Anda di halaman 1dari 88

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul: “Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung dalam Kisah Adam


(Kajian Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Baqoroh 2:30-39)” diajukan kepada Fakultas ilmu
Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan
lulus dalam Ujian Munaqosyah pada, 31 Maret 2008 dihadapan para penguji. Karena itu,
penulis berhak memperoleh gelar sarjana S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama.

Jakarta, 31 Maret 2008

Panitia Ujian Munaqosyah

Ketua Panitia ( Ketua Jurusan/Prodi) Tanggal Tanda Tangan

Drs. H. A. Fattah Wibisono, M. Ag ………. ………………


NIP: 150 236 009

Sekretaris (sekretaris Jurusan/Prodi)


Drs. Sapiudin Shidiq, M. Ag ………. ………………
NIP: 150 299 477

Penguji II
Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi M.A ………. ………………

Penguji I
Drs. Abdul Haris M. Ag ………. ………………

Mengetahui:
Dekan,

Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A


LEMBAR WISUDA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1. Nama : Habibillah
2. Tempat/Tanggal Lahir : Bogor, 6 Januari 1982
3. NIM : 103011026678
4. Jurusan : Pendidikan Agama Islam
5. Program : Reguler (S1)
6. Judul Skripsi : Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung dalam
Kisah Adam (Kajian Tafsir Al-Qur’an Surah Al-
Baqoroh 2:30-39.
7. Pembimbing : Prof. Dr. H. Salman Harun
8. Penguji : Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, M.A
: Drs. Abdul Haris M. Ag
9. Tanggal Lulus : 31 Maret 2008-04-01
10 . Nomor Ijazah :-
11. Indeks Prestasi/Yudisium : 2.96
12. Jabatan dalam Organisasi
Kemahasiswaan :-
13. Alamat Asal : Jl. Tegar Beriman Curug Pakansari Rt. 03/04
Cibinong Bogor
14. Alamat Sekarang : Idem
15. Nama ayah : H. Yazid Bustomi
16.Pendidikan terakhir Ayah : PGA
17. Pekerjaan Ayah : Guru
18. Nama Ibu : Hj. Amenah
19. Pendidikan Terakhir : M.I
20. Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga

Jakarta, 31 Maret 2008


Calon Wisudawan

(Habibillah)
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat 27 Maret 2008

Habibillah
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur bagi Allah, berkat pertolongan dan
ridha-Nya, skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah
kepada Nabi Muhammad saw, keluarga serta para sahabatnya yang senantiasa setia dan
taat kepada beliau hingga akhir zaman.
Penulis sangat menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak sekali
kekurangan, meskipun waktu, tenaga, dan pikiran telah diperjuangkan dengan segala
keterbatasan kemampuan yang penulis miliki, demi terselesainya agar bermanfa’at bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Sebelumnya penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
ayahanda dan ibunda tersayang, walaupun saat ini ayahanda sedang sakit, tapi beliau
tetap memberikan cinta, kasih sayang dan perhatiannya kepada ananda, semoga
penyakit beliau disembuhkan dan semua jasa yang telah beliau lakukan diterima Allah
swt, serta dibalas dengan berlipat ganda, dan semoga Allah selalu memberikan taufiq
dan inayah-Nya.
Keberhasilan penulis selama belajar dan menyusun skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan, motivasi, serta bimbingan dari berbagai pihak oleh karena itu, penulis
menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan kepada:

1. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
para pembantu dekan.
2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan beserta staf-stafnya.
3. Dosen pembimbing skripsi, terima kasih atas waktu, tenaga dan ilmu serta kesabaran
dalam membimbing dan mengarahkan penulis, dalam menyusun skripsi.
4. Bapak dan ibu dosen yang telah mengajarkan ilmunya selama penulis mengikuti
perkuliahan, semoga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat.
5. Kepala Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Tarbiyah beserta
staf-stafnya yang telah membantu penulis dalam mencari referensi.
6. Kawan-kawan Pendidikan Agama Islam angkatan 2003 khususnya kelas B, yang
selalu menemaniku selama belajar di kampus ini.
7. sahabat-sahabat terdekatku (Pacet’s Community), Wilkin, Heru, Maulana,
Amiruddin dan Lukman terima kasih atas kekompakan dan motivasinya.
8. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini
Semoga Allah swt. membalas kebaikan yang telah mereka berikan. Mohon ma’af
apabila terdapat kesalahan, kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini.
Dari sistematika, bahasa maupun dari segi materi, penulis menyadari bahwa skripsi
ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan komentar,
saran, dan kritiknya dari pembaca. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfa’at.
Amin…

Jakarta, Maret 2008

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ………………………….………………………….i


KATA PENGANTAR …………………………………….…………………….ii
DAFTAR ISI ……………………………………………….…………………...iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………….…………………1
B. Masalah Penelitian …………………………………….……………...3
a. Identifikasi Masalah ……………………………….……………...3
b. Pembatasan masalah ……………………………….……………...3
c. Perumusan Masalah ………………………….………………...….3
C. Tujuan dan manfaat Penelitian ………………………………………4
D. Sistematika Penulisan ………………………………………………..4
BAB II KAJIAN TEORI ………………………………………………………...6
1. Pengertian Nilai ……………………………………..……………….6
2. Pengertian Pendidikan ……………………………...………………..6
a. Istilah Al-Tarbiyah ………………………………………………...7
b. Istilah Al-Ta’lim …………………………………………………..7
c. Istilah Al-Ta’dib ……………………………………………………8
3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam …...……………………………11
4. Kisah
1). Pengertian Kisah dalam Al-Qur’an …………………………….14
2). Macam-macam Kisah Dalam Al-Qur’an ……………………….16
3). Faedah Kisah dalam Al-Qur’an …………………………………17

BAB III TAFSIR AL-QUR’AN SURAH AL-BAQOROH (2:30-39) …………19


I. Ayat dan Terjemah ……… ……..……………………………….19
II. Tafsir Ayat ……………………………………………………...22
III. Ikhtisar ……….………………………………………………….33
IV. Perbandingan …………………………………………………….34
BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM KISAH
ADAM AS………………………………………………………………36
A. Sikap dan Prilaku ……………………………………………….37
1. Rendah Hati ..………………………………………………..37
2. Larangan Sombong …………………………………………..38
3. Menjauhi Dengki …………………………………………….43
4. Sikap Pema’af dan Pengampun ..……………………………47
B. Aspek Pendidikan dan Pengajaran ………………………………50
1. Metode Kisah …………….…………………………………..50
2. Metode Tanya Jawab …………………………………………53
3. Mengapreasikan pikiran dan Perasaan ….……………………57
4. Metode Ganjaran dan Hukuman ………………………………62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………….….……………………68
B. Saran-saran …..…………………………….……………………69
DAFTAR PUSTAKA ……………..……………………………………………71
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Kehadiran al-Qur’an telah memberi pengaruh yang luar biasa bagi lahirnya
berbagai konsep yang diperlukan manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Kaum
muslimin sendiri dalam rangka memahaminya telah melahirkan beribu-ribu kitab yang
berupaya menjelaskan makna pesannya.1
Didalam al-Qur’an banyak dikisahkan beberapa peristiwa yang pernah terjadi
dalam sejarah. Dari al-Qur’an dapat diketahui beberapa kisah yang pernah di alami
orang-orang jauh sebelum kita, sejak nabi Adam As, seperti kisah para nabi dan
kaumnya, kisah orang-orang Yahudi dan Nasrani, Shobi’in, Majusi dan lain sebagainya.
Karena al-Qur’an adalah kitab pendidikan, maka kisah itu juga mangandung nilai
2
pendidikan
Dari berbagai macam kisah al-Qur’an, penulis hanya tertarik satu kisah, yaitu
kisah tentang Nabi Adam a.s, karena dalam kisah tersebut Allah SWT sebagai Sang
Khaliq langsung mendemonstrasikan metode dan tehnik pembelajaran serta proses
transformasi ilmu pengetahuan kepada makhluknya yaitu Nabi Adam sebagai manusia
pertama yang diciptakan-Nya. Dengan cara memaparkannya dengan berbagai literatur,
khususnya kajian tafsir dan pendidikan, apakah di dalamnya terkandung nilai-nilai
pendidikan.
Oleh karena itu dari latar belakang masalah diatas, penulis sangat berminat dan
tertarik untuk mengambil judul: NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG
TERKANDUNG DALAM KISAH ADAM AS (Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat Al-
Baqoroh 2:30-39)

1
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi sejarah al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), cet. 1,
hal.2
2
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1996), Cet. 3, hal. 433
B. MASALAH PENELITIAN
1. Identifikasi Masalah
Di dalam al-Qur’an terdapat berbagai macam bidang ilmu pengetahuan,
pembahasan yang erat kaitannya dengan pendidikan sangat luas, begitu pula kisah-kisah
yang terdapat didalamnya begitu banyak dan beragam.
Kisah nabi Adam merupakan kisah yang sangat menarik dan mempunyai nilai yang
amat berharga bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan khususnya pendidikan
Islam.
2. Pembatasan Masalah
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. Allah SWT
mengabadikan bermacam-macam kisah dan peristiwa yang terjadi dalam al-Qur’an
sepanjang sejarah, diantaranya kisah tentang para Nabi dan kaumnya, kisah-kisah orang
Yahudi dan Nasrani, dan lain sebagainya.
Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat al-Baqoroh/2:30-39 dengan
sendirinya telah memberikan batasan bahwa nilai-nilai pendidikan yang dimaksud
penulis adalah nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kisah Adam as.
3. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari pembahasan ini yaitu:
a. Apa saja nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kisah Adam a.s
dalam surat al-Baqoroh/2:30-39.
b. Bagaimana menyesuaikan kisah Nabi Adam a.s. dengan aspek-aspek
pendidikan Islam.

C. TUJUAN DAN MANFA’AT PENELITIAN


1. Tujuan Penelitian
a.Ingin memperoleh pemahaman yang jelas tentang kisah Nabi Adam a.s.
b. Untuk menjadikan al-Qur’an sebagai dasar dalam pendidikan Islam
c.Untuk mengetahui makna yang tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an khususnya
surat al-Baqoroh/2:30-39
Maka untuk memperoleh tingkat objektifitas penelitian yang bersifat refresentatif,
dipilih data-data dan keterangan serta pengkajian tentang ajaran yang terkandung dalam
al-Qur’an melalui kisah Adam as. kontribusinya terhadap nilai-nilai pendidikan.
2. Manfa’at Penelitian
Mengenai manfaat penelitian ada beberapa hal yang penulis inginkan dari
penyusunan skripsi ini, antara lain:
a.Diharapkan dapat berguna untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan dan
wawasan bagi penulis sebagai calon guru dan instruktur terjemah al-Qur’an
sistem 40 jam (LPIQ) Nasional.
b. Diharapkan dapat memberikan kontribusi penulisan khususnya dalam dunia
pendidikan Islam

D. Sistematika penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab setiap bab terdiri dari beberapa sub bab , secara
rinci adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan terdiri dari : Latar belakang masalah, perumusan
dan pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, langkah-
langkah penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Kajian Teori: Bagian Pertama memuat Nilai-Nilai Pendidikan,
Pengertian Nilai, Pengertian Pendidikan, Dasar dan Tujuan Pendidikan
Islam. Bagian Kedua memuat Pengertian Kisah Dalam Al-Qur’an, Macam-
macam Kisah dalam al-qur’an, Manfaat kisah dalam al-Qur’an.
BAB III : Kajian Tafsir al-Qur’an Surat al-Baqoroh ayat 30-39 : Tafsir al-
Misbah, Tafsir Maraghi, Tafsir Fi Zilalil Qur’an.
BAB IV : Nilai-nilai Pendidikan yang terkandung dalam al-Qur’an tentang kisah
Nabi Adam a.s. Diantaranya yaitu: Pertama, Aspek Sikap dan Prilaku:
Rendah Hati, Larangan Sombong, Menjauhi Dengki, Sikap Pema’af, dan
Pengampun. Kedua, Aspek Pendidikan dan Pengajaran: Metode Kisah,
Metode Tanya Jawab, Mengapreasikan Pikiran dan Perasaan, Metode
Ganjaran dan Hukuman.
BAB V : Penutup yang terdiri dari: Kesimpulan, Saran-Saran, Daftar
Pustaka dan Lampiran.
BAB II
KAJIAN TEORI
1. Pengertian Nilai
Menurut bahasa nilai artinya harga hal-hal yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.1
Secara filosofis nilai sangat terkait dengan masalah etika, etika juga sering
disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolok ukur tindakan
dan prilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber-sumber etika bisa
merupakan hasil pemikiran, adat istiadat, atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Dalam
konteks etika pendidikan Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai yang paling shahih
adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi saw yang kemudian dikembangkan dengan hasil
ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang bersumber kepada adat istiadat atau tradisi dan
ideologi sangat rentan dan situasional, sedangkan nilai-nilai Qur’ani, yaitu nilai-nilai
yang bersumber kepada al-Qur’an adalah kuat, karena ajaran al-Qur’an bersifat muthlak
dan universal.2

2. Pengertian Pendidikan
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term al-
tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang populer
digunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah term al-tarbiyah. Sedangkan term al-
ta’dib dan al-ta’lim jarang sekali digunakan padahal kedua istilah tersebut telah
digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.3
Kendatipun demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga terma tersebut memiliki
kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap term memiliki perbedaan, baik secara
tekstual maupun kontekstual. Untuk itu perlu dikemukakan uraian dan analisis terhadap
ketiga term pendidikan Islam tersebut dengan beberapa argumentasi tersendiri dari
beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam.
a. Istilah Al-Tarbiyah

1
Departemen Pendidikan Nasional, Kmus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 2002),
Edisi ke-3, hal. 783.
2
Prof.Dr. Said Agil Husin Al-Munawwar, M.A., Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani, Dalam Sistem
Pendidikan Islam, (Ciputat, PT. Ciputat Press, 2005), hal.3
3
Ahmad syalabi, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Kairo: al-Kasyaf, 1954), h.213
Penggunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiki
banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukan kata tumbuh, berkembang,
memelihara, marawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.4
Penggunaan kata al-Tarbiyah untuk menunjuk makna pendidikan Islam dapat
difahami dengan merujuk firman Allah:

.‫ﺻﻐِﻴﺮًا‬
َ ‫ب ا ْرﺣَ ْﻤ ُﻬﻤَﺎ آَﻤَﺎ َر ﱠﺑﻴَﺎﻧِﻲ‬
‫ﻞ َر ﱢ‬
ْ ‫ﺣ َﻤ ِﺔ َو ُﻗ‬
ْ ‫ﻦ اﻟ ﱠﺮ‬
َ ‫ل ِﻣ‬
‫ح اﻟ ﱡﺬ ﱢ‬
َ ‫ﺟﻨَﺎ‬
َ ‫ﺾ ﻟَ ُﻬﻤَﺎ‬
ْ ‫ﺧ ِﻔ‬
ْ ‫وَا‬
”Dan rendahkanlah dirimu dengan mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku waktu kecil”. (Q.S. Al-Isra/17:24).

b. Istilah Al-Ta’lim
Allah SWT berfirman:

‫ﺤ ْﻜ َﻤ َﺔ‬
ِ ‫ب وَا ْﻟ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ءَاﻳَﺎ ِﺗﻨَﺎ َو ُﻳ َﺰآﱢﻴ ُﻜ ْﻢ وَ ُﻳﻌَﻠﱢ ُﻤ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
َ ‫ﺳ ْﻠﻨَﺎ ﻓِﻴ ُﻜ ْﻢ رَﺳُﻮﻟًﺎ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻳَ ْﺘﻠُﻮ‬
َ ‫آَﻤَﺎ َأ ْر‬
.َ‫وَ ُﻳﻌَﻠﱢ ُﻤ ُﻜ ْﻢ ﻣَﺎ َﻟ ْﻢ َﺗﻜُﻮﻧُﻮا ﺗَ ْﻌﻠَﻤُﻮن‬
Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah
mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada
kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (Al-Baqoroh : 151)

Kalimat wayu’allimu hum al-Kitaba wal al-hikmah dalam ayat tersebut


menjelaskan tentang aktivitas Rosulullah mengajarkan tilawat al-Qur’an kepada kaum
muslimin. Menurut Abdul Fatah Jalal, apa yang dilakukan Rosul bukan hanya sekedar
umat Islam bisa membaca, melainkan membawa kaum muslimin kepada nilai pendidikan
tazkiyath an-nafs (pensucian diri) dari segala kotoran, sehingga memungkinkannya
menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui. Oleh
karena itu makna al-ta’lim tidak hanya terbatas pada pengetahuan lahiriah, akan tetapi
mencakup pengetahuan teoritis, mengulang secara lisan, pengetahuan dan keterampilan
yang dibutuhkan dalam kehidupan, perintah untuk melaksanakan pengetahuan dan
pedoman untuk berprilaku.
Kecendrungan Abdul Fattah jalal sebagaimana dikemukakan diatas, didasarkan
argumentasi bahwa manusia pertama yang mendapat pengajaran langsung dari Allah

4
Ibn Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurtubiy, Tafsir al-Qurtuby, juz I, (Kairo:
Dar al-Sya’biy, tt),h.120
adalah Nabi Adam a.s. hal ini secara eksplisit disinyalir dalam Q.S. Al-Baqoroh 2:31.
pada ayat tersebut dijelaskan , bahwa penggunaan kata ‘allama untuk memberikan
pengajaran kepada Adam a.s. memiliki nilai lebih yang sama sekali tidak dimiliki oleh
para malaikat.5

c. Istilah al-ta’dib
Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukan pendidikan Islam
adalah al-ta’dib.6
Konsep ini didasarkan pada hadis Nabi:

‫ﻦ َﺗ ْﺎ ِد ْﻳ ِﺒﻲ‬
َ‫ﺴ‬
َ‫ﺣ‬ْ ‫ﻲ رﱢﺑﻲ َﻓَﺎ‬
ْ ‫َا ﱠد َﺑ ِﻨ‬
Artinya:
“Tuhanku telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (H.R. al-‘Askary dari
Ali r.a).

Kata addaba dalam hadis diatas dimaknai al-Attas sibagai “mendidik”.


Selanjutnya ia mengemukakan, hadis tersebut bisa dimaknai kepada “Tuhanku telah
membuatku mengenali dan mengakui dengan adab yang dilakukan secara berangsur-
angsur ditanamkan-Nya kedalam diriku, tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu
didalam penciptaan, sehingga hal itu membimbingku kearah pengenalan dan pengakuan
tempat-Nya yang tepat didalam tatanan wujud dan kepribadian, serta –sebagai akibat nya-
ia telah membuat pendidikanku yang paling baik.”7
Berdasarkan hadits diatas, maka al-Ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan
yang secara berangsur-angsur ditanamkan kedalam diri manusia (peserta didik) tentang
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan. Dengan
pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing kearah pengenalan dan
pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.8
Penggunaan istilah al-Tarbiyah terlalu luas untuk mengungkapkan hakikat dan
operasionalisasi pendidikan Islam. Sebab kata al-Tarbiyah yang memiliki arti

5
Abdul Fattah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam, terj. Hary Nur Ali, (Bandung: CV.
Diponegoro, 1988), 29-30
6
Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Terj. Haidar Bagir, (Bandung:
Mizan, 1994), h. 60
7
al-Attas, Konsep Pendidikan, h.63
8
al-Attas, Konsep Pendidikan … h. 61
pengasuhan, pemeliharaan, dan kasih sayang tidak hanya digunakan untuk manusia, akan
tetapi digunakan untuk melatih dan memelihara binatang atau makhluk Allah lainnya.
Timbulnya istilah ini dalam dunia Islam merupakan terjemahan dari bahasa latin
“educatio” atau dalam bahasa Inggris “education”. Kedua kata tersebut dalam batasan
pendidikan Barat lebih banyak menekankan pada aspek fisik dan material. Sementara
pendidikan Islam penekanannya tidak hanya aspek tersebut, akan tetapi pada aspek psikis
dan immaterial. Dengan demikian, istilah al-Ta’dib merupakan terma yang paling tepat
dalam khasanah bahasa Arab karena mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan,
kebijaksanaan, pengajaran dan pengasuhan yang baik sehingga makna al-Tarbiyah dan
al-Ta’lim sudah tercakup dalam terma al-Ta’dib.
Terlepas dari perdebatan makna dari ketiga term diatas, secara terminologi, para
ahli pendidikan Islam telah mencoba memformulasi pengertian pendidikan Islam.
Diantara batasan yang sangat variatif tersebut adalah:
1. al-Syaibaniy ; mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah
tingkahlaku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam
sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran
sebagai suatu asasi dan profesi diantara sekian banyak profesi asasi dalam
masyarakat.9
2. Ahmad D. Marimba; mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan
atau pimpinan secara sadar oleh pendidik secara jasmani dan rohani pesrta didik
menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).10
3. Ahmad Tafsir: Mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang
diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan
ajaran Islam.11
5. Menurut Zakiyah Darajat pendidikan Islam adalah Pembentukan kepribadian
muslim.12

9
Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam… h.399.
10
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989),h. 19
11
Ahmad Tafsir , Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 1992),
h. 32
12
Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi aksara, dan Dirjen Binbaga Islam,
1992) hal 28.
6. Mortimer, J. Adler memberikan pengertian pendidikan sebagai berikut:
“Pendidikan adalah proses yang mana semua kemampuan manusia (bakat
kemampuan yang diperolehnya) yang dapat dipengeruhi oleh pembiasaan
disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara
artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu oreng lain atau dirinya
sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik”.
7. Kemudian Herman H. Horne berpendapat, pendidikan harus dipandang sebagai
suatu proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitar
dengan sesama manusia dengan tabiat tertinggi dari kosmos. ”.13
Dari terminologi-terminologi diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam
adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan
kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan ini, ia akan dapat
dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang
diyakininya.

3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam


Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim,
maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja.
Dengan dasar ini akan memberikan arah yang bagi pelaksanaan pendidikan yang telah
diprogramkan. Dalam konteks ini dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya
merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik
kearah pncapaian pendidikan . oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidika Islam
adalah al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah (hadis).
Menetapkan al-Qur’an dan al-Hadis sebagai pendidikan Islam bukan hanya
dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru
karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar yang dapat diterima oleh nalar
manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan. Sebagai

13
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal.12
pedoman, al-Qur’an tidak ada keraguan padanya (Q S. Al-Baqoroh/2:2). Ia tetap
terpelihara kesucian dan kebenarannya (Q.S. Ar-Ra’d/15:9), baik dalam pembinaan
aspek spriritual maupun aspek budaya dan pendidikan. Demikian pula dengan kebenaran
hadis sebagai dasar kedua bagi pendidikan Islam. Secara umum, hadis difahami sebagai
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
serta ketetapannya. Kepribadian Rasul sebagai uswat al-Hasanah yaitu contoh tauladan
yang baik (Q.S. Al-Ahzab/33:21). Oleh karena itu, prilakunya senantiasa senantiasa
terpelihara dan di kontrol oleh Allah SWT (Q.S. An Najm/ 53:3-4).14
Secara lebih luas dasar pendidikan Islam menurut Sa’id Ismail Ali – sebagaimana
dikuti Langgulung – terdiri atas 6 macam, yaitu ; al-Qur’an, Sunnah, qaul al-Shahabat,
masalih al-mursalah, ‘urf, dan pemikiran hasil ijtihad intelektual muslim.15
Seluruh rangkaian dasar tersebut secara hierarki menjadi acuan pelaksanaan
sistem pendidikan Islam.
Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan, yaitu;
1. Tujuan dan tugas manusia dimuka bumi, baik secara vertikal maupun horizontal.
2. Sifat-sifat dasar manusia
3. Tuntunan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan.
4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dalam aspek ini setidaknya ada 3
macam dimensi ideal Islam, yaitu:
a) mengandung nilai yang berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia
dimuka bumi.
b) mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih
kehidupan yang baik.
c) mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan
dunia dan akhirat (fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirat al-hasanah).16
Al-Syaibani dalam bukunya, mengemukakan bahwa tujuan tertinggi pendidikan
Islam ialah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.17

14
Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, h.47
15
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989),h. 35
16
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam… h. 120
Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta
didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga terbentuk pribadi
yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fi al-ardh.189
Tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan
pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan yang sesuai
dengan syariat Islam, serta mengisi tugas kehidupannya didunia dan menjadikan
kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya.
Secara praktis Muhammad Athiyah al-Abrasyi, menyimpulkan bahwa tujuan
pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu:
1. membentuk akhlaq mulia
2. mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat
3. persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya
4. menumbuhkan semangat ilmiah dikalangan peserta didik
5. mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.19

4. Kisah
1). Pengertian Kisah dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an telah banyak menceritakan kisah orang-orang dahulu dari para nabi
dan selain nabi, diantaranya mengenai kisah orang-orang mukmin dan kisah orang-orang
kafir.
Al-Qur’an telah membicarakan kisah-kisah yang disebutkannya. Ia menjelaskan
hikmah dari penyebutannya, manfaat apa yang dapat kita ambil darinya, episode-episode
yang memuat pelajaran hidup, konsep memahaminya, dan bagaimana cara berinteraksi
dengannya.
Manusia dituntut untuk merenungi pembicaraan al-Qur’an tentang kisah-
kisahnya supaya renungannya menjadi pengantar bagi pembicaraan tentang kisah

17
Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam… h. 410
18
Hasan langgulung, Manusia dan Pendidikan…, h. 67
19
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A. Gani
dan Djohar bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 1-4
orang-orang dahulu dalam al-Qur’an dan sebagai pengantar bagi interaksi dengan kisah-
kisah itu.20
Menurut bahasa kisah artinya cerita, berita atau keadaan. Sedangkan menurut
istilah ialah kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang para Nabi dan Rasul, serta peristiwa
yang terjadi pada masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.21
Imam ar-Raghib al-Ishfahani mengatakan dalam kitab mufrodat-nya (al-
Mufrodat fi Gharib al-Qur’an-penj.) tentang kata ini (qashas), “Al-Qashasu berarti
mengikuti jejak’. Dikatakan ‘Qashasu atsarohu’ saya mengikuti jejaknya’.’
Al-Qashas berarti ‘jejak’ (atsar). Allah ta’ala berfirman,

.‫ﺼﺼًﺎ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ ءَاﺛَﺎرِهِﻤَﺎ َﻗ‬
َ ‫ﻓَﺎ ْر َﺗﺪﱠا‬
‘…Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula’. (al-Kahfi: 64)

َ‫ﺸ ُﻌﺮُون‬
ْ َ‫ﺐ َو ُه ْﻢ ﻟَﺎ ﻳ‬
ٍ ‫ﺟ ُﻨ‬
ُ ‫ﻦ‬
ْ‫ﻋ‬َ ‫ت ِﺑ ِﻪ‬
ْ ‫ﺼ َﺮ‬
ُ ‫ﺧ ِﺘ ِﻪ ُﻗﺼﱢﻴ ِﻪ َﻓ َﺒ‬
ْ ‫ﺖ ِﻟُﺄ‬
ْ ‫َوﻗَﺎَﻟ‬

‘Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan, ‘Ikutilah dia’…’(al-
Qashas: 11)

Al-Qashas ialah cerita-cerita yang dituturkan (kisah). Allah Ta’ala berfirman,

‫ﻖ‬
‫ﺤﱡ‬
َ ‫ﺺ ا ْﻟ‬
ُ ‫ﺼ‬
َ ‫ن َهﺬَا َﻟ ُﻬ َﻮ ا ْﻟ َﻘ‬
‫ِإ ﱠ‬
‘Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar…’(Ali Imran: 62)

َ‫ﻦ ا ْﻟ َﻘ ْﻮ ِم اﻟﻈﱠﺎﻟِﻤِﻴﻦ‬
َ ‫ت ِﻣ‬
َ ‫ﺠ ْﻮ‬
َ ‫ﻒ َﻧ‬
ْ ‫ﺨ‬
َ ‫ل ﻟَﺎ َﺗ‬
َ ‫ﺺ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﺼ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ َﻘ‬
َ ‫ﺺ‬
‫َﻓَﻠﻤﱠﺎ ﺟَﺎ َء ُﻩ َو َﻗ ﱠ‬
‘….Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syuaib) dan menceritakan kepadanya
cerita (tentang dirinya), Syuaib berkata, ‘Janganlah kamu takut…’ (al-Qashas: 25)
‫ﺺ‬
ِ ‫ﺼ‬
َ ‫ﻚ َأ ْﺣ َﺴ َﻦ ا ْﻟ َﻘ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ‬
َ ‫ﻦ َﻧ ُﻘﺺﱡ‬
ُ‫ﺤ‬ْ ‫َﻧ‬
‘Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik…’ (Yusuf: 3)
Adapun qishas adalah menuntut balas atas darah (pencedaraan fisik atau
pembunuhan) dengan balasan serupa.”22
Kisah al-Qur’an tentang orang-orang dahulu adalah suatu kisah yang benar dan
periwayatannya mengenai peristiwa-peristiwa itu adalah jujur dan betul. Ini karena Allah

20
Shalah al-Khalidi, Kisah-Kisah al-Qur’an, Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1999), Jilid I, Cet. 1 h.21.
21
Ahmad Syadaly, Ahmad Rafi’I,Ulumul Qur’an II, (Bandung: CV. Pustaka Setia), hal. 27
22
Al-Ishfahani, al-Mufrodat fi Gharib al-Qur’an…, h.404
lah yang menceritakan kisah itu dan Allah benar-benar menyaksikan peristiwa-peristiwa
itu, dan ia telah menakdirkannya; peristiwa itu terjadi menurut pengetahuan, kehendak,
dan takdir-Nya. Maka dari itu ucapan Allah tentang kisah itu tidak mungkin mengalami
kebatilan (kesalahan) dan keraguan, dan siapakah yang lebih benar ceritanya daripada
Allah? Dan, siapakah (pula) yang lebih benar perkataan daripada Allah? Tidak ada
seorang pun!.23
2). Macam-Macam Kisah Dalam Al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an banyak dikisahkan beberapa peristiwa yang pernah terjadi
dalam sejarah. Dari al-Qur’an dapat diketahui beberapa kisah yang dialami orang-orang
jauh sebelum kita sejak Nabi Adam; seperti kisah para nabi dan kaumnya. Kisah orang-
orang Yahudi, Nasrani, Sabi’in, Majusi, dan lain sebagainya.
Kisah-kisah al-Qur’an dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:
A. Dari Segi Waktu
Di tinjau dari segi waktu kisah-kisah dalam al-Qur’an ada tiga, yaitu:
1) Kisah hal ghaib yang terjadi pada masa lalu.
Contohnya:
a. Kisah tentang dialog malaikat dengan Tuhannya mengenai penciptaan
khalifah bumi sebagaimana di jelaskan dalam (Q.S. Al-Baqoroh: 30-34)
b. Kisah tentang penciptaan alam semesta sebagaimana terdapat dalam (Q.S.
Al-Furqon: 59, Qaf: 38)
c. Kisah rentang penciptaaan Nabi Adam dan kehidupannya ketika di surga
sebagaimana terdapat dalam (Q.S. Al-A’raf:11-25)
2) Kisah hal ghaib yang terjadi pada masa kini , contohnya:
a. Kisah tentang turunnya malaikat-malaikat pada malam Lailatul Qadar seperti
di ungkapkan dalam (Q.S. Al-Qadar 1-5))
b. Kisah tentang kehidupan makhluk makhluk ghaib seperti setan, jin atau iblis
seperti diungkapkan dalam (Q.S. Al-A’raf: 13-14)
3) Kisah ghaib yang terjadi pada masa yang akan datang , contohnya:
a. Kisah tentang akan datangnya hari kiamat seperti di jelaskan dalam al-Qur’an
surat al-Qari’ah, surat al-Zalzalah, dan lainnya

23
Rafi’I,Ulumul Qur’an II…, h.23
b. Kisah tentang Abu Lahab kelak di akhirat seperti yang diungkapkan dalam al-
Qur’an surat al-Lahab
c. Kisah tentang kehidupan orang-orang di surga dan kehidupan orang-orang
yang hidup di dalam neraka seperti di ungkapkan dalam al-Qur’an surat al-
Ghasyiah dan lainnya.
B. Dari Segi Materi
Di tinjau dari segi materi, kisah-kisah dalam al-Qur’an ada tiga, yaitu
1) Kisah-kisah para Nabi, seperti:
a. Kisah Nabi Adam (Q.S. Al-Baqoroh: 30-39, Al-A’raf : 11) dan lainnya
b. Kisah Nabi Nuh (Q.S. Hud: 25-49)
c. Kisah Nabi Hud (Q.S. Al-A’raf: 65, 72, 50, 58)
d. Kisah Nabi Muhammad (Q.S. At-Takwir: 22-24, Al-Furqon : 4, Abasa: 1-10,
At-Taubah 43-57, dan lainnya)
2).Kisah peristiwa yang terjadi pada masa lampau yang tidak di pastikan
kenabiannya.
a. Kisah tentang Lukman (Q.S. Luqman: 12-13)
b. Kisah tentang Dzul Qarnain (Q.s. Al-Kahfi: 83-98) dan lain sebagainya
3). Kisah yang berpautan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dimasa Rosulullah
SAW
a. Kisah tentang Ababil (Q.S. Al-Fiil: 1-5)
3). Faedah Kisah Dalam Al-Qur’an
a. Menjelaskan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok-pokok
syariat yang di sampaikan para nabi
b. Memantapkan hati Rosulullah SAW. Dan umatnya dalam mengamalkan
agama Allah (Islam) dan menguatkan kepercayaan para mukmin tentang akan
datangnya pertolongan Allah dan kehancuran orang-orang sesat.
c. Mengabadikan usaha-usaha para Nabi dan peringatan bahwa para nabi yang
terdahulu adalah benar.
d. Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad SAW. Dalam dakwahnya, dengan
tepat beliau menerangkan keadaan umat terdahulu.
e. Menyingkap kebohongan ahli kitab yang telah menyembunyikan isi kitab
mereka yang murni dan mengoreksi pendapat mereka.
f. Menanamkan akhlakul karimah dan budi yang mulia
g. Menarik perhatian para pendengar yang di berikan pelajaran kepada mereka.24

24
Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), Cet.
Ke-1, h. 30.
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Kehadiran al-Qur’an telah memberi pengaruh yang luar biasa bagi lahirnya
berbagai konsep yang diperlukan manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Kaum
muslimin sendiri dalam rangka memahaminya telah melahirkan beribu-ribu kitab yang
berupaya menjelaskan makna pesannya.1
Didalam al-Qur’an banyak dikisahkan beberapa peristiwa yang pernah terjadi
dalam sejarah. Dari al-Qur’an dapat diketahui beberapa kisah yang pernah di alami
orang-orang jauh sebelum kita, sejak nabi Adam As, seperti kisah para nabi dan
kaumnya, kisah orang-orang Yahudi dan Nasrani, Shobi’in, Majusi dan lain sebagainya.
Karena al-Qur’an adalah kitab pendidikan, maka kisah itu juga mangandung nilai
pendidikan 2
Dari berbagai macam kisah al-Qur’an, penulis hanya tertarik satu kisah, yaitu
kisah tentang Nabi Adam a.s, karena dalam kisah tersebut Allah SWT sebagai Sang
Khaliq langsung mendemonstrasikan metode dan tehnik pembelajaran serta proses
transformasi ilmu pengetahuan kepada makhluknya yaitu Nabi Adam sebagai manusia
pertama yang diciptakan-Nya. Dengan cara memaparkannya dengan berbagai literatur,
khususnya kajian tafsir dan pendidikan, apakah di dalamnya terkandung nilai-nilai
pendidikan.
Oleh karena itu dari latar belakang masalah diatas, penulis sangat berminat dan
tertarik untuk mengambil judul: NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG
TERKANDUNG DALAM KISAH ADAM AS (Kajian Tafsir Al-Qur’an Surat Al-
Baqoroh 2:30-39)

1
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi sejarah al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), cet. 1,
hal.2
2
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1996), Cet. 3, hal. 433
B. MASALAH PENELITIAN
1. Identifikasi Masalah
Di dalam al-Qur’an terdapat berbagai macam bidang ilmu pengetahuan,
pembahasan yang erat kaitannya dengan pendidikan sangat luas, begitu pula kisah-kisah
yang terdapat didalamnya begitu banyak dan beragam.
Kisah nabi Adam merupakan kisah yang sangat menarik dan mempunyai nilai yang
amat berharga bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan khususnya pendidikan
Islam.
2. Pembatasan Masalah
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. Allah SWT
mengabadikan bermacam-macam kisah dan peristiwa yang terjadi dalam al-Qur’an
sepanjang sejarah, diantaranya kisah tentang para Nabi dan kaumnya, kisah-kisah orang
Yahudi dan Nasrani, dan lain sebagainya.
Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat al-Baqoroh/2:30-39 dengan
sendirinya telah memberikan batasan bahwa nilai-nilai pendidikan yang dimaksud
penulis adalah nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kisah Adam as.
3. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari pembahasan ini yaitu:
c. Apa saja nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kisah Adam a.s
dalam surat al-Baqoroh/2:30-39.
d. Bagaimana menyesuaikan kisah Nabi Adam a.s. dengan aspek-aspek
pendidikan Islam.

C. TUJUAN DAN MANFA’AT PENELITIAN


1. Tujuan Penelitian
d. Ingin memperoleh pemahaman yang jelas tentang kisah Nabi Adam a.s.
e. Untuk menjadikan al-Qur’an sebagai dasar dalam pendidikan Islam
f. Untuk mengetahui makna yang tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an khususnya
surat al-Baqoroh/2:30-39
Maka untuk memperoleh tingkat objektifitas penelitian yang bersifat refresentatif,
dipilih data-data dan keterangan serta pengkajian tentang ajaran yang terkandung dalam
al-Qur’an melalui kisah Adam as. kontribusinya terhadap nilai-nilai pendidikan.
2. Manfa’at Penelitian
Mengenai manfaat penelitian ada beberapa hal yang penulis inginkan dari
penyusunan skripsi ini, antara lain:
c. Diharapkan dapat berguna untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan dan
wawasan bagi penulis sebagai calon guru dan instruktur terjemah al-Qur’an
sistem 40 jam (LPIQ) Nasional.
d. Diharapkan dapat memberikan kontribusi penulisan khususnya dalam dunia
pendidikan Islam

D. Sistematika penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab setiap bab terdiri dari beberapa sub bab , secara
rinci adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan terdiri dari : Latar belakang masalah, perumusan
dan pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, langkah-
langkah penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Kajian Teori: Bagian Pertama memuat Nilai-Nilai Pendidikan,
Pengertian Nilai, Pengertian Pendidikan, Dasar dan Tujuan Pendidikan
Islam. Bagian Kedua memuat Pengertian Kisah Dalam Al-Qur’an, Macam-
macam Kisah dalam al-qur’an, Manfaat kisah dalam al-Qur’an.
BAB III : Kajian Tafsir al-Qur’an Surat al-Baqoroh ayat 30-39 : Tafsir al-
Misbah, Tafsir Maraghi, Tafsir Fi Zilalil Qur’an.
BAB IV : Nilai-nilai Pendidikan yang terkandung dalam al-Qur’an tentang kisah
Nabi Adam a.s. Diantaranya yaitu: Pertama, Aspek Sikap dan Prilaku:
Rendah Hati, Larangan Sombong, Menjauhi Dengki, Sikap Pema’af, dan
Pengampun. Kedua, Aspek Pendidikan dan Pengajaran: Metode Kisah,
Metode Tanya Jawab, Mengapreasikan Pikiran dan Perasaan, Metode
Ganjaran dan Hukuman.
BAB V : Penutup yang terdiri dari: Kesimpulan, Saran-Saran, Daftar
Pustaka dan Lampiran.
BAB II
KAJIAN TEORI
1. Pengertian Nilai
Menurut bahasa nilai artinya harga hal-hal yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.1
Secara filosofis nilai sangat terkait dengan masalah etika, etika juga sering
disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolok ukur tindakan
dan prilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber-sumber etika bisa
merupakan hasil pemikiran, adat istiadat, atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Dalam
konteks etika pendidikan Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai yang paling shahih
adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi saw yang kemudian dikembangkan dengan hasil
ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang bersumber kepada adat istiadat atau tradisi dan
ideologi sangat rentan dan situasional, sedangkan nilai-nilai Qur’ani, yaitu nilai-nilai
yang bersumber kepada al-Qur’an adalah kuat, karena ajaran al-Qur’an bersifat muthlak
dan universal.2

2. Pengertian Pendidikan
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term al-
tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang populer
digunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah term al-tarbiyah. Sedangkan term al-
ta’dib dan al-ta’lim jarang sekali digunakan padahal kedua istilah tersebut telah
digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.3
Kendatipun demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga terma tersebut memiliki
kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap term memiliki perbedaan, baik secara
tekstual maupun kontekstual. Untuk itu perlu dikemukakan uraian dan analisis terhadap
ketiga term pendidikan Islam tersebut dengan beberapa argumentasi tersendiri dari
beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam.
a. Istilah Al-Tarbiyah

1
Departemen Pendidikan Nasional, Kmus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 2002),
Edisi ke-3, hal. 783.
2
Prof.Dr. Said Agil Husin Al-Munawwar, M.A., Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani, Dalam Sistem
Pendidikan Islam, (Ciputat, PT. Ciputat Press, 2005), hal.3
3
Ahmad syalabi, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Kairo: al-Kasyaf, 1954), h.213
Penggunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiki
banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukan kata tumbuh, berkembang,
memelihara, marawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.4
Penggunaan kata al-Tarbiyah untuk menunjuk makna pendidikan Islam dapat
difahami dengan merujuk firman Allah:

.‫ﺻﻐِﻴﺮًا‬
َ ‫ب ا ْرﺣَ ْﻤ ُﻬﻤَﺎ آَﻤَﺎ َر ﱠﺑﻴَﺎﻧِﻲ‬
‫ﻞ َر ﱢ‬
ْ ‫ﺣ َﻤ ِﺔ َو ُﻗ‬
ْ ‫ﻦ اﻟ ﱠﺮ‬
َ ‫ل ِﻣ‬
‫ح اﻟ ﱡﺬ ﱢ‬
َ ‫ﺟﻨَﺎ‬
َ ‫ﺾ ﻟَ ُﻬﻤَﺎ‬
ْ ‫ﺧ ِﻔ‬
ْ ‫وَا‬
”Dan rendahkanlah dirimu dengan mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku waktu kecil”. (Q.S. Al-Isra/17:24).

b. Istilah Al-Ta’lim
Allah SWT berfirman:

‫ﺤ ْﻜ َﻤ َﺔ‬
ِ ‫ب وَا ْﻟ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ءَاﻳَﺎ ِﺗﻨَﺎ َو ُﻳ َﺰآﱢﻴ ُﻜ ْﻢ وَ ُﻳﻌَﻠﱢ ُﻤ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
َ ‫ﺳ ْﻠﻨَﺎ ﻓِﻴ ُﻜ ْﻢ رَﺳُﻮﻟًﺎ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻳَ ْﺘﻠُﻮ‬
َ ‫آَﻤَﺎ َأ ْر‬
.َ‫َو ُﻳ َﻌﻠﱢ ُﻤ ُﻜ ْﻢ ﻣَﺎ َﻟ ْﻢ َﺗﻜُﻮﻧُﻮا ﺗَ ْﻌﻠَﻤُﻮن‬
Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah
mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada
kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (Al-Baqoroh : 151)

Kalimat wayu’allimu hum al-Kitaba wal al-hikmah dalam ayat tersebut


menjelaskan tentang aktivitas Rosulullah mengajarkan tilawat al-Qur’an kepada kaum
muslimin. Menurut Abdul Fatah Jalal, apa yang dilakukan Rosul bukan hanya sekedar
umat Islam bisa membaca, melainkan membawa kaum muslimin kepada nilai pendidikan
tazkiyath an-nafs (pensucian diri) dari segala kotoran, sehingga memungkinkannya
menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui. Oleh
karena itu makna al-ta’lim tidak hanya terbatas pada pengetahuan lahiriah, akan tetapi
mencakup pengetahuan teoritis, mengulang secara lisan, pengetahuan dan keterampilan
yang dibutuhkan dalam kehidupan, perintah untuk melaksanakan pengetahuan dan
pedoman untuk berprilaku.
Kecendrungan Abdul Fattah jalal sebagaimana dikemukakan diatas, didasarkan
argumentasi bahwa manusia pertama yang mendapat pengajaran langsung dari Allah

4
Ibn Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurtubiy, Tafsir al-Qurtuby, juz I, (Kairo:
Dar al-Sya’biy, tt),h.120
adalah Nabi Adam a.s. hal ini secara eksplisit disinyalir dalam Q.S. Al-Baqoroh 2:31.
pada ayat tersebut dijelaskan , bahwa penggunaan kata ‘allama untuk memberikan
pengajaran kepada Adam a.s. memiliki nilai lebih yang sama sekali tidak dimiliki oleh
para malaikat.5

c. Istilah al-ta’dib
Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukan pendidikan Islam
adalah al-ta’dib.6
Konsep ini didasarkan pada hadis Nabi:

‫ﻦ َﺗ ْﺎ ِد ْﻳ ِﺒﻲ‬
َ‫ﺴ‬
َ‫ﺣ‬ْ ‫ﻲ رﱢﺑﻲ َﻓَﺎ‬
ْ ‫َا ﱠد َﺑ ِﻨ‬
Artinya:
“Tuhanku telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (H.R. al-‘Askary dari
Ali r.a).

Kata addaba dalam hadis diatas dimaknai al-Attas sibagai “mendidik”.


Selanjutnya ia mengemukakan, hadis tersebut bisa dimaknai kepada “Tuhanku telah
membuatku mengenali dan mengakui dengan adab yang dilakukan secara berangsur-
angsur ditanamkan-Nya kedalam diriku, tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu
didalam penciptaan, sehingga hal itu membimbingku kearah pengenalan dan pengakuan
tempat-Nya yang tepat didalam tatanan wujud dan kepribadian, serta –sebagai akibat nya-
ia telah membuat pendidikanku yang paling baik.”7
Berdasarkan hadits diatas, maka al-Ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan
yang secara berangsur-angsur ditanamkan kedalam diri manusia (peserta didik) tentang
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan. Dengan
pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing kearah pengenalan dan
pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.8
Penggunaan istilah al-Tarbiyah terlalu luas untuk mengungkapkan hakikat dan
operasionalisasi pendidikan Islam. Sebab kata al-Tarbiyah yang memiliki arti

5
Abdul Fattah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam, terj. Hary Nur Ali, (Bandung: CV.
Diponegoro, 1988), 29-30
6
Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Terj. Haidar Bagir, (Bandung:
Mizan, 1994), h. 60
7
al-Attas, Konsep Pendidikan, h.63
8
al-Attas, Konsep Pendidikan … h. 61
pengasuhan, pemeliharaan, dan kasih sayang tidak hanya digunakan untuk manusia, akan
tetapi digunakan untuk melatih dan memelihara binatang atau makhluk Allah lainnya.
Timbulnya istilah ini dalam dunia Islam merupakan terjemahan dari bahasa latin
“educatio” atau dalam bahasa Inggris “education”. Kedua kata tersebut dalam batasan
pendidikan Barat lebih banyak menekankan pada aspek fisik dan material. Sementara
pendidikan Islam penekanannya tidak hanya aspek tersebut, akan tetapi pada aspek psikis
dan immaterial. Dengan demikian, istilah al-Ta’dib merupakan terma yang paling tepat
dalam khasanah bahasa Arab karena mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan,
kebijaksanaan, pengajaran dan pengasuhan yang baik sehingga makna al-Tarbiyah dan
al-Ta’lim sudah tercakup dalam terma al-Ta’dib.
Terlepas dari perdebatan makna dari ketiga term diatas, secara terminologi, para
ahli pendidikan Islam telah mencoba memformulasi pengertian pendidikan Islam.
Diantara batasan yang sangat variatif tersebut adalah:
4. al-Syaibaniy ; mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah
tingkahlaku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam
sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran
sebagai suatu asasi dan profesi diantara sekian banyak profesi asasi dalam
masyarakat.9
5. Ahmad D. Marimba; mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan
atau pimpinan secara sadar oleh pendidik secara jasmani dan rohani pesrta didik
menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).10
6. Ahmad Tafsir: Mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang
diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan
ajaran Islam.11
5. Menurut Zakiyah Darajat pendidikan Islam adalah Pembentukan kepribadian
muslim.12

9
Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam… h.399.
10
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989),h. 19
11
Ahmad Tafsir , Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 1992),
h. 32
12
Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi aksara, dan Dirjen Binbaga Islam,
1992) hal 28.
6. Mortimer, J. Adler memberikan pengertian pendidikan sebagai berikut:
“Pendidikan adalah proses yang mana semua kemampuan manusia (bakat
kemampuan yang diperolehnya) yang dapat dipengeruhi oleh pembiasaan
disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara
artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu oreng lain atau dirinya
sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik”.
7. Kemudian Herman H. Horne berpendapat, pendidikan harus dipandang sebagai
suatu proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitar
dengan sesama manusia dengan tabiat tertinggi dari kosmos. ”.13
Dari terminologi-terminologi diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam
adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan
kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan ini, ia akan dapat
dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang
diyakininya.

3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam


Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim,
maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja.
Dengan dasar ini akan memberikan arah yang bagi pelaksanaan pendidikan yang telah
diprogramkan. Dalam konteks ini dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya
merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik
kearah pncapaian pendidikan . oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidika Islam
adalah al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah (hadis).
Menetapkan al-Qur’an dan al-Hadis sebagai pendidikan Islam bukan hanya
dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru
karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar yang dapat diterima oleh nalar
manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan. Sebagai

13
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal.12
pedoman, al-Qur’an tidak ada keraguan padanya (Q S. Al-Baqoroh/2:2). Ia tetap
terpelihara kesucian dan kebenarannya (Q.S. Ar-Ra’d/15:9), baik dalam pembinaan
aspek spriritual maupun aspek budaya dan pendidikan. Demikian pula dengan kebenaran
hadis sebagai dasar kedua bagi pendidikan Islam. Secara umum, hadis difahami sebagai
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
serta ketetapannya. Kepribadian Rasul sebagai uswat al-Hasanah yaitu contoh tauladan
yang baik (Q.S. Al-Ahzab/33:21). Oleh karena itu, prilakunya senantiasa senantiasa
terpelihara dan di kontrol oleh Allah SWT (Q.S. An Najm/ 53:3-4).14
Secara lebih luas dasar pendidikan Islam menurut Sa’id Ismail Ali – sebagaimana
dikuti Langgulung – terdiri atas 6 macam, yaitu ; al-Qur’an, Sunnah, qaul al-Shahabat,
masalih al-mursalah, ‘urf, dan pemikiran hasil ijtihad intelektual muslim.15
Seluruh rangkaian dasar tersebut secara hierarki menjadi acuan pelaksanaan
sistem pendidikan Islam.
Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan, yaitu;
5. Tujuan dan tugas manusia dimuka bumi, baik secara vertikal maupun horizontal.
6. Sifat-sifat dasar manusia
7. Tuntunan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan.
8. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dalam aspek ini setidaknya ada 3
macam dimensi ideal Islam, yaitu:
d) mengandung nilai yang berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia
dimuka bumi.
e) mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih
kehidupan yang baik.
f) mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan
dunia dan akhirat (fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirat al-hasanah).16
Al-Syaibani dalam bukunya, mengemukakan bahwa tujuan tertinggi pendidikan
Islam ialah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.17

14
Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, h.47
15
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989),h. 35
16
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam… h. 120
Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta
didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga terbentuk pribadi
yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fi al-ardh.189
Tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan
pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan yang sesuai
dengan syariat Islam, serta mengisi tugas kehidupannya didunia dan menjadikan
kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya.
Secara praktis Muhammad Athiyah al-Abrasyi, menyimpulkan bahwa tujuan
pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu:
6. membentuk akhlaq mulia
7. mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat
8. persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya
9. menumbuhkan semangat ilmiah dikalangan peserta didik
10. mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.19

4. Kisah
1). Pengertian Kisah dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an telah banyak menceritakan kisah orang-orang dahulu dari para nabi
dan selain nabi, diantaranya mengenai kisah orang-orang mukmin dan kisah orang-orang
kafir.
Al-Qur’an telah membicarakan kisah-kisah yang disebutkannya. Ia menjelaskan
hikmah dari penyebutannya, manfaat apa yang dapat kita ambil darinya, episode-episode
yang memuat pelajaran hidup, konsep memahaminya, dan bagaimana cara berinteraksi
dengannya.
Manusia dituntut untuk merenungi pembicaraan al-Qur’an tentang kisah-
kisahnya supaya renungannya menjadi pengantar bagi pembicaraan tentang kisah

17
Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam… h. 410
18
Hasan langgulung, Manusia dan Pendidikan…, h. 67
19
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A. Gani
dan Djohar bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 1-4
orang-orang dahulu dalam al-Qur’an dan sebagai pengantar bagi interaksi dengan kisah-
kisah itu.20
Menurut bahasa kisah artinya cerita, berita atau keadaan. Sedangkan menurut
istilah ialah kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang para Nabi dan Rasul, serta peristiwa
yang terjadi pada masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.21
Imam ar-Raghib al-Ishfahani mengatakan dalam kitab mufrodat-nya (al-
Mufrodat fi Gharib al-Qur’an-penj.) tentang kata ini (qashas), “Al-Qashasu berarti
mengikuti jejak’. Dikatakan ‘Qashasu atsarohu’ saya mengikuti jejaknya’.’
Al-Qashas berarti ‘jejak’ (atsar). Allah ta’ala berfirman,

.‫ﺼﺼًﺎ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ ءَاﺛَﺎرِهِﻤَﺎ َﻗ‬
َ ‫ﻓَﺎ ْر َﺗﺪﱠا‬
‘…Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula’. (al-Kahfi: 64)

َ‫ﺸ ُﻌﺮُون‬
ْ َ‫ﺐ َو ُه ْﻢ ﻟَﺎ ﻳ‬
ٍ ‫ﺟ ُﻨ‬
ُ ‫ﻦ‬
ْ‫ﻋ‬َ ‫ت ِﺑ ِﻪ‬
ْ ‫ﺼ َﺮ‬
ُ ‫ﺧ ِﺘ ِﻪ ُﻗﺼﱢﻴ ِﻪ َﻓ َﺒ‬
ْ ‫ﺖ ِﻟُﺄ‬
ْ ‫َوﻗَﺎَﻟ‬

‘Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan, ‘Ikutilah dia’…’(al-
Qashas: 11)

Al-Qashas ialah cerita-cerita yang dituturkan (kisah). Allah Ta’ala berfirman,

‫ﻖ‬
‫ﺤﱡ‬
َ ‫ﺺ ا ْﻟ‬
ُ ‫ﺼ‬
َ ‫ن َهﺬَا َﻟ ُﻬ َﻮ ا ْﻟ َﻘ‬
‫ِإ ﱠ‬
‘Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar…’(Ali Imran: 62)

َ‫ﻦ ا ْﻟ َﻘ ْﻮ ِم اﻟﻈﱠﺎﻟِﻤِﻴﻦ‬
َ ‫ت ِﻣ‬
َ ‫ﺠ ْﻮ‬
َ ‫ﻒ َﻧ‬
ْ ‫ﺨ‬
َ ‫ل ﻟَﺎ َﺗ‬
َ ‫ﺺ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﺼ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ َﻘ‬
َ ‫ﺺ‬
‫َﻓَﻠﻤﱠﺎ ﺟَﺎ َء ُﻩ َو َﻗ ﱠ‬
‘….Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syuaib) dan menceritakan kepadanya
cerita (tentang dirinya), Syuaib berkata, ‘Janganlah kamu takut…’ (al-Qashas: 25)
‫ﺺ‬
ِ ‫ﺼ‬
َ ‫ﻚ َأ ْﺣ َﺴ َﻦ ا ْﻟ َﻘ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ‬
َ ‫ﻦ َﻧ ُﻘﺺﱡ‬
ُ‫ﺤ‬ْ ‫َﻧ‬
‘Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik…’ (Yusuf: 3)
Adapun qishas adalah menuntut balas atas darah (pencedaraan fisik atau
pembunuhan) dengan balasan serupa.”22
Kisah al-Qur’an tentang orang-orang dahulu adalah suatu kisah yang benar dan
periwayatannya mengenai peristiwa-peristiwa itu adalah jujur dan betul. Ini karena Allah

20
Shalah al-Khalidi, Kisah-Kisah al-Qur’an, Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1999), Jilid I, Cet. 1 h.21.
21
Ahmad Syadaly, Ahmad Rafi’I,Ulumul Qur’an II, (Bandung: CV. Pustaka Setia), hal. 27
22
Al-Ishfahani, al-Mufrodat fi Gharib al-Qur’an…, h.404
lah yang menceritakan kisah itu dan Allah benar-benar menyaksikan peristiwa-peristiwa
itu, dan ia telah menakdirkannya; peristiwa itu terjadi menurut pengetahuan, kehendak,
dan takdir-Nya. Maka dari itu ucapan Allah tentang kisah itu tidak mungkin mengalami
kebatilan (kesalahan) dan keraguan, dan siapakah yang lebih benar ceritanya daripada
Allah? Dan, siapakah (pula) yang lebih benar perkataan daripada Allah? Tidak ada
seorang pun!.23
2). Macam-Macam Kisah Dalam Al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an banyak dikisahkan beberapa peristiwa yang pernah terjadi
dalam sejarah. Dari al-Qur’an dapat diketahui beberapa kisah yang dialami orang-orang
jauh sebelum kita sejak Nabi Adam; seperti kisah para nabi dan kaumnya. Kisah orang-
orang Yahudi, Nasrani, Sabi’in, Majusi, dan lain sebagainya.
Kisah-kisah al-Qur’an dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:
B. Dari Segi Waktu
Di tinjau dari segi waktu kisah-kisah dalam al-Qur’an ada tiga, yaitu:
1) Kisah hal ghaib yang terjadi pada masa lalu.
Contohnya:
d. Kisah tentang dialog malaikat dengan Tuhannya mengenai penciptaan
khalifah bumi sebagaimana di jelaskan dalam (Q.S. Al-Baqoroh: 30-34)
e. Kisah tentang penciptaan alam semesta sebagaimana terdapat dalam (Q.S.
Al-Furqon: 59, Qaf: 38)
f. Kisah rentang penciptaaan Nabi Adam dan kehidupannya ketika di surga
sebagaimana terdapat dalam (Q.S. Al-A’raf:11-25)
2) Kisah hal ghaib yang terjadi pada masa kini , contohnya:
c. Kisah tentang turunnya malaikat-malaikat pada malam Lailatul Qadar seperti
di ungkapkan dalam (Q.S. Al-Qadar 1-5))
d. Kisah tentang kehidupan makhluk makhluk ghaib seperti setan, jin atau iblis
seperti diungkapkan dalam (Q.S. Al-A’raf: 13-14)
3) Kisah ghaib yang terjadi pada masa yang akan datang , contohnya:
d. Kisah tentang akan datangnya hari kiamat seperti di jelaskan dalam al-Qur’an
surat al-Qari’ah, surat al-Zalzalah, dan lainnya

23
Rafi’I,Ulumul Qur’an II…, h.23
e. Kisah tentang Abu Lahab kelak di akhirat seperti yang diungkapkan dalam al-
Qur’an surat al-Lahab
f. Kisah tentang kehidupan orang-orang di surga dan kehidupan orang-orang
yang hidup di dalam neraka seperti di ungkapkan dalam al-Qur’an surat al-
Ghasyiah dan lainnya.
B. Dari Segi Materi
Di tinjau dari segi materi, kisah-kisah dalam al-Qur’an ada tiga, yaitu
2) Kisah-kisah para Nabi, seperti:
a. Kisah Nabi Adam (Q.S. Al-Baqoroh: 30-39, Al-A’raf : 11) dan lainnya
e. Kisah Nabi Nuh (Q.S. Hud: 25-49)
f. Kisah Nabi Hud (Q.S. Al-A’raf: 65, 72, 50, 58)
g. Kisah Nabi Muhammad (Q.S. At-Takwir: 22-24, Al-Furqon : 4, Abasa: 1-10,
At-Taubah 43-57, dan lainnya)
2).Kisah peristiwa yang terjadi pada masa lampau yang tidak di pastikan
kenabiannya.
c. Kisah tentang Lukman (Q.S. Luqman: 12-13)
d. Kisah tentang Dzul Qarnain (Q.s. Al-Kahfi: 83-98) dan lain sebagainya
3). Kisah yang berpautan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dimasa Rosulullah
SAW
a. Kisah tentang Ababil (Q.S. Al-Fiil: 1-5)
3). Faedah Kisah Dalam Al-Qur’an
a. Menjelaskan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok-pokok
syariat yang di sampaikan para nabi
b. Memantapkan hati Rosulullah SAW. Dan umatnya dalam mengamalkan
agama Allah (Islam) dan menguatkan kepercayaan para mukmin tentang akan
datangnya pertolongan Allah dan kehancuran orang-orang sesat.
c. Mengabadikan usaha-usaha para Nabi dan peringatan bahwa para nabi yang
terdahulu adalah benar.
d. Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad SAW. Dalam dakwahnya, dengan
tepat beliau menerangkan keadaan umat terdahulu.
e. Menyingkap kebohongan ahli kitab yang telah menyembunyikan isi kitab
mereka yang murni dan mengoreksi pendapat mereka.
f. Menanamkan akhlakul karimah dan budi yang mulia
g. Menarik perhatian para pendengar yang di berikan pelajaran kepada mereka.24

24
Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), Cet.
Ke-1, h. 30.
BAB III
TAFSIR Al-QUR’AN SURAT AL-BAQOROH 2:30-39

I. Ayat dan Terjemah


‫ﺴ ُﺪ‬ِ ‫ﻦ ُﻳ ْﻔ‬ْ ‫ﻞ ﻓِﻴﻬَﺎ َﻣ‬ ُ ‫ﺠ َﻌ‬ ْ ‫ﺧﻠِﻴ َﻔ ًﺔ ﻗَﺎﻟُﻮا َأ َﺗ‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ﻞ ﻓِﻲ ا ْﻟَﺄ ْر‬ ٌ ِ‫ﻚ ِﻟ ْﻠ َﻤﻠَﺎ ِﺋ َﻜ ِﺔ ِإﻧﱢﻲ ﺟَﺎﻋ‬ َ ‫ل َرﱡﺑ‬ َ ‫َوِإ ْذ ﻗَﺎ‬
‫ﻋَﻠ ُﻢ ﻣَﺎ ﻟَﺎ‬ ْ ‫ل ِإﻧﱢﻲ َأ‬ َ ‫ﻚ ﻗَﺎ‬ َ ‫س َﻟ‬ ُ ‫ك َو ُﻧ َﻘﺪﱢ‬ َ ‫ﺤ ْﻤ ِﺪ‬َ ‫ﺢ ِﺑ‬ ُ ‫ﺴﺒﱢ‬ َ ‫ﻦ ُﻧ‬ ُ‫ﺤ‬ ْ ‫ﻚ اﻟ ﱢﺪﻣَﺎ َء َو َﻧ‬ ُ ‫ﺴ ِﻔ‬
ْ ‫ﻓِﻴﻬَﺎ َو َﻳ‬
‫ل َأ ْﻧ ِﺒﺌُﻮﻧِﻲ‬ َ ‫ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ َﻤﻠَﺎ ِﺋ َﻜ ِﺔ َﻓﻘَﺎ‬ َ ‫ﺿ ُﻬ ْﻢ‬ َ ‫ﻋ َﺮ‬ َ ‫ﺳﻤَﺎ َء ُآﱠﻠﻬَﺎ ُﺛﻢﱠ‬ ْ ‫ﻋﱠﻠ َﻢ ءَا َد َم ا ْﻟَﺄ‬َ ‫( َو‬30)‫ن‬ َ ‫َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ‬
‫ﻚ‬ َ ‫ﻋ ْﻠ َﻢ َﻟﻨَﺎ إِﻟﱠﺎ ﻣَﺎ‬
َ ‫ﻋﱠﻠ ْﻤ َﺘﻨَﺎ ِإ ﱠﻧ‬ ِ ‫ﻚ ﻟَﺎ‬ َ ‫ﺳ ْﺒﺤَﺎ َﻧ‬ ُ ‫( ﻗَﺎﻟُﻮا‬31) ‫ﻦ‬ َ ‫ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﺻَﺎ ِدﻗِﻴ‬ ْ ‫ﺳﻤَﺎ ِء َه ُﺆﻟَﺎ ِء ِإ‬ ْ ‫ِﺑَﺄ‬
‫ل َأَﻟ ْﻢ‬ َ ‫ﺳﻤَﺎ ِﺋ ِﻬ ْﻢ ﻗَﺎ‬ْ ‫ﺳﻤَﺎ ِﺋ ِﻬ ْﻢ َﻓَﻠﻤﱠﺎ َأ ْﻧ َﺒَﺄ ُه ْﻢ ِﺑَﺄ‬ْ ‫ل ﻳَﺎﺁ َد ُم َأ ْﻧ ِﺒ ْﺌ ُﻬ ْﻢ ِﺑَﺄ‬َ ‫( ﻗَﺎ‬32)‫ﺤﻜِﻴ ُﻢ‬ َ ‫ﺖ ا ْﻟ َﻌﻠِﻴ ُﻢ ا ْﻟ‬َ ‫َأ ْﻧ‬
‫ن‬
َ ‫ن َوﻣَﺎ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻜ ُﺘﻤُﻮ‬ َ ‫ﻋَﻠ ُﻢ ﻣَﺎ ُﺗ ْﺒﺪُو‬ ْ ‫ض َوَأ‬ ِ ‫ت وَا ْﻟَﺄ ْر‬ ِ ‫ﺴ َﻤﻮَا‬ ‫ﺐ اﻟ ﱠ‬ َ ‫ﻏ ْﻴ‬ َ ‫ﻋَﻠ ُﻢ‬ ْ ‫ﻞ َﻟ ُﻜ ْﻢ إِﻧﱢﻲ َأ‬ ْ ‫َأ ُﻗ‬
َ ‫ن ِﻣ‬
‫ﻦ‬ َ ‫ﺳ َﺘ ْﻜ َﺒ َﺮ َوآَﺎ‬
ْ ‫ﺲ َأﺑَﻰ وَا‬ َ ‫ﺠﺪُوا إِﻟﱠﺎ ِإ ْﺑﻠِﻴ‬ َ‫ﺴ‬ َ ‫ﺠﺪُوا ﻟِﺂ َد َم َﻓ‬ ُ‫ﺳ‬ ْ ‫( َوِإ ْذ ُﻗ ْﻠﻨَﺎ ِﻟ ْﻠ َﻤﻠَﺎ ِﺋ َﻜ ِﺔ ا‬33)
‫ﺚ‬
ُ ‫ﺣ ْﻴ‬ َ ‫ﺠ ﱠﻨ َﺔ َو ُآﻠَﺎ ِﻣ ْﻨﻬَﺎ رَﻏَﺪًا‬ َ ‫ﻚ ا ْﻟ‬ َ‫ﺟ‬ ُ ‫ﺖ َو َز ْو‬ َ ‫ﻦ َأ ْﻧ‬ ْ ‫ﺳ ُﻜ‬ ْ ‫( َو ُﻗ ْﻠﻨَﺎ ﻳَﺎﺁ َد ُم ا‬34).‫ﻦ‬ َ ‫ا ْﻟﻜَﺎ ِﻓﺮِﻳ‬
‫ﻋ ْﻨﻬَﺎ‬ َ ‫ن‬ ُ ‫ﺸ ْﻴﻄَﺎ‬ ‫( ﻓَﺄَزَﱠﻟ ُﻬﻤَﺎ اﻟ ﱠ‬35).‫ﻦ‬ َ ‫ﻦ اﻟﻈﱠﺎِﻟﻤِﻴ‬ َ ‫ﺠ َﺮ َة َﻓ َﺘﻜُﻮﻧَﺎ ِﻣ‬ َ‫ﺸ‬ ‫ﺷ ْﺌ ُﺘﻤَﺎ وَﻟَﺎ َﺗ ْﻘ َﺮﺑَﺎ َه ِﺬ ِﻩ اﻟ ﱠ‬ ِ
‫ض‬
ِ ‫ﻋ ُﺪ ﱞو َوَﻟ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻲ ا ْﻟَﺄ ْر‬ َ ‫ﺾ‬ ٍ ‫ﻀ ُﻜ ْﻢ ِﻟ َﺒ ْﻌ‬ ُ ‫ﺧﺮَﺟَ ُﻬﻤَﺎ ِﻣﻤﱠﺎ آَﺎﻧَﺎ ﻓِﻴ ِﻪ َو ُﻗ ْﻠﻨَﺎ ا ْه ِﺒﻄُﻮا َﺑ ْﻌ‬ ْ َ‫ﻓَﺄ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ِإﻧﱠ ُﻪ ُه َﻮ‬ َ ‫ب‬ َ ‫ت َﻓﺘَﺎ‬ ٍ ‫ﻦ َر ﱢﺑ ِﻪ َآِﻠﻤَﺎ‬ ْ ‫( َﻓ َﺘَﻠﻘﱠﻰ ءَا َد ُم ِﻣ‬36).‫ﻦ‬ ٍ ‫ع ِإﻟَﻰ ﺣِﻴ‬ ٌ ‫ﺴ َﺘ َﻘ ﱞﺮ وَﻣَﺘَﺎ‬ ْ ‫ُﻣ‬
‫ﻦ َﺗ ِﺒ َﻊ‬ ْ ‫ﺟﻤِﻴﻌًﺎ ﻓَﺈِﻣﱠﺎ َﻳ ْﺄ ِﺗ َﻴ ﱠﻨ ُﻜ ْﻢ ِﻣﻨﱢﻲ ُهﺪًى َﻓ َﻤ‬ َ ‫( ُﻗ ْﻠﻨَﺎ ا ْهﺒِﻄُﻮا ِﻣ ْﻨﻬَﺎ‬37).‫ب اﻟ ﱠﺮﺣِﻴ ُﻢ‬ ُ ‫اﻟ ﱠﺘﻮﱠا‬
‫ﻚ‬
َ ‫ﻦ َآ َﻔﺮُوا َو َآ ﱠﺬﺑُﻮا ﺑِﺂﻳَﺎﺗِﻨَﺎ أُوَﻟ ِﺌ‬ َ ‫( وَاﱠﻟﺬِﻳ‬38).‫ن‬ َ ‫ﺤ َﺰﻧُﻮ‬ ْ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ وَﻟَﺎ ُه ْﻢ َﻳ‬َ ‫ف‬ ٌ ‫ي ﻓَﻠَﺎ ﺧَ ْﻮ‬ َ ‫ُهﺪَا‬
(39). ‫ن‬ َ ‫ب اﻟﻨﱠﺎ ِر ُه ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺧَﺎِﻟﺪُو‬ ُ ‫ﺻﺤَﺎ‬ ْ ‫َأ‬
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui"(QS. 2:30)
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:"Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika memang kamu orang yang benar!", (QS. 2:31)
Mereka menjawab:"Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana. (QS. 2:32)
Allah berfirman:"Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini". Maka
setelah diberitahukannya nama-nama benda itu,
Allah berfirman:"Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku
mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa
yang kamu sembunyikan", (QS. 2:33)
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada
Adam", maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia
termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS. 2:34)
Dan Kami berfirman:"Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan
makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai,
dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang
yang zalim. (QS. 2:35)
Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan
semula dan Kami berfirman:"Turunlah kamu! Sebahagian kamu menjadi musuh bagi
yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai
waktu yang ditentukan". (QS. 2:36)
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabb-nya, maka Allah menerima
taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS.
2:37)
Kami berfirman: "Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-

Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada

kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".(QS. 2:38)

Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni

neraka; mereka kekal di dalamnya.(QA. 2:39).”1

III. Tafsir Ayat


1. Ayat 30
Penyampaian keputusan Allah kepada para malaikat tentang rencana-Nya
menciptakan manusia dibumi. Penyampaian kepada mereka penting, karena malaikat
akan dibebani sekian tugas menyangkut manusia, ada yang bertugas mencatat amal-amal
manusia, ada yang bertugas memeliharanya, ada yang membimbingnya, dan
sebagainya.2
Kedudukan yang tinggi dalam tatanan alam wujud diatas bumi yang luas ini.
Dan, ini yang dikehendaki untuknya oleh Sang Pencipta Yang Maha Mulia.
Semua ini adalah pengarahan dari ungkapan kalimat yang luhur dan mulia ,
”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi” ketika

1
Tim Departemen Agama, Al-Qur’an Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), Cet.10, h. 6
2
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2006), Cet. VII, h. 141
kita merenungkannya dengan perasaan sadar, mata hati yang terbuka, dan melihat apa
yang terjadi dimuka bumi melalui tangan makhluk yang menjadi khalifah dalam kerajaan
yang luas ini.3
Utarakanlah kepada kaummu Muhammad titah Tuhanmu kepada para malaikat,
“Sungguh aku akan jadikan Adam sebagai pengganti dari jenis yang lain yang dulu
pernah ada dibumi kemudian binasa setelah berbuat kerusakan diatas bumi dan
menumpahkan darah, dan Adam ini akan menempati tempatnya itu.”
Sejumlah ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud “khalifah” dalam ayat
ini, yaitu tugas mewakili Allah dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dikalangan
manusia.4
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) dimuka bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.
Apakah Engkau akan menjadikan makhluk yang suka membunuh jiwa yang terlarang,
kecuali karena alasan yang benar, sebagai khalifah dibumi? Padahal kami ini adalah
makhluk-Mu yang bersih dari kesalahan.?5
Perkataan malaikat ini memberi kesan bahwa mereka mempunyai bukti-bukti
keadaan atau berdasarkan pengalaman masa lalunya dibumi, atau dengan ilham
pandangan batinnya, yang menyingkap sedikit tentang tabi’at makhluk ini atau tentang
tuntunan hidupnya dimuka bumi,, dan yang menjadikan mereka mengetahui atau
memprediksi bahwa makhluk (manusia) ini kelak akan membuat kerusakan dimuka
bumi dan menumpahkan darah.6
Malaikat menduga bahwa dunia hanya dibangun dengan tasbih dan tahmid,
karena itu malaikat melanjutkan pertanyaan mereka, Sedang kami mensucikan, yakni
menjauhkan Dzat, Sifat, dan perbuatan-Mu dari yang segala yang tidak wajar bagi-Mu,
sambil memuji-Mu atas segala yang Engkau anugerahkan kepada kami, termasuk
mengilhami kami mensucikan dan memuji-Mu.7
2. Ayat 31
3
Sayyid Quthb, Di Bawah Naungan al-Qur’an, Terj. Dari Tafsir Fi Zilalil Qur’an, oleh As’ad
Yasin, Abdul Aziz Salim Basyharahil (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Cet. 1, h. 95
4
Syekh Mustafa al-Maraghi, Terjemah tafsir al-Maraghi, (Bandung: CV. Rosda, 1987), cet. 2, h.
73
5
al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi… h.74
6
Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an … h. 95
7
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah… h. 141
Manusia dianugerahi Allah potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan
karakteristik benda-benda, misalnya fungsi api, fungsi angin, dan sebagainya. Dia juga
diberi potensi untuk berbahasa. Sistem pengajaran bahasa kepada manusia (anak kecil)
bukan dimulai dengan mengajarkan kata kerja, tetapi mengajarnya terlebih dahulu nama-
nama. Ini papa, ini mama, itu pena, itu mata dan sebagainya. 8
Rahasia kekuasaan itu diisyaratkan pada nama-nama benda, serta pada penamaan

orang-orang dan benda-benda yang berupa lafal-lafal yang terucapkan hingga

menjadikannya isyarat-isyarat bagi orang-orang dan benda-benda yang dapat di indera.

Kekuasaan yang memiliki nilai yang tertinggi dalam kehidupan manusia dimuka bumi.9

Kemampuan manusia merumuskan idea dan memberi nama bagi setiap sesuatu

merupakan langkah bagi terciptanya manusia berpengetahuan dan lahirnya ilmu

pengetahuan.10

Allah mengajarkan kepada Adam jenis-jenis ciptaa-Nya mengilhamkan

kepadanya pengetahuan tentang dzat, karakteristik , sifat dan nama-nama ciptaan-Nya

itu.

Hikmah “mengajarkan” kepada Adam “dan memperlihatkan benda-benda

kepada malaikat” adalah untuk memuliakan dan memilih Adam, agar para malaikat itu

tidak sombong kepadanya karena ilmu dan pengetahuannya, dan untuk menampakkan

rahasia-rahasia dan ilmu-ilmu yang tersimpan dalam alam keghaiban ilmu-Nya melalui

lisan hamba yang dikehendakinya.11

3. Ayat 32

8
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah… h. 145-146
9
Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an … h.68
10
Shihab, Tafsir al-Misbah… h. 147
11
Al-Maraghi, Tafsir al Maraghi... h. 76
Para malaikat pun mengakui akan kelemahan dan ketidak tahuannya dalam

menjawab pertanyaan dan mengakui kesucian Allah SWT dalam segala macam

kekurangan dan ketidak adilan. Ia menjawab, “apa yang Engkau tanyakan itu tidak

pernah Engkau ajarkan kepada kami, bukan karena engkau tidak tahu, tetapi ada hikmah

dibalik itu.12

Kita mengetahui nilainya ketika kita menggambarkan kesulitan yang besar, yang

tidak dapat kita mengerti seandainya menusia tidak diberi Kekuasaan (kemampuan)

terhadap isyarat nama-nama benda itu.13

Hal ini merupakan pengakuan Malaikat tentang kelemahannya menghadapi soal

yang dibebankan kepada mereka yang menunjukan bahwa pertanyaan yang mereka

ajukan kepada Allah itu minta penjelasan, bukan membantah, dan juga pernyataan

pujian kepada Allah dengan patuh dan sopan atas ilmu yang telah ia limpahkan kepada

mereka. Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa sepatutnya manusia tidak mengabaikan

kekurangannya, karunia dan kebaikan Allah kepadanya.14

4. Ayat 33

Pengetahuan Adam tentang nama-nama itu jelas , tidak perlu di uji lagi, dan dia

patut mengajarkannya kepada yang lain, sehingga dia memiliki bakat pengajar yang

berguna, sedangkan malaikat menjadi murid yang memperoleh faedah dari ilmunya.

Dan supaya Adam tidak merasa takut karena mengajar orang yang sudah pandai

berbeda dengan mengajar yang lain.15

12
Shihab, Tafsir al-Misbah… h. 146
13
Quthb, Tafsir fi Zilalil Qur’an… h. 68
14
Al-Maraghi, Tafsir al Maraghi... h. 78
15
Al-Maraghi, Tafsir al Maraghi... h. 78
Adam diperintahkan untuk “memberitakan”, yakni menyampaikan kepada

malaikat, bukan “mengajar” mereka. Pengajaran mengharuskan adanya upaya dari yang

mengajar agar bahan pengajarannya dimengerti oleh yang diajarnya, sehingga kalau

perlu pengajar mengulang-ulangi pengajaran hingga benar-benar dimengerti.ini berbeda

dengan penyampaian atau berita. Penyampaian tidak mengharuskan pengulangan, tidak

juga yang diberitakan harus mengerti .16

Malaikat tidak memerlukan kekhususan ini, karena tidak ada urgensinya dengan

tugas-tugas mereka. Oleh karena itu, mereka tidak diberi yang demikian ini, maka ketika

Allah mengajarkan rahasia ini kepada Adam dan mengemukakannya kepada para

malaikat apa yang telah dikemukakannya kepada Adam, mereka tidak mengetahui nama-

nama itu. Mereka tidak mengetahui bagaimana menempatkan rumus-rumus (isyarat-

isyarat) lafal bagi sesuatu dan seseorang. Mereka menyatakan kelemahannya itu, dan

mengetahui keterbatasan pengetahuannya. Padahal semua itu sudah diketahui dan

dikenal oleh Adam. Kemudian didoronglah mereka untukmengetahui hikmah Tuhan

Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.17

Walaupun malaikat merupakan makhluk-makhluk suci yang tidak mengenal

dosa, tetapi mereka tidak wajar menjadi khalifah, Karena yang bertugas menyangkut

sesuatu haruslah memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan

tugasnya. Khalifah yang bertugas dibumi haruslah mengenal apa yang dibumi, paling

sedikit nama-namanya atau bahkan potensi yang dimilikinya. Ini tidak diketahui oleh

malaikat, tetapi Adam As. mengetahuinya. Karena itu dengan jawaban para Malaikat

16
Shihab , Tafsir al-Misbah… h. 149
17
Quthb, Tafsir fi Zilalil Qur’an…
sebelum ini dan penyampaian Adam kepada mereka terbuktilah kewajaran makhluk yang

diciptakan Allah. Itu menjadi khalifah didunia.18

Kekhalifahan dibumi adalah kekhalifahan yang bersumber dari Allah SWT., yang

antara lain bermakna melaksanakan apa yang dikehendaki Allah menyangkut bumi ini.

Dengan demikian, pengetahuan atau potensi yang dianugerahkan Allah itu merupakan

syarat sekaligus modal utama untuk mengelola bumi ini. Tanpa pengetahuan atau

pemanfaatan potensi berpengatahuan, maka tugas kekhalifahan manusia akan gagal,

walau seandainya dia tekun ruku, sujud, dan beribadah kepada Allah SWT. Serupa

dengan ruku, sujud, dan ketaatan malaikat. Bukankah malaikat yang sedemikian taat

tidak mampu mengelola bumi ini, bukan karena kurangnya ibadah mereka, tetapi karena

keterbatasan pengetahuan mereka tentang alam dan fenomenanya. Allah melalui kisah

ini bermaksud menerangkan bahwa bumi tidak dikelola semata-mata hanya dengan

tasbih dan tahmid tetapi dengan amal ilmiyah dan ilmu alamiyah.19

Ayat-ayat ini menunjukkan kelebihan manusia dari makhluk-makhluk Allah

lainnya, dan keutamaan ilmu dari ibadah. Karena syarat menjadi khalifah adalah ilmu,

bahkan ilmulah manjadi dasarnya. Adam lebih mulia dari malaikat ini, karena dia lebih

berilmu, dan orang orang yang lebih mulia adalah orang yang lebih tinggi ilmunya.20

5. Ayat 34

Sujud secara lughah artinya: tunduk dan mengikut. Sujud kepada Allah ada dua

macam: sujudnya makhluk berakal untuk beribadah dengan cara-cara yang ditentukan

18
Shihab, Tafsir al-Misbah… h. 149
19
Shihab, Tafsir al-Misbah… h. 151
20
Maraghi, Tafsir al-Maraghi… h. 79
oleh syara’; dan sujudnya makhluk-makhluk lain dengan jalan ikut dan tunduk kepada

ketetapan kehendak-Nya.21

Makna sujud yang diperintahkan Allah. dalam arti menampakkan ketundukan

dan penghormatan kepada Adam as. Atas kelebihan yang dianugerahi Allah kepadanya.

Dengan demikian,sujud yang dimaksud bukan dalam arti meletakkan dahi dilantai . ini

adalah pendapat mayoritas ulama ahl as-Sunnah. Dengan demikian tidak ada alasan

untuk berkata, bahwa iblis enggan sujud kepada Adam as. Karena ia enggan sujud

kecuali hanya kepada Allah swt. Perintah sujud kepada Adam as. Jelas berbeda dengan

perintah sujud kepada Allah swt.22

Sebagai penghormatan kepada sang khalifah yang dianugerahi ilmu dan

mendapat tugas mengelola bumi, maka Allah swt secara langsung memerintahkan

kepada para malaikat untuk sujud kepada Adam.23

Para malaikat menyadari bahwa perintah ini tidak boleh ditangguhkan, karena itu

tanda ketaatan dan penyerahan diri kepadanya.24

Akan tetapi iblis menolak perintah Tuhannya untuk sujud, menunjukkan

kesombongannya, dan menolak kebenaran, Karena merasa dirinya lebih baik unsurnya

dari dari khalifah ini, lebih bagus pula hakekatnya.25

Oleh karena itu, dalam hal ini iblis bukan termasuk kedalam golongan malaikat,

melainkan hanya ada bersama mereka pada waktu itu. Seandainya iblis itu termasuk

kedalam golongan malaikat, niscaya dia tidak akan melanggar perintah Allah, sebab

21
Maraghi, Tafsir al-Maraghi, h. 80
22
Shihab, Tafsir al-Misbah… V. 5, h. 22-23
23
Shihab, Tafsir al-Misbah… h. 152
24
Shihab, Tafsir al-Misbah…, h. 152
25
Maraghi, Tafsir al-Maraghi… h. 84
sifat mereka yang utama adalah : “tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang

diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan “

(QS. At-Tahrim:6).26

Keengganan iblis untuk mentaati Allah dengan bersujud kepada Adam akhirnya

menyebabkan diusir dari surga. Allah berfirman: “karena engkau angkuh dan

membangkang, maka turunlah, yakni keluarlah dengan rendah lagi hina darinya, yakni

dari surga, karena engkau dan siapapun tidak sepatutnya dalam keadaan apapun

menyombongkan diri didalamnya, maka keluarlah dari surga sesungguhnya engkau dan

siapapun yang menyombongkan diri termasuk orang-orang yang hina.27

6. Ayat 35

Ketika kami yakni Allah yang Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui berfirman

dengan menyatakan “Hai Adam diamilah dengan tenang, sebagaimana difahami dari

makna kata “uskun” – engkau dan istrimu – berdua saja tidak dengan anak cucumu

karena kamu tidak beranak cucu di surga ini dan makanlah sepuas kamu sebagian dari

makanan-makanan-nya yang banyak lagi baik dimana dan kapan saja kamu sukai tanpa

ada pembatasan kecuali satu hal yaitu, dan janganlah kamu berdua mendekati apalagi

memakan buah pohon ini. Karena jika kamu mendekatinya kamu berdua akan terjerumus

dalam bahaya, sehingga menyebabkan kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim”

yakni menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.28

Semua buah-buahan disurga diperbolehkan bagi Adam untuk memakannya

kecuali satu pohon, yang boleh jadi ini melambangkan akan adanya larangan dalam

26
Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an… h. 69
27
Shihab, Tafsir al-Misbah… V.5, h. 31
28
Shihab, Tafsir al-Misbah… V. 1 h. 156
kehidupan dimuka bumi. Karena tanpa adanya sesuatu yang dilarang, maka iradah tidak

akan tumbuh. Dan, tidak ada bedanya manusia yang punya kehendak dengan binatang

yang cuma digiring, serta tidak teruji pula kesabaran manusia untuk menunaikan

perjanjian dan keterikatannnya dengan persyaratan-persyaratan. Orang-orang yang cuma

bersenang-senang tanpa punya iradah, maka mereka termasuk makhluk binatang,

walaupun wujudnya manusia.29

Allah melarang mendekati, bukan sekedar melarang memakannya. Larangan ini

menunjukan kasih sayang Allah kepada Adam as. dan pasangannya serta anak cucu

mereka. Allah swt. Maha Mengetahui bahwa ada kecendrungan manusia untuk mendekat,

lalu mengetahui, dan merasakan sesuatu yang indah dan menarik. Disini langkah awal

segera dilarang-Nya, agar tidak mengundang langkah berikutnya.30

Larangan ini karena suatu hikmah , seperti karena membahayakan, atau sebagai

ujian Allah kepada Adam, guna menampakkan kesanggupan manusia yang berupa

kecendrungan ingin mengetahui sesuatu; meskipun hal itu merupakan pelanggaran yang

mengakibatkan bahaya.31

7. Ayat 36

Ungkapan azallahumaa’ setan menggelincirkan mereka’,” sebuah lafal (ungkapan) yang


menggambaran adanya gerakan yang dilakukan . dan, anda hampir-hampir sedang menyaksikan
setan yang menjauhkan Adam dan Hawa dari surga serta mendorong kaki mereka sehingga
terpeleset dan jatuh.32
Ayat ini menunjukan bahwa mereka tidak sepenuhnya sadar ketika itu. Mereka

tergelincir. Dalam ayat lain dinyatakan bahwa Adam lupa. “Sesungguhnya telah Kami

29
Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an… h. 69
30
Shihab, Tafsir al-Misbah… V.1, h. 157
31
Maraghi, Tafsir al-Maraghi... h. 87
32
Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an… h. 69
perintahkan dauhulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak kami dapati padanya

kemauan yang kuat” (QS. Thaha 20:15).33

Yang diperintahkan turun adalah Adam, istrinya dan iblis, demikianlah riwayat

yang dinukil dari Ibnu Abbas, mujahid dan kebanyakan ulama’ salaf.34

Sejak keistimewaan manusia diperlihatkan Allah kepada para malaikat, termasuk

kepada iblis, maka sejak itu kebencian iblis kepada Adam as. tertancap jauh kedalam

hatinya dan semakin menjadi-jadi, baik terhadap Adam as. maupun anak cucunya setelah

ia terkutuk akibat keengganannya sujud. Bahkan setelah mengetahui ia mendapat

kesempatan hidup sampai hari kebangkitan, maka tanpa segandan malu iblis berkata

sambil bersumpah, disebabkan karena Engkau telah menyesatkan aku, yakni telah

mewujudkan kesesatan dan kepercayaan menyangkut kebatilan dalam jiwa saya, maka

aku benar-benar akan duduk berkonsentrasi selama masa penangguhan itu menghadapi

dan menghalang-halangi mereka dijalan-Mu yang lurus.35

Dalam surat al-A’raf dijelaskan bahwa iblis akan menggoda manusia dari empat

arah, yaitu depan, belakang, kanan, dan kiri. Para ulama membahas, mengapa, ayat diatas

hanya menyebut empat arah yang akan digunakan iblis, mengapa arah yang lainnya, yaitu

atas dan bawah tidak disebutkan?

Ada yang menjawab bahwa keduanya tidak perlu disebut, karena keempat arah

itu, adalah arah yang biasa. Atau dahulu pada masa turunnya al-Qur’an digunakan

musuh untuk menyerang lawannya. Penyebutan keempat arah itu, pada hakikatnya

dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa iblis menggunakan segala cara, tempat dan

33
Shihab, Tafsir al-Misbah…, h.158
34
Maraghi, Tafsir al-Maraghi... h. 88
35
Shihab, Tafsir al-Misbah… V. 5, h. 35
kesempatan untuk menjerumuskan manusia. Jika demikian tidak tidak perlu lagi

menyebut atas dan bawah.36

Ada juga yang berpendapat, bahwa tidak disebutnya arah atas dan bawah adalah

untuk mengisyaratkan bahwa tidaka ada arah yang aman dari godaan setan kecuali arah

atas yang menjadi lambang kehadiran ilahi dan arah bawah sebagai lambang

penghambaan diri manusia manusia kepada Allah swt. Atau arah atas adalah arah

turunnya rahmat atau malaikat dan arah bawah adalah arah siapa yang mengharapkan

rahmat.37

8. Ayat 37

Adam sadar dari keterpelesetannya karena fitrahnya, dan ia segera disusuli oleh

rahmat Tuhannya yang senantiasa menjemputnya bilamana ia kembali dan berlindung

kepada-Nya.38

Ayat ini mengandung arti bahwa Allah swt mengilhaminya penyesalan dari

dalam lubuk hatinya yang tulus, dan atau mengilhaminya kalimat-kalimat do’a yang

terucapkan.39

Kalimat tersebut sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas adalah:

“Wahai Tuhan kami, kami telah berbuat dzalim kepada diri kami sendiri. Dan
jika engkau tidak mengampuni dosa kami dan tidak memberi rahmat kepada kami,
niscaya kami benar-benar termasuk kedalam orang-orang yang merugi”.
“Maha suci Engkau, ya Tuhan dan Maha Terpuji, Maha Mulia Asma-Mu, lagi
Maha Agung MartabatMu. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Aku telah berbuat dzalim

36
Shihab, Tafsir, al-Misbah… V. 5, h. 36
37
Shihab, Tafsir al-Misbah… V. 5, h. 37
38
Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an… h. 69
39
Shihab, Tafsir al-Misbah… h. 162.
pada diriku sendiri. Maka ampunilah dosaku. Karena tidak ada yang mengampuni
segala dosa, kecuali hanya engkau.40

Jika kita sependapat dengan para ulama yang menyatakan bahwa kalimat-kalimat
ayat ini adalah pengajaran Allah kepada Adam as. dan pasangannya untuk
memohonkannya kepada Allah, maka ini mengisyaratkan pula bahwa taubat yang
diterima Allah adalah taubat yang benar-benar tulus dan yang oleh pelakunya disadari
sebagai ancaman kesengsaraan bila tidak dikabulkan Allah. Ancaman ini tentu dirasakan
oleh mereka yang menyadari bahwa pelanggaran yang dilakukannya itu tertuju kepada
Tuhan Yang Maha Agung.41
Ayat ini merupakan salah satu perbedaan pokok pandangan Islam dan pandangan
kristen tentang manusia. Ayat ini menjelaskan bahwa Adam as. telah diampuni Allah
SWT., dengan demikian ia tidak membawa dosa akibat mencicipi buah terlarang itu.
Tidak ada dosa yang diwariskannya, bahkan kalau pun seandainya beliau tidak
mendapatkan pengampunan, pewarisan dosapun tidak diakui oleh al-Qur’an karena
secara tegas dinyatakan bahwa: “seseorang tidak akan memikul dosa orang lain, dan
bahwa seseorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.
Dosa Adam adalah dosa pribadi, taubatnya pun bersifat pribadi, tidak kolektif, dan
pengampunan yang dianugerahkan Allah kepadanya pun demikian.42
Allah menerima taubat Adam dan pasangannya. Meskipun demikian, penerimaan
taubat tersebut bukan berarti ia tidak dikeluarkan dari surga. Dalam QS. Al-A’raf 7:24
dijelaskan bahwa pengusiran terhadap mereka dengan menggunakan bentuk jamak
ihbithu, sedang ayat QS. Thaha 29:123, menggunakan bentuk dual ihbitha. Apa yang
dimaksud oleh ayat Thaha dengan menggunakan bentuk kata tersebut adalah dua pihak,
yaitu satu Adam dan pasangannya, dan pihak kedua adalah setan. Ini untuk
mengisyaratkan bahwa suami istri hendaknya menjadi satu keasatuan, satu langkah dan
arah, saling mengingatkan dalam menghadapi dunia dan menghadapi setan. Adapun
yang dimaksud dengan surah al-A’raf dengan bentuk jamak yang digunakannya adalah
anggota kedua kesatuan itu, yakni kesatuan pertama adalah manusia yang terdiri dari

40
Maraghi, Tafsir al-Maraghi… h. 89
41
Shihab, Tafsir al-Misbah… V. 5, h. 162
42
Shihab, Tafsir al-Misbah… V.1, h. 162
dua orang, yaitu Adam dengan pasangannya dan kesatuan kedua adalah iblis, sehingga
mereka pada hakikatnya berjumlah tiga orang, sehingga dipilih bentuk jamak.43
Tamatlah sudah kalimat Allah yang terakhir dan janjinya yang abadi kepada

Adam serta anak cucunya, yaitu janji untuk menjadikannya khalifah dan penentuan

kebahagiaan atau kebinasaan dengan syarat-syaratnya.44

9. Ayat 38

Pengulangan ini dimaksudkan untuk menjelaskan dua hal yang berbeda. Perintah

turun yang pertama mengisyaratkan turun kebumi tempat makan, minum, dan

bermusuhan. Sedangkan perintah turun kedua untuk mengisyaratkan turunnya martabat

keagamaan mereka, yakni martabat iblis akibat pembangkangan mereka dan godaannya

kepada Adam dan istrinya, dan martabat Adam dan istrinya akibat mangikuti rayuan iblis

dan memakan buah terlarang.45

Perintah ini untuk menerangkan bahwa periode kenikmatan dan ketenangan telah

habis dan datang periode kerja. Dalam periode kerja ini ada dua jalan: jalan hidayah dan

keimanan dan jalan kufur dan kerugian.46

Perjanjian yang diikat antara Allah dan Adam as. bahwa mereka akan mengikuti

petunjuk Allah jika petunjuk itu tiba. Masing-masing mengikuti petunjuk yang tiba pada

masanya.47

43
Shihab, Tafsir al-Misbah… V.5, h. 53
44
Quthb, Tafsir fi Zilalil Qur’an… h. 99
45
Shihab, Tafsir al-Misbah… V.1, h. 167
46
Maraghi, Tafsir al-Maragh…, h. 95
47
Shihab, Tafsir al-Misbah… V.1, h. 168
Barangsiapa yang berpegang teguh kepada syari’at yang dibawa para Rasul dan

mau mempertimbangkan kebenarannya dengan akal sesudah memikirkan dalil-dalil yang

terdapat dalam cakrawala dan diri mereka sendiri.48

10. Ayat 39
Orang-orang kafir yang mendustakan ayat-ayat Allah dan enggan bertaubat,

mereka itulah penghuni neraka yang kekal.49

Orang-orang yang tidak mau mengikuti petunjuk-Ku, yakni orang-orang yang

dalam hatinya mengingkari ayat-ayat kami dan orang-orang yang yang dengan ucapan

mendustakannya, balasan mereka kekekalannya dineraka, disebabkan mereka

mengingkari ayat-ayat kami. Keingkarannya lantaran mengikuti bisikan setan. Hal ini

sebagai imbangan dari firman yang sebelumnya.50

IV. Ikhtisar
Potensi manusia sebagaimana dijelaskan oleh al-Quran melalui kisah Adam dan
Hawa (Q.S. 2:30-39) bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar
manusia memikul tanggung jawab kekhalifahan dibumi. Untuk maksud tersebut Allah
memberikan akal dan ruhani. Dengan akal dan ruhani inilan Allah memberikan potensi
kepada manusia, diantaranya:
1. Potensi untuk mengetahui nama-nama dan fungsi benda-benda alam
2. pengalaman hidup disurga, baik yang berhubungan dengan kecukupan dan
kenikmatannya, maupun rayuan iblis dan akibat buruknya.
3. Petunjuk-petunjuk Agama
Mengajarkan semua nama benda kepada adam membuktikan bahwa manusia
mempunyai kesediaan untuk mengetahui serta memanfaatkan segala sesuatu dibumi dan
memakmurkannya.

48
Maraghi, Tafsir al-Maraghi… h. 95.
49
Shihab, Tafsir al-Misbah… V.1, h. 167
50
Maraghi, Tafsir al-Maraghi… h. 96
Memperlihatkan benda-benda kepada malaikat dan mempertanyakan nama-
namanya serta ketidak mampuan mereka menjawab merupakan ilustrasi bahwa persepsi
roh dikuasakan mengatur alam adalah terbatas, tidak melampaui tugasnya.
Adam lebih mulia dari malaikat, karena dia lebih berilmu, dan orang orang yang
lebih mulia adalah orang yang lebih tinggi ilmunya.
Sujudnya malaikat kepada Adam menunjukkan tentang ketundukkan roh dan
kekuatan ghaib kepadanya untuk dimanfaatkan memajukan dunia ini berdasarkan
pengetahuan tentang hukum-hukum Allah dialam semesta.
Keengganan iblis dan kesombongannya untuk sujud kepada Adam
menggambarkan kelemahan manusia menundukan roh jahat dan mengalahkan ajakan
pikiran jahat yang merupakan sumber pertentangan, permusuhan, pelanggaran dan
pengrusakan dibumi.
Sekiranya tidak demikian niscaya manusia akan mengalami suatu masa yang
orang-orangnya seperti malaikat, bahkan lebih dari itu, atau justru mereka sudah bukan
jenis manusia

V. Perbandingan
Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “Sungguh aku
akan jadikan seorang khalifah di bumi”

Dalam tafsir al-Misbah dikatakan para malaikat dibebani tugas yang menyangkut
aspek-aspek kehidupan manusia, sedangkan dalam tafsir sayyid Quthb ini adalah suatu
pengarahan dari kalimat yang mulia, dalam tafsir al-maraghi penjelasannya lebih
menekankan pada substansi pelajaran yang diambil dengan memaparkan perintah Allah
kepada nabi Muhammad untuk mengutarakan kepada kaumnya tentang perihal yang
Allah firmankan kepada malaikat.
Allah “Mengajarkan kepada Adam”. Dalam tafsir al-Mibah dijelaskan bahwa
Allah swt menganugerahkan kepada manusia potensi untuk mengetahui nama atau
fungsi dan karakteristik benda-benda. Sedangkan dalam tafsir fizilalil Qur’an dijelaskan
bahwa ini merupakan penyerahan kunci-kunci kekhalifahan dan merupakan rahasia
kekuasaan yang diisyaratkan pada nama-nama benda. Dalam tafsir al-Maraghi dijelaskan
bahwa selain mengajarkan Allah juga mengilhamkan kepadanya pengetahuan tentang
dzat, karakteristik, sifat dan nama ciptaannya.
"Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini"
Tafsir al-Maraghi menjelaskan dan memposisikan bahwa Adam sebagai pengajar
yang mengajarkan kepada para malaikat nama-nama benda yang telah Allah ajarkan dan
ilhamkan kepadanya. Dalam tafsir al-Misbah Adam hanya memberitakan kepada
malaikat bukan mengajarkan mereka, dengan alasan bahwa proses pengajaran
mengharuskan adanya upaya dari yang mengajar agar bahan pengajarannya dimengerti
oleh yang diajar.
Tentang makna sujud yang Allah perintahkan kepada malaikat kesemuanya
(Tafsir al-Misbah, Tafsir Fizilalil Qur’an dan Tafsir al-Maraghi) memahaminya dengan
sujud dalam arti sebagai penghormatan kepada Adam, bukan sebagai ibadah.
Allah swt melarang Adam untuk mendekati pohon dalam tafsir al-Misbah
dijelaskan bahwa larangan ini menunjukan kasih sayang Allah kepada Adam as. Dan
pasangannya serta anak cucunya. Dalam tafsir al-Maraghi diterangkan bahwa larangan
ini terdapat hikmah dan merupakan ujian kepadanya. Dalam tafsir fizilalil Qur’an
bahwa larangan ini merupakan gambaran dan melambangkan akan adanya larangan
dalam kehidupan kelak dimuka bumi.
pada intinya kesemua pendapat ini adalah menunjukan kasih sayang Allah
kepada makhluknya dan demi untuk keselamatan dan kemaslahatan mereka.
Perintah turun pada ayat 38 dalam tafsir al-Misbah dikatakan bahwa ini
mengisyaratkan turunnya martabat keagamaan mereka, akibat pelanggaran mereka
sedangkan dalam tafsir al-Maraghi dikatakan bahwa ini merupakan periode kenikmatan
dan ketenangan telah habis dan datang periode kerja.
BAB IV
NILAI –NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG
DALAM KISAH ADAM A.S

Kejadian Adam a.s. suatu peristiwa yang besar, sebagai penyempurna alam dan
sekaligus sebagai pewaris alam sekeliling, Allah SWT menghendaki untuk meramaikan
dunia, dengan itulah Allah menjadikan Adam, untuk merawat dunia, mengemban alam
sekeliling, sehingga bermunculan beraneka ragam yang telah ditemukan anak-anak cucu
Adam, sebagian rahasia bumi dan langit, dan sampai hancurnya sebagian bumi karena
sebab tangan-tangan anak cucu Adam1

Marilah kita perhatikan kisah nabi Adam, sebagaimana


disebutkan disini, dan dengan bingkai penjelasan ini.
Konteksnya sebagaimana penjelasan dimuka adalah menampilkan parade
kehidupan, bahkan parade alam wujud secara keseluruhan. Kemudian membicarakan
bumi, dalam rangka menampakkan nikmat-nikmat Allah kepada manusia, dan
menetapkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu yang ada dibumi ini untuk
manusia. Disini, dalam suasana ini, datanglah kisah penciptaan Adam untuk menjadi
khalifah di bumi, dan diberikan kepadanya kunci-kuncinya menurut perjanjian dan dan
persyaratan dari Allah, serta diberinya pengetahuan untuk menjalankan kekhalifahan ini.2
Allah telah memberikan contoh yang sangat kongkrit dan praktis yaitu ketika
Allah SWT secara langsung mengajarkan kepada Nabi Adam a.s nama-nama benda yang
tercantum dalam ayat 30 sampai dengan 39. Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik
dalam kisah Adam a.s diantaranya adalah :

1
Jefrey lang, Bahkan Malaikat pun Bertanya, Membangun sikap berislam yang Kritis, (jakarta:
Serambi Ilmu Semesta 2001, h. 177
2
Sayyid Quthb, Di Bawah Naungan al-Qur’an, Terj. Dari Tafsir Fi Zilalil Qur’an, oleh As’ad
Yasin, Abdul Aziz Salim Basyharahil (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Cet. 1, h. 67
A. SIKAP DAN PRILAKU
1. Rendah Hati
ketika malaikat berkata, “Maha suci Engkau tidak ada pengetahuan bagi kami
kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami” ini merupakan salah satu
ungkapan atau pengakuan malaikat akan keterbatasannya dan ini juga merupakan suatu
pernyataan sikap kepatuhan dan kerendahan hatinya.
Lawan takabbur adalah tawadhu (rendah hati). Setiap mukmin hendaknya rendah
hati, tunduk kepada perintah Allah. Maka derajatnya akan diangkat Allah dan
ditempatkan disisinya. Rasulullah saw menjelaskan :

‫ﺣ ٌﺪ ِﻟﱠﻠ ِﻪ إِﻟﱠﺎ َر َﻓ َﻌ ُﻪ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬


َ ‫ﺿ َﻊ َأ‬
َ ‫ل ﻣَﺎ َﺗﻮَا‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬
ِ ‫ﻦ َرﺳُﻮ‬
ْ‫ﻋ‬
َ ‫ﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة‬
ْ‫ﻋ‬
َ
3

Dari Abu Huraiarah r.a bahwasanya Rosulullah saw bersabda: “Tidaklah


seseorang merendahkan diri dihadapan Allah kecuali Allah akan mengangkat
derajatnya” (HR. Muslim)

‫ن‬
ْ ‫ﻲ َأ‬
‫ن اﻟﻠﱠﻪَ َأ ْوﺣَﻰ ِإَﻟ ﱠ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ ِإ ﱠ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬ ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ل ﻗَﺎ‬
َ ‫ﺣﻤَﺎ ٍر َأﻧﱠ ُﻪ ﻗَﺎ‬ ِ ‫ﻦ‬ ِ ‫ض ْﺑ‬ِ ‫ﻋﻴَﺎ‬
ِ ‫ﻦ‬ْ‫ﻋ‬َ
4
‫ﺣ ٍﺪ‬َ ‫ﻋﻠَﻰ َأ‬
َ ‫ﺣ ٌﺪ‬
َ ‫ﺨ َﺮ َأ‬
َ ‫ﺣ ٍﺪ وَﻟَﺎ َﻳ ْﻔ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ َأ‬َ ‫ﺣ ٌﺪ‬
َ ‫ﻲ َأ‬ َ ‫ﺣﺘﱠﻰ ﻟَﺎ َﻳ ْﺒ ِﻐ‬ َ ‫ﺿﻌُﻮا‬َ ‫َﺗﻮَا‬
Dari iyad bin himar sesungguhnya Rosulullah saw bersabda: “Sesungguhnya
Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu, sehingga setiap kamu
tidak angkuh terhadap yang lain, dan tidak saling menindas” (HR. Abu Daud)

Selama hidupnya Rasulullah SAW selalu bersikap rendah hati, kasih sayang
lemah lembut dan toleransi. Sekalipun terhadap anak-anak kecil. Sifat kenabian dan
kedudukan tinggi beliau tidak menghalanginya berbuat baik dan berakhlak mulia yang

3
Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Birr al-Shilah wa al-Adab bab Istihbab al-‘afw wa al-
Tawadhu’ no. 4689
4
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud Kitab al-Adab bab fi al-Tawadhu’ no. 4250
khusus diberikan Allah. Beliau selalu memberikan salam kepada anak-anak, bermuka
manis kepada mereka, dan meluangkan waktu sekedar untuk menyenangkan mereka.5
Salah satu dasar terpenting adalah sifat tawadhu. Ketika Allah swt menjelaskan
sifat dan keistimewaan hamba-hambanya yang khusus, salah satu sifat terpenting yang
Allah terangkan adalah sifat tawadhu dan rendah hati.6
Rasulullah saw telah berhasil menanamkan akhlak Islam kepada diri para
sahabatnya untuk bersikap tawadhu (rendah hati) dibangun atas dasar toleransi, lembut
tutur kata dan perangai.7
Di suatu ketika beliau mengatakan:

‫ع‬
ٍ ‫ﺖ ِإﻟَﻰ ِذرَا‬
ُ ‫ل َﻟ ْﻮ ُدﻋِﻴ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
ْ‫ﻋ‬
َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ‬
َ ‫ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ‫ﺿ‬
ِ ‫ﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬
ْ‫ﻋ‬
َ
8
‫ﺖ‬
ُ ‫ع َﻟ َﻘ ِﺒ ْﻠ‬
ٌ ‫ع َأ ْو ُآﺮَا‬
ٌ ‫ﻲ ذِرَا‬
‫ي ِإَﻟ ﱠ‬
َ ‫ﺖ َوَﻟ ْﻮ ُأ ْه ِﺪ‬
ُ ‫ﺟ ْﺒ‬
َ ‫ع َﻟَﺄ‬
ٍ ‫َأ ْو ُآﺮَا‬
Dari abu Hurairah r.a, Rosulullah saw bersabda: “Andaikan aku diundang makan
dengan suguhan kaki kambing aku akan memenuhinya, dan andaikan aku diberi hadiah
kaki kambing pasti aku akan menerimanya.” (HR. Bukhari).

Sifat tawadhu menimbulkan rasa persamaan, penghormatan terhadap orang lain,


toleransi, rasa senasib, dan cinta kepada keadilan.
Tetapi sebaliknya takabbur membawa seseorang kepada budi pekerti yang rendah
seperti dengki, marah, mementingkan diri sendiri, serta menguasai orang lain. Orang-
orang yang berakal sudah barang tentu menjauhi diri dari sifat takabbur dan sombong.9
Seorang alim hendaklah menggeluti ilmunya secara terus menerus, tetapi juga
mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Seorang alim kalaupun telah banyak memiliki ilmu
tetapi tetap harus merendahkan diri.10
Supaya tingkah laku anda menjadi bijaksana, maka sebesar apapun harta, ilmu,
akhlak, dan kesejahteraan yang anda miliki, anda harus bersifat tawadhu (rendah hati)
tidak sombong seperti burung merak, dan tidak besar kepala seperti ayam jago.

5
Muhammad Ali Hasyimi, Apakah Anda Berkepribadian Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press,
1994), cet. 9 hal. 85
6
Ilyas Abu Haidar, Etika Islam Dari Kesalehan individual Menuju Kesalehan Sosial, (Jakarta: Al-
Huda, 2003), Cet. I, h. 61
7
Hasyimi, Apakah Anda Berkepribadian Muslim…, h. 86
8
Bukhari, Sahih Bukhari, kitab al-hibah wafadhluha bab al-qalil min al-hibah no. 2380
9
Ahmad Muhammad al-Hufy, Akhlak Nabi Muhammad saw keluhuran dan kemuliaannya, terj.
Masdar Helmi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997) cet. 2, h. 387
10
al-Ghazali, Adab Orang Alim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), Cet. 3, h. 18
Ketahuilah bahwa manusia membenci orang yang bersikap sombong kepadanya, dan
mencintai orang yang bersikap rendah hati kepadanya, sebagaimana aliran air mencintai
tempat yang merunduk kepadanya, jadilah anda tangkai gandum yang berisi, yang
merunduk karena banyak isi.11
2. Larangan Sombong
Iblis terkutuk telah mengucapkan kata-kata ketika Allah memerintahkan kepada malaikat
dan iblis untuk sujud kepada Adam. 12
Sebagaimana tertera dalam ayat 34 :

‫ﻦ‬
َ ‫ن ِﻣ‬
َ ‫ﺳ َﺘ ْﻜ َﺒ َﺮ َوآَﺎ‬
ْ ‫ﺲ َأﺑَﻰ وَا‬
َ ‫ﻻ ِإ ْﺑﻠِﻴ‬
‫ﺠﺪُوا ِإ ﱠ‬
َ‫ﺴ‬
َ ‫ﻷ َد َم َﻓ‬
َ ‫ﺠﺪُوا‬
ُ‫ﺳ‬ْ ‫ﻼ ِﺋ َﻜ ِﺔ ا‬
َ ‫َوِإ ْذ ُﻗ ْﻠﻨَﺎ ِﻟ ْﻠ َﻤ‬
.‫ﻦ‬
َ ‫اﻟﻜَﺎ ِﻓﺮِﻳ‬
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada

Adam", maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia

termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS. 2:34)

Kemudian Iblis berkata:

.‫ﻦ‬
ٍ ‫ﺧَﻠ ْﻘ َﺘ ُﻪ ﻣِﻦ ﻃِﻴ‬
َ ‫ل أَﻧَﺎﺧَ ْﻴ ٌﺮ ﻣﱢ ْﻨ ُﻪ ﺧَﻠَ ْﻘﺘَﻨِﻲ ﻣِﻦ ﻧﱠﺎ ٍر َو‬
َ ‫ﻚ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﺠ َﺪ ِإ ْذَأ َﻣ ْﺮ ُﺗ‬
ُ‫ﺴ‬
ْ ‫ﻻ َﺗ‬
‫ﻚ َأ ﱠ‬
َ ‫ل ﻣَﺎ َﻣ َﻨ َﻌ‬
َ ‫ﻗَﺎ‬
“Aku lebih baik dari Adam itu, Engkau ya Tuhan telah menjadikanku dari
api, sedang Adam Engkau jadikan dari tanah”. (al-A’raf:12).

Seorang muslim yang benar hendaknya tidak berlaku sombong tidak


memalingkan mukanya dihadapan orang lain, dan tidak angkuh terhadap mereka.
Petunjuk al-Qur’an telah memenuhi pendengarannya, hatinya, dan ruhnya, sehingga ia
sadar bahwa kesombongan hanya akan merugikan dirinya didunia maupun diakhirat.
Allah SWT telah berfirman:

11
Khalil al-Musawi, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda, (Jakarta: Lentera Basritama,
1999), cet. 2, h. 38
12
Imam al-Ghazali, Tuntunan Dasar Pembinaan Pribadi Bertaqwa, (Jakarta: Angkasa Raya,
1996) Cet. 1, h. 116.
‫ض وَﻟَﺎ َﻓﺴَﺎدًا وَا ْﻟﻌَﺎ ِﻗ َﺒ ُﺔ‬
ِ ‫ﻋﻠُﻮًّا ﻓِﻲ ا ْﻟَﺄ ْر‬
ُ ‫ن‬
َ ‫ﻦ ﻟَﺎ ُﻳﺮِﻳﺪُو‬
َ ‫ﺠﻌَُﻠﻬَﺎ ِﻟﱠﻠﺬِﻳ‬
ْ َ‫ﺧ َﺮ ُة ﻧ‬
ِ ‫ﻚ اﻟﺪﱠا ُر اﻟْﺂ‬
َ ‫ِﺗ ْﻠ‬
.‫ﻦ‬
َ ‫ِﻟ ْﻠ ُﻤ ﱠﺘﻘِﻴ‬
Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan

diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi

orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Qoshos:83)

Ia tahu bahwa Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang membanggakan diri,
berjalan dengan angkuh dan memalingkan muka (karena sombong) dihadapan orang
lain.13
Seorang yang takabbur, merasa dirinya lebih tinggi lebih mampu dan lebih
sempurna daripada orang lain, sehingga tertanamlah dalam hatinya bahwa dia benar-
benar demikian. Karena itu dia selalu menghina orang lain, menganggapnya enteng dan
menjauhkan orang itu daripadanya. Dia enggan duduk bersama orang lain dan enggan
bergaul, dia tidak suka pendapatnya ditentang orang, dia tidak senang diberi nasehat. Bila
ada orang yang berani menentang pendiriannya atau menasehatinya, maka dia menjadi
marah dan menghardik. Seorang yang tekabbur bila mengajar dia bersikap menghina
terhadap orang-orang yang diajarnya, dia suka membentak, suka menonjolkan jasa-
jasanya. Bila dia bergaul dengan orang banyak, maka orang-orang lain dianggapnya
bodoh, hina dan bila dia memegang suatu pekerjaan dia berlaku sewenang-wenang dan
sebagai seorang diktator.14
Takabbur adalah penyakit hati dan bisa merusak iman seseorang. Takabbur
merupakan sikap mental yang merasa diri lebih besar, lebih kaya dan lebih pandai, tanpa
merasa ada bimbingan dan petunjuk dari Allah. Karena ia merasa serba mampu, orang
lain dianggap rendah.15

13
Muhammad Ali Hasyimi, Apakah Anda Berkepribadian Muslim, terj. Salim Bsyarahil, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1994), Cet. 9. h. 82
14
al-Hufy, Akhlak Nabi Muhammad saw… h. 386
15
Jejen Musfah, Bahkan Tuhan pun Bersyukur: Memahami Rahasia Hati, (Jakarta, Hikmah, 2003)
cet. 1, h.89
Menganggap remeh orang lain akan menimbulkan sakit hati, sehingga tidak
mustahil berlanjut pada permusuhan dan kebencian. Acap kali orang yang takabbur tidak
merasa bahwa perbuatannya bisa menyakiti dan menyinggung saudaranya. Kesadaran
untuk mengubah sikap ini juga terkadang sulit, bahkan setelah dijauhi masyarakatnya.
Memang orang yang takabbur akan terasing dalam pergaulan masyarakat, bahkan
mungkin dikucilkan.16
Anwar Masy’ari menyatakan dalam bukunya Akhlak al-Qur’an Yang dikutip oleh
Prof. Dr. Moh. Ardhani yaitu:
Takabbur ada tiga macam, Pertama : takabbur kepada Tuhan, berupa sikap tidak
mau memperdulikan ajaran-ajaran-Nya. Takabbur kepada Rasul-Nya, berupa sikap
dimana orang merasa rendah dirinya kalau mematuhi dan mengikuti rasul tersebut. Dan
takabbur kepada sesama manusia, menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain.17
Kesombongan adalah titik paling rawan dalam diri manusia. Bisa mengundang
berbagai macam kesalahan dan mengantar kita kepada kemaksiatan. Kata Nabi saw
dalam penuturan Ibnu Mas’ud ra., “Tiga hal yang menjadi akar semua dosa, jagalah
dirimu dan waspadalah terhadap kesombongan (kibr), sebab ia menjadikan iblis menolak
bersujud kepada Adam. Waspadalah kepada kerakusan (hirsh), yang menyebabkan Adam
memakan buah terlarang. Dan jagalah dirimu dari dengki (hasad) membuat anak Adam
membunuh saudaranya.” 18
Ciri-ciri dan gejalanya antara lain sebagai berikut:
a. Riya, suka memuji diri dan membanggakan kemuliaaan dirinya, hartanya,
ilmunya dan keturunannya.
b. Meremehkan orang lain.
c. Keji mulut, suka mencela.
d. Memalingkan muka ketika bertemu dengan seseorang.
e. Berlenggak-lenggok ketika berjalan.
f. Berlagak dalam berbicara.
g. Mubazzir dalam harta benda.

16
Musfah, Bahkan Tuhanpun Bersyukur,…h. 90
17
Moh. Ardhani, Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai Akhlah dan Budi Pekerti, dalam Ibadah dan
Tasawuf, (Jakarta: CV. Karya Mulia, 2005) cet. I, h.59
18
Suryana Sudrajat, Menimba Kearifan: Risalah Tasawuf Kontemporer, (Jakarta: Triyana
Sjam’un Corp, 2001) Cet. 4, h. 151
h. Berlebih-lebihan dalam berpakaian.19
Adapun kerugian dan bahaya yang dikandung oleh sifat takabbur ialah:
a. Merusak pergaulan manusia, merenggangkan hubungan silaturrahmi dan
menghalangi kasih sayang dan sikap saling tolong menolong, orang yang
sombong sudah pasti dibenci oleh karena kesombongannya itu.
b. Hilangnya usaha-usaha melakukan perbaikan-perbaikan terhadap dirinya,
karena dianggap dirinya sudah baik dan sempurna.
c. Menghalangi masuk surga sesuai dengan sabda rasulullah saw. 20

‫ن ﻓِﻲ‬
َ ‫ﻦ آَﺎ‬
ْ ‫ﺠ ﱠﻨ َﺔ َﻣ‬
َ ‫ﻞ ا ْﻟ‬
ُ‫ﺧ‬
ُ ‫ل ﻟَﺎ َﻳ ْﺪ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
ْ‫ﻋ‬
َ ‫ﺴﻌُﻮ ٍد‬
ْ ‫ﻦ َﻣ‬
ِ ‫ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠﻪِ ْﺑ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ‫ﻋ‬
َ
21
.‫ﻦ ِآ ْﺒ ٍﺮ‬
ْ ‫ل َذ ﱠر ٍة ِﻣ‬
ُ ‫َﻗ ْﻠ ِﺒ ِﻪ ِﻣ ْﺜﻘَﺎ‬
Dari Abdullah Ibnu Mas’ud Rosulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk
syurga yang dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar zarrah.” (HR. Muslim)

Menurut Said Hawwa, kecongkakan merupakan anak kandung dari ujub. Jadi
keduanya berbeda. Pada ujub tidak perlu ada orang yang di ujubi, sedang pada
kecongkakan biasanya ada orang yang di congkaki. Takabbur merupakan penyakit hati,
karena itu tercela.22
Seperti halnya lain-lain penyakit rohani, maka untuk menghilangkan penyakit-
penyakit tersebut ialah dengan jalan muroqobah, berani mawas diri memungkinkan
terungkapnya penyakit itu, sebagai suatu tindak permulaan dalam membetulkan sikap
yang baik. Apabila berhasil ditemukan, maka hendaklah segera bertaubat dan memohon
ampun (istighfar) kepada Allah SWT, memohon dijauhkan (berta’awwuz) daripadanya.
Berbarengan dari pengosongan jiwa dari takabbur, dilakukan pula pengisian jiwa dengan
sikap-sikap mahmudah yang merupakan lawan dari sikap takabbur, seperti sifat rahmah
(kasih sayang), tawadhu (rendah hati) dan sopan, cinta (mahabbah), tolong menolong
dan sebagainya.23

19
Hamzah Ya’kub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin: Tasawwuf dan Taqarrub,
(Jakarta: Putaka Atisa, 1992) cet. 4, h.143.
20
Ya’kub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin, h. 145
21
Imam Muslim, Sahih Muslim Kitab al-Iman bab Tahrim al-Kibr wa Bayanuh no. 131

22
Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin: HandBook Bagi Pendamba Kesehata Holistik, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2004), cet. I, h.180
23
Ya’kub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin… h. 146
Sebelum penyakit ini melekat kuat dalam hati manusia, secepatnya ia sadar dan
berusaha mengubahnya kearah yang baik. Pertama, manusia harus mengingat asal
kejadiannya. Siapa yang menciptakannya, darimana ia dilahirkan dan untuk apa ia
dilahirkan kedunia ini. Kedua, Mensyukuri nikmat. Bahwa apa yang diterimanya saat ini
adalah pada hakikatnya pemberian Tuhan. Harta dan jabatan yang dimilikinya merupakan
titipan Allah yang harus dijalankan dengan baik. Ketiga, mengingat kematian. Sekuat
apapun manusia, sebesar apapun kekuasaannya, dan sebanyak apapun harta bendanya,
semuanya akan ditinggalkannya saat tali kematian merenggutnya. Kematian akan datang
kapan dan dimanapun, dalam keadaan sehat maupun sakit, tua maupun muda. Saat
itulah manusia takabbur sadar, bahwa dirinya makhluk yang lemah dan tidak berdaya.24
Kecongkakan hanya layak bagi yang Maha Kuasa. Manusia yang lemah dan tidak
berkuasa apa-apa tidak layak bersikap congkak. Kalau manusia bersikap congkak maka
dia berarti telah menentang Tuhan. Inilah yang dimaksud firman Allah dalam sebuah
tradisi Qudsi: “kebesaran adalah sarung-Ku dan kecongkakan adalah selendang-Ku.
Barang siapa melawan Aku pada keduanya niscaya Aku menghancurkannya.”25

3. Menjauhi Dengki
Menurut al-Qur’an hasud adalah dosa pertama yang muncul dipermukaan bumi
ini. Penyebabnya adalah iblis sampai dikeluarkan dari surga, pertama kali lantaran dengki
terhadap Adam as. setelah itu dengki menyebabkan Qabil membunuh Habil saudara
kandungnya, maka tumpahlah darah untuk pertama kalinya dimuka bumi ini.26
Sifat buruk yang harus di waspadai oleh seorang muslim ialah sifat hasad
(dengki). Sifat ini tidak pantas menyertai seorang muslim yang beriman kepada Allah,
Rasul dan hari akhir. Rasulullah SAW selalu mengingatkan umatnya agar selalu
waspada kepada sifat dengki ini.27

Beliau bersabda:

24
Musfah, Bahkan Tuhanpun Bersyukur…, h. 92
25
Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin…, h.184
26
Haidar, Etika Islam…, h. 248
27
Hasyimi, Apakah Anda berkepribadian Muslim…, h. 16
‫ﺴ َﺪ َﻳ ْﺄ ُآ ُﻞ‬
َ‫ﺤ‬َ ‫ﺴ َﺪ َﻓِﺈ ﱠن ا ْﻟ‬
َ‫ﺤ‬َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َل ِإﻳﱠﺎ ُآ ْﻢ وَا ْﻟ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﻲ‬
‫َﻋ ْﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َأ ﱠن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬
28
‫ﺐ‬
َ ‫ﺸ‬
ْ ‫ﺐ َأ ْو ﻗَﺎ َل ا ْﻟ ُﻌ‬
َ ‫ﻄ‬
َ‫ﺤ‬
َ ‫ت آَﻤَﺎ َﺗ ْﺄ ُآ ُﻞ اﻟﻨﱠﺎ ُر ا ْﻟ‬
ِ ‫ﺴﻨَﺎ‬
َ ‫ا ْﻟ َﺤ‬

Dari Abu Hurairah r.a Rosulullah saw bersabda: “Hati-hatilah kamu sekalian
terhadap hasad, karena sesungguhnya hasad, akan memakan habis seluruh kebaikan
sebagaimana api melahap habis kayu bakar.” (H.R. Abu Daud)

Manusia yang berjiwa besar tidak mungkin memiliki sifat dengki ataupun ber iri
hati, sebab dengki hanyalah sifat yang dipunyai golongan manusia yang berjiwa kecil,
berdaya iradah yang sangat lemah, lagi berwatak jahat dan amat buruk, oleh karenanya,
maka setiap orang besar, namanya tersohor keseluruh penjuru dunia, berjiwa agung serta
enggan kalau cita-citanya patah ditengah jalan, sudah dapat dipastikan bahwa jauh
sekali jaraknya antara pribadinya sendiri antara akhlak dan budi pekerti dengan akhlak
dan budi pekerti yang rendah, hina dina dan benar-benar tercela itu.29
Apakah perasaan dendam itu? Apakah kedengkian itu? Yang membangkitkan
seseorang untuk tidak meyukai kesenangan dan kebahagiaan orang lain serta berhasrat
merenggutnya? Orang semacam itu tidak berfikir untuk memiliki kebahagiaan itu
sendiri. Rasa iri orang sehat selalu menjadikannya mengutamakan tujuannya sendiri, dan
ini bukan masalah, tetapi menghasratkan kerugian dan bencana bagi orang lain, itu
adalah penyakit. Anda dapati orang semacam itu sedia menyakiti dirinya sendiri semata-
mata untuk menyakiti orang-orang yang didengkinya.30
Anda ketahui bahwa sifat-sifat tercela yang bersemi dalam hati banyak
macamnya, membersihkan hati dari kotoran itu membutuhkan waktu yang lama, cara
penyembuhannya pun sulit dan rumit. Pengetahuan tentang pengobatannya secara tuntas,
serta cara melaksanakannya selalu saja samar dan tidak mendapat perhatian, karena
kelalaian orang pada dirinya sendiri dan kesibukannya mengejar kemilau dan pesona
kehidupan dunia.31

28
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud Kitab al-Adab Bab fi al Hasad, no. 4257
29
Syekh Mustafa Ghalayini, Bimbingan Menuju keakhlak yang luhur, (Semarang: CV. Toha
Putra, 1976) Cet. 1, h. 212.
30
Murtadho Mutahhari, Manusia Sempurna, (Jakarta: Lentera, 1994), cet. 2, h. 6
31
Imam al-Ghazali, Tuntunan Dasar Pembinaan Pribadi Bertaqwa, (Jakarta: Angkasa Raya,
1984), cet. I, h. 112
Dengki itu ialah sikap tidak senang atas atas kenikmatan yang diperoleh orang
lain, dan berusaha menghilangkan kenikmatan itu dari orang lain tersebut, baik dengan
maksud supaya kenikmatan itu berpindah ketangan diri sendiri atau tidak.32
Memang, diantara berbagai penyakit hati, dengki atau hasad ialah salah satu yang
sangat berbahaya untuk kehidupan manusia. Kita disebut dengki kepada seseorang jika
kita tanpa alasan yang jelas apalagi alasan yang adil, serta merta merasa tidak senang
dengan segala kelebihan dan keutamaan yang dimiliki orang lain. Kelebihan itu dapat
bersifat kebendaan, seperti kekayaan atau harta, dapat juga tidak bersifat kebendaan,
seperti kedudukan, kehormatan, prestise, kecakapan dan sebagainya. Jika kita
menyimpan kedengkian kepada seseorang, biasanya selain kita membencinya juga diam-
diam dalam hati kita menginginkan orang itu celaka, dan kalau sudah begitu besar
kemungkinan kita langsung atau tidak langsung berusaha mencelakakannya.33
Orang yang dengki disebut “hasid”, yang bekerja dan berusaha menghilangkan
kesenangan dan kemuliaan seseorang dan mengharapkan kesenangan dan kemuliaan itu
beralih ketangan dirinya.34
Kedengkian dapat menjadi pangkal kesengsaraan si pendengki sendiri. Dan
memang tidak ada orang dengki yang tidak menanggung jenis kesengsaraan tertentu.
Sebab, perasaan dengki kita kepada seseorang yang menjadi sasaran kedengkian kita
ialah justru karena “kebahagiaan” orang itu. Apakah betul orang yang menjadi sasaran
kedengkian itu bahagia ataukah kebahagiaannya itu hanyalah ilusi kita akibat merasa diri
sendiri kurang bahagia, sehingga membuat kita mempunyai gambaran terlalu besar
tentang orang lain dan terlalu kecil tentang diri kita sendiri. Ini berarti bahwa
“kebahagiaan” orang lain itu hanyalah hasil refleksi atau pantulan kaca situasi batin kita
sendiri yang merasa tidak bahagia.35
Sifat dengki bisa timbul pada diri manusia karena beberapa sebab:
Pertama, Rasa permusuhan dan kebencian. Ketika seseorang merasa dirinya
dimusuhi dan dibenci, maka secara manusiawi orang itu akan merasa dengki terhadap
musuhnya itu. Ia akan menyumpahi musuhnya dengan kemelaratan, ketidak senangan

32
Moh. Ardhani, Akhlak Tasawwuf…. h. 59
33
Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin…, h. 186
34
Ya’kub, Tingkat ketenangan dan kebahagiaan Mukmin…, h.126
35
Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin…, h. 188
dan kehancuran. Jika ia merasa mampu, ia akan melakukan upaya untuk menghilangkan
kebahagiaan musuhnya itu. Kedua, perasaan dengki bisa terjadi karena diri merasa lebih
tinggi, lebih mulia, lebih kaya dan lebih berharga dari orang lain. Kerap terjadi dalam hati
dan jiwa manusia bahwa dirinya merasa yang paling terhormat, lebih pintar (tahu), lebih
suci, lebih berhak dan seterusnya. Ketiga, gemar kepemimpinan dan kedudukan. Ada
orang yang suka sekali menjadi pemimpin, ini bagus. Tapi ada juga orang yang hanya
mau menjadi pemimpin, dan tidak mau dipimpin, ini bagus sebab yang terakhir ini
targetnya adalah kedudukan, bukan tanggung jawab memegang amanah sebagai
pimpinan. Keempat, jiwa yang buruk dan sifat kikir. Yakni jiwa yang selalu tidak senang
dan merasa gelisah melihat keberhasilan orang lain, sebaliknya jika ada orang lain
ditimpa musibah dan kesusahan ia merasa senang. Jiwa semacam ini menimbulkan sifat
kikir dalam berbuat baik.36
Pencegahan dan pengobatannya ialah dengan jalan:
a. Mawas diri (muroqobah), mengakui dalam diri sendiri bahwa penyakit hasad itu
merusak.
b. Pandai mensyukuri nikmat yang dianugerahkan Allah, betapapun keadaannya.
c. Jika melihat orang lain memperoleh ni’mat atau kelebihan, maka hendaklah
menyadari bahwa mereka perolehnya berkat usaha dan perjuangannya dan
berkat karunia yang dianugerahkan Allah kepada mereka.
d. Rajin bekerja mencari karunia yang disediakan Allah bagi jamba-hambanya.
e. Jangan membanding-bandingkan diri dengan orang lain yang lebih tinggi
keadaannya, melainkan hendaklah memeandang mereka yang lebih rendah
keadaannya.
f. Do’a, memohon perlindunngan kepada Allah dari sifat hasad.
g. Jika memang didapati hasad dalam diri sendiri, maka hendaklah bertaubat dan
memohon ampun.37
4. Sikap Pema’af dan Pengampun
ketika Allah swt mengilhamkan kepada Adam beberapa kalimat, dan ketika itu
pula Adam memohon ampun kepada-Nya, seraya Allah mema’afkan dan mengampuni

36
Musfah, Bahkan Tuhanpun Bersyukur…, h. 30
37
Ya’kub, Tingkat ketenangan dan kebahagiaan mukmin…, h. 128
kesalahan yang telah dilakukan Adam, sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha
Penyayang.
Sikap pema’af merupakan bagian akhlak yang luhur, yang harus menyertai
seorang muslim yang bertaqwa, nas-nas al-Qur’an dan dan contoh-contoh perbuatan
Nabi saw banyak menekankan keutamaan sifat ini. Bahkan sifat pema’af merupakan
sifat utama orang-orang muhsin yang dekat dengan cinta dan keridaan Allah. 38
Allah swt berfirman:

‫ﺤﺐﱡ‬
ِ ‫س وَاﻟﻠﱠ ُﻪ ُﻳ‬
ِ ‫ﻦ اﻟﻨﱠﺎ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫ﻦ‬
َ ‫ﻆ وَا ْﻟﻌَﺎﻓِﻴ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ َﻐ ْﻴ‬
َ ‫ﻇﻤِﻴ‬
ِ ‫ﻀﺮﱠا ِء وَا ْﻟﻜَﺎ‬
‫ﺴﺮﱠا ِء وَاﻟ ﱠ‬
‫ﻦ ُﻳ ْﻨﻔِﻘُﻮنَ ﻓِﻲ اﻟ ﱠ‬
َ ‫اﱠﻟﺬِﻳ‬
. ‫ا ْﻟ ُﻤ ْﺤ ِﺴﻨِﻴ َﻦ‬
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran: 134)

Sikap pema’af adalah memberi ma’af, memberi ampun terhadap kesalahan orang
tanpa ada rasa benci terhadap orang yang bersalah atau sakit hati atau ada keinginan
untuk membalas padahal dia mampu membalas.39
Qur’an suci telah memberikan jalan dengan metoda yang cermat dalam
mengangkat jiwa kemanusiaan menuju puncak keindahan. Qur’an menetapkan bahwa
seorang yang diperlakukan secara zalim di izinkan membela diri dan membalasnya,
kejahatan dibalas dengan kejahatan yang setimpal. Tetapi pembalasan hendaknya bukan
atas balas dendam, juga tidak wajib membalas perlakuan zalim itu. Cara yang lebih baik
menurut Ialam adalah bila mau membalas, melakukan pembalasan itu dengan penuh
simpatik sekedar membela diri bahkan dianjurkan untuk menunjukkan keluhuran
perangai, bersabar mema’afkan, dan toleran, yang demikian lebih toleran dan
mengundang simpatik.40
Seorang guru harus bersifat pema’af terhadap muridnya, ia sanggup menahan
diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan jangan pemarah karena sebab-
sebab yang kecil. Berkepribadian dan mempunyai harga diri.41

38
Hasyimi, Apakah Anda berkepribadian Muslim…, h. 40
39
Ahmad Muhammad al-Hufy, Akhlak Nabi Muhammad saw, Terj. Mashdar helmy, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1991), cet. 1, h. 257
40
Hasyimi, Apakah Anda berkepribadian Muslim…, h. 41
41
Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami, A. Ghani dan johar
bahri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), cet. 1, h. 141
Al-Qur’an adalah menjadi sumber budi pekerti Nabi, sifat-sifat beliau adalah
pema’af , banyak memberi ma’af, dan pemaafannya itu disaat beliau mampu membalas,
sifat ma’af beliau timbul dari jiwa yang pemurah.
Aisyah berkata: Aku sama sekali belum pernah melihat Rasulullah membalas
karena beliau dianiaya selam tidak dilanggar larangan-larangan Allah, tetapi apabila
larangan-larangan Allah dilanggar, beliau amat keras amarahnya. Beliau memaafka
kesalahan orang lain yang mengenai dirinya, karena mema’afkan adalah sifat yang
utama, tetapi beliau tidak memberi ma’af terhadap sesuatu yang menyinggung agama dan
berhubungan dengan hak-hak Allah.42
Mema’afkan orang yang dibawah peengaruhnya adalah bersikap mendidik,
namun demikian seorang muslim dituntut juga untuk menampakkan keberanian dan
kekuatannya, agar disegani dan ditakuti oleh orang-orang yang hendak menjatuhkan
martabatnya.43
Seorang Muslim yang memelihara hukum-hukum agama selalu bersikap toleran
karena ilmunya, menyebarkan kasih sayang dan memancarkan sumber kasih sayang dari
hatinya. Ia sadar bahwa kasih sayang seorang hamba dibumu menjadi sebab datangnya
rahmat dari langit. 44

‫ﺣ ُﻢ ﻟَﺎ‬
َ ‫ﻦ ﻟَﺎ َﻳ ْﺮ‬
ْ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻣ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﱠﻠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬
ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬
َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ‫ﺿ‬
ِ ‫ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر‬
ْ ‫ﻦ َا ِﺑ‬
ْ‫ﻋ‬
َ
45
‫ﺣ ُﻢ‬
َ ‫ُﻳ ْﺮ‬
Dari Abu Hurairah r.a Rosulullah saw bersabda: “barang siapa yang tidak
menaruh belas kasih kepada sesama manusia Allah pasti tidak akan menaruh belas
kasih kepadanya (HR. Bukhari).

Seorang guru harus menaruh rasa kasih sayang terhadap murid dan
memperlakukan mereka seperti perlakuan terhadap anak sendiri. Rasulullah s.a.w.
bersabda, “Sesungguhnya saya bagi kamu adalah ibarat bapak dengan anak”. Oleh
karena itu siguru melayani murid seperti melayani anaknya sendiri.46

42
al-Hufy, Akhlak Nabi Muhammad saw…h. 260
43
Hasyimi, Apakah Anda berkepribadian Muslim…, h. 45
44
Hasyimi, Apakah Anda berkepribadian Muslim…, h. 36
45
Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab al-Adab Bab Rahmat al-walad… no. 553
46
Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami… h. 152
Inilah sifat-sifat yang lazim dirasakan oleh seorang murid oleh gurunya disamping
merasakan kecintaannya dan sumbangsihnya dalam membimbing untuk mencapai
keselamatan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Seorang gurupun lazim untuk
menanamkan rasa persaudaraan diantara murid-muridnya seperti ia menanamkan
kecintaan diantara anak-anaknya sampai mereka saling menyayangi dan saling
mencintai, tidak saling membenci dan saling menghasud, seperti itulah sikap para ulama
salaf dalam membina hubungan dengan murid-murid mereka.47

B. Aspek Pendidikan dan Pengajaran


1. Metode Kisah
Cerita tentang kejadian, terutama peristiwa sejarah, merupakan metode yang
banyak diketemukan di dalam al-Qur’an. Banyak bagian-bagian al-Qur’an yang berisi
kisah kesejarahan atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, atau setidak-tidaknya
merupakan bagian-bagan yang dianggap kisah.
a. Pengertian Metode Kisah
Metode kisah mengandung arti suatu cara dalam menyampaikan materi pelajaran
dengan menuturkan secara kronologis tentang bagaimana terjadinya suatu hal yang baik
yang sebenarnya terjadi ataupun hanya rekaan saja.48
Oleh karena itu Islam sebagai agama yang berpedoman kepada al-Qur’an dan al-
Hadis menepis image adanya kisah bohong, karena Islam selalu bersumber dari dua
sumber yang dapat dipercaya, sehingga cerita yang disodorkan terjamin kesahihan dan
keabsahannya.
Dalam mengaplikasikan metode ini pada proses belajar mengajar (PBM), metode
kisah merupakan salah satu metode pendidikan yang masyhur dan terbaik, sebab kisah
itu mampu menyentuh jiwa jika didasari oleh ketulusan hati yang mendalam.49

47
Yusuf Qardhawi, Konsefsi Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah, (Jakarta: CV. Firdaus, 1994), cet.
1, h. 38.
48
W.J.S Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: bali pustaka, 1984), Cet.
Ke-7, h. 202
49
Muhammad Fadhil al-Jamil, Filsafat Pendidikan dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
1995) Cet. I, hal 125
Kemasyhuran dan kebaikan metode ini dapat dilihat dari perkembangan
penggunaannya oleh para pujangga India, Persia, dan Yunani sejak zaman dulu.50
Metode kisah diisyaratkan dalam al-Qur’an :

‫ﻦ‬
َ ‫ﺖ ﻣِﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ِﻪ َﻟ ِﻤ‬
َ ‫ن َوإِن آُﻨ‬
َ ‫ﻚ َهﺬَا ا ْﻟ ُﻘ ْﺮءَا‬
َ ‫ﺣ ْﻴﻨَﺂ ِإَﻟ ْﻴ‬
َ ‫ﺺ ﺑِﻤَﺂ َأ ْو‬
ِ ‫ﺼ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ َﻘ‬
َ‫ﺴ‬َ‫ﺣ‬
ْ ‫ﻚ َأ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ‬
َ ‫ﻦ َﻧ ُﻘﺺﱡ‬
ُ‫ﺤ‬ ْ ‫َﻧ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ا ْﻟﻐَﺎ ِﻓﻠِﻴ‬
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an
ini kepadamu. Dan sesungguhnya kmu sebelum (aku mewahyukan) adalah termasuk
orang-orang yang lalai.” (Q.S. Yusuf/12:3).

Kandungan ayat ini mencerminkan bahwa cerita yang ada dalam al-Qur’an
merupakan cerita-cerita pilihan yang mengandung nilai paedagogis. Ayat diatas
diperkuat oleh ayat lain yang berbunyi:

‫ب‬
ِ ‫ﻋ ْﺒ َﺮ ٌة ِﻟﺄُوﻟِﻲ ا ْﻟَﺄ ْﻟﺒَﺎ‬
ِ ‫ﺼ ِﻬ ْﻢ‬
ِ ‫ﺼ‬
َ ‫ن ﻓِﻲ َﻗ‬
َ ‫َﻟ َﻘ ْﺪ آَﺎ‬
“Sesungguhnya didalam kisah-kisah mereka terdapat ibarat bagi orang yang berakal”.
(Q.S. Yusuf/ 12:111)

Cerita nabi Yusuf As. Misalnya, dapat memberikan pelajaran bahwa betapa
mulianya orang-orang yang istiqomah dengan kebenaran yang ia imani walaupun dirayu
oleh Siti Julaiha dengan getaran syahwatnya, namun Nabi Yusuf As. Tidak terjebak.
Kemudian dalam hadis Nabi Saw. Pun dapat diambil pelajaran cerita tiga orang yang
terjebak dalam sebuah gua yang ditutupi batu besar, lalu ketiga orang itu berdo’a
disesuaikan dengan amalnya masing-masing, akhirnya sedikit demi sedikit pintu itu dapat
digeser.
Cerita Nabi Adam misalnya, yang sedang dibahas oleh penulis merupakan
pelajaran yang sangat berarti bagi manusia karena selain sebagai awal mula adanya
proses transpormasi ilmu pengetahuan yaitu ketika Allah SWT secara langsung
mengajarkan kepada Adam nama-nama benda, juga terdapat banyak sekali pelajaran
yang dapat dipetik darinya.
Dari contoh diatas dapat difahami, bahwa metode kisah didunia pendidikan
dikenal ada dua macam; yaitu kisah Qur’ani dan kisah nabawi. Namun walaupun secara
substansial keabsahan keduanya tidak diragukan, bukan berarti ia terlepas dari
50
al-Jamil, Filsafat Pendidikan Dalam al-Qur’an…, h.126
kelemahan, karena yang menyampaikan metode tersebut dengan metode kisah adalah
manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan dan ketidak sempurnaan, oleh karena
itu kita biasa melihatnya dari dua sudut; yaitu kekurangan dan kelebihannya.
Tujuan yang hendak dicapai dari metode ini adalah untuk memberi dorongan
psikologis kepada peserta didik.51
b. Kelebihan dan Kekurangan Metode Kisah.
a) Kisah dapat mengaktifkan dan membangkitkan semangat siswa. Kaarena
setiap anak didik akan senantiasa merenungkan makna dan mengikuti
berbagai situasi kisah, sehingga anak didik terpengaruh oleh tokoh dan topik
kisah tersebut.
b) Mengarahkan semua emosi hingga menyatu pada satu kesimpulan yang
menjadi akhir cerita.
c) Kisah selalu memikat, karena mengundang pendengaran untuk mengikuti
peristiwanya dan merenungkan maknanya.52
d) Dapat mempengaruhi emosi, seperti takut, perasaan diawasi, rela, senang,
sungkan, atau benci sehingga bergelora dalam lipatan cerita.
c. Kekurangan Metode Kisah
a) Pemahaman siswa menjadi sulit ketika kisah itu telah terakumulasi oleh
masalah lain.
b) Bersifat monolog dan dapat menjenuhkan siswa.
c) Sering terjadi ketidak selarasan isi cerita dengan konteks yang dimaksud
sehingga pencapaian tujuan sulit diwujudkan.
d. Alternatif yang Ditawarkan Untuk Mengatasi Kekurangan Metode Kisah
a) Guru harus mengetahui dan paham benar alur cerita yang disampaikan.
b) Guru harus menyelaraskan tema materi dengan dengan cerita atau tema
cerita dengan materi.
c) Anak didik harus lebih berkonsentrasi terhadap cerita yang disampaikan
guru sehingga menimbulkan sugesti untuk mengikuti alur cerita itu sampai
selesai.

51
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet. 3, h. 68
52
Ahmad Arifin, Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
1994), Cet. Ke-2, h. 140
e. Tinjauan Kritis Terhadap Penggunaan Metode Kisah
Mungkin telah menjadi tabiat dan warisan sejarah yang sulit dihilangkan dalam
dunia pendidikan kita, terutama ditingkat SLTP dan SLTA, bahwa kisah atau cerita
digunakan hanya mengisi kekosongan waktu saja dan tanpa mengadakan analisa
terhadap alur cerita tersebut. Maka kalau hal tiu terus berlanjut tidak menutup
kemungkinan SDM kita hanya bias mendengan dan mendengan saja.53
2. Metode Tanya Jawab
Mempertanyakan hal-hal merupakan metoda lain didalam al-Quran. Pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan mungkin dalam rangka pengajuan kepada statemen atau
mungkin diajukan sebagai titik permulaan. Dalam surat al-Baqoroh 2 : 30 pertanyaan
malaikat, “apakah Engkau hendak menciptakan makhluk yang akan membuat kerusakan
dimuka bumi?” pertanyaan ini merupakan respon malaikat atas pemberitahuan Allah
tentang akan diciptakan khalifah dimuka bumi. Maka hadirlah pertanyaan kepada iblis
setelah menolak bersujud menghormati Adam sebagai khalifah.54
a) Pengertian Tanya Jawab
Metode Tanya jawab ialah penyampaian pelajaran dengan cara guru mengajukan
pertanyaan dan murid menjawab. Atau suatu metode didalam pendidikan dimana guru
bertanya sedangkan murid menjawab tentang materi yang ingin diperolehnya.55
Pengertian lain dari metode tanya jawab adalah: cara penyajian pelajaran dalam
bentuk pertanyaan yang harus dijawab, terutama dari guru kepada murid atau dapat
juga dari murid kepada guru.56
Dalam sejarah perkembangan Islam pun dikenal dikenal metode tanya jawab,
karena metode ini sering dipakai oleh para Nabi dan Rosul Allah dalam mengajarkan
ajaran yang dibawanya kepada umatnya. Metode ini termasuk metode yang paling tua
disamping metode ceramah, namun efektifitasnya lebih besar daripada metode lain.
Karena, dengan metode tanya jawab, prngertian dan pemahaman dapat diperoleh lebih

53
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat pers, 2002),
Cet. 1, h. 163
54
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, (, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1994), Cet. 2, h. 212
55
Zuhairini dkk, Metode Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), Cet. Ke
8, h. 86
56
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Jaini, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, t.th.), Cet.I, h. 107.
mantap. Sehingga segala bentuk kesalah pahaman dan kelemahan daya tangkap
terhadap pelajaran dapat dihindari semaksimal mungkin.
Firman Allah yang berkaitan dengan metode Tanya jawab adalah:

َ‫ﻞ اﻟ ﱢﺬ ْآ ِﺮ إِن آُﻨ ُﺘ ْﻢ ﻻَﺗَ ْﻌﻠَﻤُﻮن‬


َ ‫ﺴ َﺌﻠُﻮا َأ ْه‬
ْ ‫َﻓ‬
“…Bertanyalah kalian kepada ahlinya jika kalian tidak mengetahui”. (Q.S. al-Nahl
/16:43)

Dalam ajaran Islam, orang yang berilmu apabila ditanya tentang ilmu
pengetahuan ia wajib menjawab sebatas kemampuannya, bila tidak, maka Allah
mengancamnya dengan siksa yang amat pedih. Sebagaimana sabda Nabi saw:

‫ﻦ َآ َﺘ َﻢ ﻋِ ْﻠﻤًﺎ ﻣِﻤﱠﺎ‬
ْ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻣ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬ َ ِ‫ل اﻟﻠﱠﻪ‬ ُ ‫ل َرﺳُﻮ‬ َ ‫ل َﻗﺎ‬ َ ‫ي ﻗَﺎ‬
‫ﺨ ْﺪ ِر ﱢ‬
ُ ‫ﺳﻌِﻴ ٍﺪ ا ْﻟ‬
َ ‫ﻦ َأﺑِﻲ‬ ْ‫ﻋ‬ َ
57
‫ﻦ اﻟﻨﱠﺎر‬ ْ ‫ﺠ َﻤ ُﻪ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﻳ ْﻮ َم ا ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ ِﺑِﻠﺠَﺎ ٍم ِﻣ‬
َ ‫ﻦ َأ ْﻟ‬
ِ ‫س َأ ْﻣ ِﺮ اﻟﺪﱢﻳ‬
ِ ‫َﻳ ْﻨ َﻔ ُﻊ اﻟﻠﱠ ُﻪ ِﺑ ِﻪ ﻓِﻲ َأ ْﻣ ِﺮ اﻟﻨﱠﺎ‬
Dari Abî Saîd al-Khudry berkata, telah bersabda Rasullah saw, Barang siapa
ditanya tentang ilmu dalam urusan manusia dan agama, lalu ia menyembunyikannya,
maka Allah akan mengekangnya pada hari kiamat dengan kekangan api neraka.(HR.
Ibnu Mâjah)

Metode Tanya jawab berbeda dengan evaluasi. Metode tanya jawab merupakan
salah satu tehnik penyampaian materi, sedangkan evaluasi adalah alat ukur untuk
mengukur hasil belajar siswa.

b). Kelebihan dan Kekurangan Metode Tanya Jawab


Metode Tanya jawab juga memiliki kekurangan dan kelebihan antara lain:
1. Kelebihan:
a) Situasi kelas akan hidup karena anak-anak aktif berfikir dan
menyampaikan buah pikirannya dengan berbicara/menjawab pertanyaan.
b) Melatih anak agar berani mengungkapkan pendapatnya dengan lisan
secara teratur.
c) Timbulnya perbedaan pendapat diantara anak didik akan menghangatkan
proses diskusi di kelas.

57
Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Majah, Kitâb al-Muqaddimah, Bâb Man Sa’ala ‘An ‘Ilmin
Fakatamahu, No. 261
d) Mendorong murid lebih aktif dan bersungguh-sungguh, dalam arti murid
biasanya segan mencurahkan perhatian, maka dengan diskusi ia akan
lebih berhati-hati dan aktif mengikuti pelajaran.
e) Walau agak lambat, guru dapat mengontrol pemahaman atau pengertian
murid pada masalah-masalah yang dibicarakan.58
f) Pertanyaan dapat memusatkan perhatian siswa sekalipun ketika itu siswa
sedang ribut, dll. Jadi metode Tanya jawab bisa digunakan dalam
berbagai kondisi khususnya dalam situasi dimana konsentrasi murid
melemah.
g) Merangsang siswa untuk melatih dan mengembangkan daya pikir,
termasuk daya ingatan .
h) mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab
dan mengemukakan pendapatnya.
2. Kekurangan:
a) Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam diskusi, bisa makan waktu
yang lama untuk menyelesaikannya.
b) Kemungkinan akan terjadi penyimpangan perhatian anak didik, terutama
apabila mendapat jawaban yang menarik perhatiannya.
c) Tidak dapat secara tepat merangkum bahan bahan pelajaran.59
d) Siswa merasa takut apabila guru kurang mampu mendorong siswanya
untuk berani menciptakan suasana yang santai dan bersahabat.
e) Tidak mudah membuat pertanyaan yang sesuai dengan tingkat berfikir
siswa.
f) waktu sering terbuang, terutama apabila siswa tidak dapat menjawab
pertanyaan sampai dua atau tiga orang .
g) Dalam jumlah siswa yang banyak tidak mungkin melontarkan petanyaan
kepada setiap siswa.60
c). Syarat-Syarat Penggunaan Metode Tanya Jawab.

58
Zuhairini, Metode Khusus Pendidikan Agama…., h. 87
59
Djamarah dan Aswan Jaini, Strategi Belajar Mengajar…, h. 87
60
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam…, h. 107
a) Pertanyaan hendaknya dapat membangkitkan minat dan mendorong
inisiatip anak didik sehingga mereka dapat terangsang untuk bekerja
sama.
b) Perumusan pertanyaan harus jelas dan terbatas serta harus ada jawaban.
c) Pemakaian metode Tanya jawab adalah untuk materi yang yang sudah
disampaikan.
d) Pertanyaan hendaknya diajukan kepada seluruh siswa dikelas.
d). Langkah-Langkah Penggunaan Metode Tanya Jawab
a) menentukan tujuan yang akan dicapai
b) merumuskan pertanyaan yang akan diajukan.
c) Pertanyaan diajukan kepada siswa secara keseluruhan, sebelum menunjuk
salah satu siswa untuk menjawab.
d) Membuat ringkasan hasil Tanya jawab, sehingga diperoleh pengetahuan
secara sistematis.

3. Mengapreasikan Pikiran dan Perasaan


ketika Allah berfirman memerintahkan kepada malaikat untuk menyebutkan nama-
nama benda yang telah Dia ajarkan kepada Adam, sebagaimana tertera dalam surat
alBaqoroah ayat 31 akan tetapi malaikat tidak mampu untuk menyebutkan nama-nama
tersebut. Kemudian pada ayat berikutnya, Allah SWT memerintahkan Adam untuk
memberitakan dan memberitahukan kepada malaikat seluruh nama-nama benda yang
telah Allah ajarkan, lalu seketika itu pula Adam memberitahukan nama-nama benda
tersebut.
Dalam kisah ini Allah memberikan gambaran akan ketidak mampuan malaikat
dalam mengungkapkan pikiran dan perasaanya karena malaikat tidak mempunyai
pengetahuan tentang hal itu, namun kondisi yang dialami malaikat berbeda dengan
Adam yang dengan mudah mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya hal itu
dikarenakan Adam telah memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang telah Allah ajarkan
kepadanya.
Berkomunikasi pada hakikatnya adalah berbahasa. Tetapi, pemahaman dan
penghargaan kita akan bahasa dan peranannya itu seringkali dangkal dan biasa-biasa
saja. Orang dapat berbahasa seperti halnya orang dapat berjalan.61
Bahasa mempunyai kepentingan yang eksklusif dalam proses humanisasi pikiran;
hal itu dibuktikan tidak hanya oleh kejadian-kejadian manusia yang terampas dari
bahasa, tetapi juga oleh penelitian psikologi; psikologi obyektif ini menggunakan tes-tes
intelijensi praktis, yaitu intelijensi yang tidak terbahasakan, yang tidak
terverbalisasikan.62
Bahasa tidak hanya merasuki pikiran, tetapi juga perasaan kita. Cetusan-cetusan
perasaan kita selalu merupakan cetusan-cetusan bahasa. Maka dari itu bila perasaan hati
kita sudah tercetus, terungkap, kita puas, kita lega, atau kita bebas dari tekanan-tekanan
yang mengganggu keseimbangan jiwa kita. Kita kenal terapi kejiwaan yang berusaha
untuk membawa perasaan-perasaan gelap didalam diri penderita kejiwaan kepada terang
bahasa. Sebenarnya terang bahasa ini adalah terang pikiran. Perasaan dapat dibahasakan
karena diterangi oleh pikiran, karena ditangkap oleh pikiran, karena kita ketahui.63
Dengan bahasa manusia telah belajar berfikir; dari satu sudut kecerdasannya
manusia telah menemukan bahasa, dari sudut lain bahasa aalah alat dan cara
mengembangkan kecerdasannya; dari pengetahuan praktis tentang alam ia telah dapat
membangun pengetahuan teoritis dan kesadaran diri yang penuh. Manusia dekat sekali
dengan binatang, dan tiba-tiba dia tampak berbeda sekali berkat bahasa . tetapi
sesungguhnya perbedaan itu telah tersurat sejak semula: otak manusia lebih besar, maka
kemungkinan-kemungkinannya lebih banyak. Kera, burung nuri dan burung beo tidak
akan menemukan bahasa yang sebenarnya.64
Memamerkan apa yang kita ketahui, memperlihatkan dan mendemonstrasikan apa
yang telah kita pelajari, adalah ketika kita memulai menemukan kalau kita telah sukses
menerapkan dari hal-hal yang ada dibawah ini:
1. mendapatkan kerangka pikiran (mind) yang benar-benar relaks, percaya diri
dan siap untuk belajar.

61
Paul Chauchard, Bahasa dan pikiran, Terj. A. Widiyartaya, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius,
1983), cet. 1, h. 3
62
Chauchard, Bahasa dan pikiran… h. 39
63
Chauchard, Bahasa dan pikiran…, h. 4
64
Chauchard, Bahasa dan pikiran…, h. 95
2. Memperoleh (acquiring) informasi dalam cara-cara yang sesuai dengan diri
kita.
3. Menyelidiki (searching out) makna, implikasi dan arti personalnya.
4. Mampu memicu (trigger) memori tentangnya ketika kita membutuhkan.65
Dalam bukunya A. Widiyamartaya mengungkapkan bahwa Manusia adalah
“pengada yang berfikir”. (Dengan kata “pengada” kita hendak menyebut apa yang
disebut dalam kata asing dengan kata “ens” (Latin) atau “being” (Inggris). Pengada
berfikir, dari hakikatnya menghasilkan ide-ide atau gagasan-gagasan, maka manusia
menciptakan segala sesuatu didunia ini. Semakin baik cara berfikirnya dan semakin
cemerlang gagasan-gagasan yang dihasilkannya, maka akan semakin gemilang dan
bermutu hasil-hasil ciptaannya.66
Buah-buah gagasan manusia dapat dibedakan menjadi tiga jenis : Pengertian,
keputusan, dan kesimpulan. Pengertian adalah sesuatu yang timbul dalam pikiran kita
sebagai tanggapan atas serapan panca indera kita menghadapi realitas yang mengelilingi
kita. Tanggapan kita menyebabkan kita faham atau tahu tentang sesuatu. Pengertian
meliputi makna (kata, tanda, lambang, dsb), konsef, definisi dan sebagainya.67
Menerjemahkan apa yang kita dengar atau baca, kedalam kata-kata kita sendiri
bukan hanya membuktikan bahwa kita mengetahui subjek yang bersangkutan, namun
juga berarti bahwa kita kemungkinan besar dapat mengingatnya dalam jangka panjang.68
Pada manusia sudah ada tanda-tanda (manifestasi-manifestasi) didikan dan
kecerdasan, bahkan dalam taraf sebelum otak matang dengan sempurna; hal ini
disebabkan oleh bahasa yang dipelajarinya, bahasa yang membuat dia menjadi manusia
penuh, yaitu mampu mencapai kemajuan-kemajuan tak terbatas. Meskipun bahasa itu
sudah dimilikinya.69
Kata-kata tidaklah sangat penting atau perlu dari dirinya sendiri. Yang penting
adalah arti dan makna dari kata-kata itu, atau kata-kata penting oleh karena arti dan
makna yang diwahanainya. Fungsi kata ialah bertindak sebagai lambang untuk sesuatu

65
Dedy Ahimsa, Cara belajar cepat abad XXI, (Bandung: Nuansa, 2002), cet. 3, h.206
66
A. Widiyamartaya, Seni Mencipta Makna (Bagaimana mengapresiasi daya pikir secara
kreatif), (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), cet. 1, h.13
67
Widiyamartaya, Seni Mencipta Makna… h. 14
68
Ahimsa, Cara belajar cepat abad XXI… h.161
69
Chauchard, Bahasa dan pikiran…, h. 4
yang lain dari kata itu sendiri. Kata-kata dapat dimisalkan lembar-lembar cek bank:
cekcek itu tidak ada harganya sebagai kertas, tetapi berharga bila mewakili uang tunai
yang ada di bank. Kata-kata “tunai” bila membawa kita pada hal-hal atau peristiwa yang
mereka wakili (lambangkan).70
Dengan berfikir secara logis logis dan benar, manusia menjadi pintar, jujur dan
berdisiplin dalam membuahkan gagasan-gagasannya dan menghasilkan ciptaan-
ciptaanya.71

4. Metode Ganjaran dan Hukuman

a. Ganjaran
Ketika Allah SWT. Berfirman memerintahkan kepada malaikat untuk sujud
(memberikan penghormatan) kepada Adam kemudian ayat berikutnya Allah SWT.
Berfirman dengan menyatakan “Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini,
dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu
sukai”. Hal ini merupakan ganjaran yang Allah anugerahkan kepada Adam karena
keberhasilan dan kesuksesannya, namun hal tersebut tidak terlepas dari izin Allah SWT.
Ini merupakan anugerah yang sangat agung, yang Allah persembahkan kepada
Adam setelah Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda lalu atas perintah
Allah Adam menyodorkan serta memberitahukan kepada malaikat nama-nama benda
yang telah Allah ajarkan kepadanya.
Istilah tsawab; ganjaran, didapat dalam al-Qur’an dalam menunjukkan apa yang
diperbuat oleh seseorang dalam kehidupan ini atau diakhirat kelak karena amal
72
perbuatan yang baik.
Memberikan dorongan kepada anak merupakan hal yang penting dengan
memperhatikan kesimbangan antara pemberian dorongan yang bersifat materi dengan
dorongan yang bersifat moral (non materi). Salah apabila kita membatasi pemberian
dorongan pada hadiah-hadiah yang bersifat materi saja. Karena, hal itu dapat menjadikan

70
Widiyamartaya, Seni Mencipta Makna… h. 74
71
Widiyamartaya, Seni Mencipta Makna… h. 16
72
Abdurrahman, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an…, h. 221
anak tumbuh menjadi seorang yang selalu mencari keuntungan, dimana ia selalu
mendapatkan imbalan dari semua yang dilakukannya.73
Memberikan sugesti kepada yang benar dan bagus serta memberikan pujian
baginya agar bertambah kesemangatannya dalam kebaikan dan bertambah pula
kebaikannya terhadap ilmu dan amal. Demikian yang dilakukan oleh Nabi SAW,
menambah kebaikan kepada yang baik.74
Shalahuddin al-Ayubi ketika berada dalam suatu pertempuran mengelilingi
pasukannya, ia melewati seorang anak kecil yang berada didepan ayahnya membaca al-
Qur’an. Shalahuddin melihat anak itu membaca dengan baik, maka ia pun mendekatinya
dan memberikan kepadanya makanan khususnya serta mewakafkan kepadanya sebidang
tanah miliknya.75
Ganjaran yang bersifat moral sepeti pujian didepan orang-orang lain memiliki
peran yang besar pula dalam memberikan dorongan kepada anak. Kami akan
Tidak diragukan lagi bahwa dalam sebuah pujian terdapat suatu kekuatan yang
dapat mendorong anak untuk melakukan kebaikan karena dengan pujian, anak
merasakan bahwa perbuatan baiknya yang telah ia lakukan, membuatnya semakin
dihormati dan disayangi orang lain.76
Berangkat dari situ, lazimlah kiranya bagi setiap guru untuk senantiasa
memanfaatkan setiap kondisi baik murid-muridnya, mengangkat (menjunjung)
setiapkelebihan dan kemampuan yang dimiliki muridnya, berlomba-lomba dalam
keadilan serta mengabarkan kepada yang lainnya tentang kelebihan murid-muridnya,
sehingga mereka berusaha untuk menyainginya dalam kebaikan jika mampu, atau
mengakui kelebihan jika tidak mampu menyaingi.77

b. Hukuman
Ketika Adam dan istrinya tergelincir dengan melakukan suatu pelanggaran akan
larangan yang telah Allah berikan kepadanya, adalah merupakan kelalaian dan kesalahan

73
Muhammad Sa’id Mursi, Melahirkan Anak Masya Allah, Terj. Ali Yahya, (Jakarta: Cendikia
Centra Muslim, 2001), Cet. 1, h. 97.
74
Yusuf Qardhawi, Konsepsi Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah, Terj. Amir Hamzah Fahruddin,
(Jakarta: CV. Firdaus, 1994), cet. 1, h. 69
75
Sa’id Mursi, Melahirkan Anak Masya Allah… h. 94.
76
Abdul Hafizh, Manhaj Al-Tarbiyah Al-Nabawiyyah Li Al-Tifl, terj. Kuswandari…, h. 312
77
Qardhawi, Konsepsi Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah… h. 72
yang telah mereka lakukan, lalu seketika itu Allah memerintahkan mereka yang berada di
surga untuk turun kebumi, hal tersebut dapat dikatakan bahwa Allah swt memberikan
hukuman kepada Adam atas kelalaiannya.
Hukuman, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan dengan Siksa dan
sebagainya yang dikenakan kepada orang-orang yang melanggar undang-undang.78
Dalam hubungannya dengan dunia pendidikan Islam hukuman berarti:
a. Alat pendidikan preventif dan represif yang paling tidak menyenangkan.
b. Imbalan dari perbuatan yang tidak baik dari peserta didik.79
Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diperlukan, ada orang-orang baginya
teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak perlu lagi hukuman dalam hidupnya. Tetapi
manusia tidak sama seluruhnya. Diantara mereka ada yang perlu dikerasi sekali-kali. 80
Prinsip pokok dalam pemberian hukuman, yaitu, bahwa hukuman adalah jalan
yang terakhir dan harus dilakukan secara terbatas dan tidak menyakiti anak didik.
Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk menyadarkan peserta didik dari
81
kesalahan-kesalahan yang ia lakukan.
Maksud hukuman dalam pendidikan Islam ialah, sebagai tuntunan dan perbaikan,
bukan sebagai hardikan atau balas dendam. Oleh karena itu juru didik mempelajari dulu
tabiat dan sifatnya sebelum diberi hukuman, bahkan mengajak supaya si anak itu sendiri
turut serta dalam memperbaiki kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian
lupakanlah kesalahan-kesalahan dan kekeliruan setelah ia turut memperbaiki.82
Pendidikan yang halus, lembut, dan menyentuh perasaan seringkali berhasil dalam
mendidik anak-anak untuk jujur, suci dan lurus, tetapi pendidikan terlampau halus,
terlampau lembut dan terlampu menyentuh perasaan akan sangat berpengaruh jelek,
karena membuat jiwa tidak stabil.83
Syarat-syarat dalam pemberian hukuman, yaitu:

78
Departemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1995), Edisi ke-2, cet. 4, h. 360
79
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam…, h. 130
80
Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Terj. Drs. Salman Harun, (Bandung: PT. Al-
Ma’arif, 1984), Cet. 1, h. 341
81
Muhaimin Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian filosofik dan Krangka Dasar
Operasionalisasinya, (Bandung: Trugenda Karya, 1993), Cet. 1, h. 273
82
Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam… h. 155
83
Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Terj. Drs. Salman Harun… h. 343
a. Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta, kasih dan sayang.
b. Harus didasarkan kepada alasan “keharusan”
c. Harus menimbulkan kesan dihati anak.
d. Harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan kepada anak didik.
e. Diikuti dengan pemberian ma’af dan harapan serta kepercayaan.84
Kelebihan dan kekurangan
a. Kelebihan
Pendekatan hukuman dinilai memiliki kelebihan apabila dijalankan dengan
benar, yaitu:
1). Hukuman akan menjadi perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid.
2). Murid tidak lagi melakukan kesalahan yang sama
3). Merasakan akibat perbuatannya sehingga dia akan menghormati dirinya.
b. Kekurangan
Sementara kekurangannya adalah apabila hukuman yang diberikan tidak
efektif, maka akan timbul beberapa kelemahan antara lain:
1. Akan membangkitkan suasana rusuh, takut dan kurang percaya diri
2. Murid akan selalu merasa sempit hati, bersifat pemalas, serta akan
menyebabkan ia suka berdusta (karena takut dihukum)
3. Mengurangi keberanian anak untuk bertindak85
Efektifitas metode hukuman dan ganjaran berasal dari fakta yang menyatakan,
bahwa metode ini secara kuat berhubungan dengan kebutuhan individu. Seorang pelajar
yang menerima ganjaran akan memahaminya sebagai tanda penerimaan kepribadiannya
yang membuat merasakan aman. Keamanan atau rasa aman merupakan salah satu
kebutuhan psikologis, sementara hukuman berkaitan dengan hal-hal yang tidak
disukainya akan dapat menguatkan rasa aman tersebut.86

84
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam…, h. 131
85
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam…, h. 133
86
Abdurrahman, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an…, h. 220
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan tentang Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung Dalam Kisah
Adam as. Surat al-Baqoroh Ayat 30-39 pada bab-bab sebelumnya dapat ditarik beberapa
kesimpulan penting sebagai berikut:

1. SIKAP DAN PRILAKU


a. Rendah Hati
Lawan takabbur adalah tawadhu (rendah hati). Setiap mukmin hendaknya rendah
hati, tunduk kepada perintah Allah. Maka derajatnya akan diangkat Allah dan
ditempatkan disisinya
b. Larangan Sombong
Takabbur ada tiga macam, Pertama : takabbur kepada Tuhan, berupa sikap tidak
mau memperdulikan ajaran-ajaran-Nya. Kedua: Takabbur kepada Rasul-Nya,
berupa sikap dimana orang merasa rendah dirinya kalau mematuhi dan mengikuti
rasul tersebut. Ketiga: takabbur kepada sesama manusia, menganggap dirinya
lebih hebat dari orang lain.
c. Menjauhi Dengki
Menurut al-Qur’an hasud adalah dosa pertama yang muncul dipermukaan bumi
ini. Penyebabnya adalah iblis sampai dikeluarkan dari surga, pertama kali
lantaran dengki terhadap Adam as. setelah itu dengki menyebabkan Qabil
membunuh Habil saudara kandungnya, maka tumpahlah darah untuk pertama
kalinya dimuka bumi ini.
d. Sikap Pema’af dan Pengampun
Sikap pema’af adalah memberi ma’af, memberi ampun terhadap kesalahan orang
tanpa ada rasa benci terhadap orang yang bersalah atau sakit hati atau ada
keinginan untuk membalas padahal dia mampu membalas.
2. ASPEK PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN
1. Metode Kisah
Metode kisah ialah suatu cara dalam menyampaikan materi pelajaran dengan
menuturkan secara kronologis tentang bagaimana terjadinya suatu hal yang
baik yang sebenarnya terjadi ataupun hanya rekaan saja.
2. Metode Tanya Jawab
Metode Tanya jawab ialah penyampaian pelajaran dengan cara guru
mengajukan pertanyaan dan murid menjawab. Atau suatu metode didalam
pendidikan dimana guru bertanya sedangkan murid menjawab tentang materi
yang ingin diperolehnya
3. Mengapreasikan Pikiran dan Perasaan
Buah-buah gagasan manusia dapat dibedakan menjadi tiga jenis : Pengertian,
keputusan, dan kesimpulan
4. Metode Sorogan
Sorogan artinya belajar secara individu dimana seorang santri berhadapan
dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya
5. Metode Ganjaran dan Hukuman
Memberikan dorongan kepada anak merupakan hal yang penting dengan
memperhatikan kesimbangan antara pemberian dorongan yang bersifat materi
dengan dorongan yang bersifat moral (non materi)
Dalam hubungannya dengan dunia pendidikan Islam hukuman berarti:
a. Alat pendidikan preventif dan represif yang paling tidak menyenangkan.
b. Imbalan dari perbuatan yang tidak baik dari peserta didik
B. Saran
1. Al-Qur’an selain merupakan pedoman bagi umat Islam, juga merupakan sumber
ilmu pengetahuan, oleh karena itu dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam
dalam setiap pembahasan dan kajiannya hendaknya tidak terlepas dari al-Qur’an.
2. Hendaknya pendidikan agama Islam dapat dijadikan sebagai alat untuk
membentuk kepribadian muslim yang bersikap dan bertingkah laku yang sesuai
dengan tuntunan al-Qur’an.
3. Kajian-kajian yang berkenaan dengan nilai-nilai pendidikan yang terkandung
dalam kisah Adam dalam skripsi ini belum dapat memberikan gambaran yang
utuh mengenai nilai-nilai pendidikan. Oleh karena itu, perlu adanya penjelasan
dalam ayat-ayat lain mengenai hal tersebut.
DAPTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Ibn bin Ahmad al-Anshary al-Qurtubiy, Tafsir al-Qurtuby, juz I,
Kairo: Dar al-Sya’biy.
Adnan, Taufik Amal, Rekonstruksi sejarah al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005
Attas, Muhammad Naquib, Konsef Pendidikan dalam Islam, Terj. Haidar Bagir,
Bandung: Mizan, 1994
Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Abrasyi, Muhammad Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A.
Gani dan Djohar bahry, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Khalidi, Shalah, Kisah-Kisah al-Qur’an, Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu, Jakarta:
Gema Insani Press, 1999.
Adlany, A. Nazri Hanafie, Tamam, A. Faruq Nasution, Al-Qur’an Terjemah Indonesia, ,
Jakarta: Sari Agung, 1995.
Ali Hasyimi, Muhammad, Apakah Anda Berkepribadian Muslim, Jakarta: Gema Insani
Press, 1994
Ardhani, Moh., Akhlak Tasawuf: Nilai-Nilai Akhlah dan Budi Pekerti, dalam Ibadah dan
Tasawuf, Jakarta: CV. Karya Mulia, 2005
Al-Jamil, Muhammad Fadhil, Filsafat Pendidikan dalam Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 1995
Arifin, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya,
1994
Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat pers,
2002
Abdullah, Abdurrahman Saleh, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1994.
Ahimsa, Dedy, Cara Belajar Cepat abad XXI, Bandung: Nuansa, 2002
Bukhari, Sahih Bukhari, kitab al-hibah wafadhluha bab al-qalil min al-hibah no. 2380
______, Sahih Bukhari, Kitab al-Adab Bab Rahmat al-walad… no. 553
Chauchard, Paul, Bahasa dan pikiran, Terj. A. Widiyartaya, Yogyakarta: Yayasan
Kanisius, 1983
Dawud Abu, Sunan Abu Dawud Kitab al-Adab bab fi al-Tawadhu’ no. 4250
______, Sunan Abu Dawud Kitab al-Adab Bab fi al Hasad, no. 4257
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka 2002
Darajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi aksara, dan Dirjen Binbaga
Islam, 1992.
Djamarah, Syaiful Bahri dan Jaini Aswan, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1998.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan hidup kiyai, Jakarta:
LP3ES, 1994
Departemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1995
Ghalayini, Mustafa, Bimbingan Menuju Ke Akhlak yang luhur, Semarang: CV. Toha
Putra, 1976
Ghazali, Adab Orang Alim, Jakarta: Gema Insani Press, 1992
_____, Tuntunan Dasar Pembinaan Pribadi Bertaqwa, Jakarta: Angkasa Raya, 1984
Haidar, Ilyas Abu, Etika Islam Dari Kesalehan individual Menuju Kesalehan Sosial,
Jakarta: Al-Huda, 2003.
Hasyimi, Muhammad, Apakah Anda Berkepribadian Muslim, terj. Salim Basyarahil,
Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Hufy, Ahmad Muhammad, Akhlak Nabi Muhammad saw Keluhuran dan Kemuliaannya,
terj. Masdar Helmi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997) cet. 2, h. 387
Jalal, Abdul Fattah, Azas-Azas Pendidikan Islam, terj. Harry Nur Ali, Bandung: CV.
Diponegoro, 1988
Khallaf, Abd. Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta : Majlis al-a’la al-Indonesia li al-
Da’wah al Islamiyah, 1392 H./1972 M
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,
Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994
Maraghi, Mustafa, Terjemah tafsir al-Maraghi, Bandung: CV. Rosda, 1987.
________, Terjemah tafsir al-Maraghi, Bandung: CV. Rosda, 1987.
Mursi, Muhammad Sa’id, Melahirkan Anak Masya Allah, Terj. Ali Yahya, Jakarta:
Cendikia Centra Muslim, 2001.
Mujib, Muhaimin Abdul, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian filosofik dan Krangka
Dasar Operasionalisasinya, Bandung: Trugenda Karya, 1993
Mutahhari, Murtadho, Manusia Sempurna, Jakarta: Lentera, 1994
Musfah, Jejen, Bahkan Tuhan pun Bersyukur: Memahami Rahasia Hati, Jakarta,
Hikmah, 2003.
Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Birr al-Shilah wa al-Adab bab Istihbab al-‘afw wa al-
Tawadhu’ no. 4689
______, Sahih Muslim Kitab al-Iman bab Tahrim al-Kibr wa Bayanuh no. 131
Mâjah Ibnu, Sunan Ibnu Majah, Kitâb al-Muqaddimah, Bâb Man Sa’ala ‘An ‘Ilmin
Fakatamahu, No. 261
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1989
Munawwar, Said Agil Husin , Aktualisasi Nilai-Nilai al-Qur’an, Dalam Sistem
Pendidikan Islam, Ciputat, PT. Ciputat Press, 2005.
Musawi, Khalil, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda, Jakarta: Lentera Basritama,
1999), cet. 2, h. 38
Poerwadarminta W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: bali pustaka, 1984
Quthb, Sayyid, Di Bawah Naungan al-Qur’an, Terj. Tafsir Fi Zilalil Qur’an, oleh As’ad
Yasin, Abdul Aziz Salim Basyharahil Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
______, Sistem Pendidikan Islam, Terj. Drs. Salman Harun, Bandung: PT. Al-Ma’arif,
1984

Qardhawi, Yusuf, Konsepsi Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah, Terj. Amir Hamzah
Fahruddin, Jakarta: CV. Firdaus, 1994
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Shihab, M. Quraish , Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2006
_______, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizan, 1996
Syadali, Ahmad, Rofi’I,Ahmad, Ulumul Qur’an II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Sudrajat, Suryana Menimba Kearifan: Risalah Tasawuf Kontemporer, Jakarta: Triyana
Sjam’un Corp, 2001
Tim Departemen Agama, Al-Qur’an Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2005.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung:Remaja Rosdakarya,
1992
Tebba, Sudirman, Sehat Lahir Batin: HandBook Bagi Pendamba Kesehata Holistik,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004
Widiyamartaya, A., Seni Mencipta Makna Bagaimana Mengapresiasi Daya Pikir
Secara Kreatif, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993
Ya’kub, Hamzah, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin: Tasawwuf dan
Taqarrub, Jakarta: Putaka Atisa, 1992
Zuhairini, dkk, Metode Khusus Pendidikan Agama, Surabaya: Usaha Nasional, 1983

Anda mungkin juga menyukai