Anda di halaman 1dari 22

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

Tafsir dan Hadits Tarbawi Raihanah, S.Pd.I, M.Ag

ETIKA BELAJAR

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

DHIA FIRDA HAJIDAH :220101010026

LAURA :220101010391

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur dan syukur kita panjatkan kehadirat allah SWT atas limpahan rahmat dan
taufiknya, sehingga makalah ini dapat terselesaikan sesuai waktu yang ditentukan. Makalah
ini di buat sebagai tugas dan media pembelajaran di universitas UIN Antasari dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah Tafsir dan Hadits Tarbawi dan sebagai bahan pembelajaran di
kelas. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Terlepas dari semua itu, kami sangat mengharapkan kritik serta saran dari pada Ibu
Raihanah, S.Pd.I, M.Ag, dan bagi pembaca sekalian. Sehingga kami dapat mengintropeksi
diri serta memperbaiki kesalahan yang kami lakukan dalam penyusunan makalah ini. dan
semoga selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman amiin…

Banjarmasin, Maret 2023

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………… i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………........... ii

BAB I

PENDAHULUAN……………………………………………………………......……. 1

A. Latar Belakang …………………………………………………………………….........1


B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………........ 1
C. Tujuan……………………………………………………………………………….......1

BAB II
PEMBAHASAN…………………………………………………………………..........2

A. Pengertian etika belajar……………………………………………….............................2


B. Ayat dan tafsir yang terkait…………..………………………….....................................4
C. Hadits yang terkait...........................................................................................................15

BAB III

PENUTUP………………………………………………………………….....………18

A. Kesimpulan……………………………………………………………………….....…18

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….......19

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Etika dan proses belajar manusia memiliki hubungan yang saling terkait. Pada satu sisi,
belajar sebagai kegiatan manusia merupakan aktivitas yang memerlukan norma- norma
moral tentang bagaimana seharusnya belajar dalam bingkai karakter dan ciri khas manusia
yang demikian unik, disisi lain etika sebagai pemikiran manusia tentang baik atau buruk
sangat diperlukan untuk merefleksikan kegiatan belajar manusia setiap saat. Nilai- nilai
dan ide tentang kegiatan belajar yang berlaku secara umum perlu dikaji secara rasional,
kritis, mendasar dan sistematis. Sehingga norma yang ditaatinya dalam proses belajar
bukan sekedar karena kebiasaan atau adat yang berlaku di masyarakat, melainkan karena
memiliki dasar dan legitimasi yang kuat untuk diikuti dan ditaati. Dengan ini kami akan
memaparkan apa itu etika belajar beserta firman Allah Swt. Dan hadist.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian etika belajar ?
2. Apa ayat dan tafsirnya etika belajar ?
3. Apa hadits yang berkaitan dengan etika belajar ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu etika belajar
2. Untuk mengetahui ayat dan tafsir yang berhubungan dengan etika belajar
3. Untuk mengetahui hadits yang bersangkutan dengan etika belajar

ii
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika
Pengertian etika/akhlak menurut Imam Al-Qurthubi adalah sifat-sifat seseorang,
sehingga dia dapat berhubungan dengan orang lain. Akhlak ada yang terpuji dan ada yang
tercela. Secara umum makna akhlak yang terpuji adalah engkau berhias dengan akhlak yang
terpuji ketika berhubungan dengan sesama, dimana engkau bersikap adil dengan sifat-sifat
terpuji dan tidak lalim karenanya. Sedangkan secara rinci adalah memaafkan, berlapang dada,
dermawan, sabar, menahan penderitaan, berkasih sayang, memenuhi kebutuhan hidup orang
lain, mencintai, bersikap lemah lembut dan sejenis itu. Sedangkan Akhlak yang tercela adalah
sifat-sifat yang berlawanan dengan itu.1
Etika dan proses belajar manusia memiliki hubungan yang saling terkait. Pada satu
sisi, belajar sebagai kegiatan manusia merupakan aktivitas yang memerlukan normanorma
moral tentang bagaimana seharusnya belajar dalam bingkai karakter dan ciri khas manusia
yang demikian unik, disisi lain etika sebagai pemikiran manusia tentang baik atau buruk
sangat diperlukan untuk merefleksikan kegiatan belajar manusia setiap saat. Sehingga norma
yang ditaatinya dalam proses belajar bukan sekedar karena kebiasaan atau adat yang berlaku
di masyarakat, melainkan karena memiliki dasar dan legitimasi yang kuat untuk diikuti dan
ditaati Seorang yang mau belajar terlebih dahulu harus membersihkan jiwa dari segala bentuk
akhlak yang tercela.
Menurut Imam Ghazali (w. 505 H) dalam kitabnya Ihya Ulum ad-Din, kewajiban
seorang pelajar ada beberapa macam, yaitu;
1. Menyucikan diri dari akhlak tercela dan sifat buruk terlebih dahulu, karena ilmu
merupakan bentuk peribadatan hati, shalat rohani dan pendekatan batin kepada Allah. Kalau
shalat yang merupakan ibadah lahir saja tidak sah jika tidak bersuci terlebih dahulu dari hadas
dan kotoran, maka ibadah batin pun tidak sah kecuali setelah dilakukan penyucian diri dari
akhlak tercela. Hati merupakan tempatnya para malaikat, karena itu tidak mungkin malaikat
dapat masuk ke dalam hati membawa sinar ilmu pengetahuan ketika di dalamnya banyak
sifat-sifat buruk dan tercela seperti marah, hawa nafsu, dengki, busuk hati, takabur, 'ujub dan
sebagainya yang semua itu seperti anjing.

1
Sutisna Usman, ETIKA BELAJAR DALAM ISLAM, Vol. 7 No. 1 Maret 2020, Faktor Jurnal Ilmiah
Kependidikan, hlm.51

2
2. Mengurangi kesibukan duniawi, menjauhkan diri dari keluarga dan kampung
halaman. Karena semua itu dapat memalingkan konsentrasi belajarnya, sehingga kemampuan
menguasai ilmu yang dipelajari menjadi tumpul. Wajar bila ada ungkapan; “ilmu tidak akan
menyerahkan diri kepadamu, hingga kamu mau memberikan semuanya. Jika kamu telah
memberikan semuanya, maka kamu pun harus tetap berhati-hati dan waspada.” Pikiran dan
perhatian yang bercabang, laksana percikan-percikan air yang meresap di tanah dan diterpa
angin ke sana-sini, sehingga tak sedikit pun yang tersisa untuk bisa dimanfaatkan.
3. Jangan sombong terhadap ilmu dan menentang guru, melainkan bersedia patuh
dalam segala urusan dan bersedia mendengarkan nasihatnya. Sebagaimana pasien yang
(analogi kondisi murid) sudah sepatutnya mematuhi nasihat dokter (analogi posisi guru) yang
menanganinya. Bagi murid, dianjurkan agar ia mau bersikap rendah hati dan berhikmat
kepada gurunya. Di antara ciri orang yang sombong terhadap guru ialah tidak ingin belajar
selain kepada guru yang terkenal. Padahal ilmu ibarat jalan yang dapat melepaskan diri dari
terkaman binatang buas dan jalan memperoleh kebahagiaan. Jika orang hendak melepaskan
diri dari terkaman itu dan ingin memperoleh kebahagiaan, maka sudah selayaknya ia tidak
membeda-bedakan orang yang membawa dan memiliki ilmu, apakah dia terkenal atau tidak. 2
4. Bagi penuntut ilmu pemula hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasi
pemikiran dan tokoh, baik menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi.
Sebab, hal ini dapat mengacaukan pikiran, membuat bingung dan memecah konsentrasi.
Sebaiknya ia terlebih dahulu menguasai betul suatu disiplin ilmu dari salah seorang guru,
baru mengkaji ragam pikiran dan aliran yang lainnya. Sekiranya seorang guru tidak
independen dalam pemikiran atau mengutip sana sini, maka murid harus waspada. Karena,
guru yang demikian lebih banyak membuat bingung daripada mengarahkan. Ibarat orang buta
tidak mungkin membimbing orang yang samasama buta.
5. Tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apa pun yang terpuji, melainkan bersedia
mempelajarinya hingga tahu akan orientasi dari disiplin ilmu yang dimaksud.
6. Dalam usaha mendalami suatu disiplin ilmu, pelajar tidak melakukan secara
serentak, akan tetapi secara bertahap dan memprioritaskan yang terpenting, Sebab, sekiranya
usia tidak mencukupi untuk mempelajari aneka ragam disiplin ilmu, maka sewajarnya bila
semangatnya diarahkan pada disiplin ilmu yang terpenting dan terbaik, sehingga bisa menjadi

2
Lubis zulkifli,siregar ikhsan kahiril,indrianti tri, Etika Interaksi Guru dan Murid Menurut Perspektif
Imam Al Ghazali, Vol. 11, No. 2, Tahun. 2015, jurnal studi Al-qur’an; membangun tradisi berpikir qur’ani,
hlm.139

3
mumpuni dalam keilmuan yang termulia, yaitu ilmu-ilmu akhirat, baik ilmu muamalah
maupun ilmu mukasyafah.
7. Tidak melangkah mendalami tahap ilmu berikutnya hingga ia benar-benar
menguasai tahap ilmu sebelumnya. Sebab, ilmu itu tersusun secara rapi, masing-masing
saling terkait dan bertingkat.
8. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat memperoleh ilmu yang paling
mulia. Mengenai hal ini didasarkan pada dua hal, yaitu; keutamaan hasil (dampak) dan
landasan argumennya. Sebagai contoh; ilmu agama dan ilmu kedokteran, di mana ilmu
agama berdampak positif bagi kehidupan seseorang di akhirat, sedangkan ilmu kedokteran
berdampak positif bagi kehidupan seseorang di dunia. Maka, ilmu agama lebih utama
dibandingkan dengan ilmu kedokteran.
9. Tujuan belajar pelajar adalah membersihkan batin dan menghiasinya dengan
kebaikan serta mendekatkan diri kepada Allah. Bukan sebaliknya, bertujuan untuk mencari
kedudukan, kekayaan, dan popularitas. Dengan tujuan seperti itu, hendaknya mengutamakan
ilmu akhirat, namun bukan berarti meremehkan ilmu-ilmu lain
10. Mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju,
sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang harus diutamakan. Manakala dari
sekian ilmu yang perlu lebih dipentingkan. Arti dipentingkan di sini adalah dalam
hubungannya dengan urusan duniawi dan ukhrawi sekaligus. Sekiranya tidak bisa terpadukan
keharmonisan urusan duniawi dan ukhrawi sekaligus seperti yang dikehendaki Al-Quran,
maka hal yang lebih dipentingkan adalah orientasi.

a. Q.S Thaha : 114

‫ب‬ َ ‫ان ِمن قَ ْب ِل أَن يُ ْق‬


ِ ‫ض َٰ ٰٓى َوحْ يُ ۥهُ ۖ َوقُل هر‬ ِ ‫ق ۗ َو ََل تَ ْع َج ْل ِبٱ ْلقُ ْر َء‬ ‫فَتَ َٰ َعلَى ه‬
ُّ ‫ٱَّللُ ٱ ْل َم ِلكُ ٱ ْل َح‬
‫ِز ْدنِى ِع ْل ًما‬

Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-
gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan
katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan".Q.S : Thaha 114

Tafsir Ibnu Katsir

4
‫{فَتَعَالَى ه‬
ُّ ‫َّللاُ ا ْل َم ِلكُ ا ْل َح‬
}‫ق‬
Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. (Thaha: 114)
Artinya, Mahasuci Allah, Raja yang sebenar-benarnya; janji-Nya benar, ancaman-Nya
benar, rasul-rasul-Nya benar, surga benar, neraka benar (adanya), dan segala sesuatu yang
datang dari-Nya adalah benar belaka. Sifat Mahaadil Allah ialah Dia tidak mengazab seseorang
sebelum memberikan peringatan dan mengutus rasul-rasul-Nya dan sebagai alasanNya kepada
makhluk-Nya, agar tidak ada lagi hujah dan keraguan bagi seorang pun terhadap apa yang telah
diputuskan oleh-Nya kelak.

َ ‫آن ِم ْن قَ ْب ِل أَ ْن يُ ْق‬
}ُ‫ضى ِإلَ ْيكَ َوحْ يُه‬ ِ ‫{وَل تَ ْع َج ْل ِبا ْلقُ ْر‬
َ
Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur’an sebelum disempurnakan
mewahyukannya kepadamu. (Thaha: 114)
Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam surat lainnya yang
mengatakan:

ُ‫علَ ْينَا َج ْمعَهُ َوقُ ْرآنَهُ * فَ ِإذَا قَ َرأْنَاهُ فَاتهبِ ْع قُ ْرآنَه‬


َ ‫سانَكَ ِلتَ ْع َج َل بِ ِه * إِ هن‬ َ
َ ‫{َل ت ُ َح ِر ْك بِ ِه ِل‬
َ ‫ث ُ هم ِإ هن‬
}ُ‫علَ ْينَا َب َيانَه‬

Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-
cepat (menguasai) nya Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya,
maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian atas tanggungan Kamilah penjelasannya. (Al-Qiyamah:
16-19)

َ ‫آن ِم ْن قَ ْب ِل أَ ْن يُ ْق‬
}ُ‫ضى ِإ َل ْيكَ َوحْ يُه‬ ِ ‫{وَل تَ ْع َج ْل ِبا ْلقُ ْر‬
َ
dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur’an sebelum disempurnakan
mewahyukannya kepadamu. (Thaha: 114)
melainkan dengarlah dengan penuh perhatian. Apabila malaikat telah selesai membacakannya
kepadamu, mulailah kamu membacanya.

ِ ‫{وقُ ْل َر‬
}‫ب ِز ْدنِي ِع ْل ًما‬ َ
dan katakanlah, "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (Thaha: 114)

5
Maksudnya, berilah aku tambahan ilmu dari-Mu. 3

Tafsir Al Muyassar

‫ب‬ َ ‫ان ِمن قَ ْب ِل أَن يُ ْق‬


ِ ‫ض َٰ ٰٓى َوحْ يُ ۥهُ ۖ َوقُل هر‬ ِ ‫ق ۗ َو ََل تَ ْع َج ْل ِبٱ ْلقُ ْر َء‬ ‫فَتَ َٰ َعلَى ه‬
ُّ ‫ٱَّللُ ٱ ْل َم ِلكُ ٱ ْل َح‬
‫ِز ْدنِى ِع ْل ًما‬

Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-
gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah:
"Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan".

Allah Swt. Bersih, tinggih dan suci dari semua kekurangan, dia Raja Yang
KekuasaanNya mengalahkan semua penguasa dan tirani, yang mengendalikan segala sesuatu,
Yang Maha Benar, JanjiNya benar, ancamanNya benar, dan tiap-tiap sesuatu datiNya adalah
kebenaran. Dan janganlah kamu tergesa-gesa, wahai Rasul, untuk mendahului Jibril dalam
menerima Al-Qur’an sebelum dia tuntas darinya. Dan katakanlah, “wahai Tuhanku,
tambahkanlah kepadaku ilmu d samping ilmu yang telah Engkau ajarkab kepadaku”. 4

Tafsir Jalalain

‫ق‬ ‫فَتَعَالَى ه‬
ُّ ‫َّللاُ ا ْل َم ِلكُ ا ْل َح‬ (maka maha tinggi Allah Raja yang sesungguhnya) daripada apa

ِ ‫ِبا ْلقُ ْر‬


yang dikatakan oleh orang-orang musyrik - ‫آن‬ ‫( َوَل تَ ْع َج ْل‬dan janganlah kamu tergesa-
َ ‫ِم ْن قَ ْب ِل أَ ْن يُ ْق‬
gesa terhadap Al-Qur’an) sewaktu kamu membacanya - ُ‫ضى إِلَ ْيكَ َوحْ يُه‬

(sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu) sebelum malakikat jibril selesai

menyampaikannya - ‫ع ْلمًا‬
ِ ِ ‫( َوقُ ْل َر‬dan katakanlah :
‫ب ِز ْدنِي‬ ya Rabbku, tambahkanlah

3
Abdullah bin muhammad bin Abdurrahman Alu syaikh, TAFSIR IBNU KATSIR, PUSTAKA IMAM
ASY-SYAFI’I, 2008, Jakarta pusat
4
Hikmat Basyir,Dkk, Tafsir Al-Muyassar, Darul Haq:Jakarta, 2016

6
kepadaku ilmu pengetahuan”) tentang Al-Qur’an, sehingga setiap kali diturunkan kepadanya
Al-Qur’an, makin bertambahlah ilmu pengetahuannya. 5

b. Q.S Al-baqarah : 44

‫ون‬ َ َ‫ون ٱ ْل ِك َٰت‬


َ ُ‫ب ۚ أَفَ ََل تَ ْع ِقل‬ َ ُ‫س ُك ْم َوأَنت ُ ْم تَتْل‬
َ ُ‫س ْو َن أَنف‬
َ ‫اس ِبٱ ْل ِب ِر َوتَن‬ َ ‫أَتَأ ْ ُم ُر‬
َ ‫ون ٱلنه‬

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu
berpikir?. Q.S : Al baqarah 44

Tafsir Ibnu Katsir

Allah Swt. berfirman, "Apakah layak bagi kalian, hai orang-orang ahli bila kalian
memerintahkan manusia berbuat kebajikan yang merupakan inti dari segala kebaikan,
sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri dan kalian tidak melakukan apa yang kalian
perintahkan kepada orang-orang untuk mengerjakannya, padahal selain itu kalian membaca
kitab kalian dan mengetahui di dalamnya akibat apa yang akan menimpa orang-orang yang
melalaikan perintah Allah? Tidakkah kalian berakal memikirkan apa yang kalian lakukan
terhadap diri kalian sendiri, lalu kalian bangun dari kelelapan kalian dan melihat setelah kalian
buta?"

Pengertian tersebut diungkapkan oleh Abdur Razzaq dari Ma'mar, dari Qatadah
sehubungan dengan makna firman-Nya: Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan)
kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri. (Al-Baqarah: 44)

Pada mulanya kaum Bani Israil memerintahkan orang lain taat kepada Allah, takwa
kepadanya, dan mengerjakan kebajikan; kemudian mereka bersikap berbeda dengan apa yang
mereka katakan itu, maka Allah mengecam sikap mereka. Makna yang sama diketengahkan
pula oleh As-Saddi.

Ibnu Jurairj mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Mengapa kalian suruh orang
lain (mengerjakan) kebajikan," bahwa orangorang ahli kitab dan orang-orang munafik selalu
memerintahkan orang lain untuk melakukan puasa dan salat, tetapi mereka sendiri tidak

5
Al- Imam Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Sayuthi, Najib,Junaidi,Lc Tafsir Jalalain (
Surabaya: Pustaka eLBA,2015)

7
melakukan apa yang mereka perintahkan kepada orang-orang untuk melakukannya. Maka
Allah mengecam perbuatan mereka itu, karena orang yang memerintahkan kepada suatu
kebaikan, seharusnya dia adalah orang yang paling getol dalam mengerjakan kebaikan itu dan
berada paling depan daripada yang lainnya.

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Ikrimah atau Sa'id ibnu
Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, "Sedangkan kalian melupakan diri kalian
sendiri," yakni meninggalkan diri kalian sendiri dalam kebajikan itu.

Firman Allah Swt.:

Padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir? (Al-Baqarah: 44)

Yakni kalian melarang manusia berbuat kekufuran atas dasar apa yang ada pada kalian,
yaitu kenabian dan perjanjian dari kitab Taurat, sedangkan kalian meninggalkan diri kalian
sendiri. Dengan kata lain, sedangkan kalian sendiri kafir terhadap apa yang terkandung di
dalam kitab Taurat yang di dalamnya terdapat perjanjian-Ku yang harus kalian penuhi, yaitu
percaya kepada Rasul-Ku. Ternyata kalian merusak perjanjian-Ku yang telah kalian sanggupi
dan kalian mengingkari apa yang kalian ketahui dari Kitab-Ku.

Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu
apakah kalian memerintahkan orang lain untuk masuk ke dalam agama Nabi Muhammad Saw.
dan lain-lainnya yang diperintahkan kepada kalian untuk melakukannya —seperti mendirikan
salat— sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri?'.

Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Jarir, telah
menceritakan kepadaku Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Aslam Al-Harami,
telah menceritakan kepada kami Makhlad ibnul Husain, dari Ayyub As-Sukhtiyani, dari Abu
Qilabah, sehubungan dengan makna firman-Nya: Mengapa kalian suruh orang lain
(mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian
membaca Al-Kitab (Taurat)? (Al-Baqarah: 44)

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa
orang-orang Yahudi itu apabila datang kepada mereka seseorang menanyakan sesuatu yang
tidak mengandung perkara hak, tidak pula risywah (suap), mereka memerintahkan dia untuk
mengerjakan hal yang hak. Maka Allah berfirman: Mengapa kalian suruh orang lain

8
(mengerjakan) kebajikan, se-iangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian
membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir? (Al-Baqarah: 44)

Makna yang dimaksud ialah Allah Swt. mencela mereka atas perbuat-an itu dan
memperingatkan mereka akan kesalahannya yang me-nyangkut hak diri mereka sendiri; karena
mereka memerintahkan ke-pada kebaikan, sedangkan mereka sendiri tidak mengerjakannya.
Bukanlah pengertian yang dimaksud sebagai celaan terhadap mereka karena mereka
memerintahkan kepada kebajikan, sedangkan mereka sendiri tidak melakukannya, melainkan
karena mereka meninggalkan kebajikan itu sendiri. Mengingat amar ma'ruf hukumnya wajib
atas setiap orang alim, tetapi yang lebih diwajibkan bagi orang alim ialah melakukannya di
samping memerintahkan orang lain untuk mengerja-kannya, dan ia tidak boleh ketinggalan. 6

tafsir al muyassar

Alangkah buruk kondisi kalian dan kondisi ulama agama kalian, tatkala kalian
memerintahkan manusia untuk berbuat kebaikan-kebaikan, sedang kalian membiarkan diri
kalian begitu saja, tidak memerintahkan diri kalian untuk berbuat kebaikan yang agung, yaitu
memeluk Islam, padahal kalian membaca Taurat yang di dalamnya termuat (penjelasan tentang)
sifat-sifat Muhammad dan kewajiban beriman kepadanya!! Tidakkah kalian mempergunakan
akal kalian dengan benar?. 7

Tafsir jalalain

‫اس ِبٱ ْل ِب ِر‬ َ ‫( أَتَأ ْ ُم ُر‬Mengapa kamu menyuruh orang lain berbuat kebaikan ) yaitu
َ ‫ون ٱلنه‬
beriman pada kerasulan Muhammad- ْْ‫سكُم‬ َ ُ‫س ْو َن أَنف‬
َ ‫( َوتَن‬sedangkan kamu melupakan
dirimu sendiri) hingga kamu mengabaikannya dan tak mau beriman kepadanya – ‫َوأَنت ُ ْم‬
َ َ‫ون ٱ ْل ِك َٰت‬
‫ب‬ َ ُ‫تَتْل‬ (padahal kamu membaca Kitab) yakni Taurat, di dalamnya tercantum

ancaman atau siksaan terhadap orang yang tidak sesuai perkataan dengan perbuatan nya! ‫أَفَ ََل‬
َ ُ‫تَ ْع ِقل‬
‫ون‬ (Tidaklah kamu pikirkan?”). Akan akibat jelek per buatanmu hingga kamu jadi insaf ?

6
Abdullah bin muhammad bin Abdurrahman Alu syaikh, TAFSIR IBNU KATSIR, PUSTAKA IMAM
ASY-SYAFI’I, 2008, Jakarta pusat
7
Hikmat Basyir,Dkk, Tafsir Al-Muyassar, Darul Haq:Jakarta, 2016

9
Yang menjadi bahan pertanyaan dan kecaman ialah kalimat "sedang kamu melupakan.... dan
seterusnya".8

c. Q.S Al-Mujadallah : 11

‫ٱَّللُ لَ ُك ْم ۖ َو ِإذَا‬
‫سح ِ ه‬ ۟ ‫س ُح‬
َ ‫وا يَ ْف‬ ْ َ‫وا فِى ٱ ْل َم َٰ َج ِل ِس ف‬
َ ‫ٱف‬ ۟ ‫س ُح‬ َ ‫َٰيَٰٓأَيُّ َها ٱلهذ‬
‫ِين َءا َمنُ ٰٓو ۟ا ِإذَا قِي َل لَ ُك ْم تَفَ ه‬
ُ‫ٱَّلل‬
‫ت ۚ َو ه‬ ۟ ُ ‫ِين أُوت‬
ٍ ‫وا ٱ ْل ِع ْل َم َد َر َٰ َج‬ َ ‫وا ِمن ُك ْم َوٱلهذ‬ ۟ ُ‫ِين َءا َمن‬ ‫وا يَ ْرفَ ِع ه‬
َ ‫ٱَّللُ ٱلهذ‬ ۟ ‫وا فَٱنش ُُز‬ ۟ ‫قِي َل ٱنش ُُز‬
‫ون َخ ِبير‬ َ ُ‫ِب َما تَ ْع َمل‬

Artinya : Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah


dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan
apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Al mujadilah 11

Tafsir Ibnu Katsir

Allah Swt. berfirman untuk mendidik hamba-hamba-Nya yang beriman seraya


memerintahkan kepada mereka agar sebagian dari mereka bersikap baik kepada sebagian yang
lain dalam majelis-majelis pertemuan. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

َ ‫{يَا أَيُّ َها الهذ‬


‫ِين آ َمنُوا ِإذَا قِي َل لَ ُك ْم تَفَ ه‬
}‫س ُحوا فِي ا ْل َم َجا ِل ِس‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, "Berlapang-lapanglah dalam
majelis, " (Al-Mujadilah: 11)
Menurut qiraat lain, ada yang membacanya al-majlis; yakni dalam bentuk tunggal, bukan
jamak.

}‫َّللاُ لَ ُك ْم‬ َ ‫س ُحوا يَ ْف‬


‫سح ِ ه‬ ْ َ‫{ف‬
َ ‫اف‬

8
Al- Imam Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Sayuthi, Najib,Junaidi,Lc Tafsir Jalalain (
Surabaya: Pustaka eLBA,2015)

10
maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. (Al-Mujadilah: 11)
Demikian itu karena pembalasan disesuaikan dengan jenis amal perbuatan.

Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan majelis zikir.
Demikian itu karena apabila mereka melihat ada seseorang dari mereka yang baru datang,
mereka tidak memberikan kelapangan untuk tempat duduknya di hadapan Rasulullah Saw.
Maka Allah memerintahkan kepada mereka agar sebagian dari mereka memberikan
kelapangan tempat duduk untuk sebagian yang lainnya.

Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayat ini diturunkan pada hari Jumat, sedangkan
Rasulullah Saw. pada hari itu berada di suffah (serambi masjid); dan di tempat itu penuh sesak
dengan manusia.

Tersebutlah pula bahwa kebiasaan Rasulullah Saw. ialah memuliakan orang-orang


yang ikut dalam Perang Badar, baik dari kalangan Muhajirin maupun dari kalangan Ansar.
Kemudian saat itu datanglah sejumlah orang dari kalangan ahli Perang Badar, sedangkan
orang-orang selain mereka telah menempati tempat duduk mereka di dekat Rasulullah Saw.
Maka mereka yang baru datang berdiri menghadap kepada Rasulullah dan berkata, "Semoga
kesejahteraan terlimpahkan kepada engkau, hai Nabi Allah, dan juga keberkahan-Nya." Lalu
Nabi Saw. menjawab salam mereka. Setelah itu mereka mengucapkan salam pula kepada kaum
yang telah hadir, dan kaum yang hadir pun menjawab salam mereka. Maka mereka hanya dapat
berdiri saja menunggu diberikan keluasan bagi mereka untuk duduk di majelis itu. Nabi Saw.
mengetahui penyebab yang membuat mereka tetap berdiri, karena tidak diberikan keluasan
bagi mereka di majelis itu. Melihat hal itu Nabi Saw. merasa tidak enak, maka beliau bersabda
kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya dari kalangan Muhajirin dan Ansar yang bukan
dari kalangan Ahli Badar, "Hai Fulan, berdirilah kamu. Juga kamu, hai Fulan." Dan Nabi Saw.
mempersilakan duduk beberapa orang yang tadinya hanya berdiri di hadapannya dari kalangan
Muhajirin dan Ansar Ahli Badar. Perlakuan itu membuat tidak senang orang-orang yang
disuruh bangkit dari tempat duduknya, dan Nabi Saw. mengetahui keadaan ini dari roman muka
mereka yang disuruh beranjak dari tempat duduknya. Maka orang-orang munafik memberikan
tanggapan mereka, "Bukankah kalian menganggap teman kalian ini berlaku adil di antara
sesama manusia? Demi Allah, kami memandangnya tidak adil terhadap mereka. Sesungguhnya
suatu kaum telah mengambil tempat duduk mereka di dekat nabi mereka karena mereka suka
berada di dekat nabinya. Tetapi nabi mereka menyuruh mereka beranjak dari tempat duduknya,
dan mempersilakan duduk di tempat mereka orang-orang yang datang terlambat."
11
۟ ‫َوإِذَا قِي َل ٱنش ُُز‬
‫وا فَٱنش ُُزوا‬

Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri dan selain keduanya,
bahwa mereka mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Apabila dikatakan
kepadamu, "Berlapang-lapanglah dalam majelis, " maka lapangkanlah, niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. (Al-Mujadilah: 11) Yakni dalam majelis peperangan. Mereka
mengatakan bahwa makna firman-Nya: Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu, " maka
berdirilah. (Al-Mujadilah: 11) Maksudnya, berdirilah untuk perang.

Lain halnya dengan Qatadah, ia mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:


Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu, " maka berdirilah. (Al-Mujadilah: 11) Yaitu apabila
kamu diundang untuk kebaikan, maka datanglah. Muqatil mengatakan bahwa apabila kamu
diundang untuk salat, maka bersegeralah kamu kepadanya.

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa dahulu mereka (para sahabat)
apabila berada di hadapan Nabi Saw. di rumahnya, dan masa bubar telah tiba, maka masing-
masing dari mereka menginginkan agar dirinyalah orang yang paling akhir bubarnya dari sisi
beliau. Dan adakalanya Nabi Saw. merasa keberatan dengan keadaan tersebut karena
barangkali Nabi Saw. mempunyai keperluan lain. Untuk itulah maka mereka diperintahkan
agar pergi bila telah tiba saat bubar majelis.

َ ُ‫َّللاُ ِب َما تَ ْع َمل‬


{‫ون َخ ِبير‬ ٍ ‫ِين أُوتُوا ا ْل ِع ْل َم د ََر َجا‬
‫ت َو ه‬ َ ‫ِين آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالهذ‬ ‫} َي ْرفَ ِع ه‬
َ ‫َّللاُ الهذ‬

niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Al-Mujadilah: 11)

Yakni janganlah kamu mempunyai anggapan bahwa apabila seseorang dari kalian
memberikan kelapangan untuk tempat duduk saudaranya yang baru tiba, atau dia disuruh
bangkit dari tempat duduknya untuk saudaranya itu, hal itu mengurangi haknya
(merendahkannya). Tidak, bahkan hal itu merupakan suatu derajat ketinggian baginya di sisi
Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala itu untuknya, bahkan Dia akan memberikan
balasan pahalanya di dunia dan akhirat. Karena sesungguhnya barang siapa yang berendah diri
terhadap perintah Allah, niscaya Allah akan meninggikan kedudukannya dan mengharumkan

12
namanya. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadilah: 11)
Yaitu Maha Mengetahui siapa yang berhak untuk mendapatkannya dan siapa yang tidak berhak
mendapatkannya.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah
menceritakan kepada kami Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dari Abut
Tufail alias Amir ibnu Wasilah, bahwa Nafi' ibnu Abdul Haris bersua dengan Umar r.a. di
Asfan, dan sebelumnya Umar telah mengangkatnya menjadi amilnya di Mekah. Maka Umar
bertanya kepadanya, "Siapakah yang menggantikanmu untuk memerintah ahli lembah itu
(yakni Mekah)?" Nafi' menjawab, "Aku angkat sebagai penggantiku terhadap mereka Ibnu
Abza —seseorang dari bekas budak kami—." Umar bertanya, "Engkau angkat sebagai
penggantimu untuk mengurus mereka seorang bekas budak?" Nafi' menjawab, "Wahai Amirul
Mu’minin, sesungguhnya dia adalah seorang pembaca Kitabullah (ahli qiraat lagi hafal Al-
Qur'an) dan alim mengenai ilmu faraid serta ahli dalam sejarah." Maka Umar r.a. berkata
dengan nada menyetujui, bahwa tidakkah kami ingat bahwa Nabimu telah bersabda:

َ ‫ض ُع ِب ِه آ َخ ِر‬
"‫ين‬ ِ ‫َّللاَ َي ْرفَ ُع ِب َهذَا ا ْل ِكتَا‬
َ ‫ب قَ ْو ًما َو َي‬ ‫" ِإ هن ه‬

Sesungguhnya Allah meninggikan derajat suatu kaum berkat Kitab (Al-Qur'an) ini dan
merendahkan kaum lainnya karenanya.

Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui berbagai jalur dari Az-
Zuhri dengan sanad yang sama. Telah diriwayatkan pula melalui berbagai jalur dari Umar hal
yang semisal.

Kami (penulis) telah menyebutkan tentang keutamaan ilmu dan para pemiliknya serta hadis-
hadis yang menerangkan tentangnya secara rinci di dalam Syarah Kitabul 'Ilmi dari Sahih
Bukhari. 9

Tafsir al Muyassar

9
Abdullah bin muhammad bin Abdurrahman Alu syaikh, TAFSIR IBNU KATSIR, PUSTAKA IMAM
ASY-SYAFI’I, 2008, Jakarta pusat

13
‫ٱَّللُ لَ ُك ْم ۖ َوإِذَا‬
‫سح ِ ه‬ ۟ ‫س ُح‬
َ ‫وا يَ ْف‬ ْ َ‫وا فِى ٱ ْل َم َٰ َج ِل ِس ف‬
َ ‫ٱف‬ ۟ ‫س ُح‬ َ ‫َٰيَٰٓأَيُّ َها ٱلهذ‬
‫ِين َءا َمنُ ٰٓو ۟ا إِذَا قِي َل لَ ُك ْم تَفَ ه‬
ُ‫ٱَّلل‬
‫ت ۚ َو ه‬ ۟ ُ ‫ِين أُوت‬
ٍ ‫وا ٱ ْل ِع ْل َم د ََر َٰ َج‬ َ ‫وا ِمن ُك ْم َوٱلهذ‬ ۟ ُ‫ِين َءا َمن‬ ‫وا َي ْرفَ ِع ه‬
َ ‫ٱَّللُ ٱلهذ‬ ۟ ‫وا فَٱنش ُُز‬ ۟ ‫ِقي َل ٱنش ُُز‬
‫ون َخ ِبير‬ َ ُ‫ِب َما تَ ْع َمل‬

Artinya : Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah


dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan
apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan rasul-Nya serta melaksanakan


syariat-Nya bila kalian diminta agar sebagian dari kalian melapangkan majelis untuk sebagian
yang lain, maka lakukanlah, niscaya Allah akan melapangkan untuk kalian di dunia dan akhirat.
Bila kalian wahai orang-orang yang beriman, diminta agar bangkit dari majelis kalian untuk
sesuatu hajat yang mengandung kebaikan bagi kalian, maka bangkitlah. Allah akan
meninggikan kedudukan orang-orang beriman yang ikhlas di antara kalian. Allah meninggikan
derajat ahli ilmu dengan derajat-darajat yang banyak dalam pahala dan derajat meraih
keridhaan. Allah mahateliti terhadap amal-amal kalian, tidak ada sesuatu yang samar bagiNya,
dan dia akan membalas kalian atasnya. Ayat ini menyanjung kedudukan para ulama dan
keutamaan mereka, serta ketinggian derajat meraja.10

Tafsir Jalalain

َ ‫( يَأَيُّ َها الهذ‬Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan


‫ِين آ َمنُوا إِذَا قِي َل لَ ُك ْم تَ ْفتَ ُحوا‬
kepada kalian: "Berlapang-lapanglah) berluas-luaslah - ‫في المجلس‬ (dalam majlis") yaitu

majlis tempat Nabi)saw. berada, dan majlis zikir, sehingga orang-orang yang datang kepada
kalian dapat tempat duduk. Menurut suatu qiraat lafaz Al Majalis dibaca Al Majlis dalam

bentuk mufrad - ‫َّللا ُ لَ ُك ْم‬


‫سح ِ ه‬ ْ َ‫ف‬
َ ‫افتَ ُحوا يَ ْف‬ (maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi

kelapangan untuk kalian) di surga nanti. -‫َو ِإذَا ِقي َل ا ْنش ُُروا‬ (dan apabila dikatakan: berdiri

10
Hikmat Basyir,Dkk, Tafsir Al-Muyassar, Darul Haq:Jakarta, 2016

14
‫‪lah kalian") untuk melakukan salat dan hal-hal lainnya yang termasuk amal-amal kebaikan -‬‬
‫‪ (maka berdirilah) menurut qiraat lainnya kedua-duanya dibaca Fansyuzu dengan‬فَٱنش ُُز ۟‬
‫وا‬
‫‪memakai harakat Dhammah pada huruf Syinnya‬‬ ‫ِين آ َمنُوا ِمن ُك ْم ‪-‬‬ ‫يَ ْرفَ ِع ه‬
‫َّللاُ الهذ َ‬ ‫‪(niscaya‬‬

‫‪Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian) karena ketaatannya‬‬

‫‪ (dan) dia meninggikan pula -‬و ‪dalam hal tersebut -‬‬ ‫ِين أُوتُوا ا ْل ِع ْل َم د ََر َج ِ‬
‫ت‬ ‫‪ (orang-orang‬الهذ َ‬
‫‪yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat) di surga nanti -‬‬ ‫وَّللاُ ِب َما تَ ْع َملُ َ‬
‫ون َخ ِبير‬ ‫ه‬
‫‪(dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan).11‬‬

‫‪HADITS I‬‬

‫س هل َم في‬
‫علَ ْي ِه َو َ‬ ‫ع َْن أَنَ ِس ا ْب ِن َما ِل ِك َيقُو ُل َب ْينَ َما َنحْ نُ ُجلُوس َم َع ال هن ِبي ِ َ‬
‫صلهى هللاُ َ‬
‫عقَلَهُ ث هم قَا َل َل ُه ْم أيكم محمد‬ ‫علَى َج َم ٍل فَأَنَا َخهُ فِي ا ْل َم ْ‬
‫س ِج ِد ث ُ هم َ‬ ‫س ِج ِد َد َخ َل َر ُجل َ‬
‫ل َم ْ‬
‫ئ‬ ‫الر ُج ُل األَ ُ‬
‫بيض ال ُمته ِك ُ‬ ‫سله َم ُمت َكئ بَ ْي َن َظه َْرانَي ِه ْم فَقُ ْلنَا َهذَا ه‬‫علَ ْي ِه َو َ‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ َ‬ ‫َوالنه ِب ُّي َ‬
‫سله َم قَ ْد ا َج ْبت ُكَ فَقَا َل‬
‫علَ ْي ِه َو َ‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللا ُ َ‬ ‫ب فَقَا َل لَهُ النهبِي ِ َ‬ ‫ع ْب ِد ال ُم هط ِل ِ‬ ‫فَقَا َل لَهُ ه‬
‫الر ُج ُل ا ْب َن َ‬
‫علَ ْيكَ فِي في ال َمئلَ ِة فَ ََل تَ ِج ْد‬
‫ش ِد ُد َ‬ ‫سله َم َانِي َ‬
‫سائِلُكَ ُم َ‬ ‫علَ ْي ِه َو َ‬
‫صلهى هللا ُ َ‬
‫الر ُج ُل ِللنهبِ هي َ‬
‫ه‬
‫سلَكَ‬ ‫ع هما َبدَا لَكَ فَقَال اسئلكَ ِب َر ِبكَ َو َر ِ‬
‫ب َم ْن قَبلَكَ هللاُ اَ ْر َ‬ ‫س ْل َ‬ ‫سكَ فَقَا َل َ‬
‫علَي فِي نَ ْف ِ‬ ‫َ‬
‫س‬ ‫ت ا ْل َخ ْم َ‬
‫صلَ َوا ِ‬ ‫َّللاُ أَ َم َركَ أَ ْن نُ َ‬
‫ص ِلي ال ه‬ ‫ش ُدك ِباهللِ ه‬ ‫اس ك ُِل ِه ْم فَقَ َاَلللهم نعم قَا َل ا ْن ُ‬ ‫إِلَى النه ِ‬
‫ش ْه ِر ِم َن‬ ‫ام َركَ اَ ْن نَ ُ‬
‫ص ْو َم هذاال ه‬ ‫اَّللِ هللاُ ْ‬ ‫فِي اليَ ْو ِم َوالله ْيلَ ِة قَا َل الل ُه هم نَعَ ْم قَا َل اَ ْن ُ‬
‫ش ُدكَ بِ ه‬
‫ص َدقَةَ ِم ْن اَ ْغنِيَائِنا‬
‫ش ُدكض ب ِاهللِ هللاُ ا َ َم َركَ أَ ْن تأ ُخذَ َهذ ِه ل ه‬
‫سنَ ِة قال اللهم نعم قال ا ْن ُ‬
‫ال ه‬
‫ع َل فُقَ َرا ِئنافقال النبي صل هللا عليهي سلم الل ُه َم نعم فَقَا َل ه‬
‫الر ُج ُل آ َمنتُ ِب َما‬ ‫س َمها َ‬‫فَتَ ْق ِ‬
‫سو ُل َمن َو َرائِي ِم ْن قَ ْو ِمي َوأَنَا ِض َما ُم ا ْبنُ ثَ ْعلَبَةَ ا ُخ ْو بَ ِني َ‬
‫س ْع ِد ْب ِن‬ ‫ِجئْتَ ِب ِه َوأَنَا َر ُ‬
‫بَك ٍْر‬

‫‪11‬‬
‫( ‪Al- Imam Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Sayuthi, Najib,Junaidi,Lc Tafsir Jalalain‬‬
‫)‪Surabaya: Pustaka eLBA,2015‬‬

‫‪15‬‬
Dari Anas bin Malik ra., ia berkata: Ketika kami duduk dengan Nabi saw. di masjid,
masuklah seorang laki-laki yang mengendarai unta. lalu mendekamkan ontanya di dalam
masjid, dan mengikatkannya, ke- mudian berkata: "Manakah di antara kalian yang bernama
Muham- mad? Dan nabi saw. bertelekan di antara mereka, lalu kami katakan: "Laki-laki putih
yang bertelekan ini." Laki-laki itu berkata: "Putera Abdul Muththalib?" Nabi bersabda
kepadanya: "Saya telah menjawab- mu." Ia berkata: "Sesungguhnya saya bertanya kepadamu,
berat atas- mu namun janganlah diambil hati olehmu terhadap saya." Beliau ber- sabda:
"Tanyakan apa-apa yang timbul dalam dirimu." Ia berkata: "Saya bertanya kepadamu tentang
Tuhanmu, dan Tuhan orang-orang yang sebelummu. Apakah Allah mengutusmu kepada
seluruh manus- sia?" Nabi bersabda: "Wahai ya Allah." Ia berkata: "Saya sebutkan kepadamu
karena Allah, apakah Allah menyuruhmu untuk shalat lima waktu dalam sehari semalam?"
Beliau bersabda: "Wahai Allah, ya." Ia berkata: "Saya sebutkan kepadamu karena Allah,
apakah Allah p nyuruhmu untuk puasa bulan ini (Ramadlan) dalam satu tahun?" Belia
bersabda: "Wahai Allah, ya." Ia berkata: Saya sebutkan kepadam karena Allah, apakah Allah
menyuruhmu untuk mengambil zakat in dari orang-orang kaya kita, lalu kamu bagikan atas
orang-orang fakir kita?" Beliau bersabda: "Wahai Allah, ya". Lalu laki-laki itu berkata: "Saya
percaya kepada apa yang kamu bawa dan saya adalah utusan dari orang yang di belakang saya
dari kalangan kaum saya. Saya Dhimam bin Tsa'labah saudara Bani Sa'd bin Bakr.

HADITS II

ُ‫ب ا ْب ِن ع َْن أَ َن ِس ْبن‬ٍ ‫ش َها‬ ِ ‫س ِل ٍم ع َْن‬ َ ‫َّللاِ ْب ِن‬


‫ع ْب ِد ه‬َ ‫َّللاِ أَ ْن أَ ِبي ِه ع َْن‬
‫سو َل ه‬ُ ‫صلهى َر‬ َ ِ‫هللا‬
‫علَ ْي ِه‬ َ ‫ان ا ْل َحيَا َء ِم ْن فَ ِإ هن َد ْعهُ َو‬
َ ‫سله َم‬ ِ ْ ِ‫َّللا‬
ِ ‫ال ْي َم‬ َ ‫ف ْبنُ َح هدثَنَا‬
‫ع ْب ُد ه‬ َ ‫س‬ُ ‫أَ ْخبَ َرنَا َما ِلكُ قَا َل يُو‬
ُ‫علَ ْيه‬
َ ‫سله َم‬
َ ‫علَى َم هر َو‬
َ ‫ظ ِم ْن َر ُج ٍل‬ َ ‫اء أَ َخا ُه ِفي ْاألَ ْن‬
ُ ‫ص ِار َو ُه َو يَ ِع‬ ِ َ‫سو ُل فَقَا َل ا ْل َحي‬
ُ ‫َّللاُ َر‬
‫ه‬
Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami, ia berkata, “Malik bin Anas telah
mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdillah dari ayahnya bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lewat dihadapan seorang lelaki dari kaum Anshar
yang sedang menasehati saudaranya karena sifat pemalunya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa

16
Sallam berkata kepadanya, "Biarkanlah dia! Karena malu itu merupakan bagian dari
keimanan"(Al-Utsaimin, 2010) (Hadist ini dituturkan oleh Al-Bukhari dan Muslim) 12

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengertian etika/akhlak menurut Imam Al-Qurthubi adalah sifat-sifat
seseorang, sehingga dia dapat berhubungan dengan orang lain. Akhlak ada yang
terpuji dan ada yang tercela.

12
Sholikhah Mar’atus, Muhid abdul, ETIKA BELAJAR, BERDISKUSI DAN KETIKA DALAM
SEBUAH FORUM MENURUT KITAB WASHOYA AL-ABAA LI AL-ABNAA, Volume 4 Nomor 2 Tahun 2020,
Kajian Pendidikan Islam, hlm.182

17
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, A.-I. J. (2015). Tafsir Jalalain. Surabaya: Pustaka eLBA.

dkk, H. B. (2016). Tafsir Al-muyassar. Jakarta: Darul Haq.

Mar'atus, S. (2020). ETIKA BELAJAR BERDISKUSI DAN ETIKA DALAM SEBUAH


FORUM MENURUT KITAB WASHOYA AL-ABAALI AL-ABNAA. Jurnal Kajian
Pendidikan Islam , 182.

Muhammad, A. B. (2008). TAFSIR IBNU KATSIR. Jakarta Pusat: PUSTAKA IMAM ASY-
SYAFI'I.

Usman, S. (2020). ETIKA BELAJAR DALAM ISLAM. Jurnal Ilmiah Kependidikan, 51.

18
Zulkifli, L. (2015). Etika Interaksi Guru dan Murid Menurut Perspektif Imam Al-Ghazali. Studi
Al-qur'an; membangun tradisi berpikir qur'ani, 139.

19

Anda mungkin juga menyukai