Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PELAKSANAAN NILAI AKHLAK TERHADAP


GURU, ORANG TUA DAN PEMIMPIN

DISUSUN OLEH:

Rahmad Zuliansyah (200802046)

Said Syamssiraj Assagaf (200802014)

DOSEN PEMBIMBING:

Dr. Muhammad AR, M.Ed.

PRODI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS SOSIAL DAN ILMU PEMERINTAHAN

UIN AR-RANIRY BANDA ACEH

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan limpahan
rahmat dan karuna-nya lah kami dapat menyelasaikan tugas yang diberikan oleh dosen kemudian
dilanjutkan dengan penyusunan makalah dengan judul “Pelaksanaan nilai akhlak terhadap guru,
orang tua dan pemimpin”

Tak ada gading yang tak retak karenanya kami sebagai tim penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,baik dari sisi materi maupun
penulisannya.Kamikami dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima berbagai
masukan maupun saran yang bersifat membangun yang diharapkan berguna bagi seluruh
pembaca.

Banda Aceh,8 Mei 2022

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A.      Latar Belakan Masalah...................................................................................................2
B.     Rumusan Masalah.............................................................................................................2
C.     Tujuan Penulisan..............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A.    Akhlak Terhadap Guru...............……..................................................................................8
B.  Akhlak terhadap orang tua
..................................................................................................10
C. Akhlak terhadap
pemimipin................................................................................................14

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan...........................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Orang akan sangat senang dan bahagia jika hidup bersama dengan orang-orang
beriman yang beriman dan shalih. Sesungguhnya, kenikmatan hidup bukan hanya dinikmati
oleh mereka yang hidup bersamanya. Pelakunya sendiri akan merasakan kenikmatan yang
sama, bahkan lebih dalam. Karena selain mendapatkan respon positif dari orang lain di
dunia, orang yang berakhlak mulia telah dijanjikan oleh Allah mendapatkan pahala yang
melimpah ruang di akhirat kelak.
Pendidikan dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan orang tua di rumah, guru
di sekolah dan pimpinan serta tokoh masyarakat di lingkungan. Kesemua lingkungan ini
merupakan bagian integral dari pelaksanaan pendidikan, yang berarti pula tempat
dilaksanakannya pendidikan akhlak. Salah satu tujuan pendidikan Islam adalah untuk
membantu pembentukan akhlak yang mulia. Kaum Muslim telah bersetuju bahwa
pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, dan bahwa mencapai akhlak yang
sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya. Tujuan pendidikan dan pengajaran
dalam rangka pemikiran Islam bukanlah untuk mengisi otak Peserta Didik dengan
maklumat-maklumat kering dan mengajar mereka pelajaran-pelajaran yang belum mereka
ketahui Krisis nilai berkaitan dengan masalah sikap menilai sesuatu perbuatan tentang baik
dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah, dan hal-hal lain yang menyangkut
perilaku etis individual dan sosial.
Salah satu perangkat input instrumen yang kurang sesuai dengan tujuan pendidikan
yaitu hubungan guru agama dengan murid hanya bersifat formal, tanpa berkelanjutan dalam
situasi informal di luar kelas. Wibawa guru juga hanya terbatas di dalam dinding kelas,
tanpa berpengaruh di luar kelas atau sekolah.
Begitu juga globalisasi di bidang budaya, etika dan moral, sebagai akibat dari
kemajuan teknologi di bidang transportasi dan informasi. Para peserta didik saat ini telah
mengenal berbagai pesan pembelajaran, baik yang besifat pedagogis-terkontrol maupun
1
nonpedagogis yang sulit terkontrol. Sumber-sumber pesan pembelajaran yang sulit
terkontrol
akan dapat memengaruhi perubahan budaya, etika dan moral para peserta didik atau
masyarakat. Sebagai eksesnya adalah munculnya sikap sadisme, kekerasan, pemerkosaan,
dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sikap yang baik terhadap guru?


2. Bagaimana sikap yang baik terhadap orang tua?
3. Bagaimana sikap yang baik terhadap pemimpin?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui sikap terhadap guru
2. Mengetahui sikap terhadap orang tua
3. Mengetahui sikap terhadap pemimpin
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Akhlak Terhadap Guru


H. Konsep Akhlak Peserta Didik Terhadap Guru Salah satu cara menghormati ilmu
adalah menghormati guru. Sayyidina Ali menyatakan: “aku adalah hamba sahaya bagi orang
yang mengajarku, walaupun satu huruf saja. Bila ia bermaksud menjualku maka ia bisa
menjualku, bila ia bermaksud memerdekakanku maka ia bisa memerdekakanku, dan bila ia
bermaksud memperbudakku maka ia bisa memperbudakku”.
Salah satu cara menghormati guru adalah tidak kencang berjalan di depannya, tidak
duduk di tempatnya, tidak memulai percakapan dengannya kecuali atas izinnya, tidak
banyak bicara di sisinya, tidak menanyakan sesuatu sesuatu ketika ia sudah bosan, menjaga
waktu dan tidak mengetuk pintu rumah atau kamarnya, tetapi harus menunggu sampai ia
keluar.
Kesimpulannya seorang murid harus berusaha mendapat ridhanya, menghindari
kemungkarannya, dan patuh kepadanya selain dalam perbuatan maksiat kepada Allah, sebab
tidak boleh patuh kepada makhluk untuk melakukan perbuatan maksiat kepada sang
pencipta.Juga salah satu cara menghormati guru adalah menghormati anak-anaknya dan
orang yang mempunyai hubungan dengannya.
Guru kami Shaikhul Islam Burhanuddin Shihabul Hidayah pernah berceritas bahwa
seorang ulama besar dari Bukhara sedang duduk duduk dalam suatu majelis pengajian,
sesekali ia berdiri dan duduk lagi. Ketika ditanyakan kepadanya mengenai sikapnya ia
menjawab: “sesungguhnya putra guruku sedang bermain bersama anak-anak lain di halaman
rumah, setiap kali aku melihatnya aku berdiri sebagai penghormatanku kepada guruku”.
Walaupun sudah menjadi orang besar tetap harus menghormati gurunya. Hakim
Agung Fakhruddin al-Arsabandi seorang pemimpin para imam di Marwa sangat dihormati
oleh Sultan (Raja), ia berkata: ”saya dapat merasakan kedudukan ini karena berkah hormat
saya kepada guru. Saya melayani guru saya, yaitu Abu Yazid al-Dabusi. Saya memasak
makanan untuk beliau dan saya tidak ikut memakannya.”
3
Shaikh Imam al-Ajal Syamsul Aimmah al-Hulwani terpaksa keluar dari Bukhara dan
pindah ke suatu desa karena suatu peristiwa yang menimpanya. Murid-muridnya
mengunjunginya kecuali shaikh Imam al-Qadhi Abu Bakar az-Zarnuji, saat mereka bertemu,
Imam al Hulwani bertanya: ”mengapa kamu tidak mengunjungiku?”. Shaikh Abu Bakar
Menjawab:”saya sibuk melayani ibu saya”. Al-Hulwani kemudian berkata: ”kamu akan
mendapatkan karunia umur panjang tetapi kamu tidak akan mendapat anugerah nikmatnya
belajar”. Ternyata hal itu terbukti Shaikh Abu Bakar lebih banyak tinggal di desa dan tidak
teratur dalam belajar.
Maka barang siapa membuat sakit hati gurunya ia tidak akan mendapat berkah ilmu
dan tidak dapat memanfaatkan ilmunya kecuali hanya sedikit, sebuah sya‟imengungkapkan:
”sesungguhnya guru dan dokter tidak akan berguna nasehatnya bila tidak dihormati,
bersabarlah dengan penyakitmu bila kamu menentang dokter. Dan bersabarlah dengan
kebodohanmu bila kamu menentang Guru”.
Dikisahkan, bahwa Khalifah Harun al-Rasyid mengurus putranya kepadanya kepada
al-Ashma‟i agar diajarkan tata krama. Pada suatu hari Khalifah melihat al-Ashma‟i
berwudhu dan membasuh kakinya, Khalifah pun menegur kepada al-Ashma‟i, ia
berkata:”saya mengutusnya kepadamu agar kamu mengajarkan ilmu dan tata krama
kepadanya, mengapa kamu tidak menyuruhnya menyimkan air dengan salah satu tangannya
dan membasuh kakimu dengan tangannya yang lain”. Sifat-sifat dan kode etik peserta didik
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Al-Ghazali yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman,
merupakan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu:

1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarru>b kepada Allah, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang
rendah dan watak yang tercela dan mengisi dengan akhlak yang terpuji.
2. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi. Artinya belajar
4
semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga belajar ingin berijtihad melawan
kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan Allah dan
manusia.

3. Bersikap tawad}u' dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan


pendidikannya.
4. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran sehingga ia terfokus
dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi, serta
meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela. 6. Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan
memulai pelajaran yang mudah manuju pelajaran yang sukar atau dari ilmu yang fard}u ‘ain
menuju yang fard}u kifaya.
7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga
peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga
mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
9. Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah,
sebelum memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat
dapat membahagiakan, menyejahterakan serta memberi nasehat keselamatan hidup dunia
akhirat.
11. Peserta didik harus tunduk pada nasehat pada pendidik sebagaimana tunuknya orang
sakit terhadap dokternya.60Dalam Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n , al-Ghazali
mengklasifikasikannya ke dalam
10 bentuk ketaatannya yang harus dilakukan oleh peserta didik, yaitu sebagai berikut :

1. Membersihkan jiwa. Al-Ghazali menekankan pentingnya hal ini sebagai persyarat


keberhasilan belajar. Seorang peserta didik harus membersihkan jiwanya dari sifat-sifat
buruk, seperti pemarah, rakus dan sombong. Ia senantiasa menekankan bahwa kegiatan
belajar adalah ibadah spiritual dan pelaksanaannya mensyaratkan pembersihan hati.
5
Ia membandingkan proses ini dengan wudhu yang dengan ini kaitannya dengan shalat.
2. Memusatkan perhatian kepada studi dan jangan sampai terganggu dengan urusan-urusan
duniawi dan seyogyanya pergi jauh dari keluarga atau tanah airnya. Bagi al-Ghazali,
konsentrasi penuh adalah suatu keharusan.
3. Menghormati guru. Peserta didik harus tunduk di hadapan gurunya danmematuhi setiap
perintahnya. Jika berbeda pendapat, ia sebaiknya mengikuti pandangan gurunya dan
mengesampingkan pendapatnya. Peserta didik harus rajin bertanya, tetapi harus sangat
menekankan adab. Ia hanya dianjurkan bertanya pada waktu yang tepat dengan cara yang
baik dan hanya menanyakan hal yang kira-kira sudah dapat ia serap. Al-Ghazalimemberikan
pandangan bahwa penuntut ilmu hendaklah seperti tanah gembur yang menerima hujan
deras. Tanah itu menyerap hujan dan meratakannya ke seluruh bagian.
4. Menghindarkan diri tidak terlibat dalam kontroversi kalangan akademis. Ini relevan untuk
peserta didik pemula, sebab kontroversi dapat menyebabkanke bingungan sehingga tidak
tertarik lagi pada studinya. 5. Berupaya semaksimal mungkin untuk mempelajari setiap
cabang ilmu pengetahuan yang terpuji dan memahami tujuannya.
6. Peserta didik hendaknya tidak mendalami ilmu pengetahuan secara sekaligus karena
kemampuan manusia memiliki keterbatasan. Perlu tahapan dan memprioritaskan yang
terpenting.
7. Peserta didik hendaknya tidak naik ke tingkat yang lebih tinggi jika belum menguasai
betul ilmu yang sedang dipelajarinya. Al-Ghazali memandang bahwa ilmu yang satu dan
yang lain saling berkesinambungan. Untuk itu, hendaklah ilmu yang dipelajari hari ini
diselaraskan dengan materi yang sebelumnya, sehingga benar-benar menguasai ilmu
tersebut.
8. Memastikan kebaikan dan nilai dari disiplin ilmu yang sedang atau ingin ditekuni. Hal ini
dapat dilakukan dengan dua langkah, yaitu memperhatikan hasil akhir dari suatu disiplin
ilmu dan menguji keaslian prinsip-prinsip ilmu tersebut.
9. Peserta didik dituntut untuk merumuskan tujuan dari ilmu yang telah didapatnya.
Meskipun demikian, tujuan yang paling utama adalah membersihkan dan menghiasi jiwa
dengan keutamaan, sekaligus mendekatkan diri kepada Allah. Seseorang tidak boleh
menuntut ilmu untuk tujuan duniawi, seperti jabatan atau kekuasaan,
6
namun memprioritaskan akhirat. Akan tetapi, juga tidak mengkesampingkan ilmu-ilmu lain,
seperti ilmu nahwu dan ilmu bahasa. Kedua ilmu itu dikategorikan kedalam rumpun ilmu
pengantar dan pelengkap.
10. Peserta didik mengetahui hubungan antara ilmu dan tujuannya, sehingga ia dapat
memilih mana ilmu yang harus diprioritaskan dan mana yang tidak. Hal ini sangat
menentukan ke arah mana ia akan berjalan dan menjadi suatu keutamaan baginya untuk
mengetahui apa yang ia pelajari. Di antara kewajiban-kewajiban yang harus senantiasa
diperhatikan oleh setiap siswa dan dikerjakan adalah sebagai berikut:

1. Sebelum memulai belajar, siswa itu harus terlebih dahulu membersihkan hatinya dari
segala sifat yang buruk karena belajar dan mengajar itu dianggap sebagai ibadah. Ibadah
tidak sah kecuali dengan hati yag suci, berhias dengan moral yang baik, seperti berkata
benar, ikhlas, takwa, rendah hati, zuhu>d dan menerima apa yang ditentukan Tuhan, serta
menjauhi sifat-sifat yang buruk seperti dengki, iri, benci, sombong, menipu, tinggi hati dan
angkuh.
2. Dengan belajar itu, ia bermaksud hendak mengisi jiwanya dengan fad}i>lah mendekatkan
diri kepada Allah, bukanlah dengan maksud menonjolkan diri, berbangga-bangga dan
gagah-gagahan.
3. Bersedia mencari ilmu, termasuk meninggalkan keluarga dan tanah air. Tanpa ragu-ragu,
bepergian ketempat-tempat yang paling jauh sekalipun bila dikehendaki untuk mendatangi
guru.
4. Jangan terlalu sering mengganti guru, tetapi harus berpikir panjang dulu sebelum
bertindak mengganti guru.
5. Hendaklah ia menghormati guru dan memuliakannya serta mengagungkannya karena
Allah, dan berdaya upaya pula menyenangkan hati guru dengan cara yang baik.
6. Jangan merepotkan guru dengan banyak pertanyaan, janganlah meletihkan dia untuk
menjawab, jangan berjalan dihadapannya, jangan duduk ditempat duduknya dan jangan
bicara kecuali setelah mendapatkan izin dari guru.

7
7. Jangan membukakan rahasia kepada guru, jangan menipu guru, jangan pula minta kepada
guru membukakan rahasia, segera meminta maaf kepada guru jika tergelincir lidahnya.
8. Bersungguh-sungguh dan tekun belajar, baik siang ataupun malam untuk memperoleh
pengetahuan, dengan terlebih dahulu mencari ilmu yang lebih penting.
9. Jika saling mencintai dan persaudaraan haruslah menyinari pergaulan antar siswa
sehingga tampak seperti anak-anak yang sebapak.
10. Terlebih dahulu memberi salam kepada gurunya, mengurangi percakapan di hadapan
guru, jangan mengatakan kepada guru, “si anu bilang begini, berbeda dari yang bapak
katakan,” dan jangan pula ditanya kepada guru siapa teman duduknya.
11. Tekun belajar, mengulangi pelajarannya diwaktu senja dan menjelang Shubuh. Waktu
antara Isya‟ dan makan sahur adalah waktu yang penuh berkah.
12. Bertekad untuk belajar hingga akhir umur, jangan meremehkan suatu cabang ilmu, tetapi
hendaklah menganggapnya bahwa setiap ilmu ada faidahnya, jangan meniru apa yang
didengarnya dari orang-orang yang terdahulu yang mengkritik dan merendahkan sebagian
ilmu, seperti mantik dan filsafat Jama‟ah menyusun tiga belas kode etik penuntut ilmu
dalam bergaul denga gurunya.
 ‫ فَهُ َو‬،ِ ‫ب هَّللا‬
ِ ‫” َم ْن َعلَّ َم َع ْبدًا آيَةً ِم ْن ِكتَا‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ ْم‬ َ ِ ‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬:‫ع َْن َأبِي ُأ َما َمةَ قَا َل‬
‫ َوال يَ ْستَْأثِ َر َعلَ ْي ِه‬،ُ‫” َموْ الهُ ال يَ ْنبَ ِغي لَهُ َأ ْن يَ ْخ ُذلَه‬.

Artinya:
“Dari sahabat Abi Umamah, beliau berkata: Rasulullah Saw., bersabda: “Barangsiapa mengajar
satu ayat dari Kitabullah kepada seorang hamba, maka orang itu menjadi jujungan hamba
tersebut, hamba tidak boleh merendahkan orang tersebut, dan tidak boleh mendahuluinya (harus
memuliakannya)”.

B. Akhlak Terhadap Orang Tua

Setiap anak wajib hukumnya berbakti kepada kedua orang tua. Hal ini sesuai dengan
perintah baik yang ada di dalam Al-Qur’an maupun hadits. Dalam berinteraksi dengan orang
tua, anak harus memperhatikan rambu-rambu etika yang disebut adab. Menurut Imam al-

8
Ghazali sebagaimana disebutkan dalam risalahnya berjudul Al-Adab fid Din dalam
Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 444),
sekurang-kurangnya ada tujuh adab anak kepada orang tua sebagai berikut:

  ‫ ويخفض لهما جناح الذل من الرحمة‬،‫ ويلبى دعوتهما‬،‫ و يمتثل ألمرهما‬،‫ و يقوم لقيامهما‬،‫ يسمع كالمهما‬:‫آداب الولد مع والديه‬
‫ والينظر إليهما شزرًا وال يعصى لهما أمرًا‬،‫ وال بالقيام بأمرهما‬،‫ وال يمن عليهما بالبر لهما‬،‫وال يبرمهما باإللحاح‬. 

Artinya: “Adab anak kepada orang tua, yakni mendengarkan kata-kata orang tua, berdiri
ketika mereka berdiri, mematuhi sesuai perintah-perintah mereka, memenuhi panggilan
mereka, merendah kepada mereka dengan penuh sayang dan tidak menyusahkan mereka
dengan pemaksaan, tidak mudah merasa capek dalam berbuat baik kepada mereka, dan tidak
sungkan melaksanakan perintah-perintahmereka,  tidak memandang mereka dengan rasa
curiga, dan tidak membangkang perintah mereka.”
Dari kutipan di atas dapat diuraikan ketujuh adab anak kepada orang tua sebagai
berikut:
Pertama, mendengarkan kata-kata orang tua. Setiap kali orang tua berbicara, anak
harus mendengarkan dengan baik terutama ketika orang tua berbicara serius memberikan
nasihat. Jika anak bermaksud memotong pembicaraan, sebaiknya memohon ijin terlebih
dahulu. Jika memotong saja sebaiknya meminta ijin, maka sangat tidak sopan ketika anak
meminta orang tua berhenti berbicara hanya karena tidak menyukai nasihatnya. 
Kedua, berdiri ketika mereka berdiri. Bila orang tua berdiri, anak sebaiknya juga
berdiri. Hal ini tidak hanya merupakan sopan santun, tetapi juga menunjukkan kesiapan anak
memberikan bantuan sewaktu-waktu diperlukan, diminta atau tidak. Demikian pula jika
orang tua duduk sebaiknya anak juga duduk kecuali sudah tidak tersedia kursi lagi yang bisa
diduduki. 
Ketiga, mematuhi sesuai printah-perintah mereka. Apapun perintah orang tua anak
harus patuh kecuali perintahnya bertentangan dengan syariat Allah SWT. Atau perintah itu
melebihi batas kemampuannya untuk dilaksanakan. Jika terjadi seperti ini, seorang anak

9
harus mencoba semampunya. Jika terpaksa harus menolak, maka cara menolaknya tetap
harus dengan menjunjung kesopanan dengan memohon maaf dan memberikan alternatif lain
yang sesuai dengan kemampuanya.
Keempat, memenuhi panggilan mereka. Anak harus segera menjawab panggilan
orang tua begitu mendengar suara orang tua memanggilnya. Dalam hal anak sedang
melaksanakan shalat (shalat sunnah), ia boleh membatalkan shalatnya untuk segera
memenuhi panggilannya. Jika orang tua memanggil anak untuk pulang dan menemuinya,
anak harus segera mengusahakannya begitu ada kesempatan tanpa menunda-nunda. 
Kelima, merendah kepada mereka dengan penuh sayang dan tidak menyusahkan
mereka dengan pemaksaan. Seorang anak sealim dan sepintar apapun tetap harus ta’zim
kepada orang tua. Ia harus menyayangi orang tua meskipun dahulu mungkin mereka kurang
bisa memenuhi keinginan-keinginannya. Seorang anak harus mengerti keadaan orang tua
baik yang menyangkut kekuatan fisik, kesehatan, keuangan, dan sebagainya sehingga tidak
menuntut sesuatu yang di luar kemampuannya. Dengan cara seperti ini anak tidak
menyusahkan orang tua.  
Keenam, tidak mudah merasa capek dalam berbuat baik kepada mereka, dan tidak
sungkan melaksanakan perintah-perintahnya. Seorang anak harus selalu mengerti bahwa
dahulu orang tua mengasuh dan membesarkannya tanpa kenal lelah dan selalu menyayangi.
Untuk itu seorang anak harus selalu berusaha menyenangkan hati orang tua dengan
melaksanakan apa yang menjadi perintahnya. 
Ketujuh, tidak memandang mereka dengan rasa curiga dan tidak membangkang
perintah mereka. Seorang anak harus selalu berprasangka baik kepada orang tua. Jika
memang ada sesuatu yang perlu ditanyakan, anak tentu boleh menanyakannya dengan
kalimat pertanyaan yang baik dan tidak menunjukkan rasa curiga. Selain itu anak tidak boleh
membangkang perintah-perintahnya sebab mematuhi orang tua hukumnya wajib.  Ketujuh
adab di atas adalah minimal dan harus diketahui dan dilaksanakan oleh anak. Semakin
dewasa usia seorang anak, semakin besar tuntutan kepadanya untuk memperhatikan dan
mengamalkan ketujuh adab itu. Intinya seorang anak tidak bebas bersikap apa saja kepada
orang tua. 
10
Demikiamlah Imam al-Ghazali memberikan petunjuk tentang tujuh adab anak kepada orang
tua untuk diamalkan dengan sebaik-baiknya. 

C. Akhlak Terhadap Pemimpin

Kepemimpinan umat adalah amanah yang tidak dapat dilepaskan dari prinsip-
prinsip akhlak. Padanya terdapat hak dan kewajiban moral yang timbal balik antara rakyat
(umat) dengan pemimpin (penguasa). Faktor moral atau etika umat menentukan pembinaan
kepemimpinan umat (Salam, 2000). Tugas seorang pemimpin tidaklah ringan. Tanggung
jawab yang ia pikul senantiasa bernafaskan amanat. Baik amanat dari masyarakat/warga atau
negara, bahkan agama.
Agama Islam sangat memperhatikan masalah kepemimpinan. Menurut Islam
semua pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya. Pemimpin keluarga bertanggung
jawab atas kebahagiaan, kesejahteraan keluarganya, pemimpin negara/bangsa akan dimintai
pertanggungjawabannya oleh masyarakat dan lain-lain. Mengingat besarnya tanggung jawab
pemimpin maka perlu mempunyai kepribadian, sikap, dan karakter yang sesuai dengan
kepemimpinannya.
Dia harus memegang teguh kedisiplinan, mempunyai kewibawaan, penuh sabar
dan tawakal dalam menghadapi permasalahan, lapang dada, mau menerima kritik,
berwawasan luas, bijaksana, selalu mementingkan terhadap kepentingan umum, berorientasi
kemasyarakatan, bertanggung jawab, memiliki akhlakul karimah dan lain-lain (Mustofa,
2010). Seorang pemimpin merupakan panutan dari yang dipimpinnya. Maju mundurnya
suatu kelompok masyarakat banyak ketergantungannya kepada akhlak pemimpinnya.
Seorang pemimpin harus ber-akhlakul karimah seperti akhlaknya Rasulullah
dengan ciri-ciri yaitu: Shiddiq (jujur); Amanah (terpercaya); Tabligh (menyampaikan);
Fathanah (cerdas) (Abdullah, 2007). Contoh lain dapat kita jumpai dari kepemimpinan
setelah Rasulullah SAW yaitu para sahabat sebagai pengganti beliau dengan sebutan
“Khulafaur Rasyidin”, keempat sahabat tersebut telah menjalankan sebuah kepemimpinan di
atas jalan yang rasul tempuh dan mengamalkan wasiat-wasiat beliau. Abu Bakar sebagai
orang yang berwibawa dan tenang.
11
Orangnya penuh ramah tamah, cinta sesama dan selalu membenarkan dan
menepati pada rasul yang agung. Umar bin Khatab sebagai pemimpin yang mempunyai
pendapat yang berbobot. Dia adalah orang yang terpercaya terhadap rahasia-rahasinya.
Utsman sebagai pengumpul firman kitab Allah. Dia adalah seorang pemimpin yang
meluruskan akidahnya. Sedangkan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin yang pandai
menyusun pasukan perang untuk mengalahkan orang-orang jahat. Ali adalah seorang
pemimpin yang mampu sebagai pewaris ilmunya dan pemelihara janjinya. Demikian itulah
sifat-sifat pribadi sahabat Rasulullah sebagai pemimpin Islam yang besar. Mereka adalah
pemegang amanat yang teguh dan kuat. Mereka benar-benar memiliki kepribadian yang utuh
dan akhlakul karimah yang tinggi.

Seorang pemimpin selain tersebut di atas hendaklah memenuhi syarat sebagai berikut.
a) Cakap. Cakap di sini dalam arti dapat mengatur umatnya (yang dipimpin) dan lebih
mementingkan kepentingan rakyatnya di atas kepentingan pribadinya.
b) Adil. Sebagai pemimpin harus adil di dalam memimpin rakyat. Seperti Hadits Rasulullah
SAW: “Makhluk yang paling dicintai Allah adalah pemimpin (imam) yang adil.” (HR.
Ahmad)
c) Jujur, memenuhi kewajiban, tanggung jawab, dan amanah. Dengan sifat jujur yang
terhujam kuat dalam dada seorang pemimpin dapatlah dia memelihara amanah dengan baik.
Nabi bersabda: “Hai Abu Dzar, kau seseorang yang lemah dan jabatan itu sebagai amanah
yang pada hari kiamat akan menjadi penyesalan dan kehinaan, kecuali orang-orang yang
menunaikan kewajibannya dan memenuhi tanggung jawab.” (HR. Muslim)
d) Rendah hati. Seorang pemimpin tidak boleh menjadi pemimpin cabang atas saja. Tetapi
di samping berpucuk ke atas, harus merakyat. Selalu melakukan integrasi dengan kaum
(rakyat) yang lemah. Turun ke bawah, mendengarkan keluhan rakyat banyak dan amanah.
Banyak orang yang menjadi pemimpin, kerap kali praktiknya seperti dalam peribahasa
“Kalau hari sudah panas, lupa kacang akan kulitnya”. Sifat sombong, congkak, tinggi hati,
bukan hanya sekadar itu, kadang-kadang sampai hati pula menginjak-injak orang yang telah
bekerja sama menaikkannya menjadi pemimpin.
12
e Partisipasi dan kritik. Setiap pemimpin memerlukan dukungan dan partisipasi dari rakyat
banyak. Bagaimanapun kemampuannya, ia tidak bisa melaksanakan tugas-tugas tanpa
partisipasi dari rakyat. Kalau orang banyak tidak mau tahu terhadap segala anjuran dan
tindakannya maka ia akan menemui kegagalan. Seseorang pemimpin harus terbuka untuk
menerima kritik, asal saja kritik itu sehat, bersifat membangun. Seorang pemimpin harus
mempunyai pendirian bahwa orang-orang yang berani terus-terang mengemukakan
kesalahan, kelemahan dan kekurangan di hadapannya, itulah sahabat yang setia, bukan
orang-orang yang hanya pandai “mengangguk anggukkan kepala” (Abdullah, 2007: 228). f)
Membela orang yang lemah, mengendalikan orang-orang yang kuat. Seorang pemimpin ha-
rus memperjuangkan nasib kaum yang lemah dan tidak berdaya. Nasib mereka harus
diangkat dari kemiskinan, kemelaratan, kemunduran, dan kebodohan. Orang-orang yang
kuat, kaya, dan pintar harus dimanfaatkan secara proporsional untuk mewujudkan keadilan
dan pemerataan.
g) Pemimpin harus amanah. Seorang pemimpin harus amanah terhadap apa yang
dipercayakan kepadanya, supaya dia mempunyai pengaruh dan wibawa kepada rakyat yang
dipimpinnya. Seorang pemimpin haruslah siap sedia untuk mundur apabila ia melakukan
kesalahan atau penyelewengan. Seperti, seorang imam dalam shalat berjamaah yang harus
mundur apabila dia “buang angin” sebab wudhunya pada waktu itu sudah batal, dia harus
meninggalkan tempatnya, dan digantikan oleh imam baru yang biasanya berada pada shaf
pertama dan mempunyai syarat-syarat yang diperlukan. Melaksanakan amar ma’ruf nahi
munkar. Prinsip ini merupakan tugas kewajiban bagi setiap muslim dan pemimpin. Karena
di tangan pemimpin terdapat kekuatan dan kekuasaan untuk mendorong manusia berbuat
kebajikan dan mencegah kemungkaran
13
‫ إ َ َك ِره َ ب و َّ َ ا َأح َ ْم ي ِ ةُ ف َ اع َّ الط َ و ُ ْع َّسم ِم ال ِ ل ْ ُس ْالم ِ ء‬، ‫ فَإ ٍ ة َ ِصي ْ ع َ ِم ب َ ر َ ُْؤم ْن ي ِا َّل َأ‬، ِ ‫ر ِ ْن ُأم‬
‫َْ ر َ لَى ْالم‬
َ ‫ فَا َل س ٍ ة‬، ‫ةَ َ َا َل طَاع و َ ْع َم‬
‫ِصي ْ ع َ ِم ب‬

“Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa
yang ia cintai atau ia benci kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh
untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat”.(HR. Al-
Bukhari no. 4340, Muslim no. 1840).4

Dan Rasulullah SAW juga mengancam kepada siapa saja yang keluar dari ketaatan kepada
pemimpinnya sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: ْ

ْ ‫ن م َ َك ِره ْ ن ِ م ِ ِره ْ ي ِ ً َأم ئا ْ ْ َشي ر ِ َ ْصب فَ ْلي ُ و َّ ن ِ فَإ ْ َن م َ َج َ َخر ن ِ م‬


َ ْ ‫ُّسلطَا ِن ً ال ْرا ب َت ِ َ ش ا م ةً َ ت‬
‫ي ِ َّةً م ي ِ ل ِ اى َ ج‬
“Barang siapa yang tidak menyukai sesuatu hal dari pemimpinnya, maka bersabarlah.
Karena sesungguhnya barang siapa yang keluar dari ketaatan (pemerintahan) sejengkal saja,
lalu ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyyah”.(HR. Bukhari no. 7053)5
14
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Akhlak pemimpin harus memenuhi kriteria di atas, perilaku dan sikapnya dapat
bahagiakan orang lain dan menampakkan karismatiknya pada yang dipimpin. Jadi dapat
dikemukakan bahwa pemimpin yang baik wajib memiliki kepribadian yang sesuai dengan tata
aturan agama Islam, undang-undang, adat istiadat, masyarakat, dan bangsa. Sebagai timbal balik
dari sikap pemimpin terhadap rakyat maka rakyat pun mempunyai sikap-sikap tertentu kepada
pemimpin yang diajarkan oleh etika Islam. Seyogyanya rakyat selalu mendoakan pemimpinnya
kepemimpinannya berhasil dan berjalan pada garis yang diridhai Allah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Baasith, Abstrak, BAB I-V, DP.pdf
2. Sumber: https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/tujuh-adab-anak-kepada-orang-
tua-menurut-imam-al-ghazali-UPTtU
3.file:///C:/Users/HP/Downloads/
Karakter_dan_Akhlak_Pemimpin_dalam_Perspektif_Isla.pdf
15

Anda mungkin juga menyukai