SKRIPSI
Disusun oleh:
Nursilam (1112022000073)
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya bagi para hamba-Nya yang selalu memuja. Shalawat serta salam
semoga selalu terlimpah kepada junjungan nabi Muhammad saw beserta keluarga,
sahabat, dan para pengikunya. Rasa syukur disertai dengan usaha yang sungguh
sungguh serta tekad yang kuat akhirnya penulis berhasil menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Transformasi Bîmâristân di Baghdad dari Pusat Medis menjadi
Pusat Pendidikan Medis (Abad Ke-2 – 7 H/8 – 13 M).” Meskipun penulis sadar
betul akan banyaknya kekurangan dalam karya ini. Penulis berkeyakinan karya ini
dapat bersumbangsih bagi siapa saja yang ingin bergelut pada dunia penelitian,
khususnya bagi mereka yang memfokuskan kajiannya pada kajian ilmu medis.
Layaknya peristiwa sejarah yang penyebabnya tidak tunggal, begitupun
halnya dengan perjuangan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak bisa
dinafikan bahwa penulis bukan satu-satunya aktor sentral, namun di balik usaha
dan kerja keras penulis terdapat orang-orang yang rela meluangkan waktu untuk
membantu. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada
semua pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini tanpa kendala
yang berarti.
Untuk itu penulis persembahkan ucapan terimakasih tersebut kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A. selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora.
3. Nurhasan, MA. selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam.
4. Solikhatus Sa‟diyah, M.Pd. selaku sekretaris Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam yang telah dengan sabar mengurusi semua
administrasi yang penulis butuhkan.
5. Usep Abdul Matin, S.Ag., M.A., M.A., Ph.D., selaku pembimbing,
atas perhatian, diskusi, dan masukannya selama penulis menyusun
skripsi ini.
ii
6. Saiful Umam, M.A., Ph.D. selaku dosen Pembimbing Akademik
selama penulis menjadi mahasiswa atas curahan waktu, motivasi, dan
perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.
7. Marsuta dan Supenah selaku orang tua penulis. Terima kasih atas
motivasi, cinta, dan pengorbanan tanpa pamrih yang telah diberikan.
Juga, kakak dan adik-adiku tercinta, Sarkinah, Rofah, Narudoh, M.
Tohir dan Naslah. Terima kasih telah menjadikan rumah sebagai
tempat berdiskusi dan mengadu hati.
8. H. Arif Mujahidin & keluarga, yang sudah kuanggap seperti keluarga
sendiri. Beliau telah memberikan banyak motivasi dan bantuan selama
perkuliahan. Juga, unutuk keluarga Ciputat Molek_As-Salaam; Pa
Yusuf, Mas Parman, Mas Bambang, Mas Ade & keluarga, Ibnu
Siregar, Lukas Liani, Habib, kang Hasybiallah, Muhaimin, Hamami,
Faisal Abdurrahman, Durrahman dan segenap pengurus Musola As-
Salaam yang sudah menjadi kawan curhat dan menajadi kawan dalam
cerita suka ria.
9. Fitriana, Merindu Fitriani, Titi Maria Ulfah, Suci Kismayanti, Sakinah
Mawaddah W, M. Akibun Najih, Tety Nurjanah, Irma Fauziah, dan
Luqman Kholil, penulis ucapkan banyak terima kasih yang mendalam
telah menjadi teman berjuang selama ini, teman satu kelas dan teman
dalam perburuan sumber. Terima kasih atas diskusi-diskusi yang
menarik selama perkuliahan.
10. Jainudin, M. Rizal Fahlefi, Andini Rachmalia, Durrotul Muazah, Dede
Delfiah, dan kawan-kawan kelas konsentrasi Asia Tenggara, terima
kasih untuk teman-teman seperjuangan yang selalu membantu di saat
sulit, saling mengingatkan dalam kebaikan dan selalu memberikan
motivasi satu sama lain.
11. Mu‟min dan Suryani, kawan tiga serangkai. Merekalah yang sampai
saat ini yang menjadi sahabat sejati untuk masa kini dan masa depan
melalui bimbingan sang guru; Ifni Kurniawan.
12. Semua personil REMPAH (Rembukan Penggiat Sejarah) ka Hanafi, ka
Endi, ka Yeni, ka Indi, ka Firman, ka Hana, ka Tati, Mulki, syakhril
iii
penulis haturkan terima kasih telah memberikan masukan-masukan
yang berharga dalam penulisan skripsi ini.
13. Dan untuk semua teman-teman yang tak bisa penulis sebutkan satu
persatu, tetapi tidak mengurangi rasa terima kasih penulis kepada
teman-teman yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada
penulis dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian penulisan
karya ini.
Nursilam
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK ....................................................................................................... i
BAB I : PENDAHULUAN
v
BAB IV : EFEK KEILMUAN ATAU DAMPAK TRANSFORMASI
RUMAH SAKIT ISLAM (BIMARISTAN)
A. Kesimpulan ............................................................................ 43
B. Penutup dan Saran ................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 46
LAMPIRAN ................................................................................................... 50
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
ث ts te dan es
ج j je
خ kh ka dan ha
د d de
ذ dz de dan zet
ر r er
ز z zet
س s es
ش sy es dan ye
ص s es dengan garis di bawah
ض d de dengan garis di bawah
ط t te dengan garis di bawah
ظ z zet dengan garis di bawah
Koma terbalik di atas hadap
ع „
kanan
غ gh ge dan ha
ف f ef
ق q ki
ك k ka
1
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Pedoman Akademik Program Strata 1 2012/2013 (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2012), h.
381-383.
vii
ل l el
م m em
ن n en
و w we
ه h ha
ء , apostrog
ي y ye
2. Vokal
Vokal dalam bahasa arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
ــــَـــ a fathah
ـــِــــ i kasrah
ـــُــــ u dammah
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan harakat dan huruf, yaitu:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
ــَا â a dengan topi di atas
ْــِى î i dengan topi di atas
ْــُو û u dengan topi di atas
4. Kata Sandang
5. Syaddah(Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda )َ)ـــ, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
viii
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورةtidak
ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2 di bawah). Namun, jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab AlihAksara
1 ِ
ٌطَريْ َقة tarîqah
2 ُاجلَ ِام َعةٌُا ِإل ْس ََل ِميٌَّة al-jâmi‟ah al-islâmiyyah
3 َو ْح َدةٌالْ ُو ُج ْوٌِد Wahdat al-wujûd
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, anatara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî
bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih akasara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis, Abdussamad al-Palimbani,
tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-
Rânîrî.
ix
ت ْالَ ْج أر َ َثَب tsabata al-Ajru
صال أحَ ْك ال َم ْوَلنَا َمل أ Maulânâ Maliku al-Sâlihu
x
DAFTAR ISTILAH
Istilah-Istilah Penjelasan
Asimilasi Penyesuaian atau peleburan sifat asli yang dimiliki
dengan sifat asli yang dimiliki dengan sifat lingkungan
sekitar.
Baitul hikmah Sebuah perpustakan pada masa khalifah Harun ar-
Rasyid, yang digunakan sebagai basis ilmu
pengetahuan.
Bîmâristân Istilah penyebutan nama rumah sakit dalam peradaban
Islam.
Bonestters Ahli tulang
Dwifungsi Dua fungsi sekaligus
Gerontocomia Rumah zakat
Hospices Tempat peristirahatan untuk para musafir (pejalan
jauh)
Humaniteranian Sifat kemanusiaan yang menunjukan rasa kasih sesama
manusia.
Iwan Sebuah kegiatan belajar mengajar di rumah sakit, yang
terdiri dari dokter dan mahasiswa.
Oculist Ahli Mata
Oftamologi Cabang ilmu mata
Orphanotropia Panti asuhan
Ortopedik Cabang ilmu pembedahan
Philantropic Sifat kemanusiaan yang menunjukan rasa saling
memberi.
Sa’ur Kepala rumah sakit (direktur) sekaligus pengajar di
rumah sakit Islam yang telah ditunjuk langsung oleh
khalifah Islam.
Shift Sistem manajemen pergantian waktu dalam putaran
waktu 24 jam.
xi
Tamaddun Keadaan masyarakat manusia yang dicirikan atau
didasarkan pada taraf kemajuan kebendaan serta
perkembangan pemikiran (sosial, budaya politik, dll)
yang tinggi.
Transformasi Perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dll)
Transmisi budaya Penerusan budaya dari masa ke masa
Waqaf Sitem manajemen ekonomi yang berfungsi sebagai
aset konstruksi pembangunan ekonomi untuk
kesejahteraan masyarakat.
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Ahmad ‘Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam (Mesir: Muassasatu Hindawi Litta’limi
Wassakofah, 2012), h. 8.
2
Roziah Sidik Mat Sidek. Transformation of Hospital in the Islamic Civilization From
Medical Treatment Centre into a Teaching Hospital, (Malaysia: Medwell Journal, 2012), h.
435.
3
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), h. 52.
1
2
Jika rumah sakit pada waktu itu belum difungsikan sebagai pusat
pendidikan medis, maka bagaimana kemudian calon dokter mendapatkan
pelatihan dokter. Ibn Abi Usaybi'ah dalam bukunya ‘Uyun al-Anba 'fi Tabaqat al-
Atibba' pada tahun 1970 mengungkapkan terdapat dua metode pendidikan
kedokteran. Pertama, ada pendidikan kedokteran yang lebih terfokus pada belajar
dari anggota keluarga dan belajar mandiri. Kedua, pendidikan untuk menjadi
dokter adalah proses turun-temurun diwariskan dari satu generasi ke generasi.5
Dari penjelasan tersebut, ilmu medis atau studi ilmu kedokteran hanya mampu
dijangkau oleh orang-orang yang masih ada ikatan darah (kekeluargaan) dengan
seorang tabib. Peneliti menilai metode yang demikian itu menjadi penyebab
terjadinya transformasi, karena metode tersebut dinilai kurang efektif untuk
mendapatkan dan menyebarluaskan ilmu medis.
Transformasi rumah sakit di Baghdad tidak bisa lepas dari kebudayaan
bangsa Persia.6 Di Persia terdapat pendidikan rumah sakit pertama yang tercatat
dalam sejarah kedokteran adalah Akademi Jundîshâpûr pada masa Kekaisaran
Persia selama era Pemerintahan Dinasti Sassanian.7 Rumah sakit tersebut tidak
hanya berfungsi sebagai pusat medis atau rawat inap untuk pasien. Akan tetapi,
juga sebagai pusat pendidikan medis. Keberadaan dua fungsi tersebut
memfasilitasi proses transmisi keilmuan dari sistem medis Yunani - Aleksandria8,
India dan Persia ke dalam sistem medis Islam.9
4
Yasser Tabbaa. The Functional Aspects of Medieval Islamic Hospitals, - capter five,
h. 97.
5
Roziah Sidik Mat Sidek. Transformation of Hospital in the Islamic...,h. 436.
6
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals (New York:
1999), h. 125. Lihat juga, Ana Maria Negoita. The City Of Mansur The Builder. Baghdad
Between The Caliph’s Will And Shari’ah Norms. Artikel University of Bucharest, Bucharest,
2011. Hal. 117.
7
Sayyed Husein Nasr. Science and Civilization in Islam. Harvard University Press,
Massachussets, UK.,1968. Hal. 384.
8
‘Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt
(London: 1984), h. 5.
9
Bashar Saad dan Omar Said. Greco – Arab and Islam Herbal Medicine; tradisional
system, etnict, Safety, efficacy, and regulator issu, (Singapur: WILEY, A John Wiley & Sons, Inc.,
2011), hal. 17.
3
Para dokter bekerja di rumah sakit tidak hanya mengurusi pasien tetapi juga
membentuk staf pengajar medis di ruang kuliah atau disebut dengan sebutan iwan.
Setelah merawat pasien, dokter akan duduk dalam iwan yang dikelilingi oleh
siswa dokter untuk belajar.10 Dalam iwan itu ditemukan berbagai jenis buku
kedokteran yang digunakan sebagai referensi. Setelah belajar mendalam dari teori
medis, siswa akan menjalani pelatihan klinis atau praktis diawasi oleh dokter
senior. Pelatihan klinis yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisik pasien di
tempat tidur, operasi, dan resep obat untuk pasien.11
Perlu diketahui bahwa rumah sakit bukan satu-satunya pusat pendidikan
yang ada dalam peradaban Islam antara abad ke-4 dan ke-7 H. Ada jenis lain dari
non-rumah sakit yang menjadi pusat pendidikan untuk belajar medis. Pertama,
sekolah swasta seperti salah satu milik al-Razi. Popularitasnya sebagai tokoh
medis terkemuka membuat kuliahnya sukses ke titik kepadatan siswa.12
Kedua, kuliah medis swasta. Jenis ini ditemukan dalam penulisan Hamarneh
yang berjudul Ilmu Kesehatan dalam Islam Awal. Dia menjelaskan bahwa jenis
penelitian melibatkan proses belajar mengajar antara siswa dan seorang dokter
terkenal yang disebut Syaikh atau ayah sendiri atau dokter ahli lain dalam
keluarga.13
Ketiga, lembaga rumah sakit itu sendiri. Meskipun rumah sakit adalah pusat
pelatihan praktis bagi mahasiswa kedokteran dari sekolah swasta, seiring waktu
itu berkembang menjadi sebuah pusat dengan memiliki perkuliahan medis sendiri
yang dibangun di rumah sakit.
Studi medis di rumah sakit menyadarkan kita pentingnya pelatihan praktis
di rumah sakit, penelitian medis mulai diselenggarakan di dalamnya. Ini berarti
bahwa mahasiswa kedokteran tidak hanya memperoleh pengetahuan teoritis tetapi
diberi ruang yang luas untuk berlatih. Proses pengajaran di rumah sakit dipimpin
oleh al-Sa'ur, ia sebagai kepala dokter rumah sakit. Muhammad dalam bukunya
yang berjudul “al-Tibb 'ind al-'Arab wa al-Muslimin: Tarikh wa Musahamat”
10
Akram M. Dajani. Medical Education in Islam Civilization, artikel JIMA: Vol. 21,
Jordan, 1989. Hal. 166.
11
Mustofa Dâhiri, ‘Abdul Wahhâb. ‘Imâratu al-Mujma’ât wa al-Mabâni at-Tabiyyah (al-
Bîmâristânât) fi al-Islâm. e-Book from www.alukah.net.
12
Muhammad Mojlum Khan. 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah
(Jakarta: Noura Books, 2012), h. 396.
13
Roziah Sidik Mat Sidek. Transformation of Hospital in the Islamic...,h. 437.
4
tahun 1987 mencatat banyak nama-nama al-Sa'ur. Misalnya, al-Râzi adalah al-
Sa'ur bertugas di Bîmâristân al-Rayy dan mungkin di Bîmâristân al-‘Adudi juga.14
Sinân bin Tsâbit bin Qurrah dan Ibn al-Tilmidh juga menjabat sebagai al-Sa'ur di
Bîmâristân al-‘Adudi. Selain al-Sa'ur terdapat staf pengajar lainnya yang terdiri
atas dokter senior yang kompeten di bidang medis.15
B. Identifikasi Masalah
Dari penelaahan di atas, penulis menemukan bahwa telah terjadi
transformasi pada rumah sakit Islam (bimaristan) dari aspek fungsinya. Rumah
sakit yang pada awalnya hanya berfungsi sebagai pusat medis kemudian
bertambah fungsinya sebagai pusat pendidikan medis. Adanya transformasi
tersebut tidaklah terjadi begitu saja, melainkan ada beberapa faktor yang turut
memberikan kontribusi penting. Selain itu, penulis juga menemukan bahwa
transformasi rumah sakit telah membawa pengaruh bagi perkembagan peradaban
Islam di dunia medis. Oleh karena itu, hal ini menurut penulis menarik untuk
dikaji karena keberadaan rumah sakit sampai saat ini sangat penting dan
memberikan banyak kontribusi dalam perkembangan ilmu medis.
14
Muhammad Mojlum Khan. 100 Muslim Paling Berpengaruh..., h. 396.
15
Sulaiman Fayyadh. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler (Yogyakarta:
1993), hal. 24.
5
E. Tinjauan Pustaka
Penulis mencari literatur terkait dengan transformasi rumah sakit di
Baghdad sebelum dan sesudah abad keempat Hijriah, tetapi tidak begitu banyak
literatur yang berkenaan dengan rumah sakit tersebut. Ada beberapa literatur yang
menuliskan mengenai transformasi rumah sakit atau peran rumah sakit dalam
peradaban Islam. Juga, terdapat beberapa sumber dalam bentuk skripsi dan tesis
6
yang menuliskan tentang rumah sakit dan perannya dalam peradaban Islam.
Tulisan tersebut sebagian besar merupakan karya tulisan Universitas luar negeri,
baik dari Universitas Timur maupun Universitas Barat. Sejauh yang peneliti
ketahui dalam penelusuran sumber terkait tentang rumah sakit tersebut, peneliti
tidak menemukan skripsi atau tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang terkait dengan
transformasi rumah sakit Islam dari dalam negeri.
Penelitian ini ingin membahas tentang bagaimana proses transformasi
rumah sakit dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat Muslim serta
terhadap sains medis Islam. Dari beberapa literatur yang ditemukan belum ada
yang menyinggung bahkan menuliskan tentang transformasi rumah sakit di
Baghdad.
Berikut beberapa literatur yang dijadikan tinjauan pustaka:
1. Sebuah artikel yang ditulis oleh Roziah Sidik Mat Sidek yang berjudul
“Transformation of Hospital in the Islamic Civilization From Medical
Treatment Centre into a Teaching Hospital.” Tulisan ini dipublikasikan
oleh Medwell Journals tahun 2012, dari Universiti Kebangsaan Malaysia,
Bangi, Selangor-Malaysia. Tulisan tersebut menjelaskan tentang
perubahan fungsi rumah sakit Islam secara umum atau di dunia Islam pada
umumnya, sedangkan penulis ingin menjelaskan perubahan rumah sakit
yang terdapat di Bahgdad saja. Hasilnya yang diinginkanpun akan berbeda
karena obyek kajian rumah sakit hanya terbatas di Bahgdad saja, sehingga
hasilnya akan lebih spesifik.
2. Sebuah tesis yang ditulis oleh Mustafa Al Anasari yang berjudul
“Bimaristans Ana Waqf in Islam: Case Studies of Hospital Endowments
During 9th-13th Century In The Muslim World.” Tesis ini dari University
Of Sydney (Australia), Faculty of Art and Social Sciences, Departemen of
Arabic and Islamic Study. Nama rumah sakit pada masa awal Islam adalah
Bîmâristân, sehingga banyak disebutkan dalam sumber-sumber sejarah
dengan kata bimaristan. Tulisan tersebut menjelaskan hubungan antara
rumah sakit dengan waqf, pendirian rumah sakit tidak bisa lepas dari waqf,
karena waqf merupakan sumber utama terbentuknya rumah sakit. Meski
tesis ini membahas tentang rumah sakit dan perannya dalam Islam. Akan
7
tetapi, jelas berbeda kajian antara tesis ini dengan penulis, tesis ini
memfokuskan tentang hubungan atau keterkaitan antara waqf dan rumah
sakit sebagai perwujudan lembaga karena adanya waqf. Sedangkan penulis
ingin memfokuskan tentang transformasi rumah sakitnya dan itupun akan
lebih dispesifikasi lagi hanya di Baghdad sebagai pusat pemerintahan
Islam pada saat itu.
3. Sebuah skripsi yang ditulis oleh Mu’min Anis ‘Abdullah al-Baba yang
berjudul “Albimaristanatu Al-Islamiyati Hatta Nihayati Al-Khilafah Al-
Abbasiyah (1-656 H/622-1258 M).” Skripsi ini terbitan tahun 2009 oleh
Fakultas Adab, Sejarah dan Arkeologi, Al-Jami’ah Al-Islamiyah Biguzzah,
Palestina. Skripsi tersebut menjelaskan rumah sakit secara umum, baik
dari aspek pendirian, pengembangan serta sumbangsih kepada peradaban
Islam dari awal kelahiran Islam sampai masa kekhilafahan Abbasiyah.
Dalam tulisan tersebut tidak memfokuskan pada rumah sakit tertentu,
namun tulisan tersebut menjelaskan secara keseluruhan rumah sakit yang
tersebar di seluruh kawasan Islam dari masa yang telah ditentukan oleh
penulis. Sedangkan penulis ingin menjelaskan perubahan fungsi rumah
sakit pada masa yang telah ditentukan penulis.
F. Kerangka Teori
Dudung Abdurrahman dalam bukunya “Metode Penelitian Sejarah,”
menjelaskan dalam salah satu ciri dari teori ilmiah adalah suatu teori harus
bersifat kausal. Ini berarti di dalam suatu pernyataan tentang peristiwa terdapat
keterangan yang menyebutkan sebabnya, yang berarti menanyakan sebab
musabab dalam istilah sejarah dikenal dengan teori kausalitas. Menurut
Ankersmit kausalitas dalam pengkajian sejarah biasanya berkaitan dengan proses-
proses perubahan, sehingga menyebutkan “sebab” suatu peristiwa itu berkaitan
erat dengan keterangan tentang perubahan. Hal demikian sangatlah lazim dalam
pemikiran sejarah, sebab suatu proses sejarah itu sekaligus melihat hubungan
8
kausalnya dengan gejala yang lain, baik yang terjadi sebelumnya maupun
sesudahnya.16
Teori kausalitas (sebab-akibat) sangat erat kaitanya dengan perubahan,
karena menghubungkan satu peristiwa atau fakta sejarah dengan fakta-fakta
sejarah yang lainnya. Ini sangat sesuai dengan dengan kajian penulis tentang
transformasi atau perubahan rumah sakit secara fungsi lembaga. Rumah sakit
sebelum abad keempat Hijriah hanya menjadi pusat medis saja. Kemudian pada
abad sesudah keempat Hijriah berubah fungsi atau lebih tepatnya memiliki dua
fungsi sekaligus, sebagai pusat medis dan sebagai pusat pendidikan medis.17
G. Metodologi Penelitian
Penelitian ini bersifat sejarah analitis (analytical history), metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah heuristik atau pengumpulan data, kritik
sumber baik intern maupun ekstern, interpretasi atau penafsiran, dan yang terakhir
adalah tahap historiografi atau tahap penulisan sejarah.18
Proses heuristik penulis menggunakan metode kepustakaan (library
research). Penulis mengumpulkan sumber-sumber tertulis baik yang bersifat
primer maupun sekunder. Untuk sumber primer, penulis menggunakan buku
karya para ulama abad pertengahan yang masyhur dalam bidang kedokteran,
sekaligus sebagai sejarawan kedokteran pertama, yaitu Ibnu Abi ‘Usaibiah, juga
Ar-Razi, Ibnu Sina, dan tokoh lainnya yang masih terkait dengan ilmu medis
(kedokteran), sebagai tokoh kedokteran Islam yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan dunia kedokteran, baik di Timur maupun di Barat.
Untuk sumber sekunder penulis menggunakan buku-buku yang didapat
dari Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah, e-book yang diakses dari
Libgen dan Bookzz, jurnal yang diakses melalui Jstor dan e-ressource
(Perpustakaan Nasional), serta jurnal lain yang diakses melalui Google Cendekia.
Pada umumnya data-data sekunder yang penulis gunakan berupa buku, artikel,
16
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), cetak. II, h.27.
17
Mu’min Anis ‘Abdullah al-Baba. Albimaristanatu Al-Islamiyati Hatta Nihayati Al-
Khilafah Al-Abbasiyah (1-656 H/622-1258 M), (Palestina: Al-Jami’ah Al-Islamiyah Biguzzah,
2009).
18
M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar (Jakarta:
Kencana, 2014), hlm. 218-231.
9
majalah, dan tesis yang penulis temukan di Perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional, dan situs-situs-situs resmi di
internet.
Tahap berikutnya ialah kritik sumber (verifikasi). Dalam proses ini,
penulis melakukan uji keaslian sumber melalui kritik ekstern. Selain itu penulis
juga melakukan uji kelayakan sumber atau kredibilitas, yang penulis telusuri
melalui kritik intern.19 Dalam kritik ekstern penulis mengkritisi secara fisik
mengenai sumber-sumber primer yang penulis dapatkan, kritik ini dilihat dari
buku yang dituliskan oleh tokoh kedokteran Islam sekaligus sebagai sejarawan
kedokteran pertama, yaitu Ahmad bin Qâsim al-Khazraji Ma’rûf Ibnu Abî
`Usaibi’ah dalam karyanya yang berjudul “At-Tibul Islami, ‘Uyûn al-Anbâ 'fî
Tabaqât al-Atibbâ'” yang dapat dilihat atau diuji dari tulisan dan tahun terbitnya,
karena secara fisik asli (cetak) peneliti tidak menemukan langsung, karena masa
yang sangat jauh dari masa sekarang. Maka fisik yang dimaksudkan penulis
adalah tulisan fisik yang isinya sama persis dengan apa yang dituliskan oleh tokoh
tersebut.
Penulis juga menguji kredibilitas sumber (sekunder) dengan menggunakan
kritik intern. Dalam kritik intern penulis membandingkan sumber-sumber yang
penulis dapatkan. Cara menguji kredibilitas tulisan dalam buku, maka penulis
membandingkan antar sumber-sumber yang didapatkan.
Tahap berikutnya yakni melakukan interpretasi (penafsiran) terhadap
sumber-sumber yang telah penulis himpun untuk memperoleh fakta-fakta yang
berkaitan dengan fokus kajian penulis.20 Dalam tahap ini penulis menggunakan
metode analisis dan sintesis. Dalam proses analisis (penyelidikan), penulis
memperoleh beberapa fakta dari sumber-sumber yang telah penulis baca baik
sumber primer maupun sekunder.
Tahap terakhir yaitu historiografi (penulisan), dalam tahap ini penulis
menguraikan fakta-fakta yang sudah didapat ke dalam penulisan sejarah, dan
19
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), cetak. II, h.59.
20
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah...., h. 64.
10
H. Sistematika Penulisan
Secara Keseluruhan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, adapun susunan
skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab I Berisi Pendahuluan yang terdiri atas penjabaran singkat
permasalahan yang menjadi fokus kajian, identifikasi
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teori, serta sistematika penulisan.
Bab II Membahas tentang proses sejarah medis dalam dunia Islam.
Awal mula perkembangan dunia medis dan pengaruh
budaya Yunani, Persia, dan Cina sebagai pusat-pusat medis
terhadap dunia medis dalam Islam. Juga, dalam bab ini
menjelasakan bagaimana kontribusi rumah sakit Islam
terhadap masyarakat muslim dan kemajuan peradaban
Islam.
Bab III Membahas tentang proses dari sebuah transformasi rumah
sakit Islam di Baghdad. Dalam bab ini ada dua sub bab
pokok inti, pertama, peran pemerintah atau khalifah dalam
transformasi rumah sakit tersebut, karena perubahan
tersebut tidak akan lepas dari campur tangan seorang
khalifah. Kedua, usaha-usaha para intelektual muslim
dalam menerjemahkan manuskrip-manuskrip peninggalan
Yunani, Persia, dan Cina.
Bab IV Membahas efek keilmuan atau dampak yang ditimbulkan
dari transformasi rumah sakit. Dalam bab ini terdapat empat
sub bab, yaitu: pertama, tabib (dokter) dan pengajar satu
kesatuan profesi. Kedua, rumah sakit dalam hal ini
kedokteran menjadi simbol peradaban Islam. Ketiga,
11
1
Manfred Ullmann. Islamic Medicine (Inggris: Edinburg University Press, 1978), h. 5.
2
Fajar Ariyanti. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit, Cet. 1, (Jakarta Selatan: 2015), h.
80.
3
A. R. Nowsheravi. Muslim Hospitals In The Medieval Period. Islamic Studies, Vol.
22,no. 2, 1983. Diakses pada tanggal 20-10-2015 15:55 UTC,
web:http://www.jstor.org/stable/23076050, h. 52.
4
Fajar Ariyanti. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit..., h. 82.
12
13
dimana orang-orang ditangani oleh para ahli dan meniggalkan cara penyembuhan
dari kuil penyembuhan. Kuil penyembuhan lebih digunakan untuk memisahkan
antara orang-orang yang memiliki penyakit dan orang-orang gila dari masyarakat
umum, dari pada memberikan pengobatan kepada mereka. Peralatan, staf, dan
keorganisasian bîmâristân menjadi contoh bagi rumah sakit di masa selanjutnya.5
Ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan Islam tetentang kelahiran
bîmâristân. Setidaknya kita bisa menemukan tiga pendapat yang berbeda tentang
kapan pertama kali bîmâristân dibangun, diantaranya adalah :
a. Pendapat pertama mengatakan bahwa bîmâristân dibangun pada tahun awal
Islam dan merupakan perintah langsung dari Nabi. Pendapat ini sebagaimana
yang telah dijelaskan oleh Ibnu Hisyâm dalam “Sirah,” bahwa Nabi telah
memerintahkan Sa‟d bin Mu‟âdz untuk membangun sebuah tenda di dalam
Masjid Madinah untuk merawat prajurit muslim yang terluka akibat perang
khandak (parit) dalam melawan orang Quraisy yang menentang Nabi.
Pendapat tersebut juga, diungkapkan oleh Ibnu Ishâq dalam “Sirah,” bahwa
seorang wanita yang bernama Rofîdah telah ditugaskan Nabi untuk merawat
tentara muslim dalam perang parit.6 Jadi, pendapat ini menyimpulkan bahwa
tenda yang didirikan pada masa perang khandak merupakan bîmâristân
pertama dan Nabi Muhammad adalah orang pertama yang membangun
bîmâristân.7
b. Pendapat kedua dari seorang sejarawan Muslim yang bernama Taqi‟i al-Din
al-Maqrîzî dalam bukunya yang berjudul “Khitat.”8 Ia menjelaskan bahwa
bîmâristân pertama kali dibangun pada masa masa khalifah Bani Umayyah,
al-Walîd bin „Abdul Mâlik pada tahun 88 H/706 M di Damaskus.9 Ia juga,
menjelaskan bahwa khalifah sudah mempekekerjakan dokter dan
menggajinya di bîmâristân secara rutin. Pendapat ini, diperkuat juga dengan
pernyataan Guenter B. Risse dalam bukunya yang berjudul “Mending Bodies,
Saving Souls: A History of Hospitals,” bahwa rumah sakit pertama dalam
5
Fajar Ariyanti. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit..., h. 82.
6
Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam (Mesir: Muassasatu Hindawi Litta‟limi
Wassakofah, 2012), h. 10.
7
Mohammed El Ayadi. Les maristanes dans le monde arabo-musulman. Jurnal sejarah
ilmu medis, TOME XXVIII, No. 2. Maroko, Casablanca, 1994. h. 148.
8
Mohammed El Ayadi. Les maristanes dans le monde arabo-musulman..., h. 148.
9
Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam..., h. 11.
14
Islam adalah bîmâristân yang dibangun pada masa khalifah Bani Umayyah,
al-Walîd bin „Abdul Mâlîk di ibu kota Damaskus, Suriah.10
c. Pendapat ketiga dari sejarawan kontemporer Arab, yang mengatakan bahwa
bîmâristân pertama adalah bîmâristân Hârûn ar-Rasyîd (170-193 H/786-806
M).11 Ia menganggap pembangunan bîmâristân pada masa Hârûn ar-Rasyîd
yang cukup signifikan, karena pengaruh langsung dari sekolah medis
Jundîshâpûr dan perkembangan peradaban Islam dari abad ke-7.12 Dengan
demikian, bîmâristân dianggap dibangun oleh Hârûn ar-Rasyîd di Baghdad
sebagai bîmâristân pertama yang dibangun oleh orang-orang Arab.
Perbedaan pendapat mengenai kapan pertama kali dibangun bîmâristân itu
tergantung sudut pandang saja. Hemat penulis, pembangunan bîmâristân sebagai
pelayanan kesehatan sudah ada sejak masa Nabi. Sedangkan, rumah sakit sebagai
sebuah lembaga rumah sakit dibangun pada masa khalifah Bani Umayyah, al-
Walîd bin „Abdul Mâlik. Kemudian, rumah sakit mencapai puncak kejayaannya,
baik sebagai pusat pelayanan kesehatan maupun sebagai pusat pendidikan medis,
yaitu pada masa khalifah Hârûn ar-Rasyîd dan setelahnya.
Pada masa Nabi pelayanan kesehatan diberikan kepada kaum Muslim, baik
dalam keadaan damai maupun perang, seperti pada perang Badar, Uhud,
Khandak, dan perang Khaibar. Pengobatan dilakukan di tenda-tenda yang telah
didirikan oleh perawat Muslim atas perintah Nabi. Perawat yang banyak
disebutkan dalam sejarah medis pada masa Nabi adalah Rofîdah binti Sa‟ad al-
Bani Aslam al-Khazraj13, seorang perawat wanita pertama dalam Islam. Ia
memberikan banyak kontribusi terhadap pelayanan kesehatan, juga dalam aktifitas
sosial dan kemanusiaan, seperti memberikan perhatian kepada orang miskin, anak
yatim, dan penderita cacat mental, serta memberikan bekal pendidikan kepada
anak didikannya.
Pada masa khalifah al-Walîd ibnu Abdul Malik pelayanan kesehatan
sudah mengalami perkembangan dan menejemen rumah sakit terorganisir secara
10
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals (New York:
1999), h. 125.
11
„Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt
(London: 1984), h. 6.
12
Mohammed El Ayadi. Les maristanes dans le monde arabo-musulman..., h. 148.
13
Surawardi. Sistem dan Kelembagaan Pendidikan Islam Periode Madinah, Jurnal:
Management of Education, Volume 1, Issue 2, Hal. 101.
15
14
Yusuf Assidiq. Babak Kemajuan Kedokteran Islam. Republika Khazanah: Rabu, 28
Juli 2010. Hal. 28.
15
„Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in
Egypt..., h.6. Lihat juga, Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam (Mesir: Muassasatu
Hindawi Litta‟limi Wassakofah, 2012), h. 21., Ibn Abî Usaybi'ah.„Uyun al-Anba 'fi Tabaqat al-
Atibba', Juz 2..., hal. 216., Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of
Hospitals..., hal. 127.
16
Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami Sebagai Pusat
Pendidikan Perubatan Di Timur Tengah Antara Abad ke-3 hingga ke-7 Hijri (E-Journal of Arabic
Studies & Islamic Civilization, Volume 2, 2015) h. 117.
17
Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami…, h. 123.
16
bîmâristân untuk tahanan penjara, dan bîmâristân mobile atau rumah sakit
keliling.18 Bîmâristân bukan hanya digunakan sebagai rumah sakit umum, tetapi
juga sebagai universitas dimana orang-orang dapat belajar untuk menjadi dokter
atau ahli bedah dan akan menerima ijazah saat kelulusan. Oleh karena itu, rumah
sakit dalam peradaban Islam setelah abad ke-4 H memiliki dua tujuan, yaitu
kesejahtraan pasien harus ditangani dengan perawatan yang sesuai dengan
peraturan terbaru dalam perawatan medis, dan bîmâristân digunakan untuk tempat
pendidikan kedokteran bagi lulusan dokter baru agar mereka dapat merawat
pasien dengan sukses.19
Pada abad ke-9 M di Bagdad Khalifah Hârûn al-Rasyîd (786-806 M) dan
putranya al-Ma`mûn (813-833 M) mendirikan bîmâristân. Pada masanya
merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan. Pada masanya, sudah terdapat
paling tidak sekitar 800 dokter. Keadaan seperti itu sebagaimana yang telah telah
diungkapkan oleh Badri Yatim, bahwa kesejahtraan sosial, kesehatan, pendidikan,
ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman
keemasannya. Tingkat kemakmuran dan kemajuan yang sangat tinggi yang telah
diraih Islam dalam semua aspek lini kehidupan, termasuk di dalamnya
kemakmuran yang telah dialami oleh institusi kesehatan.20
Rumah sakit Islam Baghdad selanjutnya adalah Bîmâristân al-Adudi
didirikan pada tahun 982 M (372 H) oleh penguasa Buwaihi yang bernama Abû
Syujâ Fannâ Khusrau atau dikenal dengan nama „Adud al-Dawlah (928-1008
M/318H-398H). Saat didirikan rumah sakit tersebut memiliki 25 dokter, termasuk
oculist (ahli mata), ahli bedah, dan bonestters (ahli tulang).21 Namun, jumlah itu
jauh meningkat kemudian setelah didirikan. Rumah sakit ini memilki
perpustakaan besar, apotek dan dapur, disamping staf administrasi dan yang
bertugas kebersihan di rumah sakit tersebut. Selain itu, dokter bekerja dalam dua
shift (siang dan malam) dalam melayani pasien. Jadi, dalam dua puluh empat jam
18
Sharif Kaf Al-Gazal. The Origin of Bimaristans (Hospital) in Islamic Medical History
(UK: FSTC, 2007), h. 4.
19
Roziah Sidik Mat Sidek. Transformation of Hospital in the Islamic Civilization ...,h.
435.
20
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II (Jakarta, Rajawali Press,
2011), h.53.
21
Fajar Arianti. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit..., h. 84
17
dokter mampu melayani pasien secara bergantian melalui menejemen shift yang
telah diberlakukan dalam menejemen rumah sakit Islam.22
Sejarawan Muslim al-Miskawaih menggambarkan pulihnya kembali ranah
keilmuan di Baghdad. „Adud al-Dawlah memberikan hadiah kepada para hakim,
asketis, ahli tafsir, ahli hadis, ahli genealogi, ahli tata bahasa, penyair, astronom,
dokter, ahli matematika, astronom, dan banyak lagi. Di istananya, Adud al-
Dawlah membuat sebuah ruangan khusus bagi para filsuf dan ahli ilmu. Mereka
secara rutin berkumpul di sana untuk berdiskusi, berdebat, dan membangun
kegiatan intelektual. “Ilmu-ilmu akhirnya bisa dihidupkan kembali setelah
mengalami kematian sebelumnya,” papar al-Miskawaih.23
Pada tahun 1184 M (580 H) digambarkan rumah sakit seperti sebuah
istana yang sangat besar. Kurang lebih selama seratus tahun, lima bîmâristân
lainnya telah dibangun di Baghdad. Rumah sakit Islam Baghdad di awal abad ke-
10 M ditunjukan untuk memberikan perawatan medis ke penjara setiap hari dan
kunjungan dokter ke desa-desa miskin.24
Kunjungan dokter ke desa-desa juga dilakukan pada masa Sultan Saljuk
Mahmûd yang memerintah pada periode 511-525 H / 1117-1131 M terdapat
rumah sakit keliling yang berupa konvoi sejumlah besar unta yang dilengkapi
dengan alat terapi dan obat-obatan, dan disertai oleh sejumlah dokter. Konvoi ini
berkeliling desa-desa terpencil, padang pasir dan pegunungan sehingga bisa
mencapai setiap sudut negara Islam.25
Pertumbuhan rumah sakit Islam tumbuh dan berkembang bukan hanya di
Baghdad saja sebagai pusat kekhalifahan Islam. Di kota-kota besar dalam
kawasan Islam, seperti Kairo - Mesir, Damaskus, Al-Qayrawan (ibu kota Arab
dari Tunisia), Rayy (Iran) dan Cordoba. Di pusat-pusat kota tersebut terdapat
22
Ameera. Rumah Sakit dalam Peradaban Islam dalam
http://www.arrahmah.com/news/2013/11/16/rumah-sakit-sejarah-peradaban-islam-
2.html#sthash.m7tythEe.dpuf, yang telah diakses pada tanggal 20 Mei 2016.
23
Yusuf Assidiq. Adhud Al-Daulah, Pelindung Ilmu dan Seni (Republika, Khazanah:
Senin, 14 Februari 2011) h. 8.
24
Yusuf Assidiq. Tata Letak Rumah Sakit…h. 20.
25
Ameera. Rumah Sakit dalam Peradaban Islam..., h. 3.
18
rumah sakit yang besar dan menjadi rujukan umat Islam, baik dengan tujuan
berobat atau belajar ilmu medis.26
Semua rumah sakit tersebut dianggap sebagai basis ilmu pengetahuan
kedokteran karena dengan adanya rumah sakit terjadi sebuah proses
perkembangan kedokteran yang lebih efektif dan cepat karena mengkombinasikan
antara teori dan praktik secara langsung, sehingga pemahaman terhadap ilmu
kedokteran mudah dimengerti, dan ilmu medis berkembang pesat di abad
pertengahan.27
Semua rumah sakit di kawasan Islam dibiayai dari pedapatan hibah yang
disebut dengan waqaf. Orang kaya dan terutama penguasa mendonasikan properti
sebagai waqaf. Waqaf tersebut diarahkan untuk pembangunan dan pemeliharaan
rumah sakit. Anggaran negara juga menjadi bagian dari biaya pemeliharaan rumah
sakit.28 Pada saat itu layanan rumah sakit harus gratis, meskipun ada beberapa
dokter pribadi mungkin yang mengenakan biaya.29
Dana yang dibutuhkan untuk memberikan layanan pengobatan, perawatan,
hingga biaya operasional rumah sakit sepenuhnya berasal dari dana waqaf. Umat
Muslim dan penguasa mewaqafkan sebagian harta mereka untuk kepentingan
sosial dan agama. Pada masa kekhalifahan di abad pertengahan, dana wakaf yang
terkumpul cukup besar.30
Dana wakaf tersebut lebih dari cukup untuk membiayai pembangunan
serta operasional rumah sakit. Sebagian anggaran negara juga didistribusikan ke
rumah sakit, terutama untuk pemeliharaan peralatan dan penyediaan obat-obatan.
Karena itulah, rumah sakit bisa beroperasi secara maksimal dan mampu
memberikan pelayanan terbaik bagi pasien.31
26
A. R. Nowshera. Muslim Hospitals In The Medieval Period. (Islamic Studies: 1983), h.
51. Diambil pada tanggal 07 Sep. 16 di web: http://iri.iiu.edu.pk/.
27
Fajar Arianti. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit..., h. 83
28
Stefan Heidemann. The Transformation Pd Middle Eastern Cities in The 12th Century:
Financing Urban Renewa ( German Research Foundations (DFG): 2004), h.
29
A. R. Nowshera. Muslim Hospitals In The Medieval Period… h. 56.
30
Mustafa Al Anasari. Bimaristans Ana Waqf in Islam: Case Studies of Hospital
Endowments During 9th-13th Century In The Muslim World (Australia: November 2013), h. 36.
31
Mustafa al-Ansari. Bimaristan and Waqaf in Islam..., 36.
19
32
Yusuf Assidiq. Tata Letak Rumah Sakit (Republika Khazanah: Senin, 22 November
2010) h. 20.
33
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals..., h. 127.
34
Ibn Abî Usaybi'ah.„Uyun al-Anba 'fi Tabaqat al-Atibba', Juz 2. Sebuah kitab klasik
yang di dalamnya memuat 400 tokoh kedokteran Islam. Buku tersebut menjadi best seller di
zamannya dan menjadi rujukan para dokter dan calon dokter di abad pertengahan. Ibn Abî
Usaybi'ah (w. 668 H/1274 H). Kitab tersebut dikaji lagi oleh A. Muller dan Menyusunnya
kembali, kemudian dicetak di Mesir pada 1299H/1882M. Hal. 242.
35
Yusuf Assidiq. Tata Letak Rumah Sakit..., h. 20
36
Ibn Abî Usaybi'ah.„Uyun al-Anba 'fi Tabaqat al-Atibba', Juz 2..., h. 260.
37
Yusuf Assidiq. Tata Letak Rumah Sakit..., h.20.
38
Raza Naqfi, Meds & Ursula Zurawska, Meds. History of Medicine, Light in The Dark
Ages (Jurnal UWOMJ, 2008), h. 15.
20
39
Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam..., h. 117.
40
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals..., h. 127.
41
Raza Naqfi, Meds & Ursula Zurawska, Meds. History of Medicine…, h. 15.
42
Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami..., h. 117.
43
Yusuf Assidiq. Tata Letak Rumah Sakit..., hal. 20.
44
Raza Naqfi, Meds & Ursula Zurawska, Meds. History of Medicine…, h. 15.
45
Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam..., h. 16.
46
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals..., h. 128.
21
47
Yusuf Assidiq. Tata Letak Rumah Sakit..., hal. 20.
48
Yasser Tabbaa. The Function Aspect of Medieval Islamic Hospital..., h. 106-107.
22
55
Sulaiman Fayyadh. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler..., h. 18.
56
Fajar Arianti. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit..., h. 99.
57
Yusuf Assidiq. Tata Letak Rumah Sakit..., hal. 20.
58
Fajar Arianti. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit..., h. 99.
59
Ja‟far Khadem Yamani. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya (Bandung:
2005) h. 43.
24
60
Ja‟far Khadem Yamani. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya (Bandung:
2005) h. 43.
61
Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami..., h. 121.
25
62
Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt
(London: 1984), h. 6.
BAB III
DI BAGHDAD
1
Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam (Mesir: Muassasatu Hindawi Litta‟limi
Wassakofah, 2012), h.8.
2
Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam…, h. 11.
3
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
h.52.
4
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah.., h. 52.
5
Yusuf Assidiq. Adhud Al-Daulah, Pelindung Ilmu dan Seni (Republika, Khazanah: Senin,
14 Februari 2011), h.8
6
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals (New York: 1999),
h. 126.
25
26
Dari kutipan tersebut, dapat penulis pahami bahwa peran seorang kepala
pemerintahan atau dalam hal ini peran seorang khalifah dalam kekhilafahan Islam
sangat penting keberadaanya, karena peran khalifah mampu mempengaruhi
perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban Islam. Jadi, kemajuan
ilmu medis dalam hal ini kemajuan rumah sakit sangat erat kaitannya dengan peran
khalifah sebagai penentu kebijakan.
Mengapa kemajuan rumah sakit menjadi salah satu tolak ukur kemajuan ilmu
medis. Begitu pula sebaliknya, mengapa kemajuan ilmu medis dijadikan indikator
kemajuan rumah sakit. Karena, rumah sakit dan ilmu medis merupakan satu kesatuan
yang saling menguatkan dalam sebuah manajemen rumah sakit. Konsep dwifungsi
7
„Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt
(London: 1984), h. 6.
8
Chairudin P. Lubis. Sejarah Ilmu Kedokteran (USU: 2008), h. 4.
9
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: 2014), h. 21.
27
(teoritis dan praktis) yang diterapkan di rumah sakit Islam mampu mendongkrak
kemajuan ilmu medis sekaligus mengembangkan rumah sakit.
Pada masa kekhilafahan Abbasiyah corak keilmuan sangat tampak pada
pribadi diri khalifah Abbasiyah. Kecintaan khalifah terhadap ilmu pengetahuan
mendorong umat Islam untuk memperkaya sumber dari peninggalan-peninggalan
bangsa yang pernah jaya sebelum Islam, seperti ilmu pengetahuan dalam bentuk
manuskrip dari peradaban Yunani.10 Pemerintahan Islam membiayai semua proses
penerjemahan bahasa dari bahasa Yunani, Syiria, Hindia, dll ke dalam bahasa Arab
sebagai bahasa resmi pemerintahan Islam dan bahasa ilmu pengetahuan abad
pertengahan. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Badri Yatim, bahwa terdapat
dua hal yang menjadi penentu kemajuan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan.11
Pertama, terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain
yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada
masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa Non-Arab banyak yang masuk Islam.
Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Pengaruh Persia sangat kuat
di bidang pemerintahan, juga banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan
sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan
astronomi. Sedangkan, pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan
dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat. Jadi, bangsa-bangsa tersebut masing-
masing memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dalam
Islam.12
Kedua, gerakan penerjemahan yang berlangsung selama tiga fase. Fase
pertama, pada masa khalifah al-Mansûr (754-775 M/ 138-159 H) hingga Hârûn al-
Rasyîd (786-809 M/170-193 H). Fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-
karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua, masa khalifah Al-Ma‟mûn
(813-842 M/197-217 H) hingga tahun 925 M/300 H. Buku-buku yang banyak
diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga, berlangsung
10
Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt..., h.
7.
11
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II (Jakarta, 2011), h. 55.
12
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam..., h. 55.
28
setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas, bidang-bidang ilmu
yang diterjemahkan semakin meluas.13
Selain itu, kemajuan ilmu pengetahuan, dalam hal ini ilmu kedokteran
tersebut tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan khalifah yang sangat mendukung
untuk majunya ilmu pengetahuan. Kebijakan-kebijakan tersebut di antaranya:14
1. Gubernur, panglima, dan pengawal lainnya, banyak diangkat golongan mawali
keturunan Persia.
2. Kota Baghdad dijadikan ibu kota negara dan menjadi pusat kegiatan politik,
ekonomi, sosial dan kebudayaan.15 Dengan demikian Baghdad menjadi pusat
internasional yang sangat sibuk dan rami, tempat berkumpul unsur Arab, Turki,
Persia, Romawi, Mesir, Hindia dan sebagainya.
3. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang sangat urgen dan mulia. Para
khalifah dan pembesar lainnya membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk
kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
4. Kebebasan berfikir sebagai hak asasi manusia diakuin sepenuhnya. Akal pikiran
dibebaskan dari belenggu taklid sehingga orang leluasa mengeluarkan pendapat
dalam segala bidang.
5. Para menteri keturunan Persia diberikan hak penuh dalam menjalankan
pemerintahan sehingga mereka memegang peranan penting dalam membina
tamaddun16 Islam.
Jika kita perhatikan dari kebijakan-kebijakan tersebut maka kita bisa melihat
terdapat tiga aspek penting yang menjadi dasar sebuah kemajuan ilmu pengetahuan.
Pertama, khalifah sebagai penggerak. Kedua, ulama atau ahli ilmu (mayoritas dari
keturunan Persia) yang digerakan penggerak (khlaifah), dalam konteks ini gerakan
penerjemahan. Ketiga, kenapa ulama Islam mampu melampaui kemajuan ilmu bangsa
sebelumnya. Jawabannya adalah karena umat Islam diberikan kebebasan berfikir oleh
13
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam..., h. 56.
14
Ahmad Fadlali, dkk. Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: 2009), h. 65.
15
Salah Zaimeche, dkk. Baghdad (UK: 2005), h. 03.
16
Tamaddun dalam kalimat tersebut dimaknai dengan keadaan masyarakat manusia yang
dicirikan atau didasarkan pada taraf kemajuan kebendaan serta perkembangan pemikiran (sosial,
budaya politik, dll) yang tinggi.
29
17
Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt..., h.
8.
18
Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt..., h.
8.
19
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam..., h. 3.
20
Mohammad Reza Afshar. Jundishapur, A Symbol of Intercultural Understanding..., h. 519.
30
sakit. Ketika khalifah Bani Abbas yang bernama Abû Ja‟fâr al-Mansûr sakit (tahun
765 M), atas nasihat mentrinya, Khâlid Ibnu Barmâk (orang Persia), kepala rumah
sakit Jundîshâpûr, Jurjîs Ibn jibrîl ibn Bakhtîshû21 dipanggil untuk mengobatinya.
Khâlid Ibnu Barmâk sendiri berasal dari Bactra. Keluarga Barmak dikenal sebagai
keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan serta falsafat dan condong pada paham
Muktazilah.22
Di kota Jundîshâpûr (sekarang Khūzestān, Iran) ini juga tinggal keluarga al-
Mâsawayh (meninggal tahun 857 M). Ia seorang lulusan lembaga kedokteran tinggi
Jundîshâpûr. Untuk mengamalkan ilmunya, ia pergi ke Baghdad dan akhirnya
bermukim kota Bagdad. Pada masa khalifah Hârûn ar-Rasyîd, al-Mâsawih menjadi
tabib istana sekaligusn sebagai kepala “baitul hikmah.”23 Ia adalah seorang tabib
termashur dan tidak taklid pada siapapun. Maka al-Mâsawaih pun menyusun kitab-
kitab kedokteran yang berisikan metode kedokterannya sendiri.24
21
„Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt..., h.
6.
22
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam..., h. 4.
23
Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt..., h.
7.
24
A. R. Nowsheravi. Muslim Hospitals In The Medieval Period. Islamic Studies, Vol. 22, no.
2, 1983. Diakses pada tanggal 20-10-2015 15:55 UTC. web:http://www.jstor.org/stable/23076050, h.
52.
25
Ana Maria Negoita. The City Of Mansur The Builder. Baghdad Between The Caliph’s Will
Andshari’ah Norms (University of Bucharest: 2011), h. 117.
31
1. Hunayn Ibnu Ishâq (wafat 873 M), seorang Kristen, yang pandai berbahasa Arab
dan Yunani (pernah berkunjung ke Yunani). Ia menguasai bahasa Siryani, Arab,
Yunani, Latin, Persia, dan sedikit bahasa Yahudi Ibrani baru.28 Ia terjemahkan 20
buku Galen ke dalam bahasa Syiria dan 14 buku lain ke dalam bahasa Arab.
Hunayn mempunyai 90 pembantu dan murid dalam kegiatan penerjemahan ini.29
2. Anak Hunayn bernama Ishâq (wafat 910 M) dan Hubays, kemenakan Hunayn.
Keduanya telah menterjemahkan 73 buah kitab, yaitu 60 buah dari bahasa
Yunani kedalam bahasa Arab, dan 13 buah dari bahasa Yunani ke dalam bahasa
Siryani.30
3. Tsâbit Ibnu Qurrah al-Hurâni (825-901 M) dari Hurran, Irak. Ia adalah salah satu
murid Hunayn yang cukup terkenal.31
4. Abu Bisr Matta Ibnu Yûnus (wafat 939 M), juga seorang Kristen.32
5. Yuhana Ibnu Mâsawaih ad-Damsyiki, ia adalah seorang tahbib dan guru at-thibb
di akademi Jundîshâpûr. Ia hidup pada pertengahan abad ke-3 H.33
6. Jâbir ibnu Hayyân, ia lahir dari keluarga al-Bârmaki seorang menteri terpenting
pada zaman khlaifah Hârûn ar-Rasyîd. Ia terkenal sebagai seorang tabib ahli
obat, filsafat dan ahli kimia.34
7. Abû Bakar ibnu Zakariya ar-Râzi (251-320 H/841-925 M), seorang Persia yang
lahir di Rayy. Kitab al-Hawi fi al-Tibb merupakan karyanya yang sangat
26
Manfred Ullman. Islamic Medicine (Inggris: Edinburgh University Press, 1978), h. 7.
27
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam..., h. 4.
28
Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt..., h.
7.
29
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam..., h. 4.
30
Ja‟far Khadem Yamani. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya (Bandung:
2005) h. 55.
31
Ja‟far Khadem Yamani. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya..., h. 56.
32
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam..., h. 4.
33
Ja‟far Khadem Yamani. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya..., h. 57.
34
Ja‟far Khadem Yamani. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya..., h. 57.
32
monumental.35 Ia mengkaji ilmu kedokteran dari `Ali ibnu Sûhal bin Rabân at-
Tabâri, ia banyak menulis kedokteran, salah satunya Kitabu al-Firdaus al-
Hikmah.36
Dengan kegiatan penerjemahan ini, sebagian besar dari karangan-karangan
Aristoteles, juga sebagian dari karangan-karangan Plato serta karangan-karangan
mengenai Neoplatonisme, sebagian besar dari karangan Galen serta karangan-
karangan dalam Ilmu kedokteran lainnya, dan juga mengenai karangan-karangan
mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapatlah dibaca oleh alim ulama Islam.
Dengan usaha penerjemahan-penerjemahan tersebut maka munculah dari
kalangan umat Islam sendiri filosof-filosof dan ahli-ahli ilmu pengetahuan, terutama
dalam ilmu pengetahuan kedokteran, seperti „Abdûl Abbas al-Sarkasyi (abad ke-9
M). Filosof Islam yang pertama, muncul di abad ke-9 M adalah al-Kindi, diikuti oleh
filosof-filosof lain seperti al-Râzi (abad ke-9 M), al-Farabi (abad ke-9 M), Ibnu Sina
(abad ke-10 M), al-Birûni (abad ke-10 M), Al-Maushili (abad ke-10 M), Ibnu Butlan
(abad ke-10), Ibnu Zuhrî (abad ke-11 M), Ibnu Thufail (abad ke-11 M), ibnu Habal
al-Baghdadi (abad ke-11 M) ,al-Qurthûbi (menjelang abad ke-12 M), Ibnu Nâfis
(abad ke-12 M), ibnu Khâitam (abad ke-13 M) dan lain-lain.37 Filosof-filosof ini
banyak dipengaruhi oleh pemikiran filosof-filosof Yunani, terutama Aristoteles, Plato
dan Plotinus.38
Para penerjemah tersebut bukan hanya menterjemahkan semata, namun
mereka juga membuat banyak terobosan. Para penerjemah mengkobinasikan hasil
dari semua yang didapat dari penerjemahan manuskrip tersebut dengan nilai-nilai
Islam. Sebagimnana yang dapat kita temukan dalam karyanya Hunayn Ibn Ishâq yang
berjudul “Ten Treatises of the Eye”, karya tersebut menunjukan kemajuan yang
sangat signifikan jika dibandingkan dengan pengetahuan pada masa Yunani.39
35
Muhammad Mojlum Khan. 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah (Jakarta:
2012), h. 391.
36
Ja‟far Khadem Yamani. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya..., h. 56.
37
Ja‟far Khadem Yamani. Kedokteran Islam, sejarah dan perkembangannya..., dari h. 58-74.
38
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam..., h. 4.
39
Raza Naqvi, Meds & Urszula Zurawska, Meds. History Of Medicine, Light in The Dark
Ages (UWOMJ: 2008), h. 16.
33
Dengan melihat peran khalifah yang begitu besar pada ilmu medis, maka
banyak dilakukan penerjemahan-penerjemahan manuskrip ilmu medis. Selain upaya
penerjemahan manuskrip, khalifah juga memerintahkan membangun rumah sakit
sebagai pusat medis. Di sini pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat dalam
pembangunan rumah sakit Islam.40 Pengaruh tersebut menjadi salah satu faktor
penyebab terjadinya transformasi bimaristan.
Pengaruh Persia yang dimaksudkan penulis di sini adalah pengaruh akademi
Jundîshâpûr sebagai pusat pendidikan medis sekaligus sebagai pusat medis yang
dibangun pada masa Shapur II (309-379 M) Dinasti Sassanid.41 42
Pada masa
Khalifah Harûn ar-Rasyîd, khalifah memerintahkan pembangunan rumah sakit,
kemudian memberikan kuasa atas rumah sakitnya tersebut kepada Jurjîs ibn Jibrîl ibn
Bakhtîshû‟ sebagai kepala rumah sakit (Sau’r).43 Bakhtîshû sendiri adalah lulusan
sekolah Jundîshâpûr. Sehingga pengalaman keilmuan yang didapatkan Bukhtîshû dari
Jundîshâpûr diterapkan juga pada rumah sakit Islam.
Jadi, peran khalifah dalam mendorong pengembangan ilmu medis, baik
materil maupun moril terhadap pembangunan rumah sakit dan gerakan penerjemahan
menjadi salah satu penyebab terjadinya transformasi rumah sakit.
40
Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt..., h.
6.
41
Sayyed Husein Nasr. Science and Civilization in Islam. Harvard University Press,
Massachussets, UK.,1968. Hal. 384.
42
Mohammad Reza Afshar. Jundishapur, A Symbol of Intercultural Understanding. Sebuah
jurnal Jundishapur J Microbiol, 03 Juli 2012. Ahvaz, IR Iran. H. 519.
43
Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt..., h.
6.
BAB IV
34
35
4
Yusuf Assidiq. Tata Letak Rumah Sakit..., h. 20.
5
M. Akram Dajani. Medical Education in Islam Civilization, artikel JIMA: Vol. 21,
(Jordan: 1989), h. 166.
6
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals..., h. 125.
7
„Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt
(London: 1984), h. 42.
8
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals..., h. 125.
9
„Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in Egypt
(London: 1984), h. 6.
36
langusung melihat sang guru (sâu’r)10 bagaimana ilmu medis itu dipraktikan
(kombinasi antara teoritis dan praktis).11 Jika kita bandingkan tempat pendidikan
ilmu medis pada masa-masa sebelumnya, seperti menggunakan masjid, baitul
hikmah, house of science (rumah ilmu), dan sekolah kedokteran teoritis.12 Oleh
karena itu, penulis menyimpulkan bahwa keberadaan rumah sakit sangat penting
dan menjadi simbol kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu medis.
Rumah sakit Islam bukan hanya sebagai simbol kemajuan ilmu medis,
akan tetapi juga sebagai simbol kekuasaan politik dan ekonomi. Sebagaimana
yang telah diungkapkan oleh Guenter B. Risse dalam bukunya yang berjudul
“Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals,” bahwa rumah sakit
menjadi simbol kekuasaan politik dan ekonomi. Berdirinya rumah sakit
menunjukan eksistensi kekuasaan politik, terlihat dari nama-nama rumah sakit
yang telah dibangun oleh khalifah, contohnya khalifah „Adudu Ad-Dawlah,
penguasa Buwaihi, mendirikan sebuah rumah sakit dengan nama Bîmâristân al-
Adudi. Sedangkan, rumah sakit dikatakan simbol kekuasaan ekonomi, karena
stabilitas ekonomi sebuah pemerintahan stabil. Pembangunan rumah sakit yang
mewah dengan dilengkapi fasilitas yang lengkap adalah bukti bahwa ekonomi
pemerintahan Islam stabil, sehingga mempu mendanai semua keperluan rumah
sakit Islam. Maka dari itu, rumah sakit terus mengalami perkembangan yang
sangat siginifikan pada abad pertengahan. Khususnya setelah abad ke-9 M/4 H,
rumah sakit besar sudah menyebar di seluruh kota-kota besar Islam, seperti Kairo
(874 M), Baghdad barat (918 M), timur Baghdad (981 M), Damaskus (1156 M),
Kairo (1284 M), dan Granada (1366 M).13
10
Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam (Mesir: Muassasatu Hindawi Litta‟limi
Wassakofah, 2012), h. 16.
11
Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami Sebagai Pusat
Pendidikan Perubatan Di Timur Tengah Antara Abad ke-3 hingga ke-7 Hijri (E-Journal of Arabic
Studies & Islamic Civilization, Volume 2, 2015) h. 123.
12
M. Akram Dajani. Medical Education in Islam Civilization..., h. 167-168.
13
Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals..., h. 126.
37
19
Sulaiman Fayyadh. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler..., h. 16.
20
Sulaiman Fayyadh. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler..., h. 22-23.
21
Sulaiman Fayyadh. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler..., h. 22.
39
22
M. Akram Dajani. Medical Education in Islam Civilization, artikel JIMA: Vol. 21,
(Jordan: 1989) h. 168.
23
Akram M. Dajani. Medical Education in Islam Civilization..., hal. 167-168.
24
Akram M. Dajani. Medical Education..., h. 168.
40
25
Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami..., h. 118.
26
Sulaiman Fayyadh. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler..., hal. 13.
27
„Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in
Egypt..., h.6. Lihat juga, Ahmad „Isa. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam (Mesir: Muassasatu
Hindawi Litta‟limi Wassakofah, 2012), h. 21., Ibn Abî Usaybi'ah.‘Uyun al-Anba 'fi Tabaqat al-
Atibba', Juz 2..., hal. 216., Guenter B. Risse. Mending Bodies, Saving Souls: A History of
Hospitals..., hal. 127.
28
Akram M. Dajani. Medical Education..., h. 168.
41
itu hanya bisa ditemukan dalam institusi bîmâristân. Karena mahasiswa bebas
memilih guru atau pembimbing, namun tetap berada dalam aturan-aturan
organisasi bîmâristân.29 Jika kita bandingkan metode pembelajaran ilmu medis
antara sebelum dan sesudah terjadinya transformasi, maka kita bisa melihat
perbedaannya dari aspek metode pengajarnya (al-sa’ur). Pada awal Islam sampai
sebelum abad ke-4 H, ilmu medis diajarkan secara turun-temurun, seperti yang
telah dipraktekan oleh Nazar bin al-Harîts bin al-Khâladah al-Taqafî (meningga
abad ke-2 H) yang belajar ilmu medis dari ayahnya al-Harîts b. al-Khâladah,30
Hunayn bin Ishâq mengajar anaknya Daud dan Ishâq dan Tsabit bin Qurrah
mengajar anaknya Sinân bin Tsâbit.31 Juga, keluarga yang terkenal sebagai ahli
medis secara turun temurun yaitu keluarga al-Bukhtîsyû‟. Keluarga ini
mempunyai 11 orang ahli medis yang mengabdikan diri dalam daulah
„Abbasiyyah.32
Sedangkan, setelah terjadinya transformasi bîmâristân yang terjadi setelah
abad ke-4 H. Metode pengajaran ilmu medis dipraktekan secara terorganisir dalam
sebuah institusi pendidikan ilmu medis, atau dikenal sebutan bîmâristân. Metode
seperti ini digambarkan oleh Ibnu Nafis (Abu „Al-„Ala‟i Ali) ketika ia
mengunjungi bîmâristân An-Nuri, dalam rangka pertemuan para dokter terkemuka
pada masa itu.33 Pertemuan itu dihadiri oleh Ad-Dahwâr Muhazibudîn
„Abdurrahîm (ahli mata), Radiuddîn ar-Rahabi (guru dari Ad-Dahwâr), Dr. Imran
Israili, Ibnu Abi `Usahaibi`ah, Badruddin al-Muzaffar, „Abdul Latîf al-Muhandis
dan Yusuf as-Sabti.34 Pertemuan tersebut berlangsung di ruangan yang cukup luas
di dalam bangunan rumah sakit. Ruangan tersebut dilengkapi dengan buku-buku
kedokteran yang berjejer rapi. Ruangan tersebut, biasa digunakan unutuk
perkuliahan ilmu medis bersama calon-calon dokter.35
29
Akram M. Dajani. Medical Education..., h. 171.
30
Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami..., h. 119.
31
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: 2014), h. 4. Lihat juga,
Ibn Abî Usaybi'ah.‘Uyun al-Anba 'fi Tabaqat al-Atibba', Juz 1..., h. 215 – 226.
32
Ibn Abî Usaybi'ah.‘Uyun al-Anba 'fi Tabaqat al-Atibba', Juz 1..., h. 123 – 148. Juga,
disebutkan oleh Hairun Najuwah Jamali, dkk. Hospital Dalam Tamadun Islami..., h. 119.
33
Sulaiman Fayyad. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler (Yogyakarta:
1993), h. 16.
34
Sulaiman Fayyad. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler..., h, 23.
35
Sulaiman Fayyad. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler..., h, 23-25.
42
Dari gambaran yang dijelaskan oleh Ibnu Nafis tersbut, penulis ingin
menyatakan bahwa perkuliahan tersebut diikuti oleh siapa saja masyarakat
muslim yang ingin mendalami ilmu medis. Tanpa harus ada sebuah ikatan
kekeluargaan (turun-temurun) dengan sang guru (tabib) senior. Oleh karena itu,
masyarakat Muslim lebih mudah untuk mengakses ilmu-ilmu medis, jika
dibandingkan pada masa sebelum terjadinya transformasi bîmâristân.
Dari ketiga faktor tersbut penulis menyimpulkan bahwa era baru dalam
dunia medis yang mencapai kegemilangan merupakan hasil dari sebuah
transformasi bîmâristân. Transformasi bîmâristân mengindikasikan perubahan dan
keberhasilan ahli medis Islam yang sukses dalam mengembangkan ilmu medis
menjadi kiblat atau tolak ukur kemajuan ilmu medis dunia. Sehingga institusi
bîmâristân patut penulis katakan sebagai salah salah satu simbol peradaban dunia.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
43
44
B. Saran
Melalui skripsi ini penulis berusaha untuk menjadi penggiat kajian sejarah
ilmu medis, atau lebih tepatnya kajian lembaga rumah sakit Islam (bîmâristân).
kajian rumah sakit Islam masih terbilang minim, sehingga menurut penulis sangat
tepat jika penulis melakukan kajian rumah sakit Islam dalam perkembangan
sejarah peradaban Islam. Meskipun penulis merasa cukup sulit untuk mendaptkan
sumber primer, karena rentang waktu yang sangat jauh. Penulis mengambil tahun
dari abad ke-2 H sampai abad ke-7, karena proses transformasi rumah sakit Islam
berlangsung pada rentang waktu tersebut. Meskipun, terjadinya transformasi
tersebut berlangsung pada abad ke-4 H dan sesudahnya. Oleh karena itu, dengan
rentang waktu yang begitu panjang, penulis hanya mampu menemukan beberapa
sumber yang dijadikan sebagai sumber primer, diantaranya adalah karangan Ibn
Abî Usaybi'ah yang berjudul ‘Uyûn al-Anbâ` fî Tabaqât al-Atibbâ`, ia adalah
tokoh yang lahir abad ke-13 dan menulis buku tersebut. Ia dikenal sebagai
sejarwan kedokteran pertama.
Kajian ini akan menjadi menarik jika diperkaya dengan sumber-sumber
primer. Karena setelah ditelusuri keberbagai sumber, tranfomasi bîmâristân ini
memiliki efek yang sangat besar terhadap kemajuan ilmu medis dunia. Peran
bîmâristân yang mengemban dua tanggung jawab, sebagai pusat medis dan
sebagai pusat pendidikan medis, ternyata bukan melemahkan perannya sebagai
institusi. Namun, justru sebaliknya, dengan terjadinya transformasi banyak
perubahan dalam mendukung perkembangan ilmu pengetahuan secara umum.
Maka dari itu, penulis sebagai peneliti ilmu medis (bîmâristân)
menyarankan, kepada para pengkaji, pendidik, dan kepada yang mempunyai
wewenang (kebijakan) terkait dengan ilmu medis dan kedokteran, serta rumah
sakit, menyarankan:
45
a. Kepada pengkaji (peneliti lain) terkait ilmu medis, dalam hal ini yang
dimaksudkan adalah rumah sakit. Penulis menyarankan kajian lebih
konpherensif lagi terkait institusi rumah sakit, karena penulis sadar
betul akan kekuarangan kajian ini.
b. Kepada pendidik (lembaga medis). Metode pembelajaran medis yang
telah diterapkan pada abad pertengahan yang menggabungkan antara
teoritis dengan praktis eksperimental, sebagai bentuk akibat dari
transformasi rumah sakit. Penulis menilai metode seperti itu mampu
diterapkan di lembaga-lemabaga medis di Indonesia dan mampu
menghasilkan para dokter yang benar-benar ahli serta kompeten
dalam bidang kedokteran.
c. Kepada pemegang kebijakan (pemerintahan). Dukungan yang kuat
(moril dan materil), terhadap realisasi pengembangan ilmu medis di
Indonesia. Sebagaimana yang telah dicontohkan dalam sejarah Islam,
para khalifah memberikan dukungan penuh – penerjemahan,
pebangunan rumah sakit, serta dilengkapi dengan kaya sumber
bacaan – melalui lembaga waqaf dalam hal pendanaan (materil) dan
pribadi diri khalifah yang cinta akan ilmu pengetahuan (moril).
Wallau’alam Bishawwab
Daftar Pustaka
Buku
‘Alî ibn Ridwân. Medieval Islamic Medicine; On the Prevention of Bodily Ills in
Egypt. Diterjemahkan oleh Dols, Michael W, tahun 1942. Judul asli
buku tersebut adalah Risâlah fî daf’mdârr al-abdân bi-ard Misr.
London: University of Clifornia Press, 1984.
‘Isa, Ahmad. Tarikhu al-Bimaristan fi al-Islam. Mesir: Muassasatu Hindawi
Litta’limi Wassakofah, 2012.
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah, cet. Ke-2, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999.
Al-Gazal, Sharif Kaf. The Origin of Bimaristans (Hospital) in Islamic Medical
History. United Kingdom: FSTC, 2007.
Ariyanti, Fajar. Manajemen Pelayanan Rumah Sakit. Jakarta Selatan: UIN Press
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
B. Risse, Guenter. Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals. New
York: Oxford University Press, 1999.
Bakar, Osman. The History And Philosophy Of Islamic Science, Britis:
Islamic Text Society, 1999.
Fayyadh, Sulaiman. IBNU NAFIS, Penemu Pembuluh Darah Kapiler.
Yogyakarta: CV. PUSTAKA MANTIK, 1993.
Ibn Abî Usaybi'ah. At-Tibul al-Islâm 1, ‘Uyûn al-Anbâ’ fî Tabaqat at-tibba'.
A.Muller (ed). Frankfurt: Universtas Frankfurt, 1995.
Ibn Abî Usaybi'ah. At-Tibul al-Islâm 2, ‘Uyûn al-Anbâ’ fî Tabaqat at-tibba'.
A.Muller (ed). Frankfurt: Universtas Frankfurt, 1995.
Khan, Muhammad Mojlum. 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah.
Penerjemah, Wiyanto Suud, Khairul Imam; editor, Hanif. Jakarta:
Noura Books, 2012.
Madjid, M. Dien dan Wahyudi, Johan. Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, Jakarta:
Kencana, 2014.
Mustofa Dâhiri, ‘Abdul Wahhâb. ‘Imâratu al-Mujma’ât wa al-Mabâni at-
Tabiyyah (al-Bîmâristânât) fi al-Islâm. e-Book from www.alukah.net.
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intlektual Barat, Deskripsi
Analisis Abad Keemasan Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Nasr, Sayyed Husein. Science and Civilization in Islam. Harvard University
Press, Massachussets, UK.,1968.
46
47
Raza Naqfi, Meds & Ursula Zurawska, Meds. History of Medicine, Light in The
Dark Ages. Jurnal UWOMJ, 2008.
Rodini, Mohammad Amin. Medical Care in Islamic Tradition During the Middle
Ages. Iran: International Journal of Medicine and Molecular Medicine,
2012.
Surawardi. Sistem dan Kelembagaan Pendidikan Islam Periode Madinah, Jurnal:
Management of Education, Volume 1, Issue 2.
Tabbaa, Yasser. The Functional Aspects of Medieval Islamic Hospitals, -
capter five.
Virk, Zakaria. Medical Breakthroughs in Islamic Medicine, Canada.
Zaimeche, Salah, dkk. Bagdad, United Kingdom: FSTC Limited, 2015. Negoita,
Ana Maria. The City Of Mansur The Builder. Baghdad Between The
Caliph’s Will And Shari’ah Norms. Artikel University of Bucharest,
Bucharest, 2011.
Sumber: https://www.pinterest.com/pin/503418064575800298/
49
50
Lampiran 1.4 – Rumah sakit an-Nûri. Rumah sakit ini dibangun oleh Nur ud-Din
Zanki pada 1154 sebagai rumah sakit dan sekolah kedokteran. RS ini memiliki
kedudukan penting sebagai lembaga medis dan paling maju pada masanya serta
terus berfungsi sebagai rumah sakit sampai abad ke-19. Bangunan ini kini
difungsikan sebagai museum kedokteran Islam.
Sumber: http://keprimedia.com/2016/09/15/rumah-sakit-tertua-dalam-sejarah-
islam/
Sumber:
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Rare_medical_manuscript_in_Arabic_script_f
rom_the_Manuscript_Institute.jpg#/media/File:Rare_medical_manuscript_in_Arabic_sc
ript_from_the_Manuscript_Institute.jpg
Lampiran 1.2 – Batu Akrad untuk Waqaf Bîmâristân yang menempel di pintu
Bimaristan.
Sumber: Gambar ini diambil dari buku sejarah Bîmâristân yang ditulis oleh
Ahmad ‘Isa yang diterbitkan pada tahun 2012 di Mesir.
Lampiran 1.3 – Ilustrasi pengobatan yang dilakukan oleh thabib (dokter) yang
dikelilingi oleh para murid.
Sumber: http://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/dokter-
muslim-saat-mengobati-pasien-ilustrasi-_120612210522-497.jpg