ISU-ISU PENDIDIKAN
KONTEMPORER
Penulis:
Dr. Muhammad Ilyas Ismail, M.Pd.,M.Si.
Editor:
Munirah
Cetakan: I 2014
viii+ 271 halaman, 14 cm x 21 cm
ISBN : 978-602-237-958-4
ii
SAMBUTAN REKTOR
Jika engkau ingin meng”abadi”, maka tinggalkanlah “Legacy”
iii
dalam perspektif eskatologis, karya akademik dapat menjadi
amal jariah di “alam sana”.
Atas dasar kesadaran itulah, maka program Gerakan
Seribu Buku (GSB) ini dilaksanakan, dengan harapan setiap
dosen mampu melahirkan “legacy” dalam catatan
kehidupannya berupa karya tulis yang dipublikasikan.
Gerakan ini diharapkan menjadi “trigger” untuk melahirkan
karya-karya berikutnya.
Saya merasa gembira bahwa dosen UIN Alauddin
tidak saja mampu berorasi di atas mimbar, tetapi juga dapat
menuangkan gagasan, ide, dan pikirannya dalam bentuk
tulisan. Hingga periode akhir masa jabatan saya sebagai
Rektor, program GSB ini telah tuntas dilaksanakan. Itu
artinya, hingga saat ini tidak kurang dari 1000 buah karya
akademik telah dipublikasikan oleh para dosen UIN
Alauddin Makassar. Fakta ini harus diapresiasi dan menjadi
catatan penting bagi pejabat (Rektor) berikutnya.
Karya tulis merupakan perbendaharaan terbesar di
dunia akademik. Hanya dengan budaya menulis dan
membaca, maka dunia akademik menjadi hidup, bahkan al-
Quran mengisyaratkan bahwa lahir dan hadirnya
pengetahuan serta peradaban harus diawali dengan budaya
“iqra/baca” dan “al-qalam/pena”. Karena itulah, UIN
sebagai kampus peradaban harus menjadi pioneer dari
tradisi literasi ini, sebab rendahnya budaya “baca-tulis”
pada suatu bangsa atau sebuah kampus mengindikasikan
lemahnya kesadaran terhadap eksistensi diri, alam, dan
Tuhan.
Samata, 2 Oktober 2014
Rektor,
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘aalamin, segala puji dan
syukur kepada Allah SWT semata, yang telah memberikan
rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga
dapat menyusun dan menyelesaikan buku yang berjudul
ISU-ISU PENDIDIKAN KONTEMPORER. Shalawat dan
salam, serta kedamaian dan kesejahteraan dari-Nya semoga
tercurah kepada Baginda Rasullullah saw penyempurna
risalah Ilahi, dan rahmatan lil alamin, beserta keluarga,
sahabat dan pengikutnya.
Alhamdulillah, akhirnya buku ini dapat
dipublikasikan. Buku ini disusun dengan maksud
membantu para prsktisi pendidikan, mulaidari guru, dosen,
instruktur, widyaiswara, penilik, pengawas, para
pengembang, pengelola, dan penentu kebijakan serta siapa
saja yang menaruh minat dalam bidang kependidikan,
kiranya buku ini dapat dijadikan pedoman dalam
melaksanakan proses pendidikan, dan bahan untuk
mengingatkan kembali dalam profesinya sebagai pendidik
dan bukan hanya pengajar. Selain dari hal tersebut, buku ini
juga diharapkan bermanfaat untuk parama hasiswa
kependidikan yang ada di lembaga-lembaga pendidikan
tenaga kependidikan (LPTK) FKIP, STKIP, dan UIN, IAIN,
STAIN yang memiliki Fakultas dan atau Jurusan Ilmu
Pendidikan (Fakultas Tarbiyah), sebagai referensi dalam
matakuliah Ilmu Pendidikan, di perguruan tinggi.
Penulis sangat menyadari, bahwa tulisan ini
tentu tidak akan pernah ada jika tidak didukung dan
dibantu oleh mereka, yang banyak terlibat dalam
penulisan ini. Karena itu, ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tinggnya disampaikan
kepada:
v
1. Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing H.T., M.S. selaku, Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar yang selalu mendorong para dosen untuk
senantiasa meningkatkan potensi inner capacity.
vi
DAFTAR ISI
vii
BAB IV UN dan PERMASALAHANNYA 101
A. Pendahuluan ............................................. 110
B. UN dalam Perspektif Evaluasi
Pendidikan................................... 103
C. Dasar Pelaksanaan UN.................................. 107
D. Permasalahan U N...................................... 112
E. Dampak UN terhadap Kualitas
Pendidikan Nasional............ 121
ix
BAB I
HOMESCHOOLING:
Sebuah Pendidikan Alternatif
A. Pendahuluan
Kesulitan mencari sekolah ideal bagi anak menjadi
isu yang sering diperbincangkan belakangan ini di kalangan
orang tua yang memiliki anak usia sekolah. Tak dapat
dipungkiri bahwa standar sekolah ideal yang diinginkan
para orang tua maupun pemerhati pendidikan menjadi
semakin sulit untuk ditemukan.
Sebagian orang berpendapat bahwa sekolah
merupakan satu-satunya pusat pendidikan, karena sekolah
merupakan lembaga yang diperuntukkan secara khusus
bagi pendidikan. Kenyataan menunjukkan terdapat banyak
pusat pendidikan seperti keluarga, tetangga, kampung
halaman, lingkungan, sekolah, masjid, tempat-tempat
pertemuan, media massa (seperti surat kabar, radio, dan
televisi), dan lain-lain yang berpengaruh secara langsung
maupun tidak langsung terhadap pendidikan dan
pembentukan kepribadian individu.1 Namun tetap saja
masyarakat masih menganggap sekolah sebagai satu-
satunya sarana pendidikan yang sangat ampuh untuk
memperoleh pendidikan.
Ada asumsi bahwa orang yang tidak bersekolah
maka orang tersebut tidak berpendidikan. Sebenarnya apa
yang dimaksud dengan pendidikan itu sendiri? Pendidikan
merupakan suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh
aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup.
Oleh karena itu, pendidikan tidak harus didapat melalui
B. Konsep Homeschooling
Homeschooling merupakan bahasa Inggris yang
terdiri dari kata home dan school. Menurut kamus bahasa
Inggris homeschooling merupakan bentuk kata kerja,
homeschooling is to instruct (a pupil, for example) in an
educational program outside of established schools, especially in the
home.4 Homeschooling berarti membimbing (misalnya:
seorang murid) dalam program pendidikan di luar sekolah
umum, khususnya dilaksanakan di rumah.
Banyak istilah yang digunakan untuk
menyebutkan homeschooling. Ada home education dan home-
based learning/home-based education.5 Home education is the
education of children at home, typically by parents or guardians,
rather than in a public or private school.6 (Pendidikan rumah
adalah pendidikan bagi anak yang dilaksanakan di rumah,
tidak seperti sekolah umum baik negeri/swasta, jenis
pendidikan ini biasanya dilaksanakan dengan
menitikberatkan peran orang tua atau pembimbing).
Selanjutnya pengertian home-based education dapat
digambarkan dengan makna (a) sebuah komitmen bagi
orang tua untuk mendidik anak-anaknya sendiri, (b)
http://www.sekolahrumah.com/index.php?option=com_content
&task=category&sactionied=4&id=13&itemid=31(20 Agustus
2014).
11Chris Verdiansyah (ed). Homeschooling. Rumah Kelasku,
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, da keras, yang tidak durhaka kepada Allah
terhadap apa yang dia perintahkan kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.12
Orang tua merupakan pendidik pertama dan
utama, mempunyai peranan yang penting untuk menolong
pertumbuhan anak-anaknya, baik secara fisik maupun
psikis. Anak dilahirkan dalam keadaan fitrah dan
Artinya:
(Imam Bukhari berkata), telah menyampaikan berita
kepada kami Adam, telah menyampaikan berita kepada
kami Ibnu Abi Zi´bin, dari al-Zuhri, dari Abu Salamah
bin ´Abd. Al-Rahman, dari Abu Hurairah ra berkata,
Nabi saw. bersabda: setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah (suci), kedua orang tuanyalah yang
menjadikan Yahudi atau Nasrani atau Majusi, bagaikan
seekor binatang melahirkan anaknya, apakah engkau
melihat dia melindunginya?
Ilmu pengetahuan, kesabaran, kasih sayang, dan
ketulusan, serta tanggung jawab yang tinggi adalah modal
untuk membawa diri dan keluarga pada keselamatan itu.14
Konsep homeschooling sama sekali tidak bertentangan
dengan Islam, karena menuntut ilmu bisa dilakukan di
mana saja, kapan pun dan kepada siapapun tidak dibatasi
oleh waktu, usia dan jenis kelamin. Oleh sebab itu,
C. Sejarah Homeschooling
Pendidikan di rumah bukanlah hal baru. Sebelum
ada sistem pendidikan modern (sekolah) sebagaimana
dikenal pada saat ini, pendidikan dilaksanakan dengan
berbasis rumah. Pada zaman Yunani, sekolah (skhole) artinya
menggunakan waktu senggang secara khusus untuk belajar
(leisure devoted to learning). Awalnya memang diadakan di
rumah, bersama ibu dan bapak, yang disebut dengan schola
materna.15 Lalu karena orang tua mulai sibuk mencari
nafkah, maka anak-anak dicarikan tempat pengasuhan anak
di mana ada orang yang pandai dalam hal tertentu.
Sehingga schola maternal berubah menjadi schola in loco
parentis (lembaga pengasuhan anak di luar rumah sebagai
ganti orang tua). Sebelum jenis pekerjaan di sektor formal
mulai bermunculan, kebutuhan akan pendidikan formal
belum terlalu besar, kurikulum atau muatan pendidikan
lebih menitikberatkan pada life skill (keterampilan hidup)
sebagai bekal untuk memenuhi kebutuhan hidup serta etika
perilaku yang didasarkan pada nilai-nilai agama atau pun
D. Klasifikasi Homeschooling
Berdasarkan jenisnya, homeschooling dibedakan
menjadi tiga, yaitu homeschooling tunggal, homeschooling
majemuk, dan komunitas homeschooling.
1. Homeschooling Tunggal
Jenis homeschooling ini dilaksanakan oleh orang tua
dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan lainnya.
Biasanya homeschooling jenis ini diterapkan karena adanya
tujuan dan alasan khusus yang tak dapat diketahui atau
dikompromikan dengan komunitas homeschooling lain.
Alasan lain, karena lokasi atau tempat tinggal si pelaku
homeschooling yang tidak memungkinkan berhubungan
dengan komunitas homeschooling lain.
a. Pengajar
Bisa ayah, ibu, atau keduanya, tetapi jika keduanya
sama-sama bekerja, harus ada pilihan lain, yaitu ada
orang yang bisa dipercaya dan dapat mengelola
b. Kelebihan
Anak bisa belajar kapan saja, di mana saja, dan dengan
siapa saja.
c. Kekurangan
Bila anak hanya menjalani kegiatan homeschooling di
rumah (tidak bergabung dengan komunitas lain),
dikhawatirkan berpengaruh pada kemampuan
pergaulan atau sosialisasinya. Selain itu, anak juga
tidak memiliki kesempatan untuk bersaing atau
berkompetisi dengan orang lain.
d. Tantangan
1) Sulitnya memperoleh dukungan atau tempat
bertanya, berbagi, dan berbanding keberhasilan.
2) Kurangnya tempat sosialisasi untuk
mengekspresikan diri sebagai syarat pendewasaan.
3) Orang tua harus melakukan penilaian hasil
pendidikan dan mengusahakan penyetaraan.22
2. Homeschooling Majemuk
Homeschooling ini terdiri atas dua keluarga atau
lebih.Untuk kegiatan tertentu dilaksanakan oleh dua
keluarga atau lebih. Sementara kegiatan pokok tetap
dilaksanakan oleh orang tua masing-masing. Alasannya, ada
kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa
keluarga untuk melaksanakan kegiatan bersama. Misalnya
kegiatan olah raga, musik/ seni, sosial, ataupun kegiatan
keagamaan.
a. Pengajar
32RD.
Feldman Papalia, DE., Old, SW., Human Development
(New York-USA: McGraw-Hill, 2004), h. 334-335.
33RD. Feldman Papalia, DE., Old, SW., Human Development,
h. 335.
34RD. Feldman Papalia, DE., Old, SW., Human Development,
h. 335.
24
homeschooling, dimana mereka dapat mengatur sendiri
kurikulum dan metode belajar yang mendekati ideal.
Di samping sumbangan positifnya terhadap
perkembangan anak, ternyata kritik terbesar yang banyak
diterima praktek homeschooling juga berkenaan dengan
perkembangan anak, yaitu dalam hal kemampuan
sosialisasi. Arif Rahman, mengatakan bahwa hal yang harus
menjadi titik perhatian penting dari homeschooling adalah
strategi untuk menghindari kekhawatiran bahwa siswa yang
mengikuti metode pendidikan ini akan teralienasi dari
lingkungan sosialnya sehingga potensi kecerdasan sosialnya
tidak muncul.35 Kecemasan itu wajar mengingat lingkungan
rumah yang sangat terbatas sehingga anak tidak terbiasa
dengan perbedaan dan cenderung memahami sesuatu daari
sudut pandangnya sendiri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyaknya
siswa yang berasal dari Asia Timur yang berprestasi bagus
di Amerika Serikat adalah karena pengaruh budaya dan
praktik pendidikan di negara asal mereka. Hari dan tahun
bersekolah yang lebih tinggi dibanding sekolah AS,
kurikulum yang diatur secara sentral, kelas lebih besar
(sekitar 40 – 50 murid), dan para guru menghabiskan lebih
banyak waktu mengajari seluruh kelas, sedangkan anak AS
lebih banyak waktu bekerja sendiri atau dalam kelompok
kecil dan karena itu menerima perhatian yang lebih besar
tetapi lebih sedikit instruksi total.36
35Chris
Verdiansyah (ed). Homeschooling. Rumah Kelasku,
Dunia Sekolahku , h. ix.
36RD. Feldman Papalia, DE., Old, SW., Human Development,
h. 337.
25
Di sisi lain, hasil penelitian Taylor37 menunjukkan
bahwa sangat sedikit siswa homeschooling yang mengalami
masalah dalam berhubungan sosial. Menurutnya, berbagai
kritik yang dilontarkan mengenai homeschooling berkenaan
dengan kemampuan sosialisasi anak justru menghasilkan
hal yang sebaliknya. Konsep diri yang positif yang diperoleh
anak-anak dari pendidikan homeschooling ternyata mampu
mendorong kemampuan sosialisasi yang baik.
A. Pendahuluan
Pendidikan selalu berkembang mengikuti dinamika
kehidupan masyarakat. Dewasa ini masyarakat Indonesia
sedang mengalami perubahan transisional dari masyarakat
agraris ke arah masyarakat industri. Bahkan, terjadi lompatan
perubahan dari masyarakat agraris ke arah masyarakat
informasi. Perubahan tersebut meniscayakan desain
pendidikan memiliki relevansi dengan kebutuhan masyarakat
yang terus berubah.1
Pendidikan pada masyarakat agraris didesain
relevan dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat agraris.
Pendidikan pada masyarakat industri dan informasi didesain
mengikuti arus perubahan dan kebutuhan masyarakat era
industri dan informasi. Demikian siklus perkembangan
perubahan pendidikan yang senantiasa didesain relevan
dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat pada
suatu era, baik pada aspek konsep, materi, kurikulum, proses,
dan fungsi serta tujuan lembaga-lembaga pendidikan.
Pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional, kini dihadapkan pada tantangan-
tantangan baru di era globalisasi, sebagai konsekuensi dari
dinamika modernitas. Menghadapi tantangan tersebut
diperlukan suatu strategi baru yang solutif dan antisipatif.
1. Pengertian Globalisasi
Globalisasi di ambil dari kata global yang maknanya
universal. Menurut Achmad Suparman, globalisasi adalah
sebuah proses menjadikan sesuatu benda atau perilaku
sebagai ciri dan setiap individu di dunia ini tampa dibatasi
oleh wilayah, atau seluruh proses di mana penduduk dunia
terhubung ke dalam komunitas dunia tunggal, komunitas
29
global.4 Keterangan di atas, dapat di simpulkan bahwa
globalisasi secara singkat adalah Sebuah proses di mana antar
individu / kelompok menghasilkan suatu pengaruh terhadap
dunia.
Setiap manusia tidak bisa terhindar dari arus
globalisasi ini, kecuali dia tidak menjalin kontak dengan
orang lain, tidak melihat acara-acara di televisi, tidak
mendengarkan radio, dan dia hidup dengan apa adanya.
Kenyataannya, hanya segelintir manusia bisa melakukan hal
seperti itu karena manusia mempunyai sifat makhluk sosial
yaitu selalu membutuhkan orang lain.
Globalisasi berawal dari transportasi dan
komunikasi, tetapi dampaknya segera terasa dalam berbagai
bidang kehidupan manusia baik ekonomi, politik,
perdagangan, gaya hidup, bahkan agama.5 Begitu cepat
masyarakat mengikuti perkembangan zaman, mereka tidak
mau ketinggalan sedikitpun dari perkembangan ini. Berikut
ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya
fenomena globalisasi di dunia:
a. Perubahan dalam konsep dan waktu seperti adanya
telepon genggam, televisi, dan internet menjadikan
komunikasi semakin cepat.
b. Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang
berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari
pertumbuhan Perdagangan international.
c. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan
media massa.
Opportunities, h. 96.
33
juga peningkatan kekhawatiran internasional dengan dampak
bahaya globalisasi terhadap perkembangan adat dan
nasionalisme. Berbagai gerakan sosial telah dimulai oleh
negara-negara maju terhadap ancaman globalisasi khususnya
di negara-negara berkembang. Dampak negatif dari
globalisasi meliputi berbagai jenis baik ekonomi, politik,
pendidikan, dan budaya. Selanjutnya, mereka berpikir keras
bagaimana memaksimalkan peluang dan manfaat dari
globalisasi untuk mendukung perkembangan lokal dan
mengurangi ancaman dan dampak negatif dari globalisasi,
hal ini merupakan pekerjaan besar yang menjadi perhatian
utama negara-negara berkembang.11
Berdasarkan uraian di atas, globalisasi adalah
menciptakan kesempatan untuk berbagi pengetahuan,
teknologi, nilai-nilai sosial, pendidikan dan norma-norma
perilaku serta perkembangan, mereka mempromosikan diri
pada tingkat individu, organisasi, masyarakat, dan warga di
berbagai negara. Konsep yang mereka usungpun beragam,
dan memiliki corak pasar yang bersaing.
Secara khusus, keuntungan dari globalisasi dapat
meliputi:
a. Penguasaan berbagi pengetahuan, keterampilan, dan aset
intelektual yang diperlukan untuk beberapa
perkembangan pada tingkat yang berbeda;
b. Dukungan mutu, melengkapi dan menguntungkan
supaya menghasilkan sinergi untuk pengembangan
berbagai negara, masyarakat, dan individu;
Opportunities, h. 96.
34
c. Menciptakan nilai dan meningkatkan efisiensi melalui
berbagi mobilisasi global atas dan saling mendukung
untuk melayani kebutuhan lokal dan pertumbuhannya;
d. Mempromosikan pemahaman internasional, kerjasama,
harmoni, dan penerimaan terhadap keanekaragaman
budaya di seluruh negara dan wilayah;
e. Memfasilitasi komunikasi, interaksi, dan mendorong
multi-budaya kontribusi pada tingkat yang berbeda antar
negara.12
Globalisasi, berpotensi menciptakan dampak negatif
serius bagi negara berkembang dan negara terbelakang, hal
ini juga merupakan alasan utama mengapa ada begitu banyak
gerakan sosial yang sedang berlangsung di berbagai belahan
dunia terhadap kecenderungan globalisasi khususnya di
bidang ekonomi, politik, dan pendidikan. Dampak negatif
dari globalisasi berbagai aspek, di antaranya penjajahan
politik, ekonomi, pendidikan dan budaya, dan memiliki
pengaruh besar terhadap negara-negara maju ke negara-
negara berkembang dan meningkat pesat kesenjangannya,
antara daerah kaya dan daerah miskin di berbagai belahan
dunia.
Secara khusus, dampak negatif globalisasi meliputi:
a. Meningkatkan kesenjangan teknologi dan digital
membagi antara negara maju dan negara-negara kurang
berkembang
b. Menciptakan peluang yang sah lebih untuk negara-negara
maju untuk beberapa bentuk baru penjajahan negara-
negara berkembang
42
Namun sebelum masuk pada pembahasan mengenai fungsi
dan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan
apa pengertian pendidikan Islam.
Pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang
dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang
seutuhnya, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta
mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di
muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran al-Qur’an dan
Sunnah, maka tujuan dalam konteks ini terciptanya insan
kamil setelah proses pendidikan berakhir.23
Muhammad Daud Ali, berpendapat bahwa
pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia
untuk mengembangkan potensi manusia lain atau
memindahkan nilai-nilai yang dimilikinya kepada orang lain
dalam masyarakat. Proses pemindahan nilai itu dapat
dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya: (1) melalui
pengajaran yaitu proses pemindahan nilai berupa (Ilmu)
pengetahuan dari seorang guru kepada murid-muridnya dari
suatu generasi kegenerasi berikutnya; (2) melalui pelatihan
yang dilaksanakan dengan jalan membiasakan seseorang
melakukan pekerjaan tertentu untuk memperoleh
keterampilan mengerjakan pekerjaan tersebut; (3) melalui
indoktrinnasi yang diselenggarakan agar orang meniru atau
mengikuti apa saja yang diajarkan orang lain tanpa
mengijinkan si penerima tersebut mempertanyakan nilai-nilai
yang diajarkan.24
44
memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan
tingkah laku yang harus tercermin dalam
penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang
tercermin dalam program kajiannya.25
Konsep pendidikan Islam sebagaimana
dikemukakan A. Malik Fajar tersebut, terkesan sederhana dan
belum terlalu luas cakupannya, namun paling tidak konsep
ini bisa diterapkan dalam upaya peningkatan sumber daya
manusia melalui pencerminan penyelenggaraan pendidikan
dan program kajian yang bernuansa Islami dalam proses
pemindahan nilai-nilai yang dimiliki dan dapat di bawah ke
masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami
bahwa pendidikan Islam merupakan sebuah proses yang
dilakukan untuk menciptakan manusia yang seutuhnya,
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu
mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka
bumi, yang berdasarkan kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah,
maka tujuan dan konteks ini terciptanya manusia seutuhnya
“Insan Kamil”. Artinya bahwa pendidikan Islam adalah proses
penciptaan manusia yang memiliki kepribadian serta
berakhlak al-karimah “Akhlak Mulia” sebagai makhluk
pengemban amanah di bumi.
Pemahaman lain, bahwa pendidikan Islam adalah
pendidikan yang mampu menyiapkan kader-
kader khalifah, sehingga secara fungsional keberadaannya
menjadi pemeran utama terwujudnya tatanan dunia
yang rahmatan lil–‘alamin. Ditambahkan lagi bahwa
pendidikan Islam adalah pendidikan yang berwawasan
48
D. Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam di Era
Globalisasi
Tantangan globalisasi merupakan suatu kondisi
kekinian sebagai akibat dari modernisasi. Kondisi tersebut
harus dihadapi dan dilalui agar tercapai suatu keberhasilan.
Tantangan tidak harus dimaknai sebagai sesuatu yang
membuat sulit, atau kadang menghambat sesuatu yang ingin
dicapai, tetapi tantangan adalah penggugah tekat untuk
meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah.
Mastuhu mengemukakan bahwa beberapa
tantangan yang dihadapi dunia pendidikan masa kini, yaitu
globalisasi, kompleksitas, turbulence, dinamika, akselerasi,
keberlanjutan dari yang kuno ke yang modern, koneksitas,
konvergensi, konsolidasi, rasionalisme, paradoks global, dan
kekuatan pemikiran.29
Selajutnya, Husni Rahim mengemukakan bahwa
secara eksternal masa depan pendidikan Islam dipengaruhi
oleh tiga isu besar, yaitu globalisasi, demokratisasi, dan
liberalisme Islam.30 Sedangkan Haidar Putra Daulay
menyebut globalisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan dekadensi moral sebagai tantangan
pendidikan Islam masa kini dan masa depan.31
Ketiga pakar di atas berbeda dalam mengidentifikasi
tantangan globalisasi karena berbeda sudut pandang yang
digunakan. Mastuhu melihatnya dalam perspektif perubahan
sosial, Husni Rahim mengamati menurut tinjauan politik, dan
dalam Norman Said dkk, ed. Sinergi Agama dan Sains: Ikhtiar
Membangun Pusat Peradaban Islam (Cet. I; Makassar: Alauddin Press,
2005), h. 106.
52
Artinya, iptek memberi fasilitas kemudahan bagi manusia,
tetapi juga dapat merugikan.36
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa pendidikan Islam memandang perkembangan iptek
sebagai tantangan yang harus dihadapi dan dikuasai,
sehingga generasi muslim tidak tertinggal oleh kebudayaan
yang berkembang. Konteks ini ada dua hal yang penting
untuk dipikirkan, yaitu (1) bagaimana supaya perkembangan
iptek tidak terlepas dari nilai-nilai ajaran Islam; (2) bagaimana
pendidikan Islam dapat berkonstribusi bagi kemajuan iptek
di masa depan.
2. Demokratisasi
Demokratisasi merupakan isu lain yang
mempengaruhi masa kini pendidikan Islam Indonesia.
Tuntutan demokratisasi pada awalnya ditujukan pada sistem
politik negara sebagai antitesa terhadap sistem politik yang
otoriter. Selanjutnya perkembangan tuntutan ini mengarah
kepada sistem pengelolaan berbagai bidang termasuk bidang
pendidikan.37
Kehidupan demokrasi adalah kehidupan yang
menghargai akan potensi individu. Artinya, bahwa setiap
bentuk homogenisasi masyarakat adalah bertentangan
dengan prinsip-prinsip hidup demokrasi.38 Sehingga dalam
bidang pendidikan semua warga negara memiliki hak yang
3. Bidang Budaya
Bidang budaya (dalam arti yang luas) terjadi
perkembangan yang luar biasa
cepatnya, terutama dipacu oleh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.39 Pendidikan Islam yang
menganjurkan silaturahmi face to face terpatahkan oleh
menjamurnya media jejaring sosial seperti facebook dan twitter.
Kalangan anak-anak dan remaja, terjangkit candu game online,
lebih miris lagi, berkembang praktik cyberporn (pornografi
lewat jaringan komputer).40
Berdasarkan paparan di atas, maka pendidikan
Islam membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang
handal, memiliki komitmen dan etos kerja yang tinggi,
manajemen yang berbasis sistem dan infra-struktur yang
kuat, sumber dana yang memadai, kemauan politik yang
kuat, serta standar yang unggul.41
artikel/10/tantangan_dan_peluang_pendidikan_islam_di_era_glob
alisasi(Diakses pada 17 Mei 2014).
42Marzuki Wahid, Pesantren Masa Depan: Wacana
Pemberdayaan dan Transformasi (Bandung: Pustaka Hidayah, 2011), h.
60.
55
merupakan sebuah tantangan yang mutlak dijawab oleh
pendidikan Islam dengan tujuan dan cita-citanya yang luhur,
walaupun pada dasarnya Islam sebagai sebuah sistem telah
memberikan wacana tentang perubahan yang memang harus
terjadi demi mencapai tujuan hidup manusia yang dijadikan
landasan tujuan pendidikan Islam. Sebagaimana telah
difirmankan Allah swt dalam QS al-Ra’d / 13 : 11. Sebagai
berikut:
57
di dunia Barat dan mencoba untuk mengisinya dengan
konsep-konsep kunci tertentu dari Islam.44
Ahmad Syafi'i Ma'arif mengatakan bila konsep
dualisme dikotomik berhasil diselesaikan, maka dalam
jangka panjang sistem pendidikan Islam akan berubah secara
keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan
tinggi. Pendidikan Islam melebur secara integratif dengan
pendidikan umum. Peleburan bukan hanya dalam bentuk
satu departemen saja, tetapi lebur berdasarkan kesamaan
rumusan filosofis dan pijakan epistemologisnya.45
Upaya intergrasi keilmuan di Indonesia dapat
dilihat dengan perubahan kelembagaan perguruan tinggi
Islam dari insitut menjadi universitas, pada level madrasah
dan pondok pesantren upaya ini diwujudkan dengan
memasukkan mata pelajaran umum dalam kurikulum.
A. Pendahuluan
Keragaman dan perbedaan merupakan desain Tuhan
(sunatullah) yang tidak dapat dielakkan dari panggung
kehidupan, conditio sine qou non.1 Pepatah Arab
menyebutnya sebagai min lawazim al-hayah (keniscayaan
hidup). Kehadirannya akan senantiasa ada. Hal ini sesuai
dengan firman Allah swt. dalam QS al-Hujurat /49:13.
Sebagai berikut:
Terjemahnya:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal”.2
71
meyebabkan munculnya kekerasan. Fanatisme ini juga
berdimensi etnis, bahasa, suku,agama, atau bahkan sistem
pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum,
ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.16
Konsep pendidikan multikultural merupakan
respons terhadap perkembangan keragaman hak bagi setiap
kelompok. Dimensi lain, pendidikan multikultural
merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas
pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah,
prestasi dan perhatian. Sedangkan secara luas, pendidikan
multikultural mencakup seluruh siswa tanpa membedakan
kelompok seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial dan
agama.
73
d. Pendidikan multikultural yang baik di dalam sekolah
maupun luar sekolah meningkatkan kesadaran tentang
kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran
seperti ini akan menjauhkan dari konsep dwi budaya
antara pribumi dan non-pribumi. Semacam ini dapat
bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya
mengekspresikan kebudayaan. Pendekatan ini
meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai
pendalaman moral manusia. Kesadaran ini mengandung
makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi
untuk mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui
kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta
didik. Kajian yang lebih spesifik dan mengarah pada
pendidikan dan proses pendidikan, pendidikan
multikultural dimaknai sebagai konsep kebermaknaan
perbedaan secara unik pada tiap orang dan masyarakat.
Kelas disusun dengan anggota makin kecil sehingga tiap
peserta didik memperoleh peluang belajar semakin besar
sekaligus menumbuhkan kesadaran di antara peserta
didik. Selanjutnya tahap pendekatan ini dapat
menumbuhkan kesadaran akan makna multikultural.
3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Multikultural
Tujuan pendidikan multikultural ada dua, yakni
tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal merupakan
tujuan sementara karena tujuan ini hanya berfungsi sebagai
perantara agar tujuan akhirnya tercapai dengan baik. Tujuan
awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana
pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan
dan peserta didik. Harapannya adalah apabila mereka
mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik
maka kelak mereka tidak hanya mampu untuk menjadi
transformator pendidikan multikultural yang mampu
menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme dan
74
demokrasi secara langsung di sekolah kepada para peserta
didiknya.17
Sedangkan tujuan akhir pendidikan multikultural
adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan
menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi
diharapkan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai
karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis,
pluralis dan humanis. Karena tiga hal tersebut adalah ruh
pendidikan multikultural.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami
bahwa pendidikan multikultural bertujuan agar peserta
didik dapat menghormati keanekaragaman budaya yang
ada dan mendorong mereka secara nyata untuk dapat
mengenali dan melenyapkan kecurigaan serta diskriminasi
yang telah ada. Pada intinya pendidikan multikultural
mempunyai dua fokus persoalan, yaitu:
a. Proses pendidikan yang menghormati, mengakui dan
merayakan perbedaan di semua bidang kehidupan
manusia. Pendidikan multikultural merangsang anak
terhadap kenyataan yang berkembang di masyarakat,
yang berupa pandangan hidup, kebiasaan, kebudayaan,
yang semuanya telah memperkaya kehidupan manusia.
b. Proses pendidikan yang menerapkan persamaan
keseimbangan dan HAM, menentang ketidakadilan,
diskriminasi, dan menyuarakan nilai-nilai yang
membangun keseimbangan.18
20Suprapto,
Penanaman Dan Sikap Guru Pendidikan Agama
Islam Terhadap Nilai-Nilai Multikultural Jurnal penelitain
pendidikan agama dan keagamaan. Vol VII,No 1, Januari-Maret
2009.
77
Adapun fungsi pendidikan multikultural,
Zakiyuddin Baidhawy mengatakan bahwa akar kata dari
multikulturalisme adalah kebudayaan, yakni kebudayaan
memiliki nilai dan kedudukan yang sama dengan setiap
kebudayaan lain dengan melihat dari fungsinya sebagai
pedoman bagi kehidupan manusia.21 Multikultural mau
tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang
mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi,
keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan
usaha, HAM., hak budaya komuniti dan golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta
mutu prodiktivitas.
Muktikulturalisme ini akan menjadi acuan utama
bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena
multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui
dan mengagungkan perbedaan dan kesederajatan baik
secara individual maupun secara kebudayaan. Model
multikulturalisme ini, sebuah masyarakat mempunyai
kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut
yang coraknya seperti sebuah mozaik. Multikulturalisme
diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang
damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam
latar belakang kebudayaan.
Tilaar mengatakan bahwa pendidikan
multikulturalisme perlu di tumbuh kembangkan, karena
potensi yang dimiki Indonesia secara kultural, tradisi, dan
lingkungan geografi serta demografis sangat luar biasa. Ia
menambahkan bahwa pendidikan multikultural sebenarnya
merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (defference),
83
pendidikan multikultural hadir untuk menangkal semangat
primordialisme.28
Sejarah membuktikan bahwa, pendidikan
multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran yang
tidak muncul dalam ruangan yang kosong, namun ada
interes politik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang
mendorong kemunculannya.29 James Banks dalam Choirul
Mahfud, menjelaskan bahwa pendidikan multikultural
memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu
dengan yang lain, yaitu:
1. Content integration, yaitu mengintegrasikan berbagai
budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep
mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran
atau disiplin ilmu.
2. The knowledge constructionprocess, yaitu membawa siswa
untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah
mata pelajaran (disiplin).
3. An equity paedagogy, yaitu menyusuaikan metode
pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka
memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam
baik dari segi ras, budaya, (culture) ataupun sosial.
4. Prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik
ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi
dalam suatu kegiatan, berinteraksi dengan seluruh siswa
87
secara nyata tercipta karena adanya pengaruh budaya,
kalangan, dan kelompok tertentu dengan status sosial yang
terjadi pada saat itu. Misalnya, Galileo menghasilkan teori
helioentris yang mengemukakan asumsi geosentris yang
terjadi pada masa dimana pengaruh agama saat itu sangat
dominan. Galileo dihukum mati karena teorinya tetapi
belakangan ini teori tersebut dipakai oleh masyarakat dunia.
88
Pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial
merupakan proses menstrukturisasi dan reorganisasi
sekolah sehingga siswa dari beragam ras, suku, dan kelas
sosial akan mengalami atau merasakan pemberdayaan
maupun persamaan budaya. Semangat multikulturalisme
akan tercermin dalam segala aktivitas sekolah, sehingga
menuntut adanya perubahan baik dari sisi pendidik dan
tenaga kependidikan, kebijakan sekolah, struktur organisasi,
iklim sekolah, dan lain-lain.
3. Transformasi Level Masyarakat (transformation of society)
Transformasi level masyarakat merupakan upaya
paling berat karena sangat komplek dan melibatkan
berbagai unsur terkait, hal ini akan terjadi dengan
sendirinya jika transformasi level diri dan sekolah berjalan
dengan baik.
Terjemahnya:
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-
Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-
89
lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu”.33
Penyataan yang kurang lebih sama juga disebutkan
sebagaimana firman Allah dalam QS Hud / 11 : 118.
Terjemahnya:
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia
menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat.”34
Selain ke dua ayat di atas, statement yang sama juga
dapat dilihat dalam firman Allah QS al-Nahl /16:93.
Terjemahnya:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.36
Selain itu, multikulturalisme juga tampak jelas di
dalam firman Allah swt. QS al-Baqarah / 2: 256.
Terjemahnya:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang
Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja
(diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati”.38
Berdasarkan beberapa firman Allah di atas, dapat
dipahami bahwa pendidikan multikultural tampak nyata
pula dalam ajaran Islam. Misalnya dalam sejarah Islam, Nabi
Muhammad saw. pernah mempraktikannya ketika beliau
memimpin masyarakat Madinah. Nabi Muhammad saw.
telah berhasil mengembangkan prinsip toleransi dan
desentralisasi menyangkut keberadaan agama lain selain
Islam.39
Prilaku toleransi, Nabi Muhammad saw.
menginginkan supaya umat Islam memandang agama lain
bukan sebagai musuh, namun sebagai teman dalam
menciptakan masyarakat damai. Sementara dengan
96
proyek tersebut sehingga menghasilkan perubahan yang
jelas bagi masyarakat. Kalau pluralisme hanya sebatas
gagasan, maka PIM ini melakukan kerja nyata. Contoh
apakah masyarakat Indonesia bisa menerima seorang
presiden non-muslim, namun bisa mensejahterakan
rakyat? Tugas PIM untuk melakukan perubahan
terhadap cara pandang masyarakat tersebut, sehingga
ukuran utama seorang presiden tersebut bukan
didasarkan pada latar belakang agama, namun pada
tingkat kemampuan memajukan masyarakat.
5. PIM “melawan” keinginan pemerintah, tokoh
pendidikan, atau siapapun yang mencoba melakukan
penyeragaman dalam pendidikan. Ini bisa sejalan
dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Kedua
konsep ini mendorong keragaman proses pembelajaran
di setiap sekolah. Rumusan kelima ini memerlukan
keberanian dan energi yang lebih untuk “melawan”
kebijakan-kebijakan pendidikan yang tidak pro rakyat.
6. PIM membuka perbedaan seluas-luasnya dan
memberikan pemahaman bagaimana seharusnya
menghadapi perbedaan tersebut. Rumusan terakhir
menjelaskan bahwa perbedaan itu sebuah realitas
kemanusiaan dan bagaimana masyarakat bisa
memahami realitas tersebut dan mempraktekan
pemahaman tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, untuk menuju pendidikan Islam
multikultural diperlukan kesadaran tentang konsep dan
arah multikultural dari semua elemen pendidikan;
pemerintah, masyarakat, pimpinan sekolah, orang tua,
guru, dan siswa. Kesadaran tersebut, menurut
Aurobindo (seorang filosof Hindu Mutakhir) harus
berawal dari tingkat kesadaran utama, yang berpuncak
97
pada supermind, yaitu 1) keesaan Tuhan direalisasikan
melalui keragaman, 2) setiap individu selaras dengan
nilai-nilai universal, dan 3) kehendak individu
direfleksikan lewat perubahan yang konkret historis.
Konsep kesadaran ini relevan dengan konsep
pendidikan pembebasan yang mendorong usaha
penyadaran manusia tentang realitas dirinya. Paulo
Freire menjelaskan bahwa karena pendidikan
menggarap realitas manusia, maka secara metodologis,
ia harus disandarkan pada prinsip aksi dan refleksi yang
dinamakan sebagai praksis, yaitu aksi dalam pengertian
mengubah realitas, dan di sisi lain yang ia sebut sebagai
refleksi terus menerus menumbuhkan kesadaran untuk
merubah realitas tersebut.44
Selanjutnya, ada dua hal pula yang harus dilakukan
untuk mewujudkan pendidikan Islam multikultural. Kedua
hal ini bersipat konseptual dan metodologis, yang nanti bisa
dikembangkan menjadi langkah-langkah praktis, sebagai
berikut:
1. Birokrat pendidikan, guru, dan siswa harus mampu
mengakses informasi tentang isu-isu multikultural, baik
dari media massa maupun lewat forum diskusi, sehingga
mereka tumbuh menjadi seorang figur multikultural.
Mereka harus aktif membaca buku dan mengikuti
perkembangan informasi lewat media massa. Ketika
birokrat pendidikan menjadi seorang figur multikultural,
maka kebijakan pendidikan, termasuk produk hukum
pun akan mendukung multikultural. Begitupun guru
dan siswa. Ketika mereka tumbuh menjadi figur
100
BAB IV
UJIAN NASIONAL DAN
PERMASALAHANNYA
A. Pendahuluan
Kontroversi atau silang pendapat tentang kebijakan
ujian nasional hingga saat ini masih terus berlangsung.
Sebagian kalangan menilai bahwa ujian nasional perlu tetap
dipertahankan dengan model yang saat ini sedang berlaku.
Argumentasinya adalah ujian nasional diperlukan sebagai
instrumen untuk mengukur pencapaian standar nasional
pendidikan. Kalangan lain berpendapat bahwa kebijakan ini
tidak sesuai dan harus dihapuskan dari sistem pendidikan
nasional. Alasannya, ujian nasional memperlakukan peserta
didik secara sama padahal fasilitas pendidikan dan sumber
daya guru berbeda antara satu daerah dan daerah yang lain.
Selain itu, terdapat juga kalangan lain yang memiliki
pendapat berbeda, yaitu menolak ujian nasional sebagai
penentu kelulusan, sementara fungsinya yang lain masih
boleh dipertahankan.
Jika dilihat kembali sejarah perjalanan sistem
pendidikan nasional, khususnya dalam hal evaluasi,
Indonesia sebenarnya telah menerapkan teknik evaluasi
yang berganti-ganti dari masa ke masa. Pada tahun 1950-
1964 Indonesia menerapkan “ujian penghabisan.” Tahun
1965-1971 menjadi “ujian negara.” Kemudian tahun 1972-
1979 ujian dilaksanakan oleh sekolah masing-masing. Tahun
1980-2000 dilakukan “evaluasi belajar tahap akhir nasional
(EBTANAS).” Baru pada tahun 2001-2004 berlaku “ujian
akhir nasional” yang selanjutnya pada tahun 2005 berganti
nama menjadi “ujian nasional.”1
Tujuan pemerintah melaksanakan ujian nasional,
antara lain: untuk mengukur pencapaian kompetensi
lulusan peserta didik secara nasional pada mata pelajaran
tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan
dan teknologi serta untuk memetakan tingkat pencapaian
hasil belajar siswa pada tingkat sekolah dan daerah.
Sementara fungsinya adalah untuk meningkatkan mutu
pendidikan agar tercipta sumber daya manusia yang
mampu bersaing secara global.2
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang
kemudian muncul adalah: apakah ujian nasional sesuai
dengan hakikat, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional?
Apakah ujian nasional berdampak pada peningkatan mutu
pendidikan? Masalah ini yang akan dibahas dalam makalah
ini untuk selanjutnya akan disimpulkan apakah ujian
nasional diperlukan dalam rangka memajukan kualitas
pendidikan di Indonesia.
Pembahasan tantang Ujian Nasional dan
Permasalahannya di dalam bab ini dibahas secara teoretis
mulai dari bagaimana posisi ujian nasional dalam perspektif
119
Berdasarkan laporan UNDP, Indeks Prestasi Manusia
Indonesia tahun 2010 berada di peringkat 108 dari 169
negara di dunia. Peringkat ini berada di bawah negara-
negara tetangga lain seperti Malaysia yang berada di 57,
China pada posisi 89, Thailand di peringkat 92, dan Filipina
di posisi 97. Studi ini menilai tingkat ekonomi, kesehatan,
dan pendidikan suatu negara. Artinya Indonesia masih
dalam keadaan miskin, sakit, dan bodoh.29
Studi PISA yang dilakukan oleh negara-negara
OECD untuk menilai kemampuan membaca, matematika,
dan sains siswa menilai bahwa Indonesia berada di
peringkat 10 terbawah dari 65 negara pada tahun 2009.
Perihal kemampuan membaca, Indonesia berada di
peringkat 57 dibawah Thailand yang berada di perngkat 50.
Kemampuan matematika Indonesia berada di peringkat 61
dan Thailand tetap di peringkat 50. Kemampuan sains
Indonesia mendapat peringkat 60 sementara Thailand di
posisi 49.30
Bedasarkan data Depdiknas tahun 2007/2008
sebanyak 35% ruang kelas TK dalam keadaan rusak. Di SD
terdapat 48% ruang kelas rusak. Di SMP sebanyak 20%
ruang kelas yang ruasak. Sementara di SMA dan SMK 10%
dinyatakan rusak. Untuk fasilitas perpustakaan di SMP
hanya memenuhi 23% dari seluruh SMP di Indonesia.
Artinya 77% SMP tidak dilengkapi dengan perpustakaan.
Laboratorium hanya 27% untuk tingkat SMP. Artinya 73%
http://hafizfarihi.blogspot.com /2011/12/positioning-paper-
kebijakan-ujian.html
30Hafiz Farihi, “Kebijakan Ujian Nasional,” Blog Pribadi,
http://hafizfarihi.blogspot.com /2011/12/positioning-paper-
kebijakan-ujian.html
120
SMP tidak memiliki laboratorium. Untuk SMA/SMK, baru
39% sekolah yang sudah dilengkapi perpustakaan sementara
61% belum mempunyai perpustakaan. Laboratorium
SMA/SMK hanya memenuhi 59% sehingga 41% SMA/SMK
tidak memiliki laboratorium. Data tersebut menunjukkan
bahwa sarana dan prasarana sekolah masih belum
memadai.31 Hal-hal di atas yang mesti dibenahi oleh
pemerintah sebelum menyeragamkan standar kelulusan
peserta didik melalui ujian nasional.
122
utuh dan berkarakter, yaitu ranah afektif dan
psikomotorik.32
2. Proses pembelajaran yang tidak bermakna
Ketika mempersiapkan para siswanya menghadapi
dan mengerjakan soal-soal UN, para guru biasanya
menggunakan metode pembelajaran drill, di mana para
siswa dilatih untuk mengerjakan sejumlah soal yang diduga
akan keluar dalam ujian. Melalui metode ini guru
mengharapkan para siswa terbiasa menghadapi soal ujian,
dan menguasai teknik-teknik dan trik mengerjakan soal
yang dihadapi. Pembelajaran dengan model ini jelas tidak
bermakna, karena apa yang dipelajari bersifat mekanistik,
bukan pada penguasaan konsep yang esensial. Pembelajaran
seperti ini tidak dapat mengembangkan kemampuan
berpikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi
indikator kecerdasan sebagaimana yang diharapkan dicapai
melalui pembelajaran.33
3. Upaya-upaya yang tidak fair
Tuntutan kelulusan yang tinggi, baik terhadap
persentase jumlah siswa yang dinyatakan lulus, maupun
besarnya nilai yang diperoleh para siswa, mendorong
sekolah untuk melakukan berbagai upaya untuk
mencapainya. Tuntutan seperti ini sekaligus berdampak
pada terbentuknya citra dan prestise sebuah sekolah.
123
Sekolah yang mampu meluluskan siswanya dengan
persentase dan nilai UN yang tinggi, dinilai sebagai sekolah
yang berkualitas dan unggul. Setiap sekolah
menginginkannya dan berbagai upaya dilakukan untuk
mencapai posisi tersebut. Namun, tidak sedikit oknum guru
dan kepala sekolah melakukan upaya-upaya yang tidak
terpuji. Untuk mewujudkan itu, tidak jarang upaya-upaya
yang tidak fair dilakukan oleh oknum guru dan kepala
sekolah untuk mencapai target kelulusan yang setinggi-
tingginya. Sekolah membentuk “Tim Sukses” untuk
mendapatkan kelulusan 100% supaya memenuhi standar
pelayanan minimal pendidikan. Guru memberi ‘contekan’
kepada siswa adalah suatu upaya yang sering dilakukan
untuk mendongkrak nilai para siswanya dan prosentase
kelulusan di sekolah. Kasus di beberapa sekolah, guru,
terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional
seperti matematika, bahasa Inggris, bahasa Inggris dengan
berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa.
Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah
seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan
(mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat
tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa. Kondisi
seperti ini jelas jauh dari nilai-nilai kejujuran dalam
pendidikan yang seharusnya menjadi bagian yang harus
dikembangkan secara serius di sekolah. Jika ini berlanjut,
dapat dibayangkan manusia-manusia seperti apa yang
dihasilkan oleh dunia pendidikan (formal). Manusia yang
berkembang dalam suasana yang serba tidak jujur.34
126
yang berakibat pada terjadinya persaingan yang ketat
antarsiswa. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain
berusaha mendapatkan nilai UN yang setinggi-tingginya.
Untuk mewujudkan impian itu, dengan mempertimbangkan
karakteristik model UN yang akan dihadapi para siswa
berusaha menambah waktu belajar tambahan dengan
mencari guru privat atau mengikuti bimbingan belajar
adalah pilihan yang selama ini dianggap tepat. Upaya ini
tentu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mampu,
karena upaya tersebut menuntut biaya yang tidak sedikit.
Siswa miskin hanya bisa berusaha keras atas
kemampuannya sendiri. Kondisi akhir sudah bisa ditebak
mereka yang miskin akan kalah bersaing untuk dapat masuk
ke sekolah berkualitas.37
Kajian tentang dampak negatif UN telah pula
dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat dan beberapa
lembaga negara. Tim Advokasi Korban Ujian Nasional
(TeKUN) bersama Education Forum juga mengajukan
permasalahan ujian nasional ini ke Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI). Senada dengan para penggugat,
KPAI memandang bahwa kebijakan ujian nasional
bermasalah. Setelah pada tahun 2008 KPAI melakukan
kajian secara intens yang melibatkan banyak pihak di
berbagai bidang ilmu diperoleh kesimpulan bahwa ujian
nasional bertentangan dengan perspektif perlindungan anak
yang dilihat dari empat hal:
127
1. Ujian nasional sangat diskriminatif karena kondisi siswa
dan sekolah yang sangat berbeda/beragam karena faktor
geografis, budaya, dan sosial ekonominya. Tetapi anak-
anak diperlakukan dan dituntut untuk mencapai target
yang sama.
2. Ujian nasional lebih menekankan kepada kepentingan
politik pemerintah daripada kepentingan anak.
Seharusnya yang diutamakan adalah menjalankan proses
pendidikan ramah anak, akses yang mudah, sarana dan
prasarana pendidikan yang memadai, dan guru-guru
yang berkualitas.
3. Ujian nasional mengganggu tumbuh kembang anak
karena di dalam persiapannya ada proses yang tidak
wajar bahkan tidak manusiawi, dengan penuh tekanan,
menciptakan suasana khawatir dan takut, serta ancaman
kekerasan.
4. Ujian nasional tidak menghargai partisipasi anak karena
sementara anak mengalami tekanan kejiwaan, menteri,
bupati, kepala dinas pendidikan, dan kepala sekolah
bergembira dengan angka-angka kelulusan. Selayaknya
anak dihargai dan didengar pendapatnya.38
Selain itu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) juga mengeluarkan rekomendasi terkait
kebijakan ujian nasional. Komnas HAM mendesak kepada
Presiden, Mendiknas, dan Ketua BSNP untuk melakukan:
1. Peninjauan ulang terhadap sistem pendidikan nasional;
A. Pendahuluan
Pendidikan secara historis maupun filosofis telah
ikut mewarnai dan menjadi landasan moral, dan etik dalam
proses pembentukan jati diri bangsa. Pendidikan merupakan
variabel yang tidak dapat diabaikan dalam mentransformasi
ilmu pengetahuan, keahlian dan nilai-nilai akhlak. Hal
tersebut sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan
sebagaimana yang tercantum dalam UU RI No. 20 tentang
Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 pasal 3, sebagai
berikut:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar manjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.”1
Semua program pendidikan di berbagai jenjang,
jenis, jalur pendidikan dirancang untuk mencapai tujuan
pendidikan tersebut. Rancangan program pendidikan itu
disebut dengan istilah kurikulum. Kurikulum adalah niat
dan harapan yang dituangkan dalam bentuk rencana atau
program pendidikan untuk dilaksanakan oleh guru di
sekolah.
138
dari nilai raport tiap semester, karena nilai-nilai raport
sebagai hasil evaluasi pembelajaran mengandung ketiga
aspek secara menyeluruh, maka pembelajaran juga akan
diberikan secara menyeluruh dalam ketiga aspek tersebut.
3. Keunggulan dan Kelemahan Kurikulum 201314
Implementasi kurikulum 2013 diharapkan dapat
menghasilkan insane yang produktif, kreatif, dan inovatif.
Hal ini dimungkinkan, karena kurikulum ini berbasis
karakter dan kompotensi, yang secara konseptual memiliki
beberapa keunggulan dan kelemahan. Adapun keunggulan
kurikulum 2013, di antaranya:
a. Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan yang bersifat
alamiah (kontekstual) karena berfokus dan bermuara
pada hakekat peserta didik untuk mengembangkan
berbagai kompetensi sesuai dengan kompetensinya
masing-masing. Hal ini peserta didik merupakan subjek
belajar dan proses belajar berlangsung secara alamiah
dalam bentuk bekerja dan mengalami berdasarkan
kompetensi tertentu, bukan transfer pengetahuan.
b. Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan kompetensi
boleh jadi mendasari pengembangan kemampuan-
kemampuan lain. Penguasaan ilmu pengetahuan, dan
keahlian tertentu dalam suatu pekerjaan, kemampuan
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari,
serta pengembangan aspek-aspek kepribadian dapat
dilakukan secara optimal berdasarkan standar
kompetensi tertentu.
c. Terdapat bidang-bidang studi atau mata pelajaran
tertentu yang dalam pengembangannya lebih cepat
140
yang saling terkait. Demikian halnya dalam proses
pengembangan kurikulum 2013, tidak hanya menuntut
keterampilan teknis dari pihak pengembang terhadap
pengembangan berbagai komponen kurikulum, tetapi harus
pula dipahami berbagai komponen yang mempengaruhinya.
1. Landasan Pengembangan Kurikulum 2013
Pengembangan kurikulum 2013 dilandasi secara
filosofis, yuridis dan landasan teoritis sebagai berikut:
a. Landasan Filosofis
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional
maka pengembangan kurikulum haruslah berakar pada
budaya bangsa, kehidupan bangsa masa kini, dan
kehidupan bangsa di masa mendatang. Pendidikan berakar
pada budaya bangsa. Proses pendidikan adalah suatu proses
pengembangan potensi peserta didik sehingga mereka
mampu menjadi pewaris dan pengembang budaya bangsa.
Melalui pendidikan berbagai nilai dan keunggulan budaya
di masa lampau diperkenalkan, dikaji, dan dikembangkan
menjadi budaya dirinya, masyarakat, dan bangsa yang
sesuai dengan zaman dimana peserta didik tersebut hidup
dan mengembangkan diri.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat di pahami
bahwa ada 2 landasan filosofis terhadap pengembangan
kurikulum 2013, yaitu:
1) Filosofis Pancasila yang memberikan berbagai prinsip
dasar dalam pembangunan pendidikan.
2) Filosofis pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur,
nilai akademik, kebutuhan peserta didik, dan
masyarakat.15
142
mengembangkan potensi dirinya dalam suatu suasana
belajar yang menyenangkan dan sesuai dengan kemampuan
dirinya untuk memiliki kualitas yang diinginkan masyarakat
dan bangsanya. Secara yuridis, kurikulum adalah suatu
kebijakan publik yang didasarkan kepada dasar filosofis
bangsa dan keputusan yuridis di bidang pendidikan.
Adapun landasan yuridis kurikulum 2013 adalah:
1) Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-
Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional;
2) Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan;
3) Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompotensi Lulusan;
4) Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi;
5) INPRES Nomor 1 Tahun 2010, tentang Percepatan
Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional,
penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran
aktif berdasaran nilai budaya bangsa untuk membentuk
daya saing dan karakter bangsa.16
c. Landasan Teoritis
Kurikulum dikembangkan atas dasar teori
pendidikan berdasarkan standar dan teori pendidikan
berbasis kompetensi. Pendidikan berdasarkan standar
adalah pendidikan yang menetapkan standar nasional
sebagai kualitas minimal hasil belajar yang berlaku untuk
setiap kurikulum. Standar kualitas nasional dinyatakan
sebagai standar kompetensi lulusan. Standar kompetensi
No. 32 Tahun 2013) dilengkapi dengan PP No. 19 Tahun 2005 (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h. 55.
18Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Draft Kurikulum
148
nasional dikembangkan oleh pemerintah pusat, tingkat
daerah dikembangkan oleh pemerintah daerah, dan
tingkat satuan pendidikan dikembangkan oleh satuan
pendidikan.
k. Proses pembelajaran diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi
peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta member
ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
l. Penilaian hasil belajar berbasis proses dan produk.
m. Proses belajar dengan pendekatan ilmiah (scientific
approach).24
4. Perlunya Perubahan dan Pengembangan Kurikulum
2013
Perubahan dan pengembangan kurikulum harus
dilakukan secara sistematis dan terarah, tidak asal berubah.
Perubahan dan pengembangan kurikulum tersebut harus
memiliki visi dan arah yang jelas, mau dibawa ke mana
sistem pendidikan nasional dengan kurikulum tersebut.
Sehubungan dengan itu, sejak perubahan dan
pengembangan kurikulum 2013 digulirkan, telah muncul
tanggapan dari berbagai kalangan, baik yang pro maupun
kontra.
Berbicara tentang perubahan kurikulum di
Indonesia, dapat dilihat dari perkembangan kurikulum yang
telah berjalan sejak jaman kemerdekaan sampai dengan
diberlakukannya kurikulum 2013. Hal tersebut dapat
digambarkan pada diagram berikut:25
155
D. Implementasi Kurikulum 2013
1. Konsep Implementasi Kurikulum
Pengertian secara bahasa sebagaimana dalam
Oxford Advance Leraner’s Dictionary yang dikutip dalam E.
Mulyasa, bahwa implementasi adalah penerapan suatu yang
memberikan efek atau dampak. Lebih lanjut disebutkan
implementasi adalah proses penerapan ide, konsep,
kebijakan atau inovasi dalam suatu tindakan praktis
sehingga memberikan dampak baik berupa perubahan
pengetahuan, keterampilan, ataupun nilai dan sikap.30
Implementasi kurikulum dapat diartikan sebagai
aktualisasi kurikulum tertulis (written curriculum) ke dalam
bentuk pembelajaran. Implementasi dapat juga diartikan
sebagai pelaksanaan dan penerapan. Terdapat beberapa
pendapat sebagaimana yang dikutip dari Wiji Hidayati di
antaranya pendapat Majone dan Wildavky yang
mengemukakan bahwa implementasi adalah perluasan
aktivitas yang saling menyesuaikan, sehingga dimaknai
bahwa implementasi merupakan suatu proses penerapan ide
dan konsep. Sedangkan kurikulum dapat diartikan sebagai
suatu dokumen kurikulum (kurikulum potensial).31
Berdasarkan uraian di atas bahwa implementasi
kurikulum merupakan proses interaksi antara fasilitator
sebagai pengembangan kurikulum dan peserta didik sebagai
subjek belajar, maka implementasi kurikulum adalah
penerapan, ide, konsep kurikulum potensial (dalam bentuk
162
ALOKASI WAKTU
BEAJAR
MATA PELAJARAN
PERMINGGU
VII VIII IX
KELOMPOK A
1. Pendidikan Agama
3 3 3
dan Budi Pekerti
2. Pendidikan
Pancasila dan 3 3 3
Kewarganegaraan
3. Bahasa Indonesia 6 6 6
4. Matematika 5 5 5
5. IPA 5 5 5
6. IPS 4 4 4
7. Bahasa Inggris 4 4 4
KELOMPOK B
1. Seni Budaya &
Prakarya
3 3 3
(termasuk muatan
lokal)
2. Pendidikan
Jasmani, Olah
Raga, dan
3 3 3
Kesehatan
(termasuk muatan
lokal)
3. Prakarya
(termasuk muatan 2 2 2
lokal)
Jumlah Alokasi Waktu
38 38 38
per Minggu
Sumber Data: Kemendikbud. 2013 “Draft Kurikulum 2013”
163
Menurut penulis, kelompok A adalah mata
pelajaran yang memberikan orientasi kompetensi lebih
kepada aspek intelektual dan afektif sedangkan kelompok B
adalah mata pelajaran yang lebih menekankan pada aspek
afektif dan psikomotor.
Sementara untuk menerapkan konsep kesamaan
antara SMA dan SMK maka dikembangkan kurikulum
pendidikan menengah yang terdiri atas kelompok mata
pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan. Mata pelajaran
wajib sebanyak 9 (sembilan) mata pelajaran dengan beban
belajar 18 jam per minggu. Konten kurikulum untuk mata
pelajaran wajib bagi SMA dan SMK adalah sama. Struktur
ini menempatkan prinsip bahwa peserta didik adalah subjek
dalam belajar dan mereka memiliki hak untuk memilih
sesuai dengan minatnya.
Mata pelajaran pilihan terdiri atas pilihan
akademik (SMA) serta pilihan akademik dan vokasional
(SMK). Mata pelajaran pilihan ini memberikan corak kepada
fungsi satuan pendidikan dan di dalamnya terdapat pilihan
sesuai dengan minat peserta didik. Berikut ini merupakan
struktur kurikulum pendidikan menengah kelompok mata
pelajaran wajib, adalah sebagai berikut:
164
ALOKASI
WAKTU
MATA PELAJARAN BELAJAR PER
MINGGU
X XI XII
Kelompok Wajib
1. Pendidikan Agama
3 3 3
dan Budi Pekerti
2. Pendidikan Pancasila
2 2 2
dan Kewarganegaraan
3. Bahasa Indonesia 4 4 4
4. Matematika 4 4 4
5. Sejarah Indonesia 2 2 2
6. Bahasa Inggris 2 2 2
7. Seni Budaya 2 2 2
8. Prakarya dan
2 2 2
Kewirausahaan
9. Pendidikan Jasmani,
Olah Raga, dan 3 3 3
Kesehatan
Jumlah Jam Pelajaran
Kelompok Wajib per 24 24 24
Minggu
Kelompok Peminatan
Mata Pelajaran Peminatan
18 20 20
Akademik (SMA/MA)
Jumlah Jam Pelajaran yang
Harus ditempuh dalam per 42 44 44
Minggu
Sumber Data: Kemendikbud. 2013 “Draft Kurikulum 2013”
Menurut penulis, kompetensi dasar mata pelajaran
wajib memberikan kemampuan dasar yang sama bagi
mereka yang belajar di SMA dan SMK.Bagi mereka yang
165
memilih SMA tersedia pilihan kelompok peminatan (sebagai
ganti jurusan) dan pilihan antar kelompok peminatan dan
bebas. Nama kelompok peminatan digunakan karena
memiliki keterbukaan untuk belajar di luar kelompok
tersebut, sedangkan nama jurusan memiliki konotasi
terbatas pada apa yang tersedia pada jurusan tersebut dan
tidak boleh mengambil mata pelajaran di luar jurusan.
Nama kelompok minat diubah dari IPA, IPS dan
Bahasa menjadi Matematika dan Sains, Sosial, dan Bahasa.
Nama-nama ini tidak diartikan sebagai nama kelompok
disiplin ilmu karena adanya berbagai pertentangan filosofis
pengelompokan disiplin ilmu. Berdasarkan filosofi
rekonstruksi sosial maka nama organisasi kurikulum tidak
terikat pada nama disiplin ilmu.
Berikut ini adalah kelompok mata pelajaran
peminatan dan mata pelajaran pilihan (pendalaman minat
dan lintas minat), sebagaimana pada tabel:
166
KELAS
MATA PELAJARAN
X XI XII
Kelompok Wajib 24 24 24
Peminatan Matematika dan
Sains
I 1. Matematika 3 4 4
2. Biologi 3 4 4
3. Fisika 3 4 4
4. Kimia 3 4 4
Peminatan Sosial
II 1. Geografi 3 4 4
2. Sejarah 3 4 4
3. Sosiologi dan
3 4 4
Antropologi
4. Ekonomi 3 4 4
Peminatan Bahasa
III 1. Bahasa dan Sastra
3 4 4
Indonesia
2. Bahasa dan Sastra
3 4 4
Inggris
3. Bahasa dan Sastra
3 4 4
Asing lainnya
4. Sosiologi dan
3 4 4
Antropologi
Mata Pelajaran Pilihan
Pilihan Pendalaman
Minat atau Lintas 6 4 4
Minat
Jumlah Jam Pelajaran yang
66 76 76
Tersedia
Jumlah Jam Pelajaran yang
42 44 44
Harus Ditempuh
Sumber Data: Kemendikbud. 2013 “Draft Kurikulum 2013”
167
2. Pendekatan dalam Implementasi Kurikulum
Pendekatan dalam implementasi kurikulum secara
spesifik berkaitan dengan tindakan/upaya para pelaksana
kurikulum di lapangan (guru, kepala sekolah, administratur
pendidikan dan stakeholders terkait) untuk mengoptimalkan
implementasi kurikulum sehingga memperoleh hasil secara
maksimal. Hal ini sejalan dengan pandangan tentang
implementasi kurikulum, yang menyebutkan bahwa
implementasi kurikulum pada dasarnya merupakan suatu
proses penerapan konsep, ide, program, atau tatanan
kurikulum ke dalam praktik pembelajaran, yang
keberhasilannya setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor,
yaitu: (a) karakteristik kurikulum; (b) strategi implementasi;
dan (c) karakteristik pengguna/pelaksana di lapangan.
Pendekatan dalam implementasi kurikulum
sebagaimana yang dijelaskan oleh Jackson ada tiga yaitu:38
a. Fidelity Perspective
Pendekatan fidelity berangkat dari prinsip
kurikulum sentralistik (centralized curriculum), yang
menggariskan bahwa desain kurikulum yang dikembangkan
oleh pusat adalah sesuatu yang terstandar dan siap
diterapkan tanpa harus dilakukan penyesuaian. Sehingga
karakteristik utama pendekatan ini menurut Sukmadinata
adalah para pelaksana kurikulum di sekolah (guru, kepala
sekolah, administrasi pendidikan atau stakeholders terkait)
berupaya mengimplementasikan kurikulum sesuai dengan
desain yang telah ditetapkan secara standar.39
b. Mutual Adaptation
Praktik, h. 3.
168
Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa
berdasarkan temuan empirik, pada kenyataannya
kurikulum tidak pernah benar-benar dapat
diimplementasikan sesuai rencana, namun perlu diadaptasi
sesuai kebutuhan setempat. Menurut Jackson, pendekatan
mutual adaptation pada dasarnya merupakan ciri penting
dalam sebuah implementasi dan implementasi kurikulum.
Ciri pokok pendekatan ini adalah bahwa dalam
implementasinya pelaksana kurikulum mengadakan
penyesuaian berdasarkan kondisi, kebutuhan, dan tuntutan
perkembangan secara kontekstual.40
Sebagai suatu rencana tertulis pembelajaran,
implementasi kurikulum perlu memberikan peluang
dilakukannya modifikasi dan penyempurnaan, sehingga
pelaksana di lapangan memiliki keluwesan dalam
menyusun rencana program (pembelajaran), melaksanakan,
maupun melakukan evaluasi hasil pembelajaran.
Sebagaimana dijelaskan oleh Murray Print bahwa dalam
implementasi kurikulum semestinya perlu diberikan
peluang untuk dilakukan beberapa modifikasi, sebab sangat
mungkin terjadi perbedaan antara rancangan dengan faktor-
faktor yang bersifat lokal dan kontekstual, seperti perbedaan
individual siswa, perbedaan sumber-sumber sekolah,
perbedaan guru, variasi keadaan orang tua, serta dukungan
masyarakat sekitar.41
c. Enactment Curriculum
Pendekatan ini menurut Jackson menguraikan
bahwa perspektif enactment curriculum memandang bahwa
rencana program (kurikulum) bukan merupakan produk
173
proses pembelajaran; 3) memperkuat peran pendampingan
dan pemantauan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam
pelaksanaan pembelajaran.
4. Metode dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum
2013
Pelaksanaan dan implementasi kurikulum seperti
yang sudah dikatakan di atas, dilaksanakan dengan
pendekatan scientific. Pelaksanaan pendekatan ini
menekankan pada lima aspek penting, yaitu mengamati,
menanya, mencoba, menalar dan komunikasi. Lima aspek
tersebut harus benar-benar terlihat pada pelaksanaan
pembelajaran, baik metode maupun model
pembelajarannya.
Metode pembelajaran adalah cara yang digunakan
dalam proses pembelajaran sehingga diperoleh hasil yang
optimal. Terdapat berbagai metode pembelajaran yang
digunakan pendidik dalam kegiatan pembelajaran
kurikulum 2013, antara lain:
a. Metode ceramah yakni penyampaian materi dari guru
kepada siswa melalui bahasa lisan baik verbal maupun
nonverbal.
b. Metode latihan yakni penyampaian materi melalui
upaya penanaman kebiasaan-kebiasaan tertentu
sehingga diharapkan siswa dapat menyerap materi
secara optimal.
c. Metode tanya jawab yakni penyajian materi pelajaran
melalui bentuk pertanyaan yang harus dijawab oleh
peserta didik. Metode ini bertujuan memotivasi anak
mengajukan pertanyaan selama proses pembelajaran
atau guru mengajukan pertanyaan dan anak didik
menjawab.
d. Metode karya wisata yakni metode penyampaian materi
dengan cara membawa langsung peserta didik ke objek
174
di luar kelas atau di lingkungan kehidupan nyata agar
siswa dapat mengamati atau mengalami secara
langsung.
e. Metode demonstrasi yakni metode pembelajaran dengan
cara memperlihatkan suatu proses atau suatu benda
yang berkaitan dengan bahan pembelajaran.
f. Metode sosiodrama yakni metode pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada anak didik untuk
melakukan kegiatan memainkan peran tertentu yang
terdapat dalam kehidupan sosial.
g. Metode bermain peran yakni metode pembelajaran
melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan
peserta didik dengan cara memerankan suatu tokoh,
baik tokoh hidup maupun mati. Metode ini
mengembangkan penghayatan, tanggungjawab, dan
terampil dalam memaknai materi yang dipelajari.
h. Metode diskusi yakni metode pembelajaran melalui
pemberian masalah kepada siswa dan siswa diminta
untuk memecahkan masalah secara kelompok.
i. Metode pemberian tugas dan resitasi yakni metode
pembelajaran melalui pemberian tugas kepada siswa.
Resitasi merupakan metode pembelajaran berupa tugas
untuk melaporkan pelaksanaan tugas yang telah
diberikan guru.44
Adapun prinsip dalam pemilihan metode
pembelajaran adalah disesuaikan dengan tujuan, tidak
terikat pada suatu alternatif, penggunaannya bersifat
kombinasi. Faktor-faktor yang menentukan dipilihnya suatu
metode dalam pembelajaran antara lain: 1) Tujuan
A. Pendahuluan
Otonomi daerah yang dilaksanakan sejak tahun 2001
membawa perubahan besar dalam pengelolaan pendidikan.
Di era otonomi daerah, Pemerintah daerah bertanggung
jawab atas pengelolaan sektor pendidikan di semua jenjang
di luar pendidikan tinggi (SD, SLTP, SLTA). Pemerintah
daerah bertanggung jawab atas hampir segala bidang yang
terkait dengan sektor pendidikan (kecuali kurikulum dan
penetapan standar yang menjadi kewenangan Pusat). Studi
ini bertujuan untuk: (1)melihat perubahan yang terjadi
dalam hal pola pembiayaan pendidikan setelah
diberlakukannya otonomi daerah, (2) melihat perkembangan
kemampuan Pemda untuk membiayai sektor pendidikan
yang menjadi tanggung jawabnya, (3)melihat berbagai
masalah yang muncul dalam pembiayaan pendidikan di era
otonomi daerah, serta (4)merumuskan serangkaian
rekomendasi guna mengatasi berbagai masalah yang
muncul tersebut.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa: (1)pelimpahan
keuangan dari Pusat ke Daerah dalam rangka pengelolaan
sektor pendidikan baru sampai pada taraf pemenuhan
kebutuhan rutin, khususnya gaji pegawai,(2)secara relatif,
kemampuan Pemda untuk membiayai sektor pendidikan
tidak mengalami perbaikan dengan diberlakukannya
otonomi daerah, bahkan tidak sedikit daerah yang justru
mengalami penurunan, (3) masalah utama yang
melatarbelakanhi persoalan pembiayaan pendidikan di era
otonomi daerah adalah rendahnya akuntabilitas publik
179
(public accountability), baik di level Pusat maupun di level
daerah.
Berdasarkan temuan tersebut, paling tidak ada dua
solusi yang ditawarkan oleh studi ini, yakni: (1)alokasi dana
APBN untuk pembangunan sektor pendidikan sebaiknya
dilakukan melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus (DAK)
sektor pendidikan, bukan melalui DIP departemen teknis
(Depdiknas), serta (2)Pemda sebaiknya mempertimbangan
implementasi sistem earmarking dalam pembiayaan sektor
pendidikan di daerah.
Pembahasan tentang Pendidikan dan Otonomi
Daerah di dalam bab ini dibahas secara teoretis mulai dari
bagaimana pengertian otonomi daerah, bagaimana
desentralisasi otonomi daerah, bagaimana proses
pemberlakuan undang-undang otonomi daerah, bagaimana
analisis terhadap pelaksanaan otonomi daerah dan istem
desentralisasi.
183
keserasian hubungan pusat dan daerah maupun implikasi
lain terhadap kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.4
Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia
yang tidak pernah ada hentinya. Sebab, jika manusia
berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang
akan terjadi pada sistem peradaban dan budaya manusia.
Ilustrasi ini, maka baik pemerintah maupun masyarakat
berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar
kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia.
“Sistem pendidikan yang dibangun harus disesuaikan
dengan tuntutan zamannya, agar pendidikan dapat
menghasilkan outcome yang relevan dengan tuntutan
zaman.5
Indonesia, telah memiliki sebuah sistem pendidikan
dan telah dikokohkan dengan UU No. 20 tahun
2003.Pembangunan pendidikan di Indonesiasekurang-
kurangnya menggunakan empat strategi dasar, yakni;
partama, pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan, kedua, relevansi pendidikan, ketiga,
peningkatan kualiutas pendidikan, dan keempat, efesiensi
pendidikan.Sacara umum strategi itu dapat dibagi menjadi
dua dimensi yakni peningkatan mutu dan pemerataan
pendidikan.Pembangunan peningkatan mutu diharapkan
dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas
pendidikan. Sedangkan kebijkan pemerataan pendidikan
diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sama
184
dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia sekolah.6
Pendidikan dipandang sebagai katalisator yang dapat
menunjang faktor-faktor lain. Artinya, pendidikan sebagai
upaya pengembangan sumberdaya manusia [SDM] menjadi
semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa.
Di dalam menjamin kesempatan memperoleh
pendidikan yang merata disemua kelompok strata dan
wilayah tanah air sesuai dengan kebutuhan dan tingkat
perkembangannya perlu strategi dan kebijakan pendidikan,
yaitu : [a] menyelenggarakan pendidikan yang relevan dan
bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia
dalam menghadapi tantangan global, [b] menyelenggarakan
pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan
[accountasle] kepada masyarakat sebagai pemilik
sumberdaya dan dana serta pengguna hasil pendidikan, [c]
menyelenggarakan proses pendidikan yang demokratis
secara profesional sehingga tidak mengorbankan mutu
pendidikan, [d] meningkatkan efisiensi internal dan
eksternal pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, [e]
memberi peluang yang luas dan meningkatkan kemampuan
masyarakat, sehingga terjadi diversifikasi program
pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa
Indonesia, [f] secara bertahap mengurangi peran pemerintah
menuju ke peran fasilitator dalam implementasi sistem
pendidikan, [g] Merampingkan birokrasi pendidikan
sehingga lebih lentur [fleksibel] untuk melakukan
8http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia_2010_
Ade_Cahyana.htm,(30 MEI 2014)
189
E. Analisis Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Sistem
Desentralisasi
Pengertian otonomi dalam konteks desentralisasi
pendidikan, menurut Tilaar mencakup enam aspek, yakni :
1. .Pengaturan perimbangan kewenangan pusat dan
daerah,
2. Manajemen partisipasi masyarakat dalam
pendidikan,
3. Penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah,
4. Pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan,
5. Hhubungan kemitraan “stakeholders” pendidikan
6. Pengembangan infrastruktur sosial.
Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah
terungkap pada Bak Hak dan Kewajiban Warga Negara,
Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah.Bagian ketiga Hak
dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa
“Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program
pendidikan; pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan
dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan”.
Begitu juga pada bagian keempat Hak dan
Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat
(1) “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi
setiap warga negara yang berusia tujuh sampailimabelas
tahun”. Khusus ketentuan bagi Perguruan Tinggi, pasal 24
ayat (2) “Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk
mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan
pengabdian kepada masyarakat”.
190
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep
otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas,
mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta
manajemen pendidikan itu sendiri. Implikasinya adalah
setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi
pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan
pengkajian yang mendalam dan meluas tentang trend
perkembangan penduduk dan masyarakat untuk
memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak
lanjutnya, merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan
karakteristik budaya bangsa Indonesia yang Bhineka
Tunggal Ika dalam perspektif tahun 2020. Kemandirian
daerah itu harus diawali dengan evaluasi diri, melakukan
analisis faktor internal dan eksternal daerah guna mendapat
suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga
dapat disusun suatu strategi yang matang dan mantap
dalam upaya mengangkat harkat dan martabat masyarakat
daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui
otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif.
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau disebut
Otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan
sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena
kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi.
Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap
kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya
pendidikan serta pemerataannya.
Ada 6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan
otonomi pendidikan belum jalan, yaitu :1)Belum jelas aturan
permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten
dankota. 2)Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan
pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara
otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak
191
memadai. 3)Dana pendidikan dan APBD belum memadai.
4)Kurangnya perhatian pemerintah maupun pemerintah
daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam
pengelolaan pendidikan. 5)Otoritas pimpinan dalam hal ini
Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah
kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi
pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan
belum menjadi prioritas utama. 6) kondisi dan setiap daerah
tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan
pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan
dana yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan terjadinya
kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu
membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan
nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan
kemandirian masing-masing daerah.
Otonomi pendidikan yang benar harus bersifat
accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil
harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena
sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga
yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa
disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi
tindakan yang sewenang-wenang. Berangkat dan ide
otonomi pendidikan muncul beberapa konsep sebagai solusi
dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan otonomi
pendidikan, yaitu
196
BAB VII
PENDIDIKAN KARAKTER:
Sebuah Pendekatan Nilai
A. Pendahuluan
Pendidikan pada hakikatnya bertujuan membantu
manusia untuk menjadi cerdas dan pintar (smart) sekaligus
menjadi manusia yang baik (good).Menjadikan manusia
cerdas dan pintar, boleh jadi mudah melakukannya, tetapi
menjadikan manusia agar menjadi orang yang baik dan bijak,
tampaknya jauh lebih sulit.Oleh karena itu, sangat wajar
apabila dikatakan bahwa problem moral merupakan
persoalan akut yang mengiringi kehidupan manusia di setiap
waktu dan di berbagai tempat.Kenyataan tentang akutnya
problem moral ini yang kemudian menempatkan
penyelengaraan pendidikan karakter sebagai sesuatu yang
penting.1
Berbicara tentang pendidikan karakter sebetulnya
bukan hal baru dalam sistem pendidikan di
Indonesia.Pendidikan karakter sudah sejak lama menjadi
bagian penting dalam misi kependidikan nasional, walaupun
dengan penekanan dan istilah yang berbeda.2 Saat ini, wacana
tentang urgensi pendidikan karakter kembali menguat dan
menjadi fokus perhatian sebagai respons atas berbagai
persoalan bangsa, terutama masalah dekadensi moral, seperti
korupsi, kekerasan, perkelahian antar pelajar, bentrok antar
Terjemahnya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan dia telah
menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah.(Itulah) agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.17
Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari menjelaskan:
ال
َ َال ق َّ ي َع ْن أيَِب َسلَ َمةَ بْ ين َعْب يد
َ َالر ْْحَ ين َع ْن أيَِب ُهَريْ َرةَ َر يض َي اهللُ َعنْهُ ق ِّ الزْه ير
ُّ ب َع ين ٍ ْآد ُم َحدَّثَنَا ابْن أيَِب يذئ
ُ َ َحدَّثَنَا
صرانييه أَو ُيَُ ِّجسانييه َكمثَ يل الْب يهيمةي ي ي ي ي ٍ ي
َ َ َ َ ْ َ ِّ َصلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ُك ُّل َم ْولُود يُولَ ُد َعلَى الْفطَْرة فَأَبَ َواهُ يُ َه ِّوَدانه أ َْو يُن ُّ الني
َ َِّب
ي ي
َيمةَ َه ْل تََرى ف َيها َج ْد َعاء َ تُْنتَ ُج الْبَه
18
Artinya:
(Imam Bukhari berkata), telah menyampaikan berita
kepada kami Adam, telah menyampaikan berita kepada
kami Ibnu Abi Zi´bin, dari al-Zuhri, dari Abu Salamah
bin ´Abd. Al-Rahman, dari Abu Hurairah ra berkata,
Nabi saw. bersabda: setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah (suci), kedua orang tuanyalah yang
menjadikan Yahudi atau Nasrani atau Majusi, bagaikan
seekor binatang melahirkan anaknya, apakah engkau
melihat dia melindunginya?
Artinya:
(Imam Baihaqi berkata), telah mengabarkan kepada
kami Abu Muhammad bin Yusuf, telah mengabarkan
kepada kami Abu Said bin al-A´rabi, telah
menyampaikan kepada kami Muhammad bin Ubaid,
telah menyampaikan kepada kami Said bin Mansur,
telah menyampaikan kepada kami ´Abd al-´Azis bin
Muhammad, telah mengabarkan kepada kami
21Abu
Bakar Ahmad bin Husain bin Ali al-Baihaqi, Sunan al-
Kubra(CD al-Maktabah al-Syamila Versi 3. 28), Juz 10, nomor hadis
21301, h. 191.
207
208
208
209
Terjemahnya:
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu
al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya
salat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. Sesungguhnya mengingat Allah (salat)
adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat
yang lain) dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.22
Hikmah pelaksanaan syariah dalam salat juga terjadi
pada ketentuan-ketentuan syariah lainnya seperti zakat,
puasa, dan haji. Hal yang sama juga terjadi dalam
pelaksanaan muamalah, seperti perkawinan, perekonomian,
pemerintahan, dan sebagainya. Kepatuhan akan aturan
muamalah akan membawa pada sikap dan perilaku
seseorang yang mulia dalam segala aspek kehidupannya.
Model pendidikan karakter islami dapat diturunkan
dari dua pola, yaitu (1) diturunkan dari domain akhlak dalam
trilogi ajaran Islam, yang tidak mencakup akidah dan syariah
(ibadah-muamalah); (2) diturunkan dari keseluruhan domain
dari ajaran Islam, mencakup akidah/iman, syariah/islam dan
akhlak/ihsan.
Pertama, karakter diturunkan dari ajaran akhlak, yakni
bagian esoteris dari komponen ajaran Islam.Pola ini tidak
melibatkan akidah dan syariah sebagai konstruksi dalam
karakter, tetapi hanya akhlak saja. Melalui pola ini, bentuk-
bentuk karakter Islam dibagi dua bagian, yaitu: (1) Karakter
terpuji (akhlaq mahmudah). Bentuk karakter ini seperti sabar,
syukur, ikhlas, qana’ah, rendah hati (tawadu’), jujur (sidq),
dermawan, amanah, pemaaf, lapang dada, dan sebagainya.
(5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa
ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air,
(12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14)
cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan,
(17) peduli sosial, (18) tanggung jawab.28
Pendidikan karakter berbasis budaya menegaskan
bahwa kebudayaan dimaknai sebagai sesuatu yang
diwariskan atau dipelajari, kemudian meneruskan apa yang
dipelajari serta mengubahnya menjadi sesuatu yang baru,
itulah inti dari proses pendidikan. Apabila demikian adanya,
maka tugas pendidikan sebagai misi kebudayaan harus
mampu melakukan proses; pertama pewarisan kebudayaan,
kedua membantu individu memilih peran sosial dan
mengajari untuk melakukan peran tersebut, ketiga
memadukan beragam identitas individu ke dalam lingkup
kebudayaan yang lebih luas, keempat harus menjadi sumber
inovasi sosial.
Tahapan tersebut diatas, mencerminkan jalinan
hubungan fungsional antara pendidikan dan kebudayaan
yang mengandung dua hal utama, yaitu: Pertama, bersifat
reflektif, pendidikan merupakan gambaran kebudayaan yang
sedang berlangsung. Kedua, bersifat progresif, pendidikan
berusaha melakukan pembaharuan, inovasi agar kebudayaan
yang ada dapat mencapai kemajuan.
Kedua hal di atas, sejalan dengan tugas dan fungsi
pendidikan adalah meneruskan atau mewariskan
kebudayaan serta mengubah dan mengembangkan
kebudayaan tersebut untuk mencapai kemajuan kehidupan
manusia. Di sini letak pendidikan karakter itu, dimana proses
221
222
222
223
228
229
2009), h. 46-50.
230
231
46Harian Kompas,
http://edukasi.kompas.com/read/2013/10/17/1540205/Perlu.Pen
didikan. Karakter.juga.Menyasar.Masyarakat.Luas (12 Agustus
2014).
233
234
A. Pendahuluan
Pendidikan adalah salah satu bidang yang sangat
menentukan dalam kemajuan suatu Negara, Indonesia adalah
Negara kesatuan yang terdiri dari berbagai macam suku,
adat, agama, bahasa dan lain-lain, Kesatuan ini akan menjadi
bentuk Negara ini secara plural melalui pendidikan
perbedaan ini dapat di satukan agar tidak terjadi diskriminasi
yang menyudutkan pada satu golongan sehingga
pembangunan Indonesia terhambat.
Ada pameo no such a thing as a free lunch, tidak ada
makan siang gratis.Pameo tersebut penting untuk
direnungkan kembali, terutama terkait dengan pendidikan
gratis yang cenderung menjadi komoditas politik (Edy
Priyono, Suara Pembaruan Daily). Dalam kampanye pilkada
beberapa kandidat secara “gagah berani” menjanjikan
pendidikan gratis jika terpilih.Beberapa kepala daerah yang
sudah menjabat bahkan tidak ragu mengeluarkan kebijakan
sekolah gratis.
Sebenarnya hal itu (tentu saja) tidak dilarang, karena
sesungguhnya kebijakan merupakan masalah pilihan.Setiap
kebijakan mengandung konsekuensi tertentu. Masalahnya,
apakah semua pihak menyadari apa konsekuensi kebijakan
tersebut.
Sesunggunya dimaksud dengan “pendidikan gratis”
di sini adalah penyelenggaraan pendidikan tanpa
mengikutsertakan masyarakat (orang tua) dalam
pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional
sekolah. Merujuk pada pengertian di atas, maka konsekuensi
kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada
perhitungan tentang biaya satuan (unit cost) di sekolah. Biaya
235
satuan memberikan gambaran berapa sebenarnya rata-rata
biaya yang diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu
murid.
Meningkatnya kebutuhan dalam pendidikan,
mendorong pemerintah Indonesia menyalurkan berbagai
bantuan demi kelangsungan pendidikan di Indonesia, salah
satunya adalah danaBantuan Operasional Sekolah
(BOS).Dana bantuan operasional Sekolah (BOS)
diperuntukkan bagi setiap sekolah tingkat dasar di
Indonesia dengan tujuan meningkatkan beban
biaya pendidikan demi tuntasnya wajib belajar sembilan
tahun yang bermutu.
Namun kebijakan Dana BOS bukan berarti
behentinya permsalahan pendidikan, masalah baru muncul
terkait dengan penyelewengan dana BOS, dan ketidak
efektifan pengelolan dana BOS, tujuan dari pemerintah
sendiri baik, namun terkadang sistem yang ada menjadi
boomerang d a n m e n g h a d i r k a n m a s a l a h b a r u ,
selain itu pribadi dan budaya manusia
I n d o n e s i a i k u t berpengaruh terhadap penyelewengan
dan ketidakefektifan pengelolaan dana BOS. Oleh karenaitu
dibutuhkan kerja sama semua elemen dalam mewujudkan
efektifitas pengelolaan dana BOS.
Oleh karena itu dalam makalah ini yang berjudul
Pendidikan Gratis dan dana serta permasalahannya,
sehingga mudah-mudahan makalah kecil ini bisa
memberikan gambaran bagi para terkait dengan pengelolaan
dana BOS serta permaslahannya, solusi yang muncul bukan
berarti solusi terbaik, ini hanyalah sedikit sumbangan
pemikiran dari kami untuk perkembangan pendidikan di
Indonesia.
Pembahasan tentang Pendidikan Gratis dan Dana
Bos di dalam bab ini dibahas secara teoretis mulai
236
dariMaknah Pendidikan Gratis, bagaimana Pengertian
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) itu, bagaimana Pengaruh
Dana BOS terhadap Beban Orang Tua dalam Pendidikan,
latar Belakang Pemberian Dana BOS.?
B. Pendidikan Gratis
Mengapa pendidikan dasar gratis? Bagi Indonesia
jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya
sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat,
seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara
ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan
dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan
diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.1
Bagi negara maju pendidikan gratis- selain karena
tuntutan konstitusi mereka-juga didukung perekonomian
negara yang sudah cukup mapan untuk investasi
pendidikan.Anggaran pendidikan setidaknya telah mencapai
5-8 persen produk domestik bruto. Sementara di Indonesia
investasi pendidikan masih sangat kecil, sekitar 1,3 persen
dari produk domestik bruto. Jatah bagi investasi pendidikan
semakin kecil lagi lantaran produk domestik bruto sendiri
sudah kecil.Padahal, untuk mewujudkan pendidikan dasar
gratis ini memang perlu servis dari pemerintah.
Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat
dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik.
Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan
negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat.Hanya
saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang.
Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain,
1
Lihat Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
237
membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya
menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan.
Di sisi lain pemerintah dihadapkan dengan pilihan
yang sulit. Apakah akan mementingkan distribusi
pendapatan atau menekankan kepada investasi sosial, seperti
pendidikan dan kesehatan? Jika pilihan jatuh kepada
distribusi pendapatan, konsekuensinya adalah investasi sosial
akan berkurang.
Dalam “ketegangan” tersebut, persoalan sosial lalu
cenderung diserahkan kepada masyarakat, seperti yang
terjadi selama ini di Indonesia.Tak jarang keluar ungkapan
dari pemerintah bahwa masyarakat harus diberdayakan,
termasuk membayar sendiri pendidikannya. Di sinilah
sebenarnya muncul apa yang disebut dengan neoliberalisme
dalam wajah pendidikan.
“Untuk kasus Indonesia, sebenarnya ketegangan
antara dua pandangan itu dapat disinergikan.Kita harus
pintar- pintar memilih, distribusi pendapatan atau
investasi.Sebagai contoh, jika menganut distribusi
pendapatan dalam investasi, kompensasi kenaikan harga
bahan bakar minyak itu dikembalikan melalui berbagai
program bantuan kepada rakyat.Akan tetapi, jika dalam
penyalurannya ternyata korupsinya semakin banyak, lebih
baik terang- terangan dimasukkan ke dalam investasi
pendidikan,” kata HAR Tilaar.
SUMBER pembiayaan pendidikan dasar gratis dapat
berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah.Jika ada
kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis,
pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal
ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik
terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.
Adapun pemerintah daerah harus terlibat karena
merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan.
238
Hanya saja, ada kecenderungan pemerintah pusat tidak mau
menyerahkan dana operasional untuk menjalankan
pendidikan ke pemerintah daerah. Di samping itu,
pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan sebagian
dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
untuk wajib belajar.
Peraturan apa saja yang harus dibiayai dalam
pendidikan dasar gratis itu harus jelas pula. Pembiayaan
pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu
kurikulum, proses, dan fasilitas belajar.
Kurikulum yang digunakan harus jelas dan disepakati
terlebih dahulu sehingga diketahui materi yang akan
diajarkan dan besarnya biaya untuk pendidikan. Dengan
demikian, penggunaan dana pendidikan menjadi efisien.
Kurikulum yang mencakup puluhan mata pelajaran tentu
lebih mahal daripada hanya sepuluh pelajaran.Sayangnya,
penggunaan kurikulum, seperti Kurikulum Berbasis
Kompetensi masih membingungkan.
Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan
keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi
hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru
merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang
bermutu.Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan
dengan berbagai alasan.
Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi
antara lain buku pelajaran, perpustakaan, gedung,
laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas
belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus
diseragamkan.
Abdorrakhman Ginting percaya, sebetulnya
pendidikan gratis masih mungkin dilaksanakan. Untuk
menggantikan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP)
bagi 24 juta siswa sekolah dasar dan sekolah menengah
239
pertama dengan bantuan dana Rp 15.0000 per kepala, setahun
dibutuhkan Rp 4 triliun. Sementara untuk meningkatkan gaji
2,2 juta orang guru sebesar Rp 500.000 per bulan, agar
kualitasnya terpacu, diperlukan Rp 1,1 triliun per bulan atau
Rp 13,2 triliun setahun. Jadi total untuk menggratiskan biaya
SPP dan peningkatan gaji guru yang dibutuhkan setahun Rp
17,4.triliun.2
Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak dapat
dikatakan sepenuhnya gratis karena tetap harus ada yang
membiayai. Ada biaya terselubung, yang di negara lain
seperti di AS sudah tersistem dalam satu kesatuan
administrasi negara.
Di AS sekolah publik gratis karena ada pajak sekolah
khusus.Warga negara AS yang mempunyai tanah dan rumah
harus membayar pajak sekolah di distriknya, terlepas dari
warga tersebut mempunyai anak atau tidak.Di Belanda rata-
rata pajak penghasilan cukup tinggi, yakni 60
persen.Sementara di negara-negara Skandinavia, pajak
penghasilan mencapai 70 persen, tetapi kebutuhan dasar
warga negara seperti pendidikan dijamin.
Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan
kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah
penyalahgunaan dan pengawasan.Filipina, misalnya,
mempunyai pengalaman buruk dengan penggunaan voucher
pendidikan.Warga yang menginginkan pendidikan lebih
membayar sendiri sisanya, tetapi sayangnya model tersebut
tidak jalan dan rawan korupsi.
Oleh karena itu, harus hati-hati dalam menentukan
model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang?
Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau
2
http://www2.kompas.com/kompascetak/0505/03/PendDN/1724964
htm) (15 juni 2014)
240
anaknya secara langsung dengan konsekuensi
penyalahgunaan dana?
Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada
sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi
memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan
harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa
harus dikenai sanksi tegas.
Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan
dengan kondisi setempat, walaupun tetap berdasarkan
kualitas yang standar, sehingga dalam menggratiskan
pendidikan dasar bentuk dan nilai subsidi tidak harus
seragam.Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri,
madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti
dapat diatasi.
Selain itu, para pemimpin harus menyadari
pendidikan bahwa itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi
keuntungan, tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau
dibawa. Akhirnya, memang kembali kepada niat politik
pengambil keputusan: apakah pemegang kekuasaan mau
semua anak Indonesia maju?
Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya
manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan
dan menyesuaikan dengan perubahan global serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa
Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni
2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang
Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.3
Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam
Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain
adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran
3
UU Sisdiknas mendukung Pendidikan Gratis.
241
serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan
keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.
Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan
yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang
prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan
bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat, melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan.
Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara
tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekwensinya
pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin
tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi
setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun (pasal 11 ayat 2).
Itulah sebabnya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah
menjamin terselenggaranya wajib belajar, minimal pada
jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib
belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan
oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat
(pasal 34 ayat 2).
Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan
pendidikan, namun tanggungjawab pengelolaan sistem
pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang
diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri
pendidikan nasional.Dalam hal ini pemerintah (pusat)
242
menentukan kebijakan nasional dan standard nasional
pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional
(pasal 50 ayat 2).Sedangka pemerintah provinsi melakukan
koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan
tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas
penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota
untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.Khusus untuk
pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola
pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan
yang berbasis keunggulan lokal.
Berangkat dari uraian normative diatas, dengan
mencermati fenomena yang berkembang dewasa ini yang
sering dijadikan jargon dalam dimensi politik yaitu
“Pendidikan Gratis”. Pendidikan gratis dapat dimaknai
sebagai upaya membebaskan biaya pendidikan bagi peserta
didik di sekolah sebagai perwujudan dari upaya membuka
akses yang luas bagi masyarakat untuk memperoleh
pendidikan yang merupakan hak dari setiap warga Negara
sebagaiman anamat UUD 1945 pasal 31. Hal ini diharapkan
menjadi salah satu instrument untuk menuntaskan wajib
belajar sembilan tahun.
Dari hari ke hari para cerdik pandai
mempolemikkan dunia pendidikan dengan
pembenarannya sendiri-sendiri. Sementara kebodohan
terus saja terjadi dan beranak-pinak. Pertanyaan
besarnya, “Ada apa dengan dunia pendidikan kita?”
Atau, pasti memang ada apa-apanya dengan dunia
pendidikan kita selama ini.
Beranjak dari kenyataan-kenyataan yang terjadi
di dunia pendidikan nasional itulah, Pemerintah
Kabupaten Jembrana dan beberapa berketetapan hati
untuk memberikan perhatian serius terhadap wilayah
243
pencerdasan bangsa itu, dengan kebijakan pendidikan
gratis.
Orang akan selalu bertanya, apa dasar pijak atas
setiap kebijakan dunia pendidikan tersebut? Jawaban
sebenarnya sangatlah sederhana dan sudah ada sejak
negara dan bangsa ini didirikan oleh para bapak bangsa.
Semuanya beranjak dan berpangkal dari amanah yang
terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945, tentang
kewajiban negara di dalam ikut mencerdaskan
kehidupan bangsanya. Sedangkan dari sisi kebijakan
yang bersifat operasional di lapangan, semua beranjak
dari pengalaman empiris atas carut-marutnya dunia
pendidikan itu sendiri. Jadi sebenarnya tidaklah ada
yang luar biasa terhadap apa yang dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Jembrana di dalam mewujudkan
bangunan peradaban yang bernama pendidikan itu.
Kalaupun kemudian harus dinyatakan ada hal-
hal yang luar biasa di dalam pembangunan dunia
pendidikan di Kabupaten Jembrana, itu tidak lebih dari
sebuah kemauan atau komitmen dari setiap warga
masyarakat Kabupaten Jembrana di dalam usaha
mencerdaskan dirinya sendiri, sehingga terbebas dari
penyakit kronis bangsa yang bernama kebodohan dan
keterbelakangan itu. Jadi dukungan setiap komponen
masyarakat di Kabupaten Jembrana atas setiap program
pembangunan di bidang pendidikan adalah merupakan
modal dasar yang tidak ternilai haganya. Sehingga,
dengan dukungan penuh dari setiap komponen
masyarakat itu, partisipasi masyarakat di dalam ikut
membangun peradaban pendidikan; di Kabupaten
Jembrana menjadi sesuatu yang terjadi dan bergerak
secara otomatis.
244
Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) mencanangkan
diri sebagai provinsi pertama di Indonesia yang melakukan
pendidikan gratis dari tingkat pendidikan dasar hingga
pendidikan lanjutan tingkat atas. Pelaksanaan pendidikan
gratis di Sulsel berasal dari 60 persen dari APBD provinsi dan
40 persen dari APBD Kabupaten dan Kota. Pendanaan
pendidikan gratis sebelumnya memang belum dianggarkan.
Namun, untuk APBD perubahan 2008, Syahrul menjamin
akan segera dibahas. Karena telah ada komitmen dari Ketua
DPRD Sulsel untuk mendukung pencanangan pendidikan
gratis dari SD hingga SMA.Sebelumnya, di Sulsel baru tiga
kabupaten yang melakukan pendidikan gratis dari tingkat SD
hingga SMA. Yakni Kabupaten Sinjai, Pangkep dan Gowa.
Sedangkan, dalam tingkat provinsi, pedidikan gratis hanya
dari tingkat SD hingga SMP.4
4
Kebijakan Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan ,Pada tanggal
8 Juli 2008, H. Syahrul Yasin Limpo – H.Agus Arifin Nu’mang tepat 90
hari atau tiga bulan menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur
Sulawesi Selatan. Mereka resmi memimpin Sulsel sejak dilantik 8
April2008 lalu oleh Mendagri Mardiyanto. Selengkapnya baca
http://www.sulsel.go.id/berita/umum/pendidikan-dan-kesehatan-gratis-
masih-tataran-mou-20080708-2.htm), (15 juni 2014)
245
nonpersonalia bagi satuanpendidikan dasar sebagai
pelaksana program wajib belajar.
Biaya Satuan pendidikan (BSP) adalah besarnya
biaya yang diperlukan rata-rata tiap siswa tiap tahun,
sehingga mampu menunjang proses belajar mengajar sesuai
dengan standar pelayanan yang telah ditetap.kan. Dari cara
penggunaaannya, BPS dibedakan menjadi BSP investasi dan
BSP Operasional.
BSP investasi adalah biaya yang dikeluarkan setiap
siswa dalam satu tahun untuk pembiayaan sumber daya yang
tidak habais pakai dalam waktu lebih dari satu tahun , seperti
pengadaan tanah, bangunan, buku,alat peraga, media,
perabot dan alat kantor. Sedangkan BSP operasional adalah
biayayang dikeluarkan setiap siswa dalam 1 tahun untuk
pembiayaan sumber dayapendidikan yang habis pakai dalam
1 tahun atau kurang.BSP operasionalmencakup biaya personil
dan biaya non personail.
Biaya personil meliputi biaya untuk kesejahteraan
(honor kelebihan jam mengajar (KJM), Guru tidak tetap
(GTT), Pegawai Tidak tetap (PTT), uang lembur dan
pengembangan profesi guru (Pendidikan dan Latihan Guru,
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Musyawarah
Kerja Kepala Sekolah (MKKS), Kelompok Kerja Kepala
Sekolah (KKKS), Kelompok Kerja Guru (KKG) dan lain-lain.
Biaya non personil adalah biaya untuk menunjang kegiatan
belajar mengajar, evaluasi atau
penilaian,perawatan/pemeliharaan, daya dan jasa, pemberian
kesiswaan, rumah tanggasekolah dan supervisi.Selain dari
biaya-biaya tersebut, masih terdapat jenisbiaya personil yang
ditanggung oleh peserta didik, misalnya biayatransoprtasi,
konsumsi, seragam, alat tulis, kesehatan, dan sebagainya.
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) secara konsep
mencakupkomponen untuk biaya operasional non personil
246
hasil studi badan penelitiandan pengembangan, Departemen
pendidikan Nasional (Balitbang Depdiknas).Namun karena
biaya satuan yang digunakan adalah rata-rata nasional,
makapenggunaan BOS dimungkinkan untuk membiayai
beberapa kegatan lainyang tergolong dalam biaya personil
dan biaya investasi. Oleh karena keterbatasan dana BOS dari
Pemerintah Pusat, maka biaya untuk investasi
sekolah/madrasah/ponpes dan kesejahteraan guru harus
dibiayai dari sumber lain dengan prioritas utama dari sumber
pemerintah, pemerintah daerah dan selanjutnya dari
partisipasi masyarakat yang mampu.
5
Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Buku
Panduan BOS dalam Rangka Wajib Belajar 9 Tahun, 2008., h. 3.
248
belajar 9 tahun harus diapai pada tahun 2008/1009 dengan
APKminimum 95%. Dengan demikian, pada saat ini masih
ada sekitar 1,5 jutaanak usia 13-15 tahun yang masih belum
mendapatkan layanan pendidikandasar (Depdiknas,
Departemen Agama, 2007).
Dengan adanya pengurangan subsidi bahan bakar
minyak, amanatundang-undang dan upaya percepatan
penuntasan wajib belajar pendidikandasar 9 tahun yang
bermutu, sejak tahun 2005 Pemerintah
memprogramkanpemberian Dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS). Program pemberianBantuan Operasional
Sekolah ini bertujuan untuk membebaskan biayapendidikan
bagi siswa tidak mampu dan meringankan bagi siswa yang
lain,agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar yang
lebih bermutusampai tamat dalam rangka penuntasan wajib
belajar 9 tahun.
249
3. Meringankan beban biaya operasi sekolah bagi siswa
di sekolahswasta.
2. Sasaran Program BOS
Sedangkan sasaran program BOS adalah semua
sekolah setingkatSD dan SMP, baik negeri maupun swasta di
seluruh propinsi di Indonesia,program kejar Paket A dan
Paket B tidak termasuk sasaran dari programBOS iini. Selain
itu, Madrasah Diniyah Takmiliyah (suplemen) juga
tidakberhak memperoleh BOS, karena siswanya telah
terdaftar di sekolahreguler yang telah menerima BOS.
Mulai tahun pelajaran 2007/2008 (mulai Juli 2007),
SMP terbuka(reguler dan mandiri) dan Madrasah Diniyah
formal yangmenyelenggarakan Program Wajib belajar 9
Tahun termasuk dalamsasaran BOS.
Besar dana BOS yang diterima oleh
sekolah/madrasah/ponpesdihitung berdasakan jumlah siswa
dengan ketentuan sebagai berikut :
a. SD/MI/SDLB/ Salafiah/ sekolah agama non Islam
setara SD sebesarRp. 254.000,-/siswa/tahun
b. SMP/MTs/SMPLB/SMPT/Salafih/sekolah agaama
non Islam setaraSMP sebesar Rp. 354.000,- / siswa /
tahun
Namun sejak tahun 2010 besar biaya satuan BOS yang
diterimaoleh sekolah termasuk untuk BOS Buku,
dihitung berdasarkan jumlahsiswa dengan ketentuan:
a. SD/SDLB di kota : Rp 400.000,-
/siswa/tahun
b. SD/SDLB di kabupaten : Rp 397.000,-
/siswa/tahun
c. SMP/SMPLB/SMPTdikota : Rp 575.000,-
/siswa/tahun
d. SMP/SMPLB/SMPT di kabupaten : Rp 570.000,-
/siswa/tahun
250
3. Sekolah Penerima Dana BOS
Sekolah penerima bantuan dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) adalah :
1. Semua sekolah negeri dan swasta berhak memperoleh
BOS.Khusus sekolah/madrasah/ponpes swastaharus
memiliki ijin operasional (dengan penyelenggaraan
pendidikan). Sekolah/madrasah/ponpes yangbersedia
menerima BOS harus menandatanagani Surat
PerjanjianPemberian bantuan dan bersedia mengikuti
ketentuan yang tertuang dalambuku petunjuk
pelaksanaan.
2. Sekolah kaya/mapan/yang mampu secara ekonomi
yang saat ini memiliki penerimaan lebih besar dari BOS,
mempunyai hak untuk menolak BOS tersebut, sehingga
tidak wajib untuk melaksanakan ketentuan seperti
sekolah/manrasad/ponpes penerima BOS. Keputusan
atas penolakan BOSharus melalui persetujuan dengan
orang tua siswa dan komite sekolahmadrasah/ponpes.
Bila sekolah/madrasah/ponpes yang mampu
tersebutterdapat siswa miskin,
sekolah/madrasah/ponpes tetap
menjaminkelangsungan pendidikan siswa tersebut.
Berdasarkan buku petunjuk teknis penggunaan dana
BOS tahun2011, ketentuan sekolah penerima BOS adalah :
1. Semua sekolah SD/SDLB/SMP/SMPLB/SMPT negeri
wajib menerimadana BOS. Bila sekolah tersebut menolak
BOS, maka sekolah dilarangmemungut biaya dari peserta
didik, orang tua atau wali peserta didik.
2. Semua sekolah swasta yang telah memiliki ijin operasi
dan tidak dikembangkan menjadi bertaraf internasional
wajib menerima dana BOS.
3. Bagi sekolah yang menolak BOS harus melalui
persetujuan orang tua siswa melalui komite sekolah dan
251
tetap menjamin kelangsungan pendidikan siswa miskin
di sekolah tersebut.
4. Seluruh sekolah yang menerima BOS harus mengikuti
pedoman BOS yang telah ditetapkan oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah.
5. Sekolah negeri kategori RSBI dan SBI diperbolehkan
memungut dana dari orang tua siswa yang mampu
dengan persetujuan Komite Sekolah. Pemda harus ikut
mengendalikan dan mengawasi pungutan
yangdilakukan oleh sekolah tersebut agar tercipta prinsip
pengelolaan danasecara transparan dan akuntabel.
6. Sekolah negeri yang sebagian kelasnya sudah
menerapkan system sekolah bertaraf RSBI atau SBI tetap
diperbolehkan memungut dana dari orang tua siswa
yang mampu dengan persetujuan Komite Sekolah,
kecuali terhadap siswa miskin.
3. Ketentuan yang Harus Diikuti Sekolah Penerima BOS
Sekolah yang telah menyatakan menerima BOS dibagi
menjadi 2kelompok, dengan hak dan kewajiban sebagai
berikut :
1. Apabila sekolah/madrasah/ponpes tersebut terdapat
siswa miskin, makasekolah/madrasah/ponpes
diwajibkan membebaskan segala
jenispungutan/sumbangan/iuran seluruh siswa
miskin. Sisa dana BOS (bilamasih ada) digunakan untuk
mensubsidi siswa lain. Dengan
demikiansekolah/madrasah/ponpes tersebut
menyelanggarakan pendidikan gratisterbatas. Bila dana
BOS cukup untuk membiayai seluruh
kebutuhansekolah/madrasah/ponpes, maka secara
otomatissekolah/madrasah/ponpes dapat
menyelanggarakan pendidikan gratis.
252
2. Bagi sekolah/madrasah/ponpes yang tidak
mempunyai siswa miskin, maka dana BOS digunakan
untuk mensubsidi seluruh siswa, sehingga dapat
mengurangi pungutan/sumbangan/iuran yang
dibebankan kepada orang tua siswa, minimum senilai
dana BOS yang diterima sekolah/madrasah/ponpes
253
DAFTAR PUSTAKA
255
Depiyanti, Oci Melisa. “Model Pendidikan Karakter di
Islamic Full Day School (Studi Deskriptif pada SD
Cendekia Leadership School, Bandung,” dalam Jurnal
Tarbawi vol. 1 no. 3 (September 2012).
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta, 2009.
Dwi R, Mutiara. “Belajar Tidak Harus di Sekolah
Formal”,Tabloid Mom&Kiddie, edisi 14, tahun 1, 12-25
Maret 2007, h. 14.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia.
Jakarta: Gramedia, 1995.
Erikson, Erik H. Childhood and Society, terj.Helly Prajitno
Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto.Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Fajar, A. Malik PlatformReformasi Pendidikan dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999.
Fajar, A. Malik Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar
Dunia, 1999.
Fatkoer, “Perbedaan Kurikulum 2013 dengan KTSP”
http://fatkoer.wordpress.com/2013/07/28/perbeda
an-kurikulum-2013-dan-ktsp/. (diakses tanggal 14
Juni 2014).
Freire, Paulo. Pendidikan Pembebasan. Jakarta: LP3S, 2000.
Frye, Mike. at al. Character Education: Informational Handbook
and Guide for Support and Implementation of the Student
Citizent Act of 2001. North Carolina: Public Schools of
North Carolina, 2002.
256
Griffith, Mary. Belajar Tanpa Sekolah: Bagaimana Memanfaatkan
Seluruh Dunia sebagai Ruang Kelas Anak Anda.
Bandung: Nuansa, 2005.
Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran.Edisi I. Cet. VI;
Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Hamzah, Ustadi.“Yang Satu dan Yang banyak: Islam dan
Pluralitas Agama di Indonesia”, “Religiosa” Edisi
I/II/Tahun 2006.
Harian Kompas, http://edukasi.kompas. com/
read/2013/10/17/1540205/Perlu. Pendidikan.
Karakter.juga. Menyasar. Masyarakat.Luas (12
Agustus 2014).
Harian Media Indonesia, Edisi Selasa 20 Januari 2009
Hasan S. Hamid. “Ujian nasional dan Masa Depan Bangsa:
Ditinjau Dari Aspek Legal, Posisi Pemerintah,
Pandangan Pendidikan.” http://file.upi.edu (8 Juni
2014).
Hasyim, H.A Dardi &Yudi Hartono.Pendidikan Multikultural
di Sekolah. Surakarta: UPT penerbitan dan percetakan
UNS, 1994.
Hidayati, Wiji. Pengembangan Kurikulum.
Yogyakarta:Pedagogia, 2012.
Hilman, “Pilih-Pilih Homeschooling”, Tabloid Nakita, No.
430/TH IX/30 Juni 2007.
Hilmy.Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis
Multikulturalisme Jurnal Ulumuna, Vol. VII. Edisi
12.No. 12 “Juli-Desember”. Mataram: STAIN
Mataram, 2003.
257
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia_2010_Ad
e_Cahyana.html (30 Mei 2014)
http://www.hariansib.com/index.php?option=com_content
&task=view&id=8202&Itemid=9(30 Mei 2014)
http://www.scribd.com/doc/25136062/Makalah-
Manajemen-Pesantren, diakses tgl25-04-2014, Pukul
12.02 WIB.
http://www.suaramerdeka.com (Diakses, November 2009)
Ibrahim, Misykat Malik. Pengembangan Pengukuran Non-Tes
Bidang Pendidikan: Suatu Pendekatan Psikologi.
Makassar, Alauddin University Press, 2012.
Idris, Jamaluddin. Kompilasi Pemikiran Pendidikan.
Yogyakarta: Taufiqiyah Sa’adah, 2005.
Imron, Mashadi. Pendidikan Agama Islam Dalam Persepektif
Multikulturalisme. Jakarta: Balai Litbang Agama, 2009.
Indonesia.go.id (Diakses November 2009)
Indra, Hasbi. Pendidikan Islam Melawan Globalisasi. Cet. II;
Jakarta: Rida Mulia, 2005.
Irawan, Ade. et al, Mendagangkan sekolah. Jakarta: Yayasan
Tifa, 2004), h. 96.
Ishak, Baego dan Syamsuduha.Evaluasi Pendidikan.
Makassar: Alauddin University Press, 2010.
Ismail, Muhammad Ilyas. Orientasi Baru dalam Ilmu
Pendidikan. Makassar: Alauddin University Press,
2012.
258
Ismail, Muhammad Ilyas. Pendidikan Karakter: Suatu
Pendekatan Nilai. Makassar, Alauddin University
Press, 2012.
Jackson, Philip W. Handbook of Research on Curriculum. New
York: MacMilllan Publishing Company, 1991.
Joni, T. Raka. Memicu PerbaikanMelalui Kurikulum Dalam
Kerangka Pikir Desentralisasi. Dalam Sindunata (ed).
Membuka Masa Depan Anak-AnakKita. Yogyakarta:
Kanisius, 2000.
Joyce, Bruce, et. al. Model of Teaching – edisi kedelapan,
diterjemahkan oleh Achmad Fawaizd, dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009
Jurnal Madrasah Kelurga, “Melirik Kembali Homeschooling”,
http://my.opera.com/ madrasah-
keluarga/blog/melirik-kembali-homeschooling, (20
Agustus 2014).
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Cet. III;
Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, “Kebijakan Ujian Nasional Tahun
Pelajaran 2013-2014.” http://
litbang.kemdikbud.go.id (7 Juni 2014).
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Desain Induk
Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud, 2013.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Implementasi
Kurikulum 2013 dan Relevansinya dengan Kebutuhan
Kualifikasi Kompetensi Lulusan. Semarang:
Kemendikbud, 2013.
259
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Pedoman Pelatihan
Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan &
Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan,
2013.
Khafifi, Muhammad. Pembaharuan Sistem Pendidikan
Pesantren, makalah
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia, 2002.
Koesoema, Doni A. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik
Anak di Zaman Modern. Jakarta: PT Grasindo, 2007.
Koran Sindo, 16 April 2014. http://www.koran-sindo.
com/node/308288 (7 Juni 2014).
Kurniasih, Imas. Homeschooling Bersekolah di Rumah Kenapa
Tidak. Yogyakarta: Cakrawala, 2009.
Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa
Psikologi Pendidikan.Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986.
Lickona, Thomas. Educating for Character: How Our School Can
Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam
books, 1991.
M. Arifin. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan
Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. IV;
Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Madjid, Abdul. Pendidikan Karakter Perspektif Islam.Bandung:
Rosdakarya, 2011.
Magdalena, Maria. Anakku Tidak Mau Sekolah Jangan Takut
Cobalah Homeschooling. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2010.
260
Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Cet. VI;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Maksum, Ali & Luluk Yunan Ruhendi.Paradigma Pendidikan
Universal. Yogyakarta: IRCiSoD, 2004.
Maksum, Ali. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruz Media,
2008.
Mandari, Syafinuddin al-Mandari.Rumahku Sekolahku.
Jakarta: Pustaka Zahra, 2004.
Mardapi, Djemari dan Badrun Kartowagiran, “Dampak
Ujian Nasional,” Laporan Penelitian,
http://staff.uny.ac.id/ sites/ default/files/6-
Dampak%20Ujian%20 Nasional. pdf (8 Juni 2014)
Maunah Supervisi Pendidikan Islam Teori dan Praktek,
Yogyakarta: Teras,2009.
Maunah.Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan Dan
Hambatan Pendidikan,2009. Pesantren Di Masa Depan,
Yogyakarta: Teras
Megawangi, Ratna. Pendidikan Karakter untuk Membangun
Masyarakat Madani.IPPK Indonesia Heritage Foun-
dation, 2003.Menkokesra.go.id (Diakases November
2009)
Mu’in, Fatchul Mu’in. Pendidikan Karakter: Kontruksi Teoretik
& Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Muchsin, Bashori dan Abdul Wahid.Pendidikan Islam
Kontemporer.Bandung: PT Refika Aditama, 2009.
Muhaimin.Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang
Kusut Dunia Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006.
261
Muhammad Ali. Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Cet. II;
Bandung: CV Sinar Baru, 1992.
Mujib, A. Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali
Press, 2006.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir.Ilmu Pendidikan
Islam.Edisi I. Cet. II; Jakarta: Kencana, 2008.
Muliadi, Erlan. “Analisis Kebijakan Ujian Nasional.
”Blog.Pribadi.http://erlanmuliadi. blogspot.com
/2011/05/analisis-kebijakan-pelaksanaan-ujian.html
(8 Juni 2014).
Mulyasa, E.Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009.
Mulyasa, E.Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Mulyasa, E. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 2003.
Mulyoto.Strategi Pembelajaran di Era Kurikulm 2013.
Jakarta:Prestasi Pustaka Raya, 2013.
Mursidin, Moral Sumber Pendidikan, Sebuah Formula
Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah/Madrasah. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2011.
Muslich, Masnur. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan
Krisis Multidimensional. Jakarta: PT Bumi Aksara,
2011.
Nahrawi, Amirudin. Pembaharuan Pendidikan Pesantren,
Yogyakarta: Gama Media.2008.
Nasution, S. Asas-Asas Kurikulum. Edisi II. Cet. II; Jakarta:
Bumi Aksara, 1995.
262
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2008.
Nata, Abudin. Pendidikan Islam di Era Global. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah Press, 2005.
News@indosiar.com, “Homeschooling: Sekolah Rumah atau
Rumah Sekolah”, http://news. indosiar.com/
news_read.htm?id=60082 (20 Agustus 2014)
Nieto, Sonia. Language, Culture, and Teaching. Mahwah, NJ:
Lawrence Earlbaum, 2002.
Nuryanto. M. Agus. Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta:
Resist Book, 2011.
O’neil, William F. Educational Ideologis: Contemporary
Expressions of Educational Philosophies, terj. Omi Intan
Naomi, Ideologi-Ideologi Pendidikan.Cet. II;
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008.
Parekh, Bikkhu. Rethingking Multiculturalism: Cultural
Diversity and Political Theory. Cambridge: Harvard
University Press, 2000.
Partanto, Pius A. & M. Dahlan al-Barry.Kamus Ilmiah Populer.
Surabaya: Arkolo, 2001.
Pelly, Usman & Asih Menanti.Teori-Teori Sosial Budaya.
Jakarta: Dirjen Depdikbud, 1994.
Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.
Permendiknas Nomor 23 tahun 2007 tentang Standar
Kompetensi Lulusan.
Print, Murray.Curriculum Development and Design. Australia:
Allen & Unwin Pty.Ltd., 1993.
263
Purwanto, M. Ngalim. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi
Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Cet. I; Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Rahardjo, Dawam. Pergulatan Dunia Pesantren Dari Bawah,
Jakarta: P3M.1985
Raharjo, Setyo. “Mengimplementasikan Pendidikan
Multikultural di Sekolah” Jurnal Ilmiah Guru “COPE”
No. 02/Tahun VI/Desember 2002.
Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Cet. 1;
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity, Transformation of an
Intellectual Tradition, terj. Ahsin Mohammad, Islam
dan Modernitas. Yogyakarta: Pustaka, 1985.
Rahmat, Jalaluddin. Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang
Cendekiawan Muslim. Cet. V; Bandung: Mizan, 1993.
Rakhmat, Cece. “Menyemai Pendidikan Karakter Berbasis
Budaya Dalam Menghadapi TantanganModernitas.”
http/file.upi.edu.co (28 Mei 2014)
Ramayulis.Ilmu Pendidikan Islam.Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
RD. Feldman Papalia, DE., Old, SW., Human Development
(New York-USA: McGraw-Hill, 2004), h. 334-335.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Cet. IV; Jakarta:
Sinar Grafika, 2011.
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Cet. IV; Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
264
Republik Indonesia, Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem
Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003). Cet. V;
Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Republik Indonesia.Amandemen Standar Nasional Pendidikan
(PP No. 32 Tahun 2013) dilengkapi dengan PP No. 19
Tahun 2005. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Republik Indonesia.Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem
Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003). Cet. V;
Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah
Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Pendidikan.Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004.
Ryan, Kevin & Karen E. Bohlin.Building Character in Schools:
Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San
Francisco: Jossey Bass, 1999.
Sadegh, Bakhtiari. Globalization and Education Challenges and
Opportunities. Iran: Journal Isfahan University, 1995.
Segara, I Nyoman Yoga.“Pendidikan Karakter Bangsa
Berbasis Pancasila.” http://bdkjakarta. kemenag.go.
id/index.php?a=artikel&id=924. (29 Mei 2014).
Suderadjat, Hari. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Bandung: CV Cipta Cekas Grafika, 2004.
Sudijono, Anas. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT
RajaGrafinda Persada, 2001.
Suheryana, Hendrie. ”Home-Schooling Solusi Pendidikan Untuk
yang Tidak Puas di Sekolah Formal”,Tabloid Mom &
Kiddie, edisi 14, tahun 1, 12-25 Maret 2007.
265
Sukardi, Evaluasi Pendidikan: Prinsip dan Operasionalnya.
Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum: Tori
dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Sumardiono, “Homeschooling , Sekolah Rumah/Mandiri,”
http://www.sekolahrumah.com/index.php?option=
com_content&task=category&sactionied=4&id=13&it
emid=31(20 Agustus 2014).
Sumardiono, “Pengertian Homeschooling”,
http://www.sumardiono.com/index.php?option=co
m_content&task=view&id=287&itemid=79 (20
Agustus 2014).
Sumardiono.Homeschooling: A Leap for Better Learning,
Lompatan Cara Belajar. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo..
Sunarno, Siswanto. Hukum Pemerintahan Daerah, Jakarta :
Sinar Grafika, 2006
Suparman, Achmad. “Pengertian Globalisasi”,
http://globalisasiriva.blogspot.com/p/ pengertian-
globalisasi.html. (Diakses pada 17 Mei 2014).
Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan
Dunia Global, Jakarta
Syam, Nur. Tantangan Multikulturalisme Indonesia: dari
Radikalisme menuju Kebangsaan. Cet. V; Yogyakarta:
PT Kanisius, 2013.
Thoha, Chabib. Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT
RajaGrafinda Persada, 2003.
266
Tilaar, H.A.R. Kekusaan Dan Pendidikan Suatu Tinjauan Dan
Persepektif Studi Kultural. Jakarta: Indonesia Teras,
2003.
Tilaar, H.A.R. Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian
Pendidikan Masa Depan. Cet. IX; Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008.
Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme tantangan-tantangan global
masa depan dalam transformsi pendidikan nasional.
Jakarta: Grasindo, 2004.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia – edisi ketiga,
cetakan ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. 2005
Tim Penyusun. Pengantar Studi Islam. Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Press, 2009.
Verdiansyah, Chris (ed). Homeschooling. Rumah Kelasku,
Dunia Sekolahku. Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2007.
Wahid, Marzuki. Pesantren Masa Depan: Wacana
Pemberdayaan dan Transformasi. Bandung: Pustaka
Hidayah, 2011.
Wahono, Francis. Kapitalisme Pendidikan antara Kompetisi dan
Keadilan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Widjaja, H.A.W. Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia,
Jakarta : Rineka
Wikipedia, “Homeschooling”, http://en.wikipedia. org
/wiki/homeschooling (20 Agustus 2014).
Winardi.Kapitalisme versus Sosialisme: Suatu Analisis Ekonomi
Teoretis. Bandung: CV. Remadja Karya, 1996.
267
www.glorianet,org/mau/kliping/klipbers.html, dan
http://fuadinotkamal. wordpress.com/2007/12/31/
sekolah-sebagai-rumah-kedua/. (20 Agustus 2014).
Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural
Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan.
Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Yasin, Moh. Fahri.Sistem Evaluasi Pembelajaran. Gorontalo:
Sultan Amai Press, 2009.
Yaumi, Muhammad. Pilar-Pilar Pendidikan Karakter.
Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Yulaelawati, Ella. Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi Teori
dan Aplikasi. Bandung: PT Pakar Raya, 2004.
Zubaedi.Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam
dan Kapita Selekta Pendidikan Islam.Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012.
Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Prenada Media
Group, 2011.
Zuchdi, Humanisasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara,
2009.
268
RIWAYAT HIDUP
Muh Ilyas Ismail, dilahirkan pada
tanggal 7 Januari 1964, di Ralla
Kabupaten Barru Sulawesi Selatan.
Anak keempat dari sembilan
bersaudara, putra pasangan Bapak
Muhammad Ismail dan Ibu Hj.
Hamdanah. Menamatkan SDN Ralla I
tahun 1977, SMPN Rallatahun 1980 di
Kab. Barru. SMA Muhammadiyah 2
tahun 1983, dan STM Pembangunan
tahun 1984 masing-masing di
Makassar.
270
dan Nurfirdayanti Wahyuni Ilyas (9 th, siswi kelas 3 SDN
Minasa Upa Makassar).
Muhammad Ilyas Ismail beralamat di kompleks BTN
Minasa Upa Blok M 17 No. 8 Makassar Sulsel, e-mail:
iilyasismail@yahoo.co.id, daengilyas12@gmail.com, phone:
0812 423 9850, 082396681515, 08991555182.
271