Anda di halaman 1dari 13

Makalah Agama

Islam dan Ilmu Pengetahuan

OLEH : Kelompok 1

Anggota :

- Rampak mawida (091)


- Nurhayati (092)
- Andri Prastian Utama ( 093)
- Bunga Anggreno Putri Setiawan (094)
- Aulia J. Anna Aprillia Meysa (095)
- Muthia cindy (096)
- Sean Janis Puja Riyadi (097)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

PADANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai.Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, untuk kedepan nya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah
agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Motivasi menuntu ilmu

2.2 Penghormatan orang yang berilmu dan celaan bagi orang yang tidak mau belajar

2.3 Klasifikasi ilmu dalam islam

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan agama Islam di panggung sejarah peradaban manusia memiliki arti tersendiri, termasuk
dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu dalam Islam berdasarkan paham kesatupaduan yang
merupakan inti wahyu Allah Swt. Tujuan dari semua ilmu dikembangkan berdasarkan Islam ialah
untuk menunjukkan kesatupaduan dan saling berhubungan dari segala yang ada. Turunnya wahyu
Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw, membawa semangat baru bagi dunia ilmu pengetahuan,
memecahkan kebekuan zaman. Lahirnya Islam membawa manusia kepada sumber-sumber
pengetahuan lain dengan tujuan baru, yakni lahirnya tradisi intel-induktif.

Al-Qur’an menganggap ”anfas” (ego) dan ”afak” (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Allah
menumpahkan tanda-tanda-Nya dalam pengalaman batin dan juga pengalaman lahir. Ilmu dalam
Islam memiliki kapasitas yang sangat luas, pengalaman batin merupakan pengembangan manusia
terhadap seluruh potensi jiwa dan inteleknya. Jiwa kebudayaan Islam yang diarahkan kepada yang
konkrit dan terbatas serta yang telah melahirkan metode observasi dan eksperimen bukanlah
sebuah hasil kompromi dengan pikiran Yunani.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana motivasi menuntu ilmu ?

2 bagaimana Penghormatan orang yang berilmu dan celaan bagi orang yang tidak mau
belajar

3 bagaimana Klasifikasi ilmu dalam islam

1.3 Tujuan

1 Agar mahasiswa mengetahui motivasi menuntu ilmu

2 Agar mahasiswa mengetahui penghormatan orang yang berilmu dan celaan bagi
orang yang tidak mau belajar.

3 Agar mahasiswa mengetahui klasifikasi ilmu dalam islam


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Motivasi menuntu ilmu

Bentuk-bentuk motivasi ini sebagai jawaban dari rumusan masalah yang dikemukanan pada
Bab I tentang cara Nabi menumbuhkan semangat belajar para pengikutnya, yaitu dengan cara
verbal yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk motivasi berikut ini.

Bentuk-bentuk motivasi dalam hadîts Nabi itu sebagai berikut:

a. Dengan mewajibkan belajar

b. Dengan memberi hukuman

c. Dengan menunjukkan manfaat ilmu sebagai :

- Jalan memperoleh nilai ibadah yang besar

- Memperteguh pendirian

d. Dengan menunjukkan keutamaan orang yang berilmu

e. Dengan menggolongkan dalam kelompok sebaik-baik orang

f. Dengan mengibaratkan ilmu seperti hujan yang menyuburkan tanah

kering

g. Dengan menunjukkan pujian seluruh makhluk

h. Dengan menunjukkan kesukaan para malaikat pada ahli ilmu

i. Dengan mendudukkan derajat ahli ilmu sebagai pewaris anbiya’

j. Dengan imbalan kemudahan jalan menuju surga

k. Belajar suatu ilmu itu sebagai penebus dosa masa lalu

l. Dengan menggolongkan kedalam amal fi sabilillah

2. Aplikasi hadits motivasi untuk semua ilmu


Menuntut ilmu dalam pandangan Al-Ghazaliy diklasivikasikan menjadi dua: fardlu ‘ain dan
fardlu kifâyah. Istilah fardlu ‘ain menunjuk pada kewajiban agama yang mengikat muslimin
dan muslimat secara

individual, seperti melaksanakan ibadah mahdlah. Sedang istilah fardlu kifâyah menunjuk
pada kewajiban agama yang mengikat komunitas muslimin sebagai satu kesatuan, misalnya
mempelajari ilmu kedokteran, ekonomi, pertanian dan lain-lain.

Klasifikasi al-Ghazaliy terhadap ilmu ke dalam fardlu ‘ain dan fardlu kifâyah, menunjukkan
wajibnya mempelajari ilmu, tidak saja bagi kaum muslimin, tetapi juga bagi semua manusia
tanpa sekat agama, jenis kelamin, suku bangsa dan sebagainya, seperti dijelaskan oleh al-
Qur’an.

“Adam” sebagai bapak manusia menjadi symbol manusia secara keseluruhan dan “nama-
nama benda” seperti disebut dalam al-Qur’an (QS. 2: 30) adalah simbol pengetahuan.

Pada wahyu pertama yang diterima Nabi adalah kalimat :

‫اقرأ باسم ربك‬

bacalah dengan (meyebut) nama Tuhanmu”. Perintah ini mewajibkan orang membaca, yakni
membaca semua ciptaan (ayat-ayat) Allah. Dengan kata lain, perintah itu mewajibkan semua
orang menuntut ilmu pengetahuan karena Allah dan wawasan tentang ketuhanan harus
menjadi dasar hakiki bagi pengetahuan serta harus menyertai proses pendidikan dalam semua
tahap.

Banyak lagi ayat al-Quran yang menyebutkan pentingnya ilmu, yang sebagian telah
dikemukakan dalam Konfirmasi al-Qur’an pada bab tiga, yang secara keseluruhan
mewajibkan manusia menuntut ilmu, khususnya kaum muslimin. Nabi sendiri diutus untuk
mengajarkan al-Qur’an dan hadîts merupakan penjelasannya. Karena itu hadîts-hadîts
motivasi yang

mendorong untuk mempelajari ilmu itu, dapat dipastikan berlaku dan dan dapat diaplikasikan
untuk semua ilmu. Uraian singkat di atas memberi gambaran, bahwa ilmu yang dimaksud
tidak sebatas ilmu-ilmu untuk keperluan ibadah khusus, melainkan keseluruhan ilmu yang
berkaitan dengan seluruh ciptaan Allah.

Dengan demikian, motivasi yang diberikan Nabi dengan berbagai bentuknya itu, seperti telah
dipaparkan sebelumnya, berlaku untuk semua ilmu.

2.2 Penghormatan orang yang berilmu dan celaan bagi orang yang tidak mau
belajar
Salah satu akhlak orang beriman adalah menghormati orang berilmu atau orang alim. Dalam
bahasa Arab, kata "ulama" adalah bentuk jamak dari kata "alim". Orang alim secara spesifik
adalah orang yang tahu ilmu agama secara mendalam.

Secara general adalah orang yang punya ilmu pengetahuan, apa pun itu, tidak terbatas pada
ilmu agama. Pengetahuan itu sendiri tidak selalu dari buku atau kitab tertulis, tetapi juga
dari pengalaman dan fenomena alam sekitar. Bahkan, pengetahuan bisa berasal dari diri
sendiri.

Hal ini, misalnya, yang diungkapkan Allah dalam Alquran ketika menyuruh manusia untuk
memperhatikan semua ciptaan-Nya dengan tujuan agar mereka memperoleh pengetahuan,
"Maka, tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan? Dan langit,
bagaimana ditinggikan? Dan, gunung-gunung bagaimana ditegakkan? Dan bumi bagaimana
dihamparkan?" (QS al-Ghasyiyah [88]: 17-20).

Allah mencintai orang berilmu dan mendorong manusia untuk mencarinya di mana pun itu
berada dan dari siapa pun atau apa pun. Disebutkan, Allah meninggikan derajat orang
berilmu be be ra pa derajat dibanding orang tak berilmu (QS al-Mujadalah [58]: 11). Allah
juga sering kali mengatakan, tidaklah sama antara orang ber ilmu dan tidak berilmu (QS az-
Zumar [39]: 9). Allah juga sering kali menyindir manusia yang punya akal, tetapi tidak
digunakan untuk memikirkan ciptaan atau ayat-ayat-Nya (QS al-Baqarah [2]: 44). Nabi
sendiri dalam banyak hadis memuji orang berilmu.

Misalnya, orang yang mencari ilmu akan diberi kemudahan untuk masuk surga (HR Muslim).
Para malaikat disebutkan menaungi majelis-majelis ilmu (HR Abu Dawud). Disebutkan juga
bahwa seluruh penghuni langit dan bumi hingga ikan di dasar lautan memohonkan
ampunan kepada Allah untuk orang berilmu (HR at- Tirmidzi).

Disebutkan juga bahwa orang berilmu adalah orang yang diberi kebaikan oleh Allah (HR al-
Bukhari dan Muslim) Dengan demikian, orang berilmu begitu terhormat dan mulia di mata
Allah dan Rasulullah serta memiliki kedudukan tinggi. Oleh karena itu, orang berilmu layak
dihormati dan dimuliakan, tentu saja tanpa berlebih-lebihan. Sikap kritis tetap diperlukan.

Sebagaimana manusia lainnya, orang berilmu terkadang juga melakukan kesalahan dan
kekeliruan. Tak ada manusia yang selalu benar, dan karena itu tak perlu juga merasa paling
benar. Kebenaran mutlak hanya ada pada Allah Sang al-Haq. Meski begitu, penghormatan
dan pemuliaan terhadap orang berilmu adalah hal yang niscaya.

Jika orang berilmu melakukan kesalahan, perlu diingatkan dengan cara-cara yang terhormat
tanpa mempermalukan atau bahkan sampai menjelek-jelekkan atau menghinakan dan
merendahkannya di depan publik. Orang yang diingatkan juga tidak perlu merasa takabur
dan enggan menerima peringatan jika memang itu yang benar. Nabi mengatakan,
"kesombongan itu ialah menolak kebenaran dan menghinakan orang lain." (HR Muslim).
Bagi orang beriman, apalagi yang berilmu, peringatan adalah sesuatu yang bermanfaat.
"Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi
orang-orang yang beriman." (QS adz-Dzariyat [51]: 55)

Allah menyuruh kita untuk mencari ilmu, menjadi orang ber ilmu, serta menghormati dan
memuliakan orang berilmu, tanpa ber lebih-lebihan apalagi sampai mengultuskannya
melebihi Nabi. Tujuannya adalah agar ilmu kita bermanfaat dan diberkahi oleh Allah dan
dapat membawa manfaat tidak hanya bagi diri kita sen diri, tetapi juga bagi orang lain. Ilmu
sejatinya untuk kemaslahatan dan kebaikan umat manusia, bukan sebaliknya, untuk
menciptakan kerusakan dan kekacauan serta pertikaian dan permusuhan di tengah umat
manusia. Wallahu a'lam.

Celaan bagi orang yang tidak mau belajar


Allah ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia yang artinya, “Itulah janji Allah. Allah
tidak akan menyelisihi janji-Nya. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS.
Ar Ruum [30]: 6)

Ibnu Katsir menjelaskan di dalam tafsirnya, “Sedangkan firman-Nya ta’ala ‘Itulah janji Allah.
Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya.’ Artinya: Inilah yang Kami beritakan kepadamu hai
Muhammad, bahwasanya Kami benar-benar akan memenangkan Romawi dalam melawan
Persia, itulah janji yang benar dari Allah, sebuah berita yang jujur dan tidak akan meleset.
Hal itu pasti terjadi. Karena ketetapan Allah yang telah berlaku menuntut-Nya untuk
memenangkan salah satu kelompok yang lebih dekat kepada kebenaran di antara dua kubu
yang saling memerangi. Dan Allah pasti akan memberikan pertolongan kepada mereka.
‘Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’, artinya mereka tidak mengetahui
hukum kauniyah Allah serta perbuatan-perbuatan-Nya yang sangat cermat dan selalu
bergulir di atas prinsip keadilan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/168)

Kemudian Allah ta’ala berfirman tentang mereka -yaitu kebanyakan manusia- yang artinya,
“Mereka mengetahui sisi lahiriyah kehidupan dunia, akan tetapi terhadap perkara akhirat
mereka lalai.” (QS. Ar Ruum [30]: 7)

Ibnu Katsir kembali memaparkan, “Artinya kebanyakan manusia tidak memiliki ilmu kecuali
dalam urusan dunia, tata cara menggapainya, tetek bengeknya serta perkara apa saja yang
ada di dalamnya. Mereka adalah orang-orang yang cerdas dan pandai tentang bagaimana
cara meraup dunia serta celah-celah untuk bisa mendapatkannya. Namun mereka lalai
terhadap hal-hal yang akan mendatangkan manfaat untuk mereka di negeri akhirat. Seolah-
olah akal mereka lenyap. Seperti halnya orang yang tidak memiliki akal dan pikiran.” (Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/168)

Ibnu Abbas menjelaskan tentang makna ayat yang mulia ini, “Maksudnya adalah orang-
orang kafir. Mereka itu mengetahui bagaimana cara untuk memakmurkan dunia akan tetapi
dalam masalah-masalah agama mereka bodoh.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/168)
2.3 Klasifikasi ilmu dalam islam

Akal menghasilkan ilmu, dan ilmu berkembang dalam masa keemasan sejarah Islam. Agar
dapat dipelajari dengan baik dan benar. Sebagian klasifikasi ilmu itu asli dan berpengaruh,
tetapi sebagian lagi hanyalah pengulangan klasifikasi sebelumnya yang kemudian dilupakan
orang. Pada massa Al-Farabi, Al-Gazali, Qutubuddin telah berhasil mengklasifikasikan ilmu
Islam menjadi beberapa bagian. Ketiga tokoh tersebut adalah orang- orang pendiri
terkemuka aliran intelektual dan mereka tumbuh dan berkembang dalam periode-periode
penting sejarah Islam. Adapun mereka telah mengklasifikasikan menjadi beberapa bagian,
yakni :

1. Menurut Al-Farabi, perincian klasifikasinya yakni sebagai berikut :

a. Ilmu Bahasa
b. Ilmu Logika
c. Ilmu Matematis
d. Metafisika
e. Ilmu Politik, Ilmu Fiqih dan Ilmu Kalam

Karakteristik klasifikasi Ilmu Al-Farabi adalah sebagai berikut:

1) Para pengkaji dapat memilih subjek-subjek yang benar-benar membawa manfaat bagi
dirinya.

2) Memungkinkan seseorang belajar tentang hierarki

3) Memberikan sarana yang bermanfaat dalam menentukan sejauh mana spesialisasi dapat
ditentukan secara benar.

4) Memberikan informasi kepada para pengkaji tentang apa yang seharusnya dipelajari
sebelum seseorang dapat mengklaim diri ahli dalam suatu ilmu tertentu.

2. Menurut Al-Gazali, perincian klasifikasinya yakni sebagai berikut :

a. Ilmu teoritis dan ilmu praktis

Ilmu teoritis adalah ilmu yang menjadikan keadaan-keadaan yang wujud diketahui
sebagaimana adanya.

Ilmu praktis berkenaan dengan tindakan-tindakan manusia untuk memperoleh


kesejahteraan di dunia dan di akhirat.

b. Ilmu yang dihadirkan dan ilmu yang dicapai


Ilmu yang dihadirkan adalah bersifat langsung, serta merta, suprarasional ( diatas atau
diluar jangkauan akal ), intuitif ( berdasar bisikan hati ), dan kontemplatif ( bersifat renungan
). Dia biasa menyebut dengan ilmu ladunni
Ilmu yang dicapai adalah ilmu yang dicapai oleh akal pikiran manusia (ilmu insani)

c. Ilmu keagamaan dan ilmu intelektual


Ilmu keagamaan adalah ilmu-ilmu yang diperoleh dari para nabi, tidak hadir dari akal pikiran
manusia biasa.
Ilmu intelektual adalah berbagai ilmu yang dicapai atau diperolek melalui kemampuan
intelek ( daya atau kecerdasan berpikir ).

d. Ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardu kifayah


Ilmu fardu ‘ain merujuk pada kewajiban agama yang mengikat setiap muslim dan muslimah.
Ilmu fardu kifayah lebih kepada hal-hal yang merupakan perintah ilahi yang bersifat
mengikat komunitas ( kelompok orang ) muslim dan muslimat menjadi satu kesatuan.

3. Menurut Qutubuddin Al-Syirazi, perincian klasifikasinya yakni sebagai berikut :

a. Ilmu – ilmu filosofis ( kefilsafatan )

b. Ilmu-ilmu nonfilosofi adalah ilmu-ilmu religius atau termasuk dalam ajaran wahyu.

Klasifikasi dari ke-3 tokoh tersebut terhadap ilmu pengetahuan, berpengaruh sampai kini. Di
tanah air kita sering mendengar klasifikasi ilmu dengan : ilmu agama dan ilmu umum.

Menurut Al-Qur’an ilmu dibagi menjadi 2, yaitu :

a. Ilmu ladunni, yakni ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia.


b. Ilmu insani, yakni ilmu yang diperoleh karena usaha manusia.

Pembagian ilmu kedalam 2 golongan ini dilakukan karena menurut Al-Qur’an ada hal-hal
yang ada tetapi tidak diketahui manusia, ada pula yang wujud yang tidak

tampak. Ditegaskan dalam Al-Quran antara lain dalam firmanNya pada surat Al-Haqqah ayat
38-39 yang artinya:
“ Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan dengan yang tidak kamu lihat.”

Dari kalimat terakhir jelas bahwa obyek Ilmu ada 2 yakni : materi dan nonmateri, fenomena
dan nonfenomena, bahkan ada yang wujud yang jangankan dilihat diketahui manusia saja
tidak. Dari kutipan-kutipan ayat-ayat diatas jelas bahwa pengetahuan manusia hanyalah
sedikit, dan telah diregaskan oleh Allah dalam firmanNya:“ kamu tidak diberi ilmu (
pengetahuan ) kecuali sedikit.”( Q.S 17 : 85 ). Walaupun sedikit namun manusia harus
memanfaatkannya untuk kemaslahatan manusia.

Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan


ilmiahnya. Disamping itu perlu dikemukakan bahwa manusia memiliki naluri haus
pengetahuan, sebagaimana telah dikemukan Rasulullah dalam sebuah hadistnya :
“ Ada 2 keinginan yang tidak pernah terpuaskan yaitu keinginan menuntut ilmu dan
keinginan mencari harta”

Yang perlu diusahakan adalah mengarahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan


tekhnologi untuk kemaslahatan hidup, bukan untuk merusak dan membahayakan umat
manusia. Pengarahnya adalah agama dan moral yang selaras dengan ajaran agama. Disinilah
letak hubungan antara agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi ( iptek ) yang bersumber dari akal dan penalaran manusia.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Islam mewajibkan kita menuntut ilmu-ilmu dunia yang memberi manfaat dan berguna untuk
menuntut kita dalam hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kita di dunia, agar tiap-
tiap muslim jangan picik ; dan agar setiap muslim dapat mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan yang dapat membawa kemajuan bagi penghuni dunia ini dalam batas-batas
yang diridhai Allah swt.

Mengingat pentingnya ilmu pengetahuan, setelah dipelajari, ia harus diajarkan kepada


orang lain. Rasulullah saw. mengkhawatirkan bila beliau telah wafat dan orang-orang tidak
peduli dengan ilmu pengetahuan, tidak ada lagi orang yang mengerti dengan agama
sehingga orang akan kebingungan.
DAFTAR PUSTAKA

http://anaukhtiisnaeni.blogspot.com/2014/05/klasifikasi-dan-karakteristik-ilmu.html

https://muslim.or.id/587-kebanyakan-manusia-tidak-berilmu.html

https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/19/01/18/pliawk313-menghormati-orang-
berilmu

Anda mungkin juga menyukai