Anda di halaman 1dari 80

BIRR AL-WÂLIDAIN PERSPEKTIF HADIS:

(Membaca Hadis Dalam Bingkai al-Qur’an)

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh:

Muhammad Ahya
NIM: 1112034000048

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
ABSTRAK

Kata “Baik” merupakan kata yang subjektif. Setiap orang, ingin dikatakan
baik, sekalipun sebenarnya ia tidak baik. Seseorang sering memberikan penilaian
kepada orang lain baik dan tidak baik hanya sekedar dhahir yang dipahami oleh
seseorang. Sangat sulit untuk menjatuhkan penilaian moral terhadap orang lain,
yang dapat dinilai dari seseorang adalah sikap lahiriah saja.
Permasalahan yang ada dalam skripsi ini adalah penggunaan kata al birr di
dalam hadis dan ihsan di dalam al-Qur’an yang mempunyai makna sama yaitu
kebaikan. Adapun pembatasan pada skripsi ini yaitu: Adanya penggunaan kata al
birr di dalam hadis dan ihsan di dalam al-Qur’an yang mempunyai makna sama
yaitu kebaikan. Jadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah Bagaimana makna
al birr dengan pemahaman hadis dalam bingkai al-Qur’an.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif berdasarkan
kajian kepustakaan (library research). Sedangkan dalam pengelolaan data, metode
yang digunakan penulis adalah metode takhrij.
Dari penelitian yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa Al-Birr yang
mengandung makna begitu luas sebagaimana ditekankan oleh Rasulullah Saw,
bahwasanya yang dimaksud dengan al-Birr ialah husnul khuluq atau akhlak yang
baik. Akhlak yang baik memiliki urgensitas yang sangat penting dalam pribadi
seseorang. Dan segala perbuatan atau sifat yang positif, tidak mengandung unsur
negatif serta tidak melanggar larangan-larangan Allah Swt dan Rasul-Nya. Jadi
kata al birr dalam hadis dan ihsan dalam qur’an itu sama tujuannya yitu
melakukan kebaikan.
Pernyataan tersebut diperoleh dari hasil bacaan hadis birr al Walidain
dengan menggunakan metode Yusuf al-Qardawi. Skripsi ini sekaligus
menunjukan bahwa makna kata al birr dan ihsan itu sama dimana al birr itu
melakukan perbuatan baik sedangan ihsan meningkatkan perbuatan yang sudah
baik ke lebih baik lagi.

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt., yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Yang senantiasa melimpahkan segala nikmat dan pertolongannya kepada penulis.

Berkat izin dari Allah Swt penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat

serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Semoga

kita termasuk umatnya yang istiqamah menjalani perintahnya, dan mendapatkan

syafa’at pada hari Kiamat kelak.

Penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul “BIRR AL-WÂLIDAIN

PERSPEKTIF HADIS: MEMBACA HADIS DALAM BINGKAI AL-

QUR’AN” ini tidak akan selesai jika hanya mengandalkan daya yang penulis

miliki. Ada banyak sosok, kerabat, dan orang-orang yang secara langsung maupun

tidak langsung telah banyak membantu penulis. Maka dalam pengantar skripsi ini

penulis mengucapkan banyak terimaksih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-

Qur’an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku

Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Usshuluddin

UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. H. Harun Rasyid, M.Ag., selaku dosen pembimbing

akademik dan pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak

ii
nasihat dan kemudahan bagi penulis dalam mengurus administrasi dan

penyelesaian skripsi.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

yang telah dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmu dan pengalaman

berharga kepada penulis.

6. Kepada almarhum kedua orang tua tercinta Bapak Amin (Alm) dan

Ibu Saneri (Almh), yang diwaktu masa hidupnya selalu mendoakan

kebaikan dalam setiap aktifitas penulis. Dan Juga untuk kakak-kakak

tercinta Ahmad Subyani dan Mohamad Alfi, yang tidak henti-hentinya

memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Yang dengan sabar menunggu dalam menyelesaikan masa studi

penulis.

7. Keluarga Besar Tafsir Hadis angkatan 2012, terkhusus bagi kawan-

kawan TH B, semoga silaturrahim kita tetap selalu terjaga dan takkan

retak walaupun jarak memisahkan kita.

Sekali lagi penulis haturkan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang

telah membantu penulis. Semoga Allah Swt. membalas kebaikan yang berlipat

ganda dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Âmîn yâ Rabb al- Âlamîn.

Ciputat, 20 Oktober 2017

Muhammad Ahya

iii
DAFTAF ISI

ABSTRAK .................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................ . iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1


B. Identifikasi, batasan dan Perumusan Masalah ................ 9
C. Tujuan dan Manfaat ...................................................... 10
D. Kajian Pustaka .............................................................. 11
E. Metode Penelitian ......................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ................................................... 16
BAB II WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG BIRR AL-WÂLIDAIN

A. Pengertian
1. Pengertian Al Birr.....................................................17
2. Perbandingan Al Birr, Khair, ma’ruf dan ihsan ...... 18
B. Ayat-ayat tentang baik pada orang tua .......................... 24
C. Tafsir ayat-ayat baik pada orang tua ............................. 27
D. Kedudukan baik pada orang tua .................................... 39
BAB III PEMAHAMAN HADIS TENTANG BIRR AL-WÂLIDAIN
DALAM BINGKAI AL-QUR’AN

A. Kajian Matan Hadis Birr al-Wâlidain ........................... 42


B. Pemahaman Hadis ........................................................ 47
C. Analisis ayat tentang baik pada orang tua ..................... 55
1. Bentuk-bentuk baik pada kedua orang tua ............. 58
2. Tatakrama terhadap kedua orang tua ....................... 60
3. Keutamaan baik pada kedua orang tua .................... 60
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................. 63
B. Saran ........................................................................ 64
DAFTAR PUSTAKA .......................................................... 65

iv
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman

pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman

Akademik Program Strata 1 tahun 2012-2013 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

a. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan


‫ا‬ tidak dilambangkan

‫ب‬ B Be

‫ت‬ T Te

‫ث‬ Ts te dan es

‫ج‬ J Je

‫ح‬ H ha dengan garis di bawah

‫خ‬ Kh ka dan ha

‫د‬ D De

‫ذ‬ Dz de dan zet

‫ر‬ R Er

‫ز‬ Z Zet

‫س‬ S Es

‫ش‬ Sy es dan ye

‫ص‬ S es dengan garis di bawah

‫ض‬ D de dengan garis di bawah

‫ط‬ T te dengan garis di bawah

‫ظ‬ Z zet dengan garis di bawah

‫ع‬ ´ koma terbalik di atas hadap kanan

‫غ‬ Gh ge dan ha

‫ف‬ F Ef

‫ق‬ Q Ki

‫ك‬ K Ka

v
‫ل‬ L El

‫م‬ M Em

‫ن‬ N En

‫و‬ W We

‫ه‬ H Ha

‫ء‬ ̕ Apostrof

‫ي‬ Y Ye

b. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri

dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vocal

tunggal, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


َ A Fathah

َ I Kasrah

َ U Dammah

Ada pun untuk vokal rangkap, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai

berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫َي‬ Ai a dan i

‫َو‬ Au a dan u

Vokal Panjang

Ketentuan alihaksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

vi
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
‫ىا‬ â a dengantopi di atas

‫ىي‬ î i dengantopi di atas

‫ىُو‬ û u dengantopi di atas

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu ‫ال‬, dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah

maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân bukan ad-

diwân.

Syaddah(Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda (ّ), dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ‫ الضرورة‬tidak

ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat

contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti

oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut

diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menja dihuruf /t/

(lihat contoh 3).

vii
Contoh:

No TandaVokal Latin Keterangan


1 ‫طريقة‬ Tarîqah

2 ‫الجامعة اإلسالميّة‬ al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah

3 ‫وحدة الوجود‬ Wahdat al-wujûd

Huruf Kapital

Meski pun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam

alihaksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan

yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara

lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal, nama tempat, nama bulan,

nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata

sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri

tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî

bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan

dalam alihaksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau

cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring,

maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal

dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar

katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,

tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânirî.

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis1 merupakan salah satu ajaran Islam yang menduduki posisi yang

sangat signifikan, baik secara struktural maupun fungsional. Secara struktural

menduduki posisi kedua setelah al-Qur’an, namun jika dilihat secara fungsional,

ia merupakan bayan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat al-‘am, al-mujmal,

atau al-mutlaq.2

Secara fungsional hadis merupakan bayân (penjelas) terhadap al-Qur’an.

Sehingga hadis mempunyai posisi yang sangat signifikan dan strategis dalam

menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang masih global. Oleh karena itu, sangat

penting untuk menggali butir-butir ajaran Islam yang terdapat dalam hadis-hadis

tersebut.3

Dalam kaitannya fungsi dan kedudukan hadis Nabi terhadap al-Qur’an, Allah Swt

telah menerangkannya dalam QS. al-Nahl ayat 44:


ۡ ۡ
)44( ‫وأنزلنآ إل ۡيك ٱل ّذكر لتُب يّن للنَّاس ما نُّزل إل ۡيه ۡم ولعلَّ ُه ۡم ي ت ف َّك ُرون‬

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada


umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan” (QS. Al-Nahl: 44)

1
Hadis berasal dari bahasa arab; al-Hadis jamaknya al-Ahadis, al-Hadisan dan al-Hutan.
Secara bahasa kata ini memiliki banyak arti, antara lain: al-Jadid (yang baru) dan al-Khabar
(kabar atau berita). Lihat Endang Soetari, Ilmu Hadis (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), h. 1.
2
Said Agil Husen al-Munawwar, Asbabul Wurud, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2002), h.
2.
3
Said Agil Husen al-Munawwar, Studi Hadis Nabi, (Yogyakarts: pustaka pelajar, 2001),
cet. I, h. 8.

1
2

Dilihat dari segi hubungannya dan ditinjau dari latar belakang terjadinya,

hadis terbagi menjadi tiga bagian; (1) Hadis yang tidak mempunyai sebab secara

khusus, (2) Hadis yang mempunyai sebab secara khusus, (3) Hadis yang berkaitan

dengan keadaan yang sedang terjadi.4 Hadis Nabi Saw sebagai penjelas al-Qur’an,

secara teologis juga dapat memberi inspirasi untuk membantu menyelesaikan

problematika yang muncul dalam masyarakat kontemporer sekarang. Karena,

bagaimanapun tampaknya disepakati bahwa pembaharuan pemikir Islam atau

rektualisasi ajaran Islam harus mengacu kepada teks-teks yang menjadi landasan

ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan hadis.5

Salah satu perintah dalam al-Qur’an dan Hadis seorang anak dianjurkan

untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Seorang anak meskipun sudah

berkeluarga, tetapi wajib berbakti kepada kedua orang tuanya. Kewajiban ini

tidaklah gugur jika seseorang telah berkeluarga. Akan tetapi sangat disayangkan

realitas sekarang ini, betapa banyaknya seorang anak yang sudah berkeluarga

kemudian mereka meninggalkan kewajibannya itu . Jalan yang haq dalam

menggapai riḏa Allah Swt melalui berbakti kepada kedua orang tua, merupakan

salah satu masalah penting dalam Islam. di dalam al-Qur’an setelah

memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah Swt juga memerintahkan untuk

4
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi Refleksi Pemikiran
Muhammad Syuhudi Ismail, (jakarta: Renaisan, 2005), h. 188-197.
5
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya,
(jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 14.
3

berbakti kepada kedua orang tua. Seperti firman-Nya dalam surat al ‘isra ayat 23-

24 6:

‫وقضى ربُّك أالَّ ت ْعبُ ُدواْ إالٓ إيَّاهُ وبالْوالديْن إ ْحسانا إ َّما ي ْب لُغ َّن عندك الْكب ر أح ُد ُهمآ أ ْو‬
‫ض ل ُهما جناح‬ ْ ‫( و‬32) ‫ُف وال ت ْن ه ْرُهما وقُل لَّ ُهما ق ْوال كريما‬
ْ ‫اخف‬ ّ ‫كل ُهما فال ت ُقل لَّ ُهمآ أ‬
(34) ‫ب ْارح ْم ُهما كما ربَّياني صغيرا‬ ّ ‫الر ْحمة وقُل َّر‬ ُّ
َّ ‫الذ ّل من‬

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah


selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku waktu kecil" (QS. Al Isra’: 23-24)

Di dalam hadis juga telah diterangkan, seperti riwayat berikut ini:

‫الر ْحمن ع ْن‬َّ ‫يم بْ ُن س ْعد ع ْن أبيه ع ْن ُحمْيد بْن عْبد‬ ُ ‫حدَّث نا أ ْحم ُد بْ ُن يُونُس حدَّث نا إبْراه‬
‫ول اللّه صلَّى اللّهُ علْيه وسلَّم إ َّن م ْن أ ْكبر‬
ُ ‫عْبد اللّه بْن ع ْمرو رضي اللّهُ عْن ُهما قال قال ر ُس‬
‫الر ُج ُل‬
َّ ‫ب‬ُّ ‫الر ُج ُل والديْه قال ي ُس‬
َّ ‫الر ُج ُل والديْه قيل يا ر ُسول اللّه وكْيف ي ْلع ُن‬
َّ ‫الْكبائر أ ْن ي ْلعن‬
ُ‫ب أ َُّمه‬
ُّ ‫ب أباهُ وي ُس‬
ُّ ‫الر ُجل ف ي ُس‬
َّ ‫أبا‬
7

Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibn Yunus telah menceritakan


kepada kami Ibrahim ibn Sa'd dari Ayahnya dari Humaid ibn
Abdurrahman dari Abdullah ibn 'Amru radliallahu 'anhuma dia berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya
termasuk dari dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya
sendiri," beliau ditanya; "Kenapa hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah?"

6
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. (Bandung: Gema Risalah Press,
1989).
7
Imam an-Nawawi, Terjemahan Riyadhus sâlihîn, (Solo: insan kamil, 2011), h. 216.
4

beliau menjawab: "Seseorang mencela (melaknat) ayah orang lain,


kemudian orang tersebut membalas mencela ayah dan ibu orang yang
pertama."
Hadis tersebut sebagai peringatan agar jangan memaki orang tuanya

dengan cara ia memaki ayah orang lain, lalu orang itu membalas dengan memaki

orang tuanya itu. Oleh karena itu, ketika dia menjadi penyebab dimakinya kedua

orang tuanya, maka dosa baginya.8 Akan tetapi sekarang ini banyak seorang anak

yang berbicara keras kepada orang tuanya, tidak punya adab atau etika, hal ini

sangat bertentangan dengan makna yang dihadirkan oleh Nabi Muhammad Saw

sedangkan jasa orang tua dan kasih sayangnya tidak bisa di balas oleh perbuatan

apapun. Seorang ibu atau ayah ketika sedang menimang atau menggendong

anaknya yang ada dibenak pikiran dan hatinya adalah kapan engkau membuka

mata agar bisa melihat, setelah mata bisa melihat orang tua berharap kapan

engkau bisa duduk atau merangkak dan seterusnya sampai keinginan orang tua itu

supaya anaknya cepat besar dan bisa berjalan, akan tetapi alangkah banyaknya

seorang anak yang merawat ibu atau ayahnya terlintas di hatinya kapan orang

tuaku meninggal, karena seorang anak merasa lelah disaat merawat orang tuanya.

Anak dari segi bahasa berarti keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan

antara pria dan wanita9. Dalam bahasa arab disebut “walad” atau “ibnun”. Kata

walad dipakai untuk anak yang dilahirkan baik oleh manusia maupun binatang,

sedangkan kata ibnun dipakai untuk arti yang luas yaitu dipakai untuk anak

8
An Nawawi, terjemahan Riyadhus sâlihîn, h. 217.
9
Tim. Kamus besar Indonesia, edisi ke-2, (depdikbud;1994), h. 30.
5

kandung, angkat, anak persusuan, anak pungut, anak tiri dan lainnya.10 Dalam

ajaran Islam ada keharusan seorang anak untuk berbuat bakti kepada kedua orang

tuanya atau bisa disebut birr al-Wâlidain. Islam menjadikan berbakti kepada

kedua orang tua sebagai kewajiban yang sangat besar, Rasulullah Saw bersabda

ketika ditanya tentang amal-amal saleh yang paling tinggi dan mulia.

‫يد بْ ُن الْعْي زار‬


ُ ‫أ ْخب رنا ع ْم ُرو بْ ُن عل ّي قال حدَّث نا ي ْحيى قال حدَّث نا ُش ْعبةُ قال أ ْخب رني الْول‬
‫ب هذه الدَّار وأشار إلى دار عْبد اللّه‬ ُ ‫ول حدَّث نا صاح‬ ُ ‫ت أبا ع ْمرو الشَّْي بان َّي ي ُق‬
ُ ‫قال سم ْع‬
ُ‫الصالة‬
َّ ‫ب إلى اللّه ت عالى قال‬ ُّ ‫ي الْعمل أح‬ ُّ ‫ت ر ُسول اللّه صلَّى اللّهُ علْيه وسلَّم أ‬ ُ ْ‫قال سأل‬
.‫اد في سبيل اللّه عَّز وج َّل‬ ُ ‫على وقْتها وبُّر الْوالديْن والْجه‬
“Telah mengabarkan kepada kami 'Amr ibn 'Ali dia berkata; telah
menceritakan kepada kami Yahya dia berkata; telah menceritakan kepada
kami Syu'bah dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Al-Walid ibn Al-
'Aizar dia berkata; aku mendengar Abu 'Amr Asy-Syaibani berkata; telah
menceritakan kepada kami penghuni rumah ini -dan mengisyaratkan ke
arah rumah 'Abdullah - dia berkata; 'Aku pernah bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, "Apakah amalan yang paling
dicintai Allah Azza wa Jalla? Beliau menjawab."Shalat pada waktunya,
berbakti kepada orang tua, dan jihad di jalan Allah Azza wa Jalla." (HR.
Bukhari Muslim)
Islam telah mengajarkan kepada orang-orang yang berakal bahwa segala

kebaikan terletak pada keriḏaan Allah Swt, kemudian keburukan terletak pada

kemurkaan-Nya. Pada hakekatnya keriḏaan dan kemurkaan Allah Swt terletak

pada interaksi manusia dengan sesama makhluk, dengan kata lain berbuat baik

kepada Allah Swt tidak akan terwujud, kecuali dengan berbuat baik kepada

10
Fuad M. fachruddin, masalah anak dalam hukum islam, (Jakarta;cv. Pedoman ilmu
jaya, 1991), h. 25.
6

makhluk-Nya atau disebut dengan hak antar sesama makhluk. Salah satunya

adalah hak kedua orang tua untuk mendapatkan bakti dari anaknya.11

Dewasa ini banyak orang yang melakukan ritual-ritual ibadah yang

menyimpang karena kebodohan mereka dengan tujuan agar terhindar dari api

neraka dan mendekatkan diri ke surga. Padahal kalau mereka tahu, sebenarnya

alangkah dekatnya mereka dengan surga. Surga yang selalu menjadi penggerak

jiwa manusia untuk bisa meraihnya, yang dipenuhi dengan kenikmatan, yang

membuat segenap jiwa merindukannya, yang menjadi harapan utama bagi setiap

mukmin. Semua itu bisa mereka dapatkan dengan berbakti kepada kedua orang

tua selama mereka menjauhi dosa besar.

Harus disadari bahwa kedua orang tua adalah jembatan perantara bagi

kelahiran seorang anak ke dunia, tanpa perantaraan mereka tidak mungkin

terdapat keturunan, dan tidak mungkin juga anak ada. Dalam kehidupan sehari-

hari mereka berusaha dengan segenap kemampuan: mengasuh, mendidik serta

menjaga anak-anaknya supaya menjadi keturunan yang baik. Kenyataan seorang

ayah mencari nafkah untuk biaya hidup, merawat, mengasuh dan mendidik kita,

tidak lain harapan mereka agar anak-anaknya menjadi manusia berguna bagi

manusia lainnya. Jerih payah mereka adalah untuk kepentingan anak-anaknya. Hal

inilah yang menuntut penghargaan anak-anak, penghargaan dalam arti

penghormatan dan rasa terimakasih. Orang tua tidak akan meminta ganti rugi,

atau perhitungan atas biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan anaknya, mereka

11
Muhammad Al Fahham, Berbakti Kepada Orang Tua Kunci Sukses dan Kebahagiaan,
Ahmad Hotib, jilid I, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006), h. 77.
7

hanya ingin melihat hasil yang baik dari kesuksesan yang diraih oleh anak-

anaknya.12

Namun, banyak juga seorang anak yang tidak memperhatikan masalah

berbakti kepada kedua orang tua dan beranggapan bahwa hal itu bukan sesuatu

keharusan dan tidak penting bagi seorang anak. Bahkan mereka memutuskan

hubungan sanak keluarga atau kerabat yang telah digariskan oleh Allah Swt untuk

mengembangkannya. Tidak jarang mereka memperlakukan kedua orang tuanya

dengan kelakuan kasar dan perkataan yang menyinggung hati kedua orang tua.

Kata “Baik” merupakan kata yang subjektif. Setiap orang, ingin dikatakan

baik, sekalipun sebenarnya ia tidak baik. Seseorang sering memberikan penilaian

kepada orang lain baik dan tidak baik hanya sekedar zahir yang dipahami oleh

seseorang. Sangat sulit untuk menjatuhkan penilaian moral terhadap orang lain,

yang dapat dinilai dari seseorang adalah sikap lahiriah saja.

Seseorang boleh saja mengatakan bahwa tindakan atau kelakuan tertentu

di anggap salah atau buruk dan menegur orang yang melakukannya. Akan tetapi

seseorang tidak berhak untuk menarik kesimpulan bahwa orang itu sendiri buruk.

Barangkali ia salah perhitungan atau memang sebenarnya memiliki maksud yang

baik.

Berkaitan dengan persoalan birr al-Walidain dalam hadis berbakti kepada

kedua orang tua menggunakan kata al-Birr yaitu “kebaikan” sebagaimana sabda

Nabi Muhammad Saw.

12
Drs. Moh. Rifai, Khutbah Jumat, (semarang: Penerbit CV. Toha Putra, 1979), h. 53.
8

‫يد بْ ُن الْعْي زار قال‬


ُ ‫أ ْخب رنا ع ْم ُرو بْ ُن عل ّي قال حدَّث نا ي ْحيى قال حدَّث نا ُش ْعبةُ قال أ ْخب رني الْول‬
‫ب هذه الدَّار وأشار إلى دار عْبد اللّه قال‬ ُ ‫ول حدَّث نا صاح‬ ُ ‫ت أبا ع ْمرو الشَّْي بان َّي ي ُق‬
ُ ‫سم ْع‬
‫الصالةُ على‬
َّ ‫ب إلى اللّه ت عالى قال‬ ُّ ‫ي الْعمل أح‬ ُّ ‫ت ر ُسول اللّه صلَّى اللّهُ علْيه وسلَّم أ‬ ُ ْ‫سأل‬
‫اد في سبيل اللّه عَّز وج َّل‬
ُ ‫وقْتها وبُّر الْوالديْن والْجه‬
“Telah mengabarkan kepada kami 'Amr ibn 'Ali dia berkata; telah
menceritakan kepada kami Yahya dia berkata; telah menceritakan kepada
kami Syu'bah dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Al-Walid ibn Al-
'Aizar dia berkata; aku mendengar Abu 'Amr Asy-Syaibani berkata; telah
menceritakan kepada kami penghuni rumah ini -dan mengisyaratkan ke
arah rumah 'Abdullah - dia berkata; 'Aku pernah bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, "Apakah amalan yang paling
dicintai Allah Azza wa Jalla? Beliau menjawab."Shalat pada waktunya,
berbakti kepada orang tua, dan jihad di jalan Allah Azza wa Jalla." (HR.
Bukhari Muslim)

Sedangkan dalam al-Qur’an berbakti kepada kedua orang tua

menggunakan kata Ihsan yang maknanya yaitu “kebaikan”. Sebagaimana Firman

Allah Sawt.

‫وقضى ربُّك أالَّ ت ْعبُ ُدواْ إالٓ إيَّاهُ وبالْوالديْن إ ْحسانا إ َّما ي ْب لُغ َّن عندك الْكب ر أح ُد ُهمآ أ ْو‬
(32) ‫ُف وال ت ْن ه ْرُهما وقُل لَّ ُهما ق ْوال كريما‬ ّ ‫كل ُهما فال ت ُقل لَّ ُهمآ أ‬
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara
keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia”
(Q.S. al-Isra’ : 23)

Berdasarkan latar belakang di atas, maka judul skripsi yang akan di bahasa

adalah “BIRR AL-WÂLIDAIN PERSPEKTIF HADIS: MEMBACA HADIS

DALAM BINGKAI AL-QUR’AN”.


9

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari pembahasan latar belakang di atas, penulis menemukan beberapa akar

permasalahan yang diidentifikasi dalam penelitian ini, yaitu:

1) Adanya seorang anak yang tidak memperhatikan perintah berbakti kepada

kedua orang tua yang masih hidup maupun yang sudah meninggal di

dalam al-Qur’an dan hadis.

2) Penggunaan kata al-birr di dalam hadis dan ihsan di dalam al-Qur’an yang

mempunyai makna yang sama yaitu kebaikan.

3) Seorang anak yang tidak paham dengan cara berbakti kepada kedua orang

tua sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.

2. Pembatasan Masalah

Dari beberapa masalah yang terindentifikasi di atas, maka pembahasan dalam

penelitian ini yaitu: Penggunaan kata al-birr di dalam hadis dan ihsan di

dalam al-Qur’an yang mempunyai makna yang sama yaitu kebaikan.

3. Rumusan Masalah

Dari pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan masalah yang akan di

bahas yaitu: Bagaimana makna al-birr dengan pemahaman hadis dalam

bingkai al-Qur’an?.
10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

Tujuan penulis dalam skripsi ini adalah:

a. Ingin menelusuri hadis tentang birr al-wâlidain beserta penjelasan

hadisnya, sehingga seorang anak mengetahui tentang pentingnya berbakti

kepada kedua orang tua.

b. Memberikan deskripsi secara jelas tentang makna al-birr dengan

pemahaman hadis dalam bingkai al-Qur’an.

2. Manfaat Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan mengenai

hadis birr al-wâlidain, sehingga dapat dijadikan bahan bacaan dalam

rangka pengembangan khazanah intelektual Islam. Selain itu penelitian

ini diharapkan bisa menambah ilmu pengetahuan dalam ilmu kajian

hadis, terutama yang berkaitan dengan hadis birr al-wâlidain.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini mempunyai kegunaan praktis yakni untuk

memberikan sebuah bahan pertimbangan untuk selalu melakukan kajian

secara mendalam terhadap hadis yang diterima. Dan juga diharapkan

penelitian ini bisa menambahkan database perpustakaan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.
11

D. Kajian Pustaka

Sejauh pengamatan penulis, karya ilmiah mengenai birr al-wâlidain telah

dikaji oleh beberapa penulis sebelumnya. Karya yang pernah dikaji oleh penulis

sebelumnya adalah:

Pertama, Skripsi yang disusun oleh Ahmad Arrofiqi, dengan judul:

“Implementasi hadis birrul walidain setelah meninggal dunia pada masyarakat

wonokromo (Studi living hadis)”13. Secara garis besar, skripsi tersebut

menjelaskan tentang persoalan tradisi nyadran di daerah Wonokromo. Diketahui

bahwasanya tradisi nyadran di Desa Wonokromo bertujuan untuk berdakwah,

memohonkan ampunan kepada Allah Swt bagi orang-orang yang telah wafat

terutama keluarganya dan yang terpenting sebagai ajang silaturahim antar warga.

Sedangkan skripsi yang penulis bahas adalah berbakti kepada kedua orang tua

yang masih hidup, jadi berbeda dengan tulisan Ahmad Arrofiqi.

Kedua, artikel jurnal berjudul, “kewajiban anak terhadap orang tua” yang

ditulis oleh Urip Santoso. Artikel ini menjelaskan kerugian seorang anak yang

tidak mentaati kedua orang tuanya, kemudia bagaimana seorang anak menyikapi

kedua orang tuanya yang sudah di perintahkan dalam al-Qur’an dan hadis.14

13
Ahmad Arrofiqi, dengan judul: “Implementasi hadis birrul walidain setelah meninggal
dunia pada masyarakat wonokromo (studi living hadis), (Skripsi S1 fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), h.
14
Urip santoso, Kewajiban anak terhadap orang tua, Jurnal sivitas Akademika.
12

Ketiga, artikel jurnal berjudul Al-Birr yang ditulis oleh M. nurfatoni.

Artikel ini menjelaskan arti kata al birr kemudian al-Qur’an menjelaskan kata al

birr dan konsekuensi orang yang mengajak melakukan al birr.15

Keempat, buku yang berjudul “Meraih Surga dengan Bakti Orang tua”

karya Musthafa ibn al-‘Adawi. Musthafa menjelaskan tentang keutamaan berbakti

kepada kedua orang tua dan bagaimana hal tersebut dapat menghantarkan

seseorang kepada derajat yang paling tunggi dan menjelaskan hadis-hadis bahaya

dosa besar durhaka terhadap kedua orang tua.16

Kelima, buku yang berjudul “Rahasia di balik berbakti kepada kedua

orang tua” karya Dr. Khalid ibn Abdurrahman asy-Syayi’. Dr. Khalid

menjelaskan kumpulan hadis, perkataan dan fatwa para ulama besar dalam

menjelaskan wajibnya berbakti kepada kedua orang tua dan memperingatkan dari

mendurhakai keduanya dan mengingkari jasa baik mereka.17 Penelitian yang

penyususn tulispun membahas hadis tentang berbakti kepada kedua orang tua.

E. Metodelogi Penelitian

Metode penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang

berupa library Research (penelitian pustaka). yakni data yang penulis perlukan

dalam penelitian ini sumber dari hasil kepustakaan primer yang merupakan

15
M. Nurfatoni, al-birr, pusat kajian tafsir kunci al-Qur’an.
16
Mushthafa al-‘Adawi, Meraih Surga dengan Bakti Orang tua, (Yogyakarta: Pustaka
Fahima, 2007).
17
Ibn Abdurrahman asy-Syayi’, Dr. Khalid, Rahasia dibalik berbakti kepada kedua
orang tua, (Jakarta: darul haq, 2016), h. 1.
13

rujukan utama penulis gunakan. Kemudian data yang dikumpulkan berupa kata-

kata, melalui penerapan metode kualitatif.18

1. Sumber data

Sumber utama atau disebut naskah primer dalam penelitian ini adalah

hadis-hadis birr al-wâlidain yang terdapat dalam kitab al-kutub al-Tis’ah,

tetapi, penulis hanya memfokuskan pada hadis-hadis yang ada di dalam

kitab sahih Bukhâri dan sahih Muslîm. Karena menurut al-Qastâlanî

bahwa hadis-hadis di dalam kitab sahihain ini sudah jelas ke-sahih-

annya.19 Kemudian sumber informasi sekunder dalam penelitian ini berupa

buku tentang birr al-wâlidain. Kemudian sumber data jurnal yaitu

kewajiban anak terhadap orang tua.

2. Metode Pengumpulan Data

Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode takhrij, yaitu

metode untuk mengetahui ada berapa banyak hadis-hadis birr al wâlidain

yang ada dalam kitab kutub al-Tis’ah, sehingga mudah

mengklasifikasikannya, penulis juga melakukan penelitian kepustakaan

(library research), yaitu mengumpulkan berbagai literatur yang relevan

dengan pokok masalah berbakti kepada kedua orang tua.

18
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, dan R&D, cet. II, (Bandung:
Alfabeta, 2010), h. 399.
19
Ahmad ibn Muhammad ibn Abu Bakr ibn Abdullmalik al-Qastalânî, Irsyâdu al-sari li
Syârhi Sahih al-bukhâri (Mesir: al-Mathba’ah al-kubra, 1323 H), jil. 1, h. 19.
14

Teknis pembahasan dalam penelitian ini adalah deskripsi analisis,

yaitu suatu pendekatan masalah dengan menguraikannya terlebih dahulu

sebagai gambaran awal dan setelah itu dianalisis, untuk kemudian ditarik

sebuah kesimpulan.

3. Metode Analisis Data

Dalam pemahaman hadis ini, penulis menggunakan metode

pemahaman hadis Yûsuf al-Qardâwî, yaitu memahami sunnah sesuai

petunjuk al-Qur’an

)‫الكريم‬ ‫ضوءالقران‬ ‫في‬ ‫السنة‬ ‫(فهم‬ dan memahami hadis dengan

mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya ketika

diucapkan serta tujuannya (‫) فهم االحاديث في ضوء أسبابه اومال بسا تهاومقاصدها‬,20

yaitu dengan merujuk pada buku kayfa Nata’âmal ma’a al-Sunnah. Karena

untuk memahami sunnah dengan baik, jauh dari penyimpangan,

pemalsuan, dan penakwilan yang keliru, harus memahaminya sesuai

dengan petunjuk al-Qur’an. Jelaslah bahwa al-Qur’an adalah ruh dari

eksistensi Islam, dan merupakan asas bangunannya. Ia merupakan

konstitusi dasar yang paling pertama dan utama, yang kepadanya bermuara

segala perundang-undangan Islam. Sedangkan as-Sunnah adalah

penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut, baik dalam hal-hal yang

bersifat teoretis ataupun penerapannya secara praktis. Itulah tugas

20
Yûsuf al-Qardâwî, Kaif Nata’âmal ma’a al-Sunnah Nabawiyah (Al-Qahiroh: Dar al-
Syuruq. 2004), h. 111.
15

Rasulullah Saw: “menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan kepada

mereka”. Maka penjelasan yang bersumber dari Nabi Saw, selalu dan

senantiasa berkisar diseputar al-Qur’an dan tidak mungkin akan

melanggarnya,21 dan untuk dapat memahami hadis dengan pemahaman

yang benar dan tepat, haruslah dilakukan pemilahan antara apa yang

bersifat khusus dan yang umum, yang sementara dan yang abadi, serta

antara yang particular dan universal. Semua itu mempunyai hukumnya

masing-masing, dan dengan memperhatikan konteks, kondisi lingkungan

serta asbâb al-Nuzûl dan asbâb al-Wurûd, pasti akan mudah mencapai

pemahaman yang tepat dan lurus.22 Sehingga dengan demikian maksudnya

benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari pelbagai perkiraan yang

menyimpang dan ditetapkan dalam pengertian yang jauh dari tujuan

sebenarnya. Dengan demikina, makna yang dimaksud akan semakin jelas

dan satu sama lain tidak boleh dipertentangkan.23

4. Teknik Penulisan

Adapun Teknik penulisan ini mengacu pada Pedoman Akademik,

sub-bab Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh bagian Biro

Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri

(UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012).24

21
Yûsuf al-Qaradâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, Terjemah dari Kaif
Nata’âmal ma’a al-Sunnah Nabawiyah (Bandung: penerbit Karisma, 1993), h. 92-93.
22
Yûsuf al-Qaradâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, Terjemah dari Kaif
Nata’âmal ma’a Sunnah Nabawiyah (Bandung: penerbit Karisma, 1993), h. 132-133.
23
Hamdan Husein, Hadis Dalam Pandangan Yusuf al-Qardowi, h. 16-51.
24
Matsna HS, Prof. Dr. H. Mohammad, dkk., Pedoman Akademik Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012/2013.
16

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan pembahasan yang utuh maka diperlukan adanya

sistematika penulisan. Dalam sistematika penulisan ini, dibagi menjadi empat bab,

dan masing - masing bab memiliki sub pokok bahasan.

Bab pertama adalah pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab kedua wawasan al-Qur’an tentang Birr al-wâlidain ( pengertian al

Birr, perbandingan kata al-birr, khayr, ma’ruf dan ihsan, ayat-ayat tentang birr al-

wâlidain dan tafsirannya, kedudukan birr al-wâlidain,).

Bab ketiga pemahaman hadis tentang birr al-wâlidain (kajian matan hadis

birr al-wâlidain, pemahaman hadis tentang birr al-wâlidain dan analisa).

Bab keempat penutup yang terdiri dari kesimpulan seluruh jawaban dari

yang telah dikemukakan atas permasalahan yang diteliti, kemudian disertai

dengan saran-saran yang dapat disumbangkan sebagai rekomendasi untuk kajian

lebih lanjut dari penelitian ini.


BAB II

WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG BIRR AL-WÂLIDAIN

A. Pengertian

1. Pengertian al-birr.

Secara bahasa kata al-Birru dalam bahasa Arab merupakan kata benda

bentuk masdar yang memiliki banyak arti, di antaranya: ketaatan, kesalehan,

kebaikan, belas kasih, kebenaran, hal banyak berbuat kebajikan,

kedermawanan. Adapun asal kata al-birru adalah barra-yuburru-burran/

birran yang artinya taat berbakti bersikap baik, sopan, benar (tidak berdusta),

menerima, banyak berbuat kebajikan.1

Istilah Birr al-wâlidain terdiri dari kata Birru dan al-wâlidain. Birru atau

al-birru artinya kebijakan dan al-wâlidain artinya kedua orang tua atau ibu

bapak. Jadi, Birr al-wâlidain adalah berbuat kebajikan terhadap kedua orang

tua.2 Semakna Birr al-wâlidain, al-Qur’an menggunakan istilah ihsan (wabil

Wâlidainî Ihsâna), seperti yang terdapat dalam surat al-Isra’ ayat 23:

(32) ‫وقضى ربُّك أالَّ ت ْعبُ ُدواْ إالٓ إيَّاهُ وبالْوالديْن إ ْحسانا‬

1
Ahmad warson munawwir, Al Munawwir kamus Arab – Indonesia, (Surabaya: Pustaka
progresif, 1997), h. 73-74.
2
Drs. H. yunahar Ilyas, Lc., M.A., Kuliah Akhlak, (LPPI UMY Yogyakarta, Pustaka:
Pelajar Offset, 2002), h. 147 – 148.

17
18

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah


selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’; 17 : 23)

Abu Bakar al-Anbari berkata : kalimat al-qaḏâ (‫ )القضاء‬dalam ayat tersebut

tidak berarti mengharuskan tapi ia dimaksudkan sebagai perintah dan

kewajiban. Dari segi bahasa lafaz al-qaḏâ (‫ )القضاء‬berarti memutuskan sesuatu

dengan sungguh-sungguh. Firman Allah “wa bilwâ al-daîn ihsânan” ( ‫وبالوالدين‬

‫ )احسانا‬adalah berbuat kebaikan dan menghormati , Ibn Abbas berkata:

“janganlah kamu mengibaskan pakaianmu agar mereka tidak terkena

debunya.”3

2. Perbandingan kata al-birr, ma’ruf, khair, dan ihsan.

a. Kata al-birr

Secara bahasa kata al-Birru dalam bahasa Arab merupakan kata

benda bentuk masdar yang memiliki banyak arti, di antaranya: ketaatan,

kesalehan, kebaikan, belas kasih, kebenaran, hal banyak berbuat kebajikan,

kedermawanan. Adapun asal kata al-birru adalah barra-yuburru-burran/

birran yang artinya taat berbakti bersikap baik-sopan, benar (tidak

berdusta), menerima, banyak berbuat kebajikan.4

3
Imam Ibn Jauzi, Birrul Walidain, (Dar al-‘ilm al-Munawar al-Syamsiah, Madinatul
Munawarah, 1993), cet. I, h. 31-32.
4
Ahmad warson munawwir, al-Munawwir kamus Arab – Indonesia, (Surabaya: Pustaka
progresif, 1997), h. 73-74.
19

b. Kata ma’ruf

Kata ma’ruf berasal dari bahasa Arab, seakar dengan kata urf (adat

istiadat). Dalam kamus Munawwir ma’ruf berarti “kebajikan”.5 Sedangkan

dalam kamus al-Wasit ma’ruf di artikan dengan:

6
‫اسم لكل فعل يعرف حسنه با لعقل او الشرع‬

Yang berarti setiap perbuatan yang baik menurut akal atau syara’.

Jadi ma’ruf adalah kebaikan yang bersifat relative (kondisional). Tidak

akan sama ma’ruf di suatu tempat dengan ma’ruf di tempat lain.

c. Kata khair

Kata khair berasal dari bahasa Arab, yaitu berasal dari kata ‫خير‬

artinya “baik” lawan dari ‫شر‬.7 Dalam kamus Idris al-Marbawi disebutkan

bahwa khair itu artinya “kebajikan, kebaikan, harta.8 al-Raghib juga

memberi definisi tentang khair yaitu suatu yang diinginkan hati demikian

juga akal, misalnya adil, keutamaan dan suatu yang bermanfaat. 9 Jadi

khair adalah kebaikan-kebaikan yang standarnya mutlak.

5
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir kamus Arab – Indonesia, h. 988.
6
Jumhur Masrul Arobiyah, Mu’jam al-Wasit, (Maktabah al-Syarugh al-Daulah, 2005), h.
595.
7
Maktabah Syarqiyah, al-Munjid Fi Lugho Wa al-A’lam, (Lebanon: Dar al-Masyriq,
2002), h. 201.
8
Muhammad Idris, kamus Arab – Melayu, (semarang: Maktabah Wa Muthba’ah Usaha
keluarga, tt), h. 192.
9
Al-Raghib al-Asfahani, al-mufradat fi al-Gharib al-Qur’an, (mesir: musthafa al-Rab al-
Ahlab, 1961), h. 176.
‫‪20‬‬

‫‪d. Kata Ihsan‬‬

‫‪Kata Ihsan berasal dari bahasa Arab, yaitu dari asal kata ahsana-‬‬

‫‪yuhsinu-ihsan artinya berbuat baik. Dan di dalam kamus Arab – Melayu‬‬

‫‪ihsan juga berarti berbuat baik.10‬‬

‫‪Untuk memperjelas makna ihsan, maka sebaiknya dipaparkan‬‬

‫‪sebuah dalil yaitu tentang hadis Jibril yang menyebutkan tingkatan dalam‬‬

‫‪Agama.‬‬

‫س عْند ر ُس ْول الله صلَّى اللهُ‬ ‫ع ْن ُعمر رضي اللهُ عْنهُ أيْضا قال ‪ :‬ب ْي نما ن ْح ُن ُجلُ ْو ٌ‬
‫َّعر‪,‬‬ ‫علْيه وسلَّم ذات ي ْوم إ ْذ طلع علْي نا ر ُج ٌل شديْ ُد ب ياض الثّياب شديْ ُد سواد الش ْ‬
‫السفر وال ي ْعرفُهُ منَّا أح ٌد‪ ,‬حتَّى جلس إلى النَّب ّي صلَّى اللهُ علْيه‬ ‫ال يُرى علْيه أث ُر َّ‬
‫وسلَّم‪ ,‬فأ ْسند ُرْكب ت ْيه إلى ُرْكب ت ْيه‪ ,‬ووضع كفَّْيه على فخذيْه‪ ,‬و قال ‪ :‬يا ُمح َّم ُد‬
‫أ ْخب ْرن ْي عن اإل ْسالم‪ ,‬ف قال ر ُس ْو ُل الله صلَّى اللهُ علْيه وسلَّم ‪ :‬اإل ْسال ُم أ ْن ت ْشهد‬
‫ص ْوم‬ ‫لصالة‪ ,‬وتُ ْؤتي َّ‬
‫الزكاة‪ ,‬وت ُ‬ ‫أ ْن الإ له إالَّ اللهُ و أ َّن ُمح َّمدا ر ُس ْو ُل الله‪ ,‬وتُقْي ُم ا َّ‬
‫ت‪ .‬ف عجْب نا لهُ ي ْسئ لُهُ‬
‫استط ْعت إلْيه سبْيال‪ .‬قال ‪ :‬صدقْ ُ‬ ‫رمضان‪ ,‬وت ُح َّج الْب ْيت إن ْ‬
‫ويُص ّدقُهُ‪ .‬قال ‪ :‬فأ ْخب ْرن ْي عن اإليْمان‪ ,‬قال ‪ :‬أ ْن بالله‪ ,‬ومالئكته‪ ,‬وُكتُبه‪ ,‬وُر ُسله‪,‬‬
‫والْي ْوم اآلخر‪ ,‬و تُ ْؤمن بالْق ْدر خْيره و شّره‪ .‬قال ‪ :‬صدقْت‪ .‬قال ‪ :‬فأ ْخب ْرن ْي عن‬
‫اإل ْحسان‪ ,‬قال ‪ :‬أ ْن ت ْعبُد الله كأنَّك ت راهُ فإ ْن ل ْم ت ُك ْن ت راهُ فإنَّهُ ي راك‪ .‬قال ‪:‬‬
‫السائل‪ .‬قال ‪ :‬فأ ْخب ْرن ْي‬
‫الساعة قال ‪ :‬ما الْم ْس ُؤْو ُل عْن ها بأ ْعلم من َّ‬ ‫فأ ْخب ْرن ْي عن َّ‬
‫ع ْن أماراتها‪ ,‬قال ‪ :‬أ ْن تلد األمةُ ربَّت ها‪ ,‬وأ ْن ت رى الْ ُحفاة الْعُراة الْعالة رعاء الشَّاء‬
‫ت مليًّا‪ ,‬ثَُّم قال ‪ :‬يا عُم ُر‪ ,‬أت ْدر ْي من‬ ‫ي تطاولُْون ف ْي الْبُ ْن يان‪ ,‬ثم انْطلق‪ ,‬ف لبثْ ُ‬
‫ت ‪ :‬اللهُ و ر ُس ْولُهُ أ ْعل ُم‪ .‬قال ‪ :‬فإنَّهُ جْبريْ ُل أتا ُك ْم يُعلّ ُم ُك ْم ديْن ُك ْم‪.‬‬
‫السائل؟ قُ ْل ُ‬
‫َّ‬

‫)‪Umar ibn Khatab Ra, berkata: suatu ketika, kami (para sahabat‬‬
‫‪duduk di dekat Rasulullah Saw, tiba-tiba muncul kepada kamu‬‬
‫‪seorang laki-laki mengenakan pakaian yang sangat putih dan‬‬
‫‪rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas‬‬
‫‪perjalanan jauh, dan tidak ada seorangpun diantara kami yang‬‬
‫‪10‬‬
‫‪Muhammad Idris, kamus Arab – Melayu, h. 133‬‬
21

mengenalnya. Kemudian dia pun duduk di depan Nabi Saw. dia


sandarkan kedua lututnya kepada kedua lutu beliau, dan dia
meletakkan kedua telapak tangannya di atas dua pahanya, seraya
berkata: “wahi Muhammad, kabarkanlah kepada ku tentang
Islam”. Maka Rasulullah Saw menjawab “Islam adalah kamu
bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah
dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan
Salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan berhaji
bagi yang mampu melaksanakannya. “Dia (lelaki itu) berkata
“engkau benar”. Dia (lelaki itu) berkata “ kabarkanlah kepadaku
tentang iman”, Beliau menjawab: “ kamu beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari
akhir, dan kamu beriman pada takdir yang baik dan yang buruk.”
Dia (lelaki itu) berkata “kabarkanlah kepadaku tentang ihsan”
Beliau menjawab “kamu menyembah Allah seakan-akan kamu
melihat-Nya. Jika pun kamu tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu.” Dia (lelaki itu) berkata,
“kabarkanlah kepadaku tentang hari kiamat” beliau menjawab “
tidaklah orang yang bertanya lebih mengetahui daripada orang
yang bertanya.” Dia (lelaki itu) berkata “kabarkanlah kepadaku
tanda-tandanya” beliau bersabda: “jika seorang budak
melahirkan majikannya, dan kamu melihat orang-orang
bertelanjang kaki, tidak berbusana, fakir miskin, para pengembala
kambing akan saling berlomba membuat gedung yang tinggi.” Dia
(Umar ibnKhatab) berkata: “lalu dia pun pergi aku terdiam cukup
lama”. Kemudian beliau bertanya kepada ku, “wahai Umar,
apakah engkau tahu siapakah orang yang bertanya itu?” aku pun
menjawab “Allah dan Rasulnya yang lebih tahu.” Beliau berkata,
“sesungguhnya dia adalah Jibril. Dia datang untuk mengajarkan
tentang Agama Islam.” (HR. Muslim)

Dari hadis tersebut terlihat bahwa susunan dasar agama Islam

mencakup iman, Islam, dan ihsan. Ketiganya trilogi (tiga satuan) ajaran

Islam, yang antara satu dengan yang lain saling terkait. Iman tidak

sempurna tanpa Islam, dan Islam tidak sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya

ihsan mustahil ada tanpa iman dan Islam.11

11
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. ichtiar Baru van Hoeve,
1997), h. 650.
22

Jadi ihsan adalah kebaikan yang bukan dilihat dari apa yang di

lakukan melainkan dilihat dari landasan atau berangkat dari mana hingga

melakukan perbuatan itu. Dan ihsan adalah perbuatan baik yang muncul

dari rasa diri selaku dalam pengawasan. Begitupun dengan ihsannya

seorang anak terhadap orang tua, anak akan selalu berusaha untuk

melakukan kebaikan karena dia tahu orang tuanya selalu mengawasi apa

yang dia lakukan sehingga dia tidak akan berani untuk keluar dari jalur itu.

Serta ihsan adalah kebaikan yang tidak hanya memberi kesenangan fisik

dan mental bahkan mencakup tindakan dan pengetahuan dan tentunya

Table 1.1 Pengertian kata al-birr, ma’ruf, khair, dan ihsân

No Kata Makna kata Konotasi kata Keterangan

1 Mencakup segala
Akhalak yang baik
macam bentuk
Yang mengandung makna adalah segala
kebaikan dalam
begitu luas, atau husnul perbuatan dan sifat
bermuamalah
khuluq (akhlak yang baik). yang positif, tidak
diantaranta adalah
Al-birr
Akhlak yang baik mengandung unsur
jujur, amanah,
memiliki urgensitas yang negatif serta tidak
menyambung
sangat penting dalam melanggar larangan-
persaudaraan, kasih
pribadi seorang mu’min. laranngan Allah Swt
saying, sabar, dan
dan Rasul-Nya.
lembut.

2 Sesuai dengan ketentuan Semua perbuatan Nilai kepatutan yang


Ma’ruf
syara’ yang tidak di baik. Baik yang berlaku di
23

ingkari oleh orang-orang berkaitan dengan masyarakat.

yang mempunyai harga individu, maupun

diri. individu dengan

masyarakat.

3 Khair adalah nilai-

Harta yang banyak, Perbuatan harta nilai universal yang

menambah amalan ibadah (materi), motivasi, ditetapkan oleh


Khair
sunnah lebih dari kadar nasehat atau bantuan Allah dalam al-

yang ditentukan. yang bersifat baik. Qur’an dan Sunnah

Nabi-Nya.

4 Sengaja berbuat baik Mencakup semua Puncak kebaikan.

kepada orang tua dan aspek (ucapan, Dengan kata lain

berbakti kepada keduanya, perbuatan, niat) ihsan adalah

Ihsan berusaha memenuhi hingga sampai pada meningkatkan

tuntutan mereka, memberi masalah ilmu perbuatan yang

nafkah kepada mereka pengetahuan yang sudah baik ke lebih

sesuai dengan kemampuan sifatnya baik. baik lagi.

Berdasarkan tabel di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa al-abirr

segala perbuatan dan sifat yang positif, tidak mengandung unsur negatif serta

tidak melanggar larangan-laranngan Allah Swt dan Rasul-Nya. Sedangkan

istilah ihsan itu maknanya lebih luas dari sekedar memberi nikmat atau

nafkah, lebih tinggi dari kandungan makna adil. Memperlakukan orang lebih
24

baik dari perlakuan orang terhadapnya, memberi lebih banyak dari pada yang

harus di beri dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya. Kemudian

istilah ma’ruf itu pada hakekatnya azas kepatutan yang mengacu kepada nilai-

nilai yang berlaku pada masyarakat. Dan Istilah khair yang bervariasi tersebut,

dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam khair tidak

hanya berkaitan dengan permasalahan agama saja, ibadah mahdhah misalnya,

namun juga mencakup hal-hal yang secara sekilas urusan duniawi termasuk di

dalamnya urusan sosial masyarakat.

B. Ayat-ayat tentang Baik pada orang tua

Di dalam al-Qur’an, Allah Swt telah mewajibkan seorang anak berbakti

kepada kedua orang tuanya. Sebagaimana firman Allah Swt:

)23( ‫وب ًّرا بوالدتي ول ْم ي ْجع ْلني جبَّارا شقيًّا‬


“Dan berbakti kepada ibuku, dan dia tidak menjadikan aku seorang yang
sombong lagi celaka”. (QS. Maryam: 32)12

‫وقضى ربُّك أالَّ ت ْعبُ ُدواْ إالٓ إيَّاهُ وبالْوالديْن إ ْحسانا إ َّما ي ْب لُغ َّن عندك الْكب ر أح ُد ُهمآ أ ْو‬
(32) ‫ُف وال ت ْن ه ْرُهما وقُل لَّ ُهما ق ْوال كريما‬ ّ ‫كل ُهما فال ت ُقل لَّ ُهمآ أ‬
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaknya kamu berbuat baik pada ibu bapak dengan
sebaik-baiknya, jika salah seorang diantara kedunya sampai berumur
lanjat dalam pemeliharaanmu. Maka jangan sekali-kali kamu
mengatakan; “ah”, dan jangan kamu membentak keduanya dan
ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia”.(QS. al Isra: 23)

12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota Surabaya,
2004).
25

(34) ‫ب ْارح ْم ُهما كما ربَّياني صغيرا‬


ّ ‫الر ْحمة وقُل َّر‬ ُّ ‫ض ل ُهما جناح‬
َّ ‫الذ ّل من‬ ْ ‫اخف‬
ْ‫و‬
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih
sayang dan ucapkanlah: “Wahai Tuhan kami, kasihilah mereka berdua,
sebagaimana mereka mengasuhiku selagi aku kecil”. (QS. al Isra’: 24)

‫صْي نااإلنْسان بوالديْه حملْتهُ أ ُُّمهُ وْهنا علي وْهن وفصالُهُ في عامْين أن ا ْش ُك ْرلي‬
َّ ‫وو‬
)44( ‫ولوالديْك إل َّي المصْي ُر‬
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam masa dua
tahun”. (QS. Luqman: 14)

‫وإ ْن جاهداك على أن تُ ْشرك بي ما لْيس لك به ع ْل ٌم فال تُط ْع ُهما وصاحْب ُهما في الدُّنْيا‬
)41( ‫م ْع ُروفا واتَّب ْع سبيل م ْن أناب إل َّي ثَُّم إل َّي م ْرجعُ ُك ْم فأُن بّئُ ُكم بما ُكنتُ ْم ت ْعملُون‬

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan


sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah
kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya didunia dengan baik
dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaku, kemudian hanya kepada-
Ku-lah kalian kembali. Maka kuberitakan kepada kalian apa-apa yang
telah kalian kerjakan”. (QS. Luqman: 15)
Adapun berbakti dan taat kepada orang tua terbatas hanya dalam perkara

yang ma’ruf (perbuatan baik) saja. Sedangkan jika orang tua menyuruh kepada

kekafiran, atau kesyirikan, maka tidak boleh taat kepada keduanya. Allah Swt.

berfirman sebagai berikut:

ۚ ‫صْي نا ْاإلنْسان بوالديْه ُح ْسنا ۖ وإ ْن جاهداك لتُ ْشرك بي ما لْيس لك به ع ْل ٌم فال تُط ْع ُهما‬
َّ ‫وو‬
)8( ‫إل َّي م ْرجعُ ُك ْم فأُن بّئُ ُك ْم بما ُكْن تُ ْم ت ْعملُون‬

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-
bapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku
dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka
26

janganlah kamu mengikuti keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu,


lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Qs. al-
‘Ankabut: 8)
Sedangkan tentang anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, Allah

Swt. berfirman sebagai berikut:

‫ُخرج وق ْد خلت الْ ُق ُرو ُن م ْن ق ْبلي وُهما ي ْستغيثان‬ ْ ‫ُف ل ُكما أتعدانني أ ْن أ‬ّ ‫والَّذي قال لوالديْه أ‬
)41( ‫األولين‬ َّ ‫ول ما هذا إال أساط ُير‬ ُ ‫اللَّه ويْلك آم ْن إ َّن و ْعد اللَّه ح ٌّق ف ي ُق‬
ْ ‫أُولئك الَّذين ح َّق علْيه ُم الْق ْو ُل في أُمم ق ْد خل‬
‫ت م ْن ق ْبله ْم من الْج ّن واإلنْس إن َُّه ْم كانُوا‬
‫خاسرين‬
)48(

“ Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi
kamu keduanya, Apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku
bahwa aku akan dibangkitkan, Padahal sungguh telah berlalu beberapa
umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan
kepada Allah seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah!
Sesungguhnya janji Allah adalah benar". lalu Dia berkata: "Ini tidak lain
hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka". Mereka Itulah orang-
orang yang telah pasti ketetapan (azab) atas mereka bersama umat-umat
yang telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang merugi”. (Qs. al-Ahqaf: 17-18)
Di dalam ayat-ayat al-Qur’an, penyebutan mengenai bertauhid kepada

kedua orang tua, para ulama telah menjelaskan hikmah dari hal ini, yaitu:

1. Allah Swt. yang telah menciptakan manusia dan Allah Swt. yang telah

memberi rezeki kepadanya, maka itu Allah Swt sajalah yang berhak untuk

diibadahi. Sedangkan kedua orang tua merupakan sebab adanya anak,

maka keduanya berhak untuk diperlakukan dengan baik. Karena itulah,

kewajiban seorang anak untuk beribadah kepada Allah Swt harus diiringi

dengan berbakti kepada kedua orang tuanya.


27

2. Allah Swt. yang telah memberikan semua nikmat yang diperoleh hamba-

hamba-Nya, maka hanya Allah Swt. yang wajib disyukuri. Kemudian,

kedua orang tualah yang telah memberikan segala yang kita butuhkan

seperti makan, minum, pakaian, dan lainnya sehingga wajib bagi kita

untuk berterimakasih kepada keduanya. Oleh karena itu, kewajiban

seorang anak atas nikmat yang diterimanya adalah bersyukur kepada Allah

Swt. dan bersyukur kepada kedua orang tuanya.

3. Allah Swt. adalah Rabb yang membina dan mendidik manusia di atas

manhaj-Nya, maka Allah Swt. yang berhak untuk diagungkan dan dicintai.

Demikian juga kedua orang tua yang telah mendidik kita sejak di dalam

kandungan hingga dewasa, maka dari itu kita harus bersikap merendahkan

hati, menghormati dan berlaku lemah lembut baik di dalam perkataan

maupun dalam perbuatan kepada keduanya.

Inilah hikmah mengapa dalam al-Qur’an Allah Swt. menyebutkan tentang

berbakti kepada-Nya kemudian diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tua.13

C. Tafsir ayat-ayat Baik pada orang tua

)23( ‫وب ًّرا بوالدتي ول ْم ي ْجع ْلني جبَّارا شقيًّا‬


“Dan berbakti kepada ibuku, dan dia tidak menjadikan aku seorang yang
sombong lagi celaka”. (QS. Maryam: 32)

13
Yazid ibn Abdul Qadir Jawas, Birrul Walidain, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i,
2015), h. 27-28.
28

Dalam kitab Tafsir al-Tabarî dijelaskan bahwa Allah Swt. berfirman

menceritakan perkataan Isa as kepada kaumnya: “Dia menjadikanku sebagai anak

yang berbakti kepada ibuku”.

Lafaz ‫ بَ ًّرا‬artinya adalah ‫ارا‬


ًّ َ‫ب‬. Dikatakan: ‫ار بِ ِه‬
ٌ َ‫ ه َُو بَ ٌّر بِ َوا ِل ِد ِه َوب‬dan demikianlah

para ahli qira’at Amsar membacakannya, dengan fathah pada huruf ba.

Diriwayatkan dari Abu Nuhaik seperti berikut ini:

Ibn Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Yahya ibn Wadhih

menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdul Mukmin menceritakan kepada kami

dari Abu Nuhaik, bahwa: “ia pernah membaca ayat (perkataan Isa as) wa barrân

biwâlidatî ‫“ وب ًّرا بوالدتي‬Dan berbakti kepada ibuku,” Abu Nuhaik berkata: “Aku

diberi wasiat untuk tetap menjaga salat, menunaikan zakat, dan berbakti kepada

kedua orangtua”.

Abu Nuhaik seakan-akan menakwilkan bahwa ayat ini adalah informasi

nabi Isa as. dari wasiat Allah Swt kepadanya, sebagaimana wasiat shalat dan zakat

adalah informasi Nabi Isa as dari Allah Swt kepadanya agar melakukan hal itu.

Sesuai dengan pendapat ini, maka lafaz ‫ البَر‬mansub dalam arti mengerjakan wasiat

di dalamnya, karena lafaz (al-Asalâti) ‫صالة‬ َّ meskipun


َّ ‫ ال‬dan (al-zakâti) ‫الزكَاة‬

keduanya majrur namun maknanya mansub karena menjadi maf’ul.14

14
Muhammad ibn Jarir Al-Tabari, Abu Ja’far, Tafsir al-Tabari, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2009), h. 561-562.
29

‫وقضى ربُّك أالَّ ت ْعبُ ُدواْ إالٓ إيَّاهُ وبالْوالديْن إ ْحسانا إ َّما ي ْب لُغ َّن عندك الْكب ر أح ُد ُهمآ أ ْو‬
‫ض ل ُهما جناح‬ ْ ‫) و‬32) ‫ُف وال ت ْن ه ْرُهما وقُل لَّ ُهما ق ْوال كريما‬
ْ ‫اخف‬ ّ ‫كل ُهما فال ت ُقل لَّ ُهمآ أ‬
(34) ‫ب ْارح ْم ُهما كما ربَّياني صغيرا‬ ّ ‫الر ْحمة وقُل َّر‬ ُّ
َّ ‫الذ ّل من‬

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah


selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
Perkataan yang mulia15. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku waktu kecil".

Dalam tafsir al-Qurtuby ayat ini dibahas menjadi beberapa masalah

diantaranya sebagai berikut:

َ َ‫“ ق‬memerintahkan”. Maksudnya, memerintahkan, mengharuskan dan


Pertama: ‫ضى‬

mewajibkan. Ibn Abbas, al-Hasan dan Qatâdah berkata, “ini bukan keputusan

hukum akan tetapi ketentuan perintah”. Di dalam musyhaf Ibn Mas’ud: ‫صى‬
َّ ‫َو َو‬

“dan berwasiat”. Ini adalah qirâ’ah para sahabatnya dan qirâ’ah Ibn Abbas, Ali

dan lain-lainnya. Demikian juga menurut Ubai ibn Ka’ab16.

Kedua: Allah Swt memerintahkan bertauhid dan beribadah kepada-Nya. Dan

menjadikan bakti kepada kedua orang tua selalu dibarengkan dengan beribadah

kepada-Nya. Sebagaimana Allah telah membarengkan terimakasih kepadanya

dengan bersyukur kepada-Nya. Dalam Sahih al-Bukhâri, dari Abdullah ia berkata,

15
Mengucapkan kata “ah” kepada orang tua tidak dibolehkan oleh Agama Islam apalagi
mengucapkan kata-kata atau memperlakulan mereka dengan lebih kasar dari pada itu.
16
Al-Quthubi, Syaikh Imam, Tafsir al-Qurthubi;penerjemah, Sudi Rosadi, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), h. 586.
30

“aku bertanya kepada Nabi SAW: perbuatan apakah yang paling dicintai oleh

Allah Swt itu?”. Beliau menjawab, “Salat pada waktunya”. Dia berkata,

“kemudian apa lagi?”. Beliau Menjawab, “berbakti kepada kedua orang tua”. Dia

berkata, “kemudian apa lagi?”. Beliau menjawab, “berjihad di jalan Allah.”17

Jadi Nabi Saw. menyampaikan bahwa berbakti kepada kedua orang tua

adalah perbuatan yang paling utama setelah shalat, yang merupakan pilar Islam

paling Agung. Semua itu disusun dengan kata ‫( ث ُ َّم‬kemudian/lalu) yang

memberikan pengertian urutan.

Ketiga: termasuk berbakti kepada kedua orang tua adalah Ihsan (berlaku baik)

kepada keduanya dengan tidak menunjukan pertentangan atau durhaka kepada

keduanya. Karena tindakan seperti itu disepakati termasuk dosa besar.

Keempat: durhaka kepada kedua orang tua adalah menentang maksud keduanya

yang bersifat mubah. Sebagaimana berbakti kepada keduanya adalah menuruti apa

yang menjadi maksud keduanya. Dengan demikian jika keduannya atau salah satu

dari keduanya memerintahkan suatu perintah kepada anaknya, maka ia wajib

mentaatinya jika perintah itu bukan suatu kemaksiatan, dan selama yang

diperintahkan itu merupakan hal-hal yang mubah (boleh) dan termasuk yang

mandub (dianjurkan).18

Dalam tafsir al-Misbah ayat ini dimulai dengan menegaskan ketetapan

yang merupakan perintah Allah Swt. untuk mengesakan Allah Swt dalam

17
HR. Al-Bukhâri pada pembahasan tentang waktu-waktu shalat, bab: keutamaan Shalat
pada waktunya, h. 102.
18
Al-Qurtubi, Syaikh Imam, Tafsir al-Qurtubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 590.
31

beribadah, mengikhlaskan diri dan tidak mempersekutukan-Nya, sedangkan surat

al-An’am: 151 dimulai dengan ajakan kepada kaum musyrikin untuk

mendengarkan apa yang diharamkan Allah Swt yang antara lain adalah

keharaman mempersekutukan-Nya. Ini karena ayat al-Isra di atas ditujukan

kepada kaum muslimin, sehingga kata (‫ )قضى‬qaḏâ menetapkan lebih tepat untuk

dipilih, berbeda halnya dengan ayat al-An’am itu yang ditujukan kepada kaum

musyrikin. Dengan demikian tentu saja lebih tepat bagi mereka menyampaikan

apa yang dilarang Allah Swt, yakni mempersekutukan-Nya.

Keyakinan akan keesaan Allah Swt serta kewajiban mengikhlaskan diri

kepada-Nya adalah dasar yang padanya bertitik tolak segala kegiatan. Setelah itu,

kewajiban bahkan aktivitas apapun harus dikaitkan dengannya serta didorong

olehnya. Kewajiban pertama dan utama setelah kewajiban mengesakan Allah Swt

dan beribadah kepada-Nya adalah berbakti kepada kedua orang tua.19

Firman Allah Swt: ‫“ َّربَّ ُك ْم أ َ ْعلَ ُم ِب َمافِى نُفُو ِس ُك ْم‬tuhanmu lebih mengetahui apa

yang ada dalam hatimu.” Maksudnya, berkenaan dengan keyakinan akan kasih

sayang dan lembut kepada kedua orang tua, atau yang lainnya, yang merupakan

tindakan durhaka. Atau orang yang melakukan kebaikan terhadap kedua orang

tuanya dengan riya.

Ibn Jabir berkata, “maksudnya gerakan atau isyarat yang terjadi spontan

tanpa sengaja yang dilakukan seseorang terhadap kedua orang tuanya, sementara

َ ْ‫“ ا ِْن ثَ ُكونُوا‬jika


ia tidak bermaksud meremahkannya.” Allah Swt berfirman: َ‫ص ِل ِحين‬

19
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera hati, 2002), cet. I, h. 443 -
444.
32

kami orang-orang yang baik”, dengan kata lain: orang-orang yang benar dalam

niat berbakti kepada kedua orang tua maka sesungguhnya Allah Swt mengampuni

gerakan atau isyarat yang muncul spontan. Sedangkan firman Allah Swt, َ‫ َكان‬,ُ‫فَ ِانَّه‬

ُ َ‫“ ِل ْْل َ َّو ِبين‬maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang
ً ُ‫غف‬
‫ورا‬

bertaubat.” Sebuah janji berupa ampunan dengan syarat berbuat baik dan

bertaubat setelah kembali kepada ketaatan kepada Allah Swt.20

               

             

     ُ‫ الله‬         

)414(   

“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh


Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi
rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar".
demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya)”

Penyebab dari segala penyebab wujud dan sumber segala nikmat, disebutnya

penyebab perantara yang berperanan dalam kelahiran manusia, sekaligus yang

wajib disyukuri yakni Ibu dan Bapak. Oleh karena itu, dalam makna melarang

mendurhakai mereka berdua. Larangan demikian tegasnya sehingga dikemukakan

dalam bentuk perintah berbakti, yakni dan berbuatbaiklah secara dekat kepada

20
Al-Qurtubi, Syaikh Imam, Tafsir Al-Qurtubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 612 -
613.
33

kedua orang tua secara khusus dan istimewah dengan berbuat kebaktian yang

banyak lagi mantap atas dorongan rasa kasih sayang kepada kedua orang tua.21

‫صْي نااإلنْسان بوالديْه حملْتهُ أ ُُّمهُ وْهنا علي وْهن وفصالُهُ في عامْين أن ا ْش ُك ْرلي ولوالديْك‬
َّ ‫وو‬
‫) وإ ْن جاهداك على أن تُ ْشرك بي ما لْيس لك به ع ْل ٌم فال تُط ْع ُهما‬44( ‫إل َّي المصْي ُر‬
‫وصاحْب ُهما في الدُّنْيا م ْع ُروفا واتَّب ْع سبيل م ْن أناب إل َّي ثَُّم إل َّي م ْرجعُ ُك ْم فأُن بّئُ ُكم بما ُكنتُ ْم‬
)41( ‫ت ْعملُون‬

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka
janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan.”
Firman Allah Swt, ‫سنَ بِ َو ِلدَ ْي ِه‬ ِ ْ ‫ص ْينَا‬
َ ‫اال ْن‬ َّ ‫“ َو َو‬Dan kami perintahkan kepada

manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tua ibu bapaknya”. Dua ayat di atas

merupakan selingan di antara wasiat luqman. Namun ada yang mengatakan bahwa

sesungguhnya ini termasuk wasiat yang disampaikan oleh luqman kepada

anaknya yang Allah Swt beritakan. Maksudnya adalah luqman berkata kepada

anaknya, “janganlah kamu menyekutukan Allah Swt dan janganlah kamu taat

kepada kedua orangtuamu dalam hal berbuat syirik. Sebab Allah Swt telah

mewasiatkan taat kepada kedua orangtua selama hal-hal tersebut tidak ada

kaitannya dengan kesyirikan dan kemaksiatan kepada Allah Swt.”

21
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: lentera hati, 2002) vol. 3, h. 728.
34

Ada juga yang berpendapat bahwa maksudnya adalah ketika Luqman

berkata kepada anaknya, kami berfirman kepada luqman lewat hikmah yang kami

berikan kepadanya, “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada

kedua orang tua ibu bapaknya.” Maksudnya adalah kami firmankan kepada

Luqman, “bersyukurlah kepada Allah”, dan kami firmankan kepadanya juga,”dan

kami perintahkan kepada manusia”.

Semua pendapat ini disebutkan oleh al-Qusyairi. Akan tetapi pendapat

yang benar adalah kedua ayat ini turun pada Sa’ad ibn Abî Waqâs. Inilah pendapat

yang dipegang oleh sejumlah ahli tafsir. Taat kepada kedua ibu bapak tidak

berlaku dalam hal melakukan dosa besar dan tidak berlaku dalam hal

meninggalkan kewajiban yang bersifat individual. Tetap wajib taat dalam hal-hal

mubah (dibolehkan) dan lebih baik tetap taat dalam hal meninggalkan ketaatan

yang bersifat sunnah. Misalkan, jihad kifayah dan memperkenankan panggilan ibu

dalam salat yang masih bisa diulang, karena khawatir ada sesuatu yang mungkin

dapat mencelakai ibu dan hal-hal lain yang membolehkan shalat dihentikan.

Namun Hasan tidak sependapat dengan pernyataan tersebut. Dia berkata, “jika

ibunya melarangnya untuk hadir salat isya berjamaah karena kasihan, maka

perintah itu tidak boleh ditaati”.22

Ketika Allah Swt memberikan keistimewaan kepada ibu dengan suatu

derajat, Allah Swt menyebutkan kehamilan dan dengan derajat lain, Allah Swt

menyebutkan prihal menyusui. Dengan demikian, ibu mendapatkan tiga derajat

22
Al-Qurtubi, Syaikh Imam, Tafsir Al-Qurtubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 153 –
154.
35

sementara ayah hanya satu derajat. Firman Allah Swt, ‫“ َو ْهنًا َعلَ ٰى َو ْهن‬Dalam

keadaan lemah yang bertambah-tambah,” maksudnya adalah, ibu mengandungnya

di dalam perut, sementara dia sendiri hari demi hari kian melemah. Ada yang

berpendapat bahwa maksudnya adalah kondisi (fisik) perempuan itu lemah,

kemudian di buat lemah lagi oleh kehamilan. Jumhur Ulama membaca , ُ ‫ص ٰىلُه‬
َ ِ‫ َوف‬,

sedangkan Hasan dan Ya’qub membacanya dengan lafaz ُ ‫صلُه‬


ْ َ‫وف‬.
َ
23
Kedua qirâ’ah

tersebut ada dalam bahasa Arab. Maknanya, dan penyapihannya pada waktu habis

masa dua tahun. Para Ulama sepakat tentang dua tahun masa menyusui bahwa ini

terkait dengan hukum dan nafkah. Sedangkan terkait pengharaman karena ASI,

maka suatu kelompok membatasi satu tahun, tidak lebih dan tidak kurang. Firman

Allah Swt, ‫“ أ َ ِن ٱ ْش ُك ْر ِلى‬Bersyukurlah kepada-Ku”. ‫ أ َ ِن‬di sini berada pada posisi

nasbah, menurut pendapat al-Zajuj. Maknanya adalah kami perintahkan kepada

manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, bersyukurlah kepada kedua

orang tuamu.24

Ayat ini dan ayat sebelumnya turun pada Sa’ad ibn Abî Waqâs, Tepatnya

ketika dia telah memeluk agama Islam dan ibunya yang bernama Hamnah binti

Sufyân ibn Umayyah. Firman Allah Swt: ‫اح ْب ُه َما ِفى ٱلدٌّ ْن َيا َم ْع ُروفًا‬
ِ ‫ص‬َ ‫“ َو‬Dan pergaulilah

keduanya di dunia dengan baik.” Lafaz ‫ َم ْع ًروفًا‬adalah na’at kepada masdar yang

tidak disebutkan, yaitu pergaulan yang baik. Ayat ini merupakan dalil

menyambung hubungan dengan kedua orang tua yang kafir dengan memberikan

harta, jika keduanya fakir, mengucapkan kata-kata yang santun dan mengajak

23
Qira’ah ini disebutkan oleh Ibn Atiyyah dalam al-Muharrar al-Wajiz (13/14).
24
Al-Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir al-Qurtubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 155
– 156.
36

َ ‫َوٱتَّبِ ْع َسبِي َل َم ْن أَن‬


َّ َ‫َاب ٳِل‬
keduanya kepada Islam dengan lembut. Firman Allah Swt: ‫ى‬

“Dan ikutilah jalan orang-orang yang bertobat kepada-Ku”, adalah wasiat kepada

َ ‫أَن‬
seluruh alam. Seakan-akan yang diperintahkan adalah manusia. “Anâba” ‫َاب‬

artinya condong dan kembali kepada sesuatu, inilah jalan para Nabi dan orang-

orang shalih.25

ۚ ‫صْي نا ْاإلنْسان بوالديْه ُح ْسنا ۖ وإ ْن جاهداك لتُ ْشرك بي ما لْيس لك به ع ْل ٌم فال تُط ْع ُهما‬
َّ ‫وو‬
)8( ‫إل َّي م ْرجعُ ُك ْم فأُن بّئُ ُك ْم بما ُكْن تُ ْم ت ْعملُون‬

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-
bapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku
dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka
janganlah kamu mengikuti keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu,
lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Kata ‫ ُح ْسنًا‬mencakup “segala sesuatu yang menggembirakan dan

disenangi”. Kata “hasanah” digunakan untuk menggambarkan apa yang

menggembirakan manusia akibat perolehan nikmat, menyangkut jiwa, jasmani

dan keadaannya. Demikian dirumuskan oleh pakar kosa kata al-Qur’an, al-Râghib

al-Asfahânî. Bakti atau berbuat baik kepada kedua orang tua adalah bersikap

sopan santun kepada keduanya dalam ucapan dan perbuatan sesuai dengan adat

kebiasaan masyarakat, sehingga mereka merasa senang terhadap anak. Termasuk

dalam makna bakti adalah mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka yang sah dan

wajar sesuai kemampuan anak, yang dimaksud dengan ‫ْس بِ ِه ِع ْل ٌم‬


َ ‫ َمالَي‬itu adalah tidak

ada pengetahuan tentang kemungkinan terjadinya. Tiadanya pengetahuan berarti

tidak adanya obyek yang diketahui. Ini berarti tidak terwujudnya sesuatu yang

dapat dipersekutukan dengan Allah Swt. Di sisi lain, kalau sesuatu yang tidak

25
Al-Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir al Qurthubi, h. 157.
37

diketahui persoalannya boleh atau tidak dilarang, maka tentu lebih terlarang lagi

apabila telah terbukti adanya larangan atasnya. Bukti-bukti keesaan Allah Swt dan

tiada sekutu bagi-Nya terlalu banyak, sehingga penggalan ayat ini merupakan

penegasan tentang larangan mengikuti siapapun walau kedua orang tua yang

memaksa untuk mempersekutukan Allah Swt.26

Ibn Abbas berkata ayat ini diturunkan untuk Iyas ibn Abi Rabî’ah saudara

dari Abu jahal. Dari Ibn Abbas juga dikatakan bahwa ayat ini turun untuk seluruh

umat yang tidak sabar dengan cobaan yang diberikan oleh Allah Swt, ‫ ُح ْسنًا‬dengan

dibaca ḏammah huruf ha’ dan dibaca sukun huruf sin. Abu Raja’ dan Abu al

Aliyah serta adh – Dhahhak membaca dengan fathah huruf ha’ dan sin al Jahdari

membacanya, ‫سنًا‬
َ ْ‫ ِٳح‬dibaca sebagai mashdar maknanya menjadi, kami wajibkan

َّ َ‫“ ٳِل‬Hanya
kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. ‫ى َم ْر ِجعُ ُك ْم‬

kepada-Ku-lah kembalimu”. Ini merupakan ancaman untuk orang yang menaati

kedua orang tua tetapi mengajak kepada kekufuran.27

‫ُخرج وق ْد خلت الْ ُق ُرو ُن م ْن ق ْبلي وُهما‬ ْ ‫ُف ل ُكما أتعدانني أ ْن أ‬ ّ ‫والَّذي قال لوالديْه أ‬
)41( ‫األولين‬ َّ ‫ول ما هذا إال أساط ُير‬ ُ ‫ي ْستغيثان اللَّه ويْلك آم ْن إ َّن و ْعد اللَّه ح ٌّق ف ي ُق‬
‫ت م ْن ق ْبله ْم من الْج ّن واإلنْس إن َُّه ْم كانُوا‬ ْ ‫أُولئك الَّذين ح َّق علْيه ُم الْق ْو ُل في أُمم ق ْد خل‬
‫خاسرين‬
)48(

“Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi
kamu keduanya, Apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku
bahwa aku akan dibangkitkan, Padahal sungguh telah berlalu beberapa
umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan
26
Shihab, M. Quraish, Tafsir al Mishbah: pesan,kesan dan keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: lentera hati, 2002), cet I, h. 446-447.
27
Al-Qurtubi, Syaikh Imam, Tafsir al-Qurtubi, h. 836.
38

kepada Allah seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah!


Sesungguhnya janji Allah adalah benar". lalu Dia berkata: "Ini tidak
lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka". Mereka Itulah
orang-orang yang telah pasti ketetapan (azab) atas mereka bersama
umat-umat yang telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia.
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.” (Qs. al-Ahqaf;
17-18)

Firman Allah Swt: ‫ َوٱلَّذِى قَا َل ِل ٰ َو ِلدَ ْي ِه أُف لَّ ُك َم ۤا أَت َ ِعدَانِنِ ۤى أ َ ْن أ ً ْخ َر َج‬Dan orang yang

berkata kepada kedua orang tuanya: ‘Cis’ bagi kamu keduanya, apakah kamu

keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan’,” yakni aku

akan dibangkitkan, ‫ت ْٱلقُ ُرونُ ِمن قَ ْب ِلى‬


ِ ‫“ َوقَ ْد َخ َل‬padahal sungguh telah berlalu beberapa

umat sebelumku?”. Qira’ah Nafi’, Hafsh dan yang lainnya adalah: ‫ أَف‬yakni

dengan kasrah lagi bertanwin huruf fa’-nya. Sementara Ibn Katsir, Ibn

Muhaishin, Ibn Amir dan al Mufadḏal dari Ashim membaca firman Allah Swt itu

dengan fathah dan tanwin. Adapun yang lain, mereka membaca firman Allah Swt

itu dengan kasrah tanpa tanwin (uffi). Ibn Abbas, as-Suddi, Abu al-Aliyah dan

mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan tentang Abdullah ibn Abî bakr

yang diseru oleh kedua orang tuanya untuk memeluk agama Islam, kemudian dia

memberikan jawaban kepada keduanya sesuai dengan apa yang diberitahukan

Allah Swt, Qatadah dan al-Suddi juga mengatakan bahwa sosok tersebut adalah

‘Abdur al-rahman ibn Abî Bakr sebelum memeluk agama Islam. Al-Hasan dan

Qatadah juga mengatakan bahwa ayat di atas merupakan sifat bagi seorang hamba

yang kafir dan durhaka kepada kedua orang tuanya. Al-Zujaj berkata, “bagaimana

mungkin ayat tersebut diturunkan tentang Abdurrahman sebelum memeluk agama

Islam, sementara Allah Swt berfirman: “mereka itulah orang-orang yang telah

pasti ketetapan (adzab) atas mereka bersama umat-umat”, yakni siksaan, dimana
39

di antaranya adalah ketiadaan iman. Sedangkan Abdurrahman termasuk kaum

mukminin yang mulia.

Dengan demikian, pendapat yang sahih adalah pendapat yang menyatakan

bahwa ayat tersebut diturunkan tentang seorang hamba yang kafir lagi durhaka

ْ َ‫“ قَدْ َخل‬yang telah berlalu”, yakni yang telah berlalu


kepada kedua orangtuanya”. ‫ت‬

dan telah lewat, ‫نس‬ ِ ْ ‫“ ِم ْن قَ ْب ِل ِهم ِمنَ ْٱل ِج ِن َو‬sebelum mereka dari jin dan manusia,” yang
ِ ‫ٱْل‬

kafir, ‫“ ِٳنَّ ُه ْم‬sesungguhnya” yakni ummat-ummat yang kafir, َ‫“ كَانُ ْوا ٰ َخ ِسيْن‬adalah

orang-orang yang merugi,” amal perbuatannya. Maksudnya, musnahlah apa yang

diupayakannya, dan mereka tidak mendapatkan surga.28

Dari penjelasan tafsir di atas penulis bisa menyimpulkan bahwa seorang

anak jangan mengecewakan atau menyakiti hati kedua orang tua dengan kata-kata

yang tidak mengenakan di dengar seperti yang di gambarkan ayat di atas yaitu

berkata ‘cis’. Karena orang tua adalah orang yang bersedia mencurahkan

sepanjang masa. Hal itu meliputi pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani.

D. Kedudukan berbuat baik pada orang tua

Birr al-Wâlidain atau berbakti kepada kedua orang tua menempati

kedudukan yang istimewa dalam ajaran Islam. Ada beberapa alasan yang

membuktikan hal tersebut, antara lain:

Perintah ihsan kepada ibu bapak diletakkan oleh Allah Swt di dalam al-

Qur’an langsung setelah perintah beribadah hanya kepada-Nya, semata-mata atau

28
Al-Qurtubi, Syaikh Imam, Tafsir al-Qurtubi, h. 510 - 515.
40

sesudah larangan mempersekutukan-Nya. Allah Swt berfirman dalam surah al-

Baqarah ayat 83:

“Dan ingatlah ketika kami mengambil janji dari Bani Israil yaitu: Janganlah kamu
menyembah selain Allah Swt., dan berbuat baiklah kepada ibu bapak... (QS. al-
Baqarah, 2 : 83)29.

“Sembahlah olehmu Allah Swt, janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan


sesuatu. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu...” (QS. an-Nisa’, 4 :
36)30.

Allah Swt mewajibkan umat manusia untuk berbuat ihsan kepada ibu bapak.
Allah Swt berfirman: “Kami wasiatkan (wajibkan) kepada umat manusia supaya
berbuat kebaikan kepada kedua orang tua, ibunya telah mengandungnya sampai
menyapinya adalah tiga puluh bulan.” (QS. al-Ahqaf, 46 : 15)31.

Rasulullah Saw meletakkan birr al-Wâlidain sebagai amalan kedua terbaik

sesudah salat tepat pada waktunya dan lebih diutamakan dari pada jihad dan

hijrah.

Sudah seharusnya kedua orang tua mendapatkan perlakuan yang baik dari

anaknya sebagaimana mereka memperlakukan anaknya dari kecil hingga dewasa

dengan baik. Islam memandang bagian ini lebih utama (didahulukan dari pada

jihad dan hijrah). Dalam hadis diterangkan “seorang laki-laki datang kepada Nabi

Saw dan meminta ijin untuk berjihad. Rasulullah Saw bertanya kepadanya:

“apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Dia menjawab: “iya” Rasulullah Saw

bersabda: “berjihadlah kepada keduanya (berbakti kepada mereka).

Berdasarkan hadis tersebut sudah jelas sekali bahwasanya begitu

pentingnya seorang anak berbakti kepada kedua orang tua, berusaha memenuhi

29
Drs. H. yunahar Ilyas, Lc., M.A., Kuliah Akhlak, (LPPI UMY Yogyakarta, Pustaka:
Pelajar Offset, 2002), h. 48.
30
Hamid, KH. A. Abdul, Pedoman Da’wah, (menara kudus, 1977), h. 130.
31
Hamid, Abdul, Pedoman Da’wah, h. 131.
41

tuntutan mereka, dan memberi nafkah kepada mereka sesuai dengan

kemampuannya. Namun banyak yang belum memahami apa yang diperintahkan

oleh al-Quran dan hadis, untuk memaputih atau berbuat baik kepada kedua orang

tua.
BAB III

PEMAHAMAN HADIS TENTANG BIRR AL-WÂLIDAIN

DALAM BINGKAI AL-QUR’AN

A. Kajian Matan hadis birr al-Wâlidain

Menurut bahasa, kata matan berasal dari bahas Arab ‫ متن‬artinya

punggung jalan (muka jalan), tanah yang tinggi dan keras.1 Matan menurut

ilmu hadis adalah penghujung sanad, yakni sabda Nabi Muhammad Saw,

yang disebut sesudah habis disebutkan sanad. Matan hadis adalah isi hadis.

Kritik matan hadis termasuk kajian yang jarang dilakukan oleh

muhaddisin, jika dibandingkan dengan kegiatan mereka terhadap kritik

sanad hadis.2

Dalam menggunakan hadis sebagai hujjah haruslah diteliti terlebih

dulu dari segi sanad maupun matannya. Tidak ada jaminan, jika sanad

hadis sahih, maka demikian juga redaksi matannya. Kesahihan matan tidak

pasti berbanding lurus dengan kesahihan sanad. Pada kesempatan ini,

penulis hanya akan melakukan kritik matan dengan tema hadis Birr al-

Wâlidain dalam kata afdalul a’mal riwayat Muslim.

1
Ibn Munzir, Lisan al-Arab, (dar al-Ma’arif), juz III, h. 434-435.
2
Bustamin, M.Isa, metodologi kritik hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.
59.

42
43

‫ ع ْن أبي‬،‫ عن الْحسن بْن عُب ْيد الله‬،‫ حدَّث نا جر ٌير‬،‫حدَّث نا عُثْما ُن بْ ُن أبي شْي بة‬
‫ «أفْض ُل‬:‫ عن النَّب ّي صلَّى اللهُ علْيه وسلَّم قال‬،‫ ع ْن عْبد الله‬،‫ع ْمرو الشَّْي بان ّي‬
2
»‫ وبُّر الْوالديْن‬،‫الصالةُ لوقْتها‬
َّ ‫ْاأل ْعمال أو الْعمل‬
“menceritakan kepada kami Ustman Ibn Abi Syaibah,
menceritakan kepada kami Jarir dari al-Hasan Ibn ‘Ubaidillah
dari Abi ‘Amr As-Syaibani dari ‘Abdullah dari Rasulullah Saw,
sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda keutamaan amal
yaitu mengerjakan shalat tepat waktu dan Birr Al-Walidain”

Dalam riwayat Malik ibn Maghlul: “amalan apa yang paling utama

(afdalul a’mal)” begitu juga pada sebagian besar riwayat perawi lainnya,

seperti yang disampaikan al-Hafiz dalam al-Fath. Seperti itu juga

riwayatnya pada muslim dari Abu Amr al-Syaibani. Beliau mempunyai

riwayat lain dengan lafal yang berbeda pada Muslîm, yaitu: “amal-amalan

apa yang paling mendekatkan kesurga?” dan menggunakan “amalan apa

yang paling disukai oleh Allah Swt?”. dalam hasil takhrij yang ada pun

(meskipun hanya melalui riwayat Abdullâh ibn Mas’ûd saja) sudah

ditemukan redaksi yang berbeda dalam matannya.

Ada ulama yang mengatakan bahwa ungkapan: “paling utama”

dalam hadis maksudnya adalah yang paling utama secara mutlak. Ada juga

ulama yang menyatakan bahwa maksudnya adalah: “di antara amalan yang

paling utama”, yakni dengan membuat kalimat “di antara”.4

3
Abu Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi (selanjutnya disebut sebagai Muslim), al-
Jami’ al-Sahih (Sahih Muslîm), Indonesia: Maktabat Dahlan, kitab al-Iman, bab Bayân Kaun al-
Iman Billahi Ta’ala Afdol al-A’mal. Juz 1, No hadis 85, h. 90.
4
Al-Nawawi, sahih Muslîm bi syarah al-Nawawi, kitab al-Iman, bab Bayânu kaun al-
Iman billah ta’ala afdal al ‘Amal, (Daar El Hadits, 2001), juz 1, h. 353.
44

Para ulama berbeda pendapat tentang ungkapan: “salat di dalam

waktunya”, apakah mengisyaratkan bahwa segera melakukan salat di awal

waktu lebih utama dari pada mngundur waktunya, atau hanya menunjukan

perintah melakukan salat di dalam waktu. Ibn batthal sependapat dengan

yang pertama, yakni mengisyaratkan bahwa salat di awal waktu itu lebih

utama.5

Dalam hadis Abu Hurairah dikatakan kalau amalan yang paling

utama adalah iman kepada Allah Swt, dan haji. Dalam hadisnya Abu Dzar

yang dimaksud adalah iman dan jihad. Hadis ini dan hadis-hadis serupa

yang jawabannya Rasulullah Saw, berbeda-beda dalam menjawab

pertanyaan yang sama yakni pertanyaan “amal apa yag paling utama”,

menimbulkan polemik hingga menjadi perhatian banyak ahli penelitian

para ulama tentang perbedaan jawaban dari pertanyaan amal apa yang

paling utama, bahwa bisa jadi perbedaan itu sesuai dengan perbedaan para

penanya dan keadaannya sebab Rasulullah Saw tahu apa yang di perlukan

mereka, atau apa yang lebih senang mereka lakukan atau bahkan dengan

apa yang lebih cocok dengan mereka. Bisa juga perbedaan itu sesuai

dengan waktu, yakni amal ini lebih utama dilakukan pada saat itu daripada

yang lainnya.

5
Al-Nawawi, sahih Muslîm bi al-syarah al Nawawi, h. 354.
45

Kemudian penulis akan mengkritik matan dengan menggunakan

kaidah-kaidah berikut:

1. Pendekatan hadis dengan al Qur’an

Dari matan hadis di atas dapat dipahami bahwasanya ada tiga

amalan yang paling utama yakni salat tepat pada waktunya, berbakti

kepada kedua orang tua, dan jihad di jalan Allah Swt.

Al-Tabarî berkata, “kenapa Rasulullah Saw hanya menyebutkan

tiga perkara ini? Karena, tiga perkara ini merupakan poros dari ketaatan-

ketaatan lainnya. Sebab, orang yang menyia-nyiakan salat yang

diwajibkan hingga keluar dari waktunya tanpa ada alasan yang bisa

diterima, padahal begitu ringan kerjanya namun besar keutamaannya,

maka untuk ketaatan-ketaatan lain, orang ini lebih menyia-nyiakan lagi.

Orang yang tidak berbakti kepada kedua orang tua padahal begitu banyak

hak mereka atasnya, maka kepada orang lain lebih tidak berbakti lagi.

Begitu juga orang yang meninggalkan jihad melawan orang-orang kafir

padahal mereka begitu memusuhi agama maka berjihad melawan yang

bukan kafir seperti orang-orang fasik, ia lebih meninggalkan lagi.”

Dengan demikian, sudah jelas bahwa siapa yang memelihara tiga

perkara ini maka untuk perkara lainnya, ia lebih memelihara lagi dan siapa

yang menyia-nyiakannya maka untuk yang lainnya, ia lebih menyia-

nyiakan lagi. Tidak diragukan lagi bahwa memelihara salat di awal waktu

itu lebih besar faidahnya, sebab mengandung beberapa hal yang sangat
46

baik, seperti segera melakukan amal, segera melakukan ibadah kepada

Allah Swt. seperti firman-Nya yang artinya sebagai berikut:

“ dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya, mereka itulah orang-

orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surge firdaus.

Mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Mukminun: 9-11)

2. Pendekatan dengan hadis lainnya

Ada beberapa hadis yang mempunyai matan yang semakna dengan

َ ‫ أ َ ْف‬atau ‫ي ْالعَ َم ِل‬


hadis yang di teliti, yaitu menggunakan lafadz ‫ض ُل األ َ ْع َما ِل‬ ُّ َ ‫أ‬

َ ‫ أَ ْف‬serta menggunakan term yang berbeda ‫ي األ َ ْع َما ِل أَ ْق َربُ اِلَي ْال َجنَّ ِة‬
‫ض ُل‬ ُّ َ‫ أ‬dan ‫ي‬
ُّ ‫أ‬

‫األ َ ْع َما ِل أ َ َحبُّ اِلَي الل ِه‬.


ْ Adapun hadis-hadis yang lafadhnya semakna adalah

hadis riwayat al-Bukhari no. 496, hadis riwayat Muslim no. 120, 121, 122.

Termasuk berbakti kepada kedua orang tua juga, berbuat baik kepada

teman-teman mereka, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis

sahih dari Abdullah ibn umar, secara marfu’: “sesungguhnya termasuk

perbuatan bakti kepada kedua orang tua yang paling utama adalah

seseorang menyambung silaturahim dengan teman-teman bapaknya”. (HR.

Muslim)

3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indra, dan fakta sejarah

Sejak jaman Nabi Saw dan para sahabat, salat dan birr al Walidain

sudah diterapkan. Begitu pentingnya kedua persoalan tersebut. Sejarah

tersebut masih berlangsung pada masa tabiin, atba al-tabiin hingga

sekarang.
47

Salat didahulukan daripada berbakti kepada kedua orang tua, dan

berbakti kepada kedua orang tua didahulukan daripada jihad di jalan Allah

karena salat adalah hak Allah Swt yang merupakan kewajiban setiap umat

Islam selama hidupnya, sedangkan berbakti kepada kedua orang tua itu

kewajiban setiap orang selama kedua orang tuanya masih hidup dan ada

beberapa hal yang juga harus dilakukan setelah mereka meninggal.

Sementara jihad di jalan Allah apabila diartikan dengan perang, bukan

kewajiban seperti kewajiban salat dan berbakti kepada kedua orang tua.

4. Susunan pernyataannya menunjukan ciri-ciri sabda kenabian

Yang dimaksudkan adalah matan suatu hadis tidak janggal dan

mengindikasikan bahwa matan tersebut benar-benar sabda Nabi Saw.

berkenaan dengan sabda Nabi tentang amalan yang paling utama adalah

diawalinya dengan lafaz ‫ض ُل ْاأل َ ْع َما ِل‬


َ ‫ أ َ ْف‬yang berarti amalan yang paling

utama. Salat adalah hal yang paling di utamakan, dilanjutkan dengan birr

al-Wâlidain yang disusul dengan jihad dijalan Allah Swt.

B. Pemahaman Hadis

Untuk dapat memahami hadis dengan benar, jauh dari

penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran, maka haruslah memahaminya

sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, yaitu dengan kerangka bimbingan Illahi

yang pasti benarnya. Sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat al-

An’am ayat 115 “Dan telah sempurnalah kalimat Tuhan mu, dalam

kebenaran dan keadilannya. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah

kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
48

Jelaslah bahwa al-Qur’an adalah “ruh” dari eksistensi Islam, dan

merupakan asas bangunannya. Ia merupakan konstitusi dasar yang paling

pertama dan utama, yang kepadanya bermuara segala perundang-undangan

Islam. Sedangkan Sunnah ialah penjelas terinci tentang isa konstitusi

tersebut, baik dalam hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya

secara praktis. Oleh sebab itu, tidaklah mungkin sesuatu yang merupakan

“pemberi penjelasan” bertentangan dengan “apa yang hendak dijelaskan”

itu sendiri. Atau “cabang” berlawanan dengan “pokok”. Maka, penjelasan

yang bersumber dari Nabi Saw, selalu dan senantiasa berkisar di seputar

al-Qur’an, dan tidak mungkin akan melanggarnya.6

Dalam hal tersebut penulis telah meneliti matan hadis tentang

berbakti kepada kedua orang tua yang di riwayatkan oleh beberapa ahli

hadis salah satunya adalah sahih Muslim tidak bertentang dengan petunjuk

al-Qur’an. Karena dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menjelaskan

tentang pentingnya birr al-Wâlidain atau berbakti kepada kedua orang tua,

berbuat baik kepada mereka, bersikap baik terhadap mereka dan

melakukan apa yang membuat mereka senang. Dengan memuliakan,

menghormati, memelihara hak-hak mereka dan dengan rendah diri juga

berterimakasih kepada mereka. Sesuai firman Allah Swt sebagai berikut:

6
Yûsuf al-Qardâwî, bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, terjemahan dari kaif
Nata’âmal ma’a Sunnah Nabawiyah, h. 92-93.
49

‫وقضى ربُّك أالَّ ت ْعبُ ُدواْ إالٓ إيَّاهُ وبالْوالديْن إ ْحسانا إ َّما ي ْب لُغ َّن عندك الْكب ر أح ُد ُهمآ أ ْو‬
‫ض ل ُهما جناح‬ ْ ‫( و‬32) ‫ُف وال ت ْن ه ْرُهما وقُل لَّ ُهما ق ْوال كريما‬
ْ ‫اخف‬ ّ ‫كل ُهما فال ت ُقل لَّ ُهمآ أ‬
(34) ‫ب ْارح ْم ُهما كما ربَّياني صغيرا‬ ّ ‫الر ْحمة وقُل َّر‬ ُّ
َّ ‫الذ ّل من‬

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah


selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku waktu kecil" (QS. Al Isra’: 23-24)
Dan Rasulullah Saw bersabda:

‫ت أبا‬
ُ ‫ سم ْع‬:‫ أ ْخب رني قال‬،‫يد بْ ُن عْي زار‬
ُ ‫ الول‬:‫ قال‬،ُ‫ حدَّث نا ُش ْعبة‬،‫حدَّث نا أبُو الوليد‬
‫ عْبد‬- ‫ وأ ْومأ بيده إلى دار‬،‫ب هذه الدَّار‬ ُ ‫ صاح‬- ‫ أ ْخب رنا‬:‫ول‬ ُ ‫ ي ُق‬،‫ع ْمرو الشَّْي بان َّي‬
:‫ب إلى اللّه؟ قال‬
ُّ ‫ي العمل أح‬ ُّ ‫ أ‬:‫ت النَّب َّي صلَّى اللهُ علْيه وسلَّم‬ ُ ْ‫ سأل‬:‫ قال‬،‫اللّه‬
:‫ي؟ قال‬
ٌّ ‫ ثَُّم أ‬:‫ «بُّر الوالديْن» قال‬:‫ي؟ قال‬ ٌّ ‫ ثَُّم أ‬:‫الصالةُ على وقْتها» قال‬
َّ «
ْ ‫ ولو‬،‫ حدَّثني به َّن‬:‫اد في سبيل اللَّه» قال‬
1
‫است زْدتُهُ لزادني‬ ُ ‫«الجه‬

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid telah menceritakan


kepada kami Syu'bah berkata; Al Walid ibn 'Aizar telah
mengabarkan kepadaku dia berkata; saya mendengar Abu 'Amru
Asy Syaibani berkata; telah mengabarkan kepada kami pemilik
rumah ini, sambil menunjuk kerumah Abdullah dia berkata; saya
bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Amalan
apakah yang paling dicintai Allah? Beliau bersabda: "Shalat tepat
pada waktunya." Dia bertanya lagi; "Kemudian apa?" beliau
menjawab: "Berbakti kepada kedua orang tua." Dia bertanya;
"Kemudian apa lagi?" beliau menjawab: "Berjuang di jalan
Allah." Abu 'Amru berkata; "Dia (Abdullah) telah menceritakan

7
Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim al-Bukhârî (selanjutnya disebut
sebagai al-Bukhâri), al-Jami’ al-Bukhâri (Sahih al-Bukhâri), Bairut: Dar al-Fikr, no. hadis 5970,
h. 2.
50

kepadaku semuanya, sekiranya aku menambahkan niscaya dia pun


akan menambahkan (amalan) tersebut kepadaku."

Pada dasarnya, setiap orang yang normal memiliki kecenderungan

untuk bersikap baik terhada orang tuanya (birr al-Wâlidain). Naruli dan

akal sehat manusia selalu mengarah demikian, sama dengan adanya orang

mencintai anaknya, berani bersusah payah dan berkorban untuk

kepentingan anaknya. Dua macam kecenderungan timbal balik ini

merupakan tanda bukti kemahabijaksanaan dan kemaha besaran Allah

Swt.

Berbakti kepada kedua orang tua adalah perintah Islam. Perintah

yang wajib dilaksanakan oleh setiap anak. Karena pentingnya, Rasulullah

Saw menjadikannya sebagai salah satu amalan yang penting dan di cintai

oleh Allah Swt secara umum seorang anak diperintahkan dan diwajibkan

taat kepada kedua orang tua, baik keduanya memerintahkan dengan

sesuatu yang wajib, sunnah, ataupun mubah. Demikian pula jika orang tua

melarang dari perbuatan yang haram, makruh, ataupun yang mubah, maka

wajib menaatinya.

Lebih dari itu, kita juga wajib mendahulukan berbakti kepada

kedua orang tua daripada perbuatan wajib kifayah8 dan sunnah. Terkait hal

tersebut, para ulama telah ber-istinbath dari kisah Juraij yang hidup jauh

8
Sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum melakukannya dari sejumlah mukalaf dan
tidak dari setiap pribadi mukalaf. Hal ini berarti bila sebagian atau beberapa orang mukalaf telah
tampil melaksanakan kewajiban itu dan telah terlaksana apa yang dituntut, maka lepaslah orang
lain dari tuntutan itu. Tetapi bila tidakseorangpun melakukannya hingga apa yang dituntut itu
terlantar, maka berdosa semuannya.
51

sebelum masa Nabi Muhammad Saw. dimana pada waktu itu Juraij yang

lebih mementingkan salat sunnah daripada memenuhi panggilan ibunya.

Sehingga ibunya marah dan berdoa untuk mencelakainnya dan Allah Swt,

pun mengabulkan doa buruknya itu. Ulama berkata, kisah dalam hadis ini

menunjukan bahwa semestinya dan yang benar hanyalah salat sunnah;

meneruskan shalat sunnah hukumnya tetaplah sunnah, tidak dapat beralih

status menjadi wajib, sementara memenuhi panggilan ibu hukumnya wajib

dan mendurhakainya adalah perbuatan haram. Semestinya ia bisa

mempercepat shalatnya, lalu memenuhi panggilan ibunya, kemudian

kembali lagi melaksanakan shalatnya.9

Kisah Juraij sendiri diceritakan oleh Nabi Saw ketika sedang

menjelaskan tentang tiga orang yang bisa berbicara sewaktu kecil, yaitu:

Isa ibn Maryam (yakni Nabi Isa as) yang berbicara ketika masih bayi,

seorang bayi yang akan dilemparkan ke dalam api bersama ibunya pada

kisah Asy-hâbul Ukhdûd yang tercantum dalam surat al-Buruj dan bayi

yang ada pada kisah Juraij. Dan para ulama ber-istinbath dengan hadis

kisah Juraij tersebut bahwa shalat sunnah harus dibatalkan untuk

memenuhi panggilan ibu, Karena panggilan ibu adalah wajib untuk

dipenuhi.10

9
An-Nawawi, Imam, Syarah Sahih Muslîm terjemahan dari kitab Syarah Sahih Muslîm,
(Jakarta: Darus Sunnah, 2014), cet. 2 h. 584.
10
Yazid ibn Abdul Qadir jawas, Birrul Wâlidain: berbakti kepada kedua orang tua,
(Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i 2015), h. 76.
52

Berikut ini lah hadis kisah Juraij tersebut:

‫ ع ْن أبي‬،‫ حدَّث نا ُحمْي ُد بْ ُن هالل‬،‫ حدَّث نا ُسلْيما ُن بْ ُن الْ ُمغيرة‬،‫حدَّث نا شْي با ُن بْ ُن ف ُّروخ‬
:‫ قال ُحمْي ٌد‬.ُ‫ت أ ُُّمه‬ْ ‫ فجاء‬،‫ كان ُجريْ ٌج ي ت عبَّ ُد في ص ْومعة‬:‫ أنَّهُ قال‬،‫ ع ْن أبي ُهريْرة‬،‫رافع‬
،ُ‫ف وصف لنا أبُو رافع صفة أبي ُهريْرة لصفة ر ُسول الله صلَّى اللهُ علْيه وسلَّم أ َُّمهُ حين دعْته‬
‫ يا ُجريْ ُج أنا أ ُُّمك‬:‫ت‬ ْ ‫ ف قال‬،ُ‫ت رأْسها إلْيه ت ْد ُعوه‬
ْ ‫ ثَُّم رف ع‬،‫ت كفَّها ف ْوق حاجبها‬ ْ ‫كْيف جعل‬
‫ت‬ْ ‫ ثَُّم عاد‬،‫ت‬ ْ ‫ ف رجع‬،ُ‫اختار صالته‬ ْ ‫ ف‬،‫الله َّم أ ُّمي وصالتي‬ُ :‫ ف قال‬،‫كلّ ْمني فصادف ْتهُ يُصلّي‬
،ُ‫اختار صالته‬ ْ ‫ ف‬،‫الله َّم أ ُّمي وصالتي‬ ُ :‫ قال‬،‫ يا ُجريْ ُج أنا أ ُُّمك فكلّ ْمني‬:‫ت‬ْ ‫ ف قال‬،‫في الثَّانية‬
ُ ،‫ فأبى أ ْن يُكلّمني‬،ُ‫الله َّم إ َّن هذا ُجريْ ٌج وُهو ابْني وإنّي كلَّ ْمتُه‬
‫الله َّم فال تُمْتهُ حتَّى‬ ُ :‫ت‬ ْ ‫ف قال‬
‫ وكان راعي ضأْن يأْوي إلى‬:‫ قال‬.‫ت علْيه أ ْن يُ ْفتن ل ُفتن‬ ْ ‫ ول ْو دع‬:‫ قال‬.‫تُريهُ الْ ُمومسات‬
‫ فقيل‬،‫ت غُالما‬ ْ ‫ت ف ولد‬
ْ ‫ فحمل‬،‫الراعي‬ َّ ‫ فخرجت ْامرأةٌ من الْق ْرية ف وقع علْي ها‬:‫ قال‬،‫ديْره‬
ُ‫ ف ناد ْوه‬،‫ قال فجاءُوا ب ُفئُوسه ْم ومساحيه ْم‬،‫ م ْن صاحب هذا الدَّيْر‬:‫ت‬ ْ ‫ ما هذا؟ قال‬:‫لها‬
،‫ ف ل َّما رأى ذلك ن زل إلْيه ْم‬،ُ‫ فأخ ُذوا ي ْهد ُمون ديْره‬:‫ قال‬،‫ ف ل ْم يُكلّ ْم ُه ْم‬،‫فصادفُوهُ يُصلّي‬
‫ أبي راعي‬:‫ م ْن أبُوك؟ قال‬:‫الصب ّي ف قال‬ َّ ‫ ثَُّم مسح رأْس‬،‫ قال ف ت ب َّسم‬،‫ س ْل هذه‬:ُ‫ف قالُوا له‬
،‫ ال‬:‫ قال‬،‫الذهب والْفضَّة‬ َّ ‫ ن ْبني ما هد ْمنا م ْن ديْرك ب‬:‫ ف ل َّما سمعُوا ذلك مْنهُ قالُوا‬،‫الضأْن‬ َّ
44
ُ‫ ثَُّم عاله‬،‫يدوهُ تُرابا كما كان‬
ُ ‫ولك ْن أع‬

“Syaiban ibn Farrukh telah memberitahukan kepada kami, Sulaiman ibn


Al-Mughirah telah memberitahukan kepada kami, sulaiman ibn Hilal telah
memberitahukan kepada kami, dari Abu Rafi’, dari Abu Hurairah, bahwa
ia berkata, Juraij sedang shalat di sebuah tempat peribadatan, lalu
datanglah ibunya memanggil. Humaid berkata, “Abu Rafi’ menjelaskan
kepadaku bagaimana Abu Hurairah menirukan gaya ibu Juraij ketika
memanggil anaknya itu, sebagaimana yang dia lihat dari Rasulullah Saw,
yaitu dengan meletakkan tapak tangan di atas alis matanya dan
mengangkat kepala kea rah Juaraij untuk memanggil. Saat itu Juraij
berkata kepada dirinya sendiri dengan penuh kebimbangan, Ya Allah!
Ibuku atau Shalatku. Kemudian Juraij memilih meneruskan Shalatnya.
Maka pulanglah perempuan tersebut. Tidak berapa lama perempuan itu
kembali lagi untuk yang kedua kali. Ia memanggil, Hai Juraij, aku Ibumu,
bicaralah denganku! Kembali Juraij bertanya pada dirinya sendiri, ya

11
Abu Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi (selanjutnya disebut sebagai Muslim), al-
Jami’ al-Sahih (Sahih Muslîm), Indonesia: Maktabat Dahlan, juz 4 , No. hadis 2550, h. 1976.
53

Allah! Ibuku atukah shalatku. Lagi-lagi dia memilih meneruskan


shalatnya. Karena kecewa, akhirnya perempuan itu berkata, ya Allah!
Sesungguhnya Juraij ini adalah anakku, aku sudah memanggilnya
berulang kali, namun ternyata dia enggan menjawabku. Ya Allah!
Janganlah Engkau mematikan dia sebelum Engkau perlihatkan kepadanya
perempuan-perempuan pelacur. Perawi berkata, seandainya sang ibu itu
berdoa agar Juraij tertimpa fitnah, niscaya ia akan mendapatkan fitnah
yang besar. Perawi berkata, suatu hari seorang penggembala kambing
berteduh di tempat peribadatan Juraij. Lalu muncullah seorang
perempuan dari sebuah Desa kemudian berzinalah pengembala kambing
itu dengannya, sehingga hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki.
Ketika ditanya kepadanya (perempuan pezina), Anak dari siapakah ini?
Perempuan itu menjawab, anak dari penghuni peribadatan ini. Maka
orang-orang berbondong-bondong mendatangi Juraij. Mereka membawa
kapak dan linggis. Mereka berteriak-teriak memanggil Juraij dan mereka
menemukan Juraij sedang melakukan shalat. Tentu saja Juraij tidak
menjawab panggilan mereka. Akhirnya mulailah mereka merobohkan
tempat ibadahnya. Melihat hal itu Juraij keluar menemui mereka. Mereka
bertanya kepada Juraij, Tanyakan kepada perempuan ini! Juraij-pun
tersenyum, lalu mengusap kepala anak tersebut dan bertanya, siapa
bapakmu? Anak itu tiba-tiba menjawab, Bapakku adalah si penggembala
kambing. Mendengar jawaban anak bayi tersebut, mereka semua berkata,
kami akan membangun kembali tempat ibadahmu yang telah kami
robohkan ini dengan emas dan perak. Juraij menanggapi, tidak usah.
Buatlah seperti semula dari tanah. Kemudian Juraij meninggalkannya.”

Kemudian berbakti dan merawat kedua orang tua juga termasuk


jihad di jalan Allah Swt dalam hal ini, Imam Ibn Hazm menjelaskan:
“tidak dibolehkan berjihad, melainkan dengan izin dari kedua orang tua.
Kecuali apabila musuh sudah berada di tengah-tengah kaum muslimin
maka tidak perlu lagi meminta izin”.
Imam Ibn Qudamah pada salah satu kitabnya, al-Mughni
mengatakan bahwa izin itu harus didahulukan dari pada jihad, kecuali bila
sudah jelas wajibnya jihad dan musuh berada di tengah-tengah kita, maka
jihad lebih di dahulukan. Maka berbakti kepada kedua orang tua harus
didahulukan.
Ibn at-Tin berkata, “mengedepankan berbakti kepada kedua orang
tua daripada jihad memiliki dua alasan. Pertama, manfaat perbuatan ini
dapat dirasakan orang lain. Kedua, pelakunya menganggap perbuatannya
sebagai balasan atas kebaikan kedua orang tuanya. Seakan-akan dia
menganggap perbuatan lain lebih baik darinya, maka disini ditandaskan
keutamaan berbakti kepada kedua orang tua”.12

12
Ibn Hajar al-Asqalanî, Fathul Baari: penjelasan kitab Shahih al-Bukhâri (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), h. 5.
54

Menurut Ahlul al-‘ilm, barang siapa yang mempunyai ayah ibu


yang keduanya muslim, dia tidak boleh berjihad secara sukarela tanpa
izinnya. Dan umumnya ulama sepakat, izin kedua orang tua dalam jihad
merupakan syaratnya.13

Seorang anak jika sudah bercukupan dalam hidupnya dan tidak

memberi sedekah dari sebagian hartanya kepada kedua orang tuanya akan

mendapatkan kerugian. Sebagaimana sabda Nabi Saw yang diriwayatkan

oleh Abu Hurairah ra:

‫ م ْن أ ْدرك‬:‫ م ْن؟ يا ر ُسول الله قال‬:‫ ثَُّم رغم أنْ ُفهُ قيل‬،ُ‫ ثَُّم رغم أنْ ُفه‬،ُ‫رغم أنْ ُفه‬
44
‫ ثَُّم ل ْم ي ْد ُخل الْجنَّة‬،‫ أحد ُهما أ ْو كلْيهما‬،‫والديْه عْندالْكبر‬

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., dia berkata: Rasulullah


Saw. bersabda, “Rugi besar dia. Rugi besar dia. Rugi besar dia.”
Ditanyakan, “siapa dia ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “orang
yang pada usia dewasa mempunyai kedua orang tua yang masih
hidup, baik salah satu atau keduanya, tapi kemudian orang
tersebut tidak masuk surga.”
Pakar bahasa mengatakan, lafaz ‫( َر ِغ َم‬celaka) berarti menjadi

rendah atau hina. Dan dikatakan juga artinya adalah dibenci dan

direndahkan. Huruf Ghain-nya boleh dibaca dengan harakat fathah atau

َ Sedangkan lafazh ‫الر ْغ ُم‬


kasrah, ‫ َرغ ََم‬atau ‫ر ِغ َم‬. ُّ huruf ra’-nya boleh dibaca

dengan harakat dhammah, fathah atupun kasrah, ‫الر ْغ ُم‬


ِ ,‫الر ْغ ُم‬
َّ ,‫الر ْغ ُم‬.
ُّ Asal

makna kata ‫الر ْغ ُم‬


ُّ ini adalah, menempelkan hidung dengan debu yang

13
Lihat kitab al-Mughny jilid 9 h. 190, Bidâyatul Mujtahid jilid 1 h. 368, (Ensiklopedia
Ijmak, Sa’ad Abu Habieb h. 287).
14
Abu Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi (selanjutnya disebut sebagai Muslîm), al-
Jami’ al-Sahih (Sahih Muslîm), Indonesia: Maktabat Dahlan, juz 4 , No. hadis 2555, h. 1978.
55

tercampur dengan batu krikil. Ada juga yang mengatakan bahwa arti kata

‫الر ْغ ُم‬
ُّ ini adalah, setiap apa saja yang mengenai hidung lalu menyakitinya.15

Hadis di atas menganjurkan untuk berbakti kepada kedua orang tua

dan pahalanya sangat besar. Artinya adalah, berbakti kepada kedua orang

tua saat keduanya sudah tua renta dan tak berdaya dengan cara melayani,

merawat, memberi nafkah atau yang lainnya merupakan faktor utama

penyebab masuk surga. Barang siapa yang tidak melakukan kebaikan ini

maka luput darinya penyebab masuk surga dan dia telah merugi. Ijmak

menyatakan seorang anak yang bercukupan wajib memberi nafkah kedua

orang tuanya yang kesulitan dan tidak mempunyai pekerjaan maupun

harta.16

C. Analisis ayat tentang Baik pada orang tua

Apabila kedua orang tua sudah berusia lanjut, sikap dan perasaan

mereka cepat berubah, seperti menjadi mudah tersinggung, suka marah

dan cepat bersedih hati, karena faktor usia mereka. Maka kepada anak-

anak mereka diperintahkan agar melihat perubahan perilaku kedua orang

tua yang sudah tua renta itu sebagai suatu yang lumrah dan mesti diterima

dengan selalu menampakkan rasa kasih sayang yang tulus sebagai buah

dari keluhuran budi seorang mukmin yang bertaqwa.

15
Al-Nawawi, Imam, Syarah Sahih Muslîm, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014), jil. 11,
h. 589-590.
16
Lihat kitab al-Muhalla dalam masalah no.1933 (dalam hal ini pengarang al-Muhalla
manukil dari sementara ulam), Maratibul Ijmak dalam masalah no.79, al-Mughny jilid 8 h. 184,
188 (dalam hal ini pengarang al-Mughny menukil dari Ibn Mundzir), Nailul Authar jilid 6 h. 322
(dalam hal ini pengarang Nailul Autar menukil dari al-Mahdy).
56

Dalam usia lanjut itu, kedua orang tua sangat mengharapkan kasih

sayang dari anak-anak mereka yang sudah mereka besarkan sejak kecil.

Maka anak-anak mereka dituntut patuh dan senantiasa menyayangi kedua

orang tua sebagaimana kasih sayang kedua orang tua mereka ketika

mereka masih kecil, dan hendaknya seorang anak senantiasa mengenang

dan mengingat kembali proses kehidupannya sejak dalam kandungan, lahir

dan sampai seperti sekarang ini, di mana perjalanan hidup anak sangat

bergantung kepada kedua orang tua. Apabila di saat anak masih bayi, pada

saat itu mereka merawat anaknya dengan penuh rasa cinta kasih dan

perhatian. Mereka merasakan bahagia ketika si anak merasa senang dan

menjadi gelisah apa bila anaknya dalam keadaan sakit atau dalam keadaan

bahaya.

Pada umumnya seorang anak merasa berat dan malas memberi

nafkah dan mengurusi kedua orang tuanya yang sudah berusia lanjut.

Namun Rasulullah Saw menjelaskan bahwa keadaan kedua orang tua yang

berusia lanjut itu adalah kesempatan paling baik untuk mendapatkan

pahala dari Allah Swt dimudahkan rizki dan jembatan emas menuju surga.

Oleh Karena itu sungguh rugi jika seorang anak menyia-nyiakan

kesempatan yang paling berharga ini dengan mengabadikan hak-hak orang

tuanya karena sebab itu dia tidak masuk surga.

Orang tua boleh mengambil sesuatu dari harta anaknya tanpa izin.

Kalau memberi (hibah) kepada anaknya, mereka boleh menariknya

kembali meskipun tanpa alasan apapun. Perintah kedua orang tua dan
57

larangannya wajib di taati oleh seorang anak selain perintah yang berupa

kemaksiatan. Terjadi ijmak ulama bahwa seorang anak yang berkecukupan

wajib memberi nafkah kepada kedua orang tuanya yang kesulitan dan

tidak mempunyai pekerjaan maupun harta.17

Rasulullah Saw meletakkan birr al-Wâlidain ini sebagai amalan

nomor dua terbaik setelah salat tepat waktu dan didahulukan sebelum

jihad, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, yang diriwayatkan oleh Imam

Muslim.

‫ ع ْن أبي‬،‫ عن الْحسن بْن عُب ْيد الله‬،‫ حدَّث نا جر ٌير‬،‫حدَّث نا عُثْما ُن بْ ُن أبي شْي بة‬
‫ «أفْض ُل‬:‫ عن النَّب ّي صلَّى اللهُ علْيه وسلَّم قال‬،‫ ع ْن عْبد الله‬،‫ع ْمرو الشَّْي بان ّي‬
48
»‫ وبُّر الْوالديْن‬،‫الصالةُ لوقْتها‬
َّ ‫ْاأل ْعمال أو الْعمل‬
“menceritakan kepada kami Ustman Ibn Abi Syaibah,
menceritakan kepada kami Jarir dari al-Hasan Ibn ‘Ubaidillah
dari Abi ‘Amr As-Syaibani dari ‘Abdullah dari Rasulullah Saw,
sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda keutamaan amal
yaitu mengerjakan shalat tepat waktu dan Birr al-Wâlidain”

Nabi Muhammad menerangkan beberapa amalan utama yang

lainnya, yaitu: Salat pada waktunya. Karena salat mempunyai ketentuan

waktu yang harus ditepati, jika waktunya habis maka tidak bisa melakukan

shalat.

17
Mabbruri Tholhah Syafi’ah AM. M Abdul Mujieb, kamus istilah fiqih, (Jakarta: PT.
Pustaka Firdaus 1995), h. 255.
18
Abu Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi (selanjutnya disebut sebagai Muslîm), al-
Jami’ al-Sahih (Sahih Muslîm), Indonesia: Maktabat Dahlan, kitab al-Iman, bab Bayân Kaun al-
Iman Billahi Ta’ala Afdol al- A’mal. Juz 1, No hadis 85, h. 90.
58

Kemudia Nabi Saw bersabda lagi “Berbakti kepada kedua orang

tua”. Perbuatan berbakti kepada kedua orang tua ini merupakan hal utama

yang harus dilakukan seorang anak, jika anak tidak berbakti kepada kedua

orang tuanya. Maka dia dikategorikan sebagai anak yang durhaka.

1. Bentuk-bentuk Baik pada kedua orang tua

Sudah menjadi kewajiban bagi seorang anak untuk berbuat baik

kepada kedua orang tua. Bentuk-bentuk berbuat baik kepada kedua orang

tua antara lain sebagai berikut:

a. Berkata kepada kedua orang tua dengan perkataan yang lemah lembut.

Hendaknya dibedakan antara berbicara dengan kedua orang tua dan

berbicara dengan teman atau dengan yang lainnya. Berbicara dengan

perkataan yang mulia kepada kedua orang tua merupakan keharusan,

tidak boleh mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan

kedua orang tua seperti mencemooh dan mencaci maki atau melaknat

keduannya karena perbuatan tersebut merupakan dosa besar dan

bentuk kedurhakaan kepada kedua orang tua.

b. Tawaḏu’ (rendah hati). Tidak boleh sombong, tidak boleh angkuh

denga kedua orang tua, jangan merasa tinggi hati dengan sebab sudah

meraih kesuksesan atau mempunyai jabatan di dunia, karena sewaktu

lahir seorang anak berada dalam keadaan hina dan butuh pertolongan.

Seandainya seorang anak diperintahkan untuk melaksanakan

pekerjaan yang ia anggap ringan dan merendahkannya, yang mungkin

tidak sesuai dengan kesuksesan atau jabatannya dan bukan sesuatu


59

yang diharamkan, wajib bagi seorang anak untuk tetap taat kepada

keduanya. Lakukanlah dengan senang hati karena hal tersebut tidak

akan menurunkan derajat seorang anak, karena yang menyuruh adalah

orang tuanya sendiri. Hal itu merupakan kesempatan bagi seorang

anak untuk berbuat baik selagi keduanya masih diberi umur oleh Allah

Swt.

c. Memberi sedekah kepada kedua orang tua. Jika seorang anak sudah

berkecukupan dalam harta, hendaklah ia menafkahkannya pertama

kali pada kedua orang tuannya. Ada sebagian anak yang telah

berkeluarga tidak lagi menafkahkan hartanya kepada orang tuanya

karena takut pada istrinya, hal seperti ini tidak dibenarkan.

d. Mendoakan kedua orang tua. Apabila kedua orang tua telah

meninggal, maka seorang anak yang pertama kali yang harus

dilakukannya adalah meminta ampun kepada Allah Swt dengan taubat

yang benar bila seorang anak pernah berbuat durhaka kepada kedua

orang tuanya sewaktu mereka masih hidup. Selanjutnya mendoakan

kedua orang tuannya.

e. Bergaul dengan keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadis

Nabi Saw, di sebutkan bahwa memberikan kegembiraan kepada

seorang mu’min termasuk sodaqah, lebih utama lagi kalau

memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua.


60

2. Tatakrama terhadap kedua orang tua.

Beberapa tatakrama yang harus diperhatikan oleh seorang anak

terhadap kedua orang tuanya:

a. Jangan memanggil namanya, akan tetapi panggillah mereka dengan

panggilan yang mereka sukai dan yang membesarkan hatinya, turuti

semua perintah mereka selama yang mereka perintahkan tidak

menyimpang dari perintah Allah Swt.

b. Hadapi mereka dengan ramah dan ceria terutama jika mereka sudah

lanjut usia.

c. Beri mereka nasehat tetapi dengan cara yang santun, jika mereka tidak

menerima nasehat seorang anak, jangan membuat mereka sakit hati.

Dan temani mereka dengan baik jangan sampai lupa untuk minta doa

restu dari mereka apa yang dilaku kan oleh seorang anak.

3. Keutamaan Baik pada kedua orang tua

Berbakti kepada kedua orang tua memilik keutamaan dan ganjaran

yang besar di sisi Allah Swt. Di antara keutamaan berbakti kepada kedua

orang tua ialah:

a. Berbakti kepada kedua orang tua adalah amal yang paling utama. Hal

ini berdasarkan hadis Nabi Saw. yang disepakati oleh al-Bukhari dan

Muslim, dari Abu Abdirahman Abdullah ibn Mas’ud, ia berkata:

ُ‫الصالة‬
َّ :‫ي الْعمل أفْض ُل؟ قال‬ ُّ ‫ت ر ُس ْول الله صلَّى اللهُ علْيه وسلَّم أ‬ ُ ْ‫سأل‬
‫اد في‬
ُ ‫ الْجه‬:‫ي؟ قال‬
ٌّ ‫ ثَُّم أ‬:‫ قال‬.‫ وبُّر الوالديْن‬:‫ي؟ قل‬ ٌّ ‫ ثَُّم أ‬:‫ت‬
ُ ‫ قُ ْل‬.‫لوقْتها‬
.‫سبيل اللَّه‬
61

“Aku bertanya kepada Rasulullah Saw. ‘Amal apakah


yang paling utama? Beliau pun menjawab: Salat pada
waktunya. Aku bertanya lagi: kemudian apa? Beliau
menjawabnya: Berbakti kepada kedua orang tua. Aku
bertanya lagi: kemudian apa? Beliau menjawab: Jihad
di jalan Allah”.

b. Berbakti kepada kedua orang tua dapat meluaskan rezeki dan

memanjangkan umur. Seperti terdapat dalam sebuah hadis yang

disepakati oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari Anas ibn

Malik bahwa Nabi Saw. bersabda:

ُ‫ ف ْليص ْل رحمه‬،‫ ويُْنسأ لهُ في أثره‬،‫ب أ ْن يُْبسط لهُ في رْزقه‬


َّ ‫م ْن أح‬
“barang siapa suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya,
hendaklah ia menyambung silaturahmi”

Sesungguhnya, al-Qur’an dan as-Sunnah menganjurkan seorang anak

supaya menyambung silaturahim dan yang harus didahulukan adalah

bersilaturahim kepada orang tua, sebelum kepada kerabat yang

lainnya. Banyak seseorang yang justru sering berkunjung ke teman-

temannya, tetapi kepada orang tuanya sendiri jarang sekali, bahkan

todak pernah. Padahal saat masih kecil selalu bersama ibu dan

bapaknya. Tetapi setelah dewasa, seakan-akan tidak pernah

berkumpul atau tidak kenal dengan kedua orang tuanya oleh Allah

Swt.

Sesulit apapun kondisinya, harus tetap diusahakan untuk

bersilaturahim kepada kedua orang tua. Karena dengan dekat kepada

kedua orang tua, akan dimudahkan rezeki dan dipanjangkan umur.


62

c. Dimudahkannya segala sesuatu. Perlu diketahui jika seseorang

memiliki kesulitan dalam hidupnya karena ia durhaka pada kedua

orang tuanya dan apabila seseorang mendapatkan kebaikan dan

kemudahan dalam perkaranya adalah karena perbuatan baik dan

baktinya kepada kedua orangtuanya. Oleh sebab itu seorang muslim

hendaknya senantiasa berbakti kepada kedua orang tua dan berusaha

merawat mereka dengan sebaik mungkin sehingga Allah Swt

berkenan menghilangkan segala kesulitan hidup yang dialaminya.

d. Memperoleh imbalan surga dan dijauhkan dari malapetaka, seorang

anak yang berbuat kejahatan atau durhaka pada orang tuanya maka

surga haram baginya dan sebaliknya mereka yang berbakti pada kedua

orang tuanya, Allah Swt menjanjikan surga bagi mereka. Tidak hanya

itu, dosa-dosa yang dilakukan seorang anak kepada kedua orang

tuanya di dunia, hukumannya tidak ia dapatkan diakhirat saja

melainkan disegerakan hukumannya di dunia. Dengan kata lain azab

akan selalu diberikan bagi mereka yang durhaka pada kedua orangtua,

sedangkan mereka yang berbakti kepada kedua orang tua senantiasa

akan dijauhkan dari malapetaka oleh Allah Swt.


BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Al-Birr yang mengandung makna begitu luas sebagaimana


ditekankan oleh Rasulullah Saw, bahwasanya yang dimaksud dengan al-
Birr ialah husnul khuluq atau akhlak yang baik. Akhlak yang baik
memiliki urgensitas yang sangat penting dalam pribadi seseorang. Dan
segala perbuatan atau sifat yang positif, tidak mengandung unsur negatif
serta tidak melanggar larangan-larangan Allah Swt dan Rasul-Nya. Jadi
kata al-birr dalam hadis dan ihsan dalam qur’an itu sama makna tujuannya
yaitu melakukan kebaikan. Sebagaimana dalilnya yaitu Firman Allah Swt
dan hadis Nabi Saw. yang sudah dijelaskan diatas.
Banyak cara untuk berbakti kepada kedua orang tua yang telah

diperintahkan oleh Rasulullah Saw, diantaranya memberi nafkah kepada

kedua orang tua, mengunjungi kedua orang tua jika tidak tinggal bersama,

merawat kedua orang tua yang telah lanjut usia, dan lain sebagainya. Birr

al-Wâlidain atau berbakti kepada kedua orang tua adalah kewajiban bagi

seorang anak. Dalam agama Islam perintah berbakti kepada kedua orang

tua di posisikan kedua setelah diperintahkannya salat, sungguh mulia

kedudukan ini.

Seorang anak yang telah berkeluarga atau sudah mempunyai

keluarga sendiri harus tetap untuk berbakti kepada kedua orang tuanya,

karena orang tua mempunyai hak kepada anaknya yaitu hak rasa kasih

sayang. Dan seorang anak jika telah memberi, membagi sebagian rezeki

63
64

atau hartanya kepada orang tuanya yg sudah tidak mampu lagi untuk

mencari nafkah maka tidak akan merubah kedudukannya di dunia.

B. SARAN

Hadis merupakan pedoman umat Islam, ia adalah sumber kedua

umat Islam setelah al-Qur’an, dengan peranannya hadis menjadi penting

untuk selalu diteliti, dibahas dan dikembangkan. Penelitian dan

pembahasan yang penulis lakukan hanyalah segelintir dari beribu

pembahasan dan tema hadis yang perlu dibahas dan diteliti. Dalam skripsi

ini penulis hanya memfokuskan pada hadis berbakti kepada kedua orang

tua yang masih hidup. Maka dari itu saya berharap dikemudian hari ada

penelitian lebih lanjut berkaitan dengan birr al-Wālidain atau berbakti

kepada kedua orang tua.

Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan sedikit

pengetahuan untuk penulis khususnya, para pembaca sekalian dan orang

lain pada umumnya. Amīn.


DAFTAR PUSTAKA

Abu habieb, Sa’di. Ensiklopedi Ijmak, terj. Kh. A. Sahal Mahfudz, cet. Ke-4.

Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.

Agil husen al-Munawwar, Said. Asbabul Wurud. Yogyakarta: Pustaka pelajar,

2002.

Ahmad, Ariffuddin. Paradigma baru memahami hadis Nabi Refleksi Pemikiran

Muhammad Syuhudi Ismail, cet. I. Jakarta: Renaisan, 2005.

Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fathul Bāri: Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari. Jakarta:

Pustaka Azzam, 2008.

Al-fahham, Muhammad. Berbakti Kepada Orang Tua kunci sukses dan

kebahagiaan, jilid I. Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006.

Al-Hazimiy, Ibrahim. Keutamaan Birr Al-Walidayn: hikmah di balik kisah orang-

orang yang berbakti kepada orang tua. Jakarta: Qisthi Press, 2010.

Al-Qurthubi, Imam. Tafsir al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Al-Nawawi, Imam. Sahih Muslîm bi syarah al-Nawawi, 2001.

. Riyadhus Shalihin (terjemahan). Solo: Insan Kamil, 2011.

. Syarah Shahih Muslim (terjemahan). Jakarta: Darus Sunnah,

2014.

65
66

Arrofiqi, Ahmad. Implementasi hadis birul walidain setelah meninggal dunia pada

masyarakat wonokromo (studi living hadis). Skripsi S1 Fakultas

Ushuluddin UIN Sunan KaliJaga Yogyakarta, 2009.

Azis Dahlan, Abdul. Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996.

Ibn Abdul Qadir Jawas, Yazid. Birrul Walidain. Jakarta: Pustaka Imam Asy-

Syafi’i, 2015.

Bukhâry (al), Muhammad ibn ismāil ibn ibrāhim ibn al Mughirah, abu abdillah.

Sahih Bukhary. Beirut: Dar Al Kutub Al Islami, 2009.

Departemen, Agama R.I. al-Qur’an dan terjemahannya. Bandung: Gema Press,

1989.

Faishal ibn Abdul Aziz, Alu Mubarak. Ringkasan Nailul Authar, jilid 6. Jakarta:

Pustaka Azzam, 2006.

Hamid, Abdul. Pedoman Dakwah. Menara Kudus, 1977.

Ilyas, H. Yunahar. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Ismail, Muhammad Syuhudi. Hadis Nabi menurut pembela, pengingkar, dan

pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press, 1989.

Jauzi, Imam Ibn. Birrul Walidain. Darul Ilmu Al Munawar Asy-Syamsiah, cet.I.

Madinatul Munawarah, 1993.

Muhammad ibn Jarir Ath-Thabari, Abu Ja’far. Tafsir Ath Thabari, cet. 1. Jakarta:

Pustaka Azzam, 2009.


67

Muhammad Fahruddin, Fuad. Masalah Anak Dalam hukum Islam. Jakarta: CV.

Pedoman Ilmu Jaya, 1991.

Muslim, Mustafa. Mabâhis fi al-Tafsir al-maud’i. Damaskus: Dar al-Qalam, 1410

H/1989 M.

Nasâ’i (al), Abu Abdi al Raḥman Ahmad ibn Shuib ibn Aly al Khurasāny. Al

Sunan al-Sughra li al-Nasâi. Kairo: Maktab al Matbūāt al Islamiyyah,

1986.

Qudamah, Ibn. Al-Mughni, terj. Sadam Hussaen, Lc. Jakarta: Pustaka Azzam,

2008.

Yûsuf al-Qardâwî, bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, Bandung: Karisma,

1994.

Rifa’i, Drs. Muhammad. Khatbah Jum’at. Semarang: CV. Toha Putra, 1979.

Rusyd, Ibn. Bidayatul Mujtahid, terj. Abdul Hadi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Misbah, cet. I. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Soetari, Endang. Ilmu Hadis. Bandung: Amal Bakti Press, 1997.

Sugiyono. Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, cet. II.

Bandung: Alfabeta, 2010.

Surahmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1994.

Santoso, urip. Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua, 2015.


68

Tholhah Syafi’ah, Mabruri. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

Tim AAK. Pedoman Akademik: Program Strata 1 2012/2013. Jakarta: Biro

Administrasi Akademik dan kemahasiswaan UIN Jakarta, 2012.

Tim Penyusun. Kamus Besar Indonesia. Depdikbud, 1994.

Turmudhy (al), Muhammad ibn Isa ibn Sūrah ibn Mūsa ibn al Ḍaḥak. Sunan al

Turmudhy. Kairo: Shirkah Maktabah Wa Matba’ah Mustafa al Baby al

Halby, 1975.

Anda mungkin juga menyukai