Anda di halaman 1dari 18

PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM AL-QUR’AN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :


TAFSIR TARBAWY

Dosen pengampu:
DR. ABDUL HAMID, Lc., M.Kom.I

Disusun oleh
KELOMPOK 10

Putri Fadilah Maulida ( 3120180084 )


Juwita ( 3120180023 )
Iis Nur Wulandari ( 3120180019 )

UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah SWT
selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Berkat rahmat dan hidayah-
Nya, kami pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam rangka memenuhi tugas mata
kuliah TAFSIR TARBAWY dengan judul “ PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM
AL-QUR’AN Tentunya makalah ini dibuat jauh dari kata sempurna, baik dari gaya bahasa,
penulisan maupun pembahasannya. Oleh karena itu pemakalah meminta maaf sebesar-
besarnya kepada pembaca jika terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Sekiranya para
peserta diskusi dapat memberikan kritikan, saran ataupun argumen lainnya yang dapat
membuat isi pembahasan menjadi sempurna lagi.

Pada akhirnya, kelak pemakalah harapkan makalah ini dapat memberi manfaat
utamanya bagi penyusun / pemakalah maupun pembaca dan bagi umat Muhammad SAW
pada umumnya.

Jakarta, 20 November 2020

Tim penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... 2

DAFTAR ISI.............................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 4

A. Latar Belakang..................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah................................................................................................ 4
C. Tujuan.................................................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 5

A. Pengertian Pendidik dan Peserta didik................................................................. 5


B. Pendidik dan Peserta didik Menurut Al Qur’an Surat Al Kahfi.......................... 5
C. Pendidik dan Peserta didik Menurut Al Qur’an surat Al Baqarah....................... 8
D. Pendidik dan Peserta didikMenuut Al Qur’an surat Ali Imran............................ 12
E. Pendidik dan Peserta didik Menurut Al Qur’an surat Al Hujurat........................ 14

BAB III PENUTUP.................................................................................................. 17

A. Kesimpulan......................................................................................................... 17
B. Saran.................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 18

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan hal yang terus berjalan bahkan sejak manusia baru saja
lahir ke dunia ini. Tidak hanya di lembaga formal pendidikan tersebut berlangsung.
Dimana pun dan kapan pun pendidikan dapat diperoleh.
Dalam keberlangsungannya, ada dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
dunia pendidikan, yakni pendidik dan peserta didik. Keduanya dapat menjadi objek
dan sekaligus menjadi subjek pendidikan tergantung dari sudut mana kita melihatnya.
Nah, untuk lebih jelasnya akan kami paparkan dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah pada materi ini
adalah :

1. Bagaimana tafsir surah Al-Kahfi ayat ke 60-82 ?


2. Bagaimana tafsir surah Al-Baqarah ayat ke 286 ?
3. Bagaimana tafsir surah Ali Imran ayat ke 159 ?
4. Bagaimana tafsir surah Al-Hujurat ayat 11 ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dibuatnya makalah dengan judul “Pendidik dan Peserta Didik dalam Al-
Qur’an” agar selain kita dapat mengerti dan memahami pendidik dan peserta didik
seperti apa yang tercantum dalam Al-Qur’an, juga diharapkan agar kita dapat menjadi
pribadi yang baik, entah itu ketika posisi kita sebagai pendidik maupun sebagai
peserta didik yang selaras dengan firman Allah yang ada dalam Al-Qur’an.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidik dan Peserta Didik

Pendidik, menurut NoengMuhadjir adalah seseorang yang mempribadi


(personifikasi pendidik), yaitu mempribadinya keseluruhan yang diajarkan, bukan
hanya isinya, tapi juga nilainya. Personifikasi pendidik ini merupakan hal yang
penting maknanya bagi kepercayaan peserta didik. Pendidik selain melakukan transfer
ofknowledge, juga seorang motivator dan fasilitator bagi proses belajar peserta
didiknya. Selain pendidik, komponen lainnya yang melakukan proses pendidikan
lainnya adalah peserta didik.

Peserta didik adalah makhluk Allah yang terdidi dari aspek jasmani dan ruhani
yang belum mencapai taraf kematangan, baik fisik, mental, intelektual, maupun
psikologisnya. Oleh karena itu, ia senantiasa memerlukan bantuan, bimbingan, dan
arahan pendidik, agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal dan
membimbingnya menuju kedewasaan.

B. Tafsir surat Al Kahfi ayat 60-82


 Al kahfi ayat 60-79

Dari kisah Nabi Musa As dan Nabi Khidir As yang diceritakan dalam al-
Qur’an pada Surat al-Kahfi ayat 60-82, penulis menyimpulkan beberapa kode etik
yang dapat digunakan ketika berinteraksi dengan guru, yakni:

1) Murid harus mempunyai semangat yang tinggi dan tidak putus asa dalam mencari
ilmu, meski jarak yang ditempuh jauh dan membutuhkan waktu yang lama. Ini adalah
nilai yang terkandung dalam surat al-Kahfi ayat 60-64 yang menceritakan perjuangan
Nabi Musa As untuk mencari Nabi Khidir As meminta Yusya’ bin Nun yang menjadi
rekan perjalanan untuk membawakan makanan untuknya, karena benar-benar lelah
usai menjalani perjalanan jauh dalam mencari Nabi Khidir As (al-Thabary: 127).
2) Seorang murid harus bersikap sopan kepada gurunya, dalam cerita tersebut
tergambarkan ketika Nabi Musa meminta izin untuk mengikuti (baca: belajar) kepada
Nabi Khidir As. Menurut al-Thabary kata ‘abdan min ‘ibadina pada ayat 65 merujuk
kepada Nabi Khidir As. Ayat selanjutnya menceritakan bagaimana Musa As
kemudian mendatangi khidir seraya mengatakan keinginannya untuk berguru kepada
Nabi Khidir (Al-Thabary: 1163). “Musa berkata kepada Khidir, ‘Bolehkah aku
mengikutimu?’”

5
3) Berbaik-sangka dan meyakini bahwa guru lebih pandai dari murid. Dengan
melakukan hal ini akan muncul sifat ketawadu’an kepada guru serta dengan
sendirinya akan menghilangkan sifat sombong. Nilai tersebut diisyaratkan dalam frasa
mimmaullimtarusydan (di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu). Ini
selaras dengan filosofi gelas kosong. Kesombongan pelajar ibarat gelas yang merasa
penuh sehingga tidak akan dapat diisi lagi tambahan ilmu dari gurunya.
4) Murid tidak selayaknya mudah merasa tersinggung, tatkala guru melemahkan/
merendahkan murid dengan perkataannya. “Musa berkata: ‘Insya Allah kamu akan
mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam
sesuatu urusanpun.” (Al-Kahfi: 69). Ayat tersebut merupakan respon dari perkataan
Nabi Khidir As yang telah melemahkan Nabi Musa As dengan perkataan:
“Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan
bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang hal itu? (Al-Kahfi: 67-68). Dalam ayat 68, dapat kita simpulkan
bahwa ketika guru melakukan sesuatu yang terlihat seperti melemahkan/merendahkan
seorang murid, sesungguhnya hal itu disebabkan oleh keadaan guru yang lebih
mengetahui suatu perkara dibandingkan muridnya. Jadi, terkadang logika murid tidak
mampu menangkap rasionalitas tindakan seorang guru. Di sisi lain, ayat ini dapat
dimaknai sebagai sebuah motivasi Nabi Musa As untuk lebih bersabar/lebih giat
dalam belajar agar dapat memahami perkataan/tindakan gurunya.
5) Mempunyai komitmen untuk menjalankan perintah guru. Musa berkata: “InsyaAllah
kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan
menentangmu dalam sesuatu urusanpun.” (Al-Kahfi: 69). Ayat ini merupakan
jawaban Musa As terhadap pernyataan Khidir As bahwa Musa As tidak akan pernah
dapat sabar terhadapnya dikarenakan ketidaktahuan Musa As. Akan tetapi, komitmen
untuk bersabar telah dinyatakan Musa As dari awal kebersamaannya dengan gurunya
(Khidir As).
6) Bertanya kepada guru sesuai dengan izin dan kondisi sang guru. Dia berkata: “Jika
kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu
apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Al-Kahfi:70).
7) Adanya penyesalan dan permintaan maaf kepada guru, ketika murid melakukan
kesalahan. Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan
janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” (Al-
Kahfi:73).
8) Seorang murid harus siap menerima konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan.
Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan
kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya. (AlKahfi: 78). Poin-poin di atas menunjukkan nilai-nilai penghormatan
murid kepada guru.

6
 Al kahfi ayat 80-82

‫) َفَأَر ْد َنا َأْن ُيْبِد َلُهَم ا َر ُّبُهَم ا َخ ْيًر ا ِم ْنُه َزَك اًة‬٨٠( ‫َو َأَّم ا اْلُغالُم َفَك اَن َأَبَو اُه ُم ْؤ ِم َنْيِن َفَخ ِش يَنا َأْن ُيْر ِه َقُهَم ا ُطْغ َياًنا َو ُك ْفًر ا‬
‫) َو َأَّم ا اْلِج َداُر َفَك اَن ِلُغالَم ْيِن َيِتيَم ْيِن ِفي اْلَم ِد يَنِة َو َك اَن َتْح َتُه َك ْنٌز َلُهَم ا َو َك اَن َأُبوُهَم ا َص اِلًح ا َفَأَر اَد‬٨١( ‫َو َأْقَرَب ُرْح ًم ا‬
‫َر ُّبَك َأْن َيْبُلَغا َأُشَّدُهَم ا َو َيْس َتْخ ِر َج ا َك ْنَز ُهَم ا َرْح َم ًة ِم ْن َرِّبَك َو َم ا َفَعْلُتُه َعْن َأْمِر ي َذ ِلَك َتْأِو يُل َم ا َلْم َتْسِطْع َع َلْيِه َصْبًر ا‬
٨٢(

Artinya : “Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang
mukmin, dan Kami khawatir bahwa Dia akan mendorong kedua orang tuanya itu
kepada kesesatan dan kekafiran. Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka
mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya
itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).Adapun dinding rumah
adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda
simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang shaleh, Maka
Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.Demikian itu adalah tujuan perbuata-
perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".

PenjelasanAyat

( ‫) َو َاَّم ا اْلُغَلُم َفَك ا َن َاَبَو اُه ُم ْؤ ِم َنْيِن َفَخ ِش ْيَنا َاْن ُيْر ِهَقُهَم ا ُطْغ َياًنا َو ُك ْفًرا‬
Adapun anak muda, adalah orang kafir, sedang kedua orang tuanya adalah orang-
orang yang beriman. Maka kami takut jika kecintaan kepadanya akan mendorong
mereka untuk mengikuti di dalam kekafirannya.

Qatadah berkata : kedua orang tuanya merasa gembira ketika ia dilahirkan, dan
merasa sedih ketika dia dibunuh. Sekiranya dia masih hidup, niscaya hidupnya itu
akan membawa kepada kebinasaan kedua orang tuanya.

‫َفَاَر ْد َنا َاْنُيْبِد َلُهَم ا َر ُبُهَم ا َخْيًرا ِم ْنُه َزَك وًة َّو َاْقَر َب ُرْح ًم ا‬

Orang alim ini berkata : kami menghendaki agar Allah memberi rezeki kepada kedua
orang tua ini seorang anak yang lebih baik agama dan kesalehannya dibanding anak
yang dibunuh ini, dan lebih dekat kasih sayangnya kepada mereka.

‫َو َاَّم ا اْلِج َداُر َفَك اَن ِلُغَلَم ْيِن َيِتَم ْيِن ِفى اْلَم ِد ْيَنِة َو َك اَن َتْح َتُه َك ْنُزَلُهَم ا َو َك اَن َاُبْو ُهَم ا َص اِلًحا َفَاَر اَد َر ُّبَك َاْنَيْبُلَغا َاُش َّدُهَم ا‬
‫َو َيْسَتْخ ِر َج ا َك ْنُز ُهَم ا َر ْح َم ًة ِّم ْن َر ِّبَك‬

Sesungguhnya, faktor yang mendorong aku untuk menegakkan dinding ialah, karena
di bawahnya terdapat harta benda simpanan milik dua orang anak yatim berada di
kota, sedang bapak mereka adalah seorang yang saleh. Allah berkehendak agar harta
simpanan itu tetap berada dalam kekuasaan kedua anak yatim itu, untuk memelihara
hak mereka dan karena kesalehan bapak mereka.

7
( ‫)َو َم ا َفَع ْلُتُه َع ْن َاْم ِر ْي‬

Aku melakukan apa yang telah kamu lihat sendiri itu tidak berdasarkan pikiran dan
kehendakku sendiri, tetapi karena Allah memerintahkannya kepadaku. Sebab,
pengurangan harta manusia dan penumpahan darah mereka hanya boleh dilakukan
berdasarkan wahyu dan nas yang qat’i.

‫ٰذ ِلَك َتْأِوْيُل َم ا َلْم َتْس ِط ْع َع َلْيِه َص ْبًرا‬


Hal-hal yang menyebabkan aku melakukan perbuatan-perbuatan yang kamu ingkari,
yang aku ceritakan kepadamu ini adalah penjelasan tentang akibat perbuatan yang
karenanya kamu merasa sempit dan tidak bisa bersabar sebelum aku
memberitahukannya lebih dahulu.

Asbabun Nuzul

Asbabun nuzul ayat 80-81adalah seseorang bernama Ghulam yang dibunuh


oleh Nabi Khidir (berdasarkan syari’at Nabi Khidir, hanya berlaku pada syari’at Nabi
Khidir dan tidak berlaku bagi syari’at yang lain) karena kekhawatirannya bahwa si
anak (saat dewasa) akan membawa kesesatan dan kekafiran bagi kedua orang tuanya,
sebab kecintaan orang tua terhadap anak tersebut.

Relevansi dengan pendidikan

Peserta didik mencari ilmu pada orang yang lebih pandai darinya, diperlukan
adab kesopanan dalam proses belajar mengajar. Mencari dan menambah ilmu itu
tanpa batas meskipun seseorang telah dalam kedudukan tinggi.

C. Tafsir surat Al Baqarah ayat 286

‫اَل ُيَك ِّلُف ٱُهَّلل َنْفًس ا ِإاَّل ُوْسَعَهاۚ َلَها َم ا َك َسَبْت َو َع َلْيَها َم ا ٱْك َتَسَبْت ۗ َر َّبَنا اَل ُتَؤ اِخ ْذ َنٓا ِإن َّنِس يَنٓا َأْو َأْخ َطْأَناۚ َر َّبَنا َو اَل‬
‫َتْح ِم ْل َع َلْيَنٓا ِإْص ًر ا َك َم ا َح َم ْلَت ۥُه َع َلى ٱَّلِذ يَن ِم ن َقْبِلَناۚ َر َّبَنا َو اَل ُتَح ِّم ْلَنا َم ا اَل َطاَقَة َلَنا ِبِهۦۖ َو ٱْعُف َع َّنا َو ٱْغ ِفْر َلَنا‬
‫َو ٱْر َح ْم َنٓاۚ َأنَت َم ْو َلٰىَنا َفٱنُصْر َنا َع َلى ٱْلَقْو ِم ٱْلَٰك ِفِر يَن‬

Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana
Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah
kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."

Asbabun Nuzul
8
Imam Muslim mengeluarkan di dalam kitab Shahih-nya dan juga dikeluarkan
oleh periwayat lainnya, dari Abu Hurairah, dia berkata, “Tatkala turun ayat
[artinya], ‘Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatanmu itu” (Al-Baqarah:284) beratlah hal itu bagi para shahabat. Lalu mereka
mendatangi Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam, dengan merangkak atau bergeser
dengan bertumpu pada pantat seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami sudah
dibebankan amalan-amalan yang mampu kami lakukan; shalat, puasa, jihad dan
sedekah (zakat) dan sekarang telah diturunkan padamu ayat ini padahal kami tidak
sanggup melakukannya.’
Lalu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ‘Apakah kalian ingin
mengatakan sebagaimana yang dikatakan Ahli Kitab sebelum kamu; kami dengar
namun kami durhaka? Tetapi katakanlah ‘kami dengar dan patuh, Wahai Rabb, kami
mohon ampunan-Mu dan kepada-Mu tempat kembali.’ Tatkala mereka mengukuhkan
hal itu dan lisan mereka telah kelu, turunlah setelah itu ayat ‘AamanarRasuul…
sampai al-Mashiir. (al-Baqarah:285)’ Dan tatkala mereka melakukan hal itu, Allah
pun menghapus (hukum)-nya dengan menurunkan firman-Nya, “LaaYukallifullah…
hingga selesai.(al-Baqarah:286)” [HR.Muslim, no.125 dan Ahmad, II/412]

Penafsiran

‫اَل ُيَك ِّلُف ُهّٰللا َنۡف ًسا ِااَّل ُو ۡس َعَها‬

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.”

Keimanan dibuktikan dengan kesiapan menjalankan segala perintah dan menjauhi


segala larangan Allah, jangan merasa enggan sedikitpun untuk menaatinya, karena
tidak ada yang memberatkan. Apa yang diperintahkan Allah sudah disesuaikan
dengan kemampuan manusia untuk menjalankannya. Aapa yang dilarang Allah sudah
sesuai dengan kemampuan manusia untuk menjauhinya. Jika ada suatu perintah
dirasakan berat, bukan bobot perintahnya yang berat, tapi hati dan keadaan yang
mempengaruhinya. Berat atau ringannya menjalankan tugas, sangat dipengaruhi oleh
persepsi individu dalam mengemban tugas tersebut. Semua itu mengisyaratkan bahwa
setiap aturan syari’ah sudah sesuai dengan kemampuan manusia. Bila ada sutu
perintah yang berat dalam situasi tertentu, maka Allah memberikan solusi
mengatasinya.

‌ؕ‫َلَها َم ا َك َسَبۡت َو َع َلۡي َها َم ا اۡك َتَسَبۡت‬

9
“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya.”

Setiap individu memperoleh hasil dari apa yang diusahakannya, Tangan menjinjing
bahulah yang memikulnya. Orang yang beramal baik, akan mendapatkan manfaat dari
kebaikannya. Orang yang beramal buruk akan bertanggung jawab atas keburukannya.
Berbuatlah baik, kalau ingin mendapatkan kebaikan. Jangan berbuat buruk, bila tidak
ingin memikul akibat keburukan. Allah SWT akan memperhitungkan apa yang
diperbuat manusia, apakah kebaikan ataukah keburukan. Ditandaskan pula dalam
surah Az-Zalzalah ayat 7-8 seperti berikut:

‫َفَم ۡن َّيۡع َم ۡل ِم ۡث َقاَل َذ َّرٍة َخ ۡي ًر ا َّيَر ه َو َم ۡن َّيۡع َم ۡل ِم ۡث َقاَل َذ َّرٍة َش ًّر ا َّيَر ه‬

Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun,


niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan
sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”

‫َر َّبَنا اَل ُتَؤ اِخ ْذ َنٓا ِإن َّنِس يَنٓا َأْو َأْخ َطْأَناۚ َر َّبَنا َو اَل َتْح ِم ْل َع َلْيَنٓا ِإْص ًرا َك َم ا َح َم ْلَت ۥُه َع َلى ٱَّلِذ يَن ِم ن َقْبِلَناۚ َر َّبَنا َو اَل ُتَحِّم ْلَنا َم ا‬
‫اَل َطاَقَة َلَنا ِبِهۦۖ َو ٱْعُف َع َّنا َو ٱْغ ِفْر َلَنا َو ٱْر َحْم َنٓاۚ َأنَت َم ْو َلٰى َنا َفٱنُصْر َنا َع َلى ٱْلَقْو ِم ٱْلَٰك ِفِريَن‬

”(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami
beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
Orang yang beriman menghadapi perintah apapun selalu siap menjalankannya.
Demikian pula bila menerima cegahan, maka mereka siap meninggalkannya. Bila
ternyata larangan dan perintah tersebut ada yang dirasakan berat, maka tetap tidak
menolaknya melainkan bermohon kepada Allah untuk mendapatkan keringanan. Inti
do’a ini adalah ungkapan keyakinan bahwa segala yang diperintahkan Allah itu sudah
disesuaikan dengan kemampuan manusia. Jika dirasakan ada yang berat, itu
merupakan kelemahan diri. Oleh karena itu mohon diberi keringanan, bila terlanjur
berbuat kesalahan, agar diganti dengan rahmat dan maghfirah. Kemudian karena
dalam melaksanakan syari’ah itu banyak tantangan dari kalangan kafirin, maka
bermohon pada-Nya agar mampu mengalahkan kafirin.

Relevansi dengan pendidikan

10
Pendidik hendaknya selalu siap untuk berperan menjadi seorang pendidik,
baik menjalankan perintah untuk mentransfer ilmu, mendidik, dan menjadi teladan
yang baik bagi peserta didiknya. Begitu pula sebaliknya, peserta didik hendaknya
selalu siap menjalankan perintah dari pendidik dan tidak melakukan apa yang
dilarangnya. Pendidik senantiasa memudahkan peserta didiknya dalam proses belajar
mengajar, memaafkan kesalahan peserta didik sembari menasehati dan mengingatkan
dalam kebaikan.
Para sahabat bertanya kepada Rasul siapakah di antara kami yang tidak pernah
berbuat zalim, kemudian Rasul menjelaskan ayat di atas bahwa yang di maksu dengan
kezaliman dalam ayat tersebut adalah kesyirikan.
Di zaman para sahabat mereka tidak semuanya menghafalkan Al-Qur’an
secara keseluruhan. Kebanyakan di antara mereka hanya menghafalkan ayat yang
mereka kumpulkan dan yang mereka pahami maknanya. Seperti Usman bin Affan,
Abullah bin Mas’ud.14 Mereka mempelajari sepuluh ayat Al-Qur’an, tidak
menambahnya sampai mereka benar-benar memahami dan mengamalkannya. Bahkan
Umar r.a. mempelajari surah al-Baqarah selama dua belas tahun lamanya. 15 Sejak
zaman para sahabat Al-Qur’an telah banyak ditafsirkan seperti yang dilakukan oleh
Abu Bakar r.a., Umar, dan Ibnu Abas. Dari sini dapat diketahui bahwa ilmu Al-
Qur’an telah ada sejak zaman para sahabat, namun belum dibukukan. Hal ini terjadi
mungkin karena kekhawatiran para sahabat adanya percampuran antara Al-Qur’an
dan Hadis, karena penulisan Hadis pernah dilarang oleh Nabi SAW. “Janganlah
kalian menulis dari aku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulisnya maka
hendaknya menghapusnya” RHR. Muslim). Namun penulisan tentang agama sudah
ada sejak zaman Ali r.a. Ia pernah memerintahkan Abal Aswad untuk menulis ilmu
nahu. Pada zaman Umar bin Abdul Azis, khalifah dari Bani Umayyah, penulisan
buku-buku tentang agama Islam mulai digalakkan. Pada zaman inilah penulisan dan
pengumpulan ilmu Hadis, begitu pula pada zaman Bani Abasiyah. Penulisan dan
pengumpulan buku-buku Islam telah tersebar luas, pada zaman ini ilmu agama,
bahasa arab, begitu pula ilmu filsafat telah banyak dibukukan. Pada zaman ini pula
ilmu Al-Qur’an ditulis, namun ilmu Al-Qur’an yang dimaksud adalah ilmu tentang
penafsiran, yang pertama kali menulis tentang tafsir adalah Sofiyan AtsauriRw. 161
H), kemudian Sofiyan bin UyainaRw. 198 H), Waki’ bin al-JarrahRw. 197 H),
Syu’bah bin al-HajajRw. 160 H ), Muqatil bin Sulaiman Rw. 150 H).
Akan tetapi, tafsir mereka hanya mengumpulkan perkataan-perkataan sahabat
dan tabi’in, kemudian tafsir mereka dibaca oleh Muhammad bin Jarirat-ThabariRw.
310 H) yang kemudian menghasilkan tafsir terkenal dengan nama tafsir at-Thabari.
Pada zaman beliau inilah penulisan tafsir terbagi menjadi dua yaitu, tafsir bilma’tsur
dan ghaurul ma’tsur.
1

1
Abdul Hamid, (2016). Pengantar Studi Al Qur’an. Jakarta : Kencana, Cet-1, h. 11-13

11
D. Tafsir Surah Ali Imran ayat 159

‫َفِبَم ا َر ْح َم ٍة ِّم َن ٱِهَّلل ِلنَت َلُهْم ۖ َو َلْو ُك نَت َفًّظا َغ ِليَظ ٱْلَقْلِب ٱَلنَفُّض و۟ا ِم ْن َح ْو ِلَك ۖ َفٱْعُف َع ْنُهْم َو ٱْسَتْغ ِفْر َلُهْم َو َش اِو ْر ُهْم ِفى‬
‫ٱَأْلْم ِرۖ َفِإَذ ا َع َز ْم َت َفَتَو َّك ْل َع َلى ٱِهَّللۚ ِإَّن ٱَهَّلل ُيِح ُّب ٱْلُم َتَو ِّك ِليَن‬

Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Asbabun Nuzul

Sebab-sebab turunya ayat ini kepada Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa salam
adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Ibnu Abbas ra menjelaskan
bahwasanya setelah terjadinya perang Uhud, Rasulullah mengadakan musyawarah
dengan Abu Bakar ra dan Umar bin Khaththabra untuk meminta pendapat meraka
tentang para tawanan perang, Abu Bakar ra berpendapat, meraka sebaiknya
dikembalikan kepada keluargannya dan keluargannya membayar tebusan. Namun,
Umar ra berpendapat mereka sebaiknya dibunuh. Yang diperintah membunuh adalah
keluarganya. Rasulullah mesulitan dalam memutuskan. Kemudian turunlah ayat ini
sebagai dukungan atas Abu Bakar. Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya yakni
surah Ali Imran ayat 158.

Penafsiran

Makna ayat adalah ketika Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam bersikap


lemah-lembut dengan orang yang berpaling pada perang uhud dan tidak bersikap
kasar terhadap mereka maka Allah SWT menjelaskan bahwa beliau dapat melakukan
itu dengan sebab taufiq-Nya kepada beliau.
Prof Hamka Menjelaskan tentang QS. Ali Imran ini, dalam ayat ini bertemulah
pujian yang tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah
lembut, tidak lekas marah kepada ummatNya yang tengah dituntun dan dididiknya
iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalah beberapa orang yang
meninggalkan tugasnya, karena laba akan harta itu, namun Rasulullah tidaklah terus
marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin.
Dalam ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul, bahwasanya
sikap yang lemah lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh
Allah rahmatNya. Rasa rahmat, belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Allah
ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau
dalam memimpin. Meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam perang uhud
sehingga menyebabkan kaum muslimin menderita, tetapi Rasulullah tetap bersikap

12
lemah lembut dan tidak marah terhadap pelanggar itu, bahkan memaafkannya.
Andaikata Nabi Muhammad sawsallallahu ‘alaihi wa salam, berhati kasar tentulah
mereka akan menjauhkan diri dari beliau. Disamping itu Nabi Muhammad selalu
bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, apalagi dalam urusan peperangan.
Oleh karena itu kaum muslimin patuh melaksanakan putusan- putusan musyawarah
itu karena keputusan itu merupakan keputusan mereka sendiri bersama Nabi. Mereka
tetap berjuang dan berjihad dijalan Allah dengan tekad ayng bulat tanpa
menghiraukan bahaya dan kesulitan yang mereka hadapi. Mereka bertawakal
sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum muslimin
selain Allah.
M. QuraishShihab di dalam Tafsirnya al-Misbah menyatakan bahwa ayat ini
diberikan Allah kepada Nabi Muhammad untuk menuntun dan membimbingnya,
sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nabi kepada kaum muslimin, khususnya
mereka yang telah melakukan pelanggaran dan kesalahan dalam perang uhud itu.
Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung
emosi manusia untuk marah, namun demikian, cukup banyak pula bukti yang
menunjukankelemahlembutan Nabi sallallahu ‘alaihi wa salam. Beliau
bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan perang, beliau menerima
usukan mayoritas mereka, walau beliau kurang berkenan, beliau tidak memaki dam
mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya
menegurnya dengan halus, dan lain lain.

Relevansi dengan pendidikan

Pendidik hendaknya dapat berlemah lembut terhadap peserta didiknya


khususnya dalam proses pembelajaran, menyenangkan dan tidak membosankan
sehingga peserta didik mampu menerima ilmu dengan baikPendidik juga harus
melakukan diskusi dengan peserta didiknya, apa yang menjadi kendala mereka dalam
pelajaran, apa yang menjadi keinginan mereka dalam proses pembelajaran misalnya
dalam penggunaan metode atau pemberian tugas dan lain sebagainya. Jangan sampai
pendidik menjadi orang yang otoriter, tidak menerima masukan dari peserta didiknya.
Ketika kita menemukan kesalahan dari peserta didik, dalam menyerap pelajaran, sulit
diatur dan sebagainya. Jangan lantas kita membeci mereka, memperlakukan mereka
dengan kasar dan keras, menghukum mereka secara berlebihan atau bahkan
mengatakan mereka dengan perkataan yang kotor. Karena hal itu tidak akan
menyelesaikan masalah akan tetapi justru akan meimbulkan banyak masalah bagi
pendidik itu sendiri lebih-lebih bagi peserta didik yang masih dalam tahap
pembelajaran. Maafkanlah semua kesalahan mereka seraya menesehati mereka
dengan lemah lembut, bukan berarti lemah lembut itu tidak tegas, tetapi lemah lembut
dalam menasehatinyadenagan tutur kata yang baik dan tidak menyudutkan mereka,
karena mereka adalah tanggung jawab pendidik.

13
E. Surah Al Hujurat ayat 11

‫اَل َيْس َخ ْر َقْو ٌم ِّم ن َقْو ٍم َع َس ٰٓى َأن َيُك وُنو۟ا َخ ْيًر ا ِّم ْنُهْم َو اَل ِنَس ٓاٌء ِّم ن ِّنَس ٓاٍء َع َس ٰٓى َأن َيُك َّن َخ ْيًر ا ِّم ْنُهَّن ۖ َو اَل‬ ‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنو۟ا‬
‫َّٰظ‬ ‫َٰٓل‬
‫َتَناَبُزو۟ا ِبٱَأْلْلَٰق ِبۖ ِبْئَس ٱٱِلْس ُم ٱْلُفُس وُق َبْعَد ٱِإْل يَٰم ِن ۚ َو َم ن َّلْم َيُتْب َفُأ۟و ِئَك ُهُم ٱل ِلُم وَن‬ ‫َتْلِم ُز ٓو ۟ا َأنُفَس ُك ْم َو اَل‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-


laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan
lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela
dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka Itulah orang-orang yang dzalim.”

Asbabun Nuzul

Diriwayatkan bahwa ayat ke 11 dari surah alHujurat diturunkan berkenaan


dengan tingkah laku kabilah Bani Tamim yang pernah berkunjunng kepada
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam, lalu mereka memperolok-olok beberapa
sahabat yang fakir dan miskin seperti ‘Ammar, Suhaib, Bilal, Khabbab, Salman Al-
Farisi dan lainnya karena pakaian mereka sangat sederhana.
Ada pula yang mengemukakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kisah
Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab yang pernah datang menghadap Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa salam, melaporkan bahwa beberapa perempuan di Madinah
pernah menegurnya dengan kata-kata yang menyakitkan hati seperti :
“Hai perempuan Yahudi, keturunan Yahudi, dan sebagainya”. Sehingga Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepadanya, “Mengapa tidak kau jawab saja,
ayahku Nabi Harun, pamanku Nabi Musa dan suamiku Muhammad.”
Selain itu, ada juga yang mengaitkan dengan situasi di Madinah. Ketika Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa salam tiba di sana, orang-orang Anshar banyak yang mempunyai
nama lebih dari satu. Jika mereka dipanggil oleh kawan mereka, yang kadang-kadang
dipanggil dengan panggilan yang tidak disukainya dan setelah hal tersebut dilaporkan
kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam maka turunlah ayat ini.

Munasabah

Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah telah menjelaskan bagaimana mendamaikan


dua kelompok muslimin yang bertikai dan sesama orang Islam adalah saudara. Lalu
dijelaskan pada ayat ini bagaimana sebaiknya pergaulan orang-orang yang beriman.
Di antaranya, mereka dilarang memperolok-olok saudara mereka dengan memanggil
mereka dengan gelar yang buruk atau berbagai tindakan yang menjurus ke arah
permusuhan dan kedzaliman.

14
Makna kata ‫َو َال َتْلِم ُز ْو ا‬
Kata talmizuu berarti memberi isyarat disertai dengan berbisik-bisik dengan maksud
mencela. Ejekan ini biasanya langsung ditujukan kepada seseorang yang diejek, baik
dengan isyarat mata, bibir, kepala, tangan atau yang lainnya.

Dalam ayat ini Allah melarang kita untuk melakukan lamz terhadap diri sendiri
(talmizuanfusakum), padahal yang dimaksud adalah orang lain. Pengungkapan
anfusakum dimaksudkan bahwa antara sesama manusia adalah saudara dan satu
kesatuan, sehingga apa yang diderita oleh saudara kita artinya diderita juga oleh diri
kita sendiri. Maka siapa yang mencela atau mengejekorang lain sesungguhnya dia
telah mengejek dirinya sendiri. Kalimat tersebut juga dapat diartikan agar tidak
melakukan suatu tindakan yang membuat orang lain mengejek dirinya.

‫َو َال َتَناَبُز ْو ا‬


Kata tanaabazuu berarti memberikan julukan dengan maksud mencela. Tanaabazuu
melibatkan dua pihak yang saling memberikan julukan, atau gelar yang buruk.
Hampir sama maknanya dengan lamz. Hanya saja dalam kata taanabazuu ada makna
keterusterangan dan timbal balik. Seseorang yang melakukan lamz belum tentu di
hadapan orang yang dicelanya.

Penafsiran

Pada ayat tersebut, Allah mengingatkan orang-orang yang beriman supaya


jangan ada suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi, mereka
yang diolok-olok itu pada sisi Allah jauh lebih mulia dan terhormat dari mereka yang
mengolok-olokkan. Begitu pula di kalangan perempuan, jangan ada segolongan
perempuan yang mengolok-olok perempuan yang lain karena boleh jadi, mereka yang
diolok-olok itu di sisi Allah jauh lebih baik dari perempuan-perempuan yang
mengolok-olok.
Allah melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena kaum
mukninin semuanya harus dipandang sebagai satu tubuh yang diikat dengan kesatuan
dan persatuan. Allah melarang pula memanggil dengan panggilan yang buruk seperti :
hai fisik, hai kafir, dan yang sebagainya. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Abu Hurairah dikatakan bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam
bersabda “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupamu dan harta
kekayaanmu, akan tetapi Dia memandang kepada hati dan perbuatanmu”. Hadits
tersebut mengisyaratkan bahwa seorang hamba tidak boleh memastikan kebaikan dan
keburukan seseorang semata-mata kerena melihat kepada perbuatannya saja, sebab
ada kemungkinan seseorang tampak mengerjakan kebajikan padahal Allah melihat di
dalam hatinya ada sifat yang tercela. Begitupun sebaliknya, mungkin ada orang yang
kelihatannya melakukan suatu keburukan tapi Allah melihat di dalam hatinya ada
rasa penyesalan yang besar yang mendorongnya bertaubat dari dosanya. Jadi,
perbuatan yang tampak di luar itu hanya merupakan tanda-tanda saja yang (sering)
menimbulkan sangkaan yang kuat, tetapi belum sampai pada tingkatan meyakinkan.

15
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini
menerangkan bahwa ada seorang laki-laki yang pernah pada masa mudanya
mengerjakan perbuatan buruk, lalu ia bertaubat dari dosanya, maka Allah melarang
siapa saja yang menyebut-nyebut lagi keburukannya di masa yang lalu karena hal itu
dapat membangkitkan perasaan yang tidak baik. Itulah sebabnya Allah melarang
memanggil dengan panggilan dan gelar yang buruk. Adapun panggilan yang
mengandung penghormatan tidak dilarang, seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan
As-Siddiq, kepada ‘Umar dengan Al-Faruq, kepada Khalid bin Walid dengan sebutan
Saifullah, dan sebagainya.Panggilan yang buruk dilarang untuk diucapakan setelah
orangnya beriman karena gelar-gelar itu mengingatkan pada kedurhakaan yang telah
lewat dan tidak pantas dilontarkan.

Relevansi dalam pendidikan

Antara pendidik dan peserta didik hendaknya tidak saling menjelek-jelekkan,


saling berhusnudzan dan senantiasa mengingatkan dalam hal kebaikan. Pendidik tidak
boleh memanggil peserta didik dengan panggilan yang buruk, begitu pula sebaliknya.
Pendidik memperlakukan peserta didiknya dengan baik, sesuai batas kewajaran, tidak
merendahkan mereka karena pada hakikatnya semua manusia adalah sama di hadapan
Allah.

BAB III

16
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab tidak hanya


mentranferkan ilmu pengethuan, namun juga bertugas mendidik, mengarahkan,
memotivasi dan sebagai fasilitator bagi peserta didiknya. Peserta didik ialah mereka
yang memiliki potensi, bakat dan minat namun masih memerlukan bimbingan, dan
arahan dari pendidik. Dalam surah al-Kahfi ayat 60-82, Allah menjelaskan bahwa
etika atau adab antara pendidik dan peserta didik sangat di utamakan dan menuntut
ilmu itu tanpa batas meskipun seseorang itu sudah dalam tingkatan tinggi.
Dalam surah al-Baqarah ayat 286, Allah menjelaskan kepada kita untuk
senantiasa memohon dan berdo’a kepada-Nya, agar kita selalu siap menjalankan
segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Dalam surah Ali Imran ayat 159, Allah memerintahkan kita untuk senantiasa
berlemah lembut kepada sesama, bermusyawarah dalam segala urusan serta
memaafkan kesalahan orang lain.
Dalam surah al-Hujurat ayat 11, Allah melarang kita untuk mengolok-olok
orang lain dan menjelek-jelekkan mereka baik dalam perkataan, isyarat, maupun
dalam hal perbuatan.

B. Saran

Demikian kami selaku penulis mengakui bahwa dalam penulisan makalah ini
tidaklah sempurna, dan masih banyak kekurangan yang harus kami perbaiki. Untuk
itu kami mengharap masukkan dan saran yang bersifat membangun dari para
senior/dosen pengampu yang membimbing kami dalam pembuatan makalah. Yang
terakhir, semoga makalah ini bisa memberikan manfaat yang besar terutama bagi
penulis dan para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

17
Hamid,A.(2016). Pengantar studi Al-Qur'an. Jakarta: kencana

Hasan Langgulung.1988. “Pendidikan Islam Menghadapi Abad Ke-21”. Jakarta : Pustaka Al-
Husna

Ibrahim bin Sulaiman al-Huwaimil. ”Silsilah ManaahijDawraatal-‘Uluumasy-Syar’iyyah-


Fi`ahan-Naasyi`ah”.

Tafsir al-Maraghi oleh Ahmad Musthafa Al-Maraghi jilid 3 oleh penerbit toha putra,
semarang 1993

Terjemah tafsir almaraghi juz 16, 17, 18

Tafsir Al-Qurthubi; penerjemahmDusi Rosyadi, Nashirul Haq, Fathurrahman, editor, Ahmad


Zubairin. 2008. Jakarta: Pustaka Azzam

Hamka. 1980.”Tafsir Al-Azhar”. Jakarta: Pustaka Panjimas.

18

Anda mungkin juga menyukai