Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

KEUTAMAAN ILMU

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pengantar kitabul ilmi

yang diampu oleh;

Tedhi Setiadhi, M.Sos

Disusun oleh :

REYAN AGUSTIAN

ADL RAFI

M HAZMI IBNU ZEIN

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DAARUT TAUHIID BANDUNG

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan
makalah ini kami susun sebagai tugas dari mata kuliah kitabul i’lmi dengan
judul “keutamaan ilmu”.

Terima kasih kami sampaikan kepada bapak Tedhi setiadhi selaku dosen mata
kuliah kitabul I’lmi yang membimbing dan memberikan kuliah demi lancarnya
terselesaikan tugas makalah ini.

Demikianlah tugas ini kami susun semoga bermanfaat dan dapat memenuhi
tugas mata kuliah kitabul I’lmi dan kami berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi diri kami dan khususnya untuk pembaca.

Tidak lupa pula kami mengharap kritik dan saran untuk memperbaiki makalah
kami, di karenakan banyak kekurangan dalam mengerjakan makalah ini.

Bandung, oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

BAB 1
Pendahuluan
 Latar belakang……………………..(1)
 Tujuan penelitian………………….(2)
 Manfaat Penelitian………………...(3)
 Pembahasan………………………..(4)
BAB 2
 Rumus masalah…………………….(5)
 Saran……….……………………….(6)
BAB 3
 Kesimpulan…………………………(7)
 Penutup…………………………….(8)

BAB 1
Pendahuluan

A. Latar belakang
Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap umat Islam. Sebagaimana sabda
Raslulullah Saw:

Artinya: “Menuntut ilmu wajib bagi setiap umat Islam laki-laki maupun
perempuan”. (HR. Al-Baihaqi, Ath-Thabrani, Abu Ya’la, AI-Qudhai, dan Abu Nu’aim Al-
Ashbahani).1
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa menuntut ilmu atau belajar merupakan
suatu keharusan bagi setiap manusia. Karena dengan dengan belajar, seseorang bisa berubah
dari tidak tahu menjadi tahu. Selain itu dengan belajar, akhlak atau tingkah laku seseorang bisa
berubah dari buruk menjadi baik (perubahan tingkah laku). Hal ini sesuai dengan tujuan
pembelajaran. Seorang telah belajar kalau sudah terdapat perubahan tingkah laku dalam
dirinya.2
Kegiatan belajar mengajar adalah suatu kondisi yang dengan sengaja diciptakan.
Gurulah yang menciptakannya guna membelajarkan anak didik. Guru yang mengajar dan anak
didik yang belajar. Perpaduan antara guru dan anak didik inilah yang melahirkan interaksi
edukatif dengan memanfaatkan bahan ajar yang ada.3
RUMUS MASALAH
Apa landasan tentang keutamaan ilmu?
Apa yg harus diutamakan ketika menuntut ilmu?
Bagaimana dalil yang menjelaskan tentang keutamaan menuntut ilmu?
Bagaimana cara untuk mengutamakan menuntut ilmu?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah:
1. Untuk lebih memahami secara umum tentang pengertian keutamaan
ilmu dan ulama yang terkandung dalam ayat- ayat Al-Qur‟an
2. Agar mengetahui bagaimana pentingnya mempelajari ilmu pengetauan
secara menyeluruh (ilmu agama dan umum)
3. Untuk dapat menganalisis ayat-ayat Al-Qur‟an yang
berkaitan tentang keutamaan ilmu dan ulama menurut
tafsir al-Qurṭubi
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah,
sebagai berikut;

1. Memberikan pengalaman baru dan ilmu yang lebih luas lagi bagi penulis
dalam hal studi keislaman dan Al-Qur‟an
2. Dengan ditulisnya penelitian ini semoga dapat memberikan manfaat bagi
setiap yang membaca terkhusus bagi penulis.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Ilmu pada seseorang adalah tanda kebaikan

Menjadi umat pilihan yang mendapatkan keuntungan lebih banyak dari umat lain adalah
suatu anugrah dari Allah. Umat Islam adalah umat yang paling istimewa, salah satunya adalah
dengan disempurnakannya agama Islam sebagai agama samawi yang di-ridhai oleh Allah. Di sisi
lain ada orang-orang Islam yang lebih baik dari orang-orang Islam itu sendiri yaitu orang-orang
yang menyeru kepada kebaikan dan menjauhi kepada keburukan. Mereka adalah para alim ulama
yang memiliki ilmu yang sangat mumpuni dan ke hujjah-annya tidak diragukan lagi. Kata-kata
yang perlu digaris bawahi adalah ilmu, karena semua orang memiliki ilmu tapi tidak semua
orang menjadikan ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.

Ilmu ialah hal yang sangat berharga di dunia ini. Ilmu sebagai alat untuk menilai baik dan
buruk, benar dan salah, halal dan haram. Allah zat yang ilmunya tidak ada sekutu dan ilmunya
paling luas, Dia menunjukan tanda-tanda keluasan ilmunya dengan mengajarkan Nabi Adam
berbagai macam nama-nama yang ada di jagad raya. Lalu disebutkannya nama-nama yang telah
diajarkan oleh Allah kepada Malaikat. Yang mana kisahnya diceritakan dalam firman Allah,
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudia Dia perlihatkan
kepada malaikuat seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku semua nama (benda) ini, jika kamu
yang benar!”. Mereka menjawab “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain yang
Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Maha Pengetahui, Maha Bijaksana”. Dia
(Allah) berfitman, “Wahai Adam! Beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu!” Setalah dia
(adam) menyebutkan nama-namanya, Dia berfirman, “Bukankah telah Aku katakan kepadamu
bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan
dan apa yang kamu sembunyikan””. (Q.S. al-Baqarah [2]: 31-33)

B. Majelis ilmu dihadiri malaikat, penuntut ilmu diridhai para malaikat

Hadits #1448

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم الَ يَ ْق ُع ُد قَوْ ٌم يَ ْذ ُكرُوْ نَ هللاَ ِإالَّ َحفَّ ْتهُ ُم‬
َ ِ‫ال َرسُوْ ُل هللا‬ َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َما قَاالَ ق‬ ِ ‫د َر‬eٍ ‫َوع َْن َأبِ ْي هُ َر ْي َرةَ َوع َْن َأبِي َس ِع ْي‬
.‫ت َعلَ ْي ِه ُم ال َّس ِك ْينَةُ َو َذ َك َرهُ ُم هللاُ فِ ْي َم ْن ِع ْن َدهُ َر َواهُ ُم ْسلِ ٌم‬ْ َ‫ال َمالَِئ َكةُ َو َغ ِشيَ ْتهُ ُم الرَّحْ َمةُ َونَ َزل‬

Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhuma, mereka berdua berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Tidaklah suatu kaum duduk berdzikir (mengingat) Allah,
melainkan mereka dikelilingi oleh para malaikat, diliputi oleh rahmat, diturunkan sakinah
(ketenangan), dan mereka disebut oleh Allah di hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya.’” (HR.
Muslim, no. 2700)

Faedah Hadits

1. Hadits ini menunjukkan keutamaan berkumpul dalam majelis dzikir.


2. Hadits ini tidak melazimkan dzikir itu mesti dengan satu suara seperti bentuk dzikir
berjamaah yang dilakukan oleh berbagai tarikat sufi.
3. Orang yang berdzikir dan berada dalam majelis ilmu akan mendapatkan ketenangan hati
dan kekhusyu’an, serta kembali kepada Allah.
4. Maksud diliputi oleh rahmat adalah mereka dekat dengan rahmat atau kasih sayang allah.
5. Dikelilingi oleh para malaikat sebagai bentuk pemuliaan kepada mereka dan tanda
pekerjaan mereka disukai atau di ridhai.
6. Mereka disebut pada sisi makhluk yang mulia, maksudnya mereka disanjung-sanjung
oleh kelompok makhluk yang mulia yang lebih baik dari mereka yaitu di sisi para
malaikat.
7. Al-jaza’ min jinsil ‘amal, artinya balasan sesuai dengan amal perbuatan. Siapa yang
berdzikir (mengingat) kepada Allah, maka Allah membalas dengan mengingat-Nya.

C. DIMINTAKAN AMPUN OLEH PENDUDUK LANGIT DAN BUMI

Di Antara Keutamaan Ilmu Agama

Jika kita mengetahui keutamaan ilmu ini, pasti akan semakin semangat untuk belajar
Islam. Jika keutamaannya semakin membuat seseorang dekat dengan Allah, diridai malaikat dan
membuat penduduk langit, juga bumi tunduk, maka itu sudah jadi keutamaan yang luar biasa.

Dari Katsir bin Qois, ia berkata, aku pernah duduk bersama Abu Darda’ di Masjid
Damasqus. Lalu datang seorang pria yang lantas berkata, “Wahai Abu Ad Darda’, aku sungguh
mendatangi dari kota Rasul ‫( ﷺ‬Madinah Nabawiyah) karena ada suatu hadis yang telah sampai
padauk, di mana engkau yang meriwayatkannya dari Rasulullah ‫ﷺ‬. Aku datang untuk maksud
mendapatkan hadis tersebut. Abu Darda’ lantas berkata, sesungguhnya aku pernah mendengar
Nabi ‫ﷺ‬bersabda: “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan
mudahkan baginya di antara jalan menuju Surga. Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya
sebagai tanda rida pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh
setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air. Sesungguhnya
keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di
malam badar dari bintang-bintang lainnya. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi.
Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan Dinar dan tidak pula Dirham. Barang siapa yang
mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” [HR. Abu
Daud no. 3641. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini Shahih).

Dan sungguh sangat indah apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim:

“Seandainya keutamaan ilmu hanyalah kedekatan pada Rabbul ‘alamin (Rabb semesta
alam), dikaitkan dengan para malaikat, berteman dengan penduduk langit, maka itu sudah
mencukupi untuk menerangkan akan keutamaan ilmu. Apalagi kemuliaan dunia dan Akhirat
senantiasa meliputi orang yang berilmu, dan dengan ilmulah syarat untuk mencapainya.” [Miftah
Daaris Sa’adah, 1: 104]
Dari Mu’awiyah, Nabi ‫ ﷺ‬bersabda:

‫َم ْن ي ُِر ِد هَّللا ُ بِ ِه َخ ْيرًا يُفَقِّ ْههُ فِى الدِّي ِن‬

“Barang siapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan
memahamkan dia tentang agama.” [HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037).

Yang dimaksud fakih dalam hadits bukanlah hanya mengetahui hukum syari, tetapi lebih
dari itu. Dikatakan fakih jika seseorang memahami tauhid dan pokok Islam, serta yang berkaitan
dengan syariat Allah. Demikian dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
dalam Kitabul ‘Ilmi, hal. 21.

D. Perintah Nabi Untuk Mengikat Ilmu

Disyariatkannya mencatat/menulis ilmuyang disampaikan oleh seorang


guru/pemateri. Hal ini perlu kita tekankan. Karena jangan sampai kita datang ke majelis
ilmu dan membiarkan ilmu tersebut menguap dari ingatan karena kita tidak
mencatatnya. Kita akan berikan dalil bahwa ini bukan hanya sekedar adab yang
ditekankan oleh para ulama. Namun adab ini berdasarkan Al-Qur’anul Karim dan
Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dalil-dalil untuk mencatat ilmu

Adapun dari Al-Qur’anul Karim, maka sebagian para ulama meberikan dalil yang
sangat mudah dan saya rasa kita semua sudah menghafalnya. Yaitu firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:

٤﴿ ‫الَّذِي َعلَّ َم ِب ْال َقلَ ِم‬

“Yang telah mengajarkan manusia dengan qalam.”

(QS. Al-A’laq [96]: 4)

Al-Imam Al-Qurthubi Rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini dengan perkataannya:

‫يعني الخط والكتابة أي علم اإلنسان الخط بالقلم‬

“Maksud dari ayat ini adalah Allah mengajarkan manusia tulisan dengan menggunakan
pena.”

Oleh karena itu Al-Imam Qatadah mengatakan:

Oleh karena itu Al-Imam Qatadah mengatakan:


‫ ولـم يصلح عيش‬،‫ لوال ذلك لم يقُـم ِديـن‬،‫!القلم نعمة من هللا عظيمة‬

“Pena adalah nikmat yang sangat agung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau tidak ada
pena, maka agama ini tidak berdiri dengan kokoh dan kehidupan ini tidak berjalan dengan baik.”

Maksudnya adalah bahwa ilmu agama bisa sampai ke zaman kita ini karena dicatat di
buku-buku para ulama. Penjelasan para ulama tercatat dengan rapi, maka sampai pada hari ini.
Maka kalau tidak ada pena yang digunakan untuk menulis, agama ini tidak berdiri dengan kokoh,
sunnah-sunnah Nabi akan tercecer, bahkan ayat-ayat Al-Qur’an akan berkurang dan seterusnya.

Oleh karena itu di antara yang dijadikan dalil adalah “Yang telah mengajarkan manusia
dengan qalam,” karena salah satu fungsi Allah mengajarkan qalam kepada manusia adalah untuk
eksistensi agamaNya. Sehingga agama itu tercatat, umat Islam menulis ilmu agama, lalu ia warisi
ke generasi berikutnya.

Di antara dalil yang lain adalah hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang
dikeluarkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi. Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:

ِ ‫قَيِّدُوا ْال ِع ْل َم بِ ْال ِكتَا‬


‫ب‬

“Ikatlah (catatlah) ilmu dengan tulisan.” (HR. Ibnu ‘Abdil Barr)

Jadi mencatat ketika kita belajar adalah perintah Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
bukan hanya himbauan para ulama. Oleh karena itu Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan: “Ulama
telah berijma’ bolehnya menulis ilmu.” Bahkan kata beliau: “Hukum menulis ilmu sunnah
bahkan bisa wajib bagi orang yang rentan salah (mungkin hafalannya tidak kuat) dan dia harus
menyampaikan kepada orang.”

E. Orang berilmu adalah orang yang bermanfaat

Para ulamsa mengatakan "Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu dan dengan
mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu" bahkan Rasulullah SAW diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang baik. "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
Akhlakul Karimah," (HR. Bukhari).  Begitu pentingnya akhlak dan adab hingga Allah Ta'ala
menempatkanya sebagai hal yang paling utama. Sebab, kepintaran tidak ada artinya apabila
seseorang tidak memiliki adab (etika). Ilmu menjadi berbahaya bagi pemiliknya dan orang lain
karena tidak dihiasi adab. Tidak semua orang berilmu itu berakhlak, begitu juga tidak semua
orang adab pasti berilmu. Ilmu dan adab adalah dua entitas yang berbeda walaupun tetap
memiliki hubungan yang sangat erat. Jika diibaratkan pada manusia, maka ilmu adalah laki-laki
sementara akhlak adalah wanita. Ilmu adalah bapak dan adab ibunya.
Sementara orang beranggapan bahwa orang yang kaya ilmu maka secara otomatis
perilaku atau akhlaknya semakin baik. Anggapan tersebut mendasarkan pada keyakinan bahwa
ilmu selalu berpengaruh pada perilaku seseorang. Orang pintar sekaligus akan berperilaku baik
dan sebaliknya, orang miskin ilmu pengetahuan selalu berperilaku tidak baik. Namun pada
kenyataannya, tidaklah selalu demikian itu. Orang kaya ilmu banyak yang melakukan
penyimpangan, sementara itu orang yang ilmunya terbatas justru berperilaku sebaliknya.

Banyaknya ilmu yang dimiliki oleh seorang akan menjadi sia-sia jika tidak memiliki adab
atau akhlak dalam dirinya. Ia akan kesulitan menemukan jalan yang semestinya, karena adab
atau akhlak lah yang menjadi pembatas serta memberikan arahan bagaimana menyikapi ilmu
tersebut. Jadi kualitas diri seseorang bukan dilihat dari seberapa banyak ilmu yang dimiliki,
tetapi bagaimana adab dalam memanfaatkan ilmunya adab menjadi hal yang sangat penting
dalam kehidupan, baik hidup sendiri, keluarga, maupun sosial. Dengan adab, seorang muslim
sejati

akan menjadi mulia dihadapan sesama dalam mahluk sosial lainnya. Tak hanya itu, adab
menjadi salah satu amal yang bisa ditanamkan kepada diri sendiri sebagai bekal pahala di akhirat
kelak. Disebutkan dalam hadits, "Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan
seorang mukmin pada hari kiamat dari pada akhlak yang mulia". (HR. Tirmidzi).

F. Ilmu merupakan karunia yang besar

Pada sebuah majelis, Rasulullah SAW bersabda,” Sesungguhnya dunia diberikan untuk
empat orang. Pertama, seorang hamba yang Allah berikan ilmu dan harta, kemudian dia
bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, dengannya ia menyambung silaturrahim, dan
mengetahui hak Allah di dalamnya. Orang tersebut kedudukannya paling baik (di sisi Allah).

Kedua, seorang hamba yang Allah berikan ilmu namun tidak diberikan harta, dengan
niatnya yang jujur ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa
yang dikerjakan Si Fulan.’ Ia dengan niatnya itu, maka pahala keduanya sama.

Ketiga, seorang hamba yang Allah berikan harta namun tidak diberikan ilmu. Lalu ia
tidak dapat mengatur hartanya, tidak bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, tidak menyambung
silaturrahim dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah di dalamnya. Kedudukan orang tersebut
adalah yang paling jelek (di sisi Allah).

Dan keempat, seorang hamba yang tidak Allah berikan harta dan tidak juga ilmu. Ia
berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan Si
Fulan.’ Ia berniat seperti itu dan keduanya sama dalam mendapatkan dosa.” (Ahmad, IV/230-
231, at-Tirmidzi, No. 2325), dan Ibnu Majah, No. 4228).
Maka beruntunglah orang yang dikaruniai ilmu dan sekaligus dikaruniai harta.
Sebaliknya celakalah orang yang dikaruniai harta yang banyak, tapi tidak dikaruniai ilmu, karena
hartanya akan sia-sia, dan bahkan dapat mengantarkannya masuk ke dalam neraka.

Qarun

Salah satu orang yang celaka dengan hartanya yaitu Qarun. Qarun masih keluarga dekat
dengan Nabi Musa, keduanya hidup pada masa yang sama, dan Qarun disebutkan dalam Al-
Qur’an sebagai kaum Nabi Musa, begitu pun dengan Fir’aun dan Haman.

Qarun pada mulanya bukanlah orang kaya, namun Allah SWT kemudian memberinya
karunia harta yang banyak dan ia pun menjadi kaya raya. Saking kayanya, sampai-sampai
perbendaharaan hartanya harus disimpan dalam gudang besar, dan saking besarnya gudang-
gudang yang ia miliki, sampai-sampai kunci gudangnya harus dipikul oleh sejumlah orang yang
kuat-kuat.

Sayangnya, setelah dia menjadi kaya, dia lupa diri. Qarun menjadi sombong. Ia mengaku
harta yang dapatkan semata-mata karena ilmu yang ia miliki.

Dalam Al-Qur’an, Surah Al-Qashash, surah ke-28, ayat 76, disebutkan, “Sesungguhnya
Qarun termasuk kaum Musa, tetapi dia berlaku zalim terhadap mereka, dan Kami telah
menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul
oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: Janganlah
engkau terlalu bangga. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri.”

Dalam surah yang sama ayat ke-78, disebutkan, “Dia (Qarun) berkata: Sesungguhnya aku
diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku. Tidakkah dia tahu, bahwa Allah
telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak
mengumpulkan harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa
mereka.”

Orang-orang yang menginginkan dunia ketika itu, juga menginginkan dirinya sama
dengan Qarun yang memiliki harta yang banyak.“Maka keluarlah dia (Qarun) kepada kaumnya
dengan kemegahannya. Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata: Mudah-
mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun,
sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS 28, Al-Qashash,
ayat 79)

Akibat kesombongannya dan tidak lagi mau mendengarkan nasehat, maka Qarun
kemudian dibenamkan ke bumi beserta seluruh harta kekayaannya, sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur’an, Surat Al-Qashash, surah ke-28, ayat ke-81:

“Maka Kami benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada
baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah, dan dia tidak termasuk orang-
orang yang dapat membela diri.”
Kisah dibenamkannya Qarun ke bumi beserta seluruh harta kekayaannya itulah yang
menjadikan inspirasi legenda harta-harta yang terpendam bawah tanah sehingga disebut harta
karun.

G. Ilmu menjadikan pemiliknya jauh dari hubbud dunia dan sadar terhadap akhirat

Salah satu hal yang paling dirisaukan oleh Rasulullah SAW adalah ketika umat Islam
sudah terjebak ke dalam cinta berlebih-lebihan kepada dunia. Dalam kamus Islam, kondisi ini
dikenal dengan istilah hubbud dunya atau gila dunia.

Hubbud dunya adalah sumber kehancuran umat. Penyakit ini sangat berbahaya karena
dapat melemahkan dan menggerus keimanan seseorang kepada Allah SWT.

Rasulullah bersabda, “Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan akan
menimpa diri kalian. Akan tetapi, aku khawatir jika dunia ini dibentangkan untuk kalian
sebagaimana ia dibentangkan untuk orang-orang sebelum kalian sehingga kalian berlomba
sebagaimana mereka berlomba, dan akhirnya kalian hancur sebagaimana mereka hancur.” (HR
Bukhari-Muslim)

Ketika seorang Muslim sudah menjadikan dunia ini sebagai tujuannya, maka itu alamat
dia telah terjebak dalam hubbud dunya. Padahal, dalam prinsip akidah Mukmin, dunia ini
bukanlah tujuan. Melainkan hanya alat untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kelak.

Dalam Alquran Allah SWT berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS al-Qashash: 77)

Ketika seseorang menjadikan dunia ini sebagai tujuan, maka cintanya kepada dunia akan
melebihi cintanya kepada Allah. Dia bakal lalai mengingat Allah. Sebagai konsekuensinya, dia
akan mudah tergelincir ke dalam pusaran dosa. Dia juga tidak siap menjalani hidup dengan cara-
cara yang diridhai Allah.

Mungkin kita pernah mendengar ada orang yang sampai menghalalkan segala cara demi
memperoleh kenikmatan duniawi. Mulai dari merampok, mencuri, membunuh, korupsi, atau
juga mengejar jabatan tertentu lewat jalan yang dilaknat Allah.

Mengapa mereka mau melakukan semua perbuatan jahat itu? Itu karena mereka sudah
terjebak ke dalam hubbud dunya, sehingga  mereka pun lupa akan adanya kehidupan setelah
kematian. Mereka tidak ingat, setiap perbuatan mereka di alam fana ini akan
dipertanggungjawabakan di akhirat kelak.
Orang-orang yang gila dunia juga tidak akan pernah siap menghadapi musibah. Jika
mereka kehilangan harta sedikit saja, maka mereka akan menyesalinya sejadi-jadinya. Jika
mereka gagal meraih sesuatu, maka mereka akan menjadi stres atau bahkan sakit jiwa.

Yang lebih berbahaya lagi, mereka yang begitu mencintai dunia juga akan mudah goyah
imannya. Mereka bahkan tak segan-segan lagi menjual agama demi memenuhi hawa nafsu bejat
mereka.

Sebagai seorang Mukmin, apa yang mesti kita lakukan agar terhindar dari penyakit ini?
Tentunya kita harus senantiasa memantapkan akidah. Salah satunya adalah dengan
memperbanyak mengingat kematian. Orang yang rajin mengingat mati, insya Allah akan mampu
memelihara hatinya dari hubbud dunya.

H. Majelis ilmu di sebut sebagai taman syurga

Di dunia ini sejatinya ada tempat-tempat yang disebut sebagai taman surga. Tempat itu
adalah majelis-majelis ilmu. Sunah bagi seorang Muslim ketika mendapati dalam perjalanan
menemukan ada majelis-majelis ilmu untuk sejenak ikut bergabung.
Keterangan ini sebagaimana dalam kitab at Targib wat Tarhib menuliskan sebuah hadits Nabi
Muhammad ‫ ﷺ‬yang diriwayatkan Imam Thabrani:

‫ال َم َجالِسُ ْال ِع ْل ِم‬


َ َ‫اريَاضُ ْال َجنَّ ِة؟ ق‬ َ َ‫اض ْال َجنَّ ِة فَارْ تَعُوْ اقَالُوْ اي‬
ِ ‫ َو َم‬, ِ ‫ارسُوْ َل هَّللا‬ ِ َ‫ اِ َذا َم َررْ تُ ْم بِ ِري‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ َوقَا َل‬.

Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬bersabda: Ketika lewat kalian di taman-taman surga, maka singgah
lah. Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, apa taman-taman surga itu? Rasulullah menjawab:
taman-taman surga itu adalah majelis-majelis ilmu.

Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa majelis-majelis ilmu itu adalah tempat
yang sangat baik yang ada di muka bumi. Karena Rasulullah pun mengibaratkan sebagai taman
surga.

Sebab memang majelis-majelis ilmu adalah tempat bagi orang-orang yang mau
menempuh jalan yang di ridhoi Allah mencapai surga. Orang yang mau dudu di majelis ilmu dan
mendengarkan dengan seksama para ulama yang mengajarkan ilmu niscaya akan memperoleh
kunci-kunci untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

I.Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi orang muslim

Hadis di atas tentunya sudah tidak asing di benak kita, bahwa kewajiban menuntut ilmu
itu diperuntukkan bagi setiap orang Islam. Syaikh Az Zarnuji pun menjelaskan, bahwa
diwajibkan pula atas seorang Muslim, mempelajari ilmu yang dibutuhkan dirinya sekarang ini,
dan juga ilmu yang dapat diamalkan kapan saja dan dimana saja.

Mengapa wajib bagi setiap Muslim untuk menuntut ilmu? Karena ada banyak keutamaan
ilmu. Beberapa keutamaan ilmu diantaranya adalah:
1. Ilmu adalah kekhususan, ilmu adalah keistimewaan yang Allah subhanahu wa ta’ala
khususkan hanya untuk manusia semata. Selain ilmu, manusia dan hewan memiliki
kesamaan.
2. Ilmu dapat mengantarkan seseorang menuju kepada kebajikan dan ketaqwaan. Dan sebab
ketaqwaan itu, seseorang dapat memperoleh kemuliaan di sisi Allah subhanahu wa
ta’ala, dan kebahagiaan abadi.

Keutamaan akan ilmu ini seyogyanya dapat menjadikan setiap Muslim senantiasa bersemangat
dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu.

Syaikh Az Zarnuji mengatakan, bahwa diantara hal yang penting dalam menuntut ilmu
yang harus diperhatikan adalah fil jiddi (kesungguhan). Jika sesuatu dilakukan dengan
kesungguhan, maka Allah subhanhu wa ta’ala akan memberikan keberhasilan di dalamnya.
Selain kesungguhan (al jiddu), juga perlu diiringi dengan sikap kesungguhan yang terus menerus
(al muwazobah) dan komitmen (al muzallimah) dalam menuntut ilmu. Tiga sikap ini harus ada
dalam diri pelajar (orang yang belajar) dan berjalan beriringan, tidak dapat hanya salah satu saja.

Wajib bagi setiap pelajar, bersungguh-sungguh, terus menerus, dan komitmen, tidak
berhenti hingga tujuan dalam menuntut ilmu tercapai. Sebagaimana firman Allah dalam QS.
Maryam: 12 yang artinya, “Wahai Yahya, ambillah kitab (itu) dengan kuat”, dan dalam QS Al
Ankabut: 69 yang artinya, “Dan orang-orang berjuang, untuk mencari keridhaan Kami, niscaya
Kami tunjukkan mereka jalan-jalan menuju Kami”.

Dikatakan oleh Az Zarnuji, barangsiapa yang mencari sesuatu dan dilakukannya dengan
sungguh-sungguh, pasti dia akan mendapatkannya. Dan barangsiapa yang mengetuk pintu
dengan terus menerus, pasti dapat masuk. Dikatakan pula, bahwa sesuai dengan
kesungguhannya, seseorang akan mendapat apa yang menjadi harapannya.

Dalam konteks kesungguhan ini, Az Zanurji menjelaskan bahwa kesulitan yang dihadapi
seseorang akan dapat selesai dengan kesungguhan, terutama kesulitan yang dihadapi dalam
proses belajar. Allah akan memberikan pertolongan pada seseorang jika Allah menghendaki.
Kesulitan dapat selesai dengan kesungguhan adalah menjadi anugerah Allah subhanahu wa
ta’ala dan berada dalam kekuasaan-Nya.

Kesungguhan dalam belajar dan memperdalam ilmu bukan hanya dari pelajar semata
namun kesungguhan ini juga dibutuhkan kesungguhan dari tiga (3) orang, yakni pelajar (murid),
guru, dan orang tua. Jika murid, guru, dan orang tua sungguh-sungguh, insya Allah itu akan
berhasil, kesulitan (dalam menuntut ilmu, dalam belajar) akan dapat terselesaikan, insya Allah.
Manusia diperintahkan Allah untuk belajar dan belajar. Hanya saja memang kualitas akal
manusia itu berbeda-beda. Nah, kesungguhan inilah yang menjadi kunci. Dengan kesungguhan
ini, sesuatu yang sulit itu insya Allah akan dimudahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Bagaimana ilmu itu dapat diperoleh tanpa melalui kesulitan? Banyak diantara kita ini
memiliki cita-cita, memiliki keinginan, namun jika tidak diiringi dengan kesungguhan, maka itu
adalah kedustaan. Apapun cita-cita dan keinginan seseorang, jika diiringi dengan kesungguhan,
maka insya Allah akan terwujud. Jika tidak diiringi dengan kesungguhan, maka itu adalah
kegilaan. Kita harus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Tanpa kesungguhan, maka kita
adalah orang yang gila. Orang belum dapat dikatakan bersungguh-sungguh dalam menuntut
ilmu, jika dia belum mendapatkan kepayahan yang sangat dalam menuntut ilmu. Allah akan
memberikan jalan keluar untuk kesungguhan tersebut.

Masya Allah, merujuk pada materi di atas, maka pentinglah bagi setiap diri kita untuk
senantiasa bersungguh-sungguh dalam belajar (menuntut ilmu). Semoga rangkuman materi ini
dapat menjadi refleksi untuk diri kita, terlebih khusus bagi penulis pribadi. Insya Allah akan kita
lanjutkan pembahasan mengenai kesungguhan dalam menuntut ilmu pada kesempatan
berikutnya. Allahu’alam bish showab.

J. Pondasi amal ilmu adalah dasar dalam beramal

Mengapa harus berilmu sebelum beramal? Pada bagian inilah yang akan melengkapi
keterangan di atas, yang mengajak untuk senantiasa mendasari amal dengan ilmu. Inti dari
penjelasan ini adalah kesimpulan bahwa ilmu adalah syarat sah amal.

Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari mengatakan:

‫بل القَو ِل َوال َع َم ِل‬


َ َ‫بَابٌ ال ِعل ُم ق‬

“Bab: Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan”

(Shahih al-Bukhari, kitab: al-Ilmu, bab al ilmu qabla al-qoul wa al amal)

Ucapan Imam Bukhari ini telah mendapatkan perhatian khusus dari para ulama.
Karena itu, perkataan beliau ini banyak dikutip oleh para ulama setelahnya dalam buku-
buku  mereka. Imam Bukhari berdalil dengan firman Allah:

َ ِ‫فَا ْعلَ ْم َأنَّهُ اَل ِإلَهَ ِإاَّل هَّللا ُ َوا ْستَغفِرْ لِ َذنب‬
‫ك‬

“Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah

dan mintalah ampunan untuk dosamu” (QS. Muhammad: 19)

Di ayat ini, Allah memulai perintahnya dengan: “ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan
yang berhak disembah selain Allah”, yang ini merupakan perintah untuk mencari ilmu.
Kemudian Allah sebutkan amal yang sangat penting yaitu istighfar, sebagaimana Allah sebutkan
di lanjutan ayat, yang artinya: “….mintalah ampunan untuk dosamu.”.

Ketika menjelaskan hadis ini, al-Hafidz al-Aini dalam kitab syarh shahih Bukhari
mengutip perkataan Ibnul Munayir berikut:

Yang beliau maksudkan bahwasanya ilmu adalah syarat sah ucapan dan perbuatan.
Ucapan dan perbuatan tidak akan dinilai kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu, ilmu didahulukan
sebelum ucapan dan perbuatan. Karena ilmu yang akan men-sahkan niat, dan niat adalah yang
men-sahkan amal.

(Umdatu al-Qori, Syarh Shahih Bukhari, al-Hafidz al-Aini, jilid 2, hal. 476).

Dari keterangan Ibnul Munayir dapat disimpulkan, posisi ilmu dalam amal adalah sebagai
pengendali niat. Karena seseorang baru bisa berniat untuk beramal dengan niat yang benar, jika
dia memahami (baca: mengilmui) tujuan dia beramal. Hal ini sebagaimana penjelasan yang
disampaikan oleh Ibnu Batthal, dengan mengutip keterangan al-Muhallab, yang mengatakan:

Amal itu tidak mungkin diterima kecuali yang didahului dengan tujuan untuk Allah. Inti
dari tujuan ini adalah memahami (mengilmui) tentang pahala yang Allah janjikan, serta
memahami tata cara ikhlas kepada Allah dalam beramal. Dalam keadaan semacam ini,
bolehlah amal tersebut diharapkan bisa memberikan manfaat, karena telah didahului dengan
ilmu. Sebaliknya, ketika amal itu tidak diiringi dengan niat, tidak mengharapkan pahala, dan
kosong dari ikhlas karena Allah maka hakekatnya bukanlah amal, namun ini seperti perbuatan
orang gila, yang tidak dicatat amalnya.

K. Setara dengan jihat di jalan allah

Di antara kasih sayang dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya ialah
menghadiahkan ummat ini amalan yang ringan dan mudah untuk dikerjakan namun memiliki
ganjaran pahala yang sangat besar. Pahala yang setara dengan mujahid (orang-orang yang
berjihad di jalan Allah) berupa surga Firdaus yang tinggi. Amalan-amalan tersebut di antaranya
adalah:

Yang pertama, menuntut ilmu.

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


‫ب ْال ِع ْل ِم فَهُ َو فِي َسبِي ِْل هللاِ َحتَّى يَرْ ِج َع‬ َ ‫َم ْن خ ََر َج فِ ْي‬
ِ َ‫طل‬
“Barang siapa keluar untuk menuntut ilmu, maka ia sedang (berjuang) di jalan Allah sampai ia
kembali.” (H.R. Tirmidzi, dan dihukumi sebagai hadits Hasan oleh Syeikh Al-Albaniy)

Hadits yang agung ini mengisyaratkan bahwa orang yang menuntut ilmu (ilmu syar’i)
sama halnya dengan orang yang sedang berjuang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan
sebagian ulama berpendapat bahwa saat ini menuntut ilmu lebih utama dibandingkan orang yang
berperang di jalan Allah. Mengapa? Sebab kejahilan, fitnah syubhat dan syahwat yang sedang
merebak telah menggerogoti tubuh kaum muslimin. Di mana ritual kesyirikan merajalela,
amalan-amalan yang tidak ada tuntunannya dari Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
para sahabatnya dianggap bagian dari ajaran Islam, ditambah aliran-aliran sesat dan menyesatkan
siapa saja yang dangkal ilmu agamanya. Dan untuk menyembuhkan penyakit itu semua adalah
dengan ilmu, ilmu yang dapat membedakan mana perkara yang haq dan mana yang bathil. Ilmu
yang akan menuntut kaum muslimin untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla sesuai dengan
apa yang pernah dicontohkan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu,
marilah kita mengerahkan seluruh tenaga untuk menuntut ilmu agama, mengajak sanak keluarga
untuk menghadiri majlis-majlis ilmu. Paling tidak mengarahkan mereka untuk mendengarkan
(radio atau televisi dakwah) serta video-video ceramah yang sangat mudah diakses di internet.
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

‫َم ْن ي ُِر ِد هللاُ بِ ِه خَ ْيرًا يُفَقِّهُّ فِ ْي ال ِّد ْي ِن‬


“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka akan difahamkan ia dalam perkara
agama.” (Muttafaq ‘alaih)

Yang kedua, orang yang berusaha membantu janda dan orang miskin. Rosulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

‫السَّا ِعي َعلَى اَألرْ َملَ ِة َوال ِم ْس ِك ْي ِن َكال ُم َجا ِه ِد فِي َسبِ ْي ِل هللاِ َأ ِو القاَِئ ِم اللَّ ْي َل الصَّاِئ ِم النَّهَار‬
“Orang yang berusaha (menolong) janda dan orang miskin, (akan mendapatkan pahala) seperti
orang yang berjihad di jalan Allah, atau orang yang qiyamul lail semalam suntuk dan puasa
sehari penuh.” (H.R. Bukhori)

Saat ini, terutama di negara-negara konflik seperti Suriah, Iraq, Palestina dan lain
sebagainya banyak sekali wanita-wanita janda yang suaminya terbunuh saat mereka berjuang
melawan zionis Israel, syi’ah nushoiriyah, dan seterusnya. Nah, sebagai saudara seiman tentunya
kita diperintahkan untuk membantu mereka, salah satunya ialah dengan memberikan sumbangan
dana yang dapat disalurkan melalui organisasi-organisasi yang bergerak dalam pelayanan
masyarakat seperti Peduli Muslim, Peduli Kemanusian Radio Rodja, Misi Medis Suriah, dan
yang lainnya. Begitu juga membantu orang-orang miskin di sekitar kita dengan memberikan
mereka makanan misalnya, maka insya Allah kita akan mendapatkan balasan pahala yang setara
dengan pahala orang yang berjihad atau berperang di jalan Allah Ta’ala. Rosulullah shallallahu
‘alaihi wasallam juga bersabda:

‫يل هَّللا ِ بِ َخي ٍْر فَقَ ْد غَزَا‬ ِ ‫ َو َم ْن خَ لَفَ غ‬، ‫َازيا ً فِى َسبِي ِل هَّللا ِ فَقَ ْد غَزَ ا‬
ِ ِ‫َازيا ً فِى َسب‬ ِ ‫َم ْن َجهَّ َز غ‬
“Barang siapa mempersiapkan (membekali) orang yang berperang, maka sungguh ia telah
berperang. Barang siapa yang menanggung keluarga orang yang berperang, maka sungguh ia
telah berperang.” (HR. Bukhari dan Muslim)

L. Makanan Ruh

Manusia terdiri daripada komponen jasmani, akal, dan ruh, Sebagaimana


jasmani, ruh itu juga perlu makan. Jasmani yang kurang makan akan lemas, lesu, tidak
bertenaga. Ruh yang kurang santapan juga akan lapar. Kalau makanan jasmani sudah
jelas, tempe goreng, soto betawi, opor ayam dll. Lha kalau makanan Ruh itu apa ?

Sebagaimana jasmani, Ruh juga perlu istirahat. Ruh juga akan lelah kalau tak
pernah istirahat. Manusia tanpa ruh, maka ia cuma mayat. Ruh tanpa jasad (jasmani)
maka ia juga belum bisa disebut manusia, mungkin masih di alam ruh. Jadi antara
jasad dan ruh, harus ada “kerjasama” sehingga keduanya bisa bersatu menjadi
manusia.
Dalam Islam, bacaan al-Quran, al-Hadis dan lain-lain bukan sekadar makanan
akal bahkan juga boleh dianggap sebagai makanan ruh. Aktivitas membaca dan
mengkaji dalam Islam tidak dilihat dari segi kognitif semata-mata, ia harus disertai
dengan aspek kejiwaan yang berusaha menjadikan ilmu yang diperolehi sebagai suatu
landasan untuk merasakan kebesaran Allah, justru mendekatkan diri kepada-Nya.
Banyak lagi makanan ruh yang boleh ‘disuapkan’ seperti berzikir, berdoa, berpuasa dan
menziarahi kubur. Ruh yang sejahtera mampu mengatasi gangguan syaitan yang dapat
mengganggu daya kreativitas.
Semasa manusia itu berada dalam dunia ini, dua hal perlu baginya.

Pertama, melindungi dan mengasuh(memelihara) Ruhnya dan


Keduanya, memelihara dan menyelenggara tubuhnya. Ternyata Alloh SWT tidak hanya
memberikan ketiga potensi internal itu saj di sisi lain Dia pun menurunkan "Guide
Book", Al Qur’an Al Karim, sebagai pedoman hidup manusia untuk mengerahkan
potensinya semaksimal mungkin.

Sebagai potensi eksternal, pokok-pokok isi Al Qur’an sangat cocok dengan 3


potensi internal tersebut. Pada garis besarnya, Al Qur’an terdiri dari 3 hal utama
(potensi eksternal) yaitu:

1. Iman yang bersifat ghaib;


2. Hukum (perdata dan pidana); dan
3. Ilmu Pengetahuan.

Agar penelaahan dan pengaplikasian ketiga komponen eksternal itu dapat dilakukan
secara tepat, maka manusia perlu menggunakan ketiga potensi internanya secara
akurat. Sebab, apabila penelaahan tersebut memakai pendekatan dan alat yang salah,
akan terjadi disfungsionalisasi yang berakibat kesesatan dan kerusakan. Dan manusia
baru dapat melakukannya hanya dengan memahami islam melalui pendidikan islam
yang menyeluruh dan mencakup semua komponen di atas.

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-
Isra': 85)

M. Allah memerintahkan nabi-nya untuk meminta tambahan ilmu


 Di dalam kitab Fathul Bari (1/170), bahwa menurut suatu pendapat, Allah tidak pernah
memerintahkan rasulNya untuk meminta tambahan sesuatu kecuali dalam perkara ilmu.

Rasulullah menceritakan kepada sahabatnya dalam ash-Shahihain dari Ubay bin Ka'ab,
ketika nabi Musa berada di tengah kerumunan bani Israil, seseorang lalu mendatanginya dan
bertanya:

"Adakah orang yang lebih berilmu darimu?"


"Tidak." Jawab Musa.

Lalu Allah menyampaikan wahyu kepadanya: tentu saja ada, yaitu hambaKu yang
bernama Khidhr. Kemudian Nabi Musa pun meminta agar bertemu dengannya. (H.R. Bukhari
no. 73 dan Muslim no. 2830).

Abul Abbas al-Qurthubi menuturkan bahwa dalam kisah nabi Musa terdapat beberapa
pelajaran, yaitu perjalanan seorang ulama untuk mencari tambahan ilmu, serta dianjurkannya
memanfaatkan pertemuan dengan orang-orang baik dan para ulama meskipun daerah mereka
jauh. (Al-Mufhim: 6/196).

Alhafidz Ibnu Hajar pun menuturkan bahwa kedudukan nabi Musa 'alaihissalam yang
tinggi dan terhormat dan tidak menghalanginya untuk mencari ilmu dan mengarungi lautan demi
ilmu. Dalam riwayat lain: mengarungi lautan untuk mencari ilmu, bahkan beliau meminta
tambahan ilmu. (Fathul Bari: 1/ 202-204).

Al-Mawardi mengatakan bahwa jika seseorang merasa cukup dengan ilmu yang
dimilikinya, niscaya nabi Musa juga akan merasa cukup dengan ilmunya. Padahal beliau
'alaihissalam berkata dalam surat alkahfi ayat 66: Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajariku ilmu yang benar diantara ilmu yang telah diajarkan kepadamu?

(Adab ad-Dunya wa ad-Din: 123).

Di dalam quran surat Thaha ayat 114, Allah berfirman:

‫ك َوحْ يُهٗ َو قُلْ َربِّ ِز ْدنِي ِع ْل ًما‬ َ ‫َواَل تَ ْع َجلْ بِا ْالقُرْ آ ِن ِم ْن قَ ْب ِل َأ ْن يُ ْق‬
َ ‫ضى ِإلَ ْي‬

"Dan janganlah tergesa-gesa (membaca) alquran sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan
katakanlah: Ya Rabb tambahkanlah ilmu kepadaku."

Ibnul Qayyim berkata, ayat ini cukup sebagai bukti kemuliaan ilmu. Yaitu perintah Allah
kepada nabiNya agar meminta tambahan ilmu. (Miftah Dar as-Sa'adah: 1/223-224).

Menurut Ibnu Katsir maksudnya adalah tambahkanlah untukku ilmu dariMu. Ibnu
Uyainah menuturkan bahwa Rasulullah selalu memohon kepada Allah agar ditambahkan
ilmunya hingga beliau wafat. (Tafsir Ibnu Katsir: 3/175).

Demikian penjelasan mengenai mengapa nabi meminta tambahan ilmu. Selevel nabi saja
meminta tambahan ilmu padahal kita ketahui ilmunya tak diragukan lagi, apalagi selevel kita?

Bahkan Allah tidak memerintahkan para nabi meminta tambahan apapun selain hanya
dalam satu hal: ilmu.

Maka, jangan pernah berhenti untuk terus berdoa kepada Allah dalam meminta tambahan
ilmu. Selama kita masih diberi usia, selama itu pula ilmu harus terus dicari.
Bila akhlak dalam kehidupan mengajarkan kita untuk selalu merasa cukup, maka perkara
ilmu adalah menjadi pengecualian. Sebab kita tidak diperkenankan untuk merasa cukup dengan
ilmu.

N. Jalan Menuju Syurga

“Allah akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua makna.


Pertama, Allah akan memudahkan memasuki Surga bagi orang yang menuntut ilmu yang
tujuannya untuk mencari wajah Allah, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu
syar’i dan mengamalkan konsekuensinya. Kedua, Allah akan memudahkan baginya jalan ke
Surga pada hari Kiamat ketika melewati “shirath” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang
ada sebelum dan sesudahnya. Wallaahu a’lam.

Juga dalam sebuah hadits panjang yang berkaitan tentang ilmu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

‫ب ْال ِع ْل ِم َوِإنَّهُ لَيَ ْستَ ْغفِ ُر لِ ْل َعالِ ِـم‬


ِ ِ‫ض ُع َأجْ نِ َحتَهَا ِرضًا لِطَال‬َ َ‫ـجنَّ ِة َوِإ َّن ْالـ َمالَِئ َكةَ لَت‬َ ‫طلُبُ فِ ْي ِه ِع ْل ًما َسلَكَ هللاُ بِ ِه طَ ِر ْيقًا ِإلَى ْال‬ْ َ‫ك طَ ِر ْيقًا ي‬َ َ‫َم ْن َسل‬
ُ‫ ِإ َّن ْال ُعلَ َما َء هُ ْم َو َرثَة‬.‫ب‬ َ ْ َ َ ْ ْ‫ض‬ َ َ ْ َ ْ ْ‫ض‬
ِ ‫ـحيت فِى الـ َما ِء َوف ُل ال َعالِ ِـم َعلى ال َعابِ ِد كف ِل الق َم ِر َعلى َساِئ ِر الك َوا ِك‬َ ْ ُ‫َان‬ ْ ْ
ِ ‫ض َحتى ال‬َّ ِ ْ‫ر‬‫َْأل‬
‫َم ْن فِى ال َّس َما ِء َوا‬
ٍّ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ْ ْ ُ ُ
‫ا ْنبِيَا ِء لَـ ْم يَ ِرثوا ِد ْينَارًا َوالَ ِدرْ هَ ًما َوِإنَّ َما َو َرثوا ال ِعل َم فَ َم ْن خَ َذهُ َخ َذ بِ َحظ َوافِ ٍر‬. ‫َْأل‬

“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju
Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu
karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan
kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan
yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan
bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya
para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan
barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling
banyak [6]

Jika kita melihat para Shahabat radhiyallaahu anhum ajma’in, mereka bersungguh-
sungguh dalam menuntut ilmu syar’i. Bahkan para Shahabat wanita juga bersemangat menuntut
ilmu. Mereka berkumpul di suatu tempat, lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi
mereka untuk menjelaskan tentang Al-Qur-an, menjelaskan pula tentang Sunnah-Sunnah Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala juga memerintahkan kepada wanita untuk belajar Al-
Quran dan As-Sunnah di rumah mereka.

Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,

َّ ‫ۖ َوَأقِ ْمنَ ال‬ ‫َوقَرْ نَ فِي بُيُوتِ ُك َّن َواَل تَبَرَّجْ نَ تَبَرُّ َج ْال َجا ِهلِيَّ ِة اُأْلولَ ٰى‬
َ ‫ۚ ِإنَّ َما ي ُِري ُد هَّللا ُ لِي ُْذ ِه‬ ُ‫صاَل ةَ َوآتِينَ ال َّز َكاةَ َوَأ ِط ْعنَ هَّللا َ َو َرسُولَه‬
‫ب َع ْن ُك ُم‬
ً ‫هَّللا‬
‫ۚ ِإ َّن َ َكانَ لَ ِطيفا خَ بِيرًا‬ ‫ت ِ َوال ِحك َم ِة‬ ْ ْ ‫هَّللا‬ ِ ‫ َو ْاذ ُكرْ نَ َما يُتلَ ٰى فِي بُيُوتِ ُك َّن ِم ْن آيَا‬ ﴾٣٣ ﴿‫َط ِهيرًا‬
ْ ْ ‫ت َويُطَهِّ َر ُك ْم ت‬ ِ ‫س َأ ْه َل ْالبَ ْي‬
َ ْ‫الرِّج‬

Baca Juga Pengertian Ilmu Syar'i


“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah
laku) seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah
Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
wahai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang
dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan al-Hikmah (Sunnah Nabimu). Sungguh, Allah
Mahalembut, Maha Mengetahui.” [Al-Ahzaab 33: 33-34]

Laki-laki dan wanita diwajibkan menuntut ilmu, yaitu ilmu yang bersumber dari Al-
Quran dan As-Sunnah karena dengan ilmu yang dipelajari, ia akan dapat mengerjakan amal-amal
shalih, yang dengan itu akan mengantarkan mereka ke Surga.

Kewajiban menuntut ilmu ini mencakup seluruh individu Muslim dan Muslimah, baik dia
sebagai orang tua, anak, karyawan, dosen, Doktor, Profesor, dan yang lainnya. Yaitu mereka
wajib mengetahui ilmu yang berkaitan dengan muamalah mereka dengan Rabb-nya, baik tentang
Tauhid, rukun Islam, rukun Iman, akhlak, adab, dan mu’amalah dengan makhluk.

O. Salah satu dari dua perkara yang diperbolehkan hasad didalamnya

Hasad atau dengki, menurut para ulama sebagaimana dinukil oleh Dr.
Nashirul Haq, Ketua Umum DPP Hidayatullah, dalam channel youtubenya, ada dua
jenis. Pertama, hasad yang dilarang oleh Allah  Ta'ala karena tercela. Kedua, hasad
yang diperbolehkan Allah Ta'ala.
Hasad yang tercela, atau hasad hakiki, adalah keinginan untuk memiliki suatu
kenikmatan yang disertai dengan keinginan agar kenikmatan itu lenyap dari orang
lain.
Adapun hasad yang diperbolehkan, atau dikenal juga dengan  ghibthoh, adalah
keinginan untuk mendapatkan karunia Allah  Ta'ala berupa kenikmatan, tapi tidak
disertai dengan harapan untuk melenyapkannya dari orang lain.

Adalah fitrah manusia untuk senang kepada harta, anak keturunan, kendaraan,
rumah yang besar, atau jabatan yang tinggi. Keinginan seperti ini diperbolehkan
Allah Ta'ala dengan berbagai syarat.

Pertama, ia tidak menginginkan hilangnya kenikmatan tersebut dari orang


lain. Kedua, keinginan tersebut tidak dilandasi oleh sikap tamak dan rakus.

Ketiga, ia harus meniatkan agar apa yang ia dapatkan menjadi wasilah atau
sarana untuk mendapatkan kebajikan yang lebih banyak lagi. Bahkan, dengan
kenikmatan tersebut, ia akan lebih giat dan tekun mendekatkan diri kepada
Allah Ta'ala.

Ada juga jenis hasad yang dianjurkan oleh Allah  Ta'ala dan Rasul-Nya.
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dari Abdullah bin Mas'ud, "Tidak boleh hasad kecuali pada dua orang, yaitu
orang yang Allah anugerahkan padanya harta, lalu ia infakkan pada jalan kebaikan
dan orang yang Allah beri karunia ilmu (al-Qur'an dan as-Sunnah), lalu ia amalkan
dan ajarkan."
P. tidak berkurang dengan dibagikan kepada orang lain

Kita seringkali merasa bahwa harta kita akan habis ketika kita sedekahkan. Padahal Allah
telah berjanji bahwa siapapun yang bersedekah di jalan Allah, maka ia tidak akan prnah merugi.
Rasulullah Saw bersabda,
“Tidak akan pernah berkurang harta yang disedekahkan … Kecuali ia bertambah… bertambah…
bertambah…” (HR. at-Tirmidzi)  

Selain itu Allah juga telah berfirman, “Siapa yang memberi pinjaman kepada Allah
dengan pinjaman yang baik, maka Alah akan melipatgandakan balasannya dan baginya pahala
yang mulia.” (QS. Al-Hadild 57:11)

Jelas sangat bahwa Allah akan melipatgandakan harta yang kita keluarkan di jalan Allah.
Maka apa lagi yang membuat kita enggan bersedekah? bukankah pada hakikatnya harta yang
kita miliki ini adalah sebuah pinjaman dari Allah?

Sungguh, sedekah tidak akan pernah membuatmu miskin, justru sedekahlah yang akan
membuat engkau semakin kaya. Allah telah berfirman,

“…Dan (janganlah kamu takut kepada kemiskinan karena membelanjakan harta di jalan Allah
(QS. Al-Baqarah 2:245)

Sesungguhnya segala sesuatu yang kita miliki saat ini adalah ujian dari Allah. Kita akan
lulus dalam sebuah ujian dari Allah jika kita mampu untuk menafkahkan harta yang kita cintai.
Seperti halnya yang telah Allah jelaskan dalam al-Quran.
BAB III
PENUTUP

 Kesimpulan

Islam mewajibkan kita menuntut ilmu-ilmu dunia yang memberi manfaat dan berguna untuk
menuntut kita dalam hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kita didunia agar tiap muslim
jangan picik dan agar setiap muslim dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang
dapat membawa kemajuan bagi penghuni dunia ini dalam batas-batas yang diridhai Allah.
Apabila kita memperhatikan isi Al-Qur’an dan sunnah, maka terdapat beberapa suruhan yang
mewajibkan bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu, agar
mereka tergolong menjadi umat yang cerdas, jauh dari kabut kejahilan dan kebodohan. Dan dari
segi ibadah menuntut ilmu sangat tinggi nilai dan pahalanya.

Saran

aku berharap agar semua yang hadir dapat mengambil manfaat dari ilmu yang
didapatkan. Bukan manfaat dari sisi hapalan dan pemahaman, dua hal ini insyaa Allah juga
ditekankan, akan tetapi (yang lebih penting adalah) manfaat dengan diamalkan dan (perubahan)
akhlak. Karena tujuan dari ilmu adalah untuk diamalkan. Bukanlah maksud dari ilmu adalah
sebagai argumen (hujjah) yang menyudutkan orang yang mempelajarinya (karena tidak
diamalkan, pent.).
DAFTAR FUSTAKA

https://www.islampos.com/wp-content/uploads/2020/10/karung-uang-emas-harta-.jpg

https://almanhaj.or.id/13056-menuntut-ilmu-jalan-menuju-surga-2.html
© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/44670-empat-nasihat-untuk-penuntut-ilmu.html
https://almanhaj.or.id/680-penutup-wasiat-untuk-para-penuntut-ilmu.html

Abdussalam.2013.Keutamaan Menuntut Ilmu (Online). 19 Oktober 2015.


Alam3394.blogspot.com/2013/07/keutamaan-menuntut-ilmu.html?m=1
Bisri, Hasan.2013.Makalah Konsep Menuntut Ilmu (Online). 19 Oktober
2015.www.iotodidak.com/2013/10/makalah-konsep-menuntut-ilmu-dalam islam.html?m=1
Insan.2014.Keutamaan Menuntut Ilmu Dan Adab-Adab Menuntut Ilmu (Online).19 Oktober
2015.www.insantv.com/berita-154-keutamaan-menuntut-ilmu-dan-adabadab-penuntut-
ilmu.html?m=

Anda mungkin juga menyukai