
kekinian sebagai akibat dari modernisasi. Kondisi tersebut
harus dihadapi dan dilalui agar tercapai suatu keberhasilan.
Tantangan tidak harus dimaknai sebagai sesuatu yang
membuat sulit, atau kadang menghambat sesuatu yang ingin
dicapai, tetapi tantangan adalah penggugah tekat untuk
meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah.
Mastuhu mengemukakan bahwa beberapa
tantangan yang dihadapi dunia pendidikan masa kini, yaitu
globalisasi, kompleksitas, turbulence, dinamika, akselerasi,
keberlanjutan dari yang kuno ke yang modern, koneksitas,
konvergensi, konsolidasi, rasionalisme, paradoks global, dan
kekuatan pemikiran.29
Selajutnya, Husni Rahim mengemukakan bahwa
secara eksternal masa depan pendidikan Islam dipengaruhi
oleh tiga isu besar, yaitu globalisasi, demokratisasi, dan
liberalisme Islam.30 Sedangkan Haidar Putra Daulay
menyebut globalisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan dekadensi moral sebagai tantangan
pendidikan Islam masa kini dan masa depan.31
Ketiga pakar di atas berbeda dalam mengidentifikasi
tantangan globalisasi karena berbeda sudut pandang yang
digunakan. Mastuhu melihatnya dalam perspektif perubahan
sosial, Husni Rahim mengamati menurut tinjauan politik, dan

29Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, h. 273-


275.
30Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Cet.
I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 14.
31Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem

Pendidikan Nasional, h. 139-141.


49
Haidar Putra Daulay melihatnya dalam sudut pandang
perkembangan iptek.
Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi, Syahrin
Harahap mencoba mengkategorikan ciri-ciri pergaulan
global, yaitu:
Pertama, terjadi pergeseran. Pergeseran yang
dimaksud adalah pergeseran dari konflik ideologi dan politik
ke arah persaingan perdagangan, investasi dan informasi;
pergeseran dari keseimbangan kekuatan (balance of power) ke
arah keseimbangan kepentingan (balance of interest).
Kedua, hubungan antara negara/bangsa secara
struktural berubah dari sifat ketergantungan (dependency) ke
arah saling tergantung (interdependency); hubungan yang
bersifat primordial berubah menjadi sifat tergantung kepada
posisi tawar (bargaining position).
Ketiga, batas-batas geografi hampir kehilangan arti
operasionalnya karena ditentukan oleh kemampuan
memanfaatkan keunggulan komparatif (comparative advantage)
dan keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Keempat, persaingan antarnegara sangat diwarnai
oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Demikian juga
terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik,
efisien, tidak menghargai nilai dan norma yang secara
ekonomi tidak efisien.32
Ketika globalisasi dihadapkan dengan pendidikan
Islam, terselip dua implikasi sekaligus, yakni peluang dan
tantangan. Zubaedi menjelaskan, sebagai peluang,
(globalisasi) satu sisi akan memudahkan pendidikan Islam
untuk mengakses berbagai informasi dengan mudah.

32Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi

(Cet. I; Yogyakarta: IAIN Sumatera Utara, 1998), h. 128-129.


50
Memudahkan pendidikan Islam untuk menyebarluaskan
(diseminasi) produk-produk keilmuan yang memberikan
manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat. Selanjutnya sebagai
ancaman, ternyata globalisasi tidak hanya mempengaruhi
tatanan kehidupan pada tataran makro, namun juga
mengubah tata kehidupan pada tataran mikro, misalnya
terhadap ikatan kehidupan sosial masyarakat. Fenomena
disintegrasi sosial, hilangnya nilai-nilai tradisi, lunturnya
adat-istiadat, sopan santun, dan penyimpangan sosial.33
Dampak dalam konteks pendidikan pun tak kalah
menarik untuk dicermati, munculnya pemalsuan ijazah,
tradisi nyontek dikalangan siswa/mahasiswa, plagiasi
skripsi, tesis, dan desertasi. Globalisasi akan memesatkan
pengkomersilan pendidikan itu sendiri. Kelompok pengusaha
pendidikan akan mengaut keuntungan melalui bidang
pendidikan. Hal ini sangat disangsikan jika berketurusan
tanpa kontrol dan pendidikan bisa terkorbankan.
Dampak lainnya adalah penghayatan ilmu itu
semakin terkikis, karena para pelajar hanya belajar ilmu saja
tanpa menghayatinya. Belajar hanya untuk tujuan mendapat
nilai ujian atau demi memenuhi tugas yang diberikan. Hal ini
akan melahirkan generasi yang cerdik pandai tanpa
diimbangi dengan menghayatan ilmu itu sendiri. Akibatnya,
kemahiran yang mereka miliki mungkin akan digunakan
untuk tujuan negatif seperti menipu dan sebagainya.
Selain itu, globalisasi juga menumbuhkan gabungan
ikatan primordial dengan sistem politik modern yang
melahirkan nepotisme, birokratisme, dan otoriterisme.
Frustasi eksistensial (existential frustation) juga menggejala

33Zubaedi, Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan

Islam dan Kapita Selekta Pendidikan Islam, h. 54.


51
yang dicirikan dengan hasrat yang berlebihan untuk berkuasa
(the will to power), mengumpulkan uang (the will to money),
untuk bekerja (the will to work), dan kenikmatan seksual (the
will to sex).34
Tantangan utama globalisasi yang lain yang harus
segera disikapi oleh pendidikan Islam yaitu:

1. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.


Pendidikan Islam saat ini sedang ditantang
konstribusinya terhadap pembentukan peradaban dan
budaya modern yang relevan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek). Dimensi ini, pendidikan
Islam mengalami kemunduran fungsi (degradasi fungsional)
karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada aspek moral
spiritual.
Terdapat banyak pendapat yang mengatakan bahwa
pendidikan Islam tidak terlalu fokus memprioritaskan aspek
yang bersifat praktis dan pragmatis, seperti penguasaan
teknologi. Akibatnya, pendidikan Islam tidak mampu
bersaing pada level kebudayaan di tingkat global.35
Secara makro kondisi pendidikan Islam saat ini
sudah ketinggalan zaman. Tertinggal karena kalah berpacu
dengan perkembangan dan perubahan sosial budaya.
Tertinggal sebab alumni yang hasilkan kalah bersaing dalam
penguasaan iptek. Iptek dengan beragam kemajuan yang
dibawanya bersifat fasilitatif terhadap kehidupan manusia.

34Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi,


h. 129.
35M. Saleh A. Putuhena, “Kearah Rekonstruksi Sains Islam,”

dalam Norman Said dkk, ed. Sinergi Agama dan Sains: Ikhtiar
Membangun Pusat Peradaban Islam (Cet. I; Makassar: Alauddin Press,
2005), h. 106.
52
Artinya, iptek memberi fasilitas kemudahan bagi manusia,
tetapi juga dapat merugikan.36
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa pendidikan Islam memandang perkembangan iptek
sebagai tantangan yang harus dihadapi dan dikuasai,
sehingga generasi muslim tidak tertinggal oleh kebudayaan
yang berkembang. Konteks ini ada dua hal yang penting
untuk dipikirkan, yaitu (1) bagaimana supaya perkembangan
iptek tidak terlepas dari nilai-nilai ajaran Islam; (2) bagaimana
pendidikan Islam dapat berkonstribusi bagi kemajuan iptek
di masa depan.

2. Demokratisasi
Demokratisasi merupakan isu lain yang
mempengaruhi masa kini pendidikan Islam Indonesia.
Tuntutan demokratisasi pada awalnya ditujukan pada sistem
politik negara sebagai antitesa terhadap sistem politik yang
otoriter. Selanjutnya perkembangan tuntutan ini mengarah
kepada sistem pengelolaan berbagai bidang termasuk bidang
pendidikan.37
Kehidupan demokrasi adalah kehidupan yang
menghargai akan potensi individu. Artinya, bahwa setiap
bentuk homogenisasi masyarakat adalah bertentangan
dengan prinsip-prinsip hidup demokrasi.38 Sehingga dalam
bidang pendidikan semua warga negara memiliki hak yang

36Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang

Cendekiawan Muslim (Cet. 5; Bandung: Mizan, 1993), h. 70.


37Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah

Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan (Cet. I;


Jakarta: Kencana, 2004), h. 15.
38H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan
Nasional dalam Perspektif Abad 21, h. 10.
53
sama untuk memperoleh pendidikan, juga memiliki
kewajiban yang sama dalam membangun pendidikan
nasional yang berkualitas.
Demokratisasi pendidikan Islam menghendaki
sistem pendidikan yang bersifat sentralistik, seragam, dan
dependen, untuk beralih mengembangkan sistem pendidikan
yang lebih otonom, beragam dan independen.

3. Bidang Budaya
Bidang budaya (dalam arti yang luas) terjadi
perkembangan yang luar biasa
cepatnya, terutama dipacu oleh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.39 Pendidikan Islam yang
menganjurkan silaturahmi face to face terpatahkan oleh
menjamurnya media jejaring sosial seperti facebook dan twitter.
Kalangan anak-anak dan remaja, terjangkit candu game online,
lebih miris lagi, berkembang praktik cyberporn (pornografi
lewat jaringan komputer).40
Berdasarkan paparan di atas, maka pendidikan
Islam membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang
handal, memiliki komitmen dan etos kerja yang tinggi,
manajemen yang berbasis sistem dan infra-struktur yang
kuat, sumber dana yang memadai, kemauan politik yang
kuat, serta standar yang unggul.41

39M. Zainuddin dan Muhammad In’am Esha, Horison Baru


Pengembangan Pendidikan Islam; Upaya Merespon Dinamika Masyarakat
global, (Cet. I; Yogyakarta: Aditya Media, 2004), h. 132.
40Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi (Cet. II;
Jakarta: Rida Mulia, 2005), h. 72.
41Abuddin Nata, “Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam
di Era Globalisasi” http:// fdi.uinjkt.ac.id/index.php/detail
54
Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman
nilai moral untuk membentengi diri dari akses negatif
globalisasi, tetapi yang paling penting adalah bagaimana
nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam
tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas
(liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan sosial, budaya, dan ekonomi.
Muhammad Tholchah Hasan dalam Marzuki Wahid
mengemukakan tantangan pendidikan Islam yang harus
dihadapi di era global ini adalah kebodohan, kebobrokan
moral, dan hilangnya karakter muslim. Adapun beberapa
tantangan yang ditimbulkan oleh globalisasi adalah :
1. Keberadaan publikasi informasi merupakan sarana efektif
penyebaran isu, sehingga dapat menimbulkan saling
kecurigaan di antara umat.
2. Aspek keperkasaan Barat dalam dominasi dan
imperalisasi informasi, yang dapat menimbulkan
sukularisme, kapitalisme, pragmatisme, dan sebagainya.
3. Pelaksanaan komunikasi informasi, ekspos persoalan
seksualitas, peperangan, dan kriminal, berdampak besar
pada pembentukan moral dan perubahan tingkah laku.
4. Lemahnya sumber daya Muslim sehingga di banyak hal
harus mengimport produk teknologi Barat.42
Berdasarkan fenomena tersebut, jelas tidak dapat
dipungkiri bahwa perubahan dalam segala bentuk dan sistem
baik bersifat personal maupun global bisa terjadi dalam
hitungan waktu yang relatif sangat singkat. Hal ini

artikel/10/tantangan_dan_peluang_pendidikan_islam_di_era_glob
alisasi(Diakses pada 17 Mei 2014).
42Marzuki Wahid, Pesantren Masa Depan: Wacana
Pemberdayaan dan Transformasi (Bandung: Pustaka Hidayah, 2011), h.
60.
55
merupakan sebuah tantangan yang mutlak dijawab oleh
pendidikan Islam dengan tujuan dan cita-citanya yang luhur,
walaupun pada dasarnya Islam sebagai sebuah sistem telah
memberikan wacana tentang perubahan yang memang harus
terjadi demi mencapai tujuan hidup manusia yang dijadikan
landasan tujuan pendidikan Islam. Sebagaimana telah
difirmankan Allah swt dalam QS al-Ra’d / 13 : 11. Sebagai
berikut:

           


Terjemahnya:
“…sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu
kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri …”.43
Berdasarkan ayat tersebut, Islam menganjurkan
adanya perubahan yang positif dalam keadaan apapun
sehingga mengarah pada kemajuan dan perbaikan.
Pemahaman yang demikian perlu ditumbuhkembangkan
pada cara berfikir peserta didik sebagai generasi ke depan.
Memperluas wawasan dan membentuk sikap yang toleran
terhadap berbagai perubahan dengan tanpa kehilangan
pegangan dan pendirian, sebab perubahan yang terjadi
merupakan sunnatullah.
Mempertimbangkan beberapa tantangan
pendidikan Islam di atas, telah memberikan sebuah inspirasi
bahwa menyiapkan sumber daya manusia yang siap
menghadapi tantangan adalah tugas pendidikan Islam. Hal
itupun tidak terlepas dari berbagai peluang yang dapat

43Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Cet.

III; Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013), h. 250.


56
dijadikan sebagai jalan untuk membina generasi dan peserta
didik untuk dapat bersaing dan berkiprah di era global yang
tanpa batas.
Menghadapi tantangan globalisasi seperti yang
dikemukakan di atas, pendidikan Islam perlu melakukan
langkah-langkah strategis dengan membenahi beberapa
persoalan internal. Persoalan internal yang dimaksud adalah:
(1) persoalan dikotomi pendidikan; (2) tujuan dan fungsi
lembaga pendidikan Islam; (3) persoalan kurikulum atau
materi. Ketiga persoalan tersebut saling terkait antara satu
dengan yang lain.

1. Menyelesaikan persoalan dikotomi


Persoalan dikotomi ilmu agama dan ilmu umum
melahirkan dualisme pendidikan, yaitu pendidikan Islam dan
pendidikan umum. Dikotomi dan dualisme merupakan
persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang.
Seiring dengan itu berbagai istilah pun muncul
untuk membenarkan pandangan dikotomis tersebut.
Misalnya, adanya fakultas umum dan fakultas agama,
sekolah umum dan sekolah agama. Dikotomi itu
menghasilkan kesan bahwa pendidikan agama berjalan tanpa
dukungan iptek, dan sebaliknya pendidikan umum hadir
tanpa sentuhan agama.
Pendidikan Islam harus menuju pada integrasi
antara ilmu agama dan ilmu umum. Fazlur Rahman
menawarkan satu pendekatan untuk menyelesaikan
persoalan dikotomi pendidikan yaitu dengan menerima
pendidikan sekuler modern sebagaimana yang berkembang

57
di dunia Barat dan mencoba untuk mengisinya dengan
konsep-konsep kunci tertentu dari Islam.44
Ahmad Syafi'i Ma'arif mengatakan bila konsep
dualisme dikotomik berhasil diselesaikan, maka dalam
jangka panjang sistem pendidikan Islam akan berubah secara
keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan
tinggi. Pendidikan Islam melebur secara integratif dengan
pendidikan umum. Peleburan bukan hanya dalam bentuk
satu departemen saja, tetapi lebur berdasarkan kesamaan
rumusan filosofis dan pijakan epistemologisnya.45
Upaya intergrasi keilmuan di Indonesia dapat
dilihat dengan perubahan kelembagaan perguruan tinggi
Islam dari insitut menjadi universitas, pada level madrasah
dan pondok pesantren upaya ini diwujudkan dengan
memasukkan mata pelajaran umum dalam kurikulum.

2. Revitalisasi tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam.


Lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu
mendesain ulang tujuan dan fungsinya. Berikut beberapa
model pendidikan Islam di Indonesia:
a. Pendidikan Islam mengkhususkan diri pada pendidikan
keagamaan saja untuk mempersiapkan dan melahirkan
ulama-mujtahid yang mampu menjawab persoalan-
persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan
perubahan zaman.

44Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an

Intellectual Tradition, terj. Ahsin Mohammad, Islam dan Modernitas


(Yogyakarta: Pustaka, 1985), h. 160.
45Ahmad Syafi'i Ma'arif, “Pemikiran tentang Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia,” dalam Muslih Usa, ed., Pendidikan
Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1991), h. 150.
58
b. Pendidikan Islam yang mengintegrasikan kurikulum dan
materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk
mempersiapkan intelektual Islam yang berpikir secara
komprehensif, contohnya madrasah.46
c. Pendidikan Islam meniru model pendidikan sekuler
modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam,
contohnya sekolah Islam.47
d. Pendidikan Islam menolak produk pendidikan Barat. Hal
ini berarti harus mendesain model pendidikan yang betul-
betul orisinil dari konsep dasar Islam dan sesuai dengan
lingkungan sosial-budaya Indonesia.
e. Pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah
saja, tetapi dilaksanakan di luar sekolah. Artinya,
pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau
lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat.

3. Reformasi kurikulum atau materi


Materi pendidikan Islam terlalu didominasi masalah-
masalah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi
disampaikan dengan semangat ortodoksi keagamaan, tanpa
ada peluang untuk melakukan telaah secara kritis.
Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-
hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal yang
bersifat ritual.48
Konteks ini, materi pendidikan Islam secara garis
besar diarahkan pada dua dimensi, yakni: (1) dimensi vertikal

46Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi

Menuju Milenium Baru, h. 72.


47Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru, h. 71.
48A. Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Modernitas

(Bandung: Mizan, 1998), h. 5.


59
berupa ajaran ketaatan kepada Allah swt. dengan segala
bentuk artikulasinya; (2) dimensi horizontal berupa
pengembangan pemahaman tentang kehidupan manusia
dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya.
Dimensi yang kedua ini dilakukan dengan mengembangkan
materi pendidikan yang berorientasi pada penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Tiga hal yang dikemukakan di atas merupakan
tawaran desain pendidikan Islam yang perlu diupayakan
untuk membangun pendidikan Islam yang bermutu di tengah
kehidupan modern yang kompetitif. Ketiga hal tersebut
masih membutuhkan unsur lain sebagai pendukung, seperti
sumber daya kependidikan yang berkualitas, pendanaan
yang memadai, dan lingkungan sosial yang kondusif.
Selanjutnya, Marzuki Wahid mengemukakan bahwa
peluang pendidikan Islam di era globalisasi ini dapat
diperincikan sebagai berikut:49
1. Pendidikan semakin dituntut untuk tampil sebagai kunci
dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia,
yaitu manusia yang mempunyai wawasan, kemampuan
dan ketrampilan serta kepribadian yang sesuai dengan
kebutuhan nyata yang dihadapi umat.
2. Orientasi pada kemampuan nyata yang dapat
ditampilkan oleh lulusan pendidikan akan semakin kuat,
artinya menciptakan dunia kerja yang cenderung realistis
dan pragmatis, di mana dunia kerja lebih melihat
kompetensi nyata yang dapat ditampilkan.
3. Mutu pendidikan suatu komunitas atau kelompok
masyarakat, tidak hanya diukur berdasarkan kriteria

49Marzuki Wahid, Pesantren Masa Depan: Wacana


Pemberdayaan dan Transformasi, h. 63.
60
internal saja, melainkan dibandingkan dengan komunitas
lain yang lebih riil.
4. Apresiasi dan harapan masyarakat dunia pendidikan
semakin meningkat, yaitu pendidikan yang lebih
bermutu, relevan dan hasilnya pun dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini sebagai konsekuensi
logis dari semakin meningkatnya kemakmuran
masyarakat yang selalu ingin mendapatkan suatu yang
lebih baik.
5. Sebagai komunitas atau masyarakat religius, yang
mempunyai keimanan dan tata nilai, maka pendidikan
yang diinginkan adalah pendidikan yang mampu
menanamkan karakter Islami di samping kompetensi lain
yang bersifat akademis dan skill.
Berdasarkan uraian di atas, menurut hemat penulis
sepertinya pendidikan Islam berada pada suatu posisi
sehingga dapat berperan aktif di era global. Namun hal
tersebut harus dilandasi beberapa syarat yang dapat
menjadikan lebih eksisnya endidikan Islam di era globalisasi
dan gencarnya pertumbuhan teknologi informasi yang ada.
Adapun syarat-syarat tersebut antara lain:
Pertama, pendidikan Islam harus ikut serta sebagai
pendukung keberadaan era ini, dengan berusaha
memanfaatkan segala informasi yang berkembang dan berperan
dalam menanggulangi segala dampak negatif yang di
timbulkan.
Kedua, pendidikan Islam seyogyanya selalu berusaha
memanfaatkan sumber daya elektronika yang telah menjadi
media utama transformasi informasi. Mengembangkannya
dengan berbagai bentuk informasi positif yang dapat menjadi
bahan pelajaran dan materi ajar yang diperlukan, seperti
pengembangan E-learning, E-book, tafsir digital dan lain
sebagainya.
61
62
BAB III
KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

A. Pendahuluan
Keragaman dan perbedaan merupakan desain Tuhan
(sunatullah) yang tidak dapat dielakkan dari panggung
kehidupan, conditio sine qou non.1 Pepatah Arab
menyebutnya sebagai min lawazim al-hayah (keniscayaan
hidup). Kehadirannya akan senantiasa ada. Hal ini sesuai
dengan firman Allah swt. dalam QS al-Hujurat /49:13.
Sebagai berikut:

         

            

Terjemahnya:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal”.2

1Ahmad Asroni, “Membendung Radikalisme Islam: Upaya

Merajut Kerukunan Antar Umat Beragama”, dalam Erlangga


Husada, dkk., Kajian Islam Kontemporer(Jakarta:Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah, 2007), h. 36.
2Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Cet.

III; Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013), h. 517.


63
Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia diciptakan
secara berbeda-beda dan yang aling mulia hanya dengan
ketaqwaannya. Kendati demikian, ternyata nilai-nilai
pluralitas dan multikulturalitas kurang cukup diapresiasi
oleh kebanyakan orang. Hal ini dibuktikan dengan masih
banyaknya individu yang ingin meniadakan kebhinekaan,
menggantinya dengan ketunggalan dan keseragaman.
Kekerasan, terorisme, dan peperangan dengan
mengatasnamakan agama dan etnisitas adalah beberapa
contoh tindakan yang menghendaki keseragaman.
Indonesia adalah sebuah bangsa yang majemuk
dihuni oleh sekitar 230 juta manusia dengan beragam
agama, etnis, bahasa, dan budaya.3Indonesia merupakan
salah satu negara yang multikultural terbesar di dunia,
kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari sosio kultur
maupun geografis yang begitu beragam dan luas.
Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan
berbagai macam persoalan seperti yang sekarang dihadapi
bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme,
perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme,
perusakan lingkunghan dan hilangnya rasa kemanusiaan
untuk selalu menghargai hak-hak orang lain adalah bentuk
nyata dari multikulturalisme.

3Bukti bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang


majemuk (plural) dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural-
geografis Indonesia yang beragam. Tercatat, jumlah pulau yang
ada di Indonesia kurang lebih sekitar 17.000 pulau, baik pulau
besar maupun kecil. Populasinya berjumlah lebih dari 200 juta
jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa
yang berbeda. Selain itu, penduduk Indonesia menganut agama
dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen
Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu serta bermacam-macam
aliran kepercayaan. M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural:
Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan
(Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 4.
64
Berdasarkan permasalahan seperti di atas,
pendidikan multikultural menawarkan satu altrnatif melalui
penerapan strategi dan konsep pendidikan berbasis
pemanfaatan keragaman yang ada dimasyarakat. Misalnya
keragaman etnis, budaya, bahasa ,agama, status sosial,
gender, kemampuan, umur, dan ras. Pendidikan
multikultural merupakan alternatif baru di dalam sistem
pendidikan di Indonesia.
Pendidikan multikultural seyogyanya
memfasilitasi proses pembelajaran yang mengubah
perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka
dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang
menghargai keragaman dan perbedaan, toleransi, dan sikap
terbuka (inklusif). Perubahan paradigma semacam ini
menuntut transformasi yang tidak hanya terbatas pada
dimensi kognitif belaka. lebih dari itu, juga menuntut
perubahan pada dimensi afektif dan psikomotorik.4
Pendidikan multikultural merupakan gejala baru
dalam pergaulan umat manusia yang mendambakan
persaman hak, termasuk hak untuk mendapatkan
pendidikan yang sama untuk semua orang. Penerapan
strategi dan konsep pendidikan multikultural yang
terpenting dalam strategi ini tidak hanya bertujuan agar
supaya siswa mudah memahami pelajaran yang
dipelajarinya, akan tetapi juga akan menigkatkan kesadaran
mereka agar selalu berperilaku humanis, pluralis dan
demokratis.
Melihat fenomena tersebut pendidikan di Indonesia
haruslah peka mengahadapi perputaran globalisasi,
pengalaman pahit masa lalu tidak perlu terulang kembali,

4Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural(Cet. VI;


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 17.
65
untuk itu perlu pendidikan multikultural sebagai jawaban
atas beberapa problematika kemajemukan tersebut. Oleh
sebab itu, penulis berusaha menjabarkan sedikit wawasan
tentang konsep pendidikan multikultural.
Model pendidikan multikultural di dalam bab ini
dibahas secara teoretis mulai dari bagaimana hakikat
pendidikan multicultural, bagaimana paradigma pendidikan
multikultural di Indonesia, bagaimana pendidikan
multikultural dalam perspektif Islam?

B. Hakikat Pendidikan Multikultural


1. Pengertian Pendidikan Multikultural
Sebagai sebuah wacana baru, pengertian pendidikan
multikultural sesungguhnya hingga saat ini belum begitu
jelas dan masih banyak pakar pendidikan yang
memperdebatkannya. Namun demikian, bukan berarti
bahwa definisi pendidikan multikultural tidak ada atau
tidak jelas. Sebetulnya, sama dengan definisi pendidikan
yang penuh penafsiran antara satu pakar dengan pakar
lainnya di dalam menguraikan makna pendidikan itu
sendiri. Hal ini juga terjadi pada penafsiran tentang arti
pendidikan multikultural.
James Banks dalam Choirul Mahfud, mendefinisikan
pendidikan multikutural sebagai pendidikan untuk people of
color. Artinya, pendidikan multikultural ingin
mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah
Tuhan). Kemudian, bagaimana seseorang mampu mensikapi
perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat
egaliter.5 Jadi, pendidikan multikultural adalah usaha sadar
untuk mengembangkan kepribadian tentang berbagai
macam status sosial, ras, suku, agama agar tercipta

5Choirul Mahfud, Pendidikan Multi Kultural, h. 175.


66
kepribadian yang cerdas dalam menghadapi masalah-
masalah keberagaman budaya.
Sonia Nieto mengemukakan bahwa pendidikan
multikultural merupakan proses pendidikan yang
komprehensif dan mendasar bagi semua peserta didik.
Model pendidikan ini menentang segala bentuk rasisme dan
bentuk diskriminasi di sekolah, masyarakat dengan
menerima serta mengafirmasi pluralitas (etnik, ras, bahasa,
agama, ekonomi, jender, dan lain sebagainya) yang
terefleksikan di antara peserta didik, komunitas mereka,
dan guru-guru. Lebih lanjut menurutnya, pendidikan
multikultural ini haruslah melekat dalam kurikulum dan
strategi pengajaran, termasuk juga dalam setiap interaksi
yang dilakukan di antara para guru, siswa, dan keluarga
serta keseluruhan suasana pembelajaran.6
Sementara itu, Bikkhu Parekh mendefinisikan
pendidikan multikultural sebagai sebuah pendididikan yang
bebas dari prasangka dan bias entosentris serta bebas untuk
mengeksplorasi dan mempelajari berbagai budaya dan
perspektif lain.7 Menurut perspektif Azyumardi Azra,
pendidikan multikultural merupakan suatu model
pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan
dalam merespons perubahan demografis dan kultural
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan.8

6SoniaNieto, Language, Culture, and Teaching (Mahwah, NJ:


Lawrence Earlbaum, 2002), h. 29.
7Bikkhu Parekh, Rethingking Multiculturalism: Cultural
Diversity and Political Theory (Cambridge: Harvard University
Press, 2000), h. 230.
8Azyumardi Azra, “Merayakan Kemajemukan, Merawat
Indonesia”, Makalah disampaikan pada Orasi Budaya, Institute for
Multiculturalism and Pluralism Studies (IMPULSE), di
67
Selanjutnya, Musya Asy’arie mendefinisikan
pendidikan multikultural sebagai proses penanaman cara
hidup menghargai, tulus, dan toleran terhadap
keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah
masyarakat plural.9 Demikian halnya, Tilaar mengatakan
bahwa pendidikan multikultural adalah suatu wacana yang
lintas batas, karena terkait dengan masalah-masalah
keadilan sosial (social justice), demokarasi dan hak asasi
manusia.10
Secara singkat Andersen dan Custer dalam H.A
Dardi Hasyim & Yudi Hartono mengatakan bahwa
pendidikan multikultural adalah pendidikan mengenai
keragaman budaya.11 Sedangkan Zakiyuddin Baidhawy
menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah proses
penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran
terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-
tengah masyarakat plural.12 Berdasarkan uraian tersebut di
atas, definisi yang disampaikan Zakiyuddin Baidhawy
adalah definisi yang digunakan sesuai dengan kondisi
Indonesia.

Auditorium Kanisius, Yogyakarta, pada 30 Agustus 2007. Lihat


pula Mashadi Imron, Pendidikan Agama Islam Dalam Persepektif
Multikulturalisme (Jakarta: Balai Litbang Agama, 2009), h. 48.
9Musya Asy’arie, “Pendidikan Mulikultural dan Konflik
Bangsa”, http//www.64.2 03.71. 11/kompas/cetak/0409/03/
opini/1246546.htm. (Diakses pada 10 Mei 2014).
10H.A.R Tilaar,Kekusaan Dan Pendidikan Suatu Tinjauan Dan
Persepektif Studi Kultural (Jakarta: IndonesiaTeras, 2003), h.167.
11H.A Dardi Hasyim&Yudi Hartono, Pendidikan
Multikultural di Sekolah (Surakarta: UPT penerbitan dan percetakan
UNS, 1994 ), h. 28.
12Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan

Multikultural (Jakarta: PT Erlangga, 2005), h. 8.


68
Hilda Hernandez dalam Choirul Mahfud
mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif
yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekomomi yang
dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan
manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan
merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan
gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan
pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.13 Hal
ini berarti bahwa ruang pendidikan sebagai media
transformasi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge)
hendaknya mampu memberikan nilai-nilai
multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan
menghormati atas realitas yang beragam (plural), baik latar
belakang maupun basis sosio budaya yang melingkupinya.
Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Paulo
Freire (pakar pendidikan pembebasan), bahwa pendidikan
bukan merupakan “menara ganding” yang berusaha
menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan,
menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat
yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat
yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat
kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.14
Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, maka
dapat dipahami bahwa pendidikan multikultural
merupakan pendidikan yang menawarkan satu alternatif
melalui implementasi strategi dan konsep pendidikan yang
berbasis pada pemanfaatan keragaman yang terdapat dalam
masyarakat, khususnya yang ada pada peserta didik seperti
pluralitas etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, jender,

13Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, h. 176.


14Lihat Paulo Freire, Pendidikan Pembebasan(Jakarta: LP3S,
2000), h. 21.
69
kemampuan, umur, dan ras. Strategi pendidikan ini tidak
hanya bertujuan supaya peserta didik mudah memahami
pelajaran yang dipelajarinya, namun juga untuk
meningkatkan kesadaran mereka agar senantiasa
berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis.
Hal terpenting yang perlu digarisbawahi dalam
praktek pendidikan multikultural bahwa seorang guru tidak
hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara
profesional mata pelajaran yang diajarkan, namun seorang
guru juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari
pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme,
dan pluralisme.
Pendidikan multikultural merupakan model
pendidikan yang menawarkan satu alternatif melalui
penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis
pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,
khususnya yang ada pada peserta didik seperti keragaman
etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender,
kemampuan, umur, dan ras, maka perlu
mempertimbangkan beberapa hal, sebagaimana yang
dikemukakan Tilaar,15 sebagai berikut:
Pertama, pendidikan multikultural secara inhern
sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa
Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong,
membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.
Hal ini dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini
yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing
dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi.
Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis afrika dan sebagainya.
Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu

15Lihat H.A.R.Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional


(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 35.
70
beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia.
Misalnya suku jawa, batak, bugis, makassar, tolaki, dayak,
dan suku lainnya.
Kedua, pendidikan multikultural memberikan
secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak
masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan
multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa
menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas,
pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam
masyarakat. Pendidikan multikultural tidak menjadikan
semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama,
kepribadian yang sama, berintelektual yang sama, atau
bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Ketiga, pendidikan multikultural menentang
pendidikan yang bererintasi bisnis. Pada saat ini, lembaga
pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-
lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah
institusi yang mampu menghasilkan income yang besar,
dengan alasan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa
pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia
bukanlah pendidikan keterampilan belaka, melainkan
pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis
kecerdasan yang sering dikenal dengan nama kecerdasan
ganda (multipleintelligence).
Keempat, pendidikan multikultural sebagai resistensi
fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan.
Kekerasan muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak
ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasi
berbagai persoalan masyarakat yang tidak terselesaikan
secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian
berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi
munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa

71
meyebabkan munculnya kekerasan. Fanatisme ini juga
berdimensi etnis, bahasa, suku,agama, atau bahkan sistem
pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum,
ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.16
Konsep pendidikan multikultural merupakan
respons terhadap perkembangan keragaman hak bagi setiap
kelompok. Dimensi lain, pendidikan multikultural
merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas
pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah,
prestasi dan perhatian. Sedangkan secara luas, pendidikan
multikultural mencakup seluruh siswa tanpa membedakan
kelompok seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial dan
agama.

2. Pendekatan Pendidikan Multikultural


Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa
pendekatan dalam proses pendidikan multikultural antara
lain sebagai berikut.
a. Pendekatan ini memandang bahwa perubahan dalam
pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling)
atau pendidikan multikultural dengan menggunakan
program-program sekolah formal sangat efektif,
misalnya dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran,

16Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barang kali


perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di
Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model
pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu
mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang
harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan
menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian,
dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia. Lihat
H.A.R.Tilaar, Multikulturalisme tantangan-tantangan global masa
depan dalam transformsi pendidikan nasional (Jakarta: Grasindo, 2004),
h. 66-67.
72
khususnya pada pembelajaran pendidikan agama dan
pendidikan kewarganegaraan. Pandangan yang lebih
luas mengenai pendidikan sebagai jalur kebudayaan
membebaskan pendidik bahwa tanggungjawab primer
dalam mengembangkan kompetensi kebudayaan di
kalangan semua peserta didik. Semakin banyak pihak
yang bertanggungjawab karena program-program
sekolah terkait dengan pembelajaran informal di luar
sekolah. Misalnya, mengadakan festival kebudayaan
tiap-tiap daerah di Indonesia.
b. Menghindari pandangan yang menyamakan
kebudayaan dengan kelompok etnik. Secara tradisional,
para pendidik menjelaskan kebudayaan hanya dengan
kelompok-kelompok sosial daripada dengan sejumlah
orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang
terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan.
Konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini
diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-
program pendidikan multikultural untuk
menghilangkan kecenderungan memandang peserta
didik secara sebelah mata menurut identitas etnik, dan
akan meningkatkan pemahaman yang lebih besar
mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan peserta
didik dari berbagai kelompok etnik.
c. Pengembangan kompetensi di dalam suatu kebudayaan
baru biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan
orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan
dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya-upaya untuk
mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik
terhadap tujuan pendidikan multikultural.
Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok
merupakan menghambat sosialisasi dalam kebudayaan
baru.

73
d. Pendidikan multikultural yang baik di dalam sekolah
maupun luar sekolah meningkatkan kesadaran tentang
kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran
seperti ini akan menjauhkan dari konsep dwi budaya
antara pribumi dan non-pribumi. Semacam ini dapat
bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya
mengekspresikan kebudayaan. Pendekatan ini
meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai
pendalaman moral manusia. Kesadaran ini mengandung
makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi
untuk mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui
kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta
didik. Kajian yang lebih spesifik dan mengarah pada
pendidikan dan proses pendidikan, pendidikan
multikultural dimaknai sebagai konsep kebermaknaan
perbedaan secara unik pada tiap orang dan masyarakat.
Kelas disusun dengan anggota makin kecil sehingga tiap
peserta didik memperoleh peluang belajar semakin besar
sekaligus menumbuhkan kesadaran di antara peserta
didik. Selanjutnya tahap pendekatan ini dapat
menumbuhkan kesadaran akan makna multikultural.
3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Multikultural
Tujuan pendidikan multikultural ada dua, yakni
tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal merupakan
tujuan sementara karena tujuan ini hanya berfungsi sebagai
perantara agar tujuan akhirnya tercapai dengan baik. Tujuan
awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana
pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan
dan peserta didik. Harapannya adalah apabila mereka
mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik
maka kelak mereka tidak hanya mampu untuk menjadi
transformator pendidikan multikultural yang mampu
menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme dan

74
demokrasi secara langsung di sekolah kepada para peserta
didiknya.17
Sedangkan tujuan akhir pendidikan multikultural
adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan
menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi
diharapkan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai
karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis,
pluralis dan humanis. Karena tiga hal tersebut adalah ruh
pendidikan multikultural.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami
bahwa pendidikan multikultural bertujuan agar peserta
didik dapat menghormati keanekaragaman budaya yang
ada dan mendorong mereka secara nyata untuk dapat
mengenali dan melenyapkan kecurigaan serta diskriminasi
yang telah ada. Pada intinya pendidikan multikultural
mempunyai dua fokus persoalan, yaitu:
a. Proses pendidikan yang menghormati, mengakui dan
merayakan perbedaan di semua bidang kehidupan
manusia. Pendidikan multikultural merangsang anak
terhadap kenyataan yang berkembang di masyarakat,
yang berupa pandangan hidup, kebiasaan, kebudayaan,
yang semuanya telah memperkaya kehidupan manusia.
b. Proses pendidikan yang menerapkan persamaan
keseimbangan dan HAM, menentang ketidakadilan,
diskriminasi, dan menyuarakan nilai-nilai yang
membangun keseimbangan.18

17Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan


Multikultural, h. 109.
18Lihat Dody S. Truna, Pendidikan Agama Islam Berwawasan

Multikulturalisme: Telaah Kritis atas Muatan Pendidikan


Multikulturalisme dalam Buku Ajar Pendidian Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum di Indonesia (Jakarta: Kementerian Agama
RI., 2010), h. 120-122.
75
Hal senada, Setyo Raharjo mengatakan tujuan
pendidikan multikultural adalah:
“Membantu anak didik dalam mengembangkan
pemahaman dan sikap secara memandai terhadap
masyarakat yang beraneka ragam budaya. Anak didik
memiliki budaya sendiri yang hakiki, namun tetap
memberikan andil terhadap kesejahteraan masyarakat.
Mengembangkan pendidikan yang wajar, tanpa
memandang perbedaan, membantu peserta didik untuk
berpartisipasi dalam suasana kultur yang berbeda.
Membantu anak didik dalam memberdayakan potensi
yang optimal”.19
Pendidikan multikultural harus memperhatikan
beberapa hal antara lain: Pengajaran nilai yang mendukung
keberagaman budaya dan keunikan individu. Peningkatan
perluasan kualitatif keberadaan budaya etnis dan kerjasama
dalam kehidupan sosio ekonomis dan politik, mendukung
alternatif pemunculan gaya hidup dan peningkatan
pemahaman multikultural, multi bahasa dan multi
dialektika.
Konteks kehidupan berbangsa yang serat dengan
kemajemukan dalam berbagai bidang misalnya: suku, ras,
golongan, agama, bahasa daerah, dan kepentingan, maka
pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk
dapat mengelola secara kreatif, sehingga konflik dapat
terhindarkan dan dapat dikelola dengan cerdas. Pendidikan
multikultural dapat dijadikan pencerahan dalam kehidupan
berbangsa ke masa depan yang lebih baik.

19Setyo Raharjo, “Mengimplementasikan Pendidikan


Multikultural di Sekolah” Jurnal Ilmiah Guru “COPE” No.
02/Tahun VI/Desember 2002. h. 27
76
Menurut pandangan penulis, dalam konteks
pembelajaran, pendidikan multikultural bertujuan untuk
transformasi pembelajaran kooperatif di mana dalam proses
pembelajaran setiap individu mempunyai kesempatan yang
sama. Sedangkan, transformasi pembelajaran kooperatif itu
sendiri mencakup pendidikan belajar mengajar,
konseptualisasi dan organisasi belajar. Belajar kooperatif
mengandung pengertian sebagai suatu strategi pembelajaran
yang menggunakan kelompok kecil, di mana pembelajar
bekerja bersama, belajar satu sama lain, berdiskusi dan
saling membagi pengetahuan, saling berkomunikasi, saling
membantu untuk memahami materi pembelajaran, sehingga
dalam pembelajaran kooperatif setiap anggota kelompok
bertanggungjawab terhadap keberhasilan setiap anggota
kelompoknya.
Berdasar tujuan pendidikan multikultural tersebut,
pendidikan multikultural berupaya mengajak warga
pendidikan untuk menerima perbedaan yang ada pada
sesama manusia sebagai hal-hal yang alamiah (natural
sunatullah). Selain itu, pendidikan multikultural
menanamkan kesadaran kepada peserta didik akan
kesetaraan (equality), keadilan (justice), kemajemukan
(plurality), kebangsaan, ras, suku, bahasa, tradisi,
penghormatan agama, menghendaki terbangunnya tatanan
kehidupan yang seimbang, harmonis, fungsional dan
sistematik dan tidak menghendaki terjadinya proses
diskriminasi, kemanusiaan (humanity), dan nilai-nilai
demokrasi (democration values) yang diperlukan dalam
beragam aktivitas sosial.20

20Suprapto,
Penanaman Dan Sikap Guru Pendidikan Agama
Islam Terhadap Nilai-Nilai Multikultural Jurnal penelitain
pendidikan agama dan keagamaan. Vol VII,No 1, Januari-Maret
2009.
77
Adapun fungsi pendidikan multikultural,
Zakiyuddin Baidhawy mengatakan bahwa akar kata dari
multikulturalisme adalah kebudayaan, yakni kebudayaan
memiliki nilai dan kedudukan yang sama dengan setiap
kebudayaan lain dengan melihat dari fungsinya sebagai
pedoman bagi kehidupan manusia.21 Multikultural mau
tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang
mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi,
keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan
usaha, HAM., hak budaya komuniti dan golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta
mutu prodiktivitas.
Muktikulturalisme ini akan menjadi acuan utama
bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena
multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui
dan mengagungkan perbedaan dan kesederajatan baik
secara individual maupun secara kebudayaan. Model
multikulturalisme ini, sebuah masyarakat mempunyai
kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut
yang coraknya seperti sebuah mozaik. Multikulturalisme
diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang
damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam
latar belakang kebudayaan.
Tilaar mengatakan bahwa pendidikan
multikulturalisme perlu di tumbuh kembangkan, karena
potensi yang dimiki Indonesia secara kultural, tradisi, dan
lingkungan geografi serta demografis sangat luar biasa. Ia
menambahkan bahwa pendidikan multikultural sebenarnya
merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (defference),

21LihatZakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama


Berwawasan Multikultural, h. 4.
78
atau politik pengakuan (politics of recognition) terhadap
orang-orang dari kelompok minoritas.22
Pendidikan multikultural di sini juga dimaksudkan
bahwa manusia dipandang sebagai makhluk makro dan
sekaligus makhluk mikro yang tidak akan terlepas dari akar
budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar makro yang
kuat akan menebabkan manusia tidak pernah tercerabut dari
akar kemanusiaannya. Sedangkan akar mikro yang kuat
akan menyebabkan manusia mempunyai tempat berpijak
yang kuat, dengan demikian tidak mudah diombang-
ambingkan oleh perbuatan yang amat cepat, yang menandai
kehidupan modern dan pergaulan dunia global.23
Proses untuk mewujudkan multikulturalisme dalam
dunia pendidikan, maka pendidikan multikultural perlu
dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional, yang
pada akhirnya dapat menciptakan tatanan masyarakat
Indonesia yang multikultural, serta upaya-upaya lain yang
dapat dilakukan guna mewujudkannya. Penyelenggaraan
pendidikan multikultural di dunia pendidikan diyakini
dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi
yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di
masyarakat Indonesia yang secara realitas plural.

C. Paradigma Pendidikan Multikultural


Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya
sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa
Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu horizontal
dan vertikal. Perspektif horizontal, menjelaskan bahwa

22H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar


Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2002), h.
498.
23Ali Maksum & Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma

Pendidikan Universal, h. 190-192.


79
kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari
perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian,
makanan dan budayanya. Sementara, dalam perspektif
vertikal, kemajemukaan bangsa Indonesia dapat dilihat dari
perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman,
pekerjaan dan tingkat sosial budaya.24
Kemajemukan adalah ciri khas bangsa Indonesia.
Seperti diketahui bahwa negara Indonesia merupakan
negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia,
yang mencapai 17.667 pulau besar dan pulau kecil. Jumlah
pulau sebanyak itu maka wajarlah jika kemajemukan
masyarakat di Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang
tidak bisa dielakkan.25
Kemajemukan suatu masyarakat dapat memberikan
side effect (dampak) secara positif. Namun, pada sisi lain, ia
juga menimbulkan dampak negatif, karena faktor
kemajemukan itulah terkadang sering menimbulkan konflik
antarkelompok masyarakat. Pada akhirnya, konflik-konflik
antarkelompok masyarakat tersebut akan melahirkan

24Usman Pelly dan Asih Menanti, Teori-Teori Sosial

Budaya (Jakarta: Dirjen Depdikbud, 1994), h. 68.


25Perlu disadari bahwa perbedaan dengan kemajemukan
tersebut merupakan karunia dan anugerah Allah swt. Karena
itulah Usman Pelly menyatakan bahwa, meskipun setiap warga
negara Indonesia (WNI) berbicara dalam satu bahasa nasional
yakni bahasa indonesia, namun kenyataannya terdapat 350
kelompok etnis, adat istiadat, dan cara-cara sesuai dengan kondisi
lingkungan tertentu. Lihat Usman Pelly, Kualitas bermasyarakat:
Sebuah Studi Peranan Etnis dan Pendidikan dalam Keserasian Sosial
(Medan: Proyek Kerja Sama Kantor Meneg KLH-IKIP Medan,
1988), h. 13. Lihat juga dalam Ali Maksum & Luluk Yunan
Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal (Yogyakarta: IRCiSoD,
2004), h. 190-192.
80
distabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan
ketidakharmonisan sosial (social disharmony).
Pakar pendidikan, Syafri Sairin dalam tulisannya
yang berjudul “Telaah Pengelolaan Keserasian Sosial dari
Literatur Luar Negeri dan Hasil Penelitian Indonesia”
memetakan akar-akar konflik dalam masyarakat majemuk,
adalah sebagai berikut:
1. Perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan
kesempatan ekonomi (acces to economic resoutces and to
means of production);
2. Perluasan batas-batas sosial budaya (sosial and cultural
borderline expansion);
3. Benturan kepentingan politik, ideologi, dan agama
(comflict of political, ideology, and religious interest).26
Menghadapi pluralisme budaya tersebut, diperlukan
suatu paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma
pendidikan multikultural. Pendidikan berparadigma
multikulturalisme tersebut penting, sebab akan
mengarahkan peserta didik untuk bersikap dan
berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas
masyarakat yang beragam, baik dalam hal budaya, suku,
ras, etnis maupun agama.
Paradigma ini dimaksudkan bahwa, hendaknya ada
apresiatif terhadap budaya orang lain, perbedaan dan
keberagaman merupakan kekayaan dan khazanah bangsa
Indonesia. Berdasarkan pandangan tersebut, diharapkan
sikap ekslusif yang selama ini bersemayam dalam otak dan
sikap membenarkan pandangan sendiri (truth claim) dengan

26Syafri Sairin, Telaah Pengelolaan Keserasian Sosial dari


Literatur Luar Negeri dan Hasil Penelitian Indonesia (Jakarta: Kerja
Sama Meneg. KLH dan UGM, 1992), h. 66.
81
menyalahkan pandangan dan pilihan orang lain dapat
dihilangkan atau paling tidak diminimalisir.
Paradigma pendidikan multikultural dalam konteks
ini memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki apresiasi
respek terhadap budaya dan agama-agama orang lain. Atas
dasar ini maka penerapan multikulturalisme menuntut
kesadaran dari masing-masing budaya lokal untuk saling
mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya yang
dibalut semangat demokratisasi, kerukunan, dan
perdamain. Paradigma multikultural secara implisit juga
menjadi salah satu concern dari pasal 4 ayat 1 Undang-
Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta
tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa.27
Berdasarkan Undang-Undang RI tersebut, konsep
pendidikan di Indonesia telah mengakomodir pendidikan
multikultural sebagai salah satu konsep dalam
meminimalisir terjadinya diskriminatif, dan ketidakadilan
terutama dalam mendapatkan pendidikan dan pengajaran,
serta upaya dalam menanamkan sikap simpatik, respek,
apresiasi, dan empati terhadap orang lain.
Banyak bukti di negeri ini, tentang kerusuhan dan
konflik yang berlatarbelakang SARA (suku, adat, ras, dan
agama), sekaligus sangat memilukan bahkan “sangat
memalukan” di negeri yang multikultur ini. Sebut saja
misalnya pengeboman di Bali, konflik berbau suku, agama,

27Republik Indonesia, Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem


Pendidikan Nasional)(UU RI No. 20 Th. 2003) Cet. V; Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h. 7.
82
ras, dan antargolongan (SARA) di Ambon dan Palu, konflik
etnis di Sambas dan sampit, pembakaran masjid milik
jamaah Ahmadiyah di berbagai daerah di Indonesia,
penyerangan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang,
Banten, kerusuhan dan perusakan sejumlah gereja di
Temangggung, Jawa Tengah, penyerangan terhadap pondok
pesantren yang diduga beraliran Syiah di Pasuruan dan
Sampang Jawa Timur, teror “bom buku” ke sejumlah tokoh,
“bom Jum’at” di Mapolres Cirebon, bom bunuh diri di
Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Solo, serta penembakan
polisi di Solo dan Poso.
Sederet aksi-aksi kekerasan tersebut di atas,
membalikkan argumen toleransi masyarakat Indonesia.
Bangsa yang dulu dikenal publik dunia dengan keramahan
dan tingkat toleransi yang tinggi, tiba-tiba berubah seperti
bangsa bar-bar yang tak beradab. Ironisnya, para pelaku
kekerasan tersebut mengatasnamakan Tuhan untuk
membenarkan sikap keji mereka.
Fakta-fakta tersebut juga, sebetulnya telah
menunjukkan kegagalan dunia pendidikan dalam
menciptakan kesadaran pluralisme dan multikulturalisme.
Simbol-simbol budaya, agama, ideologi, bendera, baju dan
sebagainya, itu semua sebenarnya boleh berbeda. Tetapi,
pada hakikatnya kita semua satu, yaitu satu bangsa dan satu
negara Indonesia.
Perbincangan tentang konsep pendidikan
multikultural di Indonesia semakin memperoleh momentum
pasca runtuhnya rezim otoriter militeristik orde baru karena
hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak
hanya membawa berkah bagi bangsa Indonesia namun juga
memberikan suatu peluang terhadap meningkatnya
kecenderungan primordialisme. Sehingga paradigma

83
pendidikan multikultural hadir untuk menangkal semangat
primordialisme.28
Sejarah membuktikan bahwa, pendidikan
multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran yang
tidak muncul dalam ruangan yang kosong, namun ada
interes politik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang
mendorong kemunculannya.29 James Banks dalam Choirul
Mahfud, menjelaskan bahwa pendidikan multikultural
memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu
dengan yang lain, yaitu:
1. Content integration, yaitu mengintegrasikan berbagai
budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep
mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran
atau disiplin ilmu.
2. The knowledge constructionprocess, yaitu membawa siswa
untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah
mata pelajaran (disiplin).
3. An equity paedagogy, yaitu menyusuaikan metode
pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka
memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam
baik dari segi ras, budaya, (culture) ataupun sosial.
4. Prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik
ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi
dalam suatu kegiatan, berinteraksi dengan seluruh siswa

28Lihat M Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-


Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan(Yogyakarta:
Pilar Media, 2005), h. 56. Lihat pula Zainal Arifin Thoha,
Kenylenehan Gusdur(Jakarta: Gama Media, 2005), h. 134.
29Jamaluddin Idris, Kompilasi Pemikiran Pendidikan

(Yogyakarta: Taufiqiyah Sa’adah, 2005), h. 67.


84
yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan
budaya akademik yang toleran dan inklusif.30
Menurut Tilaar, pendidikan multikulturalisme
biasanya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tujuannya membentuk “manusia berbudaya” dan
menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”.
2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan,
nilai-nilai bangsa, dan nilai- nilai kelompok etnis
(cultural).
3. Metodenya demokratis yang menghargai aspek-aspek
perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan
kelompok etnis (multikulturalis).
4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah
laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan
tindakan terhadap budaya lainnya.31
Konteks ini pula dapat dikatakan, bahwa pendidikan
multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati,
respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan
budaya yang berbeda. Selanjutnya, yang terpenting dari
strategi pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan
agar peserta didik mudah memahami pelajaran yang
dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan
kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis,
dan demokrasi.
Paradigma multikultural yang marak didengungkan
sebagai langkah alternatif dalam rangka mengelola
masyarakat multikultur seperti di Indonesia tampaknya
hanya menjadi wacana belaka. Gagasan ini belum mampu
dilaksanakan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah

30Lihat Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, h. 177-


178.
31Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, h. 187.
85
dalam tindakan praksis. Apa yang mengemuka sepanjang
tahun 2000-an hingga sekarang sebagaimana yang
dikemukakan di atas merupakan indikasi nyata hal ikhawal
tersebut.
Faktor lain yang turut menyebabkan mandulnya
pendidikan multikultural pada tingkat praksis bisa jadi
disebabkan masih dominannya wacana “toleransi” dalam
menyikapi realitas multikultural tersebut. Toleransi hanya
mungkin terjadi apabila orang rela merelativisasi klaim-
klaimnya. Namun, toleransi seringkali terjebak pada ego-
sentrisme. Ego-sentrisme di sini adalah sikap seseorang
mentoleransi yang lain demi diri sendiri. Artinya, setiap
perbedaan mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan
mengawetkan perbedaannya sendiri, yang terjadi kemudian
adalah ko-eksistensi bukannya pro-eksistensi yang
menuntut kreativitas dari tiap individu yang berbeda untuk
merenda dan merajut tali-temali kebersamaan. Tak aneh
kalau kemudian yang muncul bukannya situasi rukun tetapi
situasi acuh tak acuh (indifference).32
Pelaksanaan pendidikan multikultural ini mesti
dikembangkan prinsip solidaritas. Yakni, kesiapan untuk
berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi
pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya
sendiri. Solidaritas menuntut agar seluruh masyarakat
melupakan upaya-upaya penguatan identitas, melainkan
menuntut agar berjuang bersama demi kebersamaan yang
lain. Artinya, kehidupan multikultural yang dilandasi
kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain
diharapkan segera terwujud.
Membangun masyarakat yang dapat menghasilkan
orang (warga negara) menyadari, mengakui, menghargai

32Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, h. 190.


86
perbedaan bukan merupakan hal yang mudah. Perlu
dirancang secara sistematik. Menerapakan pendidikan
multikultural di sekolah diperlukan upaya transformasi
pada tiga tahap yaitu:
1. Transformasi Level Diri (transformation of self)
Transformasi pada level diri dapat digambarkan
dengan sikap positif terhadap perbedaan dan keberagaman
yang belum terjadi, transformasi tersebut merupakan salah
satu kunci penentu keberhasilan pendidikan multikultural.
Misalnya, dari tranformasi level diri seperti dapat
menghargai perbedaan beragama pada setiap indvidu atau
setiap peserta didik di suatu sekolah.
2. Transformasi Level Sekolah (transformation of school and
schooling)
Transformasi pada level sekolah digambarkan
melalui lima dimensi pendidikan multikultural yaitu:
a. Integrasi materi (content integration)
Integrasi materi merupakan upaya guru memberikan
atau menggunakan contoh dan materi dari bebagai budaya
dan kelompok untuk mengajarkan konsep kunci, prinsip,
teori, dan lain-lain ketika mengajarkan satu topik atau mata
pelajaran tertentu dengan menyisipkan akan adanya
kesadaran perbedaan budaya. Misalnya, ketika mengajarkan
topik tumbuhan berbiji belah, guru menyinggung bahwa
kopi merupakan salah satu contoh dikotil, kemudian
dikaitkan dengan bagaimana masyarakat Lampung, Aceh,
dan Jawa memanfaatkan kopi sebagai minuman tradisi
masing-masing daerah tersebut.
b. Proses pembentukan pengetahuan (knowledge
construction procwss)
Proses pembentukan pengetahuan upaya membantu
siswa untuk memahami, mencari tahu, dan menentukan
bagaimana suatu pengetahuan atau teori pada dasarnya

87
secara nyata tercipta karena adanya pengaruh budaya,
kalangan, dan kelompok tertentu dengan status sosial yang
terjadi pada saat itu. Misalnya, Galileo menghasilkan teori
helioentris yang mengemukakan asumsi geosentris yang
terjadi pada masa dimana pengaruh agama saat itu sangat
dominan. Galileo dihukum mati karena teorinya tetapi
belakangan ini teori tersebut dipakai oleh masyarakat dunia.

c. Reduksi prasangka (prejudice reduction)


Reduksi prasangka merupakan upaya guru
membantu siswa mengembangkan sifat positif terhadap
perbedaan baik dari sisi suku, budaya, ras, gender, status
sosial, dan lain-lain. Misalnya, tidak benar kalau guru
mendorong sikap atau prasangka yang menganggap bahwa
orang papua yang berkulit hitam adalah terbelakang, bodoh
dan lain-lain dalam proses interaksi di sekolah inilah yang
harus dihindari. Guru seharusnya berkewajiban meluruskan
asumsi dan prasangka tersebut. Cara mengurangi prasangka
ini adalah melibatkan siswa melakukan aktivitas bersama
dengan orang-orang dari berbagai status sosial, gender, ras,
dan lain-lain.
d. Pendidikan atau perlakuan pedagogik tanpa pandang
bulu (equity pendagogy)
Pendidikan atau perlakuan pedagogik tanpa
pandang bulu adalah upaya guru memperlakukan secara
sama dalam proses pembelajaran di kelas. Kenyataan ini
akan terlihat dari metode yang digunakan, cara bertanya,
penunjukan siswa, dan pengelompokan. Misalnya, guru
senantiasa menunjuk seorang siswa sebagai ketua kelompok,
karena siswa tersebut anak dari kalangan status sosial
tertentu..
e. Pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial
(empowering school culture and social structure)

88
Pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial
merupakan proses menstrukturisasi dan reorganisasi
sekolah sehingga siswa dari beragam ras, suku, dan kelas
sosial akan mengalami atau merasakan pemberdayaan
maupun persamaan budaya. Semangat multikulturalisme
akan tercermin dalam segala aktivitas sekolah, sehingga
menuntut adanya perubahan baik dari sisi pendidik dan
tenaga kependidikan, kebijakan sekolah, struktur organisasi,
iklim sekolah, dan lain-lain.
3. Transformasi Level Masyarakat (transformation of society)
Transformasi level masyarakat merupakan upaya
paling berat karena sangat komplek dan melibatkan
berbagai unsur terkait, hal ini akan terjadi dengan
sendirinya jika transformasi level diri dan sekolah berjalan
dengan baik.

D. Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam


Pendidikan multikultural sejatinya inheren dalam
Islam. Hal ini dapat ditilik dari doktrin dan sejarah Islam.
Al-Qur’an secara sangat eksplisit menyebutkan adanya
multikulturalitas. Beberapa di antaranya adalah QS al-
Ma’idah / 5 : 48.
           

          

 

Terjemahnya:
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-
Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-
89
lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu”.33
Penyataan yang kurang lebih sama juga disebutkan
sebagaimana firman Allah dalam QS Hud / 11 : 118.
           
Terjemahnya:
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia
menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat.”34
Selain ke dua ayat di atas, statement yang sama juga
dapat dilihat dalam firman Allah QS al-Nahl /16:93.
           

      


Terjemahnya:
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya dia menjadikan
kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. dan sesungguhnya kamu
akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”35
Multikulturalisme juga dijelaskan dalam al-
Qur’an,sebagaimana firman Allah swt. dalam QS al-Hujurat
/ 49:13. Sebagai berikut:

33Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.


116.
34Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.
235.
35Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.
277.
90
         

            

Terjemahnya:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.36
Selain itu, multikulturalisme juga tampak jelas di
dalam firman Allah swt. QS al-Baqarah / 2: 256.

            

       

      


Terjemahnya:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada thaghut dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat

36Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.


517.
91
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.”37
Ayat lain yang menjelaskan tentang pengakuan
Tuhan akan multikulturalisme adalah QS al-Ma’idah / 5:69
        

           
Terjemahnya:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang
Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja
(diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati”.38
Berdasarkan beberapa firman Allah di atas, dapat
dipahami bahwa pendidikan multikultural tampak nyata
pula dalam ajaran Islam. Misalnya dalam sejarah Islam, Nabi
Muhammad saw. pernah mempraktikannya ketika beliau
memimpin masyarakat Madinah. Nabi Muhammad saw.
telah berhasil mengembangkan prinsip toleransi dan
desentralisasi menyangkut keberadaan agama lain selain
Islam.39
Prilaku toleransi, Nabi Muhammad saw.
menginginkan supaya umat Islam memandang agama lain
bukan sebagai musuh, namun sebagai teman dalam
menciptakan masyarakat damai. Sementara dengan

37Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 42.


38Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.
119.
39Ustadi
Hamzah, “Yang Satu dan Yang banyak: Islam dan
Pluralitas Agama di Indonesia”, “Religiosa” Edisi I/II/Tahun 2006,
h. 46-47.
92
desentralisasi, Nabi Muhammad saw. memberikan
kebebasan kepada umat beragama lain untuk menjalankan
ajaran agamanya, kendatipun mereka dalam kekuasaan
pemerintahan Islam.
Wujud kongkrit desentralisasi antara lain
menyangkut kebijakan bea cukai di wilayah Islam.
Pedagang Byzantium yang akan berniaga ke Madinah
ditarik bea cukai sebesar cukai pemerintahan Byzantium
kepada pedagang Madinah. Demikian juga di wilayah
Persia, pedagang muslim tidak ditarik cukai, dan sebaliknya
pedagang Persia yang hendak berniaga ke Madinah juga
bebas bea cukai.
Contoh lain pasca Nabi Muhammad saw. adalah
ketika Abu Ubayd Allah al Mahdi (909-934), seorang
khalifah pertama dinasti Fatimiyah di Maghrib, meminta
nasehat kepada seorang tokoh Kristen untuk mencarikan
lokasi yang tepat untuk dijadikan ibukota negara. Sejarah
juga mencatat, kedatangan Islam di Spanyol telah
mengakhiri politik monoreligi secara paksa oleh penguasa
sebelumnya. Pemerintahan Islam yang berkuasa kurang
lebih lima ratus tahun telah menciptakan masyarakat
Spanyol yang multikulturalistik. Pemeluk tiga agama: Islam,
Kristen, dan Yahudi dapat hidup saling berdampingan dan
rukun.40 Mengenai hubungan dengan umat Kristen dan
Yahudi, Islam memandang keduanya sebagai “saudara
sekandung”, sama-sama satu nasab. Secara geneologis,

40Lihat Heru Nugroho, “Islam dan Pluralisme”, dalam M.


Quraish Shihab, dkk., Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam
Dialog “Bebas” Konflik (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 65.
93
ketiga agama ini berasal dari bapak yang sama, yaitu Nabi
Ibrahim, “Bapak Orang Beriman”.41
Berdasarkan uraian yang di atas, maka pendidikan
multikultural dalam perspektif Islam, menemukan
pijakannya dalam piagam madinah.42Piagam ini menjadi
rujukan suku dan agama pada waktu itu dalam menjalankan
kehidupan bermasyarakat. Piagam ini juga menjadi rujukan
orang-orang yang ingin menjelaskan sistem pemerintahan
dan ketatanegaraan Islam. Pijakan multikultural juga bisa
dilacak pada akhlak dan kepribadian Rasulullah saw.
Kenyataan bahwa piagam Madinah dan pribadi
Rasulullah menjadi pijakan multikultural, secara tidak
langsung menjelaskan al-Quran sebagai muara pijakan
tersebut. Hal ini karena dua alasan. Pertama, piagam
Madinah diajukan oleh Rasullah sebagai acuan hidup

41Ahmad Asroni, “Membendung Radikalisme Islam:


Upaya Merajut Kerukunan Antar Umat Beragama”, dalam
Erlangga Husada, dkk., Kajian Islam Kontemporer, h. 38.
42Piagam Madinah mencakup 47 pasal, antara lain berisi

hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban bernegara, hak


perlindungan hukum, sampai toleransi beragama. Piagam
Madinah secara resmi menandakan berdirinya suatu negara, yang
isinya dapat disimpulkan menjadi empat hal, yaitu: Pertama,
mempersatukan segenap kaum muslimin dari berbagai suku
menjadi suatu ikatan. Kedua, menhidupkan semangat gotong
royong, hidup berdampingan, saling menjamin keamanan di
antara sesama warga negara. Ketiga, menetapkan bahwa setiap
warga masyarakat mempunyai kewajiban memanggul senjata.
Dan, keempat, menjamin persamaan dan kebebasan bagi kaum
Yahudi dan pemeluk-pemeluk agama lain dalam mengurus
kepentingan mereka. Konsep piagam Madinah tersebut
merupakan contoh bahwa yuridis formal, Nabi Muhammad saw.
mengakui dan melindungi terhadap pemeluk agama lain. Lihat
Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia: dari Radikalisme
menuju Kebangsaan (Cet. V; Yogyakarta: PT Kanisius, 2013), h. 61-
62.
94
bermasyarakat karena dukungan ayat-ayat Madaniyah.
Kedua, ada keterangan yang menyatakan bahwa akhlak
Rasulullah adalah al-Qur’an. Artinya, kedua alasan ini
menegaskan bahwa pijakan pendidikan multikultural dalam
Islam adalah al-Qur’an.43
Jadi, orientasi dari pendidikan multikultural dalam
Islam ialah tertanamnya sikap simpati, respek, apresiasi
(menghargai), dan empati terhadap penganut agama dan
budaya yang berbeda untuk meningkatkan kadar taqwa di
sisi Allah swt. Karena Allah tidak melihat darimana ia
berasal, seberapa tampan atau cantik, seberapa kaya,
seberapa tinggi pangkat/jabatan, seberapa kuat badannya,
tapi yang dilihat adalah seberapa besar tingkat
ketaqwaannya.
Mewujudkan pendidikan multikultural Islam
(selanjutnya disebut PIM “Pendidikan Islam Multikultural”)
ditempuh berbagai cara, di antaranya:
1. Pendidikan Islam multikultural (PIM) mengakui budaya
lokal dan menghormati budaya global. Artinya,
pendidikan Islam multikultural mengakui adanya
realitas budaya lokal sebagai sesuatu yang bisa
mewarnai pendidikan Islam. Di sisi lain, PIM juga tidak
menafikan budaya global yang juga bisa menambah
gairah pendidikan Islam. Ketika kedua budaya tersebut
bersitegang, maka peran PIM ini mencari jalan tengah
untuk “mendamaikan” keduanya.
2. PIM mencoba mensiasati problem-problem pendidikan
atau kemanusiaan lain yang sulit untuk diselesaikan. Ini
terkait dengan maraknya benturan-benturan ideologi,

43Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan


Modernisasi Menuju Milenium Baru(Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2000), h.13-14.
95
keyakinan, dan cara pandang dan bagaimana PIM
mensiasati benturan-benturan tersebut. Contoh kasus
pelaksanaan ujian nasional (UN). Ada ketegangan antara
pemerintah, sebagai pembuat kebijakan UN dengan
sebagian elemen masyarakat dalam melihat pelaksanaan
UN. Pemerintah tetap mengharuskan UN sementara
elemen masyarakat tersebut tetap menolak UN. PIM bisa
mensiasati ketegangan ini dengan mengajukan rumusan
pelaksanaan UN baru, yaitu UN tetap dilaksanakan tapi
tidak menjadi salah satu penentu kelulusan.
3. PIM menjadikan globalisasi bukan sebagai musuh tapi
sebagai penyeimbang bagi budaya lokal. Ini sejalan
dengan konsep PIM sebagai jalan tengah. Artinya posisi,
PIM itu tidak mesti menjadi salah satu pendukung
globalisasi atau budaya lokal, tapi mengambil peran
sebagai fasilitator bagi globalisasi dan budaya lokal.
Contohnya ketika globalisasi, di satu sisi, mendorong
penggunaan teknologi dalam semua ranah kehidupan,
dan di sisi lain, keyakinan akan bahaya teknologi bagi
moralitas anak terus dipegang erat oleh masyarakat di
perkampungan misalnya, maka PIM menjadi
penyeimbang dengan mempersilahkan penggunaan
teknologi di masyarakat perkampungan dan mendorong
perbaikan metodologi pengajaran al-Qur’an dan ilmu-
ilmu agama lain di perkampungan agar pemahaman
terhadap agama semakin baik dan kesadaran tentang
moralitas menjadi semakin tinggi.
4. PIM mendorong pluralisme bukan semata-mata sebagai
pengakuan terhadap perbedaan dan kemajukan, namun
dalam prakteknya menerima perbedaan tersebut secara
legowo dan melakukan perubahan dalam cara bertindak.
Artinya, pluralisme yang “proyeknya” belum final pada
era modernisme itu, didorong untuk menuntaskan

96
proyek tersebut sehingga menghasilkan perubahan yang
jelas bagi masyarakat. Kalau pluralisme hanya sebatas
gagasan, maka PIM ini melakukan kerja nyata. Contoh
apakah masyarakat Indonesia bisa menerima seorang
presiden non-muslim, namun bisa mensejahterakan
rakyat? Tugas PIM untuk melakukan perubahan
terhadap cara pandang masyarakat tersebut, sehingga
ukuran utama seorang presiden tersebut bukan
didasarkan pada latar belakang agama, namun pada
tingkat kemampuan memajukan masyarakat.
5. PIM “melawan” keinginan pemerintah, tokoh
pendidikan, atau siapapun yang mencoba melakukan
penyeragaman dalam pendidikan. Ini bisa sejalan
dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Kedua
konsep ini mendorong keragaman proses pembelajaran
di setiap sekolah. Rumusan kelima ini memerlukan
keberanian dan energi yang lebih untuk “melawan”
kebijakan-kebijakan pendidikan yang tidak pro rakyat.
6. PIM membuka perbedaan seluas-luasnya dan
memberikan pemahaman bagaimana seharusnya
menghadapi perbedaan tersebut. Rumusan terakhir
menjelaskan bahwa perbedaan itu sebuah realitas
kemanusiaan dan bagaimana masyarakat bisa
memahami realitas tersebut dan mempraktekan
pemahaman tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, untuk menuju pendidikan Islam
multikultural diperlukan kesadaran tentang konsep dan
arah multikultural dari semua elemen pendidikan;
pemerintah, masyarakat, pimpinan sekolah, orang tua,
guru, dan siswa. Kesadaran tersebut, menurut
Aurobindo (seorang filosof Hindu Mutakhir) harus
berawal dari tingkat kesadaran utama, yang berpuncak

97
pada supermind, yaitu 1) keesaan Tuhan direalisasikan
melalui keragaman, 2) setiap individu selaras dengan
nilai-nilai universal, dan 3) kehendak individu
direfleksikan lewat perubahan yang konkret historis.
Konsep kesadaran ini relevan dengan konsep
pendidikan pembebasan yang mendorong usaha
penyadaran manusia tentang realitas dirinya. Paulo
Freire menjelaskan bahwa karena pendidikan
menggarap realitas manusia, maka secara metodologis,
ia harus disandarkan pada prinsip aksi dan refleksi yang
dinamakan sebagai praksis, yaitu aksi dalam pengertian
mengubah realitas, dan di sisi lain yang ia sebut sebagai
refleksi terus menerus menumbuhkan kesadaran untuk
merubah realitas tersebut.44
Selanjutnya, ada dua hal pula yang harus dilakukan
untuk mewujudkan pendidikan Islam multikultural. Kedua
hal ini bersipat konseptual dan metodologis, yang nanti bisa
dikembangkan menjadi langkah-langkah praktis, sebagai
berikut:
1. Birokrat pendidikan, guru, dan siswa harus mampu
mengakses informasi tentang isu-isu multikultural, baik
dari media massa maupun lewat forum diskusi, sehingga
mereka tumbuh menjadi seorang figur multikultural.
Mereka harus aktif membaca buku dan mengikuti
perkembangan informasi lewat media massa. Ketika
birokrat pendidikan menjadi seorang figur multikultural,
maka kebijakan pendidikan, termasuk produk hukum
pun akan mendukung multikultural. Begitupun guru
dan siswa. Ketika mereka tumbuh menjadi figur

44Hilmy, Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis


Multikulturalisme Jurnal Ulumuna, Vol. VII. Edisi 12. No. 12 “Juli-
Desember” (Mataram: STAIN Mataram, 2003), h. 43.
98
multikultural, maka proses pengajaran dan pembelajaran
pun akan memuat nilai-nilai multikultural.
2. Kegiatan multikultural adalah bagian dari nilai spiritual.
Oleh karena itu, siswa harus diberikan penjelasan
tentang nilai-nilai spiritual dari kegiatan yang mereka
lakukan tersebut. Sehingga setiap saat mereka akan
dihadapkan pada kesadaran spiritual. Sebagai contoh
guru mengajak diskusi tentang pentingnya
membersihkan lingkungan, menghormati orang yang
berbeda agama. Guru mengajak siswa menonton film
atau acara-acara televisi yang memuat wawasan dan
nilai-nilai kemanusiaan. Ia menjelaskan bahwa hal
tersebut merupakan bagian dari nilai-nilai multikultural
dan refleksi dari ibadah kepada Tuhan.45
Pendidikan multikultural dalam Islam mengapresiasi
manusia sebagai makhluk yang mempunyai potensi jasmani,
akal, dan ruhani. Ketiga potensi inilah yang mampu
menumbuhkan seorang siswa menjadi manusia yang sukses
di dunia dan di akhirat. Multikultural adalah sebuah jalan
tengah atau siasat yang digunakan untuk “membaca”
kenyataan adanya perbedaan dan keragaman. Pendidikan
multikultural berangkat dari kenyataan adanya perbedaan
dan keragaman tersebut. Oleh karena itu, substansi
pendidikan multikultural adalah untuk mengapresiasi
perbedaan dan keragaman tersebut.
Agar pendidikan multikultural tidak bebas nilai,
maka harus dipandu oleh wahyu. Wahyu inilah sebenarnya
yang menjadi kekuatan hakiki dari pendidikan Islam
multikultural, sehingga setiap kegiatan multikultural tidak
terlepas dari nilai-nilai ke-Tuhan-an dan menjadi bukti

45Hilmy, Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis


Multikulturalisme Jurnal Ulumuna, h. 45.
99
pengabdian kepada Allah Yang Maha Mendidik. Sekaligus
mendorong manusia untuk menjadi figur multikultural dan
mendorong kesadaran spiritual dalam setiap kegiatan
multikultural.
Jadi, pendidikan multikultural dalam Islam yaitu
usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian di dalam
dan di luar sekolah yang mempelajari tentang berbagai
macam status sosial, ras, suku, agama agar tercipta
kepribadian yang cerdas dalam menghadapi masalah-
masalah keberagaman budaya yang disesuaikan dengan
nafas Islam sebagai sarana dalam mendekatkan diri pada
Allah menuju makhluk yang mulia dengan taqwa.

100
BAB IV
UJIAN NASIONAL DAN
PERMASALAHANNYA

A. Pendahuluan
Kontroversi atau silang pendapat tentang kebijakan
ujian nasional hingga saat ini masih terus berlangsung.
Sebagian kalangan menilai bahwa ujian nasional perlu tetap
dipertahankan dengan model yang saat ini sedang berlaku.
Argumentasinya adalah ujian nasional diperlukan sebagai
instrumen untuk mengukur pencapaian standar nasional
pendidikan. Kalangan lain berpendapat bahwa kebijakan ini
tidak sesuai dan harus dihapuskan dari sistem pendidikan
nasional. Alasannya, ujian nasional memperlakukan peserta
didik secara sama padahal fasilitas pendidikan dan sumber
daya guru berbeda antara satu daerah dan daerah yang lain.
Selain itu, terdapat juga kalangan lain yang memiliki
pendapat berbeda, yaitu menolak ujian nasional sebagai
penentu kelulusan, sementara fungsinya yang lain masih
boleh dipertahankan.
Jika dilihat kembali sejarah perjalanan sistem
pendidikan nasional, khususnya dalam hal evaluasi,
Indonesia sebenarnya telah menerapkan teknik evaluasi
yang berganti-ganti dari masa ke masa. Pada tahun 1950-
1964 Indonesia menerapkan “ujian penghabisan.” Tahun
1965-1971 menjadi “ujian negara.” Kemudian tahun 1972-
1979 ujian dilaksanakan oleh sekolah masing-masing. Tahun
1980-2000 dilakukan “evaluasi belajar tahap akhir nasional
(EBTANAS).” Baru pada tahun 2001-2004 berlaku “ujian
akhir nasional” yang selanjutnya pada tahun 2005 berganti
nama menjadi “ujian nasional.”1
Tujuan pemerintah melaksanakan ujian nasional,
antara lain: untuk mengukur pencapaian kompetensi
lulusan peserta didik secara nasional pada mata pelajaran
tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan
dan teknologi serta untuk memetakan tingkat pencapaian
hasil belajar siswa pada tingkat sekolah dan daerah.
Sementara fungsinya adalah untuk meningkatkan mutu
pendidikan agar tercipta sumber daya manusia yang
mampu bersaing secara global.2
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang
kemudian muncul adalah: apakah ujian nasional sesuai
dengan hakikat, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional?
Apakah ujian nasional berdampak pada peningkatan mutu
pendidikan? Masalah ini yang akan dibahas dalam makalah
ini untuk selanjutnya akan disimpulkan apakah ujian
nasional diperlukan dalam rangka memajukan kualitas
pendidikan di Indonesia.
Pembahasan tantang Ujian Nasional dan
Permasalahannya di dalam bab ini dibahas secara teoretis
mulai dari bagaimana posisi ujian nasional dalam perspektif

1“Ujian Nasional dari Masa ke Masa,” Koran Sindo, 16

April 2014. http://www.koran-sindo. com/node/308288 (7 Juni


2014). Berkaitan dengan ketentuan Ujian Nasional dapat dilihat
Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan.
2Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia, “Kebijakan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2013-2014.”


http://litbang. kemdikbud.go.id/Data/sekretariat
/Rakor_UN/Rakor_ UN_2013/Paparan/
Kebijakan%20Ujian%20Nasional%20Tahun%202013-2014.pdf (7
Juni 2014).
102
evaluasi pendidikan, dasar hukumpelaksanaan ujian
nasional, bagaimana permasalahan yang terjadi dalam ujian
nasional, bagaimana dampak ujian nasinal terhadap
pencapaian tujuan pendidikan nasional.

B. Ujian Nasional dalam Perspektif Evaluasi Pendidikan


Ujian nasional disebut merupakan bagian dari
evaluasi pendidikan. Oleh sebab itu, kajian tentang evaluasi
pendidikan perlu diketengahkan lebih awal untuk memberi
pijakan teoretis dalam menjelaskan posisi ujian nasional
dalam konteks evaluasi pendidikan.
Menurut definisi, evaluasi pendidikan adalah suatu
kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan data tentang
keberhasilan peserta didik dalam belajar dan keberhasilan
guru dalam mengajar.3 M. Ngalim Purwanto
mengemukakan, evaluasi pendidikan adalah
penilaian/penaksiran terhadap pertumbuhan dan kemajuan
peserta didik ke arah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
dalam kurikulum.4 Berkaitan dengan itu, Suharsimi
Arikunto menjelaskan bahwa evaluasi belajar dan
pembelajaran adalah proses untuk menentukan nilai belajar
dan pembelajaran yang dilaksanakan, dengan melalui
kegiatan penilaian atau pengukuran belajar dan
pembelajaran. Keberhasilan proses pembelajaran dapat
dilihat dari prestasi belajar yang dicapai siswa. Evaluasi

3Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: PT


RajaGrafinda Persada, 2001), h. 6.
4M. Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi

Pembelajaran (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 3.


103
akan memberikan informasi tingkat pencapaian belajar
siswa.5
Evaluasi harus mampu memuat semua informasi
tentang tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan.6
Misalnya, pendidikan yang diarahkan untuk melahirkan
tenaga cerdas yang mampu bekerja. Tujuan melahirkan
tenaga kerja yang cerdas tidak dapat diukur hanya dengan
tes belaka. Oleh karena itu, evaluasi harus mampu
memetakan kecerdasan peserta didik sekaligus
kemampuannya dalam bekerja.
Sistem evaluasi yang lebih banyak berbentuk tes
objektif akan membuat peserta didik mengejar kemampuan
kognitif dan bahkan dapat dicapai dengan cara mengafal
saja. Artinya, anak yang lulus ujian dalam bentuk tes
obyektif belum berarti bahwa anak tersebut cerdas apalagi
terampil bekerja.7 Sebagai konsekuensinya harus
dikembangkan sistem evaluasi yang dapat menjawab semua
kemampuan yang dipelajari dan diperoleh selama
mengikuti pendidikan.
Selain itu, evaluasi pendidikan harus mampu
membedakan antara anak yang mengikuti pendidikan
dengan anak yang tidak mengikuti pendidikan. Kata lainnya
adalah evaluasi tidak bisa dilakukan hanya pada saat
tertentu, tetapi harus dilakukan secara komperehensif atau

5Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar,


Evaluasi Program Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 5.
6Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan
(Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 8.
7Chabib Thoha, Teknik Evaluasi Pendidikan (Jakarta: PT

RajaGrafinda Persada, 2003), h. 55.


104
menyeluruh dengan beragam bentuk dan dilakukan secara
terus menerus dan berkelanjutan.8
Evaluasi harus mampu memberikan informasi
penting, antara lain: penempatan, mastery, dan diagnosis.
Penempatan berkaitan dengan pada level belajar yang mana
seorang anak dapat ditempatkan sehingga dapat menantang
tetapi tidak frustasi. Mastery berkaitan dengan apakah anak
sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup
untuk menuju ke tingkat berikutnya. Diagnosis berkaitan
dengan pada bagian mana yang dirasa sulit oleh anak.9
Secara garis besar dalam proses belajar, evaluasi
memiliki fungsi pokok sebagai berikut: (1) Mengukur
kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah
melakukan kegiatan belajar mengajar selama jangka waktu
tertentu. (2) Mengukur sampai di mana keberhasilan sistem
pengajaran yang digunakan. (3) Sebagai bahan
pertimbangan dalam rangka melakukan perbaikan proses
belajar mengajar. (4) Sebagai dasar untuk keperluan
bimbingan dan konseling.10
Pelaksanaan evaluasi dilakukan oleh guru dengan
memakai seperangkat instrumen penggali data seperti tes
perbuatan, tes tertulis, dan tes lisan.11 Pelaksanaan evaluasi
mempunyai manfaat sangat besar. Manfaat ini dapat

8Moh Fahri Yasin, Sistem Evaluasi Pembelajaran (Gorontalo:

Sultan Amai Press, 2009), h. 5-6.


9Baego Ishak dan Syamsuduha, Evaluasi Pendidikan
(Makassar: Alauddin University Press, 2010), h. 23-25.
10Sukardi, Evaluasi Pendidikan: Prinsip dan Operasionalnya
(Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 4.
11Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, h.
55.
105
ditinjau dari pelaksanaannya. Adapun jenis evaluasi serta
manfaatnya adalah sebagai berikut:
1. Evaluasi formatif, yaitu evaluasi yang dilaksanakan setiap
kali selesai dipelajari suatu unit pelajaran tertentu.
Manfaatnya sebagai alat penilai proses pembelajaran
suatu unit materi pembelajaran tertentu.
2. Evaluasi sumatif, yaitu evaluasi yang dilaksanakan setiap
akhir pembelajaran suatu program atau sejumlah unit
pelajaran tertentu. Evaluasi ini mempunyai manfaat
untuk menilai hasil pencapaian siswa terhadap tujuan
suatu program pelajaran dalam suatu periode tertentu,
seperti semester atau akhir tahun pelajaran.
3. Evaluasi diagnostik, yaitu evaluasi yang dilaksanakan
sebagai sarana diagnosis. Evaluasi ini bermanfaat untuk
meneliti atau mencari sebab kegagalan pembelajaran
yang tercermin dari hasil evaluasi formatif dan sumatif.
4. Evaluasi penempatan, yaitu evaluasi yang dilaksanakan
untuk menempatkan siswa dalam suatu program
pendidikan atau jurusan yang sesuai dengan kemampuan
(baik potensial maupun lokal) dan minatnya. Evaluasi ini
bermanfaat dalam rangka proses penentuan jurusan
sekolah.12
Demi mengukur hasil pendidikan sebagaimana
digambarkan di atas, maka diperlukan instrumen evaluasi
yang variatif dan komprehensif; tidak cukup hanya dengan
menggunakan instrumen evaluasi dalam bentuk tes tetapi
juga diperlukan dalam bentuk non-tes. Karena evaluasi
dalam bentuk tes hanya dapat mengukur penguasaan
pengetahuan yang masuk dalam ranah kognitif. Apalagi

12Misykat Malik Ibrahim, Pengembangan Pengukuran Non-


Tes Bidang Pendidikan: Suatu Pendekatan Psikologi (Makassar,
Alauddin University Press, 2012), h. 30-31.
106
bentuk tes yang digunakan hanya dalam bentuk tes pilihan
ganda (multiple choise). Sementara untuk mengetahui
perkembangan dan keberhasilan pencapaian tujuan pada
ranah psikomotorik dan afektif diperlukan alat evaluasi
dalam bentuk non-tes, seperti observasi dan praktik.
Dilihat dari perspektif evaluasi pendidikan dan
teknik penilaian seperti yang telah dikemukakan di atas,
ujian nasional tampak mengabaikan beberapa aspek yang
semestinya dinilai sebagai tolok ukur keberhasilan peserta
didik. Ujian nasional tidak merepresentasikan seluruh
keberhasilan yang dicapai oleh peserta didik selama
menempuh pembelajaran di sekolah, terutama pada aspek
afeksi dan psikomotoriknya.

C. Dasar Pelaksanaan Ujian Nasional


Ujian nasional (UN) adalah kegiatan penilaian hasil
belajar peserta didik yang telah menyelesaikan jenjang
pendidikan pada jalur sekolah/madrasah yang
diselenggarakan secara nasional. Undang-Undang RI nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab XVI
pasal 57 menyebutkan bahwa “evaluasi hasil belajar
dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan
secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara
pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.”13
Prosedur Operasi Standar Pelaksanaan UN Tahun
2014 menyebutkan, UN adalah “kegiatan pengukuran dan
penilaian pencapaian standar kompetensi lulusan secara

13Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun


2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Cet. IV; Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), h. 37.
107
nasional meliputi mata pelajaran tertentu.”14 Sedangkan
menurut Permendiknas No. 20 tahun 2007 tentang Standar
Penilaian Pendidikan, UN adalah kegiatan pengukuran
pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata
pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai
pencapaian standar nasional pendidikan.15
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa secara sederhana UN merupakan alat untuk menilai
ketercapaian standar nasional pendidikan dalam rangka
memberikan informasi untuk pengambilan keputusan bagi
pemegang kebijakan pendidikan di Indonesia. Selanjutnya
bertujuan akhir dalam rangka meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia.
Beberapa pertimbangan yang berkaitan dengan dasar
yuridis, historis, dan teoretis telah dijadikan sebagai
landasan kebijakan penyelenggaraan ujian nasional. Dasar
yuridis pelaksanaan ujian nasional adalah:
a. Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
b. Peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan.
c. Peraturan Menteri nomor 20 tahun 2007 tentang Standar
Penilaian Pendidikan.

14Peraturan Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor:


0022/p/bsnp/xi/2013 tentang Prosedur Operasi Standar
Penyelenggaraan Ujian Nasional, h. 4. http://akhmadsudrajat.
wordpress. com/2013/12/10/ pos-un-tahun-pelajaran-2013-
2014.pdf (7 Juni 2014).
15Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun
2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan, h. 7. http:// akhma
dsudrajat.files. wordpress.com/2012/01/permen-no-20-standar-
penilai-an-pendidikan.pdf (7 Juni 2014).
108
d. Prosedur Operasi Standar Pelaksanaan Ujian Nasional
yang ditetapkan oleh BSNP setiap tahunnya.
Dasar historis penyelenggaraan UN mengacu pada
realitas sejarah bahwa sejak Indonesia merdeka pernah
diterapkan ujian negara yang sifatnya dan skalanya
nasional, sampai dengan era awal tahun 1970-an. Saat era
ujian negara, ada suatu standar mutu pendidikan dalam
skala nasional, dan ketika itu mutu pendidikan Indonesia
relatif baik dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Waktu itu, Indonesia banyak mengirimkan tenaga guru ke
luar negeri (misalnya ke Malaysia). Sebaliknya, pemerintah
Malaysia juga banyak mengirimkan mahasiswa untuk
belajar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Selanjutnya, mutu pendidikan Indonesia mulai merosot
sejak diterapkan sistem ujian sekolah pada 1970-an. Era ini,
sekolah membuat ujian akhir sendiri-sendiri, menyiapkan
bahan ujian, dan menetapkan kelulusan sendiri. Tidak ada
lagi standar nasional, yang ada adalah standar sekolah,
sangat bervariasi, dan tidak dapat dijadikan tolok ukur
dalam pengendalian dan peningkatan mutu pendidikan.16
Dasar teoritis penyelenggaraan ujian nasional
mengacu pada perkembangan psikologis siswa-siswa
dengan berdasar pada teori perkembangan kognitif dan
intelektual dari Jean Piaget. Oleh karena itu, pemberian
materi/bahan ujian serta tingkat kesulitan soal didasarkan
pada tahapan perkembangan peserta didik, baik pada
tingkatan siswa-siswa yang berada pada jenjang pendidikan

16S. Hamid Hasan, “Ujian nasional dan Masa Depan


Bangsa: Ditinjau Dari Aspek Legal, Posisi Pemerintah, Pandangan
Pendidikan.” http://file.upi.edu (8 Juni 2014).
109
dasar maupun pada jenjang pendidikan menengah.17 Selain
itu, dengan standar kompetensi pada masing-masing jenjang
pendidikan yang ditetapkan, memberikan acuan mengenai
materi ujian dalam hubungannya dengan kriteria
pencapaian tujuan pada setiap jenjang pendidikan.
Selain dasar di atas, beberapa alasan sehingga UN
perlu untuk dilaksanakan, yakni:
a. UN mendorong peningkatan mutu pendidikan di
sekolah. UN mendorong semua pihak yang terkait
untuk bekerja lebih baik, karena khawatir dengan
ketidaklulusan. Ujian yang dilakukan ini mendorong
siswa tekun belajar dan guru mengajar lebih baik;
mendorong kepala kepala sekolah untuk memberikan
perhatian lebih serius terhadap mutu pendidikan di
sekolah; dan mendorong orang tua untuk memberikan
perhatian terhadap pembelajaran anak-anak mereka.
Hal ini memberi dampak secara langsung terhadap
pencapaian hasil belajar peserta didik dan terhadap
mutu pendidikan di sekolah.
b. UN merupakan entry point untuk meningkatkan mutu
sumber daya manusia dan daya saing bangsa. UN dapat
mendorong peningkatan mutu pendidikan. Peningkatan
mutu pendidikan merupakan tuntutan yang mendesak
dan tidak dapat ditawar. Di era globalisasi saat ini,
hanya masyarakat dan bangsa yang memiliki sumber
daya manusia bermutu yang akan memenangkan
persaingan dalam pasar kerja dan pergaulan global.
Sumber daya manusia yang bermutu hanya bisa
diwujudkan dengan pendidikan bermutu.

17S. Hamid Hasan, “Ujian nasional dan Masa Depan


Bangsa: Ditinjau Dari Aspek Legal, Posisi Pemerintah, Pandangan
Pendidikan.” http://file.upi.edu (8 Juni 2014).
110
c. UN merupakan instrumen untuk pemerataan mutu
pendidikan. Bertolak pada perspektif pemeratan mutu
pendidikan, UN dapat digunakan sebagai alat untuk
memetakan mutu pendidikan, sekolah mana dan daerah
mana yang sudah baik dan sekolah mana dan daerah
mana yang belum baik mutu pendidikannya.
Berdasarkan hasil UN dapat diketahui sekolah-sekolah
serta daerah yang sudah baik dan yang masih kurang
baik mutu pendidikan dilihat dari pencapaian standar
kompetensi kelulusan secara nasional. Selanjutnya,
pemerintah dapat membina dan membantu sekolah
serta daerah secara proporsional dalam rangka
peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan di
seluruh tanah air. Jika demikian, pendidikan bermutu
tidak hanya terdapat di kota-kota besar, dan tidak
hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang yang
ekonomi kuat, tetapi tersebar merata di seluruh tanah
air, sehingga dapat dinikmati oleh banyak orang.18
Berdasarkan tinjauan di atas disimpulkan bahwa
penyelenggaraan ujian nasional memiliki dasar
konstitusional, historis, teoretis, dan empiris. Oleh karena
itu, pemerintah tetap menyelenggarakan ujian nasional
meskipun terdapat muncul berbagai kritik terhadap
kebijakan ini. Argumen pemerintah, sebagaimana
dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa ujian nasional
berguna sebagai instrumen untuk mengukur dan
memetakan kualitas pendidikan secara nasional.

18Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia, “Kebijakan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2013-2014.”


http://litbang.kemdikbud.go.id/Data/sekretariat/RakorUN/Rak
orUN_2013/Paparan/ Kebijakan%20Ujian%20Nasional%20
Tahun%202013-2014.pdf (7 Juni 2014).
111
D. Permasalahan Ujian Nasional
Sebagaimana disebutkan pada subbahasan sebelum
ini, bahwa ujian nasional diselenggarakan dengan mengacu
pada beberapa pertimbangan atau dasar kebijakan. Namun
dasar itu perlu untuk ditelaah karena mengandung
kontradiksi. Dasar yuridis, misalnya, ini perlu dicermati
sebab di dalam buku Tanya Jawab UN 2011 yang dibuat oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dinyatakan
bahwa landasan pelaksanaan kebijakan UN terdapat pada
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pasal 58 ayat (2)19 bahwa: “evaluasi peserta didik,
satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh
lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan,
dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional
pendidikan.”20 Lembaga mandiri yang dimaksud adalah
Badan Standar Nasional Pendidikan.
Ketentuan di atas pada dasarnya bertentangan
dengan pasal sebelumnya, yaitu pasal 58 ayat (1)
menyatakan “evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan
oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan
perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan.” 21

Ayat (1) sudah jelas menyatakan bahwa evaluasi


dilakukan oleh pendidik. Pendidik yang dimaksud di sini
adalah guru, dan yang dievaluasi adalah hasil belajar peserta
didik. Artinya, perkembangan peserta didik selama belajar

19“Tanya Jawab Pelaksanaan Ujian Nasional 2011”. Ebook


diunduh dari http://kemdiknas. go.id (7 juni 2014)
20Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 38.
21Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 38.


112
di sekolah dinilai dan dievaluasi oleh gurunya sendiri, yang
mengajarnya di kelas. Sementara pada ayat selanjutnya
yakni ayat (2), yang dimaksud dengan evaluasi peserta didik
di sini bukan untuk menentukan lulus dan ketidaklulusan
peserta didik dari satuan pendidikan, tetapi untuk menilai
pencapaian standar nasional pendidikan.
Landasan lain yang dikemukakan oleh pemerintah
dalam buku Tanya Jawab UN 2011 adalah mengacu pada
Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Pasal 63 ayat (1) tertulis:
Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah terdiri atas:
a. Penilaian hasil belajar oleh pendidik;
b. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan
c. Penilaian hasil belajar oleh pemerintah.22
Pasal tersebut khususnya butir (c) menjadi dasar
terkuat yang sangat jelas maknanya sebagai landasan bagi
pelaksanaan Ujian Nasional. Namun secara hirarki
perudang-undangan, kedudukan undang-undang berada di
atas peraturan pemerintah. Oleh karena itu, seharusnya
peraturan pemerintah adalah penjabaran dari undang-
undang. Apabila terdapat ketentuan-ketentuan dalam
peraturan pemerintah yang bertolak belakang dengan
ketentuan undang-undang, maka yang harus dijadikan
pedoman adalah undang-undang.
Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas mengamanatkan bahwa evaluasai hasil belajar
peserta didik dilakukan oleh pendidik dan bukan oleh

22Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tahun


2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, h. 45.
http://sultra.kemenag.go.id/
file/dokumen/PP19th2005StandarNasionalPendidikan. pdf
113
pemerintah, maka tugas tersebut merupakan hak mutlak
dari seorang guru. Pemerintah tidak berhak mengevaluasi
hasil belajar peserta didik, terlebih dalam menentukan
kelulusan.
Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan pasal 68 menyatakan bahwa:
Hasil Ujian Nasional digunakan sebagai salah satu
pertimbangan untuk
a.Pemetaan mutu program dan/atau satuan
pendidikan;
b. Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya;
c.Penentuan kelulusan peserta didik dari program
dan/atau satuan pendidikan;
d. Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan
pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan
mutu pendidikan.23
Berdasarkan pasal ini maka ujian nasional digunakan
sebagai penentu kelulusan yang tertera pada butir (c). Patut
dikritisi, apakah pemerintah telah menjalankan butir-butir
lainnya khususnya butir (a) dan (d)? Tampaknya belum ada
upaya yang dilakukan oleh pemerintah terhadap hasil ujian
nasional. Hasil ujian nasional dari tahun ke tahun belum
bermakna bagi pemetaan dan pembinaan serta pemberian
bantuan. Apakah sudah ada langkah-langkah konkret yang
dilakukan terhadap sekolah-sekolah yang nilai ujiannya jauh
di bawah standar? Sejauh yang teramati selama ini justru
sekolah yang dianggap unggulan yang mendapatkan
prioritas bantuan.

23Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tahun

2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, h. 50.


114
Sementara itu mengenai kelulusan peserta didik
mengacu pada PP No. 19 tahun 2005 pasal 72 ayat (1) yang
menyatakan:
Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan
pada pendidikan dasar dan menengah setelah:
1. menyelesaikan seluruh program pembelajaran;
2. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian
akhir untuk seluruh mata pelajaran yang terdiri atas
kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia,
kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan
kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan
kesehatan;
3. lulus ujian sekolah untuk kelompok mata pelajaran
ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
4. lulus Ujian Nasional.24
Butir (d) itulah yang juga menjadi dasar mengapa
ujian nasional digunakan sebagai penentu kelulusan.
Hal lain yang perlu dipermasalahkan adalah
relevansi UN dengan hakikat, fungsi dan tujuan Pendidikan
Nasional. Menurut UU RI No. 20 tahun 2003, Pasal 1 ayat (1)
bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

24Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19


tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, h. 52.
115
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.25
Terlihat jelas bahwa ketentuan tersebut menekankan
pentingnya mewujudkan suasana dan proses pembelajaran
yang mendorong peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya. Sementara suasana dan
proses pembelajaran yang demikian tidak dapat terwujud
dengan berlakunya sistem ujian nasional yang model
pembelajarannya menekankan pada kemampuan verbal
untuk menjawab soal pilihan ganda. Ujian nasional malah
mendorong proses pembelajaran yang mengutamakan
kegiatan mendengar, mencatat, dan menghafal
pengetahuan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Benjamin Bloom dan juga Soedijarto di Amerika Serikat
ditemukan bahwa tingkah laku belajar peserta didik
dipengaruhi oleh perkiraan peserta didik terhadap apa yang
akan diujikan. Oleh karena itu ujian nasional yang
umumnya menanyakan dimensi kognitif dari mata pelajaran
akan menyebabkan peserta didik dalam proses belajarnya
tidak merasa perlu untuk membaca novel, tidak merasa
perlu untuk melakukan percobaan di laboratorium, tidak
merasa perlu untuk melakukan berbagai aktivitas belajar
lainnya yang bermanfaat bagi pengembangan potensi
dirinya karena semua itu tidak akan diujikan.26
Dampak lainnya dari kebijakan ujian nasional adalah
guru akan membantu peserta didik untuk menghadapi ujian

25Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 3.
26Erlan Muliadi “Analisis Kebijakan Ujian Nasional.” Blog.
Pribadi. http://erlanmuliadi. blogspot.com/2011/05/analisis-
kebijakan-pelaksanaan-ujian.html (8 Juni 2014).
116
dengan cara melatih peserta didik menjawab soal-soal ujian.
Sekolah dan pemerintah daerah akan berusaha agar
siswanya banyak yang lulus termasuk dengan cara-cara
yang tidak etis, misalnya pembentukan “tim sukses UN.”
Hal ini terjadi karena menyangkut akreditasi dan citra
sekolah serta daerah, yang berpengaruh terhadap
pandangan masyarakat terhadap sekolah dan daerah
tersebut. Sekolah yang siswanya banyak yang tidak lulus
akan dianggap sebagai sekolah tidak bermutu, sehingga
tahun berikutnya masyarakat tidak mau menyekolahkan
anaknya ke sekolah tersebut.
Dampak-dampak di atas sebagai akibat
diterapkannya kebijakan ujian nasional tidak mungkin
mampu mewujudkan proses pembelajaran yang
mengembangkan kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan
keterampilan.
Mengenai fungsi dan tujuan pendidikan nasional,
UU RI No. 20 tahun 2003 pasal 3 menyatakan:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.27
Fungsi pendidikan yang dikemukakan dalam UU
Sisdiknas tersebut sesuai dengan empat misi negara yang

27Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 7.


117
tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Mengapa para pendiri republik ini menetapkan misi
“mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai salah satu misi
penyelenggaraan negara? Berdasarkan pemahaman tentang
latar belakang sejarah Indonesia sebelum kedatangan
penjajah, yakni setelah runtuhnya Majapahit pada abad ke-
15, wilayah nusantara terpecah menjadi puluhan kerajaan
kecil yang selanjutnya dikuasai oleh penjajah sejak abad ke-
17. Kondisi nusantara sejak saat itu sangat jauh tertinggal
dalam hampir semua dimensi kehidupan, baik ekonomi,
politik, dan iptek oleh bangsa-bangsa Eropa yang telah
bangkit menjadi negara-negara industri sejak Renaissance.
Oleh karena itu, tampaknya para pendiri republik bercita-
cita membangun sebuah negara yang cerdas kehidupannya,
yaitu masyarakat negara yang maju, modern, demokratis,
dan berkeadilan sosial. Tampaknya para pendiri republik
pun berpegang kepada paradigma yang dianut oleh negara-
negara maju saat itu yakni “build nation build school.”28
Apabila fungsi dan tujuan pendidikan seperti yang
digariskan dalam ketentuan UU Sisdiknas tersebut tercapai,
Indonesia akan menjadi negara yang maju dan cerdas
kehidupannya. Namun faktanya, ujian nasional tidak akan
dapat mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan tersebut
karena ujian nasional tidak dapat mengukur seberapa jauh
perkembangan kemampuan dan watak peserta didik.

28Hafiz Farihi, “Kebijakan Ujian Nasional,” Blog Pribadi,


http://hafizfarihi.blogspot.com /2011/12/positioning-paper-
kebijakan-ujian.html
118
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional tidak akan
tercapai melalui proses pembelajaran yang mengutamakan
belajar mencatat, mendengar, dan menghafal. Walaupun
begitu, pemerintah berpendapat bahwa ujian nasional
mampu meningkatkan mutu pendidikan dan meningkatkan
etos kerja serta semangat belajar peserta didik. Bagi
pemerintah, ujian nasional yang secara statistik mengalami
peningkatan nilai kelulusan dari tahun ke tahun diartikan
sebagai peningkatan mutu pendidikan. Apakah mutu bisa
diartikan sesempit dan sedangkal itu? Lalu semangat belajar
peserta didik agar dapat lulus ujian diartikan juga sebagai
peningkatan etos kerja. Apakah hal-hal yang menjadi akibat
diterapkannya kebijakan ujian nasional benar mampu
menciptakan masyarakat yang beretos kerja tinggi? Justru
yang terjadi di lapangan adalah maraknya kecurangan dan
manipulasi nilai, yang bukan saja tidak berlaku valid untuk
menyatakan peningkatan mutu, bahkan kondisi seperti ini
telah menyebabkan kemerosotan karakter.
Selama sarana prasarana tidak memadai, kualitas
pendidikan dan pelatihan guru masih buruk, media belajar
yang terbatas, manajemen sekolah yang kacau, dan
kurikulum tidak tepat guna, apa yang bisa diharapkan dari
peningkatan mutu pendidikan? Jika pemerintah tetap
menekankan pada ketercapaian standar kompetensi lulusan
tanpa mendorong secara maksimal pemenuhan ketujuh
standar lainnya (standar isi, standar proses, standar sarana
prasarana, standar pembiayaan, standar pengelolaan,
standar penilaian, dan standar pendidik dan tenaga
kependidikan) usaha untuk meningkatkan kualitas
pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang
mampu bersaing di dunia internasional tidak akan banyak
berarti.

119
Berdasarkan laporan UNDP, Indeks Prestasi Manusia
Indonesia tahun 2010 berada di peringkat 108 dari 169
negara di dunia. Peringkat ini berada di bawah negara-
negara tetangga lain seperti Malaysia yang berada di 57,
China pada posisi 89, Thailand di peringkat 92, dan Filipina
di posisi 97. Studi ini menilai tingkat ekonomi, kesehatan,
dan pendidikan suatu negara. Artinya Indonesia masih
dalam keadaan miskin, sakit, dan bodoh.29
Studi PISA yang dilakukan oleh negara-negara
OECD untuk menilai kemampuan membaca, matematika,
dan sains siswa menilai bahwa Indonesia berada di
peringkat 10 terbawah dari 65 negara pada tahun 2009.
Perihal kemampuan membaca, Indonesia berada di
peringkat 57 dibawah Thailand yang berada di perngkat 50.
Kemampuan matematika Indonesia berada di peringkat 61
dan Thailand tetap di peringkat 50. Kemampuan sains
Indonesia mendapat peringkat 60 sementara Thailand di
posisi 49.30
Bedasarkan data Depdiknas tahun 2007/2008
sebanyak 35% ruang kelas TK dalam keadaan rusak. Di SD
terdapat 48% ruang kelas rusak. Di SMP sebanyak 20%
ruang kelas yang ruasak. Sementara di SMA dan SMK 10%
dinyatakan rusak. Untuk fasilitas perpustakaan di SMP
hanya memenuhi 23% dari seluruh SMP di Indonesia.
Artinya 77% SMP tidak dilengkapi dengan perpustakaan.
Laboratorium hanya 27% untuk tingkat SMP. Artinya 73%

29Hafiz Farihi, “Kebijakan Ujian Nasional,” Blog Pribadi,

http://hafizfarihi.blogspot.com /2011/12/positioning-paper-
kebijakan-ujian.html
30Hafiz Farihi, “Kebijakan Ujian Nasional,” Blog Pribadi,
http://hafizfarihi.blogspot.com /2011/12/positioning-paper-
kebijakan-ujian.html
120
SMP tidak memiliki laboratorium. Untuk SMA/SMK, baru
39% sekolah yang sudah dilengkapi perpustakaan sementara
61% belum mempunyai perpustakaan. Laboratorium
SMA/SMK hanya memenuhi 59% sehingga 41% SMA/SMK
tidak memiliki laboratorium. Data tersebut menunjukkan
bahwa sarana dan prasarana sekolah masih belum
memadai.31 Hal-hal di atas yang mesti dibenahi oleh
pemerintah sebelum menyeragamkan standar kelulusan
peserta didik melalui ujian nasional.

E. Dampak Ujian Nasional terhadap Kualitas Pendidikan


Nasional
Penyelenggaraan ujian nasional memiliki
keuntungan dan kelemahan. Adapun keuntungannya
adalah: (1) UN dapat menggambarkan indikator kondisi
pendidikan di Indonesia secara umum. (2) UN dapat
memacu sekolah, dinas pendidikan (provinsi dan
kabupaten/kota) untuk berkompetisi dalam meningkatkan
kualitas pendidikan. (3) UN dapat memotovasi guru untuk
senantiasa meningkatkan kualitas pembelajaran, sehingga
guru senantiasa meningkatkan kompetensinya untuk
menuju guru yang profesional. (4) UN juga dapat
memotivasi siswa untuk terus belajar sehingga mampu
meraih nilai UN yang tinggi. Artinya, UN dapat
membelajarkan peserta didik sehingga mampu berkembang
secara optimal dalam mengembangkan potensinya.
Selain keuntungan di atas, pelaksanaan UN juga
memiliki kelemahan dan dampak negatif. Apabila kondisi
ini terus berlanjut dikhawatirkan kualitas pendidikan akan

31Hafiz Farihi, “Kebijakan Ujian Nasional,” Blog Pribadi,


http://hafizfarihi.blogspot.com /2011/12/positioning-paper-
kebijakan-ujian.html
121
semakin merosot dan tujuan pendidikan nasional akan sulit
untuk diwujudkan, dan pada akhirnya kondisi masyarakat
dan bangsa ini tidak akan pernah berubah, terus berada
dalam keterpurukan.
Adanya keuntungan dan kekurangan dalam
pelaksanaan ujian nasional menyebabkan perlu dilakukan
evaluasi dan perbaikan sistem dalam penyelenggaraan ujian
nasional. Jika keuntungannya lebih besar daripada
kelemahannya, tentu ini menjadi pertimbangan untuk tetap
melaksanakan ujian nasional di masa mendatang.
Berbagai dampak negatif yang nyata terjadi di
sekolah sebagai akibat diterapkannya UN di sekolah, yaitu:
1. Terjadi disorientasi pendidikan di sekolah
Mata pelajaran yang di-UN-kan tidak seluruh mata
pelajaran. Pembatasan mata pelajaran yang diujikan dalam
UN, berakibat pada fokus proses pembelajaran di sekolah
hanya ditekankan pada penguasaan mata pelajaran tersebut,
sedangkan mata pelajaran lain dianggap hanya sebagai
pelengkap. Hal ini menyebabkan terjadinya diskriminasi
dan pengabaian terhadap mata pelajaran lain. Para siswa
dan bahkan orang tua lebih memusatkan perhatiannya
terhadap mata pelajaran yang akan di UN-kan, terutama
pada siswa kelas akhir.
Disorientasi juga terjadi pada arah dan tujuan
pembelajaran yang harus dicapai. Dengan adanya UN, maka
pembelajaran cenderung hanya mengembangkan ranah
kognitif, pada penguasaan pengetahuan, dan
mengesampingkan ranah lain yang sebenarnya tidak kalah
pentingnya untuk menghasilkan individu-individu yang

122
utuh dan berkarakter, yaitu ranah afektif dan
psikomotorik.32
2. Proses pembelajaran yang tidak bermakna
Ketika mempersiapkan para siswanya menghadapi
dan mengerjakan soal-soal UN, para guru biasanya
menggunakan metode pembelajaran drill, di mana para
siswa dilatih untuk mengerjakan sejumlah soal yang diduga
akan keluar dalam ujian. Melalui metode ini guru
mengharapkan para siswa terbiasa menghadapi soal ujian,
dan menguasai teknik-teknik dan trik mengerjakan soal
yang dihadapi. Pembelajaran dengan model ini jelas tidak
bermakna, karena apa yang dipelajari bersifat mekanistik,
bukan pada penguasaan konsep yang esensial. Pembelajaran
seperti ini tidak dapat mengembangkan kemampuan
berpikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi
indikator kecerdasan sebagaimana yang diharapkan dicapai
melalui pembelajaran.33
3. Upaya-upaya yang tidak fair
Tuntutan kelulusan yang tinggi, baik terhadap
persentase jumlah siswa yang dinyatakan lulus, maupun
besarnya nilai yang diperoleh para siswa, mendorong
sekolah untuk melakukan berbagai upaya untuk
mencapainya. Tuntutan seperti ini sekaligus berdampak
pada terbentuknya citra dan prestise sebuah sekolah.

32Djemari Mardapi dan Badrun Kartowagiran, “Dampak

Ujian Nasional,” Laporan Penelitian, http://staff.uny. ac.id/


sites/default/files/6-Dampak%20Ujian%20Nasional.pdf (8 Juni
2014)
33Djemari Mardapi dan Badrun Kartowagiran, “Dampak
Ujian Nasional,” Laporan Penelitian, http://staff.uny. ac.id/sites/
default/files/6-Dampak%20Ujian%20Nasional.pdf (8 Juni 2014)

123
Sekolah yang mampu meluluskan siswanya dengan
persentase dan nilai UN yang tinggi, dinilai sebagai sekolah
yang berkualitas dan unggul. Setiap sekolah
menginginkannya dan berbagai upaya dilakukan untuk
mencapai posisi tersebut. Namun, tidak sedikit oknum guru
dan kepala sekolah melakukan upaya-upaya yang tidak
terpuji. Untuk mewujudkan itu, tidak jarang upaya-upaya
yang tidak fair dilakukan oleh oknum guru dan kepala
sekolah untuk mencapai target kelulusan yang setinggi-
tingginya. Sekolah membentuk “Tim Sukses” untuk
mendapatkan kelulusan 100% supaya memenuhi standar
pelayanan minimal pendidikan. Guru memberi ‘contekan’
kepada siswa adalah suatu upaya yang sering dilakukan
untuk mendongkrak nilai para siswanya dan prosentase
kelulusan di sekolah. Kasus di beberapa sekolah, guru,
terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional
seperti matematika, bahasa Inggris, bahasa Inggris dengan
berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa.
Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah
seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan
(mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat
tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa. Kondisi
seperti ini jelas jauh dari nilai-nilai kejujuran dalam
pendidikan yang seharusnya menjadi bagian yang harus
dikembangkan secara serius di sekolah. Jika ini berlanjut,
dapat dibayangkan manusia-manusia seperti apa yang
dihasilkan oleh dunia pendidikan (formal). Manusia yang
berkembang dalam suasana yang serba tidak jujur.34

34Djemari Mardapi dan Badrun Kartowagiran, “Dampak


Ujian Nasional,” Laporan Penelitian, http://staff.uny. ac.id/
sites/default/files/6-Dampak%20Ujian%20Nasional.pdf (8 Juni
2014)
124
4. Hanya ranah kognitif yang terukur
UN yang menggunakan bentuk soal multiple choise
hanya akan dapat mengukur hasil belajar pada ranah
kognitif. Mengacu pada ranah kognitif dari Bloom, tingkatan
berpikir yang mampu terukur melalui bentuk soal multiple
choise hanya sampai pada tingkat berpikir aplikasi. Kondisi
seperti ini mendorong para siswa belajar dengan menghafal.
Belum lagi, ranah afektif dan psikomotorik yang merupakan
bagian dari tujuan pembelajaran yang juga harus diukur
ketercapaiannya, tidak dilakukan. Sulit diharapkan dapat
diukur dengan menggunakan UN, yang sifatnya masal dan
dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas. Sekali lagi
kondisi ini akan berakibat pada pembelajaran di sekolah
hanya pada pengembangan kecerdasan intelektual,
sementara kecerdasan lainnya (multiple intelegence Gardner)
akan tidak mendapatkan perhatian yang memadai.35

5. Keputusan yang tidak fair


Selama ini hasil UN dijadikan sebagai penentu
kelulusan siswa. Proses belajar yang dilakukan siswa selama
3 tahun di SLTP dan SLTA, nasibnya ditentukan oleh hasil
ujian yang dilakukan beberapa jam saja. Ketidaklulusan
siswa dalam UN bisa jadi bukan karena faktor
ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi
karena faktor kelelahan mental (mental fatique), karena stres
pada saat mengerjakan ujian atau karena kesalahan

35Djemari Mardapi dan Badrun Kartowagiran, “Dampak


Ujian Nasional,” Laporan Penelitian, http://staff.uny.ac. id/sites/
default/files/6-Dampak%20Ujian%20Nasional.pdf (8 Juni 2014)
125
pengukuran yang biasa terjadi pada setiap tes (false
negative).36
Ketidakadilan juga bisa dilihat dari proses
pembelajaran yang dialami siswa di satu sekolah dengan
sekolah lainnya yang jauh berbeda. Para siswa yang
mengikuti proses pembelajaran dengan situasi dan kondisi
yang sangat jauh berbeda diuji dengan cara dan alat yang
sama. Di satu sisi, siswa belajar di sekolah yang memiliki
fasilitas yang lengkap dan dilayani oleh sumber daya
manusia yang jumlah dan kualitasnya sangat memadai.
Jelas, hasil belajar siswa yang belajar di sekolah seperti ini,
sangat mungkin mencapai hasil yang optimal. Namun di sisi
lain, di sekolah ‘nan jauh di sana’, sebagian besar siswanya
menjalani proses pembelajaran yang serba seadanya, bahkan
gedungnya pun hampir roboh. Bagaimana mungkin para
siswanya dapat belajar dengan baik untuk mendapatkan
hasil belajar dengan nilai yang baik dengan kondisi seperti
itu. Tanpa dilakukan pengujian secara nasional pun, yang
memakan biaya ratusan milyar, sudah dapat dibaca kualitas
macam apa yang bisa dihasilkan dari model sekolah seperti
itu.

6. Menutup akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat


miskin
Selain sebagai persyaratan untuk kelulusan, hasil UN
juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk
melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Sekolah-sekolah yang
berkualitas dan ‘favorit’ akan menjadi tujuan para siswa,

36Djemari Mardapi dan Badrun Kartowagiran, “Dampak


Ujian Nasional,” Laporan Penelitian, http://staff.uny. ac.id/sites/
default/files/6-Dampak%20Ujian%20Nasional.pdf (8 Juni 2014)

126
yang berakibat pada terjadinya persaingan yang ketat
antarsiswa. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain
berusaha mendapatkan nilai UN yang setinggi-tingginya.
Untuk mewujudkan impian itu, dengan mempertimbangkan
karakteristik model UN yang akan dihadapi para siswa
berusaha menambah waktu belajar tambahan dengan
mencari guru privat atau mengikuti bimbingan belajar
adalah pilihan yang selama ini dianggap tepat. Upaya ini
tentu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mampu,
karena upaya tersebut menuntut biaya yang tidak sedikit.
Siswa miskin hanya bisa berusaha keras atas
kemampuannya sendiri. Kondisi akhir sudah bisa ditebak
mereka yang miskin akan kalah bersaing untuk dapat masuk
ke sekolah berkualitas.37
Kajian tentang dampak negatif UN telah pula
dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat dan beberapa
lembaga negara. Tim Advokasi Korban Ujian Nasional
(TeKUN) bersama Education Forum juga mengajukan
permasalahan ujian nasional ini ke Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI). Senada dengan para penggugat,
KPAI memandang bahwa kebijakan ujian nasional
bermasalah. Setelah pada tahun 2008 KPAI melakukan
kajian secara intens yang melibatkan banyak pihak di
berbagai bidang ilmu diperoleh kesimpulan bahwa ujian
nasional bertentangan dengan perspektif perlindungan anak
yang dilihat dari empat hal:

37Djemari Mardapi dan Badrun Kartowagiran, “Dampak


Ujian Nasional,” Laporan Penelitian, http://staff.uny.
ac.id/sites/default/files/6-Dampak%20Ujian%20Nasional.pdf (8
Juni 2014)

127
1. Ujian nasional sangat diskriminatif karena kondisi siswa
dan sekolah yang sangat berbeda/beragam karena faktor
geografis, budaya, dan sosial ekonominya. Tetapi anak-
anak diperlakukan dan dituntut untuk mencapai target
yang sama.
2. Ujian nasional lebih menekankan kepada kepentingan
politik pemerintah daripada kepentingan anak.
Seharusnya yang diutamakan adalah menjalankan proses
pendidikan ramah anak, akses yang mudah, sarana dan
prasarana pendidikan yang memadai, dan guru-guru
yang berkualitas.
3. Ujian nasional mengganggu tumbuh kembang anak
karena di dalam persiapannya ada proses yang tidak
wajar bahkan tidak manusiawi, dengan penuh tekanan,
menciptakan suasana khawatir dan takut, serta ancaman
kekerasan.
4. Ujian nasional tidak menghargai partisipasi anak karena
sementara anak mengalami tekanan kejiwaan, menteri,
bupati, kepala dinas pendidikan, dan kepala sekolah
bergembira dengan angka-angka kelulusan. Selayaknya
anak dihargai dan didengar pendapatnya.38
Selain itu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) juga mengeluarkan rekomendasi terkait
kebijakan ujian nasional. Komnas HAM mendesak kepada
Presiden, Mendiknas, dan Ketua BSNP untuk melakukan:
1. Peninjauan ulang terhadap sistem pendidikan nasional;

38Hadi Supeno, “Ujian Nasional dalam Perspektif


Perlindungan Anak,” Makalah disajikan untuk bahan Diskusi
Publik seputar “Penolakan kasasi Pemerintah oleh Mahkamah
Agung dalam Kasus Gugatan Ujian Nasional” di LBH Jakarta,
Selasa 1 Desember 2009. Dikutip dalam Hafiz Farihi, “Kebijakan
Ujian Nasional,” Blog Pribadi, http://hafizfarihi.blogspot.com
/2011/12/positioning-paper-kebijakan-ujian.html (8 Juni 2014).
128
2. Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan dengan menghapus
pasal 72 yang menyebutkan UN sebagai syarat kelulusan;
3. Meninjau ulang atau menghentikan Pelaksanaan Ujian
Nasional;
4. Mematuhi Putusan hukum Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor: 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST yang
diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Nomor
: 377/K/PDT/2007/PT.DKI dan Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor : 2596K/PDT/2009.39
Pernyataan-pernyataan dari KPAI dan Komnas
HAM, terlebih keputusan pengadilan tampaknya tidak
mengubah keputusan pemerintah terhadap kebijakan ujian
nasional. Pemerintah tidak menghiraukan saran dan kritik-
kritik tersebut dan tetap melaksanakan ujian nasional.
Mencermati berbagai dampak negatif yang muncul
sebagai akibat dilaksanakannya UN, perlu dilakukan kajian
secara komprehensif, baik menyangkut aspek
akademis/pedagogis, yuridis formal, maupun kajian
empiric untuk melihat bagaimana seharusnya menempatkan
ujian sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan dalam
proses pembelajaran di sekolah. Hal ini penting agar peran
dan fungsi ujian berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan
diselenggarakannya evaluasi dalam suatu proses
pembelajaran.

39Pers Release Tim Advokasi Korban Ujian Nasional dan


Education Forum. “Gugatan ujian Nasional Kembali Dimenangkan
oleh Mahkamah Agung, Permohonan Kasasi Pemerintah Ditolak.”
Jakarta 25 November 2009. Dikutip dalam Dikutip dalam Hafiz
Farihi, “Kebijakan Ujian Nasional,” Blog Pribadi,
http://hafizfarihi.blogspot.com /2011/12/positioning-paper-
kebijakan-ujian.html (8 Juni 2014).
129
130
BAB V
PENGEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI
KURIKULUM 2013

A. Pendahuluan
Pendidikan secara historis maupun filosofis telah
ikut mewarnai dan menjadi landasan moral, dan etik dalam
proses pembentukan jati diri bangsa. Pendidikan merupakan
variabel yang tidak dapat diabaikan dalam mentransformasi
ilmu pengetahuan, keahlian dan nilai-nilai akhlak. Hal
tersebut sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan
sebagaimana yang tercantum dalam UU RI No. 20 tentang
Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 pasal 3, sebagai
berikut:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar manjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.”1
Semua program pendidikan di berbagai jenjang,
jenis, jalur pendidikan dirancang untuk mencapai tujuan
pendidikan tersebut. Rancangan program pendidikan itu
disebut dengan istilah kurikulum. Kurikulum adalah niat
dan harapan yang dituangkan dalam bentuk rencana atau
program pendidikan untuk dilaksanakan oleh guru di
sekolah.

1Republik Indonesia, Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem


Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003) Cet. V; Jakarta: Sinar Grafika,
2013), h. 7.
131
Kurikulum merupakan salah satu alat untuk
membina dan mengembangkan siswa menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Salah satu persoalan pendidikan kita yang masih
menonjol saat ini adalah adanya kurikulum yang silih
berganti dan terlalu membebani anak tanpa ada arah
pengembangan yang betul-betul diimplementasikan sesuai
dengan perubahan yang diinginkan pada kurikulum
tersebut.
Tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan kurikulum
selalu mengarah pada perbaikan sistem pendidikan.
Perubahan tersebut dilakukan karena dianggap belum
sesuai dengan harapan yang diinginkan sehingga perlu
adanya revitalisasi kurikulum. Usaha tersebut mesti
dilakukan demi menciptakan generasi masa depan
berkarakter, yang memahami jati diri bangsanya dan
menciptakan anak yang unggul, mampu bersaing di dunia
internasional.
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang
sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan, karena
itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan dan
sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan
pembelajaran pada semua jenis, jenjang, dan jalur
pendidikan.2 Selain merumuskan tujuan yang harus dicapai,
kurikulum juga memberikn pemahaman tentang
pengalaman belajar dan rencana belajar yang harus dimiliki
setiap peserta didik.3

2Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002),


h. 127.
3Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah (Cet. II;

Bandung: CV Sinar Baru, 1992), h. 4-6.


132
Pengembangan kurikulum bukanlah hal yang
mudah. Proses pengembangan suatu kurikulum harus
memperhatikan sistem nilai yang berlaku serta perubahan
yang terjadi dalam masyarakat. Kurikulum harus berfungsi
mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki peserta
didik sesuai bakat dan minatnya, maka proses
pengembangan dan implementasi kurikulum harus
memperhatikan segala aspek yang terdapat pada diri peserta
didik. Alasan inilah kurikulum harus dievaluasi secara
terus-menerus dan dikembangkan agar isi dan muatannya
selalu relevan dengan tuntutan masyarakat sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.4
Kurikulum sifatnya dinamis karena selalu berubah-
ubah sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman.
Semakin maju peradaban suatu bangsa, maka semakin berat
pula tantangan yang dihadapinya. Persaingan ilmu
pengetahuan semakin gencar dilakukan oleh dunia
internasional, sehingga Indonesia juga dituntut untuk dapat
bersaing secara global demi mengangkat martabat bangsa.
Menghadapi tantangan yang akan menimpa dunia
pendidikan kita, ketegasan kurikulum dan implementasinya
sangat dibutuhkan untuk membenahi kinerja pendidikan
yang jauh tertinggal dengan negara-negara maju di dunia.
Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana yang
diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional diharapkan dapat
mewujudkan proses berkembangnya kualitas pribadi
peserta didik sebagai generasi penerus bangsa di masa
depan, yang diyakini akan menjadi faktor determinan bagi

4Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran Teori dan Praktek


Pengembangan KurikulumTingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Cet. I; Jakarta:
Kencana Media Group, 2008), h. vii.
133
tumbuh kembangnya bangsa dan negara Indonesia
sepanjang jaman.
Mencermati sekian banyak unsur sumber daya
pendidikan, kurikulum merupakan salah satu unsur yang
telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam
mewujudkan proses berkembang kualitas potensi peserta
didik. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangandan
implementasi kurikulum yang berbasis pada kompetensi
sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengarahkan
peserta didik menjadi insan Indonesia yang memiliki sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi.
Pembahasan tentang Pengembangan dan
Implementasi Kurikulum 2013 di dalam bab ini dibahas
secara teoretis mulai dari bagaimana hakekat kurikulum
2013, bagaimana pengembangan kurikulum 2013,
bagaimana implementasi kurikulum 2013.

B. Hakekat Kurikulum 2013


1. Pengertian Kurikulum
Kurikulum merupakan alat yang sangat penting
dalam menjamin keberhasilan proses pendidikan, artinya
tanpa kurikulum yang baik dan tepat akan sulit mencapai
tujuan dan sasaran pendidikan yang dicita-citakan.
Berbicara mengenai pengertian kurikulum akan didapatkan
beragam pengertian yang berbeda-beda. Secara etimologis
kata kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang
berarti pelari dan curere yang berarti tempat berpacu. Istilah
ini adalah yang berasal dari dunia olahraga pada zaman
Romawi kuno di Yunani, yang mengandung pengertian
suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis start
sampai finish.5

5Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa

Psikologi Pendidikan (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), h. 176.


134
Muhammad Ali al-Khawli dalam Abdul Mujib
mengatakan bahwa kurikulum adalah manhaj yang
merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk
mengantar lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan
pendidikan yang diinginkan.6 Kurikulum memuat isi dan
materi pelajaran atau sejumlah mata pelajaran yang harus
ditempuh dan dipelajari peserta didik untuk memperoleh
sejumlah pengetahuan.7
Kurikulum dipandang sebagai rencana
pembelajaran merupakan suatu program pendidikan yang
disediakan untuk membelajarkan peserta didik. Melalui
program ini peserta didik melakukan berbagai kegiatan
belajar, sehingga terjadi perubahan dan perkembangan
tingkah laku peserta didik menuju tujuan pendidikan dan
pembelajaran yang diharapkan.8
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir 19 menjelaskan
bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.9
Baego Ishak membagi pengertian kurikulum dalam
dua batasan, yakni pengertian kurikulum menurut

6Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam Edisi I

(Cet. II; Jakarta: Kencana, 2008), h. 122.


7Sudirman, Ilmu Pendidikan (Bandung: CV Remaja Karya, 1987),
h. 9.
8Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran Edisi I (Cet. VI;
Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 16-17.
9Republik Indonesia, Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem
Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003), h.
135
pandangan lama dan pengertian kurikulum menurut
pandangan baru. Pengertian kurikulum menurut pandangan
lama dimaknai sebagai hasil pendidikan yang harus dicapai,
maksudnya setiap peserta didik harus menempuh sejumlah
mata pelajaran tertentu atau sejumlah pengetahuan yang
harus dikuasai untuk mencapai suatu tingkat pendidikan
atau ijazah tertentu. Sedangkan kurikulum menurut
pandangan baru dimaknai sebagai pengalaman belajar
peserta didik.10
Sementara itu S. Nasution merinci pengertian
kurikulum dalam beberapa penggolongan. (1)kurikulum
dilihat sebagai produk; sebagai karya para pengembang
kurikulum yang hasilnya dituangkan dalam bentuk buku
atau pedoman kurikulum. (2)kurikulum dapat dilihat
sebagai program; yakni kurikulum sebagai alat yang
digunakan oleh sekolah untuk mencapai tujuannya, selain
mata pelajaran juga termasuk seluruh kegiatan yang dapat
mempengaruhi perkembangan peserta didik. (3)kurikulum
dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari
setiap peserta didik yakni pengetahuan, sikap, ketrampilan
tertentu. (4)kurikulum dapat dilihat sebagai pengalaman
peserta didik; ketiga pandangan sebelumnya berkenaan
dengan perencanaan kurikulum sedangkan pandangan
keempat ini mengenai apa yang secara aktual menjadi
kenyataan pada setiap peserta didik.11
Hal senada juga dapat ditemukan pengertian
kurikulum sebagaimana yang disampaikan oleh Dimyati
dan Mudjiono. Mereka menyuguhkan lima penggolongan

10BaegoIshak, Pengembangan Kurikulum (Ujung Pandang: IAIN


Alauddin Press,1998), h. 4-8.
11S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum Edisi II (Cet. II; Jakarta: Bumi

Aksara, 1995), h. 8-9.


136
posisi pengertian kurikulum. Kurikulum sebagai jalan
meraih ijazah, kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran,
kurikulum sebagai rencana kegiatan pembelajaran,
kurikulum sebagai hasil belajar, dan kurikulum sebagai
pengalaman belajar.12
Berdasarkan pengertian kurikulum di atas, penulis
berkesimpulan meskipun para ahli kurikulum berbeda
pendapat tentang pengertian kurikulum, namun ada
kesamaan satu fungsi kurikulum yaitu bahwa kurikulum
adalah alat yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan itu sendiri, karena setiap kurikulum yang
ditetapkan sudah pasti memiliki tujuan-tujuan yang harus
dicapai.
2. Mengenal Pelaksanaan Kurikulum 2013
Hal mendasar dari kurikulum 2013, menurut
Mulyoto adalah masalah pendekatan pembelajarannya.
Selama ini, pendekatan yang digunakan adalah materi,jadi
materi di berikan pada anak didik sebanyak-banyaknya
sehingga mereka menguasai materi itu secara maksimal.
Bahkan demi penguasaan materi itu, drilling sudah diberikan
sejak awal, jauh sebelum siswa menghadapi ujian nasional.
Pembelajaran seperti ini, tujuan pembelajaran yang dicapai
lebih kepada aspek kognitif dengan menafikan aspek
psikomotrik dan afektif.13
Ketiga aspek tersebut sebenarnya sudahmendapat
penekanan pada kurikulum selama ini. Pemberlakuan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004,
aspek kognitif, psikomotorik dan afektif (yang dikenal

12Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta:


Rineka Cipta, 2009), h. 264.
13Mulyoto, Strategi Pembelajaran di Era Kurikulm
2013(Jakarta:Prestasi Pustaka Raya, 2013), h. 114-115.
137
dengan taksonomi Bloom tentang tujuan pendidikan), telah
juga menjadi kompetensi integral yang harus dicapai.
Selanjutnya, pada saat pemberlakuan kurikulum 2006,
melalui pendidikan karakter, aspek afektif yang seolah
dilupakan para praktisi pendidikan, digaungkan namun
demikian dalam tataran praksis hanya aspek kognitif yang
dikejar. Penyebabnya adalah kurikulum tidak dikawal
dengan kebijakan yang sinergis, tetapi malah dijegal dengan
kebijakan ujian nasional.
Soal-soal ujian nasional hanya menguji pencapaian
aspek kognitif. Pencapaian aspek psikomotorik dan afektif
tidak bisa diukur dengan menggunakan tes ini. Bahkan
padahal tes ini adalah penentu kelulusan. Akibatnya,
pembelajaran yang terjadi adalah pembelajaran yang
berbasis materi tanpa memperdulikan penanaman
keterampilan dan sikap.
Kenyataan menunjukkan bahwa sejak awal siswa
telah dibiasakan menghadapi soal-soal model ujian nasional.
Pembelajaran mengacu pada kompetensi dasar yang yang
nanti akan diujikan dalam ujian nasional. Bahkan ada pula
guru yang menggunakan soal-soal ujian nasional yang telah
diujikan pada tahun sebelumnya sebagai acuan dalam
pembelajaran. Menjelang menghadapi ujian nasional, guru
memberikan pembelajaran ujian nasional pada siswanya.
Apapun yang tidak ada kaitannya dengan ujian nasional
ditiadakan.
Berdasarkaan pengalaman selama ini, hal tersebut
harus didukung dengan kebijakan yang konsisten, yaitu
sistem evaluasi yang mengukur pencapaian kemampuan
kognitif, psikomotorik dan afektif secara berimbang. Ujian
nasional (UN) atau apapun namanya harus mampu
mengukur ketiga aspek tersebut, sehingga penentu
kelulusan nantinya adalah transkrip nilai yang diperoleh

138
dari nilai raport tiap semester, karena nilai-nilai raport
sebagai hasil evaluasi pembelajaran mengandung ketiga
aspek secara menyeluruh, maka pembelajaran juga akan
diberikan secara menyeluruh dalam ketiga aspek tersebut.
3. Keunggulan dan Kelemahan Kurikulum 201314
Implementasi kurikulum 2013 diharapkan dapat
menghasilkan insane yang produktif, kreatif, dan inovatif.
Hal ini dimungkinkan, karena kurikulum ini berbasis
karakter dan kompotensi, yang secara konseptual memiliki
beberapa keunggulan dan kelemahan. Adapun keunggulan
kurikulum 2013, di antaranya:
a. Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan yang bersifat
alamiah (kontekstual) karena berfokus dan bermuara
pada hakekat peserta didik untuk mengembangkan
berbagai kompetensi sesuai dengan kompetensinya
masing-masing. Hal ini peserta didik merupakan subjek
belajar dan proses belajar berlangsung secara alamiah
dalam bentuk bekerja dan mengalami berdasarkan
kompetensi tertentu, bukan transfer pengetahuan.
b. Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan kompetensi
boleh jadi mendasari pengembangan kemampuan-
kemampuan lain. Penguasaan ilmu pengetahuan, dan
keahlian tertentu dalam suatu pekerjaan, kemampuan
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari,
serta pengembangan aspek-aspek kepribadian dapat
dilakukan secara optimal berdasarkan standar
kompetensi tertentu.
c. Terdapat bidang-bidang studi atau mata pelajaran
tertentu yang dalam pengembangannya lebih cepat

14E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013

(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 163-165.


139
menggunakan pendekatan kompetensi, terutama yang
berkaitan dengan keterampilan.
d. Lebih menekankan pada pendidikan karakter. Selain
kreatif dan inovatif, pendidikan karakter juga penting
yang nantinya terintegrasi menjadi satu. Misalnya,
pendidikan budi pekerti luhur dan karakter harus
diintegrasikan kesemua program studi.
e. Asumsi dari kurikulum 2013 adalah tidak ada perbedaan
antara anak desa dan kota. Seringkali anak di desa
cenderung tidak diberi kesempatan untuk
memaksimalkan potensi mereka.
f. Kesiapan terletak pada guru. Guru juga harus terus
dipacu kemampuannya melalui pelatihan-pelatihan dan
pendidikan calon guru untuk meningkatkan kecakapan
profesionalisme secara terus menerus.
Selanjutnya, adapun kelemahan Kurikulum 2013,
di antaranya:
a. Pemerintah seolah melihat semua guru dan siswa
memiliki kapasitas yang sama dalam kurikulum 2013.
Guru juga tidak pernah dilibatkan langsung dalam
proses pengembangan kurikulum 2013.
b. Tidak ada keseimbangan antara orientasi proses
pembelajaran dan hasil dalam kurikulum 2013.
Keseimbangan sulit dicapai karena kebijakan ujian
nasional (UN) masih diberlakukan.
c. Pengintegrasian mata pelajaran IPA dan IPS dalam mata
pelajaran Bahasa Indonesia untuk jenjang pendidikan
dasar tidak tepat, karena rumpun ilmu pelajaran-
pelajaran tersebut berbeda.

C. Pengembangan Kurikulum 2013


Pengembangan kurikulum merupakan suatu
proses yang kompleks dan melibatkan berbagai komponen

140
yang saling terkait. Demikian halnya dalam proses
pengembangan kurikulum 2013, tidak hanya menuntut
keterampilan teknis dari pihak pengembang terhadap
pengembangan berbagai komponen kurikulum, tetapi harus
pula dipahami berbagai komponen yang mempengaruhinya.
1. Landasan Pengembangan Kurikulum 2013
Pengembangan kurikulum 2013 dilandasi secara
filosofis, yuridis dan landasan teoritis sebagai berikut:
a. Landasan Filosofis
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional
maka pengembangan kurikulum haruslah berakar pada
budaya bangsa, kehidupan bangsa masa kini, dan
kehidupan bangsa di masa mendatang. Pendidikan berakar
pada budaya bangsa. Proses pendidikan adalah suatu proses
pengembangan potensi peserta didik sehingga mereka
mampu menjadi pewaris dan pengembang budaya bangsa.
Melalui pendidikan berbagai nilai dan keunggulan budaya
di masa lampau diperkenalkan, dikaji, dan dikembangkan
menjadi budaya dirinya, masyarakat, dan bangsa yang
sesuai dengan zaman dimana peserta didik tersebut hidup
dan mengembangkan diri.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat di pahami
bahwa ada 2 landasan filosofis terhadap pengembangan
kurikulum 2013, yaitu:
1) Filosofis Pancasila yang memberikan berbagai prinsip
dasar dalam pembangunan pendidikan.
2) Filosofis pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur,
nilai akademik, kebutuhan peserta didik, dan
masyarakat.15

15E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.


64.
141
Kemampuan menjadi pewaris dan pengembang
budaya tersebut akan dimiliki peserta didik apabila
pengetahuan, kemampuan intelektual, sikap dan kebiasaan,
keterampilan sosial memberikan dasar untuk secara aktif
mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota
masyarakat, warganegara, dan anggota umat manusia.
Pendidikan juga harus memberikan dasar bagi
keberlanjutan kehidupan bangsa dengan segala aspek
kehidupan bangsa yang mencerminkan karakter bangsa
masa kini. Konten pendidikan yang mereka pelajari tidak
semata berupa prestasi besar bangsa di masa lalu tetapi juga
hal-hal yang berkembang pada saat kini dan akan
berkelanjutan ke masa mendatang. Berbagai perkembangan
baru dalam ilmu, teknologi, budaya, ekonomi, sosial, politik
yang dihadapi masyarakat, bangsa dan umat manusia
dikemas sebagai konten pendidikan.
Konten pendidikan dari kehidupan bangsa masa
kini memberi landasan bagi pendidikan untuk selalu terkait
dengan kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek
kehidupan, kemampuan berpartisipasi dalam membangun
kehidupan bangsa yang lebih baik, dan memosisikan
pendidikan yang tidak terlepas dari lingkungan sosial,
budaya, dan alam. Lagipula, konten pendidikan dari
kehidupan bangsa masa kini akan memberi makna yang
lebih berarti bagi keunggulan budaya bangsa di masa lalu
untuk digunakan dan dikembangkan sebagai bagian dari
kehidupan masa kini.
b. Landasan Yuridis
Secara konseptual, kurikulum merupakan respon
pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dan bangsa
dalam membangun generasi muda bangsanya. Secara
pedagogis, kurikulum merupakan rancangan pendidikan
yang memberi kesempatan untuk peserta didik

142
mengembangkan potensi dirinya dalam suatu suasana
belajar yang menyenangkan dan sesuai dengan kemampuan
dirinya untuk memiliki kualitas yang diinginkan masyarakat
dan bangsanya. Secara yuridis, kurikulum adalah suatu
kebijakan publik yang didasarkan kepada dasar filosofis
bangsa dan keputusan yuridis di bidang pendidikan.
Adapun landasan yuridis kurikulum 2013 adalah:
1) Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-
Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional;
2) Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan;
3) Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompotensi Lulusan;
4) Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi;
5) INPRES Nomor 1 Tahun 2010, tentang Percepatan
Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional,
penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran
aktif berdasaran nilai budaya bangsa untuk membentuk
daya saing dan karakter bangsa.16
c. Landasan Teoritis
Kurikulum dikembangkan atas dasar teori
pendidikan berdasarkan standar dan teori pendidikan
berbasis kompetensi. Pendidikan berdasarkan standar
adalah pendidikan yang menetapkan standar nasional
sebagai kualitas minimal hasil belajar yang berlaku untuk
setiap kurikulum. Standar kualitas nasional dinyatakan
sebagai standar kompetensi lulusan. Standar kompetensi

16E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.


64.
143
lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang
mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.17
Standar kompetensi lulusan dikembangkan
menjadi standar kompetensi lulusan satuan pendidikan
yaitu SKL SD, SMP, SMA, dan SMK. Standar kompetensi
lulusan satuan pendidikan berisikan 3 (tiga) komponen yaitu
kemampuan proses, konten, dan ruang lingkup penerapan
komponen proses dan konten. Komponen proses adalah
kemampuan minimal untuk mengkaji dan memproses
konten menjadi kompetensi. Komponen konten adalah
dimensi kemampuan yang menjadi sosok manusia yang
dihasilkan dari pendidikan. Komponen ruang lingkup
adalah keluasan lingkungan minimal dimana kompetensi
tersebut digunakan, dan menunjukkan gradasi antara satu
satuan pendidikan dengan satuan pendidikan di atasnya
serta jalur satuan pendidikan khusus (SMK, SDLB, SMPLB,
dan SMALB).18
Kompetensi adalah kemampuan seseorang
bersikap, menggunakan pengetahuan dan keterampilan
untuk melaksanakan suatu tugas di sekolah, masyarakat,
dan lingkungan tempat terjadinya interaksi. Kurikulum
dirancang untuk memberikan pengalaman belajar bagi
peserta didik untuk mengembangkan sikap, keterampilan
dan pengetahuan yang diperlukan untuk membangun
kemampuan tersebut. Pengalaman belajar tersebut adalah
hasil belajar peserta didik yang menggambarkan manusia
dengan kualitas yang dinyatakan dalam SKL.

17Republik Indonesia, Amandemen Standar Nasional Pendidikan (PP

No. 32 Tahun 2013) dilengkapi dengan PP No. 19 Tahun 2005 (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h. 55.
18Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Draft Kurikulum

2013 (Jakarta: Kemendikbud, 2013), h. 5.


144
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.19 Kurikulum dirancang baik dalam bentuk
dokumen, proses, maupun penilaian didasarkan pada
pencapaian tujuan, konten dan bahan pelajaran serta proses
pembelajaran.
Konten pendidikan dalam SKL dikembangkan
dalam bentuk kurikulum satuan pendidikan dan jenjang
pendidikan sebagai suatu rencana tertulis (dokumen) dan
kurikulum sebagai proses (implementasi). Dimensi sebagai
rencana tertulis, kurikulum harus mengembangkan SKL
menjadi konten kurikulum yang berasal dari prestasi bangsa
di masa lalu, kehidupan bangsa masa kini, dan kehidupan
bangsa di masa mendatang.
Dimensi rencana tertulis, konten kurikulum
tersebut dikemas dalam berbagai mata pelajaran sebagai
unit organisasi konten terkecil. Setiap mata pelajaran
terdapat konten spesifik yaitu pengetahuan dan konten
berbagi dengan mata pelajaran lain yaitu sikap dan
keterampilan. Secara langsung mata pelajaran menjadi
sumber bahan ajar yang spesifik dan berbagi untuk
dikembangkan dalam dimensi proses suatu kurikulum.
Kurikulum dalam dimensi proses adalah realisasi
ide dan rancangan kurikulum menjadi suatu proses
pembelajaran. Guru adalah tenaga kependidikan utama
yang mengembangkan ide dan rancangan tersebut menjadi
proses pembelajaran. Pemahaman guru tentang kurikulum
akan menentukan rancangan guru (Rencana Program

19Republik Indonesia, Amandemen Standar Nasional Pendidikan (PP

No. 32 Tahun 2013) dilengkapi dengan PP No. 19 Tahun 2005, h. 56.


145
Pembelajaran) dan diterjemahkan ke dalam bentuk kegiatan
pembelajaran. Peserta didik berhubungan langsung dengan
apa yang dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran dan
menjadi pengalaman langsung peserta didik.
Pengalaman langsung yang dialami peserta didik
akan menjadi hasil belajar pada dirinya dan menjadi hasil
kurikulum. Proses pembelajaran harus memberikan
kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk
mengembangkan potensi dirinya menjadi hasil belajar yang
sama atau lebih tinggi dari yang dinyatakan dalam standar
kompetensi lulusan.
Kurikulum berbasis kompetensi adalah “outcomes-
based curriculum” dan oleh karenanya pengembangan
kurikulum diarahkan pada pencapaian kompetensi yang
dirumuskan dari SKL. Demikian pula penilaian hasil belajar
dan hasil kurikulum diukur dari pencapaian kompetensi.
Keberhasilan kurikulum diartikan sebagai pencapaian
kompetensi yang dirancang dalam dokumen kurikulum oleh
peserta didik.
2. Tujuan Pengembangan Kurikulum 2013
Pengembangan kurikulum 2013 pada dasarnya
bertujuan menghasilkan insan Indonesia yang produktif,
kreatif, inovatif, afektif, dan melalui penguatan sikap,
keterampilan, serta pengetahuan yang terintegrasi.20
Pengembangan kurikulum 2013 difokuskan pada
pembentukan kompotensi dan karakter peserta didik,
berupa paduan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
dapat didmonstrasikan peserta didik sebagai wujud
pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya secara

20Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Implementasi


Kurikulum 2013 dan Relevansinya dengan Kebutuhan Kualifikasi Kompetensi
Lulusan (Semarang: Kemendikbud, 2013), h. 2.
146
kontekstual, serta memungkinkan para guru menilai hasil
belajar siswa dalam proses pembelajaran yang
mencerminkan penguasaan, pemahaman terhadap apa yang
dipelajari.21
Mengacu penjelasan atas Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
bagian umum, dikatakan bahwa strategi pembangunan
pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi:
salah satunya “pengembangan dan pelaksanaan kurikulum
berbasis kompetensi”22 dan pada penjelasan pasal 35 bahwa
“Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah
disepakati”.23
Berdasarkan uraian di atas, maka diadakanlah
perubahan kurikulum dengan tujuan untuk melanjutkan
pengembangan kurikulum berbasis kompotensi yang telah
dirintis pada tahun 2004, kemudian kurikulum tingkat
satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 dengan mencakup
kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara
terpadu, bukan secara parsial.
Pencapaian tujuan tersebut, menuntut perubahan
pada berbagai aspek terutama dalam implementasinya di
lapangan. Selanjutnya pada proses pembelajaran, dari siswa
diberi tahu menjadi siswa mencari tahu, sedangkan pada
proses penilaian, dari berfokus pada pengetahuan melalui

21E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.


65.
22Republik Indonesia, Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem
Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003), h. 51.
23Republik Indonesia, Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem
Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003), h. 63-64.
147
penilaian autput menjadi berbasis kemampuan melalui
penilaian proses, portofolio dan penilaian output secara
utuh dan menyeluruh, sehingga memerlukan penambahan
jam pelajaran.
3. Prinsip Pengembangan Kurikulum 2013
Sesuai dengan kondisi Negara, kebutuhan
masyarakat, dan berbagai perkembangan serta perubahan
yang sedang berlangsung dewasa ini, dalam pengembangan
kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan kompetensi
perlu memperhatikan dan mempertimbangkan prinsip-
prinsip berikut:
a. Pengembangan kurikulum dilakukan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
b. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai
dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta
didik.
c. Mata pelajaran merupakan wahana untuk mewujudkan
pencapaian kompetensi.
d. Standar kompetensi lulusan dijabarkan dari tujuan
pendidikan nasional dan kebutuhan masyarakat, negara,
serta perkembangan global.
e. Standar isi dijabarkan dari standar kompetensi lulusan.
f. Standar proses dijabarkan dari standar isi.
g. Standar penilaian dijabarkan dari standar kompetensi
lulusan, standar isi, dan standar proses.
h. Standar kompetensi lulusan dijabarkan ke dalam
kompetensi inti.
i. Kompetensi inti dijabarkan ke dalam kompetensi dasar
yang dikontekstualisasikan dalam suatu mata pelajaran.
j. Kurikulum satuan pendidikan dibagi menjadi kurikulum
tingkat nasional, daerah, dan satuan pendidikan. Tingkat

148
nasional dikembangkan oleh pemerintah pusat, tingkat
daerah dikembangkan oleh pemerintah daerah, dan
tingkat satuan pendidikan dikembangkan oleh satuan
pendidikan.
k. Proses pembelajaran diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi
peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta member
ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
l. Penilaian hasil belajar berbasis proses dan produk.
m. Proses belajar dengan pendekatan ilmiah (scientific
approach).24
4. Perlunya Perubahan dan Pengembangan Kurikulum
2013
Perubahan dan pengembangan kurikulum harus
dilakukan secara sistematis dan terarah, tidak asal berubah.
Perubahan dan pengembangan kurikulum tersebut harus
memiliki visi dan arah yang jelas, mau dibawa ke mana
sistem pendidikan nasional dengan kurikulum tersebut.
Sehubungan dengan itu, sejak perubahan dan
pengembangan kurikulum 2013 digulirkan, telah muncul
tanggapan dari berbagai kalangan, baik yang pro maupun
kontra.
Berbicara tentang perubahan kurikulum di
Indonesia, dapat dilihat dari perkembangan kurikulum yang
telah berjalan sejak jaman kemerdekaan sampai dengan
diberlakukannya kurikulum 2013. Hal tersebut dapat
digambarkan pada diagram berikut:25

24 E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.


81-82.
25Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Pelatihan
Implementasi Kurikulum 2013 (Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya
149
Menghadapi berbagai tanggapan tersebut,
terutama “nada miring” dari yang kontra terhadap
perubahan kurikulum, menteri Pendidian dan Kebudayaan
Muhammad Nuh dalam berbagai kesempatan menegaskan
perlunya perubahan dan pengembangan kurikulum 2013.
Mendikbud sebagaimana dalam E. Mulyasa
mengungkapkan bahwa perubahan dan pengembangan
kurikulum merupakan persoalan yang sangat penting,
karena kurikulum harus senantiasa disesuaikan dengan
tuntutan zaman.26
Perlunya perubahan kurikulum juga karena
adanya beberapa kelemahan yang ditemukan dalam KTSP
2006, sebagai berikut:
a. Isi dan pesan-pesan kurikulum masih terlalu padat, yang
ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan
banyak materi yang keluasan dan kesukarannya
melampui tingkat perkembangan usia anak.
b. Kurikulum belum mengembangkan kompetensi secara
utuh sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan
nasional.
c. Kompetensi yang dikembangkan lebih didominasi oleh
aspek kognitif, belum sepenuhnya menggambarkan
pribadi peserta didik
d. Kompetensi yang diperlukan sesuai dengan
perkembangan masyarakat, seperti pendidikan karakter,
kesadaran lingkungan, pendekatan dan metode
pembelajaran, keseimbangan soft skills dan hard skills,
belum terakomodasi di dalam kurikulum.

Manusia Pendidikan & Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan,


2013), h. 1.
26E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.
60.
150
e. Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap berbagai
perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal,
nasional, maupun global.
f. Standar proses pembelajaran belum menggambarkan
urutan pembelajaran yang rinci sehingga mebuka
peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung
pada pembelajaran yang berpusat pada guru.
g. Penilaian belum menggunakan standar penilaian
berbasis kompetensi, serta belum tegas memberikan
layanan remediasi dan pengayaan secara berkala.27
Berdasarkan beberapa kelemahan di atas,
perubahan dan pengembangan kurikulum diperlukan
karena adanya beberapa kesenjangan kurikulum yang
sedang berlaku sekarang (KTSP). Sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni yang
berlangsung cepat dalam era global dewasa ini, dapat
diidentifikasi beberapa kesenjangan kurikulum sebagaimana
dalam materi uji publik kurikulum 2013 yang dikutip E.
Mulyasa,28 sebagai berikut:

27Fatkoer, “Perbedaan Kurikulum 2013 dengan KTSP”


http://fatkoer.wordpress.com/2013/07/28/perbedaan-kurikulum-2013-
dan-ktsp/. (diakses tanggal 14 Juni 2014).
28E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.
61-62.
151
ONDISI SAAT INI KONSEP IDEAL
A. KOMPETENSI LULUSAN
1 Belum sepenuhnya Berkarakter mulia
menekankan
pendidikan karakter
2 Belum menghasilkan Keterampilan yang
keterampilan sesuai relevan
kebutuhan
3 Pengetahuan- Pengetahuan-
pengetahuan lepas pengetahuan terkait
B. MATERI PEMBELAJARAN
1 Belum relevan Relevan dengan
dengan kompetensi materi yang
yang dibutuhkan dibutuhkan
2 Beban belajar terlalu Materi esensial
berat
3 Terlalu luas, kurang Sesuai tingkat
mendalam perkembangan anak
C. PROSES PEMBELAJARAN
1 Berpusat pada guru Berpusat pada peserta
didik
2 Proses pembelajaran Sifat pembelajaran
berorientasi pada yang kontekstual
buku teks
3 Buku teks hanya Buku teks memuat
memuat materi materi dan proses
bahasan pembelajaran, system
penilaian serta
kompetensi yang
diharapkan
D. PENILAIAN
1 Menekankan aspek Menekankan aspek
152
kognitif kognitif, afektif,
psikomotorik secara
proporsional
2 Tes menjadi cara Penilaian tes pada
penilaian yang portofolio saling
dominan melengkapi
E. PENDIDIK DAN TENAGA
KEPENDIDIKAN
1 Memenuhi Memenuhi
kompetensi profesi kompetensi profesi,
saja pedagogi, sosial, dan
personal
2 Fokus pada ukuran Motivasi mengajar
kinerja PTK
F. PENGELOLAAN KURIKULUM
1 Satuan pendidikan Pemerintah pusat dan
mempunyai daerah memiliki
kebebasan dalam kendali kualitas
mengelola kurikulum dalam pelaksanaan
kurikulum tingkat
satuan pendidikan
2 Masih terdapat Satuan pendidikan
kecenderungan mampu menyusun
satuan pendidikan kurikulum dengan
menyusun kurikulum mempertimbangkan
tanpa kondisi satuan
mempertimbangkan pendidikan,
kondisi satuan kebutuhan peserta
pendidikan, didik, dan potensi
kebutuhan peserta daerah
didik, dan potensi
daerah
3 Pemerintah hanya Pemerintah
153
menyiapkan sampai menyiapkan semua
standar isi mata komponen kurikulum
pelajaran sampai buku teks dan
pedoman
Berdasarkan kondisi tersebut, kurikulum 2006 atau
yang dikenal dengan KTSP dikembangkan menjadi
kurikulum 2013 didasari pemikiran tentang tantangan masa
depan, persepsi masyarakat, perkembangan pengetahuan
dan pedagogi, kompetensi masa depan, dan fenomena
negative yang mengemuka. Perbedaan paradigma atau pola
pikir dalam penyusunan kurikulum KBK 2004 dan KTSP
2006 dengan kurikulum 2013, dapat dilihat pada tabel
tentang perubahan pola pikir pada kurikulum 2013,29
sebagai berikut:

No KBK 2004 & KTSP 2006 KURIKULUM 2013


1 Standar kompetensi Standar kompetensi
lulusan diturunkan dari lulusan diturunkan dari
standar isi kebutuhan
2 Standar isi diruuskan Standar isi diturunkan
berdasarkan tujuan mata dari standar kompetensi
pelajaran (standar lulusan melalui
kompetensi lulusan mata kompetensi inti yang
pelajaran) yang dirinci bebas mata pelajaran
menjadi standar
kompetensi dan
kompetensi dasar mata
pelajaran
3 Pemisahan antara mata Semua mata pelajaran

29Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Pelatihan


Implementasi Kurikulum 2013, h. 4. Lihat pula, E. Mulyasa, Pengembangan
dan Implementasi Kurikulum 2013, h. 63.
154
pelajaran pembentukan harus berkonstribusi
sikap, pembentukan terhadap pembentukan
keterampilan, dan sikap, keterampilan, dan
pembentukan pengetahuan
pengetahuan
4 Kompetensi diturunkan Mata pelajaran
dari mata pelajaran diturunkan dari
kompetensi yang ingin
dicapai
5 Mata pelajaran lepas satu Semua mata pelajaran
dengan yang lain, seperti diikat oleh kompetensi
sekumpulan mata inti (tiap kelas)
pelajaran terpisah
Berdasarkan kerangka inilah perlunya
pengembangan kurikulum 2013, untuk menghadapi
berbagai masalah dan tantangan masa depan yang semakin
lama semakin rumit dan kompleks. Berbagai tantangan masa
depan tersebut antara lain berkaitan dengan globalisasi dan
pasar bebas, masalah lingkungan hidup, pesatnya kemajuan
teknologi informasi, konvergensi ilmu dan teknologi,
ekonomi berbasis pengetahuan, kebangkitan industri kreatif
dan budaya, pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh
dan imbas teknosains, mutu investasi dan transformasi pada
sector pendidikan, serta materi TIMSS dan PISA yang harus
dimiliki oleh peserta didik.
Menghadapi tantangan tersebut, kurikulum harus
mampu membekali peserta didik dengan berbagai
kompetensi. Kompetensi yang diperlukan di masa depan
sesuai dengan perkembangan global antara lain kemampuan
berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih dan kritis,
kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu
permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang
bertanggung jawab.

155
D. Implementasi Kurikulum 2013
1. Konsep Implementasi Kurikulum
Pengertian secara bahasa sebagaimana dalam
Oxford Advance Leraner’s Dictionary yang dikutip dalam E.
Mulyasa, bahwa implementasi adalah penerapan suatu yang
memberikan efek atau dampak. Lebih lanjut disebutkan
implementasi adalah proses penerapan ide, konsep,
kebijakan atau inovasi dalam suatu tindakan praktis
sehingga memberikan dampak baik berupa perubahan
pengetahuan, keterampilan, ataupun nilai dan sikap.30
Implementasi kurikulum dapat diartikan sebagai
aktualisasi kurikulum tertulis (written curriculum) ke dalam
bentuk pembelajaran. Implementasi dapat juga diartikan
sebagai pelaksanaan dan penerapan. Terdapat beberapa
pendapat sebagaimana yang dikutip dari Wiji Hidayati di
antaranya pendapat Majone dan Wildavky yang
mengemukakan bahwa implementasi adalah perluasan
aktivitas yang saling menyesuaikan, sehingga dimaknai
bahwa implementasi merupakan suatu proses penerapan ide
dan konsep. Sedangkan kurikulum dapat diartikan sebagai
suatu dokumen kurikulum (kurikulum potensial).31
Berdasarkan uraian di atas bahwa implementasi
kurikulum merupakan proses interaksi antara fasilitator
sebagai pengembangan kurikulum dan peserta didik sebagai
subjek belajar, maka implementasi kurikulum adalah
penerapan, ide, konsep kurikulum potensial (dalam bentuk

30E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), h. 179. Lihat Pula, E. Mulyasa, Kurikulum


Berbasis Kompetensi (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2003), h. 93.
31Wiji Hidayati, Pengembangan Kurikulum, (
Yogyakarta:Pedagogia, 2012), h. 98.
156
dokumen kurikulum) ke dalam kurikulum aktual dalam
bentuk proses pembelajaraan.32
Selanjutnya, faktor-faktor yang mempengaruhi
implementasi kurikulum adalah sebagai berikut:
a. Karakteristik kurikulum; yang mencakup ruang lingkup
ide baru suatu kurikulum dan kejelasaanya bagi
pengguna di lapangan.
b. Strategi implementasi: yaitu strategi yang digunakan
dalam implementasi, seperti diskusi profesi, seminar,
penataran, loka karya, penyediaan buku kurikulum, dan
kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong penggunaan
kurikulum di lapangan.
c. Karakteristik pengguna kurikulumyang meliputi
pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap guru
terhadap kurikulum, serta kemempuanya untuk
merealisasikan kurikulum dalam pembelajaran.
Sejalan dengan uraian di atas, Mars dalam E.
Mulyasa mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi
implementasi kurikulum, yaitu dukungan kepala sekolah,
dukungan rekan sejawat guru, dan dukungan internal yang
datang dalam diri guru sendiri. Beberapa faktor tersebut
guru merupakan faktor penentu di samping faktor-faktor
yang lain.33
Implementasi Kurikulum 2013 merupakan
aktualisasi kurikulum dalam pembelajaran dan
pembentukan kompetensi serta karakter peserta didik. Hal
tersebut menuntut keaktifan guru dalam menciptakan dan
menumbuhkan berbagai kegiatan sesuai dengan rencana
yang telah diprogramkan, untuk mencapai tujuan.

32Wiji Hidayati, Pengembangan Kurikulum, h. 98.


33E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, h.
179-180.
157
Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan
kompetensi, asumsi merupakan parameter untuk
menentukan tujuan dan kompetensi yang akan
dispesifikasikan. Konsistensi dan validasi setiap kompetensi
harus sesuai dengan asumsi, meskipun tujuannya selalu
diuji kembali berdasarkan masukan yang memungkinkan
terjadinya suatu perubahan.
Berdasarkan ulasan di atas, terdapat tujuh asumsi
yang mendasari kurikulum 2013 berbasis karakter dan
kompetensi. Ketujuh asumsi tersebut adalah sebagai
berikut:34
Pertama, banyak sekolah yang memiliki guru yang
tidak profesional, sehingga guru tersebut tidak mampu
melakukan proses pembelajaran secara optimal, oleh karena
itu, penerapan kurikulum berbasis kompetensi menuntut
peningkatan kemampuan profesional guru.
Kedua, banyak sekolah yang hanya mengoleksi
sejumlah mata pelajaran dan pengalaman, sehingga
mengajar diartikan sebagai kengiatan menyajikan materi
yang terdapat dalam setiap mata pelajaran.
Ketiga, peserta didik bukanlah tabung kosong atau
kertas putih bersih yang dapat diisi atau ditulis sekehendak
guru, melainkan individu yang memiliki sejumlah potensi
yang perlu dikembangkan. Pengembangan potensi tersebut
menuntut iklim kondusif yang dapat mendorong peserta
didik belajar bagaimana belajar (learning how to learn), serta
menghubungkan kemampuan yang dimiliki dengan
penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat, peserta didik memiliki potensi yang
berbeda dan bervariasi, dalam hal tertentu memiliki potensi

34E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.


164-165.
158
tinggi, tetapi dalam hal lain mungkin biasa-biasa saja,
bahkan rendah. Menyikapi situasi tersebut, guru harus
dapat membantu menghubungkan pengalaman yang sudah
dimiliki dangan situasi baru.
Kelima, pendidikan berfungsi mengkondisikan
lingkungan untuk membantu peserta didik
mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya secara
optimal. Berkaitan dengan hal ini, Sukmadinata memberikan
ilustrasi dengan mengumpamakan pendidikan ibarat
bertani.35
Keenam, kurikulum sebagai rencana pembelajaran
harus berisi kompetensi-kompetensi potensial yang tersusun
secara sistematis, sebagai jabaran dari seluruh aspek
kepribadian peserta didik, yang mencerminkan
keterampilan yang dapat diterapkan dalam kehidupan.
Ketujuh, kurikulum sebagai proses pembelajaran
harus menyediakan berbagai kemungkinan kepada seluruh
peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensinya
secara optimal, baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat.36 Hal ini tugas guru adalah

35Menurut Sukmadinata, ilustasinya adalah petani menyediakan

lahan yang gembur, mengatur air, udara, cahaya yang diperlukan


tanaman, memupuk, menyayangi dan mencegah tanaman dari hama-
hama. Guru seperti petani yang penuh rasa saying dan perhatian, dengan
tekun dan telaten merawat tanaman kesayangannya. Petani tidak perlu
menarik pohon supaya tinggi, membeber-beberkan daun supaya lebar,
member parfum supaya wangi. Kalau pohon tersebut punya potensi
tinggi, daun lebar, bunga atau buahnya wangi, cirri-ciri tersebut akan
dicapainya sendiri asalkan diciptakan kondisi dan perlakuan lingkungan
yang mendukung, kalau kondisi dan perlakuan lingkungan tidak
mendukung para peserta didik sulit untuk berkembang, begitu pula
sebaliknya. Lihat Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum:
Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 87.
36Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi Teori dan

Aplikasi (Bandung: PT Pakar Raya, 2004), h. 27-28.


159
memberikan kemudahan dan kesempatan belajar kepada
peserta didik untuk menemukan ide dan menerapkan
strategi belajar sesuai denga kemampuan dan kecepatan
belajar masing-masing.
Berdasarkan asumsi di atas, dalam implementasi
kurikulum 2013 dilakukan penambahan beban belajar
pada semua jenjang pendidikan, sebagai berikut:
a. Beban belajar di SD/MI: Kelas I, II, dan III masing-
masing 30, 32, 34 jam setiap minggu sedangkan untuk
kelas IV, V, dan VI masing-masing 36 jam setiap minggu,
dengan lama belajar untuk setiap jam belajarnya yaitu 35
menit.
b. Beban belajar di SMP/MTs.: Beban belajar dari semula 32
jam menjadi 38 jam untuk masing-masing kelas VII, VIII,
dan IX, dengan lama belajar untuk setiap jam belajarnya
yaitu 40 menit.
c. Beban belajar di SMA/MA: Beban belajar untuk kelas X
bertambah dari 38 jam menjadi 42 jam belajar, dan untuk
kelas XI dan XII bertambah dari 38 jam menjadi 44 jam
belajar setiap minggu, dengan lama belajar untuk setiap
jam belajarnya yaitu 45 menit.37
Berdasarkan pada uraian di atas, untuk memahami
lebih jelas terhadap beban belajar tersebut, berikut ini
penulis akan menguraikan beban belajar pada kurikulum
2013, sebagaimana yang terdapat dalam stuktur kurikulum
SD, SMP, dan SMA.

37E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.


166.
160
Berikut ini adalah struktur Kurikulum SD,
sebagaimana pada tabel:
ALOKASI WAKTU BELAJAR
MATA
PER MINGGU
PELAJARAN
1 2 3 4 5 6
KELOMPOK A
1. Pendidikan
Agama dan 4 4 4 4 4 4
Budi Pekerti
2. Pendidikan
Pancasila
dan 5 6 6 6 6 6
Kewargane
garaan
3. Bahasa
8 8 10 10 10 10
Indonesia
4. Matematika 5 6 6 6 6 6
KELOMPOK B
1. Seni Budaya
dan
Keterampila
n 4 4 4 6 6 6
(termasuk
muatan
lokal)
2. Pendidikan
Jasmani, 4 4 4 4 4 4
Olah Raga
dan
Kesehatan
(termasuk
muatan
lokal)
161
Pendidikan
Jasmani, Olah 30 32 34 36 36 36
Raga dan
Kesehatan
(termasuk
muatan lokal)
Sumber Data: Kemendikbud. 2013 “Draft Kurikulum 2013”
Menurut pemahaman penulis, mata pelajaran
kelompak A merupakan mata pelajaran yang memberikan
orientasi kompetensi lebih kepada aspek intelektual dan
afektif, sedangkan mata pelajaran kelompok B merupakan
mata pelajaran yang lebih menekankan pada aspek afektif
dan psikomotorik.
Integrasi konten IPA dan IPS adalah berdasarkan
makna mata pelajaran sebagai organisasi konten dan bukan
sebagai sumber dari konten. Konten IPA dan IPS
diintegrasikan ke dalam mata pelajaran PPKn, Bahasa
Indonesia dan Matematika yang harus ada berdasarkan
ketentuan perundang-undangan.
Selanjutnya, struktur Kurikulum SMP,
sebagaimana pada tabel berikut:

162
ALOKASI WAKTU
BEAJAR
MATA PELAJARAN
PERMINGGU
VII VIII IX
KELOMPOK A
1. Pendidikan Agama
3 3 3
dan Budi Pekerti
2. Pendidikan
Pancasila dan 3 3 3
Kewarganegaraan
3. Bahasa Indonesia 6 6 6
4. Matematika 5 5 5
5. IPA 5 5 5
6. IPS 4 4 4
7. Bahasa Inggris 4 4 4
KELOMPOK B
1. Seni Budaya &
Prakarya
3 3 3
(termasuk muatan
lokal)
2. Pendidikan
Jasmani, Olah
Raga, dan
3 3 3
Kesehatan
(termasuk muatan
lokal)
3. Prakarya
(termasuk muatan 2 2 2
lokal)
Jumlah Alokasi Waktu
38 38 38
per Minggu
Sumber Data: Kemendikbud. 2013 “Draft Kurikulum 2013”

163
Menurut penulis, kelompok A adalah mata
pelajaran yang memberikan orientasi kompetensi lebih
kepada aspek intelektual dan afektif sedangkan kelompok B
adalah mata pelajaran yang lebih menekankan pada aspek
afektif dan psikomotor.
Sementara untuk menerapkan konsep kesamaan
antara SMA dan SMK maka dikembangkan kurikulum
pendidikan menengah yang terdiri atas kelompok mata
pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan. Mata pelajaran
wajib sebanyak 9 (sembilan) mata pelajaran dengan beban
belajar 18 jam per minggu. Konten kurikulum untuk mata
pelajaran wajib bagi SMA dan SMK adalah sama. Struktur
ini menempatkan prinsip bahwa peserta didik adalah subjek
dalam belajar dan mereka memiliki hak untuk memilih
sesuai dengan minatnya.
Mata pelajaran pilihan terdiri atas pilihan
akademik (SMA) serta pilihan akademik dan vokasional
(SMK). Mata pelajaran pilihan ini memberikan corak kepada
fungsi satuan pendidikan dan di dalamnya terdapat pilihan
sesuai dengan minat peserta didik. Berikut ini merupakan
struktur kurikulum pendidikan menengah kelompok mata
pelajaran wajib, adalah sebagai berikut:

164
ALOKASI
WAKTU
MATA PELAJARAN BELAJAR PER
MINGGU
X XI XII
Kelompok Wajib
1. Pendidikan Agama
3 3 3
dan Budi Pekerti
2. Pendidikan Pancasila
2 2 2
dan Kewarganegaraan
3. Bahasa Indonesia 4 4 4
4. Matematika 4 4 4
5. Sejarah Indonesia 2 2 2
6. Bahasa Inggris 2 2 2
7. Seni Budaya 2 2 2
8. Prakarya dan
2 2 2
Kewirausahaan
9. Pendidikan Jasmani,
Olah Raga, dan 3 3 3
Kesehatan
Jumlah Jam Pelajaran
Kelompok Wajib per 24 24 24
Minggu
Kelompok Peminatan
Mata Pelajaran Peminatan
18 20 20
Akademik (SMA/MA)
Jumlah Jam Pelajaran yang
Harus ditempuh dalam per 42 44 44
Minggu
Sumber Data: Kemendikbud. 2013 “Draft Kurikulum 2013”
Menurut penulis, kompetensi dasar mata pelajaran
wajib memberikan kemampuan dasar yang sama bagi
mereka yang belajar di SMA dan SMK.Bagi mereka yang
165
memilih SMA tersedia pilihan kelompok peminatan (sebagai
ganti jurusan) dan pilihan antar kelompok peminatan dan
bebas. Nama kelompok peminatan digunakan karena
memiliki keterbukaan untuk belajar di luar kelompok
tersebut, sedangkan nama jurusan memiliki konotasi
terbatas pada apa yang tersedia pada jurusan tersebut dan
tidak boleh mengambil mata pelajaran di luar jurusan.
Nama kelompok minat diubah dari IPA, IPS dan
Bahasa menjadi Matematika dan Sains, Sosial, dan Bahasa.
Nama-nama ini tidak diartikan sebagai nama kelompok
disiplin ilmu karena adanya berbagai pertentangan filosofis
pengelompokan disiplin ilmu. Berdasarkan filosofi
rekonstruksi sosial maka nama organisasi kurikulum tidak
terikat pada nama disiplin ilmu.
Berikut ini adalah kelompok mata pelajaran
peminatan dan mata pelajaran pilihan (pendalaman minat
dan lintas minat), sebagaimana pada tabel:

166
KELAS
MATA PELAJARAN
X XI XII
Kelompok Wajib 24 24 24
Peminatan Matematika dan
Sains
I 1. Matematika 3 4 4
2. Biologi 3 4 4
3. Fisika 3 4 4
4. Kimia 3 4 4
Peminatan Sosial
II 1. Geografi 3 4 4
2. Sejarah 3 4 4
3. Sosiologi dan
3 4 4
Antropologi
4. Ekonomi 3 4 4
Peminatan Bahasa
III 1. Bahasa dan Sastra
3 4 4
Indonesia
2. Bahasa dan Sastra
3 4 4
Inggris
3. Bahasa dan Sastra
3 4 4
Asing lainnya
4. Sosiologi dan
3 4 4
Antropologi
Mata Pelajaran Pilihan
Pilihan Pendalaman
Minat atau Lintas 6 4 4
Minat
Jumlah Jam Pelajaran yang
66 76 76
Tersedia
Jumlah Jam Pelajaran yang
42 44 44
Harus Ditempuh
Sumber Data: Kemendikbud. 2013 “Draft Kurikulum 2013”

167
2. Pendekatan dalam Implementasi Kurikulum
Pendekatan dalam implementasi kurikulum secara
spesifik berkaitan dengan tindakan/upaya para pelaksana
kurikulum di lapangan (guru, kepala sekolah, administratur
pendidikan dan stakeholders terkait) untuk mengoptimalkan
implementasi kurikulum sehingga memperoleh hasil secara
maksimal. Hal ini sejalan dengan pandangan tentang
implementasi kurikulum, yang menyebutkan bahwa
implementasi kurikulum pada dasarnya merupakan suatu
proses penerapan konsep, ide, program, atau tatanan
kurikulum ke dalam praktik pembelajaran, yang
keberhasilannya setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor,
yaitu: (a) karakteristik kurikulum; (b) strategi implementasi;
dan (c) karakteristik pengguna/pelaksana di lapangan.
Pendekatan dalam implementasi kurikulum
sebagaimana yang dijelaskan oleh Jackson ada tiga yaitu:38
a. Fidelity Perspective
Pendekatan fidelity berangkat dari prinsip
kurikulum sentralistik (centralized curriculum), yang
menggariskan bahwa desain kurikulum yang dikembangkan
oleh pusat adalah sesuatu yang terstandar dan siap
diterapkan tanpa harus dilakukan penyesuaian. Sehingga
karakteristik utama pendekatan ini menurut Sukmadinata
adalah para pelaksana kurikulum di sekolah (guru, kepala
sekolah, administrasi pendidikan atau stakeholders terkait)
berupaya mengimplementasikan kurikulum sesuai dengan
desain yang telah ditetapkan secara standar.39
b. Mutual Adaptation

38PhilipW. Jackson, Handbook of Research on Curriculum (New


York: MacMilllan Publishing Company, 1991), h. 404.
39Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Tori dan

Praktik, h. 3.
168
Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa
berdasarkan temuan empirik, pada kenyataannya
kurikulum tidak pernah benar-benar dapat
diimplementasikan sesuai rencana, namun perlu diadaptasi
sesuai kebutuhan setempat. Menurut Jackson, pendekatan
mutual adaptation pada dasarnya merupakan ciri penting
dalam sebuah implementasi dan implementasi kurikulum.
Ciri pokok pendekatan ini adalah bahwa dalam
implementasinya pelaksana kurikulum mengadakan
penyesuaian berdasarkan kondisi, kebutuhan, dan tuntutan
perkembangan secara kontekstual.40
Sebagai suatu rencana tertulis pembelajaran,
implementasi kurikulum perlu memberikan peluang
dilakukannya modifikasi dan penyempurnaan, sehingga
pelaksana di lapangan memiliki keluwesan dalam
menyusun rencana program (pembelajaran), melaksanakan,
maupun melakukan evaluasi hasil pembelajaran.
Sebagaimana dijelaskan oleh Murray Print bahwa dalam
implementasi kurikulum semestinya perlu diberikan
peluang untuk dilakukan beberapa modifikasi, sebab sangat
mungkin terjadi perbedaan antara rancangan dengan faktor-
faktor yang bersifat lokal dan kontekstual, seperti perbedaan
individual siswa, perbedaan sumber-sumber sekolah,
perbedaan guru, variasi keadaan orang tua, serta dukungan
masyarakat sekitar.41
c. Enactment Curriculum
Pendekatan ini menurut Jackson menguraikan
bahwa perspektif enactment curriculum memandang bahwa
rencana program (kurikulum) bukan merupakan produk

40 Philip W. Jackson, Handbook of Research on Curriculum, h. 428.


41Murray Print, Curriculum Development and Design (Australia:
Allen & Unwin Pty.Ltd., 1993), h. 217-218.
169
atau peristiwa (pengembangan), melainkan sebagai proses
yang berkembang. Dalam perspektif enactment curriculum,
kurikulum sebagai proses akan tumbuh dan berkembang
dalam interaksi antara guru dan siswa, terutama dalam
membentuk kemampuan berfikir dan bertindak.42
Pendekatan ini memiliki perbedaan dengan fidelity
perspective dan mutual adaptation, dengan ciri utama
pelaksana kurikulum melakukan berbagai upaya untuk
mengoptimalkan pelaksanaan kurikulum. Secara
konseptual, pendekatan ini mendasarkan kepada prinsip
bahwa implementasi kurikulum adalah suatu proses, yang
di dalamnya akan berinteraksi berbagai faktor penentu.
3. Perbandingan Kurikulum 2013 dengan KTSP 2006
Tema kurikulum 2013 adalah kurikulum yang
dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif,
inovatif, afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan
pengetahuan yang terintegrasi. Beberapa keunggulan
kurikulum 2013 telah di bahas pada pembahasan terdahulu,
namun demikian untuk lebih memantapkan pemahaman
tentang inovasi kurikulum ini dirasakan perlu mengkaji dan
menganalisis beberapa hal mendasar yang dikembangkan
dalam kurikulum 2013. Hal ini dapat dilihat dengan
perbadingan tata kelola pelaksanaan kurikulum antara
kurikulum 2013 dengan kurikulum KTSP 2006. Perbadingan
tersebut disajikan dalam tabel sebagaimana yang
dikemukakan E. Mulyasa43 sebagai berikut:

42Philip W. Jackson, Handbook of Research on Curriculum, h. 429.


43E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, h.
167-168.
170
A. Perbandingan Elemen dan Ukuran Tata
Kelola
Elemen Ukuran KTSP Kurikulum
Tata Kelola 2006 2013
Kewenanga Hampir Terbatas
n mutlak
Kompetensi Harus Sebaiknya
tinggi tinggi, bagi
Guru yang
rendah
masih
terbantu
dengan
adanya
buku
Kebebasan Berat Ringan
Efektivitas Rendah Tinggi
waktu (banyak
untuk waktu
kegiatan untuk
pembelajara persiapan
n )
Peran Besar Kecil
penerbit
Buku Variasi Tinggi Rendah
materi dan
proses
Variasi Tinggi Rendah
harga/beba
s siswa
Hasil Tergantu Tidak
Siswa pembelajara ng sepenuhya
n sepenuhn tergantung
ya pada guru, tetapi
guru juga buku
171
Titik Banyak Sedikit
Pemantau penyimpan
an gan
Besar Tinggi Rendah
Penyimpan
gan
Pengawasa Sulit, Mudah
n hampir
tidak
mungkin
B. Perbandingan Proses dan Peran
Proses Peran KTSP Kurikulum
2006 2013
Guru Hampir Pengemban
mutlak gan dari
Penyusun (di batasi yang sudah
an Silabus hanya disiapkan
oleh SK-
KD)
Pemerintah Hanya Mutlak
sampai
SK-
KD
Pemerintah Supervisi Supervisi
daerah penyusun pelaksanaan
an
Penerbit Kuat Lemah
Guru Hampir Kecil, untuk
Penyedia mutlak buku
an Buku pengayan
Pemerintah Kecil, Mutlak
untuk untuk buku
kelayaka teks, kecil
n untuk buku
penggun pengayaan
172
aan di
sekolah
Guru Hampir Kecil, untuk
Penyusun mutlak pengemban
an gan dar
Rencana yang ada
Pelaksana pada buku
an teks
Pembelaja Pemerintah Supervisi Supervisi
ran daerah penyusun pelaksanaan
an dan dan
pemanta pemantauan
uan
Guru Mutlak Hampir
Pelaksana mutlak
an Pemerintah Pemanta Pemantauan
Pembelaja daerah uan kesesuaian
ran kesesuaia dengan
n dengan buku teks
rencana (terkendali)
(variatif)
Penjamin Pemerintah Sulit, Mudah,
an Mutu karena karena
variasi mengarah
terlalu pada
besar pedoman
yang sama
Berdasarkan uraian di atas, dipahami bahwa
langkah penguatan tata kelola dilakukan dengan: 1)
menyiapankan buku pengangan pembelajaran yang terdiri
dari buku siswa, dan buku pegangan guru; 2) menyiapkan
guru melalui penataran atau pelatihan supaya dapat
memahami pendayagunaan sumber belajar yang telah
disiapkan dan sumber lain yang dapat dimanfaatkan dalam

173
proses pembelajaran; 3) memperkuat peran pendampingan
dan pemantauan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam
pelaksanaan pembelajaran.
4. Metode dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum
2013
Pelaksanaan dan implementasi kurikulum seperti
yang sudah dikatakan di atas, dilaksanakan dengan
pendekatan scientific. Pelaksanaan pendekatan ini
menekankan pada lima aspek penting, yaitu mengamati,
menanya, mencoba, menalar dan komunikasi. Lima aspek
tersebut harus benar-benar terlihat pada pelaksanaan
pembelajaran, baik metode maupun model
pembelajarannya.
Metode pembelajaran adalah cara yang digunakan
dalam proses pembelajaran sehingga diperoleh hasil yang
optimal. Terdapat berbagai metode pembelajaran yang
digunakan pendidik dalam kegiatan pembelajaran
kurikulum 2013, antara lain:
a. Metode ceramah yakni penyampaian materi dari guru
kepada siswa melalui bahasa lisan baik verbal maupun
nonverbal.
b. Metode latihan yakni penyampaian materi melalui
upaya penanaman kebiasaan-kebiasaan tertentu
sehingga diharapkan siswa dapat menyerap materi
secara optimal.
c. Metode tanya jawab yakni penyajian materi pelajaran
melalui bentuk pertanyaan yang harus dijawab oleh
peserta didik. Metode ini bertujuan memotivasi anak
mengajukan pertanyaan selama proses pembelajaran
atau guru mengajukan pertanyaan dan anak didik
menjawab.
d. Metode karya wisata yakni metode penyampaian materi
dengan cara membawa langsung peserta didik ke objek

174
di luar kelas atau di lingkungan kehidupan nyata agar
siswa dapat mengamati atau mengalami secara
langsung.
e. Metode demonstrasi yakni metode pembelajaran dengan
cara memperlihatkan suatu proses atau suatu benda
yang berkaitan dengan bahan pembelajaran.
f. Metode sosiodrama yakni metode pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada anak didik untuk
melakukan kegiatan memainkan peran tertentu yang
terdapat dalam kehidupan sosial.
g. Metode bermain peran yakni metode pembelajaran
melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan
peserta didik dengan cara memerankan suatu tokoh,
baik tokoh hidup maupun mati. Metode ini
mengembangkan penghayatan, tanggungjawab, dan
terampil dalam memaknai materi yang dipelajari.
h. Metode diskusi yakni metode pembelajaran melalui
pemberian masalah kepada siswa dan siswa diminta
untuk memecahkan masalah secara kelompok.
i. Metode pemberian tugas dan resitasi yakni metode
pembelajaran melalui pemberian tugas kepada siswa.
Resitasi merupakan metode pembelajaran berupa tugas
untuk melaporkan pelaksanaan tugas yang telah
diberikan guru.44
Adapun prinsip dalam pemilihan metode
pembelajaran adalah disesuaikan dengan tujuan, tidak
terikat pada suatu alternatif, penggunaannya bersifat
kombinasi. Faktor-faktor yang menentukan dipilihnya suatu
metode dalam pembelajaran antara lain: 1) Tujuan

44Sofan Amri, Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam

Kurikulum 2013 (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2013), h. 29-30.


175
pembelajaran; 2) Tingkat kematangan anak didik; 3) Situasi
dan kondisi yang ada dalam proses pembelajaran.45
Selanjutnya, model pembelajaran adalah suatu pola
yang digunakan sabagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran dikelas atau pembelajaran dalam tutorial dan
untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran
termasuk didalamnya buku-buku, film, komputer,
kurikulum, dan lain-lain.46
Menurut penulis, model pembelajaran memiliki
empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode
atau prosedur. Ciri-ciri tersebut adalah :
a. Rasional teoritik logis yang disusun oleh para pencipta
atau pengembangnya.
b. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa
belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai).
c. Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model
tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil.
d. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan
pembelajaran itu dapat tercapai.
Sofan Amri mengatakan bahwa model
pembelajaran dikatakan baik jika memenuhi kriteria sebagai
berikut :
a. Sahih (valid). Aspek validitas dikaitkan dengan dua hal :
1) Model yang dikembangkan didasarkan pada rasional
teoritik yang kuat.
2) Terdapat konsistensi internal.
b. Praktis. Aspek kepraktisannya dapat dipenuhi jika :

45Sofan Amri, Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam


Kurikulum 2013, h. 30.
46Sofan Amri, Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam

Kurikulum 2013, h. 30.


176
1) Para ahli dan praktisi menyatakan bahwa apa yang
dikembangkan dapat terapkan.
2) Kenyataan menunjukkan bahwa apa yang
dikembangkan dapat diterapkan.
c. Efektif. Parameternya adalah :
1) Ahli dan praktisi menyatakan bahwa model tersebut
efektif.
2) Secara operasional, model tersebut memberikan hasil
sesuai dengan harapan.47
Berdasarkan uraian di atas, dalam implementasi
kurikulum 2013 menuntut guru untuk mengorganisasikan
pembelajaran secara efektif. Demikian juga, guru harus
dapat menciptakan situasi sehingga materi pembelajaran
selalu tampak menarik, dan tidak membosankan dengan
mempergunakan berbagai metode dan model pembelajaran
yang bervariasi.

47Sofan Amri, Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam

Kurikulum 2013, h. 35.


177
178
BAB VI
PENDIDIKAN DAN OTONOMI DAERAH

A. Pendahuluan
Otonomi daerah yang dilaksanakan sejak tahun 2001
membawa perubahan besar dalam pengelolaan pendidikan.
Di era otonomi daerah, Pemerintah daerah bertanggung
jawab atas pengelolaan sektor pendidikan di semua jenjang
di luar pendidikan tinggi (SD, SLTP, SLTA). Pemerintah
daerah bertanggung jawab atas hampir segala bidang yang
terkait dengan sektor pendidikan (kecuali kurikulum dan
penetapan standar yang menjadi kewenangan Pusat). Studi
ini bertujuan untuk: (1)melihat perubahan yang terjadi
dalam hal pola pembiayaan pendidikan setelah
diberlakukannya otonomi daerah, (2) melihat perkembangan
kemampuan Pemda untuk membiayai sektor pendidikan
yang menjadi tanggung jawabnya, (3)melihat berbagai
masalah yang muncul dalam pembiayaan pendidikan di era
otonomi daerah, serta (4)merumuskan serangkaian
rekomendasi guna mengatasi berbagai masalah yang
muncul tersebut.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa: (1)pelimpahan
keuangan dari Pusat ke Daerah dalam rangka pengelolaan
sektor pendidikan baru sampai pada taraf pemenuhan
kebutuhan rutin, khususnya gaji pegawai,(2)secara relatif,
kemampuan Pemda untuk membiayai sektor pendidikan
tidak mengalami perbaikan dengan diberlakukannya
otonomi daerah, bahkan tidak sedikit daerah yang justru
mengalami penurunan, (3) masalah utama yang
melatarbelakanhi persoalan pembiayaan pendidikan di era
otonomi daerah adalah rendahnya akuntabilitas publik

179
(public accountability), baik di level Pusat maupun di level
daerah.
Berdasarkan temuan tersebut, paling tidak ada dua
solusi yang ditawarkan oleh studi ini, yakni: (1)alokasi dana
APBN untuk pembangunan sektor pendidikan sebaiknya
dilakukan melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus (DAK)
sektor pendidikan, bukan melalui DIP departemen teknis
(Depdiknas), serta (2)Pemda sebaiknya mempertimbangan
implementasi sistem earmarking dalam pembiayaan sektor
pendidikan di daerah.
Pembahasan tentang Pendidikan dan Otonomi
Daerah di dalam bab ini dibahas secara teoretis mulai dari
bagaimana pengertian otonomi daerah, bagaimana
desentralisasi otonomi daerah, bagaimana proses
pemberlakuan undang-undang otonomi daerah, bagaimana
analisis terhadap pelaksanaan otonomi daerah dan istem
desentralisasi.

B. Pengertian Otonomi Daerah


Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.1 Pemberlakuan Undang-undang
(UU No. 22 tahun 1999 tentang Daerah (lebih popular
disebut UU Otonomi Daerah/Otda) pada tahun 2001, yang
telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004,
merupakan tonggak baru dalam sistem pemerintahan
Indonesia. Diberlakukannya UU tersebut menandakan
dimulainya era otonomi daerah yang memberikan

1Abu Daud Busroh, Capita Selekta Hukum Tata Negara,


(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 271.
180
wewenang seluas-luasnya kepada pemerintah Daerah
beserta seluruh komponen masyarakat setempat untuk
mengatur dan menguras kepentingan masyarakat di
daerahnya dengan cara sendiri, sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Tahap awal UU Pemda itu diberlakukan, telah
mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya
datang dari daerah yang kaya, dengan sumber daya yang
sudah tidak sabar ingin rancangan UU tersebut segera
diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah miskin,
mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut.
Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di
segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan
dan sumber keuangan daerah.Oleh karena itu, bagi daerah-
daerah miskin pada umumnya belum siap ketika RUU Otda
itu diberlakukan. Namun pemerintah tetap berpegang pada
kornitmennya, bahwa sesuai rencana, tahun 2001 otonomi
daerah tetap diberlakukan sekalipun disadari bahwa dalam
beberapa hal baik yang menyangkut peraturan perundang-
undangan, prasarana maupun sarana dan sumber daya
lainnya belum siap.
Pemberlakuan Otonomi daerah dalam kondisi
kesiapan yang minimal, bersamaan dengan situasi dan
kondisi masyarakat yang sedang mengalami krisis ekonomi,
di tengah-tengah suasana euphoria kebebasan (dari rezim
orba), menyebabkan dinamika penyelenggaraan otonomi
daerah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan
masyarakat.2

2Dampak negatif otonomi daerah dan peran dephan


dalam pendayagunaan sumber daya nasional untuk kepentingan
pertahanan Negara; Suatu Tinjauan Analisis Makro Tentang
Implementasi Fungsi Pembinaan dan Pendayagunaan Sumber
Daya Alam Oleh: Kolonel Cpl Umar S. Tarmansyah Puslitbang Ind
Balitbang Dephan
181
C. Pengertian Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan urusan
pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya
kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya sendiri.3
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam
membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau
orang-orang yang berada pada level bawah dalam suatu
struktur organisasi. Sekarang ini banyak perusahaan atau
organisasi yang memilih serta menerapkan sistem
desentralisasi karena dapat memperbaiki serta
meningkatkan efektifitas dan produktifitas suatu organisasi.
Sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi banyak
menerapkan sistem sentralisasi, melainkan sistem otonomi
daerah atau otda yang memberikan sebagian wewenang
yang tadinya harus diputuskan pada pemerintah pusat kini
dapat di putuskan di tingkat pemerintah daerah atau
pemda. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar
keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat
diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari
pemerintahan di pusat.Namun kekurangan dari sistem
desentralisasi pada otonomi khusus untuk daerah adalah
euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya
mementingkat kepentingan golongan dan kelompok serta
digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau
oknum.Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh
pemerintah di tingkat pusat.

3Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah, (Jakarta :

Sinar Grafika, 2006), h.13.


182
D. Proses Pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah
Otonomi daerah yang dilaksanakan dalam negara
RepublikIndonesiatelah diatur kerangka landasannya dalam
UUD 19455, antara lain :
1) Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi :
“NegaraIndonesiaadalah Negara Kesatuan yang
berbentuk Republik”.
2) pasal 18 yang berbunyi :
“Pembangunan daerahIndonesiaatas dasar daerah besar
dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang
dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-
daerah yang bersifat istimewa”.
Sejarah perkembangan penyelenggaraan pemerintahan
di daerah dalam merealisasikan amanat konstitusi, telah
dihadirkan berbagai peraturan perundangan yang mengatur
penyelenggaraan pemerintah di daerah, antara lain :
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
2. Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
Di samping terdapat Penetapan Presiden No. 6
Tahun 1959 dan No. 5 tahun 1960.pengalaman dalam
melaksanakan berbagai ketentuan dimaksud menunjukkan
berbagai masalah yang mempunyai dampak tersendiri, baik
terhadap keutuhan negara kesatuan, stabilitas politik,

183
keserasian hubungan pusat dan daerah maupun implikasi
lain terhadap kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.4
Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia
yang tidak pernah ada hentinya. Sebab, jika manusia
berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang
akan terjadi pada sistem peradaban dan budaya manusia.
Ilustrasi ini, maka baik pemerintah maupun masyarakat
berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar
kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia.
“Sistem pendidikan yang dibangun harus disesuaikan
dengan tuntutan zamannya, agar pendidikan dapat
menghasilkan outcome yang relevan dengan tuntutan
zaman.5
Indonesia, telah memiliki sebuah sistem pendidikan
dan telah dikokohkan dengan UU No. 20 tahun
2003.Pembangunan pendidikan di Indonesiasekurang-
kurangnya menggunakan empat strategi dasar, yakni;
partama, pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan, kedua, relevansi pendidikan, ketiga,
peningkatan kualiutas pendidikan, dan keempat, efesiensi
pendidikan.Sacara umum strategi itu dapat dibagi menjadi
dua dimensi yakni peningkatan mutu dan pemerataan
pendidikan.Pembangunan peningkatan mutu diharapkan
dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas
pendidikan. Sedangkan kebijkan pemerataan pendidikan
diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sama

4H.A.W. Widjaja, Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia,


(Jakarta : Rineka Cipta, 1998), h.23-24.
5Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan
Dunia Global), (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2006), h.11

184
dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia sekolah.6
Pendidikan dipandang sebagai katalisator yang dapat
menunjang faktor-faktor lain. Artinya, pendidikan sebagai
upaya pengembangan sumberdaya manusia [SDM] menjadi
semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa.
Di dalam menjamin kesempatan memperoleh
pendidikan yang merata disemua kelompok strata dan
wilayah tanah air sesuai dengan kebutuhan dan tingkat
perkembangannya perlu strategi dan kebijakan pendidikan,
yaitu : [a] menyelenggarakan pendidikan yang relevan dan
bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia
dalam menghadapi tantangan global, [b] menyelenggarakan
pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan
[accountasle] kepada masyarakat sebagai pemilik
sumberdaya dan dana serta pengguna hasil pendidikan, [c]
menyelenggarakan proses pendidikan yang demokratis
secara profesional sehingga tidak mengorbankan mutu
pendidikan, [d] meningkatkan efisiensi internal dan
eksternal pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, [e]
memberi peluang yang luas dan meningkatkan kemampuan
masyarakat, sehingga terjadi diversifikasi program
pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa
Indonesia, [f] secara bertahap mengurangi peran pemerintah
menuju ke peran fasilitator dalam implementasi sistem
pendidikan, [g] Merampingkan birokrasi pendidikan
sehingga lebih lentur [fleksibel] untuk melakukan

6Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam,


Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta : Safiria
Insania dan MSI, 2003), h. 146.
185
penyesuaian terhadap dinamika perkembangan masyarakat
dalam lingkungan global.7
Empat strategi dasar kebijakan pendidikan yang
dikemukakan di atas cukup ideal. Tetapi Muchtar Bukhori,
seorang pakar pendidikan Indonesia, menilai bahwa
kebijakan pendidikan kita tak pernah jelas. Pendidikan kita
hanya melanjutkan pendidikan yang elite dengan kurikulum
yang elitis yang hanya dapat ditangkap oleh 30%anak
didik”, sedangkan 70% lainnya tidak bisa mengikuti
Dengan demikian, tuntutan peningkatan kualitas
pendidikan, relevansi pendidikan, efesiensi pendidikan, dan
pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan,
belum terjawab dalam kebijakan pendidikan kita. Kondisi
ini semakin mempersulit mewujudkan pendidikan yang
egalitarian dan SDM yang semakin merata di berbagai
daerah.
Proses menuju perubahan sistem pendidikan
nasional banyak menuai kendala serius. Apalagi ketika
membicarakan konteks pendidikan nasional sebagai bagian
dari pergumulan ideologi dan politik penguasa.Problem-
problem yang dihadapi seringkali berkaitan dengan
kebijakan-kebijakan [policies] yang sangat strategis. Maka,
dalam konteks kebijakan pendidikan nasional, menurut
Suyanto, banyak pakar dan praktisi pendidikan mengkritisi
pemerintah, dianggap tidak memiliki komitmen yang kuat
untuk membenahi sistem pendidikan nasional. Artinya,
kebijakan-kebijakan pendidikan kita, kurang
menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan
“prioritas” yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu.

7Hujair AH.Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam,


Membangun Masyarakat Madani Indonesia, h.146.
186
Hal ini, “terutama berkaitan dengan anggaran pendidikan
nasional yang semestinya sebesar minimal 20%, daimbil dari
APBN dan APBD [pasal 31 ayat 4 UUD Amandemen
keempat]. Tetapi, sampai sekarang kebijakan strategi belum
dapat diwujudkan sepenuhnya, pendidikan nasional masih
menyisihkan kegetiran-kegetiran bagi rakyat kecil yang
tidak mampu mengecap pendidikan di sekolah”
Pasca Reformasi tahun 1998, memang ada perubahan
fundamental dalam sistem pendidikan nasional. Perubahan
sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem
pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau
yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan dan
kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem
pendidikan kita. Sistem pendidikan kita pun menyesuaikan
dengan model otonomi. Kebijakan otonomi di bidang
pendidikan [otonomi pendidikan] kemudian banyak
membawa harapan akan perbaikan sistem pendidikan kita.
Kebijakan tersebut masih sangat baru, maka sudah barang
tertentu banyak kendala yang masih belum terselesaikan.
Otonomi yang didasarkan pada UU No. 22 tahun
1999, yaitu memutuskan suatu keputusan dan atau
kebijakan secara mandiri.Otonomi sangat erat kaitanya
dengan desentralisasi.Dengan dasar ini, maka otonomi yang
ideal dapat tumbuh dalam suasana bebas, demokratis,
rasional dan sudah barang tentu dalam kalangan insan-insan
yang “berkualitas”. Oleh karena itu, rekonstruksi dan
reformasi dalam Sistem Pendidikan Nasional dan Regional,
yang tertuang dalam GBHN 1999, juga telah dirumuskan misi
pendidikan nasional kita, yaitu mewujudkan sistem dan
iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu,
guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif,
berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin,
187
bertanggung jawab, berketerampilan serta menguasai iptek
dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia
Untuk mewujudkan misi tersebut mesti diterapkan
arah kebijakan sebagai berikut, yaitu :(1)perluasan dan
pemerataan pendidikan. (2)meningkatkan kemampuan
akademik dan profesionalitas serta kesejahteraan tenaga
kependidikan, (3)melakukan pembaharuan dalam sistem
pendidikan nasional termasuk dalam bidang kurikulum,
(4)memberdayakan lembaga pendidikan formal dan PLS
secara luas, (5)dalam realisasi pembaharuan pendidikan
nasional mesti berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi
keilmuan, dan manajemen, (6)meningkatkan kualitas
lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh berbagai
pihak secara efektif dan efisien terutama dalam
pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga
membangkitkan semangat yang pro-aktif, kreatif, dan selalu
reaktif dalam seluruh komponen bangsa
Babarapa kalangan pakar dan praktisi pendidikan,
mencermati kebijakan otonomi pendidikan sering dipahami
sebagai indikasi kearah “liberalisasi” atau lebih parah lagi
dikatakan sebagai indikasi kearah “komersialisasi
pendidikan”. Hal ini, menurut Suyanto, semakin dikuatkan
dengan terbentuknya Badan Hukum Pendidikan [BHP] yang
oleh beberapa pengamat dianggap sebagai pengejawantahan
dari sistem yang mengarah pada “liberalisasi pendidikan”
Persoalan sekarang, apakah sistem pendidikan yang
ada saat ini telah efektif untuk mendidik bangsa
Indonesiamenjadi bangsa yang modern, memiliki
kemampuan daya saing yang tinggi di tengah-tengah bangsa
lain? Jawabannya tentu belum. Menurut Suyanto, berbicara
kemampuan, kita sebagai bangsa nampaknya belum
sepenuhnya siap benar menghadapi tantangan persaingan.
188
Sementara, disatu sisi, “bidang pendidikan kita menjadi
tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas Sumber Daya
Manusia [SDM] Indonesia. Tetapi disisi lain, sistem
pendidikan kita masih melahirkan mismatch terhadap
tuntutan dunia kerja, baik secara nasional maupun regional
Berbagai problem fundamental yang dihadapi
pendidikan nasional saat ini, yang tercermin dalam
“realitas” pendidikan yang kita jalan.Seperti persoalan
anggaran pendidikan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan
persoalan output pendidikan kita yang masih sangat rendah
kualitasnya. Problem-problem pendidikan yang bersifat
metodik dan strategik yang membuahkan output yang
sangat memprihatinkan. Output, pendidikan kita memiliki
mental yang selalu tergantung kepada orang lain. Output
pendidikan kita tidak memiliki mental yang bersifat
mandiri, karena memang tidak kritis dan kreatif.Akhirnya,
output yang pernah mengenyam pendidikan, malah menjadi
“pengangguran terselubung”.Ini artinya, setiap tahunnya,
pendidikan nasional kita memproduksi pengangguran
terselubung.Mereka itu, adalah korban dari ketidakberesan
sistem pendidikan kita yang masing sedang merangka
berbenah. Mungkin saja, kita sebagai insan yang
berpendidikan, tentu saja terus atau banyakan berharap
akan datangnya perubahan “fundamental” terhadap sistem
pendidikan di Indonesia.8

8http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia_2010_
Ade_Cahyana.htm,(30 MEI 2014)
189
E. Analisis Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Sistem
Desentralisasi
Pengertian otonomi dalam konteks desentralisasi
pendidikan, menurut Tilaar mencakup enam aspek, yakni :
1. .Pengaturan perimbangan kewenangan pusat dan
daerah,
2. Manajemen partisipasi masyarakat dalam
pendidikan,
3. Penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah,
4. Pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan,
5. Hhubungan kemitraan “stakeholders” pendidikan
6. Pengembangan infrastruktur sosial.
Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah
terungkap pada Bak Hak dan Kewajiban Warga Negara,
Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah.Bagian ketiga Hak
dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa
“Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program
pendidikan; pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan
dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan”.
Begitu juga pada bagian keempat Hak dan
Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat
(1) “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi
setiap warga negara yang berusia tujuh sampailimabelas
tahun”. Khusus ketentuan bagi Perguruan Tinggi, pasal 24
ayat (2) “Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk
mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan
pengabdian kepada masyarakat”.
190
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep
otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas,
mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta
manajemen pendidikan itu sendiri. Implikasinya adalah
setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi
pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan
pengkajian yang mendalam dan meluas tentang trend
perkembangan penduduk dan masyarakat untuk
memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak
lanjutnya, merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan
karakteristik budaya bangsa Indonesia yang Bhineka
Tunggal Ika dalam perspektif tahun 2020. Kemandirian
daerah itu harus diawali dengan evaluasi diri, melakukan
analisis faktor internal dan eksternal daerah guna mendapat
suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga
dapat disusun suatu strategi yang matang dan mantap
dalam upaya mengangkat harkat dan martabat masyarakat
daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui
otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif.
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau disebut
Otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan
sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena
kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi.
Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap
kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya
pendidikan serta pemerataannya.
Ada 6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan
otonomi pendidikan belum jalan, yaitu :1)Belum jelas aturan
permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten
dankota. 2)Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan
pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara
otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak
191
memadai. 3)Dana pendidikan dan APBD belum memadai.
4)Kurangnya perhatian pemerintah maupun pemerintah
daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam
pengelolaan pendidikan. 5)Otoritas pimpinan dalam hal ini
Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah
kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi
pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan
belum menjadi prioritas utama. 6) kondisi dan setiap daerah
tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan
pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan
dana yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan terjadinya
kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu
membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan
nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan
kemandirian masing-masing daerah.
Otonomi pendidikan yang benar harus bersifat
accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil
harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena
sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga
yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa
disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi
tindakan yang sewenang-wenang. Berangkat dan ide
otonomi pendidikan muncul beberapa konsep sebagai solusi
dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan otonomi
pendidikan, yaitu

1. Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah


Wardiman Djajonegoro (1995) bahwa kualitas
pendidikan dapat ditinjau dan segi proses dan produk.
Pendidikan disebut berkualitas dan segi proses jika proses
belajar mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta
didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Pendidikan
192
disebut berkualitas dan segi produk jika mempunyai salah
satu ciri-ciri sebagai berikut : a) peserta didik menunjukkan
penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar
(learning task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan
sasaran pendidikan, diantaranya hasil belajar akademik
yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal); b)
hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik
dalam kehidupan sehingga dengan belajar peserta didik
bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat melakukan
sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya (learning and
learning), c) hasil pendidikan sesuai atau relevan dengan
tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja.
Menghadapi kondisi ini maka dilakukan
pemantapan manajemen pendidikan yang bertumpu pada
kompetensi guru dan kesejahteraannya.Menurut Penelitian
Simmons dan Alexander (1980) bahwa ada tiga faktor untuk
meningkatkan mutu pendidikan, yaitu motivasi guru, buku
pelajaran dan buku bacaan serta pekerjaan rumah. Hasil
penelitian ini tampak dengan jelas bahwa akhir penentu
dalam meningkatkan mutu pendidikan tidak pada
bergantinya kurikulum, kemampuan manajemen dan
kebijakan di tingkat pusat atau pemerintah daerah, tetapi
lebih kepada faktor-faktor internal yang ada di sekolah,
yaitu peranan guru, fasilitas pendidikan dan
pemanfaatannya. Kepala Sekolah sebagai top manajemen
harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki
untuk dapat mengelola semua infrastruktur yang ada demi
pencapaian kinerja yang maksimal.
Selain itu, untuk dapat meningkatkan otonomi
manajemen sekolah yang mendukung peningkatan mutu
pendidikan, Pimpinan Sekolah harus memiliki kemampuan
untuk melibatkan partisipasi dan komitmen dan orangtua
193
dan anggota masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan
dan mewujudkan visi, misi dan program peningkatan mutu
pendidikan secara bersama-sama; salah satu tujuan UU No.
20 Tahun2003 adalah untuk memberdayakan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan
peran serta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan
sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan.

2. Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-


Daerah
Perlu dilakukan penataan tentang hubungan
keuangan antara Pusat-Daerah menyangkut pengelolaan
pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure)
untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun
pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan
publik yang berkualitas.Sumber keuangan diperoleh dari
Pendapatan Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman
daerah dan lain-lain pendapatan yang syah dengan
melakukan pemerataan diharapkan dapat mendukung
pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada
daerah miskin.Bila dimungkinkan dilakukan subsidi silang
antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin, agar
pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

3. Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan


Era otonom kualitas pendidikan sangat ditentukan
oleh kebijakan pemerintah daerah. Bila pemerintah daerah
memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia
pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa
pendidikan di daerahnya akan maju. Sebaiknya, kepala
daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang
194
pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami
stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan
masyarakat yang well educated dan tidak pernah mendapat
momentum yang baik untuk berkembang. Otonomi
pendidikan harus mendapat dukungan DPRD, karena
DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat
daerah dalam rangka otonomi tersebut.Di bidang
pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat
dalam membangun pradigma dan visi pendidikan di
daerahnya.Oleh karena itu, badan legislatif harus
diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu
menjadi mitra yang baik. Kepala pemerintahan
daerah,kotadiberikan masukan secara sistematis dan
membangun daerah.

4) Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat


Kondisi Sumber Daya yang dimiliki setiap daerah
tidak merata untuk seluruhIndonesia. Untuk itu, pemerintah
daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan,
pakar kampus maupun pakar yang dimiliki Pemerintah
Daerah Kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk
turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai
pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah.
Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri,
lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan
tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan
masalah yang dihadapi masyarakat.

5) Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan


Daerah
Pemerintah Pusat tidak diperkenankan mencampuri
urusan pendidikan daerah Pemerintah Pusat hanya
195
diperbolehkan memberikan kebijakan-kebijakan bersifat
nasional, seperti aspek mutu dan pemerataan.Pemerintah
pusat menetapkan standard mutu.Jadi, pemerintah pusat
hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan
regulator. Otonomi pengelolaan pendidikan berada pada
tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga pemerintah harus
memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan
agar berjalan efektif dan efisien.

196
BAB VII
PENDIDIKAN KARAKTER:
Sebuah Pendekatan Nilai

A. Pendahuluan
Pendidikan pada hakikatnya bertujuan membantu
manusia untuk menjadi cerdas dan pintar (smart) sekaligus
menjadi manusia yang baik (good).Menjadikan manusia
cerdas dan pintar, boleh jadi mudah melakukannya, tetapi
menjadikan manusia agar menjadi orang yang baik dan bijak,
tampaknya jauh lebih sulit.Oleh karena itu, sangat wajar
apabila dikatakan bahwa problem moral merupakan
persoalan akut yang mengiringi kehidupan manusia di setiap
waktu dan di berbagai tempat.Kenyataan tentang akutnya
problem moral ini yang kemudian menempatkan
penyelengaraan pendidikan karakter sebagai sesuatu yang
penting.1
Berbicara tentang pendidikan karakter sebetulnya
bukan hal baru dalam sistem pendidikan di
Indonesia.Pendidikan karakter sudah sejak lama menjadi
bagian penting dalam misi kependidikan nasional, walaupun
dengan penekanan dan istilah yang berbeda.2 Saat ini, wacana
tentang urgensi pendidikan karakter kembali menguat dan
menjadi fokus perhatian sebagai respons atas berbagai
persoalan bangsa, terutama masalah dekadensi moral, seperti
korupsi, kekerasan, perkelahian antar pelajar, bentrok antar

1Oci Melisa Depiyanti, “Model Pendidikan Karakter di


Islamic Full Day School (Studi Deskriptif pada SD Cendekia
Leadership School, Bandung,” dalam Jurnal Tarbawi vol. 1 no. 3
(September 2012), h. 221-226.
2Muhammad Ilyas Ismail, Orientasi Baru dalam Ilmu

Pendidikan (Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 231.


198

etnis, dan perilaku seks bebas. Fenomena tersebut menurut


Tilaar merupakan salah satu ekses dari kondisi masyarakat
yang sedang berada dalam masa transformasi sosial
menghadapi era globalisasi.3
Globalisasimelahirkan budaya global yang
menyebabkan problematika menjadi semakin
kompleks.Globalisasi membawa dampak positif sekaligus
dampak negatif bagi bangsa Indonesia. Kebudayaan negara-
negara Barat yang mengedepankan rasionalisme dan
materialisme-sekuler telah mempengaruhi negara-negara
Timur, termasuk Indonesia yang masih memegang adat dan
kebudayaan leluhur, yang menjunjung nilai tradisi dan
spiritualitas keagamaan.Kenyataan ini merupakan tantangan
serius bagi dunia pendidikan saat ini.
Proses pendidikan merupakan upaya mewariskan
nilai-nilai luhur suatu bangsa yang bertujuan melahirkan
generasi unggul secara intelektual dengan tetap memelihara
kepribadian dan identitasnya sebagai sebuah bangsa. Di sini
letak esensi pendidikan yang memiliki dua misi utama, yaitu
transfer of values dantransfer of knowledge.Dapat dikatakan,
pendidikan dewasa ini dihadapkan pada upaya pewarisan
nilai-nilai lokal di tengah derasnya arus nilai global.Kondisi
demikian, menurut Tilaar, membuat pendidikan saat ini telah
tercabik dari keberadaannya sebagai bagian yang terintegrasi
dengan kebudayaan. Gejala pemisahan pendidikan dari
kebudayaan dapat dilihat dari gejala-gejala berikut: (1)
kebudayaan telah dibatasi pada hal-hal yang berkenaan
dengan kesenian, tarian tradisional, kepurbakalaan termasuk

3H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat


Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1999), h. 3.
198
199

urusan candi dan bangunan kuno, makam, dan sastra


tradisional; (2) nilai-nilai kebudayaan dalam pendidikan telah
dibatasi pada nilai-nilai intelektual belaka; (3) hal lain, nilai-
nilai agama bukanlah urusan pendidikan, tetapi lebih
merupakan urusan lembaga-lembaga agama.4
Gambaran di atas menegaskan urgensi pendidikan
karakater bagi manusia Indonesia yang berpijak kepada
khazanah nilai-nilai Islam dan kebudayaan Indonesia.Oleh
sebab itu, makalah ini secara khusus menguraikan
pendidikan karakter berdasarkan pendekatan nilai-nilai
tersebut.
Pembahasan tentang Pendidikan Karakter: Sebuah
pendekatan nilai di dalam bab ini dibahas secara teoretis
mulai dari bagaimana hakikat pendidikan karakter,
bagaimana fungsi agama dan budaya sebagai sumber nilai
dalam pendidikan karakter, bagaimana implementasi
pendidikan karakter dalam tripusat pendidikan.

B. Hakikat Pendidikan Karakter


Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character)
berasal dari bahasa Yunani, yaitu charassein yang berarti “to
engrave”.5Kata “to engrave” dapat diterjemahkan “mengukir,
melukis.”6Makna ini dapat dikaitkan dengan persepsi bahwa
karakter adalah lukisan jiwa yang termanifestasi dalam
perilaku.

4H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat


Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, h. 17.
5Kevin Ryan & Karen E. Bohlin, Building Character in Schools:

Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life (San Francisco: Jossey


Bass, 1999), h. 5.
6John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia
(Jakarta: Gramedia, 1995), h. 214.
199
200

Karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan


dengan “tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan
watak.”7Jadi, orang berkarakter berarti orang yang
berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau
berwatak.Makna seperti itu menunjukkan bahwa karakter
identik dengan kepribadian atau akhlak.
Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau
sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-
bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga
pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir.8Seiring dengan
pengertian ini, ada sekelompok orang yang berpendapat
bahwa baik buruknya karakter manusia sudah menjadi
bawaan dari lahir. Jika jiwa bawaan baik, maka manusia itu
akan berkarakter baik, dan sebaliknya jika bawaan jelek,
maka manusia itu akan berkarakter jelek. Jika pendapat ini
benar, maka pendidikan karakter tidak ada gunanya, karena
tidak akan mungkin mengubah karakter orang yang sudah
taken for granted. Sementara itu sekelompok orang yang lain
berpendapat berbeda, bahwa karakter dapat dibentuk dan
diupayakan, sehingga pendidikan karakter menjadi sangat
bermakna untuk membuat manusia memiliki karakter yang
baik.
Karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak
etis atau moral.Karakter memiliki kesamaan arti dengan
moral.Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan,
dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan

7Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus


Besar Bahasa Indonesia (Cet. I; Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 682.
8Doni A. Koesoema, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik

Anak di Zaman Modern (Jakarta: PT Grasindo, 2007), h. 80.


200
201

buruk.9 Menurut Simon Philips, yang dikutip Masnur


Muslich, bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang
menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap,
dan perilaku yang ditampilkan.10
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa
karakter identik dengan akhlak, etika, dan moral, sehingga
karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
universal meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam
rangka berhubungan dengan Tuhan, dengan dirinya, dengan
sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum,
tatakrama, budaya, dan adat istiadat.
Ahmad Amin menjadikan kehendak (niat) sebagai
awal terjadinya akhlak (karakter) pada diri seseorang, jika
kehendak itu diwujudkan dalam bentuk pembiasaan sikap
dan perilaku.11
Fatchul Mu’in dalam bukunya Pendidikan Karakter:
Kontruksi Teoretik & Praktik menjelaskan ciri-ciri karakter,
yaitu: (1) Karakter adalah “siapakah dan apakah kamu saat
orang lain sedang melihat kamu” (character is what you are
when nobody is looking). Jadi, karakter berhubungan dengan
konsep diri bahwa seseorang harus paham terhadap dirinya
sendiri, harus tahu kelebihan dan kekurangan yang

9Jamal Ma’mur Asmani,Buku Panduan Internalisasi


Pendidikan Karakter di Sekolah. (Yogyakarta: Diva Press, 2011), h. 27-
28.
10Masnur Muslich,Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan
Krisis Multidimensional (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2011), h. 70.
11Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj. Farid Ma’ruf (Cet.

VIII; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 62.


201
202

dimiliki;(2) Karakter merupakan hasil nilai-nilai dan


keyakinan-keyakinan (character is the result of values and
beliefs). Nilai adalah sesuatu yang dianggap benar dan suci,
tetapi bersifat abstrak yang hanya dapat dirasakan,
sedangkan keyakinan adalah kulminasi dari sesuatu yang
dianggap benar dan suci; (3) Karakter adalah sebuah
kebiasaan yang menjadi sifat alamiah kedua (character is a
habit that becomes second nature). Kebiasaan adalah sesuatu
yang dilakukan setiap hari, jadi karena sudah menjadi suatu
kebiasaan maka ia tampak alamiah dan bukan rekayasa; (4)
Karakter bukanlah reputasi atau apa yang dipikirkan oleh
orang terhadapmu (character is not reputation or what others
thinks about you). Jadi karakter tidak selalu menjadi gambaran
diri seseorang berdasarkan persepsi orang lain, tetapi
perilaku yang apa adanya; (5) Karakter bukanlah seberapa
baik kamu daripada orang lain (character is not how much better
you are than others). Jadi karakter bukanlah menjadi
perbandingan antara diri seseorang dengan orang
lain;(6)Karakter tidak relatif (character isnot relative). Jadi
karakter itu adalah baku “saya adalah saya”, ”kamu adalah
kamu”, dan “dia adalah dia”12 Tampak bahwa semua ciri
karakter di atas merujuk pada satu tujuan yaitu menjadi diri
sendiri (be your self). Dari konsep karakter ini muncul konsep
pendidikan karakter (character education).
Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan
sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai
pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang
berjudul The Return of Character Education dan kemudian
disusul bukunya, Educating for Character: How Our School Can

12Fatchul Mu’in, Pendidikan Karakter: Kontruksi Teoretik &

Praktik (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 161-162.


202
203

Teach Respect and Responsibility. Melalui buku-buku itu, ia


menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan
karakter.
Pendidikan karakter menurut Lickona mengandung
tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the
good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan
kebaikan (doing the good).13Artinya, karakter mengacu kepada
serangkaian pengetahuan, sikap, dan motivasi, serta perilaku
dan keterampilan.
Frye berpendapat, pendidikan karakter harus menjadi
gerakan nasional yang menjadikan sekolah sebagai agen
untuk membangun karakter siswa melalui pembelajaran dan
pemodelan.14Melalui pendidikan karakter, sekolah harus
berpretensi untuk membawa peserta didik memiliki nilai-
nilai karakter mulia seperti hormat dan peduli pada orang
lain, tanggung jawab, memiliki integritas, dan disiplin. Di sisi
lain pendidikan karakter juga harus mampu menjauhkan
peserta didik dari sikap dan perilaku yang tercela.
Pendidikan karakter tidak sekadar mengajarkan mana
yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih
dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan
(habituation) tentang yang baik, sehingga peserta didik
paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik.
Jika demikian, pendidikan karakter membawa misi yang
sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral.

13Thomas Lickona,Educating for Character: How Our School

Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,


1991), h. 51.
14Mike Frye, at al., Character Education: Informational
Handbook and Guide for Support and Implementation of the Student
Citizent Act of 2001 (North Carolina: Public Schools of North
Carolina, 2002), h. 2.
203
204

Selanjutnya Frye menegaskan bahwa pendidikan karakter


merupakan usaha yang disengaja untuk membantu seseorang
memahami, menjaga, dan berperilaku yang sesuai dengan
nilai-nilai karakter mulia.15
Konfigurasi pendidikan karakter dalam konteks
totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut
dikelompokkan dalam: olah hati (spiritual and emotional
development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan
kinestetik (physical and kinestetic development), dan olah rasa
dan karsa (affective and creativity development).16Pengembangan
dan implementasi pendidikan karakter yang dilakukan
semestinya mengacu pada olah hati, olah pikir, olah raga, dan
olah rasa tersebut.

C. Sumber Nilai Pendidikan Karakter


Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak
berkembang dengan sendirinya.Perkembangan karakter pada
setiap individu bersumber dan dipengaruhi oleh faktor
bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Menurut
para ahli psikologi perkembangan, setiap manusia memiliki
potensi bawaan yang akan termanisfestasi setelah dia
dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter
atau nilai-nilai kebajikan. Hal senada telah ditegaskan oleh
Allah swt dalam QS. al-Rum/30: 30.

15Mike Frye, at al., Character Education: Informational


Handbook and Guide for Support and Implementation of the Student
Citizent Act of 2001, h. 3.
16Muhammad Yaumi, Pilar-Pilar Pendidikan Karakter
(Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 59-78.
204
205

             

           
Terjemahnya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan dia telah
menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah.(Itulah) agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.17
Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari menjelaskan:
‫ال‬
َ َ‫ال ق‬ َّ ‫ي َع ْن أيَِب َسلَ َمةَ بْ ين َعْب يد‬
َ َ‫الر ْْحَ ين َع ْن أيَِب ُهَريْ َرةَ َر يض َي اهللُ َعنْهُ ق‬ ِّ ‫الزْه ير‬
ُّ ‫ب َع ين‬ ٍ ْ‫آد ُم َحدَّثَنَا ابْن أيَِب يذئ‬
ُ َ ‫َحدَّثَنَا‬
‫صرانييه أَو ُيَُ ِّجسانييه َكمثَ يل الْب يهيمةي‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ٍ ‫ي‬
َ َ َ َ ْ َ ِّ َ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ُك ُّل َم ْولُود يُولَ ُد َعلَى الْفطَْرة فَأَبَ َواهُ يُ َه ِّوَدانه أ َْو يُن‬ ُّ ‫الني‬
َ ‫َِّب‬
‫ي‬ ‫ي‬
َ‫يمةَ َه ْل تََرى ف َيها َج ْد َعاء‬ َ ‫تُْنتَ ُج الْبَه‬
18

Artinya:
(Imam Bukhari berkata), telah menyampaikan berita
kepada kami Adam, telah menyampaikan berita kepada
kami Ibnu Abi Zi´bin, dari al-Zuhri, dari Abu Salamah
bin ´Abd. Al-Rahman, dari Abu Hurairah ra berkata,
Nabi saw. bersabda: setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah (suci), kedua orang tuanyalah yang
menjadikan Yahudi atau Nasrani atau Majusi, bagaikan
seekor binatang melahirkan anaknya, apakah engkau
melihat dia melindunginya?

17Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan


Terjemahnya(Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009),h.
645.
18Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mugirah al-
Bukhari, Sahih al-Bukhari (CD al-Maktabah al-Syamila Versi 2. 1), Juz
5, h. 182, nomor hadis 1296.
205
206

Dua dalil di atas menjelaskan bahwa karakter baik


merupakan fitrah manusia yang proses pengembangannya
dapat dilakukan melalui tuntunan agama dan lingkungan
budaya.

1. Pendidikan Karakter Berbasis Islam


Islam menggunakan kata akhlak (bentuk jamak dari
kata khuluq) untuk menggambarkan karakter.Al-Ghazali,
sebagaimana dikutip Nata, mengemukakan dua citra
manusia, yaitu citra lahiriah manusia disebut khalq dan citra
batiniahnya yang disebut khuluq.Khalq merupakan citra fisik
manusia, sedang khuluq merupakan citra psikisnya.Al-
Ghazali lebih lanjut menjelaskan bahwa khuluq adalah “suatu
kondisi (hay`ah) dalam jiwa (nafs) yang suci (rasikhah), dan
dari kondisi itu tumbuh suatu aktivitas yang mudah dan
gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan
terlebih dahulu.”19
Ibnu Miskawaih, dikutip Nata, mendefinisikan khuluq
dengan “suatu kondisi (hal) jiwa (nafs) yang menyebabkan
suatu aktivitas dengan tanpa dipikirkan atau
dipertimbangkan terlebih dahulu. Pada intinya, akhlak itu
20

hanya mencakup kondisi batiniah (inner), bukan kondisi


lahiriah. Misalnya, orang yang memiliki karakter pelit bisa
juga ia banyak mengeluarkan uangnya untuk kepentingan
riya', boros, dan sombong. Sebaliknya, orang yang memiliki
karakter dermawan bisa jadi ia menahan mengeluarkan
uangnya demi kebaikan dan kemashlahatan.

19Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2008), h. 2-3.


20Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 3.
206
207

Manshur Ali Rajab memberi batasan akhlak dengan al-


t}ab’udan al-sajiyah. Maksud tab’u (natural disposition) adalah
citra batin manusia yang menetap (al-sukun) yang terdapat
pada al-jibillah (konstitusi)-nya yang diciptakan oleh Allah
sejak lahir. Sedangkan al-sajiyah adalah kebiasaan (‘adah)
manusia yang berasal dari hasil integrasi antara karakter
manusiawi dengan aktivitas-aktivitas yang diusahakan (al-
muktasab).Kebiasaan ini ada yang teraktualisasi menjadi suatu
tingkah laku lahiriah dan ada juga yang masih terpendam.
Definisi terakhir inilah yang lebih lengkap, karena
khuluq mencakup kondisi lahir dan batin manusia. Term khulq
selain diungkap dua kali dalam Al-Qur`an (QS al-Qalam: 4
dan QS al-Syu’ara:137), juga term akhlak yang digunakan
Nabi Muhammad untuk menjelaskan misi kerasulannya:
‫ور ي‬
ُّ ‫اب َحدَّثَنَا أَبُو بَ ٍْ ٍر ُُمَ َّم ُد بْ ُن ُعبَ ْي ٍد ال َْم ْر‬ ‫ي‬ ‫ي‬
‫ى‬
ُّ ‫وذ‬ ْ ‫َصبَ َه ياِنُّ أَنْبَأَنَا أَبُو َسعييد بْ ُن األ‬
ِّ ‫َعَر ي‬ ْ ‫ف األ‬ َ ‫وس‬
ُ ُ‫َخبَ َرنَا أَبُو ُُمَ َّمد بْ ُن ي‬
ْ‫أ‬
‫َخبَ َريِن ُُمَ َّم ُد بْ ُن َع ْجَاَ ََ َع ين الَْ ْعَ ياِ بْ ين َح يٍي ٍم َع ْن أَيب‬ ٍ ُ ‫َحدَّثَنَا َسعي‬
ْ ‫صوٍر َحدَّثَنَا َعبْ ُد ال َْع يزي يز بْ ُن ُُمَ َّمد أ‬ ُ ْ‫يد بْ ُن َمن‬
‫ت ألََُتِّ َم َم ٍَا يرَم‬ ‫ي‬
ُ ْ‫ « إيََّّنَا بُعث‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّه‬
‫ال رس ُ ي‬
ُ َ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫صالي ٍح َع ْن أيَب ُهَريْ َرةَ َر يض َى اللَّهُ َعنْهُ ق‬َ
21 ‫ي‬
.‫َخَاَق‬ ْ ‫األ‬

Artinya:
(Imam Baihaqi berkata), telah mengabarkan kepada
kami Abu Muhammad bin Yusuf, telah mengabarkan
kepada kami Abu Said bin al-A´rabi, telah
menyampaikan kepada kami Muhammad bin Ubaid,
telah menyampaikan kepada kami Said bin Mansur,
telah menyampaikan kepada kami ´Abd al-´Azis bin
Muhammad, telah mengabarkan kepada kami

21Abu
Bakar Ahmad bin Husain bin Ali al-Baihaqi, Sunan al-
Kubra(CD al-Maktabah al-Syamila Versi 3. 28), Juz 10, nomor hadis
21301, h. 191.
207
208

Muhammad bin ´Ajlan, dari Qa´qa´ bin Hakim, dari


Abu Salih, dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah
saw. bersabda: sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.
Karakter atau akhlak mulia dalam perspektif Islam
merupakan buah yang dihasilkan dari proses penerapan
syariah (ibadah dan muamalah) yang dilandasi oleh fondasi
aqidah yang kokoh. Ibarat bangunan, karakter merupakan
kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah fondasi dan
bangunannya kuat. Jadi, tidak mungkin karakter mulia akan
terwujud pada diri seseorang jika ia tidak memiliki aqidah
dan syariah yang benar.
Aqidah yang benar terefleksi pada sikap dan perilaku
sehari-hari. Sebagai contoh, orang yang memiliki iman yang
benar kepada Allah ia akan selalu mengikuti seluruh perintah
Allah dan menjauhi seluruh larangannya. Artinya, ia akan
selalu berbuat yang baik dan menjauhi perbuatan buruk.
Iman kepada yang lain (malaikat, kitab, dan seterusnya) akan
menjadikan sikap dan perilakunya terarah dan terkendali,
sehingga akan mewujudkan karakter mulia.
Hal yang sama juga terjadi dalam hal pelaksanaan
syariah. Semua ketentuan syariah Islam bermuara pada
terwujudnya akhlak atau karakter mulia. Seorang yang
melaksanakan salat yang sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, misalnya, akan membawanya untuk selalu berbuat
yang benar dan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.
Allah swt.berfirman dalam QS al-Ankabut/29: 45.
            

           

208
209

Terjemahnya:
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu
al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya
salat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. Sesungguhnya mengingat Allah (salat)
adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat
yang lain) dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.22
Hikmah pelaksanaan syariah dalam salat juga terjadi
pada ketentuan-ketentuan syariah lainnya seperti zakat,
puasa, dan haji. Hal yang sama juga terjadi dalam
pelaksanaan muamalah, seperti perkawinan, perekonomian,
pemerintahan, dan sebagainya. Kepatuhan akan aturan
muamalah akan membawa pada sikap dan perilaku
seseorang yang mulia dalam segala aspek kehidupannya.
Model pendidikan karakter islami dapat diturunkan
dari dua pola, yaitu (1) diturunkan dari domain akhlak dalam
trilogi ajaran Islam, yang tidak mencakup akidah dan syariah
(ibadah-muamalah); (2) diturunkan dari keseluruhan domain
dari ajaran Islam, mencakup akidah/iman, syariah/islam dan
akhlak/ihsan.
Pertama, karakter diturunkan dari ajaran akhlak, yakni
bagian esoteris dari komponen ajaran Islam.Pola ini tidak
melibatkan akidah dan syariah sebagai konstruksi dalam
karakter, tetapi hanya akhlak saja. Melalui pola ini, bentuk-
bentuk karakter Islam dibagi dua bagian, yaitu: (1) Karakter
terpuji (akhlaq mahmudah). Bentuk karakter ini seperti sabar,
syukur, ikhlas, qana’ah, rendah hati (tawadu’), jujur (sidq),
dermawan, amanah, pemaaf, lapang dada, dan sebagainya.

22Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya


(Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009),h. 401.
209
210

(2) Karakter tercela (akhlak mazmumah). Bentuk karakter ini


seperti gampang marah (gadab), kufur nikmat, riya’, rakus
(tama’),sombong (takabur), dusta (kizb), pelit (syukh), khianat,
dendam, dengki, dan sebagainya.
Dua karakter tersebut merupakan kebalikan atau
lawan yang jelas, baik dilihat dari perilaku eksoteris maupun
esoterisnya, seperti sabar versus marah, syukur versus kufur,
ikhlas versus riya’, qana’ah versus tama’, tawadu’ versus
takabur, jujur versus dusta dan seterusnya.Karena perbedaan
itu jelas maka model karakter ini mudah diukur.
Kedua, karakter diturunkan dari semua aspek dalam
ajaran Islam, yaitu meliputi rukun iman (akidah), rukun Islam
(syariah) dan ihsan (akhlak).Pola karakter ini integratif dan
tidak membedakan antara perilaku eksoteris dan esoteris.
Dengan pola ini tidak akan terjadi split personality, hatinya
beriman kepada Allah Swt tetapi karakternya buruk.
Mujib menguraikan sumber pembentukan karakter
yang diderivasi dari trilogi ajaran Islam, yaitu:

1. Domain iman membentuk karakter mukmin, yang


mencakup enam bentuk (rukun iman):
a. Karakter rabbani/ilahi dengan indikatornya 99 al-asma
al-husna.
b. Karakter malaki dengan indikatornya sifat-sifat
malaikat, atau 10 macam sesuai dengan nama dan
tugas-tugas malaikat.
c. Karakter qur’ani dengan indikatornya nilai-nilai asasi
dalam al-Qur’an
d. Karakter rasuli dengan indikatornya empat sifat rasul,
atau sesuai dengan mu’jizatnya.
e. Karakter yaum al-qiyamah dengan indikatornya berupa
implikasi keimanan terhadap hari kiamat.
210
211

f. Karakter taqdiri dengan indikatornya ketentuan dan


aturan berkaitan taqdir anfusi, kauni, dan qur’ani.

2. Domain Islam membentuk karakter muslim, yang


mencakup lima bentuk (rukun Islam):
a. Karakter musyahadatain dengan indikatornya implikasi
kesaksian syadahat kepada Allah dan syahadat rasul.
b. Karakter mushalli dengan indikatornya implikasi atau
hikmah dari shalat.
c. Karakter sha’im dengan indikatornya implikasi atau
hikmah dari puasa.
d. Karakter muzakki dengan indikatornya implikasi atau
hikmah dari zakat.
e. Karakter hajji dengan indikatornya implikasi atau
hikmah dari haji.

3. Domain ihsan membentuk karakter muhsin, yang


mencakup multi bentuk (rukun ihsan)
a. Tingkatan permulaan (bidayah), meliputi kesadaran (al-
yaqzhah), taubat (al-taubah), introspekti (al-muhasabah),
kembali ke jalan Allah (al-inabah), berfikir (al-tafakkur),
berzikir (al-tazakkur), menjaga diri (al-i’tishâm), lari dari
keburukan menuju ke jalan Allah (al-firar), latihan
spiritual (al-riyadhah), dan mendengar dengan suara hati
(al-sima’).
b. Tingkatan pintu-pintu masuk (abwab), meliputi
kesedihan (al-huzn), ketakutan (al-khauf), kekhusyuan
(al-khusyu’), rendah diri di hadapan Allah (al-ikhbat),
zuhud (al-zuhud), menjaga diri (al-wara’), ketekunan (al-
tabattul), harapan (al-raja’), dan kecintaan (al-ragbah).
c. Tingkatan pergaulan (mu’amalah), meliputi
pemeliharaan diri (al-ri’ayah), menghadirkan hati
211
212

kepada Allah (al-muraqabah), kehormatan (al-hurmah),


ketulusan (al-ikhlash), pendidikan (al-tahzib), kontinu (al-
istiqamah), tawakkal (al-tawakkal), pelimpahan
wewenang (al-tafwîdh), keterpercayaan (al-siqah) dan
penyerahan (al-taslim).
d. Tingkatan etika (akhlaq), meliputi sabar (al-sabr), rela (al-
rida), berterima kasih (al-syukur), malu (al-haya), jujur (al-
sidq), mementingkan orang lain (al-itsar), kerendahan
hati (al-tawadu’) dan kejantanan (al-futuwah).
e. Tingkatan pokok (usul), meliputi tujuan (al-qas}d), tekad
(al-‘azm), hasrat (al-iradah), sopan santun (al-adab),
keyakinan (al-yaqîn), keintiman (al-uns), mengingat (al-
zikr), butuh rahmat (al-faqr) dan merasa kaya materi (al-
gani)
f. Tingkatan terapi (adwiyah), meliputi baik (al-ihsan), ilmu
(al-‘ilm), hikmah (al-hikmah), pandangan batin (al-bas}ir),
firasat (al-firasah), kehormatan (al-ta’zim), ilham (al-
ilham), ketenangan (al-sakinah), ketentraman (al-
thuma’ninah) dan cita-cita (al-himmah).
g. Tingkatan keadaan (ahwal), meliputi cinta (al-mahabbah),
cemburu (al-girah), rindu (al-syauq), kegoncangan (al-
qalq), haus (al-‘atasy), suka cita (al-wijd), keheranan (al-
dahasy), kilat (al-barq) dan cita-rasa (al-zauq).
h. Tingkatan kewalian (walayah), meliputi sadar setelah
memperhatikan (al-lahazhah), waktu (al-waqt), jernih (al-
shafa), gembira (al-surur), rahasia (al-sirr), nafas (al-nafs),
keterasingan (al-gurbah), tenggelam (al-gharq) dan
kesanggupan hati (al-tamakkun).
i. Tingkatan hakikat (haqaiq), meliputi ketersingkapan (al-
mukasyafah), penyaksian (al-musyahadah), keterlihatan
(al-mu’ayanah), hidup (al-hayah), ketergengaman (al-
qabdh), keterbentangan (al-basth), mabuk (al-sukr), lupa
212
213

(al-s}ahw), ketersambungan (al-ittisal), dan keterpisahan


(al-infisal).
j. Tingkatan puncak (nihayah), meliputi pengetahuan yang
gaib (al-ma’rifah), peniadaan materi (al-fana), penetapan
ruhani (al-baqa), pembuktian (al-tahqîq), mendapatkan
eksistensi (al-wujud), pengosongan (al-tajrid),
ketersendirian (al-tafrid), penyatuan (al-jam’u) dan
pentauhidan (al-tauhid).23
Uraian di atas menunjukkan bahwa spiritualitas dan
nilai-nilai agama tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan
karakter.Sebagai usaha yang identik dengan ajaran agama,
pendidikan karakter dalam Islam memiliki keunikan dan
perbedaan dengan pendidikan karakter di dunia
Barat.Perbedaan tersebut mencakup penekanan terhadap
prinsip-prinsip agama yang abadi, aturan dan hukum
memperkuat moralitas, perbedaan pemahaman tentang
kebenaran dan penekanan pahala di akhirat sebagai motivasi
perilaku berkarakter. Inti perbedaan ini adalah keberadaan
wahyu ilahi sebagai sumber dan rambu-rambu pendidikan
karakter dalam Islam, sehingga pendidikan karakter dalam
Islam lebih sering dilakukan secara doktriner dan dogmatis.24
Pendekatan ini membuat pendidikan karakter dalam Islam
lebih cenderung pada teaching right and wrong.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak dalam
Islam mempunyai orientasi yang sama dengan pendidikan
karakter yang sedang booming saat ini. Perbedaan bahwa
pendidikan akhlak terkesan Timur dan Islam sedangkan

23A. Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam (Jakarta:


Rajawali Press, 2006), h. 78-93.
24Abdul Madjid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam
(Bandung: Rosdakarya, 2011), h. 59.
213
214

pendidikan karakter terkesan Barat dan sekuler, bukan alasan


untuk dipertentangkan.Pada kenyataannya keduanya
memiliki ruang untuk saling mengisi.Bahkan Lickona sebagai
bapak pendidikan karakter di Amerika justru mengisyaratkan
keterkaitan erat antara karakter dan spiritualitas.Sejauh ini,
pendidikan karakter telah berhasil dirumuskan oleh para
penggiatnya sampai pada tahap yang sangat operasional
meliputi metode, strategi, dan teknik.Sementara itu,
pendidikan akhlak sarat dengan informasi kriteria ideal dan
sumber karakter baik, maka memadukan keduanya menjadi
suatu tawaran yang sangat inspiratif.Hal ini sekaligus
menjadi entry point bahwa pendidikan karakter memiliki
ikatan yang kuat dengan nilai spiritualitas dan agama.

2. Pendidikan Karakter Berbasis Budaya


Bagian awal tulisan ini telah mengemukakan bahwa
dengan massifnya pengaruh budaya global, maka penting
untuk membangunan karakater manusia Indonesia yang
berpijak kepada khazanah nilai-nilai kebudayaan yang
dimilikinya.Juga telah dikemukakan bahwa kini kebudayaan
mengalami reduksi makna, bahkan ada gejala dipisahkan dari
pendidikan.Oleh karena itu, Koentjaraningrat memberikan
jalan agar gejala pemisahan pendidikan dari kebudayaan ini
dapat segera teratasi.Ia menyarankan pentingnya
merumuskan kembali tujuh unsur universal dari kebudayaan,
yaitu: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan
organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,
keseniaan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem
teknologi dan peralatan.25

25Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan


Pembangunan(Jakarta: Gramedia, 2002), h. 65.
214
215

Ki Hajar Dewantoro, yang dikutip Tilaar, mengatakan


bahwa kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan,
bahkan kebudayaan merupakan alas atau dasar pendidikan.
Kebudayaan yang menjadi alas pendidikan tersebut haruslah
bersifat kebangsaan. Kebudayaan yang dimaksud di sini
adalah kebudyaan yang riil, yaitu budaya yang hidup di
dalam masyarakat kebangsaan Indonesia.26
Esensi nilai kebudayaan Indonesia telah abstraksikan
dalam Pancasila.Diperlukan karakter berbasis nilai Pancasila,
seperti tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral,
bertoleran, bergotong-royong, patriotik, dinamis, berbudaya,
dan berorientasi ipteks jika hendak memajukan Negara
Republik Indonesia. Karakter yang berlandaskan falsafah
Pancasila artinya setiap aspek karakter harus dijiwai ke lima
sila Pancasila secara utuh dan komprehensif yang dapat
dijelaskan sebagai berikut.
a. Bangsa yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah
bentuk kesadaran dan perilaku iman dan takwa serta
akhlak mulia sebagai karakteristik pribadi bangsa
Indonesia. Karakter Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
seseorang tercermin, antara lain, hormat dan bekerja
sama antara pemeluk agama dan penganut
kepercayaan, saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya itu; tidak memaksakan agama dan
kepercayaannya kepada orang lain
b. Bangsa yang menjunjung kemanusiaan yang adil dan
beradab, yaitu sikap dan perilaku menjunjung tinggi
kemanusian yang adil dan beradab diwujudkan dalam

26H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat

Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, h. 68.


215
216

perilaku hormat menghormati antarwarga negara


sebagai karakteristik pribadi bangsa Indonesia.
Karakter kemanusiaan seseorang tercermin antara lain
dalam pengakuan atas persamaan derajat, hak, dan
kewajiban; saling mencintai; tenggang rasa; tidak
semena-mena terhadap orang lain; gemar melakukan
kegiatan kemanusiaan; menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan; berani membela kebenaran dan
keadilan; merasakan dirinya sebagai bagian dari
seluruh umat manusia serta mengembangkan sikap
hormat-menghormati.
c. Bangsa yang mengedepankan persatuan dan kesatuan
bangsa, adalah bangsa yang memiliki komitmen dan
sikap yang selalu mengutamakan persatuan dan
kesatuan Indonesia di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan merupakan karakteristik
pribadi bangsa Indonesia. Karakter kebangsaan
seseorang tecermin dalam sikap menempatkan
persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan
bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan; rela
berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara;
bangga sebagai bangsa Indonesia yang bertanah air
Indonesia serta menunjung tinggi bahasa Indonesia;
memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan
bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
d. Bangsa yang demokratis dan menjunjung tinggi
hukum dan hak asasi manusia, yaitu sikap dan
perilaku demokratis yang dilandasi nilai dan
semangat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
merupakan karakteristik pribadi warga negara
Indonesia. Karakter kerakyatan seseorang tercermin
216
217

dalam perilaku yang mengutamakan kepentingan


masyarakat dan negara; tidak memaksakan kehendak
kepada orang lain; mengutamakan musyawarah
untuk mufakat dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama; beritikad baik dan bertanggung
jawab dalam melaksanakan keputusan bersama;
menggunakan akal sehat dan nurani luhur dalam
melakukan musyawarah; berani mengambil
keputusan yang secara moral dapat
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
e. Bangsa yang mengedepankan keadilan dan
kesejahteraan, yaitu bangsa yang memiliki komitmen
dan sikap untuk mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan merupakan karakteristik pribadi bangsa
Indonesia. Karakter berkeadilan sosial seseorang
tecermin antara lain dalam perbuatan yang
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan; sikap adil; menjaga keharmonisan
antara hak dan kewajiban; hormat terhadap hak-hak
orang lain; suka menolong orang lain; menjauhi sikap
pemerasan terhadap orang lain; tidak boros; tidak
bergaya hidup mewah; suka bekerja keras;
menghargai karya orang lain.27
Pusat Kurikulum Nasional, sebagaimana dikutip M.
Ilyas Ismail, telah mengidentifikasi 18 karakter yang
bersumber agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan
nasional, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin,

27INyoman Yoga Segara, “Pendidikan Karakter Bangsa


Berbasis Pancasila.” http://bdkjakarta. kemenag.go.id/index.
php?a=artikel&id=924. (29 Mei 2014).
217
218

(5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa
ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air,
(12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14)
cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan,
(17) peduli sosial, (18) tanggung jawab.28
Pendidikan karakter berbasis budaya menegaskan
bahwa kebudayaan dimaknai sebagai sesuatu yang
diwariskan atau dipelajari, kemudian meneruskan apa yang
dipelajari serta mengubahnya menjadi sesuatu yang baru,
itulah inti dari proses pendidikan. Apabila demikian adanya,
maka tugas pendidikan sebagai misi kebudayaan harus
mampu melakukan proses; pertama pewarisan kebudayaan,
kedua membantu individu memilih peran sosial dan
mengajari untuk melakukan peran tersebut, ketiga
memadukan beragam identitas individu ke dalam lingkup
kebudayaan yang lebih luas, keempat harus menjadi sumber
inovasi sosial.
Tahapan tersebut diatas, mencerminkan jalinan
hubungan fungsional antara pendidikan dan kebudayaan
yang mengandung dua hal utama, yaitu: Pertama, bersifat
reflektif, pendidikan merupakan gambaran kebudayaan yang
sedang berlangsung. Kedua, bersifat progresif, pendidikan
berusaha melakukan pembaharuan, inovasi agar kebudayaan
yang ada dapat mencapai kemajuan.
Kedua hal di atas, sejalan dengan tugas dan fungsi
pendidikan adalah meneruskan atau mewariskan
kebudayaan serta mengubah dan mengembangkan
kebudayaan tersebut untuk mencapai kemajuan kehidupan
manusia. Di sini letak pendidikan karakter itu, dimana proses

28Muhammad Ilyas Ismail, Pendidikan Karakter: Suatu

Pendekatan Nilai (Makassar, Alauddin University Press, 2012), h. 42.


218
219

pendidikan merupakan ikhtiar pewarisan nilai-nilai yang ada


kepada setiap individu sekaligus upaya inovatif dan dinamis
dalam rangka memperbaharui nilai tersebut ke arah yang
lebih maju lagi. Oleh karena itu, pendidikan karakter
merupakan goal ending dari sebuah proses pendidikan.
Karakter adalah buah dari budi nurani.Budi nurani
bersumber pada moral.Moral bersumber pada kesadaran
hidup yang berpusat pada alam pikiran. Moral memberikan
petunjuk, pertimbangan, dan tuntunan untuk berbuat dengan
tanggung jawab sesuai dengan nilai, norma yang dipilih. Jadi,
mempelajari karakter tidak lepas dari mempelajari nilai,
norma, dan moral.
Russel Williams, dikutip Megawangi,
mengilustrasikan karakter ibarat “otot” dimana otot-otot
karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih
dan akan kuat dan kokoh kalau sering digunakan. Karakter
ibarat seorang binaragawan (body builder) yang terus menerus
berlatih untuk membentuk otot yang dikehendakinya yang
kemudian praktik demikian menjadi habituasi.29 Sejatinya,
karakter adalah sesuatu yang potensial dalam diri manusia, ia
kemudian akan aktual dikala terus menerus dikembangkan,
dilatih melalui proses pendidikan. Mengingat banyak nilai-
nilai yang harus dikembangkan dalam pendidikan karakter,
maka dapat diklasifikasikan pendidikan karakter tersebut ke
dalam tiga komponen utama yaitu:
1. Keberagamaan; terdiri dari nilai-nilai (a). Kekhusuan
hubungan dengan tuhan; (b). Kepatuhan kepada

29Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter untuk Membangun


Masyarakat Madani (IPPK Indonesia Heritage Foundation, 2003), h.
23.
219
220

agama; (c). Niat baik dan keikhlasan; (d). Perbuatan


baik; (e). Pembalasan atas perbuatan baik dan buruk.
2. Kemandirian; terdiri dari nilai-nilai (a). Harga diri; (b).
Disiplin; (c). Etos kerja; (d). Rasa tanggung jawab; (e).
Keberanian dan semangat; (f). Keterbukaan; (g).
Pengendalian diri.
3. Kesusilaan terdiri dari nilai-nilai (a). Cinta dan kasih
sayang; (b). kebersamaan; (c). kesetiakawanan; (d).
Tolong-menolong; (e). Tenggang rasa; (f). Hormat
menghormati; (g). Kelayakan/ kepatuhan; (h). Rasa
malu; (i). Kejujuran; (j). Pernyataan terima kasih dan
permintaan maaf (rasa tahu diri).30
Selain hal diatas, Megawangi telah menyusun kurang
lebih ada 9 karakter mulia yang harus diwariskan, yang
kemudian disebut sebagai 9 pilar pendidikan karakter, yaitu:
(a) cinta Tuhan dan kebenaran; (b) tanggung jawab,
kedisiplinan dan kemandirian; (c) amanah; (d) hormat dan
santun; (e) kasih sayang, kepedulian dan kerjasama; (f)
percaya diri, kreatif dan pantang menyerah; (g) keadilan dan
kepemimpinan; (h) baik dan rendah hati; (i) toleransi dan
cinta damai.
Upaya untuk mengajarkan nilai-nilai tersebut di atas,
Lickona memberikan penjelasan: ada tiga komponen penting
dalam membangun pendidikan karakater yaitu moral knowing
(pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang
moral) dan moral action (perbuatan bermoral). Ketiga hal
tersebut dapat dijadikan rujukan implementatif dalam proses
dan tahapan pendidikan karakater.
Adapun misi atau sasaran pendidikan karakter

30Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter untuk Membangun

Masyarakat Madani, h. 26.


220
221

adalah: pertama, kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari


tidak tahu menjadi tahu, dan pada tahap-tahap berikutnya
dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat
memfungsikan akalnya menjadi kecerdasan
intelegensia.Kedua, afektif, yang berkenaan dengan perasaan,
emosional, pembentukan sikap di dalam diri seseorang
melalui sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci,dan lain
sebagainya.Sikap ini semua dapat digolongkan sebagai
kecerdasanemosional.Ketiga, psikomotorik, adalah berkenaan
dengan aktion, perbuatan,perilaku, dan seterusnya.
Pendidikan karakter merupakan jenis pendidikan
yang harapan akhirnya adalah terwujudnya peserta didik
yang memiliki integritas moral yang mampu direfleksikan
dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berinteraksi dengan
Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam
lingkungan.Adapun tujuan Pendidikan karakter sebagaimana
yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro adalah “ngerti-
ngerasa-ngelakoni” (menyadari, menginsyafi, dan
melakukan).Hal tersebut mengandung pengertian bahwa
pendidikan karakter adalah bentuk pendidikan dan
pengajaran yang menitikberatkan pada perilaku dan tindakan
siswa dalam mengapresiasi dan mengimplementasikan nilai-
nilai karakter ke dalam tingkah laku sehari-hari.
Pendidikan karakter yang menggunakan pendekatan
nilai dapat dibagi menjadi lima, yaitu: (1) Pendekatan
penanaman nilai (values inculcation approach). (2) Pendekatan
perkembangan moral kognitif (cognitive moral development
approach). (3) Pendekatan analisis nilai (values analysis
approach). (4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification

221
222

approach), dan (5). Pendekatan pembelajaran berbuat (action


learning approach).31

a. Pendekatan Penanaman Nilai


Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach)
adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada
penanaman nilai-nilai sosial
dalam diri siswa. Tujuan pendidikan nilai menurut
pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial
tertentu oleh siswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan.32
Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut
pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif
dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
b. Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif
Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan
kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan
pada aspek kognitif dan
perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk
berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam
membuat keputusan-keputusan
moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat
sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat
pertimbangan moral, dari

31Cece Rakhmat, “Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis

Budaya dalam Menghadapi TantanganModernitas.”


http/file.upi.edu.co (28 Mei 2014)
32Cece Rakhmat, “Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis
Budaya Dalam Menghadapi TantanganModernitas.”
http/file.upi.edu.co (28 Mei 2014)

222
223

suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang


lebih tinggi.
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada
dua hal yang utama.Pertama, membantu siswa dalam
membuat pertimbangan moral yang lebihkompleks
berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi.Kedua,
mendorongsiswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya
ketika memilih nilai danposisinya dalam suatu masalah
moral. Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini
didasarkan pada dilema moral, dengan menggunakan
metoda diskusi kelompok.33
Pendekatan perkembangan kognitif mudah digunakan
dalam proses pendidikan di sekolah, karena pendekatan ini
memberikan penekanan pada aspek perkembangan
kemampuan berpikir.

c. Pendekatan Analisis Nilai


Pendekatan analisis nilai (values analysis approach)
memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan
siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah
yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial.34Jika
dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif,
salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa
pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada
pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai

33Cece Rakhmat, “Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis

Budaya Dalam Menghadapi TantanganModernitas.”


http/file.upi.edu.co (28 Mei 2014)
34Cece Rakhmat, “Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis
Budaya Dalam Menghadapi TantanganModernitas.”
http/file.upi.edu.co (28 Mei 2014)
223
224

sosial.Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi


penekanan pada dilema moral yang bersifat perseorangan.

d. Pendekatan Klarifikasi Nilai


Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification
approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa
dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk
meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka
sendiri.35Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada
tiga.Pertama,membantu siswa untuk menyadari dan
mengidentifikasi nilai-nilai merekasendiri serta nilai-nilai
orang lain; Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu
berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain,
berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri; Ketiga, membantu
siswa, supaya mereka mampu menggunakan secara bersama-
sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional,
untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku
mereka sendiri.

e. Pendekatan pembelajaran berbuat


Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning
approach) memberi penekanan pada usaha memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-
perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara
bersama dalam suatu kelompok.36Ada dua tujuan utama

35Cece Rakhmat, “Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis


Budaya Dalam Menghadapi TantanganModernitas.”
http/file.upi.edu.co (28 Mei 2014)

36Cece Rakhmat, “Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis

Budaya Dalam Menghadapi TantanganModernitas.”


http/file.upi.edu.co (28 Mei 2014)
224
225

pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan


ini.Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk
melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan
maupun secara bersama berdasarkan nilai-nilai mereka
sendiri; Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam
pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan
sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat,
yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi

D. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Tripusat


Pendidikan

1. Pendidikan Karakter dalam Keluarga


Jika sosialisasi dan pendidikan sangat penting dalam
pendidikan karakter, maka sejak kapan sebaiknya hal itu
dilakukan? Menurut Thomas Lickona yang dikutip
Megawangi, pendidikan karakter perlu dilakukan sejak usia
dini.37 Erik Erikson – yang terkenal dengan teori Psychososial
Development – juga menyatakan hal yang sama. Erikson
menyebutkan bahwa anak adalah gambaran awal manusia
menjadi manusia, yaitu masa di saat kebajikan berkembang
secara perlahan tapi pasti. Jika dasar-dasar kebajikan gagal
ditanamkan pada anak di usia dini, dia akan menjadi orang
dewasa yang tidak memiliki nilai-nilai kebajikan.38

37RatnaMegawangi, Pendidikan Karakter untuk Membangun


Masyarakat Madani, h. 29.
38Erik H. Erikson, Childhood and Society, terj. Helly Prajitno
Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), h. 298-299.
225
226

Selanjutnya, Hurlock menyatakan bahwa usia dua tahun


pertama dalam kehidupan adalah masa kritis bagi
pembentukan pola penyesuaian personal dan sosial.39Oleh
karena itu, bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat
pertama dan utama bagi pertumbuhan dan
perkembangannya.
Selain psikolog, para sosiolog juga meyakini bahwa
keluarga memiliki peran penting dalam menentukan
kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa
keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat,
sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi
masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh
karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah
masyarakat, seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang
merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat
merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga. Apabila
keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat,
keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-
kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-
institusi lain untuk memperbaiki kegagalan itu.
Aspek penting dalam pembentukan karakter anak
dalam keluarga adalah terpenuhinya tiga kebutuhan dasar
anak, yaitu: maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik
dan mental. Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan
ibunya) merupakan dasar penting dalam pembentukan
karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan
dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada anak.

39Elizabeth B. Hurlock, Developmental Psykology: A Life-Span


Approach, fifth edition, terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo, Psikologi
Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, edisi
kelima (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 255.
226
227

Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan


menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa
percaya. Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang
ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun
pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi
kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia
dewasa. Artinya, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak
di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada
anak.40
Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak
akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini
penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan
yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan
emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan
berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak.
Menurut Megawangi, normal bagi seorang bayi untuk
mencari kontak dengan hanya satu orang (biasanya ibu) pada
tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang
terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para
ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada
anak.Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak
yang optimal.41
Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga
merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter
anak. Tentu saja hal ini membutuhkan perhatian yang besar
dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan
anaknya. Seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur

40Erik H. Erikson, Childhood and Society, terj.Helly Prajitno


Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, h. 299-300.
41Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter untuk Membangun

Masyarakat Madani, h. 31.


227
228

dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus,


menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap
anaknya yang berusia usia di bawah enam bulan akan
mempengaruhi sikap bayinya, sehingga menjadi anak yang
gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan
menjadikannya anak yang kreatif.
Selain itu, keberhasilan keluarga dalam menanamkan
nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung
pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada
anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi
antara anak dengan orang tua yang meliputi pemenuhan
kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan
kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan
lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di
masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan
lingkungannya.
Pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua
dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak.Melalui
pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar
tentang banyak hal, termasuk karakter.Tentu saja pola asuh
otoriter (yang cenderung menuntut anak untuk patuh
terhadap segala keputusan orang tua) dan pola asuh permisif
(yang cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak
untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya dengan pola asuh
demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk terbuka,
namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil
pendidikan karakter anak.Artinya, jenis pola asuh yang
diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya menentukan
keberhasilan pendidikan karakter anak oleh keluarga.

228
229

2. Pendidikan Karakter di Sekolah


Proses pendidikan karakter di sekolah dilakukan
secara terpadu. Proses tersebut didasarkan bahwa sejauh ini
muncul keyakinan bahwa anak akan tumbuh dengan baik
jika dilibatkan secara alamiah dalam proses belajar. Istilah
terpadu dalam pembelajaran berarti pembelajaran
menekankan pengalaman belajar dalam konteks yang
bermakna. Pengajaran terpadu dapat didefinisikan: suatu
konsep dalam pendekatan belajar yang melibatkan beberapa
bidang studi untuk memberikan pengalaman yang bermakna
bagi peserta didik. Dikatakan bermakna karena dalam
pembelajaran terpadu, peserta didik akan memahami konsep
yang dipelajari melalui pengalaman langsung dan
menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah
dipahaminya melalui kesempatan mempelajari apa yang
berhubungan dengan tema atau peristiwa autentik (alami).
Ciri pendidikan terpadu adalah: (1) berpusat pada
peserta didik; (2) memberikan pengalaman langsung kepada
peserta didik; (3) pemisahan bidang studi tidak begitu jelas;
(4) menyajikan konsep dari berbagai bidang studi dalam
suatu proses pembelajaran; (5) bersifat luwes, dan (6) hasil
pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan
kebutuhan peserta didik.42
Integrasi pembelajaran dapat dilakukan dalam
substansi materi, pendekatan, metode, dan model evaluasi
yang dikembangkan. Tidak semua substansi materi pelajaran
cocok untuk semua karakter yang akan dikembangkan, perlu
dilakukan seleksi materi dan sinkronisasi dengan karakter
yang akan dikembangkan. Pada prinsipnya semua mata

42Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter(Jakarta: Prenada Media

Group, 2011), h. 268.


229
230

pelajaran dapat digunakan sebagai alat untuk


mengembangkan semua karakter peserta didik, namun agar
tidak terjadi tumpang-tindih dan terabaikannya salah satu
karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan
pemetaan berdasarkan kedekatan materi dengan karakter
yang akan dikembangkan.
Dari segi pendekatan dan metode meliputi inkulkasi
(inculcation), keteladanan (modeling, qudwah), fasilitasi
(facilitation), dan pengembangan keterampilan (skill building).43
Inkulkasi (penanaman) nilai memiliki ciri-ciri: (1)
mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang
mendasarinya; (2) memperlakukan orang lain secara adil; (3)
menghargai pandangan orang lain; (4) mengemukakan
keragu-raguan disertai alasan, dan dengan rasa hormat; (5)
tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk
meningkatkan kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang
dikehendaki; (6) menciptakan pengalaman sosial dan
emosional mengenai nilai-nilai yang dikehendaki secara tidak
ekstrem; (7) membuat aturan, memberikan penghargaan, dan
memberikan konsekuensi disertai alasan; (8) tetap membuka
komunikasi dengan pihak yang tidak setuju, dan (9)
memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-
beda, apabila sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima,
diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah.
Pendidikan karakter seharusnya tidak menggunakan metode
induktrinasi yang memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang
dengan inkulkasi.
Dalam pendidikan karakter, pemodelan atau
pemberian teladan merupakan strategi yang biasa

43Zuchdi, Humanisasi Pendidikan(Jakarta: PT Bumi Aksara,

2009), h. 46-50.
230
231

digunakan.Untuk dapat menggunakan strategi ini ada dua


syarat harus dipenuhi.Pertama, guru harus berperan sebagai
model yang baik bagi peserta didik.Kedua, peserta didik harus
meneladani orang terkenal yang berakhlak mulia, misalnya
Nabi Muhammad saw. Cara guru menyelesaikan masalah
dengan adil, menghargai pendapat peserta didik dan
mengeritik orang lain dengan santun, merupakan perilaku
yang secara alami dijadikan model bagi peserta didik.
Inkulkasi dan metode keteladanan (al-qudwah)
mendemonstrasikan kepada peserta didik merupakan cara
terbaik untuk mengatasi berbagai masalah; orang akan
melakukan proses identifikasi, meniru, dan
memeragakannya. Melalui metode pembiasaan, seseorang
akan memiliki komitmen yang hebat. Pembiasaan dalam
penanaman moral merupakan tahapan penting yang
seyogianya menyertai perkembangan setiap mata
pelajaran.Mengajari moral tanpa pembiasaan melakukannya,
hanyalah menabur benih ke tengah lautan, karena moral
bukan sekedar pengetahuan, tetapi pembiasaan bermoral.
Fasilitasi melatih peserta didik mengatasi masalah-masalah
tersebut.Kegiatan-kegiatan yang dilakukan peserta didik
dalam melaksanakan metode fasilitasi membawa dampak
positif pada perkembangan kepribadian peserta didik.
Pembelajaran moral bagi peserta didik akan lebih
efektif apabila disajikan dalam bentuk gambar, seperti film,
sehingga peserta didik bukan saja menangkap maknanya dari
pesan verbal mono-pesan, melainkan bisa menangkap pesan
yang multi-pesan dari gambar, keterkaitan antargambar dan
peristiwa dalam alur cerita yang disajikan.44 Contoh:

44Berkaitan dengan pembelajaran, peran media


pembelajaran begitu kuat. Albert Meharabien dikutip Mursidin
menemukan peran media dalam menyampaikan informasi dengan
231
232

penyampaian pesan bahwa narkoba itu harus dihindari,


maka tayangan tentang derita orang-orang yang dipenjara
karena korban narkoba jauh lebih bermakna daripada
disampaikan secara lisan, melalui metode ceramah. Namun
demikian, bila ingin lebih mendalam tingkat penerimaan
mereka, bisa dilanjutkan dengan metode renungan (al-
muhasabah) setelah terkondisikan dengan baik melalui cerita
dalam film yang baru saja ditayangkan.
Sekalipun hukuman pukulan merupakan salah satu
metode dalam pendidikan, seyogianya guru tidak
menggunakannya sebelum mencoba dulu dengan cara lain.
Metode hukuman digunakan untuk menggugah serta
mendidik perasaan rabbaniyah, yaitu perasaan khauf (takut)
dan khusyu’ ketika mengingat Allah dan membaca Al-
Qur’an.45
Variasi metode perlu dilakukan dalam pendidikan
karakter karena kecerdasan, keterampilan, dan ketangkasan
seseorang berbeda-beda, sebagaimana perbedaan dalam
temperamen dan wataknya.Ada yang memiliki temperamen
tenang, mudah gugup atau grogi. Ada yang mudah paham
dengan isyarat saja apabila salah dan ada yang tidak bisa

rumus tiga V. Verbal; hanya bisa menyampaikan 7%, vocal; bisa


menyampaikan 38% apabila disertai dengan warna suara yang
variatif dan intonasi yang tepat, sedang visual; bisa mencapai angka
keefektifan hingga 55%. Manusia memiliki kemampuan lebih
optimal untuk menangkap makna, melalui kesan yang bersifat
visual dibandingkan yang verbal dan vocal. Lihat Mursidin, Moral
Sumber Pendidikan, Sebuah Formula Pendidikan Budi Pekerti di
Sekolah/Madrasah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 81-82.
45Abdurrahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah
wa Asalibuha fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, edisi ke-25
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2007), h. 232-233.
232
233

berubah, kecuali setelah melihat mata membelalak, bahkan


dengan bentakan, ancaman, dan hukuman secara fisik

3. Pendidikan Karakter dalam Masyarakat


Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa
keteladanan sangat penting dalam implementasi pendidikan
berbasis karakter. Oleh karena itu, sangat tepat jika
pendidikan tersebut tidak hanya mencakup peserta didik dan
guru, melainkan juga ke masyarakat luas di luar lingkungan
sekolah. Jika demikian, siswa akan lebih mudah menemukan
contoh perilaku baik di masyarakat.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) saat ini sedang melaksanakan pendidikan
berbasis karakter secara holistis. Internalisasi nilai dalam
Gerakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa melalui
Kebudayaan menjadi salah satu program prioritas
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
Sebagai tindak lanjut dan konsistensi pelaksanaan gerakan
nasional itu, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud
telah melakukan berbagai kegiatan, antara lain persemaian
nilai, sosialisasi dan kampanye di berbagai media massa,
internalisasi nilai ke berbagai target audience, monitoring, dan
evaluasi.46
Wiendu Nuryanti, Wakil Menteri Bidang Kebudayaan
menjelaskan: "Permasalahan karakter sangat kompleks.
Selama ini pendidikan karakter tampak kurang
termanifestasikan dengan baik dalam kehidupan bangsa,"

46Harian Kompas,
http://edukasi.kompas.com/read/2013/10/17/1540205/Perlu.Pen
didikan. Karakter.juga.Menyasar.Masyarakat.Luas (12 Agustus
2014).
233
234

Lebih lanjut Wiendu menyatakan, Gerakan Nasional


Pembangunan Karakter Bangsa melalui Kebudayaan tidak
hanya diterapkan di lingkungan sekolah, melainkan juga
akan dilakukan di luar lingkungan sekolah dengan cara
merangkul komunitas budaya dan tokoh masyarakat.
Komunitas budaya dan tokoh masyarakat dinilai memiliki
komitmen terhadap nilai-nilai positif, seperti cinta tanah air,
kesetiakawanan sosial, anti korupsi, serta menjunjung etika
dalam berpolitik.47
Pelaksanaan pendidikan karakter di masyarakat
menggariskan pentingnya unsur keteladanan.Selain dari itu,
perlu disertai pula dengan upaya-upaya untuk mewujudkan
lingkungan sosial yang kondusif bagi anak, baik dalam
keluarga, di sekolah, dan dalam masyarakat. Jika demikian,
pelaksanaan pendidikan karakter akan lebih berkesan dalam
rangka membentuk kepribadian siswa.

47Harian Kompas, http://edukasi.kompas.com/read/


2013/10/17/1540205/Perlu.Pendidikan.Karakter.juga.Menyasar.
Masyarakat.Luas (12 Agustus 2014).
234
BAB VIII
PENDIDIKAN GRATIS DAN DANA BOS

A. Pendahuluan
Pendidikan adalah salah satu bidang yang sangat
menentukan dalam kemajuan suatu Negara, Indonesia adalah
Negara kesatuan yang terdiri dari berbagai macam suku,
adat, agama, bahasa dan lain-lain, Kesatuan ini akan menjadi
bentuk Negara ini secara plural melalui pendidikan
perbedaan ini dapat di satukan agar tidak terjadi diskriminasi
yang menyudutkan pada satu golongan sehingga
pembangunan Indonesia terhambat.
Ada pameo no such a thing as a free lunch, tidak ada
makan siang gratis.Pameo tersebut penting untuk
direnungkan kembali, terutama terkait dengan pendidikan
gratis yang cenderung menjadi komoditas politik (Edy
Priyono, Suara Pembaruan Daily). Dalam kampanye pilkada
beberapa kandidat secara “gagah berani” menjanjikan
pendidikan gratis jika terpilih.Beberapa kepala daerah yang
sudah menjabat bahkan tidak ragu mengeluarkan kebijakan
sekolah gratis.
Sebenarnya hal itu (tentu saja) tidak dilarang, karena
sesungguhnya kebijakan merupakan masalah pilihan.Setiap
kebijakan mengandung konsekuensi tertentu. Masalahnya,
apakah semua pihak menyadari apa konsekuensi kebijakan
tersebut.
Sesunggunya dimaksud dengan “pendidikan gratis”
di sini adalah penyelenggaraan pendidikan tanpa
mengikutsertakan masyarakat (orang tua) dalam
pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional
sekolah. Merujuk pada pengertian di atas, maka konsekuensi
kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada
perhitungan tentang biaya satuan (unit cost) di sekolah. Biaya
235
satuan memberikan gambaran berapa sebenarnya rata-rata
biaya yang diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu
murid.
Meningkatnya kebutuhan dalam pendidikan,
mendorong pemerintah Indonesia menyalurkan berbagai
bantuan demi kelangsungan pendidikan di Indonesia, salah
satunya adalah danaBantuan Operasional Sekolah
(BOS).Dana bantuan operasional Sekolah (BOS)
diperuntukkan bagi setiap sekolah tingkat dasar di
Indonesia dengan tujuan meningkatkan beban
biaya pendidikan demi tuntasnya wajib belajar sembilan
tahun yang bermutu.
Namun kebijakan Dana BOS bukan berarti
behentinya permsalahan pendidikan, masalah baru muncul
terkait dengan penyelewengan dana BOS, dan ketidak
efektifan pengelolan dana BOS, tujuan dari pemerintah
sendiri baik, namun terkadang sistem yang ada menjadi
boomerang d a n m e n g h a d i r k a n m a s a l a h b a r u ,
selain itu pribadi dan budaya manusia
I n d o n e s i a i k u t berpengaruh terhadap penyelewengan
dan ketidakefektifan pengelolaan dana BOS. Oleh karenaitu
dibutuhkan kerja sama semua elemen dalam mewujudkan
efektifitas pengelolaan dana BOS.
Oleh karena itu dalam makalah ini yang berjudul
Pendidikan Gratis dan dana serta permasalahannya,
sehingga mudah-mudahan makalah kecil ini bisa
memberikan gambaran bagi para terkait dengan pengelolaan
dana BOS serta permaslahannya, solusi yang muncul bukan
berarti solusi terbaik, ini hanyalah sedikit sumbangan
pemikiran dari kami untuk perkembangan pendidikan di
Indonesia.
Pembahasan tentang Pendidikan Gratis dan Dana
Bos di dalam bab ini dibahas secara teoretis mulai
236
dariMaknah Pendidikan Gratis, bagaimana Pengertian
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) itu, bagaimana Pengaruh
Dana BOS terhadap Beban Orang Tua dalam Pendidikan,
latar Belakang Pemberian Dana BOS.?

B. Pendidikan Gratis
Mengapa pendidikan dasar gratis? Bagi Indonesia
jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya
sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat,
seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara
ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan
dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan
diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.1
Bagi negara maju pendidikan gratis- selain karena
tuntutan konstitusi mereka-juga didukung perekonomian
negara yang sudah cukup mapan untuk investasi
pendidikan.Anggaran pendidikan setidaknya telah mencapai
5-8 persen produk domestik bruto. Sementara di Indonesia
investasi pendidikan masih sangat kecil, sekitar 1,3 persen
dari produk domestik bruto. Jatah bagi investasi pendidikan
semakin kecil lagi lantaran produk domestik bruto sendiri
sudah kecil.Padahal, untuk mewujudkan pendidikan dasar
gratis ini memang perlu servis dari pemerintah.
Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat
dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik.
Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan
negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat.Hanya
saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang.
Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain,

1
Lihat Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
237
membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya
menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan.
Di sisi lain pemerintah dihadapkan dengan pilihan
yang sulit. Apakah akan mementingkan distribusi
pendapatan atau menekankan kepada investasi sosial, seperti
pendidikan dan kesehatan? Jika pilihan jatuh kepada
distribusi pendapatan, konsekuensinya adalah investasi sosial
akan berkurang.
Dalam “ketegangan” tersebut, persoalan sosial lalu
cenderung diserahkan kepada masyarakat, seperti yang
terjadi selama ini di Indonesia.Tak jarang keluar ungkapan
dari pemerintah bahwa masyarakat harus diberdayakan,
termasuk membayar sendiri pendidikannya. Di sinilah
sebenarnya muncul apa yang disebut dengan neoliberalisme
dalam wajah pendidikan.
“Untuk kasus Indonesia, sebenarnya ketegangan
antara dua pandangan itu dapat disinergikan.Kita harus
pintar- pintar memilih, distribusi pendapatan atau
investasi.Sebagai contoh, jika menganut distribusi
pendapatan dalam investasi, kompensasi kenaikan harga
bahan bakar minyak itu dikembalikan melalui berbagai
program bantuan kepada rakyat.Akan tetapi, jika dalam
penyalurannya ternyata korupsinya semakin banyak, lebih
baik terang- terangan dimasukkan ke dalam investasi
pendidikan,” kata HAR Tilaar.
SUMBER pembiayaan pendidikan dasar gratis dapat
berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah.Jika ada
kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis,
pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal
ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik
terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.
Adapun pemerintah daerah harus terlibat karena
merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan.
238
Hanya saja, ada kecenderungan pemerintah pusat tidak mau
menyerahkan dana operasional untuk menjalankan
pendidikan ke pemerintah daerah. Di samping itu,
pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan sebagian
dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
untuk wajib belajar.
Peraturan apa saja yang harus dibiayai dalam
pendidikan dasar gratis itu harus jelas pula. Pembiayaan
pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu
kurikulum, proses, dan fasilitas belajar.
Kurikulum yang digunakan harus jelas dan disepakati
terlebih dahulu sehingga diketahui materi yang akan
diajarkan dan besarnya biaya untuk pendidikan. Dengan
demikian, penggunaan dana pendidikan menjadi efisien.
Kurikulum yang mencakup puluhan mata pelajaran tentu
lebih mahal daripada hanya sepuluh pelajaran.Sayangnya,
penggunaan kurikulum, seperti Kurikulum Berbasis
Kompetensi masih membingungkan.
Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan
keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi
hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru
merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang
bermutu.Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan
dengan berbagai alasan.
Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi
antara lain buku pelajaran, perpustakaan, gedung,
laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas
belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus
diseragamkan.
Abdorrakhman Ginting percaya, sebetulnya
pendidikan gratis masih mungkin dilaksanakan. Untuk
menggantikan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP)
bagi 24 juta siswa sekolah dasar dan sekolah menengah
239
pertama dengan bantuan dana Rp 15.0000 per kepala, setahun
dibutuhkan Rp 4 triliun. Sementara untuk meningkatkan gaji
2,2 juta orang guru sebesar Rp 500.000 per bulan, agar
kualitasnya terpacu, diperlukan Rp 1,1 triliun per bulan atau
Rp 13,2 triliun setahun. Jadi total untuk menggratiskan biaya
SPP dan peningkatan gaji guru yang dibutuhkan setahun Rp
17,4.triliun.2
Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak dapat
dikatakan sepenuhnya gratis karena tetap harus ada yang
membiayai. Ada biaya terselubung, yang di negara lain
seperti di AS sudah tersistem dalam satu kesatuan
administrasi negara.
Di AS sekolah publik gratis karena ada pajak sekolah
khusus.Warga negara AS yang mempunyai tanah dan rumah
harus membayar pajak sekolah di distriknya, terlepas dari
warga tersebut mempunyai anak atau tidak.Di Belanda rata-
rata pajak penghasilan cukup tinggi, yakni 60
persen.Sementara di negara-negara Skandinavia, pajak
penghasilan mencapai 70 persen, tetapi kebutuhan dasar
warga negara seperti pendidikan dijamin.
Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan
kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah
penyalahgunaan dan pengawasan.Filipina, misalnya,
mempunyai pengalaman buruk dengan penggunaan voucher
pendidikan.Warga yang menginginkan pendidikan lebih
membayar sendiri sisanya, tetapi sayangnya model tersebut
tidak jalan dan rawan korupsi.
Oleh karena itu, harus hati-hati dalam menentukan
model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang?
Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau

2
http://www2.kompas.com/kompascetak/0505/03/PendDN/1724964
htm) (15 juni 2014)
240
anaknya secara langsung dengan konsekuensi
penyalahgunaan dana?
Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada
sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi
memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan
harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa
harus dikenai sanksi tegas.
Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan
dengan kondisi setempat, walaupun tetap berdasarkan
kualitas yang standar, sehingga dalam menggratiskan
pendidikan dasar bentuk dan nilai subsidi tidak harus
seragam.Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri,
madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti
dapat diatasi.
Selain itu, para pemimpin harus menyadari
pendidikan bahwa itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi
keuntungan, tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau
dibawa. Akhirnya, memang kembali kepada niat politik
pengambil keputusan: apakah pemegang kekuasaan mau
semua anak Indonesia maju?
Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya
manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan
dan menyesuaikan dengan perubahan global serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa
Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni
2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang
Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.3
Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam
Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain
adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran

3
UU Sisdiknas mendukung Pendidikan Gratis.
241
serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan
keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.
Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan
yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang
prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan
bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat, melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan.
Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara
tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekwensinya
pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin
tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi
setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun (pasal 11 ayat 2).
Itulah sebabnya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah
menjamin terselenggaranya wajib belajar, minimal pada
jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib
belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan
oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat
(pasal 34 ayat 2).
Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan
pendidikan, namun tanggungjawab pengelolaan sistem
pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang
diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri
pendidikan nasional.Dalam hal ini pemerintah (pusat)
242
menentukan kebijakan nasional dan standard nasional
pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional
(pasal 50 ayat 2).Sedangka pemerintah provinsi melakukan
koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan
tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas
penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota
untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.Khusus untuk
pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola
pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan
yang berbasis keunggulan lokal.
Berangkat dari uraian normative diatas, dengan
mencermati fenomena yang berkembang dewasa ini yang
sering dijadikan jargon dalam dimensi politik yaitu
“Pendidikan Gratis”. Pendidikan gratis dapat dimaknai
sebagai upaya membebaskan biaya pendidikan bagi peserta
didik di sekolah sebagai perwujudan dari upaya membuka
akses yang luas bagi masyarakat untuk memperoleh
pendidikan yang merupakan hak dari setiap warga Negara
sebagaiman anamat UUD 1945 pasal 31. Hal ini diharapkan
menjadi salah satu instrument untuk menuntaskan wajib
belajar sembilan tahun.
Dari hari ke hari para cerdik pandai
mempolemikkan dunia pendidikan dengan
pembenarannya sendiri-sendiri. Sementara kebodohan
terus saja terjadi dan beranak-pinak. Pertanyaan
besarnya, “Ada apa dengan dunia pendidikan kita?”
Atau, pasti memang ada apa-apanya dengan dunia
pendidikan kita selama ini.
Beranjak dari kenyataan-kenyataan yang terjadi
di dunia pendidikan nasional itulah, Pemerintah
Kabupaten Jembrana dan beberapa berketetapan hati
untuk memberikan perhatian serius terhadap wilayah

243
pencerdasan bangsa itu, dengan kebijakan pendidikan
gratis.
Orang akan selalu bertanya, apa dasar pijak atas
setiap kebijakan dunia pendidikan tersebut? Jawaban
sebenarnya sangatlah sederhana dan sudah ada sejak
negara dan bangsa ini didirikan oleh para bapak bangsa.
Semuanya beranjak dan berpangkal dari amanah yang
terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945, tentang
kewajiban negara di dalam ikut mencerdaskan
kehidupan bangsanya. Sedangkan dari sisi kebijakan
yang bersifat operasional di lapangan, semua beranjak
dari pengalaman empiris atas carut-marutnya dunia
pendidikan itu sendiri. Jadi sebenarnya tidaklah ada
yang luar biasa terhadap apa yang dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Jembrana di dalam mewujudkan
bangunan peradaban yang bernama pendidikan itu.
Kalaupun kemudian harus dinyatakan ada hal-
hal yang luar biasa di dalam pembangunan dunia
pendidikan di Kabupaten Jembrana, itu tidak lebih dari
sebuah kemauan atau komitmen dari setiap warga
masyarakat Kabupaten Jembrana di dalam usaha
mencerdaskan dirinya sendiri, sehingga terbebas dari
penyakit kronis bangsa yang bernama kebodohan dan
keterbelakangan itu. Jadi dukungan setiap komponen
masyarakat di Kabupaten Jembrana atas setiap program
pembangunan di bidang pendidikan adalah merupakan
modal dasar yang tidak ternilai haganya. Sehingga,
dengan dukungan penuh dari setiap komponen
masyarakat itu, partisipasi masyarakat di dalam ikut
membangun peradaban pendidikan; di Kabupaten
Jembrana menjadi sesuatu yang terjadi dan bergerak
secara otomatis.

244
Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) mencanangkan
diri sebagai provinsi pertama di Indonesia yang melakukan
pendidikan gratis dari tingkat pendidikan dasar hingga
pendidikan lanjutan tingkat atas. Pelaksanaan pendidikan
gratis di Sulsel berasal dari 60 persen dari APBD provinsi dan
40 persen dari APBD Kabupaten dan Kota. Pendanaan
pendidikan gratis sebelumnya memang belum dianggarkan.
Namun, untuk APBD perubahan 2008, Syahrul menjamin
akan segera dibahas. Karena telah ada komitmen dari Ketua
DPRD Sulsel untuk mendukung pencanangan pendidikan
gratis dari SD hingga SMA.Sebelumnya, di Sulsel baru tiga
kabupaten yang melakukan pendidikan gratis dari tingkat SD
hingga SMA. Yakni Kabupaten Sinjai, Pangkep dan Gowa.
Sedangkan, dalam tingkat provinsi, pedidikan gratis hanya
dari tingkat SD hingga SMP.4

C. Pengertian Bantuan Operasional Sekolah (BOS)


Menurut Peraturan Mendiknas nomor 69 Tahun
2009, standar biayaoperasi nonpersonalia adalah standar
biaya yang diperlukan untuk membiayaikegiatan operasi
nonpersonalia selama 1 (satu) tahun sebagai bagian
darikeseluruhan dana pendidikan agar satuan pendidikan
dapat melakukankegiatan pendidikan secara teratur dan
berkelanjutan sesuai Standar NasionalPendidikan. BOS
adalah program pemerintah yang pada dasarnya
adalahuntuk penyediaan pendanaan biaya operasi

4
Kebijakan Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan ,Pada tanggal
8 Juli 2008, H. Syahrul Yasin Limpo – H.Agus Arifin Nu’mang tepat 90
hari atau tiga bulan menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur
Sulawesi Selatan. Mereka resmi memimpin Sulsel sejak dilantik 8
April2008 lalu oleh Mendagri Mardiyanto. Selengkapnya baca
http://www.sulsel.go.id/berita/umum/pendidikan-dan-kesehatan-gratis-
masih-tataran-mou-20080708-2.htm), (15 juni 2014)
245
nonpersonalia bagi satuanpendidikan dasar sebagai
pelaksana program wajib belajar.
Biaya Satuan pendidikan (BSP) adalah besarnya
biaya yang diperlukan rata-rata tiap siswa tiap tahun,
sehingga mampu menunjang proses belajar mengajar sesuai
dengan standar pelayanan yang telah ditetap.kan. Dari cara
penggunaaannya, BPS dibedakan menjadi BSP investasi dan
BSP Operasional.
BSP investasi adalah biaya yang dikeluarkan setiap
siswa dalam satu tahun untuk pembiayaan sumber daya yang
tidak habais pakai dalam waktu lebih dari satu tahun , seperti
pengadaan tanah, bangunan, buku,alat peraga, media,
perabot dan alat kantor. Sedangkan BSP operasional adalah
biayayang dikeluarkan setiap siswa dalam 1 tahun untuk
pembiayaan sumber dayapendidikan yang habis pakai dalam
1 tahun atau kurang.BSP operasionalmencakup biaya personil
dan biaya non personail.
Biaya personil meliputi biaya untuk kesejahteraan
(honor kelebihan jam mengajar (KJM), Guru tidak tetap
(GTT), Pegawai Tidak tetap (PTT), uang lembur dan
pengembangan profesi guru (Pendidikan dan Latihan Guru,
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Musyawarah
Kerja Kepala Sekolah (MKKS), Kelompok Kerja Kepala
Sekolah (KKKS), Kelompok Kerja Guru (KKG) dan lain-lain.
Biaya non personil adalah biaya untuk menunjang kegiatan
belajar mengajar, evaluasi atau
penilaian,perawatan/pemeliharaan, daya dan jasa, pemberian
kesiswaan, rumah tanggasekolah dan supervisi.Selain dari
biaya-biaya tersebut, masih terdapat jenisbiaya personil yang
ditanggung oleh peserta didik, misalnya biayatransoprtasi,
konsumsi, seragam, alat tulis, kesehatan, dan sebagainya.
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) secara konsep
mencakupkomponen untuk biaya operasional non personil
246
hasil studi badan penelitiandan pengembangan, Departemen
pendidikan Nasional (Balitbang Depdiknas).Namun karena
biaya satuan yang digunakan adalah rata-rata nasional,
makapenggunaan BOS dimungkinkan untuk membiayai
beberapa kegatan lainyang tergolong dalam biaya personil
dan biaya investasi. Oleh karena keterbatasan dana BOS dari
Pemerintah Pusat, maka biaya untuk investasi
sekolah/madrasah/ponpes dan kesejahteraan guru harus
dibiayai dari sumber lain dengan prioritas utama dari sumber
pemerintah, pemerintah daerah dan selanjutnya dari
partisipasi masyarakat yang mampu.

D. Pengaruh Dana BOS terhadap Beban Orang Tua dalam


Pendidikan
Salah satu tujuan yang sangat penting dalam
pemberian dana BOSadalah untuk meringankan beban orang
tua siswa dalam pendidikan. Secara umum pengaruh yang
dirasakan oleh orang tua dengan adanya dana BOS adalah
terbebasnya mereka dari berbagai iuran di sekolah. Hal ini
mengindikasikan bahwa sekolah memang tidak melakukan
berbagai pungutan lagi.
Pendapat orang tua tentang iuran partisipasi
terhadap sekolahhampir seimbang antara yang mengatakan
tetap perlu dan yangmengatakan tidak perlu lagi. Bagi orang
tua yang mengatakan tetap perluberarti memberikan indikasi
bahwa mereka menyadari akan pentingnyapartisipasi orang
tua terhadap pendidikan. Dana BOS sebenarnya tidakbisa
membiayai penyelenggaraan pendidikan secara keseluruhan.
Sedangkan bagi orang tua yang berpendapat bahwa tidak
perlu lagi mengindikasikan masih belum dipahaminya bahwa
pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi
juga merupakan tanggung jawab orang tua dan masyarakat.
Sebagai bukti turut sertanya orang tua ataumasyarakat dalam
247
pendidikan adalah pembayaran iuran partisipasi,khususnya
bagi yang mampu.

E. Latar Belakang Pemberian Dana BOS


Kebijakan Pembangunan pendidikan dalam kurun
waktu 2004-2009 diprioritaskan pada peningkatan akses
masyarakat terhadap pendidikan dasar yang lebih berkualitas
melalui peningkatan pelaksanaan wajib belajar pendidikan
dasar 9 tahun dan pemberian akses yang lebih besar kepada
kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat
menjangkau layanan pendidikan dasar.5
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
beberapa tahun terakhir ini yang juga diikuti oleh kenaikan
harga bahan pokok lainnya, akan menurunkan daya beli
penduduk miskin. Hal ini pada gilirannya akanberdampak
terhadap upaya penuntasan Program Wajib Belajar
Pendidikandasar 9 Tahun, karena masyarakat miskin akan
semakin sulit memenuhikebutuhan biaya pendidikan.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
PendidikanNasional mengamanatkan bahwa setiap warga
negara yang berusia 7 -15 tahun wajib mengikuti pendidikan
dasar. Konsekuensi dari amanat undang-undangtersebut,
maka Pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan
bagi seluruhpeserta didik pada tingkat pendidikan dasar
(SD/MI dan SMP/MTs sertaseluruh satuan pendidikan
sederajat.
Salah satu indikator penuntasan Wajib belajar 9
tahun diukur denganAngka Partisipasi Kasar (APK). Pada
tahun 2005, APK tingkat SMP sebesar85,22% dan pada akhir
tahun 2006 telah menapai 88,68%. Target penuntasanwajib

5
Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Buku
Panduan BOS dalam Rangka Wajib Belajar 9 Tahun, 2008., h. 3.
248
belajar 9 tahun harus diapai pada tahun 2008/1009 dengan
APKminimum 95%. Dengan demikian, pada saat ini masih
ada sekitar 1,5 jutaanak usia 13-15 tahun yang masih belum
mendapatkan layanan pendidikandasar (Depdiknas,
Departemen Agama, 2007).
Dengan adanya pengurangan subsidi bahan bakar
minyak, amanatundang-undang dan upaya percepatan
penuntasan wajib belajar pendidikandasar 9 tahun yang
bermutu, sejak tahun 2005 Pemerintah
memprogramkanpemberian Dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS). Program pemberianBantuan Operasional
Sekolah ini bertujuan untuk membebaskan biayapendidikan
bagi siswa tidak mampu dan meringankan bagi siswa yang
lain,agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar yang
lebih bermutusampai tamat dalam rangka penuntasan wajib
belajar 9 tahun.

1. Tujuan Pemberian Dana BOS


Secara umum Program Bantuan Operasional Sekolah
(BOS)bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi
siswa tidak mampudan meringankan bagi siswa lain, agar
mereka memperoleh layananpendidikan dasar yang lebih
bermutu sampai tamat dalam rangkapenuntasan Wajib
belajar 9 Tahun
Secara khusus program BOS bertujuan untuk:
1. Membebaskan pungutan bagi seluruh siswa SD negeri
dan SMP negeri terhadap biaya operasi sekolah,
kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional
(RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI);
2. Membebaskan pungutan seluruh siswa miskin dari
seluruh pungutandalam bentuk apapun, baik di
sekolah negeri maupun swasta;

249
3. Meringankan beban biaya operasi sekolah bagi siswa
di sekolahswasta.
2. Sasaran Program BOS
Sedangkan sasaran program BOS adalah semua
sekolah setingkatSD dan SMP, baik negeri maupun swasta di
seluruh propinsi di Indonesia,program kejar Paket A dan
Paket B tidak termasuk sasaran dari programBOS iini. Selain
itu, Madrasah Diniyah Takmiliyah (suplemen) juga
tidakberhak memperoleh BOS, karena siswanya telah
terdaftar di sekolahreguler yang telah menerima BOS.
Mulai tahun pelajaran 2007/2008 (mulai Juli 2007),
SMP terbuka(reguler dan mandiri) dan Madrasah Diniyah
formal yangmenyelenggarakan Program Wajib belajar 9
Tahun termasuk dalamsasaran BOS.
Besar dana BOS yang diterima oleh
sekolah/madrasah/ponpesdihitung berdasakan jumlah siswa
dengan ketentuan sebagai berikut :
a. SD/MI/SDLB/ Salafiah/ sekolah agama non Islam
setara SD sebesarRp. 254.000,-/siswa/tahun
b. SMP/MTs/SMPLB/SMPT/Salafih/sekolah agaama
non Islam setaraSMP sebesar Rp. 354.000,- / siswa /
tahun
Namun sejak tahun 2010 besar biaya satuan BOS yang
diterimaoleh sekolah termasuk untuk BOS Buku,
dihitung berdasarkan jumlahsiswa dengan ketentuan:
a. SD/SDLB di kota : Rp 400.000,-
/siswa/tahun
b. SD/SDLB di kabupaten : Rp 397.000,-
/siswa/tahun
c. SMP/SMPLB/SMPTdikota : Rp 575.000,-
/siswa/tahun
d. SMP/SMPLB/SMPT di kabupaten : Rp 570.000,-
/siswa/tahun
250
3. Sekolah Penerima Dana BOS
Sekolah penerima bantuan dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) adalah :
1. Semua sekolah negeri dan swasta berhak memperoleh
BOS.Khusus sekolah/madrasah/ponpes swastaharus
memiliki ijin operasional (dengan penyelenggaraan
pendidikan). Sekolah/madrasah/ponpes yangbersedia
menerima BOS harus menandatanagani Surat
PerjanjianPemberian bantuan dan bersedia mengikuti
ketentuan yang tertuang dalambuku petunjuk
pelaksanaan.
2. Sekolah kaya/mapan/yang mampu secara ekonomi
yang saat ini memiliki penerimaan lebih besar dari BOS,
mempunyai hak untuk menolak BOS tersebut, sehingga
tidak wajib untuk melaksanakan ketentuan seperti
sekolah/manrasad/ponpes penerima BOS. Keputusan
atas penolakan BOSharus melalui persetujuan dengan
orang tua siswa dan komite sekolahmadrasah/ponpes.
Bila sekolah/madrasah/ponpes yang mampu
tersebutterdapat siswa miskin,
sekolah/madrasah/ponpes tetap
menjaminkelangsungan pendidikan siswa tersebut.
Berdasarkan buku petunjuk teknis penggunaan dana
BOS tahun2011, ketentuan sekolah penerima BOS adalah :
1. Semua sekolah SD/SDLB/SMP/SMPLB/SMPT negeri
wajib menerimadana BOS. Bila sekolah tersebut menolak
BOS, maka sekolah dilarangmemungut biaya dari peserta
didik, orang tua atau wali peserta didik.
2. Semua sekolah swasta yang telah memiliki ijin operasi
dan tidak dikembangkan menjadi bertaraf internasional
wajib menerima dana BOS.
3. Bagi sekolah yang menolak BOS harus melalui
persetujuan orang tua siswa melalui komite sekolah dan
251
tetap menjamin kelangsungan pendidikan siswa miskin
di sekolah tersebut.
4. Seluruh sekolah yang menerima BOS harus mengikuti
pedoman BOS yang telah ditetapkan oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah.
5. Sekolah negeri kategori RSBI dan SBI diperbolehkan
memungut dana dari orang tua siswa yang mampu
dengan persetujuan Komite Sekolah. Pemda harus ikut
mengendalikan dan mengawasi pungutan
yangdilakukan oleh sekolah tersebut agar tercipta prinsip
pengelolaan danasecara transparan dan akuntabel.
6. Sekolah negeri yang sebagian kelasnya sudah
menerapkan system sekolah bertaraf RSBI atau SBI tetap
diperbolehkan memungut dana dari orang tua siswa
yang mampu dengan persetujuan Komite Sekolah,
kecuali terhadap siswa miskin.
3. Ketentuan yang Harus Diikuti Sekolah Penerima BOS
Sekolah yang telah menyatakan menerima BOS dibagi
menjadi 2kelompok, dengan hak dan kewajiban sebagai
berikut :
1. Apabila sekolah/madrasah/ponpes tersebut terdapat
siswa miskin, makasekolah/madrasah/ponpes
diwajibkan membebaskan segala
jenispungutan/sumbangan/iuran seluruh siswa
miskin. Sisa dana BOS (bilamasih ada) digunakan untuk
mensubsidi siswa lain. Dengan
demikiansekolah/madrasah/ponpes tersebut
menyelanggarakan pendidikan gratisterbatas. Bila dana
BOS cukup untuk membiayai seluruh
kebutuhansekolah/madrasah/ponpes, maka secara
otomatissekolah/madrasah/ponpes dapat
menyelanggarakan pendidikan gratis.

252
2. Bagi sekolah/madrasah/ponpes yang tidak
mempunyai siswa miskin, maka dana BOS digunakan
untuk mensubsidi seluruh siswa, sehingga dapat
mengurangi pungutan/sumbangan/iuran yang
dibebankan kepada orang tua siswa, minimum senilai
dana BOS yang diterima sekolah/madrasah/ponpes

253
DAFTAR PUSTAKA

Ahsin, M. Izza. Dunia Tanpa Sekolah.Cet. I; Bandung: Read,


2007.
Amri, Sofan. Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam
Kurikulum 2013. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2013.
Andreski, Stanislav. Max Weber on Capilailsm, Bureaucracy,
and Religion, terj. Hartono, Max Weber: Kapitalisme,
Birokrasi, dan Agama. Cet. I; Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya, 1989.
Arif, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam.
Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safruddin Abdul Jabar,
Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara,
2010.
Arikunto, Suharsimi. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Arstine, Donald. Philosophy of Education. New York: Harper
and Row, 1976.
Asmani, Jamal Ma’mur. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan
Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Diva Press, 2011.
Assegaf, Rachman Abd. Pendidikan Islam Kontekstual,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010.
Assegap, Abdurrahman. Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi
Kondisi, Kasus dan Konsep. Yogyakarta: Tiara Wacana,
2004.
Asy’arie, Musya. “Pendidikan Mulikultural dan Konflik
Bangsa”, http//www.64.2 03.71. 11/kompas/cetak/
254
0409/03opini/1246546.htm. (Diakses pada 10 Mei
2014).
Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural. Jakarta: PT Erlangga, 2005.
Berita Daerah Sumsel.Oline.com (Di akses, Senin 11 Januari
2010
Brown, T. Challenging Globalization as Discourse and
Phenomenon.International Journal of Lifelong
Education, 1995.
Burhan, Bungin. 2008. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Prenada
Media
Burhan, Bungin. 2006. Konstruksi Realitas Sosial Media Massa.
Jakarta: Prenada Media
Busroh, Abu Daud. Capita Selekta Hukum Tata Negara, Jakarta
: Rineka Cipta,
Cangara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik; Konsep, Teori dan
Strategi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Capra, Pritjof. The Turning Point, terj. M. Toyibi, Titik Balik
Peradaban. Cet. V; Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 2000.
Darmaningtyas, et. al. Membongkar Ideologi Pendidikan –
jelajah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Yogyakarta: Resolusi Press. 2004
Darmaningtyas.Pendidikan yang Memiskinkan. Yogyakarta:
Galang Press, 2004.
Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem
Pendidikan Nasional.Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004.

255
Depiyanti, Oci Melisa. “Model Pendidikan Karakter di
Islamic Full Day School (Studi Deskriptif pada SD
Cendekia Leadership School, Bandung,” dalam Jurnal
Tarbawi vol. 1 no. 3 (September 2012).
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta, 2009.
Dwi R, Mutiara. “Belajar Tidak Harus di Sekolah
Formal”,Tabloid Mom&Kiddie, edisi 14, tahun 1, 12-25
Maret 2007, h. 14.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia.
Jakarta: Gramedia, 1995.
Erikson, Erik H. Childhood and Society, terj.Helly Prajitno
Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto.Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Fajar, A. Malik PlatformReformasi Pendidikan dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999.
Fajar, A. Malik Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar
Dunia, 1999.
Fatkoer, “Perbedaan Kurikulum 2013 dengan KTSP”
http://fatkoer.wordpress.com/2013/07/28/perbeda
an-kurikulum-2013-dan-ktsp/. (diakses tanggal 14
Juni 2014).
Freire, Paulo. Pendidikan Pembebasan. Jakarta: LP3S, 2000.
Frye, Mike. at al. Character Education: Informational Handbook
and Guide for Support and Implementation of the Student
Citizent Act of 2001. North Carolina: Public Schools of
North Carolina, 2002.

256
Griffith, Mary. Belajar Tanpa Sekolah: Bagaimana Memanfaatkan
Seluruh Dunia sebagai Ruang Kelas Anak Anda.
Bandung: Nuansa, 2005.
Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran.Edisi I. Cet. VI;
Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Hamzah, Ustadi.“Yang Satu dan Yang banyak: Islam dan
Pluralitas Agama di Indonesia”, “Religiosa” Edisi
I/II/Tahun 2006.
Harian Kompas, http://edukasi.kompas. com/
read/2013/10/17/1540205/Perlu. Pendidikan.
Karakter.juga. Menyasar. Masyarakat.Luas (12
Agustus 2014).
Harian Media Indonesia, Edisi Selasa 20 Januari 2009
Hasan S. Hamid. “Ujian nasional dan Masa Depan Bangsa:
Ditinjau Dari Aspek Legal, Posisi Pemerintah,
Pandangan Pendidikan.” http://file.upi.edu (8 Juni
2014).
Hasyim, H.A Dardi &Yudi Hartono.Pendidikan Multikultural
di Sekolah. Surakarta: UPT penerbitan dan percetakan
UNS, 1994.
Hidayati, Wiji. Pengembangan Kurikulum.
Yogyakarta:Pedagogia, 2012.
Hilman, “Pilih-Pilih Homeschooling”, Tabloid Nakita, No.
430/TH IX/30 Juni 2007.
Hilmy.Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis
Multikulturalisme Jurnal Ulumuna, Vol. VII. Edisi
12.No. 12 “Juli-Desember”. Mataram: STAIN
Mataram, 2003.

257
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia_2010_Ad
e_Cahyana.html (30 Mei 2014)
http://www.hariansib.com/index.php?option=com_content
&task=view&id=8202&Itemid=9(30 Mei 2014)
http://www.scribd.com/doc/25136062/Makalah-
Manajemen-Pesantren, diakses tgl25-04-2014, Pukul
12.02 WIB.
http://www.suaramerdeka.com (Diakses, November 2009)
Ibrahim, Misykat Malik. Pengembangan Pengukuran Non-Tes
Bidang Pendidikan: Suatu Pendekatan Psikologi.
Makassar, Alauddin University Press, 2012.
Idris, Jamaluddin. Kompilasi Pemikiran Pendidikan.
Yogyakarta: Taufiqiyah Sa’adah, 2005.
Imron, Mashadi. Pendidikan Agama Islam Dalam Persepektif
Multikulturalisme. Jakarta: Balai Litbang Agama, 2009.
Indonesia.go.id (Diakses November 2009)
Indra, Hasbi. Pendidikan Islam Melawan Globalisasi. Cet. II;
Jakarta: Rida Mulia, 2005.
Irawan, Ade. et al, Mendagangkan sekolah. Jakarta: Yayasan
Tifa, 2004), h. 96.
Ishak, Baego dan Syamsuduha.Evaluasi Pendidikan.
Makassar: Alauddin University Press, 2010.
Ismail, Muhammad Ilyas. Orientasi Baru dalam Ilmu
Pendidikan. Makassar: Alauddin University Press,
2012.

258
Ismail, Muhammad Ilyas. Pendidikan Karakter: Suatu
Pendekatan Nilai. Makassar, Alauddin University
Press, 2012.
Jackson, Philip W. Handbook of Research on Curriculum. New
York: MacMilllan Publishing Company, 1991.
Joni, T. Raka. Memicu PerbaikanMelalui Kurikulum Dalam
Kerangka Pikir Desentralisasi. Dalam Sindunata (ed).
Membuka Masa Depan Anak-AnakKita. Yogyakarta:
Kanisius, 2000.
Joyce, Bruce, et. al. Model of Teaching – edisi kedelapan,
diterjemahkan oleh Achmad Fawaizd, dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009
Jurnal Madrasah Kelurga, “Melirik Kembali Homeschooling”,
http://my.opera.com/ madrasah-
keluarga/blog/melirik-kembali-homeschooling, (20
Agustus 2014).
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Cet. III;
Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, “Kebijakan Ujian Nasional Tahun
Pelajaran 2013-2014.” http://
litbang.kemdikbud.go.id (7 Juni 2014).
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Desain Induk
Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud, 2013.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Implementasi
Kurikulum 2013 dan Relevansinya dengan Kebutuhan
Kualifikasi Kompetensi Lulusan. Semarang:
Kemendikbud, 2013.

259
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Pedoman Pelatihan
Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan &
Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan,
2013.
Khafifi, Muhammad. Pembaharuan Sistem Pendidikan
Pesantren, makalah
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia, 2002.
Koesoema, Doni A. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik
Anak di Zaman Modern. Jakarta: PT Grasindo, 2007.
Koran Sindo, 16 April 2014. http://www.koran-sindo.
com/node/308288 (7 Juni 2014).
Kurniasih, Imas. Homeschooling Bersekolah di Rumah Kenapa
Tidak. Yogyakarta: Cakrawala, 2009.
Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa
Psikologi Pendidikan.Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986.
Lickona, Thomas. Educating for Character: How Our School Can
Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam
books, 1991.
M. Arifin. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan
Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. IV;
Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Madjid, Abdul. Pendidikan Karakter Perspektif Islam.Bandung:
Rosdakarya, 2011.
Magdalena, Maria. Anakku Tidak Mau Sekolah Jangan Takut
Cobalah Homeschooling. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2010.

260
Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Cet. VI;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Maksum, Ali & Luluk Yunan Ruhendi.Paradigma Pendidikan
Universal. Yogyakarta: IRCiSoD, 2004.
Maksum, Ali. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruz Media,
2008.
Mandari, Syafinuddin al-Mandari.Rumahku Sekolahku.
Jakarta: Pustaka Zahra, 2004.
Mardapi, Djemari dan Badrun Kartowagiran, “Dampak
Ujian Nasional,” Laporan Penelitian,
http://staff.uny.ac.id/ sites/ default/files/6-
Dampak%20Ujian%20 Nasional. pdf (8 Juni 2014)
Maunah Supervisi Pendidikan Islam Teori dan Praktek,
Yogyakarta: Teras,2009.
Maunah.Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan Dan
Hambatan Pendidikan,2009. Pesantren Di Masa Depan,
Yogyakarta: Teras
Megawangi, Ratna. Pendidikan Karakter untuk Membangun
Masyarakat Madani.IPPK Indonesia Heritage Foun-
dation, 2003.Menkokesra.go.id (Diakases November
2009)
Mu’in, Fatchul Mu’in. Pendidikan Karakter: Kontruksi Teoretik
& Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Muchsin, Bashori dan Abdul Wahid.Pendidikan Islam
Kontemporer.Bandung: PT Refika Aditama, 2009.
Muhaimin.Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang
Kusut Dunia Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006.

261
Muhammad Ali. Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Cet. II;
Bandung: CV Sinar Baru, 1992.
Mujib, A. Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali
Press, 2006.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir.Ilmu Pendidikan
Islam.Edisi I. Cet. II; Jakarta: Kencana, 2008.
Muliadi, Erlan. “Analisis Kebijakan Ujian Nasional.
”Blog.Pribadi.http://erlanmuliadi. blogspot.com
/2011/05/analisis-kebijakan-pelaksanaan-ujian.html
(8 Juni 2014).
Mulyasa, E.Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009.
Mulyasa, E.Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Mulyasa, E. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 2003.
Mulyoto.Strategi Pembelajaran di Era Kurikulm 2013.
Jakarta:Prestasi Pustaka Raya, 2013.
Mursidin, Moral Sumber Pendidikan, Sebuah Formula
Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah/Madrasah. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2011.
Muslich, Masnur. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan
Krisis Multidimensional. Jakarta: PT Bumi Aksara,
2011.
Nahrawi, Amirudin. Pembaharuan Pendidikan Pesantren,
Yogyakarta: Gama Media.2008.
Nasution, S. Asas-Asas Kurikulum. Edisi II. Cet. II; Jakarta:
Bumi Aksara, 1995.
262
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2008.
Nata, Abudin. Pendidikan Islam di Era Global. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah Press, 2005.
News@indosiar.com, “Homeschooling: Sekolah Rumah atau
Rumah Sekolah”, http://news. indosiar.com/
news_read.htm?id=60082 (20 Agustus 2014)
Nieto, Sonia. Language, Culture, and Teaching. Mahwah, NJ:
Lawrence Earlbaum, 2002.
Nuryanto. M. Agus. Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta:
Resist Book, 2011.
O’neil, William F. Educational Ideologis: Contemporary
Expressions of Educational Philosophies, terj. Omi Intan
Naomi, Ideologi-Ideologi Pendidikan.Cet. II;
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008.
Parekh, Bikkhu. Rethingking Multiculturalism: Cultural
Diversity and Political Theory. Cambridge: Harvard
University Press, 2000.
Partanto, Pius A. & M. Dahlan al-Barry.Kamus Ilmiah Populer.
Surabaya: Arkolo, 2001.
Pelly, Usman & Asih Menanti.Teori-Teori Sosial Budaya.
Jakarta: Dirjen Depdikbud, 1994.
Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.
Permendiknas Nomor 23 tahun 2007 tentang Standar
Kompetensi Lulusan.
Print, Murray.Curriculum Development and Design. Australia:
Allen & Unwin Pty.Ltd., 1993.

263
Purwanto, M. Ngalim. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi
Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Cet. I; Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Rahardjo, Dawam. Pergulatan Dunia Pesantren Dari Bawah,
Jakarta: P3M.1985
Raharjo, Setyo. “Mengimplementasikan Pendidikan
Multikultural di Sekolah” Jurnal Ilmiah Guru “COPE”
No. 02/Tahun VI/Desember 2002.
Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Cet. 1;
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity, Transformation of an
Intellectual Tradition, terj. Ahsin Mohammad, Islam
dan Modernitas. Yogyakarta: Pustaka, 1985.
Rahmat, Jalaluddin. Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang
Cendekiawan Muslim. Cet. V; Bandung: Mizan, 1993.
Rakhmat, Cece. “Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis
Budaya Dalam Menghadapi TantanganModernitas.”
http/file.upi.edu.co (28 Mei 2014)
Ramayulis.Ilmu Pendidikan Islam.Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
RD. Feldman Papalia, DE., Old, SW., Human Development
(New York-USA: McGraw-Hill, 2004), h. 334-335.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Cet. IV; Jakarta:
Sinar Grafika, 2011.
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Cet. IV; Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
264
Republik Indonesia, Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem
Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003). Cet. V;
Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Republik Indonesia.Amandemen Standar Nasional Pendidikan
(PP No. 32 Tahun 2013) dilengkapi dengan PP No. 19
Tahun 2005. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Republik Indonesia.Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem
Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003). Cet. V;
Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah
Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Pendidikan.Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004.
Ryan, Kevin & Karen E. Bohlin.Building Character in Schools:
Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San
Francisco: Jossey Bass, 1999.
Sadegh, Bakhtiari. Globalization and Education Challenges and
Opportunities. Iran: Journal Isfahan University, 1995.
Segara, I Nyoman Yoga.“Pendidikan Karakter Bangsa
Berbasis Pancasila.” http://bdkjakarta. kemenag.go.
id/index.php?a=artikel&id=924. (29 Mei 2014).
Suderadjat, Hari. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Bandung: CV Cipta Cekas Grafika, 2004.
Sudijono, Anas. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT
RajaGrafinda Persada, 2001.
Suheryana, Hendrie. ”Home-Schooling Solusi Pendidikan Untuk
yang Tidak Puas di Sekolah Formal”,Tabloid Mom &
Kiddie, edisi 14, tahun 1, 12-25 Maret 2007.

265
Sukardi, Evaluasi Pendidikan: Prinsip dan Operasionalnya.
Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum: Tori
dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Sumardiono, “Homeschooling , Sekolah Rumah/Mandiri,”
http://www.sekolahrumah.com/index.php?option=
com_content&task=category&sactionied=4&id=13&it
emid=31(20 Agustus 2014).
Sumardiono, “Pengertian Homeschooling”,
http://www.sumardiono.com/index.php?option=co
m_content&task=view&id=287&itemid=79 (20
Agustus 2014).
Sumardiono.Homeschooling: A Leap for Better Learning,
Lompatan Cara Belajar. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo..
Sunarno, Siswanto. Hukum Pemerintahan Daerah, Jakarta :
Sinar Grafika, 2006
Suparman, Achmad. “Pengertian Globalisasi”,
http://globalisasiriva.blogspot.com/p/ pengertian-
globalisasi.html. (Diakses pada 17 Mei 2014).
Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan
Dunia Global, Jakarta
Syam, Nur. Tantangan Multikulturalisme Indonesia: dari
Radikalisme menuju Kebangsaan. Cet. V; Yogyakarta:
PT Kanisius, 2013.
Thoha, Chabib. Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT
RajaGrafinda Persada, 2003.

266
Tilaar, H.A.R. Kekusaan Dan Pendidikan Suatu Tinjauan Dan
Persepektif Studi Kultural. Jakarta: Indonesia Teras,
2003.
Tilaar, H.A.R. Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian
Pendidikan Masa Depan. Cet. IX; Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008.
Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme tantangan-tantangan global
masa depan dalam transformsi pendidikan nasional.
Jakarta: Grasindo, 2004.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia – edisi ketiga,
cetakan ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. 2005
Tim Penyusun. Pengantar Studi Islam. Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Press, 2009.
Verdiansyah, Chris (ed). Homeschooling. Rumah Kelasku,
Dunia Sekolahku. Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2007.
Wahid, Marzuki. Pesantren Masa Depan: Wacana
Pemberdayaan dan Transformasi. Bandung: Pustaka
Hidayah, 2011.
Wahono, Francis. Kapitalisme Pendidikan antara Kompetisi dan
Keadilan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Widjaja, H.A.W. Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia,
Jakarta : Rineka
Wikipedia, “Homeschooling”, http://en.wikipedia. org
/wiki/homeschooling (20 Agustus 2014).
Winardi.Kapitalisme versus Sosialisme: Suatu Analisis Ekonomi
Teoretis. Bandung: CV. Remadja Karya, 1996.

267
www.glorianet,org/mau/kliping/klipbers.html, dan
http://fuadinotkamal. wordpress.com/2007/12/31/
sekolah-sebagai-rumah-kedua/. (20 Agustus 2014).
Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural
Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan.
Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Yasin, Moh. Fahri.Sistem Evaluasi Pembelajaran. Gorontalo:
Sultan Amai Press, 2009.
Yaumi, Muhammad. Pilar-Pilar Pendidikan Karakter.
Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Yulaelawati, Ella. Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi Teori
dan Aplikasi. Bandung: PT Pakar Raya, 2004.
Zubaedi.Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam
dan Kapita Selekta Pendidikan Islam.Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012.
Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Prenada Media
Group, 2011.
Zuchdi, Humanisasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara,
2009.

268
RIWAYAT HIDUP
Muh Ilyas Ismail, dilahirkan pada
tanggal 7 Januari 1964, di Ralla
Kabupaten Barru Sulawesi Selatan.
Anak keempat dari sembilan
bersaudara, putra pasangan Bapak
Muhammad Ismail dan Ibu Hj.
Hamdanah. Menamatkan SDN Ralla I
tahun 1977, SMPN Rallatahun 1980 di
Kab. Barru. SMA Muhammadiyah 2
tahun 1983, dan STM Pembangunan
tahun 1984 masing-masing di
Makassar.

Sarjana Pendidikan IPA Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin,


sekarang UIN Alauddin Makassar tahun 1990. Lulus S2
Prodi IPS PPs UNM tahun 2001, lulus S2 Prodi Ilmu
Komunikasi Pendidikan PPs UNHAS tahun 2004.
Padatahun 2007 melanjutkan studi S3 pada Prodi
Penelitian dan Evaluasi Pendidikan PPs Universitas Negeri
Jakarta dan selesai 2011.
Sejak tahun 1994 diangkat menjadi dosen tetap
Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin, sekarang UIN
Alauddin Makassar sampai sekarang, dan juga menjadi
dosen tidak tetap pada beberapa Universitas Swasta di
Sulawesi Selatan. Sejak Tahun 2012 menjadi dosen pada
PPs UIN Alauddin, juga pada tahun 2012 ditugasi sebagai
Wakul ketua Pengelola Prograam Pendidikan Profesi Guru
(PPG) LPTK fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Alauddin Makassar. Jabatan yang pernah diemban antara
lain: Kepala Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, Kepala
Laboratorium IPA Fakultas Tarbiyah, Senat Fakultas Wakil
dosen, Sekretaris Jurusan Pendidikan Fisika, Sekretaris
Jurusan Pendidikan Biologi, Ketua Jurusan Biologi
Fakultas Sains dan Ketua Jurusan Kimia Fakultas Sains.
Publikasi ilmiah (buku):1) Ilmu Pendidikan Praktis
(Penulis Buku, Penerbit Ganeca Exact 2008), 2) Ilmu
Pendidikan Teoretis (Penulis Buku, Penerbit Ganeca Exact
2008), 3) Pendidikan Karakter Suatu Pendekatan Nilai
(Penuis Buku, Penerbit Alauddin University Press 2012), 4)
Orientasi Baru dalam Ilmu Pendidikan (Penulis Buku,
Penerbit Alauddin University Press 2012), 5) GURU:
sebuah Identitas (Penulis Buku, Penerbit Alauddin
University Press 2013), 6) Teknologi Pembelajaran Agama
(Editor Buku, Penerbit Alauddin University Press 2013),
7) Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Editor
Buku, Penerbit Alauddin University Press 2013), 8)
Manajemen Pendidikan Sebuah Pendekatan Global (Editor
Buku Penerbit Alauddin University Press 2013),
Pengalaman berorganisasi Ketua Komisariat HMI
Fakultas Tarbiyah (1987-1988), Ketua Bidang Kerohanian
HMI Cabang Makassar (1988-1989), Wakil Ketua Forum
Mahasiswa Pascasarjana UNM (1998-1999), Ketua Forum
Mahasiswa Pascasarjana UNHAS (2000-2001), Ketua
Umum Forum Mahasiswa Pascasarajana UNJ (2009-2010),
Ketua I Forum Mahasiswa Fascasarjana Indonesia (2009-
2012), Anggota Korps Alumni Himpunan Mahasiswa
Islam (KAHMI) Sulawesi Selatan, Pengurus HEPI Cabang
Makassar tahu 2011-sekarang.
Tahun 1995 menikah dengan Asriani Amir, S.Ag.,
M.Pd. telah dikaruniai 3 (tiga) orang putra-putri yaitu;
Nurfikriyah Irhashih Ilyas (17 th, Mahasiswa Jurusan
Pendidikan Bahasa Inggeris Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Alauddin Makassar), Muhammad
Fadhilfahmi Ilyas (14 th, siswa kelas X SMA 2 Makassar),

270
dan Nurfirdayanti Wahyuni Ilyas (9 th, siswi kelas 3 SDN
Minasa Upa Makassar).
Muhammad Ilyas Ismail beralamat di kompleks BTN
Minasa Upa Blok M 17 No. 8 Makassar Sulsel, e-mail:
iilyasismail@yahoo.co.id, daengilyas12@gmail.com, phone:
0812 423 9850, 082396681515, 08991555182.

271

Anda mungkin juga menyukai