Dosen pengampu:
DR. ABDUL HAMID, Lc., M.Kom.I
Disusun oleh
KELOMPOK 10
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah SWT
selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Berkat rahmat dan hidayah-
Nya, kami pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam rangka memenuhi tugas mata
kuliah TAFSIR TARBAWY dengan judul “ PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM
AL-QUR’AN Tentunya makalah ini dibuat jauh dari kata sempurna, baik dari gaya bahasa,
penulisan maupun pembahasannya. Oleh karena itu pemakalah meminta maaf sebesar-
besarnya kepada pembaca jika terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Sekiranya para
peserta diskusi dapat memberikan kritikan, saran ataupun argumen lainnya yang dapat
membuat isi pembahasan menjadi sempurna lagi.
Pada akhirnya, kelak pemakalah harapkan makalah ini dapat memberi manfaat
utamanya bagi penyusun / pemakalah maupun pembaca dan bagi umat Muhammad SAW
pada umumnya.
Tim penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................... 2
DAFTAR ISI.............................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 4
A. Latar Belakang..................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah................................................................................................ 4
C. Tujuan.................................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 5
A. Kesimpulan......................................................................................................... 17
B. Saran.................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 18
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang terus berjalan bahkan sejak manusia baru saja
lahir ke dunia ini. Tidak hanya di lembaga formal pendidikan tersebut berlangsung.
Dimana pun dan kapan pun pendidikan dapat diperoleh.
Dalam keberlangsungannya, ada dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
dunia pendidikan, yakni pendidik dan peserta didik. Keduanya dapat menjadi objek
dan sekaligus menjadi subjek pendidikan tergantung dari sudut mana kita melihatnya.
Nah, untuk lebih jelasnya akan kami paparkan dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah pada materi ini
adalah :
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dibuatnya makalah dengan judul “Pendidik dan Peserta Didik dalam Al-
Qur’an” agar selain kita dapat mengerti dan memahami pendidik dan peserta didik
seperti apa yang tercantum dalam Al-Qur’an, juga diharapkan agar kita dapat menjadi
pribadi yang baik, entah itu ketika posisi kita sebagai pendidik maupun sebagai
peserta didik yang selaras dengan firman Allah yang ada dalam Al-Qur’an.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Peserta didik adalah makhluk Allah yang terdidi dari aspek jasmani dan ruhani
yang belum mencapai taraf kematangan, baik fisik, mental, intelektual, maupun
psikologisnya. Oleh karena itu, ia senantiasa memerlukan bantuan, bimbingan, dan
arahan pendidik, agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal dan
membimbingnya menuju kedewasaan.
Dari kisah Nabi Musa As dan Nabi Khidir As yang diceritakan dalam al-
Qur’an pada Surat al-Kahfi ayat 60-82, penulis menyimpulkan beberapa kode etik
yang dapat digunakan ketika berinteraksi dengan guru, yakni:
1) Murid harus mempunyai semangat yang tinggi dan tidak putus asa dalam mencari
ilmu, meski jarak yang ditempuh jauh dan membutuhkan waktu yang lama. Ini adalah
nilai yang terkandung dalam surat al-Kahfi ayat 60-64 yang menceritakan perjuangan
Nabi Musa As untuk mencari Nabi Khidir As meminta Yusya’ bin Nun yang menjadi
rekan perjalanan untuk membawakan makanan untuknya, karena benar-benar lelah
usai menjalani perjalanan jauh dalam mencari Nabi Khidir As (al-Thabary: 127).
2) Seorang murid harus bersikap sopan kepada gurunya, dalam cerita tersebut
tergambarkan ketika Nabi Musa meminta izin untuk mengikuti (baca: belajar) kepada
Nabi Khidir As. Menurut al-Thabary kata ‘abdan min ‘ibadina pada ayat 65 merujuk
kepada Nabi Khidir As. Ayat selanjutnya menceritakan bagaimana Musa As
kemudian mendatangi khidir seraya mengatakan keinginannya untuk berguru kepada
Nabi Khidir (Al-Thabary: 1163). “Musa berkata kepada Khidir, ‘Bolehkah aku
mengikutimu?’”
5
3) Berbaik-sangka dan meyakini bahwa guru lebih pandai dari murid. Dengan
melakukan hal ini akan muncul sifat ketawadu’an kepada guru serta dengan
sendirinya akan menghilangkan sifat sombong. Nilai tersebut diisyaratkan dalam frasa
mimmaullimtarusydan (di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu). Ini
selaras dengan filosofi gelas kosong. Kesombongan pelajar ibarat gelas yang merasa
penuh sehingga tidak akan dapat diisi lagi tambahan ilmu dari gurunya.
4) Murid tidak selayaknya mudah merasa tersinggung, tatkala guru melemahkan/
merendahkan murid dengan perkataannya. “Musa berkata: ‘Insya Allah kamu akan
mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam
sesuatu urusanpun.” (Al-Kahfi: 69). Ayat tersebut merupakan respon dari perkataan
Nabi Khidir As yang telah melemahkan Nabi Musa As dengan perkataan:
“Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan
bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang hal itu? (Al-Kahfi: 67-68). Dalam ayat 68, dapat kita simpulkan
bahwa ketika guru melakukan sesuatu yang terlihat seperti melemahkan/merendahkan
seorang murid, sesungguhnya hal itu disebabkan oleh keadaan guru yang lebih
mengetahui suatu perkara dibandingkan muridnya. Jadi, terkadang logika murid tidak
mampu menangkap rasionalitas tindakan seorang guru. Di sisi lain, ayat ini dapat
dimaknai sebagai sebuah motivasi Nabi Musa As untuk lebih bersabar/lebih giat
dalam belajar agar dapat memahami perkataan/tindakan gurunya.
5) Mempunyai komitmen untuk menjalankan perintah guru. Musa berkata: “InsyaAllah
kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan
menentangmu dalam sesuatu urusanpun.” (Al-Kahfi: 69). Ayat ini merupakan
jawaban Musa As terhadap pernyataan Khidir As bahwa Musa As tidak akan pernah
dapat sabar terhadapnya dikarenakan ketidaktahuan Musa As. Akan tetapi, komitmen
untuk bersabar telah dinyatakan Musa As dari awal kebersamaannya dengan gurunya
(Khidir As).
6) Bertanya kepada guru sesuai dengan izin dan kondisi sang guru. Dia berkata: “Jika
kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu
apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Al-Kahfi:70).
7) Adanya penyesalan dan permintaan maaf kepada guru, ketika murid melakukan
kesalahan. Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan
janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” (Al-
Kahfi:73).
8) Seorang murid harus siap menerima konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan.
Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan
kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya. (AlKahfi: 78). Poin-poin di atas menunjukkan nilai-nilai penghormatan
murid kepada guru.
6
Al kahfi ayat 80-82
) َفَأَر ْد َنا َأْن ُيْبِد َلُهَم ا َر ُّبُهَم ا َخ ْيًر ا ِم ْنُه َزَك اًة٨٠( َو َأَّم ا اْلُغالُم َفَك اَن َأَبَو اُه ُم ْؤ ِم َنْيِن َفَخ ِش يَنا َأْن ُيْر ِه َقُهَم ا ُطْغ َياًنا َو ُك ْفًر ا
) َو َأَّم ا اْلِج َداُر َفَك اَن ِلُغالَم ْيِن َيِتيَم ْيِن ِفي اْلَم ِد يَنِة َو َك اَن َتْح َتُه َك ْنٌز َلُهَم ا َو َك اَن َأُبوُهَم ا َص اِلًح ا َفَأَر اَد٨١( َو َأْقَرَب ُرْح ًم ا
َر ُّبَك َأْن َيْبُلَغا َأُشَّدُهَم ا َو َيْس َتْخ ِر َج ا َك ْنَز ُهَم ا َرْح َم ًة ِم ْن َرِّبَك َو َم ا َفَعْلُتُه َعْن َأْمِر ي َذ ِلَك َتْأِو يُل َم ا َلْم َتْسِطْع َع َلْيِه َصْبًر ا
٨٢(
Artinya : “Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang
mukmin, dan Kami khawatir bahwa Dia akan mendorong kedua orang tuanya itu
kepada kesesatan dan kekafiran. Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka
mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya
itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).Adapun dinding rumah
adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda
simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang shaleh, Maka
Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.Demikian itu adalah tujuan perbuata-
perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".
PenjelasanAyat
( ) َو َاَّم ا اْلُغَلُم َفَك ا َن َاَبَو اُه ُم ْؤ ِم َنْيِن َفَخ ِش ْيَنا َاْن ُيْر ِهَقُهَم ا ُطْغ َياًنا َو ُك ْفًرا
Adapun anak muda, adalah orang kafir, sedang kedua orang tuanya adalah orang-
orang yang beriman. Maka kami takut jika kecintaan kepadanya akan mendorong
mereka untuk mengikuti di dalam kekafirannya.
Qatadah berkata : kedua orang tuanya merasa gembira ketika ia dilahirkan, dan
merasa sedih ketika dia dibunuh. Sekiranya dia masih hidup, niscaya hidupnya itu
akan membawa kepada kebinasaan kedua orang tuanya.
َفَاَر ْد َنا َاْنُيْبِد َلُهَم ا َر ُبُهَم ا َخْيًرا ِم ْنُه َزَك وًة َّو َاْقَر َب ُرْح ًم ا
Orang alim ini berkata : kami menghendaki agar Allah memberi rezeki kepada kedua
orang tua ini seorang anak yang lebih baik agama dan kesalehannya dibanding anak
yang dibunuh ini, dan lebih dekat kasih sayangnya kepada mereka.
َو َاَّم ا اْلِج َداُر َفَك اَن ِلُغَلَم ْيِن َيِتَم ْيِن ِفى اْلَم ِد ْيَنِة َو َك اَن َتْح َتُه َك ْنُزَلُهَم ا َو َك اَن َاُبْو ُهَم ا َص اِلًحا َفَاَر اَد َر ُّبَك َاْنَيْبُلَغا َاُش َّدُهَم ا
َو َيْسَتْخ ِر َج ا َك ْنُز ُهَم ا َر ْح َم ًة ِّم ْن َر ِّبَك
Sesungguhnya, faktor yang mendorong aku untuk menegakkan dinding ialah, karena
di bawahnya terdapat harta benda simpanan milik dua orang anak yatim berada di
kota, sedang bapak mereka adalah seorang yang saleh. Allah berkehendak agar harta
simpanan itu tetap berada dalam kekuasaan kedua anak yatim itu, untuk memelihara
hak mereka dan karena kesalehan bapak mereka.
7
( )َو َم ا َفَع ْلُتُه َع ْن َاْم ِر ْي
Aku melakukan apa yang telah kamu lihat sendiri itu tidak berdasarkan pikiran dan
kehendakku sendiri, tetapi karena Allah memerintahkannya kepadaku. Sebab,
pengurangan harta manusia dan penumpahan darah mereka hanya boleh dilakukan
berdasarkan wahyu dan nas yang qat’i.
Asbabun Nuzul
Peserta didik mencari ilmu pada orang yang lebih pandai darinya, diperlukan
adab kesopanan dalam proses belajar mengajar. Mencari dan menambah ilmu itu
tanpa batas meskipun seseorang telah dalam kedudukan tinggi.
اَل ُيَك ِّلُف ٱُهَّلل َنْفًس ا ِإاَّل ُوْسَعَهاۚ َلَها َم ا َك َسَبْت َو َع َلْيَها َم ا ٱْك َتَسَبْت ۗ َر َّبَنا اَل ُتَؤ اِخ ْذ َنٓا ِإن َّنِس يَنٓا َأْو َأْخ َطْأَناۚ َر َّبَنا َو اَل
َتْح ِم ْل َع َلْيَنٓا ِإْص ًر ا َك َم ا َح َم ْلَت ۥُه َع َلى ٱَّلِذ يَن ِم ن َقْبِلَناۚ َر َّبَنا َو اَل ُتَح ِّم ْلَنا َم ا اَل َطاَقَة َلَنا ِبِهۦۖ َو ٱْعُف َع َّنا َو ٱْغ ِفْر َلَنا
َو ٱْر َح ْم َنٓاۚ َأنَت َم ْو َلٰىَنا َفٱنُصْر َنا َع َلى ٱْلَقْو ِم ٱْلَٰك ِفِر يَن
Asbabun Nuzul
8
Imam Muslim mengeluarkan di dalam kitab Shahih-nya dan juga dikeluarkan
oleh periwayat lainnya, dari Abu Hurairah, dia berkata, “Tatkala turun ayat
[artinya], ‘Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatanmu itu” (Al-Baqarah:284) beratlah hal itu bagi para shahabat. Lalu mereka
mendatangi Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam, dengan merangkak atau bergeser
dengan bertumpu pada pantat seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami sudah
dibebankan amalan-amalan yang mampu kami lakukan; shalat, puasa, jihad dan
sedekah (zakat) dan sekarang telah diturunkan padamu ayat ini padahal kami tidak
sanggup melakukannya.’
Lalu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ‘Apakah kalian ingin
mengatakan sebagaimana yang dikatakan Ahli Kitab sebelum kamu; kami dengar
namun kami durhaka? Tetapi katakanlah ‘kami dengar dan patuh, Wahai Rabb, kami
mohon ampunan-Mu dan kepada-Mu tempat kembali.’ Tatkala mereka mengukuhkan
hal itu dan lisan mereka telah kelu, turunlah setelah itu ayat ‘AamanarRasuul…
sampai al-Mashiir. (al-Baqarah:285)’ Dan tatkala mereka melakukan hal itu, Allah
pun menghapus (hukum)-nya dengan menurunkan firman-Nya, “LaaYukallifullah…
hingga selesai.(al-Baqarah:286)” [HR.Muslim, no.125 dan Ahmad, II/412]
Penafsiran
9
“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya.”
Setiap individu memperoleh hasil dari apa yang diusahakannya, Tangan menjinjing
bahulah yang memikulnya. Orang yang beramal baik, akan mendapatkan manfaat dari
kebaikannya. Orang yang beramal buruk akan bertanggung jawab atas keburukannya.
Berbuatlah baik, kalau ingin mendapatkan kebaikan. Jangan berbuat buruk, bila tidak
ingin memikul akibat keburukan. Allah SWT akan memperhitungkan apa yang
diperbuat manusia, apakah kebaikan ataukah keburukan. Ditandaskan pula dalam
surah Az-Zalzalah ayat 7-8 seperti berikut:
َفَم ۡن َّيۡع َم ۡل ِم ۡث َقاَل َذ َّرٍة َخ ۡي ًر ا َّيَر ه َو َم ۡن َّيۡع َم ۡل ِم ۡث َقاَل َذ َّرٍة َش ًّر ا َّيَر ه
َر َّبَنا اَل ُتَؤ اِخ ْذ َنٓا ِإن َّنِس يَنٓا َأْو َأْخ َطْأَناۚ َر َّبَنا َو اَل َتْح ِم ْل َع َلْيَنٓا ِإْص ًرا َك َم ا َح َم ْلَت ۥُه َع َلى ٱَّلِذ يَن ِم ن َقْبِلَناۚ َر َّبَنا َو اَل ُتَحِّم ْلَنا َم ا
اَل َطاَقَة َلَنا ِبِهۦۖ َو ٱْعُف َع َّنا َو ٱْغ ِفْر َلَنا َو ٱْر َحْم َنٓاۚ َأنَت َم ْو َلٰى َنا َفٱنُصْر َنا َع َلى ٱْلَقْو ِم ٱْلَٰك ِفِريَن
”(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami
beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
Orang yang beriman menghadapi perintah apapun selalu siap menjalankannya.
Demikian pula bila menerima cegahan, maka mereka siap meninggalkannya. Bila
ternyata larangan dan perintah tersebut ada yang dirasakan berat, maka tetap tidak
menolaknya melainkan bermohon kepada Allah untuk mendapatkan keringanan. Inti
do’a ini adalah ungkapan keyakinan bahwa segala yang diperintahkan Allah itu sudah
disesuaikan dengan kemampuan manusia. Jika dirasakan ada yang berat, itu
merupakan kelemahan diri. Oleh karena itu mohon diberi keringanan, bila terlanjur
berbuat kesalahan, agar diganti dengan rahmat dan maghfirah. Kemudian karena
dalam melaksanakan syari’ah itu banyak tantangan dari kalangan kafirin, maka
bermohon pada-Nya agar mampu mengalahkan kafirin.
10
Pendidik hendaknya selalu siap untuk berperan menjadi seorang pendidik,
baik menjalankan perintah untuk mentransfer ilmu, mendidik, dan menjadi teladan
yang baik bagi peserta didiknya. Begitu pula sebaliknya, peserta didik hendaknya
selalu siap menjalankan perintah dari pendidik dan tidak melakukan apa yang
dilarangnya. Pendidik senantiasa memudahkan peserta didiknya dalam proses belajar
mengajar, memaafkan kesalahan peserta didik sembari menasehati dan mengingatkan
dalam kebaikan.
Para sahabat bertanya kepada Rasul siapakah di antara kami yang tidak pernah
berbuat zalim, kemudian Rasul menjelaskan ayat di atas bahwa yang di maksu dengan
kezaliman dalam ayat tersebut adalah kesyirikan.
Di zaman para sahabat mereka tidak semuanya menghafalkan Al-Qur’an
secara keseluruhan. Kebanyakan di antara mereka hanya menghafalkan ayat yang
mereka kumpulkan dan yang mereka pahami maknanya. Seperti Usman bin Affan,
Abullah bin Mas’ud.14 Mereka mempelajari sepuluh ayat Al-Qur’an, tidak
menambahnya sampai mereka benar-benar memahami dan mengamalkannya. Bahkan
Umar r.a. mempelajari surah al-Baqarah selama dua belas tahun lamanya. 15 Sejak
zaman para sahabat Al-Qur’an telah banyak ditafsirkan seperti yang dilakukan oleh
Abu Bakar r.a., Umar, dan Ibnu Abas. Dari sini dapat diketahui bahwa ilmu Al-
Qur’an telah ada sejak zaman para sahabat, namun belum dibukukan. Hal ini terjadi
mungkin karena kekhawatiran para sahabat adanya percampuran antara Al-Qur’an
dan Hadis, karena penulisan Hadis pernah dilarang oleh Nabi SAW. “Janganlah
kalian menulis dari aku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulisnya maka
hendaknya menghapusnya” RHR. Muslim). Namun penulisan tentang agama sudah
ada sejak zaman Ali r.a. Ia pernah memerintahkan Abal Aswad untuk menulis ilmu
nahu. Pada zaman Umar bin Abdul Azis, khalifah dari Bani Umayyah, penulisan
buku-buku tentang agama Islam mulai digalakkan. Pada zaman inilah penulisan dan
pengumpulan ilmu Hadis, begitu pula pada zaman Bani Abasiyah. Penulisan dan
pengumpulan buku-buku Islam telah tersebar luas, pada zaman ini ilmu agama,
bahasa arab, begitu pula ilmu filsafat telah banyak dibukukan. Pada zaman ini pula
ilmu Al-Qur’an ditulis, namun ilmu Al-Qur’an yang dimaksud adalah ilmu tentang
penafsiran, yang pertama kali menulis tentang tafsir adalah Sofiyan AtsauriRw. 161
H), kemudian Sofiyan bin UyainaRw. 198 H), Waki’ bin al-JarrahRw. 197 H),
Syu’bah bin al-HajajRw. 160 H ), Muqatil bin Sulaiman Rw. 150 H).
Akan tetapi, tafsir mereka hanya mengumpulkan perkataan-perkataan sahabat
dan tabi’in, kemudian tafsir mereka dibaca oleh Muhammad bin Jarirat-ThabariRw.
310 H) yang kemudian menghasilkan tafsir terkenal dengan nama tafsir at-Thabari.
Pada zaman beliau inilah penulisan tafsir terbagi menjadi dua yaitu, tafsir bilma’tsur
dan ghaurul ma’tsur.
1
1
Abdul Hamid, (2016). Pengantar Studi Al Qur’an. Jakarta : Kencana, Cet-1, h. 11-13
11
D. Tafsir Surah Ali Imran ayat 159
َفِبَم ا َر ْح َم ٍة ِّم َن ٱِهَّلل ِلنَت َلُهْم ۖ َو َلْو ُك نَت َفًّظا َغ ِليَظ ٱْلَقْلِب ٱَلنَفُّض و۟ا ِم ْن َح ْو ِلَك ۖ َفٱْعُف َع ْنُهْم َو ٱْسَتْغ ِفْر َلُهْم َو َش اِو ْر ُهْم ِفى
ٱَأْلْم ِرۖ َفِإَذ ا َع َز ْم َت َفَتَو َّك ْل َع َلى ٱِهَّللۚ ِإَّن ٱَهَّلل ُيِح ُّب ٱْلُم َتَو ِّك ِليَن
Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Asbabun Nuzul
Sebab-sebab turunya ayat ini kepada Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa salam
adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Ibnu Abbas ra menjelaskan
bahwasanya setelah terjadinya perang Uhud, Rasulullah mengadakan musyawarah
dengan Abu Bakar ra dan Umar bin Khaththabra untuk meminta pendapat meraka
tentang para tawanan perang, Abu Bakar ra berpendapat, meraka sebaiknya
dikembalikan kepada keluargannya dan keluargannya membayar tebusan. Namun,
Umar ra berpendapat mereka sebaiknya dibunuh. Yang diperintah membunuh adalah
keluarganya. Rasulullah mesulitan dalam memutuskan. Kemudian turunlah ayat ini
sebagai dukungan atas Abu Bakar. Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya yakni
surah Ali Imran ayat 158.
Penafsiran
12
lemah lembut dan tidak marah terhadap pelanggar itu, bahkan memaafkannya.
Andaikata Nabi Muhammad sawsallallahu ‘alaihi wa salam, berhati kasar tentulah
mereka akan menjauhkan diri dari beliau. Disamping itu Nabi Muhammad selalu
bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, apalagi dalam urusan peperangan.
Oleh karena itu kaum muslimin patuh melaksanakan putusan- putusan musyawarah
itu karena keputusan itu merupakan keputusan mereka sendiri bersama Nabi. Mereka
tetap berjuang dan berjihad dijalan Allah dengan tekad ayng bulat tanpa
menghiraukan bahaya dan kesulitan yang mereka hadapi. Mereka bertawakal
sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum muslimin
selain Allah.
M. QuraishShihab di dalam Tafsirnya al-Misbah menyatakan bahwa ayat ini
diberikan Allah kepada Nabi Muhammad untuk menuntun dan membimbingnya,
sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nabi kepada kaum muslimin, khususnya
mereka yang telah melakukan pelanggaran dan kesalahan dalam perang uhud itu.
Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung
emosi manusia untuk marah, namun demikian, cukup banyak pula bukti yang
menunjukankelemahlembutan Nabi sallallahu ‘alaihi wa salam. Beliau
bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan perang, beliau menerima
usukan mayoritas mereka, walau beliau kurang berkenan, beliau tidak memaki dam
mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya
menegurnya dengan halus, dan lain lain.
13
E. Surah Al Hujurat ayat 11
اَل َيْس َخ ْر َقْو ٌم ِّم ن َقْو ٍم َع َس ٰٓى َأن َيُك وُنو۟ا َخ ْيًر ا ِّم ْنُهْم َو اَل ِنَس ٓاٌء ِّم ن ِّنَس ٓاٍء َع َس ٰٓى َأن َيُك َّن َخ ْيًر ا ِّم ْنُهَّن ۖ َو اَل َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنو۟ا
َّٰظ َٰٓل
َتَناَبُزو۟ا ِبٱَأْلْلَٰق ِبۖ ِبْئَس ٱٱِلْس ُم ٱْلُفُس وُق َبْعَد ٱِإْل يَٰم ِن ۚ َو َم ن َّلْم َيُتْب َفُأ۟و ِئَك ُهُم ٱل ِلُم وَن َتْلِم ُز ٓو ۟ا َأنُفَس ُك ْم َو اَل
Asbabun Nuzul
Munasabah
14
Makna kata َو َال َتْلِم ُز ْو ا
Kata talmizuu berarti memberi isyarat disertai dengan berbisik-bisik dengan maksud
mencela. Ejekan ini biasanya langsung ditujukan kepada seseorang yang diejek, baik
dengan isyarat mata, bibir, kepala, tangan atau yang lainnya.
Dalam ayat ini Allah melarang kita untuk melakukan lamz terhadap diri sendiri
(talmizuanfusakum), padahal yang dimaksud adalah orang lain. Pengungkapan
anfusakum dimaksudkan bahwa antara sesama manusia adalah saudara dan satu
kesatuan, sehingga apa yang diderita oleh saudara kita artinya diderita juga oleh diri
kita sendiri. Maka siapa yang mencela atau mengejekorang lain sesungguhnya dia
telah mengejek dirinya sendiri. Kalimat tersebut juga dapat diartikan agar tidak
melakukan suatu tindakan yang membuat orang lain mengejek dirinya.
Penafsiran
15
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini
menerangkan bahwa ada seorang laki-laki yang pernah pada masa mudanya
mengerjakan perbuatan buruk, lalu ia bertaubat dari dosanya, maka Allah melarang
siapa saja yang menyebut-nyebut lagi keburukannya di masa yang lalu karena hal itu
dapat membangkitkan perasaan yang tidak baik. Itulah sebabnya Allah melarang
memanggil dengan panggilan dan gelar yang buruk. Adapun panggilan yang
mengandung penghormatan tidak dilarang, seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan
As-Siddiq, kepada ‘Umar dengan Al-Faruq, kepada Khalid bin Walid dengan sebutan
Saifullah, dan sebagainya.Panggilan yang buruk dilarang untuk diucapakan setelah
orangnya beriman karena gelar-gelar itu mengingatkan pada kedurhakaan yang telah
lewat dan tidak pantas dilontarkan.
BAB III
16
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Demikian kami selaku penulis mengakui bahwa dalam penulisan makalah ini
tidaklah sempurna, dan masih banyak kekurangan yang harus kami perbaiki. Untuk
itu kami mengharap masukkan dan saran yang bersifat membangun dari para
senior/dosen pengampu yang membimbing kami dalam pembuatan makalah. Yang
terakhir, semoga makalah ini bisa memberikan manfaat yang besar terutama bagi
penulis dan para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
17
Hamid,A.(2016). Pengantar studi Al-Qur'an. Jakarta: kencana
Hasan Langgulung.1988. “Pendidikan Islam Menghadapi Abad Ke-21”. Jakarta : Pustaka Al-
Husna
Tafsir al-Maraghi oleh Ahmad Musthafa Al-Maraghi jilid 3 oleh penerbit toha putra,
semarang 1993
18