DISUSN OLEH:
1. NANDA EGA PUTRA
2. ABDU GHOFFUR
3. N ILHAM Z.H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………
……………2
DAFTAR ISI.................................................................................3
BAB I : PENDAHULUAN...........................................................4
1.1 Latar Belakang......................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................5
1.3 Tujuan Makalah....................................................................6
BAB II : PEMBAHASAN............................................................6
2.2 Adab murid kepada guru......................................................6
1. Menjaga Kehormatannya................................................6
2. Menulis dari sang guru...................................................8
3. Bersikap Tawadhu dan Khidmad kepada guru................9
4. Selalu mendoakan guru.................................................11
5. Sopan ketika duduk didepan guru.................................11
6. Sabar terhadap kekurangan guru...................................12
7. Selalu berhusnuzon kepada guru...................................12
8. Mendengarkan guru ketika menjelaskan.......................13
9. Sopan ketika hendak bertanya kepada guru..................14
10. Tidak merasa lebih pintar dari guru.............................14
BAB III : PENUTUP...................................................................15
3.1 Kesimpulan.........................................................................15
3.2. Saran……………………………………………………………………………..15
DAFTAR PUSTAKA..................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada kenyataannya, seberapa besar nafi' dan muntafa' bihnya ilmu yang
diperoleh oleh tholib tergantung pada seberapa besar kadar ketiga faktor itu
diupayakan, diayahi dan menghasilkan. Ada satu faktor lagi yang oleh ta’lim
muta’alim di atas diisyaratkan pula sebagai salah satu sebab seseorang berhasil
mendapatkan ilmu dan yang belakangan ini dilakukan oleh orang tua tholib.
Bagi orang tua tholib yang menyikapi secara santun kepada ahli ilmi, kepada
siapa tholib "ngangsu ilmu", anaknya atau cucunya niscaya akan menjadi orang
alim. Memang tidak ada dalil yang mengukuhkan analisis tersebut. Namun
secara empiris bapak saya (almaghfurlah KH. Bisri Musthofa) merasakan itu.
Ilmu yang dimaksud adalah ilmu Allah yang memperolehnya dianjurkan (untuk
tidak mengatakan diharuskan) melalui sanad (sandaran) yang jelas. Baik sya
fawiyyan maupun ijaziyyan. Supaya manfa'at ilmu itu secara ritualistik
mendapatkan legalisasinya. Karena manfa'at adalah asas yang mendasari
kesungguhan tholibil 'ilmi.
Tholabu ilmillah, mencari ilmu Allah jelas wajib hukumnya. Mencari ilmu al-hal
wajib (fardhu) 'ain dan selebihnya wajib (fardhu) kifayah. Dengan demikian
mencari ilmu, tholabul ilmi adalah amal ibadah. Dari pendirian keibadahan
tholabil ilmi inilah merupakan pendekatankitab"Ta'limul_Muta'alim".
Dalam makalah kali ini, secara spesifik akan menjelaskan relasi dan adab Murid
kepada Kiai atau guru dalam konteks pemikiran salaf yang masih mengakar
dalam dunia pendidikan pesantren serta jelas akan hasil secara kualitas yang
sangat baik untuk perilaku para murid.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. ADAB MURID TERHADAP GURU
Hormat dan patuh pada guru adalah sifat terpuji yang harus ditanamkan
pada setiap siswa. Seorang guru mengemban tugas yang mulia, yaitu mendidik
para siswa untuk menjadi lebih baik, jadi kita wajib menghormati dan patuh
kepada mereka. Guru merupakan orang yang mendidik dan mengajari berbagai
ilmu pengetahuan. Sehingga kita bisa menjadi orang yang mengerti dan
dewasa. Tidak melihat tingginya pangkat seseorang, mereka tetap berutang
budi kepada guru yang telah mendidiknya. Islam mengajarkan untuk berbakti
kepada guru. Guru mengajar manusia untuk beriman, bertakwa, memahami
baik dan buruk serta bertanggung jawab di samping mengajarkan ilmu
pengetahuan.
Guru adalah pewaris nabi, karena lewat jasa guru, wahyu dan ilmu dari
nabi diteruskan kepada manusia. Imam Al-Ghazali mengistimewakan guru
dengan sifat kesucian, kehormatan, dan kedudukan guru setelah para nabi.
Beliau juga menegaskan bahwa seorang yang berilmu dan kemudian bekerja
dengan ilmunya itu, maka dialah yang dinamakan besar di bawah kolong langit
ini ibarat matahari yang menyinari orang lain dan mencahayai dirinya sendiri,
ibarat minyak kesturi yang baunya dinikmati orang lain dan ia sendiri pun
harum.
Adapun adab-adab Terhadap guru diantaranya adalah:
1. Menjaga kehormatannya
Dalam tradisi keilmuan Islam, penghormatan (ta’dzīm) terhadap
ustadz/guru benar-benar telah dipraktikkan. Dan ini menjadi kunci kejayaan
peradaban Islam. Hal ini bisa kita lihat dari contoh-contoh yang telah
ditunjukkan oleh orang-orang mulia. Misalnya, Sahabat Ali bin Abi Thalib, yang
oleh Rasulullah SAW disebutkan sebagai “bab al ‘ilmi” atau pintu ilmu. Beliau
mengatakan:
“Saya menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf.
Terserah padanya, saya mau dijual, di merdekakan ataupun tetap menjadi
hambanya.”
Suatu ketika Sulaiman bin Abdul Malik bersama pengawal dan anak-anaknya
mendatangi Atha’ bin Abi Rabah untuk bertanya dan belajar sesuatu yang
belum diketahui jawabannya. Walau ulama dan guru ini fisiknya tak menarik
dan miskin, tapi dia menjadi tinggi derajatnya karena ilmu yang dimiliki dan
diajarkannya. Di hadapan anak-anaknya ia memberi nasihat, “Wahai anak-
anakku! bertawalah kepada Allah, dalamilah ilmu agama, demi Allah belum
pernah aku mengalami posisi serendah ini, melainkan di hadapan hamba ini
(Atha’) (Al-Qarny, Rūh wa Rayhān: 296).
“Maksud dari ayat ini adalah Allah mengajarkan manusia tulisan dengan
menggunakan pena.
Dari penjelasan Al-Ghazali di atas, kita menangkap analogi yang sangat tepat.
Posisi murid terhadap guru bagaikan pasien yang tidak tahu cara mengobati
penyakitnya di hadapan dokter yang ahli dan berpengalaman. Orang yang tidak
tahu apa-apa tentang penyakit yang dideritanya, pasti akan menyerahkan diri
secara total kepada dokter untuk diobati. Bahkan seharusnya ketundukan
murid kepada seorang guru melebihi tunduknya pasien kepada dokter. Jika
dokter mengobati penyakit fisik, maka seorang guru mengobati kebodohan.
Khidmah dimaksud terdapat tiga hal. Di antaranya:
• Khidmah pertama adalah khidmah bi nafs: khidmah dengan fisik atau tenaga.
Khidmah ini bisa dilakukan dengan hal-hal kecil seperti merapikan sandal guru
agar guru mudah memakai sandalnya kembali, mencuci kendaraan guru, atau
membantu pekerjaan rumah guru. Para santri di pesantren-pesantren
salafiyyah dapat menjadi contoh dalam khidmah jenis ini.
Seandainya seluruh wali dari timur dan barat ingin memperbaiki keadaan
seorang murid yang tak menjaga akhlak pada gurunya, niscaya tidak akan
mampu kecuali gurunya telah ridha kembali. Kesuksesan murid (peserta didik)
dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat, tidak hanya ditentukan oleh
lembaga pendidikan, metode mengajar guru, atau sarana prasarana fisik dalam
belajar, tapi yang paling dominan justru ditentukan oleh akhlak murid (peserta
didik) kepada guru (pendidik). Al Imam an Nawawi ketika hendak belajar
kepada gurunya, beliau selalu bersedekah di perjalanan dan berdoa, " Ya Allah,
tutuplah dariku dari kekurangan guruku, hingga mataku tidak melihat
kekurangannya dan tidak seorangpun yg menyampaikan kekurangan guruku
kepadaku ". (Lawaqih al Anwaar al Qudsiyyah : 155)
"Durhaka kepada orang tua dosanya bisa hapus oleh taubat, tapi durhaka
kepada ustadzmu tidak ada satupun yang dapat menghapusnya ".
Ibnul Jamaah mengatakan, “Seorang penuntut ilmu harus duduk rapi, tenang,
tawadhu’, mata tertuju kepada guru, tidak membetangkan kaki, tidak
bersandar, tidak pula bersandar dengan tangannya, tidak tertawa dengan
keras, tidak duduk di tempat yang lebih tinggi juga tidak membelakangi
gurunya”.
اسطَ ِة ُح ْس ِن ظَنِّ ِه ْم نَالُوْ ا َما يَْأ ُملُوْ نَهُ َونَفَ َعهُ ْم ااْل ِ ْعتِقَا ُد
ِ بِ َو
Dengan demikian bisa dipahami, bahwa prasangka dan iktikad baik seorang
murid kepada guru merupakan hal penting yang tak bisa dipinggirkan, bahkan
akan mempermudah dirinya memahami pelajaran. Sebaliknya, kenihilan
iktikad dan prasangka baik bisa menjadi penghalang seorang murid untuk
memperoleh manfaat pelajaran dari gurunya.
Dari Mu’adz ibn Sa’id, beliau berkata: Kami sedang berada di majelis ‘Atha’ ibn
Abi Rabah, di mana seseorang meriwayatkan sebuah hadits lalu ada orang lain
yang menyanggahnya saat dia sedang membawakan hadits tersebut. Maka
‘Atha’ berkata, “Subhanallah. Akhlak apa ini? Mimpi apa ini? Sesungguhnya
aku mendengar hadits dari seseorang, sementara aku lebih berilmu dari dia,
maka aku tunjukkan kepadanya bahwa aku tidak tahu sama sekali tentang
hadits tersebut.”
Dari Khalid ibn Shafwan, beliau berkata, “Jika engkau melihat seseorang
sedang meriwayatkan sebuah hadits yang telah engkau dengar, atau
mengabarkan kabar yang telah engkau tahu, maka jangan ikut meriwayatkan
hadits tersebut karena ingin memberi tahu kepada orang-orang yang hadir
bahwa engkau telah mengetahuinya. Sesungguhnya itu adalah sikap
meremehkan dan adab yang buruk.”
Dari nukilan di atas, kita simpulkan bahwa merupakan adab yang buruk ketika
kita menunjukkan kepada orang lain bahwa kita sudah tahu ilmu yang sedang
dia bicarakan. Apalagi jika dia adalah guru kita, yang sedang mengajarkan ilmu,
membahas sebuah hukum, menyebutkan sebuah hadits, atau mengupas faidah
dari perkataan ulama’, dan kita sedang duduk di majelis atau kajian beliau.
Tidak boleh bagi kita untuk kemudian menunjukkan sikap bahwa kita sudah
paham apa yang diterangkan oleh guru kita tersebut, walaupun kita
sebenarnya memang sudah paham dan bisa jadi hafal seluruh ilmu yang beliau
bawakan. Wajib bagi kita untuk mendengarkan beliau secara antusias, seolah
kita baru mendapatkan faidah itu pertama kali, dalam rangka menghormati
guru kita dengan cara memiliki sikap tawadhu’ di hadapannya dan memberikan
kebahagiaan di dalam hatinya.
Guru adalah pewaris nabi, karena lewat jasa guru, wahyu dan ilmu dari nabi
diteruskan kepada manusia. Imam Al-Ghazali mengistimewakan guru dengan
sifat kesucian, kehormatan, dan kedudukan guru setelah para nabi. Beliau juga
menegaskan bahwa seorang yang berilmu dan kemudian bekerja dengan
ilmunya itu, maka dialah yang dinamakan besar di bawah kolong langit ini
ibarat matahari yang menyinari orang lain dan mencahayai dirinya sendiri,
ibarat minyak kesturi yang baunya dinikmati orang lain dan ia sendiri pun
harum. Adapun adab-adab adab Terhadap guru diantaranya adalah:
1. Menjaga kehormatannya
2. Menulis dari sang Guru
3. Bersikap Tawadhu terhadap Guru, dan khidmat terhadap Guru.
4. Selalu menyertai Guru
5. Sopan ketika duduk di hadapan Guru
6. Sabar atas kelakuanyaa dan kekurangannya.
7. Selalu Berhusnuzon terhadap guru
8. Mendengarkan dengan baik meskipun sudah pernah mendengar ilmu yang
disampaikannya.
9. Sopan dalam bertaya dan tidak memberatkan Seorang Guru
10. Tidak merasa lebih pintar dari guru
3.2. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Az Zarnuji. Ta’lim Muta’alim Adab seorang penuntut ilmu. Solo: Aqwam,
2019
Ismail, Syekh Ibrahim Bin, Syarak Ta’lim Muta’alim., (Indonesia; CV Karya Insan
t th) 2008