Skripsi
Oleh:
Muhammad Zainurrafiq
NIM: 1110033100039
Segala puji dengan penuh rasa syukur yang dalam, penulis memanjatkan
doa yang tiada hentinya kepada Allah SWT, pencipta langit dan bumi serta apa yang
ada di antara keduanya, pemilik kesempurnaan, meliputi segala ilmu pengetahuan,
kesabaran, keimanan dan taqwa kepada penulis, serta sholawat dan salam selalu
senantiasa tercurahkan dari hati yang paling dalam kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai pembawa cahaya serta petunjuk kepada seluruh umat manusia hingga akhir
zaman.
Sehubungan dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis menyadari
tanpa bimbingan, arahan serta dukungan yang sangat berharga dari berbagai pihak,
sulit rasanya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, melalui
penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Dr. Edwin Syarif, MA selaku pembimbing skripsi yang telah banyak
memberikan saran dan sumbangan pemikiran kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini
2. Dr. M Masri Mansoer M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dra. Tien Rohmatin, MA sebagai Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
dan Dr. Abdul Hakim Wahid, MA selaku Sekertaris Jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam yang telah memberikan kesediaan waktu dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Para Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah
membimbing penulis selama menimba ilmu di Fakultas Ushuluddin.
5. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan serta iringan doa
siang dan malam yang tiada hentinya selalu terucap, terima kasih atas didikannya
selama ini, kasih sayang, menyalurkan semangat yang tiada hentinya sehingga
kalianlah yang menjadi satu-satunya alasan utama skripsi ini bisa dan harus
diselesaikan.
6. Teman-teman se-angkatan
7. Segenap karyawan Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan pelayanan yang
baik dengan penulis.
Penulis sadar dan mengakui bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kata
sempurna, karena disebabkan keterbatasan kemampuan ilmu yang penulis kuasai.
Untuk itu, masukan dan saran yang dapat menyempurnakan karya ilmiah ini.
Penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan kontribusi positif
bagi perkembangan ilmu pengetahuan, dan peneliti akhiri dengan memanjatkan
do’a semoga segala amal baik kita diterima sebagai Ibadah dan senantiasa
menunjukan jalan yang benar. Amiiin.
Muhammad Zainurrafiq
Pedoman Transliterasi
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ا a a ط ṭ ṭ
ب b b ظ ẓ ẓ
ت t t ع ‘ ‘
ث ts th غ gh gh
ج j j ف f f
ح ḥ ḥ ق q q
خ kh kh ك k k
د d d ل l l
ذ dz dh م m m
ر r r ن n n
ز z z و w w
س s s ه h h
ش sy sh ء , ,
ص ṣ ṣ ي y y
ض ḍ ḍ ة h h
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
أ ā ā
إى ī ī
أو ū ū
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................
i ..................................................................................................
...................................................................................................
KATA PENGANTAR ..................................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................
DAFTAR ISI ....................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN...........................................................................1
Latar Belakang Masalah ......................................................................................1
Pembatasan Masalah ...........................................................................................3
Rumusan Masalah ...............................................................................................4
A. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................4
B. Metode Penelitian ........................................................................5
1. Sumber Data ..........................................................................5
2. Teknik Pengumpulan Data ....................................................5
3. Jenis Penelitian ......................................................................6
4. Teknik Penulisan ...................................................................6
5. Tinjauan Kepustakaan ...........................................................6
C. Sistematika Pembahasan ............................................................7
i
BAB III : PEMIKIRAN TASAWUF NURUDDIN AL-RANIRI ...............33
A. Tentang Ketuhanan ......................................................................33
B. Tentang Penciptaan .....................................................................35
C. Tentang Hubungan Syari’at dan Hakikat ....................................39
ii
BAB I
PENDAHULUAN
perkembangan Islam di Indonesia, ajaran tasawuf tampaknya suatu hal yang tak
dapat dipisahkan dari misi Islam untuk membawa manusia menjadi umat yang
bertauhid. Hal itu bisa dilihat dari ajaran para sufi yang memberikan pemahaman
dan pengajaran mengenai hubungan dengan Allah dan syariat. Para sufi
memandang bahwa segenap hidupnya, dalam keadaan aktif maupun pasif, lahir
Sumatrani. Oleh karena itu, para ahli memberinya predikat sebagai seorang
perkembangan tasawuf falsafi yang dibawa oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
1
Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1316),
hlm. 49.
1
2
kiprah dan peran al-Raniri sebagai mujaddid (tokoh pembaharu) paling penting di
dijelaskan oleh Fazlur Rahman adalah tasawuf yang diperbarui, melucuti ciri dan
kandungan estatik dan metafisiknya, dan digantikan dengan kandungan yang tidak
lain dari dalil-dalil ortodoksi Islam. 4 Tasawuf model ini menekankan dan
memperbarui faktor moral dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf yang
individu dan bukan masyarakat. 5 Ia dikenal sebagai seorang ahli tasawuf atau
seorang sufi, politisi, ahli sejarah dan ilmu kalam, dan dianggap telah memenuhi
2
Alwi Syihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesai
(Jakarta: Pustaka Iman, 2009), hlm.78. Lihat juga Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian
Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.95
3
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII (Bandung: Mizan, cet. V, 1999), hlm. 169. Lihat juga tulisan Azra dalam bahasa
Inggris, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia ( Honolulu, Allen & Unwin and
University of Hawai’i Press, 2004), hlm. 52-86.
4
Lihat Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), hlm. 205-
206.
5
Fazlur Rahman, “ Revival and Reform”, dalam P.M Holt (peny.), The Cambridge
History of Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), hlm. 637. Lihat juga Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama....., hlm. 110.
3
Kerajaan Aceh pada era Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shafiatu al-Din. 6
menjadi seorang alim, mufti, dan penulis produktif yang menentang doktrin
untuk memburu orang-orang yang dianggap sesat, serta mebakar buku-buku yang
B. Pembatasan Masalah
tasawuf, filsafat, ilmu kalam, sejarah, politik, maupun yang menyangkut hakikat
dan syari‘at. Namun tulisan ini dibatasi hanya kepada pembahasan tentang
kritikan al-Raniri tehadap Hamzah Fansuri dalam kitab Hujjah al-Shiddiq li daf’i
6
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara...., hlm. 98.
7
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara...., hlm. 98.
8
Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, hlm. 98-99.
9
Nama al-Raniri dan Fansuri serta muridnya (al-Sumatrani) merupakan nama yang saling
berkaitan dalam sejarah Tasawuf Nusantara. Ketiganya, dalam sejarah filsafat Islam, meminjam
istilah Alwi Shihab, seperti al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Al-Raniri bersikap keras sangat menentang
pendapat-pendapat Fansuri maupun al-Sumatrani. Dia bangkit atas nama ahlu al-sunnah wa al-
jama’ah dan atas nama tasawuf yang murni ini ia menolak tasawuf Fansuri dan al-Sumatrani yang
dinilainya sebagai tasawuf menyimpang dan kafir. Lihat Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan
Tasawuf Falsafi...., hlm. 148.
4
dhaf’i al-Zindiq.
C. Rumusan Masalah
1. Tujuan Penelitian
dhaf’i al-Zindiq.
2. Manfaat Penelitian
berikut:
tasawuf Al-Raniri.
5
yang Maha Kuasa, sehingga tidak mencederai antara satu kelompok dengan
E. Metode Penelitian
1. Sumber Data
yang menyediakan literatur atau referensi yang berkaitan dengan tema yang
6
diangkat pada penelitian ini. Semua buku yang berkaitan dengan pembahasan
langkah selanjutnya adalah dibaca, dipahami dan diteliti, dan pada akhirnya
3. Jenis Penelitian
dan tercapai.
4. Teknik Penulisan
Penulisan Karya Ilmiyah tahun 2007 yang diterbitkan oleh penerbit CeQda.
5. Tinjauan Kepustakaan
lain sebagainya. Berikut ada beberapa tulisan yang membahas pemikiran Al-
Raniri.
Pertama, artikel ilmiah yang ditulis Syaifan Nur yang berjudul “Kritikan
serta kondisi di Aceh yang amat memprihatinkan pada masa itu, karena
tidak lepas dengan adanya unsur politik. Al-Raniri sendiri mengaggap paham
bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, maka dapat dikatakan
bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia dan jadilah seluruh
makhluk sebagai Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik atau buruk,
F. Sistematika Pembahasan
Pada Bab II, akan diuraikan tentang biografi Al-Raniri mulai dari
dari pemikiran syari‘at, kalam, filsafat, sampai tasawuf, serta pandangan para
8
Ulama terhadap Al-Raniri. Tidak lupa pula pada bab ini akan membahas tentang
karya-karya Al-Raniri di mana dari uraian karya tersebut dapat diketahui secara
Pada Bab III, akan diuraikan tentang konsep dan pemikirannya tentang
tasawuf. Pada bab ini juga akan menjelas-kan tentang status al-Raniri itu sendiri,
Pada Bab IV, akan menjelaskan tentang poin-poin yang menjadi bahan
Dhaf’i al-Zindiq.
Kesimpulan pada penelitian ini akan dibahas pada bab V. Bab ini akan
dari bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini pula akan memberikan jawaban terhadap
masalah yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini, yaitu “ Kritik Al-Raniri
Raniri. Ia lahir di Kota Ranir (Rander), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai
Gujarat India, dan mengaku memiliki darah suku Quraisy, suku yang juga
pasti, hanya saja ada beberapa ahli yang menyebut tahun kelahiran Nuruddin Al-
Nama Ayah Nuruddin Al-Raniri adalah Ali Al-Raniri. Dia adalah seorang
keturunan Melayu. 1 Daerah asal Al-Raniri, yaitu Kota Ranir, sangat ramai
sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang lain. Ada yang berasal dari
Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama
para pendatang tersebut adalah untuk melakukan aktivitas bisnis dan mencari
Di samping itu, banyak pendatang dari luar kota juga berdakwah dan
1
Harun Mat Piah, dkk., Traditional Malay Literature (Kuala Lumpur : Dewan Bahasa
dan Pustaka, 2002), hal. 59-60
9
10
untuk keperluan yang sama. Sehingga penduduk Kota Ranir dikenal sebagai
masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Pola hidup
yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada keluarga besar Al-Raniri
sendiri, yaitu ketika pamannya, Muhammad Al-jilani bin Hasan Muhammad Al-
ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, ushul fiqh, etika, manthiq (logika), dan retorika
lainnya.2
dikenal pada masa kini sebagai seorang ulama Nusantara. Selanjutnya, ia dikenal
sebagai sosok negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting
2
Dr Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, Kencana: Jakarta, 2007, Hal. 203
3
Ahmad Taufiq, Sastra Kitab, UNS, Surakarta: 2007, hal. 35
11
menjalin hubungan dengan murid-murid jamaah haji dari Jawa yang berada di
Guru Nuruddin yang paling terkenal dari India adalah Abu Hafs Umar ibn
Umar al-Aydarus. Melalui guru ini Nuruddin masuk ke dalam tarekat Rif˜iyah.
Tarekat ini didirikan oleh Ahmad Rifa’i. Ba Syaiban menunjuk Nuruddin sebagai
Khalifah-nya dalam tarekat itu dan karenanya Nuruddin bertanggung jawab untuk
Nuruddin tidak hanya masuk dalam tarekat Rifa˜iyah saja, melainkan ia juga
pada 1618. Pada 1630 Nuruddin meneruskan perjalanan ke Aceh. Saat itu Aceh
Pengetahuannya sangat luas, meliputi bidang sejarah, politik, sastra, filsafat, fikih,
Sumatrani di Aceh. Karena tidak cocok dengan aliran wujudiyah yang disebarkan
ilmu agama dan bahasa Melayu di sana. Dalam ilmu fikih, Nuruddin Al-Raniri
adalah penganut Mazhab Syafi’i, walaupun beliau juga ahli dalam ajaran mazhab-
mazhab yang lainnya. Dari segi akidah, Nuruddin Al-Raniri adalah pengikut
mazhab ahlus sunnah wal jama’ah yang berasal dari Syeikh Abul Hasan al-
dalam wujud, tetapi hanya dalam kesaksian. Paham ini sama dengan pandangan
tersebut dari upaya sederhana untuk memahami keterjalinan Tuhan, alam dan
manusia.5
sekaligus muncul sebagai reaksi atas konsep wahdatul wujud. Jika dalam
wahdatul wujud dinyatakan bahwa Tuhan dan alam semesta itu satu, maka
4
H.M Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah
Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Gelegar Media Indonesia, Jakarta: 2009, hal. 665.
5
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam; Sebuah Pendekatan Tematis, Jakarta: Mizan
2002, hal. 57.
13
hanyalah Wujud yang satu, yakni Tuhan, sedangkan kesan kita mengenai ragam
wujud hanyalah artifak dari cara pandang kita terhadap realitas yang satu. 7
Sekilas, pandangan tersebut mirip dengan wahdatul wujud. Namun jika dipelajari
wahdat al-syuhud dinyatakan bahwa ciptaan tidak identik dengan Tuhan atau
Penciptanya. Ciptaan, baik itu berupa manusia maupun alam semesta beserta
isinya hanya pantulan dari Pencipta sehingga tidak identik dengan-Nya. Yang
Ilahi bersifat abadi, sedangkan alam semesta dan isinya bersifat sementara.8
Jika wahdatul wujud lebih dekat dan identik dengan tasawuf falsafi,
konsep wahdat al-syuhud lebih dekat dengan tasawuf sunni serta lebih banyak
akhlaqi adalah suatu ajaran yang menerangkan sisi moral dari seorang hamba
mengadakan riyyadhah.9
6
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam; Sebuah Pendekatan Tematis, Jakarta: Mizan
2002, hal. 11.
7
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, hal. 56.
8
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, hal.57.
9
Mukhtar Hadi, Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf, Yogyakarta:
Aura Media, 2009 hal 65.
14
Hikayat Sri Rama dan Hikayat Inderaputera, yang kemudian dikritiknya dengan
tajam, serta Hikayat Iskandar Zulkarnain. Ia juga membaca Taj as-Salatin karya
Bukhari al-Jauhari dan Sulalat as-Salatin yang populer pada masa itu. Kedua
karya ini memberi pengaruh yang besar pada karya utamanya sendiri, yaitu
sejarah dalam konteks universal, yang memprakarsai suatu bentuk baru penulisan
sejarah Melayu. Bustan al-Salathin merupakan salah satu buku terpenting tentang
Pada tahun 1637, ia kembali ke Aceh dan tinggal di sana selama tujuh
tahun. Saat itu Syeh Syamsuddin as-Sumatrani telah meninggal. Berkat keluasan
Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, dan Syeikh di Masjid Bait al-Rahman. Pada saat
ia berjaya sebagai pejabat kesultanan inilah, dengan dibantu oleh Abdul Rauf
oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin as-Sumatrani. Karya-karya kedua ulama sufi
itu dibakar dan para penganut aliran wujudiyah diapandang sebagai kelompok
yang murtad.
10
Harun Mat Piah, dkk., 2002, hal. 60
15
bagian tak terpisahkan dari misi Islam dalam rangka membimbing manusia
rangka hubungan antara manusia dengan Tuhan. Hal itu erat dengan ajaran
hidupnya, dalam keadaan aktif maupun pasif, lahir dan batin seluruhnya
tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Tasawuf sunni dikembangkan pada abad
ke-3 dan ke-4 H yang disusul Al-Ghazali dan para pengikutnya dari syaikh-
syaikh tarekat. Salah satu tokoh tasawuf sunni terkenal di Aceh yakni Nur Al-
Din Al-Raniri. Dalam perjalanannya, antara kedua aliran ini kerap dijumpai
Pertentangan dari dua aliran ini meluas dan terjadi pula di nusantara, seperti
11
Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, Dar Al-Ma’arif, Kairo: 1316, hal.
49.
16
adalah Mansur Al-Hallaj dan Ibnu ‘Arabi. Paham Wahdat al-Wujūd adalah
paham yang menyatakan bahwa tiada wujud selain Tuhan, hanya ada satu
wujud hakiki yaitu Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan tidak ada pada dirinya
sendiri, ia hanya ada sejauh menampakkan wujud Tuhan. Alam adalah lokus
Ibn Arabi mengungkapkan bahwa wujud ini satu, namun dia memiliki
dikenal dengan asma yang memiliki pemisah yang disebut dengan barzah
atau menghimpun dan memisahkan antara batin dan lahir itulah yang di sebut
falsafi memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya serta
filsafat.
12
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
Jakarta: Mizan, 2003, hal 97.
17
pemikiran filsafat asing di luar Islam dari Yunani, Persia, India, Mesir,
Salah satu kerangka umum tasawuf falsafi adalah bahwa tasawufnya tidak
daya rasa yang tidak biasa, dan sebab itu tasawuf falsafi tidak dianggap
filsafat karena dilandaskan pada intuisi, juga bukan tasawuf murni karena
lingkungan Kerajaan Aceh pada Abad 17, yang mana ada empat ulama besar
juga guru Syekh Abdur Rouf, walau pendapat dalam bidang tasawufnya
berbeda.
13
Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i
ustmani, Bandung: Pustaka, 1985, hal.187.
18
a. Hamzah Fansuri
sebagai berikut:
walaupun kelihatan banyak. Dari wujud yang satu itu, ada yang
2) Allah adalah dzat yang mutlak dan qodim, sebab Allah yang pertama
adalah mutlak dan la ta’ayyun. Dzat yang mutlak itu mencipta dengan
14
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, hlm. 143
15
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, cet. II, 2010) hlm. 342.
19
berbentuk syair dan ada yang berbentuk prosa. Syair-syair Hamzah bersifat
Muntahi.
16
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, hlm. 74-75
17
Wnstedt, R.O, Some Malay Mystics, Heretical and Ortodox, JMBRAS. Vol. 1. April.
Singapore, 1923. hal. 313.
18
Yock Fang, Liaw, Sejarah Kesusesteraan Melayu Klassik, Singapura: Pustaka
Nasional, 1982, hal. 189.
20
b. Syamsuddin al-Sumatrani
mendapat gelar tetinggi untuk ulama, Qadli, imam atau syekh, penasehat
raja, imam kepala, anggota tim perunding dan juru bicara kerajaan Aceh
lingkungan istana, lebih dari dasawarsa dan boleh jadi penuh atau bahkan
lebih dari empat dasawarsa. Dia sudah mulai berperan dalam Istana pada
awal dasawarsa terakhir abad ke-16 dan wafat pada akhir abad ke-17.
tentang martabat tujuh yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada
dalam alam semesta, termasuk manusia, adalah aspek lahir dari hakikat
yang tunggal yaitu Tuhan. Tuhan sebagai Yang Mutlak tidak dapat dikenal
baik oleh akal, indera, maupun khayal. Dia baru dapat dikenal sesudah ber-
ajarannya adalah bahwa Tuhan saja yang wujud. Hal ini di dasarkan pada
ayat Al-Qur’an:
syari’at dalam dalam praktek sufistik kaum Muslim. Akan tetapi beliau
transesndensi-Nya.20
19
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 37-38.
20
Aztumardi Azra, Islam Nusantara, (Bandung:Mizan,2002), hlm. 119-120
21
Yock Fang, Liaw, Sejarah Kesusesteraan Melayu Klassik, Singapura: Pustaka
Nasional, 1982, hal. 191.
22
ayahnya di Simpang Kanan (Sinkil). Setelah itu, dia belajar agama kepada
diri dari sifat lalai dan lupa. Tujuan dzikir adalah mencapai fana (tidak
waktu itu masih merupakan hakikat gaib yang masih berada di dalam
ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta’ayyun awwal yaitu sudah
22
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 348-349
23
mendapat sambutan dan penerimaan yang layak dari pihak istana Sultan
perjalanan ke daerah lain. Pada waktu Sultan Iskandar Muda berkuasa, ulama
Nuruddin datang kembali ke Aceh. Dia segera ditunjuk sebagai syekh Islam
karena pengganti Sultan Iskandar Muda adalah Sultan Iskandar Tsani, yang
Al-Raniri tidak begitu diketahui oleh masyarakat luas, dengan ketegasan dan
Beliau memang ahli dalam bidang ilmu mantiq (logika) dan ilmu balaghah
(retorika).
bahwa ajaran tasawuf yang sesat ini disebarkan oleh ulama pendahulunya,
Sikap keras Nuruddin ini juga terlihat pada waktu menentang ajaran
falsafi yang telah berkembang pesat di Aceh pada abad ke-16 dan ke-17 M.
penafsiran dan pemahaman yang salah maupun yang benar atas doktrin-
kaum ulama dan sufi di pusat-pusat pengetahuan dan keilmuan Islam, dia
23
Sangidu, Wachdatul Wujud, Gama Media, Yogyakarta, hal. 32-33.
24
Azyumardi Azra, Jaringan Ulma Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke
XVII dan XVIII, Bandung: Mizan 1995, hal. 177.
26
nasihat kepada Sultan Iskandar Tsani dalam berbagai masalah, baik yang
penguasa dan khalifah Tuhan di bumi. Dengan mengutip ayat al-Qur’an, dia
yang tidak Islami bagi para penjahat, seperti “mencelup minyak” dan
“menjilat besi”.
yang sesat itu, Nuruddin juga menggunakan penanya untuk membantah dan
ajaran tasawuf yang benar dalam pelbagai karya. Tasawuf yang menurutnya
sayair Fansuri di dalam Syarah Ruba’I Hamzah Fansuri karangan Syams al-
27
keluar dari kandang syari’at, karena (syari’at upama) kulit, haqiqat (upama)
bangkit kembali. Kali ini yang menang adalah seorang tokoh yang namanya
sama dengan salah satu karya Hamzah Fansuri, yaitu Saif ar-Rijl, yang
berasal dari Minangkabau dan baru kembali ke Aceh dari Surat.26 Saif ar-Rijl
mendapat dukungan sebagian besar kalangan Aceh, yang merasa tidak senang
pertikaian itu mereka mencari nasihat sang ratu, tetapi sang ratu menolak
meninggalkan Aceh dan menuju kota kelahirannya Ranir pada 1054 H./1644
25
Abdul Hadi W.M, Tasawuf yang Tertindas : Kajian Hermenetika terhadap Karya-
Karya Hamzah Fansuri, hlm. 163
26
Braginsky, K.I., Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad
7-19. Jakarta: INIS: 1998, hal. 473
27
Braginsky, K.I.: 1998, hal. 474.
28
umurnya selama empat belas tahun di kota kelahirannya. Meski ia jauh dari
Syaik Yusuf berada di Aceh pada 1644, al-Raniri telah kembali ke Gujarat.
kepada gurunya sendiri, Sayyid Abu Hafsh Umar Bin. Abd Allah Ba Syaiban
28
Harun Mat Piah, dkk., 2002: hal. 60
29
Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, hlm. 102
29
bidang yang ia kuasai dan menjadi fokusnya. Karya-karya Al-Raniri ditulis, baik
berbahasa Arab ataupun Melayu, termasuk kitab Hujjah al-Shiddiq li Daf’i al-
Zindiq yang dibahas dalam penelitian ini. Sedikitnya ada 29 karya selama karir
1. Ṣirāt al-Mustaqīm (Jalan yang lurus), yaitu ilmu fiqih yang berkatian dengan
ibadat.
Karya ini terbahagi kepada tujuh bab: kejadian Nur Muhammad, kejadian
Adam, kejadian maut, tanda kiamat dan barang yang takluk padanya, aḥḥwāl
al-kiyāmah, neraka dan segala isinya, sifat syurga dan segala isinya.
mengetahui ruh dan Tuhan, 1642-44M). Dikarang dalam bahasa Melayu dan
Arab, mengenai manusia, terutama hal-ehwal ruh, sifat dan hakikatnya, serta
30
Dr. Edwar Djamaris dan Drs. Saksono Prijano, Hamzah Fansuri dan Nurrudin Ar-
Raniri, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan, Depdikbud: 1996, hal. 25
30
jisim-jisim, pengaruh ruh atas badan dan semua rahasia yang diletakkan Haqq
Ta’ala pada manusia dan kelebihannya daripada segala makhluk. Kisah Nabi
dibunuh.
Din.
11. Syifa’ al-Qulūb (Obat segala hati), mengenai pengertian kalimah syahadat
Wujudiyyah.
12. Hujjat al-Ṣiddīq lī Daf‘al-Zindīq (Bukti orang yang benar untuk menentang
ahli sufi, ahli falsafat dan kaum Wujudiyyah. Sebagian besarnya bertujuan
Ṣirāt al-Mustaqīm.
15. Fatḥ al-Mubīn ‘ala’l-Mulḥidīn (Kemenangan yang nyata atas orang yang
Masjid Baitur-Rahman.
16. Ṣawārim al-Ṣiddīq li Qaṭi‘ al-Zindīq (Pedang orang salih untuk memenggal
panteisme yang di nilainya sesat dan uraian lengakap tentang perdebatan melawan
31
Muzakkir, Studi Tasawuf; Sejarah, Pemikiran, Tokoh dan Analisis, (Bandung:
CitaPusaka Media, 2009), hlm. 148
BAB III
A. Tentang Ketuhanan
sufi yang diwakili Ibn ‘Arabi.1 Ia berpendapat bahwa ungkapan” wujud Allah dan
Alam Esa” berarti bahwa alam ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang
batin, yaitu Allah, sebagaimana yang dimaksud Ibn ‘Arabi. Namun, ungkapan itu
pada hakikatnya menjelaskan bahwa alam ini tidak ada, yang ada hanyalah wujud
Allah Yang Esa. Jadi, tidak dapat dikatakan bahwa alam ini berbeda atau bersatu
dengan Allah. Pandangan Al-Raniri hampir sama dengan Ibn ‘Arabi bahwa alam
ini merupakan tajalli Allah. Namun, tafsiranya di atas membuatnya terlepas dari
Allah menjadi dua bagian. Pertama, sifat khusus Zat, yaitu al-wahdaniyah
al-ma’āni (sifat yang dipahami secara maknawi), yaitu alhayah (kehidupan), al-
1
Ahmad, Daudy, Syaikh Nurruddin ar-Raniri; Sejarah, Karya, dan Sanggahan terhadap
Wujudiyyah di Aceh, Jakarta: Bulan Bintang 1983, hal. 82
2
Syekh Naquib Al- Attas, Raniri and the Wujudiyyah of 17 th, Century Aceh, Singapore,
MMBRAS III, 1996, hal. 83
33
34
bahwa jika benar Tuhan dan mahluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa
manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia dan jadilah seluruh mahluk
sebagai Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk atau baik, Allah turut
paham yang berbeda dengan pandangan panteisme. Dalam panteisme alam adalah
Tuhan dan Tuhan adalah alam, sedangkan dalam wahdatul wujud alam bukan
Tuhan tetapi bagian dari Tuhan. Karena itu, dalam paham wahdatul wujud, alam
dan Tuhan tidak identik, berbeda dengan pandangan panteisme yang memahami
Tuhan dan alam sebagai identik. Bagi penganut panteisme, ketika melihat pohon,
3
Ahmad, Daudy, hal. 227.
4
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 94.
35
B. Tentang Penciptaan
menolak teori emanasi (al-faidh) Al-Farabi karena hal itu dapat memunculkan
Teori emanasi yang dikemukakan al-Farabi menjelaskan bahwa dari wujud Tuhan
Tuhan tentang diri-Nya ini menjadi sebab adanya alam semesta, tafakkur Tuhan
tentang dirinya adalah ilmu tentang diri-Nya dan ilmu itu adalah daya (al-qudrah)
yang menciptakan segala sesuatu.6 Menurut al-Raniri, alam dan falak merupakan
wadah tajalli (manifestasi) dari asma dan sifat Allah dalam bentuk yang kongkret.
Sifat ilmu ber-tajalli pada alam akal; Nama Rahman ber-tajalli pada arsy; Nama
Rahim ber-tajalli pada kursy; Nama Raziq ber-tajalli pada falak ketujuh; dan
seterusnya.7
Al-Raniri berpendapat bahwa Tuhan itu Khalik dan alam semesta beserta
akibat. Artinya adanya alam semesta beserta isinya menunjukkan adanya Allah
karena alam semesta beserta isinya merupakan ciptaan-Nya. Alam semesta dan
seluruh isinya adalah baru karena diciptakan Allah secara langsung dari yang
tidak ada. Penciptaan alam semesta seisinya dari yang tidak ada, tidak akan
menimbulkan akibat perubahan Dzat Allah, karena iradah Allah yang kadim
5
Syekh Naquib Al- Attas, Raniri and the Wujudiyyah of 17 th, Century Aceh, Singapore,
MMBRAS III, 1996, hal. 227
6
Fuad Ramli (dkk.), Studi Filsafat Umum, (Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-
Raniry, 2003), hlm. 206
7
Ahmad, Daudy, Syaikh Nurruddin ar-Raniri; Sejarah, Karya, dan Sanggahan terhadap
Wujudiyyah di Aceh, Jakarta: Bulan Bintang 1983, hal 128.
36
maka persatuannya tetap ada jarak antara keduanya atau dikenal dengan istilah
Wachdatusy-Syuhud.
dijadikan dengan citra-Nya. Juga, karena ia mazhar (tempat kenyataan asma dan
sifat Allah paling lengkap dan menyeluruh). Konsep insan kamil, katanya, pada
dasarnya hampir sama dengan apa yang telah digariskan Ibnu ‘Arabi.9 Konsepsi
Insan Kamil menurut Ar-Raniry tidak jauh berbedah dengan yang dipahami oleh
sebagian sufi, bahwa manusia yang telah memiliki hakikat Muhammad (Nur
memiliki dua bentuk relasi sebagai sebab lahirnya segala yang ada. Yang pertama
tentang dimensi kealaman dimana dimensi sebagai asas pertama bagi penciptaan
alam, yang kedua adalah dimensi kemanusian yaitu sebagai hakikat manusia.10
8
Sangidu, Wachdatul Wujud, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h. 33-34.
9
Ahmad, Daudy, Syaikh Nurruddin ar-Raniri; Sejarah, Karya, dan Sanggahan terhadap
Wujudiyyah di Aceh, hal. 183.
10
Raharjo M.Dawan, Insan Kamil, hal 104
37
lewat proses kun. Dalam dimensi kealaman ini proses kun belum mencapai makna
pencapaian tujuan dari apa yang menjadi tujuan diciptakannya kenyataan yang
penampakan diri yang masi kabur, sampai ia belum cukup dalam memantulkan
asma dan sifat Tuhan yang ditajallikan kepadanya. Melalui dimensi kemanusian
dan sifat Tuhan menjadi sempurna. Hakikat Muhammad yang telah dijadikan
sebelum alam ini, sebelum adanya dalam bentuk seseorang Nabi Insani. Hakikat
itu qadim dan azali. Hakikat Muhammad inilah yang selalu berpindah dari
generasi ke generasi berikutnya dalam bentuk para anbiya: Adam, Nuh, Ibrahim,
Musa, dan lain-lainnya, kemudian dalam bentuk nabi penutup, Muhammad Saw.
alam: dari alam malk dan alam falak, dari alam jisim dan alam ruh, juga alam
terhimpun segala sifat-sifat yang Ilahi dan yang alami. Manusia, merupakan
dengan tajalli yang paling jelas. Dengan artian bahwasannya manusia berpotensi
untuk dapat membayangkan lebih terang atau lebih banyak sifat-sifat ketuhanan
melalui dirinya. Dan merupakan sebuah kesimpulan (para sufi) bahwa Insan
38
kesempurnaan diri-Nya.11
mengugnkapkan bahwa ruh adalah sesuatu yang baru (tidak qadim). Menurutnya,
jika ruh merupakan bagian yang bercerai dari yang qadim (Allah) maka yang
qadim itu akan menjadi berkurang, lemah, dan berkehendak pada yang lain. Sifat
demikian tidak patut ada pada diri Tuhan. Jika ruh merupakan bagian yang
sendiri pendapatnya dengan menganggap Ruh Muhammad itu diciptakan dari zat
nali-nilai keilahian yang qadim, maka ruh yang ada pada manusia bersifat
qadim.12
Ruh merupakan hakikat daripada manusia, keberadaan ruh ada di dalm diri
manusia. Ruh yang dimaksud Al-Raniry adalah nafs nathiqah, yang dengannya
manusia dapat mengetahui. Ruh ini berasal dari alam arwah yang kemudian
masuk ke dalam jasad manusia dan menjdikan manusia dapat mengetahui Dzat
yang menciptanya. Selain ruh dan jasad yang membentuk manusia, ada pula jiwa.
Jiwa dalam hal ini, menururt Al-Raniry, merupakan sumber akhlak tercela, karena
adanya sumber akhlak tercela pada manusia sehingga manusia terombang ambing
11
Raharjo M.Dawan, Insan Kamil, hal 94
12
M.Dawan Raharjo, Insan Kamil, hal. 100
39
dalam kehidupan yang dilaluinya. Itu semua dikarnakan didalam diri manusia
terdapat dua kekuatan yang saling bertarung yakni ruh dan jiwa. Dimana ruh
sebagai sumber akhlak yang mulia, sedangkan jiwa adalah sumber ahlak yang
tercela. Nafs (jiwa) yang merupakan sumber akhlak tercela menurut Ar-Raniry, di
dalam konsep psikologi merupakan efek dari jiwa. Dalam tingkah-laku tersebut
1) Nafsu Amarah, yaitu nafsu yang selalu mendorong manusia untuk berbuat jahat
2) Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang sedikit mendapatkan pancaran sinar hati
bertobat.
3) Nafsu Muthmainnah, yaitu nafsu yang sarat akan cahaya hati dan merupakan
13
Raharjo M.Dawan, Insan Kamil, hal 102
40
yang menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah, kecuali melalui syari’at
pengetahuan lebih mendalam mengenai hadis Nabi. Karena itu dia mengumpulkan
Muslim mampu memahaminya secara benar. Dalam risalah ringkas ini, dia
14
Ahmad Daudi, "Tinjauan atas Karya Al-Fath Al-Muhlidin karya Syaikh Nuruddin Ar-
Raniri", dalam A. Rifa’I Hasan (Ed.), Warisan intelektual Muslim Indonesia, Bandung: Mizan
Bandung, 1990, hlm. 35.
15
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VII
dan XVII, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 184-186
41
pun karya Melayu yang dapat diacu sebelum munculnya karya al-Raniry. Karena
itu, tidak sulit memahami mengapa karya ini menjadi sangat populer dan masih
Raniri, Konsep ketuhanan ahli kalam ini tidak bertentangan dengan paham para
sufi, terutama yang dianut Ibn ‘Arabi. 1 Para ahli kalam berpandangan bahwa
alam semesta merupakan manifestasi dari hakikat Allah. Menurut para ahli kalam,
wujud ada dua macam, yaitu wujud hakiki dan wujud alam. Keberadaan Allah
keberadaan alam tergantung kepada Allah. Karena itu, hakekat kedua wujud itu
berbeda; yang pertama qadim (keberadaan awal yang tidak didahului wujud apa
pun), dan yang kedua tercipta dan baru. Karena itu, setiap yang percaya bahwa
Allah dan alam merupakan satu wujud, berarti dia telah kafir mengingat wujud
Menurut Al-Raniri, ajaran ahli kalam tersebut dengan ajaran para sufi,
misalnya konsep tajalli yang dikemukakan Ibn ‘Arabi, bahwa alam semesta
merupakan bayangan atau refleksi dari wujud Allah, sehingga tidak dapat
1
Ahmad, Daudy, Syaikh Nurruddin ar-Raniri; Sejarah, Karya, dan Sanggahan terhadap
Wujudiyyah di Aceh, Jakarta: Bulan Bintang 1983, hal. 82
2
Syekh Naquib Al-Attas, Raniri and the Wujudiyyah of 17 th Century Aceh, Singapore,
MMBRAS III, 1996, hal. 83
42
43
dinyatakan berbeda atau bersatu dengan Allah. Meski demikian, tafsiran Nuruddin
Al-Raniri terhadap ajaran Ibn ‘Arabi berbeda dengan sebagian kalangan yang
demikian, ajaran itu memiliki kesamaan bahwa pada hakikatnya alam tidak ada,
yang ada hanyalah wujud Allah Yang Esa. Alam semesta hanyalah bayangan dari
wujud Allah, dan karenanya alam semesta dapat berubah dan musnah.
antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya serta menggunakan terminologi
Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa tasawuf falsafi merupakan tasawuf
Salah satu kerangka umum tasawuf falsafi adalah bahwa tasawufnya tidak
3
Syekh Naquib Al-Attas, Raniri and the Wujudiyyah of 17 th, Century Aceh, Singapore,
MMBRAS III, 1996, hal. 83
4
Nuruddin Al-Raniri, Hujjatussidiq li Daf Azzindiq, hal. 9
44
rasa yang tidak biasa, dan sebab itu tasawuf falsafi tidak dianggap filsafat karena
dilandaskan pada intuisi, juga bukan tasawuf murni karena diungkapkan dengan
Jika Wujudiyah Mulhidah lebih dekat dan identik dengan tasawuf falsafi,
konsep Wujudiyah Muwahhidah lebih dekat dengan tasawuf sunni serta lebih
memiliki argumentasi yang kontras sekaligus muncul sebagai reaksi atas konsep
wahdatul wujud. Jika dalam wahdatul wujud dinyatakan bahwa Tuhan dan alam
Keberadaan alam semesta semata-mata hanya refleksi atau bayangan dari Tuhan.6
menyatakan bahwa ciptaan tidak identik dengan Tuhan atau Penciptanya. Ciptaan,
baik itu berupa manusia maupun alam semesta beserta isinya hanya pantulan dari
Pencipta sehingga tidak identik dengan-Nya. Yang Ilahi bersifat abadi, sedangkan
5
Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i
ustmani, Bandung: Pustaka, 1985, hal.187.
6
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam; Sebuah Pendekatan Tematis, Jakarta: Mizan
2002, hal. 11.
7
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, hal.57.
45
1. Wahdatul Wujud
benar Tuhan dan mahluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah
Tuhan dan Tuhan adalah manusia dan jadilah seluruh mahluk sebagai Tuhan.
Semua yang dilakukan manusia, baik buruk atau baik, Allah turut serta
hakikat dari dzat Allah itu adalah mutlak dan la ta’ayyun. Dzat yang mutlak itu
(emanasi).9 Oleh karena Tuhan dan dunia adalah satu zat, maka hubungan antara
Tuhan dan dunia tidaklah merupakan hubungan antara sebab dan akibat, atau
hubungan antara pencipta dan ciptaan sebagai yang diyakini ahli ilmu kalam.
mabuk dan fana. Dalam ajaran falsafi Hamzah Fansuri, manusia merupakan
tingkat terakhir dari penjelmaan, yakni penjelmaan yang paling penuh dan
sempurna. Manusia adalah pancaran langsung dari Dzat yang mutlak. Sehingga
menurut Hamzah Fansuri, terdapat kesatuan antara manusia dan Allah. Ar-Raniri
8
Ahmad, Daudy, hal. 227.
9
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, hlm. 74-75
46
mengkritik bahwa penyatauan makhluk dengan Khalik bukan dalam wujud, tetapi
hanya dalam kesaksian.10 Ciptaan, baik itu berupa manusia maupun alam semesta
beserta isinya hanya pantulan dari Pencipta sehingga tidak identik dengan-Nya.
Yang Ilahi bersifat abadi, sedangkan alam semesta dan isinya bersifat sementara.11
Fenomena Hulul yang dialami al-Hallaj dan Bayazid masih dapat dibenarkan
sebab terjadi dalam keadaan tidak sadar, berbeda dengan Fansuri dan As-
bahwa Tuhan berada dalam kandungan (imanen) alam ini, yang merupakan
sama saja dengan menyamakan Tuhan dengan alam/makhluk adalah sesat. Karena
dalam pandangannya, Tuhan adalah Transenden yang tidak mungkin dapat ber-
maqam dalam diri makhluk, sehingga Ia sama sekali berbeda dengan makhluk.
mempunyai tradisi beribadah kepada segala jenis cahaya yang memancar dari
bahwa cahaya itu sudah tercipta sejak azali. Pandangan ini juga dianut golongan
10
H.M Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Riwayat Hidup, Karya, dan
Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Gelegar Media Indonesia, Jakarta: 2009, hal. 665.
11
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, hal.57.
47
wathaniyah yang merupakan cabang dari Barahimah dan Samiah di gunung Tibet
India.12
Ajaran falsafi berpandangan bahawa ruh-ruh dan semua yang ada di alam
ini merupakan bagian dari Allah, karena Ia yang menciptakan segala sesuatu dan
segala sesuatu itu pada akhirnya akan kembali kepada-Nya. Keyakinan inilah
yang dianut oleh Fansuri dan Sumaterani, sehingga menurutnya keduanya sesat,
sebab meyakini pendapat ini, berarti menyamakan antara ciptaan dengan Sang
Rasulullah, yang berbunyi: “Siapa yang mengenal dirinya berarti telah mengenal
Tuhannya”. Ini artinya, jiwa manusia dan sekalian makhluk bertempat atau
mengambil bagian dalam Tuhan diumpamakan dengan hubungan pohon dan biji.
Keluarnya alam ini dari Allah seumpama keluarnya pohon dari biji.13 Keyakinan
1. Hubungan antara khalik dan makhluk bagi panteisme, persis sama dengan
filosof, agama Zoroaster, dan ajaran Reinkarnasi. Hal ini tercermin dalam
2. Percaya bahwa Tuhan berada “di dalam makhluk” adalah pemikiran panteisme.
12
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia: Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi,
hlm. 93-94
13
Ibid, hlm. 148-152.
48
karena dia melihat Tuhan sepenuhnya immanen (tasbih), padahal Tuhan itu
transenden (tanzih).
sebuah makhluk”.
4. Sama halnya seperti sebagian filosof, panteisme percaya bahwa “alam bersifat
qadim.”
dari Tuhan dan akan kembali bersatu dengan-Nya, seperti ombak kembali ke laut.
kamu kepada Tuhan kamu yang ridha akan kamu. Maka masuklah surga-Ku, hai
hamba-hamba-Ku! Apa yang dikatakan oleh Hamzah dalam masalah ini sesuai
dengan ajaran mistik yang dianutnya. Jika Tuhan memang imanen dalam alam
Tuhannya, sebagaimana ombak yang berasal dari laut juga kembali bersatu
dengan laut. Dari itu wajarlah apabila Hamzah menafsirkan ayat-ayat Alquran
seperti di atas secara berbeda dengan pengertian yang dianut dalam kalangan
ahlussunnah.
14
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia: Antara Tasawuf Sunni & Tasawuf
Falsafi, hlm. 89
49
lanjutan dari sanggahannya terhadap ajaran wahdatul wujud. Bagi Nuruddin, yang
ada hanyalah Tuhan, sedangkan yang selain-Nya tidak ada. Karena itu mustahil
manusia yang tidak ada akan bersatu dengan Tuhan yang maha ada. Al-Raniri
tersebut (Q.S 2: 156) dapat menimbulkan pengingkaran adanya surga dan neraka
seperti yang diajarkan dalam agama. al-Raniri menulis, “Maka dimaknakan oleh
kaum Wujudiyyah yang zindik itu seperti makna pada ayat “inna li’l-lähi wa innä
ilaihi räji’ün’, adalah maksud mereka itu bahwa alam itu keluar daripada Wujud
Allah dan kembali ia jua menjadi bersatu dengan Dia. Karena pada mereka itu
tiada surga dan neraka dan tiada ada pada mereka itu Tuhan, hanya ia
bertuhankan dirinya sendiri.” Sedangkan arti yang diberikan oleh para mufassirin
terhadap ayat-ayat tersebut, menurut Nuruddin, adalah bahwa manusia itu milik
Allah dan jua segala amalnya akan kembali kepada-Nya. Jika amalnya baik, ia
akan dimasukkan ke dalam surga, dan jika buruk dimasukkan ke dalam neraka.15
15
Ahmad Daudy, Syekh Nuruddin Ar-Raniry; Sejarah Hidup, Karya, dan Pemikirannya,
hlm. 215-220.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
bahwa alam semesta merupakan refleksi dari wujud Allah yang hakiki, sehingga
wujud Allah dan alam memiliki eksistensi yang berbeda. Wujud Allah bersifat
qadim (keberadaan awal yang tidak didahului wujud apa pun), sedangkan alam
tercipta dan baru. Menurut Al-Raniri, ajaran ahli kalam tersebut tidak
bertentangan dengan ajaran para sufi tentang konsep tajalli, bahwa alam semesta
merupakan manifestasi dari wujud Allah, sehingga tidak dapat dinyatakan berbeda
Ajaran wahdatul wujud yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri serupa dengan
(imanen) alam ini. Artinya, alam memiliki hakikat Tuhan. Menurut Al-Raniri,
wahdat al-wujud ini berpandangan bahwa manusia tidak hanya mampu memiliki
sifat-sifat Tuhan, tetapi juga memunculkan pengakuan bahwa alam bersifat kekal
50
51
seperti halnya hakikat Tuhan. Oleh karena itu, ajaran wahdat al-wujud dapat
Skripsi ini masih jauh dari sempurna, perlu kiranya bagi peneliti yang
keislaman.
52
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Syekh Naquib, Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Aceh,
Singapore, MMBRAS III, 1996.
Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Munqidz min Al-Dhalal, Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1316.
At-Taftazani, Abu Al-wafa’ Al-ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad
Far’i Ustmani, Bandung: Pustaka, 1985.
Braginsky, K.I., Yang Indah, Berfaedah dan Kanal Sejarah Sastra Melayu Dalam
Abad 7-19. Jakarta: INIS: 1998.
Djamaris, Edwar dan Drs. Saksono Prijano, Hamzah Fansuri dan Nurrudin Ar-
Raniri, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan,
Depdikbud: 1996.
Nasr, Seyyed Hossein, dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
Jakarta: Mizan, 2003.
Piah, Harun Mat (dkk.), Traditional Malay Literature, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 2002.
_____________, “Revival and Reform”, dalam P.M Holt (peny.), The Cambridge
History of Islam, Cambridge: Cambridge University Press, 1970.
Ramli, Fuad, Studi Filsafat Umum, Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-
Raniry, 2003.
Suprapto, H.M Bibit, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Riwayat Hidup, Karya, dan
Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta: Gelegar Media
Indonesia, 2009.
Syihab, Alwi, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di
Indonesai, Jakarta: Pustaka Iman, 2009.
Wnstedt, R.O, Some Malay Mystics, Heretical and Ortodox, JMBRAS. Vol. 1.
April. Singapore, 1923.
Yock Fang, Liaw, Sejarah Kesusesteraan Melayu Klassik, Singapura: Pustaka
Nasional, 1982.