Anda di halaman 1dari 43

ADAB SEORANG GURU DALAM PRESPEKTIF IMAM AN-

NAWAWI

PROPOSAL

Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Persyaratan Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam

OLEH :

LIANA ALISUDIN

NIMKO : 85520118008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

JURUSAN TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ALKHAIRAAT LABAUHA

1443 H / 2022 M
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan

semesta alam yang telah memberikan petunjuk dan kekuatan serta nikmat

dengan izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

judul “Adab Guru dalam Perspektif Imam Nawawi”Tak lupa

shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW

sebagai pembawa risalah dan Revolusioner dunia juga pada para sahabat dan

pengikutnya. proposal ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam

meraih gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Jurusan Pendidikan Agama

Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam Alkhairaat Labuha (STAIA).

Dalam penyusunan proposal ini, penulis memperoleh

banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga dengan segala

kerendahan hati ucapan terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan

sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Mahfudz Kasuba, MA. Selaku Ketua STAI Alkhairaat Labuha

2. Bapak Suharto Pulukadang, M.Pd. Selaku PK I STAI Alkhairaat

Labuha

3. Bapak Ridwan Ladjadi, S.T. Selaku PK II STAI Alkhairaat Labuha.

4. Bapak Jufri Lamoro, M.Pd. Selaku PK III STAI Alkhairaat Labuha


5. Dosen-dosen STAI Alkhairaat Labuha yang tidak dapat saya

sebutkan satu persatu namanya.

proposal ini penulis buat agar bermanfaat bagi semua pihak dan

khususnya penulis sendiri. Proposal ini penulis buat, tentunya masih jauh

dari kesempurnaan oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun

sangat penulis harapkan. Semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi kita

semua Amin.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. i

DAFTAR ISI................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah.......................................................................... 5

C. Batasan Masalah............................................................................... 5

D. Rumusan Masalah............................................................................. 6

E. Tujuan Penelitian.............................................................................. 6

F. Manfaat Penelitian............................................................................ 6

BAB II KAJIAN TEORI

A. Biografi Imam An-Nawawi.............................................................. 8

1. Nama dan Gelar Kehormatan Sang Imam.............................. 8

2. Keluarga sang Imam.................................................................. 10

3. Perjalanan sang Imam................................................................ 11

4. Amalan Keseharian sang Imam................................................ 13

5. Sang Imam yang Membujang................................................... 14

6. Para guru sang Imam................................................................ 16

7. Buah Karya Sang Imam............................................................ 19

8. Wafatnya sang Imam................................................................. 20


B. Adab Guru......................................................................................... 20

1. Pengertian adab........................................................................... 20

2. Pengertian Guru.......................................................................... 23

3. Keutamaan Sifat-sifat Guru....................................................... 25

4. Guru yang Beradab.................................................................... 30

C. Hasil Penelitian yang Relevan........................................................ 32

BAB III METODE PENELITIAN

A. Pedekatan dan Jenis Penelitian....................................................... 34

B. Sumber Data...................................................................................... 34

C. Teknis Pengumpulan Data............................................................... 35

D. Teknis Pengolahan Data.................................................................. 35

E. Teknis Analisis Data........................................................................ 35

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu pilar penting dalam kehidupan

manusia.1 Pendidikan berusaha mengubah keadaan seseorang dari tidak

tahu menjadi tahu, dari tidak dapat berbuat menjadi dapat berbuat, atau

tidak dapat bersikap seperti yang diharapkan menjadi bersikap seperti yang

diharapkan. Disamping itu, kegiatan pendidikan adalah usaha membentuk

manusia secarakeseluruhan, utuh lengkap dan terpadu aspek

kemanusiaannya. Secara umum dan ringkas dapat dikatakan bahwa

pendidikan merupakan usaha pembentukan kepribadian manusia.

Pendidikan formal adalah salah satu jalur pendidikan yang perlu mendapat

perhatian untuk mewujudkan tujuan pendidikan.2

Semua orang membutuhkan pendidikan, karena pendidikan

merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh setiap manusia

dengan tepat dan benar. Perhatian Agama Islam dalam bidang pendidikan

selain harus dipenuhi dengan tepat dan benar, Allah juga memberikan

hadiah keutamaan bagi manusia yang memiliki pendidikan. Keutamaannya

adalah Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang memiliki Ilmu.

1
Indra Fajar Nurdin, Perbandingan Konsep Adab Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalany
dengan Konsep Pendidikan Karakter di Indonesia. Jurnal Pendidikan Islam. No. 1, 2015
2
Herdiyanto Djafar, Studi Komparasi Pendidikan dalam Keluarga menurut Zakiyah
Darajat dan Ki Hajar Dewantara. Jurnal Ilmiah Al-Jauhari. No 2. 2017 h. 114
Maka dari itu pendidikan merupakan hal yang wajib dipenuhi dengan tepat

dan benar ilmunya, tidak secara asal mendapatkannya. Jika seseorang telah

memiliki ilmu yang bermanfaat maka Allah akan mengangkat tinggi

derajat orang tersebut.

Kepribadian seseorang tercermin dari akhlak yang mulia, dia akan

mengantarkan seseorang kepada martabat yang tinggi. Akhir-akhir ini

adab yang mulia merupakan hal yang mahal dan sulit dicari. Minimnya

pemahaman akan nilai-nilai adab yang terkandung dalam al-Qur’an dan

hadits akan semakin memperparah kondisi kepribadian seseorang.

Untuk membentuk pribadi yang mulia, hendaknya penanaman adab

terhadap anak diajarkan sejak dini, karena pembentukannya akan lebih

mudah dibanding setelah anak tersebut menginjak dewasa. Penanaman

adab pada anak merupakan hal yang paling penting, karena di mulai dari

kecillah anak bisa dibentuk dan diajarkan dengan baik dan benar, sesuai

dengan ajaran agama Islam. Bila anak sudah dewasa maka tidak dapat atau

susah dalam membentuk karakter/adab. Maka dari itu orangtua juga

mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk adab seorang

anak.

Pendidikan memiliki komponen yang terpadu dan saling terkait.

Pendidik (guru) dan murid (murid) merupakan salah satu komponen

pendidikan yang saling terkait. Salah satu aspek yang sangat terkait antara

guru dan murid ialah adab. Adab merupakan bagian pendidikan yang

sangat penting dan berkenaan dengan sikap serta tingkah laku. Pendidikan

di Indonesia belakangan ini mengalami kemerosotan adab, nilai-nilai

kebaikan semakin merosot dan tidak seimbang dengan kemajuan


teknologi. Salah satu problem tersebar pendidikan saat ini yaitu lemahnya

adab di kalangan murid . Banyak murid yang pandai dan berprestasi tapi

kurang memiliki adab.

Akibatnya, muncul kebingungan dan kekeliruan persepsi mengenai

ilmu pengetahuan, yang kemudian berlanjut pada terciptanya ketiadaan

adab di masyarakat, sehingga muncullah para pemimpin yang bukan saja

tidak layak memimpin umat, tetapi juga tidak memiliki akhlak yang luhur

dan kapasitas intelektual dan spiritual yang memadai. Ini semua akibat

pendidikan yang salah dan tidak tepat sasaran. Jelas ini merupakan krisis

adab yang tidak sederhana bagi dunia pendidikan di negeri ini.3

Seorang guru harus mampu mencegah murid-muridnya dari akhlak

yang buruk dengan cara yang halus, masih banyak guru yang mencegah

atau memperingati murid dengan cara yang membuat hati murid malah

menjadi berani untuk memberotak dan melawan guru. Sedapat mungkin

tidak terangterangan, dengan jalan kasih sayang, tidak dengan jalan

rahasia.

Karena terangterangan ini merusak tirai kewibawaan dan

menyebabkan berani menyerangkerena berbeda pendapat, dan

menyebabkan kesombongan yang terus-menerus. Seorang guru haruslah

menasehati muridnya dengan halus, tidak kasar tanpa

caci maki. Karena dengan kehalusan akan lebih mudah meluluhkan hati,

3
Ali Noer, Konsep Adab Murid dalam Pembelajaran menurut Az-Zarnuji dalam
Ilmplikasinya terhadap Pendidikan Karakter Indonesia. Jurnal Al-Hikmah. No. 2. 2016
sedangkan dengan kekerasan justru akan menjadikan anak menentang dan

membangkang.4

Sering kali guru mengajarkan kebaikan murid tentang bagusnya

bersikap jujur, berani, kerja keras, kebersihkan dan jahatnya kecurangan,

tetapi nilai-nilai tersebut sebatas pengetahuan di atas kertas dan dihafal

sebagai bahan yang wajib dipelajari, karena diduga akan keluar dalam

kertas ujian. Dalam kenyataanya murid banyak yang tidak

mengaplikasikan sifat-sifat baik tersebut dalam kehidupan keseharian.

Mereka hanya menjadikan nilai-nilai tersebut sebatas pengetahuan semata.

Fenomena tersebut menunjukkan adanya kepincangan dalam dunia

pendidikan. Karenanya perlu ada reorientasi kebijakan dan tujuan

pendidikan. Dalam hal ini Islam telah menawarkan konsep yang pasti agar

pendidikan itu berhasil. Pendidikan tersebut dikenal dengan

pendidikan adab.5

Abab merupakan sebuah keniscayaan dan telah lama berakar dalam

ajaran Islam. Berwudhu’ sebelum memegang kitab suci Al-Qur’an

merupakan adab terhadap sumber ilmu yang benar. Keseluruhan ibadah

terhadap Allah Ta’ala sesungguhnya merupakan bentuk adab manusia

sebagai hamba terhadap Penciptanya. Dalam Al-Qur’an, seorang anak

haru selalu berbuat dan bergaul dengan baik orang tuanya walaupun tanpa

harus mengikuti kekafiran mereka. Pemimpim yang fasiq tidak semestinya

4
Tri Indriyanti, “Etika Intraksi Guru dan Murid Menurut Perspektif Imam Al- Ghazali “.
Jurnal Studi Al-Qur’an, No.2, 2015, h. 135
5
Toha Machcun, Pendidikan Adab, Kunci Sukses Pendidikan. Jurnal Pemikiran dan
Pendidikan Islam, No. 2, 2016, h. 224
dilengserkan kecuali ketika memerintahkan terhadap kekafiran, tetapi

perlu diingatkan dengan nasehat yang benar.6

Prof. Naquib al-Attas mengatakan bahwa adab adalah pengenalan

serta pengakuan terhadap realitas bahwasanya ilmu dan segala sesuatu

yang terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan

tingkatan-tingkatannya, dan bahwasannya seseorang itu mempunyai

tempatnya maisng-masing dalam kaitannya dengan relitas tersebut dan

dengan kapasitas serta potensi fisik, intelektual dan spiritual. 7

B. Identifikasi Masalah

1. Masih kurangnya peran seorang guru untuk memberikan contoh adab

yang baik kepada murid.

2. Masih kurangnya adab seorang guru dalam proses pembelajaran.

3. Masih kurangnya cara guru dalam mencegah atau memperingati

murid-muridnya dari adab yang buruk.

4. Banyak guru yang tidak mengamalkan sifat-sifat baik dalam kehidupan

sehari-hari.

5. Masih banyak guru yang pada saat mengajar lebih dahulukan

ilmu dari pada adab.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, panulis membatasi

masalah hanya pada “Adab Seorang Guru dalam Prespektif Imam

An-Nawawi”

6
Ibid, h. 225
7
Ibid, h. 227
D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latang belakang diatas, maka dirumuskan dalam

beberapa masalah yang akan dibahas sebagai berikut:

1. Bagaimana adab guru ketika mengajar menurut Imam Nawawi?

2. Bagaimana adab seorang guru ketika belajar menurut Imam

Nawawi?

3. Bagaimana relevansi adab guru menurut Imam Nawawi dengan

tujuan pendidikan nasional ?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini sesuai dengan

rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan adab guru ketika mengajar menurut Imam

Nawawi.

2. Untuk mendeskripsikan implementasi adab guru dalam kehidupan

sehari-hari menurut Imam Nawawi.

3. Untuk mendeskripsikan relevansi adab guru dan murid menurut Imam

Nawawi terhadap tujuan pendidikan nasional.

F. Manfaat Penelitian

Di harapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat terhadap

berbagai aspek, baik teoritis maupun praktis.

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan memperkaya khazana keilmuan

dari berbagai bidang, khususnya dalam mengembangkan

kualitas pendidikan.
2. Secara Praktis

Bagi seorang guru Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan

sebagai masukan untuk maningkatkan kopetensi guru yang

baradab dalam berbagai aspek untuk mancapai tujuan

pembelajaran yang diharapkan, dan memberikan masukan

terutama yang berkaitan dengan meningkatkan prestasi belajar

bagi guru dan murid.


BAB II

KAJIAN TEORI

A. Biografi Imam An-Nawawi

1. Nama dan Gelar Kehormatan Sang Imam

Nama lengkap dari imam An-Nawawi ialah Yahya bin Syaraf

bin Muriy bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Juam’ah bin

Hizam Muhyiddin an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’I al-Asyi’ari.

Sang imam dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di

Desa Nawa. Nawa adalah salah satu desa bagian selatan yang

berjarak kurang lebih 90 km dari sari kota Damaskus,8 Yang kini

menjadi ibu kota Negara Suriah. Jika pada umumnya seseorang agar

dapat dikenal karena menisbatkan namanya kepada daerah asal atau

negaranya, namun yang terjadi dengan Imam Nawawi justru

sebaliknya. Desa Nawa menjadi terkenal justru karena nama besar

sang Imam. Sebab itulah umat Islam mengenalnya dengan Imam

Imam an-Nawawi (seorang pemimpin agama dari desa Nawa).

Berkat penguasaan dan kepeduliannya terhadap ilmu-ilmu

agama, sang Imam memperoleh gelar “huhyi ad-din” atau dalam

bahasa dapat diterjemahkan dengan “sang penghidup agama” atau

“sosok yang menghidupkan agama”. Gelar ini bukan tanpa alasan

atau hanya basa-basi. Karena memang sepenjang hayatnya, ia

dedikasikan untuk belajar ilmu-ilmu agama, menulis tentang ilmu-

ilmu agama, dan mengajarkan ilmu-ilmu agama.

8
Syamsyuddin Muhammad bin Abdur Rahman as-Sakhawi,Al-Manhal al-‘Adzbar
ar-Rawiyi fi Qathbi al-Awliya’ an-Anawawi (Beirut: Dar al-Ilmiyah, 2005), h. 10.
Salah satu bukti kerendahhatian sang Imam terhadap gelar

“muhyi ad-din” yang disematkan padanya adalah pernyataannya yang

terkenal, “La aj’alu fi hillin man laqabani muhyi ad-din” (Aku tidak

rela terhadap orang yang memberikan gelar “muhyi ad-din”

kepadaku).

Semua ulama telah sepekat bahwa ungkapan tersebut adalah

bentuk ketawadhu’an sang Imam. Sebab, sang Imam menyadari

bahwa agama itu akan tetap hidup dan abadi. Agama tidak

membutuhkan kepada sesosok orang untuk membuatnya menjadi

hidup. Gelar ini selalu melekat pada sosoknya kala seseorang

menyebutkan namanya. Siapa saja yang menyebutkan“muhyi

addin”pastilah Imam Nawawi maksudnya.

Sedangkan penisbatan “Asy-Syafi’i” pada nama sang Imam

merupakan hasil dari keberpihakannya terhadap madzhab fiqh Syafi’i

yang diprakarsai oleh Imam Muhammad bin Idris asyi-Syafi’i.

Terbukti sang Imam banyak menuliskan karya-karya yang berkenaan

dengan hukum Islam dalam prespektif madzhab Syafi’i. Bahkan,

menurut sang Imam madzhab Syafi’i adalah madzhab fiqh terbaik

dan paling utama untuk diikuti (awla al-madzahib bi al-itba).9

Seperti mayoritas ulama yang bermadzhab Syafi’i, dalam

madzhab akidah sang Imam pun termasuk Al-Asy’ari, sang founder

madzhab Ahlusunah wal jamaah. Hal itu dapat dilacak dari salah

satu kitabnya yang berjudul Syar Shahih Muslim yang di dalamnya

9
Imam Nawawi, Adap al-Alim wa Adab al-Muta’alim wa Adab al-Mufti wa al-Mustafi
(Thanta: Maktab ash-Shahabah,1987), h. 81.
banyak memuat paham Ahlusunah Wal Jamaah al-Asy’ariyah.

Menisbatkan madzhab akidah ini dipertegas oleh Al-Yafi’i dan

Tajuddin as-Subki yang menyatakan bahwa sang Imam adalah

seorang Asy’arian.10

2. Keluarga Sang Imam

‘Alauddin bin Al-‘Athar adalah salah satu murid terbaik Imam

Nawawi. Iya menceritakan bahwa kakeknya, yaitu Hizam, adalah

sosok yang sederhana yang hidup di Desa Nawa. Salah satu bukti

kesederhanaannya adalah ia sangat bersahaja dan begitu kuat

memegang tradisi orang-orang Arab.11

Adapun ayahnya, yaitu Syaraf bin Muriy, adalah seorang

pedagang. Ia memiliki sebuah toko di Desa Nawa. Dari toko inilah

ia menghidupi keluarganya. Pada masa kecilnya, Imam Nawawi

sering membantu ayahnya berjual-beli di toko tersebut sampai ia

memutuskan untuk hijrah keluar desa untuk mencari ilmu.12

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Alauddin bin Al-Athar,

bahwa Syaraf bin Muriy, ayah Iamam Nawawi, adalah sosok yang

sederhana dan juga sangat sederhana dan juga sangat bersahaja. Ia

sangat ketat mengatur bisnis dagangannya agar senantiasa

mendapatkan rezeki yang benar-benar halal. Dari rezeki yang halal

10
Abdul Ghani ad-Daqar, Al-Imam an-Nawawiy Syaik al-Islam wa al-Muslimin wa
‘Umdat al-Fuqada’ wa al-Muhadditsin (Damaskus: Dar al-Qalam, 1994) h. 64.
11
‘Alauddin bin Al-‘Athar, Tufsat..,h. 40.
12
Thaha ‘Affan Alhamdaniy, Manhaj wa Mawarid al-Imam an-Nawawi fi Kitabihi
Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, h. 32. Syamsyuddin Muhammad bin Abdur Rahman
As-Sakhawiy, al-Manhal..,h. 11.
inilah, sejatinya, ia telah menyiapkan masa depan untuk anaknya

yang kelak menjadi sosok ulama yang berilmu tinggi.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa Imam Nawawi

meninggal lebih dulu daripada ayahnya. Syaraf bin Muriy, ayahanda

sang Imam, meninggal pada tahun 685 H. yakni, Sembilan tahun

setelah wafatnya sang Imam pada tahun 676 H.

Pasca wafat sang Imam, Syaraf bin Muriy selaku ayah,

membagikan karya-karya yang telah ditulis sang Imam semasa

hidupnya. Hal itu ia lakukan dengan dua cara; baik dengan

menuliskannya kembali atau dengan membelinya, baru ia bagikan

secara gratis. Ini adalah bukti cinta sang ayah terhap Imam,

sekaligus bentuk kepeduliannya terhadap umat Islam.

3. Perjalanan Sang Imam

Layaknya para pencari ilmu pada zaman itu, sang Imam pun

melakukan hal yang sama. Jejak langkah sang Imam dalam mencari

ilmu adalah bukti cintanya terhadap ilmu pengetahuan. Dari sang

Imam, kita bisa mengerti bahwa belajar tidak boleh terhambat oleh

faktor usia dan tidak pernah mengenal kata usai.

a. Damaskus

Pada masa itu, Damaskus adalah pusat peradaban. Bahkan, ia

dianalogikan sebagai tempat berhajinya para pecinta ilmu. Jika di

Ka’bah di Mekkah sebagai kiblat peribadapatan, maka di Damaskus

banyak ulama sebagai kiblat ilmu pengetahuan.


Memasuki usianya yang Sembilan belas tahun, tepatnya pada

tahun 649 H, dengan ditemani oleh sang ayah, ia berangkat menuju

Damaskus. Tempat belajarnya dulu dikenal dengan madrasah

rowahiyah.13 Di sini ia menghabiskan waktu-waktunya dengan belajar

kurang lebih dua tahun lamanya. Sang Imam sengaja ditempatkan

oleh ayahnya di dekat masjid agung Al-Umawiy.

Pemilihan tempat tersebut disadari oleh sang ayah agar sang

Imam dapat dengan mudah menghadiri majelis-majelis ilmu yang

diampu oleh para ulama pada waktu itu. Salah satu di antaranya

adalah Syekh Jamaluddin Abdul Kafi ad-Dimasyiqi selaku khatib dan

Imam masjid agung Al-Umawiy. Di masjid itu pula ia belajar

langsung dari mufti Negara Syam, yakni Syekh Tajuddin Abdur

Rahman bin Ibrahim al-Fazari.14

Tidak ada waktu yang disia-siakan oleh sang Imam. Hidupnya

ia dedikasikan untuk benar-benar belajar. Terbukti, ia mampu

menghafal kitab At-Tanbih karya Abu Ishak asy-Syirazi dalam waktu

yang sangat singkat, yakni hanya sekitar empat bulan setengah. Dan,

di tahun yang sama, ia juga berhasil menghafal seperempat bab

ibadah dalam kitab Al-Muhadzdzab yang juga buah karya Abu Ishak

asy-Syirazi.15

b. Makkah Mukarramah
13
‘Alauddin bin Al-‘Athar,Tuhfat.., h, 45.
14
Thaha ‘Affan Alhamdaniy,Manhaj.., h, 34.
15
‘Alauddin bin Al-‘Athar,Tuhfat,,.h. 46. Farid bin Muhammad, “Manhaj al- Imam an-
Nawawiy fi kitabi at-Tabiyan”, Tesis Magister , Amman: Jamiah al-Ulum al-Islamiyah al-
Alamiyah, 2013, h. 9-10
Pada tahun 651, sang Imam pergi ke Makkah untuk

memunaikan ibadah haji bersama ayah tercinta. Setelah itu ia pergi

ke Madinah dan sempat menetap di sana satu bulan setengah

lamanya. Kemudian, ia memutuskan untuk kembali ke Damaskus.16

c. Baitul Makdis

Diriwayatkan oleh ‘Alauddin bin Al-Athar bahwa sang Imam

pernah pergi mengunjungi kota Baitul Maqdis. Adapun mengenai

waktunya adalah kurang lebih dua bulan sebelum wafatnya sang

Imam.17

4. Amalan Keseharian Sang Imam

Jika diperkenakan, untuk untuk membuat peta aktivitas sang

Imam semasa hidupnya, maka hanya ada dua, yaitu aktivitas

keilmuan dan aktivitas peribadatan. Hal ini ditegaskan oleh Asakhwai

dalam pernyataannya, “la wadhi’u lahu waqtum illa fi alisytighal

bi’ilmin aw ‘ibadatin.”

Imam Nawawi adalah sosok ulama yang bisa memadukan

aktivitas keilmuan dan aktivitas peribadatan secara proposional dalam

kesehariannya. Salah satu bentuk keistiqomahan sang Imam dalam

peribadatan adalah melenggekan puasa di siang hari (shaim ad-dahr)

dan shalat di malam hari (qaim al-lail).18

16
Abdul Ghaniy ad-Daqar Al-Imam.., h. 28. ‘Alauddin bin Al-‘Athar,Tuhfat,,.h. 47.
Syamsyuddin Muhammad bin Abdur Rahman As-Sakhawiy,Al-Manhal…,h. 13.
17
Thaha ‘Affan Alhamdaniy,Manhaj.., h. 37
18
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihaya, juz 13 (Hindia: Maktabah Utsmaniyah, 1954),
h. 284.
Aktivitas peribadatan yang juga dilakukan oleh sang Imam

setiap hari adalah selalu membaca al-Qur’an dan senantiasa

berdzikir.19 Hal ini dilakukan sang Imam dengan penuh kesadaran

agar keteguhan niatnya dalam belajar tidak terganggu oleh hal-hal

duniawi. Dengan demikian, segenap yang dilakukannya adalah bekal

untuk menuju akhirat yang kekal.

Berdasarkan yang dicontohkan oleh sang Imam dalam

beribadah dan shalat, kita menjadi semakin yakin bahwa Allah SWT

tidak pernah mengingkari janji-janji suci-Nya yang tersirat dalam al-

Qur’an.

Allah Swt. Berfirman dalam QS. al-Baqarah ( 2 ): 152 sebagai

berikut:

     


Terjemahnya:

“bertaqwalah kepada Allah, niscaya Dia akan senantiasa

mengejarmu” (QS al-Ahzab: 152)

Dengan meneladani sang Imam, kita percaya bahwa barang

siapa sungguh-sungguh bertakwa, niscaya akan dihadiakan ilmu

pengetahuan yang luar biasa.

5. Sang Imam Yang Membujang

Sang Imam adalah sosok ulama yang kharismatik, pribadi

yang berilmu tinggi, dan ahli ibadah. Nikah dalam bahasa Arab

merupakan lafazh yang memiliki lebih dari satu makna. Makna

19
Abua al-Fath Musa al-Yuniniy, Dzail Mir’ati Zaman, 30 juz (Hindia: Maktabah
Utsmaniyah, 1954), h. 284
pertama adalah al-wath’u. dan makna kedua adalah at-tazwiju20.

Hukum asal al-wath’u (hubungan seksual) dilarang ia bisa berubah

menjadi diperbolehkan ketika nikah di maknai dengan at-tazwij

(ikatan perkawinan).

Sebab, dengan adanya perkawinan, hubungan seksual yang

awalnya dilarang menjadi diperbolehkan. Sebagian ahli bahasa Arab

ada yang menyatakan bahwa al-wath’u adalah makna hakiki,


21
sementara at-tazwiju adalah makna yang majasi. Sedangkan ilmu

fiqh, hukum nikah itu berbeda-beda tergantung pada keadaan

seseorang itu sendiri. Nikah menjadi wajib bagi orang yang jika

tidak menikah maka ia akan jatuh dalam perbuatan zinah.

Nikah bisa menjadi haram bagi orang yang tidak mampu,

baik fisik maupun sebab ketiadaan finansialnya, atau ia mampu akan

tetapi niat nikahnya yang tidak benar, misalnya ingin menyakiti

pihak wanita yang akan dinikahi. Sebab itu adalah perbuatan zhalim

dan itu dilarang oleh agama.

Nikah juga bisa menjadi makruh bagi orang yang bisa

mengendalikan hawa nafsunya, ia juga todak khawatir akan

melakukan perbuatan zinah, tidak juga berbuat zhalim pada wanita

yang akan dinikahinya. Nikah juga bisa menjadi makruh bagi orang

yang perangainya buruk. Mungkin ia mampu secara fisik dan

financial, namun karena sifat-sifat buruknya itu yang menjadikannya

20
Ibnu Fariz, Maqayis al-Lughah, juz 5 (Tanpa Nama Kota: Tanpa Penerbit Tanpa
Tahun) h. 475.
21
Al-Azhari,Tahzib al-Lughah, juz 4 (Tanpa Nama Kota: Tanpa Penerbit Tanp
Tahun),h. 103.
tidak mampu untuk menjaga pola komunikasi yang baik dengan

wanita yang akan dinikahinya.22

Jika dikatakan salah satu maksud nikah adalah untuk

beribadah, sang Imam bisa tetap beribadah dengan ilmunya, dan

berilmu dalam ibadahnya. Namun demikian, sang Imam dengan gelar

kehormatannya dan penguasaannya terhadap berbagai disiplin ilmu

agama, tidak lantas menyatakan bahwa membujang untuk belajar dan

berilmu jauh lebih baik dari pada menikah.

Ia juga tidak pernah menyatakan, “kami yang tidak menikah

lebih baik daripada kalian yang menikah.” Tidak pernah ada riwayat

seperti itu yang ditemukan. Artinya, membujang adalah pilihan hidup

sang Imam yang didasarkan dengan penuh kesadaran dan kesalihan.

6. Para Guru Sang Imam

Guru sang Imam dalam Ilmu Hadits

a. Syekh al-Imam ‘imaduddin Abu al-Fadhail Abdul Karim bin

Jamaluddin Abdus Shomad bin Muhammad al-Anshari

Dimasyiqi bin al-Harstani. Wafat pada tahun 662 H.23

b. Syekh syafaruddin Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdul

Muhsin al-Anshari al-Usi ad-Dimasyiqi. Wafat pada tahun 662.

c. Syekh Abdul Baqa’ an-Nabulisi al-Hafizh Khalid bin Yusuf

bin As’ad bin Hasan. Wafat pada tahun 663 H. kitab yang

22
Mahmud as-Sarthawi, Fiqh al-Ahwal asy- syakhshiyah (Tanpa Nama Kota: Tanpa
Penerbit Tanpa Tahun) h. 50.
23
Jalaluddin as-Syuthi,Al-Minhaj as-Sawiy fi Tarjamah al-Imam an-Nawawi (Berikut:
Dar as-Salafiyah, 1996), h. 10
dipelajari sang Imam adalah al-Kamal fi Asma ar-Rijal karya

Abdul Ghani al-Maqdisi.

d. Ibnu al-Burhan Abu Ishak Ibrahim bin Abi Hafs Umar bin

Faris al-Wasithi. Wafat pada tahun 664 H. kitab yang

dipelajari sang Imam dengan beliau adalah shahih Muslim

karya Imam Muslim.

e. Al-Imam al-Hafizh Dhiyauddin Abu Ishak Ibrahim bin isa

Muradi al-Andalusi al-Mashri ad-Dimasyiqi. Wafat pada tahun

688 H. sang Imam berguru kepada beliau dengan mempelajari

kitab Shahih Muslim, Shahih Bukhari dan Jam’u baina ash-

Shahihain.

f. Al-Imam Zainuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdudaim bin

Nu’mah. Wafat pada tahun 688 H. ia merupakan seorang ahli

sanad dari Negara Syam.

g. Al-Imam Taqiyuddin Abu Muhammad Isma’il bin Ibrahim bin

Abi al-Syar Syakir bin Abdullah at-Tunukhi. Wafat pada

tahun 672 H.

h. Al-Imam Jamaluddin Abu Zakariya Yahya bin Abu Manshur

bin Abi al-Fath bin Rafi’ al-Hambali yang terkenal dengan

Ibnu al-Habisyi, wafat pada tahun 682 H.

i. Syekh al-Imam Syamsyuddin Abu al-Faraj Abdurrahman bin

Muhammad bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi ash-Shalihi

al-Hambali. Wafat pada tahun 650 H.24

24
Ibnu Katsir Al-Bidayah…,juz 13 h. 302
Guru sang Imam dalam ilmu Fiqh

a. Al-Imam al-Alamah al-‘Alamah al-Mufti Kmaliddin Abu

Ibrahim Ishak bin Ahmad bin Utsman al-Maghribi. Wafat

pada tahun 650 H. Beliau termasuk guru pertama bagi sang

Imam.25

b. Syekh al-Imam al-‘Alamah Kamaluddin Abu al-Fadhail Silar

bin al-Hasan bun Umar bin Sa’ad ad-Dimasyiqi. Wafat pada

tahun 670 H. Darinya, sang Imam belajar tentang ilmu

madzhab.26

c. Al-Imam Tajuddin Muhammad bin Abdurrahman bin Ibrahim

asy-Syafi’i. wafat pada tahun 690 H.

Guru Sang Imam dalam Ilmu Usul Fiqh

a. Al-Qadhi Abu al-Fath Umar bin Bindar bin Umar bin Ali bin

Muhammad at-Taflisi asy-Syafi’i. wafat pada tahun 672 H.

Beliau merupakan salah satu ulama yang ahli ilmu usul.

Darinya sang Imam belajar kitab Al-Muntkhab karya Imam

Fakhruddin ar-Razi,dan Al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali.27

Guru sang Imam dalam Ilmu Bahasa

a. Syekh Fakaruddin bin al-Maliki. Darinya sang Imam belajar

kitab Al-lima’ karya Ibnu Jini.

25
Imam Al-Asnawi, Thabaqat asy-Syafi’iyyah, Juz 1(Tanpa Nama Kota: Tanpa Penerbit,
Tanpa Tahun), h. 74
26
Abu al-Fath al-Yunini Dzail…,Juz 2, h. 479
27
Imam Al-Asnawi, Thabaqat …,juz 1, h. 152
b. Syekh Abul Abbas Ahmad bin Salim al-Mashri an-Nahwi.

Wafat pada tahun 672 H. Darinya sang Imam belajar kitab

Ishlah al-Mantiq dan juga kitab Sibawaih.

c. Al-Imam al-‘Alamah Jamaluddin Abu Abdullah Muhammad

bin Abdullah bin Malik al-Andalusi.Wafat pada tahun 672 H.28

7. Buah Karya Sang Imam

Karya sang Imam dalam dalam ilmu Fiqh.

a. Adab Al-Mufti wa al-Mustafti.

b. Al-Usul wa adh-Dhawabith.

c. Al-Idhah fi Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah.

d. At-Tahrir fi Alfadz at-Tanbih, dan lain-lain.

Karya sang Imam dalam Hadits dan ilmu Hadits

a. Al-Adzkar/Hilyah al-Abrar fi Talkhish ad-Da’wat wa al-Adzkar.

b. Kitab Al-Arba’in an-Nawawiy.

c. Al-irsyad fi Ushul al-Hadits.

d. Al-Isyarat ila Bayan al-Asma’ al-Mubhamat, dan lain-lain.

Karya-karya sang Imam yang lain.

a. Ujubah ‘ala Masail Sa’alaha an-Nawawi fi Alfadz min-Hadits

b. Bustan al-‘arifin.

c. At-Tibyan fi Adab Hamlah al-Qur’an.

d. Tuhfah Thulab al-Fadhail.

e. Tuhfa al-Walid wa Buhgyan a-Raid, dan lain-lain.

28
Tajuddin As-Subki, Thabaqat….,Juz 8, h. 67
8. Wafatnya Sang Imam

Sang Imam adalah sosok ulama yang sangat luar biasa. Tidak

hanya ahli ibadah, namun juga ahli ilmu. Ia tidak hanya ahli dalam

satu disiplin keilmuan saja, melainkan hampir semua ilmu-ilmu

agama bisa ia kuasai. Sang Imam yang lahir pada tahun 631 H,

meninggal dunia untuk menghadap Dzat Yang Maha Bijaksana pada

tahun 676 H.29 itu berarti sang Imam wafat pada usia 45 tahun.

Dalam kurun waktu yang begitu singkat, dengan ketekunan

membaca dan menulis, lahir puluhan karya yang luar biasa.

Kehadiran sang Imam merupakan anugrah tersendiri bagi umat Islam.

Sang Imam mengajarkan bahwa ilmu-ilmu agama tidak akan pernah

habis untuk terus dipelajari dan senantiasa perlu untuk dikaji. Dari

sang Imam, kita mengerti bahwa belajar tidak pandang usia, tak

pernah juga mengenal kata usai.

B. Adab Guru

1. Pengertian Adab

Adab berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti, kesopanan,

kehalusan, dan kebaikan budi pekerti, akhlak. Menurut Nasrul adab yaitu

tata cara hidup, penghalusan atau kemuliaan kebudayaan manusia.30

Sedangkan menurut istilah adab adalah suatu kebiasaan dan aturan tingkah

laku praktis yang memiliki muatan nilai baik. Menurut syed Muhammad

Naquib al-Attas adab adalah ilmu tentang mencari pengetahuan,

29
Abdul Ghani ad-Daqar, Al-Imam…, h. 197.
30
Mustopa, “Adab dan Kompetensi Dai dalam Berdakwah”, Jurnal Dakwah dan
Komunikasi, 2017, h. 101
sedangkan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan

dalam dalam diri manusia.31

Kepribadian seseorang tercermin dari akhlak yang mulia, dia

akan mengantarkan seseorang kepada martabat yang tinggi. Akhir-akhir

ini adab yang mulia merupakan hal yang mahal dan sulit dicari.

Untuk membentuk pribadi yang mulia, hendaknya penanaman adab

terhadap anak sejak dini, karena pembentukannya akan lebih mudah

dibanding setelah anak tersebut menginjak dewasa. Pengertian di atas

mencakup-cakupan yang sangat luas, yakni fikiran, rasa dan perbuatan.

Maksud dari pengertian ini jika diimplementasikan dalam kehidupan

sehari-hari, seperti mengajak anak-anak untuk berprilaku yang baik.

Rasulullah Shallallahualaihi wassallam bersabda:

‫أكمُل ا لمو منين إ يما نًا أ حسُنهم ُخ لًقا‬

“kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang


paling baik akhlaknya”( HR. Tirmidzi no. 1162 )
Sebaiknya adab yang baik ditumbuhkan sejak dini dengan cara

yang halus sehingga dapat menjadikan anak yang memiliki budi pekerti

yang sangat baik. Jika telah tertanam prilaku yang baik semenjak dini

maka itu akan menjadi kebiasaan yang akan terus melekat di jiwa dan raga

anak. Tidak bias dipungkiri bahwa adab merupakan suatu kebutuhan yang

sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, terlebih adab seorang murid

terhadap guru. Dari beberapa pengertian di atas, akhlak merupakan bagian

dari adab, bahkan adab sendiri merupakan akhlak.

31
Ali Noer, dkk. “Konsep Adab Murid dalam Pembelajaran menurut Az-Zarnuji dan
Implikasinya terhadap Pendidikan karakter di Indonesia”, Jurnal Al-Hikmah, 2017, h. 184
Allah Swt berfirman dalam QS al-Bayyinah ( 98 ): 5 sebagai

berikut:

       


     
  
Terjemahnya:

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas


menaati-Nya semata-mata karena ( menjalankan ) agama, dan juga agar
melaksanakan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus.32
Minimnya pemahaman akan nilai-nilai adab yang terkandung

dalam al-qur’an dan hadits akan semakin memperparah kondisi

kepribadian seseorang. Dari ayat tersebut maka jelaslah bahwa manusia

diperintahkan oleh Allah di muka bumi ini hanya untuk menyembah Allah

SWT. dengan hati yang ikhlas, maksudnya adalah beribadah kepada Allah

dengan mengharapkan ridha Allah SWT semata. Mengajar merupakan

salah satu amalan ibadah yang akan membuahkan kebaikan bagi dirinya

dan bagi orang yang diajarkannya.

Rasulullah Saw bersabda:

‫إَّن أ َث َقَل َم ُو ِض َع ِفي ِمزي اِن ا لموِم ِن يوم القيا مِة ُخ ُلُق حَس ٌن وإَّن‬

‫َهللا ُيبِغُض ا لفا حَش ا لبذيَء‬

“Sesungguhnya perkara yang paling berat ditimbangan amal


bagi seorang mukmin adalah akhlak yang baik dan Allah tidak
menyukai orang yang berbicara keji dan kotor”(HR. At-Tirmidzi no.
2002).

2. Pengertian Guru

32
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya,
(Semarang: PT. Karya Toha Semarang), h. 480
Dalam bahasa Inggris ditemukan beberapa kata untuk sebutan

guru, yaitu teacher, tutor, educator, dan instructor. Semua kata ini

berdekatan dengan sebutan guru. Teacherdiartikan sorang yang mengajar,

tutor diartikan seorang guru yang memberikan pengajaran terhadap murid

instructor diartikan dengan seseorang yang mengajar, educator diartikan

dengan seseorang yang mempunyai tanggung jawab pekerjaan mendidik

yang lain.

kata guru dalam bahasa Arab, dijumpai kata ustadz, mu’allim,

mudarris, mu’addib. Kata ustadz berarti teacher (guru), professor (gelar

akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis. Kata Mudarris

berarti teacher (guru), instructor (pelatih) dan lecturer (dosen).

Selanjutnya kata mu’allim berarti teacher (guru), trainer (pemandu) dan

kata muaddib berarti educator (guru) atau guru dalam lembaga

pendidikan.33

Bila dihubungkan dengan fungsi dan tugasnya maka istilah di atas

berarti: Ustadz, yaitu orang yang memperbaiki dan memperbaharui

model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zaman.

Mu’allim, berarti orang yang menangkap menangkap hakekat

sesuatu ini mengandung makna bahwa guru adalah orang yang

dituntut mampu menjelaskan hakekat dalam pengetahuan yang

diajarkan. Muaddib, artinya orang yang menciptakan, mengatur, dan

memelihara.

33
Ramayulis, Profesi dan Etika Keguruan, (Jakarta: Kalam Mulia, 2013), h. 1
Dilihat dari pengertian ini maka guru adalah orang

yang mendidik dan menyiapkan murid agar mampu berkreasi,

sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak

menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam

sekitarnya. Muaddib yang berarti moral, etika, dan adab. Artinya adalah

orang yang beradab sekaligus memiliki peran dan fungsi untuk

membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.34

tugas seorang guru dan kemuliaan guru di dalam pendidikan agama

Islam. Posisi seorang guru dalam ajaran agama Islam sangat tinggi dan

istimewa. Kewajiban seorang murid adalah menghormati dan

memuliakan guru, begitu juga dengan kewajiban seorang guru yang

harus bias mendidik murid untuk dapat menjadi anak yang memiliki

pengetahuan yang luas dan adab yang baik dalam kehidupan seharihari.

Guru menjadi faktor yang menentukan mutu pendidikan karena

guru berhadapan langsung dengan para murid dalam proses

pembelajaran di kelas. Di tangan guru, mutu dan kepribadian murid

dibentuk. Karena itu, perlu sosok guru kompeten, bertanggung jawab,

terampil, dan berdedikasi tinggi. Guru adalah pendidik professional

dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,

melatih, menilai, dan mengevaluasi murid.35

3. Ketutamaan sifat-sifat Guru

34
Ibid, h. 2
35
Kunandar, Guru Profesional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 54
Guru merupakan sosok yang mulia. Sudah sekian banyak anak

didiknya menjadi orang sukses tetapi dia tetap menjadi guru. Guru yang

tidak akan pernah bosan mengajar dan mendidik murid-muridnya.

Alangkah senangnya seorang guru jika mendengar murid-muridnya

menjadi orang sukses. Sang guru merasakan bahwa ilmu dan bimbingan

yang diebrikan pada muridnya tidal sia-sia.

Al-Ghazali menyebut guru sebagai orang besar di semua kerajaan

langit. Ia mengumpamakannya seperti matahari yang menerangi dan

memberikan kehidupan bagi umta manusia. Dengan ilmunya guru

mengarahkan manusia untuk mengetahui yang benar dan yang salah, yang

baik dan yang buruk sehingga mereka dapat meraih kebahagiaan dunia dan

kenikmat anakhirat.36 Budi pekerti guru maha penting dalam pendidikan

watak murid. Guru harus menjadi suri tauladan, karena anak-anak bersifat

suka meniru.

Allah berfirman dalam QS al-Ahzab ( 33 ) : 21

           
    

Terjemahnya :

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri


teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut.”37

Ayat tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah saw telah

Allah jadikan sebagai pendidik bagi umat manusia dan telah diberikan
36
Idris Apandi, Guru Kalbu, (Bandung : CV. Smile’s Indonesia Institute, 2015) h. 16
37
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya,
(Semarang: PT. Karya Toha Semarang), h. 336
tugas untuk menjadi suri tauladan. Rasulullah saw tidak hanya

menyampaikan dakwahnya dengan perkataan saja akan tetapi memberikan

contoh prilaku yang baik kepada umat islam untuk dijadikan

pembelajaran. Guru pun demikian harus memberikan contoh prilaku yang

baik kepada murid. Jika guru hanya menjadikan proses pengajaran untuk

memberikan ilmu melalui perkataan saja tanpa memberikan contoh prilaku

yang baik maka murid pun akan mencontoh prilaku guru tersebut, karena

pada dasarnya guru merupakan orang yang diguguh dan ditiru.

Salah satu tujuan pendidikan adalah membentuk akhlak yang baik

pada anak dan ini hanya mungkin terjadi jika guru itu berakhlak baik pula.

Guru yang tidak berakhlak baik tidak mungkin dipercayakan untuk

menjadi seorang pendidik. Yang dimaksud dengan berakhlak baik dalam

ilmu pendidikan Islam adalah akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam,

seperti dicontohkan oleh pendidik utama, Muhammad SAW. Seperti

mencintai jabatan sebagai guru, bersikap adil, sabar dan tenang,

berwibawa, gembira, bersifat manusiawi, bekerjasama antara guru dan

masyarakat.38

Sifat yang pertama adalah mencintai jabatan sebagai guru. Niat

merupakan langkah awal dalam setiap pekerjaan, dan niat untuk mencintai

pekerjaan sebagai seorang guru merupakan salah satu sifat yang harus

dimiliki oleh setiap guru. Cinta akan membuat matang setiap rohani orang.

Jadi jika seseorang memiliki rasa cinta rohaninya akan berproses lebih

matang.39 Tidak semua orang menjadi guru karena panggilan jiwa atau

38
Zakiah Darajat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012) h. 42
39
Kuswaidi Syafi’ie, Nada Dasar Cinta, (Yogyakarta: DIVA Press, 2017) h. 16
keinginan utama di antara mereka ada yang menjadi guru karena terpaksa,

misalnya karena kebutuhan ekonomi, dorongan teman atau orang tua, dan

sebagainya. Dalam keadaan bagaimanapun seorang guru harus mencintai

pekerjaannya.

Pada umumnya cinta memiliki pengaruh dan efek terhadap orang

yang merasakannya. Cinta yang terpuji adalah cinta yang bermanfaat bagi

orangnya, di dunia dan di akhirat. Cinta ini merupakan topik

kebahagiaan.40 Kecintaan terhadap pekerjaan guru akan bertambah besar

apabila dihayati benar-benar keindahan dan kemuliaan tugas itu. Yang

paling baik adalah seseorang menjadi guru karena panggilan dari jiwanya

sendiri, karena orang tersebut akan melakukan pekerjaannya berdasarkan

rasa cinta dan kebahagiaan akan muncul dalam hatinya.

Sikap yang kedua yaitu Bersikap adil terhadap semua muridnya.

Anakanak tajam pandangannya terhadap perlakuan yang tidak adil. Guru-

guru, lebih-ebih yang masih muda usianya, kerap kali bersikap pilih kasih,

guru laki-laki lebih memperhatikan perempuan yang cantik atau anak yang

pandai dari pada yang lain. Hal itu jelsa tidak baik . oleh karena itu guru

harus bersikap adil terhadap semua muridnya.

Sikap yang ketiga yaitu sabar dan tenang. Secara etimologi sabar

berasal dari bahasa Arab shabr merupakan bentuk masdar dari kata

shabara yashbiru yang diantara artinya adalah menahan.41 Di sekolah guru

kerap kali merasakan kekecewaan karena murid kurang mengerti apa yang

dikerjakannya. Muridmurid yang tidak mengerti kadang-kadang menjadi


40
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Setiap Penyakit Ada Obatnya, (Jakarta: PT. DARUL
FALAH), h. 295
41
Ridjaluddin, Sabar Dalam Pandangan Imam Ghazali, (Ciputat: Lembaga kajian Islam
Nugraha, 2009) h. 3
pendiam atau sebaliknya membuat keributan di kelas. Dalam keadaan

demikian guru harus tetap tabah, sabar sambil berusaha mengkaji

masalahnya dengan tenang, hal ini dapat diartikan seorang guru yang sabar

dalam perjuangan mendidik murid dapat disebut juga syaja’ah.

Guru juga harus pandai mengevaluasi diri sendiri, sebab mungkin

juga kesalahan terletak pada dirinya yang kurang simpatik atau cara

mengajarnya yang kurang terampil atau bahan pelajaran yang belum

terkuasai olehnya. Hikmah dari berbuat sabar ketika mendidik anak dapat

dirasakan oleh semua guru. Salah satunya adalah Allah akan memberikan

kepada orang yang sabar berupa ketenangan dalam hatinya. Guru akan

lebih tenang dan dapat mendidik murid dengan baik dan ikhlas sehingga

dapat menumbuhkan akhlak yang baik. Sikap yang keempat ialah

berwibawa. Kemampuan guru dalam menguasai kondisi dan situasi harus

selalu diperhatikan. Banyak anak-anak yang rebut dan berbuat

sekehendaknya, lalu guru merasa jengkel dan berteriak

sambil memukul meja. Ketertiban hanya dapat dikembalikan dengan

kekerasan. Guru yang semacam ini merupakan guru yang tidak memiliki

wibawa. Sebaliknya, ada juga guru yang sesaat ia memasuki dan

menghadap dengan tenang kepada murid-murid yang sedang rebut, segera

kelas menjadi tenang. Ia mampu menguasai anak-anak seluruhnya. Inilah

guru yang berwibawa.

Sikap yang kelima yaitu gembira. Guru yang gembira memiliki

sifat humor, suka tertawa, dan suka memberi kesempatan tertawa kepada

anakanaknya. Dengan memberi senyuman ia memikat hati anak-anak.

Sebab jika pelajaran diiringi dengan senyum dan humor niscaya jam
pelajaran hanya akan terasa pendek. Guru yang gembira biasanya tidak

lekas kecewa. Ia mengerti, bahwa anak-anak tidak bodoh, tetapi belum

tahu. Dengan gembira ia mencoba menerangkan pelajaran sampai anak itu

memahaminya.

Sikap yang keenam adalah manusiawi. Guru adalah manusia yang

tak lepas dari kekurangan dan cacat. Ia bukan manusia yang sempurna.

Oleh karena itu ia harus berani melihat kekurangan-kekurangan sendiri

dan segera memperbaikinya. Dengan demikian pandangannya tidak akan

negatif terhadap kelakuan manusia umumnya dan anak-anak khususnya. Ia

dapat melihat perbuatan yang salah menurut ukuran yang sebenarnya. Ia

emberikan hukuman yang adil dan suka memaafkan apabila anak insaf

akan kesalahannya.

Sifat yang ketujuh yaitu bekerja sama antara guru dan masyarakat.

Pertalian silaturrahmi dan kerja sama yang erat antara guru-guru lebih

berharga dari pada gedung yang tinggi dan indah. Guru harus mempunyai

pandangan yang luas. Ia harus bias bergaul dengan segala golongan

manusia dan secara aktif berperan dalam masyarakat supaya sekolah tidak

terpencil. Sekolah hanya dapat berdiri di tengah-tengah masyarakat,

apabila guru suka bergaul, sering mengunjungi orang tua murid, turut serta

dalam kejadian-kejadian yang penting, maka masyarakat akan rela untuk

memberikan kepada sekolah berupa hadiah-hadiah, alat-alat, gedung yang

diperlukan sekolah.

4. Guru yang Beradab


Guru harus memiliki adab, karena ia adalah seorang penasehat bagi

murid, bahkan bagi orang tua, meski mereka tidak memiliki latihan khusus

sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk

menasehati orang. Bahkan guru cenderung mengganggap bahwa konseling

terlalu banyak membicarakan klien, seakan-akan berusaha mengatur

kehidupan orang, dan boeh karena mereka tidak senang melaksanakan

fungsi ini. Padahal menjadi guru pada tingkat manapun berarti menjadi

penasehat dan menjadi orang kepercayaan yang harus berakhlak mulia,

kegiatan pembelajaran meletakkannya panda posisi tersebut. Murid

senantiasa berhadapan dengan kebutuhan untuk membuat keputusan, dan

dalam prosesnya akan lari kepada gurunya.

Murid akan menemukan sendiri dan secara mengherankan, bahkan

mungkin menyalahkan apa yang ditemukannya, serta akan mengadu

kepada guru sebagai orang kepercayaannya. Makin efektif guru menangani

setiap permasalahan, makin banyak kemungkinan murid berpaling

kepadanya untuk mendapatkan dan kepercayaan diri. Disinilah pentingnya

guru memiliki adab yang baik.

Guru dalam keadaan bagaimanapun harus memiliki keprcayaan

diri

yang istiqomah, dan tidak tergoyahkan. Hal tersebut nampak seperti

sesuatu yang tidak mungkin, padahal bukan hal yang istimewa untuk

dimiliki dan dilakukan seorang guru, asal memiliki niat dan keinginan

yang kuat. Niat pertama menjadi guru sebaiknya jangan semata-mata

untuk mencari keungtungan materi, sebab akan sia-sia saja seorang guru

yang memiliki niat untuk mencari kekayaan dunia. Niatkan menjadi guru
sebgai ibadah, sehingga dalam menghadapi permasalahan yang

bagaimanapun, guru tidak cepat marah, dan tidak mudah dimanfaatkan

untuk kepentingan politik, praktis seperti demo.

Guru harus berakhlak mulia, dan jadi panutan bagi murid dalam

menghadapi berbagai situasi yang bagaimanapun. Hendaknya lebih

mengutamakan doa dari panda demo. Biarlah yang berlalu, marilah kita

membuka lembaran baru dengan guru dan calon guru profesional yang

berakhlak mulia, yang senantiasa berdoa untuk kemajuan murid dan

kemaslahatan umat. Jangan mudah tergoda oleh rayuan rupiah yang tidak

seberapa berniainya. Carilah imbalan yang hakiki, yang hanya datang dari

Allah.

Kompetensi keperibadian guru yang dilandasi adab yang baik dan

akhlak mulia tentu saja tidak tumbuh dengan sendirinya begitu saja, tetapi

memerlukan ijtihad yang mujahadah, yakni usaha sungguh-sungguh, kerja

keras, tanpa mengenal lelah, dengan niat ibadah tentunya. Dalam hal ini

barangkali, setiap guru harus merapatkan kembali barisannya, meluruskan

niatnya, bahwa menjadi guru bukan semata-mata untuk kepentingan

duniawi, memperbaiki ikhtiar terutama berkaitan dengan kompetensi

pribadinya, dengan tetap bertawakkal kepada Allah. Melalui guru yang

demikianlah, kita berharap pendidikan menjadi ajang pembentukkan

karakter bangsa. Yang akan menentukan warna masa depan masyarakat

Indonesia, serta harga dirinya di mata dunia.Semoga Allah memberikan

hidayah dan kekuatan, agar konsep tersebut dapat segera diwujudkan


dalam sebuah buku, atau paling tidak menjadi sebuah penduan praktis

berakhlak mulia.42

C. Hasil Penelitian yang Relevan

1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sudrajat dengan Nim

18100110000061 dengan judul penelitian Konsep Pembelajaran

Akhlak dalam Kitab Nashaihul ‘Ibad Karya Imam Al-Nawawi Al-

Jawi. proposal yang digunakan oleh Sudrajat adalah dengan

menggunakan metode (library research) atau penelitian pustaka yaitu

mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku diperpustakaan.

proposal ini membahas Konsep Akhlak dalam kitab Nashaihil ‘Ibad

karya Imam Nawawi al-Jawi. Konsep yang dibahas seperti akhlak

dalam beragama, akhlak kepada diri sendiri, dan akhlak sosial.43

Persamaan proposal ini dengan proposal yang penulis lakukan ialah

dalam hal tokoh yang diteliti dan metode penelitiannya. Perbedaannya

ialah penulis meneliti aspek adab guru dan murid.

2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Asrori dengan

Nim 181001000056 dengan judul penelitian Akhlak Guru dalam

pandangan Al-Ghazali. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Asrori

menggunakan penelitian kualitatif dengan metode penelitian riset

keperpustakaan. Akhlak guru yang ideal menurut al-ghazali terbagi 2

yaitu, keperibadian guru itu sendiri dan akhlak guru terhadap

muridnya. Adapun keperibadian guru menurut al-Ghazali adalah

pertama, tabiat dan perilaku pendidik, kedua, yaitu keterampilan


42
Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2019) h. 129-131
43
Sudrajat, (Konsep Pembelajaran Akhlak dalam Kitab Nashaihul ‘Ibad Karya Imam
AlNawawi Al-Jawi), UIN Syarif Hidayatullah. Perpustakaan UIN Jakarta, 2014
mengajar dan minat serta perhatian panda proses belajar mengajar dan

ketiga skil ilmiah dan cinta terhadap kebenaran. Sedangkan akhlak

guru kepada muridnya yaitu guru yang memiliki motivasi mengajar

yang tulus, bersikap kasih sayang kepada muridnya, tidak meminta

imbalan, tidak menyembunyikan ilmunya cenderung kepada murid

tertentu, memperlakukan muridnya dengan kesanggupannya, bekerja

sama dengan muridnya dalam membahas pelajaran dan mengamalkan

Ilmunya.44

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

pendekatan kajian pustaka (library research). Fungsi dan

kedudukan studi pustaka dalam masing-masing penelitian. Riset pustaka

44
Ahmad Asrori, (Akhlak Guru menurut Al-Ghazali) UIN Syarif Hidayatullah.
Perpustakaan
UIN Jakarta, 2014
sekaligus memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data

penelitianya. Tegasnya riset pustaka membatasi kegiatannya hanya pada

bahan-bahan koleksi perpustakaan saja tanpa memerlukan riset lapangan.

Jadi, metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian

keperpustakaan (library research), dengan judul“Adab Seorang Guru

dalam Prespektif Imam An-Nawawi”

B. Sumber Data

Untuk mendapatkan data yang valid, maka diperlukan sumber data

penelitian yang valid pula. Dilihat dari jenis penelitiannya, maka penelitian

ini menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber

data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti,

sedangkan data sekunder merupakan data-data yang mendukung data

primer.45 buku-buku dan literatur yang relevan dengan tema penelitian ini.

1. Sumber primer dalam penelitian ini adalah kitab At-Tibyan Fi

Adabi Hammalati al-Qur’an, Hadits Arba’in Nawawiwah, dan

Adabul ‘Alim wal Muta’allim Karya Imam An Nawawi.

2. Sumber sekunder dalam penelitian ini adalah kitab Ihya

‘Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, kitab Ta’lim Al-Muta’allim karya

Imam Az-Zarnuji.

C. Teknis Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar

untuk memperoleh data yang diperlukan, dalam hal ini akan selalu ada

hubungan antara teknik pengumpulan data dengan masalah penelitian yang

45
Wiratna Sujarweni, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2014).
ingin dipecahkan. Pengumpulan data tidak lain adalah suatu proses

penyediaan data untuk keperluan penelitian.

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.

Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental

dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian,

sejarah kehidupan (life histories), cerita, biografi, peraturan dan

kebijakan.

D. Teknis Pengolahan Data

Setelah data-data terkumpul lengkap. Selanjutnya bagi penulis

yang harus dilakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti,

menyeleksi, dan mengklasifikasikan data-data yang relevan dan yang

mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya penulis analisis,

simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh.

E. Teknis Analisis Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis Sejarah

(histori analysis), dan dengan pendekatan deskriptif yaitu berupa catatan

informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan

tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu. Secara umum,

pedoman yang digunakan dalam analisis data berdasarkan pada pola

berfikir ilmiah, yang mempunyai ciri, sistematis, dan logis.

Orang bisa mulai dari kata-kata konkrit, kemudian dihubungkan

dengan dalil-dalil umum yang sudah dianggap benar. ini disebut analisis

secara induktif. Sebaiknya orang bisa mulai dari dalil-dalil umum, pustulat

atau paradigma tertentu, kemudian menghubungkan dengan data-data


empiris, sebagai pangkal tolak kesimpulan. ini disebut analisis induksi.

Disamping itu, orang juga bisa menggunakan dua cara tersebut secara

bergantian, antara induksi dan deduksi. Cara ini oleh John Dewey

disebut berfikir reflektif. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa

ketajaman analisis sangat tergantung pada tingkat pengalaman dan luasnya

pengetahuan peneliti.46

DAFTAR PUSTAKA

‘Affan Alhamdaniy Thaha, Manhaj wa Mawarid al-Imam an-Nawawi fi


Kitabihi Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, Syamsyuddin
Muhammad bin Abdur Rahman As-Sakhawiy, al-Manhal.
Agama Republik Indonesia Departemen, Al-Qur’an Al-Karim dan
Terjemahnya, (Semarang: PT. Karya Toha Semarang).
Al-‘Athar bin ‘Alauddin, Tufsat.

46
Moh Kasiram, Motodologi Penelitian, (Malang: Malang Press, 2008), h. 136
_____,Tuhfat. Farid bin Muhammad, “Manhaj al- Imam an-Nawawiy fi
kitabi at-Tabiyan”, Tesis Magister , Amman: Jamiah al-Ulum
Islamiyah Alamiyah, 2013.
Al-‘Athar bin ‘Alauddin,Tuhfat.
Al-Jauziyyah Ibnu Qayyim, Setiap Penyakit Ada Obatnya, (Jakarta: PT.
DARUL FALAH)cet. III.
Apandi Idris, Guru Kalbu, (Bandung : CV. Smile’s Indonesia Institute,
2015).
As-Syuthi Jalaluddin,Al-Minhaj as-Sawiy fi Tarjamah al-Imam Nawawi
(Berikut: Dar as-Salafiyah, 1996).
Darajat Zakiah, dkk. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2012).
Djafar Herdiyanto, Studi Komparasi Pendidikan dalam Keluarga menurut
Zakiyah Darajat dan Ki Hajar Dewantara. Jurnal Ilmiah Jauhari.
Vol. 2 No 2. 2017 .
Ghani ad-Daqar Abdul, Al-Imam an-Nawawiy Syaik al-Islam wa Muslimin
wa ‘Umdat al-Fuqada’ wa al-Muhadditsin (Damaskus: Dar Qalam,
1994).
Ghaniy ad-Daqar AbdulAl -Imam. ‘Alauddin bin Al-‘Athar,Tuhfat.
Syamsyuddin Muhammad bin Abdur Rahman As-Sakhawiy,
Manhal.
Indriyanti Tri, “Etika Intraksi Guru dan Murid Menurut Perspektif Imam
Al- Ghazali“.Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. 11, No.2, 2015.
J. Moleong Lexy, metode penelitian kualitatif (Cet. XII: Bandung;
Remaja Rosada karya, 2003).
Kasiram Moh, Motodologi Penelitian, (Malang: Malang Press, 2008).
Katsir Ibnu, Al-Bidayah wa an-Nihaya, juz 13 (Hindia: Maktabah
Utsmaniyah, 1954).
Kunandar, Guru Profesional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007).
Machcun Toha, Pendidikan Adab, Kunci Sukses Pendidikan. Jurnal
Pemikiran dan Pendidikan Islam, Vol. 6. No. 2, 2016.
Muhammad Syamsyuddin bin Abdur Rahman as-Sakhawi,Al-Manhal
al-‘Adzbar ar-Rawiyi fi Qathbi al-Awliya’ an-Anawawi (Beirut:
Dar al-Ilmiyah, 2005).
Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2019).
Musa al-Yuniniy Abua al-Fath, Dzail Mir’ati Zaman, 30 juz (Hindia:
Maktabah Utsmaniyah, 1954).
Mustopa, “Adab dan Kompetensi Dai dalam Berdakwah”, Jurnal Dakwah
dan Komunikasi, Vol. 8, 2017.
Nawawi Imam , Adap al-Alim wa Adab al-Muta’alim wa Adab al-Mufti
wa al-Mustafi (Thanta: Maktab ash-Shahabah,1987).
Noer Ali, dkk. “Konsep Adab Murid dalam Pembelajaran menurut Zarnuji
dan Implikasinya terhadap Pendidikan karakter di Indonesia”,
Jurnal Al-Hikmah, Vol. 14, 2017.
Noer Ali, Konsep Adab Murid dalam Pembelajaran menurut Az-Zarnuji
dalam Ilmplikasinya terhadap Pendidikan Karakter Indonesia.
Jurnal Al-Hikmah. Vol. 14. No. 2. 2016
Nurdin Fajar Indra, Perbandingan Konsep Adab Menurut Ibnu Hajar
Alasqalany dengan Konsep Pendidikan Karakter di Indonesia.
Jurnal Pendidikan Islam. Vol. IV. No. 1, 2015.
Ramayulis, Profesi dan Etika Keguruan, (Jakarta: Kalam Mulia, 2013).
Ridjaluddin, Sabar Dalam Pandangan Imam Ghazali, (Ciputat: Lembaga
kajian Islam Nugraha, 2009).
Sujarweni Wiratna, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Baru
Press, 2014).
Syafi’ie Kuswaidi, Nada Dasar Cinta, (Yogyakarta: DIVA Press, 2017).

Anda mungkin juga menyukai