Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

CARA MEMILIH ILMU, GURU, TEMAN DAN KETEKUNAN


“Makalah ini disusun untuk Memenuhi Mata Kuliah: Bahtsul Kutub
Dosen Pengampu:

Achmad Izza Muttaqin M.Pd

KELAS PAI 6B

Disusun Oleh Kelompok 3:

1. Kholifatun N.J NIM: 2017390100546


2. Haris Wahyu S. NIM: 2017390100542
3. M. Nur Lamik NIM: 2017390100553

PROGRAM STUDI PENIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM IBRAHIMY
GENTENG – BANYUWANGI
MARET 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan rahmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah

mata kuliah Batsul Kutub yang merupakan salah satu aspek penilaian dalam

kegiatan perkuliahan di IAI Ibrahimy Genteng -Banyuwangi Fakultas Ilmu

Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam.

Makalah ini disusun sistematis melalui beberapa tahap sesuai dengan

prosedur. Terselesaikannya makalah ini didasari kerjasama dengan pihak-pihak

terkait. Untuk itu dalam kesempatan ini, penyusun ingin menyampaikan

ucapan terima kasih kepada yang terhormat orang tua penyusun yang selalu

memberikan doa restu dan motivasi baik secara moral maupun material dalam

penyusunan makalah ini dan semua pihak yang telah memberikan bantuan baik

secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan makalah ini.

Penyusun menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran

pembaca yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini. Akhir

kata penyusun mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini masih

terdapat kekurangan. Semoga kekurangan tersebut tidak mengurangi arti dan

maksud dalam penyusunan makalah ini.

Genteng, 02 April 2020

Penyusun

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................................................

KATA PENGANTAR ........................................................................................ 1

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 3


A. Latar Belakang.......................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 4
C. Tujuan Masalah ........................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 5
A. Cara Memilih Ilmu ................................................................................... 5
B. Cara Memilih Guru ................................................................................... 6
C. Cara Memilih teman ................................................................................. 9
D. Cara Memilih Ketekunan.......................................................................... 10
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 12
A. Kesimpulan .............................................................................................. 12
B. Saran ......................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 14

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimat.
Demikianlah sabda Rasulullah Saw. Mengenai pentingnya belajar, belajar
tidak bisa dilakukan dengan asal-asalan. Karena jika itu dilakukan, pencarian
ilmu menjadi aktivitas yang sia-sia karena tidak menghasilkan apa-apa. Kalau
pun mampu menguasai ilmu, ilmu tersebut tidak akan memberinya
kemanfaatan. Ilmu hanya sekedar wacana, ilmu menjadi fashion yang
diperbincangkan dari mulut ke mulut, ilmu tidak menjadi berguna sama
sekali. Tidak untuk perkembangan peradaban, tidak untuk kesejahteraan
manusia, apalagi mengubah dunia. Ilmu tidak mampu menolong pemiliknya
untuk semakin mendekat kepada tuhan. Justru sebaliknya, ilmu demikian bisa
menjadi petaka
Sejak manusia dilahirkan ke alam dunia, tak pernah luput dari dirinya
hak dan kewajiban yang selalu menyertainya dalam mengarungi kehidupan di
dunia. Salah satu hak dan sekaligus kewajiban yang manusia kerjakan adalah
menuntut ilmu (belajar). Belajar merupakan hak yang patut dimiliki oleh
manusia, karena dengan belajar manusia akan mendapatkan ilmu, dimana
ilmu merupakan salah satu bentuk nikmat yang dianugerahkan Allah swt
kepada manusia. Adapun belajar dikatakan suatu kewajiban bagi setiap
manusia, karena tanpa belajar manusia tidak akan pernah dapat melaksanakan
kewajiban-kewajiban lain yang harus dia tunaikan di muka bumi ini
Dalam sejarah Islam terdapat seorang yang mempunyai kepedulian
yang tinggi terhadap proses belajar, syaikh Az-Zarnuji, demikian namanya,
menuangkan rangkaian pengalaman dan renungannya tentang bagaimana
seseorang mestinya sukses belajar dalam sebuah kitab. Kitab tersebut diberi
nama kitab Ta‟lim Muta‟allim. Apa yang beliau tuliskan kemudian menjadi
referensi dasar dari para santri (sebutan pelajar bagi siswa di lingkungan
pondok pesantren) hingga saat ini. Terutama di pondok pesantren salaf.

3
Az-Zarnuji adalah sosok pemikir pendidikan Islam yang banyak
menyoroti tentang etika dan dimensi spiritual dalam pendidikan Islam. Dalam
karyanya Az-Zarnuji lebih mengedepankan pendidikan tentang etika dalam
proses pendidikan. Beliau mengisyaratkan pendidikan yang penekanannya
pada mengolah hati sebagai asas sentral bagi pendidikan. Az-Zarnuji dalam
muqaddimah kitabnya “ Ta‟lim al-Muta‟allim” menjelaskan latar belakang
penyusunan kitabnya. Yaitu diawali karena banyaknya para pencari ilmu
yang tidak mendapat ilmu atau dia mendapat ilmu tapi tidak mendapat
kemanfaatan dari ilmu tersebut. Itu disebabkan karena kurangnya akhlak atau
etika dalam mencari ilmu. Kemerosotan moral para pencari ilmu dan pendidik
yang dirasakan Az-Zarnuji pada saat itu, kini masih kita rasakan bahkan jauh
lebih mengkhawtirkan.
Oleh sebab itu, dalam maakalah ini akan kami paparkan beberapa
ulasan mengenai etika atau cara memilih ilmu, guru, dan ketekunan. Yang
diharapkan mampu menjadikan siswa aktiv dalam menuntut ilmu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara memilih ilmu?
2. Bagaimana cara memilih guru?
3. Bagaimana cara memilih teman?
4. Bagaimana cara memilih ketekunan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui cara memilih ilmu.
2. Untuk mengetahui cara memilih guru.
3. Untuk mengetahui cara memilih teman.
4. Untuk mengetahui cara memilih ketekunan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Cara Memilih Ilmu


Dalam Ta‟lim al-Muta‟allim sebagaimana karya ulama‟ salaf lainnya,
Az-Zarnuji menempatkan ilmu dalam skala prioritas paling utama, sebab
eksistensinya sangat menentukan pola pandang hidup, corak berpikir, sikap
dan prilaku seseorang. Beragamnya ilmu pengetahuan yang berkembang,
menuntut seorang pelajar harus berhati-hati dalam memilih dan memilah
mana di antara bukubuku bacaan ilmiah yang bisa mengantarkannya ke jalan
yang lebih positif dan berpikir dengan benar terutama bila menyangkut
teologis. Penuntut ilmu hendaklah memilih yang terbagus dari setiap bidang
ilmu–ilmu yang terbagus adalah ilmu pengetahuan yang subtansi maupun
illaborasinya jelas, tidak debatable dan tidak konroversial. Hal ini penting
dinyatakan karena di sini kita sedang berbicara mengenai proses belajar atau
Thuruqut Ta„allum, memilih ilmu apa yang diperlukan dalam urusan agama
di saat ini, kemudian apa yang diperlukan di waktu nanti (Az-Zarnuzi,
Terjemah Ta‟lim al-muta‟allim : 24).
Dalam memilih ilmu (mentukan pilihan bidang studi/jurusan) para
santri/siswa harus memilih ilmu/bidang studi yang paling baik atau paling
cocok dengan dirinya (Az-Zarnuzi, Terjemah Ta‟lim al-muta‟allim : 23).
Suatu bidang ilmu yang dikaji akan sangat menarik dan menantang bagi
mereka yang menyenanginya dan yang merasa cocok dengan bidang ilmu itu,
sehingga motivasi berprestasi dari santri/siswa akan mendorongnya untuk
tekun belajar, keseriusan dalam mengerjakan tugas-tugas, serta kedisiplinan
yang tinggi dalam mengikuti seluruh proses belajar yang mengajar, bahkan
proses itu tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah/kampus ataupun pondok
saja. Proses itu akan menjadi sumber kekuatan di manapun dan kapanpun,
sehingga dalam konteks ini proses belajar mengajar tidak lagi mengenal
tempat dan waktu, karena setiap saat dimana saja para santri/siswa dapat
terjadi proses belajar mengajar.

5
Dalam kaitannya dengan memilih ilmu, Az-Zarnuji menganjurkan
supaya mempelajari ilmu tauhid terlebih dahulu, kemudian ilmu-ilmu lama
(karangan ulama salaf) dan menghindari ilmu-ilmu baru (Az-Zarnuzi,
Terjemah Ta‟lim al-muta‟allim : 24).
Ilmu-ilmu lama atau kuna adalah ilmu yang diajarkan oleh nabi
Muhammad Saw. Sedang ilmu baru adalah ilmu-ilmu yang lahir setelah
periode tersebut, semacam ilmu perdebatan dan peramalan nasib. Batasan
seperti ini tentu dimaksudkan dalam konteks mempelajari agama, karena
dalam belajar ilmu agama memang diperlukan kemurnian atau akurasi ilmu
dan faliditas informasinya, sedang akurasi dan faliditas ini bias diperoleh dari
sumber asalnya (Nabi) dan generasi terdekat setelahnya (Sahabat dan
Tabi‟in). belajar ilmu agama tidak boleh gegabah, sebab akan berakibat nilai-
nilai agama terdistorsi dengan pemaksaan logika, sehingga ajarannya tidak
murni lagi( As‟ad, 2007:25).
Belajar adalah kewajiban setiap insan laki-laki dan perempuan.
Semenjak dilahirkan hingga akhir hayatnya, orang muslim menurut Az-
Zarnūji, tidak diwajibkan menuntut segala cabang ilmu pengetahuan, tetapi
diwajibkan menuntut ilmu Al-Hal (Az-Zarnuzi, Terjemah Ta‟lim al-
muta‟allim).
Orang muslim juga diwajibkan menuntut ilmu yang selalu diperlukan
setiap saat. Karena orang muslim diwajibkan menunaikan ibadah sholat,
puasa dan haji, maka ia diwajibkan menuntut ilmu yang berkaitan dengan
kewajiban tersebut. Sebab apa yang menjadi perantara perbuatan wajib, wajib
pula bagi muslim mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
B. Cara Memilih Guru
Untuk menjadi orang yang pantas ditaati dan diikuti, tidaklah salah
apabila sebagai guru menengok kembali apa yang telah diungkapkan Az-
Zarnuji bahwa:
“Adapun dalam memilih guru, hendaknya memilih orang yang lebih
alim (pandai), lebih wara‟ dan lebih tua.” (Az-Zarnuzi, Terjemah Ta‟lim al-
muta‟allim : 13).

6
Az-Zarnuji juga mengutip pendapat Abu Hanifah mengenai sifat-sifat
tertentu yang harus dimiliki oleh guru, sebagai berikut:
“ Saya dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar.
Dan beliau berkata “Maka aku menetap di samping Hammad bin Abi
Sulaiman, dan akupun tumbuh dan berkembang”. (Az-Zarnuzi, Terjemah
Ta‟lim al-muta‟allim : 13).
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa „alim, wara‟, dan lebih tua
usianya dibanding muridnya, menurut Az-Zarnuji adalah syarat yang harus
dipenuhi ketika menjadi guru. Sifat-sifat itulah yang dimiliki Hammad bin
Abu Sulaiman, sehingga Abu Hanifah memilih menjadi gurunya, karena
semata-mata seorang guru yang tua dan berwibawa, murah hati, serta
penyabar, sehingga Abu Hanifah menetapkan untuk menimba ilmu
kepadanya sampai berkembang. Kata berkembang, menurut Ibrahim bin
Ismail mengandung arti bahwa Abu Hanifah tidak pernah berpindah guru
dalam menimba ilmu hingga menjadi seorang Mujtahid kecuali hanya kepada
Hammad bin Abu Sulaiman (Ibrahim Ibnu Isma‟il, Syarah Ta‟lîm al-
Muta‟allim : 13)
Dengan melihat kedudukan baik guru maupun siswa serta syarat-
syarat yang harus dipenuhi ketika menjadi guru tersebut, tentu saja akan lebih
tepat, sebagaimana dikatakan Az-Zarnuji bahwa guru sebaiknya orang yang
lebih tua dibanding muridnya. Dalam arti yang lebih luas lagi, kata tua dapat
diartikan tidak sekedar lebih tua dalam umur, namun sebagaimana
ditambahkan, “tua” dapat juga berarti orang yang banyak pengalamannya
dalam segala hal maupun dalam menghadapi anak didik. Dalam konteks ini,
mungkin sesuai dengan teori revitalisasi budaya yang mengatakan bahwa
subyek didik pada hakekatnya adalah orang yang masih perlu mendapat
tuntunan, sehingga lebih tepat apabila guru adalah orang yang lebih dewasa.
1. Al-A‟lam ( lebih alim)
Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata alim.
Alim adalah isim fail dari kata dasar: alima yang artinya yang terpelajar,
sarjana, yang berpengetahuan, ahli ilmu (Munawwir, 2002 : 966). Alim

7
adalah orang yang berilmu dan ulama adalah orang-orang yang punya
ilmu. Sedangkan kata a‟lam merupakan isim tafdhil yang berarti lebih
alim. Jadi yang dimaksud lebih alim yaitu guru yang ilmunya selalu
bertambah. Bila kita menganalisis dari segi bah asa bahwa kata a‟lam
merupakan isim tafdhil yang berarti lebih alim. Jadi sosok guru yang
diinginkan oleh Az-Zarnuji adalah guru yang tidak hanya sekedar alim
tetapi guru yang lebih alim yang ilmunya selalu bertambah.
2. Al-Wara‟ (menjaga diri)
Menurut Az-Zarnuji, seorang pelajar harus bersifat wara„ (Self
Protection) dalam mencari ilmu, Dapatlah dilihat, secara harfiah kata
wara‟ berarti menjauhkan diri dari dosa, maksiat dan perkara syubhat
(Munawwir, 2002 : 966). Ia juga berarti Iffah yaitu mencegah diri
melakukan sesuatu yang tidak pantas (Afrizal, 2008 : 179). Jadi wara‟
adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat atau samar-samar hukumnya
baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan apapun.
Terkait dengan guru, Syekh Ibrâhim bin Isma‟il mengungkapkan
bahwa guru yang wara‟ berarti guru yang dapat menjauhi dari
pembicaraan yang tidak bermanfaat, senda gurau dan menyia-nyiakan
umur atau waktu, menjauhi perbuatan ghibah (menuturkan kejelakan orang
lain) dan bergaul bersama orang yang banyak bicara tanpa membuahkan
hasil dalam pembicaraan, ngobrol, dan omong kosong (Ibrahim Ibnu
Isma‟il, Syarah Ta‟lîm al-Muta‟allim : 39)
3. Al-Asanna (lebih tua)
Yang dimaksud lebih tua, yaitu guru yang bertambah umur dan
kedewasaannya. hal ini mungkin tepat karena mengingat bahwa posisi guru
adalah sebagai pendidik, dan mereka adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan anak atau karena guru mempunyai makna sebagai
seseorang yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mendidik
peserta didik dalam mengembangkan kepribadian, baik di sekolah maupun di
luar sekolah (Az-Zarnuzi, Terjemah Ta‟lim al-muta‟allim : 13).

8
C. Cara Memilih Teman
Selain peran guru adalah peran lingkungan, teman relasi juga tak
kalah besaranya dalam membentuk karakter berpikir, pandangan hidup dan
perilaku seorang pelajar. Dalam kaitannya dengan hal ini menurut Az-Zarnuji
sebaiknya memilih teman yang rajin belajar, bersifat wara„ dan berwatak
itiqamah (lurus) dan mudah paham (tanggap). Hindarilah orang yang malas,
penganggur, pembual, suka berbuat onar dan suka memfitnah. (Az-Zarnuzi,
Terjemah Ta‟lim al-muta‟allim : 31).
Hal ini dianggap sangat penting oleh Az-Zarnuji dikarenakan banyak
orang yang baik-baik berubah menjadi rusak disebabkan oleh kesalahan
mereka dalam memilih teman. Anak yang tumbuh di dalam keluarga yang
menyimpang, belajar di lingkungan yang sesat dan bergaul dengan
masyarakat yang rusak, maka anak akan menyerap kerusakan itu, terdidik
dengan akhlak yang paling buruk, di samping menerima dasar-dasar
kekufuran dan kesesatan. Kemudian dia akan beralih dari kebahagian kepada
kesengsaraan, dari keimanan kepada kemurtadan dan dari Islam kepada
kekufuran. Jika semua ini telah terjadi, maka sangat sulit mengembalikan
anak kepada kebenaran, keimanan dan jalan mendapakan hidayah (Az-
Zarnuzi, Terjemah Ta‟lim al-muta‟allim : 31).
Dari paparan yang telah disebutkan, kita dapat memahami bahwa
sepantasnya seorang pencari ilmu memilih ilmu yang akan dipelajari terlebih
dahulu dengan melihat kadar kemampuan dirinya dalam belajar, memilih
guru yang sesuai dengan ilmu yang ditekuninya dan memilih teman yang
dapat mendorong dirinya untuk terus meningkatkan kemampuan belajarnya.
Akan tetapi pada kenyataannya hal tersebut bertolak belakang jika dilihat
pada saat ini, yaitu banyak pencari ilmu yang hanya mencari ilmu semaunya
saja tanpa melihat kadar kemampuannya. Hal inilah yang banyak
menyebabkan kejenuhan yang menghantarkan kepada pemberhentian proses
belajar tersebut. Hal lain yang bertolak belakang juga adalah proses pemilihan
guru dan teman. Tidak sedikit pencari ilmu yang pencarian ilmunya
terhambat karena ketidaktepatan memilih guru yang mengajarkan pelajaran

9
yang dia tekuni dan memilih teman yang tepat dalam proses belajarnya.
Kedua hal ini jika tidak tepat dalam penempatannya, maka akan menghambat
perkembangan keilmuan si pencari ilmu.
D. Cara Memilih Ketekunan
Pelajar seyogyanya bersungguh-sungguh hati dalam belajar serta
tekun. Azzarnuzi menukil ayat alquran berikut untuk memeperkuat pendapat :

“ Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhoan) kami,


niscaya kami akan berikan mereka kepada jalan-jalan kami “. (Q.S. Al-
Ankabut :69)
Selanjutnya Az-Zarnuzi mengarang syair yang isinya menceritakan
kesungguhan para penuntut ilmu dalam memanfaatkan waktu belajar mereka.
Syair mempunyai arti sebagai berikut :
“barang siapa ingin semua maksudnya tercapai”
“jadikanlah malam, tunggangan untuk mencapai”
“kurangilah makan, agar kau mampu menjaga”
“Bila kau idamkan mendapat sempurna “
Mengenai keharusan untuk tekun dalam belajar Az-zarnuzi menjelaskan :
“ adalah suatu keharusan bagi pelajar untuk tekun atau rutin dalam
belajar serta mengulangi pada setiap awal dan akhir malam, karena antara
waktu maghrib dan isya serta waktu sahur adalah waktu yang penuh
berkah” (Az-Zarnuzi, Terjemah Ta‟lim al-muta‟allim : 55).
Berkenaan dengan cita-cita luhur, Az-zarnuzi mencatat sebagai berikut :
“ seorang penuntut ilmu harus memili cita-cita yang luhur dalam
berilmu. Karena sesungguhnya seseorang akan terbang dengan cita-citanya
sebagaimana burung tebang dengan sayapnya “(Az-Zarnuzi, Terjemah
Ta‟lim al-muta‟allim : 57-58).
Az-Zarnnuji mewajibkan hal ini karena menurutnya kesungguhan dan
citacita tinggi adalah adalah pangkal kesuksesan. Baginya cita-cita tinggi tapi
tidak ada kesungguhan berusaha, sungguh-sungguh tetapi tidak ada cita-cita

10
tinggi hanya akan memperoleh sedikit ilmu. Az-Zarnuji menandaskan
pendapatya ini dengan syair gubahannya :
“ Wahai jiwaku, tinggalkan kemalasan dan penundaan masalah, maka
kau jatuhkan aku dalam kehinaan. Tak pernah kulihat sesuatu yang dapat
diraih bagi pemalas kecuali penyesalan dan cita-cita yang tak terwujud “.
(Az-Zarnuzi, Terjemah Ta‟lim al-muta‟allim : 61-62).
Karena itu, bagi Az-Zarnuji belum dianggap bersungguh-sungguh
seorang penuntut ilmu melakukan aktifitas belajar, kalau belum mencapai
kelelahan dan keletihan guna mencapai kesuksessan. Keseriusan, ketekunan
dan cita-cita luhur merupakan 3 hal yang harus ada dalam jiwa seorang
pencari ilmu. Tapi jika dihubungkan dengan kondisi sekarang ini, rasanya
sulit untuk menemui orang yang mencari ilmu dengan kriteria 3 hal ini. Hal
ini bukan dikarenakan kurangnya fasilitas dalam belajar, akan tetapi lebih
dikarenakan oleh kelabilan jiwa si pencari ilmu. Mereka seolah-olah
menganggap remeh persoalan mencari ilmu, maka hal inilah meurut penulis
yang sering mengakibatkan timbulnya ketidakseriusan dan berkurangnya
ketekunan dalam belajar.
Dan satu hal yang sering terlupakan oleh para pencari ilmu, yaitu cita-
cita yang luhur. Keseriusan dan ketekunan dapat muncul jika dilandasi oleh
cita-cita yang luhur, karena dengan adanya cita-cita yang luhur maka akan
muncul semangat yang berimbas pada munculnya keinginan untuk
mendapatkan tujuannya tersebut. Jika kita perhatikan cita-cita luhur
sepertinya sedikit banyak telah hilang dari jiwa seorang pencari ilmu di masa
sekarang ini. Poin ini erat kaitannya dengan poin satu yaitu niat awal disaat
melakukan prose belajar.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan diatas dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam Ta‟lim al-Muta‟allim sebagaimana karya ulama‟ salaf lainnya, Az-
Zarnuji menempatkan ilmu dalam skala prioritas paling utama, sebab
eksistensinya sangat menentukan pola pandang hidup, corak berpikir,
sikap dan prilaku seseorang. Beragamnya ilmu pengetahuan yang
berkembang, menuntut seorang pelajar harus berhati-hati dalam memilih
dan memilah mana di antara bukubuku bacaan ilmiah yang bisa
mengantarkannya ke jalan yang lebih positif dan berpikir dengan benar
terutama bila menyangkut teologis.
2. Dalam memilih ilmu (mentukan pilihan bidang studi/jurusan) para
santri/siswa harus memilih ilmu/bidang studi yang paling baik atau paling
cocok dengan dirinya (Az-Zarnuzi, Terjemah Ta‟lim al-muta‟allim : 23).
3. Orang muslim juga diwajibkan menuntut ilmu yang selalu diperlukan
setiap saat. Karena orang muslim diwajibkan menunaikan ibadah sholat,
puasa dan haji, maka ia diwajibkan menuntut ilmu yang berkaitan dengan
kewajiban tersebut. Sebab apa yang menjadi perantara perbuatan wajib,
wajib pula bagi muslim mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
4. yarat yang harus dipenuhi ketika menjadi guru tersebut, tentu saja akan
lebih tepat, sebagaimana dikatakan Az-Zarnuji bahwa guru sebaiknya
orang yang lebih tua dibanding muridnya. Dalam arti yang lebih luas lagi,
kata tua dapat diartikan tidak sekedar lebih tua dalam umur, namun
ditambahkan, “tua” dapat juga berarti orang yang banyak pengalamannya
dalam segala hal maupun dalam menghadapi anak didik.
5. Al-A‟lam Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata alim.
Alim adalah isim fail dari kata dasar: alima yang artinya yang terpelajar,
sarjana, yang berpengetahuan, ahli ilmu (Munawwir, 2002 : 966).

12
6. Al-Wara‟ Menurut Az-Zarnuji, seorang pelajar harus bersifat wara„ (Self
Protection) dalam mencari ilmu, Dapatlah dilihat, secara harfiah kata
wara‟ berarti menjauhkan diri dari dosa, maksiat dan perkara syubhat
(Munawwir, 2002 : 966).
7. Al- Asanna guru mempunyai makna sebagai seseorang yang mempunyai
tugas dan tanggung jawab untuk mendidik peserta didik dalam
mengembangkan kepribadian, baik di sekolah maupun di luar sekolah
(Az-Zarnuzi, Terjemah Ta‟lim al-muta‟allim : 13).
8. Menurut Az-Zarnuji sebaiknya memilih teman yang rajin belajar, bersifat
wara„ dan berwatak itiqamah (lurus) dan mudah paham (tanggap).
Hindarilah orang yang malas, penganggur, pembual, suka berbuat onar
dan suka memfitnah (Az-Zarnuzi, Terjemah Ta‟lim al-muta‟allim : 31).
9. Keseriusan dan ketekunan dapat muncul jika dilandasi oleh cita-cita yang
luhur, karena dengan adanya cita-cita yang luhur maka akan muncul
semangat yang berimbas pada munculnya keinginan untuk mendapatkan
tujuannya.
B. Saran
Kami selaku penulis memohon maaf apabila dari penulis terdapat
kesalahan Semoga para pembaca dapat memahami materi yangsudah kami
paparkan dalam makalah ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

Az-Zarnuji, Pedoman Belajar Bagi Penuntut Ilmu Terjemah Ta‟lim al-muta‟allim,


Penerjemah: Muhammadun

Aliy, As‟ad. 2007. Terjemah Ta‟limul Muta‟allim Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu
Pengetahuan, Kudus: Menara Kudus.

Ibnu Isma‟il, Ibrahim. Syarah Ta‟lîm al-Muta‟allim. Surabaya: al-Hidayah, t.th.

Munawwir, A. W. 2002. Kamus al-Munawwir Arab–Indonesia Terlengkap,


Surabaya: Pustaka Progresif, cet. XXV.

Afrizal, Lalu Heri. 2008. Ibadah Hati, Jakarta: Garfindo Media Pratama, Cet. I.

14

Anda mungkin juga menyukai