Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KITABUL ILMI

ADAB MURID KEPADA GURU

MATA KULIAH: PENGANTAR ILMU DAKWAH


DOSEN PENGAJAR: TEDHI SETIADHI, M.Sos

DISUSN OLEH:
1. NANDA EGA PUTRA
2. ABDU GHOFFUR
3. N ILHAM Z.H

PRODI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


STAI DARUT TAUHID BANDUNG 2022/2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga
kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “ ADAB MURID
KEPADA GURU”
Sebagai seorang muslim yang baik kita tentu tahu bahwa adab terhadap
guru merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Karena, guru adalah orang
yang mengenalkan kita pada luasnya dunia pengetahuan. Dan setiap guru pun
pasti mempunyai harapan terhadap anak didiknya agar kelak menjadi orang
yang sukses, kaya ilmu, berpengetahuan luas, memiliki ititut serta karakter
yang baik ditengah-tengah masyarakat serta berbakti.
Maka dari itu, jika kita memang seorang muslim dan tolabul ilmi yang
baik hendaknya kita selalu berusaha menghormati, mendoakan, serta
melakukan apa yang telah diajarkan guru selama tidak bertentangan dengan
syariat, serta tidak mencelanya dibelakangnya
Namun di zaman dewasa ini banyak dari kita seperti lupa terhadap
kewajiban kita terhadap guru dan sebagai muslim yang baik, yaitu adalah kita
harus memiliki adab dan prilaku yang sempurna terhadap guru dan yang ada di
sekeliling kita. Makalah ini mengandung poin-poin penting bagaimana menjadi
murid dan manusia yang beradab terhadap guru dan sesama manusia. Maka
selain sebagai upaya untuk mengerjakan tugas, saya berharap bahwa tugas
makalah ini juga dapat dijadikan sebagai pengingat bagi setiap orang muslim
yang membacanya akan pentingnya adab dan prilaku yang baik terhadap yang
ada di sekitar kita.
Demikian makalah ini kami susun dengan harapan dapat memberikan
kontribusi yang posisi bagi ummat manusia, dan tak lupa koreksi ataupun saran
yang bersifat konstruktif dari para pembaca dengan harapan hasil penyusunan
kami lebih baik di kemudian hari.
Terima kasih

Bandung, 11 Desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR…………………………………………………………
……………2
DAFTAR ISI.................................................................................3
BAB I : PENDAHULUAN...........................................................4
1.1 Latar Belakang......................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................5
1.3 Tujuan Makalah....................................................................6
BAB II : PEMBAHASAN............................................................6
2.2 Adab murid kepada guru......................................................6
1. Menjaga Kehormatannya................................................6
2. Menulis dari sang guru...................................................8
3. Bersikap Tawadhu dan Khidmad kepada guru................9
4. Selalu mendoakan guru.................................................11
5. Sopan ketika duduk didepan guru.................................11
6. Sabar terhadap kekurangan guru...................................12
7. Selalu berhusnuzon kepada guru...................................12
8. Mendengarkan guru ketika menjelaskan.......................13
9. Sopan ketika hendak bertanya kepada guru..................14
10. Tidak merasa lebih pintar dari guru.............................14
BAB III : PENUTUP...................................................................15
3.1 Kesimpulan.........................................................................15
3.2. Saran……………………………………………………………………………..15
DAFTAR PUSTAKA..................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Membicarakan dunia pendidikan islam khususnya relasi antara seorang


murid dengan gurunya serta proses pembelajaran dimana merujuk pada
konsep ulama salaf harus memperhatikan landasan inti atau poinnya. Salah
satu karangan ulama salaf yang terkenal dengan karyanya yang fenomenal
yaitu ta’lim muta’alim mengingatkan pada inti kesuksesan dari proses
pembelajan yang kali ini sering diterapkan di dunia pesantren.

Keberhasilan seseorang mendapat anugerah ilmu nafi’' dan muntafa' bih


adalah karena melibatkan tiga faktor yang sangat dominan, yaitu: Pertama,
Fadhol dari Allah, karena memang diajar oleh-Nya (alladzi 'allama bil qolam.
'Allamal insaana maa lam ya'lam). Untuk memperoleh fadhol ini. orang harus
berdo'a atau dido'akan. Do'a itu harus sungguh-sungguh dan disertai
kesungguhan. Tidak boleh dipanjatkan dengan seenaknya dan mengesankan
tidak begitu membutuhkan wushulnya do'a, dengan cara misalnya, disamping
berdo'a orang juga berbuat maksiat, sama sekali tidak berusaha menghindar
dari keharaman yang dilarang. Fa annayustajaabuulah.

Kedua, Belajar sungguh-sungguh, rajin mengaji dan mengkaji, tekun


mengulang dan muthola'ah. Sebuah maqolah yang sering disebut hadits
menegaskan "Man tholaba syaian wajadda wajada wa man qoroal baba wa
lajja walaja". Siapa saja yang mencari sesuatu dan sungguh-sungguh, dia akan
mendapatkannya. Dan barang siapa mengetuk pintu dan dia mengamping,
maka dia masuk ke dalam (rumah). Secara implisit firman Allah yang biasanya
untuk mendalili orang muslim yang tidak perlu ragu terjun dalam perjuangan:
"Walladzina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa", mengisyaratkan hal
yang demikian itu. Ketiga, Menyadong pertularan (atau apa namanya) dari
guru kalau mengacu sebuah pameo "atthob'u saroq" tabiat, watak, karakter itu
mencuri, maka kedekatan seseorang dengan orang lain mengakibatkan
penularan yang niscaya mengacu sunnah Allah, dia yang lemah akan tertulari
yang lebih kuat. Sehingga Murid akan tertulari dari sifat para sang guruyangf
selalu mengajarinya.

Pada kenyataannya, seberapa besar nafi' dan muntafa' bihnya ilmu yang
diperoleh oleh tholib tergantung pada seberapa besar kadar ketiga faktor itu
diupayakan, diayahi dan menghasilkan. Ada satu faktor lagi yang oleh ta’lim
muta’alim di atas diisyaratkan pula sebagai salah satu sebab seseorang berhasil
mendapatkan ilmu dan yang belakangan ini dilakukan oleh orang tua tholib.
Bagi orang tua tholib yang menyikapi secara santun kepada ahli ilmi, kepada
siapa tholib "ngangsu ilmu", anaknya atau cucunya niscaya akan menjadi orang
alim. Memang tidak ada dalil yang mengukuhkan analisis tersebut. Namun
secara empiris bapak saya (almaghfurlah KH. Bisri Musthofa) merasakan itu.
Ilmu yang dimaksud adalah ilmu Allah yang memperolehnya dianjurkan (untuk
tidak mengatakan diharuskan) melalui sanad (sandaran) yang jelas. Baik sya
fawiyyan maupun ijaziyyan. Supaya manfa'at ilmu itu secara ritualistik
mendapatkan legalisasinya. Karena manfa'at adalah asas yang mendasari
kesungguhan tholibil 'ilmi.

Tholabu ilmillah, mencari ilmu Allah jelas wajib hukumnya. Mencari ilmu al-hal
wajib (fardhu) 'ain dan selebihnya wajib (fardhu) kifayah. Dengan demikian
mencari ilmu, tholabul ilmi adalah amal ibadah. Dari pendirian keibadahan
tholabil ilmi inilah merupakan pendekatankitab"Ta'limul_Muta'alim".

Dalam makalah kali ini, secara spesifik akan menjelaskan relasi dan adab Murid
kepada Kiai atau guru dalam konteks pemikiran salaf yang masih mengakar
dalam dunia pendidikan pesantren serta jelas akan hasil secara kualitas yang
sangat baik untuk perilaku para murid.

1.2. Rumusan Masalah

Sebutkan dan jelaskan adab-adab seorang murid terhadap guru!


1. Menjaga kehormatannya
2. Menulis dari sang Guru
3. Bersikap Tawadhu terhadap Guru, dan khidmat terhadap Guru.
4. Selalu menyertai Guru
5. Sopan ketika duduk di hadapan Guru
6. Sabar atas kelakuanyaa dan kekurangannya.
7. Selalu Berhusnuzon terhadap guru
8. Mendengarkan dengan baik meskipun sudah pernah mendengar ilmu yang
disampaikannya.
9. Sopan dalam bertaya dan tidak memberatkan Seorang Guru
10. Tidak merasa lebih pintar dari guru
1.3. Tujuan

1. Mengetahui adab-adab terhadap guru.


2. Mengetahui hal-hal yang menyenangkan hati guru.
3. Mengetahui hal-hal hal yang bisa mendatangkan kemarahan seorang guru.
4. Menjadikan diri lebih hormat kepada guru.
5. Mengetahui keutamaan menghormati guru

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. ADAB MURID TERHADAP GURU

Hormat dan patuh pada guru adalah sifat terpuji yang harus ditanamkan
pada setiap siswa. Seorang guru mengemban tugas yang mulia, yaitu mendidik
para siswa untuk menjadi lebih baik, jadi kita wajib menghormati dan patuh
kepada mereka. Guru merupakan orang yang mendidik dan mengajari berbagai
ilmu pengetahuan. Sehingga kita bisa menjadi orang yang mengerti dan
dewasa. Tidak melihat tingginya pangkat seseorang, mereka tetap berutang
budi kepada guru yang telah mendidiknya. Islam mengajarkan untuk berbakti
kepada guru. Guru mengajar manusia untuk beriman, bertakwa, memahami
baik dan buruk serta bertanggung jawab di samping mengajarkan ilmu
pengetahuan.

Guru adalah pewaris nabi, karena lewat jasa guru, wahyu dan ilmu dari
nabi diteruskan kepada manusia. Imam Al-Ghazali mengistimewakan guru
dengan sifat kesucian, kehormatan, dan kedudukan guru setelah para nabi.
Beliau juga menegaskan bahwa seorang yang berilmu dan kemudian bekerja
dengan ilmunya itu, maka dialah yang dinamakan besar di bawah kolong langit
ini ibarat matahari yang menyinari orang lain dan mencahayai dirinya sendiri,
ibarat minyak kesturi yang baunya dinikmati orang lain dan ia sendiri pun
harum.
Adapun adab-adab Terhadap guru diantaranya adalah:

1. Menjaga kehormatannya
Dalam tradisi keilmuan Islam, penghormatan (ta’dzīm) terhadap
ustadz/guru benar-benar telah dipraktikkan. Dan ini menjadi kunci kejayaan
peradaban Islam. Hal ini bisa kita lihat dari contoh-contoh yang telah
ditunjukkan oleh orang-orang mulia. Misalnya, Sahabat Ali bin Abi Thalib, yang
oleh Rasulullah SAW disebutkan sebagai “bab al ‘ilmi” atau pintu ilmu. Beliau
mengatakan:

‫ إن شاء باع وإن شاء استرق‬،‫أنا عبد من علمني حرفا واحدا‬

“Saya menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf.
Terserah padanya, saya mau dijual, di merdekakan ataupun tetap menjadi
hambanya.”

Demikian pula dengan orang tua yang seharusnya memberikan penghormatan


tinggi kepada para guru anak-anaknya. Di masa keemasan Islam, para orang
tua sangat antusias menyekolahkan anak-anak mereka kepada para guru
(ulama’). Mereka memberikan dukungan penuh disertai kepercayaan dan
penghormatan tinggi kepada guru anak-anak mereka.

Suatu ketika Sulaiman bin Abdul Malik bersama pengawal dan anak-anaknya
mendatangi Atha’ bin Abi Rabah untuk bertanya dan belajar sesuatu yang
belum diketahui jawabannya. Walau ulama dan guru ini fisiknya tak menarik
dan miskin, tapi dia menjadi tinggi derajatnya karena ilmu yang dimiliki dan
diajarkannya. Di hadapan anak-anaknya ia memberi nasihat, “Wahai anak-
anakku! bertawalah kepada Allah, dalamilah ilmu agama, demi Allah belum
pernah aku mengalami posisi serendah ini, melainkan di hadapan hamba ini
(Atha’) (Al-Qarny, Rūh wa Rayhān: 296).

Penghormatan terhadap seorang guru juga telah dicontohkan oleh Harun Ar


Rasyid. Khalifah yang dikenal sebagai pemimpin yang sangat perhatian
terhadap pendidikan anaknya. Dikisahkan, suatu saat beliau mengirim salah
satu putranya kepada Imam al-Ashmā’ī, salah satu imam dalam ilmu nahwu
untuk belajar ilmu dan adab. Ketika mengunjungi putranya, Khalifah
menyaksikan al-Ashmā’ī sedang berwudhu dan membasuh kaki beliau
sedangkan putranya menuangkan air ke kaki sang guru. Melihat hal itu,
Khalifah pun tidak menerima dan mengatakan kepada Imam al-
Ashmā’ī,”Sesungguhnya aku mengirim putraku pedamu agar engkau
mengajarkan adab kepadanya. Kenapa engkau tidak memerintahkannya untuk
menuangkan air dengan salah satu tangannya sedangkan tangan lainnya
membersihkan kakimu?.” Ini menunjukkan betapa terhormatnya guru atau
orang yang berilmu. Sampai-sampai sekelas khalifah atau kepala negara masa
itu harus mendatanginya untuk mendapatkan ilmu serta menasihati anak-
anaknya untuk belajar dan menghormati guru. Sebagai orangtua, Harun Ar-
Rasyid mempercayakan pendidikan anaknya kepada guru. Biaya yang
dikeluarkan oleh beliau juga tak sedikit untuk memuliakan guru. Terlebih, guru
juga diberi wewenang untuk mendidik anaknya sebagaimana anak-anak lain,
tanpa harus sungkan karena mendidik anak khalifah.

Contoh lain penghormatan kepada guru adalah apa yang dilakukan


Sultan Muhammad Al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel. Sang Sultan sangat
mencitai dan menghormati gurunya Syeikh Aaq Syamsuddin dengan kecintaan
yang tinggi. Sang guru mempunyai kedudukan yang khusus dan istimewa di
hati Sultan.

As-Shalābī (2006: 117) menyebutkan dalam kitabnya, Fātih al-


Qasthinthīniyah, al-Sulthān Muhammad al-Fātih, suatu ketika, gurunya Syeikh
Āq Syamsuddin masuk ke istana. Saat itu Muhammad al-Fatih sedang
bermusyawarah dengan para pembesarnya. Melihat kedatangan gurunya, al-
Fatih bangun dan menyambut gurunya dengan penuh hormat. Kemudian
beliau berkata kepada perdana menteri Utsmaniyah, Mahmud Pasya,
“perasaan hormatku kepada Syeikh Āq Syamsuddin sangat mendalam. Apabila
orang-orang lain berada di sisiku tangan mereka akan bergetar. Sebaliknya
apabila aku melihatnya (Syeikh Āq Syamsuddin) tangan aku yang bergetar.

Syeikh Bakr Abu Zaid Hafidzahullah memberikan nasehat kepada para


penuntut ilmu dalam kitabnya, Hilyah Thālib al-‘Ilmi, pada dasarnya mengambil
ilmu pertama kali bukanlah dari buku, tetapi harus dari guru yang engkau
percayai memiliki kunci-kunci pembuka ilmu, agar engkau terbebas dari
bahaya dan ketergelinciran. Oleh karena itu engkau harus menjaga
kehormatan gurumu, karena itu adalah tanda keberhasilan, kemenangan,
pencapaian ilmu, dan kesuksesan. Hendaknya gurumu menjadi sosok yang
engkau hormati, engkau muliakan, engkau hargai, dan engkau perlakukan
dengan santun.

2. Menulis dari sang guru


Dalam menuntut ilmu, seorang santri disyariatkannya mencatat atau
menulis ilmu yang disampaikan oleh seorang guru. Hal ini perlu kita tekankan.
Karena jangan sampai kita datang ke majelis ilmu dan membiarkan ilmu
tersebut menguap dari ingatan karena kita tidak mencatatnya. Kita akan
berikan dalil bahwa ini bukan hanya sekedar adab yang ditekankan oleh para
ulama. Namun adab ini berdasarkan Al-Qur’anul Karim dan Sunnah Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Adapun dari Al-Qur’anul Karim, maka sebagian
para ulama meberikan dalil yang sangat mudah dan saya rasa kita semua
sudah menghafalnya. Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

٤﴿ ‫﴾الَّ ِذي َعلَّ َم بِ ْالقَلَ ِم‬

“Yang telah mengajarkan manusia dengan qalam.” (QS. Al-‘Alaq[96]: 4)

Al-Imam Al-Qurthubi Rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini dengan


perkataannya:

‫يعني الخط والكتابة أي علم اإلنسان الخط بالقلم‬

“Maksud dari ayat ini adalah Allah mengajarkan manusia tulisan dengan
menggunakan pena.

3. Memuliakan Guru dengan cara Bersikap Tawadhu, Bersungguh- subgguh


dan Berkhidmat kepada Guru
Dalam menuntut ilmu, salah satu etika yang harus dimiliki seorang murid
adalah bersikap tawadhu terhadap guru. Di hadapan guru, murid bagaikan
seorang pasien yang tidak tahu apa-apa di hadapan dokter yang tahu betul
penyakitnya dan bagaimana cara mengobatinya. Imam Al-Ghazali:
‫يل‬
ٍ ‫ص‬ ِ ‫ بَلْ ي ُْلقِى ِإلَ ْي ِه ِز َما َم َأ ْم ِر ِه بِ ْال ُكلِّيَ ِة فِي ُكلِّ تَ ْف‬،‫ َأ ْن اَل يَتَ َكب ََّر َعلَى ْال ِع ْل ِم َواَل يَتََأ َّم َر َعلَى ْال ُم َعلِ ِم‬:ً‫اَ ْل َو ِظيفَةُ الثَّالِثَة‬
ْ َ‫اض َع لِ ُم َعلِّ ِم ِه َوي‬
َ ‫ َويَ ْنبَ ِغي| َأ ْن يَت ََو‬.‫ق‬ ِ ‫ق ْال َحا ِذ‬ِ ِ‫ب ْال ُم ْشف‬ ِ ‫يض ْال َجا ِه ِل لِلطَّبِي‬
َ ُ ‫طل‬
‫ب‬ ِ ‫يحتِ ِه ِإ ْذعَانَ ْال َم ِر‬ َ ‫ص‬ ِ َ‫َويَ ْذ َعنُ لِن‬
‫اب َوال َّش َرفَ بِ ِخ ْد َمتِ ِه‬ َ ‫الثَّ َو‬
Artinya: “Poin kedua, murid tidak boleh menyombongkan ilmunya dan
menentang gurunya. Tetapi harus tunduk sepenuhnya kepada guru dan
mematuhi betul nasihatnya, seperti kepatuhan orang sakit yang tidak tahu cara
mengobati penyakitnya kepada seorang dokter ahli yang berpengalaman.
Seorang pelajar harus tawadhu terhadap gurunya, serta mengharap pahala
dan kemuliaan dengan berkhidmah terhadapnya.” (Al-Ghazali, Ihyâ’
‘Ulûmiddîn, juz I, halalam 50).

Dari penjelasan Al-Ghazali di atas, kita menangkap analogi yang sangat tepat.
Posisi murid terhadap guru bagaikan pasien yang tidak tahu cara mengobati
penyakitnya di hadapan dokter yang ahli dan berpengalaman. Orang yang tidak
tahu apa-apa tentang penyakit yang dideritanya, pasti akan menyerahkan diri
secara total kepada dokter untuk diobati. Bahkan seharusnya ketundukan
murid kepada seorang guru melebihi tunduknya pasien kepada dokter. Jika
dokter mengobati penyakit fisik, maka seorang guru mengobati kebodohan.
Khidmah dimaksud terdapat tiga hal. Di antaranya:

• Khidmah pertama adalah khidmah bi nafs: khidmah dengan fisik atau tenaga.
Khidmah ini bisa dilakukan dengan hal-hal kecil seperti merapikan sandal guru
agar guru mudah memakai sandalnya kembali, mencuci kendaraan guru, atau
membantu pekerjaan rumah guru. Para santri di pesantren-pesantren
salafiyyah dapat menjadi contoh dalam khidmah jenis ini.

Seandainya seluruh wali dari timur dan barat ingin memperbaiki keadaan
seorang murid yang tak menjaga akhlak pada gurunya, niscaya tidak akan
mampu kecuali gurunya telah ridha kembali. Kesuksesan murid (peserta didik)
dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat, tidak hanya ditentukan oleh
lembaga pendidikan, metode mengajar guru, atau sarana prasarana fisik dalam
belajar, tapi yang paling dominan justru ditentukan oleh akhlak murid (peserta
didik) kepada guru (pendidik). Al Imam an Nawawi ketika hendak belajar
kepada gurunya, beliau selalu bersedekah di perjalanan dan berdoa, " Ya Allah,
tutuplah dariku dari kekurangan guruku, hingga mataku tidak melihat
kekurangannya dan tidak seorangpun yg menyampaikan kekurangan guruku
kepadaku ". (Lawaqih al Anwaar al Qudsiyyah : 155)

Al Imam an Nawawi juga pernah mengatakan dalam kitab At Tahdzibnya :

‫عقوق الوالدين تمحوه التوبة وعقوق االستاذين ال يمحوه شيء البتة‬

"Durhaka kepada orang tua dosanya bisa hapus oleh taubat, tapi durhaka
kepada ustadzmu tidak ada satupun yang dapat menghapusnya ".

• Khidmah kedua adalah khidmah bil maal: khidmah dengan harta.


Khidmah dengan harta mungkin belum dapat dilakukan oleh murid sebab
belum berpenghasilan. Khidmah dengan harta ini dapat dilakukan kelak jika
murid memiliki penghasilan sendiri. Berkhidmah dengan harta misalnya
dengan menyumbangkan harta untuk pembangunan pesantren.

• Khidmah ketiga adalah khidmah bi du’a: khidmah dengan cara mendoakan


guru.
Ya, mendoakan guru juga bagian dari khidmah. Dalam kitab Al-Bayan fi
Madzhabi al-Imam asy-Syafii karya Abi al-Husain Yahya Ibn Abi al-Khair Al-
Yamani Al-Syafi disebutkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal, murid Imam
Syafi’i. Imam Ahmad berkata, “Aku mendoakan Imam asy-Syafi’i dalam shalat
selama empat puluh tahun. Aku berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang
tuaku dan Muhammad bin Idris asy-Syafi’i”. Semoga Allah memudahkan kita
berkhidmah kepada guru-guru kita.

4. Selalu menyertai dan mendoakan Guru


Balaslah kebaikan dengan kebaikan pula. Salah satu hal yang dapat kita
lakukan untuk membalas kebaikan guru adalah dengan mendoakannya. Jika
bukan karena ilmu yang disampaikan oleh guru, mungkin kita masih dalam
keadaan bodoh dan tidak tahu banyak hal. Rasulullah bersabda: “Apabila ada
yang berbuat baik kepadamu maka balaslah dengan balasan yang setimpal.
Apabila kamu tidak bisa membalasnya, maka doakanlah dia hingga engkau
memandang telah mencukupi untuk membalas dengan balasan yang
setimpal.” (HR Bukhari)

5. Sopan ketika duduk di hadapan Guru


Apabila murid duduk di hadapan guru, maka sebaiknya ia duduk dengan
posisi yang baik, yakni duduk bersimpuh di atas kedua lututnya (seperti duduk
pada tahiyat awal atau tahiyat akhir, dengan rasa rendah hati, tenang dan
khusyuk). Di saat yang sama, murid juga tidak diperkenankan menengok
kanan-kiri (dengan kesan tidak memperhatikan), kecuali ada alasan yang jelas.

Ibnul Jamaah mengatakan, “Seorang penuntut ilmu harus duduk rapi, tenang,
tawadhu’, mata tertuju kepada guru, tidak membetangkan kaki, tidak
bersandar, tidak pula bersandar dengan tangannya, tidak tertawa dengan
keras, tidak duduk di tempat yang lebih tinggi juga tidak membelakangi
gurunya”.

Berbicara dengan seseorang yang telah mengajarkan kebaikan haruslah lebih


baik dibandingkan jika berbicara kepada orang lain. Imam Abu Hanifah pun jika
berada depan Imam Malik ia layaknya seorang anak di hadapan ayahnya. Para
Sahabat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, muridnya Rasulullah, tidak pernah kita
dapati mereka beradab buruk kepada gurunya tersebut. Mereka tidak pernah
memotong ucapannya atau mengeraskan suara di hadapannya.

6. Sabar atas kelakuanyaa dan kekurangannya.


Guru juga memiliki karakter yang berbeda-beda. Ada yang dengan lemah
lembut, juga ada guru yang memiliki cara mengajar yang keras. Ketika sudah
berniat untuk menuntut ilmu, maka sudah seharusnya kita bersabar dalam
berjuang di dalamnya, termasuk bersabar terhadap guru kita. Jangan malah
marah atau malas karena tidak ingin bertemu dengan guru yang tidak sesuai
dengan yang kita harapkan. Al Imam As Syafi Rahimahullah mengatakan,
“Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru Sesungguhnya gagalnya
mempelajari ilmu karena memusuhinya” Kewajiban menuntut ilmu tidak akan
berhenti sampai kita mati. Maka pahamilah bagaimana adab yang seharusnya
dilakukan terhadap guru. Agar ilmu yang kita peroleh menjadi berkah dan
bermanfaat. (SH/RI)

7. Selalu Berhusnuzon terhadap guru


Dalam konteks relasi guru-murid, pernyataan ini mengindikasikan bahwa
seorang murid yang belum memiliki iktikad bahwa gurunya merupakan sosok
alim dan mulia, ia berpotensi tidak mampu mengambil manfaat pelajaran
darinya. Hal ini mengiyakan salah satu kalam hikmah yang akrab terdengar, al-
madad ‘alâ qadril masyhad, sebuah pertolongan dari orang mulia tergantung
dengan cara pandang kita kepadanya. Alhasil, semuanya bermuara pada
husnudhan atau prasangka baik murid kepada gurunya. Karena pada dasarnya
iktikad baik yang kuat tidak akan muncul tanpa didahului oleh prasangka yang
baik sebelumnya.

Dalam kitab al-Fawâ-id al-Mukhtârah dikisahkan, di salah satu pemukiman ada


kuburan yang diziarahi oleh penduduknya. Mereka beriktikad kuburan itu
merupakan makam orang mulia. Dengan iktikad tersebut, mereka
mendatanginya dalam rangka bertawassul untuk hajat dan harapan mereka.
Dan berkat iktikad baik, Allah mengabulkan hajat mereka. Namun tak disangka,
di kemudian hari ternyata diketahui bahwa yang berada di kuburan tersebut
sebenarnya bukanlah wali atau sosok mulia, melainkan bangkai keledai. Meski
demikian, berkat prasangka dan iktikad baik, orang-orang tersebut
memperoleh hajatnya. Di akhir kisah al-Habib Zain bin Ibrahim menuliskan:

‫اسطَ ِة ُح ْس ِن ظَنِّ ِه ْم نَالُوْ ا َما يَْأ ُملُوْ نَهُ َونَفَ َعهُ ْم ااْل ِ ْعتِقَا ُد‬
ِ ‫بِ َو‬

Artinya: “Berkat prasangka baik mereka mendapatkan apa yang mereka


harapkan dan iktikad yang kuat memberikan mereka manfaat.” Al-Habib Zain
juga mengutip pernyataan:

‫ْن الظَّنِّ اَل يَ ِخيْبُ َوِإ ْن َأ ْخطََأ‬


ِ ‫صا ِحبُ ُحس‬
َ

Artinya: “Seseorang yang berprasangka baik tidak akan rugi walau


prasangkanya keliru.” (Zain bin Ibrahim bin Smith, al-Fawâ-id al-Mukhtarâh li
Sâliki Tharîqil Âkhirah, [Ma’had Dârul Lughah wad Da’wah, 2008], halaman
456).

Dengan demikian bisa dipahami, bahwa prasangka dan iktikad baik seorang
murid kepada guru merupakan hal penting yang tak bisa dipinggirkan, bahkan
akan mempermudah dirinya memahami pelajaran. Sebaliknya, kenihilan
iktikad dan prasangka baik bisa menjadi penghalang seorang murid untuk
memperoleh manfaat pelajaran dari gurunya.

8. Mendengarkan dengan baik meskipun sudah pernah mendengar ilmu yang


disampaikannya.
Wajib bagi seorang murid, ketika gurunya sedang menyampaikan sebuah
ilmu, menjelaskan sebuah pelajaran, atau membahas sebuah materi, untuk
mendengarkan secara antusias kalam gurunya tersebut, sembari menunjukkan
perhatian yang besar atas apa yang diterangkan oleh gurunya, walaupun si
murid bisa jadi sudah mengetahui tentang ilmu tersebut.

Dari Mu’adz ibn Sa’id, beliau berkata: Kami sedang berada di majelis ‘Atha’ ibn
Abi Rabah, di mana seseorang meriwayatkan sebuah hadits lalu ada orang lain
yang menyanggahnya saat dia sedang membawakan hadits tersebut. Maka
‘Atha’ berkata, “Subhanallah. Akhlak apa ini? Mimpi apa ini? Sesungguhnya
aku mendengar hadits dari seseorang, sementara aku lebih berilmu dari dia,
maka aku tunjukkan kepadanya bahwa aku tidak tahu sama sekali tentang
hadits tersebut.”

Dari Khalid ibn Shafwan, beliau berkata, “Jika engkau melihat seseorang
sedang meriwayatkan sebuah hadits yang telah engkau dengar, atau
mengabarkan kabar yang telah engkau tahu, maka jangan ikut meriwayatkan
hadits tersebut karena ingin memberi tahu kepada orang-orang yang hadir
bahwa engkau telah mengetahuinya. Sesungguhnya itu adalah sikap
meremehkan dan adab yang buruk.”

Dari nukilan di atas, kita simpulkan bahwa merupakan adab yang buruk ketika
kita menunjukkan kepada orang lain bahwa kita sudah tahu ilmu yang sedang
dia bicarakan. Apalagi jika dia adalah guru kita, yang sedang mengajarkan ilmu,
membahas sebuah hukum, menyebutkan sebuah hadits, atau mengupas faidah
dari perkataan ulama’, dan kita sedang duduk di majelis atau kajian beliau.
Tidak boleh bagi kita untuk kemudian menunjukkan sikap bahwa kita sudah
paham apa yang diterangkan oleh guru kita tersebut, walaupun kita
sebenarnya memang sudah paham dan bisa jadi hafal seluruh ilmu yang beliau
bawakan. Wajib bagi kita untuk mendengarkan beliau secara antusias, seolah
kita baru mendapatkan faidah itu pertama kali, dalam rangka menghormati
guru kita dengan cara memiliki sikap tawadhu’ di hadapannya dan memberikan
kebahagiaan di dalam hatinya.

9. Sopan dalam bertaya dan tidak memberatkan Seorang Guru


Di dalam majlis ilmu, lakukan segala sesuatunya dengan baik. Misalkan ingin
bertanya, maka memohonlah ijin dengan sopan dan tidak menyelanya ketika
berbicara. Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahullah di dalam kitabnya Hilyah Tolibil
Ilm mengatakan, “Pakailah adab yang terbaik pada saat kau duduk bersama
syaikhmu, pakailah cara yang baik dalam bertanya dan mendengarkannya.”
Dan hendaknya seorang penuntut ilmu tidak banyak mengajukan pertanyaan
kepada guru ketika guru sedang lelah. Dalam keadaan guru sedang lelah,
seorang murid hendaknya tidak mengajukan banyak pertanyaan yang
membutuhkan jawaban pelik, misalnya. Dalam hal ini dikhawatirkan guru
kurang berkenan menjawabnya sebab memang sedang lelah sehingga
membutuhkan istirahat untuk memulihkan stamina.

10. Tidak merasa lebih pintar dari guru


Janganlah seorang Santri merasa lebih pintar dan merasa dirinya lebih tinggi
dari seorang guru, karena hal tersebut akan menghilangkan keberkahan yang
mengalir dari seorang guru kepada seorang santri tersebut. Karena rendah diri
di hadapan guru termasuk salah satu adab dalam menuntut ilmu . Rendah
dirilah di hadapan guru, sebab orang yang sombong biasanya akan sulit
menerima apa yang disampaikan oleh orang lain. Ibnu Jama’ah rahimahullah
berkata: “Hendaklah seorang murid mengetahui bahwa rendah dirinya kepada
seorang guru adalah kemuliaan, dan tunduknya adalah kebanggaan.”
(Tadzkirah Sami’ hal. 88)
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Guru merupakan orang yang mendidik dan mengajari berbagai ilmu
pengetahuan. Sehingga kita bisa menjadi orang yang mengerti dan dewasa.
Tidak melihat tingginya pangkat seseorang, mereka tetap berutang budi
kepada guru yang telah mendidiknya. Islam mengajarkan untuk berbakti
kepada guru. Guru mengajar manusia untuk beriman, bertakwa, memahami
baik dan buruk serta bertanggung jawab di samping mengajarkan ilmu
pengetahuan.

Guru adalah pewaris nabi, karena lewat jasa guru, wahyu dan ilmu dari nabi
diteruskan kepada manusia. Imam Al-Ghazali mengistimewakan guru dengan
sifat kesucian, kehormatan, dan kedudukan guru setelah para nabi. Beliau juga
menegaskan bahwa seorang yang berilmu dan kemudian bekerja dengan
ilmunya itu, maka dialah yang dinamakan besar di bawah kolong langit ini
ibarat matahari yang menyinari orang lain dan mencahayai dirinya sendiri,
ibarat minyak kesturi yang baunya dinikmati orang lain dan ia sendiri pun
harum. Adapun adab-adab adab Terhadap guru diantaranya adalah:

1. Menjaga kehormatannya
2. Menulis dari sang Guru
3. Bersikap Tawadhu terhadap Guru, dan khidmat terhadap Guru.
4. Selalu menyertai Guru
5. Sopan ketika duduk di hadapan Guru
6. Sabar atas kelakuanyaa dan kekurangannya.
7. Selalu Berhusnuzon terhadap guru
8. Mendengarkan dengan baik meskipun sudah pernah mendengar ilmu yang
disampaikannya.
9. Sopan dalam bertaya dan tidak memberatkan Seorang Guru
10. Tidak merasa lebih pintar dari guru

3.2. SARAN

Penulis mengharapkan setelah membaca makalah ini pembaca dapat


mengerti apa saja adab seorang murid kepada guru sehingga dapat
mengimplementasikannya dalam menuntut ilmu, serta penulis juga
mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Syaikh Az Zarnuji. Ta’lim Muta’alim Adab seorang penuntut ilmu. Solo: Aqwam,
2019

Ismail, Syekh Ibrahim Bin, Syarak Ta’lim Muta’alim., (Indonesia; CV Karya Insan
t th) 2008

Al- Miskawih, Abu Ali Ahmad., Menuju Kesempurnaan Akhlak, ( Bandung:


mizan 1994)

Asy‘ary, Hsyim Syeikh., AdabuL ‘alimi Wal Muta’alim. (Jombang; Malitabah


turots alislam, 1415)

Anda mungkin juga menyukai